Menjelang pagi, yang Kui Hui
yang kekenyangan melampiaskan nafsu, terlena di pembaringan, wajahnya yang agak
pucat menoleh kepada Swi Liang yang tidur pulas di sampingnya, lalu wanita
cantik itu tersenyum. Jari-jari tangannya yang halus itu bergerak membelai dada
telanjang dari pemuda itu, lalu ditariknya kembali tangannya dan dia menghela
nafas panjang. Setelah kekenyangan, barulah dia dapat berfikir dan barulah
selir Kaisar ini sadar betapa bodohnya dia membiarkan dirinya terseret oleh
nafsu.
Pemuda ini tentu seorang pria
sejati yang menyamar sebagai wanita. Hal ini sudah jelas! Dan di balik
penyamaran ini tentulah ada suatu rahasia! Kesadaran ini mengejutkan hatinya
dan menimbulkan kekhawatirannya. Dia adalah selir yang cerdik sekali. Yang Kui
Hui bangkit duduk dan perlahan-lahan, agar jangan membangunkan pemuda itu, dia
mengenakan pakaiannya. Matanya tak pernah berpindah dari wajah Swi Liang dan
sambil memakai pakaiannya, dia mengenangkan semua yang mereka lakukan semalam
ketika mereka bermain cinta tanpa mengenal puas sampai akhirnya tertidur
kelelahan. Betapapun juga, pemuda itu terlalu halus. Bagi wanita macam Yang Kui
Hui yang sudah banyak pengalaman bermain cinta dengan pria, kejantanan Swi
Liang kurang memuaskan hatinya. Betapa jauhnya dibandingkan dengan An Lu San!
An Lu San barulah boleh disebut seorang laik-laki sejati! Dengan kekudukannya
yang tinggi dan pengaruhnya yang besar, dengan tubuhnya yang tinggi besar,
tenaganya yang seperti singa, dengan permainan cintanya yang liar kasar dan
wajar, menonjolkan kejantanan yang amat hebat! Sedangkan pemuda ini, terlalu
halus, masih hijau dan kurang pengalaman, dan yang lebih berbahaya lagi, pemuda
ini tentulah seorang mata-mata musuh! Yang Kui Hui bergidik ngeri.
Betapa bodohnya dia, mudah
terbujuk dan terseret oleh nafsunya sendiri dan terkena rayuan seorang
mata-mata. Untung mata-mata ini belum bertindak terlalu jauh. Bagaimana kalau
semalam dia dibunuhnya? Yang Kui Hui bergidik dan bergegas turun dari pembaringan,
dengan hati-hati dia mengambil pedang bersarung indah yang diletakan oleh Swi
Liang di atas tumpukan pakaiannya, kemudian selir Kaisar itu berindap-indap
menuju ke pintu kamar, membuka pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun
pintu perlahan-lahan. Tak lama kemudian dia telah berbisik-bisik dengan
beberapa orang pengawal pribadinya, kemudian memasuki kamar lain setelah merasa
yakin bahwa para pengawalnya yang kini telah berkumpul itu akan melaksanakan
perintahnya dengan baik. Swi Liang terbagun dari tidur nyenyak, menggeliat dan
tersenyum penuh bahagia ketika dia teringat akan keadaan dirinya. Dirabanya
kasur di mana dia rebah dan hidungnya kembang kempis, masih penuh oleh
keharuman tubuh Yang Kui Hui. Baru saja terbangun dari tidur, teringat akan wanita
cantik itu, berkobar lagi nafsunya, lenyap semua kelelahan tubuhnya dan dia
membalik ke kanan, lengan kirinya dan kaki kirinya merangkul memeluk. Dai
membuka matanya ketika tangan dan kakinya bertemu dengan kasur yang kosong,
lalu bangkit duduk, menoleh ke kanan kiri, mencari-cari. yang Kui Hui telah
pergi dari kamar itu!
Swi Liang merasa heran dan
juga terkejut, kemudian timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Ke manakah
perginya wanita itu sepagi ini, pikirnya. Karena khawatir kalau-kalau ada
pelayan memasuki kamar dan memergoki keadaanya, bergegas dia menyambar
pakaiannya, dan cepat mengenakan pakaiannya, pakaian wanita penyamarannya.
Dengan tergesa-gesa dia menghampiri meja rias Yang Kui Hui, menggunakan bedak
dan yanci untuk memulas mukanya yang semalam telah menjadi muka pria aslinya
dan sia-sia bedak dimukanya telah terhapus sama sekali oleh ciuma-ciuman Yang
Kui Hui. Kemudian dia mencari pedangnya dan betapa heran dan terkejut hatinya
ketika mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak berada di dalam kamar itu! Akan
tetapi dia segera tersenyum menenangkan hatinya sendiri.
Tentu Yang Kui Hui sengaja
hendak main-main dengan dia! Tak mungkin wanita itu melakukan hal yang
bukan-bukan dan merugikannya setelah apa yang mereka nikmati bersama semalam!
Tentu Yang Kui Hui sudah bertekuk lutut dan mencintanya setelah dia membuktikan
kejantanannya semalam, pikir Swi Liang dengan bangga. Dengan hati ringan dia
lalu melangkah ke pintu, membuka daun pintu hendak mencari kekasihnya itu.
Sunyi di luar kamar itu, padahal biasanya penuh dengan pengawal. Kemudian
muncul seorang pelayan wanita yang bertugas membersihkan kamar Yang Kui Hui
setiap pagi. Melihat pelayan ini, Swi Liang dengan suara biasa lalu menanyakan
di mana adanya majikan mereka yang cantik itu.
"Beliau tadi
memerintahkan bahwa kalau Liang-lihiap sudah bangun agar Lihiap suka pergi
menyusul ke dalam pondok di taman. Beliau menanti di sana."
Mendengar kata-kata ini, Swi
Liang bergegas pergi ke taman, hatinya girang sekali. Tak salah dugaannya. Yang
Kui Hui telah bertekuk lutut di depan kakinya! Selir yang angkuh dan cantik itu
telah jatuh cinta kepadanya sehingga kini selir itu ingin melanjutkan permainan
cinta mereka di dalam pondok taman, tentu agar jangan sampai menimbulkan
kecurigaan para pelayan lain!
"Ha-ha, kau cerdik
sekali, manis," kata hatinya penuh kegembiraan, "untuk kecerdikanmu
itu akan kuberi upah ciuman hangat!"
Sambil tersenyum-senyum
membayangkan segala kemesraan yang akan dialaminya sebentar lagi di dalam
pondok taman, Swi Liang melangkah lebar ke dalam taman yang indah dan luas itu.
Taman itu sunyi karena hari masih amat pagi dan memang biasanya pun taman itu
hanya dikunjungi para puteri istana setelah matahari naik tinggi sehingga
mereka dapat menghirup hawa segar di situ. Bahkan tidak tampak seorang pun juru
taman yang biasanya sepagi itu tentu telah membersihkan taman. Ketika melewati
tempat di mana dia malam-malam beberapa hari yang lalu mengubur mayat dua orang
pelayan wanita, Swi Liang menggerakan pundaknya untuk menenteramkan hatinya
yang agak terguncang. Salah kalian sendiri, pikirnya dan untuk menekan
perasaanya, dia telah menginjak kuburan yang tidak kentara dan tidak dikenal
orang lain kecuali dia itu.
Dia kini sudah berdiri di
depan pintu pondok, lalu mengetuk pintu pondok sambil berkata dengan suara
biasa, suara pria, halus dan penuh rayuan,
"Dewiku yang cantik
jelita, bidadari dari sorga manis, bukalah pintu, aku sudah amat rindu
kepadamu....!"
Daun pintu pondok merah itu
terbuka dari dalam dan.... Swi Liang meloncat ke belakang sambil menahan seruan
kagetnya ketika dia melihat bahwa dari dalam pondok itu keluar dua puluh orang
lebih pengawal yang memegang senjata di tangan!
"Menyerahlah engkau,
Liang-cu. Kami mendapat perintah untuk menangkapmu!"
Komandan pengawal berkata
garang. Seketika pucat muka Swi Liang dan otomatis tangan kanannya meraba
pinggang, hanya untuk diingatkan bahwa pedangnya telah lenyap dari dalam kamar
tadi!
"Apa... apa...
dosaku....?"
Dia bertanya gagap, saking
bingungnya dia lupa menyembunyikan suara laki-laki yang keluar dari mulutnya.
Dua puluh lebih pengawal itu tertawa dan Sang Komandan membentak.
"Lekas berlutut dan
menyerah!"
Swi Liang maklum bahwa
rahasianya tentu telah terbuka. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa yang
telah membuka rahasianya. Sampai saat itu dia sama sekali tidak menyangka bahwa
Yang Kui Hui yang telah mengkhianatinya. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia
tertangkap, tentu dia akan celaka.
"Mampuslah!"
Bentaknya sambil menerjang ke
depan, menghantam komandan dengan kepalan tangan kanan sedangkan kepalan tangan
kiri menghantam pengawal ke dua yang berdiri dekat. Komandan itu memiliki
kepandaian silat yang cukup tinggi, maka dia dapat menangkis biarpun dia
menjadi terhuyung- huyung, akan tetapi pengawal yang terkena hantaman tangan
kiri Swi Liang, mengeluarkan teriakan keras dan roboh terguling, muntah-muntah
darah karena pukulan yang mengenai dadanya tadi amat kuat.
Segera Swi Liang dikeroyok
oleh dua puluh orang lebih. Para pengawal itu rata-rata memiliki ilmu silat
yang cukup tangguh, karena mereka semua bersenjata. Repot jugalah Swi Liang
yang harus membela diri dengan tangan kosong!
"Jangan bunuh dia! kita
harus menangkap nya hidup-hidup!" beberapa kali komandan berteriak.
Swi Liang mengamuk sekuatnya,
namun setelah tubuhnya terkena beberapa kali bacokan dan tusukan, akhirnya dia
terguling dan teringkus. Dalam keadaan luka-luka dan setengah pingsan dia
diseret ke dalam kamar tahanan. Sementara itu, yang Kui Hui segera mengadu
kepada Kaisar bahwa pelayan wanita yang dahulu menolongnya itu ternyata adalah
seorang pemuda dan mungkin mata-mata musuh yang sengaja menyelundup. Mendengar
ini, kaisar memerintahkan agar Swi Liang disiksa dan dipaksa untuk mengakui
keadaannya. Pada hari itu juga, di dalam kamar tahanan yang dirahasiakan, Swi
Liang dikompres untuk mengaku.
Ada beberapa macam semangat
yang mendorong seseorang menjadi prajurit. Semangat patriotik sebagai
pengabdian kepada negara dan bangsa, semangat mencari kedudukan dan kemuliaan,
dan semangat yang timbul dari keadaan lain pula.
Di antara semua itu, hanya
prajurit yang didorong semangat mengabdi kepada negara dan bangsa sajalah yang
akan berani mempertaruhkan nyawa dengan rela, karena dia merasa yakin bahwa apa
yang diperjuangkan dalam hidupnya itu benar! Kebenaran seseorang yang tentu
saja mengharapkan sesuatu, misalnya nama sebagai seorang pahlawan atau
"tempat baik" di alam baka! Betapapun juga, lepas daripada tepat
tidaknya kebenaran semacam itu, harus diakui bahwa hanya prajurit yang
bersemangat demikian sajalah yang akan menghadapi kematian dan siksaan dengan
berani dan gagah. Tidaklah demikian dengan Swi Liang. Dia melakukan tugasnya
karena dorongan subonya yang juga menjadi kekasihnya, karena keinginannya untuk
kelak memperoleh kedudukan tinggi jika cita-cita subonya terlaksana. Kalau
putera subonya sampai biasa menjadi kaisar seperti yang dicita-citakan subonya,
dia tentu setidaknya akan menjadi seorang menteri!
Karena semangat seperti ini
yang mendorongnya berjuang, maka begitu gagal patahlah semangatnya. Begitu dia
disiksa, keluarlah pengakuan dari mulut Swi Liang bahwa dia adalah kaki tangan
subonya, The Kwat Lin Ratu Pulau Es yang kini menjadi Ketua Bu-tong-pai dan
yang bersekutu dengan Pangeran tang Sin Ong, dan tugasnya adalah memikat hati
Yang Kui Hui agar selir itu kelak mau membantu pemberontakan mereka. Pengakuan
ini tentu saja menimbulkan geger.
Pangeran Tang Sin Ong
ditangkap dan beberapa hari kemudian, Swi Liang dan Pangeran Tang Sin Ong
dijatuhi hukuman penggal kepala di tempat umum agar menjadi peringatan bagi
siapa saja yang hendak memberontak. Kaisar lalu mengirim pasukan untuk
menangkap Ketua Bu-tong-pai yang memberontak. Habislah riwayat hidup Bu Swi
Liang, putera Lu-san lojin Bu Si Kang yang gagah perkasa itu.
Memang patut disayangkan
karena sebenarnya dahulu Bu Swi Liang adalah seorang pemuda yang baik dan gagah
perkasa, yang dididik oleh ayahnya sejak kecil agar menjadi seorang pendekar
yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Memang, keadaan sekeliling amat
mempengaruhi jalan hidup seseorang. Hal ini tidaklah berarti bahwa sekeliling
yang bersalah sehingga menyeret seseorang ke jalan sesat seperti halnya Bu Swi
Liang.Sebetulnya, yang bersalah adalah dirinya sendiri!
Pasukan yang kuat dipimpin
seorang perwira tinggi membawa perintah penangkapan dari Kaisar sendiri, tiba
di Bu-tong-san. Namun mereka terlambat. The Kwat Lin, Ketua Bu-tong-pai yang
baru dan hendak ditangkap itu, telah melarikan diri bersama anak buah yang
setia kepadanya. Hal ini tidaklah mengherankan. Sebelum Swi Liang membuka
rahasia pemberontakannya, The Kwat Lin telah lebih dulu mendengar bahwa
muridnya telah gagal dan ditangkap. Dia merasa kecewa sekali, akan tetapi dia
juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai pasukan pemerintah
menyerang Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mungkin dapat melawan pasukan yang
besar itu.
Maka diam-diam dia lalu lolos
dari Bu-tong-san, bersama anak buahnya yang setia dia lalu melarikan diri ke
Rawa Bangkai yang menjadi markas ke dua dari komplotan ini. Seperti di ketahui,
Kiam-mo Cai-li Liok Si yang menjadi datuk kaum sesat itu telah ditaklukannya
dan telah menjadi sekutunya, dan tempat tinggal datuk wanita ini, Rawa Bangkai,
di kaki Pengunungan Luliang-san, menjadi markas ke dua.
Ketika menghadapi bahaya
penangkapan dari kota raja, tentu saja Kwat Lin lalu melarikan diri ke tempat
yang merupakan daerah berbahaya dan rahasia itu. Pelarian dari Bu-tong-pai ini
diterima dengan baik oleh Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memperoleh kesem patan
menonjolkan jasanya. Segera Rawa Bangkai dijaga dengan kuat sekali dan Liok Si
menghibur The Kwat Lin atas kegagalan muridnya.
"Aku hanya merasa kecewa
sekali terhadap murid-muridku," kata The Kwat Lin dengan suara gemas.
"Swi Nio telah
mengkhianatiku, lari dengan seorang mata-mata musuh entah dari mana dan
pengharapanku tadinya tinggal kepada Swi Liang. Dia sampai terbuka rahasianya
dan tertangkap, hal itu katakanlah sebagai suatu kegagalan yang menyedihkan.
Akan tetapi mengapa dia membocorkan rahasia Pangeran Tang Sin Ong sehingga
Pangeran itu pun dihukum mati. Dengan matinya Pangeran Tang Sin Ong habislah
harapan kita!"
The Kwat Lin menghela napas
panjang dan mengepal tinjunya dengan hati gemas.
"Aihhh, seorang yang
memiliki ilmu kepandaian seperti Pangcu, mengapa mudah sekali putus asa?"
Liok Si mencela.
"Hem, Cai-li, jangan kau
menyebutku Pangcu lagi. Aku bukan lagi Ketua Bu-tong-pai setelah kini menjadi
pelarian pemerintah. Dan aku tidak membutuhkan perkumpulan itu. Siapa yang
tidak akan putus asa? Citacita kita kandas setengah jalan. Betapapun tinggi
kepandaian kita, menghadapi pasukan pemerintah yang puluhan laksa banyaknya,
kita dapat berbuat apa?"
Kiam-mo Cai-li tersenyum. Dia
maklum bahwa wanita yang amat lihai ini memiliki cita-cita yang besar sekali.
"The-pangcu.... eh,
Lihiap, seorang dengan kepandaian seperti engkau tentu dapat mencari kedudukan
dengan mudah sekali."
"Hemm, mana mungkin?
Pemerintah telah menganggapku sebagai pemberontak dan aku akan selalu menjadi
pelarian dan buruan pemerintah. Pula, aku adalah seorang bekas ratu, oleh
karena itu. Cita-citaku hanya satu, ialah aku akan berusaha sekuat tenaga agar
puteraku memperoleh kedudukan yang sepadan dengan darah keturunannya."
Kiam-mo Cai-li mengangguk-angguk.
"Memang sepatutnya....
sepatutnya...., dan aku bersedia membantumu asal kelak kau tidak akan melupakan
bantuanku."
The Kwat Lin memegang tangan
datuk wanita itu dan memandang tajam.
"Kiam-mo Cai-li, kita
bukan anak-anak kecil lagi, kita sama-sama wanita dan kita saling mengetahui
isi hati masing-masing. Engkau sudah banyak menolongku, masihkah engkau
menyangsikan bahwa aku menganggapmu sebagai tangan dan kaki sendiri dan kita
akan senasib sependeritaan, bahkan sehidup semati?"
Kiam-mo Cai-li tersenyum dan
mengangguk.
"Aku tahu bahwa engkau
adalah seorang wanita yang selain berilmu tinggi, juga berkemauan keras dan
bercita-cita, The-lihiap. Kita tidak perlu putus asa dengan kegagalan muridmu.
Masih ada jalan lain yang kurasa akan lebih menguntungkan kita."
"Bagaimana?"
"Bersekutu dengan An Lu
Shan!"
The Kwat Lin memandang wajah
Kiam-mo Cai-li dengan alis berkerut. Majikan Rawa Bangkai itu tersenyum dan
diam-diam The Kwat Lin harus memuji bahwa wanita yang usianya sudah lima puluh
tahun itu kalau tersenyum kelihatan masih muda dan masih cantik. Kata-kata
Kiam-mo Cai-li mengejutkan hatinya dan sekaligus menimbulkan kecurigaannya.
Sudah terang bahwa mereka menjadi saingan An Lu Shan, bagaimana sekarang dapat
bersekutu dengan Panglima itu? Bahkan yang menyalakan api pemberontakan dalam
dada Pangeran Tang Sin Ong adalah karena merasa iri hati kepada An Lu Shan yang
disuka oleh Kaisar dan selalu dibela oleh Yang Kui Hui. Dan sekarang, sekutunya
ini mengusulkan untuk bersekutu dengan An Lu Shan!
"Cai-li, apa
maksudmu?"
Tanyanya, suaranya membentak
dan matanya memandang tajam menyelidik.
"Aih, The-lihiap, aku
tahu mengapa engkau terkejut. Akan tetapi bukankah para cerdik pandai jaman
dahulu pernah berkata bahwa orang cerdik harus pandai memilih kawan? demi
tercapainya cita-cita, kalau perlu kawan menjadi lawan dan lawan berbalik
menjadi kawan!"
Berseri wajah The Kwat Lin dan
dia memandang kagum.
"kau benar, Cai-li. Kau
benar dan cerdik sekali! Akan tetapi, mungkinkah dia mau?"
"Jangan khawatir. Aku
sudah lama mengenal baik Panglima kasar itu. Di balik semua langkahnya menjilat
Kaisar dan Yang Kui Hui, dia bercita-cita merebut kekuasaan Kaisar. Dan pada
waktu ini dia amat membutuhkan bantuan orang-orang pandai, tentu saja dia akan
menerima kita dengan tangan terbuka."
The Kwat Lin berdebar-debar
dan menggosok-gosok pipinya yang berkulit halus itu dengan tangannya, nampaknya
ragu-ragu.
"Akan tetapi, bagaimana
kita dapat mengadakan hubungan?"
"Aku akan menyuruh anak
buahku, harap kau suka tulis surat untuk disampaikan kepada An Lu Shan.
Sebaiknya begini isinya.
"Wanita cerdik Kiam-mo
Cai-li berunding dengan The Kwat Lin, mengulurkan tangan kepada An Lu Shan
mengajak bersekutu melalui sehelai surat yang ditulis oleh tangan halus The
Kwat Lin. Dalam hal menggunakan siasat, kiranya wanita lebih cerdik dari pada pria,
dan hal ini dibuktikan oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li Liok Si. Sebulan
kemudian tampak lima orang muncul di tepi rawa yang sunyi itu. Mereka ini
terdiri dari empat orang pria dan seorang wanita, kesemuanya kelihatan gagah
perkasa dan tangkas.
Rawa ini amat luas, sunyi dan
terkenal berbahaya sekali. Kelihatannya tidak berbahaya, hanya merupakan
genangan air yang amat luas seperti telaga besar, namun air itu tertutup oleh
rumput dan bermacam tetumbuhan kecil sehingga kadang-kadang tidak nampak airnya.
Bahkan seolah-olah tertutup oleh lapisan tanah tipis dan inilah yang berbahaya
sekali. Manusia maupun binatang yang berani mendekati rawa dan salah injak,
mengira bahwa tanah berumput itu keras, akan terperosok ke dalam air berlumpur
yang mempunyai daya penyedot sehingga sekali kaki terbenam, disedot ke bawah
dan sukar ditarik ke atas lagi. Air berlumpur itu dalam sekali dan karena amat
lembek, maka seolah-olah menyedot kaki, padahal kaki orang atau binatang itu
tenggelam terus secara perlahan-lahan dan lupur itu memang mempunyai daya lekat
sehingga kaki seolah-olah disedot dan ditahan, sukar untuk ditarik kembali ke
atas. Selain bahaya yang merupakan perangkap-perangkap maut dari alam ini, juga
di situ terdapat banyak ular dan binatang berbisa lain yang bersembunyi di
antara rumput-rumput dan tetumbuhan lain.
Jauh dari rawa, tampak
ditengah-tengah rawa itu sebuah pulau dan di situ terdapat bangunan-bangunan
yang tampak dari jauh. Namun, tidak ada orang dari luar rawa yang berani
mencoba untuk mendekati pulau ini, karena selain jalan menuju ke situ harus
menyeberangi rawa maut itu, juga telah terkenal bahwa bangunan-bangunan itu
adalah sarang dari iblis betina yang ditakuti semua orang, yaitu Kiam-mo
cai-li.
Karena seringkali terdapat
bangkai-bangkai binatang-binatang yang terperosok ke dalam perangkap alam
sekitar rawa, juga bahkan kadang-kadang tampak mayat mausia-manusia yang sampai
membusuk dimakan lumpur, maka terkenallah rawa itu dengan sebutan Rawa Bangkai!
