Pendekar Pemanah Rajawali Bab-15 Oey Yong

Sia Tiaw Eng Hiong (Pendekar Pemanah Rajawali), BAB 15 OEY YONG
Anonim
“Anak akan pergi bersama keenam guruku, tak usah anak membawa pengiring,” sahut Kwee Ceng. Ia anggap dengan pergi bersama guru-gurunya, ia tentu bakal berhasil, sedang membawa pengiring-pengiring, yang tidak mengerti ilmu enteng tubuh, melainkan menambah berabe saja. Ia senang sekali dengan pesan Khan ini, untuk membinasakan Wanyen Lieh. Memang semenjak kecil ia telah diempos ibunya, yang sangat membenci bangsa Kim itu.

Jenghiz Khan menerima baik, ia pesan pula, “Sekarang ini kuda kita belum terpelihara gemuk dan tentara kita belum terlatih sempurna, kita belum dapat menandingi negara Kim, maka itu kau harus bekerja baik-baik supaya kau tidak meninggalkan bekas-bekas!”

Kwee Ceng memberikan janjinya.

Jenghis Khan lantas hadiahkan baba mantu itu uang emas tigapuluh tael, untuk ongkos di jalan, sedang Kanglam Liok Koay dipersen barang-barang emas dan berharga bekas rampasan dari Wang Khan.

Di hari ketiga, setelah pamitan dari ibunya dengan keduanya mengucurkan air mata, Kwee Ceng berangkat bersama guru-gurunya. Lebih dahulu mereka sambangi kuburannya Thio A Seng, untuk ambil selamat berpisah dari rohnya guru almarhum itu. Lalu tujuan mereka adalah selatan.

Baharu mereka jalan sepuluh lie lebih, di atasan kepala mereka terlihat dua ekor burung rajawali kepala putih terbang berputaran, lalu terlihat Tuli datang bersama Gochin dengan dua saudara itu merendengi kuda mereka. Tuli memberi bingkisan sepotong baju bulu tiauw yang mahal, yang pun adalah barang rampasan dari Wang Khan.

Gochin datang menemui bakal suaminya itu, akan tetapi ia tidak dapat berbicara, cuma kulit mukanya menjadi bersemu merah.

“Adikku, kau bicaralah dengannya, aku tak akan mendengarinya!” berkata Tuli sambil tertawa, terus ia larikan kudanya, untuk menjauhkan diri.

Gochin menoleh, ia masih belum dapat bicara. Selang beberapa lama, barulah ia pesan: “Kau mesti lekasan pulang…..”

Kwee Ceng mengangguk. “Ada pesan lagi?” ia menanya.

Gochin menggelengkan kepalanya.

Kwee Ceng dekati itu putri, ia pondong tubuhnya, terus ia bawa kepada Tuli. Lalu ia pun saling rangkul dengan Tuli itu, habis mana ia larikan kudanya guna menyusul keenam gurunya, yang sudah berjalan jauh juga.

Gochin melongo, hatinya menjadi tawar. Ia dapatkan sikap Kwee Ceng sama seperti biasa, bukan sebagai satu tunangan. Saking masgul, ia hajar kudanya hingga binatang itu lari berjimpratan.

Kwee Ceng sendiri berjalan terus, keenam gurunya ajak dia menuju ke timur selatan, siang jalan, malam singgah. Segera juga mereka melintasi tanah datar gurun pasir. Pada suatu hari hampir tiba di Hek Sui Ho, tak jauh lagi dari Kalgan, Kwee Ceng lantas merasakan suasana bertukar. Belum pernah ia melintas dari gurun, sekarang ia mulai tiba di Tionggoan, ia dapatkan pemandangan mata yang lain. Tanpa merasa, ia gencet perut kudanya, membikin kudanya itu lari pesat. Maka lekas sekali tibalah ia di Hek Sui Oh, di sebuah rumah makan di tepi jalanan.

Kwee Ceng merasa kasihan melihat kudanya yang kecil itu lari demikian keras hingga bermandikan keringat, ia ambil sabuk dengan apa ia menyusuti. Tiba-tiba saja ia menjadi kaget. Sabuk itu menjadi merah seluruhnya. Tempo ia meraba kudanya dengan tangannya, tangannya itu juga menjadi merah, penuh dengan darah. Hampir ia mengucurkan air mata saking menyesal sudah menyiksa kudanya itu. Tidakkah kuda itu bercelaka dil uar keinginannya? Maka ia rangkul leher kuda itu, untuk menghibur.

Kuda itu sebaliknya nampak segar bugar, tidak ada tanda-tandanya terluka.

Kwee Ceng menoleh, akan mengawasi ke jalan besar dari mana tadi ia datang. Ia mengharap-harap segera tibanya gurunya yang ketiga, Han Po Kie, supaya guru itu suka tolong mengobati kudanya itu. Ia tidak melihat guru-gurunya, yang ketinggalan jauh, maka berulangkali ia menoleh dan menoleh pula.

Masih enam guru itu tak nampak, sebaliknya, kupingnya bocah ini mendengar mengalunnya kelenengan unta. Apabila ia mengawasi, ia lihat mendatanginya empat ekor unta bulu putih, yang penunggangnya pun berpakaian serba putih putih . Mereka itu pria semua.

Belum pernah Kwee Ceng melihat unta-unta yang begitu bagus, ia jadi mengawasi. Ia pun menjadi tertarik dan heran akan mendapatkan keempat penunggangnya semua masih muda-muda, mungkin baru berumur duapuluh dua atau duapuluh tiga tahun, dan semuanya pun beroman tampan.

Setibanya di depan restauran, keempat penunggang unta itu lompat turun dari punggung masing-masing untanya, terus mereka bertindak ke dalam rumah makan itu. Dari gerak-geriknya mereka itu, terang mereka itu mengerti ilmu silat. Di samping pakaian mereka yang putih, di leher mereka itu terlihat bulu rase.

Satu pemuda melihat Kwee Ceng mengawasi padanya, ia menjadi likat, wajahnya pun bersemua dadu, lekas-lekas ia tunduk. Adalah satu kawannya menjadi tidak senang.

“Eh, bocah kau awasi apa?” ia menegur.

Kwee Ceng terperanjat, lekas-lekas ia melengos. Ia lantas dengar mereka itu berbicara satu pada lain, entah apa yang mereka bicarakan itu, habis itu mereka tertawa riuh. Ia malu sendirinya. tentu orang tengah menertawainya. Ia sempat berpikir untuk menukar tempat singgahnya. Syukur untuknya, ia dapatkan tibanya Han Po Kie. Ia lari kepada gurunya itu, untuk terus beritahukan hal kudanya mengeluarkan keringat darah.

“Begitu?” tanya guru itu heran. Ia dekati kuda Kwee Ceng, ia raba punduknya kuda itu, setelah mana, ia bawa tangannya yang berlepotan darah itu ke arah matahari. Ia mengawasi sekian lama, lalu tiba-tiba ia tertawa lebar.

“Ini bukannya darah, inilah keringat!” serunya.

Kwee Ceng tercengang. “Keringat?” ia menanya. “Ada keringat merah?”

Po Kie tidak sahuti muridnya itu, hanya dengan bersemangat ia kata, “Anak Ceng, kau telah dapatkan han-hiat po-ma, yang untuk seribu tahun sukar didapatkan!”

Kwee Ceng heran dan girang. Ia bergirang sebab kudanya tidak terluka. Ia heran akan mendengar halnya han-hiat po-ma, ialah kuda istimewa dengan keringat seperti darah.

“Suhu, kenapa dia mengeluarkan keringat bagaikan darah?” ia menegasi.

“Dulu pernah aku dengar keterangannya guruku, almarhum,” sahut Po Kie. “Turut katanya guruku itu, di tanah barat, yaitu di daerah Ferghana, ada kedapatan sebangsa kuda liar biasa, yang disebut kuda langit, punduk kuda itu mengeluarkan keringat merah seperti darah, bahwa kuda itu keras larinya, satu hari dapat menempuh jarak seribu lie. Tentu itu baru cerita saja, belum pernah ada yang melihat buktinya.”

Selagi guru dan murid ini berbicara, rombongannya Tin Ok tiba. Mereka lantas beritahukan tentang kuda berkeringat merah itu.

Cu Cong adalah seorang sastrawan, ia luas pengetahuannya.

“Tentang itu ada ditulis jelas dalam Kitab Hikayat dan Kitab Jaman Han,” berkata Cu Cong. “Ketika dahulu hari itu bangsawan Pok-bong-houw Thio Kian diutus ke Tanah Barat, di Ferghana dia telah melihat seekor kuda han-hiat po-ma itu, sekembalinya ke negerinya, ia memberitahukannya kepada rajanya, Kaisar Han Bu Tee. Kaisar menjadi kagum, ingin ia mempunyai kuda itu, terus ia kirim utusan membawa emas seribu kati serta seekor kuda-kudaan emas, sebesar kuda biasa, ke Barat itu, untuk dipakai menukar dengan kuda istimewa itu. Raja Ferghana menolak permintaan itu, dia mengatakannya, ‘Kuda itu adalah kuda pusaka negara Ferghana, jadi kuda itu tidak dapat dihadiahkan kepada bangsa Han.’ Utusan Han itu menjadi gusar, mengumbar tabiatnya, ia hajar rusak kuda emas itu, terus ia pulang. Raja Ferghana pun gusar, dia perintah menawan utusan itu, terus dibunuh, emas dan kuda emas itu dirampas.”

Kwee Ceng berseru heran.

Cu Cong menghirup air tehnya.

“Kemudian bagaimana?” tanya murid itu.

Di pihak lain, keempat pemuda serba putih itu juga memperhatikan cerita itu.

“Shatee,” tanya Cu Cong sehabis ia minum pula tehnya, “Kau ahli pemelihara kuda, tahukah kau dari mana asalnya po-ma?”

“Menurut keterangan guruku, po-ma terlahir dari perkawinan kuda rumahan dengan kuda liar!” sahut Po Kie.

“Benar!” berkata Cu Cong. “Menurut kitab, di negara Ferghana itu ada sebuah gunung di dalam mana kedapatan sebangsa kuda liar, yang dapat lari seperti terbang, hingga orang tidak dapat mengejarnya. Tapi orang Ferghana telah mendapat satu akal bagus. Pada suatu malam hari musim semi, mereka lepas satu ekor kuda betina yang berwarna lima di kaki gunung. Kuda liar itu kena terpincuk, dia kawin dengan kuda pancingan itu, ketika kemudian kuda biang itu mendapat anak, anak kuda itu ialah po-ma tersebut. Anak Ceng, mungkin sekali kudamu itu adalah keturunan dari kuda Ferghana itu.

“Bagaimana dengan Kaisar Han Bu Tee itu, apa dia mau sudah saja?” menanya Han Siauw Eng, yang tertarik dengan cerita kakak angkatnya itu.

“Mana mau dia sudah begitu saja,” kata Cu Cong. “Dia lantas perintah Jenderal Lie Kong mengepalai beberapa laksa serdadu pergi ke Ferghana untk mendapatkan kuda itu. Untuk itu, Lie Kong diangkat menjadi jenderal istimewa. Tapi Ferghana adalah negara gurun pasir, tak ada rangsum dan air disana, selama perjalanan banyak tentara terbinasa, sebelum mencapai tempat tujuan, pasukan tentara itu tinggal hanya tiga bahagian. Lie Kong kalah orang, ia terpaksa mundur ke Tun-hong, dari sana ia meminta rajanya mengirim pula bala bantuan. Raja gusar, ia kirim utusan membawa pedang, ke kota Gak-bun-kwan, untuk menjaga. Utusan itu diberi tugas dan kekuasaan: Panglima atau serdadu mana saja yang pergi berperang berani memasuki kota Gak-bun-kwan itu, dia mesti dihukum mati! Lie Kong menjadi serba salah, terpaksa ia menunda di Tun-hong itu.”

Ketika itu terdengar pula kelenengan unta, lalu tertampak datangnya lagi empat penunggang unta seperti empat yang pertama itu. Melihat mereka itu, yang masuk ke dalam restauran, Kwee Ceng heran. Mereka itu muda dan tampan dan pakaiannya serba putih seperti rombongan yang pertama. Dan mereka dua rombongan lantas duduk bersama-sama.

Cu Cong melanjuti ceritanya, “Kaisar Han Bu Tee tidak puas, ia merasa malu. Dengan kalah perang, ia khawatir bangsa lain memandang enteng bangsa Han. Maka ia mengerahkan pula lebih dari pada dua puluh laksa serdadu, ia siapkan kerbau, kuda dan rangsum tak terhingga banyaknya. Masih ia khawatir tentaranya itu belum cukup, ia menambah dengan semua orang hukuman, pamong praja rendah, baba-baba mantu dan kaum pedagang, yang dijadikan serdadu, hingga negera menjadi gempar. Pula dua ahli kuda diberi pangkat tinggi, ialah satu menjadi Kie-ma Kauw-oet, yang lainnya menjadi Cit-ma Kauw-oet, tugasnya ialah nanti sesudah Ferghana dipukul pecah mereka mesti memilih kuda jempolan. Lioktee, kerajaan Han itu mengutamakan tani dan sebaliknya memandang enteng bangsa saudagar, kalau kau hidup di jaman Kaisar Han Bu Tee, apeslah kau, sebaliknya dengan shatee, dia bisa memangku pangkat! Ha ha ha!”

“Dan baba-baba mantu itu, apakah salahnya mereka?” Siauw Eng menanya.

“Siapa miskin dan tak punya sanderan, siapa kesudian dipungut mantu?” Cu Cong menjawab. “Kali ini Lie Kong memimpin angkatan perang yang besar itu. Untuk lebih dari pada empat puluh hari, ia kurung dan serang kota musuh. Banyak panglima musuh terbinasa. Akhirnya kaum ningrat Ferghana menjadi ketakutan, mereka berontak, rajanya dibunuh, kepala raja diserahkan. Mereka mohon menakluk. Mereka pun serahkan kuda yang diperebuti itu. Lie Kong pulang dengan kemenangan besar, raja sangat girang, dia di anugrahkan menjadi bangsawan Hay-see-houw. Orang-orang peperangan yang lainnya pun turut kenaikan pangkat. untuk seekor kuda po-ma itu, entah berapa banyak jiwa sudah melayang, setahu berapa banyak uang sudah dikorbankan. Kaisar mengadakan satu pesta besar, ia perintah mengarang syair untuk memuji kuda langit itu, yang dianggap naga yang pantas menjadi kawannya….”

Mendengar cerita itu, delapan pemuda itu mengawasi kudanya Kwee Ceng, agaknya mereka sangat tertarik.

Cu Cong berkata pula: “Kuda langit menjadi kuda jempolan sebab perkawinannya dengan kuda liar, Kaisar Bu Han Tee sudah kerahkan kekuatan seluruh negeri untuk mendapatkan beberapa ekor kuda itu tapi kemudian ia tidak mendapatkan kuda liar, maka selang beberapa turunan, semua kuda itu tak lagi menjadi po-ma dan keringatnya pun tidak merah…”

Habis Cu Cong bercerita, mereka melanjuti memasang omong sambil dahar mie.

Delapan pemuda itu duduk jauh-jauh, mereka kasak-kusuk tetapi kupingnya Kwa Tin Ok lihay, ia dapat mendengar jelas pembicaraan mereka.

“Kalau kita hendak rampas kuda itu, cukup dengan satu kali turun tangan,” berkata satu pemuda, “Satu kali kita sudah naik atas punggung kuda itu, siapa dapat mengubarnya?”

“Tapi disini ada banyak orang lain dan ia pun ada kawan-kawannya…” kata seorang yang lain.

“Jikalau kawannya berani membantui, kita bunuh saja semua!” kata seorang lagi.

Hu Thian Pian-hk Kwa Tin Ok menjadi heran sekali. “Mereka berdelapan wanita semuanya, mengapa mereka jadi begini galak dan telengas?” tanya ia dalam hatinya. Ia berdiam saja, ia sengaja berpaling ke luar rumah makan. dengan begitu delapan pemuda itu menjadi tidak bercuriga.

“Setelah mendapatkan kuda jempolan ini, kita menghadiahkannya kepada San-cu,” berkata seorang pula. “Dengan menungggang kuda ini, San-cu pergi ke kota raja, tentunya dia menjadi semakin terang mukanya! Pasti sekali Som Sian Lao Koay dari Tiang Pek San dan Leng Tie Sianjin jago Bit Cong Pay dari Tibet tak dapat menangkan keagungannya…!”

Tin Ok berpikir. Ia pernah dengar namanya Leng Tie Siangjin, seorang paderi kenamaan dari Tibet itu, tetapi tak tahu ia perihal Som Sian Lao Koay. Ia terus memasang kupingnya.

“Dalam beberapa hari ini di tengah jalan kita menemui tak sedikit sahabat dari Jalan Hitam,” berkata seorang muda yang lainnya lagi, “Katanya mereka adalah bawahannya Cian-ciu jin-touw Peng Lian Houw. Mereka itu tentu hendak berkumpul juga di kota raja, maka kalau mereka dapat lihat kuda ini, mana kita dapat kebagian?”

Tentang Peng Lian Houw ini Tin Ok ketahui dengan baik. Dialah kepala penjahat paling berpengaruh untuk wilayah Hopak dan Shoasay, yang pun sangat kejam, maka juga dia dapat gelarannya itu, “Pembunuh Ribuan Jiwa”. Maka ia berpikir, “Orang lihay itu pergi ke kota raja, mereka hendak bikin apa di sana? Delapan wanita ini, siapakah mereka?”

Mendengar terlebih jauh, Tin Ok mendapat kepastian mereka itu hendak merampas kudanya Kwee Ceng. Mereka hendak pergi lebih dulu, guna memegat di tengah jalan.

Habis mengambil keputusan, delapan pemuda itu, yang Tin Ok mengatakannya pemudi-pemudi, lalu berkasak-kusuk tentang asmara, mereka pun bergurau. Ada yang kata “San-cu paling sukai kamu!” Ada yang membilang, “Diwaktu begini tentulah San-cu lagi menantikanmu!” maka ia menjadi mengerutkan keningnya, ia menjadi sebal….

“Kalau kita menghadiahkan kuda ini kepada San-cu, coba kau terka, San-cu bakal menghadiahkan apa kepada kita?” berkata satu orang, yang kembali ke urusan kuda.

Yang seorang tertawa dan berkata: “Pasti San-cu menghendaki kau menemani ia tidur untuk beberapa malam…!

“Kurang ajar!” membentak kawan yang digoda itu dan hendak mencubit. Yang lain-lain lantas tertawa geli.

“Kira-kira, hati-hatilah!” seorang memperingati. “Jangan kita membocorkan rahasia sendiri…!”

“Wanita itu membawa pedang, dia tentu mengerti ilmu silat,” kata satu orang. “Dia juga cantik sekali, coba dia lebih muda sepuluh tahun, baharulah heran andai kata San-cu melihat dia dan tidak menjadi kerindu-rinduan…”

Tin Ok tahu Siauw Eng yang menjadi bulan-bulanan, ia mendongkol. ia percaya orang yang dipanggil “San-cu” itu atau “majikan gunung” mestilah bukan orang baik-baik.

“Awas, jangan kau mencari muka dari San-cu dan hendak mati-matian mencarikan nona manis untuknya…!” memperingati satu kawan.

Orang itu tertawa, ia tidak menyahuti.

“Kita harus berhati-hati,” berkata pula seorang yang lain. “Kali ini kita datang ke Tionggoan untuk mengangkat nama, guna menakluki orang kosen, supaya orang-orang kosen di kolong langit ini ketahui kegagahan kita dari Pek To San, maka itu haruslah kita waspada, jangan seperti Hong Ho Su Koay yang sial dangkalan itu, yang menyebabkan orang tertawa hingga giginya copot!”

Tin Ok tidak tahu Pek To San itu, yang berarti Gunung Unta Putih, ada dari partai mana, akan tetapi mendengar disebutnya Hong Ho Su Koay – Empat Siluman dari sungai Hong Ho, ia teringat kepada mereka yang mengeroyok Kwee Ceng.

Seorang berkata pula: “Menurut katanya San-cu, Hong Ho Su Koay adalah murid-murid paling disayangi oleh Kwie-bun Liong Ong, untuk di Liongsee dan Tiong-ciu, namanya sangat kesohor, maka itu adalah sangat aneh yang mereka kabarnya roboh ditangannya satu bocah umur belasan tahun…”

Satu kawannya menyahuti: “Ada orang bilang bocah itu pandai ilmu silat Kiu-im Pek-kut Jiauw, karena tubuhnya Hong Ho Su Koay itu masing-masing meninggalkan beberapa bekas cengkeraman…”

“Maka hati-hatilah kau!” tertawa satu kawannya, “Supaya kau jangan sampai kena dijambak bocah itu!”

“Cis!” sang kawan berludah.

Maka lagi sekali, mereka itu tertawa.

Mendengar pembicaraan itu, Tin Ok mendongkol berbareng merasa lucu. “Sungguh pesat sekali tersiarnya kabaran dalam dunia kangouw!” katanya. “Hanyalah tidak tepat untuk menyiarkan berita anak Ceng mengerti Kiu-im Pek-kut Jiauw. Ilmu itu mana dapat dikuasai tanpa peyakinan belasan tahun? Anak umur belasan tahun mana mempunyakan semacam ilmu silat itu?”

Diam-diam Tin Ok puas yang murid mereka dapat mengalahkan Hong Ho Su Koay, maka tidaklah kecewa didikan mereka selama sepuluh tahun lebih ini.

Habis dahar mie, delapan pemuda itu berlalu dengan cepat bersama untanya.

Tin Ok tunggu sampai orang sudah pergi jauh, ia tanya adiknya yang kedua: “Jietee, bagaimana kau lihat kepandaiannya delapan wanita itu?”

“Wanita?” Cu Cong mengulangi dengan heran sebelum ia menjawab.

“Habis?” sang kakak membalasi.

“Oh, mereka menyamar demikian sempurna!” berkata Cu Cong. “Nampaknya mereka luar biasa, mirip mengerti ilmu silat, rupanya seperi tidak mengerti…”

“Apakah pernah kau dengar tentang Pek To San?” Tin Ok tanya pula.

“Tidak,” sahut Cu Cong setelah berpikir sejenak.

Tin Ok lantas tuturkan apa yang ia dengar barusan. Cu Cong semua tertawa. Besar nyali mereka berani berniat menggempur gunung Tay San….

“Perkara kecil niat mereka merampas kuda anak Ceng,” Tin Ok berkata pula. “Yang penting ialah pembilangan bahwa ada banyak orang gagah hendak berkumpul di kota raja. Mungkin ada gerakan rahasia apa-apa. Aku pikir tak dapat kita membiarkannya saja, perlu kita mencari tahu.”

“Tetapi janji pibu di Kee-hin bakal tiba harinya, tidak dapat kita main ayal-ayalan,” Coan Kim Hoat memperingati.

Mereka itu berdiam, mereka itu merasa sulit juga.

“Kalau begitu, biarlah anak Ceng berangkat lebih dahulu!” Lam Hie Jin menyarankan.

“Apakah sieko maksudkan biar anak Ceng pergi seorang diri ke Kee-hin? Kita menyusul dia sesudah kita menyelidiki warta perihal orang-orang gagah yang berkumpul di kota raja?” Siauw Eng menegaskan.

Lam Hie Jin mengangguk.

“Benar,” Cu Cong menyatakan setuju. “Biar anak Ceng berjalan seorang diri, untuk mencari pengalaman.”

Mendengar itu Kwee Ceng merasa sangat tidak puas. Tidak menggembirakan untuk ia berjalan seorang diri. Ia utarakan perasaannya itu.

“Orang begini besar masih bersifat kebocahan!” Tin Ok menegur.

Siauw Eng lantas membujuki: “Kau pergi lebih dahulu di sana menunggui kita. Tak sampai satu bulan, kami akan menyusul. Umpama di harian pibu kita tidak dapat kumpul semua berenam, satu atau dua tentulah dapat tiba untuk mengurus kamu. Jangan kau khawatir.”

Dengan terpaksa Kwee Ceng memberikan persetujuannya.

“Delapan wanita itu hendak merampas kudamu,” Tin Ok pesan, “Pergi kau ambil jalan kecil, untuk mendahului mareka. Kudamu keras larinya, tidak nanti dapat mereka menyusul. Kau mempunyai urusan penting, jagalah supaya kau jangan terganggu urusan sampingan.”

“Umpama benar mereka main gila, Kanglam Cit Koay tidak nanti lepaskan mereka!” berkata Han Po Kie. Dia tetap menyebut diri Cit Koay meskipun sudah belasan tahun semenjak meninggalnya Thio A Seng, hingga sekarang mereka tinggal berenam (Liok Koay). Itulah tandanya ia tidak bisa melupakan saudara angkatnya itu.

Habis bersantap, Kwee Ceng lantas memberi hormat kepada keenam gurunya, untuk mengucapkan selamat jalan.

Liok Koay berlega melepaskan muridnya ini, yang kelihatan sudah dapat diandalkan menyaksikan perlawanannya terhadap Hong Ho Su Koay. Memang perlu murid ini membuat perjalanan sendiri, sebab pengalaman tak dapat diajari, itu mesti diperoleh sendiri. Mereka itu pada memesan, paling belakang pesan Hie Jin singkat saja: “Jikalau tidak ungkulan, menyingkir!” Pesan ini diberikan sebab ia melihat, melayani Empat Siluman dari Hong Ho, muridnya ini ngotot hingga ia membahayakan diri sendiri.

“Memang,” berkata Coan Kim Hoat, “Ilmu silat tidak ada batasnya, di luar gunung ada gunung lainnya lebih tinggi, di sebelah orang ada lagi lain orang yang terlebih pandai, biarpun kau sangat lihay, tidak dapat kau menjagoi sendiri di kolong langit. Maka ingatlah pesan gurumu yang keempat ini.”

Kwee Ceng mengangguk. Ia pay-kui kepada enam gurunya itu, lantas ia menuju ke selatan. Belum ada dua lie, ia sudah menghadapi jalan cabang dua. Ia turuti pesan Tin Ok, ia lantas ambil jalan kecil. Jalanan ini lebih jauh, sebab kecil dan berliku-liku, di sini sangat sedikit orang berlalu lintas. Jalanan pun sukar, banyak koral dan pasirnya, ada pepohonan kecil yang liar. Untungnya untuk dia, ia menunggang kuda dan kudanya pun dapat lari pesat.

Sekira tujuh atau delapan lie, Kwee Ceng tiba di jalanan pegunungan yang sulit dan berbahaya, jalanan sempit dan banyak batu besarnya. mau tidak mau, ia berlaku hati-hati. Ia pun meraba gagang pedangnya.

“Kalau sam-suhu melihat sikapku ini, dia pasti akan damprat aku…” pikirnya.

Selagi jalan terus, di sebuah tikungan, Kwee Ceng terkejut. Di depan ada tiga nona dengan pakaian serba putih, ketiganya bercokol di atas punggung unta. Mereka itu melintang di tengah jalan. Dari jauh-jauh, ia tahan kudanya, hatinya pun tercekat.

“Numpang jalan!” ia lantas berkata, suaranya nyaring.

Ketiga nona itu tertawa tergelak. “Adik kecil, takut apa?” kata satu diantaranya. “Lewat saja! Kami pun tidak nanti gegares padamu!”

Kwee Ceng jengah, mukanya dirasai panas. Ia bersangsi. Bicara dulu atau menerjang saja?

“Kudamu bagus, mari kasih aku lihat!” kata satu nona lain. Ia mengasih dengar nada lagi bicara sama anak kecil.

Tentu saja tak puas Kwee Ceng diperlakukan demikian. Ia mengawasi jalanan yang sempit itu. Di tempat begitu, tak dapat ia tempur mereka itu. Maka ia lantas ambil keputusan. Ia tarik les kudanya, kedua kakinya menjepit. Dengan ini cara, ia kasih kudanya kaget, untuk lari dengan tiba-tiba. ia seperti hendak menerjang ketiga orang itu.

“Awas! Buka jalan!” ia berseru seraya ia hunus pedangnya.

Pesat lari kudanya, sebentar saja ia sudah datang dekat.

Satu nona lompat turun dari untanya, ia maju seraya ulur tangannya, maksudnya hendak menyambar les kuda, untuk tahan kuda itu. Tapi Kwee Ceng membentak, kudanya berbenger, terus berlompat tinggi, lompat lewati tiga nona itu!

Ketiga nona itu terkejut, Kwee Ceng sendiri tidak terkecuali, saking heran atas lihaynya kuda itu, untuk pengalamannya ini yang luar biasa. Belum sempat ia menoleh ke belakang, ia sudah dengar bentakan ketiga nona itu, tepat waktu ia menoleh, ia lihat menyambarnya dua rupa barang berkilauan. Ia mau berlaku hati-hati, ia khawatir senjata rahasia itu ada racunnya, ia menyambuti dengan kopiahnya, yang ia lekas cabut.

“Bagus!” memuji dua nona.

Kwee Ceng periksa kopiahnya. Nyata dua senjata rahasia itu adalah gin-so atau torak terbuat dari perak yang indah, ujungnya tajam, tajam juga kedua pinggirannya.

“Kamu telengas hendak mengambil jiwaku,” pikir si anak muda dengan mendongkol. “Bukankah kita tidak kenal satu sama lain dan tidak bermusuhan?” Tapi ia tidak mau membalas, tak sudi ia melayani, gin-so itu ia masuki dalam sakunya. Ia hanya dapat lihat, gin-so bertabur emas yang merupakan unta-unta kecil.

Sampai di situ, pemuda ini larikan pula kudanya. Ia tidak menaruh perhatian ketika ia dengar dua ekor burung dara terbang lewat di atas kepalanya, dari utara ke selatan. Ia hanya khawatir nanti ada yang memegat pula. Tidak sampai satu jam, ia sudah melalui seratus lie lebih. Ia singgah sebentar, terus ia jalan pula. belum sore, ia sudah tiba di Kalgan. ia percaya ketiga nona tadi tidak bakal dapat candak dia, sebab ia duga jarak mereka kedua pihak ada jarak seperjalanan tiga hari…….

Kalgan adalah kota hidup untuk perhubungan antara selatan dan utara, penduduknya padat, perdagangannya ramai. Di situ terutama terdapat banyak kulit dan bulu binatang, yang datangnya dari tempat lain tempat. Di sini Kwee Ceng turun dari kudanya, ia berjalan seraya menuntun binatang ini, matanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Belum pernah ia melihat kota seramai ini. Kebetulan tiba di depan restoran, ia merasa lapar, maka ia tambat kudanya di luar, ia masuk ke dalam, akan pilih tempat duduk. Ia minta sepring daging kerbau dan dua kati mie. Seorang diri ia dahar dengan bernafsu. Ia hanya tidak pakai sumpit, ia turut kebiasaan orang Mongolia, memakai tangannya.

Tengah bersantap, ia dengar suara kerisik di luar rumah makan. Ia lantas ingat kepada kudanya, ia lompat bangun, untuk melongok keluar. Ia dapatkan kudanya sedang makan rumput dengan tenang. Yang membikin banyak berisik adalah dua jongos terhadap satu pemuda yang tubuhnya kurus dan pakaiannya butut.

Pemuda itu berumur lima atau enambelas tahun, kepalanya ditutup dengan kopiah kulit yang sudah pecah dan hitam dekil, mukanya pun hitam penuh jelaga, hingga tidak terlihat tegas wajahnya. Di utara, sekalipun di musim semi, hawa udara dingin, dan pemuda ini tidak memakai sepatu. Teranglah ia seorang melarat. Di tangannya ia mencekal sepotong bakpauw. Ia mengawasi kedua jongos dengan tertawa, hingga terlihat dua baris giginya yang putih, rata, hingga gigi bagus itu tak sembabat sama dandannya yang compang-camping itu.

“Mau apa lagi?!” menegur satu jongos, “Kenapa kau tidak mau lantas pergi?!”

“Baiklah, pergi ya pergi…” kata pemuda itu seraya ia putar tubuhnya.

“Eh, lepas bakpauw itu!” menitah jongos yang satunya.

Pemuda itu letaki bakpauw itu yang tapinya sekarang tertanda tapak tangan, hitam dan kotor. Tentu saja kue itu tak laku dijual.

Jongos itu menjadi gusar. Ser! kepalannya melayang. pemuda itu mendak, kepalan lewat di atasan kepalanya.

Kwee Ceng menjadi kasihan. ia tahu orang tentu sudah lapar. “Jangan!” ia cegah si jongos. “Aku yang membayar uangnya.” Ia jumput bakpauw itu, ia sodorkan kepada si pemuda.

Pemuda itu menyambuti. “Makhluk yang harus dikasihani, ini aku bagi kau!” berkata ia. Dan ia lemparkan itu kepada seekor anjing buduk di depan pintu.

Anjing itu, seekor anjing kecil, menubruk dengan kegirangan, terus ia gegares bakpauw itu.

“Sayang…sayang…” kata satu jongos. “Bakpauw yang lezat dikasihi ke anjing….”

Kwee Ceng pun heran, tetapi ia diam saja, ia balik ke mejanya untuk melanjuti bersantap. Pemuda itu mengikuti ke dalam, ia mengawasi anak muda kita.

Kwee Ceng lihat kelakuan orang, ia menjadi malu hati. “Mari dahar bersama!” ia mengundang.

“Baik!” tertawa pula pemuda itu. “Aku sendirian tidak gembira, aku memang lagi mencari kawan.” Ia bicara dengan lidah Selatan. Kwee Ceng mengerti omongan orang. Bukankah ibunya berasal dari Lim-an, Ciat-kang, dan ia biasa dengar ibunya bicara? Ia malah girang mendengar lagu suara orang sekampung.

Pemuda itu menghampiri, untuk duduk bersama.

Kwee Ceng teriaki jongos, meminta tambahan makanan. Jongos itu melayani dengan ogah-ogahan, sebab ia lihat pakaian orang yang butut dan kotor itu.

“Apakah kau sangka aku melarat dan jadinya tak pantas aku dahar barang makananmu?” si pemuda tegur jongos itu, yang ia lihat lagak lagunya. “Aku khawatir, meski kau menyuguhkan makananmu yang paing jempol, bagiku itu rasanya masih kurang cocok.” lanjutnya lagi.

“Apa?!” sahut jongos itu tawar, “Coba lojinkee menyebutkannya, pasti kami dapat membuatnya! Hanya aku khawatir, habis kau dahar, kau tidak punya uang untuk membayarnya!”

Dengan sengaja ia menyebut “lojinkee” atau orang tua yang dihormati, untuk menyindir.

Pemuda itu mengawasi Kwee Ceng. “Tidak peduli aku dahar berapa banyak, maukah kau yang mentraktir?” tanyanya.

“Pasti!” sahut Kwee Ceng tanpa berpikir lagi. Ia menoleh kepada si jongos, akan memerintahkan: “Potongi aku sekati daging kerbau serta setengah kati hati daging kambing!” Ia telah hidup terlalu lama di Mongolia hingga tahunya, makanan yang paling lezat di kolong langit ini adalah daging kerbau dan kambing. Ia menoleh pula kepada si anak muda, “Kita minum arak atau tidak?” ia tanya.

“Kita jangan repoti mendahar daging, baik kita makan bebuahan dulu!” menyahuti si anak muda. Ia lantas kata pada jongos: “Eh, kawan, lebih dulu kau sediakan empat rupa buah kering dan empat rupa buah segar, dua yang asam manis, dua yang manis bermadu.”

Jongos itu heran hingga ia terperanjat. Ia tidak menyangka orang omong demikian takabur.

“Toaya menghendaki buah apa yang segar bermadu?” tanyanya, suaranya tawar.

“Rumah makanmu ini rumah makan kecil dan tempatmu ini tempat melarat, pasti tidak dapat kamu menyediakan barang bagus,” berkata si anak muda. “Sekarang begini saja! Empat rupa buah kering itu ialah leeci, lengkeng, co dan ginheng. Buah yang segar yaitu kau cari yang baharu dipetik, yang asam aku ingin buah ento harum, dan kiang-sie-bwee. Entah di sini ada yang jual atau tidak? Yang manis bermadu? Ialah jeruk tiauw-hoa-kim-kie, anggur hiangyoh, buah tho-tong-songtiauw dan buah lay-hauwlongkun….”

Mendengar itu, jongos itu menjadi melongo. Sekarang ia tak berani lagi memandang enteng kepada anak muda ini.

Si anak muda berkata pula; “Untuk teman arak, di sini tidak ada ikan dan udang segar, maka kau sajikan saja delapan rupa barang hidangan yang biasa!”

Jongos itu mengawasi. “Sebenarnya tuan-tuan ingin dahar masakan apa?” ia tanya.

“Ah, tidak dijelaskan, tidak beres!” berkata si anak muda itu. “Delapan rupa masakan itu ialah puyuh asap, ceker bebek goreng, lidah ayam cah, soto manjangan keekangyauw, soto burung wanyoh, bakso kelinci, paha mencak dan kaki babi hong.”

Mendengari itu mulutnya si jongos ternganga.

“Delapan masakan itu mahal harganya,” kata kemudian. “Untuk ceker bebek dan lidah ayam saja kita membutuhkan beberapapuluh ekor ayam….

Si anak muda menunjuki Kwee Ceng. “Tuan ini yang mentraktir, apakah kau kira dia tidak kuat membayarnya?” tanya ia.

Jongos mengawasi pemuda kita, yang dandannya indah dan malah mengenakan bulu tiauw, ia duga bukan sembarang orang.

“Baiklah,” sahutnya kemudian. “Apakah sudah cukup semua ini?”

“Habis itu, kau sajikan lagi duabelas rupa untuk teman nasi,” berkata pula si anak muda. “Lainnya ialah delapan rupa tiamsim. Nah, sebegitu dulu!”

Jongos itu berlalu dengan cepat, ia khawatir orang nanti minta pula makanan lainnya. Setelah pesan koki, baharu ia keluar pula. Sekarang ia tanya tetamunya, hendak minum arak apa. Ia kata, ia ada punya arak Pek-hun-ciu simpanan sepuluh tahun, apa boleh ia menyediakan dulu dua poci?

“Baiklah!” sahut si anak muda yang mengenai arak tak banyak cerewet.

Tidak terlalu lama, semua buah yang diminta telah disajikan saling susul-menyusul.

Kwee Ceng cobai itu semua, satu demi satu, dan ia merasakan kelezatan yang dulu-dulunya ia belum pernah cicipi.

Sembari dahar bebuahan, si anak muda bercerita banyak, tentang segala apa di Kanglam. Kwee Ceng tertarik hatinya. Orang bicara rapi, enak didengarinya. Rupanya orang luas pengetahuannya. Ia sampai mau percaya, anak muda itu ada lebih pintar dari pada gurunya yang kedua.

“Aku menyangka ia cuma miskin, tak tahunya dia terpelajar tinggi,” katanya dalam hatinya.

Selang kira setengah jam, datanglah barang hidangan, yang mesti disajikan di atas dua meja yang disambung menjadi satu.

Anak muda itu minum sedikit sekali. Barang hidangan, yang ia pilih, ia pun cuma dahar beberapa sumpitan. Sembari berdahar, ia sekarang banyak bertanya kepada Kwee Ceng, yang mengaku datang dari padang pasir. Kwee Ceng ingat pesan gurunya, ia tidak berani bicara terlalu banyak, ia jadi cuma bicara tentang memburu binatang liar, memanah burung rajawali, menunggang kuda dan menggembala kambing. tapi si anak muda sangat tertarik hatinya, hingga ia tertawa dan bertepuk tangan.

Kwee Ceng sendiri sangat gembira berkumpul bersama ini kawan baru. Di gurun pasir ia bergaul erat sekali dengan Tuli dan Gochin, toh masih ada perbedaannya, ialah Tuli sering mendampingi ayahnya. Gochin benar baik tetapi putri itu kadang-kadang manja sekali dan ia tidak sudi mengalah, maka sering mereka bertengkar. Maka itu, bicara lebih jauh, ia pun suka omong lebih banyak, kecuali hal ia mengerti silat dan mempunyai hubungan erat dengan Temuchin. Satu kali, saking gembira, ia cekal tangan si anak muda, untuk dipegang keras-keras. Hanya aneh, tangan itu ia rasai halus sekali. Si anak muda pun tersenyum dan menunduk.

Pernah Kwee Ceng menatap muka si anak muda, walaupun mehongan, kulit muka itu agaknya halus dan bersemu putih, tetapi tentang ini, ia tidak memperhatikannya.

“Sudah terlalu lama kita bicara, barang hidangan keburu dingin,” kata si anak muda seraya tarik tangannya. “Nasi pun sudah dingin…”

“Benar,” sahut Kwee Ceng, sadar. “Baik suruh panasi lagi…”

“Tidak usahlah, terlalu panas pun tidak dapat didahar,” berkata si anak muda, yang tapinya memanggil jongos, menyuruh menukar hidangan yang terlalu dingin dengan yang baru!

Jongos dan kuasa rumah makan menjadi heran. Seumurnya, baru kali ini mereka mendapatkan tetamu seaneh ini. Tapi mereka iringi kehendak itu.

Kwee Ceng pun berdiam saja, ia tidak pikirkan harganya barang makanan itu.

Sesudah barang makanan siap semua, anak muda itu dahar lagi sedikit saja, lalu ia mengatakannya sudah cukup. Menyaksikan itu, si jongos katakan Kwee Ceng dalam hatinya, “Dasar kau, bocah tolol! Bocah hina ini permainkan padamu!”

Kapan kuasa restoran sudah berhitungan, harganya semua buah dan makanan itu berjumlah tigaratus sembilan tail, tujuh chie empat hun. Untuk membayar itu, Kwee Ceng mengeluarkan dua potong emas, untuk ditukar dengan limaratus tael perak. Sehabis membayar, Kwee Ceng pun kasih persen sepuluh tael hingga kuasa restoran dan jongos itu menjadi girang, dengan kelakuan sangat menghormat, mereka mengantar keluar kedua tetamunya itu.

Di luar salju memenuhi jalan besar.

“Aku telah mengganggu kamu, ijinkan aku pamitan,” si anak muda meminta diri seraya memberi hormat.

Kwee Ceng berhati mulia, melihat pakaian orang yang tipis dan pecah, ia loloskan baju kulit tiauwnya, ia kerobongi itu di tubuh si anak muda. Ia kata, “Saudara, kita baharu ketemu tetapi kita sudah seperti sahabat-sahabat kekal, maka aku minta sukalah kau pakai baju ini!” Tidak cuma baju, ia pun memberikan uang. Ia masih punya sisa empat potong emas, yang tiga ia sisipkan ke dalam saku baju tiauw itu.

Si anak muda tidak mengucap terima kasih, ia pakai baju itu, terus ia ngeloyor pergi. Adalah setelah jalan beberapa tindak, ia baru menoleh ke belakang, hingga ia tampak Kwee Ceng lagi berdiri bengong dengan tangan memegangi les kuda merahnya, seperti juga pemuda itu kehilangan sesuatu. ia lantas saja angkat tangannya, untuk menggapaikan.

Kwee Ceng lihat itu panggilan, ia menghampirkan dengan cepat. “Saudaraku, apakah kau masih kekurangan apa-apa?” ia menanya. Ia sebenarnya memanggil adik (hiantee).

Anak muda itu tersenyum. “Aku masih belum belajar kenal she dan nama kakak yang mulia,” ia menyahuti.

Kwee Ceng pun tertawa. “Benar, benar!” katanya. “Aku pun sampai lupa! Aku she Kwee, namaku Ceng. Kau sendiri hiantee?”

“Aku she Oey, namaku pun satu, Yong,” jawab anak muda itu.

“Sekarang hiantee hendak pergi ke mana?” Kwee Ceng tanya. “Umpama kata hiantee hendak kembali ke Kanglam, bagaimana apabila kita berjalan bersama?”

Oey Yong menggeleng kepala. “Aku tidak niat pulang ke Selatan,” sahutnya. “Tapi toako, aku merasa lapar pula…” ia menambahkan.

“Baiklah, mari aku temani lagi kau bersantap,” jawab Kwee Ceng, yang tidak merasa aneh atau mendongkol.

Kali ini Oey Yong yang mengajak kawannya itu. Ia pilih rumah makan yang paling besar dan kenamaan untuk kota Kalgan, yaitu Restoran Tiang Keng Lauw, yang bangunannya juga mencontoh model restoran besar dari Pian Ling, ibukota dahulu. Hanya kali ini ia tidak meminta banyak macam makanan, cuma empat rupa serta sepoci teh Liong-ceng.

Di sini kembali mereka pasang omong.

Kapan Oey Yong dengar Kwee Ceng omong perihal dua ekor burung rajawali putih, ia menjadi tertarik hatinya.

“Justru sekarang tidak tahu aku mesti pergi ke mana, baik besok aku pergi saja ke Mongolia,” ia kata. “Di sana aku cari dan tangkap dua anak burung itu untuk aku buat main.”

“Hanya sukar untuk mencari anaknya,” Kwee Ceng beritahu.

“Tapi kau toh dapat menemuinya,” berkata si anak muda.

Kwee Ceng tidak dapat menjawab, ia pun menemuinya burung itu secara kebetulan.

“Eh, hiantee, rumahmu di mana?” ia tanya. “Kenapa kau tidak mau pulang saja?”

Tiba-tiba saja mata Oey Yong menjadi merah. “Ayahku tidak menginginkan aku…” ia menyahut.

“Kenapa begitu?” Kwee Ceng tanya.

“Ayahku larang aku pergi pesiar, aku justru mau pergi,” sahut Oey Yong. “Ayah damprat aku. Karena itu malam-malam aku minggat….”

“Sekarang pasti ayahmu tengah memikirkan kau,” Kwee Ceng berkata pula. “Dan ibumu?”

“Ibuku sudah meninggal dunia. Aku tidak punya ibu sejak masih kecil…”

“Kalau begitu, habis pesiar, kau mesti pulang.” kata Kwee Ceng lagi.

Oey Yong menangis. “Ayahku tidak menginginkan aku lagi…” katanya.

“Ah, tak bisa jadi,” Kwee Ceng bilang.

“Jikalau begitu, kenapa ayah tidak cari aku?” kata si anak muda lagi.

“Mungkin ia mencari, cuma tidak ketemu…” Kwee Ceng mencoba menghibur.

Oey Yong tertawa. “Kalau begitu, baiklah, habis pesiar aku pulang!” katanya. “Cuma aku mesti dapati dulu dua ekor anak rajawali putih…”

Selagi kedua pemuda ini bicara dengan asyik, di tangga lauwteng terdengar suara tindakan kaki, lalu tertampak munculnya tiga orang, ialah dua kacung yang mengiringi satu pemuda dengan baju sulam yang indah. pemuda itu tampan sekali, wajahnya terang, usianya barangkali baru delapan atau sembilan belas tahun. Ia memandang Kwee Ceng dan Oey Yong. Melihat pakaian orang yang kotor, ia mengerutkan kening, lantas ia menunjuk meja yang terpisah jauh. Atas itu kedua kacung menghampirkan meja yang ditunjuk itu, untuk mengatur mangkok dan sepasang sumpit, yang ia bawa dari rumah. Mangkok dan sumpit yang mana disimpan dalam sebuah kotak. Jongos juga segera repot melayani tetamu baru ini.

Kwee Ceng mengawasi sebentar, lantas ia tidak pedulikan lagi tetamu itu. Ia kembali mengobrol bersama sahabat barunya itu.

Belum lama, di bawah lauwteng terdengar suara kuda meringkik, disusul mana beberapa kali bentakan dari beberapa orang. Ia ingat akan kudanya, maka ia lari ke jendela untuk melongok ke bawah. Ia dapatkan beberapa orang dengan pakaian serba putih tengah mengurung kudanya itu, yang hendak ditangkap, tetapi kuda itu berjingkrakan, hingga ia tak dapat didekatkan. Ia menjadi gusar sekali, terutama sebab ia lantas kenali, orang-orang itu adalah delapan penunggang unta yang memang berniat merampas kudanya itu. Ia hanya heran kenapa orang dapat menyusul ia demikian lekas. Lantas ia berseru: “Di siang bolong kamu berani merampas kudaku?” Lantas ia lari turun dari lauwteng. Setibanya ia di depan rumah makan, di sana ia dapatkan delapan orang berpakaian putih itu sedang rebah tanpa berkutik. Ia menjadi heran sekali, sehingga ia berdiri menjublak.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar