Bu Tek Lojin, sekarang aku ingin tahu, mengapa kaukatakan
bahwa jahat tidak ada bedanya dengan baik?"
"Ho-ho-hah-hah, memang kau bodoh dan goblok! Semua
menusia bodoh dan tolol, termasuk aku! Semua manusia goblok itu merasa diri
pintar, termasuk aku! Apa bedanya baik dan buruk? Apa bedanya siang dan malam?
Apa bedanya ada tidak ada? Kalau tidak ada matahari, mana ada siang malam?
Kalau tidak tahu, mana bisa ada atau tidak ada? Kalau tidak menyayang diri
sendiri, mana ada buruk dan baik? Ha-ha-ha! Eh bocah, siapa namamu?"
"Aku yang muda dan bodoh bernama... Kim-mo
Taisu!" Kwee Seng sengaja memakai nama ini untuk menandingi kesombongan Si
Kakek. Ia memang telah mempunyai nama poyokan Kim-mo-eng (Pendekar Aneh Berhati
Emas), akan tetapi untuk mempergunakan nama Kim-mo-eng, berarti memperkenalkan
dirinya sendiri, padahal ia sudah merasa malu untuk menghidupkan lagi nama Kwee
Seng yang di anggap sudah mati terpendam di Neraka Bumi, maka kini ia sengaja
menamakan dirinya Kim-mo Taisu yang berarti Guru Besar Setan Emas!"
"Wah, wah, namamu hebat! Pandai kau memilih nama,
memang memilih nama bebas, boleh pakai apa saja. Dalam hal ini kita cocok, maka
aku pun memilih nama Bu Tek Lojin, huah-hah-hah! Eh. Kim-mo Taisu yang tidak
patut bernama Kim-mo Taisu karena masih muda, aku Tanya, apakah kau seorang
baik?"
Ditanya begini Kwee Seng melengak dan tak dapat menjawab.
"Ha-ha-ha, tentu saja dalam hatimu kau menjawab
bahwa kau ini seorang baik. Tidak ada di dunia ini orang yang mengaku dirinya
orang jahat. Biarpun mulutnya bilang jahat, hatinya tetap mengaku baik. Jadi,
siapakah dia yang baik? Yang baik adalah dirinya sendiri, dan orang yang
melakukan sesuatu yang menyenangkan dirinya sendiri, dianggap orang baik pula.
Siapakah dia yang dinamakan orang jahat? Yang jahat adalah orang yang melakukan
sesuatu yang tidak menyenangkan dirinya sendiri, nah, mereka ini tentu akan disebut
jahat. Baik dan jahat tidak ada, sama saja, yang ada hanya penilaian di hati
orang yang membedakan demi kesenangan diri sendiri. Yang menyenangkan diri
dianggap baik, yang tidak menyenangkan diri dianggap buruk. Ha-ha-ha-ha!
Menolong yang dianggap baik, itu bukan menolong namanya! Bukan menolong orang,
melainkan menolong diri sendiri, menyenangkan perasaan sendiri. Mengertikah
kau, Kim-mo Taisu yang goblok?"
Di dalam hatinya Kwee Seng kembali terkejut. Kakek cebol
ini kiranya bukan sembarangan orang! Betapapun juga, hatinya tidak puas. Kakek
ini sifatnya terlalu berandalan, terlalu liar dan bahkan mungkin keliarannya
dan suka menggunakan aturannya sendiri itu dapat menimbulkan bahaya bagi orang
lain.
"Bu Tek Lojin, kau boleh mengeluarkan alasan apapun
juga, boleh kau membongkar-bongkar filsafat untuk mencari kebenaran, sendiri.
Akan tetapi aku melihat sendiri betapa kau memberi sebungkus bubuk racun kepada
Puteri Mahkota Tayami dengan nasihat supaya dia memakai bubuk itu membedaki
mukanya. Apa kau mau bilang bahwa perbuatanmu ini termasuk baik? Kau hendak
membikin rusak muka yang begitu cantik bukankah itu perbuatan keji sekali?
Kalau kau masih mengaku seorang manusia, di mana perikemanusiaanmu?"
"Huah-hah-hah! Memang aku bukan manusia biasa, aku
setengah dewa! Tentang pengiriman obat itu, memang aku sengaja, dan memang
maksudku baik. Baik sekali! Kau tahu apa yang menyebabkan semua keributan itu?
Apa yang menyebabkan pemuda-pemuda tolol itu berlomba dan saling membenci? Tak
lain untuk memperebutkan hati Puteri Mahkota! Dan mengapa mereka berlomba
memperebutkan hati Puteri Mahkota? Karena dia cantik jelita! Ha-ha-ha! Karena
itu aku berusaha melenyapkan kecantikannya. Kecantikan hanya sebatas kulit
muka! Kalau obatku dapat mengupas kulit mukanya, hendak kulihat apakah para
pemuda itu akan mau memperebutkannya. Inilah namanya menghilangkan akibat
dengan membongkar sebabnya!"
"Hemm, membongkar sebab secara merusak tanpa
mengenal kasihan seperti itu, benar-benar mencerminkan hatimu yang keji. Kau
tua bangka yang benar-benar berhati iblis!"
"Uwaaaahh! Kim-mo Taisu, mulutmu lancang benar! Apa
kau mau mengajak aku berkelahi?"
"Bukan mau berkelahi, melainkan mau memberi hajaran
kepadamu!"
"Wah-wah, kau mau menghajar aku? Heh-heh-heh! Ada
ular kecil mau menghajar seekor naga. Lucu... lucu....!"
Makin mendongkol hati Kwee Seng. Benar sombong kakek ini,
tadi menyamakan dia anak ayam dan dirinya sendiri garuda, sekarang memaki dia
ular kecil dan mengangkat dirinya sendiri seekor naga!
"Biarpun naga, kalau matanya buta dan merusak
sana-sini, apa boleh buat, wajib dihajar!"
"Bagus, mari kaulayani aku beberapa jurus!"
Kakek itu berkata, lalu meloncat ke kiri dan memasang kuda-kuda yang aneh,
kedua sikunya mepet pinggang, jari-jari tangan terbuka dan miring, tubuhnya
doyong ke depan, pundaknya diangkat pula ke depan, matanya melirak-lirik,
persis gaya seekor jago aduan yang akan dipersabungkan! Melihat kakek itu tidak
bersenjata, Kwee Seng menyelipkan tulang paha kambing dan daun ke pinggangnya,
kemudian ia pun menghampiri kakek itu, memasang kuda-kuda dan diam-diam ia
mengerahkan sin-kangnya seperti yang ia pelajari di Neraka Bumi karena ia cukup
maklum bahwa betapapun aneh dan lucu sikap kakek itu, namun sudah terbukti
kemarin betapa kakek ini memiliki lwee-kang yang amat kuat serta gin-kang yang
amat tinggi. Lawan ini amat berbahaya, dan dengan cerdik Kwee Seng lalu menanti
sambil siap siaga, tidak mau menyerang lebih dulu.
Akan tetapi kakek itu juga tak kunjung datang
serangannya. Hanya kepalanya bergerak ke kanan kiri, matanya lirak-lirik
seperti ayam jago sedang menaksir-naksir kekuatan lawan, kemudian kakinya
melangkah-langkah berputar mengelilingi Kwee Seng! Tentu saja Kwee Seng juga
segera mengubah kedudukan kaki dan mengatur langkah mengikuti Si Kakek yang aneh.
Ia melihat betapa jari-jari kakek itu yang telanjang seperti kakinya sendiri,
terpentang seperti cakar ayam. Benar-benar kuda-kuda ilmu silat yang aneh
sekali. Apakah kakek ini menciptakan ilmunya berdasarkan gerakan ayam jago?
Ataukah semacam burung? Ia menaksir-naksir akan tetapi tetap waspada.
Tiba-tiba kakek itu berseru, "Awas !" dan
tubuhnya mencelat ke depan, menerjang, kedua tangannya menggampar dari kanan
kiri, kedua kakinya menendang. Biarpun kelihatan hanya sebuah terjangan kasar,
namun jari-jari kakinya serta jari-jari tangannya melakukan totokan di tujuh
bagian hiato yang berbahaya! Kwee Seng kaget sekali, tak mungkin mengelak dari
terjangan liar ini, maka cepat ia menggerakkan kakinya melangkah mundur lalu
kedua tangannya membuat gerakan membentuk lingkaran-lingkaran dan sekaligus ia
dapat menangkis dua pasang tangan kaki kakek itu.
"Dukkk!"
Tubuh Bu Tek Lojin mencelat ke belakang membuat salto dua
kali, akan tetapi kedudukan kaki Kwee Seng juga tergempur sehingga dia
terhuyung-huyung ke belakang. Kagetlah Kwee Seng. Tenaganya setelah berlatih di
Neraka Bumi, mengalami kemajuan pesat sekali. Namun kini ia ketemu batunya.
Kakek yang menerjang di tengah udara itu ternyata mampu membuatnya
terhuyung-huyung, dan kedua lengannya yang menangkis tadi seakan-akan bertemu
dengan benda yang antep dan keras.
"Heh-heh, kau boleh juga!"
Kakek itu memuji, kemudian mengulangi lagi pasangannya
seperti ayam jago, berputar-putar sehingga terpaksa Kwee Seng juga berputaran.
Kembali Bu Tak Lojin menerjang maju dan kali ini terjangannya disusul
serangkaian serangan yang ganas, memukul dan menendang bergantian, semua
mengarah jalan darah yang berbahaya. Kwee Seng berlaku cepat, tubuhnya mencelat
ke sana-sini dan ia pun membalas dengan pukulan tanpa memakai sungkan-sungkan
lagi. Maka lenyaplah bayangan kedua orang ahli silat yang mengerahkan gin-kang
ini, berkelebatan seperti petir menyambar. Berkali-kali mereka beradu tangan
dan selalu Kwee Seng terdesak mundur. Terang bahwa ia kalah kuat dalam hal
tenaga dalam, akan tetapi karena Kwee Seng memang memiliki ilmu silat yang
tinggi maka penjagaannya rapat sekali. Setelah mengalami benturan tangan
belasan kali yang membuat kedua lengannya terasa sakit-sakit, Kwee Seng segera
mengerahkan Ilmu Silat Bian-sin-kun, Kedua tangannya menjadi lunak seperti
kapas dan kapas dan tenaga kakek itu seperti amblas kalau bertemu dengan tangannya,
sehingga ia tidak mengalami rasa nyeri lagi, malah dengan ilmunya ini ia dapat
membalas serangan dengan mendadak dan cepat, membuat kakek itu berkali-kali
mengeluarkan seruan memuji dan penasaran.
Tiba-tiba kakek cebol itu mengganti dan gerakannya yang
tadinya amat cepat lincah itu, menjadi gerakan lambat. Malah kedua kakinya
seakan-akan tidak bertenaga, seperti mengambang di atas air saja. Namun
hebatnya, begitu mereka beradu lengan, Kwee Seng terlempar ke belakang
sedangkan kakek itu hanya menari-nari dengan kedua kaki seperti tidak menginjak
tanah.
Kwee Seng terkejut sekali, ia melihat kakek itu tadi
hanya membuat gerakan mendorong dengan kedua tangan, mengapa begitu beradu
tangan ia terlempar sampai tiga meter ke belakang? Seakan-akan dari kedua
tangan kakek itu mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya, padahal gerakan
kakek itu lambat dan kelihatan lemah serta kosong? Ia tidak tahu bahwa ini ilmu
ciptaan Bu Tek Lo-jin yang dinamainya Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Mengandung
Kekuatan Selaksa Kati)! Adapun ilmu ini adalah ilmu sin-kang yang mendasarkan
ilmu memanfaatkan yang kosong seperti seringkali disebut-sebut oleh Nabi Locu
dalam kitabnya To-tik-keng sehingga merupakan penggabungan ilmu silat dan ilmu
batin yang tinggi.
Karena maklum bahwa kalu ia terus melayani kakek sakti
ini dengan tangan kosong tentu ia akan kalah, Kwee Seng lalu mencabut tulang
paha kambing dan daun lebar dari ikat pinggangnya.
"Bu Tek Lojin, dengan tangan kosong aku kalah,
marilah kita gunakan senjata!"
Bu Tek Lojin bukanlah orang buta. Melihat lawannya yang
muda mengeluarkan senjata yang begitu sederhana dan aneh, ia tahu bahwa
lawannya ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali. Tadi pun
diam-diam ia sudah terheran-heran mengapa ada orang muda yang begitu lihai.
Selama hidupnya, belum pernah ia bertemu tanding yang semuda ini. Akan tetapi
memang wataknya tinggi hati, tidak memandang mata kepada lawan manapun juga,
maka ia tertawa sambil berkata,
"Gembel tengik, keluarkan saja semua kepandaianmu
untuk kulihat!"
Setelah berkata demikian kakek cebol itu langsung
menyerang lagi dan kini kembali ilmu silatnya sudah berubah, tenaganya masih
sehebat tadi namun kedua tangannya membuat gerakan yang membentuk
lingkaran-lingkaran lebar dengan tangan kirinya, sedangkan yang kanan membentuk
lingkaran-lingkaran sempit. Pukulan-pukulan dan tendangan-tendangannya datang
bergulung-gulung seperti ombak samudera menerjang habis segala yang
merintanginya. Melihat hebatnya gerakan ini, Kwee Seng segera memutar ulang
paha kambing yang ia gunakan seperti pedang, untuk melindungi tubuh, sedangkan
daun di tangan kiri mulai ia kebut-kebutkan yang juga mengeluarkan angin
pukulan yang amat dahsyat.
"Bagus, Bu Tek Lojin, kau hajar mampus bocah itu.
Kalau kau kalah, baru aku yang maju!" Suara itu terdengar dari jauh akan
tetapi nyaring dan jelas sekali, kemudian sebelum suara itu lenyap
kumandangnya, orangnya sudah berkelebat datang. Seorang raksasa tinggi besar
berkepala gundul yang segera dikenal Kwee Seng sebagai musuh lamanya, Ban-pi
Lo-cia!
Sejenak kakek cebol menghentikan serangannya,
membanting-banting kaki dan memaki,
"Kau bilang kalau aku kalah? Kuda gundul, kau lihat
saja aku menjatuhkan gembel tengik ini, kalau sudah, biar kau punya selaksa
lengan (ban-pi), pasti kedua tanganku yang hanya dua ini akan kenyang
menempilingi gundulmu sampai kau berkuik-kuik dan berkaing-kaing!" Setelah
berkata demikian, kakek cebol itu segera menyerang Kwee Seng lagi dengan
hebatnya.
Kwee Seng mencelat ke kiri sambil memutar tulang paha
kambing.
"Stop dulu, Bu Tek Lojin. Dia itu musuh lamaku,
biarkan aku membuat perhitungan dengan dia! Heh, manusia cabul, rasakan
pembalasanku atas kematian Ang-siauw-hwa...!"
Kwee Seng hendak menyerang Ban-pi Lo-cia, akan tetapi
kakek cebol itu merintangi, bahkan menyerangnya lagi sambil mengomel.
"Kau belum kalah olehku, bagaimana bisa berhenti dan
melawan orang lain?"
Karena serangan kakek cebol ini memang hebat sekali, Kwee
Seng tidak dapat memecah perhatian dan terpaksa ia melayani lagi dengan hati
mendongkol. Ia tahu bahwa percuma saja bicara dengan kakek cebol ini. Jalan
satu-satunya mengalahkan Si Cebol ini lebih dulu, baru nanti menghadapi Ban-pi
Lo-cia. Akan tetapi ini hanya rencana saja, pelaksanaannya sukar setengah mati
karena Si Cebol ini benar-benar sakti luar biasa.
Sementara itu, baru sekarang Ban-pi Lo-cia melihat tubuh
Bayisan yang menggeletak di atas tanah. Ia kaget sekali dan tidak mempedulikan
lagi mereka yang sedang bertempur. Cepat ia berlutut di dekat muridnya dan
setelah melihat muka muridnya ia mengeluarkan suara tertahan, menotok dan
mengurut sana-sini. Akhirnya Bayisan dapat bicara.
"Suhu..." ia mengeluh.
"Muridku, siapa yang melakukan ini padamu? Hayo
katakan, siapa? Akan kubeset kulit mukanya!"
Dengan suara terputus-putus Bayisan bercerita terus
terang kepada gurunya bagaimana ia tergila-gila kepada Tayami dan memasuki
kamarnya, kemudian puteri mahkota itu menggunakan bubuk beracun mengenai mukanya.
Ketika bicara agak panjang ini, Bayisan telah terlalu banyak mengerahkan
tenaganya, maka begitu habis bicara, ia jatuh pingsan lagi. Ban-pi Lo-cia
menarik napas panjang, menggeleng kepala dan berkata.
"Ahhh, banyak wanita cantik di dunia ini, mengapa kau
memilih Puteri Mahkota bangsa sendiri? Ah, tidak bisa aku menggangu Puteri
Tayami. Tayami anak Kulu-khan, mengapa engkau begini kejam? Muridku, jangan
penasaran. Aku akan menurunkan semua kepandaianku kepadamu agar kelak kau dapat
menjagoi dan menjadi orang nomor satu di Khitan!"
Setelah berkata demikian, Ban-pi Lo-cia memondong tubuh
muridnya itu dan lari meninggalkan tempat itu tanpa peduli lagi kepada dua
orang yang sedang bertanding.
"Ban-pi Lo-cia, kau hendak lari kemana?"
Kwee Seng menusukkan tulang paha dengan jurus maut
Pat-sian-toat-beng (Delapan Dewa Mencabut Nyawa) dari Ilmu Pedang Pat-sian
Kiam-hoat. Baru sekarang ia menggunakan jurus Pat-sian Kiam-hoat karena tadi
dalam menghadapi Bu Tek Lojin ia belum mau mempegunakan ilmunya ini yang telah
diperbaiki dahulu oleh Bu Kek Siansu, sekarang ia ingin sekali mengejar Ban-pi
Lo-cia, terpaksa ia menggunakan jurus ini. Kagetlah Bu Tek Lojin. Serangan ini
memang hebat sekali dan tak mungkin ditangkis atau dielakkan. Tulang itu
ujungnya tahu-tahu sudah mengancam ulu hati. Terpaksa Bu Tek Lojin menggunakan
gerakan yang sebetulnya kalau tidak terpaksa, ahli silat tinggi enggan
melakukannya, yaitu membuang diri ke belakang seperti batang pohon tumbang,
lalu bergulingan di atas tanah.
Akan tetapi Kwee Seng memang hanya ingin membuat kakek
cebol ini untuk sementara menjauhkan diri, langsung ia meloncat dengan
gin-kangnya yang hebat ke arah Ban-pi Lo-cia yang sedang melarikan diri membawa
muridnya, tulangnya menghantam ke arah lambung Ban-pi Lo-cia. Kakek gundul ini
mendengar desir angin, menangkis dengan lengan karena tahu bahwa senjata lawan
itu tidak tajam.
Dukkk!!"
Tubuh Ban-pi Lo-cia terguling! Bukan main kagetnya hati
Si Gundul, karena sama sekali tidak disangkanya Kwee Seng akan sekuat itu, jauh
lebih kuat daripada beberapa tahun yang lalu. Tulang lengannya tidak patah akan
tetapi rasa nyeri menusuk sampai ke jantung. Ia tidak berani main-main lagi dan
karena ia memang amat kuat, sekali meloncat ia telah berada jauh di depan, lalu
menggunakan ilmu lari cepatnya meninggalkan tempat itu.
Kwee Seng hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia
mendengar geraman hebat dan kakek cebol sudah menerjangnya penuh kemarahan
karena tadi dipaksa harus bergulingan sehingga pakaian dan rambut serta
jenggotnya terkena debu. Terpaksa Kwee Seng mencurahkan perhatiannya kepada
kakek cebol lagi dan karena mendongkol, kini ia segera mainkan Pat-sian
Kiam-hoat dengan tulang di tangan kanan, sedangkan daun lebar di tangan kiri ia
mainkan dengan Ilmu Silat Lo-hai-san-hoat. Kalau tiga empat tahun yang lalu
saja sepasang ilmu ini dapat membuat ia terkenal dengan sebutan Kim-mo-eng,
apalagi sekarang setelah ia memperoleh kemajuan pesat di Neraka Bumi. Hebat
bukan main permainan pedang dan kipasnya. Dalam segebrakan saja Bu-tek Lojin
sudah terdesak sampai sepuluh jurus lebih. Kwee Seng mengerahkan seluruh
kepandaian karena maklum bahwa menghadapi kakek itu, sukar baginya untuk dapat
mengalahkannya. Dalam hal tenaga sin-kang maupun keringanan tubuh, kakek cebol
ini hebat sekali.
"Eh... ohh... tahan dulu...!"
Sambil mencelat ke sana-sini menghindarkan diri dari
sambaran daun dan tulang, Bu Tek Lojin berteriak-teriak. Sebagai seorang
pendekar, tentu saja Kwee Seng menurut dan menghentikan serangannya.
"Mau bicara apa lagi. Bukankah kau yang tadi
mendesakku untuk bertanding sampai mati?" Kwee Seng menegur marah dan
mendongkol.
"Mengapa gaya permainan silatmu seperti itu? Apakah
kau murid Kek Siansu ...?"
"Bukan, akan tetapi beliau pernah memberi petunjuk
kepadaku.."
"Wah... celaka... cukuplah kita main-main."
Kakek cebol itu lalu bersuit panjang dan datanglah burung hantu melayang-layang
di atas kepalanya, kemudian ia lari meninggalkan Kwee Seng diikuti dari atas
oleh burung hantu.
Sejenak Kwee Seng terlongong heran, kemudian ia
pernasaran dan berlari pula mengejar. Ternyata ilmu lari cepat kakek itu hebat,
sukar baginya untuk dapat menyusul. Ia tahu bahwa kakek itu belum kalah, bahkan
agaknya kalau dilanjutkan dia sendirilah yang akan kalah. Akan tetapi mengapa
Bu Tek Lojin menjadi seperti orang jerih dan lari?
Bayangan kakek itu telah lenyap. Hanya tampak burung
hantu merupakan titik hitam kecil jauh di depan. Kwee Seng kehilangan semangat
untuk mengejar terus maka ia menghentikan larinya dan berjalan biasa menuju ke
depan. Ketika ia memasuki hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa,
suara ketawa Bu Tek Lojin! Ia menjadi heran dan lari lagi memasuki hutan.
Apa yang dilihatnya membuat Kwee Seng berhenti dan
menyelinap di belakang pohon. Kiranya kakek cebol itu sudah berdiri sambil
tertawa bergelak, sedangkan didepannya tampak seorang laki-laki bangsa Khitan
yang bertubuh pendek pula akan tetapi kuat, yang ia kenal sebagai seorang tokoh
Khitan yang kata orang adalah panglima tua!
Memang, laki-laki ini bukan lain adalah Kalisani yang
telah meninggalkan kota raja dengan maksud merantau ke selatan. Kebetulan
sekali di dalam hutan itu Kalisani bertemu dengan kakek cebol yang amat ia
kagumi sepak terjangnya ketika kakek itu menggegerkan pesta perlombaan Khitan.
Begitu melihat Si Kakek Cebol, tanpa ragu-ragu lagi Kalisani lalu menjatuhkan
diri berlutut sambil berkata.
"Locianpwe sudilah Locianpwe menerima teecu sebagai
murid. Apa pun yang locianpwe perintahkan, akan teecu taati dengan taruhan jiwa
raga teecu."
Inilah yang membuat Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak
sehingga terdengar tadi oleh Kwee Seng. Kakek cebol itu setelah tertawa
berkata,
"Aku akan membikin kepalamu seperti kepala Ban-pi
Lo-cia, hendak kulihat apakah kau masih nekat mau mengangkat aku sebagai
gurumu!"
Setelah berkata demikian, kakek cebol itu menggerakkan
telapak tangannya ke arah kepala Kalisani. Bekas Panglima Khitan ini terkejut
sekali ketika merasa hawa panas menyambar kepalanya. Celaka, pikirnya, mati aku
sekali ini! Akan tetapi karena ia telah terlanjur berjanji akan patuh menurut,
ia meramkan matanya dan menguatkan hatinya, kalau perlu mati, apa boleh buat!
Kwee Seng yang mengintai juga kaget sekali. Telapak
tangan kakek cebol itu bukannya memukul, melainkan mengusap kepala Kalisani dan
ketika ia mengangkat kembali tangannya, semua rambut bagian atas kepala
Kalisani rontok semua sehingga kepala itu menjadi gundul kelimis bagian
atasnya, botak tidak kepalang! Diam-diam Kwee Seng memaki atas kekejaman kakek
cebol itu.
Kalisani meringis, kulit kepalanya terasa panas dan
sakit, akan tetapi tidak tembus sampai menembus ke dalam, hanya terasa seperti
dibakar. Melihat rambutnya rontok semua, ia kaget dan makin teguh hatinya untuk
belajar ilmu kepada kakek yang amat sakti ini. Ia segera mengangguk-angguk
sampai jidatnya membentur tanah sambil berkata,
"Jangan lagi begini, biar nyawa teecu kalau memang
Suhu membutuhkan, teecu serahkan!"
Bu Tek Lojin tercengang menyaksikan kebulatan tekad hati
orang. Ia mengelus-elus jenggotnya dan menarik napas panjang.
"Kau boleh juga. Bukankah kau panglima Khitan,
mengapa kau mengikuti aku dan hendak menjadi murid?"
"Sekarang teecu bukanlah prajurit Khitan lagi, teecu
sudah meninggalkan kerajaan karena jemu menyaksikan perebutan kekuasaan dan
melihat betapa Khitan akan menjadi tidak beres. Karena amat kagum akan
kesaktian suhu, maka teecu hanya mempunyai satu niat di hati, yaitu menjadi
murid suhu."
"Hah-hah-hah, selamanya aku tidak menerima murid.
Akan tetapi, hemmm, dia sudah menurunkan kepandaian kepada gembel tengik,
mengapa aku tidak? Eh, Botak, baiklah kau menjadi muridku. Nah, hayo kau
gendong aku dan jangan berhenti sebelum kuminta, biarpun kedua kakimu akan
patah-patah!"
Bukan main girangnya hati Kalisani. Setelah memberi
hormat berlutut dan mengangguk sampai delapan kali, ia menggendong kakek cebol
itu dan lari congklang seperti kuda. Si Kakek Cebol tertawa bergelak-gelak lalu
berkata,
"Hayo kau pun tertawa yang keras! Menjadi muridku
harus gembira selalu, kalau tidak kau akan kubunuh!" Dan terdengarlah
suara Kalisani tertawa pula, terkekeh-kekeh menyaingi suara ketawa gurunya!
Kalau ada orang melihat mereka, tentu orang itu akan lari terbirit-birit atau
berdiri terlongong keheranan karena keadaan mereka itu hanya akan menimbulkan
dua macam dugaan, pertama, mereka adalah dua iblis neraka atau yang kedua,
mereka adalah sepasang orang gila yang liar. Yang menggendong seorang berkepala
botak dan tertawa terkekeh-kekeh, yang digendong seorang kakek cebol tertawa
bergelak-gelak sepanjang jalan. Dan di atas mereka, terbanglah si Burung Hantu
sambil mengeluarkan suara seperti tertawa pula, hanya saja suara itu akan
membuat orang menggigil serem di waktu malam!
Kwee Seng keluar dari balik pohon, menggeleng-geleng
kepala dan menarik napas panjang. Aneh-aneh di dunia ini, memang! Kemudian ia
lalu melanjutkan perjalanan meninggalkan Khitan. Urusannya di Khitan sudah
selesai. Bayisan telah terhukum, sungguhpun bukan langsung dari tangannya,
adapun Ban-pi Lo-cia, biarlah lain kali kalau ada kesempatan berjumpa, akan ia
tantang untuk membereskan perhitungan, karena betapapun juga, matinya
Ang-siauw-hwa karena perbuatan keji Ban-pi Lo-cia, tak dapat terhapus begitu
saja dari ingatannya.
Dalam perantauannya ini yang menjelajah belasan propinsi
dan puluhan kota ratusan desa, tiada hentinya Kwee Seng mengulurkan tangan
melakukan darma baktinya sebagai seorang berilmu. Tak terhitung lagi jumlahnya
penjahat yang mengenal betapa keras dan ampuhnya telapak tangan kanannya, dan
sebaliknya entah berapa banyaknya orang-orang tertindas mengenal betapa lunak
halus dan terbukanya telapak tangan kirinya! Di mana-mana Kwee Seng melakukan
perbuatan gagah perkasa dan kini masih saja ia sembunyi, tak suka menonjolkan
namanya, dan hanya beberapa kali karena terpaksa ia memperkenalkan namanya
sebagai Kim-mo Taisu. Namun tak seorang pun dapat menduga bahwa orang yang
berpakaian compang-camping penuh tambalan, yang rambutnya riap-riapan dan
tertawa-tawa di sepanjang jalan, orang gila ini sebenarnya adalah Kim-mo Taisu
Si Pendekar Budiman!
***
Ada juga rasa sesal di hati Lui Sian ketika ia
meninggalkan rumah, namun rasa ini ia buang jauh-jauh dengan bayangan yang
menyenangkan. Betapa pun ia akan bertualang sesuka hatinya. Pergi ke mana pun
ia suka. Agak berat hatinya kalau ia teringat kepada Bu Song. Namun, bantah
hatinya, Bu Song sudah besar, dan di sana ada ayahnya. Tentu anak itu takkan
terlantar. Pula, ia memang hendak mempertinggi ilmunya untuk kelak diwariskan
kepada Bu Song. Puteranya harus menjadi ahli silat nomor satu di dunia ini!
Lu Sian pergi menuju rumah ayahnya di Nan-cao. Ia harus
memberitahukan ayahnya tentang perceraiannya dengan Kam Si Ek. Kalau tidak
diberitahu dan ayahnya itu datang menjenguknya di rumah Kam Si Ek, tentu
ayahnya akan mendapat malu. Selain ini, untuk mempertinggi ilmunya ia harus
minta bantuan ayahnya. Ia maklum betapa ayahnya amat kikir dalam hal menurunkan
kepandaiannya. Ketika ayahnya bertanding melawan Kwee Seng, ayahnya dapat
mengimbangi kelihaian pendekar itu, sedangkan dia sama sekali tidak berdaya
menghadapi Kwee Seng. Kalau ayahnya masih bersikap kikir, ia tahu di mana
ayahnya menyimpan kitab-kitab itu, kalau perlu dicurinya.
Ia tidak tergesa-gesa dalam perjalanannya yang amat jauh
itu, karena ia hendak menikmati "kebebasannya". Bukan main gembira
hatinya ketika ia melihat betapa semua mata, terutama laki-laki, di sepanjang
perjalanan menelannya dengan lahap. Teringat ia akan keadaannya dahulu sebelum
menjadi isteri Kam Si Ek, di mana semua laki-laki memuja dan memperebutkan
cintanya. Alangkah senangnya dalam keadaan seperti itu. Ia merasa dirinya
terangkat tinggi sekali, merasa amat berharga, tidak seperti kalau berada di
rumah Kam Si Ek di mana ia hanya terikat oleh kewajiban melayani suaminya
seorang dan merawat anaknya.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian mulailah Lu Sian
merasa kesepian. Mulai ia merasa rindu akan belaian dan cumbu rayu, akan kasih
sayang seorang pria. Ia merasa rindu sekali kepada Kam Si Ek, suaminya yang
selalu memperlihatkan kasih sayang mesra terhadap dirinya.
Pada pagi hari itu, Lu Sian duduk termenung di dalam
rumah makan. Semalam ia sama sekali tidak tidur dalam rumah penginapan tak jauh
dari rumah makan itu. Gelisah semalam suntuk ia bergulingan di atas
pembaringan, hatinya penuh rindu kepada suami yang telah ia tinggalkan. Ia
malah sampai menangis penuh penyesalan mengapa ia tinggalkan suami dan anaknya.
Akan tetapi hatinya yang keras melarangnya untuk kembali, karena ia maklum
bahwa di rumah suaminya, segala akan berubah lagi menjadi hambar, sehari-hari
hanya berkeliaran di dalam rumah tak pernah dapat menikmati alam bebas.
Hanya semangkok bubur dan daging asin dapat memasuki
perutnya. Sehabis makan ia termenung, tak merasa betapa tiga pasang mata
pelayan melahap kecantikannya. Rumah makan itu masih kosong, belum ada tamu
sepagi itu.
"Bung pelayan, beri aku dua mangkok bubur panas dan
arak panas dan arak hangat!" tiba-tiba suara ini menyadarkan Lu Sian dari
lamunannya. Ia melirik ke kanan dan tampak olehnya seorang laki-laki sudah
duduk di depan meja sebelah kanannya, dekat pintu rumah makan. Karena tenggelam
dalam lamunannya, ia sampai tidak tahu bahwa ada tamu memasuki rumah makan itu.
Pelayan cepat melayani tamu baru ini dan laki-laki itu makan dengan lahapnya,
kelihatannya lapar sekali.
Dari sudut matanya, Lu Sian melihat bahwa laki-laki itu
berusia tiga puluh lebih, sikapnya tenang dan wajahnya tampan gagah, akan
tetapi seperti diliputi awan kedukaan dan kekuatiran. Tubuh laki-laki itu tegap
dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya lapuk, akan tetapi
gagangnya yang licin karena sering dipergunakan itu berukirkan kepala burung
dewata, Lu Sian dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah seorang yang pandai
ilmu silat, akan tetapi seperti biasa, ia memandang rendah karena selama
perjalanan, terlalu banyak ia melihat laki-laki berpedang namun yang tingkat
kepandaiannya hanya begitu-begitu saja. Hanya wajah orang itu agak menarik perhatiannya,
wajah yang benar-benar gagah, dagunya membayangkan kekerasan hati, wajah yang
memiliki kegagahan seperti wajah Kam Si Ek, suaminya.
Pada saat itu terdengar suara nyanyian yang parau dan
serak, datangnya dari jalan besar, diselingi suara berketuknya tongkat di atas
tanah berbatu. Lapat-lapat terdengar kata-kata dalam nyanyian bersama dari
beberapa orang itu, membuat Lu Sian terkejut dan cepat memandang ke luar.
Beratap langit berlantai bumi
Disanalah tempat tinggal kami
Kami tidak punya apa-apa
Makan pakaian kami tinggal minta!
Kekagetan Lu Sian ada sebabnya. Pernah ia mendengar
nyanyian sederhana ini dari mulut ayahnya yang memuji nyanyian itu sebagai
syair yang baik dan berisi dari Perkumpulan Pengemis Hati Kosong (Khong-sim
Kai-pang). Menurut penuturan ayahnya, diantara perkumpulan-perkumpulan pengemis
yang besar-besar, yang paling terkenal dan amat banyak anggotanya, adalah
Khong-sim Kai-pang itulah. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi dan biarpun hanya perkumpulan pengemis, namun sesungguhnya merupakan
orang-orang yang menjadi penganut agama gabungan Buddha dan Locu. Karena
filsafat Locu, maka mereka namakan diri Pengemis Hati Kosong, dan karena
pengaruh ajaran Budhha, maka mereka mengemis ke sana ke mari, hidup sederhana
sekali!
Lu Sian masih teringat beberapa tahun yang lalu ayahnya
menyatakan bahwa ketua perkumpulan Pengemis Hati Kosong ini adalah Yu Jin
Tianglo, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, ahli bermain toya dan
tongkat. Biarpun tidak secara resmi, namun pada umumnya para perkumpulan
pengemis lain di beberapa propinsi mengakui Khong-sim Kai-pang sebagai partai
induk dan semua peraturan mengenai "dunia pengemis" bersumber kepada
perkumpulan Pengemis Hati Kosong inilah. Kiranya hanya perkumpulan pengemis
Ban-hwa-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga) di pantai timur sajalah
yang dapat menandingi kebesaran nama Khong-sim Kai-pang.
Pada saat Lu Sian termenung mengingat cerita ayahnya,
suara nyanyian mereka sudah berhenti, tinggal suara ketukan tongkat di atas
batu-batu jalan saja yang terdengar, makin lama makin dekat. Ketika Lu Sian
melirik ke arah laki-laki gagah di dekat pintu, orang itu juga menggeser
kursinya menghadap pintu, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu,
tetap tenang dengan awan kedukaan menyelimutinya. Orang itu masih tetap makan
buburnya dengan sumpit, sebentar-sebentar diseling minum araknya. Karena
penggeseran kursi itu, maka kini Lu Sian duduknya berhadapan dengan laki-laki
itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa laki-laki itu tampan dan gagah, amat
menarik hati.
Muncullah kini rombongan penyanyi itu di depan pintu.
Mereka terdiri dari tiga orang pengemis, pakaian mereka bermacam-macam akan
tetapi kesemuanya sudah rombeng, penuh tambalan, bahkan ada seorang di antara mereka
yang kaki celana sebelah kiri buntung sampai di atas lutut. Ada pula yang kaki
kanannya telanjang sedangkan kaki kiri bersepatu baru. Orang ke tiga masih
muda, biarpun pakaiannya tambal-tambalan dan robek-robek, namun kainnya bersih
sekali dan jelas tampak pengemis muda ini "pasang aksi" ketika
matanya memandang Lu Sian.
Tiga orang pengemis ini kelihatan tercengang kaget ketika
melihat laki-laki tadi, dan segera mereka maju ke depan, mata mereka tiba-tiba
mengandung sinar kemarahan, akan tetapi mulut mereka masih senyum-senyum. Hanya
Si Pengemis Muda saja yang kadang-kadang melirik tajam ke arah Lu Sian, agaknya
perhatiannya terhadap laki-laki tadi amat terganggu oleh hadirnya Lu Sian yang
membetot semangatnya. Pengemis yang bersepatu sebelah itu mengetuk-ngetukkan
tongkat berirama, lalu membuka mulutnya bernyanyi, suaranya parau dan dalam
seperti suara seekor katak besar.
"Tamu tak diundang datang kemari
apakah hendak menyerahkan diri?"
Laki-laki gagah itu menghabiskan buburnya, lalu berteriak
memanggil pelayan dengan suara tenang,
"Heii, Pelayan. Tolong tambah bubur setengah mangkok
lagi." Pelayan segera datang, akan tetapi ketika melirik keluar pintu ia
menjadi marah. Setelah mengisi mangkok kosong dengan bubur dan menghidangkannya
ke meja Si Laki-laki gagah, pelayan itu lalu mendamprat ke luar pintu.
"Eh, kalian ini bagaimana berani tak tahu aturan
begini? Ada tamu sedang dahar, jangan diganggu! Nanti sore saja datang kalau
hendak minta sisa..."
Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya ketika melihat
betapa pengemis termuda telah mengambil batu dan meremasnya hancur seperti
orang meremas tepung saja! Pelayan itu mengenal gelagat, tahu bahwa tiga orang
pengemis itu bukan pengemis biasa, maka mukanya menjadi pucat ketika ia menoleh
ke arah tamunya yang enak-enak makan kemudian cepat-cepat ia pergi menjauhi.
Pengemis muda itu dengan lagak sombong membuang hancuran batu ke atas tanah,
matanya melirik ke arah Lu Sian mengharapkan pujian. Akan tetapi gadis ini
melirik pun tidak, melainkan terus memperhatikan Si Laki-laki Gagah, dan di
dalam hatinya siap untuk membantu kalu laki-laki itu menghadapi bahaya.
Tanpa mempedulikan teguran pimpinan tadi, pengemis ke dua
yang kaki celananya panjang sebelah, menyambung nyanyiannya.
"Menyerahkan diri membayar hutang
Baru si Kecil diantar pulang!"
Pengemis muda segera menyambung nyanyian ini, suaranya
dibuat-buat dan memang suaranya merdu, matanya melirik Lu Sian dan bibirnya
tersenyum-senyum.
"Diantar pulang ke rumah siapa?
Apakah si Manis ada yang punya?"
Mendengar nyanyian terakhir ini, tiba-tiba lelaki itu
menoleh ke arah Lu Sian dan dalam beberapa detik dua pasang mata bertemu. Muka
lelaki itu menjadi merah, sinar matanya tampak terpesona lalu bingung. Namun
jelas bahwa dengan kekerasan hati laki-laki itu dapat menyadarkan kembali
kebingungannya karena terpesona oleh kecantikan wajah Lu Sian yang sejak tadi
tidak dilihatnya. Ia memaksa mukanya kembali menunduk dan tenang-tenang saja
makan buburnya dengan sumpit.
Juga hati Lu Sian berdebar aneh, ketika mereka bertemu
pandang tadi. Melihat pandang mata orang itu, ia seperti dapat menjeguk isi
hatinya! Jelas sekali laki-laki itu kagum kepadanya. Biasanya, semua laki-laki
yang memandangnya tentu kagum dan jatuh hati, akan tetapi hal itu malah membuat
Lu Sian kadang-kadang tersenyum mengejek di samping kebanggaannya. Sekali ini
tidak. Ia merasa girang sekali!
Tiga orang pengemis itu jelas menujukan nyanyian mereka
kepada orang itu, kecuali pengemis muda yang menyelewengkan nyanyian ke arah Lu
Sian. Kini melihat orang itu sama sekali tidak peduli mereka menjadi marah. Si
Pengemis Muda menggerakkan tangannya dan menyambarlah sinar kehitaman ke arah
leher laki-laki yang berpedang itu.
Lu Sian diam-diam kaget sekali, tahu bahwa itu adalah
senjata rahasia, yang biarpun tidak terlalu hebat namun cukup berbahaya kalau
Si Laki-laki tidak dapat menghindarkan diri. Akan tetapi hatinya lega dan kagum
ketika melihat laki-laki itu mengangkat sumpitnya dan... paku hitam yang menyambar
lehernya telah terjepit di antara sepasang sumpit! Kemudian tangan yang
memegang sumpit bergerak, paku hitam menyambar dengan kecepatan beberapa kali
lipat daripada tadi ke arah Si Penyerang.
"Auuuhhh...!" Pengemis muda yang aksi itu
meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil mengaduh-aduh dan memegangi kaki
kirinya yang diangka-angkat. Paku tadi, pakunya sendiri yang biasanya ia
sombongkan sehingga ia memakai julukan Tou-hiat-teng (Si Paku Penembus Jalan
Darah), kini telah menancap di paha kirinya sampai tidak kelihatan lagi
kepalanya!
Dua orang pengemis melihat ini menjadi marah sekali. Si
Celana Panjang Sebelah menerjang dengan tongkatnya yang ditusukkan ke arah muka
sedangkan pengemis sepatu tunggal itu mencabut golok lalu membacok ke arah
leher. Namun orang itu masih enak-enak makan buburnya yang belum habis,
membiarkan dua senjata itu menyambar sampai dekat sekali. Kali ini Lu Sian
benar-benar kaget. Sungguh berbahaya sekali ketenangan yang berlebih-lebihan
itu, pikirnya. Cepat tangannya menyambar sumpit yang tadi ia pakai makan,
sekali tangannya bergerak sepasang sumpit itu meluncur ke depan seperti anak
panah melesat dari busurnya.
"Tranggg! Aduhhh! Aduhhh...!" Peristiwa yang
menjadi beberapa detik mengherankan sekali. Secara tiba-tiba, laki-laki yang
dijadikan sasaran tongkat dan golok itu lenyap dari atas kursinya sehingga
golok dan tongkat saling bertemu di udara, kemudian dalam detik selanjutnya,
tangan dua orang pengemis yang memegang senjata itu telah tertusuk sumpit,
tembus di telapak tangan sehingga senjata mereka terlepas dari pegangan, mereka
berteriak-teriak kesakitan sambil menggunakan tangan kiri memijit-mijit tangan
kanan.
"Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Meloncat) yang
bagus!"
"Sambitan yang luar biasa!" Pujian yang keluar
dari mulut Lu Sian dan orang itu keluar dalam waktu bersamaan, mereka saling
pandang pula. Hanya beberapa detik, pandang mata penuh kagum dan "ada
rasa"! akan tetapi laki-laki itu segera melangkah keluar menghadapi tiga
orang pengemis yang masih mengaduh-aduh, lalu berkata dengan suara lantang
berwibawa.
"Aku Tan Hui adalah laki-laki tidak suka berlaku
pengecut! Setahun yang lalu urusanku dengan Kong-sim Kai-pang sudah kubereskan
dengan Yu Jin Tianglo, kami berdua saling menghargai dan bersahabat. Kenapa
sekarang tanpa alasan Kong-sim Kai-pang mengganggu anak kecil? Kalu ada urusan
silahkan Yu Jin Tianglo menemui aku, mengapa mengutus segala macam anjing kecil
macam kalian? Hayo katakana kepada Yu Jin Tianglo bahwa aku Tan Hui ingin
bicara dengan dia sendiri. Pergilah!"
Dengan tangan kanannya laki-laki yang bernama Tan Hui itu
mendorong. Hawa dorongan ini menimbulkan angin dan tiga orang pengemis yang
sudah terluka itu roboh terguling! Mereka merangkak bangun, meringis kesakitan,
lalu yang sebelah kakinya telanjang memandang dengan mata melotot kepada Lu
Sian.
"Nona, kau siapakah dan mengapa mencampuri urusan
kami? Apa hubunganmu dengan Hui-kiam-eng Tan Hui?"
Lu Sian tersenyum, manis sekali senyumnya sehingga
pengemis muda yang pahanya terluka itu untuk sejenak melupakan rasa nyerinya.
"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan orang ini,
adapun namaku Lu Sian. Karena jemu menyaksikan sikap tengik kalian, maka aku
menjadi muak. Masih untung sumpitku tidak kutujukan kepada kepala kalian!"
Tiga orang pengemis itu memandang dengan mata melotot,
kemudian mereka membalikkan tubuh dan sambil menuntun pengemis muda yang
terpincang-pincang mereka meninggalkan tempat itu.
Lu Sian tadi kaget juga mendengar laki-laki itu
memperkenalkan namanya. Tentu saja ia sudah mendengar akan Hui-kiam-eng
(Pendekar Pedang Terbang) yang amat terkenal di daerah timur ini, seorang yang
kabarnya amat lihai ilmu pedangnya dan terutama sekali gin-kang yang
dimilikinya tak pernah menemui tanding. Tadi ia sudah menyaksikan gerakan yang
biasa saja, namun dilakukan oleh Tan Hui dengan hebat luar biasa. Dia sendiri
tak mungkin dapat melakukan gerakan ini secepat itu.
Di lain pihak, Tan Hui mengingat-ingat dan ia tak pernah
mendengar nama seorang pendekar wanita bernama Sian dengan nama keturunan Lu.
Akan tetapi sambitan sumpit tadi jelas membuktikan bahwa wanita cantik jelita
seperti bidadari di hadapannya ini adalah seorang ahli silat yang berilmu
tinggi. Ketika ia memandang wajah yang tersenyum itu, sepasang mata yang
bagaikan bintang begitu bercahaya, bening dan berbentuk indah sekali, hidung
mancung dan bibir merah basah, rambut sinona yang terurai di kening, benar-benar
membuatnya terpesona dan dengan gagap ia berkata sambil mengangkat kedua tangan
di depan dada.
"Nona, banyak terima kasih atas bantuanmu
tadi."
Lu Sian tersenyum, tampaklah deretan gigi yang laksana
mutiara, kemudian bibirnya bergerak-gerak ketika bicara, matanya
bersinar-sinar.
"Ah, itu bukanlah bantuan namanya dan tidak ada
artinya. Kita mempunyai perasaan yang sama, bukan? Sama-sama sebal menyaksikan
tiga orang gembel tadi..."
Hening sejenak, dan tiba-tiba Lu Sian menahan tawanya
melihat betapa orang itu memandangnya dengan melongo, jelas terpesona dan
seperti lupa keadaan.
"Eh, Tan-enghiong, kau kenapa....?" Tegurnya,
tersenyum manis.
Tan Hui gelagapan. Selama hidupnya belum pernah ia
menyaksikan wanita begini cantik jelita, yang bibirnya bergerak-gerak dan
matanya bersinar-sinar.
"Eh... oh... kau... kau hebat sekali..."
Kembali Lu Sian tersenyum lebar dan untuk sesaat mereka
hanya berdiri saling pandang dengan kaku. Akhirnya Lu Sian berkata,
"Apakah kita akan terus bicara sambil berdiri saja?"
Kembali Tan Hui baru sadar akan keadaan yang serba
canggung itu, maka ia menjadi malu, merah sekali mukanya ketika ia berkata.
"Ah..., silakan, Nona. Mari silakan duduk."
Mereka duduk semeja, saling berhadapan.
"Sudah lama aku mendengar tentang Khong-sim
Kai-pang. Kabarnya perkumpulan pengemis itu terkenal sebagai perkumpulan
baik-baik, diketuai oleh Yu Jin Tianglo yang lihai dan terkenal sebagai tokoh
baik-baik. Mengapa kau di musuhi mereka?"
Tan Hui menarik napas panjang dan kembali wajahnya yang
sejenak tadi kehilangan bayangan duka, kini menjadi keruh kembali.
"Panjang ceritanya, nona. Akan tetapi aku yakin
bahwa kita segolongan, maka tidak ada salahnya kalau aku ceritakan hal ini
kepadamu. Eh, Pelayan, tolong kauantarkan seguci arak dan daging sekati."
Pelayan menghampiri mereka. Pelayan ini tersenyum-senyum
dan terbongkok-bongkok penuh hormat.
"Maaf, Taihiap. Kami tidak tahu bahwa Tuan adalah
Tan-taihiap yang terkenal budiman. Dasar pengemis-pengemis itu tidak tahu diri,
berani main gila terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui Taihiap!"
"Sudahlah tolong kau sediakan pesananku."
Pelayan itu tersenyum-senyum ramah, lalu berlari pergi untuk mempersiapkan
pesanan itu. Adapun pelayan lain melihat rumah itu masih belum banyak tamu,
menggunakan kesempatan menganggur ini lari ke luar rumah makan untuk membual
tentang kehadiran pendekar budiman Hui-kiam-eng Tan Hui di tempat kerjanya!
"Aku mempunyai banyak musuh, semua karena salahku.
Aku terlalu lancang tangan dan suka mencampuri urusan lain orang. Tak tahan aku
melihat orang ditindas atau kejahatan berlalu saja tanpa orang
membenciku...."
"Sudah selayaknya orang gagah dibenci orang
jahat." Lu Sian berkata menghibur, karena ia anggap hal seperti itu bukanlah
hal yang patut disusahkan. Orang ini gagah sekali dan sikap nya jantan, amat
menarik hati. Akan tetapi wajahnya selalu membayangkan kerisauan hati.
"Cocok! Memang begitulah pendirianku pula, Nona.
Karena itulah maka aku tak pernah berhenti dengan tugasku, selalu kubela
kebenaran dan kutegakkan keadilan, kalau perlu kugunakan kekerasan untuk
menghantam mereka yang sewenang-wenang. Dan ini pula sebabnya mengapa aku
mempunyai urusan dengan Khong-sim Kai-pang. Lima orang angguta Khong-sim
Kai-pang melakukan penyelewengan setahun yang lalu di kota Tong-an. Mereka
minta derma secara paksa, tidak itu saja, malah seorang di antara mereka telah
menculik puteri seorang hartawan dan memperkosanya. Aku kebetulan lewat di kota
itu, lalu turun tangan memberi hajaran kepada mereka dan malah membunuh Si
Penculik."
"Kenapa tidak dibunuh semua saja?" Lu Sian
memotong. Tan Hui menghela napas.
"Kalau kubunuh semua, kiranya tidak akan muncul
akibat begini panjang. Akan tetapi mengingat bahwa selamanya Khong-sim Kai-pang
terkenal baik, apalagi aku memandang muka ketuanya, maka kuampunkan mereka dan
hanya membunuh seorang yang paling jahat. Aku sangka urusan hanya berhenti
sampai di situ. Tidak tahunya, ketika kau melakukan perjalanan, aku dihadang
dan dikeroyok tiga puluh orang Khong-sim Kai-pang yang memendam atas kematian
seorang temannya. Terjadi pertempuran dan biarpun aku merobohkan dan melukai
banyak di antara mereka, namun aku menjaga sehingga tidak seorang pun tewas.
Aku lalu pergi langsung mencari Yu Jin Tianglo, menceritakan semua urusan itu.
Yu Jin Tianglo marah sekali kepada anak buahnya, malah menghukum mereka dengan
penurunan tingkat. Urusan itu sudah beres sampai... setengah bulan yang
lalu..." Sampai di sini Tan Hui berhenti dan wajahnya memperlihatkan kemuraman.
"Lalu mereka mengganggumu? Kalau hanya
pengemis-pengemis itu saja, buat apa takut? Biar mereka datang mencari mati. Yu
Jin Tianglo kalau membela anak buahnya yang mencari perkara, dia pun tidak
benar dan perlu diberi hajaran!"
Tan Hui tercengang keheranan menyaksikan Lu Sian bicara
penuh semangat dan marah-marah. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denga Lu
Sian, mengapa gadis ini menjadi begitu marah?
"Sungguh tidak enak terhadap Yu Jin Tianglo..."
"Tidak enak bagaimana? Anak buahnya yang tak tahu aturan
yang mencari-cari perkara! Apakah kau takut menghadapi orang tua itu?
Tan-enghiong, jangan kuatir, aku akan membantumu. Aku tidak takut menghadapi
orang tua itu kalau ia banyak bertingkah membantu anak buahnya yang tidak
benar!"
Tan Hui tentu saja tidak mengenal watak Lu Sian maka ia
makin terheran-heran. Memang watak Lu Sian amat ganas menghadapi orang-orang
yang ia anggap memusuhinya atau memusuhi orang yang disukainya. Dan Tan Hui
otomatis telah menarik perhatiannya dan menimbulkan rasa sukanya!
"Terima kasih atas perhatian Nona terhadap
perkaraku."
"Ah, kita sudah menjadi sahabat. Bukankah kau
katakan tadi bahwa kita orang segolongan? Tak perlu sungkan-sungkan lagi."
Jawab Lu Sian.
Tan Hui duduk kembali dan menarik napas panjang, lalu
menghirup araknya.
"Persoalannya tidaklah begitu sederhana. Kalau hanya
para anggota Khong-sim Kai-pang yang masih penasaran, hal itu tidaklah
menguatirkan. Akan tetapi dua pekan yang lalu... aku hidup sebatang kara,
mengapa mereka mengganggu anakku? Mereka menculik anakku yang baru berusia lima
tahun..."
"Tan-enghiong! Kau bilang hidup sebatang kara...
tapi kau... mempunyai anak?"
"Memang aku sebatang kara... semenjak isteriku
meninggal dua tahun yang lalu. Aku seorang duda dengan seorang anak yang
kutitipkan kepada pamannya. Itu pula sebabnya orang-orang jahat itu dapat
menculik puteriku. Kalau dia berada bersamaku, tak mungkin mereka dapat
melakukannya! Ah, aku menyesal sekali mengapa aku suka merantau seorang diri
dan menitipkan kepada kakak isteriku. Pada suatu malam, serombongan anggota
Khong-sim kai-pang mendatangi rumah itu dan menggunakan kekerasan menculik
pergi anakku. Iparku tidak dapat berbuat apa-apa dan mereka meninggalkan pesan
bahwa kalau aku menghendaki anakku selamat, aku harus menyerahkan diri kepada
mereka!"
"Ah... begitukah? Jahanam benar mereka! Di manakah
adanya Yu Jin Tianglo sekarang? Dia seoranglah yang harus bertanggungjawab
menghadapi semua ini. Minta anak itu dari tangannya, kalau tidak diberikan,
berarti dia menantang!"
"Markas Khong-sim Kai-pang berada di kota Kang-hu,
hanya dua puluh li dari sini jauhnya. Adapun Yu Jin Tianglo biasanya berdiam
dalam sebuah kuil tua di luar kota itu. Karena itu pula aku hari ini sampai di
sini, siapa tahu, agaknya Yu Jin Tianglo sudah menyuruh anak buahnya sengaja
datang untuk menentang!"
"Tak usah takut! Kita serbu saja ke sana. Mari kita
ke sana, aku akan membantumu, Tan-enghiong!"
"Nona Lu..., bukan aku tidak menghargai penawaranmu
yang amat berharga itu. Akan tetapi... urusan ini mengenai pribadiku sendiri,
sedangkan Yu Jin Tianglo amat lihai, belum lagi anak buahnya yang
banyak..."
"Aku tidak perduli!"
"Aku percaya, Nona. Kepandaianmu tinggi. Akan
tetapi... aku seorang duda yang mencari anaknya, sedangkan kau... kau seorang
Nona terhormat, seorang gadis muda yang baru saja kujumpai. Kalau orang luar
melihat, tentu... ah, kiranya amat tidak baik untuk namamu kelak...."
Tiba-tiba Lu Sian serentak bangun berdiri, alisnya
berkerut matanya berkilat.
"Apa peduliku akan pendapat orang luar! Aku suka
membantumu, siapa melarangmu? Tentang kau seorang duda, apa salahnya? Aku pun
seorang... janda! Kita maju bersama untuk menghadapi Khong-sim Kai-pang,
seorang duda dan seorang janda mana yang lebih cocok lagi?"
Tan Hui tertegun dan diam-diam berdebar hatinya. Belum
pernah selama hidupnya ia bertemu dengan wanita begini cantik jelita, begini
berani dan terbuka, kata-kata yang keluar dari mulutnya mencerminkan isi
hatinya, tinggi ilmu silatnya. Seorang janda pula!
Pada saat itu terdengar bentakan dari luar rumah makan.
"Orang she Tan! Keluarlah dan lekas berlutut untuk
kami tangkap dan hadapkan kepada ketua kami!"
"Hemm, mereka benar-benar amat tak sabar. Heran aku
mengapa Khong-sim Kai-pang dalam waktu setahun telah begini berubah!"
"Kaulihat saja bagaimana aku menghajar mereka!"
Sekali menggerakkan kakinya Lu Sian sudah meloncat keluar menghadapi dua orang
pengemis tua yang berdiri di depan rumah makan. Akan tetapi Lu Sian mendengar
desir angin dan tahu-tahu Tan Hui sudah pula berada di sampingnya. Kembali ia
kagum bukan main dan harus ia akui bahwa nama besar Hui-kiam-eng sebagai jago
gin-kang nomor satu benar-benar bukanlah omong kosong belaka. Ia tadi sudah
sengaja mengerahkan ilmunya meringankan tubuh ketika meloncat, sebagian untuk
pamer kepada Tan Hui, juga untuk membikin jerih kedua orang pengemis tua. Siapa
kira, gerakannya itu bagi Tan Hui agaknya kurang cepat karena dalam sekejap
mata ia tersusul!
"Nanti dulu, adik Sian!" bisik Tan Hui yang
kini tidak tahu harus menyebut apa kepada Lu Sian. Menyebut Nona tidak tepat
karena Lu Sian ternyata bukan seorang gadis, melainkan seorang janda seperti
pengakuannya. Menyebut Nyonya, wanita ini masih amat muda, maka ia merasa
paling tepat menyebut adik saja.
"Biarkan aku bicara dulu dengan mereka."
Tanpa memberi kesempatan kepada Lu Sian yang hendak
membantah, Tan Hui sudah menjura kepada dua orang pengemis tua itu sambil
berkata,
"Melihat ikat pinggang putih yang Jiwi pakai,
kiranya Ji-wi termasuk pimpinan Khong-sim Kai-pang, aku dapat bicara dengan
baik, tidak seperti tiga orang anggotanya tadi yang datang-datang lantas
menyerang. Mungkin Ji-wi sudah tahu bahwa di antara Khong-sim Kai-pang dan aku,
tidak ada urusan permusuhan semenjak aku bertemu dengan Yu Jin Tianglo setahun
yang lalu. Oleh karena itu, kuharap Ji-wi suka menghadapkan aku kepada orang
tua itu agar urusan di antara kita dapat diselesaikan baik-baik. Ingin benar
aku mendengar kata-kata orang tua itu tentang main-main dari Khong-sim Kai-pang
dengan anakku ini!"
Di dalam ucapan Tan Hui ini, biarpun terdengar sopan dan
lunak, namun terkandung kekerasan tersembunyi, sehingga sama sekali tak boleh
dikatakan pendekar ini merendahkan diri. Betapapun juga, Lu Sian tidak puas.
Menurut kata hatinya, lebih baik menggunakan pedang daripada menggunakan lidah
dalam menghadapi orang-orang macam itu.
Dua orang pengemis itu sudah tua, usia mereka lima puluh
tahun lebih. Keduanya bersikap sombong dan memandang rendah, apalagi yang
memegang tongkat berbentuk ular. Mukanya yang penuh keriput itu kelihatan
pucat, akan tetapi selalu membayangkan senyum mengejek dan pandang matanya
seperti pandang mata seorang bangsawan melihat pengemis. Dengan gerakan mulut
yang kedua ujungnya ditarik ke bawah, Si Tongkat Ular ini berkata,
"Inikah orang muda sombong bernama Tan Hui yang
telah membunuh dan menghina anak buah Khong-sim Kai-pang?" Sambil berkata
demikian, ia menggoyang-goyangkan tongkatnya berbentuk ular itu di depan dada
dengan gerakan penuh aksi!
Akan tetapi pengemis ke dua yang mempunyai kepala besar
sekali, sikapnya biar sombong namun lebih sungguh-sungguh dan berwibawa. Ia
berkata dengan suara membayangkan ketinggian hati.
"Hui-kiam-eng Tan Hui! Setahun yang lalu kau
menggunakan kelemahan bekas pangcu kami, mengandalkan kepandaian untuk membunuh
dan menghina anak buah kami. Sekarang, kami telah mempunyai pangcu baru yang
tidak mau membiarkan Khong-sim Kai-pang dihina orang. Oleh karena itu, kalau
kau menghendaki anakmu selamat, pangcu kami minta kau datang menghadap kepada
beliau di Kang-hu!"
Setelah berkata demikian, pengemis berkepala besar ini
membalikkan tubuh hendak pergi.
"Heh-heh, mungkin dengan minta-minta ampun dan
mengajak dia ini menghadap Pangcu, kau akan diampuni!" kata Si Pengemis
Bertongkat Ular yang lalu membalikkan tubuh pula, kemudian dengan langkah
dibuat-buat ia meninggalkan tempat itu, setelah melirik-lirik ke arah Lu Sian.
Tan Hui terkejut sekali dan termenung. Kiranya Yu Jin
Tianglo sudah tidak menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang, sudah diganti. Pantas
timbul urusan ini, pikirnya. Akan tetapi, ke manakah perginya Yu Jin Tianglo?
Dan siapa penggantinya? Ia harus lekas-lekas datang ke Kang-hu dan semua
pertanyaan itu tentu akan terjawab. Terhadap sikap dua orang pengemis tua itu,
Tan Hui sama sekali tidak ambil peduli.
Boleh jadi Tan Hui menganggap mereka itu tidak perlu
dilayani. Akan tetapi tidak demikian dengan Lu Sian. Dia masih dapat menahan
kesabarannya melihat dua orang itu memandang rendah Tan Hui, akan tetapi ketika
pengemis kurus bertongkat ular itu membawa-bawa dia yang jelas sekali
mengandung maksud kotor dan kurang ajar, mana mungkin Lu Sian berlaku sabar
lagi?
"Eh, eh, nanti dulu, Lo-kai (Pengemis Tua), aku mau
bicara denganmu!" Dengan langkah cepat Lu Sian mengejar. Tan Hui
mengerutkan keningnya. Sahabat barunya ini benar-benar seorang wanita yang
tidak tahu bahaya, pikirnya. Melihat ikat pinggang putih lebar yang dipakai
kedua orang pengemis itu, terbukti bahwa mereka adalah pimpinan Khong-sim
Kai-pang dan sudah terkenal bahwa para pimpinan Khong-sim Kai-pang adalah
orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Sekelebatan saja ia tadi dapat
menerka bahwa Si Kepala Besar adalah seorang ahli lwee-kang yang amat kuat,
sedangkan Si Kurus itu agaknya seorang ahli bermin ilmu tongkat. Ia dapat
menduga bahwa Lu Sian tentu hendak mencari perkara, maka diam-diam ia merasa
kuatir, akan tetapi juga ingin sekali ia tahu sampai di mana kelihaian dua
orang pengemis itu dan terutama wanita yang menarik hatinya ini. Tadi ia hanya
menaksir kelihaian Lu Sian melihat cara ia menyambit dengan sumpit, akan tetapi
sesungguhnya hal itu belum dapat dijadikan ukuran. Karena keinginan tahu inilah
maka ia tidak menghalangi Lu Sian, melainkan mendekat agar dalam waktu keadaan
berbahaya, ia dapat memberikan pertolongan dengan cepat.
Kedua orang pengemis itu berhenti, Si Kepala Besar tidak
bergerak, hanya membalikkan tubuhnya, akan tetapi Si Kurus sudah melangkah
lebar menghadapi Lu Sian sambil memutar-mutar tongkat ularnya dan menyeringai.
"Nona kau mau bicara apa?