Karena Kiam-mo-Cai-li yang cerdik itu melarang para anak buahnya untuk
mengganggu rakyat di sekitar tempat itu, maka tidak akan ada alasan bagi alat
pemerintah untuk memusuhinya, pula pembesar setempat merasa ngeri untuk
menentang iblis betina itu. Dengan demikian, datuk kaum sesat ini hidup aman
dan teteram di kaki Pegunungan Lu-liang-san itu, tempat ini menjadi tempat
pesembunyian yang baik sekali bagi The Kwat Lin dan anak buahnya.
Kita kembali kepada lima orang
yang pada hari itu berada di tepi rawa. Tiga orang di antara mereka laki-laki
tua berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun. Seorang lagi adalah
laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan gagah dan bertubuh tegap,
sedangkan wanita itu masih muda, seorang gadis berusia paling banyak enam belas
tahun, tubuhnya langsing dan wajahnya manis namun sepasang matanya mengandung
sinar keras.
Wanita itu bukan lain adalah
Bu Swi Nio dan laki-laki muda tampan gagah itu adalah penolongnya ketika dia
hendak membunuh diri setelah malam itu dia diperkosa oleh Pangeran Tang Sin
Ong! Bagaimana dia sekarang ber sama laki-laki dan tiga orang kakek dapat
berada di tepi Rawa Bangkai?
Malam itu, setelah diperkosa
oleh Pangeran Tang Sin Ong dalam keadaan mabok dan tidak sadar, Swi Nio hendak
membunuh diri dengan pedang, akan tetapi dia dicegah oleh laki-laki yang
ternyata adalah seorang mata-mata dari An Lu Shan. Dia dapat diingatkan oleh
laki-laki itu bahwa membunuh diri bukanlah jalan terbaik untuk membalas sakit
hati, maka Swi Nio lalu ikut dengan orang itu dan menjadi petunjuk jalan
sehingga mata-mata itu berhasil menyelamatkan diri bersama Swi Nio, keluar dari
tembok Bu-tong-pai. Kedua orang ini tanpa bicara melarikan diri terus dengan
cepatnya sampai matahari naik tinggi dan mereka tiba di kaki Pegunungan
Bu-tong-san, barulah mereka berhenti mengaso di dalam sebuah hutan lebat.
Begitu duduk di bawah pohon
melepaskan lelah, Swi Nio teringat akan nasib yang menimpa dirinya, maka serta
merta dia menangis mengguguk. Laki-laki itu memandang ke arahnya dan menghela
napas panjang, mengepal tinju dan hanya mendiamkannya saja karena pengalamannya
membuat dia mengerti bahwa dalam keadaan berduka seperti itu, tidak ada obat
yang lebih baik bagi gadis itu kecuali tangis dan air mata yang bercucuran.
Setelah agak mereda tangis Swi Nio, dia berkata,
"Nona, seperti kukatakan
pagi tadi, tidak perlulah hal yang telah terjadi dan yang telah lalu ditangisi
dan disedihkan. Yang penting, kita melihat ke depan. Jalan hidup masih lebar
dan terbentang luas di depan kita. Mengubur diri dengan kedukaan saja tidak ada
artinya dan pula hanya akan melemahkan semangat kita yang perlu kita pupuk
untuk dapat membalas kepada orang-orang yang telah merusak hidup kita."
Kata-kata yang dikeluarkan
dengan suara gagah ini membuat Swi Nio mengangkat mukanya yang pucat dan basah,
memandang. Mereka berdua saling pandang sejenak, kduanya baru melihat nyata
akan wajah masing-masing. Wajah pria itu menimbulkan kepercayaan di hati Swi
Nio sedangkan wajah gadis itu membuat jantung laki-laki itu berdebar dan
tertarik. "Siapakah tuan?" Akhirnya Swi Nio bertanya.
"Sudah kukatakan
kepadamu, aku adalah seorang mata-mata, seorang kepercayaan Jenderal An Lu
Shan. Namaku Liem Toan Kie. Dalam penyelidikanku di Bu-tong-pai, aku telah
mengenal namamu, Nona. Engkau adalah Nona Bu Swi Nio, bersama kakakmu Bu Swi
Liang engkau adalah murid dari Ketua Butong- pai yang baru. Aku pun telah
mengetahui akan nasibmu semalam...."
"Ahhh....! Si Jahanam
Tang Sin Ong....!Tuan benar! Aku tidak perlu berputus asa, aku tidak perlu
mengubur diri dalam kedukaan, aku harus berusaha untuk membalas semua
penghinaan ini. Akan kubu nuh Si Jahanam Tang Sin Ong!" Gadis itu mengepal
kedua tangannya dengan penuh kemarahan.
"Nah, itu baru gagah dan
bersemangat! Akan tetapi, tidak semudah itu membunuh seorang Pangeran apalagi
dia sahabat baik Gurumu yang amat lihai. Jalan satu-satunya, marilah ikut aku,
mengabdi kepada Jenderal An Lu Shan. Hanya itulah jalannya sehingga kelak
engkau akan dapat membalas dendam."
"Tuan..eh.. Liem
toako..seorang prajurit bawahan Jenderal itu?"
Toan Ki menggelengkan
kepalanya.
"Bukan, aku bukan
perajurit, aku seorang luar yang telah menggabungkan diri dengan An-goanswe dan
mendapatkan kepercayaannya untuk menyelidiki Bu-tongpai. Aku disuruh
menyelidiki rencana apa yang diadakan oleh Pangeran Tang Sin Ong dan
Bu-tong-pai. An-goanswe adalah seorang yang amat cerdik. Dia biarkan
pemberontakan lain agar kedudukan Kaisar makin lemah, namun dia harus tahu
segala gerak-gerik musuh, baik gerak-gerik Kaisar maupun pemberontak lain.
Sekarang aku tahu bahwa rencana mereka adalah melemahkan Kaisar melalui Yang
Kui Hui, dan sekarang aku akan kembali dan melaporkan hasil penyelidikanku
kepada An-goanswe. kau ikutlah, akan kuperkenalkan dan engkau tentu akan
diterima, karena engkau memiliki kepandaian yang lumayan di samping dendammu
kepada Tang Sin Ong."
"Aku.... aku tidak suka
menjadi pemberontak."
"Hemm,apakah kaukira aku
suka menjadi pemberontak, nona? tidak, aku membantu An Lu Shan bukan karena aku
suka menjadi pemberontak, melainkan karena aku pun sakit hati terhadap
pemerintah."
"Eh?" Swi Nio
tertarik dan memandang wajah yang gagah itu."mengapa.?"
"Hampir sama nasib kita,
Nona, hanya bedanya jalannya saja. ketahuilah, dahulu aku adalah seorang tokoh
Hoa San-Pai yang tentu saja tak mau mencampuri urusan politik dan
pemberontakan, bahkan condong untuk setia kepada pemerintahan, akan tetapi pada
suatu hari terjadilah hal yang amat hebat... yang merubah seluruh jalan
hidupku..."
Swi Nio teringat akan nasibnya
sendiri. dia mendekat lalu berkata,
"Liem-twako,
kauceritakanlah!"
Sejenak mereka berpandangan,
lalu Toan Ki menceritakan riwayatnya secara singkat. Dia tinggal di kota
Ma-Kiubun, sebuah kota yang cukup ramai di tepi sungai Huangho. dia hidup
tenang dan bahagia dengan isterinya yang baru dinikahinya selama tiga bulan.
Dengan membuka toko obat dan mengajar ilmu silat, dia hidup lumayan. Namun isterinya
merasa kecewa setelah tiga bulan menikah, belum juga ada tanda-tanda
mengandung, maka dia mengijinkan isterinya untuk bersembahyang ke kelenteng
untuk minta berkah agar isterinya dapat memperoleh keturunan secepatnya.
Akan tetapi mujur tak dapat
diraih, malang tak dapat ditolak. Menjelang senja, setelah pergi sejak pagi,
barulah isterinya pulang dan turun dari joli dalam keadaan payah, mukanya pucat
dan basah air mata. Sambil menangis sesenggukan isterinya lari ke dalam rumah,
menjatuhkan diri dan berlutut di depan kakinya sambil menceritakan bahwa ketika
tadi bersembahyang di kelenteng, kebetulan di kelenteng itu terdapat putera
bangsawan Lui yang bermain catur dengan para hwesio. Melihat dia, putera
bangsawan menyeretnya ke dalam kamar di kelenteng dan memperkosanya! Setelah
mengucapkan pengakuan yang hebat itu, isterinya lari ke dalam kamar sambil
menangis sesenggukan. hati Toan Ki terasa tidak enak. Tadi dia termangu-mangu
seperti patung saking marah dan dukanya mendengar penuturan isterinya sehingga
dia agak lalai membiarkan isterinya lari. Cepat dia mengejar dan melihat pintu
kamar isterinya dipalang dari dalam, ia menendang pecah daun pintu! Dia berdiri
pucat dan terbelalak. Apa yang dilihatnya?
"Isteriku telah rebah
mandi darah di lantai! Pedangku ia pergunakan untuk membunuh diri, menusuk
dadanya hampir tembus!"
Dia mengakhiri ceritanya
sambil menutupkan kedua tangan di depan mukanya.
"Ohhh....!!"
Swi Nio menjadi pucat sekali
dan dia menyentuh lengan Toan Ki dengan penuh perasaan terharu.
"Putera bangsawan dan
hwesio-hwesio keparat itu harus dihukum! Dan aku akan membantumu,
Liem-twako!"
Toan Ki menurunkan tangannya,
memegang tangan Swi Nio dengan erat. Mereka saling berpegangan dan saling
menggenggam tangan.
"Kita senasib, Nona.
Karenanya ada kecocokan di antara kita dan karenanya aku menolongmu pagi tadi.
Akan tetapi, bicara soal bantu-membantu, akulah yang akan membantumu kelak
kalau saatnya tiba untuk membalaskan sakit hatimu. Sedangkan sakit hatiku
sendiri sudah kubalas impas dan lunas. Pemuda bangsawan keparat itu telah
kubunuh bersama semua hwesio kelenteng itu! Karena itu aku menjadi buronan dan
aku terpaksa lari kepada Jenderal An Lu Shan yang segera menerimaku karena dia
membutuhkan bantuan kepandaianku."
"Ahhh, engkau baik
sekali, Twako. Dan engkau bernasib buruk sekali seperti aku. Aku merasa
beruntung dapat bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Baiklah aku akan ikut
bersamamu menghadap Jenderal An Lu Shan."
Demikianlah, Swi Nio ikut
bersama Toan Ki dan benar saja seperti dikatakan laki-laki gagah itu, dia
diterima dengan baik di dalam rombongan orang-orang gagah bukan perajurit yang
menjadi pembantu-pembantu An Lu Shan. Persahabatannya dengan Liem Toan Ki
menjadi makin akrab dan bahkan tumbuh benih-benih cinta kasih di antara kedua
orang yang sama nasibnya ini, Liem Toan Ki kehilangan isterinya yang
dikawininya baru tiga bulan lamanya, sedangkan Swi Nio kehilangan
keperawanannya karena diperkosa oleh seorang pangeran. Akhirnya keduanya
bersepakat untuk mengikat perjodohan,
Namun Swi Nio mengatakan bahwa
dia baru mau melangsungkan pernikahan secara resmi apabila sakit hatinya telah
terbalas semua! Maka kedua orang ini hidup sebagai dua orang tunangan yang
saling mencinta, apalagi karena perjodohan mereka itu direstui oleh An Lu Shan
yang pandai mengambil hati orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat
dibutuhkan bantuannya. Pada suatu hari An Lu Shan memanggil Liem Toan Ki dan Bu
Swi Nio, bersama tiga orang tokoh lain yang merupakan orang-orang berkepandaian
tinggi di antara para pembantu An Lu Shan. Yang seorang bernama Tan Goan Kok,
seorang kakek tinggi besar yang yang terkenal di utara sebagai seorang ahli
gwakang yang hebat.
Kabarnya, Tan Goan Kok ini
biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih, dapat menggunakan kekuatan otot
tubuhnya untuk mengangkat seekor kerbau bunting Di samping tenaganya yang
besar, juga dia memiliki ilmu silat toya yang sukar dicari bandingannya. Kakek
kedua adalah pat-jiu Mokai (Pengemis Iblis Tangan Delapan), seorang kakek yang
beru sia enam puluh tahun, pakaiannya penuh tambalan biarpun bersih dan baru,
selalu memegang sebatang tongkat butut dan siapa pun, bahkan An Lu Shan
sendiri, menyebutnya Pangcu padahal kakek jembel ini hanyalah seorang ketua
yang tidak mempunyai anak buah! Pat-jiu Mo-kai tidak memimpin suatu perkumpulan
pengemis namun nama besarnya sedemikian terkenal sehingga setiap orang pengemis
di manapun juga akan selalu menyebutnya Pangcu! Sampai ketua para perkumpulan
pengemis juga menyebutnya Pangcu! Ilmu tongkatnya amat tinggi dan kabarnya
belum pernah kakek ini dikalahkan lawan selama dalam perantauannya sampai
akhirnya dia dapat dibujuk membantu An Lu Shan. Orang ke tiga, berusia lima
puluh tahun lebih, berpakaian tosu dan memang dia seorang penganut Agama To,
seorang kakek perantau yang disebut Siok Tojin. Berbeda dengan kedua orang
kakek pertama, Siok Tojin orangnya pendiam, tidak terkenal, namun ilmu
pedangnya amat hebat sehingga ketika dia diuji, ilmu pedangnya itu bahkan mampu
menandingi tongkat Pat-jiu Mo-kai! Setelah Liem Toan Ki, Bu Swi Nio, dan tiga
orang kakek itu menghadap An Lu Shan yang memanggilnya, Jenderal pemberontak
ini lalu menceritakan akan surat dari The Kwat Lin bekas ketua Bu-tong-pai yang
mengajak kerjasama dalam menen tang Kaisar.
"Aku sengaja mengutus
Ngo-wi (kalian Berlima) untuk menjajaki hati wanita berilmu tinggi apakah
benar-benar dia hendak bersekutu. Bu Swi Nio adalah muridnya, maka aku
mengutusnya untuk mengukur hati gurunya. Kalau dia benar-benar hendak
bersekutu, tentu dia tidak akan marah kepada muridnya yang telah melarikan diri
dan menjadi pembantuku. kau menemani dan menjaga tunanganmu, Toan Ki. Dan
Pangcu bersama dua orang Lo-enghiong hendaknya menguji kepandaian mereka yang
hendak bersekutu, di samping melindungi mereka berdua ini kalau-kalau terancam
bahaya."
Demikianlah maka pada pagi
hari itu, lima orang kaki tangan An Lu Shan ini telah berada di tepi Rawa
Bangkai. Mereka memandang ke arah pulau di tengah-tengah rawa yang tampak dari
tempat itu dalam jarak yang cukup jauh dan mereka memandang permukaan rawa
dengan wajah membayangkan kengerian. Sudah banyak mereka mendengar akan
bahayanya melintasi rawa itu.
"Saya hanya baru satu
kali mengunjungi tempat ini bersama Subo," terdengar Swi Nio menerangkan
ketika dia ditanya oleh teman-temannya, "dan ketika itu kami mengikuti
Kiam-mo Cai-li yang membawa kami berlompatan dari tempat ini ke pulau itu.
Setiap lompatanya membawanya ke tanah keras dan aman, akan tetapi tentu saja
aku tidak bisa mengingat lagi karena dia melompat-lompat ke tanah kiri,
kadang-kadang membalik lagi"
"Hemmm, tentu merupakan
jalan rahasia yang sukar diketahui orang luar," kata Pat-jiu Mo-kai sambil
meraba-raba dagunya yang berjenggot panjang.
"Dan menurut Kiam-mo
Cai-li, katanya meleset sedikit saja merupakan bahaya maut karena di sepanjang
jalan penuh dengan jebakan alam. Kadang-kadang dia membawa kami meloncat ke
bagian yang ada airnya, sampai saya merasa ngeri, akan tetapi ternyata bagian
itu airnya hanya semata kaki, sedangkan tanah yang kelihatan kering di dekatnya,
menurut keterangannya, bahkan merupakan tempat berbahaya sekali. Ketika pulang
ke Bu-tong-san, Subo sendiri mengatakan bahwa dia tidak akan berani lancang
menempuh jalan ini sendirian saja karena dia pun tidak dapat mengingat kembali
jalan berliku-liku itu."
"Bagaimana kalau kita
menggunakan tali yang panjang? Biar kau tidak hafal jalan itu, setidaknya kau
pernah melaluinya dan dapat kau mencarinya, Moi-moi. Kita berempat mengikuti
dari belakang, menggunakan tali yang ditalikan di pinggangmu sehingga andaikata
kau salah jalan dan masuk perangkap, kita dapat menolongmu dengan menarik tali
itu," kata Liem Toan Ki kepada kekasihnya.
"Begitupun boleh, akan
kucoba mengingat-ingat, akan tetapi harus kau sendiri yang memegang ujung tali,
Koko, karena aku ngeri!"
"Ah, aku tidak setuju!
Usul itu tidak tepat, Liem Sicu!" Tiba-tiba Tan Goan Kok berkata dengan
suaranya yang parau dan nyaring.
"Akan tetapi aku tidak
takut, Tan-lo-enghiong!" Swi Nio membantah.
"Pula, kalau Liem-koko
yang memegang ujung talinya, aku tidak takut apa-apa lagi. Andaikata aku
terjeblos, tentu akan dapat cepat ditariknya naik lagi."
"Bukan tidak setuju
karena takut, melainkan karena kalau hal itu diketahui mereka, tentu akan
menjadi bahan ejekan. Perlu apa kita harus mencari-cari jalan rahasia yang
disembunyikan orang? Kita harus mencari jalan masuk yang lebih jantan, tidak
mencuri-curi seperti segerombolan maling."
Bu Swi Nio mengerti dan
membenarkan pendapat ini. Mereka berlima lalu duduk di tepi rawa sambil
mengerutkan alis, mencari akal bagaimana mereka akan dapat mengunjungi pulau di
tengah rawa itu sebagai tamu-tamu yang datang secara gagah. Karena kalau usul
Liem Toan Ki dan Swi Nio tadi dilanjutkan, dan sampai terjadi Swi Nio terjebak
ke dalam perangkap alam, tentu hal ini akan membuat mereka memandang rendah
saja. Akan tetapi, betapapun banyak pengalaman mereka dan betapapun tinggi ilmu
kepandaian mereka, belum pernah mereka menghadapi kesukaran seperti sekarang
ini.
Akhirnya Siok Tojin yang sejak
tadi tidak ikut bicara, mengeluar kan suara mengomel, kemudian berkata,
"Dapat! Aku teringat akan
orang-orang Mongol yang menggunakan akal mencari ikan di rawa-rawa seperti
ini!"
Empat orang kawanannya
memandang ke arah tosu ini dengan wajah gembira dan penuh harapan.
"Lekas katakan, Totiang,
bagaimanakah akal itu?" Tan Goan Kok bertanya.
"Mereka menggunakan
bambu-bambu sebagai perahu."
"Ahh, mana mungkin?
Menggunakan perahu menyeberangi rawa ini? Tentu akan mogok di tengah jalan
kalau bertemu dengan air yang tertutup tanah dan rumput,"
Bantah Pat-jiu Mo-kai sambil
memandang ke rawa dengan alis berkerut.
"Kita jangan meniru
mereka yang membuat rakit dari bambu. Kita masing-masing menggunakan sebatang
bambu saja, ujungnya dibikin runcing," kata Siok Tojin singkat,
Akan tetapi teman temannya
sudah dapat menangkap maksudnya.
"Bagus sekali! Tentu kita
berhasil! Dengan bambu runcing, kita dapat meluncur melalui apa saja!"
Tan Goan Kok berteriak girang.
"Hemm, kusangka tidak
semudah itu. Kita harus hati-hati, benar-benar mengerahkan ginkang dan sinkang,
kalau sampai tergelincir tentu kita celaka dan akan makin menjadi bahaya
tertawan lagi. Betapapun juga, akal itu baik sekali. Mari kita mencari bambu
dan membuat dayung,"
Kata Pat-jiu Mo-kai yang
bersama Siok Tojin dianggap orang tertua dan tertinggi ilmunya.
Tak lama kemudian, tampaklah
lima orang itu meluncur di atas Rawa Bangkai yang terkenal sukar dilalui orang
itu. Dilihat dari jauh, seolah-olah lima orang itu terbang meluncur di atas air
rawa! Akan tetapi kalau orang melihat dari dekat barulah tampak bahwa kaki
mereka menginjak sebatang bambu besar yang kedua ujungnya telah diperuncing dan
mereka menggunakan dayung kayu untuk mendorong bambu yang mereka injak itu meluncur
ke tengah. Orang yang tidak memiliki ginkang dan sinkang jangan mencoba-coba
untuk menyebrang menggunakan cara seperti ini. Bambu sebatang yang diinjak kaki
itu tentu saja amat berbahaya, selain licin juga dapat berputar sehingga kaki
dapat terpeleset. Namun, dengan kekuatan sinkang, telapak kaki mereka seolah
olah melekat pada batang bambu itu tidak dapat berputar, dan dengan ginkang
mereka lima orang lihai kepercayaan An Lu Shan itu dapat memperingan tubuh
mereka dan bambu yang mereka injak itu meluncur cepat ke tengah rawa. Mereka
adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Yang paling rendah
tingkatannya di antara mereka adalah Bu Swi Nio, padahal wanita ini sudah amat
lihai karena semenjak kecil dia telah digembleng pula oleh wanita sakti The
Kwat Lin, ratu dari Pulau Es!
Diam-diam, dari tempat
persembunyian mereka, banyak pasang mata mengintai dan memandang dengan kagum
ketika lima orang itu meluncur datang ke arah pulau di tengah Rawa Bangkai.
Melihat lima orang itu menggunakan sebatang bambu yang diinjak, melihat mereka
itu menggunakan kepandaian membunuh ular dan binatang berbisa lain yang
menghadang di tengah perjalanan itu, orang-orang Rawa Bangkai menjadi kagum dan
segera melaporkan kepada Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin akan kedatangan lima
orang itu. Kedua orang wanita sakti ini segera berunding sambil menanti
kedatangan mereka. Melihat bahwa Bu Swi Nio berada di antara mereka, The Kwat
Lin menjadi marah sekali.
"Keparat," desisnya
marah. "Murid itu mengantarkan nyawanya ke sini!"
"Ahhh, The-lihiap,
mengapa marah? Harap diingat bahwa dia bukanlah muridmu yang dahulu, melainkan
seorang pembantu An Lu Shan yang dipercaya. Karena itu, untuk memulai dengan
hubungan persekutuan, amatlah tidak baik memusuhi utusan An Lu Shan," kata
Kiam-mo Cai-li.
