Bab 16
‘Tentu saja engkau
berbeda sekali dengan mereka! Engkau seorang pendekar sakti yang budiman,
penentang kejahatan, dan mereka itu adalah segerombolan orang jahat yang
berhati kejam, yang suka melakukan kejahatan. Bayangkan saja andaikata tidak
ada engkau, Liong-ko, aih.... aku akan tertimpa malapetaka yang bagiku lebih
mengerikan dan menyedihkan daripada maut sendiri. Engkau sudah benar, Liong-ko,
tidak ada sesuatu untuk disesalkan.!
Sie Liong memandang gadis
itu dan tersenyum, akan tetapi senyumnya tidaklah segembira malam tadi atau
pagi tadi sebelum terjadi peristiwa itu.
‘Engkau tidak mengerti,
Ling Ling. Sudahlah, mari kita kemasi barang kita untuk melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi, sebelum itu aku akan menguburkan dulu lima jenazah itu.!
‘Menguburkan mereka?!
Gadis itu terbelalak, akan tetapi melihat sinar mata pendekar itu, iapun
menunduk. ‘Baiklah, Liong-ko.... aku hanya menuruti semua perintahmu.!
Mendengar jawaban ini dan
melihat sikap Ling Ling, senyumnya melebar dan tidak begitu pahit lagi. Gadis
ini sungguh merupakan sinar baru dalam kehidupannya. Dia tadi merasa terpukul
dan berduka sekali mengenangkan kekejaman yang telah dilakukannya terhadap lima
orang yang tidak dikenalnya itu. Dan dia tahu bahwa kekejaman itu dia lakukan
karena cemburu dan kebencian yang amat hebat. Padahal, kebencian merupakan
suatu hal yang harus dihindarkan, demikian yang selalu dipesankan oleh Pek-sim
Sian-su kepadanya.
Tak lama kemudian, Sie
Liong sudah membuat lubang kuburan untuk lima jenazah orang-orang yang tidak
pernah dikenalnya itu. Ling Ling hanya menonton dari kejauhan, tidak mau
mendekat karena merasa ngeri. Diam-diam gadis ini semakin kagum kepada Sie
Liong. Seorang pendekar sakti yang budiman, gagah perkasa, namun berhati
lembut. Mana ada orang mau menguburkan jenazah orang-orang jahat yang tadi
menjadi musuhnya?
Setelah selesai mengubur
jenazah lima orang yang dibunuhnya itu dengan sederhana namun pantas, Sie Liong
lalu mengajak Ling Ling melanjutkan perjalanan ke selatan.
Telaga Nam berada di kaki
Pegunungan Thang-la, di sebelah utara kota Lasha, ibu kota di Tibet. Biarpun
telaga ini amat indah, namun tidak banyak orang datang berkunjung, karena
tempat ini terlalu jauh di barat bagi mereka yang tinggal di Propinsi-propinsi
Cing-hai, Sin-kiang, Se-cuan, atau Yun-nan. Hanya beberapa orang penduduk Tibet
yang berkeadaan mampu saja yang kadang-kadang berpesiar ke Telaga Nam.
Orang-orang Han jarang yang tiba di tempat itu. Orang Han yang berdatangan ke
Tibet hanyalah mereka yang berdagang, dan yang mereka kunjungi hanyalah
kota-kota besar seperti La-sha. Yang berkunjung ke telaga Nam hanya orang-orang
Tibet atau peranakan Han Tibet.
Akan tetapi, pada pagi
hari yang cerah itu, nampak seorang pemuda dan seorang gadis mendayung perahu
kecil di telaga itu. Mereka merupakan pasangan yang cocok sekali. Senang orang
memandangnya. Yang pria merupakan seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua
puluh satu tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya yang berwarna biru dan kuning
itu rapi, menambah ketampanannya. Wajahnya dengan kulit muka putih bersih itu
berbentuk bulat, sepasang alisnya berbentuk golok dan hitam sekali. Hidungnya
besar mancung dan mulutnya selalu tersenyum mengejek. Sepasang matanya tajam
mencorong,
Akan tetapi kadang-kadang
ada kilatan aneh seperti mengandung kekejaman. Adapun yang wanita adalah
seorang gadis barusia kurang lebih delapan belas atau sembilan belas tahun.
Seorang gadis yang berwajah manis sekali, dengan sepasang mata yang kocak,
tajam dan jeli. Wajah yang manis ini menjadi semakin menarik karena selalu
cerah, penuh dengan senyum dan pandang mata jenaka, wajah yang hampir selalu
berseri. Anehnya gadis ini mengenakan pakaian tambal-tambalan, padahal pakaian
itu bersih sekali dan kain-kain tambalan itu sama sekali bukan kain buntut.
Agaknya memang dibuat tambal-tambalan, dari bahan kain yang baru! Di
punggungnya tergantung sebatang pedang.
Mereka itu adalah Yauw Bi
Sian dan sutenya, Coa Bong Gan. Biarpun Bong Gan lebih tua dari Bi Sian, namun
dia terhitung sute (adik seperguruan) gadis itu karena gadis itu yang lebih
dulu menjadi murid Koay Tojin. Seperti kita ketahui, Bi Sian marah dan
mendendam kepada Sie Liong, adik ibunya yang dahulunya menjadi teman
sepermainan dan dahulu amat disayangnya itu. Ia merasa yakin bahwa pamannya itu
telah membunuh ayahnya, dan karena itu maka ia minggat dari rumah untuk mencari
Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayahnYa. Dan ia minta bantuan
sutenya, Coa Bong Gan, untuk membantunya mencari Sie Liong dan membalas dendam
karena ia tahu bahwa Sie Liong amat lihainya sebagai murid supeknya, yaitu
Pek-sim Sian-su.
Karena dua orang ini
mencari dengan sungguh-sungguh, dengan teliti, dan karena Sie Liong merupakan
seorang yang bongkok dan mudah diikuti jejaknya, maka akhirnya Bi Sian dan Bong
Gan mengikuti jejak Sie Liong ke daerah Tibet! Dan di sepanjang perjalanan,
mereka mendengar akan sepak terjang Pendekar Bongkok. Mereka menduga bahwa
tentulah Sie Liong yang dijuluki Pendekar Bongkok, maka mereka terus melakukan
pengejaran. Akan tetapi setelah tiba di daerah Tibet, mereka kehilangan jejak
Sie Liong. Daerah ini merupakan daerah yang masih liar dan jarang penduduknya.
Berhari-hari mereka melalui daerah yang tidak ada dusunnya, maka tentu saja
amat sukarnya mencari seseorang di daerah itu, biarpun orang itu mempunyai
cacat bongkok sekalipun.
‘Semua orang yang pergi
ke Tibet tentu akan berkunjung ke ibu kota Tibet, yaitu kota Lasha,! kata Bong
Gan. ‘Sebaiknya kita pergi saja ke sana. Kalau kita tidak dapat menemukan dia
di sana, setidaknya kita tentu akan dapat mencari keterangan tentang dia.!
Bi Sian menyetujui
pendapat sutenya dan pergilah mereka menuju ke Lasha. Pada pagi hari itu,
mereka tiba di Telaga Nam. Melihat keindahan tempat itu, mereka berhenti dan
ingin berpesiar dulu di situ selama satu dua hari. Bi Sian tidak perduli akan
pandangan orang melihat pakaiannya yang aneh, penuh tambalan namun baru. Memang
ia setia kepada kebiasaan gurunya, yaitu Koay Tojin, dan biar sekarang tidak
melakukan perjalanan bersama gurunya lagi, namun ia tetap masih mempergunakan
pakaian tambal-tambalan. Ia sendiri tidak tahu apakah rasa suka akan pakaian
tambal-tambalan ini karena sudah terbiasa, ataukah memang ingin sederhana,
ataukah melalui kesederhanaan dan tambal-tambalan yang tidak wajar itu justeru
ia ingin menonjolkan diri agar diperhatikan orang!
Kesederhanaan yang
ditonjolkan dan disengaja, bukanlah kesederhanaan lagi namanya, melainkan
kesombongan terselubung! Kesederhanann yang mempunyai arti adalah kalau orang
itu tidak merasa lagi bahwa dia sederhana! Kesederhanaan adalah kewajaran,
tidak dibuat-buat, dan merupakan suatu keadaan kepribadian seseorang. Bukan
terletak pada pakaian seadanya, bukan terletak di luar, melainkan bersumber di
sebelah dalam dirinya.
Berbeda dengan Bi Sian,
Coa Bong Gan yang ketika kecilnya meniadi anak angkat seorang hartawan dan
sudah biasa hidup royal, setelah berpisah dari gurunya, meninggalkan kebiasaan
berpakaian tambal-tambalan. Dia mengenakan pakaian yang selalu rapi, walaupun
tidak terlalu menyolok, tidak terlalu royal karena sucinya tentu akan
menegurnya. Padahal, kalau dia mau, tentu saja dia bisa membeli pakaian yang
mahal dan indah. Uangnya? Mudah saja! Di setiap kota terdapat hartawan dan
tidak ada penjaga yang cukup kuat, tidak ada pintu yang cukup kokoh baginya
kalau dia mau mengambil uang sekehendak hatinya dari gudang harta seorang
hartawan!
Semenjak melakukan
perjalanan bersama Bi Sian, terjadi perang selalu dalam batin Bong Gan. Dia
memaksa diri untuk bersikap baik dan sesuai dengan yang diinginkan sucinya. Dia
memaksa diri bersikap sebagai seorang pendekar tulen dan di sepanjang
perjalanan, mereka berdua selalu menentang kejahatan dan menolong mereka yang
tertindas. Akan tetapi sebenarnya, di lubuk hatinya, Bong Can muak dengan semua
itu. Bahkan dia harus menekan semua gejolak nafsunya. Semua ini dia lakukan
bukan karena dia takut kepada sucinya, melainkan karena dia telah jatuh cinta
kepada Bi Sian, karena dia tidak mau menentang semua kehendak Bi Sian, ingin
selalu menyenangkan hatinya.
Di lain pihak, Bi Sian
bukanlah seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah berusia kurang lebih sembilan belas
tahun, sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terkandung dalam hati
sute yang lebih tua itu terhadap dirinya. Dan ia selalu dalam bimbang ragu,
karena ia sendiri belum yakin apakah ia juga mencinta sutenya itu sebagai
seorang wanita mencinta seorang pria ataukah tidak. Ia suka kepada sute yang
penurut itu, dan harus diakuinya bahwa Bong Gan adalah seorang pemuda yang
baik, penurut, ramah, gagah perkasa dan juga tampan menarik! Akan tetapi, ia
selalu mengusir kebimbangan ini dan mengambil keputusan bahwa sebelum ia mampu
membalas kematian ayahnya terhadap Sie Liong, ia tidak akan memikirkan urusan
cinta!
Baru setelah dua orang
murid ini berpisah dari guru mereka, dan Bong Gan sudah berusia dua puluh
tahun, pemuda ini mulai berani membiarkan nafsu berahinya berkobar lagi, berani
dia mencarl wanita untuk memuaskan gairah nafsu berahinya, baik secara suka sama
suka, secara suka rela, dengan cara membeli maupun dengan paksaan mengandalkan
kepandaiannya. Namun, hal ini dilakukan dengan amat hati-hati, bahkan jarang
dia memperoleh kesempatan karena biarpun sudah berpisah dari suhunya yang dia
takuti, dia masih bersama sucinya (kakak seperguruan). Bukan karena dia takut
kepada Bi Sian, melainkan karena dia jatuh cinta kepada gadis itu. Dia tidak
ingin kelihatan sesat dan buruk di depan Bi Sian. Dia tahu bahwa kalau sampai
gadis itu mengetahui kesesatannya, tentu harapannya untuk mempersunting bunga
yang harum itu akan lenyap.
Ketika berada di Sung-jan,
tempat tinggal orang tua Bi Sian, dia bermalam di hotel dan karena itu dia
mempunyai kesempatan untuk memuaskan nafsu berahinya dengan berkunjung ke rumah
pelesir yang mewah. Celakanya, di situ dia bertemu dengan mendiang Yauw Sun
Kok, ayah kandung Bi Sian! Tentu saja dia tidak ingin melihat orang ini
memberitahu tentang keberadanya di rumah pelesir itu kepada Bi Sian, maka tidak
ada jalan lain kecuali membunuhnya! Dibunuhnya Yauw Sun Kok dan diapun menyamar
sebagai Sie Liong yang kelihatannya demikian disayang oleh Bi Sian sehingga
menimbulkan perasaan cemburu di hatinya. Perbuatannya ini berhasil baik. Yauw
Sun Kok terbunuh dan Sie Liong yang didakwa sebagai pembunuhnya.
Tentu saja dia merasa amat
girang ketika Bi Sian minta bantuannya untuk mencari Sie Liong yang melarikan
diri, membantunya membalaskan sakit hatinya karena Sie Liong telah membunuh
Yauw Sun Kok, seperti telah dipercaya oleh semua orang. Inilah kesempatan baik
baginya, bukan saja untuk dapat terus berdekatan dengan gadis yang dicintanya,
akan tetapi juga untuk membalas jasa. Kalau mereka maju berdua, betapapun
lihainya paman dari Bi Sian itu, tentu mereka berdua akan mampu merobohkannya.
Memang si bongkok itu harus dibunuh sehingga rahasia pembunuhan atas diri Yauw
Sun Kok itu akan tertutup selamanya.
Akan tetapi, setelah
melakukan perjalanan selama tiga bulan, dia mulai merasa tersiksa. Gadis yang
dicintanya itu, sedemikian dekatnya, setiap hari dia harus melihat segala
kecantikannya, namun dia tidak boleh memilikinya, tidak boleh menyentuhnya dan
tidak boleh membelainya. Yang lebih membuatnya menderita lagi adalah karena
tidak ada wanita lain yang dapat menjadi pengganti Bi Sian untuk sementara. Jarang
terdapat kesempatan baginya untuk mencari wanita pemuas nafsunya, karena dia
selalu bersama Bi Sian dan dia menjaga dengan sungguh agar jangan sampai gadis
yang dicintanya itu memergoki dia berhubungan dengan wanita lain.
Ketika dua orang muda itu
mendayung perahu kecil di atas Telaga Nam sambil menikmati sinar matahari pagi,
hawa udara sejuk hangat dan pemandangan yang amat indah itu, diam-diam Bong Gan
memperhatikan gadis yang duduk di depannya. Mereka duduk berhadapan dalam
perahu kecil itu. Dia yang mendayung mundur, gadis itu yang mengemudikan dengan
dayung lain.
Setelah perahu meluncur
sampai di tengah telaga, di mana terdapat sebuah pulau kecil dan di sekeliling
pulau itu terdapat bunga teratai merah dan putih, indah sekali, Bi Sian
berkata,
‘Kita berhenti di sini.
Mari kita ke pulau itu. Alangkah indahnya di sana, sute,! Gadis itu memang
selalu bersikap gembira dan terbuka, namun hatinya keras sehingga kadang nampak
galak.
Mereka mendekatkan perahu
ke pantai lalu mendarat di atas pulau kecil itu. Dengan gembira sekali Bi Sian
berlari-lari ke tengah pulau, dikejar oleh Bong Gan. Mereka lalu duduk di
bagian paling tinggi dari pulau itu, duduk di atas rumput hijau tebal yang
lunak. Melihat wajah sucinya yang putih halus kemerahan itu, yang pagi itu
nampak cantik sekali, melihat betapa sucinya duduk di atas rumput tebal di
dekatnya, terbayang dalam pikiran Bong Gan betapa akan senang dan nikmatnya
kalau mereka telah menjadi sepasang kekasih, bermes raan dan bergumul di atas
rumput hijau itu, di atas pulau kecil yang demikian sunyi, dikelilingi air
telaga yang biru dan luas, tidak ada seorang lainpun yang mengganggu. Bayangan
pikiran ini membuat jantungnya berdebar dan gairah nafsunya timbul dan
berkobar. Namun, Bong Gan adalah seorang pemuda cerdik sekali. Biarpun gairah
nafsu telah mencengkeramnya, dia tidak menjadi mata gelap. Dia tahu bahwa kalau
dia mempergunakan kekerasan, selain belum tentu dia akan mampu menundukkan
sucinya, juga hal itu akan membuat harapannya untuk memperisteri Bi Sian hancur
sama sekali. Gadis itu tentu akan membencinya. Padahal, dia benar-benar jatuh
cinta kepada Bi Sian, bukan sekedar hendak mempermainkannya saja, melainkan
hidup bersamanya sebagai suami isteri.
‘Hai, sute! Kenapa
engkau memandang padaku seperti itu?! tiba-tiba pertanyaan yang mengejutkan
hatinya itu keluar dari mulut Bi Sian. Gadis ini merasa heran melihat betapa
sutenya memandang kepadanya tidak seperti biasa, dengan sinar mata yang
demikian tajam dan jelas sekali pandang mata itu mengandung kekaguman dan
kemesraan yang mengejutkan hatinya.
Ditegur secara seperti
itu, Bong Gan yang sedang melamun dan membiarkan dirinya dibuai khayal indah
itu, terkejut dan dia tersipu. ‘Suci, aku sedang gembira sekali!! jawabnya,
kecerdikan dan ketenangannya menolongnya sehingga dia tidak nampak gugup ketika
menjawab.
Melihat sikap sutenya
biasa saja, lenyap kecurigaan Bi Sian dan iapun memandang ke sekeliling, lalu
menghela napas panjang. ‘Yahhhh.... akupun gembira sekali, sute. Memang amat
indah pemandangan di sini, indah menyenangkan dan hawanyapun nyaman bukan main!!
‘Aku merasa seperti di
sorga, suci!!
Bi Sian memandang pemuda
itu dan tertawa. ‘Di sorga? Hi-hik, seperti engkau pernah tahu sorga saja.
Memang indah sekali pemandangan di sini, indah dan hening, hawa udara jernih
dan di sini begini tenang, begini penuh damai dan tenteram.... akan tetapi
seperti sorga? Aku tidak tahu....!
‘Bukan tempatnya yang
mendatangkan perasaan bahagia di hatiku, suci.!
Bi Sian kembali menoleh
dan masih tersenyum. ‘Bukan karena tempatnya dan hawa udaranya? Lalu karena
apa?!
‘Karena ada engkau di
dekatku, suci.!
‘Ihhh!! Bi Sian meloncat
bangkit, kini berdiri dan bertolak pinggang, ke dua pipinya berubah merah.
‘Sute, apa maksudmu dengan omongan itu?!
Bong Gan masih tetap
duduk. Dia mengangkat muka, memandang wajah gadis itu dengan sikap tenang.
‘Maafkan aku, suci, aku hanya bicara sejujurnya saja. Entah mengapa aku
sendiri tidak mengerti, suci, akan tetapi aku selalu merasa berbahagia di
sampingmu. Terutama sekali saat ini, kita hanya berdua saja di pulau kecil
kosong ini. Alangkah bahagianya kalau aku terus dapat berada di sampingmu,
selama hidupku.!
Wajah yang tadinya
kemerahan itu berubah agak pucat, dan Bi Sian merasa betapa jantungnya berdebar
kencang. Tentu saja ia mengerti apa yang menjadi isi hati sutenya itu.
‘Sute, kau.... bicaramu
aneh sekali. Mana mungkin kita berdampingan selama hidupmu....!
‘Kenapa tidak mungkin,
suci? Kalau kita menjadi suami isteri....!
‘Sute....!!! Bi Sian
berseru, matanya terbelalak karena ia menganggap sutenya terlalu berani,
terlalu lancang.
‘Maaf, suci. Kalau suci
menganggap aku bersalah atau kurang ajar, aku pasrah dan siap menerima hukuman.
Akan tetapi dengarkan dulu pengakuanku, suci. Kita bergaul sejak aku berusia
tiga belas tahun dan engkau sebelas tahun, mengalami suka duka yang sama,
menjadi teman berlatih, teman bermain, dan bahkan sekarang, setelah kita berdua
berpisah dari suhu, kita masih berdampingan. Dahulu aku memang memiliki
perasaan sayang seperti seorang saudara seperguruan kepadamu, suci. Akan tetapi
setelah kita sama-sama dewasa.... biarlah aku mengaku terus terang saja,
akibatnya terserah kebijaksanaanmu. Aku telah jatuh cinta padamu, suci, dan aku
mengharapkan kelak untuk dapat menjadi suamimu, hidup berdampingan denganmu
selama hidupku.!
Wajah Bi Sian sebentar
pucat sebentar merah mendengar pengakuan sutenya itu. Memang ia sudah menduga
bahwa sutenya jatuh cinta padanya, akan tetapi begitu pengakuan itu keluar dari
mulut sutenya sendiri, bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa haru, ada
malu, ada pula marah karena sutenya dianggapnya lancang, ada pula rasa girang
dan semua perasaan itu teraduk membuat ia sejenak tak mampu bergerak ataupun
mengeluarkan kata-kata. Sejenak mereka saling pandang, dan akhirnya Bi Sian
menghela napas sambil memutar tubuh membelakangi sutenya. Kemudian terdengar
suaranya lirih.
‘Sute....!!
‘Ya, suci?! jawab Bong
Gan penuh harap.
‘Mulai sekarang, engkau
kularang bicara seperti itu lagi, kularang membicarakan tentang cinta lagi!!
‘Tapi, suci, jawablah
dulu pernyataan cintaku padamu. Sudikah engkau menerimanya? Sudikah engkau
membalasnya? Agar ada kepastian dan tidak lagi membuat aku bimbang ragu, suci.
Kasihanilah aku....!
‘Cukup! Aku tidak dapat
menjawab sekarang! Pendeknya, aku melarang engkau bicara tentang itu lagi
sebelum aku berhasil menemukan Sie Liong dan membunuhnya. Kalau engkau tidak
setuju dengan permintaanku ini, engkau boleh pergi dan aku tidak membutuhkan
bantuanmu lagi untuk menghadapi musuh besarku itu.!
Di belakang Bi Sian, Bong
Gan tersenyum, senyum kemenangan. Kalau gadis ini tidak suka kepadaku, tentu ia
sudah menjadi marah dan seketika mengusirku, pikirnya. Akan tetapi, Bi Sian
mengajukan syarat, yaitu menjawab kalau sudah berhasil membunuh Sie Liong, si
bongkok! Hal ini meyakinkan hatinya bahwa sucinya itupun ‘ada hati!
kepadanya. Andaikan tidak, tidak mungkin memberi waktu untuk menjawabnya. Kalau
gadis itu tahu bahwa jawabannya kelak akan ‘tidak!, tentu ia tidak akan
memberi waktu. Jawabannya jelas ‘ya!, akan tetapi tunggu sampai musuh itu
dapat dibunuh.
‘Baiklah, suci. Nasibku
berada di tanganmu, kebahagiaan hidupu berada dalam genggamanmu. Aku menerima
syaratmu itu dan maafkan kelancanganku tadi.!
Bi Sian menarik napas
lega, ia lalu membalikkan tubuh lagi menghadapi Bong Gan dan wajahnya sudah
pulih kembali seperti biasa. Akan tetapi agaknya ia sudah kehilangan
kegembiraannya di pulau itu. ‘Mari kita kembali ke darat dan melanjutkan
perjalanan kita ke Lasha.!
‘Baik, suci,! kata Bong
Gan, tak banyak membantah karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu,
dia tidak boleh membuat sucinya marah atau jengkel.
Note : Di Bab 7, Bi Sian
dan Bong Gan sudah sepakat bahwa Bi Sian memanggil Bong Gan Suheng, dan
sebaliknya Bi Sian memanggil Bong Gan sumoi, kok sekarang Bi Sian memanggil
Bong Gan sute, dan Bong Gan memanggil suci, apakah mereka sudah lupa dengan
kesepakatan tersebut ?????, masih muda sudah lupa, he.he...he.
***
Semenjak puterinya pergi
tanpa pamit, dan setelah selesai mengurus jenazah suaminya, Sie Lan Hong hampir
setiap hari menangisi nasibnya. Nona ini masih muda, baru berusia tiga puluh
tahun, akan tetapi sejak remaja sudah harus mengalami banyak penderitaan batin
yang amat berat. Dalam usia lima belas tahun, demi menyelamatkan adiknya,
terpaksa ia harus menyerahkan dirinya kepada pria yang telah membunuh ayah
ibunya di depan matanya! Bahkan kemudian menjadi isteri pembunuh orang tuanya
itu. Penderitaan batin hebat ini menjadi ringan setelah iapun akhirnya jatuh
cinta kepada pria itu dan bahkan melahirkan seorang anak perempuan dari pria
yang menjadi suami dan ayah anaknya itu. Kemudian, hatinya tersiksa lagi karena
sikap suaminya kepada adiknya. Suaminya membenci adik kandungnya sehingga
adiknya itu sampai melarikan diri. Kembali ia menderita kalau teringat kepada
adiknya. Apalagi puterinya juga pergi dibawa orang sakti menjadi muridnya.
Kebahagiaan sebentar
dirasakannya lagi ketika adiknya muncul sebagai seorang pendekar walaupun
tubuhnya bongkok, lebih bahagia lagi karena puterinya juga pulang sebagai
seorang gadis muda yang cantik dan lihai. Akan tetapi, betapa pendeknya
kebahagiaan yang dinikmatinya. Suaminya dibunuh oleh Sie Liong! Dia tidak
terlalu menyalahkan Sie Liong. Bagaimana mungkin menyalahkan kalau ia mengingat
bahwa suaminya adalah pembunuh ayah ibunya, ayah ibu Sie Liong? Ia sendiri,
andaikata dahulu memiliki kemampuan, tentu saja tidak sudi diperisteri, bahkan
akan membalas dendam dan akan membunuh Yauw Sun Kok! Akan tetapi, puterinya
mendendam kepada Sie Liong dan kini puterinya minggat untuk mencari dan
membalas dendam kematian ayahnya kepada Sie Liong! Ia tidak dapat menyalahkan
Sie Liong yang membunuh suaminya, juga tidak dapat menyalahkan Bi Sian yang
hendak membalas sakit hati karena kematian ayahnya.
‘Aihh, apa yang dapat
dan harus kulakukan....?! Berulang kali ia mengeluh dalam tangisnya. Selama
belasan hari ia tenggelam dalam duka sehingga tubuhnya menjadi kurus dan
mukanya pucat. Akan tetapi pada suatu pagi, pagi-pagi sekali ia sudah bangun
dan keluar dari kamarnya dengan berdandan memakai pakaian ringkas, membawa
sebuah buntalan panjang yang isinya adalah sebatang pedang! Malam tadi ia
mengenangkan kembali semua peristiwa, mengenangkan munculnya Sie Liong dalam
kamarnya. Ia telah menceritakan kepada Sie Liong, membuka rahasia bahwa
pembunuh ayah bunda mereka adalah Yauw Sun Kok dan bahwa ia dapat mengerti
mengapa adiknya membunuh suaminya.
Akan tetapi, yang membuat
ia merasa ragu adalah sikap Sie Liong. Kenapa adiknya itu terkejut mendengar
cerita itu, seolah-olah baru setelah ia bercerita adiknya tahu akan hal itu?
Pula, mengapa adiknya menyangkal keras telah membunuh suaminya? Sungguh tidak
beralasan sekali bagi Sie Liong untuk terkejut dan menyangkal, kalau memang dia
telah mengetahui rahasia itu dan membalas dendam atas kematian ayah ibu mereka.
Mengapa adiknya harus berpura-pura dan berbohong kepadanya?
‘Sungguh aneh dan tidak
masuk di akal,! pikir Nona muda itu. Pada pagi hari itu, ia tidak mampu lagi
menahan kegelisahan dan keraguan hatinya. Ia hidup seorang diri, kehilangan
orang-orang yang dicintainya. Ditinggal mati suaminya, juga musuh besar yang
dibencinya karena suami itu pembunuh ayah bundanya, akan tetapi juga dicintanya
karena suami itu adalah ayah dari puterinya. Kemudian ditinggal pergi Sie
Liong, adik kandungnya yang amat disayangnya dan dikasihaninya karena adiknya
itu seorang yang memiliki cacat di tubuhnya. Kemudian ditinggal pergi puterinya
yang terkasih.
Ia hidup kesepian, apa
lagi harus menanggung kegelisahan memikirkan betapa puterinya itu pergi untuk
mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayah gadis itu. Ia harus
mencegah bentrokan antara mereka itu! Ia harus dapat menemukan Sie Liong dan
minta penjelasan akan sikapnya, minta adiknya itu mengakui secara jujur apakah
ia membunuh Yauw Sun Kok ataukah tidak. Akan tetapi sebelum ia pergi mencari
puterinya dan adiknya, ada satu pekerjaan yang teramat penting baginya, yaitu
ia akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Dan satu-satunya tempat di mana
ia boleh jadi akan menemukan sesuatu adalah tempat pelesir di mana suaminya
pernah menjadi langganan mereka, untuk bermain perempuan dan mabok-mabokan!
Tanpa memperdulikan
anggapan orang melihat ibu rumah tangga memasuki tempat pelesir itu, Sie Lan
Hong memasuki rumah pelacuran di mana suaminya pernah menjadi seorang langganan
yang baik. Ia membawa cukup bekal uang dan dengan pengaruh uang ini mulailah ia
menyogok para pelacur untuk memberi keterangan tentang suaminya pada kunjungan
terakhir. Dua orang pelacur muda yang manis-manis terpikat oleh janji hadiah
uang itu dan mereka mengaku bahwa merekalah yang melayani mendiang Yauw Sun Kok
pada kunjungannya yang terakhir kalinya itu.
‘Dia tidak bermalam di
sini,! kata mereka, ‘melainkan bersenang-senang dengan kami dan minum arak
sampai mabok dan pulang menjelang tengah malam.!
Lan Hong mengangguk dan
dengan sabar ia bertanya, ‘Selain itu, apa lagi yang terjadi di sini? Apakah
dia bertemu dengan seseorang di sini? Apakah dia membicarakan sesuatu yang
masih kalian ingat? Katakan saja terus terang segala hal yang terjadi, kalian
akan kuberi hadiah yang indah. Lihat, gelang ini ada dua buah, harganya mahal dan
akan kuberikan kepada kalian seorang satu kalau kalian mau menceritakan semua
hal dengan terus terang....!
Dua pasang mata
pelacur-pelacur itu berkilauan ketika melihat dua buah gelang emas yang tebal
dan terukir indah itu.
‘Setelah dia minum agak
banyak dia memang mengomel, mengatakan bahwa dia mengenal pemuda yang sedang
pelesir dengan kawan-kawan kami, dan bahwa dia tidak suka melihat pemuda itu
pelesir di situ, juga tentang kebenciannya kepada seorang bongkok....!
Lan Hong tertarik sekali.
‘Seorang pemuda? Apakah dia berjumpa dengan seorang pemuda di sini?!
‘Ketika dia masuk, dia
bertemu dengan seorang kong-cu (tuan muda) yang sedang makan minum ditemani
beberapa orang kawan kami. Akan tetapi mereka tidak saling menegur, seperti
yang tidak saling mengenal.!
‘Siapakah pemuda itu?
Apakah dia.... bongkok?!
Dua orang pelacur itu
tertawa.
‘Bongkok? Apanya yang
bongkok? Sama sekali tidak! Bahkan dia tampan sekali dan kami berdua menyesal
mengapa dia tidak memilih kami. Dia tampan, muda dan royal.!
‘Apakah dia langganan
lama di sini?!
‘Tidak! Baru sekali itu
dia datang dan sampai kini tidak pernah muncul lagi. Akan tetapi dia masih
muda, tampan sekali, dan royal....!
‘Siapa namanya?! tanya
Lan Hong dengan jantung berdebar tegang.
‘Nanti dulu, akan kami
panggil mereka yang dulu melayaninya,! kata dua orang pelacur itu dan tak lama
kemudian dua orang pelacur lain ikut duduk di situ. Mereka inilah dua di antara
empat orang pelacur yang pada malam itu melayani pemuda yang mereka bicarakan.
‘Dia tidak menyebutkan
namanya, hanya mengatakan bahwa dia putera Coa-wangwe (Hartawan Coa) di kota
Ye-ceng maka kami menyebutnya Coa-kongcu (tuan muda Coa). Dia seorang langganan
yang.... menyenangkan sekali, sayang hanya satu kali itu dia datang.!
Para pelacur itu
tertawa-tawa dan mereka tidak melihat perubahan yang nampak pada wajah Lan
Hong. Coa Kongcu? Sute dari Bi Sian itu bernama Coa Bong Gan!
‘Tolong gambarkan, bagaimana
bentuk wajah, tubuh dan pakaian Coa-kongcu itu!! tanya Lan Hong, menyembunyikan
suaranya yang agak gemetar dengan pertanyaan yang lirih.
‘Aku masih ingat benar!
Dia memang hebat segala-galanya!! kata seorang pelacur berbaju hijau yang
genit.
‘Wajahnya tampan,
bentuknya bulat dan kulitnya putih, alisnya tebal dan hitam sekali, hidungnya
mancung dan dia suka.... suka mencium, hi-hik. Dia nakal dan matanya tajam,
tubuhnya sedang dan kekuatannya seperti.... kuda jantan! Pakaiannya
pesolek....!
Lan Hong sudah bangkit
berdiri dan dia memberikan gelang kepada dua orang pelacur pertama, dan
memberikan uang yang cukup banyak kepada yang lain. Kemudian, tanpa
mengeluarkan kata apapun ia meninggalkan tempat itu.
Pagi hari esoknya,
pergilah Sie Lan Hong, Nona muda yang baru berusia tiga puluh tiga tahun itu,
meninggalkan rumahnya, membawa buntalan pakaian dan tidak lupa membawa
pedangnyanya. Ia pernah bercakap-cakap dengan Sie Liong dan adiknya itu pernah
membuat pengakuan bahwa dia akan pergi ke Tibet untuk menyelidiki keadaan para
pendeta Lama di Tibet, mengapa para pendeta itu memusuhi para pertapa di
Himalaya. Menurut adiknya, tugas itu harus dia laksanakan sebagai pesan dari
para gurunya. Maka, kalau hendak mencari Sie Liong, ia harus pergi ke Tibet.
Kota tempat tinggalnya adalah kota Sung-jan yang berada di perbatasan sebelah
barat Propinsi Sin-kiang, maka untuk mencari adiknya ia harus melakukan
perjalanan ke selatan, memasuki daerah Tibet yang masih asing baginya.
Pada suatu hari Sie Lan
Hong tiba di kaki sebuah bukit. Ia merasa lelah sekali. Perjalanan itu sungguh
tidak mudah. Bagaimanapun juga, ia seorang wanita yang tergolong masih muda,
bahkan dalam usianya yang tiga puluh tiga tahun itu ia nampak sebagai seorang
wanita yang matang dan penuh daya tarik. Banyak godaan dihadapinya dalam
perjalanan itu. Hal itulah yang membuat ia merasa kesal, disamping tubuhnya
juga merasa lelah. Untung bahwa ketika kecil, ia sudah digembleng oleh ayahnya,
seorang guru silat sehingga tubuhnya menjadi kuat dan ketika menjadi isteri Yaw
Sun Kok, iapun menerima latihan ilmu silat dari suaminya sehingga ia memiliki
bekal ilmu silat yang lumayan, cukup untuk sekedar menjaga diri. Dengan
sikapnya yang pendiam dan anggun, dengan pedangnya, kaum pria yang tadinya
hendak berkurang ajar meniadi jerih dan sampai hampir sebulan dalam perjalanan,
ia masih dapat menyelamatkan diri dari ganguan para pria iseng.
Ketika tiba di kaki bukit
itu, ia menjadi bingung. Menurut keterangan yang diperoleh di dusun terakhir
tadi, di depan tidak ada lagi dusun sebelum ia melewati bukit itu. Dan bukit
itu cukup besar, dilihat dari bawah penuh dengan hutan! Dan matahari sudah
mulai condong ke barat. Agaknya, ia akan kemalaman di bukit itu dan terpaksa
harus melewatkan malam di bukit. Baru pada hari esok ia boleh mengharapkan
dapat bertemu dusun lagi. Hatinya agak kecut. Tempat itu sunyi sekali dan
menyeramkan. Ia sudah memasuki daerah Tibet, dan ia tidak tahu ke mana harus
mencari adiknya atau puterinya. Akan tetapi, ia akan pergi ke Lasha dan di sana
ia mengharapkan akan mendapat keterangan tentang dua orang yang dicintanya dan
dicarinya itu. Menurut keterangan terakhir yang ia dapatkan, perjalanan ke
Lasha masih membutuhkan waktu sedikitnya satu bulan lagi!
Mengapa aku tidak membeli
saja seekor kuda di dusun terakhir itu, pikirnya. Kalau dengan menunggang kuda,
tentu perjalanan akan dapat dilakukan lebih cepat dan tidak begitu melelahkan
seperti sekarang ini. Dengan hati kecut iapun mulai mendaki bukit itu. Ia
mendaki dengan cepat, memaksa kedua kakinya yang sudah lelah karena sedapat
mungkin ia harus tiba di puncak bukit dan mencari tempat yang baik dan aman
untuk bermalam sebelum hari menjadi gelap.
Baru saja ia tiba di
lereng bukit itu, di tepi hutan pertama, tiba-tiba dari dalam hutan bermunculan
sepuluh orang laki-laki yang kelihatan kasar dan buas. Mereka mengenakan
pakaian serba hitam dan di dada mereka ada lukisan seekor kala putih yang
menyeramkan.
‘Heiii, ada seorang
wanita berjalan seorang diri!!
‘Amboi manisnya!!
‘Lihat pinggangnya,
seperti kumbang!!
‘Pinggulnya.... waw sexi
banget!!
Sepuluh orang itu sudah
mengepungnya dan Lan Hong memandang dengan muka pucat. Selama melakukan
perjalanan, sudah banyak dia digoda pria, akan tetapi belum pernah bertemu
gerombolan laki-laki yang begini kasar dan kelihatan buas. Juga di punggung
mereka nampak golok besar yang mengerikan. Biarpun ia puteri seorang guru
silat, bahkan bekas isteri seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun
menghadapi gerombolan yang kasar dan ceriwis ini, jantung dalam dadanya
berdebar penuh rasa tegang dan gelisah. Namun, Lan Hong menenangkan dirinya
lalu berkata dengan lembut.
‘Harap cu-wi suka
mengasihani aku seorang wanita yang mencari anaknya dan tidak menggangguku.
Biarkan aku pergi dari sini!!
‘Tentu saja kami kasihan
kepadamu, manis. Karena kasihan dan sayang maka kami tidak akan membiarkan
engkau berjalan sendiri. Mari kami antar, ha-ha-ha!! kata seorang di antara
mereka. ‘Kawan-kawan, mari kita bersenang-senang, selagi toako (kakak tertua)
tidak ada. Kalau ada dia, celaka, tentu akan dia habiskan sendiri dan kita
tidak akan kebagian!! kata yang lain.
Semua orang tertawa
mendengar ini dan menyatakan setuju. Segera mereka berlumba untuk menangkap Lan
Hong. Wanita ini sudah siap dan ia mencabut pedang dari buntalan pakaiannya.
‘Harap kalian mundur
atau terpaksa aku mempergunakan pedangku!! bentaknya.
Melihat betapa wanita yang
manis itu memegang pedang, sepuluh orang itu terkejut, akan tetapi hanya
sebentar saja. Mereka memandang rendah kepada wanita itu dan kembali sambil
tertawa-tawa mereka mengepung.
‘Wah, pandai juga
bermain pedang, ya? Bagus, kalau melawan lebih mengasyikkan!! Dan kembali
mereka hendak menangkap dari berbagai jurusan.
Melihat ancaman mengerikan
itu, Sie Lan Hong menggerakkan pedangnya ke belakang sambil membalikknu
tubuhnya. Orang yang berada di belakangnya, terkejut ketika ada sinar
menyambar. Dia menarik tangannya, akan tetapi pedang itu tetap saja menggores
lengannya, merobek baju dan kulit lengan. Dia berteriak kesakitan dan juga
marah.
‘Hemm, galak juga, ya?
Kawan-kawan, mari kita tundukkan dulu wanita manis dan galak ini. Akan tetapi
jangan dilukai, sayang kalau sampai ia terluka!! Dan mereka mencabut golok
mereka, golok besar yang kelihatan berat dan tajam berkilauan. Lan Hong memutar
pedangnya dan beberapa batang golok menangkis. Ketika mereka mengerahkan
tenaga.
‘Trangggg....!! Pedang
itu terlepas dari tangan Lang Hong yang menjadi terkejut bukan main. Sepuluh
orang itu tertawa bergelak dan kesempatan ini dipergunakan oleh Lan Hong untuk
menyelinap di antara mereka dan melarikan diri secepatnya ke arah kiri.
Sepuluh orang berpakaian
hitam-hitam itu tertawa gembira lalu lari mengejar sambil berteriak-teriak.
Mereka seperti segerombolan srigala yang mengejar dan mempermainkan seekor
kelinci, yakin bahwa akhirnya kelinci itu takkan terlepas dari terkaman mereka.
Mereka mengejar sambil tertawa-tawa dan Lan Hong melarikan diri sekuat tenaga.
Ia dapat membayangkan kengerian yang melebihi maut kalau sampai ia tertangkap
oleh orang-orang biadab itu. Lebih baik mati dari pada membiarkan dirinya
diperkosa dan dihina. Akan tetapi, sebelum putus asa, ia akan berusaha sekuat
tenaga untuk melarikan diri atau melawan sampai napas terakhir.
Para pengejar itu memang
sengaja hendak mempermainkan Lan Hong, maka mereka hanya berlari di
belakangnya, tidak segera menangkapnya. Lan Hong berlari terus, menurut jalan
setapak dan ia melihat sebuah kuil tua di depan.
Karena tidak tahu lagi
harus lari ke mana, dan kedua kakinya sudah menjadi semakin lelah, Lan Hong
lalu lari menuju ke kuil itu. Siapa tahu penghuni kuil dapat menolongnya,
pikirnya penuh harapan. Sepuluh orang pria itu mengejar sambil tertawa-tawa.
‘Ha-ha-ha, engkau
mengajak kami ke kuil itu, manis? Tempat yang enak untuk bersenang-senang!!
Lan Hong tidak
memperdulikan ucapan mereka dan berlari terus. Hatinya semakin kecut ketika
melihat bahwa kuil itu adalah sebuah kuil tua yang agaknya sudah tidak dipakai
lagi. Tentu kosong tidak ada orangnya, pikirnya dengan gelisah. Akan tetapi,
ketika ia memandang ragu dan berdiri di ruangan depan, terdengar suara dari
dalam.
‘Jangan takut, masuklah
dan kami yang akan menghadapi gerombolan iblis itu!! Dan nampak dua orang pria
yang gagah berlompatan keluar dari ruangan dalam. Mereka adalah dua orang
pemuda yang berbangsa Han, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Yang seorang
bertubuh tinggi besar dengan muka persegi dan sikapnya gagah. Orang ke dua
bertubuh sedang, akan tetapi mukanya yang bulat itu penuh brewok yang rapi
sehingga dia kelihatan gagah pula. Di tangan mereka nampak sebatang pedang.
Melihat mereka dan sikap
mereka yang baik, Lan Hong segera memberi hormat. ‘Ji-wi taihiap (dua
pendekar perkasa), tolonglah saya,....!
‘Nona, jangan takut.
Masuklah dan kami akan membasmi para penjahat itu!! kata yang tinggi besar dan
dia berkata kepada orang ke dua yang brewok. ‘Sute, mari kita hadapi mereka,
di depan kuil!! Mereka lalu berloncatan keluar. Lan Hong cepat menyelinap di
balik dinding dan ia mengintai keluar dengan jantung berdebar penuh ketegangan,
akan tetapi lega juga bahwa di situ ia bertemu dengan dua orang gagah yang siap
membela dan melindunginya. Ia hanya dapat berharap agar kedua orang gagah itu
memiliki kepandaian yang cukup tinggi untuk melawan pengeroyokdn sepuluh orang
yang buas itu.
Sepuluh orang berpakaian
hitam dengan gambar seekor kala putih di baju bagian dada, tercengang ketika
melihat dua orang pemuda gagah berdiri di depan kuil dengan pedang di tangan,
menghadang mereka.
‘Heii, siapa kalian
berani menghadang di depan kami? Hayo cepat menggelinding pergi!! bentak
seorang di antara sepuluh orang berpakaian hitam itu.
Pemuda yang tinggi besar
itu menudingkan telunjuk kirinya ke arah mereka sambil melintangkan pedang di
depan dadanya yang bidang. ‘Hemm, sudah lama kami mendengar tentang
gerombolan Kala Putih yang jahat! Ternyata kabar itu benar, gerombolan Kala
Putih bukan hanya perampok dan perkumpulan penjahat keji, akan tetapi juga
tidak segan untuk mengganggu wanita. Sudah sepantasnya kalau kami membasmi
gerombolan macam kalian!!
Sepuluh orang itu
terbelalak penuh kemarahan mendengar kata-kata yang amat menghina itu. Seorang
di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus, melangkah maju. Agaknya ia
mewakili kawan-kawannya dan dengan suara melengking tinggi diapun membentak.
‘Kalian ini bocah-bocah
ingusan hendak menentang Kala Putih? Perkenalkan nama kalian lebih dulu agar
kami tidak akan membunuh orang tanpa nama!!
Pemuda tinggi besar itu
dengan lantang menjawab, ‘Kami tidak pernah menyembunyikan nama! Kami adalah
murid murid Kun-lun-pai yang selalu akan menentang kejahatan. Namaku Ciang Sun
dan sute ini adalah Kok Han!!
Memang dua orang pemuda
perkasa itu bukan lain adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid
Kun-lun-pai yang berani itu. Mereka berdua diutus oleh ketua Kun-lun-pai, yaitu
Thian Hwat Tosu, untuk pergi ke daerah Tibet mencari susiok (paman guru) mereka
yang bernama Lie Bouw Tek. Lie Bouw Tek adalah murid kepala Kun-lun-pai, murid
langsung dari ketua Thian Hwat Tosu dan karena Ciang Sun dan Kok Han adalah
murid kelas tiga, maka Lie Bouw Tek terhitung susiok mereka. Mereka berdua
mencari-cari Lie Bouw Tek dan membawa sepucuk surat dari ketua Kun-lun-pai
untuk murid kepala itu. Seperti telah kita ketahui, dalam perjalanan, mereka
pernah berjumpa dengan Pendekar Bongkok Sie Liong ketika Sie Liong
mempertemukan dua orang kekasih yang dipisahkan karena watak ayah si gadis yang
mata duitan.
Mendengar bahwa dua orang
pemuda itu adalah murid-murid Kun-lun-pai sepuluh orang berpakaian hitam itu
menja di semakin marah. ‘Aha, kiranya orang-orang Kun-lun-pai yang usil dan
gatal tangan, hendak mencampuri urusan kami orang Kala Putih! Kami tidak pernah
bertentangan dengan Kun-lun-pai, selalu bersimpang jalan, kenapa hari ini ada
orang Kun-lun-pai yang sengaja hendak menentang kami?!
Ciang Sun tersenyum
mengejek. ‘Selama Kala Putih tidak melakukan kejahatan, kami dari Kun-lun-pai
tidak perduli. Akan tetapi, kami selalu akan menentang kejahatan yang dilakukan
oleh siapapun juga. Kalian mengejar-nge jar seorang wanita dengan niat yang
kotor dan jahat, tentu saja kami menentang kalian!!
‘Keparat, sekali lagi,
pergilah kalian dan biarkan kami menawan perempuan itu! Kami masih memandang
perkumpulan Kun-lun-pai dan tidak akan menuntut atas sikap kalian yang lancang
ini!!
‘Persetan dengan Kala
Putih yang jahat!! bentak Ciang Sun. Sepuluh orang itu tak dapat lagi menahan
kemarahan mereka. Kalau tadi mereka masih meragu dan mencoba untuk membujuk
adalah karena mereka tahu bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan
besar, dan mereka tidak ingin menanam permusuhan dengan perkumpulan itu. Akan
tetapi, para anggauta Kala Putih selalu mengandalkan kepandaian dan keberanian
mereka untuk melakukan kekerasan memaksakan kehendak mereka, maka melihat sikap
kedua orang murid Kun-lun-pai yang menentang itu, merekapun segera mulai
menyerang!
Ciang Sun dan sutenya, Kok
Han, menggerakkan pedang mereka menyambut serangan golok dan terjadilah
perkelahian yang seru. Sepuluh batang golok berkelebatan dan sinarnya, ketika
tertimpa matahari sore menyilaukan mata. Namun, gerakan kedua orang murid
Kun-lun-pai memang indah dan dua orang ini merupakan murid yang cukup pandai
sehingga pedang mereka berubah menjadi dua gulung sinar yang amat kuat, yang
mampu menahan semua serangan golok, bahkan sinar pedang itu mencuat ke
sana-sini melakukan serangan balasan yang membuat sepuluh orang anggauta Kala
Putih itu menjadi kacau balau dan terdesak mundur!
Lan Hong yang mengintai
dari dalam bingung melihat betapa dua orang penolongnya dikeroyok oleh sepuluh
orang buas itu. Ia ingin sekali membantu mereka, akan tetapi pedangnya telah
hilang ketika ia dikeroyok tadi. Ia mencari-cari dengan matanya di dalam
ruangan kuil itu dan melihat beberapa potong kayu yang agaknya dipergunakan
orang membuat api unggun. Lalu dipilihnya sebatang kayu sebesar lengannya,
panjangnya satu meter lebih. Kayu itu cukup kuat dan lumayan untuk dipergunakan
sebagai senjata. Lan Hong sudah menjadi nekat. Kalau kedua orang penolongnya
itu kalah, tentu ia akan terja tuh ke tangan sepuluh orang jahat itu. Melarikan
diripun tidak ada gunanya, karena hari akan menjadi gelap dan ia tidak mengenal
jalan. Lebih baik membantu kedua orang penolongnya itu, menang atau kalah
bersama mereka! Ia lalu meloncat keluar dan menyerbu ke dalam pertempuran itu,
menggunakan tongkatnya memukul seorang pengeroyok dari belakang.
‘Bukk!! Orang itu terjungkal
pingsan karena pukulan Lan Hong tepat mengenai tengkuknya! Kemudian Lan Hong
mengamuk dengan tongkatnya, membantu dua orang murid Kun-lun-pai itu. Melihat
ini, dua orang pemuda itu merasa kagum, akan tetapi juga khawatir. Dari
gerakannya, mereka dapat menduga bahwa wanita yang mereka tolong itu pandai
juga ilmu silat, akan tetapi ia hanya bersenjata sebatang kayu sedangkan para
pengeroyok adalah orang-orang kejam yang semua memegang golok.
‘Nona, masuklah ke
dalam, biar kami yang menghajar mereka!! teriak Kok Han dengan khawatir.
‘Tidak, aku harus
membantu kalian membasmi iblis-iblis jahat ini!! jawab Lan Hong yang terus
mengamuk dengan tongkatnya. Akan tetapi, dua orang mengeroyoknya dengan golok
dan Lan Hong terhimpit, lalu sebuah tendangan yang cukup keras mengenai
pahanya, membuat wanita itu terguling roboh!
‘Hati-hati....!! teriak
Ciang Sun yang cepat menerjang dan melindungi tubuh wanita itu dari para
pengeroyoknya, dengan pedangnya berkelebat ke kiri merobek pangkal lengan
seorang pengeroyok, dan melindungi tubuh Lan Hong dengan putaran pedangnya.
Akan tetapi Lan Hong bangkit lagi dan mengamuk lagi, tidak memperdulikan
pahanya yang terasa nyeri.
Kini, dua orang murid
Kun-lun-pai menjadi semakin sibuk karena mereka harus pula melindungi Lan Hong
yang mengamuk seperti seekor harimau betina itu. Namun, diam-diam mereka merasa
kagum dan tidak menyesal menolong wanita yang ternyata gagah berani ini.
Tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring, dengan suara pria yang besar dan parau, ‘Tahan semua
senjata!!
Mendengar suara ini,
sembilan orang berpakaian hitam itu segera berloncatan ke belakang. Ada yang
menolong kawan yang pingsan oleh pukulan tongkat di tangan Lan Hong, dan ada
yang dengan girang berseru, ‘Toako datang....!!
Melihat para pengeroyok
berloncatan mundur, Ciang Sun dan Kok Han memandang orang yang baru datang itu
dengan penuh perhatian. Lan Hong juga meloncat ke belakang dan wanita ini
menahan rasa nyeri di pahanya, wajahnya merah sekali, napasnya agak terengah, dahi
dan lehernya basah keringat, rambutnya kusut, akan tetapi ia nampak semakin
manis menarik dan gagah ketika ia berdiri tak jauh dari dua orang pemuda
Kun-lun-pai itu dengan tongkat di tangan, tongkat yang sudah tidak karuan
bentuknya karena berulang kali bertemu dengan golok para pengeroyok yang tajam.
Orang yang baru datang itu
adalah seorang laki-laki yang usianya antara empat puluh lima sampai lima puluh
tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, kepalanya besar dan botak
sedangkan kulit muka dan tangannya putih sekali, putih yang tidak wajar
sehingga mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bule. Rambut di kepalanya
agak kekuningan yang hanya tumbuh di bagian bawah saja, dan bulu-bulu di muka,
leher dan lengannya juga kekuningan. Dia pun mengenakan pakaian serba hitam,
akan tetapi terbuat dari sutera, dan lukisan seekor kala putih di bajunya lebih
besar daripada yang berada di baju anak buahnya. Mudah diduga bahwa tentu
dialah kepala dari gerombolan Kala Putih itu.
Dengan suara yang aneh dan
asing logatnya, raksasa bule itu berteriak marah. ‘Heh, siapa yang berani
membikin ribut di sini dan bahkan melukai seorang anak buahku? Siapa kalian
bertiga dan mengapa berkelahi melawan anak buahku?!
Sebelum dua orang pemuda
itu menjawab, seorang anak buah gerombolan itu sudah cepat melaporkan,
‘Toako, mereka berdua itu adalah murid-murid Kun-lun-pai yang sombong. Kami
sedang mengejar wanita itu yang berani lewat seorang diri di sini, untuk kami
tangkap dan kami serahkan kepada toako untuk diambil keputusan. Eh, dua orang
ini muncul dan melindunginya, hendak merampasnya dari tangan kami!!
Raksasa bule itu memandang
kepada Lan Hong dan wanita itu merasa bulu tengkuknva meremang saking ngerinya.
Mata itu sungguh menyeramkan dan begitu penuh gairah! Kemudian raksasa itu,
setelah menjelajahi seluruh tubuh Lan Hong dengan sinar matanya, tertawa
bergelak.
‘Ha-ha-ha, kiranya
memperebutkan wanita? Aha, baru kuketahui sekarang bahwa orang-orang
Kun-lun-pai juga suka kepada wanita. Tidak aneh, tidak aneh!!
‘Kami tidak
memperebutkan wanita!! bentak Ciang Sun marah. ‘Kami melindungi wanita ini
karena dikejar-kejar oleh anak buahmu. Kami murid Kun-lun-pai akan menentang
semua kejahatan dan melindungi siapa saja yang terancam!!
‘Ha-ha-ha-ha, tidak
perlu malu-malu, sobat muda! Laki-laki mana yang tidak akan suka kepada seorang
wanita yang manis dan denok seperti ini? Kalau memang kalian tidak suka,
serahkan saja kepadaku, mengingat hubungan baik antara Kala Putih dan
Kun-lun-pai. Ketahuilah bahwa aku adalah Konga Sang, ketua dan pemimpin Kala
Putih yang selama ini tidak pernah mengganggu Kun-lun-pai.!
‘Kami tidak akan
membiarkan siapa saja mengganggu manita ini!! bentak pula Ciang Sun.
‘Ho-ho-ha-ha, kiranya
kalian mengajak bertanding? Baik, memang wanita ini cukup berharga untuk
dijadikan taruhan dalam pertandingan. Kalau kalian dapat mengalahkan aku, Konga
Sang, kalian boleh pergi membawanya dan kami takkan mengganggu. Akan tetapi
kalau kalian kalah, wanita ini harus diserahkan kepadaku. Sudah adil, bukan?!
Lan Hong yang sejak tadi
diam saja, tiba-tiba membentak dengan suara nyaring, ‘Iblis jahat, engkau
terlalu menghinaku. Dengarlah baik-baik, aku lebih baik mati dari pada menyerah
kepadamu!!
‘Konga Sang,! kata Kok
Han yang brewok gagah, ‘kalau engkau memang laki-laki sejati, biarkan wanita
ini pergi melanjutkan perjalanannya dan jangan diganggu. Sedangkan kalau engkau
menghendaki kita untuk bertanding, kami akan menyambut tantanganmu itu.
Taruhannya bukan wanita melainkan nyawa kita!!
‘Kalian orang-orang muda
sombong!! Konga Sang berseru dan sekali tangan kanannya bergerak, dia telah
melepaskan sebatang rantai yang tadi melibat pinggangnya. Rantai itu sebesar
ibu jari, panjangnya ada dua meter dan di ujung rantai terdapat kaitan baja yang
menyeramkan. Inilah senjata raksasa bule itu. Dia memutar rantainya di atas
kepala lalu membentak, ‘Kalau kalian berani, majulah!!
Ciang Sun dan Kok Han
maklum bahwa kepala gerombolan Kala Putih ini tentu lihai, maka merekapun maju
dengan sikap yang waspada. Ciang Sun berkata kepada Lan Hong,
‘Nona, engkau
mundurlah!!
Lan Hong tahu diri. Iapun
maklum bahwa kepala gerombolan ini tidak boleh disamakan dengan anak buahnya
tentu lihai bukan main dan ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk
dapat dipergunakan membantu dua orang pendekar Kun-lun-pai itu. Kalau ia memaksa
diri maju, tentu hanya akan menjadi penghalang bagi dua orang penolongnya. Maka
iapun melangkah mundur dan siap dengan tongkatnya untuk membela diri. Ia
mengeraskan hatinya, mencoba untuk bersikap tetap tenang dan siap menghadapi
apapun juga. Hanya satu pegangannya. Ia tidak akan menyerah dan kalau terpaksa,
ia akan mempertahankan diri sampai mati!
‘Haiiiiiitt....!! Kakek
raksasa itu berteriak dan rantai di tangannya menyambar-nyambar ganas ke arah
dua orang lawannya. Ciang Sun dan Kok Han mempergunakan kelincahan tubuh mereka
untuk mengelak dan merekapun balas menyerang dengan pedang mereka. Namun, semua
serangan pedang dapat ditangkis oleh sinar rantai yang bergulung-gulung. Setiap
kali pedang bertemu rantai, terdengar bunyi nyaring dan nampak bunga api
berpijar. Terjadilah perkelahian yang hebat, lebih seru daripada tadi ketika
dua orang itu dikeroyok sepuluh orang anak buah gerombolan Kala Putih.
Akan tetapi, lewat tiga
puluh jurus lebih, kedua orang murid Kun-lun-pai itu diam-diam mengeluh karena
mereka mendapat kenyataan bahwa lawan mereka sungguh amat lihai. Permainan
rantai itu sungguh dahsyat, selain amat cepat datangnya, juga mengandung tenaga
yang lebih kuat dari pada tenaga mereka berdua sehingga setiap kali pedang
mereka bertemu rantai, mereka merasa betapa telapak tangan mereka menjadi nyeri
dan panas. Bahkan beberapa kali, hampir saja mereka melepaskan pedang karena
tidak tahan getaran hebat yang menyerang telapak tangan mereka.
‘Ha-ha-ha, mampuslah!!
Tiba-tiba raksasa bule itu membentak dan rantainya menyambar dengan tenaga
sepenuhnya ke arah Ciang Sun. Pendekar ini melompat ke samping, akan tetapi
tetap saja kaitan rantai itu mengenai leher bajunya.
‘Bretttt....!! Baju
itupun terobek sampai ke bawah, dari tengkuk ke pinggang. Masih untung bahwa
kulit tubuh Ciang Sun tidak terluka! Pada saat itu, Kok Han sudah menusukkan
pedangnya untuk melindungi kakak seperguruannya. Konga Sang menangkis dengan
ujung rantai, dan tiba-tiba dia melepaskan rantai dari tangan kiri, hanya memegangi
dengan tangan kanan dan tangan kirinya yang berjari besar-besar itu telah
menangkap pergelangan tangan Kok Han. Dan dengan sentakan aneh sambil memutar
tubuhnya, tak dapat dipertahankan lagi oleh Kok Han, tubuhnya ikut terputar dan
diapun terpelanting dan terbanting keras! Kiranya kepala gerombolan Kala Putih
itu lihai pula dalam ilmu gulat! Ciang Sun cepat memutar pedangnva menyerang
untuk melindungi sutenya yang cepat menggulingkan tubuhnya dan melompat bangun
kembali. Kembali, kedua orang murid Kun-lun-pai itu menghadapi sambaran rantai
dan kini mereka hanya mampu mempertahankan diri saja, tidak mampu lagi balas
menyerang.
‘Ha-ha, kalian jaga
baik-baik agar pengantinku itu tidak melarikan diri! Dua ekor domba ini
sebentar lagi akan kusembelih, ha-ha-ha!! Konga Sang berkata kepada anak
buahnya karena dia sudah merasa yakin bahwa tak lama lagi dia akan dapat
merobohkan dua orang lawannya dan memondong wanita manis itu.
Sambil menyeringai, anak
buahnya mendekati Lan Hong. Wanita ini memandang dengan wajah pucat. Iapun tahu
bahwa dua orang penolongnya sudah terdesak dan berada dalam bahaya. Ia tahu
bahwa mereka kini tidak mampu melindunginya lagi dan untuk melawan para anak
buah gerombolan itupun ia tidak akan menang. Oleh karena itu, iapun sudah mengambil
keputusan nekat, untuk melawan mati-matian dan kalau tertawan, ia akan membunuh
diri! Ia mengangkat tongkatnya sambil berseru, ‘Majulah, akan kuhancurkan
kepalamu!!
Akan tetapi, dua orang di
antara para anak buah gerombolan itu, dua orang yang bertubuh tinggi besar,
melangkah maju sambil menyeringai.
‘Manis, jangan banyak
tingkah. Engkau akan menjadi pengantin pemimpin kami malam ini, ha-ha-ha! Lebih
baik menyerah saja!!
Akan tetapi Lan Hong
menyambut mereka dengan hantaman tongkatnya! Ia sudah lelah sekali, sudah
hampir kehabisan tenaga, akan tetapi ia masih bersemangat dan pukulannya masih
kuat. Akan tetapi, dua orang anak buah gerombolan itu adalah dua orang yang
terkuat di antara mereka. Yang dihantam tongkat itu miringkan tubuhnya dan ketika
tongkat itu lewat, orang ke dua sudah menangkap lengan kanan Lan Hong yang
memegang tongkat, sedangkan orang pertama sudah merangkulkan kedua lengannya
yang panjang dan besar melingkari pinggang ramping Lan Hong.
‘Lepaskan! Keparat
busuk, lepaskan aku....!! Lan Hong meronta untuk melepaskan diri, namun dua
orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali.
Pada saat itu, terdengar
bentakan, ‘Kalian srigala-srigala yang jahat!! Bentakan ini disusul
berkelebatnya bayangan orang dan dua orang raksasa yang sedang menangkap Lan
Hong yang meronta-ronta itu tiba-tiba saja terlempar dan terpelanting, roboh
dan tidak mampu bangkit kembali. Seorang pecah kepalanya dan seorang lagi
mengerang kesakitan dengan beberapa buah tulang iga patah-patah. Kiranya yang
muncul adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, berpakaian biru, dan tadi
begitu muncul, dia menendang roboh dan menampar tewas dua orang anak buah
gerombolan yang sedang menangkap Lan Hong.
Lan Hong terbelalak dan
memandang kepada penolongnya. Seorang pria yang tinggi besar dan gagah perkasa,
usianya hampir empat puluh tahun, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi,
pakaiannya berwarna biru dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang
dengan ronce merah. Ketika Ciang Sun dan Kok Han melihat pria gagah perkasa
itu, mereka menjadi girang sekali.
‘Lie susiok (paman guru
Lie)!! seru mereka dengan gembira dan hampir berbareng.
‘Mundurlah kalian dan
hajar saja anak buah Kala Putih, biar aku yang menghadapi Konga Sang!! kata
pria gagah perkasa itu. Dia bernama Lie Bouw Tek, murid kepala Kun-lun-pai yang
memang sedang dicari-cari oleh dua orang murid Kun-lun-pai itu. Begitu meloncat
dan menggantikan dua orang murid keponakannya, Lie Bouw Tek telah mencabut
sebatang pedangnya yang mengeluarkan sinar kemerahan. Itulah pedang pusaka
Ang-seng-kiam (Pedang Bintang Merah) yang menurut dongeng dibuat dari logam
yang berasal dari bintang dan logam itu berwarna merah!
‘Hemm, siapa kau?! Konga
Sang membentak ketika melihat bahwa yang menghadapinya adalah seorang laki-laki
yang tingginya tidak kalah olehnya, berdada bidang dan kokoh, dengan sinar mata
yang tajam dan mencorong.
‘Konga Sang, sudah lama
aku mendengar akan sepak terjang Kala Putih yang semakin jahat. Sekarang
kebetulan sekali kita bertemu di sini, aku tidak akan membiarkan engkau
merajalela mengumbar nafsu kejahatanmu. Aku bernama Lie Bouw Tek, murid
Kun-lun-pai!!
‘Aha, lagi-lagi murid
Kun-lun-pai. Sungguh mati, tak kusangka bahwa Kun-lun-pai terdiri dari
orang-orang usil dan lancang, suka mencampuri urusan orang lain!!
‘Tak perlu banyak cakap,
Konga Sang! Bukan hanya murid Kun-lun-pai, akan tetapi seluruh pendekar di
dunia ini pasti akan menentang perbuatan jahat!!
‘Manusia sombong!!
Bentak Konga Sang dan rantainya sudah menyambar dahsyat ke arah kepala Lie Bouw
Tek. Pendekar ini merendahkan tubuhnya dan ketika rantai melewati atas
kepalanya dia melangkah maju dan pedangnya menusuk ke bawah lengan kanan lawan!
Gerakannya mantap, cepat dan kuat sekali sehingga pedang itu meluncur bagaikan
sinar merah yang didahului angin dan suara mendesing! Terkejutlah Konga Sang
dan dia terpaksa melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri. Rantainya
membuat gerakan memutar dan kembali menyambar ke arah pinggang lawan. Sekali
ini Lie Bouw Tek menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga. Melihat
lawan menangkis, Konga Sang girang dan dia menarik sedikit rantainya agar ujung
yang ada kaitannya dapat melibat pedang lawan.
‘Tranggg....!! terdengar
suara nyaring dan bukan main kagetnya hati Konga Sang ketika melihat betapa
ujung rantainya berikut kaitannya telah putus! Kiranya pedang merah itu
merupakan pedang pusaka yang ampuh! Untung baginya bahwa yang buntung hanya
ujung sepanjang satu dua jengkal saja sehingga rantainya masih merupakan
senjata yang berbahaya walaupun tanpa kaitan. Dengan marah dia mengeluarkan
suara gerengan dan rantainya menyambar-nyambar ketika dia memutarnya dan
melancarkan serangan bertubi-tubi.
Bab 17
Namun Lie Bouw Tek dapat
mengelak dengan langkah-langkah yang teratur, kadang meloncat tinggi dan diapun
membalas dengan tusukan dan bacokan pedang. Terjadi pertempuran yang amat seru
di antara kedua orang ini. Ternyata tenaga mereka seimbang, juga kini mereka
bertanding dengan hati-hati. Konga Sang jerih terhadap pedang pusaka itu,
sebaliknya Lie Bouw Tek juga tidak berani sembarangan menangkis. Sekali
pedangnya terlibat rantai, dia akan menghadapi bahaya karena diapun tahu bahwa
kepala gerombolan ini adalah seorang ahli gulat. Dalam ilmu silat, dia dapat
menandingi kepala gerombolan itu, akan tetapi kalau dalam ilmu gulat, sekali
tubuhnya tertangkap, bahaya maut mengancam dirinya!
Sementara itu, Ciang Sun
dan Kok Han mengamuk, menghajar anak buah gerombolan yang kini tinggal tujuh
orang itu. Yang dua tewas oleh Lie Bouw Tek dan yang tadi terkena hantaman
tongkat Lan Hong pada tengkuknya, biarpun sudah siuman akan tetapi masih pening
dan tidak mampu berkelahi, Aagaknya gegar otak! Lan Hong juga tidak tinggal
diam, ia sudah mengambil golok seorang di antara penjahat yang tewas, lalu ia
membantu dua orang murid Kun-lun-pai yang mengamuk, dengan memutar golok itu
sekuat tenaga!
Lie Bouw Tek yang sudah
lama berkelana di daerah ini dan sudah banyak mendengar tentang gerombolan Kala
Putih, maklum bahwa gerombolan itu masih mempunyai banyak sekali anak buah dan
hanya kebetulan saja sekali ini mereka hanya menghadapi kepala gerombolan dengan
sepuluh orang anak buah saja. Dia khawatir kalau-kalau akan datang lebih banyak
lagi anak buah gerombolan Kala Putih, maka sambil memutar pedangnya sehingga
membentuk gulungan sinar merah yang merupakan benteng kokoh kuat yang
melindungi dirinya, dia berseru keras.
‘Ciang Sun! Kok Han!
Kalian ajak pergi Nona itu, biar aku yang menahan mereka. Cepat!!
Ciang Sun dan Kok Han
mengerutkan alisnya. Kenapa susiok mereka menyuruh mereka melarikan diri?
Padahal, jelas bahwa susioknya tidak kalah oleh Konga Sang, juga mereka bahkan
mendesak tujuh orang anak buah gerombolan itu, malah di antara pihak musuh sudah
ada yang tergores pedang. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak
sempat membantah dan juga tidak berani membantah. Mereka mengenal susiok mereka
sebagai seorang gagah perkasa dan kalau susioknya menyuruh mereka pergi lebih
dahulu, tentu dia memiliki alasan yang kuat.
‘Mari, enci!! kata Ciang
Sun sambil menarik tangan Lan Hong, diajak meloncat pergi sedangkan Kok Han
melindungi mereka. Ketika tiga orang ini melarikan diri, para anak buah
gerombolan tidak berani mengejar. Mereka tidak bodoh. Tadi mereka sudah
terdesak dan kalau dilanjutkan, mereka tentu akan roboh semua. Maka, sebaliknya
daripada mengejar tiga orang itu, mereka kini membantu pemimpin mereka
mengeroyok Lie Bouw Tek!
Lie Bouw Tek mengamuk
bagaikan seekor rajawali merah! Pedangnya tidak nampak lagi, berubah menjadi
sinar merah bergulung-gulung dan bermain di antara sinar golok dan rantai.
Kadang-kadang, dari gulungan sinar merah itu mencuat sinar kilat disusul
robohnya seorang pengeroyok karena disambar pedang Ang-seng-kiam. Lie Bou Tek
sebetulnya memiliki ilmu yang seimbang dengan kepandaian Konga Sang, akan
tetapi pedang pusakanya membuat lawan itu merasa jerih. Diapun tahu akan hal
ini, dan dia tahu pula bahwa kalau Konga Sang menyerang dengan sungguh-sungguh,
dibantu beberapa orang anak buahnya, dia akan menghadapi bahaya. Maka, dia
memberi waktu bagi dua orang murid keponakannya untuk melarikan diri bersama
wanita itu, kemudian setelah memutar pedangnya, diapun moloncat jauh dan
menghilang di balik semak belukar dan pohon-pohon yang mulal diselimuti
kegelapan karena malam telah menjelang tiba.
Konga Sang merasa
penasaran dan marah sekali. ‘Kejar!! teriaknya, dan merekapun melakukan
pengejaran. Namun, karena di dalam hati mereka timbul rasa jerih menghadapi
tiga orang murid Kun-lun-pai itu, maka mereka tidak berani berpencar ketika
mengejar dan mencari sehingga gerakan mereka tidak dapat cepat. Apalagi mereka
terhalang oleh kegelapan malam sehingga akhirnya mereka terpaksa menghentikan
pengejaran dan menolong kawan yang terluka atau tewas. Konga Sang mengapal
tinju dan berkata dengan geram.
‘Orang-orang Kun-lun-pai
telah menghinaku! Awas, sekali waktu aku akan mengambil tindakan!! Walaupun
ucapan ini lebih banyak hanya untuk mengumbar rasa penasaran dan marahnya
karena diapun tahu betapa kuatnya Kun-lun-pai yang mempunyai banyak murid yang
pandai dan pimpinan yang berilmu tinggi itu. Kalau tidak yakin akan kekuatan
pasukannya sendiri, penyerbuan ke Kun-lun-pai hanya akan mengakibatkan
pasukannya hancur.
Mereka duduk mengitari api
unggun. Mereka berempat kini berada di puncak bukit, dari mana mereka dapat
melihat ke empat penjuru dan tempat itu aman dan baik untuk melewatkan malam.
Kalau ada musuh datang, maka dari jauhpun sudah akan dapat mereka lihat atau
dengar karena sekeliling mereka datar dan merupakan padang rumput.
Tadi Lie Bouw Tek dapat
menyusul Ciang Sun dan Kok Han yang mengajak Sie Lan Hong melarikan diri dan
dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera memberi hormat dan berlutut di depan
kaki Lie Bouw Tek.
‘Terima kasih atas
bantuan Lie susiok,! kata mereka.
Lan Hong juga ikut
berlutut dan berkata, ‘Atas pertolongan taihiap, akupun mengucapkan terima
kasih.!
‘Bangkitlah kalian
berdua, juga engkau, nona. Bangkitlah, tidak perlu dengan segala macam kesungkanan
ini. Musuh berada jauh di bawah dan mungkin tidak akan mengejar ke sini.
Andaikata mereka datang, kita dapat melihat mereka sebelum mereka dekat. Tempat
ini baik sekali untuk melewatkan malam. Ciang Sun dan Kok Han, kumpulkan kayu
kering dan kita bikin api unggun di sini.!
Demikianlah, mereka kini
duduk saling berhadapan, mengelilingi api unggun yang bernyala indah, terang
dan hangat. Lan Hong memandang kepada pria yang duduk tepat di depannya,
terhalang api unggun itu. Sinar api unggun yang kemerahan menerangi wajah pria
itu dengan jelas. Dan iapun merasa kagum. Seorang pria yang usianya kurang
lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar akan tetapi perutnya tidak
gendut, seperti tubuh seekor kuda balap yang pilihan. Dan wajahnya demikian
tenang, penuh wibawa dan gagah perkasa. Wajah yang jantan sekali, bukan tampan
kewanitaan, melainkan jantan perkasa. Sikapnya seperti seekor burung garuda,
atau seperti seekor harimau. Ya, seperti seekor harimau karena tadi ketika
mencari kayu bakar, lenggang dan langkahnya mengingatkan Lan Hong akan seekor
harimau.
Tanpa ia ketahui, pria di
depannya itupun sejak tadi memperhatikannya, walaupun tidak kentara. Dan Lie
Bouw Tek juga kagum. Wanita itu sungguh jelita dan tidak mengherankan kalau
Konga Sang, kepala gerombolan Kala Putih itu, tertarik dan bertekad untuk
menawannya. Seorang wanita yang sudah matang, usianya sukar ditaksir, nampaknya
masih amat muda akan tetapi sikap dan gerak geriknya, bentuk tubuhnya, wajahnya
yang manis, sudah matang seperti seorang wanita yang sudah dewasa benar.
Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggangnya yang amat ramping dan pinggul yang
besar membulat. Wajahnya amat manis, dengan kulit yang mulus dan mulut yang
membayangkan kealiman, akan tetapi sepasang mata itulah yang amat menarik
perhatiannya. Sepasang mata yang indah jeli, namun penuh bayangan duka dan
derita.
‘Ciang Sun dan Kok Han,
sekarang ceritakanlah bagaimana kalian dapat berada di sini dan sampai
berkelahi dengan orang-orang gerombolan Kala Putih itu,! kata Lie Bouw Tek,
suaranya tenang sekali dan mendatangkan perasaan damai dan aman dalam hati Lan
Hong. Ketika pandang mata mereka saling bertemu, Lan Hong cepat menundukkan
mukanya dan pada wajah pria yang gagah itu terbayang suatu keheranan. Memang
dia merasa heran sekali mengapa dia demikian tertarik kepada wanita ini.
Padahal sejak dikecewakan oleh seorang wanita, ketika dia berusia dua puluh
tahun, sampai sekarang berusia tiga puluh enam tahun, belum pernah dia merasa
tertarik kepada seorang wanita. Bukan berarti bahwa tidak ada wanita yang jatuh
cinta kepadanya. Banyak sudah wanita yang suka kepadanya, bahkan banyak pula
ayah dari gadis-gadis cantik menginginkan dia sebagai mantu mereka, namun dia
selalu menolak. Dan sekarang dia merasa tertarik kepada seorang wanita yang
baru saja dijumpainya, bahkan belum dikenal namanya dan belum diketahui pula
riwayatnya.
‘Kami berdua memang
sengaja datang ke daerah ini untuk mencarimu, susiok. Kami diutus oleh supek
(uwa guru) Thian Hwat Tosu untuk mencarimu dan menyerahkan surat ini kepadamu.!
‘Hemm, toa-suheng (kakak
seperguruan tertua) Thian Kwat Tosu yang mengutus kalian? Sudah pasti ada
urusan penting sekali,! kata Lie Bouw Tek dan dia menerima sampul surat itu,
lalu merobek ujung sampul dan mengeluarkan surat dari dalamnya. Di bawah penerangan
api unggun, dibacanya surat itu. Dalam surat, kedua orang suhengnya, yaitu
ketua Kun-lun-pai Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu, menyerahkan
tugas kepadanya untuk menyelidiki keadaan lima orang tokoh di Tibet yang
dikenal dengan julukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu Thay Ku Lama,
Thay Si Lama, Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama.
Para pimpinan Kun-lun-pai
itu merasa penasaran sekali melihat sikap lima orang tokoh Tibet itu yang
pernah mengambil sikap bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan hampir terjadi bentro
kan hebat antara Kun-lun-pai dengan mereka. Padahal, sejak dahulu, Dalai Lama
sendiri dan para pendeta Lama di Tibet bersikap baik dan bersahabat dengan
Kun-lun-pai. Oleh karena itu, mengingat bahwa yang dapat diandalkan di
Kun-lun-pai hanyalah Lie Bouw Tek, satu-satunya tokoh Kun-lun-pai yang bebas,
yaitu tidak menjadi tosu dan tidak bertugas di Kun-lun-pai melainkan menjadi
seorang kelana yang bebas, maka para pimpinan Kun-lun-pai mengutus Lie Bouw Tek
untuk melakukan penyelidikan itu.
Membaca surat itu, Lie
Bouw Tek mengangguk-angguk. ‘Sampaikan hormatku kepada kedua suheng, dan aku
menerima baik tugas yang diberikan kepadaku.! Hanya itulah pesannya kepada dua
orang keponakannya itu. ‘Akan tetapi bagaimana kalian sampi bentrok dengan
gerombolan Kala Putih?! Dia mengulang pertanyaannya.
‘Hal itu terjadi hanya
karena kebetulan saja, susiok. Kami sedang beristirahat di kuil tua di lereng
bukit itu ketika tiba-tiba kami melihat enci ini berlari-lari dan dikejar oleh
gerombolan Kala Putih menuju ke kuil. Kami sudah mendengar akan kejahatan Kala
Putih, maka kami lalu membela enci ini, sampai susiok muncul dan menyelematkan
kami semua.!
Lie Bouw Tek mengerutkan
alisnya mendengar Ciang Sun menyebut ‘enci! (kakak perempuan) kepada wanita
itu. Mungkin Ciang Sun salah lihat, ataukah dia yang keliru? Wanita itu
nampaknya tidak lebih tua dari murid keponakannya itu. Ataukah sebutan itu
hanya sebutan akrab saja?
‘Hemm, kalau boleh aku
mengetahuinya, bagaimana sampai engkau dikejar-kejar oleh mereka, Nona? Dan
siapakah Nona, mengapa pula melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini?!
Lalu dia menyambung cepat ketika teringat bahwa dia bertanya nama kepada
seorang wanita tanpa lebih dahulu memperkenalkan diri. ‘Mungkin Nona sudah
tahu bahwa kami bertiga adalah murid-murid Kun-lun-pai. Namaku Lie Bouw Tek,
sedangkan dua orang murid keponakanku ini bernama Ciang Sun dan Kok Han.!
Lan Hong memberi hormat
dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu berkata dengan suara lirih
namun cukup jelas bagi tiga orang itu. ‘Namaku Sie Lan Hong dan aku datang
dari kota Sung-jan di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang. Akan tetapi,
harap Lie Taihiap jangan menyebut nona kepadaku. Aku bukan seorang gadis yang
belum menikah. Aku pergi untuk mencari seorang adikku, dan juga mencari
puteriku....!
Lie Bouw Tek membelalakkan
kedua matanya. Wanita ini sudah menikah, bahkan sudah mempunyai seorang puteri!
Kalau begitu, agaknya penglihatan kedua orang murid keponakannya itu yang
benar. Dia merasa betapa mukanya menjadi panas dan untunglah bahwa sinar api
unggun memang sudah kemerahan dan membuat wajahnya merah sehingga perubahan
wajahnya tidak akan nampak oleh orang lain.
‘Ah, maafkan aku, toanio
(Nyonya). Kiranya toanio mencari adiknya dan puterinya? Akan tetapi, kenapa
engkau mencari mereka seorang diri saja? Mengapa tidak dengan suamimu....
maaf....!
Lan Hong menundukkan
mukanya, bukan karena sedih melainkan karena malu dan ucapannya lirih sekali.
‘Dia sudah meninggal....!
‘Ah, maafkan aku,
toanio!! seru Lie Bouw Tek dan ingin dia memukul kepalanya sendiri mengapa ada
perasaan lega dan girang di dalam hatinya. Lega dan girang mendengar bahwa
suami orang sudah meninggal. Sungguh kejam dan tak tahu malu, makinya pada
dirinya sendiri. Sementara itu, diam-diam Ciang Sun dan Kok Han merasa heran
dan geli melihat betapa susiok mereka yang biasanya berwibawa, tenang dan tegas
itu kini telah beberapa kali minta maaf dan menjadi seperti gugup. Akan tetapi
mereka pun tentu akan menjadi gugup kalau menanyakan suami seorang wanita lalu
mendapat jawaban bahwa orang yang mereka tanyakan itu sudah meninggal dunia!
‘Tidak mengapa, taihiap.
Kedukaan itu telah lewat,! kata Lan Hong.
Kalau saja wanita itu
tidak mengeluarkan ucapan ini, agaknya Lie Bouw Tek akan sukar mengeluarkan
ucapan lagi, apalagi untuk bertanya. Kini, setelah Lan Hong berkata demikian,
keinginan tahunya mendorongnya untuk bertanya lagi.
‘Kalau boleh aku
bertanya lagi toanio. Ke manakah perginya adikmu dan puterimu itu?!
‘Aku tidak tahu benar,
akan tetapi aku hendak mencari mereka di Lasha.!
Lie Bouw Tek
mengangguk-angguk, lalu berkata kepada kedua orang murid keponakannya.
‘Kalian ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada kedua suheng tentang pesanku
tadi, sesuai dengan tugas yang mereka berikan kepadaku, aku akan pergi ke Lasha
dan karena toanio ini hendak mencari keluarganya di Lasha, maka biar aku
menemaninya. Kasihan kalau ia harus melakukan perjalanan seorang diri ke Lasha,
hal itu amat berbahaya karena Lasha masih jauh dari sini.!
Dua orang pendekar
Kun-lun-pai itu mengangguk. ‘Baik, susiok. Kami besok pagi akan berangkat,
kembali ke Kun-lun-pai. Dan memang sebaiknya kalau anci ini ada temannya ke
Lasha. Siapa tahu gerombolan Kala Putih itu akan melakukan pengejaran. Harap
susiok berhati-hati karena mereka itu jahat sekali.!
‘Aku mengerti.
Bagaimana, toanio, setujukah engkau apabila aku menemanimu melakukan perjalanan
ke Lasha? Kebetulan sekali akupun hendak pergi ke sana.!
‘Tentu saja, ahh, tentu
aku merasa senang sekali, taihiap. Tadinya aku hampir putus asa melihat betapa
sukarnya mencari adikku, dan betapa barbahayanya perjalanan ini. Aku berterima
kasih sekali kepadamu, taihiap.!
‘Sungguh engkau tahan
uji dan juga bersemangat besar, toanio. Bagaimana mungkin dapat menemukan
seseorang dalam jarak yang begini jauh, dan akupun belum dapat memastikan
apakah engkau akan dapat menemukan adikmu di Lasha. Di sana banyak terdapat
orang dan mencari seseorang di antara orang banyak di tempat yang besar....!
‘Adikku mudah dicari.
Dia.... dia mempunyai cacat, yaitu punggungnya berpunuk dan dia bongkok....!
Tiba-tiba Ciang Sun dan
Kok Han saling pandang dan Kok Han segera berseru, ‘Nanti dulu, enci. Apakah
adikmu itu bernama Sie Liong?!
Kini Lan Hong yang
terkejut dan memandang heran. ‘Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu?!
‘Ah, kiranya Pendekar
Bongkok itulah adikmu, enci! Tidak sukar menduga setelah engkau tadi mengatakan
bahwa adikmu itu bongkok. Engkau she Sie dan Pendekar Bongkok juga she Sie.
Kami pernah bertemu dengan dia!!
Hampir Lan Hong bersorak.
Ia merasa gembira sekali. ‘Di mana dia? Bagaimana keadaannya?!
Juga Lie Bouw Tek menjadi
tertarik mendengar bahwa adik wanita ini yang dicari-cari itu disebut Pendekar
Bongkok oleh dua orang murid keponakannya.
‘Kok Han, ceritakan
tentang Pendekar Bongkok itu. Aku ingin sekali tahu karena belum pernah aku
mendengar namanya.!
Kini Ciang Sun yang
menjawab. ‘Aih, susiok. Dia memang baru saja muncul di dunia kang-ouw, masih
amat muda akan tetapi namanya cepat sekali menjadi terkenal. Tentang ilmu
kepandaiannya, ah, susiok, kami berani mengatakan bahwa selama hidup belum
pernah kami bertemu dengan seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian
sehebat yang dimiliki Pendekar Bongkok! Dia lihai bukan main, susiok sehingga
kami berdua merasa seperti kanak-kanak tidak berdaya saja kalau dibandingkan
dengan dia! Sayang sekali, enci, kami tidak tahu ke mana sekarang dia pergi,
karena kami berjumpa dengan dia baru-baru ini di sebuah dusun di mana dia
melakukan hal yang menggemparkan dan mengagumkan. Bahkan dulu, ketika dia masih
kecil, tujuh tahun yang lalu, kamipun pernah bertemu dengan dia. Akan tetapi,
baiklah kami ceritakan saja pengalaman dua kali bertemu dengan adikmu yang aneh
dan yang gagah perkasa itu, enci, agar susiok juga mengetahui siapa adanya
Pendekar Bongkok yang kami kagumi itu.!
Ciang Sun dan Kok Han lalu
menceritakan pengalaman mereka. Mula-mula pengalaman mereka tujuh tahun yang
lalu ketika mereka menolong seorang tosu yang diseret-seret oleh dua orang
pendeta Lama Jubah Merah. Mereka baru pulang berbelanja untuk Kun-lun-pai dan
waktu itu usia mereka baru dua puluh tahun. Akan tetapi, dua orang pendeta Lama
itu ternyata lihai bukan main sehingga mereka berdua tidak berdaya dan roboh
tertotok. Mereka hampir dibunuh oleh dua orang pendeta Lama itu, akan tetapi
tosu itu, yang tadi diseret-seret dan yang ternyata adalah seorang sakti yang
bernama Pek-in Tosu, berbalik menyelamatkan mereka. Terjadi perkelahian antara
Pek In Tosu dan dua orang pendeta Lama itu.
‘Nanti dulu, bukankah
Pek-in Tosu itu seorang di antara Himalaya Sam Lojin?! tanya Lie Bouw Tek yang
banyak mengenal tokoh Himalaya dan daerah barat.
‘Benar, susiok.
Perkelahian itu hebat sekali, akan tetapi ketika dua orang pendeta Lama itu
mengeluarkan ilmu sihir melalui suara nyanyian mereka, Pek-in Tosu kewalahan
dan hampir roboh. Untunglah, pada saat itu muncul Pendekar Bongkok, pada waktu
itu hanya seorang anak laki-laki berusia dua belas atau tiga belas tabun yang
bongkok, dan Pek-in Tosu tortolonglah.!
‘Apa? Dalam usia dua
belas tahun sudah begitu lihainya?! Lie Bouw Tek berseru heran dan kagum.
‘Tidak, susiok. Pada
waktu itu, dia belum pernah mempelajari silat, ataupun kalau pernah, masih
dangkal sekali. Akan tetapi dia memang aneh dan cerdik. Mendengar dua orang
pendeta Lama itu bernyanyi-nyanyi yang mengandung sihir sehingga Pek-in Tosu
kewalahan, anak itu lalu menggunakan bambu memukuli batu-batu sehingga suaranya
bising sekali. Suara ini yang agaknya mengacaukan ilmu sihir dua orang pendeta
Lama itu dan mereka kalah oleh Pek-in Tosu dan melarikan diri. Itulah pertemuan
kami yang pertama dengan Pendekar Bongkok.!
‘Sungguh menarik
sekali!! kata Lie Bouw Tek kagum.
‘Ah, kasihan adikku.
Taihiap, apakah dua orang pendeta Lama itu tidak marah karena mereka diganggu
oleh Sie Liong?! kata Lan Hong.
‘Dua orang pandeta Lama
itu marah sekali dan mereka menyerang Pendekar Bongkok, akan tetapi Pek-in Tosu
yang sudah sadar kembali dari pengaruh sihir lalu membelanya dan berhasil
mengusir dua orang pendeta Lama itu.!
‘Dan bagaimana
perjumpaan kalian untuk yang kedua kalinya dengan Pendekar Bongkok?!
‘Pertemuan kami dengan
dia baru saja terjadi beberapa pekan yang lalu, di sebuah dusun di perbatanan
Tibet. Ketika itu kami menjadi tamu kepala dusun yang sedang merayakan pesta
pernikahan puteranya. Akan tetapi pernikahan itu gagal karena Pendekar Bongkok
turun tangan mancampuri. Kiranya dia yang benar karena pernikahan dengan putera
kepala dusun itu dipaksakan. Setelah mengetahui duduknya perkara, kami setuju
akan tindakan Pandekar Bongkok yang menggagalkan pernikahan itu dan di dalam
perjumpaan itulah dia mengenal kami berdua. Ternyata dia telah menjadi seorang
pendekar yang sakti!!
Lan Hong menarik napas
panjang mendengar cerita dua orang murid Kun-lun-pai itu. ‘Ya, memang setelah
pulang dari perantauannya, adikku telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi
sekali. Menurut pengakuannya, dia telah menjadi murid Himalaya Sam Lojin dan
Pek-sim Sian-su.!
‘Ahhh....!! Lie Bouw Tek
berseru dengan mata terbelalak panuh kasum. ‘Pantas saja adikmu itu menjadi
seorang pendekar yang sakti, toanio! Kiranya dia murid orang-orang yang sakti.
Menjadi murid Himalaya Sam Lojin sudah hebat apalagi menjadi murid Pek-sim
Sian-su! Ah, sungguh hebat sekali adikmu itu, toanio!!
Mendengar pujian-pujian
itu, Lan Hong sama sekali tidak menjadi gembira, bahkan diam-diam ia merasa
sedih sekali, mengingat akan nasib adiknya. Sejak kecil, adiknya sudah
mengalani kesengsaraan, bahkan dibandingkan dengan dirinya sendiri, adiknya itu
lebih tersiksa. Tersiksa lahir batin, bahkan kini sedang dicari oleh Bi Sian
untuk dibunuh!
Karena melihat Lan Hong
kelelahan, Lie Bouw Tek menghentikan percakapan mereka dan mempersilakan wanita
itu untuk mengaso. Dia memberikan selimutnya dan Lan Hong rebah miring dekat
api unggun. Sebentar saja ia sudah tertidur karena memang ia sudah lelah
sekali. Lie Bouw Tek masih bercakap-cakap lirih dengan dua orang murid
koponakannya, akan tetapi tak lama kemudian merekapun mengaso dengan duduk
bersila.
***
Mereka berdua menunggang
kuda berdampingan dan membiarkan kuda mereka berjalan perlahan menuruni bukit.
Lie Bouw Tek membeli dua ekor kuda di dusun yang baru mereka tinggalkan, di
lereng bukit. Lan Hong berterima kasih dan ketika ia hendak membayar harga kuda
untuknya, pendekar itu mencegahnya. Diam-diam Lan Hong semakin kagum kepada
pendekar yang bertubuh tinggi besar itu. Lie Bouw Tek bukan saja gagah perkasa,
pendiam, berwibawa dan tenang sekali, akan tetapi ternyata juga bersikap lembut
dan sopan terhadap dirinya. Belum pernah pendekar itu menunjukkan sikap kasar
ataupun melanggar kesopanan terhadap dirinya sepanjang melakukan perjalanan
bersamanya, bahkan di waktu memandangnya, pendekar itu selalu membatasi diri.
Karena senja telah tiba
dan malam menjelang datang menggelapkan bumi, mereka terpaksa menghentikan
perjalanan di kaki bukit itu. Mereka memilih sebuah gua di daerah yang penuh
batu gunung itu sebagai tempat melewatkan malam. Mereka membuat api unggun di
mulut guha dan setelah makan roti dan daging kering, minum anggur yang tidak
begitu keras, mereka lalu duduk bercakap-cakap di dalam gaa. Api unggun
menghangatkan tubuh dan mengusir nyamuk. Mereka duduk berhadapan, terhalang api
unggun. Melihat usia mereka, sepantasnyalah kalau ada orang melihat mereka akan
mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri.
Keduanya termenung, seolah
tenggelam dalam lamunan masing-masing. Padahal, diam-diam mereka itu saling
memikirkan. Bagi Lan Hong, perasaannya yang amat kagum dan tertarik kepada
pendekar itu merupakan pengalaman yang baru pertama kali ia rasakan. Semenjak
masih remaja, hati dan badannya telah direnggut secara paksa oleh mendiang Yauw
Sun Kok. Kalaupun akhirnya timbul perasaan cinta kepada Yauw Sun Kok, hal itu
adalah karena keadaan. Ia telah menjadi isterinya, bahkan telah melahirkan anak
keturunannya, maka ia anggap sudah semestinya dan sewajarnyalah kalau ia
bersikap setia dan mencinta suaminya.
Akan tetapi betapa
seringnya hatinya menderita nyeri yang amat hebat melihat sikap suaminya, pertama
sikap Suaminya terhadap adiknya, dan kedua kalinya ketika mereka kehilangan
anak mereka sikap suaminya menjadi teramat buruk, bahkan mulai memaki dan
memukulnya. Dan selama itu, sama sekali ia tidak pernah bergaul dengan pria
lain, bahkan mengangkat muka memandangpun tak pernah. Dan kini, setelah ia
menjadi janda, setelah ia bebas, tiba-tiba saja, tanpa disangkanya, ia kini
melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pendekar yang dalam
segala-galanya jauh berbeda dengan mendiang suaminya! Seorang pendekar yang
berkepandaian tinggi, berjiwa satria, yang sopan santun dan lembut, namun keras
dan jantan bagaikan seekor rajawali atau seekor naga jantan.
Di lain pihak, Lie Bouw
Tek juga tiada habis herannya melihat kenyataan yang terjadi pada hatinya.
Semenjak kegagalan cinta pertama, dia tak pernah mau bergaul dengan wanita,
bahkan ada kecondongan menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa di
balik kehangatan dan kelembutan itu tersembunyi kepalsuan, di balik keindahan
itu tersembunyi racun yang jahat. Akan tetapi mengapa kini dia demikian
tertarik kepada wanita yang sudah menjadi janda ini, yang biarpun tergolong
cantik namun tidaklah luar biasa, bahkan kecantikannya sederhana? Mengapa
timbul perasaan iba yang mendalam, juga perasaan kagum terhadap wanita ini yang
mendorongnya untuk membela dan melindunginya, kalau mungkin selama hidupnya?
‘Toanio, engkau
mengasolah, biar aku yang berjaga di sini,! akhirnya Lie Bouw Tek berkata
kepada wanita itu.
‘Aku belum mangantuk,
taihiap. Engkau mengasolah biar aku yang berjaga. Masa satiap kali kita
bermalam di tempat terbuka, engkau saja yang melakukan penjagaan dan aku yang
disuruh tidur.!
Lie Bouw Tek tersenyum.
‘Sudah sepantasnya begitu. Sudah menjadi kewajiban pria sebagai yang lebih
kuat untuk selalu menjaga dan melindungl wanita yang lemah.!
‘Akan tetapi aku
tidaklah sedemiklan lemahnya, taihiap.!
Lie Bouw Tek mengangkat
muka menatap wajah itu. Mata itu! Mata yang indah akan tetapi sinaraya seperti
matahari tertutup awan hitam. Dia menarik napas panjang.
‘Toanio, ada sedikit
permintaan dariku, harap engkau tidak berkeberatan untuk memenuhi permintaanku
itu.!Lan Hong balas memandang, sinar matanya tajam menyelidik. Bagaimanapun
percayanya kepada pendekar ini, pengalaman-pengalaman pahit selama dalam
perjalanan karena ulah pria membuat ia berprasangka buruk dan berhati-hati.
‘Taihiap, permintaan apakah itu? Apa yang dapat kulakukan untukmu? Tentu saja
aku bersedia memenuhi kalau permintaanmu itu wajar dan baik.!
‘Setiap kali engkau
menyebut taihiap kepadaku, aku merasa amat tidak enak. Kita melakukan
perjalanan bersama, berarti kita senasib seperjalanan, menghadapi segala bahaya
dan segala kemungkinan berdua. Akan tetapi sebutan yang kaupakai itu membuat
aku merasa seperti kita ini saling berjauhan dan asing.!
‘Ah, sungguh aneh. Aku
sendiripun merasa tidak enak setiap kali engkau menyebut toanio kepadaku.
Sebutan itu demikian menghormati aku dan merendahkan dirimu.!
Mereka saling pandang,
lalu keduanya tersenyum. ‘Kalau begitu, bagaimana kalau kita saling sebut
seperti dua orang sahabat baik, atau seperti anggauta keluarga? Kita seperti
kakak dan adik, bagaimana kalau engkau menyebut aku toako (kakak) dan aku menyebutmu
siauw-moi (adik perempuan)?!
Biarpun wajahnya berubah
merah dan jantungnya bardebar agak keras, namun Lan Hong tersenyum dan
mengangguk. ‘Baiklah, toako. Sejak saat ini aku akan menyebutmu Lie Toako.!
‘Dan aku akan menyebutmu
siawmoi Sie Lan Hong, atau cukup dengan Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?!
Kembali mereka saling
pandang dan Lan Hong mengangguk. Lalu keduanya diam, seolah-olah mereka merasa
sungkan dan rikuh setdah ada sedikit keakraban tadi. Akhirnya, merasa tersiksa
oleh kediaman mereka itu, Lie Bouw Tek bertanya. ‘Hong-moi, aku masih merasa
heran sekali mengingat ceritamu bahwa puterimu telah pergi. Apakah ia pergi
bersama adikmu, Pendekar Bongkok itu?!
Lan Hong menggeleng
kepalanya dan kedua matanya kelihatan semakin sedih. Kalau saja mereka pergi
berdua, pikir Lan Hong, tentu hatinya tidak serisau sekarang ini. ‘Dia pergi
sendiri,toako. Ia pergi untuk mencari panannya yang pergi lebih dahulu.!
‘Hemm, sungguh berbahaya
kalau begitu. Dan sungguh berani sekali puterimu itu. Seorang anak perempuan
kecil pergi seorang diri mencari pamannya, ke arah Tibet pula!!
Tiba-tiba Lie Bouw Tek
memandang dengan mata terbelalak melihat betapa wanita yang duduk di seberang
api unggun itu tertawa geli sambil menutupi mulut dengan punggung tangannya.
‘Eh? Kenapa engkau
tertawa geli, Hong-moi?!
‘Habis, engkau lucu sih,
toako. Bi Sian bukan seorang anak kecil lagi! Dia sudah berusia delapan belas
tahun dan ia bukan pula seorang gadis lemah!!
‘Ah, tidak mungkin! Aku
tidak percaya!!
Kini Lan Hong yang
terbelalak dan memandang heran. ‘Apa maksudmu, toako? Engkau tidak percaya
kepadaku? Apa kau kira aku membobong?! Dalam suaranya torkandung penasaran.
Entah mengapa, hatinya terada nyeri kalau tidak dipercaya oleh pendekar itu.
‘Aku tidak mengatakan
engkau membohong, Hong-moi, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa engkau
mempunyai seorang puteri yang berusia delapan belas tahun? Anakmu sendiri
ataukan anak tiri, atau anak angkat?!
‘Eh? Kenapa begitu,
toako? Tentu saja anakku sendiri!!
‘Itulah yang tidak
mungkin! Kalau puterimu itu berusia tujuh atau delapan tahun, baru masuk akal.
Akan tetapi delapan belas tahun?!
Kini mengertilah Lan Hong
dan senyumnya manis sekali, matanya bersinar dan untuk sejenak kedukaan yang
membayang di dalamnya menipis.
‘Lie-toako, berapa
kaukira usiaku sekarang?!
‘Paling banyak dua puluh
lima tahun.!
Kembali Lan Hong tertawa
geli dan menutupi mulutnya dengan tangan, ‘Hi-hik, engkau lucu, toako. Umurku
tahun ini sudah tiga puluh tiga tahun.!
‘Apa? Tidak mungkin sama
sekali! Engkau.... sungguh tidak pantas berusia sebanyak itu!! Teriak Lie Bouw
Tek penasaran sehingga Lan Hong tertawa geli. Wanita mana yang tidak akan
senang sekali hatinya melihat orang lain, apalagi kalau orang itu seorang pria,
yang dikaguminya pula, mengira ia jauh lebih muda daripada usianya yang
sebenarnya?
‘Lie-toako, aku yang
mempunyai usia itu, tentu aku yang lebih tahu dan tidak bohong.!
‘Aihhh.... maafkan aku.
Sungguh mati sukar dipercaya bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tiga tahun,
Hong-moi.!
‘Bahkan sudah hampir
tiga puluh empat tahun, toako, mungkin malah lebih tua daripadamu.!
‘Ah, tidak, tidak!!
jawab Lie Bouw Tek cepat. ‘Usiaku sudah tiga puluh enam tahun.!
‘Tantu engkau sudah
mempunyai beberapa orang putera dan puteri, toako, Berapa banyak anakmu dan
berapa usia anakmu yang pertama?!
Lie Bouw Tek menggeleng
kepalanya. ‘Aku tidak mempunyai anak, bahkan aku belum pernah menikah,
Hong-moi.!
‘Ahh....!! Lan Hong
menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi kemerahan dan ia memaki dirinya
sendiri mengapa begitu tak tahu malu untuk merasa girang mendengar bahwa
pendekar itu belum menikah! Ingatlah engkau, tak tahu malu, makinya pada diri
sendiri, engkau sudah janda dan memiliki anak yang sudah dewasa, sedangkan dia
ini masih perjaka, seorang pendekar besar yang budiman. Jangan mengharapkan
yang bukan-bukan!
Kembali keduanya berdiam
diri seperti tenggelam ke dalam lamunan yang lebih dalam lagi. Suasana semakin
sunyi karena malam semakin larut. Ketika Lan Hong menambahkan kayu bakar pada
api unggun, gerakannya itu seperti menghidupkan lagi suasana yang tadinya
seperti mati. Lie Bouw Tek soperti sadar kembali dari lamunan.
‘Hong-moi, berapakah
usia adikmu yang berjuluk Pendekar Bongkok itu?!
‘Dia masih muda, toako,
baru dua puluh tahun lebih, paling banyak dua puluh satu tahun.!
‘Hemm, sudah demikian
lihainya walaupun masih amat muda. Kalau dia melakukan perjalanan seorang diri
ke Tibet, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi puterimu itu siapa namanya tadi?!
‘Bi Sian, Yauw Bi Sian.!
‘Nah, Bi Sian seorang
gadis berusia delapan belas tahun, sungguh berbahaya melakukan perjalanan ke
daerah ini. Sedangkan untuk engkau sendiri saja sudah amat berbahaya, apalagi
untuk puterimu yang berusia delapan belas tahun.!
Lan Hong tersenyum, senyum
penuh kebanggaan. ‘Kurasa tidak, toako. Biarpun usianya baru delapan belas
tahun, akan tetapi Bi Sian memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada
aku, atau bahkan mendiang ayahnya, bahkan pula, kurasa tidak kalah jauh
dibandingkan Sie Liong.!
‘Apa?! Kembali Bouw Tek
terbelalak. Sudah terlalu sering dia mendengar hal-hal yang amat aneh dan tidak
terduga dari janda muda yang manis ini. ‘Selihai Pendekar Bongkok? Wah,
hebat! Murid siapakah puterimu itu, Hong-moi?! Di dalam hatinya, sukar untuk
dapat mempercayai keterangan Lan Hong tentang puterinya itu.
‘Menurut pengakuannya,
Bi Sian menjadi murid seorang pertapa sakti yang berjuluk Koay Tojin.!
‘Benarkah?! Kembali
pandekar itu terkejut. ‘Nama besar Koay Tojin amat terkenal di daerah barat
dan utara! Dia seorang pertapa sakti yang namanya sejajar dengan nama basar
Pek-sim Sian-su.!
‘Memang benar, toako.
Menurut keterangan Bi Sian, gurunya itu memang sute dari Pek-sim Sian-su guru
Sie Liong.!
Pendekar itu tertegun
kagum, lalu menarik napas panjang. ‘Sungguh hebat sekali! Engkau memiliki
keluarga yang hebat, Hong-moi. Aku jadi semakin tertarik untuk mengetahui
riwayatmu dan keadaan keluargamu. Kalau boleh aku bertanya, kenapa suamimu
meninggal dalam usia yang masih muda? Apakah karena penyakit?!
Sejenak Lan Hong menunduk
dan berdiam diri. Bagaimana ia dapat menjawab? Sampai lama ia tak mengeluarkan
suara.
‘Maafkan aku
banyak-banyak, Hong-moi, kalau pertanyaanku tadi terlalu lancang dan tidak
menyenangkan hatimu, maafkan dan engkau tidak perlu menjawabnya.! Di dalam suara
itu terkandung keluhan. Lan Hong mengangkat mukanya menatap wajah pendekar itu.
Tidak, ia tidak perlu menyembunyikannya. Bahkan ia perlu menceritakan kepada
pendekar itu, orang yang telah mendapat keparcayaannya, bahkan yang bersedia
mengantar dan membantunya sampai ia dapat bertemu dengan adiknya atau
puterinya. Ia merasa bahwa pendekar yang duduk bersila di depannya itu bukan
orang lain lagi, ia sudah merasa demikian akrab, apalagi setelah bercakap-cakap
malam ini, setelah mereka saling menyebut toako dan siauw-moi. Akhirnya Lan
Hong menarik napas panjang.
‘Akulah yang minta maaf,
toako, karena aku tadi telah meragukannya. Baiklah, akan kukatakan kepadamu.
Suamiku itu.... tewas karena terbunuh orang.!
‘Ahhh!! Lie Bouw Tek
mangepalkan tinju, memandang dengan penasaran dan kasihan sekali. ‘Siapakah
penjahat yang telah berani melakukannya, Hong-moi? Bagaimana si jahat itu
berani melakukannya kalau di sana terdapat adik kandungmu dan puterimu yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi?!
Lan Hong menggeleng
kepalanya. ‘Tidak diketahui siapa pembunuhnya, Lie-toako.!
‘Aku akan
menyelidikinya! Aku akan menangkap pembunuh jahanam itu untukmu, Hong-moi!
Lalu.... mengapa adikmu malah pergi, juga puterimu? Apakah mereka berdua itu
sudah pergi ketika peristiwa itu terjadi? Apakah mereka tidak tahu akan
pembunuhan itu?!
Lan Hong menarik napas
panjang. Karena Bouw Tek membantunya mencari adiknya dan puterinya, maka
akhirnya ia tentu akan mengetahuinya, dan pendekar itu sudah terlibat dalam urusan
keluarganya. ‘Mereka berdua tahu, toako. Justeru karena pembunuhan itulah
mereka pergi meninggalkan rumah. Bi Sian, puteriku itu, menuduh bahwa adikku
Sie Liong yang membunuh ayahnya. Karepa tuduhan ini, Sie Liong melarikan diri
dan anakku itu melakukan pengejaran, mencari pamannya untuk dibunuh, untuk
membalas dendam kematian ayahnya.!
‘Ah.... ahh....!! Bouw
Tek kini tidak mampu bicara lagi. Tarlalu berat peristiwa yang menimpa keluarga
janda ini, pikirnya dan dia merasa terharu, juga bingung dan tak tahu harus
berkata apa lagi. Akhirnya dia hanya mengeluh, ‘Hong-moi.... sungguh kasihan
sekali engkau. Keluargamu hebat, akan tetapi juga tertimpa malapetaka yang
hebat pula. Sungguh membuat aku merasa penasaran, Hong-moi. Adikmu demikian
lihai, juga puterimu, akan tetapi suamimu dapat dibunuh orang, dan sekarang
puterimu malah mengejar-ngejar pamannya yang dituduh melakuken pembunuhan itu.
Sebetulnya bagaimana duduknya perkara, Hong-moi? Maukah engkau menceritakan
kepadaku? Percayalah, aku siap untuk membantu, sedapat mungkin akan kubongkar
rahasia itu yang meliputi seluruh keluargamu. Menurut keterangan dua orang
murid keponakanku, Pendekar Bongkok adalah seorang pendekar budiman yang hebat,
bagaimana mungkin membunuh kakak iparnya sendiri?!
‘Tadinya.... aku sendiri
percaya bahwa dia yang membunuh suamiku, tapi.... tapi sekarang tidak lagi....!
‘Lebih aneh lagi kalau
begitu. Wahai, Hong-moi, ternyata dirimu dilingkari banyak rahasia sehingga
membuat aku beberapa kali terheran-heran dan terkejut mendengar keteranganmu.!
Sudah kepalang basah,
pikir Lan Hong. Ia harus menceritakan segalanya. Terserah kepada pendekar ini
kalau nanti akan berubah pandangan terhadap dirinya. Ia tertarik kepada
pendekar ini dan kalau ia menghendaki pergaulan yang jujur, iapun harus terbuka
dan jujur. Pendekar itu harus mengenal dirinya, mengenal riwayatnya dan ia
tidak perlu menutupi rahasia, yang paling buruk sekalipun!
Ia sudah nekat karena ia
ingin dikenal benar oleh pendekar itu, dikenal semua keadaannya sehingga ia
dapat melihat bagaimana nanti sikap pendekar itu terhadap dirinya. Berubahkah?
Memandang rendahkah? Biarlah, ia akan menghadapi segala resikonya.
‘Lie-toako, terus terang saja, riwayat hidupku penuh dengan noda dan baru
kepadamu seoranglah aku akan menceritakannya. Terserah kemudian bagaimana
tanggapanmu. Riwayatku dimulai dengan terbunuhnya ayah dan ibu kami oleh
seorang musuh besar. Ayah kami bernama Sie Kian atau juga disebut Sie Kauwsu,
seorang guru silat bayaran di kota Tiong-cin. Karena ayah kami suka menentang
kejahatan, maka dia banyak dimusuhi orang jahat dan pada suatu hari, seorang
penjahat yang mendendam kepada ayah kami, telah datang dan membunuh ayah dan
ibu kami. Ketika itu aku berusia lima belas tahun dan adikku, Sie Liong, berusia
sepuluh bulan.! Ia herhenti sebentar dan bergidik ketika membayangkan peristiwa
itu.
Lie Bouw Tek yang sudah
merasa kasihan mendengar wanita itu kehilangan suami yang dibunuh orang, kini
memandang dengan terharu. Betepa buruk nasibnya, ketika remaja sudah kehilangan
ayah bunda yang dibunuh orang.
‘Sungguh keji penjahat
itu!! komentarnya.
Sie Lan Hong tersenyum,
senyum yang pahit sekali. ‘Lebih dari pada keji, toako. Setelah membunuh ayah
ibu kami, dia bahkan memaksaku untuk melayaninya dengan mengancam akan membunuh
adikku yang berusia sepuluh bulan itu kalau aku menolak keinginannya yang
kotor. Melihat adikku yang masih bayi itu dibawah ancaman golok, apa yang dapat
kulakukan selain menyerah? Aku menyerah. toako, demi menyelamatkan adikku.!
Wajah yang jantan itu
berubah menjadi kemerahan, matanya mengeluarkan sinar mencorong dan Bouw Tek
mengepal tinju. ‘Jahanam keparat! Kalau aku bertemu dengan jahanam itu, akan
kuhancurkan kepalanya!!
Melihat kemarahan pendekar
itu, kembali Lan Hong tersenyum, dan senyumnya masih pahit sekali. ‘Sebaiknya
kulanjutkan riwayatku, toako. Musuh itu lalu membawaku pergi meninggalkan kota
kami, dan dia memaksa aku menjadi isterinya dengan ancaman yang sama, yaitu
kalau aku menolak, Sie Liong akan disembelihnya. Aih, toako, kalau saja tidak
ada adikku yang masih bayi terancam maut mengerikan, aku takkan takut
menghadapi ancamannya, aku lebih suka mati daripada harus menyerah. Percayakah
engkau, toako?!
‘Aku percaya, aku
percaya.... aih, si keparat!! kata Bouw Tek.
‘Setelah aku menjadi
isterinya, dia meninggalkan pekerjaan sesat dan berdagang di kota Sung-jan, dan
harus kuakui bahwa sikapnya terhadap diriku amat baik dan menyayang. Akan
tetapi diapun maklum bahwa kalau dia mengganggu adikku, tentu aku akan membunuh
diri. Sampai akhirnya aku melahirkan Bi Sian, puteriku itu....!
‘Hemm....! Bouw Tek
mengerutkan alisnya dan tidak lagi berani memberi komentar. Bagaimana dia dapat
memaki laki-laki yang telah monjadi suami Lan Hong, bahkan menjadi ayah kandung
puterinya? Keadaan menjadi semakin membingungkan dan ruwet, dan dia merasa
semakin kasihan kepada wanita di depannya itu. Bahkan untuk menghapus
makian-makiannya tadi, dia berkata lirih, ‘Hemm, dia telah menjadi seorang
suami dan ayah yang baik....!
Lan Hong menggeleng
kepalanya. ‘Nampaknya saja begitu, toako. Akan tetapi, dia tetap seorang yang
amat jahat. Dia selalu merasa takut kalau-kalau kelak Sie Liong, adikku itu,
akan tahu tentang pembunuban yang dilakukan terhadap orang tua kami, dia takut
kalau Sie Liong kelak membalas dendam. Maka, kalau dia mengajarkan silat kepada
Bi Sian, dia melarang Sie Liong belajar silat. Dan baru sekarang aku dapat
menduga bahwa Sie Liong menjadi cacat, menjadi bongkok, tentu karena perbuatan
dia pula! Yang kuketahui ketika itu hanya bahwa Sie Liong jatuh sakit keras dan
setelah sembuh dia menjadi bongkok.!
‘Ahhh....! Hemmm....!!
Tadinya Bouw Tek ingin memaki lagi, akan tetapi mengingat bahwa yang akan
dimaki itu suami wanita ini, dia tidak jadi dan hanya menggeleng-geleng
kepalanya.
‘Agaknya, Sie Liong
menyadari bahwa dia dibenci kakak iparnya, maka ketika dia berusia dua belas
atau tiga belas tahun, dia minggat dari rumah kami dan tak lama setelah itu,
puteri kami, Bi Sian, bertemu dengan Koay Tojin dan dibawa pergi sebagai
muridnya. Nah, setelah adikku dan puteriku pergi, berubahlah kembali watak
suamiku itu, toako. Dia seolah-olah seekor harimau yang menanggalkan kedok
dombanya. Dia menjadi kejam, kasar dan suka mulai mabok-mabokan dan melacur.
Dia mulai suka memaki dan memukuli aku. Ahh.... kalau saja tidak ingat kepada
puteriku, mungkin tak kuat aku menahan derita itu....! Wanita itu berhenti dan
menutupi mukanya, akan tetapi ia tidak menangis. Lie Bouw Tek memandang dengan
tubuh diam tak bergerak, seperti patung. Dia tidak tahu lagi harus bersikap
bagaimana dan berkata apa.
Tak lama kemudian Lan Hong
menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan wajahnya agak pucat, akan tetapi
ia tidak menangis. Ketika ia memandang kepada Bouw Tek yang kelihatan diam
seperti patung, ia melanjutkan.
‘Selama tujuh tahun aku
menderita. Harta kamipun dihamburkan oleh suamiku itu dan akupun tidak berdaya.
Aku seolah hanya hidup untuk menantl pulangnya anakku dan adikku. Dan pada
suatu hari, setelah tujuh tahun lewat, muncullah Sie Liong yang telah menjadi
seorang pemuda berusia dua puluh tahun.!
‘Dan menjadi seorang
pendekar yang sakti yang dijuluki Pendekar Bongkok?!
‘Benar, dan melihat Sie
Liong, suamiku menjadi marah dan hendak memukulnya. Akan tetapi dangan mudah
Sie Liong mengalahkannya tanpa melukainya. Sama sekali suamiku tidak berdaya
melawan Sie Liong yang menjadi sakti itu.!
‘Dan adikmu tidak tahu
bahwa suamimu itu yang membunuh ayah ibu kalian?!
Lan Hong menggeleng
kepalanya. ‘Ketika peristiwa itu terjadi, dia baru berusia sepuluh bulan, dan
ketika tubuhnya menjadi cacat, diapun masih kecil. Dia sama sekali tidak tahu,
dan akupun tentu saja merahasiakan hal itu. Akan tetapi, Sie Liong melihat
betapa harta kami telah habis dan betapa aku mendapatkan perlakuan buruk dari
suamiku. Bahkan mereka bentrok ketika suamiku memukuliku dan Sie Liong
melindungiku. Dan beberapa hari kemudian, tiba-tiba puteriku, Bi Sian pulang!!
Wajah Lan Hong agak berseri ketika ia teringat akan peristiwa itu.
‘Dan ia telah menjadi
seorang gadis yang sakti pula, murid Koay Tojin.! kata Bouw Tek, mulai dapat
menggambarkan keadaan keluarga wanita itu.
‘Benar, toako. Ia
berusia delapan belas tahun, menjadi seorang gadis yang cantik dan memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi. Dan iapun gembira sekali bertemu dengan pamannya.
Kautahu, toako, diantara adikku dan puteriku yang usianya hanya selisih dua
tiga tahun itu terdapat hubungan yang amat akrab dan mereka itu saling
menyayang karena mereka tumbuh besar bersama-sama. Bi Sian pulang ditemani
sutenya yang bermalam di luar rumah kami, di rumah penginapan.! Wanita itu
berhenti lagi dan Bouw Tek dengan tenang menanti kelanjutan cerita itu karena
dia merasakan datangnya suatu peristiwa yang paling hebat, yaitu kematian suami
wanita itu.
‘Kemudian, tiba-tiba
saja terjadi peristiwa itu, toako,! kata Lan Hong seolah-olah dapat membara
pikiran pendekar itu dan menjawabnya. ‘Siang hari itu suamiku pergi dan pada
malam harinya dia dibunuh orang.! Kembali Lan Hong diam dan kini ia nampak
demikian berduka.
‘Dan engkau tentu sangat
berduka, Hong-moi.!
Lan Hong mengangkat
mukanya dan sejenak mereka saling pandang. Lan Hong lalu mengerutkan alisnya.
‘Mungkin engkau akan menganggap aku jahat, toako. Akan tetapi terus terang
saja aku tidak berduka atas kematiannya. Akhir-akhir itu dia mendatangkan kesan
buruk sekali dalam hatiku karena sikapnya selama tujuh tahun itu. Yang membuat
aku berduka adalah karena Bi Sian menuduh Sie Liong yang melakukan pembunuhan
itu dan ia menyerang Si Liong mati-matian untuk membalas dendam!!
‘Hemm, sepatutnya gadis
itu menyadari akan kejahatan ayahnya yang telah membunuh orang tua Pendekar
Bongkok!! kata Bouw Tek penasaran.
‘Gadis itu puteriku,
toako....!
‘Ah, maafkan aku,
Hong-moi, riwayatmu demikian mencekam hatiku sehingga aku lupa diri. Lalu
bagaimana kelanjutannya, Hong-moi?!
‘Ketika diserang Bi
Sian, Sie Liong lalu pergi melarikan diri. Tak lama kemudian, Bi Sian juga
pergi melakukan pengejaran.!
‘Dan puterimu itu tidak
tahu bahwa ayahnya adalah pembunuh orang tua ibunya dan pamannya?!
Lan Hong menggeleng
kepalanya. ‘Bagaimana aku dapat menceritakan hal itu kepadanya, toako? Tentu
hal itu akan menghancurkan hatinya, karena bagaima napun juga, suamiku itu
adalah ayah kandungnya.!
Lie Bouw Tek termenung.
Memang serba salah dan serba susah bagi wanita yang malang ini, pikirnya.
‘Akan tetapi, tentu Pendekar Bongkok sudah mengetahui rahasia itu maka dia
membunuh musuh besarnya.!
Lan Hong menggeleng
kepalanya. ‘Kurasa tidak begitu. Memang, setelah terjadi pembunuhan, akupun
mengira demikian. Akan tetapi, dia tidak tahu akan rahasia itu, buktinya
setelah kuceritakan, baru dia mangetahuinya! Dia menyanggal bahwa dia telah
membunuh kakak iparnya, dan diapun baru tahu akan rahasia itu setelah aku
bercerita kepadanya.!
‘Lalu bagaimana puterimu
menuduh dia sebagai pembunuh ayahnya?!
‘Karena sebelumnya,
ayahnya mengatakan bahwa Sie Liong memukulnya, dan dalam keadaan mabok dia
minta agar Bi Sian membalaskan penghinaan itu. Dan pada saat terjadinya
pembunuhan, Bi Sian melihat bayangan seorang yang bongkok di taman, seorang
bongkok yang bertopeng, dan Bi Sian manemukan topeng itu. Maka, ia menuduh
pamannya sebagai pembunuh. Ah, itulah yang menyusahkan hatiku, toako. Bagaimana
kalau mereka saling jumpa dan anakku itu nekat menyerang dan hendak membunuh pamannya?
Karena itulah, maka aku nekat melakukan perjalantn ini, untuk mencari mereka
dan untuk membujuuk puteriku agar jangan memusuhi Sie Liong karena sekarang aku
yakin bahwa bukan Sie Liong yang membunuh suamiku.!
‘Eh? Bagaimana engkau
bisa yakin, Hong-moi?!
Lan Hong lalu menceritakan
tentang penyelidikannya ke rumah pelesiran, tentang segala keterangan yang
diperolehnya dari para pelacur yang pada hari terakhir itu melayani suaminya.
Lie Bouw Tek mendengarkan dengan penuh kagum. Wanita ini selain tabah, juga
amat cerdik, pikirnya.
‘Dari keterangan itu aku
yakin bahwa adikku tidak membunuh kakak iparnya, toako. Kalau dia yang
membunuh, tidak perlu dia bertopeng, dan tidak perlu pula dia berpura-pura
kepadaku. Dia memang belum pernah mengetahui rahasia itu sebelum mendengar
dariku. Kalau bukan dia yang membunuhnya, berarti si pembunuh sengaja menyamar
sebagai seorang yang bongkok dan men genakan topeng. Tidak sukar menyamar
sebagai orang berpunuk dan bongkok, tinggal mengganjalkan sesuatu di
punggungnya. Tentu saja dia bertopeng untuk menutupi wajahnya agar jangan ada
yang tahu bahwa dia bukanlah Sie Liong. Jelas dia sengaja membunub dan melempar
fitnah kepada adikku. Dan penyelidikanku ke rumah pelacuran itu membuktikan
bahwa memang ada yang membunuh suamiku. Dia bukan lain adalah sute dari Bi
Sian.!
‘Hemmm....! Lie Bouw Tek
meraba-raba jenggotnya yang terpelihara rapi. ‘Pendapatmu itu memang
nampaknya tepat Hong-moi. Teorimu juga masuk di akal. Hanya ada satu hal yang
meragukan. Kalau benar seperti yang kausangka bahwa yang membunuh suamimu
adalah sute dari puterimu, lalu apa alasannya? Mengapa dia membunuh suamimu
yang baru dijumpainya?!
‘Akupun sudah memikirkan
hal itu dan menemukan jawabannya. Aku dapat melihat bahwa sute dari puteriku
yang namanya kalau tidak salah Coa Bong Gan, yang usianya lebih tua dari
puteriku walaupun dia sutenya, agaknya jatuh cinta kepada Bi Sian. Sebagai
orang yang jatuh cinta dan mengharapkan cintanya terbalas, tentu saja dia ingin
selalu kelihatan sebagai seorang pemuda yang baik, bukan?!
Bouw Tek mengangguk,
menatap tajam karena dia mengikuti dengan penuh perhatian dan amat tertarik.
‘Nah, dalam
penyelidikanku itu, aku mendengar bahwa Bong Gan itu juga berada di rumah
pelacuran ketika suamiku ke sana. Mereka saling melihat walaupun Bong Gan
pura-pura tidak mengenalnya. Pertemuan itulah yang menjadi alasan mengapa
pemuda itu membunuh ayah Bi Sian. Tentu dia khawatir kalau-kalau Bi Sian akan
mendengar dari ayahnya bahwa dia melacur di rumah pelacuran! Dan karena dia pun
memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Koay Tojin, maka dengan mudah dia
melakukan pembunuhah itu dan menyamar sebagai Sie Liong. Dengan memakai kedok
dan mengganjal punggungnya menjadi bongkok, mudah saja dia menjatuhkan fitnah
kepada Sie Liong. Nah, bagaimana pendapatmu, toako?!
Lie Bouw Tek masih
memandang dengan kagum dan mendengar pertanyaan itu dia mengangguk-angguk.
‘Kuat juga alasan itu, Hong-moi. Dan mengapa engkau melakukan pencarian ke
daerah Tibet? Apakah engkau sudah yakin bahwa adikmu dan puterimu itu pergi ke
Tibet? Dan di mana pula adanya sute dari puterimu itu?!
‘Coa Bong Gan pergi
bersama Bi Sian, agaknya hendak membantunya menghadapi Sie Liong. Pernah Sie
Liong bercerita kepadaku bahwa dia diberi tugas oleh para gurunya untuk
melakukan penyelidikan terhadap para pendeta Lama di Tibet, entah untuk apa aku
tidak tahu. Karena teringat akan keterangannya itulah aku mencari ke daerah ini
dan hendak pergi ke Lasha.!
Lie Bouw Tok diam-diam
terkejut dan juga girang. Kiranya Pendekar Bongkok menertma tugas dari
guru-gurunya dan tugasnya itu sama benar dengan tugas yang dia terima dari
Kun-lun-pai, menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet yang memusuhi
Kun-lun-pai! Diapun pernah mendengar dalam perantauannya di daerah ini bahwa
para pendeta Lama di Tibet memusuhi para pertapa dan terutama para tosu di
Himalaya sehingga banyak tosu yang menyelamatkan diri meninggalkan Pegunungan
Himalaya. Agaknya tugas Pendekar Bongkok yang menyelidiki para pandeta Lama itu
ada hubungannya dangan hal itu.
‘Setelah mendangar
riwayatmu, aku sekarang jelas mengapa engkau pergi seorang diri mencari
puterimu dan adikmu di daerah yang berbahaya ini, Hong-moi. Jangan khawatir,
aku akan membantumu mencari mereka sampai dapat. Sukurlah kalau belum terjadi
apa-apa antara adikmu dan puterimu. Akan tetapi menurut pengetahuanmu, siapa
diantara mereka yang lebih lihai, Hong-moi?!
‘Kukira Sie Liong lebih
lihai, akan tetapi akupun yakin bahwa dia tidak mungkin mau melawan keponakan
yang amat disayangnya itu. Aku khawatir sekali, toako.!
‘Kalau begitu, yang
penting adalah mencari dan menemukan puterimu, Hong-moi. Engkau harus
menceritakan senua rahasia itu kepadanya, tentang pembunuhan terhadap ayahnya
yang dilakukan sutenya sendiri, bukan oleh pamannya.!
Lan Hong mengangguk lemah.
‘Akan kulakukan itu, walaupun hal itu pasti akan sangat menyedihkan hatinya.!
Malam telah larut dan Lan
Hong dipersilakan mengaso dan tidur, sedangkan Bouw Tek berjaga di depan guha,
dekat api unggun. Dia semakin tertarik kepada Lan Hong. Tak dapat dia
menyalahkan Lan Hong yang dahulu terpaksa menyerahkan diri kepada pembunuh
orang tuanya itu untuk menyelamatkan adik kandungnya. Sungguh terkutuk
perbuatan ayah Bi Sian itu, akan tetapi dia sudah mati dan memang sepatutnya
kalau dia mati terbunuh. Orang yang amat jahat! Dan diapun menjadi semakin
kagum kepada Pendekar Bongkok, dan ingin sekali mendapat kesempatan untuk
berjumpa dengan pendekar itu. Bukan saja untuk berkenalan, akan tetapi juga
untuk.... membicarakan soal keputusan hatinya. Setelah mendengarkan riwayat Lan
Hong, sudah bulat tekadnya untuk meminang janda ini menjadi isterinya!
***
Semua mata memandang,
semua kepala menoleh ketika Sie Liong dan Ling Ling memasuki kedai makanan itu.
Ling Ling adalah sebrang gadis yang terlampau menarik untuk dilewatkan begitu
saja oleh mata pria. Dan temannya, Sie Liong, juga seorang pemuda yang terlampau
aneh dengan cacatnya, sehingga semua orang tertarik untuk memandangnya. Mereka
memasuki sebuah kedai makan di kota Nam-leng yang berada di sebelah barat kota
besar Lasha pada tengah hari itu untuk makan siang. Seorang pelayan kedai
menyambut mereka dan membawa mereka ke sebuah meja kosong di sudut kanan,
diikuti pandang mata belasan orang tamu yang sedang duduk makan di kedai itu.
Segera terdengar suara bisik-bisik, bahkan ada yang agak keras diselingi tawa
sehingga terdengar sepenuhnya oleh pendengaran Sie Liong yang tajam terlatih,
dan terdengar sebagian oleh Ling Ling.
‘Amboi....
manisnya....!!
‘Lihat bentuk
tubuhnya.... seperti kijang emas....!!
‘Matanya.... ah, begitu
jeli seperti bintang kejora!!
‘Kalau aku, yang paling
menarik adalah mulutnya. Lihat, bibirnya tipis merah segar, seperti buah masak
membikin gemes!!
‘Sayang ya, gadis
semolek itu ditemani seorang.... ha-ha, seekor monyet!!
‘Bukan monyet, dia setan
bongkok yang baru muncul dari kuburan, ha-ha!!
‘Siapa tahu, dia hanya
pelayannya saja!!
‘Atau saudaranya!!
‘Tidak mungkin dia
suaminya atau pacarnya. Huh, seperti onta begitu, mana mungkin berpasangan
bidadari?!
Bab 18
Sie Liong diam saja, akan
tetapi dia merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia tidak dapat
merasa sakit hati lagi kalau dirinya diperolok orang. Dia sudah yakin
sepenuhnya akan keburukan dirinya yang cacat. Dia pun tidak iri atau cemburu
mendengar pria-pria itu memuji-muji kecantikan Ling Ling. Memang Ling Ling
seorang gadis yang manis sekali. Akan tetapi semua olok-olok itu membuka
matanya, menekan batinnya, membuat dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak pantas
bersanding dengan Ling Ling! Apalagi mencintanya! Sungguh dia tidak tahu diri.
Pria cacat seperti dia mana pantas menjadi pacar atau suami seorang gadis
semanis Ling Ling? Mereka itu benar dalam olok-olok mereka. Menjadi pelayan
Ling Ling saja tidak patut kalau melakukan perjalanan bersama seperti itu.
Hanya akan menyeret Ling Ling dalam kerendahan dan membuat Ling Ling menjadi
bahan olok-olok orang lain.
Ling Ling hanya dapat
mendengar sebagian saja, akan tetapi cukup membuat kedua pipinya menjadi merah
sekali. Ingin rasanya ia memaki-maki para tamu itu. Mereka berani merendahkan
dan menghina Pendekar Bongkok! Ingin ia membujuk Sie Liong agar menghajar
mereka itu, agar terbuka mata mereka siapa adanya pemuda bongkok yang mereka
pandang rendah dan hina itu! Akan tetapi ia sudah cukup mengenal watak Pendekar
Bongkok, tahu bahwa bujukannya takkan berhasil. Pendekar Bongkok terlalu rendah
hati dan panyabar.
Ketika ia melirik, ia
melihat betapa Sie Liong sama sekali tidak terpengaruh semua ejekan itu,
seolah-olah tidak pernah mandengarnya. Diam-diam Ling Ling merasa penasaran,
walaupun kagum. Untuk melampiaskan rasa penasaran hatinya, iapun berkata dengan
suara agak dikeraskan kepada Sie Liong.
‘Liong-ko, kedai di sini
cukup enak tempatnya, ya? Entah bagaimana dengan hidangannya, dan sayangnya,
banyak sekali lalat kotor di sini!!
Sie Liong memandang
kepadanya dan menahan senyumnya. Tempat itu memang tidak amat bersih, akan
tetapi juga tidak banyak lalat kotor seperti yang dikatakan Ling Ling dan dia
mengerti bahwa gadis itu menjadi panas hatinya mendengar olok-olok para tamu
itu.
Di antara para tamu ada
segerombolan pemuda berusia lebih dua puluh lima tahun yang duduk di meja
sebelah mereka, jumlah mereka ada tiga orang dan mereka tadi juga mengeluarkan
kata-kata pujian terhadap Ling Ling dangan sikap berani dan berandalan.
Mendengar ucapan Ling Ling, seorang di antara mereka terkekeh.
‘Wah, kita dianggap
lalat kotor! Ha-ha, kalau aku benar menjadi lalat, aku akan terbang dan hinggap
di pipinya untuk mencuri cium, atau di bibirnya yang akan kugigit dengan
gemas!! Kawan-kawannya tertawa mendengar kelakar yang kurang ajar itu.
‘Liong-ko, yang membikin
aku tidak kuat dan muak tentang lalat-lalat itu adalah suaranya. Mari kita
pergi mencari kedai lain saja, Liong-ko!! kata pula Ling Ling, kini lebih marah
lagi.
‘Ha-ha, kawan-kawan.
Kita tiga ekor lalat akan selalu terbang mengikutinya. Setuju?!
‘Akur....!! seru
teman-temannya pula.
Ling Ling tak dapat
menahan lagi kemarahannya walaupun Sie Liong memberi isyarat dengan kedipan
mata agar gadis itu diam. Ia bangkit berdiri dan memanggil pelayan.
‘Hei, bung pelayan, ke
sinilah!!
Ketika pelayan datang,
Ling Ling berkata sambil melirik ke arah meja di sebelah di mana tiga orang
pemuda berandal itu duduk. ‘Bung pelayan, kalau eng kau tidak mau mangusir
lalat kuning di sana itu, aku tidak jadi makan di sini. Dia kotor sakali,
menjijikkan!!
Sie Liong hendak mencegah,
namun gadis itu sudah terlanjur bicara, bahkan kini terang-terangan Ling Ling
memandang dengan mata melotot kepada pemuda berpakaian kuning, seorang di
antara mereka bertiga itu. Tentu saja si pelayan menjadi salah tingkah dan tidak
tahu harus berbuat apa. Ketika si baju kuning itu bangkit dengan marah dan
bersama dua orang temannya menghampiri meja Ling Ling, pelayan itu mundur dan
pergi ketakutan. Si baju kuning kini menghampiri Ling Ling dan sambil tersenyum
mengejek dia berkata.
‘Nona manis, berani
engkau menghinaku, ya? Kalau sekarang juga kupeluk kau, kucium pipimu dan
kugigit bibirmu, engkau mau apa? Mau mengandalkan pengawalmu yang bongkok ini?
Hayo minta maaf kepadaku, kalau tidak, akan kucium pipimu!!
Pada saat itu, Sie Liong
bangkit berdiri karena dia khawatir kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan
ancamannya. Berdirinya sudah terlalu dekat dan sekali tangannya menjangkau, dia
tentu akan dapat merangkul Ling Ling yang kelihatan marah dan berani itu.
‘Harap sam-wi suka
bersabar dan maafkan kami. Kalau mulai saat ini sam-wi (kalian bertiga) tidak
menyinggung kami, tentu kamipun tidak akan berani menyinggung sam-wi.
Maafkanlah kami dan habiskan perkara yang tidak ada artinya ini sampai di sini
saja.!
Sikap dan ucapan Sie Liong
ini dinilai sebagai pernyataan takut oleh tiga orang pemuda berandal itu.
‘Apa kau bilang? Mana bisa kami memaafkan begitu saja! Nona ini harus minta
maaf kepada kami, dan engkau ini onta bongkok harus berlutut minta maaf kepada
kami, baru kami mau sudah!!
Sie Liong mangerutkan
alisnya. Dia tidak ingin mencari keributan, akan tetapi kalau dia disuruh minta
maaf sambil berlutut, tentu saja dia tidak sudi.
‘Harap sam-wi tidak
bersikap begitu. Kami adalah pendatang yang tidak ingin mencari permusuhan.!
‘Onta bongkok, engkau
mencari permusuhan aku tidak takut! Tidak mencari pun, kami yang mencari
permusuhan danganmu! Hayo ke sini rasakan hajaran kami!! kata si baju kuning.
Pada saat itu, terdengar
suara yang parau dan dalam, namun nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu
kedai makan itu.
‘Ho-ho, siapa dia yang
mencari permusuhan di sini? Hayo maju dan lawan aku!!
Tiga orang pemuda
berandalan itu menengok dengan marah. Mereka melihat seorang pria berusia lima
puluhan tahun, bertubuh tinggi besar, dengan jubah seperti pendeta akan tetapi
pakaiannya butut seperti pengemis, dan tangan kirinya memegang sebuah hio-louw
atau tempat abu sembahyang dari besi, tangan kanannya memegang sebatang tongkat
butut. Melihat pakaiannya, orang-orang di situ tahu bahwa pria ini adalah
sebangsa peminta derma untuk keperluan kuil atau para pendeta. Dia semacam
pesuruh para pendeta dan akan menerima imbalan beberapa bagian dari hasil
pemberian derma yang dikumpulkannya. Melihat seorang setengah pengemis yang
menegur mereka, bahkan menantang, tiga orang pemuda berandalan itu tentu saja
memandang rendah dan menjadi marah bukan main. Si baju kuning lalu melompat ke
dekat orang itu dan memaki.
‘Kau ini pengemis busuk,
jembel tua berani menegur kami dan berani menentang? Nah, aku melawanmu, nih,
makan pukulanku!! Si baju kuning langsung mangayun kepalan tangan kanannya ke
arah muka orang itu. Orang itu melihat mukanya dipukul, tidak mengelak, bahkan
memutar mukanya dan menerima pukulan kepalan tangan itu dengan kepalanya yang
berambut penuh uban, di bagian kiri atas telinga.
‘Dukkkk!! Pukulan itu
keras sekali datangnya dan akibatnya, bukan yang punya kepala yang kesakitan
melainkan si baju kuning yang menjerit kesakitan sambil terhuyung ke belakang
dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Bukan main nyerinya tangan
yang memukul tadi, seperti memukul besi dan seperti remuk rasanya semua buku
tulang jari tangannya. Hal ini membuat kedua orang temannya menjadi marah.
Mereka meloncat ke dekat kawan mereka dan kini mereka bertiga sudah mencabut
golok yang tersembunyi di balik baju masing-masing. Dengan tiga batang golok di
tangan, tiga orang pemuda berandalan itu mengepung.
Akan tetapi, penarik derma
itu tersenyum mengejek, tidak menurunkan hio-louw dan masih berdiri tegak
dengan tongkat butut di tangan kanan.
Tiga orang pemuda itu
mengeluarkan teriakan garang lalu mereka menerjang dari tiga jurusan, sementara
para tamu di kedai itu memandangi dengan gelisah, akan tetapi mereka tidak berani
beranjak dari tempat masing-masing, hanya menonton dengan hati penuh
ketegangan. Tiga batang golok berkelebatan ketika tiga orang pemuda itu
menyerang dan biarpun gerakan mereka tidak menunjukkan gerakan silat tingkat
tinggi, namun mereka masih muda dan tenaga mereka kuat, juga agaknya mereka
sudah biasa berkelahi menggunakan kekerasan.
‘Wuut-wuut-wuuut....!!
Tiga batang golok menyambar.
‘Trang-trang-trangggggg....!!
Tiga batang golok itu disambar tongkat butut dan tiga batang golok itu terlempar
dan lepas dari tangan para pemegangnya. Tongkat itu masih terus
menyambar-nyambar dan kaki tiga orang pemuda itu terbabat, membuat mereka roboh
terpelanting!
Semua orang menjadi
berisik dan tiba-tiba orang itu menurunkan hio-louw di atas meja kasir. Meja
mengeluarkan suara berkeretekan saking beratnya hio-louw itu dan kini pemungut
derma itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang ada gambarnya sebuah hati tersulam
dengan benang emas.
‘Kim-sim-pai....!!
terdengar orang berbisik-bisik. Mendengar disebutkannya Kim-sim-pang
(perkumpulan Hati Emas), semua orang terkejut dan semua orang sudah tahu bahwa
Kim-sim-pang adalah perkumpulan para pemberontak yang dipimpin oleh Kim Sim
Lama. Sudah terkenal sekali bahwa anggauta pemberontak ini banyak, juga mereka
mempunyai jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Ketika mendengar bisikan itu, tiga
orang pemuda berandalan yang mengaduh-aduh sambil menggosok-gosok tulang kering
kaki mereka yang terasa nyeri sekali, kini memandang dengan maka pucat dan
nyali mereka terbang entah ke mana.
‘Ha-ha-ha, kalian cacing
tanah busuk. Hayo cepat serahkan semua milikmu sebagai sumbangan untuk menebus
dosa atau kalian masih ingin berkenalan dengan tongkatku?!
‘Baik...., baik....!
Tiga orang pemuda itu dengan tubuh gemetar segera mengeluarkan semua isi saku
mereka, menyerahkan uang mereka kepada pengumpul derma itu dan memasukkan uang
itu ke dalam hio-louw yang besar itu. Melihat betapa tiga orang pemuda itu
hanya mempunyai uang perak sebanyak tidak lebih dari sepuluh tail, pria tinggi
besar itu menyeringai.
‘Huh, nyawa kalian
bertiga hanya kalian hargai sepuluh tail? Murah amat harganya nyawa kalian!!
‘Maafkan kami, hanya
itulah milik kami,! kata si baju kuning sambil memberi hormat, diikuti dua
orang kawannya.
‘Sudahlah,! kata
pengumpul derma itu. ‘Sekarang semua yang berada di sini, harap suka memberi
derma kepada kami. Yang Mulia Kim Sim Lama tentu akan memberkahi kalian yang
telah memberi derma. Silakan mengisi hio-louw ini!!
Para tamu saling pandang
dan mereka semua sudah mendengar bahwa apabila permintaan derma orang-orang
Kim-sim-pai ini tidak dipenuhi, mereka tentu akan menganggap bahwa yang tidak
memberi derma adalah musuh, maka mereka akan manggunakan kekerasan untuk
menghajarnya. Maka, bangkitlah para tamu itu dan merekapun mengeluarkan isi
saku mereka dan memasukkan uang ke dalam hio-louw. Biarpun tidak semua orang
menyerahkan seluruh isi kantong mereka, akan tetapi tidak ada yang berani
memberi sedikit sehingga belasan orang ditambah pemberian pemilik kedai
makanah, memberi derma yang cukup banyak, hampir setengah hio-louw besar itu.
Akan tetapi, Sie Liong dan
Ling Ling tidak berdiri, melainkan melanjutkan makan hidangan yang mereka pesan
dengan tenang. Melihat ini, si baju kuning yang telah mendapatkan malu besar di
depan para tamu dan terutama sekali penghinaan yang dideritanya itu ditonton
pula oleh Pendekar Bongkok dan nona manis itu, lalu menumpahkan kedongkolannya
kepada Pendekar Bongkok.
‘Heiii, onta bongkok!
Engkau dan nonamu itu belum juga menyerahkan derma? Apakah engkau sudah bosan
hidup? Losuhu, mereka berdua itu belum menyerahkan dana, bolehkah kalau aku
yang memaksa mereka untuk memberi derma?! Untuk melampiaskan kedongkolan
hatinya, si baju kuning hendak menjilat si pengumpul dana dan hendak malakukan
penghinaan terhadap Sie Liong dan Ling Ling.
Mendengar permintaan si
baju kuning, pengumpul dana yang mulai merasa gembira karena hasil pemungutan
dana itu dapat dikatakan berhasil baik, lalu mengangguk. Si baju kuning dan dua
orang temannya segera mencari golok mereka yang tadi terlepas dari tangan dan
dengan lagak jagoan mereka bertiga menghampiri Sie Liong dan Ling Ling yang
sedang makan.
Sementara itu, biarpun
kelihatan tenang dan melanjutkan makan bersama Ling Ling seolah-olah semua
keributan yang terjadi itu tidak menarik perhatiannya, namun sesungguhnya
begitu si pengumpul dana itu mengeluarkan bendera kecil dan terdengar seruan
orang tentang Kim-sim-pai, kemudian mendengar ucapan pria tinggi beser itu
bahwa semua penyumbang akan diberkahi oleh Kim Sim Lama, dia sudah tertarik
sekali. Nama Kim Sim Lama pernah didengarnya dari Coa Kiu orang ke tiga dari
Tibet Sam Sinto yang membantu Thai-yang Suhu tokoh Pek-lian-kauw ketika mereka
menculik gadis-gadis dusun. Menurut pengakuan Cia Kiu, Tibet Ngo-houw, yaitu
lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang pernah mengganggu guru-gurunya di
pegunungan Kun-lun, adalah kaki tangan Kim Sim Lama yang hendak memberontak
terhadap Dalai Lama!
Dan orang ini, si tinggi
besar yang mengumpulkan dana dengan kekerasan, adalah seorang di antara anak
bush Kim Sim Lama! Maka, dia sudah memutar otak, mencari cara yang terbaik
untuk menghubungi Kim Sim Lama melalui anak buahnya ini. Hanya dengan memasuki
tempat gerombolan pemberontak Tibet itulah dia akan dapat memperoleh keterangan
yang amat baik tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu di
Himalaya.
Tiga orang pemuda
berandalan yang berlagak jagoan itu, selain ingin mengambil hati si pemungut
dana yang amat lihai itu, juga ingin melampiaskan kemarahan mereka kepada Sie
Liong dan kalau mendapat kesempatan tentu saja ingin juga menggoda Ling Ling
yang manis. Dengan sikap digagah-gagahkan, dengan dada dibusungkan, mereka
membawa golok mendekati Sie Liong dan Ling Ling. Si baju kuning menggebrak meja
sehingga makanan di atas meja itu berloncatan.
‘Brakk! Hei, onta
bongkok! Apakah telinganu juga sudah tuli?!
Sie Liong adalah seorang
penyabar, akan tetapi sakarang dia dan terutama sekali Ling Ling diganggu orang
selagi makan. Dia mejnoleh dan memandang kepada si baju kuning.
‘Hemm, sobat. Engkau
tadi sudah dihajar oleh pemungut derma itu, apakah masih juga belum jera dan
masih ingin menjual lagak di sini? Pergilah dan jangan ganggu kami!!
‘Keparat, kau berani
melawanku?! Si baju kuning mengangkat goloknya dan diayun ke arah telinga Sie
Liong. Maksudnya jelas, untuk membuntungi sebelah telinga pemuda bongkok itu.
Melihat ini, Sie Liong menaanggalkan kesabaranhya. Tangan kanan yang memegangi
sumpit bergerak menotok ke arah pergelangan tangan si baju kuning.
‘Tukkk!! Golok itu
terlepas dan sepasang sumpit itu masih terus meluncur ke depan, menotok ke arah
dada. Si baju kuning roboh berlutut dan sepakan kaki Sie Liong membuat dia
terlempar dan terjengkang lalu terguling-guling! Melihat ini, dua orang
temannya yang tak tahu diri menjadi marah. Mereka mengayun golok. Akan tetapi,
sepasang sumpit itu kini berada di kedua tangan Sie Liong, masing-masing tangan
memegang sebatang dan sekali kedua tangan itu bergerak, dua orang itupun roboh
terpelanting keras sekali karena mereka sudah kehilangan tenaga dan lemas
seketika.
Seperti tadi, dua kali
kaki Sie Liong menendang dan tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter
jauhnya. Setelah itu, Sie Liong membersihkan sepasang sumpitnya, lalu
melanjutkan makan minum. Melihat ini, Ling Ling tersenyum gembira. Mampus
kalian, pikirnya. Baru tahu ya siapa laki-laki yang bersama dengannya! Biarpun
hatinya menjadi benar sekali, terasa mekar saking gembira dan bangganyam, namun
Ling Ling yang melihat Sie Liong kembali melanjutkan makan minum, iapun
melanjutkan makan dengan sikap yang tenang sekali. Terlalu tenang, sambil tak
dapat ditahannya ia melirik ke sana sini sambil tersenyum-senyum. Sie Liong
tentu saja melihat sikap gadis itu dan diam-diam dia merasa geli, akan tetapi
juga senang karena dia melihat betapa gadis itu bergembira sekali.
Tiba-tiba Ling Ling
terbelalak, mukanya pucat memandang ke arah belakang Sie Liong dan ia berbisik,
‘Liong-ko, awas.... dia datang....!!
Sie Liong memutar tubuhnya
dan melihat pengumpul dana yang bertubuh tinggi besar itu sudah melangkah
perlahan-lahan ke arah mejanya. Sikap yang tenang dan langkah yang lambat itu
bahkan mendatangkan keseraman, seolah-olah ada seekor Beruang besar datang
menghampiri, mengandung ancaman maut. Sepasang matanya melotot dan agaknya dia
marah sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong hanya sejenak
saja memandang, lalu dia membalikkan tubuhnya lagi dan melanjutkan makan,
seolah-olah tidak terjadi sesuatu! Melihat ini, Ling Ling juga
menenang-nenangkan dirinya walaupun ia merasa betapa jantungnya berdebar tegang
dan gelisah. Ia tadi sudah melihat betapa lihainya si pemungut derma itu, dan
agaknya dia kini marah kepada Pendekar Bongkok. Sementara itu, tiga orang
pemuda yang tadi terkejut dan kesakitan terkena hajaran Pendekar Bongkok, kini
sudah bangkit berdiri, agaknya siap membantu si pemungut dana. Mereka tidak
merasa malu telah dihajar oleh si pemungut derma yang ternyata adalah orang
Kim-sim-pai, nama yang amat terkenal dan ditakuti di seluruh Tibet. Akan tetapi
dihajar oleh seorang pemuda asing yang bertubuh bongkok? Sungguh merupakan
penghinaan yang memalukan sekali, apa lagi si bongkok itu muncul bersama
seorang gadis cantik! Kini, melihat orang Kim-sim-pai menghampiri si bongkok,
mereka mengharapkan agar si bongkok itu dihajar oleh orang Kim-sim-pai itu agar
mereka dapat membalas penghinaan tadi, terhadap si bongkok maupun terhadap si
gadls manis!
‘Orang muda bongkok, dan
kau juga nona. Cepat keluarkan seluruh barang milik kalian dan karena kalian
tadi berani menghina tiga orang yang membantuku, maka kalian harus juga
menyerahkan pakaian yang menempel di tubuh kalian. Hayo cepat!!
Mendengar perintah ini,
tiga orang pemuda yang berada di belakang pendeta pemungut derma itu
tertawa-tawa menyeringai, membayangkan betapa akan senangnya melihat nona manis
itu dipakna bertelanjang bulat di depan meraka, juga si bongkok! Akan tetapi
kalau wajah Ling Ling berubah merah sekali mendengar ucapan orang Kim-sim-pai
itu, sebaliknya Sie Liong bersikap tenang-tenang saja. Akan tetapi dia memutar
tubuhnya dan masih duduk, menghadapi raksaaa yang berdiri jangkung di depannya
itu.
‘Lo-suhu, engkau seorang
pendeta, akan tetapi permintaanmu itu sungguh tidak sewajarnya. Bagaimana kalau
kami menolak permintaanmu itu?!
Orang tinggi besar itu
terbelalak kemudian tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu terguncang dan
suara ketawanya menggetarkan seluruh tamu yang berada di situ. ‘Ha-ha-ha!
Orang muda bongkok! Engkau belum mengenal siapa aku? Aku disebut orang Si
Beruang Hitam dan belum pernah ada orang berani menentang perintahku! Kalau
kalian tidak mentaati aku dan berani menolak perintahku, terpaksa aku akan
dengan paksa menelanjangi kalian di sini, kemudian kubikin bongkokmu menjadi
lurus!!
‘Ha-ha-ha!! Tiga orang
pemuda itu tertawa dan disambung oleh si baju kuning. ‘Lo-suhu, kalau
bongkoknya diluruskan, berarti tulang punggungnya akan patah-patah dan dia akan
mampus!!
‘Kebetulan kalau begitu!
Si manis ini kita yang merawat dan memeliharanya!! kata yang lain.
Kedua pipi Sie Liong mulai
berubah merah dan diapun bangkit berdiri. Memang dia nampak bongkok dan lemah
di depan anggauta Kim-sim-pai yang tinggi besar dan menyeramkan itu, seperti
seekor domba berhadapan dengan seekor Beruang! Semua tamu memandang gelisah,
bahkan Ling Ling juga agak pucat, khawatir kalau-kalau ‘jagonya! sekali ini
akan kalah karena sikap orang Kim-sim-pai itu memang menyeramkan sekali.
‘Lo-suhu, sungguh aku
merasa heran sekali melihat sikap dan sepak terjangmu. Engkau berjubah pendeta
dan engkau mengumpulkan dana untuk para pendeta dan kuil. Ini berarti bahwa
engkau adalah seorang manusia yang menjauhkan diri dari kesesatan, menjauhkan
diri dari kekuasaan iblis yang bekerja melalui pengaruh nafsu, mendekatkan diri
dengan Thian dan selalu mengikuti jalan kebenaran. Akan tetapi mengapa sepak
terjangmu seperti ini? Sebanarnya engkau ini pendeta ataukah penjahat?
Sadarlah, losuhu, sebelum terlambat!!
Sepasang mata itu melotot,
mulut itu ternganga karena anggauta Kim-sim-pang itu terheran-heran, hampir
tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bertubuh cacat bongkok pula, berani
mengucapkan kata-kata seperti itu kepadanya! Kalau yang berkata demikian itu
atasannya di Kim-sim-pang, atau setidaknya seorang pendeta Lama yang berilmu
tinggi, atau seorang pejabat tinggi yang berkuasa, dia tidak akan merasa heran.
Akan tetapi seorang pemuda
biasa, asing pula, bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu, di
depan umum pula? Dia merasa terhina bukan main dan api kemarahan seperti hendak
membakar-hanguskan kepala dan dadanya!
‘Demi semua dewa dan
iblis! Siapakah engkau berani berkata seperti itu kepada Beruang Hitam? Hayo
mengaku siapa engkau sebelum engkau terlanjur mampus dan menjadi mayat tanpa
nama!! Berkata demikian, Si Beruang Hitam itu sudah menggerak-gerakkan sepuluh
buah jari tangannya dun terdengar bunyi berkerotokan seolah-olah semua potongan
tulang jari tangannya menjadi hidup dan berteriak-teriak.
Sie Liong bersikap tenang
saja. Dia tahu apa artinya bunyi berkerotokan pada buku-buku jari tangan orang
itu. Seorang yang memiliki tenaga yang amat kuat dan jari-jari tangan itu telah
terlatih, akan tetapi tenaga itu baginya tidak berbahaya, hanya merupakan
tenaga luar yang nampaknya saja dahsyat.
‘Namaku Sie Liong dan
aku sama sekali tidak ingin memusuhimu, akan tetapi tentu saja aku akan
menentang segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga.!
‘Bagus! Aku akan
menelanjangimu, baru membunuhmu dan menyerahkan nona ini kepada tiga orang
pemuda ini!! Berkata demikian, pendeta pemungut dana itu sudah menubruk ke
depan, gerakannya memang mirip seekor Beruang yang menyerang dahsyat. Namun,
Sie Liong sudah siap siaga dan dengan mudah dia menggeser kaki dan tubuhnya
menyelinap ke kiri sehingga tubrukan itu luput.
‘Hyaaaaahhhhh....!!
Pendeta itu semakin marah ketika tubrukannya luput dan dengan bentakan nyaring,
kedua lengannya yang tadi menjulur ke depan, segera dibabatkan ke kanan
mengejar bayangan Sie Liong dan kedua tangannya membentuk cakar harimau, mencengkeram
ke arah dada dan muka Pendekar Bongkok.
Karena serangan susulan
ini amat cepat datangnya dan dahsyat sekali, Sie Liong menyambutnya dengan
tangkisan lengan kanan yang diputar dari kiri bawah ke kanan atas.
‘Desss....!!! Kedua
lengan pendeta itu sekaligus tertangkis oleh lengan kanan Sie Liong yang
mengerahkan sin-kang dan akibatnya, tubuh pendeta itu terpelanting dan jatuh
terbanting menimpa meja! Sungguh sial baginya, mukanya berada di bawah dan
tanpa dapat dicegahnya lagi, mukanya masuk ke dalam mangkok besar yang masih
terisi masakan! Seperti harimau terjebak, dia menggereng marah dan ketika dia
meloncat bangkit lagi, mukanya penuh dengan kuah dan saus tomat, nampak buruk,
lucu, akan tetapi juga mengerikan!
Pada saat itu, Sie Liong
mendengar suara Ling Ling menjerit dan ketika dia menoleh, ternyata tiga orang
pemuda itu seperti berlumba hendak menelanjangi dan menciumi Ling Ling yang
melawan mati-matian, mencakar dan menampar sejadi-jadinya.
‘Pengecut-pengecut
busuk!! Sie Liong membentak marah, tangannya meraih beberapa batang supit dari
meja berdekatan dan begitu tangan itu bergerak, tiga batang sumpit meluncur
bagaikan anak panah. Tiga orang pemuda yang sedang memperebutkan Ling Ling itu
menjerit dan roboh sambil berteriak-teriak dan mengaduh-aduh kesakitan karena
pangkal lengan mereka dekat pundak telah tertembus sebatang sumpit! Rasa nyeri
membuat tubuh mereka panas dingin, lengan lumpuh dan mereka hanya dapat
mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat seperti cacing-cacing terkena abu panas!
Ling Ling yang marah bukan main kepada mereka, segera menyambar barang seadanya
di atas meja berdekatan, lalu menimpakan segala macam piring mangkok berikut
sisa isinya ke atas kepala tiga orang itu. Terdengar suara hiruk pikuk pecahnya
mangkok piring di atas kepala tiga orang pemuda itu yang menjadi semakin
kesakitan. Nampak kepala mereka berdarah dan dahi mereka benjol-benjol!
Kini perkelahian antara
tokoh Kim-sim-pai dan Pendekar Bongkok berlangsung seru. Meja kursi berserakan
dan pendeta itu sudah marah dan penasaran bukan main. Semua serangannya selalu
dapat dielakkan lawan, bahkan setiap kali ditangkis, dia merasa seluruh lengannya
nyeri dan tubuhnya tergetar hebat. Sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya
cukup tinggi, tahulah anggauta Kim-sim-pai itu bahwa pemuda bongkok itu sungguh
memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, dan ilmu silat yang tinggi dan aneh.
‘Pemuda bongkok,
sekarang saatnya engkau mampus!! bentak orang itu dan dia menyambar tongkat
bututnya yang tadi dia letakkan di atas meja bersama hio-louw yang sudah terisi
banyak uang sumbangan dari para tamu yang ketakutan tadi. Kalau tadi dia tidak
mau mempergunakan tongkatnya adalah karena dia memandang rendah pemuda bongkok
itu. Setelah semua serangannya gagal bahkan tiga kali dia terpelanting,
akhirnya dia tidak mau sungkan lagi dan sudah menyambar tongkat bututnya dan
sambil menggereng diapun menyerang dengan tongkatnya.
Tongkat itu terbuat dari
kayu hitam yang berat dan kerasnya seperti besi. Besarnya hanya selengan tangan
dan panjangnya setinggi tubuh pemiliknya. Namun, ketika dipakai menyerang,
tongkat itu berputar den lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam
yang mengeluarkan suara bersiutan!
Melihat gerakan lawan yang
menggunakan tongkat, tahulah Sie Liong bahwa tongkat lawan itu cukup berbahaya.
Maka, diapun tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia mengerahkan tenaganya
dan kedua tangannya mengepulkan uap putih ketika dia bergerak dengan ilmu
Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih). Dengan berani dia menyambut
gulungan sinar hitam itu dengan kedua tangannya, menangkis sambil mengerahkan
tenaga Pek-in Sin-ciang.
‘Krakkkk!! Tongkat itu
patah-patah menjadi tiga potong dan selagi anggguta Kim-sim-pai itu terkejut,
tangan kiri Sie Liong sudah mendorongnya dengan pengerahan Swat-liong-ciang
(Pukulan Naga Salju).
‘Plakkk!! Nampaknya
tidak terlalu keras telapak tangan kiri Sie Liong mengenai dada dekat pundak
lawan, namun akibatnya sungguh hebat. Tubuh tinggi besar itu terjengkang
menabrak meja kursi dan ketika akhirnya dia merangkak bangun, wajahnya pucat
dan tubuhnya menggigil kedinginan! Demikian hebatnya pukulan Swat-liong-ciang itu,
mengandung kekuatan sin-kang yang amat dingin menembus tulang! Masih untung
bagi pendeta itu bahwa Sie Liong tidak berniat membunuhnya sehingga membatasi
tenaganya. Kalau dia menggunakan seluruh tenaga Swat-liong-ciang, tentu
lawannya takkan mampu bangkit kembali, darahnya akan menjadi beku dan dia akan
tewas seketika.
Orang itu yang berjuluk
Beruang Hitam, bangkit dan memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
‘Kau.... kau.... yang berjuluk Pendekar Bongkok....!! Akhirnya dia bertanya.
Sie Liong tidak menjawab, hanya mengangguk. Kembali orang itu nampak terkejut
dan dia lalu menghela napas panjang.
‘Pendekar Bongkok, nama
besarmu bukan kosong belaka. Aku mengaku kalah, akan tetapi urusan kita bukan
berakhir sampai di sini saja!! Kalimat terakhir itu mengandung ancaman dan
diapun menghampiri hio-louw di atas meja dan mengangkatnya lalu melangkah
hendak pergi.
‘Beruang Hitam, tahan
dulu! Engkau telah merusakkan banyak prabot rumah makan ini dan hendak pergi
begitu saja membawa semua sumbangan itu? Tinggalkan semua isi hio-louw itu di
sini!! kata Sie Liong yang melihat banyak meja kursi patah-patah dan mangkok
piring pecah-pecah.Beruang Hitam itu berhenti, lalu membalikkan tubuhnya,
menyeringai pahit dan tiba-tiba dia berkata, ‘Nah, terimalah ini!! Dia
melontarkan hio-louw yang amat berat itu ke arah Sie Liong! Ling Ling terkejut
sekali karena hio-louw yang berat itu menyambar ke arah Sie Liong, juga para
tamu di rumah makan itu terbelalak dan merasa tegang. Namun, dengan tangan
kirinya, Sie Liong menyambut hio-louw itu, lalu menuangkan seluruh isinya ke
atas meja. Kemudian, dia melontarkan kembali hio-louw itu ke arah Beruang Hitam
sambil berseru.
‘Bawalah pulang
hio-louwmu ini dan jangan lagi mengganggu penduduk!!
Hio-louw itu melayang ke
arah Beruang Hitam yang terpaksa menerimanya dengan kedua tangannya. Akan
tetapi kini berat hio-louw itu ditambah dengan tenaga lontaran yang amat kuat
dari Sie Liong. Beruang Ritam terhuyung dan biarpun dia tidak sampai roboh,
namun ketika akhirnya dia dapat bertahan berdiri dengan kedua kaki gemetar,
dari ujung mulutnya mengalir darah segar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
menerima lontaran kembali hio-louw kosong tadi, dia telah menderita luka dalam.
Tanpa bicara lagi diapun melangkah pergi meninggalkan rumah makan itu.
‘Pendekar Bongkok....!!
Kini para tamu berbisik-bisik, menyebutkan nama ini dan mereka memandang kepada
pemuda bongkok itu dengan sinar mata penuh kagum, heran dan juga gentar. Tiga
orang pemuda yang tadi roboh terkena tusukan sumpit kemudian dihajar kepala
mereka dengan mangkok piring oleh Ling Ling, kini merangkak dan dengan tubuh
gemetar ketakutan mereka berlutut dan menghadap ke arah Sie Liong.
‘Taihiap, harap,
ampunkan kami....! katanya.
‘Ampun, taihiap, mata
kami seperti buta tidak melihat seorang pendekar sakti....! kata yang ke dua.
‘Taihiap.... Siocia
(nona).... kami tidak berani lagi....! kata pemuda yang ke tiga.
Melihat sikap tiga orang
pemuda yang rupanya sudah tidak karuan itu, baju robek-robek, muka berlepotan
kuah, masakan dan darah, dahi benjol-benjol, pundak masih tertusuk sumpit,
mengangguk-angguk sambil berlutut, Ling Ling dan Sie Liong saling pandang dan keduanya
lalu tertawa geli.
‘Liong-ko, biarkan tiga
lalat ini terbang pergi!! kata Ling Ling gembira dan bangga bukan main karena
kemenangan Sie Liong yang menimbulkan kekaguman kepada semua orang. Kalau tadi
semua orang memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata mencemooh, kini semua
mata memandang kagum dan juga gentar!
Sie Liong lalu memandang
kepada tiga orang itu. ‘Nah, kalian sudah mendengar? Hayo terbang pergi!!
bentaknya.
Tiga orang pemuda itu lalu
bangkit dan dengan terhuyung-huyung mereka lari keluar dari rumah makan itu,
diiringkan senyum bahkan suara ketawa beberapa orang tamu rumah makan.
Sie Liong memanggil
pengurus rumah makan. ‘Engkau perhitungkan berapa kerugian karena kerusakan
ini, lalu ambil dari uang di atas meja ini. Selebihnya, kembalikan kepada para
tamu yang tadi dipaksa untuk memberi sumbangan.! Dia lalu mengeluarkan uang
membayar harga makanan dan minuman, kemudian memegang tangan Ling Ling dan
menggandeng gadis itu keluar dari situ. Dengan bangga sekali Ling Ling memegang
tangan pendekar itu dan ketika mereka berjalan keluar, ia merapatkan tubuhnya.
Akan tetapi ia tidak tahu
betapa diam-diam Sie Liong merasa khawatir sekali. Ikutnya Ling Ling dengannya
akan mendatangkan banyak kesulitan bagi dirinya dan terutama sekali bahaya
besar bagi Ling Ling. Pula, tadi di rumah makan sudah terbukti jelas betapa
gadis itu selama hidupnya akan menderita batin mendengar ejekan orang-orang
kalau sampai menjadi teman hidupnya. Gadis yang semanis Ling Ling tidak pantas
menjadi isteri seorang pria cacat seperti dia! Kalau dipaksakan, Ling Ling akan
selalu mendengar ejekan orang. Masih baik kalau perasaan dan hatinya kuat,
bagaimana kalau kelak sampai terguncang?
Bukan tidak mungkin, dan
dia pun tidak akan terlalu menyalahkan kalau kelak timbul penyesalan dalam hati
Ling Ling, telah menjadi isteri seorang pria yang cacat! Siapa tahu kelak akan
datang penggoda, seorang pria yang tampan dan baik, sehat dan tidak cacat, dan
hati Ling Ling jatuh. Kalau terjadi demikian, dia tidak akan dapat menyalahkan
Ling Ling walaupun hal itu akan menghancurkan hatinya. Daripada menghadapi
bahaya seperti itu, jauh lebih baik menyingkiri bahaya itu. Dan satu-satunya
jalan adalah berpisah dari Ling Ling Hal itu sudah sejak lama dia pikirkan,
sebelum mereka memasuki kota Lok-yang. Ling Ling adalah seorang gadis yang
manis sekali dan setiap orang pemuda tentu akan mudah jatuh cinta kepadanya.
Masih banyak sekali pemuda
yang tampan dan berbudi baik, yang pantas untuk menjadi jodoh gadis yang
bernasib malang ini. Dia tahu bahwa diam-diam dia amat tertarik kepada Ling
Ling, bahkan dapat dia mengaku bahwa dia telah jatuh cinta kepada Ling Ling dan
akan merasa berbahagia sekali kalau selanjutnya dia hidup berdampingan dengan
gadis itu sebagai suami isteri. Dan diapun dapat merasakan bahwa Ling Ling
mencintanya! Akan tetapi, tentu cinta gadis itu timbul karena merasa berhutang
budi dan merasa kasihan, bukan cinta seorang wanita yang tertarik oleh seorang
pria.
‘Tidak, aku tidak boleh
merusak kehidupan Ling Ling!! demikian dia telah mengambil keputusan sebelum
mereka memasuki Lasha. Dan begitu masuk kota itu, dalam rumah makan tadi,
kembali mereka telah mengalami gangguan yang timbul karena Ling Ling berdekatan
dengan dia! Andaikata Ling Ling memasuki rumah makan itu bersama seorang pria
yang sepadan, seorang pemuda yang tampan dan gagah, tak mungkin timbul
keributan tadi. Tentu tidak akan ada yang mengejek. Peristiwa itu membuat dia
semakin teguh dalam nintnya untuk memisahkan diri dari Ling Ling. Dia sedang menunaikan
tugas yang amat berbahaya. Banyak lawan yang lihai berada di depannya. Kalau
dia diikuti oleh Ling Ling, hal itu tentu akan mendatangkan bahaya besar
mengancam diri Ling Ling.
‘Kita sekarang ke mana,
Liong-ko?! tanya Ling Ling dengan sikap manis.
‘Kita ke rumah
penginapan dulu, Ling-moi. Engkau perlu beristirahat dan nanti aku akan pergi
sebentar untuk melakukan penyelidikan, melaksanakan tugasku. Hanya kuminta agar
engkau tidak keluar dari kamarmu sebelum aku pulang, karena seperti engkau lihat
sendiri tadi, di sini juga banyak berkeliaran orang jahat.!
Mereka memilih sebuah
rumah penginapan dan menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Setelah
mendapatkan dua buah kamar, Sie Liong sekali lagi memesan kepada Ling Ling agar
jangan keluar dari dalam kamar sebelum dia kembali.
‘Baik, Liong-ko. Kalau
aku tidak boleh ikut denganmu, aku akan menanti dalam kamar ini sampai engkau
pulang. Biar setahun akan kunanti!! katanya setengah bergurau, lalu
disambungnya cepat. ‘Akan tetapi, Liong-ko, kau nanti jangan terlalu lama,
ya?!
Sie Liong mengangguk,
kemudian meninggalkan kamar itu setelah menyuruh Ling Ling menutupkan daun
pintu rapat-rapat. Sie Liong lalu pergi kembali ke rumah makan tadi. Pengurus
rumah makan menyambutnya dengan ramah dan penuh hormat.
‘Ah, taihiap datang kembali?
Apakah yang dapat kami bantu untuk taihiap?! tanya pemimpin rumah makan itu.
‘Dapatkah aku bicara
empat mata denganmu, toako?! tanya Sie Liong kepada pemilik rumah makan yang
usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu.
Pemilik rumah makan itu memandang
heran, akan tetapi dia mengangguk dan mempersilakan Sie Liong masuk ke bagian
belakang rumah makan itu yang merupakan rumah tinggalnya bersama isteri dan dua
orang anaknya.
‘Begini, toako. Aku
berani bicara denganmu karena engkaulah satu-satunya orang yang kukenal di
Lasha ini, walaupun baru sekali kita bertemu yaitu ketika terjadi keributan
tadi. Engkau sudah mengenal siapa aku dan kuharap engkau suka membantuku.
Engkau sudah melihat nona yang datang bersamaku tadi?!
Pcmilik rumah makan itu
mengangguk, dan semakin heran.
‘Ia adalah seorang
sahabat baikku, akan tetapi ia yatim piatu dan hidup sebatangkara, juga ia
seorang gadis yang lemah. Aku sedang melaksanakan tugas penting dan tidak
mungkin membawanya terus karena hal itu akan menimbulkan bahaya seperti yang
kau lihat sendiri dalam peristiwa tadi. Mengertikah engkau, toako?!
Pemilik rumah makan itu
mengangguk, akan tetapi mengerutkan alis karena dia tetap tidak mengerti
mengapa pendekar ini menceritakan itu semua kepadanya.
‘Sebelum aku
melanjutkan, aku hendak memperkenalkan diri kami lebih dahulu, toako. Namaku
Sie Liong dan seperti engkau mendengar tadi, aku dijuluki orang Pendekar
Bongkok. Adapun sahabatku itu bernama Sam Ling, biasa disebut Ling Ling. Ia
yatim piatu dan menjadi tanggung jawabku. Nah, sekarang aku akan mencarikan
sebuah tempat tinggal yang aman bagi Ling Ling, sebuah keluarga yang dapat
kupercaya untuk ditumpangi gadis itu. Untuk sementara waktu saja, sampai aku
menyelesaikan tugasku, entah berepa hari lamanya. Dan tentu saja aku akan
membayar semua biaya yang dikeluarkan selama Ling Ling mondok pada keluarga
itu. Demikianlah, toako, dapatkah engkau menolong kami?!
Pemilik rumah makan itu
adalah seorang keturunan Han Tibet, seperti juga Ling Ling. Dia menarik napas
panjang. ‘Taihiap, semua orang di Lasha tahu bahwa aku adalah seorang pemilik
rumah makan ini sejak ayahku dahulu dan bahwa kami adalah orang-orang yang
mencari penghasilan dengan jujur. Aku dapat mengerti keadaan taihiap dan nona
itu, dan seandainya tidak terjadi peristiwa tadi, tentu dengan senang hati aku
menerima nona Ling Ling untuk tinggal di rumah kami sementara waktu. Akan
tetapi.... setelah peristiwa tadi terjadi, amatlah berbahaya kalau ia tinggal
bersama kami, taihiap. Tentu semua orang akan tahu bahwa ia mondok bersama kami
dan kalau hal ini terdengar oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, kemudian
terdengar oleh Kim-sim-pai, tentu kami sekeluarga akan celaka! Taihiap tidak
menghendaki kami sekeluarga celaka, bukan?!
Sie Liong menghela napas.
Dia dapat mengerti alasan yang dikemukakan pemiliki rumah makan itu.
‘Tentu saja kami tidak
menghendaki demikian. Akan tetapi barangkali engkau dapat menunjuk keluarga
lain yang kiranya dapat kutitipi Ling Ling untuk sementara waktu....!
Pemilik rumah makan itu
mengingat-ingat, kemudian dia memandang pendekar itu dengan senyum cerah.
‘Ah, memang ada dan tepat sekali, taihiap. Seorang bibiku yang sudah tua
hidup seorang diri di kota ini, di sudut kota dan dalam kampung yang
tersembunyi dan sepi. Bibi Cili tentu akan suka menerima nona Ling Ling untuk
sementara tinggal bersamanya. Ia bibiku sendiri, taihiap dan boleh percaya!!
Wajah Sie Liong berseri
gembira. ‘Bagus! Sungguh aku berterima kasih sekali kepadamu, toako. Dapatkah
kita sekarang pergi menemui bibi Cili untuk membicarakan masalah ini?!
Pemilik rumah makan itu
dengan senang hati mengantar Sie Liong mengunjungi janda Cili dan benar saja
seperti yang dikatakan pemilik restoran itu. Janda itu dengan senang hati
menerima kehadiran Ling Ling di rumahnya berarti ia mempunyai seorang teman. Janda
berusia lima puluh lima tahun ini ramah dan juga nampak sehat. Rumahnya tidak
terlalu besar namun bersih dan pantas, karena janda ini hidup dari tunjangan
para keponakannya, antara lain dari pemilik rumah makan itu.
Malam itu juga Sie Liong
mangajak Ling Ling untuk pindah ke rumah janda Cili.
‘Akan tetapi kenapa kita
harus pindah kamar malam ini juga, Liong-ko?! tanya Ling Ling ketika berkemas.
‘Bukan kita, Ling-moi,
melainkan engkau sendiri.!
Tangan yang tadinya sibuk
mengemasi pakaian berhenti bergerak dan sepasang mata Ling Ling terbelalak
menatap wajah Sie Liong. ‘Aku sendiri? Dan engkau....?!
‘Aku harus melakukan
penyelidikan melaksanakan tugasku, Ling-moi, engkau akan tinggal bersama bibi
Cili untuk sementara waktu sampai selesai tugasku dan....!
‘Tidak, Liong-ko,
tidak..... Aku tidak mau berpisah.... aku tidak mau kautinggalkan! Aku ikut
bersamamu, Liong-ko, ke manapun engkau pergi....!! Gadis itu memandang dengan
wajah membayangkan kegelisahan.
Sie Liong tersenyum dan
memegang tangannya, tangan yang dingin dan gemetar, tangan seorang yang jelas
amat membutuhkan perlindungannya.
‘Tenanglah, Ling-moi.
Tidak mungkin engkau ikut denganku selama aku mengadakan penyelidikan. Terlalu
berbahaya. Ingat saja tadi, di rumah makan, sudah muncul ancaman bahaya.
Apalagi kalau aku melakukan penyelidikan dan bertemu dengan banyak lawan yang
tangguh....!
‘Aku tidak takut, koko!
Aku tidak takut! Biar sampai mati sekalipun aku rela asal dekat denganmu.
Bersamamu, aku tidak takut menghadapi apapun juga, anal kita jangan saling
berpisah....!
‘Aku percaya bahwa
engkau tidak takut, Ling-moi, akan tetapi akulah yang khawatir. Kalau sampai
terjadi apa-apa denganmu, aku akan selamanya menyesal. Karena itu, biarlah
untuk sementara ini engkau tinggal bersama bibi Cili, seorang janda yang ramah.
Nanti setelah tugasku selesai, aku akan menjemputmu. Bagaimanapun, engkau harun
dapat membiasakan diri, Ling-moi. Tak mungkin kita akan selamanya
berkumpul....!
‘Liong-koko.... Aku
ingin selamanya berkumpul denganmu.... ah, aku.... aku.... jangan tinggalkan
aku, koko....! Dan Ling Ling menangis!
Sie Liong mengerutkan
alisnya, hatinya seperti diremas. Dia maklum akan isi hati gadis itu. Akan
tetapi, dia harus mengeraskan hatinya. Demi kebahagiaan Ling Ling di kemudian
hari. Sekarang ini, demi keamanan Ling Ling.
‘Ling-moi! Apakah engkau
mulai sekarang membantah keinginanku? Apakah engkau ingin membuat aku bingung
dan susah?!
Tangis itu seketika
berhenti dan gadis itu mengangkat mukanya, menatap wajah Sie Liong dengan muka
pucat. Tangisnya terhenti akan tetapi mata yang terbelalak itu kemerahan dan
masih berlinang air mata.
‘Maaf.... maafkan aku,
koko. Aku tidak ingin membuatmu bingung dan susah.... aku taat.... aku patuh,
aku hanya ingin selalu berada di sampingmu. Mati bukan apa-apa bagiku, akan
tetapi berpisah dari sampingmu.... ah, tak dapat aku membayangkan itu....! Ia
menutupi mukanya, tidak menangis lagi melainkan seolah-olah hendak menutupi
penglihatan bayangan yang menakutkan dan menyedihkan.
Sie Liong membiarkan gadis
itu menguasai dirinya kembali. Dia memang sudah menduga sebelumnya bahwa
keputusannya yang disampaikan kepada Ling Ling tentu akan diterima dengan kaget
dan sedih oleh gadis itu. Setelah dia melihat gadis itu menurunkan kedua
tangannya dari depan mukanya, Sie Liong tersenyum kepadanya, senyum yang
membesarkan hati, senyum yang ramah dan penuh pengertian.
‘Ling-moi, kita manusia
hidup di dunia ini harus selalu siap untuk menghadapi segala macam peristiwa
tanpa menilainya sebagai suka dan duka. Semua adalah wajar saja, karena kita
yakin bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, Ling-moi. Pertemuan akan selalu
berakhir dengan perpisahan, hanya waktu saja yang berbeda dan menentukan, oleh
karena itu, kita selalu harus siap siaga menghadapinya. Kalau aku mengambil
keputusan agar engkau tinggal dulu bersama bibi Cili, hal itu hanya karena aku
ingin melihat engkau berada dalam keadaan yang aman, tidak terbawa ancaman
bahaya seperti kalau engkau ikut denganku.!
‘Tapi.... tapi.... hanya
untuk sementara, bukan, Liong-ko? Kalau sudah selesai tugasmu, engkau tentu
akan menjemputku, bukan? Dan memperbolehkan aku hidup di sampingmu?!
Sie Liong menarik napas
panjang. Dia merasa belum waktunya baginya untuk berterus terang kepada gadis
ini akan perasaan rendah dirinya, akan keputusan hatinya bahwa gadis ini tidak
akan menemukan kehidupan yang cerah kalau menjadi jodohnya, akan selalu menghadapi
cemoohan dan penghinaan dari orang lain. Kelak saja, kalau perlu, setelah
selesai tugasnya, dia akan memberitahu isi hatinya. Sekarang ini, Ling Ling
sudah terlampau sedih oleh perpisahan sementara sehingga dia tidak tega untuk
menambah lagi beban penderitaan batinnya dengan pengakuan yang akan
menghancurkan hati gadis itu.
‘Aku berjanji, Ling
Ling, bahwa setelah selesai tugasku, aku tentu akan menjemputmu di rumah bibi
Cili.!
Mendengar janji ini,
seketika wajah yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan dan cerah kembali.
Senyumnya muncul bagaikan matahari setelah awan gelap tercurah menjadi hujan.
‘Liong-ko, katakanlah, berapa lama aku harus menanti di rumah bibi Cili?!
Pertanyaen ini tidak
disangka-sangka oleh Sie Liong sehingga dia menjadi agak bingung karena tidak
tahu berapa lama dia akan dapat menyeleaaikan tugas itu. Dia hanya mendengar
pengakuan Coa Kiu, orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto bahwa Tibet Ngo-houw,
lima orang yang harus diselidikinya itu merupakan tokoh-tokoh utama di Tibet,
bahkan merupakan pendukung dari Kim Sim Lama yang menjadi pemimpin pemberontak
terhadap Dalai Lama di Tibet! Dia tidak tahu berapa lama dia akan mampu
menyelesaikan tugasnya. Mungkin seminggu, sebulan dan bukan tidak mungkin pula
setahun baru selesai atau bahkan belum selesai! Apalagi kalau yang
diselidikinya itu menyangkut soal pemberontakan!
Melihat pemuda pujaan
hatinya itu nampak ragu-ragu untuk menjawab, Ling Ling merasa khawatir sekali.
‘Bagaimana, koko? Berapa lama aku harus menanti engkau datang menjemputku?
Seminggu?!
‘Aih, Ling-moi, urusan
yang kuhadapi ini bukan mudah, membutuhkan waktu yang lebih lama. Kiranya tidak
mungkin kalau hanya seminggu....!
‘Kalau begitu, satu
bulan? Satu bulan amat lama, koko. Tentu paling lama sebulan engkau akan datang
menjemputku, bukan?!
Mendengar betapa suara
gadis itu mengandung kegelisahan dan harapan, Sie Liong merasa tidak tega untuk
mengecewakan hatinya. Andaikata selama sebulan dia belum dapat menyelesaikan
tugasnya, setidaknya dia akan dapat berkunjung ke rumah bibi Cili dan
mengabarkan keadaannya kepada Ling Ling, mengatakan bahwa tugasnya belum
selesai. Maka diapun mengangguk.
‘Akan kucoba untuk
menyelesaikan tugasku selama sebulan.!
Wajah itu nampak lega dan
tersenyum kembali, dan keharuan menyelinap di dalam hati Sie Liong. Melihat
senyum itu saja, ada perasaan melekat dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia akan
tega meninggalkan gadis yang agaknya telah menyerahkan seluruh harapan hidupnya
kepadanya itu?
‘Aku akan sabar menanti,
koko.!
Hati Sie Liong juga merasa
lega. Setidaknya, walau belum terlepas benar dari gadis itu, dia sudah dapat
memisahkan diri. Hal ini mengandung dua keuntungan. Pertama, dia dapat
melakukan penyelidikan tanpa dibebani perlindungan kepada Ling Ling yang tentu
kalau ikut dengannya akan merupakan halangan dan hambatan yang amat merepotkan,
juga membahayakan. Ke dua, biarlah mereka saling berpisah untuk sementara waktu
agar gadis itu memperoleh kesempatan untuk berkenalan dan bergaul dengan pemuda
lain, pemuda yang tidak cacat, yang pantas menjadi pendamping gadis itu.
Diam-diam dia sudah berpesan kepada bibi Cili agar memberi kesempatan kepada
‘adik angkatnya! itu untuk berkenalan dengan pemuda-pemuda yang baik karena
dia ingin adiknya memperoleh seorang calon suami yang baik. Juga dia mengancam
bahwa kalau terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap diri adiknya, dia kelak
akan membuat perhitungan, sebaliknya kalau janda itu menjaga Ling Ling dengan
baik, dia akan memberi hadiah yang layak. Pada hari itu juga, pergilah Sie
Liong meninggalkan Ling Ling di rumah janda Cili, dan keberangkatannya diantar
pandang mata sayu namun dengan senyum penuh kepercayaan, yang membuat langkah
Sie Liong terasa berat sekali.
***
Bi Sian memasuki kota
Lasha dengan wajah gembira. Bangunan-bangunan kuno dan besar megah di kota itu
membuat dia kagum sekali. Sebuah kota yang lain dari pada yang lain, terletak
di daerah pegunungan yang hawanya dingin dan bangunan raksasa itu berderet-deret
di lereng-lereng bukit. Bangunan raksasa yang berderet-deret itu adalah tempat
tinggal Dalai Lama dan para pendeta Lama yang merupakan golongan yang paling
berkuasa dan kuat di Tibet. Ia tidak tahu betapa kemunculannya menarik
perhatian banyak orang, terutama kaum prianya karena ia adalah seorang gadis
yang selain cantik manis, juga pakaiannya yang tambal-tambalan itu sungguh aneh
sekali. Tambal-tambal akan tetapi tidak butut, bahkan baru dan bersih! Bukan
hanya mata para pria yang berada di jalan raya kota Lasha saja yang memandang
kagum, bahkan juga Bong Gan mencuri pandang dari samping dan diapun kagum dan
bangga.
Melihat gadis itu berwajah
demikian cerah dan gembira, sepasang matanya yang indah itu bersinar dan
mulutnya tersenyum-senyum, dengan lenggang perlahan bagaikan menari, sungguh Bi
Sian merupakan seorang wanita yang memiliki daya tarik amat besar. Dan dia
berbangga hati karena dialah pria yang mendampingi gadis ini. Bahkan pandang
mata iri dari para pria di situ menambah kebanggaan hatinya! Dia jatuh cinta
kepada gadis ini dan biarpun Bi Sian belum menjawab secara meyakinkan, namun
gadis itu tidak marah mendengar dia mengaku cinta. Gadis itu sudah tahu bahwa
dia mencintanya dan ia tidak marah. Itu sudah lebih dari cukup untuk sementara ini.
Hanya, kadang dia merasa
tersiksa sekali, apalagi kalau mereka terpaksa bermalam di hutan atau kuil tua,
melihat gadis itu tidur pulas demikian dekatnya! Nafsu berahinya membakar
dirinya, dan dia tidak berani apa-apa, menyentuhpun tidak berani. Sama halnya
dengan seorang kelaparan melihat dan mencium makanan lezat di depan hidung dan
mulut, akan tetapi tidak boleh menjamahnya!
Akan tetapi, melihat
betapa gadis yang dicintanya itu menjadi perhatian banyak orang begitu memasuki
kota Lasha, Bong Gan mengerutkan alisnya, teringat akan kemungkinan adanya Sie
Liong di kota ini. Dia lalu menyentuh lengan Bi Sian dan ketika gadis itu
memandang kepadanya, dia memberi isyarat agar dia itu mengikutinya, menyelinap
di antara rumah penduduk dan berada di balik sebuah rumah, tidak nampak dari
jalan raya.
‘Ada apakah, sute?!
tanya Bi Sian ketika mereka berada di balik rumah itu dan tidak nampak oleh
orang lain.
‘Aku baru saja teringat,
suci. Kita mencari Pendekar Bongkok dan mungkin saja dia sudah lebih dahulu
berada di sini, maka sungguh tidak baik kalau kini kemunculanmu di sini menarik
perhatian orang.!
Bi Sian menatap wajah
pemuda itu dengan alis berkerut karena ia mengira bahwa ucapan pemuda itu
keluar dari hati yang dibakar iri dan cemburu. Ian tadipun melihat betapa
pandang mata para pria di kota itu ditujukan kepada dirinya penuh kagum dan
heran, dan agaknya ini yang membuat Bong Gan berkata seperti itu.
‘Hemm, mengapa tidak
baik, sute?! tanyanya, suaranya mengandung teguran.
Bong Gan tersenyum. Dia
dapat menduga mengapa suci-nya itu bersikap tak senang,
‘Aih, suci. Aku sama
sekali tidak merasa kurang senang melihat sikap orang-orang yang kagum
kepadamu, bahkan aku merasa bangga! Akan tetapi, seperti yang pernah kau
ceritakan kepadaku, Pendekar Bongkok itu melarikan diri ketika kauserang dan
agaknya dia tidak suka berkelahi denganmu. Hal ini berarti dia ingin
menghindarkan diri darimu. Nah, andaikata dia sudah tiba di sini lalu dia
mendengar akan kemunculanmu, seorang gadis yang mudah dikenal dan memiliki ciri
khas, yaitu cantik manis dengan pakaian tambal-tambalan yang aneh, tentu dia
akan lebih dahulu melarikan diri sebelum sempat kita temui.!
Bi Sian menarik napas
panjang. ‘Ah, engkau benar, sute. Betapa cerobohnya aku! Benar sekali, kita
masuk tanpa diketahui orang, dan lebih dahulu mencari keterangan tentang
dirinya. Kiranya tidak akan sukar mencari orang dengan cacat bongkok seperti
dia. Nah, kita masuk di rumah makan sana itu, sute, kita makan dan kita
sekalian mencari keterangan di sana.!
Kembali Bi Sian yang
memimpin seperti biasanya setelah ia disadarkan oleh sutenya. Dengan berindap
kini, tidak menyolok, mereka lalu menuju ke rumah makan, masuk dan memilih
tempat di sudut yang agak gelap dan tidak menyolok, juga tidak nampak dari
pintu depan karena terhalang tihang. Tanpa banyak cakap mereka memesan makanan,
dan minuman, lalu makan sambil diam-diam memperhatikan ruangan rumah makan itu.
Siang hari itu, tidak banyak orang makan di situ. Karena Bi Sian sengaja duduk
membelakangi ruangan menghadap dinding, make Bong Gan yang bertugas sebagai
mata-mata dan menyelidiki keadaan ruangan itu, juga beberapa orang tamu yang
makan minum di situ. Hanya ada tiga meja yang terisi tamu, masing-masing empat
orang sehingga selain mereka berdua, ada dua belas orang tamu pria yang sedang
makan minum.
Karena Bi Sian sengaja
memalingkan muka dan duduk menghadap dinding, maka ia tidak menarik banyak
perhatian.
Bong Gan tadinya menyapu
para tamu dengan pandang matanya yang acuh dan tidak tertarik, akan tetapi
tiba-tiba sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar, kemudlan pandang matanya
melekat pada seseorang yang baru saja melangkah masuk. Jantungnya superti
berhenti berdetak untuk beberapa saat lamanya, kemudian berdebar keras sekali.
Apa yang dilihatnya membuat api gairah dalam dirinya seperti berkobar seketika,
akan tetapi dia masih teringat bahwa Bi Sian duduk di depannya. Maka dia pun
dapat menguasai perasaannya, agar jangan sampai nampak oleh suci-nya. Hanya ada
satu yang dapat menarik perhatian dan membangkitkan gairah dalam hati pemuda
ini, yalah wanita cantik. Dan wanita yang kini melenggang masuk ke dalam rumah
makan itu lebih daripada cantik!
Gadis itu usianya sudah
dewasa dan matang, setidaknya tentu ada dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya
barbentuk bulat telur, kulitnya putih mulus agak kemerahan dan sebagian
lengannya yang nampak karena lengan bajunya tergulung sebagian, juga berkulit
putih halus, dengan bulu lembut. Wajah itu manis sekali, cantik jelita dengan
daya tarik yang amat kuat. Kecantikan wajah seorang peranakan Kirgiz dan Han.
Bentuk tubuhnya padat dan lemah gemulai, pinggangnya yang ramping itu seperti
pohon yang-liu tertiup angin, lenggangnya mempesona, seperti lenggang seekor
harimau kelaparan, dengan buah pinggul menari-nari, setiap kali melangkah, tepi
lutut sebelah dalam saling bersenThian. Pakaiannya ketat sekali, membuat lekuk
lengkung tubuhnya yang padat berisi dan denok itu membayang jelas. Yang
membuatnya lebih menarik lagi adalah punggungnya yang terhias sebatang pedang
beronce merah!
Ketika memasuki restoran
itu barsama seorang berpakaian pendeta tosu yang usianya sudah enam puluh
tahun, pria yang bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah enam puluh
tahun masih nampak tampan dan gagah, dengan jubah yang lebar membungkus
tubuhnya, wanita itu segera menjadi perhatian para tamu pria yang duduk di
rumah makan itu. Gadis itupun melayangkan pandang matanya ke dalam ruangan
rumah makan, dan ketika ia melihat Bong Gan yang memandang kepadanya dengan
kagum, wanita itupun balas menatap dan sinar matanya memancarkan cahaya aneh,
wajahnya yang berkulit putih mulus itu menjadi kemerahan, bibirnya yang merah
dan berbentuk indah itu mekar dalam senyum memikat, sepasang matanya lalu
melepas kerling yang menyambar bagaikan kilat! Kemudian, gadis itu duduk
menghadapi sebuah meja tak jauh dari tempat duduk Bong Gan dan sengaja ia duduk
menghadap ke arah Bong Gan. Temannya, pendeta tinggi besar itu dengan sikap
acuh saja lalu duduk di depannya, membelakangi meja Bong Gan.
Pelayan yang tadi juga
menyambut Bong Gan dan Bi Sian dan yang menerima pesanan makanan, kini
menghampiri dua orang tamu baru itu dan Song Gan dapat melihat dengan jelas
bahwa pelayan itu sudah mengenal mereka, nampak amat menghormat pendeta itu
ketika menerima pesanan yang diucapkan oleh si gadis jelita dengan suara merdu.
Bi Sian dapat melihat
betapa tadi sute-nya seperti tertarik oleh sesuatu, dan mendengar suara wanita
yang merdu memesan makanan, iapun tertarik dan memutar sedikit tubuhnya agar
miring dan iapun mengerling ke arah meja itu. Melihat wanita yang amat cantik
dengan sikap ramah terbuka, dengan pedang di punggung, tentu saja iapun amat
tertarik, menduga bahwa tentu wanita itu seorang ahli silat, seorang wanita
kang-ouw yang sudah biasa melakukan perantauan. Apalagi ditemani seorang
pendeta tosu yang tinggi besar, maka tentu saja kehadiran dua orang itu memang
amat menarik perhatian. Melihat betapi Bi Sian melirik ke arah wanita itu, Bong
Gan bersikap alim dan diapun menundukkan muka, tidak lagi menatap wanita itu.
Wanita cantik manis itu
tentu saja amat menarik dan memiliki daya tarik yang amat kuat karena ia bukan
lain adalah Pek Lan, gadis peranakan Kirgiz Han yang memang memiliki kecantikan
istimewa. Yang berada di sampingnya adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw
yang tadinya adalah sahabat gurunya, Hek-in Kui-bo dan kini telah menjadi
sahabat dan juga gurunya pula mengajarkan ilmu sihir dan sebagai imbalannya,
Pek Lan menyerahkan dirinya untuk menjadi kekasih tokoh Pek-lian-kauw yang
masih nampak muda dan tampan gagah itu.
Bab 19
Seperti telah diceritakan
di bagian depan, Thai-yang Suhu mendapat tugas dari Pek-lian-kauw untuk
mengumpulkan gadis-gadis dusun yang muda dan cantik untuk dijadikan pelayan di
perkumpulan agama sesat itu. Dalam pekerjaan ini, dia dibantu oleh Pek Lan yang
menyamar sebagai ‘siluman merah! dan menculiki gadis-gadis dusun yang cantik.
Juga tokoh Pek-lian-kauw itu dibantu oleh Tibet Sam Sinto. Akan tetapi, ketika
gerombolan ini yang bersembunyi di Bukit Onta sedang mengumpulkan gadis-gadis
itu, muncul Pendekar Bongkok yang bukan saja menggagalkan usaha mereka, bahkan
membuat Pek Lan dan Thai-yang Suhu terpaksa harus melarikan diri, sedangkan dua
orang di antara Tibet Sam Sinto tewas di tangan Pendekar Bongkok.
Thai-yang Suhu dan Pek Lan
lalu melarikan diri dengan hati gentar menghadapi Pendekar Bongkok yang terlalu
kuat bagi mereka. Akan tetapi kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan ke
Lasha karena Thai-yang Subu hendak mengabarkan tentang kemunculan Pendekar
Bongkok itu kepada Kim Sim Lama, yaitu pimpinan pemberontak di Tibet yang
bekerja sama pula dengan Pek-lian-kauw. Dan dalam rumah makan ini, di mana Thai-yang
Suhu sudah dikenal oleh pelayannya, mereka melihat Bong Gan dan Bi Sian. Tentu
saja Pek Lan segera tertarik bukan main melihat Bong Gan, seorang pemuda yang
memang tampan dan gagah!
Gairahnya segera bangkit,
dan Pek Lan sudah menentukan pilihannya untuk bersenang-senang malam nanti!
Gadis ini seperti telah dihinggapi penyakit. Biarpun ia melakukan perjalanan
bersama Thai-yang Suhu yang menganggapnya sebagai kekasih, namun setiap kali
bertemu seorang pria yang menarik hatinya, Pek Lan tentu akan berusaha untuk
menundukkannya. Thai-yang Suhu mengenal baik watak Pek Lan dan diapun tidak
mampu mencegah, bahkan tosu ini acuh saja karena dia sendiripun menganggap Pek
Lan hanya sebagai hiburan dan selingan saja! Maka, melihat betapa Pek Lan
memperlihatkan kekagumannya kepada pemuda yang duduk di meja sebelah Thai-yang
Suhu mengambil sikap tidak perduli.
Setelah selesai makan,
Bong Gan manggapai pelayan rumah makan untuk membayar harga makanan dan
minuman. Sejak tadi, dia sudah main mata dengan gadis cantik itu dan dia
melihat betapa gadis jelita itu memberi tanda-tanda dengan kerling mata dan
senyumnya bahwa iapun menanggapi perasaan hati Bong Gan! Tentu saja Bong Gan
menjadi semakin terpikat dan dia mengambil keputusan untuk malam nanti mancari
kesempatan, meninggalkan Bi Sian kalau gadis itu sudah tidur di kamar lain
dalam penginapan, untuk mencari gadis peranakan Kirgiz yang amat mempesona ini.
Ketika pelayan menerima
uang pembayaran dari Bong Gan, pemuda ini yang ingin mempercepat penyelidikan
yang dilakukan Bi Sian, segera bertanya, ‘Kami mencari seorang pemuda yang
pungungnya bongkok. Apakah engkau barangkali mengetahuinya? Mungkin dia pernah
datang ke rumah makan ini, atau engkau melihatnya di jalan?! Bi Sian tidak
sempat mencegah Bong Gan mengajukan pertanyaan itu, dan iapun memperhatikan dan
menanti jawaban si pelayan. Bagaimanapun juga, pertanyaan itu tidak akan
mandatangkan kecurigaan kepada orang lain. Tidak ada anehnya kalau mereka
bertanya-tanya tentang seorang pemuda bongkok.
Akan tetapi, mereka
melihat betapa wajah pelayan itu tampak terkejut bukan main. Matanya terbelalak
dan sejenak dia memandang bengong kepada Bong Gan. Lalu dia menjawab agak
gugup.
‘Kongcu.... eh, apakah
dia.... eh, dia seorang pemuda bongkok yang sakti?!
Tentu saja Bong Gan dan Bi
Sian merasa girang bukan main mendengar pertanyaan itu. Tak salah lagi. Sie
Liong yang dimaksudkan pelayan ini. Di dunia ini mana lagi ada orang bongkok
yang sakti? Bong Gan mengangguk-angguk.
‘Benar dia! Di manakah
dia?!
‘Dia....? Ah, saya tidak
tahu, kongcu....! Pelayan itu menoleh ke arah kamar pemilik rumah makan, yang
juga dijadikan kantoran. ‘Saya tidak tahu, akan tetapi majikan saya mungkin
tahu....! Dan dia kelihatan seperti orang ketakutan, lalu cepat meninggalkan
meja itu sambil mumbawa uang pembayaran yang diberikan Bong Gan.
Tentu saja Bi Sian merasa
penasaran sekali. Dia bangkit dan berbisik kepada Bong Gan. ‘Mari kita
bertanya kepada pemilik rumah makan....! Bong Gan mengangguk dan mengikuti
suci-nya. Ketika mereka melewati meja sebelah dan Bong Gan memandang, Pek Lan
menghadiahi sebuah senyum manis dan kedipan mata penuh arti. Melihat ini, Bong
Gan tersenyum dan mengangguk sedikit, untuk memberi isyarat bahwa dia dapat
menangkap semua isyarat gadis manis itu dan merasa setuju kalau mereka dapat
mengadakan hubungan yang lebih dekat!
Bi Sian yang sudah merasa tertarik
sekali mendengar berita tentang Sie Liong, sudah langsung menuju ke kantor
pemilik rumah makan. Pemilik rumah makan itu sudah mendengar dari si pelayan
bahwa gadis cantik berpakaian aneh dan pemuda tampan itu bertanya-tanya tentang
Pendekar Bongkok. Kini, melihat mereka mendatangi kantornya, si pemilik rumah
makan menyambut dengan pandang mata penuh perhatian. Semenjak dia membantu
Pendekar Bongkok, yaitu mencarikan tempat pemondokan untuk gadis peranakan
Tibet Han yang menjadi adik angkat Pendekar Bongkok itu, dia tidak lagi pernah
bertemu dengan Pendekar Bongkok.
‘Apa yang dapat saya
lakukan untuk ji-wi (kalian bordua)?! tanyanya ramah.
Bi Sian yang sudah tidak
sabar lagi untuk segera mengetahui di mana adanya Sie Liong, segera langsung
berkata, ‘Kami ingin mengetahui tentang seorang pemuda bongkok yang bernama
Sie Liong dan yang terkenal dengan sebutan Pendekar Bongkok! Engkau tahu banyak
tentang dia, maka kami harap engkau suka menceritakan di mana dia sekarang!!
Bagaimanapun juga, pemilik
rumah makan itu bersimpati kepada Pendekar Bongkok yang pernah mengganti
kerugiannya ketika terjadi keributan di rumah makan itu, dan bahkan adik angkat
Pendekar Bongkok pernah tinggal bersama bibinya, yaitu bibi Cili. Maka, diapun
merasa ragu apakah benar kalau dia bicara tentang Pendekar Bongkok kepada dua
orang yang belum dikenalnya dan tidak diketahui maknud mereka mencari Pendekar
Bongkok
‘Maaf, kalau boleh saya
mengetahui, siapakah ji-wi dan ada hubungan apakah antara ji-wi dengan Sie
Taihiap?!
Kini Bi Sian sudah tidak
ragu lagi bahwa pemilik rumah makan ini jelas mengenal Sie Liong dan tahu di
mana dia berada, maka kesabarannya habis. Ia ingin segera mengetahui di mana
adanya musuh besarnya itu! Ketika melihat ada sumpit-sumpit berdiri di gelas
tempat menyimpan sumpit, tangannya mengambil segenggam sumpit, lalu ia
mengerahkan tenaganya pada jari-jari tangan yang menggenggam sumpit.
‘Krekk! Krekkk!!
Sumpit-sumpit itu patah-patah dan remuk dalam genggaman tangan yang kecil dan
berkulit halus lunak itu!
‘Sobat, katakan saja
cepat-cepat di mana adanya Sie Liong dan jangan berbohong!! kata Bi Sian, lirih
dan wajah pemilik rumah makan itu berubah pucat. Hampir dia tidak percaya akan
penglihatannya sendiri. Tangan yang kecil dan berkulit halus itu memiliki
tenaga yang demikian dahsyatnya!
‘Saya.... saya tidak
tahu di mana dia sekarang. Baiklah saya ceritakan perjumpaan saya dengan dia.
Silakan duduk, silakan duduk....!
Bi Sian dan Bong Gan duduk
dan pemilik rumah makan itu lalu berecrita. Diceritakannya betapa hampir dua
bulan yang lalu, Sie Liong Si Pendekar Bangkok pernah makan bersama seorang
gadis yang bernama Sam Ling dan diaku sebagai adik angkatnya, di rumah makan
itu. Betapa kemudian terjadi keributan yang dilakukan oleh seorang anggauta
Kim-sim-pai dan betapa kemudian semua orang baru mengetahui si bongkok itu
adalah seorang sakti.
‘Setelah terjadi
keributan itu, Sie Taihiap minta bantuanku untuk mencarikan tempat pemondokan
bagi adik angkatnya dan saya menunjukkan rumah bibiku. Kemudian adik angkatnya
itu tinggal bersama bibi Cili, akan tetapi Sie Taihiap pergi entah ke mana.
Sejak itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan dia.!
‘Apakah adik angkatnya
itu masih tinggal di sini?! tanya Bi Sian.
Pemilik rumah makan itu
menggerakkan pundaknya. ‘Sejak tinggal di sana, baru satu kali saya pernah
menengok. Dua minggu sejak ia tinggal di sana dan sejak itu, saya tidak pernah
lagi ke sana karena repotnya pekerjaan.!
‘Hayo cepat antar kami
ke sana, sekarang juga!! kata Bi Sian dan pandang matanya penuh kepastian.
Pemilik rumah makan itu tidak berani membantah, lalu memesan kepada para
pelayannya bahwa dia akan pergi sebentar. Tak lama kemudian, keluarlah dia dari
rumah makan itu, diikuti Bi Sian dan Bong Gan. Ketika hendak meninggalkan rumah
makan, Bong Gan sempat menengok ke arah gadis cantik itu dan melihat gadis itu
dan pendeta yang menemaninya memandang padanya dengan penuh perhatian. Kembali
gadis cantik itu berkedip kepadanya. Bong Gan tersenyum dengan jantung
berdebar. Sayang, pikirnya. Dia belum sempat membuat kencan dengan gadis manis
itu. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa gadis itupun ‘ada hati! kepadanya dan
tentu mereka akan dapat saling bertemu lagi dalam suasana yang lebih bebas,
berdua saja!
Pemilik rumah makan itu
mengantar Bi Sian dan Bong Gan ke rumah bibi Cili. Akan tetapi ketika mereka
tiba di situ, gadis yang bernama Sam Ling atau oleh bibi Cili disebut nona Ling
itu sudah tidak berada lagi di situ!
‘Kurang lebih seminggu
yang lalu, ia pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit!! kata bibi Cili ketika
keponakannya datang bersama pemuda dan gadis cantik itu. ‘Aku sendiri tidak
tahu ke mana ia pergi karena memang tidak pamit.!
Tentu saja Bi Sian marasa
kecewa sekali. ‘Akan tetapi, kenapa ia pergi tanpa pamit?!
Bibi Cili menggeleng
kepalanya. ‘Mungkin karena ia hendak mencari kakak angkatnya, Sie Taihiap
itu. Setelah sebulan tinggal di sini, setiap hari ia menanti datangnya Sie
Taihiap dan setiap malam ia menangis. Ia mengatakan kepadaku bahwa Sie Taihiap
berjanji akan menjemputnya setelah satu bulan ia tinggal di sini. Kemudian,
seminggu yang lalu, setelah tinggal di sini kurang lebih satu setengah bulan,
ia pergi tanpa pamit.!
