Anak Naga (Bu Lim Hong yun) Bab 51: Im sie Cin Keng (Kitab Pusaka Alam Baka)

Anak Naga (Bu Lim Hong yun) Bab 51: Im sie Cin Keng (Kitab Pusaka Alam Baka)
Bab 51 Im sie Cin Keng (Kitab Pusaka Alam Baka)

Bagaimana nasib Kwee In Loan yang terjatuh ke dalam jurang? Apakah ia akan mati dengan remuk seluruh tulangnya? Ternyata wanita itu tidak mati, karena badannya menyangkut di pohon yang tumbuh di tebing. Hanya saja kepalanya membentur dahan pohon itu, sehingga merusak urat syaraf yang di kepalanya. Karena itu, ia jadi lupa akan semua kejadiannya, bahkan juga lupa dirinya sendiri Ketika siuman, ia tampak gembira sekali, berloncat- loncatan dipohon

itu sambil tertawa cekikikan. Tak disangka sama sekali, Kwee In Loan sudah tidak waras.

"Hi hi hi Aku bisa seperti monyet, loncat ke sana kemari Hi hi hi..." ujarnya sambil tertawa. Kemudian meloncat turun dan terbelalaki karena melihat sebuah gua.

"Asyiiik Ada gua, aku akan ke dalam untuk beristirahat"

Kwee In Loan memasuki gua itu. Sungguh mengherankan, gua itu terang benderang.

Ternyata ada beberapa butir mutiara menempel di dinding gua. Mutiara-mutiara itu memancarkan cahaya, sehingga membuat gua tersebut menjadi terang-benderang.

Kwee In Loan menengok ke sana ke mari. Dilihatnya sebuah batu berbentuk segi empat berwarna hijau di tengah-tengah gua, yang di atasnya terdapat sebuah botol kecil dan sebuah kitab tipis.

"Hi hi hi Ada makanan" Didekatinya batu itu sambil memandang botol kecil tersebut, ternyata berisi belasan butir obat.

"Permen Hi hi hi..."

Diambilnya botol kecil itu, lalu dibukanya tutupnya dan langsung dituang ke dalam mulutnya.

"Eeeh?" la terbelalak.

"Kok permen itu pahit rasanya? Tapi enak juga. Hi hi hi..."

la mengambil kitab itu, kemudian dibacanya dengan suara lantang, sehingga bergema di dalam gua.

"Im sie Cin Keng (Kitab Pusaka Alam Baka) Hi hi hi Ini pasti kitab dewa. Aku harus mempelajarinya agar diriku bisa menjadi dewi yang cantik Hi hi hi..."

Ternyata kitab pusaka itu berisi Im sie Hong Kang (Ilmu Tenaga Dalam Tidak Waras Alam Baka), Hong Loan Kian Hoat (Ilmu Pedang Kacau Balau) dan Hong Loan ciang Hoat (Ilmu Pukulan Kacau Balau). siapa yang mempelajari kitab tersebut, maka pasti akan menjadi gila. Namun kini Kwee In Loan memang sudah tidak waras, maka tidak sulit baginya mempelajari kitab itu.

Perlu diketahui, kitab Im sie Cin Keng sudah ratusan tahun lenyap dari rimba persilatan. Bagi orang yang waras, tentunya tidak mau mempelajari kitab tersebut. Akan tetapi, kini Kwee In Loan sudah tidak waras, gara-gara urat syarafnya telah rusak terbentur dahan, maka ia mempelajari kitab itu.

Obat ditelannya, ternyata adalah obat penambah Lwee kang. seharusnya obat itu dimakan sehari, namun ditelannya semua sehingga membuat urat syaraf di kepalanya semakin rusak dan sudah barang tentu ia pun menjadi gila total.

Walau Kwee In Loan sudah gila total, tapi kepandaiannya justru terus meningkat.

"Hi hi hi" la terus tertawa gembira.

"Kini aku adalah Im sie Pepo (Nenek Alam Baka), Im sie Popo yang cantik jelita Hi hi hi..."

-ooo00000ooo-

Setelah meninggalkan Kwan Gwa (Luar Perbatasan), Thio Han Liong kembali ke Tionggoan dan langsung menuju Tibet. Beberapa hari kemudian, ia sudah tiba di kota Cing shia dan mampir di sebuah rumah makan.

"Tuan mau pesan makanan dan minuman apa?" tanya seorang pelayan rumah makan itu dengan ramah.

Thio Han Liong memesan beberapa macam hidangan dan arak wangi. Tak lama kemudian, pelayan itu sudah menyajikan apa yang dipesankan nya. Mulailah Thio Han Liong bersantap. Di saat itulah ia mendengar percakapan tamu lain, yang duduk di depannya.

"Pembesar Liu amat baik, adil dan bijaksana. Tapi... ia justru malah tertimpa kejadian itu."

"Aaah Kita tidak bisa berbuat apa-apa, begitu pula para pengawalnya. sungguh malang nasib Nona itu"

Thio Han Liong mengerutkan kening kelika mendengar percakapan itu. la lalu bangkit dari tempat duduknya dan mendekati tamu-tamu itu.

"Maaf," ucapnya sambil tersenyum.

"Aku mengganggu Paman sekalian"

"Anak muda...." salah seorang tamu memandangnya.

"Silakan duduk"

"Terima kasih," ucap Thio Han Liong lalu duduki

"Anak muda, apa yang dapat kami bantu?"

"Aku tertarik akan percakapan tadi, maka aku ingin tahu apa yang terjadi di kota ini."

"Oooh" salah seorang tamu itu manggut-manggut dan menutur.

"Beberapa hari yang lalu, kota ini didatangi beberapa perampok yang berkepandaian tinggi, langsung ke rumah pembesar Liu. Para pengawal pembesar Liu berusaha menahan perampok-perampok itu, namun malah dirobohkan secara mudah sekali. Beberapa perampok itu menemui pembesar Liu dan memberitahukan bahwa dalam waktu beberapa hari, pemimpin mereka akan datang menjemput putri pembesar Liu. Apabila pembesar Liu berani menolak maka para perampok itu akan membantai keluarga Pembesar Liu berikut para penduduk kota."

"Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut.

"Kapan para perampok itu akan datang menjemput Nona Liu?" tanyanya.

"Kalau tidak salah esok."

"Paman," tanya Thio Han Liong.

"Di mana tempat tinggal pembesar Liu?"

Salah seorang tamu memberitahukan. Thio Han Liong segera berpamit dan langsung menuju rumah pembesar Liu. Tampak beberapa pengawal menjaga di depan rumah pembesar itu. Thio Han Liong menghampiri mereka.

"Maaf, aku ingin bertemu pembesar Liu" ujarnya.

"Oh?" Pengawal itu menatapnya.

"Siapa engkau dan ada urusan apa ingin bertemu pembesar Liu?"

"Namaku Thio Han Liong. Aku ingin bertemu pembesar Liu karena ada urusan penting."

“Tapi...." Pengawal itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Pembesar Liu tidak mau bertemu siapa pun, karena beliau sedang menghadapi suatu masalah."

"Aku ingin bertemu beliau justru berniat membantunya memecahkan masalah itu. Cepat antar aku menemui beliau" desak Thio Han Liong.

"Tapi...."

"Kalau kalian tidak mau mengantarku, aku akan masuk sendiri"

"Engkau...."

"Hm" dengus Thio Han Liong.

"Kalian semua adalah gentong nasi, cuma gagah-gagahan saja"

Thio Han Liong melangkah ke dalam. Namun salah seorang pengawal segera menahannya. Mendadak Thio Han Liong mengibaskan tangannya, seketika juga pengawal itu terpentai beberapa depa dan jatuh gedebuk dengan wajah meringis.

"Dia... dia adalah kawan perampok itu, cepat beritahukan kepada Tayjin" seru pengawal yang terpental itu.

Dua pengawal langsung berlari ke dalam, sedangkan Thio Han Liong melangkah santai di halaman itu. Ketika sampai di depan pintu rumah tersebut, ia melihat seorang lelaki berusia lima puluhan berhambur ke luar dengan wajah pucat pias. Ke dua pengawal yang berjalan di sisinya menunjuk Thio Han Liong seraya berbisik,

"Tayjin, pemuda itu kawan para perampok."

Pembesar Liu memandang Thio Han Liong dan terbelalak. Pemuda itu begitu tampan dan tampak lemah lembut, bagaimana mungkin dia kawan para perampok? Pembesar Liu bertanya dalam hati.

"Maaf, aku telah mengganggu ketenangan Tayjin" ucap Thio Han Liong.

"Siapa engkau?" tanya pembesar Liu.

"Namaku Thio Han Liong."

"Ada urusan apa engkau ke mari menemuiku?"

"Tayjin, aku bukan penduduk kota ini. Kebetulan tiba di kota ini maka aku mampir di rumah makan. Aku mendengar percakapan para tamu yang makan di sana, bahwa ada suatu

kejadian menimpa keluarga Tayjin. itulah yang menyebabkan aku ke mari."

"Oh?" Pembesar Liu menatapnya dalam-dalam. "Jadi engkau bukan kawan perampok itu?"

"Bukan." Thio Han Liong menggelengkan kepala.

"Karena aku tidak diperbolehkan masuk menemui Tayjin, maka aku menerobos ke dalam, sehingga menimbulkan kesalahpahaman itu. Mohon Tayjin sudi memaafkan aku"

"Ha ha" Liu Tayjin tertawa.

"Anak muda, silakan masuk"

"Terima kasih." Thio Han Liong masuk ke dalam rumah.

"Silakan duduk" ujar pembesar Liu.

Thio Han Liong segera duduk dan seorang pelayan wanita langsung menyuguhkan teh. Di saat menaruh minuman ke atas meja, pelayan wanita itu melirik ke arah Thio Han Liong. setelah itu, barulah ia meninggalkan ruang depan menuju kamar putri pembesar Liu.

"Nona Nona" panggilnya.

"Masuklah Pintu tidak dikunci" sahut seorang gadis dari dalam.

Pelayan wanita itu mendorong daun pintu kamar, lalu melangkah ke dalam mendekati Nona Liu, yang sedang duduk dipinggir tempat tidur dengan murung sekali.

"Nona, ada seorang pemuda ke mari."

"Biarkan saja."

"Pemuda itu tampan sekali dan gerak-geriknya pun halus." Pelayan wanita itu memberitahukan.

"Dia ke mari karena mendengar tentang para perampok itu. sekarang ia sedang bercakap-cakap dengan Tayjin."

"Oh?" Nona Liu terbelalak..

"Siapa pemuda itu?"

"Entahlah." Pelayan wanita itu menggelengkan kepala.

Sementara di ruang depan, Thio Han Liong dan pembesar Liu sedang bercakap-cakap dengan serius sekali.

"Ternyata beberapa perampok itu diutus oleh pemimpin mereka untuk melamar putriku secara paksa," ujar pembesar Liu memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Besok pemimpin perampok dan para anak buahnya akan ke mari. Kalau aku menolak, mereka akan membantai seluruh keluargaku dan seluruh penduduk kota ini. Nah, apa yang dapat kuperbuat? Bukankah aku harus menyerahkan putriku kepada pemimpin perampok itu?"

"Aku harap Tayjin tenang, itu pasti tidak akan terjadi" ujar Thio Han Liong dengan sungguh-sungguh.

"Aku mampu membasmi pemimpin perampok itu dan para anak buahnya."

"Anak muda...." Pembesar Liu menggeleng- gelengkan

kepala.

"Para pengawalku sama sekali tidak berdaya, apalagi engkau? Aaaah.."

Tiba-tiba muncul Nona Liu. Apa yang diceritakan pelayan wanita itu membuat hatinya tertarik, maka gadis itu memberanikan diri untuk ke luar.

"Tin cu...." Pembesar Liu mengerutkan kening.

"Kenapa engkau keluar?"

"Ayah...." Liu Tin cu menundukkan kepala. Namun ia telah

melihat Thio Han Liong, dan itu membuat hatinya berdebar-debar aneh. la tidak menyangka pemuda itu begitu tampan.

"Ayoh cepat masuk" bentak pembesar Liu.

"Ayah..."

"Tayjin, biarlah dia duduk di sini, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya" ujar Thio Han Liong.

Pembesar Liu tampak tidak senang.

"Dia adalah putri seorang pembesar, sedangkan engkau...

aku masih belum tahu identitasmu. Karena itu, tidak kuperbolehkan putriku duduk di sini."

Thio Han Liong tersenyum.

"Aku ke mari justru ingin menyelamatkannya, tapi Tayjin...

kalau begitu, Tayjin harus punya menantu pemimpin perampok itu."

"Kurang ajar" Bukan main gusarnya pembesar Liu. "Pengawal"

Para pengawal pembesar Liu langsung muncul menghadap pembesar itu. Mereka memberi hormat seraya bertanya,

"Ada perintah apa, Tayjin?"

"Tangkap pemuda itu" sahut pembesar Liu.

"Apa?" Para pengawal terbelalak.

"Cepat tangkap dia" bentak pembesar Liu.

"Tapi...." Para pengawal tetap berdiri di tempat, tiada

seorang pun yang berani mendekati Thio Han Liong.

"Tayjin" Thio Han Liong tersenyum.

"Mereka semua adalah gentong nasi. Kalau menangkap maling biasa, mereka masih bisa. Tapi kalau menghadapi para perampok, mereka sama sekali tiada gunanya. Apalagi menghadapi aku, lebih tak berguna lagi."

Thio Han Liong bangkit dari tempat duduknya lalu menghampiri para pengawal itu dan mendadak mengibaskan ke dua tangannya. seketika terdengar suara menderu-deru, dan para pengawal itu terpental tujuh delapan depa.

"Haaah?" Betapa terkejutnya pembesar Liu, begitu pula putrinya.

"Tayjin" ucap Thio Han Liong sambil memberi hormat.

"Aku mohon pamit"

"Siauhiap. tunggu" seru pembesar Liu.

"Maafkan kekasaranku tadi, sudilah kiranya siauhiap menyelamatkan putriku"

"Tayjin...." Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku dengar Tayjin amat adil dan bijaksana, maka timbullah niatku untuk menyelamatkan putri Tayjin. Kalau Tayjin selalu berbuat sewenang-wenang dan korup, tentunya aku tidak mau turut campur mengenai urusan itu"

"Siauhiap. silakan duduk kembali" ucap Liu Tayjin. "Tin cu, engkau pun boleh duduk di sini."

"Terima kasih, Ayah" ucap Liu Tin cu sambil duduk dengan kepala tertunduk. Thio Han Liong tersenyum, lalu duduk sambil memberi hormat kepada Liu Tin cu.

"Maaf Nona Liu, bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan?"

"Silakan, siauhiap"

"Pernahkah Nona Liu bertemu pemimpin perampok itu?"

"Tidak pernah."

"Kalau begitu...." Thio Han Liong mengerutkan kening.

"Kenapa pemimpin perampok itu tahu tentang Nona Liu?"

"Semula aku pun merasa heran, tapi setelah kupikir lebih mendalam, maka aku berkesimpulan, bahwa pemimpin perampok itu pasti pernah menyamar memasuki kota ini, dan mendengar tentang diriku."

"Ngmm" Thio Han Liong manggut-manggut.

"Tidak salah memang begitu."

"Han Liong" Pembesar Liu memandangnya seraya bertanya,

"Cara bagaimana engkau menghadapi para perampok itu?"

"Dalam hal ini aku harap Tayjin tenang saja," sahut Thio Han Liong.

"Pokoknya aku dapat membasmi mereka."

"Kalau begitu...." Pembesar Liu manggut-manggut.

"Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih kepadamu."

"Tayjin tidak usah mengucapkan terima kasih." Thio Han Liong tersenyum.

"Yang penting Tayjin menjalankan tugas sebagaimana mestinya, tentu akan mendapat penghargaan dari istana."

"Selama ini, aku sama sekali tidak pernah menyalah gunakan jabatanku. Aku selalu bertindak seadil-adilnya

dengan penuh kebijaksanaan. Namun walau demikian, aku tidak mengharapkan penghargaan apa pun dari istana."

"Bagus, bagus" Thio Han Liong tersenyum.

"Oh ya" Pembesar Liu menatapnya dalam-dalam seraya bertanya,

"Bolehkah aku tahu engkau berasal dari mana?"

"Aku berasal dari Pak Hai, kami tinggal di sebuah pulau,"jawab Thio Han Liong dengan jujur.

"Kalau begitu.." ujar pembesar Liu.

"Tentu engkau berasal dari keluarga pesilat. Ya, kan?"

"Ya." Thio Han Liong mengangguk

"Ngmmm" Pembesar Liu manggut-manggut.

"Han Liong, malam ini engkau menginap di sini saja"

"Apakah tidak akan merepotkan Tayjin?" tanya Thio Han Liong.

"Tentu tidak." Pembesar Liu tertawa, lalu menyuruh seorang pelayan lelaki mengantar Thio Han Liong ke kamar tamu.

Setelah Thio Han Liong masuk ke dalam bersama pelayan lelaki itu, pembesar Liu menatap putrinya dalam-dalam seraya bertanya,

"Tin cu, engkau tertarik kepada pemuda itu?"

"Ayah...." Wajah gadis itu langsung memerah.

"Aaah..." Pembesar Liu menghela nafas panjang.

"Ayah tahu engkau tertarik kepadanya, tapi kita sama sekali tidak tahu jati dirinya...."

"Ayah" ujar Liu Tin cu sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku memang tertarik kepadanya, namun belum tentu dia akan tertarik kepadaku. Maka Ayah tidak perlu mencemaskan itu, aku yakin dia pasti pergi setelah menyelamatkan diriku."

"Kok engkau yakin itu?"

"Aaaah..." Liu Tin cu menghela nafas panjang.

"Dia begitu tampan dan lemah lembut, lagipula dia adalah pendekar muda yang gagah perkasa, tentu akan terus berkelana...."

Pembesar Liu mengerutkan kening.

"Begitu banyak kaum pemuda dari keluarga terkenal, tapi kenapa engkau selalu menolak lamaran mereka?"

"Aku tidak tertarik pada mereka, maka aku tolak lamaran mereka," sahut Liu Tin cu.

Liu Tayjin menggeleng-gelengkan kepala. "Usiamu sudah dua puluh, tidak kecil lagi lho" "Ayah..." Liu Tin cu menghela nafas panjang.

"Aku belum bertemu pemuda idaman hati, maka...."

"Engkau jatuh hati kepada Thio Han Liong?" tanya pembesar Liu mendadak sambil menatap putrinya dengan tajam sekali.

"Aku...." Liu Tin cu menundukkan kepala, kemudian

kembali ke kamarnya.

"Aaah..." Pembesar Liu menghela nafas panjang. sesungguhnya ia pun menyukai pemuda tampan dan lemah lembut itu, namun ia menghendaki putrinya menikah dengan pemuda dari keluarga hartawan atau berpangkat.

-ooo00000ooo-

Pagi itu Thio Han Liong dan pembesar Liu bercakap-cakap di ruang depan, Liu Tin cu juga hadir di situ.

"Tayjin tidak usah cemas," ujar Thio Han Liong sambil tersenyum.

"Percayalah, aku pasti bisa membasmi para perampok itu"

Pembesar Liu menghela nafas panjang.

"Apabila engkau tidak bisa membasmi mereka, tentu

mereka akan membasmi kita dan para penduduk kota ini."

"Oleh karena itu, aku tidak mau melakukan suatu tindakan yang ragu." tegas Thio Han Liong.

Pembesar Liu menatapnya seraya bertanya,

"Apabila engkau dapat membasmi para perampok itu, aku pasti menghadiahkanmu lima ratus tael perak."

"Maaf, aku tidak membutuhkan uang" ujar Thio Han Liong.

"Oh?" Pembesar Liu mengerutkan kening.

"Lalu apa syaratmu?"

"Tidak ada syarat apa pun," sahut Thio Han Liong.

"Tidak ada syarat apa pun?" Pembesar Liu kelihatan tidak percaya, kemudian bertanya dengan suara rendah

"Han Liong, apakah engkau jatuh hati kepada putriku?" Thio Han Liong tersenyum, lalu memandang pembesar Liu sambil menjawab.

"Putri Tayjin memang cantik jelita, namun aku tidak berani sembarangan jatuh hati kepadanya, sebab dia putri Tayjin."

"Han Liong...." Ketika pembesar Liu mau mengatakan

sesuatu, mendadak seorang pengawal berlari ke dalam dengan wajah pucat pias.

"Tayjin Para perampok itu sudah datang"

"Aaah..." Pembesar Liu langsung bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan mondar-mandir di situ. sementara Liu Tin cu malah tampak tenang sekali dan terus memandang Thio Han Liong.

Tak lama kemudian terdengarlah suara derap kaki kuda. Pembesar Liu berdiri mematung, sedangkan Thio Han Liong hanya tersenyum-senyum.

"Nona Liu," ujarnya sambil memandang gadis itu

"Pemimpin perampok itu sudah datang, tapi engkau masih tampak begitu tenang?"

"Sebab aku yakin engkau pasti dapat membasmi mereka," sahut Liu Tin cu dengan tersenyum.

Thio Han Liong tertawa.

"Kalau begitu, mari ikut aku ke luar"

"Baik," Liu Tin cu mengangguk.

"Tin cu" Cegah pembesar Liu.

"Engkau tidak boleh ke luar"

"Ayah aku di dalam atau di luar sama saja. Ya, kan?" sahut Liu Tin cu.

"Aku ingin ke depan menyaksikan Thio siauhiap membasmi para perampok itu."

"Engkau...." Pembesar Liu menghela nafas panjang.

"Baiklah. Mari kita keluar bersama"

Thio Han Liong berjalan duluan, Pembesar Liu dan putrinya mengikutinya dari belakang. setelah melewati pekarangan, sampailah mereka di pintu pagar. Tampak seorang lelaki

berewok berusia empat puluhan berdiri di situ dan puluhan anak buahnya berdiri di belakangnya.

"Ha ha ha" Lelaki berewok itu tertawa gelak

"Liu Tayjin, terimalah hormat dari menantumu ini"

"Hmm" dengus Thio Han Liong.

"Engkau adalah pemimpin perampoki kok berani mengaku sebagai menantu pembesar Liu?"

"Anak muda" Pemimpin perampok itu kelihatan gusar sekali.

"Kalau aku tidak memandang muka pembesar Liu, engkau pasti sudah tergeletak menjadi mayat"

"Oh, ya?" Thio Han Liong tersenyum dingin. sedangkan pemimpin perampok itu memandang Liu Tin cu, lalu tertawa berbahak-bahak.

"Nona Liu, engkau memang cantik jelita Ha ha ha sungguh beruntung aku mempersunting mu"

"Tertawalah sepuas-puasnya" ujar Thio Han Liong. "Sebentar lagi ajalmu pasti tiba"

"Anak muda" bentak pemimpin perampok. "Engkau betul-betul mau cari mampus barangkali"

"Engkau yang cari mampus" sahut Thio Han Liong sambil melangkah maju beberapa tindak.

Pemimpin perampok itu menatapnya dengan mata berapi-api, kemudian berseru memberi aba-aba kepada para anak buahnya.

"Cincang pemuda itu"

Seketika juga para anak buah pemimpin perampok itu menyerang Thio Han Liong dengan berbagai macam senjata.

"Kalian memang cari mati" ujar Thio Han Liong sambil mengibaskan ke dua tangannya. Terdengarlah suaranya menderu-deru, lalu disusul pula dengan suara jeritan.

"Aaaakh Aaaakh.." Tampak beberapa perampok terpental lalu roboh dengan mulut mengeluarkan darah, dan nyawa mereka pun putus seketika.

Di saat bersamaan, mendadak badan Thio Han Liong bergerak laksana kilat berkelebat ke sana ke mari, dan di saat itu pula terdengar suara jeritan. "Aaaakh Aaaaakh Aaaaakh..." Para perampok itu telah terkapar semuanya dengan mulut mengeluarkan darah. Ternyata mereka sudah binasa.

"Haah...?" Wajah pemimpin perampok pucat pias.

"Siauhiap. ampunilah aku"

"Hmm" dengus Thio Han Liong lalu mendadak mengibaskan tangannya.

"Aaaakh" Pemimpin perampok itu terpental beberapa depa, kemudian jatuh dengan mulut menyemburkan darah segar.

"Engkau... engkau...."

Pemimpin perampok itu tak bergerak lagi, ternyata sudah binasa. Thio Han Liong membalikkan badannya, lalu memandang pembesar Liu seraya berkata,

"Tayjin, suruh para pengawal mengubur mayat-mayat itu"

"Ya, ya." Pembesar Liu mengangguk lalu segera menyuruh para pengawalnya menguburkan mayat-mayat tersebut.

"Nona Liu," ujar Thio Han Liong.

"Kini sudah keadaan aman, maka aku mau mohon pamit."

"Kok begitu cepat?" Liu Tin cu tampak kecewa sekali. Thio Han Liong tersenyum.

"Kalau aku kelamaan di sini, ayahmu pasti tidak senang."

"Jangan berkata begitu, Thio siauhiap" Liu Tin cu menggeleng-gelengkan kepala.

"Ayahku...."

Thio Han Liong memandangnya.

"Engkau harus menurut kepada ayahmu, sesungguhnya dia bermaksud baik..."

"Bermaksud baik?" Liu Tin cu tercengang.

"Ayahmu menghendakimu menikah dengan pemuda dari keluarga yang kaya raya atau dari keluarga yang berpangkat," ujar Thio Han Liong.

"Oleh karena itu, engkau harus menurut kata-kata ayahmu"

"Thio siauhiap...." Liu Tin cu terbelalak. gadis itu tidak

menyangka Thio Han Liong tahu akan hal itu.

Thio Han Liong tersenyum lembut.

"Mudah-mudahan kita akan berjumpa lagi kelak"

"Thio siauhiap...." Mata Liu Tin cu mulai membasah.

"Tayjin" Thio Han Liong memberi hormat. Di saat itulah ia memperlihatkan Medali Emas Tanda Perintah Kaisar.

"Aku mohon pamit"

"Selamat jalan...." Mendadak pembesar Liu terbelalak lalu

segera berlutut di hadapan Thio Han Liong. "Hamba memberi hormat kepada Yang Mulia...."

Di saat bersamaan, Thio Han Liong melesat pergi dan itu membuat Liu Tin cu berteriak-teriak

"Thio siauhiap Thio siauhiap..."

Akan tetapi, Thio Han Liong sudah tidak kelihatan. Liu Tin cu lalu mendekati ayahnya yang masih berlutut.

"Ayah...."

"Cepat berlutut" sahut pembesar Liu.

"Cepaat"

"Ayah Thio siauhiap sudah pergi."

"Apa?" Pembesar Liu mendongakkan kepalanya, lalu bangkit berdiri dengan wajah pucat pias.

"Kenapa Ayah barusan berlutut di hadapan Thio siauhiap?" tanya Liu Tin cu heran.

"Aaaah.." Pembesar Liu menghela nafas panjang.

"Ayah sudah buta...."

"Lho? Kenapa?"

"Tak disangka sama sekali, ternyata dia wakil kaisar." Pembesar Liu memberitahukan.

"Ketika dia memberi hormat kepada ayah dia pun memperlihatkan Tanda Perintah Kaisar."

"Apa?" Liu Tin cu terbelalak.

"Thio siauhiap wakil kaisar?"

"Ya." Pembesar Liu mengangguk

"Sayang sekali dia begitu cepat pergi, kalau tidak..."

"Ayah" Liu Tin cu menggeleng-gelengkan kepala.

"Dia tidak jatuh hati kepadaku, karena tadi dia menasihatiku agar menurut kata-kata Ayah."

"Aaaah.." Pembesar Liu menghela nafas panjang. "Sulit ketemu pemuda seperti dia lagi"

Setelah meninggalkan rumah pembesar Liu, Thio Han Liong terus melanjutkan perjalanannya menuju Tibet.

Sepuluh hari kemudian, ia sudah memasuki daerah itu. Tidak sulit baginya mencari kuil Agung, sebab penduduk setempat tahu semua. Maka, ia langsung menuju kuil tersebut, dan di sana di sambut oleh seorang Dhalai Lhama.

"Maaf, Tuan ke mari mau bertemu siapa?" ucap Dhalai Lhama itu.

"Aku mau bertemu sembilan Dhalai Lhama," sahut Thio Han Liong.

Dhalai Lhama itu terbelalak.

"Tapi... sembilan Dhalai Lhama tidak akan bertemu siapa pun...."

"Katakan kepada mereka, bahwa aku Thio Han Liong, putra Thio Bu Ki ke mari mencari mereka" ujar Thio Han Liong dingini

Dhalai Lhama itu tampak terkejut

"Tuan tunggu sebentar, aku akan melapor"

"Terima kasih." Thio Han Liong menunggu di luar kuil.

Berselang beberapa saat kemudian, Dhalai Lhama itu telah kembali dan mempersilakan Thio Han Liong masuki

"Mari ikut aku ke dalam"

Thio Han Liong mengangguk lalu mengikuti Dhalai Lhama itu ke ruang depan. sesampai di ruang depan Dhalai Lhama itu mempersilakan nya duduk

"Terima kasih," ucap Thio Han Liong sambil duduki

Tak lama kemudian, muncullah seorang Dhalai Lhama tua, yang jenggotnya panjang putih dan mengkilap.

Thio Han Liong segera bangkit dari tempat duduknya, sekaligus memberi hormat sambil menatap Dhalai Lhama tua itu.

"Anak muda, mau apa engkau ke mari cari para muridku?" tanya Dhalai Lhama tua.

Bukan main terkejutnya Thio Han Liong, ternyata Dhalai Lama tua itu ketua para Dhalai Lhama di kuil Agung, juga guru sembilan Dhalai Lhama tersebut.

"Dhalai Lhama tua," sahutnya.

"Aku ke mari ingin membuat perhitungan dengan sembilan Dhalai Lhama itu."

Dhalai Lhama tua itu mengerutkan kening.

"Silakan duduk" ujarnya.

"Terima kasih." ucap Thio Han Liong lalu duduk kembali.

"Anak muda" Dhalai Lhama tua menatapnya tajam.

"Ada permusuhan apa engkau dengan para muridku?"

"Belasan tahun lalu, sembilan Dhalai Lhama itu menyerbu ke tempat tinggal kami. Mereka membunuh bibi, melukai dan merusak wajah ke dua orangtuaku." Thio Han Liong memberitahukan.

"Oh?" Wajah Dhalai Lhama tua tampak berubah.

"Belasan tahun lalu, Lie Wie Kiong, pemimpin pengawal istana ke mari mengundang mereka ke istana. Tapi... aku sama sekali tidak tahu akan kejadian penyerbuan itu."

"Itu memang benar." Thio Han Liong memberitahukan lagi.

"Bahkan mereka pun menangkapku, namun aku berhasil meloloskan diri"

"Oh?" Dhalai Lhama tua itu segera menyuruh salah seorang Dhalai Lhama muda untuk memanggil para Dhalai Lhama yang dimaksud. Dhalai Lhama muda itu mengangguk dan segera masuk ke dalam.

Berselang beberapa saat kemudian, Dhalai Lhama muda itu sudah kembali bersama sembilan Dhalai Lhama. Walau mereka sudah agak tua, Thio Han Liong masih mengenali mereka. Namun sebaliknya mereka sudah tidak mengenalinya lagi.

"Guru," tanya salah seorang Dhalai Lhama itu.

"Ada urusan apa Guru memanggil kami?"

"Betulkah belasan tahun lalu kalian menyerbu ke tempat tinggal pemuda itu?" tanya Dhalai Lhama tua sambil menunjuk Thio Han Liong.

"Guru...." Dhalai Lhama itu mengerutkan kening, lalu

bertanya kepada Thio Han Liong.

"Anak muda, siapa engkau?"

"Kalian sudah lupa? Aku adalah Thio Han Liong, putra Thio Bu Ki. Kalian telah membunuh bibiku, bahkan juga telah melukai sekaligus membuat wajah ke dua orangtuaku menjadi rusak" sahut Thio Han Liong dingini

"Maka aku ke mari ingin membuat perhitungan dengan kalian"

"Engkau...." sembilan Dhalai Lhama itu terbelalak.

"Benar kejadian itu?" tanya Dhalai Lhama tua sambil menatap mereka dengan tajam sekali.

"Ya, Guru." sembilan Dhalai Lhama itu mengangguk.

"Kalian telah mencemarkan nama baik Dhalai Lhama Tibet, karena itu, kalian harus bertanggungjawab atas perbuatan kalian itu" tegas Dhalai Lhama tua dan menambahkan,

"Hukuman kalian adalah memusnahkan kepandaian kalian"

"Guru...." sembilan Dhalai Lhama itu segera berlutut di

hadapan Dhalai Lhama tua.

"Guru Guru...."

"Kalian yang berbuat, maka kalian pula yang harus bertanggungjawab" ujar Dhalai Lhama tua.

"Dhalai Lhama tua," ujar Thio Han Liong.

"Terima-kasih atas kebijaksanaan Dhalai Lhama tua. Aku ke mari ingin bertanding dengan mereka, maka aku mohon agar Dhalai Lhama tua jangan memusnahkan kepandaian mereka"

"Oh?" Dhalai Lhama tua itu menatapnya tajam. "Engkau ingin bertanding dengan mereka?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk

"Itu...." Dhalai Lhama tua berpikir lama sekali, setelah itu

barulah manggut-manggut.

"Baiklah! Mari kita ke halaman depan"

Thio Han Liong mengangguk Mereka lalu ke halaman depan yang amat luas itu. Di saat itulah Dhalai Lhama tua berbisik kepada para muridnya.

"Kalian tidak boleh melukainya"

"Ya, Guru." Para Dhalai Lhama itu mengangguk

Sampai di halaman, sembilan Dhalai Lhama itu berdiri di hadapan Thio Han Liong dan memandangnya dalam-dalam.

"Belasan tahun lalu, kalian melukai ayahku dengan ilmu le Kang Tui Tik (Memindahkan Iweekang Menggempur Musuh), dan juga menyerang ayahku dengan Liak Hwee Tan. Nah, aku ingin mencoba ilmu le Kang Tui Tik dan Liak Hwee Tan tersebut"

"Anak muda...." salah seorang Dhalai Lhama itu

menggeleng-gelengkan kemala.

"Kami menyesal sekali...."

"Menyesal sekali?" Thio Han Liong tersenyum dingin "Hati-hati Aku mau mulai menyerang" "Silakan" sahut Dhalai Lhama itu

Sementara Dhalai Lhama tua terus memperhatikan gerak-gerik Thio Han Liong, lalu manggut-manggut.

Di saat bersamaan, Thio Han Liong bersiul panjang sekaligus mulai menyerang para Dhalai Lhama itu dengan ilmu siauw Lim Liong Jiauw Kang. setelah berlatih di dasar telaga, ilmu tersebut pun bertambah dahsyat dan lihay.

Salah seorang Dhalai Lhama menangkis serangan itu, namun terpental beberapa depa. Betapa terkejutnya Dhalai Lhama lain, begitu pula dengan Dhalai Lhama tua yang menonton pertandingan itu.

Sembilan Dhalai Lhama itu tidak dapat menangkis serangan-serangan yang dilancarkan Thio Han Liong, akhirnya mereka terpaksa membentuk suatu barisan.

Di saat mereka membentuk barisan, Thio Han Liong mengerahkan Kian Kun Taylo sin Kang. Mendadak Dhalai Lhama yang paling depan membentak keras, lalu melancarkan serangan.

Thio Han Liong segera berkelit. Ternyata ia belum mau menyambut Iweekang gabungan sembilan Dhalai Lhama itu. setelah berkelit, ia bergerak cepat melesat ke belakang

barisan itu, maksudnya ingin menyerang Dhalai Lhama yang paling belakang.

Akan tetapi, di saat bersamaan barisan itu berbalik Dhalai Lhama yang berdiri paling belakang kini berubah menjadi paling depan, bahkan sekaligus menyerang Thio Han Liong.

Pemuda itu tidak sempat lagi berkelit, maka terpaksa menyambut serangan itu. setelah itu, terdengarlah suara benturan yang amat dahsyat. Blaaam...

Thio Han Liong terpental beberapa depa. Pada waktu itulah tiga Dhalai Lhama yang di belakang juga terpental beberapa depa dengan mengeluarkan darah segar.

Kini barisan itu tinggal tersisa enam orang. Dapat dibayangkan betapa terkejutnya Dhalai Lhama itu.

"Lap Han CoanTe (Enam Bersatu Memutarkan Bumi)" seru Dhalai Lhama yang paling depan.

Mendadak Dhalai Lhama yang di belakang meloncat ke atas lalu berdiri di bahu Dhalai Lhama itu, begitu pula Dhalai Lhama yang lain. setelah itu, mereka pun langsung menyerang ke arah Thio Han Liong.

Pemuda itu tidak berkelit, melainkan menyambut serangan mereka dengan jurus Kian Kun Taylo Hap It (segala galanya Menyatu Di Alam semesta). Daaar... Terdengar suara ledakan dahsyat yang memekakkan telinga.

Thio Han Liong terpental beberapa depa, sedangkan enam Dhalai Lhama itu terpental tujuh delapan depa, kemudian roboh dengan mulut mengeluarkan darah.

Wajah Thio Han Liong tampak pucat pias. la menarik nafas dalam-dalam untuk mengatur pernafasannya dan menekan pergolakan darahnya. Beberapa saat kemudian, barulah wajahnya normal kembali.

Dhalai Lhama tua itu mendekatinya.

"Engkau telah menghukum mereka, maka kini urusan kalian sudah selesai."

"Dhalai Lhama tua," ucap Thio Han Liong. "Terima kasih atas kebijaksanaanmu." Dhalai Lhama tua menatapnya tajam.

"Engkau masih begitu muda, namun... Iweekangmu begitu tinggi. Itu.. sungguh tak masuk akal. Apakah engkau pernah makan semacam buah yang dapat menambah Iweekangmu?"

"Ya." Thio Han Liong mengangguk

"Aku pernah makan buah soatsan Ling che, kemudian aku pun memperoleh petunjuk dari Bu Beng sian su."

"Oooh" Dhalai Lhama tua manggut-manggut.

"Anak muda, engkau sungguh beruntung"

"Dhalai Lhama tua, aku mohon engkau jangan memusnahkan kepandaian mereka" ujar Thio Han Liong.

"Aku mau mohon pamit"

"Baiklah." Dhalai Lhama tua mengangguk

"Selamat jalan, anak muda"

"Sampai jumpa, Dhalai Lhama tua" Thio Han Liong memberi hormat, lalu melesat pergi.

Dhalai Lhama tua manggut-manggut, setelah itu barulah mendekati para muridnya yang terkapar itu

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar