Bab 11
Setelah membiarkan tiga
pasang manusia itu dalam keadaan tanpa pakaian bertumpang tindih di atas
pembaringan, Pek Lan tersenyum girang. Di bawah sinar lampu, wajahnya yang
cantik manis itu nampak amat menyeramkan, menyerin gai sepertl iblis betina.
Matanya mencorong dan giginya berkilauan. Kemudian ia menyelinap ke belakang
rumah pondok itu dan membakar bagian belakang rumah, lalu dipukulnya kentongan
bambu membuat gaduh.
Sebentar saja, semua
penghuni rumah gedung hartawan Coa menjadi gempar mendanger kentongan
bertalu-talu dari belakang itu. Mereka cepat memasuki taman dan menjadi semakin
geger melihat pondok di taman itu.
‘Pondok Merah
kebakaran!! demikian teriakan mereka dan semua orang lalu berusaha memadankan
api yang membakar bagian belakang pondok itu dengan siraman air. Tiga pasang
orang yang berada di dalam tiga kamar itu tentu saja mendengar semua keributan
ini, namun mereka tidak mampu bergerak dan hanya menanti dengan hati tegang.
Akhirnya api itu padam dan
dipimpin oleh Coa-wangwe sendiri, semua orang memasuki pondok mengadakan
pemeriksaan dan apa yang mereka dapatkan? Tiga pasang orang yang saling tindih
di atas pembaringan dalam tiga kamar itu, tanpa pakaian sama sekali! Tentu saja
keadaan menjadi semakin geger. Semua orang tahu bahwa tiga orang selir
Coa-wangwe secara tak tahu malu sekali telah mengadakan perjinaan dengan tiga
orang pelayan pria dan agaknya mereka demikian asyiknya sehingga mereka tidak
tahu bahwa pondok yang menjadi tempat pertemuan mereka itu terbakar bagian
belakangnya!
Ketika tiga pasang orang
itu tidak mampu bergerak, hanya memandang dengan ketakutan. Coa-wangwe tentu
saja menganggap mereka itu pura-pura atau tidak mampu bergerak karena ketakutan.
Dia tidak perduli dan menyuruh para pelayan menyeret enam orang itu turun dari
pembaringan, lalu dalam keadaan masih telanjang bulat itu mereka diberi hukuman
masing-masing dua puluh kali cambukan bagi para selir dan lima puluh kali
cambukan bagi para pelayan pria.
Kulit punggung dan pinggul
mereka sampai pecah-pecah berdarah. Setelah itu, mereka diusir, hanya membawa
pakaian mereka saja, bahkan selir yang sudah mempunyai anak, tidak
diperbolehkan membawa anaknya.
Setelah melampiaskan
kemarahannya, marah bukan hanya karena selir-selirnya menyeleweng dengan para
pelayan, melainkan karena nama baiknya tercemar dan seluruh penduduk Ye-ceng
pasti akan segera mendengar peristiwa yang amat memalukan itu, Coa-wangwe memasuki
kamarnya. Dia tidak memperbolehkan isterinya atau selir lain menemaninya karena
dia ingin mengaso dan membiarkan hawa amarah mereda.
Akan tetapi ketika dia
memasuki kamarnya yang besar dan mewah, menutupkan pintu karena dia tidak ingin
diganggu, dan membalik hendak menuju ke pembaringannya, dia terbelalak dan
mulutnya ternganga. Di atas pembaringannya itu telah rebah seorang wanita yang
luar biasa cantiknya. Cantik manis, kulitnya yang putih mulus itu nampak karena
pakaiannya setengah terbuka. Sepasang mata yang mengerling tajam, senyum yang
semanis madu dan sikap yang menantang!
‘Kau.... kau.... Pek
Lan?! Coa-wangwe berseru heran dan juga terkejut. Biarpun wanita itu tidak
semuda dulu lagi, namun ia telah menjadi seorang wanita yang matang, jauh lebih
menarik daripada dulu ketika masih menjadi selirnya, ketika masih berusia tujuh
belas tahun! Pek Lan yang rebah di pembaringannya, miring menghadap kepadanya
itu adalah seorang wanita yang matang dan merangsang!
Pek Lan tersenyum. Manis!
‘Aih, Coa-wangwe, engkau masih ingat kepadaku? Sungguh menggembirakan!!
‘Tentu saja aku masih
ingat!! Hartawan itu mendekati pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan.
‘Siang melam aku ingat kepadamu, Pek Lan, wajahmu selalu terbayang dan aku
amat rindu kepadamu, sayang. Setelah engkau pergi, barulah aku tahu betapa
besar cintaku kepadamu....!
Tangan hartawan tua itu
hendak meraih, akan tetapi wanita itu mengelak. ‘Hemm, kalau memang benar
engkau begitu cinta kepadaku, kenapa engkau mengusir aku? Sesungguhnya anak
angkatmu itulah yang kurang ajar! Aku dipaksanya dan karena aku takut, dia itu
anak angkatmu, terpaksa aku tidak dapat membantah. Kenapa engkau tidak melihat
kenyataan itu? Engkau telah dihasut oleh tiga orang selirmu itu. Dan apa
buktinya sekarang? Merekalah yang berjina, bahkan dengan para pelayan. Sungguh
memalukan keluarga dan mencemarkan nama dan kehormatanmu!!
Hartawan Coa menghela
napas panjang. ‘Salahku, aku begitu bodoh. Tapi, sekarang mereka telah
kuhukum dan kuusir. Dan engkau, Pek Lan.... engkau begini cantik jelita....
aih, kulitmu begitu mulus, engkau lebih cantik manis daripada dahulu. Engkau
kembali, sayang? Engkau akan kujadikan selir pertama, bukan, akan kuangkat
menjadi isteri yang sah!! Kembali hartawan itu meraih. Ketika Pek Lan
membiarkan dan tangan hartawan itu menyentuh lengannya yang berkulit lembut dan
hangat, hartawan itu segera dirangsang nafsu berahi. Akan tetapi ketika dia
hendak merangkul, Pek Lan melompat turun dari tempat tidur. Melihat wanita itu
berdiri di lantai, Coa-wangwe menjadi semakin kagum. Tubuh itu demikian padat,
menggiurkan, tidak lagi kekanak-kanakan seperti dahulu!
‘Pek Lan....!!
‘Cukup! Turunlah dan
jangan merengek seperti itu. Aku datang bukan untuk itu. Aku tidak butuh
cintamu, tidak butuh laki-laki macam engkau yang sudah tua dan berperut gendut
berkepala botak itu!!
‘Pek Lan....!!
‘Dengar! Aku datang
untuk menagih hutang! Engkau pernah mengusirku, tanpa memberi bekal. Padahal,
aku telah menyerahkan diri kepadamu, menyerahkan kegadisanku dan mandah saja
menjadi barang permainanmu, menjadi pemuas nafsumu. Sekarang, engkau harus
membayar untuk itu semua! Aku akan mengambil semua hartamu yang kausimpan di
dalam almari tebal ini!! Ia sudah hafal akan hal itu dan kini ia menghampiri sebuah
almari hitam yang berdiri di sudut. Melihat dan mendengar ini, Coa-wangwe
menjadi terkejut dan lenyaplah sudah nafsu berahinya, seperti awan tipis ditiup
angin.
‘Pek Lan, apa yang
kaulakukan itu?! bentaknya marah. Tentu saja dia tidak merasa takut kepada
bekas selirnya itu. Diapun melangkah lebar menghampiri Pek Lan dan menjulurkan
tgngan untuk menangkap lengan wanita itu agar tidak menghampiri almari besi
tempat hartanya tersimpan.
‘Plakk! Dukk!! Dan
hartawan Coa terjungkal. Lengannya yang tertangkis seperti patah rasanya, dan
perut yang ditendang menjadi mulas.
‘Aku datang hanya untuk
mengambil hartamu, bukan mengambil nyawamu!! kata Pek Lan. ‘Akan tetapi kalau
aku marah, nyawamu juga akan kuambil sekalian!!
Kini hartawan itu
ketakutan dan dia lari ke arah pintu kamar. Pek Lan tidak memperdulikan dan ia
sudah membuka almari tebal itu dengan mudah walaupun almari itu dikunci. Begitu
terbuka, nampaklah bahwa almari itu dipenuhi perhiasan-perhiasan dari emas permata,
juga bongkah-bongkah emas murni yang berkilauan.
‘Tolong....!
Perampok...., pembunuh....!! Coa-wangwe yang sudah keluar dari kamar itu
menjerit-jerit. Pek Lan tidak perduli, enak-enak saja mengumpulkan emas dan
perhiasan itu ke dalam sebuah kantung kain yang memang sudah dipersiapkan
sebelumnya.
Lima orang jagoan yang
menjadi tukang pukul, tukang tagih dan penjaga keamanan keluarga hartawan itu
sudah dipanggil dari luar dan kini mereka berlima lari menuju ke kamar itu.
Begitu mereka tiba di ambang pintu kamar, mereka bengong dan menoleh kepada
Coa-wangwe. Di dalam kamar itu hanya terdapat seorang wanita cantik, sama
sekali tidak nampak ada perampok. Bahkan wanita cantik itu memasukkan emas dari
dalam almari ke dalam sebuah kantung.
‘Maaf, loya, di mana
perampoknya?!
‘Mana ada pembunuh?!
Coo-wangwe menuding ke
arah Pek Lan. ‘Ia itulah perampoknya! Lihat, ia mengambil semua hartaku, dan
ia telah memukulku!! Dia meringis kesakitan, mengelus perutnya yang masih
mulas.
Lima orang penjaga itu
tentu saja menjadi bengong. Wanita cantik itu perampoknya? Dan kini, seorang di
antara mereka yang paling lama bekerja di situ mengenal Pek Lan.
‘Bukankah.... bukankah engkau nona Pek Lan....?!
Pek Lan yang masih sibuk
memasuk-masukkan barang berharga itu ke dalam kantung, menoleh dan tersenyum
manis. ‘Hemm, engkau masih mengenalku? Bagus, untuk itu aku tidak akan
membunuhmu!!
Coa-wangwe menjadi marah.
‘Untuk apa bercakap-cakap dengan wanita iblis itu? Tangkap ia dan belenggu
kaki tangannya!!
Lima orang jagoan itu
memasuki kamar dan mengepung Pek Lan dengan setengah lingkaran.
‘Nona Pek Lan, lebih
baik kalau engkau menyerah saja dan tidak melawan sehingga tidak perlu kami
mempergunakan kekerasan,! kata penjaga yang sudah mengenalnya itu. Dia merasa
sayang kalau harus mempergunakan kekerasan terhadap wanita yang luar biasa
cantik manisnya itu.
Kantung itu sudah penuh
dan biarpun almari itu masih belum terkuras semua, namun sebagian besar
perhiasan yang termahal sudah berpindah tempat. Pek Lan mengikat mulut kantong
dan dengan kain sutera yang sudah dibawanya, digendongnya kantung yang cukup
berat itu di punggung, lalu ia menghadapi lima orang penjaga sambil tersenyum.
‘Majulah dan turuti
majikan kalian kalau kalian ingin merasakan kematian!!
Tentu saja lima orang
penjaga itu tidak takut. Ancaman itu hanya keluar dari mulut seorang wanita
cantik yang dahulunya adalah selir majikan mereka! Seorang wanita muda cantik
yang lemah lembut dan berkulit halus mulus seperti itu, tentu saja tidak
menakutkan! Empat orang penjaga tidak sabar lagi dan mereka memang sudah ingin
sekali segera menangkap dan merangkul wanita cantik itu, maka merekapun
menyerbu dan seperti hendak berebut dulu menerkam Pek Lan. Wanita ini
tersenyum, tubuhnya berkelebat, kaki tangannya bergerak dan lima orang penjaga
itupun terjengkang! Entah apa yang dilakukan, tidak dapat dilihat oleh lima
orang itu saking cepatnya gerakan kaki tangan Pek Lan. Tahu-tahu lima orang itu
merasa dada atau perut mereka terpukul atau tertendang, keras sekali, membuat
mereka terjengkang. Coa-wangwe dan para selir dan pelayan yang berada di luar kamar,
mundur ketakutan melihat betapa lima orang penjaga itu terjengkang dan
terbanting.
‘Tangkap ia! Bunuh!!
Coa-wangwe memberi semangat kepada lima orang penjaganya yang sudah bangkit
kembali. Dia merasa khawatir sekali melihat betapa hampir semua hartanya
diambil oleh Pek Lan. Lima orang penjaga itu menjadi malu sekali. Dalam
segebrakan mereka telah dirobohkan oleh seorang wanita muda yang cantik! Mereka
kini mencabut senjata golok dari pinggang dan dengan sikap mengancam mereka
mengepung lagi dari depan.
Melihat ini, Pek Lan
tersenyum. ‘Kalau kalian berani menyerangku dengan golok itu, kalian akan
mampus!!
Akan tetapi, lima orang
penjaga itu sudah terlalu marah dan karena mereka memegang senjata, pula mereka
berlima, tentu saja mereka tidak gentar menghadapi Pek Lan yang bertangan
kosong, walaupun mereka tahu bahwa wanita itu lihai sekali. Sambil mengeluarkan
bentakan nyaring, merekapun menerjang, golok mereka gemerlapan tertimpa sinar
lampu dan lima batang golok sudah menyambar-nyambar ke arah Pek Lan.
Akan tetapi, dengan tenang
sekali Pek Lan berloncatan. Tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan yang
menyelinap di antara gulungan sinar golok. Anehnya, tak pernah ada golok yang
mampu menyentuhnya. Tiba-tiba, penjaga yang mengenal Pek Lan tadi mengaduh dan
diapun roboh, goloknya sudah berpindah ke tangan Pek Lan!
Empat orang penjaga lain
mempercepat gerakan serangan mereka. Akan tetapi, Pek Lan menggerakkan
goloknya, dengan gerakan memutar sehingga nampak sinar panjang golok itu
menyambar ke arah empat orang lawannya dan terdengar mereka itu menjerit dan
seorang demi seorang roboh berkelojotan dengan leher hampir putus! Darah
bercucuran membanjiri lantai. Pek Lan memandang kepada penjaga yang mengenalnya
tadi, yang dirobohkannya dengan tendangan dan dirampas goloknya dan iapun
tersenyum.
‘Aku sudah berjanji
tidak akan membunuhmu!! katanya, akan tetapi goloknya bergerak dan orang itupun
menjerit karena pundaknya terbacok golok sehingga terluka parah. Akan tetapi,
betapapun parahnya, dia tidak akan mati.
Pek Lan meloncat keluar
kamar. Semua selir dan pelayan lari ketakutan.
Coa-wangwe juga melarikan
diri, akan tetapi suara halus terdengar membentak di belakangnya.
‘Engkau hendak
mencelakai aku, maka patut dihukum!! Goloknya menyambar dan hartawan itu
menjerit-jerit sambil memegangi kepala dengan kedua tangan.
Dua buah daun telinganya
telah buntung terbabat golok. Pek Lan tertawa, membuang goloknya lalu melompat
keluar, menghilang dalam kegelapan malam.
Peristiwa itu tentu saja
cepat sekali tersiar dan dalam waktu beberapa hari saja, hampir seluruh
penduduk koto Ye-ceng telah mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa
keluarga Coa. Bukan hanya orang suka sekali membicarakan malapetaka yang
menimpa keluarga Coa, juga membicarakan aib yang mencemarkan nama dan
kehormatan hartawan itu, dan yang paling menggegerkan orang adalah berita
tentang Pek Lan yang kini menjadi seorang wanita cantik yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali dan juga berwatak amat kejam.
Peristiwa lain yang amat
menggemparkan adalah ditemukannya tiga orang pria muda yang sudah menjadi mayat
di dalam sebuah kuil tua. Mereka tewas dalam keadaan yang amat aneh, yaitu
berada di atas pembaringan di dalam kuil tua itu, hampir tanpa pakaian, dan
kepala mereka retak seperti telah dipukul dengan benda keras. Tak seorangpun
menduga bahwa mereka ini, tiga orang pemuda tampan, juga tewas di tangan Pek
Lan, dan tangan lembut halus itulah yang telah membikin retak kepala mereka
dengan tamparan yang amat ampuh! Pek Lan membunuh tiga orang muda itu karena
mereka itu dianggap akan dapat membocorkan rahasianya!
Maka muncullah di dunia
kang-ouw seorang iblis betina yang amat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari
pada Hek-in Kui-bo, guru Pek Lan di waktu masih muda. Biarpun Hek-in Kui-bo
dahulu juga seorang wanita gila laki-laki, pengumbar nafsu jahat, namun
dibandingkan Pek Lan, ia masih kalah sedikit. Pek Lan, di samping ilmu
kepandaiannya yang tinggi, dan perasaan bencinya kepada semua orang yang
dianggap merugikan, juga memiliki kecantikan yang amat menarik. Dengan senjata
ini, mudah saja baginya untuk menjatuhkan hati setiap orang pria yang akan
dijadikan korbannya.
***
Wanita itu memang manis.
Seorang wanita petani yang rajin. Agaknya karena sudah terbiasa bakerja keras
di sawah ladang, maka wanita itu memiliki tubuh yang padat dan sehat kuat,
pinggangnya ramping pinggulnya besar, tubuhnya tegak. Biarpun kulit kaki tangan,
leher dan mukanya agak kecoklatan karena sinar matahari, namun coklat yang
sehat dan kulit itu tetap halus mulus. Wajahnya yang manis tidak berkurang
karenanya, bahkan nampak lebih manis karena mengandung kewajaran tanpa alat
rias. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun.
Wanita petani ini sedang
sibuk mencabuti rumput dan tumbuh-tumbuhan liar di antara tanaman gandum. Ia
menggunakan caugkul atau kadang-kadang juga sebuah arit dan ia bekerja dengan
asyik sekali. Sungguh merupakan penglihatan yang mengagumkan. Wanita itu
kadang-kadang membungkuk, dan kedua tangannya bergerak dengan cekatan, bantuk
tubuhnya indah ketika membungkuk dan kadang juga berdiri tegak untuk membuang
segenggam rumput keluar ladangnya. Celana kakinya digulung sampai ke lutut dan
kaki itu terbenam ke tanah berlumpur sebatas betis, sehingga kulit kaki antara
betis dan lutut nampak putih mulus, jauh berbeda dengan kulit tubuh yang
terbuka dan terbakar matahari.
Wanita itu bekerja dengan
sangat tekun dan asyik sehingga iapun sama sekali tidak melihat bahwa seorang
pria yang tadinya berjalan di jalan raya tak jauh dari ladangnya, kini berhenti
dan sampai lama orang itu memandang kepadanya dengan kagum. Pria itu adalah
seorang pemuda yang mudah sekali dikenal, karena punggungnya bongkok, di bawah
tengkuk terdapat sebuah daging menonjol besar. Dia adalah Sie Liong!
Setelah beberapa saat
seperti terpesona menyaksikan pemandangan indah itu, bukan hanya kemanisan
wanita petani, melainkan keseluruhan tamasya alam yang melatar-belakangi bentuk
tubuh wanita itu, Sie Liong sadar bahwa amat tidak sopan kalau memandangi
seorang wanita seperti itu. Akan tetapi, pemandangan itu amat indah sehingga
seolah-olah menahannya untuk tinggal lebih lama di tempat sunyi itu. Latar
belakang ladang itu merupakan pegunungan yang hijau dan ladang di belakang
wanita itu amat luasnya, juga kehijauan dengan tanaman gandum. Sunyi. Hanya di
kejauhan nampak beberapa orang wanita atau pria yang juga membersihkan ladang
mereka seperti yang dilakukan wanita itu. Hawa udara amat segar, matahari amat
cerah, dan duduk di bawah lindungan pohon besar itu sungguh teduh dan nyaman.
Sie Liong duduk di bawah pohon di tepi jalan, dan kesunyian itu membuat dia
melamun. Terkenanglah dia kepada semua peristiwa yang menimpa dirinya, yang
baru lalu.
Terkenang dia akan
kunjungannya kepada encinya, pertemuannya dengan encinya, cihu-nya, kemudian
dengan Yauw Bi Sian. Kemudian betapa cihu-nya yang kini berubah sama sekali
wataknya itu dibunuh orang, dan menurut Bi Sian, pembunuhnya adalah dia!
Padahal, dia sama sekali tidak melakukan perbuatan itu! Bahkan encinya
sendiripun menyangka dia yang menjadi pembunuh untuk membalas dendam kematian
orang tuanya. Kiranya cihu-nya itu yang telah membunuh ayah dan ibunya, juga
suhengnya dan seorang pelayan, juga semua binatang peliharaan orang tuanya.
Jelaslah bahwa cihu-nya itu mendendam kepada orang tuanya, amat membenci orang
tuanya. Dia sendiripun tentu telah dibunuh cihu-nya itu kalau tidak ada
encinya, Sie Lan Hong.
‘Enci Hong, sungguh
kasihan engkau....! Sampai di sini Sie Liong mengeluh dalam hatinya. Dia dapat
membayangkan betapa sengsara keadaan encinya ketika pembunuhan atas keluarga
mereka itu terjadi! Untuk menyelamatkan dirinya, seorang adik yang ketika itu
masih kecil, baru berusia sepuluh bulan, maka encinya itu telah mengorbankan
dirinya! Ia menyerahkan dirinya kepada si pembunuh kejam itu, demi
menyelamatkan diri adiknya. Dan akhirnya, encinya itu bahkan menjadi isteri
pembunuh. Mereka saling mencinta! Dan diapun selamat, tidak ikut dibunuh!
Tidaklah aneh kalau
encinya menuduh dia yang telah membunuh Yauw Sun Kok. Bukankah sudah sepatutnya
kalau dia membunuh orang yang telah membasmi keluarga orang tuanya itu? Apalagi
di sana ada Bi Sian yang dengan sung guh mengatakan bahwa gadis itu telah
melihat dia pada malam pembunuhan terjadi. Melihat dia, bongkoknya, bertopeng
dan kemudidn topeng itu ditemukan pula oleh Bi Sian, di luar kamarnya.
Sungguh aneh sekali! Siapa
yang membunuh Yauw Sun Kok? Dan mengapa pula pembunuh itu agaknya menyamar
sebagai dirinya, untuk menjatuhkan fitnah kepadanya? Padahal, dia tidak pernah
mempunyai musuh di kota Sung-jan, kecuali.... cihunya, tentu saja.
Tadinya dia merasa
penasaran dan hendak melakukan penyelidikan untuk dapat membongkar rahasia
pembunuhan itu, untuk membuktikan bahwa dia bukan pembunuhnya. Akan tetapi
kemudian ketika dia menemui encinya, Sie Lan Hong, encinya itu membuka rahasia
yang selama itu dipedamnya, yaitu bahwa cihu-nya itulah orang yang telah
membunuh ayah dan ibunya. Tentu saja dia terkejut bukan main, dan mendengar
bahwa cihu-nya sejahat itu, diapun kehilangan semangat untuk mencari pembunuh
cihu-nya. Biarlah dia dibunuh orang, memang itu setimpal dengan kejahatannya.
Dan diapun tahu bahwa Bi Sian amat membencinya, sakit hati kepadanya.
Kalau dia tidak
cepat-cepat melarikan diri, tentu gadis itu akan menyerangnya dan memaksanya
mengadu nyawa. Dan dia sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi. Dia cinta
Bi Sian! Dia telah jatuh cinta kepada gadis itu, kepada keponakannya sendiri!
Bahkan dia telah mencintanya sejak mereka masih sama-sama kecil. Kenyataan
inilah yang membuat hati pemuda bongkok itu merasa lebih ngeri lagi, maka
diapun melarikann diri, menjauhkan diri seperti orang ketakutan.
Sie Liong menghela napas
ketika lamunannya membawa dia teringat kepada Bi Sian. Wajah yang manis dan
jenaka itu terbayang di depan matanya, dan dia pun tersenyum. Segala yang ada
pada Bi Sian menyenangkan hatinya, mendatangkan perasaan gembira. Dia harus
pergi jauh. Dia akan pergi ke Tibet, untuk memenuhi pesan para gurunya, yaitu
melakukan penyelidikan tentang Lima Harimau Tibet yang mengaku sebagai utusan
Dalai Lama dan yang berusaha keras untuk membasmi para pendeta, terutama para
tosu yang melarikan diri dari Himalaya, seperti Himalaya Sam Lojin yang menjadi
gurunya, juga Pek-sim Sian-su, supek dan gurunya yang juga menjadi gurunya
sendiri. Dia harus dapat menunaikan kewajiban ini dengan berhasil, mampu
menjernihkan suasana dan mencari sebab yang mendorong para pendeta Lama di
Tibet memusuhi para tosu di Himalaya.
Memang merupakan pekerjaan
yang besar dan amat sukar, bahkan amat berbahaya, namun dia sudah mengambil
keputusan untuk melaksanakan tugas itu sampai berhasil atau dia boleh
mempertaruhkan nyawanya. Semua itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan
budi besar yang telah diterimanya dari para gurunya. Kalau tidak ada mereka,
dia hanyalah seorang pemuda bongkok yang tidak berdaya dan tidak ada
manfaatnya, tidak ada artinya hidup di dunia, hanya menjadi bahan cemoohan
belaka.
Alangkah cantiknya wanita
petani itu, pikirnya. Dan alangkah bahagianya orang yang menjadi suaminya.
Pasti ia sudah bersuami, pikirnya. Mengapa wanita itu bekerja seorang diri?
Mana suaminya? Betapa akan menyenangkan hati kalau suaminya juga ikut pula
bekerja. Pekerjaan akan terasa ringan. Ah, betapa bahagianya wanita itu dan
suaminya! Sie Liong meraza heran mengapa hal-hal yang sekecil ini membuat dia
membuka mata bahwa kebahagiaan sebenarnya berada dalam diri apa saja, setiap
orang dapat menikmati kebahagiaan hidupnya apabila dia tidak memikirkan hal-hal
lain, tidak menginginkan hal-hal lain.
Apabila orang menyadari
betapa berlimpahnya kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, apabila dia menyerahkan
segalanya kepada Tuhan, maka akan naspak bahwa hidup ini sesungguhnya merupakan
nikmat pemberian dan anugerah Tuhan yang tak terlukiskan besarnya. Babkan
bernapaspun mendatangkan kenikmatan dan kebahagiaan, belum lagi makan, minum
dan segala kegiatan lain. Duduk melamun di bawah pohon itupun mengandung kenikmatan
tersendiri!
‘Ya Tuhan, terima kasih
atas segala rahmat-Mu....! Sie Liong berbisik dan wajahnya kini cerah sekali,
senyum menghias bibirnya. Pada saat itu, lupalah dia akan segala hal, akan
encinya, Bi Sian, pembunuhan atas diri cihu-nya, bahkan dia lupa akan bongkoknya!
Semua begitu indah kalau pikiran tidak dika caukan oleh ingatan akan hal-hal
yang dianggap tidak menguntungkan dan tidak menyenangkan ‘aku!.
Akan tetapi, tiba-tiba
perhatiannya tertarik kepada tujuh orang yang datang dari jauh menuju ke tempat
itu. Mereka itu tujuh orang laki-laki yang agaknya hendak pergi ke dusun para
petani, dan melihat sikap mereka, diam-diam Sie Liong mengerutkan alisnya.
Mereka itu jelas bukan petani. Cara mereka berjalan melenggang, pakaian dan
sikap mereka, bahkan melihat gagang golok dan pedang tersembul di balik pundak
mereka. Jelas bahwa mereka itu adalah golongan orang-orang persilatan, atau
orang kang-ouw. Mungkinkah ada orang-orang kang-ouw tinggal di dusun itu?
Ataukah mereka itu pendatang dari luar?
Kekhawatirannya terbukti
ketika dia melihat beberapa orang petani, laki-laki dan perempuan, melarikan
diri meninggalkan sawah ladang mereka. Semua petani yang tadi bekerja di
ladang, melarikan diri begitu melihat tujuh orang laki-laki itu. Kecuali wanita
yang tadi membangkitkan kekaguman hati Sie Liong. Ia sedang asyik mencabuti
rumput, dengan membungkuk membelakangi jalan sehingga ia tidak melihat
kedatangan tujuh orang laki-laki itu.
Sie Liong siap siaga, akan
tetapi dia masih duduk di bawah pohon. Dengan duduk seperti itu, dia memang
agak terserabunyi oleh semak alang-alang yang tumbuh di tepi selokan dekat
ladang. Namun, dia memandang penuh perhatian. Kini, tidak ada lagi petani yang
bakerja di ladang yang luas itu kecuali wanita tadi.
Tepat seperti yang
dikhawatirkan, tujuh orang laki-laki itu berhenti melangkah ketika tiba di
dekat ladang di mana wanita itu masih bekerja. Wanita itu menungging dengan
pinggul ke arah mereka, tidak menyadari bahwa cara ia berdiri dan bekerja ini
seolah memamerkan pinggulnya yang bulat dan besar itu, tidak tahu bahwa ada
tujuh orang kasar sedang menikmati pandangan yang mengagumkan mereka itu. Dan
seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan agaknya menjadi
pemimpin mereka, tertawa bergelak.
‘Ha-ha-ha, sungguh indah
sekali tubuh itu! Coba kulihat bagaimana wajahnya!!
Dia mengambil sebuah batu
dan melempar batu itu dengan keras ke arah tanah lumpur dekat wanita itu. Air
lumpur memercik dan mengotori paknian wanita itu yang agaknya baru sadar dan
iapun cepat meluruskan tubuh, membalikkan kepala memandang. Matanya terbelalak
dan mulutnya ternganga ketika ia melihat tujuh orang itu. Ia menoleh ke kanan
kiri dan baru sekarang ia tidak melihat adanya mereka yang tadi bekerja di
ladang. Wanita itu kini terbelalak, mukanya pucat sekali dan matanya
mengingatkan Sie Liong kepada mata seekor kelinci kalau ditangkapnya. Liar
ketakutan!
‘Ha-ha-ha, cantik! Manis
sekali, dan perempuan dusun tentu sehat dan segar, ha-ha-ha!! Si brewok itu
dengan langkah lebar lalu menghampiri tepi ladang, berdiri di tepi sambil
menjulurkan tangan ke arah wanita itu.
‘Manis, ke sinilah dan
bersihkan kaki tanganmu. Mari engkau ikut dengan kami, ha-ha-ha!!
Wanita itu agaknya,
seperti para petani lainnya, sudah tahu siapa adanya tujuh orang laki-laki itu.
Dengan tubuh menggigil dan muka pucat ia hanya menggeleng kepala tanda ia tidak
mau, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulut yang gemetar itu.
‘Ahh, manis, jangan
malu-malu. Nanti kalau kami mendapatkan sumbangan yang cukup banyak dari dusun-dusun,
tentu aku tidak akan melupakanmu dan akan memberi hadiah yang besar kepadamu.
Hayolah, senangkan dan hibur hati kami yang sedang kesepian ini, manis.
Ha-ha-ha!! Enam orang lainnya yang menunggu di tepi jalan ikut pula tertawa.
Mereka semua senang melihat wanita petani yang berwajah manis dan bertubuh
padat itu.
Wanita itu tidak berani
berkutik, berdiri menggigil dan terus saja menggeleng kepala tanda bahwa ia
tidak sudi memenuhi permintaan si brewok itu.
Si brewok kini
membelalakkan matanya lebar-lebar. ‘Apa? Engkau berani menolak perintah
Tiat-jiauw Jit-eng (Tujuh Garuda Bercakar Besi)?! Dia memukulkan kepalan
kanannya pada telapak tangan kiri sehingga mengeluarkan bunyi keras. ‘Apa
engkau sudah bosan hidup dan memilih mampus? Sebelum mampus pun kau tidak akan
lepas dari tangan kami! Apa kau lebih suka diperkosa sampai mati daripada
melayani kami dangan manis?!
Wanita itu menjadi semakin
pucat dan tiba-tiba kakinya yang menggigil tidak manpu lagi menahan tubuhnya.
Ia jatuh berlutut di atas lumpur! Dan ia memberi hormat kepada si brewok itu.
‘Ampunkan saya.... saya
sudah bersuami...., ampunkan saya....!
‘Ha-ha-ha, lebih baik
lagi! Kalau engkau sudah bersuami, lalu apa sukarnya melayani kami? Hayo, ke
sinilah!! Si brewok kembali menjulurkan tangannya ke arah wanita itu.
‘Tidak.... tidak....
tidak!! Wanita itu menjerit histeris lalu menangis.
Marahlah si brewok.
Agaknya dia tidak mau turun ke lumpur karena sepatunya masih baru. Dia menengok
dan memerintahkan anak buahnya. ‘Turun dan seret ia ke mari!!
Seorang di antara mereka,
yang termuda, berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun sedangkan yang lain
antara empat puluh lima tahun, segera melangkah maju dengan sikap gagah. Orang
ini mukanya kecil sempit dan panjang, kepucatan seperti orang berpenyakitan,
matanya sipit dan hidungnya pesek. Dia menyeringai ketika dia turun ke ladang
menghampiri wanita itu yang bangkit berdiri dan mencoba untuk melarikan diri
menjauhi orang itu. Ia adalah seorang wanita, akan tetapi sejak kecil ia
bekerja di sawah ladang.
Tubuhnya kuat sekali dan
ia sudah terbiasa di lumpur, maka ia dapat berlari cepat. Berbeda dengan
laki-laki yang mengejarnya. Biarpun dia seorang kasar yang memiliki kekuatan
dan kepandaian, akan tetapi belum pernah dia berjalan di dalam lumpur, apalagi
dia bersepatu, tidak seperti wanita petani itu yang bertelanjang kaki. Maka,
sukarlah baginya untuk menangkap wanita itu! Kawan-kawannya menjadi gembira dan
merekapun mengepung ladang itu, menghadang wanita yang hendak melarikan diri.
Wanita itu menjadi semakin
ketakutan. Hanya pinggir yang dihalangi solokan itulah yang tidak dihadang
penjahat, maka iapun lari ke situ dan meloncat ke dalam solokan, terus mendaki,
dikejar oleh tujuh orang itu yang tertawa-tawa dan membuat gerakan
menakut-nakuti. Mereka itu memperoleh hiburan, seperti tujuh ekor kucing
mempermainkan seekor tikus sebelum menerkan dan mengganyangnya.
Kebetulan sekali wanita
itu melihat Sie Liong yang duduk di bawah pohon, maka iapun lari ke arah pohon
itu, lalu menubruk Sie Liong yang masih duduk bersila. Sie Liong merasa betapa
wanita itu merangkulnya, dan karena pakaian wanita itu penuh lumpur, maka
pakaiannya sendiripun terkena lumpur. Dia merasa betapa dada yang menempel pada
pundaknya itu berdebar dan bergelombang, dan betapa napas itu terengah-engah.
‘Tolonglah.... tolonglah
saya.... aduh, lebih baik saya mati daripada tertawan mereka.... tolonglah
saya....!
‘Enci, tenanglah dan
duduklah di belakangku. Biar aku yang akan menghadapi mereka.! kata Sie Liong.
Kini tujuh orang itu sudah
tiba di bawah pohon. Si brewok marah sekali melihat wanita itu berlutut di
belakang seorang laki-laki yang duduk barsila. Dia tidak perduli apakah pria
itu suami si wanita. Baginya, tidak perduli wanita itu bersuami atau tidak,
kalau sudah dikehendakinya, harus diserahkan kepadanya!
‘Heiii, siapa kau?!
Mendengar bentakan yang
nadanya amat congkak ini, Sie Liong lalu bangkit berdiri. ‘Namaku Sie Liong.
Aku melihat betapa kalian mengganggu wanita ini. Apakah kalian tidak malu?
Kalian ini tujuh orang laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita yang tak
berdaya. Pergilah kalian dari sini sebelum aku muak melihat tingkah kalian yang
tidak senonoh seperti binatang itu!! Sie Liong memang marah sekali melihat
perbuatan mereka tadi.
Tujuh orang itu
terbelalak. Keheranan melampaui kemarahan mereka sehingga mereka saling
pandang. Ada seorang pemuda biasa, bongkok pula, berani bicara seperti itu
kepada mereka? Sungguh aneh, aneh sekali sehingga mereka lupa akan kemarahan
mereka, bahkan mereka mulai tertawa-tawa.
‘Heh-heh, apakah engkau
seorang pendekar?! tanya si brewok untuk mengejek.
‘Seorang pendekar yang
bongkok! Pendekar Bongkok! Ha-ha-ha!!
‘Awas kau, Pendekar
Bongkok. Kupenggal punukmu untuk kubuat menjadi punuk panggang, baru tahu rasa
kau!!
Si brewok melangkah maju
selangkah. ‘Hei, Sie Liong, apakah engkau sudah buta, ataukah memang tuli?
Andaikata engkau tidak mengenal kami, tentu sudah mendengar akan nama besar
Tiat-jiauw Jit-eng!!
Sie Liong tersenyum.
‘Tujuh Garuda Cakar Besi atau Tujuh Garuda Cakar Tahu aku tidak perduli.!
‘Wah, pemuda bongkok ini
memang sudah bosan hidup!! kata si brewok sambil memberi isarat kepada anak
buahnya yang termuda, yang tadi mengejar-ngejar wanita itu tanpa hasil. Si mata
sipit hidung pesek ini, yang tadi merasa penasaran dan rugi karena tidak mampu
menerkam si manis, kini melangkah maju, lenggangnya dibuat-buat seperti seorang
jagoan aseli yang tidak pernah terkalahkan. Dia melenggang seperti layangan
yang tak seimbang, condang ke kanan dan ke kiri, kepalanya ditegakkan, dadanya
dibusungkan. Akan tetapi, karena dadanya memang tipis dan perutnya besar, maka
yang menjadi busung bukan dadanya melainkan perutnya!
‘Heiii, orang muda yang
tolol! Engkau ini masih muda, lemah dan bongkok pula, apa engkau tidak tahu
diri? Engkau berani menentang kami, hanya untuk membela seorang perempuan
dusun? Apamukah perempuan itu?! tanyanya dan suaranya dibesar-besarkan agar
berwibawa, akan tetapi karena suaranya memang kecil parau seperti suara seorang
penderita batuk kering, maka tetap saja suara yang keluar sama sekali tidak
berwibawa, malah lucu.
Biarpun di dalam hatinya
Sie Liong merasa marah sekali, namun dia tetap tenang dan sabar. ‘Enci ini
adalah kerabat yang paling dekat karena ia termasuk orang yang lemah tertindas,
membutuhkan bantuan. Dan kalian adalah orang-orang jahat, manusia-manusia
berwatak iblis yang patut ditentang!!
Si mata sipit hidung pesek
mengerutkan alisnya dan membentak marah ‘Wahhh, engkau ini pemuda kurang
ajar, aku yang akan menghajarmu, kusiksa sampai mampus!! Setelah berkata
demikian, diapun menyerang. Biarpun tubuhnya kerempeng dan dia kelihatan
berpenyakitan, ternyata si mata sipit hidung pesek ini mampu bergerak dengan
cepat sekali dan sambaran tangan kanannya ketika menjotos ke arah muka Sie
Liong mengandung tenaga yang terlatih.
‘Wuuuuuttt....!!
Tonjokan dengan tangan terkepal itu menyambar ke arah pipi kiri Sie Liong. Akan
tetapi pemuda bongkok ini tenang saja, seolah-olah tidak tahu bahwa dia
diserang dengan tonjokan yang akan dapat membuat pipinya bengkak dan giginya
rontok! Baru setelah kepalan itu hanya terpisah satu sentimeter saja dari
pipinya, secepat kilat dia menarik kepala ke belakang, tangan kiri menyambar,
menangkap lengan kanan lawan dan diapun mendorong, menambahkan tenaga dorongan
pukulan itu dengan tenaganya sendiri sehingga kepalan kanan si sipit pesek itu
meluncur terus dan melingkar ke arah pipi kirinya sendiri.
‘Desss...! Aughhhh....!!
Beberapa buah gigi berlompatan keluar dari mulutnya yang terbuka, dan hidungnya
berdarah karena kepalan tangan kanannya tadi dengan kuat sekali telah menghantam
ke arah mukanya sendiri!
‘Auhh.... auhh....
auhhh....!! Dia mengerang kesakitan, tidak mampu berkata ‘aduh! karena
mulutnya terasa seperti remuk. Dia membungkuk-bungkuk dan kedua tangan dengan
sibuknya memegang-megang dan meraba-raba mulut dan hidung.
Seorang di antara mereka
yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya hitam dan kulit muka itu
kaku seperti punggung buaya, agaknya muka itu memang rusak oleh penyakit kulit
yang hebat. Di antara tujuh orang gerombolan itu, dia terkenal sebagai seorang
yang memiliki tenaga besar, dan juga wataknya amat sombong karena memang sulit
mencari orang yang mampu mengalahkan raksasa muka hitam ini. Agaknya dia masih
terlalu mengandalkan kehebatan diri sendiri sehingga melihat Sie Liong mengalahkan
kawannya, dia masih juga memandang rendah pemuda bongkok itu dan agaknya dia
mengang gap bahwa kekalahan si mata sipit hidung pesek itu tadi hanya karena
kebodohannya sendiri, bukan karena kelihaian pemuda bongkok. Bahkan dia merasa
terlalu tinggi untuk berkelahi melawan seorang pemuda bongkok, maka dia ingin
mengalahkan pemuda itu dengan wibawanya saja.
‘Heii, bocah ingusan!
Lekas engkau berlutut dan memanggil engkong (kakek) kepadaku, baru aku akan
mengampunimu! Cepat....!! Sepasang matanya yang hitam dan mencorong itu melotot
galak.
‘Engkongku sudah mati,
dan seingatku, dia tidak seburuk engkau.! kata Sie Liong dengan sikap tenang.
‘Kalau begitu, aku akan
memaksamu berlutut!! bentak si raksasa muka hitan dan diapun sudah menyerang
dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan dada Sie Liong. Ketika
pemuda ini menarik diri ke belakang, tiba-tiba kaki kanan raksasa itu menendang
ke arah lututnya. Kalau sasaran tendangan itu terkena, tentu Sie Liong akan
benar-benar diharuskan berlutut karena tendangan itu kuat bukan main. Namun,
tentu saja Sie Liong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, dapat
melihat gerakan serangan ini dengan jelas, maka mudah saja baginya untuk
mendahului lawan. Sebelum kaki yang menendang itu sampai ke tubuhnya, dia
merendahkan diri, menggeser kaki ke kiri dan dari samping tangannya monotok ke
arah lutut kanan itu.
‘Tukkk!! Seketika kaki
yang besar itu terasa lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi raksana muka hitam
itu jatuh berlutut di atas kaki kanan dan kebetulan dia jatuh berlutut di depan
Sie Liong! Pemuda itu tersenyum dan berkata dengan suara mengejek.
‘Aku bukan engkongmu,
tidak perlu engkau berlutut memberi hormat!!
Tentu saja ucapannya ini
membuat raksas muka hitam itu menjadi marah sekali. Dia melompat berdiri, akan
tetapi kembali terguling karena kakinya masih terasa lumpuh. Melihat ini,
kawan-kawannya menjadi marah akan tetapi sekaligus maklum bahwa pemuda bongkok
itu benar-benar seorang pendekar yang amat lihai! Maka, tanpa banyak cakap lagi
mereka mencabut senjata golok atau pedang dari punggung mereka dan di lain
saat, Sie Liong telah dikepung tujuh orang yang memegang senjata tajam. Melihat
ini, wanita itu menangis ketakutan.
‘Jangan bunuh dia....
ahh, jangan bunuh dia yang tidak berdosa....! ratapnya sambil menangis.
Mendengar ini, si brewok
tertawa, ‘Ha-ha-ha, jadi engkau mau ikut denganku secara sukarela kalau kami
lepaskan bocah bongkok ini?!
‘Tidak, tidak.... kalian
bunuhlah aku, akan tetapi.... jangan bunuh dia yang tidak berdosa....!
‘Enci, tenanglah. Mereka
tidak akan mampu membunuhku atau membunuhmu!! kata Sie Liong kepada wanita itu,
hatinya terasa gembira sekali karena ternyata wanita dusun yang ditolongnya itu
adalah seorang wanita yang hebat! Berani mengorbankan nyawa untuk
mempertahankan kehormatan, juga amat baik budi sehingga tidak tega melihat dia
dikepung dan diancam bunuh oleh para penjahat itu.
Kini tujuh orang penjahat
itu sudah menggerakkan senjata mereka dan serentak mereka menyerang. Namun,
baru mereka menyerang dua tiga jurus tubuh pemuda bongkok itu sudah lenyap,
berubah menjadi bayangan yang dengan cepatnya menyelinap di antara sambaran
senjata mereka. Mereka merasa terkejut, akan tetapi juga penasaran dan mereka
terus mengarahkan senjata mereka, menyerang bayangan yang amat gesit itu. Akan
tetapi, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan tahu-tahu pemuda bongkok itu sudah
menyerang dari atas, bagaikan seekor naga dari angkasa saja!
Dan sekali kaki tangannya
bergerak, empat orang jatuh tersungkur seperti disambar petir dari atas! Tiga
orang penjahat lainnya terkejut sekali, namun merekapun hanya diberi kesempatan
untuk bengong sejenak karena tiba-tiba saja merekapun terjungkal roboh oleh
tamparan tamparan tangan Sie Liong yang ampuh bukan main itu.
Tujuh orang itu baru
sekarang merasa jerih. Mereka bertujuh, yang memegang senjata, roboh dalam
beberapa gebrakan saja melawan pemuda bongkok itu! Tamparan yang hanya sekali
itu saja sudah membuat mereka roboh dan bagian badan yang dipukul terasa
seperti remuk! Si brewok, pimpinan mereka dan merupakan orang yang paling
tangguh, dapat lebih dulu bangkit dan dia sudah siap untuk melarikan diri meninggalkan
teman-temannya. Akan tetapi dengan beberapa langkah saja, Sie Liong sudah dapat
menangkap pundaknya. Tekanan tangan Sie Liong pada pundak itu membuat si brewok
menggigil saking nyerinya dan diapun jatuh berlutut. Pundak yang dicengkeram
pemuda bongkok itu seperti dibakar atau dicengkeram kaitan baja membara saja,
panas dan perih, nyeri sekali, terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.
‘Ampun, taihiap....
ampun, saya mengaku kalah!!
‘Hemm, aku tidak
membutuhkan pengakuan kalah darimu! Aku tidak membutuhkan kemenangan. Akan
tetapi aku minta agar kalian suka sadar dari kelakuan jahat kalian dan
bertobat!!
‘Ampun, taihiap,....
saya bertobat....!!
‘Hemm, siapa percaya
omongan orang jahat macam engkau?!
‘Saya bersumpah takkan
melakukan kejahatan lagi, taihiap, akan tetapi saya akan bekerja seperti
dahulu, yaitu memburu binatang hutan. Dahulunya kami adalah pemburu-pemburu,
karena tertarik penghasilan besar lalu mulai merampok orang yang lewat di hutan....!
‘Benar, engkau bertobat
dan hendak kembali ke jalan benar?! tanya Sie Liong. ‘Aku tetap tidak percaya
kalau engkau dan teman-temanmu tidak memperlihatkan buktinya. Sumpah mulut saja
tidak ada artinya.! Dia lalu menggertak, ‘Atau aku akan membiarkan kalian
mati tersiksa dengan memberi pukulan mematikan?!
Kini dia melepaskan
cengkeramannya dan seketika si brewok tidak merasa nyeri lagi. Dia makin yakin
bahwa pendekar muda yang bongkok itu betul-betul lihai.
‘Taihiap, kami bersumpah
dan inilah buktinya!! Dia menyambar goloknya yang tadi terlempar, membuka
sepatu kirinya dan sekali bacok, lima buah jari kaki kirinya buntung! Darah
mengalir deras dari kaki yang buntung jari-jarinya itu. Diam-diam Sie Liong terkejut,
akan tetapi juga girang karena dia maklum bahwa si brewok itu
bersungguh-sungguh!
‘Hayo kalian buntungi
jari kaki kiri masing-masing seperti aku, siapa yang tidak mau, aku yang akan
membuntunginya sendiri. Mulai saat ini, kita tidak akan merampok manusia lagi,
melainkan memburu binatang seperti dulu lagi!!
Enam orang anak buahnya
melihat bahwa pimpinan mereka sungguh-sungguh dan merekapun jerih terhadap
Pendekar Bongkok, demikian mereka menyebut Sie Liong, maka merekapun mengambil
senjata masing-masing yang tadi terlempar, lalu membabat buntung jari kaki kiri
mereka. Melihat ini, wanita dusun itu menutupi muka karena merasa ngeri.
Sie Liong lalu menghampiri
mereka seorang demi seorang, menotok kaki kiri mereka di atas bagian yang
terluka, mengeluarkan obat bubuk putih yang ditaburkan pada luka di kaki.
Seketika, tujuh orang itu merasa betapa kenyerian jari yang dibuntungi itu
lenyap, dan luka-luka itupun cepat menjadi kering. Mereka menjadi semakin
kagum. Kiranya Pendekar Bongkok ini selain amat lihai ilmu silatnya, juga
pandai ilmu pengobatan. Hal ini sebetulnya tidaklah mengherankan kalau
diketahui bahwa seorang di antara orang-orang sakti yang menggembleng Sie Liong
adalah Pek-sim Sian-su, seorang sakti yang pandai dalam ilmu pengobatan pula.
‘Ingat akan sumpahmu
sendiri,! kata Sie Liong ketika mereka semua sudah berdiri dan siap untuk
pergi. ‘Kalau kelak kalian tetap menjadi penjahat dan mengganggu orang lain,
dan aku mendengarnya, pasti akan kucari kalian sampai dapat dan bukan hanya jari
kaki kalian saja yang harus dipotong. Selain itu, aku akan membangkitkan
semangat para penduduk dusun agar mereka bersatu padu dan hendak kulihat, kalau
ratusan orang dusun itu bersatu padu melawan kalian, apa yang dapat kalian
lakukan terhadap mereka!!
Diam-diam si brewok dan
teman-temannya merasa ngeri. Bukan saja mereka ngeri terhadap kesaktian
Pendekar Bongkok, akan tetapi juga ngeri kalau benar penduduk dusun sampai
bangkit menentang mereka, maka tentu mereka akan dikeroyok ratusan orang dan
akan dihancur lumatkan oleh mereka yang mendendam kepada mereka. Kalau biasanya
mereka itu dapat merajalela adalah karena mereka menang gertakan dan para
penduduk dusun itu belum apa-apa sudah ketakutan lebih dulu, melarikan diri
bersembunyi daripada melakukan perlawanan berpadu.
Tujuh orang itu, dipimpin
oleh Si Brewok, menghaturkan terima kasih kepada Sie Liong, kemudian mereka
pergi meninggalkan tempat itu, tidak jadi mengganggu wanita petani atau dusun
di dekat ladang itu. Setelah mereka pergi, Sie Liong menghampiri wanita dusun
itu dan dengan senyum kagum dia berkata sambil berlutut di dekat wanita yang
masih duduk di atas rumput dengan wajah masih diliputi ketegangan itu.
‘Untung bahwa engkau
tabah sekali menghadapi mereka, enci....! katanya.
Wanita iru mengangkat
muka, memandang kepadanya dan kembali air matanya menetes-netes turun ke atas
pipinya. Mulut wanita itu berkemak-kemik, namun tidak ada suara yang keluar,
akhirnya, ia mengeluarkan jerit kecil dan merangkulkan kedua lengannya pada
pundak dan leher Sie Liong sambil menangis! Pemuda bongkok itu terkejut, akan
tetapi mendiamkannya saja dan tersenyum ketika dia merasa kehangatan air mata
menembus bajunya karena wanita itu menangis di atas dadanya. Bahkan diapun lalu
merangkul dan menepuk-nepuk pundak wanita itu dengan lembut.
‘Tenanglah, enci, bahaya
sudah lewat sekarang,! hiburnya.
Wanita itu bahkan
mempererat rangkulannya dan terdengar bisikan dari mulut yang disembunyikan di
dadanya itu lirih. ‘Adik yang baik, ahh.... taihiap yang gagah perkasa,
engkau telah menyelamatkan diriku.... terima kasih, taihiap, terima kasih....!
Suaranya mengandung isak dan tubuhnya gemetar, seolah-olah ia teringat akan
peristiwa tadi dan membayangkan betapa akan ngerinya kalau ia sampai terjatuh
ke tangan tujuh orang itu.
‘Sudahlah, enci. Sudah
semestinya aku melindungimu, dan aku kagum sekali melihat ketabahanmu tadi.
Lepaskanlah rangkulanmu, lihat, di sana datang orang-orang dusun.!
Mendengar ini, wanita itu
melepaskan rangkulannya dan dengan wajah masih basah air mata, ia menoleh ke
kiri dan benar saja, dari arah dusun, datang berlari-larian banyak sekali
penduduk dusun ke tempat itu. Dan di tangan mereka terpegang segala macam alat
pertanian yang agaknya kini hendak dijadikan senjata.
Sie Liong merasa tegang
dan juga malu. Dia tahu bahwa mereka yang berlari dan datang itu tadi melihat
betapa dia dan wanita itu berpelukan-pelukan! Untuk menghilangkan rasa sungkan
dan tidak enak itu, Sie Liong lalu bangkit dan memuguti potongan jari-jari kaki
itu, dan mengumpulkannya di atas sehelai kain saputangan. Melihat ini, wanita
dusun itu bergidik.
‘Taihiap, untuk apakah
kau.... mengumpulkan benda-benda mengerikan itu?!
‘Aku akan menguburnya,
enci.! kata Sie Liong sambil memunguti terus.
Tak lama kemudian,
rombongan orang dusun itu tiba di situ. Seorang laki-laki berusia kurang lebih
tiga puluh tahun yang memegang sebatang tongkat panjang moloncat maju
menghampiri wanita itu.
‘Kui Hwa, apa yang telah
terjadi?! tanyanya, suaranya mengandung kemarahan.
Wanita dusun itu menangis
dan lari menghampiri laki-laki itu. ‘Aku.... aku hampir saja celaka....!!
serunya sambil menangis dan ia handak merangkul laki-laki yang ternyata adalah
suaminya itu. Akan tetapi, liki-laki itu mendorongnya sehingga ia terpelanting.
‘Jangan sentuh aku!
Engkau perempuan tak tahu malu!!
Wanita dusun yang bernama
Kui Hwa itu terbelalak. Saking kaget dan herannya, ia tidak merasakan kenyerian
punggungnya ketika terpelanting oleh dorongan suaminya.
‘Apa.... apa
maksudmu....?! tanyanya dangan heran, dan lebih heran lagi ia ketika melihat
betapa orang-orang lain, para pria di dusunnya, para tetangganya memandang
kepadanya dangan sinar mata mencemoohkan dan agaknya membenarkan sikap suaminya
itu!
‘Maksudku kau tanyakan!
Maksudmulah yang ingin sekali kuketahui! Apa yang telah terjadi di sini?!
Suaminya itu dangan berang melirik ke arah Sie Liong yang sudah selesai
mengumpulkan potongan jari-jari kaki tadi dan kini berdiri di situ dangan muka
ditundukkan, potongan jari-jari kaki tadi berada dalam buntalan kain
saputangan.
‘Suamiku, apakah engkau
tidak mendangar dari para tetangga kita tadi? Mereka, Tiat-jiauw Jit-eng itu
datang lagi!! kata si isteri yang masih terheran-heran melihat sikap suaminya.
‘Tentu saja kami semua
mendangar. Lalu di mana mereka dan apa yang telah terjadi di sini?! kembali dia
menoleh ke arah Sie Liong dangan wajah merah saking marahnya.
‘Mereka telah dikalahkan
oleh taihiap ini, mereka telah melarikan diri dan aku.... aku diselamatkan oleh
taihiap ini!! kata si isteri dangan suara gembira dan bangga.
‘Bohong!! Tiba-tiba sang
suami membentak dan isteri itu kembali terkejut sekali, dan kini Sie Liong
mengangkat mukanya, memandang kepada suami itu dengan sinar mata mencorong.
Akan tetapi, dia bersikap sabar karena dia dapat menduga apa yang menjadi sebab
sang suami itu bersikap seburuk itu dan mengapa pula orang-orang dusun itu
berdiri saja, agaknya membenarkan sikap suami itu.
‘Suamiku, kenapa engkau
mengatakan bohong? Pendekar muda ini yang bernama Sie Liong, dia yang telah
menyelamatkan aku dari gangguan mereka, bahkan pendekar perkasa ini yang
memaksa mereka untuk meninggalkan pekerjaan jahat mereka, dan mereka bersumpah
dangan membuntungi jari-jari kaki mereka sebelum pergi dari sini. Aih, suamiku,
pendekar muda ini sungguh perkasa dan kita sedusun patut berterima kasih
kepadanya....!
‘Cukup! Kui Hwa, jangan
mengira bahwa kami semua adalah orang-orang buta dan bodoh, mudah saja kautipu
dengan kata-katamu itu! Kami melihat betapa engkau bercumbu dan berjina dengan
dia....!
‘Diam....!! Kui Hwa yang
lemah lembut itu kini membentak, dan ia berdiri bagaikan seekor singa kelaparan
atau seekor betina membela anaknya. ‘Jangan engkau berani mengeluarkan ucapan
kotor itu! Pendekar ini menyelamatkan aku, bahkan menyelamatkan orang sedusun
dan kalian berani menuduhnya berbuat yang bukan-bukan?!
‘Phuhh!! Suami itu
meludah. ‘Mataku belum buta, aku melihat betapa kalian tadi berpelukan dan
berciuman!! (Terlalu mengada-ada Nich )
‘Engkau yang bohong!
Engkau yang kotor dan memang kalian bodoh! Aku memang merangkulnya sambil
menangis, terharu dan menghaturkan terima kasih, dan dia menghiburku, sama
sekali kami tidak berciuman.... aihh, agaknya memang matamu telah buta! Taihiap
ini menundukkan tujuh orang gerombolan penjahat itu, membuat mereka taluk dan
bertobat, bahkan mereka telah membuntungi jari-jari kaki sambil bersumpah dan
kalian....!
‘Sudah! Siapa percaya
obrolanmu? Engkau memang perempuan tak tahu malu, mungkin dia ini anggauta
bahkan pemimpin perampok! Dan engkau sudah tergila-gila kepada laki-laki
bongkok ini! Sungguh tak tahu malu!! Berkata demikian, laki-laki yang sedang
diamuk cemburu itu lalu mengangkat tongkat kayunya dan menghantamkan tongkat
kayunya kepada Sie Liong!
Pendekar ini berdiri
bengong. Sungguh tak disangkanya sama sekali bahwa cemburu dapat membuat orang
menjadi seperti gila! Saking herannya, ketika suami itu memukul dengan tongkat
kayu, diapun diam saja, tidak bergerak seperti patung dan pada saat kayu itu
menghantam kepalanya, barulah dia mengerahkan sin-kang untuk melindungi kepala
yang dipukul itu.
‘Krakkk!! Tongkat kayu
itu patah-patah ketika bertemu dangan kepala Sie Liong.
‘Ahh....!! Suami wanita
dusun itu terbelalak dan mukanya pucat memandang kepada tongkat yang tinggal
sepotong pendek di tangannya, sedangkan tongkat yang kuat itu telah patah
menjadi tiga potong! Kepala orang bongkok itu melebihi besi kerasnya!
Sie Liong mengangkat muka
memandang kepada suami itu dangan sinar mata mencorong. ‘Hemm, engkau memang
orang bodoh, keras kepala, dan memang sepatutnya kalau matamu buta! Engkau
tidak patut menjadi suami dari seorang isteri yang begini baik hati, tabah dan
berani mempertaruhkan nyawa untuk menjaga kehormatannya. Engkau pantasnya
menjadi suami seekor kambing atau seekor monyet! Huh, menjemukan sekali!!
katanya dan diapun melemparkan buntalan itu ke atas tanah, kemudian berpaling
kepada wanita dusun sambil memberi hormat.
‘Enci, maafkan kalau aku
hanya membikin engkau menjadi ribut dangan suamimu. Selamat tinggal, enci,
semoga Tuhan akan menyadarkan suamimu ini!! Dan sekali berkelebat, Sie Liong
lenyap dari depan mereka, membuat suami wanita itu dan para penduduk dusun terkejut
dan melongo.
Suami itupun terkejut dan
dia menjadi ketakutan. ‘Apakah dia.... dia itu tadi.... setan....?! tanyanya
kepada isterinya.
Isterinya menjadi gemas
sekali. Tangannya bergerak manampar. ‘Plakkk!! pipi suami itu telah
ditamparnya!
‘Laki-laki yang tolol,
gila oleh cemburu buta! Masih berani engkau mengatakan bahwa pendekar sakti itu
setan? Engkau inilah yang setan! Kalian tidak percaya akan ceritaku tadi, ya?
Kalian semua mengira bahwa aku telah berjina dangan dia karena kalian melihat
dari jauh betapa kami saling berangkulan? Ohhhh, memang kalian ini orang-orang
bodoh! Dangar baik-baik. Tujuh orang penjahat itu datang ke sini. Aku tidak
tahu bahwa mereka datang maka aku tidak sempat lari seperti yang lain. Dan
mereka itu mengejar-ngejarku, hendak menangkapku dan tentu saja, dengan niat
yang amat kotor! Dan aku melihat pendekar itu duduk seorang diri di bawah
pohon. Tadinya aku tidak tahu bahwa dia pendekar, akan tetapi dalam keadaan
ketakutan setengah mati itu, aku lari padanya dan mohon tolong. Siapa saja akan
kumintai tolong dalam keadaan hampir mati ketakutan seperti itu. Dan dia
bangkit, dia mengalahkan semua penjahat, memaksa mereka itu bertobat, dan
mereka membuntungi jari-jari kaki kiri mereka untuk tanda bertobat. Dan kalian tidak
percaya? Dan engkau, engkau sudah gila, engkau malah mencemburui kami dan
engkau malah menghina pendekar itu? Masih untung hanya tongkatmu yang
dipatahkan, bukan lehermu! Kalau kalian tidak percaya, lihat ini buktinya!! Dia
memunguti jari-jari kaki itu untuk dikuburkan. ‘Nah, makanlah ini!!
Wanita itu lalu
melemparkan buntalan itu ke arah suaminya, setelah membuka ikatannya. Dan
potongan-potongan jari kaki, sebanyak tiga puluh lima potong, berhamburan
mengenai muka dan leher suaminya.
Si suami tentu saja
bergidik ngeri juga para penduduk dusun merasa ngeri ketika mereka melihat
bukti itu. Jari-jari kaki yang masih berlumuran darah! Sementara itu, Kui Hwa
sudah berlari pulang sambil menangis.
Barulah suami itu merasa
menyesal dan percaya sepenuhnya akan keterangan isterinya. Kini dia dapat
membayangkan betapa takutnya isterinya tadi ketika dikejar-kejar tujuh orang
penjahat keji itu, tanpa ada orang yang dapat menolongnya. Kemudian muncul
pendekar bongkok itu yang mengalahkan semua penjahat, yang berarti telah
menyelamatkan isterinya itu dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada
maut. Maka, kalau dalam keadaan penuh rasa syukur dan keharuan itu isterinya
merangkul penolongnya dan manangis di dadanya, apakah yang aneh dalam hal itu?
Juga pendekar itu bukan golongan pemuda yang terlalu menarik hati wanita, dan
isterinya tak mungkin tertarik kepada seorang yang tubuhnya bongkok seporti
itu!
‘Kui Hwa,
tunggulah....!! Dia barteriak berlari-lari mengejar isterinya, di dalam hatinya
yang penuh penyesalan itu kini penuh dangan harapan agar isterinya suka
memaafkannya. Sementara itu, para penduduk dusun yang lain segera mengumpulkan
jari-jari kaki itu dan menguburnya dengan hati penuh rasa syukur bahwa kini
Tiat-jiauw Jit-eng yang selama beberapa bulan lalu mengganas di sekitar daerah
itu, kini telah bertobat dan berarti meraka tidak akan lagi diganggu oleh
mereka yang amat jahat itu. Dan semua ini berkat jasa Pendekar Bongkok, nama
yang takkan pernah mereka lupakan dan yang semenjak terjadinya peristiwa itu
menjadi buah bibir mereka sehingga nama julukan pendekar baru ini mulai
terkenal.
Sie Liong melarikan diri
meninggalkan ladang dusun itu dangan senyum pahit di bibirnya. Dia memang sudah
memaklumi banar-benar keadaan dirinya, sudah diterimanya keadaan dirinya
seperti apa adanya. Memang dia berpunuk, dia bongkok dan itu merupakan sebuah kenyataan
yang takkan dapat dirobah. Titik. Dia tidak akan lagi mengeluh, tidak lagi
memperhatinkan keadaan tubuhnya yang telah menjadi pemberian Tuhan dan yang
diterimanya dangan penuh kepasrahan dan rasa syukur. Akan tetapi, kalau terjadi
peristiwa seperti di sawah ladang tadi, bagaimanapun juga hatinya terasa
seperti ditusuk.
Dia berniat baik. Dia
menyelamatkan wanita dusun itu, bahkan dia menundukkan gerombolan jahat yang
berarti juga menghindarkan dusun dari gangguan orang jahat. Dia melakukan hal
itu tanpa pamrih, tidak minta imbalan apapun. Akan tetapi, dia malah didakwa
melakukan hal yang rendah, didakwa berjina dengan wanita petani itu! Sungguh
menyakitkan hati memang. Bongkoknya terbawa-bawa pula, bahkan mungkin
bongkoknya itulah yang menimbulkan kecurigaan para penduduk dusun, yang
mendatangkan kesan buruk dan membuat dia condong nampak sebagai orang yang
jahat!
‘Biarlah,! dia
mengeluarkan kata-kata ini melalui mulutnya, dengan agak keras untuk melunakkan
hatinya yang menjadi keras dan panas. ‘Biarlah mereka mengatakan apapun juga!
Yang penting, aku yakin benar bahwa aku tidak melakukan hal yang buruk, dan
Tuhan mengetahui, Tuhan melihat dan Tuhan yang takkan dapat ditipu oleh
kebongkokan tubuhku!! Pikiran ini diucapkannya keras-keras dan akhirnya hatinya
menjadi dingin dan lunak kembali.
Bab 12
Dia berhanti di atas
puncak bukit terakhir tadi, dan dari situ dia melihat ke selatan. Di sanalah
terdapat propinsi Tibet! Dan kini dia telah tiba di perbatasan tiga propinsi
besar. Di utara adalah Propinsi Sin-kiang. Di timur Propinsi Cing-hai, dan di
selatan adalah Tibet, negara yang dikuasai para pendeta Lama itu.
Dia menuruni bukit dan
menuju ke sebuah dusun yang tadi dilihatnya dari bukit itu. Daerah itu
merupakan daerah yang tandus dan luas sekali, jarang terdapat dusun, maka kalau
melihat sebuah dusun, maka hal itu merupakan hal yang menggembirakan bagi
seorang pengelana di daerah itu. Mungkin berhari-hari dia tidak akan bertemu
dusun, dan hari ini, matahari telah condong jauh ke barat. Sebentar lagi tentu
akan gelap dan lebih baik melewatkan malam di dalam dusun yang hangat di mana
dia dapat memperoleh makanan dan minuman daripada bermalam di daerah terbuka
yang asing baginya.
Dusun itu cukup besar
dikurung pagar tanah liat yang dibangun seperti tembok. Di dalam dusun itu
tinggal penduduk yang jumlahnya tidak kurang dari lima ratus keluarga!
Pekerjaan mereka bercocok tanam dan berburu, ada pula yang mengusahakan
peternakan kambing. Dan melihat keadaan bangunan rumah yang cukup baik itu, Sie
Liong dapat mengambil kesimpulan bahwa penghasilan penduduk itu cukup untuk
sandang pangan, bahkan berlebihan.
Di situ terdapat pula
beberapa buah warung makan, bahkan terdapat pula sebuah rumah penginapan!
Kiranya dusun ini ada pula pengunjungnya dari luar kota pikirnya. Memang
demikianlah, banyak dusun di daerah itu manyediakan rumah penginapan, karena
mereka maklum bahwa para pedagang dan pengelana yang lewat di dusun, dan
kemalaman, tentu akan mencari rumah penginapan, mengingat bahwa dusun
berikutnya amatlah jauhnya! Dan banyak pula yang membuka tempat menjual
barang-barang keperluan sehari-hari.
Sie Liong segera menyewa
sebuah kamar di rumah penginapan itu. Beruntung bahwa dia tidak terlambat,
karena pada hari itu, banyak tamu luar kota bermalam di dusun itu. Kepala dusun
itu mengadakan perayaan pesta pernikahan puteranya! Dan tentu saja dia
mengundang relasi dan sahabatnya dari luar dusun.
Setelah mandi dan makan
malam, Sie Liong keluar dari kamarnya yang kecil dan berjalan-jalan di dalam
dusun itu. Keadaan dusun itu tidak seperti biasanya. Kini ramai sekali. Hal ini
adalah karena adanya pesta perayaan pernikahan di rumah kepala dusun. Boleh
dibilang bahwa seluruh penduduk dusun ikut pula berpesta, atau setidaknya, ikut
bergembira dengan memasang lampu gantung di depan rumah masing-masing sehingga
keadaan di luar rumah kini terang dan gembira, tidak seperti biasa. Juga
sebagian basar penduduk keluar dari rumah mereka untuk menyaksikan pemboyongan
mempelai wanita yang kabarnya akan diambil malam hari itu. Mempelai wanita
adalah seorang gadis yang rumahnya di sudut dusun, dan pengambilan mempelai itu
dilakukan malam hari, diarak dan diikuti rombongan penari dan penabuh gamelan.
Pengantinnya akan naik joli yang digotong empat orang, sedangkan mempelai
prianya akan menunggang kuda. Sie Liong mendengar keterangan ini dari pengurus
rumah penginapan dan diapun dengan gembira kini berjalan-jalan sebelum nanti
ikut nonton arak-arakan pengantin puteri yang diboyong ke rumah mempelai pria.
Tanpa disengaja, Sie Liong
berjalan-jalan menuju ke barat dan tak lama kemudian tibalah dia di sudut dusun
itu dan berada di luar rumah kediaman pengantin wanita! Rumah itupun dihias
meriah, penuh daun-daunan dan bunga-bunga, di antaranya hiasan kertas dan kain
berwarna-warni, dan dipasang banyak lampu gantung yang dihias kertas-kertas
merah. Suasana di rumah itu meriah sekali, dan nampak banyak orang sedang sibuk
mempersiapkan joli dan semua peralatan upacara pernikahan. Melihat keadaan
rumah itu, tanpa diberitahupun Sie Liong dapat menduga bahwa tentu di situ
tempat tinggal pengantin wanita.
Karena di luar pekarangan
rumah itu terdapat banyak orang yang nonton, terutama anak-anak, Sie Liong
menggabung dengan mereka, berdiri di antara para penonton. Sebagian dari para
penonton itu berpakaian jembel dan barulah Sie Liong tahu bahwa dia berdiri di
antara para pengemis dan kanak-kanak ketika dari dalam keluar seorang yang
membawa keranjang berisi makanan lalu orang itu membagi-bagikan makanan kepada
mereka. Karena dia berada di antara mereka, diapun kebagian sepotong kueh
mangkok! Hemm, dia disangka seorang jembel pula, pikirnya sambil tersenyum. Dia
tidak merasa sakit hati. Memang pakaiannya lusuh, apalagi punggunguya bongkok.
Bukankah di antara para pengemis terdapat banyak orang yang cacat dan tidak
sempurna keadaan tubuhnya? Disangka pengemis bukanlah suatu hal yang buruk,
asal jangan disangka penjahat seperti dialaminya di ladang dusun itu! Maka,
seperti yang lain, diapun makan kueh mangkok itu dengan gembira.
Tiba-tiba dia melihat
seorang pemuda yang baru datang manyelinap pula di antara para penonton. Dia
merasa curiga. Pemuda itu jelas bukan pengemis dan melihat pakaiannya, tentu
dia seorang petani. Seorang pemuda tani yang bertubuh sehat dan berwajah jujur,
akan tetapi pada saat itu wajahnya membayangkan kemarahan dan penasaran, bahkan
masih ada bakas air mata pada kedua pipinya.
Pada saat itu, para
penonton di luar halaman itu berdesakan untuk dapat melihat lebih jelas ke
dalam rumah karena agaknya ada upacara penghormatan mempelai puteri kepada ayah
ibunya sebelum ia diboyong ke rumah calon suaminya. Upacara itu diadakan di
ruangan depan, di depan meja sembahyang. Ketika mempelai wanita yang berpakaian
indah mariah itu muncul dari dalam, menuju ke ruangan depan yang nampak dari
luar, dituntun oleh dua orang nenek yang agaknya menjadi pengatur upacara itu.
Karena pakaian yang longgar dan banyak hiasannya itu, juga karena muka itu
tertutup tirai, maka Sie Liong tidak dapat melihat wajah pengantin itu, hanya
dapat diduga bahwa ia seorang gadis yang bertubuh ramping.
Ketika gadis yang menjadi
pengantin itu dituntun ke depan ayah ibunya yang sudah duduk berjajar di atas
kursi, terdangar ia terisak menangis dan menjatuh kan diri berlutut di depan
kaki mereka. Dua orang nenek itu terkejut dan hendak menuntunnya agar ia
berhati-hati dengan pakaiannya, akan tetapi mereka tidak kuasa menahan gadis pengantin
itu yang sudah menangis tersedu-sedu. Terdengar ucapannya di antara sedu
sedannya,
‘Ayah.... ibu.... aku
tidak mau kawin.... aku tidak mau menikah dengan.... anak kepala dusun itu....!
Tentu saja semua orang
yang berada di ruangan itu terkejut. Ayah dan ibu mempelai saling pandang dan
ibunya lalu merangkulnya, menghiburnya dengan bisikan-bisikan lembut. Akan
tetapi, mempelai wanita itu meronta-ronta dan tangisnya semakin menjadi-jadi.
‘Lian-ji....! Hentikan
tangismu itu! Jangan kau membikin malu orang tuamu!! Ayahnya menghardik dan
bentakan ini membuat pangantin wanita itu berhenti meronta, akan tetapi masih
tetap menangis terisak-isak.
‘Bawa ia masuk ke dalam
kamarnya dan usahakan agar ia tidak menangis lagi! Anak sialan....!! Sang ayah
marah-marah dan dua orang nenek itu lalu membawa pengantin wanita bangkit
berdiri untuk membawanya kembali ke kamar.
Pada saat itu, terdangar
teriakan dari luar. ‘Tidak adil....! Sungguh tidak adil dan
sewenang-wenang....!!
Dan pemuda petani yang
tadi menimbulkan kecurigaan hati Sie Liong, nampak meninggalkan kelompok
penonton dan berlari memasuki halaman, terus ke ruangan depan itu. Semua orang
terkejut dan juga ayah ibu mempelai wanita memandang dengan mata terbelalak.
‘Lian-moi....!! Pemuda
itu memanggil.
Mempelai wanita itu
meronta dan membalikkan tubuhnya. Melihat pemuda itu, iapun berseru,
‘Kiong-koko....!!
Dan iapun menangis, masih
berdirt karena dipegang erat-erat kedua lengannya oleh kedua orang nenek itu.
‘Un Kiong? Mau apa kau?
Berani kau datang ke sini membikin kacau? Kami tidak mengundangmu!! bentak ayah
mempelai wanita itu dengan marah sekali.
‘Saya datang untuk
menuntut keadilan!...!! Akan tetapi, tuan rumah sudah memerintahkan beberapa
orang anggauta keluarga yang hadir dan merasa tidak senang dengan perbuatan
pemuda itu, dan mereka kini menyerang pemuda yang tadinya sudah menjatuhkan
diri berlutut itu.
‘Pergilah! Pergi dan
jangan datang lagi!! bentak tuan rumah setelah pemuda itu terjengkang dan
bergulingan oleh beberapa pukulan dan tendangan. Akan tetapi pemuda bernama Un
Kiong itu tetap bangkit dan berlutut lagi.
‘Tidak! Aku tidak akan
pergi sebelum mendapat keadilan! Biar kalian memukuli aku sampai mati, aku
tidak akan pergi!! teriaknya marah. Sementara itu mempelai wanita beberapa kali
memanggil namanya. ‘Kiong-koko....!! akan tetapi ia sudah ditarik oleh dua
orang nenek, dibantu ibu mempelai dan diseret masuk ke dalam kamar.
Mendengar kenekatan pemuda
itu, para keluarga laki-laki itu menjadi marah, bahkan kini ayah mempelai ikut
pula memukuli pemuda yang masih nekat berlutut. Melihat ini, Sie Liong cepat
melompat ke dalam. Begitu dia bergerak menangkis tendengan dan pukulan itu,
beberapa orang terjengkang dan roboh sendiri karena serangan mereka tertangkis
sedemikian kuatnya, dan Sie Liong sudah mengangkat bangun tubuh pemuda itu yang
sudah babak belur dan bengkak matang biru.
Melihat munculnya seorang
pemuda bongkok yang membela Un Kiong, semua orang terkejut. Seorang di antara mereka,
yang bertubuh tinggi besar dan pandai silat, merasa penasaran dan dia lalu
menerjang ke depan, menghantam ke arah dada Sie Liong sambil membentak, ‘Mau
apa kau mencampuri urusan kami?!
‘Dukkk!! Kepalan
tangannya yang besar itu tepat mengenai dada Sie Liong akan tetapi akibatnya
sungguh membuat orang terbelalak. Bukan Sie Liong yang roboh melainkan
pemukulnya sendiri yang mengaduh-aduh sambil memegangi pergelangan tangannya
yang menjadi salah urat! Dia membungkuk dan menyeringai kesakitan, mengeluh.
Melihat itu, tentu saja semua orang menjadi jerih dan tidak ada lagi yang
berani menghalangi ketika Sie Liong memapah pemuda itu keluar dari situ. Ketika
tiba di luar rumah dan melihat betapa ban yak orang mengikutinya, yaitu mereka
yang tadi nonton dan agaknya mereka ingin tahu ke mana dia membawa pemuda yang
dipukuli itu, Sie Liong lalu memanggul pemuda itu dan berlari cepat sehingga
sebentar saja dia sudah menghilang dari kejaran para penonton.
Sie Liong membawa pemuda
itu ke luar dusun dan dia baru berhenti setelah tiba di tempat sunyi di luar
dusun itu. Mereka berdiri di bawah sinar bulan dan berkali-kali pemuda itu
menghela napas penuh penyesalan. Dia tahu bahwa pemuda bongkok ini bukan orang
sembarangan. Dia melihat ketika pemuda itu membawanya keluar dari dalam rumah
mempelai wanita, dan terutama sekali cara pemuda itu memanggulnya dan
membawanya lari secepat terbang.
‘Taihiap, kenapa engkau
monolongku? Mengapa engkau membawaku pergi dari sana?!
Sie Liong tersenyum. Orang
ini telah diselamatkan dari keadaan yang lebih parah lagi, mungkin dia akan
mati dipukuli orang, dan pemuda ini tidak berterima kasih bahkan menyesal!
‘Akan tetapi, kenapa
engkau begitu nekat, membiarkan dirimu dipukuli orang? Kalau ttdak kularikan,
mungkin engkau akan dipukuli sampai mati!!
‘Biar saja! Biar aku
dipukuli sampai mati agar Lian-moi melihat bukti cintaku kepadanya!!
‘Wah, sungguh aneh. Coba
caritakan, apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapa tahu, mungkin saja aku
akan dapat menolongmu.!
Pemuda itu menjatuhkan
diri duduk di atas tanah berumput. Sie Liong juga duduk dan pemuda itu
bercerita. Sejak kecil Un Kiong telah ditunangkan dengan Sui Lian, gadis itu.
Bahkan Un Kiong sudah seringkali menyumbangkan tenaganya bekerja di sawah
ladang tunangannya. Pernikahan antara mereka tinggal menanti hari, bulan dan
tahun yang baik saja. Akan tetapi, secara tiba-tiba, orang tua Sui Lian
mengumumkan bahwa pertunangan itu diputuskan, dibatalkan dan tahu-tahu, sebulan
kemudian Sui Lian dinikahkan dengan putera kepala dusun itu!
Kepala dusun itu orang
baru, belum setahun dia diangkat menjadi kepala dusun dan bertugas di sini.
Jelaslah, dibatalkannya pertunanganku itu disebabkan oleh kehadiran putera
kepala dusun itu. Seorang pemuda brengsek, pengejar perempuan, sombong dan
tidak ada gunanya! Tadinya aku sudah menerima nasib, aku tidak berdaya. Tadi
aku hanya ingin melihat, bersama para penonton, ingin melihat bekas tunanganku
yang sejak diputuskannya ikatan jodoh itu tidak pernah kulihat lagi. Akan
tetapi, melihat ia menangis, mendengar ucapannya bahwa ia tidak mau dikawinkan
dengan orang lain, aku tidak dapat menahan hatiku. Dan ia.... ah, ia masih
sempat memanggilku, dan ia.... ia begitu bersedih....! Karena itu, aku ingin
mati saja, biar mereka pukuli, biar aku mati di depan Lian-moi untuk
membuktikan cinta kasihku kepadanya!!
Sie Liong tersenyum.
‘Membuktikan cinta kasih dengan membiarkan diri mati dipukuli orang? Hemm,
itu bukan cara membuktikan cinta kasih yang baik! Kalau engkau mati dipukuli,
apakah tunanganmu itu akan merasa gembira? Apakah perbuatanmu itu akan dapat
membebaskan ia dari cengkeraman orang yang dipaksakan menjadi suminya?!
Un Kiong menjadi bengong,
lalu dia berulang-ulang menggeleng kepala dan menghela napas. ‘Lalu apa yang
dapat kulakukan, taihiap?!
‘Engkau pulanglah dan
biar aku yang akan membantumu. Aku akan membatalkan pernikahan paksaan itu dan
akan mengantarkan mempelai wanita ke rumahmu. Engkau bersiap-siaplah, besok
siang mempelai wanita akan kuantarkan ke rumahmu dan harus kausambut ia sebagai
mempelaimu.!
‘Tapi.... tapi.... tentu
mereka akan marah. Aku akan ditangkap dan bahkan orang tuaku akan masuk tahanan
dan dihukum!!
‘Jangan khawatir. Aku
yang bertanggung jawab, dan jangan takut. Aku akan menangani urusan ini sampai
tuntas dan andaikata engkau ditawan, aku yang akan membebaskanmu.!
Karena dia sendiri sudah
tak berdaya dan hampir putus asa, Un Kiong menaruhkan seluruh harapannya kepada
pendekar yang bongkok itu, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan
Sie Liong. ‘Taihiap, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih. Sebelum saya
pulang, mohon tahu nama besar taihiap, agar dapat kuceritakan kepada
orang-tuaku.!
Sie Liong menggelong
kepala. ‘Namaku tidak ada artinya, sobat. Kuberitahupun engkau tidak akan
mengenalnya. Aku hanya kebetulan lewat saja di sini, dam aku selalu gatal
tangan, ingin membereskan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pulanglah dan
tunggulah sampai besok.!
Un Kiong memberi hormat,
lalu dia pun pergi, kembali ke dusun dan pulang ke rumahnya. Dia disambut
dengan omelan ayah ibunya yang sudah mendengar beritanya bahwa putera mereka
membikin ribut di rumah mempelai wanita sehingga dipukuli keluarga mempelai wanita.
Ketika Un Kiong menceritakan tentang Pendekar Bongkok yang menolongaya, dan
tentang janji pendekar itu, ayah ibunya menjadi semakin tegang dan gelisah.
Sementara itu, Sui Lan
telah dipaksa untuk menerina rombongan pengantin pria yang malam itu datang
untuk menjemput mempelai puteri. Mempelai wanita masih menangis terus, akan
tetapi karena ia memakai kerudung, dan karena memang sudah lajim mempelai wanita
selalu menangis ketika dinikahkan, maka ia tidak menarik banyak perhatian.
Mempelai wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan dipikul empat
orang, sedangkan mempelai prianya menunggang seekor kuda yang besar. Mempelai
pria ini nampak tampan dan gagah dalam pakaiannya yang indah dan beraneka
warna. Dia tersenyum-senyum penuh lagak ketika menaiki kudanya, dibantu oleh
beberapa orang. Petasan dibakar dan bunyi musik mengiringi pasangan mempelai
yang akan meninggalkan rumah mempelai wanita itu.
Pada saat itu, muncul
seorang pemuda bongkok di depan rombougan yang sudah siap untuk berangkat!
Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
‘Berhenti!! bentak Sie
Liong yang berdiri di tengah jalan. ‘Pernikahan ini salah tempat! Mempelai
prianya bukan orang itu!! Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda
dengan congkaknya.
Tujuh orang pengawal yang
bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari
menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan
pandang mata marah. Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda
bongkok itu menjadi gelisah.
Komandan pasukan pengawal
yang hanya tujuh orang itu, seorang beruasia empat puluh tahun lebih yang
kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.
‘Heii, apakah engkau ini
orang gila? Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?! Kini semua orang
sudah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman sedangkan tujuh orang
pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.
‘Aku hanya seorang
bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiwa yang membuat
hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai
seorang tunangan sejak kecil yang bernana Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini
tentu sudah mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, secara mendadak partunangan
itu dibatalkan sepihak dan Sui Lien dijodohkan dengan putera kepala dusun.
Sungguh tidak adil sekali, apalagi karena mempelai wanita tidak suka menjadi isteri
putera kepala dusun!!
‘Eh, sungguh engkau
telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan secara sah dan menurut
peraturan yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang diterima. Hayo engkau
ini orang bongkok gila pergi dari sini daripada harus kami hajar!!
‘Kalianlah yang harus
pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan katakan kepada kepala dusun
bahwa pernikahan ini dibatalkan!!
‘Kurang ajar!! Tujuh
orang pengawal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan
tetapi, sekali menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh
semua seperti tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut dan
mencabut senjata masing-masing.
‘Sudahlah. Kalian hanya
petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah dalam hal ini adalah orang tua
mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaiknya kepala dusun itu disuruh ke
sini dan kita rundingkan bersama dengan orang tua mem pelai wanita. Urusan ini
dapat diselesaikan dengan cara damai!! kata Sie Liong yang sabetulnya tidak
ingin mempergunakan kekerasan.
‘Orang gila ini sungguh
kurang ajar! Tangkap dia atau bunuh kalau melawan!! kini mempelai pria yang
masih menunggang kuda itu membentak marah. Tentu saja dia marah dan merasa malu
sekali bahwa upacara pejemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang
laki-laki bongkok yang agaknya gila!
Tujuh orang pengawal itu
sudah menyerang dengan senjata mereka. Sie Liong hanya mengelak dan
langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tidak ada yang mampu
menyentuh tubuhnya. Dia tidak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya karena
mereka bukanlah orang-orang jahat melainkan hanya orang-orang yang melaksanakan
tugas mengawal mempelai. Diapun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya
bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat, dan senjata di
tangan tujuh orang itu beterbangan dan terlepas dari tangan para pemegangnya.
Tentu saja tujuh orang itu terkejut sekali, juga jerih karena kini baru mereka
maklum bahwa mereka menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti.
Mempelai pria yang melihat
betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak melawan orang bongkok itu,
menjadi ketakutan dan diapun melarikan kudanya sambil berteriak, ‘Mari kita
lapor kepada ayah!! Para pengikutnya lalu malarikan diri meninggalkan tempat
itu.
Ayah dari mempelai wanita
yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penanaran sekali.
Akan tetapi diapun sudah maklum akan kehebatan orang bongkok itu, maka dia
menghampirl lalu memberi hormat.
‘Taihiap, apa maksudnya
taihiap melakukan semua ini? Taihiap, hanya akan mendatangkan malapetaka kepada
keluarga kami!!
‘Hmm, semua ini adalah
akibat dari kesalahan keluarga sendiri, paman, Mari kita masuk dan bicara di
dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi.
Joli pengantin diangkut
lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk. Tidak ada yang berani
membantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda
bongkok ini seorang pandekar yang sakti. Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian
mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar dari joli
untuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas
terdangar suaranya, ‘Taihiap, saya berterima kasih sekali kepadamu!! Dua
orang nenek dan ibunya, mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam
kamar.
Sementara itu, ayah Sui
Lian lalu mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja. Keluarganya lalu keluar dan
minta kepada para penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan rumah.
Para penonton bubaran dan sebentar saja peristiwa itu telah menjadi berita baru
yang menegangkan seluruh penduduk dusun itu. Un Kiong dan orang tuanya
mendengar pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang. Un Kiong
sendiri diam-diam merasa girang dan timbul harapan baru dalam hatinya. Ternyata
Pendekar Bongkok tidak membohonginya dan telah mencegah terjadinya pemboyongan
pengantin wanita! Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak dapat tidur
sekejap matapun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah Pendekar Bongkok
agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat sendiri apa yang
terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.
‘Paman, benarkah bahwa
sejak kecil puterimu telah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama Un
Kiong dari dusun ini juga?! Sie Liong bertanya dan memandang tajam kepada tuan
rumah yang kini didampingi isterinya.
Petani itu mengangguk.
‘Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah
dibatalkan, maka Un Kiong tidak berhak untuk datang ke sini dan membikin
ribut....!
‘Akan tetapi mengapa,
paman? Apakah kenalahan Un Kiong maka pertunangan itu dibatalkan? Padahal,
pertunangan itu telah berlangsung bertahun-tahun, sejak keduanya masih
kanak-kanak!!
Ayah dan ibu Sui Lian
saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang calon
mantunya itu tidak mempunyai kesalahan apapun!
‘Hemm, aku tahu, paman.
Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Maka engkau membatalkan ikatan
perjodohan itu agar angkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?!
Orang tua itu mengangkat
muka memandang kepada Pendekar Bongkok, lalu mengangguk membenarkan.
‘Nah, aku ingin tahu
sekarang. Kenapa kau lakukan hal itu? Kalau puterimu sudah bertunangan dengan
Un Kiong, seharusnya kau tolak saja lamaran kepala dusun dan berkata terus
terang bahwa puterimu sudah mempunyai calon suami.!
‘Ah, taihiap, mana kami
berani melakukan hal itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun di
sini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih
suka melihat anak kami menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup
mulia, terhormat, kaya raya dan....!
‘Dan yang terpenting,
paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun,
begitukah?! Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.
‘Paman dan bibi, apakah
ji-wi (kalian) menyayang puterimu?!
‘Tentu saja!! jawab
kedua orang tua itu.
‘Kalau ji-wi
menyayangnya, mengapa ji-wi memperlakukannya sebagai barang dagangan saja?
Siapa yang berani menawar lebih tinggi akan mendapatkannya? Ia bukan benda,
bukan pula binatang, melainkan seorang manusia yang berperasaan. Ia berhak
manentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan
tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, akan tetapi ji-wi memaksanya!
Benarkah perbuatan itu?!
Dua orang tua itu
menunduk. ‘Kami.... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap. Ia
akan menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hidup barkecukupan....!
‘Itukah ukuran bahagia?
Berbahagiakah seekor burung dalam sangkar, walaupun sangkar itu terbuat dari
emas? Ji-wi keliru, seyogianya menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh tidak
adil kalau membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, sedangkan
kedua orang muda itu sudah saling menyayang.!
‘Tapi, tapi kami tidak
berani menolak.... dan sekarang.... perjodohan itu sudah ditentukan, dan
taihiap.... ah, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan tindakan
kepala dusun yang tentu akan marah sekali....! Suami isteri itu meratap dan
ketakutan.
‘Itu tanggung jawabku.
Yang penting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung
kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong.!
Suami isteri itu saling
pandang dan mereka menarik napas panjang. ‘Baiklah, taihiap. Kini kami dapat
melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan
kemewahan keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu
asal taihiap dapat membersakan urusan kemarahan dari pihak kepala dusun.!
‘Jangan khawatir. Nah,
itu agaknya mereka datang,! kata Sie Liong dengan hati lega dan diapun bangkit
berdiri lalu keluar dari ruangan itu, berdiri di serambi depan. Masih terdapat
penonton, akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan
seperti tadi di luar pintu pagar. Dia melihat munculnya dua orang laki-laki
yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi. Agakaya
pihak kepala dusun telah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.
Ketika mereka memasuki
pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga
serambl depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian. Dua orang
yang sikapnya gagah sekali. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka
persegi, jantan dan gagah, sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya
bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang
lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pundak mereka nampak gagang pedang.
Dua orang yang gagah. Sie Liong mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti
pernah bertemu dengan mereka.
Seorang di antara dua
orang gagah itu, yang tinggi besar, setelah memandang tajam kepada Sie Liong,
lalu menegur, suaranya keras dan berwibawa, suara yang gagah. ‘Apakah engkau
orangnya yang tadi menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin
pria?!
Sie Liong menghadapi
mereka dengan tenang. Dia belum mendangar akan kejahatan kepala dusun dan
pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak
memaksakan kehendaknya, karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan
yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya karena salah pengertian, karena
kelemahan orang tua Sui Lian.
‘Benar sekali, akulah
yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak tepat itu.!
Dua orang gagah itu
mengerutkan alisnya. ‘Pemboyongan tidak tepat? Apanya yang tidak tepat?
Dengar, sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pasta itu dan sudah
bertahun-tahun kami mengenal kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia
merayakan pernikahan puteranya dengan gadis dusun di sini, apa salahnya itu?!
‘Mungkin dia tidak
bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang
sudah mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya
masih kecil. Tiba-tiba saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu
hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal itu merupakan
suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?!
Kembali dua orang itu
saling pandang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang. ‘Semua
itu merupakan urusan pribadi keluarga pengantin puteri, dan tidak ada sangkut
pautnya dengan keluarga kepala dusun. Pinangan sudah diterima dan pernikahan
dilangsungkan, siapapun tidak berhak untuk menghalangi!!
‘Maaf, akan tetapi aku
berpihak kepada keluarga colon suami yang disia-siakan, maka aku yang
menghalangi dilanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali
saja dan minta kepada kepala dusun untuk datang ke sini agar urusan ini dapat
kita bicarakan dengan penuh kebijakan!!
‘Hemm, tidak percuma
kalau sahabat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk
menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, maka mari ikut dengan kami
menghadap kepala dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin
menggunakan kekerasan.! kata si tinggi besar.
‘Kalau aku tidak mau?!
‘Ji-wi taihiap, biar
kami keroyok saja dia!! teriak si kumis melintang yang memimpin para pengawal
tadi. Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya dua orang
gagah itu, lupa bahwa tadi mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi si
bongkok. Akan tetapi, melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua
orang gagah itu mengembangkan dua lengan dan mencegah mereka maju.
‘Jangan kalian bergerak.
Biarkan kami yang menghadapinya!! kata si tinggi besar dan tujuh orang pengawal
itupun mundur kembali. Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa malu,
sesungguhnya mereka jerih maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa
lega.
‘Sute, biarkan aku yang
mencoba kelihaian orang sombong ini!! kata si tinggi besar yang segera
melangkah maju. ‘Sobat, engkau sungguh tinggi hati, handak mencampuri urusan
pribadi keluarga orang lain. Agaknya engkau hendak mempergunakan kepandaian
untuk melakukan kekerasan dan hendak merampas mempelai wanita itu!!
Sie Liong tersenyum.
‘Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada di sini menanti
datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan kularikan
mempelai wanita. Tidak, dugaanmu itu menyeleweng jauh, sobat. Aku hanya ingin
membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain.!
‘Dan engkau akan
mempertahankan pendirianmu itu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?!
‘Kalau perlu....!
‘Bagus! Ingin kulihat
sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!! bentak si tinggi besar
itu dan dia membentak nyaring, ‘Lihat serangan!!
Sikap itu saja membuktikan
bahwa dia memang seorang gagah, seorang pendekar yang memberi peringatan
sebelum melakukan serangan. Pukulannya amat kuat, mendatangkan angin pukulan
yang menyambar dahsyat, juga datanguya cepat sekali. Melihat serangan ini,
tahulah Sie Liong bahwa dia berhadapan dengan lawan yang ‘berisi!, bukan
sekedar tukang pukul yang besar suaranya saja. Maka, diapun dengan hati-hati
mengelak ke kiri, lalu dari kiri tangannya menyambar ke kanan depan, membalas
dengan totokan ke arah lambung kanan yang terbuka. Namun, lawannya sudah
menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil menangkis
keras. Agaknya, si tinggi besar ini hendak mencoba tenaga lawan, maka ketika
menangkis totokan itu, dia mengerahkan sin-kang.
‘Dukkk!! Dua lengan
bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget.
Dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya seperti akan patah dan lengan
kanan itu lumpuh dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang
lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat!
Maka diapun lalu menerjang dengan cepat, bagaikan serangan badai, kaki
tangannya bergerak cepat dan setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan
pengerahan tenaga. Namun, dengan tenang Sie Liong selalu manghindarkan diri,
dengan langkah-langkahnya yang teratur.
‘Hyaattttt....!! Kini
lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya
mengandung tenaga dahsyat yang panas!
Sie Liong maklum bahwa
lawannya mempergunakan semacam sin-kang yang hebat, maka diapun segera
mengerahkan sin-kangnya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga
Salju). Ketika tangan mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar
itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak, tubuhnya menggigil kedinginan!
Memang, Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan hawa
dingin dan ilmu ini diperoleh Sie Liong dari seorang di antara guru-gurunya,
yaitu Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin.
Melihat suhengnya
terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok menerjang dahsyat
sambil membentak, ‘Lihat seranganku!!
Kedua tangan itu bergerak
cepat, merupakan dua cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian lemah dari tubuh
Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah
lihainya dibanding sang suheng! Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang
dimainkan itu semacam ilmu yang meniru gerakan harimau, maka dahsyat sekali dan
melihat kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang
itu, walaupun tidak berkuku panjang, tidak kalah berbahayanya dari pada cakar
seekor harimau!
Diapun cepat berloncatan
mengelak dan kini dia memainkan ilmu silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan
Putih) dan begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dari telapak kedua tangannya
berkepul uap putih dan semua cakaran lawan dapat ditangkisnya dengan tepat.
Diapun membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya dan akhirnya, lawan
yang brewok itupun terhuyung-huyung ke belakang, tidak kuat manahan hawa yang
amat kuat menyambar dari kedua tangan Sie Liong.
Kini, dua orang gagah itu
meloncat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka maklum
bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu mengalahkan orang bongkok
itu, maka mereka mencabut senjata!
‘Sobat, ternyata engkau
benar amat lihai. Nah, keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main sebentar
dengan senjata!! tantang si tinggi besar dengan sikap gagah.
Sie Liong menjura kepada
mereka. ‘Mana aku berani? Aku tidak pernan bermain-main dengan senjata, dan
aku tidak akan pernah mau mangangkat senjata untuk melawan pendekar-pendekar
dari Kun-lun-pai yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa para pendekar
Kun-lun-pai selalu membela yang benar dan tidak pernah melakukan kejahatan!!
Dua orang itu terbelalak.
‘Engkau.... mengenal kami? Siapakah engkau sebenarnya?! tanya si tinggi
besar. Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi basar bernama
Ciang Sun, sedangkan sutenya yang brewokan, bernama Kok Han.
‘Tentu saja aku mengenal
ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling
berjumpa. Ketika itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret
oleh dua orang pendeta Lama, akan tetapi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tempat
itulah kita saling berjumpa!!
‘Ahh....!! Dua orang
pendekar Kun-lun-pai itu berseru kemudian saling pandang. ‘Engkau.... engkau
bocah bongkok yang terpukul oleh pendekar Lama itu....? Tapi.... tapi kami
sangka engkau sudah mati....!!
Sie Liong tersenyum dan
menggeleng kepalanya. ‘Tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam Lojin yang
menjadi guru-guruku....!
‘Ahhh....! Kiranya
saudara adalah murid lima orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai! Akan
tetapi, mengapa.... eh, tentang urusan pengantin itu....! Dua prang pendekar
Kun-lun-pai itu menjadi gugup karena mereka tadi memandang rendah.
‘Harap ji-wi
tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku tidak akan melakukan
perbuatan yang jahat, bukan? Ketahuilah, aku bertemu dengan pemuda yang sejak
kecil menjadi tunangan gadis yang kini menjadi pengantin. Sejak kecil
bertunangan lalu tiba-tiba dibikin putus dan tunangannya tahu-tahu akan
dinikahkan dengan putera kepala dusun! Bukankah hal itu sama sekali tidak adil?
Juga pengantin wanita kulihat sendiri tidak mau dijodohkan dengan anak kepala
dusun, akan tetapi kedua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan mata
kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku turun tangan....!
‘Ah, kalau begitu, lain
lagi urusannya!! kata Kok Han. ‘Sungguh heran, kenapa bisa terjadi demikian?
Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan
bijaksana.!
‘Mungkin dia tidak
tahu,! kata Sie Liong. ‘Dia hanya tahu meminang, diterina dan merayakan
pernikahan puteranya. Karena itu, sebaiknya kalau dia diajak berunding, sukur
kalau dia mau datang ke tempat ini agar perundingan dapat diadakan bersama
orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang sudah tahu akan duduknya
perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik.!
Dua orang pendekar
Kun-lun-pal itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong. ‘Baik, kami yang akan
menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar
suka datang ke sini.!
‘Terima kasih, ji-wi
memang bijaksana. Aku menunggu di sini,! kata Sie Liong. Dua orang pendekar
Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersukur bahwa mereka tidak usah
kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok. Mereka kini
tahu bahwa kalau lawan tadi menghendaki, mereka tentu saja sudah roboh, bahkan
mungkin tewas. Dan mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan kebenaran apa yang
dilakukan oleh Pendekar Bongkok.
Benar saja seperti dugaan
Sie Liong, kepala dusun Sun tak lama kemudian datang ke rumah calon besan itu,
ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka lalu disambut dan
dipersilakan duduk di ruangan dalam di mana mereka mengadakan pembicaraan. Yang
hadir hanyalah suami isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan
juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.
Dengan jelas Sie Liong
lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un
Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong
lalu melanjutkan ceritanya.
‘Hendaknya jung-cu
(lurah) ketahui bahwa pertunangan kedua orang muda itu sudah diketahui oleh
seluruh penduduk dusun ini, dilakukan semenjak keduanya masih kanak-kanak.
Kalau tiba-tiba pertunangan itu dibikin putus secara sepihak, kemudian gadis
itu dinikahkan dengan anakmu, bukankah penduduk akan menganggap bahwa jung-cu
sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk merampas tunangan orang?
Kalau jung-cu ingin disuka oleh seluruh penduduk dusun, ingin menjadi seorang
kepaia dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang
dan memaksa gadis itu menikah dengan puteramu.!
Kepala dusun Sun memandang
kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian. ‘Akan tetapi, kalau memang Sui
Lian sudah mempunyai tunangan, kenapa pinangan kami diterima?!
Sie Liong menoleh kepada
tuan rumah dan isterinya, lalu berkata dengan tenang, ‘Kiranya paman dan bibi
ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekaranglah saatnya semua orang
berterus terang dan meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!!
Wajah tuan dan nyonya
rumah menjadi agak pucat dan dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata,
‘Mohon ampun kepada jung-cu.... ketika jung-cu mengajukan pinangan, kami....
kami merasa terhormat dan berbahagia sekali, kami tidak berani menolak dan
tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu.... dan kami merasa bangga
kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan....!
‘Brakkk!! kepala dusun
Sun menggebrak meja dengan kedua tangannya, dan mukanya menjadi merah sekali.
‘Kalian kira aku ini orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan
kekuasaannya memaksakan kehendaknya kepada rakyat? Sungguh, itu namanya
memandang rendah kepada kami!!
‘Ampunkan kami....
jung-cu....!! tuan dan nyonya rumah menjadi ketakutan.
Kepala dusun itu menarik
napas panjang. ‘Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila
kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu
saja. Semua tamu sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah
disiapkan, bagaimana mungkin pernikahan dibatalkan? Kami akan menjadi buah
cemoohan dan tertawaan orang saja! Siapa nama tunangan Sui Lian itu?!
‘Namanya Un Kiong....!
‘Di mana dia? Panggil
dia ke sini!!
Sie Liong bangkit.
‘Biarlah aku yang memanggil dia ke sini.! Dan sekali berkelebat, pemuda
bongkok inipun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia sudah datang lagi
bersama Un Kiong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimanapun juga, dia ketakutan.
Akan tetapi, kepala dusun
Sun bersikap tenang. ‘Un Kiong, mulai saat ini, engkau kuanggap sebagai anak
angkatku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah kau?!
Un Kiong menjatuhkan diri
berlutut di depan ‘ayah angkatnya! dan hanya mampu menangis saking
gembiranya. Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan
mereka tersenyum, kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.
Pada keesokan harinya,
pesta pernikahan tetap dirayakan di rumah kepala dusun, hanya saja, yang
menikah bukanlah putera kandungnya, melainkan ‘putera angkatnya!. Puteranya
sendiri disuruhnya pergi ke kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan
orang.
Ketika sepasang mempelai
dipertemukan, Sie Liong dan dua orang pendekar Kun-lun-pai mendapat kursi kehormatan.
Dan dua orang mempelai itu tanpa diperintah, langsung saja menghampiri Sie
Liong dan keduanya menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.
‘Wah.... jangan....!
Tidak perlu begini....!! katanya den sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah
lenyap dari tempat itu, bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.
Peristiwa ini bukan hanya
menguntungkan dua orang muda yang sudah saling mencinta itu, akan tetapi juga
mondatangkan keuntungan benar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu
mendatangkan perasaan hormat dan suka sekali dalam hati para penduduk dusun itu
sehingga dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan ditaati
sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!
Sie Liong sendiri
melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum. Girang
bukan main rasa hatinya bahwa dia telah berhasil menyambung perjodohan yang
putus itu! Dia dapat membayangkan betapa bahagianya sepasang orang muda itu!
Akan tetapi diapun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda
itu tidaklah kekal adanya. Seperti juga keadaan udara, kehidupan manusia tidak
selamanya diterangi sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di
angkasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan
menggelapkannya sama sekali. Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, sekarang
mereka berbahagia dan diapun merasa berbahagia karena perbuatannya telah
berhasil membahagiakan orang lain!
***
Dusun Ngomaima biasanya
tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itupun kalau dusun itu
kedatangan banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing.
Para anggauta pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut. Mereka
bermabok-mabokan di dusun itu dan seringkali terjadi pertengkaran di antara
para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang mereka itu hendak memaksakan kehendak
mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali selalu dapat
meredakan keributan yang timbul.
Maka, amatlah aneh rasanya
bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan, dusun Ngomaima sama sekali
berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan
hampir semua penghuni tidak berani keluar dari rumah mereka begitu matahari
sudah menyelam. Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan
perondaan, dan pekerjaan inipun dilakukan dalam suasana penuh ketakutan. Hal
ini amat menarik hati para pendatang dan beberapa orang kepala pasukan pangawal
yang merasa diri mereka kuat, bertanya.
Setelah mereka mendapatkan
keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu oleh munculnya
siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu
bangkit dan mempergunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun
usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri. Banyak sudah
anak buah Gumo Cali roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari
pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika mereka
berusaha untuk menangkap ‘siluman! itu. Banyak jagoan merasa gentar karena
siluman itu kabarnya memiliki kesaktian yang luar biasa, yang tidak mungkin
dilawan dengan ilmu silat biasa saja. Maka, setelah banyak jagoan diantara para
pengawal mancoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan siluman itu dan gagal,
bahkan banyak yang roboh terluka, bahkan ada yang tewas, tidak ada lagi yang
berani mencoba-coba!
Sudah ada tiga orang gadis
cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di
rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan
hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia lebih dahulu
memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya.
Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu
adalah darah!
Dan malamnya, biarpun
sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang, merobohkan siapa saja yang
mencoba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis yang dipilihnya! Menurut
keterangan mereka yang pernah dirobohkannya, siluman itu datang dan pergi sebagai
bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau memang dia manusia, tidak
nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah. Maka, siluman
itupun terkenal dengan sebutan siluman merah!
Keadaan dusun Ngomaima
menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada
sebuah daun pintu. Betapa penduduk tidak akan geger kalau coretan itu sekali
ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala
dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti semua orang, kini hendak diganggu oleh
siluman itu! Dan coretan itu bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa
yang akan diculik adalah dua orang gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua
orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!
Gumo Cali menjadi panik!
Usaha penjagaan ketat dengan para jagoan tidak menenteramkan hatinya karena
sudah terbukti berulang kali betapa para jagoan itu tidak ada yang mampu
menandingi kesaktian siluman itu, maka jalan keduapun diambilnya, jalan dari
mereka yang masih tebal kepercayannya akan tahyul, yaitu mengundang seorang
dukun!
‘Untuk mengusir siluman
tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,! demikian katanya kepada isterinya
yang terus menerus menangis, juga kedua puterinya yang menangis ketakutan,
‘akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan mampu mengusirnya dan
menyelamatkan dua orang anak kita hanyalah seorang dukun.!
Di daerah Ngomaima
terdapat seorang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada
orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang
sakit, diapun diundang untuk mangobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang
peranakan Tibet Han, memiliki nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut
Bong Sian-jin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!
Bong Sian-jin diundang dan
dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang
dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannyapun aneh, merupakan
jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar, akan tetapi kalau jubah pendeta
itu biasanya sederhana berwarna polos putih atau kuning, jubah yang dipakai
dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni! Juga dia pesolek sekali, karena
selain pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga rambutnya tersisir licin
berminyak, dan hebatnya, kalau orang berada dua tiga meter saja darinya, orang
itu akan mencium bau minyak yang sangat wangi!
Usia Bong Sian-jin ini
kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah,
bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu
sukar dikatakan melek atau meram, hidungnya besar dan mulutnya kecil selalu
tersenyum mengejek. Di punggungnya terdapat sebatang pedang, tangan kanannya
memegang sebuah kebutan berbulu putih dan tangan kirinya memegang sebuah kipas
yang dikebut-kebutkan ke arah lehernya ketika dia mamasuki rumah Gumo Cali
dengan lenggang dibuat-buat!
Gumo Cali dan isterinya
cepat menyambut dengan sikap hormat, dan begitu melihat tuan rumah, tiba-tiba
dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan
mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, lalu mulutnya
mengeluarkan keluhan panjang, ‘Hayaaaaaaa....!! dan diapun mengangguk-angguk.
Melihat ini, Gumo Cali
cepat memberi hormat dan bertanya, ‘Sian-jin, apakah yang engkau ketahui?
Katakan kepada kami!!
‘Aih, penuh hawa siluman
di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni
semua penghuni rumah!! Diapun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari
kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan
menyalakannya. Asap yang mengeluarkan bau harum segera memenuhi ruangan depan
itu.
Mulut si dukun
berkemak-kemik membaca mantram, kemudian terdengar dia berkata sambil
mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru. ‘Yang datang dari utara,
kembalilah ke utara, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang
dari selatan kembalilah ke selatan dan yang datang dari barat kembalilah ke
barat. Jangan ganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu untuk
membantu aku mengusir siluman merah!! Dia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan
aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap dan
perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya
sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mampu mengusir siluman
merah dan menyelamatkan puteri-puteri mereka.
Bagaikan orang yang sedang
kemasukan dan bukan kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sian-jin
memasuki rumah, mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi
seluruh ruangan di rumah itu. Kemudian dia bertanya, ‘Di mana kamar dua orang
gadis itu?!
Diam-diam Gumo Cali
menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya
itulah yang diancam oleh siluman merah!
‘Di sana, Sian-jin, di
sudut itu....! jawabnya cepat.
‘Bawa aku ke sana, dan
suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena
hawa siluman ataukah belum!!
Dengan senang hati ayah
dan ibu itu lalu mengajak Bong Sian-jin memasuki sebuah kamar yang cukup besar.
Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan dari kakak
beradik itu. Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil
dan dua orang gadis yang cantik manis itu kini berdiri dengan muka pucat di
depan Bong Sian-jin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam!
Namun, di balik pelupuk mata yang tertutup itu mengintai sepasang mata yang
tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari
kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar gairah!
Tiba-tiba Bong Sian-jin
mengeluarkan seruan, ‘Uhhhh....!! dan diapun terhuyung ke belakang.
‘Sungguh celaka....!!
‘Ada apakah,
Sian-jin....?! tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya gelisah sekali.
‘Celaka, mereka ini
sudah diselubungi hawa siluman yang amat kuat!!
Ibu kedua orang anak itu
menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itupun menangis dan tubuh
mereka menggigil.
‘Aduh.... lalu bagaimana
baiknya, Sian-jin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami.... apapun yang
kauminta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu.... tolonglah....!
kata kepala dusun itu cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh tidak sesuai
dengan kegagahannya sebagai seorang jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu.
Ketahyulan dapat membuat orang yang bagaimana perkasapun menjadi seorang
pengecut dan penakut.
‘Jangan khawatir
heh-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sian-jin, jangan khawatir....!
Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan
membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena
kalau sampai ada yang terkena hawa siluman, aku akan menjadi repot saja.
Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman
datang, akan kuusir dia.... heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sian-jin,
heh-heh-heh!!
‘Baik, baik.... ah,
terima kasih sebelumnya, Sian-jin. Dan apa.... apa syaratnya, apa yang perlu
kami persiapkan?!
‘Mudah saja. Seember
besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di
sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan
segalanya, angkat ember ke dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar ini, jangan
ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang
berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!!
Mendengar ini, seluruh
penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Segera seember air harum itu
diangkat masuk ke dalam kamar. Ibu kedua orang gadis itu merangkul mereka dan
berkata, ‘Jangan kalian takut, ada Bong Sian-jin yang sakti di sini. Kalian
akan dibersihkan dan dibebaskan dari.... siluman....! Dua orang gadis yang
ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap
dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama
sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik
garis mata sipit itu yang memandang kepada mereka secara mengerikan! Juga mulut
kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis,
sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi,
karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman
merah, maka merekapun pasrah!
Setelah melihat betapa
dengan penuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar
menjauhi kamar dan sama sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang kini telah
pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam
dan sambil menyeringai diapun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih
gemetar ketakutan itu.
Setelah berada bertiga
saja dengan dua orang gadis remaja yang cantik, segar dan ranum itu, semakin
bergeloralah gairah berahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi telah bangkit
begitu dia melihat dua orang gadis remaja yang diserahkan ke dalam kekuasaannya
itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya. Dia memang sudah
mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik gadis-gadis cantik. Dan
dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk
melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu darah
anjing yang sudah dikeringkan dan dijadikan bubuk hitam, dan pedang pusakanya
yang sudah diberi mantra, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir
setan. Dia tidak takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk
melaksanakan hasratnya yang berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga
yang sedang mulai mekar itu, menikmati mereka, dan pertanggungan-jawabnya akan
dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!
‘Heh-heh-hah, anak-anak
manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh
sakit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalian kubersihkan dari
hawa siluman?!
‘Mau, Sian-jin, tentu
saja kami mau....! kata gadis tertua dengan suara gemetar.
‘Kalau kalian mau,
ingat. Apa yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada
orang lain, kepada orang tuamupun tidak boleh. Kalau kalian ceritakan, maka
hawa siluman itu akan datang menguasai diri kalian kembali. Turut saja apa yang
kulakukan terhadap kalian, karena itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang,
tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan dalam ember ini. Lakukan
sekarang!!
Bab 13
Dukun lepus yang menjadi
hamba nafsunya sendiri itu kini tersenyum-senyum dan sepasang mata yang
tersembunyi di balik pelupuk mata yang sipit itu semakin mencorong penuh nafsu
ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan
takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai
mereka telanjang bulat sama sekali. Kemudian, sambil menyeringai penuh nafsu,
dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang
yang harum, dan dengan nafsu semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua
orang gadis remaja itu, jari-jari tangannya dengan penuh nafsu menggerayangi
dan meraba-raba, membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka.
Biarpun nafsu berahinya
sudah memuncak, namun dukun yang cerdik ini tidak bodoh. Dia cerdik sekali dan
dia menahan dirinya agar tidak tergesa-gesa melakukan niatnya yang terakhir
terhadap dua orang gadis remaja itu. Setelah merasa puas membelai tubuh mereka
dengan dalih memandikan mereka, diapun menyuruh mereka keluar dari ember mandi,
mengeringkan tubuh yang basah itu dengan kain, kemudian memerintahkan mereka
berbaring di atas tempat tidur dan menutupi tubuh telanjang mereka dengan
selimut. Dia melarang mereka mengenakan pakaian kembali, dengan alasan bahwa
semua pakaian mereka sudah ternoda oleh hawa siluman.
Setelah kedua orang gadis
itu merebahkan diri bersembunyi ke dalam selimut, Bong Sian-jin lalu duduk
bersila dengan santainya di tepi pembaringan, pura-pura bersamadhi sambil
menanti datangnya malam. Hari telah mulai senja dan sebentar lagi malam tiba.
Dukun itu hendak menanti datangnya malam agar apa yang akan dilakukannya itu
dapat kelak dia timpakan kepada siluman merah! Diapun sudah siap dengan pedang
kayu yang sudah diletakkannya di atas pangkuannya, dan mempersiapkan pula bubuk
darah anjing di dalam sebuah botol.
Malampun tiba. Dukun Bong
menyalakan dua batang lilin di atas meja sehingga dalam kamar itu remang-remang
namun cukup terang. Sampai jauh malam, tidak terjadi sesuatu di dalam kamar
itu. Dua orang gadis yang tadinya bicara berbisik-bisik, kini berdiam diri,
menanti dengan ketakutan. Setiap ada suara sedikit saja di luar kamar, membuat
mereka saling rangkul dengan tubuh gemetar. Namun, hati mereka merasa lega
melihat dukun itu masih duduk bersila seperti arca dan mereka yakin bahwa dukun
itu tentu akan mampu menolong mereka. Apa yang dilakukan dukun itu tadi, ketika
memandikan mereka membuat mereka merasa kikuk dan malu, akan tetapi mereka
tidak menyangka buruk dan menganggap bahwa dukun itu memang sungguh-sungguh
‘membersihkan! mereka. Mereka masih terlalu hijau untuk berprasangka yang
bukan-bukan.
Sementara itu, dukun Bong
menjadi tidak sabar lagi. Siluman yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang,
sedangkan dia hampir hangus terbakar nafsu berahinya. Kalau siluman itu muncul
dan dia sudah mengusirnya, baru dia akan menikmati ‘imbalan jasanya!. Dia
menoleh, memandang kepada dua orang gadis itu. Selimut itu agak tersingkap dan
memperlihatkan sebagian dada mereka. Bong Ciat tidak dapat lagi menahan
dirinya. Dia menyeringai kepada mereka.
‘Kalian takut?!
Ditanya demikian, tentu
saja dua orang gadis itu mengangguk membenarkan.
Mereka memang merasa takut
sekali, bahkan merasa ngeri. ‘Heh-heh, jangan takut, ada aku di sini. Biar
kutemani kalian tidur agar kalian merasa aman dan tidak takut lagi.! Berkata
demikian, dukun yang tak tahu malu itu lalu mulai mencopoti pakaiannya satu
demi satu. Melihat ini, dua orang gadis remaja itu tersipu-sipu. Mereka merasa
lega karena dukun itu hendak menemani mereka tidur sehingga mereka akan merasa
aman sekali, akan tetapi juga mereka merasa malu bukan main melihat betapa Bong
Sian-jin menanggalkan pakaiannya. Melihat mereka tersipu-sipu, Bong Sian-jin
tersenyum.
‘Heh-heh, kalian tidak
usah malu-malu....! Dan diapun membungkuk, mencium pipi mereka bergantian,
membuat kedua orang gadis remaja itu menggeliat dan semakin tersipu.
Nafsu berahi sudah
memuncak dan Bong Sian-jin sudah tidak kuasa menahan diri lagi. Akan tetapi
baru saja dia menyingkap selimut yang menutup tubuh kedua orang gadis remaja
untuk menyelinap rebah di antara mereka, tiba-tiba api lilin bergoyang dan dua
orang gadis itu menahan jerit mereka. Bong Sian-jin cepat menoleh, dan sepasang
mata yang biasanya sipit itu terbelalak agak lebar. Entah dari mana datangnya,
di dalam kamar itu telah berdiri seorang ‘iblis! yang aneh. Pakaiannya serba
merah, dan mukanya mengenakan topeng merah pula. Akan tetapi, dia berdiri di
situ, diam seperti patung, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan sepatahpun
kata atau suara apapun. Hanya sebentar dukun Bong tertegun. Dia segera ingat
akan senjata-senjatanya. Lupa bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, hanya
mengenakan cawat saja, dia lalu menyambar pedangnya dan botol atau guci kecil,
lalu melompat turun. Pedang kayu itu diangkatnya ke atas, dan dia membuka tutup
guci kecil, lalu mulutnya berkemak-kemik membaca mantram, lalu dia berseru.
‘Iblis siluman
jadi-jadian, pergilah engkau dari sini sebelum aku membinasakanmu!!
Melihat betapa ‘iblis!
itu tidak bergerak dari tempatnya, dan hanya mata di balik kedok itu yang
mencorong menyeramkan, Bong Sian-jin lalu menggerakkan tangan kirinya dan debu
hitam keluar dari dalam guci, melayang ke arah siluman merah itu. Namun,
siluman merah itu tetap tidak bergerak. Melihat ini, dukun Bong lalu
menggerakkan pedang kayunya, dipukulkan ke arah kepala siluman merah itu. Dia
penuh keberanian dan keyakinan akan mampu mengalahkan siluman, karena biasanya,
bubuk darah anjing dan pedang kayunya, ditambah mantram-matramnya, manjur
sekali untuk menakut-nakuti segala macam setan dan siluman.
Akan tetapi, siluman merah
itu agaknya lain lagi. Begitu dukun Bong menyerang, diapun sama sekali tidak
mengelak sehingga pedang kayu itu tepat mengenai kepalanya.
‘Takkk!! Pedang itu
seperti mengenai kepala dari besi saja, dan hampir terlepas dari tangan dukun
Bong yang merasa telapak tangannya panas dan nyeri. Sebelum dia sempat berbuat
sesuatu, siluman itu telah menggerakkan tangan kanannya dan pedang kayu itu
telah dirampasnya! Dukun Bong terbelalak. Tidak percaya dia bahwa ada siluman
yang dapat menahan serangan pedang kayunya itu tanpa terluka sedikitpun!
‘Kau.... kau.... bukan
siluman....!! serunya, akan tetapi pada saat itu, siluman merah telah
menusukkan pedang kayu yang dirampasnya, mengenai leher dukun Bong dan leher
itupun tembus! Tubuh dukun itu terjengkang dan roboh di atas lantai,
berkelojotan dan dari lehernya terdengar suara mengorok.
Siluman merah tidak
memperdulikannya lagi, menghampiri pembaringan dan memandang ke arah dua orang
gadis yang sudah saling berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan itu. Dia
mengangguk-angguk, tangan kirinya bergerak dua kali menotok ke arah tubuh kakak
beradik itu yang seketika menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi.
Digulungnya dua tubuh gadis remaja itu ke dalam selimut dan siluman merah itu
memanggul gulungan selimut, melompat keluar dari dalam kamar melalui jendela
yang dibukanya dan sebentar saja lenyap. Gerakannya gesit bukan main dan ketika
dia melompat keluar kamar, dia seperti seekor burung garuda terbang saja.
Dukun Bong yang ditinggal
di kamar itu, berusaha menjerit, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya
suara mengorok yang cukup keras. Suara inilah yang memaksa Gumo Cali dan
isterinya datang, diikuti para jagoan. Dia memanggil-manggil dari luar pintu,
akan tetapi tidak ada jawaban, baik dari kedua orang anaknya maupun dari dukun
Bong, dan yang terdengar dari luar hanyalah suara mengorok aneh itu. Dengan
memberanikan hatinya, Gumo Cali lalu mendobrak pintu. Daun pintu roboh dan
mereka berhamburan masuk, hanya untuk menemukan dukun Bong berkelojotan sekarat
dalan keadaan hampir telanjang bulat dan lehernya tertembus pedang kayunya
sendiri, sedangkan dua orang gadis remaja itu lenyap bersama selimut, dan
pakaian mereka masih lengkap nampak tertumpuk di atas tempat tidur. Jadi mereka
itu telah lenyap dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali, mungkin terbungkus
selimut yang lenyap.
Gegerlah seisi rumah.
Biarpun merasa ketakutan karena siluman merah telah menggondol kedua orang
anaknya sedangkan dukun Bong sendiri sekarat hampir tewas, Gumo Cali
mengerahkan seluruh pembantunya untuk mencari kedua orang anaknya. Namun, jejak
merekapun tidak dapat ditemukan sehingga keluarga kepala dusun itu menjadi
panik, bingung dan berduka.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Sie Liong memasuki dusun Ngomaima. Dia merasa heran sekali
melihat betapa dusun yang nampaknya maju itu, dengan banyak rumah-rumah yang
bangunannya sudah kokoh dan ditembok bahkan jalan rayanya juga sudah baik
sekali, di kanan kiri jalan raya, terdapat toko-toko, kedai dan bahkan rumah
penginapan, pada pagi hari itu nampak sunyi bukan main. Hampir tidak nampak ada
orang di jalan raya, bahkan rumah-rumah masih ditutup pintu dan jendelanya, dan
hanya ada satu dua orang laki-laki yang menjengukkan kepalanya keluar jendela
atau pintu, akan tetapi cepat lenyap pula begitu melihat dia. Apakah yang telah
terjadi, pikirnya.
Apakah orang-orang dusun
ini demikian malasnya sehingga pagi hari itu masih enak-enak tidur? Padahal,
sinar matahari telah mengusir kegelapan malam. Dia tidak tahu bahwa seluruh
penghuni dusun sudah mendengar belaka akan keributan yang terjadi di rumah
kepala dusun Gumo Cali, mendengar betapa dukun Bong terbunuh dan dua orang
gadis puteri kepala dusun itu diculik siluman merah! Tentu saja semua orang
menjadi ngeri dan pagi itu, dusun Ngomaima seperti dusun mati. Bahkan ada beberapa
kelompok keluarga kaya yang malam tadi sudah mempersiapkan segalanya untuk
melarikan diri mengungsi jauh dari dusun yang sedang diamuk siluman merah itu.
Melihat betapa orang-orang
yang tadinya memandang kepadanya lalu cepat bersembunyi, Si Pendekar Bongkok
tersenyum pahit. Semua pengalaman yang telah dirasakannya membuat dia merasa
rendah diri dan sikap penghuni dusun itu dianggapnya bahwa mereka takut melihat
keadaan dirinya, melihat tubuhnya yang bongkok. Namun, hanya sebentar saja
perasaan pahit itu, karena dia kini sudah mulai terbiasa dan dia menelan
kenyataan itu sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dia merobahnya.
Tanpa dia sengaja, ketika
Sie Liong melangkah, kakinya membawanya lewat depan rumah kepala dusun Gumo
Cali. Maksud hatinya memang hanya ingin melihat-lihat dusun itu sebelum
menentukan apakah dia bermalam di situ ataukah melanjutkan perjalanannya ke
selatan, menuju ke pegunungan Nyaingentangla sebelah utara Tibet karena menurut
pesan Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Sian-su, di pegunungan itu dia akan
dapat memulai dengan penyelidikannya tentang para pendeta Lama yang memusuhi
para tosu dan pertapa yang telah melarikan diri dari pegunungan Himalaya dan
masih terus dikejar-kejar. Menurut penuturan para gurunya itu, Lima Harimau Tibet
berasal dari pegunungan Nyaingentangla di mana mereka mempunyai sebuah kuil dan
di situ mereka dahulu bertapa.
Ketika dia tiba di depan
rumah kepala dusun Gumo Cali, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan orang
dan bermunculanlah sedikitnya dua puluh orang yang mengepungnya dan dengan
senjata di tangan.
‘Siluman! Siluman!!
‘Hajar dia!!
‘Siluman, kembalikan dua
orang nona kami!!
‘Kepung dia, jangan
sampai lolos!!
Dan dua puluh orang lebih
itu serentak menyerangnya dengan senjata mereka! Tentu saja Sie Liong terkejut
bukan main. Apalagi setelah dia melihat betapa teriakan-teriakan itu sambung
menyambung dan sebantar saja pengepungnya mendekati jumlah seratus orang!
‘Heii, tahan dulu!!
teriaknya dan dia menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua serangan
yang menimpa dirinya. Karena di antara mereka itu banyak yang mempergunakan
senjata tajam, maka biarpun tubuhnya dilindungi kekebalan sehingga kulitnya tidak
sampai terobek, namun tentu saja pakaiannya tidak kebal dan mulailah pakaiannya
robek-robek.
‘Hei, tahan dulu dan
mari kita bicara!! bentaknya lagi.
Akan tetapi ketika semua
orang melihat betapa senjata mereka tidak dapat melukai orang bongkok itu, dan
hanya pakaiannya saja yang robek-robek mereka menjadi semakin yakin bahwa yang
mereka keroyok adalah seorang siluman atau iblis, maka semakin ramailah mereka
mengeroyok dengan nekat walaupun senjata mereka membalik dan tangan mereka
terasa panas dan nyeri.
Melihat kenyataan bahwa
semua orang menjadi semakin marah dan semakin nekat menyerangnya, Sie Liong
merasa kewalahan. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan telanjang bulat karena
pakaiannya tentu akan hancur. Dia tidak mau membalas, karena sekali pandang
saja dia maklum bahwa mereka yang mengeroyoknya itu bukanlah penjahat,
melainkan penduduk dusun yang sedang marah, dan tentu dia disangka orang yang
menyebabkan kemarahan mereka itu. Tadi dia mendengar mereka memakinya sebagai
siluman. Tentu para penghuni dusun ini sedang memusuhi siluman dan dialah yang
dikira siluman itu! Sungguh sial, sekali ini dia disangka siluman!
Melihat serangan
bertubi-tubi, dia lalu melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng rumah
kepala dusun Gumo Cali. Melihat ini, semua orang menahan napas dan memandang
dengan wajah membayangkan bermacam perasaan. Ada ngeri, ada takut, akap tetapi
ada pula kemarahan yang membuat mereka nekat, apalagi karena yang maju ada
ratusan orang sehingga mendatangkan keberanian yang besar.
Gumo Cali mendapat hati
ketika melihat siluman itu tidak merobohkan seorang di antara mereka, bahkan
seperti hendak melarikan diri. Maka diapun menuding ke atas dan membentak
dengas suara garang, ‘Siluman jahat, hayo kembalikan dua orang anak gadis
kami, kalau tidak, sampai ke manapun kaki orang sedusun akan mengejarmu dan
membinanakanmu!!
‘Nanti dulu!! Sie Liong
berseru dan nada suaranya marah karena hati siapa tidak menjadi dangkol kalau
tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba saja dia dituduh sebagai siluman yang
meuculik dua orang gadis orang! ‘Kalian ini enak saja menuduh orang yang
bukan-bukan! Siapa bilang aku siluman? Apa buktinya bahwa aku ini siluman yang
suka nyolong gadis orang?!
Mondengar ini, Gumo Cali
tertegun. Sikap orang di atas itu memang bukan seperti siluman! Dia meragu,
akan tetapi orang-orang yang berada di bawah itu masih yakin bahwa mereka
berhadapan dengan miluman.
‘Engkau tidak seperti
manusia biasa! Punggungmu berpunuk!!
‘Engkau kebal dan tidak
tidak terluka oleh hujan senjata kami!!
‘Siluman memang bisa
pian-hoa (salin rupa)!!
‘Dia berpunuk, tentu
siluman onta!!
Wajah Sie Liong menjadi
merah karena hatinya dangkol bukan main. Dia disangka siluman onta karena
berpunuk. Sialan!
‘Heii, kalian ini memang
orang-orang tolol dan kejam! Andaikata aku siluman sungguh, tentu akan kuhajar
kalian yang bermulut lancang ini! Aku ini manusia biasa, dan memang aku cacat
berpunuk. Tidak bolehkah orang memiliki cacat berpunuk? Andaikata di antara
kalian tidak ada yang cacat berpunuk, tentu ada yang memiliki cacat lain,
apakah yang pincang, yang buntung, yang buta, yang tuli, mereka itu juga
dianggap siluman? Aku manuasia biasa dan kalau aku tidak terluka oleh senjata
kalian, sungguh untung bahwa aku memiliki sedikit kepandaian, kalau tidak,
tentu tubuhku ini sudah menjadi bakso dan yang lebih hebat lagi, kalian menjadi
manusia-manusia binatang yang kejam, mengeroyok dan membunuh orang yang tidak
bersalah, dan kalian akan dikutuk sampai tujuh turunan!! Sie Liong bukan orang
yang pandai bicara, sekarang ini karena terdorong rasa dangkol, maka dapat juga
dia bicara agak panjang.
Melihat sikap dan
mendengar ucapan ini, terkejutlah Gumo Cali. Dia sendiri sedikit banyak sudah
tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak orang yang sakti dan berilmu tinggi,
yang memiliki bentuk badan aneh-aneh, dan watak yang aneh-aneh pula. Timbullah
harapannya bahwa mungkin orang muda berpunuk ini adalah seorang pendekar yang
melakukan perantauan dan siapa tahu pendekar ini akan dapat menolongnya dan
menyelamatkan dua orang anaknya. Oleh karena itu, diapun segera berteriak
memberi isarat kepada semua orang untuk tenang.
Setelah semua orang tidak
mengeluarkan suara, diapun menghadap ke arah pemuda berpunuk yang masih berdiri
di atas genteng itu, lalu memberi hormat dan berkata, suaranya nyaring.
‘Kalau memang engkau seorang manusia dan seorang pendekar, harap suka maafkan
kami yang sedang panik oleh adanya siluman yang mengacau dusun kami. Akan
tetapi, bagaimana kami akan dapat percaya bahwa taihiap bukan siluman? Hanya
kalau taihiap sudi membantu kami menangkap siluman atau setidaknya
menyelamatkan dua orang gadis kami yang diculik olehnya, kami percaya bahwa
taihiap seorang pendekar, bukan siluman!!
‘Semua sudah ada enam
orang gadis yang diculik!! teriak seseorang yang juga merasa kehilangan seorang
anak gadisnya yang lebih dulu diculik siluman.
Biarpun kemarahannya
mereda, namun hati Sie Liong masih mendangkol.
‘Hemm, kalian tidak
berhak untuk menekan aku agar suka menolong kalian. Kalau memang ada kejahatan
terjadi di sini, tanpa dimintapun aku akan turun tangan menentang kejahatan!
Sepatutnya kalian menerima aku sebagai seorang tamu atau sahabat dan kita dapat
berunding tentang kejahatan yang terjadi, bukan membabi-buta mengeroyok seorang
pendatang yang sama sekali tidak berdosa!!
Mendengar ini, Gumo Cali
merasa menyesal sekali, akan tetapi juga girang dan menemukan harapan baru.
Maka, demi kedua orang anaknya, tanpa ragu-ragu lagi diapun berlutut menghadap ke
arah pemuda berpunuk itu. ‘Taihiap, maafkan kami. Aku Gumo Cali sebagai
kepala dusun mewakili seluruh penghuni mohon maaf kepadamu.!
Lenyaplah sama sekali
kemarahan dari hati Sie Liong. Memang dia bukan seorang pemarah. Dia melayang
turun bagaikan seekor naga, dipandang oleh semua orang yang menjadi kagum
sekali. Dia turun ke depan kepala dusun itu dan sedikitpun kakinya tidak
mengeluarkan suara ketika tiba di atas tanah, dan dengan ramah Sie Liong lalu
mengangkat bangun kepala dusun itu.
‘Namaku Sie Liong dan
aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini. Tadi aku sudah merasa heran
sekali ketika memasuki dusun ini yang cukup besar, akan tetapi mengapa begini
sepi. Tidak tahunya ada penjahat yang membikin kacau di dusun ini?!
‘Bukan penjahat,
taihiap, melainkan.... siluman.... siluman merah!! kata kepala dusun itu dan
ketika dia bicara, dia memandang ke kanan kiri kelihatan takut sekali.
‘Eh? Siluman?! Sie Liong
mengerutkan alisnya. ‘Dan tentang gadis-gadis tadi? Apakah siluman itu menculik
gadis?!
‘Taihiap, marilah bicara
di dalam. Dan kami perlu mengganti pakaian taihiap yang robek-robek itu.! Gumo
Cali mempersilakan Sie Liong masuk ke dalam rumahnya.
Sie Liong mengangguk dan
kepala dusun menyuruh semua orang bubaran dan pulang ke rumah masing-masing.
Ketika tiba di ruangan depan, Sie Liong mera sa heran melihat sebuah peti mati
yang depannya masih dipasangi lilin dan alat sembahyang.
‘Siapa yang mati?!
tanyanya, tidak lupa untuk memberi hormat ke arah peti mati sebagaimana
patutnya.
‘Itu adalah Bong
Sian-jin yang tewas semalam....! kata Gumo Cali dengan suara berbisik,
kelihatan ketakutan.
Mendengar nama
‘Sian-jin!, Sie Liong menjadi agak terkejut juga. ‘Siapakah dia dan mengapa
tewas di sini? Apakah keluargamu?!
‘Bukan, dia adalah dukun
yang kami undang untuk mengusir siluman dan melindungi dua orang gadis kami,
akan tetapi, dia malah terbunuh oleh siluman dan dua orang gadis kami tetap
saja diculik....! Tuan rumah lalu mengajak Sie Liong duduk di ruangan dalam.
Setelah berganti pakaian, bukan pemberian tuan tumah, melainkan pakaiannya
sendiri yang diambilnya dari buntalan yang dibawa dan diikat di pungungungnya,
Sie Liong lalu mendengarkan keterangan Gumo Cali tentang segala hal yang telah
terjadi semalam. Isteri tuan rumah ikut mendengarkan sambil menangis. Setelah
selesai menceritakan hilangnya dua orang puteri mereka dan tewasnya Bong
Sian-jin, suami isteri itu lalu berlutut di depan Sie Liong.
‘Taihiap, kasihanilah
kami, kasihanilah dua orang puteri kami. Mereka itu masih kanak-kanak, baru
berusia empat belas dan enam belas tahun, dapatkanlah kembali mereka,
taihiap....! Suami isteri itu tidak malu-malu menangngis di depan Sie Liong.
Pemuda ini mengangkat bangun mereka.
‘Harap paman dan bibi
suka bersikap tenang. Aku yakin bahwa kejahatan ini bukan perbuatan siluman,
melainkan manusia biasa yang menyamar sebagai siluman. Aku mendengar tadi bahwa
penjahat itu telah menculik banyak gadis, bukan puteri-puteri paman saja.
Benarkah?!
‘Memang demikianlah.
Sudah kurang lebih dua tiga pekan ini.... siluman.... eh, penjahat itu menculik
gadis-gadis cantik. Kabarnya malah dari dusun lain juga ada yang hilang, dan
dari dusun sini saja ada enam orang gadis yang sudah diculik.!
‘Dan semua juga terjadi
seperti yang terjadi di sini semalam? Sebelum menculik pada malam hari, pada
siang harinya dia memberi tanda dengan olesan darah kepada daun pintu rumah
yang ada gadis calon korban?!
Gumo Cali mengangguk.
‘Begitulah. Karena siangnya sudah diberi tanda, malamnya kami selalu
mengadakan persiapan dan penjagaan. Bahkan beberapa orang jagoan dari para
pasukan pengawal barang yang membantu kami, jatuh menjadi korban, terluka dan
ada pula yang tewas. Iblis itu amat jahat dan lihai, bukan tandingan manusia.
Karena itulah kami mengundang Bong Sian-jin untuk melawannya dengan ilmu sihir.
Akan tetapi, ternyata Bong Sian-jin malah tewas dan kedua orang anak kami
diculiknya.!
‘Hemm, kurasa dia itu
bukan iblis bukan siluman, melainkan seorang manusia jahat yang sombong. Aku
akan melakukan penyelidikan dan mudah-mudahan saja kesombongannya terulang
kembali dan dia akan memberi tanda kepada sebuah rumah yang akan didatanginya,
sehingga aku akan siap menghadapinya.!
Sie Liong lalu melakukan
penyelidikan ke dalam kamar dua orang gadis puteri kepala dusun. Melihat ember
air kembang dan pakaian dua orang gadis itu, dia mengerutkan alisnya dan
diam-diam dia merasa curiga kepada dukun Bong. Apalagi ketika mendengar dari
Gumo Cali bahwa dukun Bong hendak ‘membersihkan! hawa siluman dengan
memandikan dua orang gadis itu, dalam kamar tanpa disaksikan siapapun,
kecurigaannya bertambah. Dia menduga bahwa dukun Bong tentulah seorang dukun cabul
yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencabuli dua orang gadis remaja yang
cantik.
Akan tetapi karena dukun
itu sudah berada dalam peti mati tanpa nyawa lagi, diapun tidak dapat
menyelidikinya, hanya menduga-duga bagaimana macamnya penjahat tukang menculik
gadis yang membunuh dukun cabul itu. Menurut keterangan kepala dusun, dukun itu
dibunuh dengan pedang kayunya sendiri. Kalau penjahat itu mampu menusuk leher
dukun Bong dengan pedang kayu sehingga tembus, dapat diketahui bahwa tentu
penjahat itu memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat. Dari dalam kamar, dia
membuka jendela dan melompat ke luar, terus melompat ke atas. Gumo Cali
memandang dengan penuh kagum dan dia makin girang, makin besar harapannya bahwa
pemuda bongkok inilah yang agaknya akan mampu menolong dua orang anaknya.
Sie Liong melakukan
penyelidikan ke atas genteng. Ada beberapa buah genteng pecah terinjak. Agaknya
ketika penjahat itu memanggul dua orang gadis, maka berat tubuhnya bertambah
dan karenanya maka genteng itu pecah terinjak. Dan dari pecahan genteng-genteng
itu dia dapat menduga bahwa si penjahat tentu lari menuju ke selatan. Dari atas
genteng itu, dia memandang ke selatan dan nampaklah sebuah bukit kehitaman
menjulang tinggi, sebagian tersinar cahaya matahari, namun tetap nampak
menghitam tanda bahwa di situ terdapat hutan yang lebat.
‘Bukit apa yang ada di
selatan itu?! tanyanya sambil lalu setelah dia melompat turun kembali.
‘Bukit yang mana? Ada
banyak bukit di selatan....!
‘Yang nampak hitam,
penuh hutan.!
‘Ah, itu bukit Onta
namanya. Di bagian tengah ada....! Kepala dusun tidak melanjutkan kata-katanya
dan memandang ke arah punuk di punggung Sie Liong.
‘Ada punuknya maksudmu?
Hemm, bukit Onta....!
‘Ada apakah di sana,
taihiap?! Gumo Cali tidak berani menyebut onta, takut menyinggung hati pendekar
bongkok itu yang tadi dimaki siluman onta oleh seorang penduduk dusun.
‘Tidak ada apa-apa. Kita
tunggu saja sampai ada tanda dari penjahat itu. Sekarang aku akan mencari kamar
di rumah penginapan.!
‘Taihiap, bermalamlah
saja di sini. Kamar anak-anak.... bekas kamar merekapun kosong, boleh untuk
sementara taihiap tempati....!
Sie Liong maklum bahwa
tuan rumah masih panik dan ketakutan, dan dia hendak ditahan untuk meredakan
rasa takut mereka. Dia merasa tidak leluasa kalau bermalam di situ, maka dia
menggeleng kepala. ‘Tidak, sebaiknya kehadiranku tidak terlalu monyolok. Biar
aku di rumah penginapan saja,!
‘Tunggulah, taihiap.
Biar aku menyuruh seseorang untuk memesan kamar terbaik untuk taihiap,
sementara itu, mari terimalah hidangan yang kami berikan untuk taihiap, sebagai
sarapan pagi.!
Sie Liong merana tidak
enak untuk menolak. Mereka lalu bersama-sama makan pagi, dan setelah selesai
makan pagi, Sie Liong diantar oleh kepala dusun sendiri pergi ke rumah
penginapan di mana telah disediakan kamar terbaik untuknya.
Belum juga tengah hari,
kepala dusun sudah torgopoh-gopoh datang dan mengetuk daun pintu kamarnya. Sie
Liong sedang beristirahat dan dibukanya daun pintu. Dia heran melihat kepala
dusun nampak gugup dan mukanya pucat.
‘Taihiap.... taihiap....
dia.... dia datang....!
‘Datang? Ke mana
maksudmu, paman?!
‘Dia.... memberi tanda
darah pada pintu rumah Gulamar, saudagar kaya yang memiliki seorang gadis yang
cantik. Sebentar malam....!
‘Bagus dan tenanglah,
paman. Penjahat itu memang sombong bukan main. Mari kau tunjukkan kepadaku di
mana rumah yang mendapat tanda ancaman itu.!
Keluarga Gulamar menyambut
kedatangan kepala dusun itu dengan hati cemas dan putus asa. Tidak ada jagoan
yang berani menjaga keselamatan puterinya, biar dia berani membayar berapa
banyakpun dan biar dia sudah mendengar akan pendekar muda yang bongkok, yang
katanya amat lihai dan sanggup melawan siluman merah, namun dia masih ragu-ragu
dan bahkan sudah mempersiapkan rombongan onta dan kuda untuk melarikan anaknya
mengungsi ke tempat lain.
Ketika mendengar
keterangan bahwa hartawan itu hendak membawa puterinya pergi mengungsi, Sie
Liong menyatakan ketidak-setujuannya.
‘Cara itu tidak menjamin
keselamatan bahkan berbahaya sekali, paman,! katanya. ‘Penjahat itu akan
lebih mudah menculik puterimu dalam perjalanan mengungsi itu.!
‘Tapi dia.... dia
siluman, hanya keluar di waktu malam.... kami akan melarikan puteri kami siang
ini juga.!
Sie Liong menggeleng
kepalanya.
‘Bukan, dia bukan
siluman, melainkan manusia biasa yang amat jahat. Kalau malam ini dia datang
untuk menculik puterimu, aku yang akan menghadapinya.!
Gulamar nampak ragu-ragu
dan bingung. Dia memandang kepada kepala dusun Gumo Cali. ‘Bagaimana
baiknya.... kami khawatir sekali, kalau tidak dilarikan, nanti anakku....!
‘Tenangkan hatimu,
saudagar Gulamar. Taihiap ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan dia sudah berjanji sanggup menalukkan siluman itu. Sebaiknya
kalau engkau menurut nasihatnya. Taihiap, bagaimana sebaiknya diatur untuk
menghadapi penjahat siluman itu kalau malam nanti dia datang?!
Sie Liong lalu mengadakan
perundingan dengan tuan rumah, disaksikan oleh kepala dusun. ‘Sembunyikan
gadis itu di dalam kamar lain yang dekat dengan kamarnya sendiri agar aku dapat
selalu mengamatinya, dan aku sendiri akan tinggal di dalam kamar puterimu
menanti munculnya penjahat itu.!
‘Taihiap, apakah engkau
membutuhkan bantuan?!
Sie Liong mengangguk. ‘Mereka
yang pagi tadi mengepungku, mereka adalah penduduk yang marah kepada siluman
dan mereka penuh keberanian walaupun mungkin tidak memiliki kepandaian. Biarlah
mereka itu yang membantuku, mengadakan pengepungan pada rumah ini, akan tetapi
bersembunyi dan jangan ada yang keluar sebelum penjahat itu datang dan aku
berusaha menangkapnya. Kalau sudah terdengar ribut-ribut atau melihat aku
berkelahi melawan penjahat itu, baru mereka boleh keluar dan masing-masing
membawa obor untuk menerangi tempat ini.!
Kepala dusun Gumo Cali
menyanggupi dan diapun segera pergi melakukan persiapan dan memberitahu kepada
penduduk bahwa malam itu, Pendekar Bongkok akan menangkap siluman merah, dan
diharap agar penduduk suka membantunya. Para penduduk yang berhati tabah dan sudah
lama merasa penasaran dan marah kepada siluman merah yang mengganggu keamanan
di dusun mereka, segera menyambut ajakan ini dengan penuh semangat. Mereka tadi
sudah melihat sendiri kelihaian Pendekar Bongkok yang kebal dan dapat
‘terbang! ke atas genteng.
***
Malam yang menyeramkan.
Sejak matahari tenggelam, tidak ada penduduk berani keluar dari rumah mereka,
apalagi yang wanita. Semua penduduk sudah mendengar bahwa malam itu siluman
merah akan muncul, akan menculik gadis cantik puteri saudagar Gulamar! Mereka
yang siap membantu Pendekar Bongkok, sejak sore sudah siap di tempat
persembunyian mereka mengepung rumah saudagar itu, siap dengan obor yang
tinggal dinyalakan dan segala macam senjata yang mereka miliki.
Malam itu sungguh
menakutkan. Padahal, malam itu juga malam yang biasa saja seperti pada
malam-malam yang lain. Kalau pikiran mulai berceloteh, membayangkan hal-hal
mengerikan yang mungkin menimpa diri, maka rasa takutpun timbul dan kalau orang
sudah ketakutan, maka malam yang gelap dapat nampak menyeramkan. Orang takut
akan setan karena dia pernah mendencar tentang setan. Pikirannya sudah
kemasukan bayangan setan yang didengarnya dari orang lain, dan pikiran itulah
yang mengada-ada, mereka-reka, membayangkan hal-hal mengerikan. Andaikata dia
tidak pernah mendengar tentang setan, tidak mungkin dia dapat merasa takut.
Seorang anak kecil yang belum pernah mendengar tentang setan, dia tidak akan
takut berada di tempat yang bagaimanapun juga, karena pikirannya tidak pernah
dapat membayangkan hal yang belum diketahuinya. Akan tetapi, sekali dia sudah
mendengar cerita tentang setan, maka pikirannya mereka-reka, membayangkan dan
diapun menjadi takut.
Malam itu amat sunyi,
namun, sesuai dengan perintah kepala dusun Gumo Cali, semua penghuni rumah yang
berdekatan di sekitar rumah saudagar Gulamar memasang lampu penerangan di luar
rumah mereka sehingga daerah sekitar itu tidaklah begitu gelap.
Gadis yang diincar oleh
siluman itu berada di dalam kamar ibunya, dijaga oleh ayah ibunya. Mereka
bertiga sejak sore tadi sudah dicekam ketakutan hebat, terutama gadis itu
sendiri yang wajahnya menjadi pucat, matanya yang indah itu seperti mata
kelinci melihat harimau, dan setiap suara sedikit saja cukup untuk membuat ia
melonjak kaget. Mereka bertiga berdekapan di atas pembaringan ketika malam
semakin larut, tak mungkin dapat memejamkan mata, makin lama semakin gelisah
walaupun mereka semua yakin bahwa Pendekar Bongkok berada seorang diri di dalam
kamar sebelah dan baliwa di sekeliling rumah tidak kurang dari seratus orang
laki-laki penduduk dusun Ngomaima yang siap untuk membantu Pendekar Bongkok
menangkap siluman yang hendak menculik puteri saudagar itu.
Sie Liong sendiri
tenang-tenang saja berada di dalam kamar gadis itu. Sebuah kamar yang cukup
besar, dengan perabot-perabot kamar yang indah, kamar yang bersih dan berbau
harum. Dia tidak mau duduk atau rebah di atas tempat tidur gadis itu, dan
karena lantai kamar itu ditilami permadani tebal yang bersih dan lunak, diapun
duduk bersila di atas lantai, memusatkan perhatian sehingga pendengarannya
dapat mengetahui keadaan di luar kamar sekalipun. Dalam persiapannya menghadapi
siluman yang diduganya tentu hanya seorang penjahat yang sombong dan lihai itu,
dia tidak bersenjata. Akan tetapi, melihat sebuah payung di dalam kamar itu,
tergantung di sudut, dia tahu bahwa kalau perlu, payung itu dapat menjadi
sebuah senjata yang amat baik baginya.
Menjelang tengah malam
suasana semakin sunyi. Yang terdengar dari dalam kamar itu hanyalah suara
jengkerik dan belalang dan serangga malam lainnya yang mengeluarkan bunyi
beraneka ragam, halus dan amat merdu, bunyi kehidupan malam yang penuh rahasia
karena gelap. Tiba-tiba ada suara tak wajar tertangkap oleh pendengaran Sie
Liong. Suara jejak kaki di atas genteng. Dia datang, pikirnya dan tak dapat
dihindarkan lagi, jantung dalam dadanya berdetak lebih kencang daripada
biasanya. Tanpa mengeluarkan suara, Sie Liong bangkit dan menghampiri sudut
kamar, menyambar payung yang gagangnya panjang melengkung itu, lalu menanti,
menempelkan tubuhnya di sudut dinding, matanya menatap ke arah jendela, pintu,
dan langit-langit berganti-ganti karena dia tahu bahwa dari tiga jurusan itulah
si penjahat dapat memasuki kamar.
Dengan pendengarannya Sie
Liong mencoba untuk mengikuti gerakan penjahat yang berada di atas rumah itu.
Tidak mudah baginya karena penjahat itu memiliki gerakan yang ringan sekali.
Kedua kakinya hampir tidak menimbulkan suara, seperti kaki kucing saja. Namun
dia tahu bahwa penjahat itu kini telah turun dan mendekati kamar itu. Dia harus
menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang berdetak kencang karena
tegang.
‘Krekk....!! Terdengar
sedikit suara dan daun jendela itupun terbuka, palangnya patah karena dorongan
yang amat kuat dari luar. Dan begitu daun jendela terbuka, nampak bayangan
merah berkelebat dari luar. Demikian ringan dan cepat gerakan bayangan itu
sehingga Sie Liong diam-diam merasa terkejut dan kagum. Kiranya memang bukan
lawan biasa, pikirnya dan diapun waspada. Orang yang mampu bergerak seperti ini
tidak boleh dipandang ringan, pikirnya.
Dengan penuh perhatian Sie
Liong yang berdiri di sudut kamar mengamati sosok tubuh itu. Tubuh yang ramping
kecil sehingga nampak kurus, dengan pakaian serba merah dan dari samping nampak
wajahnya juga tertutup topeng merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Bukan siluman, melainkan manusia bertopeng seperti yang sudah diduganya. Akan
tetapi, manusia yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup
hebat.
Si topeng merah itu
menghampiri pembaringan, menyingkap kelambu dan melepaskan kembali ketika
melihat bahwa pembaringan itu kosong. Dikepalnya tangan itu sebagai tanda bahwa
ia marah, dan pada saat itu, Sie Liong membentak.
‘Penjahat sombong dan
keji! Menyerahlah engkau!! Sambil membentak demikian, Sie Liong sudah menerjang
maju dan tangan kirinya mencengkeram ke arah lengan orang untuk menangkapnya.
Bukan sembarang cengkeraman belaka karena ini merupakan satu jurus dari Pek-in
Sin-ciang, dan biarpun pada saat itu tangannya belum mengeluarkan uap putih,
namun sudah mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat dan cengkeraman itu cepat
sekali, sukar untuk dihindarkan lawan.
Akan tetapi, si topeng
merah itu ternyata cekatan sekali. Melihat lengannya akan dicengkeram, dia
membuat gerakan memutar lengan itu dan sekaligus dihantamkan ke atas untuk
menangkis dan dengan kuatnya lengannya yang kecil menangkis dengan pengerahan
tenaga sin-kang.
‘Dukk!! Dua lengan
bertemu dan si topeng merah itu mendengus marah.
‘Ihhh!! Dan kini tangan
kirinya bergerak mengadakan serangan tusukan dengan dua jari tangan ke arah
mata Sie Liong. Demikian cepatnya gerakan itu dan tangan kirinya itu seperti
sebatang pedang menusuk saja! Sie Liong maklum bahwa lawannya memang tangguh,
maka diapun cepat mengerahkan tenaga, melepaskan payungnya aan menangkis tangan
kiri lawan yang menusuk itu dari samping.
‘Plakkk!!
‘Ehhh....!! Kini si
topeng merah itu agak terhuyung dan agaknya baru dia men yadari bahwa orang
bongkok ini amat lihai, maka tanpa banyak cakap lagi tubuhnya lalu meluncur
keluar kamar melalui jendela dengan kecepatan luar biasa.
‘Penjahat keji, hendak
lari ke mana kau?! Sie Liong membentak dan sengaja dia mengeluarkan suara
nyaring agar terdengar oleh semua orang yang mengepung rumah itu sambil
bersembunyi. Teriakannya ini nyaring sekali dan maksudnya berhasil, karena
terdengar oleh semua pengepung yang langsung menyalakan obor dan mengangkat obor
itu tinggi-tinggi dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang senjata
mereka. Sie Liong melihat bayangan merah berkelebat ke atas genteng. Maka
diapun cepat mengejar sambil memegang payungnya.
Ketika tiba di atas
wuwungan yang agak lebar den datar, lebarnya tidak kurang dari setengah meter,
si bayangan merah itu yang tahu bahwa ia dikejar, lalu membalik dan pedangnya
sudah menyambut Sie Liong dengan tusukan kilat. Sie Liong melihat sinar pedang
meluncur cepat, maka diapun segera menangkis dengan payungnya. Sepasang mata di
balik topeng itu berkilat seperti mentertawakan karena jangankan hanya payung,
biar senjata terbuat dari baja yang kuatpun akan patah bertemu dengan
pedangnya. Maka diapun sudah siap untuk melanjutkan serangan kalau payung itu
terbabat patah.
‘Trangg!! Bunga api
berpijar dan si bayangan merah itu mengeluarkan seruang kaget. Payung itu tidak
patah, bahkan ia merasa telapak tangannya panas.
‘Hei, setan bongkok!
Siapakah engkau dan mengapa mencampuri urusanku?! bentaknya.
Sie Liong tertegun.
Kiranya siluman ini seorang wanita yang suaranya nyaring merdu! Pantas saja
mata yang berada di balik topeng itu demikian jeli, dan tubuh itu demikian
langsing dan padat, juga nampak kurus. Kiranya wanita! Mengapa ada wanita
menculiki gadis-gadis cantik? Sungguh aneh sekali!
‘Kiranya siluman merah
adalah seorang wanita! Sungguh engkau jahat sekali! Untuk apa engkau menculiki
gadis-gadis itu? Hayo kembalikan atau aku tidak akan mengampunimu!!
‘Setan bongkok sombong!
Engkau sudah bosan hidup!! bentak siluman itu dan kini ia menyerang dengan
tangan kirinya. Semacam uap hitam menyambar ke arah Sie Liong dan uap hitam ini
mengandung tenaga dorongan yang amat kuat. Sie Liong menyambut dengan dorongan
tangan kiri pula, sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang. Uap putih keluar
dari telapak tangan kirinya bertemu dengan uap hitam dan kembali wanita
bertopeng itu mengeluh dan terdorong dua langkah ke belakang.
‘Mampuslah!! Tangan
kirinya bargerak dan sinar-sinar hitam lembut menyambar ke arah tubuh Sie
Liong, mengarah leher, dada dan pusar! Itulah jarum-jarum hitam beracun yang
menyambar dari jarak dekat! Sie Liong menggerakkan payungnya yang terbuka dan
sekali diputar, payung itu menangkis semua jarum yang bertebaran jatuh menimpa
genteng, mengeluarkan suara nyaring lembut yang hanya dapat terdengar oleh Sie
Liong. Akan tetapi ketika dia memandang dari balik payungnya, bayangan merah
itu telah meloncat turun. Ributlah para penduduk menyambutnya dengan
pengeroyokan, akan tetapi mereka segera cerai berai ketika dua orang di antara
mereka roboh mandi darah terbabat pedang dan beberapa kali loncatan saja, si
bayangan merah telah lenyap dari situ. Ketika semua orang memandang, ternyata
Pendekar Bongkok yang tadi berada di atas genteng rumah juga sudah lenyap.
Ke mana perginya Sie
Liong? Dia tadi melihat berkelebatnya bayangan merah itu ke arah selatan, maka
diam-diam diapun lalu meloncat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, malam
gelap menjadi penghalang dan wanita berpakaian merah itu lenyap ditelan
kegelapan malam dan arah yang diambilnya adalah selatan, ke arah bukit yang
menjulang tinggi itu, Bukit Onta! Karena tidak mungkin mengejar seorang lawan
yang demikian lihai dan berbahaynya di malam gelap, Sie Liong lalu berlari
kembali ke dalam dusun Ngomaima, kembali ke rumah saudagar Gulamar di mana
penduduk masih berkumpul dan mereka itu ramai membicarakan apa yang mereka
lihat di atas rumah tadi, perkelahian antara Pendekar Bongkok dan Siluman
Merah. Ketika melihat munculnya pemuda bongkok itu, para penduduk yang dipimpin
oleh kepala dusun Gumo Cali menyambutnya dengan sorak sorai penuh kegembiraan.
‘Hidup Sie Taihiap....!!
Bahkan ada yang berteriak,
‘Hidup Pendekar Bongkok!! Namun sebutan bongkok itu kini nadanya bukan
menghina atau mengejek, melainkan memuji.
Sie Liong merasa kecewa
bahwa dia tidak berhasil menangkap penjahat itu, maka dia mengangkat kedua
tangan ke atas dan berkata, ‘Harap saudara sekalian pulang ke rumah
masing-masing. Ketahuilah bahwa siluman merah itu bukan setan, melainkan
seorang manusia yang amat lihai dan ia seorang penjahat wanita. Sayang bahwa
aku tidak berhasil menangkapnya dan selama belum tertangkap, bahaya masih
selalu ada. Maka harap saudara sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti
sekarang ini. Kalau saudara sedusun bersatu melawannya, tentu ia tidak akan
dapat mengacau lagi.!
Orang-orang bubaran.
Walaupun pendekar itu tidak berhasil menangkap siluman merah, akan tetapi jelas
bahwa siluman itu takut kepadanya. Buktinya siluman itu melarikan diri dan
sekali ini ia tidak berhasil menculik gadis puteri saudagar Gulamar. Ada sebuah
hal yang sukar dapat mereka percaya. Kalau berita bahwa siluman itu adalah
seorang manusia lihai dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang
wanita? Sukar membayangkan seorang wanita selihai itu dan pula apa urusannya
wanita menculik gadis-gadis cantik?
Tentu saja Gulamar,
isterinya dan puterinya merasa berterima kasih sekali kepada Pendekar Bongkok
Sie Liong. Walaupun siluman itu tidak tertangkap, namun gadis itu capat
diselamatkan.
Namun, Sie Liong sama
sekali tidak merasa puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus dapat
membongkar rahasia wanita bertopeng merah itu. Mengapa menculiki gadis-gadis
cantik, dan ke mana ia membawa gadis-gadis itu? Ia harus dapat menemukan
sarangnya, menolong para gadis yang sudah diculik, karena kalau penjahat aneh
itu belum dapat dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam bahaya.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Sie Liong sudah keluar dari dusun dan melakukan perjalanan
seorang diri menuju ke selatan. Bukit Onta nampak masih menghitam karena sinar
matahari pagi itu masih lemah. Dia tahu bahwa ia mencari-cari dalam gelap,
hanya menduga bahwa bukit itulah yang sepatutnya menjadi sarang penjahat yang
menyamar siluman. Bukit Onta itu tidak begitu jauh dari dusun Ngomaima,
merupakan bukit yang penuh dengan hutan lebat dan menurut keterangan yang
diperolehnya, jarang ada pemburu berani memasuki hutan itu yang menurut kabar
tahyul merupakan sarang iblis! Cocok dengan penjahat yang menyamar sebagai
siluman. Maka, begitu melihat bukit itu dan mendengar keterangan tentang tempat
itu, dia sudah menduga bahwa di situlah tempat siluman itu bersembunyi di waktu
siang dan bergerak memasuki dusun di waktu malam.
Dugaan Sie Liong memang
tepat sekali. Tidak begitu jauh di lerang bukit itu, dalam sebuah hutan,
terdapat bangunan kayu yang masih nampak baru, cukup besar dan bangunan itu
tersembunyi di antara pohon-pohon raksasa sehingga tidak akan nampak dari luar
hutan. Bangunan itu belum lama didirikan orang-orang secara diam-diam, baru
kurang lebih sebulan. Dan semenjak tiga pekan, kadang-kadang terdengar suara
isak tangis tertahan disusul hardikan yang menghentikan isak tangis wanita itu
dari dalam rumah.
Kiranya hampir setiap
malam, siluman merah atau wanita yang memakai pakaian dan topeng merah membawa
seorang gadis culikan ke rumah itu dan kini, di rumah itu telah terkumpul
sembilan orang gadis-gadis muda dan cantik, di antara mereka terdapat pula dua
orang kakak beradik puteri dari Gumo Cali, kepala dusun Ngomaima. Mereka
dikumpulkan dalam sebuah ruangan besar di tengah bangunan itu. Karena mereka
selalu dihardik dan diancam kalau menangis maka mereka yang dilanda duka dan
ketakutan, hanya terisak kecil saja. Yang lain sudah pasrah, agak besar pula
hati mereka melihat banyaknya teman senasib, dan selama mereka ditawan itu,
mereka tidak pernah menerima perlakuan buruk, tidak pernah diganggu dan diberi
hidangan yang cukup baik. Hanya mereka tidak pernah tahu mengapa mereka diculik
dan ditawan di dalam hutan itu.
Pada malam hari tadi,
ketika siluman merah gagal menculik puteri saudagar Gulamar karena adanya
Pendekar Bongkok, ia langsung saja berlari karena tidak ingin dikejar pendekar
yang lihai itu dan biarpun hatinya merasa penasaran sekali karena ia belum
merasa kalah dan belum benar-benar mengadu ilmu dengan pemuda bongkok, namun ia
tidak berani mengambil resiko melawan pendekar Bongkok yang selain amat lihai,
juga dibantu oleh ratusan orang penduduk Ngomaima itu.
Malam itu, ketika ia
kembali ke rumah dalam hutan di lereng Bukit Onta dengan tangan kosong, ia
disambut teguran tak puas di dalam ruangan di rumah itu. Mereka semua ada lima
orang yang duduk mengelilingi sebuah meja. Seorang kakek yang usianya kurang
lebih enam puluh tahun, kepalanya gundul dan wajahnya nampak masih muda, pada
jubahnya di bagian dada terdapat sebuah lukisan teratai putih pada dasar hitam.
Biarpun dia mengenakan jubah pendeta dan kepalanya dicukur licin, namun
sikapnya berbeda dengan para hwesio (pendeta Budha).
Para hwesio bersikap alim
dan tenang, sebaliknya kakek ini memiliki sinar mata yang tajam dan liar,
wajahnya penuh dengan kelicikan dan mulutnya membayangkan kerakusan dan
kekejaman. Namun harus diakui bahwa dia memiliki wajah yang nampak muda dan
tampan, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya berwibawa. Di sampingnya duduk pula
tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun,
semua memakai pakaian ringkas dan di punggung mereka terselip siang-to
(sepasang golok) yang mengkilap tajam, sikap mereka juga angkuh dan jagoan.
Orang ke lima adalah siluman merah sendiri dan kini ia sudah menanggalkan
topengnya. Kalau Sie Liong meli atnya, dan juga para penduduk dusun Ngomaima
melihatnya, mereka semua tentu akan terkejut dan terheran-heran. Kiranya yang
mereka namakan siluman merah itu adalah seorang wanita muda yang cantik jelita
dan manis sekali!
Usianya tidak akan lebih
dari dua puluh tahun, wajahnya bulat telur dan manis sekali, kulit muka dan
lehernya putih mulus. Wanita cantik manis yang amat lihai ini bukan lain adalah
Pek Lan!
Seperti kita ketahui, Pek
Lan telah berhasil membalas dendamnya terhadap para selir dari Hartawan Coa di
kota Ye-ceng dan membawa pula banyak harta milik hartawan Coa. Dengan hati amat
puas ia meninggalkan kota Ye-ceng dan bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal
gurunya, yaitu Hek-in Kui-bo yang kini tinggal di tepi telaga Gose sebagai
seorang yang kaya raya.
Akan tetapi setibanya di
rumah subonya (ibu gurunya), ternyata Hek-in Kui-bo sedang kedatangan seorang
tamu yang oleh subonya diperkenalkan kepadanya sebagai Thai-yang Suhu, seorang
tokoh Pek-lian-kauw (Perkumpulan Agama Teratai Putih).
‘Pek Lan, Thai-yang Suhu
ini adalah seorang sahabat baikku dan dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan
juga ilmu sihir yang hebat. Thai-yang Suhu, inilah muridku yang kuceritakan
kepadamu tadi, namanya Pek Lan.!
Sepasang mata pria
berjubah pendeta dan berkepala gundul yang ditutup sebuah topi hwesio itu
menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan dengan penuh perhatian, lalu dia
mengangguk-angguk. ‘Kui-bo, muridmu ini sungguh hebat, cantik manis dan juga
lincah. Tidak tahu entah sampai di mana engkau menggemblengnya.!
‘Hemm, ia sudah hampir
mewarisi seluruh kepandaianku. Engkau cobalah ia, Thai-yang. Pek Lan, jangan
sungkan-sungkan, perlihatkan kepandaianmu kepada pamanmu Thai-yang Suhu!!
Wajah dan sikap pria berjubah
pendeta itu sudah menarik perhatian Pek Lan, maka mendengar kata-kata subonya,
iapun lalu meloncat ke tengah ruangan dan memberi hormat ke arah Thai-yang
Suhu. ‘Paman, silakan!!
Thai-yang Suhu tertawa
bergelak dan ternyata giginya masih berderet rapi. ‘Bagus, engkau seorang
keponakanku yang mengagumkan.! katanya sambil bangkit pula berdiri, lalu
menghampiri Pek Lan. ‘Pek Lan, aku ingin menguji kepandaianmu, ingin pinceng
(aku) melihat apakah benar engkau cukup berharga untuk mewakili subo-mu membantu
pekerjaan kami yang besar. Awas serangan!!
Pendeta Pek-lian-kauw itu
sudah menyerang, pukulannya mengandung tenaga sin-kang besar dan juga
gerakannya cepat sekali. Namun, tidak terlalu cepat bagi Pek Lan yang dengan
mudah sudah mengelak ke samping sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong.
Thai-yang Suhu menyusulkan serangan yang lebih hebat, dengan tamparan tangan
kiri ke arah pelipis kanan gadis itu. Tamparannya mendatangkan angin pukulan
yang dahsyat dan serangan ini diikuti pula oleh cengkeraman tangan kanan ke
arah dada Pek Lan. Sungguh merupakan serangan yang berbahaya.
Namun, dengan tenang saja
Pek Lan meloncat ke belakang, kemudian iapun membalas dengan serangan bertubi.
Ia mengerahkan tenaga sin-kang yang dipelajarinya dari Hek-in Kui-bo dan dari
kedua telapak tangannya mengepul uap hitam!
‘Bagus, ia sudah pandai
Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam), ha-ha!! kata Thai-yang Suhu, akan
tetapi biarpun mulutnya tertawa, dia sibuk sekali menghadapi rangkaian serangan
yang hebat dari gadis itu sehingga dia harus melindungi dirinya dengan elakan
dan tangkisan karena biarpun yang menyerangnya hanya seorang wanita muda, namun
serangan dahsyat itu dapat membahayakan dirinya. Gadis itupun tidak mau memberi
hati dan ia menyerang semakin gencar sehingga pendeta itu harus mengakui akan
kelihaian Pek Lan. Dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja
pendeta itu lenyap dari pandang mata Pek Lan, berubah menjadi asap hitam!
Selagi ia kebingungan, pinggulnya ada yang mencolek dari belakang.
‘Pek Lan, pinceng di
sini!!
Pek Lan terkejut dan juga
mendongkol atas kegenitan sahabat subonya itu, ia membalik dan kakinya mencuat
dalam tendangan kilat. Hampir saja Thai-yang Suhu terkena tendangan itu. Untung
dia cepat menarik tangannya dan mengelak dan sebelum Pek Lan melanjutkan
serangannya, kembali dia berubah menjadi asap hitam dan lenyap.
‘Wah, kalau paman
menggunakan ilmu siluman begini, aku mengaku kalah!! teriak Pek Lan yang tidak
ingin lagi tangan paman yang nakal itu mencolak-colek tubuhnya.
Asap hitam menghilang dan
Thai-yang Suhu kelihatan kembali. ‘Ha-ha-ha engkau sungguh hebat, Pek Lan,
mampu mendesak pinceng. Akan tetapi, lihat baik-baik, pinceng telah menjadi
raksasa, apakah engkau masih berani melawan?!
Pek Lan memandang dan ia
terbelalak karena melihat pendeta itu kini benar saja telah berubah menjadi
tinggi sekali, sehingga ia sendiri hanya setinggi lututnya! Tentu saja ia
menjadi gentar dan ia memberi hormat sambil berkata, ‘Aku tidak berani....!
That Yang Suhu tertawa dan
dia kembali menjadi normal. Terdengar Hek-in Kui-bo terkekeh. ‘Thai-yang,
engkau seperti anak kecil saja, menakut-nakuti muridku. Nah, Pek Lan, kaulihat,
dia pandai sekali ilmu sihir! Dia datang untuk mohon bantuanku, akan tetapi
karena aku sudah tua, aku wakilkan padamu.!
Pek Lan mangerutkan
alisnya, menyesal mengapa subonya menyanggupi untuk membantu pendeta ini,
bahkan sudah mengambil keputusan untuk menyuruh ia mewakilinya. Kalau subonya
yang memerintahkan, tentu saja ia tidak dapat menolak lagi.
‘Bantuan yang bagaimana,
Subo? Apakah yang harus kulakukan?!
‘Ha-ha-ha, tidak berat
dan tidak sukar, Pek Lan, apa lagi untukmu yang memiliki tenaga hebat,
kecepatan kilat dan kepandaian setinggi langit! Bahkan pinceng lihat hanya
engkaulah yang akan mampu melaksanakan tugas ini sebaiknya. Tugas yang mudah
sekali. Kami dari Pek-lian-kauw membutuhkan penambahan pelayan, yaitu
gadis-gadis remaja dari dusun-dusun sebanyak lima belas orang. Kita akan
memilih dari dusun-dusun dimana ada gadis remaja yang bersih dan cantik, dan engkau
bertugas untuk menculik mereka itu seorang demi seorang.!
Pek Lan mengerutkan
alisnya. Memang bukan tugas yang sukar, akan tetapi hatinya merasa tidak puas
mengapa ia yang ditunjuk untuk membantu pendeta ini.
‘Akan tetapi, mengapa
mesti aku....?! bantahnya.
‘Pek Lan, aku pernah
berhutang budi kepada Thai-yang Suhu ini, dan sekarang ada kesempatan bagiku
untuk membalasnya. Aku sudah menyanggupinya dan aku sudah menunjuk engkau untuk
mewakili aku. Apakah engkau akan mengatakan bahwa engkau tidak sanggup
mewakiliku?! Guru itu mendesak sedemikian rupa, sehingga tidak ada kesempatan
bagi Pek Lan untuk mengelak lagi. Akan tetapi, ia teringat akan ilmu aneh dari
pendeta itu tadi. Menghadapi ilmu aneh seperti itu, apa artinya ilmu silatnya?
Tiba-tiba ia mendapatkan akal.
‘Paman Thai-yang Suhu,
aku sanggup untuk membantumu sampai berhasil baik, akan tetapi untuk itu ada
syaratnya yang kuharap paman akan dapat memenuhinya.!
‘Ha-ha-ha, anak manis,
apakah syaratmu itu? Hadiah apa yang kau minta?!
‘Aku mau mewakill subo
membantu paman sampai berhasil mengumpulkan lima belas orang gadis dusun yang
dibutuhkan Pek-lian-kauw, akan tetapi dengan imbalan bahwa paman akan
mengajarkan ilmu sihir yang aneh kepadaku.!
Mendengar permintaan ini,
sepasang mata Thai-yang Suhu terbelalak, akan tetapi sepasang mata itu lalu
menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan, dan diapun tertawa bergelak. ‘Ha-ha-ha,
Kui-bo. Muridmu ini memang cerdik dan menyenangkan sekali. Permintaanmu itu
memang sudah pantas! Dan pinceng bukanlah seorang yang pelit, apalagi terhadap
seorang gadis cantik manis yang cerdik seperti engkau, masih keponakanku
sendiri pula dan yang akan membantu pinceng. Ha-ha-ha, memang hidup ini harus
meminta dan memberi, pinceng akan mengajarkan beberapa macam ilmu sihir
kepadamu, Pek Lan, asalkan engkau suka mentaati segala perintahku, memenuhi
segala permintaanku. Bagaimana, sanggupkah engkau?!
Pek Lan yang merasa girang
sekali mendengar bahwa ia akan menerima pelajaran ilmu sihir, tanpa ragu lagi
menjawab, ‘Tentu saja aku sanggup, Paman Thai-yang Suhu!!
‘Ho-ho-ho, sekali ini
engkau terjebak oleh pamanmu yang selain lihai juga amat cerdik, Pek Lan!
Engkau berjanji akan memenuhi semua permintaannya! Engkau lupa bahwa engkau
seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan menarik, sedangkan Thai-yang
Suhu ini adalah seorang laki-laki yang hatinya masih muda dan dulu dia amat
tampan, digilai banyak wanita. Ha-ha-hi-hik!!
Mendengar ucapan subonya,
Pek Lan memandang kepada pria gundul yang memang tampan itu, dan wajahnya
berubah kemerahan. Tentu saja ia mengerti apa maksud subonya, akan tetapi kalau
benar tokoh Pek-lian-kauw itu menghendaki apa yang dimaksudkan subonya, iapun
tidak berkeberatan!
Demikianlah, semenjak saat
itu, Pek Lan membantu Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw itu dan dengan
ilmunya yang tinggi, Pek Lan membantu pendeta palsu itu menculiki gadis-gadis
cantik dari dusun-dusun. Di samping itu, Pek Lan menerima pula petunjuk dan
pelajaran dari Thai-yang Suhu yang memenuhi janjinya, mengajarkan ilmu sihir
kepada wanita cantik itu. Sebaliknya, Pek Lan juga tidak melanggar janjinya dan
dengan penuh kemesraan dan kepasrahan iapun menyerahkan dirinya melayani semua
gairah nafsu tokoh Pek-lian-kauw itu. Bahkan iapun merasa puas dan senang
karena ternyata pria yang sudah berusia enam puluh tahun itu perkasa, bahkan
tidak kalah oleh yang muda-muda.
‘Sungguh aku merasa
heran sekali, Pek Lan. Engkau gagal karena dihalangi oleh seorang pemuda yang
bertubuh cacat, yang bongkok? Sungguh penasaran dan memalukan sekali!! Demikian
berkali-kali Thai-yang Suhu menegur pembantunya, juga kekasihnya itu. Pek Lan
mengerutkan alisnya dan mulutnya yang berbibir merah basah tanpa gincu itu
cemberut.
‘Hemm, mencela memang
mudah! Aku bukan mengatakan bahwa aku kalah oleh setan bongkok itu, akan tetapi
aku hanya mengatakan bahwa dia memang lihai sekali. Aku terpaksa melarikan diri
bukan karena takut melawannya. Kami belum berkelahi sungguh-sungguh. Akan
tetapi, bagaimana aku akan bertindak nekat kalau ratusan orang penduduk berada
di belakangnya?!
Thai-yang Suhu mengerutkan
alisnya pula. ‘Hemm, tentu si bongkok itu pula yang mengerahkan penduduk. Dan
selama dia berada di sana dan menghasut penduduk untuk melawan kita, maka tentu
akan sukar bagi kita untuk memenuhi jumlah gadis yang kita butuhkan. Sudah ada
sembilan orang dan tinggal enam lagi saja, eh, tiba-tiba muncul setan bongkok
itu. Kita harus melenyapkan perintang itu.!
‘Benar sekali, kalau si
bongkok itu kita bunuh, tentu hati para penduduk menjadi gentar lagi dan mereka
tidak akan berani lagi menentang kita,! kata seorang di antara Tibet Sam Sinto
(Tiga Golok Sakti Tibet) itu. Dua orang saudaranya mengangguk-angguk.
Pek Lan yang merasa panas
hatinya karena ditegur Thai-yang Suhu tadi, mendengar ucapan Tibet Sam Sinto
segera bangkit dan bertolak pinggang, lalu berkata dengan suara lantang, ‘Sam
Sinto, biar kalian bertiga yang menghadapi penduduk yang banyak akan tetapi
lemah itu, dan biar aku yang akan menandingi si bongkok sampai dia mampus di
tanganku!!
Bab 14
Tibet Sam Sinto tidak
berani memandang rendah kepada wanita muda yang cantik manis itu karena mereka
maklum betapa lihainya Pek Lan, mereka hanya mengangguk dan seorang di antara
mereka berkata singkat, ‘Jangan khawatir, nona. Kami akan membasmi penduduk
yang berani menentang kita!!
‘Hemm, kalian tidak
boleh menuruti hati marah saja. Semua harus diatur dengan cermat agar jangan
sampai gagal. Aku tidak biasa bekerja secara serampangan saja, harus
menggunakan siasat yang matang,! kata Thai-yang Suhu.
Pada saat itu, seorang
anak buah mereka muncul. Anak buah ini tadi telah menerima tugas untuk
menyelidiki keadaan dalam dusun Ngomaima, terutama sekali menyelidiki tentang
si bongkok.
‘Bagaimana hasil
penyelidikanmu?! tanya Thai-yang Suhu. Anak buah ini juga seorang anggauta
Pek-lian-kauw yang terkenal cerdik dan juga memiliki gin-kang yang membuat dia
mampu berlari cepat dan bergerak dengan gesit.
Setelah memberi hormat,
anak buah itu lalu bercerita. ‘TIdak ada yang mengetahui siapa nama si
bongkok itu, Lo suhu. Orang menyebut dia Pendekar Bongkok, dan tak seorangpun
mau mengaku ketika saya mencoba bertanya siapa namanya dan bagaimana
riwayatnya. Yang jelas, dia bukan penduduk daerah ini, melainkan datang dari
timur.!
‘Di mana dia sekarang
dan bagaimana keadaan para penduduk dusun Ngomaima?! tanya pula Thai-yang Suhu
tak sabar.
‘Dia masih bermalam di
rumah penginapan, akan tetapi penduduk kini melakukan penjagaan ketat dan
puluhan orang melakukan penjagaan secara bergiliran.!
‘Hemm, aku tidak takut!
Mari kita sekarang juga mencari si bongkok itu di rumah penginapan!! kata Pek
Lan gemas.
‘Tidak,! bantah
Thai-yang Suhu. ‘Sudah kukatakan, semua harus menggunakan rencana siasat.
Jangan sampai kita memperlihatkan kelemahan seolah-olah takut kepada si bongkok
dan para penduduk. Pek Lan, besok siang kita usahakan untuk memberi tanda merah
lagi pada pintu rumah Gulamar, dan malam harinya, engkau culik puterinya!!
‘Tapi, kalau mereka
tahu, tentu mereka mengatur jebakan,! bantah Pek Lan.
‘Ha-ha-ha, justeru itu
yang kuhendaki. Biarlah mereka mengatur jebakan untukmu, akan tetapi mereka
tidak tahu bahwa di belakangmu ada kami! Tibet Sam Sinto yang akan mengahadapi
orang-orang dusun bodoh itu, dan engkau menculik gadis itu. Kalau si bongkok
muncul, kita hadapi berdua, dan jangan khawatir, aku melindungimu, Pek Lan.!
Wanita muda itu
mengangguk-angguk dan hatinyapun merasa tenang. Kalau Thai-yang Suhu
membantunya menghadapi si bongkok, ia hampir yakin bahwa mereka tentu akan mampu
merobohkan Pendekar Bongkok itu. Malam itu, Pek Lan berusaha keras untuk
menyenangkan hati Thai-yang Suhu, sebagian untuk menebus kekurangannya karena
kegagalan menculik puteri Gulamar, ke dua karena pendeta Pek-lian-kauw itu
besok akan membantunya. Untuk memberi tanda darah kepada pintu keluarga
hartawan itu, diserahkan kepada anak buah yang cekatan dan pandai menyamar.
***
Sie Liong berjalan dengan
tenang mendaki bukit Onta yang penuh dengan hutan itu. Biarpun belum yakin
karena belum mendapatkan bukti, namun dia menduga keras bahwa tentu siluman
yang suka menculik gadis itu bersembunyi di tempat yang ditakuti orang ini.
Sebuah tempat persembunyian yang baik. Akan tetapi, siluman itu seorang wanita,
dan mengapa ada wanita menculiki gadis gadis cantik? Tentu wanita siluman itu
tidak sendiri dan mungkin terdapat banyak kawannya yang tentu saja berbahaya.
Maka, biarpun dia melangkah tenang, dia tak pernah lengah sedetikpun. Mata dan
telinganya menyelidiki keadaan di sekelilingnya.
Sikapnya yang amat hati-hati
itu tidak menolongnya. Semenjak dia mendaki Bukit Onta, setiap gerakannya sudah
diikuti oleh banyak pasang mata. Dia tidak tahu bahwa pendakiannya tadi
kelihatan oleh anak buah Thai-yang Suhu yang segera melapor kepada perdeta
Pek-lian-kauw itu. Mendengar bahwa Pendekar Bongkok sudah datang berkunjung dan
mendaki bukit, tentu saja hal ini tidak pernah disangka oleh Thai-yang Suhu
yang cepat mempersiapkan diri. Dia berunding dengan Pek Lan dan Tibet Sam
Sinto, mengatur siasat.
Thai-yang Suhu, biarpun
nampaknya seperti seorang pendeta, namun dia adalah pendeta dari aliran
kebatinan yang sesat, oleh karena itu, dia tidak segan atau malu selalu
bersikap curang. Kalau dia gagah, tentu dijumpainya Pendekar Bongkok agar
mereka dapat bertanding secara gagah pula. Tidak, dia tidak ingin mengalami
kerugian dan segalanya diperhitungkan demi keuntungan pihaknya. Dia belum
mengenal siapa Pendekar Bongkok, dari aliran mana dan bagaimana tingkat ilmu
kepandaiannya. Kalau memang Pendekar Bongkok pandai, mengapa tidak diusahakan
dulu agar suka membantu dan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Kalau semua
usaha itu gagal, baru terpaksa dibunuh!
Sie Liong menurutkan jalan
setapak yang ditemukannya dalam hutan itu. Ketika membelok di bagian tengah
hutan, pada jalan menurun, tiba-tiba saja dia dihadapkan dengan sebuah telaga
kecil yang amat indah dan amat jernih airnya. Ada air terjun tak jauh dari
situ, dan airnya membuat sungai kecil memasuki telaga. Dari tempat dia berdiri,
dia melihat pemandangan yang amat indah. Tak disangkanya bahwa di bukit yang
sunyi dan penuh hutan, yang ditakuti orang itu, terdapat tempat yang demikian
indahnya. Dia lalu menuruni jalan setapak itu, menghampiri telaga.
Terpesona dia berdiri di
tepi telaga. Air telaga demikian jernih, bagaikan kaca yang berada di depan
kakinya demikian jernihnya sehingga dia dapat melihat batu-batu di dasarnya,
juga melihat beberapa ekor ikan hilir mudik. Di sebelah sana, di mana permukaan
air digelapi bayang-bayang pohon, air itu seperti menelan semua pemandangan di
atasnya. Pohon, daun-daun, awan dan sinar matahari, semua tenggelam dan nampak
sedemiktan jelasnya sehingga setiap helai daun pohon itupun nampak. Tidak ada
angin menggerakkan daun pohon, agaknya angin sudah ditangkis oleh pohon-pohon
besar di sekeliling telaga itu.
Suara air membuat dia
menoleh ke kiri dan untuk kedua kalinya dia terpesona! Kalau tadi dia terpesona
oleh keindahan telaga itu, kini dia terpesona oleh suatu keindahan yang lain
lagi, keindahan wajah dan tubuh seorang wanita! Wanita itu masih muda, tidak
lebih dari dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya cantik manis dengan bentuk
bulat telur, dan gadis itu bertelanjang bulat sama sekali, tidak ada sehelai
benangpun menutupi tubuhnya yang masak dan padat. Kulitnya demikian putih mulus
dan karena dia tidak berdiri terlalu jauh, dan kebetulan sinar matahari menimpa
tubuh telanjang itu, Sie Liong dapat melihat bulu-bulu halus lembut pada lengan
dan kaki gadis itu, yang membuat ia menjadi semakin menarik. Gadis itu duduk di
atas batu dan dia melihatnya dari samping. Dengan kedua kakinya, gadis itu
menendang-nendang air dan itulah bunyi air yang tadi menarik perhatiannya.
Agaknya gadis itu tidak melihatnya, dan sedang asyik sendiri.
Dari keadaan terpesona,
Sie Liong kini menjadi tersipu, merasa betapa dia telah bersikap tidak
sepatutnya, melihat seorang gadis bertelanjang bulat seperti itu. Wajahnya
berubah merah dan diapun cepat membuang muka, bahkan lalu berdiri membelakangi
gadis itu, kemudian melangkah pergi.
‘Heiii....!! Tiba-tiba
Sie Liong mendengar suara gadis itu, disusul suara tubuh jatuh ke air. Karena
ingin tahu apa yang terjadi, Sie Liong menahan kakinya dan membalik, memamdang.
Gadis itu agaknya tadi melihat dia dan terkejut lalu terjun ke air di dekat
batu yang tadi didudukinya. Kini gadis itu berdiri sepinggang dalam air, dan
nampak dadanya yang berbentuk indah.
‘Heii, siapa kau? Apakah
kau mau mandi? Marilah, kita boleh mandi bersama. Di sini tidak ada orang
lain!!
Kedua pipi Sie Liong
menjadi semakin merah dan dia mengerutkan alisnya, lalu cepat membalikkan tubuh
lagi, tidak mau memandang dada indah dan wajah manis itu terlalu lama, bahkan
dia lalu pergi tanpa banyak bicara lagi. Gadis itu sungguh tidak tahu malu, pikirnya.
Tidak bersusila, sudah tidak malu dilihat pria dalam keadaan bertelanjang,
bahkan mengajak mandi bersama! Seperti bukan seorang wanita biasa! Pantasnya
wanita itu siluman! Siluman Merah! Sie Liong merasa betapa jantungnya berdebar
dan dia memperlambat langkahnya.
Kini terdengar gadis itu
kembali bicara, dan nada suaranya amat menyesal penuh teguran. ‘Kau ini orang
macam apa? Disapa baik-baik tidak mau menjawab! Selama hidupku belum pernah aku
bertemu seorang manusia sesombong ini! Aku ingin sekali bicara denganmu, dan
siapa tahu, aku dapat memberi keterangan padamu! Bukankah engkau mencari
seseorang di sini?!
Mendengar ucapan ini,
kembali untuk ke dua kalinya Sie Liong menahan langkahnya, akan tetapi dia
tidak mau menoleh atau membalikkan tubuhnya. Mungkin saja gadis ini siluman
merah yang juga seorang wanita, pikirnya, walaupun dugaan ini dia bantah
sendiri. Tak mungkin! Siluman merah itu orang berilmu tinggi, dan yang di
belakangnya ini hanya seorang gadis muda yang cantik manis, sukar dipercaya
kalau memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan andaikata bukan siluman aerah, siapa
tahu gadis ini dapat memberi keterangan di mana tempat persembunyian siluman
merah.
‘Aku bukan orang
sombong. Kalau engkau berpakaian dengan sopan, tentu aku akan suka bicara
dengan nona. Engkau berpakaianlah lebih dulu!!
‘Hi-hi-hik!! Gadis itu
tertawa, suara ketawanya merdu, tidak dibuat-buat dan bebas lepas.
‘Kiranya kau seorang
yang sopan santun, ya? Bersusila tinggi, ya? Apa sih salahnya bertelanjang
bulat? Bukankah ketika kau dan aku terlahir, kita juga bertelanjang bulat?
Bukankah manusia baru kelihatan keasliannya dan keindahan tubuhnya kalau
bertelanjang bulat? Baiklah, aku akan berpakaian dulu. Awas, jangan mengintai
kau, seperti kebanyakan laki-laki, mulutnya bersopan-sopan, akan tetapi matanya
mencuri-curi, hi-hi-hi!!
Sie Liong merasa
mendongkol juga.
Gadis ini aneh sekali,
akan tetapi ejekannya tadi memang mengena! Dia mendengar suara berkeresekan,
dan biarpun matanya tidak melihat, namun pendengarannya yang tajam terlatih
dapat membuat dia tahu bahwa gadis itu memang benar kini sedang mengenakan
pakaian.
‘Nah, aku sudah selesai
berpakaian. Kau lihat, apakah aku lebih baik kalau berpakaian dari pada kalau
bertelanjang? Lihat baik-baik!!
Karena dari pendengarannya
tadi dia sudah yakin bahga gadis itu kini sudah berpakaian, Sie Liong lalu
membalikkan tubuhnya. Gadis itu memang cantik menarik bukan main. Sayang
pandang matanya dan senyumnya, walaupun manis dan amat memikat, mengandung
kegenitan dan kecabulan! Gadis itu tersenyum.
‘Engkau orang aneh,
tubuhmu juga aneh, akan tetapi wajahmu tampan dan engkau nampak begitu kuat!
Hemm, aku ingin sekali bicara denganmu!! Berkata demikian, gadis itu lalu
melangkah dari batu ke batu untuk menuju ke tepi di mana Sie Liong berdiri.
Gadis itu melangkah dengan agak sukar dan hal ini saja membuktikan bahwa ia
tidak pandai silat, atau andaikata bisapun kepandaiannya tentu masih rendah
sekali.
Ketika dari batu terakhir
ia melompat ke tanah yang jaraknya hanya satu meter dan agaknya lebih tinggi
dari batu itu, ia meloncat dengan kaku dan tak dapat dicegah lagi, kakinya
terpeleset dan iapun jatuh miring di atas tanah.
‘Aduhhhh.... aduh,
kakiku.... sakit....!! Gadis itu mengeluh dan berusaha untuk bangkit duduk,
akan tetapi tidak dapat dan ia mencoba untuk menyentuk kakinya di tumit, juga
tidak dapat.
Sie Liong mengerutkan
alisnya. Sejak tadi dia waspada. Gadis ini demikian muda dan cantik, dan berada
seorang diri saja di tempat yang sunyi dan liar ini. Padahal, para penduduk,
biar pemburu yang gagah berani sekalipun, tidak berani mendaki Bukit Onta ini.
Hal ini saja membuktikan bahwa gadis ini tentu memiliki sesuatu yang membuat ia
berani berada seorang diri di tempat berbahaya ini. Dan tadi, dia menduga bahwa
gadis itu agaknya hendak merayunya lewat tubuhnya yang menggairahkan, dan lewat
kegenitannya yang mengajak mandi bersama. Ketika rayuan itu tidak mendapat
tanggapon, gadis ini mungkin saja sengaja membuat dirinya jatuh agar dia mau
menolongnya. Dalam keadaan seperti itu, tentu saja dia dapat lengah.
‘Aduh, tolong....!
Apakah selain sombong, engkau juga begitu kejam sehingga tidak mau menolong
seorang wanita yang terjatuh dan terkilir kakinya? Aduhh....!! Gadis itu kini
menjulurkan lengan kirinya ke arah Sie Liong, minta bantuan agar pemuda itu
suka menolongnya bangkit.
Sie Liong tersenyum, lalu
menghampiri dan menggunakan tangan kanan untuk memegang tangan kiri yang
dijulurkan itu. Dia kelihatan sama sekali tidak menaruh curiga dan seperti
orang yang benar hendak membantu gadis itu bangkit duduk. Lunak dan hangat
terasa olehnya ketika tangannya bersentuhan dengan telapak tangan yang putih
mulus itu. Gadis itu lalu bangkit duduk, bahkan sambil masih berpegang kepada
tangan Sie Liong, ia berdiri, agak terhuyung dan di lain saat ia sudah
merangkul leher Sie Liong dan merapatkan pipinya di dada Pendekar Bongkok!
Sie Liong mencium bau yang
harum keluar dari rambut dan leher gadis itu. Jantungnya berdebar dan tubuhnya
tergetar karena betapapun juga, darah mudanya bergolak ketika tubuh yang hangat
itu merapat pada tubuhnya. Akan tetapi, dia segera teringat bahwa hal itu tidak
selayaknya, maka diapun melangkah mundur merenggangkan diri sambil melepaskan
tangan gadis itu, juga melepaskan lengan yang merangkul lehernya. Dan pada saat
itu, tiba-tiba sekali, dari jarak yang amat dekat, gadis itu menggerakkan
tangannya, dengan jari-jari terbuka, tangan itu menotok ke arah perut Sie
Liong! Dahsyat bukan main serangan ini dan jari-jari tangan itu sudah terisi
tenaga dalam yang amat jahat, karena telapak tangan itu berubah menghitam.
Gadis itu telah mempergunakan pukulan maut!
‘Huhh....!! Sie Liong
dapat mengelak sambil menangkis dari samping.
‘Hyaatt....!! Pek Lan,
gadis cantik itu, menyusulkan cengkeraman ke arah leher, namun kembali Sie
Liong dapat mengelak dengan melangkah mundur dan menangkis lengan yang bergerak
ke arah lehernya. Pek Lan merasa penasaran sekali, kakinya bergerak menendang
ke arah bawah pusar lawan!
‘Hemm, keji sekali....!!
Pendekar Bongkok berseru dan tubuhnya melayang ke belakang. Tendangan itupun
luput!
Sie Liong berdiri dan bertolak
pinggang, tersenyum pahit, lalu berkata dengan nada suara mengejek. ‘Bagus
sekali, kiranya selain kejam dan melakukan kejahatan aneh menculiki
gadis-gadis, engkau juga masih pandai melakukan perbuatan curang!!
Pek Lan memandang dengan
mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa Pendekar Bongkok sedemikian lihainya.
Bukan hanya tidak dapat dirayunya, juga tidak mudah ditipu dengan pura-pura
jatuh tadi. Dan dia hanya seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok dan
nampaknya lemah!
‘Bagaimana.... kau bisa
tahu?! tanyanya, menahan rasa penasaran dan kemarahan saking herannya.
‘Engkau seorang gadis
muda berada seorang diri di tempat seperti ini membuktikan bahwa engkau
tentulah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian. Pakaianmu demikian mewah,
hal ini membuktikan bahwa engkau tentu bukan pendatang dari luar hutan,
melainkan mempunyai tempat tinggal di dalam hutan. Dan siluman merah yang
bertemu dengan aku semalam seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi.
Ketika engkau gagal menggunakan siasat menjatuhkan kelemahanku sebagai pria,
engkau lalu berpura-pura jatuh. Aku sudah curiga dan siap siaga, maka beberapa
seranganmu yang masih mentah itu tentu saja dapat kuhindarkan.!
‘Jahanam sombong,
sekarang juga engkau akan mampus di tanganku!! Berteriak demikian, Pek Lan lalu
menerjang dengan gerakan cepat, kedua tangannya melakukan serangan
bertubi-tubi. Melihat betapa kedua telapak tangan gadis itu berubah menghitam,
maklumlah Sie Liong bahwa dia menghadapi seorang gadis golongan sesat yang menguasai
ilmu sesat pula. Diam-diam dia menyayangkan sekali bahwa seorang gadis muda
yang begini cantik ternyata menjadi seorang wanita sesat yang genit, cabul dan
juga amat jahat. Maka, diapun cepat mengerahkan sin-kangnya dan sambil mengelak
atau kadang-kadang menangkis, diapun membalas dengan tamparan-tamparan tangan
yang amat mantap dan dahsyat.
Setelah mereka saling
serang selama belasan jurus, terkejutlah Pek Lan. Bukan saja semua serangannya
yang dahsyat itu tak pernah berhasil, bahkan kalau pemuda bongkok itu
menangkis, dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya serasa retak dan
tubuhnya tergetar hebat! Dan kalau pemuda itu membalas, angin pukulannya
menyambar seperti angin badai yang membuat ia semakin gentar saja. Tidak berani
ia menangkis, tidak berani mengadu tenaga karena ia tahu bahwa tenaga
sin-kangnya kalah kuat. Juga penggunaan hawa beracun agaknya tidak ada gunanya
karena kedua tangan pemuda itu dilindungi semacam uap putih yang membuat uap
hitam dari telapak tangannya membuyar bahkan membalik! Ia tidak tahu bahwa
pemuda lawannya itu memiliki ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih)
yang jauh lebih tinggi tingkatnya daripada ilmunya yang disebut Hek-in
Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).
Teringatlah Pek Lan akan
ilmu sihir yang diajarkan oleh Thai-yang Suhu kepadanya, maka diam-diam, sambil
sibuk mengelak berloncatan untuk menghindarkan hujan tamparan dari Sie Liong,
ia berkemak-kemik membaca mantera, pandang matanya bagaikan dua ujung pedang
yang disatukan seperti menembus dahi Pendekar Bongkok di antara alisnya,
kemudian tiba-tiba ia membentak nyaring.
‘Pendekar Bongkok,
menyerah dan berlututlah engkau!!
Sie Liong terkejut sekali,
ketika merasa betapa ada tenaga luar biasa yang seolah-olah memaksanya untuk
menyerah dan berlutut. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda gemblengan yang
sudah menerima banyak petunjuk dari Pek-sim Sian-su, bagaimana menghadapi ilmu-ilmu
sihir dari kaum sesat. Diapun cepat menahan napas mengerahkan khi-kang dan
pengaruh yang memaksanya itu buyar. Akan tetapi dia menahan senyum dan
pura-pura menjatuhkan diri berlutut seolah-olah dia terpengaruh oleh sihir yang
dilakukan gadis itu!
Melihat lawannya
benar-benar berlutut, Pek Lan girang bukan main akan hasil ilmu sihirnya itu.
Ia tahu bahwa lawannya ini amat berbahaya, dan tidak mudah ditundukkan dengan
pengaruh kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya, maka baginya tidak ada
gunanya, bahkan membahayakan saja. Maka iapun lalu menubruk ke depan dan kedua
tangannya, dengan jari-jari membentuk cakar harimau, menyambar ke arah
ubun-ubun kepala Pendekar Bongkok.
‘Haiiiittt....!!
Pendekar Bongkok tiba-tiba membentak, kedua tangannya mendorong ke depan dan
bagaikan sebuah layang-layang yang putus talinya, tubuh Pek Lan melayang ke
belakang lalu terbanting jatuh! Untung bahwa Pendekar Bongkok tidak bermaksud
membunuhnya, maka Pek Lan tidak tewas, bahkan tidak terluka parah, hanya
terbanting keras, membuat pinggulnya terasa nyeri bukan main. Ia meloncat
bangun, menggosok-gosok pinggul yang tadi terbanting sambil meringis kesakitan.
Akan tetapi, kemarahannya memuncak dan tanpa banyak cakap lagi, iapun sudah
mencabut pedangnya dan sambil mengeluarkan lengkingan panjang, ia menyerang
Pendekar Bongkok dengan pedangnya.
Kalau saja Sie Liong
menghendaki, pukulan dahsyat Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung) tadi sudah
cukup untuk membunuh Pek Lan. Akan tetapi, dia tidak bermaksud membunuh orang.
Bagaimanapun juga, siluman merah itu belum diketahui apa sebenarnya yang
menjadi latar belakang perbuatannya menculik gadis-gadis itu. Kini, melihat
betapa wanita itu menjadi semakin nekat dan menyerangnya dengan pedang, dengan
permainan pedang yang cukup berbahaya, diapun mempergunakan kelincahan gerakan
tubuhnya, mengelak sambil berloncatan dan berkali-kali tubuhnya berkelebatan di
sekeliling lawannya, membuat gadis itu menjadi bingung dan pening. Ia merasa
seolah melawan bayangan saja, demikian cepatnya gerakan Pendekar Bongkok.
‘Hentikan seranganmu,
atau terpaksa aku akan merobohkanmu. Kembalikan semua gadis yang telah
kauculik, dan aku akan memaafkanmu!! Pendekar Bongkok berseru beberapa kali,
namun sebagai jawabannya, Pek Lan menyerang semakin ganas saja.
Sie Liong menjadi marah.
Gadis ini terlalu ganas dan berhati kejam, kalau tidak diberi hajaran keras
tentu tidak akan mau tunduk. Ketika pedang itu untuk ke sekian kalinya meluncur
ke arah dadanya, Pendekar Bongkok mengelak dengan miringkan tubuh dan menarik
tubuh atas ke belakang, lalu tangannya dengan cepat sekali menotok ke atas
pundak kanan Pek Lan.
‘Tukkk!! Pek Lan merasa
lengannya lumpuh dan pedang itu terlepas dari pegangannya, akan tetapi dengan
gerakan memutar, ia menubruk ke arah Pendekar Bongkok dan tanpa malu-malu lagi
tangannya yang membentuk cakar itu mencengkeram ke arah bawah pusar pemuda
bongkok itu!
‘Ihh....!! Sie Liong
meloncat ke belakang dan mukanya berubah merah. Wanita ini sungguh tidak tahu
malu sama sekali! Dia melompat ke belakang bukan karena takut melainkan karena
malu. Namun baru dia tahu bahwa serangan mencengkeram ke arah bawah pusarnya
tadi hanya merupakan gertakan saja karena kini Pek Lan sudah menyambar kembali
pedangnya yang tadi terlepas. Serangan itu dipergunakan hanya untuk dapat
merampas kembali pedang yang sudah lepas dari tangan. Wanita itu kini maklum
benar bahwa Pendekar Bongkok sungguh amat lihai. Namun, ia masih merasa
penasaran, apalagi mengingat bahwa ada teman-temannya yang tentu akan membantunya.
Benar saja, ketika ia
menerjang lagi, tiba-tiba bermunculan tiga orang Tibet Sam Sinto yang sejak
tadi hanya mengintai sambil menonton saja dan baru mereka muncul dan membantu
Pek Lan setelah menerima perintah dari Thai-yang Suhu. Tokoh Pek-lian-kauw ini
tidak segera memberi perintah membantu Pek Lan karena dia ingin memperhatikan
gerakan ilmu silat Pendekar Bongkok dan untuk mengujinya sampai di mana
kelihaian pemuda bongkok itu. Diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian
Pendekar Bongkok yang membuat Pek Lan tidak berdaya. Setelah gadis itu terdesak
hebat dan terancam bahaya, barulah dia memberi isarat kepada Tibet Sam Sinto
untuk maju membantu.
Melihat munculnya tiga
orang laki-laki tinggi besar yang masing-masing memegang sebatang golok melengkung
dan gerakan mereka aneh, Sie Liong dapat menduga bahwa mereka tentulah
jagoan-jagoan dari Tibet. Hal ini dapat diketahuinya dari gaya gerakan tubuh
mereka. Dia sudah banyak mendengar dari para gurunya, yaitu Himalaya Saw Lojin
dan juga Pek-sim Sian-su tentang ilmu silat Tibet yang bercampur dengan gaya
silat gulat, semacam ilmu silat yang mengandalkan cengkeraman, tangkapan, dan
bantingan.
Akan tetapi, perhatian Sie
Liong bukan sepenuhnya kepada tiga orang ini. Dia menduga bahwa tentu masih ada
musuh lain yang bersembunyi seperti tiga orang tinggi besar tadi yang
bersembunyi di balik semak-semak. Dia tadi tidak mendengar kedatangan mereka,
hal itu hanya berarti bahwa sejak tadi mereka memang berada di situ,
bersembunyi. Dia telah terjebak! Semua siasat yang dilakukan wanita cantik itu
merupakan siasat mereka. Mungkin sejak dia mendaki Bukit Onta, gerak-geriknya
tentu telah diikuti pihak musuh. Ketika mendengar bunyi berkeresek di atas
pohon besar, tiba-tiba Sie Liong mengeluarkan lengkingan panjang dan sebelum
Pek Lan dan Tibet Sam Sinto sempat menyerangnya, tubuhnya sudah melayang naik
ke arah pohon di mana dia tadi mendengar daun berkeresekan.
Melihat bayangan manusia
di dalam pohon itu, Sie Liong meloncat sambil menyerang dengan dorongan telapak
tangannya. Orang itu ternyata seorang kakek tinggi besar pula yang berkepala
gundul dan berpakaian pendeta. Melihat Sie Liong meloncat ke atas pohon dan
menyerangnya, kakek itu yang bukan lain adalah Thai-yang Suhu, menjadi terkejut
dan cepat menangkis.
‘Dukk!! Keduanya
terdorong keras dan terpaksa keduanya melompat turun dari atas dahan pohon.
Ketika tubuhnya terdorong dan terpaksa meloncat turun, tangannya menyambar
sebatang ranting sebesar lengannya dan ranting itu patah dan terbawa turun.
Lega rasa hati Sie Liong setelah dia memperoleh senjata itu, sebatang ranting
yang panjangnya satu setengah meter, cukup kuat dan lentur. Di lain pihak,
Thai-yang Suhu terkejut setengah mati. Tadi ketika dia menangkis, ia
mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Biarpun pemuda bongkok itu terpaksa
meloncat turun, dia sendiripun harus meloncat turun karena tubuhnya terpental
dan seluruh lengannya yang menangkis tadi terasa dingin sekali! Dia tidak tahu
bahwa pemuda itu tadi mengerahkan ilmu Swat-liong-ciang (Ikmu Silat Naga Salju)
yang membuat kedua lengannya dipenuhi sin-kang yang dingin sekali.
Kini Sie Liong berdiri di
tengah, dikepung oleh lima orang itu. Melihat keadaan kakek pendeta itu, Sie
Liong segera mengenal gambar teratai putih, dia tahu bahwa dia berhadapan
dengan seorang tokoh Pek-lian-kauw, dan mengertilah dia kini mengapa gadis cantik
itu menculiki gadis-gadis dusun yang cantik. Dia sudah sering mendengar tentang
sepak terjang aliran agama sesat Pek-lian-kauw yang bersembunyi di balik kedok
perjuangan membela rakyat! Sebuah perkumpulan di mana orang-orangnya
mempelajari ilmu silat dan ilmu sihir, dan di mana seringkali terjadi kecabulan
karena orang-orang Pek-lian-kauw merupakan hamba nafsu, terutama sekali nufsu
berahi. Dia sering kali mendengar bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak murid
atau anak buah wanita-wanita muda yang cantik. Tentu perawan-perawan dusun itu
akan dijadikan anak buah, bukan saja membantu kekuatan Pek-lian-kauw, akan
tetapi mereka dijadikan tenaga hiburan bagi para pimpinan Pek-lian-kauw!
‘Hemm, kiranya
Pek-lian-kauw yang berdiri di belakang penculikan para gadis itu!! kata Sie
Liong sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, tongkat ranting pohon
itu berada di tangannya dan berdiri di depannya, dengan daun-daun yang masih
memenuhi ranting kecil yang mencuat ke kanan kiri.
Thai-yang Suhu yang kini
tidak berani memandang rendah lawannya, segera melangkah maju, sepasang pedang
sudah dicabutnya dari balik jubah. Dia menudingkan pedang kiri ke arah muka Sie
Liong dan terdengar suaranya yang berwibawa.
‘Orang muda, siapakah
engkau sesungguhnya? Selamanya belum pernah kami mendengar tentang seorang yang
disebut Pendekar Bongkok, dan mengapa pula memusuhi kami dan menghalangi
pekerjaan kami! Bicaralah, orang muda. Pinceng adalah Thai-yang Suhu, mereka
ini adalah Tibet Sam Sinto, dan nona itu adalah nona Pek Lan, murid terkasih
dari Hek-in Kui-bo. Nah, engkau lihat, engkau berhadapan dengan lima orang yang
memiliki nama besar di dunia kang-ouw, oleh karena itu, sungguh tidak bijaksana
bagimu kalau engkau memusuhi kami. Bukankah lebih baik kalau kita bekerja
sama?!
Mendengar ucapan itu, Sie
Liong mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mencorong penuh kemarahan. Tokoh
sesat ini menawarkan kerja sama dengan dia, berarti mengajak dia menjadi
seorang penjahat!
‘Thai-yang Suhu, engkau
seorang yang berpakaian pendeta, akan tetapi ternyata kependetaanmu itu hanya
kedok saja, seperti srigala berkedok domba. Aku bernama Sie Liong, tentang nama
julukan itu, terserah yang menyebutku. Memang aku tidak mempunyai permusuhan
dengan kalian, akan tetapi aku adalah musuh besar dari semua perbuatan jahat!
Kalian telah menculik sembilan orang gadis-gadis dusun. Nah, kalau kalian tidak
menghendaki pertentangan dengan aku, kalau menghendaki kerjasama, bebaskanlah
sembilan orang gadis itu, dan akupun tidak akan mengganggu kalian lagi, kecuali
kalau lain kali aku melihat kalian melakukan kejahatan lagi!!
‘Bocah bongkok keparat
sombong! Toasuhu, kenapa banyak bicara dengan bocah sombong ini? Biar kami
habiskan dia!! bentak seorang di antara Tibet Sam Sinto dan mereka bertiga
sudah marah sekali, sudah siap dengan golok mereka.
Akan tetapi Thai-yang Suhu
memberi isarat agar para pembantunya itu jangan bergerak dulu. Lalu dia merogoh
sesuatu dari dalam saku jubahnya, melontarkan benda sebesar kepalan tangan ke
atas, ke arah Pendekar Bongkok sambil membentak lebih dulu dengan suara parau.
‘Orang she Sie, lihat
apakah engkau mampu menandingi seekor naga berapi!!
Sungguh hebat! Benda yang
dilontarkan tadi seketika berubah menjadi asap hitam dan dari dalam asap hitam
itu muncullah seekor naga menyemburkan api, bahkan tubuhnya juga bernyala. Naga
itu terbang ke atas lalu dari atas menyambar turun ke arah tubuh Sie Liong!
Namun, Pendekar Bongkok
ini yang tadinya juga terkejut, cepat menahan napas den mengerahkan tenaga
khi-kang, lalu mengangkat tangan kirinya ke atas. dan tangan kirinya itupun
dengan pengerahan sin-kang Pek-in Sin-ciang yang membuat tangan kiri
mengeluarkan uap putih, mendorong ke arah naga api. Terdengar suara keras dan
naga itupun lenyap, dan nampak benda sekepal tadi runtuh ke depan kaki
Thai-yang Suhu. Ternyata benda itu adalah sebuah tengkorak manusia yang amat
kecil, seperti tengkorak bayi saja!
Thai-yang Suhu terbelalak,
menyambar benda itu dan mengantunginya lagi, akan tetapi pada saat dia
mengambil benda itu, tengkorak kecil itu hancur berkeping-keping. Ternyata
benda yang tadi berubah menjadi naga itu tidak kuat menahan pukulan jarak jauh
Pendekar Bongkok dan sudah retak-retak maka ketika dipungut oleh pemiliknya,
hancur berantakan.
Thai-yang Suhu
mengeluarkan teriakan marah dan diapun menggerakkan sepasang pedangnya,
menyerang ke arah Pendekar Bongkok. Pada saat itu, Pek Lan juga menggerakkan
pedangnya, berbareng dengan Tibet Sam Sinto yang sudah pula menggerakkan golok
mereka.
Sie Liong mengeluarkan
teriakan melengking dan menggerakkan ranting di tangannya. Sekali memutar
ranting itu, nampak banyak sekali sinar hijau beterbangan menyerang ke arah
lima orang pengeroyoknya! Lima orang itu yang sudah siap menyerang, bahkan
sudah menggerakkan senjata, terkejut ketika tiba-tiba melihat sinar-sinar hijau
menyambar ke arah mereka. Cepat mereka menggerakkan senjata yang diputar di
depan tubuh untuk menangkis karena mereka mengira bahwa Pendekar Bongkok mempergunakan
senjata rahasia. Ketika sinar-sinar hijau itu runtuh, ternyata ‘senjata
rahasia! itu adalah daun-daun yang tadi menempel pada ranting. Kini di tangan
Pendekar Bongkok hanya tinggal sebatang tongkat. Melihat betapa pemuda bongkok
itu dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia yang mereka rasakan
amat kuat dan berbahaya, lima orang itu terkejut dan makin maklum bahwa
Pendekar Bongkok ini, biar masih muda dan cacat tubuhnya, ternyata benar-benar
memiliki kesaktian. Maka, tanpa banyak cakap lagi merekapun segera mengepung
dan mengeroyok!
Menghadapi pengeroyokan
lima orang yang semua memiliki kepandaian tinggi, Sie Liong lalu memutar
tongkatnya dan dia sudah memainkan Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit
Bumi). Ilmu ini adalah ilmu tongkat yang dipelajari dari Pek-sim Sian-su. Suatu
ilmu yang dahsyat bukan main. Ketika senjata yang hanya merupakan sebatang
ranting yang menjadi tongkat itu diputar oleh Sie Liong, maka anginpun
menyambar-nyambar dahsyat bagaikan badai, dan nampak gulungan sinar hijau yang
amat panjang. Dari gulungan sinar hijau itu mencuat ujung-ujung tongkat yang
bagaikan kilat cepatnya menyambar-nyambar ke arah lima orang pengeroyoknya.
Sekarang tahulah Thai-yang
Suhu mengapa Pek Lan kewalahan menghadapi pemuda bongkok ini. Kiranya Pendekar
Bongkok ini memang memiliki kepandaian yang amat hebat! Biarpun dia sendiri
maju dibantu Pek Lan dan tiga orang Tibet Sam Sinto, tetap saja mereka berlima
sama sekali tidak mampu mendesak, bahkan mereka yang kewalahan menghadapi
tongkat sederhana yang dimainkan secara luar biasa itu. Tongkat di tangan
Pendekar Bongkok itu selain luar biasa cepatnya, juga mengandung tenaga kasar
dan halus secara bergantian, dan setiap gerakan ujung tongkat itu mengeluarkan
suara bersiutan di antara angin yang kuat sekali.
Thai-yang suhu adalah
seorang tokoh Pek-lian-kauw yang kedudukannya sudah tinggi. Dia memiliki ilmu
pedang yang amat lihai di samping ilmu sihirnya, dan selama ini, belum pernah
ada yang mampu menandingi ilmu sepasang pedangnya. Kini, karena mengeroyok,
tentu saja dia tidak dapat memainkan sepasang pedangnya dengan leluasa. Maka,
diapun membentak agar para pembantunya minggir.
‘Minggir semua, biar
pinceng sendiri menghadapi Pendekar Bongkok!! bentaknya. Mendengar ini, Pek Lan
den Tibet Sam Sinto berloncatan keluar dari gelanggang pertempuran sehingga
pendeta gundul tinggi besar itu kini berhadapan sendirian saja dengan Sie
Liong. Sie Liong juga menghentikan gerakan tongkatnya dan berdiri menghadapi
pendeta itu sambil memandang tajam.
‘Thai-yang Suhu, sudah
kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Yang kutentang
adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Oleh karena itu, kalau kalian
membebaskan gadis-gadis yang telah kalian tawan dan mereka dalam keadaan
selamat dan tidak terganggu, maka akupun akan menyuruh mereka pulang ke rumah
masing-masing dan tidak akan memusuhi kalian, asal saja kalian tidak mengulang
perbuatan jahat itu.!
‘Pendekar Bongkok, kau
kira pinceng takut padamu? Pinceng sengaja menyuruh kawan-kawan pinceng minggir
agar pinceng dapat menghadapimu dengan leluasa. Akan tetapi, katakanlah dulu
siapa guru-gurumu agar pinceng tahu siapa yang pinceng lawan!!
‘Hemm, Thai-yang Suhu,
ketahuilah bahwa guru-guruku adalah Hinalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su,!
jawab Sie Liong sejujurnya.
‘Wah! Kiranya murid para
tosu pelarian dari Himalaya!! seorang di antara Tibet Sam Sinto berseru.
Sebagai tokoh-tokoh Tibet, tentu saja mereka mendengar akan hal itu.
Juga Thai-yang Suhu sudah
pernah mendengar nama-nama yang disebutkan Pendekar Bongkok. Nama Himalaya Sam
Lojin tidak mengejutkan hatinya karena kepandaian tiga orang kakek dari
Himalaya itu tidak lebih dari tingkatnya sendiri. Akan tetapi disebutnya
Pek-sim Sian-su membuat dia terkejut. Pantas saja pemuda bongkok ini tidak saja
lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga mampu menangkis ilmu sihirnya, bahkan
telah menghancurkan jimatnya, yaitu tengkorak kecil tadi. Betapapun juga,
Thai-yang Suhu yang terlalu mengandalkan kepandaian dan kekuatan sendiri, tidak
merasa jerih.
‘Bagus, sekarang
bersiaplah engkau untuk mampus!! Berkata demikian, tokoh Pek-lian-kauw itu
menodongkan pedang di tangan kirinya ke arah Sie Liong. Pendekar Bongkok
bersikap waspada karena dia sudah mendengar akan kecurangan para tokoh
Pek-lian-kauw. Begitu dari gagang pedang itu menyambar sinar-sinar hitam yang
lembut, dia sudah cepat memutar tongkatnya dan semua jarum hitam yang meluncur
keluar dari gagang pedang itu runtuh.
‘Pendeta palsu yang
licik dan curang!! bentak Sie Liong dan diapun membalas dengan serangan
tongkatnya yang menyambar dengan dahsyatnya dari kanan ke kiri, mengarah
pinggang lawan. Thai-yang Suhu meloncat ke belakang, pedang kanan menyambar
dari atas ke arah kepala Sie Liong sedangkan pedang kiri menangkis ujung
tongkat. Sie Liong mengelak dan memutar tongkat, membalas dengan serangan yang
tak kalah dahsyatnya. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian.
Sepasang pedang yang dimainkan oleh Thai-yang Suhu berubah menjadi dua gulungan
sinar putih yang menyilaukan mata.
Akan tetapi dua gulungan
sinar itu seringkali goyah dan patah oleh sinar tongkat yang kehijauan, yang
bergulung panjang seperti seekor naga hijau yang bermain di angkasa. Ilmu
tongkat Thian-te sin-tung yang dimainkan Pendekar Bongkok merupakan ilmu
tingkat tinggi dan tak dapat dilawan oleh ilmu pedang pasangan yang dimainkan
pendeta Pek-lian-kauw itu. Pula, pendeta itu kalah cepat gerakannya
dibandingkan Sie Liong, bahkan dalam hal tenaga sin-kang, pendeta itu juga
kalah kuat. Kelebihan Thai-yang Suhu hanyalah dalam pengalaman bertanding saja,
dan di samping itu, Sie Liong bersikap hati-hati sekali, karena dia tahu bahwa
lengah sedikit saja dia dapat celaka di tangan lawan yang licik dan curang ini.
Kehati-hatian inilah yang membuat Sie Liong tidak berani terlalu mendesak dan
hal ini membuat lawannya mampu mengadakan perlawanan yang cukup seru dan
perkelahian itu nampaknya seru dan ramai.
Betapapun juga, Pek Lan
dan Tibet Sam Sinto yang sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi,
mampu mengikuti jalannya pertandingan dan mereka tahu bahwa kalau tidak
dibantu, akan sukar sekali bagi Thai-yang Suhu untuk dapat mengalahkan Pendekar
Bongkok. Oleh karena itu Pek Lan memberi isyarat kepada tiga orang jagoan Tibet
itu dan mereka berempat lalu berloncatan memasuki gelangang perkelahian dan
mengeroyok lagi. Sekali ini, Thai-yang Suhu diam saja karena diapun mengerti
bahwa kalau dia nekat melawan sendiri, jelas bahwa dia tidak akan mampu
mengalahkan Pendekar Bongkok.
Di lain pihak, Sie Liong
sama sekali tidak merasa gentar menghadapi pengeroyokan lima orang itu. Bahkan
dia dapat mainkan tongkatnya lebih leluasa lagi. Dia tahu bahwa di antara para
pengeroyoknya, yang amat lihai adalah Thai-yang Suhu dan Pek Lan. Akan tetapi
karena di situ terdapat tiga orang Tibet Sam Sinto, maka permainan kedua orang
lawan lihai ini bahkan menjadi terhalang dan mereka berdua itu tidak dapat
menyerang sepenuhnya, terhalang oleh gerakan tiga orang jagoan Tibet itu. Hal
ini membuat Sie Liong semakin hebat gerakannya dan diapun tidak takut lagi
bahwa dua orang lawan yang curang itu akan dapat mempergunakan senjata rahasia,
mengingat bahwa di situ terdapat pula Tibet Sam Sinto yang ikut mengeroyok
sehingga kalau ada yang mempergunakan senjata rahasia, hal itu dapat
membahayakan kawan sendiri.
Hal ini, sama sekali tak
disangkanya, memang benar telah terjadi. Ketika itu, dia merasakan betapa yang
sungguh berbahaya di antara serangan lima orang itu adalah serangan Pek Lan,
wanita cantik yang pernah dilawannya sebagai siluman merah itu. Pedang wanita
itu menyambar-nyambar ganas, dibantu pula oleh dorongan tangan kirinya yang
melakukan pukulan atau tamparan Hek-in Tok-ciang, dan dari telapak tangan
kirinya itu keluar uap hitam. Karena itu, dia berpikir untuk lebih dulu
melumpuhkan perlawanan wanita ini. Dia memutar tongkatnya secara aneh dan
segera mengerahkan daya serangan tongkatnya kepada Pek Lan.
‘Trang....!
Trangggg....!! Bunga api berpijar ketika dua kali pedang di tangan Pek Lan
bertemu dengan ujung tongkat yang mendesaknya.
‘Ihhh....!! Pek Lan
mengeluarkan seruan kaget dan marah karena tenaga yang keluar dari tongkat itu
sedemikian kuatnya sehingga ia terdorong ke belakang dan tangan yang memegang
pedang tergetar hebat, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan. Untung
bahwa Thai-yang Suhu segera menghujani Pendekar Bongkok dengan serangan
sehingga dalam keadaan terhuyung itu Pek Lan tidak didesak terus. Hal ini
membuat Pek Lan marah sekali dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking
nyaring dan ketika tangan kirinya bergerak, belasan jarum-jarum hitam beracun
telah menyambar ke arah tubuh Pendekar Bongkok! Jarum-jarum itu dilepas dari
jarak dekat, juga disambitkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya karena Pek Lan
sedang marah, maka tentu saja amat berbahaya bagi Pendekar Bongkok!
Akan tetapi, dia memang
selalu waspada dan melihat sinar lembut yang banyak itu, diapun maklum bahwa
Pek Lan mempergunakan senjata rahasia. Maka dia cepat memutar tongkatnya
sehingga tongkat itu membentuk bayangan seperti payung yang melindungi
tubuhnya. Ketika jarum-jarum itu bertemu dengan sinar tongkat, runtuhlah
jarum-jarum itu, akan tetapi ada beberapa batang yang terpental ke kanan kiri.
Terdengar teriakan-terjakan mengaduh dan dua orang di antara tiga Tibet Sam
Sinto roboh!
Tentu saja hal ini amat
mengejutkan para pengeroyok. Kiranya, di antara jarum hitam beracun yang
terpental, ada beberapa batang yang mengenai dua orang itu! Racun yang
dikandung jarum-jarum itu memang jahat sekali. Dua orang itu sudah berkelojotan
sekarat! Tentu saja Pek Lan tidak mungkin dapat melakukan pemeriksaan untuk
memberi pengobatannya, bahkan iapun sama sekali tidak memusingkan keadaan dua
orang rekan ini karena hal itu bahkan membuat ia menjadi semakin marah kepada
Pendekar Bongkok dan kini ia menyerang lagi mati-matian dengan pedangnya.
Namun, mengeroyok lima
saja tidak dapat mendesak Pendekar Bongkok apa lagi kini berkurang dua. Tongkat
di tangan Pendekar Bongkok menjadi semakin dahsyat gerakannya dan ketika
seorang di antara Tibet Sam Sinto yang masih hidup dan merasa berduka dan marah
karena kematian dua orang saudaranya itu menyerangkan golok di tangannya dengan
sekuat tenaga, Pendekar Bongkok sengaja memapaki golok itu dengan tongkatnya
sambil mengerahkan tenaganya.
‘Trakkk....!! Golok itu
patah dan terlepas, dan sebuah tendangan kaki Pendekar Bongkok masih sempat
dielakkan oleh orang itu, namun sambaran ujung tongkat tidak dapat dia
hindarkan.
‘Bukkk!! Orang itu
terjungkal dan pingsan karena punggungnya terkena gebukan tongkat dari samping.
Kini Pek Lan dan Thai-yang
Suhu terkejut bukan main, juga mulai merasa jerih. Pada saat itu terdengarlah
sorak sorai gemuruh. Ketika tiga orang yang sedang berkelahi itu mendengar
suara ini, mereka semua berloncatan ke belakang dan memandang ke arah bawah.
Dan nampaklah puluhan orang, bahkan ada kurang lebih seratus orang penduduk
yang memegang segala macam senjata, berlarian mendaki Bukit Onta dengan sikap
mengancam! Melihat ini, tentu saja Pendekar Bongkok menjadi girang. Dia telah
berhasil membangkitkan semangat para penduduk itu yang kini agaknya
berbondong-bondong naik ke bukit itu untuk mencari siluman! Sebaliknya,
Thai-yang Suhu dan Pek Lan makin gelisah.
‘Pek Lan, mari kita
pergi!! kata Thai-yang Suhu. Tanpa diperintah dua kali, Pek Lan meloncat
bersama Thai-yang Suhu.
‘Hemm, kalian hendak
lari ke mana?! Pendekar Bangkok membentak dan diapun meloncat untuk melakukan
pengejaran. Akan tetapi, tiba-tiba Thai-yang Suhu melontarkan sesuatu ke atas
tanah dan terdengar ledakan keras disusul mengepulnya asap hitam yang tebal.
Khawatir kalau-kalau asap itu beracun, tentu saja Sie Liong menjauhkan diri,
bermaksud mengejar dengan mengambil jalan memutar. Akan tetapi setelah dia tiba
di belakang asap hitam, dua orang itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Dia lalu kembali ke tempat
tadi, melihat betapa orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto sudah siuman dan kini
bangkit sambil mengeluh. Melihat Pendekar Bangkok datang kembali, dia terkejut,
meloncat akan tetapi roboh lagi sambil mengerang kesakitan. Wajahnya nampak ketakutan
dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri, berlutut menghadap Pendekar
Bongkok.
‘Taihiap (pendekar
besar), ampunilah aku....!
Wajahnya nampak ketakutan
dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar
Bangkok.
Pendekar Bongkok adalah
orang yang berhati lembut. Dia tidak pernah membenci orang, betapapun jahatnya
orang itu. Yang ditentangnya adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Dia tahu,
dari gemblengan yang didapatnya dari Pek-sim Sian-su, bahwa orang yang melakukan
perbuatan jahat adalah orang yang sedang sakit batinnya. Yang mendorongnya
melakukan perbuatan jahat adalah batinnya yang sakit itu. Kalau batinnya sembuh
tentu dia tidak akan melakukan perbuatan jahat. Maka, melihat betapa seorang di
antara Tibet Sam Sinto itu minta ampun, dia mengangguk.
‘Siapa namamu?!
‘Namaku Coa Kiu,
taihiap. Mereka ini adalah kakakku dan adikku, dan ijinkanlah aku membawa mayat
mereka agar dapat kukuburkan dengan pantas.!
‘Nanti dulu, aku ingin
bertanya. Di mana adanya gadis-gadis yang diculik itu dan mengapa mereka
diculik?!
‘Itu adalah kehendak
Thai-yang Suhu yang sedang mengumpulkan lima belas orang gadis untuk dijadikan
pelayan di Pek-lian-kauw. Kami hanya membantunya. Gadis-gadis itu dalam keadaan
selamat, berada di rumah itu. Mereka tidak diganggu karena memang hendak
diangkut dan diserahkan kepada ketua Pek-lian-kauw.!
Pendekar Bongkok
mengangguk, hatinya merasa lega. Orang ini jelas tidak berani berbohong.
‘Satu pertanyaan lagi. Engkau memakai julukan Tibet Sam Sinto, tentu
merupakan tokoh Tibet. Aku ingin sekali tahu tentang mereka yang disebut Tibet
Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu lima orang pendeta Lama dari Tibet. Di
manakah mereka sekarang dan apa kedudukan mereka?!
Mendengar disebutnya Lima
Harimau Tibet, Coa Kiu terkejut dan kelihatan ketakutan. ‘Tidak, taihiap....
aku tidak mempunyai hubungan dengan mereka. Sama sekali tidak mempunyai
hubungan....!!
Pendekar Bongkok
mengerutkan alisnya. Sikap itu sungguh menarik sekali. ‘Aku tidak menuduhmu
memiliki hubungan, hanya ingin mendapat keterangan darimu tentang diri mereka.!
Barulah Coa Kiu kelihatan
lega. ‘Mereka adalah tokoh-tokoh paling ditakuti di Tibet, dan kini mereka
menjadi pendukung-pendukung utama dari Kim Sim Lama, pendeta tingkat tinggi
yang memberontak karena hendak merampas kedudukan Dalai Lama.!
‘Pemberontak? Ah, di
mana kini mereka itu?!
‘Di sekitar telaga
Yam-so di sebelah selatan Lasha. Lima Harimau Tibet menjadi pendukung dan
bahkan lima orang tokoh itulah yang sebenarnya menjadi pelopor karena tanpa
adanya mereka, tentu Kim Sim Lama tidak mampu berbuat sesuatu.!
Pendekar Bongkok mengangguk-angguk.
Pada saat itu, para penduduk dusun sudah semakin dekat dan Coa Kiu nampak
gelisah. Maka dia lalu menyuruh orang itu membawa jenazah dua orang saudaranya
dan melarikan diri ke jurusan lain. Coa Kiu mengucapkan terima kasih dan
memanggul jenazah kakaknya dan adiknya, pergi dari situ sambil terhuyung.
Pendekar Bongkok tidak
menanti datangnya orang-orang dusun, melainkan cepat dia lari ke arah rumah
yang menjadi tempat tinggal Thai-yang Suhu dan teman-temannya.
Sembilan orang gadis yang
berada dalam ruangan di rumah itu, terkejut ketika daun pintu dirobohkan orang
dari luar. Mereka bergerombol saling peluk dengan ketakutan, semua mata
memandang ke arah pemuda bongkok yang berdiri di ambang pintu.
‘Ampunkan kami....
jangan.... jangan ganggu kami....!! kata seorang di antara mereka. Melihat
betapa semua gadis yang berada di ruangan itu masih amat muda dan
cantik-cantik, kini wajah yang manis-manis itu nampak pucat, mata mereka
terbelalak seperti sekelompok kelinci yang ketakutan melihat seekor harimau,
Pendekar Bongkok tersenyum pahit, teringat akan bongkoknya dan dia maklum bahwa
tentu mereka mengira bahwa dia seorang jahat!
‘Tenanglah, nona-nona.
Aku tidak berniat jahat. Aku datang untuk membebaskan kalian. Para penjahat itu
telah kuusir pergi dan keluarga kalian kini sedang menuju ke sini.!
Namun, para gadis remaja
itu masih belum percaya dan mereka masih memandang kepada pemuda berpunuk itu
dengan curiga. Pada saat itu, orang-orang dusun sudah tiba di situ. Mereka
menyerbu ke dalam rumah dan dipimpin oleh Gumo Cali, mereka tiba di ruangan
yang daun pintunya audah dijebol Sie Liong dan mereka melihat Sie Liong masih
berdiri di ambang pintu dan para gadis itu memandang ketakutan.
‘Ayah....!! teriakan ini
bukan hanya keluar dari mulut dua orang gadis puteri Gumo Cali, akan tetapi
juga dari para gadis lain. Ternyata para ayah gadis-gadis yang diculik itu ikut
pula dalam rombongan para penyerbu. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan
para gadis itu dihujani pertanyaan oleh ayah mereka. Diam-diam Pendekar Bongkok
merasa lega dan gembira mendengar keterangan mereka bahwa benar seperti yang
diceritakan Coa Kiu, mereka itu sama sekali tidak diganggu, bahkan diperlakukan
dengan baik.
‘Semua ini karena jasa
Pendekar Bongkok! Taihiap, terimalah terima kasih kami!! Gumo Cali menjatuhkan
diri berlutut menghadap Pendekar Bongkok, diturut oleh semua orang. Para gadis
yang tadinya merasa ketakutan itu kini baru sadar bahwa pemuda bongkok itu
memang benar menjadi penolong mereka. Maka merekapun ikut berlutut di samping
ayah masing-masing.
Seorang diantara para
gadis itu, menjatuhkan diri berlutut paling dekat di depan Pendekar Bongkok dan
ia menangis sesenggukan. Tadipun Sie Liong melihat bahwa berbeda dengan para
gadis lain, tidak ada seorangpun yang memeluk gadis ini. Tadinya dia mengira
bahwa tentu ayah gadis yang satu ini tidak ikut. Ia seorang gadis yang bertubuh
sedang, berkulit agak gelap namun wajahnya manis sekali, dengan mata yang lebar
dan bening. Pakaiannya sederhana, bahkan ia tidak memakai perhiasan seperti
para gadis lainnya. Usianya kurang lebih delapan belas tahun dan tubuhnya sudah
mulai padat ramping, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar.
‘Nona, kau kenapa?!
tanya Sie Liong, dan kepada semua orang dia berkata, ‘Harap kalian suka
berdiri, tidak perlu memberi hormat berlebihan seperti itu!!
Gumo Cali bangkit dan yang
lain ikut berdiri. Gadis itu masih tetap berlutut di depan Sie Liong. Dia
segera meayentuh pundaknya dengan lembut. ‘Nona, bangkitlah, tidak perlu
berlutut dan mengapa engkau menangis? Bukankah seharuanya engkau bergembira
karena sudah terbebas dari cengkeraman penjahat?! Lalu dia merasa curiga
kalau-kalau gadis ini mengalami nasib yang buruk di tangan para penjahat.
‘Nona, apakah para penjahat itu mengganggumu?!
Gadis itu menggeleng
kepalanya, akan tetapi masih terisak. Akhirnya, dengan suara bercampur tangis,
ia berkata, ‘Aku.... aku tidak mau pulang.... ke rumah mereka....!
‘Kenapa, nona? Di mana rumahmu?!
tanya Sie Liong. Seorang di antara para penduduk dusun itu, seorang laki-laki
setengah tua, lalu mendekat dan berkata, ‘Ling Ling, kenapa engkau tidak mau
pulang?! Gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kepala sambil menangis.
‘Siapakah nona ini,
paman, dan di mana rumahnya?! tanya Sie Liong. Orang itu lalu memberi
keterangan bahwa gadis itu bernama Sam Ling, biasa dipanggil Ling Ling. Ia
seorang gadis yatim piatu. Ketika ia berusia sepuluh tahun, ayah dan ibunya
meninggal dunia karena wabah, dan ia lalu dipungut anak oleh keluarga di
dusunnya. Dijadikan anak angkat dan bekerja seperti pelayan.
‘Sepanjang pengetahuan
kami, keluarga yang memungutnya itu bersikap baik kepadanya. Mereka tidak
mempunyai anak, maka mau mengambil Ling Ling menjadi anak mereka. Ling Ling,
katakanlah, kenapa engkau tidak mau pulang! Ayah dan ibu angkatmu tentu
mengharapkan kedatanganmu!! kata orang itu.
Gadis itu mengangkat
mukanya yang basah air mata, memandang kepada orang itu dan menggeleng kepala
keras-keras sambil berkata, ‘Tidak...., tidak.... aku tidak mau pulang ke
sana.... Lebih baik aku mati saja dari pada harus kembali lagi ke sana....!!
Dan iapun menangis lagi.
Sie Liong mengerutkan
alisnya. Dia menduga bahwa tentu ada alasan kuat sekali mengapa gadis ini tidak
mau pulang ke rumah ayah dan ibu angkatnya.
‘Marilah, nona. Kita
bicara di luar,! katanya, lalu dia berkata kepada semua orang. ‘Kalau kalian
setuju, rumah ini sebaiknya dibakar saja agar jangan menjadi sarang penjahat
lainnya! Dan semua orang boleh pulang, akan tetapi kerukunan seperti sekarang
ini harus dipelihara terus. Kalau kalian dapat bersatu seperti ini, tidak akan
ada penjahat yang berani mengganggu kalian.! Berkata demikian, Sie Liong lalu
mengajak gadis bernama Sam Ling atau Ling Ling itu untuk keluar.
Dia mengajak gadis itu
agak menjauhi rumah, lalu duduk di atas batu besar. ‘Nah, Ling Ling, duduklah
kau dan ceritakan mengapa engkau memilih mati daripada pulang ke rumah orang
tua angkatmu.!
Setelah mereka berada di
tempat sepi, berdua saja, tiba-tiba gadis itu kembali mpnjatuhkan diri
berlutut.
‘Taihiap, engkau telah
menyelamatkan aku dan teman-teman, harap taihiap jangan kepalang tanggung untuk
menolong aku. Berjanjilah bahwa taihiap akan suka menolongku, dan aku akan
menceritakan keadaanku.!
‘Baiklah, dan duduklah
agar engkau dapat bicara dengan enak. Ceritakan apa yang terjadi. Tentu saja
aku suka membantumu kalau memang engkau perlu dibantu.!
‘Sejak berusia sepuluh
tahun, ayah ibuku meninggal dunia karena penyakit.! Ling Ling mulai bercerita
sambil duduk di atas batu, di depan Sie Liong. Suaranya lirih dan memelas, dan
matanya yang lebar itu kini agak kemerahan dan masih basah walaupun ia sudah
tidak menangis lagi. ‘Aku diangkat anak oleh ayah ibu angkatku yang sekarang
karena mereka tidak mempunyai anak. Kini mereka berusia kurang lebih empat
puluh tahun. Dahulu memang sikap mereka itu baik sekali walaupun aku tidak
menguntungkan mereka karena aku seorang anak perempuan. Akupun bekerja keras di
rumah mereka, seperti seorang budak untuk membalas budi kebaikan hati mereka.
Akan tetapi akhir-akhir ini....! Ling Ling menutupi mukanya, merasa sedih dan
berat hatinya untuk menceritakan peristiwa yang membuatnya merasa sengsara itu.
Sie Liong membiarkan gadis
itu dan setelah kelihatan ajak tenang, dia berkata, ‘Bagaimana lanjutannya?
Aku baru akan dapat menolongau kalau aku mengetahui persoalannya.!
Gadis itu menatap wajah
Sie Liong dengan sepasang mata yang penuh permohonan, sepasang mata yang tentu
akan nampak indah kalau tidak tertutup awan kedukaan.
‘Taihiap, aku akan
kelihatan sebagai orang yang tidak mengenal budi kalau sekarang aku seolah
menceritakan keburukan orang tua angkatku. Akan tetapi, kepadamu aku harus
berterus terang dan harap taihiap mengerti bahwa bukan maksudku untuk
memburukkan mereka. Aku masih berterima kasih kepada mereka. Begini taihiap.
Akhir-akhir ini, semenjak beberapa bulan yang lalu ini, ayah angkatku berusaha
untuk.... untuk menodaiku....!
Sie Liong mengerutkan
alisnya dan mengamati wajah itu dengan sinar mata tajam menyelidik. Dia sudah
menduga, akan tetapi ingin mendapat keyakinan. ‘Apa maksudmu dengan menodai
itu?!
‘Dia.... dia mula-mula
merayuku.... agar aku suka melayaninya, suka tidur dengan dia. Aku menolak dan
beberapa kali dia nyaris berhasil memperkosa aku....! Karena aku selalu
menghindar dan menolak, dia kini seperti benci kepadaku. Dan ibu angkatku
agaknya melihat pula gejala itu dan iapun menjadi cemburu dan membenci aku....!
‘Hemmm....!! Sie Liong
mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi rambut. Mengertilah dia kini mengapa
gadis ini tidak ada yang menjemput, dan mengapa pula Ling Ling tidak mau pulang
ke rumah orang tua angkatnya.
‘Ling Ling, engkau tadi
menceritakan bahwa tadinya, sebelum timbul perubahan sikap ayah angkatmu itu,
mereka amat baik kepadamu. Bagaimana kalau sekarang engkau kuantar ke sana,
ayah angkatmu itu kuancam agar dia tidak lagi melakukan hal yang tidak pantas
itu, dan aku membujuk ibu angkatmu agar ia mau mengerti bahwa engkau tidak
bersalah dalam peristiwa itu? Kalau mereka mau mendengarnya dan mentaati
permintaanku, maukah engkau kembali kepada mereka?!
Ling Ling mengerutkan
alisnya dan ia menatap wajah pemuda itu sampai beberapa lamanya. Sinar matanya
penuh kegelisahan dan keraguan, kemudian iapun menggeleng kepalanya. ‘Tidak
mungkin, taihiap. Ayah angkatku itu akan tetap membenciku selama aku tidak mau
memenuhi permintaannya. Aku melihat nafsu yang amat mengerikan dari pandang
matanya. Dan ibu angkatku.... ia amat membenciku karena cemburu. Tidak, aku
tidak akan kembali lagi ke sana. Bahkan, terus terang saja, taihiap. Ketika
wanita cantik yang menyamar siluman merah itu menculikku, membawaku ke sini,
melihat betapa gerombolan itu tidak menggangguku, memperlakukan dengan baik,
aku merasa gembira untuk menjadi pelayan. Asalkan aku tidak harus kembali ke
rumah orang tua angkatku.!
‘Tapi.... kalau engkau
tidak mau kembali ke sana, lalu ke mana engkau hendak pergi? Apakah engkau
mempunyai keluarga lain, sanak keluarga dari orang tua kandungmu sendiri?!
Diam-diam Sie Liong merasa kasihan sekali dan dia dapat menerima alasan gadis itu.
Tentu saja dia tidak mungkin dapat menanggung dan memastikan bahwa ayah angkat
Ling Ling kelak tidak akan mengulang perbuatannya terhadap gadis yang seperti
setangkai bunga baru mulai mekar ini.
Mungkin karena segan dan
takut kepadanya, ayah angkat itu mau berjanji, bahkan mau bersumpah. Akan
tetapi, dia tidak mungkin dapat berada di dusun itu terus! Dan gadis ini makin
hari menjadi semakin cantik manis dan semakin menarik. Kalau nafsu sudah
menguasai hati ayah angkat itu, siapa berani tanggung dia tidak akan menjadi
buta akan kebenaran? Dan dia dapat menduga bahwa seorang gadis yang demikian
kukuh mempertahankan kehormatannya seperti Ling Ling ini, kalau sampai
diperkosa ayah angkatnya, tentu akan membunuh diri!
Gadis itu menggelengkan
kepalanya. ‘Aku tidak mempunyai siapapun juga di dunia ini, sebatangkara....!
jawabnya lirih dengan air mata kembali mengalir di pipi.
‘Kalau begitu, lalu ke
mana engkau hendak pergi, Ling Ling? Kalau engkau tidak mempunyai keluarga
lain, dan engkau tidak mau kembali ke rumah orang tua angkatmu, lalu
bagaimana?!
Mendengar pertanyaan ini,
Ling Ling turun dari atas batu dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Sie Liong sambil berkata dengan suara mengandung isak, ‘Aku ingin
turut denganmu, taihiap....!
‘Ehhh?! Sie Liong
terkejut dan heran bukan main. Tadinya timbul dugaan di hatinya bahwa tentu
gadis manis ini telah mempunyai seorang kekasih dan ia akan pergi bersama
kekasihnya itu. Sungguh seujung rambutpun dia tidak pernah menyangka akan
mendengar jawaban seperti itu. ‘Apa maksudmu, Ling Ling? Bangkitlah, dan mari
kita bicara dengan baik.!
Bab 15
‘Tidak, aku tidak akan
bangkit sebelum engkau sudi menerimaku. Taihiap, tolonglah aku. Aku.... aku
ingin membalas budimu, aku ingin ikut denganmu, biar kaujadikan pelayan.... aku
akan mencucikan pakaianmu, memasakkan makananmu, melayani keperluanmu....!
Tiba-tiba Sie Liong
tertawa dan dia memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkatnya bangun,
mendudukkannya di atas batu kembali. Ling Ling tidak mampu menolak karena ia
bagaikan sebuah boneka saja di kedua tangan yang memiliki tenaga dahsyat itu.
Iapun kini yang memandang bengong. Pen dekar itu tertawa bergelak dan betapa
gagah dan tampannya wajah itu sekarang nampak olehnya. Wajah yang tadinya
selalu nampak dilanda duka itu, wajah yang menimbulkan perasaan iba kepada
siapapun yang memandang, kini nampak cerah den berseri!
‘Aih, Ling Ling....
engkau ini sungguh lucu sekali!! kata Sie Liong setelah dia menghentikan
ketawanya.
‘Taihiap, apanya yang
lucu?! Ling Ling bertanya khawatir.
‘Bagaimana mungkin
engkau ikut denganku? Kau tahu siapa aku ini?!
‘Taihiap seorang pria
yang sakti dan berbudi mulia, yang telah menyelamatkan aku dan banyak gadis di
sini, yang pantas kupuja den kubalas budinya....!
‘Cukup semua itu. Aku
hanyalah seorang laki-laki yang hidup sebatangkara, tidak mempunyai tempat
tinggal, miskin dan papa. Dan engkau hendak ikut dengan aku. Bukankah itu sama
sekali tidak mungkin, dan lucu sekali?!
‘Kenapa tidak mungkin
dan kenapa lucu, taihiap? Aku ingin ikut denganmu ke manapun engkau pergi. Aku
tidak perduli apakah engkau kaya atau miskin taihiap. Bahkan kebetulan sekali
kalau engkaupun sebatangkara seperti aku, karena tidak akan ada keluargamu yang
mungkin tidak suka kepadaku. Aku akan melayanimu, membantumu dalam segala hal,
taihiap. Kasihanilah aku....!
‘Tapi, Ling Ling, engkau
tidak mengerti! Kau tahu, aku seorang pengembara, hidupku penuh bahaya! Aku
seorang yang selalu menentang kejahatan, sehingga aku dimusuhi para penjahat
yang kejam. Engkau akan ikut terancam bahaya kalau engkau bersamaku.!
‘Aku tidak takut! Kalau
aku berada di sampingmu, bahaya mautpun tidak akan membuat aku gentar, taihiap.
Akupun siap mati kalau perlu!!
Diam-diam Sie Liong
menjadi kagum dan juga heran. Mengapa gadis ini mati-matian hendak ikut dengan
dia? ‘Ling Ling, aku kadang-kadang tidur di hutan.... di atas rumput....!
‘Hemm, menyenangkan
sekali, taihiap. Apalagi di waktu terang bulan, dengan api unggun menghangatkan
badan. Rumput tentu lunak dan awat nyaman untuk tidur....!
‘Kadang-kadang harus di
atas pohon besar....!
‘Ah, aku belum pernah
tidur di atas pohon, taihiap. Aku ingin sekali merasakan. Tentu aman dari
gangguan binatang buas....!
‘Ling Ling....! Sie
Liong kewalahan. ‘Kadang-kadang aku tidur di dalam kuil tua yang kuno dan
kotor, yang pantas menjadi tempat tinggal para iblis dan setan!!
Wajah itu menjadi pucat
seketika, matanya terbelalak den tubuhnya jelas nampak menggigil, pandang
matanya ketakutan dan penuh kengerian. Bagi orang- orang dusun di daerah itu,
iblis dan setan amat menakutkan karena mereka itu pada umumnya masih amat tebal
rasa ketahyulan mereka. Melihat ini, Sie Liong menjadi tidak tega dan tanpa
disadarinya dia menyambung. ‘Akan tetapi selama ini belum pernah aku bertemu
setan dan iblis, semua itu hanya dongeng kosong belaka untuk menakut-nakuti
anak-anak dan orang-orang penakut.!
Ling Ling menarik napas
lega. ‘Aku juga.... ti.... tidak takut, taihiap.!
Akan tetapi, membayangkan
betapa gadis ini ikut dengannya, Sie Liong menarik napas panjang dan menggeleng
kepalanya. ‘Ling Ling, maafkan aku. Bagaimanapun juga, rasanya tidak mungkin
engkau ikut denganku. Ingatlah, aku seorang pria, dan engkau seorang wanita,
seorang gadis muda yang cantik. Apa akan kata orang? Tentu mereka menyangka
yang bukan-bukan terhadap kita.!
‘Taihiap, apakah kita
harus menggantungkan hidup kita kepada kata dan pendapat orang lain? Yang
terpenting adalah kita sendiri, bukan? Kalau kita tidak melakukan sesuatu yang
tidak benar, mengapa takut disangka orang! Taihiap, aku akan menjaga diri agar
tidak sampai membikin kecewa dan malu kepadamu. Aku akan menjadi pelayan yang
baik....!
‘Sekali lagi maaf, Ling
Ling. Terpaksa aku menolak. Tidak mungkin aku dapat mengajakmu berkelana
menempuh banyak bahaya.!
Tiba-tiba wajah gadis itu
nampak layu dan muram. Ia menundukkan mukanya, sampai lama tidak bergerak.
Tidak lagi ia menangis, akan tetapi ketika ia bicara, suaranya lirih dan
mengandung rintihan.
‘Baiklah, taihiap.
Maafkan gangguanku tadi. Aku akan pergi sekarang juga, sel amat....
tinggal....! Dan gadis itupun membalikkan tubuhnya dan pergi dengan langkah
satu-satu dengan tubuh lemas dan agak terhuyung.
‘Nanti dulu, Ling Ling!
Engkau hendak pergi ke mana?! tanya Sie Liong dengan hati penuh rasa iba.
Gadis itu berhenti
melangkah, menoleh dan wajahnya nampak demikian pucat, matanya tidak ada
sinarnya lagi dan sebelum menjawab ia tersenyum, senyum yang menyayat perasaan
Sie Liong karena senyum itu demikian pahitnya. ‘Ke mana saja kakiku
membawaku, taihiap. Habis, ke mana lagi? Akupun tidak tahu....! dan iapun
melanjutkan langkahnya. Langkah satu-satu dan dari belakang Sie Liong melihat
betapa kedua pundak itu menurun, lalu bergoyang-goyang, tanda bahwa gadis itu
menangis lagi. Tiba-tiba gadis itu terhuyung, lalu jatuh berlutut dan menangis!
Sie Liong marasa semakin
iba dan sekali meloncat, dia telah berada di samping gadis yang berlutut sambil
menangis itu. ‘Ling Ling....! katanya lirih.
‘Biarkan aku mati
saja.... ah, biarkan aku mati saja....! gadis itu berbisik-bisik dan tangisnya
mengguguk.
Dengan kedua tangannya,
Sie Liong memegang pundak gadis itu dan menariknya bangun berdiri. ‘Ling
Ling, jangan berkata demikian! Kalau engkau memang nekat dan berani menghadapi
kesengsaraan, baiklah, aku suka menerimamu.!
Kedua tangan itu menurun
dari depan mata, mata itu terbelalak, air matanya masih menetes-netes, muka itu
masih pucat, akan tetapi mulut itu mengembangkan senyum. ‘Benarkan, taihiap?
Ah, terima kasih....! Aku tidak akan sengsara. Aku akan menjaga agar taihiap
tidak sengsara! Aku siap menghadapi segala kesukaran tanpa mengeluh. Dan aku
dapat bekerja, taihiap. Aku memiliki keahlian menyulam indah, dan dengan itu
aku akan dapat mencari uang untuk dipakai keperluan kita sehari-hari! Ah, aku
berbahagia sekali, terima kasih, taihiap.... terima kasih....!
Pada saat itu terdengar
suara sorak sorai dan ketika mereka menengok, nampak rumah itu telah dibakar.
Api bernyala besar dan orang-orang dusun itu bersorak gembira. Kernudian mereka
berbondong menghampiri Sie Liong, dipimpin oleh Gumo Cali, dan mereka kembali
menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu, menghaturkan terima kasih.
‘Saudara sekalian tidak
perlu berterima kasih kepadaku. Kuharap saja mulai sekarang saudara sekalian dapat
mempersatukan tenaga untuk menjaga keamanan dusun sendiri. Sekarang,
perkenankan aku pergi.!
Pendekar Bongkok
meninggalkan tempat itu dan Ling Ling mengikutinya. Semua orang memandang
dengan heran melihat gadis itu ikut pergi bersama Pendekar Bongkok, namun tidak
ada seorangpun yang berani bertanya. Mereka hanya mengira bahwa pendekar itu
tentu hendak mengantarkan gadis yang tidak dijemput orang tuanya itu ke
dusunnya sendiri. Merekapun bubaran dengan hati gembira karena gadis-gadis itu
ternyata dalam keadaan selamat. Nama Pendekar Bongkok lebih dikenal daripada
nama Sie Liong di dusun itu dan mereka takkan pernah melupakan pertolongan yang
diberikan pendekar itu dalam mengusir para penjahat yang menyamar sebagai setan
merah penculik gadis-gadis remaja yang cantik.
‘Ling Ling, aku mau
mengajakmu pergi, akan tetapi engkau harus mentaati semua permintaanku,!
demikian Sie Liong berkata setelah dia dan gadis itu berada di kaki Bukit Onta,
jauh dari para penduduk dusun.
Wajah yang manis itu basah
oleh keringat. Sejak tadi, Sie Liong berjalan saja, seolah tidak memperdulikan
gadis yang berjalan di belakangnya, bahkan kadang-kadang dia melangkah lebar
sehingga Ling Ling terpaksa harus setengah berlari untuk mengikutinya. Sie
Liong mendengar langkah kaki pendek-pendek itu, dan mendengar pula betapa
pernapasan gadis itu mulai memburu. Akan tetapi, sedikitpun dia tidak pernah
mendengar gadis itu mengeluh. Kini, dia berhenti dan berkata demikian sambil
menatap wajah itu. Wajah itu basah oleh keringat, dan napas gadis itu agak
memburu namun wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan sedikitpun kekesalan
hati. Bahkan wajah itu berseri penuh kegembiraan! Mendengar ucapan itu, ia
menjawab lantang dan mantap, tanpa ragu.
‘Tentu saja, taihiap!
Aku akan mentaati semua perintahmu, biarpun untuk itu aku harus berkorban
nyawa....! tiba-tiba ia menyambung cepat kalimat yang sebenarnya sudah berakhir
itu, ‘.... asal saja taihiap tidak menyuruh aku pergi meninggalkanmu!!
Sie Liong tersenyum. Gadis
dusun ini sederhana dan tabah, akan tetapi dalam keserdahanaannya, ternyata ia
cerdik juga.
‘Nah, kalau begitu,
perintahku yang pertama adalah jangan sebut aku taihiap. Namaku Sie Liong dan
mengingat engkau pantas menjadi adikku, sebut saja aku sebagai kakakmu.!
‘Baiklah, Liong-ko
(kakak Liong)!! kata Ling Ling gembira.
‘Dan ke dua, sekarang
engkau harus mengantar aku ke rumah orang tua angkatmu.! Dia melihat wajah itu
terkejut, maka disambungnya cepat, ‘Bagaimanapun juga, aku ingin menemui
mereka dan mengatakan bahwa engkau tidak suka kembali ke sana dan akan ikut
dengan aku. Hendak kulihat bagaimana sikap mereka, dan juga tidak baik pergi
begitu saja tanpa pamit.!
Ling Ling mengengguk,
nampak hilang kagetnya. ‘Baiklah, Liong-ko.!
Merekapun pergi nenuju ke
dusun tempat tinggal orang tua angkat Ling Ling. Ketika mereka tiba di rumah
itu, mereka disambut oleh sepasang suami isteri yang memandang kepada Ling Ling
dengan mulut cemberut. Apalagi mereka melihat bahwa gadis itu pulang bersama
seorang pemuda bongkok, segera ayah angkatnya yang dipenuhi kecewa dan cemburu
segera menudingkan telunjuknya ke pada Ling Ling dan mulutnya segera
mengeluarkan makian,
‘Perempuan tak tahu
malu! Kiranya engkau bukan diculik siluman merah akan tetapi minggat bersama
siluman bongkok ini, ya? Bagus, engkau membikin malu padaku!!
‘Dasar anak tak tahu
diri, tak mengenal budi!! bentak ibu angkatnya. ‘Bertahun-tahun kami
memeliharamu, memberi makan dan pakaian sampai kau dewasa, kini tidak membalas
budi malah melempar kotoran ke rumah kami!!
Sejak tadi Sie Liong
mengamati dua orang ini. Seorang pria tinggi kurus dengan muka pucat seperti
berpenyakitan, berusia kurang lebih empat puluh tahun, mulutnya lebar dan
giginya yang panjang-panjang itu kelihatan separuhnya lebih di luar bibir,
matanya membayangkan wataknya yang kurang baik. Adapun wanita itu beberapa
tahun lebih muda, tubuhnya gendut dan hidungnya pesek, muka yang tidak menarik
dan nampaknya juga galak. Sungguh dia merasa heran bagaimana sepasang suami
isteri seperti ini menjadi orang tua angkat seorang gadis seperti Ling Ling,
bahkan dipuji oleh gadis itu sebagai orang-orang yang tadinya amat baik
kepadanya.
‘Ayah, ibu, aku tidak
minggat, memang benar diculik....!
‘Diculik setan bongkok
ini, ya? Sungguh kalian pantas dihajar!! berkata demikian, laki-laki jangkung
itu menerjang maju, siap menghajar dan tangannya menampar ke arah kepala Sie
Liong. Kalau menurutkan panasnya hati karena dimaki-maki, ingin Sie Liong sekali
pukul menghancurkan mulut yang giginya panjang-panjang itu. Akan tetapi dia
tidak menurutkan nafsu amarahnya, melainkan menangkap lengan yang memukul,
memuntirnya dan mendorongnya. Pria itu mengeluarkan teriakan dan roboh
terbanting lalu berguling-guling, mengaduh-aduh. Isterinya juga sudah maju dan
dengan tangan membentuk cakar sudah siap mencakari muka Ling Ling yang berdiri
diam saja tidak melawan. Akan tetapi sebelum kuku-kuku jari tangan wanita itu
mengenai kulit muka Ling Ling, kakinya ditendang oleh Sie Liong dan wanita itu
jatuh berdebuk. Pantat yang besar itu terbanting ke atas tanah dan ia
mengaduh-aduh, mengelus pantatnya dan tidak mampu bangun, seperti seekor
kura-kura yang jatuh telentang.
‘Berani kamu memukul
orang....?! Ayah angkat Ling Ling sudah bangkit lagi dan membantu isterinya
berdiri. Keduanya semakin marah, akan tetapi hanya mulut mereka saja yang
nyerocos, tidak berani lagi menyerang. Pada saat itu, beberapa orang dusun yang
tadi ikut menyerbu ke bukit Onta, mengiringkan dua orang gadis dusun itu yang
terbebas dari penculikan. Melihat betapa ayah dan ibu angkat Ling Ling
memaki-maki Pendekar Bongkok, mereka terkejut dan cepat semua orang lari ke
situ.
‘Engkau setan bongkok,
kunyuk bongkok berani melarikan gadis orang!! teriak ayah angkat gadis itu yang
menjadi semakin berani melihat para tetangga berlarian datang.
‘Heiii! Gumalung....
tutup mulutmu yang kotor itu!! bentak beberapa orang dan mendengar ini, tentu
saja Gumalung, demikian nama ayah angkat Ling Ling, memandang heran.
‘Sungguh engkau lancang
mulut! Tahukah engkau siapa pendekar ini? Dia adalah Sie Taihiap! Dialah yang
telah mengusir para penjahat yang menculik gadis-gadis itu! Bahkan anak kalian
Ling Ling juga dibebaskannya. Sekarang, datang-datang dia kalian semprot dengan
makian. Kalian sungguh orang-orang yang jahat!!
Mendengar ini, seketika
pucat wajah Gumalung dan isterinya. ‘Ahh.... ohh.... maafkan kami.... maafkan
kami....! kata Gumalung, diikuti oleh isterinya dan mereka membongkok-bongkok.
‘Sudahlah!! kata Sie
Liong membentak dan melihat banyak orang di situ dia menganggap kebetulan
sekali untuk membersihkan nama Ling Ling. ‘Kalian memang suami isteri yang
tidak berbudi! Ketika Ling Ling berusia sepuluh tahun, kalian dengan dalih
tidak mempunyai anak, mengangkatnya sebagai anak. Ling Ling telah bekerja
seperti budak di sini untuk membalas budi kalian. Akan tetapi setelah ia
dewasa, engkau yang menjadi ayah angkatnya mulai bersikap tidak wajar,
merayunya bahkan hendak memperkosanya. Karena Ling Ling tidak sudi memenuhi
permintaanmu yang kotor itu, engkau membencinya. Dan isterinya, yang tak tahu
diri ini, bukan menyalahkan suaminya, bahkan juga membenci Ling Ling karena
cemburu. Nah, coba kalian berdua katakan, benar tidak apa yang kukatakan semua
ini. Kalian harus mengaku terns terang, baru akan kumaafkan. Kalau kalian
membohong, aku akan turun tangan menghajar kalian!!
Suami isteri itu saling
pandang. Mereka merasa takut kepada Pendekar Bongkok, akan tetapi mereka juga
merasa malu kalau harus mengaku di depan para tetangga yang kini sudah
berdatangan ke tempat itu. Karena merasa bingung dan serba salah, akhirnya
isteri yang galak itu menuding-nudingkan telunjuknya ke muka suaminya.
‘Memang engkau yang
celaka! Engkau suami tidak setia, engkau suami mata keranjang, engkau rakus!
Sudah kuduga bahwa tentu engkau yang hendak memaksa Ling Ling, akan tetapi
engkau selalu mengatakan bahwa Ling Ling yang menggodamu! Pendusta besar!
Perempuan mana yang sudi menggoda laki-laki bermuka buruk seperti mukamu?
Engkau hendak memperkosanya, ya? Bagus, engkau memang layak mampus!! Wanita itu
menerjang suaminya menggunakan kedua tangannya yang hendak mencakar-cakar.
Suaminya cepat menangkap kedua pergelangan tangan istcrinya dan mereka
bersitegang. Agaknya, si suami yang kerempeng kalah tenaga sehingga dia terbawa
terhuyung ke kanan kiri.
‘Engkau perempuan
cerewet! Engkaulah yang membenci Ling Ling, engkau iri hati melihat ia cantik
jelita, tidak macam engkau ini babi gemuk!!
‘Apa kau bilang? Aku
babi? Dan engkau ini monyet, engkau tikus kurus mau mampus!!
Kedua suami isteri itu
saling dorong dan para tetangga mulai tertawa melihat mereka berkelahi. Sie
Liong dengan gerakan tidak sabar maju dan sekali dia menggerakkan tangan, kedua
suami isteri itu saling melepaskan cengkeraman dan keduanya terpelanting, untuk
kedua kalinya mereka terbanting jatuh. Keduanya terkejut, kesakitan dan
ketakutan, lalu mereka berdua berlutut menghadap Pendekar Bongkok.
‘Taihiap, ampunkan
saya....! Wanita itu merengek.
‘Taihiap, ampunkan kami,
kami mengaku salah. Kami bersalah terhadap Ling Ling....! kata sang suami, lalu
tanpa memandang wajah anak angkatnya, dia menyambung, ‘Ling Ling, maafkanlah
ayahmu yang bersalah ini....!
‘Aku tidak mempunyai
ayah dan ibu seperti kalian! Aku datang untuk berpamit, aku akan pergi
meninggalkan kalian!!
‘Eh....? Kenapa, Ling
Ling? Kenapa engkau hendak meninggalkan kami?! Gumalung berseru kaget, juga
isterinya kaget mendengar ucapan ini. Mereka memang tidak sayang lagi kepada
Ling Ling, dan kesayangan ayah angkat itu merupakan kesayangan yang terdorong
nafsu, akan tetapi mereka akan repot kalau ditinggalkan Ling Ling yang
mengerjakan semua pekerjaan rumah itu.
‘Tapi, kau tidak bisa
meninggalkan kami begitu saja, Ling Ling!! kata pula Nona gendut itu.
Sie Liong sudah merasa
lega. Percekcokan suami isteri itu tadi saja sudah merupakan pengakuan dari
mereka bahwa Ling Ling tidak berbohong, dan semua orang mendengarnya. Maka,
diapun lalu berkata dengan suara tegas. ‘Ling Ling akan meninggalkan rumah
ini, ia akan pergi bersamaku. Apakah kalian merasa berkeberatan?!
‘Tapi.... tapi.... ia
merupakan bantuan bagi kami di rumah ini. Tanpa Ling Ling.... pakaian tidak
tercuci bersih, masakanpun tidak enak rasanya....!
‘Anjing kurus, engkau
mencela aku lagi, ya?! bentak isterinya. ‘Kalau kurang bersih, kaucuci sendiri
pakaianmu, dan kalau engkau tidak menyukai masakanku, pergi sana makan di luar!
Taihiap, kami memang berkeberatan kalau Ling Ling pergi karena.... karena....!
‘Karena apa?! Sie Liong
mendesak.
Wanita gendut itu beberapa
kali menelan ludah, agaknya ia takut untuk bicara, akan tetapi dengan memaksa
diri akhirnya ia berkata, ‘.... anak itu sudah delapan tahun bersama kami....
entah sudah berapa banyak kami mengeluarkan uang untuk memeliharanya,
makannya.... pakaiannya....!
Sie Liong menahan diri untuk
tidak menampar muka wanita itu. ‘Hemmmm, jadi engkau merasa rugi? Katakanlah,
berapa banyak hutang Ling Ling kepada kalian?!
‘Sedikitnya seratus tail
perak....!
Terdengar suara
orang-orang mengomel panjang pendek. Banyak penduduk yang merasa keterlaluan
sekali sikap orang tua angkat Ling Ling itu. Pada saat itu terdengar bunyi
derap kaki beberapa ekor kuda dan ternyata yang muncul adalah Gumo Cali dan
beberapa orang dusun lain yang tadi memimpin penyerbuan ke Bukit Onta. Gumo
Cali cepat memberi hormat kepada Pendekar Bongkok dan dia menurunkan sebuah
bungkusan kain dari atas kudanya.
‘Sie Taihiap, tadi
ketika kami menggeledah rumah para penjahat di puncak Bukit Onta, kami
menemukan uang sebanyak tiga ratus tail perak. Kami semua bersepakat untuk
menyerahkan uang ini kepada taihiap!!
Sie Liong tersenyum. Dia
memang sedang bingung memikirkan bagaimana dia akan dapat membayar hutang Ling
Ling kepada orang tua angkatnya itu, dan kini mereka datang menyerahkan uang,
bukan seratus tail, bahkan tiga ratus tail! Kalau Tuhan hendak menolong,
ternyata ada saja jalannya!
‘Terima kasih!! katanya.
‘Tolong ambilkan seratus tail perak dan serahkan kepadaku.!
Gumo Cali membuka kantung
itu dan mengeluarkan sepertiga bagian dari isi kantung. Gumpalan perak dari
lima tail itu besar dan berkilauan, sebanyak dua puluh buah.
‘Lihat, inilah uang yang
telah kau keluarkan untuk Ling Ling!! berkata demikian, Sie Liong mengambil
gumpalan-gumpalan perak itu dan melemparkannya ke arah dinding. Potongan
potongan perak itu beterbangan dan menancap pada dinding, sampai masuk ke
dalam, berjajar-jajar dua puluh lubang banyaknya. Tentu saja suami isteri itu
memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kalau saja gumpalan perak itu
diarahkan kepada mereka, tentu akan remuk dada mereka dan pecah kepala mereka!
‘Paman, harap sisanya
paman bagi-bagikan kepada para gadis yang tadi menjadi korban penculikan. Nah,
selamat tinggal dan terima kasih!! bersama Ling Ling yang sudah lari mengambil
pakaiannya dari dalam kamarnya dan memasukkan bekal pakaian itu dalam buntalan
kain, Sie Liong lalu meninggalkan tempat itu.
Mereka duduk menghadapi
api unggun di bawah pohon dekat hutan besar itu. Hawa amat dinginnya walaupun
udara cerah pada sore hari itu. Bahkan panasnya api unggun yang dihadapinya
tidak cukup kuat untuk dapat mengusir hawa dingin yang dirasakan Ling Ling. Ia
kadang-kadang masih menggigil. Melihat keadaan gadis ini, Sie Liong merasa
kasihan dan dia membuka baju luarnya yang agak tebal, diselimutkan dari belakang
ke tubuh gadis itu. Meli hat ini, Ling Ling tersenyum dan menarik baju luar itu
agar lebih banyak menyelimuti lehernya.
‘Terima kasih....!
katanya lirih dan iapun termenung memandang ke arah api unggun yang bernyala
indah. Ia merasa betapa kedua kakinya nyeri, kiut-miut rasanya karena sehari
itu mereka hampir terus menerus berjalan naik turun bukit. Ia tidak pernah mengeluh
walaupun kakinya terasa seperti akan patah-patah, dan telapak kakinya terasa
tebal dan panas sekali. Kelelahan membuat ia merasa lemas, ditambah pula rasa
lapar karena sejak pagi tadi mereka tidak pernah makan apapun. Minumpun hanya
dari sumber air yang mereka lewati di kaki bukit terakhir tadi. Ia tidak tahu
betapa pemuda itu sejak tadi mencuri pandang dan mengamati wajahnya. Ia merasa
berbahagia! Biarpun ia merasa lelah bukan main, namun senyum manis tak pernah
meninggalkan mulutnya, cahaya matanya tak pernah meredup, dan wajahnya
berseri-seri. Apa lagi karena banyak bergerak jalan sepanjang hari, kedua
pipinya menjadi kemerahan, puncak pipi di bawah dan kanan kiri mata bagaikan
buah tomat masak.
Sie Liong duduk di
seberang api unggun. Dari atas nyala api, dia dapat memandang wajah gadis itu
dengan jelas. Cuaca sudah mulai suram, akan tetapi cahaya api yang kuning
kemerahan menimpa wajah yang manis itu. Diam-diam dia kagum sekali kepada Ling
Ling. Sudah sepekan gadis itu melakukan perjalanan dengan dia. Sengaja dia
membawa Ling Ling merasakan kelelahan, kekurangan makan dan minum, kepanasan
dan kedinginan. Namun, gadis itu selalu tersenyum, tak pernah mengeluh. Dia
sengaja menguji karena dia belum yakin apakah benar gadis ini hendak nekat ikut
dengan dia mengembara dan hidup serba kekurangan. Dan selama sepekan ini, dia
mendapatkan kenyataan bahwa memang gadis ini hebat! Seorang gadis yang lemah
badannya karena tidak pernah mempelajari silat, akan tetapi yang memiliki batin
yang amat kuat, semangat membaja dan pantang mundur! Seorang gadis yang sama
sekali tidak cengeng. Timbullah perasaan iba dan suka dalam hatinya terhadap
Ling Ling.
Agaknya Ling Ling merasa
bahwa dirinya dipandang. Ia mengangkat muka dan pada saat itu, pandang matanya
bertemu dengan pandang mata Sie Liong. Dua pasang mata bertemu pandang dan
bertaut agak lama. Akhirnya Sie Liong yang mengalihkan pandang matanya, merasa
tidak enak memandang orang terlalu lama dan penuh perhatian.
‘Liong-ko, ada apakah?
Engkau memandangku seperti hendak mengatakan sesuatu.!
Sie Liong memandang
padanya dan tersenyum. ‘Aku hanya ingin bertanya apakah engkau masih
kedinginan, Ling Ling?!
Ling Ling merapatkan baju
luar yang tebal itu dan tersenyum makin lebar. ‘Tadi memang, akan tetapi
sekarang tidak lagi. Hangat dan nyaman, Liong-ko.!
Mereka diam sejenak.
‘Lelah....?! terdengar
Sie Liong bertanya.
Gadis itu mengangkat
mukanya dan kembali mereka bertemu pandang. Ia mengangguk. ‘Akan tetapi,
betapa nyaman dan enaknya beristirahat seperti ini setelah merasa kelelahan!!
‘Kakimu terasa nyeri?!
Sejenak Ling Ling tidak
menjawab, mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan memandang kakinya, menarik
kedua kakinya dari bawah untuk diluruskan. Gerakan ini mendatangkan perasaan
nyeri bukan main, akan tetapi ia tidak mengeluh, hanya matanya tergetar sedikit
dan juga bibirnya dikatupkan makin kuat. Akan tetapi ia menggeleng kepala.
‘Tidak, tidak nyeri....!
Hening lagi sejenak. Dalam
keheningan ini, pendengaran Sie Liong yang terlatih dan amat peka itu mendengar
suara perut gadis itu berkeruyuk, seperti juga perutnya sendiri yang sejak tadi
berkeruyuk.
‘Lapar....?! tanyanya
sambil menatap wajah itu.
Ling Ling mengangkat muka
dan kembali mereka bertemu pandang. Gadis itu tersenyum dan menggelengkan
kepalanya, sambil menambahkan kayu kering pada perapian di depannya.
‘Ling Ling, aku melihat
engkau seorang gadis yang tabah dan jujur, akan tetapi mengapa engkau
membohongi aku?!
Gadis itu nampak terkejut
sekali. Sebatang ranting yang dipegangnya terlepas dan matanya terbelalak
ketika ia memandang kepada pemuda itu. Sepasang alisnya berkerut dan suaranya
terdengar heran, ‘Aku? Bohong?!
Sie Liong menganguk dan
tersenyum. ‘Baru saja dua kali engkau berbohong kepadaku. Kakimu nyeri sekali
dan engkau mengatakan tidak, perutmu lapar dan engkau juga mengatakan tidak.
Bukankah itu bohong namanya?!
Wajah yang tadinya menjadi
agak pucat itu merah kembali, dan sepasang mata itu berseri kembali. ‘Aih,
Liong-ko, engkau mengejutkan aku. Kiranya itu yang kaunamakan bohong. Itu bukan
bohong, koko, melainkan untuk melawan keadaan dan untuk menguatkan hati.!
‘Hemm, apa pula
maksudnya itu?!
‘Sebelum kujawab, aku
ingin tahu bagaimana engkau begitu yakin bahwa kakiku nyeri dan perutku lapar?!
‘Kita sudah berjalan
sehari, naik turun bukit, sudah sepatutnya kalau kakimu nyeri dan ketika engkau
meluruskan kakimu tadi, jelas nampak pada wajahmu bahwa engkau menahan rasa
nyeri. Sejak pagi kita belum makan lagi, sudah sepantasnya kalau perutmu lapar,
dan tadi, aku mendengar perutmu berkeruyuk.!
Ling Ling tertawa dan
menutupi mulutnya. Ia merasa lucu, juga merasa malu. ‘Ih, engkau membikin aku
malu saja, koko. Telingamu usil amat sih, mendengarkan bunyi perut orang!
Sekarang aku jawab pertanyaanmu tadi. Memang kakiku nyeri, habis mengapa? Andaikata
aku mengaku nyeripun, pengakuan itu tidak akan mengurangi rasa nyeri, bahkan
akan menambah. Maka aku membohongi diri sendiri saja, mengatakan tidak nyeri
sehingga rasa nyeri banyak berkurang. Demikian pula tentang perutku yang lapar.
Kalau aku mengaku lapar juga tidak akan ada sesuatu yang dapat kumakan. Lebih
baik mengaku tidak lapar agar rasa laparnya berkurang. Ketika tadi engkau
bertanya apakah aku lelah dan dingin, aku menjawab ya karena di sini ada tempat
beristirahat menghilangkan lelah dan api unggun penahan dingin. Nah, jelas,
kan? Aku bukan pembohbng, ya koko?!
Kalimat terkahir ini
terdengar manja seperti rengek kanak-kanak sehingga Sie Liong memandang dengan
senyum dan hatinya terharu karena dia teringat kepada Yauw Bi Sian. Teringat
dia betapa ketika masih kecil, Bi Sian yang tidak mempunyai teman lain kecuali
dia, juga suka merengek seperti ini kalau minta sesuatu kepadanya. Dan seperti
juga dahulu, ketika dia selalu menuruti permintaan Bi Sian kalau keponakannya
itu sedang merengek, kinipun ia menuruti permintaan Ling Ling dan dia
mengangguk.
‘Engkau memang bukan
pembohong, Ling Ling. Dan sekarang aku akan membuat pengakuan.!
Kini gadis itu yang
memandang heran dan penuh selidik. ‘Engkau akan membuat pengakuan? Pengakuan
apa lagi, Liong-ko?!
‘Aku telah bersikap
kejam sekali kepadamu, Ling Ling....!
‘Aihhh! Sama sekali
tidak, Liong-ko! Apa yang kau maksudkan ini? Engkaulah satu-satunya orang yang
paling baik di dunia ini bagiku. Engkau bagiku menjadi pengganti ayah ibu
kandungku, pengganti saudara dan keluargaku, menjadi sahabat dan juga
guruku....!
‘Jangan terlalu tinggi
memuji, Ling Ling. Lihat dan rasakan, bukankah selama sepekan ini engkau kubawa
berjalan sampai melampaui batas kekuatanmu, memaksamu berjalan jauh melalui
bukit dan tempat yang amat sukar, lalu membiarkanmu kelaparan dan kehausan?
Bukankah selama sepekan ini aku membiarkan engkau mengalami sengsara, tubuhmu
lelah, kakimu nyeri, perut lapar dan mulut haus? Aku telah bersikap kejam
sekali!!
‘Tidak, tidak! Aku tidak
menganggapmu kejam, koko. Sudah sewajarnya karena memang kita berdua ini
sepasang kelana yang merantau, tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki rumah,
bukan? Rumah kita adalah dunia ini, lantainya tanah ini, atapnya langit. Betapa
indahnya rumah kita, koko, tidak ada di dunia ini yang seindah tempat tinggal
kita. Di mana-mana tempat tinggal kita. Lantai kita bertilamkan rumput lunak,
kebun kita penuh pohon dan bunga, kupu-kupu, burung....!
Mau tak mau Sie Liong
tertawa gembira. Bukan main gadis ini, pikirnya girang. Memiliki ketabahan dan
tahan uji, akan tetapi juga memiliki kelincahan dan kegembiraan hidup sehingga
baru berkumpul sepekan saja semua kenangan buruk dan perasaan nelangsa dalam
hatinya tersapu bersih, membuat diapun ikut gembira. Tiba-tiba saja segala
sesuatu di sekelilingnya nampak demikian indahnya!
‘Engkau tidak tahu, Ling
Ling. Selama sepekan ini, aku memang sengaja membuatmu menderita. Aku sengaja
membuat engkau kecapaian, kelaparan dan kehausan!!
Gadis itu memandang heran.
‘Kau sengaja? Aku.... aku tidak mengerti maksudmu, koko.!
‘Aku memang hendak
mengujimu. Setelah engkau menderita, hendak kulihat apakah engkau benar-benar
sudah nekat untuk ikut denganku. Kalau engkau tidak kuat, aku akan mencarikan
tempat yang baik untukmu, pada sebuah keluarga, yang dapat kupercaya dan....!
‘Liong-ko, kenapa
begitu? Sudah kukatakan bahwa aku hanya mempunyai satu saja keinginan hidup
ini, yalah ikut denganmu ke manapun engkau pergi. Jangankan hanya kesukaran
yang tidak seberapa ini, hanya keletihan, kelaparan dan kehausan, biarpun
sampai mati aku tidak akan menyesal telah ikut denganmu, koko!!
Sie Liong menundukkan
mukanya agar jangan nampak betapa wajahnya merasa terharu sekali. Apakah yang
mendorong gadis ini demikian nekat? Mungkinkah gadis ini mencintanya? Ah,
bagaimana mungkin? Semua orang, terutama kaum wanita, takut dan benci
kepadanya, jijik melihat keadaan tubuhnya. Bagaimana mungkin ada yang jatuh
cinta kepadanya? Dan gadis ini bukan seorang gadis yang buruk rupa ataupun
cacat, melainkan seorang gadis yang sehat lahir batinnya, bahkan cantik manis
dan pasti akan mudah menundukkan hati pria yang manapun.
‘Maafkan aku, Ling Ling.
Sudahlah, sekarang lebih baik kita makan. Perut kita sudah lapar sekali. Aku
masih menyimpan roti tawar, hanya tinggal mencari daging segar untuk dijadikan
teman roti.!
‘Tapi....!
‘Ssstttt, di sana ada
daging....!! Sie Liong yang sudah menyambar sebatang ranting dengan tangannya,
tiba-tiba menyambitkan ranting itu ke arah kiri. Ranting itu meluncur bagaikan
anak panah ke dalam semak-semak tak jauh dari situ dan seekor kelinci putih
terguling keluar dengan leher tertembus ranting dan mati seketika. Melihat ini,
tentu saja Ling Ling menjadi girang bukan main.
‘Hebat, engkau hebat,
Liong-ko! Kelinci ini gemuk sekali.... ah, akan kubuatkan daging kelinci panggang
yang lezat untukmu, Liong-ko.! Tiba-tiba ia kelihatan masgul dan mengeluh.
‘Ahh, bagaimana mungkin dapat lezat tanpa bumbu?!
Melihat wajah gadis yang
tadinya amat gembira itu tiba-tiba menjadi sedih, Sie Liong tersenyum.
‘Jangan khawatir, Ling Ling. Bumbu apakah yang kaubutuhkan? Katakan saja!!
Gadis itu memandang wajah
Sie Liong dengan putus asa. Yang dibutuhkannya itu hanya dapat dibeli di pasar,
mana mungkin pendekar itu akan bisa dia mendapatkan daging kelinci tadi? Dengan
lesu iapun menjawab, ‘Lada untuk penghilang bau amis, atau jahe, bawang putih
untuk penyedap, garam.... dan gula agar terasa gurih dan manis.... agar terasa
gurih dan manis....!
Akan tetapi, Ling Ling
terbelalak ketika Sie Liong mengeluarkan barang-barang yang ia butuhkan itu
dari dalam buntalan pakaian. Bumbu lengkap! Ling Ling bersorak gembira.
‘Searang pengelana harus
selalu menyimpan dan membawa bekal bumbu-bumbu ini, Ling Ling.!
Akan tetapi gadis itu kini
bekerja keras, apalagi ketika Sie Liong menyerahkan sebatang pisau yang tajam,
yang juga menjadi bekal Sie Liong untuk keperluan memasak makanan. Ia lupa akan
dinginnya hawa udara dan sambil bersenandung lagu rakyat Tibet, Ling Ling
menguliti kelinci gemuk itu dan mengambil dagingnya. Kegembiraan gadis itu
menular pada Sie Liong. Diapun merasa gem bira dan lincah, merasa seolah dia
menjadi kanak-kanak atau remaja kembali. Dia mempersiapkan ranting penusuk
daging, membantu Ling Ling dan tak lama kemudian, bau daging panggang yang
sedap karena bumbunya lengkap, membuat perut mereka semakin keras berkeruyuk
saling bersahutan. Sie Liong mengeluarkan bungkusan roti tawar dan seguci
anggur merah yang tidak keras, melainkan anggur manis. Dan kemudian merekapun
makan roti tawar dengan daging kelinci panggang yang benar lezat karena masih
segar, lunak dan gurih.
Ketika mereka makan inipun
Sie Liong menemukan kenyataan yang membuat dia semakin termenung dan hatinya
berdebar aneh. Mengapa mereka berebut saling memilihkan daging terbaik? Mengapa
mereka saling mementingkan dan saling memperhatikan? Inikah cinta? Dia merasa
heran dan ragu. Pernah dia mengalami perasaan seperti ini, ketika berhadapan
dengan Yauw Bi Sian, keponakannya! Hanya bedanya, kalau dari Bi Sian dia tidak
merasakan perhatian lain kecuali kasih sayang yang kekanak-kanakan dari seorang
keponakan yang sejak kecil menjadi temannya bermain, sebaliknya dari Ling Ling
dia merasakan perhatian yang lain, yang lebih dewasa dan membuat dia merasa
dimanja, merasakan suatu kemesraan yang belum pernah dirasakannya. Inikah
cinta? Dia tidak dapat menjawabnya. Terlampau pagi untuk menduga sejauh itu.
Kini, perut mereka tidak
berkeruyuk lagi. Mereka menemukan sumber air tak jauh dari situ. Setelah
mencuci tangan dan mulut, mereka duduk lagi menghadapi api unggun. Malam mulai
larut dan mereka membesarkan api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk.
Kembali mereka saling berpandangan melalui atas nyala api.
‘Ling Ling....! Sie Liong
meragu, suaranya lirih dan seolah dia sangsi apakah perlu dia menyatakan isi
hatinya.
Gadis itu memandangnya dan
bibir itu terseryyum. Bibir yang kini nampak merah segar, tidak layu dan agak
pucat seperti ketika kelaparan dan keletihan menguasainya tadi.
‘Ya, Liong-ko?!
Aku heran sekali....!
Melihat pemuda itu meragu,
Ling Ling menjadi penasaran. ‘Apa yang kau herankan, Liong-ko?!
‘Engkau....!
‘Eh? Aku kenapa sih?!
Ling Ling tertawa kecil. ‘Apakah mataku tiga? Hidungku dua? Apanya yang
mengherankan pada diriku?!
‘Seorang gadis seperti
engkau.... kenapa nekat ingin ikut dengan aku? Aku seorang laki-laki yang
sebatangkara, miskin dan tidak mempunyai apa-apa....!
‘Sama dengan aku!! Ling
Ling menyambung cepat.
‘Akan tetapi engkau
seorang gadis yang cantik dan masih muda, sedangkan aku....!
‘Engkau seorang pendekar
yang budiman, seorang jantan yang hebat sekali, mengagumkan dan....!
‘Bukan itu maksudku,
Ling Ling. Aku seorang laki-laki yang cacat, bongkok dan menjijikkan....!
‘Cukup!! Ling Ling
berteriak dan ia mengerutkan alisnya, sepasang matanya bersinar-sinar seperti
orang marah. ‘Liong-ko, kenapa engkau begitu merendahkan diri? Ketika engkau
muncul di ambang pintu itu, ketika semua gadis ketakutan melihatmu dan mengira
engkau seorang penjahat karena cacat tubuhmu, aku melihat betapa engkau seperti
menerima tamparan atau tusukan. Aih koko, aku tidak dapat melupakan pandang
matamu di saat itu dan di saat itu pula aku.... aku memutuskan untuk ikut
denganmu, ke manapun engkau pergi....! Kini sepasang mata yang tadinya nampak
marah itu menjadi lembut sinarnya, mata itu seperti redup.
‘Kenapa, Ling Ling?
Itulah yang ingin sekali kuketahui! Kenapa tiba-tiba engkau mengambil keputusan
yang begitu nekat? Pergi mengikuti aku yang tidak kaukenal sama sekali?!
‘Pada saat itu aku
melihat pandang matamu seperti itu, koko, aku.... aku merasa hatiku tertusuk,
aku merasa terharu dan kasihan sekali kepadamu. Ingatkah engkau betapa aku
menangis sesenggukan, menangis dengan sedih? Bukan hanya karena aku tidak ada
yang menjemput, bukan hanya karena aku takut membayangkan harus kembali ke
rumah orang tua angkatku, melainkan terutama sekali karena kasihan kepadamu!!
Sie Liong menatap tajam
wajah gadis itu. ‘Engkau kasihan kepadaku karena.... aku bongkok? Karena
cacat tubuhku?!
Dengan tegas Ling Ling
menggeleng kepalanya. ‘Sama sekali tidak! Kenapa cacat tubuhmu harus
dikasihani? Biarpun engkau mempunyai cacat, akan tetapi cacat itu sama sekali
tidak mengganggumu, bahkan engkau memiliki kesaktian luar biasa. Tidak, aku
bukan kasihan karena cacatmu, koko, melainkan kasihan karena engkau begitu
menderita batin karena cacat itu, yang membuatmu begitu merendahkan diri.
Engkau tentu merasa betapa semua orang, terutama wanita, jijik dan benci
kepadamu....!
‘Memang kenyataannya
demikian!! kata Sie Liong, suaranya agak keras.
‘Tidak, tidak semua
merasa seperti itu! Hanya perempuan yang tinggi hati saja yang memandang rendah
kepada seorang pria ydng cacat. Padahal, cacat tubuh bukan hal yang terlalu
memalukan, tidak seperti cacat batin! Tidak, koko, tidak semua perempuan benci
kepadamu, setidaknya.... aku kagum padamu, aku menganggap engkau orang yang
paling baik di dunia ini, dan paling gagah....!
‘.... dan paling buruk?!
Sie Liong menambahkan swnbil tersenyum pahit. Ling Ling mengerutkan alisnya.
‘Liong-ko, jangan
tersenyum seperti itu! Begitulah engkau tersenyum ketika berdiri di ambang
pintu itu, tersenyum seolah engkau melihat dunia kiamat dan engkau tidak
perduli! Tidak, koko. Siapa bilang engkau paling buruk? Bagiku, engkau gagah
dan tampan!!
Sie Liong membelalakkan
matanya, menatap wajah gadis itu, jantungnya berdebar keras. Dan diapun
bertanya kepada matanya, bagaimana gadis itu nampak dalam pandangannya, dan dia
melihat seorang gadis yang amat cantik menis, yang menimbulkan rasa iba dan suka,
seorang gadis yang membuat dia merasa berbahagia, pandang mata yang bening itu
seperti memberi nyala hidup dalam hatinya, senyum manis di bibir itu seperti
tetesan embun pagi pada perasaannya yang mulai mengering dan dia pun tiba-tiba
tertawa bergelak. Suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, memecahkan kesunyian
malam. Beberapa ekor burung yang bertengger di pohon yang berdekatan sampai
terkejut, dan bunyi kelepak sayap mereka menandakan bahwa mereka itu terkejut
dan terbang pergi menjauhi suara aneh itu.
Ling Ling juga memandang
kepada Sie Liong dengah sinar mata khawatir. Suara ketawa pemuda itu mula-mula
perlahan, makin lama semakin kuat dan anehnya, ia seperti mendengar isak tangis
terselip di antara bunyi tawa itu. Seperti terdorong oleh sesuatu, Ling Ling
bangkit berdiri, menghampiri Sie Liong dan berlutut di dekat pemuda itu yang
masih duduk bersila sambil tertawa. Dipegangnya pundak pemuda itu, diguncangnya
dan iapun berteriak dengan gelisah.
‘Liong-ko....!
Liong-ko... Kau.... kau kenapa, Liong-ko?!
Ketika merasa betapa
tubuhnya diguncang-guncang, Sie Liong baru sadar. Kalau tadi ketika tertawa dia
menengadah, kini dia menundukkan muka dan suara ketawanya terhenti. Ketika dia
melihat Ling Ling di dekatnya dan gadis itu kelihatan gelisah hampir menangis,
mengguncang pundaknya, Sie Liong ingat akan keadaan dirinya dan seperti
didorong oleh sesuatu yang amat kuat, dia lalu merangkul.
‘Ling Ling....!!
‘Liong-ko.... ah,
Liong-koko....!!
Keduanya Saling rangkul,
hanya berpelukan saja dengan kuatnya seolah-olah ingin menjadi satu dan tidak
akan berpisah lagi. Rangkulan yang penuh dengan keharuan dan rasa syukur, tidak
mengandung nafsu berahi sama sekali.
Sie Liong yang lebih dulu
sadar bahwa keadaan mereka itu tidak semestinya. Dengan lembut dia melepaskan
rangkulannya. Merasa akan hal ini, Ling Ling juga melepaskan rangkulannya akan
tetapi ia diam saja ketika kedua tangannya dipegang oleh kedua tangan Sie
Liong. Mereka berhadapan, saling berpegang tangan dan dengan suara menggetar
karena keharuan Sie Liong berkata lirih.
‘Ling Ling, terima
kasih, engkau telah mengembalikan harga diriku!!
‘Dan engkau telah
mengembalikan pengharapanku untuk menghadapi penghidupan yang kejam ini, Liong-ko.!
‘Nah, sekarang
mengasolah. Engkau harus tidur yang enak agar besok memiliki cukup tenaga untuk
melanjutkan perjalanan, Ling Ling.!
Ling Ling bangkit berdiri,
lalu membongkar buntalan pakaiannya. Dikeluarkan sehelai selimut, dibentangkan
selimut itu di atas rumput dekat api unggun.
‘Akan tetapi engkau
bagaimana, Liong-ko? Engkaupun harus mengaso!!
Pemuda itu tersenyum.
‘Aku sudah terbiasa dengan kehidupan begini, Ling Ling. Aku tidak perlu tidur
karena harus menjagamu, menjaga agar api unggun tidak padam. Tidurlah, dengan
bersila saja aku akan dapat melepaskan lelah.!
‘Baiklah, Liong-ko,!
Gadis itu menguap dan menutupi mulut dengan punggung tangan karena ia merasa
lelah sekali dan mengantuk. Begitu ia merebahkan diri miring, iapun pulas. Ia
miring menghadap api unggun sehingga Sie Liong dapat melihat mukanya. Hatinya
penuh rasa haru dan sayang melihat wajah itu tidur pulas dengan mulut tersenyum
membayangkan kebahagiaan, dan napasnya amat halus. Seorang gadis yang baik!
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Sie Liong sudah pergi ke sumber air dan mandi. Hawa amat
dingin, akan tetapi karena tubuhnya memang kuat sekali, maka mandi di waktu
pagi itu terasa amat segar dan nyaman. Tubuhnya mengepulkan uap putih ketika
dia merendam tubuhnya ke dalam air yang amat dingin itu. Dia merasa segar
sekali ketika dia kembali ke tempat mereka melewatkan malam dan dia mendapatkan
Ling Ling sudah bangun. Pakaian dan rambutnya kusut, namun hal ini tidak
mengurangi kecantikan gadis itu. Melihat Sie Liong datang dengan rambut masih
basah, gadis itu tertawa kecil.
‘Aih, sepagi ini dan
sedingin ini engkau agaknya telah mandi, koko! Hih, hih, aku tidak berani
mandi. Hawa begini dinginnya dan air itu tentu dingin seperti salju!! Ia
mengeluarkan pakaian dari dalam buntalannya. ‘Akan tetapi aku akan bertukar
pakaian dan mencuci yang kotor. Kesinikan pakaianmu yang kotor, Liong-ko, akan
kucuci sekalian!!
Sie Liong memperlihatkan
pakaian yang masih basah dan sudah diperasnya. ‘Sudah kucuci tadi!! katanya.
Gadis itu cemberut.
‘Aih, koko. Berulang kali engkau mencuci sendiri pakaianmu. Apakah kaukira
aku tidak dapat mencuci bersih? Itu sudah menjadi kewajibanku, koko. Lain kali
jangan kaucuci sendiri!!
Sie Liong mengangguk dan
tertawa. ‘Baiklah, Ling Ling, aku berjanji.!
Gadis itu berlari kecil
menuju ke sumber air yang berada kurang lebih tiga ratus meter dari situ,
menuruni tebing yang tidak curam. Sie Liong memandang sejenak dari belakang,
tersenyum dan setelah gadis itu menghilang di balik semak dan batang pohon,
diapun membuat persiapan untuk memanggang sisa roti tawar semalam untuk dipakai
sarapan.
Sie Liong merasa gembira
bukan main pagi itu. Dia merasa seolah-olah mengalami hidup baru. Suasana
nampak indah bukan main. Matahari pagi dengan lembut mengusir kabut pagi,
menggugah burung-burung yang kini sibuk membuat persiapan untuk melaksanakan
tugas kewajiban mereka sehari-hari, yaitu mencari makan. Rumput dan daun pohon
juga tergugah, nampak berseri dan segar, dihias butir-butir embun yang seperti
mutiara berkilauan tertimpa sinar matahari pagi yang masih lemah. Kicau burung
bagaikan musik yang amat riang dan merdu. Sie Liong tersenyum-senyum seorang
diri. Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya. Roti yang dipanggangnya sudah matang
sejak tadi. Terlalu lama gadis itu pergi ke sumber air, pikirnya. Biarpun dengan
mencuci pakaian, pakaian itu tidak berapa banyak. Mestinya sudah selesai sejak
tadi. Dia bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan, di mana terdapat sumber
air itu. Tidak nampak dari situ karena selain tertutup semak dan pohon, juga
jalan ke sumber air itu agak menurun.
‘Ling Ling....!! Dia
berteriak memanggil, mengerahkan tenaganya agar suaranya sampai ke sumber air
itu. Dia menanti jawaban, namun tak kunjung tiba.
‘Ling Ling, rotinya
sudah masak....! Dia berteriak lagi, lebih nyaring. Juga tidak terdengar
jawaban. Dia mengerutkan alisnya. Tak mungkin gadis itu tidak mendengar, dan
andaikata gadis itu menjawabnya, tentu dengan pendengarannya yang peka
terlatih, dia akan dapat mendengarnya. Memang tidak pantas kalau dia mendatangi
sumber air itu. Siapa tahu gadis itu sedang mandi dan telanjang. Akan tetapi
kekhawatiran hatinya membuat dia melangkah ke arah sumber air. Setelah tiba di
atas tebing, dia berhenti dan mendengarkan. Hanya suara gemercik air sumber
bermain dengan batu-batu yang terdengar. Tidak terdengar suara orang mandi,
bermain di air, atau mencuci pakaian. Akan tetapi dia masih belum mau turun.
‘Ling Ling....!! Dia
memanggil lagi. Kini tidak mungkin sama sekali kalau gadis itu tidak mendengar
karena sumber itu berada dekat di bawahnya, walaupun belum nampak dari situ
karena terhalang batu-batu besar. Tidak ada jawaban. Sie Liong tidak ragu-ragu
lagi, dengan hati gelisah dia meloncat turun. Dia memandang ke sana-sini. Tidak
nampak bayangan Ling Ling.
‘Ling Ling....!! Akan
tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Ketika dia mendekat ke sumber air, dia
terkejut sekali melihat pakaian Ling Ling berada di situ, baik pakaian kotor
yang akan dicucinya tadi maupun pakaian kering untuk ganti. Gadis itu lenyap,
tanpa berpakaian! Wajahnya seketika pucat ketika detik jantungnya seperti
terhenti, kemudian jantung itu berdebar-debar penuh ketegangan. Diterkam
harimau atau binatang buas lain? Tentu ada bekas darahnya. Dengan muka pucat
dia lalu meneliti ke atas tanah, mencari bekas atau bercak darah. Tidak ada
darah, yang ada hanyalah jejak-jejak kaki!
Jejak banyak sepatu dengan
ukuran besar. Banyak laki-laki baru saja berada di tempat itu! Dan jejak itu
masih baru sekali. Celaka, pikirnya, Ling Ling tentu diculik oleh entah berapa
orang laki-laki, dalam keadaan telanjang bulat! Dengan hati tidak karuan
rasanya, dipenuhi kegelisahan, dia lalu mengikuti jejak itu dengan cepat. Jejak
itu membawanya masuk hutan. Dia berlari dengan cepat mengikuti jejak itu dan
tiba-tiba dia mendengar suara-suara tertahan, seperti mulut yang menjerit akan
tetapi dibungkam. Cepat dia meloncat ke kiri, ke arah suara dan matanya
terbelalak, melotot ketika melihat apa yang terjadi di balik semak-semak
belukar, di atas rumput tebal itu.
Ling Ling, dalam keadaan
telanjang bulat, sedang menggeliat-geliat dan melawan mati-matian terhadap lima
orang laki-laki yang hendak menggelutinya! Empat orang memegangi kedua tangan
dan kakinya yang dipentang dan seorang lagi, yang brewokan, sambil
terkekeh-kekeh berusaha untuk memperkosanya! Ling Ling meronta-ronta,
menggigit, menjerit, akan tetapi mulutnya dibungkam. Biarpun demikian, bagaikan
seekor singa betina Ling Ling mempertaruhkan kehormatannya.
Dari dalam dada Sie Liong
keluar lengking panjang yang menggetarkan hutan itu. Lima orang itu terkejut,
menengok. Akan tetapi Sie Liong sudah tidak dapat lagi menahan kemarahan
hatinya yang seolah-olah dibakar api. Matanya mencorong, napasnya seperti
mengeluarkan uap panas, dan begitu tubuhnya menerjang ke depan, tangannya
menyambar dan rambut kepala si brewok itu telah dijambaknya dan sekali angkat,
tubuh si brewok yang setengah telanjang itu telah diangkat dan diayun-ayun ke
atas kepalanya seolah-olah tubuh si brewok yang tinggi besar itu hanya sehelai
kain saja. Si brewok berteriak-teriak ketakutan setengah mati, akan tetapi Sie
Liong dengan kemarahan meluap-luap membanting tubuh itu ke atas sebongkah batu.
‘Prakkk!! kepala si
brewok itu pecah dan otaknya berantakan bersama darah.
Melihat betapa pemimpin
mereka tewas dalam keadaan demikian mengerikan, empat orang itu terbelalak dan
mereka melepaskan kaki dan tangan Ling Ling. Dengan marah, mereka yang belum
menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar sakti, mereka mencabut
golok dari punggung masing-masing dan serentak mereka menyerang Sie Liong
dengan golok mereka. Akan tetapi, Sie Liong mengeluarkan suara melengking lagi,
menyambut mereka dengan kaki kanan yang melakukan tendangan berputar.
Terdengar teriakan-teriakan
kesakitan dan empat batang golok terpental lepas dari tangan empat orang itu.
Mereka mengaduh-aduh, memegangi tangan kanan dengan tangan kiri karena
pergelangan tangan mereka telah patah disambar tendangan memutar tadi! Kini
mereka memandang dengan mata terbelalak, penuh rasa takut melihat pemuda
bongkok itu dengan langkah perlahan-lahan menghampiri mereka. Saking takutnya,
mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.
‘Ampun.... ampunkan
kami....!
Akan tetapi, lengkingan
ketiga kalinya terdengar dan kembali kaki Sie Liong bergerak menendang. Empat
kali dia menendang, dan tubuh empat orang itu terjengkang dan mereka tewas
seketika dengan tulang leher patah-patah!
Ling Ling yang berlutut di
atas tanah, memandang dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Biarpun ia merasa
merah dan membenci lima orang itu, namun ia merasa ngeri melihat pembunuhan itu
terjadi di depan matanya, melihat betapa lima orang itu tewas seketika, melihat
Sie Liong yang biasanya lemah lembut itu mengamuk, seperti iblis maut sendiri!
Sie Liong meloncat dan
melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat berlutut di atas tanah, diapun
lalu menghampirinya.
‘Ling Ling...., kau
tidak apa-apa....?! tanyanya lembut.
‘Liong-ko....!! Ling
Ling menjerit dan iapun pingsan dalam dekapan Sie Liong. Pemuda itu lalu
memondongnya, membawanya ke sumber air, mengambil pakaian Ling Ling dan membawa
gadis itu ke tempat mereka melewatkan malam tadi. Dengan memaksa matanya agar
jangan melihat bagian terlarang dari tubuh gadis itu, dia merebahkan Ling Ling
ke atas selimut dan menyelimuti tubuh yang telanjang. Baru ia memijat-mijat
tengkuk gadis itu untuk menyadarkannya. Ling Ling siuman kembali, mengeluh dan
membuka matanya. Tiba-tiba ia terbelalak dan menjerit karena ia teringat akan
peristiwa tadi. Jerit melengking ketakutan sambil bangkit duduk. Sie Liong
merangkul gadis yang menjerit-jerit histeris itu. Begitu dirangkul, Ling Ling
meronta dan menjerit semakin nyaring.
‘Lepaskan aku....!
Lepaskan! Keparat jahanam kalian.... lepaskan akuuuu....!!
Sie Liong mendorong gadis
itu dan memaksanya untuk memandang kepadanya.
‘Ling Ling, lihat siapa
aku....!! katanya setengah membentak untuk menyadar kan gadis yang dilanda
ketakutan dan kengerian itu. Ling Ling terbelalak memandang, sadar dan merangkul.
‘Liong-ko.... ah,
Liong-ko....!!
Dan diapun menangis di
dada Sie Liong, tidak sadar bahwa selimut yang menutupi tubuhnya terbuka.
‘Tenanglah, Ling Ling.
Tenanglah, engkau sudah terbebas dari lima orang anjing itu! Tenanglah, dan
pakailah pakaian ini....! Sie Liong menutupkan lagi selimut menutupi tubuh
gadis itu.
Ling Ling baru sadar bahwa
ia masih telanjang bulat. Hal ini mengingatkan ia akan pengalaman tadi dan ia
bergidik ngeri. Lalu dengan kedua tangan gemetar ia mengenakan pakaiannya di
balik selimut. Sie Liong duduk di atas rumput membelakangi gadis itu, alisnya
berkerut dan berulang kali dia menarik napas panjang. Dia termenung dan
wajahnya muram sekali.
Tangan itu dengan lembut
menyentuh pundaknya, dan suara itu lirih berbisik penuh kekhawatiran.
‘Liong-ko, engkau kenapakah....! Liong-ko, kenapa kau diam saja? Tadi....
ketika aku berada di sumber, ketika aku habis mencuci muka membersihkan diri,
ketika hendak berganti pakaian, tiba-tiba mereka itu datang menyergapku. Aku
tidak dapat menjerit karena mereka membungkam mulutku. Aku melawan mati-matian.
Ketika engkau berteriak memanggil namaku, mereka lalu membawa aku pergi ke
hutan itu dan di sana.... ahh, untung engkau datang tepat pada waktunya,
Liong-ko. Hampir aku tidak kuat bertahan lagi....!
Tiba-tiba Sie Liong
mengepal tinju dan tangan Ling Ling yang memegang pundak itu cepat ditarik
kembali karena kaget. Pundak itu seperti mengeluarkan tenaga yang panas! Ling
Ling melangkah maju dan memandang wajah pemuda itu. Ia terkejut. Wajah itu
pucat, mata itu seperti sayu dan sedih, seperti akan menangis!
‘Liong-ko, engkau
kenapa? Engkau kelihatan begini berduka! Apa yang telah terjadi?!
Suara itu parau dan penuh
penyesalan. ‘Aku telah membunuh mereka....!
Gadis itu memandang heran.
‘Tentu saja, koko! Orang-orang seperti mereka memang layak kau bunuh! Mereka
itu jahat sekali!!
Sie Liong menghela napas
panjang. ‘Untuk menentang kejahatan, memang kadang-kadang terpaksa membunuh,
akan tetapi tidak seperti yang kulakukan tadi, Ling Ling. Membunuh karena
benci! Membunuh dengan hati dipenuhi dendam kebencian, karena aku melihat
mereka memperlakukan engkau seperti itu. Membunuh karena cemburu dan benci. Ah,
aku menjadi kejam sekali, tidak ada bedanya dengan mereka....!!