Berselang sesaat, tubuhnya Bwee Tiauw Hong kasih dengar suara meretek,
mulanya perlahan, lalu menjadi nyaring seperti meletusnya suara kacang
goreng yang digoreng terlalu matang. Cuma suara yang terdengar, tubuhnya
sendiri tidak bergerak, Kwee Ceng heran walaupun ia tidak mengerti
latihan orang yang luar biasa itu.
Tak lama, dari keras dan nyaring, suara mereteknya Tiauw Hong menjadi
kendor, lalu berhenti. Habis itu, dia bangkit berdiri, tangan kirinya
menarik sesuatu dari pinggangnya. Kwee Ceng hanya lihat berkelebatnya
sinar putih perak dari suatu benda seperti ular panjang. Ia terkejut
pula. Sekarang ia melihat nyata itulah joan pian, cambuk lemas putih
yang mengkilap. Kim-liong-pian dari Han Po Kie panjang cuma enam kaki,
cambuk ini berlipat sepuluh kali. Mungkin enam tombak. Cambuk ini terus
dicekal di tengahnya kedua tangan, sambil tertawa, Tiauw Hong lantas
bersilat. Hebat bergeraknya cambuk lemas itu, cepatnya luar biasa. Yang
hebat adalah tempo cambuk dipegang ujungnya dengan sebelah tangan kanan,
ujungnya yang lain menghajar batu besar!
Habis itu Kwee Ceng dibikin kaget sama ujung cambuk yang menyambar ke
arahnya. Ia lihat tegas, ujung itu ada punya belasan gaetan yang tajam.
Ia tidak takut, untuk bela diri, ia cabut pisaunya yang tajam, untuk
dipakai menangkis. Belum lagi kedua senjatanya beradu, ia rasakan
lengannya sakit sekali, lengan itu orang kasih paksa turun sedang
bebokongnya ditekan supaya ia mendekam pula. Ia bergerak tanpa ia
merasa.
Sekejap saja, ujung cambuk lewat di atasan kepalanya!
Anak tanggung ini mengeluarkan peluh dingin. “Kalau totiang tidak tolong aku, habis hancur kepalaku…” pikirnya.
Setelah matanya buta, Bwee Tiauw Hong sengaja menyakinkan cambuk lemas.
Kupingnya menjadi terang sekali, sedikit saja suara berkelisik, ia dapat
dengar. Dalam jarak enam tombak, sukar orang lolos dari cambuknya yang
panjang itu, yang ia telah latih dengan sempurna..
Dengan ketakutan, Kwee Ceng mendekam, napasnya ia tahan.
Habis berlatih, Tiauw Hong simpan cambuknya itu. Sekarang ia keluarkan
suatu apa dari sakunya, ia letaki itu ditanah, lalu tangannya
meraba-raba. Ia berdiam, seperti lagi memikirkan sesuatu. Ketika ia
berbangkit, ia bikin gerakan seperti berlatih silat. Ia kembali meraba
barangnya itu , lagi ia berpikir. Beberapa kali ia berbuat begitu, baru
ia simpan pula barangnya itu. Diakhirnya ia angkat kaki, berlalu dari
belakang jurang dari mana ia datang tadi.
Kwee Ceng menghela napas lega. Ia berbangkit.
“Mari kita ikuti dia, entah ia bakal kasih pertunjukan apalagi,” berkata
si imam, yang pun lantas bangun. Malah ia sambar pinggang bocah itu,
untuk bawa ia turun dari belakang jurang itu. Kwee Ceng dapat kenyataan,
di bagian belakang ini, orang pun bisa naik dengan melapat di oyot
rotan. Cara ini telah digunai oleh si Mayat Besi.
Setibanya mereka di bawah, terlihat Tiauw Hong berada jauh di arah
utara. Si imam kempit Kwee Ceng, ia lari menyusul. Dan Kwee Ceng
merasakan dirinya seperti dibawa terbang. Lama mereka berlari-lari, di
waktu langit mulai terang, Tiauw Hong tiba di satu tempat di mana ada
banyak kemah, di sana ia menghilang. Si imam mencoba mengikuti terus,
untuk ini, mereka mesti menyingkir dari serdadu-serdadu penjaga.
Di tengah-tengah ada sebuah kemah terbesar, tendanya berwarna kuning. Di
belakang ini si imam mendekam, lalu ia dan Kwee Ceng menyingkap tenda,
untuk melihat ke dalam.
Justru itu terlihat satu orang, dengan goloknya membacok satu orang
lain, yang rubuh dengan segera dan terbinasa, rubuhnya ke dekat tenda di
mana dua orang itu tengah mengintai.
Kwee Ceng kenali, si terbunuh itu adalah pengiringnya Temuchin, ia
menjadi heran. Ia singkap lebih tinggi tenda, untuk melihat tegas si
pembunuh, yang kebetulan menoleh, maka ia lantas kenali sebagai Sangum,
putranya Wang Khan. Dia itu sudah lantas susuti goloknya pada sepatu.
“Sekarang kau tidak akan sangsi pula, bukan?” berkata Sangum itu.
Di situ ada satu orang lain, ia ini berkata, ”Saudara angkatku Temuchin pintar dan gagah, belum tentu kau akan berhasil.”
Sangum tertawa dingin, dia kata, “Jikalau kau menyayangi kakak angkatmu, nah, pergilah kau melaporkannya!”
Orang itu menyahuti: “Kau adalah adik angkatku, ayahmu juga perlakukan
aku baik sekali, sudah tentu aku tidak bakal sia-siakan padamu!”
Kwee Ceng kenali orang itu adalah saudara angkat sehidup semati dari
Temuchin, yaitu Jamukha, ia menjadi heran sekali. Pikirnya, “Mustahilkah
mereka bersekutu untuk mencelakai Khan yang agung? Bagaimana ini bisa
terjadi?”
Lalu terdengar seorang lain: “Setelah kita berhasil, maka semua ternak,
orang perempuan dan hartanya Temuchin terjatuh kepada Sangum, semua
sebawahannya untuk Jamukha, dan dari pihak kami negara Kim yang besar,
Jamukha bakal diangkat menjadi Tin Pak Ciauw-touw-su.”
Pangkat itu adalah pangkat tertinggi untuk wilayah utara dengan tugas memanggil, menakluk dan menghukum pemberontak.
Kwee Ceng tidak melihat tegas muka orang itu, karena orang itu berdiri
membelakangi dia, maka ia menggeser, ketika ia melihat dari samping, ia
seperti mengenalinya. Orang ada memakai jubah bulu yang mahal, dandannya
mewah. Ia tak usah mengingat-ingat lama, akan kata dalam hatinya: “Ah,
ialah pangeran keenam dari negara Kim!”
Jamukha tertarik dengan janji itu, ia berkata: “Asal saja ayah angkatku Wang Khan memberikan titahnya, aku tentu menurut.”
Sangum menjadi girang sekali, ia bilang: “Berapa susahnya untuk ayahku
memberi titahnya? Sebentar akan aku minta titahnya itu, tidak nanti ia
tidak memberikannya!”
Wanyen Lieh, si putra Raja Kim yang keenam itu, berkata: “Negeriku yang
besar bakal lantas berangkat ke Selatan untuk menumpas kerajaan Song,
itu waktu kamu berdua masing-masing boleh memimpin duapuluh ribu serdadu
untuk membantu, setelah usahanya berhasil, kamu bakal dapat hadiah
lainnya lagi!”
Sangum girang sekali, ia berkata: “Kabarnya negara di Selatan itu adalah
negara yang indah permai, di seluruh tanahnya penuh dengan emas dan
orang-orang perempuannya ada bagaikan bunga-bunga, jika Tuan Pangeran
mengajak kita bersaudara pergi ke sana, sungguh bagus sekali!”
Wanyen Lieh tersenyum. “Sekarang tolong kedua tuan bilangi aku, cara bagaimana kamu hendak menghadapi Temuchin?” dia tanya.
Selagi Kwee Ceng memasang kuping, ia rasai si imam menarik ujung
bajunya, kapan ia menoleh, ia dapatkan imam itu menunjuk ke belakang. Ia
lantas berbalik. Maka ia lihat Bwee Tiauw Hong sedang membekuk satu
orang, rupanya ditanyakan sesuatu.
“Biar apa dia lakukan, buat sesaat ini guru-guruku tidak bakal
menghadapi bahaya,” Kwee Ceng berpikir. “Biar aku dengari persekutuannya
mereka ini yang hendak mencelakai Khan yang agung.” Maka itu ia
mendekam terus seraya memasang kupingnya.
Terdengar Sangum berkata: “Temuchin itu telah jodohkan putrinya kepada
putraku, baru saja ia kirim utusan untuk membicarakan hari pernikahan.”
Dia menunjuk orangnya Temuchin yang telah ia binasakan itu. Dan
melanjuti kemudian: “Aku sudah lantas kirim orang untuk memberi balasan,
aku minta ia besok datang sendiri untuk berembuk bersama ayahku. Aku
percaya ia bakal datang dan tentunya tanpa membawa banyak pengiring,
maka itu baiklah kita sembunyikan orang di sepanjang jalan. Temuchin
boleh mempunyai tiga kepala dan enam tangan, tidak nanti ia lolos dari
jaring perangkapku ini! Ha-ha-ha-ha!”
Kwee Ceng kaget dengan berang dan gusar. Ia tidak sangka ada orang
sedemikian jahat, yang hendak membinasakan saudara angkatnya sendiri. ia
masih hendak mendengari lebih jauh ketika ia rasakan si imam sambar ia
untuk ditekan, menyusul mana Tiauw Hong berkelebat lewat, di tangannya
ada orang yang dikempitnya. Sekejap saja, si Mayat Besi sudah lewat
jauh.
Si imam tarik tangan si bocah, akan pergi meninggalkan kemah beberapa
puluh tindak, lalu ia berbisik: “Tiauw Hong lagi cari orang untuk
menanyakan tempat kediaman gurumu. Mari lekas, kalau terlambat bisa
gagal!”
Kwee Ceng terpaksa menurut, maka bersama-sama mereka lari pesat, menuju
kemahnya Kanglam Liok Koay. Ketika itu hari telah siang. Di sini si imam
berkata: “Sebenarnya tidak hendak aku perlihatkan diriku, akan tetapi
urusan ada begini penting, bahaya tengah mengancam, tidak dapat aku
berkukuh lebih lama lagi. Pergilah kau masuk ke dalam, bilang pada
gurumu bahwaTan-yang-cu Ma Giok mohon bertemu sama Kanglam Liok Koay.”
Dua tahun Kwee Ceng ikuti imam ini, baru sekarang ia ketahui nama orang.
Cuma ia tetap belum tahu, siapa imam ini yang semestinya lihay. Ia
mengangguk, tanpa ayal, ia lari ke dalam kemah. “Suhu!” ia berseru
begitu ia menyingkap tenda. Baharu saja ia memanggil itu, mendadak ia
merasakan dua tangannya sakit, tangannya itu kena orang sambar, disusul
mana sakit di kakinya yang kena ditendang, maka terus ia rubuh, akan
setelah itu, sebatang tongkat melayang ke kepalanya! Bukan main kagetnya
ia, apapula kapan ia kenali, penyerangnya itu adalah Kwa Tin Ok,
gurunya yang nomor satu. Ia lantas meramkan mata, untuk menantikan
kebinasaannya.
Segera itu menyusul terdengar suara senjata bentrok, habis mana satu orang lompat kepada anak tanggung itu.
Kwee Ceng segera kenali gurunya yang ketujuh, ialah Han Siauw Eng, siapa
terus berseru: “Toako, tahan!”. Pedang guru itu telah terpental.
Tin Ok menghela napas, ia tancap tongkapnya. “Citmoay, hatimu lemah sekali!” katanya perlahan.
Sekarang Kwee Ceng melihat, orang yang menyambar tangannya adalah Cu Cong dan Coan Kim Hoat. Ia menjadi sangat bingung.
“Mana dia gurumu yang mengajarkan kau ilmu dalam?!” tanya Tin Ok kemudian dengan dingin.
“Dia ada di luar, dia mohon bertemu sama suhu semua,” sahut Kwee Ceng.
Bukan main kagetnya Tin Ok berenam! Bagaimana mungkin Bwee Tiauw Hong
datang diwaktu siang hari bolong? Maka bersama-sama mereka lompat keluar
tenda. Tapi di bawah terangnya sinar matahari, di sana mereka tampak
seorang imam tua, Bwee Tiauw Hong sendiri tidak ada bayangannya
sekalipun.
“Mana itu siluman perempuan” Cu Cong bentak muridnya.
“Teecu telah lihat dia tadi, mungkin sebentar dia bakal datang kemari,” sahut itu murid.
Kanglam Liok Koay berdiam, lalu mereka mengawasi Ma Giok, mereka berenam menjadi ragu-ragu.
Imam itu bertindak maju, ia menjura. “Sudah lama pinto mengagumi
tuan-tuan, sekarang kita dapat bertemu, sungguh pinto merasa sangat
beruntung,” dia berkata.
Cu Cong lepaskan tangan Kwee Ceng, yang ia masih pegangi. Ia membalas
hormat. Ia pun lantas berkata: “Tidak berani memohon tanya gelaran
totiang.”
Sekarang Kwee Ceng ingat, belum lagi ia menolongi si imam menyampaikan
berita, ia lantas berkata: “Inilah Tan-yang-cu Ma Giok Ma Totiang.”
Liok Koay heran, mereka terperanjat. Mereka tahu Ma Giok itu adalah
murid kepala dari Ong Tiong Yang, yang menjadi kauwcu atau kepala agama
dari Coan Cin Kauw. Setelah wafatnya Ong Tiong Yang, dengan sendirinya
dia menjadi pengganti kepala agama itu. Tiang Cun Cu Khu Cie Kee adalah
adik seperguruan dari Ma Giok ini. Dia biasanya berdiam di dalam
kelentengnya, jarang sekali ia membuat perjalanan, dari itu, dalam hal
nama ia kalah terkenal dengan Khu Cie Kee, sedang tentang ilmu silatnya,
tidak ada orang yang mengetahuinya.
“Kiranya ciang-kauw dari Coan Cin Kauw!” berkata Tin Ok. “Maafkan kami!
Entah ada pengajaran apa dari ciang-kauw maka telah datang ke gurun
Utara ini? Adakah kiranya berhubungan sama janji suteemu mengenai pibu
di Kee-hin nanti?”
“Suteeku itu adalah seorang pertapa, tetapi ia masih gemar sekali dalam
urusan pertaruhan,” berkata Ma Giok, “Mengenai tabiatnya itu, yang
bertentangan dengan agama kami, sudah beberapa kali pinto menegurnya.
Mengenai pertaruhan itu sendiri, pinto tidak ingin memcampurinya.
Kedatanganku ini adalah untuk lain urusan. Pertama-tama pinto ingin
bicara tentang anak ini. Pinto bertemu dengannya pada dua tahun yang
lalu, pinto lihat dia polos dan jujur, dengan lancang pinto ajari dia
cara untuk membantu panjang umurnya. Tentang itu pinto belum dapat
perkenan tuan-tuan, maka sekarang pinto mohon tuan-tuan tidak berkecil
hati.”
Liok Koay heran tetapi tidak dapat mereka tidak mempercayainya. Coan Kim
Hoat lantas saja lepaskan cekalannya kepada muridnya itu.
Siauw Eng menjadi girang sekali. “Adakah totiang ini yang ajarkan kamu
ilmu?” ia tanya muridnya. “Kenapa kau tidak hendak memberitahukannya
dari siang-siang, hingga kami menjadi keliru menyangka terhadapmu?” Ia
mengusap-usap rambut muridnya itu, nampaknya ia sangat menyayanginya.
“Totiang larang aku bicara,” Kwee Ceng jawab gurunya ini.
“Pinto biasa berkelana, tidak suka pinto orang ketahui tentang diriku,”
Ma Giok berkata. “Itulah sebabnya walaupun pinto berada dekat dengan
tuan-tuan tetapi pinto tidak membuat kunjungan. Tentang ini pinto pun
memohon maaf.” Ia lantas menjura pula.
Kanglam Liok Koay membalas hormat. Mereka lihat orang alim sekali, beda
daripada saudara-saudaranya, kesan mereka lantas berubah.
Di saat enam saudara ini hendak tanyakan hal Bwee Tiauw Hong, justru itu
terdengar suara tindakannya banyak kuda, lalu tertampak beberapa
penunggang kuda tengah mendatangi ke arah kemahnya Temuchin. Kwee Ceng
menjadi sangat bingung. tahulah ia, itu adalah orang-orangnya Sangum,
yang hendak memancing Temuchin.
“Toasuhu, hendak aku pergi sebentar, sebentar aku akan kembali!” kata ini anak muda dalam bingung dan khawatirnya.
“Jangan, jangan pergi!” mencegah Tin Ok. “Kau berdiam bersama kami.” Tin
Ok mencegah karena ia menyesal atas perbuatannya yang semberono tadi.
ia menjadi sangat menyayangi muridnya ini, karena mana, ia jadi
berkhawatir untuk ancaman bahaya dari pihaknya Bwee Tiauw Hong.
Bagaimana kalau si Mayat Besi datang dengan tiba-tiba?
Kwee Ceng jadi semakin bingung. Ia masih bicara sama guru itu tapi si
guru sudah lantas bicara sama Ma Giok tentang pertempuran mereka melawan
Hek Hong Siang Sat. Terpaksa ia berdiam, hatinya berdenyutan.
Segera setelah itu, terdengar pula congklangnya kuda, kapan Kwee Ceng
menoleh, ia tampak datangnya Gochin. Putri itu menghentikan kudanya
sejarak belasan tindak, lantas ia menggapai berulang-ulang.
Kwee Ceng takut pada gurunya, ia tidak berani pergi menghampirkan, ia hanya menggapai, minta si tuan putri datang lebih dekat.
Gochin menghampiri. kelihatan kedua matanya merah dan bendul, rupanya ia
baru habis menangis. Setelah datang dekat, ia berkata dengan suara
seperti mendumal, “Ayahku….ayahku ingin aku menikah sama Tusaga…” Lalu
air matanya turun pula.
Kwee Ceng tidak sahuti putri itu, ia hanya kata, “Lekas kau pergi kepada
Khan yang agung, bilang Sangum bersama Jamukha lagi mengatur tipu daya
untuk membinasakan kepada Khan!”
Gochin terkejut. “Benarkah itu?” tanyanya.
“Tentu saja benar!” sahut Kwee Ceng. “Aku dengar sendiri persekutuan mereka itu! Lekas kau pergi kepada ayahmu!”
Gochin menjadi tegang hatinya tetapi ia tertawa. “Baik!” katanya. Ia putar kudanya, untuk segera dikasih lari.
Kwee Ceng heran. “Ayahnya hendak dibikin celaka orang, kenapa dia
girang?” ia tanya dirinya sendiri. Lalu ia ingat suatu apa. “Ah! dengan
begini bukankah ia jadi tidak bakal menikah sama Tusaga?” Maka ia pun
bergirang. Ia memang sayangi Gochin sebagai adik kandungnya!
Itu waktu terdengar suaranya Ma Giok. “Pinto bukan hendak menangi lain
orang dengan merendahkan diri sendiri, dengan sebenarnya Bwee Tiauw Hong
itu telah jadi sangat lihay. Dia sekarang telah dapat mewariskan
kepandaiannya Tocu Oey Yok Su dari Tho Hoa To, Tanghay. Ilmunya Kiu Im
Pek-kut Jiauw sudah terlatih sempurnya, sedang cambuknya ada luar biasa.
Kalau kita bekerja sama berdelapan, kita tidak bakal kalah, tetapi
untuk singkirkan dia, jangan harap malah mungkin bakal rugi sendiri…”
“Habis apa sakit hatinya ngoko dan toako mesti dibiarkan tak terbalas?” kata Siauw Eng yang selalu ingat Thio A Seng.
“Sejak dahulu kala ada dibilang, permusuhan harus dilenyapkan, tetapi
jangan diperhebat,” Ma Giok bilang. “Tuan-tuan telah binasakan suaminya,
bukankah berarti sakit hati itu telah terbalas? Dia sebatang kara, dia
pun buta matanya, dia harus dikasihani.”
Liok Koay berdiam. “Dia melatih diri secara demikian hebat, setiap tahun
ia telah bunuh berapa banyak orang yang tidak bersalah dosa,” kata Po
Kie kemudian, “Maka itu totiang, dapatkah kau membiarkannya saja?”
“Laginya sekarang ini dia yang mencari kami, bukan kami yang mencari dia,” Cu Cong berkata pula.
“Taruh sekarang kita menyingkir dari dia,” Coan Kim Hoat menyambungi,
“Kalau benar dia hendak menuntut balas, untuk selanjutnya tak dapat kita
tidak berjaga-jaga. Inilah sulit!”
“Untuk itu pinto telah dapat pikir suatu jalan untuk menghindarkannya,”
berkata Ma Giok. “Jalan ini ada sempurna, asal tuan-.tuan suka berlaku
murah dan suka mengasihani dia untuk membuka satu jalan baru untuknya.”
Cu Cong semua berdiam, mereka awasi kakak mereka, untuk dengar putusan si kakak.
“Kami Kanglam Cit Koay biasa sembrono, kami cuma gemar berkelahi,” kata
Tin Ok kemudian. “Kalau totiang sudi menunjuki suatu jalan terang, kami
pasti akan bersyukur. Silahkan totiang bicara.”
Tin Ok mengerti, imam ini bukan melulu memintakan ampun untuk Bwee Tiauw
Hong, hanya orang lagi melindungi juga mereka sendiri. Selama sepuluh
tahun ini, entah bagaimana kemajuannya si Mayat Besi. Suara kakaknya ini
membikin heran saudara-saudaranya yang lain.
“Kwa tayhiap berhati mulia, Thian tentu akan memberkahi,” kata Ma Giok
seraya mengangguk. “Satu hal hendak pinto memberitahukannya. Turut
pikiranku, selama sepuluh tahun ini, mungkin sekali Bwee Tiauw Hong
telah dapat pengajaran baru dari Oey Yok Su….
Cu Cong semua terkejut. “Hek Hong Siang Sat adalah murid-murid murtad
dari Oey Yok Yu, cara bagaimana dia dapat ajarkan pula ilmu?” ia tanya.
“Itulah memang benar,” berkata Ma Giok, “Hanya setelah mendengar Kwa
tayhiap barusan perihal pertempuran pada belasan tahun yang sudah lalu
itu, pinto dapat menyatakan kepandaiannya Bwee Tiauw Hong telah maju
pesat sekali, tanpa dapat petunjuk dari guru yang lihay, dengan belajar
sendiri, tidak nanti ia dapat peroleh itu. Umpama kata sekarang kita
dapat singkirkan Bwee Tiauw Hong, kemudian Oey Yok Su mendapat tahu,
bagaimana nanti…?”
Tin Ok semua berdiam. Mereka pernah mendengar perihal kepandaian Oey Yok
Su itu, mereka masih kurang percaya sepenuhnya. Mereka mau menyangka
orang bicara secara dilebih-lebihkan. tapi aneh kenapa Ma Giok ini
nampaknya jeri kepada pemilik pulau Tho Hoa To itu?
“Totiang benar,” Cu Cong berkata kemudian. “Silakan totiang beri petunjuk kepada kami.”
“Pinto harap tuan-tuan tidak menertawainya,” Ma Giok minta.
“Harap totiang tidak terlalu merendah,” kata Cu Cong. “Ada siapakah yang tidak menghormati Cit Cu?”
Dengan “Cit Cu” dimaksudkan tujuh persaudaraan Tiang Cun Cu.
“Bersyukur kepada guru kami, memang Cit Cu ini ada juga nama kosongnya
di dalam dunia kangouw,” kata Ma Giok. “Pinto percaya, terhadap kami
dari Coan Cin Kauw, mungkin Bwee Tiauw Hong tidak berani lancang turun
tangan. Karena ini juga, pinto hendak menggunai suatu akal untuk
membikin ia kabur…” Lantas imam itu tuturkan tipunya.
Sebenarnya Tin Ok tidak sudi mengalah, tetapi untuk memberi muka kepada
Ma Giok, terpaksa mereka menurut. Maka itu, habis bersantap, mereka
sama-sama mandaki jurang. Ma Giok dan Kwee Ceng yang jalan di muka, Tin
Ok berenam jalan di belakang Kwee Ceng, murid mereka itu. Mereka dapat
lihat cara naiknya Ma Giok. Mereka percaya, imam ini tidak ada di
sebawahannya Khu Cie Kee, cuma tabiatnya itu dua saudara seperguruan
saja yang berbeda.
Setibanya Ma Giok dan Kwee Ceng di atas, mereka lantas kasih turun
dadung mereka, guna bantu mengerek naik kepada Kanglam Liok Koay.
Sesampai di atas, enam saudara itu segera dapat lihat tumpukan
tengkoraknya Bwee Tiauw Hong. Sekarang ini baharu mereka percaya habis
imam itu.
Lantas semua orang duduk bersemedhi, sambil beristirahat, mereka
menantikan sang sore. Dengan lewatnya sang waktu, cuaca mulai menjadi
guram, lalu perlahan-lahan menjadi gelap. Masih mereka menantikan,
hingga tibanya tengah malam.
“Eh, mengapa dia masih belum datang?” tanya Po Kie, mulai habis sabarnya.
“St! Dia datang…!” kata Tin Ok.
Semua orang berdiam, hati mereka berdenyut. Kesunyian telah memerintah di atas jurang itu.
Sebenarnya Tiauw Hong masih jauh tetapi kuping lihay dari Tin Ok sudah mendengarnya.
Sungguh gesit si Mayat Besi ini. Dia muncul dalam rupa seperti segumpal
asap hitam. Dia terlihat nyata di bawah sinar rembulan. Setibanya di
kaki jurang, ia lantas mulai mendaki. Ia seperti tidak menggunai
kakinya, Cuma kedua tangannya. Dia seperti naik di tangga saja.
Cu Cong semua yang mengawasi, mejadi kagum. Kapan Cu Cong berpaling pada
Coan kim Hoat dan Han Siauw Eng, dia tampak wajah orang tegang. Ia
percaya, wajahnya sendiri tentu begitu juga.
Segera juga Tiauw Hong tiba di atas. Di bebokongnya ia menggendol satu orang, yang lemas, entah mayat atau orang hidup.
Kwee Ceng terkejut kapan ia sudah lihat pakaian orang itu, yang adalah
dari kulit burung tiauw yang putih. Itulah Gochin Baki, putrinya
Temuchin, kawan kesayangannya. Tak dapat dicegah lagi, mulutnya
bergerak, suaranya terdengar. tapi di saat itu juga, Cu Cong bekap
mulutnya, seraya guru yang kedua ini berkata terus, “Kalau Bwee Tiauw
Hong, si wanita siluman itu terjatuh ke dalam tanganku, - aku Khu Cie
Kee – pasti aku tidak akan mau sudah saja!”
Tiauw Hong dengar seruan kaget dan suaranya Kwee Ceng itu, ia heran,
sekarang ia dengar suara orang bicara dan menyebut-nyebut Khu Cie Kee
dan namanya juga, ia menjadi terlebih kaget. Ia lantas saja bersembunyi
di samping batu untuk memasang telinga.
Ma Giok semua telah dapat lihat tingkah laku si Mayat Besi ini, di dalam
hati mereka tertawa. Cuma Kwee Ceng yang hatinya goncang, karena ia
pikirkan keselamatannya Gochin.
“Bwee Tiauw Hong atur tulang-tulangnya di sini, sebentar dia bakal
datang,” berkata Han Po Kie. “Kita baik tunggui saja padanya.”
Tiauw Hong sembunyi tanpa berani berkutik. Ia tidak tahu ada berapa orang lihay yang bersembunyi di situ.
“Dia memang banyak kejahatannya,” ia dengar suaranya Han Siauw Eng,
“Tapi karena Coan Cit Kauw mengutamakan welas asih, baiklah ia diberi
jalan baru….”
Cu Cong tertawa. “Ceng Ceng San-jin sangat murah hati, pantas suhu
pernah bilang kau gampang untuk mencapai kesempurnaan!” katanya. Siauw
Eng bicara sebagai juga ia adalah Ceng Ceng San-jin.
Kauwcu Ong Tiong Yang ada punya tujuh murid yang mendapat nama baik,
tentang mereka itu, tidak seorang juga kaum kangouw yang tidak
mengetahuinya. Murid kepala, si toa-suheng, ialah Tan-yang-cu Ma Giok.
Yang kedua adalah Tiang-cin-cu Tam Cie Toan, yang ketiga Tiang-sen-cu
Lauw Cie Hian. Yang keempat ialah Tang Cun Cu Khu Cie Kee, yang kelima
Giok-yang-cu Ong Cie It. Yang keenam Kong-leng-cu Cek Tay Thong. Dan
yang terakhir adalah Ceng Ceng San-jin Sun Put Jie, istrinya Ma Giok
pada sebelum Ma Giok sucikan diri.
“Tam Suko, bagaimana pikiranmu?” tanya Siauw Eng. Ia tanya Hie Jin, yang disini menyamar sebagai Tam Cie Toan.
“Dia berdosa tak terampunkan!” sahut Hie Jin sebagai Cie Toan.
“Tam Suko,” berkata Cu Cong, “Selama ini telah maju pesat sekali kau
punya ilmu Cie-pit-kang, kalau sebentar si siluman perempuan datang,
silahkan kau yang turun tangan, supaya kami yang menjadi
saudara-saudaramu dapat membuka mata kami. Kau akur?”
Hie Jin sengaja menyahut: “Lebih baik minta Ong Sutee yang gunai kaki
besinya untuk dupak dia, untuk antarkan dia pergi ke sorga di Barat…”
Dalam Coan Cin Cit Cu, Khu Cie Kee yang namanya paling tersohor, yang
kedua adalah Ong Cie It, yang mendapat julukan Thie Kak Sian si Dewa
Kaki Besi, karena lihaynya tendangannya dan pernah ia bertaruh mendaki
jurang yang tinggi hingga ia dapat menakluki beberapa puluh orang gagah
di Utara. Sembilan tahun ia mengeram di dalam gua, untuk meyakinkan
kekuatan kakinya itu. Cie Kee sendiri puji padanya.
Demikian mereka ini berbicara, seperti sandiwara. Cuma Tin Ok yang
bungkam, karena ia khawatir suaranya dikenali Bwee Tiauw Hong.
Pembicaraan itu membikin gentar hatinya si Mayat Besi, hingga ia
berpikir, “Coan Cin Cit Cu telah berkumpul semua, kepandaian mereka juga
maju pesat, kalau aku terlihat mereka, mana bisa aku hidup lebih lama?”
Cu Cong berkata pula: “Malam ini gelap sekali sampai lima jeriji tangan
sukar terlihat, kalau sebentar kita turun tangan, baik semua berlaku
hati-hati. Kita mesti mencegah si siluman perempuan itu dapat meloloskan
diri!”
Girang Tiauw Hong mendengar itu. “Syukur langit gelap,” katanya dalam
hati. “Kalau tidak, dengan mata mereka yang lihay, mereka tentulah telah
dapat lihat aku. Berterima kasih kepada Langit dan Bumi yang sang
rembulan tidak muncul!”
Kwee Ceng sendiri mengawasi Gochin, perlahan-lahan si nona membuka
matanya. Ia menjadi lega hatinya. itu tandanya si nona tidak dalam
bahaya jiwa. ia lantas menggoyangi tangan, untuk mencegah si nona itu
berbicara. Si nona tapinya tidak mengerti. “Engko Ceng lekas tolongi
aku!” ia berteriak.
Kwee Ceng menjadi sangat bingung. “Jangan bicara!” katanya. Tapi dia toh bicara dengan suara keras!
Kagetnya Tiauw Hong tidak kalah dengan kagetnya si anak muda. Segera ia
totok urat gagu si tuan putri itu. Ia lalu menjadi heran dan curiga.
“Cie Peng, apakah kau yang barusan berbicara?” tanya Coan Kim kepada muridnya, yang disamarkan sebagai In Cie Peng.
Kwee Ceng tahu peranannya. “Barusan teecu seperti dengar suara wanita,” ia menyahut.
Tiba-tiba Tiauw Hong ingat apa-apa. “Coan Cin Cit Cu ada disini semua?
Benarkah ada begini kebetulan? Bukankah orang lagi menghina aku karena
aku buta dan sengaja mereka mengatur sandiwara?” ia mulai geraki
tubuhnya.
Ma Giok kasih lihat gerakan si Mayat Besi itu, mengertilah ia bahwa
orang mungkin mulai curiga. Ia menjadi berkhawatir. Kalau terjadi
pertempuran, pihaknya tak usah takut, Cuma dikhawatirkan keselamatan
Kwee Ceng dan Gochin. Dipihak Liok Koay juga mungkin bakal ada yang
bercelaka.
Cu Cong mengawasi gerak-geriknya Bwee Tiauw Hong, ia lihat bahaya
mengancam, segera ia berkata dengan nyaring: “Toa suko, bagaimana dengan
peyakinan pelajaran yang suhu ajarakan beberapa tahun ini, yaitu
Kim-kwan Giok-cauw Ie-sie Koat? Pastilah kau telah peroleh kemajuan.
Coba kau pertunjuki untuk kami lihat.”
Ma Giok tahu Cu Cong ingin dia perlihatkan kepandaiannya guna menakluki
Bwe Tiauw Hong, ia lantas menjawab: “Sebenarnya walaupun aku menjadi
saudara yang tertua, lantaran aku bebal, tak dapat aku lawan kau,
saudara-saudaraku. Apa yang aku dapati dari guru kita, dalam sepuluh
tahun tidak ada dua….
Imam ini bicara secara merendah akan tetapi ia telah gunai tenaga
dalamnya, maka itu suaranya nyaring luar biasa, terdengar tedas sampai
jauh, berkumandang di dalam lembah.
Bwee Tiauw Hong mengkeret mendengar suara orang itu. Perlahan-lahan ia kembali ke tempat sembunyinya.
Ma Giok llihat kelakuan orang, ia berkata pula: “Kabarnya Bwee Tiauw
Hong telah buta kedua matanya, kalau benar, ia harus dikasihani juga,
umpama kata ia menyesal dan suka mengubah kesalahannya yang dulu-dulu
dan tidak tidak lagi mencelakai orang-orang yang tidak bersalah, serta
tidak akan mengganggu pula kepada Kanglam Liok Koay, baiklah kita beri
ampun kepadanya. Khu Sutee, kau bersahabat erat dengan Kanglam Liok
Koay, pergi kau menemui mereka itu, untuk mohon mereka jangan membuat
perhitungan pula dengan dia. Aku pikir, kedua pihak baiklah menyudahi
urusan mereka.”
“Itulah perkara gampang,” sahut Cu Cong. “Penyelesaiannya berada di
pihak Bwee Tiauw Hong sendiri, asal dia suka mengubah perbuatannya….”
Tiba-tiba terdengar suara dingin dari belakang batu: “Terima kasih untuk
kebaikannya Coan Cin Cit Cu! Aku, Bwee Tiauw Hong ada di sini!”
Semua orang terperanjat sangking herannya. Mereka duga Tiauw Hong jeri
dan bakal menyingkirkan diri secara diam-diam, tidak tahunya dia benar
bernyali besar, dia malah menghampiri mereka.
Tiauw Hong berkata pula: “Aku adalah seorang wanita, tidak berani aku
memohon pengajaran dari totiang beramai, tetapi telah lama aku dengar
ilmu silatnya Ceng Ceng San-jin, ingin aku memohon pengajaran dari
padanya…” Habis berkata, ia berdiri, siap sedia dengan cambuknya yang
panjang itu.
Kwee Ceng lihat Gochin rebah di tanah, tubuhnya diam saja, ia
berkhawatir. Memang persahabatannya erat sekali dengan itu putri serta
Tuli. Maka sekarang, tanpa pedulikan lihaynya Bwee Tiauw Hong, ia lompat
kepada kawannya itu, untuk mengasih bangun padanya. Tahu-tahu tangan
kirinya si Mayat Besi sudah lantas menyambar dan mencekal tangan
kirinya. Tentu sekali, tidak dapat ia berdiam saja. Di satu pihak ia
lemparkan tubuh Gochin kepada Siauw Eng, di lain pihak ia geraki tangan
kirinya itu, untuk berkelit. Ia dapat lolos. Tapi Tiauw Hong benar-benar
lihay, ia menyambar pula, kali ini ia memegang nadi orang, maka anak
muda itu menjadi mati daya. “Siapa kau?” tanya si buta.
Cu Cong memberi tanda dengan tangan kepada muridnya itu, atas mana Kwee
Ceng segera memberikan penyahutan: “Teecu adalah In Cie Peng, murid dari
Tiang Cun Cin-jin.”
Tiauw Hong segera berpikir: “Muridnya begini muda tetapi tenaga dalamnya
sudah bagus sekali, ia dapat meloloskan diri dari tanganku. Baiklah aku
menyingkir dari mereka…” Dengan perdengarkan suara, “Hm!” ia lepaskan
cekalannya.
Kwee Ceng lantas lari menjauhkan diri, apabila ia lihat tangannya, di
situ ada petahan lima jari tangan, dagingnya melesak ke dalam. Coba si
Mayat Besi tidak jeri, mungkin tangannya itu sudah tidak dapat ditolong
lagi….
Oleh karena ini, Tiauw Hong pun tidak berani mengulangi tantangannya
untuk mencoba menempur Sun Put Jie. Tapi ia ingat suatu apa, maka ia
tanya Ma Giok: “Ma totiang, timah dan air perak disimpan dengan
hati-hati, apakah artinya itu?”
Ma Giok menyahuti: “Timah itu sifatnya berat, diumpamakan dengan rasa
hati. Itu artinya, rasa hati harus dikendali, dengan berdiam, peryakinan
berhasil.”
Tiauw Hong tanya pula, “Nona muda dan anak muda, apakah artinya itu?”
Pertanyaan itu membuat Ma Giok terkejut. Itu bukanlah pertanyaan biasa.
Kata-kata itu ialah istilah dalam kalangan agama To Kauw. Maka ia lantas
membentak: “Siluman, kau hendak mendapatkan pelajaran sejati? Lekas
pergi!”
Tiauw Hong tertawa lebar. “Terima kasih atas petunjukmu, totiang!”
katanya. Terus ia berlompat, cambuknya digeraki melilit batu, apabila ia
menarik dan tubuhnya mencelat, ia lompat ke arah jurang, gerakannya
sangat enteng dan pesat, hingga orang semua kagum.
Di lain pihak, orang berlega hati melihat perginya wanita bagaikan
siluman itu. Ma Giok segera totok sadar kepada Gochin yang diletaki di
atas batu untuk beristirahat.
“Sepuluh tahun ia tak tertampak, tidak disangka si Mayat Besi telah jadi
begini lihay,” berkata Cu Cong. “Coba tidak totiang membantu kami,
sudah tentu kami sukar lolos dari nasib celaka.”
“Jangan mengucap begitu,” berkata Ma Giok, yang keningnya berkerut, suatu tanda bahwa ia ada mendukakan apa-apa.
“Totiang, apabila kau memerlukan sesuatu, walupun kami tidak punya guna,
kami bersedia untuk menerima titah-titahmu,” Cu Cong tawarkan diri. Ia
lihat imam itu berduka. “Harap totiang jangan segan-segan menitah kami.”
“Oleh karena kurang pikir, sejenak barusan pinto telah kena tertipu
wanita yang sangat licin itu,” berkata imam itu setelah menghela napas
panjang.
Cu Cong semua terkejut. “Adakah totiang dilukai senjata rahasia?” mereka tanya.
“Itulah bukan,” sahut imam itu. “Hanya tadi ketika ia menanya padaku,
tanpa berpikir lagi, pinto telah jawab dia. Pinto khawatir jawaban itu
nanti menjadi bahaya di belakang hari…”
Cu Cong semua mengawasi, mereka tidak mengerti.
“Ilmunya si Mayat Besi ini, yaitu yang disebut Gwa-mui atau ilmu luar,
telah berada di atasan pinto dan saudara-saudara,” sahut si imam
kemudian, “Umpama kata Khu Sutee dan Ong Sutee berada di sini, masih
belum tentu kita dapat menangkan dia. Hanya dalam Iweekang, atau ilmu
dalam, dia belum menemui jalannya yang benar. Setahu dari mana, dia
rupanya telah dapat cari jalan itu, hanya karena tidak ada orang yang
tunjuki, dia belum berhasil menyakinkannya. Tadi ia menanyakan jalan itu
kepada pinto. Mestinya itu adalah jalan yang ia belum dapat tangkap
artinya. Benar pinto telah baharu menjawab sekali, akan tetapi itu satu
juga bisa membantu banyak padanya untuk ia peroleh kemajuan…”
“Harap saja ia insyaf dan tidak nanti melakukan pula kejahatan,” kata Siauw Eng separuh menghibur.
“Harap saja begitu. Kalau dia tambah lihay dan tetap ia berbuat jahat,
dia jadi terlebih sukar untuk ditakluki. Ah, dasar aku yang sembrono,
aku tidak bercuriga….!”
Selagi Ma Giok mengatakan demikian, Gochin perdengarkan suara, lalu ia
sadar. Terus ia angkat tubuhnya, untuk berduduk di atas batu. Ia rupanya
sadar seluruhnya, karena ia lantas berkata kepada Kwee Ceng: “Engko
Ceng, ayahku tidak percaya keteranganku, ayah sudah ajak orang pergi
kepada Wang Khan…”
Kwee Ceng kaget. “Kenapa Khan tidak percaya kepada kau?” ia tanya.
“Tempo aku beritahukan bahwa kedua paman Sangum dan Jamukha hendak
membikin ayah celaka, ayah tertawa terbahak-bahak. Ayah bilang, lantaran
aku tidak sudi menikah dengan Tusaga, aku jadi hendak memperdayainya.
Aku telah jelaskan bahwa hal itu kau dengar dengan kupingmu sendiri,
ayah malah jadi semakin tidak percaya. Ayah bilang, sepulangnya nanti,
ia hendak hukum padamu. Ayah pergi dengan mengajak ketiga kakakku serta
belasan pengiring. Karena itu aku segera berangkat untuk cari kau,
tetapi di tengah jalan aku dibekuk perempuan buta itu. Adakah dia yang
membawa aku menemui kamu?”
Putri ini tak sadar akan bahaya yang mengancam padanya tadinya, maka itu
Cu Cong dan yang lainnya kata dalam hati mereka: “Coba tidak ada kita
disini, tentulah batok kepalamu sudah berlobang lima jari tangan…”
“Sudah berapa lama Khan pergi?” tanya Kwee Ceng yang hatinya cemas.
“Sudah sekian lama,” sahut Gochin. “Mereka menunggang kuda pilihan.
Tidak lama lagi tentulah mereka akan sudah sampai di tempatnya Wang
Khan. Engko Ceng, Sangum dan Jamukha bakal celakai ayahku itu, bagaimana
sekarang?” Lantas saja ia menangis.
Kwee Ceng menjadi bingung. Inilah yang pertama kali ia menghadapi soal sulit itu.
“Anak Ceng lekas kau pergi!” berkata Cu Cong. “Kau pakai kuda merahmu
itu untuk susul Khan yang agung! Umpama kata ia tidak mempercayaimu, dia
harus mengirim orang untuk mencari keterangan terlebih dahulu. Dan kau,
tuan putri, lekas kau pergi kepada kakakmu Tuli, untuk minta ia lekas
siapkan tentara guna segera pergi menyusul dan menolongi ayahmu!”
Kwee Ceng menginsyafi keadaan, tanpa ayal lagi, ia mendahului turun dari
atas jurang, sedang Ma Giok dengan mengikat tubuh Gochin, telah
turunkan tuan putri itu.
Setibanya di lembah. Kwee Ceng kabur ke kemah di mana ia ambil kudanya,
untuk menaikinya, guna dikasih lari sekeras-kerasnya. Ia khawatir
Temuchin keburu sampai di tempat Wang Khan dan itu artinya bahaya untuk
Khan yang maha agung itu. Di lain pihak ia menjadi girang sekali, ia
puas benar dengan kudanya yang larinya sangat pesat, apapula di tanah
rata. Pernah ia mencoba menahan, untuk berjalan perlahan-lahan, ia
khawatir hewan itu terlalu letih, tetapi si kuda tidak mau berhenti,
terus ia lari, nampaknya ia tidak takut capek.
Selang dua jam, baru kuda itu mau juga diistirahatkan sebentar, habis
mana, ia kabur pula. Sesudah lari lagi satu jam, tibalah Kwee Ceng di
tempat datar dimana kedapatan tiga baris tentera yang jumlahnya mungkin
tiga ribu jiwa. Dari benderanya ketahuan, itulah pasukan Wang Khan, yang
siap sedia dengan panah dan golok terhunus.
Di dalam hati Kwee Ceng mengeluh. Terang Temuchin telah lewat di situ,
dan itu berarti, jalan pulang dari Khan agung itu telah terpegat. Karena
ini, ia keprak kudanya untuk dikasih lari lewat di sisi tentara itu.
Ketika si opsir dapat ketahui dan berseru, untuk mencegah, ia sudah
lewat jauh!
Di tengah jalan Kwee Ceng tidak berani berlambat, malah tiga jagaan
telah ia lewatkan terus. Maka itu kemudian ia sudah mulai dapat melihat
bendera yang besar dari Temuchin. Setelah ia mendatangi lebih dekat, ia
tampak rombongan dari belasan orang yang tengah maju terus, ia keprak
kudanya, untuk tiba di samping khan itu.
“Kha Khan, lekas kembali!” ia berteriak. “Jangan pergi lebih jauh!”
Temuchin heran, ia tahan kudanya, “Ada apa?” ia menanya.
“Ada bahaya,” sahut Kwee Ceng, yang terus tuturkan persekutuannya Wanyen
Lieh. Ia pun beritahukan perihal tentera pencegat di belakang mereka.
Dengan roman bersangsi, Temuchin awasi bocah tanggung ini. Ia pun
berpikir: “Memang Sangum tidak akur dengan aku, tetapi ayah angkatku,
Wang Khan, tengah mengandali tenagaku. Saudaraku Jamukha ada sangat baik
denganku, kita sehidup semati, apa mungkin dia hendak mencelaki aku?”
Kwee Ceng tahu khan itu bersangsi, ia kata pula: “Kha Khan, cobalah
kirim orang untuk periksa benar atau tidak ada tentara pencegat jalan!”
Biar bagaimana, Temuchin adalah seorang yang teliti. Ia pun
berpendirian, “Lebih baik terpedaya satu kali tetapi jangan mati
konyol!” Maka ia terus berpaling pada Ogotai, putranya yang kedua itu
dan Chilaun, panglimanya, untuk mengatakan: “Lekas kamu pergi
menyelediki!”
Dua orang itu sudah lantas lari balik.
Temuchin memandang ke sekelilingnya. “Naik ke bukit itu!” Ia kasih perintah. “Siap sedia!”
Dalam keadaan seperti itu, khan ini tidak jeri. Ia pun ada bersama
orang-orangnya yang gagah, malah mereka ini tahu tugasnya, begitu naik
ke atas bukit, mereka lantas menggali lobang dan memindahkan batu, buat
berjaga-jaga diri dari serangan anak panah.
Tak lama dari selatan terlihat debu mengepul naik, disusul sama
munculnya satu pasukan tentara terdiri dari beberapa ribu jiwa. Dipaling
depan pasukan itu terlihat Ogotai dan Chilaun lari kabur mendatangi.
Jebe ada sangat awas, ia tampak tentara itu tengah mengejar. “Benar-benar pasukannya Wang Khan!” ia berseru.
Segera terlihat pula, pasukan pengejar itu memecah diri dalam jumlah
ratusan jiwa, mereka ambil sikap mengurung, guna memegat Ogotai dan
Chilaun, siapa sudah lari terus, tubuhnya mendekam di punggung kuda,
cambuknya dipecut berulang-ulang.
“Anak Ceng, mari kita sambut mereka!” Jebe berteriak. Dan ia keprak kudanya, diturut oleh muridnya.
Hebat lari kudanya Kwee Ceng, mendahulukan gurunya, ia tiba lebih dahulu
kepada Ogotai dan Chilaun, terus ia gunai panahnya, kapan tiga anak
panahnya melesat, tiga pengejar terdepan rubuh dari kuda mereka. Cepat
luar biasa, ia menyusuli dengan anak panahnya yang keempat.
Jebe lebih lihay daripada muridnya ini, ia turut memanah, dengan
berulang-ulang, maka dengan berulang-ulang sejumlah serdadu musuh rubuh
terguling. Akan tetapi musuh berjumlah besar, mereka maju bagaikan
gelombang!
Ogotai dan Chilaun telah tahan kuda mereka dan berbalik, mereka sekarang
turut menyerang dengan panah mereka, sembari menyerang mereka mundur ke
bukit di mana Temuchin menanti. Di sini khan itu bersama Borchu, Juji
dan lainnya, sudah lantas memanah juga. Panah mereka tidak pernah gagal,
dengan begitu pihak pengejar dapat tertahan majunya.
Temuchin naik ke tempat yang lebih tinggi, akan memandang jauh ke empat
penjuru. Ia telah menyaksikan tentaranya Wang Khan tengah mendatangi di
empat jurusan itu. Kemudian pada sebuah pasukan ia tampak seorang yang
menunggang seekor kuda yang besar, yang ditawungi bendera kuning yang
besar juga. Orang itu ialah Sangum, putranya Wang Khan. Ia lantas saja
berpikir. Ia anggap ia mesti menang tempo, dengan memperlambat segala
apa. Sendirian saja, sukar buat ia menoblos kurungan, Tuli sendiri belum
tentu tepat datangnya, karena ada kemungkinan tentaranya tak mau dengar
putra yang masih muda itu.
“Adik Sangum, aku minta sukalah kau datang ke mari untuk bicara!” ia lantas teriaki itu saudara angkat.
Dengan diiringi pasukan pengawalnya, Sangum mendekati bukit. Beberapa
puluh tentara lain pun melindungi dia dengan mereka, siap sedia tameng
besi mereka guna menangkis panah gelap. Ia berlaku jumawa. Ketika ia
buka mulutnya, ia pun nyata sekali kepuasannya. “Temuchin, lekas
menyerah!” demikian ia berteriak.
Temuchin tidak menyahuti, ia hanya menanya: “Apakah salahku terhadap
ayahku Wang Khan, maka kau bawa pasukanmu untuk menyerang aku?”
Sangum pun menjawab dengan pertanyaannya: “Adakah sejak jaman dahulu
kala bangsa Mongol tinggal pada masing-masing sukunya, ternaknya kambing
dan kerbau adalah kepunyaan beramai satu suku, tetapi kau kenapa, kau
langgar aturan leluhur kita? Kenapa kau hendak persatukan semua suku?”
“Bangsa Mongolia telah diperhina oleh negara Kim, negara itu menghendaki
kita setiap tahun membayar upeti beberapa laksa ekor kerbau, kambing
dan kuda, adakah itu selayaknya?” Temuchin balik tanya. “Asal saja kita
bangsa Mongolia tidak saling menyerang, kenapa kita mesti takuti bangsa
Kim itu?”
Kata-kata ini tajam, kapan orang-orangnya Sangum mendengarnya, hati mereka goncang. Mereka setujui perkataan itu.
Temuchin lanjuti perkataannya, “Bangsa Mongolia bangsa orang-orang
peperangan yang pandai, kenapakah kita tidak hendak pergi mengambil emas
dan perak dan permatanya bangsa Kim itu? Kenapa kita mesti tiap tahun
membayar upeti terhadap mereka? Kita bangsa Mongolia ada diantaranya
yang rajin memelihara kerbau dan kambing, ada juga yang malas dan cuma
doyan gegares! Kenapa mereka yang rajin mengasih makan mereka yang malas
itu? Kenapa kita tidak hendak memberikan lebih banyak kerbau dan
kambing kepada yang rajin? Kenapa kita tidak mau membiarkan si malas itu
mati kelaparan?”
Di jaman dahulu bangsa Mongolia hidup dalam suatu keluarga atau suku,
ternaknya adalah kepunyaan suku bersama, kemudian karena tenaga
pertumbuhan mereka bertambah dan adanya pemakaian alat-alat dari besi,
perlahan-lahan sifat itu berubah, ialah kebanyakan bangsa penggembala
itu memakai cara memiliki sendiri-sendiri. Temuchin sengaja singgung
sifat itu, ia membuat tentaranya Sangum menyetujuinya, diam-diam mereka
itu pada mengangguk.
Sangum mengerti orang lagi menghasut tentaranya. “Jikalau kau tidak mau
menyerah!” ia membentak, “Asal aku menuding dengan cambukku ini,
berlaksa anak panah bakal dilepaskan terhadap dirimu! Jikalau itu sampai
terjadi, jangan kau memikir untuk hidup lebih lama pula!”
Kwee Ceng menjadi cemas sekali. Keadaan ada sangat mendesak dan sulit.
Bagaimana bahaya dapat dihindarkan? Selagi ia berpikir, ia lihat satu
penunggang kuda di kaki bukit itu. Penunggang kuda itu dandan sebagai
satu panglima perang, di sebelahnya baju lapis, ia mengenakan juga
mantel bulu kulit binatang tiauw yang mahal. Di tangannya panglima itu
ada sebatang golok besar. Dengan aksi ia larikan kudanya mondar-mandir.
Kwee Ceng kenali panglima yang masih muda itu, Tusaga adanya, putra
Sangum, dengan siapa ia pernah berkelahi waktu kecil. Ia lantas ingat
suatu apa, maka ia jepit kudanya, ia kasih lari turun gunung, untuk
menghampiri pemuda itu.
Celaka untuk Tusaga, begitu kena dicekal, ia mati kutu, tidak dapat ia
berontak, maka tempo Kwee Ceng menarik, tubuhnya kena diangkat dari
kudanya.
Selagi Kwee Ceng hendak geser pemuda itu, ia dengar suara anginnya
senjata mengaung di arah belakangnya. ia berpaling lekas, sambil
berpaling, tangan kirinya menangkis. Tepat tangkisan itu, sepasang
tombak kena dibikin terpental ke udara. Segera ia bentur perut kudanya
dengan dengkulnya yang kanan. Kuda itu pun lantas mengerti, ia lantas
lari ke arah bukit untuk mendaki. Dia dapat lari tak kalah pesatnya
seperti waktu turun tadi.
“Lepas panah!” orang-orangnya Sangum berteriak.
Kwee Ceng tidak takut, ia pegang tubuhnya Tusaga, untuk dipakai menjadi
tameng. Menampak itu, tidak ada satu serdadu pun yang berani memanah,
mereka khawatir nanti kena memanah pemimpin mereka yang muda itu.
Dengan tidak kurang suatu apa pun Kwee Ceng tiba di samping Temuchin. Ia
lempar tubuh Tusaga ke tanah, ke dekatnya khan yang agung itu.
Bukan main girangnya Temuchin. Ia segera menuding dada Tusaga dengan
ujung tombaknya sembari berbuat begitu, ia teriaki Sangum: “Lekas kau
suruh semua orangmu mundur seratus tombak!”