Kwee Ceng menjublak sekian lama, baru ia buka suara. “Kecuali orang
bersayap dan dapat terbang naik ke atas sana, baru anak-anak burung itu
dapat di tolongi…” katanya. Ia pegang pula pedangnya dan mulai lagi
dengan latihannya. Ia masih saja tidak berhasil melatih jurus keempat
yang baru diajari gurunya itu.
Tiba-tiba terdengar suara dingin di belakangnya, “Dengan belajar secara demikian, lagi seratus tahun juga tidak bakal berhasil!”
Kwee Ceng berhenti bersilat, ia menoleh. Ia awasi imam berkonde tiga itu. Ia menjadi tidak senang. “Apa katamu?” ia tanya.
Si imam tersenyum, ia tidak menyahuti, hanya mendadak ia maju mendekati,
lalu Kwee Ceng merasai bahunya kaku, lalu dengan satu kelebatan,
pedangnya telah pindah tangan kepada si imam itu.
Pernah Kwee Ceng diajari gurunya yang kedua, Cu Cong, ilmu dengan tangan
kosong merampas senjata musuh, akan tetapi ia belum dapat menyakinkan
itu dengan sempurna, belum ia menginsyafi gayanya, maka itu, kagum ia
untuk lihaynya ini imam, gerakan siapa ia sepertinya tidak melihatnya.
Mana bisa ia membela diri atau berkelit? Berbareng dengan itu, ia
berkhawatir untuk Gochin. Maka segera ia melompat ke depan tuan putri
itu, ia hunus golok hadiahnya Temuchin, untuk bersiap melindungi putri
ini.
“Lihat biar tegas!” bersuara si imam itu, yang tidak pedulikan sikap
orang, hanya ia mencelat ke atas, hingga tahu-tahu ia sudah jalankan
jurus yang Kwee Ceng tak sanggup pelajari itu, sedang turunnya si imam
adalah sangat cepat tetapi tenang. Bocah ini berdiri melengak, mulutnya
terbuka lebar.
Si imam lempar pedangnya ke tanah, ia tertawa.
“Burung rajawali putih itu harus dihormati, turunannya pun tak boleh
tidak ditolongi!” ia berkata, setelah mana, ia lompat untuk lari ke
jurang, untuk mendaki dengan cepat, gerakannya bagai lutung atau kera.
Ia berlari dengan kaki, menjambret dan merembet dengan tangan, sebentar
kemudian, ia sudah mencapai hingga di atas jurang, di dekat liang yang
merupakan sarang burung rajawali putih itu.
Hati Kwee Ceng dan Gochin berdenyut keras tak hentinya. Mereka kagum,
heran dan berkhawatir untuk keselamatan si imam. Jurang itu tinggi,
tebing dan semua batunya licin. Hancur-luluhlah kalau orang jatuh dari
atasnya. Di atas tebing itu si imam tampak menjadi kecil tubuhnya.
“Bagaimana?” tanya Gochin yang memeramkan matanya.
“Hampir tiba!” sahut Kwee Ceng. “Bagus! Bagus..!“
Gochin kasih turun kedua tangannya, justru ia melihat si imam lompat ke
liang, tubuhnya seperti terpelanting jatuh, hingga ia menjerit kaget.
Akan tetapi si imam tiba dengan selamat, dan dengan ulur kedua
tangannya, ia mulai menangkap dua anak rajawali itu, untuk kemudian
dimasukkan ke dalam sakunya, karena mana, di lain saat, ia sudah mulai
turun pula. Dia tiba di bawah dengan tak kalah cepatnya sewaktu ia
mendaki.
Kwee Ceng dan Gochin lari menghampirkan pertapa itu, yang merogoh keluar
kedua anak burung itu, untuk mengangsurkan, seraya ia tanya Gochin,
“Bisakah kamu merawat anak-anak burung ini?”
“Bisa, bisa, bisa!” sahut si putri dengan cepat seraya menyambuti.
“Hati-hati, jangan sampai tanganmu kena dipatuk!” memperingati si imam. “Burung ini kecil akan tetapi patukannya sakit sekali.”
Gochin loloskan benang ikatan rambutnya, dengan itu ia ikat kakinya
kedua burung itu. Ia girang bukan main. “Aku nanti ambilkan daging untuk
memelihara padanya!”
“Eh, tunggu dulu!” kata si imam. “Kau mesti berjanji padaku satu hal, baru suka aku serahkan burung ini padamu!”
“Apakah itu?” si putri tanya.
“Aku ingin kau tidak beritahu siapa juga yang aku telah mendaki jurang itu dan mengambil anak burung ini,” kata si imam.
“Baik,” sahut si nona. “Hal itu sebenarnya sulit juga, tapi biarlah aku tidak menyebutkannya.”
Si imam ini tertawa, ia berkata: “Kalau nanti sepasang anak burung ini
menjadi besar, mereka bakal menjadi sangat kuat dan galak, maka itu di
waktu mengasih makannya kau mesti hati-hati.”
“Aku tahu,” sahut Gochin, yang girangnya bukan main. Ia kata kepada Kwee
Ceng: “Engko Ceng, burung ini kita punyakan seorang seekor, akan tetapi
sekarang akulah yang bawa dulu, untuk aku memeliharanya. Akur?”
Kwee Ceng mengangguk. Gochin lantas lompat naik ke atas kudanya dan kabur pergi.
Kwee Ceng bengong mengawasi tuan putri itu, lalu di lain pihak ia kagumi
si imam ini yang demikian lihay, yang pun pandai mainkan jurusnya yang
sulit itu. Ia menjadi seperti kehilangan semangatnya.
Si imam konde tiga itu pungut pedangnya untuk dikembalikan kepada
pemiliknya, habis itu ia memutar tubuhnya sembari tertawa, untuk
berlalu.
“To…totiang, jangan pergi dulu…!” Kwee Ceng berkata, agaknya ia baru sadar, hingga susah ia membuka mulutnya.
“Kenapa?” si imam tanya. Ia tertawa pula.
Bocah ini menggaruk-garuk kepalanya, rupanya sulit ia berbicara. tapi
cuma sejenak, lantas ia jatuhkan diri berlutut di depan si imam dan
manggut-manggut, entah sampai berapa puluh kali.
“Eh, untuk apa kau pay-kui terhadapku?” si imam tanya, tertawa.
Mendadak Kwee Ceng mengucurkan air mata. Ia lihat si imam demikian sabar
dan ramah, ia seperti menghadapi satu sanaknya yang terdekat.
“Totiang, aku ada sangat bebal…” ia kata kemudian. “Aku belajar rajin
dan ulet akan tetapi tetap aku tidak dapat belajar dengan sempurna
hingga karenanya aku membuat keenam guruku menjadi tidak senang…”
“Habis, apakah yang kau kehendaki?” tanya si imam, tetap tertawa.
“Siang dan malam aku berlatih, tetap aku gagal…” Kwee Ceng kata pula.
“Apakah kau ingin petunjukku?” imam itu tanya lagi.
“Benar!” Dan Kwee Ceng mendekam pula, mengangguk-angguk lagi.
“Aku lihat kau jujur dan bersungguh hati, begini saja,” kata si imam.
“Lagi tiga hari ada bulan pertengahan, nanti selagi rembulan terang
benderang, aku nantikan kau di atas puncak. Tapi kau tidak boleh
beritahukan hal ini kepada siapa juga!” Ia menunjuk ke puncak yang ia
sebutkan.
Kwee Ceng menjadi bingung. “Aku…aku…tidak dapat mendaki…!” katanya.
Si imam sudah lantas berjalan, ia tidak memperdulikannya lagi, ia jalan terus.
“Kalau begini, sengaja totiang hendak menyulitkan aku,” pikir Kwee Ceng,
“Terang dia tidak ingin mengajari aku…” Cuma sesaat ia berpikir pula:
“Aku toh bukannya tidak punyakan guru yang pandai? Di depan mataku toh
ada enam guru yang bersungguh-sungguh mengajari aku? Dasar aku yang
tolol! Apa daya sekarang? Meski totiang lihay sekali, mana dapat aku
mewariskan kapandaiannya itu? Percuma aku belajar dengannya…”
Bocah ini menjadi tawar hatinya. Tapi matanya masih mengawasi ke puncak.
Lalu ia ingat pula pelajarannya, maka terus ia berlatih lagi. Ia baru
pulang sesudah matahari turun dari gunung dan ia rasai perutnya lapar.
Tiga hari telah lewat. Hari itu Han Po Kie ajarkan muridnya ilmu cambuk
Kim-liong-pian. Senjata lemas itu beda dari pada golok atau lainnya
senjata tajam, kalau tenaga latihannya kurang orang tak akan terlukai
kerenanya, sebaliknya, dia sendiri yang bisa bercelaka. Demikian sudah
terjadi, satu kali Kwee Ceng salah menggeraki tangannya dan cambuknya
mengenai kepalanya sendiri!
Po Kie menjadi mendongkol, ia sentil kupingnya si murid itu, yang kepalanya telah menjelut!
Kwee Ceng tutup mulut, ia belajar terus.
Melihat orang bersungguh hati, lenyap rasa dongkolnya Po Kie. Ia
membiarkan saja walaupun si murid lagi-lagi membuat beberapa kesalahan.
Po Kie mengajari lima jurus, setelah pesan si murid belajar terus dengan
sungguh-sungguh, ia meninggalkan pergi dengan menunggang kudanya.
Benar-benar sukar ilmu cambuk itu, Kwee Ceng menjadi korban, hingga ia
menjadi babak-belur. Kepalanya dan jidatnya benjut, lengan dan kakinya
matang biru. Saban salah menarik, ujung cambuk mengenai diri sendiri.
Maka itu akhirnya, dengan merasa sakit dan letih, ia rebahkan diri di
rumput dan kepulasan. Ia mendusin sesudah rembulan muncul. Ia merasakan
sakit pada tubuhnya, tapi ia memandang ke atas bukit. Ia ingat janjinya
si imam.
“Dia bisa mendaki, mustahil aku tidak!” akhirnya ia kata dengan
penasaran. Dan ia lari ke kaki jurang, untuk mulai mendaki. Ia jambret
setiap oyot rotan, ia naik seperti merayap. Ia bisa naik setinggi enam
atau tujuh belas tombak, lalu ia berdiam. Jalan naik lebih jauh batu
melulu, seperti tembok yang licin.
“Mesti dapat!” ia keraskan hatinya. Dan ia mencoba. Ia cari lubang atau
sela batu, untuk dipegang, untuk ia menindak. Satu kali ia terpeleset,
hampir cekalannya terlepas, hampir ia terjatuh! Kapan ia memandang ke
bawah, ia merasa ngeri bukan main. Sekarang, naik tak dapat, turun pun
sukar!
Kwee Ceng menghela napas bahna sukarnya. Tiba-tiba ia ingat perkataan
gurunya yang keempat: “Di kolong langit ini tidak ada urusan yang sukar,
asal hati orang kuat!”. Maka ia kertak gigi. ia sekarang dapat akal,
ialah ia pakai golok pendeknya, untuk mencokel batu, guna menancap itu
untuk dipakai sabagai alat pegangan, buat dijadikan tempat injakan. ia
merayap tetapi ia dapat maju setindak dengan setindak, sangat ayal. Ia
telah mesti menggunai tenaga terlalu besar, baru manjat dua tombak,
kepalanya sudah pusing, kaki tangannya lemas. Maka ia diam mendekam, ia
bernapas dengan perlahan-lahan.
Setahu berapa banyak liang lagi harus dibikin untuk dapat naik ke atas.
Kwee Ceng tidak memperdulikannya. Setelah cukup beristirahat, ia mulai
pula mencongkel batu. Baru ia mulai, atau mendadak ia dengar suara orang
tertawa di atasnya. Ia heran, ia pun tidak berani dongak, untuk
melihatnya. Untuk herannya, tiba-tiba ada sehelai dadung meroyot turun,
ujungnya berdiam tepat di depannya!
“Ikat pinggangmu, nanti aku tarik kau naik!” begitu suara terdengar. Ia
kenali suaranya si imam konde tiga. Tiba-tiba ia menjadi girang sekali,
hingga semangatnya terbangun pula. Tanpa banyak pikir, ia simpan
goloknya, sambil sebelah tangan terus pegangi liang batu, dengan tangan
kanannya ia libat pinggangnya, mengikat keras.
“Apakah kau telah selesai mengikat?” tanya si imam dari atas.
“Sudah!” sahut si bocah.
“Sudah atau belum?” tanya lagi suara di atas. Rupanya ia tidak dengar
jawabannya si bocah. Tiba-tiba ia tertawa, lalu menambahkan: “Ah, aku
lupa! Suaramu tidak cukup keras, tak sampai ke atas sini. Kalau kau
sudah mengikat rapi, kau tariklah dadung ini, tarik tiga kali!”
Kwee Ceng menurut, ia membetot tiga kali. Habis itu mendadakan ikatan
pada pinggangnya menjadi keras, segera tubuhnya terangkat, hingga
terlepaslah pegangannya pada batu dan injakan kakinya juga. Ia terkejut
juga, tetapi sebab tahu ia lagi diangkat naik, ia tidak terlalu
berkhawatir. Hanya untuk herannya, baru ia terangkat naik, tiba-tiba ia
sudah sampai di atas, berdiri tepat di depannya si imam!
Bukan main ia girang dan bersyukur, tak tempo lagi ia tekuk lututnya,
untuk pay-kui, guna menghanturkan terima kasihnya, akan tetapi si imam
cekal tangannya, untuk ditarik, sambil tertawa, imam itu berkata:
“Kemarin kau telah pay-kui padaku seratus kali, sudah cukup, sudah
cukup! Bagus, anak bagus, kau ada punya semangat!”
Puncak gunung itu boleh dibilang datar, di situ ada sebuah batu besar yang rata, yang penuh dengan salju.
“Duduklah di sana!” kata si imam.
“Biar teecu berdiri saja menemani suhu,” Kwee Ceng bilang.
“Kau bukannya orang kaumku, aku bukannya gurumu,” kata si imam. “Kau juga bukan muridku. Kau duduklah!”
Dengan hati bingung, Kwee Ceng berduduk.
“Keenam gurumu itu semua orang-orang Rimba Persilatan kenamaan,” kata si
imam, “Walaupun kita tidak kenal satu sama lain akan tetapi kita saling
menghormati. Untuk kau, asal kau dapat pelajarkan kepandaian satu saja
dari enam gurumu itu, kau sudah bisa tonjolkan diri di muka umum. Kau
bukannya tidak rajin belajar, kenapa selama sepuluh tahun ini kemajuanmu
tidak banyak? Tahukah kau sebabnya?”
“Itulah karena dasarku yang bebal, biar suhu semua bersungguh-sungguh
mengajarinya, aku tidak bisa peroleh kemajuan,” Kwee Ceng menjawab.
“Itulah tidak benar seluruhnya!” jawab si imam dengan tertawa. “Inilah
dia yang dibilang, yang mengajar tak jelas caranya dan yang belajar tak
menginsyafi jalannya…”
“Kalau begitu, aku mohon su…su…eh totiang, sudi mengajarinya,” Kwee Ceng memohon.
“Bicaranya tentang umumnya ilmu silat, sebenarnya sudah jarang orang
Rimba Persilatan yang sepandai kau,” menerangkan si imam pula, “Kau baru
belajar silat, lantas kau dijatuhkan si imam muda, ini pun satu pukulan
untukmu, kau lantas merasa pelajaranmu tak ada faedahnya. Hahaha, kau
ternyata keliru!”
Kwee Ceng heran. Kenapa imam ini ketahui urusan kekelahannya itu?
“Imam itu menang dari pada kau, ia sebenarnya telah menggunai akal,”
berkata si imam, “Coba kamu bertempur secara biasa, belum tentu ia dapat
menangkan kau. Di samping itu kepandaian keenam gurumu tak ada di
bawahan aku, dari itu tidak dapat aku ajarkan kau ilmu silat!”
Kwee Ceng heran berbareng putus asa.
“Ketujuh gurumu telah bertaruh sama orang,” kembali si imam berkata,
“Kalau aku ajarkan kau ilmu silat dan kemudian gurumu memdapat tahu,
mereka pasti menjadi tidak senang. Mereka adalah orang-orang terhormat,
dalam hal pertaruhan, mana mereka mau berlaku curang?”
“Pertaruhan apakah itu totiang?” tanya Kwee Ceng.
“Rupanya gurumu belum memberi keterangan padamu, karena itu, sekarang
baiklah kau tidak usah menanyakan. Nanti dua tahun lagi, mereka akan
memberitahukannya padamu. Sekarang begini saja. Kesungguhan hatimu
rupanya membuatnya kita berjodoh. Akan aku ajarkan kau ilmu
mengendalikan napas, duduk, jalan dan tidur…”
Kwee Ceng heran bukan main. “Ilmu bernapas, duduk, jalan dan tidur..?”
pikirnya. “Begitu aku terlahir, aku hampir bisa semua itu sendirinya.
Perlu apa kau mengajarinya pula…?” Ia tapinya tutup mulut.
“Kau singkirkan salju di atas batu itu,” kata si imam. “Kau tidur di situ,” lanjutnya kemudian.
Kwee Ceng menjadi semakin heran, tetapi ia menurut, dengan kedua
tangannya, ia singkirkan salju itu, habis itu ia terus rebahkan dirinya
di atasnya.
Si imam mengawasi. “Untuk tidur caramu ini, buat apakah aku
mengajarinya?” katanya. “Aku ada punya empat perkataan, kau ingat
baik-baik. Inilah dia: Sue teng cek ceng bong, Tee hie cek kie oen, Sim
soe cek cin hoat, Yang seng cek im siauw.”
Kwee Ceng menurut, ia ingat itu dan mengulanginya sampai beberapa kali.
Ia ingati terus, tetapi ia tak tahu apa artinya yang sebenarnya. Ia
melainkan tahu itu berarti: “Pikiran tenang, perasaan terlupa, tubuh
kosong, hawa berjalan, hati mati, semangat hidup, ‘yang’ bangun, ‘im’
hapus.
Imam itu berkata pula, menerangkan: “Sebelumnya tidur, orang mesti
kosongkan otaknya, jangan pikir suatu apa juga, barulah naik pembaringan
dan rebah miring, napas kasih jalan perlahan-lahan, semangat jangan
goncang, jangan ngawur. Nah, begini, kau mesti bernapas.”
