Angin mulai reda, salju yang turun secara besar-besaran baru berhenti,
walau pun demikian untuk daerah di gurun pasir utara, hawa udara masih
dingin. Dalam iklim demikian, pada harian Ceng Beng, Kanglam Liok Koay
membawa barang-barang sembahyangan ke kuburannya Thio A Seng, untuk
sembahyangi saudara yang sudah beristirahat untuk selamanya di alam baka
itu. Kwee Ceng juga diajak bersama.
Tempat kediaman bangsa Mongol tidak berketentuan, maka itu untuk pergi
ke kuburan, rombongan ini mesti melarikan kuda mereka setengah harian,
baru mereka tiba. Mereka itu atur barang sembahyangan, mereka pasang
hio, lalu pai-kui. Malah Siauw Eng berkata dalam hatinya: “Ngo-ko,
belasan tahun kami didik anak ini, sayang dia bebal, dia tidak dapat
terima semua pengajaran kita, maka itu aku mohon bantuan kau, untuk
lindungi padanya, biarlah tahun lusa, dalam pertandingan di Kee-hin, dia
tidak sampai memalukan nama kita Kanglam Cit Koay!”
Sepuluh tahun enam saudara itu tinggal di utara, rambut dan kumis
jenggot mereka sudah mulai berwarna abu-abu, tapi Siauw Eng, walaupun ia
tidak secantik dulu, masih ada sisa keelokannya, ia tetap menarik hati.
Di situ ada tulang-tulang yang berserakan, Cu Cong jadi seperti melamun.
Ia ingat pada Bwee Tiauw Hong, yang sia-sia saja dicari, orangnya tidak
ketemu, mayatnya juga tidak kedapat. Kalau tidak mati, si Mayat Besi
mestinya tak bisa bersembunyi terus-menerus. Ke mana perginya wanita
seperti siluman itu?
Dalam sepuluh tahun itu, kepandaiannya Liok Koay juga turut bertambah.
Umpamanya Tin Ok, ia utamakan 'Hok Mo Thung-hoat', ilmu tongkatnya,
'Tongkat Menakluk Iblis'. Ia bersiap sedia menyambut Tiauw Hong.
Lam Hie Jin paling menyanyangi Kwee Ceng, si bebal tapi rajin. Ia ingat,
dulu ia pun ulet seperti bocah ini. Kali ini, ia tampak kemajuan Kwee
Ceng, yang mebuat ia girang. Habis pai-kui, Kwee Ceng berbangkit, apa
mau ia kena injak sebuah batu kecil, ia terpeleset, tapi cepat sekali,
ia dapat imbangi tubuhnya, dia tak jadi jatuh. Ia tersenyum kepada Kim
Hoat, yang pun melihatnya.
“Mari!” katanya seraya ia lompat dengan tangan kiri melindungi diri, dengan tangan kanan ia sampok pundak muridnya itu.
Kwee Ceng terkejut tapi ia dapat menangkis, hanya ketika ia geraki tangannya itu, lekas ia kasih turun pula!
Menampak itu, Hie Jin tersenyum. Sekarang ia meninju ke dada.
“Coba kau kasih lihat kebisaanmu, kau layani sie-suhu berlatih,” Siauw Eng menganjurkan. “Kau kasih ngo-suhu lihat padamu!”
'Sie-suhu' yaitu guru keempat dan 'ngo-suhu' guru ke lima.
Baru sekarang Kwee Ceng mengerti. Sedang serangannya Hie Jin pun
dibatalkan di tengah jalan, untuk tukar itu dengan sambaran tangan kiri
ke pinggang. Kali ini si murid melompat mundur. Ia berlaku cepat, tapi
Hie Jin lebih cepat pula. Dengan satu enjotan tubuh, guru yang keempat
ini sudah menyusul dan tangan kanannya kembali menjambak pundak. Dengan
mendak, Kwee Ceng luputkan dirinya.
“Balas menyerang, anak tolol!” Po Kie berseru. “Kenapa mandah diserang selalu?”
Anjuran ini diturut, setelah itu, Kwee Ceng membalas. Ia gunai ajaran Lo
Han Kun, ilmu silat 'Tangan Arhat' dari guru she Han itu, yaitu bagian
Kay San Ciang-hoat, 'Membuka Gunung'. Ia pun dapat menempur dengan seru.
Selang beberapa jurus, dengan satu tolakan Kwee Ceng dibikin terpental
dan jatuh. Tapi begitu jatuh, ia lompat bangun pula, cuma mukanya yang
merah.
Hie Jin segera kasih mengerti bagian kelemahannya.
Selagi guru itu berbicara, tiba-tiba terdengar dua kali suara tertawa,
yang datangnya dari pepohonan lebat di samping mereka. Cu Cong dan Kim
Hoat terperanjat. “Siapa?!” mereka tanya. Mereka pun lompat untuk cegah
jalanan orang buat lari turun.
Orang yang tertawa itu tidak lari, ia justru muncul dari tempatnya
bersembunyi, hingga tampak nyata ialah satu nona elok dengan muka putih
potongan telur dan kedua pipinya bersemu merah. Masih ia tersenyum.
“Engko Ceng, apakah kau kena dihajar suhu?” ia tanya.
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. “Siapa suruh kau datang ke mari?” ia menegur.
Nona itu tertawa. “Aku senang melihat kau dihajar!” sahutnya.
Kalau Kwee Ceng likat, si nona polos dan jenaka. Ia pun bukan lain
daripada Gochin Baki, putrinya Temuchin, yang bersama Tuli dan pemuda
she Kwee ini, usianya tak berjauhan serta biasa mereka bergaul, main
bersama-sama. Ia sangat disayangi ayah ibunya, ia rada manja, sedang
Kwee Ceng jujur dan rada tolol. Sering Kwee Ceng digoda, sampai mereka
bentrok, tapi tak lama mereka akur pula, selamanya si nona mengaku yang
salah dan rela minta maaf. Demikian mereka hidup rukun seperti saudara
saja, sedang ibunya Gochin, yang ingat budi Kwee Ceng telah menolongi
putrinya, perlakukan ia dengan baik, dia dan ibunya sering diantarkan
pakaian dan binatang ternak. Pergaulan kedua anak muda itu juga tidak
dilarang.
Hari itu Gochin tahu Kwee Ceng hendak pergi pai-bong (sembahyang
kuburan). Ia pergi dulu dengan menunggang kuda, ia sembunyi di antara
pepohonan lebat, hingga ia saksikan segalanya. Sengaja sampai Kwee Ceng
rubuh, baru ia muncul untuk menggodai anak muda itu.
Kwee Ceng malu, kurang senang dan berbareng girang.
“Apakah kau tidak senang aku datang?” tanya si nona dengan tertawa.
“Baiklah, nanti aku pulang…!” Ia bicara dengan merdeka, meski pun di
sana ada enam orang lainnya.
“Oh, tidak, tidak!” kata Kwee Ceng lekas. “Kita pulang bersama sebentar.”
Gochin tertawa, tak jadi ia pergi.
Senang Cu Cong semua menyaksikan eratnya hubungan anak-anak ini, mereka tersenyum.
“Mana orang yang ikut padamu?” kemudian tiba-tiba Tin Ok tanya si putri.
Gochin melengak. “Siapa?” ia tanya. “Aku datang sendirian.“
“Bukankah kakakmu pun datang, dia di belakangmu, untuk bergurau?”
“Kakak tidak datang! Benar aku datang sendirian.”
“Liok-tee, coba lihat!” Tin Ok minta. Dengan tongkatnya ia menunjuk ke pepohonan lebat di belakang kuburan.
Coan Kim Hoat pergi memeriksa. “Disini tidak ada orang,” katanya.
“Terang sekali aku dengar suaranya dua orang!” Tin Ok berkukuh. Tadi
dengar tertawanya Gochin, menyusul suaranya seorang lain. Ia sangka
orang itu adalah kawannya si nona, ia tidak perhatikan. Sekarang benar
tidak ada orang di situ, ia menjadi heran. Ia lantas berpikir.
“He, tengkorak hilang satu!” tiba-tiba Kim Hoat berseru.
Dengan berlari-lari, semua orang hampirkan saudara she Coan itu. Memang
telah lenyap sebuah tengkorak, masih ada bekasnya di salju. Mesti baru
saja orang curi itu. Kembali orang heran, kaget dan curiga. Kim Hoat
menjelaskan semuanya kepada Tin Ok.
“Cegat di empat penjuru!” seru toako ini, kakak tertua. Ia sendiri
mendahului lari turun gunung, saudara-saudaranya menyusul, sembari lari,
ia pasang kupingnya.
“Di sana ada tindakan kaki kuda, lekas susul!” toako ini menitah,
tongkatnya menuju ke selatan. Maka saudara-saudara yang lain pun pada
mengejar ke arah selatan itu.
“Apakah aku yang salah?” tanya Gochin pada si anak muda, perlahan bicaranya.
“Ini bukan urusanmu,”sahut Kwee Ceng. “Rupanya telah datang musuh yang lihay”.
Si nona ulur lidahnya.
Tidak lama dari itu muncul beberapa puluh penunggang kuda, semuanya
orang Mongolia, yang dikepalai oleh satu pekhu-thio, pemimpin satu
eskadron. Melihat tuan putrinya, dia itu lompat turun dari kudanya,
untuk memberi hormat.
“Tuan putri, Kha Khan titahkan aku menyambut,” katanya.
“Untuk apakah?” tanya si putri, keningnya mengerut.
“Ada datang utusannya Wang Khan.” sahut perwira itu.
Tidak senang si nona mendengar itu, ia lantas menjadi gusar. “Aku tak mau pulang!” katanya sengit.
Pekhu-thio itu menjadi serba salah. Ia memberi hormat pula dan katanya:
”Kalau tuan putri tidak pulang, Kha Khan bakal hukum hambamu ini…”
Gochin dijodohkan dengan Tusaga, cucu Wang Khan, tapi ia erat bergaul
dengan Kwee Ceng. Meski tidak ada soal asmara, ia toh berat nanti akan
berpisah sama ini anak muda. Sebaliknya, tak senang ia menikah sama
Tusaga, yang sombong dan galak itu. Maka tak mau ia pulang.
Siauw Eng tidak turut saudara-saudaranya pergi. Ia lihat itu semua. Ia
kata pada Kwee Ceng: “Anak Ceng, pergi kau temani tuan putri pulang.”
Tanpa tunggu jawaban, ia larikan kudanya pergi menyusul
saudara-saudaranya.
Gochin masih bersangsi sesaat, akhirnya ia pulang juga. Tak mau ia menentangi ayahnya.
Wang Khan itu mengantar panjar, Temuchin ingin putrinya temui si utusan.
Kwee Ceng tidak mengantar terus sampai di tenda Temuchin, ia terus balik
ke tendanya sendiri, di mana ia tinggal bersama ibunya. Ia berduka,
maka ia duduk diam saja. Ketika Lie Peng, ibunya, bertanya, ia tetap
membungkam.
Itu waktu terdengar suara tetabuhan, itulah tanda penyambutan pada
utusan Wang Khan. Baru sekarang Lie Peng dapat mendugai hal putranya
ini. Ia lantas menghibur: “Tuan putri benar baik sama kau, tetapi kita
tetap orang Han, maka itu tepat kalau ia dijodohkan sama cucunya Wang
Khan…”
“Ibu, aku bukan pikirkan itu,” Kwee Ceng akhirnya mau juga buka
mulutnya. “Hanya Tusaga itu kasar dan kejam. Dengan menikah sama dia,
tuan putri bakal bersengsara…”
Lie Peng tahu baik hati anaknya itu, ia menghela napas. “Habis apa daya kita sekarang?” katanya.
Kwee Ceng berdiam terus sampai habis bersantap malam, setelah mana ia
pergi ke tenda gurunya, yang semuanya sudah pulang. Mereka itu sia-sia
belaka menyusul penunggang kuda atau pencuri tengkorak itu. Kim Hoat
lantas ajari muridnya jurus-jurus dari Tiang Kun. Habis berlatih,
muridnya pulang, untuk naik pembaringan tanpa salin pakaian lagi.
Lapat-lapat Kwee Ceng dengar tetabuhan, ia tidur terus sampai pulas.
Adalah kira-kira tengah malam, ia mendusin dengan terperanjat. Ia dengar
tanda tiga kali tepuk tangan. Ia lantas bangun, ia bertindak ke
tendanya akan menyingkap dengan hati-hati. Untuk kagetnya, di antara
sinar rembulan, ia tampak satu tengkorak tepat di jalanan di muka
kemahnya. Ia pun dapat lihat tegas lima liang pada tengkorak itu.
“Musuh datang cari musuh…” pikirnya. “Suhu tidak ada di sini, seorang
diri mana aku sanggup melawan? Bagaimana kalau musuh menerjang ke dalam
tenda untuk melukai ibuku?”
Ia ambil keputusan dengan cepat. Ia lebih dulu ambil goloknya. Lalu ia
singkap tenda dengan tiba-tiba, untuk lompat keluar, untuk segera dupak
tengkorak itu hingga mental jauh beberapa tombak. Untuk lindungi diri,
ia putar goloknya. Setelah itu, dengan siap sedia, ia memandang ke
sekitarnya. Di sebelah kiri di bawah pohon ia tampak seorang berdiri
diam, mukanya tidak kelihatan. Dia cuma kata: “Kalau kau berani, mari
turut aku!”. Dia bicara dalam bahasa Tionghoa, bajunya gerombongan,
tangan bajunya lebar. Itu bukan dandanan orang Mongolia.
“Siapa kau?” tanya Kwee Ceng. “Mau apa kau cari aku?”
“Kau toh Kwee Ceng?!” orang itu tegasi.
“Habis kau mau apa?!” tanya Kwee Ceng.
“Mana pisau belatimu yang tajam mempan besi? Mari kasih aku lihat!”
Tiba-tiba ia melompat mencelat, sampai di sisi sang anak muda, kakinya
menendang jatuh golok orang, menyusul mana sebelah tangannya menekan ke
dada orang.
Sebat gerakan orang itu, sampai Kwee Ceng tidak bisa lindungi goloknya.
Tapi ia sempat berkelit, tangan kanannya menyambar lengan orang itu,
tangan kirinya menyerang sikut. Inilah jurus 'Orang-orang patah bahunya'
salah satu dari jurus ilmu silat, 'Membagi urat memisah Tulang'. Kalau
orang itu kena diserang, tanpa ampun lagi, bahu kanannya mesti patah,
terlepas sambungan sikutnya.
Ilmu silat ini Kwee Ceng dapatkan dari Cu Cong dan Cu Cong mengutamakan
ini karena ia pikir, cuma dengan ilmu ini ia nanti sanggup layani Kiu Im
Pek-kut Ciauw dari Bwee Tiauw Hong yang setiap waktu lambat atau cepat,
bakal cari padanya. Ilmu ini pun baru ia ciptakan sendiri, sebab
tadinya ia tidak pikirkan untuk pelajarai itu. Ia melatih bersama Coan
Kim Hoat. Sebagai Biauw Ciu Si-seng, si Mahasiswa Tangan Lihay, ia bisa
asah otaknya menciptakan ilmu silat itu. dan sekarang Kwee Ceng
menggunai itu untuk melawan musuhnya.
Orang itu terperanjat, untuk membebaskan diri, ia lekas serang mukanya
Kwee Ceng. Ia bukannya meloloskan diri hanya menyerang. Maka kagetlah
Kwee Ceng, yang lain hendak membikin patah lengan musuh; terpaksa ia
lepaskan kedua tangannya dan mencelat mundur. Meski begitu, dia masih
merasa sakit terkena sambaran anginnya serangan lawan itu.
Setelah itu Kwee Ceng lihat orang adalah satu imam muda yang mukanya
bersih dan tampan, yang usianya delapan atau sembilan belas tahun. Ia
pun dengar si imam atau tosu, mengatakannya dengan perlahan: “Tak kecewa
pelajarannya, tidak sia-sia pengajarannya Kanglam Liok Koay selama
sepuluh tahun…”
“Kau siapa?!” tegur Kwee Ceng, yang masih berjaga-jaga. “Untuk apakah kau mencari aku?”
“Mari kita berlatih pula!” kata si imam, yang tidak gubris perkataan orang. Ia pun terus menyerang tanpa tunda kata-katanya itu.
Kwee Ceng menanti tidak bergeming, kapan tangan imam itu sudah hampir
sampai pada dadanya, ia mengegos ke kiri, tangan kirinya menyambar
lengan si imam dan tangan kanannya menyambar ke batang leher. Kalau ia
berhasil, akan copotlah batang leher si imam itu. Jurus ini oleh Cu Cong
dengan lucu dinamakan 'Sembari tertawa dan berbicara melepaskan
rahang'.
Imam itu kenali serangan berbahaya itu, ia bebaskan diri pula.
Setelah belasan jurus, melihat keringanan tubuh orang, yang dapat
bergerak-gerak dengan pesat sekali, Kwee Ceng segera mengerti bahwa imam
ini ada terlebih pandai dari padanya. Keinsyafan ini, ditambah sama
kekhawatirannya akan munculnya Bwee Tiauw Hong, membuat hatinya gentar,
maka juga, tempo kakinya lawan melayang, kempolan kanannya kena didupak.
Syukur kuda-kudanya kuat dan tendangan tak hebat, ia cuma terhuyung,
tidak terluka. Karena ini, ia lantas kurung diri dengan rapat, hingga ia
menjadi terdesak. Di saat kewalahan, tiba-tiba ia dengar seruan dari
belakangnya: “Serang bagian bawahannya!”
Dengan tiba-tiba bangkitlah semangatnya Kwee Ceng. Ia kenali suaranya
sam-suhu, gurunya yang ketiga yaitu Han Po Kie. Ia lantas menggeser ke
kanan untuk terus menoleh. Untuk kegirangannya, ia tampak ke enam
suhunya itu telah hadir semua. Saking memusatkan perhatian pada lawan,
ia sampai tidak ketahui munculnya keenam gurunya itu. Segera, menuruti
petunjuknya Po Kie, ia mulai menyerang di bawah.
Imam itu licah gerakannya, tetapi lemah bagian bawahnya, dan ini
terlihat tegas oleh Kanglam Liok Koay, maka itu Po Kie sadarkan
muridnya. Karena ini, lantas saja si imam berbalik terdesak, hingga
terpaksa ia main mundur.
Kwee Ceng merangsak maju, sampai ia lihat lawannya terhuyung, tidak
buang tempo lagi, kedua kakinya saling sambar dengan tipunya Lian-hoan
Wan-yoh-twie – kaki Burung Wanyoh Berantai. Ia sampai tidak menyangka
bahwa musuhnya bakal menggunai akal.
“Awas!” teriak Po Kie dan Siauw Eng yang terkejut.
Kwee Ceng kurang pengalaman. Meski pun ia telah diperingatkan, sudah
terlambat. Kaki kanannya kena dicekal lawan, terus disempar. Maka itu
tak ampun lagi, tubuhnya melayang. Dengan suara keras, tubuhnya itu
jatuh celentang, hingga ia merasakan sakit sekali. Saking gesitnya, ia
dapat lantas berlompat bangun dengan gerakannya 'Ikan Tambra Meletik'.
Ia hendak maju pula tetapi ke enam gurunya sudah mulai kurung si imam
muda.
Tosu itu tidak bersiap untuk memberikan perlawanan, ia juga tidak
menunjukkan tanda hendak menerobos keluar dari kurungan, sebaliknya
dengan rangkap kedua tangannya, ia memberi hormat kepada Kanglam Liok
Koay. Ia kata: “Teecu In Cie Peng, atas titah guruku Tiang Cun Cu Khu
Totiang, teecu datang untuk memujikan suhu semua sehat-sehat!” Lantas ia
berlutut untuk mengangguk-angguk.
Cu Cong berenam bersangsi, mereka tidak mengulurkan tangan untuk
mengasih bangun, maka itu si imam bangkit sendiri untuk terus merogoh ke
dalam sakunya guna menarik keluar sesampul surat, yang mana dengan
kedua tangannya, ia angsurkan kepada enam manusia aneh itu – tegasnya
kepada Cu Cong.
“Mari kita bicara di dalam,” kata Kwa Tin Ok, yang dengar suara tindakan
kaki mendatangi, hingga ia menduga kepada serdadu peronda bangsa
Monglia.
Tanpa sangsi, In Cie Peng turut masuk.
Coan Kim Hoat menyulut lilin.
Tenda itu berperabot buruk. Di situ Cu Cong tinggal berlima, karena
Siauw Eng tidur di kemahnya seorang wanita Mongolia. Melihat itu, Cie
Peng mengerti orang hidup bukan main sederhananya. ia menjura ketika ia
mulai berkata: “Suhu berlima banyak capek! Guruku sangat bersyukur, dia
titahkan teecu datang kemari untuk menghaturkan banyak-banyak terima
kasih.”
“Hm!” Tin Ok perdengarkan suara tawar, karena ia pikir: “Kalau kau
datang dengan maksud baik, mengapa kau robohkan anak Ceng? Bukankah kau
sengaja datang untuk pertunjuki pengaruh sebelum tiba saatnya
bertanding?”
Itu waktu Cu Cong telah membuka sampul dan membaca suratnya. Khu Cie Kee
memperingatkan bahwa sepuluh tahun sudah berlalu sejak perpisahan
mereka di Kanglam dan dia turut berduka cita atas meninggalnya Thio A
Seng. Ia memberitahu bahwa pada sembilan tahun yang lalu ia telah
berhasil mencari turunan Yo Tiat Sim.
Mengetahui ini, Tin Ok semua terperanjat. Coan Cin Kauw banyak
pengikutnya, yang tersebar luas di seluruh negara, tetapi buat cari satu
nyonya yang lenyap, benar-benar sulit. Tidak dinyana, Cie Kee begitu
cepat menemui nyonya itu serta anaknya. Mereka sendiri menemui Kwee Ceng
secara kebetulan.
Surat itu diakhiri dengan pemberitahuan bahwa lagi dua tahun, mereka
berdua pihak bakal bertemu pula di Cui Sian Lauw di Kee-hin, di saat
bunga-bunga mekar.
“Memang ini tulisannya Khu Totiang,” kata Cu Cong akhirnya.
“Anak turunan she Yo itu bernama Yo Kang?” Tin Ok bertanya.
“Benar,” sahut Cie Peng.
“Dia toh adik seperguruanmu?” Tin Ok menegaskan.
“Dialah kakak seperguruanku,” sahut pula tosu she In itu. “Walau pun
usiaku lebih tua, di waktu memasuki perguruan, kakakku itu mendahului
dua tahun.”
Dingin hatinya Kanglam Cit Koay mendengar keterangan itu. Kwee Ceng
kalah oleh In Cie Peng, satu sutee, bagaimana pula ia dapat melayani Yo
Kang, sang suheng? Pula heran, Khu Cie Kee ketahui jelas tentang mereka,
hal mereka dapatkan Kwee Ceng, hal kematiannya Thio A Seng, dan hal
sekarang mereka berdiam di padang gurun ini…. Sebaliknya, mereka sendiri
tidak tahu suatu apa perihal imam itu! Inilah tanda mereka sudah berada
di bawah angin.
“Apakah barusan kau layani dia untuk mencoba-coba?” Tin Ok tanya pula, suaranya dingin.
“Teecu tidak berani,” jawab Cie Peng, yang berkhawatir oleh sikap orang.
“Sekarang kau sampaikanlah kepada gurumu itu,” bilang Tin Ok, “Walau pun
Kanglam Liok Koay tidak punya guna, perjanjian di Cui Sian Lauw tidak
bakal digagalkan, jadi dia tidak usah khawatir suatu apa pun. Bilang
bahwa kami tidak usah membalas dengan surat.”
Cie Peng likat, hingga ia berdiam saja.
“Ahh ya, apa perlunya kau ambil itu tengkorak manusia?” Tin Ok tanya pula.
Cie Peng berdiam. Tak sangka ia bakal ditanyakan tentang tengkorak itu.
Ia diperintah gurunya pergi ke utara untuk menyampaikan surat, ia
dipesan untuk sekalian selidiki Kwee Ceng, tentang sifatnya dan ilmu
silatnya. Khu Cie Kee memperhatikan putra sahabatnya, ia bermaksud baik,
tetapi muridnya ini menyeleweng sedikit, walau pun ia tidak bermaksud
jahat. Setibanya di Mongolia, di tepi sungai Onon, Cie Peng tidak segera
menemui Kanglam Liok Koay, hanya ia mencuri lihat Kwee Ceng berlatih,
malah ia menguntit juga orang pay-bong terhadap Thio A Seng hingga ia
saksikan semuanya, tetapi ia diperogoki oleh Tin Ok dan kabur. Coba ia
lari tanpa embat tengkorak, yang ia lihat aneh, tidak nanti ia
menerbitkan kecurigaan.
“Apakah kau ada punya hubungan sama Hek Hong Siang Sat?” tanya Tin Ok
sebab orang diam saja. “Atau kau tertawakan Kanglam Cit Koay yang satu
diantaranya terbinasa di bawah cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw?”
Baharu Cie Peng menjawab: “Teecu ambil tengkorak itu untuk dibuat main,
tak ada maksud lainnya. Tentang Hek Hong Siang Sat dan Kiu Im Pek-ku
Jiauw, teecu tidak tahu-menahu…”
“Hm!” bersuara Tin Ok yang terus berdiam.
Cie Peng jadi jengah. “Teecu memohon diri,” katanya kemudian.
Tin Ok antar orang sampai di muka tenda. Cie Peng memberi hormat lagi
sekali. Mendadak orang she Kwa ini berseru: “Kau pun jumpalitan!” dan
tangan kirinya menyambar ujung baju orang di betulan dada.
Saking kaget, Cie Peng geraki kedua tangannya, untuk membebaskan diri.
Inilah hebatnya, coba dia diam saja, dia cuma akan jungkir balik. Kali
ini ia membangkitkan amarahnya tetuanya Liok Koay. Tin Ok angkat tubuh
orang dan membanting, maka jatuhlah ia dengan hebat. Bebokongnya sakit,
sampai sekian lama baharu ia bisa merayap bangun, untuk dengan
terpincang-pincang ngeloyor pergi…..
“Imam cilik itu tak tahu adat, tepat toako ajar adat padanya,” kata Po Kie.
Tin Ok berdiam, selang sesaat ia menghela napas. Semua saudaranya mengerti kedukaan toako ini, mereka turut masgul pula.
“Ya, apa boleh buat….” kata Hie Jin kemudian.
“Benar, sieko,” Siauw Eng bilang. “Kita bertujuh saudara sudah puas
berkelana, banyak pengalaman kita, baik pun yang berbahaya, kita belum
pernah mengkerat atau mundur!”
Tin Ok mengangguk. “Sekarang pergilah kau pulang dan tidur,” katanya
pada Kwee Ceng. “Besok akan aku ajarkan kau senjata rahasia.”
Cu Cong semua gegetun. Hebat senjata rahasia tok-leng dari kakaknya ini.
Senjata itu adalah senjata rahasia istimewa penjaga diri sejak si kakak
tak dapat melihat matahari. Tak pernah dipakai kecuali di saat genting,
pula tak pernah diwariskan kepada lain orang, tapi sekarang hendak
diturunkan kepada murid ini.
“Anak Ceng, lekas menghaturkan terima kasih kepada toa-suhu,” Siauw Eng ajari muridnya itu.
Kwee Ceng mengucap terima kasih sambil berlutut dan mengangguk, habis itu baharu ia mengundurkan diri.
Tin Ok menghela napas pula perlahan. Ia sangsi apa Kwee Ceng dapat wariskan kepandaiannya itu dengan sempurna.
Semenjak itu, semakin rajin guru ini mengajari muridnya. Adalah kehendak
mereka agar si murid maju cepat. Mereka khawatir kalah berlomba dengan
Khu Cie Kee menampak kemajuannya In Cie Peng itu. Akan tetapi sulit bagi
mereka untuk mewujudkan kehendak itu. Sekali pun seorang yang berotak
cemerlang ada sulit untuk dibikin maju dalam tempo yang pendek, apa pula
Kwee Ceng yang bebal itu, yang lambat kesadarannya. Malah makin
didesak, ia membuat semakin banyak kesalahan.
Itu pagi Siauw Eng ajari Kwee Ceng ilmu pedang Wat Lie Kiam di jurus ke
empat yang bernama 'Di cabang pohong menyerang lutung putih'. Untuk itu
perlu orang berlompat tinggi dan jumpalitan. Murid ini mencoba
berlompat, selama tujuh atau delapan kali, ia gagal senantiasa, percuma
gurunya ajari ia mesti begini mesti begitu. Siauw Eng menjadi sangat
berduka, hingga ia berlinang air mata, dengan lemparkan pedangnya, ia
tinggalkan muridnya.
Kwee Ceng terperanjat, ia menyusul, ia memanggil-manggil, tapi gurunya
berjalan terus. Ia menjadi masgul sekali, hingga ia berdiri menjublak.
Ia tahu semua gurunya ingin ia maju, maka itu, ia mejadi sangat
menyesal. Ia menjadi gelisah menampak guru-gurunya mulai perlihat roman
tidak puas. Ia masih berdiam tatkala dari belakang, ia dengar
teriakannya putri Gochin: “Engko Ceng, mari lekas, mari lekas!”
Kapan ini bocah menoleh, ia tampak putri itu yang duduk di atas seekor
kuda, mengasih lihat roman cemas berbareng gembira. “Ada apa?” ia tanya.
“Mari lekas lihat!” sahut putri Temuchin itu. “Banyak burung rajawali lagi bertarung!”
“Aku lagi berlatih,” Kwee Ceng beritahu.
Putri itu tertawa. “Apakah kau tidak dapat melatih dengan baik dan kembali dimarahi gurumu?” dia tanya.
Kwee Ceng jujur, ia mengangguk.
Putri itu masih tertawa. “Hebat pertarungan itu!” ia kata pula mendesak. “Mari lekas lihat!”.
“Aku tidak mau,” sahut Kwee Ceng. Ia ingat perlakuannya Siauw Eng barusan, ia berduka sekali, ia lenyap kegembiraannya.
Akhirnya si putri menjadi tidak sabaran. “Aku sendiri sampai tidak
melihat, karena aku datang untuk mengajak kau!” katanya. “Kalau tetap
kau tidak hendak pergi melihat, selanjutnya kau jangan pedulikan aku
lagi!”
“Pergi kau kembali dan melihatnya sendiri,” Kwee Ceng bilang. “Bukankah sama kalau sebentar kau menceritakannya kepadaku?”
Gochin lompat turun dari kudanya, ia kasih monyong mulutnya. “Sudahlah,
kau tidak mau pergi, aku juga tidak mau pergi…” bilangnya sambil
cemberut. “Aku tidak tahu, rajawali yang hitam yang menang atau yang
putih…”
“Apakah itu sepasang rajawali putih yang besar yang berkelahi?” Kwee Ceng tanya.
“Benar! Kawanan si hitam banyak tapi si putih lihay, sudah enam atau tujuh ekor si hitam yang mampus…”
Mendengar itu, hati Kwee Ceng tertarik juga. “Mari!” katanya, dan ia
tarik tangan si tuan putri, buat diajak naik bersama ke atas kudanya
itu, guna kabur ke kaki lembah di mana terlihat belasan ekor rajawali
hitam tengah mengurung dan menyerang rajawali putih, hingga sayap mereka
pada rontok berhamburan. Rajawali putih lebih besar dan patuknya
terlebih kuat, hebat setiap patukan dan cengkeramannya. Demikian seekor
musuhnya yang terlambat berkelit, kena disambarnya, lalu bangkainya
jatuh di depan Gochin.
Sebentar saja sudah banyak penduduk yang datang melihat pertempuran
rajawali itu, malah Temuchin yang mendengar kabar itu juga turut muncul.
Ia datang dengan mengajak Ogotai dan Tuli.
Sering Kwee Ceng, Gochin dan Tuli main-main bersama di lembah itu,
hampir setiap hari mereka tampak sepasang burung rajawali putih itu,
terhadap burung itu mereka mendapat kesan yang baik, maka itu tidak
heran kalau sekarang mereka mengharapi kemenangannya si putih hingga
mereka berteriak-teriak menganjuri si putih itu. Kata mereka itu saling
ganti: “Hayo putih, patuk padanya! Awas di kiri, ada musuh, lekas
berbalik! Bagus! Bagus! Kejar padanya! Kejar!”
Lagi dua ekor rajawali hitam jatuh mati, tetapi sepasang rajawali putih
juga telah mendapat luka, bulunya yang putih ternodai dengan darahnya
yang merah.
Seekor rajawali hitam yang tubuhnya lebih besar daripada yang lainnya,
lantas berbunyi berulang-ulang, lalu kira-kira sepuluh kawannya terbang
pergi, tinggal lagi tiga, yang masih bertempur dengan seru. Menampak
itu, semua penonton bersorak-sorai. Habis itu, tiga ekor si hitam lantas
kabur, satu si putih mengejar.
Habis pertarungan itu, orang banyak hendak bubaran, justru itu, di udara
terdengar riuh suara burung tadi, lalu tertampak belasan si hitam
terbang kembali, ke jurang, menerjang si putih yang lagi berdiri sambil
merapikan bulunya.
“Bagus!” berseru Temuchin, yang menyaksikan siasat perang si hitam.
Hebat si putih, dia melawan sebisanya, dia matikan satu musuhnya, tetapi
akhirnya ia jatuh karena luka-lukanya. Sudah begitu, kira-kira sepuluh
ekor musuhnya itu masih menyerbu terus.
Kwee Ceng bertiga, Tuli dan Gochin menjadi kaget dan cemas, malah Gochin
lantas menangis. “Ayah, lekas panah!” ia teriaki ayahnya.
Temuchin sebaliknya berkata kepada Ogotai dan Tuli: “Si rajawali hitam
menang perang, mereka itu menggunai siasat, maka ingatlah kamu!”
Dua putra itu mengangguk
Habis membunuh si putih, kawanan si hitam terbang ke arah sebelah liang
di atas jurang, dari liang itu tertampak munculnya dua kepala anak
rajawali putih yang mencoba membuat perlawanan.
“Ayah, masih kau tidak mau memanah?” tanya Gochin sambil menangis.
Temuchin tertawa, segera ia siapkan panahnya, terus ia menarik, lalu
anak panahnya nancap di badannya seekor rajawali hitam itu, yang rubuh
terbinasa dengan segera.
Riuh tempik sorak memuji Khan yang besar itu.
“Coba kau memanah!” kata Temuchin seraya menyerahkan panahnya kepada Ogotai.
Putra itu menurut, ia memanah, ia merubuhkan seekor rajawali hitam itu.
Tuli pun mencoba, dan ia juga berhasil merubuhkan seekor. Setelah itu, semua sisa burung rajawali hitam itu terbang kabur.
Panglima-panglima Temuchin lantas turut memanah, tetapi burung-burung
hitam itu sudah terbang tinggi, sulit untuk mengenai mereka. Pun burung
itu dapat menyampok anak panah.
“Siapa yang dapat memanah burung itu, ia akan mendapat hadiah!” Temuchin berseru.
Jebe si Jago Panah berdiri di samping Temuchin. Ia berniat pertontonkan
ilmu panahnya Kwee Ceng. Ia turunkan panahnya, ia dekati Kwee Ceng untuk
menyerahkan panahnya itu. “Kau berlutut! Kau panah lehernya burung
itu!” ia menyuruh dengan suara perlahan.
Kwee Ceng sambuti panah itu, ia tekuk sebelah kakinya, dengan tangan
kiri memegang busur dan tangan kanan mencekal anak panah berikut
talinya, ia lantas menarik hingga busur itu, atau tangannya menjadi
melengkung. Busur itu beratnya dua ratus kati tapi ia dapat menariknya,
karena setelah sepuluh tahun berguru kepada Kanglam Liok Koay, tenaganya
menjadi besar sekali.
Justru itu dua ekor burung rajawali hitam terbang berendeng, datangnya
dari arah kiri. Tidak tempo lagi, Kwee Ceng menarik tangan kanannya,
menarik habis hingga busur itu melengkung sepenuhnya, sembari menarik,
ia mengincar.
“Ser!” demikian anak panah menyambar, dan seekor rajawali rubuh, sia-sia
ia mencoba berkelit. Tepat ia terpanah batang lehernya. Tapi anak panah
itu tembus, terus menyambar perutnya rajawali yang kedua, yang jadi
rubuh bersama di sampingnya si tukang panah.
Menampak itu, orang banyak bersorak dengan pujiannya. Itulah yang
dibilang, sekali memanah dua ekor burung. Dan karena ini, sisa burung
yang lainnya terbang kabur, tidak lagi berputaran di atas jurang.
“Serahkan burung itu kepada ayahku!” Gochin berbisik di kupingnya Kwee Ceng.
Si anak muda menurut, ia memungut dua bangkai burung itu, ia lari kepada
Temuchin, di depan siapa ia tekuk sebuah lututnya, kedua tangannya
diangkat tinggi, untuk persembahkan burung itu.
Seumurnya Temuchin paling menyukai panglima yang gagah perkasa dan orang
kosen, sekarang ia saksikan Kwee Ceng serta sikapnya itu, ia menjadi
girang sekali.
Harus diketahui, untuk di utara ini, burung rajawali ada besar luar
biasa, kalau sepasang sayapnya direntangkan, lebar panjangnya sampai
setombak lebih, bulu sayapnya pun kuat seumpama besi, kapan ia menyambar
ke bawah, ia dapat cekuk seekor kuda kecil atau kambing besar, malah
ada kalanya harimau atau macan tutul pun mesti lari dari burung ini.
Sekarang bocah ini bisa memanah sekaligus dua ekor, itulah hebat!
Temuchin suruh pengiringnya ambil burung itu. “Anak yang baik, kau hebat!” ia kata pada si bocah.
“Inilah guruku yang mengajari,“ sahut Kwee Ceng yang tidak hendak mensia-siakan Jebe, gurunya itu.
Temuchin tertawa pula. “Gurunya Jebe, muridnya juga Jebe!” pujinya. Di
dalam bahasa Mongol, 'Jebe' itu berarti 'ahli panah yang lihay atau dewa
panah'.
Tuli hendak bantu adik angkatnya itu, ia kata kepada ayahnya, “Ayah tadi
bilang, siapa yang berhasil memanah, dia bakal dihadiahkan sesuatu.
Sekarang saudaraku ini memanah sekaligus dua ekor, ayah hendak
menghadiahkan dia apakah?”
“Apa pun boleh!” sahut ayahnya itu, yang terus tanya Kwee Ceng, “Kau menghendaki apa?”
Tuli girang sekali. “Benarkah barang apa pun boleh?” ia tegaskan ayahnya.
“Apakah aku dapat mendustai anak-anak?” ayahnya itu tertawa.
Semua orang mengawasi Kwee Ceng, sebab heran mereka atas sikapnya Khan
mereka itu. Ingin mereka mengetahui apa yang si bocah bakal minta.
“Khan yang agung telah perlakukan aku begini baik, ibuku pun telah
punyakan segala apa, karena itu tidak usahlah aku diberikan apa-apa
lagi,” berkata Kwee Ceng dengan jawabannya.
Temuchin tertawa lebar. “Kau anak yang berbakti, dalam segala hal kau
lebih dulu ingat ibumu!” katanya. “Kau sendiri, apakah yang kau
kehendaki? Kau sebutkan saja, jangan takut!”
Kwee Ceng perdengarkan suara perlahan, dengan kedua kakinya ia berlutut
di depan kudanya khan yang besar itu. Ia berkata: “Aku sendiri tidak
menghendaki apa-apa, aku hendak mewakilkan seseorang mohon suatu hal…”
“Apakah itu?” tanya Temuchin.
“Tusaga, cucunya Wang Khan itu busuk dan jahat,” ia berkata. “Kalau
Putri Gochin dinikahkan dengannya, di belakang hari mestinya tuan putri
menderita, maka itu aku mohon dengan sangat supaya janganlah tuan putri
dijodohkan dengan dia itu,” sambungnya kemudian.
Melengak Temuchin mendengar permintaan itu, lalu akhirnya ia tertawa terbahak.
“Sungguh ucapan kanak-kanak!” katanya. “Mana dapat? Baiklah, hendak aku
menghadiahkan kau serupa mustika!” Ia loloskan golok pendek di
pinggangnya, ia sodorkan itu pada si bocah.
Semua panglima menjadi kagum dan memuji, agaknya mereka sangat ketarik
hati. Golok pendek itu adalah goloknya Khan mereka sendiri, golok
mustika yang pernah dipakai membinasakan banyak musuh. Coba tidak Khan
itu telah melepas kata, tidak nanti ia serahkan goloknya itu.
Kwee Ceng menghaturkan terima kasih. Ia sambuti golok itu, yang
sarungnya terbuat dari emas dan gagang golok berukirkan emas berkepala
harimau, ditabur sepotong batu kumala hitam, di mana ada terukir pula
kata-kata: 'Golok pribadi dari Khan Temuchin'. Di sebelah itu masih ada
ukiran dua baris kata-kata, bunyinya: 'Membunuh musuh dan memusnahkan
musuh bagai menyembelih harimau dan kambing'.
Temuchin berkata, “Musuh-musuhku tak usahlah aku sendiri yang
membunuhnya. Kau anak kecil, kaulah yang mewakilkan aku membunuh
mereka!”
Belum lagi Kwee Ceng sahuti si Khan itu, mendadak Gochin menangis, terus ia lompat naik atas kudanya yang lantas kasih kabur!
Temuchin keras bagaikan berhati besi akan tetapi menyaksikan putrinya
yang paling ia sayangi itu begitu bersusah hati, hatinya menjadi lemah,
maka juga ia menghela napas. Terus ia putar kudanya, untuk pulang ke
kemahnya.
Semua panglima dan pangeran mengikuti dari jauh-jauh.
Kwee Ceng tunggu sampai orang sudah pergi semua, ia hunus golok pendek
itu dan melihat sinarnya yang tajam, yang seperti mendatangkan hawa
dingin adem. Pada golok itu berpeta tanda darah, yang menyatakan entah
berapa banyak korban yang telah dimakan. habis membuat main itu golok,
ia masuki ke dalam sarungnya. Kemudian ia cabut pedangnya sendiri, untuk
melatih Wat Lie Kiam-hoat. Ia masih tidak berhasil menyempurnakan jurus
'Di cabang pohon menyerang lutung putih'. Kalau ia tidak melompat
terlalu rendah ia tentu tak keburu menggerakkan pedangnya. Ia menahan
sabar, ia mencoba pula, ia malah makin gagal, hingga ia bermandikan
keringat. Tengah ia berlatih, ia dengar suara berkelengannya kuda, lalu
ia tampak Gochin lari mendatangi dengan kudanya.
Putri itu tiba untuk terus lompat turun dari kudanya, buat terus
rebahkan diri di atas rumput, sebelah tangannya dipakai untuk menunjang
kepalanya. Ia tidak ganggu Kwee Ceng, yang lagi berlatih, hanya ia
menontoni. Hanya ketika ia saksikan kawan itu sangat mengeluarkan
tenaga, ia berkata: “Sudah, engko Ceng, jangan berlatih terus, mari
beristirahat!”
“Kau jangan ganggu aku, aku tidak punya waktu untuk temani kau berbicara,” kata Kwee Ceng.
Gochin berdiam, lalu ia tertawa mengawasi kawannya itu. Ia menanti
sekian lama, lalu ia mengeluarkan sapu tangannya, yang kedua ujungnya ia
gumpal masing-masing sesudah mana, ia timpuki itu kepada si anak muda.
“Kau susutlah peluhmu!” katanya.
Kwee Ceng bersuara perlahan, agaknya ia terkejut, tetapi ia tatap sapu
tangan yang jatuh di sampingnya, ia sendiri terus berlatih.
Gochin terus mengawasi, sampai satu kali ia angkat kepalanya, ia dengar
suara berisik dari kedua anak burung rajawali putih di atas tebing,
menyusul mana segera terdengar suara yang keras tetapi agak hebat dari
si rajawali putih besar yang terbang datang. Dialah burung tadi, yang
mengejar kawanan burung hitam itu, yang rupanya baharu kembali. Dia
rupanya bermata tajam, ia sudah lantas ketahui kebinasaan pasangannya.
Ia lantas terbang berputaran, suaranya sedih.
Kwee Ceng berhenti berlatih, ia mengawasi burung itu.
“Engko Ceng, lihat bagaimana harus dikasihani burung itu…” berkata Gochin.
“Pasti ia sangat berduka,” sahut si engko Ceng itu.
Lagi sekali burung besar itu perdengarkan suara nyaring, terus ia terbang ke atas seprti memasuki mega.
“Mau apa ia terbang ke atas?” tanya tuan putri itu.
Belum berhenti suaranya Gochin, burung itu sudah terbang turun pula,
sangat cepat, tujuannya ke jurang, atau tahu-tahu ia telah serbu batu
gunung yang besar, maka di detik lain, ia sudah roboh dengan tidak
bernyawa lagi!
Dua-dua Kwee Ceng dan Gochin terkejut sekali. Mereka menjerit dan sama-sama mencelat. Untuk sejenak itu, keduanya jadi terdiam.
“Sungguh harus dihormati! Sungguh harus dihormati!” tiba-tiba mereka
dengar satu suara nyaring di belakang mereka, hingga mereka menjadi
heran, lekas-lekas keduanya berpaling. Mereka melihat satu tosu atau
imam, yang berkumis abu-abu tetapi mukanya merah dadu, yang tangannya
mencekal hudtim atau kebutan pertapa, yang aneh dandannya, sebab ia
telah membuat tiga konde kecil di atas kepalanya, beroman sebagai huruf
“pin”, sedang jubahnya bersih sekali, tidak ada abunya sedikit juga,
tidak biasanya untuk orang yang berada di gurun pasir. Dan ia pun
berbicara dalam bahasa Tionghoa.
Gochin tidak mengerti bahasa itu. Ia pun sudah lantas menoleh pula,
memandang ke atas tebing, dan segera ia berkata: “Bagaimana dengan kedua
anak burung itu? Bapak dan ibunya telah mati…”
Sarang di liang di atas tebing itu sukar dipanjat orang, kedua burung
itu masih kecil, belum bisa terbang, cara bagaimana mereka bisa mencari
makan? Bukankah mereka itu bakal mati kelaparan….?