Kisah Pendekar Bongkok Bab 11-15

Kho Ping Hoo, Kisah Pendekar Bongkok, Bab 11-15. Setelah membiarkan tiga pasang manusia itu dalam keadaan tanpa pakaian bertumpang tindih di atas pembaringan, Pek Lan tersenyum girang. Di bawah sinar lampu, wajahnya yang cantik manis itu nampak amat menyeramkan, menyerin gai sepertl iblis betina. Matanya mencorong dan giginya berkilauan. Kemudian ia menyelinap ke belakang rumah pondok itu dan membakar bagian belakang rumah, lalu dipukulnya kentongan bambu membuat gaduh.
Anonim
Bab 11

Setelah membiarkan tiga pasang manusia itu dalam keadaan tanpa pakaian bertumpang tindih di atas pembaringan, Pek Lan tersenyum girang. Di bawah sinar lampu, wajahnya yang cantik manis itu nampak amat menyeramkan, menyerin gai sepertl iblis betina. Matanya mencorong dan giginya berkilauan. Kemudian ia menyelinap ke belakang rumah pondok itu dan membakar bagian belakang rumah, lalu dipukulnya kentongan bambu membuat gaduh.

Sebentar saja, semua penghuni rumah gedung hartawan Coa menjadi gempar mendanger kentongan bertalu-talu dari belakang itu. Mereka cepat memasuki taman dan menjadi semakin geger melihat pondok di taman itu.

‘Pondok Merah kebakaran!! demikian teriakan mereka dan semua orang lalu berusaha memadankan api yang membakar bagian belakang pondok itu dengan siraman air. Tiga pasang orang yang berada di dalam tiga kamar itu tentu saja mendengar semua keributan ini, namun mereka tidak mampu bergerak dan hanya menanti dengan hati tegang.

Akhirnya api itu padam dan dipimpin oleh Coa-wangwe sendiri, semua orang memasuki pondok mengadakan pemeriksaan dan apa yang mereka dapatkan? Tiga pasang orang yang saling tindih di atas pembaringan dalam tiga kamar itu, tanpa pakaian sama sekali! Tentu saja keadaan menjadi semakin geger. Semua orang tahu bahwa tiga orang selir Coa-wangwe secara tak tahu malu sekali telah mengadakan perjinaan dengan tiga orang pelayan pria dan agaknya mereka demikian asyiknya sehingga mereka tidak tahu bahwa pondok yang menjadi tempat pertemuan mereka itu terbakar bagian belakangnya!

Ketika tiga pasang orang itu tidak mampu bergerak, hanya memandang dengan ketakutan. Coa-wangwe tentu saja menganggap mereka itu pura-pura atau tidak mampu bergerak karena ketakutan. Dia tidak perduli dan menyuruh para pelayan menyeret enam orang itu turun dari pembaringan, lalu dalam keadaan masih telanjang bulat itu mereka diberi hukuman masing-masing dua puluh kali cambukan bagi para selir dan lima puluh kali cambukan bagi para pelayan pria.

Kulit punggung dan pinggul mereka sampai pecah-pecah berdarah. Setelah itu, mereka diusir, hanya membawa pakaian mereka saja, bahkan selir yang sudah mempunyai anak, tidak diperbolehkan membawa anaknya.

Setelah melampiaskan kemarahannya, marah bukan hanya karena selir-selirnya menyeleweng dengan para pelayan, melainkan karena nama baiknya tercemar dan seluruh penduduk Ye-ceng pasti akan segera mendengar peristiwa yang amat memalukan itu, Coa-wangwe memasuki kamarnya. Dia tidak memperbolehkan isterinya atau selir lain menemaninya karena dia ingin mengaso dan membiarkan hawa amarah mereda.

Akan tetapi ketika dia memasuki kamarnya yang besar dan mewah, menutupkan pintu karena dia tidak ingin diganggu, dan membalik hendak menuju ke pembaringannya, dia terbelalak dan mulutnya ternganga. Di atas pembaringannya itu telah rebah seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Cantik manis, kulitnya yang putih mulus itu nampak karena pakaiannya setengah terbuka. Sepasang mata yang mengerling tajam, senyum yang semanis madu dan sikap yang menantang!

‘Kau.... kau.... Pek Lan?! Coa-wangwe berseru heran dan juga terkejut. Biarpun wanita itu tidak semuda dulu lagi, namun ia telah menjadi seorang wanita yang matang, jauh lebih menarik daripada dulu ketika masih menjadi selirnya, ketika masih berusia tujuh belas tahun! Pek Lan yang rebah di pembaringannya, miring menghadap kepadanya itu adalah seorang wanita yang matang dan merangsang!

Pek Lan tersenyum. Manis! ‘Aih, Coa-wangwe, engkau masih ingat kepadaku? Sungguh menggembirakan!!

‘Tentu saja aku masih ingat!! Hartawan itu mendekati pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan. ‘Siang melam aku ingat kepadamu, Pek Lan, wajahmu selalu terbayang dan aku amat rindu kepadamu, sayang. Setelah engkau pergi, barulah aku tahu betapa besar cintaku kepadamu....!

Tangan hartawan tua itu hendak meraih, akan tetapi wanita itu mengelak. ‘Hemm, kalau memang benar engkau begitu cinta kepadaku, kenapa engkau mengusir aku? Sesungguhnya anak angkatmu itulah yang kurang ajar! Aku dipaksanya dan karena aku takut, dia itu anak angkatmu, terpaksa aku tidak dapat membantah. Kenapa engkau tidak melihat kenyataan itu? Engkau telah dihasut oleh tiga orang selirmu itu. Dan apa buktinya sekarang? Merekalah yang berjina, bahkan dengan para pelayan. Sungguh memalukan keluarga dan mencemarkan nama dan kehormatanmu!!

Hartawan Coa menghela napas panjang. ‘Salahku, aku begitu bodoh. Tapi, sekarang mereka telah kuhukum dan kuusir. Dan engkau, Pek Lan.... engkau begini cantik jelita.... aih, kulitmu begitu mulus, engkau lebih cantik manis daripada dahulu. Engkau kembali, sayang? Engkau akan kujadikan selir pertama, bukan, akan kuangkat menjadi isteri yang sah!! Kembali hartawan itu meraih. Ketika Pek Lan membiarkan dan tangan hartawan itu menyentuh lengannya yang berkulit lembut dan hangat, hartawan itu segera dirangsang nafsu berahi. Akan tetapi ketika dia hendak merangkul, Pek Lan melompat turun dari tempat tidur. Melihat wanita itu berdiri di lantai, Coa-wangwe menjadi semakin kagum. Tubuh itu demikian padat, menggiurkan, tidak lagi kekanak-kanakan seperti dahulu!

‘Pek Lan....!!

‘Cukup! Turunlah dan jangan merengek seperti itu. Aku datang bukan untuk itu. Aku tidak butuh cintamu, tidak butuh laki-laki macam engkau yang sudah tua dan berperut gendut berkepala botak itu!!

‘Pek Lan....!!

‘Dengar! Aku datang untuk menagih hutang! Engkau pernah mengusirku, tanpa memberi bekal. Padahal, aku telah menyerahkan diri kepadamu, menyerahkan kegadisanku dan mandah saja menjadi barang permainanmu, menjadi pemuas nafsumu. Sekarang, engkau harus membayar untuk itu semua! Aku akan mengambil semua hartamu yang kausimpan di dalam almari tebal ini!! Ia sudah hafal akan hal itu dan kini ia menghampiri sebuah almari hitam yang berdiri di sudut. Melihat dan mendengar ini, Coa-wangwe menjadi terkejut dan lenyaplah sudah nafsu berahinya, seperti awan tipis ditiup angin.

‘Pek Lan, apa yang kaulakukan itu?! bentaknya marah. Tentu saja dia tidak merasa takut kepada bekas selirnya itu. Diapun melangkah lebar menghampiri Pek Lan dan menjulurkan tgngan untuk menangkap lengan wanita itu agar tidak menghampiri almari besi tempat hartanya tersimpan.

‘Plakk! Dukk!! Dan hartawan Coa terjungkal. Lengannya yang tertangkis seperti patah rasanya, dan perut yang ditendang menjadi mulas.

‘Aku datang hanya untuk mengambil hartamu, bukan mengambil nyawamu!! kata Pek Lan. ‘Akan tetapi kalau aku marah, nyawamu juga akan kuambil sekalian!!

Kini hartawan itu ketakutan dan dia lari ke arah pintu kamar. Pek Lan tidak memperdulikan dan ia sudah membuka almari tebal itu dengan mudah walaupun almari itu dikunci. Begitu terbuka, nampaklah bahwa almari itu dipenuhi perhiasan-perhiasan dari emas permata, juga bongkah-bongkah emas murni yang berkilauan.

‘Tolong....! Perampok...., pembunuh....!! Coa-wangwe yang sudah keluar dari kamar itu menjerit-jerit. Pek Lan tidak perduli, enak-enak saja mengumpulkan emas dan perhiasan itu ke dalam sebuah kantung kain yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Lima orang jagoan yang menjadi tukang pukul, tukang tagih dan penjaga keamanan keluarga hartawan itu sudah dipanggil dari luar dan kini mereka berlima lari menuju ke kamar itu. Begitu mereka tiba di ambang pintu kamar, mereka bengong dan menoleh kepada Coa-wangwe. Di dalam kamar itu hanya terdapat seorang wanita cantik, sama sekali tidak nampak ada perampok. Bahkan wanita cantik itu memasukkan emas dari dalam almari ke dalam sebuah kantung.

‘Maaf, loya, di mana perampoknya?!

‘Mana ada pembunuh?!

Coo-wangwe menuding ke arah Pek Lan. ‘Ia itulah perampoknya! Lihat, ia mengambil semua hartaku, dan ia telah memukulku!! Dia meringis kesakitan, mengelus perutnya yang masih mulas.

Lima orang penjaga itu tentu saja menjadi bengong. Wanita cantik itu perampoknya? Dan kini, seorang di antara mereka yang paling lama bekerja di situ mengenal Pek Lan. ‘Bukankah.... bukankah engkau nona Pek Lan....?!

Pek Lan yang masih sibuk memasuk-masukkan barang berharga itu ke dalam kantung, menoleh dan tersenyum manis. ‘Hemm, engkau masih mengenalku? Bagus, untuk itu aku tidak akan membunuhmu!!

Coa-wangwe menjadi marah. ‘Untuk apa bercakap-cakap dengan wanita iblis itu? Tangkap ia dan belenggu kaki tangannya!!

Lima orang jagoan itu memasuki kamar dan mengepung Pek Lan dengan setengah lingkaran.

‘Nona Pek Lan, lebih baik kalau engkau menyerah saja dan tidak melawan sehingga tidak perlu kami mempergunakan kekerasan,! kata penjaga yang sudah mengenalnya itu. Dia merasa sayang kalau harus mempergunakan kekerasan terhadap wanita yang luar biasa cantik manisnya itu.

Kantung itu sudah penuh dan biarpun almari itu masih belum terkuras semua, namun sebagian besar perhiasan yang termahal sudah berpindah tempat. Pek Lan mengikat mulut kantong dan dengan kain sutera yang sudah dibawanya, digendongnya kantung yang cukup berat itu di punggung, lalu ia menghadapi lima orang penjaga sambil tersenyum.

‘Majulah dan turuti majikan kalian kalau kalian ingin merasakan kematian!!

Tentu saja lima orang penjaga itu tidak takut. Ancaman itu hanya keluar dari mulut seorang wanita cantik yang dahulunya adalah selir majikan mereka! Seorang wanita muda cantik yang lemah lembut dan berkulit halus mulus seperti itu, tentu saja tidak menakutkan! Empat orang penjaga tidak sabar lagi dan mereka memang sudah ingin sekali segera menangkap dan merangkul wanita cantik itu, maka merekapun menyerbu dan seperti hendak berebut dulu menerkam Pek Lan. Wanita ini tersenyum, tubuhnya berkelebat, kaki tangannya bergerak dan lima orang penjaga itupun terjengkang! Entah apa yang dilakukan, tidak dapat dilihat oleh lima orang itu saking cepatnya gerakan kaki tangan Pek Lan. Tahu-tahu lima orang itu merasa dada atau perut mereka terpukul atau tertendang, keras sekali, membuat mereka terjengkang. Coa-wangwe dan para selir dan pelayan yang berada di luar kamar, mundur ketakutan melihat betapa lima orang penjaga itu terjengkang dan terbanting.

‘Tangkap ia! Bunuh!! Coa-wangwe memberi semangat kepada lima orang penjaganya yang sudah bangkit kembali. Dia merasa khawatir sekali melihat betapa hampir semua hartanya diambil oleh Pek Lan. Lima orang penjaga itu menjadi malu sekali. Dalam segebrakan mereka telah dirobohkan oleh seorang wanita muda yang cantik! Mereka kini mencabut senjata golok dari pinggang dan dengan sikap mengancam mereka mengepung lagi dari depan.

Melihat ini, Pek Lan tersenyum. ‘Kalau kalian berani menyerangku dengan golok itu, kalian akan mampus!!

Akan tetapi, lima orang penjaga itu sudah terlalu marah dan karena mereka memegang senjata, pula mereka berlima, tentu saja mereka tidak gentar menghadapi Pek Lan yang bertangan kosong, walaupun mereka tahu bahwa wanita itu lihai sekali. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, merekapun menerjang, golok mereka gemerlapan tertimpa sinar lampu dan lima batang golok sudah menyambar-nyambar ke arah Pek Lan.

Akan tetapi, dengan tenang sekali Pek Lan berloncatan. Tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan yang menyelinap di antara gulungan sinar golok. Anehnya, tak pernah ada golok yang mampu menyentuhnya. Tiba-tiba, penjaga yang mengenal Pek Lan tadi mengaduh dan diapun roboh, goloknya sudah berpindah ke tangan Pek Lan!

Empat orang penjaga lain mempercepat gerakan serangan mereka. Akan tetapi, Pek Lan menggerakkan goloknya, dengan gerakan memutar sehingga nampak sinar panjang golok itu menyambar ke arah empat orang lawannya dan terdengar mereka itu menjerit dan seorang demi seorang roboh berkelojotan dengan leher hampir putus! Darah bercucuran membanjiri lantai. Pek Lan memandang kepada penjaga yang mengenalnya tadi, yang dirobohkannya dengan tendangan dan dirampas goloknya dan iapun tersenyum.

‘Aku sudah berjanji tidak akan membunuhmu!! katanya, akan tetapi goloknya bergerak dan orang itupun menjerit karena pundaknya terbacok golok sehingga terluka parah. Akan tetapi, betapapun parahnya, dia tidak akan mati.

Pek Lan meloncat keluar kamar. Semua selir dan pelayan lari ketakutan.

Coa-wangwe juga melarikan diri, akan tetapi suara halus terdengar membentak di belakangnya.

‘Engkau hendak mencelakai aku, maka patut dihukum!! Goloknya menyambar dan hartawan itu menjerit-jerit sambil memegangi kepala dengan kedua tangan.

Dua buah daun telinganya telah buntung terbabat golok. Pek Lan tertawa, membuang goloknya lalu melompat keluar, menghilang dalam kegelapan malam.

Peristiwa itu tentu saja cepat sekali tersiar dan dalam waktu beberapa hari saja, hampir seluruh penduduk koto Ye-ceng telah mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga Coa. Bukan hanya orang suka sekali membicarakan malapetaka yang menimpa keluarga Coa, juga membicarakan aib yang mencemarkan nama dan kehormatan hartawan itu, dan yang paling menggegerkan orang adalah berita tentang Pek Lan yang kini menjadi seorang wanita cantik yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan juga berwatak amat kejam.

Peristiwa lain yang amat menggemparkan adalah ditemukannya tiga orang pria muda yang sudah menjadi mayat di dalam sebuah kuil tua. Mereka tewas dalam keadaan yang amat aneh, yaitu berada di atas pembaringan di dalam kuil tua itu, hampir tanpa pakaian, dan kepala mereka retak seperti telah dipukul dengan benda keras. Tak seorangpun menduga bahwa mereka ini, tiga orang pemuda tampan, juga tewas di tangan Pek Lan, dan tangan lembut halus itulah yang telah membikin retak kepala mereka dengan tamparan yang amat ampuh! Pek Lan membunuh tiga orang muda itu karena mereka itu dianggap akan dapat membocorkan rahasianya!

Maka muncullah di dunia kang-ouw seorang iblis betina yang amat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari pada Hek-in Kui-bo, guru Pek Lan di waktu masih muda. Biarpun Hek-in Kui-bo dahulu juga seorang wanita gila laki-laki, pengumbar nafsu jahat, namun dibandingkan Pek Lan, ia masih kalah sedikit. Pek Lan, di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, dan perasaan bencinya kepada semua orang yang dianggap merugikan, juga memiliki kecantikan yang amat menarik. Dengan senjata ini, mudah saja baginya untuk menjatuhkan hati setiap orang pria yang akan dijadikan korbannya.

***

Wanita itu memang manis. Seorang wanita petani yang rajin. Agaknya karena sudah terbiasa bakerja keras di sawah ladang, maka wanita itu memiliki tubuh yang padat dan sehat kuat, pinggangnya ramping pinggulnya besar, tubuhnya tegak. Biarpun kulit kaki tangan, leher dan mukanya agak kecoklatan karena sinar matahari, namun coklat yang sehat dan kulit itu tetap halus mulus. Wajahnya yang manis tidak berkurang karenanya, bahkan nampak lebih manis karena mengandung kewajaran tanpa alat rias. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun.

Wanita petani ini sedang sibuk mencabuti rumput dan tumbuh-tumbuhan liar di antara tanaman gandum. Ia menggunakan caugkul atau kadang-kadang juga sebuah arit dan ia bekerja dengan asyik sekali. Sungguh merupakan penglihatan yang mengagumkan. Wanita itu kadang-kadang membungkuk, dan kedua tangannya bergerak dengan cekatan, bantuk tubuhnya indah ketika membungkuk dan kadang juga berdiri tegak untuk membuang segenggam rumput keluar ladangnya. Celana kakinya digulung sampai ke lutut dan kaki itu terbenam ke tanah berlumpur sebatas betis, sehingga kulit kaki antara betis dan lutut nampak putih mulus, jauh berbeda dengan kulit tubuh yang terbuka dan terbakar matahari.

Wanita itu bekerja dengan sangat tekun dan asyik sehingga iapun sama sekali tidak melihat bahwa seorang pria yang tadinya berjalan di jalan raya tak jauh dari ladangnya, kini berhenti dan sampai lama orang itu memandang kepadanya dengan kagum. Pria itu adalah seorang pemuda yang mudah sekali dikenal, karena punggungnya bongkok, di bawah tengkuk terdapat sebuah daging menonjol besar. Dia adalah Sie Liong!

Setelah beberapa saat seperti terpesona menyaksikan pemandangan indah itu, bukan hanya kemanisan wanita petani, melainkan keseluruhan tamasya alam yang melatar-belakangi bentuk tubuh wanita itu, Sie Liong sadar bahwa amat tidak sopan kalau memandangi seorang wanita seperti itu. Akan tetapi, pemandangan itu amat indah sehingga seolah-olah menahannya untuk tinggal lebih lama di tempat sunyi itu. Latar belakang ladang itu merupakan pegunungan yang hijau dan ladang di belakang wanita itu amat luasnya, juga kehijauan dengan tanaman gandum. Sunyi. Hanya di kejauhan nampak beberapa orang wanita atau pria yang juga membersihkan ladang mereka seperti yang dilakukan wanita itu. Hawa udara amat segar, matahari amat cerah, dan duduk di bawah lindungan pohon besar itu sungguh teduh dan nyaman. Sie Liong duduk di bawah pohon di tepi jalan, dan kesunyian itu membuat dia melamun. Terkenanglah dia kepada semua peristiwa yang menimpa dirinya, yang baru lalu.

Terkenang dia akan kunjungannya kepada encinya, pertemuannya dengan encinya, cihu-nya, kemudian dengan Yauw Bi Sian. Kemudian betapa cihu-nya yang kini berubah sama sekali wataknya itu dibunuh orang, dan menurut Bi Sian, pembunuhnya adalah dia! Padahal, dia sama sekali tidak melakukan perbuatan itu! Bahkan encinya sendiripun menyangka dia yang menjadi pembunuh untuk membalas dendam kematian orang tuanya. Kiranya cihu-nya itu yang telah membunuh ayah dan ibunya, juga suhengnya dan seorang pelayan, juga semua binatang peliharaan orang tuanya. Jelaslah bahwa cihu-nya itu mendendam kepada orang tuanya, amat membenci orang tuanya. Dia sendiripun tentu telah dibunuh cihu-nya itu kalau tidak ada encinya, Sie Lan Hong.

‘Enci Hong, sungguh kasihan engkau....! Sampai di sini Sie Liong mengeluh dalam hatinya. Dia dapat membayangkan betapa sengsara keadaan encinya ketika pembunuhan atas keluarga mereka itu terjadi! Untuk menyelamatkan dirinya, seorang adik yang ketika itu masih kecil, baru berusia sepuluh bulan, maka encinya itu telah mengorbankan dirinya! Ia menyerahkan dirinya kepada si pembunuh kejam itu, demi menyelamatkan diri adiknya. Dan akhirnya, encinya itu bahkan menjadi isteri pembunuh. Mereka saling mencinta! Dan diapun selamat, tidak ikut dibunuh!

Tidaklah aneh kalau encinya menuduh dia yang telah membunuh Yauw Sun Kok. Bukankah sudah sepatutnya kalau dia membunuh orang yang telah membasmi keluarga orang tuanya itu? Apalagi di sana ada Bi Sian yang dengan sung guh mengatakan bahwa gadis itu telah melihat dia pada malam pembunuhan terjadi. Melihat dia, bongkoknya, bertopeng dan kemudidn topeng itu ditemukan pula oleh Bi Sian, di luar kamarnya.

Sungguh aneh sekali! Siapa yang membunuh Yauw Sun Kok? Dan mengapa pula pembunuh itu agaknya menyamar sebagai dirinya, untuk menjatuhkan fitnah kepadanya? Padahal, dia tidak pernah mempunyai musuh di kota Sung-jan, kecuali.... cihunya, tentu saja.

Tadinya dia merasa penasaran dan hendak melakukan penyelidikan untuk dapat membongkar rahasia pembunuhan itu, untuk membuktikan bahwa dia bukan pembunuhnya. Akan tetapi kemudian ketika dia menemui encinya, Sie Lan Hong, encinya itu membuka rahasia yang selama itu dipedamnya, yaitu bahwa cihu-nya itulah orang yang telah membunuh ayah dan ibunya. Tentu saja dia terkejut bukan main, dan mendengar bahwa cihu-nya sejahat itu, diapun kehilangan semangat untuk mencari pembunuh cihu-nya. Biarlah dia dibunuh orang, memang itu setimpal dengan kejahatannya. Dan diapun tahu bahwa Bi Sian amat membencinya, sakit hati kepadanya.

Kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri, tentu gadis itu akan menyerangnya dan memaksanya mengadu nyawa. Dan dia sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi. Dia cinta Bi Sian! Dia telah jatuh cinta kepada gadis itu, kepada keponakannya sendiri! Bahkan dia telah mencintanya sejak mereka masih sama-sama kecil. Kenyataan inilah yang membuat hati pemuda bongkok itu merasa lebih ngeri lagi, maka diapun melarikann diri, menjauhkan diri seperti orang ketakutan.

Sie Liong menghela napas ketika lamunannya membawa dia teringat kepada Bi Sian. Wajah yang manis dan jenaka itu terbayang di depan matanya, dan dia pun tersenyum. Segala yang ada pada Bi Sian menyenangkan hatinya, mendatangkan perasaan gembira. Dia harus pergi jauh. Dia akan pergi ke Tibet, untuk memenuhi pesan para gurunya, yaitu melakukan penyelidikan tentang Lima Harimau Tibet yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama dan yang berusaha keras untuk membasmi para pendeta, terutama para tosu yang melarikan diri dari Himalaya, seperti Himalaya Sam Lojin yang menjadi gurunya, juga Pek-sim Sian-su, supek dan gurunya yang juga menjadi gurunya sendiri. Dia harus dapat menunaikan kewajiban ini dengan berhasil, mampu menjernihkan suasana dan mencari sebab yang mendorong para pendeta Lama di Tibet memusuhi para tosu di Himalaya.

Memang merupakan pekerjaan yang besar dan amat sukar, bahkan amat berbahaya, namun dia sudah mengambil keputusan untuk melaksanakan tugas itu sampai berhasil atau dia boleh mempertaruhkan nyawanya. Semua itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan budi besar yang telah diterimanya dari para gurunya. Kalau tidak ada mereka, dia hanyalah seorang pemuda bongkok yang tidak berdaya dan tidak ada manfaatnya, tidak ada artinya hidup di dunia, hanya menjadi bahan cemoohan belaka.

Alangkah cantiknya wanita petani itu, pikirnya. Dan alangkah bahagianya orang yang menjadi suaminya. Pasti ia sudah bersuami, pikirnya. Mengapa wanita itu bekerja seorang diri? Mana suaminya? Betapa akan menyenangkan hati kalau suaminya juga ikut pula bekerja. Pekerjaan akan terasa ringan. Ah, betapa bahagianya wanita itu dan suaminya! Sie Liong meraza heran mengapa hal-hal yang sekecil ini membuat dia membuka mata bahwa kebahagiaan sebenarnya berada dalam diri apa saja, setiap orang dapat menikmati kebahagiaan hidupnya apabila dia tidak memikirkan hal-hal lain, tidak menginginkan hal-hal lain.

Apabila orang menyadari betapa berlimpahnya kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, apabila dia menyerahkan segalanya kepada Tuhan, maka akan naspak bahwa hidup ini sesungguhnya merupakan nikmat pemberian dan anugerah Tuhan yang tak terlukiskan besarnya. Babkan bernapaspun mendatangkan kenikmatan dan kebahagiaan, belum lagi makan, minum dan segala kegiatan lain. Duduk melamun di bawah pohon itupun mengandung kenikmatan tersendiri!

‘Ya Tuhan, terima kasih atas segala rahmat-Mu....! Sie Liong berbisik dan wajahnya kini cerah sekali, senyum menghias bibirnya. Pada saat itu, lupalah dia akan segala hal, akan encinya, Bi Sian, pembunuhan atas diri cihu-nya, bahkan dia lupa akan bongkoknya! Semua begitu indah kalau pikiran tidak dika caukan oleh ingatan akan hal-hal yang dianggap tidak menguntungkan dan tidak menyenangkan ‘aku!.

Akan tetapi, tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada tujuh orang yang datang dari jauh menuju ke tempat itu. Mereka itu tujuh orang laki-laki yang agaknya hendak pergi ke dusun para petani, dan melihat sikap mereka, diam-diam Sie Liong mengerutkan alisnya. Mereka itu jelas bukan petani. Cara mereka berjalan melenggang, pakaian dan sikap mereka, bahkan melihat gagang golok dan pedang tersembul di balik pundak mereka. Jelas bahwa mereka itu adalah golongan orang-orang persilatan, atau orang kang-ouw. Mungkinkah ada orang-orang kang-ouw tinggal di dusun itu? Ataukah mereka itu pendatang dari luar?

Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat beberapa orang petani, laki-laki dan perempuan, melarikan diri meninggalkan sawah ladang mereka. Semua petani yang tadi bekerja di ladang, melarikan diri begitu melihat tujuh orang laki-laki itu. Kecuali wanita yang tadi membangkitkan kekaguman hati Sie Liong. Ia sedang asyik mencabuti rumput, dengan membungkuk membelakangi jalan sehingga ia tidak melihat kedatangan tujuh orang laki-laki itu.

Sie Liong siap siaga, akan tetapi dia masih duduk di bawah pohon. Dengan duduk seperti itu, dia memang agak terserabunyi oleh semak alang-alang yang tumbuh di tepi selokan dekat ladang. Namun, dia memandang penuh perhatian. Kini, tidak ada lagi petani yang bakerja di ladang yang luas itu kecuali wanita tadi.

Tepat seperti yang dikhawatirkan, tujuh orang laki-laki itu berhenti melangkah ketika tiba di dekat ladang di mana wanita itu masih bekerja. Wanita itu menungging dengan pinggul ke arah mereka, tidak menyadari bahwa cara ia berdiri dan bekerja ini seolah memamerkan pinggulnya yang bulat dan besar itu, tidak tahu bahwa ada tujuh orang kasar sedang menikmati pandangan yang mengagumkan mereka itu. Dan seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan agaknya menjadi pemimpin mereka, tertawa bergelak.

‘Ha-ha-ha, sungguh indah sekali tubuh itu! Coba kulihat bagaimana wajahnya!!

Dia mengambil sebuah batu dan melempar batu itu dengan keras ke arah tanah lumpur dekat wanita itu. Air lumpur memercik dan mengotori paknian wanita itu yang agaknya baru sadar dan iapun cepat meluruskan tubuh, membalikkan kepala memandang. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga ketika ia melihat tujuh orang itu. Ia menoleh ke kanan kiri dan baru sekarang ia tidak melihat adanya mereka yang tadi bekerja di ladang. Wanita itu kini terbelalak, mukanya pucat sekali dan matanya mengingatkan Sie Liong kepada mata seekor kelinci kalau ditangkapnya. Liar ketakutan!

‘Ha-ha-ha, cantik! Manis sekali, dan perempuan dusun tentu sehat dan segar, ha-ha-ha!! Si brewok itu dengan langkah lebar lalu menghampiri tepi ladang, berdiri di tepi sambil menjulurkan tangan ke arah wanita itu.

‘Manis, ke sinilah dan bersihkan kaki tanganmu. Mari engkau ikut dengan kami, ha-ha-ha!!

Wanita itu agaknya, seperti para petani lainnya, sudah tahu siapa adanya tujuh orang laki-laki itu. Dengan tubuh menggigil dan muka pucat ia hanya menggeleng kepala tanda ia tidak mau, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulut yang gemetar itu.

‘Ahh, manis, jangan malu-malu. Nanti kalau kami mendapatkan sumbangan yang cukup banyak dari dusun-dusun, tentu aku tidak akan melupakanmu dan akan memberi hadiah yang besar kepadamu. Hayolah, senangkan dan hibur hati kami yang sedang kesepian ini, manis. Ha-ha-ha!! Enam orang lainnya yang menunggu di tepi jalan ikut pula tertawa. Mereka semua senang melihat wanita petani yang berwajah manis dan bertubuh padat itu.

Wanita itu tidak berani berkutik, berdiri menggigil dan terus saja menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak sudi memenuhi permintaan si brewok itu.

Si brewok kini membelalakkan matanya lebar-lebar. ‘Apa? Engkau berani menolak perintah Tiat-jiauw Jit-eng (Tujuh Garuda Bercakar Besi)?! Dia memukulkan kepalan kanannya pada telapak tangan kiri sehingga mengeluarkan bunyi keras. ‘Apa engkau sudah bosan hidup dan memilih mampus? Sebelum mampus pun kau tidak akan lepas dari tangan kami! Apa kau lebih suka diperkosa sampai mati daripada melayani kami dangan manis?!

Wanita itu menjadi semakin pucat dan tiba-tiba kakinya yang menggigil tidak manpu lagi menahan tubuhnya. Ia jatuh berlutut di atas lumpur! Dan ia memberi hormat kepada si brewok itu.

‘Ampunkan saya.... saya sudah bersuami...., ampunkan saya....!

‘Ha-ha-ha, lebih baik lagi! Kalau engkau sudah bersuami, lalu apa sukarnya melayani kami? Hayo, ke sinilah!! Si brewok kembali menjulurkan tangannya ke arah wanita itu.

‘Tidak.... tidak.... tidak!! Wanita itu menjerit histeris lalu menangis.

Marahlah si brewok. Agaknya dia tidak mau turun ke lumpur karena sepatunya masih baru. Dia menengok dan memerintahkan anak buahnya. ‘Turun dan seret ia ke mari!!

Seorang di antara mereka, yang termuda, berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun sedangkan yang lain antara empat puluh lima tahun, segera melangkah maju dengan sikap gagah. Orang ini mukanya kecil sempit dan panjang, kepucatan seperti orang berpenyakitan, matanya sipit dan hidungnya pesek. Dia menyeringai ketika dia turun ke ladang menghampiri wanita itu yang bangkit berdiri dan mencoba untuk melarikan diri menjauhi orang itu. Ia adalah seorang wanita, akan tetapi sejak kecil ia bekerja di sawah ladang.

Tubuhnya kuat sekali dan ia sudah terbiasa di lumpur, maka ia dapat berlari cepat. Berbeda dengan laki-laki yang mengejarnya. Biarpun dia seorang kasar yang memiliki kekuatan dan kepandaian, akan tetapi belum pernah dia berjalan di dalam lumpur, apalagi dia bersepatu, tidak seperti wanita petani itu yang bertelanjang kaki. Maka, sukarlah baginya untuk menangkap wanita itu! Kawan-kawannya menjadi gembira dan merekapun mengepung ladang itu, menghadang wanita yang hendak melarikan diri.

Wanita itu menjadi semakin ketakutan. Hanya pinggir yang dihalangi solokan itulah yang tidak dihadang penjahat, maka iapun lari ke situ dan meloncat ke dalam solokan, terus mendaki, dikejar oleh tujuh orang itu yang tertawa-tawa dan membuat gerakan menakut-nakuti. Mereka itu memperoleh hiburan, seperti tujuh ekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkan dan mengganyangnya.

Kebetulan sekali wanita itu melihat Sie Liong yang duduk di bawah pohon, maka iapun lari ke arah pohon itu, lalu menubruk Sie Liong yang masih duduk bersila. Sie Liong merasa betapa wanita itu merangkulnya, dan karena pakaian wanita itu penuh lumpur, maka pakaiannya sendiripun terkena lumpur. Dia merasa betapa dada yang menempel pada pundaknya itu berdebar dan bergelombang, dan betapa napas itu terengah-engah.

‘Tolonglah.... tolonglah saya.... aduh, lebih baik saya mati daripada tertawan mereka.... tolonglah saya....!

‘Enci, tenanglah dan duduklah di belakangku. Biar aku yang akan menghadapi mereka.! kata Sie Liong.

Kini tujuh orang itu sudah tiba di bawah pohon. Si brewok marah sekali melihat wanita itu berlutut di belakang seorang laki-laki yang duduk barsila. Dia tidak perduli apakah pria itu suami si wanita. Baginya, tidak perduli wanita itu bersuami atau tidak, kalau sudah dikehendakinya, harus diserahkan kepadanya!

‘Heiii, siapa kau?!

Mendengar bentakan yang nadanya amat congkak ini, Sie Liong lalu bangkit berdiri. ‘Namaku Sie Liong. Aku melihat betapa kalian mengganggu wanita ini. Apakah kalian tidak malu? Kalian ini tujuh orang laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita yang tak berdaya. Pergilah kalian dari sini sebelum aku muak melihat tingkah kalian yang tidak senonoh seperti binatang itu!! Sie Liong memang marah sekali melihat perbuatan mereka tadi.

Tujuh orang itu terbelalak. Keheranan melampaui kemarahan mereka sehingga mereka saling pandang. Ada seorang pemuda biasa, bongkok pula, berani bicara seperti itu kepada mereka? Sungguh aneh, aneh sekali sehingga mereka lupa akan kemarahan mereka, bahkan mereka mulai tertawa-tawa.

‘Heh-heh, apakah engkau seorang pendekar?! tanya si brewok untuk mengejek.

‘Seorang pendekar yang bongkok! Pendekar Bongkok! Ha-ha-ha!!

‘Awas kau, Pendekar Bongkok. Kupenggal punukmu untuk kubuat menjadi punuk panggang, baru tahu rasa kau!!

Si brewok melangkah maju selangkah. ‘Hei, Sie Liong, apakah engkau sudah buta, ataukah memang tuli? Andaikata engkau tidak mengenal kami, tentu sudah mendengar akan nama besar Tiat-jiauw Jit-eng!!

Sie Liong tersenyum. ‘Tujuh Garuda Cakar Besi atau Tujuh Garuda Cakar Tahu aku tidak perduli.!

‘Wah, pemuda bongkok ini memang sudah bosan hidup!! kata si brewok sambil memberi isarat kepada anak buahnya yang termuda, yang tadi mengejar-ngejar wanita itu tanpa hasil. Si mata sipit hidung pesek ini, yang tadi merasa penasaran dan rugi karena tidak mampu menerkam si manis, kini melangkah maju, lenggangnya dibuat-buat seperti seorang jagoan aseli yang tidak pernah terkalahkan. Dia melenggang seperti layangan yang tak seimbang, condang ke kanan dan ke kiri, kepalanya ditegakkan, dadanya dibusungkan. Akan tetapi, karena dadanya memang tipis dan perutnya besar, maka yang menjadi busung bukan dadanya melainkan perutnya!

‘Heiii, orang muda yang tolol! Engkau ini masih muda, lemah dan bongkok pula, apa engkau tidak tahu diri? Engkau berani menentang kami, hanya untuk membela seorang perempuan dusun? Apamukah perempuan itu?! tanyanya dan suaranya dibesar-besarkan agar berwibawa, akan tetapi karena suaranya memang kecil parau seperti suara seorang penderita batuk kering, maka tetap saja suara yang keluar sama sekali tidak berwibawa, malah lucu.

Biarpun di dalam hatinya Sie Liong merasa marah sekali, namun dia tetap tenang dan sabar. ‘Enci ini adalah kerabat yang paling dekat karena ia termasuk orang yang lemah tertindas, membutuhkan bantuan. Dan kalian adalah orang-orang jahat, manusia-manusia berwatak iblis yang patut ditentang!!

Si mata sipit hidung pesek mengerutkan alisnya dan membentak marah ‘Wahhh, engkau ini pemuda kurang ajar, aku yang akan menghajarmu, kusiksa sampai mampus!! Setelah berkata demikian, diapun menyerang. Biarpun tubuhnya kerempeng dan dia kelihatan berpenyakitan, ternyata si mata sipit hidung pesek ini mampu bergerak dengan cepat sekali dan sambaran tangan kanannya ketika menjotos ke arah muka Sie Liong mengandung tenaga yang terlatih.

‘Wuuuuuttt....!! Tonjokan dengan tangan terkepal itu menyambar ke arah pipi kiri Sie Liong. Akan tetapi pemuda bongkok ini tenang saja, seolah-olah tidak tahu bahwa dia diserang dengan tonjokan yang akan dapat membuat pipinya bengkak dan giginya rontok! Baru setelah kepalan itu hanya terpisah satu sentimeter saja dari pipinya, secepat kilat dia menarik kepala ke belakang, tangan kiri menyambar, menangkap lengan kanan lawan dan diapun mendorong, menambahkan tenaga dorongan pukulan itu dengan tenaganya sendiri sehingga kepalan kanan si sipit pesek itu meluncur terus dan melingkar ke arah pipi kirinya sendiri.

‘Desss...! Aughhhh....!! Beberapa buah gigi berlompatan keluar dari mulutnya yang terbuka, dan hidungnya berdarah karena kepalan tangan kanannya tadi dengan kuat sekali telah menghantam ke arah mukanya sendiri!

‘Auhh.... auhh.... auhhh....!! Dia mengerang kesakitan, tidak mampu berkata ‘aduh! karena mulutnya terasa seperti remuk. Dia membungkuk-bungkuk dan kedua tangan dengan sibuknya memegang-megang dan meraba-raba mulut dan hidung.

Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya hitam dan kulit muka itu kaku seperti punggung buaya, agaknya muka itu memang rusak oleh penyakit kulit yang hebat. Di antara tujuh orang gerombolan itu, dia terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga besar, dan juga wataknya amat sombong karena memang sulit mencari orang yang mampu mengalahkan raksasa muka hitam ini. Agaknya dia masih terlalu mengandalkan kehebatan diri sendiri sehingga melihat Sie Liong mengalahkan kawannya, dia masih juga memandang rendah pemuda bongkok itu dan agaknya dia mengang gap bahwa kekalahan si mata sipit hidung pesek itu tadi hanya karena kebodohannya sendiri, bukan karena kelihaian pemuda bongkok. Bahkan dia merasa terlalu tinggi untuk berkelahi melawan seorang pemuda bongkok, maka dia ingin mengalahkan pemuda itu dengan wibawanya saja.

‘Heii, bocah ingusan! Lekas engkau berlutut dan memanggil engkong (kakek) kepadaku, baru aku akan mengampunimu! Cepat....!! Sepasang matanya yang hitam dan mencorong itu melotot galak.

‘Engkongku sudah mati, dan seingatku, dia tidak seburuk engkau.! kata Sie Liong dengan sikap tenang.

‘Kalau begitu, aku akan memaksamu berlutut!! bentak si raksasa muka hitan dan diapun sudah menyerang dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan dada Sie Liong. Ketika pemuda ini menarik diri ke belakang, tiba-tiba kaki kanan raksasa itu menendang ke arah lututnya. Kalau sasaran tendangan itu terkena, tentu Sie Liong akan benar-benar diharuskan berlutut karena tendangan itu kuat bukan main. Namun, tentu saja Sie Liong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, dapat melihat gerakan serangan ini dengan jelas, maka mudah saja baginya untuk mendahului lawan. Sebelum kaki yang menendang itu sampai ke tubuhnya, dia merendahkan diri, menggeser kaki ke kiri dan dari samping tangannya monotok ke arah lutut kanan itu.

‘Tukkk!! Seketika kaki yang besar itu terasa lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi raksana muka hitam itu jatuh berlutut di atas kaki kanan dan kebetulan dia jatuh berlutut di depan Sie Liong! Pemuda itu tersenyum dan berkata dengan suara mengejek.

‘Aku bukan engkongmu, tidak perlu engkau berlutut memberi hormat!!

Tentu saja ucapannya ini membuat raksas muka hitam itu menjadi marah sekali. Dia melompat berdiri, akan tetapi kembali terguling karena kakinya masih terasa lumpuh. Melihat ini, kawan-kawannya menjadi marah akan tetapi sekaligus maklum bahwa pemuda bongkok itu benar-benar seorang pendekar yang amat lihai! Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka mencabut senjata golok atau pedang dari punggung mereka dan di lain saat, Sie Liong telah dikepung tujuh orang yang memegang senjata tajam. Melihat ini, wanita itu menangis ketakutan.

‘Jangan bunuh dia.... ahh, jangan bunuh dia yang tidak berdosa....! ratapnya sambil menangis.

Mendengar ini, si brewok tertawa, ‘Ha-ha-ha, jadi engkau mau ikut denganku secara sukarela kalau kami lepaskan bocah bongkok ini?!

‘Tidak, tidak.... kalian bunuhlah aku, akan tetapi.... jangan bunuh dia yang tidak berdosa....!

‘Enci, tenanglah. Mereka tidak akan mampu membunuhku atau membunuhmu!! kata Sie Liong kepada wanita itu, hatinya terasa gembira sekali karena ternyata wanita dusun yang ditolongnya itu adalah seorang wanita yang hebat! Berani mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kehormatan, juga amat baik budi sehingga tidak tega melihat dia dikepung dan diancam bunuh oleh para penjahat itu.

Kini tujuh orang penjahat itu sudah menggerakkan senjata mereka dan serentak mereka menyerang. Namun, baru mereka menyerang dua tiga jurus tubuh pemuda bongkok itu sudah lenyap, berubah menjadi bayangan yang dengan cepatnya menyelinap di antara sambaran senjata mereka. Mereka merasa terkejut, akan tetapi juga penasaran dan mereka terus mengarahkan senjata mereka, menyerang bayangan yang amat gesit itu. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan tahu-tahu pemuda bongkok itu sudah menyerang dari atas, bagaikan seekor naga dari angkasa saja!

Dan sekali kaki tangannya bergerak, empat orang jatuh tersungkur seperti disambar petir dari atas! Tiga orang penjahat lainnya terkejut sekali, namun merekapun hanya diberi kesempatan untuk bengong sejenak karena tiba-tiba saja merekapun terjungkal roboh oleh tamparan tamparan tangan Sie Liong yang ampuh bukan main itu.

Tujuh orang itu baru sekarang merasa jerih. Mereka bertujuh, yang memegang senjata, roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan pemuda bongkok itu! Tamparan yang hanya sekali itu saja sudah membuat mereka roboh dan bagian badan yang dipukul terasa seperti remuk! Si brewok, pimpinan mereka dan merupakan orang yang paling tangguh, dapat lebih dulu bangkit dan dia sudah siap untuk melarikan diri meninggalkan teman-temannya. Akan tetapi dengan beberapa langkah saja, Sie Liong sudah dapat menangkap pundaknya. Tekanan tangan Sie Liong pada pundak itu membuat si brewok menggigil saking nyerinya dan diapun jatuh berlutut. Pundak yang dicengkeram pemuda bongkok itu seperti dibakar atau dicengkeram kaitan baja membara saja, panas dan perih, nyeri sekali, terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.

‘Ampun, taihiap.... ampun, saya mengaku kalah!!

‘Hemm, aku tidak membutuhkan pengakuan kalah darimu! Aku tidak membutuhkan kemenangan. Akan tetapi aku minta agar kalian suka sadar dari kelakuan jahat kalian dan bertobat!!

‘Ampun, taihiap,.... saya bertobat....!!

‘Hemm, siapa percaya omongan orang jahat macam engkau?!

‘Saya bersumpah takkan melakukan kejahatan lagi, taihiap, akan tetapi saya akan bekerja seperti dahulu, yaitu memburu binatang hutan. Dahulunya kami adalah pemburu-pemburu, karena tertarik penghasilan besar lalu mulai merampok orang yang lewat di hutan....!

‘Benar, engkau bertobat dan hendak kembali ke jalan benar?! tanya Sie Liong. ‘Aku tetap tidak percaya kalau engkau dan teman-temanmu tidak memperlihatkan buktinya. Sumpah mulut saja tidak ada artinya.! Dia lalu menggertak, ‘Atau aku akan membiarkan kalian mati tersiksa dengan memberi pukulan mematikan?!

Kini dia melepaskan cengkeramannya dan seketika si brewok tidak merasa nyeri lagi. Dia makin yakin bahwa pendekar muda yang bongkok itu betul-betul lihai.

‘Taihiap, kami bersumpah dan inilah buktinya!! Dia menyambar goloknya yang tadi terlempar, membuka sepatu kirinya dan sekali bacok, lima buah jari kaki kirinya buntung! Darah mengalir deras dari kaki yang buntung jari-jarinya itu. Diam-diam Sie Liong terkejut, akan tetapi juga girang karena dia maklum bahwa si brewok itu bersungguh-sungguh!

‘Hayo kalian buntungi jari kaki kiri masing-masing seperti aku, siapa yang tidak mau, aku yang akan membuntunginya sendiri. Mulai saat ini, kita tidak akan merampok manusia lagi, melainkan memburu binatang seperti dulu lagi!!

Enam orang anak buahnya melihat bahwa pimpinan mereka sungguh-sungguh dan merekapun jerih terhadap Pendekar Bongkok, demikian mereka menyebut Sie Liong, maka merekapun mengambil senjata masing-masing yang tadi terlempar, lalu membabat buntung jari kaki kiri mereka. Melihat ini, wanita dusun itu menutupi muka karena merasa ngeri.

Sie Liong lalu menghampiri mereka seorang demi seorang, menotok kaki kiri mereka di atas bagian yang terluka, mengeluarkan obat bubuk putih yang ditaburkan pada luka di kaki. Seketika, tujuh orang itu merasa betapa kenyerian jari yang dibuntungi itu lenyap, dan luka-luka itupun cepat menjadi kering. Mereka menjadi semakin kagum. Kiranya Pendekar Bongkok ini selain amat lihai ilmu silatnya, juga pandai ilmu pengobatan. Hal ini sebetulnya tidaklah mengherankan kalau diketahui bahwa seorang di antara orang-orang sakti yang menggembleng Sie Liong adalah Pek-sim Sian-su, seorang sakti yang pandai dalam ilmu pengobatan pula.

‘Ingat akan sumpahmu sendiri,! kata Sie Liong ketika mereka semua sudah berdiri dan siap untuk pergi. ‘Kalau kelak kalian tetap menjadi penjahat dan mengganggu orang lain, dan aku mendengarnya, pasti akan kucari kalian sampai dapat dan bukan hanya jari kaki kalian saja yang harus dipotong. Selain itu, aku akan membangkitkan semangat para penduduk dusun agar mereka bersatu padu dan hendak kulihat, kalau ratusan orang dusun itu bersatu padu melawan kalian, apa yang dapat kalian lakukan terhadap mereka!!

Diam-diam si brewok dan teman-temannya merasa ngeri. Bukan saja mereka ngeri terhadap kesaktian Pendekar Bongkok, akan tetapi juga ngeri kalau benar penduduk dusun sampai bangkit menentang mereka, maka tentu mereka akan dikeroyok ratusan orang dan akan dihancur lumatkan oleh mereka yang mendendam kepada mereka. Kalau biasanya mereka itu dapat merajalela adalah karena mereka menang gertakan dan para penduduk dusun itu belum apa-apa sudah ketakutan lebih dulu, melarikan diri bersembunyi daripada melakukan perlawanan berpadu.

Tujuh orang itu, dipimpin oleh Si Brewok, menghaturkan terima kasih kepada Sie Liong, kemudian mereka pergi meninggalkan tempat itu, tidak jadi mengganggu wanita petani atau dusun di dekat ladang itu. Setelah mereka pergi, Sie Liong menghampiri wanita dusun itu dan dengan senyum kagum dia berkata sambil berlutut di dekat wanita yang masih duduk di atas rumput dengan wajah masih diliputi ketegangan itu.

‘Untung bahwa engkau tabah sekali menghadapi mereka, enci....! katanya.

Wanita iru mengangkat muka, memandang kepadanya dan kembali air matanya menetes-netes turun ke atas pipinya. Mulut wanita itu berkemak-kemik, namun tidak ada suara yang keluar, akhirnya, ia mengeluarkan jerit kecil dan merangkulkan kedua lengannya pada pundak dan leher Sie Liong sambil menangis! Pemuda bongkok itu terkejut, akan tetapi mendiamkannya saja dan tersenyum ketika dia merasa kehangatan air mata menembus bajunya karena wanita itu menangis di atas dadanya. Bahkan diapun lalu merangkul dan menepuk-nepuk pundak wanita itu dengan lembut.

‘Tenanglah, enci, bahaya sudah lewat sekarang,! hiburnya.

Wanita itu bahkan mempererat rangkulannya dan terdengar bisikan dari mulut yang disembunyikan di dadanya itu lirih. ‘Adik yang baik, ahh.... taihiap yang gagah perkasa, engkau telah menyelamatkan diriku.... terima kasih, taihiap, terima kasih....! Suaranya mengandung isak dan tubuhnya gemetar, seolah-olah ia teringat akan peristiwa tadi dan membayangkan betapa akan ngerinya kalau ia sampai terjatuh ke tangan tujuh orang itu.

‘Sudahlah, enci. Sudah semestinya aku melindungimu, dan aku kagum sekali melihat ketabahanmu tadi. Lepaskanlah rangkulanmu, lihat, di sana datang orang-orang dusun.!

Mendengar ini, wanita itu melepaskan rangkulannya dan dengan wajah masih basah air mata, ia menoleh ke kiri dan benar saja, dari arah dusun, datang berlari-larian banyak sekali penduduk dusun ke tempat itu. Dan di tangan mereka terpegang segala macam alat pertanian yang agaknya kini hendak dijadikan senjata.

Sie Liong merasa tegang dan juga malu. Dia tahu bahwa mereka yang berlari dan datang itu tadi melihat betapa dia dan wanita itu berpelukan-pelukan! Untuk menghilangkan rasa sungkan dan tidak enak itu, Sie Liong lalu bangkit dan memuguti potongan jari-jari kaki itu, dan mengumpulkannya di atas sehelai kain saputangan. Melihat ini, wanita dusun itu bergidik.

‘Taihiap, untuk apakah kau.... mengumpulkan benda-benda mengerikan itu?!

‘Aku akan menguburnya, enci.! kata Sie Liong sambil memunguti terus.

Tak lama kemudian, rombongan orang dusun itu tiba di situ. Seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang memegang sebatang tongkat panjang moloncat maju menghampiri wanita itu.

‘Kui Hwa, apa yang telah terjadi?! tanyanya, suaranya mengandung kemarahan.

Wanita dusun itu menangis dan lari menghampiri laki-laki itu. ‘Aku.... aku hampir saja celaka....!! serunya sambil menangis dan ia handak merangkul laki-laki yang ternyata adalah suaminya itu. Akan tetapi, liki-laki itu mendorongnya sehingga ia terpelanting.

‘Jangan sentuh aku! Engkau perempuan tak tahu malu!!

Wanita dusun yang bernama Kui Hwa itu terbelalak. Saking kaget dan herannya, ia tidak merasakan kenyerian punggungnya ketika terpelanting oleh dorongan suaminya.

‘Apa.... apa maksudmu....?! tanyanya dangan heran, dan lebih heran lagi ia ketika melihat betapa orang-orang lain, para pria di dusunnya, para tetangganya memandang kepadanya dangan sinar mata mencemoohkan dan agaknya membenarkan sikap suaminya itu!

‘Maksudku kau tanyakan! Maksudmulah yang ingin sekali kuketahui! Apa yang telah terjadi di sini?! Suaminya itu dangan berang melirik ke arah Sie Liong yang sudah selesai mengumpulkan potongan jari-jari kaki tadi dan kini berdiri di situ dangan muka ditundukkan, potongan jari-jari kaki tadi berada dalam buntalan kain saputangan.

‘Suamiku, apakah engkau tidak mendangar dari para tetangga kita tadi? Mereka, Tiat-jiauw Jit-eng itu datang lagi!! kata si isteri yang masih terheran-heran melihat sikap suaminya.

‘Tentu saja kami semua mendangar. Lalu di mana mereka dan apa yang telah terjadi di sini?! kembali dia menoleh ke arah Sie Liong dangan wajah merah saking marahnya.

‘Mereka telah dikalahkan oleh taihiap ini, mereka telah melarikan diri dan aku.... aku diselamatkan oleh taihiap ini!! kata si isteri dangan suara gembira dan bangga.

‘Bohong!! Tiba-tiba sang suami membentak dan isteri itu kembali terkejut sekali, dan kini Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada suami itu dengan sinar mata mencorong. Akan tetapi, dia bersikap sabar karena dia dapat menduga apa yang menjadi sebab sang suami itu bersikap seburuk itu dan mengapa pula orang-orang dusun itu berdiri saja, agaknya membenarkan sikap suami itu.

‘Suamiku, kenapa engkau mengatakan bohong? Pendekar muda ini yang bernama Sie Liong, dia yang telah menyelamatkan aku dari gangguan mereka, bahkan pendekar perkasa ini yang memaksa mereka untuk meninggalkan pekerjaan jahat mereka, dan mereka bersumpah dangan membuntungi jari-jari kaki mereka sebelum pergi dari sini. Aih, suamiku, pendekar muda ini sungguh perkasa dan kita sedusun patut berterima kasih kepadanya....!

‘Cukup! Kui Hwa, jangan mengira bahwa kami semua adalah orang-orang buta dan bodoh, mudah saja kautipu dengan kata-katamu itu! Kami melihat betapa engkau bercumbu dan berjina dengan dia....!

‘Diam....!! Kui Hwa yang lemah lembut itu kini membentak, dan ia berdiri bagaikan seekor singa kelaparan atau seekor betina membela anaknya. ‘Jangan engkau berani mengeluarkan ucapan kotor itu! Pendekar ini menyelamatkan aku, bahkan menyelamatkan orang sedusun dan kalian berani menuduhnya berbuat yang bukan-bukan?!

‘Phuhh!! Suami itu meludah. ‘Mataku belum buta, aku melihat betapa kalian tadi berpelukan dan berciuman!! (Terlalu mengada-ada Nich )

‘Engkau yang bohong! Engkau yang kotor dan memang kalian bodoh! Aku memang merangkulnya sambil menangis, terharu dan menghaturkan terima kasih, dan dia menghiburku, sama sekali kami tidak berciuman.... aihh, agaknya memang matamu telah buta! Taihiap ini menundukkan tujuh orang gerombolan penjahat itu, membuat mereka taluk dan bertobat, bahkan mereka telah membuntungi jari-jari kaki sambil bersumpah dan kalian....!

‘Sudah! Siapa percaya obrolanmu? Engkau memang perempuan tak tahu malu, mungkin dia ini anggauta bahkan pemimpin perampok! Dan engkau sudah tergila-gila kepada laki-laki bongkok ini! Sungguh tak tahu malu!! Berkata demikian, laki-laki yang sedang diamuk cemburu itu lalu mengangkat tongkat kayunya dan menghantamkan tongkat kayunya kepada Sie Liong!

Pendekar ini berdiri bengong. Sungguh tak disangkanya sama sekali bahwa cemburu dapat membuat orang menjadi seperti gila! Saking herannya, ketika suami itu memukul dengan tongkat kayu, diapun diam saja, tidak bergerak seperti patung dan pada saat kayu itu menghantam kepalanya, barulah dia mengerahkan sin-kang untuk melindungi kepala yang dipukul itu.

‘Krakkk!! Tongkat kayu itu patah-patah ketika bertemu dangan kepala Sie Liong.

‘Ahh....!! Suami wanita dusun itu terbelalak dan mukanya pucat memandang kepada tongkat yang tinggal sepotong pendek di tangannya, sedangkan tongkat yang kuat itu telah patah menjadi tiga potong! Kepala orang bongkok itu melebihi besi kerasnya!

Sie Liong mengangkat muka memandang kepada suami itu dangan sinar mata mencorong. ‘Hemm, engkau memang orang bodoh, keras kepala, dan memang sepatutnya kalau matamu buta! Engkau tidak patut menjadi suami dari seorang isteri yang begini baik hati, tabah dan berani mempertaruhkan nyawa untuk menjaga kehormatannya. Engkau pantasnya menjadi suami seekor kambing atau seekor monyet! Huh, menjemukan sekali!! katanya dan diapun melemparkan buntalan itu ke atas tanah, kemudian berpaling kepada wanita dusun sambil memberi hormat.

‘Enci, maafkan kalau aku hanya membikin engkau menjadi ribut dangan suamimu. Selamat tinggal, enci, semoga Tuhan akan menyadarkan suamimu ini!! Dan sekali berkelebat, Sie Liong lenyap dari depan mereka, membuat suami wanita itu dan para penduduk dusun terkejut dan melongo.

Suami itupun terkejut dan dia menjadi ketakutan. ‘Apakah dia.... dia itu tadi.... setan....?! tanyanya kepada isterinya.

Isterinya menjadi gemas sekali. Tangannya bergerak manampar. ‘Plakkk!! pipi suami itu telah ditamparnya!

‘Laki-laki yang tolol, gila oleh cemburu buta! Masih berani engkau mengatakan bahwa pendekar sakti itu setan? Engkau inilah yang setan! Kalian tidak percaya akan ceritaku tadi, ya? Kalian semua mengira bahwa aku telah berjina dangan dia karena kalian melihat dari jauh betapa kami saling berangkulan? Ohhhh, memang kalian ini orang-orang bodoh! Dangar baik-baik. Tujuh orang penjahat itu datang ke sini. Aku tidak tahu bahwa mereka datang maka aku tidak sempat lari seperti yang lain. Dan mereka itu mengejar-ngejarku, hendak menangkapku dan tentu saja, dengan niat yang amat kotor! Dan aku melihat pendekar itu duduk seorang diri di bawah pohon. Tadinya aku tidak tahu bahwa dia pendekar, akan tetapi dalam keadaan ketakutan setengah mati itu, aku lari padanya dan mohon tolong. Siapa saja akan kumintai tolong dalam keadaan hampir mati ketakutan seperti itu. Dan dia bangkit, dia mengalahkan semua penjahat, memaksa mereka itu bertobat, dan mereka membuntungi jari-jari kaki kiri mereka untuk tanda bertobat. Dan kalian tidak percaya? Dan engkau, engkau sudah gila, engkau malah mencemburui kami dan engkau malah menghina pendekar itu? Masih untung hanya tongkatmu yang dipatahkan, bukan lehermu! Kalau kalian tidak percaya, lihat ini buktinya!! Dia memunguti jari-jari kaki itu untuk dikuburkan. ‘Nah, makanlah ini!!

Wanita itu lalu melemparkan buntalan itu ke arah suaminya, setelah membuka ikatannya. Dan potongan-potongan jari kaki, sebanyak tiga puluh lima potong, berhamburan mengenai muka dan leher suaminya.

Si suami tentu saja bergidik ngeri juga para penduduk dusun merasa ngeri ketika mereka melihat bukti itu. Jari-jari kaki yang masih berlumuran darah! Sementara itu, Kui Hwa sudah berlari pulang sambil menangis.

Barulah suami itu merasa menyesal dan percaya sepenuhnya akan keterangan isterinya. Kini dia dapat membayangkan betapa takutnya isterinya tadi ketika dikejar-kejar tujuh orang penjahat keji itu, tanpa ada orang yang dapat menolongnya. Kemudian muncul pendekar bongkok itu yang mengalahkan semua penjahat, yang berarti telah menyelamatkan isterinya itu dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Maka, kalau dalam keadaan penuh rasa syukur dan keharuan itu isterinya merangkul penolongnya dan manangis di dadanya, apakah yang aneh dalam hal itu? Juga pendekar itu bukan golongan pemuda yang terlalu menarik hati wanita, dan isterinya tak mungkin tertarik kepada seorang yang tubuhnya bongkok seporti itu!

‘Kui Hwa, tunggulah....!! Dia barteriak berlari-lari mengejar isterinya, di dalam hatinya yang penuh penyesalan itu kini penuh dangan harapan agar isterinya suka memaafkannya. Sementara itu, para penduduk dusun yang lain segera mengumpulkan jari-jari kaki itu dan menguburnya dengan hati penuh rasa syukur bahwa kini Tiat-jiauw Jit-eng yang selama beberapa bulan lalu mengganas di sekitar daerah itu, kini telah bertobat dan berarti meraka tidak akan lagi diganggu oleh mereka yang amat jahat itu. Dan semua ini berkat jasa Pendekar Bongkok, nama yang takkan pernah mereka lupakan dan yang semenjak terjadinya peristiwa itu menjadi buah bibir mereka sehingga nama julukan pendekar baru ini mulai terkenal.

Sie Liong melarikan diri meninggalkan ladang dusun itu dangan senyum pahit di bibirnya. Dia memang sudah memaklumi banar-benar keadaan dirinya, sudah diterimanya keadaan dirinya seperti apa adanya. Memang dia berpunuk, dia bongkok dan itu merupakan sebuah kenyataan yang takkan dapat dirobah. Titik. Dia tidak akan lagi mengeluh, tidak lagi memperhatinkan keadaan tubuhnya yang telah menjadi pemberian Tuhan dan yang diterimanya dangan penuh kepasrahan dan rasa syukur. Akan tetapi, kalau terjadi peristiwa seperti di sawah ladang tadi, bagaimanapun juga hatinya terasa seperti ditusuk.

Dia berniat baik. Dia menyelamatkan wanita dusun itu, bahkan dia menundukkan gerombolan jahat yang berarti juga menghindarkan dusun dari gangguan orang jahat. Dia melakukan hal itu tanpa pamrih, tidak minta imbalan apapun. Akan tetapi, dia malah didakwa melakukan hal yang rendah, didakwa berjina dengan wanita petani itu! Sungguh menyakitkan hati memang. Bongkoknya terbawa-bawa pula, bahkan mungkin bongkoknya itulah yang menimbulkan kecurigaan para penduduk dusun, yang mendatangkan kesan buruk dan membuat dia condong nampak sebagai orang yang jahat!

‘Biarlah,! dia mengeluarkan kata-kata ini melalui mulutnya, dengan agak keras untuk melunakkan hatinya yang menjadi keras dan panas. ‘Biarlah mereka mengatakan apapun juga! Yang penting, aku yakin benar bahwa aku tidak melakukan hal yang buruk, dan Tuhan mengetahui, Tuhan melihat dan Tuhan yang takkan dapat ditipu oleh kebongkokan tubuhku!! Pikiran ini diucapkannya keras-keras dan akhirnya hatinya menjadi dingin dan lunak kembali.



Bab 12

Dia berhanti di atas puncak bukit terakhir tadi, dan dari situ dia melihat ke selatan. Di sanalah terdapat propinsi Tibet! Dan kini dia telah tiba di perbatasan tiga propinsi besar. Di utara adalah Propinsi Sin-kiang. Di timur Propinsi Cing-hai, dan di selatan adalah Tibet, negara yang dikuasai para pendeta Lama itu.

Dia menuruni bukit dan menuju ke sebuah dusun yang tadi dilihatnya dari bukit itu. Daerah itu merupakan daerah yang tandus dan luas sekali, jarang terdapat dusun, maka kalau melihat sebuah dusun, maka hal itu merupakan hal yang menggembirakan bagi seorang pengelana di daerah itu. Mungkin berhari-hari dia tidak akan bertemu dusun, dan hari ini, matahari telah condong jauh ke barat. Sebentar lagi tentu akan gelap dan lebih baik melewatkan malam di dalam dusun yang hangat di mana dia dapat memperoleh makanan dan minuman daripada bermalam di daerah terbuka yang asing baginya.

Dusun itu cukup besar dikurung pagar tanah liat yang dibangun seperti tembok. Di dalam dusun itu tinggal penduduk yang jumlahnya tidak kurang dari lima ratus keluarga! Pekerjaan mereka bercocok tanam dan berburu, ada pula yang mengusahakan peternakan kambing. Dan melihat keadaan bangunan rumah yang cukup baik itu, Sie Liong dapat mengambil kesimpulan bahwa penghasilan penduduk itu cukup untuk sandang pangan, bahkan berlebihan.

Di situ terdapat pula beberapa buah warung makan, bahkan terdapat pula sebuah rumah penginapan! Kiranya dusun ini ada pula pengunjungnya dari luar kota pikirnya. Memang demikianlah, banyak dusun di daerah itu manyediakan rumah penginapan, karena mereka maklum bahwa para pedagang dan pengelana yang lewat di dusun, dan kemalaman, tentu akan mencari rumah penginapan, mengingat bahwa dusun berikutnya amatlah jauhnya! Dan banyak pula yang membuka tempat menjual barang-barang keperluan sehari-hari.

Sie Liong segera menyewa sebuah kamar di rumah penginapan itu. Beruntung bahwa dia tidak terlambat, karena pada hari itu, banyak tamu luar kota bermalam di dusun itu. Kepala dusun itu mengadakan perayaan pesta pernikahan puteranya! Dan tentu saja dia mengundang relasi dan sahabatnya dari luar dusun.

Setelah mandi dan makan malam, Sie Liong keluar dari kamarnya yang kecil dan berjalan-jalan di dalam dusun itu. Keadaan dusun itu tidak seperti biasanya. Kini ramai sekali. Hal ini adalah karena adanya pesta perayaan pernikahan di rumah kepala dusun. Boleh dibilang bahwa seluruh penduduk dusun ikut pula berpesta, atau setidaknya, ikut bergembira dengan memasang lampu gantung di depan rumah masing-masing sehingga keadaan di luar rumah kini terang dan gembira, tidak seperti biasa. Juga sebagian basar penduduk keluar dari rumah mereka untuk menyaksikan pemboyongan mempelai wanita yang kabarnya akan diambil malam hari itu. Mempelai wanita adalah seorang gadis yang rumahnya di sudut dusun, dan pengambilan mempelai itu dilakukan malam hari, diarak dan diikuti rombongan penari dan penabuh gamelan. Pengantinnya akan naik joli yang digotong empat orang, sedangkan mempelai prianya akan menunggang kuda. Sie Liong mendengar keterangan ini dari pengurus rumah penginapan dan diapun dengan gembira kini berjalan-jalan sebelum nanti ikut nonton arak-arakan pengantin puteri yang diboyong ke rumah mempelai pria.

Tanpa disengaja, Sie Liong berjalan-jalan menuju ke barat dan tak lama kemudian tibalah dia di sudut dusun itu dan berada di luar rumah kediaman pengantin wanita! Rumah itupun dihias meriah, penuh daun-daunan dan bunga-bunga, di antaranya hiasan kertas dan kain berwarna-warni, dan dipasang banyak lampu gantung yang dihias kertas-kertas merah. Suasana di rumah itu meriah sekali, dan nampak banyak orang sedang sibuk mempersiapkan joli dan semua peralatan upacara pernikahan. Melihat keadaan rumah itu, tanpa diberitahupun Sie Liong dapat menduga bahwa tentu di situ tempat tinggal pengantin wanita.

Karena di luar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang yang nonton, terutama anak-anak, Sie Liong menggabung dengan mereka, berdiri di antara para penonton. Sebagian dari para penonton itu berpakaian jembel dan barulah Sie Liong tahu bahwa dia berdiri di antara para pengemis dan kanak-kanak ketika dari dalam keluar seorang yang membawa keranjang berisi makanan lalu orang itu membagi-bagikan makanan kepada mereka. Karena dia berada di antara mereka, diapun kebagian sepotong kueh mangkok! Hemm, dia disangka seorang jembel pula, pikirnya sambil tersenyum. Dia tidak merasa sakit hati. Memang pakaiannya lusuh, apalagi punggunguya bongkok. Bukankah di antara para pengemis terdapat banyak orang yang cacat dan tidak sempurna keadaan tubuhnya? Disangka pengemis bukanlah suatu hal yang buruk, asal jangan disangka penjahat seperti dialaminya di ladang dusun itu! Maka, seperti yang lain, diapun makan kueh mangkok itu dengan gembira.

Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda yang baru datang manyelinap pula di antara para penonton. Dia merasa curiga. Pemuda itu jelas bukan pengemis dan melihat pakaiannya, tentu dia seorang petani. Seorang pemuda tani yang bertubuh sehat dan berwajah jujur, akan tetapi pada saat itu wajahnya membayangkan kemarahan dan penasaran, bahkan masih ada bakas air mata pada kedua pipinya.

Pada saat itu, para penonton di luar halaman itu berdesakan untuk dapat melihat lebih jelas ke dalam rumah karena agaknya ada upacara penghormatan mempelai puteri kepada ayah ibunya sebelum ia diboyong ke rumah calon suaminya. Upacara itu diadakan di ruangan depan, di depan meja sembahyang. Ketika mempelai wanita yang berpakaian indah mariah itu muncul dari dalam, menuju ke ruangan depan yang nampak dari luar, dituntun oleh dua orang nenek yang agaknya menjadi pengatur upacara itu. Karena pakaian yang longgar dan banyak hiasannya itu, juga karena muka itu tertutup tirai, maka Sie Liong tidak dapat melihat wajah pengantin itu, hanya dapat diduga bahwa ia seorang gadis yang bertubuh ramping.

Ketika gadis yang menjadi pengantin itu dituntun ke depan ayah ibunya yang sudah duduk berjajar di atas kursi, terdangar ia terisak menangis dan menjatuh kan diri berlutut di depan kaki mereka. Dua orang nenek itu terkejut dan hendak menuntunnya agar ia berhati-hati dengan pakaiannya, akan tetapi mereka tidak kuasa menahan gadis pengantin itu yang sudah menangis tersedu-sedu. Terdengar ucapannya di antara sedu sedannya,

‘Ayah.... ibu.... aku tidak mau kawin.... aku tidak mau menikah dengan.... anak kepala dusun itu....!

Tentu saja semua orang yang berada di ruangan itu terkejut. Ayah dan ibu mempelai saling pandang dan ibunya lalu merangkulnya, menghiburnya dengan bisikan-bisikan lembut. Akan tetapi, mempelai wanita itu meronta-ronta dan tangisnya semakin menjadi-jadi.

‘Lian-ji....! Hentikan tangismu itu! Jangan kau membikin malu orang tuamu!! Ayahnya menghardik dan bentakan ini membuat pangantin wanita itu berhenti meronta, akan tetapi masih tetap menangis terisak-isak.

‘Bawa ia masuk ke dalam kamarnya dan usahakan agar ia tidak menangis lagi! Anak sialan....!! Sang ayah marah-marah dan dua orang nenek itu lalu membawa pengantin wanita bangkit berdiri untuk membawanya kembali ke kamar.

Pada saat itu, terdangar teriakan dari luar. ‘Tidak adil....! Sungguh tidak adil dan sewenang-wenang....!!

Dan pemuda petani yang tadi menimbulkan kecurigaan hati Sie Liong, nampak meninggalkan kelompok penonton dan berlari memasuki halaman, terus ke ruangan depan itu. Semua orang terkejut dan juga ayah ibu mempelai wanita memandang dengan mata terbelalak.

‘Lian-moi....!! Pemuda itu memanggil.

Mempelai wanita itu meronta dan membalikkan tubuhnya. Melihat pemuda itu, iapun berseru, ‘Kiong-koko....!!

Dan iapun menangis, masih berdirt karena dipegang erat-erat kedua lengannya oleh kedua orang nenek itu.

‘Un Kiong? Mau apa kau? Berani kau datang ke sini membikin kacau? Kami tidak mengundangmu!! bentak ayah mempelai wanita itu dengan marah sekali.

‘Saya datang untuk menuntut keadilan!...!! Akan tetapi, tuan rumah sudah memerintahkan beberapa orang anggauta keluarga yang hadir dan merasa tidak senang dengan perbuatan pemuda itu, dan mereka kini menyerang pemuda yang tadinya sudah menjatuhkan diri berlutut itu.

‘Pergilah! Pergi dan jangan datang lagi!! bentak tuan rumah setelah pemuda itu terjengkang dan bergulingan oleh beberapa pukulan dan tendangan. Akan tetapi pemuda bernama Un Kiong itu tetap bangkit dan berlutut lagi.

‘Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mendapat keadilan! Biar kalian memukuli aku sampai mati, aku tidak akan pergi!! teriaknya marah. Sementara itu mempelai wanita beberapa kali memanggil namanya. ‘Kiong-koko....!! akan tetapi ia sudah ditarik oleh dua orang nenek, dibantu ibu mempelai dan diseret masuk ke dalam kamar.

Mendengar kenekatan pemuda itu, para keluarga laki-laki itu menjadi marah, bahkan kini ayah mempelai ikut pula memukuli pemuda yang masih nekat berlutut. Melihat ini, Sie Liong cepat melompat ke dalam. Begitu dia bergerak menangkis tendengan dan pukulan itu, beberapa orang terjengkang dan roboh sendiri karena serangan mereka tertangkis sedemikian kuatnya, dan Sie Liong sudah mengangkat bangun tubuh pemuda itu yang sudah babak belur dan bengkak matang biru.

Melihat munculnya seorang pemuda bongkok yang membela Un Kiong, semua orang terkejut. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan pandai silat, merasa penasaran dan dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah dada Sie Liong sambil membentak, ‘Mau apa kau mencampuri urusan kami?!

‘Dukkk!! Kepalan tangannya yang besar itu tepat mengenai dada Sie Liong akan tetapi akibatnya sungguh membuat orang terbelalak. Bukan Sie Liong yang roboh melainkan pemukulnya sendiri yang mengaduh-aduh sambil memegangi pergelangan tangannya yang menjadi salah urat! Dia membungkuk dan menyeringai kesakitan, mengeluh. Melihat itu, tentu saja semua orang menjadi jerih dan tidak ada lagi yang berani menghalangi ketika Sie Liong memapah pemuda itu keluar dari situ. Ketika tiba di luar rumah dan melihat betapa ban yak orang mengikutinya, yaitu mereka yang tadi nonton dan agaknya mereka ingin tahu ke mana dia membawa pemuda yang dipukuli itu, Sie Liong lalu memanggul pemuda itu dan berlari cepat sehingga sebentar saja dia sudah menghilang dari kejaran para penonton.

Sie Liong membawa pemuda itu ke luar dusun dan dia baru berhenti setelah tiba di tempat sunyi di luar dusun itu. Mereka berdiri di bawah sinar bulan dan berkali-kali pemuda itu menghela napas penuh penyesalan. Dia tahu bahwa pemuda bongkok ini bukan orang sembarangan. Dia melihat ketika pemuda itu membawanya keluar dari dalam rumah mempelai wanita, dan terutama sekali cara pemuda itu memanggulnya dan membawanya lari secepat terbang.

‘Taihiap, kenapa engkau monolongku? Mengapa engkau membawaku pergi dari sana?!

Sie Liong tersenyum. Orang ini telah diselamatkan dari keadaan yang lebih parah lagi, mungkin dia akan mati dipukuli orang, dan pemuda ini tidak berterima kasih bahkan menyesal!

‘Akan tetapi, kenapa engkau begitu nekat, membiarkan dirimu dipukuli orang? Kalau ttdak kularikan, mungkin engkau akan dipukuli sampai mati!!

‘Biar saja! Biar aku dipukuli sampai mati agar Lian-moi melihat bukti cintaku kepadanya!!

‘Wah, sungguh aneh. Coba caritakan, apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapa tahu, mungkin saja aku akan dapat menolongmu.!

Pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput. Sie Liong juga duduk dan pemuda itu bercerita. Sejak kecil Un Kiong telah ditunangkan dengan Sui Lian, gadis itu. Bahkan Un Kiong sudah seringkali menyumbangkan tenaganya bekerja di sawah ladang tunangannya. Pernikahan antara mereka tinggal menanti hari, bulan dan tahun yang baik saja. Akan tetapi, secara tiba-tiba, orang tua Sui Lian mengumumkan bahwa pertunangan itu diputuskan, dibatalkan dan tahu-tahu, sebulan kemudian Sui Lian dinikahkan dengan putera kepala dusun itu!

Kepala dusun itu orang baru, belum setahun dia diangkat menjadi kepala dusun dan bertugas di sini. Jelaslah, dibatalkannya pertunanganku itu disebabkan oleh kehadiran putera kepala dusun itu. Seorang pemuda brengsek, pengejar perempuan, sombong dan tidak ada gunanya! Tadinya aku sudah menerima nasib, aku tidak berdaya. Tadi aku hanya ingin melihat, bersama para penonton, ingin melihat bekas tunanganku yang sejak diputuskannya ikatan jodoh itu tidak pernah kulihat lagi. Akan tetapi, melihat ia menangis, mendengar ucapannya bahwa ia tidak mau dikawinkan dengan orang lain, aku tidak dapat menahan hatiku. Dan ia.... ah, ia masih sempat memanggilku, dan ia.... ia begitu bersedih....! Karena itu, aku ingin mati saja, biar mereka pukuli, biar aku mati di depan Lian-moi untuk membuktikan cinta kasihku kepadanya!!

Sie Liong tersenyum. ‘Membuktikan cinta kasih dengan membiarkan diri mati dipukuli orang? Hemm, itu bukan cara membuktikan cinta kasih yang baik! Kalau engkau mati dipukuli, apakah tunanganmu itu akan merasa gembira? Apakah perbuatanmu itu akan dapat membebaskan ia dari cengkeraman orang yang dipaksakan menjadi suminya?!

Un Kiong menjadi bengong, lalu dia berulang-ulang menggeleng kepala dan menghela napas. ‘Lalu apa yang dapat kulakukan, taihiap?!

‘Engkau pulanglah dan biar aku yang akan membantumu. Aku akan membatalkan pernikahan paksaan itu dan akan mengantarkan mempelai wanita ke rumahmu. Engkau bersiap-siaplah, besok siang mempelai wanita akan kuantarkan ke rumahmu dan harus kausambut ia sebagai mempelaimu.!

‘Tapi.... tapi.... tentu mereka akan marah. Aku akan ditangkap dan bahkan orang tuaku akan masuk tahanan dan dihukum!!

‘Jangan khawatir. Aku yang bertanggung jawab, dan jangan takut. Aku akan menangani urusan ini sampai tuntas dan andaikata engkau ditawan, aku yang akan membebaskanmu.!

Karena dia sendiri sudah tak berdaya dan hampir putus asa, Un Kiong menaruhkan seluruh harapannya kepada pendekar yang bongkok itu, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. ‘Taihiap, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih. Sebelum saya pulang, mohon tahu nama besar taihiap, agar dapat kuceritakan kepada orang-tuaku.!

Sie Liong menggelong kepala. ‘Namaku tidak ada artinya, sobat. Kuberitahupun engkau tidak akan mengenalnya. Aku hanya kebetulan lewat saja di sini, dam aku selalu gatal tangan, ingin membereskan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pulanglah dan tunggulah sampai besok.!

Un Kiong memberi hormat, lalu dia pun pergi, kembali ke dusun dan pulang ke rumahnya. Dia disambut dengan omelan ayah ibunya yang sudah mendengar beritanya bahwa putera mereka membikin ribut di rumah mempelai wanita sehingga dipukuli keluarga mempelai wanita. Ketika Un Kiong menceritakan tentang Pendekar Bongkok yang menolongaya, dan tentang janji pendekar itu, ayah ibunya menjadi semakin tegang dan gelisah.

Sementara itu, Sui Lan telah dipaksa untuk menerina rombongan pengantin pria yang malam itu datang untuk menjemput mempelai puteri. Mempelai wanita masih menangis terus, akan tetapi karena ia memakai kerudung, dan karena memang sudah lajim mempelai wanita selalu menangis ketika dinikahkan, maka ia tidak menarik banyak perhatian. Mempelai wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan dipikul empat orang, sedangkan mempelai prianya menunggang seekor kuda yang besar. Mempelai pria ini nampak tampan dan gagah dalam pakaiannya yang indah dan beraneka warna. Dia tersenyum-senyum penuh lagak ketika menaiki kudanya, dibantu oleh beberapa orang. Petasan dibakar dan bunyi musik mengiringi pasangan mempelai yang akan meninggalkan rumah mempelai wanita itu.

Pada saat itu, muncul seorang pemuda bongkok di depan rombougan yang sudah siap untuk berangkat! Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!

‘Berhenti!! bentak Sie Liong yang berdiri di tengah jalan. ‘Pernikahan ini salah tempat! Mempelai prianya bukan orang itu!! Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda dengan congkaknya.

Tujuh orang pengawal yang bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan pandang mata marah. Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda bongkok itu menjadi gelisah.

Komandan pasukan pengawal yang hanya tujuh orang itu, seorang beruasia empat puluh tahun lebih yang kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.

‘Heii, apakah engkau ini orang gila? Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?! Kini semua orang sudah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman sedangkan tujuh orang pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.

‘Aku hanya seorang bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiwa yang membuat hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai seorang tunangan sejak kecil yang bernana Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini tentu sudah mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, secara mendadak partunangan itu dibatalkan sepihak dan Sui Lien dijodohkan dengan putera kepala dusun. Sungguh tidak adil sekali, apalagi karena mempelai wanita tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun!!

‘Eh, sungguh engkau telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan secara sah dan menurut peraturan yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang diterima. Hayo engkau ini orang bongkok gila pergi dari sini daripada harus kami hajar!!

‘Kalianlah yang harus pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan katakan kepada kepala dusun bahwa pernikahan ini dibatalkan!!

‘Kurang ajar!! Tujuh orang pengawal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan tetapi, sekali menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh semua seperti tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut dan mencabut senjata masing-masing.

‘Sudahlah. Kalian hanya petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah dalam hal ini adalah orang tua mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaiknya kepala dusun itu disuruh ke sini dan kita rundingkan bersama dengan orang tua mem pelai wanita. Urusan ini dapat diselesaikan dengan cara damai!! kata Sie Liong yang sabetulnya tidak ingin mempergunakan kekerasan.

‘Orang gila ini sungguh kurang ajar! Tangkap dia atau bunuh kalau melawan!! kini mempelai pria yang masih menunggang kuda itu membentak marah. Tentu saja dia marah dan merasa malu sekali bahwa upacara pejemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang agaknya gila!

Tujuh orang pengawal itu sudah menyerang dengan senjata mereka. Sie Liong hanya mengelak dan langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tidak ada yang mampu menyentuh tubuhnya. Dia tidak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya karena mereka bukanlah orang-orang jahat melainkan hanya orang-orang yang melaksanakan tugas mengawal mempelai. Diapun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu beterbangan dan terlepas dari tangan para pemegangnya. Tentu saja tujuh orang itu terkejut sekali, juga jerih karena kini baru mereka maklum bahwa mereka menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti.

Mempelai pria yang melihat betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak melawan orang bongkok itu, menjadi ketakutan dan diapun melarikan kudanya sambil berteriak, ‘Mari kita lapor kepada ayah!! Para pengikutnya lalu malarikan diri meninggalkan tempat itu.

Ayah dari mempelai wanita yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penanaran sekali. Akan tetapi diapun sudah maklum akan kehebatan orang bongkok itu, maka dia menghampirl lalu memberi hormat.

‘Taihiap, apa maksudnya taihiap melakukan semua ini? Taihiap, hanya akan mendatangkan malapetaka kepada keluarga kami!!

‘Hmm, semua ini adalah akibat dari kesalahan keluarga sendiri, paman, Mari kita masuk dan bicara di dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi.

Joli pengantin diangkut lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk. Tidak ada yang berani membantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda bongkok ini seorang pandekar yang sakti. Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar dari joli untuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas terdangar suaranya, ‘Taihiap, saya berterima kasih sekali kepadamu!! Dua orang nenek dan ibunya, mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar.

Sementara itu, ayah Sui Lian lalu mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja. Keluarganya lalu keluar dan minta kepada para penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan rumah. Para penonton bubaran dan sebentar saja peristiwa itu telah menjadi berita baru yang menegangkan seluruh penduduk dusun itu. Un Kiong dan orang tuanya mendengar pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang. Un Kiong sendiri diam-diam merasa girang dan timbul harapan baru dalam hatinya. Ternyata Pendekar Bongkok tidak membohonginya dan telah mencegah terjadinya pemboyongan pengantin wanita! Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak dapat tidur sekejap matapun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat sendiri apa yang terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.

‘Paman, benarkah bahwa sejak kecil puterimu telah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama Un Kiong dari dusun ini juga?! Sie Liong bertanya dan memandang tajam kepada tuan rumah yang kini didampingi isterinya.

Petani itu mengangguk. ‘Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah dibatalkan, maka Un Kiong tidak berhak untuk datang ke sini dan membikin ribut....!

‘Akan tetapi mengapa, paman? Apakah kenalahan Un Kiong maka pertunangan itu dibatalkan? Padahal, pertunangan itu telah berlangsung bertahun-tahun, sejak keduanya masih kanak-kanak!!

Ayah dan ibu Sui Lian saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang calon mantunya itu tidak mempunyai kesalahan apapun!

‘Hemm, aku tahu, paman. Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Maka engkau membatalkan ikatan perjodohan itu agar angkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?!

Orang tua itu mengangkat muka memandang kepada Pendekar Bongkok, lalu mengangguk membenarkan.

‘Nah, aku ingin tahu sekarang. Kenapa kau lakukan hal itu? Kalau puterimu sudah bertunangan dengan Un Kiong, seharusnya kau tolak saja lamaran kepala dusun dan berkata terus terang bahwa puterimu sudah mempunyai calon suami.!

‘Ah, taihiap, mana kami berani melakukan hal itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun di sini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih suka melihat anak kami menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya raya dan....!

‘Dan yang terpenting, paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun, begitukah?! Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.

‘Paman dan bibi, apakah ji-wi (kalian) menyayang puterimu?!

‘Tentu saja!! jawab kedua orang tua itu.

‘Kalau ji-wi menyayangnya, mengapa ji-wi memperlakukannya sebagai barang dagangan saja? Siapa yang berani menawar lebih tinggi akan mendapatkannya? Ia bukan benda, bukan pula binatang, melainkan seorang manusia yang berperasaan. Ia berhak manentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, akan tetapi ji-wi memaksanya! Benarkah perbuatan itu?!

Dua orang tua itu menunduk. ‘Kami.... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap. Ia akan menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hidup barkecukupan....!

‘Itukah ukuran bahagia? Berbahagiakah seekor burung dalam sangkar, walaupun sangkar itu terbuat dari emas? Ji-wi keliru, seyogianya menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh tidak adil kalau membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, sedangkan kedua orang muda itu sudah saling menyayang.!

‘Tapi, tapi kami tidak berani menolak.... dan sekarang.... perjodohan itu sudah ditentukan, dan taihiap.... ah, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan tindakan kepala dusun yang tentu akan marah sekali....! Suami isteri itu meratap dan ketakutan.

‘Itu tanggung jawabku. Yang penting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong.!

Suami isteri itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang. ‘Baiklah, taihiap. Kini kami dapat melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan kemewahan keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu asal taihiap dapat membersakan urusan kemarahan dari pihak kepala dusun.!

‘Jangan khawatir. Nah, itu agaknya mereka datang,! kata Sie Liong dengan hati lega dan diapun bangkit berdiri lalu keluar dari ruangan itu, berdiri di serambi depan. Masih terdapat penonton, akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan seperti tadi di luar pintu pagar. Dia melihat munculnya dua orang laki-laki yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi. Agakaya pihak kepala dusun telah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.

Ketika mereka memasuki pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga serambl depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian. Dua orang yang sikapnya gagah sekali. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi, jantan dan gagah, sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pundak mereka nampak gagang pedang. Dua orang yang gagah. Sie Liong mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah bertemu dengan mereka.

Seorang di antara dua orang gagah itu, yang tinggi besar, setelah memandang tajam kepada Sie Liong, lalu menegur, suaranya keras dan berwibawa, suara yang gagah. ‘Apakah engkau orangnya yang tadi menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin pria?!

Sie Liong menghadapi mereka dengan tenang. Dia belum mendangar akan kejahatan kepala dusun dan pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak memaksakan kehendaknya, karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya karena salah pengertian, karena kelemahan orang tua Sui Lian.

‘Benar sekali, akulah yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak tepat itu.!

Dua orang gagah itu mengerutkan alisnya. ‘Pemboyongan tidak tepat? Apanya yang tidak tepat? Dengar, sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pasta itu dan sudah bertahun-tahun kami mengenal kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia merayakan pernikahan puteranya dengan gadis dusun di sini, apa salahnya itu?!

‘Mungkin dia tidak bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang sudah mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya masih kecil. Tiba-tiba saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal itu merupakan suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?!

Kembali dua orang itu saling pandang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang. ‘Semua itu merupakan urusan pribadi keluarga pengantin puteri, dan tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kepala dusun. Pinangan sudah diterima dan pernikahan dilangsungkan, siapapun tidak berhak untuk menghalangi!!

‘Maaf, akan tetapi aku berpihak kepada keluarga colon suami yang disia-siakan, maka aku yang menghalangi dilanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali saja dan minta kepada kepala dusun untuk datang ke sini agar urusan ini dapat kita bicarakan dengan penuh kebijakan!!

‘Hemm, tidak percuma kalau sahabat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, maka mari ikut dengan kami menghadap kepala dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin menggunakan kekerasan.! kata si tinggi besar.

‘Kalau aku tidak mau?!

‘Ji-wi taihiap, biar kami keroyok saja dia!! teriak si kumis melintang yang memimpin para pengawal tadi. Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi si bongkok. Akan tetapi, melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu mengembangkan dua lengan dan mencegah mereka maju.

‘Jangan kalian bergerak. Biarkan kami yang menghadapinya!! kata si tinggi besar dan tujuh orang pengawal itupun mundur kembali. Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa malu, sesungguhnya mereka jerih maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa lega.

‘Sute, biarkan aku yang mencoba kelihaian orang sombong ini!! kata si tinggi besar yang segera melangkah maju. ‘Sobat, engkau sungguh tinggi hati, handak mencampuri urusan pribadi keluarga orang lain. Agaknya engkau hendak mempergunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan hendak merampas mempelai wanita itu!!

Sie Liong tersenyum. ‘Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada di sini menanti datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan kularikan mempelai wanita. Tidak, dugaanmu itu menyeleweng jauh, sobat. Aku hanya ingin membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain.!

‘Dan engkau akan mempertahankan pendirianmu itu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?!

‘Kalau perlu....!

‘Bagus! Ingin kulihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!! bentak si tinggi besar itu dan dia membentak nyaring, ‘Lihat serangan!!

Sikap itu saja membuktikan bahwa dia memang seorang gagah, seorang pendekar yang memberi peringatan sebelum melakukan serangan. Pukulannya amat kuat, mendatangkan angin pukulan yang menyambar dahsyat, juga datanguya cepat sekali. Melihat serangan ini, tahulah Sie Liong bahwa dia berhadapan dengan lawan yang ‘berisi!, bukan sekedar tukang pukul yang besar suaranya saja. Maka, diapun dengan hati-hati mengelak ke kiri, lalu dari kiri tangannya menyambar ke kanan depan, membalas dengan totokan ke arah lambung kanan yang terbuka. Namun, lawannya sudah menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil menangkis keras. Agaknya, si tinggi besar ini hendak mencoba tenaga lawan, maka ketika menangkis totokan itu, dia mengerahkan sin-kang.

‘Dukkk!! Dua lengan bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya seperti akan patah dan lengan kanan itu lumpuh dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat! Maka diapun lalu menerjang dengan cepat, bagaikan serangan badai, kaki tangannya bergerak cepat dan setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga. Namun, dengan tenang Sie Liong selalu manghindarkan diri, dengan langkah-langkahnya yang teratur.

‘Hyaattttt....!! Kini lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya mengandung tenaga dahsyat yang panas!

Sie Liong maklum bahwa lawannya mempergunakan semacam sin-kang yang hebat, maka diapun segera mengerahkan sin-kangnya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju). Ketika tangan mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak, tubuhnya menggigil kedinginan! Memang, Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan hawa dingin dan ilmu ini diperoleh Sie Liong dari seorang di antara guru-gurunya, yaitu Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin.

Melihat suhengnya terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok menerjang dahsyat sambil membentak, ‘Lihat seranganku!!

Kedua tangan itu bergerak cepat, merupakan dua cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian lemah dari tubuh Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah lihainya dibanding sang suheng! Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan itu semacam ilmu yang meniru gerakan harimau, maka dahsyat sekali dan melihat kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang itu, walaupun tidak berkuku panjang, tidak kalah berbahayanya dari pada cakar seekor harimau!

Diapun cepat berloncatan mengelak dan kini dia memainkan ilmu silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan Putih) dan begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dari telapak kedua tangannya berkepul uap putih dan semua cakaran lawan dapat ditangkisnya dengan tepat. Diapun membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itupun terhuyung-huyung ke belakang, tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyambar dari kedua tangan Sie Liong.

Kini, dua orang gagah itu meloncat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka maklum bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu mengalahkan orang bongkok itu, maka mereka mencabut senjata!

‘Sobat, ternyata engkau benar amat lihai. Nah, keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main sebentar dengan senjata!! tantang si tinggi besar dengan sikap gagah.

Sie Liong menjura kepada mereka. ‘Mana aku berani? Aku tidak pernan bermain-main dengan senjata, dan aku tidak akan pernah mau mangangkat senjata untuk melawan pendekar-pendekar dari Kun-lun-pai yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa para pendekar Kun-lun-pai selalu membela yang benar dan tidak pernah melakukan kejahatan!!

Dua orang itu terbelalak. ‘Engkau.... mengenal kami? Siapakah engkau sebenarnya?! tanya si tinggi besar. Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi basar bernama Ciang Sun, sedangkan sutenya yang brewokan, bernama Kok Han.

‘Tentu saja aku mengenal ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling berjumpa. Ketika itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret oleh dua orang pendeta Lama, akan tetapi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tempat itulah kita saling berjumpa!!

‘Ahh....!! Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu berseru kemudian saling pandang. ‘Engkau.... engkau bocah bongkok yang terpukul oleh pendekar Lama itu....? Tapi.... tapi kami sangka engkau sudah mati....!!

Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. ‘Tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam Lojin yang menjadi guru-guruku....!

‘Ahhh....! Kiranya saudara adalah murid lima orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai! Akan tetapi, mengapa.... eh, tentang urusan pengantin itu....! Dua prang pendekar Kun-lun-pai itu menjadi gugup karena mereka tadi memandang rendah.

‘Harap ji-wi tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku tidak akan melakukan perbuatan yang jahat, bukan? Ketahuilah, aku bertemu dengan pemuda yang sejak kecil menjadi tunangan gadis yang kini menjadi pengantin. Sejak kecil bertunangan lalu tiba-tiba dibikin putus dan tunangannya tahu-tahu akan dinikahkan dengan putera kepala dusun! Bukankah hal itu sama sekali tidak adil? Juga pengantin wanita kulihat sendiri tidak mau dijodohkan dengan anak kepala dusun, akan tetapi kedua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan mata kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku turun tangan....!

‘Ah, kalau begitu, lain lagi urusannya!! kata Kok Han. ‘Sungguh heran, kenapa bisa terjadi demikian? Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan bijaksana.!

‘Mungkin dia tidak tahu,! kata Sie Liong. ‘Dia hanya tahu meminang, diterina dan merayakan pernikahan puteranya. Karena itu, sebaiknya kalau dia diajak berunding, sukur kalau dia mau datang ke tempat ini agar perundingan dapat diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang sudah tahu akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik.!

Dua orang pendekar Kun-lun-pal itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong. ‘Baik, kami yang akan menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar suka datang ke sini.!

‘Terima kasih, ji-wi memang bijaksana. Aku menunggu di sini,! kata Sie Liong. Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersukur bahwa mereka tidak usah kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok. Mereka kini tahu bahwa kalau lawan tadi menghendaki, mereka tentu saja sudah roboh, bahkan mungkin tewas. Dan mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan kebenaran apa yang dilakukan oleh Pendekar Bongkok.

Benar saja seperti dugaan Sie Liong, kepala dusun Sun tak lama kemudian datang ke rumah calon besan itu, ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka lalu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam di mana mereka mengadakan pembicaraan. Yang hadir hanyalah suami isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.

Dengan jelas Sie Liong lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong lalu melanjutkan ceritanya.

‘Hendaknya jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan kedua orang muda itu sudah diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini, dilakukan semenjak keduanya masih kanak-kanak. Kalau tiba-tiba pertunangan itu dibikin putus secara sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan anakmu, bukankah penduduk akan menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk merampas tunangan orang? Kalau jung-cu ingin disuka oleh seluruh penduduk dusun, ingin menjadi seorang kepaia dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang dan memaksa gadis itu menikah dengan puteramu.!

Kepala dusun Sun memandang kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian. ‘Akan tetapi, kalau memang Sui Lian sudah mempunyai tunangan, kenapa pinangan kami diterima?!

Sie Liong menoleh kepada tuan rumah dan isterinya, lalu berkata dengan tenang, ‘Kiranya paman dan bibi ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekaranglah saatnya semua orang berterus terang dan meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!!

Wajah tuan dan nyonya rumah menjadi agak pucat dan dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata, ‘Mohon ampun kepada jung-cu.... ketika jung-cu mengajukan pinangan, kami.... kami merasa terhormat dan berbahagia sekali, kami tidak berani menolak dan tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu.... dan kami merasa bangga kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan....!

‘Brakkk!! kepala dusun Sun menggebrak meja dengan kedua tangannya, dan mukanya menjadi merah sekali. ‘Kalian kira aku ini orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan kekuasaannya memaksakan kehendaknya kepada rakyat? Sungguh, itu namanya memandang rendah kepada kami!!

‘Ampunkan kami.... jung-cu....!! tuan dan nyonya rumah menjadi ketakutan.

Kepala dusun itu menarik napas panjang. ‘Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu saja. Semua tamu sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah disiapkan, bagaimana mungkin pernikahan dibatalkan? Kami akan menjadi buah cemoohan dan tertawaan orang saja! Siapa nama tunangan Sui Lian itu?!

‘Namanya Un Kiong....!

‘Di mana dia? Panggil dia ke sini!!

Sie Liong bangkit. ‘Biarlah aku yang memanggil dia ke sini.! Dan sekali berkelebat, pemuda bongkok inipun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Un Kiong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimanapun juga, dia ketakutan.

Akan tetapi, kepala dusun Sun bersikap tenang. ‘Un Kiong, mulai saat ini, engkau kuanggap sebagai anak angkatku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah kau?!

Un Kiong menjatuhkan diri berlutut di depan ‘ayah angkatnya! dan hanya mampu menangis saking gembiranya. Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan mereka tersenyum, kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.

Pada keesokan harinya, pesta pernikahan tetap dirayakan di rumah kepala dusun, hanya saja, yang menikah bukanlah putera kandungnya, melainkan ‘putera angkatnya!. Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan orang.

Ketika sepasang mempelai dipertemukan, Sie Liong dan dua orang pendekar Kun-lun-pai mendapat kursi kehormatan. Dan dua orang mempelai itu tanpa diperintah, langsung saja menghampiri Sie Liong dan keduanya menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.

‘Wah.... jangan....! Tidak perlu begini....!! katanya den sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah lenyap dari tempat itu, bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.

Peristiwa ini bukan hanya menguntungkan dua orang muda yang sudah saling mencinta itu, akan tetapi juga mondatangkan keuntungan benar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu mendatangkan perasaan hormat dan suka sekali dalam hati para penduduk dusun itu sehingga dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan ditaati sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!

Sie Liong sendiri melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum. Girang bukan main rasa hatinya bahwa dia telah berhasil menyambung perjodohan yang putus itu! Dia dapat membayangkan betapa bahagianya sepasang orang muda itu! Akan tetapi diapun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu tidaklah kekal adanya. Seperti juga keadaan udara, kehidupan manusia tidak selamanya diterangi sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di angkasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelapkannya sama sekali. Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, sekarang mereka berbahagia dan diapun merasa berbahagia karena perbuatannya telah berhasil membahagiakan orang lain!

***

Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itupun kalau dusun itu kedatangan banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing. Para anggauta pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut. Mereka bermabok-mabokan di dusun itu dan seringkali terjadi pertengkaran di antara para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang mereka itu hendak memaksakan kehendak mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali selalu dapat meredakan keributan yang timbul.

Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan, dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua penghuni tidak berani keluar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam. Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan perondaan, dan pekerjaan inipun dilakukan dalam suasana penuh ketakutan. Hal ini amat menarik hati para pendatang dan beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri mereka kuat, bertanya.

Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu oleh munculnya siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bangkit dan mempergunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri. Banyak sudah anak buah Gumo Cali roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika mereka berusaha untuk menangkap ‘siluman! itu. Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya memiliki kesaktian yang luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat biasa saja. Maka, setelah banyak jagoan diantara para pengawal mancoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang roboh terluka, bahkan ada yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba!

Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia lebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya. Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu adalah darah!

Dan malamnya, biarpun sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang, merobohkan siapa saja yang mencoba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis yang dipilihnya! Menurut keterangan mereka yang pernah dirobohkannya, siluman itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau memang dia manusia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah. Maka, siluman itupun terkenal dengan sebutan siluman merah!

Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada sebuah daun pintu. Betapa penduduk tidak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti semua orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu! Dan coretan itu bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah dua orang gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!

Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat dengan para jagoan tidak menenteramkan hatinya karena sudah terbukti berulang kali betapa para jagoan itu tidak ada yang mampu menandingi kesaktian siluman itu, maka jalan keduapun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal kepercayannya akan tahyul, yaitu mengundang seorang dukun!

‘Untuk mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,! demikian katanya kepada isterinya yang terus menerus menangis, juga kedua puterinya yang menangis ketakutan, ‘akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan mampu mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanyalah seorang dukun.!

Di daerah Ngomaima terdapat seorang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, diapun diundang untuk mangobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang peranakan Tibet Han, memiliki nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sian-jin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!

Bong Sian-jin diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannyapun aneh, merupakan jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar, akan tetapi kalau jubah pendeta itu biasanya sederhana berwarna polos putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni! Juga dia pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga rambutnya tersisir licin berminyak, dan hebatnya, kalau orang berada dua tiga meter saja darinya, orang itu akan mencium bau minyak yang sangat wangi!

Usia Bong Sian-jin ini kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah, bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan melek atau meram, hidungnya besar dan mulutnya kecil selalu tersenyum mengejek. Di punggungnya terdapat sebatang pedang, tangan kanannya memegang sebuah kebutan berbulu putih dan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang dikebut-kebutkan ke arah lehernya ketika dia mamasuki rumah Gumo Cali dengan lenggang dibuat-buat!

Gumo Cali dan isterinya cepat menyambut dengan sikap hormat, dan begitu melihat tuan rumah, tiba-tiba dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, lalu mulutnya mengeluarkan keluhan panjang, ‘Hayaaaaaaa....!! dan diapun mengangguk-angguk.

Melihat ini, Gumo Cali cepat memberi hormat dan bertanya, ‘Sian-jin, apakah yang engkau ketahui? Katakan kepada kami!!

‘Aih, penuh hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni semua penghuni rumah!! Diapun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan menyalakannya. Asap yang mengeluarkan bau harum segera memenuhi ruangan depan itu.

Mulut si dukun berkemak-kemik membaca mantram, kemudian terdengar dia berkata sambil mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru. ‘Yang datang dari utara, kembalilah ke utara, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang dari selatan kembalilah ke selatan dan yang datang dari barat kembalilah ke barat. Jangan ganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu untuk membantu aku mengusir siluman merah!! Dia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mampu mengusir siluman merah dan menyelamatkan puteri-puteri mereka.

Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sian-jin memasuki rumah, mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di rumah itu. Kemudian dia bertanya, ‘Di mana kamar dua orang gadis itu?!

Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!

‘Di sana, Sian-jin, di sudut itu....! jawabnya cepat.

‘Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!!

Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sian-jin memasuki sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan dari kakak beradik itu. Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu kini berdiri dengan muka pucat di depan Bong Sian-jin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar gairah!

Tiba-tiba Bong Sian-jin mengeluarkan seruan, ‘Uhhhh....!! dan diapun terhuyung ke belakang. ‘Sungguh celaka....!!

‘Ada apakah, Sian-jin....?! tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya gelisah sekali.

‘Celaka, mereka ini sudah diselubungi hawa siluman yang amat kuat!!

Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itupun menangis dan tubuh mereka menggigil.

‘Aduh.... lalu bagaimana baiknya, Sian-jin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami.... apapun yang kauminta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu.... tolonglah....! kata kepala dusun itu cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai seorang jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu. Ketahyulan dapat membuat orang yang bagaimana perkasapun menjadi seorang pengecut dan penakut.

‘Jangan khawatir heh-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sian-jin, jangan khawatir....! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena kalau sampai ada yang terkena hawa siluman, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir dia.... heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sian-jin, heh-heh-heh!!

‘Baik, baik.... ah, terima kasih sebelumnya, Sian-jin. Dan apa.... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?!

‘Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!!

Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Segera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam kamar. Ibu kedua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, ‘Jangan kalian takut, ada Bong Sian-jin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari.... siluman....! Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang memandang kepada mereka secara mengerikan! Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis, sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman merah, maka merekapun pasrah!

Setelah melihat betapa dengan penuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi kamar dan sama sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai diapun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.

Setelah berada bertiga saja dengan dua orang gadis remaja yang cantik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah berahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi telah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis remaja yang diserahkan ke dalam kekuasaannya itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya. Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik gadis-gadis cantik. Dan dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu darah anjing yang sudah dikeringkan dan dijadikan bubuk hitam, dan pedang pusakanya yang sudah diberi mantra, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan. Dia tidak takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga yang sedang mulai mekar itu, menikmati mereka, dan pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!

‘Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sakit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalian kubersihkan dari hawa siluman?!

‘Mau, Sian-jin, tentu saja kami mau....! kata gadis tertua dengan suara gemetar.

‘Kalau kalian mau, ingat. Apa yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamupun tidak boleh. Kalau kalian ceritakan, maka hawa siluman itu akan datang menguasai diri kalian kembali. Turut saja apa yang kulakukan terhadap kalian, karena itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan dalam ember ini. Lakukan sekarang!!



Bab 13

Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu kini tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembunyi di balik pelupuk mata yang sipit itu semakin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali. Kemudian, sambil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum, dan dengan nafsu semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua orang gadis remaja itu, jari-jari tangannya dengan penuh nafsu menggerayangi dan meraba-raba, membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka.

Biarpun nafsu berahinya sudah memuncak, namun dukun yang cerdik ini tidak bodoh. Dia cerdik sekali dan dia menahan dirinya agar tidak tergesa-gesa melakukan niatnya yang terakhir terhadap dua orang gadis remaja itu. Setelah merasa puas membelai tubuh mereka dengan dalih memandikan mereka, diapun menyuruh mereka keluar dari ember mandi, mengeringkan tubuh yang basah itu dengan kain, kemudian memerintahkan mereka berbaring di atas tempat tidur dan menutupi tubuh telanjang mereka dengan selimut. Dia melarang mereka mengenakan pakaian kembali, dengan alasan bahwa semua pakaian mereka sudah ternoda oleh hawa siluman.

Setelah kedua orang gadis itu merebahkan diri bersembunyi ke dalam selimut, Bong Sian-jin lalu duduk bersila dengan santainya di tepi pembaringan, pura-pura bersamadhi sambil menanti datangnya malam. Hari telah mulai senja dan sebentar lagi malam tiba. Dukun itu hendak menanti datangnya malam agar apa yang akan dilakukannya itu dapat kelak dia timpakan kepada siluman merah! Diapun sudah siap dengan pedang kayu yang sudah diletakkannya di atas pangkuannya, dan mempersiapkan pula bubuk darah anjing di dalam sebuah botol.

Malampun tiba. Dukun Bong menyalakan dua batang lilin di atas meja sehingga dalam kamar itu remang-remang namun cukup terang. Sampai jauh malam, tidak terjadi sesuatu di dalam kamar itu. Dua orang gadis yang tadinya bicara berbisik-bisik, kini berdiam diri, menanti dengan ketakutan. Setiap ada suara sedikit saja di luar kamar, membuat mereka saling rangkul dengan tubuh gemetar. Namun, hati mereka merasa lega melihat dukun itu masih duduk bersila seperti arca dan mereka yakin bahwa dukun itu tentu akan mampu menolong mereka. Apa yang dilakukan dukun itu tadi, ketika memandikan mereka membuat mereka merasa kikuk dan malu, akan tetapi mereka tidak menyangka buruk dan menganggap bahwa dukun itu memang sungguh-sungguh ‘membersihkan! mereka. Mereka masih terlalu hijau untuk berprasangka yang bukan-bukan.

Sementara itu, dukun Bong menjadi tidak sabar lagi. Siluman yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang, sedangkan dia hampir hangus terbakar nafsu berahinya. Kalau siluman itu muncul dan dia sudah mengusirnya, baru dia akan menikmati ‘imbalan jasanya!. Dia menoleh, memandang kepada dua orang gadis itu. Selimut itu agak tersingkap dan memperlihatkan sebagian dada mereka. Bong Ciat tidak dapat lagi menahan dirinya. Dia menyeringai kepada mereka.

‘Kalian takut?!

Ditanya demikian, tentu saja dua orang gadis itu mengangguk membenarkan.

Mereka memang merasa takut sekali, bahkan merasa ngeri. ‘Heh-heh, jangan takut, ada aku di sini. Biar kutemani kalian tidur agar kalian merasa aman dan tidak takut lagi.! Berkata demikian, dukun yang tak tahu malu itu lalu mulai mencopoti pakaiannya satu demi satu. Melihat ini, dua orang gadis remaja itu tersipu-sipu. Mereka merasa lega karena dukun itu hendak menemani mereka tidur sehingga mereka akan merasa aman sekali, akan tetapi juga mereka merasa malu bukan main melihat betapa Bong Sian-jin menanggalkan pakaiannya. Melihat mereka tersipu-sipu, Bong Sian-jin tersenyum.

‘Heh-heh, kalian tidak usah malu-malu....! Dan diapun membungkuk, mencium pipi mereka bergantian, membuat kedua orang gadis remaja itu menggeliat dan semakin tersipu.

Nafsu berahi sudah memuncak dan Bong Sian-jin sudah tidak kuasa menahan diri lagi. Akan tetapi baru saja dia menyingkap selimut yang menutup tubuh kedua orang gadis remaja untuk menyelinap rebah di antara mereka, tiba-tiba api lilin bergoyang dan dua orang gadis itu menahan jerit mereka. Bong Sian-jin cepat menoleh, dan sepasang mata yang biasanya sipit itu terbelalak agak lebar. Entah dari mana datangnya, di dalam kamar itu telah berdiri seorang ‘iblis! yang aneh. Pakaiannya serba merah, dan mukanya mengenakan topeng merah pula. Akan tetapi, dia berdiri di situ, diam seperti patung, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan sepatahpun kata atau suara apapun. Hanya sebentar dukun Bong tertegun. Dia segera ingat akan senjata-senjatanya. Lupa bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja, dia lalu menyambar pedangnya dan botol atau guci kecil, lalu melompat turun. Pedang kayu itu diangkatnya ke atas, dan dia membuka tutup guci kecil, lalu mulutnya berkemak-kemik membaca mantram, lalu dia berseru.

‘Iblis siluman jadi-jadian, pergilah engkau dari sini sebelum aku membinasakanmu!!

Melihat betapa ‘iblis! itu tidak bergerak dari tempatnya, dan hanya mata di balik kedok itu yang mencorong menyeramkan, Bong Sian-jin lalu menggerakkan tangan kirinya dan debu hitam keluar dari dalam guci, melayang ke arah siluman merah itu. Namun, siluman merah itu tetap tidak bergerak. Melihat ini, dukun Bong lalu menggerakkan pedang kayunya, dipukulkan ke arah kepala siluman merah itu. Dia penuh keberanian dan keyakinan akan mampu mengalahkan siluman, karena biasanya, bubuk darah anjing dan pedang kayunya, ditambah mantram-matramnya, manjur sekali untuk menakut-nakuti segala macam setan dan siluman.

Akan tetapi, siluman merah itu agaknya lain lagi. Begitu dukun Bong menyerang, diapun sama sekali tidak mengelak sehingga pedang kayu itu tepat mengenai kepalanya.

‘Takkk!! Pedang itu seperti mengenai kepala dari besi saja, dan hampir terlepas dari tangan dukun Bong yang merasa telapak tangannya panas dan nyeri. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, siluman itu telah menggerakkan tangan kanannya dan pedang kayu itu telah dirampasnya! Dukun Bong terbelalak. Tidak percaya dia bahwa ada siluman yang dapat menahan serangan pedang kayunya itu tanpa terluka sedikitpun!

‘Kau.... kau.... bukan siluman....!! serunya, akan tetapi pada saat itu, siluman merah telah menusukkan pedang kayu yang dirampasnya, mengenai leher dukun Bong dan leher itupun tembus! Tubuh dukun itu terjengkang dan roboh di atas lantai, berkelojotan dan dari lehernya terdengar suara mengorok.

Siluman merah tidak memperdulikannya lagi, menghampiri pembaringan dan memandang ke arah dua orang gadis yang sudah saling berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan itu. Dia mengangguk-angguk, tangan kirinya bergerak dua kali menotok ke arah tubuh kakak beradik itu yang seketika menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Digulungnya dua tubuh gadis remaja itu ke dalam selimut dan siluman merah itu memanggul gulungan selimut, melompat keluar dari dalam kamar melalui jendela yang dibukanya dan sebentar saja lenyap. Gerakannya gesit bukan main dan ketika dia melompat keluar kamar, dia seperti seekor burung garuda terbang saja.

Dukun Bong yang ditinggal di kamar itu, berusaha menjerit, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya suara mengorok yang cukup keras. Suara inilah yang memaksa Gumo Cali dan isterinya datang, diikuti para jagoan. Dia memanggil-manggil dari luar pintu, akan tetapi tidak ada jawaban, baik dari kedua orang anaknya maupun dari dukun Bong, dan yang terdengar dari luar hanyalah suara mengorok aneh itu. Dengan memberanikan hatinya, Gumo Cali lalu mendobrak pintu. Daun pintu roboh dan mereka berhamburan masuk, hanya untuk menemukan dukun Bong berkelojotan sekarat dalan keadaan hampir telanjang bulat dan lehernya tertembus pedang kayunya sendiri, sedangkan dua orang gadis remaja itu lenyap bersama selimut, dan pakaian mereka masih lengkap nampak tertumpuk di atas tempat tidur. Jadi mereka itu telah lenyap dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali, mungkin terbungkus selimut yang lenyap.

Gegerlah seisi rumah. Biarpun merasa ketakutan karena siluman merah telah menggondol kedua orang anaknya sedangkan dukun Bong sendiri sekarat hampir tewas, Gumo Cali mengerahkan seluruh pembantunya untuk mencari kedua orang anaknya. Namun, jejak merekapun tidak dapat ditemukan sehingga keluarga kepala dusun itu menjadi panik, bingung dan berduka.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong memasuki dusun Ngomaima. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun yang nampaknya maju itu, dengan banyak rumah-rumah yang bangunannya sudah kokoh dan ditembok bahkan jalan rayanya juga sudah baik sekali, di kanan kiri jalan raya, terdapat toko-toko, kedai dan bahkan rumah penginapan, pada pagi hari itu nampak sunyi bukan main. Hampir tidak nampak ada orang di jalan raya, bahkan rumah-rumah masih ditutup pintu dan jendelanya, dan hanya ada satu dua orang laki-laki yang menjengukkan kepalanya keluar jendela atau pintu, akan tetapi cepat lenyap pula begitu melihat dia. Apakah yang telah terjadi, pikirnya.

Apakah orang-orang dusun ini demikian malasnya sehingga pagi hari itu masih enak-enak tidur? Padahal, sinar matahari telah mengusir kegelapan malam. Dia tidak tahu bahwa seluruh penghuni dusun sudah mendengar belaka akan keributan yang terjadi di rumah kepala dusun Gumo Cali, mendengar betapa dukun Bong terbunuh dan dua orang gadis puteri kepala dusun itu diculik siluman merah! Tentu saja semua orang menjadi ngeri dan pagi itu, dusun Ngomaima seperti dusun mati. Bahkan ada beberapa kelompok keluarga kaya yang malam tadi sudah mempersiapkan segalanya untuk melarikan diri mengungsi jauh dari dusun yang sedang diamuk siluman merah itu.

Melihat betapa orang-orang yang tadinya memandang kepadanya lalu cepat bersembunyi, Si Pendekar Bongkok tersenyum pahit. Semua pengalaman yang telah dirasakannya membuat dia merasa rendah diri dan sikap penghuni dusun itu dianggapnya bahwa mereka takut melihat keadaan dirinya, melihat tubuhnya yang bongkok. Namun, hanya sebentar saja perasaan pahit itu, karena dia kini sudah mulai terbiasa dan dia menelan kenyataan itu sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dia merobahnya.

Tanpa dia sengaja, ketika Sie Liong melangkah, kakinya membawanya lewat depan rumah kepala dusun Gumo Cali. Maksud hatinya memang hanya ingin melihat-lihat dusun itu sebelum menentukan apakah dia bermalam di situ ataukah melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju ke pegunungan Nyaingentangla sebelah utara Tibet karena menurut pesan Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Sian-su, di pegunungan itu dia akan dapat memulai dengan penyelidikannya tentang para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa yang telah melarikan diri dari pegunungan Himalaya dan masih terus dikejar-kejar. Menurut penuturan para gurunya itu, Lima Harimau Tibet berasal dari pegunungan Nyaingentangla di mana mereka mempunyai sebuah kuil dan di situ mereka dahulu bertapa.

Ketika dia tiba di depan rumah kepala dusun Gumo Cali, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan orang dan bermunculanlah sedikitnya dua puluh orang yang mengepungnya dan dengan senjata di tangan.

‘Siluman! Siluman!!

‘Hajar dia!!

‘Siluman, kembalikan dua orang nona kami!!

‘Kepung dia, jangan sampai lolos!!

Dan dua puluh orang lebih itu serentak menyerangnya dengan senjata mereka! Tentu saja Sie Liong terkejut bukan main. Apalagi setelah dia melihat betapa teriakan-teriakan itu sambung menyambung dan sebantar saja pengepungnya mendekati jumlah seratus orang!

‘Heii, tahan dulu!! teriaknya dan dia menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua serangan yang menimpa dirinya. Karena di antara mereka itu banyak yang mempergunakan senjata tajam, maka biarpun tubuhnya dilindungi kekebalan sehingga kulitnya tidak sampai terobek, namun tentu saja pakaiannya tidak kebal dan mulailah pakaiannya robek-robek.

‘Hei, tahan dulu dan mari kita bicara!! bentaknya lagi.

Akan tetapi ketika semua orang melihat betapa senjata mereka tidak dapat melukai orang bongkok itu, dan hanya pakaiannya saja yang robek-robek mereka menjadi semakin yakin bahwa yang mereka keroyok adalah seorang siluman atau iblis, maka semakin ramailah mereka mengeroyok dengan nekat walaupun senjata mereka membalik dan tangan mereka terasa panas dan nyeri.

Melihat kenyataan bahwa semua orang menjadi semakin marah dan semakin nekat menyerangnya, Sie Liong merasa kewalahan. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan telanjang bulat karena pakaiannya tentu akan hancur. Dia tidak mau membalas, karena sekali pandang saja dia maklum bahwa mereka yang mengeroyoknya itu bukanlah penjahat, melainkan penduduk dusun yang sedang marah, dan tentu dia disangka orang yang menyebabkan kemarahan mereka itu. Tadi dia mendengar mereka memakinya sebagai siluman. Tentu para penghuni dusun ini sedang memusuhi siluman dan dialah yang dikira siluman itu! Sungguh sial, sekali ini dia disangka siluman!

Melihat serangan bertubi-tubi, dia lalu melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng rumah kepala dusun Gumo Cali. Melihat ini, semua orang menahan napas dan memandang dengan wajah membayangkan bermacam perasaan. Ada ngeri, ada takut, akap tetapi ada pula kemarahan yang membuat mereka nekat, apalagi karena yang maju ada ratusan orang sehingga mendatangkan keberanian yang besar.

Gumo Cali mendapat hati ketika melihat siluman itu tidak merobohkan seorang di antara mereka, bahkan seperti hendak melarikan diri. Maka diapun menuding ke atas dan membentak dengas suara garang, ‘Siluman jahat, hayo kembalikan dua orang anak gadis kami, kalau tidak, sampai ke manapun kaki orang sedusun akan mengejarmu dan membinanakanmu!!

‘Nanti dulu!! Sie Liong berseru dan nada suaranya marah karena hati siapa tidak menjadi dangkol kalau tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba saja dia dituduh sebagai siluman yang meuculik dua orang gadis orang! ‘Kalian ini enak saja menuduh orang yang bukan-bukan! Siapa bilang aku siluman? Apa buktinya bahwa aku ini siluman yang suka nyolong gadis orang?!

Mondengar ini, Gumo Cali tertegun. Sikap orang di atas itu memang bukan seperti siluman! Dia meragu, akan tetapi orang-orang yang berada di bawah itu masih yakin bahwa mereka berhadapan dengan miluman.

‘Engkau tidak seperti manusia biasa! Punggungmu berpunuk!!

‘Engkau kebal dan tidak tidak terluka oleh hujan senjata kami!!

‘Siluman memang bisa pian-hoa (salin rupa)!!

‘Dia berpunuk, tentu siluman onta!!

Wajah Sie Liong menjadi merah karena hatinya dangkol bukan main. Dia disangka siluman onta karena berpunuk. Sialan!

‘Heii, kalian ini memang orang-orang tolol dan kejam! Andaikata aku siluman sungguh, tentu akan kuhajar kalian yang bermulut lancang ini! Aku ini manusia biasa, dan memang aku cacat berpunuk. Tidak bolehkah orang memiliki cacat berpunuk? Andaikata di antara kalian tidak ada yang cacat berpunuk, tentu ada yang memiliki cacat lain, apakah yang pincang, yang buntung, yang buta, yang tuli, mereka itu juga dianggap siluman? Aku manuasia biasa dan kalau aku tidak terluka oleh senjata kalian, sungguh untung bahwa aku memiliki sedikit kepandaian, kalau tidak, tentu tubuhku ini sudah menjadi bakso dan yang lebih hebat lagi, kalian menjadi manusia-manusia binatang yang kejam, mengeroyok dan membunuh orang yang tidak bersalah, dan kalian akan dikutuk sampai tujuh turunan!! Sie Liong bukan orang yang pandai bicara, sekarang ini karena terdorong rasa dangkol, maka dapat juga dia bicara agak panjang.

Melihat sikap dan mendengar ucapan ini, terkejutlah Gumo Cali. Dia sendiri sedikit banyak sudah tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak orang yang sakti dan berilmu tinggi, yang memiliki bentuk badan aneh-aneh, dan watak yang aneh-aneh pula. Timbullah harapannya bahwa mungkin orang muda berpunuk ini adalah seorang pendekar yang melakukan perantauan dan siapa tahu pendekar ini akan dapat menolongnya dan menyelamatkan dua orang anaknya. Oleh karena itu, diapun segera berteriak memberi isarat kepada semua orang untuk tenang.

Setelah semua orang tidak mengeluarkan suara, diapun menghadap ke arah pemuda berpunuk yang masih berdiri di atas genteng itu, lalu memberi hormat dan berkata, suaranya nyaring. ‘Kalau memang engkau seorang manusia dan seorang pendekar, harap suka maafkan kami yang sedang panik oleh adanya siluman yang mengacau dusun kami. Akan tetapi, bagaimana kami akan dapat percaya bahwa taihiap bukan siluman? Hanya kalau taihiap sudi membantu kami menangkap siluman atau setidaknya menyelamatkan dua orang gadis kami yang diculik olehnya, kami percaya bahwa taihiap seorang pendekar, bukan siluman!!

‘Semua sudah ada enam orang gadis yang diculik!! teriak seseorang yang juga merasa kehilangan seorang anak gadisnya yang lebih dulu diculik siluman.

Biarpun kemarahannya mereda, namun hati Sie Liong masih mendangkol.

‘Hemm, kalian tidak berhak untuk menekan aku agar suka menolong kalian. Kalau memang ada kejahatan terjadi di sini, tanpa dimintapun aku akan turun tangan menentang kejahatan! Sepatutnya kalian menerima aku sebagai seorang tamu atau sahabat dan kita dapat berunding tentang kejahatan yang terjadi, bukan membabi-buta mengeroyok seorang pendatang yang sama sekali tidak berdosa!!

Mendengar ini, Gumo Cali merasa menyesal sekali, akan tetapi juga girang dan menemukan harapan baru. Maka, demi kedua orang anaknya, tanpa ragu-ragu lagi diapun berlutut menghadap ke arah pemuda berpunuk itu. ‘Taihiap, maafkan kami. Aku Gumo Cali sebagai kepala dusun mewakili seluruh penghuni mohon maaf kepadamu.!

Lenyaplah sama sekali kemarahan dari hati Sie Liong. Memang dia bukan seorang pemarah. Dia melayang turun bagaikan seekor naga, dipandang oleh semua orang yang menjadi kagum sekali. Dia turun ke depan kepala dusun itu dan sedikitpun kakinya tidak mengeluarkan suara ketika tiba di atas tanah, dan dengan ramah Sie Liong lalu mengangkat bangun kepala dusun itu.

‘Namaku Sie Liong dan aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini. Tadi aku sudah merasa heran sekali ketika memasuki dusun ini yang cukup besar, akan tetapi mengapa begini sepi. Tidak tahunya ada penjahat yang membikin kacau di dusun ini?!

‘Bukan penjahat, taihiap, melainkan.... siluman.... siluman merah!! kata kepala dusun itu dan ketika dia bicara, dia memandang ke kanan kiri kelihatan takut sekali.

‘Eh? Siluman?! Sie Liong mengerutkan alisnya. ‘Dan tentang gadis-gadis tadi? Apakah siluman itu menculik gadis?!

‘Taihiap, marilah bicara di dalam. Dan kami perlu mengganti pakaian taihiap yang robek-robek itu.! Gumo Cali mempersilakan Sie Liong masuk ke dalam rumahnya.

Sie Liong mengangguk dan kepala dusun menyuruh semua orang bubaran dan pulang ke rumah masing-masing. Ketika tiba di ruangan depan, Sie Liong mera sa heran melihat sebuah peti mati yang depannya masih dipasangi lilin dan alat sembahyang.

‘Siapa yang mati?! tanyanya, tidak lupa untuk memberi hormat ke arah peti mati sebagaimana patutnya.

‘Itu adalah Bong Sian-jin yang tewas semalam....! kata Gumo Cali dengan suara berbisik, kelihatan ketakutan.

Mendengar nama ‘Sian-jin!, Sie Liong menjadi agak terkejut juga. ‘Siapakah dia dan mengapa tewas di sini? Apakah keluargamu?!

‘Bukan, dia adalah dukun yang kami undang untuk mengusir siluman dan melindungi dua orang gadis kami, akan tetapi, dia malah terbunuh oleh siluman dan dua orang gadis kami tetap saja diculik....! Tuan rumah lalu mengajak Sie Liong duduk di ruangan dalam. Setelah berganti pakaian, bukan pemberian tuan tumah, melainkan pakaiannya sendiri yang diambilnya dari buntalan yang dibawa dan diikat di pungungungnya, Sie Liong lalu mendengarkan keterangan Gumo Cali tentang segala hal yang telah terjadi semalam. Isteri tuan rumah ikut mendengarkan sambil menangis. Setelah selesai menceritakan hilangnya dua orang puteri mereka dan tewasnya Bong Sian-jin, suami isteri itu lalu berlutut di depan Sie Liong.

‘Taihiap, kasihanilah kami, kasihanilah dua orang puteri kami. Mereka itu masih kanak-kanak, baru berusia empat belas dan enam belas tahun, dapatkanlah kembali mereka, taihiap....! Suami isteri itu tidak malu-malu menangngis di depan Sie Liong. Pemuda ini mengangkat bangun mereka.

‘Harap paman dan bibi suka bersikap tenang. Aku yakin bahwa kejahatan ini bukan perbuatan siluman, melainkan manusia biasa yang menyamar sebagai siluman. Aku mendengar tadi bahwa penjahat itu telah menculik banyak gadis, bukan puteri-puteri paman saja. Benarkah?!

‘Memang demikianlah. Sudah kurang lebih dua tiga pekan ini.... siluman.... eh, penjahat itu menculik gadis-gadis cantik. Kabarnya malah dari dusun lain juga ada yang hilang, dan dari dusun sini saja ada enam orang gadis yang sudah diculik.!

‘Dan semua juga terjadi seperti yang terjadi di sini semalam? Sebelum menculik pada malam hari, pada siang harinya dia memberi tanda dengan olesan darah kepada daun pintu rumah yang ada gadis calon korban?!

Gumo Cali mengangguk. ‘Begitulah. Karena siangnya sudah diberi tanda, malamnya kami selalu mengadakan persiapan dan penjagaan. Bahkan beberapa orang jagoan dari para pasukan pengawal barang yang membantu kami, jatuh menjadi korban, terluka dan ada pula yang tewas. Iblis itu amat jahat dan lihai, bukan tandingan manusia. Karena itulah kami mengundang Bong Sian-jin untuk melawannya dengan ilmu sihir. Akan tetapi, ternyata Bong Sian-jin malah tewas dan kedua orang anak kami diculiknya.!

‘Hemm, kurasa dia itu bukan iblis bukan siluman, melainkan seorang manusia jahat yang sombong. Aku akan melakukan penyelidikan dan mudah-mudahan saja kesombongannya terulang kembali dan dia akan memberi tanda kepada sebuah rumah yang akan didatanginya, sehingga aku akan siap menghadapinya.!

Sie Liong lalu melakukan penyelidikan ke dalam kamar dua orang gadis puteri kepala dusun. Melihat ember air kembang dan pakaian dua orang gadis itu, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa curiga kepada dukun Bong. Apalagi ketika mendengar dari Gumo Cali bahwa dukun Bong hendak ‘membersihkan! hawa siluman dengan memandikan dua orang gadis itu, dalam kamar tanpa disaksikan siapapun, kecurigaannya bertambah. Dia menduga bahwa dukun Bong tentulah seorang dukun cabul yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencabuli dua orang gadis remaja yang cantik.

Akan tetapi karena dukun itu sudah berada dalam peti mati tanpa nyawa lagi, diapun tidak dapat menyelidikinya, hanya menduga-duga bagaimana macamnya penjahat tukang menculik gadis yang membunuh dukun cabul itu. Menurut keterangan kepala dusun, dukun itu dibunuh dengan pedang kayunya sendiri. Kalau penjahat itu mampu menusuk leher dukun Bong dengan pedang kayu sehingga tembus, dapat diketahui bahwa tentu penjahat itu memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat. Dari dalam kamar, dia membuka jendela dan melompat ke luar, terus melompat ke atas. Gumo Cali memandang dengan penuh kagum dan dia makin girang, makin besar harapannya bahwa pemuda bongkok inilah yang agaknya akan mampu menolong dua orang anaknya.

Sie Liong melakukan penyelidikan ke atas genteng. Ada beberapa buah genteng pecah terinjak. Agaknya ketika penjahat itu memanggul dua orang gadis, maka berat tubuhnya bertambah dan karenanya maka genteng itu pecah terinjak. Dan dari pecahan genteng-genteng itu dia dapat menduga bahwa si penjahat tentu lari menuju ke selatan. Dari atas genteng itu, dia memandang ke selatan dan nampaklah sebuah bukit kehitaman menjulang tinggi, sebagian tersinar cahaya matahari, namun tetap nampak menghitam tanda bahwa di situ terdapat hutan yang lebat.

‘Bukit apa yang ada di selatan itu?! tanyanya sambil lalu setelah dia melompat turun kembali.

‘Bukit yang mana? Ada banyak bukit di selatan....!

‘Yang nampak hitam, penuh hutan.!

‘Ah, itu bukit Onta namanya. Di bagian tengah ada....! Kepala dusun tidak melanjutkan kata-katanya dan memandang ke arah punuk di punggung Sie Liong.

‘Ada punuknya maksudmu? Hemm, bukit Onta....!

‘Ada apakah di sana, taihiap?! Gumo Cali tidak berani menyebut onta, takut menyinggung hati pendekar bongkok itu yang tadi dimaki siluman onta oleh seorang penduduk dusun.

‘Tidak ada apa-apa. Kita tunggu saja sampai ada tanda dari penjahat itu. Sekarang aku akan mencari kamar di rumah penginapan.!

‘Taihiap, bermalamlah saja di sini. Kamar anak-anak.... bekas kamar merekapun kosong, boleh untuk sementara taihiap tempati....!

Sie Liong maklum bahwa tuan rumah masih panik dan ketakutan, dan dia hendak ditahan untuk meredakan rasa takut mereka. Dia merasa tidak leluasa kalau bermalam di situ, maka dia menggeleng kepala. ‘Tidak, sebaiknya kehadiranku tidak terlalu monyolok. Biar aku di rumah penginapan saja,!

‘Tunggulah, taihiap. Biar aku menyuruh seseorang untuk memesan kamar terbaik untuk taihiap, sementara itu, mari terimalah hidangan yang kami berikan untuk taihiap, sebagai sarapan pagi.!

Sie Liong merana tidak enak untuk menolak. Mereka lalu bersama-sama makan pagi, dan setelah selesai makan pagi, Sie Liong diantar oleh kepala dusun sendiri pergi ke rumah penginapan di mana telah disediakan kamar terbaik untuknya.

Belum juga tengah hari, kepala dusun sudah torgopoh-gopoh datang dan mengetuk daun pintu kamarnya. Sie Liong sedang beristirahat dan dibukanya daun pintu. Dia heran melihat kepala dusun nampak gugup dan mukanya pucat.

‘Taihiap.... taihiap.... dia.... dia datang....!

‘Datang? Ke mana maksudmu, paman?!

‘Dia.... memberi tanda darah pada pintu rumah Gulamar, saudagar kaya yang memiliki seorang gadis yang cantik. Sebentar malam....!

‘Bagus dan tenanglah, paman. Penjahat itu memang sombong bukan main. Mari kau tunjukkan kepadaku di mana rumah yang mendapat tanda ancaman itu.!

Keluarga Gulamar menyambut kedatangan kepala dusun itu dengan hati cemas dan putus asa. Tidak ada jagoan yang berani menjaga keselamatan puterinya, biar dia berani membayar berapa banyakpun dan biar dia sudah mendengar akan pendekar muda yang bongkok, yang katanya amat lihai dan sanggup melawan siluman merah, namun dia masih ragu-ragu dan bahkan sudah mempersiapkan rombongan onta dan kuda untuk melarikan anaknya mengungsi ke tempat lain.

Ketika mendengar keterangan bahwa hartawan itu hendak membawa puterinya pergi mengungsi, Sie Liong menyatakan ketidak-setujuannya.

‘Cara itu tidak menjamin keselamatan bahkan berbahaya sekali, paman,! katanya. ‘Penjahat itu akan lebih mudah menculik puterimu dalam perjalanan mengungsi itu.!

‘Tapi dia.... dia siluman, hanya keluar di waktu malam.... kami akan melarikan puteri kami siang ini juga.!

Sie Liong menggeleng kepalanya.

‘Bukan, dia bukan siluman, melainkan manusia biasa yang amat jahat. Kalau malam ini dia datang untuk menculik puterimu, aku yang akan menghadapinya.!

Gulamar nampak ragu-ragu dan bingung. Dia memandang kepada kepala dusun Gumo Cali. ‘Bagaimana baiknya.... kami khawatir sekali, kalau tidak dilarikan, nanti anakku....!

‘Tenangkan hatimu, saudagar Gulamar. Taihiap ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia sudah berjanji sanggup menalukkan siluman itu. Sebaiknya kalau engkau menurut nasihatnya. Taihiap, bagaimana sebaiknya diatur untuk menghadapi penjahat siluman itu kalau malam nanti dia datang?!

Sie Liong lalu mengadakan perundingan dengan tuan rumah, disaksikan oleh kepala dusun. ‘Sembunyikan gadis itu di dalam kamar lain yang dekat dengan kamarnya sendiri agar aku dapat selalu mengamatinya, dan aku sendiri akan tinggal di dalam kamar puterimu menanti munculnya penjahat itu.!

‘Taihiap, apakah engkau membutuhkan bantuan?!

Sie Liong mengangguk. ‘Mereka yang pagi tadi mengepungku, mereka adalah penduduk yang marah kepada siluman dan mereka penuh keberanian walaupun mungkin tidak memiliki kepandaian. Biarlah mereka itu yang membantuku, mengadakan pengepungan pada rumah ini, akan tetapi bersembunyi dan jangan ada yang keluar sebelum penjahat itu datang dan aku berusaha menangkapnya. Kalau sudah terdengar ribut-ribut atau melihat aku berkelahi melawan penjahat itu, baru mereka boleh keluar dan masing-masing membawa obor untuk menerangi tempat ini.!

Kepala dusun Gumo Cali menyanggupi dan diapun segera pergi melakukan persiapan dan memberitahu kepada penduduk bahwa malam itu, Pendekar Bongkok akan menangkap siluman merah, dan diharap agar penduduk suka membantunya. Para penduduk yang berhati tabah dan sudah lama merasa penasaran dan marah kepada siluman merah yang mengganggu keamanan di dusun mereka, segera menyambut ajakan ini dengan penuh semangat. Mereka tadi sudah melihat sendiri kelihaian Pendekar Bongkok yang kebal dan dapat ‘terbang! ke atas genteng.

***

Malam yang menyeramkan. Sejak matahari tenggelam, tidak ada penduduk berani keluar dari rumah mereka, apalagi yang wanita. Semua penduduk sudah mendengar bahwa malam itu siluman merah akan muncul, akan menculik gadis cantik puteri saudagar Gulamar! Mereka yang siap membantu Pendekar Bongkok, sejak sore sudah siap di tempat persembunyian mereka mengepung rumah saudagar itu, siap dengan obor yang tinggal dinyalakan dan segala macam senjata yang mereka miliki.

Malam itu sungguh menakutkan. Padahal, malam itu juga malam yang biasa saja seperti pada malam-malam yang lain. Kalau pikiran mulai berceloteh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin menimpa diri, maka rasa takutpun timbul dan kalau orang sudah ketakutan, maka malam yang gelap dapat nampak menyeramkan. Orang takut akan setan karena dia pernah mendencar tentang setan. Pikirannya sudah kemasukan bayangan setan yang didengarnya dari orang lain, dan pikiran itulah yang mengada-ada, mereka-reka, membayangkan hal-hal mengerikan. Andaikata dia tidak pernah mendengar tentang setan, tidak mungkin dia dapat merasa takut. Seorang anak kecil yang belum pernah mendengar tentang setan, dia tidak akan takut berada di tempat yang bagaimanapun juga, karena pikirannya tidak pernah dapat membayangkan hal yang belum diketahuinya. Akan tetapi, sekali dia sudah mendengar cerita tentang setan, maka pikirannya mereka-reka, membayangkan dan diapun menjadi takut.

Malam itu amat sunyi, namun, sesuai dengan perintah kepala dusun Gumo Cali, semua penghuni rumah yang berdekatan di sekitar rumah saudagar Gulamar memasang lampu penerangan di luar rumah mereka sehingga daerah sekitar itu tidaklah begitu gelap.

Gadis yang diincar oleh siluman itu berada di dalam kamar ibunya, dijaga oleh ayah ibunya. Mereka bertiga sejak sore tadi sudah dicekam ketakutan hebat, terutama gadis itu sendiri yang wajahnya menjadi pucat, matanya yang indah itu seperti mata kelinci melihat harimau, dan setiap suara sedikit saja cukup untuk membuat ia melonjak kaget. Mereka bertiga berdekapan di atas pembaringan ketika malam semakin larut, tak mungkin dapat memejamkan mata, makin lama semakin gelisah walaupun mereka semua yakin bahwa Pendekar Bongkok berada seorang diri di dalam kamar sebelah dan baliwa di sekeliling rumah tidak kurang dari seratus orang laki-laki penduduk dusun Ngomaima yang siap untuk membantu Pendekar Bongkok menangkap siluman yang hendak menculik puteri saudagar itu.

Sie Liong sendiri tenang-tenang saja berada di dalam kamar gadis itu. Sebuah kamar yang cukup besar, dengan perabot-perabot kamar yang indah, kamar yang bersih dan berbau harum. Dia tidak mau duduk atau rebah di atas tempat tidur gadis itu, dan karena lantai kamar itu ditilami permadani tebal yang bersih dan lunak, diapun duduk bersila di atas lantai, memusatkan perhatian sehingga pendengarannya dapat mengetahui keadaan di luar kamar sekalipun. Dalam persiapannya menghadapi siluman yang diduganya tentu hanya seorang penjahat yang sombong dan lihai itu, dia tidak bersenjata. Akan tetapi, melihat sebuah payung di dalam kamar itu, tergantung di sudut, dia tahu bahwa kalau perlu, payung itu dapat menjadi sebuah senjata yang amat baik baginya.

Menjelang tengah malam suasana semakin sunyi. Yang terdengar dari dalam kamar itu hanyalah suara jengkerik dan belalang dan serangga malam lainnya yang mengeluarkan bunyi beraneka ragam, halus dan amat merdu, bunyi kehidupan malam yang penuh rahasia karena gelap. Tiba-tiba ada suara tak wajar tertangkap oleh pendengaran Sie Liong. Suara jejak kaki di atas genteng. Dia datang, pikirnya dan tak dapat dihindarkan lagi, jantung dalam dadanya berdetak lebih kencang daripada biasanya. Tanpa mengeluarkan suara, Sie Liong bangkit dan menghampiri sudut kamar, menyambar payung yang gagangnya panjang melengkung itu, lalu menanti, menempelkan tubuhnya di sudut dinding, matanya menatap ke arah jendela, pintu, dan langit-langit berganti-ganti karena dia tahu bahwa dari tiga jurusan itulah si penjahat dapat memasuki kamar.

Dengan pendengarannya Sie Liong mencoba untuk mengikuti gerakan penjahat yang berada di atas rumah itu. Tidak mudah baginya karena penjahat itu memiliki gerakan yang ringan sekali. Kedua kakinya hampir tidak menimbulkan suara, seperti kaki kucing saja. Namun dia tahu bahwa penjahat itu kini telah turun dan mendekati kamar itu. Dia harus menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang berdetak kencang karena tegang.

‘Krekk....!! Terdengar sedikit suara dan daun jendela itupun terbuka, palangnya patah karena dorongan yang amat kuat dari luar. Dan begitu daun jendela terbuka, nampak bayangan merah berkelebat dari luar. Demikian ringan dan cepat gerakan bayangan itu sehingga Sie Liong diam-diam merasa terkejut dan kagum. Kiranya memang bukan lawan biasa, pikirnya dan diapun waspada. Orang yang mampu bergerak seperti ini tidak boleh dipandang ringan, pikirnya.

Dengan penuh perhatian Sie Liong yang berdiri di sudut kamar mengamati sosok tubuh itu. Tubuh yang ramping kecil sehingga nampak kurus, dengan pakaian serba merah dan dari samping nampak wajahnya juga tertutup topeng merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Bukan siluman, melainkan manusia bertopeng seperti yang sudah diduganya. Akan tetapi, manusia yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat.

Si topeng merah itu menghampiri pembaringan, menyingkap kelambu dan melepaskan kembali ketika melihat bahwa pembaringan itu kosong. Dikepalnya tangan itu sebagai tanda bahwa ia marah, dan pada saat itu, Sie Liong membentak.

‘Penjahat sombong dan keji! Menyerahlah engkau!! Sambil membentak demikian, Sie Liong sudah menerjang maju dan tangan kirinya mencengkeram ke arah lengan orang untuk menangkapnya. Bukan sembarang cengkeraman belaka karena ini merupakan satu jurus dari Pek-in Sin-ciang, dan biarpun pada saat itu tangannya belum mengeluarkan uap putih, namun sudah mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat dan cengkeraman itu cepat sekali, sukar untuk dihindarkan lawan.

Akan tetapi, si topeng merah itu ternyata cekatan sekali. Melihat lengannya akan dicengkeram, dia membuat gerakan memutar lengan itu dan sekaligus dihantamkan ke atas untuk menangkis dan dengan kuatnya lengannya yang kecil menangkis dengan pengerahan tenaga sin-kang.

‘Dukk!! Dua lengan bertemu dan si topeng merah itu mendengus marah.

‘Ihhh!! Dan kini tangan kirinya bergerak mengadakan serangan tusukan dengan dua jari tangan ke arah mata Sie Liong. Demikian cepatnya gerakan itu dan tangan kirinya itu seperti sebatang pedang menusuk saja! Sie Liong maklum bahwa lawannya memang tangguh, maka diapun cepat mengerahkan tenaga, melepaskan payungnya aan menangkis tangan kiri lawan yang menusuk itu dari samping.

‘Plakkk!!

‘Ehhh....!! Kini si topeng merah itu agak terhuyung dan agaknya baru dia men yadari bahwa orang bongkok ini amat lihai, maka tanpa banyak cakap lagi tubuhnya lalu meluncur keluar kamar melalui jendela dengan kecepatan luar biasa.

‘Penjahat keji, hendak lari ke mana kau?! Sie Liong membentak dan sengaja dia mengeluarkan suara nyaring agar terdengar oleh semua orang yang mengepung rumah itu sambil bersembunyi. Teriakannya ini nyaring sekali dan maksudnya berhasil, karena terdengar oleh semua pengepung yang langsung menyalakan obor dan mengangkat obor itu tinggi-tinggi dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang senjata mereka. Sie Liong melihat bayangan merah berkelebat ke atas genteng. Maka diapun cepat mengejar sambil memegang payungnya.

Ketika tiba di atas wuwungan yang agak lebar den datar, lebarnya tidak kurang dari setengah meter, si bayangan merah itu yang tahu bahwa ia dikejar, lalu membalik dan pedangnya sudah menyambut Sie Liong dengan tusukan kilat. Sie Liong melihat sinar pedang meluncur cepat, maka diapun segera menangkis dengan payungnya. Sepasang mata di balik topeng itu berkilat seperti mentertawakan karena jangankan hanya payung, biar senjata terbuat dari baja yang kuatpun akan patah bertemu dengan pedangnya. Maka diapun sudah siap untuk melanjutkan serangan kalau payung itu terbabat patah.

‘Trangg!! Bunga api berpijar dan si bayangan merah itu mengeluarkan seruang kaget. Payung itu tidak patah, bahkan ia merasa telapak tangannya panas.

‘Hei, setan bongkok! Siapakah engkau dan mengapa mencampuri urusanku?! bentaknya.

Sie Liong tertegun. Kiranya siluman ini seorang wanita yang suaranya nyaring merdu! Pantas saja mata yang berada di balik topeng itu demikian jeli, dan tubuh itu demikian langsing dan padat, juga nampak kurus. Kiranya wanita! Mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik? Sungguh aneh sekali!

‘Kiranya siluman merah adalah seorang wanita! Sungguh engkau jahat sekali! Untuk apa engkau menculiki gadis-gadis itu? Hayo kembalikan atau aku tidak akan mengampunimu!!

‘Setan bongkok sombong! Engkau sudah bosan hidup!! bentak siluman itu dan kini ia menyerang dengan tangan kirinya. Semacam uap hitam menyambar ke arah Sie Liong dan uap hitam ini mengandung tenaga dorongan yang amat kuat. Sie Liong menyambut dengan dorongan tangan kiri pula, sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang. Uap putih keluar dari telapak tangan kirinya bertemu dengan uap hitam dan kembali wanita bertopeng itu mengeluh dan terdorong dua langkah ke belakang.

‘Mampuslah!! Tangan kirinya bargerak dan sinar-sinar hitam lembut menyambar ke arah tubuh Sie Liong, mengarah leher, dada dan pusar! Itulah jarum-jarum hitam beracun yang menyambar dari jarak dekat! Sie Liong menggerakkan payungnya yang terbuka dan sekali diputar, payung itu menangkis semua jarum yang bertebaran jatuh menimpa genteng, mengeluarkan suara nyaring lembut yang hanya dapat terdengar oleh Sie Liong. Akan tetapi ketika dia memandang dari balik payungnya, bayangan merah itu telah meloncat turun. Ributlah para penduduk menyambutnya dengan pengeroyokan, akan tetapi mereka segera cerai berai ketika dua orang di antara mereka roboh mandi darah terbabat pedang dan beberapa kali loncatan saja, si bayangan merah telah lenyap dari situ. Ketika semua orang memandang, ternyata Pendekar Bongkok yang tadi berada di atas genteng rumah juga sudah lenyap.

Ke mana perginya Sie Liong? Dia tadi melihat berkelebatnya bayangan merah itu ke arah selatan, maka diam-diam diapun lalu meloncat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, malam gelap menjadi penghalang dan wanita berpakaian merah itu lenyap ditelan kegelapan malam dan arah yang diambilnya adalah selatan, ke arah bukit yang menjulang tinggi itu, Bukit Onta! Karena tidak mungkin mengejar seorang lawan yang demikian lihai dan berbahaynya di malam gelap, Sie Liong lalu berlari kembali ke dalam dusun Ngomaima, kembali ke rumah saudagar Gulamar di mana penduduk masih berkumpul dan mereka itu ramai membicarakan apa yang mereka lihat di atas rumah tadi, perkelahian antara Pendekar Bongkok dan Siluman Merah. Ketika melihat munculnya pemuda bongkok itu, para penduduk yang dipimpin oleh kepala dusun Gumo Cali menyambutnya dengan sorak sorai penuh kegembiraan.

‘Hidup Sie Taihiap....!!

Bahkan ada yang berteriak, ‘Hidup Pendekar Bongkok!! Namun sebutan bongkok itu kini nadanya bukan menghina atau mengejek, melainkan memuji.

Sie Liong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil menangkap penjahat itu, maka dia mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata, ‘Harap saudara sekalian pulang ke rumah masing-masing. Ketahuilah bahwa siluman merah itu bukan setan, melainkan seorang manusia yang amat lihai dan ia seorang penjahat wanita. Sayang bahwa aku tidak berhasil menangkapnya dan selama belum tertangkap, bahaya masih selalu ada. Maka harap saudara sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti sekarang ini. Kalau saudara sedusun bersatu melawannya, tentu ia tidak akan dapat mengacau lagi.!

Orang-orang bubaran. Walaupun pendekar itu tidak berhasil menangkap siluman merah, akan tetapi jelas bahwa siluman itu takut kepadanya. Buktinya siluman itu melarikan diri dan sekali ini ia tidak berhasil menculik gadis puteri saudagar Gulamar. Ada sebuah hal yang sukar dapat mereka percaya. Kalau berita bahwa siluman itu adalah seorang manusia lihai dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang wanita? Sukar membayangkan seorang wanita selihai itu dan pula apa urusannya wanita menculik gadis-gadis cantik?

Tentu saja Gulamar, isterinya dan puterinya merasa berterima kasih sekali kepada Pendekar Bongkok Sie Liong. Walaupun siluman itu tidak tertangkap, namun gadis itu capat diselamatkan.

Namun, Sie Liong sama sekali tidak merasa puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus dapat membongkar rahasia wanita bertopeng merah itu. Mengapa menculiki gadis-gadis cantik, dan ke mana ia membawa gadis-gadis itu? Ia harus dapat menemukan sarangnya, menolong para gadis yang sudah diculik, karena kalau penjahat aneh itu belum dapat dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam bahaya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah keluar dari dusun dan melakukan perjalanan seorang diri menuju ke selatan. Bukit Onta nampak masih menghitam karena sinar matahari pagi itu masih lemah. Dia tahu bahwa ia mencari-cari dalam gelap, hanya menduga bahwa bukit itulah yang sepatutnya menjadi sarang penjahat yang menyamar siluman. Bukit Onta itu tidak begitu jauh dari dusun Ngomaima, merupakan bukit yang penuh dengan hutan lebat dan menurut keterangan yang diperolehnya, jarang ada pemburu berani memasuki hutan itu yang menurut kabar tahyul merupakan sarang iblis! Cocok dengan penjahat yang menyamar sebagai siluman. Maka, begitu melihat bukit itu dan mendengar keterangan tentang tempat itu, dia sudah menduga bahwa di situlah tempat siluman itu bersembunyi di waktu siang dan bergerak memasuki dusun di waktu malam.

Dugaan Sie Liong memang tepat sekali. Tidak begitu jauh di lerang bukit itu, dalam sebuah hutan, terdapat bangunan kayu yang masih nampak baru, cukup besar dan bangunan itu tersembunyi di antara pohon-pohon raksasa sehingga tidak akan nampak dari luar hutan. Bangunan itu belum lama didirikan orang-orang secara diam-diam, baru kurang lebih sebulan. Dan semenjak tiga pekan, kadang-kadang terdengar suara isak tangis tertahan disusul hardikan yang menghentikan isak tangis wanita itu dari dalam rumah.

Kiranya hampir setiap malam, siluman merah atau wanita yang memakai pakaian dan topeng merah membawa seorang gadis culikan ke rumah itu dan kini, di rumah itu telah terkumpul sembilan orang gadis-gadis muda dan cantik, di antara mereka terdapat pula dua orang kakak beradik puteri dari Gumo Cali, kepala dusun Ngomaima. Mereka dikumpulkan dalam sebuah ruangan besar di tengah bangunan itu. Karena mereka selalu dihardik dan diancam kalau menangis maka mereka yang dilanda duka dan ketakutan, hanya terisak kecil saja. Yang lain sudah pasrah, agak besar pula hati mereka melihat banyaknya teman senasib, dan selama mereka ditawan itu, mereka tidak pernah menerima perlakuan buruk, tidak pernah diganggu dan diberi hidangan yang cukup baik. Hanya mereka tidak pernah tahu mengapa mereka diculik dan ditawan di dalam hutan itu.

Pada malam hari tadi, ketika siluman merah gagal menculik puteri saudagar Gulamar karena adanya Pendekar Bongkok, ia langsung saja berlari karena tidak ingin dikejar pendekar yang lihai itu dan biarpun hatinya merasa penasaran sekali karena ia belum merasa kalah dan belum benar-benar mengadu ilmu dengan pemuda bongkok, namun ia tidak berani mengambil resiko melawan pendekar Bongkok yang selain amat lihai, juga dibantu oleh ratusan orang penduduk Ngomaima itu.

Malam itu, ketika ia kembali ke rumah dalam hutan di lereng Bukit Onta dengan tangan kosong, ia disambut teguran tak puas di dalam ruangan di rumah itu. Mereka semua ada lima orang yang duduk mengelilingi sebuah meja. Seorang kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya gundul dan wajahnya nampak masih muda, pada jubahnya di bagian dada terdapat sebuah lukisan teratai putih pada dasar hitam. Biarpun dia mengenakan jubah pendeta dan kepalanya dicukur licin, namun sikapnya berbeda dengan para hwesio (pendeta Budha).

Para hwesio bersikap alim dan tenang, sebaliknya kakek ini memiliki sinar mata yang tajam dan liar, wajahnya penuh dengan kelicikan dan mulutnya membayangkan kerakusan dan kekejaman. Namun harus diakui bahwa dia memiliki wajah yang nampak muda dan tampan, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya berwibawa. Di sampingnya duduk pula tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, semua memakai pakaian ringkas dan di punggung mereka terselip siang-to (sepasang golok) yang mengkilap tajam, sikap mereka juga angkuh dan jagoan. Orang ke lima adalah siluman merah sendiri dan kini ia sudah menanggalkan topengnya. Kalau Sie Liong meli atnya, dan juga para penduduk dusun Ngomaima melihatnya, mereka semua tentu akan terkejut dan terheran-heran. Kiranya yang mereka namakan siluman merah itu adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis sekali!

Usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun, wajahnya bulat telur dan manis sekali, kulit muka dan lehernya putih mulus. Wanita cantik manis yang amat lihai ini bukan lain adalah Pek Lan!

Seperti kita ketahui, Pek Lan telah berhasil membalas dendamnya terhadap para selir dari Hartawan Coa di kota Ye-ceng dan membawa pula banyak harta milik hartawan Coa. Dengan hati amat puas ia meninggalkan kota Ye-ceng dan bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal gurunya, yaitu Hek-in Kui-bo yang kini tinggal di tepi telaga Gose sebagai seorang yang kaya raya.

Akan tetapi setibanya di rumah subonya (ibu gurunya), ternyata Hek-in Kui-bo sedang kedatangan seorang tamu yang oleh subonya diperkenalkan kepadanya sebagai Thai-yang Suhu, seorang tokoh Pek-lian-kauw (Perkumpulan Agama Teratai Putih).

‘Pek Lan, Thai-yang Suhu ini adalah seorang sahabat baikku dan dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan juga ilmu sihir yang hebat. Thai-yang Suhu, inilah muridku yang kuceritakan kepadamu tadi, namanya Pek Lan.!

Sepasang mata pria berjubah pendeta dan berkepala gundul yang ditutup sebuah topi hwesio itu menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan dengan penuh perhatian, lalu dia mengangguk-angguk. ‘Kui-bo, muridmu ini sungguh hebat, cantik manis dan juga lincah. Tidak tahu entah sampai di mana engkau menggemblengnya.!

‘Hemm, ia sudah hampir mewarisi seluruh kepandaianku. Engkau cobalah ia, Thai-yang. Pek Lan, jangan sungkan-sungkan, perlihatkan kepandaianmu kepada pamanmu Thai-yang Suhu!!

Wajah dan sikap pria berjubah pendeta itu sudah menarik perhatian Pek Lan, maka mendengar kata-kata subonya, iapun lalu meloncat ke tengah ruangan dan memberi hormat ke arah Thai-yang Suhu. ‘Paman, silakan!!

Thai-yang Suhu tertawa bergelak dan ternyata giginya masih berderet rapi. ‘Bagus, engkau seorang keponakanku yang mengagumkan.! katanya sambil bangkit pula berdiri, lalu menghampiri Pek Lan. ‘Pek Lan, aku ingin menguji kepandaianmu, ingin pinceng (aku) melihat apakah benar engkau cukup berharga untuk mewakili subo-mu membantu pekerjaan kami yang besar. Awas serangan!!

Pendeta Pek-lian-kauw itu sudah menyerang, pukulannya mengandung tenaga sin-kang besar dan juga gerakannya cepat sekali. Namun, tidak terlalu cepat bagi Pek Lan yang dengan mudah sudah mengelak ke samping sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong. Thai-yang Suhu menyusulkan serangan yang lebih hebat, dengan tamparan tangan kiri ke arah pelipis kanan gadis itu. Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang dahsyat dan serangan ini diikuti pula oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada Pek Lan. Sungguh merupakan serangan yang berbahaya.

Namun, dengan tenang saja Pek Lan meloncat ke belakang, kemudian iapun membalas dengan serangan bertubi. Ia mengerahkan tenaga sin-kang yang dipelajarinya dari Hek-in Kui-bo dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam!

‘Bagus, ia sudah pandai Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam), ha-ha!! kata Thai-yang Suhu, akan tetapi biarpun mulutnya tertawa, dia sibuk sekali menghadapi rangkaian serangan yang hebat dari gadis itu sehingga dia harus melindungi dirinya dengan elakan dan tangkisan karena biarpun yang menyerangnya hanya seorang wanita muda, namun serangan dahsyat itu dapat membahayakan dirinya. Gadis itupun tidak mau memberi hati dan ia menyerang semakin gencar sehingga pendeta itu harus mengakui akan kelihaian Pek Lan. Dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja pendeta itu lenyap dari pandang mata Pek Lan, berubah menjadi asap hitam! Selagi ia kebingungan, pinggulnya ada yang mencolek dari belakang.

‘Pek Lan, pinceng di sini!!

Pek Lan terkejut dan juga mendongkol atas kegenitan sahabat subonya itu, ia membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat. Hampir saja Thai-yang Suhu terkena tendangan itu. Untung dia cepat menarik tangannya dan mengelak dan sebelum Pek Lan melanjutkan serangannya, kembali dia berubah menjadi asap hitam dan lenyap.

‘Wah, kalau paman menggunakan ilmu siluman begini, aku mengaku kalah!! teriak Pek Lan yang tidak ingin lagi tangan paman yang nakal itu mencolak-colek tubuhnya.

Asap hitam menghilang dan Thai-yang Suhu kelihatan kembali. ‘Ha-ha-ha engkau sungguh hebat, Pek Lan, mampu mendesak pinceng. Akan tetapi, lihat baik-baik, pinceng telah menjadi raksasa, apakah engkau masih berani melawan?!

Pek Lan memandang dan ia terbelalak karena melihat pendeta itu kini benar saja telah berubah menjadi tinggi sekali, sehingga ia sendiri hanya setinggi lututnya! Tentu saja ia menjadi gentar dan ia memberi hormat sambil berkata, ‘Aku tidak berani....!

That Yang Suhu tertawa dan dia kembali menjadi normal. Terdengar Hek-in Kui-bo terkekeh. ‘Thai-yang, engkau seperti anak kecil saja, menakut-nakuti muridku. Nah, Pek Lan, kaulihat, dia pandai sekali ilmu sihir! Dia datang untuk mohon bantuanku, akan tetapi karena aku sudah tua, aku wakilkan padamu.!

Pek Lan mangerutkan alisnya, menyesal mengapa subonya menyanggupi untuk membantu pendeta ini, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menyuruh ia mewakilinya. Kalau subonya yang memerintahkan, tentu saja ia tidak dapat menolak lagi.

‘Bantuan yang bagaimana, Subo? Apakah yang harus kulakukan?!

‘Ha-ha-ha, tidak berat dan tidak sukar, Pek Lan, apa lagi untukmu yang memiliki tenaga hebat, kecepatan kilat dan kepandaian setinggi langit! Bahkan pinceng lihat hanya engkaulah yang akan mampu melaksanakan tugas ini sebaiknya. Tugas yang mudah sekali. Kami dari Pek-lian-kauw membutuhkan penambahan pelayan, yaitu gadis-gadis remaja dari dusun-dusun sebanyak lima belas orang. Kita akan memilih dari dusun-dusun dimana ada gadis remaja yang bersih dan cantik, dan engkau bertugas untuk menculik mereka itu seorang demi seorang.!

Pek Lan mengerutkan alisnya. Memang bukan tugas yang sukar, akan tetapi hatinya merasa tidak puas mengapa ia yang ditunjuk untuk membantu pendeta ini.

‘Akan tetapi, mengapa mesti aku....?! bantahnya.

‘Pek Lan, aku pernah berhutang budi kepada Thai-yang Suhu ini, dan sekarang ada kesempatan bagiku untuk membalasnya. Aku sudah menyanggupinya dan aku sudah menunjuk engkau untuk mewakili aku. Apakah engkau akan mengatakan bahwa engkau tidak sanggup mewakiliku?! Guru itu mendesak sedemikian rupa, sehingga tidak ada kesempatan bagi Pek Lan untuk mengelak lagi. Akan tetapi, ia teringat akan ilmu aneh dari pendeta itu tadi. Menghadapi ilmu aneh seperti itu, apa artinya ilmu silatnya? Tiba-tiba ia mendapatkan akal.

‘Paman Thai-yang Suhu, aku sanggup untuk membantumu sampai berhasil baik, akan tetapi untuk itu ada syaratnya yang kuharap paman akan dapat memenuhinya.!

‘Ha-ha-ha, anak manis, apakah syaratmu itu? Hadiah apa yang kau minta?!

‘Aku mau mewakill subo membantu paman sampai berhasil mengumpulkan lima belas orang gadis dusun yang dibutuhkan Pek-lian-kauw, akan tetapi dengan imbalan bahwa paman akan mengajarkan ilmu sihir yang aneh kepadaku.!

Mendengar permintaan ini, sepasang mata Thai-yang Suhu terbelalak, akan tetapi sepasang mata itu lalu menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan, dan diapun tertawa bergelak. ‘Ha-ha-ha, Kui-bo. Muridmu ini memang cerdik dan menyenangkan sekali. Permintaanmu itu memang sudah pantas! Dan pinceng bukanlah seorang yang pelit, apalagi terhadap seorang gadis cantik manis yang cerdik seperti engkau, masih keponakanku sendiri pula dan yang akan membantu pinceng. Ha-ha-ha, memang hidup ini harus meminta dan memberi, pinceng akan mengajarkan beberapa macam ilmu sihir kepadamu, Pek Lan, asalkan engkau suka mentaati segala perintahku, memenuhi segala permintaanku. Bagaimana, sanggupkah engkau?!

Pek Lan yang merasa girang sekali mendengar bahwa ia akan menerima pelajaran ilmu sihir, tanpa ragu lagi menjawab, ‘Tentu saja aku sanggup, Paman Thai-yang Suhu!!

‘Ho-ho-ho, sekali ini engkau terjebak oleh pamanmu yang selain lihai juga amat cerdik, Pek Lan! Engkau berjanji akan memenuhi semua permintaannya! Engkau lupa bahwa engkau seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan menarik, sedangkan Thai-yang Suhu ini adalah seorang laki-laki yang hatinya masih muda dan dulu dia amat tampan, digilai banyak wanita. Ha-ha-hi-hik!!

Mendengar ucapan subonya, Pek Lan memandang kepada pria gundul yang memang tampan itu, dan wajahnya berubah kemerahan. Tentu saja ia mengerti apa maksud subonya, akan tetapi kalau benar tokoh Pek-lian-kauw itu menghendaki apa yang dimaksudkan subonya, iapun tidak berkeberatan!

Demikianlah, semenjak saat itu, Pek Lan membantu Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw itu dan dengan ilmunya yang tinggi, Pek Lan membantu pendeta palsu itu menculiki gadis-gadis cantik dari dusun-dusun. Di samping itu, Pek Lan menerima pula petunjuk dan pelajaran dari Thai-yang Suhu yang memenuhi janjinya, mengajarkan ilmu sihir kepada wanita cantik itu. Sebaliknya, Pek Lan juga tidak melanggar janjinya dan dengan penuh kemesraan dan kepasrahan iapun menyerahkan dirinya melayani semua gairah nafsu tokoh Pek-lian-kauw itu. Bahkan iapun merasa puas dan senang karena ternyata pria yang sudah berusia enam puluh tahun itu perkasa, bahkan tidak kalah oleh yang muda-muda.

‘Sungguh aku merasa heran sekali, Pek Lan. Engkau gagal karena dihalangi oleh seorang pemuda yang bertubuh cacat, yang bongkok? Sungguh penasaran dan memalukan sekali!! Demikian berkali-kali Thai-yang Suhu menegur pembantunya, juga kekasihnya itu. Pek Lan mengerutkan alisnya dan mulutnya yang berbibir merah basah tanpa gincu itu cemberut.

‘Hemm, mencela memang mudah! Aku bukan mengatakan bahwa aku kalah oleh setan bongkok itu, akan tetapi aku hanya mengatakan bahwa dia memang lihai sekali. Aku terpaksa melarikan diri bukan karena takut melawannya. Kami belum berkelahi sungguh-sungguh. Akan tetapi, bagaimana aku akan bertindak nekat kalau ratusan orang penduduk berada di belakangnya?!

Thai-yang Suhu mengerutkan alisnya pula. ‘Hemm, tentu si bongkok itu pula yang mengerahkan penduduk. Dan selama dia berada di sana dan menghasut penduduk untuk melawan kita, maka tentu akan sukar bagi kita untuk memenuhi jumlah gadis yang kita butuhkan. Sudah ada sembilan orang dan tinggal enam lagi saja, eh, tiba-tiba muncul setan bongkok itu. Kita harus melenyapkan perintang itu.!

‘Benar sekali, kalau si bongkok itu kita bunuh, tentu hati para penduduk menjadi gentar lagi dan mereka tidak akan berani lagi menentang kita,! kata seorang di antara Tibet Sam Sinto (Tiga Golok Sakti Tibet) itu. Dua orang saudaranya mengangguk-angguk.

Pek Lan yang merasa panas hatinya karena ditegur Thai-yang Suhu tadi, mendengar ucapan Tibet Sam Sinto segera bangkit dan bertolak pinggang, lalu berkata dengan suara lantang, ‘Sam Sinto, biar kalian bertiga yang menghadapi penduduk yang banyak akan tetapi lemah itu, dan biar aku yang akan menandingi si bongkok sampai dia mampus di tanganku!!



Bab 14

Tibet Sam Sinto tidak berani memandang rendah kepada wanita muda yang cantik manis itu karena mereka maklum betapa lihainya Pek Lan, mereka hanya mengangguk dan seorang di antara mereka berkata singkat, ‘Jangan khawatir, nona. Kami akan membasmi penduduk yang berani menentang kita!!

‘Hemm, kalian tidak boleh menuruti hati marah saja. Semua harus diatur dengan cermat agar jangan sampai gagal. Aku tidak biasa bekerja secara serampangan saja, harus menggunakan siasat yang matang,! kata Thai-yang Suhu.

Pada saat itu, seorang anak buah mereka muncul. Anak buah ini tadi telah menerima tugas untuk menyelidiki keadaan dalam dusun Ngomaima, terutama sekali menyelidiki tentang si bongkok.

‘Bagaimana hasil penyelidikanmu?! tanya Thai-yang Suhu. Anak buah ini juga seorang anggauta Pek-lian-kauw yang terkenal cerdik dan juga memiliki gin-kang yang membuat dia mampu berlari cepat dan bergerak dengan gesit.

Setelah memberi hormat, anak buah itu lalu bercerita. ‘TIdak ada yang mengetahui siapa nama si bongkok itu, Lo suhu. Orang menyebut dia Pendekar Bongkok, dan tak seorangpun mau mengaku ketika saya mencoba bertanya siapa namanya dan bagaimana riwayatnya. Yang jelas, dia bukan penduduk daerah ini, melainkan datang dari timur.!

‘Di mana dia sekarang dan bagaimana keadaan para penduduk dusun Ngomaima?! tanya pula Thai-yang Suhu tak sabar.

‘Dia masih bermalam di rumah penginapan, akan tetapi penduduk kini melakukan penjagaan ketat dan puluhan orang melakukan penjagaan secara bergiliran.!

‘Hemm, aku tidak takut! Mari kita sekarang juga mencari si bongkok itu di rumah penginapan!! kata Pek Lan gemas.

‘Tidak,! bantah Thai-yang Suhu. ‘Sudah kukatakan, semua harus menggunakan rencana siasat. Jangan sampai kita memperlihatkan kelemahan seolah-olah takut kepada si bongkok dan para penduduk. Pek Lan, besok siang kita usahakan untuk memberi tanda merah lagi pada pintu rumah Gulamar, dan malam harinya, engkau culik puterinya!!

‘Tapi, kalau mereka tahu, tentu mereka mengatur jebakan,! bantah Pek Lan.

‘Ha-ha-ha, justeru itu yang kuhendaki. Biarlah mereka mengatur jebakan untukmu, akan tetapi mereka tidak tahu bahwa di belakangmu ada kami! Tibet Sam Sinto yang akan mengahadapi orang-orang dusun bodoh itu, dan engkau menculik gadis itu. Kalau si bongkok muncul, kita hadapi berdua, dan jangan khawatir, aku melindungimu, Pek Lan.!

Wanita muda itu mengangguk-angguk dan hatinyapun merasa tenang. Kalau Thai-yang Suhu membantunya menghadapi si bongkok, ia hampir yakin bahwa mereka tentu akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok itu. Malam itu, Pek Lan berusaha keras untuk menyenangkan hati Thai-yang Suhu, sebagian untuk menebus kekurangannya karena kegagalan menculik puteri Gulamar, ke dua karena pendeta Pek-lian-kauw itu besok akan membantunya. Untuk memberi tanda darah kepada pintu keluarga hartawan itu, diserahkan kepada anak buah yang cekatan dan pandai menyamar.

***

Sie Liong berjalan dengan tenang mendaki bukit Onta yang penuh dengan hutan itu. Biarpun belum yakin karena belum mendapatkan bukti, namun dia menduga keras bahwa tentu siluman yang suka menculik gadis itu bersembunyi di tempat yang ditakuti orang ini. Sebuah tempat persembunyian yang baik. Akan tetapi, siluman itu seorang wanita, dan mengapa ada wanita menculiki gadis gadis cantik? Tentu wanita siluman itu tidak sendiri dan mungkin terdapat banyak kawannya yang tentu saja berbahaya. Maka, biarpun dia melangkah tenang, dia tak pernah lengah sedetikpun. Mata dan telinganya menyelidiki keadaan di sekelilingnya.

Sikapnya yang amat hati-hati itu tidak menolongnya. Semenjak dia mendaki Bukit Onta, setiap gerakannya sudah diikuti oleh banyak pasang mata. Dia tidak tahu bahwa pendakiannya tadi kelihatan oleh anak buah Thai-yang Suhu yang segera melapor kepada perdeta Pek-lian-kauw itu. Mendengar bahwa Pendekar Bongkok sudah datang berkunjung dan mendaki bukit, tentu saja hal ini tidak pernah disangka oleh Thai-yang Suhu yang cepat mempersiapkan diri. Dia berunding dengan Pek Lan dan Tibet Sam Sinto, mengatur siasat.

Thai-yang Suhu, biarpun nampaknya seperti seorang pendeta, namun dia adalah pendeta dari aliran kebatinan yang sesat, oleh karena itu, dia tidak segan atau malu selalu bersikap curang. Kalau dia gagah, tentu dijumpainya Pendekar Bongkok agar mereka dapat bertanding secara gagah pula. Tidak, dia tidak ingin mengalami kerugian dan segalanya diperhitungkan demi keuntungan pihaknya. Dia belum mengenal siapa Pendekar Bongkok, dari aliran mana dan bagaimana tingkat ilmu kepandaiannya. Kalau memang Pendekar Bongkok pandai, mengapa tidak diusahakan dulu agar suka membantu dan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Kalau semua usaha itu gagal, baru terpaksa dibunuh!

Sie Liong menurutkan jalan setapak yang ditemukannya dalam hutan itu. Ketika membelok di bagian tengah hutan, pada jalan menurun, tiba-tiba saja dia dihadapkan dengan sebuah telaga kecil yang amat indah dan amat jernih airnya. Ada air terjun tak jauh dari situ, dan airnya membuat sungai kecil memasuki telaga. Dari tempat dia berdiri, dia melihat pemandangan yang amat indah. Tak disangkanya bahwa di bukit yang sunyi dan penuh hutan, yang ditakuti orang itu, terdapat tempat yang demikian indahnya. Dia lalu menuruni jalan setapak itu, menghampiri telaga.

Terpesona dia berdiri di tepi telaga. Air telaga demikian jernih, bagaikan kaca yang berada di depan kakinya demikian jernihnya sehingga dia dapat melihat batu-batu di dasarnya, juga melihat beberapa ekor ikan hilir mudik. Di sebelah sana, di mana permukaan air digelapi bayang-bayang pohon, air itu seperti menelan semua pemandangan di atasnya. Pohon, daun-daun, awan dan sinar matahari, semua tenggelam dan nampak sedemiktan jelasnya sehingga setiap helai daun pohon itupun nampak. Tidak ada angin menggerakkan daun pohon, agaknya angin sudah ditangkis oleh pohon-pohon besar di sekeliling telaga itu.

Suara air membuat dia menoleh ke kiri dan untuk kedua kalinya dia terpesona! Kalau tadi dia terpesona oleh keindahan telaga itu, kini dia terpesona oleh suatu keindahan yang lain lagi, keindahan wajah dan tubuh seorang wanita! Wanita itu masih muda, tidak lebih dari dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya cantik manis dengan bentuk bulat telur, dan gadis itu bertelanjang bulat sama sekali, tidak ada sehelai benangpun menutupi tubuhnya yang masak dan padat. Kulitnya demikian putih mulus dan karena dia tidak berdiri terlalu jauh, dan kebetulan sinar matahari menimpa tubuh telanjang itu, Sie Liong dapat melihat bulu-bulu halus lembut pada lengan dan kaki gadis itu, yang membuat ia menjadi semakin menarik. Gadis itu duduk di atas batu dan dia melihatnya dari samping. Dengan kedua kakinya, gadis itu menendang-nendang air dan itulah bunyi air yang tadi menarik perhatiannya. Agaknya gadis itu tidak melihatnya, dan sedang asyik sendiri.

Dari keadaan terpesona, Sie Liong kini menjadi tersipu, merasa betapa dia telah bersikap tidak sepatutnya, melihat seorang gadis bertelanjang bulat seperti itu. Wajahnya berubah merah dan diapun cepat membuang muka, bahkan lalu berdiri membelakangi gadis itu, kemudian melangkah pergi.

‘Heiii....!! Tiba-tiba Sie Liong mendengar suara gadis itu, disusul suara tubuh jatuh ke air. Karena ingin tahu apa yang terjadi, Sie Liong menahan kakinya dan membalik, memamdang. Gadis itu agaknya tadi melihat dia dan terkejut lalu terjun ke air di dekat batu yang tadi didudukinya. Kini gadis itu berdiri sepinggang dalam air, dan nampak dadanya yang berbentuk indah.

‘Heii, siapa kau? Apakah kau mau mandi? Marilah, kita boleh mandi bersama. Di sini tidak ada orang lain!!

Kedua pipi Sie Liong menjadi semakin merah dan dia mengerutkan alisnya, lalu cepat membalikkan tubuh lagi, tidak mau memandang dada indah dan wajah manis itu terlalu lama, bahkan dia lalu pergi tanpa banyak bicara lagi. Gadis itu sungguh tidak tahu malu, pikirnya. Tidak bersusila, sudah tidak malu dilihat pria dalam keadaan bertelanjang, bahkan mengajak mandi bersama! Seperti bukan seorang wanita biasa! Pantasnya wanita itu siluman! Siluman Merah! Sie Liong merasa betapa jantungnya berdebar dan dia memperlambat langkahnya.

Kini terdengar gadis itu kembali bicara, dan nada suaranya amat menyesal penuh teguran. ‘Kau ini orang macam apa? Disapa baik-baik tidak mau menjawab! Selama hidupku belum pernah aku bertemu seorang manusia sesombong ini! Aku ingin sekali bicara denganmu, dan siapa tahu, aku dapat memberi keterangan padamu! Bukankah engkau mencari seseorang di sini?!

Mendengar ucapan ini, kembali untuk ke dua kalinya Sie Liong menahan langkahnya, akan tetapi dia tidak mau menoleh atau membalikkan tubuhnya. Mungkin saja gadis ini siluman merah yang juga seorang wanita, pikirnya, walaupun dugaan ini dia bantah sendiri. Tak mungkin! Siluman merah itu orang berilmu tinggi, dan yang di belakangnya ini hanya seorang gadis muda yang cantik manis, sukar dipercaya kalau memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan andaikata bukan siluman aerah, siapa tahu gadis ini dapat memberi keterangan di mana tempat persembunyian siluman merah.

‘Aku bukan orang sombong. Kalau engkau berpakaian dengan sopan, tentu aku akan suka bicara dengan nona. Engkau berpakaianlah lebih dulu!!

‘Hi-hi-hik!! Gadis itu tertawa, suara ketawanya merdu, tidak dibuat-buat dan bebas lepas.

‘Kiranya kau seorang yang sopan santun, ya? Bersusila tinggi, ya? Apa sih salahnya bertelanjang bulat? Bukankah ketika kau dan aku terlahir, kita juga bertelanjang bulat? Bukankah manusia baru kelihatan keasliannya dan keindahan tubuhnya kalau bertelanjang bulat? Baiklah, aku akan berpakaian dulu. Awas, jangan mengintai kau, seperti kebanyakan laki-laki, mulutnya bersopan-sopan, akan tetapi matanya mencuri-curi, hi-hi-hi!!

Sie Liong merasa mendongkol juga.

Gadis ini aneh sekali, akan tetapi ejekannya tadi memang mengena! Dia mendengar suara berkeresekan, dan biarpun matanya tidak melihat, namun pendengarannya yang tajam terlatih dapat membuat dia tahu bahwa gadis itu memang benar kini sedang mengenakan pakaian.

‘Nah, aku sudah selesai berpakaian. Kau lihat, apakah aku lebih baik kalau berpakaian dari pada kalau bertelanjang? Lihat baik-baik!!

Karena dari pendengarannya tadi dia sudah yakin bahga gadis itu kini sudah berpakaian, Sie Liong lalu membalikkan tubuhnya. Gadis itu memang cantik menarik bukan main. Sayang pandang matanya dan senyumnya, walaupun manis dan amat memikat, mengandung kegenitan dan kecabulan! Gadis itu tersenyum.

‘Engkau orang aneh, tubuhmu juga aneh, akan tetapi wajahmu tampan dan engkau nampak begitu kuat! Hemm, aku ingin sekali bicara denganmu!! Berkata demikian, gadis itu lalu melangkah dari batu ke batu untuk menuju ke tepi di mana Sie Liong berdiri. Gadis itu melangkah dengan agak sukar dan hal ini saja membuktikan bahwa ia tidak pandai silat, atau andaikata bisapun kepandaiannya tentu masih rendah sekali.

Ketika dari batu terakhir ia melompat ke tanah yang jaraknya hanya satu meter dan agaknya lebih tinggi dari batu itu, ia meloncat dengan kaku dan tak dapat dicegah lagi, kakinya terpeleset dan iapun jatuh miring di atas tanah.

‘Aduhhhh.... aduh, kakiku.... sakit....!! Gadis itu mengeluh dan berusaha untuk bangkit duduk, akan tetapi tidak dapat dan ia mencoba untuk menyentuk kakinya di tumit, juga tidak dapat.

Sie Liong mengerutkan alisnya. Sejak tadi dia waspada. Gadis ini demikian muda dan cantik, dan berada seorang diri saja di tempat yang sunyi dan liar ini. Padahal, para penduduk, biar pemburu yang gagah berani sekalipun, tidak berani mendaki Bukit Onta ini. Hal ini saja membuktikan bahwa gadis ini tentu memiliki sesuatu yang membuat ia berani berada seorang diri di tempat berbahaya ini. Dan tadi, dia menduga bahwa gadis itu agaknya hendak merayunya lewat tubuhnya yang menggairahkan, dan lewat kegenitannya yang mengajak mandi bersama. Ketika rayuan itu tidak mendapat tanggapon, gadis ini mungkin saja sengaja membuat dirinya jatuh agar dia mau menolongnya. Dalam keadaan seperti itu, tentu saja dia dapat lengah.

‘Aduh, tolong....! Apakah selain sombong, engkau juga begitu kejam sehingga tidak mau menolong seorang wanita yang terjatuh dan terkilir kakinya? Aduhh....!! Gadis itu kini menjulurkan lengan kirinya ke arah Sie Liong, minta bantuan agar pemuda itu suka menolongnya bangkit.

