Bab 15 Mengobati seorang Gadis Dengan Iweekang
setelah meninggalkan Kuil
siauw Lim sie, seng Hwi mengajak Thio Han Liong ke sebuah lembah- Di lembah itu
terdapat sebuah gubuk, yang ternyata tempat tinggal seng Hwi dan ibunya. seng
Hwi mengajak Thio Han Liong ke dalam-Terlihat seorang wanita tua yang rambutnya
sudah putih semua terbaring di tempat tidur,
"seng Hwi—." Wanita
tua itu menatapnya-
"ibu" seng Hwi
mendekatinya-
"Aku sudah pulang-"
"seng Hwi"
Wanita tua itu memandang Thio
Han Liong- "siapa anak muda tampan itu?"
"Dia kawan baikku,
namanya Thio Han Liong," jawab seng Hwi memberitahukan.
"Bibi Tua" panggil
Thio Han Liong.
"Ngmm" Wanita tua
itu manggut-manggut. kemudian bangun dan duduk di pinggir tempat tidur,
"seng Hwi, syukurlah
engkau sudah punya kawan baik ibu... ibu turut gembira, oh ya, bagaimana
urusanmu dengan pihak siauw Lim sie?"
"Justru itu aku ingin
bertanya kepada ibu, harap ibu menjawab dengan jujur, jangan membohongiku"
"Engkau mau bertanya apa?
Tanyalah"
"ibu" seng Hwi
menatap ibunya seraya bertanya,
"sebetulnya ayahku orang
baik atau orang jahat?"
"Ayahmu...-" Wanita
tua itu tidak melanjutkan ucapannya melainkan menundukkan kepala.
"Kenapa engkau menanyakan
hal itu?"
"sebab—-" seng Hwi memandang
Thio Han Liong, rupanya ia menghendaki pemuda itu yang memberitahukan kepada
ibunya-
"Bibi tua," ujar
Thio Han Liong membentahukan.
"Namaku Thio Han Liong,
ayahku bernama Thio Bu Ki, Cia sun adalah ayah angkat orangtuaku...."
Kemudian Thio Han Liong
menutur tentang urusan seng Kun dengan Cia sun dan lain sebagainya. Wanita tua
itu mendengarkan dengan wajah murung, seusai Thio Han Liong menutur, wanita tua
itu menghela nafas panjang.
"Aaah—" Wanita tua
itu menggeleng-gelengkan kepala, "seng Hwi, ayahmu memang begitu"
"Ha a a h—?" wajah
Seng Hwi pucat pias.
"Kenapa selama ini ibu
membohong iku, tidakmau berterus terang?"
"ibu tidak mau merusak
kesan baikmu terhadap ayahmu, lagipula— ayahmu memang sangat menyayangi-mu.
oleh karena itu..."
Wanita itu menghela nafas
panjang,
"ibu tidak tega
menceritakan tentang semua kejahatan ayahmu, sebab itu... itu akan
menghancurkan hidupmu."
"ibu...." Air mata
seng Hwi meleleh.
"Kini hidupku telah
hancur, bahkan telah melakukan perbuatan berdosa. Aku... aku telah banyak
membunuh para Hweeshio siauw Lim Pay. Aaahhh"
"saudara Tua," ujar
Thio Han Liong.
"Kong Bun Hong Tio dan
Kong Ti seng Ceng telah memaafkanmu-"
"Tapi-., tapi-—"
seng Hwi terisak-isak-
"Aku tidak bisa memaafkan
diriku sendiri, karena aku telah membunuh begitu banyak Hweeshio yang tak
berdosa-"
"saudara Tua, engkau tahu
salah berarti mau bertobat seperti kakekku itu, maka alangkah baiknya engkau ke
siauw Lim sie untuk memohon pengampunan kepada Kong Bun Hong Tio-" ujar
Thio Han Liong sambil tersenyum-
"Saudara kecil,"
ucap seng Hwi girang.
"Terima kasih atas
petunjukmu. Kalau tiada engkau, dosaku pasti bertambah- Aku telah berhutang
budi dan kebaikanmu, mudah-mudahan aku dapat membalas kelak"
"Jangan berkata begitu,
Saudara tua" Thio Han Liong tersenyum.
"Di antara kita tiada
hutang budi atau kebaikan."
"saudara kecil...."
seng Hwi menatapnya dengan haru.
"Terima kasih-.."
"Han Liong" Wanita
tua itu memandangnya dengan mata basah-
"Kami sungguh telah
berhutang budi kepadamu"
"Bibi tua jangan berkata
begitu Aku dan Saudara tua adalah kawan baiki tentunya harus tolong
menolong," ujar Thio Han Liong.
"Han Liong...." Air
mata wanita tua itu mulai meleleh.
"Terima kasih."
"Bibi tua jangan terus
mengucapkan terima kasih padaku, aku jadi malu."
Thio Han Liong
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian memandang seng Hwi seraya bertanya,
"Saudara tua, dari mana
engkau belajar ilmu pukulan cing Hwee Ciang yang amat ganas itu?"
"Aku belajar dari sebuah
kitab pemberian ayahku." seng Hwi memberitahukan.
"Hampir tiga puluh tahun
aku belajar ilmu pukulan itu dan beberapa bulan lalu kitab itu telah
kubakar."
Thio Han Liong
manggut-manggut.
"saudara tua, aku mau
pamit."
"Mau berangkat
sekarang?"
"ya."
"Tidak bisa" seng
Hwi menggelengkan kepala.
"Biar bagaimanapun engkau
harus tinggal di sini beberapa hari"
"Itu...."
"jangan menolak"
"Tapi-"
"Tidak ada tapi-tapian,
pokoknya engkau harus tinggal di sini beberapa hari"
Thio Han Liong berpikir, lama
sekali barulah mengangguk-Itu sangat menggirangkan Seng Hwi.
"saudara kecil, terima
kasih," ucapnya dengan wajah berseri.
Thio Han Liong tinggal di
gubuk itu. Beberapa hari kemudian barulah berpamitan kepada seng Hwi dan wanita
tua itu Kini ia melakukan perjalanan ke arah timur menuju desa Hok An, tempat
tinggal Tan Giok Cu.
-ooo00000ooo-
Dua hari kemudian, Thio Han
Liong telah tiba di sebuah kota. la mampir di sebuah rumah makan lalu memesan
beberapa macam hidangan kepada pelayan.
Ketika ia mulai bersantap,
beberapa tamu yang duduk di sebelahnya mulai bercakap-cakap dengan wajah
serius.
"Aaaah" salah
seorang tamu menghela nafas panjang. Tak disangka kota kita ini dilanda suatu
bencana, khususnya bagi keluarga yang punya anak gadis."
"Memang mengherankan,
setiap gadis pasti jatuh sakit, kemudian berubah gila dan bertenaga amat besar,
setelah itu menghilang entah ke mana."
"Untung kita tidak punya
anak gadis. Namun aku sangat prihatin menyaksikan para orangtua yang kehilangan
anak gadisnya."
"Aaah—" Tamu itu
menggeleng-gelengkan kepala.
"Hartawan urn yang
berhati-bajik serta sering menolong orang justru tertimpa bencana itu"
"Betul," sambung
yang lain.
"Putrinya yang berusia
tujuh belasan itu mulai mengidap penyakit aneh seperti anak gadis lain. Tidak
lama lagi putri hartawan Lim itu pasti gila dan akan hilang seperti anak gadis
lain."
"Maaf" Thio Han
Liong segera menghampiri mereka.
"Bolehkah aku bertanya
sesuatu kepada Paman?"
"Mau bertanya apa. Anak
muda?"
"Putri hartawan Lim
mengidap penyakit apa?"
"Penyakit aneh,"
sahut orang itu memberitahukan.
"Badannya panas, mukanya
agak kehijau-hijauan dan terus-menerus mengigau."
"setelah itu, dia akan menjadi
gila dan bertenaga besar?" tanya Thio Han Liong, yang tadi telah mendengar
pembicaraan mereka.
"Ya."
"Orang itu mengangguk-
"Bahkan kemudian akan
hilang begitu saja."
"oh?" Thio Han Liong
mengerutkan kening.
"Paman, di mana rumah
hartawan itu?"
"Tak jauh dari
sini." Orang itu menunjuk ke arah kanan.
"Keluar dari rumah makan
ini harus ke kanan, sampai di prapatan belok ke kiri. Nah, hanya puluhan depa
lagi sampai di rumah hartawan Lim."
"Terima kasih,
Paman"ucap Thio Han Liong. Kemudian ia membayar makanannya, dan
meninggalkan rumah makan itu. la langsung menuju rumah hartawan urn, dan tak
seberapa lama kemudian, sudah tiba di tempat tujuan, sebuah rumah yang amat
megah dan mewah berdiri di situ dan dikelilingi tembok tinggi- Kebetulan pintu
pagar luar tidak ditutup, maka Thio Han Liong mendorongnya dan sekaligus masuk
ke dalam.
Pekarangan rumah itu luas
sekali, dihiasi pula dengan berbagai macam tanaman dan gunung-gunungan serta
air teriun buatan. Perlahan-lahan Thio Han Liong berjalan ke rumah itu.
Tiba-tiba pintu rumah itu terbuka, dan tampak seorang tabib berjalan ke luar
sambil menggeleng-geleng-kan kepala-
"Aaah—" Tabib itu
menghela nafas dan bergumam,
"Aku tidak mampu
mengobatinya-"
"Tabib," tanya
seorang tua berpakaian jongos-
"Apa-kah Nona kami tidak
bisa diobati lagi?"
"Sudah puluhan tahun aku
menjadi tabib, tapi tidak pernah menyaksikan penyakit seaneh itu- Aaah—"
Tabib itu menggeleng-gelengkan kepala-
"Mungkin hanya dewa yang
dapat mengobatinya-"
Tabib itu melangkah pergi, namun
masih sempat melirik Thio Han Liong, yang berdiri di situ, kemudian terus
berjalan pergi lagi dengan kepala tertunduk-
"Eeeh?" Jongos tua
itu terbelalak ketika melihat Thio Han Liong-
"Anak muda, engkau ke
mari tidak pada waktunya- saat ini hartawan Lim sedang dirundung duka, beliau
tidak akan membantumu-"
"Paman tua—" Thio
Han Liong ingin menjelaskan maksud tujuan kedatangannya, namun dibatalkannya
karena tiba-tiba berkelebat suatu ingatan lain. Kata orang hartawan Lim berhati
bajik dan suka menolong siapa pun, maka ia ingin mengujinya.
"Aku ingin menemui hartawan
Lim."
"Anak muda" Jongos
tua itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Hartawan Lim sedang
cemas, bingung dan berduka sekali, sia-sialah engkau menemuinya untuk minta
toiong."
"Paman tua, toiong antar
aku menemui beliau" desak Thio Han Liong.
"Anak muda,
engkau...." ucapan jongos tua itu terputus,
karena mendadak muncul seorang
lelaki berusia lima puluhan, yang wajahnya tampak diliputi kecemasan dan
kegelisahan.
"Ah Liok Ada apa?"
tanya lelaki itu
"Tuan besar.... jongos
tua itu menundukkan kepala. "Anak
muda ini-..."
"Paman" ujar Thio
Han Liong cepat.
"Aku... aku sedang dalam
perjalanan, tapi kehabisan bekal dan sekarang aku lapar sekali-"
"Ah Liok, cepat antar dia
ke dalam dan berilah makan" pesan lelaki itu, yang ternyata hartawan Lim.
"Ya, Tuan besar."
Jongos tua itu mengangguk.
lalu mengajak Thio Han Liong masuk-
"Anak muda, mari ikut aku
ke dalam"
"Terima kasih," ucap
Thio Han Liong lalu mengikuti jongos tua itu ke dalam-
sedangkan hartawan Lim masih
berdiri di situ sambil memandang ke langit, kemudian mulutnya berkomat-kamit,
sepertinya sedang berdoa. Thio Han Liong dibawa oleh Ah Liok ke ruang
makan.jongos tua itu segera menyajikan berbagai macam hidangan, dan setelah itu
ia menghela nafas panjang sambil bergumam.
"Tuan besar begitu baik
hatinya, namun kini sedang tertimpa musibah- Lo Thian Ya (Tuhan) sungguh tidak
adil"
Thio Han Liong tidak menyahut-
la terus makan dan dalam hatinya sudah mengambil keputusan untuk menoiong putri
hartawan Lim- usai ia
bersantap ketika bangkit dari duduknya.
Ah Liok bertanya.
"Anak muda, kenapa
makanmu hanya sedikit?"
"Paman tua, aku sudah
kenyang," sahut Thio Han Liong sambil tersenyum.
Pada saat bersamaan, muncul
seorang pelayan wanita membawa sebuah bungkusan, lalu diberikan kepada Thio Han
Liong.
"Ini dari tuan besar,
terimalah" katanya.
Thio Han Liong ragu-ragu
menerima bungkusan itu, sebab tidak tahu apa isinya.
"Bungkusan ini berisi dua
puluh tael perak pemberian tuan besar untuk bekalmu dalam perjalanan."
kata wanita itu memberitahukan.
"oooh" Thio Han
Liong manggut-manggut. "sungguh baik hati hartawan urn Walau dalam keadaan
cemas dan bingung, beliau masih mau menoiong orang lain. Aku harus menemui
beliau."
"sudahlah" tandas jongos
tua. "Anak muda, engkau terimalah pemberian tuan besar itu, lalu
lanjutkanlah perjalananmu, jangan mengganggu tuan besar lagi"
"Paman tua, aku mengerti
sedikit ilmu pengobatan. Aku ingin memeriksa putri hartawan Lim."
"Anak muda" jongos
tua itu terbelalak, kemudian menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata,
"Tabib yang berpengalaman
puluhan tahun saja tidak sanggup mengobati nona kami-apalagi engkau. Kata tabib
tadi- kecuali dewa...."
"Paman tua, toiong antar
aku menemui hartawan Lim" desak Thio Han Liong.
"sudahlah" Jongos
tua itu menggeleng-Gelengkan kepala. "Jangan membuat tuan besar
marah"
"seandainya aku dewa
muda?" ujar Thio Han Liong mendadak sambil tertawa kecil.
"Apa?"Jongos tua itu
melotot
"Anak muda, jangan
bergurau"
"siapa dewa muda?"
Mendadak muncul hartawan Lim. "Eh? Anak muda, kenapa engkau belum
pergi?"
"Tuan besar, dia tidak
mau pergi-"Jongos tua memberitahukan. "Bahkan mengaku dirinya dewa
muda"
"Ah Liok" Hartawan
urn mengerutkan kening, "usiamu sudah enam puluh lebih, tapi-..."
"Maaf, Tuan
besar"jongos tua itu menundukkan kepala.
"Ah Lioki cepatlah engkau
pergi undang tabib lain" ujar hartawan Lim.
"Tuan besar, semua tabib
yang terkenal di kota ini sudah diundang ke mari, tidak ada tabib tain
lagi-" sahut jongos tua itu
"Tuan besar, anak muda
ini ingin menemui Tuan besar, katanya mengerti sedikit ilmu pengobatan, maka
dia belum menerima uang pemberian Tuan besar untuk bekalnya dalam perjalanan."
ujar pelayan wanita itu
"oh?" Hartawan Lim
menatap Thio Han Liong dalam-dalam.
"Anak muda, siapa
engkau?" tanyanya.
"Namaku Thio Han Liong,
Paman"
"Engkau belajar ilmu
pengobatan dari siapa?"
"Dari ayahku."
"Engkau berasal dari
mana?"
"Kami tinggal di sebuah
pulau di Laut utara." Thio Han Liong memberitahukan,
"sejak kecil aku sudah
belajar ilmu pengobatan. Aku dengar putri Paman sakit, maka aku ke mari dengan
alasan minta bantuan, tapi sesungguhnya aku ingin memeriksa penyakit putri
Paman itu"
"Anak muda, engkau"
Hartawan Lim agak terbelalak-
"Ternyata engkau menguji
hatiku dulu. Bagaimana? Apakah aku lulus?"
"Paman.—" wajah Thio
Han Liong kemerah-merahan.
"Aku dengar Paman berhati
bajik dan suka menoiong sesama. Aku... kurang yakin itu, maka...."
"Maka engkau ke mari
untuk menguji hatiku dulu. ya, kan?" Hartawan Lim menggeleng-gelengkan
kepala seraya berkata,
"Anak muda, kami tiga
turunan selalu berbuat kebaikan, namun setiap turunan hanya punya seorang anak.
Kini putriku malah mengidap penyakit aneh yang tiada obatnya, Lo Thian ya
(Tahan) sungguh tidak adil"
"Paman, mudah-mudahan aku
sanggup mengobati penyakit putri Paman itu" ucap Thio Han Liong.
"Engkau masih
kecil...." Hartawan Lim menghela nafas
panjang, "sudahlah Engkau
boleh pergi"
"Paman.—"
"Tuan besar," ujar
pelayan wanita yang masih memegang bungkusan itu
"Anak muda ini telah
menguji hati Tuan besar, bagaimana giliran Tuan besar menguji ilmu
pengobatannya? siapa tahu justru dia yang mampu mengobati Nona."
"Itu—" Hartawan Lim
masih tampak ragu.
"Tuan besar,!." sela
jongos tua itu "Tadi Tuan besar menyuruh aku pergi mengundang tabib lain.
Kini sudah ada tabib kecil berdiri di sini, kenapa Tuan besar tidak menyuruhnya
memeriksa penyakit Nona?"
"Dasar kalian berdua
sudah tua"
"Paman" Mendadak
badan Thio Han Liong bergerak cepat dan dalam sekejap ia sudah menghilang.
"Eeeh?" Jongos tua
menengok ke sana ke mari. "Hilang ke mana anak muda itu? Kok bisa hilang
mendadak? Jangan-jangan dia siluman?"
"Paman tua, aku bukan
siluman, melainkan dewa muda yang main ke mari"
terdengar suara sahutan
nyaring, namun tidak kelihatan orangnya. Ternyata tadi Thio Han Liong
menggunakan ilmu ginkang melesat ke belakang gorden, sekarang menyahut
mengeluarkan Iweekang maka suaranya bergema dan terdengar begitu nyaring.
"Dewa muda Toiong
perlihatkan dirimu dan cepatlah toiong nona kami yang sudah sekarat" ucap
jongos tua itu.
"Dewa muda" sambung
pelayan wanita-
"Jangan marah kepada Tuan
besar kami- sebab Tuan besar kami dalam keadaan bingung, cemas dan duka"
"Ht hi hi" Thio Han
Liong tertawa geli- kemudian mendadak berkelebat bayangannya di hadapan
mereka-"
"Dewa muda—."
Jongos tua itu terbelalak dan
nyaris berlutut di hadapan Thio Han Liong-
"Paman tua, aku bukan
dewa muda," ujar Thio Han Liong sambil tertawa-
"Aku anak muda-"
"Han Liong—"
Hartawan Lim menatapnya d eng a n penuh perhatian.
"Engkau masih kecil.namun
kepandaianmu sudah begitu tinggi."
"Paman, aku sudah tidak
keail lagi- karena usiaku sudah enam belas." Thio Han Liong
memberitahukan.
"Ngmmrn" Hartawan
Lim manggut- manggut. "Ayoh-lah Mari ikut aku ke kamar putriku,
mudah-mudahan engkau sanggup mengobati putriku"
Di saat bersamaan, mendadak
terdengarlah jerit tangis di dalam, sebuah kamar sehingga membuat wajah
hartawan Lim langsung berubah, lalu bergegas-gegas ke kamar itu.
Thio Han Liong mengikutinya
dari belakang, begitu pula jongos tua dan pelayan wanita itu.
yang menangis itu ternyata
nyonya hartawan Lim. Wanita itu memeluk putrinya sambil menangis
gerung-gerungan.
"Kenapa Mei suan?"
tanya hartawan Lim aemas.
"Suamiku, putri
kita..."
Air mata nyonya hartawan Lim
berlinang-linang seraya berkata dengan terputus-putus. "Putri kita...
dia... dia sudah meninggal"
"Hah?" Wajah
hartawan Lim puaat pias.
Thio Han Liong terus menatap
gadis yang berbaring di tempat tidur, yang wajahnya tampak puaat
kehijau-hijauan. Setelah menatap sejenak, ia maju menghampirinya.
"Maaf" ucapnya dan
segera memeriksa gadis itu.
Berselang beberapa saat kemudian,
Thio Han Liong berkata kepada jongos tua.
"Paman tua, aepat
ambilkan sebuah baskom"
"ya."
Jongos tua itu segera pergi
mengambil baskom. Tak lama ia sudah kembali denganmembawa sebuah baskom
tembagu.
"Dewa muda, aku sudah
mengambil baskom-"
"sebentar lagi nona pasti
muntah, Paman tua harus cepat menyodorkan baskom itu ke mulutnya," pesan
Thio Han Liong, lalu meioncat ke atas tempat tidur.
setelah itu, ia bergerak
mengangkat gadis dan mendudukkannya. Kemudian di tempatkannya sepasang telapak
tangannya di punggung gadis itu, sekaligus mengerahkan Ktu yang sin Kang ke
dalam tubuhnya.
Tak seberapa lama, wajah gadis
yang puaat kehijau-hijauan itu mulai berubah merah dan bibirnya pun
bergerak-gerak lalu membuka mulutnya lebar-lebar- Di saat itulah jongos tua
cepat-cepat menyodorkan baskom tembaga ke arah mulut gadis itu
"Uaaakh uaaaakh
uaaaaakh—" Gadis itu memuntahkan darah kental yang kehijau-hijauan,
"uaaaakh-.."
Berselang beberapa saat
kemudian gadis itu berhenti memuntahkan darah- Hartawan Lim dan isterinya
saling memandang, begitu pula jongos tua dan pelayan wanita itu
Perlahan-lahan Thio Han Liong
menurunkan sepasang telapak tangannya. Gadis itu menoleh kepalanya memandang ke
dua orangtuanya.
"Ayah ibu"
panggilnya dengan suara lemah.
"Nak—." Nyonya
hartawan Lim langsung mendekatinya, lalu memeluknya erat-erat.
"oh, anakku"
"ibu...." Gadis itu
menangis tersedu-sedu. "ibu, aku.» aku
takut."
"Jangan takut, ibu dan
ayah berada di sampingmu, Nak," sahut nyonya hartawan Lim sambil
membelainya.
Thio Han Liong meloncat turun,
itu sungguh mengejutkan gadis bernama Lim Mei suan itu.
"Ibu Siapa dia?"
"Dia...." Nyonya
hartawan Lim memandang suaminya.
"Nak" Hartawan Lim
tersenyum.
"Dia bernama Thio Han
Liong, yang mengobatimu barusan."
"oh?" Lim Mei Suan
memandangnya. "Engkau... engkau..."
"Jangan takut.
Kakak" ujar Thio Han Liong sambil tersenyum lembut.
"Kini Kakak sudah sembuh,
tapi masih harus makan obat, karena kondisi badanmu masih lemah sekali."
"Terima kasih. Adik Han
Liong," uaap Lim Mei Suan.
Thio Han Liong tersenyum lagi-
kemudian memandang ke atas meja, yang kebetulan di sana tersedia kertas, pit
dan tinta Tionghoa berwarna hitam. Thio Han Liong segera membuka resep,
kemudian diberikan kepada hartawan Lim.
"Paman, suruh orang beli
obat tiga bungkus Setelah Kakak makan obat ini pasti pulih kesehatannya,"
ucap Thio Han Liong sungguh-sungguh.
"Han Liong, terima
kasih," ucap hartawan Lim sambil menerima resep obat tersebut.
"Tak disangka sama
sekali- engkau mampu menyembuhkan penyakit putriku."
"Tentu," sahut
jongos tua sambil tertawa gembira.
"Sebab dia Dewa
muda."
"Dewa muda?" Lim Mei
Suan tertegun.
"Adik Han Liong, betulkah
engkau Dewa muda?"
"Kakakl" Thio Han
Liong tertawa kecil.
"Bagaimana mungkin aku
Dewa muda? Aku cuma seorang anak muda biasa."
"oh?"Lim Mei Suan
kurang peraaya. "Tapi engkau mampu menyembuhkan penyakitku."
"Dewa muda...."
Jongos tua itu ingin
mengatakan sesuatu, tapi langsung dipotong oleh hartawan Lim.
"Ah Lioki cepatlah engkau
pergi beli obat"
artawan Lim menyerahkan resep
obat itu.
"ya. Tuan besar."
jongos tua menerima resep obat tersebut, kemudian segera pergi membeli obat.
"Kakak" Thio Han
Liong menatapnya,
"sejak kapan engkau
menderita penyakit ini?" tanyanya.
"Belum lama, kira-kira
beberapa hari lalu," jawab Lim Mei suan.
"Kakak ingat apa yang
terjadi ketika Kakak mau sakit?" tanya Thio Han Liong lagi sambil
menatapnya dengan penuh perhatian.
"Tidak begitu
ingat." Lim Mei suan mengerutkan kening.
"Kalau tidak salah, malam
itu aku mendengar suara suling yang bernada aneh, kemudian terdengar pula suara
angin mendesir-destr. setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi."
"oooh" Thio Han
Liong manggut-manggut.
"Han Liong, begitu banyak
anak gadis mengidap penyakit ini. sebetulnya penyakit apa?" tanya hartawan
Lim.
"Bukan penyakit"
Thio Han Liong menjelaskan.
"Melainkan semacam racun.
Aku justru masih tidak habis pikir, siapa yang menyebarkan racun itu siapa yang
terkena racun itu, akan menjadi gila. Tapi tidak mungkin hilang begitu saja,
pasti ada yang menculik-"
"Kalau begitu," ujar
hartawan Lim dengan kening berkerut-"Itu pasti perbuatan penjahat-"
"Tidak salah, itu memang
perbuatan kaum penjahat" Thio Han Liong manggut-manggut.
"Dalam beberapa malam
ini- aku yakin penjahat itu akan ke mari. oleh karena itu. Kakak harus pindah
ke kamar lain, aku akan menempati kamar ini"
"Han Liong..."
Hartawan Lim menatapnya strata bertanya
"Perlukah aku mengundang
beberapa piauwsu (Pesilat PenjualJasa) untuk membantumu?"
"Tidak perlu" Thio
Han Liong menggelengkan kepala.
Sementara nyonya hartawan Lim
terus mendengarkan dan memandang Thio Han Liong dengan kagum, lama sekali
barulah membuka mulut.
"Han Liong, tadi engkau
menggunakan cara apa untuk membuat putriku memuntahkan racun itu?"
"Aku menggunakan
Iweekang, Bibi/ Thio Han Liong memberitahukan.
"Sebab kalau aku tidak
menggunakana Iweekang, Kakak Mei Suan pasti tidak tertolong lagi"
Nyonya hartawan Lim manggut-
manggut. " "Apakah tiada obat penawar racun itu?"
"Ada" Thio Han Liong mengangguk.
"Tapi begitu terkena
raaun itu, harus segera diberikan obat penawarnya. Kalau sudah lewat beberapa
hari, tiada gunanya.Maka tadi aku menggunakan Iweekang untuk mendesak raaun itu
keluar dari mulut Kakak Mei Suan"
"Adik Han Liong,"
ucap urn Mei Suan.
"Terima kasih atas
pertolonganmu yang telah menyelamatkan nyawaku, aku... aku telah berhutang budi
kepadamu"
"Jangan berkata begitu,
Kakak" Thio Han Liong tersenyum.
"Ayahmu orang yang baik
hati- tentunya kalian pasti dilindungi Thian yang Maha Kuasa"
Di saat mereka sedang
bercakap-cakap, muncullah jongos tua membawa tiga bungkus obat.
"Dewa muda, bagaimana
cara menggodok obat ini?" tanyanya-
"Paman tua" Wajah
Thio Han Liong kemerah-merahan.
"Jangan memanggilku
dengan Dewa muda, namaku Thio Han Liong, panggil saja namaku"
"Ya." Jongos tua itu
mengangguk.
Thio Han Liong memberitahukan
cara-cara menggodok obat itu
"dimasak sampai kering
obat itu, harus ditunggu" pesannya,
"ya." Jongos tua
segera pergi untuk menggodok obat itu
"Han Liong" Hartawan
Lim memegung bahunya seraya berkata.
"Kami berhutang budi
kepadamu."
"Sudah impas," sahut
Thio Han Liong sambil tertawa-
"Sudah impas?"
Hartawan Lim tercengang-
"Apakah yang sudah
impas?"
"Tadi aku makan di sini,
kemudian aku menolong Kakak Mei suan. Nah, bukankah sudah impas?"
"Han Liong...."
Hartawan Lim menggeleng-geleng-kan
kepala,
"oh ya, lebih baik kita
mengobrol di ruang tengah-"
Mereka menuju ruang tengah,
lalu mulai mengobrol lagi. Nyonya hartawan Lim memandang Thio Han Liong seraya
bertanya.
"Engkau berasal dari kota
mana dan siapa ke dua orangtuamu?"
"Aku berasal dari sebuah
pulau di Laut utara, ke dua orangtuaku melarangku menyebut nama mereka,"
jawab Thio Han Liong.
"Engkau belajar ilmu
pengobatan itu dari siapa?" tanya nyonya hartawan urn lagi.
"Aku belajar dari ayahku.
Sejak kecil aku sudah mulai belajar ilmu pengobatan dan mengenai racun."
"oooh" Nyonya
hartawan Lim manggut- manggut. "Pantas engkau begitu hebat"
"Adik Han Liong" Lim
Mei Suan menatapnya dengan tersenyum.
"Kalau begitu engkau
pasti mengerti ilmu silat, ya, kan?" Thio Han Liong mengangguk.
"Bolehkah engkau
mengajarku ilmu silat?" tanya Lim Mei suan mendadak.
"Kakak Mei suan,"
sahut Thio Han Liong sambil menggelengkan kepala.
"Tidak gampang belajar
ilmu silat, lagipula membutuhkan waktu."
"Itu tidak apa-apa.
Engkau boleh tinggal di sini," ujar Lim Mei suan sungguh-sungguh.
"Betul," sela
hartawan um.
"Han Liong, engkau boleh
tinggal di sini mengajar Mei suan ilmu silat."
"Paman, aku masih harus
melanjutkan perjalanan." Thio rtan Liong memberitahukan.
"Tinggal di sini beberapa
bulan, tidak akan mengganggu perjalananmu kan?" ujar Ltm Mei suan sambil
tersenyum.
"Itu...." Thio Han
liong tampak ragu.
"Han Liong, aku tidak
punya adik, maka alangkah menggembirakan kalau engkau tinggal di sini beberapa
bulan sebagai adikku."
"Kakak Mei Suan-, padahal
ibumu masih muda dan bisa punya anak lagi lho. Kenapa ibumu tidak mau punya .
anak lagi?"
"Han Liong...."
wajah nyonya hartawan Lim agak kemerah-
merahan,
"usiaku sudah hampir
empat puluh tahun lagipula...."
"Kenapa?" Thio Han
Liong heran.
"Aku tidak bisa punya
anak lagi. Kata tabib, peranakanku tidak kuat, maka akan menyebabkan keguguran
apabila aku hamil lagi." Nyonya hartawan Lim memberitahukan,
"oh?" Thio Han Liong
menatapnya. "Bibi, bolehkah aku periksa nadimu? " "silakan"
sahut nyonya hartawan Lim.
Thio Han Liong segera
memeriksa nadi wanita itu Berselang beberapa saat kemudian ia manggut-manggut
seraya berkata,
"Kata tabib memang tidak salah,
peranakan Bibi tidak kuat, bahkan terganggu pula oleh datangnya haid yang tidak
cocok."
"Han Liong," tanya
nyonya hartawan Lim penuh harap. "Apakah aku masih bisa punya anak?"
"Mudah-mudahan"jawab Thio Han Liong.
"Aku akan coba mengobati
Bibi- mudah-mudahan Babi bisa punya anak lelaki"
"oh?" Wajah nyonya
hartawan Lim langsung berseri.
Thio Han Liong segera membuka
resep obat, lalu diberikan kepada hartawan Lim. Hartawan Lim langsung menyuruh
salah seorang pelayannya untuk pergi membeli obat
"Han Liong, kalau
isteriku bisa hamil lagi- aku... aku,.." Hartawan Lim memandangnya.
"Paman,jangan bilang
berhutang budi lagi" ujar Thio Han Liong.
"Aku mahir ilmu
pengobatan, maka harus kugunakan untuk menolong sesama."
"Han Liong" Hartawan
urn tampak terharu sekali-"Engkau memang anak baik-" -ooo00000ooo-
Malam harinya, Thio Han Liong
menempati kamar Lim Mei suan. Pemuda itu tidak tidur, melainkan duduk bersila
di tempat tidur. Ketika mulai larut malam, sayup-sayup didengarnya suara sultng
yang bernada aneh, membuat kepalanya terasa pusing sekali, segeralah ia
mengerahkan Kiu yang sin Kang dan setelah itu rasa pusing di kepalanya mulai
hilang.
Kemudian ia mendengar suara
desiran angin, bahkan terdengar pula suara ioiongan anjing, itu membuat sekujur
badannya merinding. Kreeeek Daun jendela di kamar itu terbuka perlahan- lahan.,
Thio Han Liong cepat-cepat
membaringkan dirinya, namun matanya mengarah ke jendela-itu. setelah daun
jendela itu terbuka, tampak dua sosok bayangan berkelebat ke dalam dan langsung
menuju tempat tidur. Di saat itulah secara mendadak Thio Han Liong meioncat
bangun.
Ke dua orang itu terkejut.
Mereka mengenakan pakaian serba merah, wajah mereka pun merah menyeramkan,
"siapa kalian?» bentak
Thio Han Liong.
"Di mana gadis itu?"
tanya salah seorang dari mereka.
"Di mana gadis itu?"
Thio Han Liong memperhatikan
mereka, la terheran-heran, karena ke dua orang itu tampak tak berperasaan dan
tatapan mata mereka kosong seakan terpengaruh semacam ilmu hitam.
"siapa kalian?" Thio
Han Liong mencoba bertanya lagi.
"Di mana gadis itu? Kami
harus membawanya pergi Di mana gadis itu?" yang satunya mendekati Thio Han
Liong.
Thio Han Liong terpaksa mundur
selangkah sambil mengerahkan Kiu yang sin Kang. Di saat bersamaan, terdengar
lagi suara suling yang bernada aneh itu. Begitu suara suling mengalun, mendadak
ke dua orang itu berubah beringas dan sekonyong-konyong mereka menyerang Thio
Han Liong dengan pukulan yang mematikan.
Thio Han Liong berkelit ke
sana ke mari, kemudian balas menyerang dengan Kian Kun Taylo le- Ke dua orang
itu bertambah ganas menyerang Thio Han Liong, kelihatannya sama sekali tidak
menghiraukan nyawa sendiri. Berselang beberapa saat kemudian, nada suling itu
berubah, ke dua orang itu melesat pergi melalui jendela. Thio Han Liong pun
melesat pergi untuk menyusul mereka, namun begitu sampai di luar, ke dua orang
itu telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Thio Han Liong berdiri
termangu-mang u di situ la tidak habis pikir, siapa ke dua orang itu dan siapa
peniup suling, yang suaranya mempengaruhi ke dua orang tersebut. Cukup lama
Thio Han uong berdiri, lalu kembali ke dalam kamar melalui jendela itu Akan
tetapi, tiada seorang pun berada di kamar itu Padahal tadi ketika bertarung
dengan ke dua orang itu, telah menimbulkan suara hiruk pikuk, tapi kenapa tiada
seorang pun yang bangun? Mendadak Thio Han liong tersentak karena teringat akan
satu hal, yakni suara suling itu Mungkin seisi rumah itu telah terpengaruh oleh
suara suling itu, sehingga lelap semua dalam tidur.
Thio Han Liong
menggeleng-gelengkan kepala, la duduk dipinggir tempat tidur dan terus berpikir
mengenai ke dua orang itu serta suara suling tersebut. Tak lama kemudian, hari
pun mulai terang. Tok Tok Tok Terdengar suara ketukan pintu,
"siapa?" Kata Thio
Han Liong.
"Aku"
"oh. Kakak Mei suan"
Thio Han Liong segera membuka pintu kamar itu
"selamat pagi-Kakak Mei
suan"
"Pagi- Adik Han
Liong" sahut Lim Mei suan sambil tersenyum lembut. Kemudian ia terbelalak
karena melihat kamar itu berantakan tidak karuan.
"Ah? Kenapa kamar ini
berantakan?"
"semalam aku bertarung
dengan dua orang...." Thio Han
Liong memberitahukan tentang
kejadian itu
"Haah?" Wajah
LimMeisuan berubah pucat
"Kalau aku yang berada di
dalam kamar ini, tentunya aku sudah diculik"
Thio Han Liong tersenyum.
"Kakak Mei suan, ke dua orangtuamu sudah bangun?" tanyanya.
"sudah" Gadis itu
mengangguk.
"Mereka sedang duduk di
ruang tengah. Mari kita ke sana"
"Baik-" ujar Thio
Han Liong kemudian mengikuti Lim Mei suan ke ruang tersebut.Begitu melihat Thio
Han Liong, ke dua orangtua Lim Mei suan langsung tersenyum.
"Han Liong, bagaimana
tidurmu semalam? Bisa pulaskah?" tanya hartawan Urn.
"Kamar itu
berantakan" sahut Lim Mei suan memberitahukan.
"Karena semalam Adik Han
Liong bertarung dengan dua orang...."
"oh?" Air muka
hartawan Lim berubah-
"Ke dua penjahat itu
bermaksud menculik Mei suan?"
"Ya-" Thio Han Liong
mengangguk-
"Ke dua penjahat itu
berpakaian serba merah dan wajah mereka tampak merah sekali, kelihatannya
mereka dikendalikan oleh suara suling. Aku justru tidak habis pikir, siapa ke
dua penjahat dan siapa peniup suling itu"
"Heran?" gumam
hartawan Lim.
"Kenapa kami sama sekali
tidak mendengar suara apa pun?"
"Karena terpengaruh oleh
suara suling itu, sehingga semuanya menjadi pulas sekali, maka tidak mendengar
suara apa pun," ujar Thio Han Liong.
"Han Liong...."
Hartawan Lim menatapnya dengan penuh
rasa terima kasih-
"Engkau sungguh pintar,
menyuruh Mei suan pindah ke kamar lain, engkau yang menempati kamar itu"
"Aku sudah menduga akan
hal ini, Paman" Thio Han Liong tersenyum.
"Maka menyuruh Kakak Mei
sudah pindah ke kamar lain."
"Han Liong...."
Hartawan Lim menatapnya dengan penuh
harap.
"Engkau tinggal di sini
beberapa bulan, sekaligus mengajar Mei suan ilmu silat"
"Itu...."
"Adik Han Liong, engkau
jangan menolak" ujar Lim Mei suan.
"Kalau engkau menolak,
kami sekeluarga pasti kecewa sekali."
"Baiklah-" Thio Han
Liong mengangguk-
"Terima kasih. Adik Han Liong,"
ucap Lim Mei suan sambil tersenyum.
Dua bulan lamanya Thio Han
Liong tinggal di rumah hartawan, selama itu, urn Mei suan telah berhasil
menguasai ilmu silat yang diajarkan Thio Han Liong. Ternyata Thio Han Liong
mengajarnya Kiu Im Pek Kut jiauw.
Hari itu, usai makan mereka
duduk di ruang tengah sambil bercakap-cakap- Tiba-tiba nyonya hartawan Lim
berkata dengan suara rendah-
"Aku- aku sudah dua bulan
tidak datang.—"
"Tidak datang apa?"
tanya hartawan Lim heran sambil memandangnya.
"Dasar goblok"
Nyonya hartawan Lim melotot- "Tentunya tidak datang bulan-"
"oh? Apakah»,-"
Wajah hartawan Lim, berseri-
"Bibi- biar aku periksa
sebentar," ujar Thio Han Liong, lalu memeriksa nyonya hartawan Lim dengan
teliti sekali-Kemudian ia manggut-manggut seraya berkata sambil tersenyum.
"Kuucapkan selamat kepada
Paman dan Bibi"
"Han Liong" tanya
hartawan Lim kurang percaya.
"Apakah isteriku telah
hamil?"
"Betul." Thio Han
Liong manggut-manggut
"Bibi sudah hamil dua
bulan. Aku akan membuka resep obat, untuk memperkuat kandungan Bibi."
"Ha ha ha" Hartawan
Lim tertawa gembira.
"Mudah-mudahan anak
lelaki Ha ha ha»."
"Adik Han Liong" Lim
Mei suan tertawa.
"Engkau boleh menjadi
tabib khusus kandungan lho-"
"Kakak Mei suan...."
Wajah Thio Han Liong agak kemerah-
merahan.
"Han Liong, terima
kasih," ucap nyonya hartawan urn.
"Kami sangat berterima
kasih kepadamu."
"Bibi-..." Thio Han
Liong tersenyum, lalu memandang Lim Mei suan seraya berkata,
"Ilmu silat yang
kuajarkan itu sangat lihay dan dahsyat-setiap jurusnya pasti mematikan pihak
lawan, oleh karena itu, kalau engkau tidak terpaksa janganlah mengeluarkan ilmu
silat itu"
"Ya." Lim Mei suan
mengangguk-
"Kini Bibi sudah hamil,
Kakak.Mei Suanpun sudah menguasai ilmu silat yang kuajarkan, maka...."
"Adik Han Liong" Lim
Mei suan menatapnya dalam-dalam.
"Engkau ingin berpamit
kan?"
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk-
"Kapan engkau akan
melanjutkan perjalananmu?"
"sekarang."
"Apa?" Lim Mei suan
terbelalak-
"sekarang? Kenapa begitu
cepat? Adik Han Liong, jangan begitu cepat"
"Kakak Mei suan, sudah
dua bulan lebih aku tingoal di sini," ujar Thio Han Liong.
"Kini sudah waktunya aku
melanjutkan perjalananku, tidak boleh dkunda-tunda lagi."
"Begini," ujar
hartawan Lim mengusulkan.
"Lusa saja engkau
melanjutkan perjalananmu, ini permintaan kami."
"Baiklah." Thio Han
Liong mengangguk-
Dua hari kemudian, Thio Han
Liong berpamit Hartawan Lim masih berusaha menahannya. begitu pula lim Mei
suan. Akan tetapi- Thio Han Liong terus menolak secara halus.
Hartawan Lim memberikannya
beberapa ratus taelperaki sedangkan urn Mei suan mengantarnya sampai di luar
rumah.
"Adik Han Liong, kapan
engkau akan ke mari menengokku lagi?" tanya Lim Mei suan dengan mata
basah.
"Kakak Mei suan"
Thio Han Liong tersenyum.
"Aku pasti ke mari
menengokmu kelak-"
"Jangan bohong ya?"
"Ya" Thio Han Liong
mengangguk-
"Kakak Mei suan, sampai
jumpa"
"Adik Han Liong, selamat
jalan" ucap urn Mei suan dengan air mata meleleh deras-
"Jangan lupa ke mari lagi
menengokku" "ya-" Thio Han wong tersenyum, lalu melangkah pergi.
setelah Thio Han Liong tidak
kelihatan, barulah oadis itu kembali masuk ke rumah-
"ibu-—" Lim Mei suan
memeluk ibunya sambil menangis-
"Dia— dia sudah
pergi-entah kapan dia akan ke mari menengokku?"
-ooo00000ooo-