Bi Sian mengerutkan
alisnya. ‘Apakah selama ia berada di sini, Pendekar Bongkok tidak pernah
datang menjenguk?!
‘Pendekar Bongkok....?
Ah, nona maksudkan Sie Taihiap? Tidak, tidak pernah lagi. Semenjak meninggalkan
adik angkatnya di sini, dia pergi dan tak pernah muncul kembali.!
‘Apakah gadis itu tidak
pernah menceritakan kepadamu ke mana perginya Sie Taihiap itu?! Bi Sian
mendesak terus.
Wanita setengah tua itu
mengerutkan alis dan mengingat-ingat, ‘Pernah ia bercerita bahwa kakak
angkatnya itu seorang pendekar yang akan melakukan penyelidikan terhadap
Kim-sim-pai....! menyebut nama perkumpulan ini, wanita itu kelihatan
takut-takut, juga pemilik rumah makan itu kelihatan khawatir sekali dan
memandang keluar pintu rumah, seolah takut kalau sampai terdengar orang lain
bahwa mereka membicarakan Kim-sim-pai.
‘Apa itu Kim-sim-pai dan
di mana tempatnya?!
Wanita itu semakin
ketakutan dan menggeleng kepalanya. ‘Aku tidak tahu.... ah, aku tidak
tahu....!
Pemilik rumah makan itu
segera membantu bibinya. ‘Nona, sebetulnya kami semua merasa takut untuk
menyebut nama itu, nama yang amat ditakuti seluruh penduduk Lasha. Kami hanya
dapat memberitahukan kepadamu bahwa perkumpulan itu berada di sekitar Telaga
Yan-so di sebelah selatan Lasha.... Sudahlah, kami tidak berani banyak bicara
dan kami juga tidak tahu apa-apa lagl. Kalau nona hendak mencari Sie Taihiap,
sebaiknya mencari ke sana....!
Bi Sian mengerutkan
alisnya. Ia tahu, bahwa pemilik rumah makan dan bibinya itu bicara sejujurnya
dan memang mereka ketakutan. Pernah Sie Liong bercerita tentang para pendeta
Lama yang memusuhi para pertapa di Himalaya, bahkan ada pendeta Lama yang melakukan
pengejaran sampai ke Kun-lun-san untuk membunuhi para pertapa dan tosu yang
melarikan diri ke sana. Juga gurunya, Koay Tojin, pernah bicara tentang para
pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa di Himalaya. Apakah
penyelidikan yang dilakukan Sie Liong ada hubungannya dengan hal itu? Memang,
jalan satu-satunya untuk mencari Sie Liong adalah mengejarnya ke sarang
perkumpulan Kim-sim-pai yang akan diselidiki Pendekar Bongkok itu! Sementara
itu, Bong Gan yang cerdik segera bertanya kepada wanita itu.
‘Bibi, coba gambarkan
bagaimana rupanya gadis bernama Sam Ling itu, agar kalau kami bertemu
dengannya, kami akan mudah mengenalnya.! Bi Sian menyetujui pertanyaan sutenya,
karena kalau mereka mengenal Ling Ling, siapa tahu gadis itu akan dapat membawa
mereka kepada Sie Liong. Diam-diam Bi Sian juga merasa heran bukan main
mendengar bahwa pamannya itu mempunyai seorang adik angkat!
‘Ia seorang gadis
berusia delapan belas tahun yang amat manis, kulitnya agak gelap, sikapnya
pendiam namun ia manis budi dan penurut. Sungguh aku sudah mulai merasa cinta
kepada anak itu, dan aku khawatir sekali membayangkan betapa ia melakukan
perjalanan seorang diri. Seorang gadis yang demikian manis dan menarik, tentu
akan banyak mengalami ancaman bahaya....!
Diam-diam hati Bong Gan
yang menjadi hamba nafsu berahinya itu sudah tertarik bukan main. Seorang gadis
yang hitam manis!
‘Apakah ia seorang gadis
Tibet?! tanyanya.
‘Ia peranakan Tibet
Han,! jawab bibi Cili.
Bi Sian dan Bong Gan lalu
meninggalkan rumah itu. ‘Kita harus cepat mencari ke daerah Telaga Yan-so!!
kata Bi Sian penuh semangat.
Akan tetapi Bong Gan
mempunyai rencana lain. Wajah cantik manis yang dijumpainya di rumah makan itu
masih terus membayanginya. ‘Suci, kurasa kita harus bertindak hati-hati. Kita
selidiki dulu perkumpulan macam apa sesungguhnya Kim-sim-pai yang ditakuti
penduduk itu, dan di mana letak Telaga Yan-so. Hari telah sore, sebentar lagi
gelap. Sungguh tiduk menguntungkan kalau kita meningialkan kota ini dan berada
dalam perjalanan yang asing di waktu malam gelap. Kita selidiki dulu, dan
setelah jelas, baru kita berangkat mencari ke sana. Bagaimana pendapatmu?!
‘Baiklah, kita mencari
rumah penginapan,! kata Bi Sian singkat. Ia sudah ingin sekali dapat menemukan
Sie Liong dan membalas dendamnya! Juga sungguh mengherankan, ia ingin sekali
melihat seperti apa ‘adik angkat! pamannya itu, dan hubungan apa sesungguhnya
yang ada di antara mereka!
Di sebelah selatan kota
Lasha terdapat sebuah telaga yang terkunung pegunungan yang amat luas. Telaga
ini indah bukan main, akan tetapi juga sunyi karena jalan menuju ke telaga itu
melalui bukit dan jurang. Apalagi semenjak beberapa tahun ini, daerah itu merupakan
daerah yang rawan. Tidak ada orang berani melalui daerah itu yang kabarnya
dihuni banyak orang jahat dan iblis. Juga dikatakan bahwa akhir-akhir ini,
perkumpulan Kim-sim-pang berpangkal di daerah itu. Makin takutlah orang untuk
melewati daerah itu. Kim-sim-pang atau Kim-sim-pai (Perkumpulan atau Partai
Hati Emas) amat ditakuti.
Menurut kabar angin,
Kim-sim-pai dipimpin oleh seorang tokoh pendeta Lama yang pernah menjabat
sebagai wakil Dalai Lama yang berjuluk Kim Sim Lama. Karena terjadi perbedaan
paham dengan Dalai Lama, Kim Sim Lama lolos dari Lasha, kemudian dia membentuk
perkumpulan Kim-sim-pai yang berdiri sendiri, terlepas dari kekuasaan Dalai
Lama, terlepas dari kekuasaan pemerintah pusat Tibet. Karena tidak ada
bukti-bukti bahwa Kim-sim-pai melakukan kejahatan apalagi pemberontakan, maka
pemerintah Tibet tidak mengambil tindakan apapun. Hal ini adalah karena Dalai
Lama mengingat akan jasa-jasa Kim Sim Lama ketika masih menjadi wakil Dalai
Lama dahulu. Bahkan, Kim Sim Lama merupakan seorang tokoh besar, memiliki
pengaruh yang besar pula dan jasanya sudah banyak. Kim Sim Lama merupakan
seorang pendeta Lama yang tertua, dan Dalai Lama sendiripun dahulu diangkat
menjadi Dalai Lama karena desakan Kim Sim Lama, dan atas pilihan Kim Sim Lama!
Kim Sim Lama merupakan
orang ke dua paling berkuasa dan berpengaruh sesudah Dalai Lama. Karena dia
tidak memiliki tanda-tanda sebagai reinkarnasi Dalai Lama yang meninggal dunia,
maka tidak mungkin dia menjadi pengganti Dalai Lama dan karena itu, dia menjadi
pendukung utama ketika Dalai Lama yang baru dipilih. Dalai Lama yang baru itu
seorang anak dusun saja yang memlilki ciri-ciri sebagai penitisan Dalai Lama.
Bahkan Kim Sim Lama tidak segan-segan mempergunakan kekerasan untuk memaksa
bocah itu menjadi Dalai Lama yang baru, dan ketika para penduduk dusun
menentang, dia tidak segan mengamuk dan membunuh mereka yang dianggapnya
memberontak. Peristiwa ini membuat para pertapa dan para tosu di Himalaya
menjadi marah.
Malah Pek Thian Sian-su,
guru dari Himalaya Sam Lojin, atau suheng dari Pek-sim Sian-su, turun tangan
sendiri untuk membela penduduk dusun itu. Pertapa sakti ini bertanding melawan
Pek Sim Lama yang dibantu oleh sembilan orang pendeta Lama yang rata-rata
memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Pek Thian Sian-su berhasil
merobohkan dan menewaskan tiga orang pendeta Lama, akan tetapi dia sendiri
terluka dan anak itu tetap saja dibawa lari Kim Sim Lama. Karena ketika
peristiwa itu terjadi Pek Thian Sian-su audah berusia hampir delapan puluh
tahun, maka juka yang dideritanya membuat dia tewas tak lama kemudian.
Beberapa tahun lamanya
tidak lagi terjadi keributan, akan tetapi setelah anak itu dawasa dan dijadikan
Dalai Lama sudah berjalan dua tiga tahun, mulailah terjadi penyerbuan terhadap
para tosu dan pertapa di pegunungan Himalaya. Banyak yang jatuh korban dan para
tosu itu segera meninggalkan Himalaya dan pergi mengungsi ke pegunungan iain.
Para pertapa menganggap bahwa Dalai Lama sungguh merupakan orang yang tidak
mengenal budi. Dahulu dibela oleh para tosu, setelah menjadi Dalai Lama bahkan
memusuhi para tosu!
Para tosu itu tidak tahu
apa yang sebenarnya terjadi. Ketika Kim Sim Lama memilih Dalai Lama baru, dia
beranggapan bahwa akhirnya dialah yang berkuasa di Tibet karena Dalai Lama baru
tentu akan tunduk terhadap semua pimpinannya. Mula-mula memang demikian. Akan
tetapi, setelah Dalai Lama yang baru itu mengerti urusan, dia tidak sudi
dijadikan boneka! Dalai Lama yang baru itu lalu mempergunakan kedudukan dan
kekuasaannya untuk menentang semua kebijaksanaan Kim Sim Lama yang dianggapnya
tidak bijaksana!
Dan mulailah terjadi
pertentangan antara Kim Sim Lama dan Dalai Lama. Karena kalah kedudukan, maka
Kim Sim Lama tidak berani secara berterang memusuhi Dalai Lama yang banyak
pendukungnya. Maka dia lalu mengundurkan diri dan membentuk Kim-sim-pang itu.
Dan mulailah dilakukan
pengejaran terhadap para tosu! Semua ini dilakukan oleh kaki tangan Kim Sim
Lama, dengan maksud menjatuhkan nama baik Dalai Lama dan memancing agar para
tosu memusuhi Dalai Lama sehingga kedudukan Dalai Lama menjadi semakin lemah.
Sementara itu, diam-diam Kim-sim-pai juga mengadakan persekutuan dengan seorang
pangeran pemberontak dari Nepal yang sudah diusir oleh Raja Nepal. Pangeran itu
dengan pengikutnya yang ternyata cukup banyak, bergabung dengan Kim-sim-pai dan
keduanya merencanakan pemberontakan-pemberontakan untuk bersama-sama mengusai
Tibet dan Nepal.
Di sebuah bukit dekat
Telaga Yan-so, Kim-sim-pai menyusun kekuatan. Kim Sim Lama maklum bahwa kalau
dia hanya mengandalkan anak buahnya dan pasukan Pangeran Nepal itu untuk
menyerbu Lasha, dia akan mengalami kegagalan. Dalai Lama memiliki pasukan yang
amat kuat, terdiri dari para pendeta Lama dan banyak di antara para pendeta
Lama itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak yang sakti. Maka, diapun
tidak tergesa-gesa.
Di samping usaha yang
dilakukan anak buahnya untuk memusuhi berbagai pihak dengan dalih diutus oleh
Dalai Lama, juga dia mulai menyusupkan pengaruh ke dalam istana dan kuil di
Lasha untuk menghasut dan mempengaruhi tokoh-tokoh di pemerintahan Tibet.
Bagaikan seekor laba-laba dengan amat tekun dan sabar Kim Sim Lama mulai
menyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan di Tibet. Pangeran Nepal itu
sudah siap di perbatasan, sudah siap membantu gerakan Kim Sim Lama dengan janji
bahwa kelak, kalau Kim Sim Lama sudah berhasil menguasai Tibet, maka dia akan
membalas kebaikan pangeran itu dengan membantunya mengadakan pemberontakan di
Nepal!
Kim Sim Lama memiliki
banyak pembantu yang pandai. Dan pembantu-pembantu utamanya bukan lain adalah
Lima Harimau Tibet! Seperti sudah kita ketahui, para pembantu utamanya inilah
yang diutus untuk melakukan pengejaran terhadap para tosu dan pertapa Himalaya
yang sudah melarikan diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Pengejaran dan
pembunuhan yang dilakukan Lima Harimau Tibet terhadap para tosu itu bukan
semata-mata karena mereka membenci para tosu, melainkan terutama sekali, dengan
dalih sebagai utusan Dalai Lama, mereka hendak merusak nama Dalai Lama agar
dibenci dan dimusuhi semua golongan, terutama golongan orang-orang sakti.
Pada suatu hari, pagi-pagi
sekali, sesosok tubuh berkelebat seperti terbang cepatnya, datang dari arah
telaga Yam-so menuju ke bukit yang menjadi markas Kim-sim-pai. Melihat
gerakannya yang cepat, larinya bagaikan terbang itu, mudah diketahui bahwa dia
adalah seorang yang memiliki gin-kang dan ilmu berlari cepat yang hebat. Orang
akan merasa terkejut dan terheran-heran kalau melihat orangnya. Setelah dia
berhenti dan menyelinap di bawah sebatang pohon, memandang ke atas, ke arah
puncak bukit itu, baru nampak bahwa dia adalah seorang pemuda yang tubuhnya
bongkok! Dia adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
Setelah meninggalkan Ling
Ling di rumah bibi Cili, hati Sie Liong merasa lega dan mulailah dia melakukan
penyelidikan di Lasha tentang Kim-sim-pang. Ketika dia melihat munculnya
pemungut derma di rumah makan membawa bendera Kim-sim-pai, teringatlah dia akan
nama Kim Sim Lama yang pernah didengarnya dari pengakuan seorang di antara
Tibet Sam Sinto. Tentu ada hubungan antara Kim-sim-pai dan Kim Sim Lama,
pikirnya. Agaknya pemberontakan terhadap pemerintah Tibet seperti yang
diceritakan Coa Kiu orang ke tiga Tibet Sam Sinto itu tentulah perkumpulan
Kim-sim-pai itu yang dipimpin oleh Kim Sim Lama dan dibgntu oleh Lima Harimau
Tibet yang harus diselidikinya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa hampir semua
orang yang ditanyanya tentang Kim-sim-pai menjadi ketakutan dan tidak berani
menjawab.
Yang berani menjawab
mengatakan singkat bahwa Kim-sim-pai adalah perkumpulan orang-orang Tibet yang
berpusat di sebuah bukit dekat Telaga Yam-so. Semakin jelas dan yakinlah
hatinya bahwa jejak yang diikutinya benar. Memang di tempat itulah dia harus
menceri keterangan tentang apa rahasianya maka para pendeta Lama memusuhi para
pertapa dan tosu dari Himalaya.
Dari kaki bukit itu, yang
nampak di atas hanyalah dinding tembok yang berwarna putih, panjang dan
melingkar-lingkar seperti benteng. Akan tetapi, segera dia melihat beberapa
orang mendaki bukit itu. Ada sebuah jalan besar yang cukup baik menuju ke atas
bukit dan kini terdapat beberapa orang menuju ke puncak, ada yang berjalan
kaki, ada pula yang menunggaug keledai atau kuda. Akan tetapi mereka itu sama
sekali bukan kelihatan sebagai pasukan atau pendeta, melainkan penduduk biasa
dan mereka semua membawa perbekalan untuk sembahyang.
Tentu saja dia merasa
heran, akan tetapi diam-diam diapun lalu mendaki bukit, agak jauh di belakang
serombongan orang yang memanggul atau memikul sebuah kursi di mana duduk
setengah rebah seorang yang nampaknya sedang sakit. Dari keadaan itu saja mudah
diduga bahwa orang-orang ini sedang pergi ke suatu tempat untuk bersembahyang,
agaknya ke sebuah kuil.
Dugaannya benar. Kini
mereka tiba di pintu gerbang dinding tembok yang panjang itu. Bukan dinding
tembok benteng, melainkan dinding yang melingkari sebuah kuil yang luas sekali.
Terdapat banyak bangunan di dalam kompleks atau perkampungan itu. Akan tetapi
bangunan paling depan adalah sebuah kuil yang besar dan cukup megah. Di depan
puntu kuil itu terdapat papan dengan tulisan tinta emas berbunyi: KUIL HATI
EMAS.
Kim-sim-tang? Apakah ini
pusat Kim-sim-pai? Dan di sini pula tinggal pemimpin pemberontak yang berjuluk
Kim Sim Lama itu? Sungguh di luar dugaan sama sekali. Tempat ini sama sekali
tidak menyeramkan seperti tempat yang menjadi sarang pemberontak. Bahkan
merupakan sebuah kuil yang besar dan di mana datang banyak penduduk dusun untuk
bersembahyang dan mohon sesuatu!
Akan tetapi dia segera
teringat bahwa andaikata benar mereka itu pemberontak, mereka tetap saja adalah
pendeta-pendeta yang biasanya memang berusaha untuk hidup saleh dan beribadat,
menjauhi kejahatan dan mendekatkan diri dengan kebajikan. Merekapun bukan memberontak
terhadap suatu kerajaan, melainkan terhadap Dalai Lama, seorang pimpinan
pendeta pula. Mungkin saja suasananya menjadi lain dengan para pomberontak
biasa yang biasanya terdiri dari orang-orang yang biasa mempergunakan
kekerasan, kejam dan liar.
Dia mulai memperhatikan
keadaan luar kuil. Setelah melalui pintu gerbang dinding tembok yang tingginya
lebih dari dua meter, nampak kuil itu, jauhnya kurang lebih lima puluh meter
dari pintu gerbang. Di kanan kiri kuil itu terdapat bangunan-bangunan besar
seperti pengawal kuil dan terdapat banyak jendela yang tertutup. Agaknya itu
merupakan asrama para pendeta, pikirnya. Di depan kuil terdapat halaman yang
luas penuh dengan tanaman bunga-bunga dan juga tanaman yang mengandung khasiat
pengobatan. Di sana sini terdapat arca-arca Buddha yang besar dan megah, juga
pahatannya amat halus. Asap dupa mengepul tebal dari cerobong yang dipasang di
tengah bangunan kuil, akan tetapi ada juga asap yang mengepul keluar dari pintu
depan yang besar, dan membawa keharuman yang khas.
Sie Liong melangkah masuk
ke dalam kuil. Dua orang pendeta Lama berdiri di kanan kiri pintu sebelah dalam
dan menyambutnya dengan doa-doa yang tidak terdengar jelas, namun kedua tangan
mereka yang dirangkap dan berada di depan dada selalu menyambut para pendatang
dengan doa dan puja-puji. Ketika Sie Liong memandang kepada mereka, kedua orang
pendeta Lama yang masih muda-muda itu nampak memejamkan mata dan mereka itu
kelihatan alim dan sopan.
Kuil itu penuh tumu dengan
berbagai kesibukan sembahyang. Yang menyolok adalah tidak adanya sseorangpun
wanita di situ. Sungguh berbeda dengan kuil-kuil lain yang selalu dipenuhi
wanita.
Kemudian dia teringat
bahwa kehidupan seorang pcndeta Lama memang amat keras dan satu di antara
pantangan yang paling kuat adalah wanita. Karena kuil itu dilayani oleh para
pendeta Lama, maka agaknya tidak ada tamu wanita diperkenankan masuk! Teringat
dia akan kuil Siawu-lim-si yang juga pantang dimasuki wanita, apalagi wanita
yang muda dan menarik.
Di sebelah dalam kuil,
terdapat pula pendeta-pendeta tua dan muda yang melayani semua kebuThian mereka
yang datang bersembahyang. Mereka semua rata-rata bersikap ramah, pendiam,
sopan dan lembut. Sikap pendeta tulen, tidak nampak sikap keras dan liar
sehingga orang takkan mau percaya kalau mendengar bahwa para pendeta Lama itu
adalah pemberontak-pemberontak.
Meja-meja sembahyang yang
besar-benar penuh dengan perabot sembahyang, lilin-lilin besar bernyala.
Pendeknya, kuil itu lengkap dan juga amat luas. Akan tetapi hanya merupakan
sebagian kecil saja dari daerah perumahan yang luas sekali itu. Di kanan kiri
ruangan besar tempat sembahyang itu terdapat pintu-pintu kayu tebal dan besar,
akan tetapi kedua pintu itu tertutup dan terkunci. Memang tidak ada hubungan
pintu itu dengan keperluan sembahyang. Dan di sebelah dalam, terdapat pintu
yang lebar sekali. Ketika mendekati pintu yang menuju ke dalam ini, Sie Liong
melihat bahwa di situ terdapat sedikitnya tujuh orang pendeta yang berjaga, ada
yang bersila, ada yang duduk, ada pula yang berdiri. Mereka itu tidak bergerak
macam arca-arca saja, akan tetapi mata mereka tajam mengamati para tamu dan
jelas bahwa tamu tidak diperkenankan masuk, karena jalan meauk itu tertutup
atau terhalang oleh para penjaga ini. Sie Liong melihat betapa pintu itu
menembus ke jalan lorong yang panjang, kemudian membelok ke kiri sehingga dari
situ tidak dapat melihat apa yang berada di belakang kuil itu.
‘Apakah kongcu hendak
melakukan sembahyang dan belum membawa perlengkapan? Kami dapat membantumu.! Sie
Liong membalikkdn tubuhnya dan melihat seorang pendeta berusia empat puluhan
tahun telah berdiri di depannya dengan kedua tangan terangkap di depan dada.
Mendaki bukit berkunjung ke kuil tidak aembahyang, tentu saja tidak masuk akal.
Dia belum ingin memperkenalkan diri dan menjelaskan keinginannya bertemu dengan
Tibet Ngo-houw.
‘Saya ingin bertanya
tentang nasib diri saya,! jawabnya karena memang dia tidak bermaksud untuk
bersembabyang. Tadi dia melihat bagian kiri ruangan itu dan di sana terdapat sebuah
meja sembahyang di mana orang-orang bertanya tentang nasib mereka.
‘Ah, mari kami bantu,
kongcu. Bertanya nasibpun harus melakukan sembahyang dan kalau kongcu tidak
membawa perlengkapan, dapat membeli di sini, harganya tidak lebih mahal
daripada kalau membeli di toko.! kata pendeta itu dengan sikap ramah.
‘Terima kasih,! kata Sie
Liong dan diapun mengikuti pendeta Lama itu yang mengambilkan perlengkapan
bersembahyang berupa lilin dan hioswa (dupa biting). Kemudian, di bawah
petunjuk pendeta itu, Sie Liong melakukan sembahyang di depan meja sembahyang,
kemudian dia, seperti para tamu lain, dipersilakan untuk mengocok ciam-si,
yaitu batang-batang bambu sebesar jari tangan yang pada ujungnya bernomor.
Batang-batang bambu kecil sepanjang satu kaki ini berada di dalam tabung bambu
besar dan mereka yang menanyakan nasib, setelah sembahyang dan dalam hati
mengajukan permohonan tentang apa yang ingin diketahui mengenai nasibnya,
diharuskan memegang tabung bambu sambil berlutut di depan meja sembahyang dan
mengguncang-guncang tabung itu. Batang-batang bambu itu akan terguncang dan
setelah ada sebatang meloncat atau terloncat keluar, maka itulah batang bambu
yang menjadi jawaban pertanyaannya.
Sie Liong mengguncang
tabung itu dan berloncatlah sebatang bambu dari dalamnya. Akan tetapi hal itu
belum menentukan bahwa pilihan jawaban itu benar. Dia harus pula melemparkan
dua potong bambu yang permukaannya berbeda.
Kalau dua potong bambu itu
terjatuh ke atas lantai lalu kedua permukaannya sama dengan yang lain, dengan
ada tulisan BENAR, maka batang bambu yang terloncat itu sudah sah akan
kebenarannya. Sebaliknya, andaikata dua potong bambu itu terletak dengan
permukaan yang berbeda menghadap ke atas, dia harus mengguncang sekali lagi dan
memilih lagi. Juga apa bila kedua potong bambu itu menghadapkan tulisan SALAH,
dia harus memilih lagi.
Setelah mendapat tanda
BENAR, Sie Liong menyerahkan batang bambu itu kepada pendeta Lama yang bertugas
di bagian pertanyaan nasib itu, dan setelah dicocokkan nomornya, pendeta itu
memberinya sehelai kertas yang sudah ada tulisannya. Biasanya, kertas ini
berisikan sajak atau syair yang merupakan jawaban dari permintaan orang yang
bersembahyang dan minta sesuatu, dan karena sajak itu selalu mengandung
perumpamaan dan maksud tersembunyi, maka ada pula pendeta yang bertugas memberi
tafsirannya. Hal ini sudah pernah didengar dan diketahui Sie Liong walaupun
baru sekarang dia sendiri mengocok batang bambu untuk mendapatkan ramalan
nasibnya. Akan tetapi, ketika dia membuka gulungan kertas selembar itu,
jantungnya berdesir. Di situ tertulis dengan jelas, dengan tulisan tangan yang
indah, sebuah pesan untuknya!
KALAU PENDEKAR BONGKOK
INGIN BICARA DENGAN KAMI, SILAKAN MASUK SELATAN PINTU PAGAR BELAKANG.
Sie Liong mengangkat muka
memandang kepada pendeta yang melayaninya, akan tetapi pendeta itu hanya merangkapkan
kedua tangan depan dada dan menundukkan mukanya. Sie Liong merasa kagum sekali.
Kiranya para pendeta Lama ini memiliki perkumpulan yang kuat dan dapat bekerja
dengan rapi sehingga dia yang ingin melakukan penyelidikan, bahkan lebih dahulu
menjadi bahan penyelidikan dan keinginannya sudah diketahui oleh mereka! Diapun
segera keluar dari kuil itu, keluar dari pintu gerbang pagar tembok dan
mengambil jalan memutar. Kalau pihak Kim-sim-pai sudah tahu akan keadaan
dirinya, bahkan mungkin tahu pula akan maksud kedatangannya, diapun tidak perlu
berpura-pura lagi. Memang lebih baik kalau bicara dengan sejujurnya, menuntut
sikap para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya, yang kini
mengungsi ke Kun-lun-san, daripada melakukan penyelidikan secara rahasia, hal
yang amat tidak enak kalau sampai ketahuan pihak yang diselidiki.
Dengan sikap tenang dan
hati tabah Sie Liong menuju ke arah belakang. Ternyata, memang tempat itu luas
sekali, bentuknya memanjang ke belakang, seperti sebuah perkampungan saja.
Ketika dia memutari pagar tembok itu, akhirnya di sebelah belakang dia melihat
sebuah pintu yang tidak besar, bukan pintu umum, melainkan pintu untuk keluar
masuk para pendeta anggauta perkampungan itu sendiri. Di pintu kecil itu, Sie
Llong disambut oleh dua orang pendeta Lama yang usiauya sekitar lima puluh
tahun.
‘Sie Taihiap, silakan
masuk dan mengikuti kami. Para suhu telah menanti di dalam,! kata seorang di
antara mereka berdua yang bersikap hormat.
Kembali Sie Liong kagum
bukan main. Mereka itu agaknya telah lama mengikuti gerak geriknya dan sudah
tahu benar siapa dia! Hal ini amat tidak menguntungkan bagi dia, karena tentu
mereka yang sudah mengetahui akan kedatangannya itu telah membuat
persiapan-persiapan, Bagaimanapun juga, dia telah tiba di situ dan tidak
mungkin dapat mundur kembali. Maka, sambil mengucapkan terima kasih, diapun
mengikuti mereka masuk ke dalam melalui subuah taman yang indah. Ketika dia
malewati sebuah bangunan besar, lapat-lapat dia mendengar suara ketawa wanita! Namun,
segera suara ketawa itu terhenti dan diapun pura-pura tidak mendengarnya. Sie
Liong hanya mencatat di dalam hatinya. Agaknya, sikap hormat dan sopan yang dia
lihat di kuil tadi, sikap saleh dan beribadat para pendeta Lama yang melayani
para tamu, masih perlu diselidiki lebih seksama lagi. Dari luarnya saja nampak
bahwa pendeta itu hidupnya secara saleh dan menjauhkan diri dari kesenangan
duniawi, namun di sini dia mendengar suara ketawa wanita! Tak mungkin dia salah
dengar.
Dua orang pendeta Lama itu
membawanya ke sebuah ruangan yang luas sekali. Sedikitnya lima ratus orang akan
dapat berkumpul dalam ruangan yang luas itu. Ruangan itu terbuka dan di sudut
terdapat bangku-bangku mengelilingi beberapa buah meja yang dideretkan menjadi
meja panjang dan di situ dia melihat belasan orang pendeta Lama duduk bagaikan
arca-arca tak bergerak, hanya mata mereka saja yang mencorong tajam menyambut
kedatangannya. Dua orang pendeta yang mengantarnya lalu memberi hormat dengan
menyembah kepada belasan orang itu, kemudian mengundurkan diri membiarkan Sie
Liong seorang diri berhadapan dengan tiga belas orang pendeta Lama itu.
Sie Liong juga melayangkan
pandang matanya kepada mereka. Segera dia mengenal lima orang di antara mereka
yang duduk berjajar. Biarpun usia mereka kini sudah enam puluh tahun lebih, dan
sudah tujuh delapan tahun yang lalu dia pernah bertemu dengan mereka, namun dia
tidak melupakan lima orang pendeta Lama itu. Siapa lagi kalau bukan Tibet
Ngo-houw (Lima Harimati Tibet) yang pernah datang ke Kun-lun-pai dan menyerang
Himalaya Sam Lojin dahulu! Dan karena mereka berlima inilah maka kini dia
datang ke Tibet, karena para gurunya minta kepadanya untuk menyelidiki mengapa
Dalai Lama mengutus lima orang pendeta Lama ini untuk memusuhi para pertapa dan
para tosu dari Himalaya, bahkan mengejar-ngejar mereka yang sudah melarikan
diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Selain lima orang ini, delapan yang lain
dia tidak mengenalnya.
Akan tetapi, melihat
seorang pendeta Lama yang usianya sudah tujuh puluh tahunan, tinggi kurus
dengan muka kemerahan kekanak-kanakan, berjubah merah dan memegang sebatang
tongkat pendeta yang berlapis emas, berwibawa dan duduk di kursi paling depan,
juga kursinya berbeda dengan bangku-bangku yang lain, terbuat dari gading
gajah, diapun dapat menduga bahwa mungkin kakek itulah yang berjuluk Kim Sim
Lama!
‘Orang muda, apakah
engkau yang bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok?! kakek itu
bertanya dan diam-diam Sie Liong terkejut. Ketika dia bicara, suaranya demikian
tinggi dan tajam sekali, membuat jantungnya tergetar dan wajah yang
kekanak-kanakan itu mengeluarkan sinar, dan matanya mengandung wibawa yang amat
kuat. Bukan main, pikirnya. Kakek ini bukan orang sembarangan dan akan
merupakan lawan yang amat berat. Akan tetapi dia lalu mengangkat kedua tangan
ke depan dada, memberi hormat kepada belasan orang itu.
‘Benar, losuhu, nama
saya adalah Sie Liong dan adapun julukan itu mungkin hanya kelakar orang-orang
yang melihat keadaan tubuh saya yang cacat saja.!
‘Sie Liong, engkau telah
berada di sini. Katakan apa yang kau kehendaki maka engkau datang ke tempat
kami.!
Hemm, kakek ini demikian
terus terang, maka diapun tidak perlu menyembunyikan lagi keperluannya. Sejenak
dia memandang ke arah lima orang pendeta Lama yang duduk di sebelah kanan kakek
itu, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab. ‘Losuhu, sesungguhnya
saya datang ke Tibet untuk bertemu dgn bicara dengan Tibet Ngo-houw. Karena
saya mendengar bahwa Tibet Ngo-houw berada di sini, maka saya memberanikan diri
untuk datang berkunjung, tanpa bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai.!
Sambil berkata demikian,
sepasang mata Sie Liong dengan tajam menatap kepada lima orang pendeta Lama
yang dimaksudkannya itu. Namun, mereka berlima itu tetap duduk tak bergoyang
seperti arca. Hanya mata mereka yang ditujukan kepadanya, seperti mata para
pendeta lainnya, dan Sie Liong kini melihat betapa pandang mata itu sama sekali
tidak bersahabat, bahkan nampak marah.
‘Hemm, orang muda. Kalau
engkau tidak bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai, kenapa engkau
menghina orang kami yang sedang mengumpulkan sumbangan di Lasha?! Kini suara
kakek itu tidak lagi lembut, melainkan mengandung kemarahan dan lengkingan
suara itu makin meninggi.
Sie Liong kini merasakan
adanya bahaya yang mengancam dirinya dan dia mulai merasa menyesal telah datang
ke situ, namun hal ini agaknya telah terlambat karena dia melihat gerakan
banyak orang di luar dan ketika dia menengok, ternyata ruangan itu telah
dikepung oleh banyak sekali orang di luar. Bukan hanya pendeta-pendeta Lama
berjubah merah, akan tetapi ada pula yang bukan pendeta Lama, dan jumlah mereka
itu tentu mendekati lima puluh sampai seratus orang!
Namun, dia tetap bersikap
tenang. ‘Losuhu, saya sama sekali tidak pernah menghina siapapun juga,
apalagi menghina orang Kim-sim-pai yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan
saya. Peristiwa di rumah makan itu adalah karena saya tertekan dan saya hanya
membela diri, juga saya terpaksa mencegah pengumpulan sumbangan yang dilakukan
dengan paksaan. Bukan hanya Kim-sim-pai, biar dari manapun, kalau saya melihat
orang minta sumbangan secara paksa, sudah menjadi kewajiban saya untuk
mencegahnya. Saya tidak bermaksud menghina Kim-sim-pai, dan harap para losuhu
suka maafkan saya. Saya hanya ingin berurusan dengan Tibet Ngo-houw, tidak
bermaksud berurusan dengan Kim-sim-pai. Tibet Ngo-houw, harap kalian cukup
gagah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian di Kun-lun-san tujuh
delapan tahun yang lalu!! Karena tahu bahwa ancaman bahaya terhadap dirinya
datangnya dari Kim-sim-pai, maka Sie Liong sengaja menujukan tantangannya
kepada Tibet Ngo-houw saja.
Tiba-tiba terdapat gerakan
pada lima orang pendeta Lama itu yang sejak tadi diam seperti arca.
‘Omitohud, dia itu anak bongkok yang dahulu menggagalkan desakan kita
terhadap Himalaya Sam Lojin!! Tiba-tiba seorang di antara mereka berlima yang
bermata satu berseru. Dia adalah Thay Hok Lama, orang ke empat dari Lima
Harimau Tibet Itu. Mendengar seruannya ini, empat orang saudaranya juga
teringat dan mereka semua merasa heran. Anak bongkok itu kini berani datang dan
bersikap demikian tenang dan gagah!
‘Benar sekali, Tibet
Ngo-houw. Aku adalah anak bongkok yang dulu itu dan kini aku datang mencari
kalian sebagai utusan dari Himalaya dan kini berada di Kun-lun-san. Sudah tiba
saatnya kalian berlima mempertanggung jawabkan perbuatan kalian dahulu itu dan
menjelaskan kepadaku apa yang menjadi sebab maka kalian memusuhi mereka yang
sama sekali tidak berdosa.!
‘Omitohud.... betapa
lancang dan sombongnya anak ini!! Tiba-tiba seorang di antara para pendeta yang
hadir di situ berseru. Dia bukan seorang di antara Lima Harimau Tibet,
melainkan seorang pendeta Lama Jubah Merah yang tubuhnya pendek kecil seperti
kanak-kanak berusia belasan tahun. Akan tetapi melihat wajahnya, tentu usianya
sudah mendekati enam puluh tahun. Dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Kim
Sim Lama.
‘Susiok (paman guru),
perkenankan teecu (murid) menghajar bocah lancang yang sama sekali tidak
menghormati kita ini. Bocah ini tidak pantas dilayani oleh para suheng
berlima!!
Kakek tua renta itu
mengangguk. Juga Tibet Ngo-houw diam saja karena merekapun merasa malu kalau
harus melayani seorang pemuda yang bongkok pula. Akan menurunkan nama besar
mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim-sim-pai!
Pendeta Lama yang bertubuh
pendek kecil itu bernama Ki Tok Lama dan diapun merupakan seorang di antara
‘dua belas besar! yang menjadi para pembantu utama Kim Sim Lama. Sebagai
seorang di antara para pembantu utama, tentu saja dia memiliki tingkat ilmu
kepandaian yang cukup hebat. Dua belas orang pembantu utama itu masih terhitung
murid-murid keponakan Kim Sim Lama sendiri, demikian pula Tibet Ngo-houw juga
merupakan murid keponakannya, sehingga tingkat kepandaian mereka satu dengan
yang lain tidak banyak berselisih. Hanya Tibet Ngo-houw sudah memiliki nama
besar dan mereka berlima itu sudah biasa bertindak sebagai kelompok yang
bekerja sama, maka merekalah yang menjadi pembantu-pembantu utama. Maka
kedudukan mereka berlima itu agak leblh tinggi dibandingkan para pembantu
lainnya.
Ketika Ki Tok Lama sudah
berdiri di depan Sie Liong, pemuda ini maklum bahwa keadaannya sungguh tidak
menguntungkan baginya. Dia bukan seorang pemuda yang bodoh. Dia tahu bahwa dia
telah terjebak, memasuki guha harimau yang amat berbahaya. Bagaimana mungkin
dia yang seorang diri dapat menandingi lawan yang demikian banyaknya! Akan
tetapi, untuk mundurpun tidak mungkin. Tempat itu telah terkepung. Jalan keluar
telah buntu dan kalau dia nekat melarikan diri, tentu akan dikepung dan
dikeroyok.
‘Sie Liong!! Ki Tok Lama
membentak, ‘Engkau masih bocah ingusan sudah berani memakai julukan pendekar,
dan engkau berani menghina para suhengku Tibet Ngo-houw! Hemm, coba keluarkan
semua ilmu kepandaianmu, hendak pinceng (saya) lihat apakah sepak terjangmu
juga sehebat suara dan sikapmu. Majulah!! Setelah berkata demikian, pendeta
Lama yang bertubuh katai ini memasang kuda-kuda yang aneh. Kedua kakinya
berdiri di ujung jari seperti berjingkat, tangan kanan miring di depan dada,
sedangkan tangan kiri berada di balik punggung dengan bentuk cakar.
Melihat ini, diam-diam Sie
Liong dapat menduga akan keadaan batin orang ini. Dengan berjingkat dia ingin
mengangkat diri lebih tinggi sesuai dengan watak seorang yang masih dikuasai
nafsu-nafsunya. Nampak dari depan, tangan kanannya seperti sikap seorang yang
beribadat, yang menaruh tangan berdiri lurus di depan dada, akan tetapi
diam-diam, tangan yang lain bersembunyi di punggung dalam bentuk cakar. Ini
menandakan bahwa dia seorang munafik, yang pura-pura alim akan tetapi
sesungguhnya batinnya masih bergelimang nafsu sehingga siap untuk melakukan
kekerasan. Tentu saja bukan demikian maksud Ki Tok Lama, hanya gerakannya itu
mungkin saja tanpa disadarinya menggambarkan keadaan batinnya.
Sie Liong memberi hormat dan
berkata dengan sikap tenang dan suara lembut. ‘Losuhu, maatkan saya.
Kedatangan saya ini untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw, bukan untuk bertanding
dengan siapapun juga. Sudah saya katakan bahwa saya tidak mempunyai urusan
pribadi dengan Kim-sim-pai....!
‘Pengecut! Engkau sudah
masuk ke sini dan bersikap sombong dan sekarang engkau tidak berani menyambut
tantangan pinceng?!
‘Bukan tidak berani,
melainkan karena saya tidak melihat adanya suatu alasan apapun untuk menyambut
tantangan ini.!
‘Ada alasan atau tidak,
mau atau tidak, engkau harus menerima seranganku ini. Nah, sambutlah!! Ki Tok
Lama tidak memperdulikan semua alasan Sie Liong dan tubuhnya sudah bergerak dan
dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh itu sudah meluncur ke depan dan tangan
kirinya yang membentuk cakar tadi, dari belakang telah melayang dari atas ke
depan, dan karena tubuhnya tadi meloncat tinggi, maka tangan itu mencengkeram
ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong!
‘Hyaaaaattt....!! Dia
mengeluarkan pekik melengking.
Diserang seperti itu,
tentu saja Sie Liong tidak mungkin dapat tinggal diam. Serangan itu merupakan
serangan maut dan diapun terkejut melihat betapa cepatnya gerakan lawan.
Tahulah dia bahwa lawannya yang cebol itu memiliki gin-kang yang tinggi. Namun,
masih belum terlalu cepat gerakan itu baginya. Dengan mudah diapun menggeser
tubuh ke kiri dan terkaman itu luput. Ki Tok Lama menjadi semakin marah. Begitu
tubuh turun, dia sudah membalik dan kembali dia sudah menyerang, kini lebih
dahsyat, dengan kedua tangan menyambar dari kanan kiri.
Sekali lagi Sie Liong
mengelak dengan loncatan mundur. ‘Losuhu, aku tidak ingin bertanding
denganmu!! katanya masih lembut, akan tetapi tidak begitu hormat lagi.
Ki Tok Lama tidak perduli.
Dua kali serangannya dengan jurus pilihan gagal. Hal ini saja sudah membuat dia
merasa malu dan menganggap bahwa pemuda itu menghinanya.
‘Haiiiiiitttt....!! Dia
menyerang lagi, kini dengan pukulan-pukulan yang bertubi dan tubuhnya yang
ringkas itu bergerak-gerak bagaikan seekor tupai melompat-lompat dan setiap
kali serangannya luput, sudah disusulkannya serangan berikutnya.
‘Losuhu, sekali lagi,
aku tidak ingin berkelahi denganmu!! Sie Liong berkata, suaranya semakin keras.
Namun jawabannya adalah serangan yang lebih genas. Sie Liong merasa serba
salah. Kalau dia tidak melayani, tentu orang ini akan terus menyerangnya dan
tak mungkin dia hanya selalu mengelak. Kalau dia membalas, berarti dia sudah
terpancing dan melibatkan diri dalam permusuhan, padahal dia berada di dalam
sarang Kim-sim-pai!
‘Engkau sungguh
memaksaku!! katanya dan ketika kedua lengan lawan menghantam dengan pengerahan
sin-kang, dia pun menyambut dari samping, menangkis untuk membuktikan kepada
lawan bahwa kalau dia mau, tidak begitu sukar baginya untuk mengalahkan si
cebol itu.
‘Dukk!! Sie Liong
membatasi tenaganya, tidak mempergunakan seluruh tenaga, akan tetapi akibatnya
tubuh si cebol terpelanting dan dia terhuyung-huyung hampir roboh terbanting.
Si cebol mengeluarkan
teriakan melengking nyaring karena marahnya dan ketika dia melompat ke depan,
dia telah memegang sepasang pedang, yaitu senjatanya yang selalu disembunyikan
di balik jubah merahnya yang lebar.
‘Hemm, losuhu, bagaimana
seorang pendeta mau memegang sepasang senjata tajam?! Sie Liong memperingatkan.
Sesungguhnya, merupakan pantangan bagi seorang pandeta untuk menggunakan
senjata untuk membunuh, apalagi memegang senjata pedang untuk menyerang lawan
tidak bersenjata!
Agaknya Ki Tok Lama masih
mengingat akan kedudukannya dan dia merasa sungkan juga. ‘Jangan banyak
mulut, cepat kaukeluarkan senjatamu. Mari kita bertanding dengan menggunakan
senjata!! tantangnya.
‘Losuhu, aku tidak
pernah memegang senjata!! kata Sie Liong dengan harapan agar lawannya itu
merasa malu dan mundur. ‘Sebaiknya kita hentikan saja ribut-ribut yang tiada
gunanya ini dan membiarkan aku untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw.!
‘Tidak! Kau kalahkan
dulu sepasang pedangku, baru engkau boleh bicara dengan kelima orang suheng
Tibet Ngo-houw!! si cebol berkeras.
Sie Liong menarik napas
panjang. Ketika dia memandang kepada para pimpinan Kim-sim-pai, mereka itu diam
tak bergerak seperti arca. Dia melihat sebuah rak senjata di sudut, dan dengan
perlahan dia menghampiri rak itu, mengambil sebatang tombak bergagang kayu dan
mematahkan mata tombaknya. Gagang tombaknya saja yang berada di tangannya dan
diapun berkata, ‘Baiklah, kalau engkau memaksa, losuhu, biar aku meminjam
gagang tombak ini saja, agar tidak sampai melukaimu dengan senjata yang tajam
atau runcing.!
Sie Liong mempergunakan
senjata itu bukan karena takut menghadapi sepasang pedang lawan, melainkan
untuk berjaga diri. Kalau sampai terpaksa dia didesak dan dikeroyok, dia harus
memiliki senjata untuk melindungi dirinya dan tidak ada senjata di dunia ini
yang lebih baik baginya dari pada sebatang tongkat!
Jawaban Sie Liong itu
membuat wajah Ki Tok Lama menjadi semakin merah karena jelas memandang rendah
kepadanya. ‘Lihat pedang!! bentaknya untuk berlagak bahwa dia tidak menyerang
lawan tanpa peringatan lebih dahulu. Dua gulungan sinar bekkelebat ketika
sepasang pedang di tangannya digerakkan secara cepat dan kuat sekali. Namun,
dengan tenang Sie Liong bergerak mundur dan mengelak dari dua kali sambaran kilat
dari sepasang pedang lawan. Tongkat di tangannya tidak tinggal diam dan ujung
tongkat itu diputarnya sedemikian rupa sehingga ujungnya seperti berubah
menjadi belasan banyaknya. Dan ujung-ujung tongkat ini sekarang
menyambar-nyambar ke arah jalan darah di seluruh tubuh Ki Tok Lama! Pendeta
Lama itu terkejut bukan main dan terpaksa dia memutar sepasang pedangnya untuk
melindungi diri dari serangan banyak ujung tongkat itu!
Akan tetapi, di antara
ujung-ujung tongkat itu yang tentu saja sesungguhnya hanya memiliki dua ujung
saja namun karena tongkat itu bergerak dengan menggetar, maka ujungnya nampak
menjadi banyak, kini ada yang menyerang ke arah pergelangan lengan lawan yang
memegang pedang, sementara ada ujung-ujung lain yang masih mengancam jalan darah
tubuh Ki Tok Lama. Tentu saja pendeta ini menjadi semakin kaget dan bingung.
Dia lebih condong melindungi tubuh yang akan tertotok, maka tak dapat
dihindarkan lagi, kedua pergelangan tangannya tertumbuk ujung tongkat secara
aneh sekali dan kedua tangan itu tiba-tiba teraaa lumpuh dan sepasang
pedangnyapun terlepas dari tangannya.
Akan tetapi Sie Liong
menghentikan gerakan tongkatnya, berdiri tegak di depan Ki Tok Lama dan
berkata, ‘Losuhu, silakan mengambil kembali sepasang pedangmu.!
Dengan muka agak pucat dan
mata terbelalak penuh rasa penasaran dan kemarahan, Ki Tok Lama bergerak cepat,
menyambar sepasang pedang itu dari atas lantai, kemudian memutar sepasang
pedangnya, siap untuk melakukan penyerangan yang lebih dahsyat dan nekat lagi.
‘Tahan senjata!!
tiba-tiba Kim Sim Lama berseru. ‘Ki Tok Lama, kau mundurlah!!
Ki Tok Lama hanya
memandang melotot ke arah Sie Liong sejenak, akan tetapi dia tidak berani
membantah perintah susioknya dan diapun mundur sambil menyimpan kembali
sepagang pedangnya di balik jubah merah. Kiranya ketika Sie Liong mulai
melayani Ki Tok Lama tadi, Kim Sim Lama yang memandang penuh perhatian, menjadi
kagum dan tertarik. Dia berbisik-bisik kepada Thay Ku Lama, orang pertama dari
Tibet Ngo-houw. Setelah memerintahkan Ki Tok Lama untuk mundur, Kim Sim Lama
lalu diam saja dan menyerahkan kepada Thay Ku Lama untuk menghadapi Sie Liong
seperti yang mereka bisikkan tadi.
Thay Ku Lama bangkit dari
bangkunya, lalu menghampiri Sie Liong yang sudah siap siaga karena kini yang
maju adalah orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Sejenak mereka saling pandang,
kemudian Thay Ku Lama yang bertubuh besar dengan perut gendut itu menarik napas
panjang. ‘Omitohud, sekarang pinceng ingat. Memang engkau adalah bocah yang
dahulu itu, dan agaknya engkau telah menjadi murid para tosu pelarian itu.
Bukankah ilmu tongkatmu tadi adalah Thian-te Sin-tung yang amat hebat dari Pek
Sim Sian-su?!
Sie Liong terkejut.
Sungguh tajam pandang mata Thai Ku Lama ini, dan pengetahuannya tentang ilmu
silat amat luas. Hal itu saja membuktikan bahwa lima orang Harimau Tibet ini
memang tidak boleh dipandang ringan.
‘Sesungguhnya, losuhu,
aku pernah menerima bimbingan dari suhu Pek Sim Sian-su,! jawabnya jujur.
‘Hemm, begitukah? Nah,
sekarang katakan, apa keperluanmu mencari kami Tibet Ngo-houw? Katakan saja
terus terang karena yang hadir di sini bukanlah orang-orang lain bagi kami.!
Sie Liong memandang ke
arah lima orang itu bergantian, kemudian dia berkata dengan suara lantang.
‘Tibet Ngo-houw, dengarlah baik-baik. Aku mewakili para locianpwe dan para
pertapa yang selama ini kalian kejar-kejar, untuk bertanya kepada kalian, apa
sesungguhnya yang mendorong kalian berlima untuk memusuhi mereka! Jawablah
sejujurnya, benarkah kalian menjadi utusan Dalai Lama untuk membasmi para tosu
dan pertapa asal Himalaya?!
Thay Ku Lama tertawa
bergelak, perutnya yang gendut itu terguncang dan di antara suara ketawanya itu
terdengar bunyi berkokok dari dalam perutnya, seperti suara katak besar.
Pendeta Lama ini memang memiliki ilmu yang amat hebat, yang disebut Hek-in
Tai-hong-ciang, suatu pukulan yang didorong oleh tenaga dari perut yang kalau
dia pergunakan, selain dari perutnya keluar bunyi berkokok nyaring dan kedua
kakinya ditekuk dalam-dalam seperti berjongkok, juga telapak tangannya itu
mengeluarkan uap hitam.
‘Ha-ha-ha-ha-ha, tentu
saja Dalai Lama yang mengutus kami untuk membasmi para pertapa Himalaya yang
dianggap pemberontak!!
‘Pemberontakan apakah
yang telah dilakukan oleh para locianpwe, para pertapa terhadap Dalai Lama?!
Sie Liong mengeluarkan pertanyaan yang pernah diperbincangkan para gurunya itu.
‘Hemm, para tosu itu
pernah membunuhi beberapa orang pendeta Lama, hal itu berarti pemberontakan!!
kata pula Thay Ku Lama dengan sikap acuh.
‘Nanti dulu, losuhu.
Pernah aku mendengar bahwa mendiang locianpwe Pek Thian Siansu, seorang pertapa
Himalaya, membela penduduk yang diserbu para pendeta Lama. Terjadi perkelahian
antara Pek Thian Siansu dan para pendeta Lama dan ada beberapa orang pendeta
Lama yang tewas. Itukah yang menjadi sebab maka para pendeta Lama lalu memusuhi
para tosu dan pertapa Himalaya?! Sie Liong pernah mendengar cerita tiga orang
gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin tentang guru mereka itu.
‘Ha, kiranya engkau
sudah tahu? Nah, kenapa bertanya lagi? Para tosu itu mencampuri urusan kami
para pendeta Lama, itulah maka mereka dianggap pemberontak.!
‘Akan tetapi, losuhu.
Bukankah mendiang Pek Thian Siansu membela penduduk dusun yang mempertahankan
seorang anak laki-laki yang hendak diculik oleh para para pdndeta Lama itu? Dan
anak itu yang kemudian menjadi Dalai Lama! Bagaimada mungkin Dalai Lama itu
malah mengutus losuhu berlima untuk memusuhi para pertapa Himalaya? Padahal,
para pertapa itu dahulu bahkan pernah membelanya! Dan juga, kalau suhu berlima
menjadi utusan Dalai Lama, bagalmana pula ngo-wi (anda berlima) sekarang berada
di sini dan kudengar malah memusuhi Dalai Lama?!
Mendengar ucapan Sie Liong
itu, Tibet Ngo-houw saling pandang dan They Ku Lama sendiri mengerutkan alisnya
dan mukanya berubah merah. Tak disangkanya bahwa pemuda bongkok itu agaknya
telah mengerti akan segala rahasia mereka!
Akan tetapi Kim Sim Lama yang
sejak tadi mendengarkan saja, tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa. ‘Ha-ha-ha!
Omitohud.... Sie Taihiap agaknya mengetahui ekornya. Baiklah, pinceng yang akan
memberi penjelasan kepadamu. Memang, dahulunya Tibet Ngo-houw ini, para murid
keponakanku, hanya mentaati perintah Dalai Lama saja. Pinceng sudah mencoba
untuk mencegahnya karena ketika itu pinceng masih menjadi wakil Dalai Lama.
Akan tetapi, memang dia
telah tersesat dan lalim itulah maka kami semua meninggalkan Dalai Lama dan
berdiri sendiri di sini, dan kami memang bermaksud untuk menggulingkan penguasa
yang lalim itu! Itulah sebabnya maka kini Tibet Ngo-houw berada di sini
membantu Kim-sim-pai dan kami mempersilakan engkau untuk bekerja sama dengan
kami, Sie Taihiap. Kami menentang Dalai Lama karena dia seorang pemimpin lalim,
sedangkan engkau membantu kami untuk membalaskan dendam para tosu dan pertapa
dari Himalaya yang pernah melepas budi kepada Dalai Lama akan tetapi malah
dibalas dengan pengejaran dan pembunuhan! Dan masih banyak pula pihak-pihak
yang memusuhi Dalai Lama. Gerakan kita pasti akan berhasil, Sie Taihiap!!
Sejak tadi Sie Liong
mendengarkan saja, dan alisnya mulai berkerut. Tentu saja dia tidak dapat
menerima dan percaya semua yang dikatakan pendeta ketua itu. Jelas bahwa Kim
Sim Lama sedang memberontak terhadap Dalai Lama, maka tentu saja dia
memburuk-burukkan nama Dalai Lama! Dia tidak mau percauya begitu saja, pula dia
tidak ingin melibatkan diri dalam pemberontakan dan pertikaian di Tibet yang
bukan negaranya.
‘Terima kasih, losuhu.
Akan tetapi tugas saya hanya bertanya kepada Tibet Ngo-houw mengapa dia dahulu
memusuhi para pertapa pelarian dari Himalaya. Sekarang, setelah mereka menjawab
bahwa mereka hanya utusan dari Dalai Lama, biarlah saya akan menghadap Dalai
Lama sendiri untuk bertanya, mengapa beliau membalas budi kebaikan para tosu
itu dengan pengejaran dan penumpasan. Selamat tinggal, para losuhu, saya hendak
pergi sekarang.!
Akan tetapi, agaknya telah
ada isyarat dari Kim Sim Lama, begitu dia malangkah ke arah pintu ruangan luas
itu, di ambang pintu telah berdiri banyak pendeta Lama dengan berbagal macam
senjata di tangan, menutup lubang pintu itu dengan sikap mengancam. Ketika dia
melirik ke arah jendela-jendela di sekeliling ruangan, di sanapun sudah
tertutup oleh tubuh banyak pendeta Lama yang berjaga-jaga dan jelas mereka
semua itu tidak akan memberi jalan keluar padanya.
‘Nanti dulu, orang
muda!! Tiba-tiba Kim Sim Lama berseru, suaranya tidak begitu ramah lagi
walaupun masih lembut.
Sie Liong menatap tajam
wajah pemimpin Kim-sim-pai itu. ‘Ada apa lagi, losuhu?!
‘Orang muda, engkau
datang ke sini tanpa kami undang, dan kami telah bersikap terus terang,
menceritakan segala rahasia kami kepadamu. Oleh karena itu, kalau engkau mau
bekerja sama dengan kami untuk menentang Dalai Lama, hal itu sudah sepatutnya.
Akan tetapi, kalau engkau menolak dan hendak pergi begitu saja, membawa semua
rahasia kami, sudah tentu kami merasa keberatan!!
Sie Liong maklum bahwa
saatnya sudah tiba. Kim Sim Lama sudah membuka kartunya. Tadi dia sudah merasa
khawatir bahwa dia telah terperangkap, dan inilah buktinya. Dia dipaksa untuk
bekerja sama atau dia tidak diperkenankan pergi meninggalkan tempat itu!
Bab 20
‘Losuhu, saya tidak
ingin terlibat dalam pemberontakan! Tibet bukan negaraku dan saya tidak
mempunyai urusan dalam pemberontakan. Saya hanya melaksanakan tugas untuk
menyelidiki mengapa para pertapa di Himalaya dimusuhi oleh Dalai Lama.!
‘Sie Liong!! Kim Sim
Lama membentak, kini terdengar marah. ‘Dengar baik-baik, pinceng pernah
menjadi wakil Dalai Lama, merupakan orang ke dua sesudah Dalai Lama yang
berkuasa di negeri ini! Dan sekarang pinceng adalah calon Dalai Lama atau
pemilik Dalai Lama yang baru! Sekali aku memerintahkan, engkau akan mati!!
‘Losuhu, mati hidup
bukan di tangan siapapun, melainkan di tangan Thian Yang Maha Kuasa! Kalau
Thian sudah menghendaki aku harus mati, maka tidak ada kekuasaan apapun di
dunia ini yang akan mampu mencegahnya, sebaliknya, kalau Thian menghendaki aku
hidup, tidak ada kekuasaan pula yang akan mampu membunuhku. Mati hidup di
tangan Thian, akan tetapi baik buruknya langkah hidup berada di tangan kita
masing-masing. Oleh karena itu, aku tetap akan melangkah melalui jalan
kebenaran dan aku menyerahkan jiwa ragaku kepada Thian. Aku tetap menolak untuk
menjadi kaki tangan pemberontak, apapun yang akan menjadi akibatnya!!
Semua pendeta Lama yang
berada di situ, diam-diam merasa kagum. Bahkan Kim Sim Lama juga merasa kagum.
Pemuda ini, biarpun bongkok, ternyata jiwanya tidak bongkok dan semangatnya
tegak lurus. Akan tetapi, betapapun kagum hatinya, dia tidak rela membiarkan
Sie Liong pergi karena tentu semua rahasia akan ketahuan dan mereka terancam
bahaya serbuan Dalai Lama sehelum mereka kuat benar.
‘Sie Liong, engkau masih
muda akan tetapi selain memiliki ketabahan besar, juga kesombongan yang agak
berlebihan. Agaknya engkau terlalu mengandalkan ilmu kepandaianmu sendiri
sehingga merasa bahwa di kolong langit ini tidak ada orang yang akan mampu
mengalahkanau. Nah, ingin sekali pinceng melihat sampai berapa hebat
kepandaianmu maka angkau berani menentang kami! They Ku Lama, pinceng ingin
melihat seorang di antara kalian mengujinya!! kata Kim Sim Lama.
Biasanya, kalau menghadapi
lawan berat, Tibet Ngo-houw tentu maju berlima. Akan tetapi kini yang mereka
hedapi hanya seorang pemuda bongkok, betapapun lihainya, kalau mereka maju
berlima mengeroyok seorang pemuda bongkok, hal ini tentu saja amat merendahkan
nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim Sim Lama! Bahkan Thay Ku
Lama sendiripun merasa sungkan kalau harus bertanding melawan pemuda bongkok
itu, maka dia memberi isyarat kepada Thay Bo Lama, saudara termuda diantara
mereka berlima, untuk maju menandingi Sie Liong.
Thay Bo Lama bertubuh
kurus kering dan wataknya memang keras dan berangasan. Begitu menerima isyarat
dari suhengnya, dia sudah melompat ke depan menghadapi Sie Liong. Tangan
kirinya sudah memegang sebatang tombgk karena tadi dia sudah menyambar
tombaknya yang dia letakkan di atas lantai di bawah meja. Kini, dengan tombak
berdiri di sebelah kirinya, tangan kanannya bergerak ke depan, telunjuknya
menuding ke arah muka Sie Liong.
‘Orang muda sombong!
Ketika masih kecil dahulu engkau sudah mengganggu kami, sekarang setelah
dewasa, engkau masih datang mengganggu. Agaknya memang sudah dikehendaki Thian
bahwa engkau akan mati di tanganku! Nah, engkau majulah, perlihatkan
kepandaianmu kepada Thay Bo Lama!!
Sie Liong bersikap tenang.
Dia sudah siap sedia menghadapi ancaman yang paling hebat karena dia maklum
bahwa hanya dengan pertolongan Thian saja dia akan dapat lolos dari tempat ini,
lolos dari ancaman bahaya maut.
‘Thay Bo Lama, sudah
kukatakan bahwa aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapapun juga
di sini. Maka, tentu aku tidak akan menyerang siapapun, dan hanya akan membela
diri kalau aku diserang.!
‘Sombong! Sambutlah
serangan tombakku ini!! Dia segera menggerakkan tombaknya dan terdengarlah
suara bersiutan karena tombak itu bergerak dengan cepat dan kuat bukan main.
Ketika menyerang dengan tusukan, tombak itu meluncur seperti anak panah saja,
menusuk ke arah dada Sie Liong! Sie Liong melihat gerakan ini dapat menduga
bahwa lawannya yang kurus kering seperti cecak mati kering itu agaknya memiliki
tenaga yang amat besar. Untuk meyakinkan dugaannya, diapun mengerahkan
tenaganya pada tongkat yang dipegangnya, lalu dengan tubuh miring dia menangkis
dari samping.
‘Trranggg....!!
Dugaan Sie Liong memang
tepat. Biarpun lawannya itu kurus kering dan kelihatan lemah, namun ternyata di
dalam lengan yang kecil dan hanya tulang terbungkus kulit itu terdapat tenaga
raksasa yang mengejutkan. Untung bahwa dia telah menduga sebelumnya sehingga
tidak merasa terkejut. Juga tidak sampai terpental karena diapun sudah
mengerahkan tenaganya ketika menyambut dengan tangkisan tadi. Di lain pihak,
Thay Bo Lama yang terkejut. Bocah bongkok itu mampu menangkis tombaknya dan
tongkat yang dipegang bocah itu tidak sampai terpental atau patah, bahkan
kedudukan kakinya sendiri yang menjadi goyah karena dia merasa seolah tombaknya
bertemu dengan pagoda baja yang amat kuatnya!
‘Bogus! Bocah bongkok
kiranya engkau telah mewarisi sedikit ilmu dari Pek Sim Sian-su dan karenanya
menjadi sombong! Akan tetapi awas, hari ini engkau akan mampus di tangan
pinceng!! bentak Thay Bo Lama sambil melintangkan tombaknya di depan dada.
‘Thay Bo Lama, ingatlah
bahwa engkau yang memaksaku untuk berkelahi, bukan aku yang mencari
permusuhan!! jawab Sie Liong dengan sikap yang amat tenang.
‘Hyeeeeeehhhh....
haittt....!! Thay Bo Lama mengeluarkan teriakan nyaring, lengan kirinya membuat
gerakan memutar di depan dada untuk mengumpulkan tenaga sakti yang dipusatkan
di kedua lengan. Kakek yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun ini
ternyata memang masih amat kuat sehingga dari kedua lengannya itu timbul
getaran melalui tombaknya dan kini tombak itu bagaikan hidup menyambar ke arah
Sie Liong.
‘Wyuuuuuutt....
singgggg....!!
Ketika dielakkan, senjata
itu menyambar-nyambar dan melakukan serangan bertubi-tubi dan selain
mendatangkan sambaran angin yang amat kuat, juga mengeluarkan suara bersiutan
dan bardesing. Namun, Sie Liong dapat selalu menghindairkan diri dengan tidak
terlampau sulit, menggunakan gerakan kedua kakinya yang lincah untuk membuat
tubuhuya selalu meliuk-liuk dan menyusup-nyusup di antara sinar tombak, dan
kadang-kadang tongkatnya menolak tombak dengan tangkisan yang demikian kuat
sehingga beberapa kali tombak itu menyeleweng dan Thay Bo Lama sendiri
terhuyung!
Sie Liong maklum bahwa dia
berada di dalam bahaya, juga dalam keadaan serba salah. Kalau dia terlalu lama
melayani Thay Bo Lama, tentu tenaganya akan terkuras karena di situ masih
terdapat banyak lawan yang tentu akan maju satu demi satu. Sebaliknya, kalau
terlalu cepat dia mengalahkan Thay Bo Lama, hal ini hanya akan membuat mereka
menjadi semakin penasaran dan marah kepadanya! Jalan lari tidak mungkin lagi
karena dia sudah terperosok ke dalam sarang mereka. Bagaimanapun juga, dia
harus menghadapi ancaman bahaya itu dengan gagah. Tiba-tiba dia mempercepat
gerakan tongkatnya dan dia mainkan Thian-te Sin-tung di bagian yang menekan dan
menyerang.
Begitu Sie Liong mengubah
gerakannya dan mulai menyerang, Thay Bo Lama terkejut. Dia melihat betapa
tongkat itu seperti berubah menjadi banyak sekali. Sebagian menahan tombaknya,
sebagian pula menyerangnya bagaikan gelombang lautan yang menyarbu dirinya! Beberapa
kali tubuhnya nyaris terpukul dan dia terus memutar tombak, melindungi tubuhnya
sambil terdesak mundur. Padahal, belum ada tiga puluh jurus dia melawan! Cepat
dia mengerahkan tenaga sakti dan mulutnya berkemak-kemik. Dia hendak
menggunakan kekuatan sihir untuk mengalahkan lawan yang masih muda itu.
‘Hyaaaahh, orang muda
berlututlah engkau!!
Namun, biar masih muda,
Sie Liong adalah murid yang dikasihi dan digembleng oleh Pek Sim Sian-su, maka
tentu saja dirinya sudah ‘berisi! dan segala macam kekuatan sihir tidak akan
mudah mempengaruhi batinnya yang sudah kuat. Dia merasakan getaran ilmu sihir
itu, namun cepat Sie Liong mengerahkan sin-kang melindungi dirinya dan sekali
tongkatnya berkelebat, dua lutut kaki lawan telah dicium ujung tongkatnya. Thay
Bo Lama mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba kedua kakinya menjadi lumpuh
dan tanpa dapat dicegah lagi, diapun jatuh berlutut! Ternyata jeritannya
mengandung perintah tadi disusul dengan dirinya sendiri yang berlutut, bukan
lawannya.
‘Thay Bo Lama, tidak
berani aku menerima penghormatan itu!! kata Sie Liong sambil melangkah mundur
dan menghadap ke samping. Sikapnya wajar dan sedikitpun tidak menunjukkan
ejekan. Justru sikap ini yang membuat Thay Bo Lama menjadi malu dan marah bukan
main. Setelah rasa kesemutan yang membuat kedua lututnya lumpuh tadi lenyap,
diapun bangkit berdiri dengan muka merah dan matanya mencorong memandang pemuda
bongkok itu penuh kebencian.
‘Hyaaatt-ahh....!!
Tiba-tiba Thay Bo Lama, pendeta mata satu itu sudah menyerang Sie Liong dengan
senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang rantai baja yang panjang dan berat
sekali. Rantai itu menyambar ganas ke arah kepala Sie Liong. Pendekar Bongkok
sudah mengenal sejak dahulu akan kelihaian Tibet Ngo-houw ini, maka melihat rantai
menyambar ganas, diapun merendahkan tubuhnya dan rantai itu lewat di atas
kepalanya, kemudian diapun melangkah maju mendekat. Rantai itu panjangnya ada
tiga meter sehingga kalau berkelahi jarak jauh, dia akan rugi. Rantai lawan
dapat mencapai dirinya sedangkan tongkatnya yang hanya satu setengah meter
panjangnya tidak akan dapat mencapai lawan.
Akan tetapi, Thay Bo Lama
sudah menyambutnya dengan dorongan tangan kiri yang terbuka. Ada angin yang
berbau amis manyambar ke arah Sie Liong. Pemuda ini meloncat ke kiri, maklum
bahwa itu adalah pukulan yang mengandung racun. Memang, pendeta Lama yang
matanya buta sebelah itu, selain amat lihai memainkan rantai bajanya yang
panjang dan berat, juga terkanal memiliki pukulan beracun, juga pandai
mempergunakan racun sebagai senjata atau alat untuk mengalahkan lawannya.
Sambil melangkah maju, Sie
Liong juga menggerakkan tongkatnya menusuk ke arah perut lawan baru ini. Namun
tiba-tiba rantai baja itu ditekuk menjadi dua dan ternyata pendeta Lama itu
kini memegang rantai di bagian tengah dan rantai yang tadinya tunggal dan
panjang itu berubah menjadi dua rantai pendek karena dipegang bagian tengahnya!
Dan dua batang rantai itu berputar menangkis tongkat, bahkan membalas dengan
serangan dari kanan kiri, dua helai rantai baja itu melakukan gerakan
menggunting. Kembali Sie Liong melangkah ke belakang untuk menghindarkan diri
dari guntingan sepasang rantai baja itu. Akan tetapi, dia mendengar angin
bersiut ke arah kepalanya dari belakang.
Cepat dia merendahkan
tubuh sambil memutar tongkat untuk menyambut penyerangnya dari belakang itu.
Kiranya Thay Bo Lama yang sudah menyerangnya dengan curang sekali. Thay Bo Lama
yang tadi menghantamkan tombaknya ke arah kepala Sie Liong, kini berbalik malah
diancam tongkat yang menusuk ke arah lambungnya dari samping. Cepat dia
melempar tubuhnya mengelak, akan tetapi kaki Sie Liong menyambar dan diapun
terpelanting!
Untung bahwa tendangan itu
tidak mengenai dengan tepat sehingga tubuh Thay Bo Lama hanya terpelanting saja
dan tidak terluka.
Pada saat itu, Thay Hok
Lama sudah pula menyerang dengan rentai bajanya. Ketika Sie Liong menggerakkan
tongkat menangkis, ujung rantai yang panjang itu melibat tongkat! Maksud Thay
Hok Lama tentu saja untuk merampas tongkat. Dia membetot keras untuk membuat
tongkat di tangan pemuda itu terlepas. Akan tetapi Sie Liong mempertahankan dan
dengan pengerahan sin-kangnya, diapun membalas, menarik dan..... tubuh Thay Hok
Lama melayang terbawa tarikan itu, melambung ke atas sehingga terpaksa Thay Hok
Lama pelepaskan belitan rantainya dan dia meloncat turun dengan muka berubah
merah.
Melihat betapa dua orang
rekan mereka masih terdesak oleh Pendekar Bongkok, Thay Ku Lama memberi isyarat
kepada dua orang sutenya, yaitu Thay Si Lama dan Thay Pek Lama. Tiga orang ini
serentak berloncatan turun ke gelanggang dan merekapun sudah menggerakkan
senjata masing-masing melakukan pengepungan. Thay Ku Lama yang bermuka codet
dan berperut gendut itu telah memegang goloknya, Thay Si Lama yang bermuka
bopeng mempergunakan senjata cambuknya, sedangkan Thay Pek Lama yang barmuka
pucat memegang sepasang pedang! Lengkaplah kini Tibet Ngo-houw (Lima Harimau
Tibet) mengepung Pandekar Bongkok Sie Liong!
Sie Liong tersenyum dan
terbayanglah peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia masih kecil. Ketika
itu, diapun melihat Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan tiga orang gurunya
atau juga dapat disebut suhengnya, yaitu Himalaya Sam Lojin. Mereka adalah
gurunya karena dia menerima gemblengan silat pertama dari mereka bertiga, akan
tetapi merekapun kakak-kakak seperguruannya karena dia adalah murid Pek Sim
Sian-su yang terhitung susiok (paman guru) dari Himalaya Sam Lojin. Masih
terbayang olehnya betapa Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan Himalaya Sam
Lojin, lima orang melawan tiga orang! Suatu pertandingan yang amat hebat dan
dahsyat dan dia masih ingat betapa Himalaya Sam Lojin terdesak oleh Tibet
Ngo-houw yang lihai itu. Untung ketika itu muncul Pek Sim Sian-su dan juga sute
dari kakek sakti itu, Koay Tojin yang aneh dan Tibet Ngo-houw dapat dikalahkan
dan diusir.
Dan kini, dia seorang diri
harus menghadapi pengeroyokan lima orang Lama yang amat lihai itu! Namun, dia
sudah monerima gemblengan lahir batin dari Pek Sim Sian-su dan dia tidak merasa
gentar sedikitpun juga.
‘Hemm, aku datang
mewakili para tosu yang dimusuhi hanya untuk minta keterangan mengapa mereka
yang tidak berdosa itu dimusuhi, dan ternyata sekarang Tibet Ngo-houw juga
berusaha keras untuk mengeroyok aku! Apakah inipun termasuk perintah Yang Mulia
Dalai Lama? Ataukah nama beliau itu hanya kalian pergunakan untuk menjatuhkan
nama Dalai Lama? Bukankah ini juga merupakan suatu muslihat dalam pemberontakan
kalian terhadap Dalai Lama? Sungguh bagus sekali!! Sie Liong berkata. Karena
maklum bahwa dia telah masuk sarang harimau dan tidak dapat mengharapkan lolos,
maka diapun tidak menyembunyikan perasaan dan dugaannya.
Ucapan ini membuat lima
orang pendeta Lama itu saling pandang dan tentu saja mereka merasa betapa
janggalnya dan memalukan keadaan mereka di saat itu. Lima orang datuk besar
persilatan yang namanya sudah menjulang tinggi, lima orang kakek sakti yang
usianya sudah mendekati enam puluh tahun dengan senjata-senjata pusaka andalan
mereka di tangan, kini mengepung seorang pemuda yang cacat tubuhnya, bongkok
dan hanya memegang senjata sebatang tongkat kayu pula!
Betapa memalukan keadaan
ini. Akan tetapi mereka berada di sarang sendiri, tidak ada orang luar yang
menyaksikan peristiwa memalukan itu. Yang hadir di situ hanyalah para rekan
mereka, yaitu Kin Sim Lama, yang tentu maklum bahwa mereka harus maju bersama
menghadapi musuh yang demikian lihainya, meskipun masih amat muda dan bongkok
pula. Betapapun juga, ucapan Sie Liong tadi menyentuh perasaan harga diri
mereka dan kini mereka berdiri berjajar, tidak lagi mengepung. Hal ini mereka
lakukan atas isyarat Thay Ku Lama orang pertama di antara mereka.
Mereka hendak menggunakan
tenaga gabungan mereka untuk mengalahkan Sie Liong sehingga tidak akan
kelihatan terlalu mengepung dan mengeroyok! Mereka berdiri berjajar sambil
bergandeng tangan, Thay Ku Lama di ujung kanan sebagai kepala dan Thay Si Lama
di sebelah kiri paling ujung sebagai ekor. Mereka membentuk suatu barisan yang
mereka ciptakan sendiri dan nama barisan ini adalah Siang-thouw-coa (Ular
Berkepala Dua). Memang barisan atau ‘tin! ini mirip garakan ular yang
berkepala dua. Mereka berlima dengan bergandeng tangan menghadapi lawan dengan
gerakan melingkar-lingkar dan meliuk-liuk dan yang menjadi penyerang utama
hanyalah sang kepala dan sang ekor yang keduanya dapat berganti tempat. Jadi
penyerang utama hanya Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, sedangkan tiga orang Lama
yang lain, karena kedua tangan mereka bergandeng untuk menyambung barisan itu,
hanya membantu dengan tendangan-tendangan saja.
Menghadapi lima orang
lawan yang sudah menyimpan senjata masing-masing dan kini bergandeng tangan
itu, Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima
orang pendeta Lama sakti yang amat berbahaya, lihai dan licik sekali. Maka, dia
pun menduga bahwa mereka tentu akan mempergunakan suatu cara penyerangan yang
istinewa, dan melihat cara mereka bergandeng tangan, diapun dapat menduga bahwa
ini tentu semacam tin (barisan) dan cara bergandeng tangan itu menunjukkan
bahwa mereka berlima tentu akan menyatukan tenaga sin-kang mereka. Ini
berbahaya bukan main. Menghadapi mereka itu satu lawan satu, mungkin dia masih
dapat menandingi kekuatan sin-kang mereka, bahkan mengatasi mereka. Akan tetapi
kalau tenaga sin-kang mereka berlima disatukan, dia harus berhati-hati sekali,
terutama kalau hendak mengadu tangan!
‘Sie Liong, bocah
sombong! Hendak kami lihat apakah engkau mampu menandingi barisan kami!! teriak
Thay Ku Lama dan ‘barisan! lima orang ini mulai bergerak, melenggang-lenggok
dan seperti ular berjalan mengelilingi Sie Liong! Thay Ku Lama berada paling
depan sebagai kepala dan Thay Si Lama paling belakang sebagai ekor. Melihat
lima orang pendeta Lama ini berjalan beriringan sambil bergandeng tangan
seperti itu, sungguh merupakan penglihatan yang aneh dan lucu, seperti melihat
lima orang anak kecil bermain-main saja.
Akan tetapi Sie Liong sama
sekali tidak menganggap demikian. Dia tetap waspada, melintangkan tongkatnya di
depan dada dan pandang matanya, juga pandengaran telinganya, tak pernah
melepaskan gerakan lima orang lawan itu. Ketika lima orang itu mengelilinginya,
dia tidak ikut memutar-mutar tubuh, hanya lenernya saja bergerak perlahan
mengikuti mereka dan setelah mereka tiba di belakang tubuhnya, diapun memutar
leher dari arah lain dan mengikuti gerakan mereka lagi hanya dengan
menggerakkan leher. Tak pernah dia menggeser kaki yang selalu siap bergerak
dengan sikap bertahan dan menjaga diri.
Pancingan pertama ini saja
sudah tidak berhasil. Tadinya, Siang-thouw Coa-tin (Barisan Ular Kepala Dua)
ini mengelilingi lawan memancing agar lawan ikut pula berputar. Kalau lawan
melakukan ini, mereka akan berlari cepat mengelilinginya, memaksa lawan
berputar demikian cepat dan dengan mengubah-ubah arah, berbalik-balik, maka
lawan yang berputaran di dalam lingkaran mereka tentu akan menjadi bingung dan
juga pening sehingga kedudukannya menjadi lemah. Namun, Pendekar Bongkok itu
tidak mau memutar tubuh, hanya mengikuti gerakan mereka dengan leher saja.
Kalau dilanjutkan seperti itu, bukan Pendekar Bongkok yang menjadi bingung,
pening dan lelah, melainkan mereka sendiri.
Gerakan Siang-thouw
Coa-tin itu kini berubah, mereka masih mengitari Sie Liong akan tetapi berganti
arah, yang tadinya ekor menjadi kepala dan kepala menjadi ekor. Berubah lagi
beberapa kali, kemudian, atas isyarat Thay Ku Lama yang melihat pemuda itu
tidak terpancing dan tenang saja, Thay Si Lama melakukan penyerangan pertama.
Tangan kirinya bergandeng dengan tangan Thay Pek Lama, kini dia mempergunakan
tangan kanan untuk menghantam ke arah kepala Sie Liong.
‘Wuuuuuuttt....!! Sie
Liong cepat mengelak karena dia merasa betapa pukulan itu mengandung angin
pukulan yang amat dahsyat. Ketika pukulan itu melewati atas kepalanya,
tiba-tiba barisan itu membalik dan kini ‘ekornya!, yaitu Thay Ku Lama sudah
berganti kedudukan menjadi kepala dan tangan kiri orang pertama dari Tibet
Ngo-houw ini sudah mencengkeram ke arah dada Sie Liong! Cepat dan tidak terduga
sekali gerakan ini sehingga Sie Liong terkejut.
Dia cepat membuang diri ke
belakang sambil berjungkir balik.
‘Brettt....!! Ujung baju
di dada Sie Liong tersentuh cengkeraman tangan kiri Thay Ku Lama dan terbukalah
lubang di baju bagian dada itu, dan bekas robekan menjadi hangus!
Sambil melompat menjauhi,
Sie Liong yakin bahwa dugaannya benar. Lima orang itu menyatukan tenaga
sin-kang dan dia seolah menghadapi seorang lawan yang memiliki kekuatan
sin-kang yang amat hebat. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk
berpikir banyak karena pada saat itu, Siang-thouw Coa-tin telah bergerak lagi
dan dengan dahsyat dan cepatnya, juga dengan cara yang aneh dan tidak dapat
diduga sebelumnya, menyerangnya dengan hantaman-hantaman tangan yang mengandung
sin-kang amat kuat.
Sukar diduga siapa yang
akan menyerangnya, Thay Ku Lama ataukah Thay Si Lama. Namun, Sie Liong sudah
cepat mempergunakan langkah-langkah ajaib yang pernah dilatihnya dari Pek Sim
Sian-su. Langkah-langkah yang menjadi dasar dari Thian-te Sin-tung dan yang membuat
tubuhnya berkelebatan bagaikan bayang-bayang saja dan biarpun dia terdesak
hebat, namun sampai belasan jurus lamanya, belum pernah ada pukulan lawan yang
mampu menyerempetnya lagi.
Setelah dua puluh jurus
dia selalu mengelak sambil memperhatikan gerakan barisan lima orang itu,
akhirnya diapun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan Ular Kepala Dua adalah
karena dua orang yang berada di kedua ujung itulah yang menyerangnya secara
bergantian, dan mereka itulah kepala dan ekor, akan tetapi ekor dapat pula menjadi
kepala dan sebaliknya. Justeru perubahan tiba-tiba inilah yang membingungkan
lawan.
Dan diapun melihat betapa
tiga orang pendeta Lama lainnya yang menjadi penghubung dan penyalur tenaga
sin-kang yang disatukan, tidak dapat banyak berbuat sebagai penyerang karena
kedua tangan mereka saling gandeng. Hanya kadang-kadang saja tiga orang ini membantu
dengan tendangan kaki, akan tetapi karena tubuh mereka tidak bebas, dengan
kedua tangan saling bergandengan itu mereka seperti terikat oleh barisan, maka
tendangan mereka itu pun tldak banyak artinya bagi Sie Liong. Dan pemuda yang
cerdik inipun menemukan suatu kenyataan yang memberi harapan, yaitu bahwa di
bagian ‘tubuh! atau tengah yang dimainkan tiga orang inilah bagian barisan
itu yang paling lemah!
‘Yaaaaattt....!! Thay Ku
Lama sudah menyerang lagi dengan hantaman telapak tangan terbuka ke arah dada
Sie Liong ketika pemuda itu membalik dari elakan serangan sebelumnya. Bukan
main kerasnya angin pukulan itu. Sie Liong yang sudah membuat perhitungan
matang, lalu menggerakkan kedua tangan pula untuk menyambut pukulan itu dari
jarak dua meter. Dia tentu saja tidak berani menyambut langsung, maklum betapa
hebatnya tenaga gin-kang yang mendorong pukulan itu. Akan tetapi dalam jarak
dua meter, dia berani mengambil resiko karena tidak terlalu berbahaya. Dia juga
mengerahkan sin-kang yang lemas, tidak mau mengadu keras lawan keras karena
tenaga sin-kang jelas jauh kalau dibandingkan tenaga lawan yang disatukan itu,
jauh kalah.
‘Desss....!! Dua pasang
tangan itu tidak sampai bertemu, tidak saling sentuh, akan tetapi tenaga
sin-kang yang menyambar sebagai kekuatan dahsyat itu telah saling bertemu dan
bertumbuk di udara. Akibatnya hebat bukan main. Sie Liong merasa seperti
didorong oleh angin taufan dan diapun terlempar! Namun, dia sudah
memperhitungkan sehingga dia membiarkan dirinya terjatuh ke atas tanah lalu dia
bergulingan. Dengan cepat tubuhnya berguling-guling ke sana-sini sehingga
mematahkan tenaga luncuran sambil memperhatikan keadaan barisan lawan. Seperti
yang diduganya, lima orang Tibet Ngo-houw itu mengira bahwa dia tentu terluka,
dan mereka itu sudah datang menghampiri dengan cepat, dengan gerakan
lenggak-lenggpk seperti seekor ular.
Tiba-tiba Sie Liong yang
bergulingan itu tubuhnya menyambut dan setelah cukup dekat, dia meloncat dan
mengeluarkan suara melengking nyaring, tongkatnya bergerak-gerak sehingga
ujungnya menjadi banyak dan diseranglah tiga orang yang berada di
tengah-tengah!
Serangan yang tiba-tiba
ini membuat Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang berada di
tengah-tengah terkejut bukan main. Juga Thay Ku Lama dan Thay Si Lama yang
menjadi kepala dan ekor barisan itu terkejut. Mereka tadi salah perhitungan.
Mereka mengira bahwa Sie Liong terluka.
Sungguh tak mereka sangka
kini pemuda itu bahkan menyerang dengan hebat ke arah bagian barisan yang
lemah. Tiga orang sute mereka itu hanya mampu membantu dengan penyaluran
tenaga, sama sekali tidak dapat menangkis atau mengelak karena mereka itu
seperti terkait dan terjepit! Padahal, serangan tongkat di tangan pemuda
bongkok itu dahsyat bukan main karena dia memainkan jurus-jurus Thian-te
Sin-tung!
‘Lepaskan ikatan!!
bentak Thay Ku Lama yang melihat betapa tiga orang sutenya terancam bahaya maut
oleh tongkat kayu yang digerakkan secara lihai sekali itu.
Terlepaslah tangan mereka
yang bergandengan dan kini tiga orang pendeta Lama yang diserang itu dapat
menggunakan kaki tangan mereka untuk membela diri. Merekapun segera bargerak,
ada yang mengelak dan ada yang menangkis. Namun, gerakan mereka malepaskan diri
dari ikatan barisan tadi terlambat sedikit dan akibatnya, Thay Pek Lama
terjengkang dengan pundak tertotok ujung tongkat, Thay Hok Lama juga
terpelanting karena kakinya menjadi lumpuh sebelah ketika ujung tongkat singgah
di lutut kirinya, sedangkan Thay Bo Lama terhuyung ke belakang, dadanya kena
didorong tangan kiri Sie Liong sehingga terasa napasnya sesak dan dadanya
nyeri.
Masih untung bagi tiga
orang pendeta Lama itu bahwa Sie Liong hanya berniat menghancurkan Siang-thouw
Coa-tin itu saja, tidak berniat membunuh sehingga baik tongkat maupun tangan
kirinya, menyerang dengan tenaga yang terbatas. Bagaimanapun juga, jelas bahwa
barisan itu dapat dia pecahkan dan kini lima orang pendeta Lama itu berdiri
dengan muka berubah merah karena malu dan marah. Tiga orang pendata Lama yang
tadi terkena serangan, juga sudah dapat memulihkan tenaga dan mereka sudah
menyambar senjata masing-masing, seperti juga yang dilakukan Thay Ku Lama dan
Thay Si Lama!
Melihat ini, Sie Liong
menjura. ‘Apakah ucapan Tibet Ngo-houw tidak dapat dipercaya lagi? Aku sudah
menandingi barisanmu dan berhasil memecahkannya, kenapa kalian malah
mengeluarkan senjata?!
‘Pendekar Bongkok,
apakah engkau takut?! Thay Ku Lama bertanya dengan suara mengejek, juga empat
orang sutenya mengeluarkan suara mengejek, semua ini tentu saja untuk menghibur
atau menutupi kekalahannya tadi yang membuat mereka merasa malu, penasaran dan
marah.
Mendengar ini, tiba-tiba
saja Sie Liong menekuk punggungnya yang bongkok ke belakang dan dia menengadah,
memandang langit-langit ruangan yang luas itu dan diapun mengeluarkan suara
ketawa yang membuat semua orang di situ terkejut dan tercengang. Suara ketawa
itu amat nyaring melengking, akan tetapi juga bergelak dan gemuruh seperti
gelombang, mendatangkan getaran dahsyat yang seolah-olah akan meruntuhkan
bangunan ruangan itu!
Bahkan Kim Sim Lama
sendiri memandang kagum. Belum pernah selamanya dia bertemu dengan seorang
pemuda seperti ini, yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali! Bukan hanya
hebat ilmu kepandaiannya, akan tetapi juga luar biasa sekali tabah dan
beraninya! Seorang diri memasuki sarangnya dan menyambut tantangan Tibet
Ngo-houw! Sungguh hampir tak masuk akal dan sukar dipercaya! Kehebatan Sie
Liong ini saja sudah mendatangkan perasaan sayang di dalam hatinya dan betapa
akan senangnya kalau dia dapat mempunyai seorang pendukung atau pembantu
seperti pemuda bongkok itu!
‘Ha-ha-ha-ha-ha!! Sie
Liong menghentikan ketawanya yang bergelombang dan bergemuruh tadi, lalu
menudingkan tongkatnya ke arah muka Tibet Ngo-houw dan suaranya terdengar tidak
seperti tadi, lemah lembut, melainkan tegas dan berani penuh kekuatan dan
kegagahan. ‘Tibet Ngo-houw, bukan aku yang takut, melainkan kalian! Buktinya
kalian mengeroyok aku! Seorang seperti aku ini, apa artinya takut? Aku seorang
sebatangkara yang tidak memiliki apa-apa, tubuhpun cacat, dan kematian bagiku
hanya kembali ke tempat yang jauh lebih baik daripada di dunia yang penuh
kekotoran dan manusia busuk macam kalian ini! Bagiku, yang ada hanyalah
berpegang kepada kebenaran dan keadilan. Demi kebenaran dan keadilan, matipun
tidak apa-apa!
Kematian hanya pulang dan
kembali kepada sumber kebenaran dan keadilan! Sebaliknya, kalian ini biarpun
berpakaian pendeta, selalu menuruti nafsu angkara murka, menjadi setan sehingga
kalian takut mati, karena kematian kalian akan menyeret kalian kepada kerajaan
setan dan iblis!!
Seperti juga suara
ketawanya tadi, kini ucapannya itu membuat banyak orang di situ merasa panas
dingin dan bulu tengkuk mereka meremang. Akan tetapi, Tibet Ngo-houw yang sudah
merasa malu dan penasaran, tidak memperdulikan semua itu dan atas isyarat Thay
Ku Lama, mereka sudah bergerak mengepung dengan senjata masing-masing di tangan
Sie Liong berada di tengah-tengah dan diapun sudah siap siaga. Dia tahu bahwa
kalau dia dikeroyok dengan pengepungan seperti ini, akan rugilah dia kalau
hanya mempertahankan diri saja. Kalau sampai dia terdesak, akan sukarlah
meloloskan diri dari kepungan, sukar untuk membalas serangan lawan yang tentu
bertubi-tubi datangnya. Oleh karena itu, diapun mengambil keputusan untuk
mendahului lawan dan mengambil sikap menyerang dan mengamuk!
Tiba-tiba dia mengeluarkan
lengkingan dahsyat dan tubuhnya bergerak ke kiri. Pemuda bongkok itu sudah
menyerang Thay Bo Lama yang berada di sebelah kirinya. Karena dia menggunakan
jurus dari ilmu tongkat Thian-te Sin-tung, tentu saja serangannya itu hebat
bukan main. Thay Bo Lama menggerakkan tombaknya menangkis, dan Thay Hok Lama
yang berada di sampingnya juga mengayun rantai baja untuk melindungi sutenya,
juga untuk menyerang Sie Liong! Namun, begitu serangannya gagal, Sie Liong
tidak membiarkan dirinya diserang. Serangan Thay Hok Lama itu dia hindarkan
dengan loncatan ke kanan dan dia sudah menotokkan ujung tongkatnya ke arah
leher Thay Si Lama.
‘Tar-tar-tarrrr!! Thay
Si Lama menggerakkan cambuknya meledak-ledak ketika ujung tongkat di tangan Sie
Liong itu bagaikan seekor lalat menyambar-nyambar ke arah lehernya. Dia tahu
betapa hebatnya totokan itu kalau mengenai sasaran, maka dengan sibuk diapun
melindungi dirinya dengan putaran cambuk. Sementara itu, Thay Pek Lama juga
menggerakkan siang-kiam (sepasang pedang) untuk membantu suhengnya dan membalas
serangan Sie Liong.
Ketika pedang itu
menyambar pinggang dan leher, Sie Liong melempar tubuh ke bawah dan bergulingan
ke arah Thay Ku Lama. Begitu melompat, tongkatnya sudah menyerang dengan
tusukan ke perut orang pertama Tibet Ngo-houw itu! Lama ini cepat memutar golok
menjaga dirinya. Akan tetapi Sie Liong sudah membalik ke belakang lagi untuk
menyerang Thay Hok Lama!
Amukan Sie Liong itu
mangejutkan Tibet Ngo-houw. Gerakan pemuda itu demikian cepat, membagi-bagi
serangan sehingga mereka tidak sempat menyusun kekuatan untuk mengepung dan
menghimpit. Melihat ini, dengan muka merah dan hati panas sekali Thay Ku Lama
berseru nyaring.
‘Ngo-heng-tin (barisan
lima unsur)!!
Mendengar bentakan ini,
para sutenya sadar dan mereka segera berlompatan menjauhi Sie Liong dan membuat
berisan segi lima! Dan merekapun mulai bergerak mengelilingi Sie Liong, semakin
lama semakin cepat dan lingkaran yang mereka buat itu semakin sempit. Sie Liong
tidak berani lagi menyerang seperti tadi karena maklum bahwa begitu dia
menyerang seorang di antara mereka, yang empat orang akan menubruk dan
menyerangnya dari empat jurusan secara berbareng!
Dia pernah mendengar dari
Pek Sim Sian-su tentang beberapa tin (barisan) dan Ngo-heng-tin merupakan
barisan yang berbahaya, apalagi karena lima orang anggautanya mempergunakan
lima macam senjata sehingga sukar sekali diduga gerakan dan corak penyerangan
mereka. Akan tetapi diapun teringat pelajaran yang diberikan oleh para gurunya.
Antara lain Pek Sim Sian-su pernah menceritakan sifat dan kehebatan
Ngo-heng-tin. ‘Dalam Ngo-heng-tin terdapat unsur Im-yang pula, demikian kata
kakek sakti itu. Lima unsur itu saling bantu, sehingga kalau ada seorang anggauta
diserang, selain dia sendiri dapat membela diri, juga ada anggauta lainnya yang
melindunginya, sedangkan tiga orang lainnya tentu akan membarengi saat itu
untuk menghantam lawan. Memang kalau lima orang anggauta Ngo-heng-tin itu
memiliki tenaga dan kepandainn yang setingkat denganmu, amat sukarlah
mengalahkan mereka. Akan tetapi, dengan Thian-te Sin-tung dan langkah-langkah
ajaib, tentu engkau akan dapat mempertahankan diri. Kalau engkau bisa
memecahkan unsur yang paling membantu itu, baru engkau akan dapat mengacaukan
pertahanan mereka. Usahakan agar engkau mengenal siapa di antara mereka itu
yang saling melindungi, siapa yang memegang unsur air, api, kayu, tanah dan
angin.! Demikianlah petunjuk yang diperolehnya dari Pek Sim Sian-su.
Terdengar seruan keras
ketika Thay Ku Lama membuka serangan pertama! Golok di tangannya itu mula-mula
diacungkan ke atas, dan kedua kaki pendeta yang bertubuh gemuk dengan perut
gendut itu ditekuk sehingga tubuhnya hampir berjongkok. Dari perutnya berbunyi
suara berkokokan seperti suara katak besar dan perut yang gendut itu
bergoyang-goyang, kemudian tubuhnya meloncat ke depan dan tangan kirinya dengan
jari terbuka mendorong ke arah Sie Liong. Uap hitam disertai angin keras
menyambar ke arah Sie Liong. Itulah pukulan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Angin
Taufan Awan Hitam) yang amat berbahaya. Sie Liong mengenal pukulan ampuh, maka
diapun melempar tubuh ke kiri sehingga angin pukulan itu lewat. Ketika sinar
golok di tangan kanan Thay Ku Lama menyambar, dia menggerakkan tongkatnya
menangkis, lalu membalas dengan totokan-totokan ke arah tujuh jalan darah utama
di bagian depan tubuh lawan!
Menghadapi jurus hebat
dari Thian-te Sin-tung ini yang membuat dirinya terancam maut oleh
totokan-totokan, Thay Ku Lama menjadi sibuk dan cepat memutar goloknya untuk
melindungi tubuhnya. Thay Si Lama cepat sekali memutar cambuknya, selain
melindungi sehengnya, juga ujung cambuk itu berusaha membelit tongkat untuk
merampasnya!
Sie Liong mulai merasakan
keampuhan barisan Ngo-heng-tin. Dengan otomatis, ketika Thay Ku Lama
diserangnya, Thay Si Lama sudah berada di situ, melindunginya dan ikut pula
menyerangnya.
Dia meloncat tinggi
melewati tubuh para pengepungnya dan tiba di belakang Thay Hok Lama, akan
tetapi begitu lima orang pengeroyoknya membuat gerakan berlari dan berlompatan,
dirinya sudah dikepung lagi oleh barisan segi lima itu. Dia cepat menubruk ke
depan, menggerakkan pedangnya yang mula-mula menusuk ke arah sepasang mata Thay
Pok Lama, kemudian ujung tongkat digetarkan untak menghantam leher dan
ubun-ubun secara bergantian. Thay Hok Lama cepat mengeluarkan sepasang
pedangnya menangkis, dan pada saat itu, secara otomatis pula Thay Hok Lama
sudah menggunakan rantai bajanya melindungi Thay Pek Lama. Dan kedua orang
pendeta Lama ini bergabung dan menyerang Sie Liong.
Setelah mencoba untuk
mengamuk beberapa belas jurus lamanya, tehulah Sie Liong bahwa benar seperti
dikatakan gurunya, lima orang itu saling melindungi. Dia lalu mencari mata
rantai yang tidak bersambung dalam barisan itu. Tiba-tiba dia menyerang Thay Si
Lama dengan hebatnya. Dia tahu bahwa tentu Thay Pek Lama yang akan melindungi
suhengnya itu. Dan benar saja, Thay Pek Lama secara otomatis telah melindungi
Thay Si Lama, akan tetapi ketika mereka berdua hendak membalas serangan Sie
Liong, pemuda itu telah membalik secara tiba-tiba dan diapun sudah menyerang
Thay Bo Lama!
Dia sudah memperhitungkan
bahwa tentu Thay Ku Lama yang akan melindungi orang termuda dari Tibet Ngo-houw
itu. Ketika Thay Ku Lama bergerak, diapun menarik kembali serangannya dan
tiba-tiba dia menyerang Thay Hok Lama si mata satu! Serangannya sekali ini hebat
bukan main, karena selain tongkatnya membuat serangan tusukan beruntun yang
dahsyat, juga tangan kirinya dengan tenaga sin-kang sepenuhnya melakukan
hantaman dengan ilmu Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung), ilmu pukulan sakti
yang dia pelajari dari Hek Bin Tosu.
Thay Hok Lama terkejut
bukan main dan memutar rantai melindungi dirinya. Dia mengharapkan perlindungan
Thay Bo Lama seperti telah menjadi bagian masing-masing dalam barisan itu,
namun baru saja Thay Bo Lama bergerak mundur karena desakan Sie Liong yang
ternyata hanya pura-pura itu, maka sekali ini, Thay Hok Lama harus melinduagi
diri sendiri dan tidak mempunyai pelindung lain. Akan tetapi, serangan Sie
Liong itu terlampau hebat. Dia mampu monangkis tongkat, akan tetapi tidak mampu
manghindarkan diri sama sekali dari tangan kiri Pendekar Bongkok yang
memukulnya. Namun dia masih berusaha menangkis dangan tangan kirinya.
‘Desss....!! Tubuh Thay
Hok Lama terpelanting keras dan terbanting sampai terguling-guling.
Tentu saja para Lama yang
lain menjadl terkejut bukan main. Tak pernah mereka bermimpi bahwa Ngo-heng-tin
akan dapat dipecahkan sedemikian mudahnya oleh Pendekar Bongkok sehingga belum
lewat tiga puluh jurus saja seorang dari mereka sudah roboh!
Tiba-tiba nampak bayangan
merah berkelebat dan tahu-tahu Kim Sim Lama yang memegang sebatang tongkat
pendeta telah berada di tempat di mana tadi Thay Bo Lama berdiri.
‘Ngo-seng-tin (Barisan
Lima Bintang)!! serunya dengan suaranya yang lembut namun berwibawa. Empat
orang Lama itupun bergerak dan dipimpin oleh Kim Sim Lama sendiri, mereka
membentuk barisan Bintang Lima yang gerakannya aneh namun cepat, seperti
bintang yang berkedap-kedip karena senjata mereka digerak-gerakkan berkilauan
dan kedudukan mereka selalu berubah. Tiba-tiba mareka berlima itu menyerang
dari lima penjuru! Sie Liong cepat memutar tongkatnya melindungi diri, dan
tangan kirinya mendorong dengan pukulan yang dia ubah-ubah pula untuk
membingungkan para pengeroyoknya. Tongkatnya membentuk benteng yang amat kuat
sehingga semua senjata terpental kalau hendak menerobos ke dalam lingkaran
benteng sinar itu. Hanya tongkat di tangan Kim Sim Lama saja yang mampu membuat
Sie Liong merasakan lengannya terguncang hebat dan kedudukan kakinya terhuyung.
‘Trakkk!! Pertemuan
antara tongkat di tangan Sie Liong dan tongkat pendeta berkepala naga yang
besar di tangan Kim Sim Lama amatlah hebatnya. Bukan saja Sie Liong tergetar,
juga Kim Sim Lama tercengang dan jelas nampak betapa wajahnya dibayangi
kekaguman dan keheranan karena dia mendapatkan kenyataan bahwa pemuda itu mampu
menandingi kekuatan sing-kangnya!
Sie Liong tidak membiarkan
dirinya dilanda kekagetan, melainkan cepat dia menghindarkan diri dari sambaran
tombak Thay Bo Lama yang menusuk ke arah lehernya. Dia merendahkan dirinya dan
tangan kirinya mendorong ke arah penyerangnya itu, cepat sekali.
‘Hyaaaattt....!! Hawa
yang amat dingin menyambar ganas ke arah dada Thay Bo Lama. Ternyata Pendekar
Bongkok telah mempergunakan Swat-liong-ciang (Tangan Naga Salju) yang
dilatihnya dari Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin. Pukulan
ini memang mengandung sin-kang yang berhawa dingin seolah-olah ada hawa salju
yang menyambar ganas.
Thay Bo Lama terkejut dan
menangkis dengan lengan kirinya pula.
‘Plakkk!! Dan akibatnya,
tubuhnya terguling dan diapun menggigil kedinginan!
Saat itu dipergunakan oleh
Thay Ku Lama untuk menyambarkan goloknya yang mengeluarkan suara berdesing! Sie
Liong menundukkan mukanya dan menggerakkan tongkat menangkis. Pada saat yang
sama, tongkat naga di tangan Kim Sim Lama kembali menyambar. Sie Liong yang
maklum akan kehebatan pemimpin pemberontak ini, terpaksa menggunakan tongkat
yang tadi membalik ketika menangkin golok Thay Ku Lama, untuk menghadapi
sambaran tongkat naga Kim Sim Lama.
‘Dukkk!! Sekali ini,
demikian kuatnya Kim Sim Lama menghantamkan tongkatnya, pula karena Sie Liong
baru saja menangkis golok Thay Ku Lama sehingga tenaganyapun tidak sepenuhnya.
Akibatnya Sie Liong terpelanting!
Kesempatan itu
dipergunakan oleh Thay Si Lama untuk manghantamkan cambuknya ke arah kepala Sie
Liong. Cambuk itu melecut dengan cepat seperti kilat menyambar! Sie Liong masih
berhasil menggerakkan tongkatnya menangkis walaupun dia sudah terpelanting.
Namun, ujung cambuk itu membelit tongkatnya dan terjadi tarik menarik. Sie
Liong mengerahkan tenaga dan tangan kirinya mendorong dengan telapak tangan
terbuka ke arah Thay Si Lama. Thay Si Lama yang menguasai ilmu silat Sin-kun
Hoat-lek, yaitu silat yang bukan saja mengandung tenaga sin-kang kuat, akan
tetapi bahkan juga mengandung ilmu sihir itu, tidak gentar dan diapun
menggerakkan telapak tangan kiri menyambut.
‘Desss....!! Hebat bukan
main pertempuran dua telapak tangan dan akibatnya, tubuh Thay Si Lama
terjengkang dan diapun muntah darah! Sie Liong sendiri juga terjengkang karena
kedudukannya tadi tidak menguntungkan ketika dia mengadu tenaga dalam dengan Thay
Si Lama. Kuda-kudanya tidak kokoh karena dia tadi dalam keadaan terpelanting
dan terhuyung.
Pada saat dia terjengkang,
ujung tongkat di tangan Kim Sim Lama menyambar dan menyentuh punggungnya. Sie
Liong terkulai lemas dan roboh pingsan! Melihat betapa Thay Si Lama muntah
darah, empat orang rekannya menjadi marah dan mereka sudah menggerakkan senjata
untuk melumatkan tubuh Pendekar Bongkok.
‘Tahan!! Kim Sim Lama
berseru dan tongkatnya diputar melindungi tubuh Sie Liong. Lima orang Harimau
Tibet itu kini memandang heran kepada pemimpin mereka. Bahkan Thay Si Lama yang
mengusap darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.
‘Maaf, susiok (paman
guru), akan tetapi Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah selayaknya
kalau dia dibunuh!! katanya dengan nada tidak senang.
‘Hemm, kalian ini sudah
berpengalaman luas, mengapa masih berpandangan picik dan masih mudah
dipengaruhi kemarahan dan dendam? Yang penting bagi kita adalah langkah yang
kita perhitungkan, langkah yang pasti akan menguntungkan usaha kita! Kalau dia
kalian bunuh, lalu apa untungnya? Boleh jadi dia lihai, akan tetapi tidak cukup
lihai untuk membuat kita gentar. Pula, apa artinya dia seorang diri saja
menghadapi kita? Sebaliknya, kalau dia tidak dibunuh, banyak pilihan bagi kita
untuk memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan sebesarnya.!
Lima orang pendeta Lama
itu memandang penuh perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para sutenya bertanya,
‘Susiok, manfaat apa yang dapat kita ambil dari bocah bongkok ini?!
‘Ha-ha-ha-ha! Nah,
kalian lihatlah,! katanya kepada belasan orang pembantu utamanya.
‘Tanpa pimpinan pinceng,
kalian sama seperti sekumpulan gajah kehilangan pembimbing. Biarpun kalian
kuat, kelau tidak pandai mempergunakan akal, tidak akan ada gunanya dan tidak
akan mencapai jauh! Dengarlah. Kita semua telah melihat bahwa bocah ini,
biarpun masih muda dan tubuhnya bongkok, namun dia telah mewarisi ilmu kepandaian
yang hebat dan kiranya hanya pinceng seorang saja yang akan mampu
menandinginya. Kalian semua, kalau maju satu lawan satu, bukanlah tandingannya!
Nah, kalian tentu tahu betapa akan baik dan menguntungkan sekali bagi kita
kalau saja dia mau membantu gerakan kita.!
‘Akan tetapi, susiok!
Dia adalah murid Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim Sian-su. Dia
musuh kita dan mana mungkin dia mau membantu gerakan kita?! Thay Si Lama
mencela.
‘Bagaimana kalau kita
mempergunakan sihir agar dia kehilangan ingatan dan suka membantu kita?! kata
Thay Hok Lama.
Kim Sim Lama menggeleng
kepalanya. ‘Memang benar bahwa kiranya takkan mungkin dia membantu kita, dan
penggunaan sihirpun tidak ada artinya bagi seorang yang sudah memiliki sin-kang
sekuat itu.!
‘Pinceng dapat
membuatkan racun perampas ingatan....! kata pula Thay Hok Lama si ahli racun.
Kim Sim Lama tetap
menggeleng kepalanya. ‘Biarpun dia sudah kehilangan ingatan, watak dasarnya
tentu melarang dia untuk membantu kita. Dan apa artinya orang yang kehilangan
ingatan untuk kita? Bahkan dia akan dapat menimbulkan kekacauan karena
ketololannya. Tidak, agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu
perjuangan kita dengan tenaganya.!
‘Lalu untuk apa lagi,
susiok?! Thay Pek Lama bertanya.
Kim Sim Lama tersenyum dan
mukanya yang merah kekanak-kanakan itu kini kelihatan cerdik luar biasa.
Matanya mencorong, berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek.
‘Kita dapat
mempergunakan dia untuk memperuncing hubungan yang sudah memburuk antara Dalai Lama
dan para tosu. Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh Dalai
Lama, barulah kematiannya ada gunanya untuk kita.!
Lima orang Tibet Ngo-houw
mengangguk-angguk dan merekapun melihat manfaat itu. ‘Akan tetapi, bagaimana
caranya agar dia dapat terbunuh oleh Dalai Lama, atau agar para tosu menganggap
kematiannya disebabkan oleh Dalai Lama?!
‘Tentu saja satu-satunya
jalan adalah agar dia mati di dalam istana Dalai Lama di Lasha!! kata Kim Sim
Lama.
‘Akan tetapi, bagaimana
caranya menyelundupkan dia ke dalam istana?! tanya Thay Bo Lama.
Kim Sim Lama tersenyum
lagi. ‘Tidak percuma pinceng menyebar orang-orang ke dalam Lasha. Biarlah
kita menanti kesempatan yang baik. Sementara ini, kita tahan dia di dalam
penjara lebih dulu.!
‘Akan tetapi, hal itu
berbahaya sekali, susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup di dalam
penjara, bagaimana kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos dari
dalam penjara?! Thay Ku Lama berseru khawatir.
‘Ha-ha-ha-ha, mengapa
engkau begitu bodoh? Tentu saja kita harus membuat dia tidak berdaya lebih
dahulu. Nah sekarang racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok
Lama.!
Thay Hok Lama merasa
girang karena dia dapat berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir pel hitam.
‘Ingatannya dihilangkan sama sekali ataukah untuk sementara, susiok?!
‘Maksudmu bagaimana?!
tanya Kim Sim Lama.
‘Pinceng mempunyai dua
butir pel racun perampas ingatan. Kalau diminumkan sebutir, maka dia akan
kehilangan ingatan selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir
sekaligus dimasukkan ke perutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya
sehingga semua syaraf ingatan di kepalanya akan hangus dan diapun akan
kehilangan ingatan untuk selamanya.! Thay Hok Lama tertawa gembira karena
bangga akan keahliannya tentang racun.
‘Berikan sebutir saja.
Mungkin kita memerlukan dia dalam keadaan sadar dan setelah sebulan, kalau
perlu, kita bisa meminumkannya sebutir lagi.!
Thay Hok Lama menghampiri
tubuh Sie Liong yang masih pingsan, menotok lehernya sehingga dengan mudah dia
membukakan mulut pemuda itu dan memaksakan sebutir pel ke dalam
kerongkongannya. Dengan arak yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu
memasuki perut Sie Liong tanpa diketahui pemuda yang masih pingsan itu.
‘Ha-ha-ha, setelah siuman
dia sudah akan lupa segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami lempar dia di
dalam kamar tahanan?! tanya Thay Hok Lama.
‘Nanti dulu! Biarpun
ingatannya hilang, kalau tenaganya masih demikian kuat dan nalurinya masih
membuat dia mampu bersilat, hal itu tetap saja membahayakan.!
‘Jangan khawatir,
susiok. Pinceng mempunyai racun lain yang akan meracuni darahnya sehingga kalau
dia mengerahkan sin-kangnya dia akan roboh sendiri,! kata Thay Hok Lama dan
kembali dia mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan ke dalam perut Sie Liong
melalui mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan ke dalam sebuah
kamar tahanan yang berpintu besi.
‘Ha-ha-ha, dalam
keadaannya seperti itu, dia tidak berbahaya lagi, seperti orang biasa saja.
Tidak perlu kita sendiri yang berjaga, cukup dijaga anak buah saja,! kata Thay
Hok Lama dan demikianlah, Sie Liong dilempar ke dalam kamar tahanan dan pemuda
itu menggeletak pingsan di atas lantai kamar yang dingin itu. Lima orang Tibet
Ngo-houw meninggalkan kamar itu setelah menyuruh enam orang penjaga berjaga di
luar pintu besi dengan senjata di tangan. Tidak perlu dijagapun, pemuda yang
sudah makan dua macam obat beracun itu takkan mampu membebaskan diri dari dalam
kamar penjara!
***
Bayangan itu berkelebat
cepat sekali meninggalkan wuwungan rumah penginapan. Bulan sepotong sudah naik
tinggi dan sinarnya yang remang-remang menyinari muka orang yang berkelebat
turun dari wuwungan genteng rumah penginapan itu. Dia seorang pemuda tampan
sekali, dengan wajahnya yang bulat bersih dan sepasang alis yang hitam lebat,
hidungnya mancung dan matanya mencorong, mulutnya selalu tersenyum memikat dan
pakaiannya mewah dan bersih. Dia tersenyum-senyum ketika berhenti di kebun
rumah penginapan itu, menoleh ke arah kamarnya yang berada di bagian tengah.
‘Selamat tidur, suci
yang manis,! bisiknya sambil tersenyum. Pemuda ini adalah Coa Bong Gan, murid
ke dua Koay Tojin yang melakukan perjalanan bersama sucinya, Yauw Bi Sian ke
Lasha untuk mencari Pendekar Bongkok Sie Liong. Seperti telah diceritdkan di
bagian depan, mereka memasuki kota Lasha dan di kota ini mereka berhasil
mendapat keterangan tentang Pendekar Bongkok yang kabarnya akan melakukan
penyelidikan ke sarang Kim-sim-pai daerah Telaga Yam-so.
Tentu saja Bi Sian segera
akan melakukan pengejaran ke sana, akan tetapi Bong Gan mencegahnya,
mengingatkan bahwa mereka harus lebih dulu menyelidiki Kim-sim-pai yang amat
ditakuti penduduk dan di mana adanya sarang perkumpulan yang akan didatangi Sie
Liong itu. Selain alasan ini, juga ada alasan rahasia yang membuat Bong Gan
menahan sucinya agar jangan hari itu juga pergi meninggalkan Lasha!
Tadi, di rumah makan, dia
bertemu dengan seorang wanita yang demikian cantik manis sehingga membuat
hatinya jungkir balik! Yang membuat dia tergila-gila dan mengobarkan berahinya
adalah ketika wanita yang cantik manis itu di rumah makan tadi jelas memberi
tanda kepadanya dengan main mata! Kerling dan senyum wanita itu demikian
memikatnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa dia tidak bertepuk tangan
sebelah. Bukan dia saja yang bangkit berahinya, melainkan wanita itupun jelas
tidak menyembunyikan perasaan hatinya yang tertarik kepadanya! Dia harus dapat
bertemu dengan wanita itu, malam ini juga!
Sebelum dia dan sucinya
meninggalkan Lasha, dia harus dapat mendekati wanita itu untuk mempererat
hubungan, untuk berkenalan. Akan tetapi, setelah berhasil keluar dari rumah
penginapan tanpa diketahui siapapun, dan sucinya tentu sudah tidur di kamar
sebelah yang sudah gelap dan sunyi, dia menjadi bingung sendiri. Ke mana dia
harus mencari wanita itu? Ada sesuatu pada wajah wanita itu yang amat menarik
hatinya, yang secara mendadak saja menimbulkan gairah cintanya.
Tiba-tiba hidungnya
kembang kempis. Keharuman mawar demikian menyolok hidungnya. Apakah kebun ini
banyak bunga mawarnya? Akan tetapi ketika dia menoleh ke sekeliling, tidak ada
pohon bunga mawar di situ. Akan tetapi keharuman itu demikian keras dan semakin
keras lagi. Tiba-tiba ia merasa ada orang di belakang. Cepat dia memutar
tubuhnya dan.... benar saja, dalam jarak lima meter dia melihat sesosok tubuh
yang ramping. Akan tetapi, jarak itu terlampau jauh dalam keremangan itu untuk
dapat mengenal mukanya. Hanya terdengar suara kekeh wanita dan orang itupun
meloncat dan berkelebat pergi.
Seorang wanita! Cepat Bong
Gan melakukan pengejaran. Dia makin heran dan kagum. Wanita itu sungguh
memiliki ilmu berlari cepat yang hebat! Dia mengejar terus. Wanita itu melalui
jalan-jalan sunyi dan setelah tiba di sebuah lapangan rumput dekat sungai kecil
yang sunyi karena tempat itu merupakan pinggiran kota Lasha, dengan suara
ketawa kecil masih terdengar, ia berhenti, seolah menanti.
Bong Gan meloncat ke depan
wanita itu dan dia terpesona, terbelalak dan sejenak dia bengong. Wanita itu
adalah wanita cantik manis yang membuatnya tergila-gila tadi! Betapa manisnya
wajah yang bulat telur dengan dagu runcing itu. Kulit muka dan leher itu putih
mulus, manisnya bukan main!
‘Hi-hik, kenapa engkau
mengejarku?! terdengar suaranya yang merdu dan penuh godaan.
‘Karena aku tergila-gila
kepadamu, nona. Pertemuan antara kita di rumah makan itu telah membuat aku
jatuh cinta padamu, nona!! jawab Bong Gan yang masih belum hilang kekaguman dan
keheranannya karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis cantik
jelita yang membuatnya tergila-gila itu bukan wanita sembarangan saja,
melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu lari cepat yang agaknya tidak
berada di bawah tingkatnya!
Wanita itu bukan lain
adalah Pek Lan. Sebagai seorang yang mata keranjang dan gila pria ganteng,
begitu bertemu dengan Bong Gan tentu saja ia sudah tertarik bukan main. Ia
merasa betapa wajah pemuda ganteng itu tidak asing baginya, namun ia lupa lagi
entah di mana pernah bertemu pemuda yang gagah dan ganteng itu. Sayang pemuda
itu sudah mempunyai pasangan, seorang gadis yang demikian cantik. Akan tetapi
justeru hal ini bahkan menimbulkan gairahnya, karena ia merasa ada saingan dan
ia harus menang! Ia sudah bosan dengan permainan cinta Thai-yang Suhu yang
biarpun masih tampan dan gagah, narnun sudah tua itu.
Malam itu, setelah ia tadi
membayangi pemuda dan gadis itu dan mengetahui rumah penginapan mereka, ia lalu
pergi mengunjungi rumah penginapan dan tanpa disangka-sangkanya, ia melihat
bayangan melayang turun dari wuwungan rumah penginapan. Tentu saja ia terkejut
dan heran, dan lebih besar lagi keheranannya ketika ia mengenal pemuda tampan
yang digandrungi itulah bayangan yang amat gesit itu. Hatinya menjadi semakin
bergairah. Kiranya seorang pemuda yang lihal! Ia semakin tertarik, dan ia lalu
memancing pemuda itu keluar dari daerah ramai, menuju ke tempat sunyi di tepi
sungai kecil yang mengalir di dekat tembok kota Lasha. Kini, mendengar
pengakuan pemuda itu yang mengaku tergila-gila dan jatun cinta padanya, Pek Lan
tertawa.
‘Aih, benarkah engkau
jatuh cinta padaku? Kalau begitu, aku harus mengujimu dulu apakah engkau cukup
gagah untuk dapat berdekatan dengan aku. Sambut seranganku ini!! Dan tiba-tiba Pek
Lan sudah melakukan penyerangan dengan tangan kosong. Gerakannya cepat dan juga
mengandung tenaga kuat sehingga terdengar angin berdesir.
Timbul kegembiraan di hati
Bong Gan. Kiranya bukan hanya pandai berlari cepat, pikirnya. Dia harus
menunjukkan bahwa dia cukup jantan dan gagah untuk dapat ‘berdekatan! dengan
wanita cantik yang menantang ini. Cepat diapun mengelak untuk menghindarkan
serangan orang dan diapun membalas.
Tarnyata wanita itu
memiliki gerakan yang gesit dan serangan Bong Gan dapat pula ia elakkan dengan
cepat, kemudian ia melancarkan serangan bertubi-tubi yang membuat Bong Gan
diam-diam menjadi semakin kagum. Kalau tadinya dia masih tersenyum mengejek dan
hendak main-main, kini dia tahu bahwa wanita itu sungguh lihai dan dia sama sekali
tidak boleh memandang ringan! Segera dia mainkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu
inti dari Koay Tojin.
Ilmu silat ini dapat
dimainkan dengan tangan kosong, atau dapat pula dengan pedang, namun pada
intinya ilmu silat ini adalah ilmu silat tongkat yang disebut Ta-kwi Tung-hoat
(Silat Tongkat Pemukul IbliS). Begitu dia memainkan ilmu silat ini, kedua
tangannya merupakan sepasang tongkat yang ampuh sekali dan memiliki gerakan
yang aneh sehingga Pek Lan beberapa kali mengeluarkan seruan kagum. Namun, biarpun
agak terdesak, ia masih dapat mengindarkan semua rangkaian serangan lawan.
Karena ia memang sudah tertarik kepada pemuda itu, maka ia tidak mau
mengeluarkan ilmu pukulan yang amat dahsyat, yaitu Hek-in Tok-ciang (Tangan
Beracun Awan Hitam).
‘Tahan dulu....!!
serunya sambil melompat ke belakang.
Bong Gan berdiri dan
tersenyum, merasa menang karena betapapum juga, dia tadi sudah berhasil
mendesak lawan dengan ilmu silat Pemukul Iblis dan wanita itu yang minta
berhenti.
Akan tetapi Pek Lan sudah
mengeluarkan pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil tersenyum.
Manis dan gagah sekali. ‘Aku sudah melihat ilmu silat tangan kosongmu dan
merasa kagum. Akan tetapi aku belum melihat bagaimana kehebatanmu kalau bermain
senjata. Nah, keluarkan senjatamu dan mari kita main-main sebentar. Sebelum
berkenalan, aku ingin mengenal kepandaianmu lebih dulu.!
Ketika masih ikut Koay
Tojin, baik Bong Gan maupun Bi Sian tidak pernah diperbolehkan menggunakan
senjata tajam walaupun mereka diajar bermain ilmu tongkat Ta-kwi Tung-hoat yang
dapat dimainkan dengan pedang. Bi Sian sendiri juga tidak pernah menggunakan
pedang. Baru setelah ia mewarisi pedang Pek-lian-kiam dari ayahnya gadis itu
membawa senjata tajam. Demikian pula Bong Gan hampir tidak pernah membawa
senjata tajam karena kedua kaki tangannya saja sudah cukup ampuh untuk
menghadapi lawan yang bersenjata sekalipun.
Dia tidak gentar
menghadapi gadis yang berpedang itu dengan tangan kosong, akan tetapi sebagai
seorang laki-laki gila perempuan yang sudah banyak mengenal wanita, Bong Gan
maklum akan watak wanita yang pada umumnya suka disanjung, suka dimanja dan
dihargai. Kalau kini dia maju dengan tangan kosong tentu wanita itu akan
tersinggung dan merasa dipandang rendah. Hal ini sungguh akan merugikan
dirinya.
Dia lalu mengambil
sebatang ranting pohon sebesar lengannya, dan sambil melintangkan tongkat
sepanjang hampir dua meter itu dia berkata, ‘Maaf, nona. Aku tidak pernah
membawa senjata. Pula, kita adalah kenalan baru yang hendak mempererat
hubungan, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata tajam melawanmu? Biarlah
aku menggunakan tongkat ini saja.!
Pek Lan mengerutkan
alisnya. ‘Engkau memandang rendah kepadaku?!
Bong Gan menahan
senyumnya. Tepat seperti yang diduganya. Wanita ini tidak menyimpang dari watak
wanita pada umumnya, tidak suka dipandang rendah dan ingin selalu dihargai.
Maka diapun cepat berkata,
‘Aih, siapa berani
memandang rendah kepadamu, nona? Dari pertandingan tangan kosong tadi saja aku
tahu bahwa aku bukanlah tandinganmu! Apalagi kalau engkau berpedang, mana aku
berani memandang rendah? Terus terang saja, satu-satunya senjata yang paling dapat
kuandalkan adalah tongkat dan kalau ada tujuh belas macam senjata pilihan di
sini, aku tetap akan memilih sebatang tongkat.!
Lenyap kerut di antara
sepasang alis yang hitam panjang melengkung indah itu. ‘Bagus, kalau begitu,
aku ingin melihat ilmu tongkatmu! Sambutlah pedangku ini!! Dan iapun menyerang
dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali.