Bab 1
Anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun itu mengintai
dari kaca jendela dengan muka marah, mata merah dan gigi berkerot saking marah
dan sedihnya menyaksikan keadaan di ruangan dalam rumah gedung ayahnya.
Ruangan itu luas dan terang-benderang, suara tetabuhan musik
terdengar riuh di samping gelak tawa tujuh orang pembesar Mancu yang sedang
dijamu oleh ayahnya. Dari luar jendela ia tidak dapat menangkap suara
percakapan yang diselingi tawa itu karena amat bising bercampur suara musik,
akan tetapi menyaksikan sikap ayahnya terhadap para tamu pembesar itu, anak ini
menjadi marah dan sedih.
Ayahnya bicara sambil membungkuk-bungkuk, muka ayahnya yang
biasanya bengis terhadap para pelayan dan angkuh terhadap orang lain, kini
menjadi manis berlebih-lebihan, tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk, bahkan
dengan kedua tangan sendiri melayani seorang pembesar yang brewok tinggi besar,
menuangkan arak sambil membungkuk-bungkuk.
Ayahnya yang dipanggil ke kanan kiri oleh para pembesar, menjadi
gugup dan kakinya tersandung kaki meja, guci arak yang dipegangnya miring,
isinya tertumpah dan sedikit arak menyiram celana dan sepatu seorang pembesar
lain yang bermuka kuning. Anak itu dari luar jendela melihat betapa pembesar
ini melototkan mata, mulutnya membentak-bentak dan tangannya menuding-nuding ke
arah sepatu dan celananya. Ayahnya cepat berlutut dan menggunakan ujung bajunya
menyusuti sepatu dan celana itu sambil mengangguk-angguk dan bersoja seperti
seekor ayam makan padi! Tak terasa lagi air mata mengalir keluar dari sepasang
mata anak laki-laki itu, membasahi kedua pipinya dan ia mengepalkan kedua
tangannya.
Ia marah dan sedih, dan terutama sekali, ia malu! Ia malu sekali
menyaksikan sikap ayahnya. Mengapa ayahnya sampai begitu merendahkan diri?
Bukankah ayahnya terkenal sebagai Sie-wangwe (Hartawan Sie) yang amat kaya raya
dan disegani semua orang, bukan hanya karena kaya rayanya, melainkan juga
karena ia terkenal pula dengan nama Sie-siucai (Orang Terpelajar Sie).
Ayahnya hafal akan isi kitab-kitab, bahkan dia sendiri telah
dididik oleh ayahnya itu menghafal dan menelaah isi kitab-kitab kebudayaan, dan
kitab-kitab filsafat. Semenjak berusia lima tahun, dia telah belajar membaca,
kemudian membaca kitab-kitab kuno dan oleh ayahnya diharuskan mempelajari isi
kitab-kitab itu yang menuntun orang mempelajari hidup dan kebudayaan sehingga
dapat menjadi seorang manusia yang berguna dan baik. Akan tetapi, mengapa
setelah kini menghadapi pembesar-pembesar Mancu, ayahnya menjadi seorang
penjilat yang begitu rendah?
Anak itu bernama Han, lengkapnya Sie Han dan panggilannya
sehari-hari adalah Han Han. Dia putera bungsu Keluarga Sie, karena Sie Bun An
yang disebut Hartawan Sie atau Sastrawan Sie hanya mempunyai dua orang anak.
Yang pertama adalah seorang anak perempuan, kini telah berusia tujuh belas
tahun, bernama Sie Leng. Han Han adalah anak ke dua.
Pada saat itu, Han Han yang mengintai dari balik kaca jendela,
melihat ayahnya sudah bangkit kembali, agaknya mendapat ampun dari pembesar
muka kuning, dan kini menghampiri pembesar brewok yang sudah setengah mabuk dan
memanggilnya. Pembesar brewok itu berkata-kata kepada ayahnya dan ia melihat
betapa ayahnya menjadi pucat sekali dan menggeleng-gelengkan kepala. Akan
tetapi pembesar brewokan itu menggerakkan tangan kiri dan.... ayahnya
terpelanting roboh. Han Han hampir menjerit. Ayahnya telah ditampar oleh
pembesar brewok itu!
Dan semua pelayan yang membantu melayani tujuh orang pembesar itu
berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Tujuh orang pembesar Mancu kini
tertawa-tawa dan riuh-rendahlah mereka bicara, agaknya memaki-maki ayahnya dan
mendesak ayahnya melakukan sesuatu.
Si Pembesar Muka Kuning sekarang menggerakkan tangan sambil
berdiri dan ia telah mencabut pedangnya. Dengan gerakan penuh ancaman pembesar
muka kuning itu menusukkan pedangnya sehingga ujung pedang menancap di atas
meja, berdiri dengan gagang bergoyang-goyang mengerikan.
Han Han membelalakkan matanya dan ia menyelinap turun dari tempat
pengintaiannya, kini ia menjenguk dari pintu belakang, terus masuk dan akhirnya
ia berhasil masuk tanpa diketahui, berada di ruangan dalam itu, bersembunyi di
balik tirai kayu, di mana ia dapat mengintai dan juga dapat mendengarkan
percakapan mereka.
˜Sie Bun An!! terdengar pembesar brewok membentak sambil
menundingkan telunjuknya kepada sastrawan itu yang sudah berlutut dengan tubuh
menggigil dan muka pucat, ˜Apakah engkau masih berani membantah dan tidak
memenuhi perintah kami?! Suaranya terdengar lucu karena kaku dan pelo ketika
bicara dalam bahasa Han.
˜Kaukira kami ini orang-orang macam apa? Kami bukan
serdadu-serdadu biasa, tahu? Apa artinya penyanyi-penyanyi dan pelacur-pelacur
ini?! Si Muka Kuning menunjuk ke arah para wanita sewaan yang memang disediakan
di situ untuk melayani dan menghibur mereka.
˜Kami adalah pembesar-pembesar militer dan sudah baik kalau kami
tidak menghancurkan rumahmu. Hayo keluarkan isteri dan puterimu!!
˜Ha-ha-ha! Aku mendengar Nyonya Sie dan puterinya amat cantik
manis!! berkata seorang pembesar lain yang perutnya gendut tapi kepalanya kecil.
˜Suruh mereka melayani kami, baru kami percaya bahwa engkau
benar-benar tunduk dan taat kepada pemerintah baru, bangsa Mancu yang jaya!!
kata pula seorang pembesar lain yang kurus kering.
˜Tapi.... tapi....!! Suara ayahnya sukar terdengar karena
menggigil dan perlahan, kepalanya digeleng-geleng, kedua tangannya diangkat ke
atas. ˜Hal itu ti.... tidak mungkin.... ampunkan kami, Taijin....!
Melihat ayahnya meratap seperti itu, air mata Han Han makin deras
keluar membasahi pipinya. Bukan hanya sedih karena kasihan, melainkan terutama
sekali karena malu dan kecewa. Ia tahu banyak keluarga di kota itu yang pergi
mengungsi sebelum kota itu terjatuh ke tangan bangsa Mancu, mengungsi dan
meninggalkan rumah serta hartanya. Akan tetapi ayahnya tidak mau meninggalkan
kota, rupanya sayang kepada hartanya dan percaya bahwa kalau ia bersikap baik
dan suka menyuap kepada bangsa Mancu, ia akan dapat hidup aman di situ.
˜Kau membantah? Kalau begitu kau memberontak terhadap kami, ya?
Hukumannya penggal kepala!! Si Perwira Muka Kuning bangkit dari kursinya,
mencabut pedang yang menancap di atas meja dan mengangkat pedang itu, siap
memenggal kepala Sie Bun An yang masih berlutut. Semua pelayan yang hadir,
termasuk penabuh musik dan wanita-wanita sewaan, menjadi pucat dan mendekap
mulut sendiri agar tidak menjerit. Han Han dari balik tirai memandang dengan mata
melotot.
˜Tahan....!! Terdengar jerit dari dalam dan muncullah Sie-hujin
(Nyonya Sie) berlari dari dalam. ˜Mohon para Taijin yang mulia sudi mengampuni
suami hamba....! Biarlah hamba melayani Taijin....!
Tujuh orang perwira Mancu itu menoleh dan berserilah wajah mereka.
Perwira muka kuning menyeringai dan menyarungkan kembali pedangnya, kemudian
sekali tangan kirinya bergerak, ia telah menyambar pinggang Nyonya Sie dan
dipeluk, terus dipangkunya sambil tertawa-tawa.
˜Benar cantik....! Masih cantik, montok dan harum....! Hemmm....!!
Perwira muka kuning itu tidak segan-segan lalu mencium pipi dan bibir nyonya
itu yang saking kaget, takut dan malunya hanya terbelalak pucat. Memang Nyonya
Sie adalah seorang wanita cantik. Biarpun usianya sudah tiga puluh lima tahun,
akan tetapi tubuhnya yang terawat baik itu masih padat, wajahnya yang memang
jelita tampak lebih matang menggairahkan. Para perwira lainnya tertawa bergelak
menyaksikan betapa perwira muka kuning itu mendekap dan mencium sesuka hatinya,
seolah-olah di situ tidak ada orang lain lagi, sedangkan para pelayan yang
melihat betapa nyonya majikan mereka yang terhormat diperlakukan seperti itu,
menggigil dan menundukkan muka tidak berani memandang. Sie Bun An sendiri yang
masih berlutut, memandang dengan muka pucat seperti kertas dan ia tidak dapat
bergerak, seolah-olah telah berubah menjadi arca batu.
˜Taijin.... ampun....! Nyonya Sie megap-megap karena sukar ia
bicara dengan bibir diciumi secara kasar seperti itu. ˜.... lepaskan.... ohhh,
ampun, saya.... adalah wanita baik-baik....!
Sebagai jawaban, perwira muka kuning itu tertawa dan mencubit
dagunya yang halus. ˜Karena wanita baik-baik, aku suka padamu, manis. Hayo kau
minum arak ini untuk menyambut aku, ha-ha-ha!! Perwira itu menyambar cawan
araknya yang masih penuh, lalu memaksa nyonya itu minum. Nyonya Sie hendak
menolak, akan tetapi dipaksa sehingga sebagian arak memasuki mulut, sebagian
tumpah mengenai pakaiannya. Arak merah itu membuat pakaiannya yang putih
seperti terkena darah.
Han Han menggigil seluruh tubuhnya, jantungnya berdebar dan ia
mengepal tinju dengan air mata bercucuran. Ia hendak melompat maju menolong
ibunya, akan tetapi pada saat itu, ia tertarik oleh tingkah perwira brewok yang
meloncat berdiri. Gerakannya amat gesit sehingga amat janggal bagi tubuhnya
yang tinggi besar dan perutnya yang seperti gentong gandum.
˜Ha-ha-ha, kalau ibunya matang dan denok seperti ini, tentti
puterinya ranum dan segar. Cocok untukku! Biar kujemput dia!! Sambil berkata
demikian, perwira brewok itu sambil tertawa-tiwa melangkah masuk melalui pintu
dalam.
˜Ha-ha-ha, baik sekali! Jemput dia, jemput dia....!! sorak perwira
lain.
˜Ohhh, uuuhhhhh....!! Nyonya Sie meronta, akan tetapi perwira muka
kuning mempererat pelukannya dan membungkam mulutnya dengan ciuman kasar.
Han Han menggigil di tempatnya. Kakinya seperti terpaku dan dengan
penuh perasaan jijik ia melihat betapa ayahnya kini bertutut sambil menangis!
Alangkah lemahnya ayahnya itu! Mengapa ayahnya diam saja? Mengapa tidak lari
mengejar perwira brewok atau menyerang perwira muka kuning? Mati bukan apa-apa
untuk membela kebenaran. Bukankah demikian pelajaran dalam kitab? Dalam kitab
tentang kegagahan seorang enghiong disebut bahwa seribu kali lebih berharga
mati sebagai seorang terhormat daripada hidup sebagai seekor anjing penjilat.
Dan ayahnya ternyata memilih hidup seperti anjing penjilat!
Bukankah peribahasa mengatakan bahwa harimau mati meninggalkan kulit, manusia
mati meninggalkan nama? Kulit harimau berharga, nama pun harus berharga. Akan
tetapi ayahnya memilih hidup sebagai tikus yang tidak ada harganya sama sekali.
Terdengar jerit mengerikan dan tak lama kemudian perwira brewok
itu telah muncul kembali sambil memondong seorang gadis yang meronta-ronta dan
merintih-rintih. Gadis yang cantik sekali, tubuhnya seperti batang pohon
yangliu, rambutnya panjang hitam dan kulitnya putih seperti susu baru diperas.
Perwira brewok itu melangkah lebar, kemudian duduk kembali di tempatnya sambil
memangku Sie Leng dan menciumi muka yang halus putih kemerahan itu dengan
mukanya sendiri yang kasar dan penuh cambang bauk sehingga seakan-akan muka yang
halus itu disikat oleh sikat yang kasar dan kaku. Sie Leng yang hendak menjerit
tak dapat mengeluarkan suara karena mulutnya tertutup oleh Si Perwira Brewok
yang lebar.
Tiba-tiba terdengar teriakan serak dan melompatlah Sie Bun An yang
tadinya berlutut. Bangga hati Han Han melihat betapa ayahnya kini menjadi
seekor harimau, meloncat bangun dan sambil berteriak menerjang maju hendak
memukul Si Perwira Brewok. Akan tetapi kebanggaan hati Han Han berubah menjadi
kecemasan ketika Si Brewok itu menyambut tubuh ayahnya dengan sebuah hantaman
tangan kiri yang tepat mengenai dada ayahnya.
˜Dukkk....!! Tubuh Sie Bun An terlempar ke belakang dan mulutnya
muntahkan darah segar. Hartawan ini sejak kecilnya hanya tekun mempelajari
sastra, sama sekali tidak pandai ilmu silat, maka tentu saja sekali terkena
pukulan berat perwira brewok itu, ia terluka dalam dan muntah darah. Namun, Sie
Bun An benar-benar telah menjadi seekor harimau marah. Kemarahan dan sakit hati
membuat ia seperti tidak merasakan nyeri akibat pukulan itu dan sambil
berteriak, ia maju lagi. Karena ketika dia terlempar, ia jatuh ke dekat tempat
duduk perwira muka kuning yang masih menciumi isterinya dan meremas-remas serta
meraba-taba tubuh wanita yang ketakutan itu, kini Sie Bun An menyerang perwira muka
kuning. Akan tetapi, perwira muka kuning itu sudah mencabut pedangnya, menusuk
ke depan dan....
˜Blesssss....!! pedang itu menembus perut Sie Bun An sampai ke
punggung. Tubuh Sie Bun An menegang kaku, matanya terbelalak, dan ketika pedang
dicabut, ia mendekap perutnya lalu terpelanting roboh, berkelojotan dan tak
bergerak lagi. Lantai di bawahnya merah oleh genangan darahnya yang masih
mengucur keluar dari perut dan punggung.
Han Han hampir pingsan menyaksikan semua ini. Ia melihat betapa
ibunya dan cicinya menjerit dan meronta-ronta, namun perwira brewok dan perwira
muka kuning sambil tertawa-tawa telah memondong tubuh mereka, bangun berdiri
dan Si Brewok berkata dengan suara memerintah kepada lima orang perwira lain
yang masih duduk.
˜Rumah ini boleh dibersihkan, suruh anak buah masuk membantu!!
Setelah berkata demikian, Si Brewok memondong tubuh Sie Leng masuk
ke dalam ruangan belakang, diikuti oleh Si Muka Kuning yang memondong Nyonya
Sie. Dua orang wanita ini menjerit-jerit akan tetapi segera dibungkam oleh
ciuman-ciuman. Adapun lima orang perwira itu bersorak dan berpestalah mereka.
Pesta yang amat liar karena sambil berteriak memanggil pasukan yang menjaga di
luar, mereka ini meraih para wanita sewaan dan berpesta mabuk-mabukan. Mayat
Sie Bun An masih menggeletak di situ tidak ada yang berani merawatnya.
Dengan tubuh menggigil saking marah dan dukanya, Han Han
menyelinap ke belakang dan memasuki rumah melalui pintu belakang. Ia sudah
mengambil keputusan nekat untuk mati bersama ayah dan ibunya. Ia harus menolong
ibunya, menolong cicinya! Tanpa mengenal takut lagi anak ini berlari-lari
menuju ke kamar ibunya. Akan tetapi sebelum ia memasuki kamar ibunya yang sunyi
saja, tiba-tiba ia mendengar jerit cicinya di kamar sebelah, yaitu kamar
cicinya. Cepat ia mendorong pintu kamar itu dan apa yang disaksikannya membuat
darahnya mendidih. Cicinya menjerit-jerit dan berusaha melawan perwira Mancu
brewok yang hendak memperkosanya, akan tetapi kembali jeritnya lenyap ke dalam
mulut Si Perwira. Pakaian gadis yang bernasib malang itu robek semua dan ia sama
sekali tidak berdaya menandingi kekuatan Si Perwira Brewok yang terengah-engah
dan terkekeh-kekeh, agaknya makin hebat nona itu meronta dan melawan, makin
senanglah hatinya.
Dalam pandangan Han Han, ia seolah-olah melihat seekor kucing
besar yang mempermainkan seekor tikus kecil sebelum ditelannya. Ia sudah
melangkah maju dengan tangan terkepal, hendak nekat menubruk dan memukul
punggung Si Brewok ketika tiba-tiba terdengar suara ibunya.
˜Leng-ji (Anak Leng).... anakku....!!
Suara ini terdengarnya demikian memilukan sehingga Han Han
mengurungkan niatnya menolong cicinya, atau terlupa karena seluruh perhatiannya
kini tertuju kepada ibunya. Agaknya Nyonya Sie yang sudah hampir pingsan karena
teringat kepada suaminya dan kini pun tidak berdaya menghadapi rangsangan Si
Perwira Muka Kuning, ketika mendengar jerit Sie Leng, timbul kekuatannya dan
meronta sambil memanggil anaknya.
Ia berhasil melepaskan diri daripada cengkeraman kedua tangan
perwira muka kuning dan dengan pakaian hampir telanjang ia lari ke pintu. Namun
sekali melompat, perwira muka kuning telah menangkapnya kembali dan
melemparkannya ke atas pembaringan sambil tertawa.
˜Heh-heh, biarkanlah puterimu sedang bersenang-senang dengan
kawanku. Mari kini bersenang-senang di sini, Manis. Heh-heh-heh!! Kembali ia
menubruk nyonya itu dan pada saat itulah Han Han mendorong pintu kamar ibunya
dan meloncat masuk. Melihat keadaan ibunya, ia berteriak nyaring dan menerjang
maju, memukuli punggung perwira muka kuning, menjambak rambutnya,
membetot-betotnya agar melepaskan ibunya.
˜Ehhh! Bocah setan....! Mau apa kau....?! Perwira itu menoleh,
tanpa menghentikan usahanya menggelut Nyonya Sie.
˜Han Han....! Pergilah....! Pergilah jauh-jauh dari sini....!!
Nyonya Sie bergerak dan membelalakkan mata melihat puteranya.
˜Ibu....!!
˜Hemmm, anakmu, ya? Mengganggu saja!! Si Perwira Muka Kuning
meloncat, menjambak rambut Han Han sehingga tubuh anak itu tergantung. Akan
tetapi Han Han tidak takut, melotot dan kedua tangannya berusaha memukul.
Perwira itu lalu menampari mukanya.
˜Plak-plak-plak-plak!! Berkali-kali sampai muka itu menjadi matang
biru dan membengkak, mulutnya mengeluarkan darah.
Namun anak itu masih memandang dengan mata melotot, penuh
kebencian kepada perwira muka kuning.
˜Han Han....!! Nyonya Sie menjerit.
Perwira itu membanting tubuh Han Han ke atas lantai, suaranya
berdebuk dan tubuh anak itu rebah miring. Akan tetapi Han Han masih bergerak
hendak bangun. Sebuah tendangan mengenai tengkuknya, membuat kepalanya nanar
dan berkunang. Kemudian kembali kaki perwira itu menendang, keras sekali
mengenai dadanya. Tubuh anak itu terlempar membentur dinding. Kepalanya
terbanting pada dinding, napasnya sesak dan anak itu roboh tak sadarkan diri,
mukanya membengkak dan matang biru sehingga matanya tidak tampak, mulutnya
mengeluarkan darah, demikian pula hidungnya.
˜Han Han....!! Namun jerit Nyonya Sie ini lenyap dalam suara gaduh
di seluruh rumah itu, di mana para serdadu Mancu mulai merampoki barang-barang
berharga, dan lapat-lapat terdengar jerit tertahan Sie Leng diselingi suara
ketawa yang parau dari perwira brewok dan suara kekeh menjijikkan dari perwira
muka kuning.
Malam yang amat mengerikan. Malam terkutuk bagi keluarga Sie.
Malam jahanam di mana terjadi perbuatan-perbuatan terkutuk yang sudah terlampau
sering terjadi di dalam jaman perang. Pembunuh-pembunuhan, perkosaan,
perampokan! Perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan manusia-manusia
beradab. Malam penuh noda, darah membanjir dan iblis tertawa gembira karena
malam-malam jahanam seperti itu adalah malam-malam kemenangan baginya.
Han Han tersadar di tengah-tengah suara hiruk-pikuk. Ia segera
teringat dan cepat bangkit. Akan tetapi ia mengeluh, kepalanya nyeri bukan
main, berdenyut-denyut keras, kiut-miut rasanya seperti akan pecah, dadanya pun
nyeri dan napasnya sesak. Ia tentu akan roboh kembali kalau saja tidak melihat
ibunya. Ibunya menggeletak di lantai tidak berpakaian lagi. Tubuhnya yang
berkulit putih itu berlepotan darah dan darah tergenang di bawahnya, mengalir
ke bagian yang rendah dari lantai kamar itu. Leher ibunya terluka besar sekali,
hampir putus sehingga kepala itu letaknya terlalu miring sehingga aneh
kelihatannya.
˜Ibu....!! Han Han belum sadar betul akan keadaan ibunya,
terhuyung-huyung menghampiri dan hendak mengangkat tubuh ibunya. Akan tetapi
matanya terbelalak memandang leher yang hampir putus, mata yang terbuka, mata
yang tidak bersinar lagi.
˜Ohhh.... ohhh.... Ibuuuuu....!! Han Han menjerit dan tergelimpang
roboh di dekat mayat ibunya, pingsan kembali.
Rumah gedung Keluarga Sie yang telah dirampok habis-habisan itu
kini dimakan api. Ini adalah siasat para perwira tadi yang lebih baik membuat
rumah itu menjadi lautan api untuk menutupi perbuatan-perbuatan biadab mereka.
Kalau rumah sudah hancur menjadi abu, siapa bisa membuktikan bahwa rumah itu
habis dirampok? Kalau mayat itu sudah menjadu abu, siapa dapat mengatakan bahwa
mereka itu diperkosa atau dibunuh?
Tidak ada seorang pun tetangga yang berani muncul. Mereka sendiri
masih merasa untung terlewat oleh bencana yang ditimbulkan oleh serdadu-serdadu
Mancu itu. Dalam keadaan seperti itu seperti yang terjadi pada setiap negara
yang dilanda perang, terbuktilah bahwa segala sesuatu yang tadinya dianggap
menguntungkan dan menyenangkan bahkan menjadi sebab-sebab malapetaka!
Aneh akan tetapi nyata bahwa dalam keadaan seperti itu, mereka
yang kaya raya dan mereka yang mempunyai anak-anak perempuan cantik malah
menjadi korban, sebaliknya mereka yang miskin tidak mempunyai apa-apa dan yang
tidak mempunyai anak gadis cantik, malah aman dan tidak terganggu! Kalau sudah
begini, tak seorang pun berani mengatakan bahwa harta benda dan kekayaan
duniawi ini merupakan syarat hidup bahagia!
Di antara sinar api yang membakar rumah gedung Keluarga Sie, yang
menerangi kegelapan malam sunyi, tampak bayangan seorang laki-laki tua dengan
nekat menyelinap memasuki rumah bagian yang belum dimakan api. Asap tebal
menyambutnya, membuatnya terbatuk-batuk dan membuat matanya seperti buta, akan
tetapi orang ini terus masuk dan meraba-raba.
Biarpun api itu amat terang, namun cahayanya membuat mata buta
karena setiap mata dibuka, hawa panas menusuk-nusuk. Akan tetapi orang itu
agaknya sudah hafal akan keadaan di dalam gedung ini. Buktinya ia dapat terus
menyelinap masuk, menuju ke kamar-kamar di sebelah belakang, dekat ruangan
dalam yang tadi dipakai pesta-pora, di mana kini menggeletak mayat Sie Bun An
dan tiga orang pelayan pria yang juga dibunuh oleh serdadu-serdadu Mancu itu.
Laki-laki itu tidak mempedulikan mayat-mayat ini, terus terhuyung-huyung masuk
dan akhirnya ia memasuki kamar Nyonya Sie mendorong pintu yang sudah mulai
termakan api.
˜Sie-hujin....! Kongcu (Tuan Muda)....!! Ia berseru dan cepat
berlutut dekat dua sosok tubuh itu. Tubuh Nyonya Sie yang telanjang bulat dan
mandi darah itu hanya ia lirik sebentar saja, akan tetapi ketika ia meraba
tubuh Sie Han yang belum mati, cepat ia mendukung tubuh anak itu dan hendak
dibawanya keluar kamar. Akan tetapi pintu kamar itu kini sudah terbakar semua,
bahkan mulai runtuh dan atap pun sudah terjilat api!
Laki-laki itu kebingungan lalu menuju ke jendela kamar.
Didorongnya jendela itu dengan bahunya, dan asap bercampur api menjilat masuk.
Ia tidak peduli akan hawa panas yang menyesak dada, terus saja ia menerobos
keluar melalui jendela dan setibanya di luar jendela, sebagian atap yang
terbakar menimpanya! Orang itu mendekap tubuh Han Han dan kayu yang membara
menimpa kepala dan pundaknya.
Rasa nyeri dan panas menyengat tubuhnya, membuatnya hampir roboh.
Akan tetapi ia hanya jatuh berlutut saja, cepat bangkit kembali dan
terhuyung-huyung mencari jalan keluar. Beberapa kali ia menerjang lautan api,
rambutnya sudah terbakar habis, juga kumis, jenggot dan alisnya, mukanya, sudah
hangus dan melepuh, pakaiannya setengah telanjang dan hangus, tubuhnya melepuh
semua dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi akhirnya ia berhasil keluar dari
lautan api dan terhuyung-huyung memasuki taman yang gelap. Sinar api hanya
menyinar melalui celah-celah pohon kembang dan di tempat inilah laki-laki itu
terguling roboh. Tubuh Han Han terlepas dari dukungannya dan terbanting pula ke
atas tanah yang bertilam rumput hijau basah dan segar.
˜Ibu....!! Han Han siuman kembali dan pertama-tama yang teringat
olehnya adalah ibunya. Akan tetapi sinar merah dan suara berkerotokan rumah
terbakar itu menyadarkannya dan ia cepat bangkit duduk menoleh ke arah rumah
keluarganya yang terbakar. ˜Ibu....!!
˜Aagghhh.... Kongcu.... Ibumu.... sudah tewas....!
Han Han bangkit dan terhuyung-huyung menghampiri orang yang rebah
tak jauh dari situ. Ia berlutut dan hampir tak dapat mengenal wajah yang sudah
melepuh, kepala yang gundul dan tubuh yang hangus itu. Akan tetapi sinar api
kadang-kadang menjilat sampai ke situ dan ia dapat mengenal bentuk muka ini.
˜A Sam....!! Ia memeluk. Anak ini amat cerdik dan kuat ingatan.
Tadi ia berada di kamar ibunya, sekarang berada di taman dan A Sam luka-luka
terbakar. Segera ia dapat menarik kesimpulan bahwa pelayannya yang setia inilah
yang menolongnya keluar dari rumahnya yang terbakar. Ia teringat ayahnya yang
sudah tewas pula, dan teringat cicinya di kamar sebelah.
˜Cici Leng....?!
˜.... dibawa pergi.... anjing-anjing Mancu.... kau pergilah,
Kongcu.... pergilah jauh-jauh.... menyamar sebagai pengemis.... jangan berada
di kota ini.... aku.... aku.... auugghhh....! A Sam, pelayan tua yang amat
setia dari Keluarga Sie, yang selalu menjadi teman bermain Han Han semenjak ia
dapat berjalan, menjadi lemas.
˜A Sam....! A Sam....!! Namun orang itu tidak menyahut, dan tidak
akan dapat menjawab lagi karena ia telah mati. Mati sebagai seorang yang setia
dan karenanya mati sebagai seekor harimau!
Han Han duduk melamun. Ia tidak menangis. Tidak dapat menangis
lagi. Dan ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang mendorongnya untuk berpikir,
untuk berbuat dan menggunakan akalnya. Matanya melirik ke kanan kiri seperti
mata seekor anjing yang dikurung dan mencari kesempatan untuk keluar. Mata yang
cerdik sekali. Terjadi pada diri Han Han yang tidak ia sadari sendiri. Ketika
tadi ia dibanting lalu ditendang, kepalanya terbanting menumbuk dinding dan
getaran bantingan inilah yang agaknya mengubah keadaan pikirannya. Mendatangkan
ketabahan luar biasa, kecerdikan yang aneh, dan membuat ia tidak dapat susah
lagi!
Biarpun kini menghadapi kematian ayah bundanya, dan kehilangan
cicinya, yang berarti bahwa seluruh keluarganya hancur, ia sama sekali tidak
merasa susah! Yang ada hanya bayangan tujuh orang perwira, terutama sekali
wajah dan bentuk tubuh perwira brewok dan perwira muka kuning, seperti terukir
di benaknya, takkan terlupakan lagi olehnya!
Dari peristiwa terkutuk dan malam jahanam itu, terciptalah seorang
yang aneh, dan orang yang melihatnya tentu akan mengira bahwa Han Han telah
menjadi gila oleh peristiwa mengerikan itu. Ketika anak itu akhirnya
membungkuk, mencium dahi gosong bekas pelayannya, kemudian bangkit berdiri dan
terhuyung-huyung meninggalkan taman, memasuki bagian-bagian yang gelap, orang
yang melihatnya tentu akan merasa kasihan sekali. Akan tetapi orang itu akan
tercengang kalau saja dapat melihat betapa mata itu berkilat-kilat, betapa
mulut yang masih bengkak itu tersenyum aneh. Bocah ini hanya berhenti sebentar
untuk merobek sebagian dari pakaiannya, mengotori tubuhnya dengan abu, membuang
sepatunya kemudian menyelinap sampai keluar dari kota.
Peristiwa terkutuk itu terjadi di kota Kam-chi ketika
pasukan-pasukan Mancu memperluas wilayahnya dan menyerbu ke jurusan selatan,
yaitu pada tahun 1645 dan merampas kota Nan-king. Dan tidak hanya terjadi di
Kam-chi saja, melainkan di setiap kota dan dusun selalu terjadilah
pembunuhan-pembunuhan, perkosaan-perkosaan, penculikan dan perampokan yang
keji. Memang demikianlah sifat kekejian yang ditimbulkan oleh perang, di bagian
mana saja di dunia ini, semenjak masa dahulu sampai sekarang.
Gelombang bangsa Mancu ini dimulai ketika di antara bangsa dari
utara ini muncul seorang tokoh besar yang menjadi raja mereka, yaitu Raja
Nurhacu (tahun 1616) yang menamakan diri sendiri kaisar dan mendirikan wangsa
atau Kerajaan Ceng. Di bawah bimbingan Kaisar Nurhacu yang kebesarannya
menyamai Raja Mongol Jengis Khan yang tersohor itu, mulailah bangsa Mancu
membuka dan mengembangkan sayapnya, menaklukkan gerombolan-gerombolan dan
suku-suku bangsa yang dipimpin raja-raja kecil sehingga dalam beberapa tahun
saja berhasil menguasai seluruh Mancuria.
Melihat kekuasaan dan kekutan bangsa Mancu, bangsa Mongol yang
sudah lama kehilangan kekuasaannya setelah Pemerintahan Goan hancur, menjadi
tertarik dan menggabungkan diri dengan bangsa Mancu. Persekutuan ini amat kuat
dan barisan gabungan ini menyerbu dan menundukkan Korea dalam tahun 1637.
Kemudian pasukan Mancu yang diperkuat dengan pasukan Mongol dan
pasukan taklukan dari Korea, di bawah pimpinan Kaisar Abahai yang menggantikan
Kaisar Nurhacu (1626-1646), menyerbu terus ke Shan-tung, berhasil menundukkan
propinsi ini dan menghancurkan bala tentara Beng, lalu terus menyerbu ke arah
ibu kotanya, yaitu Peking. Namun penyerbuan ini tertunda karena Kaisar Abahai
meninggal. Karena putera mahkota masih sangat muda, maka kekuasaan dipegang
oleh Pangeran Dorgan, saudara mendiang Kaisar Abahai.
Pangeran Dorgan adalah seorang ahli perang yang ulung. Ia mengerti
bahwa di dalam pemerintah Beng sendiri terjadi pemberontakan-pemberontakan, dan
Peking telah terjatuh ke tangan pemberontak Lie Cu Seng yang menyerbu dari
selatan. Dengan cerdik Pangeran Dorgan menghubungi Bu Sam Kwi, panglima yang
menjaga tapal batas utara, dan bersama Panglima Beng yang berkhianat ini
menyerbulah bala tentara Mancu ke Peking dan berhasil mengalahkan barisan
pemberontak Lie Cu Seng. Lie Cu Seng sendiri melarikan dari Peking setelah
merampok kota indah itu habis-habisan.
Akhirnya Bu Sam Kwi sadar bahwa ia telah memasukkan srigala ke
tanah airnya, maka ia merasa menyesal dan membawa bala tentaranya mengungsi ke
barat daya yaitu ke Se-cwan di mana ia memperkuat kedudukannya dan menjadi raja
yang berdaulat di situ, jauh dari kekuasaan dan pengaruh pemerintah Mancu yaitu
Kerajaan Ceng-tiauw.
Pangeran Dorgan melanjutkan penyerbuannya ke selatan dan di bawah
pimpinan pangeran inilah bala tentara Mancu berhasil terus menduduki Nan-king
dan wilayah bagian selatan. Pangeran Dorgan yang amat cerdik itu pandai
mengambil hati para pembesar dan hartawan di selatan, mengumumkan tidak akan
mengganggu mereka asal mereka suka bekerja sama. Tentu saja ada terjadi
kekecualian, yaitu mereka yang tidak mau bekerja sama tentu dirampok habis dan
dibasmi keluarganya. Ada pula terjadi hal-hal seperti yang menimpa Keluarga Sie
di Kam-chi itu, dan pelaporan ke atas tentu berbunyi sama, yaitu bahwa keluarga
itu tidak mau bekerja sama sehingga terpaksa dibasmi!
Demikianlah, cerita ini dimulai pada tahun 1645, dimulai dengan
lembaran hitam dan sebagai contoh dari sekian banyaknya peristiwa keji dan
terkutuk, diceritakan kemalangan yang menimpa Keluarga Sie.
Beberapa bulan kemudian setelah terjadinya peristiwa terkutuk di
Kam-chi itu, tampak seorang anak laki-laki berpakaian penuh tambalan berjalan
seorang diri memasuki kota Tiong-kwan di lembah Sungai Huang-ho. Kota ini telah
lebih dulu ditaklukkan oleh tentara Mancu sehingga kini keadaan di situ sudah
tampak aman dan tenteram. Rakyat sudah mulai bekerja lagi seperti biasa,
seolah-olah tidak pernah terjadi perang, seolah-olah rakyat tidak peduli siapa
yang berkuasa, siapa yang menjadi raja dan bangsa apa yang menjajah mereka!
Anak kecil itu berusia sepuluh tahun lebih, berjalan melenggang
seenaknya dan di pundaknya tergantung sebuah keranjang yang terisi beberapa
buah roti kering dari gandum.
Dia bukan lain adalah Sie Han, atau Han Han. Kalau ada orang
Kam-chi yang bertemu dengannya, tentu tidak akan dapat mengenalnya sebagai
bekas putera sastrawan Sie Bun An. Bukan hanya pakaiannya yang penuh tambalan
dan kakinya yang telanjang serta kulit kaki tangannya yang kotor itu yang
membuat orang pangling, namun memang terjadi perubahan besar pada diri anak ini.
Pandang matanya jauh berbeda, pandang mata yang amat tajam dan manik mata itu
seolah-olah mengeluarkan sinar yang menembus dada orang. Bola mata yang bening
itu bergerak-gerak lincah sebagai pencerminan otaknya yang dapat bekerja cepat.
Rambutnya digelung ke atas dan dibungkus dengan saputangan yang kotor. Ketika
berjalan melalui jalan yang sunyi menuju ke kota Tiong-kwan ini, Han Han
bernyanyi dengan suara nyaring. Orang tentu akan tercengang keheranan kalau
mendengar kata-kata nyanyiannya. Orang yang tidak pernah membaca kitab tentu
menganggapnya bernyanyi ngawur saja atau sedikitnya mengira dia tidak waras.
Akan tetapi kaum terpelajar akan lebih tercengang keheranan karena
tentu akan mengenal nyanyian dari sajak ciptaan sastrawan besar Go Pek di jaman
Kerajaan Sui, ratusan tahun yang lalu.
Bekerja seenaknya
tak tertekan tak diperintah,
mengemis ke mana saja
mengetuk hati nurani manusia.
Amboi.... betapa bebas dan senangnya!
Mereka yang tidak tahu
akan kebahagiaan para pengemis,
tidak tahu pula
senangnya kehidupan burung di udara!!
Setelah selesai menyanyikan sajak yang ia hafal dari kitab-kitab
yang pernah dibacanya, Han Han lalu mencela sendiri, dengan ucapan bisik-bisik
seperti berkata kepada diri sendiri, mencela nyanyian tadi.
˜Wah, Go Pek memang pelamun kosong! Kalau ditakdirkan menjadi
manusia, mengapa menginginkan kehidupan burung? Manusia dan burung tidak sama.
Orang yang malas dan hanya suka mengemis adalah orang yang tiada gunanya. Dan
apakah artinya hidup di dunia kalau tidak ada gunanya?! Ia menggeleng-geleng
kepalanya lalu bernyanyi lagi akan tetapi sekali ini nyanyiannya jauh berbeda
dengan tadi, karena nyanyiannya seperti lagu kanak-kanak :
Duk ceng, duk ceng!
warna hitam tampak putih,
bau busuk disangka wangi,
suara brengsek terdengar merdu,
rasa pahit katanya manis!
Duk-ceng, duk-ceng!
Jangan percaya mata dan telinga mulut,
semua itu palsu belaka.
Duk-ceng, duk-ceng, duk-ceng-ceng!!
Terdengamya saja nyanyian ini seperti nyanyian kanak-kanak. Suara
duk-ceng itu adalah suaranya tambur dan gembreng. Akan tetapi sesungguhnya,
nyanyian ini adalah nyanyian kaum Agama To dan mempunyai arti yang amat dalam.
Nyanyian yang menyindirkan betapa manusia dikuasai oleh panca indranya, betapa
manusia selalu menurutkan perasaannya. Betapa tepatnya nyanyian kanak-kanak ini
karena setiap hari pun sampai sekarang dapat kita lihat ˜dagelan! (lawak) macam
itu. Betapa banyaknya orang melihat hal hitam sebagai putih sehingga yang benar
disalahkan, yang salah dibenarkan. Betapa yang busuk-busuk dapat ditutup dengan
harta sehingga tercium wangi, suara-suara yang menyesatkan dianggap merdu kalau
suara itu menguntungkannya, dan masih banyak kenyataan-kenyataan lain.
Semua itu dikenal Han Han dari kitab-kitabnya. Dia meninggalkan
rumah dan keluarganya yang terbasmi habis itu tanpa membawa uang sepeser pun.
Akan tetapi Han Han seorang anak yang cerdik dan semenjak peristiwa itu
terjadi, ia menemukan ketabahan dan keuletan yang luar biasa sekali.
Di sepanjang jalan dalam perantauannya yang tiada bertujuan ini,
ia selalu mencari pekerjaan, membantu petani kalau lewat di dusun, membantu
mencuci piring di restoran, menggosok kuda dan kereta, mengangkut barang-barang
yang dibongkar dari perahu dan lain-lain. Dengan keuletannya ini, ia tidak pernah
kekurangan makan dan pada saat itu, ia malah masih mempunyai bekal roti kering
yang akan cukup menghindarkannya dari kelaparan selama beberapa hari.
Ketika ia memasuki pintu gerbang kota Tiong-kwan dan memasuki
tempat yang mulai ramai, Han Han tidak bernyanyi lagi, bahkan sikapnya pun
tidak acuh seperti sikap seorang pengemis biasa. Ia melihat-lihat keadaan kota
yang cukup ramai itu karena letaknya yang dekat dengan Sungai Huang-ho membuat
kota ini mudah melakukan hubungan dengan kota-kota lain. Akan tetapi ada hal
yang membuat Han Han diam-diam termenung dan prihatin, yaitu banyaknya pengemis
di kota ini. Bukan pengemis-pengemis biasa yang terdiri dari orang-orang tua
yang sudah tidak kuat bekerja dan tidak mempunyai keluarga yang menyokongnya,
melainkan pengemis-pengemis cilik yang terdiri dari anak-anak sebaya dengan dia
sendiri.
Akibat perang, keluhnya diam-diam dengan perasaan tidak senang.
Anak-anak yang sudah kehilangan orang tua dan keluarga, atau anak-anak yang
orang tuanya demikian miskin sehingga mereka ini terlantar dan mencari makan
dengan jalan mengemis. Anak-anak usia belasan tahun yang pakaiannya
compang-camping, ada yang penuh tambalan, ada pula yang hanya memakai celana
butut tanpa baju, dengan tubuh kurus akan tetapi perut gendut tanda perut yang
jarang diisi atau diisi secara tidak teratur. Muka yang kurus pucat, sinar mata
yang sayu tidak bercahaya, pencerminan hati yang kehilangan harapan dan
pegangan. Akan tetapi ada pula di antara mereka yang nakal-nakal, dengan sinar
mata mencemoohkan dunia, tidak peduli akan segala perbuatannya, tidak tahu
membedakan pula antara baik dan buruk. Pengaruh keadaan!
Tiba-tiba sebatang kayu bercabang menodongnya. Han Han mengangkat
muka, sadar dari lamunan dan melihat bahwa yang menodongnya adalah seorang anak
laki-laki sebaya dengan dia, akan tetapi tubuhnya amat kurus sehingga
tulang-tulang iga yang tidak tertutup baju itu tampak nyata. Muka yang cekung
kurus itu membayangkan ketampanan, sedangkan matanya bersinar cerdik
menimbulkan rasa suka di hati Han Han.
˜Berlutut kamu! Berlutut dan tunduk kepada perwira tinggi atau
kupenggal kepalamu! Engkau tentu pencuri, he? Atau pencopet?! Mata anak itu
melirik ke arah keranjang yang terisi roti kering.
Melihat lagak anak ini seperti seorang perwira menodongkan pedang
dengan angkuhnya, Han Han tertawa terbahak dengan hati geli. ˜Ha-ha-ha-ha!
Perwira macam apa ini? Bajunya dari kulit hidup, bukan terhias bintang
melainkan terhias tulang-tulang iga. Dan celananya, bukan terhias baju besi
melainkan terhias tambal-tambalan! Apakah kamu ini perwira dari neraka?!
Melihat Han Han tidak marah sehingga tidak ada alasan untuk diajak
berkelahi, malah tertawa dan mengeluarkan kata-kata lucu, anak itu pun
menyeringai tertawa. Giginya putih dan rata, menambah ketampanan wajahnya dan
menambah rasa suka di hati Han Han.
˜Kau orang baru di sini? Bagaimana kau datang? Dan dari mana kau
mendapatkan roti kering begitu banyak?! tanya anak itu, menyelinapkan
rantingnya di pinggang seperti seorang perwira menyimpan pedangnya.
˜Kau mau? Lapar? Nih sebuah untukmu,! kata Han Han sambil
menyerahkan sehuah roti kering.
Anak itu memandang terbelalak, menelan ludah dan bertanya ragu,
˜Benar-benar kau berikan sebuah untukku? Tidak main-main?! Ia merasa heran
karena belum pernah melihat seorang pengemis lain memberinya sepotong roti
dengan sikap begitu royal dan ramah.
˜Mengapa tidak? Kalau kau lapar! Mari kita makan di pinggir
jalan,! kata Han Han sambil berjalan ke tepi jalan lalu duduk di atas tanah.
Anak itu telah menerima roti pemberian Han Han, memandang roti seperti belum
percaya, lalu mengikuti Han Han duduk di tepi jalan. Seketika sikap bocah itu
berubah ramah dan akrab dan memang itulah sifat aselinya. Kalau tadi ia seperti
anak yang memancing perkelahian adalah watak yang dibentuk oleh keadaan
sekelilingnya.
˜Wah....! Keras....!! Anak itu mengeluh ketika mencoba menggigit
rotinya.
Han Han tersenyum. ˜Memang keras sekali, sengaja dibuat untuk
dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Makannya harus dicelup air teh, baru
nikmat.!
˜Wah, dari mana bisa mendapatkan air teh?!
˜Beli, kalau kamu mau pergi membeli sebentar.!
˜Hah? Beli? Memang kaukira aku ini kongcu (tuan muda) hartawan?!
Han Han tertawa geli dan merogoh sakunya, mengeluarkan sepotong
uang kecil, sisa hasil ia membantu pedagang membangkar barangnya kemarin dulu.
˜Nih, kau belilah air teh, aku tunggu di sini. Untuk dapat membeli
air teh saja masa memerlukan seorang kongcu hartawan?!
Kembali anak itu memandang heran, akan tetapi ia lalu menyambar
uang itu dan lari pergi dari situ, membawa roti keringnya. Han Han menghela
napas. Kalau dia tidak kembali ke sini, aku tidak akan heran, pikirnya.
Bocah-bocah seperti itu patut dikasihani! Benar-benar sebuah pemikiran yang
amat janggal. Dia sendiri yang tadinya seorang ˜kongcu! hartawan dan
terpelajar, tinggal di rumah gedung dilayani banyak pelayan, sekarang
keadaannya tiada bedanya dengan anak-anak pengemis, namun ia masih menaruh
kasihan kepada mereka!
Dugaan Han Han keliru dan ia menjadi makin suka kepada bocah itu
ketika melihatnya datang berlari sambil membawa sebuah kulit waluh kering yang
ternyata terisi air teh. Terengah-engah ia duduk di dekat Han Han. Han Han
melirik dan mendapat kenyataan bahwa roti kering di tangan anak itu masih utuh,
ia makin suka. Ini menandakan bahwa anak ini memiliki watak jujur dan setia,
tidak mau mendahului makan roti dengan air teh sebelum tiba di tempat Han Han!
˜Nah, mulailah!! ajak Han Han yang mengambil sepotong roti,
mencelupkannya di air teh sampai lama, kemudian mulai makan roti itu. Anak itu
menirunya, dan setelah ia berhasil menggigit sepotong roti, ia mengunyahnya
dengan lahap sambil mulutnya mengomel.
˜Wah, enak! Harum dan gurih....!!
Tidak ada balas jasa yang lebih nikmat lagi bagi seorang pemberi
kecuali kalau pemberiannya itu dipuji dan menyenangkan hati orang yang
diberinya. Wajah Han Han berseri dan teringatlah ia akan ujar-ujar kuno yang
berbunyi :
Bahagiakanlah hati orang yang memberimu dengan menghargai
pemberiannya!
Bocah ini telah melakukan hal itu. Tak mungkin dia tahu akan
ujar-ujar ini, tentu hanya kebetulan saja!
˜Siapa namamu?! tanya Han Han.
˜Wan Sin Kiat! Ayahku dahulu perajurit, tewas di medan perang
melawan anjing.... eh, tentara Mancu.! Bocah itu memandang ke kanan kiri, takut
kalau-kalau makiannya terdengar orang. ˜Ibuku lari bersama seorang perwira
Mancu. Aku tidak sudi ikut ibu, maka merantau dan.... beginilah. Engkau siapa?!
˜Aku Han Han....!
˜Tentu seorang kongcu yang menyamar menjadi pengemis!!
˜Eh! Sembarangan saja menuduh. Aku bukan kongcu, juga bukan
pengemis!!
˜Lagak dan sikapmu seperti kongcu. Kau patut menjadi kongcu.
Mungkin juga bukan, akan tetapi bukan pengemis? Heh, jangan berolok, kawan. Pakaianmu
itu!!
Han Han penasaran. ˜Biarpun pakaianku butut, aku tidak pernah
mengemis! Aku makan dari hasil keringatku. Roti itu pun pemberian pedagang roti
yang aku bantu membongkar muatan terigu!!
˜Ahhh, begitukah?! Sin Kiat menghela napas dan menunduk. ˜Kalau
aku.... aku pengemis tulen.!
Han Han merasa menyesal telah menyinggung perasaan orang tanpa
disengaja. Ia memegang lengan anak itu dan berkata, ˜Engkau sampai menjadi
begini akibat perang...., bukan kehendakmu, Sin Kiat.!
Tiba-tiba Sin Kiat berkata penuh semangat. ˜Kalau sudah besar aku
akan menjadi seorang perajurit seperti mendiang Ayahku! Bahkan aku akan
menanjak menjadi Perwira. Kau lihat saja!!
Han Han tersenyum. Melihat semangat bocah ini, kelak dia tidak
akan merasa heran kalau benar-benar Wan Sin Kiat menjadi seorang perwira. ˜Nih,
kau ambil lagi rotinya,! ia menawarkan ketika melihat roti pertama sudah habis
memasuki perut kawan baru itu.
Sin Kiat mengambil sepotong lagi, kemudian tiba-tiba seperti orang
teringat akan sesuatu, ia memegang lengan Han Han dan berkata, ˜Han Han, apakah
engkau suka membagi rotimu kepada anak-anak lain, bukan hanya kepadaku?!
˜Hah? Kalau perlu tentu saja boleh.!
˜Bagus! Engkau benar-henar anak jempol! Mari ikut aku!! Sin Kiat
bangkit berdiri, menarik tangan Han Han dan mengajak teman baru yang mempunyai
banyak roti itu berlari memasuki kota. Mereka lewat di pasar, lalu membelok ke
sebuah gedung bobrok yang tadinya terbakar, kini tinggal sisa dinding-dinding
gosong dan kotor dan sebagian atapnya. Ketika tiba di situ, ternyata di situ
terdapat dua orang anak sebaya dengannya yang juga berpakaian seperti pengemis,
bahkan ada pula seorang kakek berpakaian seperti pengemis, kakek yang kurus
kering dan rambutnya riap-riapan.
˜Mana teman-teman yang lain? Ada rejeki datang!! Sin Kiat berseru
dengan wajah berseri-seri.
˜Pergi mengemis ke pasar,! jawab seorang anak pengemis yang
kepalanya gundul.
˜Katanya ada pembesar meninjau pasar.!
˜Huh, bodoh! Belum tentu mendapat sedekah, yang sudah pasti
mererima cambukan para pengawal yang galak,! kata Sin Kiat mengomel.
˜Itulah sebabnya mengapa kami berdua tidak ikut pergi,! kata
pengemis ke dua. ˜Aku benci melihat pembesar....!
Terdengar batuk-batuk dari kakek pengemis yang melenggut di sudut.
˜Hmmm...., anak-anak, hati-hatilah sedikit kalau bicara. Apakah anak-anak
sekecil kalian sudah bosan hidup?!
Tiga orang anak pengemis itu menjadi pucat dan celingukan
memandang ke kanan kiri. Han Han berpendapat bahwa anak-anak itu seperti
anak-anak burung yang ketakutan selalu, maka ia makin kasihan kepada mereka.
Tanpa diminta ia lalu mengambil roti-roti kering dari keranjangnya,
pertama-tama ia memberi kepada kakek itu.
˜Lopek, silakan makan roti kering seadanya.!
Kakek itu memandang dengan tajam. Han Han terkejut, tidak
menyangka bahwa kakek itu mempunyai pandang mata yang demikian tajamnya. Lalu
kakek itu setelah meneliti Han Han dari kepala sampai ke kaki, mengangguk-angguk
dan menerima roti terus melenggut lagi sambil makan roti kering. Kembali Han
Han tercengang. Kakek itu sudah tua dan kempot, tanda bahwa giginya sudah tidak
lengkap lagi, namun roti kering yang keras itu digigitnya seperti seorang
menggigit kerupuk saja! Ia lalu membagi-bagi roti kering kepada dua orang anak
lain yang menerimanya dengan gembira.
Han Han lalu menurunkan keranjang rotinya dan mempersilakan siapa
saja yang masih lapar untuk mengambil lagi, dan ia pun ikut duduk mendeprok di
atas lantai rumah gedung yang terbakar itu. Heran sekali, ia merasa betah di
situ, merasa seperti berada di rumah sendiri. Seolah-olah gedung yang bekas
terbakar ini adalah gedung keluarganya.
Sin Kiat mendekati kakek pengemis dan berkata dengan suara
mendesak, ˜Kek, kau ajarlah aku silat agar kelak aku menjadi orang kuat. Aku
ingin menjadi seorang perwira!!
Kakek itu membuka matanya, menjawab malas. ˜Aku tidak bisa
silat....!
˜Bohong....! Kakek bohong....!! Sin Kiat dan dua orang temannya
berteriak-teriak.
Akan tetapi kakek itu hanya melenggut, mulutnya tersenyum aneh.
Han Han memandang penuh perhatian. Banyak sudah ia membaca tentang
pengemis-pengemis yang sakti, bahkan membaca tentang sastrawan-sastrawan yang
hidupnya seperti pengemis.
˜Kemarin dulu kau membubarkan selosin serdadu dengan tongkat
bututmu itu. Dengan apakah kalau tidak dengan ilmu silat? Hayo, Kek, jangan
pelit, ah. Ajar kami ilmu silat, Han Han tadi sudah begitu ramah dan murah
hati, membagi-bagikan roti keringnya, apakah kau begini pelit untuk membagi
ilmu silat kepada kami? Ingat, Kek, roti yang dibagi-bagikan menjadi habis,
sebaliknya ilmu silatmu kalau dibagi sampai seribu orang sekalipun takkan
menjadi habis!!
Han Han kagum mendengar alasan Sin Kiat ini. Anak cerdik,
pikirnya. Akan tetapi ia merasa kasihan dan tidak enak hati melihat kakek tua
itu didesak-desak, maka ia segera berkata.
˜Aku tidak suka belajar silat!!
˜Hehhh??! Tiga orang anak itu berseru heran dan memandang Han Han
dengan kecewa. Sin Kiat memegang lengannya dan bertanya, ˜Mengapa, Han Han?
Semua orang yang tertindas dan terhina ingin belajar silat, mengapa kau tidak?!
˜Kalau pandai silat, kan kita selalu menang kalau berkelahi dan
menjadi jagoan!! kata Si Gundul sambil membusungkan dadanya yang tipis
kerempeng.
˜Kalau pandai silat, orang-orang akan takut kepada kita dan
memberi apa saja yang kita minta!! kata bocah pengemis yang lain.
˜Dan aku akan menjadi orang kuat sehingga kelak dapat menjadi
perwira,! kata pula Sin Kiat.
Han Han menghela napas. Dari pernyataan-pernyataan ini sudah dapat
dinilai watak dan cita-cita ketiga orang anak ini. ˜Aku tetap tidak suka
belajar silat. Pandai silat membikin orang menjadi kuat, dan hanya si kuat saja
yang suka menindas si lemah! Orang yang merasa kuat akan selalu mencari
permusuhan, suka berkelahi, suka pukul orang, bahkan suka membunuh orang.
Tidak! Pandai silat amat tidak baik, orang menjadi jahat karenanya.!
Kakek yang tadinya melenggut dan agaknya lega karena terbebas dari
desakan anak-anak itu, kini membuka matanya dan tertawa. ˜Ho-ho-ho! Omongan
takabur dan menyeleweng jauh, bocah! Omongan sombong! Siapa bilang ilmu silat
menimbulkan kejahatan dan kekejaman? Uh-uh, sombongnya! Ilmu silat telap ilmu
silat, tidak baik dan tidak jahat. Baik atau jahatnya tergantung si orang yang
memilikinya. Kalau digunakan untuk kejahatan menjadi ilmu jahat, kalau
dipergunakan untuk kebaikan menjadi ilmu baik. Betapa banyaknya kejahatan
dilakukan oleh orang-orang yang tidak pandai silat dan yang lemah tubuhnya.
Ho-ho-ho-ho, apa kaukira pedang lebih tajam daripada pena? Pedang hanya dapat
membunuh satu orang sekali sabet, akan tetapi pena sekali gores dapat
menghancurkan keluarga bahkan dapat menggulingkan kerajaan. Ha-ha-ha!!
Han Han tercengang dan berpikir. Alangkah benarnya ucapan kakek
gembel itu. Teringat ia akan sejarah betapa fitnah-fitnah yang amat keji
terjadi karena coretan pena. Dan betapa tepatnya pula filsafat tentang baik
buruknya ilmu yang tergantung daripada si pemilik ilmu. Tak disangkanya ia akan
mendengar ucapan demikian dalam isinya dari mulut seorang kakek gembel. Melihat
betapa bantahan kakek itu membuat Han Han bungkam, Sin Kiat menjadi gembira dan
mendapat kesempatan untuk mendesak lagi.
˜Hayolah, Kek, ajar kami ilmu silat.!
˜Aku tidak bisa ilmu silat.!
˜Waaah, Kakek selalu mengelak. Habis, tongkat bututmu kemarin dulu
itu dapat mematahkan tombak, membikin pedang dan golok serdadu-serdadu itu
terpelanting, dan membuat mereka roboh,! bantah Sin Kiat.
˜Ahhh, itu hanya Ilmu Tongkat Teratai Putih (Pek-lian Tung-hoat).!
˜Kalau begitu, ajarkan kami Pek-lian Tung-hoat!! kata Sin Kiat,
dibantu oleh dua orang kawannya.
Kakek itu menggeleng kepala. ˜Tidak mudah, tidak mudah. Kalian
tidak berjodoh dengan kami. Yang berjodoh adalah bocah ini. Siapakah namamu
tadi? Han Han? Kau berjodoh dengan kami. Marilah ikut bersamaku.! Kakek yang
kelihatan lesu dan lemas itu, tiba-tiba sudah bangkit berdiri dan ternyata ia
jangkung sekali. Han Han begitu kaget dan herannya sehingga ia tidak dapat
menjawab pertanyaan tadi. Kini kakek itu sudah menyentuhkan ujung tongkat
bututnya ke pundak kanan Han Han, kemudian membalikkan tubuh dan melangkah
pergi dari situ. Anehnya, tubuh Han Han tertarik oleh ujung tongkat yang
melekat pundaknya sehingga anak ini pun terhuyung maju dan terpaksa melangkah
mengikuti kakek itu!
˜Heiiiii....! Ehhh....?! Han Han menggunakan kedua tangannya untuk
melepaskan tongkat dari pundaknya, namun tidak herhasil. Tongkat itu melekat
seolah-olah berakar di pundaknya dan ada tenaga membetot yang amat hebat tak
terlawan olehnya, membuat ia terseret terus!
Han Han adalah seorang anak yang memiliki kecerdikan luar biasa.
Biarpun ia seorang anak yang asing sama sekali akan ilmu silat, namun dari
kitab bacaan ia sudah banyak mengetahui bahwa di dunia ini selain terdapat
sastrawan-sastrawan luar biasa, orang-orang yang pandai berfilsafat dan pandai
membuat sajak-sajak indah, juga terdapat orang-orang dari golongan ˜bu!
(persilatan) yang disebut pendekar-pendekar sakti. Maka tahulah ia bahwa kakek
gembel ini pun tentulah seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi. Maka timbul
keinginan hatinya untuk mengenalnya lebih dekat dan untuk mengetahui ke mana ia
akan dibawa. Ia tidak merasa takut, maka ia lalu berkata,
˜Locianpwe, kalau memang locianpwe ingin mengajak aku pergi, harap
lepaskan tongkat. Tidak enak sekali diseret-seret seperti seekor anjing.!
Akan tetapi kakek itu tidak mempedulikannya, bahkan kini
langkahnya lebar-lebar dan cepat sehingga Han Han terpaksa harus melangkah cepat
pula kalau tidak mau terseret. Sebentar saja mereka telah pergi jauh dan
teriakan-teriakan Sin Kiat yang mengingatkan bahwa keranjang rotinya masih
tertinggal, kini tidak terdengar lagi. Tak lama kemudian mereka sudah keluar
dari kota dan terus menuju ke tepi Sungai Huang-ho. Setibanya di tepi sungai,
kakek itu melanjutkan perjalanan ke kanan, jadi ke arah utara.
Mereka berjalan sudah lebih tiga jam, akan tetapi kakek itu tidak
mengeluarkan sepatah kata pun. Han Han yang juga memiliki kekerasan hati dan
pada saat itu di samping keinginan tahunya juga merasa penasaran dan mengkal,
merasa dirinya dipaksa pergi setengah diculik, tidak pernah bertanya apa-apa
pula. Ia berjalan terus di belakang kakek itu. Tentu saja kakek itu yang
melangkah lebar dan cepat membuat ia sering kali harus setengah berlari dan
tubuhnya sudah lelah sekali. Jalannya tidak rata, menyusup-nyusup hutan dan
naik turun. Akan tetapi dengan kekerasan hatinya, Han Han mengikuti terus kakek
itu yang akhirnya membawanya masuk ke sebuah hutan di pinggir Sungai Huang-ho.
Di tepi sungai dalam hutan ini, tampaklah oleh Han Han bagian yang
sudah dibersihkan, pohon-pohonnya ditebangi dan terdapat tempat terbuka yang
amat luas, bahkan dipagari dengan bambu. Dari jauh sudah tampak bentuk yang
aneh dari tempat ini, agak bundar, akan tetapi Han Han tidak tahu apa maknanya.
Baru setelah mereka memasuki pintu gerbang dan membaca papan yang tergantung di
depan pintu, tahulah Han Han bahwa bentuk bundar dari tempat itu dengan
lingkaran-lingkaran aneh adalah bentuk bunga teratai, sesuai dengan nama tempat
itu yang menjadi pusat dari perkumpulan Pek-lian Kai-pang (Persatuan Pengemis
Teratai Putih). Han Han berdebar jantungnya. Sudah banyak ia membaca tentang
kai-pang dan ketuanya yang sakti, dan baru sekali ini memasuki sarang kai-pang.
Siapakah pangcunya?
Kakek itu memasuki pintu gerbang dan tampaklah banyak orang-orang
berpakaian pengemis berkeliaran di sekitar tempat itu. Di tengah-tengah
terdapat bangunan pondok berbentuk kelenteng dan dari situ mengepul asap hio
yang wangi.
Para gembel itu melihat masuknya kakek bersama Han Hang namun
mereka hanya melirik saja dan tak seorang pun ambil peduli. Kakek itu
menghampiri pondok kelenteng, lalu masuk ke ruangan depan di mana terdapat meja
sembahyang. Han Han mengikuti dari belakang dan berdiri memandang heran ketika
melihat kakek itu tiba-tiba duduk bersila dengan kedua kaki saling bertumpangan
paha di depan meja sembahyang yang berbentuk teratai, kemudian kakek ini
melakukan upacara sembahyang yang aneh. Kedua lengannya digerak-gerakkan,
dilonjorkan ke depan, diangkat ke atas, ditekuk ke belakang sambil mulutnya
berkemak-kemik membaca mantera yang tidak dimengerti Han Han.
Bab 2
Kemudian kakek itu berdiri menyalakan hio dan bersembahyag seperti
biasa. Setelah menancapkan hio di tempat dupa, ia melangkah keluar lagi,
memberi isyarat dengan lambaian tangan kepada Han Han untuk mengikutinya.
Han Han ikut terus dan ternyata mereka menuju ke sungai di mana
terdapat sebuah kolam besar yang mendapatkan airnya dari sungai, dialirkan ke
tempat itu. Karena kolam di pinggir sungai itu cukup lebar dan permukaannya
sama dengan permukaan air sungai, maka air di situ tenang.
Di atas permukaan air kolam terdapat beberapa belas benda
berbentuk bunga-bunga teratai warna putih, terbuat daripada kayu, mengambang
dan bergerak-gerak perlahan di permukaan kolam. Yang membuat Han Han tercengang
adalah ketika ia melihat beberapa orang sedang berlatih, berloncatan dari satu
ke lain teratai kayu di permukaan air. Ada tiga orang yang berlatih, sementara itu
masih ada tiga puluh orang lebih menonton di pinggir kolam.
Mereka semua itu adalah orang-orang berpakaian tambal-tambalan
terdiri dari laki-laki dan wanita. Akan tetapi lebih banyak lelaki daripada
wanitanya yang hanya ada beberapa orang.
Han Han tidak mengerti ilmu silat, namun menyaksikan tiga orang
itu berloncatan ke atas teratai-teratai kayu yang mengambang di air, melihat
gerakan mereka yang begitu ringan dan gesit, ia kagum. Ternyata mereka itu
sedang berlatih, karena setelah tiga orang itu meloncat ke darat, mereka
digantikan oleh tiga orang lain. Ada pula yang belum mahir meloncat sehingga
terpeleset dan teratai yang diinjaknya miring membuat ia terjungkal ke air.
Yang menonton mentertawakannya, ada yang mengejek, ada yang memberi petunjuk, membicarakan
kesalahannya sehingga ia terjatuh.
Ketika kakek yang membawa Han Han muncul, suara tertawa-tawa itu
berhenti, akan tetapi tak seorang pun menegurnya. Yang berlatih masih tetap
berlatih, namun kini lebih tekun dan serius. Kemudian terdengar kakek itu
berkata.
‘Latihan gin-kang ini bukan untuk main-main. Tanpa ketekunan
kalian takkan mendapat kemajuan. Panggil Sin Lian!!
Han Han melihat betapa semua pengemis yang berada di situ amat
menghormat dan taat kepada kakek ini. Agaknya kakek inilah ketua mereka! Akan
tetapi mengapa mereka itu seperti acuh tak acuh atas kedatangan kakek itu?
Mengapa tidak ada yang memberi hormat? Sungguh mengherankan.
Sementara itu, seorang pengemis tua yang tadi berlari-lari untuk
memenuhi perintah kakek ini, datang bersama seorang anak perempuan yang juga
berlarian dan dari jauh sudah memanggil.
‘Ayah....!! Anak itu menghampiri ayahnya dan memeluk pinggang
kakek itu. Si kakek mengelus-elus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang.
Kembali Han Han tercengang. Kakek ini sudah amat tua, sedikitnya
tentu enam puluh tujuh tahun usianya, akan tetapi anaknya baru berusia paling
banyak sembilan tahun! Juga keadaan anak itu amat mencolok, cantik mungil dan
pakaiannya indah bersih, wajahnya berseri-seri matanya kocak gembira.
Kehadirannya di antara para gembel itu benar-benar merupakan seekor burung
murai di antara sekumpulan gagak!
‘Lian-ji (Anak Lian), mengapa kau tidak ikut latihan gin-kang
dengan para Pamanmu?! Suara dalam pertanyaan ini halus dan penuh kasih sayang,
namun mengandung teguran.
‘Aku pergi ke hutan, Ayah. Bunga mawar sedang bersemi, indah
sekali.!
‘Hemmm, ada waktunya berlatih, ada pula waktunya bersenang.
Jangan campur aduk. Coba kau perlihatkan latihanmu!!
Anak perempuan itu tertawa dengan sikap manja, lalu melepaskan
ayahnya dan menghampiri tepi kolam. Yang berlatih telah mendarat. Mereka semua
kelihatan gembira, memandang ke arah gadis cilik itu, dan jelas tampak betapa
mereka semua menyayang anak yang bernama Sin Lian ini. Bahkan kini tidak ada
lagi yang berlatih, memberi kesempatan kepada anak itu untuk berlatih seorang
diri sehingga tidak mengganggu.
‘Heiiittttt....!! Anak itu mengeluarkan seruan keras dan
nyaring. Tubuhnya lalu meloncat ke tengah kolam, melambung agak tinggi kemudian
di udara ia berjungkir-balik sampai dua kali, baru tubuhnya turun dan kakinya
hinggap di atas sebuah teratai kayu. Indah bukan main loncatan tadi dan terdengar
seruan-seruan,
‘Bagus....!!
Han Han melongo. Apa yang disaksikannya itu terlalu aneh dan
indah. Kagum ia melihat betapa anak perempuan itu kini berdiri di atas teratai
kayu yang bergerak-gerak timbul tenggelam dan bergoyang-goyang. Namun tubuh
anak itu sedikit pun tidak bergoyang, bahkan terdengar lagi seruannya,
‘Heeiiittitt!!
Dan tubuhnya sudah mencelat ke atas lagi, lalu hinggap di atas
teratai kayu yang lainnya. Demikianlah, bagaikan seekor katak, anak itu
berloncatan dari satu teratai ke lain teratai, makin lama makin cepat sehingga
seakan-akan ia terbang di permukaan air. Hanya benda-benda berbentuk teratai
itu saja yang bergerak-gerak timbul tenggelam dan bergoyang-goyang.
Seruan-seruan menjerit nyaring itu terdengar susul-menyusul dan akhirnya tubuh
anak itu mumbul ke atas dan berjungkir-balik membuat pok-sai (salto) sampai
tiga kali dan ketika turun ia melayang ke dekat kakek tadi.
Tepuk tangan memuji dari para penonton membuat wajah anak
perempuan itu makin berseri. Wajahnya menjadi merah karena tadi dia telah
mengerahkan banyak tenaga, dan napasnya terengah-engah. Kakek yang menjadi
ayahnya mengangkat muka dan terhentilah semua tepuk tangan.
‘Masih jauh daripada sempurna, Lian-ji. Teratai-teratai itu
masih bergoyang terlalu keras. Lihat baik-baik, juga kalian semua!! Tiba-tiba
tubuh kakek itu melayang seperti sehelai daun kering ke tengah kolam, hinggap
di atas teratai, lalu meloncat ke lain teratai, terus-menerus dan cepat sekali.
Tidak lebih indah daripada permainan Sin Lian tadi, akan tetapi hebatnya,
teratai-teratai yang diinjaknya itu sanna sekali tidak bergoyang, seolah-olah
hanya kejatuhan sehelai daun kering saja! Kemudian kakek itu mendarat kembali
dan berkata.
‘Untuk dapat menginjak teratai kayu tanpa menggerakkannya,
membutuhkan latihan sedikitnya lima tahun dengan tekun. Apalagi dapat meloncat
dan hinggap di atas bunga teratai aseli, membutuhkan bakat dan latihan yang
amat mendalam.!
Setelah berkata demikian, kakek itu menggandeng tangan Sin Lian,
menggapai ke arah Han Han dan mengajak mereka memasuki sebuah pondok bambu
sederhana di sebelah kiri pondok kelenteng. Juga pondok sederhana ini dihias
dengan lukisan-lukisan dan ukir-ukiran teratai putih.
‘Bocah ini siapakah, Ayah?! Sin Lian bertanya ketika kakek itu
mengajak mereka duduk di atas bangku.
‘Namanya Han Han. Siapakah she-mu (nama keturunan), Han Han?!
‘Aku she Sie bernama Han, biasa disebut Han Han,! jawab anak
itu. ‘Locianpwe ini siapakah? Apakah ketua dari Pek-lian Kai-pang?!
Kakek itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak. ‘Engkau
tahu bahwa di sini sarang Pek-lian Kai-pang? Dari mana kau mengenal nama
Pek-lian Kai-pang?!
Han Han teringat bahwa ucapannya tadi membuka rahasianya bahwa ia
pandai membaca. Memang tidak patut bagi seorang yang keadaannya seperti
pengemis macam dia ini pandai membaca.
Maka cepat-cepat ia berkata, ‘Aku hanya mengira-ngira saja,
locianpwe. Kulihat di sini semua berpakaian rombeng, tentu merupakan sebuah
kai-pang. Adapun tentang namanya, di sini kulihat banyak sekali hiasan-hiasan
berupa teratai putih, maka tentu saja aku menduga bahwa nama kai-pang di sini
tentulah Pek-lian Kai-pang.!
Kakek itu mengangguk-angguk. ‘Nah, kau dengar sendiri, Sin Lian.
Betapa cerdiknya anak ini. Dia ini adalah calon muridku, dan agaknya dialah
yang boleh diharapkan kelak untuk....!
‘Aku tidak ingin menjadi murid locianpwe!! Han Han memotong
cepat-cepat dengan suara nyaring.
‘Wah, bocah sombong!! Sin Lian mendamprat. ‘Kau tidak mau
menjadi murid Ayah, sedangkan seluruh bocah di dunia ini mengilar untuk menjadi
muridnya. Kau tidak tahu siapa Ayah? Ayah adalah Lauw-pangcu (Ketua Lauw) yang
tersohor di seluruh wilayah Sungai Huang-ho! Apakah engkau lebih suka menjadi
gembel busuk yang tiada artinya, mengandalkan hidup dari sisa makanan?!
Merah wajah Han Han. Matanya melotot memandang anak perempuan itu.
Ia merasa terhina sekali. ‘Aku bukan pengemis! Dan aku tidak suka menjadi
murid pengemis! Aku tidak mau menjadi anggauta kai-pang!!
‘Lagaknya! kau ini pengemis!!
‘Bukan!!
‘Pengemis!!
‘Bukan!!
‘Pengemis! Pakaianmu tambal-tambalan, kalau bukan pengemis,
apakah kau ini Pangeran?!
‘Bukan! Aku bukan pengemis, biar pakaianku tambal-tambalan aku
tidak pernah mengemis! Tidak seperti engkau, biar pakaianmu baik tapi....!
‘Kurang ajar! Kau beranikah kepadaku?!
Mengapa tidak berani? Kalau aku benar, biar terhadap kaisar
sekalipun aku berani!!
‘Phuhhh! Kalau berani hayo kita berkelahi!!
‘Aku bukan tukang berkelahi, bukan tukang pukul, tapi aku tidak
takut kepadamu.!
‘Hayo pukul aku kalau berani!!
‘Aku bukan tukang pukul!!
‘Kalau aku pukul, kau berani membalas?!
‘Tentu saja!!
‘Plakkk....!!
Pipi Han Han sudah kena ditampar Sin Lian sampai Han Han
terpelanting dari bangkunya. Ia bangkit dan timbul kemarahannya, akan tetapi
Han Han sudah membaca kitab tentang sifat seorang gagah, tentu saja ia malu
kalau harus bergelut dengan seorang anak perempuan.
‘Tidak sakit!! katanya sambil meraba pipinya yang menjadi merah.
‘Balaslah!!
‘Membalas anak perempuan? Untuk apa, memalukan saja. Pukulanmu
seperti tahu, tidak terasa sama sekali.!
‘Sombong!! Sin Lian marah sekali, menerjang maju dan gerakannya
cepat bukan main.
‘Dukkk.... plenggggg....!!
Han Han terjengkang roboh. Perutnya menjadi mulas kena ditendang
tadi dan kepalanya pening oleh tempilingan yang cukup keras. Gerakan kaki tangan
bocah itu luar biasa cepatnya sehingga Han Han tidak tahu bagaimana caranya
bocah itu menendang dan memukul. Rasa nyeri membuat lantai seperti berputar. Ia
marah dan kini ia melompat bangun.
‘Kau.... perempuan keji!! katanya lalu ia menerjang maju, hendak
menampar. Namun tamparannya mengenai angin belaka dan sebelum ia sempat
melihat, kembali tangan kiri gadis cilik itu mampir di pipinya, menimbulkan
suara nyaring dan terasa amat panas dan pedas. Tonjokan kepalan kanan yang
kecil namun terlatih menyusul, mengenai lehernya, membuat Han Han
terhuyung-huyung ke belakang. Tiba-tiba sebuah kaki yang kecil menyapu kedua
kakinya. Tanpa ampun lagi tubuh Han Han kembali terpelanting, terbanting pada
lantai di mana ia hanya duduk sambil memegangi kepalanya yang puyeng seketika.
‘Cukup, Lian-ji.! Terdengar kakek itu berkata, suaranya tenang
dan halus. Kakek ini tadi diam saja melihat puterinya menghajar Han Han, karena
memang hal ini ia sengaja, untuk ‘membakar! hati Han Han dan menimbulkan
semangat jantannya.
Dia menduga bahwa setelah mengalami hajaran tentu bocah itu akan
merasa terhina dan sadar betapa perlunya mempelajari ilmu untuk memperkuat diri
sehingga kelak tidak akan terhina orang lagi. Ia maju dan mengangkat bangun Han
Han, disuruhnya duduk lagi di bangku. Han Han masih pening, ketika ia memandang
bocah perempuan itu, wajah yang manis namun menggemaskan hatinya saat itu
kelihatan menjadi dua. Memandang benda lain juga kelihatan dua! Maka ia
meramkan mata sejenak sampai peningnya hilang, baru ia membuka matanya
memandang kakek itu dengan mata penasaran.
‘Nah, bagaimana pendapatmu sekarang? Kalau kau menjadi muridku,
tidak mungkin kau akan mudah dihajar orang lain begitu saja.!
Akan tetapi jawaban Han Han sungguh di luar dugaan Lauw-pangcu.
Anak ini mengangkat muka dan dadanya, lalu berkata,
‘Aku tetap tidak mau belajar berkelahi! Apa sih bangganya
mengalahkan lain orang? Mengalahkan diri sendiri baru patut disebut gagah
perkasa!! Dalam kemarahannya, tanpa disadarinya lagi Han Han mengucapkan
ujar-ujar dari kitab.
Kembali kakek itu tercengang. ‘Aihhh! Dari mana kamu mengetahui
filsafat itu?!
‘Filsafat apa? Itu pendapatku sendiri. Mengalahkan dan memukul
orang paling-paling bisa disebut sewenang-wenang, mengandalkan kepandaian dan
menjadi tukang pukul!!
‘Dan mengalahkan diri sendiri? Apa yang kau maksudkan?! Kakek
itu memancing.
Han Han cerdik, ia pandai menutupi rahasianya, maka setelah
otaknya bekerja, ia berkata, ‘Tidak tunduk kepada kemarahan sehingga tidak
memukul orang, tidak merugikan orang lain karena kepingin, tidak melakukan
pekerjaan hina biarpun perut lapar, mengalahkan diri sendiri.! Dengan ucapan
ini ia telah menyindir orang yang telah memukulnya, dan menyindir pekerjaan
mengemis yang dianggapnya hina.
‘Bocah bermulut lancang! Ayah, biar kuhajar lagi dia sampai
setengah mampus!!
Lauw-pangcu menggeleng kepala. ‘Biarkan dia pergi.!
Han Han memang telah berdiri dan melangkah pergi dari tempat itu.
Ia keluar dari pintu gerbang tanpa ada yang mengganggunya, kemudian dia berlari
cepat untuk segera meninggalkan tempat itu. Ia teringat bahwa tadi ia dibawa ke
timur, akan tetapi ia tidak ingin kembali ke barat. Tidak ingin kembali ke kota
Tiong-kwan karena takut kalau-kalau bertemu dengan kakek itu lagi kelak dan
menimbulkan hal-hal yang amat tidak enak.
Sekarang saja ia sudah babak-belur, perutnya masih mulas, kepalanya
masih berdenyut-denyut. Sambil berlari ia teringat akan Sin Lian dan diam-diam
ia mengomel.
‘Bocah perempuan yang keji dan galak!!
Han Han berjalan terus ke timur menyusuri Sungai Huang-ho. Setelah
malam tiba, ia mengaso di pinggir sebuah hutan dan mengisi perutnya yang lapar
dengan telur-telur burung yang ia temukan di jalan. Juga ada beberapa macam
buah-buah yang dapat dimakan sehingga malam itu ia dapat tertidur nyenyak di
pinggir hutan.
Pada keesokan harinya, ia melanjutkan perjalanan. Dari jauh tampak
sebuah dusun. Uang bekal dan makanan sudah habis, ia harus mencari pekerjaan di
dusun itu sekedar dapat makan. Di mana pun juga pasti ada pekerjaan. Biarpun di
dusun, para petani membutuhkan tenaga bantuan dan tentu ada orang-orang kaya yang
membutuhkan tenaga pula. Asal rajin, tak mungkin orang sampai kelaparan, asal
mau bekerja. Tidak seperti pengemis-pengemis itu, hanya bermalas-malasan, ingin
makan enak tanpa bekerja, biarpun hanya makanan sisa. Menjijikkan! Alangkah
hinanya! Tentu saja ia tidak sudi menjadi pengemis, biarpun diberi pelajaran
ilmu memukul orang!
Apalagi selalu berdekatan dengan bocah perempuan yang ganas itu.
Ia bergidik kalau teringat akan Sin Lian, sungguhpun harus ia akui bahwa wajah
bocah itu manis sekali.
Ketika Han Han berjalan sambil termenung sampai di pintu gerbang
dusun itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari depan. Han Han mengangkat
muka dan memandang. Seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, berpakaian indah
dan berwajah tampan, menunggang seekor kuda yang besar dan membalapkan kuda itu
keluar dari dusun. Han Han cepat minggir, akan tetapi sambil tertawa-tawa anak
laki-laki itu sengaja menyerempetkan kudanya sehingga Han Han yang sudah
berusaha melompat masih terlanggar dan jatuh terguling. Beberapa orang dusun
melihat hal ini berseru tertahan, agaknya mereka takut untuk mengeluarkan
seruan keras.
‘Bocah sombong, apakah kau sudah gila?! Han Han berteriak marah
sambil merangkak bangun.
Kuda itu dihentikan dan diputar. Anak laki-laki yang duduk di atasnya
kini tidak tertawa lagi, melainkan memandang Han Han dengan wajah bengis.
Setelah kudanya tiba di depan Han Han, ia lalu melompat turun, gerakannya
tangkas sekali, lalu menghadapi Han Han sambil menudingkan telunjuknya.
‘Gembel busuk! Berani engkau memaki aku?!
‘Setan kepala angin! Mengapa tidak berani? Yang kumaki bukan
orangnya, melainkan perbuatannya. Biar kau kaisar sekalipun, kalau perbuatannya
tidak benar, tentu akan dimaki orang!! Han Han membantah berani.
Anak itu usianya antara sebelas tahun, kini mendengar ucapan
seperti itu keluar dari mulut seorang anak gembel, menjadi terheran-heran
sehingga lupa kemarahannya.
‘Siapakah kau ini berani berkata seperti itu?!
‘Aku Han Han dan siapa takut mengeluarkan kata-kata benar?!
‘Wah-wah, agaknya sudah miring otakmu. Tidak tahukah engkau
bahwa aku adalah Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang)? Orang sekitar daerah ini
tidak ada yang berani kepadaku. Apalagi jembel macam kamu! Hayo bertutut dan
mohon ampun!!
Bentakan ini mengandung suara marah.
Seorang di antara para penduduk dusun yang mulai datang
berkerumun, segera mendekati Han Han dan berkata,
‘Kau agaknya bukan anak sini. Lebih baik lekas bertutut mohon
ampun kepada Kongcu.!
Mendengar ini, Han Han makin marah. Ia berdiri dengan kedua kaki
terpentang, kedua tangan bertolak pinggang, lalu berkata,
‘Apa perlunya minta ampun? Orang bersalah sekalipun tidak perlu
minta ampun dan harus berani menerima hukumannya! Apalagi orang tidak bersalah!!
Ucapan ini rupa-rupanya merupakan pendapat yang baru sama sekali
dan mengherankan semua orang. Bahkan pemuda tampan itu sendiri terheran dan
berkurang kemarahannya, lalu mengomel.
‘Tidak salah katamu? Kau berdiri di jalan, menghalang kudaku!!
‘Bukan aku yang menghalang, tapi kau yang menabrak! Berani
berbuat tidak berani mengaku, laki-laki macam apa kau?!
‘Berani kau? Apa sudah bosan hidup?! bentak anak yang disebut
tuan muda Ouwyang itu. Setelah berkata demikian, ia menerjang maju. Han Han
berusaha melawan, namun ternyata Ouwyang-kongcu ini tangkas dan kuat sekali.
Begitu menerjang, Han Han telah kena digampar kepalanya dan ditonjok dadanya.
Han Han terjengkang, napasnya sesak. Sebuah tendangan mengenai lehernya dan
dunia menjadi hitam bagi Han Han.
‘Gembel busuk bosan hidup! Kau belum mengenal kelihaian
Kongcumu, ya?! Suara Ouwyang-kongcu ini terdengar sayup-sayup oleh Han Han dan
pemuda tampan itu mengeluarkan sehelai tambang dari saku sela kudanya.
Diikatnya kaki kiri Han Han, kemudian ia memegangi ujung tali itu dan melompat
naik ke atas kudanya. Ketika kudanya dilarikan, tubuh Han Han tentu saja
terseret di atas tanah!
Orang-orang yang berada di situ hanya memandang dengan mata
terbelalak, tidak ada seorang pun berani membela Han Han. Mereka hanya saling
pandang dan menggeleng-geleng kepala dengan hati kasihan kepada anak gembel
yang amat pemberani itu.
Han Ham memiliki kenekatan dan nyali yang luar biasa sekali. Juga
tubuhnya memiliki daya tahan mengagumkan. Hal ini telah dilihat oleh mata yang
awas dari Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang sehingga kakek itu merasa
tertarik dan ingin mengambilnya sebagai murid. Biarpun ia tadi telah dipukul
hebat dan kini tubuhnya diseret seperti itu, ia masih tidak merasa takut.
Bahkan ia marah sekali. Tidak dipedulikan punggung dan pinggulnya lecet-lecet,
pakaiannya yang sudah penuh tambalan itu makin buruk karena compang-camping. Ia
tidak mengeluh, tidak pula minta ampun, bahkan ia yang terseret itu berusaha
mengangkat tubuh atasnya dan menudingkan telunjuknya ke depan, ke arah
Ouwyang-kongcu sambil memaki-maki.
‘Bocah kejam melebihi iblis! Kelakuanmu ini akan menyeretmu ke
lembah kecelakaan!!
Pada saat itu, dari arah kanan berkelebat sinar putih. Ternyata
itu adalah sebatang piauw (pisau sambit) yang disambitkan oleh seorang gadis
cilik. Piauw itu tepat sekali mengenal tambang yang menyeret Han Han sehingga
putus seketika dan Han Han terbebas, tidak terseret lagi.
Sambil duduk dan berusaha membuka ikatan kakinya, Han Han
memandang dengan mata terbelalak ketika mengenal bahwa anak perempuan itu bukan
lain adalah.... Sin Lian! Han Han mengeluh. Dia ditolong dari tangan seorang
anak laki-laki kejam oleh seorang anak wanita ganas! Kedua orang anak itu
setali tiga uang, sama-sama ganas dan kejam, tiada yang dipilih!
Sin Lian sudah meloncat turun dari atas batu di mana ia tadi
berdiri dan menyambitkan piauwnya. Sikapnya garang sekali ketika ia memandang
Ouwyang-kongcu dan telunjuknya yang kecil runcing itu menuding ke arah
Ouwyang-kongcu sambil memaki.
‘Setan alas! Monyet pengecut! Beraninya hanya menyiksa bocah
gembel yang tidak bisa silat! Hayo lawan aku kalau kau berani, kalau minta
diremuk tulang-tulangmu!! Sin Lian memasang kuda-kuda menantang.
Ouwyang-kongcu ini adalah putera seorang bangsawan tinggi, yaitu
Pangeran Ouwyang Cin Kok. Dia putera pangeran, tentu saja selain kaya raya juga
angkuh dan sudah biasa menerima penghormatan di mana-mana. Namanya adalah
Ouwyang Seng dan pada waktu itu ia sedang menerima pendidikan ilmu silat dari
gurunya, seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi dan sakti.
Sebagai putera pangeran, tentu saja dalam perguruannya tersedia
segala perlengkapan untuk kebutuhannya setiap hari, sampai-sampai tersedia
seekor kuda untuknya. Dan ia pun belajar sambil main-main, kadang-kadang
menunggang kuda pergi ke dusun-dusun dan ke manapun juga ia pergi, anak nakal
ini tentu disambut penduduk dusun dengan ramah dan hormat, sungguhpun di dalam
hati mereka ini membencinya karena kenakalannya suka menggoda orang. Kini,
dimaki-maki seperti itu, Ouwyang Seng marah sekali lalu meloncat turun dari
atas kudanya.
‘Eh, kau bocah kampung! Berani kau memaki Kongcumu? Kau pun
sudah bosan hidup agaknya!! Sambil berkata demikian, Ouwyang Seng lalu
menggunakan sisa tambang yang berada di tangannya, yang panjangnya ada dua
meter lebih untuk menyerang. Serangannya hebat, cepat dan keras sekali sehingga
mengejutkan Sin Lian yang cepat melompat dan mengelak.
Dari gerakan serangan itu Sin Lian dapat menduga bahwa anak nakal
ini pandai silat. Memang dugaannya tidak keliru. Ouwyang Seng diasuh oleh
seorang guru yang amat pandai sehingga biarpun cara ia belajar kurang tekun,
namun jarang ada anak sebaya dengannya yang mampu melawannya, biarpun anak itu
pandai silat sekalipun.
Sebaliknya, melihat betapa anak perempuan yang tadinya hendak ia
rangket karena telah berani memakinya itu dapat mengelak demikian cepat,
Ouwyang Seng menjadi penasaran dan menerjang lebih gencar lagi. Sin Lian tidak
diberi kesempatan membalas serangan-serangannya, karena tambang itu menyerang
terus-menerus, membuat ia harus menggunakan gin-kang dan berloncatan ke sana ke
mari.
‘Monyet cilik! Monyet curang! Jangan pakai tambang kalau
berani!! Sin Lian memaki kalang-kabut karena ia benar-benar terdesak dan tidak
sempat membalas sama sekali, bahkan pahanya telah kena dipecut satu kali
sehingga terasa pedas dan panas.
Ouwyang Seng tertawa bergelak. Ia kini tahu bahwa biarpun memiliki
kegesitan luar biasa, anak perempuan ini masih bukan merupakan lawan berat
baginya. Maka ia lalu membuang tambang itu dan berkata,
‘Majulah kalau ingin merasakan kaki dan tanganku yang sakti!!
Melihat pemuda cilik itu sudah membuang tambangnya, Sin Lian
menjadi girang dan cepat ia menerjang maju dengan kaki tangannya yang gesit.
Namun dengan mudah Ouwyang Seng menangkis sambil mengerahkan tenaga, membuat
Sin Lian meringis kesakitan. Ouwyang Seng tertawa lagi, lalu mendesak dengan
pukulan aneh. Sin Lian berseru kaget, terhuyung mundur dan tiba-tiba lututnya
kena ditendang Ouwyang Seng sehingga ia roboh terguling.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tahu-tahu Han Han telah
melompat dan menubruk Ouwyang Seng dari belakang. Mulutnya mencela,
‘Laki-laki apa tuh yang menyerang perempuan!! Kedua lengannya
merangkul leher dengan sekuat tenaga, kedua kakinya mengait pinggang!
Ouwyang Seng terkejut, meronta-ronta. Akan tetapi biarpun tidak
pandai silat, Han Han pada dasarnya memang memiliki tenaga besar. Apalagi ia
mempunyai kelebihan, yaitu nyali dan kenekatan. Biarpun Ouwyang Seng
mengobat-abitkannya, ia tetap tidak mau melepaskan rangkulan lengan dan
kempitan kakinya, seperti seekor lintah yang kelaparan menempel pada daging
gemuk.
‘Lepaskan....! Lepaskan, kau gembel busuk.... lepaskan....!!
Akan tetapi Han Han tidak mau melepaskannya, bahkan menggunakan tangannya untuk
mencekik leher!
Penduduk dusun yang menghampiri dan menonton perkelahian ini,
tidak berani mencampuri, hanya memandang terheran-heran. Orang-orang tidak ada
yang berani melawan Ouwyang-kongcu, kini seorang anak perempuan dan seorang
pengemis cilik berani menghinanya, memakinya, dan melawannya.
Ouwyang Seng yang meronta-ronta akhirnya roboh, membawa tubuh Han
Han bersama-sama. Mereka bergulingan di atas tanah, bergelut, namun tetap Han
Han tidak mau melepaskan kaki tangannya. Ouwyang Seng mendapat akal, ia lalu
menangkap tangan Han Han dan menekuk jari telunjuknya.
Bukan main nyerinya rasa telunjuk itu, sampai terasa menusuk di
ulu hatinya.
Han Han marah lalu.... menggigit pundak Ouwyang Seng sekuat tenaga.
‘Ouwwuw.... aduh.... aduh.... aduhhh....!! Ouwyang Seng
menjerit-jerit, pundaknya berdarah dan akhirnya ia menangis berkaok-kaok,
melolong-lolong sambil meronta-ronta.
Penduduk dusun yang melihat ini menjadi khawatir. Takut kalau
terbawa-bawa, maka mereka lalu memburu dan cepat melerai, menarik Han Han
melepaskan rangkulannya, kempitannya dan gigitannya.
‘Hi-hi-hik! Pengecut besar! Bisanya hanya menangis! Hi-hi-hik,
kau hebat, Han Han....!! Sin Lian bertepuk-tepuk tangan. Ia masih duduk karena
lututnya yang tertendang itu membuatnya tak dapat berdiri, agaknya terlepas
sambungannya. Juga Han Han merasa betapa telunjuk tangan kirinya sakit sekali,
seperti patah sambungannya pula.
Ouwyang Seng tadi menangis bukan hanya karena sakit, melainkan
terutama sekali karena ketakutan setelah usahanya melepaskan rangkulan gagal.
Kini setelah bebas, ia menjadi marah sekali dan menerjang Han Han dengan
pukulan keras. Han Han terjengkang dan terpaksa menerima hantaman dan
tendangan. Sin Lian memaki-maki, dan untuk ini, Ouwyang Seng segera melompat ke
dekatnya dan menendang kepalanya.
Biarpun tak dapat bangun, namun Sin Lian yang mengerti ilmu silat
mencoba untuk menangkis dengan lengan, dan akibatnya ia pun roboh
terguling-guling.
Ouwyang Seng menjadi mata gelap saking marahnya. Disambarnya
sebuah batu sebesar kepalanya dengan kedua tangan dan ia mengangkat batu itu
tinggi-tinggi, kemudian dihantamkan ke arah kepala Han Han. Kalau hantaman ini
kena, tentu kepala Han Han akan remuk.
Akan tetapi tiba-tiba batu itu tertahan dan di situ telah berdiri
Lauw-pangcu. Sekali renggut batu itu terampas dan dibuang ke pinggir.
‘Anak keji, pergilah!! Lauw-pangcu berkata dan ia menangkap
tengkuk Ouwyang Seng terus dilempar ke depan. Tubuh anak itu melayang dan....
jatuh tepat di atas punggung kudanya.
Ouwyang Seng maklum bahwa kakek itu amat lihai, akan tetapi dasar
seorang anak yang manja, ia malah memaki,
‘Tua bangka gembel busuk! Kalau berani, katakan siapa namamu!!
Lauw-pangcu hanya mengira bahwa anak itu adalah seorang anak
bangsawan manja saja, maka sambil tersenyum ia berkatap
‘Bocah, aku adalah orang she Lauw.!
Ouwyang Seng menarik kendali kudanya, menendang perut kuda itu
yang segera meloncat maju dan membalap ke depan, meninggalkan debu mengebul
tinggi. Han Han bukan tidak mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh kakek itu,
dan ia sudah terlalu banyak belajar tentang kebudayaan dan tentang budi, maka
ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata,
‘Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan locianpwe.!
Lauw-pangcu tersenyum. ‘Bangunlah dan mari ikut bersamaku, Han
Han.! Ia lalu memondong tubuh puterinya dan Han Han terpaksa mengikutinya
karena tidak mau dianggap tak mengenal budi.
Setelah tiba di sarang Pek-lian Kai-pang, Lauw-pangcu mengobati
Sin Lian dan telunjuk tangan Han Han. Hebat sekali cara kakek ini membenarkan
sambungan tulang karena setelah diurut sebentar dan ditempeli koyok, dalam waktu
setengah hari saja telah sembuh kembali.
‘Pengalamanmu hari ini tentu telah meyakinkan hatimu, Han Han,
betapa pentingnya mempelajari ilmu menjaga diri. Berkali-kali engkau dapat
dipukuli orang, dan hampir saja tewas. Aku tidak berniat buruk denganmu, bukan
hendak mengajarmu menjadi tukang pukul. Aku melihat bakat yang amat luar biasa
pada dirimu yang tak akan dapat ditemukan di antara sepuluh laksa orang anak,
maka engkau berjodoh untuk mewarisi semua ilmuku, Han Han.!
‘Akan tetapi, locianpwe, aku tidak ingin belajar silat.!
‘Coba sajalah. Dan pepatah mengatakan bahwa tak kenal maka tak
sayang. Kalau kau sudah mengenal seluk-beluk ilmu itu, kau tentu akan suka
sekali. Sementara ini, biarlah engkau akan menerima menjadi muridku dan coba
belajar, hitung-hitung untuk membalas budi kepadaku. Bagaimana?!
Kakek itu memang cerdik. Ia telah mengenal bahwa bocah ini
memiliki watak yang aneh dan keras luar biasa, memiliki kemauan yang tak
terpatahkan, tidak dapat dipaksa dan mengenal budi. Karena itu, ia sengaja
mengemukakan tentang balas budi untuk mengikat dan memaksa. Dan memang usahanya
berhasil, Han Han terjebak. Anak ini sudah mempelajari kitab tentang budi
pekerti sampai mendarah daging, di mana diajarkan bahwa setiap budi yang
dilepas orang harus dibalas berlipat ganda, sebaiknya budi sendiri yang
dicurahkan kepada orang lain harus dianggap sebagai kewajiban dan segera
dilupakan.
‘Baik, locianpwe.!
‘Bagus, Han Han. Sekarang engkau telah menjadi muridku. Aku adalah
gurumu dan Sin Lian ini adalah sucimu (Kakak Seperguruan), biarpun dia lebih
muda darimu.!
‘Baik, suhu, teecu (murid) mengerti.!
Makin kagum hati kakek itu dan timbul persangkaannya bahwa anak
ini tentu bukan keturunan orang biasa ketika mendengar Han Han menyebut dia
suhu dan diri sendiri teecu, kemudian betapa anak itu berlutut di depannya dan
paikwi (menyembah) sampai delapan kali.
Ia mengangkat bangun muridnya itu dan berkata, ‘Han Han,
muridku, sebagai seorang murid, pertama-tama engkau harus mengerti apa yang
menjadi kewajiban utama seorang murid?!
‘Teecu mengerti. Harus taat dan berdisiplin. Taat terhadap
segala perintah suhu, dan berdisiplin dalam memegang tugas, kemudian harus
setia dan berbakti terhadap guru.!
Kalau tadi Lauw-pangcu hanya kagum saja, kini ia terheran-heran
dan tercengang.
‘Sin Lian, dengar baik-baik omongan sutemu (Adik Seperguruan)
ini! Engkau dapat belajar banyak dari dia! Han Han, pendapatmu tadi tepat
sekali. Nah, sekarang sebagai perintah pertama dari suhumu, kau ceritakanlah
pengalamanmu, siapa orang tuamu dan bagaimana engkau sampai menjadi seorang
anak terlunta-lunta dan hidup seorang diri.!
Han Han terkejut mendengar pertanyaan ini. Ia sudah mengambil
keputusan ketika ia meninggalkan rumah orang tuanya yang terbakar, di mana
terdapat mayat ayah bundanya, untuk menyimpan rahasia tentang dirinya, untuk
melupakan penglihatan itu dan hanya mengingat wajah tujuh orang perwira Mancu,
terutama wajah Si Brewok dan Si Muka Kuning.
Kini orang yang menjadi gurunya secara terpaksa ini pertama kali
mengharuskan dia menceritakan pengalaman dan riwayatnya! Ia menundukkan
mukanya, dan begitu rasa penasaran dan sakit hati timbul karena pertanyaan itu
mengingatkan ia akan semua malapetaka yang menimpa keluarganya, mendadak ada
rasa aneh sekali di kepalanya. Kepalanya sebelah belakang kanan yang dahulu
terbanting pada dinding ketika ia dilemparkan panglima muka kuning, kini
berdenyutan keras, seolah-olah kepala bagian itu bergerak-gerak dan kepalanya
menjadi pening. Ia hanya berkata perlahan sambil menunduk.
‘Teecu tidak dapat menceritakan itu....!
Tiba-tiba Sin Lian mencela dengan suara keras dan nyaring,
‘Sute (Adik Seperguruan)! Engkau ini murid macam apa? Sudah tahu
akan kewajiban murid, akan tetapi pada kesempatan pertama kau telah tidak
mentaati perintah guru!!
Han Han makin marah. Bocah ini benar-benar cerewet sekali, dan ia
merasa terdesak. Ia mengangkat mukanya memandang Sin Lian, melihat betapa anak
perempuan yang lebih muda daripadanya akan tetapi telah menjadi kakak
seperguruannya itu juga memandang kepadanya dengan sinar mata aneh, seperti
orang terpesona, terbelalak keheranan.
Dengan hati marah Han Han memandang dan di dalam hatinya ia memaki.
‘Kau bocah cerewet! Kau seperti seekor monyet yang menari-nari!!
Mendadak terjadi hal yang amat aneh. Sin Lian tiba-tiba meloncat
mundur dan menggerakkan kaki tangannya menari-nari, mulutnya berbisik-bisik,
‘Aku seekor monyet.... menari-nari....! Aku seekor monyet yang
menari-nari....!! Dan ia menari-nari dengan gerakan lucu, seolah-olah ia meniru
gerakan monyet!
Lauw-pangcu tadinya mengira bahwa Sin Lian yang memang biasanya
nakal itu sengaja hendak memperolok-olok dan mempermainkan Han Han, maka dengan
bengis ia membentak puterinya yang manja itu,
‘Sin Lian! Hentikan itu!!
Akan tetapi, puterinya yang biarpun manja namun selalu mentaati
perintahnya itu, masih saja berjoget, secara aneh dan lucu sambil terus
berbisik,
‘Aku seekor monyet menari-nari.... seekor monyet menari-nari....!
Terkejutlah Lauw-pangcu! Ia menoleh dan memandang kepada Han Han
dan mukanya berubah pucat, matanya terbelalak. Ia melihat betapa sepasang mata
anak ini menyinarkan cahaya yang amat aneh, manik mata yang hitam itu seperti
mengeluarkan api, demikian tajamnya seperti menembus otak, membuat ia tidak
mampu menggerakkan bola mata, membuat ia terpaksa memandang sepasang mata itu,
seperti melekat, seperti tertarik besi sembrani! Ia mengerahkan sin-kang,
berusaha melawan, namun terdengarlah suara Han Han, padahal anak itu tidak
menggerakkan bibir, terdengar suaranya penuh wibawa, penuh pengaruh luar biasa.
‘Suhu sudah tua, tidak perlu merisaukan suci yang nakal. Lebih
baik suhu mengaso dan tidur daripada menjengkelkan kelakuan suci....!
Terjadi keanehan ke dua. Kakek itu menguap dan mulutnya berkata
lirih,
‘Auhhh, aku sudah tua.... ingin mengaso dan tidur....! Lalu
kakek itu pun merebahkan kepala di atas meja, berbantal lengan dan tidur!
Han Han melongo saking herannya. Ia menoleh kepada Sin Lian yang
masih terus menari-nari sambil berbisik-bisik,
‘Aku seekor monyet yang menari-nari.... seekor monyet....!
Ketika ia menoleh pula memandang gurunya, kakek itu masih tidur nyenyak!
Melihat ini, Han Han makin bingung. Tadi ia mengira bahwa Sin Lian hanya
mempermainkannya dan menari-nari untuk mengejeknya, maka ketika memandang
gurunya, ia merasa kasihan dan hatinya menghibur gurunya agar supaya jangan
jengkel dan supaya guru yang tua itu mengaso dan tidur daripada mempedulikan
Sin Lian. Akan tetapi sekarang, gurunya benar-benar tidur dan Sin Lian masih
terus menari-nari seperti telah menjadi gila! Dari bingung, Han Han menjadi
ketakutan dan diguncang-guncangnya pundak Lauw-pangcu sambil berteriak-teriak.
‘Suhu....! Suhu.... Bangunlah, suhu....!! Lauw-pangcu serentak
bangun dan matanya terbelalak ketika meloncat dari bangkunya.
‘Apa.... apa yang terjadi....?! tanyanya seperti orang habis
bangun dari mimpi, padahal ia tertidur belum ada dua menit! Ketika ia menoleh
ke arah puterinya, wajahnya kembali menjadi pucat. Kakek ini sudah mempunyai
pengalaman yang banyak sekali, akan tetapi apa yang ia alami sekarang ini
benar-benar membuat ia tidak mengerti dan terheran-heran.
Namun, ia sudah dapat menguasai perasaannya, cepat ia melompat
mendekati Sin Lian yang masih menari-nari berloncat-loncatan seperti seekor
monyet nakal itu, menangkap pundak puterinya dan menotok punggungnya. Sin Lian
mengeluarkan suara merintih perlahan lalu roboh pingsan dalam pelukan ayahnya.
‘Dia.... dia kenapa, Suhu? Suci mengapa tadi....?! tanya Han
Han, khawatir juga menyaksikan semua itu karena kini ia dapat menduga bahwa
keadaan Sin Lian tadi tidak wajar, bukan menari-nari untuk mengejeknya.
Kakek itu hanya menghela napas panjang, lalu merebahkan tubuh
puterinya di atas dipan, memeriksanya sebentar lalu berkata lirih,
‘Tidak apa-apa, sebentar lagi pun sembuh, ia tertidur.! Kemudian
ia mengajak Han Han keluar.
‘Han Han, mari kita bicara di luar.!
Dengan hati tidak enak Han Han mengikuti gurunya keluar kamar dan
duduk di ruang depan pondok kecil itu. Mereka duduk berhadapan dan Lauw-pangcu
kini memandang wajah muridnya dengan pandang mata tajam penuh selidik. Makin
tidak enak hati Han Han dan ia menunduk.
‘Han Han, pandanglah mataku!! perintah kakek itu.
Han Han mengangkat mukanya memandang. Sejenak pandang mata mereka
bertemu dan jantung kakek itu berdebar. Mata yang hebat! Ia merasa betapa sinar
mata itu mendesak pandang matanya, menusuk masuk dan membuat jantungnya
tergetar. Seperti mata iblis! Akan tetapi saat itu kosong sehingga yang terasa
hanya ketajamannya yang menggetarkan dan betapapun kakek ini mengerahkan
sin-kangnya, akhirnya ia tidak kuat menahan dan terpaksa mengalihkan pandang
matanya, tidak kuat lebih lama beradu pandang. Padahal ia telah memiliki
sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat! Tertipukah ia? Adakah bocah ini murid
seorang sakti yang telah memiliki tenaga mujijat? Harus kucoba lagi.
Berpikir demikian, Lauw-pangcu menggerakkan tangan kanan cepat
sekali, tahu-tahu telah menotok jalan darah kian-keng-hiat di pundak anak itu.
Seketika tubuh Han Han menjadi kaku tak dapat digerakkan, akan tetapi hanya
sebentar saja karena kakek itu telah menotoknya kembali, membebaskannya.
Lauw-pangcu menunduk dan makin heran. Jelas bahwa anak ini tidak mengerti
silat, dan tidak pernah belajar silat. Orang yang mengerti ilmu silat tentu
memiliki gerak otomatis sebagai reaksi atas penyerangan terhadap dirinya. Anak
ini sama sekali tidak mempunyai gerak itu, tidak berusaha mengelak atau
menangkis, bahkan urat syaraf di pundaknya tidak menentang, tanda bahwa urat syarafnya
juga belum terlatih, tidak biasa akan serangan cepat lawan. Akan tetapi pandang
mata itu, pengaruhnya yang hebat!
Adapun Han Han ketika tadi merasa pundaknya disentuh gurunya
membuat tubuhnya kaku menegang, kemudian pulih kembali, menjadi heran dan
penasaran. Ia tidak tahu apa yang dilakukan suhunya. Akan tetapi ia menganggap
suhunya itu penuh rahasia, tidak berterus terang dan seolah-olah tidak
mempercayainya. Tiba-tiba suhunya itu memegang kedua pundaknya dengan cekalan
erat, mata kakek itu menatapnya penuh selidik dan terdengarlah pertanyaannya
dengan suara keras mendesak.
‘Han Han! Dari mana kau mempelajari ilmu I-hun-to-hoat (semacam
hypnotism)?!
‘Apa? I-hun-to-hoat, suhu? Mendengar pun baru sekarang. Sudah
teecu katakan bahwa teccu tidak pernah mempelajari ilmu apa-apa....!
‘Hemmm, jangan mencoba untuk menyangkal. Habis, apa yang kau
lakukan terhadap sucimu dan aku tadi kalau bukan Ilmu I-hun-to-hoat?! Ilmu
I-hun-to-hoat adalah semacam ilmu hypnotism, membetot semangat dan menguasai
kemauan orang dengan penggunaan sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Han Han makin tak senang hatinya. Ia sudah menentang perasaan hati
dan pendapatnya sendiri dan sudah suka menjadi murid Lauw-pangcu. Akan tetapi
mengapa suhunya ini sekarang menuduhnya yang bukan-bukan?
‘Suhu, mengapa suhu menuduh yang bukan-bukan? Suhu mengambil
murid teecu ini hendak diajar ilmu ataukah untuk dituduh-tuduh saja? Sudah
teecu katakan bahwa teecu tidak pernah belajar silat.!
‘Tapi.... tapi pandang matamu.... dan peristiwa tadi! Lian-ji
menari-nari di luar kehendaknya, aku pun tertidur di luar kemauanku. Hal ini
hanya mungkin terjadi kalau orang menggunakan Ilmu I-hun-to-hoat yang amat
kuat. Han Han, aku tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu. Kalau kau
benar-benar pernah menjadi murid orang sakti, aku pun malah makin suka
kepadamu. Perlu apa kau berbohong? Sudah ada buktinya peristiwa tadi, aku
sendiri mengalami, dan pandang matamu juga penuh dengan tenaga mujijat yang
hanya timbul dari sin-kang yang tinggi.!
Han Han menjadi tidak sabar. ‘Teecu tidak mengerti apa yang suhu
katakan itu, tidak pernah mendengar apa itu I-hun-to-hoat, dan apa itu
sin-kang! Pendeknya, teecu belum pernah belajar ilmu silat, bahkan sebelum
menjadi murid suhu, teecu membenci ilmu silat. Malah sekarang, karena suhu
tuduh yang bukan-bukan, timbul pula rasa tidak senang itu....!
‘Han Han, jangan salah mengerti. Memang ada sesuatu yang amat
aneh terjadi, dan kurasa, ada sesuatu yang ajaib sekali terdapat dalam dirimu.
Aku tidak menuduh sedikitpun juga dan kau pun harap suka berterus terang.
Mungkinkah kau pernah membaca kitab kuno tentang ilmu menguasai semangat dan
kemauan orang lain, dan telah mempelajarinya?!
‘Tidak, sama sekali tidak.!
‘Engkau anak aneh. Datang-datang kau bagi-bagikan roti kering
kepada gembel yang lain. Hal ini saja sudah membuktikan keanehanmu. Dan cara
kau bicara, sungguh tidak seperti seorang anak gembel.!
‘Teecu bukan pengemis!!
‘Kalau begitu engkau seorang anak keluarga bangsawan yang
terlunta-lunta. Bukankah begitu?!
‘Tidak, tidak! Teecu sudah katakan bahwa teecu tidak dapat
menceritakan asal-usul dan riwayat teecu. Teecu sendiri hampir lupa. Mengapa
suhu memancing-mancing? Apa artinya riwayat teecu? Pendeknya, teecu seorang
yang tiada ayah bunda lagi, tiada saudara, sebatangkara. Suhu, teecu biarpun
hidup melarat dan seorang bodoh, namun teecu berpegang kepada peribahasa
It-gan-ki-jut-su-ma-lam-twi (Sepatah kata dikeluarkan, empat ekor kuda pun
tidak kuat menariknya kembali)!!
Lauw-pangcu tercengang. Ucapan muridnya ini jelas membuktikan
bahwa bocah itu bukan bocah sembarangan, dan bukan hanya memiliki watak yang
keras, memiliki pribadi yang aneh, tenaga sakti simpanan yang penuh rahasia,
akan tetapi juga memiliki asal-usul yang menarik dan tentu bukan dari keluarga
sembarangan. Ia menjadi girang sekali, akan tetapi juga khawatir.
Anak ini selain memiliki kekuatan mujijat, juga memiliki watak
yang sukar diukur dalamnya, sukar dijenguk isinya sehingga bagi dia yang
menjadi gurunya, akan sukarlah untuk membentuk watak bocah ini kelak. Diam-diam
ia heran dan berpikir keras untuk menduga, ilmu apakah yang telah dimiliki atau
yang masuk secara aneh dalam diri bocah ini.
Tentu saja Lauw-pangcu tidak dapat menduganya, tidak mengerti akan
keadaan Han Han. Jangankan orang luar, sedangkan Han Han sendiri pun tidak
mengerti, tidak sadar bahwa ada perubahan hebat pada dirinya, bahwa ada sesuatu
yang secara ajaib terjadi di dalam dirinya. Ketika ia dihajar oleh perwira muka
kuning dahulu di dalam kamar karena ia telah ‘mengganggu! perwira muka kuning
itu yang sedang memperkosa ibunya, ia dilempar dan kepalanya terbanting pada
dinding kamar dengan keras sekali sehingga ia menjadi pingsan. Entah bagaimana
hanya Tuhan yang mengatur dan mengetahuinya, bantingan kepala yang terjadi pada
saat hatinya merasa tertusuk-tusuk oleh perasaan duka, marah, sakit hati dan
gelisah itu, bantingan keras yang menggetarkan otaknya, telah merubah dan
mengguncangkan otaknya, merubah susunan syaraf dalam kepala.
Tanpa ia sadari, timbullah semacam kekuatan mujijat di dalam
kepalanya yang menyinar keluar dari matanya. Kekuatan mujijat ini terutama
sekali timbul apabila hatinya terganggu dan membuatnya menjadi marah dan sakit
hati. Kekuatan mujijat yang membuat pandang matanya kuat melebihi pandang mata
seorang ahli sihir yang bagaimana pandai sekalipun, yang membuat daya ciptanya
sedemikian kuatnya sehingga dalam keadaan seperti itu, mudah saja ia
‘merampas! dan menguasai semangat kemauan orang!
Kalau ahli-ahli sihir memperoleh kekuatan mereka karena latihan
dan ketekunan, adalah Han Han memperolehnya karena kekuasaan Thian yang tiada
batasnya. Susunan otak dan syarafnya, seperti manusia-manusia lain, adalah
sempurna sekali sehingga segala sesuatu dapat dipergunakan secara normal. Akan
tetapi, hantaman kepalanya pada dinding itu menggoyahkan kesempurnaan itu
sehingga cara kerja otak dan syarafnya menjadi terganggu. Justeru gangguan ini
yang menimbulkan kekuatan hebat itu!
Namun Han Han sendiri tidak sadar akan hal ini. Karenanya ia tidak
dapat menguasai kekuatan mujijat ini dan kekuatan ini hanya timbul kalau ia
sedang marah seperti yang tadi timbul dan tanpa ia sadari sendiri telah membuat
Sin Lian menari-nari seperti monyet dan Lauw-pangcu tertidur pulas di luar
kehendaknya!
Lauw-pangcu menghela napas panjang. Sebagai seorang yang sudah
berpengalaman luas, ia telah dapat mengenal sifat-sifat Han Han. Ia tahu bahwa
kalau ia mendesak terus, hasilnya malah merugikan karena anak ini tentu akan
kehilangan gairah belajar ilmu silat. Pada saat itu, Sin Lian berlari-lari
keluar dari kamarnya dan berkata.
‘Ayah.... Ayah.... aku mimpi aneh....!
Lauw-pangcu memandang puterinya lalu mengerling kepada Han Han
yang menundukkan muka.
‘Mimpi apa?!
‘Aku mimpi menjadi monyet dan menari-nari.... eh, sute masih di
sini. Bagaimana, Ayah, apakah dia masih berkepala batu tidak mau menceritakan
riwayatnya?!
Lauw-pangcu kembali melirik kepada Han Han mendengar ucapan
puterinya itu, dan Han Han masih menunduk, hanya mukanya menjadi merah karena
anak ini pun terkejut dan heran di dalam hatinya. Tadi dia telah memaki didalam
hatinya, memaki Sin Lian seperti monyet menari-nari dan gadis cilik ini pun
lalu menari-nari tanpa sadar. Kemudian sekarang bocah ini mengatakan mimpi menjadi
monyet dan menari. Apa yang telah terjadi? Dia sendiri tidak mengerti dan
bingung. Akan tetapi hatinya lega ketika mendengar gurunya berkata.
‘Sutemu sama sekali tidak kepala batu, Lian-ji. Jangan kau
kurang ajar dan terlalu mendesaknya. Han Han adalah seorang keturunan keluarga
Sie, dan karena dia sudah tiada ayah bunda lagi, memang tidak ada sesuatu yang
perlu diceritakan.!
‘Aihhhhh...., dia ini jaka lola (yatim piatu)....?! Suara Sin
Lian mengandung penuh iba sehingga lunturlah semua kebencian di hati Han Han.
Apalagi ketika ia memandang kepada ‘suci-nya! itu dan melihat pandang mata
Sin Lian terhadapnya begitu lembut dan penuh kasihan, ia lalu tersenyum kepada
Sin Lian. Dara cilik itu membalas senyumnya dan mulai detik itu terjalinlah rasa
persahabatan antara mereka.
Mulailah Lauw-pangcu mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada Han
Han. Hatinya girang bukan main karena dugaannya sama sekali tidak meleset.
Bocah ini memiliki ingatan yang amat luar biasa, seperti kertas putih bersih
saja, sekali ditulis tidak akan luntur lagi. Mudah saja bocah ini menerima
pelajaran kouw-koat (teori silat) dan mendengar terus mengerti dan ingat.
Sebentar saja ia sudah dapat menghafal semua nama dan kedudukan
bhesi (kuda-kuda). Juga ketika melatih kuda-kuda, sebentar saja ia sudah dapat
menguasainya sungguhpun kuda-kudanya itu tentu saja hanya merupakan kulit yang
belum ada isinya. Ketika Sin Lian disuruh mengujinya, sekali serampang dengan
kaki, kuda-kuda yang dilakukan Han Han itu rontok dan ia pun terguling!
Maka Lauw-pangcu makin yakin bahwa anak ini memang belum pernah
belajar silat. Mulai hari itu, Han Han disuruh berlatih memasang kuda-kuda
dengan tekun dan Sin Lian yang menjadi sucinya selalu menemaninya dan
mengawasinya dengan rajin pula. Dalam keadaan apapun juga, Han Han diharuskan
memasang kuda-kuda dan dengan demikian, ia mulai memaksa otot-otot kakinya, dan
melatih otot-otot kakinya itu agar menjadi seperti kaki ahli silat karena
sepasang kaki merupakan pilar terpenting bagi seorang ahli silat. Makin kuat
kuda-kudanya, makin sempurnalah ilmu silatnya, demikian pendapat para ahli
silat.
Han Han merupakan seorang anak yang rajin dan tekun. Akan tetapi
kerajinannya ini hanya ditujukan untuk membaca kitab karena memang sejak kecil
ia sudah ‘berkecimpung! dalam lautan kitab-kitab dan huruf-huruf sastra.
Kalau disuruh menghafal, sekali baca ia dapat mengingat seribu huruf di luar
kepala. Kini, disuruh melatih bhesi, ia merasa tersiksa sekali. Menimba air pun
harus dengan sepasang kaki memasang bhesi, di waktu berdiri, di waktu jongkok,
bahkan di waktu ia berdiri memasak air dan membantu pekerjaan Sin Lian mengurus
rumah, ia diharuskan oleh gurunya untuk memasang kuda-kuda. Dan semua ini
selalu diawasi dan dikontrol secara keras oleh Sin Lian!
‘Sute, memang membosankan belajar bhesi seperti ini. Akan tetapi
karena bhesi amat penting, sute harus tekun. Aku sendiri semenjak pandai
berjalan sudah disuruh belajar bhesi oleh Ayah!!
Han Han menarik napas panjang. Sudah hampir sebulan ia berlatih
bhesi seperti ini. Bayangkan saja. Dalam sebulan itu ia selalu memasang bhesi!
Hanya di waktu tidur nyenyak saja kakinya tidak dikakukan karena dalam tidur ia
terlupa. Kedua kakinya terasa kaku sekali, bahkan kalau dilonjorkan menimbulkan
rasa sakit-sakit lagi.
‘Suci, apakah belajar silat begini tidak menjemukan?
Jangan-jangan kalau sudah lulus, sekali berdiri memasang bhesi kedua kakiku
lalu berakar di tanah dan tidak dapat dicabut lagi. Berapa lama aku harus
melatih bhesi seperti ini?!
‘Tergantung orangnya, sute. Akan tetapi menurut kata Ayah,
engkau memiliki daya tahan dan bakat yang luar biasa sehingga dalam beberapa
hari lagi tentu Ayah akan mengajar lebih lanjut.!
‘Mengajar apa?!
‘Ilmu silat tentunya. Ilmu pukulan.!
‘Wah, aku tidak suka.!
‘Mengapa?!
‘Ilmu saja kok ilmu memukul orang! Untuk memukul, menyiksa dan
membunuh orang digunakan ilmu yang dipelajari. Alangkah kejinya!!
‘Sute, kau ini bocah aneh sekali. Ilmu silat bukan semata-mata
memukul orang. Memukul hanya merupakan sebuah di antara gerakan silat, di
samping gerakan mengelak, menangkis, menendang, menyiku dan lain-lain. Ilmu
silat, menurut penjelasan Ayah, adalah ilmu tata gerak menjaga dari pada
serangan lawan, juga ilmu kesehatan karena dengan latihan ilmu silat, jalan
darah kita beredar dengan lancar dan betul mendatangkan kesehatan, selain itu,
juga merupakan seni tari yang indah, dan terakhir merupakan latihan batin,
meningkatkan harga diri dan memupuk sifat rendah hati.!
Han Han mendengarkan dengan melongo. Mereka duduk mengaso setelah
berlatih kuda-kuda itu di dalam taman liar yang dipelihara oleh Sin Lian, duduk
di atas rumput yang tebal. Tak disangkanya bahwa puteri ketua pengemis ini
dapat bicara seperti itu! Disangkanya bahwa Sin Lian hanya pandai bersilat dan
pandai memaki, galak, ganas, akan tetapi juga ramah sekali.
Bab 3
‘Keteranganmu amat menarik,! katanya tersenyum, ‘dan engkau
pandai membela kebaikan ilmu silat. Tentang yang pertama, aku percaya karena
engkau pandai menjaga serangan lawan bahkan pandai menyerang. Juga bahwa ilmu
silat adalah ilmu menyehatkan tubuh, boleh dipercaya melihat betapa engkau
sehat dan kuat serta lincah sekali. Akan tetapi bahwa ilmu silat adalah ilmu
yang mengandung seni tari indah, masih aku sangsikan.!
‘Masih sangsi? Kau lihat dan katakan apakah ini tidak indah,!
kata Sin Lian yang sudah melompat bangun dan dara cilik ini mulai bersilat
tangan kosong. Gerakannya cepat, namun terutama sekali amat indah. Gerakan
tangan kaki teratur rapi dan benar-benar membuat Han Han menahan napas. Ia
melihat betapa gerakan-gerakan itu, biarpun agak terlalu cepat, namun tiada
ubahnya seperti seorang dewi yang menari dengan indahnya, sama sekali tidak
kelihatan sebagai ilmu untuk berkelahi. Betapa lemasnya kedua lengan dan tubuh
itu!
‘Bagus! Memang indah sekali, suci!! katanya memuji dengan
sejujurnya.
Sin Lian berhenti bersilat, lalu duduk pula di dekat Han Han.
‘Harus aku akui bahwa ilmu silat tadi seperti orang menari saja.
Kini aku percaya bahwa dalam ilmu silat terkandung seni tari yang indah,
sungguhpun aku masih sangsi apakah aku dapat belajar bersilat seindah yang kau
mainkan itu. Tentang meningkatkan harga diri dan memupuk sifat rendah hati,
kurasa hal ini tidak karena ilmu silat, melainkan tergantung daripada sifat
orangnya.!
‘Ah, tidak bisa! Seorang guru yang baik seperti Ayah, di samping
mengajarkan ilmu silat, juga menekankan aturan-aturan keras untuk membuat
muridnya memiliki harga diri, menjadi pembela kebenaran dan keadilan, serta
tidak sombong.!
‘Kalau begitu aku suka belajar ilmu silat. Biar kuminta suhu
mengajarku gerakan kaki tangan.!
Sin Lian menggeleng-geleng kepalanya yang bagus bentuknya.
‘Tidak begitu mudah, sute. Kuda-kudamu belum sempurna benar. Lebih baik kita
berlatih lagi agar kuda-kudamu cepat sempurna. Setelah kuda-kudamu kuat benar,
baru kau akan diberi pelajaran gerakan kaki tangan.!
‘Berapa lama lagi kiranya? Sebulan, dua bulan, tiga bulan?!
‘Tergantung dari kemajuanmu, sute. Mungkin setahun baru diberi
pelajaran pukulan.!
Jawaban ini membuat semangat Han Han menjadi lesu kembali. Disuruh
belajar bhesi sampai setahun? Wah, berat sekali! Membosankan. Memang pada
dasarnya ia kurang dapat melihat manfaatnya ilmu silat dan tadinya sama sekali
tidak suka, kini setelah mulai tertarik ia terbentur pada kesukaran belajar
kuda-kuda yang membosankan itu sampai setahun!
Sin Lian baru berusia sembilan tahun lebih, akan tetapi ternyata
dia seorang bocah yang cerdik. Melihat wajah sutenya menjadi muram, ia cepat
berkata.
‘Sute, jangan memandang rendah kuda-kuda. Karena sesungguhnya
pokok kekuatan ilmu silat terletak pada kekokohan bhesi inilah. Bagaikan rumah,
demikian kata Ayah, bhesi adalah tiang-tiangnya, pukulan tendangan dan gerakan
lain hanya bagian atasnya atau cabang-cabangnya berupa daun-daun jendela dan
penghias-penghias lain. Apa artinya rumah itu tampak indah dan kuat kalau hanya
tampaknya saja dan tiang-tiangnya tidak kuat? Tertiup angin keras sedikit saja
akan roboh! Demikian pula orang pandai silat. Kalau hanya kelihatannya saja
bagus dan kuat, namun tidak memiliki sepasang kaki yang dapat berkuda-kuda kuat,
sekali bertemu lawan berat akan mudah dirobohkan. Memang terlalu banyak orang
yang hanya ingin pandai memukul, menendang, sehingga kelihatannya pandai. Akan
tetapi kalau demikian halnya, engkau hanya akan menguasai seni tarinya saja
tidak akan dapat menguasai inti sari ilmu silat.!
Kembali Han Han tertegun. Bocah perempuan ini pandai sekali
berdebat, dan jalan pikirannya seperti orang dewasa saja. Agaknya memang
Lauw-pangcu sudah menggemblengnya sejak kecil, bukan hanya digembleng ilmu
silat, melainkan juga nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan.
‘Baiklah, suci, aku akan tekun berlatih bhesi,! kata Han Han
sambil menghela napas. Mulailah ia berlatih lagi, mengulangi berbagai kuda-kuda
yang sukar-sukar, diawasi dan diberi petunjuk oleh sucinya yang lebih muda
darinya itu. Sampai hari menjadi gelap barulah keduanya meninggalkan taman.
Tiga bulan kemudian Han Han masih belum dilatih gerak pukulan,
akan tetapi di samping latihan bhesi, ia mulai dilatih mengatur napas dan
bersamadhi oleh gurunya. Pelajaran ini pun membosankan baginya, namun
setidaknya ia cukup mengerti akan manfaat siulian (samadhi) dan mengatur
pernapasan, karena dalam kitab-kitab kuno hal ini pun selalu disebut-sebut
sebagai kewajiban setiap orang yang hendak menguasai diri pribadi dan menguasai
nafsu-nafsunya.
Karena itu, latihan siulian dan mengatur napas ini lebih mudah ia
pelajari. Hanya bedanya, kalau siulian untuk menguasai diri pribadi dan
mengendalikan nafsu dilakukan dengan duduk diam dan belajar mengendalikan
pikiran dan menenteramkan hati serta menutup semua perasaan, adalah siulian
yang diajarkan oleh Lauw-pangcu ini ditujukan untuk melancarkan jalan darah,
untuk menguasai pernapasan dan terutama sekali untuk menggunakan hawa dalam
tubuh sebagai kekuatan!
Lauw-pangcu kembali tertegun dan terheran-heran ketika pada
hari-hari pertama ia mengajar murid barunya ini bersamadhi, dalam waktu singkat
saja Han Han sudah dapat mematikan semua rasa dan berada dalam keadaan hening
yang hanya akan dapat dicapai oleh orang yang sudah berbulan-bulan belajar
samadhi! Ia hanya mengira bahwa Han Han memang memiliki bakat luar biasa dan
kemauan yang amat keras seperti baja, tidak tahu bahwa hal ini timbul dari
keadaan yang ‘tidak wajar! dalam diri Han Han akibat terbantingnya kepalanya
pada dinding dahulu.
Lebih-lebih lagi keheranannya ketika ia melatih Han Han untuk
mengumpulkan hawa ke pusar dan bertanya apakah ada terasa hawa di situ, anak
itu mengangguk! Ia lalu menyuruh muridnya menggunakan kemauan untuk mendorong
hawa panas itu naik ke dada dan kembali Han Han mengangguk, sebagai tanda bahwa
ia telah melakukan perintah suhunya. Lauw-pangcu tidak percaya, lalu meraba
dada muridnya. Ia terbelalak. Dada itu mengeluarkan getaran yang amat kuat
sehingga tubuh bocah itu menggigil, mukanya merah seperti terbakar. Cepat-cepat
ia menurunkan lagi hawa panas itu turun ke pusar sehingga keadaan anak itu
normal kembali.
Setelah Han Han dan gurunya duduk mengaso tidak berlatih, gurunya
berkata.
‘Dalam latihan siulian, kau cepat maju, Han Han. Hati-hatilah,
jangan kau sembrono dengan hawa panas di pusar itu. Itu merupakan kekuatan
hebat dan kalau kau sudah dapat mengendalikannya, hawa itu dapat kau dorong ke
bagian tubuh yang manapun juga, merupakan kekuatan sin-kang yang luar biasa.
Akan tetapi kalau kau sembrono dan keliru menggunakannya, dapat merusak bagian
dalam tubuhmu sendiri. Sebaiknya secara perlahan kau latih dan kuasai hawa itu,
mendorongnya perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit maju, sampai dapat kau
perintah dia maju ke pundak, kemudian turun ke lengan dan sebagainya. Hawa itu
dapat diperkuat dengan latihan samadhi dan pernapasan yang benar seperti yang
aku ajarkan kepadamu. Kau sudah hafal akan teorinya, tinggal melaksanakan dalam
latihan-latihan yang tekun.!
Demikianlah, hanya dengan setengah hati Han Han melanjutkan
latihannya, yakni memperkuat kuda-kuda dan latihan samadhi. Sebetulnya ia sudah
tidak kerasan sama sekali tinggal di sarang Pek-lian Kai-pang ini. Ia merasa
tidak bebas lagi, tidak seperti ketika ia berkeliaran tanpa tujuan. Sekarang ia
terikat oleh kewajiban-kewajiban berlatih dan membantu pekerjaan rumah tangga
yang dilakukan Sin Lian. Ia tidak lagi dapat berlaku sekehendak hatinya, mau
tidur tinggal tidur, mau jalan tidak ada yang melarang, bisa tertawa sesukanya
atau menangis semaunya kalau ia kehendaki.
Di situ, ia terpaksa berlaku tidak wajar tidak bebas. Ia tidak
suka berlatih silat, namun terpaksa ia lakukan. Kalau hatinya sedang mangkal,
ia seharusnya cemberut, menurutkan hatinya, akan tetapi di depan gurunya, Sin
Lian dan para anggauta kai-pang, ia memaksa diri tersenyum! Benar-benar hidup
tersiksa baginya. Lebih-lebih kalau ia mengingat akan sikap para suheng-suheng
(kakak seperguruan) atau susiok-susiok (paman seperguruan) terhadap dirinya,
membuat ia makin tidak kerasan lagi. Mereka itu, anggauta-anggauta kai-pang
yang taat, memandang rendah dan hina kepadanya karena ia bukan termasuk
golongan pengemis!
Kalau tidak mau menjadi pengemis, mengapa belajar ilmu silat di
situ dan memakai pakaian rombeng, demikian mereka sering kali menegurnya. Han
Han sering kali dihina, dipukul dan diejek. Akan tetapi dasar dia memiliki
watak keras dan berani, sedikit pun tidak mempunyai watak pengecut, ia tidak
pernah mengeluh di depan gurunya. Bahkan di depan Sin Lian ia tidak pernah
menceritakan perlakuan mereka itu terhadap dirinya. Sikap ini menolongnya
karena para anggauta kai-pang yang gagah itu merasa kagum menyaksikan sikap Han
Han dan gangguan-gangguan mereka makin berkurang.
Sudah lima bulan Han Han berada di sarang Pek-lian Kai-pang itu.
Pada suatu pagi, datanglah serombongan pengemis ke tempat itu. Mereka ini
terdiri dari belasan orang pengemis, tampak kuat-kuat seperti para anggauta
Pek-lian Kai-pang. Hanya bedanya, kalau pakaian para anggauta Pek-lian
Kai-pang, biarpun bertotol-totol berkembang atau tambal-tambalan, dasarnya
selalu warna putih, adalah rombongan pengemis yang datang ini pakaiannya serba
hitam! Wajah mereka juga bengis-bengis, dan mereka dipimpin seorang pengemis
tua bongkok berpakaian hitam yang matanya hanya satu, yaitu yang kanan karena
mata kirinya buta.
Han Han yang sedang berlatih bersama Sin Lian, segera berlari-lari
menghampiri bersama gadis cilik itu yang menjadi tegang dan berbisik,
‘Ah, mereka adalah orang Hek-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis
Baju Hitam). Tentu mencari keributan!!
Han Han menjadi berdebar tegang hatinya. Benar-benarkah akan
terjadi bentrokan antara para pengemis? Alangkah aneh dan lucunya. Sama-sama
pengemis, masih bertengkar! Ia dan Sin Lian menonton dari pinggir karena saat
itu, Lauw-pangcu sendiri telah menyambut datangnya rombongan pengemis baju
hitam ini bersama anak buahnya yang sudah berbaris rapi. Rata-rata para
anggauta Pek-lian Kai-pang bersikap keren.
Lauw-pangcu telah mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil
berkata, ‘Biarpun belum pernah jumpa, namun tidak akan keliru dugaan saya
kalau yang datang berkunjung ini adalah Song-pangcu (Ketua Pengemis Song) dari
lembah utara!!
Kakek bongkok itu mengeluarkan suara mendengus seolah-olah sikap
sopan dan ramah ini malah tidak menyenangkan hatinya. ‘Benar, Lauw-pangcu.
Aku orang she Song ketua Hek-i Kai-pang dari seberang sungai. Tak perlu kiranya
kita berpanjang debat, Lauw-pangcu, karena kita sama tahu bahwa di antara anak
buah kita sudah sering kali timbul bentrok, dan....!
‘Bentrokan yang sengaja dilakukan oleh anggauta-anggautamu,
Song-pangcu!! bantah Lauw-pangcu dengan suara keren. ‘Sudah jelas daerah kita
dibatasi sungai, namun para anggautamu sengaja menyeberang sungai dan mendesak
daerah kami di selatan!!
‘Tidak perlu dibicarakan lagi urusan itu!! Song-pangcu memotong
marah. ‘Kami tidak perlu lagi banyak cakap dengan segala pemberontak....!
‘Song-pangcu! Mengapa kau menuduh yang bukan-bukan?!
‘Ha-ha-ha! Menuduh, katamu? Siapa tidak tahu bahwa Pek-lian
Kai-pang adalah cabang dan pecahan dari Pek-lian-kauw yang memberontak dan
jahat? Siapa tidak tahu akan kontak antara kalian dengan pemberontak di barat?!
Lauw-pangcu menjadi pucat mukanya lalu berubah merah sekali
‘Song-pangcu, memang tidak perlu banyak cakap. Antara kita
terdapat jurang pemisah dan bibit permusuhan. Sekarang, kalian datang mau apa?!
‘Ha-ha, mau apa lagi? Membereskan urusan antara kita dengan
senjata!! kata It-gan Hek-houw sambil terkekeh dan menggerak-gerakkan
tongkatnya yang juga berwarna hitam seperti pakaiannya.
Lauw-pangcu memberi isyarat dengan tangan dan melompatlah lima
belas orang anggauta Pek-lian Kai-pang tingkat tinggi. Mereka inilah yang oleh
Sin Lian dan Han Han disebut susiok (paman guru) dan mereka ini yang mewakili
Lauw-pangcu melatih ilmu silat kepada para murid. Hanya Sin Lian dan Han Han
berdua saja yang menerima pendidikan langsung dari ketua Pek-lian Kai-pang ini.
Lima belas orang itu bergerak secara teratur, berputaran dan terbentuklah
sebuah barisan lingkaran tiga lapis. Yang luar terdiri dari delapan orang,
sebelah dalamnya lima orang dan yang paling dalam dua orang. Bentuknya seperti
teratai.
‘Song-pangcu, bicara tentang mengadu senjata berarti mengadu
kepandaian. Seorang pangcu yang mempunyai banyak anak buah, tidak patut kalau
turun tangan sendiri sebelum mengajukan anak buahnya. Cobalah kau pecahkan
barisan kami yang bernama Pek-lian-tin (Barisan Teratai Putih) ini!! kata
Lauw-pangcu.
Barisan itu hanya bentuknya saja seperti teratai, akan tetapi
sebenarnya merupakan gabungan daripada pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang
diwakili oleh lingkaran pertama di luar, ngo-heng-tin (barisan lima unsur) yang
diwakili oleh lingkaran ke dua dan im-yang-tin (barisan im-yang) diwakili oleh
dua orang, yaitu sesungguhnya bukan barisan hanya kerja sama antara dua orang
yang menggunakan dua jenis tenaga yang berlawanan dalam gerakan mereka. Dapat
diduga betapa hebat dan kuatnya barisan Pek-lian-tin yang terdiri dari gabungan
tiga barisan kuat.
Akan tetapi It-gan Hek-houw yang sudah mendengar akan Pek-lian-tin
ini memandang rendah dan tertawa mengejek. Ia sudah siap dengan anak buahnya
yang dipilih atas tokoh-tokoh terpandai dari Hek-i Kai-pang. Ia pun memberi
tanda dengan tongkatnya diangkat ke atas maka majulah lima belas orang
pengikutnya yang rata-rata bertubuh kuat, tidak seperti ketua mereka yang
bongkok. Seperti Pek-lian-tin itu, mereka pun masing-masing memegang sebatang
tongkat hitam, yang hanya warnanya saja berbeda dengan tongkat lawan yang putih.
Lima belas orang pengemis pakaian hitam ini lalu bergerak pula
membentuk lingkaran besar, mengelilingi Pek-lian-tin. Mereka ini harus terus
berlari-larian mengelilingi barisan pengemis Pek-lian Kai-pang yang tetap pada
kedudukan mereka, tidak bergerak, hanya pandang mata mereka saja tetap
memperhatikan lawan yang berada di depan mereka masing-masing. Dengan lingkaran
terdiri dari lima belas orang itu, maka barisan luar pat-kwa-tin yang terdiri
dari delapan orang itu menghadapi jumlah lawan yang hampir dua kali lebih
banyak. Namun mereka tetap tenang, siap dengan tongkat di tangan, demikian pula
ngo-heng-tin yang berada di dalam, dan dua orang yang membentuk im-yang-tin.
Han Han menonton dengan jantung berdebar. Baru sekali ini ia akan
menyaksikan pertempuran hebat antara orang-orang yang pandai ilmu silat dan
mulailah rasa tidak senang menggerogoti hatinya. Jadi mereka itu mati-matian
berlatih ilmu silat hanya untuk ini? Untuk berkelahi, saling serang dan mungkin
saling bunuh? Apakah kelak kalau dia sudah pandai ilmu silat juga seperti
mereka ini?
Ia pun memikirkan tuduhan kakek mata satu itu yang dilontarkan
terhadap Pek-lian Kai-pang. Benarkah Pek-lian Kai-pang itu sebuah perkumpulan
pemberontak? Benarkah Pek-lian Kai-pang adalah cabang dari Pek-lian-kauw? Dia
sudah pernah membaca tentang Pek-lian-kauw ini, yang merupakan perkumpulan
Agama Teratai Putih, akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan kaum
pemberontak yang gigih terhadap Kerajaan Beng-tiauw yang telah jatuh di tangan
bangsa Mancu.
Menurut patut, pemberontak terhadap Kerajaan Beng tentunya bekerja
sama dengan bangsa Mancu! Akan tetapi mengapa sekarang masih disebut
pemberontak dan malah tadi dituduh mengadakan kontak dengan pemberontak di
barat? Han Han tidak mengerti dan menjadi bingung, akan tetapi hal itu ia
lupakan karena perhatiannya lebih tertarik kepada pertempuran hebat yang akan
berlangsung.
‘Anjing-anjing hitam itu tidak mungkin dapat menangkan
Pek-lian-tin!! kata Sin Lian dengan suara berbisik.
‘Akan tetapi jumlah mereka lebih banyak. Mana bisa lingkaran
luar yang terdiri dari delapan orang dapat bertahan?! bantah Han Han yang mau
tidak mau tentu saja berpihak kepada Pek-lian Kai-pang.
‘Kau lihat saja, nanti tahu kelihaian Pek-lian-tin.!
Han Han tidak keburu bertanya lagi karena kini pertandingan sudah
dimulai, perhatiannya tertarik dan ia menonton dengan hati tegang. Batu pertama
kali ini selama hidupnya Han Han menonton pertempuran seperti ini dan karena ia
tahu bahwa dalam pertempuran ini akan banyak orang terluka dan tewas, maka
hatinya tegang sekali.
Pertempuran itu dimulai dengan bentakan-bentakan dan
sorakan-sorakan nyaring dari kedua pihak. Mula-mula lima belas orang pengemis
baju hitam itu setelah tadi berlari-larian memutari Pek-lian-tin, bersorak dan
menyerbu secara tiba-tiba. Lima belas orang itu bergerak dengan cepat dan dalam
detik yang sama, karena memang mereka itu bergerak menurut aturan barisan yang
telah mereka susun dan latih sebelumnya. Tongkat mereka maju menerjang dan
setiap dua orang pengemis baju hitam telah memilih seorang pengemis Teratai
Putih sebagai lawan sehingga penyerangan mereka tidak kacau, mempunyai sasaran
yang tertentu.
Kalau diukur tingkat kepandaian perorangan antara anggauta kedua
‘tin! ini, agaknya berimbang dan tidak banyak selisihnya. Maka jika seorang
di antara mereka dikeroyok dua orang lawan, tentu akan kalah. Kalau lingkaran
luar Pek-lian-tin itu menerima serangan lawan begitu saja, tentu mereka akan
hancur mengingat bahwa jumlah mereka hanya delapan orang menghadapi serangan
lima belas orang. Akan tetapi, setelah bertanding, barisan ini memperlihatkan
kehebatannya.
Tiba-tiba mereka itulah yang sekarang bergerak memutar sambil
menangkis sebuah serangan. Dan karena mereka bergerak memutar ini maka setiap
orang pengemis Pek-lian Kai-pang hanya cukup menangkis serangan seorang lawan
saja lalu bergerak ke kiri menerima pula serangan tongkat hitam yang lain.
Adapun orang ke dua pihak lawan yang menyerangnya otomatis telah ‘diterima!
oleh teman yang datang menggeser dari kanan. Memang gerakan ini membuat mereka
menerima serangan secara bertubi-tubi, namun tetap saja mereka itu
masing-masing hanya menghadapi seorang lawan saja.
Kemudian secara tiba-tiba sekali, barisan sebelah dalam yang
terdiri dari lima orang, cepat dan tidak terduga-duga oleh barisan lawan yang
sedang gembira mendesak lingkaran luar yang berputaran itu, menerjang dari
celah-celah antara dua orang kawan yang membentuk Pak-kwa-tin. Mereka ini
menerjang dengan tongkat mereka menuju ke sebuah sasaran saja, yaitu ke arah
seorang lawan yang mereka lihat dari dalam tadi berada dalam posisi lemah.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan robohlah tiga orang
pengemis baju hitam. Lima orang anggauta Ngo-heng-tin itu telah berhasil
merobohkan tiga orang lawan dan karena serangan mereka tadi amat tiba-tiba,
maka pihak lawan hanya ada dua orang saja yang mampu menangkis, sedangkan yang
tiga orang kena dihantam kepalanya dan roboh berkelojotan dengan kepala retak!
‘Nah, kau lihat kelihaian Pek-lian-tin!! seru Sin Lian dengan
suara nyaring, sebetulnya ucapan ini ditujukan kepada Han Han akan tetapi terdengar
oleh semua orang karena keadaan di situ sunyi dan tegang, kecuali suara
beradunya tongkat dan terengahnya napas mereka yang sedang bertempur.
Han Han merasa kagum, akan tetapi juga ketidak-senangannya
terhadap ilmu silat bertambah. Ia terbelalak memandang ke arah tiga orang
pengemis baju hitam yang berkelojotan kaki tangannya, mulutnya mengeluarkan
rintihan perlahan, darah mengalir dari mata, telinga, hidung dan mulut.
Kemudian mereka berhenti berkelojotan dan tidak bergerak lagi. Han Han bergidik.
Untuk inikah ilmu silat dilatih? Untuk inikah perkumpulan kai-pang
dibentuk? Ia menyapu wajah mereka yang sedang bertempur seru. Wajah penuh
keringat, berkilat-kilat, akan tetapi masih kalah oleh kilatan mata mereka yang
penuh nafsu membunuh, mulut yang menyeringai, seolah-olah mereka amat gembira
menghadapi perjuangan antara mati dan hidup ini! Seolah-olah mereka itu
sekumpulan kanak-kanak tengah bermain-main, tidak ada ketakutan terbayang di
wajah mereka, yang ada hanya nafsu untuk menang, untuk menghancurkan lawan,
untuk membunuh!
Setelah kehilangan tiga orang kawan, barisan pengemis baju hitam
menjadi hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, selain
penyerangan mereka akan gagal, juga mereka akan sukar melindungi diri dari
serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh lima orang di sebelah dalam barisan
lawan itu. Terdengar It-gan Hek-houw ketua mereka bersuit nyaring dan kini
barisan pengemis baju hitam mengubah gerakan. Mereka pun berjalan mengitari
barisan lawan, mengimbangi gerakan Pat-kwa-tin, kemudian mereka menyerang lagi,
bukan menyerang sambil berhenti di tempat seperti tadi, dan kini mereka
menyerang tidak berbareng, melainkan berganti-ganti sehingga yang tidak
menyerang dapat menjaga kawan yang menyerang dari bahaya.
Keadan makin seru dan kacau karena pihak pengemis Pek-lian-tin
dibikin bingung oleh penyerangan seperti itu. Mereka melawan sekuat tenaga,
kadang-kadang dibantu oleh Ngo-heng-tin dari dalam yang kini bertugas membela
kawan-kawan yang di luar. Perang campuh terjadi dan berjatuhanlah korban kedua
pihak. Akan tetapi sekali ini, pihak Pek-lian-tin roboh empat orang sedangkan
di pihak Hek-i Kai-pang roboh tiga orang lagi.
Pat-kwa-tin yang kehilangan empat orang itu menjadi ompong dan
kehilangan daya keampuhannya. Hal ini tidak disia-siakan oleh pihak pengemis
baju hitam yang langsung menyerang dan menghimpit. Akan tetapi kini bergeraklah
barisan Ngo-heng-tin, menutup bagian-bagian yang lowong dan balas menyerang.
Terjadi perang tanding yang amat seru dan mati-matian antara
sembilan orang pengemis Pek-lian-tin melawan delapan orang pengemis Hek-i
Kai-pang. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan nyaring dan roboh pula empat
orang pengemis baju hitam. Kiranya sekarang im-yang-tin yang terdiri dari dua
orang itu telah bergerak. Gerakan mereka sungguh mengagetkan. Kiranya mereka
ini merupakan ‘inti! dari Pek-lian-tin, dan tingkat kepandaian mereka lebih
tinggi daripada tiga belas orang teman yang lain.
Selain tingkat kepandaian mereka lebih tinggi, juga gerakan mereka
sukar diduga lawan karena mereka itu menyusup di antara dua barisan depan yang
sengaja menyembunyikan mereka dan hanya bergerak memberi jalan setelah mendapat
isyarat dari dalam. Maka sekali menerjang keluar dalam keadaan tak
terduga-duga, tongkat mereka berkelebat dan masing-masing dapat merobohkan dua
orang lawan!
Bersoraklah pihak Pek-lian Kai-pang melihat hasil ini. Kini pihak
pengemis baju hitam sudah tewas atau luka berat sepuluh orang, sisanya hanya
lima orang lagi saja!
Sedangkan pihak Pek-lian Kai-pang hanya roboh empat orang, jadi
masih sebelas orang. Kini keadaan terbalik, lima orang pengemis baju hitam
melawan sebelas orang pengemis Pek-lian! Namun, harus dipuji semangat bertempur
pengemis-pengemis baju hitam itu. Agaknya mereka ini merasa sakit hati sekali
menyaksikan robohnya teman-teman mereka dan kini mereka bertanding seperti
orang-orang kemasukan setan, dengan nekat dan tidak peduli akan diri sendiri.
Karena amukan yang hebat ini, keadaan makin kacau. Pihak Pek-lian Kai-pang baru
dapat merobohkan sisa lima orang lawan ini setelah merobohkan pihak sendiri
dengan empat orang lagi!
Lima belas orang pengemis baju hitam dan delapan orang anggauta
Pek-lian Kai-pang menggeletak mandi darah, sebagian besar mati dan sebagian
lagi luka-luka berat! Tujuh orang anggauta Pek-lian Kai-pang masih berdiri
dalam bentuk barisan biarpun lawannya sudah roboh semua, wajah mereka
membayangkan kebanggaan karena dalam pertempuran ini merekalah yang berada di
pihak menang!
Tapi pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan tubuh It-gan
Hek-houw yang bongkok itu telah bergerak maju, tongkat hitamnya diputar-putar
cepat sekali. Ia maju menerjang tujuh orang sisa barisan Pek-lian-tin itu yang
tentu saja sudah cepat bergerak menyambut terjangan ketua Hek-i Kai-pang.
Namun gerakan Si Bongkok bermata satu itu memang hebat. Tongkatnya
yang hitam itu biarpun kecil, mengandung tenaga luar biasa sehingga
terdengarlah suara pletak-pletok ketika tongkat-tongkat ketujuh orang lawannya
itu patah-patah setelah bertemu dengan tongkatnya dan dalam waktu singkat saja,
tongkatnya telah merobohkan tujuh orang Pek-lian-tin itu!
Lauw-pangcu memekik marah melihat ini, dan tiba-tiba tubuh kakek
ini mencelat ke depan, tongkatnya menyambar ganas.
‘Desssss....!! Dua tongkat itu bertemu dengan hebat dan
akibatnya, keduanya terhuyung mundur. Akan tetapi, kalau Lauw-pangcu hanya
terhuyung dua langkah ke belakang, adalah Si Bongkok itu terhuyung enam tujuh
langkah dan hampir terjengkang roboh.
‘It-gan Hek-houw! Engkau tua bangka tak tahu malu! Jangan hanya
memperlihatkan kegarangan terhadap anak buahku, hayo lawanlah aku. Kita tua
sama tua, mari kita lihat siapakah di antara kita yang lebih unggul!! bentak
Lauw-pangcu yang menjadi marah sekali menyaksikan musuh ini merobohkan anak
buahnya.
‘Orang she Lauw, manusia sombong, pemberontak rendah!! It-gan
Hek-houw balas memaki sambil lari maju dan melakukan serangan dengan dahsyat.
Lauw-pangcu yang memang sudah siap sedia, menyambutnya dan bertandinglah kedua
orang ketua kai-pang ini dengan seru.
Ilmu tongkat Lauw-pangcu yang diciptakannya sendiri dari gabungan
banyak ilmu silat tongkat yang dikenalnya, diambil intinya dan bagian-bagian
yang paling lihai, yaitu Ilmu Tongkat Pek-lian-kun-hoat, memang lihai luar
biasa.
Memang sesungguhnyalah bahwa Lauw-pangcu ini, yang tadinya bernama
Lauw Tai Kim, adalah seorang tokoh dari Pek-lian-kauw yang telah dihancurkan
oleh Kerajaan Beng-tiauw. Pek-lian-kauw sudah hancur dan tokoh-tokohnya banyak
yang tewas, akan tetapi Lauw Tai Kim berhasil menyelamatkan diri. Diam-diam ia
lalu mengumpulkan kawan-kawan, dan menerima kawan-kawan baru lalu membentuk
perkumpulan pengemis Pek-lian Kai-pang.
Memang benar bahwa Pek-lian-pai atau Pek-lian-kauw dahulu terkenal
sebagai perkumpulan pemberontak yang merasa tidak puas dengan Kerajaan Beng.
Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa jiwa Lauw-pangcu adalah jiwa
pemberontak yang suka bersekutu dengan penjajah asing. Sama sekali tidak.
Bahkan ketika Kerajaan Beng musnah lalu muncul Kerajaan Ceng yang didirikan
oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiong-goan, Lauw-pangcu ini diam-diam menentang
penjajah ini dan mengadakan hubungan dengan Bu Sam Kwi yang membangun kerajaan
kecil di barat dan menentang pemerintah Mancu.
Bahkan perkumpulan Pek-lian Kai-pang ini sekarang dijadikan
mata-mata untuk Bu Sam Kwi, dan diam-diam selain mengawasi gerak-gerik
pemerintah Mancu, juga melakukan pengacauan-pengacauan, sabotase-sabotase
terhadap pemerintah penjajah. Inilah sebabnya mengapa Lauw-pangcu sering kali
bentrok dengan serdadu-serdadu Mancu.
Akan tetapi pihak pemerintah Mancu juga tidak bodoh dan buta.
Pemerintah ini, dengan menggunakan kekuasaan, pengaruh dan sogokan harta benda,
berhasil pula memikat hati golongan-golongan di Tiong-goan sehingga suka
bekerja sama dan membantu pemerintah mereka. Juga perkumpulan Hek-i Kai-pang
telah menjadi kaki tangan pemerintah baru. Tentu saja lama-kelamaan gerak-gerik
Pek-lian Kai-pang ketahuan dan karena ini pula maka Hek-i Kai-pang memusuhinya
dan sampai hari ini terjadi bentrok hebat antara ketua sama ketua!
It-gan Hek-houw juga bukan seorang lemah. Ilmu tongkatnya adalah
gubahan dari ilmu toya Siauw-lim-pai, maka memiliki gaya yang kokoh kuat dan
sukar ditundukkan. Namun. dalam hal ilmu kepandaian, ia masih kalah banyak oleh
Lauw-pangcu sehingga setelah lewat lima puluh jurus, Lauw-pangcu berhasil
memukul pundak kirinya.
‘Krakkk....!! It-gan Hek-houw mencelat ke belakang, lalu
terjatuh berlutut, akan tetapi cepat berdiri lagi. Lengan kirinya tergantung
lumpuh, tulang pundak kirinya remuk. Mukanya pucat dan matanya yang tinggal
sebelah itu mengeluarkan sinar penuh kemarahan dan kebencian. Tidak sedikit pun
terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya dan hal ini saja membuktikan
bahwa ketua Hek-i Kai-pang memang gagah.
‘Orang she Lauw, hari ini aku mengaku kalah. Akan tetapi kau
tunggulah pembalasanku!! Setelah berkata demikian, It-gan Hek-houw lalu
membalikkan tubuh dan pergi dari situ, diikuti sisa orang-orangnya yang
memondong teman-teman yang terluka.
Beberapa orang tokoh Pek-lian Kai-pang bergerak maju dan hendak
mengejar, akan tetapi Lauw-pangcu membentak dan melarang mereka.
‘Pangcu, anjing macam dia kalau tidak dibunuh sekarang, besok
tentu akan menimbulkan keributan saja,! bantah seorang di antara mereka.
‘Jangan gosok-gosok luka yang sudah parah. Kita harus
bersiap-siap dan segera pergi dari sini. Tak lama lagi tentu barisan Mancu
datang menyerbu. Kalian sudah mendengar sendiri tadi ucapan-ucapan It-gan
Hek-houw. Rahasia kita telah diketahui dan lebih baik kita kembali ke barat,
bergabung dan menyampaikan laporan kepada Ong-ya (Raja).
Sehari ini kita harus dapat membereskan segalanya dan berkemas,
paling lambat besok pagi kita harus sudah berangkat meninggalkan tempat ini.!
Wajah para pengemis itu berubah, sebagian besar merasa tidak suka
untuk pergi dari daerah Tiong-goan yang sudah menjadi tempat mereka mencari
rejeki. Akan tetapi tidak seorang pun berani membantah perintah ketua mereka
dan diam-diam mereka itu hanya saling pandang, kemudian mulai mengurus mayat
teman-teman mereka yang roboh dalam pertandingan tadi, serta merawat yang luka.
‘Han Han, engkau di mana....?! teriakan nyaring dari Sin Lian
ini menyadarkan Lauw-pangcu yang sedang melamun sambil menonton ahak buahnya
menolong para korban. Ia cepat membalikkan tubuhnya, dan menghampiri puterinya.
‘Ada apakah, Lian-ji? Ke mana Han Han?!
Sin Lian mengerutkan alisnya yang kecil hitam. ‘Entahlah, Ayah.
Tadi dia berada di sini bersamaku menonton pertandingan. Akan tetapi tiba-tiba
ia lenyap entah ke mana. Kupanggil-panggil tidak menyahut.!
Lauw-pangcu membantu puterinya memanggil-manggil dan mencari Han
Han, akan tetapi tidak tampak bayangan anak itu. Bahkan ia lalu memerintahkan
beberapa orang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk bantu mencari. Namun sia-sia,
Han Han telah lenyap tak meninggalkan bekas.
Ke manakah perginya anak itu? Tadinya Han Han menonton
pertandingan, dan ia menjadi kagum sekali menyaksikan ilmu tongkat gurunya yang
amat hebat dan aneh. Akan tetapi, di sudut hatinya ia makin tidak senang. Ia
benci melihat bunuh-membunuh itu, melihat sesama pengemis saling bunuh seperti
itu. Andaikata mereka itu merupakan gembel-gembel biasa yang tidak tahu ilmu
silat, tidak mungkin mereka itu akan bertengkar dan bercekcok lalu berkelahi
saling bunuh seperti itu.
Apalagi setelah ia mendengar ucapan gurunya, mengertilah ia bahwa
memang betul perkumpulan pengemis yang dipimpin gurunya itu adalah perkumpulan
pemberontak yang bergabung dengan kekuasaan yang dipimpin ‘ong-ya! di barat.
Ia menjadi makin tidak senang.
Bukan ia tidak senang melihat perlawanan terhadap pemerintah
Mancu, hanya ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertentangan politik yang
ia tidak mengerti. Semua ini membuat hatinya makin terasa hambar terhadap
pelajaran ilmu silat, maka ketika melihat bahwa Sin Lian sedang tertarik dan
tidak memperhatikannya, diam-diam anak ini lalu pergi dari situ dan terus
berlari cepat keluar dari dalam hutan. Ia takut kalau-kalau gurunya akan
mengejar, maka ia berlari terus tak kunjung henti sehingga ketika Lauw-pangcu
dan anak buahnya mencari-cari di sekitar hutan, ia telah berada amat jauh di
luar hutan.
Han Han kembali ke kota Tiong-kwan. Sudah hampir setengah tahun ia
belajar di bawah asuhan Lauw-pangcu. Ketika ia memasuki pintu gerbang kota
Tiong-kwan ia merasa betapa cepatnya sang waktu berlalu. Seolah-olah baru
kemarin saja ia tiba di Tiong-kwan dan bertemu Lauw-pangcu di bekas rumah
terbakar. Masih terbayang jelas betapa ia bertemu dengan gembel cilik dan
membagi-bagi roti. Oh ya, siapa pula nama gembel cilik yang bercita-cita
menjadi seorang perwira itu?
Wan Sin Kiat! Berseri wajah Han Han ketika teringat akan bocah
yang telah menjadi sahabatnya itu. Ia harus pergi mencarinya. Akan senang juga
berkawan dan mengobrol dengan Sin Kiat. Pula, ia harus mencari pekerjaan,
mencari hasil untuk mengisi perutnya. Maka pergilah Han Han ke tempat yang
dahulu, di dekat pasar, bekas gedung yang terbakar.
Dari jauh sudah terdengar suara ribut-ribut seperti suara
anak-anak berkelahi. Han Han lari menghampiri dan ketika ia tiba di tempat itu,
ia melihat seorang anak laki-laki berpakaian mewah memukul dan menendang roboh
dua orang gembel cilik. Gerakan anak berpakaian mewah itu gesit sekali, dan
pukulan serta tendangannya juga antep buktinya dua orang anak gembel itu roboh
dan mengaduh-aduh. Ketika Han Han meneliti, kiranya seorang di antara dua anak
jembel itu bukan lain adalah Wan Sin Kiat.
Dan ketika ia memperhatikan anak berpakaian mewah itu, kemudian
melihat pula seekor kuda tinggi besar berdiri di belakang anak itu, ia segera
teringat dan merahlah mukanya. Bocah berpakaian mewah itu bukan lain adalah
pemuda sombong yang pernah menyiksanya dan menyeretnya dengan kuda lima bulan
yang lalu itu! Pemuda yang disebut Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang) dan yang
ditakuti penduduk kampung!
Melihat betapa kini Ouwyang-kongcu itu memukuli dua orang anak
gembel itu, Han Han segera melompat maju dan berdiri menghadapinya sambil
membentak marah.
‘Kau bocah sombong dan jahat! Di mana-mana kau suka memukul
orang!!
Melihat datangnya seorang bocah gembel lain, Sin Kiat yang sudah
lupa lagi kepada Han Han, mengeluh dan memegangi pantatnya. ‘Aduhhh.... kau
main curang, awas kau kalau aku sudah dapat berdiri lagi....!! Adapun bocah
pengemis ke dua, yang usianya sudah jauh lebih tua, sedikitnya ada empat belas
tahun, agaknya tidak memiliki nyali sebesar Sin Kiat. Buktinya dia yang sudah
dapat bangkit kembali itu hanya berdiri mengaduh-aduh sambil memegangi pundak
yang terpukul.
Bocah berpakaian mewah membawa kuda itu memang Ouwyang Seng
adanya. Berbeda dengan Sin Kiat yang sudah pangling dan tidak mengenal Han Han,
Ouwyang Seng ternyata memiliki ingatan yang lebih kuat. Apalagi karena dia
pernah digigit pundaknya oleh Han Han yang sampai sekarang pun masih ada bekas
lukanya. Ia berdiri bertolak pinggang, memandang dengan sikap mengejek,
kemudian berkata.
‘Hemmmmm, kau ini bocah edan yang dulu pernah kuhajar setengah
mampus! Dahulu pun setengah tahun yang lalu, kau bukan lawanku. Apalagi
sekarang setelah aku memperoleh kemajuan pesat dengan ilmu silatku. Kau
petentang-petenteng, apa kau berani melawan kongcumu? Ingat, sekali ini kalau
aku turun tangan, kau akan roboh dan tidak akan dapat bangun kembali.!
‘Sombong! Mentang-mentang kau ini anak bangsawan dan kaya,
pandai silat, apa kau kira aku takut padamu? Apa artinya kebangsawananmu kalau
itu tidak ditrapkan dalam tata susila dan kesopanan? Apa artinya kaya kalau kau
tidak suka membantu orang-orang miskin? Apa artinya pandai silat kalau kau
tidak mau membela yang lemah? Semua itu malah akan menyeretmu ke dalam jurang
kehinaan, bocah setan!!
Ucapan Han Han ini sungguh tidak patut keluar dari mulut seorang
bocah berusia sepuluh tahun seperti dia, akan tetapi Han Han pun hanya menyebut
semua itu dari dalam kitab yang pernah dibacanya!
‘Wah-wah, yang sombong ini sebenarnya siapa? Engkau ini seorang
bocah gembel tidak mengerti ilmu silat, bisanya hanya ngawur dan asal nekat
saja. Aku adalah seorang gagah, mana mungkin turun tangan menghajar orang kalau
tidak ada sebabnya?!
‘Huh, macam engkau bicara tentang kegagahan. Kalau kau memukuli
dua orang miskin dan tak berdosa ini, apakah itu juga gagah?!
‘Kau tidak tahu! Aku dengan baik-baik menanyakan mereka di mana
tinggalnya gembel tua yang suka berada di sini. Aku menanyakan di mana
tinggalnya Lauw-pangcu. Akan tetapi mereka pura-pura tidak kenal. Aku sudah
bersedia untuk memberi hadiah kalau mereka mau menunjukkan tempat Lauw-pangcu,
akan tetapi mereka ini selain menyangkal malah memaki. Apakah itu tidak patut
dihajar?!
Han Han tertarik, jantungnva berdebar. ‘Mau apa kau tanya-tanya
tentang tempat tinggal Lauw-pangcu?!
‘Eh, engkau tahu tempatnya?!
‘Tentu saja! Aku muridnya!!
Ouwyang Seng terbelalak memandang. ‘Kau....? Muridnya....?
Ha-ha-ha! Kebetulan sekali. Kau tunjukkan padaku di mana dia!!
‘Mau apa sih kalau sudah tau?!
Han Han menjadi geli hatinya. Bocah ini amat sombong dan kurang
ajar. Memang sebaiknya diberi hajaran. Akan tetapi dia belum belajar ilmu
silat. Apakah segala macam kuda-kuda yang pernah ditatihnya itu akan ada
gunanya untuk bertanding? Tak mungkin. Kalau ia hanya memasang kuda-kuda,
betapa kuat pun kakinya, kalau terus dipukuli dan ditendangi lawan, tentu akan
celaka. Akan tetapi, kalau bertemu dengan Sin Lian dan Lauw-pangcu, tentu bocah
sombong ini akan dihajar sampai kapok. Juga gurunya tentu bukan orang baik,
biarlah dihajar sekalian oleh Lauw-pangcu yang sudah ia saksikan kelihaiannya.
‘Siapa gurumu? Mana dia? Hayo suruh keluar, biar kutunjukkan
kalian ke tempat guruku kalau memang kalian sudah gatal-gatal tubuh kalian
minta diberi hajaran!!
‘Ha-ha-ha-ha! Aku sudah berada di sini, apakah kau buta tak
dapat melihat? Ha-ha-ha!!
Han Han memandang dengan hati terkejut dan terheran-heran. Tadi ia
melihat bahwa kuda besar di belakang Ouwyang Seng itu kosong. Kenapa kini
tiba-tiba saia ada orang duduk nongkrong di atas punggung kuda? Dari mana
datangnya? Ia memandang penuh perhatian dan ternyata yang bicara dan tertawa
tadi, yang tahu-tahu telah duduk di punggung kuda, adalah seorang kakek yang
lucu sekali mukanya. Kepalanya botak kelimis. Kulit kepala bagian atas itu sama
sekali tidak ada rambutnya, kulitnya halus licin dan terkena sinar matahari,
kepala itu berkilauan seperti batu digosok.
Sedikit rambut yang tumbuh di sekeliling kepala bagian bawah,
kasar dan besar-besar, berwarna putih dan terurai di sekitar pundaknya.
Kumisnya panjang, juga putih, melintang di bawah hidung, bergerak-gerak seperti
dua ekor ular kecil. Alisnya tebal sekali, dan matanya mengeluarkan sinar aneh,
seperti mata orang juling, padahal mata kakek ini tidak juling. Pakaiannya
terbuat dari sutera kuning yang halus mahal, sepatunya juga terbuat dari kulit
mengkilap. Sukar sekali menaksir usia orang tua ini. Dagunya halus tak
berjenggot sama sekali, seperti orang-orang muda, sikapnya lincah seperti orang
muda pula, tubuhnya kurus tinggi. Ia menggendong sebuah buntalan besar dari
kain tebal. Entah apa isinya.
Suhu, bocah gembel ini adalah murid Lauw-pangcu! Sungguh kebetulan
sekali. Kita paksa dia mengantarkan kita kepada kakek gembel itu.!
Si Botak tertawa lagi. ‘Memang sebaiknya begitu, ha-ha-ha!
Sungguhpun tidaklah sukar untuk mencari sendiri. Nah, Kongcu, kau bawakan
buntalan ini!!
Memang aneh kalau seorang guru menyebut ‘kongcu! atau tuan muda
kepada muridnya. Memang demikianlah. Guru Ouwyang Seng menyebut kongcu karena
bocah ini bukan anak biasa, melainkan putera dari Pangeran Ouwyang Cin Kok yang
berpangkat tinggi dalam Kerajaan Mancu. Namun, hanya dalam sebutan saja guru
itu menghormat, karena buktinya ia berani memerintah muridnya itu membawakan
buntalannya yang besar.
Ouwyang Seng menerima buntalan besar yang dilemparkan gurunya
kepadanya. Cara menerimanya cekatan dan jelas membayangkan tenaga besar pada
diri anak yang usianya paling banyak tiga belas atau empat belas tahun ini.
Sambil tertawa Ouwyang Seng lalu mengambil sebuah cambuk dari sela
kuda yang kini ditunggangi gurunya, lalu menggerakkan cambuknya ke atas.
‘Tar-tar-tar! Hei, bocah murid Lauw-pangcu! Siapa namamu?!
Ujung cambuk itu melecut-lecut dan meledak-ledak di atas kepala
Han Han, namun Han Han sedikit pun tidak merasa gentar, bahkan berkedip mata
pun tidak.
‘Namaku Han Han, dan biarpun aku orang miskin, hal ini belum
menjadi alasan bagimu untuk bersikap sombong kepadaku!!
‘Ha-ha-ha-ha! Kongcu, bocah ini hebat! Lihat matanya....
aiiihhhhh, sebaiknya jangan lepaskan dia! Boleh dijadikan pelayan.!
Kiranya kakek botak itu bermata tajam, dapat melihat keadaan Han
Han yang aneh dan luar biasa. Dan memang kakek botak ini bukan manusia
sembarangan! Kakek inilah yang oleh dunia kang-ouw diberi nama poyokan Si Setan
Botak. Namanya Gak Liat, julukannya Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja).
Setiap orang di dunia persilatan kalau mendengar nama ini menjadi
bergidik dan mengkirik, bahkan jarang ada yang berani mengeluarkan kata-kata
keras menyebut nama ini yang lebih ditakuti daripada setan sendiri!
Kang-thouw-kwi Gak Liat ini adalah seorang sakti yang memiliki tingkat
kepandaian tinggi sukar diukur, seorang datuk hitam, pentolan kaum sesat yang
hanya ada beberapa orang saja pada masa itu. Dan dialah seorang di antara
datuk-datuk yang ditakuti.
Karena pandainya pemerintah Mancu, datuk hitam ini sampai
terpikat, tidak saja menjadi ‘pelindung! Pangeran Ouwyang Cin Kok yang
mendapat tugas dari pemerintahnya untuk mempertahankan bagian selatan yang
sudah ditaklukkan, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat berkenan mengambil putera
pangeran itu sebagai muridnya! Namun sesungguhnya, Kang-thouw-kwi Si Setan
Botak tidaklah begitu menaruh harapan besar terhadap muridnya, bocah bangsawan
ini. Ilmu-ilmunya terlampau tinggi sedangkan bakat yang dimiliki Ouwyang Seng
terlalu rendah.
Inilah sebabnya maka mata Si Setan Botak yang amat awas itu sekali
melihat Han Han menjadi tertarik. Dia bertugas untuk mencari dan menyelidiki
Lauw-pangcu dan perkumpulan pengemis yang disebut Pek-lian Kai-pang. Hal ini
ada sangkut-pautnya dengan serdadu-serdadu yang pernah dihajar oleh Lauw-pangcu
sehingga Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendengar akan hal ini, cepat memerintahkan
jagoannya untuk turun tangan karena ‘gengsi! pasukan Mancu terancam
kecemaran. Bagi seorang sakti seperti Setan Botak ini, tidak akan sukar mencari
Lauw-pangcu.
Akan tetapi karena muridnya rewel dan hendak ikut menyaksikan
gurunya menghancurkan Pek-lian Kai-pang, maka usaha mencari perkumpulan itu
menjadi lebih sukar dan lama. Akhirnya, secara kebetulan Ouwyang Seng bertemu
dengan Han Han dan anak ini yang ingin memberi ‘hajaran! kepada Ouwyang Seng
dan gurunya yang dipandangnya rendah, bahkan dengan senang hati mengantar
mereka ke sarang Pek-lian Kai-pang!
Di tengah jalan, Ouwyang Seng membentak, ‘Heh! Han Han! Enak
saja kau berjalan tanpa membawa apa-apa. Mari kita mengadu tenaga. Siapa yang
kalah harus membawakan buntalan suhuku ini sampai di tempat yang kau tunjukkan!
Berani tidak kau mengadu tenaga melawan aku?!
Kalau hanya ditantang berkelahi, tentu Han Han tidak sudi
melayani. Dibujuk pun ia tidak akan sudi. Akan tetapi ditanya ‘berani atau
tidak!, segera bangkit semangatnya. Kata-kata tidak berani merupakan pantangan
besar baginya, karena di dalam hati bocah ini, semenjak kepalanya terbanting
pada dinding setengah tahun yang lalu, tidak ada lagi rasa takut atau susah.
‘Tentu saja berani. Mengapa tidak? Mengadu tenaga bagaimana? Kalau
berkelahi seperti dulu aku tidak sudi. Aku bukan tukang pukul, bukan tukang
berkelahi macam kau!!
‘Tidak usah berkelahi, kau takkan menang dan kalau kau mati,
kami rugi. Kita saling dorong saja, siapa yang terdorong mundur keluar dari
lingkaran yang dibuat di atas tanah, dia akan kalah dan harus memanggul
buntalan suhu.!
‘Boleh!! Han Han menjawab.
Si Setan Botak hanya tertawa-tawa dan menghentikan kudanya untuk
menonton permainan kedua orang anak itu. Ouwyang Seng menurunkan buntalannya,
lalu membuat guratan melingkar di atas tanah. Keduanya lalu memasuki lingkaran,
saling berhadapan.
‘Siap?! tanya Ouwyang Seng.
‘Siap!! jawab Han Han.
‘Mulai!!
Ouwyang Seng mengeluarkan kedua lengannya ke depan, diturut oleh
Han Han. Mereka mengadu kedua telapak tangan dan mulailah mereka saling dorong.
Han Han yang merasa betapa kedua lengan lawan itu amat kuatnya, cepat ia
mengerahkan tenaganya pada kedua kaki, memasang bhesi seperti yang pernah ia
latih sampai berbulan-bulan di bawah asuhan Lauw-pangcu dan pengawasan Sin
Lian. Kedua kakinya seperti telah berakar di tanah dan ia mempertahankan diri
dari dorongan Ouwyang Seng. Untuk balas mendorong, Han Han tidak kuat karena ia
segera dapat merasakan betapa tenaga yang tersalur pada kedua lengan Ouwyang
Seng hebat bukan main. Maka ia sendiri harus menggunakan seluruh tenaganya
untuk mempertahankan diri, disalurkan pada kedua kakinya. Kedua lengannya sudah
terdorong, siku-siku lengannya sudah tertekuk dan kedua tangannya terdorong
sampai menempel dadanya.
!Heh-heh, Han Han, kau masih belum menerima kalah?! Ouwyang Seng
tertawa mengejek. Masih dapat bicara dan tertawa dalam adu tenaga ini saja
sudah membuktikan bahwa tenaga Ouwyang Seng memang amat besar dan lebih menang
daripada Han Han.
Namun Han Han menggeleng kepala. Ia tidak mampu bicara karena
menahan napas, akan tetapi ia belum merasa kalah, karena dia belum keluar dari
garis lingkaran! Ia sudah tertekuk sikunya, sudah mendoyong ke belakang tubuh
atasnya, namun kedua kakinya masih kokoh berakar di tanah, belum terdorong
mundur dan sama sekali belum keluar dari lingkaran.
‘Kau kepala batu!! Ouwyang Seng menegur marah dan mulai
mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkan pertandingan lebih cepat. Akan
tetapi, daya tahan Han Han memang hebat. Tubuhnya sudah mendoyong, hampir
terjengkang, namun ia enggan mengangkat kakinya dan bertekad untuk bertahan
sampai roboh. Bukankah kalau sudah roboh sekalipun, ia masih belum kalah karena
belum keluar dari garis lingkaran?
‘Huah-ha-ha-ha, anak luar biasa....!! Terdengar tawa Si Setan
Botak dari atas kudanya dan tiba-tiba tubuh Han Han terdorong, terseret berikut
kakinya sampai keluar dari garis lingkaran! Han Han terkejut dan
terheran-heran, mau tidak mau kagum karena mengira bahwa ia terdorong karena
tenaga Ouwyang Seng yang hebat. Dia tidak tahu bahwa ia terdorong keluar karena
ilmu kesaktian Si Setan Botak yang mengerahkan sedikit tenagat mendorongnya
dengan hawa pukulan jarak jauh yang amat ampuh!
Dengan bangga Ouwyang Seng lalu menghampiri Han Han yang masih
terengah-engah namun sudah bangkit berdiri memandang heran, setelah putera
pangeran ini menyambar bungkusan milik suhunya.
‘Nah, terang kau kalah jauh olehku, Han Han. Sekarang
berlututlah engkau, agar mudah aku menaruh bungkusan ini di pundakmu!!
Han Han amat cerdik. Biarpun ia tidak tahu apa sebabnya dan
bagaimana caranya, namun ia dapat menduga bahwa kekalahannya tadi tidaklah
wajar. Hal ini membuatnya penasaran dan marah sekali. Apalagi sekarang
mendengar penghinaan Ouwyang Seng yang menyuruh dia berlutut, padahal tadi
tidak ada janji apa-apa tentang yang kalah harus berlutut. Kemarahan membuat
jantungnya berdebar, darahnya panas naik ke kepala dan pandang matanya
berkilat-kilat aneh sekali.
‘Aku? Berlutut padamu? Tidak sudi!! Bentaknya dan suaranya makin
tegas dan nyaring ketika ia menyambung, ‘Ouwyang Seng! Engkaulah yang
sepatutnya berlutut di depanku, menyerahkan bungkusan itu dengan hormat!!
Tiba-tiba saja Ouwyang Seng lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan Han Han dan mengangkat bungkusan itu, disodorkan kepada Han Han, sikapnya
penuh penghormatan seperti sikap seorang bujang yang takut kepada majikannya!
Han Han mengira bahwa Ouwyang Seng benar-benar memenuhi
permintaannya karena menyesal atas penghinaan tadi, seketika lenyap
kemarahannya. Ia menerima bungkusan itu, mengangkatnya ke pundak sambil berkata,
‘Wah, engkau baik sekali. Tidak perlu berlutut sungguh-sungguh.
Aku hanya main-main!!
Ouwyang Seng kini tersentak kaget seperti orang bangun tidur.
Melihat betapa ia berlutut di depan Han Han, ia lalu melompat berdiri dan
mulutnya mengomel.
‘Kenapa....? Kenapa aku berlutut....?!
‘Ajaib.... ajaib....!! Kang-thouw-kwi Si Setan Botak
berulang-ulang mengomel dan tiba-tiba Han Han merasa betapa tubuhnya melayang
ke atas. Tahu-tahu ia telah tergantung di atas kuda, dengan kakek botak itu
yang memegangi tengkuk bajunya dan mendekatkan mukanya sehingga berhadapan
dengan muka Si Botak. Ia melihat betapa sepasang mata Si Botak itu bersinar
kekuningan, aneh sekali dan maniknya tidak mau berhenti, bergerak-gerak terus
menjelajahi wajahnya sendiri. Ia sudah tidak marah lagi, hanya merasa terheran-heran
dan juga kaget.
‘Ajaib.... bocah ajaib.... matamu ini.... ah, luar biasa!! Si
Setan Botak melontarkan tubuh Han Han yang melayang turun, akan tetapi ia turun
dengan kedua kaki lebih dulu dan dapat berdiri dengan ringan dan seolah-olah
lontaran itu sudah diatur tenaganya, membuat Han Han terhuyung pun tidak! Han
Han makin terheran, akan tetapi ia sama sekali tidak tahu bahwa itulah
penggunaan sin-kang yang amat luar biasa dari Si Kakek Botak.
Adapun Ouwyang Seng yang tidak tahu apa yang telah terjadi atas
dirinya tadi, tidak tahu betapa ia menurut dan taat saja ‘diperintah! oleh
Han Han sehingga ia berlutut, kini menjadi uring-uringan.
‘Tar-tar-tar!! Cambuk panjang di tangannya dilecutkan ke atas
kepala Han Han dan ia membentak, ‘Han Han, hayo cepat berjalan, bawa kami ke
tempat gurumu Si Gembel Tua!!
Han Han sudah berjalan sambil memanggul bungkusan besar itu.
Mendengar ucapan Ouwyang Seng yang tadinya ia sangka berhati baik dan suka
main-main, buktinya suka berlutut kepadanya, Han Han menjadi gemas.
‘Ouwyang Seng....!!
‘Keparat! Menyebut aku harus Kongcu, mengerti? Gembel macam
engkau berani menyebut namaku sesukanya?!
‘Namamu memang Ouwyang Seng, bukan? Kalau tidak mau dipanggil,
sudahlah, aku pun tidak butuh memanggil namamu.!
‘Setan pengemis! Apa kau minta dipukul dan diseret-seret lagi?!
Ouwyang Seng kembali membentak dan cambuknya kini menyambar, mengenai punggung
dan kaki Han Han.
‘Tar-tar....!! Han Han yang merasa betapa punggungnya dan
kakinya sakit-sakit terkena ujung cambuk, melepaskan bungkusan itu yang jatuh
ke atas tanah, berdebuk.
Biarpun hatinya panas dan marah, namun Han Han maklum bahwa
menghadapi Ouwyang Seng dengan kekerasan ia tidak akan menang, apalagi di situ
masih ada guru bocah nakal itu, Si Botak yang aneh dan lihai. Maka ia lalu
mengambil bungkusan itu lagi dan memanggulnya di atas pundak. Hidungnya mencium
bau yang busuk dari dalam bungkusan, membuat ia mau muntah seperti bau bangkai
tikus. Akan tetapi ia tidak mau menerima cambukan-cambukan lagi, ia diam saja
dan mempercepat langkahnya menuju ke hutan yang menjadi sarang Pek-lian
Kai-pang. Rasakan kalian nanti, bocah setan dan Si Botak yang sombong. Kalau
berada di depan Lauw-pangcu yang banyak anak buahnya, kalian akan menerima
hajaran yang setimpal! Demikian ia berpikir.
Senja hari itu mereka tiba di dalam hutan dan langsung Han Han
membawa dua orang guru dan murid itu ke sarang Pek-lian Kai-pang. Pada saat itu
Lauw-pangcu dan para anak buahnya sedang berkemas karena besok pagi-pagi mereka
harus sudah meninggalkan sarang mereka itu. Banyak barang-barang sudah dimuat
dalam beberapa buah kereta dan kuda, dan mereka semua sibuk mengangkati
barang-barang. Juga Sin Lian tampak membantu ayahnya.
‘Han Han....!! Tiba-tiba Sin Lian berseru girang ketika melihat
sutenya itu datang memanggul sebuah bungkusan besar, akan tetapi ia tidak jadi
lari menyambut karena melihat bahwa Han Han datang bersama Ouwyang Seng dan
seorang kakek botak yang menunggang kuda, dengan sikap tenang sekali.
Semua anggauta kai-pang yang sedang sibuk bekerja berhenti,
siap-siap menjaga segala kemungkinan dan semua mata ditujukan kepada penunggang
kuda ini dengan kening berkerut. Sungguhpun Si Botak ini sama sekali tidak
mendatangkan kesan yang mengkhawatirkan, namun semenjak peristiwa penyerbuan
Hek-i Kai-pang, para anggauta Pek-lian Kai-pang selalu berhati-hati.
Lauw-pangcu sendiri pada saat itu sedang berkemas di dalam pondok.
Ketika mendengar seruan puterinya, ia terkejut dan girang. Ketua Pek-lian
Kai-pang ini menaruh harapan besar kepada muridnya, karena ia tahu bahwa ada
sesuatu yang hebat dalam diri Han Han, ada semacam kekuatan yang amat mukjizat
dan yang ia sendiri tidak tahu dari mana datangnya. Tadinya ia kecewa ketika
mereka tidak berhasil mencari Han Han yang lenyap dalam pertempuran, maka ia
kini girang sekali mendengar Sin Lian memanggil muridnya itu dan bergegas ia
lari keluar pondok.
Akan tetapi begitu ia berada di luar pondok dan melihat penunggang
kuda yang datang bersama Han Han, seketika wajahnya menjadi pucat sekali dan
kedua kaki Lauw-pangcu menggigil. Ia mengeluarkan suara mendengus dari
hidungnya, untuk menekan perasaannya yang gentar dan berguncang, kemudian
memaksa kakinya melangkah maju menghampiri kakek botak yang masih duduk di atas
punggung kuda. Dapat dibayangkan betapa herannya para anggauta Pek-lian
Kai-pang ketika melihat ketua mereka yang terhormat dan yang terkenal lihai itu
kini menjura dengan penuh hormat kepada kakek botak penunggang kuda yang tidak
mengesankan itu sambil berkata dengan suara mengandung rasa cemas.
‘Sungguh tidak tersangka-sangka dan merupakan penghormatan besar
sekali bahwa Gak-locianpwe sudi mengunjungi tempat kami yang butut dan mohon
maaf sebesarnya karena tidak tahu lebih dahulu, kami tidak dapat menyambut
dengan sepatutnya.!
Mendengar ucapan itu, para anggauta Pek-lian Kai-pang menjadi
makin heran dan di dalam hati mereka bertanya-tanya, siapa gerangan kakek botak
yang disebut Gak-locianpwe (Orang Tua Sakti she Gak) oleh ketua mereka itu.
Akan tetapi sikap Lauw-pangcu yang sangat merendahkan diri ini seolah-olah
tidak dihiraukan oleh Si Setan Bongkok, malah sebaliknya kakek ini menoleh
kepada Han Han dan bertanya.
‘Bocah, apakah dia ini ketua Pek-lian Kai-pang dan gurumu?!
‘Benar,! jawab Han Han.
Si Setan Botak tertawa. ‘Bagus, kalau begitu, bungkusan itu
boleh kau hadiahkan isinya kepada gurumu, ha-ha-ha!!
Han Han menjadi girang. Memang dia tidak suka perkelahian, apalagi
kalau ia ingat betapa perkumpulan suhunya sudah berkelahi sehingga jatuh banyak
korban. Tadinya ia ingin supaya gurunya menghajar Ouwyang Seng dan gurunya,
akan tetapi siapa kira, Si Botak itu bermaksud baik. Jadi buntalan yang selama
ini ia panggul itu adalah hadiah yang akan diberikan suhunya!
Bab 4
Tanpa berkata apa-apa lagi karena girang ia lalu menurunkan
buntalan yang cukup berat itu, menurunkannya di depan kaki suhutiya dan membuka
tali pengikatnya. Begitu bungkusan terbuka, tercium bau busuk yang membuat Han
Han terpaksa menutup hidung, matanya terbelalak memandang isi bungkusan.
Lauw-pangcu sendiri pucat wajahnya dan para anggauta Pek-lian Kai-pang yang
tadi ikut melongok untuk melihat apa isi hadiah itu, berseru marah dan kaget.
Kiranya bungkusan itu berisi lima buah kepala orang yang sudah kering darahnya.
Lima kepala orang anggauta Pek-lian-pai yang merupakan tokoh di bawah
Lauw-pangcu! Pantas saja tadi baunya menyengat hidung, seperti bau bangkai
tikus!
‘Aihhh....!! Banyak mulut mengeluarkan teriakan ini dan
terdengar suara ketawa Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak.
Lauw-pangcu memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak
melotot marah sekali. Telunjuk kirinya menuding ke arah anak itu.
‘Murid jahanam! Engkau kembali membawa malapetaka! Baiklah
sebelum semua mati, kau harus mampus di tanganku lebih dulu!! Setelah berkata
demikian, Lauw-pangcu sudah menggerakkan tongkatnya dan tubuhnya melayang maju
ke arah Han Han. Hebat bukan main serangan ini, gerakan tubuhnya seperti seekor
naga menyambar, tongkatnya seperti cengkeraman maut menusuk ke arah dada Han
Han.
Jangan lagi Han Han yang belum mengerti ilmu silat, andaikata ia
sudah belajar selama sepuluh tahun di bawah asuhan Lauw-pangcu sekalipun, ia
tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri daripada serangan maut ini. Gerakan
Lauw-pangcu ketika menyerang ini adalah jurus yang disebut Hui-hong-phu-lian
(Angin Meniup Bunga Teratai), sebuah jurus yang paling ampuh dari Ilmu Tongkat
Pek-lian-tung-hoat. Lawan yang bagaimana tangguh pun akan sukar menjaga diri
dari tikaman dengan tubuh melayang dan meluncur di udara secepat dan sekuat itu.
Mengapa Lauw-pangcu menjadi begitu marah dan membenci Han Han, dan
mengapa pula menghadapi seorang bocah yang ia tahu belum pandai ilmu silat itu
ia langsung mengeluarkan jurus terampuh untuk menyerangnya? Padahal diserang
dengan jurus sembarangan sekalipun Han Han tak mungkin dapat menyelamatkan diri!
Sesungguhnya adalah karena salah duga. Lauw-pangcu yang melihat
Han Han pulang bersama Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah ia dengar namanya
yang besar, segera dapat menduga bahwa tentu bocah itu yang menjadi penunjuk
jalan dan ia tahu pula bahwa ia dan teman-temannya menghadapi bencana hebat.
Apalagi melihat Han Han tadi membawakan bungkusan terisi kepala dari lima orang
pembantunya, tentu saja ia menganggap bahwa Han Han sudah mengkhianati Pek-lian
Kai-pang dan menjadi pembantu musuh!
Adapun mengapa ia mengeluarkan jurus mematikan yang paling ampuh,
karena di situ terdapat Kang-thouw-kwi Gak Liat yang ia tahu mempunyai
kesaktian luar biasa, maka ia ingin agar sekali turun tangan terhadap Han Han
tidak akan gagal lagi.
Han Han bukan tidak tahu bahwa gurunya marah-marah tanpa sebab dan
hendak memukulnya dengan tongkat, akan tetapi karena dia memang berhati keras
dan tidak kenal takut, ia hanya memandang tanpa berkedip.
‘Ayahhhhh....!! Sin Lian menjerit. Anak ini lebih maklum bahwa
Han Han berada di bawah ancaman maut mengerikan. Dia suka dan sayang kepada
sutenya, maka tanpa ia sadari ia menjerit.
Tiba-tiba tubuh Lauw-pangcu yang melayang dan yang sudah
menggerakkan tongkatnya dekat dengan Han Han, hanya terpisah satu meter lagi,
terpental ke samping dan roboh terguling! Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini
cepat menggulingkan diri dan meloncat bangun, tongkat di tangannya dan wajahnya
pucat sekali. Ia menoleh ke arah Si Setan Botak yang masih duduk di atas kuda,
kemudian berkata, suaranya masih hormat namun nyaring dan ketus.
‘Gak-locianpwe, saya hendak turun tangan membunuh murid sendiri,
mengapa locianpwe mencampurinya? Apakah perbuatan ini sesuai dengan nama besar
locianpwe sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar?!
Baru sekarang semua yang hadir, termasuk Han Han sendiri, tahu
bahwa tadi Lauw-pangcu yang hendak membunuh Han Han telah dihalangi oleh Si
Setan Botak. Semua orang terkejut dan terheran. Kakek di atas kuda itu tidak
kelihatan bergerak, bagaimana tahu-tahu Lauw-pangcu yang lihai luar biasa itu
terlempar dan terbanting ke samping?
Lebih-lebih Han Han memandang dengan penuh perhatian. Kakek botak
itu manusia ataukah setan? Dia tadi sudah menyaksikan keanehannya, yaitu
tahu-tahu si kakek itu berada di atas punggung kuda, seperti pandai menghilang
saja. Kini tanpa bergerak atau turun dari kuda sudah merobohkan Lauw-pangcu dan
menolong dia!
Terutama sekali ia tertarik ketika mendengar disebutnya kakek
botak ini sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar! Apakah artinya Lima Datuk
Besar? Dan siapakah mereka ini?
Kang-thouw-kwi Gak Liat tampak melayang turun dari atas punggung
kudanya. Kembali semua anggauta Pek-lian Kai-pang tertegun. Kakek ini turun
dari kuda bukan meloncat karena kedua kakinya tidak bergerak sama sekali.
Seolah-olah tubuhnya itu ‘terangkat! oleh tenaga yang tak tampak dan
tahu-tahu tubuhnya sudah melayang turun dan berdiri tegak di tengah-tengah
kepungan para anggauta Pek-lian Kai-pang, berhadapan dengan Lauw-pangcu!
Mulutnya menyeringai dan kumisnya yang panjang bergerak-gerak
seperti dua ekor ular kecil hidup.
‘Orang she Lauw! Bagus engkau mengenal aku. Engkau berani
menegurku mencampuri urusanmu? Huh, lancang sekali engkau. Mendiang
Pek-lian-kauwcu (Ketua Agama Teratai Putih) dahulu pun belum pernah berani
menegurku. Bocah ini mungkin muridmu, akan tetapi sekarang telah menjadi
pelayanku. Mana bisa kau bunuh dia begitu saja? Pula, kedatanganku ini memang
hendak membasmi Pek-lian Kai-pang perkumpulan pemberontak rendah! Nah, kau
serahkanlah kepalamu dan kepala semua anggauta-anggautamu seperti yang terjadi
pada lima orang pembantu-pembantumu ini.!
Ucapan ini terdengar seperti halilintar di siang hari dan
menimbulkan kemarahan semua anggauta pengemis Pek-lian Kai-pang yang berkumpul
di situ. Mereka tetdiri dari lima puluh orang lebih, tentu saja tidak takut terhadap
kakek itu yang hanya datang seorang diri saja.
Demikian pula pikiran Lauw-pangcu. Biarpun ia sudah mendengar akan
kesaktian Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar,
namun teman-temannya amat banyak dan pula, mereka adalah pejuang-pejuang yang
tidak takut mati. Lauw-pangcu mengangkat tongkatnya ke atas, memberi isyarat
kepada anak buahnya dan serentak para anak buahnya itu menerjang maju dengan
tongkat mereka. Bagaikan air bah mereka ini menyerbu dan menerjang kakek botak
itu dari segala jurusan.
Melihat ini, hati Han Han sudah berdebar tegang. Tentu Si Botak
akan dihajar oleh Pek-lian Kai-pang, pikirnya. Maka ia berseru kepada Sin Lian.
‘Suci, mari hajar bocah setan ini!! katanya sambil menuding ke
arah Ouwyang Seng. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Sin Lian tiba-tiba
malah menerjangnya sambil memaki.
‘Engkau murid murtad!!
Han Han yang amat kaget itu tidak dapat menghindar dan sebuah
tendangan mengenai dadanya, tepat di ulu hati, membuat ia terjengkang dengan
napas sesak dan jatuh terduduk. Setelah merobohkan Han Han, Sin Lian lalu
menerjang Ouwyang Seng yang menyambutnya sambil tertawa-tawa mengejek.
Bertandinglah dua orang anak itu dengan seru. Akan tetapi, ternyata Ouwyang
Seng jauh lebih pandai dan Sin Lian segera terdesak. Hanya karena keberaniannya
yang luar biasa ditambah kemarahannya saja yang membuat anak perempuan itu
bergerak dengan ganas dan dahsyat sehingga untuk sementara dapat membuat
Ouwyang Seng repot juga.
Han Han lebih tertarik menonton ke arah Si Setan Botak yang
diserbu oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya, karena ia menduga bahwa tentu akan
terjadi pertandingan hebat sekali. Jauh lebih hebat daripada perkelahian antara
dua orang anak itu yang tidak menarik hatinya. Apalagi karena Sin Lian telah
menendangnya, ia menjadi marah dan tidak sudi membantu anak perempuan itu
menghadapi Ouwyang Seng. Dianggapnya bahwa dua orang anak itu sama saja
jahatnya sehingga siapa pun juga yang kalah di antara mereka, ia tidak peduli.
Dengan pikiran ini, Han Han lalu bangkit, dadanya masih sesak akan tetapi ia
memaksa diri berjalan lalu memanjat pohon agar dapat menonton lebih jelas lagi.
Apa yang dilihat Han Han membuat ia begitu kaget dan ngeri
sehingga hampir saja ia terjungkal dari atas pohon kalau ia tidak cepat-cepat
memeluk cabang pohon. Mula-mula yang maju adalah tujuh Orang pengemis Pek-lian
Kai-pang yang mengurung kakek botak itu sambil menerjang dengan tongkat mereka.
Akan tetapi Si Setan Botak hanya berdiri tegak. Sambil tersenyum
ia menangkap tongkat pertama, mencengkeram ujung tongkat menjadi
berkeping-keping dan sekali tangannya bergerak memutar, kepingan kayu itu
menyambar sekelilingnya dan.... tujuh orang pengemis Pek-lian Kai-pang itu
roboh dan berkelojotan terus mati! Itulah semacam kejadian yang seperti main
sulap saja, sukar untuk dipercaya.
Akan tetapi bagi para ahli silat di situ merupakan kepandaian yang
amat hebat. Kepingan-kepingan ujung tongkat kayu itu hanya benda kecil yang
ringan dan tidak terlalu keras, namun di tangan kakek botak ini, dapat menjadi
senjata rahasia yang tepat sekali menancap dan memasuki dahi tujuh orang lawan
sehingga menembus otak dan membuat mereka roboh binasa seketika! Kepandaian
yang hebat dan juga kekejaman yang amat menyeramkan.
‘Heh-heh-heh....!! Si Setan Botak terkekeh, kelihatannya girang
sekali dan matanya memandang para anggauta Pek-lian Kai-pang yang menjadi marah
dan mengepungnya ketat itu seperti mata seorang guru memandang murid-murid
kecil yang nakal!
Kembali belasan orang pengemis maju menerjang dengan tongkat, kini
secara berbareng sambil berteriak keras. Harus diketahui bahwa para anggauta
Pek-lian Kai-pang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi sehingga serangan mereka
ini bukanlah serangan ngawur, melainkan dengan jurus-jurus Pek-lian-kun-hoat
yang ampuh. Namun, kakek botak itu sama sekali tidak mengelak. Belasan batang
tongkat itu dengan tepat mengenai sasaran, ada yang mengemplang kepala
botaknya, ada yang menghantam leher, menusuk dada, menotok lambung.
Pendeknya, seluruh bagian tubuhnya yang berbahaya pada saat yang
hampir sama secara bertubi-tubi menerima hantaman atau tusukan ujung tongkat.
Riuh-rendah teriakan para pengemis, dan ramai pula suara bak-bik-buk
tongkat-tongkat itu mengenai tubuh Si Kakek Botak. Namun sama sekali kakek itu
tidak bergeming, senyumnya masih melebar dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar
kaki seorang pengemis dan mulailah ia mengamuk.
Tubuh pengemis yang menjadi senjata di tangannya itu diputar
sedemikian rupa dan terdengarlah suara ‘prak-prak-prak!! berulang kali ketika
kepala orang itu bertemu dengan kepala-kepala para lawannya. Para pengeroyok
itu roboh malang-melintang dengan kepala pecah, sedikitnya ada sepuluh orang
jumlahnya. Mereka itu binasa karena sedikitnya kepala mereka retak-retak
bertemu dengan kepala orang yang dijadikan senjata. Adapun kepala orang itu
sendiri setelah dilempar ke samping, telah hancur dan tidak menyerupai kepala!
Lauw-pangcu marah bukan main sampai hampir pingsan. Melihat betapa
anak buahnya tewas, dalam keadaan mengerikan seperti itu, ia bukannya menjadi
takut, sebaliknya ia malah menjadi nekat untuk mengadu nyawa. Sambil berseru
nyaring, Lauw-pangcu menyerbu ke depan, diikuti oleh teman-temannya yang masih
ada kurang lebih tiga puluh orang.
‘Heh-heh-heh, bagus! Biar kubasmi habis kalian hari ini!! kata
Si Setan Botak dan tiba-tiba tubuhnya berputar satu kali, kedua lengannya
didorongkan ke depan. Han Hen yang melihat kakek itu, terbelalak heran karena
melihat betapa telapak kedua tangan kakek itu kemerahan dan mengepulkan asap,
seolah-olah tangan itu telah menjadi besi panas! Dan akibatnya hebat sekali.
Dua puluh orang lebih menjerit ngeri den roboh bergelimpangan, tak dapat bangun
kembali!
Hanya Lauw-pangcu, dan dua orang pembantunya yang paling tinggi
ilmunya, terhuyung ke belakang akan tetapi tidak roboh. Muka mereka pucat dan
napas mereka terengah-engah, mata mereka terbelalak memandang teman-teman yang
roboh. Hampir lima puluh orang anggauta Pek-lian Kai-pang dalam sekejap mata
saja, dalam tiga gebrakan, telah tewas menjadi korban Si Setan Botak yang
ternyata lihai bukan main itu!
Han Han kini menjadi ngeri, akan tetapi di dalam hatinya juga
timbul rasa kagum terhadap Si Setan Botak. Bagaimana ada orang sampai bisa
begitu sakti? Dan ia mulai khawatir melihat gurunya. Ketika ia mengerling ke
arah Sin Lian, ternyata gadis cilik ini pun sudah terdesak hebat, bahkan
beberapa kali telah kena ditampar oleh Ouwyang Seng. Ia melihat betapa Sin Lian
menjadi nekat, menerjang maju tanpa perhitungan lagi den sebuah sabetan kaki
Ouwyang Seng membuat gadis itu terguling roboh. Ouwyang Seng menubruknya
denmenangkap kedua lengannya terus dipuntir ke belakang, ditelikung sehingga
Sin Lian tidak mampu bergerak lagi!
‘Kau bocah galak seperti kucing! Kucing tidak berpakaian! Maka
akan kutelanjangi kau, biar kapok dan hendak kulihat apakah kau masih berani
banyak lagak!! kata Ouwyang Seng tertawa-tawa dan tangannya mulai merenggut
pakaian gadis cilik itu.
Wajah Han Han menjadi merah. Teringat ia akan peristiwa di dalam
rumahnya, teringat akan keadaan kakak perempuannya dan keadaan ibunya, dan
dengan hati panas ia memaki.
‘Ouwyang Seng, kau bangsat kecil tak tahu malu! Apa yang akan
kau lakukan itu? Tidak tahu sopan, tidak bersusila kau!!
Ouwyang Seng hanya terkekeh dan tangannya sudah mencengkeram leher
baju Sin Lian yang meronta-ronta tanpa hasil. Pada saat itu, tubuh Ouwyang Seng
terlempar dan seorang wanita cantik sudah berdiri di situ, membangunkan Sin
Lian dan berkata halus.
‘Anak, kau minggirlah.!
Han Han terbelalak. Gerakan wanita itu amat cepat seperti seekor
burung walet menyambar, tiba-tiba sudah di situ, melemparkan tubuh Ouwyang
Seng. Dia itu seorang wanita yang usianya antara tiga puluh tahun, cantik dan
gagah sekali, pakaiannya serba hitam sehingga membuat kulit leher dan tangannya
tampak amat putih kemerahan. Rambutnya disanggul tinggi dan di punggungnya
tergantung sebatang pedang dalam sarung pedang indah terukir.
Dan kiranya yang datang secara cepat dan aneh bukan hanya wanita
cantik itu, karena entah dari mana Han Han sendiri tidak tahu, di situ telah
berdiri pula dua orang. Yang seorang berusia kurang lebih empat puluh lima
tahun, bertubuh pendek kecil dan tangannya memegang sebatang cambuk besi.
Laki-laki ini biarpun pendek kecil, namun memiliki pandang mata yang keren
berwibawa. Adapun laki-laki ke dua adalah seorang berusia empat puluh tahun,
bertubuh tinggi besar berwajah gagah, di tangannya memegang sebatang toya
kuningan yang kelihatannya berat sekali.
Laki-laki pendek yang memegang cambuk besi itu menjura ke arah
Lauw-pangcu yang masih pucat dan berkata, ‘Lauw-pangcu harap jangan khawatir,
sekuat tenaga kami akan membantumu menghadapi iblis ini!!
Lauw-pangcu kelihatan lega ketika menyaksikan munculnya tiga orang
ini, akan tetapi ia pun merasa tidak enak dan cepat berkata, ‘Kang-lam
Sam-eng harap tidak mencampuri urusan ini, biarlah kami semua mati sebagai
seorang ksatria di tangan Kang-thouw-kwi Gak Liat!!
Mendengar disebutnya nama ini, tiga orang gagah yang disebut
Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) ini menjadi terkejut sekali. Otomatis
mereka itu saling mendekati dan siap dengan senjata masing-masing, bahkan
wanita cantik itu pun telah mencabut pedangnya.
‘Hemmm, sudah lama mendengar Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai
seorang datuk persilatan tingkat tinggi, baru sekarang menyaksikan
kekejamannya. Lauw-pangcu, kami akan siap membantu mati-matian!! kata pula
laki-laki pendek penuh semangat.
Si Setan Botak memandang penuh perhatian lalu tertawa.
‘Ha-ha-ha, kalian bocah-bocah kemarin sore! Aku pernah mendengar bahwa
Kang-lam Sam-eng adalah jago-jago cilik murid-murid Siauw-lim-pai. Benarkah?!
‘Kami memang anak murid Siauw-lim-pai. Dan sudah menjadi tugas
setiap orang murid Siauw-lim-pai untuk membasmi orang jahat dan pengkhianat
bangsa!! kata wanita cantik itu, suaranya nyaring dan merdu.
‘Heh-heh, kau cantik dan bersemangat! Apakah kalian bertiga ini
murid Ceng San Hwesio?! tanya pula Si Setan Botak memandang rendah.
‘Ceng San Hwesio adalah Sukong (Kakek Guru) kami!! kini Si
Tinggi Besar menjawab, suaranya sesuai dengan tubuhnya, menggeledek.
Tiga orang itu bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan
murid-murid Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa. Karena mereka tinggal di
Kang-lam dan selalu melakukan perjuangan bersama, maka mereka terkenal sebagai
Kang-lam Sam-eng atau Tiga Pendekar Kang-lam yang amat disegani kawan ditakuti
lawan. Yang tertua dan bertubuh pendek kecil itu adalah Khu Cen Tiam berjuluk
Thi-pian-sian (Dewa Cambuk Besi).
Orang ke dua yang tinggi besar bernama Liem Sian berjuluk Sin-pang
(Si Toya Sakti) dan orang ke tiga, wanita cantik itu adalah seorang wanita yang
masih gadis tidak mau menikah karena belum juga menjumpai pria yang mencocoki
hatinya, bernama Bhok Khim dan berjuluk Bi-kiam (Si Pedang Cantik). Sebagai
murid-murid Siauw-lim-pai, tentu saja mereka berjiwa patriot dan selalu
mendukung perjuangan kaum pemberontak yang menentang masuknya penjajah bangsa Mancu.
Akan tetapi ketika Kang-thouw-kwi Gak Liat mendengar jawaban Liem
Sian, ia tertawa bergelak, ‘Ha-ha-ha-ha! Kiranya hanya cucu si tua Ceng San
Hwesio? Ahhh, bocah-bocah tak tahu diri. Lebih baik kalian lekas pergi karena
aku tidak mau melihat Ceng San Hwesio kehilangan tiga orang cucunya. Kalau Ceng
San Hwesio sendiri yang datang, barulah patut melayani aku beberapa jurus.!
Ucapan ini amat tekebur dan memang sesungguhnya bukan semata-mata
karena sombong, akan tetapi karena memang tingkat kepandaian Si Setan Botak ini
hanya akan dapat dilayani oleh ketua Siauw-lim-pai yang tua itu. Bagi Kang-lam
Sam-eng yang belum pernah mengenal kelihaian Si Setan Botak, ucapan itu
dianggap sombong dan amat menghina, maka mereka lalu membentak nyaring dan maju
menerjang, diikuti pula oleh Lauw-pangcu dan dua orang pembantunya sehingga
kini Si Setan Botak dikeroyok oleh enam orang yang berkepandaian tinggi.
Han Han yang menonton dari atas pohon dan dapat melihat setiap
pertempuran itu dengan jelas, merasa tak senang hatinya. Ia tidak tahu siapa
salah siapa benar, siapa jahat siapa baik di antara kedua pihak itu, akan
tetapi terhadap Si Setan Botak ia tidak senang karena menganggapnya amat kejam,
membunuhi banyak orang seperti orang membunuh semut saja. Terhadap Lauw-pangcu
dan Kang-lam Sam-eng, ia merasa tidak senang karena menganggap mereka ini
curang, mengeroyok seorang lawan dengan begitu banyak kawan.
Sebagai murid-murid perguruan tinggi Siauw-lim-pai, tentu saja
Kang-lam Sam-eng tidak bersikap seperti para anak buah Pek-lian-pai yang suka
‘main keroyok! secara kacau-balau. Pertempuran sekacau itu hanya dilakukan
oleh orang-orang yang masih rendah tingkatnya. Memang, mereka mengurung dan
mengeroyok, namun mereka melakukan penyerangan secara teratur dan boleh dibilang
satu demi satu, hanya saling susul dan berganti-ganti.
Mula-mula terdengar bentakan nyaring dan tubuh Bhok Khim si wanita
cantik sudah melayang ke atas, pedangnya berubah menjadi sinar terang ketika ia
menyerang kakek botak itu. Sebuah serangan yang amat dahsyat, karena selain
tubuh itu meluncur ke depan dengan cepat dan kuat, pedangnya digerak-gerakkan
ujungnya, sukar diduga lawan bagian mana dari tubuhnya yang akan menjadi
sasaran. Namun kakek botak itu hanya tertawa dan masih tetap berdiri tegak
seperti tadi, sama sekali tidak mengelak. Ketika sinar pedang sudah
menyentuhnya, ia hanya menggerakkan kedua tangan ke atas.
‘Krakkk! Brettttt....! Ha-ha-ha-ha!!
Tubuh Bhok Khim mencelat ke samping dan jatuh bergulingan, lalu
gadis itu meloncat bangun, tangan kiri sibuk berusaha menutupkan baju bagian
dadanya yang sudah robek lebar memperlihatkan sebagian buah dadanya, sedangkan
pedangnya sudah pindah ke tangan kakek botak dalam keadaan patah menjadi dua!
Pucatlah wajah semua orang. Kakek itu tadi menerima sambaran
pedang dengan tangan kosong! Menangkap pedang dan mematahkannya sambil
tangannya yang satu lagi secara nakal merobek baju Bhok Khim. Sungguh merupakan
perbuatan yang amat luar biasa.
‘Iblis tua bangka!! Liem Sian menerjang dengan toya kuningannya.
Siauw-lim-pai amat terkenal dengan ilmu toyanya, terkenal kokoh kuat dan sukar
dicari bandingnya. Dan kini Liem Sian membuktikan keunggulannya. Buktinya kakek
botak itu tidak berani lagi berdiri diam, melainkan menggeser kakinya dan
begitu ujung toya menyodok perutnya, ia memapaki ujung toya itu dengan
tendangan kaki dari samping.
‘Ayaaa....!! Liem Sian terhuyung. Bukan main kuatnya tendangan
itu, membuat ia hampir saja roboh dan toyanya hampir terlempar.
Saat itu dipergunakan oleh Khu Cen Tiam, orang tertua dari
Kang-lam Sam-eng untuk menerjang dengan cambuk besinya.
‘Tar-tar....!! Cambuk besi ini meledak dan menyambar kepala
kakek botak. Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa dan mengangkat pedang rampasan
yang tinggal sepotong tadi, membabat ujung cambuk.
‘Cringgg....!! Bunga api berpijar dan ujung cambuk itu patah!
Lauw-pangcu dan dua orang kawannya sudah maju pula menubruk dan
mulailah Si Kakek Botak dikeroyok. Bahkan Bhok Khim yang sudah membetulkan
bajunya yang robek kini telah menyambar sebatang pedang lain yang ia temukan di
antara mayat-mayat anggauta Pek-lian Kai-pang, lalu maju mengeroyok.
Kakek botak itu gerakannya tidak cepat, bahkan kelihatan amat
lambat. Namun setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat sehingga
senjata lawan tidak ada yang dapat menyentuh kulitnya. Sambil tertawa-tawa ia
menghalau semua serangan dengan dorongan-dorongan hawa pukulan dahsyat ini,
kemudian melanjutkan dengan pukulan.
Setlap pukulan atau dorongan yang disertai pengerahan sin-kang
yang aneh dari tangannya yang berubah merah dan mengeluarkan asap, tentu
merobohkan lawannya! Akibatnya, dalam waktu singkat saja, dua orang pembantu
Lauw-pangcu roboh tewas, Lauw-pangcu sendiri roboh terluka. Khu Cen Tiam
kehilangan cambuk dan lengannya patah tulangnya. Liem Sian patah-patah toyanya
dan sambungan pundaknya patah pula, adapun Bhok Kim sudah tertotok dan kini
pinggang gadis itu dikempit oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat!
Kakek ini terbahak-bahak tertawa sedangkan muridnya, Ouwyang Seng,
kini sudah datang mendekat sambil menuntun kuda, wajahnya berseri dan pandang
matanya penuh kebanggaan. Sin Lian lari menubruk ayahnya yang terluka dadanya
sambil memanggil nama ayahnya yang pingsan.
‘Ayah...., Ayahhh....!!
Biarpun lengannya sudah patah tulangnya, Khu Cen Tiam masih
berdiri gagah. Demikian pula Liem Sian yang terlepas sambungan pundak kirinya.
Mereka berdiri dengan muka pucat dan memandang kakek botak penuh kemarahan dan
kebencian.
Locianpwe adalah seorang datuk terkemuka. Kami sudah kalah, hal
ini sudah lazim dalam pertandingan, kalau tidak menang tentu kalah. Akan tetapi
mengapa locianpwe menawan sumoi kami? Harap locianpwe membebaskannya,! kata Khu
Cen Tiam yang menyebut locianpwe, karena memang dalam hatinya ia takluk dan
kagum akan kehebatan ilmu kepandaian kakek yang merupakan seorang di antara
Lima Datuk Hitam itu.
Lima Datuk Besar atau Lima Datuk Hitam sama saja karena Lima Datuk
itu adalah lima orang berilmu tinggi yang merupakan orang-orang tingkat pertama
di dunia persilatan, akan tetapi karena kelimanya merupakan tokoh-tokoh yang
kejam, maka diam-diam orang menyebut mereka Lima Datuk Hitam!
‘Heh-heh-heh, kalau tidak memandang muka Ceng San Hwesio, apakah
kalian bertiga masih dapat bernapas saat ini? Sumoimu ini manis, biar dia
menemaniku untuk beberapa hari, sebagai penebus nyawa kalian!!
Khu Cen Tiam dan Liem Sian membentak marah. Biarpun sudah terluka,
kemarahan mereka membuat mereka menerjang maju, namun dengan hanya dorongan
tangan kiri saja, keduanya sudah terbanting dan terjengkang ke belakang!
‘Baik, kalau kamu iblis tua bangka memang ada keberanian,
datanglah ke kota Tiong-kwan tiga hari lagi. Kami para anggauta Ho-han-hwe
(Perkumpulan Para Patriot) menantangmu membuat perhitungan!!
‘Sute....!! Khu Cen Tiam menegur, akan tetapi ucapan sudah
dikeluarkan dan kakek botak itu tertawa bergelak.
‘Bagus.... bagus.... kiranya akan diadakan pertemuan di
Tiong-kwan? Tentu saja aku datang, sekalian mengembalikan sumoimu yang
kupinjam. Ha-ha-ha!!
Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya melayang, kakek itu
sambil mengempit tubuh Bhok Khim yang tak dapat bergerak itu sudah berada di
atas kuda, kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan berkata,
‘Mari, Kongcu. Jangan lupa ajak pelayan itu!! Dengan tangannya
kakek itu mendorong ke arah pohon dan ‘kraaakkkkk!! batang pohon itu patah
dan pohonnya tumbang, membawa tubuh Han Han runtuh ke bawah bersama-sama!
Han Han bergulingan, kulitnya lecet-lecet dan cambuk di tangan
Ouwyang Seng sudah meledak di atas kepalanya.
‘Hayo tuntun kuda suhu, kau pemalas!! bentak putera pangeran
itu. Han Han menoleh ke arah Sin Lian, melihat Sin Lian melotot kepadanya. Ia
menghela napas, mengangkat pundak, lalu berjalan menghampiri kuda dan menuntun
kendali kuda itu, berjalan di depan kuda. Terdengar olehnya tangis Sin Lian,
akan tetapi karena kuda itu jalannya cepat sehingga punggungnya beherapa kali
terdorong moncong kuda, Han Han mempercepat langkahnya dan sebentar saja sudah
keluar dari dalam hutan itu.
***
Dapat dibayangkan betapa hancur dan sakit hati Lauw-pangcu melihat
anak buahnya terbasmi habis oleh Si Setan Botak yang lihai itu. Kematian kurang
lebih lima puluh orang anggauta Pek-lian Kai-pang ini hampir menghabiskan semua
anggautanya sehingga mereka yang kebetulan tidak berada di situ dan bebas dari
kematian hanya tinggal beberapa orang saja. Dengan dendam sedalam lautan,
Lauw-pangcu mengurus jenazah semua anak buahnya, dibantu oleh Kang-lam Sam-eng
yang kini tinggal dua orang, Khu Cen Tiam dan Liem Sian saja karena sumoi
mereka, Bhok Khim, terculik oleh Si Kakek Sakti. Dua orang anak murid
Siauw-lim-pai ini pun di samping amat menyesal, juga amat marah dan sakit hati.
‘Sudah kucegah tadi ji-wi enghiong bersama Bhok-lihiap untuk
tidak mencampuri urusan kami,! demikian Lauw-pangcu berkata penuh penyesalan.
‘Sekarang terbukti, selain ji-wi terluka, juga Bhok-lihiap terculik. Ahh,
semua ini gara-gara Pek-lian Kai-pang. Lebih celaka lagi, malapetaka ini dibawa
datang oleh muridku sendiri, si jahanam Sie Han!!
Khu Cen Tiam dan Liem Sian menghibur ketua kai-pang yang berduka
itu.
‘Pangcu jangan berkata demikian. Kita sama-sama anggauta
Ho-han-hwe, sudah bersumpah sehidup semati menghadapi penjajah dan para
pengkhianat bangsa. Lebih baik kita lekas bereskan pekerjaan di sini dan cepat
mengumpulkan saudara-saudara di Ho-han-hwe untuk merundingkan hal ini dan agar
dapat menolong Sumoi dari tangan iblis itu.!
‘Ahhhhh, iblis itu terlampau sakti. Di dunia ini hanya ada lima
orang datuk besar yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Kita di Ho-han-hwe,
siapakah kiranya yang akan mampu melawannya?! demikian keluh Lauw-pangcu dengan
hati gentar kalau ia teringat akan sepak terjang Si Setan Botak tadi.
‘Di antara saudara kita banyak yang lihai, kalau perlu aku akan
memberi tahu para susiok dan juga tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw. Sute
tadi telah menantangnya tiga hari lagi. Dalam waktu tiga hari kita harus dapat
mendatangkan bala bantuan untuk membunuh iblis itu dan menolong sumoi.!
Demikianlah, setelah penguburan sekian banyaknya jenazah itu
selesai, tiga orang gagah ini bersama Sin Lian yang dalam usia sekecil itu
sudah mengalami hal-hal yang menegangkan dan pembunuhan-pembunuhan massal yang
mengerikan, pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kota Tiong-kwan lalu
menghubungi para pejuang yang bergabung dalam perkumpulan Ho-han-hwe. Sibuklah
mereka semua itu mengundang orang-orang pandai dalam persiapan mereka
menghadapi Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Adapun Kang-thouw-kwi Gak Liat yang menunggang kuda sambil
memangku tubuh Bhok Khim yang tertotok lemas, diiringkan oleh Ouwyang Seng dan
Han Han, pergi menuju ke timur menyusuri pantai Sungai Huang-ho. Setelah
melakukan perjalanan setengah hari, mereka tiba di pantai yang berbatu-batu dan
kakek itu berkata.
‘Berhenti di sini!! Ia meloncat turun, masih memondong tubuh
Bhok Khim.
‘Apakah disinik tempatnya batu-batu bintang yang suhu cari?!
tanya Ouwyang Seng.
Si Setan Botak mengangguk. ‘Kau ajak Han Han mencari di pantai,
sebanyak mungkin. Kau sudah tahu macamnya, seperti yang pernah aku perlihatkan
dulu, Kongcu. Batu-batu itu penting sekali untuk latihanmu. Nah, aku mau
mengaso bersama Si Manis ini!!
Ouwyang Seng melihat betapa gurunya membungkuk dan mencium leher
Bhok Khim yang menggeliat dan meronta lemah, tertawa bergelak, kemudian
menangkap tangan Han Han dan ditarik sambil membentak.
‘Bujang malas, hayo bantu aku mencari batu bintang!!
Akan tetapi sekali merenggutkan tangannya, Han Han melepaskan
diri. Matanya terbelalak marah memandang ke arah Gak Liat Si Setan Botak yang
sudah duduk di atas batu-batu kecil yang halus sambil memangku tubuh Bhok Khim
dan mempermainkan rambut gadis itu yang hitam panjang. Han Han dapat menduga
apa yang akan dilakukan oleh kakek botak itu terhadap Bhok Khim dan
terbayanglah semua peristiwa jahanam yang menimpa diri kakak perempuannya dan
ibunya.
Melihat Bhok Khim ia merasa seperti melihat cicinya sendiri yang
telah lenyap, sungguhpun pandang mata Bhok Khim padanya bukanlah seperti
pandang mata cicinya yang penuh kasih sayang. Dengan langkah lebar ia
menghampiri Gak Liat dan setelah tiba di depannya, Han Han menudingkan
telunjuknya dan berkata, suaranya nyaring.
‘Locianpwe adalah seorang yang sakti, dapat mengalahkan
pengeroyokan puluhan orang. Akan tetapi mengapa kini melakukan perbuatan yang
amat hina dan rendah?!
‘Han Han, tutup mulutmu yang busuk!! Ouwyang Seng membentak
marah, akan tetapi Si Setan Botak tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya
kepada muridnya untuk mundur. Kemudian ia memandang wajah Han Han. Sejenak
pandang mata mereka bertemu dan kakek botak itu berseru perlahan.
‘Demi iblis....! Matamu mata iblis....! Eh, bocah, perbuatan
hina dan rendah apa yang telah aku lakukan?!
Han Han menuding ke arah Bhok Khim yang menggeliat-geliat di
pangkuan kakek botak itu.
‘Lepaskan cici itu dan aku baru dapat menganggap locianpwe
seorang gagah dan sakti yang tidak melakukan perbuatan hina!!
Si Setan Botak memandang terbelalak, lalu menunduk dan memandang
wajah Bhok Khim yang cantik manis, kemudian tertawa terbahak-bahak.
‘Ini kau anggap perbuatan hina dan rendah? Ha-ha-ha-ha!! Dengan
sengaja kakek ini lalu mengelus-elus pipi Bhok Khim yang halus, kemudian
jari-jari tangannya menjalar ke bawah, meraba-raba leher dan dada. Gadis itu
menggeliat dan meronta lemah, akan tetapi karena ia berada dalam keadaan
tertotok, ia tidak dapat melepaskan diri, kemudian meramkan mata dan merintih
perlahan.
Kemarahan Han Han memuncak. Depgan mata berapi ia memandang kakek
botak itu dan membentak, ‘Locianpwe! Kau tidak boleh menghina wanita!!
Kakek itu mengangkat mukanya memandang sambil tertawa, akan tetapi
begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata Han Han, seketika tawanya
terhenti, ia terbelalak, mulutnya ternganga dan terdengarlah ia berkata
perlahan,
‘Aku.... aku....!
Tentu saja Ouwyang Seng menjadi bengong menyaksikan keadaan
suhunya ini, maka ia berseru keras dan heran,
‘Suhu....! Apa artinya ini....?!
Sesungguhnya, pandang mata dan suara Han Han yang sedang marah itu
mengandung tenaga mukjizat yang tidak sewajarnya. Demikian kuat dan mukjizat
tenaga sakti ini sehingga seorang seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri,
seorang di antara Lima Datuk Besar, sampai terpengaruh!
Sayangnya, Han Han sendiri tidak sadar dan tidak tahu akan
kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam pandang mata dan kekuatan pikirannya
sehingga tentu saja ia tidak dapat memanfaatkannya. Selain itu, Kang-thouw-kwi
Gak Liat adalah seorang kakek yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali dalam
ilmu-ilmunya, maka ia cepat tersadar begitu mendengar seruan muridnya. Ia sadar
dengan kaget sekali dan melempar tubuh Bhok Khim ke samping.
Gadis itu terguling dan rebah miring, tanpa dapat bangun. Di lain
saat Gak Liat telah menyambar lengan Han Han dan ditariknya anak itu duduk di
atas batu-batu kali, di depannya. Sejenak kakek itu memandang dengan penuh
perhatian sepasang mata Han Han yang masih bersinar-sinar sungguhpun kini
kemarahan anak itu mereda karena melihat Bhok Khim sudah dilepaskan.
‘Eh, Han Han, coba katakan, siapakah nama Ayahmu?!
Kalau Han Han ditanya riwayatnya, tentu ia tidak akan sudi
menceritakannya, karena hal itu akan mengharuskan ia bercerita tentang
malapetaka ngeri yang menimpa ayah bundanya. Akan tetapi kalau hanya ditanya
nama ayahnya saja, ia tidak keberatan untuk menjawab, apalagi ia memang hendak
menyenangkan hati kakek ini agar selanjutnya tidak akan mengganggu Bhok Khim.
‘Ayahku bernama Sie Bun An.!
‘Ayahmu ahli silat tinggi dan tokoh kang-ouw?!
‘Ah, tidak sama sekali, locianpwe. Ayah seorang sastrawan, dan
semenjak kecil Ayah melarang aku belajar silat, hanya memberi pelajaran tulis
dan baca.! Ia berterus terang dengan suara keras. Kalau dahulu di depan
Lauw-pangcu ia tidak mengaku pandai membaca, kini di depan Si Setan Botak ia
malah sengaja mengatakan ayahnya sastrawan.
Hal ini pun ada sebabnya, yaitu karena di situ hadir Ouwyang Seng.
Han Han yang sering kali mengalami penghinaan dari Ouwyang Seng putera
pangeran, kini mendapat kesempatan untuk menyatakan bahwa dia adalah putera
sastrawan dan pandai membaca kitab, dan dalam hal ini ia tidak mau kalah oleh
Ouwyang Seng!
Mendengar ini, kakek botak itu tampak kecewa dan pandang matanya
penuh selidik terheran-heran.
‘Matamu itu.... hemmm.... Han Han, kau katakan, siapa nama
Kong-kongmu (Kakekmu)? Barangkali aku mengenalnya.!
‘Aku tidak pernah melihat Kong-kong,! jawab Han Han sejujurnya.
‘Dan Ayahku tidak banyak bercerita tentang Kong-kong. Hanya mengatakan bahwa
Kong-kong adalah seorang perantau dan namanya Sie Hoat....!
Kakek botak itu meloncat bangun dan tertawa terbahak-bahak.
‘Sie Hoat....? Sie Hoat Si Dewa Pencabut Bunga? Ha-ha-ha-ha-ha,
engkau cucu Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Pantas.... pantas....!
Han Han bengong, mengira bahwa Si Botak ini selain lihai juga
miring otaknya! Ayahnya adalah seorang sastrawan yang kaya raya, biarpun
ayahnya belum pernah bercerita tentang kakeknya, namun ia dapat menduga bahwa
kakeknya pun tentu seorang sastrawan. Mengapa kakek botak ini menyebutnya
Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)?
Dengan pandang mata penasaran Han Han menatap wajah kakek botak
itu dan bertanya.
‘Kenapa locianpwe tertawa? Apakah locianpwe mengenal Kakekku?!
‘Ha-ha-ha! Mengenal Jai-hwa-sian Sie Hoat? Ha-ha, dia sainganku
terbesar dahulu! Dia masih hutang beberapa pukulan dariku. Dan kau....
ha-ha-ha, engkau cucunya mencela aku karena aku membelai seorang gadis cantik?
Sungguh lucu, dan ingin aku melihat muka Sie Hoat kalau mendengar dan melihat
ini semua ha-ha-ha-ha!!
‘Locianpwe, apa yang locianpwe maksudkan....?! Han Han bertanya
dengan suara keras, hatinya penuh rasa penasaran.
Akan tetapi Kang-thouw-kwi Gak Liat hanya tertawa bergelak, lalu
seperti orang gila ia memandang ke atas, ke arah awan yang berarak di langit.
‘Dan kini cucumu menjadi pelayanku, Sie Hoat! Kalau engkau masih
hidup, hayo datanglah dan jemputlah cucumu, ha-ha-ha!! Kemudian matanya
memandang ke arah tubuh Bhok Khim yang masih rebah miring di atas tanah dan
dengan langkah lebar menghampiri, lalu menyambar tubuh itu yang diangkatnya.
‘Locianpwe tidak boleh....!!
Akan tetapi ucapan Han Han ini terhenti karena lengannya telah
ditangkap oleh Ouwyang Seng dan tubuhnya diseret pergi dari tempat itu.
‘Engkau bocah tak tahu diri, berani sekali mengganggu suhu!
Apakah engkau sudah bosan hidup? Anak kecil mencampuri urusan orang tua,
sungguh lancang. Lebih baik kau bantu aku mencari batu-batu bintang. Kau
pemberani, aku suka kepada anak pemberani dan aku tidak senang melihat kau
dibunuh suhu kalau dia sudah marah. Kalau kau baik kepadanya, siapa tahu engkau
akan diambil murid seperti aku!!
Han Han yang terus diajak pergi sampai di tepi sungai yang banyak
batu-batu karangnya, mengerti juga betapa tak mungkin ia dapat mencegah
perbuatan kakek botak yang demikian sakti itu. Sedangkan dalam pegangan Ouwyang
Seng saja ia sudah tidak mampu berkutik. Ia tertarik mendengar tentang bintang
dan tentang kemungkinan ia diambil murid.
‘Untuk apakah batu bintang? Dan batu bintang macam apa yang
dimaksud?! tanyanya sambil memperhatikan ketika Ouwyang Seng mulai
memilih-milih batu di antara batu karang yang banyak terdapat di situ.
‘Kau lihat baik-baik batu ini dan bantu mencari sebanyaknya,
nanti kucerita kan,! jawab Ouwyang Seng. Han Han melihat batu yang dipilih
bocah itu dan melihat bahwa batu itu kecil-kecil, paling besar sebesar
tangannya dan bentuknya seperti pecahan batu karang, runcing-runcing dan tajam,
akan tetapi warnanya kemerahan. Ia lalu membantu dan mencari batu-batu seperti
itu yang tidak banyak terdapat di situ, harus dicari dan dipilih dengan teliti
baru dapat menemukan beberapa potong. Sambil mencari Ouwyang Seng lalu memberi
keterangan.
Seperti yang pernah didengar bocah ini dari gurunya, ratusan tahun
yang lalu banyak orang menyaksikan benda besar seperti bola api melayang turun
di daerah lembah Sungai Huang-ho ini. Benda itu menurut dugaan banyak orang
pandai adalah sepotong batu besar pecahan dari bintang, karena itu, melihat
bahwa di daerah itu kemudian tampak banyak sekali pecahan-pecahan batu berwarna
kemerahan, batu-batu ini disebut batu bintang. Akan tetapi ketika orang
berusaha mempergunakannya, batu-batu yang kecil ini tidak ada gunanya, bahkan
untuk bahan bangunan pun tidak sebaik batu kali biasa, maka sampai ratusan tahun
kemudian batu-batu ini tidak diperhatikan orang.
‘Akan tetapi suhu yang sakti luar biasa melihat sifat yang
mukjizat dari batu-batu ini,! demikian Ouwyang Seng melanjutkan ceritanya.
‘Sifat yang cocok sekali untuk memperhebat ilmu kepandaian suhu yang
berdasarkan pada tenaga Yang-kang.!
Sambil memandangi batu-batu kemerahan itu penuh perhatian dengan
hati tertarik sekali, Han Han lalu bertanya.
‘Sifat mukjizat apakah? Dan apa itu Yang-kang?!
‘Ah, dasar kau hijau bodoh tidak tahu apa-apa!! Ouwyang Seng
mengomel. ‘Masa tidak tahu Yang-kang? Ketahuilah, guruku adalah seorang di
antara Lima Datuk Besar, dan ilmu kesaktiannya menjulang setinggi bintang di
langit. Di dunia ini tidak ada seorang pun manusia sanggup menandingi ilmunya
yang disebut Hwi-yang-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api). Dengan hawa dari
tangannya, guruku dapat membuat kayu terbakar. Nah, batu-batu bintang ini
mengandung tenaga mukjizat dari Yang-kang, dan menurut suhu, ada inti panasnya
matahari tersembunyi di dalamnya. Agaknya bintang yang pecah ini tadinya berada
di dekat matahari, aku tidak tahu jelas. Batu-batu ini dipergunakan oleh suhu
untuk melatih kedua lengan.!
‘Bagaimana caranya?!
‘Kau akan melihat sendiri! Tahukah engkau bahwa kedua lenganku
ini dapat bertahan direndam air yang mendidih?!
‘Ah, masa....?! Tentu saja Han Han tidak percaya.
Ouwyang Seng tersenyum bangga dan menyingsingkan kedua lengan
bajunya sehingga tampak kedua lengannya yang berkulit putih dan halus.
‘Kedua lenganku ini kelak kalau sudah jadi benar seperti kedua
lengan suhu, akan membuat aku dapat menjagoi seluruh jagat! Kalau sudah selesai
latihanku, sekali sampok saja aku dapat membuat hangus tubuh lawan yang
bagaimana kuat sekalipun!!
Han Han memandang dengan melongo, setengah tidak percaya, akan
tetapi juga ngeri dan kagum. Benarkah di dunia ada ilmu seperti itu? Ia akan
melihat dan membuktikan sendiri. Berkali-kali ia dihina orang karena ia tidak bisa
silat dan tidak memiliki kekuatan yang mukjizat. Kalau dia sampai dapat menjadi
seorang pandai, bukankah dengan mudah ia dapat menentang semua orang yang
jahat-jahat itu? Memang ia dapat membayangkan betapa senangnya memiliki
sepasang lengan tangan yang lihai seperti itu, dapat mengeluarkan hawa panas
seperti api!
‘Benarkah semua yang kau katakan itu, Ouwyang Seng?!
Tiba-tiba bocah itu melotot dan membentak marah,
‘Han Han! Di mana kesopananmu? Katamu sendiri kau keturunan
sastrawan, mengapa tidak tahu sopan santun? Kau sekarang menjadi pelayan
suhuku, berarti kau pelayanku juga. Dan ketahuilah bahwa Ayahku adalah Pangeran
Ouwyang Cin Kok yang berpengaruh besar sekali di kota raja. Sudah seharusnya
kalau kau juga menghormat padaku kalau kau tahu akan sopan santun!!
Wajah Han Han menjadi merah. Tentu saja ia tahu akan semua
peraturan ini, peraturan ‘sopan santun! yang diciptakan oleh kerajaan, yang
mengharuskan sikecil mencium ujung sepatu si bangsawan, si miskin
menyembah-nyembah si kaya! Ia mengerti bahwa dia memang bersalah, maka ia
menghela napas dan mengulangi pertanyaannya.
‘Maaf, benarkah semua yang kau ceritakan tadi, Ouwyang-kongcu?!
Berseri wajah Ouwyang Seng. ‘Bagus! Memang benar dugaanku, kau
bukan sembarangan pengemis dan kini aku percaya bahwa engkau tentu keturunan
seorang terpelajar. Guruku sendiri menyebutku Kongcu, tentu saja engkau pun
harus menghormatku. Tentu benar apa yang aku ceritakan tadi dan engkau ini
memang bernasib baik sekali, Han Han. Menjadi pelayan guruku berarti menemukan
harta yang tak ternilai harganya, karena sedikit banyak engkau tentu akan dapat
memetik ilmunya. Akan tetapi sudah tentu saja jangan harap mendapatkan sebanyak
aku, karena aku muridnya. Mengerti? Hayo cepat kumpulkan batu bintang yang banyak.!
Han Han mengangguk dan mereka berdua asyik mencari-cari batu
bintang sampai terkumpul cukup banyak. Ouwyang Seng membungkus batu-batu itu
dengan kantung kain yang memang sudah dibawanya, lalu menyuruh Han Han
memanggulnya. Mereka berdua lalu kembali ke tempat di mana tadi mereka
meninggalkan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Ketika kedua orang anak itu tiba di situ,
Han Han melihat bahwa kakek botak itu duduk di atas batu dengan mata dipejamkan
dan mulut menyeringai, sedangkan tak jauh dari situ ia melihat Bhok Khim sedang
melangkah pergi. Wajah wanita itu pucat dan ia melangkah pergi sambil terisak
menangis.
‘Ho-ho, Manis, kenapa menangis? Laporkan saja kepada Ceng San
Hwesio bahwa akulah yang mengganggumu, dan dia tentu tidak akan bisa berbuat
sesuatu ho-ho-ha-ha!!
Wanita muda itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan Han Han melihat
betapa mata yang merah itu memandang penuh kebencian, wajah yang pucat itu
basah air mata dan ia bergidik. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan
wajah yang membayangkan kemarahan, kebencian dan dendam sehebat itu!
Bhok Khim lalu membalikkan tubuhnya lagi dan berlari, meninggalkan
isak tangis yang bercampur dengan suara ketawa bergelak Si Kakek Botak.
‘Sudah mendapatkan banyak batu bintang? Bagus, mari kita
melanjutkan perjalanan pulang agar dapat cepat-cepat engkau berlatih, Kongcu.!
Tubuh kakek botak yang tadinya duduk, tiba-tiba melambung ke atas
dan pandang mata Han Han sampai menjadi berkunang ketika ia berusaha mengikuti
gerakan kakek itu. Tahu-tahu Si Kakek Botak sudah duduk di atas punggung
kudanya! Ouwyang Seng agaknya tidak heran menyaksikan demonstrasi kepandaian
yang bagi Han Han seperti orang bermain sulap ini, bahkan lalu menepuk
pundaknya.
‘Hayo kita berangkat, Han Han. Hari sudah hampir gelap!!
Kembali mereka melakukan perjalanan tanpa banyak cakap. Kuda yang
ditunggangi oleh kakek botak yang duduk melenggut seperti orang mengantuk itu
berjalan di depan, diikuti oleh Han Han yang memanggul kantung berisi batu-batu
bintang, dan paling belakang adalah Ouwyang Seng yang berjalan sambil
kadang-kadang mendorong pundak Han Han disuruh cepat agar jangan tertinggal
langkah kuda.
Menjelang malam, tibalah mereka di tempat yang dijadikan tempat
tinggal Kang-thouw-kwi Gak Liat. Han Han tertegun dan memandang kagum. Rumah
itu adalah sebuah gedung yang indah sekali, yang letaknya berada di sebelah
timur kota Tiong-kwan, di dekat Sungai Suang-ho dan mempunyai tanah yang luas,
yang dipagari dengan pagar tembok tinggi. Inilah bukan sembarang rumah,
pikirnya. Seperti istana saja!
‘Rumah siapa ini....?! tanyanya ketika mereka memasuki rumah itu
setelah dua orang pelayan menyambut kuda tunggangan Si Kakek Botak dan Ouwyang
Seng mengajak Han Han untuk terus menuju ke belakang melalui pintu samping,
berbeda dengan kakek botak yang langsung memasuki gedung dari pintu tengah.
‘Heh-heh, rumah siapa lagi? Ini rumahku!!
‘Rumahmu....?! Han Han makin kagum.
‘Bodoh, bukankah sudah kukatakan bahwa Ayahku adalah Pangeran
Ouwyang Cin Kok? Apa artinya rumah ini bagi Ayah? Ini hanyalah sebuah rumah
pesanggrahan yang biasanya ditinggali keluargaku di waktu musim panas. Kini
dipergunakan oleh suhu untuk mengajar ilmu silat kepadaku. Hayolah! Kau makan
dulu, kemudian tidur. Besok kita bekerja!!
Ouwyang Seng lalu memanggil pelayan, menyuruh pelayan memberi
makan kepada Han Han dan memberi sebuah kamar untuk tidur. Kemudian kongcu itu
pun melenyapkan diri ke dalam rumah gedung dan malampun tiba.
Pada keesokan harinya, Han Han terbangun pagi-pagi sekali. Keadaan
di dalam gedung masih sunyi, tanda bahwa semua penghuninya masih tidur. Ia
berindap-indap keluar dari kamarnya, yaitu sebuah kamar kecil di antara
kamar-kamar untuk bujang di bagian belakang gedung, dan dengan hati-hati Han
Han mencari jalan untuk lari minggat dari situ. Betapapun tertarik hatinya
untuk menyaksikan Ouwyang Seng berlatih dan kalau mungkin dia sendiri menerima
pelajaran dari Setan Botak itu, namun ia masih memilih bebas daripada tekanan
mereka dan dipaksa menjadi pelayan.
Karena kedua kaki Han Han telanjang, ia dapat melangkah secara
hati-hati sekali tanpa mengeluarkan suara dan berhasil melewati kamar-kamar
bujang tanpa membangunkan mereka. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia
mendapat kenyataan bahwa rumah gedung itu terkurung tembok tinggi sekali dan tidak
ada jalan keluar sama sekali kecuali memanjat pintu gerbang atau tembok! Akan
tetapi pintu gerbang pun terlalu tinggi untuknya. Selagi ia termangu bingung,
terdengar suara tertawa.
‘Ho-ho-ha-ha, kau hendak lari ke mana?!
Han Han terkejut dan cepat menengok, akan tetapi keadaan di
sekelilingnya tetap sunyi dan gelap. Tidak tampak bayangan seorang manusia pun,
juga tidak tampak di mana adanya Setan Botak tua yang tadi ia dengar suaranya.
Ia bergidik. Hebat bukan ilmu kesaktian kakek itu. Mungkinkah dapat melihatnya
dari dalam gedung dan dapat mengirim suaranya seperti itu? Karena maklum bahwa
usahanya untuk lari sia-sia belaka dan tak mungkin dapat ia lakukan, Han Han
lalu kembali ke dalam kamarnya dan ia duduk bersila dan bersamadhi seperti yang
pernah dilatihnya di bawah bimbingan Lauw-pangcu.
Setelah Ouwyang Seng bangun, Han Han diajak pergi ke tempat
latihan. Tempat ini dahulunya dijadikan sebuah gudang besar, akan tetapi sejak
Gak Liat tinggal di situ, oleh kakek ini dijadikan semacam lian-bu-thia
(ruangan bermain silat) lengkap dengan dapurnya di mana ia melatih diri dan
muridnya untuk memperkuat Yang-kang dengan bantuan batu-batu bintang. Masih ada
lagi sebuah tempat yang letaknya di belakang gedung dan tempat ini penuh
rahasia. Kalau para pelayan di gedung itu masih diperbolehkan memasuki
lian-bu-thia, maka tidak seorang pun kecuali kakek botak itu sendiri yang boleh
memasuki tempat terlarang di belakang gedung ini. Tempat itu dahulunya menjadi
kebun dari gedung itu, akan tetapi kabarnya sebelum Pangeran Ouwyang membangun
gedung di situ, kebun itu dahulunya sebuah tanah kuburan kuno.
Di tempat inilah Gak Liat secara rahasia menggembleng diri
memperdalam kesaktian karena sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar ia harus
selalu memperdalam ilmu agar jangan sampai kalah oleh datuk lain.
Han Han mendengar semua ini dari Ouwyang Seng. ‘Engkau harus
taat akan perintah suhu kalau kau ingin hidup,! antara lain putera pangeran itu
berkata. ‘Kalau suhu sudah marah dan menghendaki nyawamu, biar ada seribu
orang dewa sekalipun tidak akan dapat menolongmu. Kau ingat baik-baik,
sekali-kali jangan memasuki daerah terlarang di belakang gedung ini karena
siapa saja, termasuk aku sendiri, kalau berani melanggar larangan ini, akan
mati!!
Diam-diam Han Han tidak puas hatinya. Terlalu sekali Setan Botak
itu, demikian pikirnya. Karena ketidak senangan hatinya ia memberi nama Setan
Botak kepada kakek itu. Mudah saja memutuskan mati hidupnya orang lain! Akan
tetapi ia tidak mau banyak cakap. Ia maklum bahwa keadaannya seperti seorang
tahanan, tidak dapat lari dan terpaksa ia harus bekerja di situ. Ia tidak
bodoh, tidak mau nekat memperlihatkan ketidak senangannya karena berada dalam
keadaan tidak berdaya. Aku harus dapat memetik keuntungan sebanyaknya dalam
keadaan seperti ini, pikirnya.
Maka ia lalu membantu pekerjaan di dalam lian-bu-thia seperti yang
diperintahkan Ouwyang Seng. Ia harus mengisi air yang diambilnya dari sumur,
memenuhi sebuah kwali baja yang amat besar dan yang ditaruh di atas perapian.
Juga ia harus memukuli batu-batu bintang sampai menjadi kecil-kecil,
mempergunakan sebuah palu besi. Pekerjaan ini sukar dan meletihkan karena
batu-batu bintang itu cukup keras. Tiap kali beradu dengan palu besi,
mengeluarkan titik-titik api dan kalau mengenai kulit lengan, terasa panas
sekali!
Pecahan batu-batu bintang ini lalu dituangkan ke dalam kwali besar
yang airnya mulai mendidih. Pada saat itu, muncullah Gak Liat dan seperti
biasanya, kemunculannya secara tiba-tiba seperti ia pandai menghilang saja.
Padahal ia dapat muncul seperti itu karena menggunakan gin-kang yang amat
tinggi tingkatnya sehingga gerakannya selain ringan tak terdengar, juga amat
cepat.
‘Suhu, apakah teecu (murid) sudah boleh berlatih dengan batu
bintang?! Ouwyang Seng bertanya.
‘Hemmm...., masih jauh! Kedua lenganmu belum cukup kuat, Kongcu.
Lebih baik kau tekun melatih kedua lenganmu dengan air panas beracun itu. Itu
pun amat berguna, dan kelak kalau tingkatmu sudah cukup kuat, baru akan kulatih
dengan air panas batu bintang. Mulailah, Kongcu. Dan kau, Han Han, air di kwali
besar itu kurang penuh, hayo ambil lagi dan isi sampai penuh, kemudian besarkan
apinya. Batu-batu kecil merah itu harus digodok sampai hancur!!
Dengan muka keruh karena kecewa Ouwyang Seng menghampiri kwali
yang lebih kecil, yang tadi ia tumpangkan di atas perapian kecil di sudut. Air
dalam kwali itu kelihatan menghitam, dan airnya sudah mulai panas akan tetapi
masih belum mendidih. Setelah menggulung kedua lengan bajunya, Ouwyang Seng
memasukkan kedua tangannya ke dalam kwali air hitam, akan tetapi ia menyeringai
kesakitan dan menarik kembali kedua tangannya keluar.
‘Aduh, terlalu panas....!! serunya.
‘Hemmmmm, Kongcu kurang tekun berlatih!! Setan Botak menegur dan
suaranya jelas membayangkan bahwa hatinya tidak puas. ‘Yang begini saja tidak
kuat, apalagi berlatih dengan batu bintang. Masukkan lagi tangan Kongcu ke
dalam kwali itu, jangan ragu-ragu, masukkan!!
Ouwyang Seng memandang ke arah suhunya dengan muka pucat, kemudian
ia menggigit bibirnya dan dengan nekat memasukkan kedua lengannya ke dalam
kwali di depannya. Tubuhnya menggigil dan hampir ia tidak kuat menahan, akan
tetapi tiba-tiba kakek itu mengulur tangan kiri, menyentuh pundaknya dan tubuh
Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, bahkan wajahnya kelihatan tenang.
‘Bantulah dengan hawa dalam tubuh! Kongcu harus dalam keadaan
siulian (samadhi) jika tidak kuat,! suara kakek itu mengomel. Ouwyang Seng lalu
meramkan kedua mata dan mulai mengatur napas mengumpulkan perasaan, mengerahkan
hawa dari dalam pusar dan ketika kakek itu menarik kembali tangannya, Ouwyang
Seng tidak menggigil lagi, wajahnya tenang.
‘Berlatih terus sampai dua hari dua malam, jangan hentikan
kecuali makan, dari ulangi lagi sampai aku kembali dari pertemuan Ho-han-hwe,!
pesan Si Kakek sambil berdiri dan bertolak pinggang.
Han Han yang sejak tadi berdiri memandang dan mendengarkan,
menjadi terheran. Air hitam itu terang amat panas, bahkan sudah mulai menguap,
akan tetapi kini Ouwyang Seng dalam keadaan samadhi mampu menahan dengan kedua
lengannya direndam air panas!
‘Hei, mana airnya? Cepat tambah sampai penuh dan godok batu
bintang sampai hancur. Kalau airnya menguap habis dan batunya masih belum
hancur betul, tambah terus dan godok terus sampai hancur. Mengerti?!
Han Han terkejut dan sadar dari keadaan bengong tadi, cepat-cepat
ia menyambar ember kosong dan lari ke sumur, mengambil air dan menuangkannya ke
dalam kwali besar berisi batu bintang. Kakek itu masih berdiri di situ,
kemudian berkata.
Bab 5
‘Kerjakan penggodokan batu ini sampai hancur, terus besarkan api
sampai aku datang kembali. Awas, kalau aku datang batu-batu ini belum hancur,
kau yang akan aku masukkan ke dalam air ini!!
Setelah mengeluarkan kata-kata ini, tubuh Setan Botak yang tinggi
kurus itu berkelebat dan lenyap dari situ. Han Han sejenak memandang dan
mencari-cari dengan matanya, kemudian melirik ke arah Ouwyang Seng yang masih
duduk bersamadhi dengan kedua lengan direndam air hitam yang panas. Han Han
mengangkat pundak dan melanjutkan pekerjaannya, maklum bahwa ia tidak berdaya
melarikan diri dan terpaksa harus melakukan perintah Setan Botak.
Akan tetapi betapa mendongkol hatinya ketika mendapat kenyataan
bahwa batu-batu bintang itu benar-benar amat sukar dicairkan. Sampai
berkali-kali ia harus menambah air lagi dalam kwali dan menambah kayu perapian
sehingga hawa panas memenuhi ruangan ‘dapur! dari lian-bu-thia ini.
Baiknya ia bekerja kepada Ouwyang Seng, putera pangeran yang amat
dihormat, dan diperhatikan keadaannya oleh para pelayan sehingga pada waktu-waktu
tertentu tidak pernah pelayan lupa untuk mengantar minuman dan makanan. Ouwyang
Seng kelihatan gembira bahwa ia telah memperoleh kemajuan. Kini tanpa bantuan
gurunya, ia sudah dapat bertahan merendam kedua lengannya di air racun yang
panas.
Karena kegembiraannya, ia sering bercerita di waktu mengaso
sehingga Han Han banyak tahu akan keadaan yang aneh di tempat itu dan akan
keadaan Setan Botak yang amat luar biasa itu. Diam-diam di dalam hatinya Han
Han bergidik. Kalau saja ia tahu sebelumnya, tentu ia tidak akan membawa Setan
Botak itu kepada sarang Pek-lian Kai-pang! Bergidik ia teringat betapa
banyaknya manusia menjadi korban kekejaman Si Setan Botak ini.
Menurut penuturan Ouwyang Seng yang sesungguhnya tidak banyak
pengetahuannya tentang keadaan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sebagaimana yang ia
ceritakan penuh kebanggaan kepada Han Han, kakek itu adalah tokoh terbesar di
antara Lima Datuk Besar yang pada saat itu menguasai dunia kang-ouw golongan
hitam. Merupakan tokoh yang amat terkenal karena ilmunya yang mengerikan, yaitu
Hwi-yang-sin-ciang, dan sudah banyak jasanya terhadap Pemerintah Mancu karena
ketika barisan Mancu menyerbu ke selatan, kakek inilah seorang di antara
tokoh-tokoh sakti yang melancarkan jalan dengan merobohkan pejuang-pejuang yang
memiliki kesaktian.
‘Menurut kata Ayahku, Pangeran Ouwyang Cin Kok, ilmu kepandaian
suhu tidak ada lawannya di kolong langit ini, maka aku disuruh menjadi
muridnya. Kau lihat sendiri, betapa hebat ilmunya. Dan aku.... aku sudah mulai
dapat menggembleng kedua lenganku agar kelak menjadi jago nomor satu di dunia,
setelah suhu.!
Han Han amat tertarik. Belum pernah ia mendengar tentang ilmu
kesaktian yang aneh-aneh, sungguhpun sudah banyak ia membaca cerita tentang
orang-orang sakti di jaman dahulu. Kini ia tidak saja mendengar, bahkan ia
menyaksikan dengan mata sendiri.
‘Kongcu, tadi gurumu mengatakan telah mengenal Kakekku dan
menyebut Kakekku Jai-hwa-sian, apakah kau pernah mendengar tentang Kakekku itu?!
Ouwyang Seng menggeleng kepala. ‘Aku belum pernah mendengar nama
itu. Mungkin para suheng (Kakak Seperguruan Laki-laki) atau suci (Kakak
Seperguruan Perempuan) pernah mendengar dan mengetahuinya. Kelak akan
kutanyakan mereka.!
‘Ah, jadi Kongcu masih mempunyai suheng dan suci?!
Ouwyang Seng mengacungkan jempolnya. ‘Tentu saja, dan mereka pun
hebat! Aku mempunyai dua orang suheng dan seorang suci, dan kepandaian mereka
saja sudah cukup menggegerkan dunia dan tidak ada lawannya. Akan tetapi menurut
suhu, kalau aku tekun belajar, aku akan lebih lihai daripada mereka!!
Han Han dapat menduga bahwa putera pangeran ini sedang bersombong,
maka ia tidak begitu mengacuhkannya. Pikirannya sendiri bekerja dan ia amat
tertarik untuk mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, bukan sekali-kaii karena ia
ingin menggunakannya untuk berkelahi memukul apalagi membunuh orang, melainkan
keanehan ilmu-ilmu itulah yang menarik hatinya.
Ingin ia mengetahui rahasianya. Ketika ia menuangkan air tadi, ada
air dari kwali, air yang mendidih dan berwarna agak merah, memercik ke atas dan
setetes air mengenai lengannya. Kulit lengannya terasa panas sekali dan
melepuh. Hal ini adalah wajar, akan tetapi mengapa Ouwyang Seng dapat merendam
kedua lengannya di air panas tanpa terluka?
‘Kau lanjutkan pekerjaanmu menggodok batu bintang sampai hancur
mencair, Han Han. Jangan sampai gagal dan jangan menggangguku. Ingat lagi, tak
boleh sekali-kali kau keluar dari lian-bu-thia ini, apalagi berkeliaran di
daerah terlarang di belakang gedung. Kalau melanggar, engkau akan mati dalam
keadaan mengerikan!!
Sudah menjadi watak Han Han, juga mungkin watak sebagian besar
anak-anak, makin terlarang makin ingin tahu.
‘Ada apanya sih di daerah terlarang itu, Kongcu?!
‘Hush! Mana aku tahu? Di situ tempat suhu bersamadhi dan melatih
ilmu, tidak ada yang boleh masuk. Aku pun baru tiga kali diperkenankan masuk
dan keadaannya mengerikan dan menyeramkan! Ada tengkorak-tengkorak hidup....
hihhh.... ada setan-setannya di situ. Akan tetapi, suhu menguasai setan-setan
itu semua yang membantunya memperdalam ilmu-ilmunya.!
Han Han merasa seram juga, akan tetapi diam-diam ia makin tertarik
dan ingin sekali menjenguk daerah terlarang. Namun tentu saja hai ini hanya ia
simpan dalam hati dan karena melihat Ouwyang Seng sudah tekun bersamadhi dan
berlatih, ia pun lalu duduk bersila di depan perapian menjaga godokan batu
bintang.
***
Ho-han-hwe (Perkumpulan Kaum Patriot) adalah sebuah perkumpulan
orang-orang gagah yang menentang pemerintah penjajah Mancu, terdiri dari
tokoh-tokoh kang-ouw yang kemudian di dunia kang-ouw sendiri dikenal dengan
golongan putih atau kaum bersih sebagai tandingan dari mereka yang mendukung
pemerintah penjajah yang mereka namai golongan hitam atau kaum sesat!
Di mana-mana ada Ho-han-hwe ini, namun tidak pernah ada tempat
atau markasnya tertentu karena tentu saja perkumpulan ini merupakan perkumpulan
rahasia yang oleh pemerintah Mancu dicap sebagai pemberontak. Setiap saat dapat
saja diadakan pertemuan rahasia antara tokoh-tokoh patriot ini yang secara
diam-diam selalu mengadakan hubungan satu dengan yang lain.
Kang-lam Sam-eng Si Tiga Pendekar Kang-lam merupakan tokoh-tokoh
bersemangat dari Ho-han-hwe. Tiga orang murid Siauw-lim-pai inilah yang
memelopori pertemuan antara orang gagah di Tiong-kwan yang menjadi pusat dari
Pek-lian Kai-pang. Tentu saja Pek-lian Kai-pang merupakan sepaham atau sahabat
karena perkumpulan pengemis di bawah pimpinan Lauw-pangcu ini menjadi anak buah
musuh Mancu di barat, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi.
Akan tetapi, tiga hari sebelum pertemuan penting ini diadakan,
terjadilah malapetaka menimpa Pek-lian Kai-pang sehingga hampir seluruh
anggauta perkumpulan pengemis pejuang ini terbasmi habis oleh datuk hitam Gak
Liat, bahkan Lauw-pangcu sendiri terluka, juga Kang-lam Sam-eng yang tadinya
datang mengunjungi sahabat mereka ikut pula mengalami nasib malang. Khu Cen
Tiam dan Liem Sian terluka dan Bhok Khim Si Pedang Cantik malah tertawan oleh
Setan Botak yang lihai luar biasa itu. Semua ini masih ditambah lagi dengan
terpecahnya rahasia pertemuan Ho-han-hwe sehingga kini pertemuan itu terancam
oleh hadirnya Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Peristiwa ini yang segera terdengar oleh kaum bersih, membuat
mereka sibuk sekali membuat persiapan. Nama besar Gak Liat sudah dikenal mereka
semua, sungguhpun belum pernah ada yang bertemu, apalagi bertanding melawan
datuk hitam itu. Mereka sibuk mengundang tokoh-tokoh besar dari golongan putih,
namun tak seorang pun yang merasa akan sanggup menandingi kesaktian Setan Botak.
Akhirnya, hati mereka lega, ketika Khu Cen Tiam dan Liem Sian
berhasil mengundang Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pendekar Pedang Siauw-lim-pai)
yang masih terhitung paman-paman guru Kang-lam Sam-eng, atau murid-murid dari
Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Agaknya hanya Siauw-lim Chit-kiam ini
sajalah yang akan sanggup menandingi musuh itu.
Selain Siauw-lim Chit-kiam yang diundang datang oleh Khu Cen Tiam
dan Liem Sian, juga ada beberapa orang tokoh undangan lain sehingga kedudukan
Ho-han-hwe yang diadakan di Tiong-kwan itu cukup kuat. Namun mereka itu telah
mengatur siasat dan rencana, karena khawatir kalau-kalau yang muncul bukan
hanya Setan Botak sendiri dan siapa tahu kalau-kalau di belakang Setan Botak
ini terdapat pasukan pemerintah penjajah yang akan membasmi mereka.
Demikianlah, pada hari yang ditetapkan, semua orang gagah
berkumpul dengan hati berdebar, dalam suasana penuh ketegangan. Mereka memilih
tempat di sebuah kuil tua, yaitu sebuah kuil di luar kota Tiong-kwan sebelah
barat. Kuil ini selain sudah tua tidak terpakai lagi, juga memiliki pekarangan
yang luas dan jauh dari tetangga, letaknya sunyi dan dari tempat itu akan mudah
diketahui kalau ada pihak musuh datang menyerang.
Semenjak pagi, sudah banyak anggauta-anggauta Ho-han-hwe yang
berdatangan. Sambungan pundak Liem Sian yang terlepas telah dapat disambung
kembali, dan lengan Khu Cen Tiam juga sudah diobati dan masih terbalut. Semua
ini dapat dilakukan berkat ilmu pengobatan yang tinggi dari seorang di antara
Siauw-lim Chit-kiam. Namun tentu saja kedua orang ini masih harus beristirahat
dan tidak mungkin dapat menghadapi dan ikut dalam pertandingan melawan musuh
pandai.
Ada tiga puluh orang lebih yang berkumpul, kesemuanya merupakan
tokoh-tokoh yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi yang menjadi pusat
perhatian, juga menjadi pusat harapan mereka, adalah Siauw-lim Chit-kiam yang
rata-rata berusia lima puluhan tahun dan bersikap tenang sekali, ditambah lagi
dua orang tokoh undangan lain yang namanya tidak kalah tenarnya dari Siauw-lim
Chit-kiam.
Mereka ini adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam
dan seorang lagi kakek kurus kering bermuka pucat. Laki-laki tinggi besar itu
bernama Giam Ki, akan tetapi lebih terkenal dengan julukan Ban-kin Hek-gu
(Kerbau Hitam Selaksa Kati). Dari julukannya ini saja mudah diduga bahwa
laki-laki tinggi besar berusia empat puluhan tahun ini selain memiliki ilmu
silat Bu-tong-pai yang lihai, juga memiliki tenaga yang dahsyat.
Adapun laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kecil tubuhnya
dan bermuka pucat itu amat terkenal dengan julukannya It-ci Sin-mo (Iblis
Berjari Sakti) dan bernama Tan Sun. Kalau Giam Ki terkenal dengan tenaga luar
yang dahsyat, adalah Tan Sun ini terkenal sebagai ahli lwee-keh (tenaga dalam)
yang amat pandai mempergunakan jari tangan untuk melakukan ilmu tiam-hiat-hoat
(menotok jalan darah).
Akan tetapi berbeda dengan sikap Siauw-lim Chit-kiam yang tenang
dan diam, kedua orang ini agak sombong dan berlagak memandang rendah ancaman
Kang-thouw-kwi Gak Liat! Sikap ini hanya mendatangkan perasaan lega dan percaya
di antara golongan muda yang hadir di Ho-han-hwe itu, akan tetapi bagi mereka
yang lebih tua, bahkan menimbulkan kekhawatiran dan keraguan.
‘Mengapa khawatir menghadapi Si Setan Botak?! Demikian antara lain
Ban-kin Hek-gu berkata sambil mengangkat dadanya yang lebar dan kuat. ‘Kita
sekalian hanya baru mendengar namanya sebagai seorang di antara Lima Datuk
Hitam! Tak perlu gelisah! Macam datuk-datuk hitam yang berkecimpung di dunia
kemaksiatan, mana mungkin bisa memiliki kesaktian tulen? Kalau dia datang,
biarlah aku yang maju menghadapinya!!
Karena semua orang maklum bahwa Si Kulit Hitam tinggi besar ini
memang berkepandaian tinggi dan lihai sekali, mereka tidak mau membantah,
apalagi mereka semua sedang dalam suasana berkabung. Sebuah meja sembahyang
besar dipasang di tengah ruangan dan mereka tadi satu demi satu telah melakukan
sembahyang untuk mengenang dan menghormat kematian teman-teman mereka, yaitu
anggauta-anggauta Pek-lian Kai-pang yang telah dibasmi oleh Setan Botak secara
mengerikan.
‘Kami percaya akan kemampuan Giam-taihiap dan amat mengharapkan
bantuan taihiap yang berharga,! kata pula Khu Cen Tiam tenang. ‘Akan tetapi
kami harap sukalah Giam-taihiap dan semua saudara-saudara yang lain
berhati-hati sekali. Setan Botak itu benar-benar amat lihai dan kesaktiannya
dahsyat sekali. Kita telah mengatur rencana dan siasat, apabila dia datang dan
tak dapat dilawan, kita harus mengandalkan tenaga bantuan ke tujuh orang susiok
(Paman Guru) kami untuk menghadapinya.! Sambil berkata demikian, Khu Cen Tiam
memandang ke arah tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang duduk diam dan sejak
tadi tidak berkata-kata, hanya mendengarkan dengan sikap tenang.
Seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam yang tertua, kakek
berjenggot putih panjang berpemandangan tajam dan bernama Song Kai Sin, berkata
dengan suara halus dan tenang.
‘Kami bukanlah anggauta-anggauta Ho-han-hwe dan kami datang
memenuhi undangan murid-murid keponakan kami hanya karena seorang keponakan
perempuan kami ditawan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Meman, Gak Liat amat keji
dan jahat, sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya, apalagi kalau Bhok
Khim dia ganggu. Akan tetapi, dia amat sakti, sungguhpun kami sendiri belum
pernah melawannya, namun menurut perhitungan kami, hanya kalau kami bertujuh
maju bersama, mungkin baru dapat menahannya.
Kalau sudah terjadi demikian, hendaknya rencana diteruskan dan
jangan pedulikan kami. Kami Siauw-lim Chit-kiam sekali turun tangan memenuhi
kewajiban, sudah rela dan siap untuk mengorbankan nyawa untuk membersihkan
dunia dari tangan kotor seorang di antara Lima Datuk Hitam.!
Setelah bicara demikian, Song Kai Sin kembali menundukkan mukanya
dan bersamadhi seperti enam orang saudara seperguruannya. Ketika orang
memperhatikan, kiranya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini sejak tadi
bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga dan diam-diam mereka sedang meyakinkan
latihan untuk menyatukan semangat dan sin-kang mereka. Untuk menghadapi seorang
tokoh besar seperti Setan Botak, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini yang sudah
maklum akan kelihaian lawan, tanpa banyak cakap telah berlatih dan bersiap-siap.
Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang hadir pula dalam
pertemuan ini, telah mendapat pengobatan pula dari lukanya di sebelah dalam
tubuh akibat pukulan jarak jauh Setan Botak. Wajah ketua Pek-lian Kai-pang ini
pucat sekali dan tubuhnya masih lemah, namun semangatnya sama sekali tidaklah
lemah, bahkan berkobar-kobar karena ia merasa sakit hati terhadap Setan Botak
atas kematian hampir seluruh anggauta Pek-lian Kai-pang.
Setelah membawa puterinya, Sin Lian, ke rumah seorang sahabatnya
di Tiong-kwan, menitipkan anak itu dan memesan kepada Sin Lian agar jangan
keluar dari rumah, ia sebagai seorang terpenting dalam Ho-han-hwe itu lalu
mengatur persiapan bersama Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka semua telah
bersepakat menjalankan siasat, yaitu dengan cara apa pun harus dapat mereka
tewaskan Si Setan Botak, kalau mungkin dalam pertandingan, kalau tidak mungkin,
telah disediakan cara untuk membakar Setan Botak hidup-hidup di dalam kuil tua!
Setelah semua hadir, pertemuan itu dibuka oleh Lauw-pangcu yang
membicarakan tentang usaha perlawanan Raja Muda Bu Sam Kwi di wilayah barat
untuk menentang pemerintah penjajah bangsa Mancu. Kemudian ia menceritakan pula
malapetaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang dan dengan suara pilu bercampur sesal
hebat ia menambahkan.
‘Kalau saya merenungkan betapa malapetaka ini didatangkan
oleh.... murid saya sendiri.... sungguh perih sekali perasaan hatiku....!
Tak tertahankan lagi, Lauw-pangcu yang sudah tua ini menitikkan
air mata. Ia merasa menyesal bukan main telah bertemu Sie Han dan mengambil
anak itu sebagai murid. Lebih-lebih perih rasa hatinya betapa muridnya itu
membawa datang Si Setan Botak, bahkan membawakan buntalan yang isinya lima buah
kepala pembantu-pembantunya!
Kenangan ini mendatangkan kemarahan luar biasa dan biarpun lukanya
masih belum sembuh benar, ia menggerakkan tangan menghantam remuk sisa arca
batu di sampingnya sambil berkata,
‘Selama hidup aku takkan melupakan murid murtad yang bernama Sie
Han itu! Sekali waktu tentu akan kubalas dendam ini!! Napasnya terengah dan ia
menyambung, ‘Mohon bantuan para saudara untuk kelak menangkap murid ini dan
menyerahkannya kepada saya.! Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu muntahkan
darah segar. Song Kai Sin, orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam, berkata
tenang.
‘Lauw-pangcu, seorang gagah dapat menerima segala keadaan,
betapapun buruknya, dengan penuh kesabaran dan ketenangan. Keluh-kesah dan
kesedihan tiada gunanya, hanya akan melemahkan semangat dan badan.! Kemudian ia
bangkit berdiri, menghampiri Lauw-pangcu dan menggunakan dua jari tangan
kirinya menotok jalan darah di punggung ketua Pek-lian Kai-pang yang akhirnya
menjadi tenang kembali.
Akan tetapi ucapan kakek ini telah membangkitkan amarah di hati
para orang gagah yang hadir dan diam-diam mereka ini pun membenci Sie Han,
apalagi Khu Cen Tiam dan Liem Sian dua orang murid Siauw-lim-pai itu yang
menganggap bahwa hilangnya sumoi mereka adalah gara-gara murid murtad itu pula.
Kalau murid murtad Lauw-pangcu tidak berkhianat, tentu Setan Botak tidak akan
datang dan sumoi mereka tidak akan terculik.
Para anggauta Ho-han-hwe itu lalu saling menceritakan hasil
perjuangan mereka menentang penjajah dan mengatur siasat untuk melakukan
gerakan-gerakan selanjutnya.
Ada yang mengusulkan agar mereka itu menculik anak-anak para
pembesar Mancu sehingga selain hal ini merupakan pukulan batin bagi para
pembesar penjajah, juga dapat mereka pergunakan untuk membebaskan teman-teman
seperjuangan yang ditawan. Usul ini diterima, bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun dan
Ban-kin Hek-gu Giam Ki masing-masing berjanji untuk menculik anak pembesar yang
paling tinggi kekuasaannya, kalau mungkin malah akan menculik putera Raja Mancu!
Kesanggupan kedua orang sakti ini tentu saja disambut gembira. Di
antara mereka yang hadir dan membicarakan semua rencana perlawanan dengan
bermacam cara terhadap penjajah ini, hanya Siauw-lim Chit-kiam saja yang tidak
mencampuri dan mereka tetap bersamadhi sambil melatih diri untuk menghadapi
Setan Botak yang mereka tahu amatlah lihainya.
Akan tetapi, sehari itu mereka menanti-nanti, Setan Botak belum
juga tampak muncul. Menjelang senja, tiba-tiba dari luar menyambar sebatang
piauw beronce merah ke arah Khu Cen Tiam. Pendekar Siauw-lim-pai ini cepat
mengulurkan tangan dan menyambar piauw itu sambil berseru heran karena ia
mengenal piauw ini sebagai senjata rahasia sumoinya. Juga Liem Sian
mengenalnya, maka pendekar ke dua dari Kang-lam Sam-eng ini sudah melesat
tubuhnya keluar dari kuil tua dan terdengar suaranya di luar kuil.
‘Sumoi....!!
Akan tetapi, tak lama kemudian Liem Sian kembali ke dalam kuil
dengan wajah muram dan pandang mata heran.
‘Dia benar sumoi, akan tetapi sudah pergi jauh.! Ucapan ini ia
tujukan kepada suhengnya.
Khu Cen Tiam menarik napas panjang.
‘Biarlah, memang dia tidak ingin datang ke sini, buktinya ini
dia mengirim surat dengan piauwnya. Betapapun juga, dia selamat, sute, dan kita
boleh bersyukur karenanya.!
Akan tetapi setelah Khu Cen Tiam membuka surat yang terikat pada
piauw tadi, keningnya berkerut dan ia menoleh ke arah Siauw-lim Chit-kiam yang
masih bersamadhi.
‘Susiok, teecu persilakan membaca surat sumoi,! bisik Khu Cen
Tiam kepada Song Kai Sin.
Kakek ini membuka mata memandang, lalu dengan tenang mengulur
tangan menerima surat dan dibacanya. Wajahnya masih tenang, namun pandang
matanya mengandung sinar kilat, lalu menyerahkan surat itu kepada hwesio gendut
di sebelahnya, orang ke dua dari Siauw-lim Chit-kiam. Hwesio ini menerima
surat, membaca dan bibirnya bergerak,
‘Omitohud....!! lalu menyerahkan surat itu kepada orang ke tiga.
Sebentar saja surat itu beralih tangan dan Siauw-lim Chit-kiam sudah membaca
semua. Yang terakhir dari ketujuh orang tokoh Siaiw-lim-pai ini adalah seorang
kakek kurus bermuka merah. Setelah membaca surat itu, bibirnya mengeluarkan
suara mendesis seperti ular dan surat yang dikepalnya itu hancur menjadi bubuk
ketika ia membuka kembali tangannya!
Kemarahannya membuat kakek ini lupa diri dan kekuatan yang ia
perlihatkan sungguh dahsyat. Mengepal hancur benda keras bukanlah hal yang amat
mengagumkan, akan tetapi mengepal benda lemas seperti kertas sampai hancur
membubuk, benar-benar tidaklah mudah dilakukan oleh sembarang ahli!
‘Chit-te (Adik ke Tujuh), simpan tenagamu untuk menghadapi lawan
tangguh, bukan diumbar dan habis dihisap kemarahan,! kata pula Song Kai Sin
dengan nada menegur. Orang ke tujuh yang bernama Liong Ki Tek ini menghela
napas panjang dan segera meramkan mata kembali.
Apakah bunyi surat yang dikirim secara aneh oleh Bhok Khim itu?
Bunyinya pendek saja namun isinya difahami oleh dua orang suhengnya dan tujuh
orang susioknya.
Kedua Suheng,
Perbuatan keji biadab Kang-thouw-kwi memaksa aku tidak ada muka
untuk bertemu dengan orang lain, memaksa aku pergi mengurung diri ke dalam
‘kamar siksa diri! di kuil. Kalau suheng berdua dapat menewaskannya,
syukurlah. Kalau tidak, aku akan memperdalam ilmu dan kelak aku sendiri yang
akan menghancurkan kepalanya.
Bhok Khim.
Tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu diam-diam mengeluh dan
menangis dalam hati. Mereka tahu bahwa murid wanita Siauw-lim-pai itu telah
diperhina oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat dan mereka tahu bahwa mengurung diri ke
dalam ‘kamar siksa diri! merupakan perbuatan nekat seperti orang membunuh
diri.
‘Siauw-lim Chit-kiam akan mengadu nyawa dengan
Kang-thouw-kwi....!! Tiba-tiba Song Kai Sin berseru keras ke arah luar kuil.
Semua orang terkejut dan ketika mereka memandang keluar, ternyata
Kang-thouw-kwi Gak Liat sudah tampak berdiri di luar kuil bersama dua orang
lain yang kelihatan amat menarik karena perbedaan muka mereka. Yang seorang
bertubuh tinggi besar bermuka hitam seperti pantat kwali, adapun yang seorang
lagi bertubuh pendek kurus bermuka putih seperti kapur! Akan tetapi mereka yang
mengenal dua orang ini maklum bahwa dua orang yang menemani Si Setan Botak ini
bukanlah sembarang orang, melainkan tokoh-tokoh hitam yang amat terkenal, yaitu
kakak beradik yang terkenal dengan julukan Hek-pek Giam-ong (Raja Maut Hitam
Putih)!
Mereka ini adalah murid-murid Si Setan Botak. Masih ada seorang
lagi murid Si Setan Botak, yaitu seorang murid wanita yang bernama Ma Su Nio,
berjuluk Hiat-ciang Sian-li (Dewi Bertangan Darah) yang kabarnya malah lebih
lihai daripada Hek-pek Giam-ong dan lebih kejam daripada gurunya. Akan tetapi
iblis wanita itu tidak nampak hadir.
‘Hah-ha-ha-ha-ha!! Terdengar Si Setan Botak tertawa, akan tetapi
tidak mengeluarkan kata-kata, hanya tertawa dengan nada mengejek. Yang membuka
mulut bicara adalah Hek-giam-ong, muridnya yang bermuka hitam. Hek-giam-ong
melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring sekali.
‘Bukankah Siauw-lim Chit-kiam murid-murid Ceng San Hwesio? Sejak
kapankah murid-murid Ceng San Hwesio bersekutu dengan para pemberontak?!
‘Sejak iblis-iblis macam kalian membantu penjajah Mancu!! bentak
Ban-kin Hek-gu Giam Ki yang suaranya lebih menggeledek dari suara Si Muka
Hitam. ‘Kalau kalian berani, masuklah ke dalam kuil, di sini lega dan memang
sudah disediakan untuk kita bertanding mengadu ilmu!!
Tantangan Ban-kin Hek-gu Giam Ki ini bukan sekedar karena wataknya
yang keras dan kasar, melainkan menurut rencana Ho-han-hwe untuk memancing
musuh yang tangguh ke dalam kuil.
‘Hah-ha-ha-ha-ha!! Si Setan Botak makin keras tertawa dan ia
melangkah memasuki kuil, diikuti oleh dua orang muridnya yang kelihatan agak
ragu-ragu. Hek-pek Giam-ong maklum betapa berbahaya memasuki ‘sarang! musuh,
akan tetapi karena di situ ada guru mereka, dan melihat guru mereka sudah memasuki
kuil, tentu saja mereka berbesar hati dan melangkah masuk sambil mengangkat
dada.
Suara ketawa Si Setan Botak makin nyaring dan biarpun mereka
bertiga sudah tiba di ruangan kuil yang luas, kakek botak ini masih tertawa
terus, makin lama makin keras dan terkejutlah mereka semua yang hadir karena
tubuh mereka tergetar hebat oleh suara ketawa yang mengandung tenaga khi-kang
amat luar biasa ini. Hanya mereka yang sudah tinggi tingkat sin-kangnya saja
yang tidak terpengaruh, hanya tergetar dan masih mampu mengatasi getaran hebat
ini.
Siauw-lim Chit-kiam, kedua Kang-lam Sam-eng, Lauw-pangcu, Ban-kin
Hek-gu dan It-ci Sin-mo yang masih dapat bertahan, sungguhpun mereka ini
diam-diam harus mengerahkan sin-kang untuk melawan suara ketawa itu. Beberapa
orang anggauta Ho-han-hwe juga masih mampu melawan sambil cepat duduk bersila,
akan tetapi belasan orang lain yang tingkat tenaga sin-kang mereka masih kurang
kuat, sudah terjungkal dan cepat-cepat merangkak lalu berlari menjauhi ruangan
itu ke sebelah belakang kuil sambil menutupi telinga mereka! Kalau mereka tidak
cepat pergi dan menutupi telinga, mereka akan mati oleh suara ketawa itu yang
mengguncangkan jantung!
Melihat ini, Ban-kin Hek-gu Giam Ki yang berwatak keras berangasan
menjadi marah sekali. Ia seorang ahli silat tinggi dan tentu saja maklum bahwa
Setan Botak itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, mengerti bahwa orang
yang telah pandai mempergunakan khi-kang dalam suaranya untuk menyerang lawan
dengan Ilmu Ho-kang seperti auman suara harimau, adalah seorang sakti yang
sukar dikalahkan. Akan tetapi, selain kasar dan keras, Ban-kin Hek-gu ini juga
terkenal tidak pernah takut menghadapi siapapun juga. Dengan kemarahan
memuncak, keberaniannya bertambah dan ia menerjang maju menyerang Si Setan
Botak sambil berseru.
‘Setan Botak! Jangan menjual lagak di depan Ban-kin Hek-gu!!
Ban-kin Hek-gu bertenaga besar dan kini menyerang dengan penuh
kemarahan, maka pukulan tangan kanannya yang dikepal mengarah kepala
Kang-thouw-kwi Gak Liat amatlah dahsyatnya. Pukulan belum tiba anginnya sudah
menyambar hebat. Akan tetapi kakek botak itu tenang-tenang saja, masih tertawa
lebar sungguhpun sudah tidak mengeluarkan suara lagi. Setelah kepalan tangan
yang besar itu menyambar dekat, hanya tinggal sepuluh sentimeter lagi dari
dahinya, kakek ini mengangkat tangan kirinya dan menerima kepalan tangan
Ban-kin Hek-gu dengan telapak tangan.
‘Plakkk!!
Si Kerbau Hitam itu terkejut bukan main karena merasa betapa
telapak tangan Setan Botak itu lunak dan panas seperti air mendidih, di mana
tenaganya sendiri seperti tenggelam. Cepat ia menarik tangannya, akan tetapi
kepalan itu melekat pada telapak tangan Setan Botak yang tertawa-tawa. Ban-kin
Hek-gu Giam Ki meronta-ronta dan rasa panas dari telapak tangan itu menerobos
lengannya, membuat tubuhnya mandi keringat dan mukanya yang hitam berubah makin
hitam.
‘Ha-ha-ha, siapa yang berlagak?! Kang-thouw-kwi Gak Liat
tertawa. ‘Pergilah, kau tidak berharga untuk bertanding melawan aku!! Sekali
kakek botak itu mendorongkan lengannya, Ban-kin Hek-gu Giam Ki terlempar ke
belakang dan jatuh bergulingan. Akan tetapi dia memang bandel dan berani. Cepat
ia meloncat bangun lagi dan memaki.
‘Siluman botak! Hayo bertanding menggunakan ilmu silat, jangan
menggunakan ilmu siluman! Aku masih dapat berdiri, sebelum mati aku Giam Ki
tidak sudi mengaku kalah terhadapmu!!
‘Phuahhh, sombongnya!! Hek-giam-ong yang juga bermuka hitam dan
sama tinggi besarnya dengan Giam Ki sudah melompat maju dan bertolak pinggang.
‘Engkau ini berjuluk Kerbau Hitam, memang otakmu seperti otak kerbau! Suhuku
telah berlaku lunak terhadapmu, akan tetapi kau masih banyak lagak. Kerbau
macam engkau ini tidak perlu suhu melayaninya, cukup dengan aku yang akan
mencabut nyawa kerbaumu!!
‘Bagus! Memang hendak kubasmi sampai ke akar-akarnya, baik guru
maupun murid harus dibasmi agar jangan mengotori dunia!! Ban-kin Hek-gu Giam Ki
sudah menerjang maju dengan kepalannya yang besar. Akan tetapi sekali ini ia
bertemu tanding, sama tinggi besar dan karenanya suka mempergunakan tenaga
kasar. Dengan ilmu Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) ditambah
tenaganya yang besar, dia benar amat lihai. Melihat datangnya pukulan Giam Ki,
ia tidak mengelak melainkan menangkis dengan lengannya.
‘Dukkk!! Dua buah lengan yang besar dan kuat bertumbuk dan
keduanya terpental ke belakang. Tenaga mereka seimbang, akan tetapi
Hek-giam-ong menang dalam hal ‘isi! lengannya yang mengandung hawa panas.
Giam Ki merasa betapa lengannya panas akan tetapi ia maju terus dan ternyata
bahwa gerakan tubuhnya lebih cepat daripada gerakan Hek-giam-ong. Dengan
kemenangan ini ia bisa menutup kekalahannya dalam hal ilmu pukulan Hwi-ciang.
Segera terdengar suara bak-bik-buk dan dak-duk-dak-duk ketika dua
orang raksasa ini saling gebuk. Mereka ini selain bertenaga besar, juga
memiliki kekebalan sehingga pukulan yang tidak tepat kenanya, tidak cukup
merobohkan mereka. Akan tetapi terjadi perubahan aneh pada diri Ban-kin Hek-gu
Ciam Ki sehingga membuat teman-temannya yang tentu saja menjagoinya menjadi
heran dan juga gelisah. Kini raksasa tinggi besar hitam ini sering
mempergunakan kedua tangannya bukan untuk menyerang lawan, melainkan untuk
menggaruk-garuk seluruh bagian tubuhnya!
Karena diseling dengan garuk sana garuk sini, pertandingan menjadi
kacau karena ternyata gerakan-gerakan menggaruk ini malah membingungkan
Hek-giam-ong. Raja Maut Hitam ini sudah mengirim pukulan Toat-beng Hwi-ciang ke
arah dada lawan. Ketika melihat tangan kiri Giam Ki bergerak menuju ke dada,
Hek-giam-ong menarik kembali pukulannya karena takut lengannya dicengkeram.
Akan tetapi ternyata bahwa Giam Ki menggerakkan tangan itu bukan untuk
mencengkeram tangan lawan, melainkan untuk menggaruk-garuk keras dadanya.
Kemudian Giam Ki berseru aneh dan membawa tangan kanannya ke atas
seperti hendak menyerang dari bagian atas. Melihat ini, Hek-giam-ong cepat
mengelak, akan tetapi kembali ia kecelik karena tangan kanan yang bergerak ke
atas itu kini menggaruk-garuk kepala!
Kejadian-kejadian ini aneh dan lucu sekali, juga menegangkan dan
mendatangkan kekecewaan bagi para teman kedua pihak. Hek-giam-ong menjadi
marah, merasa seolah-olah ia dipermainkan, maka ia menerjang lagi dengan
gerakan dahsyat.
Giam Ki yang diam-diam mengeluh di hatinya karena secara tiba-tiba
tubuhnya diserang penyakit gatal yang tak tertahankan, cepat menangkis dan
kembali pertemuan dua lengan yang kuat itu membuat mereka terpental mundur.
Giam Ki meloncat maju lagi, kini menggerakkan tangan kiri ke atas. Hek-giam-ong
meragu. Hendak memukul ataukah hendak garuk-garuk tangan itu?
Akan tetapi ia tidak mau menanggung resiko dan cepat menggerakkan
kedua tangan ke atas, maksudnya kalau lawan memukul benar-benar, ia akan
menangkap lengan itu dan akan mematahkannya, kalau hanya garuk-garuk, ia akan
mencengkeram kepala lawan.
Dan ternyata tangan kiri Giam Ki itu kembali hanya menggaruk
kepala, akan tetapi kepalan kanannya sudah menonjok ke depan. Gerakan ini sama
sekali tidak tersangka oleh Hek-giam-ong sehingga dadanya tertonjok.
‘Bukkk!! Tubuh Hek-giam-ong terjengkang dan bergulingan di atas
tanah.
Dadanya ampek, napasnya sesak dan setelah terbatuk-batuk, barulah
ia meloncat bangun dan menghadapi lawannya dengan mata merah. Akan tetapi Giam
Ki tidak peduli dan masih terus garuk-garuk.
‘Kau masih belum mampus?! bentaknya dan kembali ia menerjang.
Memang gerakan Giam Ki lebih cekatan daripada Hek-giam-ong. Kembali tangan Giam
Ki diangkat ke atas.
Hek-giam-ong mengejek dengan dengusan marah, ia tidak mau ditipu
lagi dan tahu bahwa lawannya yang agaknya mempunyai penyakit kudis ini tentu
mengangkat tangan untuk menggaruk kepala yang gatal. Maka ia pun tidak mau
mengelak, bahkan cepat melangkah maju dan menonjok dada Giam Ki.
‘Bukkk! Desssss....!! Dua tubuh yang tinggi besar itu
terjengkang dan Ban-kin Hek-gu Giam Ki roboh kelenger (pingsan) karena
tertonjok dadanya sehingga napasnya menjadi sesak, akan tetapi di lain pihak,
Hek-giam-ong tadi pun kecelik karena sekali ini Giam Ki mengangkat tangan bukan
untuk garuk-garuk lagi melainkan untuk memukul sehingga dalam saat yang
bersamaan, Giam Ki berhasil menghantam pangkal leher Hek-giam-ong dengan tangan
miring. Robohlah Hek-giam-ong dan tidak bergerak-gerak karena ia pun telah
semaput (pingsan)!
Pek-giam-ong sudah menyambar tubuh kakaknya dan ia merasa lega
bahwa kakaknya tidak terluka parah, hanya terguncang oleh kerasnya pukulan. Di
lain pihak, para anggauta Ho-han-hwe telah mengangkat tubuh Ban-kin Hek-gu,
dipimpin oleh Lauw-pangcu. Atas isyarat Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim
Chit-kiang tubuh Giam Ki yang pingsan itu dibawa mendekat. Song Kai Sin cepat
memeriksa dan ia menghela napas panjang.
‘Untung....! kata tokoh Siauw-lim-pai ini. ‘Tadinya ia
keracunan maka ketika bertanding terus diganggu rasa gatal-gatal di tubuhnya.
Tentu ia terkena racun ketika beradu tangan dengan iblis tua itu. Baiknya,
pukulan Hek-giam-ong tadi pun mengandung hawa panas dan pukulan ini malah
membuyarkan pengaruh racun di tubuhnya sehingga nyawanya tertolong.!
Pek-giam-ong yang marah menyaksikan saudaranya terluka, kini
melangkah maju dengan sikap menantang. Akan tetapi ia dibentak gurunya,
‘Mundurlah!! bagaikan seekor anjing dipecut, Pek-giam-ong mundur
dan kembali ia merawat kakaknya. Kini Kang-thouw-kwi Gak Liat melangkah maju,
menyapu semua anggauta Ho-han-hwe dengan pandang mata yang membuat mereka itu
merasa seram, kemudian sambil tersenyum lebar Si Setan Botak ini berkata.
‘Aku sudah datang, siapa di antara anggauta Ho-han-hwe yang
ternyata hanyalah segerombolan pemberontak ingin menyusul para anggauta
Pek-lian Kai-pang?! Suaranya penuh ejekan, akan tetapi matanya menatap ke arah
Siauw-lim Chit-kiam karena hanya tokoh-tokoh Siauw-lim-pai ini sajalah yang
dipandang cukup berharga untuk menjadi lawannya.
It-ci Sin-mo Tan Sun biarpun tubuhnya kecil namun hatinya besar.
Ia maklum akan kelihaian kakek botak ini, namun ia merasa tidak puas kalau ia
tidak turun tangan. Kalah atau mati sekalipun bukan apa-apa bagi seorang
patriot, akan tetapi sungguh hina dan rendah kalau dianggap takut bertemu
dengan lawan tangguh.
‘Kang-thouw-kwi! Engkau bukan saja seorang datuk hitam yang
jahat, juga sekarang malah menjadi pengkhianat bangsa! Aku It-ci Sin-mo Tan Sun
tidak takut kepadamu, jagalah seranganku ini!!
Gerakan It-ci Sin-mo Tan Sun cepat sekali, jauh lebih cepat
daripada gerakan Ban-kin Hek-gu Giam Ki. Tubuhnya melesat ke depan dan kedua
tangannya digerakkan untuk menyerang dengan totokan-totokan maut. Si Setan
Botak tertawa-tawa dan hanya tampak ia menggoyang-goyangkan tubuhnya akan
tetapi aneh, semua totokan It-ci Sin-mo tidak ada satu pun yang menyentuh
kulitnya.
‘Sut-sut-sut-cet-cet....!! Cepat sekali It-ci Sin-mo Tan Sun
melanjutkan totokan-totokannya secara bertubi-tubi, tubuhnya berloncatan
mencari posisi yang baik. Namun, tak pernah ia mampu mengenai tubuh lawan
biarpun kecepatan gerakannya membuat ia berada di belakang tubuh Si Setan
Botak. Padahal Kang-thouw-kwi Gak Liat tak pernah mengubah kedudukan kedua
kakinya, hanya tubuhnya saja yang bergoyang-goyang akan tetapi entah bagaimana
semua serangan lawan tidak ada yang berhasil.
Belasan orang anggauta Ho-han-hwe yang melihat betapa It-ci Sin-mo
seperti dipermainkan, sudah bergerak mengurung hendak mengeroyok Si Setan
Botak. Melihat ini, Pek-giam-ong berteriak keras dan tubuhnya menyambar ke
depan, langsung ia menyerbu dan gegerlah tempat itu dengan jerit-jerit
kesakitan dan robohnya beberapa orang anggauta Ho-han-hwe karena amukan
Pek-giam-ong.
‘Krek-krekkk....!! Setan Botak menggerakkan kedua tangan
menampar lengan lawan dan tubuh It-ci Sin-mo Tan Sun terlempar, kedua tengannya
tergantung lumpuh karena tulang-tulang lengannya telah patah-patah!
‘Huah-ha-ha-ha! Pek-giam-ong, pergilah dan bawa kakakmu pergi!!
Pek-giam-ong yang terkenal berwatak kejam seperti iblis itu kini
merupakan seorang murid yang amat taat. Tanpa berani berlambat sedikit pun ia
lalu meninggalkan para lawan yang tadi mengeroyoknya, menyambar tubuh kakaknya
yang masih pingsan lalu sekali melompat ia lenyap dari tempat itu. Lauw-pangcu
dan kedua orang saudara Kang-lam Sam-eng membiarkannya saja lewat, karena yang
menjadi sasaran untuk dibinasakan adalah Si Setan Botak yang kini hanya seorang
diri saja di dalam kuil.
‘Ha-ha-ha, Siauw-lim Chit-kiam, hanya kalianlah yang patut
main-main denganku. Majulah!!
Lima orang anggauta Ho-han-hwe yang masih penasaran karena
banyaknya kawan mereka yang roboh, masih mencoba untuk menyerang Si Setan Botak
dengan senjata mereka, akan tetapi kini kakek botak itu berseru keras, kedua
tangannya mendorong ke depan dan.... lima orang itu roboh dengan tubuh hangus
dan mati seketika!
Itulah kehebatan ilmu pukulan Hwi-yang-sin-ciang yang sengaja
diperlihatkan oleh Kang-thouw-kwi untuk membikin gentar hati lawan. Memang
semua anggauta Ho-han-hwe menjadi pucat wajahnya melihat kedahsyatan ilmu
kepandaian kakek botak ini, akan tetapi melihat itu, Siauw-lim Chit-kiam
bukannya menjadi gentar, sebaliknya malah menjadi marah sekali.
‘Kang-thouw-kwi, engkau telah berani menghina seorang murid
Siauw-lim-pai. Hari ini kami Siauw-lim Chit-kiam akan mengadu nyawa denganmu!
Beranikah engkau menghadapi gabungan Siauw-lim Chit-kiam?! kata Song Kai Sin
dengan suara tenang namun sinar matanya membayangkan kemarahan.
‘Huah-ha-ha-ha! Siauw-lim Chit-kiam masih terlalu ringan, boleh
ditambah guru kalian. Mana Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai? Boleh datang
membantu kalian, aku masih akan kurang puas. Ha-ha!!
‘Omitohud.... engkau benar-benar tokoh sesat yang sengsara,
Gak-locianpwe,! kata Lui Kong Hwesio orang ke dua dari Siauw-lim Chit-kiam
sambil menggeser duduknya, bersila di sebelah kiri Song Kai Sin.
Kemudian secara berjajar, ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini
duduk bersila, menurutkan urutan tingkat mereka. Dari kanan ke kiri mereka ini
adalah Song Kai Sin, Lui Kong Hwesio, Ui Swan dan adiknya Ui Kiong, Lui Pek
Hwesio, Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek. Sebetulnya, tujuh orang tokoh
Siauw-lim-pai ini merupakan orang-orang berilmu tinggi yang mempunyai
keistimewaan masing-masing. Jika dinilai secara perseorangan, tingkat
masing-masing masih lebih tinggi daripada tingkat Ban-kin Hek-gu Giam Ki atau
bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun.
Akan tetapi, sekali ini, menghadapi seorang di antara Lima Datuk
Besar, yaitu Kang-thouw-kwi Gak Liat yang amat terkenal di antara golongan
sesat sebagai seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, ketujuh orang takoh
Siauw-lim-pai ini tidak berani berlaku sembrono, tidak berani memandang rendah
dan karenanya mereka lalu bergabung untuk mengeluarkan ilmu gabungan mereka
yang paling ampuh, yaitu Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang secara khusus
digubah oleh Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai untuk diajarkan kepada tujuh
orang muridnya.
Chit-seng-sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh Bintang) ini dapat
dimainkan secara perorangan dan sudah merupakan sebuah ilmu pedang yang ampuh,
akan tetapi permainannya tidak akan menjadi lengkap dan utuh kalau tidak
dimainkan secara bergabung oleh tujuh orang itu. Kalau dimainkan secara
bergabung, maka Chit-seng-sin-kiam merupakan sebuah kiam-tin (barisan pedang)
yang sukar dilawan karena amat kuat.
Kang-thouw-kwi Gak Liat memandang dengan wajah berseri. Sudah lama
ia mendengar akan ciptaan ilmu pedang ketua Siauw-lim-pai ini yang disarikan
dari inti ilmu kepandaian Ceng San Hwesio. Kini ia berhadapan dengan kiam-tin
ini, berarti bahwa ia berhadapan dengan Ceng San Hwesio, yang sejak dahulu
merupakan lawan seimbang darinya. Kalau ia bisa menangkan kiam-tin ini, berarti
ia akan dapat menangkan Ceng San Hwesio pula! Ia melihat betapa tujuh orang
murid Siauw-lim-pai itu sudah duduk bersila dengan pedang di tangan kanan,
pandang mata lurus ke depan menatapnya. Bahkan tujuh pasang mata itu
seolah-olah bersatu ketika memandangnya, menimbulkan wibawa yang kuat sekali.
‘Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang aku sudah lama ingin melihat
sampai di mana lihainya Chit-seng-sin-kiam dari Ceng San Hwesio!! Sambil
tertawa, kakek botak ini lalu duduk bersila pula di depan ketujuh orang tokoh
Siauw-lim-pai. Jarak di antara Setan Botak dan tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai
itu ada tiga meter jauhnya, dan kalau tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu semua
bersenjatakan pedang pusaka, adalah Setan Botak ini sambil tersenyum menghadapi
mereka dengan kedua tangan kosong!
Memang datuk hitam ini sombong, akan tetapi kesombongannya
tidaklah kosong belaka. Ia memang amat sakti dan biarpun kakek botak ini
menyimpan sebatang pedang lemas yang ia belitkan di pinggang sebelah dalam
bajunya, namun tidak pernah orang melihat ia mempergunakan senjata dalam
pertempuran. Hal ini berarti bahwa ia masih memandang rendah Siauw-lim
Chit-kiam!
Song Kai Sin dapat menduga sikap lawan, maka ia pun tidak mau
banyak sungkan lagi. Kakek botak ini selain merupakan tokoh sesat yang amat
jahat dan sudah sepatutnya dibasmi, juga telah menghina murid keponakan mereka,
telah mencemarkannya dan berarti mencemarkan kehormatan Siauw-lim-pai pula.
Oleh karena itu, Song Kai Sin dan adik-adik seperguruannya maklum bahwa sekali
ini mereka akan bertanding mati-matian, bukan saja untuk melenyapkan seorang
tokoh sesat yang jahat, juga untuk mempertabankan nama dan kehormatan
Siauw-lim-pai.
‘Sudah siapkah engkau, Kang-thouw-kwi?!
‘Ha-ha, sudah, sudah! Lekas keluarkan Chit-seng-sin-kiam itu!!
jawab Si Botak sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang segera menjadi
kemerahan.
!Lihat pedang!! Song Kai Sin berseru dan pedang di tangannya itu
ia tusukan ke depan. Menurut pendapat dan pandangan umum, biarpun lengan
dilonjorkan ditambah panjangnya pedang, masih belum dapat melewati jarak tiga
meter itu. Akan tetapi tanpa dapat dilihat mata, dari ujung pedang itu
menyambar hawa pukulan yang amat kuat sehingga selain tampak sinar pedang yang
keemasan juga terdengar suara mencicit yang aneh.
Kang-thouw-kwi mengangkat lengan kirinya dan menggetarkan jari
tangannya. Tentu saja tangannya tidak menyentuh pedang yang dipegang Song Kai
Sin, akan tetapi jelas tampak betapa pedang itu terpental dan lengan tangan
orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam itu tergetar!
Melihat kehebatan tenaga sin-kang yang amat panas dari tangan
Setan Botak, tokoh Siauw-lim-pai yang lainnya maklum bahwa mereka harus maju
bersama. Maka serentak pedang-pedang mereka bergerak, ada yang membacok, ada
yang menusuk, ada pula yang membabat. Tampak sinar pedang berkelebatan
menyilaukan mata, pantulan cahayanya gemerlapan di dinding ruangan yang luas
itu. Apalagi setelah beberapa orang anggauta Ho-han-hwe tadi menyalakan belasan
batang lilin dan menaruh lilin-lilin itu di atas lantai di kanan kiri ruangan,
maka sinar-sinar pedang itu menjadi amat indahnya. Tanpa terasa, senja telah
berganti malam dan kini para anggauta Ho-han-hwe menonton pertandingan yang
amat aneh dan yang belum pernah mereka saksikan selama hidupnya.
Betapa mereka tidak akan terheran-heran dan bengong menyaksikan
pertandingan itu? Baik ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu maupun Setan
Botak, hanya duduk berhadapan, bersila di atas lantai dan jarak antara mereka
terlampau jauh sehingga mereka itu tidak dapat saling menyentuh. Akan tetapi,
kini mereka ‘bertanding! dan tujuh orang itu mengeroyok Si Setan Botak dengan
serangan-serangan pedang yang berubah menjadi sinar-sinar gemerlapan.
Sebaliknya, Setan Botak menggerak-gerakkan kedua lengannya,
kadang-kadang menangkis, ada kalanya mencengkeram dan mendorong, bahkan balas
memukul tanpa menyentuh pedang dan tubuh para pengeroyoknya. Kedua tangannya
kini selain berwarna merah seperti api membara, juga mengepulkan uap putih
seperti asap panas!
Kalau dilihat begitu saja, seolah-olah Si Setan Botak dan ketujuh
Siauw-lim Chit-kiam sedang bermain-main. Mereka tidak saling sentuh, namun
mereka bergerak dengan sungguh-sungguh dan ruangan itu kini seperti dihujani
sinar-sinar gemerlapan dan udara menjadi sebentar panas sebentar dingin.
Hanya beberapa orang saja di antara mereka, yaitu Lauw-pangcu,
kedua Kang-lam Sam-eng, Ban-kin Hek-gu yang sudah sadar dari pingsannya, dan
It-ci Sin-mo yang maklum apa yang sedang terjadi dan mereka memandang dengan hati
penuh ketegangan. Mereka ini mengerti bahwa Siauw-lim Chit-kiam sedang
bertanding melawan Si Setan Botak mengadu ilmu pedang yang digerakkan oleh
tenaga sin-kang tingkat tertinggi! Mengerti pula betapa selain sinar-sinar
gemerlapan itu mengandung hawa maut, juga gerakan tangan Setan Botak itu
mengandung hawa pukulan jarak jauh yang amat dahsyat.
Akan tetapi mereka yang tidak mengerti cara pertandingan seperti
ini, menjadi amat penasaran. Si Setan Botak dan kedua muridnya telah menyebar
maut, kini Setan Botak itu hanya duduk bersila dan menggerak-gerakkan kedua
tangan. Bukankah ini membuka kesempatan baik untuk membinasakannya?
Mereka yang merasa amat benci kepada Setan Botak ini yang sudah
membasmi Pek-lian Kai-pang dan menewaskan lima puluh orang lebih anggauta
perkumpulan itu yang merupakan kawan-kawan seperjuangan mereka, kini ingin
membalas dendam.
Tujuh orang anggauta Ho-han-hwe setelah saling memberi isyarat
dengan kedipan mata dan diam-diam mengambil jalan memutar, serentak maju
menerjang tubuh kakek botak yang bersila itu dari belakang. Mereka bertujuh
menggunakan senjata dan menyerang secara berbareng.
‘Celaka....!! It-ci Sin-mo Tan Sun berseru. Juga teman-temannya
yang tahu akan bahaya mengancam, berseru kaget namun sudah tidak keburu mencegah.
Segera terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya tujuh orang anggauta
Ho-han-hwe itu yang roboh tewas dengan tubuh tersayat-sayat dan ada pula yang
roboh dengan tubuh hangus!
Mereka tadi seperti sekumpulan nyamuk yang menerjang api, tidak
tahu bahwa udara di sekitar arena pertandingan aneh itu penuh dengan
berkelebatnya sinar pedang yang tajam dan hawa pukulan yang mengandung panasnya
api. Sebelum mereka dapat menyentuh tubuh Si Setan Botak, tubuh mereka lebih
dulu sudah dihujani sinar pedang yang menyambar-nyambar dan hawa pukulan yang
membakar!
Melihat ini, Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiam
berseru keras. Mereka bertujuh tadi terdesak hebat oleh Setan Botak yang
benar-benar amat tangguh dan lihai sekali. Karena mereka melakukan pengeroyokan
secara bertubi, maka setiap orang dari mereka mengadu tenaga dengan
Kang-thouw-kwi dan ternyata bahwa mereka kalah kuat jauh sekali.
Karena itu, gerakan pedang mereka makin lama makin lemah dan
terdesak sehingga ketika tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi maju, biarpun
mereka tahu akan bahayanya, mereka tidak keburu menarik sinar pedang dan sinar
pedang mereka itu ada yang mengenai tubuh para penyerbu. Maka begitu Song Kai
Sin berseru keras, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam lalu menggunakan siasat
terakhir. Dengan tangan kiri mereka menyentuh punggung kawan yang bersila di
sebelah kiri, tangan kanan memegang pedang dan kini mereka telah menyatukan
tenaga. Getaran sin-kang mereka bersatu dan karenanya gerakan pedang mereka pun
sama, hanya merupakan satu serangan saja, akan tetapi yang mengandung tenaga
tujuh kali lipat kuat daripada tenaga perorangan.
Ketika Si Setan Botak menangkis dengan dorongan
Hwi-yang-sin-ciang, menghalau sinar pedang yang amat besar dan kuat yang
menyambarnya, ia mengeluarkan seruan marah dan kaget. Ia berhasil menghalau
sinar pedang itu, akan tetapi telapak tangan kirinya robek sedikit dan
mengeluarkan darah!
‘Keparat! Kalian sudah bosan hidup!! bentaknya dan kini Si Setan
Botak menggunakan kedua tangannya menahan.
Hebat bukan main adu tenaga sakti ini. Tujuh orang Siauw-lim
Chit-kiam yang menyentuh punggung dan menyalurkan tenaga disatukan dengan
teman-teman seperguruan, sehingga tenaga mereka menjadi satu, kini menghadapi
dorongan kedua tangan Setan Botak dan terjadilah adu tenaga, keras lawan keras!
Mereka tidak bergerak-gerak lagi, pedang mereka menuding ke satu
jurusan, yaitu ke arah Kang-thouw-kwi yang sebaliknya mengulur kedua lengan ke
depan, dengan kedua telapak tangan mendorong ke arah tujuh orang pengeroyoknya.
Wajah Siauw-lim Chit-kiam pucat dan penuh keringat, di lain pihak, wajah
Kang-thouw-kwi menjadi merah sekali dan kepalanya mengepulkan uap panas!
Dorong-mendorong terjadi, akan tetapi sedikit demi sedikit keadaan Siauw-lim
Chit-kiam terdesak!
Lauw-pangcu yang melihat keadaan tidak menguntungkan ini lalu
mendekati Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka bertiga ini sudah terluka, tentu
saja tidak berani membantu. Andaikata mereka tidak terluka sekalipun, tingkat
kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk mencampuri pertandingan tingkat
tinggi itu. Mereka berbisik-bisik dan akhirnya mengambil keputusan untuk
menjalankan siasat yang telah mereka atur sebelumnya, yaitu hendak membakar
kuil itu selagi Si Setan Botak terikat dalam pertandingan mati-matian melawan
Siauw-lim Chit-kiam!
Memang siasat ini kalau dijalankan berarti akan membahayakan
keselamatan Siauw-lim Chit-kiam sendiri, namun memang telah mereka sepakati
sebelumnya bahwa untuk membasmi Si Setan Botak, Siauw-lim Chit-kiam bersedia
untuk mergorbankan nyawa.
Dengan isyarat Lauw-pangcu, mereka semua mengundurkan diri dan
mulailah mereka membakar kuil itu dari luar. Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang
membantu pekerjaan ini mengucurkan air mata, karena maklum bahwa nyawa ketujuh
orang susiok (paman guru) mereka terancam maut bersama nyawa Setan Botak. Para
anggauta Ho-han-hwe demikian sibuknya dengan pekerjaan menuangkan minyak dan
membakar kuil sehingga mereka tidak tahu betapa di antara kegelapan malam itu,
sesosok tubuh kecil menyelinap memasuki kuil melalui bagian yang belum terbakar.
Tubuh cilik ini bukan lain adalah Lauw Sin Lian, gadis cilik puteri Lauw-pangcu!
Sin Lian tadinya dititipkan kepada seorang sahabatnya oleh
Lauw-pangcu. Akan tetapi, anak perempuan ini diam-diam merasa tidak senang. Ia
tahu bahwa ayahnya dan teman-teman ayahnya sedang berusaha membalas dendam atas
kematian semua anggauta Pek-lian Kai-pang. Dia ingin sekali menonton, bahkan
kalau mungkin ingin sekali membantu! Selain itu, juga anak ini amat
mengkhawatirkan keselamatan ayahnya, maka diam-diam ia minggat keluar dari
rumah sahabat ayahnya itu dan berlari menyusul ayahnya. Bocah ini amat cerdik
dan ia menduga bahwa Ho-han-hwe pasti diadakan di kuil tua yang sudah tak
terpakai di luar kota.
Tanpa ragu-ragu ia langsung lari menuju ke kuil itu dan malam
telah tiba ketika ia akhirnya sampai di tempat tujuan. Karena melihat banyak
orang sibuk membakar kuil, hatinya makin gelisah. Ia tidak melihat ayahnya, dan
untuk bertanya ia tidak berani, takut mendapat marah. Maka ia lalu menyelinap
dan berhasil memasuki kuil dari bagian yang gelap dan yang belum dicium api.
Ruangan dalam kuil kosong itu mulai berasap. Di antara asap tipis,
Sin Lian melihat musuh besar ayahnya, Setan Botak, duduk bersila
membelakanginya, tak bergerak seperti sebuah arca batu yang menyeramkan, dengan
kedua lengan dilonjorkan ke depan dan telapak tangan dibuka ke arah tujuh orang
laki-laki yang bersikap keren dan yang kesemuanya memegang pedang. Juga tujuh
orang itu diam tak bergerak seperti arca, akan tetapi muka mereka pucat dan
penuh peluh, bahkan tubuh mereka, terutama tangan yang memegang pedang, mulai
gemetar.
Melihat musuh besar itu, Sin Lian menjadi marah. Ia tidak tahu apa
yang sedang dilakukan tujuh orang berpedang itu dengan musuhnya, akan tetapi
melihat musuhnya duduk membelakanginya, diam seperti arca, ia melihat
kesempatan baik untuk menyerang! Berindap-indap Sin Lian menghampiri kakek itu,
setelah dekat ia lalu menerjang maju, memukul tengkuk.
‘Dukkk....!! Sin Lian terjengkang dan terbanting keras.
Kepalanya menjadi pening, tangannya sakit, akan tetapi ia bandel, terus
melompat bangun dan siap menyerang lagi. Ia tadi merasa betapa tengkuk kakek
botak itu keras seperti baja, dan amat panas seperti baja dibakar.
Ia tidak tahu betapa tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam memandang
kepadanya dengan heran dan juga khawatir. Memang bocah ini masih baik nasibnya,
tidak seperti tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi yang tewas secara konyol.
Kalau Siauw-lim Chit-kiam dan Setan Botak sedang bertanding seperti tadi,
serang-menyerang antar sinar pedang yang digerakkan sin-kang dan pukulan jarak
jauh Hwi-yang-sin-ciang yang amat dahsyat, tentu sebelum menyentuh tubuh Setan
Botak, Sin Lian telah roboh tewas, kalau tidak hangus karena
Hwi-yang-sin-ciang, tentu tersayat-sayat oleh sinar pedang Chit-seng-sin-kiam!
Akan tetapi kebetulan sekali pada saat itu, kedua pihak sedang
mengadu tenaga sehingga kedua pihak seolah-olah saling menempel, saling
mendorong dan tidak bergerak ke mana-mana. Inilah sebabnya mengapa ketika Sin
Lian memukul, ia tidak terkena pengaruh Hwi-yang-sin-ciang, melainkan
terbanting roboh karena kekebalan tubuh kakek botak itu.
Betapapun juga, karena berani memukul Kang-thouw-kwi, tentu saja
nyawa anak ini berada dalam cengkeraman maut. Sekali saja Kang-thouw-kwi
bergerak, tentu bocah itu takkan dapat tertolong lagi nyawanya. Hal inilah yang
membuat Siauw-lim Chit-kiam menjadi gelisah. Keadaan mereka sendiri terancam
maut dan sedang terdesak hebat, bagaimana mereka akan dapat menolong bocah ini?
Mereka tadinya tidak mengharapkan dapat keluar sebagai pemenang
karena makin lama, tenaga Setan Botak itu makin hebat, hawa di situ makin panas
sebagai bukti bahwa Hwi-yang-sin-ciang makin unggul. Akan tetapi mereka merasa
lega bahwa para anggauta Ho-han-hwe sudah mulai bergerak membakar kuil. Mereka
akan mati dengan lega karena merasa yakin bahwa Si Setan Botak juga akan mati
terbakar hidup-hidup!
Kang-thouw-kwi Gak Liat maklum akan gangguan seorang anak
perempuan di belakangnya. Akan tetapi ia tidak peduli, karena kalau ia membagi
perhatian, apalagi membagi tenaga, ia akan celaka. Menghadapi persatuan
Siauw-lim Chit-kiam ini ia merasa bahwa amat sukar mencapai kemenangan dan
hanya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya saja ia akan dapat menang. Akan
tetapi kini kuil mulai terbakar dan tahulah ia bahwa keadaannya berada dalam
bahaya pula. Kalau saja tidak ada gangguan ini, tentu ia akan dapat segera
merobohkan Siauw-lim Chit-kiam dan masih ada kesempatan untuk menyelamatkan
diri.
Dalam usahanya untuk segera dapat merobohkan tujuh orang
pengeroyok yang berilmu tinggi itu, Kang-thouw-kwi Gak Liat tidak mempedulikan
Sin Lian sama sekali, karena anak itu sama sekali tidak ada arti baginya. Ia
lalu mengerahkan seluruh tenaga, kedua lengannya menggigil dan lengan yang
diluruskan ke depan itu menjadi makin panas. Kekuatan mukjizat yang amat
dahsyat kini menerjang maju bagaikan hembusan angin badai yang panas ke arah
Siauw-lim Chit-kiam!
Getaran gelombang tenaga sakti ini segera terasa oleh Siauw-lim
Chit-kiam dan betapa pun mereka ini menggerakkan tenaga mempertahankan diri,
tetap saja tangan mereka yang menudingkan pedang gemetar keras.
‘Werrrrr.... cringgg.... krak-krak....!!
Pertahanan Siauw-lim Chit-kiam menjadi berantakan ketika dua
batang pedang di tangan Ui Swan dan Ui Kiong, dua orang di antara mereka, patah
dan terlepas dari tangan mereka, yang menjadi pucat wajahnya. Melihat betapa
orang ke tiga dan ke empat dari Siauw-lim Chit-kiam ini kehilangan pedang yang
tadi bergetar keras lalu patah-patah, lima orang tokoh Siauw-lim itu
mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan gelombang tenaga hebat yang
menekannya, namun kini mereka jauh kalah kuat setelah tenaga mereka berkurang
dua orang. Pedang mereka mulai tergetar hebat, muka mereka pucat dan napas
terengah.