Lantas si imam mengajari caranya napas disedot masuk dan ke luar sambil bersemadhi. “Sekarang duduklah dan mulai!” katanya pula.
Kwee Ceng menurut, ia mencoba. Mulanya, pikirannya goncang, ada saja
yang ia ingat, tetapi ia lawan itu, ia coba lupai segala apa. Lama-lama
ia menjadi tenang juga. Hanya, selang satu jam, ia rasai kaki dan
tangannya kaku dan kesemutan.
Si imam bersila di depan orang, buka matanya. “Sekarang kau rebahlah,” katanya.
Kwee Ceng menurut pula. Ia rebah hingga ia tidur kepulasan tanpa merasa, tempo akhirnya ia sadar, fajar sudah menyingsing.
“Sekarang kau pulang, sebentar malam datang pula.” kata si imam, dan ia kerek turun tubuh bocah itu.
Kwee Ceng menurut, maka seterusnya setiap malam ia datang pada si imam,
yang kerek ia naik, untuk ia belajar napas, duduk, tidur dan jalan.
Lekas ia merasakan suatu keanehan. Si imam tidak ajari ia ilmu lainnya,
toh kapan di waktu siang ia berlatih silat, ia rasai tubuhnya jadi
ringan sekali dan gesit. Selang setengah tahun, ia lantas dapat lakukan
apa-apa yang tadinya ia tidak sanggup lakukan.
Kanglam Liok Koay lihat itu kemajuan, mereka girang sekali. Mereka
menyangka kemajuan muridnya ini berkat kerajinan dan keuletannya.
Lain keanehan yang nyata, Kwee Ceng rasai ia dapat mendaki jurang lebih
tinggi dan lebih gampang, baru di bagian yang licin, si imam kerek
padanya.
Satu tahun telah berlalu dengan cepat, maka lagi beberapa bulan akan
tibalah saat pibu. Kanglam Liok Koay merasa gembira. Mereka percaya
muridnya bakal menang. Mereka juga girang akan lekas kembali ke Kanglam.
Maka itu, setiap hari mereka omongkan hal pibu dan bakal pulang itu.
Pada suatu pagi, Hie Jin kata pada muridnya: “Anak Ceng, selama ini kau
belajar mainkan senjata saja, mungkin kau kurang leluasa dengan tangan
kosongmu, dari itu mari kau coba-coba.”
Kwee Ceng mengangguk. Ia lantas turut pergi ke tempat berlatih. Hie Jin
sedang hendak mulai berlatih sama muridnya itu tempo kelihatan debu
mengepul jauh di sebelah depan dan terdengar berisik suara kuda dan
orang. Itulah segerombolan kuda, yang lari larat, dan si penggembala,
orang-orang Mongol, repot mengendalikan. Baru semua kuda dapat dibikin
tenang dan berkumpul, mendadak dari arah barat datang seekor kuda kecil
merah marong, kuda itu menyerbu ke rombongan kuda banyak itu, menggigit
dan menyentil, hingga kuda ini menjadi kacau pula. Setelah itu, kuda itu
lari pula ke utara dan lenyap. Tapi dia tidak pergi lama, kembali
terlihat ia mendatangi, kembali ia mengacau rombongan kuda tadi.
Kawanan penggembala itu menjadi dongkol, tapi mereka tidak bisa suatu
apa. Mereka hendak tangkap kuda merah itu, tetapi tak dapat karena kuda
itu lari kabur, lalu berdiri diam di tempat jauh seraya perdengarkan
meringkiknya berulang-ulang, rupanya ia puas sudah mengacau itu….
Liok Koay dan Kwee Ceng heran. Mereka pun kagumi kuda merah itu. Malah
Han Po Kie segera hampirkan rombongan penggembala itu, akan tanya kuda
itu kepunyaan siapa. Ia penggemar kuda, kudanya sendiri jempolan, tetapi
masih kalah jauh dengan kuda merah itu.
“Setahu darimana keluarganya kuda kecil ini,” sahut seorang penggembala.
“Baharu beberapa hari yang lalu kami lihat dia, kami mencoba menangkap
padanya tetapi gagal, dia menjadi penasaran terhadap kami, lalu
terus-terusan ia mengacau. Dia ada sangat cerdik dan gesit.”
“Itulah bukannya kuda,” kata satu penggembala.
“Habis apakah itu?” tanya Po Kie.
“Inilah kuda turunan naga dari langit, dia tidak dapat diganggu!” jawab penggembala itu kemudian.
Seorang penggembala lain tertawa. “Siapa bilang naga bisa menjadi kuda?” katanya. “Ngaco belo!”
“Kau tahu apa, anak kecil? Sudah puluhan tahun aku menggembala kuda,
tidak pernah aku lihat kuda semacam ini!” Ia belum tutup mulutnya, kapan
kuda merah itu sudah datang menyerbu pula.
Han Po Kie segera bertindak. ia memang seorang ahli kuda, tahu ia sifat
atau kebiasaannya hewan itu. Orang Mongol sendiri kagum padanya.
Begitulah ia lari ke tempat di mana kuda itu bakal mundur. Tepat
dugaannya. Kuda itu lari ke arahnya. Ia kate, ia seperti berada di
bawahnya perut hewan itu. tapi ia tak kasih dirinya dilompati,
sebaliknya ialah yang melompat ke bebokong kuda itu. Ia kate tapi ia
dapat melompat tinggi. Segera ia berada di atas punggung kuda. Ia sudah
pandai, ia percaya bakal berhasil, siapa tahu, belum ia sempat
mendudukinya, kuda itu sudah lewati dia, hingga ia jatuh ke tanah, cuma
tak sampai terguling, ia jatuh sambil berdiri. Ia menjadi dongkol.
lantas ia lari mengejar.
Hebat larinya kuda itu, dia tak tercandak, hanya di saat ia lari lewat,
tiba-tiba dari samping ada satu orang yang lompat menyambar kepadanya,
memegang surinya. Dia kaget, dia lompat dan lari, karena mana, dia kena
bawa orang yang menyambarnya itu, sebab orang itu tidak mau melepas
cekalannya.
Semua penggembala menjadi terkejut, mereka berteriak. Kanglam Liok Koay
pun terkejut, karena itulah Kwee Ceng yang menyambar kuda itu. Di
samping itu mereka heran kapannya bocah ini pelajarkan sifatnya hewan,
dan kapannya ia mempelajari keng-sin-sut, ilmu enteng tubuh.
“Selama satu tahun ini, pesat majunya anak Ceng,” kata Siauw Eng.
“Mungkinkah ia dipayungi ayahnya almarhum? Mungkinkah ngo-ko…?”
Nona ini tidak tahu, kepandaian Kwee Ceng itu adalah hasilnya ajaran si
imam konde tiga, karena ketekunan Kwee Ceng sendiri yang bebal tapi
rajin dan ulet. Setiap malam ia naik turun jurang, tanpa ia merasa, ia
tengah menyakinkan ilmu ringan tubuh yang sangat lihay, yaitu
“Kim-gan-kang” atau ilmu “Burung Belibis Emas.” Dia cuma tahu si imam
konde tiga itu sangat baik hati suka memberi pengajaran kepadanya hingga
ia dapat bersemadhi…
Selagi Liok Koay bicarakan hal murid ini, tahu-tahu si murid sudah
kembali bersama kuda merah itu, yang terus angkat kedua kaki depannya,
untuk berdiri, kemudian ia meyentil dengan kedua kaki belakangnya. Kwee
Ceng tidak rubuh karenanya, ia memegangi dengan keras, kedua kakinya
menjepit. Po Kie pun segera ajar dia bagaimana harus membikin jinak
kuda. Masih saja kuda itu berjingkrakan, dia seperti ingin menjungkirkan
penunggangnya.
Si penggembala, yang percaya kuda itu adalah turunan naga, sudah lantas
berlutut dan memuji supaya janganlah Tuhan bergusar karena kudanya itu
dipermainkan…
Siauw Eng pun lantas berteriak, “Anak Ceng, lekas turun. Kasih sam-suhu gantikan kau!”
“Jangan!” teriak Po Kie, yang mencegah. “Kalau digantikan, dia bakal
gagal!” Ia tahu, kalau seorang dapat menakluki kuda binal, kuda itu
bakal tunduk untuk selama-lamanya kepada penakluk itu.
Kuda itu masih berjingkrakan, rupanya ingin dia membikin penunggangnya
jungkir balik, tetapi Kwee Ceng terus memegangi erat-erat, malah
kemudian, bocah ini memeluk ke leher, tenaganya dikerahkan, makin lama
makin keras pelukan itu. Diakhirnya, kuda itu sukar bernapas, lalu ia
berhenti meronta-ronta, dia berdiri diam!
“Bagus! Bagus!” seru Po Kie. “Dia berhasil”
Kwee Ceng khawatir kuda itu bakal lari atau kabur, ia tidak mau lantas turun.
“Cukup sudah!” Po Kie bilang pada muridnya. “Kau turun! Dia sudah tunduk kepadamu, walaupun kau usir, dia tidak nanti lari!”
Mendengar itu barulah Kwee Ceng lompat turun. Kuda itu benar tidak lari,
sebaliknya, dia jilati belakang telapakan tangan si bocah, dia jadi
jinak sekali.
Menampak itu, dari kaget dan heran, orang menjadi tertawa!
Satu penggembala dekati kuda itu, ia dipersen jentilan hingga ia terjungkal!
Kwee Ceng lantas tuntun kuda itu ke sisi istal, untuk gosoki keringatnya, untuk membersihkan badannya.
Liok Koay tidak suruh muridnya itu berlatih lebih jauh, dengan masing-masing mereka merasa heran, mereka masuk ke kemah mereka.
Tengah hari, habis bersantap, Kwee Ceng pergi ke kemah gurunya.
“Anak Ceng, ingin aku lihat seberapa jauh kau punya ilmu Kay-san-ciang,” berkata Coan Kim Hoat pada muridnya itu.
“Disini?” sang murid tegaskan.
“Ya. Di mana saja orang bisa menghadapi musuh, maka orang mesti siap
akan bertempur di kamar yang kecil.” Kata-kata itu disusul sama ancaman
tangan kiri dan tinjuan kepalan kanan.
Kwee Ceng menangkis dan berkelit, malah terus sampai tiga kali, setelah
diserang untuk keempat kalinya, ia membalas. Kim Hoat menyerang dengan
hebat, malah ia terus gunai jurusnya “Masuk ke dalam gua harimau”. Ia
mengarah ke dada. Ini bukan jurus latihan, tapi serangan benar-benar
yang berbahaya.
Kwee Ceng mundur, hingga bebokongnya nempel sama tenda. Ia kaget sekali.
Tentu saja, hendak ia membela diri. Ia putar tangan kirinya, guna
menyingkirkan dua tangan gurunya itu. Akan tetapi hebat serangan si
guru, cuma tempo ia mengenai dada muridnya, ia rasai dada muridnya itu
lembek seperti kapuk, lalu tangannya kena dihalau!
Untuk sejenak Kwee Ceng tercengang, tapi segera ia berlutut di depan
gurunya itu. ”Teecu salah, silakan liok-suhu menghukum,” ia menyerah. Ia
takut sekali, tak tahu ia bersalah apa maka gurunya serang ia secara
demikian telengas.
Tin Ok semua berbangkit, semua mereka menunjuk roman bengis.
“Secara diam-diam kau turut orang lain belajar silat, kenapa kau tidak
beritahu itu pada kita?!” tehur Cu Cong. “Coba tidak liok-suhu mencoba
padamu, kau tentu tetap hendak menyembunyikannya, bukan?!”
“Cuma guru Jebe mengajarakan teecu main panah dan tombak,” Kwee Ceng
menjawab. Ia omong dengan sebenarnya. Si imam konde tiga tidak ajarkan
ia ilmu silat, cuma ilmu semadhi, sedang ilmu enteng tubuh, ia diajarkan
di luar tahunya.
“Masih kau berdusta?!” Cu Cong bentak pula.
Kwee Ceng menangis, air matanya mengucur keluar. “Suhu semua
memperlakukan teecu sebagai anak, mana berani teecu berdusta?” sahutnya.
“Habis darimana kau dapat kepandaianmu tenaga dalam?!” Cu Cong masih
bertanya. “Apakah kau hendak andalkan gurumu yang lihay itu maka kau
jadi tidak pandang lagi kami berenam?! Hm!”
“Tenaga dalam?” Kwee Ceng melengak. “Sedikit pun teecu tidak mengerti itu.”
“Fui!” seru Cu Cong sambil ia ulurkan tangannya ke jalan darah
hian-kee-hiat di bawahan tulang iga. Siapa terkena itu, ia mesti
pingsan.
Kwee Ceng tidak berkelit atau menangkis, ketika totokannya Cu Cong
mengenai, dagingnya bergerak sendirinya, membikin totokan itu kena
dikesampingkan. Si bocah cuma merasakan sakit, ia tak kurang suatu apa.
Cu Cong tidak menggunai tenaganya sepenuhnya, tapi ia terkejut dan heran.
“Nah, apakah ini bukannya tenaga dalam!” serunya.
Kwee Ceng terkejut. “Adakah ini hasil latihannya totiang?” ia tanya pada
dirinya sendiri. Lalu ia mengasih keterangan: “Selama dua tahun ini,
ada orang yang setiap malam mengajari teecu bagaimana harus menyedot
napas, duduk bersila dan tidur, teecu anggap ajaran itu menarik hati,
teecu ikuti ia belajar terus. Sama sekali ia tidak ajarkan ilmu silat
pada teecu. Cuma ia pesan supaya teecu jangan memberitahukan hal itu
pada siapa pun. Teecu anggap hal ini bukan perbuatan busuk, teecu juga
tidak mensia-siakan pelajaranku, dari itu teecu tidak memberitahukan
kepada suhu semua.” Ia lantas mengangguk-angguk dan menambahkan: “Teecu
tahu teecu bersalah, lain kali teecu tidak berani pergi bermain pula…”
Enam guru itu saling pandang. Terang murid ini tidak berdusta.
“Apakah kau tidak tahu, pelajaranmu itu bukan tenaga dalam?” tanya Siauw
Eng yang menegaskan. Tenaga dalam itu adalah Iweekang (laykang).
“Benar-benar teecu tidak tahu kalau itu adalah pelajaran tenaga dalam,”
Kwee Ceng menyahuti. “Dia suruh teecu duduk, untuk menarik dan
mengeluarkan napas dengan perlahan-lahan, selama itu, tidak boleh teecu
pikirkan apa juga. Mulanya sulit, tetapi kemudian teecu merasakan hawa
panas keluar masuk, dan ini menarik hati…”
Liok Koay heran berbareng girang di dalam hati. Tidak mereka sangka, muridnya ini telah dapatkan Iweekang sedemikian rupa.
Kwee Ceng jujur, hatinya bersih, dari itu, ia dapat menyakinkan Iweekang lebih cepat dari siapa juga.
“Siapa yang ajarkan kau ilmu itu?” Cu Cong tanya. “Di mana dia mengajarkannya?”
“Dia tidak mau beritahu she dan nama atau gelarannya pada teecu, dia
juga larang teecu memanggil suhu padanya,” Kwee Ceng jawab. “Malah dia
suruh teecu bersumpah untuk tidak menjelaskan roman tubuh dan wajahnya.”
Liok Koay semakin heran, mereka menjadi curiga. Mulanya mereka menyangka
Kwee Ceng cuma bertemu orang pandai, tapi kalau begini, mesti ada sebab
lainnya lagi. Sebab apakah itu?
“Nah, pergilah kau!” kata Cu Cong kemudian.
“Selanjutnya teecu tidak berani pergi bermain-main pula dengan dia itu,” kata Kwee Ceng.
“Tidak apa-apa, kau boleh pergi bermain seperti biasa,” kata Cu Cong.
“Kami tidak persalahkan padamu, asal kau tidak beritahukan dia bahwa
kami telah ketahui urusan ini.”
“Baik, suhu,” kata Kwee Ceng, yang terus undurkan diri. Ia girang
gurunya tidak marah. Setibanya di kemah, di sana Gochin sudah menantikan
dia, di sampingnya ada dua ekor rajawali putih. Kedua burung itu telah
membesar dengan cepat, berdiri di tanah, keduanya melebihkan tingginya
tuan putri itu.
“Lekas, telah setengah harian aku menunggui kau!” kata putri itu.
Seekor rajawali angkat kakinya dan pentang sayapnya, terus ia terbang mencablok di pundaknya Kwee Ceng.
Dengan berpegangan tangan, dua kawan ini lari ke tegalan, untuk bermain dengan burung mereka.
Di dalam kemah, Liok Koay berbicara. “Dia ajarkan ilmu kepada anak Ceng,
dia tentu tidak bermaksud buruk,” Siauw Eng mengutarakan pikirannya.
“Hanya kenapa dia tidak menghendaki kita mendapat tahu?” tanya Kim Hoat.
“Kenapa pada anak Ceng juga ia tidak menjelaskan hal Iweekang itu?”
“Mungkin dia adalah kenalan kita,” Cu Cong bilang.
“Kenalan?” ulangi Siauw Eng, “Kalau dia bukan sahabat, tentulah ia itu musuh…”
Kim Hoat berpikir. “Di antara kenalan kita, rasanya tak ada yang berkepandaian seperti dia….” katanya.
“Kalau dia musuh, nah untuk apakah ia mengajari anak Ceng?” Siauw Eng tanya pula.
“Siapa tahu kalau dia tidak tengah mengatur daya upaya busuk?” kata Tin Ok dingin.
Semua saudara itu terkejut.
“Kalau begitu, baiklah sebentar malam aku dan liok-tee pergi ikuti anak Ceng untuk lihat orang itu,” kata Cu Cong kemudian.
Tin Ok berlima mengangguk.
Malam itu Cu Cong dan Kim Hoat menanti di luar kemah ibunya Kwee Ceng.
“Ibu, aku hendak pergi!” begitu terdengar suaranya sang murid, lalu ia
lari keluar, cepat larinya. Kedua guru itu segera menguntit dari
kejauhan. Syukur di tanah datar itu tak ada sesuatu rintangan, maka itu,
mereka dapat terus memasang mata. Mereka sendiri tidak khawatir nanti
terlihat si murid, yang larinya benar pesat sekali. Sampai di lembah,
masih si murid lari terus.
Ketika itu, dengan ilmunya maju pesat, Kwee Ceng dapat mendaki jurang
tanpa bantuan lagi. tentu saja, Cu Cong dan Kim Hoat heran bukan main.
Mereka menantikan, sampai Tin Ok berempat datang menyusul. Mereka ini
berbekal senjata, khawatir nanti ketemu musuh lihay. Cu Cong ceritakan
halnya Kwee Ceng naik ke atas jurang.
Siauw Eng dongak, ia lihat mega hitam, ia gegetun.
“Mari kita sembunyi di sini, tunggu sampai mereka turun,” Tin Ok mengatur.
Mereka lantas ambil tempatnya masing-masing. Siauw Eng berpikir keras.
Suasana malam ini mengingati ia malam itu tempo mereka mengepung Hek
Hong Siang Sat dengan kesudahannya Thio A Seng menutup mata untuk
selamanya. Ia menjadi sangat berduka.
Sang waktu lewat detik demi detik, di atas jurang tidak terdengar gerak
apa juga. Tanpa terasa, sang fajar telah menyingsing, sang matahari
sudah keluar, puncak jurang tetap sunyi senyap, malah Kwee Ceng tak
tampak turun. Tak tampak juga orang yang dikatakan gurunya itu.
Lagi satu jam mereka menanti dengan sia-sia, akhirnya Cu Cong mengusulkan naik ke atas guna melihat.
“Bisakah kita naik?” Kim Hoat tanya.
“Belum tentu, kita coba saja,” sahut kakak yang kedua itu.
Cu Cong terus lari pulang ke kemah untuk ambil dadung, dua buah kampak
serta beberapa puluh potong paku besar. Tempo mereka mulai menanjak,
mereka gunai paku itu, mereka saling menarik. Setelah bermandikan
keringat, keduanya tiba juga di atas. Segera juga mereka berseru karena
kagetnya.
Di samping batu besar ada teratur sembilan buah tengkorak putih, di
bawah lima, di tengah tiga di atas satu, tepat dengan pengaturannya Hek
Hong Siang Sat dahulu hari. Semua tengkorak itu pun ada lubangnya, bekas
totokan jari tangan, seperti terkorek pisau tajam. Di pinggiran lubang
itu ada tanda hitam, yang mana dikhawatirkan ada sisa racun.
Keduanya kebat-kebit hatinya. Yang aneh, di situ tak ada orang, entah
kemana perginya Kwee Ceng serta orang yang dikatakan gurunya itu. Maka
lekas-lekas mereka turun pula, hati mereka tegang dan cemas.
Po Kie semua heran, mereka lantas tanya ada apa dan kenapa dengan kedua saudara itu.
“Bwee Tiauw Hong!” sahut Cu Cong, masih tegang hatinya.
Empat saudara itu terperanjat.
“Anak Ceng?” tanya Siauw Eng.
“Entahlah,” sahut Kim Hoat, “Mungkin mereka turun dari sebelah…” Ia lalu menjelaskan apa yang mereka lihat di atas sana.
“Belasan tahun capek lelah kita, siapa tahu, kita memelihara harimau
untuk meninggalkan bahaya untuk di kemudian hari,” kata Tin Ok masgul.
“Anak Ceng jujur dan polos, dia bukannya satu manusia yang tak berbudi,” kata Siauw Eng, sangsi.
“Habis kenapa ia ikuti si siluman itu selama dua tahun dan ia menutup mulut terus?” tanya Tin Ok.
“Apakah toako mau artikan si perempuan siluman buta itu hendak pinjam tangan anak Ceng untuk celakai kita?” tanya Po Kie.
“Mestinya begitu,” sahut Cu Cong, yang akur sama kakaknya.
“Taruh kata anak Ceng mengandung maksud tidak baik, tidak nanti dia
dapat berpura-pura sedemikian rupa,” Siauw Eng tetap bersangsi.
“Mungkin siluman perempuan itu anggap waktunya belum tiba dan dia belum
menjelaskan sesuatu kenapa anak Ceng…” Kim Hoat pun mengutarakan
dugaannya.
“Tubuhnya anak Ceng sudah cukup enteng, Iweekangnya sudah punya dasar,
tetapi ilmu silatnya masih kalah jauh dengan kita, kenapa si perempuan
siluman itu tidak ajarkan dia ilmu silat?” tanya Po Kie. Ia pun heran.
“Perempuan siluman itu hendak pakai tangannya si Ceng, mana dia begitu
baik hati hendak menurunkan kepandaiannya?” kata Tin Ok. “Bukankah
suaminya terbinasa di tangannya si Ceng?”
Semua orang berdiam, mereka menggigil sendirinya. Hebat ancaman bahaya yang mereka khawatirkan itu.
Tin Ok menghajar tanah dengan tongkatnya.
“Sekarang mari kita pulang!” ia mengajak. “Kita berpura-pura tidak tahu,
kita tunggu si Ceng datang pada kita, lalu tiba-tiba kita hajar dia
hingga bercacat. Biar pun ia lihay, mustahil kita berenam kalah
padanya…”
Siauw Eng kaget, “Anak Ceng hendak dibikin bercacat?!” serunya. “Habis bagaimana dengan janji pibu?”
“Lebih penting nyawa kita atau pibu itu?” tanya Tin Ok.
Si nona berdiam begitupun yang lainnya.
“Tidak bisa!” seru Hie Jin kemudian.
“Tidak bisa apa?” tanya Po Kie.
“Dia tak dapat dibikin bercacat!” jawab Hie Jin.
“Tidak dapat?” Po Kie tegaskan pula.
Hie Jin mengangguk.
“Aku setuju sama sie-ko,” bilang Siauw Eng. “Lebih dulu kita mesti mencari kepastian, baru kita pikir pula.”
“Tapi urusan ada sangat penting. “ Cu Cong peringati, “Kalau kita salah
tindak karena kita merasa kasihan terhadapnya, tak dapat diduga
bagaimana hebatnya bencana yang bakalan terjadi. Bagaimana kalau
tindakan kita bocor?”
“Memang inilah berbahaya,” kata Kim Hoat.
“Samtee, bagaimana kau?” tanya Tin Ok.
Po Kie bersangsi, akan tetapi kapan ia saksikan air mata adiknya, ia lantas tetapkan hatinya. “Aku di pihak sietee,” jawabnya.
Dari enam bersaudara itu, tiga setuju Kwee Ceng dibikin cacad dan tiga
tidak, maka akhirnya, Cu Cong menghela napas. “Coba ngotee ada di sini,
kita pasti akan memperoleh putusan, salah satu pihak tentulah lebih satu
suara.”
Mendengar disebut-sebutnya A Seng, berhenti mengucur air mata Siauw Eng.
Ia kata: “Sakit hati ngoko mana dapat tidak dibalaskan! Toako, kami
dengar titahmu!”
“Baiklah!” kata toako itu. “Mari kita pulang dulu!”
Di dalam kemah mereka, mereka masih tetap ragu-ragu, hati mereka tidak
tenang. Maka Tin Ok bilang: “Kalau benar, ia datang, jietee sama
lioktee, kamu halangi mereka, nanti aku yang turun tangan!”
Demikian mereka bersiap sedia.
Tin Ok bersama Cu Cong dan Coan Kim Hoat bukan bangsa sembrono akan
tetapi menyaksikan keanehan Kwee Ceng dan di atas jurang kedapatan itu
sembilan tengkorak dari Bwee Tiauw Hong, mantap kepercayaan mereka bahwa
Bwee Tiauw Hong adalah orang yang mengajari Iweekang kepada murid
mereka.
Nyatanya, tidaklah demikian duduknya hal.
Kapan tadi malam Kwee Ceng tiba di atas jurang, si imam sudah menantikan
dia, hanya si imam ini segera menunjuk seraya berkata: “Kau lihat,
apakah itu?”
Di bawah sinar rembulan guram, Kwee Ceng lihat sembilan tengkorak. Tentu
saja ia menjadi kaget. “Adakah ini diatur oleh Hek Hong Siang Sat?” ia
tanya.
“Eh, kau pun kenal Hek Hong Siang Sat?” si imam tanya, heran.
Kwee Ceng mengangguk. Ia tuturkan hal pertempuran gurunya semua dengan
Hek Hong Siang Sat itu dengan kesudahan gurunya yang kelima terbinasa.
ia pun kasih tahu bagaimana dengan cara kebetulan ia dapat menikam mati
pada Tan Hian Hong.
Si imam itu tertawa. “Kiranya si Mayat Perunggu yang lihay itu terbinasa di tanganmu!” katanya.
“Tetapi totiang, adakah si Mayat Besi itu datang? Apakah totiang dapat lihat padanya?” tanya Kwee Ceng.
“Aku belum lama sampai disini,” sahut si imam. “Tempo aku sampai,
tumpukan ini sudah ada. Tadinya aku menyangka ini permainan gila dari
muridnya Oey Yok Su dari Tho Hoa To, Tanghay. Kalau begitu, tentulah si
Mayat Besi datang untuk mencari guru-gurumu itu.”
“Dia telah buta kedua matanya kena dihajar toasuhu, kami tidak takut,” kata Kwee Ceng.
Si imam jumput satu tengkorak, ia periksa itu, lalu ia menggeleng-geleng
kepala. “Orang ini hebat ilmu silatnya,” katanya kemudian. “Aku
khawatir gurumu itu bukan tandingannya. Umpama kata aku pun membantu
pihakmu, masih belum tentu kita menang.”
Si imam bicara dengan sungguh-sungguh, Kwee Ceng kaget dan heran.
“Pada belasan tahun dulu dia masih belum buta, dia masih tidak dapat
lawan tujuh guruku,” ia bilang. “Dan sekarang kita ada berdelapan….”
“Sebelum kau datang, aku pun telah memikirkannya,” berkata si imam.
“Tidak dapat aku menduga sampai di mana lihaynya jeriji-jeriji tangannya
itu, maka sekarang kita harus mengerti, setelah toh dia datang untuk
mencari, dia mestinya ada punya andalannya”.
“Sebenarnya mau apa dia menyusun tengkorak-tengkorak di sini?” Kwee Ceng
tanya. “Apakah bukan sengaja dia hendak membikin kita mendapat tahu dan
bersiap sedia?”
“Aku pikir tidak demikian. Tengkorak ini ada hubungannya sama Kiu Im
Pek-ku iauw, maka itu aku percaya, dia rupanya menyangka orang tak bakal
datang ke tempat ini, siapa tahu, kita justru biasa datang kemari
hingga kita mempergokinya.”
Hati Kwee Ceng menjadi tidak tenang. “Kalau begitu baiklah aku lekas pulang untuk memberitahukan guru-guruku,” katanya.
“Baiklah,” sahut si imam. “Sekalian kau bilangi bahwa ada satu
sahabatnya memesan dengan perantaraan kau bahwa lebih baik mereka
menyingkir dari dia itu, untuk mereka memikirkan daya perlawanannya. Tak
dapat dia dilawan keras.”
Kwee Ceng terima pesan itu, lantas ia hendak berlalu, atau tiba-tiba si
imam sambar pinggangnya, untuk dipondong, buat segera diajak berlompat
ke belakang batu besar, untuk keduanya berjongkok. kaget ini bocah,
hendak ia menanyakan sebabnya, atau mulutnya didahului dibekap, buat
diajak mendekam.
“Jangan bersuara,” berbisik si imam itu yang terus mengintai.
Dalam herannya, Kwee Ceng berdiam dan turut mengintai juga.
Orang tidak usah menanti terlalu lama akan lantas terlihat berkelebatnya
satu bayangan, disusul sama munculnya satu tubuh, yang di bawah sinar
rembulan tampak nyata. Itulah Tiat-sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi
dengan rambutnya yang panjang dan riap-riapan. Setahu bagaimana dia
naiknya, sedang di sebelah belakang jurang itu ada terlebih terjal
tebingnya dari pada bagian depan.
Kwee Ceng terkejut ketika Bwee Tiauw Hong memutar tubuh, matanya
memandang ke tempat sembunyi mereka. Tapi si Mayat Besi tidak lihat
siapa juga, dari itu dia terus duduk bersila di atas batu di mana biasa
si anak muda bersemadhi. Di situ ia lantas menyakinkan ilmu dalamnya.
Menampak ini insyaflah Kwee Ceng akan pentingnya ilmu yang si imam ajari
padanya, karenanya ia jadi sangat bersyukur kepada si imam konde tiga
ini yang tidak dikenal.