Bab 49 Membasmi Pendeta jahat
Kini mereka berempat sudah
tiba di Kotaraja, langsung menemui istana kaisar. Kebetulan Lie Wie Kiong
pemimpin pengawal istana, Tan Bun Hiong, Lie sieBeng dan Yo wie Heng berada di
depan istana.
Begitu melihat Thio Bu Ki, terbelalaklah
mereka dan segera memberi hormat seraya berkata.
"Selamat datang, Thio
Kauwcu" "Ngmm" Thio Bu Ki manggut-manggut. "Lie Wie
Kiong," ujar An Lok Kong cu.
"Cepat beritahukan kepada
ayahku, bahwa Paman Thio dan isterinya telah datang"
"Ya. Kong cu." Lie
Wie Kiong segera berlari ke dalam.
"Paman, Bibi, Kakak Han
Liong, mari kita masuk" ajak An Lok Kong cu sambil tersenyum.
Thio Bu Ki manggut-manggut,
lalu mengikuti An Lok Kong cu ke dalam istana kaisar. Begitu pula Tio Beng dan
Thio Han Liong. Ternyata An Lok Kong cu mengajak mereka ke sebuah aula besar.
Cu Goan ciang dan Lie Wie Kiong sudah berada di sana.
Begitu melihat Thio Bu Ki dan
Tio Beng, cu Goan ciang langsung bangkit berdiri sambil tertawa gembira.
"Ha ha ha Thio Kauwcu,
selamat datang"
"Yang Mulia," sahut
Thio Bu Ki sambil memberi hormat.
"Terimalah hormat
kami"
"Thio Kauwcu, silakan
duduk" ucap Cu Goan ciang.
"Terima kasih, Yang
Mulia." Thio Bu Ki, Tio Beng dan Thio Han Liong duduki sedangkan An Lok
Kong cu duduk di sebelah ayahnya.
"Thio Kauwcu," ujar
cu Goan Ciang sungguh-sungguh. "Jangan memanggilku Yang Mulia, panggil
saja namaku"
"Engkau adalah kaisar,
bagaimana mungkin aku memanggil namamu? Kalau aku memanggil namamu, kemungkinan
besar leher kami akan diputus," sahut Thio Bu Ki.
"Jangan berkata begitu
Thio Kauwcu, aku berkata berdasarkan persahabatan dan persaudaraan" ujar
cu Goan ciang.
"Di samping itu. aku pun
harus minta maaf kepadamu."
"Saudara Cu, semua itu
telah berlalu." Thio Bu Ki menghela nafas panjang dan melanjutkan.
"Jangan memanggilku
Kauwcu, panggil saja namaku" "Saudara Thio" Cu Goan ciang tampak
terharu.
"Terima kasih atas
kebesaran jiwamu, sekali lagi kuucapkan terima kasih kepadamu."
"Saudara Cu, jangan
sungkan-sungkan" Thio Bu Ki tersenyum.
"Engkau memang lebih
hebat dariku, mampu mendirikan Dinasti Beng dan memerintah dengan adil
bijaksana, maka rakyat hidup aman dan makmur."
"Saudara Thio" Cu
Goan ciang tertawa.
"Terus terang, semua itu
adalah jasamu. Tiada saudara Thio, tiada Dinasti Beng, tiada saudara Thio
bagaimana mungkin aku menjadi kaisar. Dulu... aku bersalah, itu karena aku
berhati sempit dan mencurigaimu, akhirnya..."
"Sudahlah, saudara
Cu" Thio Bu Ki tersenyum.
"Itu telah berlalu, tidak
perlu diungkit lagi."
"Terima kasih," ucap
Cu Goan ciang, kemudian berkata kepada Lie Wie Kiong.
"Cepat suruh para dayang
menyajikan hidangan-hidangan istimewa dan arak istimewa, aku ingin menjamu para
tamu terhormat ini"
"Ya, Yang Mulia."
Lie Wie Kiong sebera meninggalkan aula itu.
"Saudara Cu, jangan
repot-repot" ujar Thio Bu Ki.
"Aku akan merasa tidak
enak"
"Ha ha ha" Cu Goan
ciang tertawa terbahak-bahak,
"Dua puluh tahun lebih
kita tidak bertemu, maka hari ini kita harus makan dan minum
sepuas-puasnya."
"Baiklah." Thio Bu
Ki manggut-manggut, lalu memandang Tio Beng seraya bertanya.
"Beng Moy kenapa engkau
diam saja dari tadi?"
"Bu Ki Koko, aku... aku
teringat akan masa lalu," sahut Tio Beng sambil menghela nafas panjang.
"Aku adalah Putri Mongol,
tapi...."
"Beng Moy, jangan mengungkit
tentang itu lagi" ujar Thio Bu Ki sambil tersenyum lembut.
"Itu telah berlalu dan
anak kita pun telah dewasa, tidak lama lagi kita akan mempunyai menantu. "
"Ya." Tio Beng
mengangguk setelah itu wajahnya mulai cerah.
Tak seberapa lama kemudian,
mulailah para dayang menyajikan hidangan-hidangan dan arak istimewa.
"Ha ha ha" Cu Goan
ciang tertawa terbahak-bahak,
"Saudara Thio, mari kita
bersulang untuk pertemuan kita yang menggembirakan ini" ujar sahut Thio Bu
Ki.
Mereka mulai bersulang sambil tertawa
riang gembira, setelah itu barulah mulai menikmati hidangan-hidangan istimewa.
"Saudara Thio," ujar
cu Goan ciang sungguh-sungguh
"Biar bagaimanapun,
kalian harus tinggal di sini beberapa hari"
"Itu akan
merepotkanmu," ujar Thio Bu Ki.
"Tidak jadi
masalah," Cu Goan Ciang tersenyum.
"Sebab malam ini kita
harus bicara dari hati ke hati." "Baiklah." Thio Bu Ki
mengangguk
"Oh ya, saudara Cu
Bukankah engkau menyerahkan sebuah Medali Emas Tanda Perintah Kaisar kepada Han
Liong?"
"Betul." Cu Goan ciang
manggut-manggut.
"Dia merupakan utusanku
untuk menghukum pembesar korup dan para pembesar yang berlaku sewenang-wenang.
saudara Thio, tentunya engkau tidak berkeberatan kan?"
"Tentu tidak." Thio
Bu Ki tersenyum.
"Engkau memang cerdik,
tahu kami tidak mau menjadi pejabat tinggi, namun justru engkau membebankan
tugas itu kepada anakku."
"Itu dikarenakan anakmu
berhati jujur, adil bijaksana dan gagah. Maka hanya dia yang berderajat
mewakiliku," ujar cu Goan Ciang dengan sungguh-sungguh.
"Dalam hal ini, aku harap
saudara Thio maklum adanya" "Ha ha ha" Thio Bu Ki tertawa gelak
"Saudara Cu,
jangan-jangan ada sesuatu di balik itu. Ya, kan?"
"Kira-kira
begitulah," sahut Cu Goan ciang sambil tertawa terbahak-bahak,
"Saudara Cu" Tio
Beng tersenyum.
"Bolehkah aku
bertanya?"
"Silakan nyonya
Thio" Cu Goan Ciang manggut-manggut.
"Aku ingin bertanya,
sesuatu yang dimaksudkan itu sebetulnya apa?" tanya Tio Beng dengan
sungguh-sungguh.
"Ha ha ha" Cu Goan
ciang tertawa.
"Tentunya menyangkut
putriku dengan putramu. Mereka berdua...."
"Ayahanda...." wajah
An Lok Kong cu langsung memerah.
"Ha ha ha" Cu Goan
ciang tertawa terbahak-bahak, "Sudah dewasa tapi masih malu-malu
kucing"
An Lok Kong cu cemberut,
sedangkan Tio Beng tersenyum-senyum, kemudian berkata.
"An Lok, bolehkah aku
melihatmu berpakaian wanita?"
"Bibi...." An lok
Kong Cu tersenyum sipu.
"Nak" ujar cu Goan
Ciang.
"Cepatlah engkau berganti
pakaianmu, Nyonya Thio ingin melihatmu berpakaian wanita"
An Lok Kong Cu mengangguk lalu
masuk berjalan menuju istana An Lok, Cu Goan Ciang dan Thio Bu Ki terus
tertawa, sehingga membuat suasana bertambah semarak.
"Han Liong" Cu Goan
Ciang memandangnya.
"Ketika Kwan Pek Him dan
Ciu Lan Nio ke mari memberitahukan keadaanmu kepada putriku, dia... dia amat mencemaskanmu,
dan hari itu juga dia berangkat ke Hok An."
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk
"Pada waktu itu aku
pingsan, dan ketika sadar kembali aku melihat Adik An Lok berada di sisiku.
Dia... terus menghiburku agar aku tidak berpikir pendek"
"Yaaah" Cu Goan
Ciang menghela nafas panjang.
"Aku harap engkau tidak
akan menyia-nyiakan cintanya"
"Aku tidak akan
menyia-nyiakan cintanya," ujar Thio Han Liong dengan sungguh-sungguh.
"Aku berjanji"
"Bagus, bagus" Cu
Goan Ciang tertawa gembira.
"Ha ha ha saudara Thio,
kita sebagai orangtua tentunya harus setuju, kan?"
"Ngmm" Thio Bu Ki
manggut-manggut. "Saudara Thio," tanya Cu Goan Ciang mendadak.
"Kira-kira kapan kita menikahkan mereka?"
"Menurutku lebih baik
terserah mereka saja,"sahu tThio Bu Ki dan menambahkan.
"Kalau mereka menikahi
tidak usah terlampau dimeriahkan."
"Baik" Cu Goan Ciang
manggut-manggut, kemudian memandang Thio Han Liong seraya bertanya.
"Kira-kira kapan kalian
akan menikah?"
"Harus kurundingkan dulu
dengan Adik An Lok, Aku tidak bisa menjawab sekarang, Yang Mulia," jawab
Thio Han Liong.
Di saat bersamaan, muncullah
An Lok Kong Cu dengan berpakaian wanita. Thio Bu Ki dan Tio Beng memandangnya
dengan penuh perhatian, lalu manggut-manggut dan tersenyum.
"An Lok," ujar Tio
Beng sambil tersenyum.
"Engkau sungguh cantik,
tapi kenapa engkau memilih Han Liong?"
"Bibi...." Wajah An
Lok Kong Cu kemerah-merahan,
kemudian melirik Thio Han
Liong sambil tersenyum mesra.
"An Lok," ujar Tio
Beng sambil tersenyum.
"Padahal engkau putri kaisar,
pasanganmu harus putra pejabat tinggi."
"Ha ha ha" Cu Goan
Ciang tertawa gelak.
"Nyonya Thio, putramu
adalah utusan atau wakilku. Nah apakah dia tidak pantas menjadi pasangan
putriku?"
"Ha ha" Thio Bu Ki
tertawa.
"Saudara Cu, ternyata
engkau mengatur itu dengan putrimu."
"Tidak salah." Cu
Goan ciang manggut-manggut.
"Pertama kali aku melihat
putramu, aku sudah menyukainya, oleh karena itu, aku menyerahkan Medali Emas
Tanda Perintahku kepadanya."
"Oooh" Thio Bu Ki
mengangguk
Usai makan, cu Goan ciang
menyuruh seorang dayang mengantar Thio Bu Ki, Thio Beng dan Thio Han Liong ke
kamar, namun An Lok Kong cu sebera berkata.
"Ayahanda, Kakak Han
Liong tinggal di istana saja" "Baik" Cu Goan ciang tersenyum.
"Tentu kalian ingin
merundingkan sesuatu malam ini. Ha ha ha...."
Malam harinya, An Lok Kong cu
dan Thio Han Liong duduk berdampingan di dekat taman bunga. Wajah putri kaisar
itu tampak berseri-seri, sedangkan Thio Han Liong memandang ke langit.
"Kakak Han Liong, apa
yang sedang engkau pikirkan?" tanya An Lok Kong cu lembut.
"Ti... tidak." Thio
Han Liong menggelengkan kepala.
"Engkau... teringat lagi
kepada Giok Cu?" An Lok Kong cu menatapnya.
"Kakak Han
Liong...."
"Aku bukan teringat pada
Giok Cu, melainkan sedang memikirkan sesuatu," ujar Thio Han Liong
memberitahukan.
"Aku memikirkan tentang
kita berdua...."
"Kenapa kita
berdua?" tanya An Lok Kong cu.
"Ayahmu bertanya
kepadaku, kapan kita menikah. Aku menjawab akan berunding dulu denganmu, inilah
yang kupikirkan."
"Oooh" An Lok Kong
cu manggut-manggut dan wajahnya tampak kemerah-merahan.
"Bagaimana
keputusanmu?"
"Aku justru ingin
bertanya kepadamu."
"Aku... aku terserah
kepadamu, pokoknya aku menurut saja."
"Terima kasih atas
pengertianmu, Adik An Lok," ucap Thio Han Liong sambil menggenggam
tangannya.
"Kalau begitu, tunggu
urusanku selesai barulah kita menikah."
"Urusan apa yang harus
engkau selesaikan?"
"Membunuh Hiat Mo dan
membuat perhitungan dengan para Dhalai Lhama itu."
"Oooh" An Lok Kong
cu manggut-manggut.
"Ternyata urusan itu.
Bolehkah aku ikut?"
"Adik An Lok, sebaiknya
engkau jangan ikut" tegas Thio Han Liong. "Sebab amat berbahaya bagi
dirimu, dan secara tidak langsung engkau akan berkecimpung dalam rimba
persilatan, itu tidak baik"
"Kakak Han Liong..."
"Adik An Lok, Thio Han
Liong menatapnya.
"Tadi engkau bilang
menurut kepadaku, sekarang..."
"Baiklah" An Lok
Kong cu mengangguk
"Aku tidak akan ikut.
Tapi... setelah urusan itu beres, engkau harus sebera ke mari."
"Ya." Thio Han Liong
manggut-manggut dan menambahkan.
"Ayahku tadi sudah bilang
kepada ayahmu, kalau kita menikah, tidak perlu terlampau dimeriahkan."
"Aku pun bermaksud
begitu. Memang lebih baik hidup tenang, damai dan bahagia di pulau Hong Hoang
To. Aku...
akan melahirkan anak
sebanyak-banyaknya. agar pulau itu menjadi ramai."
"Pokoknya engkau harus
melahirkan setahun sekali, sampai lima belas tahun" ujar Thio Han Liong
sambil tertawa.
"Memangnya aku
apaan?" An Lok Kong cu cemberut.
"Ha ha ha" Thio Han
Liong tertawa.
"Engkau sendiri yang
bilang duluan, akan melahirkan anak sebanyak-banyaknya, bukan?"
"Aku cuma bergurau,
engkau malah anggap bencran. Tapi... ada baiknya juga kita mempunyai banyak
anaki jadi pulau itu tidak sepi."
"Kalau bisa, kita harus
mempunyai anak lebih dari sepuluh, maka pulau Hong Hoang tidak akan sepi."
An Lok Kongcu manggut-manggut.
"Setiap hari kita
bersenda gurau dengan anak-anak kita, itu sungguh menyenangkan"
"Adik An Lok," ujar
Thio Han Liong sambil tersenyum. Tak disangka ayahmu dan ayahku akan akur
kembali, itu sungguh di luar dugaan"
"Aku pun tidak menyangka,
mungkin semua itu karena kita," sahut An Lok Kong cu.
"Kalau kita tidak saling
mencinta, ayahmu dan ayahku tidak akan akur."
"Kira-kira
begitulah" Thio Han Liong tersenyum. "Adik An Lok, sudah larut malam,
kita harus tidur."
An Lok Kong cu mengangguk
kemudian mereka berjalan ke dalam istana itu, dan tak lama sudah sampai di
kamar An Lok Kong cu.
"Adik An Lok, selamat
tidur"
"Selamat tidur juga"
sahut An Lok Kongcu.
"Sampai jumpa esok pagi"
An Lok Kong cu masuk ke
kamarnya. Thio Han Liong
berjalan ke kamarnya, kemudian
menghela nafas panjang.
Ternyata ia teringat pada Tan
Giok Cu, yang sudah tiada itu.
-ooo00000ooo-
Cu Goan ciang dan An Lok Kong
cu makan siang bersama Thio Bu Ki, Tio Beng dan Thio Han Liong. Tiba-tiba Cu
Goan ciang memandang pemuda itu seraya bertanya.
"Han Liong, nyenyak
tidurmu semalam?"
"Nyenyak sekali, Yang
Mulia," jawab Thio Han Liong.
"Tentunya kalian berdua
tidur agak larut malam, sebab harus merundingkan sesuatu. Ya, kan?" cu
Goan ciang tersenyum.
"Merundingkan apa?"
Thio Han Liong tidak mengerti.
"Lupa ya?" Cu Goan
ciang menatapnya.
"Mengenai pernikahan
kalian berdua kira-kira kapan?"
"Oh, itu" Thio Han
Liong manggut-manggut.
"Setelah urusanku selesai,
barulah aku dan Adik An Lok akan melangsungkan pernikahan."
"Engkau masih punya
urusan apa?" tanya Cu Goan ciang heran.
"Aku harus pergi ke Kwan
Gwa membunuh Hiat Mo dan ke Tibet membuat perhitungan dengan para Dhalai Lhama
itu." Thio Han Liong memberitahukan.
"Oooh" Cu Goan ciang
manggut-manggut.
"Setelah urusan itu
beres, engkau harus segera ke mari menikah dengan An Lok Kong cu, jangan
lupa"
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk.
"Ha ha ha" Cu Goan
ciang tertawa gembira.
"Saudara Thio, akhirnya kita
akur kembali dan akan menjadi besan pula. Ini... sungguh menggembirakan"
"Ya." Thio Bu Ki
manggut-manggut.
"Memang menggembirakan
sekali. Hanya saja Han Liong masih harus menyelesaikan urusannya. Kalau tidak,
sekarang juga kita menikahkan mereka."
"Maksudkupun demikian,
tapi...." Cu Goan ciang
menggeleng-gelengkan kepala.
"Han Liong harus
berangkat ke Kwan Gwa dan Tibet. Kalau mereka sudah menikah legalah
hatiku."
"Bu Ki koko, bagaimana
kalau Han Liong menikah dulu dengan An Lok, setelah itu barulah berangkat ke
Kwan Gwa dan Tibet?" tanya Tio Beng mendadak.
"Itu terserah Han
Liong," sahut Thio Bu Ki.
"Han Liong" Tio Beng
menatapnya.
"Bagaimana
menurutmu?"
"Ibu, lebih baik tunggu
aku membereskan ke dua urusan itu. setelah itu barulah aku menikah dengan Adik
An Lok," jawab Thio Han Liong.
"Itu atas persetujuan
Adik An Lok,"
"Oh?" Tio Beng
memandang An Lok Kong cu.
"Betulkah begitu, An
Lok?"
"Betul, Bibi." An
Lok Kong cu mengangguk
"Kalau begitu,
baiklah." Tio Beng manggut-manggut.
"Tunggu Han Liong
menyelesaikan ke dua urusan itu dulu."
"Bibi," ujar An Lok
Kong cu memberitahukan, agar Tio Beng mendukungnya.
"Sebetulnya aku ingin
ikut Kakak Han Liong, tapi dia tidak memperbolehkan"
"Memang engkau tidak
boleh ikut, lebih baik engkau menunggu di dalam istana saja," sahut Tio
Beng.
"Itu lebih aman daripada
engkau ikut Han Liong ke Kwan Gwa."
"Yah Bibi...." An
Lok Kong cu tampak kecewa sekali.
"Aku kira Bibi akan
mendukungku, tidak tahunya malah mendukung Kakak Han Liong"
"Nak" Cu Goan ciang
tersenyum.
"Ayah pun tidak
mengijinkan engkau ikut Han Liong. Memang lebih baik engkau menunggu di
istana."
"Aaah.." keluh An
Lok Kong cu.
"Kapan Kakak Han Liong
akan kembali?"
"Adik An Lok," sahut
Thio Han Liong.
"Aku pasti berusaha
kembali secepatnya, percayalah"
"Aku... aku
mempercayaimu, Kakak Han Liong," ucap An Lok Kong cu.
"Tapi... aku merasa berat
sekali berpisah denganmu." "Legakanlah hatimu" Thio Han Liong
tersenyum. "Aku pergi tidak akan lama, percayalah"
"Kakak Han
Liong...." An Lok Kong cu menundukkan
kepala.
Beberapa hari kemudian, Thio
Bu Ki, Tio Beng dan Thio Han Liong berpamit kepada Cu Goan ciang. se-telah itu,
barulah Thio Han Liong berpamit kepada An Lok Kong cu.
"Adik An Lok, aku mohon
pamit untuk berangkat ke Kwan Gwa"
"Selamat jalan dan
hati-hati, Kakak Han Liong" sahut An Lok Kong cu dengan mata basah.
"Adik An Lok, aku pasti
segera kembali," ujar Thio Han Liong sambil membelainya.
"Aku pasti
menunggumu" An Lok Kong cu memandangnya dengan air mala berderai.
"Aku pasti kembali
selekasnya untuk menikah denganmu," bisik Thio Han Liong.
"Kakak Han Liong..."
AJI Lok Kong cu menggenggam tangannya erat-erat dan berbisik,
"Aku mencintaimu."
"Aku pun
mencintaimu." Thio Han Liong mengecup keningnya, setelah itu barulah berangkat
menuju Kwan Gwa. sedangkan Thio Bu Ki dan Tio Beng berangkat ke pesisir utara
menemui Kwa Kiat Lam. Ternyata mereka ingin pulang ke pulau Hong Hoang To.
Empat lima hari kemudian, Thio
Han Liong sampai di sebuah desa. Justru membuatnya tercengang, karena desa itu
tampak sepi sekali. Thio Han Liong menengok ke sana ke mari, dilihatnya pintu
rumah terbuka sedikit, dan sepasang mata mengintip keluar, ke arahnya.
Thio Han Liong tersenyum,
kemudian dengan per-lahan-lahan didekatinya rumah itu. Namun pintu rumah itu
langsung ditutup kembali. Thio Han Liong meng- geleng-gelengkan kepala, lalu
mengetuk pintu rumah itu Namun karena tiada sahutan dari dalam, terpaksalah
Thio Han Liong yang membuka mulut.
"Tolong bukakan pintu.
Aku pelancong...," ucapnya sambil mengetuk pintu rumah itu
Sejenak kemudian pintu rumah
itu terbuka sedikit, seoran gtua menjulurkan lehernya ke luar.
"Anak muda, siapa
engkau?"
"Namaku Thio Han Liong.
Kebetulan aku melancong sampai di desa ini"
"Anak muda, lebih baik
engkau segera meninggalkan desa ini. Kalau tidak engkau pasti celaka."
"Oh?" Thio Han Liong
mengerutkan kening.
"Paman, apa yang telah
terjadi di desa ini?"
Jangan banyak bertanya,
cepatlah engkau pergi" tandas orangtua itu sambil menutup kembali pintu
rumahnya.
Akan tetapi, mendadak Thio Han
Liong mendorong pintu rumah itu, kemudian melangkah masuk.
"Hah?" Mulut
orangtua itu menganga lebar saking terkejutnya.
"Engkau...."
"Jangan takut,
Paman" ujar Thio Han Liong sambil tersenyum.
"Aku bukan orang
jahat."
"Tapi...." orangtua
itu menatapnya dengan wajah agak
pucat.
"Kenapa engkau menerobos
ke mari?"
"Paman mau menutup pintu,
maka aku terpaksa menerobos ke mari," sahut Thio Han Liong dan tersenyum
lagi.
"Aku ingin bertanya, apa
gerangan yang terjadi di desa ini?"
"Engkau tiada hubungan
dengan pendeta siluman itu?" tanya orangtua itu mendadak.
"Pendeta siluman? siapa
dia?" Thio Han Liong balik bertanya dengan heran.
"Hiih" orangtua itu
tampak ketakutan sekali.
"Sungguh menyeramkan, dia
betul-betul pendeta siluman yang amat jahat sekali."
"Paman, tolong tuturkan
apa yang telah terjadi di desa ini...."
Mendadak muncul seorang gadis
berusia belasan. Begitu melihat Thio Han Liong gadis itu terbelalak.
"Kakek.."
"Ah Yun, cepat
masuk"
"Kakek" tanya gadis itu
"Siapa tamu itu, kenapa
Kakek tidak mau memperkenalkannya?"
"Ah Yun...."
orangtua itu menggelengkan kepala.
"Dasar bandel, suruh
masuk malah mau di sini" "Adik kecil," ujar Thio Han Liong
sambil tersenyum.
"Aku bernama Thio Han
Liong. Bolehkah aku tahu siapa namamu?"
"Namaku.... Tan Ah
Yun," sahut gadis itu dengan malu-
malu.
"Ah Yun" bentak
orangtua itu.
"Cepat duduk. Jangan
kurang ajar di hadapan tamu"
"Kakek..." Tan Ah
Yun cemberut.
"Paman" Thio Han
Liong.
"Ah Yun tidak kurang
ajar, dia gadis yang tahu diri dan manis sekali."
"Terima kasih atas pujian
Kakak" ucap Tan Ah Yun sambil tertawa gembira dan bertanya.
"Kakak bukan penjahat
kan?"
"Aku bukan penjahat,
melainkan pembasmi penjahat," sahut Thio Han Liong dan menambahkan.
"Maka engkau tidak usah
takut kepadaku"
"Kakak begitu tampan dan
lemah lembut. Begitu melihat, aku sudah tahu bahwa Kakak bukan penjahat,"
ujar Tan Ah Yun sambil tersenyum.
"Oh?" Thio Han Liong
menatapnya, kemudian tertawa kecil seraya bertanya.
"Adik kecil, berapa
usiamu?"
"Empat belas."
"Engkau sudah remaja,
tidak lama lagi akan dewasa," ujar Thio Han Liong dan melanjutkan.
"Kelak engkau akan
menjadi gadis yang cantik dan manis." "Oh ya?" Tan Ah Yun
menghela nafas panjang.
"Aku tidak mau menjadi
gadis yang cantik manis, melainkan ingin menjadi gadis yang sederhana
saja."
"Ngmmm" Thio Han
Liong manggut-manggut, lalu memandang orangtua itu.
"Paman lanjutkanlah
penuturan tadi"
"Pendeta jahat itu
memiliki ilmu hitam. Para gadis desa kalau terkena sorotan matanya, pasti
langsung mengikutinya." orangtua itu memberitahukan.
"Oh?" Thio Han Liong
mengerutkan kening.
"Maka aku melarang cucuku
keluar...." orangtua itu
menggeleng-gelengkan kepala.
"Belasan gadis yang
mengikutinya sangat menurut kepadanya. setiap senja pendeta siluman itu pasti
ke mari bersama gadis-gadis itu."
"Mau apa pandeta siluman
itu ke mari setiap senja?" tanya Thio Han Liong dengan kening berkerut.
"Mencari anak gadis
lagi," jawab orangtua itu sambil menghela nafas panjang.
"Maka aku khawatir
sekali...."
"Menguatirkan Ah Yun akan
ditangkap pendeta jahat itu?" "Ya." orangtua itu
manggut-manggut. "Paman" Thio Han Liong tersenyum.
"Kini aku telah berada di
desa ini, maka Paman tidak usah khawatir lagi. Aku akan membasmi pendeta siluman
itu."
"Apa?" orangtua itu
terbelalak.
"Engkau... engkau akan
membasmi pendeta siluman itu?"
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk
"Anak muda" orangtua
itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan bergurau,
bagaimana mungkin engkau mampu membasmi pendeta siluman itu?"
"Aku percaya Kakak mampu
membasmi pendeta siluman itu," ujar Tan Ah Yun mendadak.
"Apa?" orangtua itu
mengerutkan kening.
"Kok engkau
percaya?"
"Kakek tidak mungkin
Kakak Thio akan membohongi kita. Dia berani melakukan perjalanan seorang diri,
tentu memiliki ilmu silat tinggi, kalau tidak dia pasti tidak berani melakukan
perjalanan seorang diri"
"Oh?" orangtua itu
mengerutkan kening lagi, lalu memandang Thio Han Liong seraya bertanya.
"Anak muda betulkah
engkau memiliki ilmu silat tinggi?" "Ya." Thio Han Liong
mengangguk
"Aaah...." orangtua
itu menghela nafas panjang.
"Seandainya engkau muncul
beberapa tahun lalu, tentu kedua orangtua Ah Yun tidak akan mati."
"Ke dua orangtua Ah Yun
di bunuh para penjahat?"
"Ya." orang tua itu
mengangguk
"Beberapa tahun lalu,
muncul segerombolan orang berpakaian merah, mereka merampok dan memperkosa,
akhirnya ke dua orangtua Ah Yun mati di tangan mereka."
"Hiat Mo Pang" seru
Thio Han Liong tak tertahan. "Hiat Mo pang?" orangtua itu mengerutkan
kening. "Engkau kenal para penjahat itu?"
"Mereka anggota Hiat Mo
Pang." Thio Han Liong memberitahukan.
"Namun belum lama ini,
Hiat Mo Pang telah bubar." "Oooh" orangtua itu manggut-manggut.
"Paman, betulkah pendeta
siluman itu akan muncul di senja hari?" tanya Thio Han
"Ya."
"Kalau begitu, bolehkah
aku menunggu di sini?"
"Boleh" sahut Tan Ah
Yun cepat.
"Kakak boleh menunggu di
sini."
"Ah Yun" orangtua
itu melotot.
"Kalau orangtua lagi
bicara, engkau tidak boleh menyelak, tahu?"
"Kakak Thio belum tua kan?"
sahut Tan Ah Yun sambil tertawa.
"Jadi aku boleh
menyelak."
"Ah Yun...."
orangtua itu betul-betul kewalahan terhadap
cucu perempuannya itu.
"Adik kecil," ujar
Thio Han Liong sambil tersenyum lembut. "Engkau tidak boleh kurang ajar
terhadap kakekmu." "Ya, Kakak Thio." Tan Ah Yun mengangguk.
"Mulai sekarang aku tidak
akan mulai kurang ajar lagi terhadap Kakek."
"Nah, itu namanya gadis
baik dan penurut." Thio Han Liong tersenyum lagi.
"Kakak Thio" Tan Ah
Yun menatapnya seraya berkata, "Senyuman Kakak Thio sungguh menawan
hati"
"Engkau masih kecil kok
sudah bisa omong begitu?" orangtua itu terbelalak.
"Kakek Tan Ah Yun
tersenyum.
"Aku sudah tidak kecil
lagi, sebab usiaku sudah empat belas tahun."
"Ha ha ha" orangtua
itu tertawa gelak
"Betul, betul Tidak lama
lagi engkau akan punya suami Ha ha ha...."
"Dasar Kakek pikun"
Tan Ah Yun bersungut-sungut.
"Tadi bilang aku masih
kecil, sekarang malah bilang aku akan punya suami Huuh Dasar pikun"
"Ah Yun, Cepat ambilkan
arak wangi" ujar orangtua itu. "Kakek mau minum bersama Han
Liong?"
"Ya." Tan Ah Yun
segera berlari ke dalam. Tak lama kemudian ia sudah kembali dengan membawa satu
guci arak
dan dua buah cangkir lalu
ditaruhnya di atas meja seraya berkata.
"Kakek jangan minum
sampai mabok lho"
"Kakek tidak akan minum
sampai mabok, sebentar lagi hari akan senja, pendeta siluman itu pasti ke
mari," sahut orangtua itu, lalu menuang arak ke dalam cangkir Thio Han
Liong dan cangkirnya.
"Anak muda, mari kita
bersulang"
"Mari" Thio Han
Liong mengangkat cangkirnya, kemudian dibenturkannya dengan cangkir orangtua
itu.
"Ha ha ha" orangtua
itu tertawa gelak lalu mulai minum.
Thio Han Liong cuma minum satu
cangkir, orangtua itu minum dua cangkir. sementara hari pun sudah mulai senja.
"Kakek jangan ditambah
lagi" Tan Ah Yun mengingatkan.
"Hari sudah mulai
senja."
"Kakek tahu."
orangtua itu manggut-manggut.
Di saat bersamaan,
terdengarlah suara angin menderu-deru. Wajah orangtua itu langsung berubah
pucat, sedangkan Tan Ah Yun malah mendekati jendela, lalu mengintip ke luar
melalui cela-eel a jendela itu.
"Ah Yun..." panggil
orangtua itu dengan suara bergemetar. "Jangan mengintip, cepat masuk"
"Kakek aku mau tahu
pendeta siluman itu sudah datang apa belum," sahut Tan Ah Yun.
"Ah Yun...." orangtua
itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Biar dia belajar
berani" ujar Thio Han Liong sambil tersenyum.
"Kini bukan waktunya Ah
Yun belajar berani. Kalau terlihat pendeta siluman itu, Ah Yun pasti
ditangkap."
"Jangan khawatir paman.
Aku pasti melindunginya."
"Anak muda...."
orangtua itu menggeleng-gelengkan
kepala.
"Terus terang aku masih
ragu terhadapmu. Bagaimana mungkin engkau mampu melawan pendeta siluman
itu?"
"Tenang, Paman"
sahut Thio Han Liong dan memberitahukan.
"Mereka mulai memasuki
desa ini."
"Oh?" orangtua itu
segera bertanya kepada cucu perempuannya.
"Ah Yun, engkau melihat
pendeta siluman itu?" "Aku tidak melihat apa-apa." jawab Tan Ah
Yun.
"Anak muda...."
orangtua itu menatapnya.
"Mereka berada satu mil
dari sini, tentunya Ah Yun tidak melihat mereka." Thio Han Liong
memberitahukan.
"Apa?" orangtua itu
terbelalak.
"Engkau bisa mendengar
sejauh itu?"
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk
"Anak muda" orangtua
itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau jangan
membual"
Mendadak terdengar lagi suara
angin menderu- deru.
Justru mengherankan, karena
tiba-tiba tampak kabut.
"Mereka sudah
mendekat," ujar Thio Han Liong.
"Yang berjalan paling
depan pasti pendeta siluman. Belasan gadis berjalan di belakangnya sambil
tertawa-tawa."
"Oh?" orangtua itu
kelihatan percaya.
Berselang sesaat. Tan Ah
Yunpun, berkata dengan suara rendah.
"Aku sudah melihat
pendeta siluman itu...."
"Ah Yun cepat masuk"
seru orangtua itu.
"Biarkan saja" ujar
Thio Han Liong. "Sebentar aku akan ke luar menghadapi pendeta siluman
itu."
"Tapi...." orangtua
itu tampak ketakutan.
"Paman" Thio Han
Liong tersenyum.
"Ah Yun lebih berani
dibandingkan dengan Paman."
"Aku...." orangtua
itu tampak tidak senang.
"Aku pun berani mengintip
ke luar." orangtua itu mendekati jendela, lalu mengintip ke luar melalui
celah-celah jendela itu.
"Hah?" Betapa
terkejutnya orangtua itu.
"Pendeta siluman itu
makin mendekat. Kok gadis itu terus mengikuti sambil tertawa-tawa?"
"Mereka telah terkena
sihir pendeta siluman itu." Thio Han Liong memberitahukan.
"Paman, Adik kecil.
Kalian tetap di dalam, boleh mengintip tapi jangan ke luar"
"Ya." sahut Tan Ah
Yun.
"Kakak Thio, basmilah
pendeta siluman itu"
"Baik," Thio Han
Liong mengangguk lalu membuka pintu sekaligus berjalan ke luar.
Ia berdiri di tengah-tengah
jalanan menunggu kedatangan pendeta siluman itu. Tan Ah Yun yang sedang
mengintip itu berkata kepada kakeknya.
"Kakak Thio sungguh
berani. Dia berdiri di situ menghadang pendeta siluman. Mudah-mudahan Kakak
Thio mampu membasmi pendeta siluman itu, agar desa kita aman kembali"
"Kalau dia tidak mampu
membasmi pendeta siluman itu, desa kita ini pasti bertambah celaka." sahut
orangtua itu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kakek" bisik Tan Ah
Yun.
"Pendeta siluman itu
sudah berdiri di hadapan Kakak Thio...."
"Jangan berisik, kakek
sudah melihat" sahut orangtua itu dengan suara rendah.
Tidak salahi pendeta siluman
itu memang sudah berdiri di hadapan Thio Han Liong. gadis-gadis yang berdiri di
belakangnya terus tertawa cekikikan. Thio Han Liong memandang mereka, kemudian
menatap pendeta siluman dengan tajam sekali.
"Engkau pendeta Taoisme
yang berkepandaian tinggi, kenapa malah melakukan kejahatan?" tanya Thio
Han Liong.
"Anak muda, siapa
engkau?" Pendeta siluman ilu balik bertanya.
"Namaku Thio Han
Liong." sahut pemuda ilu.
"Pendeta, lepaskan
gadis-gadis itu. Aku pun akan mengampunimu, kalau tidak.."
"Hmm" dengus pendeta
siluman itu.
"Anak muda, pernahkah
engkau dengar Leng Leng Hoatsu?"
"Leng Leng Hoatsu?"
Thio Han Liong menggelengkan kepala.
"Aku tidak pernah
mendengar sama sekali"
"Aku adalah Leng Leng
Hoatsu. Engkau masih muda, tentunya tidak pernah mendengar namaku" ujar
pendeta siluman sambil menatap Thio Han Liong sekaligus mengeluarkan ilmu
sihirnya untuk mempengaruhi pemuda itu.
Akan tetapi, Thio Han Liong
tetap tampak tenang sekali. Itu membuat Leng Leng Hoatsu terkejut bukan main.
Ternyata Thio Han Liong mengerahkan Ilmu Penakluk iblis, maka ia tidak
terpengaruh ilmu sihir ilu.
"Anak muda" Leng
Leng Hoatsu tersenyum dingin.
"Tak kusangka engkau
berisi juga, mampu menangkis ilmu sihirku sekarang cobalah kau dengar suara
siulanku"
Mendadak Leng Leng Hoatsu
mengeluarkan siulan aneh. Itu memang bukan suara siulan biasa, melainkan adalah
Toh Hun siauw Im (suara siulan Pembetot sukma).
Ketika mendengar suara siulan
ilu, hati Thio Han Liong tersentak. la segera mengeluarkan lonceng saktinya
pemberian Bu Beng siansu, lalu dibunyikannya. Begitu mendengar suara lonceng
sakti itu, tergetarlah sekujur badan Leng Leng Hoatsu. Pendeta siluman itu
mengempos semangat sambil mengeluarkan suara siulannya, akan tetapi, suara
lonceng sakti itu bertambah nyaring menusuk telinga dan hatinya.
Berselang beberapa saat
kemudian, wajah Leng Leng Hoatsu berubah menjadi pucat pias dan sekujur
tubuhnya menggigil seperti kedinginan dan mendadak.... "Uaaaakh...."
Leng Leng hoatsu muntah darah.
Thio Han Liong berhenti
membunyikan lonceng saktinya, gadis-gadis itu telah tersadar, maka mereka
segera berlari ke rumah masing-masing.
"Anak muda. Tak kusangka
engkau mampu melawan suara siulanku dengan lonceng kecil itu. Sekarang..."
ujar Leng Leng Hoatsu dingin. "Mari kita bertarung. Aku harus
membunuhmu"
"Leng Leng Hoatsu, kalau
engkau masih ingin bertarung denganku itu berarti engkau cari mati" sahut
Thio Han Liong.
"Lebih baik engkau segera
meninggalkan desa ini"
"Hmm" dengus Leng
Leng Hoatsu, kemudian mendadak menyerang Thio Han Liong dengan sengit sekali.
Thio Han Liong berkelit, tapi
Leng Leng Hoatsu menyerangnya lagi. Karena itu, terpaksalah Thio Han Liong
menangkis dengan ilmu Thay Kek Kun.
"Ternyata engkau murid Bu
Tong Pay" ujar Leng Leng Hoatsu dan mulai mengeluarkan ilmu andalannya.
Terkejut juga Thio Han Liong
menyaksikan ilmu andalan Leng Leng Hoatsu itu. Ia menggeleng-gelengkan kepala
seraya berkata.
"Leng Leng hoatsu, ilmu
silatmu cukup tinggi, tapi justru digunakan untuk kejahatan, sungguh sayang
sekali"
"Ha ha ha" Leng Leng
hoatsu tertawa sambil menyerangnya bertubi-tubi. "Engkau harus mampus di
tanganku"
"Leng Leng Hoatsu, lihat
seranganku" Kini Thio Han Liong mulai menangkis dan balas menyerang dengan
ilmu Kiu Im Pek Kut Jiauw.
"Haah..?" Betapa
terkejutnya Leng Leng Hoatsu. la berusaha mengelak tetapi Thio Han Liong
berhasil memukul dadanya, sehingga membuat Leng Leng Hoatsu menjerit dan
terdorong beberapa depa.
"Aaakh..." Leng Leng
Hoatsu roboh dan mulutnya mengeluarkan darah.
"Engkau...
engkau...."
"Tadi aku sudah
menyuruhmu pergi, tapi engkau malah menyerangku" Thio Han Liong
menggeleng-gelengkan kepala.
"Akhirnya engkau terluka
parah. Dalam waktu tiga jam, engkau pasti binasa "
"Thio Han Liong, suhengku
pasti membalas dendamku ini" ujar Leng Leng Hoatsu. la berusaha bangkit
berdiri, lalu berjalan pergi dengan sempoyongan.
Di saat bersamaan, Tan Ah Yun
dan kakeknya menghambur ke luar menghampiri Thio Han Liong.
"Kakak Thio Kakak
Thio..." panggil Tan Ah Yun dengan wajah berseri-seri.
"Dugaanku tidak meleset,
engkau memang mampu membasmi pendeta siluman itu."
"Adik kecil" Thio
Han Liong tersenyum sambil membelainya.
"Anak muda...."
orangtua itu tertawa gelak.
"Engkau sungguh hebat,
aku sama sekali tidak menyangka. Engkau telah menyelamatkan desa ini...."
Di saat itulah muncul kepala
desa dan para penduduk. Kepala desa mendekati Thio Han Liong sambil memberi hormat.
"Pendekar muda, bolehkah
aku tahu namamu?" tanya nya sambil memandangnya dengan kagum.
"Dia adalah Kakak
Thio," sahut Tan Ah Yun cepat.
"Namanya Han Liong."
"Oooh" Kepala desa
manggut-manggut.
"Thio siau-hiup, engkau
telah menyelamatkan desa kami, entah bagaimana kami berterimakasih
kepadamu?"
"Bapak kepala desa,"
sahut Thio Han Liong.
"Secara kebetulan aku
lewat desa ini. Karena desa ini amat sepi, maka aku mampir di rumah Ah Yun dan
bertanya kepada kakeknya, barulah kutahu desa ini diteror oleh pendeta siluman
itu. Namun kini desa ini sudah aman, karena pendeta siluman itu pasti mati
dalam waktu tiga jam."
"Oooh" Kepala desa
manggut-manggut.
"Thio siau-hiap, aku akan
menyelenggarakan pesta untuk menjamu Thio siauhiap...."
"Itu tidak perlu."
Thio Han Liong menggelengkan kepala.
"Thio siauhiup, aku pun
akan menghadiahkan sesuatu untukmu...."
"Bapak kepala desa,"
ujar Thio Han Liong dengan sungguh-sungguh.
"Aku lihat Kakek Ah Yun
paling miskin di desa ini, maka lebih baik hadiah itu diberikan
kepadanya."
"Baik" Kepala desa
mengangguk
"Tapi biar bagaimanapun,
aku harus mengadakan perjamuan makan-makan...."
"Maaf" ucap Thio Han
Liong.
"Aku menolak."
"Thio siauhiap...."
Kepala desa tampak kecewa sekali.
"Bapak kepala desa,jungan
lupa berikan hadiah itu kepada Kakek Ah Yun" pesan Thio Han Liong,
kemudian berkata kepada Tan Ah Yun dan kakeknya.
"Maaf, aku mau
pamit"
"Han Liong, hari sudah
malam," sahut orangtua itu.
"Lebih baik engkau
bermalam di rumahku."
"Kakak Thio...." Tan
Ah Yun mulai terisak-isak.
"Kok begitu cepat sih
engkau mau pergi? Aku... aku...."
"Adik kecil, aku harus
segera berangkat ke Kwan Gwa. Kelak kita akan berjumpa lagi," ujar Thio
Han Liong sambil membelainya.
"Jangan menangis ya"
"Kakak Thio...." Air
mata Tan Ah Yun meleleh.
"Bapak kepala desa dan
paman-paman sekalian, aku mohon pamit"
Mendadak Thio Han Liong
melesat pergi dan seketika juga ia melesat dari pandangan mereka. Betapa
terkejutnya kepala desa dan para penduduk itu, mereka terbelalak sedangkan Tan Ah
Yun berteriak-teriak
"Kakak Thio Kakak
Thio...." Gadis itu mulai menangis
terisak-isak.
"Ah Yun" sang kakek
memeluknya erat- erat.
"jangan menangis, kelak
dia pasti ke mari menengokmu, percayalah"
"Itu tidak
mungkin...." Tan Ah Yun terus menangis dengan
air mala berderai-derai.
"Tidak mungkin Kakak Thio
akan ke mari menengokku Tidak mungkin...."
Kepala desa menghampirinya
sambil tersenyum, lalu membelainya seraya lembut sekali. Berkata.
"Ah Yun, besok aku akan
ke rumahmu mengantar hadiah untukmu. sudahlah jangan menangis lagi, Thio siau
hiap pasti ke mari kelak menengokmu percayalah"
"Aaah.." keluh Tan
Ah Yun dan bergumam.
"Kakak Thio, kapan engkau
akan ke mari menengokku? "