The Kwat Lin tercengang dan
teringat akan cita-citanya. Memang benar, urusan pribadi harus di kesampingkan
kalau dia ingin agar cita-citanya yang amat tinggi untuk putranya itu akan
dapat terlaksana. Maka dia lalu mengajak Kiam-mo Cai-li berunding bagaimana
untuk menghadapi lima orang itu, utusan-utusan An Lu Shan dimana termasuk bekas
muridnya itu.
Kiam-mo Cai-li yang amat
cerdik lalu memberi nasihat-nasihat sehingga keduanya dapat mengatur siasat.
Biarpun penyeberangan itu amat sukar dan mereka berlima harus membunuh banyak
ular berbisa, saling bantu membantu ketika batang bambu mereka itu menemui
banyak halangan, akhirnya lima orang itu berhasil juga melompat ke atas pulau dimana
telah berdiri serombongan orang yang ditugaskan menyambut mereka. Melihat dua
puluh lebih orang yang berdiri seperti pasukan menyambut mereka,
Pat-jiu Mo-kai segera tertawa
bergelak dan berkata,
"Ha-ha-ha, sungguh bagus
sekali penyambutan Rawa Bangkai terhadap utusan dari An Goan-swe!"
Seorang di antara anggauta
pasukan itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit, melangkah maju dan
memberi hormat.
"Selamat datang di Rawa
Bangkai! Karena kami tidak tahu bahwa Cuwi yang terhormat datang berkunjung
maka kami tidak mengadakan penyambutan di luar rawa. Akan tetapi Cuwi telah
memperlihatkan kegagahan yang membuat kami tunduk dan kagum. Sekarang, silahkan
Cuwi semua ikut dengan kami menghadap Hong-houw (Ratu)." Diam-diam lima
orang itu terkejut juga sungguhpun mereka tahu siapa yang dimaksudkan dengan
sebutan ratu itu. Benar-benar bekas ketua Bu-tong-pai adalah seorang wanita
yang angkuh dan hendak menerima mereka sebagai seorang ratu! Akan tetapi karena
mereka berada di sarang yang berbahaya, mereka tidak banyak cakap melainkan
mengikuti pasukan itu menuju ke tengah pulau dimana terdapat bangunan- bangunan
yang kuat dan cukup indah.
Lima orang utusan An Lu Shan
itu diterima oleh The Kwat Lin, Kiam-mo Cai-li Liok Shi, dan Han Bu Ong putra
The Kwat Lin, di dalam sebuah ruangan yang luas. Agak pucat muka Swi Nio dan
otomatis dia menyentuh tangan Liem Toan Ki yang membalas dengan genggaman
seolah olah hendak menghibur kegelisahan calon istrinya itu. Tentu saja Swi Nio
merasa takut karena dia sudah mengenal watak subonya yang keras dan kejam, juga
maklum betapa lihainya subonya itu. Dia tahu bahwa andai kata subonya berniat
buruk, mereka berlima tentu akan tewas semua di tempat itu.
"Ibu, itu Swi-suci yang
telah minggat datang kembali!"
Tiba tiba Bu Ong berkata
sambil menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio. Swi Nio tidak dapat berdiam
diri lebih lama lagi, dan dia maju menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,
"Subo, teecu harap subo
sudi mengampunkan teecu."
The Kwat Lin memandang tajam
sejenak lalu menghela napas dan menggerakkan tangannya. Dia cukup bermata tajam
untuk dapat melihat betapa empat orang laki laki yang datang bersama Swi Nio
itu bersikap siap siaga dan kalau dia menurutkan hati panas turun tangan
mengganggu muridnya itu, tentu empat orang utusan An Lu Shan itu akan membela
Swi Nio mati matian. Hal ini sama sekali tidak diharapkannya dan sudah
dibicarakannya tadi bersama Kiam-mo Cai-li, maka dia menekan perasaannya dan
berkata,
"Bangkitlah, engkau pergi
dan menjadi kepercayaan An Goanswe, tidak terlalu mengecewakan."
Lega bukan main hati Swi Nio
dan dia bangkit berdiri lalu berkata kepada Bu Ong,
"Sute engkau baik baik
saja, bukan?"
Bu Ong yang biarpun masih
kecil namun sikapnya sudah seperti orang dewasa itu mencibirkan bibirnya,
mendengus seperti orang mengejek, lalu berkata,
"Suci, baik sekali
engkau, ya? Suheng dibunuh orang, dan ibu sampai lari ke sini, akan tetapi
engkau malah minggat dan enak enakan saja!"
"Bu Ong, diamlah!"
The Kwat Lin berkata, lalu melanjutkan kepada Swi Nio,
"Swi Nio, tahukah engkau
bahwa kakakmu telah tewas?"
Swi Nio mengangguk dan air
matanya bercucuran dan segera diusapnya.
"Teecu sudah mendengar
akan hal itu, Subo."
"Kalau begitu kita
sama-sama mendendam kepada pemerintah. Kita lupakan saja semua urusan lama, Swi
Nio, dan baik sekali kalau kita dapat bekerja sama. Agaknya engkau kini sudah
dipercaya menjadi utusan An Goanswe, ya?"
Swi Nio cepat men jawab dan
memperkenalkan teman-temannya.
"Teecu hanya menjadi
pembantu dan penunjuk jalan saja bersama....dia ini...."
Swi Nio menunjuk kepada Liem
Toan Ki dan mukanya menjadi merah.
"Siapa dia?"
The Kwat Lin memandang tajam
kepada Liem Toan Ki yang cepat maju menjura dengan hormat.
"Maafkan,
Pangcu...."
"Aku bukan Ketua
Bu-tong-pai lagi, aku adalah bekas Ratu Pulau Es!"jawab Kwat Lin ketus.
"Maaf, saya bernama Liem
Toan Ki dan Bu-moi adalah calon istri saya."
"Ibu, dia ini yang pernah
menyerbu Bu-tong-pai dan dialah tentunya yang membawa minggat Suci!"
Tiba-tiba Bu Ong berkata. Toan
Ki diam-diam memuji kecerdikan anak laki-laki itu dan dia terkejut sekali.
"Benar demikian, saya
yang dahulu menjadi petugas An Goanswe menyelidiki Bu-tong-pai dan kemudian
mengajak pergi Bu-moi yang sekarang menjadi calon istri saya."
The Kwat Lin mengerutkan
alisnya. Laki-laki ini sebenarnya telah menghinanya sebagai bekas Ketua
Bu-tong-pai dan sebagai guru Swi Nio, akan tetapi diam-diam dia menerima
isyarat mata Kiam-mo Cai-li, maka dia menoleh kepada Swi Nio sambil bertanya,
"Benarkah kau menjadi
calon isterinya?" Muka Swi Nio menjadi merah sekali.
"Benar, Subo. Kami saling
mencinta, akan tetapi teecu dan dia berjanji hanya akan melangsungkan
pernikahan setelah dendam saya terbalas, yaitu setelah kerajaan sekarang jatuh
dan dikuasai An Goanswe."
"Hemm, sudahlah. Kalau
kau dan calon suamimu ini hanya membantu, siapa yang menjadi utusan An Goanswe
menghadap padaku?"
"Mereka inilah," Swi
Nio menunjuk kepada tiga orang teman-temannya. Dia adalah Pat-jiu Mo-kai, dan
Totiang ini adalah Siok Tojin, Lo-enghiongitu adalah Tan Goan Kok. Mereka
bertiga yang menjadi utusan An Goanswe.
The Kwat Lin memandang tajam
kepada tiga orang itu seolah-olah hendak menimbang bobot mereka dengan matanya.
Pat-jiu Mo-kai yang tertua dan dianggap pemimpin rombongan apalagi karena dia
yang pandai bicara dibandingkan Tan Goan Kok yang kasar dan jujur, apalagi
dengan Siok Tojin yang jarang sekali membuka mulut, segera tertawa.
"Ha-ha-ha, kami bertiga
pun hanyalah pembantu-pembantu rendahan saja dari An Goanswe, akan tetapi kami
menerima kehormatan untuk menjadi utusan Beliau menghadap Toannio The Kwat Lin
yang namanya terkenal sebagai Ratu Pulau Es dan Ketua Bu-tong-pai, juga
menghadap Kiam-mo Cai-li yang juga amat terkenal di dunia Kang-ouw sebagai
seorang wanita yang amat lihai dan cerdas sekali. Kami merasa amat terhormat
dapat menjadi tamu-tamu di Rawa Bangkai ini."
Kiam-mo Cai-li Liok Si yang
memang amat cerdas, kini mendahului Kwat Lin dan berkata,
"Tidak tahu apakah
kedatangan Cuwi ada hubungannya dengan pesan kami kepada An Goanswe"
"Dugaan Cai-li benar
sekali. Kami berlima adalah utusan An Goanswe untuk menghadap Jiwi dan untuk
bicara dengan Jiwi. An Goanswe telah menerima pesan Jiwi dan sebagai jawaban An
Goanswe mengutus kami untuk bicara."
"Lalu bagaimana keputusan
An Goanswe tentang ajakan kami untuk bekerja sama?" The Kwat Lin bertanya.
"An Goanswe merasa amat
senang menerima surat Jiwi dan tentu saja An Goanswe menerima dengan kedua
tangan terbuka uluran kerja sama Jiwi itu. Sudah lama An Goanswe merasa kagum,
terutama sekali melihat siasat gemilang yang berhasil baik sehingga Jiwi
sekalian dapat menyelundupkan orang menjadi kepercayaan Yang Kui Hui. Hanya
sayang, pada saat terakhir siasat gemilang itu mengalami kegagalan karena orang
kepercayaan Jiwi tidak dapat menahan godaan. Kami diutus oleh An Goanswe untuk
menyampaikan pesan bahwa jika Jiwi suka membantu dari dalam, yaitu berusaha
menanam tenaga-tenaga bantuan di dalam kota raja dan kalau mungkin di dalam
istana agar kelak memudahkan penyerbuan ke kota raja apabila saatnya yang tepat
tiba, maka An Goanswe akan berterima kasih sekali."
Mendengar pesan An Lu Shan
yang di sampaikan oleh Pat-jiu Mo-kai ini, hati kedua orang wanita itu menjadi
girang sekali sungguhpun kegirangan itu tidak terbaca di wajah mereka.
"Kami yang tidak
mempunyai pasukan besar memang tahu diri dan tentu saja hanya akan membantu
dari dalam seperti yang diusulkan An Goanswe. Kami dapat menerima usul itu dan
sebaiknya kita rencanakan siasat-siasatnya bersama." The Kwat Lin berkata.
"Sebelum kita berunding
dan mengatur siasat agar dapat kami sampaikan kepada An Goanswe terlebih dahulu
kami harus menyampaikan semua pesan Beliau untuk Jiwi. Selain usul itu juga An
goanswe mengatakan bahwa pekerjaan membantu dari dalam itu merupakan pekerjaan
yang amat rumit, sulit, dan berbahaya. Hanyalah orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian yang amat tinggi saja yang akan dapat berhasil dan An Goanswe ingin
memperoleh keyakinan bahwa para pembantunya tidak akan gagal."
Mendengar kata-kata kakek
berpakaian tambalan itu, merahlah wajah The Kwat Lin dan hatinya menjadi panas.
"Hemm, ucapanmu itu
berarti bahwa kalian hendak menguji kepandaian kami?"
Sambil tertawa Kiam-mo Cai-li
yang melihat kemarahan kawannya itu bangkit berdiri dan meloncat ke tengah
ruangan yang luas itu sambil berkata,
"Memang sudah seharusnya
demikian! An Goanswe adalah seorang Jenderal besar yang cerdik pandai, tentu
akan menguji setiap orang sekutu atau pembantunya. Nah, biarlah aku yang lebih
dulu memperlihatkan kepandaian. Siapakah di antara Cuwi berlima yang hendak
menguji?"
Dengan lagak memandang rendah
Kiam-mo Cai-li berdiri dan memandang ke arah lima orang utusan itu. Tentu saja
Bu Swi Nio tidak berani bergerak, juga Liem Toan Ki yang sudah maklum akan
kehebatan ilmu kepandaian wanita Majikan Rawa Bangkai itu mengerti bahwa dia
bukanlah tandingannya. Melihat wanita yang usianya lima puluh tahun itu masih
cantik menarik dan memegang sebatang payung, berdiri dengan sikap memandang
rendah, Siok Tojin yang sejak tadi diam saja sudah bangkit. Ilmu kepandaian
tosu ini amat tinggi terutama ilmu pedangnya, dan di dalam rombongan itu dia
merupakan orang ke dua yang terpandai.
"Biarlah pinto yang akan
menguji," katanya.
Pat-jiu Mo-kai mengangguk.
Memang yang akan menjadi tukang menguji kepandaian dua orang wanita itu adalah
mereka bertiga, dan dia mendengar bahwa kepandaian bekas Ratu Pulau Es itu
lebih hebat daripada kepandaian Kiam-mo Cai-li, maka memang sebaiknya kalau
Siok Tojin yang menghadapi Kiam-mo Cai-li sedangkan dia nanti yang akan menghadapi
The Kwat Lin. Kiam-mo Cai-li memandang tosu itu penuh perhatian, kemudian
sambil tersenyum dia berkata,
"Kalau aku hanya mampu
menandingi Siok Tojin, agak nya belumlah patut aku menjadi tangan kanan Ratu
Pulau Es dan akan menjadi kepercayaan An Goanswe, akan tetapi hendak
kuperlihatkan bahwa aku akan dapat mengalahkan totiang dalam sepuluh jurus.
kalau sampai dalam sepuluh jurus aku tidak mampu mengalahkan Totiang, anggap
saja aku tidak becus dan aku akan mengundurkan diri!"
Ucapan ini mengejutkan semua
utusan itu. Biarpun mereka sudah lama mendengar nama besar datuk wanita yang
merupakan iblis betina ini, namun Siok Tojin bukan orang sembarangan. Ilmu
pedangnya amat tangkas, hebat dan kuat. Bagaimana wanita itu berani bersombong
mengatakan hendak mengalahkannya dalam sepuluh jurus?
Namun The Kwat Lin yang dengan
pandang matanya yang tajam dapat menilai orang, tenang-tenang saja. Juga
Kiam-mo Cai-li bukanlah menyobongkan diri secara ngawur, melainkan dia pun
sudah dapat menilai kepandaian tosu itu dari gerakanya maka dia berani menantang
akan mengalahkannya dalam sepuluh jurus. Siok Tojin mengerutkan alisnya,
perutnya terasa panas. Dia tidak pandai bicara, maka dalam kemendongkolannya
dia hanya berkata,
"Hemm, seekor kerbau
diikat hidungnya, manusia diikat mulutnya!"
Ucapan ini mengandung maksud
bahwa kalau Kiam-mo Cai-li tidak memenuhi janji yang diucapkan dengan mulut,
dia sama dengan seekor kerbau! Setelah berkata demikian, tangan kananya
bergerak dan tampaklah sinar berkilau dari pedang yang telah dicabutnya.
"Tentu saja mulutku dapat
dipercaya, Siok Tojin! Aku akan mengalahkanmu dalam waktu sembilan jurus!
Kiam-mo Cai-li berkata sambil mengejek dan tangan kanannya memegang payung yang
segera terbuka dan dipakainya, sedangkan tangan kirinya diraba-raba sanggul
rambutnya, seperti merapikan padahal diamdiam dia melepas tali rambutnya yang
panjang itu.