Sie Liong tersenyum, lalu menghampiri dan menggunakan tangan kanan untuk memegang tangan kiri yang dijulurkan itu. Dia kelihatan sama sekali tidak menaruh curiga dan seperti orang yang benar hendak membantu gadis itu bangkit duduk. Lunak dan hangat terasa olehnya ketika tangannya bersentuhan dengan telapak tangan yang putih mulus itu. Gadis itu lalu bangkit duduk, bahkan sambil masih berpegang kepada tangan Sie Liong, ia berdiri, agak terhuyung dan di lain saat ia sudah merangkul leher Sie Liong dan merapatkan pipinya di dada Pendekar Bongkok!

Sie Liong mencium bau yang harum keluar dari rambut dan leher gadis itu. Jantungnya berdebar dan tubuhnya tergetar karena betapapun juga, darah mudanya bergolak ketika tubuh yang hangat itu merapat pada tubuhnya. Akan tetapi, dia segera teringat bahwa hal itu tidak selayaknya, maka diapun melangkah mundur merenggangkan diri sambil melepaskan tangan gadis itu, juga melepaskan lengan yang merangkul lehernya. Dan pada saat itu, tiba-tiba sekali, dari jarak yang amat dekat, gadis itu menggerakkan tangannya, dengan jari-jari terbuka, tangan itu menotok ke arah perut Sie Liong! Dahsyat bukan main serangan ini dan jari-jari tangan itu sudah terisi tenaga dalam yang amat jahat, karena telapak tangan itu berubah menghitam. Gadis itu telah mempergunakan pukulan maut!

‘Huhh....!! Sie Liong dapat mengelak sambil menangkis dari samping.

‘Hyaatt....!! Pek Lan, gadis cantik itu, menyusulkan cengkeraman ke arah leher, namun kembali Sie Liong dapat mengelak dengan melangkah mundur dan menangkis lengan yang bergerak ke arah lehernya. Pek Lan merasa penasaran sekali, kakinya bergerak menendang ke arah bawah pusar lawan!

‘Hemm, keji sekali....!! Pendekar Bongkok berseru dan tubuhnya melayang ke belakang. Tendangan itupun luput!

Sie Liong berdiri dan bertolak pinggang, tersenyum pahit, lalu berkata dengan nada suara mengejek. ‘Bagus sekali, kiranya selain kejam dan melakukan kejahatan aneh menculiki gadis-gadis, engkau juga masih pandai melakukan perbuatan curang!!

Pek Lan memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa Pendekar Bongkok sedemikian lihainya. Bukan hanya tidak dapat dirayunya, juga tidak mudah ditipu dengan pura-pura jatuh tadi. Dan dia hanya seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok dan nampaknya lemah!

‘Bagaimana.... kau bisa tahu?! tanyanya, menahan rasa penasaran dan kemarahan saking herannya.

‘Engkau seorang gadis muda berada seorang diri di tempat seperti ini membuktikan bahwa engkau tentulah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian. Pakaianmu demikian mewah, hal ini membuktikan bahwa engkau tentu bukan pendatang dari luar hutan, melainkan mempunyai tempat tinggal di dalam hutan. Dan siluman merah yang bertemu dengan aku semalam seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi. Ketika engkau gagal menggunakan siasat menjatuhkan kelemahanku sebagai pria, engkau lalu berpura-pura jatuh. Aku sudah curiga dan siap siaga, maka beberapa seranganmu yang masih mentah itu tentu saja dapat kuhindarkan.!

‘Jahanam sombong, sekarang juga engkau akan mampus di tanganku!! Berteriak demikian, Pek Lan lalu menerjang dengan gerakan cepat, kedua tangannya melakukan serangan bertubi-tubi. Melihat betapa kedua telapak tangan gadis itu berubah menghitam, maklumlah Sie Liong bahwa dia menghadapi seorang gadis golongan sesat yang menguasai ilmu sesat pula. Diam-diam dia menyayangkan sekali bahwa seorang gadis muda yang begini cantik ternyata menjadi seorang wanita sesat yang genit, cabul dan juga amat jahat. Maka, diapun cepat mengerahkan sin-kangnya dan sambil mengelak atau kadang-kadang menangkis, diapun membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang amat mantap dan dahsyat.

Setelah mereka saling serang selama belasan jurus, terkejutlah Pek Lan. Bukan saja semua serangannya yang dahsyat itu tak pernah berhasil, bahkan kalau pemuda bongkok itu menangkis, dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya serasa retak dan tubuhnya tergetar hebat! Dan kalau pemuda itu membalas, angin pukulannya menyambar seperti angin badai yang membuat ia semakin gentar saja. Tidak berani ia menangkis, tidak berani mengadu tenaga karena ia tahu bahwa tenaga sin-kangnya kalah kuat. Juga penggunaan hawa beracun agaknya tidak ada gunanya karena kedua tangan pemuda itu dilindungi semacam uap putih yang membuat uap hitam dari telapak tangannya membuyar bahkan membalik! Ia tidak tahu bahwa pemuda lawannya itu memiliki ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang jauh lebih tinggi tingkatnya daripada ilmunya yang disebut Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).

Teringatlah Pek Lan akan ilmu sihir yang diajarkan oleh Thai-yang Suhu kepadanya, maka diam-diam, sambil sibuk mengelak berloncatan untuk menghindarkan hujan tamparan dari Sie Liong, ia berkemak-kemik membaca mantera, pandang matanya bagaikan dua ujung pedang yang disatukan seperti menembus dahi Pendekar Bongkok di antara alisnya, kemudian tiba-tiba ia membentak nyaring.

‘Pendekar Bongkok, menyerah dan berlututlah engkau!!

Sie Liong terkejut sekali, ketika merasa betapa ada tenaga luar biasa yang seolah-olah memaksanya untuk menyerah dan berlutut. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah menerima banyak petunjuk dari Pek-sim Sian-su, bagaimana menghadapi ilmu-ilmu sihir dari kaum sesat. Diapun cepat menahan napas mengerahkan khi-kang dan pengaruh yang memaksanya itu buyar. Akan tetapi dia menahan senyum dan pura-pura menjatuhkan diri berlutut seolah-olah dia terpengaruh oleh sihir yang dilakukan gadis itu!

Melihat lawannya benar-benar berlutut, Pek Lan girang bukan main akan hasil ilmu sihirnya itu. Ia tahu bahwa lawannya ini amat berbahaya, dan tidak mudah ditundukkan dengan pengaruh kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya, maka baginya tidak ada gunanya, bahkan membahayakan saja. Maka iapun lalu menubruk ke depan dan kedua tangannya, dengan jari-jari membentuk cakar harimau, menyambar ke arah ubun-ubun kepala Pendekar Bongkok.

‘Haiiiittt....!! Pendekar Bongkok tiba-tiba membentak, kedua tangannya mendorong ke depan dan bagaikan sebuah layang-layang yang putus talinya, tubuh Pek Lan melayang ke belakang lalu terbanting jatuh! Untung bahwa Pendekar Bongkok tidak bermaksud membunuhnya, maka Pek Lan tidak tewas, bahkan tidak terluka parah, hanya terbanting keras, membuat pinggulnya terasa nyeri bukan main. Ia meloncat bangun, menggosok-gosok pinggul yang tadi terbanting sambil meringis kesakitan. Akan tetapi, kemarahannya memuncak dan tanpa banyak cakap lagi, iapun sudah mencabut pedangnya dan sambil mengeluarkan lengkingan panjang, ia menyerang Pendekar Bongkok dengan pedangnya.

Kalau saja Sie Liong menghendaki, pukulan dahsyat Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung) tadi sudah cukup untuk membunuh Pek Lan. Akan tetapi, dia tidak bermaksud membunuh orang. Bagaimanapun juga, siluman merah itu belum diketahui apa sebenarnya yang menjadi latar belakang perbuatannya menculik gadis-gadis itu. Kini, melihat betapa wanita itu menjadi semakin nekat dan menyerangnya dengan pedang, dengan permainan pedang yang cukup berbahaya, diapun mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya, mengelak sambil berloncatan dan berkali-kali tubuhnya berkelebatan di sekeliling lawannya, membuat gadis itu menjadi bingung dan pening. Ia merasa seolah melawan bayangan saja, demikian cepatnya gerakan Pendekar Bongkok.

‘Hentikan seranganmu, atau terpaksa aku akan merobohkanmu. Kembalikan semua gadis yang telah kauculik, dan aku akan memaafkanmu!! Pendekar Bongkok berseru beberapa kali, namun sebagai jawabannya, Pek Lan menyerang semakin ganas saja.

Sie Liong menjadi marah. Gadis ini terlalu ganas dan berhati kejam, kalau tidak diberi hajaran keras tentu tidak akan mau tunduk. Ketika pedang itu untuk ke sekian kalinya meluncur ke arah dadanya, Pendekar Bongkok mengelak dengan miringkan tubuh dan menarik tubuh atas ke belakang, lalu tangannya dengan cepat sekali menotok ke atas pundak kanan Pek Lan.

‘Tukkk!! Pek Lan merasa lengannya lumpuh dan pedang itu terlepas dari pegangannya, akan tetapi dengan gerakan memutar, ia menubruk ke arah Pendekar Bongkok dan tanpa malu-malu lagi tangannya yang membentuk cakar itu mencengkeram ke arah bawah pusar pemuda bongkok itu!

‘Ihh....!! Sie Liong meloncat ke belakang dan mukanya berubah merah. Wanita ini sungguh tidak tahu malu sama sekali! Dia melompat ke belakang bukan karena takut melainkan karena malu. Namun baru dia tahu bahwa serangan mencengkeram ke arah bawah pusarnya tadi hanya merupakan gertakan saja karena kini Pek Lan sudah menyambar kembali pedangnya yang tadi terlepas. Serangan itu dipergunakan hanya untuk dapat merampas kembali pedang yang sudah lepas dari tangan. Wanita itu kini maklum benar bahwa Pendekar Bongkok sungguh amat lihai. Namun, ia masih merasa penasaran, apalagi mengingat bahwa ada teman-temannya yang tentu akan membantunya.

Benar saja, ketika ia menerjang lagi, tiba-tiba bermunculan tiga orang Tibet Sam Sinto yang sejak tadi hanya mengintai sambil menonton saja dan baru mereka muncul dan membantu Pek Lan setelah menerima perintah dari Thai-yang Suhu. Tokoh Pek-lian-kauw ini tidak segera memberi perintah membantu Pek Lan karena dia ingin memperhatikan gerakan ilmu silat Pendekar Bongkok dan untuk mengujinya sampai di mana kelihaian pemuda bongkok itu. Diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian Pendekar Bongkok yang membuat Pek Lan tidak berdaya. Setelah gadis itu terdesak hebat dan terancam bahaya, barulah dia memberi isarat kepada Tibet Sam Sinto untuk maju membantu.

Melihat munculnya tiga orang laki-laki tinggi besar yang masing-masing memegang sebatang golok melengkung dan gerakan mereka aneh, Sie Liong dapat menduga bahwa mereka tentulah jagoan-jagoan dari Tibet. Hal ini dapat diketahuinya dari gaya gerakan tubuh mereka. Dia sudah banyak mendengar dari para gurunya, yaitu Himalaya Saw Lojin dan juga Pek-sim Sian-su tentang ilmu silat Tibet yang bercampur dengan gaya silat gulat, semacam ilmu silat yang mengandalkan cengkeraman, tangkapan, dan bantingan.

Akan tetapi, perhatian Sie Liong bukan sepenuhnya kepada tiga orang ini. Dia menduga bahwa tentu masih ada musuh lain yang bersembunyi seperti tiga orang tinggi besar tadi yang bersembunyi di balik semak-semak. Dia tadi tidak mendengar kedatangan mereka, hal itu hanya berarti bahwa sejak tadi mereka memang berada di situ, bersembunyi. Dia telah terjebak! Semua siasat yang dilakukan wanita cantik itu merupakan siasat mereka. Mungkin sejak dia mendaki Bukit Onta, gerak-geriknya tentu telah diikuti pihak musuh. Ketika mendengar bunyi berkeresek di atas pohon besar, tiba-tiba Sie Liong mengeluarkan lengkingan panjang dan sebelum Pek Lan dan Tibet Sam Sinto sempat menyerangnya, tubuhnya sudah melayang naik ke arah pohon di mana dia tadi mendengar daun berkeresekan.

Melihat bayangan manusia di dalam pohon itu, Sie Liong meloncat sambil menyerang dengan dorongan telapak tangannya. Orang itu ternyata seorang kakek tinggi besar pula yang berkepala gundul dan berpakaian pendeta. Melihat Sie Liong meloncat ke atas pohon dan menyerangnya, kakek itu yang bukan lain adalah Thai-yang Suhu, menjadi terkejut dan cepat menangkis.

‘Dukk!! Keduanya terdorong keras dan terpaksa keduanya melompat turun dari atas dahan pohon. Ketika tubuhnya terdorong dan terpaksa meloncat turun, tangannya menyambar sebatang ranting sebesar lengannya dan ranting itu patah dan terbawa turun. Lega rasa hati Sie Liong setelah dia memperoleh senjata itu, sebatang ranting yang panjangnya satu setengah meter, cukup kuat dan lentur. Di lain pihak, Thai-yang Suhu terkejut setengah mati. Tadi ketika dia menangkis, ia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Biarpun pemuda bongkok itu terpaksa meloncat turun, dia sendiripun harus meloncat turun karena tubuhnya terpental dan seluruh lengannya yang menangkis tadi terasa dingin sekali! Dia tidak tahu bahwa pemuda itu tadi mengerahkan ilmu Swat-liong-ciang (Ikmu Silat Naga Salju) yang membuat kedua lengannya dipenuhi sin-kang yang dingin sekali.

Kini Sie Liong berdiri di tengah, dikepung oleh lima orang itu. Melihat keadaan kakek pendeta itu, Sie Liong segera mengenal gambar teratai putih, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang tokoh Pek-lian-kauw, dan mengertilah dia kini mengapa gadis cantik itu menculiki gadis-gadis dusun yang cantik. Dia sudah sering mendengar tentang sepak terjang aliran agama sesat Pek-lian-kauw yang bersembunyi di balik kedok perjuangan membela rakyat! Sebuah perkumpulan di mana orang-orangnya mempelajari ilmu silat dan ilmu sihir, dan di mana seringkali terjadi kecabulan karena orang-orang Pek-lian-kauw merupakan hamba nafsu, terutama sekali nufsu berahi. Dia sering kali mendengar bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak murid atau anak buah wanita-wanita muda yang cantik. Tentu perawan-perawan dusun itu akan dijadikan anak buah, bukan saja membantu kekuatan Pek-lian-kauw, akan tetapi mereka dijadikan tenaga hiburan bagi para pimpinan Pek-lian-kauw!

‘Hemm, kiranya Pek-lian-kauw yang berdiri di belakang penculikan para gadis itu!! kata Sie Liong sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, tongkat ranting pohon itu berada di tangannya dan berdiri di depannya, dengan daun-daun yang masih memenuhi ranting kecil yang mencuat ke kanan kiri.

Thai-yang Suhu yang kini tidak berani memandang rendah lawannya, segera melangkah maju, sepasang pedang sudah dicabutnya dari balik jubah. Dia menudingkan pedang kiri ke arah muka Sie Liong dan terdengar suaranya yang berwibawa.

‘Orang muda, siapakah engkau sesungguhnya? Selamanya belum pernah kami mendengar tentang seorang yang disebut Pendekar Bongkok, dan mengapa pula memusuhi kami dan menghalangi pekerjaan kami! Bicaralah, orang muda. Pinceng adalah Thai-yang Suhu, mereka ini adalah Tibet Sam Sinto, dan nona itu adalah nona Pek Lan, murid terkasih dari Hek-in Kui-bo. Nah, engkau lihat, engkau berhadapan dengan lima orang yang memiliki nama besar di dunia kang-ouw, oleh karena itu, sungguh tidak bijaksana bagimu kalau engkau memusuhi kami. Bukankah lebih baik kalau kita bekerja sama?!

Mendengar ucapan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mencorong penuh kemarahan. Tokoh sesat ini menawarkan kerja sama dengan dia, berarti mengajak dia menjadi seorang penjahat!

‘Thai-yang Suhu, engkau seorang yang berpakaian pendeta, akan tetapi ternyata kependetaanmu itu hanya kedok saja, seperti srigala berkedok domba. Aku bernama Sie Liong, tentang nama julukan itu, terserah yang menyebutku. Memang aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, akan tetapi aku adalah musuh besar dari semua perbuatan jahat! Kalian telah menculik sembilan orang gadis-gadis dusun. Nah, kalau kalian tidak menghendaki pertentangan dengan aku, kalau menghendaki kerjasama, bebaskanlah sembilan orang gadis itu, dan akupun tidak akan mengganggu kalian lagi, kecuali kalau lain kali aku melihat kalian melakukan kejahatan lagi!!

‘Bocah bongkok keparat sombong! Toasuhu, kenapa banyak bicara dengan bocah sombong ini? Biar kami habiskan dia!! bentak seorang di antara Tibet Sam Sinto dan mereka bertiga sudah marah sekali, sudah siap dengan golok mereka.

Akan tetapi Thai-yang Suhu memberi isarat agar para pembantunya itu jangan bergerak dulu. Lalu dia merogoh sesuatu dari dalam saku jubahnya, melontarkan benda sebesar kepalan tangan ke atas, ke arah Pendekar Bongkok sambil membentak lebih dulu dengan suara parau.

‘Orang she Sie, lihat apakah engkau mampu menandingi seekor naga berapi!!

Sungguh hebat! Benda yang dilontarkan tadi seketika berubah menjadi asap hitam dan dari dalam asap hitam itu muncullah seekor naga menyemburkan api, bahkan tubuhnya juga bernyala. Naga itu terbang ke atas lalu dari atas menyambar turun ke arah tubuh Sie Liong!

Namun, Pendekar Bongkok ini yang tadinya juga terkejut, cepat menahan napas den mengerahkan tenaga khi-kang, lalu mengangkat tangan kirinya ke atas. dan tangan kirinya itupun dengan pengerahan sin-kang Pek-in Sin-ciang yang membuat tangan kiri mengeluarkan uap putih, mendorong ke arah naga api. Terdengar suara keras dan naga itupun lenyap, dan nampak benda sekepal tadi runtuh ke depan kaki Thai-yang Suhu. Ternyata benda itu adalah sebuah tengkorak manusia yang amat kecil, seperti tengkorak bayi saja!

Thai-yang Suhu terbelalak, menyambar benda itu dan mengantunginya lagi, akan tetapi pada saat dia mengambil benda itu, tengkorak kecil itu hancur berkeping-keping. Ternyata benda yang tadi berubah menjadi naga itu tidak kuat menahan pukulan jarak jauh Pendekar Bongkok dan sudah retak-retak maka ketika dipungut oleh pemiliknya, hancur berantakan.

Thai-yang Suhu mengeluarkan teriakan marah dan diapun menggerakkan sepasang pedangnya, menyerang ke arah Pendekar Bongkok. Pada saat itu, Pek Lan juga menggerakkan pedangnya, berbareng dengan Tibet Sam Sinto yang sudah pula menggerakkan golok mereka.

Sie Liong mengeluarkan teriakan melengking dan menggerakkan ranting di tangannya. Sekali memutar ranting itu, nampak banyak sekali sinar hijau beterbangan menyerang ke arah lima orang pengeroyoknya! Lima orang itu yang sudah siap menyerang, bahkan sudah menggerakkan senjata, terkejut ketika tiba-tiba melihat sinar-sinar hijau menyambar ke arah mereka. Cepat mereka menggerakkan senjata yang diputar di depan tubuh untuk menangkis karena mereka mengira bahwa Pendekar Bongkok mempergunakan senjata rahasia. Ketika sinar-sinar hijau itu runtuh, ternyata ‘senjata rahasia! itu adalah daun-daun yang tadi menempel pada ranting. Kini di tangan Pendekar Bongkok hanya tinggal sebatang tongkat. Melihat betapa pemuda bongkok itu dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia yang mereka rasakan amat kuat dan berbahaya, lima orang itu terkejut dan makin maklum bahwa Pendekar Bongkok ini, biar masih muda dan cacat tubuhnya, ternyata benar-benar memiliki kesaktian. Maka, tanpa banyak cakap lagi merekapun segera mengepung dan mengeroyok!

Menghadapi pengeroyokan lima orang yang semua memiliki kepandaian tinggi, Sie Liong lalu memutar tongkatnya dan dia sudah memainkan Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi). Ilmu ini adalah ilmu tongkat yang dipelajari dari Pek-sim Sian-su. Suatu ilmu yang dahsyat bukan main. Ketika senjata yang hanya merupakan sebatang ranting yang menjadi tongkat itu diputar oleh Sie Liong, maka anginpun menyambar-nyambar dahsyat bagaikan badai, dan nampak gulungan sinar hijau yang amat panjang. Dari gulungan sinar hijau itu mencuat ujung-ujung tongkat yang bagaikan kilat cepatnya menyambar-nyambar ke arah lima orang pengeroyoknya.

Sekarang tahulah Thai-yang Suhu mengapa Pek Lan kewalahan menghadapi pemuda bongkok ini. Kiranya Pendekar Bongkok ini memang memiliki kepandaian yang amat hebat! Biarpun dia sendiri maju dibantu Pek Lan dan tiga orang Tibet Sam Sinto, tetap saja mereka berlima sama sekali tidak mampu mendesak, bahkan mereka yang kewalahan menghadapi tongkat sederhana yang dimainkan secara luar biasa itu. Tongkat di tangan Pendekar Bongkok itu selain luar biasa cepatnya, juga mengandung tenaga kasar dan halus secara bergantian, dan setiap gerakan ujung tongkat itu mengeluarkan suara bersiutan di antara angin yang kuat sekali.

Thai-yang suhu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang kedudukannya sudah tinggi. Dia memiliki ilmu pedang yang amat lihai di samping ilmu sihirnya, dan selama ini, belum pernah ada yang mampu menandingi ilmu sepasang pedangnya. Kini, karena mengeroyok, tentu saja dia tidak dapat memainkan sepasang pedangnya dengan leluasa. Maka, diapun membentak agar para pembantunya minggir.

‘Minggir semua, biar pinceng sendiri menghadapi Pendekar Bongkok!! bentaknya. Mendengar ini, Pek Lan den Tibet Sam Sinto berloncatan keluar dari gelanggang pertempuran sehingga pendeta gundul tinggi besar itu kini berhadapan sendirian saja dengan Sie Liong. Sie Liong juga menghentikan gerakan tongkatnya dan berdiri menghadapi pendeta itu sambil memandang tajam.

‘Thai-yang Suhu, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Yang kutentang adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Oleh karena itu, kalau kalian membebaskan gadis-gadis yang telah kalian tawan dan mereka dalam keadaan selamat dan tidak terganggu, maka akupun akan menyuruh mereka pulang ke rumah masing-masing dan tidak akan memusuhi kalian, asal saja kalian tidak mengulang perbuatan jahat itu.!

‘Pendekar Bongkok, kau kira pinceng takut padamu? Pinceng sengaja menyuruh kawan-kawan pinceng minggir agar pinceng dapat menghadapimu dengan leluasa. Akan tetapi, katakanlah dulu siapa guru-gurumu agar pinceng tahu siapa yang pinceng lawan!!

‘Hemm, Thai-yang Suhu, ketahuilah bahwa guru-guruku adalah Hinalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su,! jawab Sie Liong sejujurnya.

‘Wah! Kiranya murid para tosu pelarian dari Himalaya!! seorang di antara Tibet Sam Sinto berseru. Sebagai tokoh-tokoh Tibet, tentu saja mereka mendengar akan hal itu.

Juga Thai-yang Suhu sudah pernah mendengar nama-nama yang disebutkan Pendekar Bongkok. Nama Himalaya Sam Lojin tidak mengejutkan hatinya karena kepandaian tiga orang kakek dari Himalaya itu tidak lebih dari tingkatnya sendiri. Akan tetapi disebutnya Pek-sim Sian-su membuat dia terkejut. Pantas saja pemuda bongkok ini tidak saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga mampu menangkis ilmu sihirnya, bahkan telah menghancurkan jimatnya, yaitu tengkorak kecil tadi. Betapapun juga, Thai-yang Suhu yang terlalu mengandalkan kepandaian dan kekuatan sendiri, tidak merasa jerih.

‘Bagus, sekarang bersiaplah engkau untuk mampus!! Berkata demikian, tokoh Pek-lian-kauw itu menodongkan pedang di tangan kirinya ke arah Sie Liong. Pendekar Bongkok bersikap waspada karena dia sudah mendengar akan kecurangan para tokoh Pek-lian-kauw. Begitu dari gagang pedang itu menyambar sinar-sinar hitam yang lembut, dia sudah cepat memutar tongkatnya dan semua jarum hitam yang meluncur keluar dari gagang pedang itu runtuh.

‘Pendeta palsu yang licik dan curang!! bentak Sie Liong dan diapun membalas dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan dahsyatnya dari kanan ke kiri, mengarah pinggang lawan. Thai-yang Suhu meloncat ke belakang, pedang kanan menyambar dari atas ke arah kepala Sie Liong sedangkan pedang kiri menangkis ujung tongkat. Sie Liong mengelak dan memutar tongkat, membalas dengan serangan yang tak kalah dahsyatnya. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian. Sepasang pedang yang dimainkan oleh Thai-yang Suhu berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.

Akan tetapi dua gulungan sinar itu seringkali goyah dan patah oleh sinar tongkat yang kehijauan, yang bergulung panjang seperti seekor naga hijau yang bermain di angkasa. Ilmu tongkat Thian-te sin-tung yang dimainkan Pendekar Bongkok merupakan ilmu tingkat tinggi dan tak dapat dilawan oleh ilmu pedang pasangan yang dimainkan pendeta Pek-lian-kauw itu. Pula, pendeta itu kalah cepat gerakannya dibandingkan Sie Liong, bahkan dalam hal tenaga sin-kang, pendeta itu juga kalah kuat. Kelebihan Thai-yang Suhu hanyalah dalam pengalaman bertanding saja, dan di samping itu, Sie Liong bersikap hati-hati sekali, karena dia tahu bahwa lengah sedikit saja dia dapat celaka di tangan lawan yang licik dan curang ini. Kehati-hatian inilah yang membuat Sie Liong tidak berani terlalu mendesak dan hal ini membuat lawannya mampu mengadakan perlawanan yang cukup seru dan perkelahian itu nampaknya seru dan ramai.

Betapapun juga, Pek Lan dan Tibet Sam Sinto yang sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, mampu mengikuti jalannya pertandingan dan mereka tahu bahwa kalau tidak dibantu, akan sukar sekali bagi Thai-yang Suhu untuk dapat mengalahkan Pendekar Bongkok. Oleh karena itu Pek Lan memberi isyarat kepada tiga orang jagoan Tibet itu dan mereka berempat lalu berloncatan memasuki gelangang perkelahian dan mengeroyok lagi. Sekali ini, Thai-yang Suhu diam saja karena diapun mengerti bahwa kalau dia nekat melawan sendiri, jelas bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan Pendekar Bongkok.

Di lain pihak, Sie Liong sama sekali tidak merasa gentar menghadapi pengeroyokan lima orang itu. Bahkan dia dapat mainkan tongkatnya lebih leluasa lagi. Dia tahu bahwa di antara para pengeroyoknya, yang amat lihai adalah Thai-yang Suhu dan Pek Lan. Akan tetapi karena di situ terdapat tiga orang Tibet Sam Sinto, maka permainan kedua orang lawan lihai ini bahkan menjadi terhalang dan mereka berdua itu tidak dapat menyerang sepenuhnya, terhalang oleh gerakan tiga orang jagoan Tibet itu. Hal ini membuat Sie Liong semakin hebat gerakannya dan diapun tidak takut lagi bahwa dua orang lawan yang curang itu akan dapat mempergunakan senjata rahasia, mengingat bahwa di situ terdapat pula Tibet Sam Sinto yang ikut mengeroyok sehingga kalau ada yang mempergunakan senjata rahasia, hal itu dapat membahayakan kawan sendiri.

Hal ini, sama sekali tak disangkanya, memang benar telah terjadi. Ketika itu, dia merasakan betapa yang sungguh berbahaya di antara serangan lima orang itu adalah serangan Pek Lan, wanita cantik yang pernah dilawannya sebagai siluman merah itu. Pedang wanita itu menyambar-nyambar ganas, dibantu pula oleh dorongan tangan kirinya yang melakukan pukulan atau tamparan Hek-in Tok-ciang, dan dari telapak tangan kirinya itu keluar uap hitam. Karena itu, dia berpikir untuk lebih dulu melumpuhkan perlawanan wanita ini. Dia memutar tongkatnya secara aneh dan segera mengerahkan daya serangan tongkatnya kepada Pek Lan.

‘Trang....! Trangggg....!! Bunga api berpijar ketika dua kali pedang di tangan Pek Lan bertemu dengan ujung tongkat yang mendesaknya.

‘Ihhh....!! Pek Lan mengeluarkan seruan kaget dan marah karena tenaga yang keluar dari tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga ia terdorong ke belakang dan tangan yang memegang pedang tergetar hebat, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan. Untung bahwa Thai-yang Suhu segera menghujani Pendekar Bongkok dengan serangan sehingga dalam keadaan terhuyung itu Pek Lan tidak didesak terus. Hal ini membuat Pek Lan marah sekali dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika tangan kirinya bergerak, belasan jarum-jarum hitam beracun telah menyambar ke arah tubuh Pendekar Bongkok! Jarum-jarum itu dilepas dari jarak dekat, juga disambitkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya karena Pek Lan sedang marah, maka tentu saja amat berbahaya bagi Pendekar Bongkok!

Akan tetapi, dia memang selalu waspada dan melihat sinar lembut yang banyak itu, diapun maklum bahwa Pek Lan mempergunakan senjata rahasia. Maka dia cepat memutar tongkatnya sehingga tongkat itu membentuk bayangan seperti payung yang melindungi tubuhnya. Ketika jarum-jarum itu bertemu dengan sinar tongkat, runtuhlah jarum-jarum itu, akan tetapi ada beberapa batang yang terpental ke kanan kiri. Terdengar teriakan-terjakan mengaduh dan dua orang di antara tiga Tibet Sam Sinto roboh!

Tentu saja hal ini amat mengejutkan para pengeroyok. Kiranya, di antara jarum hitam beracun yang terpental, ada beberapa batang yang mengenai dua orang itu! Racun yang dikandung jarum-jarum itu memang jahat sekali. Dua orang itu sudah berkelojotan sekarat! Tentu saja Pek Lan tidak mungkin dapat melakukan pemeriksaan untuk memberi pengobatannya, bahkan iapun sama sekali tidak memusingkan keadaan dua orang rekan ini karena hal itu bahkan membuat ia menjadi semakin marah kepada Pendekar Bongkok dan kini ia menyerang lagi mati-matian dengan pedangnya.

Namun, mengeroyok lima saja tidak dapat mendesak Pendekar Bongkok apa lagi kini berkurang dua. Tongkat di tangan Pendekar Bongkok menjadi semakin dahsyat gerakannya dan ketika seorang di antara Tibet Sam Sinto yang masih hidup dan merasa berduka dan marah karena kematian dua orang saudaranya itu menyerangkan golok di tangannya dengan sekuat tenaga, Pendekar Bongkok sengaja memapaki golok itu dengan tongkatnya sambil mengerahkan tenaganya.

‘Trakkk....!! Golok itu patah dan terlepas, dan sebuah tendangan kaki Pendekar Bongkok masih sempat dielakkan oleh orang itu, namun sambaran ujung tongkat tidak dapat dia hindarkan.

‘Bukkk!! Orang itu terjungkal dan pingsan karena punggungnya terkena gebukan tongkat dari samping.

Kini Pek Lan dan Thai-yang Suhu terkejut bukan main, juga mulai merasa jerih. Pada saat itu terdengarlah sorak sorai gemuruh. Ketika tiga orang yang sedang berkelahi itu mendengar suara ini, mereka semua berloncatan ke belakang dan memandang ke arah bawah. Dan nampaklah puluhan orang, bahkan ada kurang lebih seratus orang penduduk yang memegang segala macam senjata, berlarian mendaki Bukit Onta dengan sikap mengancam! Melihat ini, tentu saja Pendekar Bongkok menjadi girang. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk itu yang kini agaknya berbondong-bondong naik ke bukit itu untuk mencari siluman! Sebaliknya, Thai-yang Suhu dan Pek Lan makin gelisah.

‘Pek Lan, mari kita pergi!! kata Thai-yang Suhu. Tanpa diperintah dua kali, Pek Lan meloncat bersama Thai-yang Suhu.

‘Hemm, kalian hendak lari ke mana?! Pendekar Bangkok membentak dan diapun meloncat untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi, tiba-tiba Thai-yang Suhu melontarkan sesuatu ke atas tanah dan terdengar ledakan keras disusul mengepulnya asap hitam yang tebal. Khawatir kalau-kalau asap itu beracun, tentu saja Sie Liong menjauhkan diri, bermaksud mengejar dengan mengambil jalan memutar. Akan tetapi setelah dia tiba di belakang asap hitam, dua orang itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.

Dia lalu kembali ke tempat tadi, melihat betapa orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto sudah siuman dan kini bangkit sambil mengeluh. Melihat Pendekar Bangkok datang kembali, dia terkejut, meloncat akan tetapi roboh lagi sambil mengerang kesakitan. Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri, berlutut menghadap Pendekar Bongkok.

‘Taihiap (pendekar besar), ampunilah aku....!

Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bangkok.

Pendekar Bongkok adalah orang yang berhati lembut. Dia tidak pernah membenci orang, betapapun jahatnya orang itu. Yang ditentangnya adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Dia tahu, dari gemblengan yang didapatnya dari Pek-sim Sian-su, bahwa orang yang melakukan perbuatan jahat adalah orang yang sedang sakit batinnya. Yang mendorongnya melakukan perbuatan jahat adalah batinnya yang sakit itu. Kalau batinnya sembuh tentu dia tidak akan melakukan perbuatan jahat. Maka, melihat betapa seorang di antara Tibet Sam Sinto itu minta ampun, dia mengangguk.

‘Siapa namamu?!

‘Namaku Coa Kiu, taihiap. Mereka ini adalah kakakku dan adikku, dan ijinkanlah aku membawa mayat mereka agar dapat kukuburkan dengan pantas.!

‘Nanti dulu, aku ingin bertanya. Di mana adanya gadis-gadis yang diculik itu dan mengapa mereka diculik?!

‘Itu adalah kehendak Thai-yang Suhu yang sedang mengumpulkan lima belas orang gadis untuk dijadikan pelayan di Pek-lian-kauw. Kami hanya membantunya. Gadis-gadis itu dalam keadaan selamat, berada di rumah itu. Mereka tidak diganggu karena memang hendak diangkut dan diserahkan kepada ketua Pek-lian-kauw.!

Pendekar Bongkok mengangguk, hatinya merasa lega. Orang ini jelas tidak berani berbohong. ‘Satu pertanyaan lagi. Engkau memakai julukan Tibet Sam Sinto, tentu merupakan tokoh Tibet. Aku ingin sekali tahu tentang mereka yang disebut Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu lima orang pendeta Lama dari Tibet. Di manakah mereka sekarang dan apa kedudukan mereka?!

Mendengar disebutnya Lima Harimau Tibet, Coa Kiu terkejut dan kelihatan ketakutan. ‘Tidak, taihiap.... aku tidak mempunyai hubungan dengan mereka. Sama sekali tidak mempunyai hubungan....!!

Pendekar Bongkok mengerutkan alisnya. Sikap itu sungguh menarik sekali. ‘Aku tidak menuduhmu memiliki hubungan, hanya ingin mendapat keterangan darimu tentang diri mereka.!

Barulah Coa Kiu kelihatan lega. ‘Mereka adalah tokoh-tokoh paling ditakuti di Tibet, dan kini mereka menjadi pendukung-pendukung utama dari Kim Sim Lama, pendeta tingkat tinggi yang memberontak karena hendak merampas kedudukan Dalai Lama.!

‘Pemberontak? Ah, di mana kini mereka itu?!

‘Di sekitar telaga Yam-so di sebelah selatan Lasha. Lima Harimau Tibet menjadi pendukung dan bahkan lima orang tokoh itulah yang sebenarnya menjadi pelopor karena tanpa adanya mereka, tentu Kim Sim Lama tidak mampu berbuat sesuatu.!

Pendekar Bongkok mengangguk-angguk. Pada saat itu, para penduduk dusun sudah semakin dekat dan Coa Kiu nampak gelisah. Maka dia lalu menyuruh orang itu membawa jenazah dua orang saudaranya dan melarikan diri ke jurusan lain. Coa Kiu mengucapkan terima kasih dan memanggul jenazah kakaknya dan adiknya, pergi dari situ sambil terhuyung.

Pendekar Bongkok tidak menanti datangnya orang-orang dusun, melainkan cepat dia lari ke arah rumah yang menjadi tempat tinggal Thai-yang Suhu dan teman-temannya.

Sembilan orang gadis yang berada dalam ruangan di rumah itu, terkejut ketika daun pintu dirobohkan orang dari luar. Mereka bergerombol saling peluk dengan ketakutan, semua mata memandang ke arah pemuda bongkok yang berdiri di ambang pintu.

‘Ampunkan kami.... jangan.... jangan ganggu kami....!! kata seorang di antara mereka. Melihat betapa semua gadis yang berada di ruangan itu masih amat muda dan cantik-cantik, kini wajah yang manis-manis itu nampak pucat, mata mereka terbelalak seperti sekelompok kelinci yang ketakutan melihat seekor harimau, Pendekar Bongkok tersenyum pahit, teringat akan bongkoknya dan dia maklum bahwa tentu mereka mengira bahwa dia seorang jahat!

‘Tenanglah, nona-nona. Aku tidak berniat jahat. Aku datang untuk membebaskan kalian. Para penjahat itu telah kuusir pergi dan keluarga kalian kini sedang menuju ke sini.!

Namun, para gadis remaja itu masih belum percaya dan mereka masih memandang kepada pemuda berpunuk itu dengan curiga. Pada saat itu, orang-orang dusun sudah tiba di situ. Mereka menyerbu ke dalam rumah dan dipimpin oleh Gumo Cali, mereka tiba di ruangan yang daun pintunya audah dijebol Sie Liong dan mereka melihat Sie Liong masih berdiri di ambang pintu dan para gadis itu memandang ketakutan.

‘Ayah....!! teriakan ini bukan hanya keluar dari mulut dua orang gadis puteri Gumo Cali, akan tetapi juga dari para gadis lain. Ternyata para ayah gadis-gadis yang diculik itu ikut pula dalam rombongan para penyerbu. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan para gadis itu dihujani pertanyaan oleh ayah mereka. Diam-diam Pendekar Bongkok merasa lega dan gembira mendengar keterangan mereka bahwa benar seperti yang diceritakan Coa Kiu, mereka itu sama sekali tidak diganggu, bahkan diperlakukan dengan baik.

‘Semua ini karena jasa Pendekar Bongkok! Taihiap, terimalah terima kasih kami!! Gumo Cali menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bongkok, diturut oleh semua orang. Para gadis yang tadinya merasa ketakutan itu kini baru sadar bahwa pemuda bongkok itu memang benar menjadi penolong mereka. Maka merekapun ikut berlutut di samping ayah masing-masing.

Seorang diantara para gadis itu, menjatuhkan diri berlutut paling dekat di depan Pendekar Bongkok dan ia menangis sesenggukan. Tadipun Sie Liong melihat bahwa berbeda dengan para gadis lain, tidak ada seorangpun yang memeluk gadis ini. Tadinya dia mengira bahwa tentu ayah gadis yang satu ini tidak ikut. Ia seorang gadis yang bertubuh sedang, berkulit agak gelap namun wajahnya manis sekali, dengan mata yang lebar dan bening. Pakaiannya sederhana, bahkan ia tidak memakai perhiasan seperti para gadis lainnya. Usianya kurang lebih delapan belas tahun dan tubuhnya sudah mulai padat ramping, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar.

‘Nona, kau kenapa?! tanya Sie Liong, dan kepada semua orang dia berkata, ‘Harap kalian suka berdiri, tidak perlu memberi hormat berlebihan seperti itu!!

Gumo Cali bangkit dan yang lain ikut berdiri. Gadis itu masih tetap berlutut di depan Sie Liong. Dia segera meayentuh pundaknya dengan lembut. ‘Nona, bangkitlah, tidak perlu berlutut dan mengapa engkau menangis? Bukankah seharuanya engkau bergembira karena sudah terbebas dari cengkeraman penjahat?! Lalu dia merasa curiga kalau-kalau gadis ini mengalami nasib yang buruk di tangan para penjahat. ‘Nona, apakah para penjahat itu mengganggumu?!

Gadis itu menggeleng kepalanya, akan tetapi masih terisak. Akhirnya, dengan suara bercampur tangis, ia berkata, ‘Aku.... aku tidak mau pulang.... ke rumah mereka....!

‘Kenapa, nona? Di mana rumahmu?! tanya Sie Liong. Seorang di antara para penduduk dusun itu, seorang laki-laki setengah tua, lalu mendekat dan berkata, ‘Ling Ling, kenapa engkau tidak mau pulang?! Gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kepala sambil menangis.

‘Siapakah nona ini, paman, dan di mana rumahnya?! tanya Sie Liong. Orang itu lalu memberi keterangan bahwa gadis itu bernama Sam Ling, biasa dipanggil Ling Ling. Ia seorang gadis yatim piatu. Ketika ia berusia sepuluh tahun, ayah dan ibunya meninggal dunia karena wabah, dan ia lalu dipungut anak oleh keluarga di dusunnya. Dijadikan anak angkat dan bekerja seperti pelayan.

‘Sepanjang pengetahuan kami, keluarga yang memungutnya itu bersikap baik kepadanya. Mereka tidak mempunyai anak, maka mau mengambil Ling Ling menjadi anak mereka. Ling Ling, katakanlah, kenapa engkau tidak mau pulang! Ayah dan ibu angkatmu tentu mengharapkan kedatanganmu!! kata orang itu.

Gadis itu mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada orang itu dan menggeleng kepala keras-keras sambil berkata, ‘Tidak...., tidak.... aku tidak mau pulang ke sana.... Lebih baik aku mati saja dari pada harus kembali lagi ke sana....!! Dan iapun menangis lagi.

Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia menduga bahwa tentu ada alasan kuat sekali mengapa gadis ini tidak mau pulang ke rumah ayah dan ibu angkatnya.

‘Marilah, nona. Kita bicara di luar,! katanya, lalu dia berkata kepada semua orang. ‘Kalau kalian setuju, rumah ini sebaiknya dibakar saja agar jangan menjadi sarang penjahat lainnya! Dan semua orang boleh pulang, akan tetapi kerukunan seperti sekarang ini harus dipelihara terus. Kalau kalian dapat bersatu seperti ini, tidak akan ada penjahat yang berani mengganggu kalian.! Berkata demikian, Sie Liong lalu mengajak gadis bernama Sam Ling atau Ling Ling itu untuk keluar.

Dia mengajak gadis itu agak menjauhi rumah, lalu duduk di atas batu besar. ‘Nah, Ling Ling, duduklah kau dan ceritakan mengapa engkau memilih mati daripada pulang ke rumah orang tua angkatmu.!

Setelah mereka berada di tempat sepi, berdua saja, tiba-tiba gadis itu kembali mpnjatuhkan diri berlutut.

‘Taihiap, engkau telah menyelamatkan aku dan teman-teman, harap taihiap jangan kepalang tanggung untuk menolong aku. Berjanjilah bahwa taihiap akan suka menolongku, dan aku akan menceritakan keadaanku.!

‘Baiklah, dan duduklah agar engkau dapat bicara dengan enak. Ceritakan apa yang terjadi. Tentu saja aku suka membantumu kalau memang engkau perlu dibantu.!

‘Sejak berusia sepuluh tahun, ayah ibuku meninggal dunia karena penyakit.! Ling Ling mulai bercerita sambil duduk di atas batu, di depan Sie Liong. Suaranya lirih dan memelas, dan matanya yang lebar itu kini agak kemerahan dan masih basah walaupun ia sudah tidak menangis lagi. ‘Aku diangkat anak oleh ayah ibu angkatku yang sekarang karena mereka tidak mempunyai anak. Kini mereka berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dahulu memang sikap mereka itu baik sekali walaupun aku tidak menguntungkan mereka karena aku seorang anak perempuan. Akupun bekerja keras di rumah mereka, seperti seorang budak untuk membalas budi kebaikan hati mereka. Akan tetapi akhir-akhir ini....! Ling Ling menutupi mukanya, merasa sedih dan berat hatinya untuk menceritakan peristiwa yang membuatnya merasa sengsara itu.

Sie Liong membiarkan gadis itu dan setelah kelihatan ajak tenang, dia berkata, ‘Bagaimana lanjutannya? Aku baru akan dapat menolongau kalau aku mengetahui persoalannya.!

Gadis itu menatap wajah Sie Liong dengan sepasang mata yang penuh permohonan, sepasang mata yang tentu akan nampak indah kalau tidak tertutup awan kedukaan.

‘Taihiap, aku akan kelihatan sebagai orang yang tidak mengenal budi kalau sekarang aku seolah menceritakan keburukan orang tua angkatku. Akan tetapi, kepadamu aku harus berterus terang dan harap taihiap mengerti bahwa bukan maksudku untuk memburukkan mereka. Aku masih berterima kasih kepada mereka. Begini taihiap. Akhir-akhir ini, semenjak beberapa bulan yang lalu ini, ayah angkatku berusaha untuk.... untuk menodaiku....!

Sie Liong mengerutkan alisnya dan mengamati wajah itu dengan sinar mata tajam menyelidik. Dia sudah menduga, akan tetapi ingin mendapat keyakinan. ‘Apa maksudmu dengan menodai itu?!

‘Dia.... dia mula-mula merayuku.... agar aku suka melayaninya, suka tidur dengan dia. Aku menolak dan beberapa kali dia nyaris berhasil memperkosa aku....! Karena aku selalu menghindar dan menolak, dia kini seperti benci kepadaku. Dan ibu angkatku agaknya melihat pula gejala itu dan iapun menjadi cemburu dan membenci aku....!

‘Hemmm....!! Sie Liong mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi rambut. Mengertilah dia kini mengapa gadis ini tidak ada yang menjemput, dan mengapa pula Ling Ling tidak mau pulang ke rumah orang tua angkatnya.

‘Ling Ling, engkau tadi menceritakan bahwa tadinya, sebelum timbul perubahan sikap ayah angkatmu itu, mereka amat baik kepadamu. Bagaimana kalau sekarang engkau kuantar ke sana, ayah angkatmu itu kuancam agar dia tidak lagi melakukan hal yang tidak pantas itu, dan aku membujuk ibu angkatmu agar ia mau mengerti bahwa engkau tidak bersalah dalam peristiwa itu? Kalau mereka mau mendengarnya dan mentaati permintaanku, maukah engkau kembali kepada mereka?!

Ling Ling mengerutkan alisnya dan ia menatap wajah pemuda itu sampai beberapa lamanya. Sinar matanya penuh kegelisahan dan keraguan, kemudian iapun menggeleng kepalanya. ‘Tidak mungkin, taihiap. Ayah angkatku itu akan tetap membenciku selama aku tidak mau memenuhi permintaannya. Aku melihat nafsu yang amat mengerikan dari pandang matanya. Dan ibu angkatku.... ia amat membenciku karena cemburu. Tidak, aku tidak akan kembali lagi ke sana. Bahkan, terus terang saja, taihiap. Ketika wanita cantik yang menyamar siluman merah itu menculikku, membawaku ke sini, melihat betapa gerombolan itu tidak menggangguku, memperlakukan dengan baik, aku merasa gembira untuk menjadi pelayan. Asalkan aku tidak harus kembali ke rumah orang tua angkatku.!

‘Tapi.... kalau engkau tidak mau kembali ke sana, lalu ke mana engkau hendak pergi? Apakah engkau mempunyai keluarga lain, sanak keluarga dari orang tua kandungmu sendiri?! Diam-diam Sie Liong merasa kasihan sekali dan dia dapat menerima alasan gadis itu. Tentu saja dia tidak mungkin dapat menanggung dan memastikan bahwa ayah angkat Ling Ling kelak tidak akan mengulang perbuatannya terhadap gadis yang seperti setangkai bunga baru mulai mekar ini.

Mungkin karena segan dan takut kepadanya, ayah angkat itu mau berjanji, bahkan mau bersumpah. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat berada di dusun itu terus! Dan gadis ini makin hari menjadi semakin cantik manis dan semakin menarik. Kalau nafsu sudah menguasai hati ayah angkat itu, siapa berani tanggung dia tidak akan menjadi buta akan kebenaran? Dan dia dapat menduga bahwa seorang gadis yang demikian kukuh mempertahankan kehormatannya seperti Ling Ling ini, kalau sampai diperkosa ayah angkatnya, tentu akan membunuh diri!

Gadis itu menggelengkan kepalanya. ‘Aku tidak mempunyai siapapun juga di dunia ini, sebatangkara....! jawabnya lirih dengan air mata kembali mengalir di pipi.

‘Kalau begitu, lalu ke mana engkau hendak pergi, Ling Ling? Kalau engkau tidak mempunyai keluarga lain, dan engkau tidak mau kembali ke rumah orang tua angkatmu, lalu bagaimana?!

Mendengar pertanyaan ini, Ling Ling turun dari atas batu dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sie Liong sambil berkata dengan suara mengandung isak, ‘Aku ingin turut denganmu, taihiap....!

‘Ehhh?! Sie Liong terkejut dan heran bukan main. Tadinya timbul dugaan di hatinya bahwa tentu gadis manis ini telah mempunyai seorang kekasih dan ia akan pergi bersama kekasihnya itu. Sungguh seujung rambutpun dia tidak pernah menyangka akan mendengar jawaban seperti itu. ‘Apa maksudmu, Ling Ling? Bangkitlah, dan mari kita bicara dengan baik.!



Bab 15

‘Tidak, aku tidak akan bangkit sebelum engkau sudi menerimaku. Taihiap, tolonglah aku. Aku.... aku ingin membalas budimu, aku ingin ikut denganmu, biar kaujadikan pelayan.... aku akan mencucikan pakaianmu, memasakkan makananmu, melayani keperluanmu....!

Tiba-tiba Sie Liong tertawa dan dia memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkatnya bangun, mendudukkannya di atas batu kembali. Ling Ling tidak mampu menolak karena ia bagaikan sebuah boneka saja di kedua tangan yang memiliki tenaga dahsyat itu. Iapun kini yang memandang bengong. Pen dekar itu tertawa bergelak dan betapa gagah dan tampannya wajah itu sekarang nampak olehnya. Wajah yang tadinya selalu nampak dilanda duka itu, wajah yang menimbulkan perasaan iba kepada siapapun yang memandang, kini nampak cerah den berseri!

‘Aih, Ling Ling.... engkau ini sungguh lucu sekali!! kata Sie Liong setelah dia menghentikan ketawanya.

‘Taihiap, apanya yang lucu?! Ling Ling bertanya khawatir.

‘Bagaimana mungkin engkau ikut denganku? Kau tahu siapa aku ini?!

‘Taihiap seorang pria yang sakti dan berbudi mulia, yang telah menyelamatkan aku dan banyak gadis di sini, yang pantas kupuja den kubalas budinya....!

‘Cukup semua itu. Aku hanyalah seorang laki-laki yang hidup sebatangkara, tidak mempunyai tempat tinggal, miskin dan papa. Dan engkau hendak ikut dengan aku. Bukankah itu sama sekali tidak mungkin, dan lucu sekali?!

‘Kenapa tidak mungkin dan kenapa lucu, taihiap? Aku ingin ikut denganmu ke manapun engkau pergi. Aku tidak perduli apakah engkau kaya atau miskin taihiap. Bahkan kebetulan sekali kalau engkaupun sebatangkara seperti aku, karena tidak akan ada keluargamu yang mungkin tidak suka kepadaku. Aku akan melayanimu, membantumu dalam segala hal, taihiap. Kasihanilah aku....!

‘Tapi, Ling Ling, engkau tidak mengerti! Kau tahu, aku seorang pengembara, hidupku penuh bahaya! Aku seorang yang selalu menentang kejahatan, sehingga aku dimusuhi para penjahat yang kejam. Engkau akan ikut terancam bahaya kalau engkau bersamaku.!

‘Aku tidak takut! Kalau aku berada di sampingmu, bahaya mautpun tidak akan membuat aku gentar, taihiap. Akupun siap mati kalau perlu!!

Diam-diam Sie Liong menjadi kagum dan juga heran. Mengapa gadis ini mati-matian hendak ikut dengan dia? ‘Ling Ling, aku kadang-kadang tidur di hutan.... di atas rumput....!

‘Hemm, menyenangkan sekali, taihiap. Apalagi di waktu terang bulan, dengan api unggun menghangatkan badan. Rumput tentu lunak dan awat nyaman untuk tidur....!

‘Kadang-kadang harus di atas pohon besar....!

‘Ah, aku belum pernah tidur di atas pohon, taihiap. Aku ingin sekali merasakan. Tentu aman dari gangguan binatang buas....!

‘Ling Ling....! Sie Liong kewalahan. ‘Kadang-kadang aku tidur di dalam kuil tua yang kuno dan kotor, yang pantas menjadi tempat tinggal para iblis dan setan!!

Wajah itu menjadi pucat seketika, matanya terbelalak den tubuhnya jelas nampak menggigil, pandang matanya ketakutan dan penuh kengerian. Bagi orang- orang dusun di daerah itu, iblis dan setan amat menakutkan karena mereka itu pada umumnya masih amat tebal rasa ketahyulan mereka. Melihat ini, Sie Liong menjadi tidak tega dan tanpa disadarinya dia menyambung. ‘Akan tetapi selama ini belum pernah aku bertemu setan dan iblis, semua itu hanya dongeng kosong belaka untuk menakut-nakuti anak-anak dan orang-orang penakut.!

Ling Ling menarik napas lega. ‘Aku juga.... ti.... tidak takut, taihiap.!

Akan tetapi, membayangkan betapa gadis ini ikut dengannya, Sie Liong menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. ‘Ling Ling, maafkan aku. Bagaimanapun juga, rasanya tidak mungkin engkau ikut denganku. Ingatlah, aku seorang pria, dan engkau seorang wanita, seorang gadis muda yang cantik. Apa akan kata orang? Tentu mereka menyangka yang bukan-bukan terhadap kita.!

‘Taihiap, apakah kita harus menggantungkan hidup kita kepada kata dan pendapat orang lain? Yang terpenting adalah kita sendiri, bukan? Kalau kita tidak melakukan sesuatu yang tidak benar, mengapa takut disangka orang! Taihiap, aku akan menjaga diri agar tidak sampai membikin kecewa dan malu kepadamu. Aku akan menjadi pelayan yang baik....!

‘Sekali lagi maaf, Ling Ling. Terpaksa aku menolak. Tidak mungkin aku dapat mengajakmu berkelana menempuh banyak bahaya.!

Tiba-tiba wajah gadis itu nampak layu dan muram. Ia menundukkan mukanya, sampai lama tidak bergerak. Tidak lagi ia menangis, akan tetapi ketika ia bicara, suaranya lirih dan mengandung rintihan.

‘Baiklah, taihiap. Maafkan gangguanku tadi. Aku akan pergi sekarang juga, sel amat.... tinggal....! Dan gadis itupun membalikkan tubuhnya dan pergi dengan langkah satu-satu dengan tubuh lemas dan agak terhuyung.

‘Nanti dulu, Ling Ling! Engkau hendak pergi ke mana?! tanya Sie Liong dengan hati penuh rasa iba.

Gadis itu berhenti melangkah, menoleh dan wajahnya nampak demikian pucat, matanya tidak ada sinarnya lagi dan sebelum menjawab ia tersenyum, senyum yang menyayat perasaan Sie Liong karena senyum itu demikian pahitnya. ‘Ke mana saja kakiku membawaku, taihiap. Habis, ke mana lagi? Akupun tidak tahu....! dan iapun melanjutkan langkahnya. Langkah satu-satu dan dari belakang Sie Liong melihat betapa kedua pundak itu menurun, lalu bergoyang-goyang, tanda bahwa gadis itu menangis lagi. Tiba-tiba gadis itu terhuyung, lalu jatuh berlutut dan menangis!

Sie Liong marasa semakin iba dan sekali meloncat, dia telah berada di samping gadis yang berlutut sambil menangis itu. ‘Ling Ling....! katanya lirih.

‘Biarkan aku mati saja.... ah, biarkan aku mati saja....! gadis itu berbisik-bisik dan tangisnya mengguguk.

Dengan kedua tangannya, Sie Liong memegang pundak gadis itu dan menariknya bangun berdiri. ‘Ling Ling, jangan berkata demikian! Kalau engkau memang nekat dan berani menghadapi kesengsaraan, baiklah, aku suka menerimamu.!

Kedua tangan itu menurun dari depan mata, mata itu terbelalak, air matanya masih menetes-netes, muka itu masih pucat, akan tetapi mulut itu mengembangkan senyum. ‘Benarkan, taihiap? Ah, terima kasih....! Aku tidak akan sengsara. Aku akan menjaga agar taihiap tidak sengsara! Aku siap menghadapi segala kesukaran tanpa mengeluh. Dan aku dapat bekerja, taihiap. Aku memiliki keahlian menyulam indah, dan dengan itu aku akan dapat mencari uang untuk dipakai keperluan kita sehari-hari! Ah, aku berbahagia sekali, terima kasih, taihiap.... terima kasih....!

Pada saat itu terdengar suara sorak sorai dan ketika mereka menengok, nampak rumah itu telah dibakar. Api bernyala besar dan orang-orang dusun itu bersorak gembira. Kernudian mereka berbondong menghampiri Sie Liong, dipimpin oleh Gumo Cali, dan mereka kembali menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu, menghaturkan terima kasih.

‘Saudara sekalian tidak perlu berterima kasih kepadaku. Kuharap saja mulai sekarang saudara sekalian dapat mempersatukan tenaga untuk menjaga keamanan dusun sendiri. Sekarang, perkenankan aku pergi.!

Pendekar Bongkok meninggalkan tempat itu dan Ling Ling mengikutinya. Semua orang memandang dengan heran melihat gadis itu ikut pergi bersama Pendekar Bongkok, namun tidak ada seorangpun yang berani bertanya. Mereka hanya mengira bahwa pendekar itu tentu hendak mengantarkan gadis yang tidak dijemput orang tuanya itu ke dusunnya sendiri. Merekapun bubaran dengan hati gembira karena gadis-gadis itu ternyata dalam keadaan selamat. Nama Pendekar Bongkok lebih dikenal daripada nama Sie Liong di dusun itu dan mereka takkan pernah melupakan pertolongan yang diberikan pendekar itu dalam mengusir para penjahat yang menyamar sebagai setan merah penculik gadis-gadis remaja yang cantik.

‘Ling Ling, aku mau mengajakmu pergi, akan tetapi engkau harus mentaati semua permintaanku,! demikian Sie Liong berkata setelah dia dan gadis itu berada di kaki Bukit Onta, jauh dari para penduduk dusun.

Wajah yang manis itu basah oleh keringat. Sejak tadi, Sie Liong berjalan saja, seolah tidak memperdulikan gadis yang berjalan di belakangnya, bahkan kadang-kadang dia melangkah lebar sehingga Ling Ling terpaksa harus setengah berlari untuk mengikutinya. Sie Liong mendengar langkah kaki pendek-pendek itu, dan mendengar pula betapa pernapasan gadis itu mulai memburu. Akan tetapi, sedikitpun dia tidak pernah mendengar gadis itu mengeluh. Kini, dia berhenti dan berkata demikian sambil menatap wajah itu. Wajah itu basah oleh keringat, dan napas gadis itu agak memburu namun wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan sedikitpun kekesalan hati. Bahkan wajah itu berseri penuh kegembiraan! Mendengar ucapan itu, ia menjawab lantang dan mantap, tanpa ragu.

‘Tentu saja, taihiap! Aku akan mentaati semua perintahmu, biarpun untuk itu aku harus berkorban nyawa....! tiba-tiba ia menyambung cepat kalimat yang sebenarnya sudah berakhir itu, ‘.... asal saja taihiap tidak menyuruh aku pergi meninggalkanmu!!

Sie Liong tersenyum. Gadis dusun ini sederhana dan tabah, akan tetapi dalam keserdahanaannya, ternyata ia cerdik juga.

‘Nah, kalau begitu, perintahku yang pertama adalah jangan sebut aku taihiap. Namaku Sie Liong dan mengingat engkau pantas menjadi adikku, sebut saja aku sebagai kakakmu.!

‘Baiklah, Liong-ko (kakak Liong)!! kata Ling Ling gembira.

‘Dan ke dua, sekarang engkau harus mengantar aku ke rumah orang tua angkatmu.! Dia melihat wajah itu terkejut, maka disambungnya cepat, ‘Bagaimanapun juga, aku ingin menemui mereka dan mengatakan bahwa engkau tidak suka kembali ke sana dan akan ikut dengan aku. Hendak kulihat bagaimana sikap mereka, dan juga tidak baik pergi begitu saja tanpa pamit.!

Ling Ling mengengguk, nampak hilang kagetnya. ‘Baiklah, Liong-ko.!

Merekapun pergi nenuju ke dusun tempat tinggal orang tua angkat Ling Ling. Ketika mereka tiba di rumah itu, mereka disambut oleh sepasang suami isteri yang memandang kepada Ling Ling dengan mulut cemberut. Apalagi mereka melihat bahwa gadis itu pulang bersama seorang pemuda bongkok, segera ayah angkatnya yang dipenuhi kecewa dan cemburu segera menudingkan telunjuknya ke pada Ling Ling dan mulutnya segera mengeluarkan makian,

‘Perempuan tak tahu malu! Kiranya engkau bukan diculik siluman merah akan tetapi minggat bersama siluman bongkok ini, ya? Bagus, engkau membikin malu padaku!!

‘Dasar anak tak tahu diri, tak mengenal budi!! bentak ibu angkatnya. ‘Bertahun-tahun kami memeliharamu, memberi makan dan pakaian sampai kau dewasa, kini tidak membalas budi malah melempar kotoran ke rumah kami!!

Sejak tadi Sie Liong mengamati dua orang ini. Seorang pria tinggi kurus dengan muka pucat seperti berpenyakitan, berusia kurang lebih empat puluh tahun, mulutnya lebar dan giginya yang panjang-panjang itu kelihatan separuhnya lebih di luar bibir, matanya membayangkan wataknya yang kurang baik. Adapun wanita itu beberapa tahun lebih muda, tubuhnya gendut dan hidungnya pesek, muka yang tidak menarik dan nampaknya juga galak. Sungguh dia merasa heran bagaimana sepasang suami isteri seperti ini menjadi orang tua angkat seorang gadis seperti Ling Ling, bahkan dipuji oleh gadis itu sebagai orang-orang yang tadinya amat baik kepadanya.

‘Ayah, ibu, aku tidak minggat, memang benar diculik....!

‘Diculik setan bongkok ini, ya? Sungguh kalian pantas dihajar!! berkata demikian, laki-laki jangkung itu menerjang maju, siap menghajar dan tangannya menampar ke arah kepala Sie Liong. Kalau menurutkan panasnya hati karena dimaki-maki, ingin Sie Liong sekali pukul menghancurkan mulut yang giginya panjang-panjang itu. Akan tetapi dia tidak menurutkan nafsu amarahnya, melainkan menangkap lengan yang memukul, memuntirnya dan mendorongnya. Pria itu mengeluarkan teriakan dan roboh terbanting lalu berguling-guling, mengaduh-aduh. Isterinya juga sudah maju dan dengan tangan membentuk cakar sudah siap mencakari muka Ling Ling yang berdiri diam saja tidak melawan. Akan tetapi sebelum kuku-kuku jari tangan wanita itu mengenai kulit muka Ling Ling, kakinya ditendang oleh Sie Liong dan wanita itu jatuh berdebuk. Pantat yang besar itu terbanting ke atas tanah dan ia mengaduh-aduh, mengelus pantatnya dan tidak mampu bangun, seperti seekor kura-kura yang jatuh telentang.

‘Berani kamu memukul orang....?! Ayah angkat Ling Ling sudah bangkit lagi dan membantu isterinya berdiri. Keduanya semakin marah, akan tetapi hanya mulut mereka saja yang nyerocos, tidak berani lagi menyerang. Pada saat itu, beberapa orang dusun yang tadi ikut menyerbu ke bukit Onta, mengiringkan dua orang gadis dusun itu yang terbebas dari penculikan. Melihat betapa ayah dan ibu angkat Ling Ling memaki-maki Pendekar Bongkok, mereka terkejut dan cepat semua orang lari ke situ.

‘Engkau setan bongkok, kunyuk bongkok berani melarikan gadis orang!! teriak ayah angkat gadis itu yang menjadi semakin berani melihat para tetangga berlarian datang.

‘Heiii! Gumalung.... tutup mulutmu yang kotor itu!! bentak beberapa orang dan mendengar ini, tentu saja Gumalung, demikian nama ayah angkat Ling Ling, memandang heran.

‘Sungguh engkau lancang mulut! Tahukah engkau siapa pendekar ini? Dia adalah Sie Taihiap! Dialah yang telah mengusir para penjahat yang menculik gadis-gadis itu! Bahkan anak kalian Ling Ling juga dibebaskannya. Sekarang, datang-datang dia kalian semprot dengan makian. Kalian sungguh orang-orang yang jahat!!

Mendengar ini, seketika pucat wajah Gumalung dan isterinya. ‘Ahh.... ohh.... maafkan kami.... maafkan kami....! kata Gumalung, diikuti oleh isterinya dan mereka membongkok-bongkok.

‘Sudahlah!! kata Sie Liong membentak dan melihat banyak orang di situ dia menganggap kebetulan sekali untuk membersihkan nama Ling Ling. ‘Kalian memang suami isteri yang tidak berbudi! Ketika Ling Ling berusia sepuluh tahun, kalian dengan dalih tidak mempunyai anak, mengangkatnya sebagai anak. Ling Ling telah bekerja seperti budak di sini untuk membalas budi kalian. Akan tetapi setelah ia dewasa, engkau yang menjadi ayah angkatnya mulai bersikap tidak wajar, merayunya bahkan hendak memperkosanya. Karena Ling Ling tidak sudi memenuhi permintaanmu yang kotor itu, engkau membencinya. Dan isterinya, yang tak tahu diri ini, bukan menyalahkan suaminya, bahkan juga membenci Ling Ling karena cemburu. Nah, coba kalian berdua katakan, benar tidak apa yang kukatakan semua ini. Kalian harus mengaku terns terang, baru akan kumaafkan. Kalau kalian membohong, aku akan turun tangan menghajar kalian!!

Suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa takut kepada Pendekar Bongkok, akan tetapi mereka juga merasa malu kalau harus mengaku di depan para tetangga yang kini sudah berdatangan ke tempat itu. Karena merasa bingung dan serba salah, akhirnya isteri yang galak itu menuding-nudingkan telunjuknya ke muka suaminya.

‘Memang engkau yang celaka! Engkau suami tidak setia, engkau suami mata keranjang, engkau rakus! Sudah kuduga bahwa tentu engkau yang hendak memaksa Ling Ling, akan tetapi engkau selalu mengatakan bahwa Ling Ling yang menggodamu! Pendusta besar! Perempuan mana yang sudi menggoda laki-laki bermuka buruk seperti mukamu? Engkau hendak memperkosanya, ya? Bagus, engkau memang layak mampus!! Wanita itu menerjang suaminya menggunakan kedua tangannya yang hendak mencakar-cakar. Suaminya cepat menangkap kedua pergelangan tangan istcrinya dan mereka bersitegang. Agaknya, si suami yang kerempeng kalah tenaga sehingga dia terbawa terhuyung ke kanan kiri.

‘Engkau perempuan cerewet! Engkaulah yang membenci Ling Ling, engkau iri hati melihat ia cantik jelita, tidak macam engkau ini babi gemuk!!

‘Apa kau bilang? Aku babi? Dan engkau ini monyet, engkau tikus kurus mau mampus!!

Kedua suami isteri itu saling dorong dan para tetangga mulai tertawa melihat mereka berkelahi. Sie Liong dengan gerakan tidak sabar maju dan sekali dia menggerakkan tangan, kedua suami isteri itu saling melepaskan cengkeraman dan keduanya terpelanting, untuk kedua kalinya mereka terbanting jatuh. Keduanya terkejut, kesakitan dan ketakutan, lalu mereka berdua berlutut menghadap Pendekar Bongkok.

‘Taihiap, ampunkan saya....! Wanita itu merengek.

‘Taihiap, ampunkan kami, kami mengaku salah. Kami bersalah terhadap Ling Ling....! kata sang suami, lalu tanpa memandang wajah anak angkatnya, dia menyambung, ‘Ling Ling, maafkanlah ayahmu yang bersalah ini....!

‘Aku tidak mempunyai ayah dan ibu seperti kalian! Aku datang untuk berpamit, aku akan pergi meninggalkan kalian!!

‘Eh....? Kenapa, Ling Ling? Kenapa engkau hendak meninggalkan kami?! Gumalung berseru kaget, juga isterinya kaget mendengar ucapan ini. Mereka memang tidak sayang lagi kepada Ling Ling, dan kesayangan ayah angkat itu merupakan kesayangan yang terdorong nafsu, akan tetapi mereka akan repot kalau ditinggalkan Ling Ling yang mengerjakan semua pekerjaan rumah itu.

‘Tapi, kau tidak bisa meninggalkan kami begitu saja, Ling Ling!! kata pula Nona gendut itu.

Sie Liong sudah merasa lega. Percekcokan suami isteri itu tadi saja sudah merupakan pengakuan dari mereka bahwa Ling Ling tidak berbohong, dan semua orang mendengarnya. Maka, diapun lalu berkata dengan suara tegas. ‘Ling Ling akan meninggalkan rumah ini, ia akan pergi bersamaku. Apakah kalian merasa berkeberatan?!

‘Tapi.... tapi.... ia merupakan bantuan bagi kami di rumah ini. Tanpa Ling Ling.... pakaian tidak tercuci bersih, masakanpun tidak enak rasanya....!

‘Anjing kurus, engkau mencela aku lagi, ya?! bentak isterinya. ‘Kalau kurang bersih, kaucuci sendiri pakaianmu, dan kalau engkau tidak menyukai masakanku, pergi sana makan di luar! Taihiap, kami memang berkeberatan kalau Ling Ling pergi karena.... karena....!

‘Karena apa?! Sie Liong mendesak.

Wanita gendut itu beberapa kali menelan ludah, agaknya ia takut untuk bicara, akan tetapi dengan memaksa diri akhirnya ia berkata, ‘.... anak itu sudah delapan tahun bersama kami.... entah sudah berapa banyak kami mengeluarkan uang untuk memeliharanya, makannya.... pakaiannya....!

Sie Liong menahan diri untuk tidak menampar muka wanita itu. ‘Hemmmm, jadi engkau merasa rugi? Katakanlah, berapa banyak hutang Ling Ling kepada kalian?!

‘Sedikitnya seratus tail perak....!

Terdengar suara orang-orang mengomel panjang pendek. Banyak penduduk yang merasa keterlaluan sekali sikap orang tua angkat Ling Ling itu. Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki beberapa ekor kuda dan ternyata yang muncul adalah Gumo Cali dan beberapa orang dusun lain yang tadi memimpin penyerbuan ke Bukit Onta. Gumo Cali cepat memberi hormat kepada Pendekar Bongkok dan dia menurunkan sebuah bungkusan kain dari atas kudanya.

‘Sie Taihiap, tadi ketika kami menggeledah rumah para penjahat di puncak Bukit Onta, kami menemukan uang sebanyak tiga ratus tail perak. Kami semua bersepakat untuk menyerahkan uang ini kepada taihiap!!

Sie Liong tersenyum. Dia memang sedang bingung memikirkan bagaimana dia akan dapat membayar hutang Ling Ling kepada orang tua angkatnya itu, dan kini mereka datang menyerahkan uang, bukan seratus tail, bahkan tiga ratus tail! Kalau Tuhan hendak menolong, ternyata ada saja jalannya!

‘Terima kasih!! katanya. ‘Tolong ambilkan seratus tail perak dan serahkan kepadaku.!

Gumo Cali membuka kantung itu dan mengeluarkan sepertiga bagian dari isi kantung. Gumpalan perak dari lima tail itu besar dan berkilauan, sebanyak dua puluh buah.

‘Lihat, inilah uang yang telah kau keluarkan untuk Ling Ling!! berkata demikian, Sie Liong mengambil gumpalan-gumpalan perak itu dan melemparkannya ke arah dinding. Potongan potongan perak itu beterbangan dan menancap pada dinding, sampai masuk ke dalam, berjajar-jajar dua puluh lubang banyaknya. Tentu saja suami isteri itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kalau saja gumpalan perak itu diarahkan kepada mereka, tentu akan remuk dada mereka dan pecah kepala mereka!

‘Paman, harap sisanya paman bagi-bagikan kepada para gadis yang tadi menjadi korban penculikan. Nah, selamat tinggal dan terima kasih!! bersama Ling Ling yang sudah lari mengambil pakaiannya dari dalam kamarnya dan memasukkan bekal pakaian itu dalam buntalan kain, Sie Liong lalu meninggalkan tempat itu.

Mereka duduk menghadapi api unggun di bawah pohon dekat hutan besar itu. Hawa amat dinginnya walaupun udara cerah pada sore hari itu. Bahkan panasnya api unggun yang dihadapinya tidak cukup kuat untuk dapat mengusir hawa dingin yang dirasakan Ling Ling. Ia kadang-kadang masih menggigil. Melihat keadaan gadis ini, Sie Liong merasa kasihan dan dia membuka baju luarnya yang agak tebal, diselimutkan dari belakang ke tubuh gadis itu. Meli hat ini, Ling Ling tersenyum dan menarik baju luar itu agar lebih banyak menyelimuti lehernya.

‘Terima kasih....! katanya lirih dan iapun termenung memandang ke arah api unggun yang bernyala indah. Ia merasa betapa kedua kakinya nyeri, kiut-miut rasanya karena sehari itu mereka hampir terus menerus berjalan naik turun bukit. Ia tidak pernah mengeluh walaupun kakinya terasa seperti akan patah-patah, dan telapak kakinya terasa tebal dan panas sekali. Kelelahan membuat ia merasa lemas, ditambah pula rasa lapar karena sejak pagi tadi mereka tidak pernah makan apapun. Minumpun hanya dari sumber air yang mereka lewati di kaki bukit terakhir tadi. Ia tidak tahu betapa pemuda itu sejak tadi mencuri pandang dan mengamati wajahnya. Ia merasa berbahagia! Biarpun ia merasa lelah bukan main, namun senyum manis tak pernah meninggalkan mulutnya, cahaya matanya tak pernah meredup, dan wajahnya berseri-seri. Apa lagi karena banyak bergerak jalan sepanjang hari, kedua pipinya menjadi kemerahan, puncak pipi di bawah dan kanan kiri mata bagaikan buah tomat masak.

Sie Liong duduk di seberang api unggun. Dari atas nyala api, dia dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas. Cuaca sudah mulai suram, akan tetapi cahaya api yang kuning kemerahan menimpa wajah yang manis itu. Diam-diam dia kagum sekali kepada Ling Ling. Sudah sepekan gadis itu melakukan perjalanan dengan dia. Sengaja dia membawa Ling Ling merasakan kelelahan, kekurangan makan dan minum, kepanasan dan kedinginan. Namun, gadis itu selalu tersenyum, tak pernah mengeluh. Dia sengaja menguji karena dia belum yakin apakah benar gadis ini hendak nekat ikut dengan dia mengembara dan hidup serba kekurangan. Dan selama sepekan ini, dia mendapatkan kenyataan bahwa memang gadis ini hebat! Seorang gadis yang lemah badannya karena tidak pernah mempelajari silat, akan tetapi yang memiliki batin yang amat kuat, semangat membaja dan pantang mundur! Seorang gadis yang sama sekali tidak cengeng. Timbullah perasaan iba dan suka dalam hatinya terhadap Ling Ling.

Agaknya Ling Ling merasa bahwa dirinya dipandang. Ia mengangkat muka dan pada saat itu, pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sie Liong. Dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut agak lama. Akhirnya Sie Liong yang mengalihkan pandang matanya, merasa tidak enak memandang orang terlalu lama dan penuh perhatian.

‘Liong-ko, ada apakah? Engkau memandangku seperti hendak mengatakan sesuatu.!

Sie Liong memandang padanya dan tersenyum. ‘Aku hanya ingin bertanya apakah engkau masih kedinginan, Ling Ling?!

Ling Ling merapatkan baju luar yang tebal itu dan tersenyum makin lebar. ‘Tadi memang, akan tetapi sekarang tidak lagi. Hangat dan nyaman, Liong-ko.!

Mereka diam sejenak.

‘Lelah....?! terdengar Sie Liong bertanya.

Gadis itu mengangkat mukanya dan kembali mereka bertemu pandang. Ia mengangguk. ‘Akan tetapi, betapa nyaman dan enaknya beristirahat seperti ini setelah merasa kelelahan!!

‘Kakimu terasa nyeri?!

Sejenak Ling Ling tidak menjawab, mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan memandang kakinya, menarik kedua kakinya dari bawah untuk diluruskan. Gerakan ini mendatangkan perasaan nyeri bukan main, akan tetapi ia tidak mengeluh, hanya matanya tergetar sedikit dan juga bibirnya dikatupkan makin kuat. Akan tetapi ia menggeleng kepala.

‘Tidak, tidak nyeri....!

Hening lagi sejenak. Dalam keheningan ini, pendengaran Sie Liong yang terlatih dan amat peka itu mendengar suara perut gadis itu berkeruyuk, seperti juga perutnya sendiri yang sejak tadi berkeruyuk.

‘Lapar....?! tanyanya sambil menatap wajah itu.

Ling Ling mengangkat muka dan kembali mereka bertemu pandang. Gadis itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya, sambil menambahkan kayu kering pada perapian di depannya.

‘Ling Ling, aku melihat engkau seorang gadis yang tabah dan jujur, akan tetapi mengapa engkau membohongi aku?!

Gadis itu nampak terkejut sekali. Sebatang ranting yang dipegangnya terlepas dan matanya terbelalak ketika ia memandang kepada pemuda itu. Sepasang alisnya berkerut dan suaranya terdengar heran, ‘Aku? Bohong?!

Sie Liong menganguk dan tersenyum. ‘Baru saja dua kali engkau berbohong kepadaku. Kakimu nyeri sekali dan engkau mengatakan tidak, perutmu lapar dan engkau juga mengatakan tidak. Bukankah itu bohong namanya?!

Wajah yang tadinya menjadi agak pucat itu merah kembali, dan sepasang mata itu berseri kembali. ‘Aih, Liong-ko, engkau mengejutkan aku. Kiranya itu yang kaunamakan bohong. Itu bukan bohong, koko, melainkan untuk melawan keadaan dan untuk menguatkan hati.!

‘Hemm, apa pula maksudnya itu?!

‘Sebelum kujawab, aku ingin tahu bagaimana engkau begitu yakin bahwa kakiku nyeri dan perutku lapar?!

‘Kita sudah berjalan sehari, naik turun bukit, sudah sepatutnya kalau kakimu nyeri dan ketika engkau meluruskan kakimu tadi, jelas nampak pada wajahmu bahwa engkau menahan rasa nyeri. Sejak pagi kita belum makan lagi, sudah sepantasnya kalau perutmu lapar, dan tadi, aku mendengar perutmu berkeruyuk.!

Ling Ling tertawa dan menutupi mulutnya. Ia merasa lucu, juga merasa malu. ‘Ih, engkau membikin aku malu saja, koko. Telingamu usil amat sih, mendengarkan bunyi perut orang! Sekarang aku jawab pertanyaanmu tadi. Memang kakiku nyeri, habis mengapa? Andaikata aku mengaku nyeripun, pengakuan itu tidak akan mengurangi rasa nyeri, bahkan akan menambah. Maka aku membohongi diri sendiri saja, mengatakan tidak nyeri sehingga rasa nyeri banyak berkurang. Demikian pula tentang perutku yang lapar. Kalau aku mengaku lapar juga tidak akan ada sesuatu yang dapat kumakan. Lebih baik mengaku tidak lapar agar rasa laparnya berkurang. Ketika tadi engkau bertanya apakah aku lelah dan dingin, aku menjawab ya karena di sini ada tempat beristirahat menghilangkan lelah dan api unggun penahan dingin. Nah, jelas, kan? Aku bukan pembohbng, ya koko?!

Kalimat terkahir ini terdengar manja seperti rengek kanak-kanak sehingga Sie Liong memandang dengan senyum dan hatinya terharu karena dia teringat kepada Yauw Bi Sian. Teringat dia betapa ketika masih kecil, Bi Sian yang tidak mempunyai teman lain kecuali dia, juga suka merengek seperti ini kalau minta sesuatu kepadanya. Dan seperti juga dahulu, ketika dia selalu menuruti permintaan Bi Sian kalau keponakannya itu sedang merengek, kinipun ia menuruti permintaan Ling Ling dan dia mengangguk.

‘Engkau memang bukan pembohong, Ling Ling. Dan sekarang aku akan membuat pengakuan.!

Kini gadis itu yang memandang heran dan penuh selidik. ‘Engkau akan membuat pengakuan? Pengakuan apa lagi, Liong-ko?!

‘Aku telah bersikap kejam sekali kepadamu, Ling Ling....!

‘Aihhh! Sama sekali tidak, Liong-ko! Apa yang kau maksudkan ini? Engkaulah satu-satunya orang yang paling baik di dunia ini bagiku. Engkau bagiku menjadi pengganti ayah ibu kandungku, pengganti saudara dan keluargaku, menjadi sahabat dan juga guruku....!

‘Jangan terlalu tinggi memuji, Ling Ling. Lihat dan rasakan, bukankah selama sepekan ini engkau kubawa berjalan sampai melampaui batas kekuatanmu, memaksamu berjalan jauh melalui bukit dan tempat yang amat sukar, lalu membiarkanmu kelaparan dan kehausan? Bukankah selama sepekan ini aku membiarkan engkau mengalami sengsara, tubuhmu lelah, kakimu nyeri, perut lapar dan mulut haus? Aku telah bersikap kejam sekali!!

‘Tidak, tidak! Aku tidak menganggapmu kejam, koko. Sudah sewajarnya karena memang kita berdua ini sepasang kelana yang merantau, tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki rumah, bukan? Rumah kita adalah dunia ini, lantainya tanah ini, atapnya langit. Betapa indahnya rumah kita, koko, tidak ada di dunia ini yang seindah tempat tinggal kita. Di mana-mana tempat tinggal kita. Lantai kita bertilamkan rumput lunak, kebun kita penuh pohon dan bunga, kupu-kupu, burung....!

Mau tak mau Sie Liong tertawa gembira. Bukan main gadis ini, pikirnya girang. Memiliki ketabahan dan tahan uji, akan tetapi juga memiliki kelincahan dan kegembiraan hidup sehingga baru berkumpul sepekan saja semua kenangan buruk dan perasaan nelangsa dalam hatinya tersapu bersih, membuat diapun ikut gembira. Tiba-tiba saja segala sesuatu di sekelilingnya nampak demikian indahnya!

‘Engkau tidak tahu, Ling Ling. Selama sepekan ini, aku memang sengaja membuatmu menderita. Aku sengaja membuat engkau kecapaian, kelaparan dan kehausan!!

Gadis itu memandang heran. ‘Kau sengaja? Aku.... aku tidak mengerti maksudmu, koko.!

‘Aku memang hendak mengujimu. Setelah engkau menderita, hendak kulihat apakah engkau benar-benar sudah nekat untuk ikut denganku. Kalau engkau tidak kuat, aku akan mencarikan tempat yang baik untukmu, pada sebuah keluarga, yang dapat kupercaya dan....!

‘Liong-ko, kenapa begitu? Sudah kukatakan bahwa aku hanya mempunyai satu saja keinginan hidup ini, yalah ikut denganmu ke manapun engkau pergi. Jangankan hanya kesukaran yang tidak seberapa ini, hanya keletihan, kelaparan dan kehausan, biarpun sampai mati aku tidak akan menyesal telah ikut denganmu, koko!!

Sie Liong menundukkan mukanya agar jangan nampak betapa wajahnya merasa terharu sekali. Apakah yang mendorong gadis ini demikian nekat? Mungkinkah gadis ini mencintanya? Ah, bagaimana mungkin? Semua orang, terutama kaum wanita, takut dan benci kepadanya, jijik melihat keadaan tubuhnya. Bagaimana mungkin ada yang jatuh cinta kepadanya? Dan gadis ini bukan seorang gadis yang buruk rupa ataupun cacat, melainkan seorang gadis yang sehat lahir batinnya, bahkan cantik manis dan pasti akan mudah menundukkan hati pria yang manapun.

‘Maafkan aku, Ling Ling. Sudahlah, sekarang lebih baik kita makan. Perut kita sudah lapar sekali. Aku masih menyimpan roti tawar, hanya tinggal mencari daging segar untuk dijadikan teman roti.!

‘Tapi....!

‘Ssstttt, di sana ada daging....!! Sie Liong yang sudah menyambar sebatang ranting dengan tangannya, tiba-tiba menyambitkan ranting itu ke arah kiri. Ranting itu meluncur bagaikan anak panah ke dalam semak-semak tak jauh dari situ dan seekor kelinci putih terguling keluar dengan leher tertembus ranting dan mati seketika. Melihat ini, tentu saja Ling Ling menjadi girang bukan main.

‘Hebat, engkau hebat, Liong-ko! Kelinci ini gemuk sekali.... ah, akan kubuatkan daging kelinci panggang yang lezat untukmu, Liong-ko.! Tiba-tiba ia kelihatan masgul dan mengeluh. ‘Ahh, bagaimana mungkin dapat lezat tanpa bumbu?!

Melihat wajah gadis yang tadinya amat gembira itu tiba-tiba menjadi sedih, Sie Liong tersenyum. ‘Jangan khawatir, Ling Ling. Bumbu apakah yang kaubutuhkan? Katakan saja!!

Gadis itu memandang wajah Sie Liong dengan putus asa. Yang dibutuhkannya itu hanya dapat dibeli di pasar, mana mungkin pendekar itu akan bisa dia mendapatkan daging kelinci tadi? Dengan lesu iapun menjawab, ‘Lada untuk penghilang bau amis, atau jahe, bawang putih untuk penyedap, garam.... dan gula agar terasa gurih dan manis.... agar terasa gurih dan manis....!

Akan tetapi, Ling Ling terbelalak ketika Sie Liong mengeluarkan barang-barang yang ia butuhkan itu dari dalam buntalan pakaian. Bumbu lengkap! Ling Ling bersorak gembira.

‘Searang pengelana harus selalu menyimpan dan membawa bekal bumbu-bumbu ini, Ling Ling.!

Akan tetapi gadis itu kini bekerja keras, apalagi ketika Sie Liong menyerahkan sebatang pisau yang tajam, yang juga menjadi bekal Sie Liong untuk keperluan memasak makanan. Ia lupa akan dinginnya hawa udara dan sambil bersenandung lagu rakyat Tibet, Ling Ling menguliti kelinci gemuk itu dan mengambil dagingnya. Kegembiraan gadis itu menular pada Sie Liong. Diapun merasa gem bira dan lincah, merasa seolah dia menjadi kanak-kanak atau remaja kembali. Dia mempersiapkan ranting penusuk daging, membantu Ling Ling dan tak lama kemudian, bau daging panggang yang sedap karena bumbunya lengkap, membuat perut mereka semakin keras berkeruyuk saling bersahutan. Sie Liong mengeluarkan bungkusan roti tawar dan seguci anggur merah yang tidak keras, melainkan anggur manis. Dan kemudian merekapun makan roti tawar dengan daging kelinci panggang yang benar lezat karena masih segar, lunak dan gurih.

Ketika mereka makan inipun Sie Liong menemukan kenyataan yang membuat dia semakin termenung dan hatinya berdebar aneh. Mengapa mereka berebut saling memilihkan daging terbaik? Mengapa mereka saling mementingkan dan saling memperhatikan? Inikah cinta? Dia merasa heran dan ragu. Pernah dia mengalami perasaan seperti ini, ketika berhadapan dengan Yauw Bi Sian, keponakannya! Hanya bedanya, kalau dari Bi Sian dia tidak merasakan perhatian lain kecuali kasih sayang yang kekanak-kanakan dari seorang keponakan yang sejak kecil menjadi temannya bermain, sebaliknya dari Ling Ling dia merasakan perhatian yang lain, yang lebih dewasa dan membuat dia merasa dimanja, merasakan suatu kemesraan yang belum pernah dirasakannya. Inikah cinta? Dia tidak dapat menjawabnya. Terlampau pagi untuk menduga sejauh itu.

Kini, perut mereka tidak berkeruyuk lagi. Mereka menemukan sumber air tak jauh dari situ. Setelah mencuci tangan dan mulut, mereka duduk lagi menghadapi api unggun. Malam mulai larut dan mereka membesarkan api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk. Kembali mereka saling berpandangan melalui atas nyala api.

‘Ling Ling....! Sie Liong meragu, suaranya lirih dan seolah dia sangsi apakah perlu dia menyatakan isi hatinya.

Gadis itu memandangnya dan bibir itu terseryyum. Bibir yang kini nampak merah segar, tidak layu dan agak pucat seperti ketika kelaparan dan keletihan menguasainya tadi.

‘Ya, Liong-ko?!

Aku heran sekali....!

Melihat pemuda itu meragu, Ling Ling menjadi penasaran. ‘Apa yang kau herankan, Liong-ko?!

‘Engkau....!

‘Eh? Aku kenapa sih?! Ling Ling tertawa kecil. ‘Apakah mataku tiga? Hidungku dua? Apanya yang mengherankan pada diriku?!

‘Seorang gadis seperti engkau.... kenapa nekat ingin ikut dengan aku? Aku seorang laki-laki yang sebatangkara, miskin dan tidak mempunyai apa-apa....!

‘Sama dengan aku!! Ling Ling menyambung cepat.

‘Akan tetapi engkau seorang gadis yang cantik dan masih muda, sedangkan aku....!

‘Engkau seorang pendekar yang budiman, seorang jantan yang hebat sekali, mengagumkan dan....!

‘Bukan itu maksudku, Ling Ling. Aku seorang laki-laki yang cacat, bongkok dan menjijikkan....!

‘Cukup!! Ling Ling berteriak dan ia mengerutkan alisnya, sepasang matanya bersinar-sinar seperti orang marah. ‘Liong-ko, kenapa engkau begitu merendahkan diri? Ketika engkau muncul di ambang pintu itu, ketika semua gadis ketakutan melihatmu dan mengira engkau seorang penjahat karena cacat tubuhmu, aku melihat betapa engkau seperti menerima tamparan atau tusukan. Aih koko, aku tidak dapat melupakan pandang matamu di saat itu dan di saat itu pula aku.... aku memutuskan untuk ikut denganmu, ke manapun engkau pergi....! Kini sepasang mata yang tadinya nampak marah itu menjadi lembut sinarnya, mata itu seperti redup.

‘Kenapa, Ling Ling? Itulah yang ingin sekali kuketahui! Kenapa tiba-tiba engkau mengambil keputusan yang begitu nekat? Pergi mengikuti aku yang tidak kaukenal sama sekali?!

‘Pada saat itu aku melihat pandang matamu seperti itu, koko, aku.... aku merasa hatiku tertusuk, aku merasa terharu dan kasihan sekali kepadamu. Ingatkah engkau betapa aku menangis sesenggukan, menangis dengan sedih? Bukan hanya karena aku tidak ada yang menjemput, bukan hanya karena aku takut membayangkan harus kembali ke rumah orang tua angkatku, melainkan terutama sekali karena kasihan kepadamu!!

Sie Liong menatap tajam wajah gadis itu. ‘Engkau kasihan kepadaku karena.... aku bongkok? Karena cacat tubuhku?!

Dengan tegas Ling Ling menggeleng kepalanya. ‘Sama sekali tidak! Kenapa cacat tubuhmu harus dikasihani? Biarpun engkau mempunyai cacat, akan tetapi cacat itu sama sekali tidak mengganggumu, bahkan engkau memiliki kesaktian luar biasa. Tidak, aku bukan kasihan karena cacatmu, koko, melainkan kasihan karena engkau begitu menderita batin karena cacat itu, yang membuatmu begitu merendahkan diri. Engkau tentu merasa betapa semua orang, terutama wanita, jijik dan benci kepadamu....!

‘Memang kenyataannya demikian!! kata Sie Liong, suaranya agak keras.

‘Tidak, tidak semua merasa seperti itu! Hanya perempuan yang tinggi hati saja yang memandang rendah kepada seorang pria ydng cacat. Padahal, cacat tubuh bukan hal yang terlalu memalukan, tidak seperti cacat batin! Tidak, koko, tidak semua perempuan benci kepadamu, setidaknya.... aku kagum padamu, aku menganggap engkau orang yang paling baik di dunia ini, dan paling gagah....!

‘.... dan paling buruk?! Sie Liong menambahkan swnbil tersenyum pahit. Ling Ling mengerutkan alisnya.

‘Liong-ko, jangan tersenyum seperti itu! Begitulah engkau tersenyum ketika berdiri di ambang pintu itu, tersenyum seolah engkau melihat dunia kiamat dan engkau tidak perduli! Tidak, koko. Siapa bilang engkau paling buruk? Bagiku, engkau gagah dan tampan!!

Sie Liong membelalakkan matanya, menatap wajah gadis itu, jantungnya berdebar keras. Dan diapun bertanya kepada matanya, bagaimana gadis itu nampak dalam pandangannya, dan dia melihat seorang gadis yang amat cantik menis, yang menimbulkan rasa iba dan suka, seorang gadis yang membuat dia merasa berbahagia, pandang mata yang bening itu seperti memberi nyala hidup dalam hatinya, senyum manis di bibir itu seperti tetesan embun pagi pada perasaannya yang mulai mengering dan dia pun tiba-tiba tertawa bergelak. Suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, memecahkan kesunyian malam. Beberapa ekor burung yang bertengger di pohon yang berdekatan sampai terkejut, dan bunyi kelepak sayap mereka menandakan bahwa mereka itu terkejut dan terbang pergi menjauhi suara aneh itu.

Ling Ling juga memandang kepada Sie Liong dengah sinar mata khawatir. Suara ketawa pemuda itu mula-mula perlahan, makin lama semakin kuat dan anehnya, ia seperti mendengar isak tangis terselip di antara bunyi tawa itu. Seperti terdorong oleh sesuatu, Ling Ling bangkit berdiri, menghampiri Sie Liong dan berlutut di dekat pemuda itu yang masih duduk bersila sambil tertawa. Dipegangnya pundak pemuda itu, diguncangnya dan iapun berteriak dengan gelisah.

‘Liong-ko....! Liong-ko... Kau.... kau kenapa, Liong-ko?!

Ketika merasa betapa tubuhnya diguncang-guncang, Sie Liong baru sadar. Kalau tadi ketika tertawa dia menengadah, kini dia menundukkan muka dan suara ketawanya terhenti. Ketika dia melihat Ling Ling di dekatnya dan gadis itu kelihatan gelisah hampir menangis, mengguncang pundaknya, Sie Liong ingat akan keadaan dirinya dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, dia lalu merangkul.

‘Ling Ling....!!

‘Liong-ko.... ah, Liong-koko....!!

Keduanya Saling rangkul, hanya berpelukan saja dengan kuatnya seolah-olah ingin menjadi satu dan tidak akan berpisah lagi. Rangkulan yang penuh dengan keharuan dan rasa syukur, tidak mengandung nafsu berahi sama sekali.

Sie Liong yang lebih dulu sadar bahwa keadaan mereka itu tidak semestinya. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya. Merasa akan hal ini, Ling Ling juga melepaskan rangkulannya akan tetapi ia diam saja ketika kedua tangannya dipegang oleh kedua tangan Sie Liong. Mereka berhadapan, saling berpegang tangan dan dengan suara menggetar karena keharuan Sie Liong berkata lirih.

‘Ling Ling, terima kasih, engkau telah mengembalikan harga diriku!!

‘Dan engkau telah mengembalikan pengharapanku untuk menghadapi penghidupan yang kejam ini, Liong-ko.!

‘Nah, sekarang mengasolah. Engkau harus tidur yang enak agar besok memiliki cukup tenaga untuk melanjutkan perjalanan, Ling Ling.!

Ling Ling bangkit berdiri, lalu membongkar buntalan pakaiannya. Dikeluarkan sehelai selimut, dibentangkan selimut itu di atas rumput dekat api unggun.

‘Akan tetapi engkau bagaimana, Liong-ko? Engkaupun harus mengaso!!

Pemuda itu tersenyum. ‘Aku sudah terbiasa dengan kehidupan begini, Ling Ling. Aku tidak perlu tidur karena harus menjagamu, menjaga agar api unggun tidak padam. Tidurlah, dengan bersila saja aku akan dapat melepaskan lelah.!

‘Baiklah, Liong-ko,! Gadis itu menguap dan menutupi mulut dengan punggung tangan karena ia merasa lelah sekali dan mengantuk. Begitu ia merebahkan diri miring, iapun pulas. Ia miring menghadap api unggun sehingga Sie Liong dapat melihat mukanya. Hatinya penuh rasa haru dan sayang melihat wajah itu tidur pulas dengan mulut tersenyum membayangkan kebahagiaan, dan napasnya amat halus. Seorang gadis yang baik!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah pergi ke sumber air dan mandi. Hawa amat dingin, akan tetapi karena tubuhnya memang kuat sekali, maka mandi di waktu pagi itu terasa amat segar dan nyaman. Tubuhnya mengepulkan uap putih ketika dia merendam tubuhnya ke dalam air yang amat dingin itu. Dia merasa segar sekali ketika dia kembali ke tempat mereka melewatkan malam dan dia mendapatkan Ling Ling sudah bangun. Pakaian dan rambutnya kusut, namun hal ini tidak mengurangi kecantikan gadis itu. Melihat Sie Liong datang dengan rambut masih basah, gadis itu tertawa kecil.

‘Aih, sepagi ini dan sedingin ini engkau agaknya telah mandi, koko! Hih, hih, aku tidak berani mandi. Hawa begini dinginnya dan air itu tentu dingin seperti salju!! Ia mengeluarkan pakaian dari dalam buntalannya. ‘Akan tetapi aku akan bertukar pakaian dan mencuci yang kotor. Kesinikan pakaianmu yang kotor, Liong-ko, akan kucuci sekalian!!

Sie Liong memperlihatkan pakaian yang masih basah dan sudah diperasnya. ‘Sudah kucuci tadi!! katanya.

Gadis itu cemberut. ‘Aih, koko. Berulang kali engkau mencuci sendiri pakaianmu. Apakah kaukira aku tidak dapat mencuci bersih? Itu sudah menjadi kewajibanku, koko. Lain kali jangan kaucuci sendiri!!

Sie Liong mengangguk dan tertawa. ‘Baiklah, Ling Ling, aku berjanji.!

Gadis itu berlari kecil menuju ke sumber air yang berada kurang lebih tiga ratus meter dari situ, menuruni tebing yang tidak curam. Sie Liong memandang sejenak dari belakang, tersenyum dan setelah gadis itu menghilang di balik semak dan batang pohon, diapun membuat persiapan untuk memanggang sisa roti tawar semalam untuk dipakai sarapan.

Sie Liong merasa gembira bukan main pagi itu. Dia merasa seolah-olah mengalami hidup baru. Suasana nampak indah bukan main. Matahari pagi dengan lembut mengusir kabut pagi, menggugah burung-burung yang kini sibuk membuat persiapan untuk melaksanakan tugas kewajiban mereka sehari-hari, yaitu mencari makan. Rumput dan daun pohon juga tergugah, nampak berseri dan segar, dihias butir-butir embun yang seperti mutiara berkilauan tertimpa sinar matahari pagi yang masih lemah. Kicau burung bagaikan musik yang amat riang dan merdu. Sie Liong tersenyum-senyum seorang diri. Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya. Roti yang dipanggangnya sudah matang sejak tadi. Terlalu lama gadis itu pergi ke sumber air, pikirnya. Biarpun dengan mencuci pakaian, pakaian itu tidak berapa banyak. Mestinya sudah selesai sejak tadi. Dia bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan, di mana terdapat sumber air itu. Tidak nampak dari situ karena selain tertutup semak dan pohon, juga jalan ke sumber air itu agak menurun.

‘Ling Ling....!! Dia berteriak memanggil, mengerahkan tenaganya agar suaranya sampai ke sumber air itu. Dia menanti jawaban, namun tak kunjung tiba.

‘Ling Ling, rotinya sudah masak....! Dia berteriak lagi, lebih nyaring. Juga tidak terdengar jawaban. Dia mengerutkan alisnya. Tak mungkin gadis itu tidak mendengar, dan andaikata gadis itu menjawabnya, tentu dengan pendengarannya yang peka terlatih, dia akan dapat mendengarnya. Memang tidak pantas kalau dia mendatangi sumber air itu. Siapa tahu gadis itu sedang mandi dan telanjang. Akan tetapi kekhawatiran hatinya membuat dia melangkah ke arah sumber air. Setelah tiba di atas tebing, dia berhenti dan mendengarkan. Hanya suara gemercik air sumber bermain dengan batu-batu yang terdengar. Tidak terdengar suara orang mandi, bermain di air, atau mencuci pakaian. Akan tetapi dia masih belum mau turun.

‘Ling Ling....!! Dia memanggil lagi. Kini tidak mungkin sama sekali kalau gadis itu tidak mendengar karena sumber itu berada dekat di bawahnya, walaupun belum nampak dari situ karena terhalang batu-batu besar. Tidak ada jawaban. Sie Liong tidak ragu-ragu lagi, dengan hati gelisah dia meloncat turun. Dia memandang ke sana-sini. Tidak nampak bayangan Ling Ling.

‘Ling Ling....!! Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Ketika dia mendekat ke sumber air, dia terkejut sekali melihat pakaian Ling Ling berada di situ, baik pakaian kotor yang akan dicucinya tadi maupun pakaian kering untuk ganti. Gadis itu lenyap, tanpa berpakaian! Wajahnya seketika pucat ketika detik jantungnya seperti terhenti, kemudian jantung itu berdebar-debar penuh ketegangan. Diterkam harimau atau binatang buas lain? Tentu ada bekas darahnya. Dengan muka pucat dia lalu meneliti ke atas tanah, mencari bekas atau bercak darah. Tidak ada darah, yang ada hanyalah jejak-jejak kaki!

Jejak banyak sepatu dengan ukuran besar. Banyak laki-laki baru saja berada di tempat itu! Dan jejak itu masih baru sekali. Celaka, pikirnya, Ling Ling tentu diculik oleh entah berapa orang laki-laki, dalam keadaan telanjang bulat! Dengan hati tidak karuan rasanya, dipenuhi kegelisahan, dia lalu mengikuti jejak itu dengan cepat. Jejak itu membawanya masuk hutan. Dia berlari dengan cepat mengikuti jejak itu dan tiba-tiba dia mendengar suara-suara tertahan, seperti mulut yang menjerit akan tetapi dibungkam. Cepat dia meloncat ke kiri, ke arah suara dan matanya terbelalak, melotot ketika melihat apa yang terjadi di balik semak-semak belukar, di atas rumput tebal itu.

Ling Ling, dalam keadaan telanjang bulat, sedang menggeliat-geliat dan melawan mati-matian terhadap lima orang laki-laki yang hendak menggelutinya! Empat orang memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentang dan seorang lagi, yang brewokan, sambil terkekeh-kekeh berusaha untuk memperkosanya! Ling Ling meronta-ronta, menggigit, menjerit, akan tetapi mulutnya dibungkam. Biarpun demikian, bagaikan seekor singa betina Ling Ling mempertaruhkan kehormatannya.

Dari dalam dada Sie Liong keluar lengking panjang yang menggetarkan hutan itu. Lima orang itu terkejut, menengok. Akan tetapi Sie Liong sudah tidak dapat lagi menahan kemarahan hatinya yang seolah-olah dibakar api. Matanya mencorong, napasnya seperti mengeluarkan uap panas, dan begitu tubuhnya menerjang ke depan, tangannya menyambar dan rambut kepala si brewok itu telah dijambaknya dan sekali angkat, tubuh si brewok yang setengah telanjang itu telah diangkat dan diayun-ayun ke atas kepalanya seolah-olah tubuh si brewok yang tinggi besar itu hanya sehelai kain saja. Si brewok berteriak-teriak ketakutan setengah mati, akan tetapi Sie Liong dengan kemarahan meluap-luap membanting tubuh itu ke atas sebongkah batu.

‘Prakkk!! kepala si brewok itu pecah dan otaknya berantakan bersama darah.

Melihat betapa pemimpin mereka tewas dalam keadaan demikian mengerikan, empat orang itu terbelalak dan mereka melepaskan kaki dan tangan Ling Ling. Dengan marah, mereka yang belum menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar sakti, mereka mencabut golok dari punggung masing-masing dan serentak mereka menyerang Sie Liong dengan golok mereka. Akan tetapi, Sie Liong mengeluarkan suara melengking lagi, menyambut mereka dengan kaki kanan yang melakukan tendangan berputar.

Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat batang golok terpental lepas dari tangan empat orang itu. Mereka mengaduh-aduh, memegangi tangan kanan dengan tangan kiri karena pergelangan tangan mereka telah patah disambar tendangan memutar tadi! Kini mereka memandang dengan mata terbelalak, penuh rasa takut melihat pemuda bongkok itu dengan langkah perlahan-lahan menghampiri mereka. Saking takutnya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.

‘Ampun.... ampunkan kami....!

Akan tetapi, lengkingan ketiga kalinya terdengar dan kembali kaki Sie Liong bergerak menendang. Empat kali dia menendang, dan tubuh empat orang itu terjengkang dan mereka tewas seketika dengan tulang leher patah-patah!

Ling Ling yang berlutut di atas tanah, memandang dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Biarpun ia merasa merah dan membenci lima orang itu, namun ia merasa ngeri melihat pembunuhan itu terjadi di depan matanya, melihat betapa lima orang itu tewas seketika, melihat Sie Liong yang biasanya lemah lembut itu mengamuk, seperti iblis maut sendiri!

Sie Liong meloncat dan melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat berlutut di atas tanah, diapun lalu menghampirinya.

‘Ling Ling...., kau tidak apa-apa....?! tanyanya lembut.

‘Liong-ko....!! Ling Ling menjerit dan iapun pingsan dalam dekapan Sie Liong. Pemuda itu lalu memondongnya, membawanya ke sumber air, mengambil pakaian Ling Ling dan membawa gadis itu ke tempat mereka melewatkan malam tadi. Dengan memaksa matanya agar jangan melihat bagian terlarang dari tubuh gadis itu, dia merebahkan Ling Ling ke atas selimut dan menyelimuti tubuh yang telanjang. Baru ia memijat-mijat tengkuk gadis itu untuk menyadarkannya. Ling Ling siuman kembali, mengeluh dan membuka matanya. Tiba-tiba ia terbelalak dan menjerit karena ia teringat akan peristiwa tadi. Jerit melengking ketakutan sambil bangkit duduk. Sie Liong merangkul gadis yang menjerit-jerit histeris itu. Begitu dirangkul, Ling Ling meronta dan menjerit semakin nyaring.

‘Lepaskan aku....! Lepaskan! Keparat jahanam kalian.... lepaskan akuuuu....!!

Sie Liong mendorong gadis itu dan memaksanya untuk memandang kepadanya.

‘Ling Ling, lihat siapa aku....!! katanya setengah membentak untuk menyadar kan gadis yang dilanda ketakutan dan kengerian itu. Ling Ling terbelalak memandang, sadar dan merangkul.

‘Liong-ko.... ah, Liong-ko....!!

Dan diapun menangis di dada Sie Liong, tidak sadar bahwa selimut yang menutupi tubuhnya terbuka.

‘Tenanglah, Ling Ling. Tenanglah, engkau sudah terbebas dari lima orang anjing itu! Tenanglah, dan pakailah pakaian ini....! Sie Liong menutupkan lagi selimut menutupi tubuh gadis itu.

Ling Ling baru sadar bahwa ia masih telanjang bulat. Hal ini mengingatkan ia akan pengalaman tadi dan ia bergidik ngeri. Lalu dengan kedua tangan gemetar ia mengenakan pakaiannya di balik selimut. Sie Liong duduk di atas rumput membelakangi gadis itu, alisnya berkerut dan berulang kali dia menarik napas panjang. Dia termenung dan wajahnya muram sekali.

Tangan itu dengan lembut menyentuh pundaknya, dan suara itu lirih berbisik penuh kekhawatiran. ‘Liong-ko, engkau kenapakah....! Liong-ko, kenapa kau diam saja? Tadi.... ketika aku berada di sumber, ketika aku habis mencuci muka membersihkan diri, ketika hendak berganti pakaian, tiba-tiba mereka itu datang menyergapku. Aku tidak dapat menjerit karena mereka membungkam mulutku. Aku melawan mati-matian. Ketika engkau berteriak memanggil namaku, mereka lalu membawa aku pergi ke hutan itu dan di sana.... ahh, untung engkau datang tepat pada waktunya, Liong-ko. Hampir aku tidak kuat bertahan lagi....!

Tiba-tiba Sie Liong mengepal tinju dan tangan Ling Ling yang memegang pundak itu cepat ditarik kembali karena kaget. Pundak itu seperti mengeluarkan tenaga yang panas! Ling Ling melangkah maju dan memandang wajah pemuda itu. Ia terkejut. Wajah itu pucat, mata itu seperti sayu dan sedih, seperti akan menangis!

‘Liong-ko, engkau kenapa? Engkau kelihatan begini berduka! Apa yang telah terjadi?!

Suara itu parau dan penuh penyesalan. ‘Aku telah membunuh mereka....!

Gadis itu memandang heran. ‘Tentu saja, koko! Orang-orang seperti mereka memang layak kau bunuh! Mereka itu jahat sekali!!

Sie Liong menghela napas panjang. ‘Untuk menentang kejahatan, memang kadang-kadang terpaksa membunuh, akan tetapi tidak seperti yang kulakukan tadi, Ling Ling. Membunuh karena benci! Membunuh dengan hati dipenuhi dendam kebencian, karena aku melihat mereka memperlakukan engkau seperti itu. Membunuh karena cemburu dan benci. Ah, aku menjadi kejam sekali, tidak ada bedanya dengan mereka....!!


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar