Bab 1
Kebiasaan lama (tradisi) yang
dilanggar akan menimbulkan kutuk dan malapetaka bagi si pelanggar, demikian
pendapat kuno. Padahal hakekatnya, semua itu tergantung daripada kepercayaan.
Bagi yang percaya mungkin saja pelanggaran akan dihubungkan dengan sebab
terjadinya suatu halangan. Sebaliknya bagi yang tidak percaya, juga tidak
apa-apa dan andaikata terjadi suatu halangan, hal ini dianggap terpisah dan
tidak ada hubungannya dengan pelanggaran tradisi.
Betapapun juga, apa yang terjadi
di Khitan, yang menimpa Kerajaan Khitan oleh semua rakyatnya dianggap sebagai
kutuk para dewata oleh karena dosa besar yang telah dilakukan oleh Sang Ratu
mereka! Kerajaan Khitan mengalami kemerosotan hebat sekali. Musim dingin amat
lama dan hebat menimpa kerajaan ini, hasil buruan amat kurang, hasil cocok
tanam buruk, penyakit menular, wabah yang aneh-aneh menimpa rakyat Khitan dan
semua ini diperburuk dengan bentrokan-bentrokan, yang timbul di antara Para
bangsawan sendiri yang memperebutkan kedudukan, di antara rakyat sendiri yang
keadaannya amat miskin, dan perselisihan dengan suku bangsa lain karena
memperebutkan air dgn daerah subur!
Semua ini adalah kutukan dewa!
Demikian anggapan kaum tua di Khitan. Terkutuk oleh dewa karena pelanggaran
hebat yang dilakukan oleh Sang Ratu Yalina, yaitu ibunda Raja Talibu yang
sekarang menjadi Raja Khitan. Di dalam cerita MUTIARA HITAM telah diceritakan
betapa Ratu Yalina itu diam-diam menjadi isteri pendekar Sakti Suling Emas,
bahkan secara rahasia pula telah melahirkan dua orang bayi kembar, laki-laki
dan perempuan. Menurut kebiasaan lama bangsa itu, bayi kembar laki perempuan
setelah dewasa harus dikawinkan, akan tetapi Ratu Yalina kembali melanggar,
tidak menjodohkan kedua anaknya. Yang laki-laki, yaitu Raja Talibu sekarang
ini, dijodohkan dengan Puteri Mimi puteri Panglima Khitan. Sedangkan anaknya
yang perempuan, yaitu Kam Kwi Lan atau terkenal di dunia kang-ouw sebagal
pendekar sakti Mutiara Hitam, menikah dengan Tang Hauw Lam murid Bu-tek Lo-jin
dan kini suami isteri itu malah meninggalkan Khitan dan merantau entah ke mana.
Nah, semenjak Ratu Yalina
bersama suaminya Si Pendekar Suling Emas, pergi pula meninggalkan Khitan atas
kehendak Suling Emas untuk bertapa di puncak puncak Pegunungan Go-bi maka
mulailah tampak hari-hari buruk menimpa Kerajaan Khitan! Hal ini bukan
sekali-kali karena rajanya, yaitu Raja Talibu, kurang memperhatikan
kerajaannya, atau berlaku lalim terhadap rakyatnya. Sama sekali tidak! Raja
Talibu agaknya mewarisi watak ayahnya, Si Pendekar Sakti Suling Emas, hatinya
tidak keras seperti watak Ibunya. Dia tenang dan sabar mencinta rakyatnya dan
memerintah dengan keadilan. Akan tetapi sepandai-pandainya seorang raja, dia
hanya seorang manusia juga dan apakah kekuasaan seorang manusia yang dapat
dilakukan oleh seorang Raja Talibu terhadap bencana-bencana alam berupa musim
dingin panjang disusul musim kering yang menghabiskan air serta tanah yang
tidak berhasil menjadi subur? Apakah yang dapat ia lakukan terhadap ketamakan
dan nafsu para bangsawan yang saling bermusuhan? Dia hanya dapat menggunakan
kekuasaannya untuk meredakan keadaan, untuk mengadili segala perkara dengan
bijaksana, namun tidak berdaya menahan lajunya kemunduran kerajaannya!
Raja Talibu dengan isterinya,
Puteri Mimi yang cantik jelita, hanya mempunyai seorang anak perempuan mungil
dan cantik jelita seperti ibunya, lincah nakal dan penuh keberanian seperti
watak neneknya. Anak ini diberi nama Puteri Mayadan pada waktu itu telah
berusia sepuluh tahun. Karena ayah bundanya adalah keturunan pendekar-pendekar
yang berilmu tinggi, biarpun dia seorang puteri raja, semenjak kecil Maya suka
sekali dengan ilmu silat. Raja Talibu sebagai putera pendekar Suling Emas dan
Ratu Yalina yang juga memiliki ilmu silat luar biasa, tentu saja tidak melarang
puterinya belajar ilmu silat. Sebaliknya ia sendiri malah menggembleng
puterinya itu dengan ilmu silat tinggi sehingga Puteri Maya menjadi seorang
anak perempuan yang gagah berani dan suka pergi berburu sejak kecil, malah dia
mempunyai pasukan pengawal sendiri yang menemaninya pergi berburu binatang
buas. Biarpun usianya baru sepuluh tahun. Puteri Maya berani menghadapi seekor
biruang seorang diri saja, merobohkan binatang itu dengan anak panah atau
dengan sebatang tombak panjang!
Pada suatu pagi yang cerah,
Puteri Maya sudah tampak berkeliaran di dalam hutan di sebelah barat kota raja
Khitan. Seperti biasa, kalau dia sedang berburu binatang di dalam hutan, dia
berpakaian pria yang ringkas sehingga memudahkannya untuk bergerak di dalam
hutan-hutan liar itu, apalagi jika bertemu binatang dan melakukan pengejaran
atau pertempuran dengan binatang buas. Dan seperti biasa pula, pada pagi hari
itu juga, Maya jauh meninggalkan para pengawalnya, hal yang selalu membuat para
pengawal menjadi khawatir dan diam-diam merasa jengkel. Namun tidak pernah
mereka mengeluh karena sesungguhnya para pengawal, seperti hampir semua orang
di Khitan, amat sayang kepada puteri yang cantik jelita ini. Kesayangan semua
orang inilah yang membuat Maya memiliki watak manja dan selalu ingin dipenuhi
permintaannya!
Selagi ia menyelinap di antara
pohon-pohon mengintai dan mencari binatang buruan, tiba-tiba ia dikejutkan
derap kaki kuda. Hampir saja ia membentak marah karena disangkanya itu derap
kaki kuda para pengawalnya. Ia marah karena suara berisik tentu saja
mengganggunya, membikin takut binatang-binatang hutan yang tentu akan lari dan
bersembunyi. Akan tetapi kemarahannya berubah menjadi keheranan dan ia cepat
bersembunyi di balik pohon ketika melihat bahwa yang datang bukanlah pasukan
pengawalnya, melainkan pasukan pilihan ayahnya yang mengangkut perlengkapan
perang!
Setelah pasukan itu lewat dan
menghilang ke jurusan barat, Maya masih berdiri di tempat persembunyiannya
sambil termenung heran memikirkan hal itu. Ayahnya telah beberapa hari pergi
meninggalkan istana dan menurut ibunya, ayahnya sedang menyelidiki keadaan di
perbatasan barat karena ada kabar bahwa bangsa Yucen sedang bergerak di sana,
ada tanda-tanda bahwa bangsa itu mempunyai niat tidak baik terhadap Kerajaan
Khitan dan daerahnya. Akan tetapi, mengapa ayahnya belum kembali dan sekarang
malah pasukan ayahnya mengirim perbekalan perang? Apakah akan terjadi perang
dengan bangsa Yucen? Ia harus pulang dan bertanya kepada ibunya. Hilanglah
nafsunya untuk berburu lagi dan dia lalu berlari kembali menjumpai para
pengawalnya memerintahkan mereka untuk pulang ke kota raja.
Setelah tiba di istana Maya
bergegas lari memasuki kamar ibunya dan betapa kagetnya ketika ia menyaksikan
ibunya sedang duduk termenung dengan muka muram dan mata merah bekas menangis.
Juga tadi ia melihat bahwa para tentara telah bersiap-siap melakukan penjagaan
di kota raja. Apakah yang terjadi?
Maya menubruk ibunya.
Ibunda....! Apakah yang terjadi? Mengapa pasukan Ayah membawa perlengkapan
perang? Mengapa pasukan-pasukan menjaga kota raja? Mengapa Ibu berduka dan
menangis?!
Puteri Mimi memeluk dan
mencium muka anaknya, kemudian berkata perlahan, Kutukan dewa....! Kutukan dewa
menimpa kita....! Ah, aku pun ikut berdosa dan engkau.... Anakku, semoga para dewa
melindungimu dan tidak menimpakan kemarahannya kepadamu. Engkau tidak
berdosa....!! Puteri itu tak dapat menahan keluarnya air mata.
Eh, Ibu! Ada apakah?! Maya
yang berhati keras dan tabah itu mendesak ibunya, sepasang matanya
bersinar-sinar penuh kemarahan karena ia ingin tahu siapa yang menyebabkan
ibunya berduka. Biar dewa sekalipun akan dilawannya kalau dewa membuat ibunya
berduka!
Puteri Mimi yang cantik jelita
itu menghela napas. Wajahnya yang berkulit halus dan biasanya berwarna
kemerahan, kini pucat dan alisnya berkerut tanda bahwa hatinya diliputi
kegelisahan.
Seharusnya Ayahmu menikah
dengan Mutiara Hitam. Hal ini sudah dikehendaki para dewa semenjak mereka
berdua belum lahir. Akan tetapi, ahhh.... nenekmu menghendaki lain. Ayahmu
dikawinkan dengan orang lain. Tentu saja dewa menjadi marah dan sekaranglah
tiba kutukannya menimpa keluarga kita.! Kembali puteri ini menangis.
Ibu, kutukan apakah itu? Apa
yang terjadi?!
Semenjak nenekmu, Ratu Yalina,
meninggalkan Khitan bersama kakekmu, negara kita selalu dirundung kemalangan.
Bencana alam dan perselisihan antara bangsawan mengakibatkan penderitaan, namun
semua itu masih belum seberapa, masih dapat diatasi oleh kebijaksanaan ayahmu.
Akan tetapi sekarang.... ahh, beberapa orang bangsawan memberontak dan
bersekutu dengan suku bangsa Yucen, ada yang menyeberang kepada suku bangsa
Mongol dan Mancu, ada pula yang bersekutu dengan Kerajaan Sung dan kini mereka
itu mengepung kita. Ayahmu sendiri berusaha menginsyafkan mereka dan mengajak
damai bangsa Yucen, namun agaknya sia-sia belaka maka jalan satu-satunya
hanyalah mempertahankan Negara Khitan.!
Muka Maya menjadi merah, kedua
tangannya dikepalkan. Mengapa berduka, Ibu? Kalau musuh datang kita lawan!!
Melihat sikap puterinya, di
dalam tangisnya Puteri Mimi tersenyum dan merangkulnya. Engkau mewarisi
sifat-sifat nenek dan kakekmu.... akan tetapi.... musuh terlalu banyak dan
terlalu kuat. Betapapun juga, benar katamu, Anakku, kita akan melawan!!
Hati Ratu ini dibesarkan oleh
sikap puterinya. Ia tidak tahu bahwa pada waktu itu, bangsa Mongol sudah
menjadi bangsa yang amat kuat dan bangsa ini mulai memperkembangkan sayapnya
bagaikan gelombang besar datang menelan segala sesuatu yang merintang di
depannya!
Benar seperti yang dikatakan
Puteri Mimi kepada anaknya. Raja Khitan memang sedang berusaha keras untuk
menghindarkan perang. Pelbagai usaha dilakukannya, akan tetapi para bangsawan
Khitan yang memberontak itu tidak mau mendengar, dan bangsa Yucen yang bergerak
dari barat itu pun tidak mau diajak damai. Melihat keadaan yang amat mendesak,
bahwa perang takkan dapat dihindarkan. Raja Khitan mengadakan rapat pertemuan
dengan para panglima.
Jalan sudah buntu! Kita adalah
bangsa yang besar dan biarpun selama ini kita mengalami nasib malang, namun
semangat kita tak pernah padam! Kalau memang mereka menghendaki perang, apa
boleh buat, kita terpaksa mengadakan perlawanan. Hanya aku menyesal sekali akan
kebodohan bangsa Yucen, terutama para. bangsawan Khitan yang memberontak.
Tidakkah mereka melihat datangnya bahaya hebat yang akan melanda kita semua?
Bangsa Mongol jelas sekali memperlihatkan sikap hendak merajai seluruh daratan!
Biarlah, kita akan mengadakan perlawanan!! Raja ini lalu mengutus pengawal
untuk mendatangkan bala bantuan dari kota raja, membawa perlengkapan perang dan
diam-diam ia pun menulis sepucuk surat kepada isterinya.
Bahaya besar mengancam
kemusnahan kerajaan kita, Isteriku. Akan tetapi, kalau memang para dewa
menghendaki demikian, biarlah aku musnah bersama kerajaanku. Aku akan
mempertahankan kerajaan yang diberikan oleh leluhur kepadaku itu dengan jiwa
ragaku! Akan tetapi engkau Isteriku, dan puteri kita Maya, jangan ikut menjadi
korban. Bawalah puteri kita itu ke Pegunungan Gobi, carilah ayah bundaku yang
bertapa disana, minta perlindungan!! Demikian antara lain isi surat Raja ini
kepada isterinya. Dan surat inilah yang membuat Puteri Mimi menangis, penuh
cinta kasih dan keharuan kepada suaminya yang begitu gagah perkasa sehingga
dalam menghadapi bahaya besar, tidak menyuruh dia pergi mencari pertolongan
melainkan menyuruh dia dan anaknya pergi menyelamatkan diri, dan dengan sifat
penuh kejantanan menghadapi bahaya seorang diri!
Aduh, Suamiku tercinta,!
demikian Puteri Mimi mengeluh, Lupakah engkau bahwa aku pun anak dan keturunan
Panglima Khitan yang setiap saat siap dan rela mempertaruhkan nyawa untuk
membela negara? Tidak, aku pun akan menjaga kerajaan dan merupakan benteng
pertahanan terakhir. Kalau kerajaan runtuh, bukan hanya engkau, aku pun harus
ikut runtuh pula! Biarlah anak kita yang akan kuusahakan agar menyingkir dan
menyelamatkan diri.! Diam-diam Puteri Mimipun sudah mempunyai rencana dan
menantilah dia akan perkembangan dengan hati gelisah namun tetap bersikap tenang.
Perang tak dapat dihindarkan
lagi. Pasukan-pasukan penjaga di garis terdepan sudah mulai bentrok dengan
pasukan-pasukan musuh. Dalam keadaan seperti itu, seorang panglima tua Khitan
menghadap Raja Talibu dan berkata,
Pihak musuh amat kuat, apalagi
hamba mendapat laporan dari para penyelidik bahwa dari utara, bala tentara yang
besar dari Mongol telah bergerak datang. Keadaan amat terdesak mengapa sejak
dahulu Paduka tidak mengirim utusan ke Go-bi-san mohon bantuan Ayah Bunda
Paduka?!
Raja Talibu menggeleng
kepalanya dengan sikap tegas. Paman Panglima, kalau aku melakukan hal itu, aku
akan menjadi manusia tak berguna selama hidupku! Aku menerima kerajaan dari
ayah bundaku, apakah hanya untuk dinikmati saja? Apakah aku harus bersikap
seperti seorang anak kecil yang menerima benda mainan dari orang tua, kemudian
kalau benda itu menjadi rusak lalu kusuruh betulkan orang tuaku? Tidak, Paman,
itu bukan sikap seorang pahlawan! Diserahi kerajaan bukan semata untuk
menikmatinya dan bersenang-senang, melainkan diikuti pula dengan tanggung
jawab! Orang tuaku telah mengundurkan diri bertapa, tidak mengecap kesenangan
sedikit pun dari kerajaan, kini kerajaan terancam masa mereka yang harus susah
payah pula, biarpun ayah bundaku merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari
bandingnya, akan tetapi apakah artinya dua orang saja menghadapi gelombang
barisan Yucen, dan Mongol dan puluhan bahkan ratusan laksa orang jumlahnya?
Kita lawan sendiri, dan persoalannya hanyalah hidup, atau mati, dan urusan itu
bukanlah wewenang kita untuk menentukan!!
Panglima tua itu kagum
mendengar pendirian rajanya dan bangkitlah semangatnya. Ketika Panglima ini
menyampaikan pendapat raja itu kepada para perwira dan perajurit, mereka pun
bersorak. menyatakan hendak mempertahankan negara sampai dengan napas terakhir!
Perang terjadi di perbatasan
barat dengan dahsyatnya. Kekuatan kedua pihak berimbang sehingga banyaklah
korban yang jatuh di kedua pihak. Sementara itu, barisan Mongol sudah datang
makin dekat selama tiga hari setelah perang berlangsung. Dan sepak terjang
barisan Mongol yang menyerbu keselatan itu amatlah ganas seperti segerombolan
harimau kelaparan. Mendengar laporan ini, kecutlah hati Raja Talibu.
Betapa bodohnya mereka, bangsa
Khitan dan Yucen tidak melihat datangnya bahaya dan berperang sendiri satu
kepada yang lain! Maka berangkatlah Raja ini ke medan perang, membawa
gendewanya, naik ke atas kereta perang, dengan pakaian perang yang membuatnya nampak
gagah perkasa. Untuk dapat membawa kereta perangnya ke tengah medan
pertempuran, raja ini harus merobohkan banyak musuh dan kusirnya sudah beberapa
kali diganti karena roboh binasa. Dengan gendewanya, Raja Talibu mengamuk
sehingga akhirnya kereta perangnya dapat tiba di tengah medan laga, di tempat
yang amat tinggi. Raja Talibu lalu meloncat di atas kereta perangnya, gendewa
di tahgan kiri, topi perangnya sudah terlepas dalam, pertandingan ketika ia
menuju ke tempat itu sehingga rambutnya terurai ke pundak, nampak gagah
perkasa. Kemudian terdengar suaranya mengguntur seperti auman singa di padang
pasir.
Wahai seluruh bangsa Yucen dan
Khitan, dengarlah kata-kataku! Kita dibikin buta oleh perang, oleh nafsu
mencari kemenangan sehingga tidak peduli akan kedatangan gelombang bangsa
Mongol yang akan menghancurkan kita bersama! Apa kah tidak lebih baik kita
bersatu sebagai dua orang saudara untuk melawan bangsa Mongol daripada kita
seperti dua ekor anjing memperebutkan tulang, tidak tahu bahwa serombongan serigala
sudah datang hendak menghancurkan kita setelah kita kehabisan tenaga saling
berperang sendiri? Pikirlah dan cepat mengambil keputusan, mereka sudah dekat
sekali.!
Suara Raja Talibu ini amat
nyaring dan seketika perang dihentikan, para pimpinan Yucen menjadi ragu-ragu.
Memang para penyelidik mereka pun melaporkan akan datangnya gelombang dahsyat
bangsa Mongol, akan tetapi karena mereka menghadapi bangsa Khitan yang sudah
berada di depan hidung, tentu saja mereka tidak dapat lagi mencegah terjadinya perang
dengan bangsa Khitan. Akan tetapi sekarang Raja Khitan yang gagah perkasa itu
bicara sendiri dan ucapannya amat cocok dengan isi hati mereka. Raja Yucen dan
pimpinannya lalu berunding dan minta waktu sehari untuk mengambil keputusan.
Sementara itu perang itu dihentikan dulu.
Namun, keraguan orang-orang
Yucen ini mendatangkan bencana hebat karena malam hari itu, secara tidak
terduga-duga sekali, barisan Mongol sudah datang menyerbu dengan kekuatan
besar. Perang hebat terjadi dan biarpun belum diadakan persetujuan, bangsa
Khitan dan Yucen berjuang bahu-membahu untuk melawan barisan Mongol. Perang
mati-matian itu berlangsung sampai dua hari dua malam, akan tetapi karena
jumlah barisan Mongol lebih besar dan juga anggauta tentara mereka lebih kuat,
biarpun pihak Mongol kehilangan banyak tentara, akhirnya barisan Khitan dan
Yucen dapat terbasmi dan hanya sedikit yang dapat melarikan diri atau takluk
setelah raja dan panglima-panglima mereka gugur. Raja Talibu sendiri gugur
setelah tubuhnya penuh luka dan tak dapat bergerak lagi, Raja ini tewas sebagai
seorang gagah perkasa, tangannya masih memegang pedang dan tubuhnya penuh luka
dan mandi darahnya sendiri!
Kematian tidak dapat terhindar
dari setiap orang manusia, namun banyak macam kematian, dipandang oleh mata dan
dipertimbangkan oleh pikiran manusia berdasarkan kebudayaan manusia. Kematian
Raja Talibu merupakan sebuah diantara kematian yang terhormat, kematian seorang
jantan dan tidaklah mengecewakan dia sebagai seorang Raja Khitan, terutama
sebagai putera seorang pendekar besar seperti Suling Emas dan seorang ratu
besar seperti Ratu Yalina.
Andaikata ayah bunda ini
melihat kematian puteranya agak nya kedukaan mereka akan terhibur oleh
kebanggaan!
Sebagian para perajurit Khitan
yang melarikan diri berhasil kembali ke kota raja dan gegerlah kota raja ketika
mendengar berita tentang kehancuran pasukan Khitan dan gugurnya raja bersama
para panglima, juga tentang bahaya penyerbuan bangsa Mongol yang sewaktuwaktu
pasti akan tiba. Berita kematian Raja Talibu ini diterima oleh Ratu Mimi dengan
muka pucat, akan tetapi dengan tenang sekali Ratu ini menahan tangisnya di
depan para panglima dan menyatakan bahwa dia akan memimpin sendiri pertahanan
kota raja. Bujukan para panglima agar supaya Ratu ini suka pergi mengungsi,
diterima dengan kemarahan.
Kalau aku melarikan diri mana
aku patut menjadi ratu dari suamiku, raja gagah perkasa yang telah mengorbankan
nyawanya untuk Khitan? Tidak, aku akan mempertahankan kerajaan, kalau perlu
dengan tenagaku sendiri! Yang tidak berani boleh saja pergi meninggalkan
Khitan!!
Maka gemparlah kota raja.
Sebagian ada yang melarikan diri sehingga akhirnya tinggal Ratu Mimi dengan
pasukan-pasukan yang setia. Kemudian Ratu ini mengumpulkan sepasukan pengawal,
yaitu pengawal Puteri Maya, dan menyuruh mereka membawa Maya melarikan diri dan
mencari kakek nenek puteri itu di Pegunungan Go-bi. Puteri Maya menangis dan
berkeras tidak mau meninggalkan ibunya, akhirnya ibunya yang biasanya
memanjakannya itu membentak.
Maya! Dengarlah baik-baik! Engkau
adalah keturunan Suling Emas, keturunan Ratu Yalina, keturunan Raja Talibu yang
gagah perkasa. Patutkah dalam saat seperti ini engkau menangis?!
Aku tidak mau meninggalkan
Ibu. Aku pun akan membantu Ibu menghadapi musuh untuk membalas kematian Ayah!!
Bodoh! Kalau kau tinggal di
sini, engkau pun akan mati.!
Aku tidak takut mati!!
Ratu Mimi menahan tangisnya
dan merangkul puterinya, menciumi sambil berkata, Itulah soalnya. Anakku.
Engkau tidak boleh mati. Kalau engkau mengorbankan nyawa di sini, siapakah
kelak yang membalaskan kematian ayahmu dan ibumu?
Engkau masih kecil, tenagamu
belum ada artinya untuk menghadapi musuh. Engkau pergilah kepada kakek dan
nenekmu, pelajari ilmu baik-baik dan kelak engkau akan mengangkat nama ayah
bundamu. Pergilah, Anakku, dan doa Ibumu selalu menyertaimu!.Ucapan ini membuat
Maya tak dapat membantah lagi. Biarpun dia masih kecil, namun ia cerdik dan
tabah. Dengan tangis memilukan ia merangkul dan menciumi ibunya, kemudian lari
keluar dan ikut bersama pasukan pengawal yang akan mengantarnya ke Go-bi-san.
Setelah puterinya pergi, barulah Ratu Mimi menangis tersedu-sedu, bukan karena
takut menghadapi bahaya yang mengancam dirinya, melainkan berduka karena
perpisahan dengan puteri tunggalnya yang amat dicintanya.
Tiga hari kemudian, kota raja
Khitan direbut pasukan Mongol. Seperti juga suaminya, Ratu Mimi berjuang dengan
gigih mempertahankan kota raja bersama para panglima dan pasukan yang setia.
Akan tetapi pihak musuh jauh lebih kuat sehingga akhirnya Ratu Mimi pun roboh
dan gugur tak beda dengan suaminya, tangannya masih memegang pedang dan surat
suaminya, dan ia tewas dengan mulut tersenyum karena pada saat terakhir ia
melihat suaminya tercinta meraih dan menyambutnya penuh kasih sayang!
Pasukan Mongol membasmi
Khitan, merampas wanita-wanita dan membunuh pria-pria muda, merampas harta
benda dan membakar rumah-rumah, termasuk istana yang telah dirampas
habis-habisan. Gegerlah Khitan, dan bagi bangsa Khitan hari itu merupakan hari
kiamat dan berakhirnya Kerajaan Khitan yang selama ini kokoh kuat. Benarkah ini
merupakan kutukan dewa akibat pelanggaran yang dilakukan oleh anak kembar Ratu
Yalina yang seharusnya menurut kebiasaan dan kepercayaan lama harus menjadi
suami isteri akan tetapi telah dilanggar dan mereka berdua itu menikah dengan
orang lain? Entahlah, dan mungkin benar demikian bagi yang percaya.
Malapetaka hebat yang menimpa
Kerajaan Khitan itu tidak diketahui, bahkan tidak pernah dibayangkan oleh Maya
yang telah melarikan diri dikawal sepasukan pengawal terdiri dari lima belas
orang pengawal pilihan. Pasukan ini dipimpin oleh seorang panglima pengawal
bernama Bhutan, seorang panglima muda yang tinggi besar dan berwatak bengis.
Lima belas orang pengawal ini
kelihatannya melaksanakan tugasnya dengan taat, membawa keluar Maya dari kota
raja yang terancam bahaya, akan tetapi sesungguhnya di dalam hati mereka
terdapat perasaan tidak senang dan berduka. Betapa tidak? Keluarga mereka semua
ditinggalkan di kota raja. Semua keluarga itu membutuhkan perlindungan mereka,
akan tetapi mereka, lima belas orang ini tidak dapat melindungi keluarga mereka
sendiri karena harus melarikan Maya. Dan mereka dapat membayangkan dengan hati
perih betapa malapetaka. tentu menimpa keluarga mereka yang tidak ada
pelindungnya.
Duka dan sesal membuat mereka
mulai mengomel sepanjang jalan dan mulai memandang kepada Puteri Maya dengan
sinar mata benci. Dianggapnya puteri inilah yang menjadi sebab celakanya. Kalau
mereka tidak Pergi mengawal puteri ini, tentu mereka akan dapat menyelamatkan
keluarga masing-masing dengan membawa mereka lari mengungsi!
Malam pertama, ketika
rombongan ini mengaso dan bersembunyi di dalam hutan, belum nampak perubahan,
hanya mereka itu bersungut-sungut mengelilingi api unggun dan tidak banyak
cakap. Namun pemimpin mereka, sudah merasa betapa anak buahnya tidak merasa
puas. Hal ini dimengertinya baik-baik karena dia sendiri pun merasa tidak
senang harus meninggalkan isterinya yang baru beberapa bulan dikawininya.
Demikian pula malam ke dua,
hanya kelihatan para anak buah pasukan itu gelisah dan mulai saling
berbisik-bisik. Namun semua itu pun lewat tanpa peristiwa sesuatu sehingga
ketika pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Go-bi-san
yang amat jauh, hati Bhutan sudah agak lega.
Akan tetapi, ketika pasukan
ini mendengar berita dari orang-orang pelarian dari kota raja bahwa kota raja
sudah diserbu musuh dan diduduki, bahwa Kerajaan Khitan kini sudah hancur dan
jatuh, meledaklah rasa ketidakpuasan para anak buah pasukan pengawal, bahkan
Bhutan sendiri mendengarkan cerita pengungsi itu dengan wajah pucat.
Habis semua....!! Demikian
antara lain pengungsi itu bercerita. Mereka itu datang seperti badai mengamuk.
Pasukan kita yang mempertahankan, bersama Sang Ratu, digilas habis dan tewas
semua! Istana dirampok dan diduduki, rumah rakyat dibakar, semua laki-laki
dewasa dibunuh dan wanita-wanita dijadikan rebutan, diperkosa seperti
segerombolan serigala kelaparan melihat domba. Banyak yang tewas karena
diperkosa banyak orang di pinggir-pinggir jalan, di rumah-rumah, di mana saja
sehingga jerit mereka memenuhi angkasa.!
Semua wanita, katamu?! Bhutan
bertanya, suaranya gemetar.
Ya, semua! Bahkan yang tua-tua
juga! yang setengah kanak-kanak juga! Semua, tidak peduli kaya atau miskin,
bangsawan atau rakyat jelata. Habis semua perempuan diperkosa, habis semua pria
dibunuh. Yang tinggal hanya anak-anak kecil dan orang-orang tua yang
berkeliaran dan kelaparan kehilangan keluarga....!
Ibuku....! Bagaimana....?!
Tiba-tiba Maya menjerit.
Orang yang bercerita itu
menarik napas panjang dan menengadah ke langit.
Sang Ratu telah gugur, akan
tetapi, demi semua dewa! Setiap orang Khitan yang masih hidup akan teringat
betapa ratu itu tewas dengan senjata di tangan, dengan tubuh penuh luka, tewas
sebagai seorang gagah perkasa.... hebat sekali, dan agaknya semangatlah yang
memimpin semua perlawanan gigih....!
Aihhh.... ! Ibu....!! Maya
menjerit dan menangis sesenggukan, memanggil-manggil ibunya.
Diammm!! Bhutan tiba-tiba
menghardiknya, membuat Maya memandang dengan muka pucat kaget dan heran sekali
mengapa panglima itu berani membentaknya seperti itu. Semua pasukan memandang
dengan senyum mengejek, agaknya puas hati mereka melihat pemimpin mereka kini
pun memperlihatkan kebencian kepada puteri yang membuat mereka terpaksa
meninggalkan keluarga mereka seperti sekumpulan domba ditinggalkan untuk
menjadi mangsa serigala-serigala buas.
Mengapa engkau menangis? Ditangisipun
tiada gunanya! Ibumu telah mati! Demikian pun isteriku, ibuku, keluar gaku!!
Dan Panglima ini lalu menangis biarpun tidak mengeluarkan suara, hanya
mengeluarkan air mata yang menetes turun di kedua pipinya. Juga para anggauta
pasukan yang empat belas orang banyaknya itu semua kelihatan termangu-mangu
penuh duka mengenangkan keluarga masing-masing yang tentu telah menjadi korban
pula.
Kita besok melakukan
perjalanan, bukan ke Go-bi-san, akan tetapi membalas dendam kita, membakari
rumah-rumah dusun yang sudah menjadi jajahan orang Mongol.! demikian kata
Bhutan dengan wajah bengis. Anak buahnya bersorak gembira. Biarpun mereka
berduka, akan tetapi kini ada jalan untuk melampiaskan duka dan kemarahan
mereka biarpun kepada dusun-dusun! Hal itu berarti mereka akan dapat memperkosa
wanita-wanita seperti isteri-isteri dan keluarga mereka diperkosa, dapat
membunuh orang-orang seperti keluarga mereka dibunuh, dapat merampok seperti
rumah mereka dirampok!
Akan tetapi, aku harus kalian
antarkan ke tempat pertapaan kakek dan nenekku di Go-bi-san!! Maya berseru
kaget dengan mata terbelalak.
Bhutan tersenyum mengejek.
Mulai sekarang tidak ada lagi yang mengharuskan aku! Engkau tidak boleh lagi
memerintahku, bahkan engkau harus tunduk dan menurut segala kehendakku!! Para
anak buahnya bersorak mengejek.
Maya meloncat bangun, mengepal
kedua tinjunya dan memandang marah.
Akan tetapi, apa kalian hendak
memberontak? Aku adalah Puteri Maya, puteri dari Raja dan Ratu Khitan! Engkau
harus taat kepadaku!!
Ha-ha-ha, puteri yang manis!
Engkau akan kujadikan pengganti isteriku! Setahun dua tahun lagi engkau akan
menjadi seorang wanita yang jelita, patut menjadi isteriku. Bukankah begitu
kawan-kawan?! kata Bhutan yang terhimpit kedukaan berubah menjadi bengis dan
kejam. Anak buahnya bersorak menyatakan setuju.
Keparat, kau....!! Maya maju
dan mengayun tangan hendak menampar muka panglima itu, akan tetapi biarpun
sejak kecil dia sudah belajar ilmu silat, namun Bhutan bukan laki-laki
sembarangan, melainkan seorang panglima pengawal yang tentu saja memiliki
kepandaian. Dia menangkis terus menangkap lengan kecil itu, memutar dan
mendorong sehingga tubuh Maya terlempar dan roboh telentang. Terdengar suara
ketawa para pasukan pengawal.
Ha-ha-ha, engkau tidak boleh
galak lagi, Nona kecil!! kata mereka.
Maya meloncat bangun lagi,
akan tetapi lengannya sudah disambar oleh Bhutan dan tangan panglima ini
diayun. Plak-plak-plak-plak! kedua pipi Maya ditampari sampai menjadi merah dan
terasa panas!
Dengar kau, Maya! Ketahuilah
bahwa engkau bukanlah anak Raja dan Ratu Khitan, engkau hanya diaku anak, anak
angkat!!
Biarpun kedua pipinya terasa
panas dan sakit-sakit dan hatinya lebih panas dan sakit lagi mendengar ucapan
itu dia terbelalak kaget dan heran. Apa.... apa, kaubilang....?!
Duduklah dan dengar baik-baik
agar kau tidak rewel lagi. Mulai sekarang, engkau harus mentaati segala
perintahku karena akulah satu-satunya orang yang akan dapat menyelamatkanmu.
Kerajaan Khitan sudah hancur, keluarga Raja sudah tewas semua. Engkau memang bukan
anak Raja Khitan, mana mungkin Raja Khitan dapat memperoleh keturunan? Dia,
telah terkutuk oleh para dewa, dan semenjak Ratu Yalina melakukan pelanggaran,
keluarga Raja Khitan sudah terkutuk. Pantaslah kalau sekarang meniadi runtuh!!
Mengapa begitu?! Air mata Maya
mengucur lagi. Cerita kanlah, Bhutan. Ceritakan apa yang telah teriadi?
Ceritakan tentang keluargaku....!
Bukan keluargamu, hanya
keluarga jauh.!
Kalau begitu, ceritakan siapa
aku, siapa orang tuaku!! Maya makin bingung dan karena ingin sekali mendengar
penuturan panglima ini, ia sudah lupa akan kemarahannya bahwa dia tadi
ditampar.
Para perajurit yang juga belum
mendengar riwayat raja mereka dengan jelas, hanya mendengar berita angin saja,
kini juga berkumpul dan mendengarkan penuturan Bhutan yang agaknya tahu akan
riwayat itu.
Dosa pertama dilakukan oleh
Ratu Yalina.! Bhutan mulai bercerita. Ratu Yalina yang dijunjung tinggi oleh
bangsa Khitan, yang pada lahirnya saja tidak pernah menikah, ternyata melakukan
pelanggaran karena diam-diam melakukan hubungan cinta dengan Pendekar Suling
Emas. Dari hubungan gelap, yang mendatangkan kutuk para dewa atas bangsa Khitan
itu, terlahirlah anak kembar, lakilaki dan perempuan.!
Anak kembar laki-laki dan
perempuan harus dijadikan suami isteri!! Seorang anggauta pasukan pengawal yang
sudah berusia empat puluh tahun lebih berkata.
Bhutan mengangguk. Mestinya
demikian. Akan tetapi Ratu Yalina yang sudah melakukan dosa pertama itu,
melanjutkan dengan dosa ke dua yang lebih berat lagi dan yang agaknya membuat
para dewa memutuskan untuk menghancurkan Kerajaan Khitan! Anak kembar itu, yang
perempuan adalah pendekar wanita Mutiara Hitam yang sekarang merantau bersama
suaminya entah ke mana. Adapun yang laki-laki adalah mendiang Raja Talibu kita
yang menikah dengan Ratu Mimi. Tentu saja orang-orang berdosa itu tidak bisa
memperoleh keturunan. Biarpun aku tidak tahu di mana adanya Mutiara Hitam, akan
tetapi aku yakin bahwa dia pun pasti tidak bisa mempunyai keturunan!!
Tapi aku.... aku, adalah anak
raja dan Ratu Khitan!! Maya berteriak.
Heh-heh, itu adalah dugaanmu
saja, anak manis!! Bhutan berkata tertawa.
Sesungguhnya bukan demikian.
Engkau adalah anak dari saudara misan Ratu Mimi, ibumu adalah puteri bangsawan
rendahan yang menikah dengan seorang perwira. Ibumu mati ketika melahirkan
engkau dan ayahmu sudah tewas pula dalam perang. Raja Talibu yang agaknya
hendak meniadakan kutuk akan dirinya, telah mengambil engkau sebagai anak!
Memang jarang ada yang tahu,
akan tetapi aku tahu akan itu semua, manis!!
Tidak....! Tidak....!! Maya
menangis dan menangis terus sampai pada keesokan harinya rombongan itu
melanjutkan perjalanan. Maya digandeng dan setengah diseret oleh Bhutan yang
memimpin rombongannya itu melanjutkan perjalanan, bukan ke Go-bi-san, melainkan
ke timur!
Dapat dibayangkan betapa
hancur dan sengsara rasa hati Maya, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan?
Kalau dia melarikan diri, selain sukar sekali karena ia selalu diawasi, juga ia
akan dapat pergi ke manakah? Lebih sengsara lagi hatinya ketika terpaksa ia
harus menyaksikan pasukan yang tadinya menjadi pengawalnya yang setia itu kini
berubah menjadi segerombolan serigala buas yang tidak mengenal perikemanusiaan,
merampok dusun-dusun yang mereka lalui, membunuh, memperkosa dan membakar rumah
sambil bersorak-sorak! Dara sekecil ini dipaksa untuk menyaksikan hal-hal yang
mengerikan itu, menyaksikan wanita-wanita yang menjerit-jerit diperkosa dan
kemudian dibunuh. Sampai habis air mata ditumpahkan dalam tangis Maya dan dalam
waktu sebulan saja ia telah berubah menjadi seorang dara cilik yang berhati
keras seperti baja, ditempa oleh pengalaman-pengalaman yang pahit dan
mengerikan. Kalau dahulu ia berwatak jenaka dan lincah, kini ia menjadi
pendiam, jarang bicara, jarang pula makan atau tidur kalau tidak terpaksa
sekali sehingga mulailah tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat, akan tetapi
wajah seperti topeng mati dan sikapnya dingin melebihi salju! Tanpa disadarinya
terbentuklah watak yang keras dan dingin pada jiwa dara cilik ini.
***
Pergolakan hebat yang terjadi
di utara itu bukan tidak ada ekornya sama sekali, bahkan menjadi awal
pergolakan hebat yang menjalar ke selatan. Pada masa itu di selatan juga
terjadi pergolakan hebat, perebutan kekuasaan yang menimbulkan perang di
mana-mana.
Suku bangsa Yucen tadinya
adalah suku bangsa yang ditundukkan oleh Kerajaan Khitan, yaitu ketika Ratu
Yalina masih memegang tampuk kerajaan. Setelah kini keadaan Khitan menjadi lemah,
bangsa Yucen membalas dendam, memberontak dan dibantu pula secara diam-diam
oleh Kerajaan Sung dari selatan. Di samping itu, serbuan liar dari bangsa
Mongol yang mulai berkembang, membuat Khitan hancur.
Bangsa Yucen mendapat hati!
dan mendirikan wangsa baru, yaitu yang disebut Wangsa Cin. Sebentar saja
Kerajaan Cin ini mendesak Kerajaan Sung dan melihat lemahnya Kerajaan Sung,
menuntut agar Kerajaan Sung mengirim upeti! setiap tahun!
Keadaan yang demikian itu
menyedihkan hati seorang menteri yang setia di Kerajaan Sung. Menteri ini
bernama Kam Liong dan dia bukan lain adalah putera sulung dari pendekar Sakti
Suling Emas! Bahkan Menteri Kam Liong inilah yang sesungguhnya telah mewarisi
kepandaian ayahnya, juga telah mewarisi senjata pusaka ayahnya yang berupa
sebatang suling emas dan sebuah kipas. Kaisar amat percaya kepada Menteri Kam
Liong, bukan hanya karena menteri ini! adalah putera pendekar besar Suling
Emas, melainkan terutama sekali karena Menteri ini memang amat pandai dan
bijaksana, juga amat setia kepada negara. Menteri Kam Liong prihatin dan
berduka sekali. Pergolakan-pergolakan hebat yang terjadi amat menggelisahkan
hatinya. Dia mendengar akan keadaan Khitan yang terancam hebat oleh bangsa
Yucen dan Mongol. Dan celakanya, Kaisar Sung menerima uluran tangan bangsa
Yucen untuk bersama-sama menyerang dan mengeroyok Kerajaan Khitan. Betapa tidak
akan sedih hatinya kalau ingat bahwa Raja Khitan adalah adik tirinya sendiri?
Raja Talibu di Khitan adalah putera Suling Emas pula sehingga merupakan saudara
seayah dengannya, berlainan ibu. Namun, apa yang dapat ia lakukan? Dia adalah
seorang Menteri Kerajaan Sung. dan adik tirinya itu adalah Raja Khitan! Dia
harus bersetia kepada negaranya sendiri.
Menteri yang bijaksana ini
tidak mempunyai anak. Akan tetapi dia mempunyai seorang murid yang amat
disayangnya. muridnya mewarisi kepandaiannya dan berjiwa gagah perkasa pula.
Muridnya itu kini pun mempunyai kedudukan tinggi di dalam kerajaan, yaitu
menjadi seorang panglima muda yang diperbantukan kepadanya. Ketika pergolakan
di utara terjadi dia mengatur rencana dengan muridnya itu, kemudian mengutus
muridnya mengerjakan tugas penyelidikan atas persetujuan Kaisar, ke utara.
Hal yang menyedihkan hati
Menteri Kam Liong yang setia, bukan hanya pergolakan di utara yang ia tahu amat
pentingnya bagi perdamaian di negara Sung sendiri, akan tetapi terutama sekali
melihat kelemahan Sung sebagai akibat tidak cakapnya Kaisar mengemudikan
pemerintahan. Kaisar tidak memperhatikan urusan pemerintahan, hanya tenggelam
dalam kesenangan. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah menikmati rayuan para selir
cantik muda yang tak terhitung banyaknya, mendengar mereka bernyanyi, melihat
mereka menari-nari sambil minum arak wangi sampai mabok.
Biarpun Kaisar masih ada namun
sesungguhnya kekuasaan sudah beralih ke tangan selir-selir tercantik dan
tersayang, dan ke tangan para pembesar thaikam (orang kebiri) yang mendampingi
Kaisar dan para selir siang malam! Berkali-kali Kam Liong memperingatkan, namun
Kaisar hanya teringatkan untuk waktu singkat saja, kemudian lupa lagi dan
berenang dalam kesenangan seperti biasa. Peringatan yang selalu diajukan Kam
Liong itu tidak ada gunanya, bahkan mendatangkan kebencian saja di hati para
pembesar lainnya yang mempergunakan kelemahan Kaisar untuk mengeduk keuntungan
pribadi sebanyak mungkin. Hanya karena mereka tahu bahwa Kam Liong merupakan
menteri yang dipercaya oleh Kaisar, memiliki pengaruh dan kekuasaan besar, juga
memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan, maka para thaikam dan pembesar lain
yang membencinya tidak berani turun tangan mengganggunya. Hal ini diketahui
pula oleh Kam Liong, akan tetapi dia tidak peduli karena yang diprihatinkan
selalu hanyalah keadaan negara.
Pagi hari itu, Menteri Kam
Liong termenung di dalam kamar kerjanya, menghadapi teh wangi akan tetapi ia
sampai lupa minum sehingga tehnya menjadi dingin. Hatinya tertekan dan ia
membayangkan dengan hati penuh duka betapa keluarga adiknya. Raja Khitan
terancam bahaya hebat. Dia sudah memberi nasihat kepada Kaisar agar jangan
memusuhi Khitan, akan tetapi Kaisar yang dipengaruhi oleh para pembesar dan
para thaikam, menjawab bahwa kesempatan baik tiba di mana Kerajaan Sung dapat
mempergunakan tenaga bangsa Yucen untuk merampas kembali wilayah yang dahulu
dikuasai bangsa Khitan! Dia berduka sekali, mengenangkan keadaan keluarga
ayahnya yang cerai-berai itu. Ayahnya sendiri , tak pernah terjun ke dunia
ramai, tekun bertapa bersama isterinya, bekas Ratu Khitan, Yalina. Adiknya yang
menjadi Raja Khitan, Raja Talibu, kini terancam bahaya. Saudara kembar Raja
itu, adiknya Si Mutiara Hitam Kam Kwi Lan, kini entah berada di mana karena
adiknya yang seorang ini suka sekali merantau, apalagi setelah menikah dengan
Tang Hauw Lam, pendekar yang suka pula merantau. Mungkin suami isteri itu kini
sedang merantau ke dunia barat lewat Pegunungan Himalaya! Dia sendiri sudah
terikat oleh tugasnya sebagai Menteri Kerajaan Sung yang harus ia bela sampai
mati.
Aaahhhh....! ia teringat akan
tehnya, menghirup teh wangi, meletakkan lagi cangkirnya dan mengeluh. Pantaslah
Ayah lebih suka memilih tempat sunyi, mengasingkan diri dari pergaulan ramai
karena sesungguhnya, makin banyak kita mengikatkan diri dengan urusan dunia,
makin banyak penderitaan batin kita alami. Hemmm, aku yang tidak mempunyai
turunan, apakah sebaiknya mengikuti jejak Ayah? Akan tetapi kalau demikian, apa
artinya hidupku? Apa artinya aku mempelajari semua kepandaian? Bukankah semua
itu dipelajari untuk dapat dipergunakan dalam dunia? Biarlah bukankah Ayah
dahulu bilang bahwa penderitaan merupakan gelombang batin yang amat bernilai
harganya?!
Pada saat itu, seorang
pengawal datang memasuki ruangan dan memberi hormat lalu melaporkan bahwa ada
seorang tamu pria muda mohon menghadap Sang Menteri.
Atas pertanyaan Menteri,
Pengawal itu menjawab. Hamba tidak mengenalnya, Taijin, akan tetapi dia
mendesak untuk diperkenankan menghadap. Dia seorang pemuda yang usianya kurang
lebih dua puluh lima tahun, berwajah tampan dan gagah sikapnya, membawa pedang
di punggung dan sikapnya seperti seorang pendekar.
Namanya?!
Maaf, Taijin. Ketika hamba
tanyakan dia hanya mengatakan bahwa Taijin akan mengenalnya kalau sudah bertemu
dan dia tidak memberitahukan namanya.!
Menteri Kam Liong yang sedang
kesal hatinya itu tidak bernafsu untuk menerima tamu. Ah, tentu seorang di
antara mereka yang masih muda dan ingin sekali mendapatkan kedudukan di kota
raja, pikirnya. Hemmm, bocah itu salah alamat kalau datang kepadanya. Kembali
ia menghela napas. Betapa banyaknya keganjilan terjadi dalam pemerintahan yang kalut
dan lemah ini. Pembesarpembesar tinggi mudah disuap sehingga dia yang mampu
memberi suapan banyak tentu akan ditolong! memperoleh kedudukan tinggi! Ingin
ia memerintahkan pengawalnya untuk mengusir saja pemuda itu, akan tetapi
tiba-tiba kemengkalan hatinya menuntut penyaluran. Biarlah, bocah itu akan
kecelik dan biarlah dia menerima bocah itu. Kalau pemuda itu berani hendak
menyogok!, hemmm... akan dia beri rasa! Akan dimaki-makinya, kalau perlu
dibekali tamparan sebelum diusir pergi!
Suruh dia masuk!! ia berkata
pendek.
Sejenak pengawal itu memandang
bingung. Masuk ke ruangan dalam? Ke kamar kerja Sang Menteri? Biasanya, apabila
menerima tamu, tamu itu disuruh menanti di kamar tamu yang berada di ruangan
luar!
Cepat! Tunggu apalagi?!
Menteri Kam Liong yang sedang mengkal hatinya itu membentak. Sang Pengawal
terkejut, memberi hormat dan keluar, heran di dalam hatinya mengapa hari itu
majikannya demikian galak, padahal biasanya, Menteri Kam Liong terkenal sebagai
atasan dan majikan yang lemah lembut dan halus terhadap anak buahnya.
Menteri Kam Liong sudah
mendengar langkah kaki ringan yang menuju ke kamar kerjanya dan berhenti di
depan pintu. Hemm, seorang yang pandai ilmu silat, pikirnya heran. Mengapa
seorang ahli silat ingin bertemu dengannya? Ingin melamar pekerjaan pengawal?
Tanpa menoleh, sambil minum teh dari cangkirnya, ia berkata tenang. Masuklah!!
Langkah kaki ringan itu
memasuki kamarnya, lalu berhenti dan hening sejenak sebelum suara yang nyaring
itu bertanya.
Apakah saya berhadapan dengan
Menteri Kam Liong?!
Hemm, bocah ini sama sekali
tidak mempunyai suara penjilat, tidak bermuka-muka dan tidak berlebihan
menghormatinya seperti biasa dilakukan orang, malah terdengar agak kurang ajar
dan tidak memandang kedudukannya yang tinggi! Dengan cangkir the masih di depan
mulut, Menteri Kam Liong menoleh sambil berkata.
Siapa engkau? Katakan
keperluanmu!! Akan tetapi ia terkejut ketika pandang matanya bertemu dengan
laki-laki itu.
Seorang pemuda yang amat
tampan dan bersikap gagah sekali, dengan sepasang mata yang bersinar-sinar amat
tajam. Jelas bukan seorang pemuda sembarangan! Juga wajah ini.... serasa pernah
ia mengenalnya, akan tetapi ia tidak ingat di mana dan kapan. Tanpa mengalihkan
pandang matanya dari wajah tampan itu, Menteri Kam Liong yang mulai tertarik,
meletakkan cangkir tehnya di atas meja lalu memutar tubuh menghadapi pemuda itu
dan mendesak, Siapakah engkau?!
Pemuda tampan itu lalu menjura
dan memberi hormat, suaranya terdengar gembira dan penuh perasaan. Harap Twako
sudi memberi maaf kalau siauwte mengganggu. Siauwte adalah Kam Han Ki....!
Menteri Kam Liong mencelat
bangkit dari tempat duduknya dan gerakannya sungguh amat cepat, jauh bedanya
dari sikapnya yang lemah lembut, Han Ki...? Engkau putera mendiang Paman Kam Bu
Sin yang lenyap bertahun-tahun itu....?!
Pemuda yang bernama Kam Han Ki
itu mengangkat mukanya dan memandang Menteri yang disebutnya kakak tua! itu
dengan wajah berseri lalu mengangguk. Benar, Twako. Saya adalah Kam Han Ki adik
sepupu Twako sendiri.!
Ah, Adikku....! Apa saja yang
telah terjadi denganmu selama bertahun-tahun ini? Ah, Adikku....!! Menteri itu
melangkah maju dan merangkul pemuda itu yang cepat menjatuhkan diri berlutut
dengan penuh perasaan terharu.
Duduklah, Han Ki. Duduklah.
Haiii! Pelayan!! Menteri itu memanggil pelayan yang datang berlarian, lalu
memerintahkan untuk mengeluarkan hidangan dan minuman.
Twako, manakah Twaso (Kakak
ipar)? Ijinkan Siauwte memberi hormat kepadanya. Dan mana keponakan-keponakan
saya?!
Pemuda itu menghentikan
pertanyaannya ketika melihat wajah kakak misannya itu menjadi muram. Menteri
Kam Liong menghela napas dan berkata,
Aku hidup sendiri Adikku.
Twa-somu telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu karena penyakit berat,
dan kami tidak mempunyai anak.!
Ahhh...., maaf, Twako.!
Tidak apa, Adikku. Sekarang
ceritakan pengalamanmu selama belasan tahun ini. Sedikitnya tentu ada lima
belas tahun engkau hilang. Ke mana saja engkau? Berita tentang dirimu yang
terakhir amat mencemaskan kami sekeluarga. Engkau diculik dan dilarikan
Siang-mou Sin-ni iblis betina itu!!
Han Ki mengangguk-angguk, lalu
berkata, Benar, seperti yang Twako katakan. Iblis betina Siang-mou Sin-ni
membawa saya lari ke puncak Ta-liang-san di selatan.! Kemudian Han Ki
menceritakan pengalamannya.
Ketika berusia sebelas tahun.
Kam Han Ki mengalami hal yang amat hebat. Dia adalah putera Kam Bu Sin. adik
tiri Suling Emas yang bernama Kam Bu Song. Dia anak ke tiga. Kedua orang
encinya yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui telah pergi ikut bersama
Kauw Bian Cinjin, paman kakek mereka untuk bertapa dan belajar ilmu di puncak
Tai-liang-san (baca cerita MUTIARA HITAM).
Dalam keadaan terluka karena
pukulan-pukulan beracun, Kam Han Ki yang berusia sebelas tahun itu dibawa iblis
betina Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum), menuju ke Pegunungan
Ta-liang-san. Wanita iblis itu lalu mengisap darah Kam Han Ki yang dianggap
mempunyai darah yang bersih dan sumsum yang murni. Akan tetapi, iblis betina
ini tidak tahu bahwa Han Ki telah minum obat beracun dingin milik kakek sakti
Bouw Lek Couwsu (baca cerita MUTIARA HITAM). Sehingga ketika ia menyedot darah
anak itu, ia roboh terkena racun obat itu. Han Ki segera menggunakan jarum
menusuk dada Si Iblis Betina sampai menembus jantungnya dan tewaslah Siang-mou
Sin-ni. Akan tetapi sebelum roboh tewas, iblis betina itu berhasil pula memukul
Han Ki sehingga anak ini roboh pingsan dengan tulang iga patah-patah!
Pada saat yang amat berbahaya
bagi keselamatan nyawa Kam Han Ki, muncullah kakek dewa Bu Kek Siansu yang
memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu. Dan dibawa ke sebuah guha di
lembah Sungai Cin-sha dan diobati. Setelah sembuh, Bu Kek Siansu menggembleng
Han Ki yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi itu dengan ilmu-ilmu
yang tinggi. Selama dua tahun pemuda itu diajar teori-teorl ilmu silat yang
hebat, kemudian disuruh berlatih sampai sempurna seorang diri di guha itu
dengan pesan bahwa kalau belum sempurna tidak boleh keluar guha. Juga dia
diajar cara, bersamadhi dan menghimpun sin-kang.
Dengan dasar teori yang selama
ini kuajarkan kepadamu, engkau membutuhkan waktu belasan tahun untuk
menyempurnakan latihan-latihanmu, Han Ki. Setelah sempurna, baru pergilah kau
ke kota raja dan carilah twakomu Kam Liong. Dialah pengganti orang tuamu dan
selanjutnya, dia yang akan membimbingmu.! Demikian pesan kakek dewa itu yang
lalu pergi menghilang tak pernah muncul lagi.
Han Ki adalah seorang anak
yang berhati keras dan berkemauan teguh.
Biarpun kadang-kadang ia
merasa tersiksa sekali harus hidup menyendiri di tempat sunyi itu, namun ia
terus berlatih dengan rajin sampai sepuluh tahun lamanya!
Setelah ia keluar dari guha
itu, dia telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun! Dengan
sebatang pedang yang sengaja ditinggalkan Bu Kek Siansu untuknya, mulailah
pemuda itu terjun ke dunia ramai dan sekaligus mengguncangkan dunia kang-ouw
karena kepandaiannya yang tinggi. Beberapa kali ia bertemu dengan perampok
jahat, namun dengan mudah saja penjahat-penjahat itu ditaklukkannya. Namun, karena
teringat akan pesan gurunya, dalam perantauannya itu akhirnya Kam Han Ki tiba
di kota raja dan langsung mencari twakonya yang sebelumnya ia selidiki di kota
raja dan mendengar bahwa Kam Liong telah menjadi seorang menteri!
Mendengar cerita itu, berulang
kali Kam Liong menarik napas panjang.
Aihh, Adikku, engkau sungguh
beruntung sekali dapat menjadi murid Bu Kek Sian su! Apakah setelah beliau
pergi meninggalkanmu, tidak pernah datang lagi menjengukmu?!
Tidak, Twako. Suhu adalah
seorang manusia yang sakti dan aneh, yang muncul dan pergi pada saat-saat yang
sama sekali tidak terduga manusia. Karena saya mematuhi pesannya, maka saya
datang menghadap Twako untuk menghambakan diri.!
Ahhh, Adikku yang baik. Jangan
berkata demikian. Bahkan andaikata aku tahu engkau telah menjadi seorang pemuda
yang berkepandaian tinggi, tentu akan kucari karena pada saat ini aku sungguh
membutuhkan bantuan orang yang pandai dan boleh kupercaya penuh. Adikku Han Ki,
maukah engkau membantuku?!
Tentu saja, Twako. Mulai
sekarang, saya hanya menanti perintah Twako, disuruh apa saja saya akan taat.
Twako saya anggap sebagai pengganti orang tua saya, demikian pula pesan Suhu Bu
Kek Siansu.!
Bagus, Han Ki! Ah, betapa lega
rasa hatiku dengan kedatanganmu yang sama sekali tidak pernah kumimpikan
ini.... Adikku, terimalah secawan arak ini dariku untuk mengucapkan selamat
datang kepadamu!! Menteri itu lalu menuangkan arak ke dalam sebuah cawan sampai
penuh betul, kemudian sekali ia menggerakkan tangan, cawan yang penuh arak itu
terlempar ke atas, berputar-putar cepat sekali akan tetapi araknya tidak tumpah
sedikit pun!
Terimalah, Adikku!!
Terima kasih, Twako!! Han Ki
yang maklum bahwa kakak nya sedang mengujinya, menjadi gembira. Ia mendorongkan
tangan kirinya ke arah cawan yang berputaran di udara itu. Cawan menjadi miring
dan isinya tumpah, akan tetapi tumpahnya langsung memasuki mulutnya sampai
cawan itu menjadi kering, lalu ia menyambar cawan itu dan meletakkannya di atas
meja.
Sayang meja ini agak kotor
terkena arak dan kuwah, Twako. Biarlah saya membersihkannya!! Han Ki menggebrak
meja dan.... semua mangkok dan cawan beterbangan ke udara! Cepat Han Ki
menyambar sebuah kain pembersih menggosok meja dengan gerakan yang cepatnya
bukan main sehingga meja menjadi bersih, kemudian ia mengangkat meja itu
menerima mangkok piring dan cawan yang meluncur turun, disambutnya dengan baik
sehingga semua barang itu tidak ada yang tumpah, setelah itu ia meletakkan meja
kembali di depannya.
Bagus. kau hebat, Adikku!!
Menteri Kam Liong girang sekali, kemudian tiba-tiba ia memegang tangan adiknya.
Kam Han Ki merasa betapa dari
telapak tangan kakaknya itu keluar getaran hebat yang makin lama makin panas.
Ia tahu bahwa itulah penyaluran tenaga sin-kang yang amat kuat, maka cepat ia
pun mengerahkan sin-kangnya, menerima tekanan kakaknya dengan muka tidak
berubah. Menteri itu merasa betapa tiba-tiba tangan adiknya yang ia pegang dan
remas itu menjadi dingin seperti salju dan betapa wajah pemuda itu sama sekali
tidak berubah. Ia kagum bukan main dan barulah ia merasa yakin bahwa Bu-Kek
Siansu benar-benar telah berlaku murah hati kepada adiknya ini, dan yakin bahwa
pemuda ini dapat membantunya meringankan beban yang amat berat terasa olehnya
pada waktu itu. Akan tetapi hatinya masih belum puas mengingat betapa
pentingnya tugas yang hendak ia serahkan kepada Han Ki.
Adikku yang baik, marilah ikut
bersamaku ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat)!! katanya setelah ia
melepaskan tangannya. Han Ki bangkit dan mengikuti menteri itu pergi ke
lian-bu-thia.
Para penjaga hanya dapat
melihat dengan mata melongo saja betapa kini pemuda yang menjadi tamu itu
bertanding!! dengan hebatnya melawan Sang Menteri. Han Ki menggunakan
pedangnya, sedangkan Menteri Kam Liong menggunakan sepasang senjatanya yang
selama ini belum pernah terkalahkan, yaitu sebatang suling emas dan sebuah
kipas.
Diam-diam Kam Han Ki kagum
bukan main. Kakaknya yang sudah setengah tua itu ternyata amat hebat. Permainan
suling emas dengan ilmu silat pedang Pat-sian Kiam-sut dirangkai dengan ilmu
kipas Lo-hai San-hoat benar-benar lihai sekali. Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang
Delapan Dewa) adalah ilmu pedang tingkat tinggi yang cepat dan memiliki
jurus-jurus berbahaya, kini dimainkan dengan suling yang berubah menjadi
gulungan sinar emas sungguh menakjubkan.
Adapun Lo-hai San-hoat (Ilmu
Kipas Pengacau Lautan) juga hebat main, selain gagangnya dapat dipergunakan
untuk menotok jalan darah, juga kalau kipas dikebutkan, angin menyambar keras
mengacaukan gerakan lawan.
Namun Han Ki tidak percuma
melatih diri selama belasan tahun seorang diri di dalam guha tidak percuma
menjadi murid Bu Kek Siansu karena ilmu pedangnya juga amat tinggi. Ilmu
pedangnya mempunyai dasar gerakan Hong-in-bun-hoat yaitu gerakan ilmu silat
yang dilakukan seolah-olah menulis! huruf-huruf indah di udara, dan karena
semua limu silat yang dimainkan oleh kedua kakak beradik ini berasal dari satu
sumber, maka mereka dapat saling mengenal jurus lawan dan dapat mengimbanginya.
Seratus jurus telah lewat dan diam-diam Menteri Kam Liong kagum dan girang
sekali. Pada waktu itu, jarang ada lawan, apalagi masih begini muda, yang dapat
menandinginya sampai seratus jurus tanpa terdesak sedikit pun, bahkan dalam hal
tenaga sin-kang, adiknya ini malah lebih kuat daripadanya!
Gu Toan, hebat tidak kepandaian
Adikku ini?! Tiba-tiba Menteri Kam Liong berseru gembira sambil meloncat ke
belakang menghentikan serangannya, menoleh kepada seorang laki-laki setengah
tua yang berpunggung bongkok dan yang sejak tadi menonton dengan mata
terbelalak dan mulut celangap, melongo, dengan penuh kekaguman.
Si Bongkok yang bernama Gu
Toan itu membungkuk-bungkuk sehingga tubuhnya menjadi makin bongkok, mulutnya
berkata. Hebat.... hebat.... hamba belum pernah menyaksikan yang sehebat itu,
Taijin....!
Diam-diam Han Ki terkejut.
Seorang pelayan mengapa dapat menilai pertandingan ilmu silat tinggi yang tak
dapat diikuti pandangan mata sembarangan orang? Agaknya Menteri Kam Liong
maklum akan keheranan hati adiknya maka ia lalu berkata sambil menunjuk ke arah
orang bongkok itu.
Jangan pandang ringan orang
ini, Han Ki. Gu Toan ini adalah pelayanku selama belasan tahun dan biarpun dia
tidak langsung menjadi muridku, namun dari melihat saja dia telah dapat
menguasai dasar-dasar ilmu silat yang kumainkan. Sayang dia sudah tua dan ketika
kecil tidak dilatih, padahal dia memiliki bakat yang lebih besar daripada
bakatku sendiri. Pula, di dunia ini sukar dicari orang yang lebih setia
daripada Gu Toan!!
Gu Toan kelihatan malu-malu
dan berkali-kali ia menjura. Taijin terlalu memuji hamba, terlalu memuji
hamba....!Ah, Kongcu benar-benar memiliki ilmu pedang yang tiada keduanya di
dunia ini.!
Gu Toan, ketahuilah bahwa
pemuda ini adalah adikku sendiri, adik sepupu yang mulai sekarang kuangkat
menjadi pengawal pribadiku!!
Ahh, selamat datang, Kongcu!!
pelayan itu berseru girang dan melihat sinar matanya, Han Ki diam-diam
membenarkan pendapat kakaknya. Memang pelayan bongkok ini memiliki sinar mata
yang hebat, penuh kecerdikan. juga penuh kesetiaan.
Kembali kakak beradik in!
duduk berdua di kamar Sang Menteri dan mulailah Menteri Kam Liong menceritakan
semua urusan yang memberatkan hatinya.
Yang memberatkan hatiku adalah
dua persoalan.! Menteri itu bercerita. Pertama adalah kekuasaan suku bangsa
Yucen yang makin besar. Aku merasa curiga dengan keadaan mereka, oleh karena
itu diam-diam aku menyuruh muridku sendiri untuk menyelundup dan bekerja disana
sebagai seorang perwira.!
Han Ki tertarik sekali dan
merasa kagum akan kecerdikan twakonya dan keberanian murid twakonya itu. Akan
tetapi telah beberapa lama ini dia tidak memberi kabar, bahkan aku khawatir
sekali kalau-kalau terjadi sesuatu dengan kurir yang sering kali menghubungkan
dia dan aku, mengirim berita-berita. Karena itu, engkau harus mewakili aku
menyelidiki ke sana, Adikku. Tidak mungkin kalau aku sendiri yang pergi ke
sana, karena mereka sudah mengenalku. Aku sendiri akan berangkat ke Khitan
menyelidiki keadaan kakak misanmu yang menjadi Raja Khitan.!
Menteri itu lalu
memperkenalkan Raja Talibu yang juga merupakan putera Suling Emas sehingga Han
Ki makin tertarik hatinya. Segera ia menyanggupi tugas yang dibebankan
kepadanya.
Akan tetapi, karena dia
diangkat sebagai pengawal Menteri Kam Liong, tentu saja dia harus diperkenalkan
dengan para pembesar lain, juga bahkan dihadapkan kepada Kaisar oleh Menteri
Kam Liong.
Kaisar merasa suka bertemu
dengan Han Ki, kagum melihat pemuda yang lemah-lembut, tampan dan gagah perkasa
itu.
Apalagi ketika Kaisar
mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah adik sepupu sendiri dari menterinya
yang setia, kepercayaannya bertambah dan ia menerima Han Ki dengan gembira.
Bahkan memberi ijin kepada pemuda itu untuk melihat-lihat! keadaan di sekeliling
istana, mengagumi taman bunga istana yang amat indah itu.
Setelah menghaturkan terima
kasih, Han Ki lalu memasuki taman, meninggalkan twakonya yang masih
bercakap-cakap dengan Kaisar mengenai keadaan pemerintahan. Pemuda ini kagum
bukan main. Taman itu amat luas, pula amat indahnya sehingga dia merasa
seolah-oleh tersesat ke alam sorga di dalam mimpi. Belum pernah selama hidupnya
ia menyaksikan bunga-bunga yang demikian banyak macamnya, serba indah, bangunan
indah dalam taman dan burung-burung yang dipelihara dalam sangkar beraneka
warna.
Saking tertariknya, pemuda
yang selama hidupnya baru sekali itu menyaksikan tempat yang demikian indahnya,
sampai lupa diri dan tidak tahu bahwa dia telah memasuki daerah terlarang,
yaltu taman puteri yang terpisah dari taman umum dengan pagar bunga mawar
berduri yang tinggi. Namun bagi Han Ki tentu saja pagar itu tidak berarti
apa-apa. Ketika menjenguk dan melihat betapa taman di sebelah pagar itu jauh
lebih indah lagi, dengan bangunan-bangunan mungil dan kolam-kolam ikan, serta
sangkar-sangkar burung berkilauan agaknya terbuat daripada perak dan emas, ia
mengenjot tubuhnya dan melompati pagar bunga mawar.
Dia sampai berdiri bengong dan
menahan napas menyaksikan segala keindahan itu. Rumput-rumput yang tumbuh di
tempat ini pun bukan sembarangan, melainkan rumput yang teratur dan amat indah
seperti permadani dari beludru? Seperti dalam mimpi ia berjalan terus,
melangkah ke arah sekumpulan bangunan yang dicat merah. Tiba-tiba telinganya
mendengar suara wanita menjerit-jerit kebingungang bahkan lalu mendengar wanita
menangis? Cepat ia menyelinap di antara pohon bunga, berlompatan mendekati
suara yang datangnya dari balik kelompok bangunan.
Ketika ia tiba di situ dan
memandang dari tempat sembunyinya di balik pohon, ia bengong, matanya tak
berkedip memandang ke depan dan napasnya seolah-olah terhenti sama sekali.
Kalau tadi ia kagum dan merasa dalam mimpi menyaksikan keindahan taman, kini ia
terpesona menyaksikan seorang dara jelita yang kecantikannya seolah-olah
membuat denyut darahnya tiba-tiba membeku? Seorang dara jelita berpakaian serba
merah jambon sedang menangis di bawah pohon, dihibur oleh empat orang wanita
muda cantik-cantik dan beberapa orang di antara wanita-wanita itu ada yang
sibuk menjentikkan jari tangan sambil meruncingkan bibir merah dan mengeluarkan
bunyi bercicit seperti burung.
Kalau dia tidak mau kembali
dan terbang pergi.... ah bagaimana?! Dara cantik yang berpakaian indah itu
terisak. Perhiasan dari batu permata berbentuk burung hong yang menghias rambutnya
mengangguk-angguk karena gerakan tangisnya. Empat orang yang menghiburnya itu
pun cantik-cantik, akan tetapi dibandingkan dengan dara berpakaian jambon,
mereka itu seperti empat ekor burung gereja di dekat seekor burung hong!
Tenanglah, Siocia, kalau kita
tidak dapat menangkapnya, nanti hamba minta bantuan tukang kebun,! seorang di
antara empat pelayan itu menghibur.
Apakah tukang kebun dapat
terbang? Mana bisa menangkap seekor burung? Aihhh, kalau Hongsiang (Kaisar)
mengetahui, tentu tidak apa-apa, akan tetapi aku khawatir sekali terhadap
kemarahan Hong-houw (Permaisuri), burung ini adalah kesayangannya.! Dara itu
menangis lagi.
Han Ki merasa kasihan sekali.
Belum pernah ia mengalami perasaan seperti ini. Mengapa, ia tiba-tiba merasa
kasihan sekali kepada dara berpakaian jambon itu? Padahal mengenalnya pun belum
dan apa urusannya pun dia belum tahu. Hanya melihat dara itu berwajah demikian
gelisah dan melihatnya menangis, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia
memandang ke arah pohon dan tampaklah olehnya seekor burung kecil berwarna
kuning yang indah sekali. Ketika melihat sangkar kosong di dekat puteri itu
tahulah dia bahwa Sang Puteri itu agaknya telah membikin burung tadi terlepas
dan kini merasa bingung bagaimana akan dapat menangkapnya kembali.
Terdorong oleh rasa kasihan,
Han Ki menjadi nekat lalu dia melompat keluar dan berkata, Harap Siocia tidak
khawatir, saya akan menangkap burung itu!!
Dara berpakaian jambon ini
terbelalak dan menahan jeritnya, sedangkan empat orang pelayan itu pun menutup
mulut saking kaget dan herannya. Han Ki yang melihat sikap mereka, menjadi
heran, hanya mengangkat pundak kemudian tubuhnya sudah mencelat naik ke atas
pohon. Burung itu terkejut dan terbang, akan tetapi Han Ki sudah mendorongkan
telapak tangannya. Angin bertiup dari telapak tangannya dan burung itu tertahan
terbangnya, lalu disambarnya dengan tangan kanan dan dibawanya melompat turun.
Nah, ini dia, Siocia, sudah
dapat saya tangkap, kembali.!
Dara itu girang bukan main,
lupa akan keheranannya melihat munculnya seorang pemuda tampan dan seorang di
antara pelayan lalu mengambil sangkar kosong dan tak lama kemudian burung itu
sudah aman berada di dalam sangkar kembali. Kini barulah lima orang wanita itu
memandang Han Ki dengan bengong dan tiba-tiba wajah puteri itu menjadi merah
sekali, lalu ia menunduk dan membuang muka karena ia melihat sinar kagum jelas
sekali terpancar keluar dari pandang mata pemuda yang tampan itu.
Eh, orang muda, apakah kau
pandai terbang?! seorang di antara empat pelayan bertanya.
Apakah engkau tukang kebun
baru?! tanya yang ke dua.
Tanpa mengalihkan pandang
matanya dari wajah yang menunduk dari puteri itu Han Ki menggeleng kepala. Aku
tidak pandai terbang dan bukan tukang kebun.!
Kini puteri itu memutar tubuh
dan memandang ke arah wajah Han Ki, penuh kemarahan dan bibir yang merah itu
merekah, lalu terdengar suaranya yang bagi Han Ki seperti nyanyian bidadari.
Kalau engkau bukan tukang
kebun, bagaimana engkau bisa berada di sini?!
Han Ki tak gentar menghadapi
pandang mata para penjahat yang liar dan bengis, tidak berkedip menghadapi
serangan pedang dan golok. Namun kini, mata yang memancar keluar dari sepasang
mata indah itu membuat ia gugup dan jantungnya berdebar tidak karuan!!
Aku.... aku...., melihat-lihat
taman dan melompati pagar bunga mawar!!
Aihh! Orang muda yang kurang
ajar!! Seorang di antara para pelayan membentak. Kau bicara seenaknya saja di
depan seorang puteri Kaisar!!
Han Ki terkejut sekali, akan
tetapi perasaannya sebagai seorang laki-laki yang gagah membuat ia pantang
untuk bertekuk lutut, maka ia hanya menunduk dan berkata lirih.
Maaf, maafkan saya, Siocia.
Saya tidak tahu.... ah, saya bersedia dihukum karena kesalahan ini....!
Aneh sekali. Kini puteri itu
tersenyum simpul, matanya mengerling wajah tampan itu, jantungnya berdebar,
kemudian ia berkata, Kalau pengawal tahu engkau masuk ke daerah terlarang ini,
engkau akan dihukum mati! Karena itu, sebaiknya engkau lekas pergi dari sini
Eh, pelayan, berikan hadiah
kepadanya yang telah menangkap kembali burung yang terlepas.!
Tidak, Siocia. Saya tidak
membutuhkan hadiah. Memang burung itu tentu saja ingin sekali bebas karena
betapa pun indah sangkarnya, dia hidup terkurung. Lihat, bukankah dia nampak
bersedih? Sungguhpun begitu, dia seekor burung yang bodoh sekali, mengapa ingin
bebas....!
Sepasang alis yang kecil
panjang hitam seperti dilukis itu bergerak ke atas dan kembali Han Ki merasa
jantungnya tertusuk oleh sinar mata itu. Engkau bicara aneh dan tidak karuan.
Tadi kaukatakan bahwa tentu saja burung itu ingin bebas kemudian kau mencelanya
sebagai burung bodoh! Apa maksudmu?! Puteri itu memandang tajam dan kembali
jantungnya berdebar aneh ketika melihat lebih jelas lagi betapa wajah pemuda di
depannya itu benar-benar amat tampan dan menarik hatinya.
Dia bodoh sekali, Siocia.
Kalau saya menjadi dia, saya.... saya akan merasa bahagia sekali dikurung dalam
sangkar dan berada di sini selamanya!! Han Ki yang masih merasa dalam mimpi itu
bicara sejujurnya menurutkan suara hatinya.
Kembali sepasang mata itu terangkat
dan sepasang mata indah itu melebar. Mengapa?!
Karena.... karena setiap hari
akan dapat melihat Siocia dan dapat bernyanyi untuk Siocia....!
Alihhh....!! Puteri jelita itu
membuang muka, wajahnya menjadi merah sekali melebihi warna bajunya, mata seperti
orang bingung, bergerak-gerak pandangnya tanpa tujuan seperti mata kelinci
terjebak, akan tetapi bibir yang merah dan manis itu tersenyum-senyum malu,
tersipu-sipu!
Weh-weh, kau laki-laki kurang
ajar! Kau bisa dihukum mati kalau bicara seperti ini, kata seorang pelayan,
juga tiga orang yang lain marah-marah. Siapa sih engkau berani mati seperti
ini?!
Han Ki menjawab tanpa
mengalihkan pandang matanya dari wajah yang kemerahan itu dan memang dia bukan
menjawab Si Pelayan melainkan berkata ditujukan kepada puteri itu. Saya bernama
Kam Han Ki, pengawal pribadi dan juga adik sepupu Menteri Kam Liong. Saya
diperkenankan oleh Hongsiang untuk melihat-lihat Taman, akan tetapi telah
tersesat ke sini, harap Siocia sudi memaafkan.!
Oohhh....! Kau.... kau.... adik
sepupu Menteri Kam?! Puteri itu berkata lirih dan kemarahan lenyap dari pandang
matanya, terganti kekaguman. Juga empat orang pelayan yang tadi marah-marah,
kini tersenyum-senyum memandang nona majikan mereka. Sang Puteri dapat
menangkap kerling dan senyum ini, lalu membentak.
Mau apa kalian
tersenyum-senyum?!
Empat orang pelayan itu
menunduk akan tetapi tetap tersenyum dan seorang di antara mereka yang paling
berani lalu berkata, Hamba sekalian mengira bahwa dia adalah tukang kebun yang
rendah, Siocia. Kiranya adik Kam-taijin, seorang pemuda bangsawan yang gagah
perkasa, malah pandai terbang melebihi burung. Hemm ....!
Puteri itu tersipu-sipu akan
tetapi memaksa diri menghadapi Han Ki yang masih bengong terpesona karena wajah
puteri itu makin dipandang makin mempesona lalu berkata lirih.
Kam-taihiap, sebaiknya engkau
lekas pergi dari sini. Kalau ketahuan Hongsiang, selain engkau dihukum aku pun
akan mendapat malu. Harap suka pergi dan.... terima kasih atas bantuanmu tadi.!
Han Ki mengangguk, merasa kecewa
sekali harus pergi dari depan puteri ini. Akan tetapi ia pun maklum bahwa
kehadirannya di situ akan mendatangkan bencana bagi Sang Puteri, maka dia
berkata, Maaf....!! lalu membalikkan tubuhnya melangkah pergi menuju ke pagar
bunga mawar dengan kedua kaki lemas. Mengapa. hatinya seperti hilang dan
semangatnya kabur ke manakah? Terasa seperti tubuhnya yang lemas saja yang
pergi, akan tetapi semangat, dan hatinya tertinggal di depan kaki Sang Puteri.
Sampai di pagar, dia menengok. Puteri itu ternyata memandang ke arahnya dengan
bengong. Sejenak dua pasang mata bertemu, bertaut seolah-olah melekat dan sukar
dilepas lagi. Kemudian puteri itu menunduk.
Maaf, Siocia. Saya Kam Han Ki
telah berlaku lancang dan berdosa terhadap Siocia. Akan tetapi sudah kepalang,
biarlah saya menambah dosa lagi dengan mengetahui nama Siocia. Bolehkah?!
Sunyi sejenak. Tanpa
mengangkat muka puteri itu berkata lirih.
Namaku.... Hong Kwi....!
Terima kasih!! Han Ki berkata
dengan girang dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari situ melompati pagar.
Demikian cepat gerakannya sehingga, empat orang itu berseru,
Dia.... dia menghilang.
Jangan-jangan dia.... setan....!!
Puteri itu tertawa, suara
tawanya seperti nyanyian burung, tanda bahwa hatinya gembira sekali. Hushhh!
Bukan menghilang! Mana ada setan di siang hari? Dia seorang Tai-hiap, seorang
pendekar besar, tentu saja loncatannya cepat sekali. Dia adik Kam-taijin yang
memiliki kepandaian luar biasa, tentu saja....!!
Hebat.... Betulkah, Siocia?
Hi-hihik!! para pelayan tertawa.
Hushh! Apa ketawa? Kusuruh
cambuk kau, seribu kali!! Sang Puteri menghardik.
Akan tetapi empat orang
pelayan itu masih terkekeh genit dan seorang di antara mereka yang sudah dapat
mengetahui rahasia hati puteri asuhan mereka itu, berkata sambil berlutut. Hati
hamba sekalian gembira sekali, Siocia, jangankan dicambuk seribu kali, biar
selaksa kali hamba terima!!
Tentu saja mereka hanya
bergurau karena kalau betul-betul dicambuk, jangankan selaksa kali atau seribu
kali, baru dua puluh kali saja kulit-kulit tipis punggung dan pinggul mereka
tentu akan pecah-pecah dan nyawa mereka melayang!
Demikianlah, semenjak saat
itu, hati Han Ki tercuri oleh Puteri Hong Kwi yang cantik jelita. Puteri ini
adalah puteri Kaisar dari selir yang memang terkenal cantik jelita. Dan
semenjak saat itu, Han Ki selalu mencari kesempatan untuk tersesat atau lebih
tepat menyesatkan diri! ke dalam taman terlarang sehingga dalam waktu sebulan
itu, beberapa kali ia kebetulan! bertemu dengan Sung Hong Kwi, puteri selir itu
yang selalu ada di taman itu. Bahkan kini puteri itu amat sering datang ke
taman untuk duduk termenung sambil memandang burung kuning dalam sangkar! Kini
puteri ini tidak lagi menyimpan rahasia hatinya kepada empat orang pelayannya
yang tentu saja merahasiakan pertemuan antara Han Ki dan Hong Kwi.
Pada saat malam terang bulan,
Hong Kwi duduk melamun di taman. Empat orang pelayan duduk tak jauh dari situ,
berbisik-bisik dan tidak berani mengganggu Sang Puteri yang mereka tahu sedang
murung memikirkan Han Ki yang sudah beberapa hati tidak tampak.
Hong Kwi memandang ke arah
burung kuning dalam sangkar. Pikirannya melayang-layang jauh. Dia tidak melihat
burung di dalam sangkar itu, melainkan wajah Han Ki! Dari bibirnya
berbisik-bisik Mungkinkah....? Akukah yang seperti burung dalam sangkar?
Bagaimana mampu bebas dan terbang berdua dengan burung di luar sangkar? Ah!
Kam-tai-hiap....!!
Seolah-olah mendengar jeritan
hatinya, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Han Ki telah berdiri di
hadapannya!
Kam-taihiap....!! Hong Kwi
terkejut sekali. Betapa beraninya pemuda ini! Malam-malam datang di tempat itu!
Kalau ketahuan, mereka berdua bisa celaka!
Akan tetapi sikap Han Ki tidak
gembira seperti biasa. Biarpun biasanya pertemuan antara mereka berdua. hanya
lebih banyak pertemuan pandang mata saja daripada percakapan, namun Han Ki
selalu bersikap gembira. Namun malam ini, di bawah sinar bulan, wajah yang
tampan itu kelihatan muram.
Siocia...., saya datang....
untuk berpamit....!
Dara jelita itu terkejut,
mengangkat muka memandang penuh selidiki. Berpamit....? Kam-taihiap....
mengapa? Apa yang terjadi? Engkau.... hendak pergikah?!
Pemuda itu hanya mengangguk,
kemudian memandang ke arah empat orang pelayan dan berkata, Bolehkah saya
bicara berdua saja denganmu, Siocia?!
Ahhh.... tapi.... tapi....! Ia
meragu! lalu menoleh ke arah empat orang pelayannya sambil berkata lirih.
Kalian pergilah sebentar.! Empat orang pelayan itu saling pandang, lalu
tersenyum dan bagaikan empat ekor kupu-kupu, mereka berlarian menjauh dan bersembunyi
di dalam bangunan kecil, agak jauh dari tempat itu.
Tai-hiap, engkau hendak pergi
ke manakah?!
Siocia, saya mendapat tugas
dari Menteri untuk melakukan penyelidikan ke negara bangsa Yucen....!!
Aihhh....! Bangsa yang biadab
itu....!! Sang Puteri berseru kaget sekali.
Karena itu, maka harus
diselidiki keadaannya, Siocia. Demi kepentingan kerajaan ayahmu saya harus
berangkat besok pagi-pagi. Karena inilah maka saya memberanikan diri menghadap
Siocia untuk berpamit.!
Kam-taihiap, berapa lamakah
kau pergi....?!
Han Ki menggeleng kepala.
Bagaimana saya bisa tahu, Siocia? Tergantung keadaan di sana dan.... hemmm,
kalau saya sampai tidak kembali menghadap Siocia itu berarti bahwa saya tentu
tewas di sana.... eh! Siocia .... ! Siocia ....!!
Han Ki cepat menubruk dan
merangkul dara itu yang tiba-tiba menjadi lemas dan pingsan mendengar ucapannya
itu. Dia merangkul leher dara itu penuh kasih sayang, penuh kemesraan, lalu
memondongnya dan memangkunya sambil duduk di bangku tepi kolam. Ia tahu bahwa dara
itu hanya pingsan karena kaget, maka perlahan-lahan ia mengurut belakang
kepalanya.
Muka itu tengadah, agak pucat
namun bibirnya masih merah segar. Pernapasan merasa lega sekali dan tanpa
disadarinya ia menunduk mencium dahi yang putih halus itu. Sang Puteri sadar
dan berteriak ketika mendapatkan dirinya dipangku dan dahinya dicium.
Ahhh, Kam-taihiap....!! Ia
merintih dan kedua lengannya merangkul leher.
Hong Kwi.... Hong Kwi....?!
Han Ki juga mengeluh, sakit hatinya karena maklum akan keadaan mereka yang
seolah-olah terpisah jurang kedudukan, dan kini malah akan berpisah! Ia menjadi
terharu, bercampur cinta kasih mendalam dan tanpa mereka sadari dan tanpa
mereka ketahui siapa yang memulainya, muka mereka saling berdekatan dan bibir
mereka bertemu dalam sebuah ciuman mesra, ciuman yang mereka lakukan tanpa
sadar, seolah-olah ada tenaga gaib yang mendorong mereka karena selama hidup
mereka belum pernah berciuman seperti itu. Tercurah seluruh kerinduan hati,
seluruh keharuan, seluruh cinta kasih sehingga sambil berciuman yang
seolah-olah takkan pernah terlepas lagi itu mereka terisak, naik sedu-sedan
dari dada mereka, ke tengorokan.
Mereka terengah-engah, terbuai
oleh gelombang asmara yang hebat, baru melepaskan ciuman setelah napas tak
tertahan lagi, saling rangkul seolah-olah tak hendak melepaskan lagi.
Hong Kwi....!!
Koko....! Kam-koko....!!
Entah berapa lama mereka
saling rangkul, entah berapa kali mereka saling berciuman. Tiada bosan-bosannya
Han Ki mencium dahi, alis, mata, hidung, pipi, bibir dan leher wanita yang
dicintanya, seolah-olah hendak menghisap semua itu dan menyimpannya ke dalam
lubuk hatinya. Mereka lupa diri, lupa waktu,lupa keadaan.
Siocia....!! Suara pelayan menyadarkan
mereka. Hamba mendengar suara peronda....!!
Puteri itu melepaskan diri
dari atas pangkuan Han Ki, berdiri gemetar sambil memegang lengan Han Ki yang
kuat. Koko.... bagaimana dengan kita....? Ahh, Koko, jangan tinggalkan aku,
bawalah aku pergi.... mari kita minggat malam ini juga....!
Han Ki menutup mulut itu
dengan ciuman mesra, tidak peduli lagi bahwa perbuatannya ini kelihatan oleh
pelayan yang cepat membuang muka dengan sungkan.
Hushhh, jangan berkata
demiklan, kekasihku. Jangan khawatir, aku pasti akan kembali membawa jasa dan
tentang masa depan kita, harap jangan khawatir.... Twako Kam Liong tentu akan
membantuku dan engkau akan dilamar secara resmi. Mengingat akan kedudukan dan
jasa Menteri, kiranya pinangan itu takkan ditolak oleh Hongsiang. Nah, selamat
berpisah, manisku. Itu peronda datang....! Han Ki melepaskan pelukannya dan
hendak meloncat pergi.
Koko ....! Ahh, Koko....!!
Puteri itu merintih. Han Ki meloncat kemibali, memberi ciuman yang mesra sekali
yang seolah-olah menghisap hati dara itu, kemudian tanpa menoleh ia sudah
meloncat cepat lenyap dari situ. Untung bahwa pemuda itu memiliki kepandaian
yang hebat sehingga munculnya peronda tidak mengakibatkan sesuatu karena
peronda-peronda itu tidak melihat atau mendengar kehadiran Si Pemuda yang nekat
dan berani mati karena asmara itu. Para peronda memberi hormat kepada Puteri
Sung Hong Kwi yang telah menguasai hatinya dan tanpa mengeluarkan kata-kata
dara itu kembali ke kamarnya diikuti empat orang pelayannya yang diam-diam
saling towel saling cubit dan menutupi senyum dengan tangan mereka.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Kam Han Ki berangkat melaksanakan tugas yang diberikan
kepadanya oleh Menteri Kam Liong, yaitu menyelidiki ke kota raja bangsa Yucen
untuk menyusul Khu Tek San, yaitu murid Menteri Kam Liong yang diselundupkan ke
Kerajaan bangsa Yucen.
Adapun Menteri Kam Liong
sendiri tak lama kemudian juga pergi seorang diri setelah mendapat perkenan
Kaisar, pergi ke Khitan untuk menyelidiki kerajaan adiknya yang ia tahu terancam
perang besar dengan bangsa Yucen, bahkan barisan Sung sendiri atas pimpinan
panglima-panglima perbatasan yang sudah disetujui oleh Kaisar juga membantu
bangsa Yucen menyerang Khitan. Ia merasa khawatir sekali, apalagi karena ia pun
tahu bahwa bangsa Mongol sedang berkembang dan selalu mengintai daerah-daerah
perbatasan!
***
Maya berjalan seperti
kehilangan semangat bersama pasukan pengawal yang kini telah berubah menjadi
perampok-perampok, menjadi serigala-serigala haus darah yang amat kejam di
bawah pimpinan Bhutan. Anak perempuan yang usianya baru sepuluh atau sebelas
tahun ini menderita tekanan batin yang bukan main hebatnya. Pertama-tama
tentang keadaan dirinya yang ternyata bukanlah puteri Raja dan Ratu Khitan,
melainkan keponakan mereka, dan bahwa ayah bundanya telah tewas. Hal ini saja
sudah membuat ia berduka bukan main, sungguhpun andaikata dia benar puteri Raja
dan Ratu, mereka ini pun sekarang telah tewas. Ke dua, menyaksikan
kekejaman-kekejaman yang dilakukan pasukan itu benar-benar mengerikan sekali.
Ke tiga, memikirkan keselamatannya sendiri yang terancam malapetaka hebat.
Malam itu, gerombolan yang
dipimpin Bhutan mengaso di sebuah hutan dan mereka itu berpesta-pora dan
mabuk-mabukan karena baru saja mereka membasmi sebuah dusun. Diantara suara
ketawa-tawa mereka terdengar jerit dan rintih wanita-wanita yang mereka culik
dan mereka seret ke dalam hutan itu. Ada di antara mereka yang sekaligus
membawa dua orang wanita dan mempermainkan mereka seperti seekor kucing
mempermainkan dua ekor tikus. Maya tidak melihat itu semua, tidak mendengar itu
semua. Sudah terlalu sering ia mendengar dan melihat hal-hal mengerikan itu
sehingga biarpun kini mata dan telinganya terbuka, namun yang tampak olehnya
hanya api unggun di depannya.
Diam-diam dia telah
mempersiapkan diri. Di dalam perampokan-perampokan itu, ia menemukan sebuah
pisau belati yang runcing dan tajam. Disembunyikannya pisau itu di balik
bajunya, diselipkan di ikat pinggang sebelah dalam. Dan ia selalu mencari akal
untuk melarikan diri. Mereka sedang mabok-mabokan dan memperkosa wanita
rampasan. Kalau saja Bhutan malam itu tidak menjaganya, tentu ia akan dapat
melarikan diri di dalam hutan yang gelap itu. Mereka sedang mabok dan sedang
mengganggu para wanita. Kalau dia lari, tentu takkan ada yang tahu. Jantungnya
sudah berdebar karena dia tidak melihat Bhutan yang tadi rebah-rebahan tidak
jauh dari situ.
Akan tetapi harapannya
membuyar ketika tiba-tiba terdengar suara ketawa Bhutan. Suara ketawa yang
serak. Ha-ha-ha, engkau kelihatan manis sekali di dekat api unggun. Kulit
wajahmu kemerahan. Wahai, puteriku jelita! Engkau seperti bukan kanak-kanak
lagi, heh-heh-heh!! Maya merasa muak dan mau muntah ketika muka Bhutan yang
didekatkan itu mengeluarkan bau arak dan daging busuk!
Jantung Maya berdebar tegang.
Ia, tahu bahwa orang yang paling dibencinya ini sedang mabok. Dari pandang
mata, sikap dan ucapannya, Maya merasa bahwa ada bahaya mengancamnya, bahaya
yang selama ini amat ditakutinya. Biasanya Bhutan hanya merayu dan memujinya
dengan kata-kata saja, akan tetapi sekali ini agaknya dia, mempunyai niat lain.
Pergi dan jangan ganggu aku!!
Maya membentak marah.
Ha-ha-ha, Maya yang manis!
Tadinya aku hendak menunggu satu dua tahun sampai engkau lebih matang. Akan
tetapi aku tidak sabar menunggu sekian lamanya dan engkau.... hemm, engkau
sudah cukup matang, engkau seperti setangkai kuncup kembang yang sudah merekah,
marilah, Maya manis!! Bhutan yang kini sudah berubah seperti seekor anjing
kelaparan itu menangkap tangan Maya dan menarik tubuh anak perempuan itu
sehingga roboh ke dalam pelukannya. Bhutan tertawa-tawa dan memondong tubuh
Maya yang meronta-ronta, membawanya ke balik gerombolan pohon kembang di mana
terdapat tilam rumput hijau yang lunak. Tak jauh dari situ terdapat mayat
seorang wanita yang baru saja menjadi korban kebuasan Bhutan. Manusia kejam ini
telah memperkosa wanita rampasan itu, kemudian membunuhnya karena wanita itu
tidak memuaskan hatinya dan dalam kehausan nafsu yang bernyala-nyala, Bhutan
teringat akan Maya dan kini membawa anak perempuan yang meronta-ronta itu ke
situ tanpa mempedulikan mayat yang menjadi korban kebuasannya.
Sambil tertawa-tawa dan dengan
nafsu makin menyala-nyala, agaknya makin terbangkit oleh perlawanan Maya yang
meronta-ronta, Bhutan melempar tubuh Maya ke atas rumput di mana dara cilik itu
terbanting roboh telentang, kemudian Bhutan menubruk dan menindihnya. Maya
menggerakkan kepala ke kanan kiri untuk mengelakkan ciuman-ciuman Bhutan yang
menjijikkan. Biarpun semenjak tadi Maya meronta-ronta dan menjerit-jerit
seperti seorang yang tidak berdaya dan yang hanya bisa menjerit dan menangis,
namun sesungguhnya diam-diam anak ini telah mempersiapkan seluruh urat tubuhnya
dengan perhitungan seorang ahli silat. Ketika melihat lowongan, yaitu kedua
tangan Bhutan menjambak rambutnya, agaknya untuk memaksa Maya agar tidak dapat
menggerakkan kepala mengelak, kemudian mencium mulut gadis cilik itu penuh
nafsu, saat itulah yang dinanti-nanti Maya. Ia mengatupkan mulutnya, kuat-kuat
sehingga yang dicium Bhutan hanya sepasang bibir yang bersembunyi, dan
tiba-tiba tangan kanan Maya bergerak, menikamkan pisau belati tepat, ke ulu
hati Bhutan dan miring ke kiri, ke arah jantung, sedangkan tangan kirinya yang
kecil itu menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah mata lawan. Biarpun Maya
merasa muak dan jijik, namun dengan kekuatan hatinya ia dapat menekan
perasaannya itu dan dapat melakukan serangan mendadak secara tepat sekali.
Pekik yang keluar dari mulut
Bhutan merupakan raungan binatang buas yang direnggut nyawanya. Tusukan
jari-jari kecil pada kedua matanya dan rasa sakit pada dadanya membuat Bhutan
secara otomatis membawa tangannya ke mata dan dada. Saat yang hanya beberapa
detik ini cukup bagi Maya untuk meronta. dan keluar dari tindihan tubuh Bhutan,
kemudian meloncat pergi lalu berlari cepat memasuki tempat gelap. Bhutan
meloncat bangun, meraung lagi, berusaha mengejar namun roboh terguling,
berkelojotan dan dari kerongkongannya terdengar bunyi mengorok seperti babi
disembelih. Akhirnya ia tewas tak jauh dari mayat wanita yang telah dibunuhnya.