Bab 57 Aliran Bunga Teratai
Thio Han Liong menggunakan
ginkang dalam melakukan perjalanan menuju Lembah seratus Burung, tempat tinggal
Hiat Mo di Kwan Gwa. Dalam perjalanan ini, ia sama sekali tidak pernah bermalam
di penginapan, melainkan bermalam di dalam hutan rimba, lalu melanjutkan
perjalanan lagi.
Kira-kira tujuh delapan hari
kemudian, ia telah tiba di Kwan Gwa dan langsung menuju ke Lembah seratus
Burung. Kebetulan hari baru menjelang pagi, maka tidak heran kalau terdengar
kicauan burung di sana sini.
Tiba-tiba Thio Han Liong
mendengar suara tawa yang riang gembira. la mengenali suara tawa itu, yang
tidak lain adalah suara tawa Ciu Lan Nio sedang bercanda ria dengan Kwan Pek
Him.
"Adik Lan Nio"
panggilnya.
"Saudara Kwan"
"Haaah...?" Ciu Lan
Nio dan Kwan Pek Him terbelalak ketika melihat kemunculan Thio Han Liong.
"Kakak Han Liong"
"Saudara Thio" seru
Kwan Pek Him sambil menyapanya, sekaligus memberi hormat.
"Tak kusangka engkau akan
ke mari."
"Saudara Kwan...."
Thio Han Liong balas memberi hormat
kepadanya, kemudian memandang
Ciu Lan Nio sambil tersenyum lembut.
"Adik Lan Nio, bagaimana
keadaanmu selama ini?"
"Aku baik-baik saja.
Bagaimana keadaan Kakak Han Liong?"
"Aku pun baik-baik,
tapi...." Thio Han Liong menggeleng-
gelengkan kepala.
"Kenapa?" tanya Ciu
Lan Nio.
"Apakah telah terjadi
sesuatu?"
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk.
"oleh karena itu aku
datang ke mari menemui Hiat Mo"
"Kalau begitu, mari
kedalam gua menemui kakekku" ajak Ciu Lan Nio.
"Terimakasih," ucap
Thio Han Liong.
Mereka bertiga melesat ke
dalam gua. Tampak Hiat Mo duduk bersila di situ dengan mata terpejam. Begitu
mendengar suara langkah ia langsung membuka matanya. Betapa gembiranya ketika
melihat Thio Han Liong, dan ia langsung tertawa gelak.
"Ha ha ha"
Dipandangnya Thio Han Liong,
"Tak kusangka engkau akan
berkunjung ke mari. sungguh menggembirakan"
"Hiat Locianpwee"
Thio Han Liong memberi hormat, lalu duduk di hadapan Hiat Mo.
Ciu Lan Nio dan Kwan Pek Him
juga duduk. Mereka berdua terus memandang Thio Han Liong, namun tidak berani
bertanya apa pun.
"Han Liong, engkau datang
ke mari pasti ada sesuatu yang penting. Ya kan?" tanya Hiat Mo.
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk.
"Aku ke mari ingin
memohon penjelasan mengenai Thian ciok sin sui."
"Apa?" Hiat Mo
tertegun.
"Mengenai Thian ciok sin
sui?"
"Ya." Thio Han Liong
manggut-manggut.
"BuBeng siansu pernah
bilang, Hiat Locianpwee tahu berada di mana Thian ciok sin sui itu."
"Aku memang tahu, tapi
kenapa engkau ingin mengetahuinya?" tanya Hiat Mo heran.
"An Lok Kong cu terkena
racun Jiu Kut Tok."
"Apa?" Hiat Mo
terperanjat.
"Jiu Kut Tok?"
"Betul." Thio Han
Liong mengangguk.
"Than ciok sin sui memang
merupakan obat penawar racun itu," ujar Hiat Mo dan bertanya.
"Bagaimana An Lok Kong cu
bisa terkena racun itu?"
"Bu sim Hoatsu yang
mencekoki nya..." jawab Thio Han Liong sekaligus menutur tentang kejadian
itu.
"Aku telah memberikannya
obat penawar buatan Bu Beng Siansu, tapi itu cuma dapat memperlambat
menjalarnya racun itu"
Hiat Mo manggut-manggut.
"Ternyata begitu, tapi...."
"Kenapa?"
"Tidak gampang engkau
memperoleh Thian ciok sin sui itu," sahut Hiat Mo memberitahukan.
"Sebab Than ciok sin sui
itu berada di gunung Altai, dekat perbatasan Mongolia."
"Itu tidak jadi masalah,
aku akan segera berangkat ke sana," ujar Thio Han Liong dan menambahkan.
"Apa pun rintangannya,
aku pasti menerjangnya"
"Aaaah..." Hiat Mo
menghela nafas panjang.
"Engkau harus tahu, Thian
ciok sin sui itu ada pemiliknya."
"Siapa pemiliknya?"
"Kam Cun Goan dan anak
cucunya." Hiat Mo memberitahukan.
"orangtua itu boleh
dikatakan makhluk aneh. la tak berperasaan, sadis, dan tak aturan."
"Hiat Locianpwee kenal
orangtua aneh itu?"
"Kenal." Hiat Mo
manggut-manggut.
"Namun kami bukan teman
baik, melainkan musuh."
"Kenapa Hiat Locianpwee
bermusuhan dengan orangtua aneh itu?" tanya Thio Han Liong.
"Puluhan tahun lalu, aku
pernah datang di puncak gunung Altai menemui Kam Cun ,Goan untuk minta setetes
Thian ciok sin sui. Tapi... dia menolak mentah-mentah, bahkan mengusirku."
"oh? Thio Han Liong
terbelalak.
"Sungguh tak tahu aturan
orangtua itu Pantas Locianpwee mengatainya sebagai makhluk aneh."
"Coba bayangkan...,"
lanjut Hiat Mo.
"Betapa gusarnya aku,
maka aku menantangnya bertarung. Dia menerima tantanganku, sehingga terjadilah
pertarungan yang amat seru dan menegangkan. "
"Locianpwee pasti
menang," tukas Thio Han Liong yakin.
"Aaaah..." Hiat Mo
menghela nafas panjang.
"Justru aku yang kalah,
maka kami cuma bertarung lima puluh jurus."
"Hah?" Thio Han
Liong tersentak.
"orangtua itu begitu
lihay?"
"Memang sungguh di luar
dugaan, kepandaiannya begitu tinggi." Hiat Mo menggeleng-gelengkan kepala.
"Ilmu silat orangtua itu
berasal dari aliran mana?" tanya Thio Han Liong.
"Terus terang, hingga
saat ini aku masih belum tahu tentang itu" sahut Hiat Mo dan melanjutkan.
"Setelah menderita
kekalahan itu, aku mulai berlatih lagi. sepuluh tahun kemudian, aku datang lagi
ke sana menantangnya. Akan tetapi, kepandaiannya pun bertambah tinggi."
"Locianpwee kalah
lagi?"
"Ya." Hiat Mo
mengangguk.
"Sejak itu aku tidak
pernah pergi menantangnya lagi."
"Orangtua itu dan
keluarganya tidak pernah ke Tionggoan?"
"Setahuku memang tidak
pernah. Kalau makhluk aneh itu ke Tionggoan, rimba persilatan Tionggoan pasti
menjadi kacau balau."
"Locianpwee, kenapa
orangtua itu begitu pelit?"
"Maksudmu?"
"Cuma setetes Thian ciok
sin sui, kok orangtua itu tidak mau memberikan kepada Locianpwee?"
"Han Liong...." Hiat
Mo menggeleng-gelengkan kepala.
"Konon batu itu jatuh
dari langit dan kebetulan jatuh di puncak gunung Altai dekat tempat tinggal Kam
Cun ,Goan. sudah barang tentu batu itu menjadi milik keluarganya.
Memang mengherankan, batu itu
tiap setahun dua tahun pasti mengeluarkan setetes air yang amat berkhasiat,
bahkan dapat memunahkan racun Jiu Kut Tok."
"Haaah...?" Mulut
Thio Han Liong ternganga lebar. "Setahun atau dua tahun cuma mengeluarkan
setetes air?" "Ya." Hiat Mo mengangguk.
"Maka Kam Cun Goan cian
tidak mau memberiku setetes air sakti itu."
"oooh" Thio Han Liong
manggut-manggut.
"Kalau begitu...."
"Maka tadi kukatakan,
tidak gampang bagimu memperoleh Thian ciok Sin Sui itu." Hiat Mo
menggeleng-gelengkan kepala.
"Tapi... aku yakin engkau
dapat menandingi Kam Cun ,Goan itu, bahkan apabila perlu engkau harus
memaksanya."
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk.
"Kakak Han Liong..."
sela Ciu Lan Nio.
"Lebih baik engkau jangan
menggunakan cara paksa, tapi gunakanlah akal"
"Akal apa yang harus
kugunakan?" tanya Thio Han Liong.
"Tantang orangtua itu
bertanding. Kalau engkau bertanding seri dengannya, maka dia harus memberimu
Thian ciok sin sui," sahut Ciu Lan Nio.
"Betul." Thio Han
Liong manggut-manggut.
"Itu merupakan cara
terbaik untuk memperoleh Thian ciok sin sui itu. Adik Lan Nio, terima kasih
atas petunjukmu."
"Tidak usah
berterimakasih kepadaku, Kakak Han Liong" sahut Ciu Lan Nio sambil
tersenyum.
"Kami semua berhutang
budi kepadamu."
"Adik Lan Nio" Thio
Han Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan mengungkit soal
budi, sebab sesungguhnya kalian tidak berhutang budi kepadaku. sebaliknya kini
aku malah berhutang budi kepada kakekmu."
"Ha ha ha" Hiat Mo
tertawa gelak.
"Han Liong, engkau tidak
membunuhku, itu sudah merupakan suatu budi."
"Locianpwee," ujar
Thio Han Liong sungguh-sungguh,
"Kalau waktu itu aku
membunuh Locianpwee, tentu aku tidak akan tahu tentang Thian ciok sin sui.Jadi
berarti An Lok Kong Cu pasti mati."
"Aaah..." Hiat Mo
menghela nafas panjang.
"Segala sesuatu memang
sudah merupakan takdir dan suatu sebab. Di mana kita berbuat kebaikan, di situ
kita akan menerima imbalannya. Tidak salah. Di kolong langit ini hanya aku
seorang yang tahu mengenai Thian ciok sin sui itu. Maka kalau waktu itu engkau
membunuhku, tentu engkau tidak akan tahu mengenai air sakti tersebut."
"Oleh karena itu, kini
aku malah yang berhutang budi kepada Locianpwee." ujar Thio Han Liong.
"Ha ha ha" Hiat Mo
tertawa gelak.
"Han Liong, di antara
kita jangan membicarakan budi"
"Locianpwee...."
"Oh ya" Hiat Mo
memberitahukan.
"Aku telah merestui
mereka menjadi suami isteri, itu beberapa bulan yang lalu."
"Oh?" Thio Han Liong
langsung memberi selamat kepada Ciu Lan Nio dan Kwan Pek Him.
"Terimakasih," ucap
Ciu Lan Nib dengan wajah agak kemerah-merahan.
"Terimakasih, saudara
Thio," ucap Kwan Pek Him dan memberitahukan,
"Isteriku telah
hamil."
"Oh, ya?" Thio Han
Liong tersenyum.
"Kalau begitu, aku harus
mengucapkan selamat lagi kepada kalian."
"Terimakasih," ucap
Kwan Pek Him dan ciu Lan Nio.
"Locianpwee, saudara Kwan
dan Adik Lan Nio," ujar Thio Han Liong.
"Aku mau mohon
pamit."
"Kakak Han
Liong...." Wajah Ciu Lan Nio berubah muram.
"Cucuku" Hiat Mo
tersenyum.
"Engkau tidak boleh
menahannya, sebab dia harus segera berangkat ke gunung Altai. sedangkan dari
sini ke sana membutuhkan waktu hampir sepuluh hari dan dari gunung Aitai ke
Kotaraja membutuhkan waktu belasan hari. Maka, dia harus segera
berangkat."
Ciu Lan Nio manggut-manggut
dan berpesan,
"Kakak Han Liong, kalau
An Lok Kong cu sudah sembuh, ajak ke mari ya."
"Baik," Thio Han
Liong mengangguk sambil bangkit berdiri la memberi hormat kepada mereka, lalu
melesat pergi.
"Mudah-mudahan dia
memperoleh Thian ciok sin sui" ucap Hiat Mo, kemudian memejamkan matanya.
"Lan Nio," bisik
Kwan Pek Him. "Mari kita ke luar"
Ciu Lan Nio mengangguk. lalu
ke duanya meninggalkan gua itu. sampai di luar, barulah cucu Hiat Mo itu
berkata.
"Kakak Kwan, menurutmu
apakah Kakak Han Liong akan memperoleh Thian ciok sin sui itu?"
"Dia berhati bajik, tentu
akan memperoleh Air sakti itu," sahut Kwan Pek Him.
"Ketika Tan Giok Cu
meninggal, hatinya terpukul hebat," ujar ciu Lan Nio.
"Kini An Lok Kong Cu
terkena racun Jiu Kut Tok. Apabila Kakak Han Liong tidak memperoleh Thian ciok
sin sui, entah apa yang akan terjadi pula pada dirinya?"
"Lan Nio...." Kwan
Pek Him menghela nafas panjang.
"Aku tidak berani
membayangkan itu. seandainya An Lek Kong cu tidak tertolong, aku pikir... Thio
Han Liong pun tidak akan hidup lagi."
"Aaaah..." keluh ciu
Lan Nio.
"Kakak Han Liong begitu
baik, tapi justru banyak sekali percobaannya "
"Mudah-mudahan dia
memperoleh Thian ciok sin sui itu" ucap Kwan Pek Him.
"Ya." Ciu Lan Nio
manggut-manggut.
"Mudah-mudahan."
Thio Han Liong terus melakukan
perjalanan ke gunung Altai. Boleh dikatakan ia tidak beristirahat sama sekali, karena
melakukan perjalanan siang dan malam.
Dalam perjalanan ini, ia
bersyukur dalam hati, karena tempo hari tidak membunuh Hiat Mo. Kalau pada
waktu itu ia membunuh Hiat Mo, sudah jelas ia tidak akan tahu di mana Thian
ciok sin sui itu.
Tak sampai sepuluh hari, Thio
Han Liong telah tiba di kaki gunung Altai. la menarik nafas lega sambil
memandang ke atas. sungguh tinggi gunung itu dan amat indah pula.
Thio Han Liong mengerahkan
ginkang untuk melesat kecuncak gunung itu Namun ketika hendak mencapai puncak
gunung tersebut, mendadak muncul beberapa wanita di hadapannya.
