Bab 3
Kim Hwa, engkau.... engkau
mati....? Ah, mana bisa.... engkau.... aduuhhh.... engkau benar-benar mati? Kim
Hwa....!! Untuk kedua kalinya tubuhnya terguling roboh pingsan sambil mendekap
tubuh dara itu yang masih hangat namun yang sudah tak bernyawa lagi.
Sepasang mata Kam Liong
menjadi basah. Ia mengangguk-angguk dan berkurang banyaklah kemarahannya
terhadap Suma Hoat. Jadi begitukah, pikirnya. Ternyata ada jalinan cinta kasih
yang demikian mendalam antara mereka. Ketika ia melirik, ia melihat wajah Ciok
Khun pucat sekali dan air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya. Juga
bangsawan Thio dan adiknya termangu-mangu, terharu menyaksikan kelakuan Suma
Hoat. Kam Liong merasa tidak enak hatinya, dan ia melangkah mundur, tak tahu
harus berbuat apa.
Suma Hoat siuman kembali, lalu
menangis mengguguk, dan menciumi bibir itu, merintih-rintih dan memohon supaya
kekasihnya suka bicara, suka membuka mata, diciumnya mata dan bibir itu sampai
akhirnya ia yakin bahwa bibir itu tidak membalas ciumannya, mata itu tidak lagi
memandang mesra melainkan terus terpejam.
Kim Hwa, engkau mati! Engkau
membunuh diri.... tidak! Engkau dibunuh! Tiba-tiba Suma Hoat membalikkan tubuh
dan memandang kepada tiga orang itu dengan mata liar. Agaknya baru sekarang ia
melihat kehadiran Bangsawan Thio dan adiknya, dan ayah Kim Hwa. Kemarahannya
meluap.
Kim Hwa, engkau dibunuh!
Mereka inilah yang membunuhmu! Aku akan membalas kematianmu, Kim Hwa kekasihku.
Aku akan membalas dendam!! Tiba-tiba ia menerjang maju, kedua tangannya
bergerak memukul dengan pukulan maut yang amat kuat ke arah Bangsawan Thio
adiknya.
Bressss!! Tubuh Suma Hoat
terlempar ke belakang dan roboh terguling. Pukulan kedua tangannya tertangkis
oleh dengan Menteri Kam Liong yang kini melangkah maju dengan pandang mata bengis.
Suma Hoat terkejut bukan main,
cepat menggulingkan tubuhnya di lantai meloncat bangun, siap menerjang lawan
yang tangguh itu! Akan tetapi ketika ia melihat bahwa lawannya itu adalah
Menteri Kam Liong, seketika lemas kedua kakinya. Ia memandang pekhunya, air
matanya bercucuran dan lututnya menjadi lemas sehingga ia jatuh berlutut,
mulutnya berkata serak.
Pek-hu, harap bunuh saja saya
yang celaka ini....!
Menteri Kam Liong melangkah
maju, tangannya mencengkeram pundak Suma Hoat dan sekali menarik, tubuh Suma
Hoat sudah berdiri lagi. Laki-laki macam apa engkau ini? Beginikah sikap
seorang gagah perkasa? Lemah melebihi wanita! Cengeng dan sesat!!
Suma Hoat masih menangis,
menengok ke arah pembaringan dan tangisnya makin mengguguk. Pek-hu....! Ia terengah-engah.!....lebih
baik saya mati.... saya... mencinta Kim hwa.... mengapa Pek-hu melarang?
Mengapa semua orang melarang? Aku dan dia sudah saling mencintai Tuhan pun
tidak melarangnya! Mengapa kalian mengganggu kami....? Huhu-huuukkkk!! Suma
Hoat menangis seperti anak kecil, menunduk di depan uwanya.
Kam Liong mengeraskan hatinya
dan menggerakkan tangan kiri menampar. Plakk!! pipi kanan Suma Hoat ditatapnya
sehingga pemuda itu terkejut sekali, membelalakkan mata penuh penasaran.
Lega hati Kam Liong karena
memang itulah yang dikehendakinya, agar bangkit kembali semangat pemuda ini.
Dengar kau, Suma Hoat! Seorang
laki-laki sejati lebih mementingkan kebenaran daripada nyawa dan apapun juga di
dunia ini! Apa artinya cinta kalau melanggar kebenaran? Bencana yang menimpa
ini adalah gara-gara kelemahan hatimu! Bukan mereka yang menyebabkan kematian
nona ini, melainkan engkaulah! Engkau yang membunuhnya dengan perbuatanmu.
Mengerti?!
Pemuda itu terbelalak
memandang pek-hunya, penuh penasaran. Akan tetapi, Pek-hu! Dia
mencintaiku,....! kami saling mencinta dan bersumpah untuk....!
Diam! Tidak mungkin cinta
tumbuh tanpa tanggapan kedua pihak! Tak mungkin tunas cinta dapat bersemi tanpa
pupuk pihak lawan! Engkau sudah tahu bahwa dia telah menjadi tunangan orang lain,
namun engkau yang lemah ini telah menanggapi cintanya! Kalau engkau tidak
melayaninya, aku yakin bahwa dia tidak akan mencintamu! Perbuatanmu itu
merupakan pelanggaran besar, mencemarkan nama keluarga kita! Dan yang lebih
dari itu, engkaulah yang menyebabkan kematian nona ini yang sudah terlanjur
mencintaimu! Dan engkau masih hendak menyalahkan orang lain yang tidak berdosa?
Hemm, biarlah peristiwa ini menjadi pelajaran pahit bagimu agar tidak terlalu
menurutkan nafsu, pandai mengekang nafsu dan menyalurkannya melalui kebenaran,
tidak membuta dan sesat! Pergilah sebelum urusan ini tersiar luas. Pergilah!!
Bentakan terakhir ini
mengandung ancaman hebat dan Suma Hoat mengeluh, kemudian dengan lemas ia
meloncat keluar melalui langit-langit dan genteng. Semua orang di dalam kamar
itu masih tertegun menyaksikan peristiwa itu dan terdengarlah suara Suma Hoat
di atas genteng suara yang mengandung isak, suara yang parau bercampur suara
rintikan hujan.
Perempuan....! Aku benci....!
Cinta perempuan palsu semua! Yang murni hanya Kim Hwa, akan tetapi dia pun
meninggalkan aku! Aihhh, benci aku....! Benci aku....! Benci.... !! Suara itu
makin menjauh. Kam Liong menghela napas panjang, hatinya penuh kekhawatiran
kalau mengenangkan keadaan Suma Hoat. Diam-diam ia merasa heran mngapa seorang
pemuda yang ia tahu berwatak mata keranjang dan suka mengobral cinta di antara
pelacur-pelacur tinggi, sekarang dapat jatuh cinta seperti itu terhadap seorang
gadis!
Melihat keluarga itu berduka
dan berkabung, Menteri Kam Liong pun berpamit, disepanjang jalan menyesali
nasib keluarganya.
Setibanya di rumah, Suma Hoat
jatuh saklt. Dia diserang demam tinggi, setiap hari mengigau dan
menyebut-nyebut nama Kim Hwa, kadang-kadang memaki-maki semua perempuan yang
disebutnya tidak setia, bercinta palsu dan lain-lain.
Sampai sebulan lebih Suma Hoat
jatuh sakit, tidak sadar akan keadaan sekelilingnya. Ayahnya, Panglima Suma
Kiat yang amat menyayang putera tunggalnya, tentu saja menjadi bingung dan
mengundang semua tabib yang ahli untuk mengobati puteranya.
Pada suatu malam, Suma Hoat
sadar dari tidurnya. Dia sudah mulai sembuh dan mulai sadar, tanpa membuka
matanya ia mengenangkan semua persitiwa yang menimpanya terkenang kembali
kepada Kim Hwa. Dia mengeluh panjang dan berkata lirih, Semua perempuan palsu
cintanya, yang murni pun tidak setia, malah meninggal pergi!!
Tiba-tiba terdengar suara
halus di dekat pembaringan. Tidak semua perempuan palsu cintanya, Suma Hoat.
Betapa mudahnya meminta seorang pemuda seperti engkau. Aku pun.... kalau diberi
kesempatan....!! Jari tangan yang halus menyentuh dahinya dengan mesra, dan
saputangan yang harum dipergunakan oleh jari-jari itu mengusap peluh di
dadanya.
Suma Hoat membuka mata,
terbelalak menandang wajah seorang wanita yang amat cantik, wanita yang usianya
kurang lebih tiga puluh tahun, akan tetapi yang luar biasa cantiknya! Cantik
melebihi Kim Hwa! Muka yang halus itu kemerahan, matanya bergerak-gerak lincah
penuh pengertian, mulutnya seolah-olah selalu menantang cium! Wanita yang
matang, menggairahkan, dan gerak-geriknya menunjukkan seorang ahli silat!
Wanita cantik jelita yang tidak dikenalnya, namun yang jelas kini merayunya
dengan sikap dan kata-katanya, terutama sekali dengan sinar matanya yang penuh
nafsu, yang seolah-olah hendak menelanjanginya!
Kau.... siapakah....?! Suma
Hoat bertanya diam-diam kagum melihat wajah itu.
Aku? Namaku Bu Ci Goat,
aku.... baru setengah bulan di sini, Aku selir ayahmu yang paling baru.!
Oohhh....!! Tanpa disadari,
seruan ini mengandung kekecewaan.
Mengapa? Tidak girangkah
engkau mempunyai seorang ibu muda baru seperti aku?! Bu Ci Goat mendekatkan
mukanya hingga hampir menyentuh hidung Suma Hoat yang mencium bau harun sekali.
Jantungnya berdebar dan ia menegur.
Kalau engkau selir Ayah,
mengapa di sini? Mau apa?!
Wanita itu tersenyum dari
memegang tangan Suma Hoat. Engkau sakit, dan sudah sepatutnya aku menengok dan
menjaga. Aku pun seorang ahli mengobati penyakit, dan melihat penyakitmu, mudah
saja obatnya!!
Apa?!
Ini....!! Berkata demikian,
wanita itu menarik tangan Suma Hoat dan merapatkan tangan pemuda itu ke
dadanya, sehingga terasalah oleh peniuda itu gumpalan daging yang hangat.
Ahh.... jangan....!! Suma Hoat
menarik tangannya akan tetapi terkejut karena ternyata tangan yang memegangnya
itu amat kuat! Tahulah dia bahwa biarpun belum tentu wanita ini memiliki
kepandaian silat tinggi, namun yang jelas memiliki tenaga yang kuat!
Mengapa tidak? Engkau
menderita pukulan batin akibat sakit asmara, dan penyakit rindu obatnya hanya
satu! Dan aku.... percayalah, cintaku tidak palsu, Suma Hoat. Boleh kau
buktikan sendiri!! Setelah berkata demikian, wanita itu lalu merangkul leher
Suma Hoat, menciumi dan membelainya, jari-jari tangannya yang ahli dan cekatan
itu telah membukai pakaian Suma Hoat, juga pakaiannya sendiri seperti telah
terbuka sendiri sehingga bagian tubuhnya yang menggairahkan tampak. Tanpa
diketahuinya bagaimana mula-mulanya karena kesadarannya belum pulih benar, Suma
Hoat mendapatkan dirinya dipeluk dan ditindih oleh Bu Ci Goat yang menyerangnya
dengan hebat, serangan ciuman dan belaian yang benar-benar membangkitkan
semangat pemuda itu!
Ketika Suma Hoat mulai
terangsang dan lupa diri, seolah-olah menemukan pegangan baru setelah dirinya
hanyut dalam kegagalan cinta, setelah merasa betapa wanita ini benar-benar
menggairahkan, berbeda dengan para pelacur, bahkan hampir menandingi kemesraan
Kim Hwa.
Tiba-tiba daun pintu terbuka
dan muncullah Suma Kiat, ayahnya!
Bocah setan! Mengganggu selir
ayahmu sendiri? Benar-benar kurang ajar, tak tahu malu! Engkau benar-benar
mencemarkan nama baik keluarga Suma. Pergi!. Hayo minggat dari sini! Engkau
tidak patut menjadi puteraku!!
Wajah Suma Hoat menjadi pucat
sekali dan ia meloncat turun dari pembaringan, membereskan pakaiannya yang
dilucuti! oleh Bu Ci Goat tadi.
Bu Ci Goat dengan
tersenyum-senyum juga membereskan pakaiannya kemudian menghampiri suaminya,
memegang lengan Suma Kiat dengan sikap manja, mengelus pipi Suma Kiat sambil
berkata, suaranya merayu, Mengapa kau marah-marah? Aku hanya berusaha untuk
mengobati sakitnya, dia menderita sakit rindu yang hebat....!
Wajah Suma Kiat yang tadinya
marah dan kemerahan itu, matanya yang beringas, menjadi lunak ketika ia
menunduk dan memandang wajah selirnya yang termuda, selir baru yang amat
dikasihinya, Ia lalu berkata. Maksudmu baik Ci Goat, akan tetapi tidak tepat.
Kau tahu betapa aku amat mencintaimu, dan aku tidak suka melihat cintamu
kepadaku terbagi, biarpun dengan puteraku!!
Menyaksikan semua ini,
kemarahan Suma Hoat tak dapat tertahan lagi. Ia lalu berkata nyaring, Baik! Aku
pergi! Aku muak melihat semua ini! Muak hidup di neraka ini!! Pemuda itu lalu
melompat keluar dari kamarnya dan pergi. Semenjak saat itu, Suma Hoat tidak
pernah kembali ke rumah ayahnya!
Dan mulai saat itu pula, di
dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, dengan
kepandaiannya yang hebat, dengan keberaniannya yang mendirikan bulu roma para
penjahat. Akan tetapi, di samping sepak terjangnya yang hebat, pendekar muda
ini memiliki kebiasaan yang keji sekali yaitu dia selalu mengganggu wanita! Dia
seringkali terdapat dalam kamar-kamar wanita cantik, isteri orang-orang, gadis
remaja, siapa saja asal dia wanita cantik dan sukar didapat, dan hebatnya,
sebagian besar wanita-wanita itu tidak menolak kedatangan penjahat pemetik
bunga yang tampan, gagah dan memiliki kepandaian merayu wanita secara istimewa
sekali ini!
Dialah Suma Hoat yang
menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa wanita hanya lebih pantas
dijadikan benda permainan belaka, bahwa wanita hanyalah sekedar alat pemuas
nafsunya! Kebenciannya terhadap wanita yang dimulai dengan kepatahan hatinya
karena kematian Kim Hwa, disusul sikap Bu Ci Goat dan ayahnya, membentuk watak
yang seperti iblis terhadap wanita dalam dirinya! Seorang pendekar pembela kaum
tertindas menentang kejahatan, namun juga seorang pemerkosa nomor satu di dunia
sehingga beberapa tahun kemudian, terkenallah nama penjahat pemetik bunga
(pemerkosa) Jai-hwa-sian atau Dewa Pemerkosa!
Keadaan keluarga Suma inilah
yang membuat hati Menteri Kam Liong selalu prihatin sekali, apalagi ketika ia
melakukan peninjauan ke Khitan, ia mendengar berita bahwa diam-diam Suma Kiat
dan anak buahnya merupakan tokoh-tokoh penting yang membujuk para panglima di
utara yang membujuk Kaisar, untuk memusuhi Khitan!
Seringkali menteri yang
bijaksana ini termenung, memikirkan percampuran darah nenek moyangnya yang
sebagian memiliki darah keturunan pendekar-pendekar hebat dan disegani di dunia
kang-ouw seperti pendekar sakti Suling Emas pendekar wanita Ratu Yalina,
pendekar wanita Mutiara Hitam dan yang lain-lain. Akan tetapi, juga terkenal
sekali darah keturunan orang-orang jahat yang mengalir ke tubuh mereka, seperti
keturunan keluarga Suma itu. Dia pun tahu mengapa Suma Kiat membenci Khitan.
Hal ini adalah karena dahulu di waktu mudanya. Suma Kiat jatuh cinta kepada
puteri Suling Emas, atau adik tirinya, pendekar wanita Mutiara Hitam. Karena
cinta tidak dibalas, maka dia mempunyai perasaan benci kepada Kerajaan Khitan
atau sesunnguhnya kepada keturunan Suling Emas, hanya karena keturunan Suling
Emas semua memliki kepandaian yang amat tinggi, maka dia tidak berani
menyatakan kebenciannya secara berterang. Karena kebenciannya kepada Raja
Khitan yang juga merupakan putera SuUng Emas, maka dia berusaha keras untuk
menghancurkan Khitan.
***
Sepasang orang laki-laki dan
wanita berusia empat puluh tahunan berlari seperti terbang cepatnya melalui
padang-padang rumput di daerah Khitan. Yang laki-laki bertubuh tinggi kurus,
berwajah tampan gagah dengan jenggot pendek meruncing dan kumis menggantung di
kanan kiri bibirnya. Pakaiannya sederhana dan rambutnya diikat sehelai
saputangan kuning. Wajah laki-laki ini selalu tersenyum-senyum dan sepasang
matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan dan kejenakanaan. Adapun yang wanita
berwajah cantik dan gagah perkasa, pandang matanya membayangkan kekerasan hati
sehingga membuat orang yang pertama kali bertemu tentu akan merasa tunduk dan
jerih.
Mereka berdua tidak membawa
senjata, namun melihat gerak-gerik mereka, tak dapat disangsikan lagi bahwa
mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi. Memang tepat sekali dugaan ini
karena mereka itu adalah sepasang suami isteri yang apabila disebut namanya
akan membuat tokoh-tokoh kang-ouw terbelalak, dan membuat tokoh-tokoh dunia
hitam gemetar. Laki-laki itu adalah pendekar yang dijuluki Pek-kong-to (Si
Golok Sinar Putih) Tang Hauw Lam, sedangkan, wanita itu adalah isterinya yang
lebih terkenal lagi dan lebih ditakuti karena dia bukan lain adalah Kam Kwi
Lan, Si Mutiara Hitam, puteri dari Suling Emas!
Semenjak menikah dengan Tang
Hauw Lam, pemuda jenaka yang dipilihnya di antara banyak calon suami (baca
cerita MUTIARA HITAM). Mutiara Hitam bersama suaminya lalu pergi merantau.
Tepat seperti yang diduga oleh kakak tiri Mutiara Hitam, yaitu Menteri Kam
Liong, suami isteri yang paling suka merantau ini telah menjelajah ke pelbagai
negeri, jauh di utara dan barat. Mereka melewati Pegunungan Himalaya yang amat
berbahaya, mengunjungi dunia barat dan hidup di antara bangsa-bangsa aneh yang
berkulit hitam seperti arang, kecoklat-coklatan dan ada yang kulitnya putih
seperti salju dengan manik mata berwarna biru, coklat atau hijau, rambut kepala
berwarna merah darah, kuning emas atau putih kebiruan! Tentu saja perantauan
suami isteri pendekar selama belasan tahun ini selain menambah pengalaman
mereka, juga memperdalam ilmu kepandaian mereka.
Suami isteri yang saling
mencinta dan rukun ini hidup bahagia, akan tetapi hanya satu hal yang membuat
mereka kadang-kadang melamun dan menghela napas panjang yaitu bahwa selama
belasan tahun menikah, mereka belum juga mempunyai keturunan! Hal ini merupakan
kekecewaan yang kadang-kadang membuat Mutiara Hitam, si pendekar wanita yang
gagah perkasa dan yang pantang mundur menghadapi lawan yang betapa ganas pun,
kalau malam suka mencucurkan air mata!
Betapa indah pun keadaan dunia
barat di sebelah sana Pegunungan Himalaya, akhirnya suami isteri itu rindu juga
kepada tanah air sendiri. Maka pulanglah mereka ke timur melalui Pegunungan
Himalaya yang aneh dan penuh bahaya, amat sukar dilalui itu. Perjalanan yang
memakan waktu berbulan-bulan dan biarpun suami isteri ini merupakan orang-orang
gemblengan yang ulet dan kuat, namun perjalanan itu sungguh amat sukar
ditempuh, penuh bahaya maut yang aneh-aneh.
Banyak mereka temui binatang
liar yang aneh dan besar, ada orang hutan yang hidup di salju Pegunungan
Himalaya, amat besar, dua kali bahkan tiga kali manusia. Banyak pula
burung-burung raksasa yang tidak terdapat di tempat lain, kelompok
manusia-manusia yang masih telanjang, belum mengenal peradaban sehingga kalau
saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu
mereka itu sudah menjadi korban bahaya-bahaya maut yang mengerikan.
Setelah kembali ke tanah air,
suami isteri ini melanjutkan kesukaan mereka merantau sampai jauh ke selatan,
bahkan pada suatu hari mereka menyewa perahu dan menjelajah pulau-pulau di laut
selatan! Dalam pelayaran inilah, mereka melihat sebuah perahu besar yang
dibajak oleh bajak-bajak laut bangsa Jepang. Mereka datang terlambat dan
berhasil menolong dua orang anak-anak laki dan perempuan yang dilempar ke laut
oleh bajak-bajak itu. Anak-anak itu baru berusia kurang lebih enam tahun ketika
mereka menolongnya dan suami isteri yang tidak mempunyai keturunan ini lalu
mengambil mereka sebagai murid. Anak laki-laki bernama Can Ji Kun, sedangkan
yang perempuan bernama Ok Yan Hwa. Semenjak saat itu, kedua orang anak tadi
selalu diajak merantau, hanya kadang-kadang saja mereka berempat tinggal di
atas puncak sebuah gunung untuk selama satu atau dua tahun, lalu tempat itu
ditinggalkan lagi karena suami isteri yang berdarah perantau itu tidak pernah
merasa betah tinggal di suatu tempat untuk waktu yang terlalu lama.
Demikianlah, ketika mereka
mendengar pergolakan yang terjadi di utara, Mutiara Hitam merasa khawatir akan
nasib kerajaan kakak kembarnya, yaitu Ratu Talibu di Khitan, lalu mereka
berempat berangkat ke daerah utara. Pada pagi hari itu, Mutiara Hitam dan
suaminya berlari-larian cepat sekali di daerah Khitan. Ketika tiba di pinggir
hutan, mereka berhenti dan Pek-kong-to. Tang Hauw Lam menoleh ke belakang lalu
berseru dengan suara nyaring bergema karena ia mengerahkan khi-kangnya.
Ji Kun.... ! Yan Hwa....!!
Hayo cepat kalian menyusul ke sini!!
Mutiara Hitam berkata sambil
menghela napas panjang. Dua orang muda kita itu tiada hentinya bersaing dan
berlumba, seperti anjing dengan kucing saja! Mengapa mereka tidak pernah
kelihatan akur?!
Suaminya tertawa dan kalau
sudah tertawa, Tang Hauw Lam ini nampak masih seperti seorang pemuda! Ha-ha-ha,
mengapa disusahkan? Hal itu malah baik sekali, karena persaingan menimbulkan
kemajuan! Maka sebaiknya kalau mereka itu kita latih secara terpisah pula, biar
aku melatih Ji Kun dan engkau melatih Yan Hwa. Dengan demikian, persaingan di
antara mereka akan makin menghebat dan mereka akan berlumba saling mengalahkan
sehingga memperoleh kemajuan pesat.!
Mutiara Hitam mengerutkan
keningnya. Hemm, aku sangsi apakah cara itu akan membawa kebaikan.
Jangan-jangan mereka akan menyeret kita dalam persaingan dan percekcokan di
antara mereka!!
He-heh-heh! Kita terbawa dan
saling cekcok? Jangan khawatir, isteriku, sampai bagaimanapun juga, mana bisa
aku menangkan engkau?!Mutiara Hitam memandang suaminya dan mau tidak mau ia
tertawa juga.
Hidup di samping suaminya yang
selalu berwatak jenaka itu mana bisa ia merasa bosan dan susah? Sesukamulah,
akan tetapi engkau pun harus menurunkan ilmu-ilmu yang kumiliki kepada Ji Kun.!
Tentu saja.... tentu....!
Jangan khawatir, mereka berdua kelak akan terkenal sebagai murid Mutiara Hitam!
Ilmu keturunan keluarga Suling Emas tidak boleh terhenti begitu saja!!
Pada saat itu, tampak dua
titik hitam dan kiranya mereka adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan
yang berlari secepatnya ke tempat itu. Tepat seperti dugaan suami isteri
pendekar ini, kedua orang anak itu bukan sembarangan berlari, melainkan
berlumba lari, berdulu-duluan sampai ke tempat guru mereka! Ketika tiba di
situ, Ji Kun menang beberapa meter dan hal ini diterima oleh Yan Hwa dengan
muka cemberut sungguhpun seperti juga Ji Kun, napasnya sudah senin kemis
tinggal satu-satu!
Kita sudah memasuki daerah
Khitan, perang terjadi di mana-mana. Jangan kalian terlalu jauh terpisah dari
kami!! Mutiara Hitam menegur kedua orang muridnya.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan
memasuki daerah Khitan dan dapat dibayangkan betapa sedih hati Mutiara Hitam
menyaksikan keadaan Khitan yang rusak. Apalagi ketika ia mendengar bahwa
Kerajaan Khitan sudah hancur, dan terutama sekali ketika mendengar bahwa Raja
dan Ratu Khitan telah gugur dalam perang, Mutiara Hitam tak dapat menahan
kesedihannya dan lari ke tempat sunyi untuk menangis! Dua orang muridnya hendak
lari menyusul namun mereka ditahan oleh suhu mereka yang maklum bahwa pada saat
seperti itu, isterinya tidak mau diganggu oleh siapapun juga. Pula, merupakan
pantangan bagi isterinya untuk terlihat orang lain bahwa dia menangis.
Setelah beberapa lama
membiarkan isterinya menangis di tempat sunyi seorang diri dan memesan kedua
orang muridnya agar jangan pergi dari situ, Tang Hauw Lam lalu menghampiri
isterinya, perlahan-lahan ia duduk di dekat isterinya yang masih sesenggukan,
lalu berkata halus.
Kwi Lan, hentikanlah tangismu.
Menurut kepercayaan lama, roh-roh orang yang meninggal akan menjadi gelisah
kalau ditangisi oleh keluarga dekat yang dicintanya! Raja Talibu dan isterinya
gugur sebagai raja dan ratu yang gagah perkasa. Lupakah kau akan cerita
orang-orang Khitan tadi itu? Mereka tewas dengan senjata di tangan,
mempertahankan kerajaan dengan titik darah terakhir! Betapa hebat dan perkasa
kakak kembarmu itu! Aku benar-benar kagum bukan main dan aku pun ingin sekali
kelak dapat mengakhiri hidup seperti itu! Roh mereka itu tentu mendapat tempat
yang layak bagi orang-orang gagah seperti mereka, apakah kini engkau hendak mengusik
dan membikin gelisah mereka dengan tangismu?!
Mendengar ucapan suaminya ini,
Mutiara Hitam menghenti kan tangisnya. Akan tetapi ketika menoleh memandang
wajah suaminya yang biasanya berseri itu kini muram pandang mata yang biasanya
berseri itu kini sayu dan penuh iba kepadanya, dia terisak dan menjatuhkan diri
di atas dada suaminya sambil menangis lagi.
Tang Hauw Lam memeluk tubuh
isterinya, mengelus-elus rambutnya dan menepuk-nepuk pundaknya. Hemm,
tenanglah.... tenang, isteriku. Lihat.... kau membikin aku ikut menitikkan air
mata! Ah, betapa memalukan kalau pendekar yang berjuluk Pek-kong-to berubah
menjadi seorang laki-laki cengeng!!
Mutiara Hitam menghentikan
tangisnya, berpegang tangan dengan suaminya seolah-olah dalam keadaan hati
menderita itu dia minta bantuan kekuatan suaminya, kemudian sambil merenung
jauh ia mengepal tinju kiri dan berkata, Aku harus membalaskan kematian mereka!
Si
keparat bangsa Yucen!!
Wah-wah-wah, sabarkan hatimu,
isteriku dan pergunakanlah akal budl dan pertimbangan pikiranmu, jangan
dikeruhkan oleh nafsu mendendam. Kakakmu dan isterinya gugur dalam perang,
tentu saja tidak dapat diketahui siapa yang menewaskan mereka. Gugur dalam
perang berbeda dengan dibunuh perorangan, maka tidak mungkin bicara tentang
sakit hati dan balas dendam. Apakah kita harus memusuhi seluruh bangsa Yucen
dan berusaha membunuhi mereka? Betapa piciknya kalau begitu, sungguh tidak
sesuai dengan jiwa kapendekaran kita! Pendirian kita adalah menentang kejahatan
manusia. Di dalam perang bagaimana bicara tentang kejahatan bangsa? Mereka yang
berperang itu hanya memenuhi tugas, seperti juga kakakmu dan isterinya. Dan
sejak dahulu, engkau sudah menyatakan tidak suka mengikatkan diri dengan urusan
kerajaan dan pemerintah, bukan?!
Teringatlah Mutiara Hitam dan
kemarahannya mereda. Heran sekali, mengapa Ayah dan Ibu diam saja dan tidak
muncul membantu Kakak Talibu?! katanya perlahan.
Agaknya aku dapat meraba
pendirian Ga-hu dan Gak-bo (Ayah dan Ibu Mertua). Beliau berdua adalah
orang-orang yang telah mengasingkan diri, tidak mencampuri urusan dunia,
apalagi urusan kerajaan. Kalau mereka itu kini mencampuri, bukankah akan
sia-sia saja mereka menyucikan diri? Pula, kerajaan telah, diserahkan kepada
mendiang kakakmu, Raja Talibu, maka menjadi tanggung-jawabnyalah semua urusan
kerajaan, maju mundurnya, jatuh bangunnya. Dan harus diingat bahwa segala
sesuatu telah dikehendaki oleh Thian. Kerajaan seperti juga manusia, ada
waktunya lahir ada waktunya mati. Yang penting harus kita selidiki, bagaimana
dengan nasib putera kakakmu? Bukankah menurut cerita orang-orang Khitan itu
mereka mempunyai seorang puteri?!
Benar!! Mutiara Hitam
kelihatan bersemangat. Namanya Puteri Maya yang kabarnya lenyap bersama pasukan
pengawal. Agaknya Kakak Talibu sudah membuat persiapan dan tentu saja anak itu
disuruh antar para pengawal mencari Ayah dan Ibu di Puncak Go-bi-san!!Tang Hauw
Lam mengangguk-angguk. Tidak ada dugaan lain lagi, tentu begitulah. Agaknya
sudah pasti bahwa keponakan kita itu diantar oleh pasukan ke puncak Go-bi-san.
Kalau benar demikian, selamatlah keponakan kita itu dan dia bahkan akan
mewarisi kepandaian Gak-hu dan Gak-bo yang sakti.!
Akan tetapi Mutiara Hitam
mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. Aku masih khawatir. Ayah dan Ibu
tidak pernah memberitahukan siapa juga di mana tempat mereka bertapa. Aku
sangsi apakah pasukan pengawal itu akan berhasil menemukan tempat pertapaan
mereka. Sebaiknya kalau kita susul, syukur kalau Maya sudah tiba di sana,
sekalian klta menghadap Ayah Bunda yang sudah belasan tahun tidak kita temui.
Aku sudah rindu kepada mereka.!
Baiklah, sebaiknya begitu.
Juga akan berguna bagi pengalaman murid-murid kita,!
Suami isteri pendekar itu
bersama dua orang murid mereka lalu berangkat meninggalkan daerah Khitan menuju
ke barat, ke arah Pegunungan Go-bi-san yang mempunyai daerah luas sekali. Di
sepanjang perjalanan menuju ke Go-bi-san, mereka bertemu dengan daerah-daerah
di mana perang terjadi dan mereka selalu menghindarkan diri dari perang ,antar
suku itu, di mana bangsa Yucen makin lama makin berkembang mdnjadi kuat di
samping bangsa Mongol yang juga sudah memperkembangkan sayapnya di daerah utara
dan timur.
***
Telah lama kita meninggalkan
Puteri Maya yang berhasil melarikan diri dari cengkeraman sepasang manusia
iblis dari India ketika Nila Dewi masih dalam keadaan tertotok dan Mahendra
sedang bertanding mati-matian melawan Menteri Kam Liong. Gadis cilik ini cepat
melarikan diri dengan kedua tangan masih terikat menuju ke barat, memasuki
sebuah hutan yang luas dan liar. Setelah kedua kakinya tidak kuat lagi dipakai
lari dan napasnya hampir putus, barulah ia menjatuhkan diri berguling di atas
rumput, terengah-engah. Kemudian dihampirinya sebuah batu besar, dicarinya
pinggiran batu yang tajam dan mulailah ia menggosok-gosokkan tali pergikat
kedua tangannya pada pinggiran batu yang tajam itu. Sampai panas rasanya kedua
pergelangan tangannya, akan tetapi akhirnya tali pengikat tangannya itu putus
dan ia bebas! Karena khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis itu
mengejarnya, Maya lalu meloncat bangun dan berlari lagi, terus ke barat
memasuki hutan makin dalam. Hutan itu luas dan liar, penuh dengan pohon-pohon
raksasa dan batu-batu besar. Maya hanya berani berhenti sebentar untuk minum
jika dia melewati sebuah anak sungai kemudian lari terus tanpa tujuan, pokoknya
asal sejauh mungkin dari kedua orang manusia iblis yang mengerikan itu.
Hampir sehari ia
berlari-larian terus di dalam hutan itu sampai akhirnya ia keluar dari hutan
tiba di daerah padang rumput yang luas. Ia berlari terus sampai tiba di bagian
yang berbatu-batu di kaki gunung. Tiba-tiba ia mendengar suara banyak orang
tertawa-tawa. Maya terkejut sekali dan berdiri termangu-mangu, mencari tempat
sembunyi, kemudian lari hendak bersembunyi di balik pegunungan batu. Akan
tetapi, mendadak berkelebat bayangan banyak orang dan terasa olehnya angin
menyambar-nyambar ketika bayangan itu berkelebat, disusul suara ketawa-tawa dan
tahu-tahu dia telah dikurung oleh beberapa orang aneh!
Maya memandang terbelalak,
penuh rasa takut karena orang-orang ini keadaannya lebih aneh dan menyeramkan
daripada sepasang manusia iblis India! Mereka terdiri dari laki-laki dan
perempuan, ada yang masih muda yang sudah tua, bahkan ada pula beberapa orang
anak-anak, akan tetapi muka mereka rata-rata buruk dan menyeramkan! Yang pria
banyak gundul tidak rata, atau kalau ada yang berambut pun rambutnya gimbal
menjadi satu seperti sapu serat terkena lumpur! Muka mereka selalu menyeringai
seperti sekumpulan bocah nakal, tubuh atas tak berbaju dan perut mereka rata-rata
gendut biarpun tubuh mereka ada yang kurus kering, seperti tubuh anak cacingan!
Celana mereka dari kulit,
tidak karuan bentuknya, dan bagian bawahnya yang sepanjang lutut itu
robek-robek. Para perempuannya lebih mengerikan lagi. Ada yang menutupi tubuh
atas, akan tetapi banyak tubuh atasannya dibiarkan telanjang begitu saja
sehingga buah dada mereka yang panjang-panjang itu bergantungan seperti buah
pepaya. Rambut mereka riap-riapan, juga kelihatan kotor sekali. Tubuh bawah
ditutup kain sampai ke lutut, juga terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang.
Ada pula yang memakai hiasan kalung terbuat dari.... batu kerikil biasa! Yang
kanak-kanak hanya memakai cawat, sukar dibedakan mana anak laki-laki mana anak
perempuan karena rambut mereka dikelabang dan melintang di kanan kiri, lucu
sekali, lucu namun mengerikan seperti kalau orang berada di dalam rumah sakit
gila!
Mereka itu mengurung Maya
sambil berloncat-loncatan, menari-nari dan berlari-lari memutarinya,
mengeluarkan suara aneh, akan tetapi ada sebagian katakata bahasa Khitan yang
dapat ia tangkap. Kejar....! Tangkap....!! Mereka tertawa-tawa dan ada yang
menuding-nuding ke arah Maya sambil mengitari gadis cilik ini. Maya menjadi
bingung sekali, tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Pada saat itu, anak-anak kecil
yang berada di luar lingkaran juga bersorak-sorak dan kembali Maya mendengar
suara, Kejar dan tangkap!!, malah ada beberapa orang kakek dan nenek aneh yang
berlarian mendatangi seperti anak-anak kecil, tertawa-tawa gembira. Ikut....
Ikut....!! Mereka ini jugaa ikut mengelilinginya dan bersorak-sorak. Kejar!
Tangkap!!Akhirnya, dari gerak-gerik mereka dan dari beberapa kata-kata bahasa
Khitan itu, mengertilah Maya bahwa dia diajak main kucing-tikus!, yaitu dia
menjadi kucingnya dan harus menangkap seorang di antara mereka. Kalau ada yang
tertangkap, maka yang tertangkap itulah yang akan menggantikan kedudukannya
menjadi kucing. Permainan anak kecil! Biarpun ia merasa heran sekali mengapa
kakek-kakek dan nenek-nenek, paman-paman dan bibi-bibi setua itu masih suka
bermain seperti ini, namun dia segera berusaha menangkap seorang di antara
mereka, seorang wanita terdekat. Ia menubruk dengan menggunakan gin-kangnya.
Wusss!! Luput! Maya hampir
tidak dapat percaya. Wanita itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan
ringannya sehingga biarpun dalam jarak begitu dekat, dia tidak berhasil
menangkapnya karena wanita itu telah meloncat ke kiri dan sambil tertawa-tawa
terus berlari mengelilinginya seperti yang lain! Aihh, sungguh tidak kira di
antara rombongan orang gila ini ada yang memiliki kelincahan begitu hebat! Ia
lalu menubruk ke arah seorang laki-laki gundul, akan tetapi kembali ia terkejut
karena laki-lakl ini pun dengan gerakan secepat kilat telah dapat meloncat dan
mengelak! Maya menjadi penasaran dan dicobanya semua orang yang mengelilingi,
namun sampai nenek-nenek pun memiliki gerakan yang bukan main cepatnya sehingga
dia kagum dan terheran-heran! Kiranya dia berada di antara gerombolan orang
gila yang memiliki gin-kang istimewa!
Karena disoraki dan
ditertawai, timbul kemarahan di hati Maya. Akan tetapi betapapun ia mencoba
menangkap, tangannya selalu menangkap angin. Celaka, pikirnya, kalau aku tidak
dapat menangkap, apakah selamanya dia akan menjadi kucing kelaparan? Timbullah
akalnya. Dia melihat bahwa orang-orang tua ini berwatak seperti anak kecil, dan
agaknya kecerdikannyapun tidak akan lebih daripada seorang anak-anak biasa,
anak-anak yang lebih kecil daripadanya karena dia sendiri sudah tidak suka akan
permainan seperti itu, yang pantasnya dimainkan anak-anak berusia enam tujuh
tahun!
Lihat ular besar....!!
Tiba-tiba Maya berteriak dalam bahasa Khitan sambil menudingkan telunjuknya ke
arah pohon di depan. Semua orang kaget dan menoleh. Pada saat itulah Maya lalu
menubruk wanita yang buah dadanya panjang di dekatnya sambil tertawa, memegangi
lengannya dan berkata, Tangkap....!!
Orang-orang itu terbelalak
heran, kemudian tertawa-tawa dan wanita itu memeluk Maya, juga orang-orang itu
memeluk dan menepuk-nepuk pundak Maya, memuji-muji dalam bahasa Khitan
campuran. Kini wanita itu yang menjadi kucing dan Maya harus menjadi seorang di
antara tikus-tikus yang dikejar. Maya berlari mengitari wanita itu seperti yang
lain. Wanita itu lalu bergerak cepat, menubruk ke sana sini dan gerakan mereka
yang berkejaran itu sedemikian cepatnya sehingga pandang mata Maya menjadi
berkunang-kunang dan tahu-tahu lengannya telah ditangkap oleh wanita itu yang
tertawa-tawa.
Tertangkap! Tertangkap!!
mereka berteriak-teriak dan mentertawakan Maya.
Celaka, pikir Maya. Kalau
permainan ini diteruskan, tentu dia yang akan selalu menjadi kucing karena
gerakannya jauh kalah cepat oleh orang-orang aneh ini. Maka dia lalu mencari
akal. Dia berdiri di tengah lingkaran dan mengangkat tangan kanan ke atas, yang
kiri bertolak pinggang, kemudian berkata nyaring. Dengarlah kalian!! Aku adalah
puteri Maya, puteri dari Raja Khitan!!
Akan tetapi orang-orang itu
hanya saling pandang dan menggerakkan pundak, bengong dan lengang-lengong
menggemaskan hati Maya, dan seorang di antara mereka, wanita tua yang memakai
kalung dari kerikil-kerikil besar diuntai, menjawab,
Raja Khitan? Kami tidak
kenal.Namamu Maya?!
Benar!! jawab Maya kesal.
Orang-orang itu sudah
berlarian lagi mengitarinya sambil berteriak-teriak, Kejar! Tangkap!!
Maya merasa mendongkol sekali
dan kembali ia mengangkat tangan menyuruh mereka berhenti. Dengar. Aku
mempunyai permainan yang lebih bagus dari ini.!
Orang-orang itu memandangnya,
ada yang melongo bodoh ada yang kecewa karena permainan dihentikan. Akan
tetapi, nenek yang agaknya menjadi pemimpin mereka dan yang agaknya lebih
cerdik! daripada mereka atau lebih tepat tidak begitu goblok, berkata,
Permainan apa?
Yang jenderal berada di tengah
dan....!
Apa jenderal?! semua bertanya,
termasuk nenek-nenek berkalung.
Jenderal.... ya jenderal!
Goblok kamu!! Maya membentak dan orang-orang itu menyeringai, tertawa-tawa dan
agaknya bangga dan senang dikatakan goblok! Melihat ini Maya menjadi kasihan
sendiri dan melanjutkan, Yang jadi jenderal mengeluarkan perintah yang harus
cepatcepat kalian turut. Siapa yang paling lambat menurut perintah, dialah yang
harus menggantikan aku jadi jenderal. Kalau aku bilang tertawa kalian harus
cepat tertawa, kalau bilang menangis kalian cepat menangis. Mengerti?!
Ada di antara mereka yang belum
mengerti, sehingga ramailah mereka saling bertanya-tanya. Akhirnya mereka
tertawa-tawa dan bersorak tanda bahwa mereka telah mengerti dan suka akan
permainan baru itu. Melihat ini, lega hati Maya dan dia pun ikut pula merasa
gembira, lupa akan kemengkalan dan kemuakan karena orang-orang itu baunya....
ledis dan apek sekali, tanda tak pernah mengenal air rupanya!
Nah, bersiaplah!! kata Maya
sambil bertolak pinggang. Tiba-tiba ia membentak.
Berjongkok....!!
Semua orang terperanjat, ada
yang tertawa ada yang menangis, karena mengira bahwa Maya akan memerintahkan
itu. Kemudian berturut-turut mereka menjatuhkan diri berjongkok sampai ada yang
terjengkang dan terbukalah penutup tubuh mereka. Maya tertawa
terpingkal-pingkal dan dalam keadaan kacau-balau itu sukar dilihat siapa yang
paling terlambat melakukan perintah. Mereka juga tertawa-tawa gembira sekali.
Wah, tidak beres!! kata Maya.
Kalian jangan tergesa-gesa, harus mendengarkan perintahku baik-baik, baru
berlumba menanti perintah. Yang paling lambat menjadi jenderal. Mengerti?!
Mereka semua mengangguk sambil terkekeh-kekeh.
Awas, ya sekarang?! Maya
bertolak plnggang lagi, kemudian tiba-tiba ia membentak, sengaja menghentikan
perintahnya atau menahannya di tengah-tengah.
Ber....!
Baru saja bilang ber....!
semua orang sudah terpelanting karena berlumba untuk berjongkok.
....lari....!! Maya
melanjutkan perintahnya. Tentu saja orang-orang yang, tadinya berlomba jongkok
itu kini menjadi kacau-balau, meloncat dan lari saling bertubrukan sambil
tertawa-tawa, Maya sendiri terpingkal-pingkal menyaksikan solah-tingkah mereka
itu.
Maya mengajarkan bermacam
permainan kanak-kanak kepada mereka sehingga orang-orang itu menjadi amat
girang dan menganggap Maya sebagai anggauta keluarga mereka sendiri. Mereka
bermain-main di tempat itu sampai malam tiba, kemudian mereka itu mengajak Maya
untuk pulang.
Pulang? Pulang ke mana?! Maya
bertanya.
Wanita tua berkalung
menggandeng tangannya, Mari, ikut lah. Kita pulang dan makan!!
Setelah berkata demikian,
nenek ini lalu menggerakkan kedua kakinya berlari, diikuti oleh semua anak
buahnya. Maya hampir menjerit saking kagetnya ketika tubuhnya seperti dibawa
terbang saja. Luar biasa sekali cepatnya lari mereka itu. Mereka membawanya ke
lereng sebuah bukit yang berbatu-batu, kemudian mereka memasuki guha yang amat
dalam, merupakan terowongan batu. Kiranya di sebelah dalam amat luas dan
orang-orang aneh ini tinggal di dalam perut gunung!
Jumlah mereka ada tiga puluh
orang lebih dan pemimpinnya adalah nenek itulah. Sederhana sekali kehidupan
mereka, namun mereka itu setiap saat selalu bergembira dan bermain-main. Ketika
tiba di depan guha, serombongan anjing srigala menyambut dengan liar dan
menggonggong berisik. Tadinya Maya sudah siap-siap untuk menjaga diri karena
gerombolan binatang itu bukanlah anjing-anjing jinak, melainkan srigala-srigala
yang liar dan buas. Akan tetapi, sekali saja nenek itu mengeluarkan suara
menggereng dan menyalak seperti anjing, gerombolan srigala itu mendekam
ketakutan, kemudian seorang anak-anak berusia sepuluh tahun menggiring mereka
dengan cambuk ranting pohon. Gerombolan srigala itu pergi dengan patuhnya,
seperti sekumpulan anjing yang terlatih baik!
Di dalam ruangan yang luas di
perut gunung itu. Maya diajak makan minum oleh mereka. Yang mereka makan adalah
buah-buahan dan daging dipanggang begitu saja, entah daging apa, akan tetapi
rasanya enak. Minumnya air biasa. Karena perutnya amat lapar dan tubuhnya
lelah, Maya makan dengan lahap dan nikmatnya sehingga perutnya menjadi penuh
dan dia tertidur di tempat makan itu.
Demikianlah, puteri Raja
Khitan yang biasanya hidup penuh kemuliaan dan kemewahan itu kini diterima
menjadi anggauta keluarga atau teman segerombolan manusia liar yang belum
mengenal peradaban! Mereka merupakan sekumpulan anak-anak yang sudah tua,
karena hanya tubuhnya saja yang sudah dewasa dan tua, namun watak dan jalan
pikiran mereka masih seperti kanak-kanak di bawah sepuluh tahun! Maya terpaksa
tinggal bersama mereka karena di tempat itulah yang ia anggap paling aman,
karena dia masih khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis India itu masih
mencarinya,
Selama beberapa hari tinggal
dan bermain-main dengan mereka, Maya memperhatikan mereka itu dan mendapat
kenyataan bahwa mereka itu rata-rata, dari yang kecil sampai yang tua sekali,
memilikl keringanan tubuh dan kecepatan gerak yang amat luar biasa, tidak
lumrah manusia biasa. Akan tetapi, biarpun tenaga mereka kuat-kuat berkat cara
hidup yang liar itu, namun mereka tidak pandai ilmu silat!
Dia benar-benar merasa heran
sekali dan pada suatu pagi, ketika anak-anak berloncatan mengambil buah-buah
yang tergantung tinggi di pohon dengan cara meloncat dan menyambar buah-buah
itu dengan tangan, ia bertanya kepada seorang anak-anak, anak perempuan yang
sebaya dengannya.
Dari mana kalian mempelajari
gerakan yang demikian ringan dan cepat?!
Mula-mula anak perempuan itu
tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Maya, akan tetapi ketika Maya
mengajaknya meloncat-loncat dan ternyata loncatan Maya jauh kalah tinggi, anak
perempuan itu kelihatan takut-takut. Maya mendesak dan anak itu menoleh ke
kanan kiri, kemudian menggandeng tangan Maya dan ditariknya Maya lari pergi
dari dalam perut gunung.
Eh-eh, perlahan dulu.... wah,
bisa jatuh aku....!! Maya terengah-engah karena temannya itu berlari cepat
sekali melalui terowongan yang amat curam, tebing yang berada di punggung guha
itu dan yang agaknya tidak bisa didatangi manusia kecuali dari jalan terowongan
dalam tubuh gunung itu.
Makan itu!! Anak itu berkata
sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang tumbuh di lereng
tebing yang curam tadi. Setelah berkata demikian, anak itu lari meninggalkan
Maya sambil berkata, Aku takut! Takut!! dan sebentar saja dia sudah lenyap,
lari pergi melalui terowongan tadi, agaknya hendak kembali.
Jantung Maya berdebar tegang.
Takut apakah? Apa ada bahaya di situ? Ia memandang dan ternyata sunyi saja di
situ, sunyi yang aneh sekali karena agaknya tidak terdapat mahluk hidup di
tebing itu. Bahkan tidak tampak burung terbang seekor pun. Tempat apakah ini?Ia
memandang ke arah pohon yang ditunjuk oleh anak tadi. Pohon apakah itu? Daunnya
lebat hijau kebiruan, batangnya tinggi sekali seperti pohon raksasa. Disuruh
makan itu? Apa maksudnya anak tadi? Apanya yang dimakan?
Maya termenung dan memutar
otaknya, berusaha menyelami kata-kata dan pikiran anak yang ia tahu amat
sederhana jalan pikirannya itu. Tadi ia bertanya tentang gin-kang mereka,
kemudian anak itu kelihatan takut-takut, menoleh ke sana-sini. Hal ini tentu
berarti bahwa anak itu takut untuk bicara tentang ginkang mereka, atau mungkin
sekali bahwa kepandaian mereka yang khas itu merupakan rahasia mereka, agaknya
mereka mengerti bahwa keringanan tubuh dan kecepatan gerakan mereka itu amat
berguna dan penting bagi mereka, untuk mengejar binatang buruan, atau untuk
melarikan diri dari bahaya.
Kemudian anak itu mengajaknya
ke tempat aneh ini yang belum pernah ia kunjungi, menunjuk ke arah pohon
menyuruh dia makan itu lalu melarikan diri karena takut! Hemm, kiranya tidak
salah lagi. Gerakan gin-kang mereka tidak mengandung dasar ilmu silat,
melainkan keringanan tubuh sewajarnya yang timbul dalam tubuh mereka. Tentu
pohon itulah yang menjadi rahasianya. Makan apanya? Tentu buahnya ataukah
daunnya? Dan anak itu lari ketakutan karena mungkin pohon itu merupakan rahasia
besar keluarganya, maka dia yang telah membawa Maya ke situ tentu saja takut
kalau mendapat hukuman.
Maya mulai mempelajari keadaan
tebing. Pohon itu jauh di bawah, sedikitnya ada lima ratus kaki jauhnya dari
pinggir tebing. Dia mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada sama
sekali. Kalau dia hendak pergi ke pohon itu, dia harus merayap turun! Padahal
tebing itu curam bukan main, dasarnya tidak tampak jauh di bawah pohon itu,
curam dan licin, rata, hanya ada lubang-lubang di permukaan batu yang menjadi
dinding tebing, mana mungkin memanjat turun? Sekali terpeleset dan terpelanting
ke bawah, sama halnya jatuh dari langitl
Maya bergidik ngeri. Betapa
mengerikan! Mengerikan? Masa menghadapi yang begini saja mengerikan? Setelah
semua yang pernah ia alami, dipaksa mengikuti gerombolan manusia iblis yang
dipimpin Bhutan, menyaksikan perkosaan dan pembunuhan sambil menghadapi bahaya
maut berkali-kali, setelah terkubur di bawah tumpukan mayat-mayat manusia,
mandi darah mereka, setelah ia terancam maut secara mengerikan dalam tangan
sepasang manusia iblis dari India, apa artinya menuruni tebing macam itu? Tidak
seberapa!
Kenangan akan segala bahaya
yang pernah ia alaminya, semua kengerian yang dihadapinya, hati Maya mengeras
dan ketika ia kembali memandang ke bawah tebing, dia tidak merasa ngeri lagi!
Keberaniannya timbul kembali, semangatnya bangkit. Kalau benar pohon itu
mendatangkan gin-kang sehebat yang dimiliki orang-orang itu, dia harus
mendatanginya. Bahaya terpeleset yang dihadapinya akan sepadan dengan pahala
yang akan diperolehnya kalau dia berhasil! Soalnya hanya mati atau hidup! Dan
mati atau hidup bukan dia yang menentukan! Asal dia berhati-hati, kalau sampai
gagal dan mati pun tidak akan penasaran lagi!
Dengan hati-hati sekali
mulailah Maya menuruni tebing itu. Ia merayap seperti seekor kera, sedikit demi
sedikit turun ke bawah, kakinya yang meraba-raba mencari injakan, disusul
tangannya yang mencari pegangan. Memang sukar dan amat berbahaya. Di sana-sini
terdapat akar-akar atau batu menonjol yang dapat dipergunakan sebagai injakan
kaki dan pegangan tangan, akan tetapi ia harus berhati-hati dan menguji lebih
dulu kekuatan akar atau batu itu sebelum dipergunakan untuk menahan tubuhnya
karena sekali akar putus atau terlepas, dia akan melayang ke bawah, hancur
lebur di dasar yang tak tampak dari situ saking dalamnya! Begitu hati-hati dan
lambat Maya merangkak menuruni tebing itu sehingga jarak yang hanya lima ratus
kaki itu ditempuhnya dalam waktu lebih dari dua jam!
Akan tetapi akhirnya ia dapat
sampai juga ke pohon besar dengan napas terengah-engah dan tubuh penuh
keringat, kaki tangan menggigil gemetar saking lelahnya. Namun wajahnya
berseri-seri ketika memandang ke atas pohon karena tampak olehnya buah-buah
berbentuk bulat lonjong yang berwarna merah!
Setelah mengatur napasnya dan
kaki tangannya tidak gemetaran lagi, Maya lalu memanjat pohon itu. Jantungnya
berdebar ketika tangannya meraba buah-buah merah. Dipetiknya lima butir buah
yang paling besar dan paling merah, lalu ia membawa buah-buah itu turun ke
bawah pohon. Tanah di bawah. pohon itu terjepit batu-batu dan luasnya ada tiga
empat meter sehingga tempat ini merupakan tempat yang paling aman. Tanpa
mempedulikan lagi akibatnya, dia lalu mulai makan sebutir buah. Bukankah anak perempuan
itu mengatakan makan itu!? Rasa buah itu manis-manis masam dan mengandung rasa
keras seperti arak. Akan tetapi amat lezat bagi Maya yang sudah haus dan lapar
itu, apalagi disertai harapan bahwa buah ini mengandung khasiat yang luar biasa
untuk meningkatkan gin-kangnya.Habislah lima butir buah itu dan Maya merasa
kenyang sekali.
Tiba-tiba ia mengerutkan
alisnya, menekan-nekan perutnya karena perutnya terasa mulas sekali, makan lama
makin hebat, melilit-lilit seperti diremas-remas. Maya merintih-rintih ketika
perutnya mengeluarkan bunyi. Tak tertahan lagi rasa nyeri perutnya, cepat Maya
menggunakan kedua lengannya yang gemetar untuk membukai pakaiannya. Sambil
merintih-rintih dan setengah sadar, dia menguras perutnya sampai tubuhnya
terasa lemas dan habis kekuatannya. Setelah isi perutnya terkuras keluar semua,
agak reda rasa nyeri di perutnya, akan tetapi kini tulang-tulang di tubuhnya
mulai terasa nyeri dan kuku-kuku jari, sambungan-sambungan tulangnya
mengeluarkan bunyi berkerotokan. Sakitnya bukan main dan akhirnya, dalam
keadaan setengah telanjang. Maya roboh pingsan di bawah pohon!
Dia tidak tahu berapa lamanya
ia pingsan. Ketika sadar, ia segera mencuci tubuh dan pakaiannya yang kotor
dengan air yang mengucur keluar dari celah-celah batu dekat pohon. Tubuhnya
terasa sehat akan tetapi lemas sekali, dan perutnya berbunyi terus minta diisi,
lapar bukan main. Setelah tubuh dan pakaiannya tercuci bersih, Maya kembali
memanjat pohon. Dia berlaku nekat. Kalau buah pohon itu benar-benar mempunyai
khasiat dan mendatangkan keuntungan bagi dirinya, syukurlah. Kalau sebaliknya
akan meracuni tubuhnya, biarlah! Apa pun akibatnya, dia harus makan buah pohon
itu karena di situ tidak ada benda lain yang boleh dimakan, sedangkan perutnya
amat lapar, tenaganya habis sehingga tanpa dipulihkan tenaganya, tidak mungkin
ia kembali memanjat ke atas. Baru turunnya saja sudah begitu sukar, apalagi
kakinya dan tubuhnya begitu lemah pula.
Kenekatan hati Maya ini
ternyata amat menguntungkannya. Kalau dia jerih setelah menderita hebat akibat
makan buah itu sehingga tidak berani makan lagi, tentu dia akan kehabisan
tenaga di tempat itu dan tidak dapat naik lagi. Setelah kini ia makan buah itu
lagi dengan hati-hati, hanya menghabiskan sebutir, perutnya kenyang dan
tubuhnya terasa enak sekali, nyaman dan ringan, ringan! Ia mencoba berloncatan.
Benar-benar ringan! Bukan main! Dia dapat meloncat dua kali leblh tinggi
daripada biasa!
Bukan main girangnya hati
Maya. Selama tiga malam dia berada di bawah pohon itu, setiap hari hanya makan
buah merah dan minum air pancuran. Pada hari ke empat, ia mulai merasa
khawatir. Betapapun bodoh orang-orang itu, kalau akhirnya mereka melihatnya di
pohon yang mereka rahasiakan, dia bisa celaka. Dia harus naik dan kembali
kepada mereka. Maya mengambil lima butir buah merah, mengantunginya kemudian ia
mencoba untuk memanjat naik. Hampir ia berteriak saking girangnya karena
sekarang pekerjaan ini dapat ia lakukan dengan amat mudahnya!
Bahkan ia dapat setengah
berlari memanjat naik, berpegang kepada lubang-lubang dan akar-akar di
permukaan dinding tebing, Hal ini adalah karena beberapa hal, Pertama memang
khasiat buah-buah yang dimakannya selama tiga hari itu membuat gerakannya
ringan dan gesit, dan kedua, kakinya di dalam pendakian, naik lebih mudah daripada
turun. Kalau turun, selain harus melihat ke bawah yang menimbulkan rasa ngeri,
juga yang mencari jalan adalah kaki, maka tentu saja amat sukar. Sebaliknya,
kalau naik, mata kita mudah saja mencari pegangan batu dan kita tidak terganggu
oleh pemandangan yang mengerikan di bawah.
Kini dalam waktu beberapa
menit saja Maya telah tiba di atas! Ia membalik dan tersenyum-senyum memandang
pohon yang tumbuh jauh di bawah itu. Ingin ia menari-nari saking girangnya,
akan tetapi begitu teringat kepada orang-orang aneh yang ,berada di dalam perut
bukit, lenyap kegembiraannya, terganti kekhawatiran. Bagaimana sikap mereka
nanti kalau melihat dia kembali setelah menghilang selama tiga hari?
Maya memasuki terowongan dan,
berlari cepat sekali Setelah tiba di ruangan luas dalam bukit, di situ sunyi
sekali, tidak tampak seorang pun, Tentu mereka sedang bermain-main di luar,
pikirnya dan karena perutnya lapar sekali, makan buah mentah terus-menerus
selama tiga hari tidak dapat mengenyangkan perutnya lagi, maka dia lalu menyerbu
sisa makanan yang berada di ruangan itu. Daging panggang yang masih hangat, dan
buah-buahan lain yang mengenyangkan perut.
Setelah kenyang, barulah ia
berlari melalui terowongan yang menuju ke luar.
Benar saja seperti dugaannya,
tiga puluh lima orang itu semua berkumpul di depan guha dan bermain-main,
bahkan kini rombongan srigala yang dua puluh ekor lebih jumlahnya ikut pula
bermain-main di situ, dipimpin! oleh seorang anak lakl-lakl memegang ranting
pohon. Masih heran hati Maya menyaksikan betapa binatang-binatang srigala yang
buas dan yang di dunia ramai merupakan binatang paling sukar dijanjikan kini
lebih jinak daripada anjing-anjing pilihan di bawah ancaman sebatang ranting di
tangan seorang kanak-kanak!
Akan tetapi ketika ia
memandang ke arah orang-orang tua yang berkumpul di sebelah kanan, Ia terkejut
bukan main, memandang terbelalak dan menahan napas. Di antara mereka itu ada
yang sedang menari-nari berjingkrakan seperti biasa, akan tetapi ada pula yang
sibuk menyayat-nyayat daging dan memanggang daging itu. Kalau yang
disayat-sayat dagingnya itu bangkai seekor, binatang buruan tentu Maya tidak
akan melongo. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa yang disayat-sayat dan
diambil dagingnya yang dipanggang itu adalah.... mayat manusia! Dan tak jauh
dari situ tampak seekor kuda yang dicancang. Celaka! Mereka agaknya membunuh
manusia dan kini memanggang dagingnya! Maya bergidik dan perutnya terasa mual
hendak muntah. Cepat ia berlari ke arah mereka dan bertanya kepada nenek
pemimpin mereka.
Apa ini? Mengapa kalian
membunuh orang?!
Nenek itu memandang kepadanya,
berteriak girang. Heeiii, Maya telah kembali!! Semua orang bersorak-sorak
girang dan menari-nari mengelilingi Maya, akan tetapi gadis cilik ini
membanting kaki dan membentak.
Kenapa kalian membunuh orang
ini?! Dia menuding ke arah mayat yang sudah tak karuan macamnya karena daging
pada lengan, dada, pinggul, paha dan betis telah diambil dan dipanggang!
Dia membunuh, kami pun
membunuh. Sama!! Nenek itu menerangkan sambil menunjuk ke arah bangkai seekor
srigala. Mengertilah kini Maya. Kiranya orang asing ini, yang datang menunggang
kuda, telah membunuh seekor di antara srigala-srigala peliharaan mereka, maka
orang-orang aneh itu lalu mengeroyok dan membunuhnya, bahkan mulai memanggang
dagingnya!
Wah, tidak boleh! Tidak boleh
makan dagingnya....!! Tiba-tiba sebutir buah merah meloncat keluar dari kantung
nya ketika ia membanting kaki. Buah itu menggelinding ke dekat kaki nenek
pemimpin yang seketika berteriak kaget, mengambil buah itu, mengangkatnya
tinggi-tinggi dan ia menjerit-jerit penuh kemarahan, jeritan yang tidak
dimengerti artinya oleh Maya.
Semua orang lari berdatangan,
cepat sekali dan makin ramailah mereka berteriak-teriak, ada yang seperti
menangis sehingga Maya menjadi bingung sekali. Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan
suara menggereng dan menggonggong yang aneh sekali. Dan segerombolan srigala
itu membalas dengan gonggongan meraung-raung kemudian lari mendatangi. Nenek
itu menuding ke arah Maya dan.... srigala-srigala itu langsung saja menyerang
Maya!
Maya terkejut, cepat melompat
menghindar. Orang-orang itu sejenak memandangnya, kemudian berserabutan mereka
lari memasuki guha, meninggalkan Maya yang diserbu oleh gerombolan srigala
buas. Agaknya semua orang itu berlumba memasuki guha dan sikap mereka cemas dan
marah. Maya yang kembali diserbu srigala-srigala buas itu, cepat menendang
seekor srigala terdepan, kemudian ia membalikkan tubuh dan lari. Sambil
menyalak-nyalak, dua puluh ekor srigala mengejarnya. Maya teringat akan kuda
yang berada tak jauh dari situ, maka cepat ia lari menghampiri, meloncat ke
punggung kuda, merenggut kendali yang dicancang, lalu membalapkan kuda itu.
Akan tetapi, rombongan srigala itu tetap mengejar dengan kecepatan luar biasa.
Kuda meringkik-ringkik ketakutan, berusaha lari cepat, akan tetapi sebentar
saja dapat disusul dan diserang kedua kaki belakangnya. Kuda terpekik dan
terguling. Maya cepat mendahului meloncat dan ia bergidik ngeri ketika melihat
betapa gerombolan srigala itu kini menerkam tubuh kuda seperti serombongan
semut mengeroyok seekor jangkerik. Memperoleh kesempatan selagi gerombolan
srigala itu berpesta memperebutkan bangkai kuda, Maya lalu lari lagi, bukan
larl menjauh melainkan, kembali ke bukit karena lari ke depan yang merupakan padang
rumput amatlah berbahaya, tidak ada tempat sembunyi.
Ia berlari cepat, akan tetapi
tiba-tiba, dari samping bukit muncul serombongan srigala lain, dan dari
belakang pun srigala-srigala yang tadi sudah mengejar lagi. Celaka, pikirnya.
Mengapa aku begini bodoh? Kalau tadi meloncat ke atas pohon, tentu selamat.
Kini ia telah terjepit dari depan dan belakang, tidak ada pohon di situ, yang
ada hanyalah batu-batu karang bertumpuk-tumpuk. Tiba-tiba ia melihat
celah-celah di antara batu karang, yang merupakan sebuah guha kecil. Hanya
itulah tempat ia dapat sembunyi, maka tanpa berpikir panjang lagi Maya lalu
berlutut dan merangkak hendak memasuki guha yang amat kecil.
Brett!! Ujung bajunya robek
digigit seekor srigala dari belakang!
Wekkk!! Celana di lutut kanan
juga robek.
Setan!!! Maya menjadi marah,
membalikkan tubuh, menendang srigala yang menggigit celananya sehingga binatang
itu terlempar, kemudian tangannya yang sudah menyambar batu itu bergerak.
Prakk! Kainggg....
kaingggg....!! Srigala ke dua memekik-mekik dan berkelojotan dengan kepala
hampir remuk. Segera dia diserbu kawan-kawannya sendiri yang haus darah itu.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Maya untuk menyusupkan tubuhnya ke dalam guha
kecil kemudian tumit kakinya menendang-nendang batu yang menonjol di atas
sehingga batu akhirnya terlepas dan jatuh menutup guha kecil!
Maya terus merangkak maju,
makin lama makin gelap dan sempit, akan tetapi ia tidak mau berhenti. Siapa
tahu srigala-srigala itu dapat membuka penutup guha dan tentu saja mereka dapat
merangkak lebih cepat. Kalau sampai dia tersusul di tempat sempit ini, apa yang
dapat ia lakukan? Membalikkan tubuh tidak bisa, bagaimana mungkin melawan
binatang-binatang itu dengan dua tumit kaki? Tentu kakinya akan habis
digerogoti, lalu sepasang daging pinggulnya! Bulu tengkuknya meremang dan ia
bergidik membayangkan semua itu.
Akan tetapi tidak ada srigala
yang mengejarnya. Maya tidak tahu bahwa sebangsa srigala paling takut memasuki
lubang yang tidak dikenalnya, hanya menyalak-nyalak dari luar menantang dan
memancing penghuni lubang untuk keluar. Mungkin binatang ini takut kalau-kalau
ada bahaya, misalnya serangan ular, yang akan menyambut mereka di dalam lubang
yang gelap.
Akhirnya terowongan kecil itu
membawa Maya ke dalam terowongan besar yang menuju ke ruangan tempat tinggal
orang-orang aneh. Akan tetapi, keadaan di situ sunyi sekali. Maya
terheran-heran dan cepat ia berdiri melalui terowongan itu ke dalam ruangan
besar. Tak seorang pun nampak di situ. Ke manakah mereka? Tiba-tiba Maya mendapet
pikiran bahwa mungkin sekali mereka itu beramai-ramai menuju ke pohon rahasia
mereka umtuk melihat bagaimana keadaan pohon itu setelah diketemukan Maya.
Karena di luar menanti bahaya berupa anjing-anjing srigala.
Maya lalu mengambil keputusan
untuk menyusul orang-orang itu. Setelah mereka melihat bahwa dia tidak
mengganggu pohon, tentu mereka tidak akan marah lagi, pikirnya. Dia tidak suka
kepada mereka, apalagi setelah melihat mereka membunuh dan makan daging
manusia. Akan tetapi pada saat itu, tidak ada jalan lain kecuali berbalik
dengan mereka dan kelak mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka.
Maya mendengar sorak-sorai
mereka, maka ia mempercepat larinya dan akhirnya ia tiba di tebing yang curam.
Tak tampak seorang pun di situ, akan tetapi suara mereka datang dari bawah
tebing! Ia terheran-heran dan cepat menghamplrl tebing dan memandang ke bawah.
Kiranya tiga puluh lima orang itu semua berada di sana, di pohon itu! Dan
hebatnya, besar kecil tua muda semua memanjat pohon dan beramai-ramai mengambil
buah sambil bersorak-sorak!
Kraaaakkkk....!!
Seketika wajah Maya menjadi
pucat. Celaka!! serunya ketika melihat dari atas betapa pohon itu tumbang
berikut akar-akarnya, kemudian melayang kebawah membawa tiga puluh lima orang
yang masih bersorak-sorak, agaknya tidak sadar bahwa maut mengerikan menanti
mereka jauh di bawah, di dasar yang tidak tampak!
Maya memandang dengan wajah
pucat sampai pohon yang melayang-layang turun itu tidak kelihatan lagi. Ia
memejamkan matanya, napasnya memburu. Pemandangan tadi terlampau hebat, terlalu
mengerikan. Kemudian ia termenung di pinggir tebing, dan mengenangkan semua
peristiwa itu. Dia kini mengerti bahwa agaknya, setelah pohon yang mempunyai
khasiat luar biasa itu dia ketahui, orang orang itu merasa khawatir kalau-kalau
ia akan menghabiskan! buah itu! Betapa bodohnya! Karena kekhawatiran itulah
agaknya maka mereka semua, tanpa kecuali, lalu mendatangi pohon untuk mengambil
semua buahnya, baik yang merah maupun yang masih hijau, yang besar maupun yang
masih pentil!
Akibatnya, karena tidak kuat
menahan tubuh tiga puluh orang yang semua memanjat dan mengenjot-ngenjot dahan
sambil bersorak-sorak, pohon itu tumbang, jebol berikut akar-akarnya yang tidak
dapat mencengkeram tanah terlalu kuat karena terhalang batu-batu karang! Maka
habislah riwayat orang-orang aneh itu, dan habis pula riwayat pohon yang
mempunyai khasiat begitu luar biasa. Teringat ini, Maya meraba kantungnya. Ia
merasa menyesal sekali bahwa dari lima butir buah yang dibawanya, kini tinggal
sebutir lagi, yang empat entah lenyap di mana. Tentu terjatuh ketika dia
dikejar-kejar gerombolan srigala.
***
Berpikir demikian teringatlah
ia akan srigala-srigala yang masih menantinya di luar! Akan tetapi dia harus
keluar! Dia tidak sudi lagi tinggal lebih lama di dalam perut bukit ini,
apalagi setelah sekarang penghuninya mati semua. Dia harus pergi meninggalkan
daerah yang menyeramkan itu. Sudah lama dia berada di situ, tentu sepasang
iblis India itu tidak lagi mencarinya, sudah melupakannya. Akan tetapi
bagaimana ia harus melewati gerombolan srigala yang menanti di luar guha?
Maya adalah seorang anak yang
pada dasarnya amat cerdik dan memiliki keberanian luar biasa. Apalagi semenjak
ia berkali-kali menghadapi maut, keberaniannya makin menebal dan tidak mudah
dia keluar dari kota raja Khitan dan mengalami hal-hal yang amat menderita,
berputus asa menghadapi rintangan apapun juga. Setelah memikir-mikir, ia
mendapatkan akal. Selama ia tinggal di situ, ia teringat bahwa srigala-srigala
itu paling takut berdekatan dengan api. Hemm, Inilah, pikirnya. Aku harus minta
bantuan api! Mulailah dia mengumpulkan kulit-kulit binatang yang kering,
dipasang pada ujung sebuah tongkat dahan pohon, diikatnya kuat-kuat, kemudian
ia membuat api dan membakar ujung tongkat yang sudah dibelit-belit kulit itu
sampai bernyala.
Dengan tongkat berapi inilah
Maya lalu berlari keluar, menjaga jangan sampai apinya padam. Kulit binatang
itu mengandung lemak kering, maka tentu saja dapat bertahan lama nyala apinya.
Ketika ia tiba di pintu guha depan, sudah terdengarlah gerengan-gerengan
srigala. Namun Maya tidak menjadi gentar. Ia terus melangkah keluar dan begitu
srigala-srigala itu lari menyerbu, ia memutar-mutar tongkatnya yang ujungnya
bernyala. Tepat seperti yang diharapkan dan diduganya. Srigala-srigala itu
melengking-lengking ketakutan melihat api dan dengan memutar-mutar tongkat yang
baginya menjadi tongkat wasiat keramat ini, dengan enak saja Maya meninggalkan
tempat itu.
Rombongan srigala hanya dapat
mengikutinya dari jauh sambil melolong-lolong kecewa, akhirnya mereka pun
berhenti mengejar dan Maya lalu melarikan diri secepatnya menuju ke selatan
setelah membuang tongkatnya karena apinya pun sudah padam. Lega hatinya dan
kini ia dapat mengurahkan perhatiannya kepada kemajuan gin-kangnya. Ia sengaja
mengerahkan seluruh tenaga dan berlari secepat mugkin. Tubuhnya melesat seperti
sebatang anak panah dan Maya kembali mencela kebodohan dirinya sendiri. Setelah
ia memiliki kecepatan seperti itu, perlu apa dia melarikan diri menunggang kuda
dan perlu apa dia minta bantuan api? Kalau dia lari seperti sekarang ini,
gerombolan srigala buas itu pasti takkan mampu menyusulnya!
Dengan dada lapang Maya lari,
rambutnya berkibar-kibar, wajahnya berseri, larinya cepat sekali seperti seekor
kijang muda!
***
Karena di utara bangsa Yucen
terdesak oleh bangsa Nomad lain, yaitu terutama sekali bangsa Mongol yang
dibantu bangsa-bangsa Naiman dan Kerait, maka suku bangsa Yucen yang makin kuat
kedudukannya itu terus mendesak ke selatan. Bangsa Yucen ini asal mulanya adalah
sebuah suku bangsa yang tinggal di sebelah utara Shan-si dan pernah ditundukkan
oleh bangsa Khitan. Akan tetapi kini bangsa Yucen menjadi kuat sekali sehingga
setelah menangkan perang terhadap Khitan, mereka mendirikan kerajaan yang
mereka sebut Kerajaan Wangsa Cin!
Dengan terjalinnya
persahabatan dan persekutuan antara kerajaan baru Cin dan Kerajaan Sung yang
terus terdesak makin ke selatan, maka untuk sementara bangsa Mongol yang
dibantu bangsa Naiman dan Kerait hanya memusatkan diri di utara, menguasai
daerah yang luas sekali, dari Danau Baikal sampai ke tapal batas Mongolia luar,
Siberia dan Mancuria!
Perang antar suku-suku kecil
masih terus terjadi, bukan lagi perang antara kerajaan yang memperebutkan
wilayah, melainkan antar suku-suku kecil yang memperebutkan tanah subur. Karena
itu, perjalanan yang ditempuh Puteri Maya amatlah berbahaya dan beberapa kali
dia harus bersembunyi di atas pohon-pohon besar, dari mana dia menyaksikan
perang-perangan kecil sampai perang berakhir dan hutan itu penuh mayat
bergelimpangan. Kalau sudah selesai perang dan keadaan sunyi barulah Maya
berani turun dari pohon itu, dan adakalanya dia harus bersembunyi di dalam guha
yang lembab dan dingin kotor sampai berhari-hari.
Pada suatu senja. Maya yang
kini dalam perjalanannya tanpa tujuan telah tiba di daerah Pegunungan Go-bi
yang penuh dengan selingan padang pasir luas, merasa bingung ketika melihat
dari sebuah lereng bukit ke arah padang pasir yang membentang luas di kaki
bukit. Entah berapa luasnya padang pasir itu karena tidak tampak tepinya dan
angin senja menggerak-gerakkan permukaan padang pasir sehingga berombak seperti
laut! Ia merasa takut dan bingung harus mengambil jalan mana. Kalau dia harus
menyeberangi padang pasir itu, dia tidak berani. Sudah banyak dongeng didengarnya
dahulu dari ayah bundanya akan bahaya padang pasir yang kadang-kadang mengamuk
atau diamuk badai dan sudah banyak manusia ditelan lenyap oleh padang pasir
itu. Bahkan pernah ia mendengar betapa orang-orang yang kehabisan air dan
persediaan makan yang kelaparan dan terutama sekali kehausan, tiba-tiba melihat
air melimpah-pimpah akan tetapi apabila didekati, air itu akan lenyap!
Benar-benar banyak siluman tinggal di tempat itu dan setiap saat
siluman-siluman itu mengganggu manusia!
Maka Maya tidak berani ke
selatan melalui padang pasir itu, melainkan membelok ke barat melalui
pegunungan yang biarpun amat sukar ditempuh, namun setidaknya sudah dikenalnya.
Sejak kecil ia sudah biasa berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, maka
daerah seperti ini dikenalnya, tidak seperti padang pasir, yang gundul dan
mengerikan itu. Malam itu ia bermalam di sebuah hutan di puncak bukit dan dari
tempat yang tinggi ini tampaklah olehnya di kaki bukit sebelah barat terdapat
sinar-sinar api yang berarti bahwa di sana tentulah terdapat tempat tinggal
manusia. Maka hatinya menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah ia
ke barat. Siapa kira, perjalanan menuruni bukit ini amat sukarnya, melalui
jurang-jurang dan anak-anak bukit sehingga sampai matahari naik tinggi, belum
juga ia sampai ke tempat yang diduganya tentu sebuah dusun yang semalam tampak
penerangannya dari puncak bukit.
Ia menjadi girang ketika
melihat sebuah bangunan tak jauh didepan. Biarpun dia sudah lelah sekali dan
peluhnya membasahi muka dan leher, namun melihat bangunan itu, Maya melupakan
kelelahannya dan berjalan lagi menuruni lereng. Tentu di situlah dusun yang
dilihatnya semalam dari puncak. Akan tetapi, betapa kecewa hatinya ketika ia
mendapat kenyataan bahwa kuil yang dahulunya tentu besar, akan tetapi kini
sudah rusak akibat perang lalu ditinggal terlantar. Sebagian atapnya sudah
runtuh, lantainya berlumut dan dindingnya menjamur. Biarpun demikian, lumayan
untuk tempat mengaso di terik panas membakar seperti itu.
Tiba-tiba Maya cepat memasuki
bangunan, menyelinap dan bersembunyi di bawah sebuah meja batu bobrok yang
depannya tertutup oleh hancuran bekas arca. Jantungnya berdebar tegang karena
hampir saja ia kurang cepat bersembunyi karena berkelebatnya bayangan yang
datang itu cepat bukan main. Ternyata mereka adalah dua orang laki-laki, yang
seorang berpakaian sebagai seorang perwira bangsa Yucen, adapun yang seorang
lagi adalah seorang Han yang usianya dua puluh lebih, berpakaian seperti
pembesar, seorang pemuda yang mempunyai sepasang mata aneh dan liar gerakannya,
akan tetapi yang bicaranya halus dan mukanya berbentuk lonjong menjulur ke muka
seperti muka kuda. Muka yang buruk dan tidak menyenangkan! Maya tidak berani
bergerak bahkan mengatur napasnya karena ia dapat menduga bahwa kedua orang
itu, terutama Si Pemuda muka kuda, tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka
berbisik-bisik.
Benarkah dia sedang mendatangi
ke sini?!
Tidak salah,! jawab yang
berpakaian perwira Yucen. Seperti biasa, dia naik kuda seorang diri. Sudah dua
kali aku dan kawan-kawan dahulu menyergapnya, namun dia lihai dan selalu
berhasil lolos.!
Akan tetapi yakin benarkah
engkau bahwa dia itulah kurir (utusan) yang menghubungkan Panglima Khu dengan
gurunya?! Pemuda muka kuda kembali bertanya, mendesak menuntut keyakinan.
Betul dia! Memang dia pandai
menyamar dan selalu dapat menghubungi Panglima Khu dengan cara yang cerdik
sehingga tidak pernah meninggalkan bekas, akan tetapi aku yakin bahwa dialah
orangnya.!
Stt, itu dia datang. Serahkan
saja kepadaku. Akulah yang akan menangkapnya! pemuda muka kuda berbisik. Si
Perwira Yucen mengangguk dan bersembunyi di belakang dinding, sedangkan pemuda
muka kuda dengan gerakan yang ringan seperti burung terbang, telah melesat ke
atas atap yang masih ada, di atas dinding yang tidak berapa tinggi dan menjulur
ke jalan depan kuil.
Biarpun Maya hanya dapat
mengintai melalui lubang atau celah-celah kecil di antara reruntuhan arca, dan
tidak dapat melihat jelas ke jalan, namun ia juga mendengar datangnya seekor
kuda dari derap kakinya yang makin lama makin nyata. Jantung gadis cilik ini
berdebar tegang. Ia maklum bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang hebat,
sungguhpun ia sama sekali tidak tahu siapakah dua orang itu dan siapa pula
pendatang yang mereka anggap sebagai utusan yang menghubungkan Panglima Khu
dengan gurunya! Apakah artinya semua itu?
Setelah derap kaki kuda dekat
benar dan tiba di depan kuil, tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik keras
dan terdengar suara hiruk-pikuk beradunya senjata, suara orang bertanding Maya
menggunakan keringanan tubuhnya, menyelinap keluar dan mencari tempat
persembunyian di sebelah luar, yaitu di belakang segerombolan pohon kembang dan
mengintai. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian
sederhana dan bersikap gagah, agaknya tentu orang berkuda itu, sedang
bertanding melawan pemuda muka kuda. Laki-laki yang memakai topi lebar itu
gagah dan gerakannya lihai sekali, akan tetapi dengan heran Maya, mendapat
kenyataan, bahwa Si Pemuda muka kuda itu lebih hebat lagi sehingga laki-laki
bertopi lebar terdesak dan hanya menangkis sambil mundur-mundur, memutar
pedangnya yang selalu menangkis sebatang golok melengkung ditangan pemuda itu
Bukankah engkau ini
Siangkoan-sicu yang membantu di gedung Suma-kongcu? mengapa engkau
menyerangku?!
Namun pemuda muka kuda itu
tidak menjawab dan menyerang lebih hebat lagi sehingga laki-laki bertopi lebar
itu makin terdesak. Engkau.... engkau mengkhianati kerajaan....?! Laki-laki
bertopi lebar berseru, mencoba untuk menangkis golok yang menyambar kepalanya,
akan tetapi pada saat itu, tangan kanan pemuda bermuka kuda yang bertangan
kosong karena goloknya dipegang di tangan kiri, sudah memukul dengan telapak
tangan ke depan.
Blukk! Aiihhhh....!! Laki-laki
bertopi lebar itu terpukul dadanya dan muntahkan darah segar, akan tetapi masih
berusaha membacokkan pedangnya ke arah lawan. Si Muka Kuda miringkan tubuh,
goloknya menyambar ke depan dari samping.
Crokk!! Terdengar jerit
mengerikan karena lengan kanan laki-laki bertopi lebar itu terbabat putus
sebatas siku!
Maya menyaksikan semua itu
tanpa berkedip. Kalau hanya pemandangan seperti itu saja, dahulu ketika ia
menjadi tawanan gerombolan Bhutan, setiap hari dilihatnya, bahkan yang lebih
dari itu pun! Akan tetapi yang mengherankan hati Maya, laki-laki bertopi lebar
itu masih hidup, menggunakan lengan kirinya mengeluarkan sebuah amplop dan
hendak memasukkan amplop ke mulutnya.
Crass!! Kembali golok
menyambar dan lengan kiri ini pun buntung sampai surat itu melayang dan
disambar oleh tangan kanan Si Muka Kuda.
Laki-laki bertopi lebar itu
mengeluh dan masih dapat mengeluarkan kata-kata terakhir sambil terengah-engah,
Siangkoan Lee.... bunuh aku tapi.... jangan ganggu.... Khu-ciangkun....!!
Terpaksa Maya membuang muka
ketika melihat laki-laki bermuka kuda itu melangkah maju, mengayun golok
dan.... memenggal leher laki-laki bertopi lebar. Ia menoleh ke arah perwira
Yucen yang sudah muncul sambil berkata, Bawa kepalanya!!
Perwira Yucen ini dengan muka
berseri girang menyambar rambut kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya,
memuji. Sungguh hebat bukan main kepandaianmu, Siangkoan-taihiap! Masih begini
muda sudah memiliki kepandaian yang luar biasa! Raja kami tentu akan senang
sekali mendengar pembongkaran rahasia Panglima Khu yang palsu ini!!
Aku hanya menjalankan tugas.
Marilah!! kata pemuda muka kuda yang bukan lain adalah Siangkoan Lee, bekas
pelayan murid dan juga pembantu Panglima Suma Kiat.Dua orang itu lalu berjalan
pergi, Siangkoan Lee membawa sampul surat yang dirampasnya, sedangkan perwira
Yucen itu membawa kepala yang masih meneteskan darah itu. Entah mengapa, hati
Maya tertarik sekali dan perasaannya condong untuk membantu orang yang disebut
Panglima Khu. Dia tidak tahu urusannya, hanya tahu bahwa laki-laki bertopi
lebar tadi adalah utusan yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya, tahu
pula bahwa Si Muka Kuda itu disebut pengkhianat dan bernama Siangkoan Lee, dan
kagum menyaksikan betapa laki-laki bertopi lebar itu dalam saat terakhir masih
hendak melindungi Khu-ciangkun dan bahkan hendak memusnahkan sampul suratnya!
Dia tidak mengerti apa artinya
semua itu, namun sekali pandang saja dia merasa tidak suka bahkan membenci
pemuda muka kuda dan bersimpati kepada Panglima Khu yang belum pernah
dilihatnya. Karena itu, melihat dua orang itu melangkah pergi, diam-diam Maya
mengikuti mereka dari jauh. Dia dapat menduga bahwa Panglima Khu terancam
bahaya, entah bahaya apa, maka dia ingin melihat perkembangannya dan kalau
mungkin dia akan memperingatkan Panglima Khu itu agar terlepas dari bahaya
belakang Mengapa Siangkoan Lee berada di tempat itu? Seperti kita ketahui,
Siangkoan Lee adalah bekas pelayan yang menjadi murid Panglima Suma Kiat.
Setelah putera tunggal Panglima itu, Suma Hoat, meninggalkan kota raja dan
minggat karena patah hati, maka Siangkoan Lee merupakan satu-satunya murid yang
amat dipercaya oleh Suma Kiat. Bahkan Siangkoan Lee ternyata memiliki
kecerdikan luar biasa dan kini tanpa ragu-ragu lagi Suma Kiat menarik murid ini
sebagai pembantunya dan diajak berunding dan mengatur siasat dalam, menghadapi
musuh-musuhnya.
Peristiwa yang terjadi
mengenai keluarga Thio di mana Menteri Kam Liong ikut campur, menambah rasa
dendam dan tidak suka di hati Suma Kiat, apalagi karena urusan itu
mengakibatkan puteranya patah hati dan pergi. Dia bersama sekutu-sekutunya dan
dengan bantuan bangsa Yucen telah berhasil menghancurkan musuhnya yang nomor
satu, yaitu keluarga Raja Khitan! Kini dia mulai mengintai dan ingin sekali
menjungkalkan orang yang paling dibencinya akan tetapi juga paling ditakuti,
yaitu Menteri Kam Liong! Akhirnya berkat kelicinannya dan penyelidikan
mata-matanya yang berani main sogok untuk membongkar rahasia, Suma Kiat dapat
mendengar bahwa kepergian seorang panglima pembantu Menteri Kam Liong yang
bernama Panglima Khu Tek San, bukanlah ditugaskan menjaga tapal batas
sebagaimana dikabarkan, melainkan diselundupkan memasuki istana Yucen dan
memegang jabatan di sana sebagai orang yang dipercaya oleh Pemerintah Yucen.
Padahal Khu-ciangkun ini melakukan pekerjaan mata-mata di Yucen, bekerja demi
kepentingan Kerajaan Sung atau lebih tepat lagi, dia bekerja atas perintah
gurunya, Menteri Kam Liong yang selalu menaruh kecurigaan atas pergerakan
bangsa Yucen!
Demikianlah, Suma Kiat lalu
menugaskan muridnya untuk menyelidiki hal itu dan mengusahakan agar supaya
murid Menteri Kam Liong itu ketahuan dan dihukum mati! Terjadinya hal itu tentu
akan memperuncing hubungan antara Yucen dan Sung dan memang inilah yang
dikehendaki Suma Kiat dan sekutunya, yaitu para bangsawan dan panglima yang
tidak senang kepada kaisar mereka dan sudah siap-siap untuk memberontak jika
ada kesempatan.
Biarpun usianya masih muda,
namun Siangkoan Lee ternyata dapat bekerja dengan baik sekali. Dia tidak mau
begitu saja secara kasar menuduh Panglima Khu yang di Yucen amat dihormati
sebagai seorang panglima gagah perkasa yang selalu ikut berperang membela
Yucen. Dia harus dapat memperlihatkan bukti kepada Raja Yucen. Dia tahu bahwa
kalau Panglima Khu bekerja sebagai mata-mata di Yucen, tentu ada satu cara dari
panglima itu untuk mengirim berita tentang penyelidikannya itu kepada gurunya.
Menteri Kam Liong.
Akhirnya, setelah melakukan
penyelidikan secara tekun, dapatlah ia mengetahui bahwa memang ada seorang
kurir yang menghubungkan guru dan murid itu. Dengan petunjuk seorang perwira
Yucen, akhirnya Siangkoan Lee berhasil membunuh kurir, memenggal kepalanya dan
merampas suratnya, kemudian dengan bekal dua tanda bukti ini berangkatlah dia
ke perkemahan Raja Yucen yang kebetulan berada di tempat itu dalam operasi
pembersihan. Raja Yucen disertai para panglima, di antaranya Panglima Khu yang
dipercaya!
Akan tetapi, sungguh Siangkoan
Lee tidak pernah mengira bahwa rencananya yang sudah diatur dengan masak dan
dilakukan dengan sempurna itu terbentur karang berupa seorang anak perempuan berusia
sepuluh tahun yang sama sekali tak diketahuinya telah menyaksikan semua
perbuatannya! Bahkan dia tidak tahu ketika mereka sudah tiba di perkemahan di
waktu malam gelap itu, Maya telah menyelinap melalui perkemahan.
Maya menjadi bingung.
Bagaimana dia harus menyampaikan bahaya itu kepada Panglima Khu? Yang manakah
Panglima itu dan di mana kemahnya? Apa boleh buat, dia harus berani menanggung
bahayanya. Dengan langkah lebar ia menghampiri beberapa orang tentara yang
menjaga. Tiga orang tentara itu tercengang keheranan ketika tiba-tiba dari
tempat gelap muncul seorang anak perempuan yang begitu cantik dan bersikap
begitu tabah dan berani.
Eh, kau siapakah?!
Aku adalah keponakan dari
Khu-ciangkun. Harap kalian sudi mengantar aku kepada Khu-ciangkun nanti
kumintakan hadiah dari Paman Khu untuk kalian.!
Tiga orang anggauta tentara
Yucen itu saling pandang. Mereka terheran-heran dan ragu-ragu. Panglima Khu
adalah seorang di antara para panglima Yucen yang gagah perkasa dan dipercaya
oleh Raja. Memang semua orang tahu bahwa itu panglima berdarah Han, akan tetapi
sepak terjangnya sudah membuktikan kesetiaannya terhadap Kerajaan Yucen. Kini
tiba-tiba muncul seorang anak perempuan mengaku keponakannya! Kalau mereka
menolak dan mengusir bocah ini, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa anak
ini betul keponakan panglima gagah itiu? Tentu mereka akan celaka! Akan tetapi,
kalau membawa anak ini menghadap Panglima Khu, andaikata anak itu membohong,
tentu anak ini yang akan dicambuk! Mereka tidak percaya bahwa di dalam hutan
pegunungan itu tiba-tiba saja muncul seorang keponakan dari Panglima Khu, akan
tetapi segera mereka berkata,
Baiklah, Nona kecil. Akan
tetapi kalau engkau membohong, jangan bertanya tentang dosa lagi. Engkau akan
dihukum mati!!
Apa boleh buat, pikir Maya.
Dia beriktikad baik, menolong Panglima Khu. Tidak mungkin kalau pamrih baik
dibalas hukuman mati! Baik, antar aku kepada Khu-ciangkun!!
Tiga orang tentara itu membawa
Maya ke sebuah kemah yang besar di mana terdapat dua orang penjaga. Mereka
menceritakan bahwa anak ini mengaku keponakan Khu-ciangkun dan minta diantar
menghadap.
Hemm, kalian mencari
penyakit,! kata dua orang penjaga. Akan tetapi, masuklah, Ciangkun sedang duduk
sendiri, kalau kalian dimaki jangan bersambat kepada kami.!
Maya diajak masuk dan ketika
Maya melihat seorang laki-laki berpakaian panglima yang berusia empat puluhan
tahun, bersikap gagah sekali, dia tidak meragu lagi pasti itulah Panglima Khu.
Maka ia lalu berlari ke depan menjatuhkan diri dan berlutut dan berkata, Paman
Khu.... saya mohon bicara empat mata dengan Paman mengenai surat bersampul
kuning dan laki-laki bertopi lebar!!
Mula-mula panglima itu
terkejut dan mengerutkan alis melihat tiga orang perajurit memasuki kemahnya
membawa seorang dara kecil yang cantik, akan tetapi ketika ia mendengar ucapan
gadis itu, berubahlah sikapnya. Pergilah!! katanya kepada tiga orang perajurit
sambil melempar beberapa mata uang ke arah, mereka. Dan terima kasih sudah
mengantar keponakanku ke sini!! Diam-diam Maya kagum sekali atas kecepatan
jalan pikiran panglima itu. Setelah tiga orang perajurit yang kegirangan tadi
menerima hadiah dan pergi, Maya lalu bangkit berdiri dan menghampiri panglima
itu sambil bertanya, Engkau tentu Khu-ciangkun, bukan
anak baik engkau siapakah dan
apa artinya kata-katamu tadi? Duduklah. Aku memang benar Khu-ciangkun.! Perwira
itu memegang tangan Maya dan menariknya duduk di atas bangku di dekatnya sambil
memandang wajah jelita itu penuh selidik. Bukan anak sembarangan, pikirnya.
Ketahuilah, kalau engkau
seorang Panglima Yucen benar-benar, aku tidak akan sudi menolongmu malah lebih
senang melihat engkau mampus! Akan tetapi karena engkau panglima palsu dan
tentu engkau memusuhi Yucen, aku bersedia menolongmu.!
Terbelalak mata panglima itu.
Apa maksudmu?! Ia berbisik dan menoleh keluar kemah. Bicara perlahan.!
Maya juga cerdik dan tahu
bahwa percakapan mereka ini sama sekali tidak boleh didengar orang lain, maka
ia lalu berkata, Aku adalah Puteri Maya puteri Raja dan Ratu Khitan yang sudah
hancur oleh bangsa Yucen! Dan engkau adalah panglima palsu, utusanmu orang
bertopi lebar yang membawa sampul kuning itu telah terbunuh, kepalanya dan
sampul suratnya dibawa oleh seorang yang bernama Siangkoan Lee. Kau akan
dilaporkan....!
Cepat! Kita harus pergi dari sini,
sekarang juga!! Panglima itu dengan gerakan cepat dan kuat telah menyambar
tubuh Maya dan dipondongnya.
Engkau pergilah, aku.... biar
aku lari sendiri!!
Tidak, Paduka. harus saya
selamatkan! Harus!! Panglima itu berkata dengan hati penuh keharuan dan
ketegangan. Sungguh mimpi pun tidak dia akan bertemu dengan puteri Raja Khitan
seperti itu! Raja Khitan adalah adik tiri gurunya, jadi anak perempuan ini
adalah keponakan gurunya sendiri yang harus dia selamatkan! Rahasianya sudah
diketahui orang, entah secara bagaimana karena dia tidak mengenal siapa yang
bernama Siangkoan Lee itu. Akan tetapi, lebih hebat lagi kalau mereka tahu
bahwa anak perempuan ini adalah puteri Kerajaan Khitan! Tentu akan celaka
sekali.
Pada saat itu, tiba-tiba
terdengar bunyi terompet tanduk ditiup gencar. Mendengar ini, wajah panglima
itu berubah. Terlambat....! Paduka.... jangan mengaku sebagai Puteri Khitan,
tetap mengaku keponakan.... keponakan seorang wanita Khitan yang kuambil selir.
Mengerti?!
Maya membelalakkan mata akan
tetapi mengangguk-angguk. Diam-diam ia kagum dan berterima kasih. Keputusan
hatinya untuk menolong panglima ini ternyata tidak sia-sia! Panglima ini
seorang yang gagah perkasa, yang dalam saat berbahaya itu lebih mementingkan
keselamatannya daripada keselamatan sendiri!