Anak Naga (Bu Lim Hong yun) Bab 50: Hiat Mo Nyaris Binasa

Anak Naga (Bu Lim Hong yun) Bab 50: Hiat Mo Nyaris Binasa
Bab 50 Hiat Mo Nyaris Binasa

Thio Han Liong terus melanjutkan perjalanan ke Kwan Gwa. Beberapa hari kemudian, ia telah sampai di luar perbatasan. Begitu luas daerah itu sehingga membingungkannya, la sama sekali tidak tahu harus ke mana mencari Hiat Mo. Ketika ia memasuki sebuah hutan, justru berpapasan dengan seorang tua pencari kayu.

"Paman," panggilnya dan seraya menyapanya.

"Eh?" orangtua itu terbelalak.

"Anak muda, engkau kesasar ya?"

"Paman," sahut Thio Han Liong sambil tersenyum.

"Aku mencari seseorang tapi tidak tahu tempat tinggalnya."

"Engkau cari siapa?"

"Aku mencari Hiat Mo."

"Hiat Mo?" orangtua itu tampak tersentak.

"Anak muda, mau apa engkau mencari iblis itu?"

"Aku mau membunuhnya."

"Apa?" orangtua itu terkejut, lalu menatap Thio Han Liong dengan mata terbelalak.

"Engkau... engkau mau membunuhnya?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk Orangtua itu menggeleng-geleng kepala.

"Engkau sudah tidak waras ya? Bagaimana mungkin engkau dapat membunuhnya? Tahukah engkau? Hiat Mo adalah iblis nomor wahid di Kwan Gwa ini"

"Kalau begitu, Paman pasti tahu tempat tinggalnya. Ya, kan?" tanya Thio Han Liong bernada girang.

"Aku memang tahu, tapi tidak akan memberitahukanmu."

"Paman...."

Orangtua itu menasihatinya.

"Lebih baik engkau segera pergi saja, jangan cari mati di daerah Kwan Gwa ini"

"Paman, biar bagaimanapun aku harus membunuhnya," ujar Thio Han Liong tegas.

"Walaupun Paman tidak bersedia memberitahukan tempat tinggal Hiat Mo, aku tetap akan mencarinya."

"Anak muda...." orangtua itu menghela nafas panjang.

"Karena engkau sudah membulatkan tekad, maka aku tidak akan mengecewakan mu."

"Terima kasih, Paman," ucap Thio Han Liong sambil memberi hormat.

"Terima kasih...."

"Tempat tinggal Hiat Mo berada di Pek Ciauw Kok (Lembah seratus Burung)." orangtua itu memberitahukan.

"Keluar dari hutan ini, engkau akan melihat sebuah gunung. Nah, lembah Pek ciauw Kok terletak di gunung itu."

"Terima kasih, Paman," ucap Thio Han Liong, lalu segera melesat ke dalam hutan itu.

Berselang beberapa saat kemudian, ia sudah keluar dari hutan tersebut. Tampak gunung menjulang tinggi di depan. Tanpa ragu lagi ia langsung melesat ke gunung itu dengan menggunakan ginkang, dan tak seberapa lama ia sudah berada di sebuah lembah.

Sungguh indah sekali lembah tersebut Burung- burung yang beraneka warna beterbangan di lembah itu.

"Inikah lembah Pek Ciauw Kok?" gumam Thio Han Liong sambil menelusuri lembah tersebut.

Mendadak ia mendengar suara tawa yang riang gembira, la tercengang, lalu melesat ke arah suara tawa itu.

Thio Han Liong terbelalak ternyata yang sedang tertawa riang gembira itu adalah Kwan Pek Him dan Ciu Lan Nio.

Perlahan-lahan Thio Han Liong mendekati mereka. suara langkahnya membuat mereka berdua menoleh dan terbelalak.

"Kakak Han Liong" seru Ciu Lan Nlo tak tertahan.

"Saudara Han Liong...." Mulut Kwan Pek Him ternganga

lebar. la sama sekali tidak menyangka Thio Han Liong akan menemukan tempat itu.

"Adik Lan Nio, saudara Kwan" Thio Han Liong tersenyum.

"Kalian berdua baik saja?"

"Kami baik-baik saja," sahut Ciu Lan Nio.

"Engkau?"

"Aku pun baik-baik" ujar Thio Han Liong dan menambahkan,

"Terima kasih atas kebaikan kalian menemui An Lok Kong cu."

"Dia... dia pergi ke Hok An menemuimu?" tanya Ciu Lan Nio.

"Ya." Thio Han Liong mengangguk

"Bahkan kami pun sudah pergi ke pulau Hong Hoang To."

"Oh?" Ciu Lan Nio mengangguk "Syukurlah kalau begitu"

Kwan Pek Him terus memandang Thio Han Liong, lama sekali barulah membuka mulutnya.

"Saudara Han Liong, engkau ke mari mencari Hiat Mo?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk.

"Kakak Han Liong," tanya Ciu Lan Nio dengan wajah berubah. "Engkau masih ingin bertanding dengan kakekku?"

"Tapi...." Ciu Lan Nio menghela nafas panjang.

"Giok Cu sudah tiada, untuk apa engkau masih ingin bertanding dengan kakekku?"

"Semua itu karena perbuatan kakekmu, maka aku harus membuat perhitungan dengan kakekmu" tegas Thio Han Liong.

"Kakak Han Liong...." Wajah Ciu Lan Nio tampak murung

sekali.

"Aku mohon engkau jangan bertanding dengan kakekku"

"Adik Lan Nio" Thio Han Liong menatapnya.

"Engkau adalah gadis yang baik, punya nurani, perasaan dan berprikemanusiaan. oleh karena itu, aku menganggapmu sebagai adikku. Tapi lain pula dengan kakekmu. Giok Cu bunuh diri gara-gara kakekmu, maka aku harus membuat perhitungan dengan kakekmu."

"Saudara Han Liong," ujar Kwan Pek Him.

"Tentunya engkau tahu, kepandaian Hiat Mo amat tinggi sekali."

"Aku tahu itu, namun aku tetap akan membuat perhitungan dengannya," sahut Thio Han Liong.

"Kakak Han Liong...." ciu Lan Nio menggeleng-gelengkan

kepala.

"Adik Lan Nio" Thio Han Liong menatapnya seraya berkata,

"Aku harap engkau sudi membawaku pergi menemui kakekmu"

"Tapi...."

"Adik Lan Nio, bawa aku pergi menemui kakekmu" desak Thio Han uong.

"Atau aku akan pergi mencarinya seorang diri?"

Ciu Lan Nio memandang Kwan Pek Him, sedangkan pemuda itu hanya menghela nafas panjang, kemudian berkata.

"Saudara Han Liong telah sampai di lembah ini, tentunya kita harus membawanya pergi menemui kakekmu."

"Tapi...." Ciu Lan Nio menggeleng-gelengkan kepala.

"Kalau kita tidak membawanya pergi menemui kakekmu, dia pun bisa pergi mencarinya. Ya, kan?" ujar Kwan Pek Him.

"Baiklah." Ciu Lan Nio manggut-manggut.

"Kakak Han Liong, mari ikut kami pergi menemui kakekku"

"Terima kasih, Adik Lan Nio," ucap Thio Han Liong.

Ciu Lan Nio dan Kwan Pek Him lalu mengajak Thio Han Liong ke sebuah gua tempat tinggal Hiat Mo.

Hiat Mo sedang duduk bersila di dalam gua. ciu Lan Nio berlari ke dalam seraya berteriak-teriak.

"Kakek Kakek..."

"Lan Nio, ada apa?" Hiat Mo tercengang.

"Kakak Han Liong ke mari mencari Kake.k Dia... dia ingin membuat perhitungan dengan Kakek" Ciu Lan Nio memberitahukan dengan air mata meleleh.

"Oh?" Hiat Mo tertawa.

"Apakah kepandaiannya sudah tinggi, sehingga berani ke mari mencariku^"

"Aku tidak tahu," sahut Ciu Lan Nio.

"Kejadian itu adalah kesalahan Kakek maka Kakek tidak boleh membunuhnya."


Bagian 26

Hiat Mo tersenyum dan memandang cucunya seraya berkata,

"Lan Nio, kalau kakek mau membunuhnya, tidak mungkin dia bisa hidup hingga sekarang."

"Aku tahu itu, Kakek. Maksudku... kini pun Kakek jangan membunuhnya," ujar ciu Lan Nio.

"Dia menganggapku sebagai adiknya, bahkan juga amat menyayangiku. Aku pun sudah menganggapnya sebagai kakak."

"Kakek tahu itu." Hiat Mo tersenyum sambil bangkit berdiri. "Mari kita ke luar menemuinya"

Mereka berjalan ke luar. Tampak Thio Han Liong sedang bercakap-cakap dengan Kwan Pek Him.

"Ha ha ha" Hiat Mo tertawa gelak.

"Han Liong, bagaimana kabarmu selama ini?"

"Aku baik-baik saja," sahut Thio Han Liong.

"Bagaimana Locianpwee? Apakah baik-baik juga?"

"Aku pun baik-baik" Hiat Mo menatapnya dengan penuh perhatian, kemudian manggut-manggut.

"Ngmmm. Kelihatannya kepandaianmu bertambah tinggi. Bagus, bagus sekali"

"Kalau kepandaianku tidak bertambah tinggi, tentunya aku tidak berani mencari Locianpwee," ujar Thio Han Liong dengan nada mulai dingin.

"Aku ingin bertanya, kenapa Locianpwee menikahkan Giok cu dengan Ouw Yang Bun?"

"Sebab Ouw Yang Bun mencintainya, lagipula Giok cu harus punya anak. Nah, karena itu aku menikahkan mereka."

"Hmm" dengus Thio Han Liong. Justru karena itu, Giok cu bunuh diri. Itu gara-gara ulah Locianpwee, maka Locianpwee harus bertanggung jawab."

"Tidak salah." Hiat Mo manggut-manggut.

"Aku memang harus bertanggungjawab tentang itu."

"Kalau begitu, aku akan membuat perhitungan dengan Locianpwee" Thio Han Liong menatapnya tajam.

"Oh?" Hiat Mo tersenyum.

"Cara bagaimana engkau membuat perhitungan denganku?"

"Giok Cu mati bunuh diri gara-gara Locianpwee, ke dua orangtuanya mati karena dibunuh para anggota Hiat Mo Pang Karena itu, aku harus membunuh Locianpwee"

"Oh?" Hiat Mo tertawa gelak

"Ha ha ha..."

"Kakak Han Liong" seru Ciu Lan Nio. Betapa terkejutnya gadis itu la tidak menyangka kalau Thio Han Liong begitu dendam terhadap kakeknya.

"Adik Lan Nio" tegas Thio Han Liong.

"Ini adalah urusanku dengan kakekmu, aku harap engkau jangan turut campur"

"Kakak Han Liong...." Mata Ciu Lan Nio mulai bersimbah air.

Kwan Pek Him mendekatinya, lalu memegang bahunya seraya berbisik-bisik.

"Lan Nio, itu adalah urusan mereka, biar mereka yang menyelesaikannya"

"Tapi...."

"Jangan khawatir" Kwan Pek Him tersenyum. "Kakekmu tidak akan membunuhnya, percayalah"

"Kalau mereka bertarung, pasti ada yang akan terluka. Aku... aku tidak menghendaki itu." Ciu Lan Nio mulai terisak-isak.

"Lan Nio" hibur Kwan Pek Him.

"Tenanglah Kalaupun mereka bertarung, mereka pasti tidak akan terluka."

"Aaaah Ciu Lan Nio menghela nafas panjang.

Sementara Thio Han Liong dan Hiat Mo saling memandang. Wajah pemuda itu tampak semakin dingin, bahkan penuh diliputi hawa membunuh. Tersentak juga hati Hiat Mo, sebab ia tidak pernah menyaksikan wajah Thio Han Liong seperti itu.

"Han Liong," ujar Hiat Mo perlahan.

"Kalau kepandaianmu memang sudah tinggi sekali, engkau boleh membunuhku,"

"Aku ke mari justru ingin membunuhmu" sahut Thio Han Liong.

"Mari kita mulai bertarung"

"Ha ha ha" Hiat Mo tertawa gelak.

"Kudengar engkau mampu menyadarkan Giok Cu, Tong Koay dan Pak Hong dengan suara lonceng, maka aku pun ingin mencobanya dengan suara sulingku"

"Baik" Thio Han Liong mengangguk.

"Boleh mulai sekarang"

Hiat Mo memandang Kwan Pek Him dan cucunya seraya mengibaskan tangannya agar mereka menjauh.

Ciu Lan Nio segera menarik tangan Kwan Pek Him menjauhi tempat itu. Tentunya hal itu membuat Kwan Pek Him terheran-heran.

"Lan Nio, kenapa kita harus menjauhi tempat itu?" tanyanya.

"Kakekku akan meniup suling pusakanya, kita tidak akan tahan." sahut Ciu Lan Nio memberitahukan.

"Darah kita akan bergolak dan kemungkinan besar kepandaian kita pun akan musnah."

"Oh?" Kwan Pek Him terbelalak.

"Begitu lihay dan hebat suara suling itu?"

"Ya." Ciu Lan Nio mengangguk

"Karena suara suling itu mengandung semacam ilmu sesat."

"Oooh" Kwan Pek Him manggut-manggut.

"Kalau begitu... bagaimana mungkin saudara Han Liong bisa bertahan?"

"Itu...." Ciu Lan Nio menggeleng-gelengkan kepala.

"Mudah-mudahan kakekku tidak memusnahkan kepandaiannya"

Sementara Hiat Mo telah mengeluarkan suling pusakanya, la memandang Thio Han Liong seraya bertanya,

"Kenapa engkau belum mengeluarkan loncengmu?"

"Kalau sudah saatnya, aku pasti mengeluarkan lonceng saktiku"

"Kalau begitu.." ujar Hiat Mo sambil menatapnya tajam.

"Bersiap-siaplah engkau menghadapi suara sulingku"

Thio Han Liong tersenyum dingin, lalu duduk bersila sambil mengerahkan Ilmu Penakluk iblis.

Hiat Mu mulai meniup guling pusakanya. Maka terdengarlah suara alunan suling yang bernada aneh terus meninggi dan bergelombang-gelombang. Ternyata Hiat Mo mengeluarkan ilmu Toat Hun Mi Im (suara suling Pelenyap sukma). Dengan irama tersebut ia ingin melumpuhkan Thio Han Liong.

Akan tetapi, ia justru terbelalak karena melihat Thio Han Liong tetap duduk bersila di tempat, sama sekali tidak terpengaruh oleh suara sulingnya. Karena itu, ia meninggikan nada irama sulingnya.

Tampak keringat sebesar kacang hijau mulai merembes ke luar dari kening pemuda itu. Di saat itulah ia mengeluarkan lonceng saktinya, pemberian Bu Beng sian Su dan mulailah membunyikannya.

Hiat Mo tersentak kaget ketika mendengar suara lonceng sakti, karena suara lonceng itu begitu nyaring lembut dan menggetarkan hati.

Setelah membunyikan lonceng saktinya hati Thio Han Liong menjadi tenang sekali dan tidak merasa bergolak lagi darahnya.

Begitu pula Kwan Pek Him dan ciu Lan Nio. Walau mereka berada di tempat yang agak jauh, tapi ketika Hiat Mo mulai meniup suling pusakanya, mereka harus menutup telinga.

Akan tetapi, begitu Thio Han Liong membunyikan lonceng saktinya, mereka pun merasa tenang dan lega.

Meskipun Hiat Mo telah mengempos semangatnya untuk meniup sulingnya, namun suara lonceng itu tetap menggetar-getarkan hatinya. Akhirnya ia berhenti meniup sulingnya dan Thio Han Liong pun berhenti membunyikan lonceng saktinya.

"Ha ha ha" Hiat Mo tertawa gelak.

"Bukan main Tak kusangka engkau memiliki lonceng sakti, pantas engkau mampu menyadarkan Giok Cu, Tong Koay dan Pak Hong"

"Kini kita bertanding ilmu silat" tantang Thio Han Liong sambil menyimpan lonceng saktinya.

"Ngmm" Hiat Mo manggut-manggut. "Dengan tangan kosong atau bersenjata?"

"Cukup dengan tangan kosong saja" sahut Thio Han Liong dan menambahkan,

"Harap Locianpwee harus berhati-hati, sebab aku akan membunuhmu"

"Oh?" Hiat Mo tertawa lagi. "Ha ha ha..."

"Locianpwee, bersiap-siaplah. Aku akan mulai menyerangnya"

"Baik"

Thio Han Liong menatapnya tajam sambil mengerahkan Kiu Yang Sin Kang, kemudian mendadak menyerangnya dengan Thay Kek Kun (Ilmu Pukulan Taichi). "Ha ha ha" Hiat Mo tertawa sekaligus berkelit, lalu balas menyerang.

Terjadilah pertarungan yang amat seru dan sengit. Kwan Pek Him dan ciu Lan Nio menyaksikan pertarungan itu dengan hati berdebar-debar tegang.

Thio Han Liong dan Hiat Mo saling menyerang dengan sengit sekali. Hiat Mo tampak terkejut akan kemajuan ilmu silat Thio Han Liong.

"Ha ha" la tertawa.

"Han Liong, pantas engkau berani ke mari menantangku. Ternyata ilmu silatmu telah maju pesat, begitu pula Iweekangmu Aku kagum sekali pada mu"

"Hm" dengus Thio Han Liong dingin.

"Hari ini ajalmu telah tiba"

"Oh?" Hiat Mo tertawa lagi.

"Kalau begitu, silakan cabut nyawaku"

Walau mereka berbicara, tapi tetap saling menyerang. Pertarungan telah melewati puluhan jurus namun mereka masih seimbang.

"Ha ha ha" Hiat Mo tertawa gelak sambil meloncat ke belakang beberapa depa. la menatap Thio Han Liong seraya berkata,

"Berhati hatilah Aku akan menyerangmu dengan Hiat Mo Kang"

"Aku sudah siap menyambut ilmu itu" sahut Thio Han Liong.

Hiat Mo mulai mengerahkan Hiat Mo Kang, sedangkan Thio Han Liong mulai mengerahkan Kian Run Taylo sin Kang. Mereka terus saling menatap dengan mata tak berkedip. Namun Hiat Mo hanya mengerahkan lima bagian Iweekangnya itu, ternyata ia masih ingat akan janjinya kepada cucunya, tidak akan membunuh Hiat Mo.

Sementara Kwan Pek Him dan ciu Lan Nio menyaksikannya dengan wajah pucat pias. Mereka berdua tahu bahwa kali ini merupakan pertarungan mati hidup.

"Ha ha ha" Mendadak Hiat Mo tertawa gelak lalu mulai menyerang Thio Han Liong.

Thio Han Liong tidak berkelit. Disambutnya serangan itu dengan jurus Kian Kun Taylo Bu Pien (Alam semesta Tiada Batas), maka terdengarlah suara benturan keras.

Blaaaam.. Thio Han Liong terdorong ke belakang beberapa langkah begitu pula Hiat Mo. setelah berdiri tegak Hiat Mo menatapnya dengan mata terbelalak. Rupanya ia tidak percaya Thio Han Liong telah menyambut serangannya itu. Bahkan ia pun merasa heran, karena ada serangan balik dari Iweekangnya sendiri

"Ha ha ha" la tertawa gelak.

"Tak kusangka kepandaianmu sudah begitu tinggi, mampu menyambut seranganku"

"Hmm" dengus Thio Han Liong sambil menatapnya dingin. "Hati-hati, aku sudah siap membunuhmu" "Ha ha ha" Hiat Mo tertawa gelak lagi.

"Kalau engkau mampu membunuhku, aku pun akan mati dengan mata meram"

Sementara Kwan Pek Him dan ciu Lan Nio terperangah akan kejadian itu, sama sekali tidak menyangka Thio Han Liong mampu menyambut serangan yang dilancarkan Hiat Mo. Mereka berdua kagum tapi juga cemas.

"Han Liong Hati-hatilah, aku akan menyerang lagi" ujar Hiat Mo sambil mengerahkan Iweekangnya pada puncaknya.

Akan tetapi, mendadak ia teringat akan janjinya kepada cucunya. Maka seketika juga ia batal menyerang Thio Han Liong dengan sepenuh Iweekang, hanya mengerahkan tujuh bagian saja.

"Hati-hati" seru Hiat Mo sambil menyerang.

Thio Han Liong sama sekali tidak berkelit, namun langsung menyambut serangan itu dengan jurus Kian Kun Taylo Hap It (segala galanya Menyatu Di Alam semesta).

Blaaaam... Terdengar suara benturan yang, amat dahsyat, memekakkan telinga.

Hiat Mo terpental enam tujuh depa, sedangkan Thio Han Liong terhuyung-huyung ke belakang hampir sepuluh langkah wajahnya tampak agak pucat. Hiat Mo jatuh terkapar di tanah, mulutnya tampak mengeluarkan darah.

"Kakek Kakek..." jerit Ciu Lan Nio.

Kwan Pek Him segera memegang lengannya, agar gadis itu tidak lari mendekati Hiat Mo.

"Hiat Mo" ujar Thio Han Liong sepatah demi sepatah "Bersiap-siaplah untuk mati"

"Han Liong...." Hiat Mo tersenyum.

"Aku merasa puas mati di tanganmu, karena kini engkau dapat mengalahkanku. Aku merasa puas sekali...."

"Hmm" dengus Thio Han Liong, lalu mendekati Hiat Mo selangkah demi selangkah.

Hiat Mo sama sekali tidak tampak takut, sebaliknya malah tampak tenang sekali. Di saat bersamaan, ciu Lan Nio meronta sekuat-kuatnya, sehingga terlepas dari tangan Kwan Pek Him.

"Kakak Han Liong Kakak Han Liong..." ciu Lan Nio berlari mendekatinya sambil berteriak-teriaki

"Kakak Han Liong...."

Thio Han Liong mengerutkan kening sambil berhenti, seketika Ciu Lan Nio berlutut di hadapannya.

"Kakak Han Liong" Air mata gadis itu berlinang-linang.

"Jangan kau bunuh kakekku Jangan kau bunuh kakekku" ujarnya memohon.

"Adik Lan Nio...." Kening Thio Han Liong berkerut-kerut.

"Aku...."

"Kakak Han Liong" ciu Lan Nio menatapnya.

"Kalau engkau membunuh kakekku, aku pasti bunuh diri" "Apa?" Air muka Thio Han Liong berubah menjadi hebat.

"Saudara Han Liong" Kwan Pek Him mendekatinya seraya berkata,

"Apabila Lan Nio bunuh diri, aku pun tidak akan hidup lagi."

"Kalian...." Thio Han Liong berdiri termangu-mangu di

tempat, kemudian menatap mereka dengan kening berkerut-kerut.

"Kakak Han Liong...." ciu Lan Nio berlutut di hadapannya.

"Aku mohon, jangan bunuh kakekku..."

Thio Han Liong diam saja, lama sekali barulah membuka mulut.

"Sudahlah. Aku tidak akan membunuh kakekmu."

"Terima kasih, Kakak Han Liong," ucap Ciu Lan Nio terharu. "Terima kasih...."

"Adik Lan Nio, bangunlah. Jangan terus berlutut di situ" Thio Han Liong membangunkannya .

"Kakak Han Liong...." ciu Lan Nio terisak-isak saking

terharu.

"Kami berhutang budi kepadamu."

"Jangan berkata begitu, Adik Lan Nio"

"Terima kasih, saudara Han Liong," ucap Kwan Pek Him sambil memegang bahu Thio Han Liong.

"Aaah.." Thio Han Liong menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ciu Lan Nio berlari mendekati Hiat Mo, sedangkan Hiat Mo telah bangkit berdiri

"Kakek terluka?" tanya Ciu Lan Nio dengan rasa cemas.

"Ha ha ha" Hiat Mo tertawa.

"Kalau kakek berniat membunuh Han Liong, sekarang kakek sudah tergeletak jadi mayat."

Ciu Lan Nio terperanjat mendengar ucapan kakeknya itu.

"Kakek tidak bohong," ujar Hiat Mo sambil menghampiri Thio Han Liong.

"Aku tak menyangka Lwee-kang mu sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Apa yang kau alami selama beberapa tahun ini?"

"Locianpwee...." Thio Han Liong memandangnya, lama

sekali barulah menutur tentang kejadian di gunung soat san.

"Haah..?" Hiat Mo terbelalak mendengar penuturannya.

"Syukurlah engkau makan buah soat san Ling che itu, bahkan engkau pun bertemu Bu Beng sian su"

"Locianpwee pernah bertemu Bu Beng siansu?"

"Pernah." Hiat Mo mengangguk

"Kalau tidak salah lima puluh tahun lalu, aku tahu Bu Beng sian su memiliki sebuah lonceng sakti. Tak disangka lonceng sakti itu telah dihadiahkan kepadamu. Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan menikahkan Giok Cu dengan ouw Yang Bun."

"Locianpwee...." Wajah Thio Han Liong langsung berubah

murung.

"Aku ingin bertanya, kenapa tujuh delapan tahun lalu Locianpwee begitu tega menyihir Giok cu?"

"Aaah.." Hiat Mo menghela nafas panjang.

"Pada waktu itu aku terlampau egois. Aku tahu Giok Cu mencintaimu, tapi cucuku ini pun mencintaimu pula. Maka aku menyihirnya agar engkau menjauhi Giok Cu, dan selanjutnya akan mencintai cucuku. Akan tetapi, ternyata engkau tetap mencintai Giok Cu. Karena itu, aku pun menyatakan apabila engkau mampu mengalahkan ku, aku pasti melepaskan Giok Cu. Aku menyatakan itu lantaran dapat memastikan tidak mungkin engkau mampu mengalahkanku, lagipula aku menghendakimu terus berlatih dengan giat. selain itu. Giok Cu pun tidak bisa disadarkan...."

"Lociancwee...." Thio Han Liong menggeleng-gelengkan

kepala.

"Oleh karena itu..." lanjut Hiat Mo sambil menghela nafas panjang.

"Akupun merasa kasihan kepada Giok Cu, lagipula ouw Yang Bun amat mencintainya, maka aku menikahkan mereka, agar Giok Cu punya keturunan. Itu adalah maksud baikku dan walaupun Giok Cu masih dalam keadaan terpengaruh oleh ilmu sihirku, tapi ouw Yang Bun tetap mencintainya. setelah mereka punya anak ouw Yang Bun yang mengurusi anak itu Kemudian muncul Yo sian sian. Berhubung dia memperlihatkan sebuah benda, sehingga aku harus menepati sebuah janji pula. Yo sian sian menyuruhku kembali ke Kwan Gwa. Aku menurut dan langsung kembali ke Kwan Gwa ini...."

"Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut.

"Locianpwee, benda apa itu?" tanyanya.

"Sebuah tusuk konde," jawab Hiat Mo dan menutur tentang itu, kemudian menghela nafas panjang. Tak kusangka Lam Hai Lo Ni adalah nenek Yo sian sian."

"Aaah.." Thio Han Liong menghela nafas panjang.

"Yang patut dikasihani adalah Giok Cu, dia...."

"Kakak Han Liong," sela Ciu Lan Nio memberitahukan.

"Kematian Giok Cu membuat kakekku menangis tiga hari tiga malam, amat menyesali perbuatannya itu."

"Oh?" Thio Han Liong mendekati Hiat Mo.

"Betul." Hiat Mo manggut-manggut

"Sesungguhnya aku amat menyukaimu, sedangkan cucuku pun amat mencintaimu. oleh karena itu...."

"Locianpwee, semua itu telah berlalu, jangan diungkit lagi" tandas Thio Han Liong.

"Dan jangan terus bilang Adik Lan Nio amat mencintaiku, nanti saudara Kwan akan cemburu."

"Tidak" Kwan Pek Him tersenyum. "Sebab kini Lan Nio amat mencintaiku, itu berkat bantuanmu."

"Saudara Kwan...." Thio Han Liong tersenyum getir.

"Kalau aku teringat Giok Cu, rasanya aku tiada gairah hidup,..."

"Kakak Han Liong, bukankah engkau telah bertemu An Lok Keng cu? Jangan memikirkan yang tidak-tidak lagi" ujar ciu Lan Nio.

"Pada waktu itu, aku terus menangis di depan makam Giok cu." Thio Han Liong memberitahukan.

"Akhirnya mataku mengeluarkan darah lalu pingsan. Ketika siuman, aku melihat An Lok Keng cu berada di sisiku dengan wajah pucat pias.

"Dia terus menghibur sekaligus menasihatiku. Kalau dia tidak muncul, aku pasti sudah mati."

"Saudara Han Liong" Kwan Pek Him tersenyum.

"Aku dan Lan Nio pergi ke Kotaraja menemui An Lok Keng cu."

"Dia telah memberitahukan itu, oleh karenanya aku pun amat berterima kasih kepada kalian."

"Kakak Han Liong" ciu Lan Nio tersenyum.

"Kini engkau sudah tidak mendendam kakekku lagi kan?" "Adik Lan Nio," sahut Thio Han Liong.

"Semua itu telah berlalu, dendamku pun sirna dengan sendirinya."

"Terima kasih, Kakak Han Liong," ucap ciu Lan Nio. "Adik Lan Nio" Thio Han Liong menghela nafas panjang. "Aku pun harus berterima kasih kepadamu."
"Kakak Han Liong...." ciu Lan Nio menundukkan kepala.

"Ha ha ha" Hiat Mo tertawa gelak

"Kini legalah hatiku, karena Han Liong telah memiliki kepandaian yang amat tinggi Ha ha ha..."

"Locianpwee..." ujar Thio Han Liong.

"Kalau bukan dikarenakan Locianpwee, kepandaianku tidak akan mencapai tingkat yang sedemikian tinggi."

"Han Liong" Hiat Mo menatapnya seraya bertanya,

"Engkau menggunakan ilmu apa meroboh kanku?"

"Kian Kun Taylo sin Kang." Thio Han Liong memberitahukan.

"Bu Beng sian su yang mengajarku."

"Ooh" Hiat Mo manggut-manggut.

"Tapi kenapa malah diriku terserang oleh Iweekangku sendiri?"

"Itulah keistimewaan ilmu Kian Kun Taylo sin Kang," sahut Thio Han Liong dan menambahkan,

"Maka Locianpwee terserang oleh Iweekang sendiri."

"Jadi...." Hiat Mo terbelalak.

"Kian Kun Taylo sin Kang dapat mengembalikan Iweekang lawan, sekaligus balik menyerangnya pula?"

"Ya." Thio Han Liong mengangguk

"Sungguh hebat ilmu itu" Hiat Mo menghela nafas panjang.

"Kalau begitu kini engkau adalah jago nomor wahid dalam rimba persilatan."

"Lociancwee...." Thio Han Liong menggeleng-ge-lengkan

kepala.

"Di atas gunung masih ada gunung, di atas langit masih ada langit. Aku bukan jago nomor wahid dalam rimba persilatan."

"Ha ha ha" Hiat Mo tertawa.

"Bagus Bagus Engkau masih mau merendahkan diri, itu sungguh bagus sekali"

"Kakak Han Liong," tanya Ciu Lan Nio mendadak. "Engkau akan langsung ke Kotaraja?"

"Tidak" Thio Han Liong menggelengkan kepala.

"Aku masih harus berangkat ke Tibet."

"Mau apa engkau ke sana?" tanya Hiat Mo heran.

"Membuat perhitungan dengan sembilan Dhalai Lhama di sana," jawab Thio Han Liong.

"Apa?" Hiat Mo terperanjat.

"Engkau punya dendam pada Dhalai Lhama itu?"

"Ya." Thio Han Liong mengangguk lalu menutur tentang para Dhalai Lhama itu melukai ayahnya.

Hiat Mo manggut-manggut.

"Han Liong, sembilan Dhalai Lhama itu memiliki semacam ilmu istimewa, lagipula ketua Dhalai Lhama berkepandaian amat tinggi, maka engkau harus berhati-hati menghadapi mereka"

"Ya." Thio Han Liong mengangguk

"Bagaimana kelandaian ketua Dhalai Lhama dibandingkan dengan kepandaian Locianpwee?" tanyanya kemudian.

"Kepandaian ketua Dhalai Lhama lebih tinggi," jawab Hiat Mo dengan jujur.

"Oleh karena itu, engkau harus berhati-hati menghadapi ketua Dhalai Lhama itu. Namun setahuku, ketua Dhalai Lhama amat adil dan bijaksana."

"Syukurlah" ucap Thio Han Liong.

"Maaf, aku mau pamit"

"Han Liong" Hiat Mo memegang bahunya sambil tersenyum.

"Kapan engkau akan ke mari lagi?"

"Entahlah" Thio Han Liong menggelengkan kepala.

"Mudah-mudahan kelak aku dapat ke mari mengunjungi Locianpwee, Adik Lan Nio dan saudara Kwan"

"Kakak Han Liong," pesan ciu Lan Nio.

"Jangan lupa ajak An Lok Keng cu ke mari juga"

"Baik" Thio Han Liong mengangguk

"sampai jumpa"

Pemuda itu melesat pergi. Hiat Mo menghela nafas panjang sambil bergumam,

"Kalau aku berniat membunuhnya, nyawaku pasti melayang."

"Kakek..." ciu Lan Nio tercengang.

"Kok begitu? Aku sama sekali tidak mengerti."

"Kakek tadi menyerangnya dengan tujuh bagian Iweekang, maka cuma membuat kakek terpental dan muntah darah. Kalau kakek menyerangnya dengan sepenuh tenaga kini kakek pasti sudah tergeletak menjadi mayat."

"Kenapa bisa begitu?" Ciu Lan Nio tetap tidak mengerti.

"Ternyata dia memiliki semacam ilmu yang dapat mengembalikan Iweekang lawan, dan sekaligus menyerang lawan itu pula." Hiat Mo memberitahukan.

"Oooh" Ciu Lan Nio manggut-manggut mengerti.

"Ternyata begitu..."

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar