Sepasang Pedang Iblis, Bab 1-5

Kho Ping Hoo, Sepasang Pedang Iblis, Bab 1-5. Kuil tua itu berdiri di tepi Sungai Fen-ho, di lembah antara Pegunungan Tai-hang-san dan Lu-liang-san, di sebelah selatan kota Taigoan.
Anonim
Kuil tua itu berdiri di tepi Sungai Fen-ho, di lembah antara Pegunungan Tai-hang-san dan Lu-liang-san, di sebelah selatan kota Taigoan. Sunyi sekali keadaan di sekitar tempat itu, sunyi dan gelap sehingga kuil yang amat kuno dan sudah bobrok itu cocok sekali dengan keadaan alam yang sunyi dan liar di sekelilingnya. Biasanya, kuil ini kosong dan bagi yang percaya, tempat seperti itu paling cocok menjadi tempat tinggal setan iblis dan siluman.

Akan tetapi, pada sore hari itu keadaan di sekeliling kuil tampak amat menyeramkan karena ada bayangan-bayangan yang berkelebatan. Begitu cepat gerakan bayangan-bayangan itu sehingga agaknya iblis-iblis sendiri yang sedang sibuk mengadakan persiapan sesuatu. Akan tetapi kalau diperhatikan, bayangan-bayangan itu sama sekali bukanlah setan melainkan manusia-manusia, sungguhpun manusia-manusia yang menyeramkan karena mereka yang berjumlah lima orang itu bertubuh tinggi besar, bersikap kasar dan berwajah liar. Gerakan mereka tidak seperti orang biasa, karena selain cepat juga membayangkan kekuatan yang jauh lebih dari pada manusia-manusia biasa. Golok besar yang terselip di punggung dan golok lima orang tinggi besar itu menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan mengandalkan ilmu silat dan senjata mereka.

Memang sesungguhnyalah bahwa lima orang tinggi besar ini bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah lima orang bajak laut yang sudah terkenal bertahun-tahun lamanya menjadi setan sungai Fen-ho. Kepandaian mereka amat tinggi karena mereka ini yang berjuluk Fen-ho Ngo-kwi (Lima Iblis Sungai Fen-ho) adalah anak buah yang sudah menerima gemblengan dari mendiang Kang-thouw-Kwi Gak Liat, datuk iblis yang terkenal dengan nama poyokan Setan Botak itu! Sejak tadi lima orang ini berkelebatan di sekitar kuil tua, seperti hendak menyelidiki keadaan kuil yang sunyi dan kelihatan kosong itu.

"Twako, tidak kelirukah kita? Apakah benar kuil ini yang dimaksudkan dalam pesan Gak-locianpwe?" Tiba-tiba seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi lalat besar di dagunya, bertanya kepada orang tertua di antara mereka yang matanya besar sebelah.

"Tidak salah lagi," jawab orang tertua Fen-ho Ngo-kwi yang usianya kurang lebih lima puluh tahun itu sambil memandang ke arah kuil tua. "Satu-satunya kuil tua di tepi Sungai Fen-ho di daerah ini hanya satu inilah. Akan tetapi sungguh heran, mengapa kelihatan sunyi dan kosong?"

"Lebih baik kita serbu saja ke dalam!" kata Si Tahi Lalat sambil mencabut goloknya.

Twako-nya mengangguk dan mereka semua sudah mencabut golok, bersiap untuk menyerbu. Pimpinan rombongan itu menggerakkan tangan kepada adik-adiknya dan berkata, "Kau masuk dari pintu belakang, dan kau dari jendela kiri, kau dari jendela kanan, seorang menjaga di luar dan aku yang akan menerjang dari pintu depan!" Mereka berpencar, gerakan mereka gesit dan ringan sekali. Kuil itu telah dikurung. Pemimpin itu memberi isarat dengan tangan dan mereka menyerbu memasuki kuil dari empat jurusan.

Tiba-tiba tampak sinar-sinar hitam menyambar dari depan dan belakang kuil. Sinar-sinar hitam ini adalah senjata-senjata rahasia berbentuk bintang terbuat dari baja. Lima orang tinggi besar kaget sekali, cepat menggerakkan golok mereka menangkis.

"Cring-cring-tranggg...!"

Terdengar suara nyaring dan golok mereka itu patah semua, disusul suara jerit lima orang itu yang tak dapat lagi menghindarkan diri dari sambaran senjata-senjata rahasia bintang yang luar biasa kuatnya itu. Mereka roboh dengan dahi pecah karena masing-masing terkena senjata rahasia yang menancap di antara alis mereka. Tubuh mereka berkelojotan, mulut mereka mengeluarkan suara mengorok dan akhirnya tubuh mereka berhenti bergerak, tak bernyawa lagi. Hanya darah mereka yang bergerak mengucur keluar dari dahi!

Dari belakang dan depan kuil berlompatan keluar dua orang kakek sambil tertawa-tawa. Dilihat keadaan mereka yang bertubuh kurus seperti kurang makan, pantasnya mereka adalah orang-orang yang lemah. Namun, dengan senjata rahasia sekali lepas dapat merobohkan dan menewaskan lima orang bajak Fen-ho Ngo-kwi menjadi bukti bahwa dua orang ini tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Begitu mudahnya mereka membunuh anak buah dan juga murid-murid mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi, benar-benar sukar dipercaya!

"Heh-heh, Sute, orang-orang kasar macam ini berani bersaing dengan kita! Sungguh menjemukan!" kata kakek yang mukanya begitu kurus sehingga seperti tengkorak dibungkus kulit tipis saja. Ia bertolak pinggang memandang mayat-mayat para bajak setelah melompat dengan gerakan seperti terbang cepatnya.

Kakek ke dua yang tadi bersembunyi di belakang kuil juga melompat cepat dan ia membelalakkan kedua matanya yang begitu sipit sehingga ia kelihatan selalu tidur memejamkan mata. "Tentu masih ada lagi saingan lain, Suheng. Bukankah Pangcu berpesan agar kita hati-hati? Pesanan itu menandakan bahwa di sini tentu terdapat banyak lawan pandai." katanya, juga bertolak pinggang. Tampak pada lengan kanan kedua orang kakek ini lukisan kecil berbentuk naga yang agaknya dicacah pada kulit lengan mereka.

"Heh-heh, Sute! Siapa sih orangnya yang berani menentang Thian-liong-pang? Selama negeri dalam perang, kita tidak bergerak akan tetapi memupuk kekuatan sehingga kalau partai-partai lain hancur dan rusak oleh perang, partai kita malah makin kuat. Kini tibalah saatnya Thian-liong-pang memperlihatkan taringnya! Pangcu menginginkan bocah itu, siapa yang akan berani menentang?"

Si Mata Sipit mengangguk-angguk. "Engkau benar, Suheng. Keinginan Pangcu kita merupakan keputusan yang tak boleh ditentang siapa pun juga. Yang menentangnya berarti mati, seperti lima orang kasar ini. Thian-liong-pang adalah partai terbesar dan terkuat di dunia untuk masa kini."

"Awas, Sute...!" Tiba-tiba Si Muka Tengkorak berseru, dan keduanya cepat mengelak dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan karena secara tiba-tiba sekali ada enam buah hui-to (golok terbang) yang kecil akan tetapi yang menyambar amat cepat dan kuatnya, masing-masing tiga batang menyambar ke arah leher, ulu hati, dan pusar mereka! Jalan satu-satunya hanya mengelak seperti yang mereka lakukan tadi karena sungguh amat berbahaya sekali untuk menyambut hui-to-hui-to yang meluncur secepat itu.

Dua orang anggauta Thian-liong-pang itu amat lihai, sambil bergulingan mereka menggerakkan tangan dan meluncurlah sinar-sinar hitam dari senjata rahasia bintang mereka ke arah datangnya hui-to tadi. Senjata rahasia mereka itu tadi sudah terbukti keampuhannya ketika merobohkan lima orang Fen-ho Ngo-kwi. Akan tetapi betapa terkejut hati mereka ketika melihat betapa enam buah hui-to yang luput menyerang mereka tadi kini terbang kembali amat cepatnya dan dari samping enam golok kecil itu menyambari bintang-bintang mereka.

Terdengar suara keras disusul bunga api berhamburan dan enam batang golok kecil bersama bintang-bintang baja itu runtuh semua ke atas tanah. Biar pun dua orang anggauta Thian-liong-pang yang terkejut menyaksikan ini, namun hati mereka lega bahwa bintang-bintang baja mereka ternyata tidak kalah kuat sehingga hui-to-hui-to itu pun runtuh, tanda bahwa tenaga mereka tidak kalah oleh tenaga lawan yang belum tampak. Mereka segera meloncat bangun dan Si Mata Sipit memaki.

"Keparat curang, siapa engkau?"

Dari balik rumpun muncullah seorang laki-laki dan seorang wanita sambil tersenyum mengejek. Laki-laki itu usianya ada empat puluh tahun, berjenggot dan kumisnya kecil panjang, bajunya berlengan lebar. Yang wanita juga berusia empat puluh tahun lebih, rambutnya diikat dengan saputangan sutera putih, juga lengan bajunya lebar. Yang amat mengerikan pada dua orang ini adalah warna kulit mereka. Yang wanita kulitnya, dari mukanya sampai kulit lengannya berwarna jambon kemerahan, sedangkan yang laki-laki kulitnya berwarna ungu kebiruan! Sungguh sukar mencari orang berkulit dengan warna seperti itu, seolah-olah kulit tubuh mereka itu dicat! Yang luar biasa sekali, bukan hanya kulit, bahkan mata mereka pun berwarna seperti kulit mereka!

"Ha-ha-ha, tidak salah, tidak salah! Kabarnya orang-orang Thian-liong-pang sombong sekali, dan ternyata ucapan mereka besar-besar. Ha-ha-ha!" Laki-laki berkulit ungu itu tertawa keras.

"Gentong kosong berbunyi nyaring, orang yang bodoh bermulut besar. Apa anehnya?" Wanita berkulit jambon itu menyambung, bersungut-sungut dan memandang kepada dua orang murid Thian-liong-pang dengan pandang mata merendahkan.

Dua orang murid Thian-liong-pang itu memandang kepada mereka dengan mata terbuka lebar. Yang menarik perhatian mereka adalah warna-warna kulit laki-laki dan wanita itu. Kemudian Si Muka Tengkorak berkata, suaranya masih membayangkan rasa kaget dan heran.

"Ji-wi... Ji-wi... dari Pulau Neraka...?"

Kini kedua orang laki perempuan itu yang terbelalak dan heran, lalu mereka saling pandang. Kemudian laki-laki bermuka ungu itu menghadapi kedua orang Thian-liong-pang dan menjura, "Ahh, kiranya Thian-liong-pang memiliki mata yang tajam sekali. Pantas terkenal sebagai partai besar! Kami tidak pernah turun ke dunia ramai, kini sekali muncul Ji-wi telah dapat mengenal kami. Sungguh mengagumkan sekali!"

Dia lalu mengeluarkan suara yang aneh, nyaring sekali dan terdengar seperti suara burung. Dari dalam hutan di belakangnya terdengar suara siulan yang sama dan tak lama kemudian tampaklah belasan orang berlarian datang ke tempat itu seperti terbang cepatnya. Setelah dekat, dua orang Thian-liong-pang memandang dengan mata terbelalak karena kulit belasan orang ini pun aneh sekali, delapan orang berkulit hitam dan delapan orang pula berkulit merah tua!

Si Muka Tengkorak lalu bersuit nyaring dan dari sebelah belakangnya muncul pula serombongan anak buah Thian-liong-pang yang berjumlah dua puluh orang! Kedua rombongan kini berhadapan dengan sikap siap siaga menanti perintah bertanding.

Akan tetapi, kakek muka ungu itu tertawa dan berkata lagi, "Ha-ha-ha, kiranya Thian-liong-pang juga sudah siap! Tidak usah khawatir, kami mendapat perintah agar tidak memancing pertempuran dengan pihak lain, apa lagi dengan pihak Thian-liong-pang. Kami datang hanya untuk menjemput anak yang berada di dalam kuil."

"Nanti dulu, sobat!" Si Muka Tengkorak berkata. "Kami pun menerima tugas dari Pangcu (Ketua) kami untuk mengambil anak yang berada di dalam kuil. Dan Thian-liong-pang tidak ingin bermusuhan, apa lagi dengan pihak Ji-wi, karena sudah menjadi cita-cita Thian-liong-pang untuk bersahabat dan menyatukan semua partai persilatan."

"Hemmm, bagus sekali omongan itu, akan tetapi apakah cocok dengan buktinya? Kami melihat sendiri keganasan Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti) membunuh lima orang ini," Si Muka Ungu mencela.

Murid Thian-liong-pang mengangkat pundak dan mengerling ke arah mayat lima orang Fen-ho Ngo-kwi dengan sikap tak acuh. "Mereka hanyalah bajak-bajak sungai yang hina, tidak masuk hitungan. Apa lagi mereka itu merupakan golongan yang patut dibasmi. Harap Ji-wi dapat mengerti dan membedakan."

"Sudahlah!" Si Wanita bermuka jambon mencela. "Kami tidak peduli akan semua urusan kalian. Kami datang hendak mengambil anak itu. Marilah Suheng, kita lekas melaksanakan tugas!" Ia sudah bergerak maju hendak memasuki kuil.

"Ehh, ehh, nanti dulu, Toanio!" Kini Si Mata Sipit maju menghalang. "Terang bahwa Thian-liong-pang tidak ingin bermusuh, akan tetapi agaknya dalam urusan ini di antara kita ada pertentangan. Kami pun bertugas untuk mengambil bocah itu."

"Bagus! Jikalau demikian, kiranya hanya kekerasan yang akan dapat membereskan pertentangan ini!" Wanita bermuka jambon itu membentak lantang. Suheng-nya juga memandang marah dan enam belas orang anak buah mereka semua sudah mencabut pedang.

"Srat-srat-sratttt!"

"Sing-sing-sing!" Dua puluh orang anak buah Thian-liong-pang juga sudah mencabut pedang dan golok.

Dua orang murid Thian-liong-pang itu kelihatan bingung, lalu mengangkat tangan memberi isarat kepada pasukan mereka untuk mundur, kemudian Si Muka Tengkorak menjura dan berkata kepada dua orang aneh yang mereka anggap tokoh-tokoh dari Pulau Neraka itu.

"Harap Ji-wi menghindarkan pertempuran yang tidak perlu. Memang kita semua sebagai utusan-utusan harus melaksanakan tugas kita, dan kita masing-masing dua orang merupakan penanggung jawab yang tidak perlu menarik anak buah dalam pertempuran."

"Hemm, maksudmu bagaimana?" tanya wanita bermuka jambon menantang.

"Kita mewakili partai-partai besar dan sekarang perselisihan ini dapat dibereskan secara orang-orang gagah."

"Maksudmu sebagai orang-orang gagah mengadu ilmu?" tantang Si Wanita.

"Begitulah. Kita dua lawan dua, siapa kalah harus mengalah dan memberikan anak dalam kuil kepada yang menang. Setuju?"

"Akur! Majulah!" Si Wanita menantang.

Dua orang Thian-liong-pang itu saling pandang, kemudian mengangguk. Si Muka Tengkorak memandang ke sekeliling. Kedua pasukan sudah mundur jauh dan setengah bersembunyi di dalam cuaca yang sudah mulai gelap. "Tempat ini kurang lega untuk bertanding, biar kusingkirkan pohon-pohon ini!" katanya dan ia menghampiri sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang. Dengan gerakan seenaknya ia mendorong dan pohon itu tumbang, mengeluarkan suara hiruk-pikuk.

"Benar, harus disingkirkan pohon-pohon ini!" kata Si Mata Sipit. Dia pun menghampiri sebatang pohon, melakukan dorongan seperti suheng-nya. Sebentar saja enam batang pohon sudah mereka tumbangkan!

Para anggauta Thian-liong-pang bersorak memberi semangat sedangkan para anak buah yang mukanya berwarna hitam dan merah itu memandang tarbelalak, kagum akan kekuatan hebat dua orang Thian-liong-pang itu. Akan tetapi laki-laki bermuka ungu dan wanita bermuka jambon itu tertawa mengejek.

"Batu-batu ini pun menghalang gerakan pertandingan!" kata Si Wanita muka jambon dan kakinya perlahan menendang, akan tetapi batu yang sebesar anak kerbau itu terbang seperti sepotong batu kerikil dilempar saja. Suheng-nya juga melakukan ini dan sebentar saja ada delapan buah batu beterbangan! Anak buah mereka kini bersorak-sorak dan giliran anak buah Thian-liong-pang yang bengong dan ngeri hatinya. Betapa kuat kedua orang aneh itu!

"Bagus! Tempat telah menjadi luas, sebelum cuaca gelap mari kita mulai!" kata Si Mata Sipit.

Seperti dikomando saja, empat orang itu telah saling serang dengan hebat. Keempat orang ini tidak memegang senjata dan hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih berbahaya dari pada sambaran pedang atau golok, dan angin menderu ketika mereka saling pukul sehingga rumput dan daun pohon bergoyang seperti diamuk badai!

Wanita muka jambon bertanding melawan Si Muka Sipit. Ternyata tenaga Si Mata Sipit lebih besar sehingga wanita itu tidak berani langsung menangkis atau mengadu lengan, akan tetapi wanita itu memiliki gerakan ilmu silat yang aneh, juga gerakannya jauh lebih cepat sehingga pertandingan itu amat seru. Di lain pihak, pertandingan antara Si Muka Tengkorak dan Si Muka Ungu lebih hebat lagi karena tenaga mereka seimbang. Berkali-kali mereka keduanya terdorong mundur, akan tetapi secepat kilat sudah maju lagi dan melanjutkan pertandingan mereka.

Pada waktu itu, memang Thian-liong-pang merupakan sebuah partai yang baru muncul sejak bangsa Mancu menyerang ke selatan. Selama perang berlangsung, Thian-liong-pang tidak mau melibatkan diri, bahkan diam-diam memupuk tenaga mereka dan memperdalam ilmu silat. Puluhan tahun yang lalu Thian-liong-pang berpusat di Yen-an, di kaki Lu-liang-san sebelah barat. Thian-liong-pang menjadi sebuah partai golongan hitam, diselewengkan oleh ketuanya di waktu itu yang berjuluk Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti) dengan murid-muridnya yang jahat sebanyak dua belas orang berjuluk Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga).

Akan tetapi, semenjak Thian-liong-pang dikuasai oleh cucu kakek itu sendiri, seorang laki-laki gagah perkasa bernama Siangkoan Li, maka Cap-ji-liong kembali ke jalan lurus. Kemudian bertahun-tahun Thian-liong-pang diketuai oleh orang-orang yang gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya. Ilmu silat mereka itu adalah ilmu keturunan dari dua orang kakek sakti yang setengah gila, yaitu Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Makin lama ketua-ketua mereka yang merupakan murid-murid Siangkoan Li, memperdalam ilmu kesaktian dari kedua orang kakek sakti itu sehingga kini para pimpinan Thian-liong-pang merupakan orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Dua orang ini saja hanya merupakan tokoh tingkat lima, namun ilmu kepandaian mereka sudah hebat sekali.

Ada pun dua orang tokoh Pulau Neraka itu lebih hebat lagi. Tingkat mereka masih amat rendah di kalangan penghuni Pulau Neraka yang merupakan keluarga besar orang-orang aneh. Warna-warna pada muka mereka menandakan bahwa tingkat mereka masih rendah, namun toh mereka sudah dapat mengimbangi ilmu dari kedua orang tokoh Thian-liong-pang tingkat lima! Anak buah Pulau Neraka semua kulitnya berwarna hitam atau merah. Warna hitam merupakan tingkat paling rendah, lalu disusul merah sebagai tingkat lebih tinggi, kemudian biru, ungu, hijau dan jambon. Makin terang warna itu, makin tinggilah tingkat kepandaiannya!

Namun pada masa itu, Pulau Neraka merupakan kabar angin atau setengah dongeng saja karena sudah ratusan tahun tidak pernah muncul. Nama Pulau Neraka disejajarkan dalam rahasia dan keanehannya dengan Pulau Es, bahkan lebih tua lagi! Dua orang tokoh Thian-liong-pang itupun hanya mendengar ‘dongeng’ dari ketua mereka, tentang warna-warna aneh kulit para penghuni Pulau Neraka, maka tadi mereka dapat menduga tepat!

Pertandingan masih terus berlangsung dengan hebatnya. Pada saat-saat yang amat berbahaya bagi nyawa mereka itu, tak seorang pun di antara mereka ingat akan anak yang mereka jadikan rebutan dan yang menjadi bahan pertandingan-pertandingan itu, bahkan yang menyebabkan kematian lima orang Fen-ho Ngo-kwi! Siapakah anak itu?

Bocah itu adalah seorang anak laki-laki yang berwajah tampan, bermuka bulat dengan kulit putih bersih, sepasang matanya lebar bening penuh keberanian, berusia kurang lebih lima tahun! Sudah lebih dari tiga bulan anak itu hidup seorang diri di dalam kuil tua! Benar amat mentakjubkan keberanian anak ini.

Tadinya dia tinggal bersama ibunya di kuil ini, akan tetapi semenjak ibunya pergi meninggalkannya beberapa bulan yang lalu, dia hidup seorang diri di tempat sunyi ini. Namun dia tidak pernah menangis, tidak pernah mengeluh, mencari makan seadanya, bahkan kadang-kadang kalau dia tidak bisa mendapatkan buah-buahan atau tidak dapat menangkap binatang, ia hanya makan daun-daun muda ditambah air gunung! Akan tetapi kalau ada binatang kelinci lewat, tentu binatang itu dapat ia bunuh dengan sambitan batu karena anak ini pandai menyambit, dan tenaganya mengagumkan. Tidaklah aneh kalau diketahui bahwa semenjak kecil ia digembleng oleh ibunya yang sakti.

Ibunya merupakan seorang murid Siauw-lim-pai yang berhasil mencuri ilmu-ilmu aneh dari Siauw-lim-pai, lalu mempelajari ilmu-ilmu aneh ini secara mengawur sehingga mempengaruhi jiwanya, membuatnya setengah gila. Kegilaannya ini bukan semata karena dia keliru mempelajari ilmu-ilmu rahasia dari Siauw-lim-pai, melainkan terutama sekali karena tekanan jiwanya ketika dia dahulu dicemarkan oleh mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak. Nama wanita ini adalah Bhok Khim, dahulu merupakan seorang di antara Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan dia berjuluk Bi-kiam (Pedang Cantik)!

Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah dituturkan bahwa Bhok Khim yang meninggalkan puteranya di kuil tua itu pergi mencari Gak Liat dan berhasil membalas dendam dengan membunuh Setan Botak, akan tetapi dia sendiri pun tewas oleh musuh besar yang memperkosanya itu.

Demikianlah, anak kecil berusia lima tahun itu kini berada di dalam kuil, dan semenjak tadi dia mengintai dari dalam kuil menyaksikan semua peristiwa yang terjadi di luar kuil. Dia melihat kamatian Fen-ho Ngo-kwi yang mengerikan, kemudian menyaksikan pertandingan antara dua orang tokoh Thian-liong-pang melawan dua orang tokoh Pulau Neraka.

Anak ini amat cerdik, dari percakapan itu tahulah dia bahwa semua orang di luar itu memperebutkan dia! Akan tetapi dia tidak tahu mengapa dan juga di dalam hatinya dia tidak berpihak kepada siapa-siapa, hanya ingin melihat siapa di antara mereka yang paling lihai. Ibunya juga seorang berilmu tinggi, maka karena sejak kecil dikenalkan dengan ilmu silat, kini sepasang matanya yang bening dan tajam itu menonton pertandingan dengan hati amat tertarik.

Cuaca menjadi semakin gelap dengan datangnya malam, akan tetapi pertandingan antara dua orang jagoan itu masih berlangsung seru. Masing-masing telah terkena pukulan dua tiga kali dari lawan akan tetapi mereka belum ada yang roboh dan masih bertanding terus, biar pun napas mereka mulai terengah dan uap putih mengepul dari kepala mereka.

"Omitohud...! Mengapa kalian bertanding mati-matian di sini? Apa yang telah terjadi?" Tiba-tiba terdengar teguran dibarengi munculnya seorang hwesio yang tinggi kurus. Hwesio ini kurus sekali dan wajahnya selalu muram tampaknya, namun suaranya penuh wibawa.

Akan tetapi empat orang yang tengah bertanding tidak mempedulikannya dan hwesio ini menarik napas panjang. "Aaahhh, jalan damai banyak sekali, mengapa menempuh jalan kekerasan yang hanya akan membahayakan keselamatan? Kepandaian Cu-wi yang tinggi ini pasti dipelajari susah payah sampai puluhan tahun, apakah hanya akan digunakan untuk mengadu nyawa?"

Setelah berkata demikian, hwesio ini kemudian melangkah maju, kedua tangannya dikembangkan ke kanan kiri dan... empat orang yang sedang bertanding itu tiba-tiba terhuyung mundur oleh dorongan tenaga dahsyat, namun sukar ditahan! Otomatis pertandingan terhenti dan empat orang itu dengan napas sengal-sengal memandang kepada hwesio yang amat tua dan kurus itu.

"Maaf, maaf, pinceng terpaksa menghentikan pertandingan ini. Ada urusan dapat didamaikan. Mengapa kalian begini mati-matian hendak saling bunuh?"

"Losuhu siapakah?" Si Muka Tengkorak bertanya, sikapnya menghormat karena dia maklum bahwa hwesio itu adalah seorang berilmu yang amat lihai.

"Pinceng adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai. Mengapa Sicu berdua bertanding dengan mereka?" Diam-diam Siauw Lam Hwesio terkejut menyaksikan warna kulit dua orang tokoh Pulau Neraka yang biar pun cuaca mulai gelap masih tampak warna mereka yang menyolok mengingatkan dia akan ‘dongeng’ tentang penghuni Pulau Neraka!

Si Muka Tengkorak menjura penuh hormat lalu berkata, "Kiranya Losuhu adalah seorang tokoh sakti dari Siauw-lim-pai. Kami berdua adalah utusan-utusan Thian-liong-pang dan kedua orang sahabat ini pun utusan-utusan dari Pulau Neraka."

Mendengar ini, hwesio tua itu tercengang dan ia kembali memandang kedua orang itu dengan penuh perhatian. Hatinya bertanya-tanya. Kalau begitu, benarkah dongeng yang didengarnya tentang Pulau Neraka? Kalau mereka itu sudah turun ke dunia ramai, bersama dengan turunnya tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang kabarnya tidak lagi mau berurusan dengan dunia ramai, tentu dunia ini akan menjadi benar-benar ramai!

"Mengapa Cu-wi bertempur?"

"Kami sama-sama memenuhi tugas untuk menjemput anak laki-laki yang berada di dalam kuil. Karena bertentangan oleh tugas yang sama, terpaksa kami hendak menentukan dalam pibu (adu kepandaian) yang adil."

"Omitohud! Betapa anehnya dunia ini...!" Hwesio tua itu berkata.

Dia adalah Siauw Lam Hwesio. Seorang hwesio tua yang kedudukannya tidak penting di Siauw-lim-pai. Akan tetapi dia adalah seorang yang sakti, karena selama puluhan tahun dia menjadi pelayan Kian Ti Hosiang, supek dari Ketua Siauw-lim-pai yang memiliki ilmu seperti dewa!

"Lama sekali pinceng mengikuti jejak murid perempuan Siauw-lim-pai dan akhirnya sampai di tempat ini untuk mengambil puteranya yang ditinggalkan! Anak itu adalah putera dari Bhok Khim, seorang murid Siauw-lim-pai. Tentu saja hanya Siauw-lim-pai yang berhak untuk mendidiknya. Harap Cu-wi menghentikan pertempuran dan biarkan pinceng sebagai hwesio Siauw-lim-si untuk membawanya pulang ke Siauw-lim-si." Setelah berkata demikian, hwesio itu dengan tenang melangkah menuju ke kuil.

"Tahan...!" Teriakan ini keluar dari empat buah mulut tokoh-tokoh yang tadi saling serang.

Berbareng mereka memberi tanda dengan tangan kepada anak buah mereka. Dari tempat persembunyian mereka, enam belas orang anak buah Pulau Neraka dan dua puluh orang rombongan Thian-liong-pang itu bergerak cepat sekali mendekati kuil. Hwesio tua itu memandang penuh perhatian, agaknya siap untuk menolong anak di dalam kuil kalau orang-orang itu menggunakan kekerasan. Akan tetapi rombongan Thian-liong-pang itu sibuk melempar-lemparkan benda hitam di seputar kuil. sedangkan anak buah Pulau Neraka melempar-lemparkan cairan merah di seputar kuil. Begitu benda cair yang mereka siramkan itu mengenai tanah, mengepullah asap kemerahan yang berbau harum bercampur amis!

Sementara itu, anak laki-laki yang sejak tadi memandang dari dalam kuil, ketika menyaksikan betapa hwesio tua dapat menghentikan pertandingan dengan mudah, mengerti bahwa hwesio kurus kering itu sakti sekali, maka hatinya condong untuk ikut dengan hwesio itu yang dianggapnya paling lihai di antara orang-orang aneh yang berada di luar kuil. Lebih-lebih lagi ketika ia mendengar keterangan hwesio itu bahwa ibunya adalah anak murid Siauw-lim-pai, hal ini tak pernah diceritakan ibunya, dan bahwa hwesio itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, tentu saja ia memilih hwesio itu. Ketika melihat bahwa banyak orang melempar-lemparkan benda hitam dan cairan merah yang kini mengepulkan asap dan tanah yang tersiram benda cairan itu mengeluarkan suara mendesis-desis seperti mendidih, ia cepat keluar dari dalam kuil dan muncul di depan.

"Berhenti...!" Hwesio tua itu cepat menggerakkan tangan kirinya, mendorong ke depan, ke arah anak yang muncul itu. Jarak antara dia dan anak itu masih jauh, akan tetapi angin dorongan tangannya membuat anak itu terjengkang dan jatuh terlentang kembali ke dalam kuil. "Anak, jangan keluar, berbahaya sekali! Asap itu beracun!" teriak Siauw Lam Hwesio dan bocah yang ternyata cerdik ini segera mengerti dan kembali ia bersembunyi di dalam kuil sambil mengintai dari tempatnya yang tadi.

Siauw Lam Hwesio mengeluh, "Omitohud, alangkah kejinya!"

Ia kini dapat melihat jelas bahwa benda-benda hitam itu adalah senjata-senjata rahasia berbentuk bintang yang berduri runcing sekali dan kini benda-benda itu bertebaran di sekeliling kuil, menghalang jalan masuk dalam jarak lebar. Mengertilah ia bahwa benda-benda itu tentulah mengandung racun pula dan amat runcing sehingga akan menembus sepatu. Sedikit saja kulit terluka oleh benda-benda ini, tentu akan menimbulkan bahaya kematian! Ada pun benda cair yang dapat ‘membakar’ tanah dan mengeluarkan asap kemerahan berbau harum amis itu pun merupakan racun yang berbahaya. Jalan menuju ke kuil itu terhalang oleh racun-racun yang lihai!

"Omitohud...! Kalian ternyata mengandung niat yang tidak baik dan berkeras hendak menghalangi pinceng mengambil putera keturunan murid Siauw-lim-pai itu. Hemm..., baiklah, kita sama melihat saja siapa yang akan dapat mengambil anak itu sekarang!" Setelah berkata demikian hwesio kurus ini duduk bersila menghadap kuil, jelas bahwa biar pun sikapnya tenang namun ia sudah mengambil keputusan untuk merintangi siapa saja memasuki kuil!

Sementara itu, malam telah tiba dan rombongan Thian-liong-pang memisahkan diri, berada di sebelah kiri, sedangkan rombongan Pulau Neraka berada di sebelah kanan. Agaknya mereka itu tidak ada yang berani turun tangan lebih dulu karena sama-sama maklum bahwa pihak lain tentu akan merintangi mereka mengambil anak yang berada di dalam kuil! Kalau saja tidak muncul hwesio Siauw-lim-pai yang lihai itu, tentu terjadi pertempuran di antara mereka, memperebutkan anak tadi! Akan tetapi kini mereka tahu bahwa siapa pun yang turun tangan lebih dulu, tidak hanya akan menghadapi rombongan lawan, melainkan juga menghadapi hwesio yang mereka tahu tak boleh dipandang ringan. Maka mereka tak ada yang bergerak mendahului. Sambil membuat api unggun mereka berbisik-bisik mengatur dan mencari siasat!

Api unggun mereka bergerak-gerak seperti tertiup angin, padahal tidak ada angin bertiup sedikit juga. Selagi kedua rombongan itu terbelalak kaget, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang keadaannya amat menyeramkan hati mereka. Laki-laki itu masih muda, berwajah tampan akan tetapi sebelah kakinya, yang kiri buntung! Laki-laki itu tahu-tahu telah berdiri di situ, bersandar pada tongkat bututnya dan yang amat mengherankan adalah rambutnya yang dibiarkan riap-riapan, akan tetapi rambut yang tebal panjang itu berwarna putih semua!

Orang-orang kedua rombongan ini adalah orang-orang yang selama bertahun-tahun tidak pernah terjun ke dunia ramai, maka mereka tadi tidak mengenal Siauw Lam Hwesio dan tidak mengenal pula siapa gerangan pemuda berkaki buntung itu. Padahal pemuda ini jauh lebih terkenal dari pada hwesio Siauw-lim-pai itu, karena dia ini bukan lain adalah Suma Han atau Pendekar Super Sakti, atau juga terkenal dengan sebutan Pendekar Siluman oleh mereka yang pernah menjadi korban kesaktian dan ilmu sihirnya yang mengerikan!

Para pembaca cerita ‘Pendekar Super Sakti’ tentu telah tahu betapa di dalam hidupnya yang kurang lebih dua puluh lima tahun itu, pendekar ini mengalami banyak sekali tekanan batin dan yang terakhir sekali batinnya amat tertekan dan kesengsaraan serta kekecewaannya dalam hidup membuat rambutnya semua menjadi putih! Kini ia datang untuk memenuhi permintaan mendiang Bhok Khim pada saat wanita itu akan melepaskan napas terakhir. Bhok Kim telah meminta kepadanya agar Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini suka merawat dan mendidik puteranya yang ditinggalkan di kuil tua ini!

Di dalam bagian terakhir cerita ‘Pendekar Super Sakti’ telah diceritakan betapa Suma Han ini setelah melaksanakan pernikahan adik angkatnya, Lulu yang menikah dengan Hoa-san Gi Hiap Wan Si Kiat, lalu pergi meninggalkan dunia ramai untuk merantau dan berusaha melupakan segala pengalaman hidupnya yang penuh derita batin. Akan tetapi ia tidak melupakan pesan Bhok Kim, maka ia lalu menuju ke tempat yang dikatakan oleh Bhok Kim dalam pesan terakhirnya.

Akan tetapi betapa heran hatinya ketika ia melihat dua rombongan orang berada di tempat itu dan lebih-lebih lagi herannya ketika ia mengenal hwesio tua kurus kering yang duduk bersila di depan kuil. Ia mengenal hwesio ini ketika dahulu bersama adik angkatnya ia mengunjungi kuil Siauw-lim-si, bertemu dengan hwesio sakti Kian Ti Hosiang dan pelayannya, yaitu Siauw Lam Hwesio yang kini duduk bersila di tempat itu! Sejenak pendekar berkaki buntung ini menyapukan pandang matanya ke arah kuil dan keningnya berkerut ketika ia melihat senjata-senjata rahasia dan kepulan-kepulan asap kemerahan yang dapat ia lihat di bawah sinar api unggun kedua rombongan.

Ia lalu menghampiri Siauw Lam Hwesio, menjura dan berkata, "Maaf, kalau saya tidak salah mengenal, bukankah Locianpwe ini Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-si?"

Hwesio tua itu bersila sambil semedhi memejamkan kedua matanya, namun seluruh panca inderanya ia tujukan untuk menjaga kuil sehingga setiap gerakan ke arah kuil pasti akan diketahui olehnya. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu ada suara orang menegur di depannya, padahal dia sama sekali tidak mendengar gerakan orang datang, apa lagi sampai mendekatinya!

Hal ini saja dapat dibayangkan betapa hebat kemajuan yang didapat pendekar ini semenjak dia mengunjungi Siauw-lim-si beberapa tahun yang lalu. Dan memang tidak mengherankan apabila gerakannya begitu halus dan ringan karena Pendekar Super Sakti ini bergerak dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun!

Mula-mula Siauw Lam Hwesio tidak mengenal Suma Han. Dahulu ketika pendekar itu mengunjungi Siauw-lim-si, pemuda itu belum buntung kaki kirinya. Akan tetapi karena kunjungan pemuda itu amat mengesankan dan karena wajah dan rambut panjang itu hanya berubah warnanya, Siauw Lam Hwesio segera merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata penuh takjub.

"Omitohud...! Terpujilah nama Buddha yang Maha Pengasih! Kiranya Sicu berada di sini pula? Dan kaki kiri Sicu...? Ah, syukurlah... sungguh pinceng ikut merasa bahagia melihat kaki kiri Sicu sudah buntung!"

Ucapan hwesio itu cukup lantang dan karena keadaan di situ amat sunyi, maka semua orang kedua rombongan mendengar ucapan itu. Mereka saling pandang dan merasa heran, diam-diam mereka menganggap betapa ucapan hwesio tua itu kurang ajar dan tidak patut. Memang, bagi yang tidak mengerti tentu saja amat tidak pantas mendengar orang merasa bahagia melihat orang terbuntung kakinya!

Suma Han, pendekar itu pun merasa heran, akan tetapi sama sekali tidak tersinggung, hanya merasa heran mengapa hwesio tua ini mengerti bahwa buntungnya kaki kirinya merupakan hal yang amat menguntungkan baginya! Maka ia pun segera menekuk lutut kaki tunggalnya dan duduk bersila di depan hwesio itu sambil bertanya,

"Locianpwe! Bagaimana Locianpwe tahu akan keadaan kaki saya?"

Hwesio itu tersenyum dan memandang pendekar sakti itu. "Lupakah Sicu akan pesan mendiang Kian Ti Hosiang?"

"Aahhhhh...! Locianpwe yang sakti itu telah meninggal dunia? Sungguh saya merasa menyesal sekali...!"

"Omitohud...! Mengapa, Sicu? Beliau telah bebas dari pada kesengsaraan, mengapa disesalkan? Tentu Sicu masih ingat betapa dahulu beliau memberi nasihat kepada Sicu agar membuntungi kaki kiri Sicu, bukan? Nah, setelah Sicu pergi, pinceng tidak dapat menahan keheranan hati dan mengajukan pertanyaan yang hanya dapat dijawab singkat oleh Kian Ti Hosiang bahwa kalau kaki kiri Sicu tidak dibuntungi, Sicu takkan dapat berusia panjang...! Maka, pinceng sekarang ikut merasa bahagia melihat betapa Sicu telah diselamatkan dari pada ancaman bahaya maut."

Suma Han mengangguk-angguk dan memuji. "Betapa sakti mendiang Kian Ti Hosiang! Betapa tajam penglihatannya, sungguh saya merasa kagum sekali. Sekarang, bolehkah saya bertanya mengapa Locianpwe berada di sini? Dan siapa pula kedua rombongan itu? Dan keadaan di sekeliling kuil itu? Apa yang telah terjadi, Locianpwe?"

Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Ruwet sekali, Sicu...! Putera seorang murid Siauw-lim-pai berada di dalam kuil dan sudah menjadi tugas pinceng untuk merawat dan mendidiknya. Akan tetapi ternyata rombongan-rombongan dari Thian-liong-pang dan Pulau Neraka datang pula dengan niat yang sama, yaitu mengambil anak itu sesuai dengan perintah ketua-ketua mereka. Entah mengapa mereka hendak pula mengambil anak itu. Mereka lalu mengurung kuil dengan racun dan kami semua mengambil keputusan untuk mencegah masing-masing mengambil anak itu. Susahnya, pinceng tidak mau menggunakan kekerasan karena pinceng tidak ingin menarik Siauw-lim-pai bermusuhan dengan Thian-liong-pang mau pun Pulau Neraka." Dengan singkat Siauw Lam Hwesio menuturkan peristiwa yang terjadi.

Suma Han mendengarkan penuh keheranan. Kemudian ia berkata lirih agar tidak terdengar oleh orang-orang di kedua rombongan, "Locianpwe, terus terang saja, kedatangan saya ini pun dengan maksud untuk mengambil anak itu, putera mendiang Bhok-toanio."

Hwesio itu terkejut, memandang tajam akan tetapi jantungnya berdebar aneh ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata pendekar itu. Ia bergidik. Pandang mata pendekar ini benar-benar hebat, bukan seperti mata manusia! "Mengapa, Sicu?" tanyanya lirih.

"Saya datang atas permintaan Bhok-toanio sendiri dalam pesannya terakhir." Suma Han lalu menceritakan pesanan Bhok Khim kepadanya setelah wanita itu tidak berhasil meninggalkan pesan kepada kedua orang suheng-nya yaitu Khu Cen Thiam dan Liem Sian.

Siauw Lam Hwesio mengangguk-angguk dan mencela murid-murid Siauw-lim-pai itu. "Mereka terlalu dipengaruhi perasaan, tidak ingat lagi akan peri kemanusiaan. Betapa bodohnya dan pinceng memuji kemuliaan hati Sicu. Kalau begitu, baiklah, biar anak itu ikut bersama Sicu."

"Tidak, Locianpwe. Setelah Locianpwe berada di sini, sudah sepatutnya kalau putera Bhok-toanio itu ikut bersama Locianpwe. Saya sendiri hidup sebatang kara, miskin papa tidak mempunyai rumah. Saya khawatir kalau-kalau anak itu hanya akan menderita dan terlantar bersama saya. Sebaiknya dia ikut dengan Locianpwe agar mendapat didikan yang baik dan kelak bisa menjadi seorang manusia yang berguna. Pula, Bhok-toanio menyerahkan anak itu kepada saya hanya karena terpaksa dan di sana tidak ada orang lain lagi. Locianpwe atau lebih tepat Siauw-lim-pai lebih berhak atas diri anak itu."

Hwesio tua itu mengangguk-angguk. "Sicu benar. Anak keturunan orang itu perlu sekali mendapat didikan yang benar agar tidak menjadi seorang sesat seperti... darah keturunannya. Akan tetapi, bagaimana pinceng dapat mengambil anak itu tanpa menanam permusuhan dengan mereka?" Hwesio itu memandang ke arah dua rombongan.

Ucapan terakhir hwesio tentang darah keturunan sesat itu menikam ulu hati Suma Han. Akan tetapi hanya sebentar karena perasaan tertusuk ini segera tenggelam dan lenyap dalam kekosongan hatinya. Dia pun seorang yang mempunyai darah keturunan sesat, bahkan nenek moyangnya, bangsawan yang ber-she Suma, terkenal sebagai orang-orang jahat!

Dia kini menoleh ke arah dua rombongan, melihat betapa pemimpin kedua rombongan itu, yang terdiri dari dua orang duduk bercakap-cakap di dekat api unggun masing-masing, sedangkan anak buah mereka membuat api unggun sendiri dalam jarak yang agak jauh, siap menanti perintah mereka.

"Harap Locianpwe jangan khawatir. Saya mempunyai akal untuk mengundurkan mereka."

"Sicu, ingat. Pinceng tidak menghendaki kekerasan, apa lagi pertumpahan darah. Kehidupan putera Bhok Khim tidak boleh dimulai dengan pertumpahan darah dan pembunuhan!"

Suma Han tersenyum, mengangguk. "Saya mengerti, Locianpwe. Harap Lo-cianpwe menyerahkan hal ini kepada saya." Ia lalu bangkit berdiri dan berjalan terpincang-pincang meninggalkan hwesio itu yang memandang bengong melihat pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam.

Dua orang Thian-liong-pang duduk di depan api unggun, membicarakan pemuda berkaki tunggal yang pergi terpincang-pincang dan lenyap dalam gelap. Si Muka Tengkorak berkata lirih. "Sebaiknya dia pergi. Aku sudah khawatir kalau-kalau dia membantu Si Hwesio."

"Hemm, bocah berkaki buntung seperti itu bisa apakah? Andai kata membantu Si Hwesio Siauw-lim-pai, seorang di antara anak buah kita tentu bisa membinasakannya!" kata Si Mata Sipit.

"Ahh, Sute. Jangan memandang rendah dia. Tidakkah kau melihat sinar matanya tadi? Hihhh, seperti mata setan! Dan rambutnya yang putih semua itu! Dia seperti siluman saja. Ngeri aku melihatnya!"

"Ah, Suheng! Andai kata dia siluman sekali pun, aku tidak takut kepadanya! Kalau dia berani muncul, kutebas batang lehernya dengan pedang ini!" Si Mata Sipit mengeluarkan sebatang pedang yang tadi tidak dipergunakannya ketika menghadapi dua orang Pulau Neraka. "Dia tentu bukan orang Siauw-lim-pai dan menurut pesan Pangcu, hanya orang-orang partai besar saja yang harus kita indahkan dan jaga jangan sampai kita bentrok dengan mereka. Atau kubuntungi lagi kaki tunggalnya, hendak kulihat dia bisa berbuat apa?"

Tiba-tiba terdengar suara lirih di depan mereka, "Ha-ha-ha, aku memang siluman. Pendekar Siluman! Kalian mau bisa berbuat apa terhadap seorang siluman? Bocah itu putera murid Siauw-lim-pai, harus ikut dengan hwesio Siauw-lim-si. Kalau kalian masih banyak ribut, kutelan kalian hidup-hidup!"

Dua orang itu terbelalak kaget. Suara itu datang dari dalam api unggun! Mereka menatap api unggun dan tampak oleh mereka betapa asap api unggun menebal, bergulung ke atas dan... asap tebal itu membentuk tubuh seorang raksasa! Makin lama makin jelaslah bentuk itu dan muncullah seorang raksasa yang besarnya tiga empat kali ukuran manusia biasa, raksasa yang wajahnya persis pemuda berkaki buntung tadi, kakinya buntung, tongkat butut di tangannya, rambutnya riap-riapan putih dan kini ‘raksasa’ itu mengulur tangan kanan hendak menangkap mereka!

"Huuuuhhh...! Sii... siluman...!" Si Mata Sipit terloncat kaget, lupa akan ancamannya, bahkan pedangnya terlepas dari tangan yang menggigil.

"Siluman... siluman raksasa...!" Si Muka Tengkorak juga melompat bangun.

Mukanya sendiri seperti tengkorak, seperti siluman yang tentu akan menimbulkan rasa ngeri di hati orang yang melihatnya, akan tetapi kini dia berdiri terbelalak, kedua kakinya menggigil. Kemudian kedua orang jagoan ini lari terbirit-birit diturut oleh anak buahnya yang juga melihat ‘siluman raksasa’ itu!

Keributan ini terdengar oleh rombongan Pulau Neraka. Mereka menjadi terheran-heran melihat rombongan lawan itu lari pontang-panting sambil berteriak-teriak ada siluman! Karena mereka tidak melihat sesuatu, mereka diam-diam mentertawakan rombongan Thian-liong-pang yang mereka anggap pengecut dan penakut, seperti sekumpulan anak-anak kecil yang ketakutan dan melihat yang bukan-bukan di dalam tempat sunyi itu.

"Hi-hik, sungguh lucu! Mereka itu mengaku sebagai orang-orang Thian-liong-pang dan kabarnya Thian-liong-pang mempunyai banyak orang pandai. Sekarang, di tempat sunyi ini mereka ketakutan dan lari karena melihat siluman?" Wanita bermuka jambon tertawa.

"Huh! Siluman? Kita dari Pulau Neraka sudah lama dianggap manusia-manusia siluman maka tentu saja kita tidak takut siluman. Lebih baik lagi kalau mereka melarikan diri sehingga pekerjaan kita menjadi ringan. Besok pagi kita harus dapat membawa lari anak itu dari sini!" kata laki-laki muka ungu sambil menaruh lagi ranting kayu kering untuk membesarkan api unggun.

"Tapi... bagaimana dengan hwesio tua itu? Dia tentu akan merintangi kita dan tentu kita akan mendapat teguran kalau kita terpaksa harus membunuhnya. Kalau tidak dibunuh, bagaimana kita bisa mengambil bocah itu?" Sumoinya membantah.

"Apa sukarnya? Kita boleh menggunakan akal. Dia hanya seorang diri, dan kita berjumlah banyak. Kita atur begini..." Dia kini bicara bisik-bisik. "Biarlah besok kutantang dia. Dia toh tidak akan dapat memasuki kuil. Kutantang dia bertanding, dan selagi aku melawan dia, engkau bersama anak buah kita menyerbu ke kuil, membawa lari bocah itu!"

"Akan tetapi dia lihai sekali, Suheng. Bagaimana kalau Suheng kalah?"

"Kalau dia terlalu lihai, engkau membantuku dan biar anak buah kita yang menyerbu ke dalam kuil. Kita keroyok dia dan setelah bocah itu dapat dirampas, kita tinggalkan dia. Apa sukarnya?"

"Akan tetapi... senjata-senjata rahasia kaum Thian-liong-pang itu. Berbahaya sekali."

"Hemm, mereka telah lari cerai-berai. Kita berjumlah banyak. Suruh anak buah kita membersihkan senjata-senjata rahasia yang tersebar di depan kuil. Besok setelah matahari terbit, kita bergerak serentak dan pasti berhasil."

"Aihh, Suheng lupa akan bocah buntung tadi. Bagaimana kalau dia muncul?"

"Biarkan dia muncul! Kita takut apa? Sikapnya saja menyeramkan, akan tetapi bocah itu bukan setan, hanya manusia biasa, manusia yang cacad pula. Dengan kakinya yang hanya sebuah, dia bisa apa? Apakah engkau takut, Sumoi?"

"Aku? Takut? Hi-hi-hik! Lucu sekali, Suheng. Sejak kapan aku takut kepada bocah buntung seperti dia itu?" Wanita muka jambon itu bangkit berdiri, mendekati api unggun dan membesarkan api unggun sambil berkata lagi, "untuk membuktikan bahwa aku tidak takut, kalau benar dia berani muncul, akan kupenggal lehernya dan kubawa pulang kepalanya untuk hiasan dinding di kamarku..."

Tiba-tiba ia berhenti bicara, matanya terbelalak, tangannya masih memegang ranting membesarkan api, mulutnya terbuka lebar. Juga suheng-nya sudah meloncat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. Ternyata di atas api unggun telah berdiri pemuda buntung yang mereka bicarakan tadi, akan tetapi pemuda buntung itu tubuhnya tinggi besar seperti raksasa. Selagi kedua orang Pulau Neraka ini tertegun, terdengar ‘raksasa’ itu berkata, suaranya besar dan parau.

"Engkau akan menebas kepalaku dan hendak membawa kepalaku sebagai oleh-oleh? Untuk hiasan dinding kamar? Nah, ini kuberikan kepalaku kepadamu!" Raksasa itu menjambak rambutnya sendiri, membetot dan... kepala raksasa itu copot dan kini tergantung di tangan kanannya yang diulur untuk menyerahkan kepala itu kepada wanita bermuka jambon!

"Cel... celaka... ib... iblisssss...!" Wanita itu melompat ke belakang, menahan air kencingnya yang hampir keluar saking takutnya. Suheng-nya sudah mendahuluinya lari terbirit-birit. Keduanya kini lari pontang-panting dan anak buah mereka juga lari sambil berteriak-teriak karena mereka dikejar seorang raksasa yang memegangi kepalanya yang copot!

Siauw Lam Hwesio hanya melihat betapa kedua rombongan itu secara aneh melarikan diri, padahal dia hanya melihat Suma Han menghampiri mereka dan bicara lirih, Hwesio tua ini sudah memiliki banyak pengalaman, dan juga dia memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Akan tetapi apa yang disaksikannya itu benar-benar membuat ia tidak mengerti, kagum dan menarik napas panjang lalu berbisik, "Omitohud...! Dia itu manusia ataukah siluman...?"

Akan tetapi diam-diam ia merasa bersyukur bahwa kedua rombongan itu telah pergi sehingga besok akan memudahkan baginya membawa pergi putera Bhok Khim. Dia tidak berani memasuki kuil malam itu karena masih ada bahaya racun mengancam. Besok setelah matahari bersinar, baru ia akan mencari akal untuk memasuki kuil dan menghindarkan diri dari pada bahaya racun yang mengancam. Dia tidak melihat Suma Han muncul lagi, maka diam-diam ia bersyukur dan berterima kasih lalu melanjutkan semedhinya sambil memasang perhatian kalau-kalau ada musuh yang berniat buruk memasuki kuil malam itu.

Akan tetapi malam itu tidak ada terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, ketika embun pagi telah mulai terusir pergi oleh sinar matahari yang kemerahan dan cuaca sudah mulai terang, Siauw Lam Hwesio membuka matanya dan bangkit berdiri. Akan tetapi, suara di sebelah belakang membuat ia menengok dan alangkah kecewa dan cemas hati hwesio ini ketika melihat bahwa kedua rombongan dari Thian-liong-pang dan Pulau Neraka itu ternyata masih berada di situ, biar pun kini dalam jarak yang agak jauh dan ternyata kedua rombongan itu kini menjadi satu! Agaknya, keduanya telah bicara tentang siluman dan bersepakat untuk menghadapi rintangan menakutkan itu bersama! Kini, setelah malam terganti pagi dan melihat hwesio tua telah bangkit berdiri, mereka pun berindap-indap mulai mendekati kuil!

Melihat ini, Siauw Lam Hwesio berkata, "Apakah kalian masih belum mau pergi dan membiarkan pinceng mengambil putera murid Siauw-lim-pai?"

Si Muka Tengkorak, tokoh Thian-liong-pang itu berseru, "Tidak bisa! Kami tidak boleh membiarkan engkau mengambil anak itu!"

Laki-laki bermuka ungu juga berkata, "Losuhu, biar pun engkau dibantu siluman, kami tidak takut! Kami bersama akan menghadapi siluman itu, baru kemudian kita bicara tentang anak yang kita perebutkan!"

"Hemm, pinceng sebetulnya tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga. Akan tetapi hendaknya kalian ingat bahwa sekali ini, Siauw-lim-pai bertindak untuk urusannya sendiri karena anak itu adalah anak dari murid Siauw-lim-pai, berarti masih keluarga Siauw-lim-pai. Maka apabila pinceng mengambil anak itu dan Cu-wi menghalangi, berarti bahwa Cu-wi yang mencari permusuhan dengan Siauw-lim-pai, bukan pinceng yang sengaja menimbulkan pertentangan!"

"Ha-ha-ha, Siauw Lam Hwesio. Setelah matahari bersinar dan tidak ada Pendekar Siluman yang main sulap lagi, kini bicaramu lunak sekali. Siapa bicara tentang permusuhan antara partai? Sekarang adalah urusan pribadi di antara kita! Siauw Lam Hwesio, aku menantangmu bertanding, apakah engkau berani?"

"Omitohud! Selamanya pinceng tidak pernah minta bantuan orang lain. Kalau semalam kalian lari pontang-panting karena Suma-sicu, hal itu adalah kehendak pendekar itu sendiri. Dan selamanya pinceng tidak pernah mengadakan pibu dengan siapa juga. Sekarang pinceng tidak ingin berurusan dengan kalian, baik atas nama partai mau pun perorangan. Pinceng hendak mengambil anak itu!"

"Eh, hwesio penakut! Aku menantangmu, apakah kau tidak berani? Apakah keberanianmu hanya mengandalkan Pendekar Siluman? Di mana dia sekarang? Seekor siluman akan lari kalau melihat sinar matahari, apakah semalam itu bukan siluman ciptaan ilmu hitammu sendiri?" Wanita muka jambon mengejek.

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam kuil. "Siapa mencari Pendekar Siluman? Aku berada di sini!" Tiba-tiba pintu kuil terbuka dan muncullah Suma Han, terpincang-pincang sambil memondong seorang anak laki-laki yang memandang kepadanya dengan wajah berseri.

Suma Han terpincang-pincang sampai depan kuil, ditonton oleh semua orang yang memandang terbelalak karena senjata-senjata rahasia itu masih bertebaran di situ dan asap kemerahan masih mengepul tipis! Tiba-tiba Suma Han menggerakkan kaki tunggalnya dan bagi para anak buah kedua rombongan, tubuh pendekar kaki buntung itu lenyap. Akan tetapi dua orang tokoh Pulau Neraka dan dua orang tokoh Thian-liong-pang, juga Siauw Lam Hwesio, melihat betapa pemuda buntung itu mencelat ke atas tinggi sekali, berjungkir balik lima kali di udara melewati asap kemerahan dan meluncur turun di dekat mereka tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

"Hebat...! Menyenangkan sekali...!" Anak laki-laki dalam pondongan Suma Han yang diajak mencelat tinggi lalu berjungkir balik lima kali itu tidak menjadi cemas, bahkan bertepuk-tepuk tangan dan bersorak kegirangan! Ia masih bersorak ketika Suma Han menurunkannya ke atas tanah.

"Siapa mencari aku? Aku Pendekar Siluman berada di sini! Dengarkanlah wahai kalian orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka! Aku sama sekali bukan pembantu Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai! Aku bertindak atas kehendakku sendiri dan semua yang kulakukan adalah menjadi tanggung jawabku sendiri! Aku mengambil anak ini dan kuserahkan kepada Siauw-lim-pai karena aku menganggap anak ini sudah seharusnya ikut dengan Siauw-lim-pai. Kalau ada di antara kalian yang tidak menerima, jangan menyalahkan Siauw Lam Hwasio, akan tetapi akulah yang bertanggung jawab!" Suma Han lalu mendorong tubuh anak itu yang mencelat ke arah Siauw Lam Hwesio! Hwesio tua itu menerimanya dan memondongnya.

"Tidak! Aku lebih suka ikut denganmu, Paman Buntung!" bocah itu berkata.

"Hemm, dengarlah, anak baik! Ibumu adalah murid Siauw-lim-pai, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk belajar di Siauw-lim-pai, agar kelak menjadi seorang manusia yang berguna. Jangan membantah lagi!" Di dalam suara Suma Han terkandung wibawa yang membuat anak itu tidak berani lagi membantahnya. "Locianpwe, harap membawa pergi anak itu dan Lociapwe sudah tidak ada urusan lagi dengan mereka ini. Sayalah yang bertanggung jawab dalam urusan ini!"

"Omitohud...! Semoga Sang Buddha memberi bimbingan kepadamu, Suma-sicu," Siauw Lam Hwesio lalu pergi dari situ sambil memondong anak itu, diikuti pandang mata semua orang, namun tidak ada yang berani bergerak menghalanginya pergi.

Tiba-tiba dua orang Thian-liong-pang membentak marah dan kedua tangan mereka bergerak. Melihat ini, dua orang Pulau Neraka juga menggerakkan tangan dan berhamburan senjata-senjata rahasia berupa peluru-peluru bintang dan golok-golok terbang. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Suma Han lenyap dari depan mata mereka. Ketika senjata-senjata itu sudah lewat dan golok-golok terbang sudah kembali ke tangan pemiliknya, mendadak tubuh pendekar itu melayang turun dari atas, kemudian hinggap di tempatnya semula berdiri. Kiranya tubuh pendekar butung itu tadi mencelat ke udara dan kini sudah kembali di tempatnya, berdiri tersenyum pahit sambil bersandar pada tongkat bututnya!

"Serbu...!" bentak dua orang pimpinan rombongan Pulau Neraka.

"Tangkap!" pimpinan Thian-liong-pang juga memberi aba-aba kepada anak buahnya.

Kini puluhan macam senjata bagaikan hujan menyerbu tubuh Suma Han. Pendekar ini menggerakkan kakinya, tubuhnya mencelat ke sana sini, tongkatnya berkelebatan dan terdengarlah bunyi nyaring berkali-kali susul-menyusul dan tampak senjata-senjata itu beterbangan dalam keadaan patah-patah.

Empat orang pimpinan kedua rombongan itu marah sekali, mereka maju serentak mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga sinkang mereka. Kini Suma Han mendorongkan kedua tangan ke depan, mengempit tongkatnya dan empat orang itu terdorong mundur, terhuyung-huyung akhirnya terbanting keras. Mereka merayap bangun dan wajah mereka berubah, gentar dan heran.

"Siapakah engkau, hai pemuda yang luar biasa?" Si Muka Tengkorak dari Thian-lion-pang bertanya.

"Namaku Suma Han!" jawab Pendekar Sakti itu sambil tersenyum duka, sama sekali tidak merasa bangga akan namanya.

"Engkau datang dari partai manakah dan siapa julukanmu? Kami perlu tahu untuk kami laporkan kepada ketua kami!" tanya tokoh Pulau Neraka yang bermuka ungu.

Suma Han memandang orang ini, kemudian memandang orang-orang dari Pulau Neraka yang mukanya berwarna-warni itu. Dia tersenyum. Orang-orang ini adalah orang-orang aneh sekali, tentu mempunyai ketua yang luar biasa pula. Tidak baik menanam bibit permusuhan dengan mereka, maka ia sengaja berkelakar,

"Kalian sudah tahu bahwa julukanku adalah Pendekar Siluman! Ada pun partaiku? Tidak ada partai, tempatku adalah Pulau Es!"

Di luar sangkaan Suma Han, mendengar ini, rombongan muka berwarna itu langsung mengeluarkan seruan kaget sekali dan serentak dua orang pimpinan itu menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Han, diturut oleh semua anak buahnya. "Mohon diampunkan kelancangan hamba sekalian yang tidak mengenal sehingga telah berani bersikap kurang ajar terhadap To-cu (Majikan Pulau) dari Pulau Es!"

Tentu saja Suma Han terkejut sekali, akan tetapi hatinya girang karena hal itu berarti bahwa sikap bermusuh mereka telah habis. "Sudahlah, harap kalian jangan bersikap sungkan. Di antara kita tidak ada permusuhan apa-apa, dan kuharap saja di masa depan kita tidak akan saling bentrok. Harap sampaikan salamku kepada Ketua Thian-liong-pang dan juga Ketua Pulau Neraka. Selamat berpisah!"

Setelah berkata demikian, Suma Han sengaja mengerahkan kepandaiannya sehingga dalam sekejap mata saja tubuhnya berkelebat dan lenyap dari depan mereka semua. Para anak buah dua rombongan itu bengong terheran-heran dan penuh kekaguman, apa lagi kalau mereka teringat akan peristiwa malam tadi dan nama besar Pendekar Siluman mulai saat itu makin terkenal, bahkan semenjak hari itu, Suma Han lebih dikenal sebagai Pendekar Siluman dari pada Pendekar Super Sakti.....

********************
"Adikmu yang seperti setan itu hanya mendatangkan mala petaka saja! Sungguh celaka! Kalau tahu begini, sampai mati pun tidak sudi aku mengambil engkau menjadi isteriku! Adikmu itu telah berani melarikan Puteri Nirahai dari istana! Celaka, sekarang kita tentu akan tertimpa bencana karena engkau adalah cici-nya!" Giam Cu, panglima brewok bertubuh tinggi besar itu menggebrak meja dan melotot kepada isterinya yang memandangnya dengan mata terbelalak dan air mata bercucuran.

Isterinya yang muda dan cantik itu adalah Sie Leng, atau lebih tepat Suma Leng, kakak perempuan dan satu-satunya saudara kandung dari Suma Han. Dalam cerita ‘Pedekar Super Sakti’ telah diceritakan bahwa Suma Leng ini, ketika masih dara remaja, telah diperkosa dan diculik oleh panglima Mancu dan kemudian diambil menjadi isterinya karena panglima itu ternyata jatuh cinta kepada karbannya ini.

"Kalau dia melarikan Puteri Nirahai, tentu ada sebab-sebabnya sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Mengapa engkau ribut-ribut?" Suma Leng membantah, akan tetapi ia menjadi cemas menyaksikan sikap suaminya kepadanya yang amat berubah ini. Baru sekarang suaminya yang biasanya memperlihatkan sikap kasih sayang, kelihatan marah-marah dan sinar kebencian terpancar dari mata.

"Tiada sangkut pautnya katamu?" Panglima Giam Cu bangkit berdiri dan tinjunya menghantam permukaan meja.

"Brakkk!" Meja itu pecah-pecah menjadi beberapa potong.

"Semua orang tahu bahwa engkau adalah kakak siluman buntung itu! Maka tentu kita sekeluarga akan dicap sebagai keluarga pemberontak jahat! Gara-gara engkau mempunyai adik siluman, aku pun akan turut celaka pula." Wajah panglima itu menjadi pucat teringat akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri. "Kecuali kalau..."

Suma Leng mendapat firasat buruk. Jantungnya berdebar ketika mendengar kalimat terakhir yang tak lengkap itu keluar perlahan-lahan dari mulut suaminya. Dengan nada yang rendah dan lirih ia bertanya, "...kecuali kalau apa...?"

Akan tetapi pertanyaannya ini disusul jerit mengerikan karena tiba-tiba berkelebat sinar menyilaukan dan tahu-tahu ujung pedang di tangan Giam Cu telah menembus dada isterinya yang biasanya amat dicintanya itu!

Suma Leng terbelalak memandang suaminya, tangannya mendekap dadanya yang tertusuk pedang. "Kau... kau...," ia terengah-engah, terhuyung ke belakang.

Sedetik Panglima Giam Cu merasa menyesal, akan tetapi segera ditekannya dengan keyakinan bahwa jalan ini terbaik baginya untuk menyelamatkan diri. "Terpaksa, demi keselamatanku, demi Hong-ji (Anak Hong)..."

"Ibu...! Ibuuuuu...!" Seorang anak perempuan berusia tiga tahun lebih berlari-lari dari dalam.

Seorang kanak-kanak memiliki perasaan yang sangat tajam dan halus sekali. Apa lagi dengan ibunya, dia memiliki pertalian jiwa raga yang dekat sehingga anak perempuan yang biasanya diasuh oleh para pelayan, kini seperti digerakkan sesuatu yang mukjizat, meronta dan berlari mencari ibunya!

"Kwi Hong...!" Suma Leng roboh sambil menyebut nama puterinya.

"Ibuuuu...!" Kwi Hong, bocah berusia tiga tahun lebih itu memasuki kamar dan berlari menghampiri ibunya.

Tiba-tiba tangan Panglima Giam menyambar tengkuknya, akan tetapi bocah itu lalu meronta dan menangis dalam pondongan ayahnya.

"Aku mau Ibu...! Lepaskan, aku akan turut Ibu...!"

"Husshh! Ibumu jahat dan nakal, engkau turut Ayah saja!" bentak Panglima Giam Cu dalam usahanya menghibur anaknya secara kaku dan kasar.

"Tidakkkk...! Aku mau Ibu... mau Ibu...!" Anak itu meronta-ronta.

"Kwi Hong... Kwi Hong... engkau... engkau hati-hatilah anakku... ohhhhhh!" Suma Leng menghembuskan napas terakhir dan bagaikan digerakkan sesuatu, anak itu menjerit dan menangis sekerasnya.

"Diam! Kutampar engkau kalau tidak mau diam!" Giam Cu membentak, namun anak itu tetap menangis sehingga panglima yang kasar ini menjadi marah dan benar-benar menampar pipi Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih itu.

Para pelayan datang dan mereka terkejut menyaksikan nyonya majikan mereka menggeletak di lantai dengan dada tertembus pedang dan tidak bernyawa lagi. Giam Cu menerangkan. "Dia membunuh diri karena malu mengingat adiknya Suma Han yang menjadi siluman kaki buntung dan menimbulkan keributan di istana."

Para pelayan mengundurkan diri sambil memondong Kwi Hong dan ramailah berita tentang kematian isteri panglima ini yang membunuh diri. Berita ini tentu saja terdengar oleh Kaisar dan tepat seperti yang diperhitungkan Giam Cu, dia tidak diganggu oleh Istana berhubung dengan perbuatan Suma Han yang melarikan Puteri Nirahai karena orang yang menjadi kakak pemuda buntung itu telah membunuh diri!

Akan tetapi, tentu saja penghuni gedung panglima ini dapat menduga bahwa nyonya majikan mereka sama sekali tidak membunuh diri, melainkan dibunuh oleh Giam-ciangkun. Namun mereka tidak berani bicara tentang itu. Lagi pula, andai kata Kaisar sendiri mendengar bahwa kematian kakak perempuan Suma Han itu disebabkan oleh pembunuhan Giam Cu, hal ini bahkan akan memperbesar kepercayaan pihak istana terhadap kesetiaan Giam Cu!

Kurang lebih empat bulan kemudian, pada suatu malam yang sunyi, menjelang tengah malam, Panglima Giam Cu terbangun dari tidurnya. Ia terkejut sekali melihat bayangan orang dalam kamarnya. Cepat ia mendorong tubuh wanita muda yang montok dan hangat itu, yang menjadi kekasihnya semenjak isterinya tewas, dan dengan hanya berpakaian dalam ia meloncat turun dari pembaringan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal orang yang berdiri di dalam kamarnya itu, seorang laki-laki muda berkaki tunggal, bertongkat, rambutnya riap-riapan berwarna putih semua. Suma Han!

Memang benarlah. Suma Han atau Si Pendekar Siluman yang berada di dalam kamar itu. Setelah berhasil menyelamatkan putera Bhok Khim di kelenteng tua itu dan menyerahkan anak itu kepada Siauw Lam Hwesio, pendekar ini diam-diam pergi ke kota raja untuk mengunjungi enci-nya dan minta diri karena ia mengambil keputusan untuk pergi mencari Pulau Es dan menghabiskan sisa hidupnya di tempat itu. Ia ingin bertemu dengan enci-nya untuk terakhir kalinya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hatinya mendengar bahwa enci-nya itu telah mati membunuh diri beberapa bulan yang lalu, yaitu beberapa hari setelah ia melarikan Puteri Nirahai dari penjara!

Karena merasa penasaran dan ingin menyelidiki, maka pada tengah malam itu Suma Han mempergunakan kepandaiannya memasuki kamar cihu-nya (kakak iparnya). Sebelum Giam Cu hilang kagetnya, Suma Han telah menggerakkan tongkat dan sekali totokan membuat tubuh Giam Cu tak dapat digerakkan lagi. Wanita muda yang telanjang bulat itu terbangun dan hendak menjerit, namun kembali Suma Han menotok sehingga wanita itu roboh lemas kembali ke atas kasur.

Suma Han menatap wajah cihu-nya, kemudian terdengar suaranya lirih penuh wibawa yang aneh, "Ceritakan sebab kematian Enci Leng!"

Seperti dalam mimpi, yang membuat ia ketakutan setengah mati, panglima itu mendengar suaranya sendiri, suara yang agaknya tak dapat ia kendalikan dan kuasai lagi, yang bicara tanpa dapat dicegahnya, "Dia mati kubunuh, kutusuk pedang dari dada tembus ke punggungnya."

Suma Han memejamkan mata sejenak untuk ‘menelan’ kemarahan yang menyesak dada, lalu membuka lagi matanya dan bertanya, "Mengapa engkau membunuhnya? Bukankah engkau amat sayang sekali kepada Enci Leng?"

Seperti sebuah arca yang mendadak bisa bicara, terdengar panglima itu menjawab, "Aku masih sayang kepadanya... tetapi... aku harus membunuhnya. Itulah jalan satu-satunya bagiku untuk menyelamatkan diri dari kemarahan Kaisar karena perbuatan adiknya. Aku menyesal... akan tetapi terpaksa...!"

Suma Han menarik napas panjang, kemudian berkelebat keluar dari kamar itu. Tak lama kemudian, tampaklah tubuhnya mencelat-celat di atas wuwungan rumah-rumah kota raja meloncati tembok kota keluar dari kota raja. Akan tetapi sekarang lengan kanannya memondong seorang anak kecil yang terbungkus selimut merah tebal. Seorang bocah yang masih tidur, yakni Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih, yang tidur nyenyak tidak tahu bahwa dia telah dibawa pergi pamannya meninggalkan gedung ayahnya, meninggalkan kota raja, bahkan meninggalkan dunia ramai!

Memang, semenjak perbuatan terakhir yang kembali menggemparkan kota raja karena semua orang menemukan Giam-ciangkun dalam keadaan berubah ingatan dan puteri panglima itu lenyap sehingga orang-orang mulai menduga bahwa ini tentu perbuatan Pendekar Siluman, diperkuat oleh kesaksian selir panglima itu yang melihat laki-laki buntung dalam kamar, semenjak itulah Suma Han lenyap dari dunia ramai. Akhirnya Kaisar menghentikan usahanya untuk mencari pendekar ini, juga sudah putus harapan untuk dapat menemukan kembali Puteri Nirahai yang hilang.

Masih banyak sekali urusan yang lebih penting dari pada hilangnya puteri dari selir ini, terutama sekali urusan penumpasan para pemberontak di Secuan. Setelah berhasil mengadakan persekutuan dengan Pangeran Kiu yang bersaing dengan Raja Muda Bu Sam Kwi, dan bersekutu pula dengan Tibet, pasukan-pasukan Mancu kembali melakukan penyerbuan dan tekanan-tekanan di Secuan terus-menerus dilakukan. Pihak pejuang yang melawan kekuasaan pemerintah Mancu melakukan perlawanan mati-matian. Akan tetapi, berkat siasat yang dilakukan Puteri Nirahai dahulu, yaitu mendekati dan menjanjikan perdamaian dengan para tokoh kang-ouw, kini perlawanan Bu Sam Kwi kehilangan bantuan orang-orang pandai dari dunia kang-ouw sehingga makin lama pertahanannya menjadi makin lemah.

Memang patut dikagumi keuletan pertahanan pihak Secuan yang pantang mundur. Bahkan matinya Raja Muda Bu Sam Kwi masih belum meruntuhkan semangat perlawanan pasukan Secuan. Mereka terus mengadakan perlawanan gigih dan barulah setelah melakukan perang lagi selama empat tahun lebih, pada tabun 1681 semua pertahanan dapat dihancurkan dan Secuan dapat direbut oleh tentara Mancu. Dengan jatuhnya Secuan, berhenti pula perang dan mulai saat itulah pemerintah Mancu dapat menguasai seluruh Tiong-goan.

Ternyata pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi cukup bijaksana dan ternyata pula bahwa orang-orang Mancu tidak hanya pandai perang, melainkan pandai pula mengatur pemerintahan. Untuk menundukkan semangat perlawanan bangsa pribumi, pemerintah mengadakan peraturan yang keras. Model pakaian diganti dan rakyat dianjurkan bahkan kadang-kadang dengan kekerasan, untuk merobah model pakaian Mancu. Rambut harus dibiarkan panjang dan dikuncir. Selain ini, diadakan pula larangan membawa senjata tajam.

Namun di samping kekerasan ini, pemerintah pun menjalankan siasat lunak yang menyenangkan hati rakyat. Korupsi dan penyuapan diberantas, kejahatan dihukum keras. Pribumi yang memiliki kepandaian mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan penting. Kebudayaan ditingkatkan dan dipelihara. Rakyat mulai merasa lega karena biar pun negara dijajah bangsa asing, namun penghidupan mereka kini lebih tenteram dan keselamatan mereka terjamin. Terutama sekali karena bangsa Mancu tidak menganggap mereka sebagai pendatang atau orang asing, tidak mengangkut kekayaan di bumi yang dijajah itu ke Mancu, melainkan melebur diri menjadi rakyat dari negara itu. Para pembesar dan bangsawan mempelajari kebudayaan Tiongkok bahkan keluarga mereka mulai berbicara dalam bahasa bangsa jajahannya ini.

Dalam keadaan yang mulai tenteram inilah maka timbul kembali partai-partai persilatan yang tadinya tenggelam dan menyembunyikan diri. Karena sekarang tidak ada lagi ‘musuh rakyat’ yang harus mereka lawan dengan ilmu kepandaian mereka, mulailah lagi timbul penyakit lama kaum kang-ouw ini, yaitu berlomba untuk menjagoi di dunia persilatan! Mulai kambuh kembali penyakit ingin mencari dan menguasai semua pusaka-pusaka peninggalan tokoh-tokoh persilatan yang sakti, mulai memperebutkan pusaka-pusaka untuk memperkuat kedudukan masing-masing agar dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia kang-ouw.

Dalam pandangan kaum kang-ouw ini, pemerintah yang baru mendatangkan kesan baik, maka sebagian ada yang menghambakan diri kepada pemerintah untuk memperkokoh kedudukan dan kemuliaan. Namun, kaum persilatan yang memang berwatak aneh itu merupakan petualang-petualang yang haus akan ketegangan-ketegangan, maka lebih banyak lagi yang tidak mengikatkan diri dengan pemerintah dan hidup bebas seperti yang ditempuh nenek moyang mereka di dunia kang-ouw.

Lima tahun telah lewat dengan aman dan tenteram. Tidak terjadi ketegangan di dunia kang-ouw selama lima tahun itu. Namun ada terdengar berita bahwa terjadi perubahan-perubahan yang amat hebat di dalam partai-partai besar. Agaknya partai-partai besar itu selama lima tahun ini sibuk dengan urusan dalam partai sendiri, tentang penggantian ketua, dewan pimpinan dan lain-lain, juga memperkuat kedudukan untuk menghadapi ‘sesuatu’ yang dibisik-bisikkan sebagai hal amat gawat! Karena itu, di dalam ketenangan itu bersembunyi sesuatu yang sewaktu-waktu akan meledak di dunia kang-ouw! Api dalam sekam yang setiap saat dapat berkobar! Bisul yang makin lama makin membesar, siap untuk pecah!

Ada terdengar berita bahwa sekarang para tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw mulai mengincar kedudukan dan tingkat di dunia persilatan. Hal ini tidak mengherankan oleh karena bukankah tokoh-tokoh lama sudah lenyap dan banyak yang mengundurkan diri tanpa pamit? Akan tetapi, semua orang kang-ouw tahu bahwa perebutan tingkat di dunia kang-ouw tidak kalah ramainya dengan saingan perebutan sebuah kerajaan!

Selama lima tahun itu, Siauw-lim-pai juga mengalami kejadian-kejadian amat penting. Pertama adalah meninggalnya Kian Ti Hosiang tokoh tertua dari Siauw-lim-pai, disusul setahun kemudian dengan meninggalnya Ceng San Hwesio Ketua Siauw-lim-pai. Setelah dua orang tokoh ini meninggal dunia, tidak ada lagi yang menjadi pimpinan yang ditakuti, maka terjadilah guncangan-guncangan akibat perebutan kekuasaan dan anak muridnya terpecah karena mempertahankan pilihan calon ketua masing-masing.

Di dalam keributan dan guncangan itu, Siauw Lam Hwesio turun tangan. Hwesio tua ini sebetulnya hanyalah seorang hwesio yang kedudukannya rendah, dan tidak pernah mencampuri urusan partai. Akan tetapi oleh kerena dia bekas pelayan Kian Ti Hosiang dan semua hwesio tahu bahwa Siauw Lam Hwesio mewarisi ilmu kepandaian Kian Ti Hosiang sehingga jarang ada murid Siauw-lim-pai lain yang mampu mengimbangi tingkatnya, maka ketika Siauw Lam Hwesio turun tangan melerai, nasihatnya ditaati. Apa lagi karena Siauw Lam Hwesio yang biasanya pendiam dan sabar itu agaknya menjadi marah sekali menyaksikan perebutan kekuasaan antara saudara seperguruan, sehingga terlontarlah kata-kata dan keputusannya.

"Tidak mau insaf jugakah kalian betapa nama kita sebagai pendeta-pendeta menjadi bahan ejekan dan kecaman dunia? Betapa banyak orang-orang yang berpakaian seperti pendeta akan tetapi kelakuannya amat jahat. Mereka itu sebetulnya hanyalah penjahat-penjahat yang menyembunyikan diri dalam pakaian pendeta, tetapi perbuatan mereka itu telah mencemarkan nama kita. Sekarang, kalian sebagai pendeta-pendeta asli, sebagai hwesio-hwesio murid Siauw-lim-si yang sejak kecil digembleng dengan ilmu dan kebatinan, ternyata masih tidak mampu menguasai nafsu akan kemuliaan dan kedudukan sehingga kedudukan ketua saja diperebutkan! Kalau begitu, apa artinya kalian menggunduli rambut kepala? Apa artinya kepala gundul akan tetapi hatinya berbulu? Sungguh mencemarkan dan memalukan perbuatan kalian ini sehingga pinceng sendiri merasa malu untuk berpakaian pendeta dan menggunduli kepala. Nah, mulai sekarang biarlah aku tidak menjadi pendeta lagi, kepalaku tidak gundul lagi agar jangan dikira aku pun seorang busuk menyamar sebagai pendeta hwesio!"

Setelah berkata demikian, Siauw Lam Hwesio mengeluarkan ilmunya yang mukjizat. Seluruh tubuhnya menggigil, kulit tubuhnya mengeluarkan keringat dan... di permukaan kepalanya yang gundul licin itu tiba-tiba telah tumbuh rambut yang panjangnya ada dua senti! Ketika ia menggerakkan tubuh, pakaian pendeta yang menempel di tubuhnya hancur berantakan!

Melihat kesaktian yang hebat ini, para murid Siauw-lim-pai tunduk dan dapatlah kini dipilih seorang ketua baru tanpa adanya pertentangan. Anak laki-laki putera Bhok Kim yang dibawa ke kuil Siauw-lim-si oleh kakek itu kini telah menjadi muridnya dan tinggal pula di Siauw-lim-si membantu pekerjaan gurunya sebagai pelayan. Semua hwesio di kuil itu sayang kepada Bun Beng, demikian nama anak itu, karena bocah itu amat rajin dan penurut, pula memiliki kecerdikan yang luar biasa dengan wajahnya yang tampan dan sepasang matanya yang bening tajam.

Sejak peristiwa hebat di mana Siauw Lam Hwesio menumbuhkan rambutnya itu, dia bersama Bun Beng masih tinggal di dalam kuil, di bagian belakang dan mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, membersihkan kuil, mengisi air, menyapu dan lain-lain, dibantu oleh muridnya.

Pada malam itu, setelah makan malam dan mengaso, Bun Beng melihat wajah gurunya muram. Gurunya memang tidak pernah berseri mukanya, akan tetapi biasanya wajah gurunya itu hanya dingin saja, tidak seperti malam ini jelas membayangkan kemuraman. Kakek itu kini rambutnya telah panjang sampai lewat pundak, jenggot dan kumisnya juga panjang. Rambut dan jenggot itu telah putih semua, seperti benang-benang perak, dan pakaiannya sederhana sekali.

"Suhu, apakah yang mengganggu pikiran Suhu?" Bun Beng bertanya ketika guru dan murid ini duduk di atas pembaringan dalam kamar mereka.

Kakek yang kini tidak menggunakan sebutan hwesio lagi melainkan hanya Kakek Siauw Lam saja, memandang muridnya sambil menyembunyikan kekaguman hatinya dari sinar matanya. Benar seorang bocah yang luar biasa, pikirnya. Selama lima tahun ini, dalam pelajaran sastera semua kitab kuno yang berada di perpustakaan kuil habis ‘dilahapnya’, sedangkan dalam pelajaran ilmu silat, bocah ini memiliki bakat yang menakjubkan. Sekali diajar terus dapat mengerti dan menguasai! Hal ini masih belum mengagumkan hati kakek Siauw Lam, dan yang benar-benar mengagumkan hatinya adalah pandangan yang amat luas dari bocah ini. Usia Bun Beng baru sepuluh tahun lebih, akan tetapi bocah ini sudah dapat mengerti bahwa saat itu dia sedang menderita gangguan pikiran! Bukan main!

Kakek itu menarik napas panjang, lalu menjawab, "Betapa pikiran takkan terganggu kalau menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan, muridku? Semenjak dunia berkembang, manusia selalu menjadi hamba dari nafsu mereka sendiri sehingga timbullah hal-hal yang saling merugikan di antara manusia. Kita yang mempelajari ilmu silat, sedikit banyak mempunyai pertalian dengan dunia persilatan. Karena itu mendengar akan keruhnya dunia kang-ouw pada saat ini, mau tidak mau hatiku menjadi pilu dan penuh kekhawatiran akan terjadi bentrokan-bentrokan hebat di antara para pendekar sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang gagah secara sia-sia belaka."

"Apakah yang terjadi di dunia kang-ouw, Suhu?"

Tampaknya memang aneh mendengar seorang kakek tua membicarakan urusan dunia kang-ouw dengan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun lebih. Akan tetapi karena Kakek Siauw Lam maklum bahwa Bun Beng bukanlah bocah biasa, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bercerita.

"Dunia kang-ouw yang selama ini tampak tenteram dan penuh damai, kini mulai geger dengan adanya berita yang amat mengejutkan. Pertama, lenyapnya pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas yang amat dipuja oleh kaum kang-ouw, baik dari golongan hitam mau pun golongan putih. Kedua, lenyapnya sepasang pusaka yang menggiriskan, yaitu Sepasang Pedang Iblis! Hanya diketahui bahwa kuburan kedua orang Siang-mo-kiam tahu-tahu dibongkar orang dan diduga bahwa Sepasang Pedang Iblis yang tentu berada dengan sisa jenazah kedua orang pemiliknya itu telah diambil pembongkar kuburan. Kalau pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas amat dipuja dunia kang-ouw sebagai pusaka-pusaka keramat yang patut dihormat, adalah Sepasang Pedang Iblis merupakan pusaka yang mengerikan dan menakutkan karena munculnya Sepasang Pedang Iblis itu berarti munculnya pula geger dan keributan di dunia kang-ouw. Hal ke tiga adalah berita tentang ditemukannya kitab-kitab warisan keluarga Bu Kek Siansu dan kabar yang menghebohkan adalah bahwa kini pemerintah telah menguasai peta penyimpanan pusaka-pusaka itu. Karena pendengaran orang kang-ouw amat tajam, kini sudah diketahui pula bahwa tempat itu adalah sebuah di antara pulau-pulau karang kecil di tengah-tengah Sungai Huang-ho yang sudah dekat dengan muaranya di Teluk Po-hai. Nah, dengan adanya berita ini, aku menduga bahwa tentu tokoh-tokoh kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi sedang berlomba untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu, tentu ramailah Sungai Huang-ho di daerah itu."

"Daerah mana, Suhu?"

"Kabarnya sesudah melewati Terusan Besar, bahkan sesudah lewat kota Cin-an, di sebelah timurnya, hanya beberapa puluh li saja dari pantai laut."

"Siapa sajakah yang akan muncul, Suhu? Apakah... Pendekar Siluman juga akan hadir?"

Selama lima tahun ini, tak pernah Bun Beng dapat melupakan Pendekar Siluman berkaki buntung yang pernah menolongnya. Sudah sering kali ia bertanya kepada suhunya tentang diri Suma Han, akan tetapi gurunya agaknya enggan bicara tentang Pendekar Siluman itu.

"Entahlah, mana aku tahu siapa yang akan muncul? Hanya kabarnya sekarang ini di dunia kang-ouw telah muncul banyak sekali orang yang memiliki kesaktian luar biasa."

"Seperti Pendekar Siluman?"

Kakek itu memandang muridnya, sinar matanya tersenyum. "Mungkin lebih! Biar pun aku hanya mendengar beritanya saja, namun kabarnya kini Thian-liong-pang memiliki seorang ketua yang kepandaiannya seperti dewa! Dan juga bermunculan tokoh-tokoh dari Pulau Neraka yang kabarnya mempunyai kepandaian seperti iblis-iblis neraka sendiri. Tentang ketuanya, belum pernah ada orang melihatnya, penuh rahasia seperti ketua baru Thian-liong-pang! Ketua dua partai ini hanya kabarnya saja yang sudah keluar ke dunia kang-ouw, namun mungkin jarang ada yang pernah melihat mereka. Di samping Thian-liong-pang dan pulau Neraka, kini bahkan muncul kabar tentang partai baru, yaitu penghuni-penghuni Pulau Es!"

"Pendekar Siluman...?" Bun Beng makin tertarik.

"Entahlah. Tentang pulau Es ini lebih mengherankan lagi dan penuh rahasia. Tidak ada yang tahu pula siapa ketuanya, namun kabarnya, anak buahnya pun sudah memiliki kesaktian luar biasa. Apa lagi ketuanya!"

Mendengar penuturan tentang dunia kang-ouw dengan banyak keanehannya itu, hati Bun Beng tertarik bukan main. Kalau gurunya bicara, pandang matanya seolah-olah melekat dan tergantung pada bibir gurunya untuk mengikuti gerak-gerik agar jangan ada sepatah pun kata yang terlewat oleh penangkapannya. Kalau gurunya berhenti, ia pun termenung dan pikirannya melayang-layang jauh sekali.

Biar pun Kakek Siauw Lam hanya mendengarkan penuturan anak murid Siauw-lim-pai yang juga mendengarnya sebagai kabar angin saja, namun sesungguhnya kabar itu banyak yang benar. Memang telah terjadi hal-hal luar biasa di dunia kang-ouw selama beberapa tahun ini.

Pertama adalah tentang lenyapnya pusaka-pusaka keluarga Suling Emas. Pusaka-pusaka ini, termasuk senjata keramat Pendekar Sakti Suling Emas yang berbentuk sebatang suling emas yang indah, tadinya tersimpan di tanah kuburan keluarga Suling Emas yang terletak di daerah Khitan. Tanah kuburan ini terjaga keras oleh seorang tokoh sakti yang disegani karena selain dia bekas pelayan keturunan terakhir keluarga pendekar itu, juga berkali-kali merobohkan orang-orang yang berusaha merampas pusaka-pusaka itu.

Ketika Puteri Nirahai mengunjungi kuburan itu untuk meminjam suling emas guna mempengaruhi kaum kang-ouw, puteri ini pun kewalahan menghadapi penjaga yang sakti itu. Penjaga itu adalah kakek bongkok Gu Toan yang setia, yang menjaga kuburan keluarga Suling Emas, membela seluruh pusaka, lebih-lebih dari pada membela nyawanya sendiri! Akan tetapi, geger pertama mengguncang dunia kang-ouw ketika pada suatu hari kakek bongkok Gu Toan itu tanpa terluka terdapat sudah tak bernyawa lagi di depan pintu pagar kuburan, dan semua pusaka telah lenyap tanpa bekas!

Dunia kang-ouw geger, para tokoh saling mencurigai, saling menyelidik, tetapi pusaka-pusaka itu tak pernah dapat ditemukan jejaknya! Keguncangan ini belum juga reda, dunia kang-ouw sudah digegerkan oleh guncangan ke dua, yaitu ketika tokoh-tokoh tua menemukan kuburan Siang-mo-kiam telah dibongkar orang dan Sepasang Pedang Iblis yang diduga berada di dalam kuburan itu telah lenyap. Atau lebih tepat lagi, tidak ada orang yang tahu sebelumnya bahwa Siang-mo-kiam telah tewas, menduga bahwa setelah dua orang iblis jantan betina itu tewas namun Sepasang Pedang Iblis tak dapat ditemukan pada sisa mayat mereka, tentulah Sepasang Pedang Iblis itu telah terjatuh ke tangan orang lain. Dan hal ini berarti BAHAYA!

Telah diceritakan dalam cerita "Pendekar Super Sakti" bahwa yang mengubur jenazah Siang-mo-kiam itu adalah Suma Han dan adik angkatnya, Lulu gadis Mancu. Siang-mo-kiam merupakan sepasang kakek dan nenek yang aneh sekali, dan keanehan itu agaknya terpengaruh oleh Sepasang Pedang Iblis yang memiliki riwayat menyeramkan dan aneh.

Ratusan tahun yang lalu, di jamannya Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam puteri Pendekar Suling Emas, sepasang pedang itu dibuat oleh sepasang kakek nenek berbangsa India yang amat sakti, aneh dan ganas sekali. Karena mereka berdua kalah dalam pertandingan melawan Pendekar Wanita Mutiara Hitam, maka keduanya lalu membayar taruhan mereka, yaitu membuatkan sepasang pedang, masing-masing membuat sebatang untuk Mutiara Hitam.

Cara pembuatan pedang itu luar biasa sekali, bahannya pun dari dua bongkah logam aneh milik Mutiara Hitam. Kedua orang kakek nenek India yang selalu berlomba tidak mau saling mengalah itu, kini berlomba pula dalam membuat pedang. Bentuk pedang serupa karena memang contohnya diberikan oleh Mutiara Hitam, maka keduanya lalu bersaing untuk membuat pedang yang lebih ampuh! Untuk ini, mereka tidak segan-segan untuk mengorbankan anak-anak kecil yang diambil darahnya untuk dijadikan ‘bumbu’ dalam ‘memasak’ pedang! Bahkan akhirnya, persaingan itu memuncak sedemikian rupa sehingga kakek dan nenek itu saling bunuh dengan pedang mereka pada saat Mutiara Hitam datang hendak mengambilnya!

Sepasang Pedang Iblis itu kemudian terjatuh ke tangan dua orang murid Mutiara Hitam laki-laki dan perempuan. Sejarah berulang. Mereka yang sebetulnya saling mencinta ini, lalu saling bersaing tidak mau kalah sehingga berubah menjadi ganas sekali dan akhirnya, sebagai kakek dan nenek, mereka pun tewas oleh pedang masing-masing! Jenazah kedua kakek dan nenek murid Mutiara Hitam ini dikubur oleh Suma Han dan Lulu. Kedua orang yang pada waktu itu masih amat muda itu mengubur pula Sepasang Pedang Iblis bersama dua jenazah itu.

Demikian riwayat Sepasang Pedang Iblis yang kini telah lenyap pula. Bagaimana dunia kang-ouw tidak akan menjadi geger karenanya?

Bukan hanya lenyapnya pusaka Keluarga Suling Emas dan Sepasang Pedang Iblis saja yang menggegerkan dunia kang-ouw dan kaum persilatan, akan tetapi berita tentang ditemukannya kitab-kitab pusaka warisan keluarga Bu Kek Siansu tidak kalah hangatnya. Nama Bu Kek Siansu, orang kang-ouw manakah yang tidak mengenalnya? Pendekar Sakti Suling Emas banyak menerima ilmu dari kakek sakti yang dianggap manusia dewa itu!

Bahkan banyak tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam juga memperoleh ilmu dari Bu Kek Siansu karena dahulu kabarnya setiap tahun Bu Kek Siansu ‘turun’ ke dunia untuk membagi-bagikan ilmu kepada mereka yang berjodoh dengannya! Ilmu-ilmu mukjizat yang dimiliki kaum sesat, seperti Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) dan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) kabarnya juga berasal dari ilmu yang diberikan oleh Bu Kek Siansu! Maka kalau sekarang tersiar berita bahwa kitab-kitab pusaka peninggalan keluarga Bu Kek Siansu ditemukan, tentu saja dunia kang-ouw menjadi geger!

Kabar terakhir tentang ditemukannya peta yang menunjukkan tempat penyimpanan pusaka-pusaka dan kitab-kitab oleh pemerintah telah menjadi puncak ketegangan dan kehebohan sehingga memancing keluar orang-orang sakti yang selama ini lebih suka menyembunyikan diri di dalam goa-goa rahasia, di dalam pulau-pulau terasing, atau di puncak-puncak gunung yang tak pernah dikunjungi manusia.

"Suhu, teecu ingin mohon perkenan Suhu untuk pergi melihat keramaian dan bertemu dengan tokoh-tokoh sakti!" Tiba-tiba Bun Beng berkata setelah termenung sejenak.

Kakek Siauw Lam terkejut, memandang muridnya dengan alis berkerut, "Ah, apakah kau kira hal itu merupakan main-main? Kalau para tokoh itu sudah bertemu dan saling memperebutkan pusaka, keadaan amatlah berbahaya! Dan pula, tempat itu amat jauh dari sini, melalui perjalanan yang amat lama dan penuh dengan ancaman bahaya maut!"

"Suhu, tanpa menghadapi kesukaran dan menempuh bahaya, bagaimana teecu akan bisa memperoleh kemajuan? Pengalaman itu tentu amat berguna bagi teecu, selain menambah pengetahuan, juga memberi kesempatan kepada teecu untuk bertemu dengan orang-orang sakti! Suhu, harap Suhu sudi meluluskan permintaan teecu ini."

Kakek itu sudah cukup mengenal watak muridnya yang dididiknya selama lima tahun itu. Muridnya ini, di samping bakat-bakat dan watak-watak lainnya, juga memiliki keberanian yang tidak lumrah dimiliki anak kecil, di samping kekerasan hati yang pantang mundur kalau sudah mempunyai niat. Maka, melarang akan percuma saja, bahkan memberi kesempatan kepada muridnya untuk melanggar larangannya. Dia mengerti bahwa kalau dilarang, murid yang keras hati ini akan menjadi penasaran dan ada kemungkinan akan minggat!

Kakek Siauw Lam lalu menarik napas panjang sambil berkata, "Hemmmm... terserah kepadamu. Aku hanya ingin melihat apakah engkau benar-benar berani menempuh segala bahaya itu."

"Suhu, terima kasih! Besok pagi-pagi teecu akan berangkat, mohon doa restu dari Suhu!"

Bun Beng menjadi gembira sekali, dan cepat membuat persiapan untuk melakukan perjalanan jauh yang selamanya belum pernah ia tempuh itu. Gurunya diam-diam merasa kagum sekali dan tersenyum di dalam hati.

********************

Waktu lima tahun memang merupakan waktu yang cukup lama dalam kehidupan manusia, dan waktu ini cukup untuk mengubah keadaan manusia dengan terjadinya hal-hal yang menimpa dirinya. Bukan hanya Siauw-lim-pai yang mengalami perubahan hebat sehingga perubahan besar menimpa diri Siauw Lam Hwesio yang kini telah meninggalkan kependetaannya dan menjadi orang biasa karena kekecewaannya menyaksikan keributan yang terjadi di antara murid-murid Siauw-lim-pai sendiri.

Perubahan besar telah pula menimpa diri Suma Han selama waktu itu. Kekuasaan alam telah mempermainkan penghidupannya, dan agaknya memang semenjak kecil Suma Han ditakdirkan untuk mengalami banyak hal-hal pahit yang membuat dia dalam usia semuda itu sudah putih semua rambutnya dan yang membuat dia bosan akan keramaian dunia sehingga dia ingin mengasingkan diri dari pergaulan manusia. Untuk dapat mengikuti pengalaman-pengalamannya, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya yang penuh pengalaman dahsyat.

Setelah berhasil merampas keponakannya, Giam Kwi Hong yang berusia hampir empat tahun, puteri dari mendiang enci-nya Suma Leng dan Panglima Giam Cu, Suma Han lalu melarikan diri ke timur. Kwi Hong masih tidur nyenyak dalam pondongannya dan baru pada keesokan harinya anak itu terbangun. Melihat dirinya dalam pondongan seorang laki-laki yang tak dikenalinya, anak itu menangis dan Suma Han mulai bingung. Susah payah dia berusaha mendiamkan anak itu, namun sia-sia karena anak itu menjerit-jerit mencari ibunya!

"Diamlah, Nak. Diamlah, Kwi Hong anak baik." Berulang kali ia menghibur dengan suara halus dan penuh rasa kasihan teringat akan enci-nya yang telah meninggal dunia. "Lihat, kucarikan buah-buah, kembang...!" Sibuklah dia meloncat dan berlari ke sana-sini, memetik buah-buah dan kembang, ditumpuknya di depan anak yang ia dudukkan di atas rumput itu. Akan tetapi anak itu terus menangis.

"Ibuuuuu...! Aku mau turut Ibu... hi-hik-hikk...!" Kwi Hong menangis terus tanpa peduli dengan tumpukan kembang dan buah-buahan itu, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan.

Suma Han yang tentu saja kurang pengalaman mengasuh anak kecil menjadi makin bingung. Tak pernah disangkanya bahwa tangis seorang anak kecil bisa membikin dia begitu bingung dan kehabisan akal! Sampai hampir satu jam lamanya ia membujuk-bujuk tanpa hasil.

"Aduh, Kwi Hong... anak baik, dengarlah. Aku adalah Pamanmu sendiri, Kwi Hong. Aku adalah adik Ibumu, aku Paman Han...!"

Tangan yang menggosok-gosok mata itu berhenti dan kini mata yang bening lebar itu memandangnya, tangisnya terhenti sebentar. Alangkah indahnya mata itu, Suma Han memandang kagum, seolah-olah air mata itu mencuci sepasang mata menjadi makin bening dan bersih!

"Paman Han Han...?"

Suma Han tersenyum lebar, "Benar! Benar! Tentu Ibumu pernah ceritakan kepadamu. Aku Paman Han Han...!" Ia tertawa lega, tetapi kembali ia tertegun bingung melihat Kwi Hong lagi-lagi menangis sedih.

"Ibuku...! Mana Ibuku...? Kalau Paman baik, antarkan aku kepada Ibu!"

Celaka! Bagaimana dia bisa mengantarkan anak ini kepada ibunya yang sudah mati? Dan tidak mungkin pula menerangkan kepada bocah sekecil ini bahwa ibunya telah mati. Melihat anak itu menangis terus, Suma Han makin bingung. Tiba-tiba ia melihat seekor kelinci bergerak di antara rumpun dan timbullah akalnya. Cepat ia meloncat dan sekali sambar ia sudah berhasil menangkap kelinci putih itu.

"Kwi Hong, diamlah. Lihat, Paman menangkap kelinci cantik untukmu!" Suma Han memberikan binatang itu ke atas pangkuan Kwi Hong.

Anak itu memandang, tangisnya terhenti, matanya berseri dan dia sudah lupa akan ibunya, memondong kelinci sambil tersenyum dan berkata. "Kelinci cantik...!"

Baru sekarang Suma Han merasa betapa hatinya lega dan girang bukan main hingga mau rasanya ia menari-nari dan menyanyi-nyanyi! Ia mencium pipi anak itu, kemudian berkata, "Kwi Hong, kalau engkau tidak menangis lagi, Pamanmu akan mencarikan binatang-binatang cantik untukmu. Sekarang makanlah buah ini. Nih, Paman kupaskan kulitnya, manis sekali, makanlah!"

Kwi Hong suka makan buah itu, apa lagi setelah Suma Han mengajarnya memberi sedikit kepada kelinci yang dipondongnya. Demikianlah, dengan akal sedapatnya bisa juga dia mengasuh Kwi Hong sambil melanjutkan perjalanannya. Ia hendak mencari jalan menuju ke pantai laut di mana dahulu ia mendarat bersama Lulu ketika mereka berdua meninggalkan Pulau Es. Dia hendak kembali ke Pulau Es itu bersama Kwi Hong.

Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya dan sering kali dia terpaksa menggunakan kekuatan mukjizatnya untuk menidurkan Kwi Hong kalau anak itu terlalu rewel, akal yang jarang sekali ia pergunakan kalau amat tidak terpaksa. Pada suatu senja tibalah Suma Han dan keponakannya di tepi pantai yang terjal sekali. Air laut kebiruan tampak dari atas seperti permadani biru terbentang luas, sedikit pun tidak tampak bergoyang atau berombak saking tingginya tempat itu.

Dari tempat yang tinggi ini, Suma Han memandang ke kanan kiri dan mulailah ia mengenal daerah ini. Jauh di bawah sana, di sebelah kiri, di sanalah dia bersama Lulu, tiba-tiba tubuh Suma Han menjadi lemas dan hatinya makin kosong. Semenjak ia berpisah dengan Nirahai kemudian merayakan pernikahan Lulu, tahulah dia bahwa semenjak dahulu, dia hanya mencinta Lulu seorang. Sampai kini pun hanyalah Lulu yang ia cinta, sepenuh jiwa raganya dan ia rela menderita asal adiknya itu hidup bahagia.

"Lulu, semoga engkau selalu hidup bahagia!" Ia berbisik lirih seperti orang berdoa.

"Paman Han Han, kau bilang apa?"

Kwi Hong dalam pondongannya bertanya sambil memandang wajah Suma Han. Dalam kenangan yang mengharukan tadi, Suma Han sampai lupa kepada anak yang dipondongnya. Kwi Hong pandai bicara dan karena suaranya masih tidak jelas dan sepotong-sepotong, terdengar lucu sekali.

"Ah, tidak, Paman tidak bilang apa-apa." kata Suma Han sambil mengambung pipi keponakannya itu, pipi yang halus montok kemerahan sehat.

"Paman tangkapkan binatang lagi! Kelinci lagi... kelinciku lari!"

"Di sini mana ada kelinci?"

"Uh-hu-huk, minta kelinci...!" Kwi Hong yang selalu dituruti permitaannya oleh Suma Han, dalam waktu sebulan lebih saja kini sudah pandai manja. Anak ini mengerti agaknya bahwa kalau dia menangis, apa pun permintaannya akan dipenuhi, maka sekarang pun ia mempergunakan ‘senjatanya’ yang lihai ini!

"Di sini tidak ada kelinci. Ikan, ya? Ikan laut? Atau udang? Kepiting... eh kepiting baik sekali, lucu sekali! Kutangkapkan kepiting, ya?"

"Tidak, tidak mau... hi-hi-hik, mau kelinci!" Kwi Hong menendang-nendangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala sambil mewek.

Suma Han menarik napas panjang. "Baiklah, baiklah... eh, rewel benar anak ini." Ia menurunkan Kwi Hong yang seketika sudah berhenti menangis ketika mendengar pamannya menyanggupi. Dia sudah terlalu biasa bahwa sekali pamannya sanggup pasti akan dipenuhinya.

"Lihat baik-baik, nih, aku menjadi kelinci!" Suma Han menggunakan ilmunya yang mukjizat, mempengaruhi keponakannya sendiri.

Seketika Kwi Hong tertawa-tawa gembira melihat seekor kelinci putih besar di depannya. Ia lupa sama sekali kepada pamannya yang sudah lenyap. Sambil tertawa-tawa ia lalu mengelus-elus kepala kelinci itu dan menarik-narik telinganya yang besar dengan penuh kasih sayang. Suma Han menahan kegelian hatinya ketika kepalanya dielus-elus dan kedua telinganya dijewer-jewer tangan kecil itu!

"Paman...! Paman Han Han...!" Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke atas, telunjuknya menuding-nuding ke atas.

"Tangkapkan burung itu! Lekas, Paman, tangkapkan burung...!" Anak itu kini sudah lupa akan kelincinya dan bangkit berdiri, memandang ke atas dan menuding-nuding sambil berteriak-teriak.

Suma Han menarik napas panjang dan menjadi tertarik, ikut pula memandang ke atas. Terkejut dan heranlah dia ketika melihat dua ekor burung yang besar-besar sekali sedang bertanding di angkasa dengan serunya!

"Heran sekali!" serunya. "Burung garuda dan rajawali...!"

"Tangkapkan burung, Paman. Lekas, tangkapkan burung itu...!" Kwi Hong bersorak.

Akan tetapi sekali ini Suma Han tidak memperhatikan permintaan keponakannya karena ia tertarik sekali. Selama hidupnya dia baru mendengar ceritanya saja tentang burung-burung garuda dan rajawali yang demikian besarnya. Apa lagi sekarang dua ekor burung itu sedang berkelahi dengan gerakan dahsyat sekali sambil mengeluarkan suara melengking yang amat nyaring. Pertandingan yang hebat dan dahsyat di angkasa!

Akan tetapi serangan dahsyat dari burung garuda membuat bulu dada rajawali itu bodol dan Si Rajawali terbang menjauh sambil memekik nyaring. Garuda itu pun mengeluarkan lengking nyaring dan terbang berputaran, kemudian meluncur turun dan hinggap di atas sebatang pohon besar tak jauh dari situ.

"Paman, tangkapkan burung... hi-hi-hik...!" Kwi Hong menangis ketika melihat dua ekor burung itu lenyap.

"Baiklah, jangan menangis. Kau duduk saja di sini, ya? Paman hendak mencoba untuk menangkap burung itu." Suma Han sekali ini bukan ingin menangkap burung semata-mata memenuhi permintaan keponakannya, melainkan karena dia sendiri pun amat tertarik oleh burung garuda perkasa itu. Akan dicobanya untuk menangkap burung raksasa itu! Cepat tubuhnya mencelat mendekati pohon dan dengan kepandaiannya yang hebat, pendekar ini meloncat naik ke atas pohon.

Burung garuda itu besar sekali! Tingginya tidak kalah oleh tingginya manusia, kakinya besar kuat dan paruhnya menyeramkan! Burung itu sedang membereskan bulunya yang agak kusut karena pertandingan tadi, maka dia tidak tahu bahwa ada seorang manusia mendekatinya.

Dengan sebuah gerakan kilat, Suma Han meloncat ke atas punggung garuda, lalu menggunakan lengannya merangkul leher sambil berseru, "Sin-eng (Garuda Sakti), kita bersahabat!"

Tentu saja burung itu kaget sekali dan tidak mengerti ucapan Suma Han. Dia berusaha memutar leher untuk menyerang, akan tetapi lengan yang memeluknya demikian kuat sehingga dia tidak mampu menggerakkan lehernya. Burung itu menjerit aneh dan tiba-tiba meloncat ke atas lalu terbang membawa Suma Han yang masih duduk di atas punggungnya! Melihat ini Kwi Hong bersorak, bangkit berdiri dan melambai-lambaikan kedua tangannya.

"Bagus...! Bagus sekali...! Paman, aku ikut...! Aku ikut terbang naik burung...!"

Walau pun selamanya baru sekali ini mengalami naik burung raksasa, Suma Han tidak merasa takut. Ia hanya khawatir kalau-kalau burung itu membawanya terbang jauh meninggalkan Kwi Hong. "Sin-eng, turunlah, kita jemput anak itu...!"

Akan tetapi, dalam ketakutannya burung garuda itu malahan terbang meluncur, terus membubung tinggi ke angkasa, seakan-akan hendak membawa terbang Suma Han ke bulan yang pada senja hari itu sudah mulai tampak!

Suma Han mulai cemas dan memandang ke bawah. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika ia melihat sesosok bayangan hitam meluncur turun dan menyambar ke arah Kwi Hong yang masih berteriak-teriak sambil melambai-lambaikan kedua tangannya. Bayangan itu bukan lain adalah burung rajawali yang tadi bertanding dan dikalahkan oleh garuda putih yang ditungganginya.

"Celaka...!" Suma Han berteriak melihat keponakannya dicengkeram oleh kaki rajawali dan mendengar bocah itu berteriak-teriak menangis ketakutan.

"Sin-eng, demi Tuhan, tolonglah Kwi Hong!" Suma Han mencengkeram leher garuda dan memaksa kepala garuda itu ke bawah. Sang garuda kesakitan dan bingung, akan tetapi karena kepalanya dipaksa menunduk, maka ia pun mulai meluncur turun.

Suma Han menekan-nekan leher garuda ke arah rajawali dan berkata, "Sin-eng, kejar rajawali itu. Cepat...!"

Agaknya burung garuda itu biar pun tidak dapat mengerti ucapan Suma Han, dapat mengenal makhluk yang jauh lebih kuat darinya, maka kini ia selalu terbang menurut ke mana kepalanya dipaksa berpaling. Akhirnya ia dapat melihat musuh besarnya, Si Burung Rajawali yang terbang cepat ke arah lautan! Tanpa dikomando lagi, burung garuda itu terbang mengejar dengan kecepatan luar biasa dan tak lama kemudian, tersusullah burung rajawali yang mencengkeram Kwi Hong.

Anak itu masih menjerit-jerit dan bukan main cemas rasa hati Suma Han melihat bahwa yang dicengkeram rajawali itu adalah punggung baju Kwi Hong. Kalau baju itu robek, atau kalau rajawali itu melepaskan cengkeramannya! Ia memandang ke bawah dan bergidik. Di bawah hanya tampak air melulu, air kebiruan dari laut yang amat luas, mengerikan dengan ombak besar membuih!

"Sin-eng, terbang ke bawahnya, serang dia dari bawah, selamatkan anak itu!" Suma Han mendorong kepala garuda.

Garuda itu menyerbu ke depan, menukik ke bawah tubuh rajawali. Dengan gerakan tangkas sekali Suma Han mengulur tangan kanannya dan tongkatnya memukul kaki yang mencengkeram. Rajawali memekik kesakitan, kaki yang mencengkeram kena dipukul, cengkeramannya terlepas dan nyaris tubuh Kwi Hong terlepas dari sambaran tangan Suma Han. Baiknya garuda itu dengan gerakan tiba-tiba dan amat tangkasnya mengulur kaki dan berhasil mencengkeram tubuh Kwi Hong!

"Sin-eng yang baik, terima kasih banyak!" Suma Han bersorak ketika ia mengambil keponakannya dari cengkeraman garuda dan melihat bahwa tubuh keponakannya sama sekali tidak luka, tanda bahwa garuda itu berniat baik dan mencengkeram untuk menolong!

Kwi Hong masih menangis ketika dipangku Suma Han di atas punggung garuda. "Paman, burung itu nakal...!"

Suma Han menghela napas lega. Bocah ini benar amat mengagumkan. Biar pun mengalami hal yang begitu menakutkan, namun ia tidak pingsan dan tidak ketakutan. Ia memandang rajawali yang kini melarikan diri terbang jauh, sedangkan ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, tidak tampak lagi daratan. Di mana-mana air melulu dan cuaca mulai gelap, malam mulai tiba!

"Sin-eng yang baik, bawalah kami kembali ke daratan!" Berkali-kali Suma Han membujuk, kini tidak lagi ia berani ‘mengemudi’ leher burung itu karena dia sendiri tidak tahu mana arah daratan.

Burung itu terbang terus, cepat sekali, dan terpaksa Suma Han menyerahkan nasibnya pada burung itu, yakin bahwa betapa pun juga, pasti burung itu akan mendarat. Anehnya, Kwi Hong tidak menangis lagi, bahkan tertawa-tawa dan menuding ke arah bulan sepotong yang kelihatan indah sekali sambil berkata, "Bagus...! Bulan bagus...!"

Suma Han menjadi lega hatinya dan melepas jubah luarnya untuk diselimutkan tubuh keponakannya karena terbang di atas punggung garuda itu mereka bertumbuk dengan angin yang amat besar dan dingin. Namun dapat dibayangkan betapa cemas hatinya karena burung itu terbang terus seolah-olah tidak akan berhenti lagi! Ia khawatir kalau-kalau burung itu kehabisan tenaga dan jatuh ke bawah. Kini keadaan makin gelap. Sinar bulan sepotong tidak mampu menembus halimun yang terbentang di bawah kaki mereka. Dia tidak tahu lagi apakah di bawah mereka itu masih lautan atau daratan!

Semalam suntuk burung raksasa itu terbang dan bagi Suma Han, semalam itu seperti setahun lamanya! Kwi Hong tertidur pulas di atas pangkuannya, untung baginya karena kalau dalam keadaan seperti itu anak itu rewel menangis, dia benar-benar akan kebingungan tidak tahu harus berbuat apa!

Ketika matahari pagi mulai mengusir kegelapan, Suma Han mendapat kenyataan bahwa mereka terbang di atas sekumpulan pulau-pulau di lautan luas! Jantungnya berdebar tegang. Pulau-pulau ini! Bukankah kepulauan yang dekat dengan Pulau Es? Dan burung itu masih terus terbang ke arah utara. Hal ini dapat ia ketahui dengan melihat munculnya matahari di sebelah kanannya.

Setelah beberapa lamanya melewati sekumpulan pulau-pulau sehingga kepulauan itu lenyap jauh di belakang, burung itu menukik turun menuju ke sebuah pulau yang tampak keputihan. Hampir Suma Han bersorak. Itulah Pulau Es! Tak salah lagi. Kini mulai tampaklah bentuk bangunan di tengah pulau. Istana Pulau Es! Dan benar saja burung itu melayang turun menuju ke pulau.

Tiba-tiba burung garuda mengeluarkan pekik dahsyat, melengking panjang dan dari pulau itu terdengar pula lengking yang sama, akan tetapi lebih tinggi nadanya dan tampaklah seekor burung garuda lain, terbang ke atas menyambut kedatangan mereka! Burung garuda yang terbang menyambut ini kelihatan bingung dan kaget ketika melihat betapa di punggung temannya duduk dua orang manusia. Dia mengeluarkan bunyi nyaring berkali-kali dan dijawab oleh garuda yang diduduki Suma Han dengan pekik-pekik pendek seperti orang bertanya dan menjawab.

Suma Han menjadi geli hatinya dan sedetik ia dapat menduga bahwa burung garuda yang menyambut itu tentulah garuda betina sedangkan yang dia tunggangi tentu yang jantan. Baik manusia mau pun binatang sama saja, yang betina lebih ‘cerewet’!

Dua ekor burung itu melayang turun ke atas pulau, tepat di depan Istana Pulau Es. Suma Han meloncat turun sambil memondong Kwi Hong yang sudah terbangun. Kwi Hong menggigil kedinginan begitu menginjak tanah yang dingin sekali. Akan tetapi, begitu turun di atas pulau Suma Han tak dapat menahan lagi keharuannya dan pendekar yang sudah kosong hatinya itu kini menangis tersedu-sedu!

Usianya belum ada tiga puluh tahun, baru dua puluh delapan atau dua puluh sembilan, namun kini ia sudah kembali ke Pulau Es untuk selamanya, mungkin! Bukan hal ini yang menyebabkan runtuhnya air matanya, melainkan keharuan melihat tempat di mana ia hidup berdua dengan Lulu sampai bertahun-tahun, penuh kebahagiaan. Kini Lulu telah tiada di sampingnya lagi!

"Paman Han Han, kenapa menangis? Siapa yang nakal kepadamu?" Tiba-tiba Kwi Hong menghampiri den memeluk leher Suma Han yang duduk di atas tanah.

Mendengar ini, Suma Han merangkul Kwi Hong, berusaha menghentikan tangisnya yang ia tahu amat perlu karena kalau ditahan-tahan dapat menyebabkan luka di dalam tubuhnya dan menimbulkan penyakit.

Terdengar suara lirih, dan ketika Suma Han mengangkat muka, dia melihat betapa dua ekor burung garuda itu memandang kepadanya seperti orang turut berduka cita! Melihat ini timbul semangat Suma Han dan dia memondong tubuh Kwi Hong sambil melompat bangun dan tersenyum!

"Kwi Hong, keponakanku, anakku, muridku! Kita sekarang tinggal di sini, di Pulau Es. Lihat, itulah Istana Pulau Es di mana dahulu aku tinggal. Istana kita! Kita hidup di sini bersama dua ekor burung yang sakti ini, sepasang Sin-eng yang setia!"

"Tapi Ibu...?"

"Kelak kau akan tahu tentang Ibumu. Mari kita carikan ikan untuk hadiah Sin-eng yang telah mengantar kita ke sini!"

Suma Han lalu berloncatan ke pantai pulau sambil menggendong Kwi Hong. Dengan kepandaiannya, mudah saja bagi Suma Han membunuh banyak ikan besar dengan tongkatnya dan dia melontarkan ikan-ikan itu kepada burung garuda yang mengikuti mereka ke pantai. Dua ekor burung itu girang sekali dan melahap ikan-ikan itu sambil mengeluarkan bunyi nyaring. Bagi mereka, amatlah sukar mencari ikan-ikan di dalam air dan mereka harus mencari makanan di pulau-pulau lain, mengintai dan menyergap binatang dengan susah payah. Kini ada orang yang memberi makan demikian banyaknya, tentu saja mereka girang sekali.

Demikianlah, untuk kedua kalinya Suma Han hidup di dalam Istana Pulau Es, dan kini bersama Kwi Hong yang digembleng sehingga akhirnya bocah itu dapat bertahan melawan hawa dingin di Pulau Es yang bagi orang biasa akan amat menyiksa, bahkan dapat membunuhnya.

Sepasang burung garuda menjadi jinak. Ternyata mereka ini adalah sepasang burung yang amat cerdik dan mereka merupakan binatang tunggangan yang amat berguna bagi Suma Han. Untuk mencari bahan makanan, Suma Han sering menunggang garuda jantan yang mengantarnya terbang ke pulau-pulau lain di mana tumbuh buah-buah dan bahan-bahan makanan, juga binatang-binatang hutan. Hanya beberapa bulan sekali saja Suma Han pergi mencari bahan makanan, sekali cari cukup untuk dua tiga bulan. Bahan-bahan makanan itu tidak akan mudah membusuk kalau ditaruh di Pulau Es yang dingin.

Kwi Hong ternyata juga merupakan seorang anak yang cerdik dan berbakat baik. Keberaniannya luar biasa sehingga dalam usianya lima tahun saja dia sudah berani menunggang garuda betina yang menjadi teman baiknya, diterbangkan tinggi di angkasa, di antara awan-awan putih!

Hanya satu hal yang menjadi ganjalan di hati Suma Han. Bagi dia sendiri, dia sudah puas hidup di pulau itu, dan dia tidak akan menyesal hidup menyendiri di situ sampai mati sekali pun. Akan tetapi Kwi Hong! Anak itu membutuhkan pergaulan dengan manusia lain! Kalau tidak, apa akan jadinya dengan Kwi Hong? Bagaimana dengan perkembangan jiwanya dan pembentukan wataknya? Dia bukan seorang ahli didik dan di tempat seperti itu, mana mungkin ada manusia lain yang dapat dijadikan teman pergaulan Kwi Hong?

Kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Han tinggal di Pulau Es, pada suatu hari seperti biasa dalam dua tiga bulan sekali, ia menunggang Garuda Putih jantan untuk pergi mencari bahan makanan. Sekali ini, karena hendak melihat-lihat keadaan, dia mengajak garuda itu terbang ke arah utara, kemudian berkeliling ke timur, tidak seperti biasanya menuju ke sekelompok pulau yang subur di selatan.

Tiba-tiba pandang matanya melihat sebuah perahu layar besar yang berwarna hitam, hitam seluruhnya sampai layarnya pun semua berwarna hitam. Hatinya tertarik dan ia menyuruh garuda putih melayang turun mendekati perahu layar. Dari jauh di atas ia sudah melihat pemandangan yang memanaskan hatinya.

Di atas perahu itu terdapat empat puluh orang laki-laki dan perempuan yang terbelenggu dan diikat pada tiang-tiang besi yang sengaja didirikan di perahu, dan mereka ini sedang disiksa, dicambuki, oleh lima orang laki-laki dan seorang wanita yang mukanya berwarna jambon, sedangkan laki-laki itu semua mukanya berwarna ungu! Di atas dek tampak beberapa orang pula bekerja, agaknya anak buah perahu, dan muka mereka ini berwarna hitam dan merah. Orang-orang Pulau Neraka! Suma Han tertarik sekali dan menyuruh garudanya makin mendekat. Semua orang yang berada di perahu kini dapat melihat garuda itu dan ributlah mereka melihat seorang manusia menunggang seekor burung garuda.

Akan tetapi Suma Han sudah melihat cukup jelas, sampai dia dapat mengenal bahwa di antara empat puluh orang laki-laki dan wanita yang ditawan itu sebagian besar adalah bekas saudara-saudara seperguruannya, yaitu anak murid In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang-san! Bahkan di antara enam belas orang wanita tawanan itu terdapat bekas suci-nya, yaitu Phoa Ciok Lin yang kini telah menjadi seorang wanita cantik dan gagah berusia dua puluh tujuh tahun! Ada pun para tawanan yang lain tentu bukan orang-orang sembarangan pula, dapat dilihat dari sikap mereka yang gagah dan sama sekali tidak kelihatan takut biar pun dirantai dan dicambuki!

Diam-diam Suma Han menjadi terkejut dan heran sekali. Dia tahu bahwa anak murid In-kok-san, bekas murid-murid mendiang Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang terkenal sekali sebagai datuk golongan hitam, memiliki kepandaian tinggi dan mereka adalah pejuang-pejuang yang kemudian membalik dan memusuhi guru mereka sendiri setelah mereka tahu bahwa pembunuh orang-orang tua mereka sebenarnya adalah guru mereka sendiri. Bagaimana mereka yang begini banyak jumlahnya dapat tertawan oleh orang-orang Pulau Neraka itu? Biar pun ia tahu bahwa laki-laki bermuka ungu dan perempuan bermuka jambon itu lihai sekali, namun kiranya tidak akan mudah menawan sekian banyaknya orang-orang yang berilmu tinggi! Betapa pun juga, dia harus menolong mereka!

Garuda putih menukik turun ke arah permukaan perahu dan kini mereka yang berada di bawah dapat melihat jelas laki-laki berambut riap-riapan putih dan berkaki buntung yang menunggang garuda itu.

"Dia... Pendekar Siluman...!" Seruan ini keluar dari mulut wanita muka jambon dan laki-laki muka ungu yang pernah bertemu dengan Suma Han saat mereka memperebutkan putera Bhok Khim di dalam kuil tua.

Juga para murid In-kok-san kini mengenal Suma Han, namun mereka itu hanya memandang dengan heran dan jantung berdebar. Benar bahwa Suma Han pernah menjadi murid In-kok-san, bahkan pernah diambil murid Toat-beng Ciu-san-li bersama tiga orang murid In-kok-san lain termasuk Phoa Ciok Lin, akan tetapi telah terjadi bentrok antara Suma Han dengan Ma-bin Lo-mo dan dengan Toat-beng Ciu-sian-li.

Bahkan kedua orang datuk In-kok-san itu tewas di tangan bekas murid ini, sedangkan kaki kiri Suma Han juga buntung oleh Toat-beng Ciu-sian-li! Biar pun bekas saudara seperguruan, namun sekarang tidak mungkin menganggapnya saudara seperguruan lagi. Kini di antara mereka sudah tidak ada hubungannya sama sekali dan mereka pun sudah mendengar bahwa laki-laki muda yang buntung ini memiliki ilmu kepandaian seperti setan!

Kini burung garuda sudah melayang turun di atas dek perahu dan semua orang makin kagum mendapat kenyataan bahwa burung itu benar-benar amat besar, setinggi manusia.

"Wah, dia tidak kalah besar dengan Tiauw-ong (Rajawali)!" Terdengar seorang di antara anak buah perahu itu berseru dan diam-diam Suma Han menduga bahwa tentulah burung rajawali yang dahulu pernah dikalahkan garudanya itu adalah binatang peliharaan Pulau Neraka!

"Pendekar Siluman, mau apa engkau datang ke sini? Bukankah kau dahulu bilang bahwa engkau tidak mencari permusuhan? Harap jangan mencampuri urusan kami!" Laki-laki muka ungu sudah maju dan menegurnya.

Suma Han yang sudah meloncat turun dari punggung garuda dan berdiri tenang mengerling ke arah para tawanan, kemudian ia bertanya kepada laki-laki muka ungu itu.

"Aku melihat dari angkasa hal yang tidak wajar ini. Mengapa mereka ini ditawan?"

"Ini adalah urusan kami sendiri, orang lain tidak berhak mencampuri. Ataukah ada hubungan antara To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es dengan seorang di antara tawanan ini? Kalau benar demikian, kami bersedia membebaskannya."

Mendengar pertanyaan Si Muka Ungu yang setengah menghormat dan takut setengah penasaran menentangnya itu, Suma Han kembali mengerling ke arah para tawanan. Timbul sebuah pikiran yang membuat jantungnya berdebar. Bukankah dia sedang bingung memikirkan masa depan Kwi Hong yang tidak mempunyai teman?

Para tawanan ini rata-rata adalah seorang gagah, bahkan wanita-wanitanya, terutama sekali Phoa Ciok Lin, adalah wanita-wanita yang memiliki wajah cantik dan pandang mata gagah pula. Melihat bahwa mereka yang bukan murid In-kok-san tertawan bersama murid-murid In-kok-san yang kesemuanya pejuang-pejuang gagah perkasa, tentulah orang-orang ini pun bukan penjahat-penjahat dan tergolong pejuang yang gagah pula.

"Jadi kalian mau tahu apa hubunganku dengan mereka ini? Mereka ini adalah anak buahku, anak buah Pulau Es! Kalian berani menawan mereka?"

Mendengar ini, wajah semua orang yang berada di atas perahu itu berubah, bukan hanya wajah para anak buah Pulau Neraka, juga para tawanan memandang dengan bingung. Melihat ini, Suma Han sudah mengajukan pertanyaan kepada para tawanan, suaranya mengandung penuh wibawa, namun dingin seolah-olah menanyakan hal yang amat kecil artinya.

"Katakanlah, kalian lebih senang menjadi anak buah Pulau Es di bawah pimpinanku ataukah ingin ikut dengan rombongan Pulau Neraka?"

Tiba-tiba seorang yang bertubuh gemuk, berjenggot panjang, rambutnya dikuncir, menjawab, "Kami jauh lebih senang menjadi anak buah Pulau Es, siapa sudi menjadi budak paksaan Pulau Neraka?"

Empat puluh orang itu serentak menjawab dan menyatakan keinginan hati mereka untuk menjadi anak buah Pulau Es. Hanya Phoa Ciok Lin dan beberapa orang anak murid In-kok-san yang membungkam agaknya masih segan untuk menyatakan menjadi anak buah laki-laki buntung itu.

Pada saat itu laki-laki muka ungu yang tadi lari memasuki bilik perahu, kini sudah keluar lagi bersama seorang kakek tinggi kurus yang bermuka hijau! Akan tetapi memang demikianlah kenyataannya dan kini Suma Han mengerti mengapa empat puluh orang gagah itu tertawan. Tentu Si Muka Hijau ini yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada mereka semua. Dan hal itu terbukti pula dari sikap jeri dan pandang mata penuh kekhawatiran dari para tawanan ketika Si Muka Hijau ini keluar.

Suma Han dengan sikap tenang memandang. Warna hijau itu bukanlah kulitnya, melainkan seperti cahaya yang keluar dari dalam. Kini karena dalam keadaan tegang menghadapi pertentangan, para anak buah perahu juga sudah bersiap dan mereka mengatur barisan yang aneh berdasarkan warna-warna muka mereka. Ada kelompok muka hitam, muka merah, muka ungu, dan muka jambon. Akan tetapi yang bermuka hijau hanya ada seorang saja, kakek tinggi kurus itulah.

Setelah berdiri saling pandang beberapa lamanya, agaknya kakek muka hijau itu dapat mengenal sinar mata yang aneh dan penuh kekuatan mukjizat dari Suma Han. Dia segera membungkuk sambil merangkapkan kedua tangan dan berkata penuh hormat, "Tidak kelirukah pelaporan anak buah kami bahwa Paduka adalah To-cu dari Pulau Es?"

"Benar." jawab Suma Han. "Akulah penghuni Pulau Es. Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?"

"Ahhh, hamba hanyalah murid tingkat rendahan saja. Hamba bertugas mengumpulkan tenaga-tenaga untuk dikerjakan di pulau kami dan telah berhasil mengumpulkan empat puluh orang ini. Kami menangkapnya di daratan sana dan mereka adalah kaum pejuang yang menentang pemerintah Ceng. Akan tetapi tadi anak buah kami melapor bahwa To-cu mengakui mereka ini sebagai anak buah Pulau Es. Bagaimana ini?"

Suma Han merasa malu kalau harus membohong, maka ia berkata, "Tadinya mereka bukan apa-apa, akan tetapi mulai saat ini menjadi anak buah Pulau Es. Karena itu, aku menuntut agar mereka dibebaskan!"

Sepasang alis kakek tinggi kurus itu bergerak-gerak dan warna hijau di mukanya makin keruh. "Hamba sebagai murid tingkat rendah dari Pulau Neraka tentu saja tidak berani lancang menentang kehendak To-cu dari Pulau Es. Akan tetapi kalau hamba menurut begitu saja atas perintah To-cu, berarti hamba melalaikan tugas yang dibebankan kepada hamba. Karena itu, terpaksa hamba mematuhi peraturan dari Ketua kami, yaitu dengan kepandaian hamba mendapatkan empat puluh orang ini, dan hanya dengan kepandaian pula pihak lain dapat merampasnya!"

Diam-diam Suma Han merasa heran. Sepak terjang orang-orang Pulau Neraka itu kadang-kadang keji dan liar, akan tetapi sikap mereka ternyata sopan dan seperti orang terpelajar, bahkan tahu aturan. Seperti apakah ketua mereka? Orang bermuka hijau yang sudah dapat mengalahkan empat puluh orang pejuang, bahkan termasuk Phoa Ciok Lin murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dia mengaku hanya seorang murid tingkat rendah dari Pulau Neraka. Bukan main!

"Hemm, kiranya dengan ucapan halus engkau bermaksud menantangku?" Suma Han bertanya, sikapnya dingin.

"Mana berani hamba menantang? Akan tetapi, kalau hamba pulang kehilangan para tawanan tanpa melawan, hamba akan dihukum mati sebagai orang hina. Sebaliknya, kalau hamba mempertahankan terhadap Paduka, hamba akan mati juga sebagai seorang petugas yang baik."

"Ah, kiranya ketua kalian memiliki orang-orang pandai yang amat setia. Bagus! Memang tidak semestinya aku mengambil tawananmu begitu saja. Nah, aku telah siap, mari kita menentukan tingkat kepandaian!"

Biar pun mulutnya berkata demikian, akan tetapi sikap Suma Han sama sekali bukan sikap seorang yang hendak bertanding. Dia masih tetap berdiri seenaknya di atas kaki kanannya, dengan ditopang tongkatnya yang dipegang di tangan kiri. Hanya sepasang matanya yang tanpa diketahui siapa pun juga, sejak tadi telah melancarkan serangan hebat!

Suma Han mengerti bahwa kalau semua anak buah Pulau Neraka maju menggunakan kekerasan, kemudian dia menyambut dengan ilmu silat pula, tentu dia akan terpaksa merobohkan mereka hingga kalau tidak terluka berat, mungkin ada yang tewas. Dia tak menghendaki terjadinya hal ini, karena itu dia mengambil keputusan untuk melawan dengan ilmunya yang aneh, mengandalkan kekuatan mukjizat yang tersembunyi di dalam kemauannya dan dipancarkan melalui pandang matanya.

"Singgg...!" Sebatang pedang telah berada di tangan Si Muka Hijau. Cara mencabut pedang sampai mengeluarkan suara berdesing nyaring dan ujung pedang menggetar getar itu saja sudah membuktikan bahwa Si Muka Hijau ini ternyata seorang yang memiliki kepandaian tinggi.

"Maaf, To-cu. Harap suka mengeluarkan senjata dan maafkan hamba yang kurang ajar." Walau pun kakek itu bersikap menghormat, akan tetapi di lubuk hatinya dia tidak memandang terlalu tinggi Majikan Pulau Es ini, melihat bahwa lawannya ini ternyata hanya seorang muda yang patut menjadi cucunya, berkaki buntung sebelah dan tidak memegang senjata.

"Orang tua, apakah artinya senjata tajam dan runcing seperti pedangmu itu? Hanya dapat menggigitmu sendiri. Kau seranglah, aku telah siap!" kata Suma Han sambil mengerahkan kekuatan mukjizatnya melalui mata.

Para tawanan yang menyaksikan ini, terutama sekali Phoa Ciok Lin, merasa tegang dan khawatir. Mereka semua telah merasai kelihaian Si Muka Hijau dan mereka semua tidak ada yang dapat menandingi Si Muka Hijau. Sekarang Suma Han menghadapinya secara itu, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, sama sekali tidak menggunakan senjata, bahkan tongkat bututnya hanya dipegang dengan tangan kiri untuk membantu kakinya yang hanya sebuah!

Ada pun Si Muka Hijau itu diam-diam menjadi penasaran dan marah sekali. Biar pun bocah buntung ini datang secara aneh, menunggang garuda dan mengaku sebagai Majikan Pulau Es, dan dikabarkan memiliki kepandaian seperti setan sehingga berjuluk Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, namun tidak patut menghadapinya dengan sikap merendahkan seperti itu.

"To-cu sambut pedang hamba!"

Tiba-tiba tampak sinar putih berkelebat cepat sekali ketika pedang itu meluncur ke arah leher Suma Han. Memang hebat sekali gerakan Si Muka Hijau ini, pedang meluncur dengan suara berdesing dan dari jauh sudah menyambar hawa dingin ke arah leher Suma Han. Pendekar Siluman ini hanya berdiri tegak, sedikit pun tidak bergerak atau mengelak, bahkan tidak menangkis. Pemuda buntung ini hanya memandang dengan mata seperti mengeluarkan kilat.

"Hayaaaa...!" tiba-tiba Si Muka Hijau memekik.

Matanya terbelalak penuh kengerian karena ia melihat betapa pedang di tangannya itu tiba-tiba berubah menjadi seekor ular! Dia memegang ular itu dan kini ular itu membalik, membuka moncongnya yang merah menggigit ke arah lehernya sendiri! Tentu saja ia kaget setengah mati, memekik dan miringkan kepala berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan kulit lehernya sebelah kanan telah tergigit! Ia terpekik lagi kesakitan, melepaskan ekor ‘ular’ dan terhuyung-huyung ke belakang memegangi lehernya dan matanya memandang ‘ular’ yang jatuh ke atas lantai perahu.

Bagi orang lain yang menonton, peristiwa itu lebih mengherankan lagi. Mereka tadi melihat betapa pedang itu sudah digerakkan oleh Si Muka Hijau, menusuk leher Suma Han. Mengapa sebelum ujung pedang mengenai leher orang yang sama sekali tidak mengelak itu, tiba-tiba Si Muka Hijau membalikkan pedang dan menusuk lehernya sendiri sampai terluka? Kini mereka melihat Si Muka Hijau terhuyung, melepaskan pedangnya yang terjatuh ke lantai perahu, meraba leher yang mengucurkan darah!

"Ilmu siluman...!" Si Muka Hijau berteriak ketika kini matanya melihat bahwa ‘ular’ tadi telah berubah menjadi pedangnya sendiri!

Mendengar ini, semua anak buah Pulau Neraka serentak maju, siap mengeroyok Suma Han. Pendekar buntung ini meloncat ke depan, menyapu mereka dengan sinar matanya lalu berkata,

"Siapa lagi berani melawan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?"

Semua anak buah Pulau Neraka menjadi ngeri ketika melihat Suma Han kini berubah menjadi raksasa, tiga kali ukuran tubuh manusia, kepalanya menjadi tiga buah dan lengannya menjadi enam buah biar pun kakinya masih tetap satu! Melihat ini mereka menggigil dan tak seorang pun di antara mereka berani berkutik, bahkan segera menjatuhkan diri berlutut ketika Si Muka Hijau mendahului mereka berlutut.

"Mohon To-cu sudi mengampunkan hamba semua. Biarlah kami melaporkan kepada To-cu kami bahwa para tawanan terpaksa kami serahkan To-cu Pulau Es karena kami tak sanggup melawannya." kata Si Muka Hijau.

"Hemm, kalau begitu, mengapa kalian tidak lekas pergi? Ataukah menunggu aku turun tangan melempar-lemparkan kalian ke laut?"

Si Muka Hijau melompat bangun, memberi isyarat dengan tangan. Sebuah perahu kecil diturunkan dan Si Muka Hijau bersama lima orang laki-laki muka ungu dan seorang wanita muka jambon melompat ke dalam perahu. Si Muka Hijau memegang sebatang tali yang ujungnya terpecah menjadi banyak dan kini dipegang oleh para anak buah perahu. Lima orang muka ungu dan seorang wanita muka jambon memegang dayung.

Perahu kecil itu didayung cepat sekali. Si Muka Hijau berdiri di ujung belakang sambil memegang tambang dan... belasan orang anak buahnya meloncat ke air dan dapat berdiri lalu ditarik oleh perahu itu. Kiranya Si Muka Hijau itu demikian kuatnya, memegang tambang yang menarik enam belas orang dan ternyata para anak buah Pulau Neraka itu menggunakan kayu diikat dengan kaki mereka sehingga mereka dapat terapung (semacam ski air)! Memang hebat mereka itu. Hebat pula cara enam orang itu mendayung perahu karena sebentar saja, rombongan itu sudah jauh sekali menuju ke timur dan lenyap dihalangi ombak-ombak di belakang mereka!

Suma Han kagum sekali, maklum bahwa dia telah menanam bibit permusuhan dengan golongan yang amat kuat, yaitu Pulau Neraka. Tetapi ia tidak peduli, lalu menggunakan tongkatnya mematahkan semua belenggu para tawanan. Di antara mereka itu, termasuk kakek gendut, segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Suma Han. Akan tetapi anak murid In-kok-san tidak berlutut. Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara dingin.

"Siapa yang suka menjadi anak buahku dan mengakui aku sebagai Majikan, harap berlutut. Yang tidak mau, takkan dipaksa!"

Sedetik pandang matanya bertemu dengan pandang mata Phoa Ciok Lin bekas suci-nya. Namun wanita muda ini segera menekuk kedua lututnya dan berturut-turut para murid In-kok-san berlutut pula. Hanya dua orang murid In-kok-san dan seorang laki-laki bermuka pucat tetap berdiri tidak mau berlutut. Suma Han memandang mereka dan Si Muka Pucat berkata,

"Aku mengenal siapa engkau! Engkau dahulu adalah seorang pejuang, akan tetapi engkau telah berkhianat. Sebagai seorang pejuang, seorang patriot sejati, aku tidak sudi menjadi bujang seorang pengkhianat. Mau bunuh boleh bunuh, siapa yang takut mati?"

Suma Han memandang Si Muka Pucat dan segera mengenalnya. Dia itu adalah seorang di antara pejuang-pejuang yang pernah bertemu dengannya di Se-cuan, kalau dia tidak salah ingat, bernama Lo Hoat dan murid dari Tok-gan Siu-cai Gu Cai Ek Si Ahli Totok Dengan Sepasang Sumpit! Pernah dia merobohkan Lo Hoat ini ketika dia memasuki gedung para pejuang dan disangka menantang pibu. “Hemm, orang ini pendendam sekali, amat tidak baik dijadikan teman,” pikirnya.

"Aku tidak mau membunuh orang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mau menjadi anak buahku, aku pun tidak memaksa. Nah, pergilah sekarang juga!"

"Pergi ke mana? Tidak ada lagi perahu yang dapat kupakai."

Suma Han memandang tajam dengan alis berkerut. "Lo Hoat, aku tidak ada waktu untuk berdebat. Pilih satu di antara dua. Tinggal di perahu dan menjadi anak buah Pulau Es, atau sekarang juga keluar dari perahu ini!"

"Engkau... iblis siluman... keji!" Lo Hoat memaki.

"Pergilah atau harus kulempar keluar?"

"Manusia rendah, coba kau lempar kalau..." Belum habis ucapan Lo Hoat ini, tangan kanan Suma Han bergerak sedikit dan... tubuh itu terlempar ke luar dari perahu dan jatuh tercebur ke air!

"Apakah kalian berdua juga tidak sudi menjadi anak buah Pulau Es?" tanya Suma Han kepada dua orang murid In-kok-san.

"Engkau adalah bekas sute kami, bagaimana kami dapat mengangkatmu menjadi majikan dan berlutut di depanmu?" seorang di antara mereka membantah. "Kami adalah orang-orang yang memiliki kegagahan, bukan berjiwa rendah!"

"Orang yang tak dapat melihat kenyataan adalah orang-orang bodoh, bukan gagah! Aku bukan sute kalian, aku adalah Majikan Pulau Es dan kalian hanya mempunyai dua pilihan. Tunduk kepadaku atau... keluar dari perahu ini!"

"Lebih baik mati!" Dua orang itu meloncat ke luar dari perahu dan kembali air laut muncrat ketika tubuh mereka menimpa air.

Mereka yang berlutut memandang ke arah air dengan muka pucat, menyaksikan tiga orang itu berjuang dan bersitegang melawan air yang berombak dan yang hendak menggulung dan membunuh mereka.

"Pasangkan layar, kita berangkat!" kata Suma Han tanpa mempedulikan tiga orang itu. "Aku menjadi penunjuk jalan dengan garudaku di atas perahu, ikuti ke mana garuda terbang!"

Mereka yang berlutut itu sudah tunduk dan kagum kepada Suma Han. Mereka telah diselamatkan dari nasib yang amat buruk. Baru menjadi tawanan saja mereka sudah disiksa, kalau sampai di Pulau Neraka, tentulah penghidupan mereka akan benar-benar seperti di neraka!

Tentu saja jauh lebih baik menjadi anak buah pendekar berkaki buntung ini biar pun pendekar ini dijuluki Pendekar Siluman! Apa lagi nama Pulau Es merupakan daya tarik besar sekali. Pulau Es adalah sebuah tempat yang selalu diidamkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, yang dianggap sebagai tempat keramat di mana terdapat pusaka dan ilmu-ilmu yang tinggi. Kini mereka dijadikan anak buah Pulau Es, tentu saja mereka menerimanya dengan hati girang.

Perahu hitam itu bergerak, layar-layarnya terkembang ditiup angin dan dengan wajah gembira penuh harapan mereka mengemudikan perahu mengikuti garuda yang terbang perlahan di atas mereka. Phoa Ciok Lin dan para saudara seperguruan masih termangu-mangu. Mereka teringat akan nasib dua orang saudara seperguruan yang ditinggalkan dan bergulat dengan maut antara ombak laut itu. Mereka ini tidak dapat menyalahkan Suma Han, dan tidak dapat menganggap Majikan Pulau Es itu kejam. Tidak, orang muda buntung yang kini menjadi majikan mereka, menjadi ketua mereka itu, telah memberi kesempatan kepada tiga orang tadi. Tidak membunuh mereka sebaliknya mereka itulah yang seperti membunuh diri sedangkan jalan hidup terbuka lebar.

Demikianlah tiga puluh orang gagah itu kini menjadi anak buah Pulau Es. Setelah berbulan-bulan tinggal di situ, mereka semua makin tunduk, makin hormat dan bahkan mulai menerima Suma Han sebagai majikan dan juga guru mereka! Suma Han mengajarkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan kepandaian dasar dan bakat mereka masing-masing sehingga kepandaian mereka meningkat secara hebat.

Tentu saja yang merasa paling girang adalah Kwi Hong. Phoa Ciok Lin segera mengambil alih pekerjaan Suma Han mendidik Kwi Hong. Sungguh berbeda caranya mendidik, tidak dimanjakan seperti dahulu. Diajar membaca menulis dan kepandaian lain. Hanya dalam ilmu silat Suma Han turun tangan sendiri mengajar keponakannya.

Kini Pulau Es menjadi ramai, merupakan sebuah pulau yang berpenduduk. Bukan sembarang penduduk, melainkan orang-orang yang berilmu tinggi! Di antara mereka itu ada yang saling mencinta lalu menikah dengan upacara sederhana namun gembira. Dan mulailah semua orang, tidak ada kecualinya, juga Phoa Ciok Lin, memandang Suma Han bukan hanya sebagai penolong dan sebagai ketua, majikan, dan guru, akan tetapi juga sebagai seorang manusia mulia seperti dewa yang mereka hormati, taati dan juga cintai!

Namun Suma Han tetap menyembunyikan diri, lebih sering dia bersemedhi di dalam ruangan Istana Pulau Es di mana terdapat tiga buah patung guru-gurunya, yaitu patung Koai-lojin Kam Han Ki, Nenek Maya, dan Nenek Khu Siauw Bwee. Pekerjaan mencari bahan makanan tentu saja kini dilakukan oleh anak buahnya dan untuk mengatur semua urusan, ia mengangkat Phoa Ciok Lin sebagai kepala urusan dalam pulau, sedangkan Yap Sun, kakek yang gemuk, diangkat menjadi kepala urusan luar. Pengangkatan ini bukan hanya dinilai dari tingkat kepandaian, melainkan juga dari watak dan pribadi mereka. Tentu saja demi kewibawaan, Suma Han menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepada dua orang wakilnya ini.

Demikianlah selama lima tahun telah terjadi perubahan hebat di Pulau Es yang sekarang dapat dianggap sebagai sebuah partai besar sehingga mulai terdengar namanya di dunia kang-ouw.

********************

"Suhu...! Suhu sudah memberi ijin kepada teecu, kenapa menyusul? Apakah Suhu hendak mengajak pulang ke Siauw-lim-si?" Bun Beng terkejut dan khawatir ketika senja hari itu dia beristirahat dalam hutan, ia melihat gurunya muncul di depannya. Sudah tiga hari tiga malam dia mengadakan perjalanan naik turun gunung dan masuk keluar hutan.

Kakek Siauw Lam tersenyum dan ikut duduk di depan api unggun yang dibuat Bun Beng. Selama ini diam-diam ia mengikuti perjalanan muridnya dan menjadi kagum menyaksikan muridnya itu benar-benar melanjutkan perjalanan seorang diri tanpa mengenal takut.

"Muridku, apa kau kira aku tega membiarkan engkau menempuh perjalanan penuh bahaya ini? Aku tadinya hanya ingin mengujimu dan melihat sampai di mana kebulatan tekadmu. Ternyata engkau benar-benar ingin sekali pergi menyaksikan keramaian antara tokoh-tokoh kang-ouw, biarlah kubawa engkau ke sana."

Wajah Bun Beng yang tadinya membayangkan kekhawatiran, tiba-tiba berseri gembira dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, "Terima kasih, Suhu. Terima kasih!"

Kakek Siauw Lam tertawa dan membuka bungkusan kain kuning yang dibawanya. "Sudahlah. Nih ada roti kering, engkau tentu belum makan."

Guru dan murid itu lalu makan roti kering dan minum air yang didapatkan Bun Beng dari sumber air di hutan itu, kemudian ia rebah mengaso di dekat api unggun.

"Bun Beng, semula aku memang tidak rela mengajakmu mengunjungi tempat yang akan dijadikan pertemuan orang-orang sakti itu. Amat berbahaya, muridku. Bahkan berbahaya sekali. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang selain memiliki ilmu kesaktian yang hebat juga merupakan orang-orang yang amat aneh wataknya, tidak seperti manusia biasa, bahkan ada yang mendekati kegilaan. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, memang amat penting bagimu, terutama demi kemajuanmu. Engkau berbakat baik dan engkau sejak dahulu mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Siauw-lim-pai. Aku percaya bahwa dengan kepandaianmu yang kau pelajari dariku, belum tentu engkau akan kalah oleh orang yang sebaya denganmu. Akan tetapi, dibandingkan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti itu, hemmm... mungkin kepandaian yang kumiliki sekali pun sama sekali tidak ada artinya."

Bun Beng terbelalak, tidak percaya. Suhunya adalah orang yang terpandai di Siauw-lim-pai, memiliki ilmu seperti dewa. Bagaimana mungkin ada tokoh kang-ouw yang lebih pandai dari gurunya ini? Namun selamanya gurunya tidak pernah bicara bohong, maka apa yang diterangkan ini tentu ada benarnya pula. Hal ini membuat Bun Beng tertarik dan makin besar dorongan keinginan hatinya untuk bertemu dengan tokoh-tokoh sakti yang aneh itu.

Sejenak mereka tak berkata-kata. Bun Beng termenung, teringat akan ibunya. Ibunya juga seorang murid Siauw-lim-pai, dan amat lihai. Ia teringat akan keadaan dirinya lima tahun yang lalu, ditinggalkan dalam kuil tua oleh ibunya. Teringat ia akan pesan ibunya ketika hendak pergi.

"Bun Beng, anakku sayang. Ibumu akan pergi mencari musuh besar kita. Mungkin aku tidak akan pergi lama. Akan tetapi kalau aku tidak kembali, tentu ada orang lain datang menjemputmu dan engkau harus turut dengan dia, anakku."

Ternyata kemudian bahwa yang datang ke kuil demikian banyak orang yang saling memperebutkan dia! Selama lima tahun ini, kalau dia mengajukan pertanyaan pada gurunya tentang ibunya yang tidak kembali ke kuil, gurunya tidak mau menerangkan hanya berkata, "Belajarlah yang rajin, kelak engkau akan tahu sendiri apa yang terjadi dengan Ibumu."

Sekarang timbul lagi keinginan tahunya. Dia telah besar, telah sepuluh tahun lebih usianya. Gurunya telah membolehkan untuk pergi merantau biar pun kini suhunya itu menemaninya.

"Suhu, harap Suhu suka ceritakan tentang Ibu. Apakah Ibu masih hidup? Ataukah sudah mati? Harap Suhu jangan khawatir. Teecu kira tentu Ibu sudah tidak ada, karena kalau masih hidup, tentu Suhu tidak menyembunyikannya dari pengetahuan teecu. Maka, teecu harap sudilah Suhu berterus terang. Kalau masih hidup, di manakah Ibu? Kalau sudah mati, mengapa? Siapa membunuhnya dan di mana kuburannya?"

Melihat suhunya ragu-ragu untuk menjawab, anak itu melanjutkan, "Suhu, harap Suhu jangan khawatir mengatakan andai kata Ibuku telah mati. Telah terlalu lama teecu menganggap Ibu telah tiada, dan keraguan ini lebih menyiksa dari pada mendengar kenyataannya."

Bukan main anak ini, pikir kakek itu. Sekecil ini memiliki wawasan sedalam itu, maka ia pun lalu menjawab, "Ibumu Bhok Khim murid Siauw-lim-pai itu memang telah tewas, Bun Beng."

Bun Beng menunduk sejenak dan dia tidak menangis! Hanya suaranya menjadi agak gemetar ketika ia bertanya, "Apakah Ibu gagal membalas dendam dan tewas di tangan musuh besarnya?"

"Tidak muridku. Ibumu tidak gagal, bahkan berhasil membunuh musuhnya, akan tetapi musuhnya itu pun dapat membunuhnya. Dalam pertadingan itu, mereka keduanya tewas. Nah, sekarang engkau telah mengerti dan sebaiknya kalau engkau tidak lagi memikirkan Ibumu?"

"Baik, Suhu. Akan tetapi Ayahku? Di manakah Ayah teecu? Ibuku tidak pernah mau menjawab kalau teecu menanyakan Ayah."

Berat rasa hati Kakek Siauw Lam. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak mau membohong, akan tetapi juga tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa ayah anak ini adalah musuh besar ibunya itu! Maka setelah berpikir sejenak, ia menjawab tenang, "Ayahmu juga telah meninggal dunia Bun Beng."

"Oohhh...!" Anak itu kecewa sekali, akan tetapi tidak menangis, tidak berduka karena memang selamanya belum pernah ia melihat ayahnya. "Tahukah Suhu, siapa nama Ayah teecu?"

"Namanya... Gak Liat."

Bun Beng mengangguk dan menggigit bibirnya. Nama itu terukir di lubuk hatinya dengan dua huruf besar-besar. "Jadi teecu she Gak? Pantas dulu Ibu mengatakan bahwa teecu boleh memakai she Bhok atau She Gak..."

"Dan engkau akan memakai she yang mana Bun Beng?" Kakek itu memandang tajam wajah muridnya yang disinari api unggun.

"Tentu saja she Gak. Gak Bun Beng, seorang anak yatim piatu..." Suara ini agak keluar tersendat oleh keharuan.

Kakek itu memegang pundak Bun Beng. "Kematian orang bukanlah hal yang patut disusahkan, muridku. Kita semua manusia yang dilahirkan, suatu saat pasti akan mati, dan mati berarti terbebas dari pada duka nestapa dan derita perasaan di waktu hidup. Jangan mengira engkau setelah ditinggal ayah-bundamu lalu menjadi seorang manusia yatim piatu yang tidak mempunyai apa-apa. Tengok di kanan kirimu, semua yang tampak, tetumbuhan dan binatang, adalah teman-teman hidup senasib. Dan semua manusia di dunia ini adalah saudara-saudara sendiri. Langit adalah Ayahmu yang sejati, sedangkan Bumi, adalah Ibumu yang sejati. Takut apa?"

Anak itu memandang wajah gurunya. Hatinya besar sekali dan ia tersenyum!

"Terima kasih, Suhu. Apa lagi kalau teecu dapat bertemu dan berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti di dunia ini, tentu teecu takkan merasa kesepian. Di dunia ini banyak manusia-manusia yang mulia hatinya, seperti Suhu. Dan sakti, seperti... Pendekar Siluman! Eh, Suhu juga sakti sekali, tidak tahu siapa lebih sakti antara Suhu dan Pendekar Siluman yang berkaki buntung itu?"

Gurunya tertawa. "Tidak salah kata-katamu. Dunia ini memang penuh orang sakti. Dan Pendekar Super Sakti itu adalah seorang di antara mereka, dibandingkan dengan dia, ahhh... Suhumu ini bukan apa-apa."

"Suhu terlalu merendahkan diri. Teecu tidak percaya!"

"Memang, sebaiknya engkau pun selama hidupmu bersikaplah seperti aku, Bun Beng. Rendah hati, tapi bukan rendah diri! Orang yang rendah hati akan berhasil memperoleh kemajuan pesat dalam hidup, sebaliknya orang yang tinggi hati akan tergelincir oleh kesombongannya sendiri. Bicara tentang Pendekar Super Sakti yang kini kabarnya menjadi majikan Pulau Es, dia memang merupakan seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian luar biasa sekali, bukan hanya ilmu silat tinggi-tinggi sebagai murid yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki ilmu sihir yang luar biasa sekali. Sungguh sulit membayangkan untuk mencari orang yang dapat menandinginya dalam ilmu kesaktian. Sudahlah, kita mengaso, besok kita melanjutkan perjalanan. Kelak engkau tentu akan dapat bertemu dengan mereka dan membuktikan sendiri bagaimana lihai-nya mereka itu."

Membayangkan para pendekar ini, Bun Beng melupakan kedukaannya tentang ayah bundanya. Dan malam itu ia tertidur di dekat api unggun, bermimpi tentang pendekar-pendekar sakti yang menunggang naga dan pandai menangkap geledek!

Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Melakukan perjalanan berdua gurunya amatlah menggembirakan hati Bun Beng karena gurunya itu tahu akan segala hal, bahkan tahu akan nama setiap gunung yang mereka lalui, atau nama setiap kota, dusun, bahkan sungai!

Ketika mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di sebelah barat kota Cin-an, Bun Beng mendapat kenyataan pertama bahwa gurunya memang bukan orang sembarangan. Ketika suhunya mengajaknya berjalan-jalan di tepi sungai yang ramai penuh dengan nelayan dan perahu-perahu layarnya, tiba-tiba muncul tiga orang berpakaian pengemis yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya!

"Eh, eh, harap kalian bangun kembali. Agaknya Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah salah mengenal orang!" Kakek Siauw Lam menggerakkan tongkat bututnya minta mereka bangkit.

Akan tetapi tiga orang kakek jembel itu tidak mau bangkit, bahkan seorang di antara mereka yang bertubuh bongkok segera berkata, "Kami dari Pek-lian Kai-pang selamanya tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Siauw-lim-pai, apa lagi terhadap Locianpwe Siauw Lam Losuhu. Mohon tanya, ada keperluan apakah Locianpwe datang ke tempat ini? Barangkali saja kami dapat membantu."

Mendengar bahwa mereka adalah anak buah Pek-lian Kai-pang, atau lebih tepat hanya sisa-sisa dari anak buah Perkumpulan Pengemis Teratai Putih yang terkenal itu setelah Pek-lian Kai-pang terbasmi oleh Pemerintah Mancu (baca Pendekar Super Sakti), kakek Siauw Lam tidak membantah lagi dan berkata, "Kami berdua ingin menonton keramaian di muara Sungai Huang-ho, dan sedang mencari perahu untuk disewa."

Wajah tiga orang pengemis itu berubah. Mereka kaget dan pucat. "Ke... ke sana...! Aih, Locianpwe. Di antara kami dan para nelayan, siapakah yang berani pergi ke sana dalam waktu ini? Mencari mati saja! Akan tetapi tentu saja Locianpwe lain lagi, dan jika saja kami berkepandaian tinggi seperti Locianpwe, agaknya takkan dapat menahan keinginan hati menonton keramaian itu. Locianpwe membutuhkan perahu? Kami mempunyai sebuah, boleh Locianpwe pakai. Kalau mencari sewa, kami kira tidak ada nelayan yang mau menyewakan perahunya pergi ke muara. Marilah, Locianpwe."

Ketiga orang jembel tua itu bangkit berdiri dan melangkah pergi, sikapnya seperti tidak acuh lagi padahal tadi begitu menghormat. Memang, aneh-anehlah sikap orang kang-ouw dan hal ini mulai dimengerti oleh Bun Beng. Gurunya mengikuti tiga orang kakek jembel itu dan Bun Beng juga cepat mengikuti gurunya. Di pantai sungai yang agak menyendiri dan jauh dari tempat ramai, tiga orang kakek jembel itu berhenti dan menunjuk ke sebuah perahu kecil yang berlabuh di pinggir sungai.

"Itulah perahu kami, sekarang kami serahkan kepada Locianpwe, menjadi perahu Locianpwe. Silakan dan maaf kami mempunyai urusan lain, Locianpwe."

Tiga orang kakek itu lalu pergi begitu saja, tidak menanti terima kasih! Dan anehnya gurunya juga tidak menyatakan terima kasih sehingga diam-diam Bun Beng menjadi tidak puas atas sikap gurunya yang dianggapnya kurang terima! Agaknya Kakek Siauw Lam dapat melihat isi hati muridnya maka ia berkata.

"Di dalam dunia kang-ouw terdapat paham bahwa di antara golongan sendiri, sebuah benda adalah milik bersama, terutama jika dipergunakan untuk kebutuhan mendesak. Dan, pemberian benda yang sudah merupakan kewajaran, tidak perlu dibalas dengan terima kasih, hal itu hanya akan menimbulkan ketidak puasan si pemberi yang menganggap orang itu bersikap sungkan seperti orang asing bukan segolongan! Kalau tadi aku mengucapkan terima kasih, tentu mereka akan menganggap bahwa aku sombong dan tidak mau menganggap mereka sebagai segolongan!"

Bun Beng melongo dan mengangguk-angguk. Betapa anehnya orang-orang kang-ouw itu, pikirnya. Akan tetapi ia mulai memperhatikan perahu itu. Sebuah perahu yang buruk akan tetapi kokoh kuat, dengan tiang layar dari bambu dan layar-layarnya banyak yang sudah ditambali, seperti pakaian tiga orang kakek jembel tadi. Bukan seperti perahu yang baik, akan tetapi lumayan dan cukup kuat!

Kakek Siauw Lam mengajak Bun Beng naik ke perahu, melepas ikatan dan menggunakan dayung menggerakkan perahu ke tengah sungai yang amat lebar itu. Makin lama makin ke tengah dan Bun Beng belajar caranya mendayung. Mula-mula memang sukar sekali, apa lagi kalau harus menerjang arus air, akan tetapi lama-lama ia menjadi biasa dan dapat menguasai cara mendayung. Perahu meluncur mengikuti arus air ke timur dan Kakek Siauw Lam mengembangkan sebuah layar kecil untuk membantu lajunya perahu.

Bun Beng benar-benar merasa gembira. Selamanya belum pernah ia berlayar dan sekali berlayar dia belajar mendayung dan mengemudikan perahu! Ternyata jauh lebih enak melakukan perjalanan dengan perahu, tidak melelahkan seperti kalau melakukan perjalanan darat dengan jalan kaki. Juga pemandangan alamnya tidak kalah menariknya karena di kanan kiri sungai itu tampak lembah yang subur dan diseling pegunungan dan hutan-hutan liar menghijau.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali mereka tiba di sebuah tikungan yang menurun. Arus airnya kuat dan berobah ganas, berombak dan mengandung banyak putaran air sehingga Kakek Siauw Lam turun tangan sendiri memegang kemudi dengan dayung. Setelah menikung dan air tidak begitu ganas lagi, tiba-tiba Bun Beng meloncat berdiri dan menuding ke depan sambil berkata.

"Suhu, lihat! Banyak perahu di depan, dan banyak orang di sana. Ada benderanya segala, siapakah mereka itu?"

"Kau tenanglah Bun Beng dan jangan mengeluarkan ucapan. Lihat saja dan jangan mencampuri kalau terjadi sesuatu. Mereka adalah rombongan partai-partai persilatan dan agaknya keramaian belum dimulai, semua orang masih bersikap menunggu-nunggu." Kakek itu bangkit dan berkata lirih, hatinya tegang sebab ia dapat merasakan betapa suasana amat panas dan sewaktu-waktu perpecahan dapat meledak di antara orang-orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka.

Setelah perahu mereka mendekat, kakek itu menyuruh Bun Beng untuk duduk diam saja, mengemudikan perahu dan menyuruh muridnya mengambil jalan tengah. Banyak perahu malang-melintang, agaknya memang sengaja mereka yang berada di perahu itu memancing-mancing keributan. Sekali saja ada perahu bertumbukan, tentu akan terjadi keributan itu.

Ketika kakek Siauw Lam dapat membaca tulisan pada bendera, terkejutlah dia karena ternyata bahwa yang berkumpul di situ dan seolah-olah menghadang itu adalah rombongan bajak sungai Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam) yang terkenal pada masa itu dan yang tidak saja menjadi bajak di muara Sungai Huang-ho, bahkan kadang-kadang turun ke laut dan mengganggu kapal-kapal di laut Po-hai! Akan tetapi kakek ini bersikap tenang saja, membisikkan kepada muridnya agar memperlambat lajunya perahu mereka.

Tiba-tiba tampak seorang di antara para bajak itu berdiri di kepala perahu yang menghadang di depan, kemudian terdengar suaranya lantang seperti berbunyi:


Dari delapan penjuru muncul harimau dan naga
datang ke muara memperebutkan mustika.
yang merasa dirinya bukan harimau atau naga
pergilah jangan mencari jalan ke neraka!


Kakek Siauw Lam masih tetap tenang, bahkan kini menggunakan tongkatnya dipukul-pukulkan dan digoyang-goyangkan ke dalam air seperti bermain-main. Tongkatnya menerbitkan suara berirama lalu terdengarlah kakek ini bernyanyi:


Harimau dan naga memperebutkan mustika, biarlah!
Sang Kucing tidak menghendaki apa-apa
hanya ingin menonton menggunakan mata sendiri
siapa yang ambil peduli?


Bun Beng yang mengemudikan perahu tidak begitu mengerti apa yang dimaksudkan dengan nyanyian-nyanyian itu, akan tetapi ia terbelalak kaget melihat betapa tongkat suhunya yang dipermainkan di air itu selain menerbitkan suara berirama, juga menimbulkan gelombang yang membuat perahu-perahu penghalang itu terombang-ambing, bahkan terdorong minggir!

Juga para pimpinan bajak mengerti bahwa kakek itu ternyata memiliki kepandaian dahsyat, maka perahu-perahu mereka minggir memberi jalan dan mereka semua berdiri di kanan kiri sambil memberi hormat mengangkat kedua tangan ke depan dada ketika perahu kecil itu lewat. Bajak yang tadi bernyanyi, kini bernyanyi pula, suaranya lantang:


Burung terbang dapat dipanah
ikan berenang dapat dijala
binatang lari dapat dijebak!
Kami yang bodoh tidak dapat mengenal naga sakti
yang menunggang angin dan mega
Maaf, maaf, maaf!


Akan tetapi kakek Siauw Lam tidak menjawab, hanya dengan tenang membantu muridnya mengemudikan perahu yang kini meluncur lewat rombongan bajak yang menghadang itu. Setelah beberapa kali melewati tikungan dan tidak tampak lagi bajak, Bun Beng tak dapat menahan keinginan hatinya yang sejak tadi berdebar tegang.

"Eh, Suhu! Apakah artinya semua nyanyian tadi? Sikap mereka begitu menakutkan akan tetapi Suhu hanya bernyanyi untuk mengalahkan mereka! Apa artinya?"

Kakek itu menghela napas panjang lalu menggeleng kepala. "Gerombolan bajak dapat mempergunakan kata-kata indah, bahkan dapat menggunakan ujar-ujar, hal ini saja menunjukkan bahwa golongan bajak pun telah amat maju. Tentu Ketua Hek-liong-pang yang sekarang ini bukan orang sembarangan!"

"Bajak? Apakah mereka itu bajak, Suhu?"

Gurunya mengangguk. "Mereka adalah anak buah bajak sungai Hek-liong-pang yang mengganas di muara Sungai Huang-ho. Nyanyian mereka tadi menyindirkan bahwa di muara sungai kini sedang didatangi tokoh-tokoh kang-ouw sakti yang diumpamakan naga dan harimau memperebutkan mustika yang agaknya dimaksudkan pusaka-pusaka itu. Dan mereka itu menjaga agar tokoh yang tidak berkepandaian tinggi, tidak perlu mendekat karena hanya akan merupakan gangguan saja. Ketua mereka pun merupakan seorang di antara mereka yang dianggap naga harimau!"

Bun Beng mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu, Suhu tadi menyindirkan bahwa sebagai kucing Suhu hanya ingin menonton. Akan tetapi biar pun kucing, bukan sembarang kucing! Tongkat Suhu menimbulkan gelombang membuat mereka sadar bahwa Suhu bukan sembarang kucing melainkan seekor naga yang menunggang angin dan mega! Bukankah begitu, Suhu?"

Gurunya mengangguk. "Nyanyian mereka terakhir tadi dipergunakan untuk memuji dan minta maaf. Padahal kata-kata itu berasal dari kata-kata pujian Biksu Khong Hu Cu yang ditujukan kepada Biksu Lo Cu setelah kedua Biksu itu saling berjumpa dan bercengkerama."

Perahu melucur terus dan menjelang senja perahu mereka melalui sungai yang menyempit, diapit dinding batu karang menggunung. Kembali Bun Beng yang tadinya melewatkan waktu dengan berlatih pedang yang dibawanya, pedang biasa yang selalu ia pergunakan untuk berlatih ilmu silat pedang, menghentikan latihannya dan berseru,

"Suhu...! Di atas tebing itu... banyak tentara! Dan bendera itu ada huruf besarnya berbunyi Kok Su (Guru Negara)! Wah, banyak sekali tentaranya, agaknya berjaga-jaga di daerah ini!"

"Ssst, kita sudah hampir sampai. Simpan pedang itu. Selewatnya dua tebing itu kita tiba di muara dan di pulau-pulau tengah sungai. Di tempat itulah keramaian terjadi karena dikabarkan bahwa tempat rahasia penyimpanan pusaka berada di situ. Agaknya tentara negeri menjaga dan melarang orang mendekatinya dari darat. Cepat, kita pinggirkan perahu, berlindung di bawah tebing, di bawah batu karang yang menonjol itu!" Kakek Siauw Lam membantu muridnya mendayung perahu sehingga perahu mereka meluncur cepat ke bawah batu karang. Kakek itu melontarkan tali dan dikaitkan pada batu karang sehingga perahu mereka menempel batu karang dan tidak hanyut.

Malam tiba dan mereka makan roti kering sambil minum arak merah yang dibawa kakek itu sebagai bekal. Angkasa penuh bintang berkelap-kelip dan sambil menanti lewatnya malam, Kakek Siauw Lam bercakap-cakap dengan muridnya.

"Suhu, kenapa kita tidak melanjutkan perahu sampai ke pulau-pulau itu?"

"Berbahaya! Hari sudah malam dan gelap, lebih baik kita menanti di sini dan besok pagi baru kita berangkat ke sana. Dalam keadaan gelap, sungguh tidak baik kalau kita melibatkan diri dengan urusan mereka. Kalau hari terang, tentu aku dapat melihat keadaan dan menyesuaikan diri."

"Suhu, selain Pendekar Siluman yang menjadi Majikan Pulau Es, siapa lagi mereka yang dahulu memperebutkan diri teecu? Sampai sekarang Suhu belum menceritakan keadaan mereka kepada teecu."

"Yang mukanya berwarna merah adalah anak buah dari Pulau Neraka."

"Pulau Neraka? Sungguh menyeramkan namanya. Di mana itu, Suhu?"

"Sampai sekarang belum ada tokoh kang-ouw yang mengetahuinya, bahkan mendengarnya pun baru akhir-akhir ini. Pulau Neraka sama aneh dan penuh rahasia seperti Pulau Es. Akan tetapi Pulau Es ini sudah puluhan tahun dikenal namanya, walau pun tidak pernah ada pula yang pernah melihatnya, kecuali Pendekar Siluman dan anak buahnya, tentu saja. Datuk-datuk golongan hitam dan putih dahulu memperebutkan dan mencari, karena kabarnya pusaka peninggalan Bu Kek Siansu berada di sana. Namun tidak pernah ada yang berhasil. Ada pun Pulau Neraka ini sebenarnya hanya dikenal sebagai dongeng yang turun-temurun di antara tokoh kang-ouw lama. Kabarnya sebuah pulau yang amat berbahaya, tidak dapat didatangi manusia, penuh dengan racun. Tidak hanya binatang-binatang beracun, bahkan buah-buahan, tetumbuhan dan batu-batuan di sana beracun semua! Maka, amatlah mengagetkan ketika muncul tokoh-tokohnya dari sana yang kesemuanya berwarna-warni kulit tubuhnya! Mengerikan!"

"Wah, hebat! Apakah muka mereka itu diberi warna untuk membedakan tingkat mereka?"

Kakek itu menggeleng kepala. "Ketika aku bertemu dengan mereka lima tahun yang lalu di kuil tua, aku terkejut dan memperhatikan. Warna-warna pada muka mereka bukan warna buatan, melainkan warna dari dalam kulit! Agaknya, melihat keadaan mereka dahulu itu, makin terang dan muda warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Dan kabarnya Pulau Neraka itu dipimpin oleh seorang yang memiliki kepandaian seperti iblis! Akan tetapi entahlah, tak pernah ada orang yang bertemu dengannya. Bahkan anak buah mereka pun baru sekali itu kulihat. Aku pun masih heran memikirkan bagaimana mereka itu tahu tentang dirimu dan hendak merampasmu, sungguh merupakan hal yang membingungkan dan sukar dimengerti!"

Bun Beng makin tertarik dan makin terheran-heran. "Kalau tokoh-tokoh yang lain itu siapakah, Suhu?"

"Mereka juga bukan orang-orang sembarangan. Mereka yang hanya merupakan anak buah tingkat rendah saja sudah mampu menandingi dua orang tokoh Pulau Neraka. Mereka itu adalah anak buah dari perkumpulan Thian-liong-pang yang baru sekarang muncul akan tetapi begitu muncul menggegerkan dunia kang-ouw karena tokoh-tokohnya berilmu tinggi. Kabarnya ketua mereka yang baru juga seorang aneh sekali yang ilmu kepandaiannya tidak lumrah manusia!"

"Kalau begitu, jika nanti tokoh-tokoh Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang muncul, tentu mereka yang akan menjagoi dan mampu memperebutkan pusaka-pusaka itu! Siapa yang akan mampu menandingi mereka?"

Kakek itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Aaahh, kau tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi, Bun Beng! Ilmu kepandaian tidak ada batasnya dan tidak mungkin dapat diukur sampai di mana puncaknya. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai. Yang tidak pernah memperlihatkan diri malah memiliki kepandaian menggila! Kini setelah ada umpan berupa berita pusaka-pusaka itu, hmm, aku hendak melihat apakah orang-orang sakti itu tidak tertarik! Kalau mereka muncul, tentu akan ramai sekali. Dan jangan kira pihak lain tidak mempunyai jago-jagonya. Pemerintah mempunyai banyak orang-orang pandai, dan kalau sekarang koksu kerajaan muncul, tentu kepandaiannya hebat. Apa lagi ada kudengar bahwa koksu mempunyai dua orang pembantu yang ilmu kepandaiannya sukar dikatakan sampai di mana tingginya. Mereka itu jarang dikenal orang kepandaiannya, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah dua orang pendeta Lama dari Tibet, aku dapat menduga bahwa tentu ilmu kepandaiannya luar biasa sekali."

Dengan hati penuh keheranan dan kekaguman Bun Beng mendengarkan penuturan suhunya dan akhirnya ia dapat pulas juga di atas perahu setelah menanti dengan hati tidak sabar agar malam lekas terganti pagi. Kakek itu memandang wajah muridnya di bawah bintang-bintang yang suram, menarik napas panjang dan berbisik seorang diri.

"Bocah ini bukan anak sembarangan. Entah nasib apa yang menantinya? Agaknya dia ditakdirkan akan terlibat dalam keributan tokoh-tokoh sakti yang muncul di tempat ini. Hemm... semoga dia kelak akan dapat berdiri di atas kebenaran, keadilan dan menjadi hamba kebajikan, mencuci noda ayah bundanya." Kakek ini pun lalu duduk bersila, bersemedhi untuk memberi istirahat kepada tubuhnya yang tua.....

********************

Sementara itu, di dalam tenda besar yang didirikan di atas tebing sungai, seorang kakek berkepala botak memimpin perundingan, menghadapi meja yang dikelilingi oleh tiga orang panglima dan dua orang pendeta gundul. Kakek botak ini bukan orang sembarangan karena dialah Koksu Kerajaan Ceng yang belum ada setahun diangkat oleh Kaisar sebagai pengganti Puteri Nirahai yang lenyap.

Kakek botak ini tadinya adalah seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, seorang keturunan India akan tetapi memakai nama Tiong-hoa. Namanya Bhong Ji Kun dan julukannya Im-kan Seng-jin (Nabi Akhirat)! Ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali dan setelah mendemonstrasikan ilmu-ilmunya dan mengalahkan semua jago kerajaan, dia diangkat menjadi koksu dan mengepalai semua jagoan kerajaan.

Im-kan Seng-jin ini pulalah yang berhasil menemukan peta rahasia yang menunjukkan tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang diperebutkan itu dan kini Kaisar mengutus dia sendiri memimpin pasukan pengawal, membawa pembantu-pembantunya untuk menuju ke pulau di muara Sungai Huang-ho karena kaum kang-ouw yang bertelinga tajam itu rupanya telah dapat mendengar akan hal ini sehingga pihak kerajaan merasa khawatir kalau-kalau mereka didahului oleh kaum kang-ouw.

Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun memblokir kedua tebing di kanan kiri muara dari mana mereka dapat menjaga dan memandang ke arah pulau-pulau itu, dan malam itu Im-kan Seng-jin mengadakan perundingan dengan lima orang pembantunya. Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Lama dari Tibet yang kini diperbantukan oleh Kaisar di istananya. Ada pun tiga orang panglima yang berpakaian perang dan kelihatan gagah perkasa itu pun bukan sembarangan orang, melainkan jagoan-jagoan tingkat tinggi yang mengepalai pasukan pengawal istana!

"Maaf Koksu. Sungguh saya tidak mengerti mengapa Koksu begitu sabar dan mendiamkan saja berkumpulnya orang-orang kang-ouw itu? Mengapa memberi kesempatan kepada mereka sehingga membahayakan pusaka yang akan kita ambil? Bukankah lebih baik kita turun tangan mengusir mereka. Kalau mereka membangkang, apa sukarnya menangkap dan membasmi mereka sebagai pemberontak?" tanya Bhe Ti Kong, panglima yang tampan, tinggi besar dan gagah perkasa, bermuka merah dan bermata lebar, pantas menjadi seorang panglima besar atau jenderal yang kosen.

Dua orang panglima lainnya mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan pertanyaan ini karena mereka pun merasa penasaran. Hanya kedua orang pendeta Lama itu yang duduk dengan tenang, tidak bicara apa-apa hanya menanti apa yang akan menjadi jawaban Im-kan Seng-jin.

Kakek botak yang tubuhnya tinggi kurus itu tersenyum memandang si penanya, kemudian mempermainkan jari-jari tangannya, ditekuk-tekuk sehingga mengeluarkan bunyi krak-krok-krok! "Tahukah kalian apa yang menyebabkan bunyi ini jika buku-buku jari ditekuk? Yang mendatangkan bunyi adalah pecahnya gelembung-gelembung yang terhimpit! Heh-heh-heh, Bhe-goanswe (Jenderal Bhe), sebagai seorang panglima perang tentu engkau sudah tahu akan siasat-siasat perang, bukan? Ada saatnya menyerang, ada pula saatnya mundur dan ada saatnya bersabar menanti kesempatan baik. Menghadapi partai-partai orang kang-ouw sekarang ini, aku mengambil siasat menanti dan melihat (wait and see)! Mengertikah kalian semua mengapa kita harus menanti dan melihat apa yang akan mereka kerjakan?"

Kelima orang pembantunya itu tidak ada yang mengerti, dan Bhe Ti Kong berkata lagi, "Sungguh saya bingung. Mengapa Koksu mengambil siasat ini? Mereka adalah orang-orang kang-ouw dan di antara mereka banyak terdapat tokoh-tokoh sakti, akan tetapi selama ini mereka tidak mengambil sikap bermusuh terhadap pemerintah. Jikalau sekarang kita mempergunakan kekuasaan minta mereka mundur, tentu mereka tidak membantah. Menurut para penyelidik, mereka itu bukan hanya sekedar tertarik untuk mendapatkan pusaka-pusaka, melainkan juga menggunakan kesempatan ini untuk berpibu, mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang pantas disebut jago nomor satu atau datuk paling tinggi! Segala perkara kosong itu perlu apa dibiarkan mengacau usaha kita mencari pusaka?"

Jenderal Bhe Ti Kong ini sejak kecil adalah orang peperangan, maka sikapnya jujur dan keras, siasatnya pun keras dan tidak mempunyai sifat plintat-plintut menggunakan akal bulus.

Im-kan Seng-jin tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Sekali ini engkau salah, Bhe-goanswe. Bukan hanya kesalahan satu macam, melainkan semua pendapatmu itu keliru dan meleset!"

Melihat sinar mata penuh tantangan dari atasannya itu, Bhe Ti Kong menunduk, dan suaranya perlahan ketika ia berkata, "Tentu Koksu yang benar, saya mohon penjelasan agar dapat melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan siasat Koksu!"

"Pertama, perlu kalian berlima tahu bahwa peta yang ada pada kita hanyalah menunjukkan kepulauan ini sebagai petunjuk pertama! Hal ini menurut perkiraanku jelas menandakan bahwa tempat pusaka itu bukan di sini, melainkan harus dicari mulai dari tempat ini, yaitu pulau-pulau yang berada di tengah muara. Karena belum diketahui jelas di mana tempatnya, sedangkan kita sendiri masih meraba-raba dan mencari-cari, perlu apa kita mendahului mereka mencari dan membiarkan mereka diam-diam mengawasi kita dan akan turun tangan apabila pusaka sudah kita dapatkan! Dari pada diawasi, lebih mudah mengawasi. Orang-orang kang-ouw itu hidungnya tajam, biarlah mereka yang mencarikan untuk kita. Kalau secara kebetulan sekali di antara mereka ada yang berhasil, kita sergap! Kalau tidak demikian, bayangkan saja betapa besar bahayanya kalau kita mencari-cari dan ratusan orang kang-ouw itu mengintai seperti sekawanan burung rajawali mengintai mangsanya! Bagaimana pendapat kalian?"

Lima orang pembantu itu mengangguk-angguk tanda setuju.

"Kalau mereka tidak berhasil mencari dan pergi, sudahlah. Mereka tidak memusuhi pemerintah, maka apa untungnya kalau kita menggunakan kekerasan mengusir mereka sehingga menimbulkan dendam dan permusuhan karena benci kepada pemerintah? Bukankah rugi sekali kalau kita mengusir mereka? Pertama, mereka akan membenci dan memusuhi pemerintah. Ke dua, mereka tentu penasaran dan akan mengintai gerak-gerik kita dalam mencari pusaka."

Kembali lima orang pembantunya mengangguk membenarkan dan diam-diam kagum akan pandangan yang luas dan perhitungan masak ini.

"Tentang mereka berpibu mengadu kepandaian di pulau itu? Ha-ha-ha-ha! Biarlah! Makin berkurang kaum kang-ouw yang saling berbunuhan, makin kurang bahayanya bagi pemerintah! Selain itu hemmm... aku pun ingin sekali menonton pibu. Ha-ha, tak dapat disangkal pula bahwa tangan kita yang mempelajari banyak ilmu ini menjadi gatal-gatal kalau mendengar orang sakti mengadu pibu. Apa salahnya kalau kita pun meramaikan pibu mereka itu? Kita berlima... heh-heh, berenam dengan aku maksudku, agaknya bukan merupakan tanding yang lemah. Akan menggembirakan sekali, ha-ha!"

Kini dua orang pendeta Lama itu yang mengangguk-angguk karena mereka berdua pun ingin sekali menyaksikan, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian kaum kang-ouw yang terkenal dan terutama sekali jika dia yang nanti terpilih menjadi datuk nomor satu!

Ketika perundingan di dalam kemah itu berlangsung, Kakek Siauw Lam sedang bersemedhi dengan tenangnya, sedangkan Bun Beng sudah pulas. Menjelang pagi, Kakek Siauw Lam sadar dari semedhinya karena ia mendengar suara perlahan di permukaan air, suara sebuah perahu meluncur datang mendekati perahunya! Namun kakek itu pura-pura tidak tahu dan duduk bersila dengan tenangnya, hanya diam-diam ia bersiap-siap menjaga diri dan muridnya kalau-kalau ada bahaya mengancam. Dari gerakan perahu ketika ia menghitung gerakan, ia tahu bahwa ada enam orang meloncat ke atas perahunya, dan orang-orang ini biar pun memiliki ginkang yang tinggi, bagi dia bukan merupakan lawan yang perlu dikhawatirkan. Maka dia tetap pura-pura tidak tahu.

"Kita sergap dan ikat," bisik seorang di antara mereka.

Legalah hati kakek Siauw Lam. Bisikan itu mempunyai arti bahwa dia dan muridnya hanya akan ditangkap, tidak dibunuh, maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak melakukan perlawanan.

"Heiii! Apa ini? Lepaskan...!" Bun Beng meronta-ronta dengan kaget ketika terbangun dan melihat ada seorang laki-laki mengikat kedua tangannya, "Suhu...!"

"Diamlah, Bun Beng. Mereka tidak berniat jahat." kata Kakek Siauw Lam dengan sabar.

"Tidak berniat jahat mengapa membelenggu kita?" Bun Beng membantah, terheran-heran.

Kini kedua tangan guru dan murid itu telah dibelenggu ke belakang dan mereka melihat enam orang laki-laki bersenjata golok besar berdiri di atas perahu.

"Engkau benar, orang tua. Kami tidak berniat jahat. Bukankah kalian hendak menonton keramaian? Nah, Pangcu kami tidak ingin melihat penonton membikin ribut, akan tetapi juga tidak mau merampas hak seorang penonton. Mari, kalian akan mendapat tempat yang amat baik sehingga akan dapat menonton dengan enak, ha-ha!"

Tubuh guru dan murid itu lalu diangkat, dipindahkan ke dalam perahu mereka yang mereka dayung cepat-cepat menuju ke sebuah pulau terbesar yang berada di tengah muara. Tanpa banyak cakap mereka meminggirkan perahu, disambut oleh seorang laki-laki berkumis pendek dan membawa sebatang pedang di punggungnya. Sikapnya berwibawa, matanya tajam dan biar pun usianya paling banyak empat puluh lima tahun, namun mudah diduga bahwa dia tentulah pemimpin dari orang-orang ini.

"Lemparkan mereka di pantai, kemudian cepat sembunyikan perahu dan kembali bersembunyi di tempat semula," kata orang berpedang itu setelah melempar pandang kepada Kakek Siauw Lam.

"Baik, Pangcu," jawab anak buahnya, namun orang berpedang itu sudah berkelebat cepat sekali, lenyap dari situ.

Kakek Siauw Lam dan Bun Beng lalu digotong keluar dan ditinggalkan di pantai pulau itu, kemudian enam orang bersama perahunya pergi. Semua ini dilakukan menjelang pagi ketika cuaca masih gelap.

Keadaan sunyi sekali setelah orang-orang yang menangkap mereka itu pergi. Bun Beng memandang ke sekelilingnya. Pulau itu cukup besar, merupakan pulau berbentuk anak bukit yang tinggi juga. Hanya pantai di mana mereka ditinggalkan itu yang datar, akan tetapi dari tempat itu dapat diduga bahwa pantai lain di sekeliling pulau itu tentu merupakan tebing-tebing yang tinggi. Juga ia mendapat kenyataan bahwa pulau itu berada di muara paling ujung dan sudah berbatasan dengan laut sehingga kadang-kadang tampak ombak laut naik dan membentur tebing karang pulau itu di sebelah luar.

Ketika berusaha memandang ke seberang, yaitu di kanan kiri sungai yang telah menjadi luas sekali itu, dia hanya melihat beberapa sinar api berkelap-kelip. Keadaan sunyi sekali seolah tempat itu tidak ada manusianya, padahal dia dapat menduga bahwa di sekitar tempat itu, mungkin di atas pulau dan sudah jelas sekali di seberang, di tebing-tebing tinggi, penuh dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti, penuh pula dengan pasukan pengawal. Hatinya berdebar tegang ketika ia teringat akan keadaan dirinya dan suhunya.....
 Diam-diam Suma Han merasa geli di dalam hatinya. Dahulu, secara tidak sengaja ia mengaku tinggal di Pulau Es kepada dua orang utusan Pulau Neraka dan siapa sangka, sekarang hal itu benar-benar telah terbukti. Sekarang dia menjadi penghuni atau majikan dari Pulau Es.....


"Suhu, teecu masih tidak mengerti mengapa Suhu tidak melawan? Kita ini dibelenggu dan dilepaskan di sini, apa sih kehendak mereka? Apakah benar-benar kita disuruh menonton akan tetapi tidak boleh bergerak maka dibelenggu seperti ini?"

"Sabar dan tenanglah, Bun Beng. Engkau pergi hendak mencari pengalaman, ingat? Nah, justru pengalaman-pengalaman yang tidak enaklah yang merupakan pengalaman tak terlupakan dan mengandung banyak pelajaran. Mereka itu tidak berniat jahat, karena kalau demikian, tentu tadi mereka akan membunuh kita dan tentu saja aku tidak akan membiarkan mereka berbuat begitu. Mereka hanya menangkap kita dan buktinya kita ditinggalkan di sini."

"Akan tetapi... mengapa, Suhu? Apa maksudnya semua?"

"Aku sendiri tidak tahu dengan pasti, hanya dapat menduga-duga saja. Namun kalau dugaanku tidak meleset terlalu jauh, kita sekarang bukan menjadi penonton lagi, Bun Beng, melainkan ikut pula main dalam keramaian ini, bahkan menjadi pemegang peran babak pertama dalam adegan pembukaan!"

Bun, Beng membelalakkan matanya. "Apa maksud Suhu?"

"Melihat adanya pasukan-pasukan pemerintah yang sudah memblokir tempat ini, agaknya para partai dan tokoh kang-ouw yang sudah berkumpul dengan sembunyi-sembunyi di sekitar tempat ini merasa ragu-ragu untuk memulai keramaian ini. Mereka mengambil sikap menunggu dan melihat, tidak ada yang berani memulai karena resiko dan bahayanya amat besar. Selain adanya saingan yang berat dan banyak jumlahnya, di sini terdapat pula pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh koksu. Hal ini tentu saja bukan merupakan hal sepele yang boleh dibuat main-main. Oleh karena itu, dengan adanya kita sebagai orang luar atau katakan penonton, maka mereka mendapat kesempatan baik untuk menarik kita dan kita dijadikan semacam umpan, atau lebih tepat merupakan sumbu untuk meledakkan keramaian! Mereka semua bersembunyi, dan kita mereka taruh di sini yang dapat dilihat dari semua penjuru kalau matahari sudah muncul nanti. Kehadiran kita ini pasti menarik semua orang dan tentu akan ada yang mulai muncul sehingga pesta dapat dimulai!"

"Hemm, kurang ajar sekali mereka!" Bun Beng mengomel. "Kalau aku mereka jadikan umpan masih tak mengapa. Akan tetapi mereka berani menangkap dan membelenggu Suhu! Siapakah mereka yang menangkap kita tadi, Suhu?"

"Melihat sikap mereka dalam menggunakan perahu, kiranya tidak salah kalau aku menduga bahwa mereka adalah pimpinan Hek-liong-pang yang membantu ketua mereka dalam usaha perebutan ini. Si Kumis yang berpedang tadi lihai dan cepat sekali gerakannya dan disebut Pangcu (Ketua), agaknya dialah Ketua Hek-liong-pang. Hek-liong-pang merupakan kekuasaan tidak resmi di muara ini, dan dalam istilah dunia kang-ouw, sekali ini keramaian mengambil tempat di wilayah atau daerah kekuasaan Hek-liong-pang. Tegasnya, saat ini dapat dianggap bahwa Hek-liong-pang menjadi tuan rumah! Tuan rumah yang bukan hanya ingin menjadi penonton saja, bahkan ingin sekali memegang peran utama dan mendapatkan pusaka yang diperkirakan terdapat di dalam daerah operasi mereka! Maka melihat betapa keramaian dapat membeku gagal dengan munculnya begitu banyak pasukan pemerintah, Hek-liong-pang kini mengambil prakarsa untuk menyalakan sumbu yang akan meledakkan keramaian, yaitu kita inilah."

"Sekarang, apa yang akan Suhu lakukan? Apakah kita akan mandah begini saja?"

Kakek itu tersenyum lebar. Semenjak Siauw Lam Hwesio menjadi Kakek Siauw Lam dan memelihara rambut, wajahnya yang dahulu selalu dingin membeku itu kini mulai tampak sinarnya dan terutama sekali kalau bicara dengan muridnya, ia mulai banyak tersenyum. Memang muridnya tidak seperti bocah biasa. Anak ini jalan pikirannya seperti orang tua, tidak kekanak-kanakan lagi, dan kecerewetannya menanyakan segala macam hal menandakan bahwa anak ini mempunyai hasrat besar untuk maju.

“Bun Beng, kalau aku mengendaki, apa sih sukarnya merobohkan enam orang itu? Akan tetapi aku sengaja membiarkan mereka menangkap kita. Kalau saja tidak bersama engkau, tentu aku tidak sudi mengalami penghinaan dari pimpinan bajak ini. Engkau hendak mencari pengalaman dan berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti. Nah, sekarang engkau berada di tengah-tengah dan akan mengalami sendiri keramaian itu. Karena inilah aku sengaja mengalah. Kita tunggu saja dan lihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Hari masih terlalu pagi, matahari belum bersinar, tentu mereka belum dapat melihat kita. Tunggu saja nanti kalau matahari sudah bersinar, dan kalau ikan-ikan itu sudah melihat umpan yang lezat ini, hemmm, tentu mereka akan bermunculan dan akan memenuhi idaman hatimu.”

Bun Beng tidak bertanya lagi dan kini ia diam-diam mengerahkan tenaganya untuk mencoba apakah dia akan dapat mematahkan belenggu yang mengikat kedua lengannya. Beberapa kali ia mengerahkan tenaganya, namun sia-sia saja. Belenggu itu terlalu kuat baginya. Biar pun Kakek Siauw Lam tidak melihat usahanya ini, namun kiranya kakek itu mengetahui karena kakek itu berkata.

“Muridku, usiamu belum cukup berlatih sinkang, maka tenaga dasar darimu mana mungkin dapat mematahkan belenggu. Akan tetapi, lupakah engkau akan latihan Jiu-kut-kang yang kuajarkan kepadamu?”

Bun Beng tertegun. Tentu saja dia telah mempelajari ilmu Jiu-kut-kang itu, yaitu ilmu melemaskan diri atau cara untuk melemaskan urat dan sambungan tulang. Dia tadinya tidak dapat mengerti mengapa untuk mematahkan belenggu yang kuat, suhu-nya menganjurkan dia ilmu itu. Dia tidak membantah dan mulailah ia mengumpulkan inderanya dan mengerahkan ilmu itu sehingga kedua lengannya menjadi lemas dan lunak. Seketika ikatan pada kedua pergelangan tangan itu menjadi mengendur dan ia menjadi girang sekali. Kiranya Jiu-kut-kang bukan dipergunakan untuk mematahkan belenggu, melainkan untuk membuat kedua tangannya dapat dilolos keluar tanpa mematahkan belenggu! Ia mencoba dan... dengan mudahnya ia menarik keluar tangannya dari ikatan.

“Suhu, teecu... berhasil...!”

“Bagus, tentu saja berhasil. Akan tetapi jangan sekali-kali membebaskan kedua tanganmu, bersikaplah seperti engkau terbelenggu.”

Bun Beng mengerti maksud kata-kata suhu-nya. Dia tidak boleh memperlihatkan kepada orang lain bahwa belenggunya dapat terlepas. Maka sambil bersandar pada batu karang, Bun Beng mempermainkan belenggu itu dengan ilmu Jiu-kut-kang, melolos tangannya lalu memasukkan lagi pada belenggu yang kini hanya merupakan lingkaran tali yang tiada gunanya itu. Dia terbelenggu, akan tetapi belenggu itu malah dapat ia pergunakan untuk berlatih Jiu-kut-kang, sehingga diam-diam ia menertawakan kawanan bajak yang membelenggu tadi. Baru dia saja dapat membebaskan dari belenggu, apa lagi suhu-nya. Sungguh kawanan bajak itu benar-benar tak tahu diri, berani mati membelenggu suhu-nya!

Matahari mulai memancarkan sinarnya di permukaan pulau itu dan hati Bun Beng sudah mulai berdebar tegang dan gembira, bukan hanya karena sinar matahari telah mengusir hawa dingin, terutama sekali karena ia mengharapkan untuk dapat menyaksikan keramaian yang tentu akan segera dimulai. Namun sampai berapa lamanya, keadaan tetap sunyi. Agaknya para tokoh itu masih merasa segan dan malu-malu kucing untuk memulai dan membuka keramaian.

Bun Beng telah memasukkan kembali kedua tangannya ke dalam tali pengikat dan bersandar pada batu karang seperti yang dilakukan suhu-nya. Kakek itu masih bersandar pada sisi batu seperti orang tidur, kelihatannya enak dan tenang saja. Tak lama kemudian, setelah Bun Beng hampir hilang sabarnya dan sudah bergerak hendak bertanya kepada suhu-nya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali seperti burung menyambar dan tahu-tahu di dekat mereka telah berdiri dua orang laki-laki tua yang berpakaian sederhana.

Dua orang kakek itu usianya antara lima puluh tahun, yang seorang gemuk sekali, yang kedua amat kurus namun keduanya berpakaian sederhana, berjenggot dan bermata tajam.

Setelah memandang kakek Siauw Lam dengan penuh perhatian, tiba-tiba Si Gemuk itu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat dan berkata.

“Ahhh, kiranya Locianpwe yang berada di sini? Maafkan karena... eh, karena rambut Locianpwe yang membuat saya tidak mengenal bahwa yang semalam berada di sini adalah Siauw Lam Locianpwe dari Siauw-lim-pai.”

Mendengar ini, temannya yang kurus kelihatan kaget dan cepat berlutut memberi hormat.

Kakek Siauw Lam menghela napas panjang. Kiranya rambut panjangnya itu tidak dapat menyembunyikan namanya. Ia mengerling dan melihat berkelebatnya bayangan orang. Tampak enam orang pimpinan bajak bersama ketua mereka, dan jauh di sana tampak pula berkelebatnya banyak orang yang memiliki gerakan amat gesit tanda bahwa orang-orang pandai itu telah mulai berdatangan. Kemudian ia memandang orang gemuk yang mengenalnya, mengingat-ingat akan tetapi tidak mengenal Si Gemuk itu. Juga orang kurus itu ia tidak mengenalnya.

Sementara itu, para pimpinan bajak Hek-liong-pang sudah datang mendekat. Mereka ini siap dengan senjata mereka, bahkan ketuanya yang belum mencabut senjata berkata, “Siapakah Ji-wi yang berani datang ke wilayah kami tanpa ijin?”

Akan tetapi pertanyaan ini sama sekali tidak diacuhkan oleh Si Gemuk dan Si Kurus itu, seolah-olah mereka itu hanya sekumpulan lalat saja dan pertanyaan itu seperti gonggongan anjing. Juga kakek Siauw Lam tidak mempedulikan mereka, kini bertanya kepada Si Gemuk,

“Mataku yang sudah tua mungkin tidak awas lagi maka tidak dapat mengenal Ji-wi sicu yang gagah perkasa. Siapakah Ji-wi yang mengenal aku orang tua tiada guna?”

“Saya bernama Yap Sun dan ini adalah Sute Thung Sik Lun, pembantu saya. Kami berdua adalah utusan dari Pulau Es!”

“Utusan dari Pulau Es??” Bun Beng berteriak girang dan anak ini sudah menarik kedua tangannya terlepas dari ikatan sambil melompat berdiri.

“Utusan dari Pulau Es!” para pimpinan Hek-liong-pang berseru kaget sekali. Mendengar disebutnya Pulau Es bagi mereka seperti mendengar bunyi guntur di tengah hari.

Dua utusan Pulau Es itu lalu bangkit berdiri setelah memberi hormat kepada kakek Siauw Lam, kemudian mereka membalikkan tubuh menghadapi pimpinan Hek-liong-pang. Yap Sun, wakil dari Pulau Es itu berkata dingin.

“Hek-liong-pang seperti dipimpin orang-orang buta dan lancang, berani menghina seorang Locianpwe yang patut dihormati. Kami berdua utusan Pulau Es ingin meninjau pertemuan orang-orang gagah yang kabarnya akan diadakan di sini. Apakah pihak Hek-liong-pang keberatan dengan kehadiran kami?”

Enam orang pimpinan Hek-liong-pang bersama ketua mereka itu tadi tidak hanya kaget mendengar nama Pulau Es, juga melihat betapa wakil Pulau Es begitu menghormati Si Kakek Tua, dan kaget pula melihat bocah itu ternyata mampu melepaskan ikatan tangannya! Ketuanya yang berpedang di punggungnya cepat menguasai diri dan kini merangkapkan kedua tangan di depan dada sebagai tanda menghormati sambil berkata,

“Maaf, maaf! Tidak mengenal maka tak sayang, kata orang. Karena tidak mengenal maka kami berlaku kurang hormat yang berpura-pura sebagai penonton lemah, tidak mengenal Ji-wi sebagai utusan Pulau Es yang terhormat. Setelah mengenal kami persilakan Ji-wi dan juga Locianpwe untuk naik ke tengah pulau!”

Dua orang kakek gemuk dan kurus itu tanpa banyak cakap lagi lalu melangkah dan naik ke atas bukit, diikuti oleh tujuh orang pimpinan Hek-liong-pang. Ada pun kakek Siauw lam, sekali menggerakkan tangan telah mematahkan belenggunya, kemudian menggandeng tangan muridnya dan berkata,

“Hebat! Pulau Es mengirim wakilnya. Keramaian dimulai dan engkau akan menyaksikan pertunjukan menarik. Mari kita naik!”

Dengan jantung berdebar tegang Bun Beng mengikuti suhu-nya naik ke bukit batu karang itu. Setelah mereka tiba di atas, ternyata bahwa puncak bukit yang berada di tengah pulau itu daratan yang luas, bahkan sebagian besar menjorok ke pinggir merupakan tebing tinggi. Air muara dan air laut berada di bawah tebing itu. Pemandangan sungguh indah menakjubkan, namun juga berbahaya dan mengerikan. Dan di tempat itu kini sudah penuh orang sehingga diam-diam Bun Beng merasa heran bagaimana dalam waktu singkat tempat itu telah dikunjungi begitu banyak orang yang semua tampak gagah perkasa.

Sebuah kapal layar besar tampak berlabuh tak jauh dari pinggir pulau, dan melihat keadaan layarnya dan bendera yang berkibar di tiang kapal itu tentulah milik pemerintah.

Kakek Siauw Lam mengajak Bun Beng duduk agak jauh, di atas batu karang tinggi agar enak mereka menonton keramaian. Dari tempat itu Bun Beng dapat melihat seluruh daratan, dan karena jaraknya dekat, ia dapat pula mendengar. Dengan penuh perhatiasn Bun Beng menyapu tempat itu dengan pandang matanya. Ia melihat beberapa kelompok orang, dengan bendera masing-masing. Dari tempat ia menonton, ia dapat membaca huruf-huruf pada bendera itu.

Ketua Hek-liong-pang berdiri bersama enam orang pembantunya di kanan, dengan bendera bertuliskan huruf ‘Hek-liong-pang’. Di sebelahnya terdapat rombongan belasan orang yang berbendera Hek-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) yang semua memakai pakaian hitam penuh tambalan. Kemudian terdapat pula rombongan yang berbendera Hui-houw-pai (Partai Macan Terbang) yang seperti bendera Hek-liong-pang yang bergambar naga hitam, bendera Hui-houw-pai ini bergambar seekor harimau bersayap! Kemudian tampak pula rombongan Thian-liong-pang yang hanya terdiri dari empat orang, kelihatan biasa saja namun rombongan ini menjauhkan diri dan kelihatan tak gentar.

Di ujung sekali tampak rombongan yang aneh menyeramkan. Rombongan ini tidak membawa bendera akan tetapi mudah dekenal karena warna-warna muka mereka sudah merupakan bendera tersendiri. Ada warna muka jambon, ungu, hijau pupus, biru laut. Semua ada sebelas orang, akan tetapi warna mereka semua adalah muda, menandakan bahwa wakil Pulau Neraka yang datang ini adalah orang-orang yang tingkatnya sudah tinggi.

Di samping rombongan-rombongan ini, tampak pula rombongan dari partai-partai persilatan besar yang hanya terdiri dari beberapa orang dan tidak dikenal oleh Bun Beng. Akan tetapi, kakek Siauw Lam membantunya dan sambil menuding dengan telunjuknya, kakek ini memperkenalkan tokoh-tokoh yang hadir, tentu saja yang dikenalnya karena banyak di antara mereka merupakan ‘wajah-wajah baru’ yang selama ini hanya menyembunyikan dirinya. Maka tahulah Bun Beng bahwa di tempat itu hadir pula tokoh-tokoh dari Hoa-san-pai, Khong-tong-pai dan partai-partai lain yang kecil.

Dari partai Siauw-lim-pai ternyata ada pula yang hadir yaitu lima orang Siauw-lim Ngo-kiam (Lima Pedang Siauw-lim). Bun Beng belum pernah melihat mereka, maka kini dia memandang penuh perhatian.

“Mereka adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai penting dan terkenal, murid-murid Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai yang lama. Tentunya ada tujuh orang murid yang terkenal dengan nama Siauw-lim Chit-kiam, akan tetapi dua di antara mereke telah terjadi perang (baca cerita Pendekar Super Sakti). Kini tinggal lima orang itu, ahli-ahli pedang yang patut dibanggakan oleh Siauw-lim-pai.

Tentu saja Bun Beng memandang ke arah lima orang kakek itu dengan hati girang karena mereka adalah jago-jago pedang Siauw-lim-pai yang berdiri dengan sikap tenang dan amat gagahnya, dalam pandangannya jauh lebih gagah dari pada yang lain. Mereka terdiri dari dua orang hwesio dan tiga kakek bukan pendeta.

“Suhu, kalau begitu teecu harus menyebut apa kepada mereka?”

Lama kakek Siauw Lam tidak menjawab, akhirnya dia berkata perlahan. “Aku hanyalah seorang pelayan di Siauw-lim-si, akan tetapi menurut tingkat, karena aku menjadi murid mendiang Kian Ti Hosiang, maka mereka adalah murid-murid keponakanku dan engkau boleh menyebut suheng kepada mereka.”

Girang hati Bun Beng. Mereka itu adalah kakak-kakak seperguruannya. Ingin sekali dia dapat berdiri di samping mereka, mewakili Siauw-lim-pai, akan tetapi gurunya melarang.

“Kita hanya penonton, tidak boleh melibatkan diri secara langsung.”

Sementara itu, ketua Hek-liong-pang yang berpedang dan tampak gagah itu sudah maju ke tengah lapangan dan memberi hormat kepada semua yang hadir. Dengan lantang namun penuh hormat dia berkata.

“Saya sebagai ketua Hek-liong-pang bernama Huang-ho Sin-liong Ciok Khun (Naga Sakti Huang-ho), dan sebagai tuan rumah karena tempat ini termasuk wilayah kekuasaan Hek-liong-pang, menghaturkan selamat datang kepada Cu-wi Locianpwe sekalian. Maksud kunjungan kita semua di tempat ini tanpa ada yang mengundang mempunyai tujuan yang sama. Kini kita semua melihat pula hadirnya pasukan pemerintah maka biarlah pemerintah menjadi saksi diadakannya pemilihan bengcu (ketua) persilatan di dunia kang-ouw. Kami hanya akan menyerahkan pulau ini kepada pihak yang patut menjadi bengcu, maka pihak yang sekiranya tidak mempunyai kepandaian dan tenaga untuk menangkan pibu, harap mundur saja.”

Ucapan ini disambut suara gemuruh mereka yang hadir, ada yang pro dan ada pula yang kontra, namun semua setuju bahwa urusan ‘pusaka’ tidak disinggung-singgung karena mereka tahu biar pun kini belum nampak pasukan pemerintah turun ke pulau, namun tentu ada para penyelidiknya yang turut menyaksikan dan mendengar.

“Kami pihak Hek-liong-pang yang mempunyai daerah sepanjang Sungai Huang-ho dari Terusan Besar sampai ke muara telah bersepakat dengan pihak Hek-i Kai-pang yang mempunyai daerah sepanjang lembah Huang-ho di utara, untuk bersama-sama menjadi tuan rumah dan kami mengambil kehormatan untuk membuka pibu ini. Karena kami maklum bahwa yang hadir adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang memiliki ilmu-ilmu kepandaian tinggi sekali, maka kami mngambil keputusan untuk maju sendiri sebagai penguji pertama. Gu-loheng, marilah!”

Dari rombongan Hek-i Kai-pang melonat keluar seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluhan tahun, memegang sebatang tongkat hitam, sama dengan pakaiannya yang terbuat dari pada sutera hitam. Inilah Toat-beng-tung Gu Ban Koai (Si Tongkat Maut), ketua Hek-i Kai-pang yang selama ini, seperti juga Hek-liong-pang, telah dapat memperkuat perkumpulannya.

Dahulu Hek-liong-pang tidaklah begitu kuat ketika diketuai oleh ayah dari Ciok Khun ini yang bernama Ciok Ceng. Akan tetapi, Ciok Khun memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari ayahnya karena ia telah berguru kepada seorang pendeta perantauan yang datang dari seberang lautan timur. Dia memiliki ilmu pedang yang dahsyat dan aneh.

Demikian pula dengan Hek-i Kai-pang. Ketika dulu diketuai oleh It-gan Hek-houw Song-pangcu, perkumpulan ini tidak memperoleh kemajuan. Akan tetapi sekarang setelah dipimpin oleh ketuanya yang baru, Hek-i Kai-pang menjadi maju dan makin kuat. Hal ini adalah karena ketuanya sekarang adalah seorang yang amat lihai, terutama sekali ilmu tongkatnya sehingga dia mendapat julukan Tongkat Maut!

Karena pibu yang diadakan tanpa perjanjian lebih dulu ini sebenarnya bukanlah pibu biasa, dan biar pun tidak diucapkan telah dimengerti oleh semua yang hadir bahwa pibu ini lebih pantas dikatakan memperebutkan hak ‘siapa yang menang akan berhak mencari pusaka di tempat itu’, maka yang maju adalah kedua orang ketua itu sendiri!

Huang-ho Sin-liong Ciok Khun sudah mencabut pedangnya dan bersiap menghadapi lawan yang berani memasuki kalangan pibu, di samping Toat-beng-tung Gu Ban Koai yang sudah melintangkan tongkat di depan dada.

Perlu diketahui bahwa kebiasaan memperebutkan bengcu atas pemimpin persilatan, atau juga datuk persilatan yang merupakan jagoan terpandai, adalah kebiasaan golongan hitam dan perkumpulan-perkumpulan yang bergerak dalam bidang persilatan. Kaum partai besar seperti Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain yang di samping mengembangkan ilmu silat juga terutama sekali mengembangkan agama dan ilmu kebatinan, tidak bernafsu untuk disebut sebagai jago silat nomor satu.

Oleh karena itu partai-partai besar yang hadir di saat itu tidak diwakili oleh ketua-ketua mereka, dan kedatangan mereka itu semata-mata hanya tertarik oleh berita ditemukannya tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang hilang, sama sekali tidak bermaksud mengikuti pibu untuk memperebutkan kedudukan jago nomor satu. Maka tantangan pibu yang dibuka oleh kedua ketua itu mereka sambut dengan sikap dingin dan tidak ada niat untuk turun tangan, kecuali hanya untuk menonton saja dan meilhat perkembangan keadaan lebih lanjut.

Akan tetapi tidak demikian dengan rombongan yang lain, yang selain ingin memperoleh pusaka juga tentu saja ingin disebut jago nomor satu dan perkumpulannya merupakan perkumpulan yang terkuat dan terbesar sehingga mereka mempunyai kedudukan mulia di dunia kang-ouw.

Dua orang meloncat ke depan. Yang seorang adalah ketua Hui-houw-pai bernama Sim Koa Bi, berjuluk Hui Houw (Macan Terbang) dan perkumpulannya menggunakan nama perkumpulan itulah. Tubuhnya gemuk pendek dan ia memegang sebuah senjata rangtai baja yang ujungnya dipasangi bola berduri di kanan kiri. Orang kedua yang meloncat keluar dari golongan perorangan tanpa rombongan adalah seorang yang bertubuh kecil kurus, berpakaian mewah dan kedua tangannya memegang sepasang pedang. Usianya sebaya dengan ketua Hui-houw-pai, yaitu sekitar tiga puluh lima tahun. Akan tetapi sikapnya malu-malu seperti perempuan, dan dia berdiri di situ sambil tersenyum-senyum merendah.

“Aku Hui-houw Sim Koa Bi ketua Hui-houw-pai mohon pengajaran dari dua pangcu!” kata ketua Hui-houw-pai dengan suara mengguntur.

“Saya Kwa Ok Kian yang bodoh memberanikan diri memperluas pengetahuan. Untuk memperebutkan bengcu tentu saja saya tidak berani. Cukup kalau ikut meramaikan pertemuan ini agar menghangatkan hati para Locianpwe sebelum turun tangan!” kata orang kurus sambil tersenyum. Biar pun sikapnya demikian merendah, namun orang ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali karena sejak kecil dia menggembleng ilmu di daerah Go-bi-san, dan baru sekarang turun gunung.

Dua orang tuan rumah itu memandang penuh perhatian, kemudian Ciok Khun berkata, “Kami berdua sebagai pihak tuan rumah mempersilakan Ji-wi untuk memilih lawan di antara kami berdua.”

Sim Koa Bi ketua Hui-houw-pai cepat berkata, “Aku ingin sekali berkenalan dengan tongkat maut dari pangcu Hek-i Kai-pang!”

Dia memang sudah mendengar akan kelihaian ketua Hek-liong-pang, maka dengan cerdik ia memilih ketua perkumpulan Pengemis Baju Hitam itu yang belum ia kenal. Tentu saja ia tidak tahu bahwa tingkat kepandaian pengemis ini sebetulnya tidak berbeda jauh dengan tingkat kepandaian ketua Hek-liong-pang!

Kwa Ok Kian tersenyum dan menghampiri Ciok Khun sambil berkata, “Kalau begitu biarlah saya menerima pengajaran dari Ciok-pangcu!”

“Silakan!” kata Ciok Khun yang sudah melihat betapa ketua Hek-i Kai-pang telah mulai bertanding melawan ketua Hui-houw-pai.

“Pangcu, lihat siang-kiam!”

Dua sinar berkelebat ketika Si Kecil ini menggerakkan sepasang pedangnya, tahu-tahu pedang kanan membabat leher dan pedang kiri membabat kaki lawan dengan gerakan yang berlawanan. Hebat bukan main serangan ini sehingga Ciok Khun berseru memuji, menangkis pedang yang mengancam leher sambil meloncat ke atas menghindari babatan pada kakinya. Kemudian ketua Hek-liong-pang ini pun melanjutkan gerakannya dengan serangan balasan. Mereka segera bertanding dengan seru dan yang tampak hanyalah sinar pedang bergulung-gulung menyilaukan mata.

Pertandingan antara ketua Hui-houw-pai melawan ketua Hek-i Kai-pang juga berjalan dengan amat hebat. Sim Koa Bi yang pendek gemuk itu ternyata lihai sekali. Gerakannya cepat dan rantai di tangannya menjadi sinar bergulung-gulung. Yang mengagumkan sekali adalah gerakan loncatannya, seperti terbang saja dan dari atas rantainya menyambar. Kedua kakinya juga melakukan tendangan-tendangan yang amat berbahaya.

Namun Gu Ban Koai dengan tongkatnya bergerak tenang. Tongkatnya membentuk pertahanan yang amat kuat dan kadang-kadang, biar pun hanya jarang saja, satu melawan tiga dibandingkan dengan gencarnya serangan rantai, tongkat itu secara tiba-tiba menyambar dan kalau mengenai lawan tentu akan mendatangkan bahaya maut. Agaknya tidaklah mengecewakan kalau ketua partai pengemis ini mendapat julukan Tongkat Maut karena tongkatnya selalu mengirim serangan dahsyat dan lebih banyak bertahan dari pada menyerang. Pendeknya, setiap serangan tentu sudah diperhitungkan masak-masak, bukan sembarang menyerang untuk mengacaukan lawan, melainkan serangan untuk merenggut nyawa lawan!

Bun Beng berdiri dan menonton dengan bengong penuh kekaguman. Dia sering kali melihat murid-murid Siauw-lim-pai berlatih silat, akan tetapi baru sekarang dia melihat pertandingan sehebat itu. Gerakan-gerakan pedang itu bagaikan halilintar menyambar, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi sinar terang bergulung-gulung. Dan rantai bersama tongkat itu pun bergerak secara hebat sehingga si Tongkat nampak berubah menjadi puluhan banyaknya dan rantainya berubah menjadi gulungan sinar.

“Suhu, siapa yang akan menang dalam pertandingan dahsyat itu?” tanyanya kepada gurunya tanpa mengalihkan pandang matanya dari medan pertandingan.

“Hemm, pertandingan ini belum berapa hebat, Bun Beng. Kalau orang yang sakti maju, tidak perlu menggunakan senjata keras! Kulihat orang she Kwa itu biar pun memiliki ilmu siang-kiam yang hebat dan memiliki gerakan yang cepat, namun ia masih kalah pengalaman dibandingkan dengan ketua Hek-liong-pang, dan tenaga sinkang-nya kalah kuat. Agaknya ketua Hek-liong-pang yang akan menang. Ada pun pertandingan yang satu lagi, jelas bahwa ketua Hek-i Kai-pang yang menang karena dia lebih tenang dan tongkat mautnya itu benar-benar berbahaya sekali. Perhatikanlah, pihak tuan rumah itu kini mulai mendesak.”

Bun Beng memandang penuh perhatian. Telah lima tahun lamanya dia digembleng oleh gurunya. Pengetahuannya dalam hal ilmu silat sudah mendalam, bahkan sudah banyak ilmu silat tinggi yang dia pelajari sehingga dia hanya kurang matang dalam latihan saja dan tenaganya masih belum besar. Akan tetapi dia sudah memiliki kewaspadaan dan dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan jelas.

Dia melihat bahwa kini pihak tuan rumah, yaitu kedua pangcu itu, telah mendesak lawan masing-masing sehingga kedua lawannya lebih banyak menangkis dari pada menyerang. Namun dia dapat melihat pula bahwa pihak tuan rumah tidak berniat membunuh lawan, maka kini desakan ditujukan pada lengan atau kaki lawan, bukan di bagian yang berbahaya.

“Saya mengaku kalah! Hek-liong-pang mempunyai pangcu yang hebat!” Kwa Ok Kian berteriak sambil melompat mundur, kemudian dia melompat meninggalkan pulau itu dengan perahu kecil.

Berbeda dengan orang she Kwa ini, ketua Hui-houw-pai agaknya merasa malu kalau harus mengaku kalah begitu saja, apalagi dia datang bersama para pembantunya dan di situ terdapat banyak tokoh kang-ouw menjadi saksi. Sebagai seorang ketua partai persilatan, ia merasa malu kalau mengaku kalah sebelum roboh. Maka ia menggigit bibirnya dan secara mati-matian melakukan perlawanan memutar rantainya sambil melakukan gerakan meloncat tinggi sesuai dengan julukannya, yaitu Macan Terbang!

Namun dia sudah terdesak dan tertindih, gerakan-gerakannya sudah terkurung lingkaran sinar tongkat hitam, maka dalam belasan jurus berikutnya ia kewalahan dan terlambat menangkis.

“Kreekkk!” terdengar suara dan tubuh Sim Koa Bi terbanting tak dapa bangkit kembali karena tulang kering kaki kanannya remuk dihantam tongkat.

Para pembantunya cepat datang dan menggotongnya pergi dari pulau itu dengan perahu mereka. Setelah ketua mereka kalah, mau apa lagi?Bertahan di tempat itu tidak ada gunanya, pula, hanya mendatangkan malu saja.

Setelah babak pertama dibuka oleh kedua orang pangcu sebagai pihak tuan rumah, muncullah dua orang jagoan perorangan, yang seorang dari selatan, yang kedua dari barat. Kembali mereka disambut oleh kedua orang pangcu yang kosen itu. Pertandingan kali ini lebih dahsyat lagi, lebih hebat dari pada tadi. Biar pun pertandingan ini pun berakhir dengan kemenangan kedua orang pangcu, akan tetapi mereka berdua menjadi lelah sehingga setelah berhasil memperoleh kemenangan, pangcu dari Hek-liong-pang berkata sambil menjura ke empat penjuru.

“Karena kami berdua telah amat lelah, harap Cu-wi sekalian sudi mempertimbangkan dan memberi kesempatan kepada kami untuk beristirahat. Selanjutnya kami mohon agar para Enghiong yang ingin mengukur kepandaian satu kepada yang lain suka maju lebih dulu. Kalau kami sudah beristirahat, nanti kami akan maju untuk menghadapi para pemenangnya.”

Tentu saja alasan ini diterima baik, maka kini majulah empat orang dari dari golongan partai lain dan kembali terjadi pertandingan antara keempat orang itu, terbagi menjadi dua rombongan. Pertandingan ini berjalan tidak seimbang dan dalam waktu tiga puluh jurus saja, dua orang dari dua macam bu-koan (perguruan silat) sudah memperoleh kemenangan. Kemudian dua orang pemenang ini berhadapan dengan kedua orang pangcu tuan rumah yang tadi keluar sebagai pemenang sampai dua kali. Kembali terjadi pertandingan menggunakan senjata yang amat seru.

“Hemm, agaknya para Locianpwe yang sakti masih menanti kesempatan, hanya suka maju kalau melihat lawan yang cukup berharga untuk dilawan,” kata kakek Siauw Lam perlahan.

“Aihhh, apakah yang bertanding masih kurang lihai, Suhu?” Bu Beng bertanya heran, juga terkejut bahwa mereka yang telah bertanding sehebat itu ternyata masih belum dianggap lihai oleh gurunya.

“Ahh, mereka itu hanya termasuk tokoh pertengahan saja, Bun Beng. Tingkat mereka itu belum berapa tinggi, dan tiap orang dari suheng-suheng-mu Siauw-lim Ngo-kiam masih akan sanggup menandingi mereka. Kulihat kedua orang pangcu itu, hemmm... agaknya akan ramailah dengan tingkat para suheng-mu. Biar pun tidak kalah, namun membutuhkan waktu lama, sedikitnya seratus jurus. Kalau tokoh sakti sudah keluar, barulah hebat!”

Tepat seperti yang diduga oleh kakek itu, Ciok Khun dan Gu Ban Koai kembali keluar sebagai pemenang, kemenangan mereka untuk ketiga kalinya! Karena melihat kelihaian dua orang pangcu itu, para tokoh pertengahan menjadi jeri untuk maju. Bahkan banyak pula yang diam-diam pergi dari tempat itu karena merasa tidak ada harapan untuk memperoleh kemenangan. Yang tinggal hanyalah rombongan Thian-liong-pang, Hek-liong-pang, Hek-i kai-pang, Pulau Neraka dan dua utusan Pulau Es serta beberapa orang lagi tokoh yang belum turun ke gelanggang. Ada pun koksu Bhong Ji Kun bersama para pembantunya kelihatan berdiri di atas kapal dan menonton dari jauh.

Kedua orang pangcu itu merasa gembira sekali dengan kemenangan mereka yang berturut-turut dan kepercayaan mereka kepada diri sendiri makin besar. Setidaknya mereka kini sudah termasuk golongan ‘atas’ karena bukankah yang tinggal di situ hanya rombongan yang terkenal di samping partai-partai bersih seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain. Andai kata mereka dikalahkan sekali pun, mereka sudah mengangkat nama sendiri dan perkumpulan yang tidak dapat disejajarkan dengan perkumpulan ‘kecil’ seperti yang telah dikalahkan tadi.

Ciok Khun ketua Hek-liong-pang yang bertindak sebagai juru bicara dan sebagai tuan rumah segera menjura dan berkata, “Harap para Locianpwe tidak ragu-ragu untuk segera maju. Kami berdua siap mencari petunjuk!”

“Pangcu dari Hek-liong-pang, jangan sombong setelah memperoleh kemenangan! Pinto-lah lawan kalian!” ucapan ini disusul berkelebatnya bayangan orang dan di situ telah berdiri seorang tosu berpakaian kuning yang membawa pedang di punggungnya.

Gerakan tosu ini amat ringan seperti sehelai bulu ditiup angin. Ternyata dia adalah seorang tosu yang usianya sudah enam puluh tahun lebih. Tubuhnya kurus kering tanpa daging, hanya kulit membungkus tulang. Wajahnya seperti tengkorak, sangat menyeramkan!

“Mohon tanya, siapakah nama dan julukan Totiang dan dari partai apa?” Ciok Khun menjura dan memandang penuh perhatian karena dia tidak mengenal tosu ini.

“Pinto Hok Cin Cu, bukan dari partai mana pun juga, seorang pendeta perantau yang kebetulan mendengar akan pertemuan ini. Pinto ingin mencoba kepandaian jago-jago dari seluruh penjuru!”

Ciok Khun yang dapat menduga bahwa tosu ini tentu lihai sekali, segera berkata, “Baik sekali, Totiang. Siapakah di antara kami berdua yang mendapat kehormatan melayani Totiang?”

“Ha-ha-ha!” Suara ketawa tosu itu melengking, mengejutkan semua orang. “Kalian berdua pangcu-pangcu cilik ini majulah bersama. Akan pinto layani sekaligus juga agar tidak membuang banyak waktu!”

Mendengar ucapan ini, terkejutlah semua orang. Kedua orang pangcu ini amat lihai dan sudah memperoleh kemenangan sampai tiga kali. Akan tetapi kini mereka ditantang untuk mengeroyok tosu kurus kering ini. Betapa takaburnya! Kedua pangcu itu menjadi merah mukanya dan saling pandang, kemudian Ciok Khun menjura kepada semua tokoh persilatan dan berkata dengan lantang.

“Pertandingan pibu antara orang-orang gagah tidak mengenal keroyokan dan harus berjalan dengan adil. Akan tetapi sekarang Hok Cin Cu Totiang menantang kami berdua untuk maju bersama. Hal itu disaksikan oleh semua Locianpwe yang hadir, sehingga seandainya kami memperoleh kemenangan, harap jangan dikatakan kami curang dan mengandalkan pengeroyokan!”

“Ha-ha-ha! Siapa bilang kalian akan menang? Majulah!” sambil berkata demikian, tosu kurus mencabut pedangnya. Tampak sinar merah disusul suara dengung yang nyaring. Kemudian tosu itu menggerakkan pedangnya beberapa kali dan terdengar lengking berdengung-dengung seperti suling ditiup!

“Hemm, agaknya dialah yang dulu terkenal dengan julukan Cui-siauw-kiam (Pedang Peniup Suling). Wah, aku mendengar bahwa ilmu pedangnya adalah ilmu pedang campuran dari Go-bi Kiam-hoat dan Kun-lun Kiam-sut. Tentu dia lihai sekali,” kata kakek Siauw Lam.

“Suhu, teecu tidak suka kepada tosu itu. Dia sombong!” kata Bun Beng.

Gurunya tersenyum. “Tidak perlu suka atau tidak suka, yang penting menilai dan mencontoh. Kalau kau anggap dia sombong, maka jangan kau mencontoh sikapnya, habis perkara. Perasaan tidak suka itu pun bukan perasaan yang baik, mungkin tidak kalah buruknya dengan sikap sombong!”

Bun Beng membungkam, merasa bersalah. Dia lalu memandang penuh perhatian karena kini kedua orang pangcu itu sudah siap dengan senjata mereka, menghadapi tosu itu dari kanan dan kiri. Agaknya keduanya merasa bahwa sekali ini mereka harus berhati-hati, maka mereka hanya bersiap saja, tidak berani langsung membuka serangan.

Tosu kurus itu agaknya mengerti akan hal ini, maka kembali ia tertawa, kemudian terdengar suara berdesing-desing disusul dengan suara mendengung nyaring. Pedangnya berubah menjadi sinar perak yang menyambar kanan kiri.

“Trang-trangggg...!” Bunga api berpijar dan kedua orang pangcu itu terhuyung mundur.

Mereka terkejut sekali karena tangkisan senjata mereka bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat, membuat mereka terhuyung-huyung. Akan tetapi keduanya sudah meloncat maju dan terjadilah pertandingan yang hebat. Bukan hanya saking cepatnya, demikian cepat gerakan Si Tosu sehingga tubuhnya lenyap sama sekali terbungkus sinar pedang yang seperti perak itu, yang menyambar ke kanan kiri mengejar kedua lawannya, melainkan terutama sekali hebat karena terdengar suara tiupan suling merdu seolah-olah saling mengikuti tari-tarian indah, bukan pertandingan mati-matian! Suara ini keluar dari sambaran pedang yang digerakkan dengan pengerahan sinkang kuat sekali, dan karena pedang itu dipasangi lubang-lubang kecil, maka menimbulkan suara seperti suling ditiup. Tentu saja tanpa latihan puluhan tahun dan tanpa dorongan tenaga sinkang yang tepat dan kuat, tidak mungkin mainkan pedang sampai menimbulkan suara tiupan suling seperti itu!

“Kejam sekali dia...!” kakek Siauw Lam berseru perlahan.

Bun Beng agak sukar mengikuti pertandingan yang agak cepat itu dengan pandang matanya. Dia hanya mendengar dua kali suara ‘crat-crat’ disusul muncratnya darah dan robohnya dua orang pangcu itu.

Pertandingan hanya berlangsung dua puluh jurus dan kedua orang pangcu roboh dengan luka parah! Hek-liong-pangcu roboh dengan paha kanan terkuak lebar sampai tampak tulangnya, sedangkan Hek-i Kai-pangcu roboh dengan pundak kiri patah tulangnya. Anak buah mereka segera menolong pangcu masing-masing yang roboh pingsan, kemudian mereka meninggalkan pulau dengan perahu masing-masing.

Suasana menjadi sunyi. Tosu itu mengelus-elus pedangnya penuh kasih sayang, lalu berkata, “Pedangku yang baik, hari ini engkau boleh berpesta pora!”

Bun Beng mengepal tinjunya. “Suhu, dia itu selain sombong juga kejam. Kalau teecu berkepandaian tentu teecu akan maju dan melabraknya! Sayang kepandaiannya terlalu tinggi, dia lihai bukan main. Akan tetapi teecu yakin bahwa Suhu tentu akan dapat melabraknya sampai dia meratap minta ampun!”

“Hushh! Ingat bahwa kita adalah penonton. Dia memang lihai dan baru sekarang engkau akan menyaksikan kehebatan tokoh-tokoh kang-ouw,” jawab suhu-nya.

Tosu kurus itu kini memandang ke sekeliling. “Pinto paling suka main pedang. Adakah di sini ahli-ahli pedang untuk bermain-main dengan pinto? Telah lama pinto mendengar nama-nama besar seperti Siauw-lim Chit-kiam yang dulu kabarnya dikalahkan oleh Kang-thouw-kwi, malah dua di antaranya tewas oleh puteri jelita! Apakah mereka yang lima orang masih hidup? Ataukah sudah tidak berani lagi mencabut pedang setelah hilang yang dua orang?”

“Hemm, tosu sesat!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan kelima orang Siauw-lim Ngo-kiam sudah meloncat ke depan tosu itu.

Bun Beng memandang penuh perhatian dan jantungnya berdebar. Kini barulah mereka akan membuka mata menyaksikan kelihaian Siauw-lim-pai, pikirnya bangga.

Akan tetapi dengan heran ia mendengar gurunya mengeluh, “Mengapa mereka itu masih berdarah panas? Mudah saja dipancing, sungguh celaka!”

Bun Beng tidak sempat bertanya karena ia tertarik sekali memandang ke lapangan itu. Si Tosu kurus menggunakan matanya yang sipit, menyapu kelima orang itu dengan pandang matanya penuh perhatian. Dia melihat dua orang hwesio dan tiga orang kakek yang usianya rata-rata lima enam puluh tahun, sikapnya gagah perkasa dan tenang sekali. Dia menduga-duga, kemudian tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha! Agaknya kalian inikah yang terkenal dengan julukan Siauw-lim Chit-kiam yang sudah tinggal lima orang?”

Memang mereka adalah lima orang sisa Chit-kiam, dua orang telah tewas, yaitu orang keenam dan ketujuh. Yang pertama adalah Song Kai Sin, tinggi tegap, usianya hampir tujuh puluh tahun. Kedua adalah Lui Kong Hwesio, juga tinggi besar dan bermata lebar, berusia enam puluh dua tahun. Orang ketiga dan keempat adalah Oei Swan dan Oei Kong, kakak beradik yang berwajah sama, juga sudah enam puluh tahun lebih. Ada pun yang kelima adalah Lui Pek Hwesio yang bertubuh kecil bermata tajam, berusia enam puluh tahun.

“Hok Cin Cu, kami tahu bahwa engkau adalah orang yang dahulu mengganas di pantai selatan dan berjuluk Cui-siauw-kiam. Kini berlagak sebagai tosu, akan tetapi kami tahu bahwa engkau hanyalah seorang sombong yang mengaku-aku sebagai tosu sehingga mencemarkan agama To saja. Engkau tadi mencari kami, nah, kami Siauw-lim Ngo-kiam berada di sini, engkau mau apa?” Yang bicara adalah Song Kai Sin, orang tertua Siauw-lim Ngo-kiam.

“Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Kiranya Siauw-lim-pai mengutus jago-jago pedangnya untuk merebut kedudukan tertinggi di dunia persilatan!”

“Jangan asal membuka mulut!” bentak Lui Kong Hwesio marah. Siauw-lim-pai tidak butuh akan segala macam adu kepandaian! Kami hanya maju ke sini karena tadi kau mengeluarkan tantangan, pendeta palsu!”

“Ha-ha-ha-ha! Dengar ucapan hwesio ini! Dia memaki pinto pendeta palsu sedangkan dia yang berkepala gundul dan berjubah hwesio masih suka memaki orang!”

Wajah Lui Kong Hwesio menjadi merah dan dia tak dapat membantah. Memang harus diakui bahwa dia menuntut penghidupan suci, selalu bersikap halus penuh welas asih terhadap sesama manusia. Akan tetapi sebagai pendekar, dia tidak dapat bersikap halus terhadap orang jahat!

“Hok Cin Cu,” cepat Song Kai Sin berkata. Tak perlu banyak cakap. Kami tidak ingin mengadu kepandaian untuk memperebutkan kedudukan apa pun juga. Akan tetapi, kami sebagai murid-murid Siauw-lim-pai takkan pernah mundur kalau Siauw-lim-pai ditantang!”

“Benarkah? Kalau begitu untuk apa kalian hadir di sini? Apa untuk mencoba-coba untung barang kali saja bisa mendapatkan pusaka? Ha-ha!”

Ucapan itu mengejutkan semua orang yang hadir. Mereka tanpa berjanji telah sepaham dalam hati bahwa tentu saja mereka semua tidak ada yang berterang hendak mencari pusaka yang kabarnya telah ditemukan petanya oleh pemerintah. Apa lagi kini pihak pemerintah hadir juga. Karena itu mereka menggunakan dalih pibu. Siapa kira tosu ini bicara seenaknya saja!

“Kami tidak sudi berbantah dengan orang macam engkau, Hok Cin Cu. Pendeknya jika engkau menantang Siauw-lim Ngo-kiam, tarik kembali tantanganmu!”

Tosu itu tertawa lagi. “Ha-ha-ha! Siapa takut? Andai kata jumlah kalian masih lengkap tujuh orang, pinto tidak gentar menghadapi Siauw-lim Chit-kiam, apa lagi hanya Siauw-lim Ngo-kiam! Majulah kalian berlima!” Ia sudah menggerakkan pedangnya sehingga berdengung-dengung.

Song Kai Sin maklum bahwa tosu ini amat lihai pedangnya, mungkin tidak di sebelah bawah datuk-datuk sesat jaman dahulu seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ma-bin Lo-mo dan yang lain-lain. Maka ia cepat memberi isyarat kepada para sute-nya untuk membentuk lingkaran dan mainkan Chit-seng Sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh Bintang).

Tosu ini berseru keras, lalu bergerak memutar pinggangnya sehingga terdengar bunyi mengaung seperti suling ditiup. Lima orang gagah Siauw-lim-pai itu pun lalu menggerakkan pedang mereka dan gterdengarlah bunyi mencicit-cicit dan pedang mereka berubah menjadi sinar-sinar terang yang meluncur ke depan.

“Hebat para suheng itu!” Bun Beng berseru girang.

“Hemm..., Chit-seng Sin-kiam seharusnya dimainkan oleh tujuh orang, kini dimainkan oleh hanya mereka berlima, sungguh banyak berkurang kelihaiannya. Kalau lengkap mungkin menang. Akan tetapi sekarang...!”

Kakek itu melangkahkan kaki, menuruni tebing dan mendekati lapangan pertandingan, diikuti oleh Bun Beng dengan jantung berdebar. Demikian lihaikah tosu kurus itu sehingga suhu-nya merasa khawatir bahkan seperti sudah tahu bahwa lima orang suheng-nya akan kalah?

Pertempuran kali ini benar-benar hebat luar biasa. Mata para penonton sampai menjadi silau dan telinga mereka sakit-sakit mendengar nyanyian pedang Si Tosu diseling suara mencicit nyaring lima batang pedang jago-jagi Siauw-lim-pai itu. Tubuh enam orang itu lenyap terbungkus sinar pedang yang bergulung-gulung menjadi satu. Untuk membedakan mana pedang mereka hanya nampak pedang bersinar perak yang bergulung-gulung, itulah pedang Hok Cin Cu, sedangkan pedang murid-murid Siauw-lim-pai merupakan sinar-sinar terang yang gerakannya lurus maju mundur hanya membentuk lingkaran kecil di luar lingkaran besar sinar pedang Hok Cin Cu.

Seratus jurus telah lewat dan pertandingan masih berjalan seru. Akan tetapi lingkaran sinar pedang seperti perak itu makin membesar, suara suling makin n\yaring melengking sedangkan lingkaran kecil yang jumlahnya lima itu makin mengecil, suara mencicit juga makin melemah. Inilah tandanya bahwa kelima orang Siauw-lim Ngo-kiam mulai terdesak hebat!

Bun Beng tidak mengerti karena dia tidak dapat mengikuti pertandingan yang terlampau cepat baginya itu. Dia menengok ke muka suhu-nya dan melihat alis gurunya berkerut, maka dia pun menjadi khawatir, lalu memandang lagi ke arah pertandingan.

“Trang-trang-trang-trang-trang!!”

Lingkaran-lingkaran pedang yang kecil-kecil itu bercerai berai dan tampaklah lima orang Siauw-lim-pai itu mencelat ke belakang dengan muka pucat. Tosu itu tertawa dan sinar pedangnya menyambar ke arah mereka, agaknya dia belum merasa puas kalau pedangnya belum minum darah lawan!

“Tahan...!” terdengar bentakan halus dan tubuh kakek Siauw Lam telah melayang ke depan. Ia menggerakkan tangan kanannya dan ujung lengan bajunya menggulung ujung pedang Hok Cin Cu, kemudian mendorongnya sambil melepaskan libatan.

Hok Cin Cu terkejut. Hampir saja pedangnya terlepas dan ia cepat memandang. Kiranya di depannya telah berdiri seorang kakek tua, sedangkan Siauw-lim Ngo-kiam sudah menyimpan pedang dan menjura dengan hormat kepada kakek itu.

“Mundurlah kalian, mengapa mengikuti hati panas?” kakek Siauw Lam menegur dengan suara halus akan tetapi kelima orang itu menjadi merah mukanya, kemudian mengundurkan diri.

Biar pun Hok Cin Cu maklum dari gerakan kakek itu bahwa ia menghadapi seorang lihai, namun karena ia berwatak sombong dan terlalu percaya kepada kepandaiannya sendiri, dia tidak takut dan kini menghadapi kakek Siauw Lam sambil berkata,

“Kakek tua renta! Kenapa engkau lancang dan curang membantu lima orang yang sudah mengeroyokku?!”

Kakek Siauw Lam merangkap kedua tangan ke depan dada. “Maaf, Totiang. Andai kata pertandingan tadi merupakan sebuah pibu, tentu aku orang tua tidak berani turut campur. Akan tetapi pertandingan tadi bukan pibu, melainkan Totiang telah menantang Siauw-lim-pai. Murid-murid Siauw-lim-pai itu tadi berdarah panas, maka biarlah aku orang tua yang mintakan maaf dan harap Totiang tidak mencari permusuhan dengan Siauw-lim-pai yang tidak ingin bermusuh dengan siapa pun juga.”

“Heh, kakek tua. Apakah engkau tokoh Siauw-lim-pai?”

“Aku mendapat kehormatan sebagai orang Siauw-lim-pai, maka aku berani mintakan maaf atas nama Siauw-lim Ngo-kiam kepadamu, Totiang!”

“Siapa engkau? Dan apa kedudukanmu di Siauw-lim-pai?”

“Namaku Siauw Lam, dan aku hanya seorang pelayan di Siauw-lim-pai.”

Wajah Hok Cin Cu berubah merah. “Pelayan?” Ia menoleh ke arah Siauw-lim Ngo-kiam dan bertanya lantang, “Siauw-lim Ngo-kiam, benarkah kakek ini hanya seorang kakek di Siauw-lim-si?”

Song Kai Sin menjawab, “Beliau adalah terhitung supek kami, akan tetapi benar bekerja sebagai pelayan di Siauw-lim-si.”

Hok Cin Cu menjadi bingung. Kalau dia melawan kakek yang lihai ini dan sampai kalah, bukankah namanya akan hancur lebur karena dia kalah oleh seorang pelayan saja dari Siauw-lim-pai?

“Kakek tua, apakah engkau menantangku?”

“Aku tidak menantang siapa-siapa.”

“Aku orang lemah, mana ingin pibu segala?”

“Kalau begitu pergilah!”

Tiba-tiba terdengar suara nyaring. “Hok Cin Cu manusia tinggi hati! Berani engkau menghina seorang Locianpwe?”

Yang muncul adalah Yap Sun dan Thung Sik Lun, dua orang utusan Pulau Es dan yang membentak adalah Yap Sun. Kemudian Yap Sun menjura kepada kakek Siauw Lam sambil berkata, “Harap Locianpwe sudi mengundurkan diri, tak pantas bagi Locianpwe untuk melayani orang gila ini lebih lama lagi.”

Kakek Siauw Lam mengangguk dan mundur, akan tetapi ia bingung karena tidak melihat bayangan Bun Beng! Anak itu diam-diam telah pergi dari tempat tadi. Namun karena di situ terdapat banyak orang dan suasana menjadi tegang, kakek ini bersikap tenang. Bun Beng adalah seorang bocah cerdik dan tidak ada alasan untuk khawatir bagi dirinya. Agaknya bocah itu menggunakan kesempatan kunjungan itu untuk pergi menemui orang sakti!

Kini Yap Sun dan Thung Sik Lun menghadapi Hok Cin Cu yang memandang marah dan membentak, “Kalian ini siapa lagi berani membuka mulut besar?”

“Kami adalah dua orang utusan dari Pulau Es!”

Mendengar ucapan ini, semua orang memandang dengan muka berubah, seperti halnya para pimpinan Hek-liong-pang tadi. Namun Hok Cin Cu agaknya memandang rendah, apa lagi melihat bahwa kakek gemuk dan kakek kurus itu tidak menunjukkan keanehan apa-apa.

“Tidak perlu kami sembunyikan lagi. Kami menjadi utusan Pulau Es untuk meninjau dan kami tertarik memasuki pibu.”

“Bagus!” Hok Cin Cu kini mendapatkan kesempatan untuk ‘mencuci muka’ setelah tadi ia mengalami hal yang merendahkan dirinya ketika berhadapan dengan kakek Siauw Lam yang telah ia rasakan kelihaiannya.Ia masih ragu-ragu apakah akan dapat menangkan kakek itu, akan tetapi terhadap dua orang ini ia memandang rendah sekali.

“Apakah kalian juga hendak maju berdua? Kalau memang ingin maju berdua, jangan malu-malu, katakan saja. Pinto berani menghadapi kalian berdua sekaligus.!”

Yap Sun menjadi merah mukanya, akan tetapi wajahnya tetap tenang dan dingin. Suaranya lebih dingin lagi ketika berkata, “Majikan kami adalah seorang pendekar yang mengangkat kependekaran dan kegagahan di atas segala apa, tentu saja kami tidak akan menggunakan jumlah banyak untuk mencari kemenangan.”

“Suheng, biarlah aku menghadapi tosu ini,” kata Thung Sik Lun yang bertubuh kurus.

“Baiklah, Sute.” Kemudian Yap Sun berkata kepada Hok Cin Cu, “Sute-ku ini yang akan menandingimu Hok Cin Cu.”

Yap Sun lalu meloncat ke pinggir dan berkata tenang kepada sute-nya, “Thung-sute, hati-hati, jangan sampai melakukan pembunuhan. Jangan membunuh dia.”

Ucapan yang dikatakan dengan suara bersungguh-sungguh ini membuat dada Hok Cin Cu seperti akan meledak saking marahnya. Ucapan itu sungguh dirasakan amat merendahkan dirinya. Bukan dipesan hati-hati agar jangan kalah, melainkan dipesan berhati-hati agar jangan membunuh lawan!

“Kami dari Pulau Es tidak pernah menggunakan senjata, kecuali kalau amat perlu dan sangat terpaksa. Untuk main-main denganmu, biarlah aku menggunakan tangan kosong saja. Totiang, pakailah pedangmu!”

Baru sekarang Hok Cin Cu tak dapat menertawakan lawannya karena kemarahan telah menguasai hatinya. Dia merasa dipandang rendah sekali dan hal ini dianggapnya sebagai penghinaan, sungguh pun kakek kurus dari Pulau Es itu sebetulnya sama sekali tidak mau memandang rendah atau menghina, melainkan bicara sesungguhnya.

“Siapakah namamu, orang yang sudah bosan hidup? Katakanlah namamu agar kalau pedangku memenggal lehermu, akan pinto ketahui siapa orang sombong yang sudah kubunuh dalam pibu ini!”

“Namaku Thung Sik Lun dan marilah kita mulai, Hok Cin Cu!”

Pedang di tangan Hok Cin Cu itu sudah mengaung dan menyambar dari atas ke bawah hendak membelah tubuh lawan, akan tetapi gerakannya tidak lurus melainkan seperti ular berlenggak-lenggok hingga tampak sinar pedangnya seperti halilintar menyambar di angkasa. Namun tubuh kakek kurus itu telah lenyap dan tahu-tahu telah berpindah tempat ke kiri. Tosu itu terkejut melihat kecepatan gerak lawan yang tidak tampak menggoyang tubuh tetapi tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke kiri, maka cepat pedangnya menyusul dan dia mengirim serangkaian serangan dengan pedangnya sehebat gelombang lautan dan terdengar suara suling nyaring mengikuti berkelebatnya sinar pedang.

Thung Sik Lun memiliki bakat yang baik dalam ilmu meringankan tubuh, maka oleh majikan Pulau Es ia telah digembleng dengan ilmu gerak kilat sehingga tubuhnya dapat bergerak lebih cepat dari pada berkelebatnya sinar pedang Hok Cin Cu, maka serangan-serangan itu selalu gagal karena tubuh kakek kurus ini telah mencelat ke sana-sini amat cepatnya.

Semua orang yang menyaksikan pertandingan dahsyat ini melongo karena gerakan tubuh Si Kakek Kurus sedemikian cepatnya sehingga tubuhnya tampak seolah-olah menjadi banyak.

Hok Cin Cu menjadi penasaran sekali. Sudah belasan jurus pedangnya menyerang namun sama sekali tak pernah berhasil. Ia berseru keras dan menyerang lebih cepat. Thung Sik Lun maklum akan kelihaian lawan, maka ia pun mempercayai gerakan tubuhnya sehingga tubuhnya lenyap hanya merupakan bayangan yang kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak. Sambil mengelak ini, Thung Sik Lun kini membalas, tangan kirinya mendorong ke arah lawan dengan jari terbuka.

“Wuuuttttt...!”

“Aihhh!” Hok Cin Cu terhuyung dan berseru kaget karena dorongan tangan lawan itu mengandung tenaga yang hebat bukan main, mengandung hawa panas dan amat kuat sehingga tubuhnya bergetar dan ia terhuyung ke belakang.!

Hok Cin Cu cepat meloncat ke atas dan berjungkir balik ke belakang, kemudian turun dengan wajah pucat, memandang lawannya yang masih tetap berdiri tegak dan tenang. Maklumlah tosu ini bahwa lawannya, tokoh Pulau Es ini, memiliki sinkang yang sangat luar biasa. Dia seorang yang licin dan cerdik sekali, biar pun marah dan penasaran akan tetapi tidak nekat. Kalau pertandingan itu dilanjutkan, tentu dia teancam bahaya mati. Maka ia lalu berkata.

“Sobat dari Pulau Es, kepandaianmu hebat. Biarlah kali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi tunggulah saja, pada suatu hari aku akan datang mengunjungi Pulau Es untuk menantang pibu kepada majikan Pulau Es!” Setelah berkata demikian, tanpa menanti lawan menjawab dan tidak memberi kesempatan orang lain mengejeknya, tosu cerdik ini sudah meloncat jauh dan berlari cepat sekali, kemudian menghilang di pantai yang berbatu-batu.

Kejadian ini membuat semua orang terkejut dan melongo. Hok Cin Cu yang demikian lihai ilmu pedangnya, dalam waktu cepat sekali telah mengaku kalah kepada orang kedua dari Pulau Es, padahal belum dirobohkan! Dan menurut pengintaian mereka, orang Pulau Es itu tidaklah sehebat Si Tosu, hanya memiliki gerakan cepat dan pandai mengelak saja. Mengapa tosu yang ilmu pedangnya luar biasa itu mengalah begitu saja?

Hal ini membuat penasaran yang hadir, maka keluarlah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun berpakaian pendeta, berambut gondrong dengan cambang bauk mencongak ke sana-sini. Lehernya digantungi kalung yang ada kelenengannya seperti yang biasa digantungkan di leher kerbau atau sapi. Kiranya dia adalah seorang saikong yang mukanya seperti singa dan suaranya parau ketika ia berkata menggeledek.

“Aku telah mendengar bahwa Pulau Es dikuasai oleh seorang Pendekar Siluman. Kini menyaksikan pertandingan tadi, aku baru percaya orang-orang Pulau Es pandai menggunakan ilmu siluman! Kalau kalian menggunakan ilmu silat, kiraku tidak akan mampu mengalahkan Hok Cin Cu, biar pun ilmu pedangnya hanya bagus ditonton dan enak didengar saja. Heh, orang Pulau Es, marilah kalian melawan aku, Siangkoan Cinjin dari Goa Tengkorak!”

Setelah berkata demikian, saikong itu lalu menggoyang tubuhnya seperti tingkah seekor singa mengeringkan bulunya dan terdengarlah suara mengaum yang dahsyat dari mulutnya. Suara ini mengandung getaran yang amat kuat sehingga semua orang yang mendengar menjadi terkejut sekali. Untung bahwa yang kini tinggal di situ hanya orang-orang yang berilmu tinggi sehingga mereka cepat mengerahkan tenaga mereka untuk melawan pengaruh getaran suara itu, karena kalau orang tidak memiliki sinkang kuat, mendengar suara getaran ini pasti akan roboh! Mengeluarkan suara mengaum seperti singa yang dapat merobohkan lawan dan mendatangkan rasa takut dan ngeri ini adalah ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dikerahkan dengan tenaga khikang amat kuatnya. Dari teriakan dahsyat ini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya saikong ini.

Kakek Siauw Lam yang semenjak tadi menyaksikan pertandingan dengan penuh perhatian, terkejut sekali mendengar digunakannya ilmu Sai-cu Ho-kang ini karena ia segera teringat akan muridnya. Muridnya belum memiliki sinkang yang kuat maka ilmu itu dapat mencelakakan muridnya itu. Ia tidak bernafsu lagi menonton dan mulailah ia mencari muridnya itu. Ketika ia tidak dapat melihat muridnya di antara para tokoh yang hadir, kakek ini lalu pergi ke pantai dan mengelilingi pulau untuk mencari.

Kemana perginya bocah itu? Ketika tadi Bun Beng menyaksikan pertandingan dan melihat para suheng-nya kalah lalu gurunya maju menolong, dari tempat ia berdiri ia melihat rombongan koksu di kapal itu tertawa-tawa, seolah-olah menertawakan para suheng-nya yang kalah. Hatinya menjadi panas, apa lagi ketika melihat koksu itu bersama beberapa orang lain turun dari kapal dan memasuki sebuah perahu kecil yang didayung ke pulau. Ia tidak dapat menahan kemarahan hatinya. Ingin ia menantang koksu itu untuk melawan gurunya atau mengikuti pibu.

Dianggapnya amat tak tahu malu orang-orang pemerintah itu yang hanya menonton dan memblokir tempat itu seperti seekor serigala yang membiarkan anjing-anjing berebut tulang. Biar pun masih kecil, dari cerita kakek Siauw Lam, Bun Beng dapat menduga bahwa kehadiran pasukan pemerintah itu pasti mengandung maksud tidak baik terhadap para tokoh. Ingin ia melihat jago-jago kerajaan itu turun gelanggang mengadu kepandaian dengan orang gagah. Maka ia lalu menuruni tebing, lupa akan gurunya, kemudian berlari menuju ke arah pantai untuk memapaki koksu negara dan pembantu-pembantunya.

Yang berada di perahu kecil itu adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun sendiri, koksu bersama lima orang pembantunya, yaitu Thian Tok Lama, Thai Li Lama, dan tiga orang jenderal pasukan pengawal. Perahu di dayung oleh Bhe Ti Kong, panglima tinggi besar yang bertenaga kuat itu sehingga sebengtar saja perahu telah mendarat. Setelah menyaksikan sepak terjang dua orang utusan Pulau Es, Im-kan Seng-jin menjadi tertarik sekali dan sudah ‘gatal-gatal tangan’ untuk mendekati dan kalau perlu ikut main-main dengan para orang gagah. Demikian pula dengan kedua orang hwesio Lama dari Tibet, ingin sekali mencoba kepandaian orang-orang sakti itu.

Akan tetapi, baru saja mereka mendarat, seorang anak laki-laki telah menghadang mereka sambil bertolak pinggang dan memandang dengan mata melotot! Bocah ini bukan lain adalah Bun Beng! Enam orang itu heran melihat ada seorang anak kecil berada di tempat seperti itu. Sungguh tidak pernah mereka sangka!

Tempat itu pada saat ini pantasnya hanya dikunjungi oleh orang-orang sakti yang berilmu tinggi, bukan tempat bermain anak kecil. Dan anak ini sengaja menghadang, berdiri menantang dan memandang dengan mata melotot marah!

“Eh, bocah kurang ajar! Mau apa kau ke sini? Hayo pergi!” Bhe Ti Kong membentak.

Akan tetapi Bun Beng tidak bergerak dari tempatnya, bahkan berkata nyaring. “Siapa yang kurang ajar? Aku di sini tidak melakukan apa-apa, sebaliknya kalian yang sungguh tidak patut hanya menonton dan menertawakan orang! Kalau memang kalian ada kepandaian, mengapa tidak ikut pibu saja ke sana? Ataukah beraninya hanya menertawakan yang kalah?”

Sejenak enam orang itu terbelalak mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang bocah yang usianya kurang lebih sepuluh tahun. Bhe Ti Kong menjadi marah sekali.

“Bocah setan!” bentaknya dan tangannya bergerak menangkap pundak Bun Beng dengan maksud untuk dilemparkan agar jangan menghadang dan mengganggu.

“Wuuuussss!” tangannya luput.

Hal ini makin mengherankan mereka, terutama sekali Bhe Ti Kong. Seorang bocah masih begitu kecil sudah dapat mengelak dari tangkapannya. Hal ini benar-benar mengejutkan, karena seorang dewasa sekali pun belum tentu dapat mengelak secepat itu. Ia menjadi penasaran dan menubruk ke depan, cepat sekali.

Bun Beng mengerti bahwa untuk mengelak ia kalah cepat, maka ia menyambut tubrukan panglima itu dengan pukulan tangannya ke arah perut Bhe Ti Kong.

“Aihhh!” Bhe Ti Kong kaget, akan tetapi ia berhasil menangkap tangan kecil yang memukul, kemudian tubuh Bun Beng diangkat hendak dibanting.

“Bhe-goanswe, jangan!” tiba-tiba terdengar suara Im-kan Seng-jin. “Lemparkan dia kepadaku!”

Bhe Ti Kong menahan tangannya dan melontarkan bocah itu ke arah koksu, dan melayanglah tubuh Bun Beng. Im-kan Seng-jin menyambut tubuhnya dengan mudah dan kakek botak tinggi kurus ini meraba-raba dan mengukur-ukur kepala Bun Beng dengan jari-jari tangannya, dikilani dengan ibu jari dan telunjuk, diukur dari depan ke belakang, dari kanan ke kiri dan dari bawah ke atas, kemudian dipijit-pijit bagian-bagian kepala Bun Beng.

Wajahnya menjadi girang sekali dan setelah selesai mengukur-ukur kepala anak itu, Im-kan Seng-jin lalu memeriksa mata Bun Beng dengan membuka kelopak matanya, kemudian menjepit rahang Bun Beng sehingga anak itu terpaksa membuka mulutnya, memeriksa dalam mulut, kemudian menaruh tangan kanan di dada dan jari-jari tangan kirinya memegang nadi tangan Bun Beng. Ia mengangguk-angguk dan tersenyum lebar, wajahnya berseri.

"Aahhhh, Ji-wi Lama, lihat, apa yang kutemukan ini! Tulangnya bersih darahnya murni, dan kepalanya...! Hebat...! Rongga otaknya luas, daya tangkapnya kuat, semangatnya besar jalan darahnya lancar, isi dadanya sempurna semua! Benar-benar seorang sin-tong (anak ajaib) yang sukar ditemukan keduanya! Wah, kalau dia sudah kuberi makan obat kuat secukupnya, dia akan dapat memenuhi syarat untuk aku melaksanakan ilmu peninggalan guruku, I-jwe-hoan-hiat (Ganti Sumsum Tukar Darah)!"

Tiga orang panglima itu tidak mengerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat, akan tetapi Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi pucat wajahnya. Thai Li Lama memandang Bun Beng dengan sinar mata kasihan lalu menundukkan muka, sedangkan Thian Tok Lama lalu berkata perlahan.

"Omitohud..., semoga Sang Buddha menunjukkan jalan terang bagi Koksu!"

"Heh-heh-heh! Ji-wi Lama, kalian orang-orang beragama hanya memikirkan tentang dosa saja! Bagi orang-orang seperti kami, dosa adalah soal ke dua, yang terpenting adalah memanfaatkan segala macam demi kepentingan dan kemajuan kita. Ha-ha-ha! Eh, Sin-tong, siapa namamu?"

"Aku bukan sin-tong, aku bernama Gak Bun Beng. Lepaskan, aku mau pergi!" Bun Beng meronta dari pegangan kakek itu. Anak ini pun tidak mengerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat. Kalau dia mengerti, betapa tabah pun hatinya tentu akan merasa ngeri karena ilmu itu adalah ilmu hitam yang amat keji, yaitu Si Kakek ini hendak menyedot darah dan sumsum Bun Beng dalam keadaan hidup-hidup untuk menggantikan sumsum dan darahnya sendiri yang sudah lemah dan kotor!

"Engkau mau pergi? Nah, pergilah kalau dapat!" Koksu itu melepaskan pegangannya.

Bun Beng menggerakkan kaki hendak berlari pergi akan tetapi... tubuhnya tak dapat bergerak maju, kedua kakinya tak dapat digerakkan seolah-olah tertahan oleh sesuatu yang tidak nampak!

"Ha-ha-ha! Engkau tidak bisa pergi, Bun Beng, karena semenjak saat ini engkau harus selalu ikut bersamaku, tidak boleh berpisah sedikit pun. Tidur pun harus di sampingku. Hayo, ikut dengan kami menonton pibu, heh-heh-heh!"

Tubuh Bun Beng didorong dan... kedua kakinya dapat dipakai berjalan mengikuti rombongan itu. Akan tetapi setiap kali dia hendak melarikan diri, mendadak kedua kakinya tidak dapat digerakkan! Dia mulai merasa ngeri. Tentu kakek aneh ini menggunakan ilmu iblis, pikirnya.

"Bun Beng...!"

"Suhu...!" Bun Beng berteriak girang sekali ketika ia melihat munculnya Kakek Siauw Lam di depan. Rombongan koksu itu pun berhenti ketika mendengar Bun Beng menyebut kakek itu sebagai gurunya.

"Bun Beng, ke sinilah engkau!" Kakek Siauw Lam berkata kepada muridnya, hatinya gelisah melihat muridnya itu bersama rombongan koksu.

"Teecu... teecu tidak bisa, Suhu...!" kata Bun Beng sambil berusaha menggerakkan kedua kakinya.

"Siapa bilang tidak bisa? Majulah engkau ke sini!" Kakek Siauw Lam yang sudah melihat bahwa Bun Beng sebenarnya tertahan oleh hawa sinkang yang keluar dari tangan koksu itu, menggerakkan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan sinkangnya. Terdengar suara bercuitan dan... tiba-tiba tubuh Bun Beng terdorong ke depan, ke arah gurunya.

"Heh-heh, boleh juga tua bangka ini," Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa untuk menyembunyikan kagetnya, kemudian ia pun menggerakkan kedua tangan ke depan.

Terjadilah tarik-menarik oleh dua kekuatan yang tidak tampak, dan Bun Beng merasa betapa tubuhnya ditarik ke depan dan ke belakang. Akan tetapi akhirnya... ia tertarik ke belakang dan tangan koksu itu sudah menangkap pundaknya sambil tertawa-tawa.

Bukan main kagetnya hati Kakek Siauw Lam. Tidak disangkanya bahwa koksu itu ternyata memiliki kekuatan sinkang yang luar biasa sekali! Maka ia cepat menjura dan berkata, "Mohon Paduka suka melepaskan murid hamba yang tidak berdosa, dan maafkan hamba yang tidak tahu diri berani berlaku lancang."

"Heh-heh, engkau guru bocah ini?"

"Benar, Taijin."

"Siapa namamu?"

"Nama hamba Siauw Lam, salah seorang anggota Siauw-lim-pai." Kakek itu sengaja menggunakan nama Siauw-lim-pai untuk mencari pengaruh karena pada waktu itu pemerintah tidak mau bermusuhan dengan partai-partai persilatan besar, terutama Siauw-lim-pai yang kuat.

Tiba-tiba Thian Tok Lama mengerutkan alisnya dan berkata, "Seingat pinceng, yang bernama Siauw Lam adalah seorang hwesio terkenal di Siauw-lim-pai!"

Kakek Siauw Lam memandang kepada hwesio Lama itu dan memberi hormat sambil berkata, "Saya yang berdosa dahulu adalah Siauw Lam Hwesio, akan tetapi sudah bertahun-tahun ini saya mengundurkan diri dan menjadi orang biasa, Kakek Siauw Lam pelayan Kuil Siauw-lim-pai."

Mendengar ini, pandang mata kedua orang Lama itu memandang rendah dan alis mereka berkerut. Tak senang hati mereka mendengar betapa seorang hwesio telah mengundurkan diri dari kependetaannya, hal ini mendatangkan kesan di hati mereka bahwa kakek itu adalah seorang durhaka dan berkhianat terhadap agama!

"Kakek Siauw Lam, kalau engkau guru dari Bun Beng ini, kebetulan sekali. Aku akan mengambil muridmu ini, aku sayang kepadanya!"

"Tidak, Suhu, dia tidak sayang kepada teecu! Dia hendak menggunakan teecu sebagai syarat ilmunya I-jwe-hoan-hiat!"

Im-kan Seng-jin hendak mencegah Bun Beng bicara, namun terlambat dan seketika wajah Kakek Siauw Lam menjadi pucat, matanya menyinarkan api kemarahan.

"Taijin, harap jangan menghina murid Siauw-lim-pai. Kembalikan muridku!" bentaknya.

Im-kan Seng-jin pun berganti sikap, memandang marah. "Apa?! Engkau pelayan kuil berani menentang aku? Berani melawan koksu kerajaan?"

"Saya tidak melawan siapa-siapa, akan tetapi Bun Beng adalah muridku dan biar dewa sekali pun hanya bisa merampasnya melalui mayatku!" Kakek itu sudah marah sekali karena ia tahu apa artinya nasib muridnya kalau hendak dijadikan syarat orang melaksanakan ilmu iblis itu.

"Ha-ha-ha, Ji-wi Lama, lenyapkan hwesio yang durhaka ini!" Im-kan Seng-jin berkata.

Dua orang Lama itu memang sudah membenci Kakek Siauw Lam, maka kini keduanya lalu menerjang maju dari kanan kiri, mengirim pukulan-pukulan dahsyat sekali. Dari kiri Thian Tok Lama memukul dengan Ilmu Hek-in-hui-hong-ciang sehingga angin keras menyambar disertai uap hitam, ada pun dari kanan Thai Li Lama juga memukul dengan pukulan sakti Sin-kun-hoat-lek!

Melihat datangnya pukulan yang mengandung hawa sakti amat dahsyatnya itu, Kakek Siauw Lam terkejut dan maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang amat kuat dan harus dilawan mati-matian, terutama untuk menolong muridnya. Maka ia pun mengerahkan sinkangnya, mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri dengan jari tangan terbuka dan menerima pukulan kedua lawan itu dengan telapak tangannya.

"Plak! Plak!" Telapak tangan mereka bertemu dan melekat.

Tiga orang itu berdiri tak bergerak, saling beradu telapak tangan yang mengeluarkan hawa sakti dan terjadilah adu tenaga sakti yang amat dahsyat! Beberapa menit lamanya ketiga orang kakek ini berdiri tegak tak bergerak, akan tetapi lambat-laun tubuh kedua orang Lama itu bergoyang-goyang, sedangkan tubuh Kakek Siauw Lam masih tegak, sama sekali tidak terguncang, hanya dari rambut kepalanya mengepul uap putih dan mukanya pucat.

"Orang Siauw-lim-pai memang hebat...!" terdengar Im-kan Seng-jin berkata perlahan.

Sebetulnya, dia tidak berniat memusuhi Siauw-lim-pai akan tetapi karena dia tidak mau kehilangan Bun Beng, dia mengambil keputusan pendek. Mendadak ia menggerakkan tangan kirinya, didorongkan ke arah dada Kakek Siauw Lam. Angin yang keras dan panas menyambar ke depan, tenaga yang tidak nampak menghantam dada Kakek Siauw Lam yang tentu saja tidak dapat mengelak atau menangkis karena dia sedang terhimpit oleh tenaga kedua orang Lama yang sudah hampir ia kalahkan itu.

"Uahhh...!" Kakek Siauw Lam tergetar tubuhnya dan dari mulutnya tersembur darah segar, akan tetapi matanya mendelik memandang Im-kan Seng-jin dan dia masih tetap mempertahankan himpitan kedua orang Lama, sedikit pun tidak berkurang tenaga sinkangnya biar pun sudah menderita luka parah!

Tiba-tiba Bhe Ti Kong mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya meloncat maju, tampak sinar berkilat ketika ia menggerakkan senjatanya yang istimewa yaitu sebuah tombak gagang pendek.

"Cappp!" Tombak itu menusuk lambung Kakek Siauw Lam sampai tembus!

"Suhuuu...!" Bun Beng menjerit, akan tetapi kedua kakinya tetap saja tak dapat digerakkan. Dengan mata terbelalak dan muka pucat ia melihat betapa suhu-nya roboh, mengerang perlahan lalu terdiam, tak bergerak lagi.

Sejenak enam orang itu termangu-mangu, agaknya merasa tidak enak dengan adanya kejadian itu. Betapa pun juga, yang mereka bunuh adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai.....

"Ambil racun penghancur, lenyapkan mayatnya!" Im-kan Seng-jin berkata dan dua orang panglima cepat membuka bungkusan koksu itu, mengeluarkan sebuah guci, membuka tutupnya dan menuangkan benda cair berwarna putih perak ke atas tubuh Kakek Siauw Lam yang menjadi mayat.

"Suhuuuu...!" Bun Beng masih terbelalak sambil menjerit memanggil nama suhu-nya sampai jari tangan Im-kan Seng-jin menyentuh lehernya dan membuat ia tak mampu menjerit lagi. Dia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak betapa mayat suhu-nya itu cepat sekali mencair, ‘dimakan’ benda cair putih itu dan terciumlah bau yang asam dan tajam menusuk hidung. Sepasang mata anak itu tak pernah berkedip melihat betapa mayat suhu-nya itu habis dan mencair sampai ke tulang-tulangnya, tidak ada bekasnya sedikit pun juga karena cairannya diserap oleh tanah, dan yang tinggal hanyalah tanah basah yang berbau racun itu.

Dua titik air mata tanpa dirasakannya jatuh ke atas pipinya, akan tetapi Bun Beng tidak menangis. Tidak, sedikit pun dia tidak terisak biar pun kedukaan menyesak di dada, karena kedukaannya dikalahkan rasa bencinya terhadap keempat orang itu. Berganti-ganti sinar matanya seperti dua titik api hendak membakar tubuh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong. Terutama sekali Bhong Ji Kun dan lebih-lebih lagi Bhe Ti Kong. Karena ia dapat menduga bahwa kedua orang itulah yang membunuh suhu-nya!

Akan tetapi enam orang itu tidak mempedulikannya. Setelah mayat Kakek Siauw Lam lenyap, kemudian mereka bergegas mengajak Bun Beng menuju ke arah lapangan yang dijadikan medan pertandingan.

Kedua orang kakek utusan Pulau Es ternyata amat lihai. Berkali-kali maju orang-orang sakti yang memasuki medan laga untuk berpibu, namun kesemuanya dikalahkan oleh Kakek Yap Sun dan Kakek Thung Sik Lun! Semua orang menjadi gentar dan kini pihak Thian-liong-pang dan rombongan Pulau Neraka sudah mulai berbisik-bisik, agaknya mereka ini yang tadi nampak tenang-tenang saja sudah mulai memperbincangkan siapa yang akan mereka ajukan untuk menandingi dua orang kakek Pulau Es yang sakti itu. Agaknya pihak Thian-liong-pang yang lebih merasa penasaran dan dua orang kakek dari pihak ini sudah melompat maju.

"Mundur!" Suara ini melengking nyaring dan tiba-tiba tampak sinar yang sebetulnya adalah bayangan putih seorang manusia yang melayang turun dari atas tebing dan hinggap di depan kedua orang kakek Pulau Es tanpa mengeluarkan suara, seperti seekor burung saja.

Semua orang memandang dan terbelalak melihat seorang wanita berpakaian sutera putih dengan sabuk sutera biru, bentuk tubuh yang ramping padat dan menggairahkan. Akan tetapi kepala wanita ini tertutup oleh kedok sutera putih seluruhnya, merupakan sebuah kantung yang ditutupkan di kepala sampai ke bawah leher, hanya mempunyai dua buah lubang dari mana berpancar sinar mata yang indah, bening, namun mengandung hawa dingin dan tajam seperti ujung pedang pusaka! Kulit kedua tangan yang tersembul keluar dari lengan baju amat putih dan tangan itu sendiri kecil halus seperti tangan seorang puteri yang kerjanya setiap hari hanya merenda dan berhias!

Akan tetapi semua orang segera berhenti menduga-duga dan mengerti bahwa wanita berkedok itu tentulah ketua yang penuh rahasia dari Thian-liong-pang! Hal ini terbukti dari sikap para rombongan Thian-liong-pang yang serta merta menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah wanita berkerudung itu.

Tanpa diketahui oleh para tokoh kang-ouw kini rombongan koksu telah menonton di situ, bahkan dari belakang mereka menyusul pasukan pengawal yang segera membentuk barisan yang siap menanti komando. Akan tetapi wanita berkerudung itu tidak mempedulikan semua ini. Dari balik kerudung keluar suara yang merdu dan halus, akan tetapi amat nyaring dan begitu dingin membuat semua orang menggigil.

"Apakah kalian berdua ini utusan Pulau Es?"

Yap Sun sudah mendengar akan Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa, akan tetapi seorang seperti dia pun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa ketua yang disohorkan memiliki ilmu kepandaian seperti iblis itu ternyata hanyalah seorang wanita, bahkan melihat bentuk tubuh dan mendengar suaranya, dia hampir berani memastikan bahwa wanita ini tentu masih muda! Akan tetapi, teringat akan majikannya sendiri yang juga hanya pemuda, malah buntung sebelah kakinya, ia menyingkirkan keheranannya, kemudian menjura dan menjawab.

"Tidak keliru dugaan Pangcu yang terhormat. Saya Yap Sun dan Sute Thung Sik Lun ini adalah utusan dari Pulau Es."

"Bagus! Sudah cukup Pulau Es memperlihatkan kegarangannya. Sekarang robohlah!"

Ucapan ini disusul dengan serangan kilat yang luar biasa cepatnya. Tahu-tahu tubuh wanita ini telah menerjang dua orang kakek itu dengan pukulan yang membawa angin halus. Dua orang kakek itu kaget. Makin halus angin pukulan, makin hebatlah karena itu menunjukkan kekuatan sinkang yang sudah tinggi. Akan tetapi dia dan sute-nya merasa penasaran. Sebagai tokoh-tokoh Pulau Es yang tadi telah membuktikan kelihaian mereka, tentu saja mereka merasa tersinggung sekali ketika Ketua Thian-liong-pang ini menyuruh mereka roboh begitu saja! Maka cepat mereka mengelak dan karena maklum menghadapi pukulan kilat secepat itu mengelak saja masih kurang cukup, maka sambil mengelak mereka menangkis dari samping.

"Dukk! Dukk!"

Sukar sekali dipercaya oleh mereka yang menyaksikannya karena begitu lengan kedua orang kakek sakti itu bertemu dengan kedua tangan wanita berkerudung itu, tubuh mereka terlempar roboh bergulingan kemudian barulah mereka dapat meloncat bangun dengan muka berubah. Akan tetapi Kakek Yap Sun dan sute-nya bukan orang-orang sembarangan. Mereka tidak terluka, hanya kaget saja dan kini keduanya sudah menerjang maju lagi dengan dahsyat.

"Bagus! Kalian boleh juga!" kata wanita berkerudung itu.

Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Dua orang kakek itu mengeroyok dari jarak dekat, pukulan-pukulan mereka ampuh bukan main, namun semua pukulan mereka dapat dielakkan oleh Si Wanita berkerudung dengan mudah. Berkali-kali kedua orang kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan terheran-heran karena melihat betapa wanita itu dapat mengelak dan menangkis dengan jurus-jurus yang sama dengan serangan-serangan mereka!

Karena penasaran, Yap Sun lalu berseru keras dan mengirim pukulan dengan telapak tangannya. Juga sute-nya mengimbangi serangan suheng-nya itu, dari pihak yang berlawanan mengirim pukulan dengan telapak tangannya.

"Aiiihhhh!”

Tubuh wanita berkerudung mencelat ke atas sehingga himpitan dua tenaga sinkang itu luput. Ia melayang ke depan dan turun sambil mencabut sebatang pedang pendek dan kecil, semacam pisau belati. Sambil bertolak pinggang ia bertanya.

"Bukankah itu tadi pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dahulu milik Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, dan satu lagi Swat-im Sin-ciang, milik Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Muka Kuda? Kiranya Ketua kalian mengajarkannya kepada kalian?"

Yap Sun merasa mendapat hati dan mengira bahwa wanita itu jeri terhadap pukulan tenaga inti api dan pukulan sute-nya dengan tenaga inti es, maka ia berkata. "Apakah Pangcu yang terhormat jeri menghadapinya?"

"Aihhh, sombong! Siapa takut? Majulah!"

Kedua orang tokoh Pulau Es itu menerjang lagi dengan pukulan-pukulan mereka yang amat berbahaya, akan tetapi wanita itu selalu dapat mengelak dengan cepat. Ada pun Bun Beng ketika mendengar nama Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, menjadi terkejut sekali.

"Gak Liat adalah Ayahku...!" teriaknya perlahan.

Karena Im-kan Seng-jin amat tertarik menyaksikan pertandingan itu, dia lupa menjaga sehingga tiba-tiba Bun Beng dapat melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya dicengkeram tangan yang kuat sekali dan ketika ia menengok, kiranya tangan Panglima Bhe Ti Kong yang memegang.

"Pegang dia, jangan sampai dia lari!" kata Im-kan Seng-jin tidak mau terganggu karena dia sedang menonton dengan hati amat tertarik.

Memang hebat pertandingan itu, terutama sekali hebat bagi orang-orang saki berilmu tinggi seperti Im-kan Seng-jin, kedua Lama dan para tokoh partai persilatan besar. Biar pun kedua orang tokoh Pulau Es itu hebat sekali, namun dalam waktu tiga puluh jurus saja, Kakek Yap Sun sudah roboh tertendang punggungnya, dan Kakek Thung Sik Lun dapat ditotok lumpuh dan kini dijiwir telinganya oleh wanita berkerudung yang menodongkan pisau belatinya sambil berkata.

"Sesungguhnya aku segan untuk keluar berurusan dengan orang-orang kosong yang mengaku jagoan-jagoan kang-ouw. Akan tetapi karena golongan Pulau Es datang, aku tidak suka menyerahkan tugas kepada wakil-wakilku dan terpaksa keluar sendiri. Hayo katakan, di mana majikanmu Pendekar Siluman Si Kaki Buntung itu? Kalau dia tidak keluar, kuambil daun telingamu!"

Tiba-tiba terdengar suara melengking tajam dari angkasa, disusul melayangnya seekor burung garuda yang hinggap di atas batu karang tak jauh dari arena pertandingan, diikuti suara yang bergema, "Siapakah mencari aku?"

Semua orang terbelalak memandang ketika seorang pria muda berambut panjang berwarna putih, pakaiannya sederhana, kaki kirinya buntung dan tangan kiri memegang tongkat butut, meloncat turun dari punggung garuda raksasa yang berdiri gagah itu. Pria muda ini bukan lain adalah Suma Han yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman. Majikan Pulau Es! Semua mata, termasuk mata Ketua Thian-liong-pang, memandang kepada pendekar berkaki tunggal ini, bahkan Yap Sun cepat menyeret kakinya yang pincang karena tendangan tadi, berlutut di depan Suma Han sambil berkata dengan nada melaporkan penuh penyesalan,

"Maaf, To-cu, kami berdua telah dikalahkan oleh Pangcu dari Thian-liong-pang. Mohon keputusan To-cu."

Akan tetapi Suma Han agaknya tidak mendengar laporan ini, atau tidak mempedulikan, juga tidak mempedulikan orang-orang lain yang hadir. Matanya mencari-cari, dan mulutnya berkata penuh sesal.

"Aku mencari dia... ah, di manakah dia kalau tidak di sini?" Kemudian dia berteriak, suaranya nyaring melebihi lengking garuda tadi. "Hong-ji (Anak Hong)! Di mana engkau? Hayo cepat ke sini...!"

Suaranya bergema di seluruh permukaan pulau, akan tetapi tidak ada yang menjawab. Semua orang memandang terbelalak dengan hati tegang. Mereka yang pernah bertemu dengan Suma Han memandang kagum karena mereka sudah mengenal kesaktian pria muda buntung ini. Ada pun mereka yang sudah lama mendengar nama Pendekar Siluman akan tetapi baru sekarang bertemu, memandang takjub dan terheran-heran. Kelihatannya hanya seorang pria muda sederhana dan biasa saja, bagaimana bisa menjadi Majikan Pulau Es yang begitu terkenal dan dijuluki Pendekar Siluman? Wajahnya sama sekali tidak seperti siluman, biar pun rambutnya putih dan panjang, malah membuat wajahnya tampak gagah dan tampan penuh wibawa. Tentu kepandaiannya yang seperti siluman dan diam-diam mereka ini bergidik ngeri.

"Ke manakah perginya Siocia, To-cu?" Kakek Yap Sun bertanya dengan suara penuh kekhawatiran.

"Dia pergi dari Pulau Es membawa garuda betina. Kukira hendak menonton keramaian di sini anak nakal itu. Kiranya tidak ada di sini. Habis ke mana dia?"

"Pendekar Siluman! Pendekar Super Sakti! Pendekar Buntung! Hayo majulah melawan aku Ketua Thian-liong-pang agar mata dunia terbuka siapa di antara kita yang patut menjadi pemimpin dunia persilatan!" Tiba-tiba wanita yang berkerudung yang masih menodong leher Kakek Thung Sik Lun itu berseru merdu dan nyaring.

Mendengar suara ini, Suma Han seperti tersentak kaget, seolah-olah baru sekarang dia mendengar suara itu dan melihat wanita berkerudung yang mengaku Ketua Thian-liong-pang itu. Juga baru teringat ia akan pelaporan pembantunya bahwa dua orang utusannya yang disuruh meninjau keadaan di pulau itu telah dikalahkan oleh Ketua Thian-liong-pang.

Seperti tidak disengaja, tangan kanan Pendekar Siluman ini menggenggam segumpal ujung rambutnya, kemudian tanpa menggerakkan kaki, tubuhnya berputar menghadapi wanita itu. Ia melihat betapa Yap Sun masih belum dapat berdiri, masih berlutut dan melihat Thung Sik Lun berlutut pula, ditodong belati oleh wanita berkerudung.

Seperti orang tak acuh, Pendekar Siluman memandang wanita itu dan bertanya, suaranya perlahan namun jelas terdengar satu-satu oleh semua orang yang hadir dan semua orang menggigil karena suara ini terdengar datar dan dingin. "Engkau siapa...?" Pertanyaan yang datar dan dingin ini seolah-olah hendak membuka kerudung dan menjenguk wajah si wanita.

Tanpa disadarinya, wanita itu menundukkan muka sejenak, kemudian mengangkatnya kembali dan sinar mata dari balik lubang itu seperti memancarkan api. "Akulah Pangcu dari Thian-liong-pang! Dan aku menantang Majikan Pulau Es untuk mengadu ilmu di sini!"

Akan tetapi Suma Han tidak mengacuhkan tantangan ini, bahkan tongkatnya bergerak dan tampak ujung tongkat itu menyentuh kedua pundak Kakek Yap Sun dengan perlahan. "Paman Yap di sini tidak ada apa-apa, yang diperebutkan hanya bungkusan kosong. Kau ajaklah Paman Thung kembali dan bantu aku mencari ke mana perginya bocah berandalan itu!"

Wajah Yap Sun kelihatan girang sekali karena tiba-tiba saja, dua kali totokan pada pundaknya itu menyembuhkannya dan ia dapat bangkit berdiri dengan gerakan ringan. Melihat ini wanita berkerudung itu menggerakkan sedikit pundaknya, tanda bahwa ia terkejut.

"Pendekar Siluman! Kalau engkau tidak mau melayani tantanganku, orangmu ini akan mati!" Ia menggerakkan pisau belatinya.

"Paman Thung, tidak lekas pergi menunggu apa lagi?" Suma Han berseru dan tangan kanannya bergerak.

Terdengar bunyi bercuitan dan sinar putih yang amat halus menyambar ke arah kedua lengan dan seluruh jalan darah bagian depan tubuh wanita berkerudung. Wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan tidak mengelak, melainkan memutar pisaunya di depan tubuh sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka menyambar ke depan. Akan tetapi wanita itu tampak tercengang dan marah ketika melihat bahwa yang ditangkisnya itu hanyalah segumpal rambut yang membuyar dan ketika ia menoleh ke arah Kakek Thung Sik Lun, ternyata kakek itu telah lenyap!

Kiranya Suma Han tadi menggunakan segenggam rambutnya yang ia putus dengan tangan dipakai menyerang Ketua Thian-liong-pang, tetapi hanya serangan pancingan saja karena begitu wanita itu bergerak menangkis, ia mendorongkan tangan kanannya ke arah tubuh pembantunya, yang terlempar dan bergulingan, terus meloncat ke dekat ketuanya sambil berlutut! Kini semua orang yang menyaksikan terbelalak dan kagum bukan main. Segumpal rambut dapat dipergunakan seperti jarum-jarum rahasia, dan dorongan tangan dalam jarak begitu jauh sudah berhasil membebaskan kakek kurus dari penodongan Ketua Thian-liong-pang.

"Pulanglah kalian dan cari Si Bengal!" kata Pendekar Siluman pada dua pembantunya. Yap Sun dan Thung Sik Lun mengangguk, dan keduanya meloncat lalu lari pergi dari tempat itu, sedangkan Suma Han dengan sikap acuh tak acuh meloncat naik ke punggung garuda putih!

"Haiii! Pendekar Siluman! Sudah lama aku mendengar nama besarmu, mengapa tidak minum arak dulu denganku untuk belajar kenal?" Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru. "Kalau begitu, terimalah suguhan arak dari koksu kerajaan!"

Tangan kanan koksu ini yang sudah mengeluarkan guci arak, menggoyang tangan dan arak merah muncrat dari dalam guci, cepat sekali sehingga membentuk sinar merah yang melebar seperti payung menyiram ke arah Suma Han dan garudanya. Jarak antara koksu itu dengan Pendekar Siluman cukup jauh, maka perbuatan ini cukup membuktikan betapa saktinya koksu itu dan betapa kuatnya tenaga sinkang yang ia pergunakan!

Suma Han hanya menoleh, tanpa mengubah duduknya di punggung garuda, akan tetapi tangan kanannya dengan jari terbuka membuat gerakan dorongan memutar ke depan. Hawa dingin menyambar dari tangan itu, terasa oleh mereka yang berdiri tidak begitu jauh dan... terdengar suara berkelotokan ketika butir-butir arak itu runtuh semua ke bawah dan telah membeku! Itulah pukulan dengan tenaga inti Swat-im Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga pukulan ini dapat membuat benda cair membeku menjadi butiran-butiran es!

"Pendekar Siluman, mau lari ke mana engkau?" Pangcu dari Thian-liong-pang, wanita berkerudung itu, berseru marah dan kedua tangannya sudah bergerak cepat.

"Cet-cet-cet-cet...!" Tiga belas batang pisau belati yang entah dikeluarkan sejak kapan dan dari mana, tahu-tahu beterbangan seperti kilat-kilat menyambar ke arah Suma Han. Semua menuju ke tubuh Pendekar Siluman dan tidak sebatang pun yang mengancam tubuh garuda! Hal ini membuktikan betapa wanita itu merupakan seorang ahli melempar senjata rahasia.

Suma Han menggerakkan tongkatnya dengan sembarangan dan... ketiga belas batang pisau itu seolah-olah tertarik oleh besi magnet dan kesemuanya melayang menuju ke tongkat di tangan Suma Han dan menancap semua di tongkat itu, berjajar-jajar rapi.

"Aku tidak sempat main-main dengan kalian!" terdengar Suma Han berkata, tongkatnya digerakkan dan tiga belas batang pisau itu melayang ke arah pemiliknya secara berbareng dan menjadi satu seolah-olah terikat sehingga merupakan senjata berat yang besar.

Akan tetapi, dengan pukulan sinkang Ketua Thian-liong-pang itu membuat sekumpulan pisaunya menancap di atas tanah depan kakinya, seolah-olah berlutut memberi hormat kepadanya! Sepasang mata bening di balik lubang kerudung itu berapi-api ketika wanita itu melihat garuda putih sudah mulai terbang, kelepak sayapnya terdengar keras dan angin pukulan sayap membuat debu beterbangan!

Tiba-tiba terdengar pekik keras dari rombongan Pulau Neraka dan tampak seorang laki-laki tinggi besar yang matanya berwarna hijau pupus seperti tubuhnya, rambutnya kotor riap-riapan mukanya bengis, meloncat ke depan dan tangannya melontarkan sebuah benda panjang berwarna hitam ke atas, ke arah burung garuda yang belum terbang tinggi. Benda panjang itu menyambar cepat dan tahu-tahu telah membelit kedua kaki burung garuda tadi. Betapa kaget hati semua orang ketika melihat benda itu adalah seekor ular yang pajang, berwarna hitam dan berbisa, yaitu semacam ular sendok (khobra) yang mendesis-desis dan siap menggigit tubuh garuda!

Melihat Pendekar Siluman tetap diam saja seperti tidak tahu, semua orang berkhawatir. Akan tetapi garuda itu mengeluarkan suara melengking tinggi, kepalanya bergerak cepat dan tahu-tahu leher ular itu telah dipatuknya! Garuda itu tidak terus terbang ke atas, bahkan dengan kecepatan luar biasa menukik ke bawah, ke arah laki-laki muka hijau pupus tadi, kedua kakinya yang berbentuk cakar berkuku tajam dan runcing melengkung itu bergerak menyerang!

Laki-laki itu tidak takut, sudah mencabut sebatang pedang hitam dan membabat ke arah kedua kaki garuda. Garuda itu ternyata hebat sekali, dia memapaki pedang dengan cakar kiri dan mencengkeram pedang itu.

"Krekkk!" pedang itu patah-patah menjadi tiga potong dan dilempar ke bawah.

Sebelum laki-laki anggota Pulau Neraka itu sempat mengelak tahu-tahu sehelai benda hitam telah melibat lehernya dan ketika garuda itu terbang ke atas, tubuh laki-laki itu tergantung dan ternyata lehernya telah dibelit tubuh ularnya sendiri yang masih hidup dan yang lehernya dijepit paruh garuda yang amat kuat. Semua orang menjadi ngeri dan mengikuti sampai ke atas tebing. Mereka melihat garuda itu melepas ular dan laki-laki tadi sehingga tubuhnya meluncur ke bawah, jatuh ke dalam air muara di mana air sungai bertemu dengan air laut.

"Celaka...! Air pusaran maut!" Terdengar suara dari gerombolan anak buah Pulau Neraka.

Semua orang memandang dan terbelalak melihat betapa laki-laki bermuka hijau pupus itu meronta-ronta dan berusaha berenang mengatasi pusaran air. Namun tenaga pusaran air yang disebut pusaran maut dan yang amat dikenal para nelayan karena merupakan tempat yang tidak mungkin dapat dilalui dan yang mendatangkan maut mengerikan, amatlah kuatnya sehingga usaha manusia ini sama sekali tidak ada artinya. Tubuhnya dibawa berputar, makin lama makin cepat dan akhirnya tubuh itu hancur lebur dihempaskan pada batu-batu di bawah tebing, karena pusarannya makin lama makin melebar!

Semua orang menghela napas penuh kengerian dan burung garuda itu kini sudah terbang jauh, hanya tampak sebagai sebuah titik putih yang makin menghilang. Wanita berkerudung mengeluarkan dengusan pendek, lalu bertepuk tangan. Dari atas tebing, melayang seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, masih cantik jelita dan gerakannya tangkas.

"Tidak ada gunanya lagi aku di sini, kau wakili aku hadapi tikus-tikus ini," katanya dan sekali berkelebat tubuhnya sudah melayang naik ke tebing dari mana dia tadi melayang turun, kelihatannya marah dan penasaran sekali.

"Haiiii! Pangcu dari Thian-liong-pang! Mari kita main-main sebentar!" Koksu berseru, suaranya mengguntur seolah-olah menyusul tubuh yang melayang naik itu. Tubuh itu kini sudah lenyap di tebing tinggi, akan tetapi dari tempat tinggi itu terdengar suara merdu.

"Seperti juga Pendekar Siluman, saya tak ada waktu untuk main-main dengan Koksu!" Kemudian sunyi senyap, hanya tinggal mereka yang berada di situ menahan napas, kemudian menarik napas panjang penuh kekaguman.

Majikan Pulau Es dan Ketua Thian-liong-pang sungguh merupakan manusia luar biasa, seperti iblis! Mereka merasa menyesal mengapa tidak mendapat kesempatan menyaksikan kedua orang itu bertanding silat! Jikalau kedua orang itu saling mengadu kepandaian, atau menghadapi koksu yang sakti itu, tentu mereka akan menyaksikan pertandingan-pertandingan yang amat luar biasa!

Ketika melihat semua orang termangu-mangu, tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Cu-wi sekalian adalah orang-orang gagah dari segala penjuru dunia! Setelah kini berkumpul di sini, bukankah bermaksud untuk mengadu kepandaian menentukan siapa yang akan menjagoi? Nah, lanjutkanlah. Pemerintah tidak akan menghalangi, bahkan akan ikut meramaikan. Kami sendiri tidak akan maju karena lawan-lawan yang seimbang telah pergi, akan tetapi pembantu-pembantu kami cukup kuat untuk ikut meramaikan pibu ini! Aku mengajukan pembantuku Bhe Ti Kong. Hayo, siapa di antara Cu-wi yang berani menghadapinya boleh maju. Jangan khawatir, pertandingan melawan panglima kerajaan sekali ini tidak akan dianggap sebagai pemberontakan. Sekarang bukan jaman perang, dan ini adalah urusan pribadi di antara orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Bhe-goanswe, majulah!" Dengan wajah berseri gembira Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berkata kepada pembantunya.

Bhe Ti Kong adalah seorang jenderal perang. Biar pun ia memiliki ilmu silat yang tinggi, namun sesungguhnya dia bukan berjiwa kang-ouw. Akan tetapi, sebagai seorang tentara tentu saja dia selalu akan menaati perintah atasan. Maka setelah menyerahkan Bun Beng kepada seorang temannya, yaitu seorang di antara tiga panglima pengawal itu, ia lalu meloncat ke tengah lapangan dan mencabut senjatanya yang dahsyat, yaitu tombak gagang pendek yang bercabang, tajam dan runcing sekali.

Bun Beng yang tadi menyaksikan sepak terjang Pendekar Siluman, hatinya berdebar tegang. Betapa ia mengenal pendekar itu! Tiada bedanya dengan lima tahun yang lalu ketika pendekar itu menolong keluar kuil tua! Hatinya gembira sekali dan ingin tadi ia berteriak memanggil. Akan tetapi, Panglima Bhe Ti Kong yang menyebalkan dan amat dibencinya itu tadi selain mencengkeram pundaknya, juga membungkam mulutnya sehingga ia tidak mampu bergerak dan tidak mampu mengeluarkan suara pula. Betapa bencinya!

Kini Pendekar Siluman itu telah pergi jauh, bahkan wanita berkerudung yang juga amat mengagumkan hatinya itu telah pergi pula! Dan baru sekarang dia dilepaskan oleh Panglima Bhe yang hendak berlagak dalam pertandingan! Hem, ia mencela dan diam-diam memaki. Baru sekarang berlagak! Coba tadi melawan Pendekar Siluman! Atau Si Wanita berkerudung, kalau memang gagah!

Akan tetapi hatinya lega juga setelah kini ia dioperkan kepada panglima lain yang berperut gendut itu. Biar pun panglima ini masih memegangi lengannya, namun tidak dicengkeram seperti Panglima Bhe tadi. Agaknya panglima yang gendut ini memandang rendah kepada Bun Beng, maka pegangannya tidaklah erat benar karena dianggapnya bocah sekecil itu bisa apakah? Pula ia amat tertarik untuk menyaksikan rekannya memasuki pibu, hal yang belum pernah terjadi di antara para panglima pengawal!

Tiba-tiba dari rombongan Pulau Neraka meloncat keluar seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka biru muda! Melihat warna mukanya yang agak terang menandakan bahwa seperti juga orang yang mukanya berwarna hijau pupus tadi, yang ini tentu tingkatnya juga sudah cukup tinggi. Dan agaknya kini para tokoh Pulau Neraka yang semenjak tadi belum maju menjadi penasaran.

Apa lagi melihat seorang anggota mereka tewas dalam keadaan begitu mengerikan. Mereka marah sekali, namun yang membunuh teman mereka adalah burung garuda putih tunggangan Pendekar Siluman yang sekarang sudah terbang pergi sehingga mereka tidak dapat menumpahkan kemarahan hati mereka. Agaknya kemarahan itu akan dilampiaskan dalam pibu ini. Apa lagi koksu tadi sudah mengatakan bahwa pibu ini merupakan pertandingan perorangan. Andai kata tidak demikian pun, mana orang-orang Pulau Neraka akan menjadi takut. Pulau Neraka tidak pernah takut terhadap pemerintah atau siapa pun juga!

Laki-laki tinggi besar bermuka biru muda itu telah mencabut pedang dengan tangan kiri, mukanya yang buruk dengan kumis pendek tanpa jenggot kelihatan muram dan kejam. Rambutnya yang riap-riapan itu diikat dengan sehelai tali putih. Kulitnya dari muka sampai ke tangannya, bahkan matanya berwarna biru muda, amat menyeramkan.

"Aku Pok Sit dari Pulau Neraka akan melawanmu, Ciangkun!" katanya dan tanpa menanti jawaban orang Pulau Neraka ini sudah menerjang dengan pedangnya yang amat panjang. Gerakannya kuat, cepat, dan juga aneh sekali, berbeda dengan ilmu pedang biasa. Panglima Bhe Ti Kong cepat menangkis dengan senjata tombak pendeknya.

"Cringgggg...!" Bunga api berhamburan ketika dua senjata itu bertemu dan keduanya merasa telapak tangan mereka panas. Tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang, maka ini keduanya serang-menyerang dengan hebatnya.

Bun Beng menonton, namun pikirannya melayang-layang teringat kepada Pendekar Siluman dan wanita berkerudung tadi yang mengaku sebagai Ketua Thian-liong-pang. Kemudian ia teringat betapa ketua aneh itu tadi menyebut nama ayahnya berjuluk Kang-thouw-kwi Si Setan Botak. Botak seperti Koksu. Dan pukulan hebat dari Pulau Es tadi dikatakan oleh wanita berkerudung sebagai ilmu ayahnya, diajarkan oleh Pendekar Siluman kepada utusannya.

Kalau begitu ada hubungan antara ayahnya dan Pendekar Siluman. Setidaknya, tentu ayahnya bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti pula. Itulah agaknya mengapa dulu ia dijadikan rebutan! Agaknya ayahnya itu dikenal dan dihormati orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka yang hendak memeliharanya!

Ketika ia melihat ke arah pertandingan, ternyata bahwa orang yang dibencinya, yaitu Panglima Bhe Ti Kong, lagi terdesak oleh ilmu pedang yang amat aneh dari lawannya. Tetapi tiba-tiba koksu mengeluarkan ucapan-ucapan dan sungguh mengherankan, gerakan panglima itu berubah dan kini keadaannya berbalik. Si Muka Biru Muda itu yang terdesak oleh senjata tombak pendek!

Mengertilah Bun Beng yang sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi bahwa koksu itu bermain curang, memberi nasihat kepada pembantunya dalam bahasa yang tidak dimengerti orang lain. Perasaan marah membuat Bun Beng mencari akal untuk melepaskan diri. Ia teringat akan ilmunya Sia-kun-hoat, maka ia segera mengerahkan ilmu ini secara diam-diam, kemudian menggunakan kesempatan selagi perwira gendut yang memegangnya bergembira dan tertarik menyaksikan rekannya mendesak lawan, ia cepat merenggutkan dirinya terlepas dari pegangan panglima gendut.

"Heiii...! Mau pergi ke mana...?" Panglima gendut terkejut.

Akan tetapi Bun Beng sudah meloncat pergi dengan lincahnya. Rasa bencinya yang mendalam terhadap Panglima Bhe Ti Kong yang sudah ikut membunuh suhu-nya membuat Bun Beng pada saat itu tidak memikirkan hal lain kecuali membantu lawan si panglima yang makin mendesak hebat dengan tombak pendeknya. Para pembunuh suhu-nya adalah empat orang yang lihai bukan main. Apa lagi koksu dan dua orang pendeta Lama itu, mereka adalah tiga orang sakti. Mana mungkin ia dapat membalaskan kematian suhu-nya?

Akan tetapi, Bhe Ti Kong merupakan orang ke empat yang tidak sesakti tiga kakek itu, apa lagi sekarang menghadapi lawan tangguh. Kalau tidak sekarang dia turun tangan membalas kematian suhu-nya, menunggu sampai kapan? Hanya inilah yang memenuhi pikiran Bun Beng. Maka begitu ia berhasil membebaskan diri dari pegangan Si Panglima gendut dengan ilmu melepaskan dan melemaskan tulang dan otot, ia segera meloncat dan menyerang dari atas ke arah kepala Bhe Ti Kong yang sedang mendesak Si Muka Biru Muda dari Pulau Neraka!

"Manusia curang! Rasakan pembalasanku!" Bun Beng membentak sambil meloncat dan menubruk seperti seekor anak harimau yang tidak mengenal takut.

Memang hatinya marah sekali, bukan hanya karena kematian suhu-nya yang dikeroyok secara curang, juga menyaksikan betapa Panglima Bhe Ti Kong ini sekarang dapat mendesak lawan karena dibantu oleh koksu. Dan memang sebenarnyalah dugaan Bun Beng ini.

Ketika tadi melihat anak buahnya itu terdesak oleh tokoh Pulau Neraka yang bermuka biru muda, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi jengkel dan juga khawatir sekali. Kekalahan panglima kerajaan berarti sebuah pukulan bagi kedudukannya dan akan membikin dia malu. Dia tidak menyalahkan Bhe Ti Kong yang terdesak lawan karena memang orang Pulau Neraka itu memiliki ilmu pedang yang aneh sekali gerakannya. Maka koksu yang sakti ini cepat memperhatikan gerakan orang itu, mempelajari dasar dan intinya, kemudian ia memberi nasihat kepada Bhe Ti Kong dengan bahasa daerah Mancu dan begitu Bhe Ti Kong mentaati nasihat ini, benar saja, ia dapat mendesak lawan dengan tombaknya.

Serangan seorang bocah berusia sepuluh tahun tentu saja tidak akan ada artinya bagi seorang lihai macam Bhe Ti Kong. Tetapi karena Bun Beng melakukan penyerangan selagi dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh, hal itu amat berbahaya. Apa lagi karena bocah itu pun bukan sembarangan bocah, melainkan seorang anak yang telah bertahun digembleng oleh seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai! Sedikit saja dia mengalihkan perhatian kepada Bun Beng, tentu dia terancam maut di ujung pedang Si Muka Biru Muda.

Akan tetapi Bhe Ti Kong adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran dahsyat, maka dia tidak menjadi gugup. Dengan gerakan cepat ia menyerang lawan dari bawah sambil merendahkan tubuh dan mengelak dari sambaran tangan-tangan kecil dari atas yang memukul ke arah kepalanya. Serangan Bun Beng mengenai tempat kosong dan tubuh anak itu terpaksa melayang turun di belakang Bhe Ti Kong.

Panglima ini berhasil mendesak lawan dengan serangannya tadi, kini cepat memutar kaki menendang ke belakang. Namun Bun Beng sudah siap menghadapi tendangan ini, maka cepat anak itu dapat menghindarkan diri dengan lompatan ke kanan. Biar pun hanya membagi perhatian sedikit saja, hal itu sudah merugikan Bhe Ti Kong karena tiba-tiba sinar terang menyambar bergulung-gulung dan pedang lawan sudah membuat dia kini terdesak hebat. Bhe Ti Kong hanya dapat memutar tombak di depan dadanya untuk melindungi tubuh dan terpaksa ia membiarkan tubuh bagian belakangnya kosong tidak terjaga.

Bun Beng menggunakan kesempatan itu, cepat ia menubruk dari belakang dan mengerahkan seluruh tenaganya menghantam lambung Bhe Ti Kong.

"Bocah setan! Jangan mencampuri pertandinganku!" Tiba-tiba orang Pulau Neraka bermuka biru muda itu membentak, pedangnya berkelebat dan tahu-tahu Bun Beng merasa tubuhnya terangkat ke atas! Kiranya punggung bajunya telah di tusuk pedang Si Muka Biru dan kini ia diangkat ke atas.

"Lepaskan, aku tidak mencampuri, aku hanya ingin membalas kematian Suhu!" Ia meronta-ronta.

Dan pada saat itu, Bhe Ti Kong yang melihat kesempatan baik sekali telah mengirim tendangan ke arah perut Si Muka Biru. Orang Pulau Neraka itu ternyata lihai sekali. Biar pun pedangnya kini tak dapat ia pergunakan, ia masih sempat melangkahkan kaki kanannya ke belakang dan miringkan tubuh sehingga tendangan Bhe Ti Kong luput. Dengan marah Bhe Ti Kong yang sudah siap dengan tombak pendeknya itu menyusul serangannya dengan tusukan bertubi-tubi.

Si Muka Biru terkejut dan mundur-mundur, kemudian sekali ia menggerakkan pedang, tubuh Bun Beng terlempar jauh, melayang sampai sepuluh meter jauhnya. Namun gerakannya ini membuat ia kurang cepat mengelak dan sebuah tusukan tombak di tangan Bhe Ti Kong sempat menyerempet lambung kirinya.

"Crottt...!"

Tangan Bhe Ti Kong yang sudah biasa menggunakan tombak menusuki perut lawan dalam perang sehingga entah berapa ratus perut yang sudah menjadi korban tombak, kini secara otomatis mencokelkan tombaknya sehingga perut yang hanya diserempet itu robek kulitnya dan tampaklah usus panjang keputih-putihan mencuat ke luar! Si Muka Biru mengeluarkan gerengan keras, tangan kanannya cepat menyambar ususnya dan mengalungkan usus yang panjang itu ke lehernya, kemudian ia melanjutkan pertempuran melawan Bhe Ti Kong seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa dengan dirinya!

Semua orang yang menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu terbelalak ngeri dan juga kagum, kecuali para anggota Pulau Neraka sendiri tentunya. Mereka ini sejak tadi diam tak bergerak menonton pertandingan. Wajah beraneka warna itu tidak menunjukkan sesuatu, dingin-dingin saja. Memang aneh sekali orang-orang Pulau Neraka ini. Keadaan mereka merupakan rahasia, bahkan orang-orang kang-ouw yang terkenal dan banyak pengalaman sekali pun jarang ada yang tahu siapa gerangan orang-orang yang kulitnya berwarna aneh itu.

Thian Tok Lama dan Thai Li Lama adalah dua orang sakti yang amat terkenal. Akan tetapi mereka berasal dari Tibet, maka tentu saja tidak mengenal orang-orang Pulau Neraka. Menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu, tak tertahan lagi mereka bertanya kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang orang-orang Pulau Neraka.

Koksu Kerajaan Mancu itu mengelus jenggotnya, menarik napas panjang kemudian menjawab tanpa mengalihkan pandang matanya dari pertandingan yang masih berlangsung hebat. "Keadaan mereka penuh rahasia, aku sendiri pun hanya mendengar-dengar saja dari kabar angin. Kabarnya di jaman dahulu, entah berapa ratus tahun yang lalu, terdapat kerajaan-kerajaan kecil di atas pulau-pulau yang banyak tersebar di lautan timur. Di antara raja-raja kecil itu terdapat keluarga raja yang amat sakti, konon memiliki kesaktian seperti dewa-dewa, bahkan mereka menamakan dirinya keluarga dewa!"

"Aihhh, apa hubungannya dengan Bu Kek Siansu yang dikabarkan seperti manusia dewa dan katanya datang dari Pulau Es?" Thai Li Lama bertanya, masih seram mengenangkan munculnya Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang aneh tadi.

"Entahlah, aku tidak pernah mendengar tentang dia. Menurut kabar, kerajaan dewa itu memegang peraturan yang amat keras sehingga apabila ada rakyat yang melakukan pelanggaran, mereka ini dihukum buang ke atas sebuah pulau yang dinamakan Pulau Neraka."

"Mengapa namanya begitu seram?" Thian Tok Lama bertanya.

"Entahlah, hanya kabarnya yang membocor ke dunia kang-ouw karena ada pelarian gila dari Pulau Neraka mengoceh, pulau itu lebih mengerikan dari neraka yang sering disebut dalam kitab-kitab. Pendeknya, tidak ada manusia yang dapat hidup di sana."

"Hemm, aneh. Kalau tak ada manusia dapat hidup di sana, mengapa sekarang muncul banyak tokoh-tokoh Pulau Neraka?" Thian Tok Lama mencela.

"Tidak ada seorang setan pun tahu apa yang terjadi," kata koksu yang kini kembali mengalihkan perhatiannya ke arah pertandingan yang makin menghebat. Si Muka Biru itu biar pun ususnya sudah keluar dan dikalungkan ke leher ternyata makin hebat saja gerakannya, seperti orang nekat sehingga kembali Bhe Ti Kong terdesak!

Pengetahuan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang Pulau Neraka seperti yang diceritakannya kepada dua orang Lama itu hanya tentang kulitnya saja. Satu-satunya yang tepat dalam keterangannya adalah bahwa memang tidak ada seorang pun yang tahu akan Pulau Neraka yang hanya dikenal orang dalam dongeng, dan yang setelah ratusan tahun tiada buktinya, baru sekarang muncul tokoh-tokohnya yang memiliki kepandaian luar biasa dan keadaan yang amat aneh.

Memang benarlah bahwa Pulau Neraka itu dahulu merupakan sebuah pulau tempat pembuangan orang-orang jahat, dan yang membuang penjahat-penjahat ke tempat itu adalah keluarga raja muda yang berkuasa di Pulau Es, yaitu kerajaan yang menjadi nenek moyang Bu Kek Siansu! Pulau itu amat mengerikan keadaannya, tiada ubahnya seperti neraka. Air yang terdapat di pulau itu selain kotor juga mengandung racun begitu keluar dari sumbernya.

Dan di situ banyak tumbuh pohon-pohon yang aneh dan beracun, pohon-pohon yang ranting-rantingnya dapat membelit, menangkap dan menghisap darah hewan atau manusia, pohon-pohon yang mempunyai daun-daun beracun sehingga begitu daunnya menguning dan rontok, menyiarkan bau yang dapat membuat manusia mati seketika. Kadang-kadang timbul kabut dingin yang mematikan, dan pada bergantian musim, keluar uap-uap beracun dari dalam tanah, merupakan gas beracun yang amat jahat, apa lagi sampai terhisap, baru mengenai kulit saja membuat kulit membusuk.

Semua ini masih ditambah lagi dengan adanya binatang-binatang berbisa, ular-ular cobra dan ular belang, ular hijau, kalajengking, kelabang dan semua binatang merayap yang berbisa di samping binatang-binatang liar yang buas. Karena itu, betapa pun tingginya kepandaian seorang hukuman yang dibuang dari Pulau Es, dia takkan dapat bertahan lama di tempat itu sehingga pulau itu dalam waktu puluhan tahun penuh dengan rangka-rangka manusia berserakan di mana-mana.

Akan tetapi pada jamannya raja muda yang menjadi Kakek Bu Kek Sian-su, yaitu yang bergelar Raja Han Gi Ong, terjadi perubahan. Raja Han Gi Ong ini masih memiliki sifat keras dan berdisiplin seperti nenek moyangnya, akan tetapi dia lebih lunak dan memiliki perasaan kasihan. Dia maklum bahwa semua orang hukuman dari Pulau Es yang dibuang ke Pulau Neraka memiliki kepandaian tinggi namun tak dapat menahan kesengsaraan Pulau Neraka dan paling lama dapat hidup setahun. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari seorang pangeran melakukan dosa besar dan dibuang ke Pulau Neraka, Raja Han Gi Ong membekalinya kitab-kitab pusaka yang berisi pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi.

Demikianlah, dengan bekal itu Sang Pangeran akhirnya dapat bertahan karena telah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Bahkan dia dapat pula menyelamatkan para orang buangan yang lain, laki-laki dan wanita, sehingga setelah berlangsung puluhan tahun, di Pulau Neraka terdapat sekelompok keluarga yang hebat! Ratusan tahun kemudian, sekeluarga besar menghuni pulau ini dan menjadi orang-orang pandai yang amat aneh akan tetapi tidak pernah turun ke dunia ramai. Kepandaian mereka turun-temurun ke anak cucu mereka dan semua kesukaran di pulau itu dapat mereka atasi, bahkan hal-hal mengerikan yang tadinya merupakan ancaman bagi kehidupan, kini dapat mereka kuasai dan pergunakan demi keuntungan mereka! Racun-racun dapat menjadi obat dan menjadi senjata, dan keadaan yang penuh tantangan itu membuat mereka makin ulet dan kuat.

Namun perasaan kasihan yang timbul di hati Raja Han Gi Ong, yang terjadi ratusan tahun yang lalu, di jaman Kerajaan Tang menguasai Tiongkok (618-905) ternyata mendatangkan bencana karena setelah keluarga Pulau Neraka menjadi kuat, mulailah mereka merongrong kewibawaan kerajaan kecil Pulau Es! Sering kali terjadi perang di antara mereka.

Demikianlah sekelumit riwayat Pulau Neraka yang penghuninya adalah orang-orang buangan dari Pulau Es yang ketika itu masih merupakan sebuah kerajaan kecil. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, maka yang ia ceritakan kepada kedua orang Lama Tibet hanyalah kulitnya saja. Kini perhatian mereka kembali teralih kepada jalannya pertandingan antara Bhe Ti Kong melawan seorang anak buah Pulau Neraka yang bermuka biru muda yang amat hebat kepandaiannya itu.

Sementara itu, Bun Beng yang tadi dilontarkan oleh pedang Si Muka Biru terlempar dan terbanting jatuh ke atas tanah. Karena tubuhnya terlatih, ia cepat menggelinding, lalu meloncat bangun. Tiba-tiba ia merasa pundaknya dicengkeram orang dan ketika ia mengangkat muka, kiranya panglima gemuk tadi telah menangkapnya kembali.

"Hemm, bocah kurang ajar, sekarang kau takkan kulepaskan lagi!" Cengkeraman pada pundak Bun Beng kuat sekali membuat anak itu menyeringai kesakitan.

"Lepaskan aku!" Bun Beng meronta, akan tetapi kini kedua lengannya malah dipegang oleh tangan kuat panglima gendut itu. Dia mencoba untuk menendang dan menggigit, akan tetapi sia-sia, panglima itu terlampau kuat baginya.

"Kalau engkau tidak mau diam, kutampar kepalamu!" Panglima itu menghardik. "Lihat ada pertandingan begitu menarik, kenapa kau ribut saja?"

Bun Beng seorang anak yang berani, akan tetapi juga cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menggunakan kekerasan memberontak, tidak mungkin ia dapat membebaskan diri. Maka ia berhenti meronta dan matanya menyapu ke depan. Semua orang memperhatikan jalannya pertandingan, hanya ada seorang wanita yang memandang ke arahnya.

Ia mengenal wanita itu sebagai wanita cantik yang tadi dipanggil Ketua Thian-liong-pang, seorang wanita cantik jelita yang bersikap gagah namun berwajah dingin seolah-olah pertandingan antara Panglima Mancu dan tokoh Pulau Neraka itu merupakan hal yang menjemukan. Ah, wanita itu betapa pun juga tentu mempunyai perasaan yang lebih halus dari pada orang-orang lain yang aneh ini, pikir Bun Beng. Agaknya dia mau menolongku dari ancaman maut di tangan koksu.

Akan tetapi dia harus dapat membebaskan diri lebih dulu. Berteriak-teriak minta tolong kepada wanita itu merupakan hal yang amat memalukan, juga mana mungkin wanita yang tak dikenalnya itu mau menolongnya? Dan selain wanita Thian-liong-pang itu, siapa lagi mau menolongnya? Mengharapkan pertolongan dari orang-orang Pulau Neraka sama dengan mengharapkan pertolongan sekumpulan setan. Tadinya ketika ia menyerang Panglima Bhe, yang sedikit banyak membantu orang Pulau Neraka muka biru, Si Muka Biru itu malah melemparkannya.

Pandang mata Bun Beng mencari-cari dan diam-diam dia mengeluh karena pulau kecil itu kini tidak seramai tadi. Orang yang dicari-carinya tidak ada. Dia mencari lima orang tokoh Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng-suheng-nya, yaitu Siauw-lim Ngo-kiam yang tadi dikalahkan oleh Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu kalau saja tidak dibantu oleh gurunya yang kini telah tewas. Tadi dia masih melihat lima orang Siauw-lim-pai itu, akan tetapi kini mereka telah pergi, seperti yang lain-lain karena banyak tokoh kang-ouw menjadi segan untuk berdiam lebih lama di situ setelah Koksu Negara bersama rombongannya mendarat di pulau.

Dan memang, lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu telah pergi sehingga mereka tidak tahu bahwa supek mereka, Siauw Lam Hwesio, telah tewas di tangan koksu dan kawan-kawannya secara mengerikan sehingga jenazahnya pun lenyap tak meninggalkan bekas! Biar pun mereka tadi belum kalah, akan tetapi sebagai orang-orang gagah, Siauw-lim Ngo-kiam sudah mengakui keunggulan Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu, maka begitu mereka ditegur supek mereka yang menyelamatkan mereka, mereka diam-diam lalu pergi dari tempat itu.

Juga banyak tokoh-tokoh yang mewakili partai-partai besar meninggalkan tempat itu. Selain segan berurusan dengan orang-orang aneh berkepandaian seperti orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Thian-liong-pang, juga terutama sekali mereka enggan untuk bentrok dengan orang-orang pemerintah.

Ketika Bun Beng mencari-cari dengan pandang matanya, dia hanya melihat rombongan Thian-liong-pang yang hanya terdiri lima orang dipimpin oleh wanita tadi, sepuluh orang anggota Pulau Neraka, serta rombongan Koksu yang diikuti pasukan pengawal. Ada pun beberapa orang tokoh yang mewakili partai-partai persilatan, hanya masih ada beberapa orang yang belum pergi, namun mereka itu bersikap hati-hati dan hanya ingin menonton dari tempat agak jauh, agaknya jeri dan sungkan terlibat.

Dengan demikian, kini yang masih kelihatan bersikap tidak mau kalah hanya tinggal tiga rombongan, yaitu rombongan Thian-liong-pang yang belum turun tangan, rombongan Pulau Neraka yang seorang di antara tokohnya masih bertanding mati-matian dengan seorang panglima dari rombongan orang pemerintah.

Tidak ada harapan, pikir Bun Beng. Kecuali wanita Thian-liong-pang itu. Kalau saja ia dapat membebaskan diri....

Ia mengangkat muka memandang. Panglima gendut itu menonton pertandingan dengan sinar mata amat tertarik, akan tetapi tangan kanan yang mencengkeram kedua pergelangan tangan Bun Beng dan tangan kiri yang mencengkeram pundak amat kuatnya, sedetik pun tak pernah mengendur. Agaknya pertandingan antara kawannya melawan orang Pulau Neraka yang sudah keluar ususnya itu amat menegangkan hati panglima gendut ini sehingga Bun Beng melihat betapa perutnya yang gendut bergerak-gerak seirama dengan dengusan napasnya.

Tiba-tiba Bun Beng menggerakkan kakinya menggajul tulang kering panglima itu.

"Tukkk!"

Biar pun yang menendang hanya seorang bocah, akan tetapi karena tendangan itu keras sekali dan tepat mengenai tulang kering kaki, sedangkan panglima itu sedang tertarik oleh pertandingan yang menegangkan, maka ia berteriak kesakitan dan menjadi kaget sekali. Akan tetapi ia hanya mengaduh-aduh mengangkat kakinya tanpa melepaskan cengkeramannya, bahkan lucunya, matanya masih tidak rela melepaskan pemandangan di depannya, yaitu pertandingan yang makin menegangkan.

Pada saat itu memang pertandingan antara Bhe Ti Kong dan Si Muka Biru dari Pulau Neraka amat menegangkan hati dan mengerikan. Baju Si Muka Biru sudah basah oleh darah, mukanya makin pucat, akan tetapi gerakannya makin hebat. Ketika tombak Bhe Ti Kong menyambar, ia menangkis dengan pedangnya, disusul hantaman tangan kiri amat kerasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan Bhe Ti Kong yang memegang tombak. Bhe Ti Kong berteriak kaget, tombaknya terlepas dan saat itu, pedang Si Muka Biru menyambar lehernya!

Bhe Ti Kong berseru keras, membuang tubuhnya ke belakang, akan tetapi tetap saja ujung pedang menyerempet pundaknya sehingga baju di pundaknya berikut kulit dan daging terobek. Panglima ini terus menggelundung, namun pedang itu sudah berkelebat lagi, karena Si Muka Biru sudah meloncat dan mengejar lalu menerjang tubuh lawan yang masih bergulingan.

"Aihhhh...!" Si Muka Biru tiba-tiba menjerit dan robohlah dia dengan pedang masih di tangan, matanya mendelik dan ia melepaskan napas terakhir dalam keadaan tubuh menegang kaku dan mata melotot. Kiranya ususnya telah putus oleh berkelebatnya pedangnya sendiri! Ketika tadi ia mengejar, ia begitu bernapsu untuk membunuh lawan sehingga ketika memutar pedang, ia lupa akan usus yang ia kalungkan di lehernya. Pedangnya menyerempet ususnya sendiri sehingga ia tewas dan nyawa Bhe Ti Kong tertolong.

Si Panglima Gendut sedemikian girang dan tegangnya sehingga biar pun rasa tulang keringnya masih amat nyeri, ia lupa dan bersorak girang.

"Addd... duhhhh...!" Kini ia menjerit karena perutnya terasa perih.

Kiranya Bun Beng menjadi gemas dan marah. Karena tidak dapat memukul, dia telah menggunakan giginya untuk menggigit kulit perut yang gendut itu sekuat tenaga. Si Panglima Gendut kaget sekali. Sesaat dia lupa hingga melepaskan cengkeramannya, menggunakan tangan kiri menekan perut dan tangan kanan menampar Bun Beng.

"Plakkk...!" Tamparan yang keras membuat tubuh Bun Beng terpelanting, namun biar kepalanya terasa pening dan nyeri, Bun Beng yang merasa bahwa dia bebas, cepat meloncat dan lari sekuatnya dengan loncatan-loncatan jauh ke arah wanita Thian-liong-pang.

"Heee! Lari ke mana kau, bocah setan?" Panglima gendut mengejar dengan langkah panjang.

Dengan pandang mata masih berkunang Bun Beng menjatuhkan diri berlutut di depan wanita Thian-liong-pang sambil berkata, "Enci yang baik, Enci yang cantik jelita dan gagah perkasa, mohon lindungi aku dari Si Gendut jahat!"

Wanita itu memandang Bun Beng dengan sinar mata dingin, tetapi bibirnya tersenyum sedikit. Agaknya, betapa pun aneh watak seseorang, dia tidak akan terhindar dari sifat dan watak aslinya. Wanita ini pun, biar sudah menjadi tokoh Thian-liong-pang yang luar biasa, tetap saja seorang wanita yang paling senang mendengar pujian. Biar pun yang menyebutnya sebagai enci yang cantik jelita, enci yang baik dan yang gagah perkasa hanya seorang bocah, namun bocah itu adalah seorang laki-laki dan di situ terdapat banyak orang yang mendengar pujian itu. Hati siapa takkan merasa senang?

Wanita ini merupakan salah seorang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang, biar pun kedudukannya hanyalah sebagai kepala pelayan wanita. Dia memang cantik jelita, dengan mata yang bening dan tajam sinarnya, hidung mancung dan mulut kecil mungil dengan bibir yang manis. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas, sisanya masih panjang dibiarkan berjuntai ke bawah. Pakaiannya dari sutera halus berwarna merah muda dengan baju luar biru, bentuknya ringkas dan ketat membayangkan tonjolan-tonjolan tubuh yang padat menggairahkan, tubuh seorang wanita yang sudah masak. Sepatunya dari kulit dan ujungnya dihias dengan logam putih.

Namun wanita itu pun agaknya tidak mau bermusuhan dengan seorang panglima kerajaan hanya karena seorang anak laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali, maka ia menggerakkan alisnya, gerakan yang dimaksudkan untuk menambah kemanisan wajahnya dan memang maksud ini berhasil, sambil berkata dingin.

"Bocah, mengapa aku harus mencampuri urusanmu? Pergilah!" Sambil berkata demikian, wanita itu menggerakkan tangan kirinya mengusir.

Pada waktu itu panglima gendut datang menubruk dan agaknya Bun Beng tentu akan tertangkap kembali. Namun gerakan tangan wanita itu mendatangkan angin dahsyat yang membuat tubuh Bun Beng terlempar seperti daun kering tertiup angin sehingga tubrukan panglima gendut itu luput dan ia menubruk tanah. Oleh karena dia tadi sudah memastikan bahwa anak itu pasti dapat ditangkapnya, maka ketika tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap, ia terbanting ke atas tanah dengan perut gendutnya lebih dulu.

"Ngekk!" Panglima itu meringis. Napasnya menjadi sesak, akan tetapi kemarahannya meluap. Dia tidak tahu bahwa wanita Thian-liong-pang itu yang menolong Bun Beng, mengira bahwa bocah itu telah mengelak maka ia meloncat bangun sambil memaki.

"Anak Setan! Kuberi tamparan sampai telingamu berdarah kalau sampai tertangkap nanti!"

Ia mengejar lagi dan kini Bun Beng sudah lari ke arah rombongan orang-orang Pulau Neraka untuk minta bantuan.

"Mohon bantuan para Taihiap dari Pulau Neraka agar aku tidak diganggu Si Gendut itu!"

Akan tetapi rombongan Pulau Neraka yang hanya tinggal sembilan orang dan yang merasa marah sekali karena kehilangan dua orang kawan, tidak mempedulikan Bun Beng sehingga bocah ini terpaksa lari lagi dikejar-kejar Si Panglima Gendut. Panglima ini bukan orang sembarangan, memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi karena perutnya terlalu besar dan ia jarang latihan berlari, kini benar-benar kewalahan mengejar-ngejar seorang anak yang lincah seperti Bun Beng.

Mulailah orang gendut ini melakukan serangan pukulan jarak jauh yang membuat Bun Beng beberapa kali roboh terguling, akan tetapi masih sempat mengelak dan meloncat terus lari lagi setiap kali ditubruk. Kini Bun Beng yang menjadi sibuk sekali dan hampir ia tertangkap kalau saja anak ini tidak mempunyai kenekatan luar biasa sehingga biar pun kulit tubuhnya sudah babak belur, tetap saja ia dapat menghindarkan diri dari tangkapan panglima gendut.

Tiba-tiba sebuah akal menyelinap di otaknya. Sebetulnya dia tidak ingin menggunakan akal ini, tidak ingin memperkenalkan diri. Akan tetapi baginya, lebih baik terjatuh ke tangan Thian-liong-pang atau Pulau Neraka dari pada menjadi korban kekejian koksu yang dibencinya itu. Maka meloncatlah Bun Beng ke dekat wanita Thian-liong-pang, menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu sambil berseru.

"Harap bantu aku! Aku adalah anak yang dahulu kalian perebutkan di kuil tua di lembah Sungai Fen-ho lima tahun yang lalu!"

Mendengar ini semua anggota Thian-liong-pang dan anak buah Pulau Neraka lalu memandang penuh perhatian, bahkan wanita cantik Thian-liong-pang itu melangkah maju sambil mengeluarkan suara terheran.

"Kau... kau she apa?"

"Aku she Gak, aku Gak Bun Beng, Ayahku Gak Liat dan ibuku Bhok Kim..."

Pada saat itu panglima gendut meloncat datang dan menubruk, akan tetapi wanita itu mengibaskan tangannya membentak, "Pergilah!"

Tubuh panglima gendut yang masih melayang datang ketika menubruk itu tiba-tiba tartahan dun terbanting ke bawah.

“Brukkk!” Ia terengah-engah dan setengah kelengar (pingsan) karena napasnya sesak. Sambil mengeluh ia merangkak bangun, membusungkan dada dan membentak.

"Nyonya... eh, Nona...." Ia tergagap, tidak tahan menentang pandang mata yang tajam dan sikap yang dingin itu, bingung tidak tahu apakah wanita cantik ini sudah bersuami ataukah masih gadis. "Kau tidak boleh membelanya, dia adalah tawanan Koksu!"

"Tidak peduli! Engkau tidak boleh menyentuhnya!" Wanita itu berkata, suaranya dingin menantang.

"Apa? Kau berani menentang Koksu?" Panglima gendut yang merasa malu karena terbanting tadi membentak, mengandalkan nama koksu.

"Aku tidak menentang siapa-siapa. Akan tetapi seorang yang telah berlindung kepada Thian-liong-pang, tidak boleh diganggu siapa pun juga," wanita itu berkata dan jelas bahwa dia masih merasa segan untuk bermusuh dengan koksu maka mempergunakan alasan yang telah menjadi peraturan Thian-liong-pang, atau secara halus ia berlindung di balik nama perkumpulannya.

Pada saat itu terdengar pekik mengerikan sehingga semua orang menoleh dan sempat melihat dua orang pengawal roboh terguling dengan tubuh hangus begitu tangan mereka menyentuh mayat tokoh Pulau Neraka bermuka biru. Pengawal lain melompat dekat dan terdengar bentakan koksu, "Jangan sentuh!"

Kiranya kedua orang pengawal tadi hendak menyingkirkan mayat itu atas perintah komandannya sebab adanya mayat di tengah-tengah itu selain memberi pemandangan yang tidak sedap juga akan menghalangi gerakan mereka kalau tiba saatnya turun tangan. Akan tetapi begitu kedua orang pengawal itu menyentuh tubuh mayat Si Muka Biru dari Pulau Neraka, seketika mereka roboh dan tewas dan tubuh mereka mereka menjadi hangus! Bukan main tokoh Pulau Neraka ini, sudah menjadi mayat masih mampu membunuh dua orang lawan! Hal ini adalah karena racun yang terkandung di tubuhnya dan membuktikan betapa hebat kepandaian orang-orang Pulau Neraka.

Wajah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi merah karena marah. Dia melangkah lebar, menuangkan benda cair berwarna putih perak dari guci ke atas tiga buah mayat itu.

"Jangan ganggu jenazah Suheng kami!" Dua orang bermuka biru tua dari rombongan Pulau Neraka berteriak sambil bergerak maju.

Akan tetapi sekali mengibaskan ujung lengan bajunya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membuat dua orang Pulau Neraka itu jatuh terlentang seperti disambar petir dan pemimpin mereka yang bermuka hijau pupus membentak mereka mundur. Sambil menyeringai dan mengatur napas kedua orang itu mundur. Sementara itu, tiga buah mayat kini telah mulai mencair dimakan benda cair yang luar biasa itu, yaitu racun penghancur mayat.

"Taijin, bocah itu dilindungi oleh orang-orang Thian-liong-pang!" Panglima gendut memberi hormat kepada koksu sambil sambil menuding ke arah wanita yang tadi menghalangi dia menangkap Bun Beng.

Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun mengerutkan alisnya dan perlahan memutar tubuh, dari kerongkongannya terdengar dengus marah, "Huhhh...?!"

Semua anak buah pasukan koksu kini ikut memandang ke arah rombongan Thian-liong-pang dan mereka semua melihat sebuah pemandangan yang aneh. Kiranya kini sembilan orang anak buah Pulau Neraka juga sudah mengurung lima orang Thian-liong-pang itu dengan sikap mengancam. Akan tetapi, wanita cantik yang memimpin empat orang temannya sama sekali tak peduli dan mereka berlima sedang mengurung Bun Beng sambil membujuk dan mendesak anak itu.

"Gak Bun Beng, engkau telah menjadi calon anggota termuda Thian-liong-pang. Memang Pangcu (Ketua) menghendaki demikian, maka sekarang bersumpahlah engkau menurut peraturan Thian-liong-pang agar engkau syah menjadi anggota kami! Engkau berikan lengan kananmu untuk kucacah dengan lukisan naga Thian-liong dan engkau harus mengucapkan sumpah mengikuti aku!" Wanita cantik itu sudah mengeluarkan sebatang jarum sambil memegang lengan kanan Bun Beng. Seorang anggota lain menyingsingkan lengan baju Bun Beng.

"Tidak...! Aku tidak mau menjadi anggota Thian-liong-pang!" Bun Beng berteriak dan meronta, hendak menarik kembali lengannya, akan tetapi mana ia mampu bergerak dari pegangan wanita sakti itu? Teriakannya mengejutkan lima orang Thian-liong-pang dan wanita itu menghardik.

"Kalau begitu mengapa engkau minta perlindungan kami?"

"Aku... aku hanya minta bantuan agar tidak diganggu panglima gendut, sama sekali tidak ingin menjadi anggota..."

"Engkau harus menjadi anggota kami, mau atau tidak!" Wanita itu membentak.

"Tidak... tidak... mana ada aturan memaksa seperti ini? Aku tidak mau!"

"Ha-ha-ha-ha. Thian-liong-pang kiranya hanyalah perkumpulan tukang menakuti anak kecil." Tiba-tiba pemimpin rombongan Pulau Neraka yang hijau pupus warna kulitnya tertawa mengejek. Dia seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, menjadi pemimpin rombongannya dan melihat warna kulitnya yang paling muda di antara kawan-kawannya, dapat diduga bahwa dia mempunyai kepandaian yang paling lihai. Sikapnya halus, suaranya halus dan pakaiannya seperti sasterawan!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menggetarkan semua orang. Yang tertawa adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, koksu dari Kerajaan Mancu yang sudah menghampiri tempat itu. Diam-diam rombongan Pulau Neraka dan Thian-liong-pang terkejut karena mereka maklum bahwa kakek itu benar-benar memiliki tenaga sakti yang sangat hebat sehingga untuk melindungi jantung mereka terpaksa harus mengerahkan tenaga sakti melawan pengaruh getaran yang ditimbulkan oleh suara ketawa itu.

"Ha-ha-ha-ha! Sungguh kebetulan sekali! Anak ini sudah menjadi tawananku sejak tadi, akan tetapi agaknya kini kalian dan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka hendak memperebutkannya pula. Baiklah, bukankah kita berkumpul sebagai orang-orang gagah? Kalau mengadu ilmu tanpa taruhan, sungguh kurang seru dan tidak menarik. Biarlah bocah ini dijadikan taruhan di antara kita tiga rombongan! Setiap rombongan mengajukan dua orang jago dan siapa di antara kita yang jago-jagonya keluar sebagai pemenang berhak memiliki bocah ini. Siapa yang tidak setuju?" Ucapan kalimat terakhir ini mengandung ancaman dan seluruh urat syaraf di tubuh koksu ini sudah menegang karena sebuah kata-kata manentahg saja sudah cukup baginya untuk turun tangan membunuh orangnya!

Dalam keadaan seperti itu, rombongan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka maklum bahwa menentang tidak menguntungkan pihaknya. Mereka sedang berebut dan menghadapi pihak lawan ini saja sudah berat, apa lagi kalau sampai rombongan karajaan itu membantu lawan! Dari pada menderita kekalahan yang sudah pasti, lebih baik menerima usul itu karena mereka percaya bahwa ucapan yang keluar dari mulut koksu kerajaan ini, yang didengar banyak telinga, tentu dapat diperacaya sepenuhnya.

"Baik, kami setuju!" Wanita cantik Thian-liong-pang berkata.

"Kami setuju!" kata pula Si Muka Hijau dari Pulau Neraka. "Kami mengajukan dua orang jago, aku sendiri dan Sute-ku ini!" Seorang tinggi besar seperti raksasa yang mukanya juga hijau, akan tetapi sedikit lebih tua warnanya dari pada pemimpin rombongan, meloncat keluar.

Wanita cantik Thian-liong-pang tersenyum dan ia melangkah ke depan. "Aku adalah pemimpin rombongan Thian-liong-pang dan oleh Pangcu sendiri aku diberi kuasa untuk mewakili beliau. Karena itu, aku seoranglah yang bertanggung jawab dan biarlah kami dari pihak Thian-liong-pang hanya mengajukan seoreng jago saja, yaitu aku sendiri."

"Ahh, mana bisa begitu? Kalau hanya seorang jago, dia harus berani menghadapi dua orang lawan sekaligus!" Si Muka Hijau mencela.

Wanita itu tersenyum mengejek. "Melihat warna kulit kalian, tentu kalian sudah memiliki kedudukan di Pulau Neraka dan dihitung dari tingkatan, kiranya aku masih tinggi beberapa tingkat dari kalian, maka tentu saja aku tidak keberatan untuk melawan kalian berdua sekaligus!"

Dua orang Pulau Neraka itu menjadi marah dan memandang dengan mata melotot karena ucapan wanita Thian-liong-pang itu sungguh merendahkan sekali. Akan tetapi sebagai orang-orang berkepandaian mereka pun menduga bahwa wanita itu tentu amat lihai, kalau tidak demikian, tentu tidak akan berani bersikap sesombong itu.

"Ha-ha-ha-ha, benar-benar Cu-wi pa-ra wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang amat gagah dan mengagumkan. Biarlah aku mengajukan dua orang jago kami, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dengan demikian, dua orang jagoku sekaligus dapat menghadapi dan melayani wakil-wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Thian Tok Lama melayani dua orang gagah dari Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama berpibu melawan wanita gagah dari Thian-liong-pang. Tentu ramai sekali. Siapa yang nanti keluar sebagai pemenang, boleh membawa pergi dan memiliki bocah itu."

Ucapan ini merupakan perintah bagi kedua orang pendeta Lama dari Tibet, maka mereka sudah melangkah maju dan siap menghadapi lawan. Thian Tok Lama yang gendut sudah menghampiri dua orang jago Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama yang bertubuh kurus dan bermata tajam menghampiri wanita Thian-liong-pang. Sementara itu Bun Beng yang dibiarkan bebas melangkah mundur-mundur tanpa ada yang mempedulikan karena semua orang tahu bahwa anak itu tidak akan dapat pergi dari pulau itu.

Bun Beng mendekati tebing dan memandang ke bawah. Ia bergidik. Sekeliling pulau kecil itu telah dikurung oleh perahu-perahu sehingga ke mana pun ia pergi, ia akan berhadapan dengan anak buah mereka. Satu-satunya bagian yang tidak terjaga perahu hanyalah bagian di mana air sungai bertemu dengan air laut dan membentuk pusaran air yang amat mengerikan, yang tadi telah menghancurkan tubuh seorang anggota Pulau Neraka dan disebut air pusaran maut. Bun Beng berdiri dengan muka pucat dan membalikkan tubuh menonton pertempuran yang telah dimulai.

Pertempuran yang amat dahsyat. Semua orang yang berada di pulau berdiri tegak dan menonton dengan hati tegang, jarang berkedip agar tidak kehilangan sebagian kecil pun dari pertandingan yang menegangkan itu. Yang bertanding adalah tokoh-tokoh sakti yang memiliki kepandaian aneh dan tinggi sekali.

Dua orang tokoh Pulau Neraka bermuka hijau itu telah bertanding melawan Thian Tok Lama, menghadapi pendeta gundul itu dari kanan kiri. Gerakan mereka aneh sekali dan kedua orang itu agaknya bersilat dengan membentuk tin (barisan) karena gerakan mereka teratur dan saling membantu dengan tepat sekali. Kalau pimpinan rombongan Pulau Neraka menyerang dari atas, sute-nya yang tinggi besar itu menerjang dari bawah dan kalau Thian Tok Lama menyerang yang satu, yang lain tentu cepat membantu kawan.

Biar pun maklum bahwa pendeta Tibet itu sakti sekali, ternyata dua orang tokoh Pulau Neraka ini memiliki keangkuhan sebagai jago-jago kelas tinggi. Buktinya, ketika melihat bahwa Thian Tok Lama maju tanpa senjata, mereka berdua pun tidak menggunakan senjata, hanya menyerang dengan tangan kosong. Tetapi bukan tangan sembarangan, karena kini tangan mereka telah berubah menjadi senjata yang sangat ampuh, mengandung hawa beracun dan mengeluarkan uap kehijauan! Dengan dua pasang tangan beracun yang aneh itu, dua orang Pulau Neraka melancarkan serangan-serangan dahsyat dari kanan kiri secara bertubi-tubi dan bergantian.

Thian Tok Lama bukanlah seorang tokoh biasa. Sama sekali bukan. Dia adalah seorang tokoh besar dari Tibet yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Bersama Thai Li Lama yang menjadi sute-nya, dia telah menjagoi selama puluhan tahun di dunia barat dan telah mempelajari bermacam-macam ilmu yang aneh-aneh.

Maka begitu melihat gerakan kedua orang lawannya, tahulah ia bahwa tangan mereka itu mengandung racun yang amat aneh, amat berbahaya dan yang ia duga hanya terdapat di Pulau Neraka, maka tidak boleh dipandang ringan karena kalau tidak mempunyai obat penawarnya, sekali terluka oleh tangan itu dapat mendatangkan maut. Maka hwesio Tibet ini pun berlaku hati-hati, tidak mau mengadu tangan dengan kedua orang lawannya dan menghadapi penyerangan mereka dengan elakan-elakan atau dengan kibasan kedua lengan bajunya yang mengeluarkan angin kuat sekali menolak setiap serangan lawan.

Betapa pun juga, karena terlalu hati-hati tentu saja Thian Tok Lama menjadi terdesak, lebih banyak bertahan dari pada menyerang. Setelah bertanding lebih dari tiga puluh jurus, Thian Tok Lama maklum bahwa dalam ilmu silat mau pun tenaga sinkang dia tidak perlu khawatir karena tingkatnya masih lebih tinggi, akan tetapi karena dia jeri terhadap racun di tangan kedua lawannya, maka kelebihannya tertutup dan dia terdesak.

Tiba-tiba pendeta Lama yang gendut ini mengeluarkan suara gerengan yang keluar dari dalam perutnya, kemudian ia mengibaskan kedua lengan bajunya dengan keras sekali sambil memutar tubuhnya. Dengan demikian, kedua lengan bajunya menyambar seperti kitiran, memaksa kedua lawannya untuk melangkah mundur karena biar pun hanya kain, diputar dengan tenaga sakti yang dimiliki Thian Tok Lama, mengenai batu karang pun dapat hancur!

Begitu kedua lawannya mundur, Thian Tok Lama lalu merendahkan tubuhnya, menggerakkan tangan kanannya ke atas dan ke bawah, perutnya mengeluarkan bunyi seperti kokok ayam bertelur.

"Kok-kok-kok-kok!"

Dan tangan kanannya kini berubah menjadi biru! Ketika ia mendorongkan tangan kanannya itu ke depan, angin dahsyat menyambar disertai hawa panas dan uap hitam menerjang kedua orang lawannya.

"Aihhh!" Dua orang tokoh Pulau Neraka terkejut sekali dan cepat meloncat tinggi ke atas untuk menghindarkan pukulan dahsyat itu sambil balas memukul.

Kini Thian Tok Lama dapat membalas sehingga mereka saling serang makin hebat dan kesudahannya ternyata mambuat keadaan menjadi terbalik karena kini kedua orang Pulau Neraka itulah yang terdesak hebat dan sibuk menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan dahsyat Thian Tok Lama. Pendeta Lama yang gendut ini sudah menggunakan ilmu pukulannya yang amat ampuh, yaitu Hek-in-hui-hong-ciang, yaitu pukulan yang didasari tenaga sakti dan ilmu hitam sehingga pukulan itu mengeluarkan uap hitam dan angin berpusing mengandung getaran-getaran dahsyat yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar