Pada jaman lima wangsa (Th.907- 960), kerajaan Nan-Cao
merupakan negara kecil di propinsi Yu-Nan sebelah selatan. Mungkin karena
kecilnya kerajaan ini tidak dipandang mata oleh kerajaan lain, juga oleh
kerajaan Sung yang kemudian di bangun.
Akan tetapi, pada pagi hari di pertengahan musim chun
(Semi) itu, banyak sekali tokoh-tokoh terkenal di dunia kang-ouw termasuk
ketua-ketua perkumpulan dari pelbagai aliran, orang-orang muda yang patut di
sebut pendekar silat, dan orang-orang aneh yang memiliki kesaktian, Datang
membanjiri Nan-cao. Apakah gerangan yang menarik para kelana dan petualangan
itu mendatangi Nan-cao? Ada pula hal yang menarik mereka berdatangan dari
tempat-tempat yang amat jauh.
Pertama adalah pengangkatan Beng-kauw sebagai Koksu (Guru
Negara) Kerajaan Nan Cao. Mereka berdatangan untuk memberi selamat kepada Ketua
Beng-kauw yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Siapakah tidak mengenal
Ketua Agama Beng-kauw yang bernama Liu Gan dan berju-luk Pat-jiu Sin-ong ( Raja
Sakti Berlengan Delapan ) Itu ? Pada masa itu, Pat-jiu Sin-ong Liu gan merupakan
tokoh gemblengan yang jarang ditemukan keduanya, jarang menemukan tanding.
Selain memiliki kesaktian hebat, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan juga merupakan pendiri
Agama Beng-kauw atau pembawa agama itu dari barat. Tidaklah mengherankan kalau
apabila kini tokah-tokoh dari partai persilatan besar seperti Siauw lim-pai,
Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, dan lain-lain mengirim utusan untuk menghaturkan
selamat atas pengangkatan tokoh sakti ini sebagai Koksu Kerajaan Nan-cao.
Adapun hal kedua yang meyebabkan terutama kaum muda, para
pendekar perkasa dari pelbagai penjuru dunia ikut pula berdatangan, adalah
tersiarnya berita bahwa puteri tunggal Pat-jiu Sin-ong hendak mempergunakan
kesempatan berkumpulnya para tokoh persilatan itu untuk mencari jodoh! Tentu
saja hal ini menggegerkan dunia kaum muda, menggerakan hati mereka untuk ikut
datang mempergunakan kesempatan baik mengadu untung. Siapa tahu!
Nama Liu Lu Sian, puteri Ketua Beng Kauw itu sudah
terkenal di mana-mana. Terkenal sebagai seorang gadis yang selain tinggi ilmu silatnya,
juga memiliki kecantikan seperti dewi khayangan. Terkenal pula betapa gadis
jelita ini telah berani menolak pinangan-pinangan yang datangnya dari
orang-orang besar, dari putera-putera para ketua perkumpulan, bahkan menolak
pula pinangan dari istana beberapa kerajaan !
Tentu saja para pemuda inipun sebagian besar hanya ingin
menyaksikan sendiri bagaimana wujud rupa dan bentuk dara yang terkenal itu,
karena jarang diantara mereka yang pernah melihat Liu Lu Sian. Yang pernah
bertemu dengan gadis ini memuji-muji setinggi langit, terutama sekali tentang
kecantikannya, yang menjadi buah bibir para muda, bahkan entah siapa orangnya
yang membuat, telah ada sajak pujian bagi Liu Lu Sian.
"Rambutnya Halus licin laksana sutera harum
melambai,
meraih cinta asmara!
Mata indah, kerling tajam menggunting jantung,
Bulu mata lentik berkedip mesra membuat bingung!
Hidung mungil, halus laksana lilin diraut,
Cuping tipis bergerak mesra menambah patut!
Hangat lembut, merah basah juwita Gendewa
terpentang berisi sari madu Puspita!"
Banyak lagi puji-puji yang mesra bagi kejelitaan dara ayu
Liu Lu Sian, yang dikagumi siapa yang pernah melihatnya, dipuji dari ujung
rambut sampai ke telapak kakinya ! Memang sesungguhnyalah, Liu Lu Sian seorang
dara jelita.
Usianya baru enam belas tahun (pada jaman itu sudah
dewasa dan masak) Namun ilmu silatnya amat tinggi. Hal ini tidak mengherankan
karena semenjak kecilnya ia digembleng oleh ayahnya sendiri. Hanya sayang bahwa
sejak berusia dua tahun, Liu Lu Sian telah ditinggal mati ibunya. Ia tidak pernah
merasa kasih sayang ibu kandung dan mungkin hal ini yang membuat ia menjadi
seorang gadis yang berwatak aneh, riang gembira, lucu jenaka, akan tetapi juga
liar bebas, tak terkekang ingin menang dan berkuasa saja, tidak mau tunduk
kepada siapapun juga.
Para muda yang mendatangi Nan-Cao semua tahu belaka
betapa sukarnya memperoleh gadis puteri ketua Beng-kauw itu. Bagaikan setangkai
bunga, Lu Sian adalah bunga dewata yang tumbuh di puncak gunung yang amat
tinggi dan sukar didapatkan.
Dara itu puteri tunggal Pat-Jiu Sin-ong yang sakti, yang
tentu saja menghendaki seorang mantu pilihan, baik dipandang dari sudut
keturunan, keadaan, maupun tingkat kepandainnya. Bahkan kabarnya dara itu hanya
mau menjadi isteri seorang pendekar muda yang mampu mengalahkan dirinya! Namun,
para muda yang sudah dimabok asmara, bagaikan serombongan semut yang tertarik
oleh harum dan manisnya madu, tidak takut bahaya, berusaha mendapatkannya
biarpun bahaya mengancam nyawa.
Tiada hentinya para muda itu mempercakapkan tentang Lu Sian,
memuji-muji kecantikannya, menyatakan harapan-harapan muluk ketika mereka
bermalam dirumah-rumah penginapan di kota raja sambil menanti saat dibukanya
kesempatan bagi mereka untuk memasuki halaman gedung Pat-jiu Sin-ong beberapa
hari lagi, dimana selain hendak ikut memberi selamat, merekapun berharap akan
dapat menyaksikan kehebatan dara yang mereka percakapkan dan yang kembang mimpi
mereka setiap malam.
Liu Lu Sian bukan tidak tahu akan hal ini. Gadis yang
manja ini maklum sepenuhnya bahwa ia menjadi bahan percakapan dan pujian. Maka
pada pagi hari itu, dua hari sebelum ayahnya menerima para tamu, ia sengaja
mengenakan pakaian indah, menunggang seekor kuda putih, lalu melarikan kudanya
mengelilingi kota raja! Memang hebat dara ini. Wajahnya kemerahan, berseri-seri
dan pada kedua pipinya yang bagaikan pauh dilayang (merah jambu) itu, nampak
lesung pipit menghias senyum dikulum.
Rambutnya yang hitam gemuk digelung keatas, diikat rantai
mutiara dan ujungnya bergantung dibelakang punggung, halus melambai tertiup
angin. Tubuhnya amat ramping, pinggangnya kecil sekali dapat dilingkari
jari-jari tangan agaknya, terbungkus pakaian sutera merah muda bergaris pinggir
biru dan kuning emas, ketat mancetak bentuk tubuh yang padat berisi karena
terpelihara dan terlatih semenjak kecil.
Pengait baju terbuat daripada benang emas yang gemilang,
ikat pinggangnya dari sutera biru yang bergerak-gerak bagaikan sepasang ular
hidup. Celananya sutera putih yang seakan membayangkan sepasang kaki indah,
padat berisi dan sempurna lekuk-lekungnya, diakhiri dengan sepasang sepatu
hitam yang berlapis perak. Cantik tak terlukiskan ! Menyaingi bidadari sorga dengan
gerak tubuh yang lemah gemulai dan elok, akan tetapi rangka pedang yang
tergantung dipinggangnya membuat ia lebih patut menjadi seorang Dewi Kwan Im
Pouwsat !
Kuda putih tunggangannya berlari congklang dan Lu Sian
memandang lurus ke depan namun ujung matanya menyambarkan kerling tajam
kesana-sini, terutama diwaktu kudanya lewat depan rumah-rumah penginapan dimana
para tamu muda berjajar depan pintu dengan mata jalang dan mulut ternganga,
terpesona mengagumi dewi yang baru lewat.
Setelah dara ayu itu lenyap bayangannya, ributlah para
muda teruna itu. Makin parah penyakit asmara menggerogoti jantung. Makin ramai
percakapan mereka tentang Si Cantik manis. Rindu dendam dan harapan mereka yang
terbawa dari rumah ratusan bahkan ribuan li jauhnya terpenuhi sudah. Mereka
dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri dewi pujaan hati mereka. Dan
betapa tidak mengecewakan pemandangan itu. Bahkan melebihi semua dugaan dan
mimpi. Tergila-gila belaka mereka setelah Lu Sian Lewat di atas kudanya.
"Aduh ..., mati aku ...! Kalau aku tidak berhasil
menggandengnya pulang, percuma aku hidup lebih lama lagi...!"
Seorang pemuda tampan tanpa ia sadari mengucapkan
kata-kata ini sambil menarik napas panjang.
"Lebih baik mati di bawah kaki si jelita dari pada
pulang bertangan hampa !" sambung pemuda ke dua.
"Siapa tahu, rezekiku besar tahun ini menurut
perhitungan peramal! Jodohku seorang gadis bermata bintang. Dan matanya...! Ah
, matanya..., Kalah bintang kejora!" kata pemuda lain.
"Mulutnya yang hebat ! Amboooiii mulutnya...ah,
ingin aku menjadi buah apel agar dimakannya dan berkenalan dengan bibir itu.
Aduhhh...!"
Bermacam-macam seruan para muda itu yang seakan lupa
diri, menyatakan perasaan hati masing-masing yang menggelora. Sudah lazim kalau
sekumpulan orang muda bercakap-cakap, mereka lebih berani manyatakan perasaan
hati masing-masing sehingga percakapan itu menjadi hangat dan kadang-kadang
terdengar kata-kata yang kurang sopan.
Apalagi para muda yang tergila-gila pada seorang gadis
jelita ini adalah orang-orang kang-ouw, pemuda-pemuda kelana kelana dan
petualang. Banyak sudah tempat mereka jelajahi, cukup sudah dara-dara jelita
mereka saksikan, namun baru sekali ini mereka menjumpai dara secantik Lu Sian.
Melampaui semua kembang mimpi.
Tujuh orang pemuda yang berkumpul dalam sebuah rumah
penginapan itu adalah pendekar-pendekar muda dari beberapa partai. Seperti
biasa, karena merasa segolongan dan setujuan, mereka lekas bersahabat dan
selain menuturkan pengalaman masing-masing yang biasanya mereka lebihi, juga
mereka tiada habisnya memuji-muji dan membicarakan diri Liu Lu Sian yang
diam-diam mereka perebutkan. Setelah Lu Sian yang lewat di depan rumah
penginapan itu, sampai jauh malam para pemuda ini bicara tentang Lu Sian dan
masing-masing menyatakan harapan menjadi orang yang terpilih dengan
mengemukakan dan menonjolkan keistimewaan masing-masing.
"Sebagai puteri Beng-kauw, tentu kepandaiannya amat
tinggi dan belum tentu aku mampu menandinginya. Akan tetapi, ilmu golokku yang
terkenal dan nama Ilmu Golok Pelangi di Awan Biru memiliki keindahan yang
melebihi keindahan seni tari manapun juga. Siapa tahu, keindahan seni permainan
golokku akan menawan hatinya !"
Kata pemuda muka putih dengan pandang mata merenung penuh
harapan dan di depan matanya terbayanglah mulut manis Lu Sian, karena dialah
yang jadi tergila-gila oleh mulut manis itu dan ingin menjadi buah apel!
"Aku tidak punya kedudukan, orang tuaku miskin dan
akupun tidak berpendidikan, tidak pandai tulis baca. Akan tetapi, biarpun ilmu
silatku mungkin tidak setinggi dia, aku memiliki tenaga besar yang boleh diukur
dengan tenaga siapapun juga." kata pemuda tinggi besar yang matanya lebar.
"Mudah-mudahan nona Lu Sian sudi memandang nama
besar Kun-lun-pai sehinga aku sebagai murid kecil Kun-lun-pai akan menarik
perhatiannya"
Kata pemuda ke tiga yang tampan juga. Demikianlah, tujuh
orang pemuda itu menonjolkan keistimewaan masing-masing dengan harapan dialah
yang akan terpilih.
Lewat tengah malam barulah mereka memasuki kamar
masing-masing, namun tentu saja mereka tak dapat tidur, karena di depan mata
mereka selalu terbayang wajah Liu Lu Sian. Maka ketika terdengar ada tamu baru
datang dan disambut oleh pengurus rumah penginapan, mereka bertujuh semua
keluar dan melihat tamu seorang pemuda berpakaian indah, berwajah tampan sekali
dan bersikap tenang memasuki ruang dalam.
"Maaf, Kongcu (tuan muda), bukan kami kurang hormat
terhadap tamu. Akan tetapi, kamar yang patut untuk Kongcu sudah penuh semua.
Kecuali kalau diantara para Enghiong (Pendekar) yang terhormat membagi
kamarnya..." Dengan ragu-ragu dan penuh harap pengurus penginapan itu
memandang ke arah tujuh pemuda yang sudah keluar dari kamar masing-masing
Tujuh orang muda itu memandang Si Pendatang baru penuh
perhatian. Pemuda ini berpakaian seperti orang terpelajar, gerak-geriknya
halus, sama sekali tidak membayangkan gerak seorang ahli silat. Otomatis orang
pendekar muda itu memandang rendah.
Mana ada seorang pendekar suka membagi kamar dengan kutu
buku yang tentu akan menjemukan dan bicaranya tentu soal kitab-kitab dan sajak
belaka ? Pemuda itu agaknya maklum akan pandang mata mereka, maka cepat-cepat
ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, dan memberi hormat berkata dengan
penuh kesopanan.
"Harap Cu-wi Enghiong sudi memberi maaf kepada
siawte. Tentu saja siawte tidak berani menggangu para Enghiong, akan tetapi
barangkali ada diantara para Cu-wi yang sudi membagi kamar..."
Ia berhenti bicara melihat mereka mengerutkan kening, dan
menanti jawaban. Ketika tidak ada jawaban datang, ia tersenyum.
"Saudara siapakah dan dari golongan mana? Apakah
tamu dari Beng-kauwcu Liu-locianpwe?"
Tanya pemuda tinggi besar yang bertenaga gajah.
"Siauwte she Kwee bernama Seng, orang lemah seperti
siauwte yang setiap hari menekuni huruf-huruf kuno, tidak dari golongan
mana-mana dan siauwte hanya pelancong biasa."
"Hmm, maaf, kamarku sempit sekali."jawab si
Tinggi Besar kehilangan perhatian.
"Kamarku juga sempit." jawab orang ke dua.
"Aku tidak biasa tidur berteman." kata orang ke
tiga.
"Maaf, maaf, memang siauwte tidak berani mengganggu
Cu-wi. Eh, Lopek, kau tadi bilang tentang kamar yang patut, apakah masih ada
kamar yang tidak patut?" Kwee Seng menoleh kearah pengurus penginapan
sedangkan tujuh orang pendekar itu sudah kembali ke kamar masing-masing dan
menutupkan daun pintunya.
"Ah, ada.. Ada, Kongcu. Akan tetapi, itu adalah
kamar-kamar kecil di sebelah belakang, dahulu menjadi kamar pelayan, tidak
berani saya menawarkannya kepada Kongcu..."
Kwee Seng tersenyum.
"Tidak mengapa, Lopek. Malam sudah begini larut,
mencari kamar di penginapan lain pun repot. Biarlah aku bermalam di kamar
pelayan itu."
Dengan tergopoh-gopoh pengurus penginapan itu lalu
mendahului Kwee Seng sambil membawa sebuah lampu, mengantar tamunya ke sebuah
kamar yang berada jauh di ujung belakang. Benar saja, kamar ini kecil, hanya
terisi sebuah pembaringan bambu yang setengah reyot, lantainya tidak begitu
bersih pula.
"Ah, cukup baik!" seru Kwee Seng sambil menaruh
bungkusan pakaiannya di atas pembaringan.
"Tidak usah kau tinggal lampumu, Lopek aku biasa
tidur gelap"
Ia menjatuhkan dirinya di atas pembaringan yang
mengeluarkan bunyi berkereotan.
Pengurus penginapan itu keluar dari dalam kamar membawa
lampunya sambil menggeleng-geleng kepala saking heran melihat seorang kongcu
berpakaian indah itu kelihatannya sudah tidur pulas begitu tubuhnya menyentuh
pembaringan, ia menutupkan daun pintu perlahan-lahan.
Sebentar kemudian sekeliling tempat penginapan sunyi.
Pengurus dan penjaga pun sudah tidur . Yang terdengar hanya dengkur yang keras
dari kamar pemuda tinggi besar. Dari beberapa buah kamar lain terdengar suara
orang mengigau menyebut-nyebut nama Liu Lu Sian. Bahkan dalam mimpi
pemuda-pemuda ini selalu merindukan Lu Sian!
Suara mengigau ini keluar dari kamar pemuda anak murid
Kun-lun-pai. Tiba-tiba sebagai seorang ahli silat, pemuda tampan itu meloncat
turun dari pembaringannya ketika pendengarannya, atau agaknya lebih tepat
indera keenamnya, mendengar suara yang mencurigakan.
Dalam meloncat tadi sekaligus ia telah mencabut
pedangnya, dan sekali menggoncang kepalanya lenyaplah semua kantuk dan ia sudah
berada dalam posisi siap siaga, sepasang matanya melirik ke arah jendela kecil
kamarnya. Tiba-tiba jendela itu terbuka daunnya dari luar, dan muncullah
seorang laki-laki jangkung yang berusia empat puluh tahun lebih, bertangan
kosong. Orang ini memasuki kamar melalui jendela dengan gerakan ringan dan
sikap tenang saja.
"Siapa kau ? Mau apa..."
"Mau membunuhmu. Manusia macam kau berani
menyebut-nyebut peteri Beng-kauwcu harus mampus !" berkata bayangan
laki-laki itu dengan suara mendesis, lalu menerjang maju.
Pemuda Kun-lun-pai itu tentu saja tidak menjadi gentar
biarpun ia merasa kaget sekali. Pedangnya berkelebat dan bergulung-gulung
sinarnya di depan dada bermaksud melindungi dirinya saja terhadap orang yang
agaknya gila ini. Akan tetapi, tiba-tiba sekali gerakan pedangnya berhenti
seakan- akan tertahan oleh tenaga yang tak tampak dan sebelum pemuda
Kun-lun-pai ini tewas seketika tanpa dapat bersambat lagi !
Suara mendengkur dari kamar si Tinggi Besar terhenti
seketika. Jagoan bertenaga gajah ini biarpun tidurnya mendengkur, Sedikit suara
saja cukup membuat ia terjaga dari tidurnya. Kamarnya berada di sebelah kamar
murid Kun-lun-pai, maka ia mendengar suara dari dalam kamar itu, cukup
membuatanya terbangun dan curiga.
Karena tiap kamar penginapan terdapat jendela di sebelah
belakang, ia cepat membuka daun jendela dan... seperti kilat cepatnya ia
meloncat keluar dan menerkam seorang laki-laki yang berdiri di depan jendela
murid ku-lun-pai. Kedua lengannya yang kuat bergerak, dalam segebrakan saja si
Tinggi Besar berhasil mencekik leher orang itu.
"Hayo mengaku, siapa kau dan...uuhhh!"
Tubuh yang tinggi besar itu seketika menjadi lemas dan
kepalanya miring, lalu ia roboh tak berkutik lagi di depan laki-laki setengah
tua yang jangkung itu!
"Apa yang kau lakukan ? Penjahat...!"
Sebatang golok menyambar dengan hebatnya membentuk sinar
melengkung seperti pelangi. Kiranya pemuda yang memiliki Ilmu Golok Pelangi di
Awan Biru telah turun tangan melihat ada orang merobohkan temannya yang tinggi
besar. Memang indah gerakannya, gulungan sinar goloknya seperti gerakan pita
dan selendang para bidadari sedang menari-nari.
Namun, dengan mudah bayangan itu menyelinap di antara
gulungan sinar golok dan belum juga empat jurus Si Pemuda menyerang, ia sudah
roboh pula terkena tamparan pada lehernya roboh untuk selamanya karena nyawanya
melayang.
Dengan gerakan tenang namun cepat sekali, si Bayangan
Maut itu menuju ke kamar yang lain. Namun belum sempat ia membuka jendela,
empat orang pemuda yang lain sudah berlari datang dan mengepungnya. Mereka lalu
berlari ke belakang dan segera mengepung si Bayangan Maut ketika melihat betapa
dua orang temannya sudah menggeletak pula tak bernyawa.
"Kalian harus mampus semua...!"
Bayangan itu mendengus, tubuhnya bergerak secara aneh
sekali, menyelinap diantara sambaran empat buah senjata para pengurungnya.
Hebat memang kepandaian bayangan maut ini. Empat orang pemuda yang
mengeroyoknya bukanlah pemuda-pemuda sembarangan. Mereka itu sudah terdidik
dalam ilmu silat yang cukup tinggi, setingkat dengan anak murid Kun-lun-pai dan
dengan si Tinggi Besar atau si Golok Pelangi. Namun menghadapi bayangan maut
ini, mereka tak mampu berbuat banyak. Lawan mereka yang mereka keroyok ini
seakan-akan hanya bayangan kosong tak mungkin dapat tersinggung senjata mereka.
Tiba-tiba bayangan itu terkekeh dan...setelah terdengar
suara
"plak-plak-plak-plak !"
Empat kali, empat orang pemuda itupun roboh, terpukul
pada leher mereka dan tewas seketika !
Setelah membunuh tujuh orang pemuda itu, bayangan ini
berdiri dengan kaki terpentang lebar, mendongakkan mukanya ke atas sambil
tertawa.
"Ha ha haha ! Alangkah lucunya! Orang-orang macam
ini mengharapkan seorang dewi seperti dia! Ha ha haha!"
Kemudian, melihat suara ribut-ribut dari pengurus
penginapan yang agaknya terjaga, sekali meloncat ia sudah berada di atas
genteng, lalu bagaikan gerakan seekor kucing, ia berlari ke arah belakang tanpa
menimbulkan suara. Akan tatapi mendadak orang itu berseru perlahan ketika
kakinya terpeleset karena genteng yang diinjaknya merosot turun. Cepat ia
berjongkok di atas bangunan bagian belakang rumah penginapan itu dan membuka
genteng, mengintai.
Kiranya di situ terdapat seorang pemuda lagi yang enak
tidur telentang. Sebatang lilin kecil menyala di atas meja. Kepalanya diganjal
bantalan pakaian. Tidak tampak senjata di dalam kamar itu sehingga bayangan itu
mengerutkan kening. Seorang pemuda pelajar, pikirnya, tak mungkin dia yang
main-main denganku. Akan tetapi siapa tahu ? Ia mengeluarkan sebatang jarum
merah dan sekali jari-jari tangannya bergerak, melesatlah sinar merah ke bawah
melalui celah-celah genteng, menuju ke arah leher si pemuda yang tidur
telentang.
Pemuda di bawah itu yang bukan lain adalah Si Pelajar
Kwee Seng, menggeliat dan mengaluh seperti orang mengingau dalam tidurnya, lalu
miring. Akan tetapi tiba-tiba tubuh itu menegang kaget dan tak bergerak-gerak
lagi. Bayangan orang di atas genteng tersenyum puas melihat korbannya yang ke
delapan, maka ia bangkit berdiri dan cepat ia lari pergi dari tempat itu,
menghilang di dalam gelap!
"Tolong...! Pembunuhan... pembunuhan...!!"
Suara pengurus penginapan ini terdengar lantang sekali di
waktu fajar itu, mengagetkan semua orang. Para pelayan bersama para tamu
lainnya berbondong keluar dan sebentar saja di tempat pembunuhan sudah penuh
dengan orang. Obor-obor dan lampu-lampu dipasang sehingga keadaan menjadi
terang sekali. Pembunuhan yang sekaligus mengorbankan nyawa tujuh orang pemuda
kang-ouw benar-benar merupakan peristiwa hebat yang mengejutkan sekali.
Ketika pengurus penginapan melihat Kwee Seng berada di
antara banyak itu, ikut menjenguk dan melihat pemuda-pemuda teruna yang menjadi
korban pembunuhan aneh, pengurus itu segera memegang lengannya dan berkata.
"Ah, Kongcu benar-benar seorang yang masih
dilindungi Thian! Seandainya Kongcu diterima tidur dengan mereka, ah... tentu
akan bertambah seorang lagi korban pembunuh kejam ini!"
Kwee Seng hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum
duka. Di dalam hatinya ia menyangkal keras pendapat pengurus rumah penginapan
ini. Andaikata ia diterima bermalam dengan mereka, belum tentu iblis maut yang
malam itu merajalela dapat menjatuhkan tangan mautnya.
Diam-diam ia meraba jarum kecil yang ia masukkan ke dalam
saku bajunya, jarum merah yang malam tadi pun hampir membunuhnya. Menyesallah
hati Kwee Seng mengapa malam tadi ia tidak mengejar si penjahat yang mencoba
membunuhnya, dan mengapa ia begitu enak tidur sehingga ia tidak tahu di bagian
depan penginapan itu menjadi tempat penyembelihan tujuh orang muda.
Kwee Seng adalah seorang mahasiswa gagal. Ia suka sekali
akan bun (sastra), bu (silat), namun bakatnya lebih menjurus kepada bu (silat).
Seorang pemuda yatim piatu, sebatang kara merantau tanpa tujuan.
Namun ilmu kepandaiannya amat tinggi, ilmu silatnya sukar
mendapatkan tandingan karena selain ia telah mempelajarinya dari para pertapa
sakti di puncak-puncak gunung sebelah barat, juga ia pernah berjumpa dengan
manusia dewa Bu Kek Siansu yang telah menurunkan beberapa macam ilmu kepadanya.
Bu Kek Siansu terkenal sebagai manusia dewa yang
sewaktu-waktu muncul untuk mencari bahan baik, tulang pendekar berwatak
budiman, dan menurunkan ilmu. Tak seorang pun di dunia ini tahu dari mana
asalnya dan di mana tempat tinggalnya yang tetap.
Kwee Seng pernah mengikuti ujian di kota raja namun
gagal. Semenjak itu, ia tidak pernah kembali ke kampung halamannya, yaitu di
sebuah dusun kecil di kaki gunung Luliang-san, karena ayah bundanya sudah lama
meninggal dunia oleh wabah penyakit ketika ia masih kecil.
Ia merantau sebagai seorang kang-ouw yang tak terkenal
karena semua sepak terjangnya ia sembunyikan. Hanya beberapa orang tokoh besar
saja di dunia kang-ouw yang mengenal pendekar sakti muda ini, malah diam-diam
ia diberi julukan Kim-mo-eng (pendekar Setan Emas).
Ia disebut setan karena sepak terjangnya seperti setan,
tak pernah memperlihatkan diri. Akan tetapi ia di sebut emas yang mengandung
maksud bahwa pendekar ini berhati emas, membela kebenaran dan keadilan,
pembasmi kelaliman dan kekejaman. Namun nama ini hanya kalangan atas terbatas
saja pernah mendengar, di dunia kang-ouw nama Kim-mo-eng Kwee Seng tak pernah
terdengar.
Kwee Seng tidak berbohong ketika mengatakan kepada ke
tujuh orang pendekar pada malam yang lalu bahwa ia adalah seorang pelancong yang
kebetulan lewat di kota raja Nan-Cao. Memang ia tidak mempunyai niat untuk
menjadi tamu Beng-kauw, sungguhpun nama Pat-jiu Sin-ong bukanlah nama asing
baginya.
Ia tidak suka tokoh besar itu diangkat menjadi koksu, hal
yang ia anggap sebagai bukti kerakusan akan kedudukan dan kemuliaan. Maka
baginya, hal itu tidak perlu diberi selamat. Apalagi mendengar berita tentang
putri Pat-jiu Sin-ong yang hendak memilih jodoh, seujung rambutpun tiada niat
di hatinya untuk ikut-ikutan memasuki sayembara, bahkan ingin melihat si jelita
pun sama sekali ia tidak ada nafsu.
Memang demikianlah watak Kwee Seng. Ia memandang rendah
kepada hal-hal yang dianggapnya tidak benar atau menyimpang daripada kebenaran.
Padahal harus diakui bahwa ia adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluh
tiga tahun, yang tentu saja sebagai seorang pemuda normal, selalu
berdebar-debar apabila melihat seorang gadis cantik.
Ia seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki watak
romantis, suka akan keindahan, suka akan tamasya alam yang permai, suka akan
bunga yang indah dan harum, dan tentu saja bentuk tubuh seorang dara jelita.
Akan tetapi, kekuatan batinnya cukup untuk menekan semua perasaan ini dan
membuat ia tetap tenang.
Peristiwa pembunuhan di dalam rumah penginapan itu
membangkitkan jiwa satrianya.
Ia mendengar keterangan sana-sini dan tahu bahwa tujuh
orang pemuda itu adalah calon- calon pengikut sayembara untuk meminang puteri
Beng-kauwcu. Mendengar pula betapa pemuda-pemuda itu sudah kegilaan akan Nona
Liu Lu Sian, dara rupawan yang pada pagi hari kemarin lewat didepan rumah
penginapan.
Karena ini, diam-diam Kwee Seng menghubungkan semua itu
dengan pembunuhan. Agaknya karena mereka itu tergila-gila kepada Liu Lu Sian
maka malam ini menjadi korban pembunuhan keji. Entah apa yang menjadi dasar
pembunuhan, entah cemburu atau bagaimana. Namun yang pasti, untuk mencari
pembunuhnya ia harus datang menjadi tamu Beng-Kauw!
Inilah yang membuat Kwee Seng terpaksa menunda
perantauannya dan bersama dengan para tamu lainnya, ia pun melangkahkan kaki
menuju ke gedung keluarga Pat-jiu Sin-ong.
Rumah gedung keluarga Liu dihias meriah. Pekarangan yang
amat luas itu telah diatur menjadi ruangan tamu, dibagian tengah agak mendalam
yang letaknya lebih tinggi rauangan depan, kini dipergunakan untuk tempat rumah
dan para tamu yang terhormat atau para tamu kehormatan.
Ruangan ini disambung dengan sebuah panggung setinggi
satu meter yang cukup luas dan panggung ini diperuntukkan untuk mereka yang
hendak bicara mengadakan sambutan, juga dibentuk semacam panggung tempat main
silat.
Panggung semacam ini memang lazim diadakan setiap kali
ada ahli silat mengadakan sesuatu, karena perayaan diantara ahli silat tanpa
pertunjukan silat akan merupakan hal yang janggal dan mentertawakan.
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan belum tampak di luar. Para tamu
disambut oleh tiga orang sute-nya, yaitu pertama adalah Liu Mo adik kandungnya
sendiri, Liu Mo berusia empat puluh tahun lebih, sikapnya tenang dan pendiam,
sinar matanya membayangkan watak yang serius dan berwibawa.
Biarpun Liu Mo memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan
merupakan orang ke dua dalam Beng-kauw, namun ia tetap sederhana dan tidak
mempunyai julukan apa-apa. Di dalam Beng-kauw, ia merupakan pembantu yang amat
berharga dari kakak kandungnya dan boleh boleh dikatakan untuk segala urusan
dalam, Liu Mo inilah yang sering mewakili kakaknya.
Orang ke dua adalah Ma Thai kun. Orangnya tinggi kurus,
wajahnya selalu keruh dan biarpun usianya baru tiga puluh enam tahun, namun ia
memelihara jenggot dan kelihatan lebih tua. Ia terkenal pemarah dan wataknya
keras, kepandaianya juga tinggi dan ilmu silatnya tangan kosong amat hebat.
Segala macam pukulan dipelajarinya dan kedua tangannya
mengandung tenaga dalam yang amat dahsyat. Berbeda dengan Liu Mo yang sabar dan
berwibawa, orang ke tiga dari Beng-kauw ini menyambut tamu dengan wajah gelap
dan tak pernah tersenyum, juga ia memandang rendah kepada para tamunya.
Orang ke tiga dari para wakil Ketua Beng-Kauw ini usianya
hampir tiga puluh tahun, akan tetapi wajahnya terang dan kelihatan masih muda.
Dandanannya sederhana sekali, bahkan lucu karena ia menggunakan sebuah caping
(topi berujung runcing) seperti dipakai para petani atau penggembala.
Di punggungnya terselip sebatang cambuk yang biasa
dipergunakan para penggembala mengatur binatang gembalaannya! Memang murid
termuda ini seorang yang ahli dalam soal pertanian dan peternakan. Wajahnya
terang dan ia menerima para tamu dengan sikap hormat sekali.
Inilah Kauw Bian seorang pemuda desa yang menjadi sute
termuda dari Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Biarpun sikapnya sederhana dan seperti
seorang desa, akan tetapi jangan dipandang rendah kepandaiannya dan pecut itu
sama sekali bukanlah pecut biasa melainkan senjatanya yang ampuh!
Sebagaimana lazimnya para tokoh besar, mereka ini selalu
menahan "harga diri", tidak sembarangan orang dapat menjumpai dan
dalam menyambut tamu, biasanya diwakilkan dan kalau perlu barulah ia sendiri
muncul menemui tamunya.
Demikian pula Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ia pun menahan
harga dirinya dan seluruh para tamu sudah berkumpul semua dan tidak ada lagi
yang datang baru tokoh besar ini muncul di ruangan tuan rumah. Para tamu segera
bangkit berdiri memandang ke arah tuan rumah dengan kagum.
Memang patut sekali Liu Gan menjadi seorang tokoh yang
terkenal lebih tinggi daripada perawakan seorang laki-laki biasa. Kekar dan
berdiri tegak, dadanya lebar membusung, pakaiannya indah, pandang matanya
berwibawa. Kepalanya tertutup topi bulu yang terhias bulu burung rajawali.
Ketua Beng-Kau ini keluar sambil tersenyum-senyum dan
menjura ke arah para tamu lalu duduk. Para tamu juga lalu duduk kembali, akan
tetapi semua mata tetap terbelalak lebar memandang gadis yang keluar bersama,
Pat-jiu Sin-Ong.
Itulah dia, gadis yang kini menarik semua pandang mata
bagaikan besi sembrani menarik logam. Liu Lu Sian, dara jelita yang pada saat
itu mengenakan pakaian sutera putih terhias benang emas dan renda-renda, merah
muda. Cantik jelita bagaikan dewi khayangan!
Para muda melongo, ada yang menelan ludah, ada yang lupa
mengatupkan mulutnya, bahkan ada yang menggosok-gosok mata karena merasa dalam
mimpi! Namun orang yang menjadikan para muda terpesona itu tetap duduk dengan
tegak dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan bibir. Tapi banyak pula yang
memandang dengan hati ngeri.
Mereka semua, tua muda, sudah mendengar belaka tentang
peristiwa hebat di dalam rumah penginapan, dimana tujuh orang pendekar muda
yang tergila-gila kepada gadis ini terbunuh secara aneh.
Para tamu yang duduk di ruangan kehormatan mulai bergerak
menghampiri Pat-jiu Sin-ong menghaturkan selamat, diikuti tamu-tamu lain.
Pat-jiu Sin-ong menyambut pemberian selamat itu sambil tertawa-tawa dan tidak
berdiri dari bangkunya, sikap yang jelas memperlihatkan keangkuhannya.
Setelah para tamu memberi selamat, dan mereka kembali ke
tempat masing-masing, tiba-tiba Pat-jiu sin-ong berdiri dari bangkunya
memandang ke luar dan berseru keras.
"Aha, saudara muda Kwee Seng ! Kau datang juga
hendak memberi selamat kepadaku?, Bagus! Menggembirakan sekali. Mari ke sini,
kau mau duduk bersamaku!"
Tentu saja semua tamu menoleh ke arah luar untuk melihat
tamu agung manakah yang begitu menggembirakan Pat-jiu Sin-ong sehingga tokoh
ini sampai berdiri dan berseru menyambut segembira itu? Mereka mengira bahwa
yang datang tentulah seorang tokoh besar di dunia kang-ouw.
Akan tetapi alangkah heran hati mereka ketika melihat
seorang pemuda berpakaian sastrawan yang melangkah masuk ke ruangan itu dengan
langkah lambat dan sikap lemah-lembut. Seorang pelajar lemah seperti ini
bagaimana bisa mendapatkan perhatian begitu besar dari Pat-jiu Sin-ong yang
terkenal angkuh dan tidak memandang mata kepada tokoh-tokoh kang-ouw yang hadir
di situ?
Pemuda itu bukan lain adalah Kwee Seng. Memang jarang ada
orang kang-ouw mengenalnya, tetapi di antara sedikit tokoh besar dunia kang-ouw
yang tahu akan kehebatan orang muda ia adalah Pat-jiu Sin-ong, karena Ketua
Beng-kauw ini pernah bertemu dengan Kwee Seng ketika dia mengunjungi Ketua
Siauw-lim-pai, Kian Hi Hosiang yang sakti, memperlakukan pemuda ini sebagai
seorang tamu agung pula!
Inilah sebabnya maka Ketua Beng-kauw mengenal Kwee Seng
dan biarpun belum membuktikan sendiri kehebatan pemuda ini, ia sudah dapat
menduga bahwa pemuda yang di sambut demikian hormatnya oleh Ketua
Siauw-lim-pai, yang malah dijuluki Kim-mo-eng, tentulah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi.
Dengan tenang dan tersenyum ramah Kwee Seng menghampiri
tuan rumah menjura dengan hormat sambil berkata,
"Liu-enghiong, maafkan saya datang menggangu secawan
dua cawan arak. Terus terang saja, kebetulan lewat dan mendengar tentang
keramaian di sini dan ingin menonton.
"Akan tetapi sama sekali bukan untuk memberi
selamat. Makin tinggi kedudukan makin banyak keruwetan dan makin besar
kemuliaan makin besar pula kejengkelan, apa perlunya diberi selamat?"
"Ha-ha-ha-ha! Kata-katamu ini memang cocok bagi
orang yang mengejar kedudukan dan memperebutkan kemuliaan, yang tentu saja
hanya akan menemui kejengkelan dan memperbanyak permusuhan. Akan tetapi aku
menjadi koksu untuk membimbing pemerintahan negaraku yang dipimpin oleh
keluargaku sendiri.
"Ini namanya panggilan negara dan bangsa, kewajiban
seorang gagah. Akupun tidak butuh pemberian selamat yang semua palsu belaka,
basa-basi palsu, berpura-pura untuk mengambil hati. Ha-ha-ha! Lebih baik yang
jujur seperti kau ini, Kwee-hiante. Mari duduk!"
Dengan gembira tuan rumah menggandeng tangan Kwee Seng,
diajak duduk semeja dan segera Liu Gan memerintahkan pelayan mengambil arak
terbaik dari cawan perak untuk Kwee Seng.
"Liu-enghiong, aku mendengar pula bahwa kau hendak
mencari mantu dalam perayaan ini..."
"Ah, anakku yang ingin mencari jodoh. He, Lu Sian,
perkenalkan ini sahabat baikku, Kwee Seng!"
Ketua Beng-kauw itu dengan bebas berteriak kepada
puterinya. Liu Lu Sian sejak tadi memang memperhatikan Kwee Seng yang disambut
secara istimewa oleh ayahnya.
Biarpun pemuda ini gerak-geriknya halus seperti orang
lemah, namun melihat sinar matanya, Lu Sian dapat menduga bahwa Kwee Seng
adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Mendengar seruan ayahnya ia lalu bangkit berdiri lalu
menghampiri Kwee Seng sambil merangkapkan kedua tangannya.
"Kwee-kongcu, terimalah hormatku!"
Katanya dengan suara merdu dan bebas, gerak-geriknya
manis sama sekali tidak malu-malu atau kikuk seperti sikap gadis biasa.
Kwee Seng sejak tadi hanya memperhatikan Liu Gan saja
maka tidak tahu bahwa di ruangan itu terdapat gadis puteri Liu Gan yang
kecantikannya telah banyak pemuda tergila-gila, bahkan agaknya yang telah
menjadi sebab daripada akibat mengerikan di rumah penginapan malam kemarin
Mendengar suara merdu ini ia menengok dan... pemuda itu berdiri terpesona,
sejenak ia tidak dapat berkata-kata, bahkan seakan-akan dalam keadaan tertotok
jalan darah di seluruh tubuhnya, tak dapat bergerak seperti patung batu! Belum
pernah selama hidupnya ia terpesona oleh kejelitaan seorang wanita seperti saat
itu. Mata itu!, bening bersih gilang-gemilang tiada ubahnya sepasang bintang
kerling tajam menggores jantung kedip mesra membuat bingung, bulu mata lentik
berseri bagai rumput panjang di pagi hari sepasang alis hitam kecil melengkung
menggeliat-geliat malas kedua ujung!
"Kwee-kongcu..."
Kata pula Liu Sian melihat pemuda itu diam saja seperti
patung, dalam hatinya geli bukan main.
"A... oh..., Liu-siocia (Nona Liu), tidak patut saya
menerima penghormatan ini...!"
Jawabnya gagap sambil cepat-cepat mengangkat kedua
tangannya ke depan dada. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa
angin pukulan menyambar dari arah kedua tangan gadis yang dirangkap di depan
dada itu.
Angin pukulan yang mengandung hawa panas dan yang tentu
akan cukup membuat ia terjungkal dan terluka hebat. Alangkah kecewanya hati
Kwee Seng! Dara juwita ini, yang dalam sedetik telah membuat perasaannya
morat-marit, yang kecantikannya memenuhi semua seleranya, menguasai seluruh
cintanya, ternyata memiliki watak yang liar dan ganas!
Sekilas teringat lagi ia akan pembunuhan tujuh orang
pemuda tak berdosa dan seketika itu Kwee Seng merasa jantungnya sakit. Ia masih
terpesona, masih kagum bukan main melihat dara jelita ini, namun kekaguman yang
bercampur kekecewaan. Maka ia pun cepat mengarahkan tenaga ke arah ke dua
tangannya yang membalas penghormatan.
"Aiiihhh...! Mengapa Kwee-kongcu demikian sungkan?
Penghormatan kami sudah selayaknya!"
Kata Liu Lu Sian yng berseru untuk menutupi kekagetannya
ketika angin pukulan yang keluar dari pengerahan sin-kang di kedua tangannya
membalik seperti angin meniup benteng baja.
Gadis ini sambil tersenyum manis menyambar guci arak
pilihan dari tangan pelayan bersama sebuah cawan perak, lalu menuangkan arak ke
dalam cawan itu. Cawan sudah penuh, terlampau penuh akan tetapi anehnya, arak
di dalam cawan tidak luber, tidak membanjir keluar. Permukaan arak melengkung
ke atas berbentuk telur.
Dengan tangan kanan memegang cawan yang terisi arak itu
Liu Lu Sian berkata,
"Kehadiran Kwee-kongcu merupakan kehormatan besar,
harap sudi menerima arak sebagai tanda terima kasih kami."
Kembali Kwee Seng tertegun. Dara juwita ini tidak saja
cantik seperti bidadari, akan tetapi juga memiliki kepandaian hebat. Sin-kang
yang diperlihatkan kali ini lebih halus, sehingga bagi orang biasa tentu
merupakan perbuatan yang tak masuk akal, seperti sihir.
Akan tetapi makin kecewalah hati Kwee Seng karena ia
menganggap bahwa gadis ini terlalu binal dan suka membuat malu orang lain.
Kalau yang menerima arak sepenuh itu tidak memiliki sin-kang yang tinggi,
apakah tidak akan mendatangkan malu karena araknya pasti akan tumpah semua
begitu gadis ini melepaskan pegangannya?
"Siocia terlampau sungkan. Terlalu besar kehormatan
ini bagi saya..."
Kwee Seng menerima cawan sambil mengerahkan tenaganya
sehingga ketika Lu Sian melepas cawan itu, arak yang terlalu penuh tetap
melengkung di atas cawan tidak tumpah sedikitpun juga.
Akan tetapi jantung Kwee Seng berdegup keras karena
ketika ia menerima cawan tadi jari tangannya bersentuhan dengan kulit tangan
yang halus sekali, sementara itu, hidungnya mencium bau harum semerbak yang
luar biasa, bau harum bermacam bunga yang baru sekarang ia menciumnya karena
tadi ia terlampau terpesona oleh kecantikan Lu Sian.
Ia tadi sudah berhati-hati sekali, sebagai seorang yang
sopan, agar jari tangannya tidak menyentuh jari gadis itu, akan tetapi toh
bersentuhan, maka ia tahu bahwa gadis itulah yang sengaja menyentuhkan
tangannya!
Berbarengan dengan datangnya degup jantung mengeras dan
ganda harum yang memabokkan otak, timbul hasrat hati Kwee Seng untuk memamerkan
kepandaiannya pula di depan gadis jelita yang berlagak ini.
Ia segera menuangkan arak ke dalam mulutnya, mengangkat
cawan tinggi ke atas mulut dan menuangkannya. Akan tetapi, sampai cawan itu
membalik, araknya tetap tidak mau tumpah ke dalam mulut ! Arak itu seakan-akan
sudah membeku di dalam cawan!
"Ah, maaf... maaf... saya memang tidak bisa minum
arak baik!"
Kata Kwee Seng sambil menurunkan lagi cawannya. Tiba-tiba
ia membuka sedikit mulutnya dan dari cawan yang sudah berdiri lagi itu
tiba-tiba meluncur arak seperti pancuran kecil menuju ke atas dan langsung
memasuki cawan itu menjadi kering!
"Wah, kehadiran Kwee-kongcu benar-benar
menggembirakan. Kalau tadi secawan arak untuk penghormatan kami, sekarang
kuharap kongcu sudi menerima secawan lagi, khusus dariku!"
Kata pula Lu Sian sambil menuangkan lagi arak ke dalam
cawan kosong, kali ini lebih penuh daripada tadi, lalu memberikannya kepada
Kwee Seng.
Seketika terbelalak mata Kwee Seng kedua pipinya menjadi
merah dan sinar matanya berkilat. Lenyap seketika pesona yang menguasai
dirinya. Gadis ini benar-benar terlalu liar, aneh, dan ganas! Ia melihat betapa
tadi dari tangan gadis itu berkelebat sinar putih memasuki cawan dan sebagai
seorang pendekar sakti, ia maklum apa artinya itu.
Arak kali ini dicampuri semacam obat bubuk yang biarpun
sedikit sekali, namun ia dapat menduga tentu amat hebat akibatnya kalau
terminum olehnya. Ia tahu bahwa gadis ini tidak sengaja mencelakakannya, hanya
untuk menguji, akan tetapi cara ujian yang amat berbahaya!
"Nona terlalu menghormat ...!"
Jawabnya dan ia menerima cawan itu. Begitu cawan
diterimanya, ia berseru,
"Ah, nona terlalu banyak mengisi araknya...!"
Dan tiba-tiba, biarpun cawan itu dipegangnya lurus-lurus,
isi cawan berhamburan keluar dan tumpah semua sampai habis. Anehnya, tangan
Kwee Seng yang memegang sawan sama sekali tidak basah karena ara itu tumpahnya
"melayang" ke depan dan sebaliknya malah membasahi sebagian celana
dan sepatu si jelita!
"Ah, maaf.. maaf..!" kata Kwee Seng sambil
menjura penuh hormat.
"Kwee-kongcu terlalu merendah ...!"
Sepasang pipi Lu Sian menjadi merah sekali dan kilatan
matanya membayangkan kemarahan ketika ia menjura dan mengundurkan diri kembali
ke bangkunya sambil mengusap noda arak dengan sapu tangannya.
Peristiwa aneh ini hanya disaksikan oleh beberapa orang
tamu kehormatan yang duduk berdekatan, akan tetapi para tamu yang jauh tidak
melihat jelas, dan hanya mengira bahwa pemuda pelajar itu amat canggung
sehingga menumpahkan arak yang disuguhkan orang kepadanya. Namun, banyak yang
merasa iri hati melihat betapa Si Bidadari sampai dua kali memberi suguhan arak
kepada pemuda lemah itu.
"Ha-ha-ha, lama tak jumpa, kau makin hebat,
Kwee-hiante! Mari, mari kita minum sampai mabok!"
Sambil merangkul pundak Kwee Seng, Pat-jiu Sin-ong
mengajak pemuda itu menghadapi meja penuh hidangan.
"Liu-enghiong tentu maklum bahwa aku tidak biasa
minum arak lebih dari tiga cawan,"
"Ha-ha-ha!" Ocehan burung yang tak patut
didengar! Aku percaya, biarpun habis tiga guci, orang macam kau mana bisa mabok
? Ha-ha-ha marilah, tak usah sungkan. Kita orang sendiri!"
Karena sikap tuan rumah ini setulus hatinya, Kwee Seng
terpaksa melayani. Ia maklum betapa suara tuan rumah yang keras ini terdengar
semua orang dan ia sudah melihat sinar mata iri dilempar orang, terutama kaum
mudanya, ke arahnya. Ia memang tidak suka minum arak terlalu banyak, akan
tetapi kali ini hatinya sedang rusak dan kacau.
Harus ia akui bahwa ia tertarik oleh kecantikan Liu Lu
Sian yang luar biasa, dan ia tahu bahwa hatinya sudah siap mengaku cinta.
Seorang dewa sekalipun akan jatuh hati berhadapan dengan Lu Sian! Akan tetapi
disamping perasaan yang baru kali ini ia rasakan selama hidupnya, terselip rasa
nyeri yang membuat hatinya perih, yaitu kenyataan bahwa gadis yang menjatuhkan
hatinya ini memiliki watak yang liar dan ganas, sama sekali berlawanan dengan
pendiriannya.
Karena perasaan yang bertentangan antara perasaan cinta
dan benci inilah maka Kwee Seng menjadi seperti orang nekat dan ia menerima
terus setiap kali Pat-jiu Sin-ong menyuguhkan arak. Sebentar saja ia sudah
minum arak tua belasan cawan banyaknya!
"Lu Sian, hayo kau gembirakan hati para tamu kita
dengan tarian pedang!"
Tiba-tiba Pat-jiu Sin-ong berseru memerintah puterinya
sambil tertawa-tawa karena tokoh inipun sudah terpengaruh hawa arak.
Lu Sian tersenyum mengangguk, lalu bangkit berdiri dan
dengan lenggang yang dapat mengayun hati para muda yang memandangnya, gadis ini
ini berjalan menuju ke tengah panggung terbuka. Tepuk tangan riuh gemuruh
menyambutnya. Lu Sian menjura dengan hormat sambil berseru, suaranya merdu
nyaring mengatasi keriuhan tepuk tangan itu.
"Permainanku masih amat dangkal, harap cu-wi jangan
metertawakan!"
Setelah berkata demikian, Lu Sian menggerakan tangannya
dan .... dalam pandangan mereka yang ilmu silatnya kurang tinggi, gadis itu
tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi bayangan yang berkelebatan kesana kemari
dibungkus sinar putih berkilauan bergulung-gulung dan berkilat-kilat.
Dari sana-sini terdengar seruan kagum, yang muda-muda
kagum akan keindahan ilmu silat pedang yang benar-benar merupakan tarian luar
biasa itu, adapun golongan tua kagum karena mereka melihat di dalam gerakan
yang indah ini tersembunyi kekuatan yang dahsyat, setiap kelebatan pedang yang
begitu indah tampaknya sebetulnya mengandung jurus maut yang tidak mudah
dilawan. Dengan bukti kehebatan gadis ini makin tunduklah mereka akan kelihaian
dan nama besar Pat-jiu Sin-ong.
Lu Sian sengaja mainkan Hwa-kiamhoat (Ilmu Pedang
Kembang) yang indah untuk memamerkan kepandaian dan kecantikannya. Ia bersilat
sampai lima puluh jurus dan ketika berhenti di tengah panggung sambil berdiri
tegak, ia tampak gagah dan cantik jelita, dengan sepasang pipi kemerahan karena
denyut darahnya agak kencang setelah bersilat tadi.
Bibirnya tersenyum-senyum, matanya yang tajam
berseri-seri menyambut tepuk tangan yang seakan-akan hendak merobohkan panggung
buatan itu. Akan tetapi begitu Lu Sian kembali duduk di tempatnya,
berkelebatlah bayangan orang dan seorang laki-laki berusia lima puluh tahun
sudah berdiri di atas panggung.
Gerakannya yang demikian ringan dan cepatnya menandakan
bahwa ia seorang yang berkepandaian tinggi, sedangkan pakaian dan cara ia
menggelung rambut ke atas menyatakan bahwa ia seorang pendekar To atau yang
disebut tosu. Di punggungnya tergantung sebuah pedang.
Tosu ini terdengar lantang suaranya setelah keadaan tadi kembali
sunyi karena terhentinya tepuk tangan. Sambil menjura ke arah Pat-jiu Sin-ong,
tosu itu berkata,
"Kauwcu, pinto Ang Sin Tojin dari Kun-lun-pai,
merasa kagum akan kebesaran nama Pat-jiu Sin-ong, dan sengaja pinto diutus oleh
ketua kami memberi selamat, akan tetapi tidak nyana bahwa Kawcu dengan puteri
Kauwcu menimbulkan hal-hal yang tidak baik! Kauwcu memamerkan kepandaian dan
kecantikan puteri Kauwcu, ada kabar hendak menggunakan kesempatan ini
mencarikan jodoh bagi puteri Kauwcu. Hal ini sudah sewajarnya. Aka tetapi
mengapa banyak pemuda tidak berdosa yang tergila-gila kepada puteri Kawcu
menemui kematian yang penuh penasaran?, sekarang, Kauwcu tidak menyelidiki dan
membikin terang perkara itu, malah Kauwcu menambah pengaruh agar para pemuda
makin tergila-gila. Apakah sesungguhnya kecantikan yang gilang-gemilang seperti
puteri Kauwcu? Kecantikan hanyalah timbul dari kelemahan batin melalui pandang
mata, sesungguhnya palsu adanya, kecantikan hanya terbatas sampai di kulit,
namun siapa tahu isi hati yang tersembunyi di balik kecantikan, Pat-jiu
Sin-ong, Pinto kehilangan seorang anak murid Kun-lun yang terbunuh secara tidak
wajar, terpaksa mohon penjelasan?"
Seketika tegang keadaan di situ. Terang bahwa tosu ini
menuntut kematian muridnya, dan sekaligus mencela keadaan Beng-kauw dengan
adanya kematian tujuh orang pemuda dan mencela pula pameran kecantikan dan
kepandaian Liu Lu Sian! Keadaan seketika menjadi sunyi karena semua orang
menanti dengan hati berdebar.
Sambil tersenyum Pat-jiu Sin-ong berdiri dari bangkunya,
akan tetapi tidak mendekati Ang Sin To Jin. Sambil bertolak pinggang ketua
Beng-Kauw yang tinggi besar ini bertanya,
"Tosu, Kau ini apanya Ang Kun To Jin ?"
"Beliau adalah Suhengku dan Pinto hanyalah murid
kedua dari suhu."
Pat Jiu Sin Ong tiba-tiba tertawa sambil menengadahkan
mukanya ke atas.
"Heh, Tosu mentah! Kau kira kematian bocah-bocah
tolol itu adalah perbuatanku atau perbuatan anakku?"
"Pinto tak berani menuduh siapapun juga, akan tetapi
setidaknya peristiwa maut itu terjadi karena Kauwcu berhasrat memilih mantu
karena kecantikan putrimu dan tentu dilakukan oleh seorang dari Beng-kauw!
Karena itu ketuanya harus bertanggung jawab!"
"Ha-ha, bertanggung jawab bagaimana?"
"Kauwcu harus dapat menangkap pembunuh itu dan
menghukumnya mati di depan kami semua. Kemudian Kauwcu lakukan pemilihan calon
mantu yang tepat dan tidak banyak menimbulkan korban, pilihlah mantu yang cocok
dan karena ini urusan Kauwcu, terserah, asal tidak secara sekarang ini yang
membikin gila banyak orang muda tak berdosa."
"Wah, lagaknya! Kalau aku tidak menuruti
permintaanmu itu, bagaimana?"
"Hmmmmm, kalau begitu, berarti Kauwcu tidak peduli
akan kematian murid Kun-lun-pai yang menjadi tamu di sini, dan hal itu tentu
saja Pinto tidak dapat tinggal diam saja?"
"Habis, kau mau apa, Tosu mentah?"
"Pinto terpaksa menuntut balas atas kematian murid,
dan melupakan kebodohan, minta pelajaran dari Beng-Kauwcu Pat-jiu
Sin-ong!"
Dengan tegak berdiri, Tosu itu siap menghadapi
pertandingan.
"Tosu sombong, berani kau menghina ketua kami?"
Tiba-tiba Ma Thai Kun yang bertubuh jangkung kurus sudah
melompat ke atas panggung, tangannya begerak memukul ke arah Ang Sin Tojin.
Gerakan Ma Thai Kun cepat sekali sehingga kejadian yang tak tersangka-sangka
itu tidak dapat ditunda lagi. Pukulannya hebat, mengeluarkan angin bersiutan
dan menuju ke arah dada tosu kun-lun-pai itu.
Ang Sin Tojin adalah murid kedua dari Ketua Kun-lun-pai,
Kim Gan Sian jin, tentu saja ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi dan karena
itu pula ia tadi berani mengeluarkan tantangan terhadap ketua Beng-kauw. Kini
melihat seorang tinggi kurus bermuka hitam telah berada di depannya dan
mengirim pukulan maut, ia pun cepat menggerakkan tangannya menangkis, sambil
mengarahkan Sin-kang.
"Dukkkkk!" Dua tangan mengandung tenaga sakti.
Ma Thai Kun masih berdiri setengah membungkuk, tubuhnya
tidak bergoyang. Akan tetapi akibat benturan kedua lengan itu membuat Ang-sin
to jin terhuyung-huyung ke belakang sampai lima langkah.
Diam-diam tosu Kun-lun-pai ini terkejut bukan main. Harus
diakui tenaga sakti Si Muka Hitam ini hebat sekali, sungguhpun tidak sampai
menyebabkan ia terluka parah, namun cukup menggempur kuda-kudanya dan membuat
ia terhuyung-huyung.
"Ji-sute, mundurlah! Siapa yang mencari perkara
dengan aku dan anakku, biarlah aku menghadapinya sendiri!"
Pat-jiu Sin-ong menegur adiknya. Ma Thai Kun mendengus
marah, lalu mengundurkan diri.
"Ang Sin Tojin, apakah kau masih tidak mau menarik
kembali tuntutanmu?"
"Seorang laki-laki sekali bicara dipegang sampai
mati!" jawab tosu itu dengan suara ketus.
"Ah, ah, benar-benar tosu Kun-lun-pai keras kepala.
Eh, tosu mentah, kau tadi bilang kecantikan puteriku sebatas kulit. Apa
artinya?"
"Pinto mengakui bahwa puteri Kauwcu cantik jelita
dan pandai. Akan tetapi semua itu hanya sampai dikulit, hanya akibat pandangan
mata lahir. Mata batin takkan dapat ditipu dan takkan silau oleh kecantikkan.
Mata batin mencari sampai kedalam batin pula, mencari kebenaran yang suka
tertutup oleh kepalsuan."
Merah muka Pat-jiu Sin-ong, akan tetapi mulutnya masih
tersenyum.
"Anakku memang cantik, ini semua orang tahu. Kalau
mata melihatnya tidak cantik sekalipun, yang salah bukan dia, melainkan
matanya! Tosu mentah, lekas kau pulang ke Kun-lun-san, jangan mencari keributan
disini."
"Kalau begitu, pinto minta pelajaran dari
Beng-kauwcu!"
Kata tosu itu sambil mencabut pedangnya. Ia tadi sudah
membuktikan betapa hebat sin-kang dari Ma Thai Kun yang hanya merupakan adik
seperguruan Ketua Beng-kauw ini, maka ia tidak berani berlaku sembrono. Dengan
pedang di tangan ia mengira akan dapat mengimbangi lawannya, karena memang
Kun-lun-pai terkenal dengan kiam-hoatnya (ilmu pedangnya).
"Kau menantangku?" Liu Gan bertanya, masih
tersenyum.
"Pinto siap!"
"Nah, terimalah ini!" Kedua tangan Pat-jiu
Sin-ong bergerak. Begitu cepatnya gerakan kedua lengannya itu sehingga kedua
tangan itu seakan-akan berubah menjadi delapan! Inilah agaknya maka ia mendapat
julukan Pat-jiu (Lengan Delapan). Dalam segebrakan saja Ang Sin Tojin merasa
seakan-akan ia diserang oleh delapan pukulan yang kesemuanya merupakan pukulan
maut! Cepat ia menggerakkan tubuhnya dan memutar pedangnya melindungi diri.
"Plakk! Tranggg... aduhhh...!"
Hanya dalam sekejap mata saja terjadinya. Entah bagaimana
tosu itu sendiri tidak tahu, pergelangan tangannya sudah terpukul, membuat
pedangnya terpental dan tiba-tiba ia merasa amat sakit pada telinga dan mata
kanannya. Ia roboh menggulingkan diri sampai beberapa meter lalu meloncat lagi
berdiri. Telinga kanan dan mata kanannya mencucurkan darah! Ternyata daun
telinga kanannya pecah bagian atasnya, sedangkan pelupuk mata kanannya pun
robek!
"Tosu mentah! Mengingat akan suhengmu, Ang Kun
Tojin, dan memandang muka terhormat suhumu, Kim Gan Sianjin Ketua Kun-lun, aku
tidak mengambil nyawamu. Akan tetapi aku tidak dapat membiarkan matamu yang
salah lihat dan telingamu yang salah dengar. Hendaknya pelajaran ini membuka
matamu bahwa Beng-kauw tidak boleh dibuat main-main oleh siapapun juga! Nah,
pergilah!"
Ang Sin Tojin maklum bahwa orang sakti didepannya ini
bukan lawannya, bahkan suhunya, Ketua Kun-lun-pai sendiri, belum tentu akan
dapat menandinginya. Ia bukan seorang bodoh dan nekat. Tanpa banyak cakap ia
memungut pedangnya, menjura dan berkata,
"Pinto hanya dapat melaporkan kepada suhu bahwa
pinto gagal dalam tugas."
Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan
pergi dari situ.
Keadaan di situ sunyi sekali. Ketegangan mencekam dan
suasana ini amat tidak enak. Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu tertawa dan
mengahadapi para tamunya.
"Cu-wi yang terhormat harap maafkan gangguan tadi.
Nah, karena soal pemilihan calon mantu sudah disebut-sebut oleh tosu mentah
tadi, terpaksa kami akui bahwa hal itu memang tidak salah.
Cu-wi sudah melihat ilmu silat anakku yang rendah. Oleh
karena itu, kalau ada di antara para muda gagah yang hendak memperlihatkan
kepandaian, anakku akan sanggup melayaninya. Mereka yang dapat mengalahkan
anakku Liu Lu Sian berarti lulus dan akan diadakan pemilihan di antara mereka
yang lulus, kalau-kalau ada yang berjodoh menjadi mantukku,
"Ha-ha-ha!"
setelah berkata demikian dan menjura, Ketua Beng-kauw ini
duduk lagi di tempatnya.
"Eh, saudara muda kwee, kau lihat tosu tadi,
menjemukan tidak?"
"Memang menjemukan! Semuanya menjemukan!" kata
Kwee Seng.
"Ha-ha, urusan begitu saja jangan menghilangkan
kegembiraan kita. Mari minum!"
Keduanya lalu minum lagi dan keadaan di situ menjadi
meriah pula.
Sementara itu, Liu Lu Sian sudah meloncat ke tengah
panggung lagi setelah meninggalkan pedangnya di atas meja. Hal ini berarti
bahwa ia hanya akan melayani pertandingan tangan kosong, tanpa mempergunakan
senjata.
Ketika melihat gadis cantik itu sudah berdiri siap di
tengah panggung, di antara para tamu muda timbullah suasana gaduh. Sebetulnya
banyak sekali pemuda yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk menyaksikan
kecantikan gadis yang sudah terkenal itu dengan mata sendiri.
Dan sekarang, setelah melihat Liu Lu Sian, hampir semua
pemuda yang hadir di situ tergila-gila dan tak seorang pun yang tidak ingin
memetik tangkai bunga segar mengharum ini. Akan tetapi, menyaksikan ilmu
kepandaian Lu Sian dan kehebatan ayahnya, sebagian besar para muda itu sudah
menjadi gentar dan tidak berani mencoba-coba.
Apalagi kalau mengingat akan pembunuhan-pembunuhan aneh
di dalam rumah penginapan kemarin malam, mereka merasa ngeri dan membuat
sebagian besar di antara mereka mundur teratur! Betapapun juga, di antara mereka
ada juga yang nekat karena mungkin dapat menahan hatinya yang sudah runtuh oleh
kecantikan Lu Sian.
Seorang pemuda berpakaian serba hijau dan yang duduknya
di bagian bawah, berjalan dengan langkah lebar dan gagah ke arah panggung,
kemudian sekali menggerakkan tubuhnya ia sudah meloncat ke atas panggung
berhadapan dengan Lu Sian.
Pemuda ini berwajah cukup ganteng, alisnya tebal dan
matanya tajam, hanya mulutnya lebar membayangkan ketinggian hati. Dengan sikap
gagah ia menjura dan merangkap kedua tangan di depan dada, memberi hormat
kepada Liu Lu Sian sambil berkata, suaranya lantang.
"Aku bernaama Han Bian Ki, dikenal sebagai
Siauw-kim-liong (Naga Emas Muda) di lembah sungai Min-kiang, ingin mencoba-coba
kepandaian nona Liu."
Lu Sian melirik dan bibirnya melempar senyum manis
sekali. Akan tetapi sesungguhnya melihat mulut yang agak lebar itu ia sudah
merasa tidak senang kepada pemuda ini. Orang macam ini berani mau coba-coba,
pikirnya. Apanya sih yang diandalkan ? Tampangnya tidak menarik, dan melihat gerakan
loncatannya, juga tidak banyak dapat diharapkan tentang ilmu silatnya.
"Han-enghiong, tak usah ragu-ragu. Mulailah!"
katanya dengan suara dingin.
"Saya Bhong Siat dari lembah Yang-ce!" kata Si
Muka Kuning yang suaranya seperti orang berbisik, atau kehabisan napas.
Makin muak rasa perut Liu Lu Sian menyaksikan majunya dua
orang yang berwajah buruk ini. Memang ia sengaja menantang agar mereka maju
sekaligus agar ia tidak usah berkali-kali menghadapi mereka seorang demi
seorang. Pula, tantangannya ini merupakan akal untuk menilai mereka. Yang mau
datang mengeroyoknya manandakan seorang laki-laki pengecut dan yang tidak boleh
dihargai sama sekali, perlu cepat ditundukkan sekaligus.
Han Bian Ki girang melihat majunya dua orang yang
semaksud itu. Kini terbuka kesempatan pula baginya untuk mencari kemenangan,
atau setidaknya tentu berhasil menyentuh kulit badan Si Nona atau beradu
lengan. Maka ia tidak mau kalah semangat dan biarpun sudah sejak tadi ia
dipermainkan, kini ia memperlihatkan sikap galak dan menerjang Liu Lu Sian
dengan seruan nyaring.
Dua orang yang baru naik itu pun tidak membuang
kesempatan ini, membarengi dengan serangan-serangan mereka karena mereka tahu
bahwa serangan tiga orang secara berbarengan tentu akan lebih banyak
memungkinkan hasil baik.
"Menjemukan...!"
Liu Lu Sian berseru dan terjadilah penglihatan yang amat
menarik. Tiga orang pemuda itu menyerang dari tiga jurusan, serangan mereka
galak dan ganas, apalagi Si Muka Kuning Bhong Siat yang ternyata merupakan
seorang ahli ilmu silat yang mempergunakan tenaga dalam, pukulan-pukulannya
mendatangkan angin yang bersiutan. Namun hebatnya, tak pernah enam buah tangan
dan enam buah kaki itu menyentuh ujung baju Lu Sian.
Gadis itu dalam pandangan tiga orang pengeroyoknya lenyap
dan berubah menjadi bayangan yang berkelebatan seperti sambaran burung walet
yang amat lincah. Dan dalam pertandingan kurang dari dua puluh jurus, terdengar
teriakan-teriakan dan secara susul-menyusul tubuh tiga orang pemuda itu
"terbang" dari atas panggung, terlempar secara yang mereka sendiri
tidak tahu bagaimana. Mereka jatuh tunggang-langgang dan berusaha untuk
merangkak bangun.
"Hemm, orang-orang tak tahu malu. Hayo lekas pergi
dari sini!"
Terdengar suara keras membentak di belakang mereka dan
sebuah lengan yang kuat sekali memegang tengkuk mereka dan tahu-tahu tubuh
mereka seorang demi seorang terlempar keluar. Tanpa berani menoleh lagi kepada
Ma Thai Kun yang melemparkan mereka keluar, tiga orang itu terus saja lari
sempoyongan keluar dari halaman gedung.
Para tamu menyambut kemenangan Liu Lu Sian dengan tepuk
tangan riuh rendah. Para muda yang tadinya ada niat untuk mencoba-coba, makin
kuncup hatinya dan hampir semua membatalkan niat hatinya, menhibur hati yang
patah dengan kenyataan bahwa tak mungkin mereka dapat menandingi nona yang amat
lihai itu!
Akan tetapi ternyata masih seeorang laki-laki muda yang
dengan langkah tegap dan tenang menghampiri panggung, kemudian dengan gerakan
lambat melompat naik. Ketika kedua buah kakinya menginjak panggung, Lu Sian
merasa tergetar kedua telapak kakinya, tanda bahwa yang datang ini memiliki
lwee-kang yang cukup hebat. Ia menjadi tertarik, akan tetapi ketika mengangkat
muka memandang, ia merasa kecewa.
Laki-laki ini sikapnya jantan dan pakainnya sederhana,
mukanya membayangkan kerendahan hati dan kejujuran, namun sama sekali tidak
tampan, matanya lebar dan alisnya bersambung hidungnya pesek!
"Saya yang bodoh Lie Kung dari pegunungan Tai-liang.
Sebetulnya saya tidak ada harga untuk memasuki sayembara, akan tetapi karena
sudah sampai di sini dan saya amat tertarik dan kagum menyaksikan kehebatan
ilmu silat Nona, perkenankanlah saya memperlihatkan kebodohan sendiri."
Kata-katanya merendah akan tetapi jujur dan sederhana.
Lu Sian tersenyum mengejek.
"Siapa pun juga boleh saja mencoba kepandaian karena
memang saat ini merupakan kesempatan. Nah, silakan saudara Lie maju!"
"Nona menjadi nona rumah dan seorang wanita, saya
merasa sungkan untuk membuka serangan." Jawab Lie Kung.
"Hemm, kalau begitu sambutlah ini!"
Secara tiba-tiba Liu Lu Sian menyerang, pukulannya amat
cepat, gerakannya indah akan tetapi bersifat ganas karena pukulan itu mengarah
bagian berbahaya di pusar, merupakan serangan maut! Lie Kung berseru keras dan
kaget. Tak sangkanya nona yang demikian cantiknya begini ganas gerakanya, maka cepat
ia melompat mundur dan mengibaskan tangan dan menangkis dengan kecepatan penuh.
Lu Sian tidak sudi beradu lengan, menarik kembali
tangannya dan menyusul dengan pukulan angan miring dari samping mengarah
lambung. Sekali merupakan terjangan maut yang amat berbahaya, Lie Kung ternyata
gesit sekali karena jungkir balik ia dapat menyelamatkan diri!
Tepuk tangan menyambut gerakan ini karena sekarang para
tamu merasa mendapat suguhan yang menarik, tidak seperti tadi di mana tiga
orang pemuda sama sekali tidak dapat mengimbangi permainan Liu Lu Sian yang
gesit. Pemuda pesek ini benar-benar cepat gerakannya walaupun tampaknya lambat
dan tenang.
Setelah diserang selama lima jurus dengan hanya mengelak,
mulailah dia mengembangkan gerakannya untuk balas menyerang. Telah ia duga
bahwa pemuda ini merupakan seorang ahli lwee-kang, dan ternyata benar, pukulan
pemuda ini berat dan antep, hanya sayangnya pemuda ini berlaku sungkan-sungkan,
buktinya yang diserang hanya bagian-bagian yang tidak berbahaya. Marahlah Lu
Sian. Sikap pemuda yang hanya mengarahkan serangan pada pundak, pangkal lengan
dan bagian-bagian lain yang tidak berbahaya itu, baginya diterima salah.
Dianggap bahwa pemuda ini terlampau memandang rendah padanya, seakan-akan sudah
merasa pasti akan menang sehingga tidak mau membuat serangannya berbahaya.
Setelah lewat tiga puluh jurus mereka serang-meyerang,
tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara kelengking tinggi yang mengejutkan semua
orang. Gerakannya tiba-tiba berubah lambat dan aneh, pukulannya merupakan
gerakan yang melingkar-lingkar.
"Bagaimana kau lihat pemuda itu?"
Pat-jiu Sin-ong bertanya ketika ia melihat Kwee Seng
menoleh dan menonton pertandingan, tidak seperti tadi ketika tiga orang pemuda
mengeroyok Lu Sian. Kwee Seng memandang acuh tak acuh.
"Lumayan juga. Bakatnya baik dan kalau ia tidak
terlalu banyak kehendak, ia dapat menjadi ahli lwee-keh yang tangguh."
"Ha-ha, kau lihat, Puteriku sudah mulai mainkan
Sin-coa-kun ciptaanku yang terakhir. Pemuda itu takkan dapat bertahan lebih
dari sepuluh jurus!"
Diam-diam Kwee Seng memperhatikan. Ilmu Silat Sin-coa-kun
(Silat Ular Sakti) memang hebat, mengandung gerakan-gerakan ilmu silat tinggi
yang disembunyikan dalam gaya kedua tangan yang gerakannya seperti ular
menggeliat-geliat dan melingkar-lingkar.
Namun dalam ilmu silat ini terkandung sifat yang amat
ganas, dan kembali sepasang alis pemuda ini berkerut saking kecewa. Sungguh
sayang sekali, kecantikan seperti bidadari itu, dirusak sifat-sifat liar dan
ganas, diisi ilmu yang amat keji.
Untuk mengusir kekecewaan yang menggeregoti hatinya,
pemuda ini menuangkan arak sepenuhnya dan mengangkat cawan. "Minum biar
puas!" lalu sekali tenggak habislah arak itu. Pat-jiu Sin-ong tertawa
bergelak dan minum araknya pula.
Ramalan Pat-jiu Sin-ong ternyata terbukti. Tepat sepuluh
jurus, setelah pemuda she Lie itu terdesak dan bingung menghadapi dua lengan halus
yang seperti sepasang ular mengamuk, lehernya kena dihantam tangan miring. Ia
mengaduh dan terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi tepat pada saat lehernya
dihantam, ia dapat mengibaskan tangannya mengenai lengan Lu Sian sehingga
menimbulkan suara
"plakk!" dan gadis itu menyeringai kesakitan,
lengannya terasa panas sekali.
Biarpun ia sudah tahu bahwa pukulannya mengenai leher
lawan dengan tepat, karena lengannya tertangkis tadi, Lu Sian menjadi marah dan
cepat ia maju lagi mengirim pukulan yang agaknya akan menamatkan riwayat pemuda
itu.
"Cukup...!!"
Tiba-tiba sesosok bayangan meloncat ke atas panggung dan
dengan cepat menangkis tangan Lu Sian yang mengirim pukulan maut.
"Dukkk!"