"Berhenti" bentak
salah seorang dari mereka. Thio Han Liong segera berhenti, lalu memberi hormat
kepada mereka.
"Maaf...."
"Ini adalah tempat
terlarang bagi siapa pun" potong wanita itu dingini
"Maka engkau harus segera
meninggalkan tempat ini" "Bibi" Thio Han Liong memberitahukan.
"Aku ke mari ingin
bertemu Kam Cun Goan Locianpwee."
"Engkau kenal
almarhum?" tanya wanita itu sambil mengerutkan kening.
"Aku...." Thio Han
Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak kenal."
"Kalau begitu, cepatlah
engkau pergi" bentak wanita itu dan menambahkan.
"jangan sampai aku turun
tangan mengusirmu"
"Bibi, biar bagaimanapun
aku harus ke atas. Kalau Bibi menghalangi, aku terpaksa berlaku kurang
ajar." tegas Thio Han Liong.
"oh?" Wanita itu
tertawa dingin.
"Kalau begitu, terimalah
seranganku"
Akan tetapi, mendadak
terdengar suara seruan.
"Berhenti" Muncul
dua wanita yang tidak lain adalah Yen Yen dan Ing Ing, yaitu pelayan Kam siauw
Cui.
"Eeeh?" Thio Han
Liong tercengang.
"Bibi...."
"Engkau...." Yen Yen
dan Ing Ing terbelalak ketika melihat
Thio Han Liong.
"Thio siauhiap"
"Kak" Wanita yang
membentak Thio Han Liong tertegun.
"Kalian kenal pemuda
itu?"
"Kenal." Yen Yen
mengangguk sekaligus memberitahukan.
"Dia yang menyelamatkan
majikan kecil kita. Kalian harus segera minta maaf kepadanya"
"Ya." Wanita-wanita
itu mengangguk. lalu memberi hormat kepada Thio Han Liong.
"Thio siauhiap, kami
minta maaf"
"Tidak apa-apa,"
sahut Thio Han Liong dan cepat-cepat balas memberi hormat kepada mereka.
"Thio siauhiap...."
Wajah Yen Yen berseri.
"Tak kusangka sama sekali
kalau engkau akan muncul di sini. Nona siauw Cui amat rindu sekali kepadamu
lho"
"Oh?" Thio Han Liong
tersenyum.
"Dia baik-baik
saja?"
"Ya." Yen Yen
mengangguk dan bertanya.
"Oh ya, ada urusan apa
Thio siauhiap datang ke mari?"
"Aku datang ke mari ingin
bertemu Kam Cun Goan Locianpwee," jawab Thio Han Liong.
"Thio siauhiap kenal
almarhum?" tanya Yen Yen sambil memandangnya.
"Tidak kenal, tapi Hiat
Mo yang memberitahukan kepadaku, maka aku ke mari." sahut Thio Han Liong
jujur.
"Thio siauhiap kenal Hiat
Locianpwee?" Yen Yen agak terbelalak.
"Kenal." Thio Han
Liong mengangguk.
"Thio siauhiap...."
Yen Yen menatapnya dengan heran.
"Ada urusan apa engkau
ingin bertemu almarhum?" "Aku ingin minta Thian Ciok sin sui."
"oh?" Yen Yen mengerutkan kening.
"Apakah teman dekatmu
terkena racun Jiu Kut Tok?^ tanyanya.
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk.
"Kalau begitu, mari ikut kami
menemui majikan" ajak Yen Yen sambil tersenyum.
"Memang kebetulan sekali,
majikan kami ingin bertemu Thio siauhiap."
"Terima kasih." Thio
Han Liong mengikuti mereka kecuncak gunung itu.
Sampai dipuncaki tampak sebuah
bangunan yang amat besar dan indah. Yen Yen dan Ing Ing mengajak Thio Han Liong
ke bangunan itu Di sana tampak beberapa orang penjaga. Begitu melihat Yen Yen
dan Ing Ing, para penjaga itu segera memberi hormat.
Yen Yen dan Ing Ing
manggut-manggut sambil melangkah ke dalam, dan Thio Han Liong terus mengikuti
mereka.
"Silakan duduk Thio
siauhiap" ujar Yen Yen setelah sampai di dalam.
"Terima kasih," ucap
Thio Han Liong sambil duduk.
"Harap Thio siauhiap
menunggu sebentar, kami akan ke dalam melapor" ujar Yen Yen, lalu bersama
Ing Ing melangkah ke dalam.
Thio Han Liong duduk diam. la
bergirang dalam hati karena Kam siauw Cui adalah majikan kecil di tempat ini,
jadi mungkin tiada masalah baginya untuk minta Thian ciok sin sui. Demikian
pikirnya dan disaat bersamaan muncullah Yen Yen bersama majikannya, yang
ternyata Kam Ek Thian dan Lie Hong SUang.
"Ha ha ha" Kam Ek
Thian tertawa gembira. "Thio siauhiap, selamat datang di tempat kami"
Thio Han Liong segera bangkit
berdiri sambil memberi hormat.
"Jangan sungkan-sungkan,
silakan duduk Thio siauhiap" ucap Kam Ek Thian ramah.
"Terima kasih,
Paman," ucap Thio Han Liong sambil duduk.
Kam Ek Thian dan Lie Hong suan
juga duduk. kemudian Kam Ek Thian memandangnya seraya berkata.
"Thio siauhiap, kami
berhutang budi kepadamu karena engkau telah menyelamatkan nyawa putri
kami."
"Paman, jangan berkata
begitu Aku... aku merasa tidak enak." sahut Thio Han Liong dan
menambahkan.
"Paman panggil saja
namaku"
"Han Liong...." Kam
Ek Thian tersenyum lembut.
"Aku dengar engkau ingin
menemui kakekku, benarkah itu?"
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk.
"Tapi sayang
sekali...." Kam Ek Thian menggeleng-
gelengkan kepala.
"Kakek dan ayahku sudah
lama meninggal."
"Oh?"
"Han Liong, kalau tidak
salah engkau mau minta Thian ciok sin sui, bukan?"
"Ya, Paman." Thio
Han Liong memberitahukan.
"Tunanganku terkena racun
Jiu Kut Tok, hanya Thian Ciok sin sui yang dapat memunahkan racun itu."
"Betul." Kam Ek
Thiap manggut-manggut.
"Terus terang, aku tidak
berkeberatan memberikan Thian ciok sin sui. Tapi...."
"Kenapa, Paman?"
tanta Thio Han Liong bernada cemas.
"Engkau harus mengabulkan
dua permintaanku," sahut Kam Ek Thian sungguh-sungguh.
"Apa ke dua permintaan
Paman?"
"Pertama, engkau harus
bertanding sepuluh jurus denganku." Kam Ek Thiaii memberitahukan.
"Ke dua akan dibicarakan
nanti, sebab menyangkut urusan pribadiku."
"Baiklah." Thio Han
Liong manggut-manggut. "Han Liong" Kam Ek Thian bangkit berdiri
"Mari kita ke tempat ruangan untuk bertanding"
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk, lalu berjalan ke tengah-tengah ruang itu.
"Han Liong," ujar
Lie Hong suang.
"Suamiku hanya ingin
menguji kepandaianmu saja, maka engkau tidak usah tegang."
"Ya, Bibi." Thio Han
uong tersenyum.
"Terima kasih."
Thio Han Liong dan Kam Ek
Thian sudah berdiri berhadapan dengan saling memandang sambil tersenyum.
"Han Liong,
bersiap-siaplah" ujar Kam Ek Thian.
"Aku akan mulai
menyerangmu"
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk sambil mengerahkan Kiu Yang sin Kang.
"Hati-hati" seru Kam
Ek Thian sambil menyerang.
Thio Han Liong berkelit, namun
serangan susulan telah mengarah kepadanya, membuatnya tidak sempat berkelit
lagi. Maka ia terpaksa menangkis dengan ilmu pukulan Kiu im Pek Kut Jiauw.
"Bagus Bagus" Kam Ek
Thian tertawa gembira. "Tak kusangka kepandaianmu sedemikian tinggi."
"Kepandaian Paman pun
tinggi sekali," sahut Thio Han Liong sambil mengelak serangan yang
dilancarkan Kam Ek Thian.
Tak terasa sudah tujuh jurus
mereka bertanding, namun masih belum tampak siapa yang unggul. Kam Ek Thian
agak penasaran, kemudian mendadak meloncat ke belakang.
"Han Liong" la
tersenyum.
"Engkau sungguh hebat,
maka aku terpaksa harus mengeluarkan ilmu andalanku untuk menyerangmu.
Hati-hati"
Kam Ek Thian menarik nafas
dalam-dalam. Tampaknya ia sedang menghimpun Iweekangnya.
Menyaksikan itu, Thio Han
Liong pun segera mengerahkan Kian Kun Taylo sin Kang, siap menangkis serangan
yang akan dilancarkan Kam Ek Thian.
Tiba-tiba Kam Ek Thian
berseru, lalu menyerang Thio Han Liong dengan jurus yang amat aneh tapi lihay
dan dahsyat sekali.
Thio Han Liong merasa ada
tenaga yang amat kuat menerjang ke arahnya dan itu membuatnya tidak sempat
berkelit, sehingga secara reflek ia menangkis serangan itu dengan jurus Kian
Kun Tyalo Bu Pien (Alam semesta Tiada Batas). Blaaam Terdengar suara benturan
keras.
Kam Ek Thian dan Thio Han
Liong terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah, kemudian mereka berdua pun
saling memandang dengan penuh keheranan.
"Suamiku" seru Lie
Hong suang mengingatkan.
"Kalian cuma saling
menguji kepandaian masing-masing, bukan bertanding mengadu nyawa lho"
"Aku ingat itu,
isteriku" sahut Kam Ek Thian.
"Maaf, Paman" ucap
Thio Han Liong.
"Aku... aku terpaksa
menangkis...."
"Han Liong" Kam Ek
Thian menatapnya kagum.
"Engkau memang hebat
sekali, sungguh di luar dugaanku"
"Paman bermurah hati
kepadaku, kalau tidak, aku pasti sudah roboh," ujar Thio Han Liong.
"Ha ha ha" Kam Ek
Thian tertawa gelak.
"Justru engkau yang
bermurah hati, Kalau tidak, aku pasti sudah terkapar di lantai. sudahlah Tidak
usah dilanjutkan lagi pertandingan kita, sebab aku sudah tahu kepandaianmu
memang amat luar biasa oleh karena itu, engkau pasti bisa melaksanakan
permintaanku yang ke dua itu."
"Paman...." Thio Han
Liong tertegun.
"Mari kita duduk"
ajak Kam Ek Thian.
Mereka kembali ke tempat duduk
masing-masing. Lie Hong suang memandangnya dengan penuh kekaguman.
"Han Liong, sungguh hebat
ilmu silatmu Bolehkah kami tahu siapa gurumu?"
Thio Han Liong memberitahukan.
"Yang mengajarku ilmu
silat adalah ke dua orangtuaku. setelah itu aku pun mendapat petunjuk dari
sucouw Thio sam Hong, Tiga Tetua siauw Lim Pay dan BuBeng siansu."
"Oooh" Lie Hong
suang manggut-manggut.
"Pantas kepandaianmu
begitu hebat oh ya, siapa ke dua orang-tuamu?"
"Ayah dan ibuku adalah
Thio Bu Ki dan Tio Beng...."
"Thio Bu Ki?" Lie
Hong suang dan Kam Ek Thian terkejut.
"Ketua Beng Kauw?"
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk.
"Tak terduga sama sekali.
Ternyata engkau putra Thio Bu Ki. Tidak mengherankan kepandaianmu begitu hebat.
Kami tahu tentang ayahmu dan Thio sam Hong, cikal bakal Bu Tong Pay itu,"
ujar Kam Ek Thian.
"Paman pernah
keTionggoan?"
"Walau kami jarang ke
Tionggoan, namun pelayan kami kadang-kadang ke Tionggoan juga, karena harus
belanja ke sana." Kam Ek Thian memberitahukan.
"Maka kami tahu tentang situasi
rimba persilatan Tionggoan."
"Oooh" Thio Han
Liong manggut-manggut.
"Oh ya" Lie Hong
suang memandangnya seraya bertanya.
"Betulkah Hiat Mo yang
memberitahukanmu mengenai tempat tinggal kami?"
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk.
"Engkau kenal Hiat Mo
itu?" tanya Kam Ek Thian dengan heran.
"Kenal." Thio Han
Liong tersenyum lalu menutur tentang semua itu.
"Untung aku tidak jadi
membunuhnya."
"Tak kusangka engkau
dapat mengalahkan makhluk aneh itu," ujar Kam Ek Thian sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Hiat Mo mengatai Kam Cun
Goan Locianpwee adalah makhluk aneh, tapi justru Paman mengatainya sebagai
makhluk aneh pula. Itu...."
"Ha ha ha" Kam Ek
Thian tertawa gelak.
"Hiat Mo dan kakekku
memang merupakan makhluk aneh. sesungguhnya mereka kawan baik, tapi...
gara-gara setetes Thian ciok sin sui, mereka berdua malah bertarung."
Thio Han Liong dan Kam Ek
Thian saling berhadapan untuk mengadu kepandaian.
"Hiat Mo menceritakan itu
kepadaku. Katanya Kam Cun Goan Locianpwee menolak dan bahkan mengusirnya."
"Terus terang, Hiat Mo
juga bersalah dalam hal itu" Kam Ek Thian memberitahukan.
"Sebab Hiat Mo bersikap
agak kasar. Padahal kalau Hiat Mo minta secara baik-baik, tentu kakekku
memberikannya."
"Oooh" Thio Han
Liong manggut-manggut.
"Paman, kini Hiat Mo
telah berubah sabar dan penuh pengertian."
"Syukurlah" ucap Kam
Ek Thian.
Di saat bersamaan, muncul Kam
siauw Cui bersama seorang gadis kecil dan pelayannya.
"Kakak Han Liong Kakak
Han Liong" seru Kam siauw Cui girang.
"Siauw Cui" Thio Han
Liong tersenyum dan mendadak terbelalak seraya berseru tak tertahan.
"Hui sian"
"Paman Thio Paman
Thio" panggil gadis kecil itu yang ternyata Ouw Yang Hui sian, putri Ouw
Yang Bun.
"Hui sian...." Han
Liong tercengang.
"Han Liong" Kam Ek
Thian dan Lie Hong suan terheran-heran.
"Engkau kenal gadis kecil
itu?"
"Bahkan aku kenal ke dua
orangtuanya," sahut Thio Han Liong dengan wajah murung.
"Ayahnya bernama Ouw Yang
Bun dan ibunya bernama Tan Giok Cu, tapi sudah meninggal."
"Oh?" Kam Ek Thian menghela
nafas panjang dan memberitahukan.
"Kami yang
menyelamatkannya dari tangan Bu Sim Hoatsu."
"ooooh" Thio Han
Liong manggut-manggut. "Ternyata Paman dan Bibi yang menyelamatkannya
"
"Han Liong...." Lie
Hong suang memandangnya seraya
bertanya.
"Bolehkah kami tahu
bagaimana tunangan- mu terkena racun Jiu Kut Tok?"
"Bu Sim Hoatsu...."
Thio Han Liong memberitahukan.
"Tapi Pendeta jahat itu
telah binasa."
"oooh" Lie Hong
suang tersenyum.
"Han Liong, kalau engkau
bertemu ayah Hui sian, tolong beritahukan padanya bahwa putrinya belajar ilmu
silat di sini Kelak Hui sian akan ke Tionggoan mencarinya."
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk. "Aku pasti menyampaikannya." "Terima kasih."
ucap Lie Hong suan. "Hui sian memang betah tinggal di sini."
Thio Han Liong memandang gadis
kecil itu, kemudian tersenyum seraya bertanya dengan lembut.
"Engkau betah di
sini?"
"Betah." Ouw Yang
Hui sian mengangguk.
"Paman dan Bibi amat baik
terhadapku, dan Kakak siauw Cuipun amat menyayangiku."
"Maka engkau tidak boleh
nakal, harus menurut kepada Paman dan Bibi" pesan Thio Han Liong.
"Ya, Paman Thio."
Ouw Yang Hui sian mengangguk.
"oh ya, Paman...."
Thio Han Liong menatapnya seraya
bertanya.
"Apa permintaan paman
yang ke dua itu?"
"Han Liong...." Kam
Ek Thian menghela nafas panjang.
"Sebetulnya tidak pantas
aku mengajukan permintaan yang ke dua, sebab menyangkut urusan pribadi. Tapi...
berhubung aku tidak akan ke Tionggoan, maka terpaksa kumohon bantuanmu."
"Apa yang dapat kubantu,
Paman?"
"Terus terang...,"
ujar Kam Ek Thian memberitahukan.
"Sejak leluhur kami
tinggal di sini, turun temurun boleh dikatakan jarang ke Tionggoan. oleh karena
itu, kami tidak dikenal dirimba persilatan Tionggoan. Lagi-pula kami pun jarang
berhubungan dengan orang luar. ilmu silat kami berasal dari aliran Bunga
Teratai...."
Thio Han Liong mendengarkan
dengan penuh perhatian, Kam Ek Thian melanjutkan lagi.
"Ayahku mempunyai seorang
murid bernama Yo Ngie Kuang, yang kini baru berusia sekitar dua puluh tahun.
Dia amat cerdas dan tampan sekali. sebelum ayahku meninggal, aku diberi sebuah
kitab Lian Hoa Cin Kong (Kitab Pusaka
Bunga Teratai), tapi ayahku
pun berpesan jangan mempelajari kitab itu."
"Memangnya kenapa?"
"Ayahku bilang, kalau
kaum lelaki yang mempelajari kitab itu, pasti akan berubah menjadi
wanita." Kam Ek Thian memberitahukan.
"Kok begitu?" tanya
Thio Han Liong.
"Itu memang keistimewaan
kitab Lian Hoa Cin Kong. Lagipula ilmu silat yang tercantum di dalam kitab itu
amat lihay dan dahsyat sekali," ujar Kam Ek Thian sambil menghela nafas
panjang.
"oleh karena itu, ayahku
melarangku mempelajari kitab itu."
"oooh" Thio Han
Liong manggut-manggut.
"Bagaimana kalau kaum
wanita yang mempelajari kitab itu?"
"Tentunya tidak apa-apa,
namun harus gadis perawan," ujar Kam Ek Thian dan memberitahukan,
"Kini kitab pusaka itu
telah hilang...."
"oh?" Thio Han Liong
terkejut.
"Siapa yang
mencurinya?"
"Yo Ngie Kuang, murid
ayahku itu." Kam Ek Thian menghela nafas panjang.
"Ketika kami pergi ke
Tionggoan menyusul siauw Cui, dia justru memanfaatkan kesempatan itu untuk
mencuri kitab Lian Hoa Cin Kong."
"Paman tahu dia ke
mana?"
"Aku kira... dia ke
Tionggoan, sebab dia tahu aku tidak akan ke Tionggoan mencarinya. oleh karena
itu, aku mohon bantuanmu." "Mencari Yo Ngie Kuang?"
"Ya." Kam Ek Thian
manggut-manggut.
"Han Liong, sudikah
engkau membantuku dalam itu?"
"Baik," sahut Thio
Han Liong berjanji.
"Aku pasti mencarinya,
tapi bagaimana rupa Yo Ngie Kuang?"
Kam Ek Thian memberitahukan
rupa Yo Ngie Kuang tersebut.
"oh?" Thio Han Liong
mengerutkan kening.
"Apakah pemuda yang
berlatih di dalam rimba itu adalah Yo Ngie Kuang?"
"Bagaimana
gerakannya?" tanya Kam Ek Thian.
"Kira-kira begini."
Thio Han Liong menirukan gerakan pemuda itu dan seketika juga Kam Ek Thian
berseru.
"Tidak salah Dia pasti Yo
Ngie Kuang"
"Kalau begitu, setelah
aku pulang ke Ketaraja, aku pasti pergi mencarinya."
"Terimakasih," ucap
Kam Ek Thian, kemudian berkata kepada Lie Hong suang.
"isteriku, ambilkan Thian
ciok sin sui yang di dalam kamar" "Ya, suamiku." Lie Hong suan
segera masuk ke dalam.
Kam Ek Thian memandang Thio
Han Liong, lalu tersenyum seraya berkata sungguh-sungguh.
"Engkau beruntung, sebab
Thian ciok sin sui tersisa sedikit. Namun cukup untuk menyelamatkan
tunanganmu."
"Terimakasih, Paman,"
ucap Thio Han Liong sambil memberi hormat.
"Ha ha ha" Kam Ek
Thian tertawa gelak.
"Engkau pernah
menyelamatkan nyawa putriku, maka kami pun harus memberimu Thian ciok sin sui
Hanya saja... aku merepotkanmu mencari Yo Ngie Kuang"
"Itu tidak menjadi
masalah, Paman." Thio Han Liong tersenyum.
Lie Hong suan sudah kembali ke
situ, tangannya membawa sebuah botol pualam kecil berisi Thian ciok sin sui.
"Han Liong" Lie Hong
suan memberikan botol pualam itu kepada Thio Han Liong.
"Thian Ciok sin sui tersisa
sebotol kecil ini, aku bagi dua, yang ini kuberikan kepadamu."
"Terima kasih,
Bibi." Thio Han Liong memberi hormat, setelah itu barulah menerima botol
pualam itu.
"Han Liong" Lie Hong
suan tersenyum.
"Engkau memang beruntung,
sebab batu yang mengeluarkan air sakti sudah tidak ada."
"Ke mana batu itu?"
"Setahun lalu, batu itu
disambar petir hingga hancur berkeping-keping."
"oh?" Thio Han Liong
mengerutkan kening. "Bibi, betulkah batu itu dari langit?"
"Memang tidak salah," sahut Kam Ek Thian.
"Kakekku menggunakan air
sakti itu untuk diramu menjadi semacam obat, khususnya menambah Iweekang
orang."
"oh?" Thio Han Liong
terbelalak.
"Kalau begitu kakek Paman
pasti mahir ilmu pengobatan."
"Ya." Kam Ek Thian
mengangguk.
"Tapi aku tidak belajar
ilmu pengobatan, maka ketika siauw Cui terkena racun, aku langsung
memberikannya minum Thian ciok sin SuL."
"Oooh"Thio Han Liong
manggut-manggut.
"Pantas ketika aku
memeriksanya, jantungnya terlindung semacam obat, ternyata Thian ciok sin
sui."
"Han Liong...."
Tiba-tiba Kam Ek Thian menatapnya da lam-
dalam seraya bertanya.
"Tadi engkau menggunakan
ilmu apa untuk menangkis seranganku?"
"Kian Kun Taylo sin
Kang," jawab Thio Han Liong dengan jujur.
"Sungguh hebat ilmu itu,
sebab dapat membalikkan serangan Iweekang orang. Kalau tadi aku tidak segera
menarik kembali Iweekang ku, aku pasti terserang oleh Iweekang ku sendiri"
"Paman, aku... mohon
maaf" ucap Thio Han Liong.
"Ha ha ha" Kam Ek
Thian tertawa terbahak-bahak.
"Engkau memang berhati
bajik, karena engkau tidak menangkis dengan sepenuh tenaga."
"Paman...." Wajah
Thio Han Liong kemerah-me-rahan.
"oh ya, bagaimana kalau
Ouw Yang Bun mau ke mari menengok putrinya?"
"Itu...." Kam Ek
Thian mengerutkan kening.
"Suamiku," ujar Lie
Hong suan.
"Ouw Yang Bun berhak ke
mari menengok putrinya. Kalau dia mau ke mari, silakan saja"
"Baiklah." Kam Ek
Thian manggut-manggut, kemudian memandang Thio Han Liong seraya berkata.
"Kalau bertemu Ouw Yang
Bun, beritahukan kepadanya seandainya dia mau ke mari, silakan"
"Ya." Thio Han Liong
manggut-manggut.
"Paman, Bibi, aku... mau
mohon pamit...."
"Besok pagi saja"
sahut Kam Ek Thian.
"sebab sekarang sudah
gelap, lebih baik berangkat besok saja."
"Baik," Thio Han
Liong mengangguk.