Kuil tua itu berdiri di tepi Sungai Fen-ho, di lembah antara Pegunungan
Tai-hang-san dan Lu-liang-san, di sebelah selatan kota Taigoan. Sunyi
sekali keadaan di sekitar tempat itu, sunyi dan gelap sehingga kuil yang
amat kuno dan sudah bobrok itu cocok sekali dengan keadaan alam yang
sunyi dan liar di sekelilingnya. Biasanya, kuil ini kosong dan bagi yang
percaya, tempat seperti itu paling cocok menjadi tempat tinggal setan
iblis dan siluman.
Akan tetapi, pada sore hari itu keadaan di sekeliling kuil tampak amat
menyeramkan karena ada bayangan-bayangan yang berkelebatan. Begitu cepat
gerakan bayangan-bayangan itu sehingga agaknya iblis-iblis sendiri yang
sedang sibuk mengadakan persiapan sesuatu. Akan tetapi kalau
diperhatikan, bayangan-bayangan itu sama sekali bukanlah setan melainkan
manusia-manusia, sungguhpun manusia-manusia yang menyeramkan karena
mereka yang berjumlah lima orang itu bertubuh tinggi besar, bersikap
kasar dan berwajah liar. Gerakan mereka tidak seperti orang biasa,
karena selain cepat juga membayangkan kekuatan yang jauh lebih dari pada
manusia-manusia biasa. Golok besar yang terselip di punggung dan golok
lima orang tinggi besar itu menandakan bahwa mereka adalah orang-orang
yang sudah biasa mempergunakan kekerasan mengandalkan ilmu silat dan
senjata mereka.
Memang sesungguhnyalah bahwa lima orang tinggi besar ini bukan
orang-orang sembarangan. Mereka adalah lima orang bajak laut yang sudah
terkenal bertahun-tahun lamanya menjadi setan sungai Fen-ho. Kepandaian
mereka amat tinggi karena mereka ini yang berjuluk Fen-ho Ngo-kwi (Lima
Iblis Sungai Fen-ho) adalah anak buah yang sudah menerima gemblengan
dari mendiang Kang-thouw-Kwi Gak Liat, datuk iblis yang terkenal dengan
nama poyokan Setan Botak itu! Sejak tadi lima orang ini berkelebatan di
sekitar kuil tua, seperti hendak menyelidiki keadaan kuil yang sunyi dan
kelihatan kosong itu.
"Twako, tidak kelirukah kita? Apakah benar kuil ini yang dimaksudkan
dalam pesan Gak-locianpwe?" Tiba-tiba seorang di antara mereka, yang
mempunyai tahi lalat besar di dagunya, bertanya kepada orang tertua di
antara mereka yang matanya besar sebelah.
"Tidak salah lagi," jawab orang tertua Fen-ho Ngo-kwi yang usianya
kurang lebih lima puluh tahun itu sambil memandang ke arah kuil tua.
"Satu-satunya kuil tua di tepi Sungai Fen-ho di daerah ini hanya satu
inilah. Akan tetapi sungguh heran, mengapa kelihatan sunyi dan kosong?"
"Lebih baik kita serbu saja ke dalam!" kata Si Tahi Lalat sambil mencabut goloknya.
Twako-nya mengangguk dan mereka semua sudah mencabut golok, bersiap
untuk menyerbu. Pimpinan rombongan itu menggerakkan tangan kepada
adik-adiknya dan berkata, "Kau masuk dari pintu belakang, dan kau dari
jendela kiri, kau dari jendela kanan, seorang menjaga di luar dan aku
yang akan menerjang dari pintu depan!" Mereka berpencar, gerakan mereka
gesit dan ringan sekali. Kuil itu telah dikurung. Pemimpin itu memberi
isarat dengan tangan dan mereka menyerbu memasuki kuil dari empat
jurusan.
Tiba-tiba tampak sinar-sinar hitam menyambar dari depan dan belakang
kuil. Sinar-sinar hitam ini adalah senjata-senjata rahasia berbentuk
bintang terbuat dari baja. Lima orang tinggi besar kaget sekali, cepat
menggerakkan golok mereka menangkis.
"Cring-cring-tranggg...!"
Terdengar suara nyaring dan golok mereka itu patah semua, disusul suara
jerit lima orang itu yang tak dapat lagi menghindarkan diri dari
sambaran senjata-senjata rahasia bintang yang luar biasa kuatnya itu.
Mereka roboh dengan dahi pecah karena masing-masing terkena senjata
rahasia yang menancap di antara alis mereka. Tubuh mereka berkelojotan,
mulut mereka mengeluarkan suara mengorok dan akhirnya tubuh mereka
berhenti bergerak, tak bernyawa lagi. Hanya darah mereka yang bergerak
mengucur keluar dari dahi!
Dari belakang dan depan kuil berlompatan keluar dua orang kakek sambil
tertawa-tawa. Dilihat keadaan mereka yang bertubuh kurus seperti kurang
makan, pantasnya mereka adalah orang-orang yang lemah. Namun, dengan
senjata rahasia sekali lepas dapat merobohkan dan menewaskan lima orang
bajak Fen-ho Ngo-kwi menjadi bukti bahwa dua orang ini tentu orang-orang
yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Begitu mudahnya mereka
membunuh anak buah dan juga murid-murid mendiang datuk sesat
Kang-thouw-kwi, benar-benar sukar dipercaya!
"Heh-heh, Sute, orang-orang kasar macam ini berani bersaing dengan kita!
Sungguh menjemukan!" kata kakek yang mukanya begitu kurus sehingga
seperti tengkorak dibungkus kulit tipis saja. Ia bertolak pinggang
memandang mayat-mayat para bajak setelah melompat dengan gerakan seperti
terbang cepatnya.
Kakek ke dua yang tadi bersembunyi di belakang kuil juga melompat cepat
dan ia membelalakkan kedua matanya yang begitu sipit sehingga ia
kelihatan selalu tidur memejamkan mata. "Tentu masih ada lagi saingan
lain, Suheng. Bukankah Pangcu berpesan agar kita hati-hati? Pesanan itu
menandakan bahwa di sini tentu terdapat banyak lawan pandai." katanya,
juga bertolak pinggang. Tampak pada lengan kanan kedua orang kakek ini
lukisan kecil berbentuk naga yang agaknya dicacah pada kulit lengan
mereka.
"Heh-heh, Sute! Siapa sih orangnya yang berani menentang
Thian-liong-pang? Selama negeri dalam perang, kita tidak bergerak akan
tetapi memupuk kekuatan sehingga kalau partai-partai lain hancur dan
rusak oleh perang, partai kita malah makin kuat. Kini tibalah saatnya
Thian-liong-pang memperlihatkan taringnya! Pangcu menginginkan bocah
itu, siapa yang akan berani menentang?"
Si Mata Sipit mengangguk-angguk. "Engkau benar, Suheng. Keinginan Pangcu
kita merupakan keputusan yang tak boleh ditentang siapa pun juga. Yang
menentangnya berarti mati, seperti lima orang kasar ini.
Thian-liong-pang adalah partai terbesar dan terkuat di dunia untuk masa
kini."
"Awas, Sute...!" Tiba-tiba Si Muka Tengkorak berseru, dan keduanya cepat
mengelak dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan karena
secara tiba-tiba sekali ada enam buah hui-to (golok terbang) yang kecil
akan tetapi yang menyambar amat cepat dan kuatnya, masing-masing tiga
batang menyambar ke arah leher, ulu hati, dan pusar mereka! Jalan
satu-satunya hanya mengelak seperti yang mereka lakukan tadi karena
sungguh amat berbahaya sekali untuk menyambut hui-to-hui-to yang
meluncur secepat itu.
Dua orang anggauta Thian-liong-pang itu amat lihai, sambil bergulingan
mereka menggerakkan tangan dan meluncurlah sinar-sinar hitam dari
senjata rahasia bintang mereka ke arah datangnya hui-to tadi. Senjata
rahasia mereka itu tadi sudah terbukti keampuhannya ketika merobohkan
lima orang Fen-ho Ngo-kwi. Akan tetapi betapa terkejut hati mereka
ketika melihat betapa enam buah hui-to yang luput menyerang mereka tadi
kini terbang kembali amat cepatnya dan dari samping enam golok kecil itu
menyambari bintang-bintang mereka.
Terdengar suara keras disusul bunga api berhamburan dan enam batang
golok kecil bersama bintang-bintang baja itu runtuh semua ke atas tanah.
Biar pun dua orang anggauta Thian-liong-pang yang terkejut menyaksikan
ini, namun hati mereka lega bahwa bintang-bintang baja mereka ternyata
tidak kalah kuat sehingga hui-to-hui-to itu pun runtuh, tanda bahwa
tenaga mereka tidak kalah oleh tenaga lawan yang belum tampak. Mereka
segera meloncat bangun dan Si Mata Sipit memaki.
"Keparat curang, siapa engkau?"
Dari balik rumpun muncullah seorang laki-laki dan seorang wanita sambil
tersenyum mengejek. Laki-laki itu usianya ada empat puluh tahun,
berjenggot dan kumisnya kecil panjang, bajunya berlengan lebar. Yang
wanita juga berusia empat puluh tahun lebih, rambutnya diikat dengan
saputangan sutera putih, juga lengan bajunya lebar. Yang amat mengerikan
pada dua orang ini adalah warna kulit mereka. Yang wanita kulitnya,
dari mukanya sampai kulit lengannya berwarna jambon kemerahan, sedangkan
yang laki-laki kulitnya berwarna ungu kebiruan! Sungguh sukar mencari
orang berkulit dengan warna seperti itu, seolah-olah kulit tubuh mereka
itu dicat! Yang luar biasa sekali, bukan hanya kulit, bahkan mata mereka
pun berwarna seperti kulit mereka!
"Ha-ha-ha, tidak salah, tidak salah! Kabarnya orang-orang
Thian-liong-pang sombong sekali, dan ternyata ucapan mereka besar-besar.
Ha-ha-ha!" Laki-laki berkulit ungu itu tertawa keras.
"Gentong kosong berbunyi nyaring, orang yang bodoh bermulut besar. Apa
anehnya?" Wanita berkulit jambon itu menyambung, bersungut-sungut dan
memandang kepada dua orang murid Thian-liong-pang dengan pandang mata
merendahkan.
Dua orang murid Thian-liong-pang itu memandang kepada mereka dengan mata
terbuka lebar. Yang menarik perhatian mereka adalah warna-warna kulit
laki-laki dan wanita itu. Kemudian Si Muka Tengkorak berkata, suaranya
masih membayangkan rasa kaget dan heran.
"Ji-wi... Ji-wi... dari Pulau Neraka...?"
Kini kedua orang laki perempuan itu yang terbelalak dan heran, lalu
mereka saling pandang. Kemudian laki-laki bermuka ungu itu menghadapi
kedua orang Thian-liong-pang dan menjura, "Ahh, kiranya Thian-liong-pang
memiliki mata yang tajam sekali. Pantas terkenal sebagai partai besar!
Kami tidak pernah turun ke dunia ramai, kini sekali muncul Ji-wi telah
dapat mengenal kami. Sungguh mengagumkan sekali!"
Dia lalu mengeluarkan suara yang aneh, nyaring sekali dan terdengar
seperti suara burung. Dari dalam hutan di belakangnya terdengar suara
siulan yang sama dan tak lama kemudian tampaklah belasan orang berlarian
datang ke tempat itu seperti terbang cepatnya. Setelah dekat, dua orang
Thian-liong-pang memandang dengan mata terbelalak karena kulit belasan
orang ini pun aneh sekali, delapan orang berkulit hitam dan delapan
orang pula berkulit merah tua!
Si Muka Tengkorak lalu bersuit nyaring dan dari sebelah belakangnya
muncul pula serombongan anak buah Thian-liong-pang yang berjumlah dua
puluh orang! Kedua rombongan kini berhadapan dengan sikap siap siaga
menanti perintah bertanding.
Akan tetapi, kakek muka ungu itu tertawa dan berkata lagi, "Ha-ha-ha,
kiranya Thian-liong-pang juga sudah siap! Tidak usah khawatir, kami
mendapat perintah agar tidak memancing pertempuran dengan pihak lain,
apa lagi dengan pihak Thian-liong-pang. Kami datang hanya untuk
menjemput anak yang berada di dalam kuil."
"Nanti dulu, sobat!" Si Muka Tengkorak berkata. "Kami pun menerima tugas
dari Pangcu (Ketua) kami untuk mengambil anak yang berada di dalam
kuil. Dan Thian-liong-pang tidak ingin bermusuhan, apa lagi dengan pihak
Ji-wi, karena sudah menjadi cita-cita Thian-liong-pang untuk bersahabat
dan menyatukan semua partai persilatan."
"Hemmm, bagus sekali omongan itu, akan tetapi apakah cocok dengan
buktinya? Kami melihat sendiri keganasan Sin-seng-ci (Peluru Bintang
Sakti) membunuh lima orang ini," Si Muka Ungu mencela.
Murid Thian-liong-pang mengangkat pundak dan mengerling ke arah mayat
lima orang Fen-ho Ngo-kwi dengan sikap tak acuh. "Mereka hanyalah
bajak-bajak sungai yang hina, tidak masuk hitungan. Apa lagi mereka itu
merupakan golongan yang patut dibasmi. Harap Ji-wi dapat mengerti dan
membedakan."
"Sudahlah!" Si Wanita bermuka jambon mencela. "Kami tidak peduli akan
semua urusan kalian. Kami datang hendak mengambil anak itu. Marilah
Suheng, kita lekas melaksanakan tugas!" Ia sudah bergerak maju hendak
memasuki kuil.
"Ehh, ehh, nanti dulu, Toanio!" Kini Si Mata Sipit maju menghalang.
"Terang bahwa Thian-liong-pang tidak ingin bermusuh, akan tetapi agaknya
dalam urusan ini di antara kita ada pertentangan. Kami pun bertugas
untuk mengambil bocah itu."
"Bagus! Jikalau demikian, kiranya hanya kekerasan yang akan dapat
membereskan pertentangan ini!" Wanita bermuka jambon itu membentak
lantang. Suheng-nya juga memandang marah dan enam belas orang anak buah
mereka semua sudah mencabut pedang.
"Srat-srat-sratttt!"
"Sing-sing-sing!" Dua puluh orang anak buah Thian-liong-pang juga sudah mencabut pedang dan golok.
Dua orang murid Thian-liong-pang itu kelihatan bingung, lalu mengangkat
tangan memberi isarat kepada pasukan mereka untuk mundur, kemudian Si
Muka Tengkorak menjura dan berkata kepada dua orang aneh yang mereka
anggap tokoh-tokoh dari Pulau Neraka itu.
"Harap Ji-wi menghindarkan pertempuran yang tidak perlu. Memang kita
semua sebagai utusan-utusan harus melaksanakan tugas kita, dan kita
masing-masing dua orang merupakan penanggung jawab yang tidak perlu
menarik anak buah dalam pertempuran."
"Hemm, maksudmu bagaimana?" tanya wanita bermuka jambon menantang.
"Kita mewakili partai-partai besar dan sekarang perselisihan ini dapat dibereskan secara orang-orang gagah."
"Maksudmu sebagai orang-orang gagah mengadu ilmu?" tantang Si Wanita.
"Begitulah. Kita dua lawan dua, siapa kalah harus mengalah dan memberikan anak dalam kuil kepada yang menang. Setuju?"
"Akur! Majulah!" Si Wanita menantang.
Dua orang Thian-liong-pang itu saling pandang, kemudian mengangguk. Si
Muka Tengkorak memandang ke sekeliling. Kedua pasukan sudah mundur jauh
dan setengah bersembunyi di dalam cuaca yang sudah mulai gelap. "Tempat
ini kurang lega untuk bertanding, biar kusingkirkan pohon-pohon ini!"
katanya dan ia menghampiri sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang.
Dengan gerakan seenaknya ia mendorong dan pohon itu tumbang,
mengeluarkan suara hiruk-pikuk.
"Benar, harus disingkirkan pohon-pohon ini!" kata Si Mata Sipit. Dia pun
menghampiri sebatang pohon, melakukan dorongan seperti suheng-nya.
Sebentar saja enam batang pohon sudah mereka tumbangkan!
Para anggauta Thian-liong-pang bersorak memberi semangat sedangkan para
anak buah yang mukanya berwarna hitam dan merah itu memandang
tarbelalak, kagum akan kekuatan hebat dua orang Thian-liong-pang itu.
Akan tetapi laki-laki bermuka ungu dan wanita bermuka jambon itu tertawa
mengejek.
"Batu-batu ini pun menghalang gerakan pertandingan!" kata Si Wanita muka
jambon dan kakinya perlahan menendang, akan tetapi batu yang sebesar
anak kerbau itu terbang seperti sepotong batu kerikil dilempar saja.
Suheng-nya juga melakukan ini dan sebentar saja ada delapan buah batu
beterbangan! Anak buah mereka kini bersorak-sorak dan giliran anak buah
Thian-liong-pang yang bengong dan ngeri hatinya. Betapa kuat kedua orang
aneh itu!
"Bagus! Tempat telah menjadi luas, sebelum cuaca gelap mari kita mulai!" kata Si Mata Sipit.
Seperti dikomando saja, empat orang itu telah saling serang dengan
hebat. Keempat orang ini tidak memegang senjata dan hal ini juga
menunjukkan bahwa tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi. Pukulan
dan tendangan kaki mereka jauh lebih berbahaya dari pada sambaran pedang
atau golok, dan angin menderu ketika mereka saling pukul sehingga
rumput dan daun pohon bergoyang seperti diamuk badai!
Wanita muka jambon bertanding melawan Si Muka Sipit. Ternyata tenaga Si
Mata Sipit lebih besar sehingga wanita itu tidak berani langsung
menangkis atau mengadu lengan, akan tetapi wanita itu memiliki gerakan
ilmu silat yang aneh, juga gerakannya jauh lebih cepat sehingga
pertandingan itu amat seru. Di lain pihak, pertandingan antara Si Muka
Tengkorak dan Si Muka Ungu lebih hebat lagi karena tenaga mereka
seimbang. Berkali-kali mereka keduanya terdorong mundur, akan tetapi
secepat kilat sudah maju lagi dan melanjutkan pertandingan mereka.
Pada waktu itu, memang Thian-liong-pang merupakan sebuah partai yang
baru muncul sejak bangsa Mancu menyerang ke selatan. Selama perang
berlangsung, Thian-liong-pang tidak mau melibatkan diri, bahkan
diam-diam memupuk tenaga mereka dan memperdalam ilmu silat. Puluhan
tahun yang lalu Thian-liong-pang berpusat di Yen-an, di kaki
Lu-liang-san sebelah barat. Thian-liong-pang menjadi sebuah partai
golongan hitam, diselewengkan oleh ketuanya di waktu itu yang berjuluk
Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti) dengan murid-muridnya yang jahat
sebanyak dua belas orang berjuluk Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga).
Akan tetapi, semenjak Thian-liong-pang dikuasai oleh cucu kakek itu sendiri, seorang laki-laki gagah perkasa bernama Siangkoan Li, maka Cap-ji-liong
kembali ke jalan lurus. Kemudian bertahun-tahun Thian-liong-pang
diketuai oleh orang-orang yang gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya.
Ilmu silat mereka itu adalah ilmu keturunan dari dua orang kakek sakti
yang setengah gila, yaitu Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Makin
lama ketua-ketua mereka yang merupakan murid-murid Siangkoan Li,
memperdalam ilmu kesaktian dari kedua orang kakek sakti itu sehingga
kini para pimpinan Thian-liong-pang merupakan orang-orang yang berilmu
tinggi sekali. Dua orang ini saja hanya merupakan tokoh tingkat lima,
namun ilmu kepandaian mereka sudah hebat sekali.
Ada pun dua orang tokoh Pulau Neraka itu lebih hebat lagi. Tingkat
mereka masih amat rendah di kalangan penghuni Pulau Neraka yang
merupakan keluarga besar orang-orang aneh. Warna-warna pada muka mereka
menandakan bahwa tingkat mereka masih rendah, namun toh mereka sudah
dapat mengimbangi ilmu dari kedua orang tokoh Thian-liong-pang tingkat
lima! Anak buah Pulau Neraka semua kulitnya berwarna hitam atau merah.
Warna hitam merupakan tingkat paling rendah, lalu disusul merah sebagai
tingkat lebih tinggi, kemudian biru, ungu, hijau dan jambon. Makin
terang warna itu, makin tinggilah tingkat kepandaiannya!
Namun pada masa itu, Pulau Neraka merupakan kabar angin atau setengah
dongeng saja karena sudah ratusan tahun tidak pernah muncul. Nama Pulau
Neraka disejajarkan dalam rahasia dan keanehannya dengan Pulau Es,
bahkan lebih tua lagi! Dua orang tokoh Thian-liong-pang itupun hanya
mendengar ‘dongeng’ dari ketua mereka, tentang warna-warna aneh kulit
para penghuni Pulau Neraka, maka tadi mereka dapat menduga tepat!
Pertandingan masih terus berlangsung dengan hebatnya. Pada saat-saat
yang amat berbahaya bagi nyawa mereka itu, tak seorang pun di antara
mereka ingat akan anak yang mereka jadikan rebutan dan yang menjadi
bahan pertandingan-pertandingan itu, bahkan yang menyebabkan kematian
lima orang Fen-ho Ngo-kwi! Siapakah anak itu?
Bocah itu adalah seorang anak laki-laki yang berwajah tampan, bermuka
bulat dengan kulit putih bersih, sepasang matanya lebar bening penuh
keberanian, berusia kurang lebih lima tahun! Sudah lebih dari tiga bulan
anak itu hidup seorang diri di dalam kuil tua! Benar amat mentakjubkan
keberanian anak ini.
Tadinya dia tinggal bersama ibunya di kuil ini, akan tetapi semenjak
ibunya pergi meninggalkannya beberapa bulan yang lalu, dia hidup seorang
diri di tempat sunyi ini. Namun dia tidak pernah menangis, tidak pernah
mengeluh, mencari makan seadanya, bahkan kadang-kadang kalau dia tidak
bisa mendapatkan buah-buahan atau tidak dapat menangkap binatang, ia
hanya makan daun-daun muda ditambah air gunung! Akan tetapi kalau ada
binatang kelinci lewat, tentu binatang itu dapat ia bunuh dengan
sambitan batu karena anak ini pandai menyambit, dan tenaganya
mengagumkan. Tidaklah aneh kalau diketahui bahwa semenjak kecil ia
digembleng oleh ibunya yang sakti.
Ibunya merupakan seorang murid Siauw-lim-pai yang berhasil mencuri
ilmu-ilmu aneh dari Siauw-lim-pai, lalu mempelajari ilmu-ilmu aneh ini
secara mengawur sehingga mempengaruhi jiwanya, membuatnya setengah gila.
Kegilaannya ini bukan semata karena dia keliru mempelajari ilmu-ilmu
rahasia dari Siauw-lim-pai, melainkan terutama sekali karena tekanan
jiwanya ketika dia dahulu dicemarkan oleh mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak.
Nama wanita ini adalah Bhok Khim, dahulu merupakan seorang di antara
Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan
dia berjuluk Bi-kiam (Pedang Cantik)!
Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah dituturkan bahwa Bhok Khim
yang meninggalkan puteranya di kuil tua itu pergi mencari Gak Liat dan
berhasil membalas dendam dengan membunuh Setan Botak, akan tetapi dia
sendiri pun tewas oleh musuh besar yang memperkosanya itu.
Demikianlah, anak kecil berusia lima tahun itu kini berada di dalam
kuil, dan semenjak tadi dia mengintai dari dalam kuil menyaksikan semua
peristiwa yang terjadi di luar kuil. Dia melihat kamatian Fen-ho Ngo-kwi
yang mengerikan, kemudian menyaksikan pertandingan antara dua orang
tokoh Thian-liong-pang melawan dua orang tokoh Pulau Neraka.
Anak ini amat cerdik, dari percakapan itu tahulah dia bahwa semua orang
di luar itu memperebutkan dia! Akan tetapi dia tidak tahu mengapa dan
juga di dalam hatinya dia tidak berpihak kepada siapa-siapa, hanya ingin
melihat siapa di antara mereka yang paling lihai. Ibunya juga seorang
berilmu tinggi, maka karena sejak kecil dikenalkan dengan ilmu silat,
kini sepasang matanya yang bening dan tajam itu menonton pertandingan
dengan hati amat tertarik.
Cuaca menjadi semakin gelap dengan datangnya malam, akan tetapi
pertandingan antara dua orang jagoan itu masih berlangsung seru.
Masing-masing telah terkena pukulan dua tiga kali dari lawan akan tetapi
mereka belum ada yang roboh dan masih bertanding terus, biar pun napas
mereka mulai terengah dan uap putih mengepul dari kepala mereka.
"Omitohud...! Mengapa kalian bertanding mati-matian di sini? Apa yang
telah terjadi?" Tiba-tiba terdengar teguran dibarengi munculnya seorang
hwesio yang tinggi kurus. Hwesio ini kurus sekali dan wajahnya selalu
muram tampaknya, namun suaranya penuh wibawa.
Akan tetapi empat orang yang tengah bertanding tidak mempedulikannya dan
hwesio ini menarik napas panjang. "Aaahhh, jalan damai banyak sekali,
mengapa menempuh jalan kekerasan yang hanya akan membahayakan
keselamatan? Kepandaian Cu-wi yang tinggi ini pasti dipelajari susah
payah sampai puluhan tahun, apakah hanya akan digunakan untuk mengadu
nyawa?"
Setelah berkata demikian, hwesio ini kemudian melangkah maju, kedua
tangannya dikembangkan ke kanan kiri dan... empat orang yang sedang
bertanding itu tiba-tiba terhuyung mundur oleh dorongan tenaga dahsyat,
namun sukar ditahan! Otomatis pertandingan terhenti dan empat orang itu
dengan napas sengal-sengal memandang kepada hwesio yang amat tua dan
kurus itu.
"Maaf, maaf, pinceng terpaksa menghentikan pertandingan ini. Ada urusan
dapat didamaikan. Mengapa kalian begini mati-matian hendak saling
bunuh?"
"Losuhu siapakah?" Si Muka Tengkorak bertanya, sikapnya menghormat
karena dia maklum bahwa hwesio itu adalah seorang berilmu yang amat
lihai.
"Pinceng adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai. Mengapa Sicu berdua
bertanding dengan mereka?" Diam-diam Siauw Lam Hwesio terkejut
menyaksikan warna kulit dua orang tokoh Pulau Neraka yang biar pun cuaca
mulai gelap masih tampak warna mereka yang menyolok mengingatkan dia
akan ‘dongeng’ tentang penghuni Pulau Neraka!
Si Muka Tengkorak menjura penuh hormat lalu berkata, "Kiranya Losuhu
adalah seorang tokoh sakti dari Siauw-lim-pai. Kami berdua adalah
utusan-utusan Thian-liong-pang dan kedua orang sahabat ini pun
utusan-utusan dari Pulau Neraka."
Mendengar ini, hwesio tua itu tercengang dan ia kembali memandang kedua
orang itu dengan penuh perhatian. Hatinya bertanya-tanya. Kalau begitu,
benarkah dongeng yang didengarnya tentang Pulau Neraka? Kalau mereka itu
sudah turun ke dunia ramai, bersama dengan turunnya tokoh-tokoh
Thian-liong-pang yang kabarnya tidak lagi mau berurusan dengan dunia
ramai, tentu dunia ini akan menjadi benar-benar ramai!
"Mengapa Cu-wi bertempur?"
"Kami sama-sama memenuhi tugas untuk menjemput anak laki-laki yang
berada di dalam kuil. Karena bertentangan oleh tugas yang sama, terpaksa
kami hendak menentukan dalam pibu (adu kepandaian) yang adil."
"Omitohud! Betapa anehnya dunia ini...!" Hwesio tua itu berkata.
Dia adalah Siauw Lam Hwesio. Seorang hwesio tua yang kedudukannya tidak
penting di Siauw-lim-pai. Akan tetapi dia adalah seorang yang sakti,
karena selama puluhan tahun dia menjadi pelayan Kian Ti Hosiang, supek
dari Ketua Siauw-lim-pai yang memiliki ilmu seperti dewa!
"Lama sekali pinceng mengikuti jejak murid perempuan Siauw-lim-pai dan
akhirnya sampai di tempat ini untuk mengambil puteranya yang
ditinggalkan! Anak itu adalah putera dari Bhok Khim, seorang murid
Siauw-lim-pai. Tentu saja hanya Siauw-lim-pai yang berhak untuk
mendidiknya. Harap Cu-wi menghentikan pertempuran dan biarkan pinceng
sebagai hwesio Siauw-lim-si untuk membawanya pulang ke Siauw-lim-si."
Setelah berkata demikian, hwesio itu dengan tenang melangkah menuju ke
kuil.
"Tahan...!" Teriakan ini keluar dari empat buah mulut tokoh-tokoh yang tadi saling serang.
Berbareng mereka memberi tanda dengan tangan kepada anak buah mereka.
Dari tempat persembunyian mereka, enam belas orang anak buah Pulau
Neraka dan dua puluh orang rombongan Thian-liong-pang itu bergerak cepat
sekali mendekati kuil. Hwesio tua itu memandang penuh perhatian,
agaknya siap untuk menolong anak di dalam kuil kalau orang-orang itu
menggunakan kekerasan. Akan tetapi rombongan Thian-liong-pang itu sibuk
melempar-lemparkan benda hitam di seputar kuil. sedangkan anak buah
Pulau Neraka melempar-lemparkan cairan merah di seputar kuil. Begitu
benda cair yang mereka siramkan itu mengenai tanah, mengepullah asap
kemerahan yang berbau harum bercampur amis!
Sementara itu, anak laki-laki yang sejak tadi memandang dari dalam kuil,
ketika menyaksikan betapa hwesio tua dapat menghentikan pertandingan
dengan mudah, mengerti bahwa hwesio kurus kering itu sakti sekali, maka
hatinya condong untuk ikut dengan hwesio itu yang dianggapnya paling
lihai di antara orang-orang aneh yang berada di luar kuil. Lebih-lebih
lagi ketika ia mendengar keterangan hwesio itu bahwa ibunya adalah anak
murid Siauw-lim-pai, hal ini tak pernah diceritakan ibunya, dan bahwa
hwesio itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, tentu saja ia memilih
hwesio itu. Ketika melihat bahwa banyak orang melempar-lemparkan benda
hitam dan cairan merah yang kini mengepulkan asap dan tanah yang
tersiram benda cairan itu mengeluarkan suara mendesis-desis seperti
mendidih, ia cepat keluar dari dalam kuil dan muncul di depan.
"Berhenti...!" Hwesio tua itu cepat menggerakkan tangan kirinya,
mendorong ke depan, ke arah anak yang muncul itu. Jarak antara dia dan
anak itu masih jauh, akan tetapi angin dorongan tangannya membuat anak
itu terjengkang dan jatuh terlentang kembali ke dalam kuil. "Anak,
jangan keluar, berbahaya sekali! Asap itu beracun!" teriak Siauw Lam
Hwesio dan bocah yang ternyata cerdik ini segera mengerti dan kembali ia
bersembunyi di dalam kuil sambil mengintai dari tempatnya yang tadi.
Siauw Lam Hwesio mengeluh, "Omitohud, alangkah kejinya!"
Ia kini dapat melihat jelas bahwa benda-benda hitam itu adalah
senjata-senjata rahasia berbentuk bintang yang berduri runcing sekali
dan kini benda-benda itu bertebaran di sekeliling kuil, menghalang jalan
masuk dalam jarak lebar. Mengertilah ia bahwa benda-benda itu tentulah
mengandung racun pula dan amat runcing sehingga akan menembus sepatu.
Sedikit saja kulit terluka oleh benda-benda ini, tentu akan menimbulkan
bahaya kematian! Ada pun benda cair yang dapat ‘membakar’ tanah dan
mengeluarkan asap kemerahan berbau harum amis itu pun merupakan racun
yang berbahaya. Jalan menuju ke kuil itu terhalang oleh racun-racun yang
lihai!
"Omitohud...! Kalian ternyata mengandung niat yang tidak baik dan
berkeras hendak menghalangi pinceng mengambil putera keturunan murid
Siauw-lim-pai itu. Hemm..., baiklah, kita sama melihat saja siapa yang
akan dapat mengambil anak itu sekarang!" Setelah berkata demikian hwesio
kurus ini duduk bersila menghadap kuil, jelas bahwa biar pun sikapnya
tenang namun ia sudah mengambil keputusan untuk merintangi siapa saja
memasuki kuil!
Sementara itu, malam telah tiba dan rombongan Thian-liong-pang
memisahkan diri, berada di sebelah kiri, sedangkan rombongan Pulau
Neraka berada di sebelah kanan. Agaknya mereka itu tidak ada yang berani
turun tangan lebih dulu karena sama-sama maklum bahwa pihak lain tentu
akan merintangi mereka mengambil anak yang berada di dalam kuil! Kalau
saja tidak muncul hwesio Siauw-lim-pai yang lihai itu, tentu terjadi
pertempuran di antara mereka, memperebutkan anak tadi! Akan tetapi kini
mereka tahu bahwa siapa pun yang turun tangan lebih dulu, tidak hanya
akan menghadapi rombongan lawan, melainkan juga menghadapi hwesio yang
mereka tahu tak boleh dipandang ringan. Maka mereka tak ada yang
bergerak mendahului. Sambil membuat api unggun mereka berbisik-bisik
mengatur dan mencari siasat!
Api unggun mereka bergerak-gerak seperti tertiup angin, padahal tidak
ada angin bertiup sedikit juga. Selagi kedua rombongan itu terbelalak
kaget, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang keadaannya amat
menyeramkan hati mereka. Laki-laki itu masih muda, berwajah tampan akan
tetapi sebelah kakinya, yang kiri buntung! Laki-laki itu tahu-tahu telah
berdiri di situ, bersandar pada tongkat bututnya dan yang amat
mengherankan adalah rambutnya yang dibiarkan riap-riapan, akan tetapi
rambut yang tebal panjang itu berwarna putih semua!
Orang-orang kedua rombongan ini adalah orang-orang yang selama
bertahun-tahun tidak pernah terjun ke dunia ramai, maka mereka tadi
tidak mengenal Siauw Lam Hwesio dan tidak mengenal pula siapa gerangan
pemuda berkaki buntung itu. Padahal pemuda ini jauh lebih terkenal dari
pada hwesio Siauw-lim-pai itu, karena dia ini bukan lain adalah Suma Han
atau Pendekar Super Sakti, atau juga terkenal dengan sebutan Pendekar
Siluman oleh mereka yang pernah menjadi korban kesaktian dan ilmu
sihirnya yang mengerikan!
Para pembaca cerita ‘Pendekar Super Sakti’ tentu telah tahu betapa di
dalam hidupnya yang kurang lebih dua puluh lima tahun itu, pendekar ini
mengalami banyak sekali tekanan batin dan yang terakhir sekali batinnya
amat tertekan dan kesengsaraan serta kekecewaannya dalam hidup membuat
rambutnya semua menjadi putih! Kini ia datang untuk memenuhi permintaan
mendiang Bhok Khim pada saat wanita itu akan melepaskan napas terakhir.
Bhok Kim telah meminta kepadanya agar Pendekar Super Sakti atau Pendekar
Siluman ini suka merawat dan mendidik puteranya yang ditinggalkan di
kuil tua ini!
Di dalam bagian terakhir cerita ‘Pendekar Super Sakti’ telah diceritakan
betapa Suma Han ini setelah melaksanakan pernikahan adik angkatnya,
Lulu yang menikah dengan Hoa-san Gi Hiap Wan Si Kiat, lalu pergi
meninggalkan dunia ramai untuk merantau dan berusaha melupakan segala
pengalaman hidupnya yang penuh derita batin. Akan tetapi ia tidak
melupakan pesan Bhok Kim, maka ia lalu menuju ke tempat yang dikatakan
oleh Bhok Kim dalam pesan terakhirnya.
Akan tetapi betapa heran hatinya ketika ia melihat dua rombongan orang
berada di tempat itu dan lebih-lebih lagi herannya ketika ia mengenal
hwesio tua kurus kering yang duduk bersila di depan kuil. Ia mengenal
hwesio ini ketika dahulu bersama adik angkatnya ia mengunjungi kuil
Siauw-lim-si, bertemu dengan hwesio sakti Kian Ti Hosiang dan
pelayannya, yaitu Siauw Lam Hwesio yang kini duduk bersila di tempat
itu! Sejenak pendekar berkaki buntung ini menyapukan pandang matanya ke
arah kuil dan keningnya berkerut ketika ia melihat senjata-senjata
rahasia dan kepulan-kepulan asap kemerahan yang dapat ia lihat di bawah
sinar api unggun kedua rombongan.
Ia lalu menghampiri Siauw Lam Hwesio, menjura dan berkata, "Maaf, kalau
saya tidak salah mengenal, bukankah Locianpwe ini Siauw Lam Hwesio dari
Siauw-lim-si?"
Hwesio tua itu bersila sambil semedhi memejamkan kedua matanya, namun
seluruh panca inderanya ia tujukan untuk menjaga kuil sehingga setiap
gerakan ke arah kuil pasti akan diketahui olehnya. Maka dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu ada suara orang menegur di
depannya, padahal dia sama sekali tidak mendengar gerakan orang datang,
apa lagi sampai mendekatinya!
Hal ini saja dapat dibayangkan betapa hebat kemajuan yang didapat
pendekar ini semenjak dia mengunjungi Siauw-lim-si beberapa tahun yang
lalu. Dan memang tidak mengherankan apabila gerakannya begitu halus dan
ringan karena Pendekar Super Sakti ini bergerak dengan ilmunya
Soan-hong-lui-kun!
Mula-mula Siauw Lam Hwesio tidak mengenal Suma Han. Dahulu ketika
pendekar itu mengunjungi Siauw-lim-si, pemuda itu belum buntung kaki
kirinya. Akan tetapi karena kunjungan pemuda itu amat mengesankan dan
karena wajah dan rambut panjang itu hanya berubah warnanya, Siauw Lam
Hwesio segera merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata penuh
takjub.
"Omitohud...! Terpujilah nama Buddha yang Maha Pengasih! Kiranya Sicu
berada di sini pula? Dan kaki kiri Sicu...? Ah, syukurlah... sungguh
pinceng ikut merasa bahagia melihat kaki kiri Sicu sudah buntung!"
Ucapan hwesio itu cukup lantang dan karena keadaan di situ amat sunyi,
maka semua orang kedua rombongan mendengar ucapan itu. Mereka saling
pandang dan merasa heran, diam-diam mereka menganggap betapa ucapan
hwesio tua itu kurang ajar dan tidak patut. Memang, bagi yang tidak
mengerti tentu saja amat tidak pantas mendengar orang merasa bahagia
melihat orang terbuntung kakinya!
Suma Han, pendekar itu pun merasa heran, akan tetapi sama sekali tidak
tersinggung, hanya merasa heran mengapa hwesio tua ini mengerti bahwa
buntungnya kaki kirinya merupakan hal yang amat menguntungkan baginya!
Maka ia pun segera menekuk lutut kaki tunggalnya dan duduk bersila di
depan hwesio itu sambil bertanya,
"Locianpwe! Bagaimana Locianpwe tahu akan keadaan kaki saya?"
Hwesio itu tersenyum dan memandang pendekar sakti itu. "Lupakah Sicu akan pesan mendiang Kian Ti Hosiang?"
"Aahhhhh...! Locianpwe yang sakti itu telah meninggal dunia? Sungguh saya merasa menyesal sekali...!"
"Omitohud...! Mengapa, Sicu? Beliau telah bebas dari pada kesengsaraan,
mengapa disesalkan? Tentu Sicu masih ingat betapa dahulu beliau memberi
nasihat kepada Sicu agar membuntungi kaki kiri Sicu, bukan? Nah, setelah
Sicu pergi, pinceng tidak dapat menahan keheranan hati dan mengajukan
pertanyaan yang hanya dapat dijawab singkat oleh Kian Ti Hosiang bahwa
kalau kaki kiri Sicu tidak dibuntungi, Sicu takkan dapat berusia
panjang...! Maka, pinceng sekarang ikut merasa bahagia melihat betapa
Sicu telah diselamatkan dari pada ancaman bahaya maut."
Suma Han mengangguk-angguk dan memuji. "Betapa sakti mendiang Kian Ti
Hosiang! Betapa tajam penglihatannya, sungguh saya merasa kagum sekali.
Sekarang, bolehkah saya bertanya mengapa Locianpwe berada di sini? Dan
siapa pula kedua rombongan itu? Dan keadaan di sekeliling kuil itu? Apa
yang telah terjadi, Locianpwe?"
Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Ruwet sekali, Sicu...! Putera
seorang murid Siauw-lim-pai berada di dalam kuil dan sudah menjadi tugas
pinceng untuk merawat dan mendidiknya. Akan tetapi ternyata
rombongan-rombongan dari Thian-liong-pang dan Pulau Neraka datang pula
dengan niat yang sama, yaitu mengambil anak itu sesuai dengan perintah
ketua-ketua mereka. Entah mengapa mereka hendak pula mengambil anak itu.
Mereka lalu mengurung kuil dengan racun dan kami semua mengambil
keputusan untuk mencegah masing-masing mengambil anak itu. Susahnya,
pinceng tidak mau menggunakan kekerasan karena pinceng tidak ingin
menarik Siauw-lim-pai bermusuhan dengan Thian-liong-pang mau pun Pulau
Neraka." Dengan singkat Siauw Lam Hwesio menuturkan peristiwa yang
terjadi.
Suma Han mendengarkan penuh keheranan. Kemudian ia berkata lirih agar
tidak terdengar oleh orang-orang di kedua rombongan, "Locianpwe, terus
terang saja, kedatangan saya ini pun dengan maksud untuk mengambil anak
itu, putera mendiang Bhok-toanio."
Hwesio itu terkejut, memandang tajam akan tetapi jantungnya berdebar
aneh ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata pendekar itu. Ia
bergidik. Pandang mata pendekar ini benar-benar hebat, bukan seperti
mata manusia! "Mengapa, Sicu?" tanyanya lirih.
"Saya datang atas permintaan Bhok-toanio sendiri dalam pesannya
terakhir." Suma Han lalu menceritakan pesanan Bhok Khim kepadanya
setelah wanita itu tidak berhasil meninggalkan pesan kepada kedua orang
suheng-nya yaitu Khu Cen Thiam dan Liem Sian.
Siauw Lam Hwesio mengangguk-angguk dan mencela murid-murid Siauw-lim-pai
itu. "Mereka terlalu dipengaruhi perasaan, tidak ingat lagi akan peri
kemanusiaan. Betapa bodohnya dan pinceng memuji kemuliaan hati Sicu.
Kalau begitu, baiklah, biar anak itu ikut bersama Sicu."
"Tidak, Locianpwe. Setelah Locianpwe berada di sini, sudah sepatutnya
kalau putera Bhok-toanio itu ikut bersama Locianpwe. Saya sendiri hidup
sebatang kara, miskin papa tidak mempunyai rumah. Saya khawatir
kalau-kalau anak itu hanya akan menderita dan terlantar bersama saya.
Sebaiknya dia ikut dengan Locianpwe agar mendapat didikan yang baik dan
kelak bisa menjadi seorang manusia yang berguna. Pula, Bhok-toanio
menyerahkan anak itu kepada saya hanya karena terpaksa dan di sana tidak
ada orang lain lagi. Locianpwe atau lebih tepat Siauw-lim-pai lebih
berhak atas diri anak itu."
Hwesio tua itu mengangguk-angguk. "Sicu benar. Anak keturunan orang itu
perlu sekali mendapat didikan yang benar agar tidak menjadi seorang
sesat seperti... darah keturunannya. Akan tetapi, bagaimana pinceng
dapat mengambil anak itu tanpa menanam permusuhan dengan mereka?" Hwesio
itu memandang ke arah dua rombongan.
Ucapan terakhir hwesio tentang darah keturunan sesat itu menikam ulu
hati Suma Han. Akan tetapi hanya sebentar karena perasaan tertusuk ini
segera tenggelam dan lenyap dalam kekosongan hatinya. Dia pun seorang
yang mempunyai darah keturunan sesat, bahkan nenek moyangnya, bangsawan
yang ber-she Suma, terkenal sebagai orang-orang jahat!
Dia kini menoleh ke arah dua rombongan, melihat betapa pemimpin kedua
rombongan itu, yang terdiri dari dua orang duduk bercakap-cakap di dekat
api unggun masing-masing, sedangkan anak buah mereka membuat api unggun
sendiri dalam jarak yang agak jauh, siap menanti perintah mereka.
"Harap Locianpwe jangan khawatir. Saya mempunyai akal untuk mengundurkan mereka."
"Sicu, ingat. Pinceng tidak menghendaki kekerasan, apa lagi pertumpahan
darah. Kehidupan putera Bhok Khim tidak boleh dimulai dengan pertumpahan
darah dan pembunuhan!"
Suma Han tersenyum, mengangguk. "Saya mengerti, Locianpwe. Harap
Lo-cianpwe menyerahkan hal ini kepada saya." Ia lalu bangkit berdiri dan
berjalan terpincang-pincang meninggalkan hwesio itu yang memandang
bengong melihat pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam.
Dua orang Thian-liong-pang duduk di depan api unggun, membicarakan
pemuda berkaki tunggal yang pergi terpincang-pincang dan lenyap dalam
gelap. Si Muka Tengkorak berkata lirih. "Sebaiknya dia pergi. Aku sudah
khawatir kalau-kalau dia membantu Si Hwesio."
"Hemm, bocah berkaki buntung seperti itu bisa apakah? Andai kata
membantu Si Hwesio Siauw-lim-pai, seorang di antara anak buah kita tentu
bisa membinasakannya!" kata Si Mata Sipit.
"Ahh, Sute. Jangan memandang rendah dia. Tidakkah kau melihat sinar
matanya tadi? Hihhh, seperti mata setan! Dan rambutnya yang putih semua
itu! Dia seperti siluman saja. Ngeri aku melihatnya!"
"Ah, Suheng! Andai kata dia siluman sekali pun, aku tidak takut
kepadanya! Kalau dia berani muncul, kutebas batang lehernya dengan
pedang ini!" Si Mata Sipit mengeluarkan sebatang pedang yang tadi tidak
dipergunakannya ketika menghadapi dua orang Pulau Neraka. "Dia tentu
bukan orang Siauw-lim-pai dan menurut pesan Pangcu, hanya orang-orang
partai besar saja yang harus kita indahkan dan jaga jangan sampai kita
bentrok dengan mereka. Atau kubuntungi lagi kaki tunggalnya, hendak
kulihat dia bisa berbuat apa?"
Tiba-tiba terdengar suara lirih di depan mereka, "Ha-ha-ha, aku memang
siluman. Pendekar Siluman! Kalian mau bisa berbuat apa terhadap seorang
siluman? Bocah itu putera murid Siauw-lim-pai, harus ikut dengan hwesio
Siauw-lim-si. Kalau kalian masih banyak ribut, kutelan kalian
hidup-hidup!"
Dua orang itu terbelalak kaget. Suara itu datang dari dalam api unggun!
Mereka menatap api unggun dan tampak oleh mereka betapa asap api unggun
menebal, bergulung ke atas dan... asap tebal itu membentuk tubuh seorang
raksasa! Makin lama makin jelaslah bentuk itu dan muncullah seorang
raksasa yang besarnya tiga empat kali ukuran manusia biasa, raksasa yang
wajahnya persis pemuda berkaki buntung tadi, kakinya buntung, tongkat
butut di tangannya, rambutnya riap-riapan putih dan kini ‘raksasa’ itu
mengulur tangan kanan hendak menangkap mereka!
"Huuuuhhh...! Sii... siluman...!" Si Mata Sipit terloncat kaget, lupa
akan ancamannya, bahkan pedangnya terlepas dari tangan yang menggigil.
"Siluman... siluman raksasa...!" Si Muka Tengkorak juga melompat bangun.
Mukanya sendiri seperti tengkorak, seperti siluman yang tentu akan
menimbulkan rasa ngeri di hati orang yang melihatnya, akan tetapi kini
dia berdiri terbelalak, kedua kakinya menggigil. Kemudian kedua orang
jagoan ini lari terbirit-birit diturut oleh anak buahnya yang juga
melihat ‘siluman raksasa’ itu!
Keributan ini terdengar oleh rombongan Pulau Neraka. Mereka menjadi
terheran-heran melihat rombongan lawan itu lari pontang-panting sambil
berteriak-teriak ada siluman! Karena mereka tidak melihat sesuatu,
mereka diam-diam mentertawakan rombongan Thian-liong-pang yang mereka
anggap pengecut dan penakut, seperti sekumpulan anak-anak kecil yang
ketakutan dan melihat yang bukan-bukan di dalam tempat sunyi itu.
"Hi-hik, sungguh lucu! Mereka itu mengaku sebagai orang-orang
Thian-liong-pang dan kabarnya Thian-liong-pang mempunyai banyak orang
pandai. Sekarang, di tempat sunyi ini mereka ketakutan dan lari karena
melihat siluman?" Wanita bermuka jambon tertawa.
"Huh! Siluman? Kita dari Pulau Neraka sudah lama dianggap
manusia-manusia siluman maka tentu saja kita tidak takut siluman. Lebih
baik lagi kalau mereka melarikan diri sehingga pekerjaan kita menjadi
ringan. Besok pagi kita harus dapat membawa lari anak itu dari sini!"
kata laki-laki muka ungu sambil menaruh lagi ranting kayu kering untuk
membesarkan api unggun.
"Tapi... bagaimana dengan hwesio tua itu? Dia tentu akan merintangi kita
dan tentu kita akan mendapat teguran kalau kita terpaksa harus
membunuhnya. Kalau tidak dibunuh, bagaimana kita bisa mengambil bocah
itu?" Sumoinya membantah.
"Apa sukarnya? Kita boleh menggunakan akal. Dia hanya seorang diri, dan
kita berjumlah banyak. Kita atur begini..." Dia kini bicara bisik-bisik.
"Biarlah besok kutantang dia. Dia toh tidak akan dapat memasuki kuil.
Kutantang dia bertanding, dan selagi aku melawan dia, engkau bersama
anak buah kita menyerbu ke kuil, membawa lari bocah itu!"
"Akan tetapi dia lihai sekali, Suheng. Bagaimana kalau Suheng kalah?"
"Kalau dia terlalu lihai, engkau membantuku dan biar anak buah kita yang
menyerbu ke dalam kuil. Kita keroyok dia dan setelah bocah itu dapat
dirampas, kita tinggalkan dia. Apa sukarnya?"
"Akan tetapi... senjata-senjata rahasia kaum Thian-liong-pang itu. Berbahaya sekali."
"Hemm, mereka telah lari cerai-berai. Kita berjumlah banyak. Suruh anak
buah kita membersihkan senjata-senjata rahasia yang tersebar di depan
kuil. Besok setelah matahari terbit, kita bergerak serentak dan pasti
berhasil."
"Aihh, Suheng lupa akan bocah buntung tadi. Bagaimana kalau dia muncul?"
"Biarkan dia muncul! Kita takut apa? Sikapnya saja menyeramkan, akan
tetapi bocah itu bukan setan, hanya manusia biasa, manusia yang cacad
pula. Dengan kakinya yang hanya sebuah, dia bisa apa? Apakah engkau
takut, Sumoi?"
"Aku? Takut? Hi-hi-hik! Lucu sekali, Suheng. Sejak kapan aku takut
kepada bocah buntung seperti dia itu?" Wanita muka jambon itu bangkit
berdiri, mendekati api unggun dan membesarkan api unggun sambil berkata
lagi, "untuk membuktikan bahwa aku tidak takut, kalau benar dia berani
muncul, akan kupenggal lehernya dan kubawa pulang kepalanya untuk hiasan
dinding di kamarku..."
Tiba-tiba ia berhenti bicara, matanya terbelalak, tangannya masih
memegang ranting membesarkan api, mulutnya terbuka lebar. Juga
suheng-nya sudah meloncat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak.
Ternyata di atas api unggun telah berdiri pemuda buntung yang mereka
bicarakan tadi, akan tetapi pemuda buntung itu tubuhnya tinggi besar
seperti raksasa. Selagi kedua orang Pulau Neraka ini tertegun, terdengar
‘raksasa’ itu berkata, suaranya besar dan parau.
"Engkau akan menebas kepalaku dan hendak membawa kepalaku sebagai
oleh-oleh? Untuk hiasan dinding kamar? Nah, ini kuberikan kepalaku
kepadamu!" Raksasa itu menjambak rambutnya sendiri, membetot dan...
kepala raksasa itu copot dan kini tergantung di tangan kanannya yang
diulur untuk menyerahkan kepala itu kepada wanita bermuka jambon!
"Cel... celaka... ib... iblisssss...!" Wanita itu melompat ke belakang,
menahan air kencingnya yang hampir keluar saking takutnya. Suheng-nya
sudah mendahuluinya lari terbirit-birit. Keduanya kini lari
pontang-panting dan anak buah mereka juga lari sambil berteriak-teriak
karena mereka dikejar seorang raksasa yang memegangi kepalanya yang
copot!
Siauw Lam Hwesio hanya melihat betapa kedua rombongan itu secara aneh
melarikan diri, padahal dia hanya melihat Suma Han menghampiri mereka
dan bicara lirih, Hwesio tua ini sudah memiliki banyak pengalaman, dan
juga dia memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Akan tetapi apa yang
disaksikannya itu benar-benar membuat ia tidak mengerti, kagum dan
menarik napas panjang lalu berbisik, "Omitohud...! Dia itu manusia
ataukah siluman...?"
Akan tetapi diam-diam ia merasa bersyukur bahwa kedua rombongan itu
telah pergi sehingga besok akan memudahkan baginya membawa pergi putera
Bhok Khim. Dia tidak berani memasuki kuil malam itu karena masih ada
bahaya racun mengancam. Besok setelah matahari bersinar, baru ia akan
mencari akal untuk memasuki kuil dan menghindarkan diri dari pada bahaya
racun yang mengancam. Dia tidak melihat Suma Han muncul lagi, maka
diam-diam ia bersyukur dan berterima kasih lalu melanjutkan semedhinya
sambil memasang perhatian kalau-kalau ada musuh yang berniat buruk
memasuki kuil malam itu.
Akan tetapi malam itu tidak ada terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya,
ketika embun pagi telah mulai terusir pergi oleh sinar matahari yang
kemerahan dan cuaca sudah mulai terang, Siauw Lam Hwesio membuka matanya
dan bangkit berdiri. Akan tetapi, suara di sebelah belakang membuat ia
menengok dan alangkah kecewa dan cemas hati hwesio ini ketika melihat
bahwa kedua rombongan dari Thian-liong-pang dan Pulau Neraka itu
ternyata masih berada di situ, biar pun kini dalam jarak yang agak jauh
dan ternyata kedua rombongan itu kini menjadi satu! Agaknya, keduanya
telah bicara tentang siluman dan bersepakat untuk menghadapi rintangan
menakutkan itu bersama! Kini, setelah malam terganti pagi dan melihat
hwesio tua telah bangkit berdiri, mereka pun berindap-indap mulai
mendekati kuil!
Melihat ini, Siauw Lam Hwesio berkata, "Apakah kalian masih belum mau
pergi dan membiarkan pinceng mengambil putera murid Siauw-lim-pai?"
Si Muka Tengkorak, tokoh Thian-liong-pang itu berseru, "Tidak bisa! Kami tidak boleh membiarkan engkau mengambil anak itu!"
Laki-laki bermuka ungu juga berkata, "Losuhu, biar pun engkau dibantu
siluman, kami tidak takut! Kami bersama akan menghadapi siluman itu,
baru kemudian kita bicara tentang anak yang kita perebutkan!"
"Hemm, pinceng sebetulnya tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga.
Akan tetapi hendaknya kalian ingat bahwa sekali ini, Siauw-lim-pai
bertindak untuk urusannya sendiri karena anak itu adalah anak dari murid
Siauw-lim-pai, berarti masih keluarga Siauw-lim-pai. Maka apabila
pinceng mengambil anak itu dan Cu-wi menghalangi, berarti bahwa Cu-wi
yang mencari permusuhan dengan Siauw-lim-pai, bukan pinceng yang sengaja
menimbulkan pertentangan!"
"Ha-ha-ha, Siauw Lam Hwesio. Setelah matahari bersinar dan tidak ada
Pendekar Siluman yang main sulap lagi, kini bicaramu lunak sekali. Siapa
bicara tentang permusuhan antara partai? Sekarang adalah urusan pribadi
di antara kita! Siauw Lam Hwesio, aku menantangmu bertanding, apakah
engkau berani?"
"Omitohud! Selamanya pinceng tidak pernah minta bantuan orang lain.
Kalau semalam kalian lari pontang-panting karena Suma-sicu, hal itu
adalah kehendak pendekar itu sendiri. Dan selamanya pinceng tidak pernah
mengadakan pibu dengan siapa juga. Sekarang pinceng tidak ingin
berurusan dengan kalian, baik atas nama partai mau pun perorangan.
Pinceng hendak mengambil anak itu!"
"Eh, hwesio penakut! Aku menantangmu, apakah kau tidak berani? Apakah
keberanianmu hanya mengandalkan Pendekar Siluman? Di mana dia sekarang?
Seekor siluman akan lari kalau melihat sinar matahari, apakah semalam
itu bukan siluman ciptaan ilmu hitammu sendiri?" Wanita muka jambon
mengejek.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam kuil. "Siapa mencari Pendekar
Siluman? Aku berada di sini!" Tiba-tiba pintu kuil terbuka dan muncullah
Suma Han, terpincang-pincang sambil memondong seorang anak laki-laki
yang memandang kepadanya dengan wajah berseri.
Suma Han terpincang-pincang sampai depan kuil, ditonton oleh semua orang
yang memandang terbelalak karena senjata-senjata rahasia itu masih
bertebaran di situ dan asap kemerahan masih mengepul tipis! Tiba-tiba
Suma Han menggerakkan kaki tunggalnya dan bagi para anak buah kedua
rombongan, tubuh pendekar kaki buntung itu lenyap. Akan tetapi dua orang
tokoh Pulau Neraka dan dua orang tokoh Thian-liong-pang, juga Siauw Lam
Hwesio, melihat betapa pemuda buntung itu mencelat ke atas tinggi
sekali, berjungkir balik lima kali di udara melewati asap kemerahan dan
meluncur turun di dekat mereka tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
"Hebat...! Menyenangkan sekali...!" Anak laki-laki dalam pondongan Suma
Han yang diajak mencelat tinggi lalu berjungkir balik lima kali itu
tidak menjadi cemas, bahkan bertepuk-tepuk tangan dan bersorak
kegirangan! Ia masih bersorak ketika Suma Han menurunkannya ke atas
tanah.
"Siapa mencari aku? Aku Pendekar Siluman berada di sini! Dengarkanlah
wahai kalian orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka!
Aku sama sekali bukan pembantu Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai! Aku
bertindak atas kehendakku sendiri dan semua yang kulakukan adalah
menjadi tanggung jawabku sendiri! Aku mengambil anak ini dan kuserahkan
kepada Siauw-lim-pai karena aku menganggap anak ini sudah seharusnya
ikut dengan Siauw-lim-pai. Kalau ada di antara kalian yang tidak
menerima, jangan menyalahkan Siauw Lam Hwasio, akan tetapi akulah yang
bertanggung jawab!" Suma Han lalu mendorong tubuh anak itu yang mencelat
ke arah Siauw Lam Hwesio! Hwesio tua itu menerimanya dan memondongnya.
"Tidak! Aku lebih suka ikut denganmu, Paman Buntung!" bocah itu berkata.
"Hemm, dengarlah, anak baik! Ibumu adalah murid Siauw-lim-pai, maka
sudah menjadi kewajibanmu untuk belajar di Siauw-lim-pai, agar kelak
menjadi seorang manusia yang berguna. Jangan membantah lagi!" Di dalam
suara Suma Han terkandung wibawa yang membuat anak itu tidak berani lagi
membantahnya. "Locianpwe, harap membawa pergi anak itu dan Lociapwe
sudah tidak ada urusan lagi dengan mereka ini. Sayalah yang bertanggung
jawab dalam urusan ini!"
"Omitohud...! Semoga Sang Buddha memberi bimbingan kepadamu, Suma-sicu,"
Siauw Lam Hwesio lalu pergi dari situ sambil memondong anak itu,
diikuti pandang mata semua orang, namun tidak ada yang berani bergerak
menghalanginya pergi.
Tiba-tiba dua orang Thian-liong-pang membentak marah dan kedua tangan
mereka bergerak. Melihat ini, dua orang Pulau Neraka juga menggerakkan
tangan dan berhamburan senjata-senjata rahasia berupa peluru-peluru
bintang dan golok-golok terbang. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Suma Han
lenyap dari depan mata mereka. Ketika senjata-senjata itu sudah lewat
dan golok-golok terbang sudah kembali ke tangan pemiliknya, mendadak
tubuh pendekar itu melayang turun dari atas, kemudian hinggap di
tempatnya semula berdiri. Kiranya tubuh pendekar butung itu tadi
mencelat ke udara dan kini sudah kembali di tempatnya, berdiri tersenyum
pahit sambil bersandar pada tongkat bututnya!
"Serbu...!" bentak dua orang pimpinan rombongan Pulau Neraka.
"Tangkap!" pimpinan Thian-liong-pang juga memberi aba-aba kepada anak buahnya.
Kini puluhan macam senjata bagaikan hujan menyerbu tubuh Suma Han.
Pendekar ini menggerakkan kakinya, tubuhnya mencelat ke sana sini,
tongkatnya berkelebatan dan terdengarlah bunyi nyaring berkali-kali
susul-menyusul dan tampak senjata-senjata itu beterbangan dalam keadaan
patah-patah.
Empat orang pimpinan kedua rombongan itu marah sekali, mereka maju
serentak mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga sinkang mereka. Kini
Suma Han mendorongkan kedua tangan ke depan, mengempit tongkatnya dan
empat orang itu terdorong mundur, terhuyung-huyung akhirnya terbanting
keras. Mereka merayap bangun dan wajah mereka berubah, gentar dan heran.
"Siapakah engkau, hai pemuda yang luar biasa?" Si Muka Tengkorak dari Thian-lion-pang bertanya.
"Namaku Suma Han!" jawab Pendekar Sakti itu sambil tersenyum duka, sama sekali tidak merasa bangga akan namanya.
"Engkau datang dari partai manakah dan siapa julukanmu? Kami perlu tahu
untuk kami laporkan kepada ketua kami!" tanya tokoh Pulau Neraka yang
bermuka ungu.
Suma Han memandang orang ini, kemudian memandang orang-orang dari Pulau
Neraka yang mukanya berwarna-warni itu. Dia tersenyum. Orang-orang ini
adalah orang-orang aneh sekali, tentu mempunyai ketua yang luar biasa
pula. Tidak baik menanam bibit permusuhan dengan mereka, maka ia sengaja
berkelakar,
"Kalian sudah tahu bahwa julukanku adalah Pendekar Siluman! Ada pun partaiku? Tidak ada partai, tempatku adalah Pulau Es!"
Di luar sangkaan Suma Han, mendengar ini, rombongan muka berwarna itu
langsung mengeluarkan seruan kaget sekali dan serentak dua orang
pimpinan itu menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Han, diturut oleh
semua anak buahnya. "Mohon diampunkan kelancangan hamba sekalian yang
tidak mengenal sehingga telah berani bersikap kurang ajar terhadap To-cu
(Majikan Pulau) dari Pulau Es!"
Tentu saja Suma Han terkejut sekali, akan tetapi hatinya girang karena
hal itu berarti bahwa sikap bermusuh mereka telah habis. "Sudahlah,
harap kalian jangan bersikap sungkan. Di antara kita tidak ada
permusuhan apa-apa, dan kuharap saja di masa depan kita tidak akan
saling bentrok. Harap sampaikan salamku kepada Ketua Thian-liong-pang
dan juga Ketua Pulau Neraka. Selamat berpisah!"
Setelah berkata demikian, Suma Han sengaja mengerahkan kepandaiannya
sehingga dalam sekejap mata saja tubuhnya berkelebat dan lenyap dari
depan mereka semua. Para anak buah dua rombongan itu bengong
terheran-heran dan penuh kekaguman, apa lagi kalau mereka teringat akan
peristiwa malam tadi dan nama besar Pendekar Siluman mulai saat itu
makin terkenal, bahkan semenjak hari itu, Suma Han lebih dikenal sebagai
Pendekar Siluman dari pada Pendekar Super Sakti.....
********************
"Adikmu yang seperti setan itu hanya mendatangkan mala petaka saja!
Sungguh celaka! Kalau tahu begini, sampai mati pun tidak sudi aku
mengambil engkau menjadi isteriku! Adikmu itu telah berani melarikan
Puteri Nirahai dari istana! Celaka, sekarang kita tentu akan tertimpa
bencana karena engkau adalah cici-nya!" Giam Cu, panglima brewok
bertubuh tinggi besar itu menggebrak meja dan melotot kepada isterinya
yang memandangnya dengan mata terbelalak dan air mata bercucuran.
Isterinya yang muda dan cantik itu adalah Sie Leng, atau lebih tepat
Suma Leng, kakak perempuan dan satu-satunya saudara kandung dari Suma
Han. Dalam cerita ‘Pedekar Super Sakti’ telah diceritakan bahwa Suma
Leng ini, ketika masih dara remaja, telah diperkosa dan diculik oleh
panglima Mancu dan kemudian diambil menjadi isterinya karena panglima
itu ternyata jatuh cinta kepada karbannya ini.
"Kalau dia melarikan Puteri Nirahai, tentu ada sebab-sebabnya sendiri,
sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Mengapa engkau
ribut-ribut?" Suma Leng membantah, akan tetapi ia menjadi cemas
menyaksikan sikap suaminya kepadanya yang amat berubah ini. Baru
sekarang suaminya yang biasanya memperlihatkan sikap kasih sayang,
kelihatan marah-marah dan sinar kebencian terpancar dari mata.
"Tiada sangkut pautnya katamu?" Panglima Giam Cu bangkit berdiri dan tinjunya menghantam permukaan meja.
"Brakkk!" Meja itu pecah-pecah menjadi beberapa potong.
"Semua orang tahu bahwa engkau adalah kakak siluman buntung itu! Maka
tentu kita sekeluarga akan dicap sebagai keluarga pemberontak jahat!
Gara-gara engkau mempunyai adik siluman, aku pun akan turut celaka
pula." Wajah panglima itu menjadi pucat teringat akan bahaya yang
mengancam dirinya sendiri. "Kecuali kalau..."
Suma Leng mendapat firasat buruk. Jantungnya berdebar ketika mendengar
kalimat terakhir yang tak lengkap itu keluar perlahan-lahan dari mulut
suaminya. Dengan nada yang rendah dan lirih ia bertanya, "...kecuali
kalau apa...?"
Akan tetapi pertanyaannya ini disusul jerit mengerikan karena tiba-tiba
berkelebat sinar menyilaukan dan tahu-tahu ujung pedang di tangan Giam
Cu telah menembus dada isterinya yang biasanya amat dicintanya itu!
Suma Leng terbelalak memandang suaminya, tangannya mendekap dadanya yang
tertusuk pedang. "Kau... kau...," ia terengah-engah, terhuyung ke
belakang.
Sedetik Panglima Giam Cu merasa menyesal, akan tetapi segera ditekannya
dengan keyakinan bahwa jalan ini terbaik baginya untuk menyelamatkan
diri. "Terpaksa, demi keselamatanku, demi Hong-ji (Anak Hong)..."
"Ibu...! Ibuuuuu...!" Seorang anak perempuan berusia tiga tahun lebih berlari-lari dari dalam.
Seorang kanak-kanak memiliki perasaan yang sangat tajam dan halus
sekali. Apa lagi dengan ibunya, dia memiliki pertalian jiwa raga yang
dekat sehingga anak perempuan yang biasanya diasuh oleh para pelayan,
kini seperti digerakkan sesuatu yang mukjizat, meronta dan berlari
mencari ibunya!
"Kwi Hong...!" Suma Leng roboh sambil menyebut nama puterinya.
"Ibuuuu...!" Kwi Hong, bocah berusia tiga tahun lebih itu memasuki kamar dan berlari menghampiri ibunya.
Tiba-tiba tangan Panglima Giam menyambar tengkuknya, akan tetapi bocah itu lalu meronta dan menangis dalam pondongan ayahnya.
"Aku mau Ibu...! Lepaskan, aku akan turut Ibu...!"
"Husshh! Ibumu jahat dan nakal, engkau turut Ayah saja!" bentak Panglima
Giam Cu dalam usahanya menghibur anaknya secara kaku dan kasar.
"Tidakkkk...! Aku mau Ibu... mau Ibu...!" Anak itu meronta-ronta.
"Kwi Hong... Kwi Hong... engkau... engkau hati-hatilah anakku...
ohhhhhh!" Suma Leng menghembuskan napas terakhir dan bagaikan digerakkan
sesuatu, anak itu menjerit dan menangis sekerasnya.
"Diam! Kutampar engkau kalau tidak mau diam!" Giam Cu membentak, namun
anak itu tetap menangis sehingga panglima yang kasar ini menjadi marah
dan benar-benar menampar pipi Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun
lebih itu.
Para pelayan datang dan mereka terkejut menyaksikan nyonya majikan
mereka menggeletak di lantai dengan dada tertembus pedang dan tidak
bernyawa lagi. Giam Cu menerangkan. "Dia membunuh diri karena malu
mengingat adiknya Suma Han yang menjadi siluman kaki buntung dan
menimbulkan keributan di istana."
Para pelayan mengundurkan diri sambil memondong Kwi Hong dan ramailah
berita tentang kematian isteri panglima ini yang membunuh diri. Berita
ini tentu saja terdengar oleh Kaisar dan tepat seperti yang
diperhitungkan Giam Cu, dia tidak diganggu oleh Istana berhubung dengan
perbuatan Suma Han yang melarikan Puteri Nirahai karena orang yang
menjadi kakak pemuda buntung itu telah membunuh diri!
Akan tetapi, tentu saja penghuni gedung panglima ini dapat menduga bahwa
nyonya majikan mereka sama sekali tidak membunuh diri, melainkan
dibunuh oleh Giam-ciangkun. Namun mereka tidak berani bicara tentang
itu. Lagi pula, andai kata Kaisar sendiri mendengar bahwa kematian kakak
perempuan Suma Han itu disebabkan oleh pembunuhan Giam Cu, hal ini
bahkan akan memperbesar kepercayaan pihak istana terhadap kesetiaan Giam
Cu!
Kurang lebih empat bulan kemudian, pada suatu malam yang sunyi,
menjelang tengah malam, Panglima Giam Cu terbangun dari tidurnya. Ia
terkejut sekali melihat bayangan orang dalam kamarnya. Cepat ia
mendorong tubuh wanita muda yang montok dan hangat itu, yang menjadi
kekasihnya semenjak isterinya tewas, dan dengan hanya berpakaian dalam
ia meloncat turun dari pembaringan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya
ketika ia mengenal orang yang berdiri di dalam kamarnya itu, seorang
laki-laki muda berkaki tunggal, bertongkat, rambutnya riap-riapan
berwarna putih semua. Suma Han!
Memang benarlah. Suma Han atau Si Pendekar Siluman yang berada di dalam
kamar itu. Setelah berhasil menyelamatkan putera Bhok Khim di kelenteng
tua itu dan menyerahkan anak itu kepada Siauw Lam Hwesio, pendekar ini
diam-diam pergi ke kota raja untuk mengunjungi enci-nya dan minta diri
karena ia mengambil keputusan untuk pergi mencari Pulau Es dan
menghabiskan sisa hidupnya di tempat itu. Ia ingin bertemu dengan
enci-nya untuk terakhir kalinya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka
hatinya mendengar bahwa enci-nya itu telah mati membunuh diri beberapa
bulan yang lalu, yaitu beberapa hari setelah ia melarikan Puteri Nirahai
dari penjara!
Karena merasa penasaran dan ingin menyelidiki, maka pada tengah malam
itu Suma Han mempergunakan kepandaiannya memasuki kamar cihu-nya (kakak
iparnya). Sebelum Giam Cu hilang kagetnya, Suma Han telah menggerakkan
tongkat dan sekali totokan membuat tubuh Giam Cu tak dapat digerakkan
lagi. Wanita muda yang telanjang bulat itu terbangun dan hendak
menjerit, namun kembali Suma Han menotok sehingga wanita itu roboh lemas
kembali ke atas kasur.
Suma Han menatap wajah cihu-nya, kemudian terdengar suaranya lirih penuh wibawa yang aneh, "Ceritakan sebab kematian Enci Leng!"
Seperti dalam mimpi, yang membuat ia ketakutan setengah mati, panglima
itu mendengar suaranya sendiri, suara yang agaknya tak dapat ia
kendalikan dan kuasai lagi, yang bicara tanpa dapat dicegahnya, "Dia
mati kubunuh, kutusuk pedang dari dada tembus ke punggungnya."
Suma Han memejamkan mata sejenak untuk ‘menelan’ kemarahan yang menyesak
dada, lalu membuka lagi matanya dan bertanya, "Mengapa engkau
membunuhnya? Bukankah engkau amat sayang sekali kepada Enci Leng?"
Seperti sebuah arca yang mendadak bisa bicara, terdengar panglima itu
menjawab, "Aku masih sayang kepadanya... tetapi... aku harus
membunuhnya. Itulah jalan satu-satunya bagiku untuk menyelamatkan diri
dari kemarahan Kaisar karena perbuatan adiknya. Aku menyesal... akan
tetapi terpaksa...!"
Suma Han menarik napas panjang, kemudian berkelebat keluar dari kamar
itu. Tak lama kemudian, tampaklah tubuhnya mencelat-celat di atas
wuwungan rumah-rumah kota raja meloncati tembok kota keluar dari kota
raja. Akan tetapi sekarang lengan kanannya memondong seorang anak kecil
yang terbungkus selimut merah tebal. Seorang bocah yang masih tidur,
yakni Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih, yang tidur nyenyak
tidak tahu bahwa dia telah dibawa pergi pamannya meninggalkan gedung
ayahnya, meninggalkan kota raja, bahkan meninggalkan dunia ramai!
Memang, semenjak perbuatan terakhir yang kembali menggemparkan kota raja
karena semua orang menemukan Giam-ciangkun dalam keadaan berubah
ingatan dan puteri panglima itu lenyap sehingga orang-orang mulai
menduga bahwa ini tentu perbuatan Pendekar Siluman, diperkuat oleh
kesaksian selir panglima itu yang melihat laki-laki buntung dalam kamar,
semenjak itulah Suma Han lenyap dari dunia ramai. Akhirnya Kaisar
menghentikan usahanya untuk mencari pendekar ini, juga sudah putus
harapan untuk dapat menemukan kembali Puteri Nirahai yang hilang.
Masih banyak sekali urusan yang lebih penting dari pada hilangnya puteri
dari selir ini, terutama sekali urusan penumpasan para pemberontak di
Secuan. Setelah berhasil mengadakan persekutuan dengan Pangeran Kiu yang
bersaing dengan Raja Muda Bu Sam Kwi, dan bersekutu pula dengan Tibet,
pasukan-pasukan Mancu kembali melakukan penyerbuan dan tekanan-tekanan
di Secuan terus-menerus dilakukan. Pihak pejuang yang melawan kekuasaan
pemerintah Mancu melakukan perlawanan mati-matian. Akan tetapi, berkat
siasat yang dilakukan Puteri Nirahai dahulu, yaitu mendekati dan
menjanjikan perdamaian dengan para tokoh kang-ouw, kini perlawanan Bu
Sam Kwi kehilangan bantuan orang-orang pandai dari dunia kang-ouw
sehingga makin lama pertahanannya menjadi makin lemah.
Memang patut dikagumi keuletan pertahanan pihak Secuan yang pantang
mundur. Bahkan matinya Raja Muda Bu Sam Kwi masih belum meruntuhkan
semangat perlawanan pasukan Secuan. Mereka terus mengadakan perlawanan
gigih dan barulah setelah melakukan perang lagi selama empat tahun
lebih, pada tabun 1681 semua pertahanan dapat dihancurkan dan Secuan
dapat direbut oleh tentara Mancu. Dengan jatuhnya Secuan, berhenti pula
perang dan mulai saat itulah pemerintah Mancu dapat menguasai seluruh
Tiong-goan.
Ternyata pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi cukup
bijaksana dan ternyata pula bahwa orang-orang Mancu tidak hanya pandai
perang, melainkan pandai pula mengatur pemerintahan. Untuk menundukkan
semangat perlawanan bangsa pribumi, pemerintah mengadakan peraturan yang
keras. Model pakaian diganti dan rakyat dianjurkan bahkan kadang-kadang
dengan kekerasan, untuk merobah model pakaian Mancu. Rambut harus
dibiarkan panjang dan dikuncir. Selain ini, diadakan pula larangan
membawa senjata tajam.
Namun di samping kekerasan ini, pemerintah pun menjalankan siasat lunak
yang menyenangkan hati rakyat. Korupsi dan penyuapan diberantas,
kejahatan dihukum keras. Pribumi yang memiliki kepandaian mendapat
kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan penting. Kebudayaan
ditingkatkan dan dipelihara. Rakyat mulai merasa lega karena biar pun
negara dijajah bangsa asing, namun penghidupan mereka kini lebih
tenteram dan keselamatan mereka terjamin. Terutama sekali karena bangsa
Mancu tidak menganggap mereka sebagai pendatang atau orang asing, tidak
mengangkut kekayaan di bumi yang dijajah itu ke Mancu, melainkan melebur
diri menjadi rakyat dari negara itu. Para pembesar dan bangsawan
mempelajari kebudayaan Tiongkok bahkan keluarga mereka mulai berbicara
dalam bahasa bangsa jajahannya ini.
Dalam keadaan yang mulai tenteram inilah maka timbul kembali
partai-partai persilatan yang tadinya tenggelam dan menyembunyikan diri.
Karena sekarang tidak ada lagi ‘musuh rakyat’ yang harus mereka lawan
dengan ilmu kepandaian mereka, mulailah lagi timbul penyakit lama kaum
kang-ouw ini, yaitu berlomba untuk menjagoi di dunia persilatan! Mulai
kambuh kembali penyakit ingin mencari dan menguasai semua pusaka-pusaka
peninggalan tokoh-tokoh persilatan yang sakti, mulai memperebutkan
pusaka-pusaka untuk memperkuat kedudukan masing-masing agar dapat
menjadi jagoan nomor satu di dunia kang-ouw.
Dalam pandangan kaum kang-ouw ini, pemerintah yang baru mendatangkan
kesan baik, maka sebagian ada yang menghambakan diri kepada pemerintah
untuk memperkokoh kedudukan dan kemuliaan. Namun, kaum persilatan yang
memang berwatak aneh itu merupakan petualang-petualang yang haus akan
ketegangan-ketegangan, maka lebih banyak lagi yang tidak mengikatkan
diri dengan pemerintah dan hidup bebas seperti yang ditempuh nenek
moyang mereka di dunia kang-ouw.
Lima tahun telah lewat dengan aman dan tenteram. Tidak terjadi
ketegangan di dunia kang-ouw selama lima tahun itu. Namun ada terdengar
berita bahwa terjadi perubahan-perubahan yang amat hebat di dalam
partai-partai besar. Agaknya partai-partai besar itu selama lima tahun
ini sibuk dengan urusan dalam partai sendiri, tentang penggantian ketua,
dewan pimpinan dan lain-lain, juga memperkuat kedudukan untuk
menghadapi ‘sesuatu’ yang dibisik-bisikkan sebagai hal amat gawat!
Karena itu, di dalam ketenangan itu bersembunyi sesuatu yang
sewaktu-waktu akan meledak di dunia kang-ouw! Api dalam sekam yang
setiap saat dapat berkobar! Bisul yang makin lama makin membesar, siap
untuk pecah!
Ada terdengar berita bahwa sekarang para tokoh-tokoh besar di dunia
kang-ouw mulai mengincar kedudukan dan tingkat di dunia persilatan. Hal
ini tidak mengherankan oleh karena bukankah tokoh-tokoh lama sudah
lenyap dan banyak yang mengundurkan diri tanpa pamit? Akan tetapi, semua
orang kang-ouw tahu bahwa perebutan tingkat di dunia kang-ouw tidak
kalah ramainya dengan saingan perebutan sebuah kerajaan!
Selama lima tahun itu, Siauw-lim-pai juga mengalami kejadian-kejadian
amat penting. Pertama adalah meninggalnya Kian Ti Hosiang tokoh tertua
dari Siauw-lim-pai, disusul setahun kemudian dengan meninggalnya Ceng
San Hwesio Ketua Siauw-lim-pai. Setelah dua orang tokoh ini meninggal
dunia, tidak ada lagi yang menjadi pimpinan yang ditakuti, maka
terjadilah guncangan-guncangan akibat perebutan kekuasaan dan anak
muridnya terpecah karena mempertahankan pilihan calon ketua
masing-masing.
Di dalam keributan dan guncangan itu, Siauw Lam Hwesio turun tangan.
Hwesio tua ini sebetulnya hanyalah seorang hwesio yang kedudukannya
rendah, dan tidak pernah mencampuri urusan partai. Akan tetapi oleh
kerena dia bekas pelayan Kian Ti Hosiang dan semua hwesio tahu bahwa
Siauw Lam Hwesio mewarisi ilmu kepandaian Kian Ti Hosiang sehingga
jarang ada murid Siauw-lim-pai lain yang mampu mengimbangi tingkatnya,
maka ketika Siauw Lam Hwesio turun tangan melerai, nasihatnya ditaati.
Apa lagi karena Siauw Lam Hwesio yang biasanya pendiam dan sabar itu
agaknya menjadi marah sekali menyaksikan perebutan kekuasaan antara
saudara seperguruan, sehingga terlontarlah kata-kata dan keputusannya.
"Tidak mau insaf jugakah kalian betapa nama kita sebagai pendeta-pendeta
menjadi bahan ejekan dan kecaman dunia? Betapa banyak orang-orang yang
berpakaian seperti pendeta akan tetapi kelakuannya amat jahat. Mereka
itu sebetulnya hanyalah penjahat-penjahat yang menyembunyikan diri dalam
pakaian pendeta, tetapi perbuatan mereka itu telah mencemarkan nama
kita. Sekarang, kalian sebagai pendeta-pendeta asli, sebagai
hwesio-hwesio murid Siauw-lim-si yang sejak kecil digembleng dengan ilmu
dan kebatinan, ternyata masih tidak mampu menguasai nafsu akan
kemuliaan dan kedudukan sehingga kedudukan ketua saja diperebutkan!
Kalau begitu, apa artinya kalian menggunduli rambut kepala? Apa artinya
kepala gundul akan tetapi hatinya berbulu? Sungguh mencemarkan dan
memalukan perbuatan kalian ini sehingga pinceng sendiri merasa malu
untuk berpakaian pendeta dan menggunduli kepala. Nah, mulai sekarang
biarlah aku tidak menjadi pendeta lagi, kepalaku tidak gundul lagi agar
jangan dikira aku pun seorang busuk menyamar sebagai pendeta hwesio!"
Setelah berkata demikian, Siauw Lam Hwesio mengeluarkan ilmunya yang
mukjizat. Seluruh tubuhnya menggigil, kulit tubuhnya mengeluarkan
keringat dan... di permukaan kepalanya yang gundul licin itu tiba-tiba
telah tumbuh rambut yang panjangnya ada dua senti! Ketika ia
menggerakkan tubuh, pakaian pendeta yang menempel di tubuhnya hancur
berantakan!
Melihat kesaktian yang hebat ini, para murid Siauw-lim-pai tunduk dan
dapatlah kini dipilih seorang ketua baru tanpa adanya pertentangan. Anak
laki-laki putera Bhok Kim yang dibawa ke kuil Siauw-lim-si oleh kakek
itu kini telah menjadi muridnya dan tinggal pula di Siauw-lim-si
membantu pekerjaan gurunya sebagai pelayan. Semua hwesio di kuil itu
sayang kepada Bun Beng, demikian nama anak itu, karena bocah itu amat
rajin dan penurut, pula memiliki kecerdikan yang luar biasa dengan
wajahnya yang tampan dan sepasang matanya yang bening tajam.
Sejak peristiwa hebat di mana Siauw Lam Hwesio menumbuhkan rambutnya
itu, dia bersama Bun Beng masih tinggal di dalam kuil, di bagian
belakang dan mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, membersihkan kuil,
mengisi air, menyapu dan lain-lain, dibantu oleh muridnya.
Pada malam itu, setelah makan malam dan mengaso, Bun Beng melihat wajah
gurunya muram. Gurunya memang tidak pernah berseri mukanya, akan tetapi
biasanya wajah gurunya itu hanya dingin saja, tidak seperti malam ini
jelas membayangkan kemuraman. Kakek itu kini rambutnya telah panjang
sampai lewat pundak, jenggot dan kumisnya juga panjang. Rambut dan
jenggot itu telah putih semua, seperti benang-benang perak, dan
pakaiannya sederhana sekali.
"Suhu, apakah yang mengganggu pikiran Suhu?" Bun Beng bertanya ketika
guru dan murid ini duduk di atas pembaringan dalam kamar mereka.
Kakek yang kini tidak menggunakan sebutan hwesio lagi melainkan hanya
Kakek Siauw Lam saja, memandang muridnya sambil menyembunyikan kekaguman
hatinya dari sinar matanya. Benar seorang bocah yang luar biasa,
pikirnya. Selama lima tahun ini, dalam pelajaran sastera semua kitab
kuno yang berada di perpustakaan kuil habis ‘dilahapnya’, sedangkan
dalam pelajaran ilmu silat, bocah ini memiliki bakat yang menakjubkan.
Sekali diajar terus dapat mengerti dan menguasai! Hal ini masih belum
mengagumkan hati kakek Siauw Lam, dan yang benar-benar mengagumkan
hatinya adalah pandangan yang amat luas dari bocah ini. Usia Bun Beng
baru sepuluh tahun lebih, akan tetapi bocah ini sudah dapat mengerti
bahwa saat itu dia sedang menderita gangguan pikiran! Bukan main!
Kakek itu menarik napas panjang, lalu menjawab, "Betapa pikiran takkan
terganggu kalau menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan, muridku?
Semenjak dunia berkembang, manusia selalu menjadi hamba dari nafsu
mereka sendiri sehingga timbullah hal-hal yang saling merugikan di
antara manusia. Kita yang mempelajari ilmu silat, sedikit banyak
mempunyai pertalian dengan dunia persilatan. Karena itu mendengar akan
keruhnya dunia kang-ouw pada saat ini, mau tidak mau hatiku menjadi pilu
dan penuh kekhawatiran akan terjadi bentrokan-bentrokan hebat di antara
para pendekar sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang gagah
secara sia-sia belaka."
"Apakah yang terjadi di dunia kang-ouw, Suhu?"
Tampaknya memang aneh mendengar seorang kakek tua membicarakan urusan
dunia kang-ouw dengan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun
lebih. Akan tetapi karena Kakek Siauw Lam maklum bahwa Bun Beng bukanlah
bocah biasa, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bercerita.
"Dunia kang-ouw yang selama ini tampak tenteram dan penuh damai, kini
mulai geger dengan adanya berita yang amat mengejutkan. Pertama,
lenyapnya pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas yang amat
dipuja oleh kaum kang-ouw, baik dari golongan hitam mau pun golongan
putih. Kedua, lenyapnya sepasang pusaka yang menggiriskan, yaitu
Sepasang Pedang Iblis! Hanya diketahui bahwa kuburan kedua orang
Siang-mo-kiam tahu-tahu dibongkar orang dan diduga bahwa Sepasang Pedang
Iblis yang tentu berada dengan sisa jenazah kedua orang pemiliknya itu
telah diambil pembongkar kuburan. Kalau pusaka-pusaka peninggalan Suling
Emas amat dipuja dunia kang-ouw sebagai pusaka-pusaka keramat yang
patut dihormat, adalah Sepasang Pedang Iblis merupakan pusaka yang
mengerikan dan menakutkan karena munculnya Sepasang Pedang Iblis itu
berarti munculnya pula geger dan keributan di dunia kang-ouw. Hal ke
tiga adalah berita tentang ditemukannya kitab-kitab warisan keluarga Bu
Kek Siansu dan kabar yang menghebohkan adalah bahwa kini pemerintah
telah menguasai peta penyimpanan pusaka-pusaka itu. Karena pendengaran
orang kang-ouw amat tajam, kini sudah diketahui pula bahwa tempat itu
adalah sebuah di antara pulau-pulau karang kecil di tengah-tengah Sungai
Huang-ho yang sudah dekat dengan muaranya di Teluk Po-hai. Nah, dengan
adanya berita ini, aku menduga bahwa tentu tokoh-tokoh kang-ouw yang
memiliki kepandaian tinggi sedang berlomba untuk mendapatkan
pusaka-pusaka itu, tentu ramailah Sungai Huang-ho di daerah itu."
"Daerah mana, Suhu?"
"Kabarnya sesudah melewati Terusan Besar, bahkan sesudah lewat kota
Cin-an, di sebelah timurnya, hanya beberapa puluh li saja dari pantai
laut."
"Siapa sajakah yang akan muncul, Suhu? Apakah... Pendekar Siluman juga akan hadir?"
Selama lima tahun ini, tak pernah Bun Beng dapat melupakan Pendekar
Siluman berkaki buntung yang pernah menolongnya. Sudah sering kali ia
bertanya kepada suhunya tentang diri Suma Han, akan tetapi gurunya
agaknya enggan bicara tentang Pendekar Siluman itu.
"Entahlah, mana aku tahu siapa yang akan muncul? Hanya kabarnya sekarang
ini di dunia kang-ouw telah muncul banyak sekali orang yang memiliki
kesaktian luar biasa."
"Seperti Pendekar Siluman?"
Kakek itu memandang muridnya, sinar matanya tersenyum. "Mungkin lebih!
Biar pun aku hanya mendengar beritanya saja, namun kabarnya kini
Thian-liong-pang memiliki seorang ketua yang kepandaiannya seperti dewa!
Dan juga bermunculan tokoh-tokoh dari Pulau Neraka yang kabarnya
mempunyai kepandaian seperti iblis-iblis neraka sendiri. Tentang
ketuanya, belum pernah ada orang melihatnya, penuh rahasia seperti ketua
baru Thian-liong-pang! Ketua dua partai ini hanya kabarnya saja yang
sudah keluar ke dunia kang-ouw, namun mungkin jarang ada yang pernah
melihat mereka. Di samping Thian-liong-pang dan pulau Neraka, kini
bahkan muncul kabar tentang partai baru, yaitu penghuni-penghuni Pulau
Es!"
"Pendekar Siluman...?" Bun Beng makin tertarik.
"Entahlah. Tentang pulau Es ini lebih mengherankan lagi dan penuh
rahasia. Tidak ada yang tahu pula siapa ketuanya, namun kabarnya, anak
buahnya pun sudah memiliki kesaktian luar biasa. Apa lagi ketuanya!"
Mendengar penuturan tentang dunia kang-ouw dengan banyak keanehannya
itu, hati Bun Beng tertarik bukan main. Kalau gurunya bicara, pandang
matanya seolah-olah melekat dan tergantung pada bibir gurunya untuk
mengikuti gerak-gerik agar jangan ada sepatah pun kata yang terlewat
oleh penangkapannya. Kalau gurunya berhenti, ia pun termenung dan
pikirannya melayang-layang jauh sekali.
Biar pun Kakek Siauw Lam hanya mendengarkan penuturan anak murid
Siauw-lim-pai yang juga mendengarnya sebagai kabar angin saja, namun
sesungguhnya kabar itu banyak yang benar. Memang telah terjadi hal-hal
luar biasa di dunia kang-ouw selama beberapa tahun ini.
Pertama adalah tentang lenyapnya pusaka-pusaka keluarga Suling Emas.
Pusaka-pusaka ini, termasuk senjata keramat Pendekar Sakti Suling Emas
yang berbentuk sebatang suling emas yang indah, tadinya tersimpan di
tanah kuburan keluarga Suling Emas yang terletak di daerah Khitan. Tanah
kuburan ini terjaga keras oleh seorang tokoh sakti yang disegani karena
selain dia bekas pelayan keturunan terakhir keluarga pendekar itu, juga
berkali-kali merobohkan orang-orang yang berusaha merampas
pusaka-pusaka itu.
Ketika Puteri Nirahai mengunjungi kuburan
itu untuk meminjam suling emas guna mempengaruhi kaum kang-ouw, puteri
ini pun kewalahan menghadapi penjaga yang sakti itu. Penjaga itu adalah
kakek bongkok Gu Toan yang setia, yang menjaga kuburan keluarga Suling
Emas, membela seluruh pusaka, lebih-lebih dari pada membela nyawanya
sendiri! Akan tetapi, geger pertama mengguncang dunia kang-ouw ketika
pada suatu hari kakek bongkok Gu Toan itu tanpa terluka terdapat sudah
tak bernyawa lagi di depan pintu pagar kuburan, dan semua pusaka telah
lenyap tanpa bekas!
Dunia kang-ouw geger, para tokoh saling mencurigai, saling menyelidik,
tetapi pusaka-pusaka itu tak pernah dapat ditemukan jejaknya!
Keguncangan ini belum juga reda, dunia kang-ouw sudah digegerkan oleh
guncangan ke dua, yaitu ketika tokoh-tokoh tua menemukan kuburan
Siang-mo-kiam telah dibongkar orang dan Sepasang Pedang Iblis yang
diduga berada di dalam kuburan itu telah lenyap. Atau lebih tepat lagi,
tidak ada orang yang tahu sebelumnya bahwa Siang-mo-kiam telah tewas,
menduga bahwa setelah dua orang iblis jantan betina itu tewas namun
Sepasang Pedang Iblis tak dapat ditemukan pada sisa mayat mereka,
tentulah Sepasang Pedang Iblis itu telah terjatuh ke tangan orang lain.
Dan hal ini berarti BAHAYA!
Telah diceritakan dalam cerita "Pendekar Super Sakti" bahwa yang
mengubur jenazah Siang-mo-kiam itu adalah Suma Han dan adik angkatnya,
Lulu gadis Mancu. Siang-mo-kiam merupakan sepasang kakek dan nenek yang
aneh sekali, dan keanehan itu agaknya terpengaruh oleh Sepasang Pedang
Iblis yang memiliki riwayat menyeramkan dan aneh.
Ratusan tahun yang lalu, di jamannya Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam
puteri Pendekar Suling Emas, sepasang pedang itu dibuat oleh sepasang
kakek nenek berbangsa India yang amat sakti, aneh dan ganas sekali.
Karena mereka berdua kalah dalam pertandingan melawan Pendekar Wanita
Mutiara Hitam, maka keduanya lalu membayar taruhan mereka, yaitu membuatkan sepasang pedang, masing-masing membuat sebatang untuk Mutiara Hitam.
Cara pembuatan pedang itu luar biasa sekali, bahannya pun dari dua
bongkah logam aneh milik Mutiara Hitam. Kedua orang kakek nenek India
yang selalu berlomba tidak mau saling mengalah itu, kini berlomba pula
dalam membuat pedang. Bentuk pedang serupa karena memang contohnya
diberikan oleh Mutiara Hitam, maka keduanya lalu bersaing untuk membuat
pedang yang lebih ampuh! Untuk ini, mereka tidak segan-segan untuk
mengorbankan anak-anak kecil yang diambil darahnya untuk dijadikan
‘bumbu’ dalam ‘memasak’ pedang! Bahkan akhirnya, persaingan itu memuncak
sedemikian rupa sehingga kakek dan nenek itu saling bunuh dengan pedang
mereka pada saat Mutiara Hitam datang hendak mengambilnya!
Sepasang Pedang Iblis itu kemudian terjatuh ke tangan dua orang murid
Mutiara Hitam laki-laki dan perempuan. Sejarah berulang. Mereka yang
sebetulnya saling mencinta ini, lalu saling bersaing tidak mau kalah
sehingga berubah menjadi ganas sekali dan akhirnya, sebagai kakek dan
nenek, mereka pun tewas oleh pedang masing-masing! Jenazah kedua kakek
dan nenek murid Mutiara Hitam ini dikubur oleh Suma Han dan Lulu. Kedua
orang yang pada waktu itu masih amat muda itu mengubur pula Sepasang
Pedang Iblis bersama dua jenazah itu.
Demikian riwayat Sepasang Pedang Iblis yang kini telah lenyap pula. Bagaimana dunia kang-ouw tidak akan menjadi geger karenanya?
Bukan hanya lenyapnya pusaka Keluarga Suling Emas dan Sepasang Pedang
Iblis saja yang menggegerkan dunia kang-ouw dan kaum persilatan, akan
tetapi berita tentang ditemukannya kitab-kitab pusaka warisan keluarga
Bu Kek Siansu tidak kalah hangatnya. Nama Bu Kek Siansu, orang kang-ouw
manakah yang tidak mengenalnya? Pendekar Sakti Suling Emas banyak
menerima ilmu dari kakek sakti yang dianggap manusia dewa itu!
Bahkan banyak tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam juga memperoleh ilmu
dari Bu Kek Siansu karena dahulu kabarnya setiap tahun Bu Kek Siansu
‘turun’ ke dunia untuk membagi-bagikan ilmu kepada mereka yang berjodoh
dengannya! Ilmu-ilmu mukjizat yang dimiliki kaum sesat, seperti Hwi-yang
Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) dan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti
Inti Salju) kabarnya juga berasal dari ilmu yang diberikan oleh Bu Kek
Siansu! Maka kalau sekarang tersiar berita bahwa kitab-kitab pusaka
peninggalan keluarga Bu Kek Siansu ditemukan, tentu saja dunia kang-ouw
menjadi geger!
Kabar terakhir tentang ditemukannya peta yang menunjukkan tempat
penyimpanan pusaka-pusaka dan kitab-kitab oleh pemerintah telah menjadi
puncak ketegangan dan kehebohan sehingga memancing keluar orang-orang
sakti yang selama ini lebih suka menyembunyikan diri di dalam goa-goa
rahasia, di dalam pulau-pulau terasing, atau di puncak-puncak gunung
yang tak pernah dikunjungi manusia.
"Suhu, teecu ingin mohon perkenan Suhu untuk pergi melihat keramaian dan
bertemu dengan tokoh-tokoh sakti!" Tiba-tiba Bun Beng berkata setelah
termenung sejenak.
Kakek Siauw Lam terkejut, memandang muridnya dengan alis berkerut, "Ah,
apakah kau kira hal itu merupakan main-main? Kalau para tokoh itu sudah
bertemu dan saling memperebutkan pusaka, keadaan amatlah berbahaya! Dan
pula, tempat itu amat jauh dari sini, melalui perjalanan yang amat lama
dan penuh dengan ancaman bahaya maut!"
"Suhu, tanpa menghadapi kesukaran dan menempuh bahaya, bagaimana teecu
akan bisa memperoleh kemajuan? Pengalaman itu tentu amat berguna bagi
teecu, selain menambah pengetahuan, juga memberi kesempatan kepada teecu
untuk bertemu dengan orang-orang sakti! Suhu, harap Suhu sudi
meluluskan permintaan teecu ini."
Kakek itu sudah cukup mengenal watak muridnya yang dididiknya selama
lima tahun itu. Muridnya ini, di samping bakat-bakat dan watak-watak
lainnya, juga memiliki keberanian yang tidak lumrah dimiliki anak kecil,
di samping kekerasan hati yang pantang mundur kalau sudah mempunyai
niat. Maka, melarang akan percuma saja, bahkan memberi kesempatan kepada
muridnya untuk melanggar larangannya. Dia mengerti bahwa kalau
dilarang, murid yang keras hati ini akan menjadi penasaran dan ada
kemungkinan akan minggat!
Kakek Siauw Lam lalu menarik napas panjang sambil berkata, "Hemmmm...
terserah kepadamu. Aku hanya ingin melihat apakah engkau benar-benar
berani menempuh segala bahaya itu."
"Suhu, terima kasih! Besok pagi-pagi teecu akan berangkat, mohon doa restu dari Suhu!"
Bun Beng menjadi gembira sekali, dan cepat membuat persiapan untuk
melakukan perjalanan jauh yang selamanya belum pernah ia tempuh itu.
Gurunya diam-diam merasa kagum sekali dan tersenyum di dalam hati.
********************
Waktu lima tahun memang merupakan waktu yang cukup lama dalam kehidupan
manusia, dan waktu ini cukup untuk mengubah keadaan manusia dengan
terjadinya hal-hal yang menimpa dirinya. Bukan hanya Siauw-lim-pai yang
mengalami perubahan hebat sehingga perubahan besar menimpa diri Siauw
Lam Hwesio yang kini telah meninggalkan kependetaannya dan menjadi orang
biasa karena kekecewaannya menyaksikan keributan yang terjadi di antara
murid-murid Siauw-lim-pai sendiri.
Perubahan besar telah pula menimpa diri Suma Han selama waktu itu.
Kekuasaan alam telah mempermainkan penghidupannya, dan agaknya memang
semenjak kecil Suma Han ditakdirkan untuk mengalami banyak hal-hal pahit
yang membuat dia dalam usia semuda itu sudah putih semua rambutnya dan
yang membuat dia bosan akan keramaian dunia sehingga dia ingin
mengasingkan diri dari pergaulan manusia. Untuk dapat mengikuti
pengalaman-pengalamannya, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya yang
penuh pengalaman dahsyat.
Setelah berhasil merampas keponakannya, Giam Kwi Hong yang berusia
hampir empat tahun, puteri dari mendiang enci-nya Suma Leng dan Panglima
Giam Cu, Suma Han lalu melarikan diri ke timur. Kwi Hong masih tidur
nyenyak dalam pondongannya dan baru pada keesokan harinya anak itu
terbangun. Melihat dirinya dalam pondongan seorang laki-laki yang tak
dikenalinya, anak itu menangis dan Suma Han mulai bingung. Susah payah
dia berusaha mendiamkan anak itu, namun sia-sia karena anak itu
menjerit-jerit mencari ibunya!
"Diamlah, Nak. Diamlah, Kwi Hong anak baik." Berulang kali ia menghibur
dengan suara halus dan penuh rasa kasihan teringat akan enci-nya yang
telah meninggal dunia. "Lihat, kucarikan buah-buah, kembang...!"
Sibuklah dia meloncat dan berlari ke sana-sini, memetik buah-buah dan
kembang, ditumpuknya di depan anak yang ia dudukkan di atas rumput itu.
Akan tetapi anak itu terus menangis.
"Ibuuuuu...! Aku mau turut Ibu... hi-hik-hikk...!" Kwi Hong menangis
terus tanpa peduli dengan tumpukan kembang dan buah-buahan itu,
menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan.
Suma Han yang tentu saja kurang pengalaman mengasuh anak kecil menjadi
makin bingung. Tak pernah disangkanya bahwa tangis seorang anak kecil
bisa membikin dia begitu bingung dan kehabisan akal! Sampai hampir satu
jam lamanya ia membujuk-bujuk tanpa hasil.
"Aduh, Kwi Hong... anak baik, dengarlah. Aku adalah Pamanmu sendiri, Kwi Hong. Aku adalah adik Ibumu, aku Paman Han...!"
Tangan yang menggosok-gosok mata itu berhenti dan kini mata yang bening
lebar itu memandangnya, tangisnya terhenti sebentar. Alangkah indahnya
mata itu, Suma Han memandang kagum, seolah-olah air mata itu mencuci
sepasang mata menjadi makin bening dan bersih!
"Paman Han Han...?"
Suma Han tersenyum lebar, "Benar! Benar! Tentu Ibumu pernah ceritakan
kepadamu. Aku Paman Han Han...!" Ia tertawa lega, tetapi kembali ia
tertegun bingung melihat Kwi Hong lagi-lagi menangis sedih.
"Ibuku...! Mana Ibuku...? Kalau Paman baik, antarkan aku kepada Ibu!"
Celaka! Bagaimana dia bisa mengantarkan anak ini kepada ibunya yang
sudah mati? Dan tidak mungkin pula menerangkan kepada bocah sekecil ini
bahwa ibunya telah mati. Melihat anak itu menangis terus, Suma Han makin
bingung. Tiba-tiba ia melihat seekor kelinci bergerak di antara rumpun
dan timbullah akalnya. Cepat ia meloncat dan sekali sambar ia sudah
berhasil menangkap kelinci putih itu.
"Kwi Hong, diamlah. Lihat, Paman menangkap kelinci cantik untukmu!" Suma Han memberikan binatang itu ke atas pangkuan Kwi Hong.
Anak itu memandang, tangisnya terhenti, matanya berseri dan dia sudah
lupa akan ibunya, memondong kelinci sambil tersenyum dan berkata.
"Kelinci cantik...!"
Baru sekarang Suma Han merasa betapa hatinya lega dan girang bukan main
hingga mau rasanya ia menari-nari dan menyanyi-nyanyi! Ia mencium pipi
anak itu, kemudian berkata, "Kwi Hong, kalau engkau tidak menangis lagi,
Pamanmu akan mencarikan binatang-binatang cantik untukmu. Sekarang
makanlah buah ini. Nih, Paman kupaskan kulitnya, manis sekali,
makanlah!"
Kwi Hong suka makan buah itu, apa lagi setelah Suma Han mengajarnya
memberi sedikit kepada kelinci yang dipondongnya. Demikianlah, dengan
akal sedapatnya bisa juga dia mengasuh Kwi Hong sambil melanjutkan
perjalanannya. Ia hendak mencari jalan menuju ke pantai laut di mana
dahulu ia mendarat bersama Lulu ketika mereka berdua meninggalkan Pulau
Es. Dia hendak kembali ke Pulau Es itu bersama Kwi Hong.
Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya dan sering kali dia
terpaksa menggunakan kekuatan mukjizatnya untuk menidurkan Kwi Hong
kalau anak itu terlalu rewel, akal yang jarang sekali ia pergunakan
kalau amat tidak terpaksa. Pada suatu senja tibalah Suma Han dan
keponakannya di tepi pantai yang terjal sekali. Air laut kebiruan tampak
dari atas seperti permadani biru terbentang luas, sedikit pun tidak
tampak bergoyang atau berombak saking tingginya tempat itu.
Dari tempat yang tinggi ini, Suma Han memandang ke kanan kiri dan
mulailah ia mengenal daerah ini. Jauh di bawah sana, di sebelah kiri, di
sanalah dia bersama Lulu, tiba-tiba tubuh Suma Han menjadi lemas dan
hatinya makin kosong. Semenjak ia berpisah dengan Nirahai kemudian
merayakan pernikahan Lulu, tahulah dia bahwa semenjak dahulu, dia hanya
mencinta Lulu seorang. Sampai kini pun hanyalah Lulu yang ia cinta,
sepenuh jiwa raganya dan ia rela menderita asal adiknya itu hidup
bahagia.
"Lulu, semoga engkau selalu hidup bahagia!" Ia berbisik lirih seperti orang berdoa.
"Paman Han Han, kau bilang apa?"
Kwi Hong dalam pondongannya bertanya sambil memandang wajah Suma Han.
Dalam kenangan yang mengharukan tadi, Suma Han sampai lupa kepada anak
yang dipondongnya. Kwi Hong pandai bicara dan karena suaranya masih
tidak jelas dan sepotong-sepotong, terdengar lucu sekali.
"Ah, tidak, Paman tidak bilang apa-apa." kata Suma Han sambil mengambung
pipi keponakannya itu, pipi yang halus montok kemerahan sehat.
"Paman tangkapkan binatang lagi! Kelinci lagi... kelinciku lari!"
"Di sini mana ada kelinci?"
"Uh-hu-huk, minta kelinci...!" Kwi Hong yang selalu dituruti
permitaannya oleh Suma Han, dalam waktu sebulan lebih saja kini sudah
pandai manja. Anak ini mengerti agaknya bahwa kalau dia menangis, apa
pun permintaannya akan dipenuhi, maka sekarang pun ia mempergunakan
‘senjatanya’ yang lihai ini!
"Di sini tidak ada kelinci. Ikan, ya? Ikan laut? Atau udang? Kepiting...
eh kepiting baik sekali, lucu sekali! Kutangkapkan kepiting, ya?"
"Tidak, tidak mau... hi-hi-hik, mau kelinci!" Kwi Hong menendang-nendangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala sambil mewek.
Suma Han menarik napas panjang. "Baiklah, baiklah... eh, rewel benar
anak ini." Ia menurunkan Kwi Hong yang seketika sudah berhenti menangis
ketika mendengar pamannya menyanggupi. Dia sudah terlalu biasa bahwa
sekali pamannya sanggup pasti akan dipenuhinya.
"Lihat baik-baik, nih, aku menjadi kelinci!" Suma Han menggunakan ilmunya yang mukjizat, mempengaruhi keponakannya sendiri.
Seketika Kwi Hong tertawa-tawa gembira melihat seekor kelinci putih
besar di depannya. Ia lupa sama sekali kepada pamannya yang sudah
lenyap. Sambil tertawa-tawa ia lalu mengelus-elus kepala kelinci itu dan
menarik-narik telinganya yang besar dengan penuh kasih sayang. Suma Han
menahan kegelian hatinya ketika kepalanya dielus-elus dan kedua
telinganya dijewer-jewer tangan kecil itu!
"Paman...! Paman Han Han...!" Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke atas, telunjuknya menuding-nuding ke atas.
"Tangkapkan burung itu! Lekas, Paman, tangkapkan burung...!" Anak itu
kini sudah lupa akan kelincinya dan bangkit berdiri, memandang ke atas
dan menuding-nuding sambil berteriak-teriak.
Suma Han menarik napas panjang dan menjadi tertarik, ikut pula memandang
ke atas. Terkejut dan heranlah dia ketika melihat dua ekor burung yang
besar-besar sekali sedang bertanding di angkasa dengan serunya!
"Heran sekali!" serunya. "Burung garuda dan rajawali...!"
"Tangkapkan burung, Paman. Lekas, tangkapkan burung itu...!" Kwi Hong bersorak.
Akan tetapi sekali ini Suma Han tidak memperhatikan permintaan
keponakannya karena ia tertarik sekali. Selama hidupnya dia baru
mendengar ceritanya saja tentang burung-burung garuda dan rajawali yang
demikian besarnya. Apa lagi sekarang dua ekor burung itu sedang
berkelahi dengan gerakan dahsyat sekali sambil mengeluarkan suara
melengking yang amat nyaring. Pertandingan yang hebat dan dahsyat di
angkasa!
Akan tetapi serangan dahsyat dari burung garuda membuat bulu dada
rajawali itu bodol dan Si Rajawali terbang menjauh sambil memekik
nyaring. Garuda itu pun mengeluarkan lengking nyaring dan terbang
berputaran, kemudian meluncur turun dan hinggap di atas sebatang pohon
besar tak jauh dari situ.
"Paman, tangkapkan burung... hi-hi-hik...!" Kwi Hong menangis ketika melihat dua ekor burung itu lenyap.
"Baiklah, jangan menangis. Kau duduk saja di sini, ya? Paman hendak
mencoba untuk menangkap burung itu." Suma Han sekali ini bukan ingin
menangkap burung semata-mata memenuhi permintaan keponakannya, melainkan
karena dia sendiri pun amat tertarik oleh burung garuda perkasa itu.
Akan dicobanya untuk menangkap burung raksasa itu! Cepat tubuhnya
mencelat mendekati pohon dan dengan kepandaiannya yang hebat, pendekar
ini meloncat naik ke atas pohon.
Burung garuda itu besar sekali! Tingginya tidak kalah oleh tingginya
manusia, kakinya besar kuat dan paruhnya menyeramkan! Burung itu sedang
membereskan bulunya yang agak kusut karena pertandingan tadi, maka dia
tidak tahu bahwa ada seorang manusia mendekatinya.
Dengan sebuah gerakan kilat, Suma Han meloncat ke atas punggung garuda,
lalu menggunakan lengannya merangkul leher sambil berseru, "Sin-eng
(Garuda Sakti), kita bersahabat!"
Tentu saja burung itu kaget sekali dan tidak mengerti ucapan Suma Han.
Dia berusaha memutar leher untuk menyerang, akan tetapi lengan yang
memeluknya demikian kuat sehingga dia tidak mampu menggerakkan lehernya.
Burung itu menjerit aneh dan tiba-tiba meloncat ke atas lalu terbang
membawa Suma Han yang masih duduk di atas punggungnya! Melihat ini Kwi
Hong bersorak, bangkit berdiri dan melambai-lambaikan kedua tangannya.
"Bagus...! Bagus sekali...! Paman, aku ikut...! Aku ikut terbang naik burung...!"
Walau pun selamanya baru sekali ini mengalami naik burung raksasa, Suma
Han tidak merasa takut. Ia hanya khawatir kalau-kalau burung itu
membawanya terbang jauh meninggalkan Kwi Hong. "Sin-eng, turunlah, kita
jemput anak itu...!"
Akan tetapi, dalam ketakutannya burung garuda itu malahan terbang
meluncur, terus membubung tinggi ke angkasa, seakan-akan hendak membawa
terbang Suma Han ke bulan yang pada senja hari itu sudah mulai tampak!
Suma Han mulai cemas dan memandang ke bawah. Dapat dibayangkan betapa
kaget rasa hatinya ketika ia melihat sesosok bayangan hitam meluncur
turun dan menyambar ke arah Kwi Hong yang masih berteriak-teriak sambil
melambai-lambaikan kedua tangannya. Bayangan itu bukan lain adalah
burung rajawali yang tadi bertanding dan dikalahkan oleh garuda putih
yang ditungganginya.
"Celaka...!" Suma Han berteriak melihat keponakannya dicengkeram oleh
kaki rajawali dan mendengar bocah itu berteriak-teriak menangis
ketakutan.
"Sin-eng, demi Tuhan, tolonglah Kwi Hong!" Suma Han mencengkeram leher
garuda dan memaksa kepala garuda itu ke bawah. Sang garuda kesakitan dan
bingung, akan tetapi karena kepalanya dipaksa menunduk, maka ia pun
mulai meluncur turun.
Suma Han menekan-nekan leher garuda ke arah rajawali dan berkata, "Sin-eng, kejar rajawali itu. Cepat...!"
Agaknya burung garuda itu biar pun tidak dapat mengerti ucapan Suma Han,
dapat mengenal makhluk yang jauh lebih kuat darinya, maka kini ia
selalu terbang menurut ke mana kepalanya dipaksa berpaling. Akhirnya ia
dapat melihat musuh besarnya, Si Burung Rajawali yang terbang cepat ke
arah lautan! Tanpa dikomando lagi, burung garuda itu terbang mengejar
dengan kecepatan luar biasa dan tak lama kemudian, tersusullah burung
rajawali yang mencengkeram Kwi Hong.
Anak itu masih menjerit-jerit dan bukan main cemas rasa hati Suma Han
melihat bahwa yang dicengkeram rajawali itu adalah punggung baju Kwi
Hong. Kalau baju itu robek, atau kalau rajawali itu melepaskan
cengkeramannya! Ia memandang ke bawah dan bergidik. Di bawah hanya
tampak air melulu, air kebiruan dari laut yang amat luas, mengerikan
dengan ombak besar membuih!
"Sin-eng, terbang ke bawahnya, serang dia dari bawah, selamatkan anak itu!" Suma Han mendorong kepala garuda.
Garuda itu menyerbu ke depan, menukik ke bawah tubuh rajawali. Dengan
gerakan tangkas sekali Suma Han mengulur tangan kanannya dan tongkatnya
memukul kaki yang mencengkeram. Rajawali memekik kesakitan, kaki yang
mencengkeram kena dipukul, cengkeramannya terlepas dan nyaris tubuh Kwi
Hong terlepas dari sambaran tangan Suma Han. Baiknya garuda itu dengan
gerakan tiba-tiba dan amat tangkasnya mengulur kaki dan berhasil
mencengkeram tubuh Kwi Hong!
"Sin-eng yang baik, terima kasih banyak!" Suma Han bersorak ketika ia
mengambil keponakannya dari cengkeraman garuda dan melihat bahwa tubuh
keponakannya sama sekali tidak luka, tanda bahwa garuda itu berniat baik
dan mencengkeram untuk menolong!
Kwi Hong masih menangis ketika dipangku Suma Han di atas punggung garuda. "Paman, burung itu nakal...!"
Suma Han menghela napas lega. Bocah ini benar amat mengagumkan. Biar pun
mengalami hal yang begitu menakutkan, namun ia tidak pingsan dan tidak
ketakutan. Ia memandang rajawali yang kini melarikan diri terbang jauh,
sedangkan ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, tidak tampak
lagi daratan. Di mana-mana air melulu dan cuaca mulai gelap, malam mulai
tiba!
"Sin-eng yang baik, bawalah kami kembali ke daratan!" Berkali-kali Suma
Han membujuk, kini tidak lagi ia berani ‘mengemudi’ leher burung itu
karena dia sendiri tidak tahu mana arah daratan.
Burung itu terbang terus, cepat sekali, dan terpaksa Suma Han
menyerahkan nasibnya pada burung itu, yakin bahwa betapa pun juga, pasti
burung itu akan mendarat. Anehnya, Kwi Hong tidak menangis lagi, bahkan
tertawa-tawa dan menuding ke arah bulan sepotong yang kelihatan indah
sekali sambil berkata, "Bagus...! Bulan bagus...!"
Suma Han menjadi lega hatinya dan melepas jubah luarnya untuk
diselimutkan tubuh keponakannya karena terbang di atas punggung garuda
itu mereka bertumbuk dengan angin yang amat besar dan dingin. Namun
dapat dibayangkan betapa cemas hatinya karena burung itu terbang terus
seolah-olah tidak akan berhenti lagi! Ia khawatir kalau-kalau burung itu
kehabisan tenaga dan jatuh ke bawah. Kini keadaan makin gelap. Sinar
bulan sepotong tidak mampu menembus halimun yang terbentang di bawah
kaki mereka. Dia tidak tahu lagi apakah di bawah mereka itu masih lautan
atau daratan!
Semalam suntuk burung raksasa itu terbang dan bagi Suma Han, semalam itu
seperti setahun lamanya! Kwi Hong tertidur pulas di atas pangkuannya,
untung baginya karena kalau dalam keadaan seperti itu anak itu rewel
menangis, dia benar-benar akan kebingungan tidak tahu harus berbuat apa!
Ketika matahari pagi mulai mengusir kegelapan, Suma Han mendapat
kenyataan bahwa mereka terbang di atas sekumpulan pulau-pulau di lautan
luas! Jantungnya berdebar tegang. Pulau-pulau ini! Bukankah kepulauan
yang dekat dengan Pulau Es? Dan burung itu masih terus terbang ke arah
utara. Hal ini dapat ia ketahui dengan melihat munculnya matahari di
sebelah kanannya.
Setelah beberapa lamanya melewati sekumpulan pulau-pulau sehingga
kepulauan itu lenyap jauh di belakang, burung itu menukik turun menuju
ke sebuah pulau yang tampak keputihan. Hampir Suma Han bersorak. Itulah
Pulau Es! Tak salah lagi. Kini mulai tampaklah bentuk bangunan di tengah
pulau. Istana Pulau Es! Dan benar saja burung itu melayang turun menuju
ke pulau.
Tiba-tiba burung garuda mengeluarkan pekik dahsyat, melengking panjang
dan dari pulau itu terdengar pula lengking yang sama, akan tetapi lebih
tinggi nadanya dan tampaklah seekor burung garuda lain, terbang ke atas
menyambut kedatangan mereka! Burung garuda yang terbang menyambut ini
kelihatan bingung dan kaget ketika melihat betapa di punggung temannya
duduk dua orang manusia. Dia mengeluarkan bunyi nyaring berkali-kali dan
dijawab oleh garuda yang diduduki Suma Han dengan pekik-pekik pendek
seperti orang bertanya dan menjawab.
Suma Han menjadi geli hatinya dan sedetik ia dapat menduga bahwa burung
garuda yang menyambut itu tentulah garuda betina sedangkan yang dia
tunggangi tentu yang jantan. Baik manusia mau pun binatang sama saja,
yang betina lebih ‘cerewet’!
Dua ekor burung itu melayang turun ke atas pulau, tepat di depan Istana
Pulau Es. Suma Han meloncat turun sambil memondong Kwi Hong yang sudah
terbangun. Kwi Hong menggigil kedinginan begitu menginjak tanah yang
dingin sekali. Akan tetapi, begitu turun di atas pulau Suma Han tak
dapat menahan lagi keharuannya dan pendekar yang sudah kosong hatinya
itu kini menangis tersedu-sedu!
Usianya belum ada tiga puluh tahun, baru dua puluh delapan atau dua
puluh sembilan, namun kini ia sudah kembali ke Pulau Es untuk selamanya,
mungkin! Bukan hal ini yang menyebabkan runtuhnya air matanya,
melainkan keharuan melihat tempat di mana ia hidup berdua dengan Lulu
sampai bertahun-tahun, penuh kebahagiaan. Kini Lulu telah tiada di
sampingnya lagi!
"Paman Han Han, kenapa menangis? Siapa yang nakal kepadamu?" Tiba-tiba
Kwi Hong menghampiri den memeluk leher Suma Han yang duduk di atas
tanah.
Mendengar ini, Suma Han merangkul Kwi Hong, berusaha menghentikan
tangisnya yang ia tahu amat perlu karena kalau ditahan-tahan dapat
menyebabkan luka di dalam tubuhnya dan menimbulkan penyakit.
Terdengar suara lirih, dan ketika Suma Han mengangkat muka, dia melihat
betapa dua ekor burung garuda itu memandang kepadanya seperti orang
turut berduka cita! Melihat ini timbul semangat Suma Han dan dia
memondong tubuh Kwi Hong sambil melompat bangun dan tersenyum!
"Kwi Hong, keponakanku, anakku, muridku! Kita sekarang tinggal di sini,
di Pulau Es. Lihat, itulah Istana Pulau Es di mana dahulu aku tinggal.
Istana kita! Kita hidup di sini bersama dua ekor burung yang sakti ini,
sepasang Sin-eng yang setia!"
"Tapi Ibu...?"
"Kelak kau akan tahu tentang Ibumu. Mari kita carikan ikan untuk hadiah Sin-eng yang telah mengantar kita ke sini!"
Suma Han lalu berloncatan ke pantai pulau sambil menggendong Kwi Hong.
Dengan kepandaiannya, mudah saja bagi Suma Han membunuh banyak ikan
besar dengan tongkatnya dan dia melontarkan ikan-ikan itu kepada burung
garuda yang mengikuti mereka ke pantai. Dua ekor burung itu girang
sekali dan melahap ikan-ikan itu sambil mengeluarkan bunyi nyaring. Bagi
mereka, amatlah sukar mencari ikan-ikan di dalam air dan mereka harus
mencari makanan di pulau-pulau lain, mengintai dan menyergap binatang
dengan susah payah. Kini ada orang yang memberi makan demikian
banyaknya, tentu saja mereka girang sekali.
Demikianlah, untuk kedua kalinya Suma Han hidup di dalam Istana Pulau
Es, dan kini bersama Kwi Hong yang digembleng sehingga akhirnya bocah
itu dapat bertahan melawan hawa dingin di Pulau Es yang bagi orang biasa
akan amat menyiksa, bahkan dapat membunuhnya.
Sepasang burung garuda menjadi jinak. Ternyata mereka ini adalah
sepasang burung yang amat cerdik dan mereka merupakan binatang
tunggangan yang amat berguna bagi Suma Han. Untuk mencari bahan makanan,
Suma Han sering menunggang garuda jantan yang mengantarnya terbang ke
pulau-pulau lain di mana tumbuh buah-buah dan bahan-bahan makanan, juga
binatang-binatang hutan. Hanya beberapa bulan sekali saja Suma Han pergi
mencari bahan makanan, sekali cari cukup untuk dua tiga bulan.
Bahan-bahan makanan itu tidak akan mudah membusuk kalau ditaruh di Pulau
Es yang dingin.
Kwi Hong ternyata juga merupakan seorang anak yang cerdik dan berbakat
baik. Keberaniannya luar biasa sehingga dalam usianya lima tahun saja
dia sudah berani menunggang garuda betina yang menjadi teman baiknya,
diterbangkan tinggi di angkasa, di antara awan-awan putih!
Hanya satu hal yang menjadi ganjalan di hati Suma Han. Bagi dia sendiri,
dia sudah puas hidup di pulau itu, dan dia tidak akan menyesal hidup
menyendiri di situ sampai mati sekali pun. Akan tetapi Kwi Hong! Anak
itu membutuhkan pergaulan dengan manusia lain! Kalau tidak, apa akan
jadinya dengan Kwi Hong? Bagaimana dengan perkembangan jiwanya dan
pembentukan wataknya? Dia bukan seorang ahli didik dan di tempat seperti
itu, mana mungkin ada manusia lain yang dapat dijadikan teman pergaulan
Kwi Hong?
Kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Han tinggal di Pulau Es,
pada suatu hari seperti biasa dalam dua tiga bulan sekali, ia menunggang
Garuda Putih jantan untuk pergi mencari bahan makanan. Sekali ini,
karena hendak melihat-lihat keadaan, dia mengajak garuda itu terbang ke
arah utara, kemudian berkeliling ke timur, tidak seperti biasanya menuju
ke sekelompok pulau yang subur di selatan.
Tiba-tiba pandang matanya melihat sebuah perahu layar besar yang
berwarna hitam, hitam seluruhnya sampai layarnya pun semua berwarna
hitam. Hatinya tertarik dan ia menyuruh garuda putih melayang turun
mendekati perahu layar. Dari jauh di atas ia sudah melihat pemandangan
yang memanaskan hatinya.
Di atas perahu itu terdapat empat puluh orang laki-laki dan perempuan
yang terbelenggu dan diikat pada tiang-tiang besi yang sengaja didirikan
di perahu, dan mereka ini sedang disiksa, dicambuki, oleh lima orang
laki-laki dan seorang wanita yang mukanya berwarna jambon, sedangkan
laki-laki itu semua mukanya berwarna ungu! Di atas dek tampak beberapa
orang pula bekerja, agaknya anak buah perahu, dan muka mereka ini
berwarna hitam dan merah. Orang-orang Pulau Neraka! Suma Han tertarik
sekali dan menyuruh garudanya makin mendekat. Semua orang yang berada di
perahu kini dapat melihat garuda itu dan ributlah mereka melihat
seorang manusia menunggang seekor burung garuda.
Akan tetapi Suma Han sudah melihat cukup jelas, sampai dia dapat
mengenal bahwa di antara empat puluh orang laki-laki dan wanita yang
ditawan itu sebagian besar adalah bekas saudara-saudara seperguruannya,
yaitu anak murid In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang-san! Bahkan
di antara enam belas orang wanita tawanan itu terdapat bekas suci-nya,
yaitu Phoa Ciok Lin yang kini telah menjadi seorang wanita cantik dan
gagah berusia dua puluh tujuh tahun! Ada pun para tawanan yang lain
tentu bukan orang-orang sembarangan pula, dapat dilihat dari sikap
mereka yang gagah dan sama sekali tidak kelihatan takut biar pun
dirantai dan dicambuki!
Diam-diam Suma Han menjadi terkejut dan heran sekali. Dia tahu bahwa anak murid In-kok-san,
bekas murid-murid mendiang Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang terkenal
sekali sebagai datuk golongan hitam, memiliki kepandaian tinggi dan
mereka adalah pejuang-pejuang yang kemudian membalik dan memusuhi guru
mereka sendiri setelah mereka tahu bahwa pembunuh orang-orang tua mereka
sebenarnya adalah guru mereka sendiri. Bagaimana mereka yang begini
banyak jumlahnya dapat tertawan oleh orang-orang Pulau Neraka itu? Biar
pun ia tahu bahwa laki-laki bermuka ungu dan perempuan bermuka jambon
itu lihai sekali, namun kiranya tidak akan mudah menawan sekian
banyaknya orang-orang yang berilmu tinggi! Betapa pun juga, dia harus
menolong mereka!
Garuda putih menukik turun ke arah permukaan perahu dan kini mereka yang
berada di bawah dapat melihat jelas laki-laki berambut riap-riapan
putih dan berkaki buntung yang menunggang garuda itu.
"Dia... Pendekar Siluman...!" Seruan ini keluar dari mulut wanita muka
jambon dan laki-laki muka ungu yang pernah bertemu dengan Suma Han saat
mereka memperebutkan putera Bhok Khim di dalam kuil tua.
Juga para murid In-kok-san kini mengenal Suma Han, namun mereka itu
hanya memandang dengan heran dan jantung berdebar. Benar bahwa Suma Han
pernah menjadi murid In-kok-san, bahkan pernah diambil murid Toat-beng
Ciu-san-li bersama tiga orang murid In-kok-san lain termasuk Phoa Ciok
Lin, akan tetapi telah terjadi bentrok antara Suma Han dengan Ma-bin
Lo-mo dan dengan Toat-beng Ciu-sian-li.
Bahkan kedua orang datuk In-kok-san itu tewas di tangan bekas murid ini, sedangkan kaki kiri Suma Han juga buntung
oleh Toat-beng Ciu-sian-li! Biar pun bekas saudara seperguruan, namun
sekarang tidak mungkin menganggapnya saudara seperguruan lagi. Kini di
antara mereka sudah tidak ada hubungannya sama sekali dan mereka pun
sudah mendengar bahwa laki-laki muda yang buntung ini memiliki ilmu
kepandaian seperti setan!
Kini burung garuda sudah melayang turun di atas dek perahu dan semua
orang makin kagum mendapat kenyataan bahwa burung itu benar-benar amat
besar, setinggi manusia.
"Wah, dia tidak kalah besar dengan Tiauw-ong (Rajawali)!" Terdengar
seorang di antara anak buah perahu itu berseru dan diam-diam Suma Han
menduga bahwa tentulah burung rajawali yang dahulu pernah dikalahkan
garudanya itu adalah binatang peliharaan Pulau Neraka!
"Pendekar Siluman, mau apa engkau datang ke sini? Bukankah kau dahulu
bilang bahwa engkau tidak mencari permusuhan? Harap jangan mencampuri
urusan kami!" Laki-laki muka ungu sudah maju dan menegurnya.
Suma Han yang sudah meloncat turun dari punggung garuda dan berdiri
tenang mengerling ke arah para tawanan, kemudian ia bertanya kepada
laki-laki muka ungu itu.
"Aku melihat dari angkasa hal yang tidak wajar ini. Mengapa mereka ini ditawan?"
"Ini adalah urusan kami sendiri, orang lain tidak berhak mencampuri.
Ataukah ada hubungan antara To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es dengan
seorang di antara tawanan ini? Kalau benar demikian, kami bersedia
membebaskannya."
Mendengar pertanyaan Si Muka Ungu yang setengah menghormat dan takut setengah penasaran
menentangnya itu, Suma Han kembali mengerling ke arah para tawanan.
Timbul sebuah pikiran yang membuat jantungnya berdebar. Bukankah dia
sedang bingung memikirkan masa depan Kwi Hong yang tidak mempunyai
teman?
Para tawanan ini rata-rata adalah seorang gagah, bahkan
wanita-wanitanya, terutama sekali Phoa Ciok Lin, adalah wanita-wanita
yang memiliki wajah cantik dan pandang mata gagah pula. Melihat bahwa
mereka yang bukan murid In-kok-san tertawan bersama murid-murid
In-kok-san yang kesemuanya pejuang-pejuang gagah perkasa, tentulah
orang-orang ini pun bukan penjahat-penjahat dan tergolong pejuang yang
gagah pula.
"Jadi kalian mau tahu apa hubunganku dengan mereka ini? Mereka ini
adalah anak buahku, anak buah Pulau Es! Kalian berani menawan mereka?"
Mendengar ini, wajah semua orang yang berada di atas perahu itu berubah,
bukan hanya wajah para anak buah Pulau Neraka, juga para tawanan
memandang dengan bingung. Melihat ini, Suma Han sudah mengajukan
pertanyaan kepada para tawanan, suaranya mengandung penuh wibawa, namun
dingin seolah-olah menanyakan hal yang amat kecil artinya.
"Katakanlah, kalian lebih senang menjadi anak buah Pulau Es di bawah
pimpinanku ataukah ingin ikut dengan rombongan Pulau Neraka?"
Tiba-tiba seorang yang bertubuh gemuk, berjenggot panjang, rambutnya
dikuncir, menjawab, "Kami jauh lebih senang menjadi anak buah Pulau Es,
siapa sudi menjadi budak paksaan Pulau Neraka?"
Empat puluh orang itu serentak menjawab dan menyatakan keinginan hati
mereka untuk menjadi anak buah Pulau Es. Hanya Phoa Ciok Lin dan
beberapa orang anak murid In-kok-san yang membungkam agaknya masih segan
untuk menyatakan menjadi anak buah laki-laki buntung itu.
Pada saat itu laki-laki muka ungu yang tadi lari memasuki bilik perahu,
kini sudah keluar lagi bersama seorang kakek tinggi kurus yang bermuka
hijau! Akan tetapi memang demikianlah kenyataannya dan kini Suma Han
mengerti mengapa empat puluh orang gagah itu tertawan. Tentu Si Muka
Hijau ini yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada mereka
semua. Dan hal itu terbukti pula dari sikap jeri dan pandang mata penuh
kekhawatiran dari para tawanan ketika Si Muka Hijau ini keluar.
Suma Han dengan sikap tenang memandang. Warna hijau itu bukanlah
kulitnya, melainkan seperti cahaya yang keluar dari dalam. Kini karena
dalam keadaan tegang menghadapi pertentangan, para anak buah perahu juga
sudah bersiap dan mereka mengatur barisan yang aneh berdasarkan
warna-warna muka mereka. Ada kelompok muka hitam, muka merah, muka ungu,
dan muka jambon. Akan tetapi yang bermuka hijau hanya ada seorang saja,
kakek tinggi kurus itulah.
Setelah berdiri saling pandang beberapa lamanya, agaknya kakek muka
hijau itu dapat mengenal sinar mata yang aneh dan penuh kekuatan
mukjizat dari Suma Han. Dia segera membungkuk sambil merangkapkan kedua
tangan dan berkata penuh hormat, "Tidak kelirukah pelaporan anak buah
kami bahwa Paduka adalah To-cu dari Pulau Es?"
"Benar." jawab Suma Han. "Akulah penghuni Pulau Es. Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?"
"Ahhh, hamba hanyalah murid tingkat rendahan saja. Hamba bertugas
mengumpulkan tenaga-tenaga untuk dikerjakan di pulau kami dan telah
berhasil mengumpulkan empat puluh orang ini. Kami menangkapnya di
daratan sana dan mereka adalah kaum pejuang yang menentang pemerintah
Ceng. Akan tetapi tadi anak buah kami melapor bahwa To-cu mengakui
mereka ini sebagai anak buah Pulau Es. Bagaimana ini?"
Suma Han merasa malu kalau harus membohong, maka ia berkata, "Tadinya
mereka bukan apa-apa, akan tetapi mulai saat ini menjadi anak buah Pulau
Es. Karena itu, aku menuntut agar mereka dibebaskan!"
Sepasang alis kakek tinggi kurus itu bergerak-gerak dan warna hijau di
mukanya makin keruh. "Hamba sebagai murid tingkat rendah dari Pulau
Neraka tentu saja tidak berani lancang menentang kehendak To-cu dari
Pulau Es. Akan tetapi kalau hamba menurut begitu saja atas perintah
To-cu, berarti hamba melalaikan tugas yang dibebankan kepada hamba.
Karena itu, terpaksa hamba mematuhi peraturan dari Ketua kami, yaitu
dengan kepandaian hamba mendapatkan empat puluh orang ini, dan hanya
dengan kepandaian pula pihak lain dapat merampasnya!"
Diam-diam Suma Han merasa heran. Sepak terjang orang-orang Pulau Neraka
itu kadang-kadang keji dan liar, akan tetapi sikap mereka ternyata sopan
dan seperti orang terpelajar, bahkan tahu aturan. Seperti apakah ketua
mereka? Orang bermuka hijau yang sudah dapat mengalahkan empat puluh
orang pejuang, bahkan termasuk Phoa Ciok Lin murid Toat-beng
Ciu-sian-li, tentu saja memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dia
mengaku hanya seorang murid tingkat rendah dari Pulau Neraka. Bukan
main!
"Hemm, kiranya dengan ucapan halus engkau bermaksud menantangku?" Suma Han bertanya, sikapnya dingin.
"Mana berani hamba menantang? Akan tetapi, kalau hamba pulang kehilangan
para tawanan tanpa melawan, hamba akan dihukum mati sebagai orang hina.
Sebaliknya, kalau hamba mempertahankan terhadap Paduka, hamba akan mati
juga sebagai seorang petugas yang baik."
"Ah, kiranya ketua kalian memiliki orang-orang pandai yang amat setia.
Bagus! Memang tidak semestinya aku mengambil tawananmu begitu saja. Nah,
aku telah siap, mari kita menentukan tingkat kepandaian!"
Biar pun mulutnya berkata demikian, akan tetapi sikap Suma Han sama
sekali bukan sikap seorang yang hendak bertanding. Dia masih tetap
berdiri seenaknya di atas kaki kanannya, dengan ditopang tongkatnya yang
dipegang di tangan kiri. Hanya sepasang matanya yang tanpa diketahui
siapa pun juga, sejak tadi telah melancarkan serangan hebat!
Suma Han mengerti bahwa kalau semua anak buah Pulau Neraka maju
menggunakan kekerasan, kemudian dia menyambut dengan ilmu silat pula,
tentu dia akan terpaksa merobohkan mereka hingga kalau tidak terluka
berat, mungkin ada yang tewas. Dia tak menghendaki terjadinya hal ini,
karena itu dia mengambil keputusan untuk melawan dengan ilmunya yang
aneh, mengandalkan kekuatan mukjizat yang tersembunyi di dalam
kemauannya dan dipancarkan melalui pandang matanya.
"Singgg...!" Sebatang pedang telah berada di tangan Si Muka Hijau. Cara
mencabut pedang sampai mengeluarkan suara berdesing nyaring dan ujung
pedang menggetar getar itu saja sudah membuktikan bahwa Si Muka Hijau
ini ternyata seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
"Maaf, To-cu. Harap suka mengeluarkan senjata dan maafkan hamba yang
kurang ajar." Walau pun kakek itu bersikap menghormat, akan tetapi di
lubuk hatinya dia tidak memandang terlalu tinggi Majikan Pulau Es ini,
melihat bahwa lawannya ini ternyata hanya seorang muda yang patut
menjadi cucunya, berkaki buntung sebelah dan tidak memegang senjata.
"Orang tua, apakah artinya senjata tajam dan runcing seperti pedangmu
itu? Hanya dapat menggigitmu sendiri. Kau seranglah, aku telah siap!"
kata Suma Han sambil mengerahkan kekuatan mukjizatnya melalui mata.
Para tawanan yang menyaksikan ini, terutama sekali Phoa Ciok Lin, merasa
tegang dan khawatir. Mereka semua telah merasai kelihaian Si Muka Hijau
dan mereka semua tidak ada yang dapat menandingi Si Muka Hijau.
Sekarang Suma Han menghadapinya secara itu, sama sekali tidak memasang
kuda-kuda, sama sekali tidak menggunakan senjata, bahkan tongkat
bututnya hanya dipegang dengan tangan kiri untuk membantu kakinya yang
hanya sebuah!
Ada pun Si Muka Hijau itu diam-diam menjadi penasaran dan marah sekali.
Biar pun bocah buntung ini datang secara aneh, menunggang garuda dan
mengaku sebagai Majikan Pulau Es, dan dikabarkan memiliki kepandaian
seperti setan sehingga berjuluk Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar
Siluman, namun tidak patut menghadapinya dengan sikap merendahkan
seperti itu.
"To-cu sambut pedang hamba!"
Tiba-tiba tampak sinar putih berkelebat cepat sekali ketika pedang itu
meluncur ke arah leher Suma Han. Memang hebat sekali gerakan Si Muka
Hijau ini, pedang meluncur dengan suara berdesing dan dari jauh sudah
menyambar hawa dingin ke arah leher Suma Han. Pendekar Siluman ini hanya
berdiri tegak, sedikit pun tidak bergerak atau mengelak, bahkan tidak
menangkis. Pemuda buntung ini hanya memandang dengan mata seperti
mengeluarkan kilat.
"Hayaaaa...!" tiba-tiba Si Muka Hijau memekik.
Matanya terbelalak penuh kengerian karena ia melihat betapa pedang di
tangannya itu tiba-tiba berubah menjadi seekor ular! Dia memegang ular
itu dan kini ular itu membalik, membuka moncongnya yang merah menggigit
ke arah lehernya sendiri! Tentu saja ia kaget setengah mati, memekik dan
miringkan kepala berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan kulit
lehernya sebelah kanan telah tergigit! Ia terpekik lagi kesakitan,
melepaskan ekor ‘ular’ dan terhuyung-huyung ke belakang memegangi
lehernya dan matanya memandang ‘ular’ yang jatuh ke atas lantai perahu.
Bagi orang lain yang menonton, peristiwa itu lebih mengherankan lagi.
Mereka tadi melihat betapa pedang itu sudah digerakkan oleh Si Muka
Hijau, menusuk leher Suma Han. Mengapa sebelum ujung pedang mengenai
leher orang yang sama sekali tidak mengelak itu, tiba-tiba Si Muka Hijau
membalikkan pedang dan menusuk lehernya sendiri sampai terluka? Kini
mereka melihat Si Muka Hijau terhuyung, melepaskan pedangnya yang
terjatuh ke lantai perahu, meraba leher yang mengucurkan darah!
"Ilmu siluman...!" Si Muka Hijau berteriak ketika kini matanya melihat
bahwa ‘ular’ tadi telah berubah menjadi pedangnya sendiri!
Mendengar ini, semua anak buah Pulau Neraka serentak maju, siap
mengeroyok Suma Han. Pendekar buntung ini meloncat ke depan, menyapu
mereka dengan sinar matanya lalu berkata,
"Siapa lagi berani melawan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?"
Semua anak buah Pulau Neraka menjadi ngeri ketika melihat Suma Han kini
berubah menjadi raksasa, tiga kali ukuran tubuh manusia, kepalanya
menjadi tiga buah dan lengannya menjadi enam buah biar pun kakinya masih
tetap satu! Melihat ini mereka menggigil dan tak seorang pun di antara
mereka berani berkutik, bahkan segera menjatuhkan diri berlutut ketika
Si Muka Hijau mendahului mereka berlutut.
"Mohon To-cu sudi mengampunkan hamba semua. Biarlah kami melaporkan
kepada To-cu kami bahwa para tawanan terpaksa kami serahkan To-cu Pulau
Es karena kami tak sanggup melawannya." kata Si Muka Hijau.
"Hemm, kalau begitu, mengapa kalian tidak lekas pergi? Ataukah menunggu aku turun tangan melempar-lemparkan kalian ke laut?"
Si Muka Hijau melompat bangun, memberi isyarat dengan tangan. Sebuah
perahu kecil diturunkan dan Si Muka Hijau bersama lima orang laki-laki
muka ungu dan seorang wanita muka jambon melompat ke dalam perahu. Si
Muka Hijau memegang sebatang tali yang ujungnya terpecah menjadi banyak
dan kini dipegang oleh para anak buah perahu. Lima orang muka ungu dan
seorang wanita muka jambon memegang dayung.
Perahu kecil itu didayung cepat sekali. Si Muka Hijau berdiri di ujung
belakang sambil memegang tambang dan... belasan orang anak buahnya
meloncat ke air dan dapat berdiri lalu ditarik oleh perahu itu. Kiranya
Si Muka Hijau itu demikian kuatnya, memegang tambang yang menarik enam
belas orang dan ternyata para anak buah Pulau Neraka itu menggunakan
kayu diikat dengan kaki mereka sehingga mereka dapat terapung (semacam
ski air)! Memang hebat mereka itu. Hebat pula cara enam orang itu
mendayung perahu karena sebentar saja, rombongan itu sudah jauh sekali
menuju ke timur dan lenyap dihalangi ombak-ombak di belakang mereka!
Suma Han kagum sekali, maklum bahwa dia telah menanam bibit permusuhan
dengan golongan yang amat kuat, yaitu Pulau Neraka. Tetapi ia tidak
peduli, lalu menggunakan tongkatnya mematahkan semua belenggu para
tawanan. Di antara mereka itu, termasuk kakek gendut, segera menjatuhkan
diri berlutut menghadap Suma Han. Akan tetapi anak murid In-kok-san
tidak berlutut. Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara
dingin.
"Siapa yang suka menjadi anak buahku dan mengakui aku sebagai Majikan, harap berlutut. Yang tidak mau, takkan dipaksa!"
Sedetik pandang matanya bertemu dengan pandang mata Phoa Ciok Lin bekas
suci-nya. Namun wanita muda ini segera menekuk kedua lututnya dan
berturut-turut para murid In-kok-san berlutut pula. Hanya dua orang
murid In-kok-san dan seorang laki-laki bermuka pucat tetap berdiri tidak
mau berlutut. Suma Han memandang mereka dan Si Muka Pucat berkata,
"Aku mengenal siapa engkau! Engkau dahulu adalah seorang pejuang, akan
tetapi engkau telah berkhianat. Sebagai seorang pejuang, seorang patriot
sejati, aku tidak sudi menjadi bujang seorang pengkhianat. Mau bunuh
boleh bunuh, siapa yang takut mati?"
Suma Han memandang Si Muka Pucat dan segera mengenalnya. Dia itu adalah
seorang di antara pejuang-pejuang yang pernah bertemu dengannya di
Se-cuan, kalau dia tidak salah ingat, bernama Lo Hoat dan murid dari
Tok-gan Siu-cai Gu Cai Ek Si Ahli Totok Dengan Sepasang Sumpit! Pernah dia merobohkan Lo Hoat
ini ketika dia memasuki gedung para pejuang dan disangka menantang
pibu. “Hemm, orang ini pendendam sekali, amat tidak baik dijadikan
teman,” pikirnya.
"Aku tidak mau membunuh orang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mau
menjadi anak buahku, aku pun tidak memaksa. Nah, pergilah sekarang
juga!"
"Pergi ke mana? Tidak ada lagi perahu yang dapat kupakai."
Suma Han memandang tajam dengan alis berkerut. "Lo Hoat, aku tidak ada
waktu untuk berdebat. Pilih satu di antara dua. Tinggal di perahu dan
menjadi anak buah Pulau Es, atau sekarang juga keluar dari perahu ini!"
"Engkau... iblis siluman... keji!" Lo Hoat memaki.
"Pergilah atau harus kulempar keluar?"
"Manusia rendah, coba kau lempar kalau..." Belum habis ucapan Lo Hoat
ini, tangan kanan Suma Han bergerak sedikit dan... tubuh itu terlempar
ke luar dari perahu dan jatuh tercebur ke air!
"Apakah kalian berdua juga tidak sudi menjadi anak buah Pulau Es?" tanya Suma Han kepada dua orang murid In-kok-san.
"Engkau adalah bekas sute kami, bagaimana kami dapat mengangkatmu
menjadi majikan dan berlutut di depanmu?" seorang di antara mereka
membantah. "Kami adalah orang-orang yang memiliki kegagahan, bukan
berjiwa rendah!"
"Orang yang tak dapat melihat kenyataan adalah orang-orang bodoh, bukan
gagah! Aku bukan sute kalian, aku adalah Majikan Pulau Es dan kalian
hanya mempunyai dua pilihan. Tunduk kepadaku atau... keluar dari perahu
ini!"
"Lebih baik mati!" Dua orang itu meloncat ke luar dari perahu dan kembali air laut muncrat ketika tubuh mereka menimpa air.
Mereka yang berlutut memandang ke arah air dengan muka pucat,
menyaksikan tiga orang itu berjuang dan bersitegang melawan air yang
berombak dan yang hendak menggulung dan membunuh mereka.
"Pasangkan layar, kita berangkat!" kata Suma Han tanpa mempedulikan tiga
orang itu. "Aku menjadi penunjuk jalan dengan garudaku di atas perahu,
ikuti ke mana garuda terbang!"
Mereka yang berlutut itu sudah tunduk dan kagum kepada Suma Han. Mereka
telah diselamatkan dari nasib yang amat buruk. Baru menjadi tawanan saja
mereka sudah disiksa, kalau sampai di Pulau Neraka, tentulah
penghidupan mereka akan benar-benar seperti di neraka!
Tentu saja jauh lebih baik menjadi anak buah pendekar berkaki buntung
ini biar pun pendekar ini dijuluki Pendekar Siluman! Apa lagi nama Pulau
Es merupakan daya tarik besar sekali. Pulau Es adalah sebuah tempat
yang selalu diidamkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, yang dianggap sebagai
tempat keramat di mana terdapat pusaka dan ilmu-ilmu yang tinggi. Kini
mereka dijadikan anak buah Pulau Es, tentu saja mereka menerimanya
dengan hati girang.
Perahu hitam itu bergerak, layar-layarnya terkembang ditiup angin dan
dengan wajah gembira penuh harapan mereka mengemudikan perahu mengikuti
garuda yang terbang perlahan di atas mereka. Phoa Ciok Lin dan para
saudara seperguruan masih termangu-mangu. Mereka teringat akan nasib dua
orang saudara seperguruan yang ditinggalkan dan bergulat dengan maut
antara ombak laut itu. Mereka ini tidak dapat menyalahkan Suma Han, dan
tidak dapat menganggap Majikan Pulau Es itu kejam. Tidak, orang muda
buntung yang kini menjadi majikan mereka, menjadi ketua mereka itu,
telah memberi kesempatan kepada tiga orang tadi. Tidak membunuh mereka
sebaliknya mereka itulah yang seperti membunuh diri sedangkan jalan
hidup terbuka lebar.
Demikianlah tiga puluh orang gagah itu kini menjadi anak buah Pulau Es.
Setelah berbulan-bulan tinggal di situ, mereka semua makin tunduk, makin
hormat dan bahkan mulai menerima Suma Han sebagai majikan dan juga guru
mereka! Suma Han mengajarkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan
kepandaian dasar dan bakat mereka masing-masing sehingga kepandaian
mereka meningkat secara hebat.
Tentu saja yang merasa paling girang adalah Kwi Hong. Phoa Ciok Lin
segera mengambil alih pekerjaan Suma Han mendidik Kwi Hong. Sungguh
berbeda caranya mendidik, tidak dimanjakan seperti dahulu. Diajar
membaca menulis dan kepandaian lain. Hanya dalam ilmu silat Suma Han
turun tangan sendiri mengajar keponakannya.
Kini Pulau Es menjadi ramai, merupakan sebuah pulau yang berpenduduk.
Bukan sembarang penduduk, melainkan orang-orang yang berilmu tinggi! Di
antara mereka itu ada yang saling mencinta lalu menikah dengan upacara
sederhana namun gembira. Dan mulailah semua orang, tidak ada kecualinya,
juga Phoa Ciok Lin, memandang Suma Han bukan hanya sebagai penolong dan
sebagai ketua, majikan, dan guru, akan tetapi juga sebagai seorang
manusia mulia seperti dewa yang mereka hormati, taati dan juga cintai!
Namun Suma Han tetap menyembunyikan diri, lebih sering dia bersemedhi di
dalam ruangan Istana Pulau Es di mana terdapat tiga buah patung
guru-gurunya, yaitu patung Koai-lojin Kam Han Ki, Nenek Maya, dan Nenek
Khu Siauw Bwee. Pekerjaan mencari bahan makanan tentu saja kini
dilakukan oleh anak buahnya dan untuk mengatur semua urusan, ia
mengangkat Phoa Ciok Lin sebagai kepala urusan dalam pulau, sedangkan
Yap Sun, kakek yang gemuk, diangkat menjadi kepala urusan luar.
Pengangkatan ini bukan hanya dinilai dari tingkat kepandaian, melainkan
juga dari watak dan pribadi mereka. Tentu saja demi kewibawaan, Suma Han
menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepada dua orang wakilnya ini.
Demikianlah selama lima tahun telah terjadi perubahan hebat di Pulau Es
yang sekarang dapat dianggap sebagai sebuah partai besar sehingga mulai
terdengar namanya di dunia kang-ouw.
********************
"Suhu...! Suhu sudah memberi ijin kepada teecu, kenapa menyusul? Apakah
Suhu hendak mengajak pulang ke Siauw-lim-si?" Bun Beng terkejut dan
khawatir ketika senja hari itu dia beristirahat dalam hutan, ia melihat
gurunya muncul di depannya. Sudah tiga hari tiga malam dia mengadakan
perjalanan naik turun gunung dan masuk keluar hutan.
Kakek Siauw Lam tersenyum dan ikut duduk di depan api unggun yang dibuat
Bun Beng. Selama ini diam-diam ia mengikuti perjalanan muridnya dan
menjadi kagum menyaksikan muridnya itu benar-benar melanjutkan
perjalanan seorang diri tanpa mengenal takut.
"Muridku, apa kau kira aku tega membiarkan engkau menempuh perjalanan
penuh bahaya ini? Aku tadinya hanya ingin mengujimu dan melihat sampai
di mana kebulatan tekadmu. Ternyata engkau benar-benar ingin sekali
pergi menyaksikan keramaian antara tokoh-tokoh kang-ouw, biarlah kubawa
engkau ke sana."
Wajah Bun Beng yang tadinya membayangkan kekhawatiran, tiba-tiba berseri
gembira dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, "Terima
kasih, Suhu. Terima kasih!"
Kakek Siauw Lam tertawa dan membuka bungkusan kain kuning yang
dibawanya. "Sudahlah. Nih ada roti kering, engkau tentu belum makan."
Guru dan murid itu lalu makan roti kering dan minum air yang didapatkan
Bun Beng dari sumber air di hutan itu, kemudian ia rebah mengaso di
dekat api unggun.
"Bun Beng, semula aku memang tidak rela mengajakmu mengunjungi tempat
yang akan dijadikan pertemuan orang-orang sakti itu. Amat berbahaya,
muridku. Bahkan berbahaya sekali. Mereka adalah orang-orang kang-ouw
yang selain memiliki ilmu kesaktian yang hebat juga merupakan
orang-orang yang amat aneh wataknya, tidak seperti manusia biasa, bahkan
ada yang mendekati kegilaan. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, memang
amat penting bagimu, terutama demi kemajuanmu. Engkau berbakat baik dan
engkau sejak dahulu mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dari
Siauw-lim-pai. Aku percaya bahwa dengan kepandaianmu yang kau pelajari
dariku, belum tentu engkau akan kalah oleh orang yang sebaya denganmu.
Akan tetapi, dibandingkan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti itu,
hemmm... mungkin kepandaian yang kumiliki sekali pun sama sekali tidak
ada artinya."
Bun Beng terbelalak, tidak percaya. Suhunya adalah orang yang terpandai
di Siauw-lim-pai, memiliki ilmu seperti dewa. Bagaimana mungkin ada
tokoh kang-ouw yang lebih pandai dari gurunya ini? Namun selamanya
gurunya tidak pernah bicara bohong, maka apa yang diterangkan ini tentu
ada benarnya pula. Hal ini membuat Bun Beng tertarik dan makin besar
dorongan keinginan hatinya untuk bertemu dengan tokoh-tokoh sakti yang
aneh itu.
Sejenak mereka tak berkata-kata. Bun Beng termenung, teringat akan
ibunya. Ibunya juga seorang murid Siauw-lim-pai, dan amat lihai. Ia
teringat akan keadaan dirinya lima tahun yang lalu, ditinggalkan dalam
kuil tua oleh ibunya. Teringat ia akan pesan ibunya ketika hendak pergi.
"Bun Beng, anakku sayang. Ibumu akan pergi mencari musuh besar kita.
Mungkin aku tidak akan pergi lama. Akan tetapi kalau aku tidak kembali,
tentu ada orang lain datang menjemputmu dan engkau harus turut dengan
dia, anakku."
Ternyata kemudian bahwa yang datang ke kuil demikian banyak orang yang
saling memperebutkan dia! Selama lima tahun ini, kalau dia mengajukan
pertanyaan pada gurunya tentang ibunya yang tidak kembali ke kuil,
gurunya tidak mau menerangkan hanya berkata, "Belajarlah yang rajin,
kelak engkau akan tahu sendiri apa yang terjadi dengan Ibumu."
Sekarang timbul lagi keinginan tahunya. Dia telah besar, telah sepuluh
tahun lebih usianya. Gurunya telah membolehkan untuk pergi merantau biar
pun kini suhunya itu menemaninya.
"Suhu, harap Suhu suka ceritakan tentang Ibu. Apakah Ibu masih hidup?
Ataukah sudah mati? Harap Suhu jangan khawatir. Teecu kira tentu Ibu
sudah tidak ada, karena kalau masih hidup, tentu Suhu tidak
menyembunyikannya dari pengetahuan teecu. Maka, teecu harap sudilah Suhu
berterus terang. Kalau masih hidup, di manakah Ibu? Kalau sudah mati,
mengapa? Siapa membunuhnya dan di mana kuburannya?"
Melihat suhunya ragu-ragu untuk menjawab, anak itu melanjutkan, "Suhu,
harap Suhu jangan khawatir mengatakan andai kata Ibuku telah mati. Telah
terlalu lama teecu menganggap Ibu telah tiada, dan keraguan ini lebih
menyiksa dari pada mendengar kenyataannya."
Bukan main anak ini, pikir kakek itu. Sekecil ini memiliki wawasan
sedalam itu, maka ia pun lalu menjawab, "Ibumu Bhok Khim murid
Siauw-lim-pai itu memang telah tewas, Bun Beng."
Bun Beng menunduk sejenak dan dia tidak menangis! Hanya suaranya menjadi
agak gemetar ketika ia bertanya, "Apakah Ibu gagal membalas dendam dan
tewas di tangan musuh besarnya?"
"Tidak muridku. Ibumu tidak gagal, bahkan berhasil membunuh musuhnya,
akan tetapi musuhnya itu pun dapat membunuhnya. Dalam pertadingan itu,
mereka keduanya tewas. Nah, sekarang engkau telah mengerti dan sebaiknya
kalau engkau tidak lagi memikirkan Ibumu?"
"Baik, Suhu. Akan tetapi Ayahku? Di manakah Ayah teecu? Ibuku tidak pernah mau menjawab kalau teecu menanyakan Ayah."
Berat rasa hati Kakek Siauw Lam. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak
mau membohong, akan tetapi juga tidak sampai hati untuk menceritakan
bahwa ayah anak ini adalah musuh besar ibunya itu! Maka setelah berpikir
sejenak, ia menjawab tenang, "Ayahmu juga telah meninggal dunia Bun
Beng."
"Oohhh...!" Anak itu kecewa sekali, akan tetapi tidak menangis, tidak
berduka karena memang selamanya belum pernah ia melihat ayahnya.
"Tahukah Suhu, siapa nama Ayah teecu?"
"Namanya... Gak Liat."
Bun Beng mengangguk dan menggigit bibirnya. Nama itu terukir di lubuk
hatinya dengan dua huruf besar-besar. "Jadi teecu she Gak? Pantas dulu
Ibu mengatakan bahwa teecu boleh memakai she Bhok atau She Gak..."
"Dan engkau akan memakai she yang mana Bun Beng?" Kakek itu memandang tajam wajah muridnya yang disinari api unggun.
"Tentu saja she Gak. Gak Bun Beng, seorang anak yatim piatu..." Suara ini agak keluar tersendat oleh keharuan.
Kakek itu memegang pundak Bun Beng. "Kematian orang bukanlah hal yang
patut disusahkan, muridku. Kita semua manusia yang dilahirkan, suatu
saat pasti akan mati, dan mati berarti terbebas dari pada duka nestapa
dan derita perasaan di waktu hidup. Jangan mengira engkau setelah
ditinggal ayah-bundamu lalu menjadi seorang manusia yatim piatu yang
tidak mempunyai apa-apa. Tengok di kanan kirimu, semua yang tampak,
tetumbuhan dan binatang, adalah teman-teman hidup senasib. Dan semua
manusia di dunia ini adalah saudara-saudara sendiri. Langit adalah
Ayahmu yang sejati, sedangkan Bumi, adalah Ibumu yang sejati. Takut
apa?"
Anak itu memandang wajah gurunya. Hatinya besar sekali dan ia tersenyum!
"Terima kasih, Suhu. Apa lagi kalau teecu dapat bertemu dan berkenalan
dengan tokoh-tokoh sakti di dunia ini, tentu teecu takkan merasa
kesepian. Di dunia ini banyak manusia-manusia yang mulia hatinya,
seperti Suhu. Dan sakti, seperti... Pendekar Siluman! Eh, Suhu juga
sakti sekali, tidak tahu siapa lebih sakti antara Suhu dan Pendekar
Siluman yang berkaki buntung itu?"
Gurunya tertawa. "Tidak salah kata-katamu. Dunia ini memang penuh orang
sakti. Dan Pendekar Super Sakti itu adalah seorang di antara mereka,
dibandingkan dengan dia, ahhh... Suhumu ini bukan apa-apa."
"Suhu terlalu merendahkan diri. Teecu tidak percaya!"
"Memang, sebaiknya engkau pun selama hidupmu bersikaplah seperti aku,
Bun Beng. Rendah hati, tapi bukan rendah diri! Orang yang rendah hati
akan berhasil memperoleh kemajuan pesat dalam hidup, sebaliknya orang
yang tinggi hati akan tergelincir oleh kesombongannya sendiri. Bicara
tentang Pendekar Super Sakti yang kini kabarnya menjadi majikan Pulau
Es, dia memang merupakan seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian
luar biasa sekali, bukan hanya ilmu silat tinggi-tinggi sebagai murid
yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki ilmu sihir yang
luar biasa sekali. Sungguh sulit membayangkan untuk mencari orang yang
dapat menandinginya dalam ilmu kesaktian. Sudahlah, kita mengaso, besok
kita melanjutkan perjalanan. Kelak engkau tentu akan dapat bertemu
dengan mereka dan membuktikan sendiri bagaimana lihai-nya mereka itu."
Membayangkan para pendekar ini, Bun Beng melupakan kedukaannya tentang
ayah bundanya. Dan malam itu ia tertidur di dekat api unggun, bermimpi
tentang pendekar-pendekar sakti yang menunggang naga dan pandai
menangkap geledek!
Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Melakukan
perjalanan berdua gurunya amatlah menggembirakan hati Bun Beng karena
gurunya itu tahu akan segala hal, bahkan tahu akan nama setiap gunung
yang mereka lalui, atau nama setiap kota, dusun, bahkan sungai!
Ketika mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di sebelah barat kota Cin-an,
Bun Beng mendapat kenyataan pertama bahwa gurunya memang bukan orang
sembarangan. Ketika suhunya mengajaknya berjalan-jalan di tepi sungai
yang ramai penuh dengan nelayan dan perahu-perahu layarnya, tiba-tiba
muncul tiga orang berpakaian pengemis yang serta-merta menjatuhkan diri
berlutut di depan suhunya!
"Eh, eh, harap kalian bangun kembali. Agaknya Sam-wi (Kalian Bertiga)
sudah salah mengenal orang!" Kakek Siauw Lam menggerakkan tongkat
bututnya minta mereka bangkit.
Akan tetapi tiga orang kakek jembel itu tidak mau bangkit, bahkan
seorang di antara mereka yang bertubuh bongkok segera berkata, "Kami
dari Pek-lian Kai-pang selamanya tidak berani bersikap kurang ajar
terhadap Siauw-lim-pai, apa lagi terhadap Locianpwe Siauw Lam Losuhu.
Mohon tanya, ada keperluan apakah Locianpwe datang ke tempat ini?
Barangkali saja kami dapat membantu."
Mendengar bahwa mereka adalah anak buah Pek-lian Kai-pang, atau lebih
tepat hanya sisa-sisa dari anak buah Perkumpulan Pengemis Teratai Putih
yang terkenal itu setelah Pek-lian Kai-pang terbasmi
oleh Pemerintah Mancu (baca Pendekar Super Sakti), kakek Siauw Lam
tidak membantah lagi dan berkata, "Kami berdua ingin menonton keramaian
di muara Sungai Huang-ho, dan sedang mencari perahu untuk disewa."
Wajah tiga orang pengemis itu berubah. Mereka kaget dan pucat. "Ke... ke
sana...! Aih, Locianpwe. Di antara kami dan para nelayan, siapakah yang
berani pergi ke sana dalam waktu ini? Mencari mati saja! Akan tetapi
tentu saja Locianpwe lain lagi, dan jika saja kami berkepandaian tinggi
seperti Locianpwe, agaknya takkan dapat menahan keinginan hati menonton
keramaian itu. Locianpwe membutuhkan perahu? Kami mempunyai sebuah,
boleh Locianpwe pakai. Kalau mencari sewa, kami kira tidak ada nelayan
yang mau menyewakan perahunya pergi ke muara. Marilah, Locianpwe."
Ketiga orang jembel tua itu bangkit berdiri dan melangkah pergi,
sikapnya seperti tidak acuh lagi padahal tadi begitu menghormat. Memang,
aneh-anehlah sikap orang kang-ouw dan hal ini mulai dimengerti oleh Bun
Beng. Gurunya mengikuti tiga orang kakek jembel itu dan Bun Beng juga
cepat mengikuti gurunya. Di pantai sungai yang agak menyendiri dan jauh
dari tempat ramai, tiga orang kakek jembel itu berhenti dan menunjuk ke
sebuah perahu kecil yang berlabuh di pinggir sungai.
"Itulah perahu kami, sekarang kami serahkan kepada Locianpwe, menjadi
perahu Locianpwe. Silakan dan maaf kami mempunyai urusan lain,
Locianpwe."
Tiga orang kakek itu lalu pergi begitu saja, tidak menanti terima kasih!
Dan anehnya gurunya juga tidak menyatakan terima kasih sehingga
diam-diam Bun Beng menjadi tidak puas atas sikap gurunya yang
dianggapnya kurang terima! Agaknya Kakek Siauw Lam dapat melihat isi
hati muridnya maka ia berkata.
"Di dalam dunia kang-ouw terdapat paham bahwa di antara golongan
sendiri, sebuah benda adalah milik bersama, terutama jika dipergunakan
untuk kebutuhan mendesak. Dan, pemberian benda yang sudah merupakan
kewajaran, tidak perlu dibalas dengan terima kasih, hal itu hanya akan
menimbulkan ketidak puasan si pemberi yang menganggap orang itu bersikap
sungkan seperti orang asing bukan segolongan! Kalau tadi aku
mengucapkan terima kasih, tentu mereka akan menganggap bahwa aku sombong
dan tidak mau menganggap mereka sebagai segolongan!"
Bun Beng melongo dan mengangguk-angguk. Betapa anehnya orang-orang
kang-ouw itu, pikirnya. Akan tetapi ia mulai memperhatikan perahu itu.
Sebuah perahu yang buruk akan tetapi kokoh kuat, dengan tiang layar dari
bambu dan layar-layarnya banyak yang sudah ditambali, seperti pakaian
tiga orang kakek jembel tadi. Bukan seperti perahu yang baik, akan
tetapi lumayan dan cukup kuat!
Kakek Siauw Lam mengajak Bun Beng naik ke perahu, melepas ikatan dan
menggunakan dayung menggerakkan perahu ke tengah sungai yang amat lebar
itu. Makin lama makin ke tengah dan Bun Beng belajar caranya mendayung.
Mula-mula memang sukar sekali, apa lagi kalau harus menerjang arus air,
akan tetapi lama-lama ia menjadi biasa dan dapat menguasai cara
mendayung. Perahu meluncur mengikuti arus air ke timur dan Kakek Siauw
Lam mengembangkan sebuah layar kecil untuk membantu lajunya perahu.
Bun Beng benar-benar merasa gembira. Selamanya belum pernah ia berlayar
dan sekali berlayar dia belajar mendayung dan mengemudikan perahu!
Ternyata jauh lebih enak melakukan perjalanan dengan perahu, tidak
melelahkan seperti kalau melakukan perjalanan darat dengan jalan kaki.
Juga pemandangan alamnya tidak kalah menariknya karena di kanan kiri
sungai itu tampak lembah yang subur dan diseling pegunungan dan
hutan-hutan liar menghijau.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali mereka tiba di sebuah tikungan yang
menurun. Arus airnya kuat dan berobah ganas, berombak dan mengandung
banyak putaran air sehingga Kakek Siauw Lam turun tangan sendiri
memegang kemudi dengan dayung. Setelah menikung dan air tidak begitu
ganas lagi, tiba-tiba Bun Beng meloncat berdiri dan menuding ke depan
sambil berkata.
"Suhu, lihat! Banyak perahu di depan, dan banyak orang di sana. Ada benderanya segala, siapakah mereka itu?"
"Kau tenanglah Bun Beng dan jangan mengeluarkan ucapan. Lihat saja dan
jangan mencampuri kalau terjadi sesuatu. Mereka adalah rombongan
partai-partai persilatan dan agaknya keramaian belum dimulai, semua
orang masih bersikap menunggu-nunggu." Kakek itu bangkit dan berkata
lirih, hatinya tegang sebab ia dapat merasakan betapa suasana amat panas
dan sewaktu-waktu perpecahan dapat meledak di antara orang-orang
kang-ouw yang memperebutkan pusaka.
Setelah perahu mereka mendekat, kakek itu menyuruh Bun Beng untuk duduk
diam saja, mengemudikan perahu dan menyuruh muridnya mengambil jalan
tengah. Banyak perahu malang-melintang, agaknya memang sengaja mereka
yang berada di perahu itu memancing-mancing keributan. Sekali saja ada
perahu bertumbukan, tentu akan terjadi keributan itu.
Ketika kakek Siauw Lam dapat membaca tulisan pada bendera, terkejutlah
dia karena ternyata bahwa yang berkumpul di situ dan seolah-olah
menghadang itu adalah rombongan bajak sungai Hek-liong-pang (Perkumpulan
Naga Hitam) yang terkenal pada masa itu dan yang tidak saja menjadi
bajak di muara Sungai Huang-ho, bahkan kadang-kadang turun ke laut dan
mengganggu kapal-kapal di laut Po-hai! Akan tetapi kakek ini bersikap
tenang saja, membisikkan kepada muridnya agar memperlambat lajunya
perahu mereka.
Tiba-tiba tampak seorang di antara para bajak itu berdiri di kepala
perahu yang menghadang di depan, kemudian terdengar suaranya lantang
seperti berbunyi:
Dari delapan penjuru muncul harimau dan naga
datang ke muara memperebutkan mustika.
yang merasa dirinya bukan harimau atau naga
pergilah jangan mencari jalan ke neraka!
Kakek Siauw Lam masih tetap tenang, bahkan kini menggunakan tongkatnya
dipukul-pukulkan dan digoyang-goyangkan ke dalam air seperti
bermain-main. Tongkatnya menerbitkan suara berirama lalu terdengarlah
kakek ini bernyanyi:
Harimau dan naga memperebutkan mustika, biarlah!
Sang Kucing tidak menghendaki apa-apa
hanya ingin menonton menggunakan mata sendiri
siapa yang ambil peduli?
Bun Beng yang mengemudikan perahu tidak begitu mengerti apa yang
dimaksudkan dengan nyanyian-nyanyian itu, akan tetapi ia terbelalak
kaget melihat betapa tongkat suhunya yang dipermainkan di air itu selain
menerbitkan suara berirama, juga menimbulkan gelombang yang membuat
perahu-perahu penghalang itu terombang-ambing, bahkan terdorong minggir!
Juga para pimpinan bajak mengerti bahwa kakek itu ternyata memiliki
kepandaian dahsyat, maka perahu-perahu mereka minggir memberi jalan dan
mereka semua berdiri di kanan kiri sambil memberi hormat mengangkat
kedua tangan ke depan dada ketika perahu kecil itu lewat. Bajak yang
tadi bernyanyi, kini bernyanyi pula, suaranya lantang:
Burung terbang dapat dipanah
ikan berenang dapat dijala
binatang lari dapat dijebak!
Kami yang bodoh tidak dapat mengenal naga sakti
yang menunggang angin dan mega
Maaf, maaf, maaf!
Akan tetapi kakek Siauw Lam tidak menjawab, hanya dengan tenang membantu
muridnya mengemudikan perahu yang kini meluncur lewat rombongan bajak
yang menghadang itu. Setelah beberapa kali melewati tikungan dan tidak
tampak lagi bajak, Bun Beng tak dapat menahan keinginan hatinya yang
sejak tadi berdebar tegang.
"Eh, Suhu! Apakah artinya semua nyanyian tadi? Sikap mereka begitu
menakutkan akan tetapi Suhu hanya bernyanyi untuk mengalahkan mereka!
Apa artinya?"
Kakek itu menghela napas panjang lalu menggeleng kepala. "Gerombolan
bajak dapat mempergunakan kata-kata indah, bahkan dapat menggunakan
ujar-ujar, hal ini saja menunjukkan bahwa golongan bajak pun telah amat
maju. Tentu Ketua Hek-liong-pang yang sekarang ini bukan orang
sembarangan!"
"Bajak? Apakah mereka itu bajak, Suhu?"
Gurunya mengangguk. "Mereka adalah anak buah bajak sungai Hek-liong-pang
yang mengganas di muara Sungai Huang-ho. Nyanyian mereka tadi
menyindirkan bahwa di muara sungai kini sedang didatangi tokoh-tokoh
kang-ouw sakti yang diumpamakan naga dan harimau memperebutkan mustika
yang agaknya dimaksudkan pusaka-pusaka itu. Dan mereka itu menjaga agar
tokoh yang tidak berkepandaian tinggi, tidak perlu mendekat karena hanya
akan merupakan gangguan saja. Ketua mereka pun merupakan seorang di
antara mereka yang dianggap naga harimau!"
Bun Beng mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu, Suhu tadi menyindirkan
bahwa sebagai kucing Suhu hanya ingin menonton. Akan tetapi biar pun
kucing, bukan sembarang kucing! Tongkat Suhu menimbulkan gelombang
membuat mereka sadar bahwa Suhu bukan sembarang kucing melainkan seekor
naga yang menunggang angin dan mega! Bukankah begitu, Suhu?"
Gurunya mengangguk. "Nyanyian mereka terakhir tadi dipergunakan untuk
memuji dan minta maaf. Padahal kata-kata itu berasal dari kata-kata
pujian Biksu Khong Hu Cu yang ditujukan kepada Biksu Lo Cu setelah kedua
Biksu itu saling berjumpa dan bercengkerama."
Perahu melucur terus dan menjelang senja perahu mereka melalui sungai
yang menyempit, diapit dinding batu karang menggunung. Kembali Bun Beng
yang tadinya melewatkan waktu dengan berlatih pedang yang dibawanya,
pedang biasa yang selalu ia pergunakan untuk berlatih ilmu silat pedang,
menghentikan latihannya dan berseru,
"Suhu...! Di atas tebing itu... banyak tentara! Dan bendera itu ada
huruf besarnya berbunyi Kok Su (Guru Negara)! Wah, banyak sekali
tentaranya, agaknya berjaga-jaga di daerah ini!"
"Ssst, kita sudah hampir sampai. Simpan pedang itu. Selewatnya dua
tebing itu kita tiba di muara dan di pulau-pulau tengah sungai. Di
tempat itulah keramaian terjadi karena dikabarkan bahwa tempat rahasia
penyimpanan pusaka berada di situ. Agaknya tentara negeri menjaga dan
melarang orang mendekatinya dari darat. Cepat, kita pinggirkan perahu,
berlindung di bawah tebing, di bawah batu karang yang menonjol itu!"
Kakek Siauw Lam membantu muridnya mendayung perahu sehingga perahu
mereka meluncur cepat ke bawah batu karang. Kakek itu melontarkan tali
dan dikaitkan pada batu karang sehingga perahu mereka menempel batu
karang dan tidak hanyut.
Malam tiba dan mereka makan roti kering sambil minum arak merah yang
dibawa kakek itu sebagai bekal. Angkasa penuh bintang berkelap-kelip dan
sambil menanti lewatnya malam, Kakek Siauw Lam bercakap-cakap dengan
muridnya.
"Suhu, kenapa kita tidak melanjutkan perahu sampai ke pulau-pulau itu?"
"Berbahaya! Hari sudah malam dan gelap, lebih baik kita menanti di sini
dan besok pagi baru kita berangkat ke sana. Dalam keadaan gelap, sungguh
tidak baik kalau kita melibatkan diri dengan urusan mereka. Kalau hari
terang, tentu aku dapat melihat keadaan dan menyesuaikan diri."
"Suhu, selain Pendekar Siluman yang menjadi Majikan Pulau Es, siapa lagi
mereka yang dahulu memperebutkan diri teecu? Sampai sekarang Suhu belum
menceritakan keadaan mereka kepada teecu."
"Yang mukanya berwarna merah adalah anak buah dari Pulau Neraka."
"Pulau Neraka? Sungguh menyeramkan namanya. Di mana itu, Suhu?"
"Sampai sekarang belum ada tokoh kang-ouw yang mengetahuinya, bahkan
mendengarnya pun baru akhir-akhir ini. Pulau Neraka sama aneh dan penuh
rahasia seperti Pulau Es. Akan tetapi Pulau Es ini sudah puluhan tahun
dikenal namanya, walau pun tidak pernah ada pula yang pernah melihatnya,
kecuali Pendekar Siluman dan anak buahnya, tentu saja. Datuk-datuk
golongan hitam dan putih dahulu memperebutkan dan mencari, karena
kabarnya pusaka peninggalan Bu Kek Siansu berada di sana. Namun tidak
pernah ada yang berhasil. Ada pun Pulau Neraka ini sebenarnya hanya
dikenal sebagai dongeng yang turun-temurun di antara tokoh kang-ouw
lama. Kabarnya sebuah pulau yang amat berbahaya, tidak dapat didatangi
manusia, penuh dengan racun. Tidak hanya binatang-binatang beracun,
bahkan buah-buahan, tetumbuhan dan batu-batuan di sana beracun semua!
Maka, amatlah mengagetkan ketika muncul tokoh-tokohnya dari sana yang
kesemuanya berwarna-warni kulit tubuhnya! Mengerikan!"
"Wah, hebat! Apakah muka mereka itu diberi warna untuk membedakan tingkat mereka?"
Kakek itu menggeleng kepala. "Ketika aku bertemu dengan mereka lima
tahun yang lalu di kuil tua, aku terkejut dan memperhatikan. Warna-warna
pada muka mereka bukan warna buatan, melainkan warna dari dalam kulit!
Agaknya, melihat keadaan mereka dahulu itu, makin terang dan muda warna
mukanya, makin tinggi tingkatnya. Dan kabarnya Pulau Neraka itu dipimpin
oleh seorang yang memiliki kepandaian seperti iblis! Akan tetapi
entahlah, tak pernah ada orang yang bertemu dengannya. Bahkan anak buah
mereka pun baru sekali itu kulihat. Aku pun masih heran memikirkan
bagaimana mereka itu tahu tentang dirimu dan hendak merampasmu, sungguh
merupakan hal yang membingungkan dan sukar dimengerti!"
Bun Beng makin tertarik dan makin terheran-heran. "Kalau tokoh-tokoh yang lain itu siapakah, Suhu?"
"Mereka juga bukan orang-orang sembarangan. Mereka yang hanya merupakan
anak buah tingkat rendah saja sudah mampu menandingi dua orang tokoh
Pulau Neraka. Mereka itu adalah anak buah dari perkumpulan
Thian-liong-pang yang baru sekarang muncul akan tetapi begitu muncul
menggegerkan dunia kang-ouw karena tokoh-tokohnya berilmu tinggi.
Kabarnya ketua mereka yang baru juga seorang aneh sekali yang ilmu
kepandaiannya tidak lumrah manusia!"
"Kalau begitu, jika nanti tokoh-tokoh Pulau Es, Pulau Neraka dan
Thian-liong-pang muncul, tentu mereka yang akan menjagoi dan mampu
memperebutkan pusaka-pusaka itu! Siapa yang akan mampu menandingi
mereka?"
Kakek itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Aaahh, kau
tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi, Bun Beng! Ilmu kepandaian
tidak ada batasnya dan tidak mungkin dapat diukur sampai di mana
puncaknya. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai. Yang
tidak pernah memperlihatkan diri malah memiliki kepandaian menggila!
Kini setelah ada umpan berupa berita pusaka-pusaka itu, hmm, aku hendak
melihat apakah orang-orang sakti itu tidak tertarik! Kalau mereka
muncul, tentu akan ramai sekali. Dan jangan kira pihak lain tidak
mempunyai jago-jagonya. Pemerintah mempunyai banyak orang-orang pandai,
dan kalau sekarang koksu kerajaan muncul, tentu kepandaiannya hebat. Apa
lagi ada kudengar bahwa koksu mempunyai dua orang pembantu yang ilmu
kepandaiannya sukar dikatakan sampai di mana tingginya. Mereka itu
jarang dikenal orang kepandaiannya, akan tetapi mengingat bahwa mereka
adalah dua orang pendeta Lama dari Tibet, aku dapat menduga bahwa tentu
ilmu kepandaiannya luar biasa sekali."
Dengan hati penuh keheranan dan kekaguman Bun Beng mendengarkan
penuturan suhunya dan akhirnya ia dapat pulas juga di atas perahu
setelah menanti dengan hati tidak sabar agar malam lekas terganti pagi.
Kakek itu memandang wajah muridnya di bawah bintang-bintang yang suram,
menarik napas panjang dan berbisik seorang diri.
"Bocah ini bukan anak sembarangan. Entah nasib apa yang menantinya?
Agaknya dia ditakdirkan akan terlibat dalam keributan tokoh-tokoh sakti
yang muncul di tempat ini. Hemm... semoga dia kelak akan dapat berdiri
di atas kebenaran, keadilan dan menjadi hamba kebajikan, mencuci noda
ayah bundanya." Kakek ini pun lalu duduk bersila, bersemedhi untuk
memberi istirahat kepada tubuhnya yang tua.....
********************
Sementara itu, di dalam tenda besar yang didirikan di atas tebing
sungai, seorang kakek berkepala botak memimpin perundingan, menghadapi
meja yang dikelilingi oleh tiga orang panglima dan dua orang pendeta
gundul. Kakek botak ini bukan orang sembarangan karena dialah Koksu
Kerajaan Ceng yang belum ada setahun diangkat oleh Kaisar sebagai
pengganti Puteri Nirahai yang lenyap.
Kakek botak ini tadinya adalah seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san,
seorang keturunan India akan tetapi memakai nama Tiong-hoa. Namanya
Bhong Ji Kun dan julukannya Im-kan Seng-jin (Nabi Akhirat)! Ilmu
kepandaiannya memang tinggi sekali dan setelah mendemonstrasikan
ilmu-ilmunya dan mengalahkan semua jago kerajaan, dia diangkat menjadi
koksu dan mengepalai semua jagoan kerajaan.
Im-kan Seng-jin ini pulalah yang berhasil menemukan peta rahasia yang
menunjukkan tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang diperebutkan itu dan
kini Kaisar mengutus dia sendiri memimpin pasukan pengawal, membawa
pembantu-pembantunya untuk menuju ke pulau di muara Sungai Huang-ho
karena kaum kang-ouw yang bertelinga tajam itu rupanya telah dapat
mendengar akan hal ini sehingga pihak kerajaan merasa khawatir
kalau-kalau mereka didahului oleh kaum kang-ouw.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun memblokir kedua tebing di kanan kiri muara
dari mana mereka dapat menjaga dan memandang ke arah pulau-pulau itu,
dan malam itu Im-kan Seng-jin mengadakan perundingan dengan lima orang
pembantunya. Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Thian Tok Lama dan Thai Li Lama,
dua orang pendeta Lama dari Tibet yang kini diperbantukan oleh Kaisar
di istananya. Ada pun tiga orang panglima yang berpakaian perang dan
kelihatan gagah perkasa itu pun bukan sembarangan orang, melainkan
jagoan-jagoan tingkat tinggi yang mengepalai pasukan pengawal istana!
"Maaf Koksu. Sungguh saya tidak mengerti mengapa Koksu begitu sabar dan
mendiamkan saja berkumpulnya orang-orang kang-ouw itu? Mengapa memberi
kesempatan kepada mereka sehingga membahayakan pusaka yang akan kita
ambil? Bukankah lebih baik kita turun tangan mengusir mereka. Kalau
mereka membangkang, apa sukarnya menangkap dan membasmi mereka sebagai
pemberontak?" tanya Bhe Ti Kong, panglima yang tampan, tinggi besar dan
gagah perkasa, bermuka merah dan bermata lebar, pantas menjadi seorang
panglima besar atau jenderal yang kosen.
Dua orang panglima lainnya mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan
pertanyaan ini karena mereka pun merasa penasaran. Hanya kedua orang
pendeta Lama itu yang duduk dengan tenang, tidak bicara apa-apa hanya
menanti apa yang akan menjadi jawaban Im-kan Seng-jin.
Kakek botak yang tubuhnya tinggi kurus itu tersenyum memandang si
penanya, kemudian mempermainkan jari-jari tangannya, ditekuk-tekuk
sehingga mengeluarkan bunyi krak-krok-krok! "Tahukah kalian apa yang
menyebabkan bunyi ini jika buku-buku jari ditekuk? Yang mendatangkan
bunyi adalah pecahnya gelembung-gelembung yang terhimpit! Heh-heh-heh,
Bhe-goanswe (Jenderal Bhe), sebagai seorang panglima perang tentu engkau
sudah tahu akan siasat-siasat perang, bukan? Ada saatnya menyerang, ada
pula saatnya mundur dan ada saatnya bersabar menanti kesempatan baik.
Menghadapi partai-partai orang kang-ouw sekarang ini, aku mengambil
siasat menanti dan melihat (wait and see)! Mengertikah kalian semua mengapa kita harus menanti dan melihat apa yang akan mereka kerjakan?"
Kelima orang pembantunya itu tidak ada yang mengerti, dan Bhe Ti Kong
berkata lagi, "Sungguh saya bingung. Mengapa Koksu mengambil siasat ini?
Mereka adalah orang-orang kang-ouw dan di antara mereka banyak terdapat
tokoh-tokoh sakti, akan tetapi selama ini mereka tidak mengambil sikap
bermusuh terhadap pemerintah. Jikalau sekarang kita mempergunakan
kekuasaan minta mereka mundur, tentu mereka tidak membantah. Menurut
para penyelidik, mereka itu bukan hanya sekedar tertarik untuk
mendapatkan pusaka-pusaka, melainkan juga menggunakan kesempatan ini
untuk berpibu, mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang pantas
disebut jago nomor satu atau datuk paling tinggi! Segala perkara kosong
itu perlu apa dibiarkan mengacau usaha kita mencari pusaka?"
Jenderal Bhe Ti Kong ini sejak kecil adalah orang peperangan, maka
sikapnya jujur dan keras, siasatnya pun keras dan tidak mempunyai sifat
plintat-plintut menggunakan akal bulus.
Im-kan Seng-jin tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Sekali ini engkau salah,
Bhe-goanswe. Bukan hanya kesalahan satu macam, melainkan semua
pendapatmu itu keliru dan meleset!"
Melihat sinar mata penuh tantangan dari atasannya itu, Bhe Ti Kong
menunduk, dan suaranya perlahan ketika ia berkata, "Tentu Koksu yang
benar, saya mohon penjelasan agar dapat melaksanakan tugas dengan baik
sesuai dengan siasat Koksu!"
"Pertama, perlu kalian berlima tahu bahwa peta yang ada pada kita
hanyalah menunjukkan kepulauan ini sebagai petunjuk pertama! Hal ini
menurut perkiraanku jelas menandakan bahwa tempat pusaka itu bukan di
sini, melainkan harus dicari mulai dari tempat ini, yaitu pulau-pulau
yang berada di tengah muara. Karena belum diketahui jelas di mana
tempatnya, sedangkan kita sendiri masih meraba-raba dan mencari-cari,
perlu apa kita mendahului mereka mencari dan membiarkan mereka diam-diam
mengawasi kita dan akan turun tangan apabila pusaka sudah kita
dapatkan! Dari pada diawasi, lebih mudah mengawasi. Orang-orang kang-ouw
itu hidungnya tajam, biarlah mereka yang mencarikan untuk kita. Kalau
secara kebetulan sekali di antara mereka ada yang berhasil, kita sergap!
Kalau tidak demikian, bayangkan saja betapa besar bahayanya kalau kita
mencari-cari dan ratusan orang kang-ouw itu mengintai seperti sekawanan
burung rajawali mengintai mangsanya! Bagaimana pendapat kalian?"
Lima orang pembantu itu mengangguk-angguk tanda setuju.
"Kalau mereka tidak berhasil mencari dan pergi, sudahlah. Mereka tidak
memusuhi pemerintah, maka apa untungnya kalau kita menggunakan kekerasan
mengusir mereka sehingga menimbulkan dendam dan permusuhan karena benci
kepada pemerintah? Bukankah rugi sekali kalau kita mengusir mereka?
Pertama, mereka akan membenci dan memusuhi pemerintah. Ke dua, mereka
tentu penasaran dan akan mengintai gerak-gerik kita dalam mencari
pusaka."
Kembali lima orang pembantunya mengangguk membenarkan dan diam-diam kagum akan pandangan yang luas dan perhitungan masak ini.
"Tentang mereka berpibu mengadu kepandaian di pulau itu? Ha-ha-ha-ha!
Biarlah! Makin berkurang kaum kang-ouw yang saling berbunuhan, makin
kurang bahayanya bagi pemerintah! Selain itu hemmm... aku pun ingin
sekali menonton pibu. Ha-ha, tak dapat disangkal pula bahwa tangan kita
yang mempelajari banyak ilmu ini menjadi gatal-gatal kalau mendengar
orang sakti mengadu pibu. Apa salahnya kalau kita pun meramaikan pibu
mereka itu? Kita berlima... heh-heh, berenam dengan aku maksudku,
agaknya bukan merupakan tanding yang lemah. Akan menggembirakan sekali,
ha-ha!"
Kini dua orang pendeta Lama itu yang mengangguk-angguk karena mereka
berdua pun ingin sekali menyaksikan, bahkan kalau mungkin menguji
kepandaian kaum kang-ouw yang terkenal dan terutama sekali jika dia yang
nanti terpilih menjadi datuk nomor satu!
Ketika perundingan di dalam kemah itu berlangsung, Kakek Siauw Lam
sedang bersemedhi dengan tenangnya, sedangkan Bun Beng sudah pulas.
Menjelang pagi, Kakek Siauw Lam sadar dari semedhinya karena ia
mendengar suara perlahan di permukaan air, suara sebuah perahu meluncur
datang mendekati perahunya! Namun kakek itu pura-pura tidak tahu dan
duduk bersila dengan tenangnya, hanya diam-diam ia bersiap-siap menjaga
diri dan muridnya kalau-kalau ada bahaya mengancam. Dari gerakan perahu
ketika ia menghitung gerakan, ia tahu bahwa ada enam orang meloncat ke
atas perahunya, dan orang-orang ini biar pun memiliki ginkang yang
tinggi, bagi dia bukan merupakan lawan yang perlu dikhawatirkan. Maka
dia tetap pura-pura tidak tahu.
"Kita sergap dan ikat," bisik seorang di antara mereka.
Legalah hati kakek Siauw Lam. Bisikan itu mempunyai arti bahwa dia dan
muridnya hanya akan ditangkap, tidak dibunuh, maka dia pun mengambil
keputusan untuk tidak melakukan perlawanan.
"Heiii! Apa ini? Lepaskan...!" Bun Beng meronta-ronta dengan kaget
ketika terbangun dan melihat ada seorang laki-laki mengikat kedua
tangannya, "Suhu...!"
"Diamlah, Bun Beng. Mereka tidak berniat jahat." kata Kakek Siauw Lam dengan sabar.
"Tidak berniat jahat mengapa membelenggu kita?" Bun Beng membantah, terheran-heran.
Kini kedua tangan guru dan murid itu telah dibelenggu ke belakang dan
mereka melihat enam orang laki-laki bersenjata golok besar berdiri di
atas perahu.
"Engkau benar, orang tua. Kami tidak berniat jahat. Bukankah kalian
hendak menonton keramaian? Nah, Pangcu kami tidak ingin melihat penonton
membikin ribut, akan tetapi juga tidak mau merampas hak seorang
penonton. Mari, kalian akan mendapat tempat yang amat baik sehingga akan
dapat menonton dengan enak, ha-ha!"
Tubuh guru dan murid itu lalu diangkat, dipindahkan ke dalam perahu
mereka yang mereka dayung cepat-cepat menuju ke sebuah pulau terbesar
yang berada di tengah muara. Tanpa banyak cakap mereka meminggirkan
perahu, disambut oleh seorang laki-laki berkumis pendek dan membawa
sebatang pedang di punggungnya. Sikapnya berwibawa, matanya tajam dan
biar pun usianya paling banyak empat puluh lima tahun, namun mudah
diduga bahwa dia tentulah pemimpin dari orang-orang ini.
"Lemparkan mereka di pantai, kemudian cepat sembunyikan perahu dan
kembali bersembunyi di tempat semula," kata orang berpedang itu setelah
melempar pandang kepada Kakek Siauw Lam.
"Baik, Pangcu," jawab anak buahnya, namun orang berpedang itu sudah berkelebat cepat sekali, lenyap dari situ.
Kakek Siauw Lam dan Bun Beng lalu digotong keluar dan ditinggalkan di
pantai pulau itu, kemudian enam orang bersama perahunya pergi. Semua ini
dilakukan menjelang pagi ketika cuaca masih gelap.
Keadaan sunyi sekali setelah orang-orang yang menangkap mereka itu
pergi. Bun Beng memandang ke sekelilingnya. Pulau itu cukup besar,
merupakan pulau berbentuk anak bukit yang tinggi juga. Hanya pantai di
mana mereka ditinggalkan itu yang datar, akan tetapi dari tempat itu
dapat diduga bahwa pantai lain di sekeliling pulau itu tentu merupakan
tebing-tebing yang tinggi. Juga ia mendapat kenyataan bahwa pulau itu
berada di muara paling ujung dan sudah berbatasan dengan laut sehingga
kadang-kadang tampak ombak laut naik dan membentur tebing karang pulau
itu di sebelah luar.
Ketika berusaha memandang ke seberang, yaitu di kanan kiri sungai yang
telah menjadi luas sekali itu, dia hanya melihat beberapa sinar api
berkelap-kelip. Keadaan sunyi sekali seolah tempat itu tidak ada
manusianya, padahal dia dapat menduga bahwa di sekitar tempat itu,
mungkin di atas pulau dan sudah jelas sekali di seberang, di
tebing-tebing tinggi, penuh dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti,
penuh pula dengan pasukan pengawal. Hatinya berdebar tegang ketika ia
teringat akan keadaan dirinya dan suhunya.....
Diam-diam Suma Han merasa geli di dalam hatinya. Dahulu, secara tidak
sengaja ia mengaku tinggal di Pulau Es kepada dua orang utusan Pulau
Neraka dan siapa sangka, sekarang hal itu benar-benar telah terbukti.
Sekarang dia menjadi penghuni atau majikan dari Pulau Es.....
"Suhu, teecu masih tidak mengerti mengapa Suhu tidak melawan? Kita ini
dibelenggu dan dilepaskan di sini, apa sih kehendak mereka? Apakah
benar-benar kita disuruh menonton akan tetapi tidak boleh bergerak maka
dibelenggu seperti ini?"
"Sabar dan tenanglah, Bun Beng. Engkau pergi hendak mencari pengalaman,
ingat? Nah, justru pengalaman-pengalaman yang tidak enaklah yang
merupakan pengalaman tak terlupakan dan mengandung banyak pelajaran.
Mereka itu tidak berniat jahat, karena kalau demikian, tentu tadi mereka
akan membunuh kita dan tentu saja aku tidak akan membiarkan mereka
berbuat begitu. Mereka hanya menangkap kita dan buktinya kita
ditinggalkan di sini."
"Akan tetapi... mengapa, Suhu? Apa maksudnya semua?"
"Aku sendiri tidak tahu dengan pasti, hanya dapat menduga-duga saja.
Namun kalau dugaanku tidak meleset terlalu jauh, kita sekarang bukan
menjadi penonton lagi, Bun Beng, melainkan ikut pula main dalam
keramaian ini, bahkan menjadi pemegang peran babak pertama dalam adegan
pembukaan!"
Bun, Beng membelalakkan matanya. "Apa maksud Suhu?"
"Melihat adanya pasukan-pasukan pemerintah yang sudah memblokir tempat
ini, agaknya para partai dan tokoh kang-ouw yang sudah berkumpul dengan
sembunyi-sembunyi di sekitar tempat ini merasa ragu-ragu untuk memulai
keramaian ini. Mereka mengambil sikap menunggu dan melihat, tidak ada
yang berani memulai karena resiko dan bahayanya amat besar. Selain
adanya saingan yang berat dan banyak jumlahnya, di sini terdapat pula
pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh koksu. Hal ini tentu saja
bukan merupakan hal sepele yang boleh dibuat main-main. Oleh karena itu,
dengan adanya kita sebagai orang luar atau katakan penonton, maka
mereka mendapat kesempatan baik untuk menarik kita dan kita dijadikan
semacam umpan, atau lebih tepat merupakan sumbu untuk meledakkan
keramaian! Mereka semua bersembunyi, dan kita mereka taruh di sini yang
dapat dilihat dari semua penjuru kalau matahari sudah muncul nanti.
Kehadiran kita ini pasti menarik semua orang dan tentu akan ada yang
mulai muncul sehingga pesta dapat dimulai!"
"Hemm, kurang ajar sekali mereka!" Bun Beng mengomel. "Kalau aku mereka
jadikan umpan masih tak mengapa. Akan tetapi mereka berani menangkap dan
membelenggu Suhu! Siapakah mereka yang menangkap kita tadi, Suhu?"
"Melihat sikap mereka dalam menggunakan perahu, kiranya tidak salah
kalau aku menduga bahwa mereka adalah pimpinan Hek-liong-pang yang
membantu ketua mereka dalam usaha perebutan ini. Si Kumis yang berpedang
tadi lihai dan cepat sekali gerakannya dan disebut Pangcu (Ketua),
agaknya dialah Ketua Hek-liong-pang. Hek-liong-pang merupakan kekuasaan
tidak resmi di muara ini, dan dalam istilah dunia kang-ouw, sekali ini
keramaian mengambil tempat di wilayah atau daerah kekuasaan
Hek-liong-pang. Tegasnya, saat ini dapat dianggap bahwa Hek-liong-pang
menjadi tuan rumah! Tuan rumah yang bukan hanya ingin menjadi penonton
saja, bahkan ingin sekali memegang peran utama dan mendapatkan pusaka
yang diperkirakan terdapat di dalam daerah operasi mereka! Maka melihat
betapa keramaian dapat membeku gagal dengan munculnya begitu banyak
pasukan pemerintah, Hek-liong-pang kini mengambil prakarsa untuk
menyalakan sumbu yang akan meledakkan keramaian, yaitu kita inilah."
"Sekarang, apa yang akan Suhu lakukan? Apakah kita akan mandah begini saja?"
Kakek itu tersenyum lebar. Semenjak Siauw Lam Hwesio menjadi Kakek Siauw
Lam dan memelihara rambut, wajahnya yang dahulu selalu dingin membeku
itu kini mulai tampak sinarnya dan terutama sekali kalau bicara dengan
muridnya, ia mulai banyak tersenyum. Memang muridnya tidak seperti bocah
biasa. Anak ini jalan pikirannya seperti orang tua, tidak
kekanak-kanakan lagi, dan kecerewetannya menanyakan segala macam hal
menandakan bahwa anak ini mempunyai hasrat besar untuk maju.
“Bun Beng, kalau aku mengendaki, apa sih sukarnya merobohkan enam orang
itu? Akan tetapi aku sengaja membiarkan mereka menangkap kita. Kalau
saja tidak bersama engkau, tentu aku tidak sudi mengalami penghinaan
dari pimpinan bajak ini. Engkau hendak mencari pengalaman dan berkenalan
dengan tokoh-tokoh sakti. Nah, sekarang engkau berada di tengah-tengah
dan akan mengalami sendiri keramaian itu. Karena inilah aku sengaja
mengalah. Kita tunggu saja dan lihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Hari masih terlalu pagi, matahari belum bersinar, tentu mereka belum
dapat melihat kita. Tunggu saja nanti kalau matahari sudah bersinar, dan
kalau ikan-ikan itu sudah melihat umpan yang lezat ini, hemmm, tentu
mereka akan bermunculan dan akan memenuhi idaman hatimu.”
Bun Beng tidak bertanya lagi dan kini ia diam-diam mengerahkan tenaganya
untuk mencoba apakah dia akan dapat mematahkan belenggu yang mengikat
kedua lengannya. Beberapa kali ia mengerahkan tenaganya, namun sia-sia
saja. Belenggu itu terlalu kuat baginya. Biar pun Kakek Siauw Lam tidak
melihat usahanya ini, namun kiranya kakek itu mengetahui karena kakek
itu berkata.
“Muridku, usiamu belum cukup berlatih sinkang, maka tenaga dasar darimu
mana mungkin dapat mematahkan belenggu. Akan tetapi, lupakah engkau akan
latihan Jiu-kut-kang yang kuajarkan kepadamu?”
Bun Beng tertegun. Tentu saja dia telah mempelajari ilmu Jiu-kut-kang
itu, yaitu ilmu melemaskan diri atau cara untuk melemaskan urat dan
sambungan tulang. Dia tadinya tidak dapat mengerti mengapa untuk
mematahkan belenggu yang kuat, suhu-nya menganjurkan dia ilmu itu. Dia
tidak membantah dan mulailah ia mengumpulkan inderanya dan mengerahkan
ilmu itu sehingga kedua lengannya menjadi lemas dan lunak. Seketika
ikatan pada kedua pergelangan tangan itu menjadi mengendur dan ia
menjadi girang sekali. Kiranya Jiu-kut-kang bukan dipergunakan untuk
mematahkan belenggu, melainkan untuk membuat kedua tangannya dapat
dilolos keluar tanpa mematahkan belenggu! Ia mencoba dan... dengan
mudahnya ia menarik keluar tangannya dari ikatan.
“Suhu, teecu... berhasil...!”
“Bagus, tentu saja berhasil. Akan tetapi jangan sekali-kali membebaskan kedua tanganmu, bersikaplah seperti engkau terbelenggu.”
Bun Beng mengerti maksud kata-kata suhu-nya. Dia tidak boleh
memperlihatkan kepada orang lain bahwa belenggunya dapat terlepas. Maka
sambil bersandar pada batu karang, Bun Beng mempermainkan belenggu itu
dengan ilmu Jiu-kut-kang, melolos tangannya lalu memasukkan lagi pada
belenggu yang kini hanya merupakan lingkaran tali yang tiada gunanya
itu. Dia terbelenggu, akan tetapi belenggu itu malah dapat ia pergunakan
untuk berlatih Jiu-kut-kang, sehingga diam-diam ia menertawakan kawanan
bajak yang membelenggu tadi. Baru dia saja dapat membebaskan dari
belenggu, apa lagi suhu-nya. Sungguh kawanan bajak itu benar-benar tak
tahu diri, berani mati membelenggu suhu-nya!
Matahari mulai memancarkan sinarnya di permukaan pulau itu dan hati Bun
Beng sudah mulai berdebar tegang dan gembira, bukan hanya karena sinar
matahari telah mengusir hawa dingin, terutama sekali karena ia
mengharapkan untuk dapat menyaksikan keramaian yang tentu akan segera
dimulai. Namun sampai berapa lamanya, keadaan tetap sunyi. Agaknya para
tokoh itu masih merasa segan dan malu-malu kucing untuk memulai dan
membuka keramaian.
Bun Beng telah memasukkan kembali kedua tangannya ke dalam tali pengikat
dan bersandar pada batu karang seperti yang dilakukan suhu-nya. Kakek
itu masih bersandar pada sisi batu seperti orang tidur, kelihatannya
enak dan tenang saja. Tak lama kemudian, setelah Bun Beng hampir hilang
sabarnya dan sudah bergerak hendak bertanya kepada suhu-nya, tiba-tiba
berkelebat bayangan yang cepat sekali seperti burung menyambar dan
tahu-tahu di dekat mereka telah berdiri dua orang laki-laki tua yang
berpakaian sederhana.
Dua orang kakek itu usianya antara lima puluh tahun, yang seorang gemuk
sekali, yang kedua amat kurus namun keduanya berpakaian sederhana,
berjenggot dan bermata tajam.
Setelah memandang kakek Siauw Lam dengan penuh perhatian, tiba-tiba Si
Gemuk itu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat dan berkata.
“Ahhh, kiranya Locianpwe yang berada di sini? Maafkan karena... eh,
karena rambut Locianpwe yang membuat saya tidak mengenal bahwa yang
semalam berada di sini adalah Siauw Lam Locianpwe dari Siauw-lim-pai.”
Mendengar ini, temannya yang kurus kelihatan kaget dan cepat berlutut memberi hormat.
Kakek Siauw Lam menghela napas panjang. Kiranya rambut panjangnya itu
tidak dapat menyembunyikan namanya. Ia mengerling dan melihat
berkelebatnya bayangan orang. Tampak enam orang pimpinan bajak bersama
ketua mereka, dan jauh di sana tampak pula berkelebatnya banyak orang
yang memiliki gerakan amat gesit tanda bahwa orang-orang pandai itu
telah mulai berdatangan. Kemudian ia memandang orang gemuk yang
mengenalnya, mengingat-ingat akan tetapi tidak mengenal Si Gemuk itu.
Juga orang kurus itu ia tidak mengenalnya.
Sementara itu, para pimpinan bajak Hek-liong-pang sudah datang mendekat.
Mereka ini siap dengan senjata mereka, bahkan ketuanya yang belum
mencabut senjata berkata, “Siapakah Ji-wi yang berani datang ke wilayah
kami tanpa ijin?”
Akan tetapi pertanyaan ini sama sekali tidak diacuhkan oleh Si Gemuk dan
Si Kurus itu, seolah-olah mereka itu hanya sekumpulan lalat saja dan
pertanyaan itu seperti gonggongan anjing. Juga kakek Siauw Lam tidak
mempedulikan mereka, kini bertanya kepada Si Gemuk,
“Mataku yang sudah tua mungkin tidak awas lagi maka tidak dapat mengenal
Ji-wi sicu yang gagah perkasa. Siapakah Ji-wi yang mengenal aku orang
tua tiada guna?”
“Saya bernama Yap Sun dan ini adalah Sute Thung Sik Lun, pembantu saya. Kami berdua adalah utusan dari Pulau Es!”
“Utusan dari Pulau Es??” Bun Beng berteriak girang dan anak ini sudah
menarik kedua tangannya terlepas dari ikatan sambil melompat berdiri.
“Utusan dari Pulau Es!” para pimpinan Hek-liong-pang berseru kaget
sekali. Mendengar disebutnya Pulau Es bagi mereka seperti mendengar
bunyi guntur di tengah hari.
Dua utusan Pulau Es itu lalu bangkit berdiri setelah memberi hormat
kepada kakek Siauw Lam, kemudian mereka membalikkan tubuh menghadapi
pimpinan Hek-liong-pang. Yap Sun, wakil dari Pulau Es itu berkata
dingin.
“Hek-liong-pang seperti dipimpin orang-orang buta dan lancang, berani
menghina seorang Locianpwe yang patut dihormati. Kami berdua utusan
Pulau Es ingin meninjau pertemuan orang-orang gagah yang kabarnya akan
diadakan di sini. Apakah pihak Hek-liong-pang keberatan dengan kehadiran
kami?”
Enam orang pimpinan Hek-liong-pang bersama ketua mereka itu tadi tidak
hanya kaget mendengar nama Pulau Es, juga melihat betapa wakil Pulau Es
begitu menghormati Si Kakek Tua, dan kaget pula melihat bocah itu
ternyata mampu melepaskan ikatan tangannya! Ketuanya yang berpedang di
punggungnya cepat menguasai diri dan kini merangkapkan kedua tangan di
depan dada sebagai tanda menghormati sambil berkata,
“Maaf, maaf! Tidak mengenal maka tak sayang, kata orang. Karena tidak
mengenal maka kami berlaku kurang hormat yang berpura-pura sebagai
penonton lemah, tidak mengenal Ji-wi sebagai utusan Pulau Es yang
terhormat. Setelah mengenal kami persilakan Ji-wi dan juga Locianpwe
untuk naik ke tengah pulau!”
Dua orang kakek gemuk dan kurus itu tanpa banyak cakap lagi lalu
melangkah dan naik ke atas bukit, diikuti oleh tujuh orang pimpinan
Hek-liong-pang. Ada pun kakek Siauw lam, sekali menggerakkan tangan
telah mematahkan belenggunya, kemudian menggandeng tangan muridnya dan
berkata,
“Hebat! Pulau Es mengirim wakilnya. Keramaian dimulai dan engkau akan menyaksikan pertunjukan menarik. Mari kita naik!”
Dengan jantung berdebar tegang Bun Beng mengikuti suhu-nya naik ke bukit
batu karang itu. Setelah mereka tiba di atas, ternyata bahwa puncak
bukit yang berada di tengah pulau itu daratan yang luas, bahkan sebagian
besar menjorok ke pinggir merupakan tebing tinggi. Air muara dan air
laut berada di bawah tebing itu. Pemandangan sungguh indah menakjubkan,
namun juga berbahaya dan mengerikan. Dan di tempat itu kini sudah penuh
orang sehingga diam-diam Bun Beng merasa heran bagaimana dalam waktu
singkat tempat itu telah dikunjungi begitu banyak orang yang semua
tampak gagah perkasa.
Sebuah kapal layar besar tampak berlabuh tak jauh dari pinggir pulau,
dan melihat keadaan layarnya dan bendera yang berkibar di tiang kapal
itu tentulah milik pemerintah.
Kakek Siauw Lam mengajak Bun Beng duduk agak jauh, di atas batu karang
tinggi agar enak mereka menonton keramaian. Dari tempat itu Bun Beng
dapat melihat seluruh daratan, dan karena jaraknya dekat, ia dapat pula
mendengar. Dengan penuh perhatiasn Bun Beng menyapu tempat itu dengan
pandang matanya. Ia melihat beberapa kelompok orang, dengan bendera
masing-masing. Dari tempat ia menonton, ia dapat membaca huruf-huruf
pada bendera itu.
Ketua Hek-liong-pang berdiri bersama enam orang pembantunya di kanan,
dengan bendera bertuliskan huruf ‘Hek-liong-pang’. Di sebelahnya
terdapat rombongan belasan orang yang berbendera Hek-i Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) yang semua memakai pakaian hitam penuh
tambalan. Kemudian terdapat pula rombongan yang berbendera Hui-houw-pai
(Partai Macan Terbang) yang seperti bendera Hek-liong-pang yang
bergambar naga hitam, bendera Hui-houw-pai ini bergambar seekor harimau
bersayap! Kemudian tampak pula rombongan Thian-liong-pang yang hanya
terdiri dari empat orang, kelihatan biasa saja namun rombongan ini
menjauhkan diri dan kelihatan tak gentar.
Di ujung sekali tampak rombongan yang aneh menyeramkan. Rombongan ini
tidak membawa bendera akan tetapi mudah dekenal karena warna-warna muka
mereka sudah merupakan bendera tersendiri. Ada warna muka jambon, ungu,
hijau pupus, biru laut. Semua ada sebelas orang, akan tetapi warna
mereka semua adalah muda, menandakan bahwa wakil Pulau Neraka yang
datang ini adalah orang-orang yang tingkatnya sudah tinggi.
Di samping rombongan-rombongan ini, tampak pula rombongan dari
partai-partai persilatan besar yang hanya terdiri dari beberapa orang
dan tidak dikenal oleh Bun Beng. Akan tetapi, kakek Siauw Lam
membantunya dan sambil menuding dengan telunjuknya, kakek ini
memperkenalkan tokoh-tokoh yang hadir, tentu saja yang dikenalnya karena
banyak di antara mereka merupakan ‘wajah-wajah baru’ yang selama ini
hanya menyembunyikan dirinya. Maka tahulah Bun Beng bahwa di tempat itu
hadir pula tokoh-tokoh dari Hoa-san-pai, Khong-tong-pai dan
partai-partai lain yang kecil.
Dari partai Siauw-lim-pai ternyata ada pula yang hadir yaitu lima orang
Siauw-lim Ngo-kiam (Lima Pedang Siauw-lim). Bun Beng belum pernah
melihat mereka, maka kini dia memandang penuh perhatian.
“Mereka adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai penting dan terkenal,
murid-murid Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai yang lama. Tentunya ada
tujuh orang murid yang terkenal dengan nama Siauw-lim Chit-kiam, akan
tetapi dua di antara mereke telah terjadi perang (baca cerita Pendekar
Super Sakti). Kini tinggal lima orang itu, ahli-ahli pedang yang patut
dibanggakan oleh Siauw-lim-pai.
Tentu saja Bun Beng memandang ke arah lima orang kakek itu dengan hati
girang karena mereka adalah jago-jago pedang Siauw-lim-pai yang berdiri
dengan sikap tenang dan amat gagahnya, dalam pandangannya jauh lebih
gagah dari pada yang lain. Mereka terdiri dari dua orang hwesio dan tiga
kakek bukan pendeta.
“Suhu, kalau begitu teecu harus menyebut apa kepada mereka?”
Lama kakek Siauw Lam tidak menjawab, akhirnya dia berkata perlahan. “Aku
hanyalah seorang pelayan di Siauw-lim-si, akan tetapi menurut tingkat,
karena aku menjadi murid mendiang Kian Ti Hosiang, maka mereka adalah
murid-murid keponakanku dan engkau boleh menyebut suheng kepada mereka.”
Girang hati Bun Beng. Mereka itu adalah kakak-kakak seperguruannya.
Ingin sekali dia dapat berdiri di samping mereka, mewakili
Siauw-lim-pai, akan tetapi gurunya melarang.
“Kita hanya penonton, tidak boleh melibatkan diri secara langsung.”
Sementara itu, ketua Hek-liong-pang yang berpedang dan tampak gagah itu
sudah maju ke tengah lapangan dan memberi hormat kepada semua yang
hadir. Dengan lantang namun penuh hormat dia berkata.
“Saya sebagai ketua Hek-liong-pang bernama Huang-ho Sin-liong Ciok Khun
(Naga Sakti Huang-ho), dan sebagai tuan rumah karena tempat ini termasuk
wilayah kekuasaan Hek-liong-pang, menghaturkan selamat datang kepada
Cu-wi Locianpwe sekalian. Maksud kunjungan kita semua di tempat ini
tanpa ada yang mengundang mempunyai tujuan yang sama. Kini kita semua
melihat pula hadirnya pasukan pemerintah maka biarlah pemerintah menjadi
saksi diadakannya pemilihan bengcu (ketua) persilatan di dunia
kang-ouw. Kami hanya akan menyerahkan pulau ini kepada pihak yang patut
menjadi bengcu, maka pihak yang sekiranya tidak mempunyai kepandaian dan
tenaga untuk menangkan pibu, harap mundur saja.”
Ucapan ini disambut suara gemuruh mereka yang hadir, ada yang pro dan
ada pula yang kontra, namun semua setuju bahwa urusan ‘pusaka’ tidak
disinggung-singgung karena mereka tahu biar pun kini belum nampak
pasukan pemerintah turun ke pulau, namun tentu ada para penyelidiknya
yang turut menyaksikan dan mendengar.
“Kami pihak Hek-liong-pang yang mempunyai daerah sepanjang Sungai
Huang-ho dari Terusan Besar sampai ke muara telah bersepakat dengan
pihak Hek-i Kai-pang yang mempunyai daerah sepanjang lembah Huang-ho di
utara, untuk bersama-sama menjadi tuan rumah dan kami mengambil
kehormatan untuk membuka pibu ini. Karena kami maklum bahwa yang hadir
adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang memiliki ilmu-ilmu
kepandaian tinggi sekali, maka kami mngambil keputusan untuk maju
sendiri sebagai penguji pertama. Gu-loheng, marilah!”
Dari rombongan Hek-i Kai-pang melonat keluar seorang laki-laki tinggi
besar berusia lima puluhan tahun, memegang sebatang tongkat hitam, sama
dengan pakaiannya yang terbuat dari pada sutera hitam. Inilah
Toat-beng-tung Gu Ban Koai (Si Tongkat Maut), ketua Hek-i Kai-pang yang
selama ini, seperti juga Hek-liong-pang, telah dapat memperkuat
perkumpulannya.
Dahulu Hek-liong-pang tidaklah begitu kuat ketika diketuai oleh ayah
dari Ciok Khun ini yang bernama Ciok Ceng. Akan tetapi, Ciok Khun
memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari ayahnya karena ia
telah berguru kepada seorang pendeta perantauan yang datang dari
seberang lautan timur. Dia memiliki ilmu pedang yang dahsyat dan aneh.
Demikian pula dengan Hek-i Kai-pang. Ketika dulu diketuai oleh It-gan
Hek-houw Song-pangcu, perkumpulan ini tidak memperoleh kemajuan. Akan
tetapi sekarang setelah dipimpin oleh ketuanya yang baru, Hek-i Kai-pang
menjadi maju dan makin kuat. Hal ini adalah karena ketuanya sekarang
adalah seorang yang amat lihai, terutama sekali ilmu tongkatnya sehingga
dia mendapat julukan Tongkat Maut!
Karena pibu yang diadakan tanpa perjanjian lebih dulu ini sebenarnya
bukanlah pibu biasa, dan biar pun tidak diucapkan telah dimengerti oleh
semua yang hadir bahwa pibu ini lebih pantas dikatakan memperebutkan hak
‘siapa yang menang akan berhak mencari pusaka di tempat itu’, maka yang
maju adalah kedua orang ketua itu sendiri!
Huang-ho Sin-liong Ciok Khun sudah mencabut pedangnya dan bersiap
menghadapi lawan yang berani memasuki kalangan pibu, di samping
Toat-beng-tung Gu Ban Koai yang sudah melintangkan tongkat di depan
dada.
Perlu diketahui bahwa kebiasaan memperebutkan bengcu atas pemimpin
persilatan, atau juga datuk persilatan yang merupakan jagoan terpandai,
adalah kebiasaan golongan hitam dan perkumpulan-perkumpulan yang
bergerak dalam bidang persilatan. Kaum partai besar seperti Kun-lun-pai,
Siauw-lim-pai dan lain-lain yang di samping mengembangkan ilmu silat
juga terutama sekali mengembangkan agama dan ilmu kebatinan, tidak
bernafsu untuk disebut sebagai jago silat nomor satu.
Oleh karena itu partai-partai besar yang hadir di saat itu tidak
diwakili oleh ketua-ketua mereka, dan kedatangan mereka itu semata-mata
hanya tertarik oleh berita ditemukannya tempat penyimpanan pusaka-pusaka
yang hilang, sama sekali tidak bermaksud mengikuti pibu untuk
memperebutkan kedudukan jago nomor satu. Maka tantangan pibu yang dibuka
oleh kedua ketua itu mereka sambut dengan sikap dingin dan tidak ada
niat untuk turun tangan, kecuali hanya untuk menonton saja dan meilhat
perkembangan keadaan lebih lanjut.
Akan tetapi tidak demikian dengan rombongan yang lain, yang selain ingin
memperoleh pusaka juga tentu saja ingin disebut jago nomor satu dan
perkumpulannya merupakan perkumpulan yang terkuat dan terbesar sehingga
mereka mempunyai kedudukan mulia di dunia kang-ouw.
Dua orang meloncat ke depan. Yang seorang adalah ketua Hui-houw-pai
bernama Sim Koa Bi, berjuluk Hui Houw (Macan Terbang) dan perkumpulannya
menggunakan nama perkumpulan itulah. Tubuhnya gemuk pendek dan ia
memegang sebuah senjata rangtai baja yang ujungnya dipasangi bola
berduri di kanan kiri. Orang kedua yang meloncat keluar dari golongan
perorangan tanpa rombongan adalah seorang yang bertubuh kecil kurus,
berpakaian mewah dan kedua tangannya memegang sepasang pedang. Usianya
sebaya dengan ketua Hui-houw-pai, yaitu sekitar tiga puluh lima tahun.
Akan tetapi sikapnya malu-malu seperti perempuan, dan dia berdiri di
situ sambil tersenyum-senyum merendah.
“Aku Hui-houw Sim Koa Bi ketua Hui-houw-pai mohon pengajaran dari dua pangcu!” kata ketua Hui-houw-pai dengan suara mengguntur.
“Saya Kwa Ok Kian yang bodoh memberanikan diri memperluas pengetahuan.
Untuk memperebutkan bengcu tentu saja saya tidak berani. Cukup kalau
ikut meramaikan pertemuan ini agar menghangatkan hati para Locianpwe
sebelum turun tangan!” kata orang kurus sambil tersenyum. Biar pun
sikapnya demikian merendah, namun orang ini adalah seorang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi sekali karena sejak kecil dia menggembleng ilmu
di daerah Go-bi-san, dan baru sekarang turun gunung.
Dua orang tuan rumah itu memandang penuh perhatian, kemudian Ciok Khun
berkata, “Kami berdua sebagai pihak tuan rumah mempersilakan Ji-wi untuk
memilih lawan di antara kami berdua.”
Sim Koa Bi ketua Hui-houw-pai cepat berkata, “Aku ingin sekali berkenalan dengan tongkat maut dari pangcu Hek-i Kai-pang!”
Dia memang sudah mendengar akan kelihaian ketua Hek-liong-pang, maka
dengan cerdik ia memilih ketua perkumpulan Pengemis Baju Hitam itu yang
belum ia kenal. Tentu saja ia tidak tahu bahwa tingkat kepandaian
pengemis ini sebetulnya tidak berbeda jauh dengan tingkat kepandaian
ketua Hek-liong-pang!
Kwa Ok Kian tersenyum dan menghampiri Ciok Khun sambil berkata, “Kalau
begitu biarlah saya menerima pengajaran dari Ciok-pangcu!”
“Silakan!” kata Ciok Khun yang sudah melihat betapa ketua Hek-i Kai-pang telah mulai bertanding melawan ketua Hui-houw-pai.
“Pangcu, lihat siang-kiam!”
Dua sinar berkelebat ketika Si Kecil ini menggerakkan sepasang
pedangnya, tahu-tahu pedang kanan membabat leher dan pedang kiri
membabat kaki lawan dengan gerakan yang berlawanan. Hebat bukan main
serangan ini sehingga Ciok Khun berseru memuji, menangkis pedang yang
mengancam leher sambil meloncat ke atas menghindari babatan pada
kakinya. Kemudian ketua Hek-liong-pang ini pun melanjutkan gerakannya
dengan serangan balasan. Mereka segera bertanding dengan seru dan yang
tampak hanyalah sinar pedang bergulung-gulung menyilaukan mata.
Pertandingan antara ketua Hui-houw-pai melawan ketua Hek-i Kai-pang juga
berjalan dengan amat hebat. Sim Koa Bi yang pendek gemuk itu ternyata
lihai sekali. Gerakannya cepat dan rantai di tangannya menjadi sinar
bergulung-gulung. Yang mengagumkan sekali adalah gerakan loncatannya,
seperti terbang saja dan dari atas rantainya menyambar. Kedua kakinya
juga melakukan tendangan-tendangan yang amat berbahaya.
Namun Gu Ban Koai dengan tongkatnya bergerak tenang. Tongkatnya
membentuk pertahanan yang amat kuat dan kadang-kadang, biar pun hanya
jarang saja, satu melawan tiga dibandingkan dengan gencarnya serangan
rantai, tongkat itu secara tiba-tiba menyambar dan kalau mengenai lawan
tentu akan mendatangkan bahaya maut. Agaknya tidaklah mengecewakan kalau
ketua partai pengemis ini mendapat julukan Tongkat Maut karena
tongkatnya selalu mengirim serangan dahsyat dan lebih banyak bertahan
dari pada menyerang. Pendeknya, setiap serangan tentu sudah
diperhitungkan masak-masak, bukan sembarang menyerang untuk mengacaukan
lawan, melainkan serangan untuk merenggut nyawa lawan!
Bun Beng berdiri dan menonton dengan bengong penuh kekaguman. Dia sering
kali melihat murid-murid Siauw-lim-pai berlatih silat, akan tetapi baru
sekarang dia melihat pertandingan sehebat itu. Gerakan-gerakan pedang
itu bagaikan halilintar menyambar, lenyap bentuk pedangnya berubah
menjadi sinar terang bergulung-gulung. Dan rantai bersama tongkat itu
pun bergerak secara hebat sehingga si Tongkat nampak berubah menjadi
puluhan banyaknya dan rantainya berubah menjadi gulungan sinar.
“Suhu, siapa yang akan menang dalam pertandingan dahsyat itu?” tanyanya
kepada gurunya tanpa mengalihkan pandang matanya dari medan
pertandingan.
“Hemm, pertandingan ini belum berapa hebat, Bun Beng. Kalau orang yang
sakti maju, tidak perlu menggunakan senjata keras! Kulihat orang she Kwa
itu biar pun memiliki ilmu siang-kiam yang hebat dan memiliki gerakan
yang cepat, namun ia masih kalah pengalaman dibandingkan dengan ketua
Hek-liong-pang, dan tenaga sinkang-nya kalah kuat. Agaknya ketua
Hek-liong-pang yang akan menang. Ada pun pertandingan yang satu lagi,
jelas bahwa ketua Hek-i Kai-pang yang menang karena dia lebih tenang dan
tongkat mautnya itu benar-benar berbahaya sekali. Perhatikanlah, pihak
tuan rumah itu kini mulai mendesak.”
Bun Beng memandang penuh perhatian. Telah lima tahun lamanya dia
digembleng oleh gurunya. Pengetahuannya dalam hal ilmu silat sudah
mendalam, bahkan sudah banyak ilmu silat tinggi yang dia pelajari
sehingga dia hanya kurang matang dalam latihan saja dan tenaganya masih
belum besar. Akan tetapi dia sudah memiliki kewaspadaan dan dapat
mengikuti jalannya pertandingan dengan jelas.
Dia melihat bahwa kini pihak tuan rumah, yaitu kedua pangcu itu, telah
mendesak lawan masing-masing sehingga kedua lawannya lebih banyak
menangkis dari pada menyerang. Namun dia dapat melihat pula bahwa pihak
tuan rumah tidak berniat membunuh lawan, maka kini desakan ditujukan
pada lengan atau kaki lawan, bukan di bagian yang berbahaya.
“Saya mengaku kalah! Hek-liong-pang mempunyai pangcu yang hebat!” Kwa Ok
Kian berteriak sambil melompat mundur, kemudian dia melompat
meninggalkan pulau itu dengan perahu kecil.
Berbeda dengan orang she Kwa ini, ketua Hui-houw-pai agaknya merasa malu
kalau harus mengaku kalah begitu saja, apalagi dia datang bersama para
pembantunya dan di situ terdapat banyak tokoh kang-ouw menjadi saksi.
Sebagai seorang ketua partai persilatan, ia merasa malu kalau mengaku
kalah sebelum roboh. Maka ia menggigit bibirnya dan secara mati-matian
melakukan perlawanan memutar rantainya sambil melakukan gerakan meloncat
tinggi sesuai dengan julukannya, yaitu Macan Terbang!
Namun dia sudah terdesak dan tertindih, gerakan-gerakannya sudah
terkurung lingkaran sinar tongkat hitam, maka dalam belasan jurus
berikutnya ia kewalahan dan terlambat menangkis.
“Kreekkk!” terdengar suara dan tubuh Sim Koa Bi terbanting tak dapa
bangkit kembali karena tulang kering kaki kanannya remuk dihantam
tongkat.
Para pembantunya cepat datang dan menggotongnya pergi dari pulau itu
dengan perahu mereka. Setelah ketua mereka kalah, mau apa lagi?Bertahan
di tempat itu tidak ada gunanya, pula, hanya mendatangkan malu saja.
Setelah babak pertama dibuka oleh kedua orang pangcu sebagai pihak tuan
rumah, muncullah dua orang jagoan perorangan, yang seorang dari selatan,
yang kedua dari barat. Kembali mereka disambut oleh kedua orang pangcu
yang kosen itu. Pertandingan kali ini lebih dahsyat lagi, lebih hebat
dari pada tadi. Biar pun pertandingan ini pun berakhir dengan kemenangan
kedua orang pangcu, akan tetapi mereka berdua menjadi lelah sehingga
setelah berhasil memperoleh kemenangan, pangcu dari Hek-liong-pang
berkata sambil menjura ke empat penjuru.
“Karena kami berdua telah amat lelah, harap Cu-wi sekalian sudi
mempertimbangkan dan memberi kesempatan kepada kami untuk beristirahat.
Selanjutnya kami mohon agar para Enghiong yang ingin mengukur kepandaian
satu kepada yang lain suka maju lebih dulu. Kalau kami sudah
beristirahat, nanti kami akan maju untuk menghadapi para pemenangnya.”
Tentu saja alasan ini diterima baik, maka kini majulah empat orang dari
dari golongan partai lain dan kembali terjadi pertandingan antara
keempat orang itu, terbagi menjadi dua rombongan. Pertandingan ini
berjalan tidak seimbang dan dalam waktu tiga puluh jurus saja, dua orang
dari dua macam bu-koan (perguruan silat) sudah memperoleh kemenangan.
Kemudian dua orang pemenang ini berhadapan dengan kedua orang pangcu
tuan rumah yang tadi keluar sebagai pemenang sampai dua kali. Kembali
terjadi pertandingan menggunakan senjata yang amat seru.
“Hemm, agaknya para Locianpwe yang sakti masih menanti kesempatan, hanya
suka maju kalau melihat lawan yang cukup berharga untuk dilawan,” kata
kakek Siauw Lam perlahan.
“Aihhh, apakah yang bertanding masih kurang lihai, Suhu?” Bu Beng
bertanya heran, juga terkejut bahwa mereka yang telah bertanding sehebat
itu ternyata masih belum dianggap lihai oleh gurunya.
“Ahh, mereka itu hanya termasuk tokoh pertengahan saja, Bun Beng.
Tingkat mereka itu belum berapa tinggi, dan tiap orang dari
suheng-suheng-mu Siauw-lim Ngo-kiam masih akan sanggup menandingi
mereka. Kulihat kedua orang pangcu itu, hemmm... agaknya akan ramailah
dengan tingkat para suheng-mu. Biar pun tidak kalah, namun membutuhkan
waktu lama, sedikitnya seratus jurus. Kalau tokoh sakti sudah keluar,
barulah hebat!”
Tepat seperti yang diduga oleh kakek itu, Ciok Khun dan Gu Ban Koai
kembali keluar sebagai pemenang, kemenangan mereka untuk ketiga kalinya!
Karena melihat kelihaian dua orang pangcu itu, para tokoh pertengahan
menjadi jeri untuk maju. Bahkan banyak pula yang diam-diam pergi dari
tempat itu karena merasa tidak ada harapan untuk memperoleh kemenangan.
Yang tinggal hanyalah rombongan Thian-liong-pang, Hek-liong-pang, Hek-i
kai-pang, Pulau Neraka dan dua utusan Pulau Es serta beberapa orang lagi
tokoh yang belum turun ke gelanggang. Ada pun koksu Bhong Ji Kun
bersama para pembantunya kelihatan berdiri di atas kapal dan menonton
dari jauh.
Kedua orang pangcu itu merasa gembira sekali dengan kemenangan mereka
yang berturut-turut dan kepercayaan mereka kepada diri sendiri makin
besar. Setidaknya mereka kini sudah termasuk golongan ‘atas’ karena
bukankah yang tinggal di situ hanya rombongan yang terkenal di samping
partai-partai bersih seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain.
Andai kata mereka dikalahkan sekali pun, mereka sudah mengangkat nama
sendiri dan perkumpulan yang tidak dapat disejajarkan dengan perkumpulan
‘kecil’ seperti yang telah dikalahkan tadi.
Ciok Khun ketua Hek-liong-pang yang bertindak sebagai juru bicara dan
sebagai tuan rumah segera menjura dan berkata, “Harap para Locianpwe
tidak ragu-ragu untuk segera maju. Kami berdua siap mencari petunjuk!”
“Pangcu dari Hek-liong-pang, jangan sombong setelah memperoleh
kemenangan! Pinto-lah lawan kalian!” ucapan ini disusul berkelebatnya
bayangan orang dan di situ telah berdiri seorang tosu berpakaian kuning
yang membawa pedang di punggungnya.
Gerakan tosu ini amat ringan seperti sehelai bulu ditiup angin. Ternyata
dia adalah seorang tosu yang usianya sudah enam puluh tahun lebih.
Tubuhnya kurus kering tanpa daging, hanya kulit membungkus tulang.
Wajahnya seperti tengkorak, sangat menyeramkan!
“Mohon tanya, siapakah nama dan julukan Totiang dan dari partai apa?”
Ciok Khun menjura dan memandang penuh perhatian karena dia tidak
mengenal tosu ini.
“Pinto Hok Cin Cu, bukan dari partai mana pun juga, seorang pendeta
perantau yang kebetulan mendengar akan pertemuan ini. Pinto ingin
mencoba kepandaian jago-jago dari seluruh penjuru!”
Ciok Khun yang dapat menduga bahwa tosu ini tentu lihai sekali, segera
berkata, “Baik sekali, Totiang. Siapakah di antara kami berdua yang
mendapat kehormatan melayani Totiang?”
“Ha-ha-ha!” Suara ketawa tosu itu melengking, mengejutkan semua orang.
“Kalian berdua pangcu-pangcu cilik ini majulah bersama. Akan pinto
layani sekaligus juga agar tidak membuang banyak waktu!”
Mendengar ucapan ini, terkejutlah semua orang. Kedua orang pangcu ini
amat lihai dan sudah memperoleh kemenangan sampai tiga kali. Akan tetapi
kini mereka ditantang untuk mengeroyok tosu kurus kering ini. Betapa
takaburnya! Kedua pangcu itu menjadi merah mukanya dan saling pandang,
kemudian Ciok Khun menjura kepada semua tokoh persilatan dan berkata
dengan lantang.
“Pertandingan pibu antara orang-orang gagah tidak mengenal keroyokan dan
harus berjalan dengan adil. Akan tetapi sekarang Hok Cin Cu Totiang
menantang kami berdua untuk maju bersama. Hal itu disaksikan oleh semua
Locianpwe yang hadir, sehingga seandainya kami memperoleh kemenangan,
harap jangan dikatakan kami curang dan mengandalkan pengeroyokan!”
“Ha-ha-ha! Siapa bilang kalian akan menang? Majulah!” sambil berkata
demikian, tosu kurus mencabut pedangnya. Tampak sinar merah disusul
suara dengung yang nyaring. Kemudian tosu itu menggerakkan pedangnya
beberapa kali dan terdengar lengking berdengung-dengung seperti suling
ditiup!
“Hemm, agaknya dialah yang dulu terkenal dengan julukan Cui-siauw-kiam
(Pedang Peniup Suling). Wah, aku mendengar bahwa ilmu pedangnya adalah
ilmu pedang campuran dari Go-bi Kiam-hoat dan Kun-lun Kiam-sut. Tentu
dia lihai sekali,” kata kakek Siauw Lam.
“Suhu, teecu tidak suka kepada tosu itu. Dia sombong!” kata Bun Beng.
Gurunya tersenyum. “Tidak perlu suka atau tidak suka, yang penting
menilai dan mencontoh. Kalau kau anggap dia sombong, maka jangan kau
mencontoh sikapnya, habis perkara. Perasaan tidak suka itu pun bukan
perasaan yang baik, mungkin tidak kalah buruknya dengan sikap sombong!”
Bun Beng membungkam, merasa bersalah. Dia lalu memandang penuh perhatian
karena kini kedua orang pangcu itu sudah siap dengan senjata mereka,
menghadapi tosu itu dari kanan dan kiri. Agaknya keduanya merasa bahwa
sekali ini mereka harus berhati-hati, maka mereka hanya bersiap saja,
tidak berani langsung membuka serangan.
Tosu kurus itu agaknya mengerti akan hal ini, maka kembali ia tertawa,
kemudian terdengar suara berdesing-desing disusul dengan suara
mendengung nyaring. Pedangnya berubah menjadi sinar perak yang menyambar
kanan kiri.
“Trang-trangggg...!” Bunga api berpijar dan kedua orang pangcu itu terhuyung mundur.
Mereka terkejut sekali karena tangkisan senjata mereka bertemu dengan
tenaga yang amat dahsyat, membuat mereka terhuyung-huyung. Akan tetapi
keduanya sudah meloncat maju dan terjadilah pertandingan yang hebat.
Bukan hanya saking cepatnya, demikian cepat gerakan Si Tosu sehingga
tubuhnya lenyap sama sekali terbungkus sinar pedang yang seperti perak
itu, yang menyambar ke kanan kiri mengejar kedua lawannya, melainkan
terutama sekali hebat karena terdengar suara tiupan suling merdu
seolah-olah saling mengikuti tari-tarian indah, bukan pertandingan
mati-matian! Suara ini keluar dari sambaran pedang yang digerakkan
dengan pengerahan sinkang kuat sekali, dan karena pedang itu dipasangi
lubang-lubang kecil, maka menimbulkan suara seperti suling ditiup. Tentu
saja tanpa latihan puluhan tahun dan tanpa dorongan tenaga sinkang yang
tepat dan kuat, tidak mungkin mainkan pedang sampai menimbulkan suara
tiupan suling seperti itu!
“Kejam sekali dia...!” kakek Siauw Lam berseru perlahan.
Bun Beng agak sukar mengikuti pertandingan yang agak cepat itu dengan
pandang matanya. Dia hanya mendengar dua kali suara ‘crat-crat’ disusul
muncratnya darah dan robohnya dua orang pangcu itu.
Pertandingan hanya berlangsung dua puluh jurus dan kedua orang pangcu
roboh dengan luka parah! Hek-liong-pangcu roboh dengan paha kanan
terkuak lebar sampai tampak tulangnya, sedangkan Hek-i Kai-pangcu roboh
dengan pundak kiri patah tulangnya. Anak buah mereka segera menolong
pangcu masing-masing yang roboh pingsan, kemudian mereka meninggalkan
pulau dengan perahu masing-masing.
Suasana menjadi sunyi. Tosu itu mengelus-elus pedangnya penuh kasih
sayang, lalu berkata, “Pedangku yang baik, hari ini engkau boleh
berpesta pora!”
Bun Beng mengepal tinjunya. “Suhu, dia itu selain sombong juga kejam.
Kalau teecu berkepandaian tentu teecu akan maju dan melabraknya! Sayang
kepandaiannya terlalu tinggi, dia lihai bukan main. Akan tetapi teecu
yakin bahwa Suhu tentu akan dapat melabraknya sampai dia meratap minta
ampun!”
“Hushh! Ingat bahwa kita adalah penonton. Dia memang lihai dan baru
sekarang engkau akan menyaksikan kehebatan tokoh-tokoh kang-ouw,” jawab
suhu-nya.
Tosu kurus itu kini memandang ke sekeliling. “Pinto paling suka main
pedang. Adakah di sini ahli-ahli pedang untuk bermain-main dengan pinto?
Telah lama pinto mendengar nama-nama besar seperti Siauw-lim Chit-kiam
yang dulu kabarnya dikalahkan oleh Kang-thouw-kwi, malah dua di
antaranya tewas oleh puteri jelita! Apakah mereka yang lima orang masih
hidup? Ataukah sudah tidak berani lagi mencabut pedang setelah hilang
yang dua orang?”
“Hemm, tosu sesat!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan kelima orang Siauw-lim Ngo-kiam sudah meloncat ke depan tosu itu.
Bun Beng memandang penuh perhatian dan jantungnya berdebar. Kini barulah
mereka akan membuka mata menyaksikan kelihaian Siauw-lim-pai, pikirnya
bangga.
Akan tetapi dengan heran ia mendengar gurunya mengeluh, “Mengapa mereka
itu masih berdarah panas? Mudah saja dipancing, sungguh celaka!”
Bun Beng tidak sempat bertanya karena ia tertarik sekali memandang ke
lapangan itu. Si Tosu kurus menggunakan matanya yang sipit, menyapu
kelima orang itu dengan pandang matanya penuh perhatian. Dia melihat dua
orang hwesio dan tiga orang kakek yang usianya rata-rata lima enam
puluh tahun, sikapnya gagah perkasa dan tenang sekali. Dia menduga-duga,
kemudian tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha! Agaknya kalian inikah yang terkenal dengan julukan Siauw-lim Chit-kiam yang sudah tinggal lima orang?”
Memang mereka adalah lima orang sisa Chit-kiam, dua orang telah tewas,
yaitu orang keenam dan ketujuh. Yang pertama adalah Song Kai Sin, tinggi
tegap, usianya hampir tujuh puluh tahun. Kedua adalah Lui Kong Hwesio,
juga tinggi besar dan bermata lebar, berusia enam puluh dua tahun. Orang
ketiga dan keempat adalah Oei Swan dan Oei Kong, kakak beradik yang
berwajah sama, juga sudah enam puluh tahun lebih. Ada pun yang kelima
adalah Lui Pek Hwesio yang bertubuh kecil bermata tajam, berusia enam
puluh tahun.
“Hok Cin Cu, kami tahu bahwa engkau adalah orang yang dahulu mengganas
di pantai selatan dan berjuluk Cui-siauw-kiam. Kini berlagak sebagai
tosu, akan tetapi kami tahu bahwa engkau hanyalah seorang sombong yang
mengaku-aku sebagai tosu sehingga mencemarkan agama To saja. Engkau tadi
mencari kami, nah, kami Siauw-lim Ngo-kiam berada di sini, engkau mau
apa?” Yang bicara adalah Song Kai Sin, orang tertua Siauw-lim Ngo-kiam.
“Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Kiranya Siauw-lim-pai mengutus jago-jago
pedangnya untuk merebut kedudukan tertinggi di dunia persilatan!”
“Jangan asal membuka mulut!” bentak Lui Kong Hwesio marah. Siauw-lim-pai
tidak butuh akan segala macam adu kepandaian! Kami hanya maju ke sini
karena tadi kau mengeluarkan tantangan, pendeta palsu!”
“Ha-ha-ha-ha! Dengar ucapan hwesio ini! Dia memaki pinto pendeta palsu
sedangkan dia yang berkepala gundul dan berjubah hwesio masih suka
memaki orang!”
Wajah Lui Kong Hwesio menjadi merah dan dia tak dapat membantah. Memang
harus diakui bahwa dia menuntut penghidupan suci, selalu bersikap halus
penuh welas asih terhadap sesama manusia. Akan tetapi sebagai pendekar,
dia tidak dapat bersikap halus terhadap orang jahat!
“Hok Cin Cu,” cepat Song Kai Sin berkata. Tak perlu banyak cakap. Kami
tidak ingin mengadu kepandaian untuk memperebutkan kedudukan apa pun
juga. Akan tetapi, kami sebagai murid-murid Siauw-lim-pai takkan pernah
mundur kalau Siauw-lim-pai ditantang!”
“Benarkah? Kalau begitu untuk apa kalian hadir di sini? Apa untuk
mencoba-coba untung barang kali saja bisa mendapatkan pusaka? Ha-ha!”
Ucapan itu mengejutkan semua orang yang hadir. Mereka tanpa berjanji
telah sepaham dalam hati bahwa tentu saja mereka semua tidak ada yang
berterang hendak mencari pusaka yang kabarnya telah ditemukan petanya
oleh pemerintah. Apa lagi kini pihak pemerintah hadir juga. Karena itu
mereka menggunakan dalih pibu. Siapa kira tosu ini bicara seenaknya
saja!
“Kami tidak sudi berbantah dengan orang macam engkau, Hok Cin Cu.
Pendeknya jika engkau menantang Siauw-lim Ngo-kiam, tarik kembali
tantanganmu!”
Tosu itu tertawa lagi. “Ha-ha-ha! Siapa takut? Andai kata jumlah kalian
masih lengkap tujuh orang, pinto tidak gentar menghadapi Siauw-lim
Chit-kiam, apa lagi hanya Siauw-lim Ngo-kiam! Majulah kalian berlima!”
Ia sudah menggerakkan pedangnya sehingga berdengung-dengung.
Song Kai Sin maklum bahwa tosu ini amat lihai pedangnya, mungkin tidak
di sebelah bawah datuk-datuk sesat jaman dahulu seperti Kang-thouw-kwi
Gak Liat, Ma-bin Lo-mo dan yang lain-lain. Maka ia cepat memberi isyarat
kepada para sute-nya untuk membentuk lingkaran dan mainkan Chit-seng
Sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh Bintang).
Tosu ini berseru keras, lalu bergerak memutar pinggangnya sehingga
terdengar bunyi mengaung seperti suling ditiup. Lima orang gagah
Siauw-lim-pai itu pun lalu menggerakkan pedang mereka dan gterdengarlah
bunyi mencicit-cicit dan pedang mereka berubah menjadi sinar-sinar
terang yang meluncur ke depan.
“Hebat para suheng itu!” Bun Beng berseru girang.
“Hemm..., Chit-seng Sin-kiam seharusnya dimainkan oleh tujuh orang, kini
dimainkan oleh hanya mereka berlima, sungguh banyak berkurang
kelihaiannya. Kalau lengkap mungkin menang. Akan tetapi sekarang...!”
Kakek itu melangkahkan kaki, menuruni tebing dan mendekati lapangan
pertandingan, diikuti oleh Bun Beng dengan jantung berdebar. Demikian
lihaikah tosu kurus itu sehingga suhu-nya merasa khawatir bahkan seperti
sudah tahu bahwa lima orang suheng-nya akan kalah?
Pertempuran kali ini benar-benar hebat luar biasa. Mata para penonton
sampai menjadi silau dan telinga mereka sakit-sakit mendengar nyanyian
pedang Si Tosu diseling suara mencicit nyaring lima batang pedang
jago-jagi Siauw-lim-pai itu. Tubuh enam orang itu lenyap terbungkus
sinar pedang yang bergulung-gulung menjadi satu. Untuk membedakan mana
pedang mereka hanya nampak pedang bersinar perak yang bergulung-gulung,
itulah pedang Hok Cin Cu, sedangkan pedang murid-murid Siauw-lim-pai
merupakan sinar-sinar terang yang gerakannya lurus maju mundur hanya
membentuk lingkaran kecil di luar lingkaran besar sinar pedang Hok Cin
Cu.
Seratus jurus telah lewat dan pertandingan masih berjalan seru. Akan
tetapi lingkaran sinar pedang seperti perak itu makin membesar, suara
suling makin n\yaring melengking sedangkan lingkaran kecil yang
jumlahnya lima itu makin mengecil, suara mencicit juga makin melemah.
Inilah tandanya bahwa kelima orang Siauw-lim Ngo-kiam mulai terdesak
hebat!
Bun Beng tidak mengerti karena dia tidak dapat mengikuti pertandingan
yang terlampau cepat baginya itu. Dia menengok ke muka suhu-nya dan
melihat alis gurunya berkerut, maka dia pun menjadi khawatir, lalu
memandang lagi ke arah pertandingan.
“Trang-trang-trang-trang-trang!!”
Lingkaran-lingkaran pedang yang kecil-kecil itu bercerai berai dan
tampaklah lima orang Siauw-lim-pai itu mencelat ke belakang dengan muka
pucat. Tosu itu tertawa dan sinar pedangnya menyambar ke arah mereka,
agaknya dia belum merasa puas kalau pedangnya belum minum darah lawan!
“Tahan...!” terdengar bentakan halus dan tubuh kakek Siauw Lam telah
melayang ke depan. Ia menggerakkan tangan kanannya dan ujung lengan
bajunya menggulung ujung pedang Hok Cin Cu, kemudian mendorongnya sambil
melepaskan libatan.
Hok Cin Cu terkejut. Hampir saja pedangnya terlepas dan ia cepat
memandang. Kiranya di depannya telah berdiri seorang kakek tua,
sedangkan Siauw-lim Ngo-kiam sudah menyimpan pedang dan menjura dengan
hormat kepada kakek itu.
“Mundurlah kalian, mengapa mengikuti hati panas?” kakek Siauw Lam
menegur dengan suara halus akan tetapi kelima orang itu menjadi merah
mukanya, kemudian mengundurkan diri.
Biar pun Hok Cin Cu maklum dari gerakan kakek itu bahwa ia menghadapi
seorang lihai, namun karena ia berwatak sombong dan terlalu percaya
kepada kepandaiannya sendiri, dia tidak takut dan kini menghadapi kakek
Siauw Lam sambil berkata,
“Kakek tua renta! Kenapa engkau lancang dan curang membantu lima orang yang sudah mengeroyokku?!”
Kakek Siauw Lam merangkap kedua tangan ke depan dada. “Maaf, Totiang.
Andai kata pertandingan tadi merupakan sebuah pibu, tentu aku orang tua
tidak berani turut campur. Akan tetapi pertandingan tadi bukan pibu,
melainkan Totiang telah menantang Siauw-lim-pai. Murid-murid
Siauw-lim-pai itu tadi berdarah panas, maka biarlah aku orang tua yang
mintakan maaf dan harap Totiang tidak mencari permusuhan dengan
Siauw-lim-pai yang tidak ingin bermusuh dengan siapa pun juga.”
“Heh, kakek tua. Apakah engkau tokoh Siauw-lim-pai?”
“Aku mendapat kehormatan sebagai orang Siauw-lim-pai, maka aku berani
mintakan maaf atas nama Siauw-lim Ngo-kiam kepadamu, Totiang!”
“Siapa engkau? Dan apa kedudukanmu di Siauw-lim-pai?”
“Namaku Siauw Lam, dan aku hanya seorang pelayan di Siauw-lim-pai.”
Wajah Hok Cin Cu berubah merah. “Pelayan?” Ia menoleh ke arah Siauw-lim
Ngo-kiam dan bertanya lantang, “Siauw-lim Ngo-kiam, benarkah kakek ini
hanya seorang kakek di Siauw-lim-si?”
Song Kai Sin menjawab, “Beliau adalah terhitung supek kami, akan tetapi benar bekerja sebagai pelayan di Siauw-lim-si.”
Hok Cin Cu menjadi bingung. Kalau dia melawan kakek yang lihai ini dan
sampai kalah, bukankah namanya akan hancur lebur karena dia kalah oleh
seorang pelayan saja dari Siauw-lim-pai?
“Kakek tua, apakah engkau menantangku?”
“Aku tidak menantang siapa-siapa.”
“Aku orang lemah, mana ingin pibu segala?”
“Kalau begitu pergilah!”
Tiba-tiba terdengar suara nyaring. “Hok Cin Cu manusia tinggi hati! Berani engkau menghina seorang Locianpwe?”
Yang muncul adalah Yap Sun dan Thung Sik Lun, dua orang utusan Pulau Es
dan yang membentak adalah Yap Sun. Kemudian Yap Sun menjura kepada kakek
Siauw Lam sambil berkata, “Harap Locianpwe sudi mengundurkan diri, tak
pantas bagi Locianpwe untuk melayani orang gila ini lebih lama lagi.”
Kakek Siauw Lam mengangguk dan mundur, akan tetapi ia bingung karena
tidak melihat bayangan Bun Beng! Anak itu diam-diam telah pergi dari
tempat tadi. Namun karena di situ terdapat banyak orang dan suasana
menjadi tegang, kakek ini bersikap tenang. Bun Beng adalah seorang bocah
cerdik dan tidak ada alasan untuk khawatir bagi dirinya. Agaknya bocah
itu menggunakan kesempatan kunjungan itu untuk pergi menemui orang
sakti!
Kini Yap Sun dan Thung Sik Lun menghadapi Hok Cin Cu yang memandang
marah dan membentak, “Kalian ini siapa lagi berani membuka mulut besar?”
“Kami adalah dua orang utusan dari Pulau Es!”
Mendengar ucapan ini, semua orang memandang dengan muka berubah, seperti
halnya para pimpinan Hek-liong-pang tadi. Namun Hok Cin Cu agaknya
memandang rendah, apa lagi melihat bahwa kakek gemuk dan kakek kurus itu
tidak menunjukkan keanehan apa-apa.
“Tidak perlu kami sembunyikan lagi. Kami menjadi utusan Pulau Es untuk meninjau dan kami tertarik memasuki pibu.”
“Bagus!” Hok Cin Cu kini mendapatkan kesempatan untuk ‘mencuci muka’
setelah tadi ia mengalami hal yang merendahkan dirinya ketika berhadapan
dengan kakek Siauw Lam yang telah ia rasakan kelihaiannya.Ia masih
ragu-ragu apakah akan dapat menangkan kakek itu, akan tetapi terhadap
dua orang ini ia memandang rendah sekali.
“Apakah kalian juga hendak maju berdua? Kalau memang ingin maju berdua,
jangan malu-malu, katakan saja. Pinto berani menghadapi kalian berdua
sekaligus.!”
Yap Sun menjadi merah mukanya, akan tetapi wajahnya tetap tenang dan
dingin. Suaranya lebih dingin lagi ketika berkata, “Majikan kami adalah
seorang pendekar yang mengangkat kependekaran dan kegagahan di atas
segala apa, tentu saja kami tidak akan menggunakan jumlah banyak untuk
mencari kemenangan.”
“Suheng, biarlah aku menghadapi tosu ini,” kata Thung Sik Lun yang bertubuh kurus.
“Baiklah, Sute.” Kemudian Yap Sun berkata kepada Hok Cin Cu, “Sute-ku ini yang akan menandingimu Hok Cin Cu.”
Yap Sun lalu meloncat ke pinggir dan berkata tenang kepada sute-nya,
“Thung-sute, hati-hati, jangan sampai melakukan pembunuhan. Jangan
membunuh dia.”
Ucapan yang dikatakan dengan suara bersungguh-sungguh ini membuat dada
Hok Cin Cu seperti akan meledak saking marahnya. Ucapan itu sungguh
dirasakan amat merendahkan dirinya. Bukan dipesan hati-hati agar jangan
kalah, melainkan dipesan berhati-hati agar jangan membunuh lawan!
“Kami dari Pulau Es tidak pernah menggunakan senjata, kecuali kalau amat
perlu dan sangat terpaksa. Untuk main-main denganmu, biarlah aku
menggunakan tangan kosong saja. Totiang, pakailah pedangmu!”
Baru sekarang Hok Cin Cu tak dapat menertawakan lawannya karena
kemarahan telah menguasai hatinya. Dia merasa dipandang rendah sekali
dan hal ini dianggapnya sebagai penghinaan, sungguh pun kakek kurus dari
Pulau Es itu sebetulnya sama sekali tidak mau memandang rendah atau
menghina, melainkan bicara sesungguhnya.
“Siapakah namamu, orang yang sudah bosan hidup? Katakanlah namamu agar
kalau pedangku memenggal lehermu, akan pinto ketahui siapa orang sombong
yang sudah kubunuh dalam pibu ini!”
“Namaku Thung Sik Lun dan marilah kita mulai, Hok Cin Cu!”
Pedang di tangan Hok Cin Cu itu sudah mengaung dan menyambar dari atas
ke bawah hendak membelah tubuh lawan, akan tetapi gerakannya tidak lurus
melainkan seperti ular berlenggak-lenggok hingga tampak sinar pedangnya
seperti halilintar menyambar di angkasa. Namun tubuh kakek kurus itu
telah lenyap dan tahu-tahu telah berpindah tempat ke kiri. Tosu itu
terkejut melihat kecepatan gerak lawan yang tidak tampak menggoyang
tubuh tetapi tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke kiri, maka cepat
pedangnya menyusul dan dia mengirim serangkaian serangan dengan
pedangnya sehebat gelombang lautan dan terdengar suara suling nyaring
mengikuti berkelebatnya sinar pedang.
Thung Sik Lun memiliki bakat yang baik dalam ilmu meringankan tubuh,
maka oleh majikan Pulau Es ia telah digembleng dengan ilmu gerak kilat
sehingga tubuhnya dapat bergerak lebih cepat dari pada berkelebatnya
sinar pedang Hok Cin Cu, maka serangan-serangan itu selalu gagal karena
tubuh kakek kurus ini telah mencelat ke sana-sini amat cepatnya.
Semua orang yang menyaksikan pertandingan dahsyat ini melongo karena
gerakan tubuh Si Kakek Kurus sedemikian cepatnya sehingga tubuhnya
tampak seolah-olah menjadi banyak.
Hok Cin Cu menjadi penasaran sekali. Sudah belasan jurus pedangnya
menyerang namun sama sekali tak pernah berhasil. Ia berseru keras dan
menyerang lebih cepat. Thung Sik Lun maklum akan kelihaian lawan, maka
ia pun mempercayai gerakan tubuhnya sehingga tubuhnya lenyap hanya
merupakan bayangan yang kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak. Sambil
mengelak ini, Thung Sik Lun kini membalas, tangan kirinya mendorong ke
arah lawan dengan jari terbuka.
“Wuuuttttt...!”
“Aihhh!” Hok Cin Cu terhuyung dan berseru kaget karena dorongan tangan
lawan itu mengandung tenaga yang hebat bukan main, mengandung hawa panas
dan amat kuat sehingga tubuhnya bergetar dan ia terhuyung ke belakang.!
Hok Cin Cu cepat meloncat ke atas dan berjungkir balik ke belakang,
kemudian turun dengan wajah pucat, memandang lawannya yang masih tetap
berdiri tegak dan tenang. Maklumlah tosu ini bahwa lawannya, tokoh Pulau
Es ini, memiliki sinkang yang sangat luar biasa. Dia seorang yang licin
dan cerdik sekali, biar pun marah dan penasaran akan tetapi tidak
nekat. Kalau pertandingan itu dilanjutkan, tentu dia teancam bahaya
mati. Maka ia lalu berkata.
“Sobat dari Pulau Es, kepandaianmu hebat. Biarlah kali ini aku mengaku
kalah. Akan tetapi tunggulah saja, pada suatu hari aku akan datang
mengunjungi Pulau Es untuk menantang pibu kepada majikan Pulau Es!”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti lawan menjawab dan tidak memberi
kesempatan orang lain mengejeknya, tosu cerdik ini sudah meloncat jauh
dan berlari cepat sekali, kemudian menghilang di pantai yang
berbatu-batu.
Kejadian ini membuat semua orang terkejut dan melongo. Hok Cin Cu yang
demikian lihai ilmu pedangnya, dalam waktu cepat sekali telah mengaku
kalah kepada orang kedua dari Pulau Es, padahal belum dirobohkan! Dan
menurut pengintaian mereka, orang Pulau Es itu tidaklah sehebat Si Tosu,
hanya memiliki gerakan cepat dan pandai mengelak saja. Mengapa tosu
yang ilmu pedangnya luar biasa itu mengalah begitu saja?
Hal ini membuat penasaran yang hadir, maka keluarlah seorang laki-laki
berusia lima puluh tahun berpakaian pendeta, berambut gondrong dengan
cambang bauk mencongak ke sana-sini. Lehernya digantungi kalung yang ada
kelenengannya seperti yang biasa digantungkan di leher kerbau atau
sapi. Kiranya dia adalah seorang saikong yang mukanya seperti singa dan
suaranya parau ketika ia berkata menggeledek.
“Aku telah mendengar bahwa Pulau Es dikuasai oleh seorang Pendekar
Siluman. Kini menyaksikan pertandingan tadi, aku baru percaya
orang-orang Pulau Es pandai menggunakan ilmu siluman! Kalau kalian
menggunakan ilmu silat, kiraku tidak akan mampu mengalahkan Hok Cin Cu,
biar pun ilmu pedangnya hanya bagus ditonton dan enak didengar saja.
Heh, orang Pulau Es, marilah kalian melawan aku, Siangkoan Cinjin dari
Goa Tengkorak!”
Setelah berkata demikian, saikong itu lalu menggoyang tubuhnya seperti
tingkah seekor singa mengeringkan bulunya dan terdengarlah suara mengaum
yang dahsyat dari mulutnya. Suara ini mengandung getaran yang amat kuat
sehingga semua orang yang mendengar menjadi terkejut sekali. Untung
bahwa yang kini tinggal di situ hanya orang-orang yang berilmu tinggi
sehingga mereka cepat mengerahkan tenaga mereka untuk melawan pengaruh
getaran suara itu, karena kalau orang tidak memiliki sinkang kuat,
mendengar suara getaran ini pasti akan roboh! Mengeluarkan suara mengaum
seperti singa yang dapat merobohkan lawan dan mendatangkan rasa takut
dan ngeri ini adalah ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dikerahkan
dengan tenaga khikang amat kuatnya. Dari teriakan dahsyat ini saja sudah
dapat diketahui betapa lihainya saikong ini.
Kakek Siauw Lam yang semenjak tadi menyaksikan pertandingan dengan penuh
perhatian, terkejut sekali mendengar digunakannya ilmu Sai-cu Ho-kang
ini karena ia segera teringat akan muridnya. Muridnya belum memiliki
sinkang yang kuat maka ilmu itu dapat mencelakakan muridnya itu. Ia
tidak bernafsu lagi menonton dan mulailah ia mencari muridnya itu.
Ketika ia tidak dapat melihat muridnya di antara para tokoh yang hadir,
kakek ini lalu pergi ke pantai dan mengelilingi pulau untuk mencari.
Kemana perginya bocah itu? Ketika tadi Bun Beng menyaksikan pertandingan
dan melihat para suheng-nya kalah lalu gurunya maju menolong, dari
tempat ia berdiri ia melihat rombongan koksu di kapal itu tertawa-tawa,
seolah-olah menertawakan para suheng-nya yang kalah. Hatinya menjadi
panas, apa lagi ketika melihat koksu itu bersama beberapa orang lain
turun dari kapal dan memasuki sebuah perahu kecil yang didayung ke
pulau. Ia tidak dapat menahan kemarahan hatinya. Ingin ia menantang
koksu itu untuk melawan gurunya atau mengikuti pibu.
Dianggapnya amat tak tahu malu orang-orang pemerintah itu yang hanya
menonton dan memblokir tempat itu seperti seekor serigala yang
membiarkan anjing-anjing berebut tulang. Biar pun masih kecil, dari
cerita kakek Siauw Lam, Bun Beng dapat menduga bahwa kehadiran pasukan
pemerintah itu pasti mengandung maksud tidak baik terhadap para tokoh.
Ingin ia melihat jago-jago kerajaan itu turun gelanggang mengadu
kepandaian dengan orang gagah. Maka ia lalu menuruni tebing, lupa akan
gurunya, kemudian berlari menuju ke arah pantai untuk memapaki koksu
negara dan pembantu-pembantunya.
Yang berada di perahu kecil itu adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
sendiri, koksu bersama lima orang pembantunya, yaitu Thian Tok Lama,
Thai Li Lama, dan tiga orang jenderal pasukan pengawal. Perahu di dayung
oleh Bhe Ti Kong, panglima tinggi besar yang bertenaga kuat itu
sehingga sebengtar saja perahu telah mendarat. Setelah menyaksikan sepak
terjang dua orang utusan Pulau Es, Im-kan Seng-jin menjadi tertarik
sekali dan sudah ‘gatal-gatal tangan’ untuk mendekati dan kalau perlu
ikut main-main dengan para orang gagah. Demikian pula dengan kedua orang
hwesio Lama dari Tibet, ingin sekali mencoba kepandaian orang-orang
sakti itu.
Akan tetapi, baru saja mereka mendarat, seorang anak laki-laki telah
menghadang mereka sambil bertolak pinggang dan memandang dengan mata
melotot! Bocah ini bukan lain adalah Bun Beng! Enam orang itu heran
melihat ada seorang anak kecil berada di tempat seperti itu. Sungguh
tidak pernah mereka sangka!
Tempat itu pada saat ini pantasnya hanya dikunjungi oleh orang-orang
sakti yang berilmu tinggi, bukan tempat bermain anak kecil. Dan anak ini
sengaja menghadang, berdiri menantang dan memandang dengan mata melotot
marah!
“Eh, bocah kurang ajar! Mau apa kau ke sini? Hayo pergi!” Bhe Ti Kong membentak.
Akan tetapi Bun Beng tidak bergerak dari tempatnya, bahkan berkata
nyaring. “Siapa yang kurang ajar? Aku di sini tidak melakukan apa-apa,
sebaliknya kalian yang sungguh tidak patut hanya menonton dan
menertawakan orang! Kalau memang kalian ada kepandaian, mengapa tidak
ikut pibu saja ke sana? Ataukah beraninya hanya menertawakan yang
kalah?”
Sejenak enam orang itu terbelalak mendengar ucapan seperti itu keluar
dari mulut seorang bocah yang usianya kurang lebih sepuluh tahun. Bhe Ti
Kong menjadi marah sekali.
“Bocah setan!” bentaknya dan tangannya bergerak menangkap pundak Bun
Beng dengan maksud untuk dilemparkan agar jangan menghadang dan
mengganggu.
“Wuuuussss!” tangannya luput.
Hal ini makin mengherankan mereka, terutama sekali Bhe Ti Kong. Seorang
bocah masih begitu kecil sudah dapat mengelak dari tangkapannya. Hal ini
benar-benar mengejutkan, karena seorang dewasa sekali pun belum tentu
dapat mengelak secepat itu. Ia menjadi penasaran dan menubruk ke depan,
cepat sekali.
Bun Beng mengerti bahwa untuk mengelak ia kalah cepat, maka ia menyambut
tubrukan panglima itu dengan pukulan tangannya ke arah perut Bhe Ti
Kong.
“Aihhh!” Bhe Ti Kong kaget, akan tetapi ia berhasil menangkap tangan
kecil yang memukul, kemudian tubuh Bun Beng diangkat hendak dibanting.
“Bhe-goanswe, jangan!” tiba-tiba terdengar suara Im-kan Seng-jin. “Lemparkan dia kepadaku!”
Bhe Ti Kong menahan tangannya dan melontarkan bocah itu ke arah koksu,
dan melayanglah tubuh Bun Beng. Im-kan Seng-jin menyambut tubuhnya
dengan mudah dan kakek botak tinggi kurus ini meraba-raba dan
mengukur-ukur kepala Bun Beng dengan jari-jari tangannya, dikilani
dengan ibu jari dan telunjuk, diukur dari depan ke belakang, dari kanan
ke kiri dan dari bawah ke atas, kemudian dipijit-pijit bagian-bagian
kepala Bun Beng.
Wajahnya menjadi girang sekali dan setelah selesai mengukur-ukur kepala
anak itu, Im-kan Seng-jin lalu memeriksa mata Bun Beng dengan membuka
kelopak matanya, kemudian menjepit rahang Bun Beng sehingga anak itu
terpaksa membuka mulutnya, memeriksa dalam mulut, kemudian menaruh
tangan kanan di dada dan jari-jari tangan kirinya memegang nadi tangan
Bun Beng. Ia mengangguk-angguk dan tersenyum lebar, wajahnya berseri.
"Aahhhh, Ji-wi Lama, lihat, apa yang kutemukan ini! Tulangnya bersih
darahnya murni, dan kepalanya...! Hebat...! Rongga otaknya luas, daya
tangkapnya kuat, semangatnya besar jalan darahnya lancar, isi dadanya
sempurna semua! Benar-benar seorang sin-tong (anak ajaib) yang sukar
ditemukan keduanya! Wah, kalau dia sudah kuberi makan obat kuat
secukupnya, dia akan dapat memenuhi syarat untuk aku melaksanakan ilmu
peninggalan guruku, I-jwe-hoan-hiat (Ganti Sumsum Tukar Darah)!"
Tiga orang panglima itu tidak mengerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat, akan
tetapi Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi pucat wajahnya. Thai Li
Lama memandang Bun Beng dengan sinar mata kasihan lalu menundukkan muka,
sedangkan Thian Tok Lama lalu berkata perlahan.
"Omitohud..., semoga Sang Buddha menunjukkan jalan terang bagi Koksu!"
"Heh-heh-heh! Ji-wi Lama, kalian orang-orang beragama hanya memikirkan
tentang dosa saja! Bagi orang-orang seperti kami, dosa adalah soal ke
dua, yang terpenting adalah memanfaatkan segala macam demi kepentingan
dan kemajuan kita. Ha-ha-ha! Eh, Sin-tong, siapa namamu?"
"Aku bukan sin-tong, aku bernama Gak Bun Beng. Lepaskan, aku mau pergi!"
Bun Beng meronta dari pegangan kakek itu. Anak ini pun tidak mengerti
apa artinya I-jwe-hoan-hiat. Kalau dia mengerti, betapa tabah pun
hatinya tentu akan merasa ngeri karena ilmu itu adalah ilmu hitam yang
amat keji, yaitu Si Kakek ini hendak menyedot darah dan sumsum Bun Beng
dalam keadaan hidup-hidup untuk menggantikan sumsum dan darahnya sendiri
yang sudah lemah dan kotor!
"Engkau mau pergi? Nah, pergilah kalau dapat!" Koksu itu melepaskan pegangannya.
Bun Beng menggerakkan kaki hendak berlari pergi akan tetapi... tubuhnya
tak dapat bergerak maju, kedua kakinya tak dapat digerakkan seolah-olah
tertahan oleh sesuatu yang tidak nampak!
"Ha-ha-ha! Engkau tidak bisa pergi, Bun Beng, karena semenjak saat ini
engkau harus selalu ikut bersamaku, tidak boleh berpisah sedikit pun.
Tidur pun harus di sampingku. Hayo, ikut dengan kami menonton pibu,
heh-heh-heh!"
Tubuh Bun Beng didorong dan... kedua kakinya dapat dipakai berjalan
mengikuti rombongan itu. Akan tetapi setiap kali dia hendak melarikan
diri, mendadak kedua kakinya tidak dapat digerakkan! Dia mulai merasa
ngeri. Tentu kakek aneh ini menggunakan ilmu iblis, pikirnya.
"Bun Beng...!"
"Suhu...!" Bun Beng berteriak girang sekali ketika ia melihat munculnya
Kakek Siauw Lam di depan. Rombongan koksu itu pun berhenti ketika
mendengar Bun Beng menyebut kakek itu sebagai gurunya.
"Bun Beng, ke sinilah engkau!" Kakek Siauw Lam berkata kepada muridnya,
hatinya gelisah melihat muridnya itu bersama rombongan koksu.
"Teecu... teecu tidak bisa, Suhu...!" kata Bun Beng sambil berusaha menggerakkan kedua kakinya.
"Siapa bilang tidak bisa? Majulah engkau ke sini!" Kakek Siauw Lam yang
sudah melihat bahwa Bun Beng sebenarnya tertahan oleh hawa sinkang yang
keluar dari tangan koksu itu, menggerakkan kedua tangannya ke depan
sambil mengerahkan sinkangnya. Terdengar suara bercuitan dan...
tiba-tiba tubuh Bun Beng terdorong ke depan, ke arah gurunya.
"Heh-heh, boleh juga tua bangka ini," Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
tertawa untuk menyembunyikan kagetnya, kemudian ia pun menggerakkan
kedua tangan ke depan.
Terjadilah tarik-menarik oleh dua kekuatan yang tidak tampak, dan Bun
Beng merasa betapa tubuhnya ditarik ke depan dan ke belakang. Akan
tetapi akhirnya... ia tertarik ke belakang dan tangan koksu itu sudah
menangkap pundaknya sambil tertawa-tawa.
Bukan main kagetnya hati Kakek Siauw Lam. Tidak disangkanya bahwa koksu
itu ternyata memiliki kekuatan sinkang yang luar biasa sekali! Maka ia
cepat menjura dan berkata, "Mohon Paduka suka melepaskan murid hamba
yang tidak berdosa, dan maafkan hamba yang tidak tahu diri berani
berlaku lancang."
"Heh-heh, engkau guru bocah ini?"
"Benar, Taijin."
"Siapa namamu?"
"Nama hamba Siauw Lam, salah seorang anggota Siauw-lim-pai." Kakek itu
sengaja menggunakan nama Siauw-lim-pai untuk mencari pengaruh karena
pada waktu itu pemerintah tidak mau bermusuhan dengan partai-partai
persilatan besar, terutama Siauw-lim-pai yang kuat.
Tiba-tiba Thian Tok Lama mengerutkan alisnya dan berkata, "Seingat
pinceng, yang bernama Siauw Lam adalah seorang hwesio terkenal di
Siauw-lim-pai!"
Kakek Siauw Lam memandang kepada hwesio Lama itu dan memberi hormat
sambil berkata, "Saya yang berdosa dahulu adalah Siauw Lam Hwesio, akan
tetapi sudah bertahun-tahun ini saya mengundurkan diri dan menjadi orang
biasa, Kakek Siauw Lam pelayan Kuil Siauw-lim-pai."
Mendengar ini, pandang mata kedua orang Lama itu memandang rendah dan
alis mereka berkerut. Tak senang hati mereka mendengar betapa seorang
hwesio telah mengundurkan diri dari kependetaannya, hal ini mendatangkan
kesan di hati mereka bahwa kakek itu adalah seorang durhaka dan
berkhianat terhadap agama!
"Kakek Siauw Lam, kalau engkau guru dari Bun Beng ini, kebetulan sekali. Aku akan mengambil muridmu ini, aku sayang kepadanya!"
"Tidak, Suhu, dia tidak sayang kepada teecu! Dia hendak menggunakan teecu sebagai syarat ilmunya I-jwe-hoan-hiat!"
Im-kan Seng-jin hendak mencegah Bun Beng bicara, namun terlambat dan
seketika wajah Kakek Siauw Lam menjadi pucat, matanya menyinarkan api
kemarahan.
"Taijin, harap jangan menghina murid Siauw-lim-pai. Kembalikan muridku!" bentaknya.
Im-kan Seng-jin pun berganti sikap, memandang marah. "Apa?! Engkau
pelayan kuil berani menentang aku? Berani melawan koksu kerajaan?"
"Saya tidak melawan siapa-siapa, akan tetapi Bun Beng adalah muridku dan
biar dewa sekali pun hanya bisa merampasnya melalui mayatku!" Kakek itu
sudah marah sekali karena ia tahu apa artinya nasib muridnya kalau
hendak dijadikan syarat orang melaksanakan ilmu iblis itu.
"Ha-ha-ha, Ji-wi Lama, lenyapkan hwesio yang durhaka ini!" Im-kan Seng-jin berkata.
Dua orang Lama itu memang sudah membenci Kakek Siauw Lam, maka kini
keduanya lalu menerjang maju dari kanan kiri, mengirim pukulan-pukulan
dahsyat sekali. Dari kiri Thian Tok Lama memukul dengan Ilmu
Hek-in-hui-hong-ciang sehingga angin keras menyambar disertai uap hitam,
ada pun dari kanan Thai Li Lama juga memukul dengan pukulan sakti
Sin-kun-hoat-lek!
Melihat datangnya pukulan yang mengandung hawa sakti amat dahsyatnya
itu, Kakek Siauw Lam terkejut dan maklum bahwa dia menghadapi dua orang
lawan yang amat kuat dan harus dilawan mati-matian, terutama untuk
menolong muridnya. Maka ia pun mengerahkan sinkangnya, mengembangkan
kedua lengannya ke kanan kiri dengan jari tangan terbuka dan menerima
pukulan kedua lawan itu dengan telapak tangannya.
"Plak! Plak!" Telapak tangan mereka bertemu dan melekat.
Tiga orang itu berdiri tak bergerak, saling beradu telapak tangan yang
mengeluarkan hawa sakti dan terjadilah adu tenaga sakti yang amat
dahsyat! Beberapa menit lamanya ketiga orang kakek ini berdiri tegak tak
bergerak, akan tetapi lambat-laun tubuh kedua orang Lama itu
bergoyang-goyang, sedangkan tubuh Kakek Siauw Lam masih tegak, sama
sekali tidak terguncang, hanya dari rambut kepalanya mengepul uap putih
dan mukanya pucat.
"Orang Siauw-lim-pai memang hebat...!" terdengar Im-kan Seng-jin berkata perlahan.
Sebetulnya, dia tidak berniat memusuhi Siauw-lim-pai akan tetapi karena
dia tidak mau kehilangan Bun Beng, dia mengambil keputusan pendek.
Mendadak ia menggerakkan tangan kirinya, didorongkan ke arah dada Kakek
Siauw Lam. Angin yang keras dan panas menyambar ke depan, tenaga yang
tidak nampak menghantam dada Kakek Siauw Lam yang tentu saja tidak dapat
mengelak atau menangkis karena dia sedang terhimpit oleh tenaga kedua
orang Lama yang sudah hampir ia kalahkan itu.
"Uahhh...!" Kakek Siauw Lam tergetar tubuhnya dan dari mulutnya
tersembur darah segar, akan tetapi matanya mendelik memandang Im-kan
Seng-jin dan dia masih tetap mempertahankan himpitan kedua orang Lama,
sedikit pun tidak berkurang tenaga sinkangnya biar pun sudah menderita
luka parah!
Tiba-tiba Bhe Ti Kong mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya meloncat
maju, tampak sinar berkilat ketika ia menggerakkan senjatanya yang
istimewa yaitu sebuah tombak gagang pendek.
"Cappp!" Tombak itu menusuk lambung Kakek Siauw Lam sampai tembus!
"Suhuuu...!" Bun Beng menjerit, akan tetapi kedua kakinya tetap saja tak
dapat digerakkan. Dengan mata terbelalak dan muka pucat ia melihat
betapa suhu-nya roboh, mengerang perlahan lalu terdiam, tak bergerak
lagi.
Sejenak enam orang itu termangu-mangu, agaknya merasa tidak enak dengan
adanya kejadian itu. Betapa pun juga, yang mereka bunuh adalah seorang
tokoh Siauw-lim-pai.....
"Ambil racun penghancur, lenyapkan mayatnya!" Im-kan Seng-jin berkata
dan dua orang panglima cepat membuka bungkusan koksu itu, mengeluarkan
sebuah guci, membuka tutupnya dan menuangkan benda cair berwarna putih
perak ke atas tubuh Kakek Siauw Lam yang menjadi mayat.
"Suhuuuu...!" Bun Beng masih terbelalak sambil menjerit memanggil nama
suhu-nya sampai jari tangan Im-kan Seng-jin menyentuh lehernya dan
membuat ia tak mampu menjerit lagi. Dia hanya dapat memandang dengan
mata terbelalak betapa mayat suhu-nya itu cepat sekali mencair,
‘dimakan’ benda cair putih itu dan terciumlah bau yang asam dan tajam
menusuk hidung. Sepasang mata anak itu tak pernah berkedip melihat
betapa mayat suhu-nya itu habis dan mencair sampai ke tulang-tulangnya,
tidak ada bekasnya sedikit pun juga karena cairannya diserap oleh tanah,
dan yang tinggal hanyalah tanah basah yang berbau racun itu.
Dua titik air mata tanpa dirasakannya jatuh ke atas pipinya, akan tetapi
Bun Beng tidak menangis. Tidak, sedikit pun dia tidak terisak biar pun
kedukaan menyesak di dada, karena kedukaannya dikalahkan rasa bencinya
terhadap keempat orang itu. Berganti-ganti sinar matanya seperti dua
titik api hendak membakar tubuh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok
Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong. Terutama sekali Bhong Ji Kun dan
lebih-lebih lagi Bhe Ti Kong. Karena ia dapat menduga bahwa kedua orang
itulah yang membunuh suhu-nya!
Akan tetapi enam orang itu tidak mempedulikannya. Setelah mayat Kakek
Siauw Lam lenyap, kemudian mereka bergegas mengajak Bun Beng menuju ke
arah lapangan yang dijadikan medan pertandingan.
Kedua orang kakek utusan Pulau Es ternyata amat lihai. Berkali-kali maju
orang-orang sakti yang memasuki medan laga untuk berpibu, namun
kesemuanya dikalahkan oleh Kakek Yap Sun dan Kakek Thung Sik Lun! Semua
orang menjadi gentar dan kini pihak Thian-liong-pang dan rombongan Pulau
Neraka sudah mulai berbisik-bisik, agaknya mereka ini yang tadi nampak
tenang-tenang saja sudah mulai memperbincangkan siapa yang akan mereka
ajukan untuk menandingi dua orang kakek Pulau Es yang sakti itu. Agaknya
pihak Thian-liong-pang yang lebih merasa penasaran dan dua orang kakek
dari pihak ini sudah melompat maju.
"Mundur!" Suara ini melengking nyaring dan tiba-tiba tampak sinar yang
sebetulnya adalah bayangan putih seorang manusia yang melayang turun
dari atas tebing dan hinggap di depan kedua orang kakek Pulau Es tanpa
mengeluarkan suara, seperti seekor burung saja.
Semua orang memandang dan terbelalak melihat seorang wanita berpakaian
sutera putih dengan sabuk sutera biru, bentuk tubuh yang ramping padat
dan menggairahkan. Akan tetapi kepala wanita ini tertutup oleh kedok
sutera putih seluruhnya, merupakan sebuah kantung yang ditutupkan di
kepala sampai ke bawah leher, hanya mempunyai dua buah lubang dari mana
berpancar sinar mata yang indah, bening, namun mengandung hawa dingin
dan tajam seperti ujung pedang pusaka! Kulit kedua tangan yang tersembul
keluar dari lengan baju amat putih dan tangan itu sendiri kecil halus
seperti tangan seorang puteri yang kerjanya setiap hari hanya merenda
dan berhias!
Akan tetapi semua orang segera berhenti menduga-duga dan mengerti bahwa
wanita berkedok itu tentulah ketua yang penuh rahasia dari
Thian-liong-pang! Hal ini terbukti dari sikap para rombongan
Thian-liong-pang yang serta merta menjatuhkan diri berlutut menghadap ke
arah wanita berkerudung itu.
Tanpa diketahui oleh para tokoh kang-ouw kini rombongan koksu telah
menonton di situ, bahkan dari belakang mereka menyusul pasukan pengawal
yang segera membentuk barisan yang siap menanti komando. Akan tetapi
wanita berkerudung itu tidak mempedulikan semua ini. Dari balik kerudung
keluar suara yang merdu dan halus, akan tetapi amat nyaring dan begitu
dingin membuat semua orang menggigil.
"Apakah kalian berdua ini utusan Pulau Es?"
Yap Sun sudah mendengar akan Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa,
akan tetapi seorang seperti dia pun tertegun ketika mendapat kenyataan
bahwa ketua yang disohorkan memiliki ilmu kepandaian seperti iblis itu
ternyata hanyalah seorang wanita, bahkan melihat bentuk tubuh dan
mendengar suaranya, dia hampir berani memastikan bahwa wanita ini tentu
masih muda! Akan tetapi, teringat akan majikannya sendiri yang juga
hanya pemuda, malah buntung sebelah kakinya, ia menyingkirkan
keheranannya, kemudian menjura dan menjawab.
"Tidak keliru dugaan Pangcu yang terhormat. Saya Yap Sun dan Sute Thung Sik Lun ini adalah utusan dari Pulau Es."
"Bagus! Sudah cukup Pulau Es memperlihatkan kegarangannya. Sekarang robohlah!"
Ucapan ini disusul dengan serangan kilat yang luar biasa cepatnya.
Tahu-tahu tubuh wanita ini telah menerjang dua orang kakek itu dengan
pukulan yang membawa angin halus. Dua orang kakek itu kaget. Makin halus
angin pukulan, makin hebatlah karena itu menunjukkan kekuatan sinkang
yang sudah tinggi. Akan tetapi dia dan sute-nya merasa penasaran.
Sebagai tokoh-tokoh Pulau Es yang tadi telah membuktikan kelihaian
mereka, tentu saja mereka merasa tersinggung sekali ketika Ketua
Thian-liong-pang ini menyuruh mereka roboh begitu saja! Maka cepat
mereka mengelak dan karena maklum menghadapi pukulan kilat secepat itu
mengelak saja masih kurang cukup, maka sambil mengelak mereka menangkis
dari samping.
"Dukk! Dukk!"
Sukar sekali dipercaya oleh mereka yang menyaksikannya karena begitu
lengan kedua orang kakek sakti itu bertemu dengan kedua tangan wanita
berkerudung itu, tubuh mereka terlempar roboh bergulingan kemudian
barulah mereka dapat meloncat bangun dengan muka berubah. Akan tetapi
Kakek Yap Sun dan sute-nya bukan orang-orang sembarangan. Mereka tidak
terluka, hanya kaget saja dan kini keduanya sudah menerjang maju lagi
dengan dahsyat.
"Bagus! Kalian boleh juga!" kata wanita berkerudung itu.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Dua orang kakek itu mengeroyok
dari jarak dekat, pukulan-pukulan mereka ampuh bukan main, namun semua
pukulan mereka dapat dielakkan oleh Si Wanita berkerudung dengan mudah.
Berkali-kali kedua orang kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan
terheran-heran karena melihat betapa wanita itu dapat mengelak dan
menangkis dengan jurus-jurus yang sama dengan serangan-serangan mereka!
Karena penasaran, Yap Sun lalu berseru keras dan mengirim pukulan dengan
telapak tangannya. Juga sute-nya mengimbangi serangan suheng-nya itu,
dari pihak yang berlawanan mengirim pukulan dengan telapak tangannya.
"Aiiihhhh!”
Tubuh wanita berkerudung mencelat ke atas sehingga himpitan dua tenaga
sinkang itu luput. Ia melayang ke depan dan turun sambil mencabut
sebatang pedang pendek dan kecil, semacam pisau belati. Sambil bertolak
pinggang ia bertanya.
"Bukankah itu tadi pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dahulu milik
Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, dan satu lagi Swat-im Sin-ciang,
milik Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Muka Kuda? Kiranya Ketua kalian
mengajarkannya kepada kalian?"
Yap Sun merasa mendapat hati dan mengira bahwa wanita itu jeri terhadap
pukulan tenaga inti api dan pukulan sute-nya dengan tenaga inti es, maka
ia berkata. "Apakah Pangcu yang terhormat jeri menghadapinya?"
"Aihhh, sombong! Siapa takut? Majulah!"
Kedua orang tokoh Pulau Es itu menerjang lagi dengan pukulan-pukulan
mereka yang amat berbahaya, akan tetapi wanita itu selalu dapat mengelak
dengan cepat. Ada pun Bun Beng ketika mendengar nama Kang-thouw-kwi Gak
Liat Si Setan Botak, menjadi terkejut sekali.
"Gak Liat adalah Ayahku...!" teriaknya perlahan.
Karena Im-kan Seng-jin amat tertarik menyaksikan pertandingan itu, dia
lupa menjaga sehingga tiba-tiba Bun Beng dapat melarikan diri. Akan
tetapi tiba-tiba pundaknya dicengkeram tangan yang kuat sekali dan
ketika ia menengok, kiranya tangan Panglima Bhe Ti Kong yang memegang.
"Pegang dia, jangan sampai dia lari!" kata Im-kan Seng-jin tidak mau
terganggu karena dia sedang menonton dengan hati amat tertarik.
Memang hebat pertandingan itu, terutama sekali hebat bagi orang-orang
saki berilmu tinggi seperti Im-kan Seng-jin, kedua Lama dan para tokoh
partai persilatan besar. Biar pun kedua orang tokoh Pulau Es itu hebat
sekali, namun dalam waktu tiga puluh jurus saja, Kakek Yap Sun sudah
roboh tertendang punggungnya, dan Kakek Thung Sik Lun dapat ditotok
lumpuh dan kini dijiwir telinganya oleh wanita berkerudung yang
menodongkan pisau belatinya sambil berkata.
"Sesungguhnya aku segan untuk keluar berurusan dengan orang-orang kosong
yang mengaku jagoan-jagoan kang-ouw. Akan tetapi karena golongan Pulau
Es datang, aku tidak suka menyerahkan tugas kepada wakil-wakilku dan
terpaksa keluar sendiri. Hayo katakan, di mana majikanmu Pendekar
Siluman Si Kaki Buntung itu? Kalau dia tidak keluar, kuambil daun
telingamu!"
Tiba-tiba terdengar suara melengking tajam dari angkasa, disusul
melayangnya seekor burung garuda yang hinggap di atas batu karang tak
jauh dari arena pertandingan, diikuti suara yang bergema, "Siapakah
mencari aku?"
Semua orang terbelalak memandang ketika seorang pria muda berambut
panjang berwarna putih, pakaiannya sederhana, kaki kirinya buntung dan
tangan kiri memegang tongkat butut, meloncat turun dari punggung garuda
raksasa yang berdiri gagah itu. Pria muda ini bukan lain adalah Suma Han
yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman. Majikan Pulau Es! Semua
mata, termasuk mata Ketua Thian-liong-pang, memandang kepada pendekar
berkaki tunggal ini, bahkan Yap Sun cepat menyeret kakinya yang pincang
karena tendangan tadi, berlutut di depan Suma Han sambil berkata dengan
nada melaporkan penuh penyesalan,
"Maaf, To-cu, kami berdua telah dikalahkan oleh Pangcu dari Thian-liong-pang. Mohon keputusan To-cu."
Akan tetapi Suma Han agaknya tidak mendengar laporan ini, atau tidak
mempedulikan, juga tidak mempedulikan orang-orang lain yang hadir.
Matanya mencari-cari, dan mulutnya berkata penuh sesal.
"Aku mencari dia... ah, di manakah dia kalau tidak di sini?" Kemudian
dia berteriak, suaranya nyaring melebihi lengking garuda tadi. "Hong-ji
(Anak Hong)! Di mana engkau? Hayo cepat ke sini...!"
Suaranya bergema di seluruh permukaan pulau, akan tetapi tidak ada yang
menjawab. Semua orang memandang terbelalak dengan hati tegang. Mereka
yang pernah bertemu dengan Suma Han memandang kagum karena mereka sudah
mengenal kesaktian pria muda buntung ini. Ada pun mereka yang sudah lama
mendengar nama Pendekar Siluman akan tetapi baru sekarang bertemu,
memandang takjub dan terheran-heran. Kelihatannya hanya seorang pria
muda sederhana dan biasa saja, bagaimana bisa menjadi Majikan Pulau Es
yang begitu terkenal dan dijuluki Pendekar Siluman? Wajahnya sama sekali
tidak seperti siluman, biar pun rambutnya putih dan panjang, malah
membuat wajahnya tampak gagah dan tampan penuh wibawa. Tentu
kepandaiannya yang seperti siluman dan diam-diam mereka ini bergidik
ngeri.
"Ke manakah perginya Siocia, To-cu?" Kakek Yap Sun bertanya dengan suara penuh kekhawatiran.
"Dia pergi dari Pulau Es membawa garuda betina. Kukira hendak menonton
keramaian di sini anak nakal itu. Kiranya tidak ada di sini. Habis ke
mana dia?"
"Pendekar Siluman! Pendekar Super Sakti! Pendekar Buntung! Hayo majulah
melawan aku Ketua Thian-liong-pang agar mata dunia terbuka siapa di
antara kita yang patut menjadi pemimpin dunia persilatan!" Tiba-tiba
wanita yang berkerudung yang masih menodong leher Kakek Thung Sik Lun
itu berseru merdu dan nyaring.
Mendengar suara ini, Suma Han seperti tersentak kaget, seolah-olah baru
sekarang dia mendengar suara itu dan melihat wanita berkerudung yang
mengaku Ketua Thian-liong-pang itu. Juga baru teringat ia akan pelaporan
pembantunya bahwa dua orang utusannya yang disuruh meninjau keadaan di
pulau itu telah dikalahkan oleh Ketua Thian-liong-pang.
Seperti tidak disengaja, tangan kanan Pendekar Siluman ini menggenggam
segumpal ujung rambutnya, kemudian tanpa menggerakkan kaki, tubuhnya
berputar menghadapi wanita itu. Ia melihat betapa Yap Sun masih belum
dapat berdiri, masih berlutut dan melihat Thung Sik Lun berlutut pula,
ditodong belati oleh wanita berkerudung.
Seperti orang tak acuh, Pendekar Siluman memandang wanita itu dan
bertanya, suaranya perlahan namun jelas terdengar satu-satu oleh semua
orang yang hadir dan semua orang menggigil karena suara ini terdengar
datar dan dingin. "Engkau siapa...?" Pertanyaan yang datar dan dingin
ini seolah-olah hendak membuka kerudung dan menjenguk wajah si wanita.
Tanpa disadarinya, wanita itu menundukkan muka sejenak, kemudian
mengangkatnya kembali dan sinar mata dari balik lubang itu seperti
memancarkan api. "Akulah Pangcu dari Thian-liong-pang! Dan aku menantang
Majikan Pulau Es untuk mengadu ilmu di sini!"
Akan tetapi Suma Han tidak mengacuhkan tantangan ini, bahkan tongkatnya
bergerak dan tampak ujung tongkat itu menyentuh kedua pundak Kakek Yap
Sun dengan perlahan. "Paman Yap di sini tidak ada apa-apa, yang
diperebutkan hanya bungkusan kosong. Kau ajaklah Paman Thung kembali dan
bantu aku mencari ke mana perginya bocah berandalan itu!"
Wajah Yap Sun kelihatan girang sekali karena tiba-tiba saja, dua kali
totokan pada pundaknya itu menyembuhkannya dan ia dapat bangkit berdiri
dengan gerakan ringan. Melihat ini wanita berkerudung itu menggerakkan
sedikit pundaknya, tanda bahwa ia terkejut.
"Pendekar Siluman! Kalau engkau tidak mau melayani tantanganku, orangmu ini akan mati!" Ia menggerakkan pisau belatinya.
"Paman Thung, tidak lekas pergi menunggu apa lagi?" Suma Han berseru dan tangan kanannya bergerak.
Terdengar bunyi bercuitan dan sinar putih yang amat halus menyambar ke
arah kedua lengan dan seluruh jalan darah bagian depan tubuh wanita
berkerudung. Wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan tidak mengelak,
melainkan memutar pisaunya di depan tubuh sedangkan tangan kirinya
dengan jari terbuka menyambar ke depan. Akan tetapi wanita itu tampak
tercengang dan marah ketika melihat bahwa yang ditangkisnya itu hanyalah
segumpal rambut yang membuyar dan ketika ia menoleh ke arah Kakek Thung
Sik Lun, ternyata kakek itu telah lenyap!
Kiranya Suma Han tadi menggunakan segenggam rambutnya yang ia putus
dengan tangan dipakai menyerang Ketua Thian-liong-pang, tetapi hanya
serangan pancingan saja karena begitu wanita itu bergerak menangkis, ia
mendorongkan tangan kanannya ke arah tubuh pembantunya, yang terlempar
dan bergulingan, terus meloncat ke dekat ketuanya sambil berlutut! Kini
semua orang yang menyaksikan terbelalak dan kagum bukan main. Segumpal
rambut dapat dipergunakan seperti jarum-jarum rahasia, dan dorongan
tangan dalam jarak begitu jauh sudah berhasil membebaskan kakek kurus
dari penodongan Ketua Thian-liong-pang.
"Pulanglah kalian dan cari Si Bengal!" kata Pendekar Siluman pada dua
pembantunya. Yap Sun dan Thung Sik Lun mengangguk, dan keduanya meloncat
lalu lari pergi dari tempat itu, sedangkan Suma Han dengan sikap acuh
tak acuh meloncat naik ke punggung garuda putih!
"Haiii! Pendekar Siluman! Sudah lama aku mendengar nama besarmu, mengapa
tidak minum arak dulu denganku untuk belajar kenal?" Tiba-tiba Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun berseru. "Kalau begitu, terimalah suguhan arak
dari koksu kerajaan!"
Tangan kanan koksu ini yang sudah mengeluarkan guci arak, menggoyang
tangan dan arak merah muncrat dari dalam guci, cepat sekali sehingga
membentuk sinar merah yang melebar seperti payung menyiram ke arah Suma
Han dan garudanya. Jarak antara koksu itu dengan Pendekar Siluman cukup
jauh, maka perbuatan ini cukup membuktikan betapa saktinya koksu itu dan
betapa kuatnya tenaga sinkang yang ia pergunakan!
Suma Han hanya menoleh, tanpa mengubah duduknya di punggung garuda, akan
tetapi tangan kanannya dengan jari terbuka membuat gerakan dorongan
memutar ke depan. Hawa dingin menyambar dari tangan itu, terasa oleh
mereka yang berdiri tidak begitu jauh dan... terdengar suara
berkelotokan ketika butir-butir arak itu runtuh semua ke bawah dan telah
membeku! Itulah pukulan dengan tenaga inti Swat-im Sin-ciang yang sudah
mencapai puncaknya sehingga pukulan ini dapat membuat benda cair
membeku menjadi butiran-butiran es!
"Pendekar Siluman, mau lari ke mana engkau?" Pangcu dari
Thian-liong-pang, wanita berkerudung itu, berseru marah dan kedua
tangannya sudah bergerak cepat.
"Cet-cet-cet-cet...!" Tiga belas batang pisau belati yang entah
dikeluarkan sejak kapan dan dari mana, tahu-tahu beterbangan seperti
kilat-kilat menyambar ke arah Suma Han. Semua menuju ke tubuh Pendekar
Siluman dan tidak sebatang pun yang mengancam tubuh garuda! Hal ini
membuktikan betapa wanita itu merupakan seorang ahli melempar senjata
rahasia.
Suma Han menggerakkan tongkatnya dengan sembarangan dan... ketiga belas
batang pisau itu seolah-olah tertarik oleh besi magnet dan kesemuanya
melayang menuju ke tongkat di tangan Suma Han dan menancap semua di
tongkat itu, berjajar-jajar rapi.
"Aku tidak sempat main-main dengan kalian!" terdengar Suma Han berkata,
tongkatnya digerakkan dan tiga belas batang pisau itu melayang ke arah
pemiliknya secara berbareng dan menjadi satu seolah-olah terikat
sehingga merupakan senjata berat yang besar.
Akan tetapi, dengan pukulan sinkang Ketua Thian-liong-pang itu membuat
sekumpulan pisaunya menancap di atas tanah depan kakinya, seolah-olah
berlutut memberi hormat kepadanya! Sepasang mata bening di balik lubang
kerudung itu berapi-api ketika wanita itu melihat garuda putih sudah
mulai terbang, kelepak sayapnya terdengar keras dan angin pukulan sayap
membuat debu beterbangan!
Tiba-tiba terdengar pekik keras dari rombongan Pulau Neraka dan tampak
seorang laki-laki tinggi besar yang matanya berwarna hijau pupus seperti
tubuhnya, rambutnya kotor riap-riapan mukanya bengis, meloncat ke depan
dan tangannya melontarkan sebuah benda panjang berwarna hitam ke atas,
ke arah burung garuda yang belum terbang tinggi. Benda panjang itu
menyambar cepat dan tahu-tahu telah membelit kedua kaki burung garuda
tadi. Betapa kaget hati semua orang ketika melihat benda itu adalah
seekor ular yang pajang, berwarna hitam dan berbisa, yaitu semacam ular
sendok (khobra) yang mendesis-desis dan siap menggigit tubuh garuda!
Melihat Pendekar Siluman tetap diam saja seperti tidak tahu, semua orang
berkhawatir. Akan tetapi garuda itu mengeluarkan suara melengking
tinggi, kepalanya bergerak cepat dan tahu-tahu leher ular itu telah
dipatuknya! Garuda itu tidak terus terbang ke atas, bahkan dengan
kecepatan luar biasa menukik ke bawah, ke arah laki-laki muka hijau
pupus tadi, kedua kakinya yang berbentuk cakar berkuku tajam dan runcing
melengkung itu bergerak menyerang!
Laki-laki itu tidak takut, sudah mencabut sebatang pedang hitam dan
membabat ke arah kedua kaki garuda. Garuda itu ternyata hebat sekali,
dia memapaki pedang dengan cakar kiri dan mencengkeram pedang itu.
"Krekkk!" pedang itu patah-patah menjadi tiga potong dan dilempar ke bawah.
Sebelum laki-laki anggota Pulau Neraka itu sempat mengelak tahu-tahu
sehelai benda hitam telah melibat lehernya dan ketika garuda itu terbang
ke atas, tubuh laki-laki itu tergantung dan ternyata lehernya telah
dibelit tubuh ularnya sendiri yang masih hidup dan yang lehernya dijepit
paruh garuda yang amat kuat. Semua orang menjadi ngeri dan mengikuti
sampai ke atas tebing. Mereka melihat garuda itu melepas ular dan
laki-laki tadi sehingga tubuhnya meluncur ke bawah, jatuh ke dalam air
muara di mana air sungai bertemu dengan air laut.
"Celaka...! Air pusaran maut!" Terdengar suara dari gerombolan anak buah Pulau Neraka.
Semua orang memandang dan terbelalak melihat betapa laki-laki bermuka
hijau pupus itu meronta-ronta dan berusaha berenang mengatasi pusaran
air. Namun tenaga pusaran air yang disebut pusaran maut dan yang amat
dikenal para nelayan karena merupakan tempat yang tidak mungkin dapat
dilalui dan yang mendatangkan maut mengerikan, amatlah kuatnya sehingga
usaha manusia ini sama sekali tidak ada artinya. Tubuhnya dibawa
berputar, makin lama makin cepat dan akhirnya tubuh itu hancur lebur
dihempaskan pada batu-batu di bawah tebing, karena pusarannya makin lama
makin melebar!
Semua orang menghela napas penuh kengerian dan burung garuda itu kini
sudah terbang jauh, hanya tampak sebagai sebuah titik putih yang makin
menghilang. Wanita berkerudung mengeluarkan dengusan pendek, lalu
bertepuk tangan. Dari atas tebing, melayang seorang wanita yang usianya
kurang lebih tiga puluh tahun, masih cantik jelita dan gerakannya
tangkas.
"Tidak ada gunanya lagi aku di sini, kau wakili aku hadapi tikus-tikus
ini," katanya dan sekali berkelebat tubuhnya sudah melayang naik ke
tebing dari mana dia tadi melayang turun, kelihatannya marah dan
penasaran sekali.
"Haiiii! Pangcu dari Thian-liong-pang! Mari kita main-main sebentar!"
Koksu berseru, suaranya mengguntur seolah-olah menyusul tubuh yang
melayang naik itu. Tubuh itu kini sudah lenyap di tebing tinggi, akan
tetapi dari tempat tinggi itu terdengar suara merdu.
"Seperti juga Pendekar Siluman, saya tak ada waktu untuk main-main
dengan Koksu!" Kemudian sunyi senyap, hanya tinggal mereka yang berada
di situ menahan napas, kemudian menarik napas panjang penuh kekaguman.
Majikan Pulau Es dan Ketua Thian-liong-pang sungguh merupakan manusia
luar biasa, seperti iblis! Mereka merasa menyesal mengapa tidak mendapat
kesempatan menyaksikan kedua orang itu bertanding silat! Jikalau kedua
orang itu saling mengadu kepandaian, atau menghadapi koksu yang sakti
itu, tentu mereka akan menyaksikan pertandingan-pertandingan yang amat
luar biasa!
Ketika melihat semua orang termangu-mangu, tiba-tiba Im-kan Seng-jin
Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Cu-wi sekalian adalah orang-orang gagah
dari segala penjuru dunia! Setelah kini berkumpul di sini, bukankah
bermaksud untuk mengadu kepandaian menentukan siapa yang akan menjagoi?
Nah, lanjutkanlah. Pemerintah tidak akan menghalangi, bahkan akan ikut
meramaikan. Kami sendiri tidak akan maju karena lawan-lawan yang
seimbang telah pergi, akan tetapi pembantu-pembantu kami cukup kuat
untuk ikut meramaikan pibu ini! Aku mengajukan pembantuku Bhe Ti Kong.
Hayo, siapa di antara Cu-wi yang berani menghadapinya boleh maju. Jangan
khawatir, pertandingan melawan panglima kerajaan sekali ini tidak akan
dianggap sebagai pemberontakan. Sekarang bukan jaman perang, dan ini
adalah urusan pribadi di antara orang-orang yang menjunjung tinggi
kegagahan. Bhe-goanswe, majulah!" Dengan wajah berseri gembira Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun berkata kepada pembantunya.
Bhe Ti Kong adalah seorang jenderal perang. Biar pun ia memiliki ilmu
silat yang tinggi, namun sesungguhnya dia bukan berjiwa kang-ouw. Akan
tetapi, sebagai seorang tentara tentu saja dia selalu akan menaati
perintah atasan. Maka setelah menyerahkan Bun Beng kepada seorang
temannya, yaitu seorang di antara tiga panglima pengawal itu, ia lalu
meloncat ke tengah lapangan dan mencabut senjatanya yang dahsyat, yaitu
tombak gagang pendek yang bercabang, tajam dan runcing sekali.
Bun Beng yang tadi menyaksikan sepak terjang Pendekar Siluman, hatinya
berdebar tegang. Betapa ia mengenal pendekar itu! Tiada bedanya dengan
lima tahun yang lalu ketika pendekar itu menolong keluar kuil tua!
Hatinya gembira sekali dan ingin tadi ia berteriak memanggil. Akan
tetapi, Panglima Bhe Ti Kong yang menyebalkan dan amat dibencinya itu
tadi selain mencengkeram pundaknya, juga membungkam mulutnya sehingga ia
tidak mampu bergerak dan tidak mampu mengeluarkan suara pula. Betapa
bencinya!
Kini Pendekar Siluman itu telah pergi jauh, bahkan wanita berkerudung
yang juga amat mengagumkan hatinya itu telah pergi pula! Dan baru
sekarang dia dilepaskan oleh Panglima Bhe yang hendak berlagak dalam
pertandingan! Hem, ia mencela dan diam-diam memaki. Baru sekarang
berlagak! Coba tadi melawan Pendekar Siluman! Atau Si Wanita
berkerudung, kalau memang gagah!
Akan tetapi hatinya lega juga setelah kini ia dioperkan kepada panglima
lain yang berperut gendut itu. Biar pun panglima ini masih memegangi
lengannya, namun tidak dicengkeram seperti Panglima Bhe tadi. Agaknya
panglima yang gendut ini memandang rendah kepada Bun Beng, maka
pegangannya tidaklah erat benar karena dianggapnya bocah sekecil itu
bisa apakah? Pula ia amat tertarik untuk menyaksikan rekannya memasuki
pibu, hal yang belum pernah terjadi di antara para panglima pengawal!
Tiba-tiba dari rombongan Pulau Neraka meloncat keluar seorang laki-laki
tinggi besar yang bermuka biru muda! Melihat warna mukanya yang agak
terang menandakan bahwa seperti juga orang yang mukanya berwarna hijau
pupus tadi, yang ini tentu tingkatnya juga sudah cukup tinggi. Dan
agaknya kini para tokoh Pulau Neraka yang semenjak tadi belum maju
menjadi penasaran.
Apa lagi melihat seorang anggota mereka tewas dalam keadaan begitu
mengerikan. Mereka marah sekali, namun yang membunuh teman mereka adalah
burung garuda putih tunggangan Pendekar Siluman yang sekarang sudah
terbang pergi sehingga mereka tidak dapat menumpahkan kemarahan hati
mereka. Agaknya kemarahan itu akan dilampiaskan dalam pibu ini. Apa lagi
koksu tadi sudah mengatakan bahwa pibu ini merupakan pertandingan
perorangan. Andai kata tidak demikian pun, mana orang-orang Pulau Neraka
akan menjadi takut. Pulau Neraka tidak pernah takut terhadap pemerintah
atau siapa pun juga!
Laki-laki tinggi besar bermuka biru muda itu telah mencabut pedang
dengan tangan kiri, mukanya yang buruk dengan kumis pendek tanpa jenggot
kelihatan muram dan kejam. Rambutnya yang riap-riapan itu diikat dengan
sehelai tali putih. Kulitnya dari muka sampai ke tangannya, bahkan
matanya berwarna biru muda, amat menyeramkan.
"Aku Pok Sit dari Pulau Neraka akan melawanmu, Ciangkun!" katanya dan
tanpa menanti jawaban orang Pulau Neraka ini sudah menerjang dengan
pedangnya yang amat panjang. Gerakannya kuat, cepat, dan juga aneh
sekali, berbeda dengan ilmu pedang biasa. Panglima Bhe Ti Kong cepat
menangkis dengan senjata tombak pendeknya.
"Cringgggg...!" Bunga api berhamburan ketika dua senjata itu bertemu dan
keduanya merasa telapak tangan mereka panas. Tahulah mereka bahwa
tenaga mereka seimbang, maka ini keduanya serang-menyerang dengan
hebatnya.
Bun Beng menonton, namun pikirannya melayang-layang teringat kepada
Pendekar Siluman dan wanita berkerudung tadi yang mengaku sebagai Ketua
Thian-liong-pang. Kemudian ia teringat betapa ketua aneh itu tadi
menyebut nama ayahnya berjuluk Kang-thouw-kwi Si Setan Botak. Botak
seperti Koksu. Dan pukulan hebat dari Pulau Es tadi dikatakan oleh
wanita berkerudung sebagai ilmu ayahnya, diajarkan oleh Pendekar Siluman
kepada utusannya.
Kalau begitu ada hubungan antara ayahnya dan Pendekar Siluman.
Setidaknya, tentu ayahnya bukan orang sembarangan, melainkan seorang
sakti pula. Itulah agaknya mengapa dulu ia dijadikan rebutan! Agaknya
ayahnya itu dikenal dan dihormati orang-orang Thian-liong-pang dan
orang-orang Pulau Neraka yang hendak memeliharanya!
Ketika ia melihat ke arah pertandingan, ternyata bahwa orang yang
dibencinya, yaitu Panglima Bhe Ti Kong, lagi terdesak oleh ilmu pedang
yang amat aneh dari lawannya. Tetapi tiba-tiba koksu mengeluarkan
ucapan-ucapan dan sungguh mengherankan, gerakan panglima itu berubah dan
kini keadaannya berbalik. Si Muka Biru Muda itu yang terdesak oleh
senjata tombak pendek!
Mengertilah Bun Beng yang sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi bahwa
koksu itu bermain curang, memberi nasihat kepada pembantunya dalam
bahasa yang tidak dimengerti orang lain. Perasaan marah membuat Bun Beng
mencari akal untuk melepaskan diri. Ia teringat akan ilmunya
Sia-kun-hoat, maka ia segera mengerahkan ilmu ini secara diam-diam,
kemudian menggunakan kesempatan selagi perwira gendut yang memegangnya
bergembira dan tertarik menyaksikan rekannya mendesak lawan, ia cepat
merenggutkan dirinya terlepas dari pegangan panglima gendut.
"Heiii...! Mau pergi ke mana...?" Panglima gendut terkejut.
Akan tetapi Bun Beng sudah meloncat pergi dengan lincahnya. Rasa
bencinya yang mendalam terhadap Panglima Bhe Ti Kong yang sudah ikut
membunuh suhu-nya membuat Bun Beng pada saat itu tidak memikirkan hal
lain kecuali membantu lawan si panglima yang makin mendesak hebat dengan
tombak pendeknya. Para pembunuh suhu-nya adalah empat orang yang lihai
bukan main. Apa lagi koksu dan dua orang pendeta Lama itu, mereka adalah
tiga orang sakti. Mana mungkin ia dapat membalaskan kematian suhu-nya?
Akan tetapi, Bhe Ti Kong merupakan orang ke empat yang tidak sesakti
tiga kakek itu, apa lagi sekarang menghadapi lawan tangguh. Kalau tidak
sekarang dia turun tangan membalas kematian suhu-nya, menunggu sampai
kapan? Hanya inilah yang memenuhi pikiran Bun Beng. Maka begitu ia
berhasil membebaskan diri dari pegangan Si Panglima gendut dengan ilmu
melepaskan dan melemaskan tulang dan otot, ia segera meloncat dan
menyerang dari atas ke arah kepala Bhe Ti Kong yang sedang mendesak Si
Muka Biru Muda dari Pulau Neraka!
"Manusia curang! Rasakan pembalasanku!" Bun Beng membentak sambil
meloncat dan menubruk seperti seekor anak harimau yang tidak mengenal
takut.
Memang hatinya marah sekali, bukan hanya karena kematian suhu-nya yang
dikeroyok secara curang, juga menyaksikan betapa Panglima Bhe Ti Kong
ini sekarang dapat mendesak lawan karena dibantu oleh koksu. Dan memang
sebenarnyalah dugaan Bun Beng ini.
Ketika tadi melihat anak buahnya itu terdesak oleh tokoh Pulau Neraka
yang bermuka biru muda, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi jengkel dan
juga khawatir sekali. Kekalahan panglima kerajaan berarti sebuah
pukulan bagi kedudukannya dan akan membikin dia malu. Dia tidak
menyalahkan Bhe Ti Kong yang terdesak lawan karena memang orang Pulau
Neraka itu memiliki ilmu pedang yang aneh sekali gerakannya. Maka koksu
yang sakti ini cepat memperhatikan gerakan orang itu, mempelajari dasar
dan intinya, kemudian ia memberi nasihat kepada Bhe Ti Kong dengan
bahasa daerah Mancu dan begitu Bhe Ti Kong mentaati nasihat ini, benar
saja, ia dapat mendesak lawan dengan tombaknya.
Serangan seorang bocah berusia sepuluh tahun tentu saja tidak akan ada
artinya bagi seorang lihai macam Bhe Ti Kong. Tetapi karena Bun Beng
melakukan penyerangan selagi dia menghadapi seorang lawan yang amat
tangguh, hal itu amat berbahaya. Apa lagi karena bocah itu pun bukan
sembarangan bocah, melainkan seorang anak yang telah bertahun digembleng
oleh seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai! Sedikit saja dia mengalihkan
perhatian kepada Bun Beng, tentu dia terancam maut di ujung pedang Si
Muka Biru Muda.
Akan tetapi Bhe Ti Kong adalah seorang yang sudah banyak mengalami
pertempuran dahsyat, maka dia tidak menjadi gugup. Dengan gerakan cepat
ia menyerang lawan dari bawah sambil merendahkan tubuh dan mengelak dari
sambaran tangan-tangan kecil dari atas yang memukul ke arah kepalanya.
Serangan Bun Beng mengenai tempat kosong dan tubuh anak itu terpaksa
melayang turun di belakang Bhe Ti Kong.
Panglima ini berhasil mendesak lawan dengan serangannya tadi, kini cepat
memutar kaki menendang ke belakang. Namun Bun Beng sudah siap
menghadapi tendangan ini, maka cepat anak itu dapat menghindarkan diri
dengan lompatan ke kanan. Biar pun hanya membagi perhatian sedikit saja,
hal itu sudah merugikan Bhe Ti Kong karena tiba-tiba sinar terang
menyambar bergulung-gulung dan pedang lawan sudah membuat dia kini
terdesak hebat. Bhe Ti Kong hanya dapat memutar tombak di depan dadanya
untuk melindungi tubuh dan terpaksa ia membiarkan tubuh bagian
belakangnya kosong tidak terjaga.
Bun Beng menggunakan kesempatan itu, cepat ia menubruk dari belakang dan
mengerahkan seluruh tenaganya menghantam lambung Bhe Ti Kong.
"Bocah setan! Jangan mencampuri pertandinganku!" Tiba-tiba orang Pulau
Neraka bermuka biru muda itu membentak, pedangnya berkelebat dan
tahu-tahu Bun Beng merasa tubuhnya terangkat ke atas! Kiranya punggung
bajunya telah di tusuk pedang Si Muka Biru dan kini ia diangkat ke atas.
"Lepaskan, aku tidak mencampuri, aku hanya ingin membalas kematian Suhu!" Ia meronta-ronta.
Dan pada saat itu, Bhe Ti Kong yang melihat kesempatan baik sekali telah
mengirim tendangan ke arah perut Si Muka Biru. Orang Pulau Neraka itu
ternyata lihai sekali. Biar pun pedangnya kini tak dapat ia pergunakan,
ia masih sempat melangkahkan kaki kanannya ke belakang dan miringkan
tubuh sehingga tendangan Bhe Ti Kong luput. Dengan marah Bhe Ti Kong
yang sudah siap dengan tombak pendeknya itu menyusul serangannya dengan
tusukan bertubi-tubi.
Si Muka Biru terkejut dan mundur-mundur, kemudian sekali ia menggerakkan
pedang, tubuh Bun Beng terlempar jauh, melayang sampai sepuluh meter
jauhnya. Namun gerakannya ini membuat ia kurang cepat mengelak dan
sebuah tusukan tombak di tangan Bhe Ti Kong sempat menyerempet lambung
kirinya.
"Crottt...!"
Tangan Bhe Ti Kong yang sudah biasa menggunakan tombak menusuki perut
lawan dalam perang sehingga entah berapa ratus perut yang sudah menjadi
korban tombak, kini secara otomatis mencokelkan tombaknya sehingga perut
yang hanya diserempet itu robek kulitnya dan tampaklah usus panjang
keputih-putihan mencuat ke luar! Si Muka Biru mengeluarkan gerengan
keras, tangan kanannya cepat menyambar ususnya dan mengalungkan usus
yang panjang itu ke lehernya, kemudian ia melanjutkan pertempuran
melawan Bhe Ti Kong seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa dengan
dirinya!
Semua orang yang menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu terbelalak ngeri
dan juga kagum, kecuali para anggota Pulau Neraka sendiri tentunya.
Mereka ini sejak tadi diam tak bergerak menonton pertandingan. Wajah
beraneka warna itu tidak menunjukkan sesuatu, dingin-dingin saja. Memang
aneh sekali orang-orang Pulau Neraka ini. Keadaan mereka merupakan
rahasia, bahkan orang-orang kang-ouw yang terkenal dan banyak pengalaman
sekali pun jarang ada yang tahu siapa gerangan orang-orang yang
kulitnya berwarna aneh itu.
Thian Tok Lama dan Thai Li Lama adalah dua orang sakti yang amat
terkenal. Akan tetapi mereka berasal dari Tibet, maka tentu saja tidak
mengenal orang-orang Pulau Neraka. Menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu,
tak tertahan lagi mereka bertanya kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
tentang orang-orang Pulau Neraka.
Koksu Kerajaan Mancu itu mengelus jenggotnya, menarik napas panjang
kemudian menjawab tanpa mengalihkan pandang matanya dari pertandingan
yang masih berlangsung hebat. "Keadaan mereka penuh rahasia, aku sendiri
pun hanya mendengar-dengar saja dari kabar angin. Kabarnya di jaman
dahulu, entah berapa ratus tahun yang lalu, terdapat kerajaan-kerajaan
kecil di atas pulau-pulau yang banyak tersebar di lautan timur. Di
antara raja-raja kecil itu terdapat keluarga raja yang amat sakti, konon
memiliki kesaktian seperti dewa-dewa, bahkan mereka menamakan dirinya
keluarga dewa!"
"Aihhh, apa hubungannya dengan Bu Kek Siansu yang dikabarkan seperti
manusia dewa dan katanya datang dari Pulau Es?" Thai Li Lama bertanya,
masih seram mengenangkan munculnya Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es
yang aneh tadi.
"Entahlah, aku tidak pernah mendengar tentang dia. Menurut kabar,
kerajaan dewa itu memegang peraturan yang amat keras sehingga apabila
ada rakyat yang melakukan pelanggaran, mereka ini dihukum buang ke atas
sebuah pulau yang dinamakan Pulau Neraka."
"Mengapa namanya begitu seram?" Thian Tok Lama bertanya.
"Entahlah, hanya kabarnya yang membocor ke dunia kang-ouw karena ada
pelarian gila dari Pulau Neraka mengoceh, pulau itu lebih mengerikan
dari neraka yang sering disebut dalam kitab-kitab. Pendeknya, tidak ada
manusia yang dapat hidup di sana."
"Hemm, aneh. Kalau tak ada manusia dapat hidup di sana, mengapa sekarang
muncul banyak tokoh-tokoh Pulau Neraka?" Thian Tok Lama mencela.
"Tidak ada seorang setan pun tahu apa yang terjadi," kata koksu yang
kini kembali mengalihkan perhatiannya ke arah pertandingan yang makin
menghebat. Si Muka Biru itu biar pun ususnya sudah keluar dan
dikalungkan ke leher ternyata makin hebat saja gerakannya, seperti orang
nekat sehingga kembali Bhe Ti Kong terdesak!
Pengetahuan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang Pulau Neraka seperti
yang diceritakannya kepada dua orang Lama itu hanya tentang kulitnya
saja. Satu-satunya yang tepat dalam keterangannya adalah bahwa memang
tidak ada seorang pun yang tahu akan Pulau Neraka yang hanya dikenal
orang dalam dongeng, dan yang setelah ratusan tahun tiada buktinya, baru
sekarang muncul tokoh-tokohnya yang memiliki kepandaian luar biasa dan
keadaan yang amat aneh.
Memang benarlah bahwa Pulau Neraka itu dahulu merupakan sebuah pulau
tempat pembuangan orang-orang jahat, dan yang membuang penjahat-penjahat
ke tempat itu adalah keluarga raja muda yang berkuasa di Pulau Es,
yaitu kerajaan yang menjadi nenek moyang Bu Kek Siansu! Pulau itu amat
mengerikan keadaannya, tiada ubahnya seperti neraka. Air yang terdapat
di pulau itu selain kotor juga mengandung racun begitu keluar dari
sumbernya.
Dan di situ banyak tumbuh pohon-pohon yang aneh dan beracun, pohon-pohon
yang ranting-rantingnya dapat membelit, menangkap dan menghisap darah
hewan atau manusia, pohon-pohon yang mempunyai daun-daun beracun
sehingga begitu daunnya menguning dan rontok, menyiarkan bau yang dapat
membuat manusia mati seketika. Kadang-kadang timbul kabut dingin yang
mematikan, dan pada bergantian musim, keluar uap-uap beracun dari dalam
tanah, merupakan gas beracun yang amat jahat, apa lagi sampai terhisap,
baru mengenai kulit saja membuat kulit membusuk.
Semua ini masih ditambah lagi dengan adanya binatang-binatang berbisa,
ular-ular cobra dan ular belang, ular hijau, kalajengking, kelabang dan
semua binatang merayap yang berbisa di samping binatang-binatang liar
yang buas. Karena itu, betapa pun tingginya kepandaian seorang hukuman
yang dibuang dari Pulau Es, dia takkan dapat bertahan lama di tempat itu
sehingga pulau itu dalam waktu puluhan tahun penuh dengan rangka-rangka
manusia berserakan di mana-mana.
Akan tetapi pada jamannya raja muda yang menjadi Kakek Bu Kek Sian-su,
yaitu yang bergelar Raja Han Gi Ong, terjadi perubahan. Raja Han Gi Ong
ini masih memiliki sifat keras dan berdisiplin seperti nenek moyangnya,
akan tetapi dia lebih lunak dan memiliki perasaan kasihan. Dia maklum
bahwa semua orang hukuman dari Pulau Es yang dibuang ke Pulau Neraka
memiliki kepandaian tinggi namun tak dapat menahan kesengsaraan Pulau
Neraka dan paling lama dapat hidup setahun. Oleh karena itu, ketika pada
suatu hari seorang pangeran melakukan dosa besar dan dibuang ke Pulau
Neraka, Raja Han Gi Ong membekalinya kitab-kitab pusaka yang berisi
pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi.
Demikianlah, dengan bekal itu Sang Pangeran akhirnya dapat bertahan
karena telah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Bahkan dia dapat pula
menyelamatkan para orang buangan yang lain, laki-laki dan wanita,
sehingga setelah berlangsung puluhan tahun, di Pulau Neraka terdapat
sekelompok keluarga yang hebat! Ratusan tahun kemudian, sekeluarga besar
menghuni pulau ini dan menjadi orang-orang pandai yang amat aneh akan
tetapi tidak pernah turun ke dunia ramai. Kepandaian mereka
turun-temurun ke anak cucu mereka dan semua kesukaran di pulau itu dapat
mereka atasi, bahkan hal-hal mengerikan yang tadinya merupakan ancaman
bagi kehidupan, kini dapat mereka kuasai dan pergunakan demi keuntungan
mereka! Racun-racun dapat menjadi obat dan menjadi senjata, dan keadaan
yang penuh tantangan itu membuat mereka makin ulet dan kuat.
Namun perasaan kasihan yang timbul di hati Raja Han Gi Ong, yang terjadi
ratusan tahun yang lalu, di jaman Kerajaan Tang menguasai Tiongkok
(618-905) ternyata mendatangkan bencana karena setelah keluarga Pulau
Neraka menjadi kuat, mulailah mereka merongrong kewibawaan kerajaan
kecil Pulau Es! Sering kali terjadi perang di antara mereka.
Demikianlah sekelumit riwayat Pulau Neraka yang penghuninya adalah
orang-orang buangan dari Pulau Es yang ketika itu masih merupakan sebuah
kerajaan kecil. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh Im-kan Seng-jin
Bhong Ji Kun, maka yang ia ceritakan kepada kedua orang Lama Tibet
hanyalah kulitnya saja. Kini perhatian mereka kembali teralih kepada
jalannya pertandingan antara Bhe Ti Kong melawan seorang anak buah Pulau
Neraka yang bermuka biru muda yang amat hebat kepandaiannya itu.
Sementara itu, Bun Beng yang tadi dilontarkan oleh pedang Si Muka Biru
terlempar dan terbanting jatuh ke atas tanah. Karena tubuhnya terlatih,
ia cepat menggelinding, lalu meloncat bangun. Tiba-tiba ia merasa
pundaknya dicengkeram orang dan ketika ia mengangkat muka, kiranya
panglima gemuk tadi telah menangkapnya kembali.
"Hemm, bocah kurang ajar, sekarang kau takkan kulepaskan lagi!"
Cengkeraman pada pundak Bun Beng kuat sekali membuat anak itu
menyeringai kesakitan.
"Lepaskan aku!" Bun Beng meronta, akan tetapi kini kedua lengannya malah
dipegang oleh tangan kuat panglima gendut itu. Dia mencoba untuk
menendang dan menggigit, akan tetapi sia-sia, panglima itu terlampau
kuat baginya.
"Kalau engkau tidak mau diam, kutampar kepalamu!" Panglima itu
menghardik. "Lihat ada pertandingan begitu menarik, kenapa kau ribut
saja?"
Bun Beng seorang anak yang berani, akan tetapi juga cerdik. Dia maklum
bahwa kalau dia menggunakan kekerasan memberontak, tidak mungkin ia
dapat membebaskan diri. Maka ia berhenti meronta dan matanya menyapu ke
depan. Semua orang memperhatikan jalannya pertandingan, hanya ada
seorang wanita yang memandang ke arahnya.
Ia mengenal wanita itu sebagai wanita cantik yang tadi dipanggil Ketua
Thian-liong-pang, seorang wanita cantik jelita yang bersikap gagah namun
berwajah dingin seolah-olah pertandingan antara Panglima Mancu dan
tokoh Pulau Neraka itu merupakan hal yang menjemukan. Ah, wanita itu
betapa pun juga tentu mempunyai perasaan yang lebih halus dari pada
orang-orang lain yang aneh ini, pikir Bun Beng. Agaknya dia mau
menolongku dari ancaman maut di tangan koksu.
Akan tetapi dia harus dapat membebaskan diri lebih dulu.
Berteriak-teriak minta tolong kepada wanita itu merupakan hal yang amat
memalukan, juga mana mungkin wanita yang tak dikenalnya itu mau
menolongnya? Dan selain wanita Thian-liong-pang itu, siapa lagi mau
menolongnya? Mengharapkan pertolongan dari orang-orang Pulau Neraka sama
dengan mengharapkan pertolongan sekumpulan setan. Tadinya ketika ia
menyerang Panglima Bhe, yang sedikit banyak membantu orang Pulau Neraka
muka biru, Si Muka Biru itu malah melemparkannya.
Pandang mata Bun Beng mencari-cari dan diam-diam dia mengeluh karena
pulau kecil itu kini tidak seramai tadi. Orang yang dicari-carinya tidak
ada. Dia mencari lima orang tokoh Siauw-lim-pai yang masih terhitung
suheng-suheng-nya, yaitu Siauw-lim Ngo-kiam yang tadi dikalahkan oleh
Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu kalau saja tidak dibantu oleh gurunya yang
kini telah tewas. Tadi dia masih melihat lima orang Siauw-lim-pai itu,
akan tetapi kini mereka telah pergi, seperti yang lain-lain karena
banyak tokoh kang-ouw menjadi segan untuk berdiam lebih lama di situ
setelah Koksu Negara bersama rombongannya mendarat di pulau.
Dan memang, lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu telah pergi sehingga
mereka tidak tahu bahwa supek mereka, Siauw Lam Hwesio, telah tewas di
tangan koksu dan kawan-kawannya secara mengerikan sehingga jenazahnya
pun lenyap tak meninggalkan bekas! Biar pun mereka tadi belum kalah,
akan tetapi sebagai orang-orang gagah, Siauw-lim Ngo-kiam sudah mengakui
keunggulan Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu, maka begitu mereka ditegur supek
mereka yang menyelamatkan mereka, mereka diam-diam lalu pergi dari
tempat itu.
Juga banyak tokoh-tokoh yang mewakili partai-partai besar meninggalkan
tempat itu. Selain segan berurusan dengan orang-orang aneh berkepandaian
seperti orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Thian-liong-pang, juga
terutama sekali mereka enggan untuk bentrok dengan orang-orang
pemerintah.
Ketika Bun Beng mencari-cari dengan pandang matanya, dia hanya melihat
rombongan Thian-liong-pang yang hanya terdiri lima orang dipimpin oleh
wanita tadi, sepuluh orang anggota Pulau Neraka, serta rombongan Koksu
yang diikuti pasukan pengawal. Ada pun beberapa orang tokoh yang
mewakili partai-partai persilatan, hanya masih ada beberapa orang yang
belum pergi, namun mereka itu bersikap hati-hati dan hanya ingin
menonton dari tempat agak jauh, agaknya jeri dan sungkan terlibat.
Dengan demikian, kini yang masih kelihatan bersikap tidak mau kalah
hanya tinggal tiga rombongan, yaitu rombongan Thian-liong-pang yang
belum turun tangan, rombongan Pulau Neraka yang seorang di antara
tokohnya masih bertanding mati-matian dengan seorang panglima dari
rombongan orang pemerintah.
Tidak ada harapan, pikir Bun Beng. Kecuali wanita Thian-liong-pang itu. Kalau saja ia dapat membebaskan diri....
Ia mengangkat muka memandang. Panglima gendut itu menonton pertandingan
dengan sinar mata amat tertarik, akan tetapi tangan kanan yang
mencengkeram kedua pergelangan tangan Bun Beng dan tangan kiri yang
mencengkeram pundak amat kuatnya, sedetik pun tak pernah mengendur.
Agaknya pertandingan antara kawannya melawan orang Pulau Neraka yang
sudah keluar ususnya itu amat menegangkan hati panglima gendut ini
sehingga Bun Beng melihat betapa perutnya yang gendut bergerak-gerak
seirama dengan dengusan napasnya.
Tiba-tiba Bun Beng menggerakkan kakinya menggajul tulang kering panglima itu.
"Tukkk!"
Biar pun yang menendang hanya seorang bocah, akan tetapi karena
tendangan itu keras sekali dan tepat mengenai tulang kering kaki,
sedangkan panglima itu sedang tertarik oleh pertandingan yang
menegangkan, maka ia berteriak kesakitan dan menjadi kaget sekali. Akan
tetapi ia hanya mengaduh-aduh mengangkat kakinya tanpa melepaskan
cengkeramannya, bahkan lucunya, matanya masih tidak rela melepaskan
pemandangan di depannya, yaitu pertandingan yang makin menegangkan.
Pada saat itu memang pertandingan antara Bhe Ti Kong dan Si Muka Biru
dari Pulau Neraka amat menegangkan hati dan mengerikan. Baju Si Muka
Biru sudah basah oleh darah, mukanya makin pucat, akan tetapi gerakannya
makin hebat. Ketika tombak Bhe Ti Kong menyambar, ia menangkis dengan
pedangnya, disusul hantaman tangan kiri amat kerasnya yang tepat
mengenai pergelangan tangan Bhe Ti Kong yang memegang tombak. Bhe Ti
Kong berteriak kaget, tombaknya terlepas dan saat itu, pedang Si Muka
Biru menyambar lehernya!
Bhe Ti Kong berseru keras, membuang tubuhnya ke belakang, akan tetapi
tetap saja ujung pedang menyerempet pundaknya sehingga baju di pundaknya
berikut kulit dan daging terobek. Panglima ini terus menggelundung,
namun pedang itu sudah berkelebat lagi, karena Si Muka Biru sudah
meloncat dan mengejar lalu menerjang tubuh lawan yang masih bergulingan.
"Aihhhh...!" Si Muka Biru tiba-tiba menjerit dan robohlah dia dengan
pedang masih di tangan, matanya mendelik dan ia melepaskan napas
terakhir dalam keadaan tubuh menegang kaku dan mata melotot. Kiranya
ususnya telah putus oleh berkelebatnya pedangnya sendiri! Ketika tadi ia
mengejar, ia begitu bernapsu untuk membunuh lawan sehingga ketika
memutar pedang, ia lupa akan usus yang ia kalungkan di lehernya.
Pedangnya menyerempet ususnya sendiri sehingga ia tewas dan nyawa Bhe Ti
Kong tertolong.
Si Panglima Gendut sedemikian girang dan tegangnya sehingga biar pun
rasa tulang keringnya masih amat nyeri, ia lupa dan bersorak girang.
"Addd... duhhhh...!" Kini ia menjerit karena perutnya terasa perih.
Kiranya Bun Beng menjadi gemas dan marah. Karena tidak dapat memukul,
dia telah menggunakan giginya untuk menggigit kulit perut yang gendut
itu sekuat tenaga. Si Panglima Gendut kaget sekali. Sesaat dia lupa
hingga melepaskan cengkeramannya, menggunakan tangan kiri menekan perut
dan tangan kanan menampar Bun Beng.
"Plakkk...!" Tamparan yang keras membuat tubuh Bun Beng terpelanting,
namun biar kepalanya terasa pening dan nyeri, Bun Beng yang merasa bahwa
dia bebas, cepat meloncat dan lari sekuatnya dengan loncatan-loncatan
jauh ke arah wanita Thian-liong-pang.
"Heee! Lari ke mana kau, bocah setan?" Panglima gendut mengejar dengan langkah panjang.
Dengan pandang mata masih berkunang Bun Beng menjatuhkan diri berlutut
di depan wanita Thian-liong-pang sambil berkata, "Enci yang baik, Enci
yang cantik jelita dan gagah perkasa, mohon lindungi aku dari Si Gendut
jahat!"
Wanita itu memandang Bun Beng dengan sinar mata dingin, tetapi bibirnya
tersenyum sedikit. Agaknya, betapa pun aneh watak seseorang, dia tidak
akan terhindar dari sifat dan watak aslinya. Wanita ini pun, biar sudah
menjadi tokoh Thian-liong-pang yang luar biasa, tetap saja seorang
wanita yang paling senang mendengar pujian. Biar pun yang menyebutnya
sebagai enci yang cantik jelita, enci yang baik dan yang gagah perkasa
hanya seorang bocah, namun bocah itu adalah seorang laki-laki dan di
situ terdapat banyak orang yang mendengar pujian itu. Hati siapa takkan
merasa senang?
Wanita ini merupakan salah seorang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang,
biar pun kedudukannya hanyalah sebagai kepala pelayan wanita. Dia memang
cantik jelita, dengan mata yang bening dan tajam sinarnya, hidung
mancung dan mulut kecil mungil dengan bibir yang manis. Rambutnya yang
hitam panjang digelung ke atas, sisanya masih panjang dibiarkan
berjuntai ke bawah. Pakaiannya dari sutera halus berwarna merah muda
dengan baju luar biru, bentuknya ringkas dan ketat membayangkan
tonjolan-tonjolan tubuh yang padat menggairahkan, tubuh seorang wanita
yang sudah masak. Sepatunya dari kulit dan ujungnya dihias dengan logam
putih.
Namun wanita itu pun agaknya tidak mau bermusuhan dengan seorang
panglima kerajaan hanya karena seorang anak laki-laki yang tidak
dikenalnya sama sekali, maka ia menggerakkan alisnya, gerakan yang
dimaksudkan untuk menambah kemanisan wajahnya dan memang maksud ini
berhasil, sambil berkata dingin.
"Bocah, mengapa aku harus mencampuri urusanmu? Pergilah!" Sambil berkata
demikian, wanita itu menggerakkan tangan kirinya mengusir.
Pada waktu itu panglima gendut datang menubruk dan agaknya Bun Beng
tentu akan tertangkap kembali. Namun gerakan tangan wanita itu
mendatangkan angin dahsyat yang membuat tubuh Bun Beng terlempar seperti
daun kering tertiup angin sehingga tubrukan panglima gendut itu luput
dan ia menubruk tanah. Oleh karena dia tadi sudah memastikan bahwa anak
itu pasti dapat ditangkapnya, maka ketika tiba-tiba tubuh Bun Beng
lenyap, ia terbanting ke atas tanah dengan perut gendutnya lebih dulu.
"Ngekk!" Panglima itu meringis. Napasnya menjadi sesak, akan tetapi
kemarahannya meluap. Dia tidak tahu bahwa wanita Thian-liong-pang itu
yang menolong Bun Beng, mengira bahwa bocah itu telah mengelak maka ia
meloncat bangun sambil memaki.
"Anak Setan! Kuberi tamparan sampai telingamu berdarah kalau sampai tertangkap nanti!"
Ia mengejar lagi dan kini Bun Beng sudah lari ke arah rombongan orang-orang Pulau Neraka untuk minta bantuan.
"Mohon bantuan para Taihiap dari Pulau Neraka agar aku tidak diganggu Si Gendut itu!"
Akan tetapi rombongan Pulau Neraka yang hanya tinggal sembilan orang dan
yang merasa marah sekali karena kehilangan dua orang kawan, tidak
mempedulikan Bun Beng sehingga bocah ini terpaksa lari lagi
dikejar-kejar Si Panglima Gendut. Panglima ini bukan orang sembarangan,
memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi karena perutnya terlalu besar
dan ia jarang latihan berlari, kini benar-benar kewalahan
mengejar-ngejar seorang anak yang lincah seperti Bun Beng.
Mulailah orang gendut ini melakukan serangan pukulan jarak jauh yang
membuat Bun Beng beberapa kali roboh terguling, akan tetapi masih sempat
mengelak dan meloncat terus lari lagi setiap kali ditubruk. Kini Bun
Beng yang menjadi sibuk sekali dan hampir ia tertangkap kalau saja anak
ini tidak mempunyai kenekatan luar biasa sehingga biar pun kulit
tubuhnya sudah babak belur, tetap saja ia dapat menghindarkan diri dari
tangkapan panglima gendut.
Tiba-tiba sebuah akal menyelinap di otaknya. Sebetulnya dia tidak ingin
menggunakan akal ini, tidak ingin memperkenalkan diri. Akan tetapi
baginya, lebih baik terjatuh ke tangan Thian-liong-pang atau Pulau
Neraka dari pada menjadi korban kekejian koksu yang dibencinya itu. Maka
meloncatlah Bun Beng ke dekat wanita Thian-liong-pang, menjatuhkan diri
berlutut di depan wanita itu sambil berseru.
"Harap bantu aku! Aku adalah anak yang dahulu kalian perebutkan di kuil tua di lembah Sungai Fen-ho lima tahun yang lalu!"
Mendengar ini semua anggota Thian-liong-pang dan anak buah Pulau Neraka
lalu memandang penuh perhatian, bahkan wanita cantik Thian-liong-pang
itu melangkah maju sambil mengeluarkan suara terheran.
"Kau... kau she apa?"
"Aku she Gak, aku Gak Bun Beng, Ayahku Gak Liat dan ibuku Bhok Kim..."
Pada saat itu panglima gendut meloncat datang dan menubruk, akan tetapi wanita itu mengibaskan tangannya membentak, "Pergilah!"
Tubuh panglima gendut yang masih melayang datang ketika menubruk itu tiba-tiba tartahan dun terbanting ke bawah.
“Brukkk!” Ia terengah-engah dan setengah kelengar (pingsan) karena
napasnya sesak. Sambil mengeluh ia merangkak bangun, membusungkan dada
dan membentak.
"Nyonya... eh, Nona...." Ia tergagap, tidak tahan menentang pandang mata
yang tajam dan sikap yang dingin itu, bingung tidak tahu apakah wanita
cantik ini sudah bersuami ataukah masih gadis. "Kau tidak boleh
membelanya, dia adalah tawanan Koksu!"
"Tidak peduli! Engkau tidak boleh menyentuhnya!" Wanita itu berkata, suaranya dingin menantang.
"Apa? Kau berani menentang Koksu?" Panglima gendut yang merasa malu karena terbanting tadi membentak, mengandalkan nama koksu.
"Aku tidak menentang siapa-siapa. Akan tetapi seorang yang telah
berlindung kepada Thian-liong-pang, tidak boleh diganggu siapa pun
juga," wanita itu berkata dan jelas bahwa dia masih merasa segan untuk
bermusuh dengan koksu maka mempergunakan alasan yang telah menjadi
peraturan Thian-liong-pang, atau secara halus ia berlindung di balik
nama perkumpulannya.
Pada saat itu terdengar pekik mengerikan sehingga semua orang menoleh
dan sempat melihat dua orang pengawal roboh terguling dengan tubuh
hangus begitu tangan mereka menyentuh mayat tokoh Pulau Neraka bermuka
biru. Pengawal lain melompat dekat dan terdengar bentakan koksu, "Jangan
sentuh!"
Kiranya kedua orang pengawal tadi hendak menyingkirkan mayat itu atas
perintah komandannya sebab adanya mayat di tengah-tengah itu selain
memberi pemandangan yang tidak sedap juga akan menghalangi gerakan
mereka kalau tiba saatnya turun tangan. Akan tetapi begitu kedua orang
pengawal itu menyentuh tubuh mayat Si Muka Biru dari Pulau Neraka,
seketika mereka roboh dan tewas dan tubuh mereka mereka menjadi hangus!
Bukan main tokoh Pulau Neraka ini, sudah menjadi mayat masih mampu
membunuh dua orang lawan! Hal ini adalah karena racun yang terkandung di
tubuhnya dan membuktikan betapa hebat kepandaian orang-orang Pulau
Neraka.
Wajah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi merah karena marah. Dia
melangkah lebar, menuangkan benda cair berwarna putih perak dari guci ke
atas tiga buah mayat itu.
"Jangan ganggu jenazah Suheng kami!" Dua orang bermuka biru tua dari rombongan Pulau Neraka berteriak sambil bergerak maju.
Akan tetapi sekali mengibaskan ujung lengan bajunya, Im-kan Seng-jin
Bhong Ji Kun membuat dua orang Pulau Neraka itu jatuh terlentang seperti
disambar petir dan pemimpin mereka yang bermuka hijau pupus membentak
mereka mundur. Sambil menyeringai dan mengatur napas kedua orang itu
mundur. Sementara itu, tiga buah mayat kini telah mulai mencair dimakan
benda cair yang luar biasa itu, yaitu racun penghancur mayat.
"Taijin, bocah itu dilindungi oleh orang-orang Thian-liong-pang!"
Panglima gendut memberi hormat kepada koksu sambil sambil menuding ke
arah wanita yang tadi menghalangi dia menangkap Bun Beng.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun mengerutkan alisnya dan perlahan memutar
tubuh, dari kerongkongannya terdengar dengus marah, "Huhhh...?!"
Semua anak buah pasukan koksu kini ikut memandang ke arah rombongan
Thian-liong-pang dan mereka semua melihat sebuah pemandangan yang aneh.
Kiranya kini sembilan orang anak buah Pulau Neraka juga sudah mengurung
lima orang Thian-liong-pang itu dengan sikap mengancam. Akan tetapi,
wanita cantik yang memimpin empat orang temannya sama sekali tak peduli
dan mereka berlima sedang mengurung Bun Beng sambil membujuk dan
mendesak anak itu.
"Gak Bun Beng, engkau telah menjadi calon anggota termuda
Thian-liong-pang. Memang Pangcu (Ketua) menghendaki demikian, maka
sekarang bersumpahlah engkau menurut peraturan Thian-liong-pang agar
engkau syah menjadi anggota kami! Engkau berikan lengan kananmu untuk
kucacah dengan lukisan naga Thian-liong dan engkau harus mengucapkan
sumpah mengikuti aku!" Wanita cantik itu sudah mengeluarkan sebatang
jarum sambil memegang lengan kanan Bun Beng. Seorang anggota lain
menyingsingkan lengan baju Bun Beng.
"Tidak...! Aku tidak mau menjadi anggota Thian-liong-pang!" Bun Beng
berteriak dan meronta, hendak menarik kembali lengannya, akan tetapi
mana ia mampu bergerak dari pegangan wanita sakti itu? Teriakannya
mengejutkan lima orang Thian-liong-pang dan wanita itu menghardik.
"Kalau begitu mengapa engkau minta perlindungan kami?"
"Aku... aku hanya minta bantuan agar tidak diganggu panglima gendut, sama sekali tidak ingin menjadi anggota..."
"Engkau harus menjadi anggota kami, mau atau tidak!" Wanita itu membentak.
"Tidak... tidak... mana ada aturan memaksa seperti ini? Aku tidak mau!"
"Ha-ha-ha-ha. Thian-liong-pang kiranya hanyalah perkumpulan tukang
menakuti anak kecil." Tiba-tiba pemimpin rombongan Pulau Neraka yang
hijau pupus warna kulitnya tertawa mengejek. Dia seorang laki-laki
berusia lima puluh tahun, menjadi pemimpin rombongannya dan melihat
warna kulitnya yang paling muda di antara kawan-kawannya, dapat diduga
bahwa dia mempunyai kepandaian yang paling lihai. Sikapnya halus,
suaranya halus dan pakaiannya seperti sasterawan!
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menggetarkan semua
orang. Yang tertawa adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, koksu dari
Kerajaan Mancu yang sudah menghampiri tempat itu. Diam-diam rombongan
Pulau Neraka dan Thian-liong-pang terkejut karena mereka maklum bahwa
kakek itu benar-benar memiliki tenaga sakti yang sangat hebat sehingga
untuk melindungi jantung mereka terpaksa harus mengerahkan tenaga sakti
melawan pengaruh getaran yang ditimbulkan oleh suara ketawa itu.
"Ha-ha-ha-ha! Sungguh kebetulan sekali! Anak ini sudah menjadi tawananku
sejak tadi, akan tetapi agaknya kini kalian dan Thian-liong-pang dan
Pulau Neraka hendak memperebutkannya pula. Baiklah, bukankah kita
berkumpul sebagai orang-orang gagah? Kalau mengadu ilmu tanpa taruhan,
sungguh kurang seru dan tidak menarik. Biarlah bocah ini dijadikan
taruhan di antara kita tiga rombongan! Setiap rombongan mengajukan dua
orang jago dan siapa di antara kita yang jago-jagonya keluar sebagai
pemenang berhak memiliki bocah ini. Siapa yang tidak setuju?" Ucapan
kalimat terakhir ini mengandung ancaman dan seluruh urat syaraf di tubuh
koksu ini sudah menegang karena sebuah kata-kata manentahg saja sudah
cukup baginya untuk turun tangan membunuh orangnya!
Dalam keadaan seperti itu, rombongan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka
maklum bahwa menentang tidak menguntungkan pihaknya. Mereka sedang
berebut dan menghadapi pihak lawan ini saja sudah berat, apa lagi kalau
sampai rombongan karajaan itu membantu lawan! Dari pada menderita
kekalahan yang sudah pasti, lebih baik menerima usul itu karena mereka
percaya bahwa ucapan yang keluar dari mulut koksu kerajaan ini, yang
didengar banyak telinga, tentu dapat diperacaya sepenuhnya.
"Baik, kami setuju!" Wanita cantik Thian-liong-pang berkata.
"Kami setuju!" kata pula Si Muka Hijau dari Pulau Neraka. "Kami
mengajukan dua orang jago, aku sendiri dan Sute-ku ini!" Seorang tinggi
besar seperti raksasa yang mukanya juga hijau, akan tetapi sedikit lebih
tua warnanya dari pada pemimpin rombongan, meloncat keluar.
Wanita cantik Thian-liong-pang tersenyum dan ia melangkah ke depan. "Aku
adalah pemimpin rombongan Thian-liong-pang dan oleh Pangcu sendiri aku
diberi kuasa untuk mewakili beliau. Karena itu, aku seoranglah yang
bertanggung jawab dan biarlah kami dari pihak Thian-liong-pang hanya
mengajukan seoreng jago saja, yaitu aku sendiri."
"Ahh, mana bisa begitu? Kalau hanya seorang jago, dia harus berani menghadapi dua orang lawan sekaligus!" Si Muka Hijau mencela.
Wanita itu tersenyum mengejek. "Melihat warna kulit kalian, tentu kalian
sudah memiliki kedudukan di Pulau Neraka dan dihitung dari tingkatan,
kiranya aku masih tinggi beberapa tingkat dari kalian, maka tentu saja
aku tidak keberatan untuk melawan kalian berdua sekaligus!"
Dua orang Pulau Neraka itu menjadi marah dan memandang dengan mata
melotot karena ucapan wanita Thian-liong-pang itu sungguh merendahkan
sekali. Akan tetapi sebagai orang-orang berkepandaian mereka pun menduga
bahwa wanita itu tentu amat lihai, kalau tidak demikian, tentu tidak
akan berani bersikap sesombong itu.
"Ha-ha-ha-ha, benar-benar Cu-wi pa-ra wakil Pulau Neraka dan
Thian-liong-pang amat gagah dan mengagumkan. Biarlah aku mengajukan dua
orang jago kami, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dengan demikian,
dua orang jagoku sekaligus dapat menghadapi dan melayani wakil-wakil
Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Thian Tok Lama melayani dua orang
gagah dari Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama berpibu melawan wanita
gagah dari Thian-liong-pang. Tentu ramai sekali. Siapa yang nanti keluar
sebagai pemenang, boleh membawa pergi dan memiliki bocah itu."
Ucapan ini merupakan perintah bagi kedua orang pendeta Lama dari Tibet,
maka mereka sudah melangkah maju dan siap menghadapi lawan. Thian Tok
Lama yang gendut sudah menghampiri dua orang jago Pulau Neraka,
sedangkan Thai Li Lama yang bertubuh kurus dan bermata tajam menghampiri
wanita Thian-liong-pang. Sementara itu Bun Beng yang dibiarkan bebas
melangkah mundur-mundur tanpa ada yang mempedulikan karena semua orang
tahu bahwa anak itu tidak akan dapat pergi dari pulau itu.
Bun Beng mendekati tebing dan memandang ke bawah. Ia bergidik.
Sekeliling pulau kecil itu telah dikurung oleh perahu-perahu sehingga ke
mana pun ia pergi, ia akan berhadapan dengan anak buah mereka.
Satu-satunya bagian yang tidak terjaga perahu hanyalah bagian di mana
air sungai bertemu dengan air laut dan membentuk pusaran air yang amat
mengerikan, yang tadi telah menghancurkan tubuh seorang anggota Pulau
Neraka dan disebut air pusaran maut. Bun Beng berdiri dengan muka pucat
dan membalikkan tubuh menonton pertempuran yang telah dimulai.
Pertempuran yang amat dahsyat. Semua orang yang berada di pulau berdiri
tegak dan menonton dengan hati tegang, jarang berkedip agar tidak
kehilangan sebagian kecil pun dari pertandingan yang menegangkan itu.
Yang bertanding adalah tokoh-tokoh sakti yang memiliki kepandaian aneh
dan tinggi sekali.
Dua orang tokoh Pulau Neraka bermuka hijau itu telah bertanding melawan
Thian Tok Lama, menghadapi pendeta gundul itu dari kanan kiri. Gerakan
mereka aneh sekali dan kedua orang itu agaknya bersilat dengan membentuk
tin (barisan) karena gerakan mereka teratur dan saling membantu dengan
tepat sekali. Kalau pimpinan rombongan Pulau Neraka menyerang dari atas,
sute-nya yang tinggi besar itu menerjang dari bawah dan kalau Thian Tok
Lama menyerang yang satu, yang lain tentu cepat membantu kawan.
Biar pun maklum bahwa pendeta Tibet itu sakti sekali, ternyata dua orang
tokoh Pulau Neraka ini memiliki keangkuhan sebagai jago-jago kelas
tinggi. Buktinya, ketika melihat bahwa Thian Tok Lama maju tanpa
senjata, mereka berdua pun tidak menggunakan senjata, hanya menyerang
dengan tangan kosong. Tetapi bukan tangan sembarangan, karena kini
tangan mereka telah berubah menjadi senjata yang sangat ampuh,
mengandung hawa beracun dan mengeluarkan uap kehijauan! Dengan dua
pasang tangan beracun yang aneh itu, dua orang Pulau Neraka melancarkan
serangan-serangan dahsyat dari kanan kiri secara bertubi-tubi dan
bergantian.
Thian Tok Lama bukanlah seorang tokoh biasa. Sama sekali bukan. Dia
adalah seorang tokoh besar dari Tibet yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi sekali. Bersama Thai Li Lama yang menjadi sute-nya, dia telah
menjagoi selama puluhan tahun di dunia barat dan telah mempelajari
bermacam-macam ilmu yang aneh-aneh.
Maka begitu melihat gerakan kedua orang lawannya, tahulah ia bahwa
tangan mereka itu mengandung racun yang amat aneh, amat berbahaya dan
yang ia duga hanya terdapat di Pulau Neraka, maka tidak boleh dipandang
ringan karena kalau tidak mempunyai obat penawarnya, sekali terluka oleh
tangan itu dapat mendatangkan maut. Maka hwesio Tibet ini pun berlaku
hati-hati, tidak mau mengadu tangan dengan kedua orang lawannya dan
menghadapi penyerangan mereka dengan elakan-elakan atau dengan kibasan
kedua lengan bajunya yang mengeluarkan angin kuat sekali menolak setiap
serangan lawan.
Betapa pun juga, karena terlalu hati-hati tentu saja Thian Tok Lama
menjadi terdesak, lebih banyak bertahan dari pada menyerang. Setelah
bertanding lebih dari tiga puluh jurus, Thian Tok Lama maklum bahwa
dalam ilmu silat mau pun tenaga sinkang dia tidak perlu khawatir karena
tingkatnya masih lebih tinggi, akan tetapi karena dia jeri terhadap
racun di tangan kedua lawannya, maka kelebihannya tertutup dan dia
terdesak.
Tiba-tiba pendeta Lama yang gendut ini mengeluarkan suara gerengan yang
keluar dari dalam perutnya, kemudian ia mengibaskan kedua lengan bajunya
dengan keras sekali sambil memutar tubuhnya. Dengan demikian, kedua
lengan bajunya menyambar seperti kitiran, memaksa kedua lawannya untuk
melangkah mundur karena biar pun hanya kain, diputar dengan tenaga sakti
yang dimiliki Thian Tok Lama, mengenai batu karang pun dapat hancur!
Begitu kedua lawannya mundur, Thian Tok Lama lalu merendahkan tubuhnya,
menggerakkan tangan kanannya ke atas dan ke bawah, perutnya mengeluarkan
bunyi seperti kokok ayam bertelur.
"Kok-kok-kok-kok!"
Dan tangan kanannya kini berubah menjadi biru! Ketika ia mendorongkan
tangan kanannya itu ke depan, angin dahsyat menyambar disertai hawa
panas dan uap hitam menerjang kedua orang lawannya.
"Aihhh!" Dua orang tokoh Pulau Neraka terkejut sekali dan cepat meloncat
tinggi ke atas untuk menghindarkan pukulan dahsyat itu sambil balas
memukul.
Kini Thian Tok Lama dapat membalas sehingga mereka saling serang makin
hebat dan kesudahannya ternyata mambuat keadaan menjadi terbalik karena
kini kedua orang Pulau Neraka itulah yang terdesak hebat dan sibuk
menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan dahsyat Thian Tok Lama.
Pendeta Lama yang gendut ini sudah menggunakan ilmu pukulannya yang amat
ampuh, yaitu Hek-in-hui-hong-ciang, yaitu pukulan yang didasari tenaga
sakti dan ilmu hitam sehingga pukulan itu mengeluarkan uap hitam dan
angin berpusing mengandung getaran-getaran dahsyat yang dapat merobohkan
lawan dari jarak jauh.....