Kisah Pendekar Bongkok bab 16-20

bab 16-20. ‘Tentu saja engkau berbeda sekali dengan mereka! Engkau seorang pendekar sakti yang budiman, penentang kejahatan, dan mereka itu adalah segerombolan orang jahat yang berhati kejam, yang suka melakukan kejahatan. Bayangkan saja andaikata tidak ada engkau, Liong-ko, aih.... aku akan tertimpa malapetaka yang bagiku lebih mengerikan dan menyedihkan daripada maut sendiri. Engkau sudah benar, Liong-ko, tidak ada sesuatu untuk disesalkan.!
Anonim
Bab 16

‘Tentu saja engkau berbeda sekali dengan mereka! Engkau seorang pendekar sakti yang budiman, penentang kejahatan, dan mereka itu adalah segerombolan orang jahat yang berhati kejam, yang suka melakukan kejahatan. Bayangkan saja andaikata tidak ada engkau, Liong-ko, aih.... aku akan tertimpa malapetaka yang bagiku lebih mengerikan dan menyedihkan daripada maut sendiri. Engkau sudah benar, Liong-ko, tidak ada sesuatu untuk disesalkan.!

Sie Liong memandang gadis itu dan tersenyum, akan tetapi senyumnya tidaklah segembira malam tadi atau pagi tadi sebelum terjadi peristiwa itu.

‘Engkau tidak mengerti, Ling Ling. Sudahlah, mari kita kemasi barang kita untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, sebelum itu aku akan menguburkan dulu lima jenazah itu.!

‘Menguburkan mereka?! Gadis itu terbelalak, akan tetapi melihat sinar mata pendekar itu, iapun menunduk. ‘Baiklah, Liong-ko.... aku hanya menuruti semua perintahmu.!

Mendengar jawaban ini dan melihat sikap Ling Ling, senyumnya melebar dan tidak begitu pahit lagi. Gadis ini sungguh merupakan sinar baru dalam kehidupannya. Dia tadi merasa terpukul dan berduka sekali mengenangkan kekejaman yang telah dilakukannya terhadap lima orang yang tidak dikenalnya itu. Dan dia tahu bahwa kekejaman itu dia lakukan karena cemburu dan kebencian yang amat hebat. Padahal, kebencian merupakan suatu hal yang harus dihindarkan, demikian yang selalu dipesankan oleh Pek-sim Sian-su kepadanya.

Tak lama kemudian, Sie Liong sudah membuat lubang kuburan untuk lima jenazah orang-orang yang tidak pernah dikenalnya itu. Ling Ling hanya menonton dari kejauhan, tidak mau mendekat karena merasa ngeri. Diam-diam gadis ini semakin kagum kepada Sie Liong. Seorang pendekar sakti yang budiman, gagah perkasa, namun berhati lembut. Mana ada orang mau menguburkan jenazah orang-orang jahat yang tadi menjadi musuhnya?

Setelah selesai mengubur jenazah lima orang yang dibunuhnya itu dengan sederhana namun pantas, Sie Liong lalu mengajak Ling Ling melanjutkan perjalanan ke selatan.

Telaga Nam berada di kaki Pegunungan Thang-la, di sebelah utara kota Lasha, ibu kota di Tibet. Biarpun telaga ini amat indah, namun tidak banyak orang datang berkunjung, karena tempat ini terlalu jauh di barat bagi mereka yang tinggal di Propinsi-propinsi Cing-hai, Sin-kiang, Se-cuan, atau Yun-nan. Hanya beberapa orang penduduk Tibet yang berkeadaan mampu saja yang kadang-kadang berpesiar ke Telaga Nam. Orang-orang Han jarang yang tiba di tempat itu. Orang Han yang berdatangan ke Tibet hanyalah mereka yang berdagang, dan yang mereka kunjungi hanyalah kota-kota besar seperti La-sha. Yang berkunjung ke telaga Nam hanya orang-orang Tibet atau peranakan Han Tibet.

Akan tetapi, pada pagi hari yang cerah itu, nampak seorang pemuda dan seorang gadis mendayung perahu kecil di telaga itu. Mereka merupakan pasangan yang cocok sekali. Senang orang memandangnya. Yang pria merupakan seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh satu tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya yang berwarna biru dan kuning itu rapi, menambah ketampanannya. Wajahnya dengan kulit muka putih bersih itu berbentuk bulat, sepasang alisnya berbentuk golok dan hitam sekali. Hidungnya besar mancung dan mulutnya selalu tersenyum mengejek. Sepasang matanya tajam mencorong,

Akan tetapi kadang-kadang ada kilatan aneh seperti mengandung kekejaman. Adapun yang wanita adalah seorang gadis barusia kurang lebih delapan belas atau sembilan belas tahun. Seorang gadis yang berwajah manis sekali, dengan sepasang mata yang kocak, tajam dan jeli. Wajah yang manis ini menjadi semakin menarik karena selalu cerah, penuh dengan senyum dan pandang mata jenaka, wajah yang hampir selalu berseri. Anehnya gadis ini mengenakan pakaian tambal-tambalan, padahal pakaian itu bersih sekali dan kain-kain tambalan itu sama sekali bukan kain buntut. Agaknya memang dibuat tambal-tambalan, dari bahan kain yang baru! Di punggungnya tergantung sebatang pedang.

Mereka itu adalah Yauw Bi Sian dan sutenya, Coa Bong Gan. Biarpun Bong Gan lebih tua dari Bi Sian, namun dia terhitung sute (adik seperguruan) gadis itu karena gadis itu yang lebih dulu menjadi murid Koay Tojin. Seperti kita ketahui, Bi Sian marah dan mendendam kepada Sie Liong, adik ibunya yang dahulunya menjadi teman sepermainan dan dahulu amat disayangnya itu. Ia merasa yakin bahwa pamannya itu telah membunuh ayahnya, dan karena itu maka ia minggat dari rumah untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayahnYa. Dan ia minta bantuan sutenya, Coa Bong Gan, untuk membantunya mencari Sie Liong dan membalas dendam karena ia tahu bahwa Sie Liong amat lihainya sebagai murid supeknya, yaitu Pek-sim Sian-su.

Karena dua orang ini mencari dengan sungguh-sungguh, dengan teliti, dan karena Sie Liong merupakan seorang yang bongkok dan mudah diikuti jejaknya, maka akhirnya Bi Sian dan Bong Gan mengikuti jejak Sie Liong ke daerah Tibet! Dan di sepanjang perjalanan, mereka mendengar akan sepak terjang Pendekar Bongkok. Mereka menduga bahwa tentulah Sie Liong yang dijuluki Pendekar Bongkok, maka mereka terus melakukan pengejaran. Akan tetapi setelah tiba di daerah Tibet, mereka kehilangan jejak Sie Liong. Daerah ini merupakan daerah yang masih liar dan jarang penduduknya. Berhari-hari mereka melalui daerah yang tidak ada dusunnya, maka tentu saja amat sukarnya mencari seseorang di daerah itu, biarpun orang itu mempunyai cacat bongkok sekalipun.

‘Semua orang yang pergi ke Tibet tentu akan berkunjung ke ibu kota Tibet, yaitu kota Lasha,! kata Bong Gan. ‘Sebaiknya kita pergi saja ke sana. Kalau kita tidak dapat menemukan dia di sana, setidaknya kita tentu akan dapat mencari keterangan tentang dia.!

Bi Sian menyetujui pendapat sutenya dan pergilah mereka menuju ke Lasha. Pada pagi hari itu, mereka tiba di Telaga Nam. Melihat keindahan tempat itu, mereka berhenti dan ingin berpesiar dulu di situ selama satu dua hari. Bi Sian tidak perduli akan pandangan orang melihat pakaiannya yang aneh, penuh tambalan namun baru. Memang ia setia kepada kebiasaan gurunya, yaitu Koay Tojin, dan biar sekarang tidak melakukan perjalanan bersama gurunya lagi, namun ia tetap masih mempergunakan pakaian tambal-tambalan. Ia sendiri tidak tahu apakah rasa suka akan pakaian tambal-tambalan ini karena sudah terbiasa, ataukah memang ingin sederhana, ataukah melalui kesederhanaan dan tambal-tambalan yang tidak wajar itu justeru ia ingin menonjolkan diri agar diperhatikan orang!

Kesederhanaan yang ditonjolkan dan disengaja, bukanlah kesederhanaan lagi namanya, melainkan kesombongan terselubung! Kesederhanann yang mempunyai arti adalah kalau orang itu tidak merasa lagi bahwa dia sederhana! Kesederhanaan adalah kewajaran, tidak dibuat-buat, dan merupakan suatu keadaan kepribadian seseorang. Bukan terletak pada pakaian seadanya, bukan terletak di luar, melainkan bersumber di sebelah dalam dirinya.

Berbeda dengan Bi Sian, Coa Bong Gan yang ketika kecilnya meniadi anak angkat seorang hartawan dan sudah biasa hidup royal, setelah berpisah dari gurunya, meninggalkan kebiasaan berpakaian tambal-tambalan. Dia mengenakan pakaian yang selalu rapi, walaupun tidak terlalu menyolok, tidak terlalu royal karena sucinya tentu akan menegurnya. Padahal, kalau dia mau, tentu saja dia bisa membeli pakaian yang mahal dan indah. Uangnya? Mudah saja! Di setiap kota terdapat hartawan dan tidak ada penjaga yang cukup kuat, tidak ada pintu yang cukup kokoh baginya kalau dia mau mengambil uang sekehendak hatinya dari gudang harta seorang hartawan!

Semenjak melakukan perjalanan bersama Bi Sian, terjadi perang selalu dalam batin Bong Gan. Dia memaksa diri untuk bersikap baik dan sesuai dengan yang diinginkan sucinya. Dia memaksa diri bersikap sebagai seorang pendekar tulen dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua selalu menentang kejahatan dan menolong mereka yang tertindas. Akan tetapi sebenarnya, di lubuk hatinya, Bong Can muak dengan semua itu. Bahkan dia harus menekan semua gejolak nafsunya. Semua ini dia lakukan bukan karena dia takut kepada sucinya, melainkan karena dia telah jatuh cinta kepada Bi Sian, karena dia tidak mau menentang semua kehendak Bi Sian, ingin selalu menyenangkan hatinya.

Di lain pihak, Bi Sian bukanlah seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah berusia kurang lebih sembilan belas tahun, sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terkandung dalam hati sute yang lebih tua itu terhadap dirinya. Dan ia selalu dalam bimbang ragu, karena ia sendiri belum yakin apakah ia juga mencinta sutenya itu sebagai seorang wanita mencinta seorang pria ataukah tidak. Ia suka kepada sute yang penurut itu, dan harus diakuinya bahwa Bong Gan adalah seorang pemuda yang baik, penurut, ramah, gagah perkasa dan juga tampan menarik! Akan tetapi, ia selalu mengusir kebimbangan ini dan mengambil keputusan bahwa sebelum ia mampu membalas kematian ayahnya terhadap Sie Liong, ia tidak akan memikirkan urusan cinta!

Baru setelah dua orang murid ini berpisah dari guru mereka, dan Bong Gan sudah berusia dua puluh tahun, pemuda ini mulai berani membiarkan nafsu berahinya berkobar lagi, berani dia mencarl wanita untuk memuaskan gairah nafsu berahinya, baik secara suka sama suka, secara suka rela, dengan cara membeli maupun dengan paksaan mengandalkan kepandaiannya. Namun, hal ini dilakukan dengan amat hati-hati, bahkan jarang dia memperoleh kesempatan karena biarpun sudah berpisah dari suhunya yang dia takuti, dia masih bersama sucinya (kakak seperguruan). Bukan karena dia takut kepada Bi Sian, melainkan karena dia jatuh cinta kepada gadis itu. Dia tidak ingin kelihatan sesat dan buruk di depan Bi Sian. Dia tahu bahwa kalau sampai gadis itu mengetahui kesesatannya, tentu harapannya untuk mempersunting bunga yang harum itu akan lenyap.

Ketika berada di Sung-jan, tempat tinggal orang tua Bi Sian, dia bermalam di hotel dan karena itu dia mempunyai kesempatan untuk memuaskan nafsu berahinya dengan berkunjung ke rumah pelesir yang mewah. Celakanya, di situ dia bertemu dengan mendiang Yauw Sun Kok, ayah kandung Bi Sian! Tentu saja dia tidak ingin melihat orang ini memberitahu tentang keberadanya di rumah pelesir itu kepada Bi Sian, maka tidak ada jalan lain kecuali membunuhnya! Dibunuhnya Yauw Sun Kok dan diapun menyamar sebagai Sie Liong yang kelihatannya demikian disayang oleh Bi Sian sehingga menimbulkan perasaan cemburu di hatinya. Perbuatannya ini berhasil baik. Yauw Sun Kok terbunuh dan Sie Liong yang didakwa sebagai pembunuhnya.

Tentu saja dia merasa amat girang ketika Bi Sian minta bantuannya untuk mencari Sie Liong yang melarikan diri, membantunya membalaskan sakit hatinya karena Sie Liong telah membunuh Yauw Sun Kok, seperti telah dipercaya oleh semua orang. Inilah kesempatan baik baginya, bukan saja untuk dapat terus berdekatan dengan gadis yang dicintanya, akan tetapi juga untuk membalas jasa. Kalau mereka maju berdua, betapapun lihainya paman dari Bi Sian itu, tentu mereka berdua akan mampu merobohkannya. Memang si bongkok itu harus dibunuh sehingga rahasia pembunuhan atas diri Yauw Sun Kok itu akan tertutup selamanya.

Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan selama tiga bulan, dia mulai merasa tersiksa. Gadis yang dicintanya itu, sedemikian dekatnya, setiap hari dia harus melihat segala kecantikannya, namun dia tidak boleh memilikinya, tidak boleh menyentuhnya dan tidak boleh membelainya. Yang lebih membuatnya menderita lagi adalah karena tidak ada wanita lain yang dapat menjadi pengganti Bi Sian untuk sementara. Jarang terdapat kesempatan baginya untuk mencari wanita pemuas nafsunya, karena dia selalu bersama Bi Sian dan dia menjaga dengan sungguh agar jangan sampai gadis yang dicintanya itu memergoki dia berhubungan dengan wanita lain.

Ketika dua orang muda itu mendayung perahu kecil di atas Telaga Nam sambil menikmati sinar matahari pagi, hawa udara sejuk hangat dan pemandangan yang amat indah itu, diam-diam Bong Gan memperhatikan gadis yang duduk di depannya. Mereka duduk berhadapan dalam perahu kecil itu. Dia yang mendayung mundur, gadis itu yang mengemudikan dengan dayung lain.

Setelah perahu meluncur sampai di tengah telaga, di mana terdapat sebuah pulau kecil dan di sekeliling pulau itu terdapat bunga teratai merah dan putih, indah sekali, Bi Sian berkata,

‘Kita berhenti di sini. Mari kita ke pulau itu. Alangkah indahnya di sana, sute,! Gadis itu memang selalu bersikap gembira dan terbuka, namun hatinya keras sehingga kadang nampak galak.

Mereka mendekatkan perahu ke pantai lalu mendarat di atas pulau kecil itu. Dengan gembira sekali Bi Sian berlari-lari ke tengah pulau, dikejar oleh Bong Gan. Mereka lalu duduk di bagian paling tinggi dari pulau itu, duduk di atas rumput hijau tebal yang lunak. Melihat wajah sucinya yang putih halus kemerahan itu, yang pagi itu nampak cantik sekali, melihat betapa sucinya duduk di atas rumput tebal di dekatnya, terbayang dalam pikiran Bong Gan betapa akan senang dan nikmatnya kalau mereka telah menjadi sepasang kekasih, bermes raan dan bergumul di atas rumput hijau itu, di atas pulau kecil yang demikian sunyi, dikelilingi air telaga yang biru dan luas, tidak ada seorang lainpun yang mengganggu. Bayangan pikiran ini membuat jantungnya berdebar dan gairah nafsunya timbul dan berkobar. Namun, Bong Gan adalah seorang pemuda cerdik sekali. Biarpun gairah nafsu telah mencengkeramnya, dia tidak menjadi mata gelap. Dia tahu bahwa kalau dia mempergunakan kekerasan, selain belum tentu dia akan mampu menundukkan sucinya, juga hal itu akan membuat harapannya untuk memperisteri Bi Sian hancur sama sekali. Gadis itu tentu akan membencinya. Padahal, dia benar-benar jatuh cinta kepada Bi Sian, bukan sekedar hendak mempermainkannya saja, melainkan hidup bersamanya sebagai suami isteri.

‘Hai, sute! Kenapa engkau memandang padaku seperti itu?! tiba-tiba pertanyaan yang mengejutkan hatinya itu keluar dari mulut Bi Sian. Gadis ini merasa heran melihat betapa sutenya memandang kepadanya tidak seperti biasa, dengan sinar mata yang demikian tajam dan jelas sekali pandang mata itu mengandung kekaguman dan kemesraan yang mengejutkan hatinya.

Ditegur secara seperti itu, Bong Gan yang sedang melamun dan membiarkan dirinya dibuai khayal indah itu, terkejut dan dia tersipu. ‘Suci, aku sedang gembira sekali!! jawabnya, kecerdikan dan ketenangannya menolongnya sehingga dia tidak nampak gugup ketika menjawab.

Melihat sikap sutenya biasa saja, lenyap kecurigaan Bi Sian dan iapun memandang ke sekeliling, lalu menghela napas panjang. ‘Yahhhh.... akupun gembira sekali, sute. Memang amat indah pemandangan di sini, indah menyenangkan dan hawanyapun nyaman bukan main!!

‘Aku merasa seperti di sorga, suci!!

Bi Sian memandang pemuda itu dan tertawa. ‘Di sorga? Hi-hik, seperti engkau pernah tahu sorga saja. Memang indah sekali pemandangan di sini, indah dan hening, hawa udara jernih dan di sini begini tenang, begini penuh damai dan tenteram.... akan tetapi seperti sorga? Aku tidak tahu....!

‘Bukan tempatnya yang mendatangkan perasaan bahagia di hatiku, suci.!

Bi Sian kembali menoleh dan masih tersenyum. ‘Bukan karena tempatnya dan hawa udaranya? Lalu karena apa?!

‘Karena ada engkau di dekatku, suci.!

‘Ihhh!! Bi Sian meloncat bangkit, kini berdiri dan bertolak pinggang, ke dua pipinya berubah merah. ‘Sute, apa maksudmu dengan omongan itu?!

Bong Gan masih tetap duduk. Dia mengangkat muka, memandang wajah gadis itu dengan sikap tenang. ‘Maafkan aku, suci, aku hanya bicara sejujurnya saja. Entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, suci, akan tetapi aku selalu merasa berbahagia di sampingmu. Terutama sekali saat ini, kita hanya berdua saja di pulau kecil kosong ini. Alangkah bahagianya kalau aku terus dapat berada di sampingmu, selama hidupku.!

Wajah yang tadinya kemerahan itu berubah agak pucat, dan Bi Sian merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Tentu saja ia mengerti apa yang menjadi isi hati sutenya itu.

‘Sute, kau.... bicaramu aneh sekali. Mana mungkin kita berdampingan selama hidupmu....!

‘Kenapa tidak mungkin, suci? Kalau kita menjadi suami isteri....!

‘Sute....!!! Bi Sian berseru, matanya terbelalak karena ia menganggap sutenya terlalu berani, terlalu lancang.

‘Maaf, suci. Kalau suci menganggap aku bersalah atau kurang ajar, aku pasrah dan siap menerima hukuman. Akan tetapi dengarkan dulu pengakuanku, suci. Kita bergaul sejak aku berusia tiga belas tahun dan engkau sebelas tahun, mengalami suka duka yang sama, menjadi teman berlatih, teman bermain, dan bahkan sekarang, setelah kita berdua berpisah dari suhu, kita masih berdampingan. Dahulu aku memang memiliki perasaan sayang seperti seorang saudara seperguruan kepadamu, suci. Akan tetapi setelah kita sama-sama dewasa.... biarlah aku mengaku terus terang saja, akibatnya terserah kebijaksanaanmu. Aku telah jatuh cinta padamu, suci, dan aku mengharapkan kelak untuk dapat menjadi suamimu, hidup berdampingan denganmu selama hidupku.!

Wajah Bi Sian sebentar pucat sebentar merah mendengar pengakuan sutenya itu. Memang ia sudah menduga bahwa sutenya jatuh cinta padanya, akan tetapi begitu pengakuan itu keluar dari mulut sutenya sendiri, bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa haru, ada malu, ada pula marah karena sutenya dianggapnya lancang, ada pula rasa girang dan semua perasaan itu teraduk membuat ia sejenak tak mampu bergerak ataupun mengeluarkan kata-kata. Sejenak mereka saling pandang, dan akhirnya Bi Sian menghela napas sambil memutar tubuh membelakangi sutenya. Kemudian terdengar suaranya lirih.

‘Sute....!!

‘Ya, suci?! jawab Bong Gan penuh harap.

‘Mulai sekarang, engkau kularang bicara seperti itu lagi, kularang membicarakan tentang cinta lagi!!

‘Tapi, suci, jawablah dulu pernyataan cintaku padamu. Sudikah engkau menerimanya? Sudikah engkau membalasnya? Agar ada kepastian dan tidak lagi membuat aku bimbang ragu, suci. Kasihanilah aku....!

‘Cukup! Aku tidak dapat menjawab sekarang! Pendeknya, aku melarang engkau bicara tentang itu lagi sebelum aku berhasil menemukan Sie Liong dan membunuhnya. Kalau engkau tidak setuju dengan permintaanku ini, engkau boleh pergi dan aku tidak membutuhkan bantuanmu lagi untuk menghadapi musuh besarku itu.!

Di belakang Bi Sian, Bong Gan tersenyum, senyum kemenangan. Kalau gadis ini tidak suka kepadaku, tentu ia sudah menjadi marah dan seketika mengusirku, pikirnya. Akan tetapi, Bi Sian mengajukan syarat, yaitu menjawab kalau sudah berhasil membunuh Sie Liong, si bongkok! Hal ini meyakinkan hatinya bahwa sucinya itupun ‘ada hati! kepadanya. Andaikan tidak, tidak mungkin memberi waktu untuk menjawabnya. Kalau gadis itu tahu bahwa jawabannya kelak akan ‘tidak!, tentu ia tidak akan memberi waktu. Jawabannya jelas ‘ya!, akan tetapi tunggu sampai musuh itu dapat dibunuh.

‘Baiklah, suci. Nasibku berada di tanganmu, kebahagiaan hidupu berada dalam genggamanmu. Aku menerima syaratmu itu dan maafkan kelancanganku tadi.!

Bi Sian menarik napas lega, ia lalu membalikkan tubuh lagi menghadapi Bong Gan dan wajahnya sudah pulih kembali seperti biasa. Akan tetapi agaknya ia sudah kehilangan kegembiraannya di pulau itu. ‘Mari kita kembali ke darat dan melanjutkan perjalanan kita ke Lasha.!

‘Baik, suci,! kata Bong Gan, tak banyak membantah karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dia tidak boleh membuat sucinya marah atau jengkel.

Note : Di Bab 7, Bi Sian dan Bong Gan sudah sepakat bahwa Bi Sian memanggil Bong Gan Suheng, dan sebaliknya Bi Sian memanggil Bong Gan sumoi, kok sekarang Bi Sian memanggil Bong Gan sute, dan Bong Gan memanggil suci, apakah mereka sudah lupa dengan kesepakatan tersebut ?????, masih muda sudah lupa, he.he...he.

***

Semenjak puterinya pergi tanpa pamit, dan setelah selesai mengurus jenazah suaminya, Sie Lan Hong hampir setiap hari menangisi nasibnya. Nona ini masih muda, baru berusia tiga puluh tahun, akan tetapi sejak remaja sudah harus mengalami banyak penderitaan batin yang amat berat. Dalam usia lima belas tahun, demi menyelamatkan adiknya, terpaksa ia harus menyerahkan dirinya kepada pria yang telah membunuh ayah ibunya di depan matanya! Bahkan kemudian menjadi isteri pembunuh orang tuanya itu. Penderitaan batin hebat ini menjadi ringan setelah iapun akhirnya jatuh cinta kepada pria itu dan bahkan melahirkan seorang anak perempuan dari pria yang menjadi suami dan ayah anaknya itu. Kemudian, hatinya tersiksa lagi karena sikap suaminya kepada adiknya. Suaminya membenci adik kandungnya sehingga adiknya itu sampai melarikan diri. Kembali ia menderita kalau teringat kepada adiknya. Apalagi puterinya juga pergi dibawa orang sakti menjadi muridnya.

Kebahagiaan sebentar dirasakannya lagi ketika adiknya muncul sebagai seorang pendekar walaupun tubuhnya bongkok, lebih bahagia lagi karena puterinya juga pulang sebagai seorang gadis muda yang cantik dan lihai. Akan tetapi, betapa pendeknya kebahagiaan yang dinikmatinya. Suaminya dibunuh oleh Sie Liong! Dia tidak terlalu menyalahkan Sie Liong. Bagaimana mungkin menyalahkan kalau ia mengingat bahwa suaminya adalah pembunuh ayah ibunya, ayah ibu Sie Liong? Ia sendiri, andaikata dahulu memiliki kemampuan, tentu saja tidak sudi diperisteri, bahkan akan membalas dendam dan akan membunuh Yauw Sun Kok! Akan tetapi, puterinya mendendam kepada Sie Liong dan kini puterinya minggat untuk mencari dan membalas dendam kematian ayahnya kepada Sie Liong! Ia tidak dapat menyalahkan Sie Liong yang membunuh suaminya, juga tidak dapat menyalahkan Bi Sian yang hendak membalas sakit hati karena kematian ayahnya.

‘Aihh, apa yang dapat dan harus kulakukan....?! Berulang kali ia mengeluh dalam tangisnya. Selama belasan hari ia tenggelam dalam duka sehingga tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat. Akan tetapi pada suatu pagi, pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan keluar dari kamarnya dengan berdandan memakai pakaian ringkas, membawa sebuah buntalan panjang yang isinya adalah sebatang pedang! Malam tadi ia mengenangkan kembali semua peristiwa, mengenangkan munculnya Sie Liong dalam kamarnya. Ia telah menceritakan kepada Sie Liong, membuka rahasia bahwa pembunuh ayah bunda mereka adalah Yauw Sun Kok dan bahwa ia dapat mengerti mengapa adiknya membunuh suaminya.

Akan tetapi, yang membuat ia merasa ragu adalah sikap Sie Liong. Kenapa adiknya itu terkejut mendengar cerita itu, seolah-olah baru setelah ia bercerita adiknya tahu akan hal itu? Pula, mengapa adiknya menyangkal keras telah membunuh suaminya? Sungguh tidak beralasan sekali bagi Sie Liong untuk terkejut dan menyangkal, kalau memang dia telah mengetahui rahasia itu dan membalas dendam atas kematian ayah ibu mereka. Mengapa adiknya harus berpura-pura dan berbohong kepadanya?

‘Sungguh aneh dan tidak masuk di akal,! pikir Nona muda itu. Pada pagi hari itu, ia tidak mampu lagi menahan kegelisahan dan keraguan hatinya. Ia hidup seorang diri, kehilangan orang-orang yang dicintainya. Ditinggal mati suaminya, juga musuh besar yang dibencinya karena suami itu pembunuh ayah bundanya, akan tetapi juga dicintanya karena suami itu adalah ayah dari puterinya. Kemudian ditinggal pergi Sie Liong, adik kandungnya yang amat disayangnya dan dikasihaninya karena adiknya itu seorang yang memiliki cacat di tubuhnya. Kemudian ditinggal pergi puterinya yang terkasih.

Ia hidup kesepian, apa lagi harus menanggung kegelisahan memikirkan betapa puterinya itu pergi untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayah gadis itu. Ia harus mencegah bentrokan antara mereka itu! Ia harus dapat menemukan Sie Liong dan minta penjelasan akan sikapnya, minta adiknya itu mengakui secara jujur apakah ia membunuh Yauw Sun Kok ataukah tidak. Akan tetapi sebelum ia pergi mencari puterinya dan adiknya, ada satu pekerjaan yang teramat penting baginya, yaitu ia akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Dan satu-satunya tempat di mana ia boleh jadi akan menemukan sesuatu adalah tempat pelesir di mana suaminya pernah menjadi langganan mereka, untuk bermain perempuan dan mabok-mabokan!

Tanpa memperdulikan anggapan orang melihat ibu rumah tangga memasuki tempat pelesir itu, Sie Lan Hong memasuki rumah pelacuran di mana suaminya pernah menjadi seorang langganan yang baik. Ia membawa cukup bekal uang dan dengan pengaruh uang ini mulailah ia menyogok para pelacur untuk memberi keterangan tentang suaminya pada kunjungan terakhir. Dua orang pelacur muda yang manis-manis terpikat oleh janji hadiah uang itu dan mereka mengaku bahwa merekalah yang melayani mendiang Yauw Sun Kok pada kunjungannya yang terakhir kalinya itu.

‘Dia tidak bermalam di sini,! kata mereka, ‘melainkan bersenang-senang dengan kami dan minum arak sampai mabok dan pulang menjelang tengah malam.!

Lan Hong mengangguk dan dengan sabar ia bertanya, ‘Selain itu, apa lagi yang terjadi di sini? Apakah dia bertemu dengan seseorang di sini? Apakah dia membicarakan sesuatu yang masih kalian ingat? Katakan saja terus terang segala hal yang terjadi, kalian akan kuberi hadiah yang indah. Lihat, gelang ini ada dua buah, harganya mahal dan akan kuberikan kepada kalian seorang satu kalau kalian mau menceritakan semua hal dengan terus terang....!

Dua pasang mata pelacur-pelacur itu berkilauan ketika melihat dua buah gelang emas yang tebal dan terukir indah itu.

‘Setelah dia minum agak banyak dia memang mengomel, mengatakan bahwa dia mengenal pemuda yang sedang pelesir dengan kawan-kawan kami, dan bahwa dia tidak suka melihat pemuda itu pelesir di situ, juga tentang kebenciannya kepada seorang bongkok....!

Lan Hong tertarik sekali. ‘Seorang pemuda? Apakah dia berjumpa dengan seorang pemuda di sini?!

‘Ketika dia masuk, dia bertemu dengan seorang kong-cu (tuan muda) yang sedang makan minum ditemani beberapa orang kawan kami. Akan tetapi mereka tidak saling menegur, seperti yang tidak saling mengenal.!

‘Siapakah pemuda itu? Apakah dia.... bongkok?!

Dua orang pelacur itu tertawa.

‘Bongkok? Apanya yang bongkok? Sama sekali tidak! Bahkan dia tampan sekali dan kami berdua menyesal mengapa dia tidak memilih kami. Dia tampan, muda dan royal.!

‘Apakah dia langganan lama di sini?!

‘Tidak! Baru sekali itu dia datang dan sampai kini tidak pernah muncul lagi. Akan tetapi dia masih muda, tampan sekali, dan royal....!

‘Siapa namanya?! tanya Lan Hong dengan jantung berdebar tegang.

‘Nanti dulu, akan kami panggil mereka yang dulu melayaninya,! kata dua orang pelacur itu dan tak lama kemudian dua orang pelacur lain ikut duduk di situ. Mereka inilah dua di antara empat orang pelacur yang pada malam itu melayani pemuda yang mereka bicarakan.

‘Dia tidak menyebutkan namanya, hanya mengatakan bahwa dia putera Coa-wangwe (Hartawan Coa) di kota Ye-ceng maka kami menyebutnya Coa-kongcu (tuan muda Coa). Dia seorang langganan yang.... menyenangkan sekali, sayang hanya satu kali itu dia datang.!

Para pelacur itu tertawa-tawa dan mereka tidak melihat perubahan yang nampak pada wajah Lan Hong. Coa Kongcu? Sute dari Bi Sian itu bernama Coa Bong Gan!

‘Tolong gambarkan, bagaimana bentuk wajah, tubuh dan pakaian Coa-kongcu itu!! tanya Lan Hong, menyembunyikan suaranya yang agak gemetar dengan pertanyaan yang lirih.

‘Aku masih ingat benar! Dia memang hebat segala-galanya!! kata seorang pelacur berbaju hijau yang genit.

‘Wajahnya tampan, bentuknya bulat dan kulitnya putih, alisnya tebal dan hitam sekali, hidungnya mancung dan dia suka.... suka mencium, hi-hik. Dia nakal dan matanya tajam, tubuhnya sedang dan kekuatannya seperti.... kuda jantan! Pakaiannya pesolek....!

Lan Hong sudah bangkit berdiri dan dia memberikan gelang kepada dua orang pelacur pertama, dan memberikan uang yang cukup banyak kepada yang lain. Kemudian, tanpa mengeluarkan kata apapun ia meninggalkan tempat itu.

Pagi hari esoknya, pergilah Sie Lan Hong, Nona muda yang baru berusia tiga puluh tiga tahun itu, meninggalkan rumahnya, membawa buntalan pakaian dan tidak lupa membawa pedangnyanya. Ia pernah bercakap-cakap dengan Sie Liong dan adiknya itu pernah membuat pengakuan bahwa dia akan pergi ke Tibet untuk menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet, mengapa para pendeta itu memusuhi para pertapa di Himalaya. Menurut adiknya, tugas itu harus dia laksanakan sebagai pesan dari para gurunya. Maka, kalau hendak mencari Sie Liong, ia harus pergi ke Tibet. Kota tempat tinggalnya adalah kota Sung-jan yang berada di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang, maka untuk mencari adiknya ia harus melakukan perjalanan ke selatan, memasuki daerah Tibet yang masih asing baginya.

Pada suatu hari Sie Lan Hong tiba di kaki sebuah bukit. Ia merasa lelah sekali. Perjalanan itu sungguh tidak mudah. Bagaimanapun juga, ia seorang wanita yang tergolong masih muda, bahkan dalam usianya yang tiga puluh tiga tahun itu ia nampak sebagai seorang wanita yang matang dan penuh daya tarik. Banyak godaan dihadapinya dalam perjalanan itu. Hal itulah yang membuat ia merasa kesal, disamping tubuhnya juga merasa lelah. Untung bahwa ketika kecil, ia sudah digembleng oleh ayahnya, seorang guru silat sehingga tubuhnya menjadi kuat dan ketika menjadi isteri Yaw Sun Kok, iapun menerima latihan ilmu silat dari suaminya sehingga ia memiliki bekal ilmu silat yang lumayan, cukup untuk sekedar menjaga diri. Dengan sikapnya yang pendiam dan anggun, dengan pedangnya, kaum pria yang tadinya hendak berkurang ajar meniadi jerih dan sampai hampir sebulan dalam perjalanan, ia masih dapat menyelamatkan diri dari ganguan para pria iseng.

Ketika tiba di kaki bukit itu, ia menjadi bingung. Menurut keterangan yang diperoleh di dusun terakhir tadi, di depan tidak ada lagi dusun sebelum ia melewati bukit itu. Dan bukit itu cukup besar, dilihat dari bawah penuh dengan hutan! Dan matahari sudah mulai condong ke barat. Agaknya, ia akan kemalaman di bukit itu dan terpaksa harus melewatkan malam di bukit. Baru pada hari esok ia boleh mengharapkan dapat bertemu dusun lagi. Hatinya agak kecut. Tempat itu sunyi sekali dan menyeramkan. Ia sudah memasuki daerah Tibet, dan ia tidak tahu ke mana harus mencari adiknya atau puterinya. Akan tetapi, ia akan pergi ke Lasha dan di sana ia mengharapkan akan mendapat keterangan tentang dua orang yang dicintanya dan dicarinya itu. Menurut keterangan terakhir yang ia dapatkan, perjalanan ke Lasha masih membutuhkan waktu sedikitnya satu bulan lagi!

Mengapa aku tidak membeli saja seekor kuda di dusun terakhir itu, pikirnya. Kalau dengan menunggang kuda, tentu perjalanan akan dapat dilakukan lebih cepat dan tidak begitu melelahkan seperti sekarang ini. Dengan hati kecut iapun mulai mendaki bukit itu. Ia mendaki dengan cepat, memaksa kedua kakinya yang sudah lelah karena sedapat mungkin ia harus tiba di puncak bukit dan mencari tempat yang baik dan aman untuk bermalam sebelum hari menjadi gelap.

Baru saja ia tiba di lereng bukit itu, di tepi hutan pertama, tiba-tiba dari dalam hutan bermunculan sepuluh orang laki-laki yang kelihatan kasar dan buas. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan di dada mereka ada lukisan seekor kala putih yang menyeramkan.

‘Heiii, ada seorang wanita berjalan seorang diri!!

‘Amboi manisnya!!

‘Lihat pinggangnya, seperti kumbang!!

‘Pinggulnya.... waw sexi banget!!

Sepuluh orang itu sudah mengepungnya dan Lan Hong memandang dengan muka pucat. Selama melakukan perjalanan, sudah banyak dia digoda pria, akan tetapi belum pernah bertemu gerombolan laki-laki yang begini kasar dan kelihatan buas. Juga di punggung mereka nampak golok besar yang mengerikan. Biarpun ia puteri seorang guru silat, bahkan bekas isteri seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi gerombolan yang kasar dan ceriwis ini, jantung dalam dadanya berdebar penuh rasa tegang dan gelisah. Namun, Lan Hong menenangkan dirinya lalu berkata dengan lembut.

‘Harap cu-wi suka mengasihani aku seorang wanita yang mencari anaknya dan tidak menggangguku. Biarkan aku pergi dari sini!!

‘Tentu saja kami kasihan kepadamu, manis. Karena kasihan dan sayang maka kami tidak akan membiarkan engkau berjalan sendiri. Mari kami antar, ha-ha-ha!! kata seorang di antara mereka. ‘Kawan-kawan, mari kita bersenang-senang, selagi toako (kakak tertua) tidak ada. Kalau ada dia, celaka, tentu akan dia habiskan sendiri dan kita tidak akan kebagian!! kata yang lain.

Semua orang tertawa mendengar ini dan menyatakan setuju. Segera mereka berlumba untuk menangkap Lan Hong. Wanita ini sudah siap dan ia mencabut pedang dari buntalan pakaiannya.

‘Harap kalian mundur atau terpaksa aku mempergunakan pedangku!! bentaknya.

Melihat betapa wanita yang manis itu memegang pedang, sepuluh orang itu terkejut, akan tetapi hanya sebentar saja. Mereka memandang rendah kepada wanita itu dan kembali sambil tertawa-tawa mereka mengepung.

‘Wah, pandai juga bermain pedang, ya? Bagus, kalau melawan lebih mengasyikkan!! Dan kembali mereka hendak menangkap dari berbagai jurusan.

Melihat ancaman mengerikan itu, Sie Lan Hong menggerakkan pedangnya ke belakang sambil membalikknu tubuhnya. Orang yang berada di belakangnya, terkejut ketika ada sinar menyambar. Dia menarik tangannya, akan tetapi pedang itu tetap saja menggores lengannya, merobek baju dan kulit lengan. Dia berteriak kesakitan dan juga marah.

‘Hemm, galak juga, ya? Kawan-kawan, mari kita tundukkan dulu wanita manis dan galak ini. Akan tetapi jangan dilukai, sayang kalau sampai ia terluka!! Dan mereka mencabut golok mereka, golok besar yang kelihatan berat dan tajam berkilauan. Lan Hong memutar pedangnya dan beberapa batang golok menangkis. Ketika mereka mengerahkan tenaga.

‘Trangggg....!! Pedang itu terlepas dari tangan Lang Hong yang menjadi terkejut bukan main. Sepuluh orang itu tertawa bergelak dan kesempatan ini dipergunakan oleh Lan Hong untuk menyelinap di antara mereka dan melarikan diri secepatnya ke arah kiri.

Sepuluh orang berpakaian hitam-hitam itu tertawa gembira lalu lari mengejar sambil berteriak-teriak. Mereka seperti segerombolan srigala yang mengejar dan mempermainkan seekor kelinci, yakin bahwa akhirnya kelinci itu takkan terlepas dari terkaman mereka. Mereka mengejar sambil tertawa-tawa dan Lan Hong melarikan diri sekuat tenaga. Ia dapat membayangkan kengerian yang melebihi maut kalau sampai ia tertangkap oleh orang-orang biadab itu. Lebih baik mati dari pada membiarkan dirinya diperkosa dan dihina. Akan tetapi, sebelum putus asa, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk melarikan diri atau melawan sampai napas terakhir.

Para pengejar itu memang sengaja hendak mempermainkan Lan Hong, maka mereka hanya berlari di belakangnya, tidak segera menangkapnya. Lan Hong berlari terus, menurut jalan setapak dan ia melihat sebuah kuil tua di depan.

Karena tidak tahu lagi harus lari ke mana, dan kedua kakinya sudah menjadi semakin lelah, Lan Hong lalu lari menuju ke kuil itu. Siapa tahu penghuni kuil dapat menolongnya, pikirnya penuh harapan. Sepuluh orang pria itu mengejar sambil tertawa-tawa.

‘Ha-ha-ha, engkau mengajak kami ke kuil itu, manis? Tempat yang enak untuk bersenang-senang!!

Lan Hong tidak memperdulikan ucapan mereka dan berlari terus. Hatinya semakin kecut ketika melihat bahwa kuil itu adalah sebuah kuil tua yang agaknya sudah tidak dipakai lagi. Tentu kosong tidak ada orangnya, pikirnya dengan gelisah. Akan tetapi, ketika ia memandang ragu dan berdiri di ruangan depan, terdengar suara dari dalam.

‘Jangan takut, masuklah dan kami yang akan menghadapi gerombolan iblis itu!! Dan nampak dua orang pria yang gagah berlompatan keluar dari ruangan dalam. Mereka adalah dua orang pemuda yang berbangsa Han, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi dan sikapnya gagah. Orang ke dua bertubuh sedang, akan tetapi mukanya yang bulat itu penuh brewok yang rapi sehingga dia kelihatan gagah pula. Di tangan mereka nampak sebatang pedang.

Melihat mereka dan sikap mereka yang baik, Lan Hong segera memberi hormat. ‘Ji-wi taihiap (dua pendekar perkasa), tolonglah saya,....!

‘Nona, jangan takut. Masuklah dan kami akan membasmi para penjahat itu!! kata yang tinggi besar dan dia berkata kepada orang ke dua yang brewok. ‘Sute, mari kita hadapi mereka, di depan kuil!! Mereka lalu berloncatan keluar. Lan Hong cepat menyelinap di balik dinding dan ia mengintai keluar dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akan tetapi lega juga bahwa di situ ia bertemu dengan dua orang gagah yang siap membela dan melindunginya. Ia hanya dapat berharap agar kedua orang gagah itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi untuk melawan pengeroyokdn sepuluh orang yang buas itu.

Sepuluh orang berpakaian hitam dengan gambar seekor kala putih di baju bagian dada, tercengang ketika melihat dua orang pemuda gagah berdiri di depan kuil dengan pedang di tangan, menghadang mereka.

‘Heii, siapa kalian berani menghadang di depan kami? Hayo cepat menggelinding pergi!! bentak seorang di antara sepuluh orang berpakaian hitam itu.

Pemuda yang tinggi besar itu menudingkan telunjuk kirinya ke arah mereka sambil melintangkan pedang di depan dadanya yang bidang. ‘Hemm, sudah lama kami mendengar tentang gerombolan Kala Putih yang jahat! Ternyata kabar itu benar, gerombolan Kala Putih bukan hanya perampok dan perkumpulan penjahat keji, akan tetapi juga tidak segan untuk mengganggu wanita. Sudah sepantasnya kalau kami membasmi gerombolan macam kalian!!

Sepuluh orang itu terbelalak penuh kemarahan mendengar kata-kata yang amat menghina itu. Seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus, melangkah maju. Agaknya ia mewakili kawan-kawannya dan dengan suara melengking tinggi diapun membentak.

‘Kalian ini bocah-bocah ingusan hendak menentang Kala Putih? Perkenalkan nama kalian lebih dulu agar kami tidak akan membunuh orang tanpa nama!!

Pemuda tinggi besar itu dengan lantang menjawab, ‘Kami tidak pernah menyembunyikan nama! Kami adalah murid murid Kun-lun-pai yang selalu akan menentang kejahatan. Namaku Ciang Sun dan sute ini adalah Kok Han!!

Memang dua orang pemuda perkasa itu bukan lain adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai yang berani itu. Mereka berdua diutus oleh ketua Kun-lun-pai, yaitu Thian Hwat Tosu, untuk pergi ke daerah Tibet mencari susiok (paman guru) mereka yang bernama Lie Bouw Tek. Lie Bouw Tek adalah murid kepala Kun-lun-pai, murid langsung dari ketua Thian Hwat Tosu dan karena Ciang Sun dan Kok Han adalah murid kelas tiga, maka Lie Bouw Tek terhitung susiok mereka. Mereka berdua mencari-cari Lie Bouw Tek dan membawa sepucuk surat dari ketua Kun-lun-pai untuk murid kepala itu. Seperti telah kita ketahui, dalam perjalanan, mereka pernah berjumpa dengan Pendekar Bongkok Sie Liong ketika Sie Liong mempertemukan dua orang kekasih yang dipisahkan karena watak ayah si gadis yang mata duitan.

Mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah murid-murid Kun-lun-pai sepuluh orang berpakaian hitam itu menja di semakin marah. ‘Aha, kiranya orang-orang Kun-lun-pai yang usil dan gatal tangan, hendak mencampuri urusan kami orang Kala Putih! Kami tidak pernah bertentangan dengan Kun-lun-pai, selalu bersimpang jalan, kenapa hari ini ada orang Kun-lun-pai yang sengaja hendak menentang kami?!

Ciang Sun tersenyum mengejek. ‘Selama Kala Putih tidak melakukan kejahatan, kami dari Kun-lun-pai tidak perduli. Akan tetapi, kami selalu akan menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga. Kalian mengejar-nge jar seorang wanita dengan niat yang kotor dan jahat, tentu saja kami menentang kalian!!

‘Keparat, sekali lagi, pergilah kalian dan biarkan kami menawan perempuan itu! Kami masih memandang perkumpulan Kun-lun-pai dan tidak akan menuntut atas sikap kalian yang lancang ini!!

‘Persetan dengan Kala Putih yang jahat!! bentak Ciang Sun. Sepuluh orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan mereka. Kalau tadi mereka masih meragu dan mencoba untuk membujuk adalah karena mereka tahu bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar, dan mereka tidak ingin menanam permusuhan dengan perkumpulan itu. Akan tetapi, para anggauta Kala Putih selalu mengandalkan kepandaian dan keberanian mereka untuk melakukan kekerasan memaksakan kehendak mereka, maka melihat sikap kedua orang murid Kun-lun-pai yang menentang itu, merekapun segera mulai menyerang!

Ciang Sun dan sutenya, Kok Han, menggerakkan pedang mereka menyambut serangan golok dan terjadilah perkelahian yang seru. Sepuluh batang golok berkelebatan dan sinarnya, ketika tertimpa matahari sore menyilaukan mata. Namun, gerakan kedua orang murid Kun-lun-pai memang indah dan dua orang ini merupakan murid yang cukup pandai sehingga pedang mereka berubah menjadi dua gulung sinar yang amat kuat, yang mampu menahan semua serangan golok, bahkan sinar pedang itu mencuat ke sana-sini melakukan serangan balasan yang membuat sepuluh orang anggauta Kala Putih itu menjadi kacau balau dan terdesak mundur!

Lan Hong yang mengintai dari dalam bingung melihat betapa dua orang penolongnya dikeroyok oleh sepuluh orang buas itu. Ia ingin sekali membantu mereka, akan tetapi pedangnya telah hilang ketika ia dikeroyok tadi. Ia mencari-cari dengan matanya di dalam ruangan kuil itu dan melihat beberapa potong kayu yang agaknya dipergunakan orang membuat api unggun. Lalu dipilihnya sebatang kayu sebesar lengannya, panjangnya satu meter lebih. Kayu itu cukup kuat dan lumayan untuk dipergunakan sebagai senjata. Lan Hong sudah menjadi nekat. Kalau kedua orang penolongnya itu kalah, tentu ia akan terja tuh ke tangan sepuluh orang jahat itu. Melarikan diripun tidak ada gunanya, karena hari akan menjadi gelap dan ia tidak mengenal jalan. Lebih baik membantu kedua orang penolongnya itu, menang atau kalah bersama mereka! Ia lalu meloncat keluar dan menyerbu ke dalam pertempuran itu, menggunakan tongkatnya memukul seorang pengeroyok dari belakang.

‘Bukk!! Orang itu terjungkal pingsan karena pukulan Lan Hong tepat mengenai tengkuknya! Kemudian Lan Hong mengamuk dengan tongkatnya, membantu dua orang murid Kun-lun-pai itu. Melihat ini, dua orang pemuda itu merasa kagum, akan tetapi juga khawatir. Dari gerakannya, mereka dapat menduga bahwa wanita yang mereka tolong itu pandai juga ilmu silat, akan tetapi ia hanya bersenjata sebatang kayu sedangkan para pengeroyok adalah orang-orang kejam yang semua memegang golok.

‘Nona, masuklah ke dalam, biar kami yang menghajar mereka!! teriak Kok Han dengan khawatir.

‘Tidak, aku harus membantu kalian membasmi iblis-iblis jahat ini!! jawab Lan Hong yang terus mengamuk dengan tongkatnya. Akan tetapi, dua orang mengeroyoknya dengan golok dan Lan Hong terhimpit, lalu sebuah tendangan yang cukup keras mengenai pahanya, membuat wanita itu terguling roboh!

‘Hati-hati....!! teriak Ciang Sun yang cepat menerjang dan melindungi tubuh wanita itu dari para pengeroyoknya, dengan pedangnya berkelebat ke kiri merobek pangkal lengan seorang pengeroyok, dan melindungi tubuh Lan Hong dengan putaran pedangnya. Akan tetapi Lan Hong bangkit lagi dan mengamuk lagi, tidak memperdulikan pahanya yang terasa nyeri.

Kini, dua orang murid Kun-lun-pai menjadi semakin sibuk karena mereka harus pula melindungi Lan Hong yang mengamuk seperti seekor harimau betina itu. Namun, diam-diam mereka merasa kagum dan tidak menyesal menolong wanita yang ternyata gagah berani ini.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, dengan suara pria yang besar dan parau, ‘Tahan semua senjata!!

Mendengar suara ini, sembilan orang berpakaian hitam itu segera berloncatan ke belakang. Ada yang menolong kawan yang pingsan oleh pukulan tongkat di tangan Lan Hong, dan ada yang dengan girang berseru, ‘Toako datang....!!

Melihat para pengeroyok berloncatan mundur, Ciang Sun dan Kok Han memandang orang yang baru datang itu dengan penuh perhatian. Lan Hong juga meloncat ke belakang dan wanita ini menahan rasa nyeri di pahanya, wajahnya merah sekali, napasnya agak terengah, dahi dan lehernya basah keringat, rambutnya kusut, akan tetapi ia nampak semakin manis menarik dan gagah ketika ia berdiri tak jauh dari dua orang pemuda Kun-lun-pai itu dengan tongkat di tangan, tongkat yang sudah tidak karuan bentuknya karena berulang kali bertemu dengan golok para pengeroyok yang tajam.

Orang yang baru datang itu adalah seorang laki-laki yang usianya antara empat puluh lima sampai lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, kepalanya besar dan botak sedangkan kulit muka dan tangannya putih sekali, putih yang tidak wajar sehingga mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bule. Rambut di kepalanya agak kekuningan yang hanya tumbuh di bagian bawah saja, dan bulu-bulu di muka, leher dan lengannya juga kekuningan. Dia pun mengenakan pakaian serba hitam, akan tetapi terbuat dari sutera, dan lukisan seekor kala putih di bajunya lebih besar daripada yang berada di baju anak buahnya. Mudah diduga bahwa tentu dialah kepala dari gerombolan Kala Putih itu.

Dengan suara yang aneh dan asing logatnya, raksasa bule itu berteriak marah. ‘Heh, siapa yang berani membikin ribut di sini dan bahkan melukai seorang anak buahku? Siapa kalian bertiga dan mengapa berkelahi melawan anak buahku?!

Sebelum dua orang pemuda itu menjawab, seorang anak buah gerombolan itu sudah cepat melaporkan, ‘Toako, mereka berdua itu adalah murid-murid Kun-lun-pai yang sombong. Kami sedang mengejar wanita itu yang berani lewat seorang diri di sini, untuk kami tangkap dan kami serahkan kepada toako untuk diambil keputusan. Eh, dua orang ini muncul dan melindunginya, hendak merampasnya dari tangan kami!!

Raksasa bule itu memandang kepada Lan Hong dan wanita itu merasa bulu tengkuknva meremang saking ngerinya. Mata itu sungguh menyeramkan dan begitu penuh gairah! Kemudian raksasa itu, setelah menjelajahi seluruh tubuh Lan Hong dengan sinar matanya, tertawa bergelak.

‘Ha-ha-ha, kiranya memperebutkan wanita? Aha, baru kuketahui sekarang bahwa orang-orang Kun-lun-pai juga suka kepada wanita. Tidak aneh, tidak aneh!!

‘Kami tidak memperebutkan wanita!! bentak Ciang Sun marah. ‘Kami melindungi wanita ini karena dikejar-kejar oleh anak buahmu. Kami murid Kun-lun-pai akan menentang semua kejahatan dan melindungi siapa saja yang terancam!!

‘Ha-ha-ha-ha, tidak perlu malu-malu, sobat muda! Laki-laki mana yang tidak akan suka kepada seorang wanita yang manis dan denok seperti ini? Kalau memang kalian tidak suka, serahkan saja kepadaku, mengingat hubungan baik antara Kala Putih dan Kun-lun-pai. Ketahuilah bahwa aku adalah Konga Sang, ketua dan pemimpin Kala Putih yang selama ini tidak pernah mengganggu Kun-lun-pai.!

‘Kami tidak akan membiarkan siapa saja mengganggu manita ini!! bentak pula Ciang Sun.

‘Ho-ho-ha-ha, kiranya kalian mengajak bertanding? Baik, memang wanita ini cukup berharga untuk dijadikan taruhan dalam pertandingan. Kalau kalian dapat mengalahkan aku, Konga Sang, kalian boleh pergi membawanya dan kami takkan mengganggu. Akan tetapi kalau kalian kalah, wanita ini harus diserahkan kepadaku. Sudah adil, bukan?!

Lan Hong yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba membentak dengan suara nyaring, ‘Iblis jahat, engkau terlalu menghinaku. Dengarlah baik-baik, aku lebih baik mati dari pada menyerah kepadamu!!

‘Konga Sang,! kata Kok Han yang brewok gagah, ‘kalau engkau memang laki-laki sejati, biarkan wanita ini pergi melanjutkan perjalanannya dan jangan diganggu. Sedangkan kalau engkau menghendaki kita untuk bertanding, kami akan menyambut tantanganmu itu. Taruhannya bukan wanita melainkan nyawa kita!!

‘Kalian orang-orang muda sombong!! Konga Sang berseru dan sekali tangan kanannya bergerak, dia telah melepaskan sebatang rantai yang tadi melibat pinggangnya. Rantai itu sebesar ibu jari, panjangnya ada dua meter dan di ujung rantai terdapat kaitan baja yang menyeramkan. Inilah senjata raksasa bule itu. Dia memutar rantainya di atas kepala lalu membentak, ‘Kalau kalian berani, majulah!!

Ciang Sun dan Kok Han maklum bahwa kepala gerombolan Kala Putih ini tentu lihai, maka merekapun maju dengan sikap yang waspada. Ciang Sun berkata kepada Lan Hong,

‘Nona, engkau mundurlah!!

Lan Hong tahu diri. Iapun maklum bahwa kepala gerombolan ini tidak boleh disamakan dengan anak buahnya tentu lihai bukan main dan ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat dipergunakan membantu dua orang pendekar Kun-lun-pai itu. Kalau ia memaksa diri maju, tentu hanya akan menjadi penghalang bagi dua orang penolongnya. Maka iapun melangkah mundur dan siap dengan tongkatnya untuk membela diri. Ia mengeraskan hatinya, mencoba untuk bersikap tetap tenang dan siap menghadapi apapun juga. Hanya satu pegangannya. Ia tidak akan menyerah dan kalau terpaksa, ia akan mempertahankan diri sampai mati!

‘Haiiiiiitt....!! Kakek raksasa itu berteriak dan rantai di tangannya menyambar-nyambar ganas ke arah dua orang lawannya. Ciang Sun dan Kok Han mempergunakan kelincahan tubuh mereka untuk mengelak dan merekapun balas menyerang dengan pedang mereka. Namun, semua serangan pedang dapat ditangkis oleh sinar rantai yang bergulung-gulung. Setiap kali pedang bertemu rantai, terdengar bunyi nyaring dan nampak bunga api berpijar. Terjadilah perkelahian yang hebat, lebih seru daripada tadi ketika dua orang itu dikeroyok sepuluh orang anak buah gerombolan Kala Putih.

Akan tetapi, lewat tiga puluh jurus lebih, kedua orang murid Kun-lun-pai itu diam-diam mengeluh karena mereka mendapat kenyataan bahwa lawan mereka sungguh amat lihai. Permainan rantai itu sungguh dahsyat, selain amat cepat datangnya, juga mengandung tenaga yang lebih kuat dari pada tenaga mereka berdua sehingga setiap kali pedang mereka bertemu rantai, mereka merasa betapa telapak tangan mereka menjadi nyeri dan panas. Bahkan beberapa kali, hampir saja mereka melepaskan pedang karena tidak tahan getaran hebat yang menyerang telapak tangan mereka.

‘Ha-ha-ha, mampuslah!! Tiba-tiba raksasa bule itu membentak dan rantainya menyambar dengan tenaga sepenuhnya ke arah Ciang Sun. Pendekar ini melompat ke samping, akan tetapi tetap saja kaitan rantai itu mengenai leher bajunya.

‘Bretttt....!! Baju itupun terobek sampai ke bawah, dari tengkuk ke pinggang. Masih untung bahwa kulit tubuh Ciang Sun tidak terluka! Pada saat itu, Kok Han sudah menusukkan pedangnya untuk melindungi kakak seperguruannya. Konga Sang menangkis dengan ujung rantai, dan tiba-tiba dia melepaskan rantai dari tangan kiri, hanya memegangi dengan tangan kanan dan tangan kirinya yang berjari besar-besar itu telah menangkap pergelangan tangan Kok Han. Dan dengan sentakan aneh sambil memutar tubuhnya, tak dapat dipertahankan lagi oleh Kok Han, tubuhnya ikut terputar dan diapun terpelanting dan terbanting keras! Kiranya kepala gerombolan Kala Putih itu lihai pula dalam ilmu gulat! Ciang Sun cepat memutar pedangnva menyerang untuk melindungi sutenya yang cepat menggulingkan tubuhnya dan melompat bangun kembali. Kembali, kedua orang murid Kun-lun-pai itu menghadapi sambaran rantai dan kini mereka hanya mampu mempertahankan diri saja, tidak mampu lagi balas menyerang.

‘Ha-ha, kalian jaga baik-baik agar pengantinku itu tidak melarikan diri! Dua ekor domba ini sebentar lagi akan kusembelih, ha-ha-ha!! Konga Sang berkata kepada anak buahnya karena dia sudah merasa yakin bahwa tak lama lagi dia akan dapat merobohkan dua orang lawannya dan memondong wanita manis itu.

Sambil menyeringai, anak buahnya mendekati Lan Hong. Wanita ini memandang dengan wajah pucat. Iapun tahu bahwa dua orang penolongnya sudah terdesak dan berada dalam bahaya. Ia tahu bahwa mereka kini tidak mampu melindunginya lagi dan untuk melawan para anak buah gerombolan itupun ia tidak akan menang. Oleh karena itu, iapun sudah mengambil keputusan nekat, untuk melawan mati-matian dan kalau tertawan, ia akan membunuh diri! Ia mengangkat tongkatnya sambil berseru, ‘Majulah, akan kuhancurkan kepalamu!!

Akan tetapi, dua orang di antara para anak buah gerombolan itu, dua orang yang bertubuh tinggi besar, melangkah maju sambil menyeringai.

‘Manis, jangan banyak tingkah. Engkau akan menjadi pengantin pemimpin kami malam ini, ha-ha-ha! Lebih baik menyerah saja!!

Akan tetapi Lan Hong menyambut mereka dengan hantaman tongkatnya! Ia sudah lelah sekali, sudah hampir kehabisan tenaga, akan tetapi ia masih bersemangat dan pukulannya masih kuat. Akan tetapi, dua orang anak buah gerombolan itu adalah dua orang yang terkuat di antara mereka. Yang dihantam tongkat itu miringkan tubuhnya dan ketika tongkat itu lewat, orang ke dua sudah menangkap lengan kanan Lan Hong yang memegang tongkat, sedangkan orang pertama sudah merangkulkan kedua lengannya yang panjang dan besar melingkari pinggang ramping Lan Hong.

‘Lepaskan! Keparat busuk, lepaskan aku....!! Lan Hong meronta untuk melepaskan diri, namun dua orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali.

Pada saat itu, terdengar bentakan, ‘Kalian srigala-srigala yang jahat!! Bentakan ini disusul berkelebatnya bayangan orang dan dua orang raksasa yang sedang menangkap Lan Hong yang meronta-ronta itu tiba-tiba saja terlempar dan terpelanting, roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Seorang pecah kepalanya dan seorang lagi mengerang kesakitan dengan beberapa buah tulang iga patah-patah. Kiranya yang muncul adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, berpakaian biru, dan tadi begitu muncul, dia menendang roboh dan menampar tewas dua orang anak buah gerombolan yang sedang menangkap Lan Hong.

Lan Hong terbelalak dan memandang kepada penolongnya. Seorang pria yang tinggi besar dan gagah perkasa, usianya hampir empat puluh tahun, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, pakaiannya berwarna biru dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang dengan ronce merah. Ketika Ciang Sun dan Kok Han melihat pria gagah perkasa itu, mereka menjadi girang sekali.

‘Lie susiok (paman guru Lie)!! seru mereka dengan gembira dan hampir berbareng.

‘Mundurlah kalian dan hajar saja anak buah Kala Putih, biar aku yang menghadapi Konga Sang!! kata pria gagah perkasa itu. Dia bernama Lie Bouw Tek, murid kepala Kun-lun-pai yang memang sedang dicari-cari oleh dua orang murid Kun-lun-pai itu. Begitu meloncat dan menggantikan dua orang murid keponakannya, Lie Bouw Tek telah mencabut sebatang pedangnya yang mengeluarkan sinar kemerahan. Itulah pedang pusaka Ang-seng-kiam (Pedang Bintang Merah) yang menurut dongeng dibuat dari logam yang berasal dari bintang dan logam itu berwarna merah!

‘Hemm, siapa kau?! Konga Sang membentak ketika melihat bahwa yang menghadapinya adalah seorang laki-laki yang tingginya tidak kalah olehnya, berdada bidang dan kokoh, dengan sinar mata yang tajam dan mencorong.

‘Konga Sang, sudah lama aku mendengar akan sepak terjang Kala Putih yang semakin jahat. Sekarang kebetulan sekali kita bertemu di sini, aku tidak akan membiarkan engkau merajalela mengumbar nafsu kejahatanmu. Aku bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai!!

‘Aha, lagi-lagi murid Kun-lun-pai. Sungguh mati, tak kusangka bahwa Kun-lun-pai terdiri dari orang-orang usil dan lancang, suka mencampuri urusan orang lain!!

‘Tak perlu banyak cakap, Konga Sang! Bukan hanya murid Kun-lun-pai, akan tetapi seluruh pendekar di dunia ini pasti akan menentang perbuatan jahat!!

‘Manusia sombong!! Bentak Konga Sang dan rantainya sudah menyambar dahsyat ke arah kepala Lie Bouw Tek. Pendekar ini merendahkan tubuhnya dan ketika rantai melewati atas kepalanya dia melangkah maju dan pedangnya menusuk ke bawah lengan kanan lawan! Gerakannya mantap, cepat dan kuat sekali sehingga pedang itu meluncur bagaikan sinar merah yang didahului angin dan suara mendesing! Terkejutlah Konga Sang dan dia terpaksa melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri. Rantainya membuat gerakan memutar dan kembali menyambar ke arah pinggang lawan. Sekali ini Lie Bouw Tek menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga. Melihat lawan menangkis, Konga Sang girang dan dia menarik sedikit rantainya agar ujung yang ada kaitannya dapat melibat pedang lawan.

‘Tranggg....!! terdengar suara nyaring dan bukan main kagetnya hati Konga Sang ketika melihat betapa ujung rantainya berikut kaitannya telah putus! Kiranya pedang merah itu merupakan pedang pusaka yang ampuh! Untung baginya bahwa yang buntung hanya ujung sepanjang satu dua jengkal saja sehingga rantainya masih merupakan senjata yang berbahaya walaupun tanpa kaitan. Dengan marah dia mengeluarkan suara gerengan dan rantainya menyambar-nyambar ketika dia memutarnya dan melancarkan serangan bertubi-tubi.



Bab 17

Namun Lie Bouw Tek dapat mengelak dengan langkah-langkah yang teratur, kadang meloncat tinggi dan diapun membalas dengan tusukan dan bacokan pedang. Terjadi pertempuran yang amat seru di antara kedua orang ini. Ternyata tenaga mereka seimbang, juga kini mereka bertanding dengan hati-hati. Konga Sang jerih terhadap pedang pusaka itu, sebaliknya Lie Bouw Tek juga tidak berani sembarangan menangkis. Sekali pedangnya terlibat rantai, dia akan menghadapi bahaya karena diapun tahu bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli gulat. Dalam ilmu silat, dia dapat menandingi kepala gerombolan itu, akan tetapi kalau dalam ilmu gulat, sekali tubuhnya tertangkap, bahaya maut mengancam dirinya!

Sementara itu, Ciang Sun dan Kok Han mengamuk, menghajar anak buah gerombolan yang kini tinggal tujuh orang itu. Yang dua tewas oleh Lie Bouw Tek dan yang tadi terkena hantaman tongkat Lan Hong pada tengkuknya, biarpun sudah siuman akan tetapi masih pening dan tidak mampu berkelahi, Aagaknya gegar otak! Lan Hong juga tidak tinggal diam, ia sudah mengambil golok seorang di antara penjahat yang tewas, lalu ia membantu dua orang murid Kun-lun-pai yang mengamuk, dengan memutar golok itu sekuat tenaga!

Lie Bouw Tek yang sudah lama berkelana di daerah ini dan sudah banyak mendengar tentang gerombolan Kala Putih, maklum bahwa gerombolan itu masih mempunyai banyak sekali anak buah dan hanya kebetulan saja sekali ini mereka hanya menghadapi kepala gerombolan dengan sepuluh orang anak buah saja. Dia khawatir kalau-kalau akan datang lebih banyak lagi anak buah gerombolan Kala Putih, maka sambil memutar pedangnya sehingga membentuk gulungan sinar merah yang merupakan benteng kokoh kuat yang melindungi dirinya, dia berseru keras.

‘Ciang Sun! Kok Han! Kalian ajak pergi Nona itu, biar aku yang menahan mereka. Cepat!!

Ciang Sun dan Kok Han mengerutkan alisnya. Kenapa susiok mereka menyuruh mereka melarikan diri? Padahal, jelas bahwa susioknya tidak kalah oleh Konga Sang, juga mereka bahkan mendesak tujuh orang anak buah gerombolan itu, malah di antara pihak musuh sudah ada yang tergores pedang. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak sempat membantah dan juga tidak berani membantah. Mereka mengenal susiok mereka sebagai seorang gagah perkasa dan kalau susioknya menyuruh mereka pergi lebih dahulu, tentu dia memiliki alasan yang kuat.

‘Mari, enci!! kata Ciang Sun sambil menarik tangan Lan Hong, diajak meloncat pergi sedangkan Kok Han melindungi mereka. Ketika tiga orang ini melarikan diri, para anak buah gerombolan tidak berani mengejar. Mereka tidak bodoh. Tadi mereka sudah terdesak dan kalau dilanjutkan, mereka tentu akan roboh semua. Maka, sebaliknya daripada mengejar tiga orang itu, mereka kini membantu pemimpin mereka mengeroyok Lie Bouw Tek!

Lie Bouw Tek mengamuk bagaikan seekor rajawali merah! Pedangnya tidak nampak lagi, berubah menjadi sinar merah bergulung-gulung dan bermain di antara sinar golok dan rantai. Kadang-kadang, dari gulungan sinar merah itu mencuat sinar kilat disusul robohnya seorang pengeroyok karena disambar pedang Ang-seng-kiam. Lie Bou Tek sebetulnya memiliki ilmu yang seimbang dengan kepandaian Konga Sang, akan tetapi pedang pusakanya membuat lawan itu merasa jerih. Diapun tahu akan hal ini, dan dia tahu pula bahwa kalau Konga Sang menyerang dengan sungguh-sungguh, dibantu beberapa orang anak buahnya, dia akan menghadapi bahaya. Maka, dia memberi waktu bagi dua orang murid keponakannya untuk melarikan diri bersama wanita itu, kemudian setelah memutar pedangnya, diapun moloncat jauh dan menghilang di balik semak belukar dan pohon-pohon yang mulal diselimuti kegelapan karena malam telah menjelang tiba.

Konga Sang merasa penasaran dan marah sekali. ‘Kejar!! teriaknya, dan merekapun melakukan pengejaran. Namun, karena di dalam hati mereka timbul rasa jerih menghadapi tiga orang murid Kun-lun-pai itu, maka mereka tidak berani berpencar ketika mengejar dan mencari sehingga gerakan mereka tidak dapat cepat. Apalagi mereka terhalang oleh kegelapan malam sehingga akhirnya mereka terpaksa menghentikan pengejaran dan menolong kawan yang terluka atau tewas. Konga Sang mengapal tinju dan berkata dengan geram.

‘Orang-orang Kun-lun-pai telah menghinaku! Awas, sekali waktu aku akan mengambil tindakan!! Walaupun ucapan ini lebih banyak hanya untuk mengumbar rasa penasaran dan marahnya karena diapun tahu betapa kuatnya Kun-lun-pai yang mempunyai banyak murid yang pandai dan pimpinan yang berilmu tinggi itu. Kalau tidak yakin akan kekuatan pasukannya sendiri, penyerbuan ke Kun-lun-pai hanya akan mengakibatkan pasukannya hancur.

Mereka duduk mengitari api unggun. Mereka berempat kini berada di puncak bukit, dari mana mereka dapat melihat ke empat penjuru dan tempat itu aman dan baik untuk melewatkan malam. Kalau ada musuh datang, maka dari jauhpun sudah akan dapat mereka lihat atau dengar karena sekeliling mereka datar dan merupakan padang rumput.

Tadi Lie Bouw Tek dapat menyusul Ciang Sun dan Kok Han yang mengajak Sie Lan Hong melarikan diri dan dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera memberi hormat dan berlutut di depan kaki Lie Bouw Tek.

‘Terima kasih atas bantuan Lie susiok,! kata mereka.

Lan Hong juga ikut berlutut dan berkata, ‘Atas pertolongan taihiap, akupun mengucapkan terima kasih.!

‘Bangkitlah kalian berdua, juga engkau, nona. Bangkitlah, tidak perlu dengan segala macam kesungkanan ini. Musuh berada jauh di bawah dan mungkin tidak akan mengejar ke sini. Andaikata mereka datang, kita dapat melihat mereka sebelum mereka dekat. Tempat ini baik sekali untuk melewatkan malam. Ciang Sun dan Kok Han, kumpulkan kayu kering dan kita bikin api unggun di sini.!

Demikianlah, mereka kini duduk saling berhadapan, mengelilingi api unggun yang bernyala indah, terang dan hangat. Lan Hong memandang kepada pria yang duduk tepat di depannya, terhalang api unggun itu. Sinar api unggun yang kemerahan menerangi wajah pria itu dengan jelas. Dan iapun merasa kagum. Seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar akan tetapi perutnya tidak gendut, seperti tubuh seekor kuda balap yang pilihan. Dan wajahnya demikian tenang, penuh wibawa dan gagah perkasa. Wajah yang jantan sekali, bukan tampan kewanitaan, melainkan jantan perkasa. Sikapnya seperti seekor burung garuda, atau seperti seekor harimau. Ya, seperti seekor harimau karena tadi ketika mencari kayu bakar, lenggang dan langkahnya mengingatkan Lan Hong akan seekor harimau.

Tanpa ia ketahui, pria di depannya itupun sejak tadi memperhatikannya, walaupun tidak kentara. Dan Lie Bouw Tek juga kagum. Wanita itu sungguh jelita dan tidak mengherankan kalau Konga Sang, kepala gerombolan Kala Putih itu, tertarik dan bertekad untuk menawannya. Seorang wanita yang sudah matang, usianya sukar ditaksir, nampaknya masih amat muda akan tetapi sikap dan gerak geriknya, bentuk tubuhnya, wajahnya yang manis, sudah matang seperti seorang wanita yang sudah dewasa benar. Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggangnya yang amat ramping dan pinggul yang besar membulat. Wajahnya amat manis, dengan kulit yang mulus dan mulut yang membayangkan kealiman, akan tetapi sepasang mata itulah yang amat menarik perhatiannya. Sepasang mata yang indah jeli, namun penuh bayangan duka dan derita.

‘Ciang Sun dan Kok Han, sekarang ceritakanlah bagaimana kalian dapat berada di sini dan sampai berkelahi dengan orang-orang gerombolan Kala Putih itu,! kata Lie Bouw Tek, suaranya tenang sekali dan mendatangkan perasaan damai dan aman dalam hati Lan Hong. Ketika pandang mata mereka saling bertemu, Lan Hong cepat menundukkan mukanya dan pada wajah pria yang gagah itu terbayang suatu keheranan. Memang dia merasa heran sekali mengapa dia demikian tertarik kepada wanita ini. Padahal sejak dikecewakan oleh seorang wanita, ketika dia berusia dua puluh tahun, sampai sekarang berusia tiga puluh enam tahun, belum pernah dia merasa tertarik kepada seorang wanita. Bukan berarti bahwa tidak ada wanita yang jatuh cinta kepadanya. Banyak sudah wanita yang suka kepadanya, bahkan banyak pula ayah dari gadis-gadis cantik menginginkan dia sebagai mantu mereka, namun dia selalu menolak. Dan sekarang dia merasa tertarik kepada seorang wanita yang baru saja dijumpainya, bahkan belum dikenal namanya dan belum diketahui pula riwayatnya.

‘Kami berdua memang sengaja datang ke daerah ini untuk mencarimu, susiok. Kami diutus oleh supek (uwa guru) Thian Hwat Tosu untuk mencarimu dan menyerahkan surat ini kepadamu.!

‘Hemm, toa-suheng (kakak seperguruan tertua) Thian Kwat Tosu yang mengutus kalian? Sudah pasti ada urusan penting sekali,! kata Lie Bouw Tek dan dia menerima sampul surat itu, lalu merobek ujung sampul dan mengeluarkan surat dari dalamnya. Di bawah penerangan api unggun, dibacanya surat itu. Dalam surat, kedua orang suhengnya, yaitu ketua Kun-lun-pai Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu, menyerahkan tugas kepadanya untuk menyelidiki keadaan lima orang tokoh di Tibet yang dikenal dengan julukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu Thay Ku Lama, Thay Si Lama, Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama.

Para pimpinan Kun-lun-pai itu merasa penasaran sekali melihat sikap lima orang tokoh Tibet itu yang pernah mengambil sikap bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan hampir terjadi bentro kan hebat antara Kun-lun-pai dengan mereka. Padahal, sejak dahulu, Dalai Lama sendiri dan para pendeta Lama di Tibet bersikap baik dan bersahabat dengan Kun-lun-pai. Oleh karena itu, mengingat bahwa yang dapat diandalkan di Kun-lun-pai hanyalah Lie Bouw Tek, satu-satunya tokoh Kun-lun-pai yang bebas, yaitu tidak menjadi tosu dan tidak bertugas di Kun-lun-pai melainkan menjadi seorang kelana yang bebas, maka para pimpinan Kun-lun-pai mengutus Lie Bouw Tek untuk melakukan penyelidikan itu.

Membaca surat itu, Lie Bouw Tek mengangguk-angguk. ‘Sampaikan hormatku kepada kedua suheng, dan aku menerima baik tugas yang diberikan kepadaku.! Hanya itulah pesannya kepada dua orang keponakannya itu. ‘Akan tetapi bagaimana kalian sampi bentrok dengan gerombolan Kala Putih?! Dia mengulang pertanyaannya.

‘Hal itu terjadi hanya karena kebetulan saja, susiok. Kami sedang beristirahat di kuil tua di lereng bukit itu ketika tiba-tiba kami melihat enci ini berlari-lari dan dikejar oleh gerombolan Kala Putih menuju ke kuil. Kami sudah mendengar akan kejahatan Kala Putih, maka kami lalu membela enci ini, sampai susiok muncul dan menyelematkan kami semua.!

Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya mendengar Ciang Sun menyebut ‘enci! (kakak perempuan) kepada wanita itu. Mungkin Ciang Sun salah lihat, ataukah dia yang keliru? Wanita itu nampaknya tidak lebih tua dari murid keponakannya itu. Ataukah sebutan itu hanya sebutan akrab saja?

‘Hemm, kalau boleh aku mengetahuinya, bagaimana sampai engkau dikejar-kejar oleh mereka, Nona? Dan siapakah Nona, mengapa pula melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini?! Lalu dia menyambung cepat ketika teringat bahwa dia bertanya nama kepada seorang wanita tanpa lebih dahulu memperkenalkan diri. ‘Mungkin Nona sudah tahu bahwa kami bertiga adalah murid-murid Kun-lun-pai. Namaku Lie Bouw Tek, sedangkan dua orang murid keponakanku ini bernama Ciang Sun dan Kok Han.!

Lan Hong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu berkata dengan suara lirih namun cukup jelas bagi tiga orang itu. ‘Namaku Sie Lan Hong dan aku datang dari kota Sung-jan di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang. Akan tetapi, harap Lie Taihiap jangan menyebut nona kepadaku. Aku bukan seorang gadis yang belum menikah. Aku pergi untuk mencari seorang adikku, dan juga mencari puteriku....!

Lie Bouw Tek membelalakkan kedua matanya. Wanita ini sudah menikah, bahkan sudah mempunyai seorang puteri! Kalau begitu, agaknya penglihatan kedua orang murid keponakannya itu yang benar. Dia merasa betapa mukanya menjadi panas dan untunglah bahwa sinar api unggun memang sudah kemerahan dan membuat wajahnya merah sehingga perubahan wajahnya tidak akan nampak oleh orang lain.

‘Ah, maafkan aku, toanio (Nyonya). Kiranya toanio mencari adiknya dan puterinya? Akan tetapi, kenapa engkau mencari mereka seorang diri saja? Mengapa tidak dengan suamimu.... maaf....!

Lan Hong menundukkan mukanya, bukan karena sedih melainkan karena malu dan ucapannya lirih sekali. ‘Dia sudah meninggal....!

‘Ah, maafkan aku, toanio!! seru Lie Bouw Tek dan ingin dia memukul kepalanya sendiri mengapa ada perasaan lega dan girang di dalam hatinya. Lega dan girang mendengar bahwa suami orang sudah meninggal. Sungguh kejam dan tak tahu malu, makinya pada dirinya sendiri. Sementara itu, diam-diam Ciang Sun dan Kok Han merasa heran dan geli melihat betapa susiok mereka yang biasanya berwibawa, tenang dan tegas itu kini telah beberapa kali minta maaf dan menjadi seperti gugup. Akan tetapi mereka pun tentu akan menjadi gugup kalau menanyakan suami seorang wanita lalu mendapat jawaban bahwa orang yang mereka tanyakan itu sudah meninggal dunia!

‘Tidak mengapa, taihiap. Kedukaan itu telah lewat,! kata Lan Hong.

Kalau saja wanita itu tidak mengeluarkan ucapan ini, agaknya Lie Bouw Tek akan sukar mengeluarkan ucapan lagi, apalagi untuk bertanya. Kini, setelah Lan Hong berkata demikian, keinginan tahunya mendorongnya untuk bertanya lagi.

‘Kalau boleh aku bertanya lagi toanio. Ke manakah perginya adikmu dan puterimu itu?!

‘Aku tidak tahu benar, akan tetapi aku hendak mencari mereka di Lasha.!

Lie Bouw Tek mengangguk-angguk, lalu berkata kepada kedua orang murid keponakannya. ‘Kalian ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada kedua suheng tentang pesanku tadi, sesuai dengan tugas yang mereka berikan kepadaku, aku akan pergi ke Lasha dan karena toanio ini hendak mencari keluarganya di Lasha, maka biar aku menemaninya. Kasihan kalau ia harus melakukan perjalanan seorang diri ke Lasha, hal itu amat berbahaya karena Lasha masih jauh dari sini.!

Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu mengangguk. ‘Baik, susiok. Kami besok pagi akan berangkat, kembali ke Kun-lun-pai. Dan memang sebaiknya kalau anci ini ada temannya ke Lasha. Siapa tahu gerombolan Kala Putih itu akan melakukan pengejaran. Harap susiok berhati-hati karena mereka itu jahat sekali.!

‘Aku mengerti. Bagaimana, toanio, setujukah engkau apabila aku menemanimu melakukan perjalanan ke Lasha? Kebetulan sekali akupun hendak pergi ke sana.!

‘Tentu saja, ahh, tentu aku merasa senang sekali, taihiap. Tadinya aku hampir putus asa melihat betapa sukarnya mencari adikku, dan betapa barbahayanya perjalanan ini. Aku berterima kasih sekali kepadamu, taihiap.!

‘Sungguh engkau tahan uji dan juga bersemangat besar, toanio. Bagaimana mungkin dapat menemukan seseorang dalam jarak yang begini jauh, dan akupun belum dapat memastikan apakah engkau akan dapat menemukan adikmu di Lasha. Di sana banyak terdapat orang dan mencari seseorang di antara orang banyak di tempat yang besar....!

‘Adikku mudah dicari. Dia.... dia mempunyai cacat, yaitu punggungnya berpunuk dan dia bongkok....!

Tiba-tiba Ciang Sun dan Kok Han saling pandang dan Kok Han segera berseru, ‘Nanti dulu, enci. Apakah adikmu itu bernama Sie Liong?!

Kini Lan Hong yang terkejut dan memandang heran. ‘Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu?!

‘Ah, kiranya Pendekar Bongkok itulah adikmu, enci! Tidak sukar menduga setelah engkau tadi mengatakan bahwa adikmu itu bongkok. Engkau she Sie dan Pendekar Bongkok juga she Sie. Kami pernah bertemu dengan dia!!

Hampir Lan Hong bersorak. Ia merasa gembira sekali. ‘Di mana dia? Bagaimana keadaannya?!

Juga Lie Bouw Tek menjadi tertarik mendengar bahwa adik wanita ini yang dicari-cari itu disebut Pendekar Bongkok oleh dua orang murid keponakannya.

‘Kok Han, ceritakan tentang Pendekar Bongkok itu. Aku ingin sekali tahu karena belum pernah aku mendengar namanya.!

Kini Ciang Sun yang menjawab. ‘Aih, susiok. Dia memang baru saja muncul di dunia kang-ouw, masih amat muda akan tetapi namanya cepat sekali menjadi terkenal. Tentang ilmu kepandaiannya, ah, susiok, kami berani mengatakan bahwa selama hidup belum pernah kami bertemu dengan seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian sehebat yang dimiliki Pendekar Bongkok! Dia lihai bukan main, susiok sehingga kami berdua merasa seperti kanak-kanak tidak berdaya saja kalau dibandingkan dengan dia! Sayang sekali, enci, kami tidak tahu ke mana sekarang dia pergi, karena kami berjumpa dengan dia baru-baru ini di sebuah dusun di mana dia melakukan hal yang menggemparkan dan mengagumkan. Bahkan dulu, ketika dia masih kecil, tujuh tahun yang lalu, kamipun pernah bertemu dengan dia. Akan tetapi, baiklah kami ceritakan saja pengalaman dua kali bertemu dengan adikmu yang aneh dan yang gagah perkasa itu, enci, agar susiok juga mengetahui siapa adanya Pendekar Bongkok yang kami kagumi itu.!

Ciang Sun dan Kok Han lalu menceritakan pengalaman mereka. Mula-mula pengalaman mereka tujuh tahun yang lalu ketika mereka menolong seorang tosu yang diseret-seret oleh dua orang pendeta Lama Jubah Merah. Mereka baru pulang berbelanja untuk Kun-lun-pai dan waktu itu usia mereka baru dua puluh tahun. Akan tetapi, dua orang pendeta Lama itu ternyata lihai bukan main sehingga mereka berdua tidak berdaya dan roboh tertotok. Mereka hampir dibunuh oleh dua orang pendeta Lama itu, akan tetapi tosu itu, yang tadi diseret-seret dan yang ternyata adalah seorang sakti yang bernama Pek-in Tosu, berbalik menyelamatkan mereka. Terjadi perkelahian antara Pek In Tosu dan dua orang pendeta Lama itu.

‘Nanti dulu, bukankah Pek-in Tosu itu seorang di antara Himalaya Sam Lojin?! tanya Lie Bouw Tek yang banyak mengenal tokoh Himalaya dan daerah barat.

‘Benar, susiok. Perkelahian itu hebat sekali, akan tetapi ketika dua orang pendeta Lama itu mengeluarkan ilmu sihir melalui suara nyanyian mereka, Pek-in Tosu kewalahan dan hampir roboh. Untunglah, pada saat itu muncul Pendekar Bongkok, pada waktu itu hanya seorang anak laki-laki berusia dua belas atau tiga belas tabun yang bongkok, dan Pek-in Tosu tortolonglah.!

‘Apa? Dalam usia dua belas tahun sudah begitu lihainya?! Lie Bouw Tek berseru heran dan kagum.

‘Tidak, susiok. Pada waktu itu, dia belum pernah mempelajari silat, ataupun kalau pernah, masih dangkal sekali. Akan tetapi dia memang aneh dan cerdik. Mendengar dua orang pendeta Lama itu bernyanyi-nyanyi yang mengandung sihir sehingga Pek-in Tosu kewalahan, anak itu lalu menggunakan bambu memukuli batu-batu sehingga suaranya bising sekali. Suara ini yang agaknya mengacaukan ilmu sihir dua orang pendeta Lama itu dan mereka kalah oleh Pek-in Tosu dan melarikan diri. Itulah pertemuan kami yang pertama dengan Pendekar Bongkok.!

‘Sungguh menarik sekali!! kata Lie Bouw Tek kagum.

‘Ah, kasihan adikku. Taihiap, apakah dua orang pendeta Lama itu tidak marah karena mereka diganggu oleh Sie Liong?! kata Lan Hong.

‘Dua orang pandeta Lama itu marah sekali dan mereka menyerang Pendekar Bongkok, akan tetapi Pek-in Tosu yang sudah sadar kembali dari pengaruh sihir lalu membelanya dan berhasil mengusir dua orang pendeta Lama itu.!

‘Dan bagaimana perjumpaan kalian untuk yang kedua kalinya dengan Pendekar Bongkok?!

‘Pertemuan kami dengan dia baru saja terjadi beberapa pekan yang lalu, di sebuah dusun di perbatanan Tibet. Ketika itu kami menjadi tamu kepala dusun yang sedang merayakan pesta pernikahan puteranya. Akan tetapi pernikahan itu gagal karena Pendekar Bongkok turun tangan mancampuri. Kiranya dia yang benar karena pernikahan dengan putera kepala dusun itu dipaksakan. Setelah mengetahui duduknya perkara, kami setuju akan tindakan Pandekar Bongkok yang menggagalkan pernikahan itu dan di dalam perjumpaan itulah dia mengenal kami berdua. Ternyata dia telah menjadi seorang pendekar yang sakti!!

Lan Hong menarik napas panjang mendengar cerita dua orang murid Kun-lun-pai itu. ‘Ya, memang setelah pulang dari perantauannya, adikku telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Menurut pengakuannya, dia telah menjadi murid Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su.!

‘Ahhh....!! Lie Bouw Tek berseru dengan mata terbelalak panuh kasum. ‘Pantas saja adikmu itu menjadi seorang pendekar yang sakti, toanio! Kiranya dia murid orang-orang yang sakti. Menjadi murid Himalaya Sam Lojin sudah hebat apalagi menjadi murid Pek-sim Sian-su! Ah, sungguh hebat sekali adikmu itu, toanio!!

Mendengar pujian-pujian itu, Lan Hong sama sekali tidak menjadi gembira, bahkan diam-diam ia merasa sedih sekali, mengingat akan nasib adiknya. Sejak kecil, adiknya sudah mengalani kesengsaraan, bahkan dibandingkan dengan dirinya sendiri, adiknya itu lebih tersiksa. Tersiksa lahir batin, bahkan kini sedang dicari oleh Bi Sian untuk dibunuh!

Karena melihat Lan Hong kelelahan, Lie Bouw Tek menghentikan percakapan mereka dan mempersilakan wanita itu untuk mengaso. Dia memberikan selimutnya dan Lan Hong rebah miring dekat api unggun. Sebentar saja ia sudah tertidur karena memang ia sudah lelah sekali. Lie Bouw Tek masih bercakap-cakap lirih dengan dua orang murid koponakannya, akan tetapi tak lama kemudian merekapun mengaso dengan duduk bersila.

***

Mereka berdua menunggang kuda berdampingan dan membiarkan kuda mereka berjalan perlahan menuruni bukit. Lie Bouw Tek membeli dua ekor kuda di dusun yang baru mereka tinggalkan, di lereng bukit. Lan Hong berterima kasih dan ketika ia hendak membayar harga kuda untuknya, pendekar itu mencegahnya. Diam-diam Lan Hong semakin kagum kepada pendekar yang bertubuh tinggi besar itu. Lie Bouw Tek bukan saja gagah perkasa, pendiam, berwibawa dan tenang sekali, akan tetapi ternyata juga bersikap lembut dan sopan terhadap dirinya. Belum pernah pendekar itu menunjukkan sikap kasar ataupun melanggar kesopanan terhadap dirinya sepanjang melakukan perjalanan bersamanya, bahkan di waktu memandangnya, pendekar itu selalu membatasi diri.

Karena senja telah tiba dan malam menjelang datang menggelapkan bumi, mereka terpaksa menghentikan perjalanan di kaki bukit itu. Mereka memilih sebuah gua di daerah yang penuh batu gunung itu sebagai tempat melewatkan malam. Mereka membuat api unggun di mulut guha dan setelah makan roti dan daging kering, minum anggur yang tidak begitu keras, mereka lalu duduk bercakap-cakap di dalam gaa. Api unggun menghangatkan tubuh dan mengusir nyamuk. Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Melihat usia mereka, sepantasnyalah kalau ada orang melihat mereka akan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri.

Keduanya termenung, seolah tenggelam dalam lamunan masing-masing. Padahal, diam-diam mereka itu saling memikirkan. Bagi Lan Hong, perasaannya yang amat kagum dan tertarik kepada pendekar itu merupakan pengalaman yang baru pertama kali ia rasakan. Semenjak masih remaja, hati dan badannya telah direnggut secara paksa oleh mendiang Yauw Sun Kok. Kalaupun akhirnya timbul perasaan cinta kepada Yauw Sun Kok, hal itu adalah karena keadaan. Ia telah menjadi isterinya, bahkan telah melahirkan anak keturunannya, maka ia anggap sudah semestinya dan sewajarnyalah kalau ia bersikap setia dan mencinta suaminya.

Akan tetapi betapa seringnya hatinya menderita nyeri yang amat hebat melihat sikap suaminya, pertama sikap Suaminya terhadap adiknya, dan kedua kalinya ketika mereka kehilangan anak mereka sikap suaminya menjadi teramat buruk, bahkan mulai memaki dan memukulnya. Dan selama itu, sama sekali ia tidak pernah bergaul dengan pria lain, bahkan mengangkat muka memandangpun tak pernah. Dan kini, setelah ia menjadi janda, setelah ia bebas, tiba-tiba saja, tanpa disangkanya, ia kini melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pendekar yang dalam segala-galanya jauh berbeda dengan mendiang suaminya! Seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, berjiwa satria, yang sopan santun dan lembut, namun keras dan jantan bagaikan seekor rajawali atau seekor naga jantan.

Di lain pihak, Lie Bouw Tek juga tiada habis herannya melihat kenyataan yang terjadi pada hatinya. Semenjak kegagalan cinta pertama, dia tak pernah mau bergaul dengan wanita, bahkan ada kecondongan menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa di balik kehangatan dan kelembutan itu tersembunyi kepalsuan, di balik keindahan itu tersembunyi racun yang jahat. Akan tetapi mengapa kini dia demikian tertarik kepada wanita yang sudah menjadi janda ini, yang biarpun tergolong cantik namun tidaklah luar biasa, bahkan kecantikannya sederhana? Mengapa timbul perasaan iba yang mendalam, juga perasaan kagum terhadap wanita ini yang mendorongnya untuk membela dan melindunginya, kalau mungkin selama hidupnya?

‘Toanio, engkau mengasolah, biar aku yang berjaga di sini,! akhirnya Lie Bouw Tek berkata kepada wanita itu.

‘Aku belum mangantuk, taihiap. Engkau mengasolah biar aku yang berjaga. Masa satiap kali kita bermalam di tempat terbuka, engkau saja yang melakukan penjagaan dan aku yang disuruh tidur.!

Lie Bouw Tek tersenyum. ‘Sudah sepantasnya begitu. Sudah menjadi kewajiban pria sebagai yang lebih kuat untuk selalu menjaga dan melindungl wanita yang lemah.!

‘Akan tetapi aku tidaklah sedemiklan lemahnya, taihiap.!

Lie Bouw Tek mengangkat muka menatap wajah itu. Mata itu! Mata yang indah akan tetapi sinaraya seperti matahari tertutup awan hitam. Dia menarik napas panjang.

‘Toanio, ada sedikit permintaan dariku, harap engkau tidak berkeberatan untuk memenuhi permintaanku itu.!Lan Hong balas memandang, sinar matanya tajam menyelidik. Bagaimanapun percayanya kepada pendekar ini, pengalaman-pengalaman pahit selama dalam perjalanan karena ulah pria membuat ia berprasangka buruk dan berhati-hati. ‘Taihiap, permintaan apakah itu? Apa yang dapat kulakukan untukmu? Tentu saja aku bersedia memenuhi kalau permintaanmu itu wajar dan baik.!

‘Setiap kali engkau menyebut taihiap kepadaku, aku merasa amat tidak enak. Kita melakukan perjalanan bersama, berarti kita senasib seperjalanan, menghadapi segala bahaya dan segala kemungkinan berdua. Akan tetapi sebutan yang kaupakai itu membuat aku merasa seperti kita ini saling berjauhan dan asing.!

‘Ah, sungguh aneh. Aku sendiripun merasa tidak enak setiap kali engkau menyebut toanio kepadaku. Sebutan itu demikian menghormati aku dan merendahkan dirimu.!

Mereka saling pandang, lalu keduanya tersenyum. ‘Kalau begitu, bagaimana kalau kita saling sebut seperti dua orang sahabat baik, atau seperti anggauta keluarga? Kita seperti kakak dan adik, bagaimana kalau engkau menyebut aku toako (kakak) dan aku menyebutmu siauw-moi (adik perempuan)?!

Biarpun wajahnya berubah merah dan jantungnya bardebar agak keras, namun Lan Hong tersenyum dan mengangguk. ‘Baiklah, toako. Sejak saat ini aku akan menyebutmu Lie Toako.!

‘Dan aku akan menyebutmu siawmoi Sie Lan Hong, atau cukup dengan Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?!

Kembali mereka saling pandang dan Lan Hong mengangguk. Lalu keduanya diam, seolah-olah mereka merasa sungkan dan rikuh setdah ada sedikit keakraban tadi. Akhirnya, merasa tersiksa oleh kediaman mereka itu, Lie Bouw Tek bertanya. ‘Hong-moi, aku masih merasa heran sekali mengingat ceritamu bahwa puterimu telah pergi. Apakah ia pergi bersama adikmu, Pendekar Bongkok itu?!

Lan Hong menggeleng kepalanya dan kedua matanya kelihatan semakin sedih. Kalau saja mereka pergi berdua, pikir Lan Hong, tentu hatinya tidak serisau sekarang ini. ‘Dia pergi sendiri,toako. Ia pergi untuk mencari panannya yang pergi lebih dahulu.!

‘Hemm, sungguh berbahaya kalau begitu. Dan sungguh berani sekali puterimu itu. Seorang anak perempuan kecil pergi seorang diri mencari pamannya, ke arah Tibet pula!!

Tiba-tiba Lie Bouw Tek memandang dengan mata terbelalak melihat betapa wanita yang duduk di seberang api unggun itu tertawa geli sambil menutupi mulut dengan punggung tangannya.

‘Eh? Kenapa engkau tertawa geli, Hong-moi?!

‘Habis, engkau lucu sih, toako. Bi Sian bukan seorang anak kecil lagi! Dia sudah berusia delapan belas tahun dan ia bukan pula seorang gadis lemah!!

‘Ah, tidak mungkin! Aku tidak percaya!!

Kini Lan Hong yang terbelalak dan memandang heran. ‘Apa maksudmu, toako? Engkau tidak percaya kepadaku? Apa kau kira aku membobong?! Dalam suaranya torkandung penasaran. Entah mengapa, hatinya terada nyeri kalau tidak dipercaya oleh pendekar itu.

‘Aku tidak mengatakan engkau membohong, Hong-moi, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa engkau mempunyai seorang puteri yang berusia delapan belas tahun? Anakmu sendiri ataukan anak tiri, atau anak angkat?!

‘Eh? Kenapa begitu, toako? Tentu saja anakku sendiri!!

‘Itulah yang tidak mungkin! Kalau puterimu itu berusia tujuh atau delapan tahun, baru masuk akal. Akan tetapi delapan belas tahun?!

Kini mengertilah Lan Hong dan senyumnya manis sekali, matanya bersinar dan untuk sejenak kedukaan yang membayang di dalamnya menipis.

‘Lie-toako, berapa kaukira usiaku sekarang?!

‘Paling banyak dua puluh lima tahun.!

Kembali Lan Hong tertawa geli dan menutupi mulutnya dengan tangan, ‘Hi-hik, engkau lucu, toako. Umurku tahun ini sudah tiga puluh tiga tahun.!

‘Apa? Tidak mungkin sama sekali! Engkau.... sungguh tidak pantas berusia sebanyak itu!! Teriak Lie Bouw Tek penasaran sehingga Lan Hong tertawa geli. Wanita mana yang tidak akan senang sekali hatinya melihat orang lain, apalagi kalau orang itu seorang pria, yang dikaguminya pula, mengira ia jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya?

‘Lie-toako, aku yang mempunyai usia itu, tentu aku yang lebih tahu dan tidak bohong.!

‘Aihhh.... maafkan aku. Sungguh mati sukar dipercaya bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tiga tahun, Hong-moi.!

‘Bahkan sudah hampir tiga puluh empat tahun, toako, mungkin malah lebih tua daripadamu.!

‘Ah, tidak, tidak!! jawab Lie Bouw Tek cepat. ‘Usiaku sudah tiga puluh enam tahun.!

‘Tantu engkau sudah mempunyai beberapa orang putera dan puteri, toako, Berapa banyak anakmu dan berapa usia anakmu yang pertama?!

Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya. ‘Aku tidak mempunyai anak, bahkan aku belum pernah menikah, Hong-moi.!

‘Ahh....!! Lan Hong menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi kemerahan dan ia memaki dirinya sendiri mengapa begitu tak tahu malu untuk merasa girang mendengar bahwa pendekar itu belum menikah! Ingatlah engkau, tak tahu malu, makinya pada diri sendiri, engkau sudah janda dan memiliki anak yang sudah dewasa, sedangkan dia ini masih perjaka, seorang pendekar besar yang budiman. Jangan mengharapkan yang bukan-bukan!

Kembali keduanya berdiam diri seperti tenggelam ke dalam lamunan yang lebih dalam lagi. Suasana semakin sunyi karena malam semakin larut. Ketika Lan Hong menambahkan kayu bakar pada api unggun, gerakannya itu seperti menghidupkan lagi suasana yang tadinya seperti mati. Lie Bouw Tek soperti sadar kembali dari lamunan.

‘Hong-moi, berapakah usia adikmu yang berjuluk Pendekar Bongkok itu?!

‘Dia masih muda, toako, baru dua puluh tahun lebih, paling banyak dua puluh satu tahun.!

‘Hemm, sudah demikian lihainya walaupun masih amat muda. Kalau dia melakukan perjalanan seorang diri ke Tibet, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi puterimu itu siapa namanya tadi?!

‘Bi Sian, Yauw Bi Sian.!

‘Nah, Bi Sian seorang gadis berusia delapan belas tahun, sungguh berbahaya melakukan perjalanan ke daerah ini. Sedangkan untuk engkau sendiri saja sudah amat berbahaya, apalagi untuk puterimu yang berusia delapan belas tahun.!

Lan Hong tersenyum, senyum penuh kebanggaan. ‘Kurasa tidak, toako. Biarpun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi Bi Sian memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada aku, atau bahkan mendiang ayahnya, bahkan pula, kurasa tidak kalah jauh dibandingkan Sie Liong.!

‘Apa?! Kembali Bouw Tek terbelalak. Sudah terlalu sering dia mendengar hal-hal yang amat aneh dan tidak terduga dari janda muda yang manis ini. ‘Selihai Pendekar Bongkok? Wah, hebat! Murid siapakah puterimu itu, Hong-moi?! Di dalam hatinya, sukar untuk dapat mempercayai keterangan Lan Hong tentang puterinya itu.

‘Menurut pengakuannya, Bi Sian menjadi murid seorang pertapa sakti yang berjuluk Koay Tojin.!

‘Benarkah?! Kembali pandekar itu terkejut. ‘Nama besar Koay Tojin amat terkenal di daerah barat dan utara! Dia seorang pertapa sakti yang namanya sejajar dengan nama basar Pek-sim Sian-su.!

‘Memang benar, toako. Menurut keterangan Bi Sian, gurunya itu memang sute dari Pek-sim Sian-su guru Sie Liong.!

Pendekar itu tertegun kagum, lalu menarik napas panjang. ‘Sungguh hebat sekali! Engkau memiliki keluarga yang hebat, Hong-moi. Aku jadi semakin tertarik untuk mengetahui riwayatmu dan keadaan keluargamu. Kalau boleh aku bertanya, kenapa suamimu meninggal dalam usia yang masih muda? Apakah karena penyakit?!

Sejenak Lan Hong menunduk dan berdiam diri. Bagaimana ia dapat menjawab? Sampai lama ia tak mengeluarkan suara.

‘Maafkan aku banyak-banyak, Hong-moi, kalau pertanyaanku tadi terlalu lancang dan tidak menyenangkan hatimu, maafkan dan engkau tidak perlu menjawabnya.! Di dalam suara itu terkandung keluhan. Lan Hong mengangkat mukanya menatap wajah pendekar itu. Tidak, ia tidak perlu menyembunyikannya. Bahkan ia perlu menceritakan kepada pendekar itu, orang yang telah mendapat keparcayaannya, bahkan yang bersedia mengantar dan membantunya sampai ia dapat bertemu dengan adiknya atau puterinya. Ia merasa bahwa pendekar yang duduk bersila di depannya itu bukan orang lain lagi, ia sudah merasa demikian akrab, apalagi setelah bercakap-cakap malam ini, setelah mereka saling menyebut toako dan siauw-moi. Akhirnya Lan Hong menarik napas panjang.

‘Akulah yang minta maaf, toako, karena aku tadi telah meragukannya. Baiklah, akan kukatakan kepadamu. Suamiku itu.... tewas karena terbunuh orang.!

‘Ahhh!! Lie Bouw Tek mangepalkan tinju, memandang dengan penasaran dan kasihan sekali. ‘Siapakah penjahat yang telah berani melakukannya, Hong-moi? Bagaimana si jahat itu berani melakukannya kalau di sana terdapat adik kandungmu dan puterimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi?!

Lan Hong menggeleng kepalanya. ‘Tidak diketahui siapa pembunuhnya, Lie-toako.!

‘Aku akan menyelidikinya! Aku akan menangkap pembunuh jahanam itu untukmu, Hong-moi! Lalu.... mengapa adikmu malah pergi, juga puterimu? Apakah mereka berdua itu sudah pergi ketika peristiwa itu terjadi? Apakah mereka tidak tahu akan pembunuhan itu?!

Lan Hong menarik napas panjang. Karena Bouw Tek membantunya mencari adiknya dan puterinya, maka akhirnya ia tentu akan mengetahuinya, dan pendekar itu sudah terlibat dalam urusan keluarganya. ‘Mereka berdua tahu, toako. Justeru karena pembunuhan itulah mereka pergi meninggalkan rumah. Bi Sian, puteriku itu, menuduh bahwa adikku Sie Liong yang membunuh ayahnya. Karepa tuduhan ini, Sie Liong melarikan diri dan anakku itu melakukan pengejaran, mencari pamannya untuk dibunuh, untuk membalas dendam kematian ayahnya.!

‘Ah.... ahh....!! Bouw Tek kini tidak mampu bicara lagi. Tarlalu berat peristiwa yang menimpa keluarga janda ini, pikirnya dan dia merasa terharu, juga bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi. Akhirnya dia hanya mengeluh, ‘Hong-moi.... sungguh kasihan sekali engkau. Keluargamu hebat, akan tetapi juga tertimpa malapetaka yang hebat pula. Sungguh membuat aku merasa penasaran, Hong-moi. Adikmu demikian lihai, juga puterimu, akan tetapi suamimu dapat dibunuh orang, dan sekarang puterimu malah mengejar-ngejar pamannya yang dituduh melakuken pembunuhan itu. Sebetulnya bagaimana duduknya perkara, Hong-moi? Maukah engkau menceritakan kepadaku? Percayalah, aku siap untuk membantu, sedapat mungkin akan kubongkar rahasia itu yang meliputi seluruh keluargamu. Menurut keterangan dua orang murid keponakanku, Pendekar Bongkok adalah seorang pendekar budiman yang hebat, bagaimana mungkin membunuh kakak iparnya sendiri?!

‘Tadinya.... aku sendiri percaya bahwa dia yang membunuh suamiku, tapi.... tapi sekarang tidak lagi....!

‘Lebih aneh lagi kalau begitu. Wahai, Hong-moi, ternyata dirimu dilingkari banyak rahasia sehingga membuat aku beberapa kali terheran-heran dan terkejut mendengar keteranganmu.!

Sudah kepalang basah, pikir Lan Hong. Ia harus menceritakan segalanya. Terserah kepada pendekar ini kalau nanti akan berubah pandangan terhadap dirinya. Ia tertarik kepada pendekar ini dan kalau ia menghendaki pergaulan yang jujur, iapun harus terbuka dan jujur. Pendekar itu harus mengenal dirinya, mengenal riwayatnya dan ia tidak perlu menutupi rahasia, yang paling buruk sekalipun!

Ia sudah nekat karena ia ingin dikenal benar oleh pendekar itu, dikenal semua keadaannya sehingga ia dapat melihat bagaimana nanti sikap pendekar itu terhadap dirinya. Berubahkah? Memandang rendahkah? Biarlah, ia akan menghadapi segala resikonya. ‘Lie-toako, terus terang saja, riwayat hidupku penuh dengan noda dan baru kepadamu seoranglah aku akan menceritakannya. Terserah kemudian bagaimana tanggapanmu. Riwayatku dimulai dengan terbunuhnya ayah dan ibu kami oleh seorang musuh besar. Ayah kami bernama Sie Kian atau juga disebut Sie Kauwsu, seorang guru silat bayaran di kota Tiong-cin. Karena ayah kami suka menentang kejahatan, maka dia banyak dimusuhi orang jahat dan pada suatu hari, seorang penjahat yang mendendam kepada ayah kami, telah datang dan membunuh ayah dan ibu kami. Ketika itu aku berusia lima belas tahun dan adikku, Sie Liong, berusia sepuluh bulan.! Ia herhenti sebentar dan bergidik ketika membayangkan peristiwa itu.

Lie Bouw Tek yang sudah merasa kasihan mendengar wanita itu kehilangan suami yang dibunuh orang, kini memandang dengan terharu. Betepa buruk nasibnya, ketika remaja sudah kehilangan ayah bunda yang dibunuh orang.

‘Sungguh keji penjahat itu!! komentarnya.

Sie Lan Hong tersenyum, senyum yang pahit sekali. ‘Lebih dari pada keji, toako. Setelah membunuh ayah ibu kami, dia bahkan memaksaku untuk melayaninya dengan mengancam akan membunuh adikku yang berusia sepuluh bulan itu kalau aku menolak keinginannya yang kotor. Melihat adikku yang masih bayi itu dibawah ancaman golok, apa yang dapat kulakukan selain menyerah? Aku menyerah. toako, demi menyelamatkan adikku.!

Wajah yang jantan itu berubah menjadi kemerahan, matanya mengeluarkan sinar mencorong dan Bouw Tek mengepal tinju. ‘Jahanam keparat! Kalau aku bertemu dengan jahanam itu, akan kuhancurkan kepalanya!!

Melihat kemarahan pendekar itu, kembali Lan Hong tersenyum, dan senyumnya masih pahit sekali. ‘Sebaiknya kulanjutkan riwayatku, toako. Musuh itu lalu membawaku pergi meninggalkan kota kami, dan dia memaksa aku menjadi isterinya dengan ancaman yang sama, yaitu kalau aku menolak, Sie Liong akan disembelihnya. Aih, toako, kalau saja tidak ada adikku yang masih bayi terancam maut mengerikan, aku takkan takut menghadapi ancamannya, aku lebih suka mati daripada harus menyerah. Percayakah engkau, toako?!

‘Aku percaya, aku percaya.... aih, si keparat!! kata Bouw Tek.

‘Setelah aku menjadi isterinya, dia meninggalkan pekerjaan sesat dan berdagang di kota Sung-jan, dan harus kuakui bahwa sikapnya terhadap diriku amat baik dan menyayang. Akan tetapi diapun maklum bahwa kalau dia mengganggu adikku, tentu aku akan membunuh diri. Sampai akhirnya aku melahirkan Bi Sian, puteriku itu....!

‘Hemm....! Bouw Tek mengerutkan alisnya dan tidak lagi berani memberi komentar. Bagaimana dia dapat memaki laki-laki yang telah monjadi suami Lan Hong, bahkan menjadi ayah kandung puterinya? Keadaan menjadi semakin membingungkan dan ruwet, dan dia merasa semakin kasihan kepada wanita di depannya itu. Bahkan untuk menghapus makian-makiannya tadi, dia berkata lirih, ‘Hemm, dia telah menjadi seorang suami dan ayah yang baik....!

Lan Hong menggeleng kepalanya. ‘Nampaknya saja begitu, toako. Akan tetapi, dia tetap seorang yang amat jahat. Dia selalu merasa takut kalau-kalau kelak Sie Liong, adikku itu, akan tahu tentang pembunuban yang dilakukan terhadap orang tua kami, dia takut kalau Sie Liong kelak membalas dendam. Maka, kalau dia mengajarkan silat kepada Bi Sian, dia melarang Sie Liong belajar silat. Dan baru sekarang aku dapat menduga bahwa Sie Liong menjadi cacat, menjadi bongkok, tentu karena perbuatan dia pula! Yang kuketahui ketika itu hanya bahwa Sie Liong jatuh sakit keras dan setelah sembuh dia menjadi bongkok.!

‘Ahhh....! Hemmm....!! Tadinya Bouw Tek ingin memaki lagi, akan tetapi mengingat bahwa yang akan dimaki itu suami wanita ini, dia tidak jadi dan hanya menggeleng-geleng kepalanya.

‘Agaknya, Sie Liong menyadari bahwa dia dibenci kakak iparnya, maka ketika dia berusia dua belas atau tiga belas tahun, dia minggat dari rumah kami dan tak lama setelah itu, puteri kami, Bi Sian, bertemu dengan Koay Tojin dan dibawa pergi sebagai muridnya. Nah, setelah adikku dan puteriku pergi, berubahlah kembali watak suamiku itu, toako. Dia seolah-olah seekor harimau yang menanggalkan kedok dombanya. Dia menjadi kejam, kasar dan suka mulai mabok-mabokan dan melacur. Dia mulai suka memaki dan memukuli aku. Ahh.... kalau saja tidak ingat kepada puteriku, mungkin tak kuat aku menahan derita itu....! Wanita itu berhenti dan menutupi mukanya, akan tetapi ia tidak menangis. Lie Bouw Tek memandang dengan tubuh diam tak bergerak, seperti patung. Dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana dan berkata apa.

Tak lama kemudian Lan Hong menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan wajahnya agak pucat, akan tetapi ia tidak menangis. Ketika ia memandang kepada Bouw Tek yang kelihatan diam seperti patung, ia melanjutkan.

‘Selama tujuh tahun aku menderita. Harta kamipun dihamburkan oleh suamiku itu dan akupun tidak berdaya. Aku seolah hanya hidup untuk menantl pulangnya anakku dan adikku. Dan pada suatu hari, setelah tujuh tahun lewat, muncullah Sie Liong yang telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.!

‘Dan menjadi seorang pendekar yang sakti yang dijuluki Pendekar Bongkok?!

‘Benar, dan melihat Sie Liong, suamiku menjadi marah dan hendak memukulnya. Akan tetapi dangan mudah Sie Liong mengalahkannya tanpa melukainya. Sama sekali suamiku tidak berdaya melawan Sie Liong yang menjadi sakti itu.!

‘Dan adikmu tidak tahu bahwa suamimu itu yang membunuh ayah ibu kalian?!

Lan Hong menggeleng kepalanya. ‘Ketika peristiwa itu terjadi, dia baru berusia sepuluh bulan, dan ketika tubuhnya menjadi cacat, diapun masih kecil. Dia sama sekali tidak tahu, dan akupun tentu saja merahasiakan hal itu. Akan tetapi, Sie Liong melihat betapa harta kami telah habis dan betapa aku mendapatkan perlakuan buruk dari suamiku. Bahkan mereka bentrok ketika suamiku memukuliku dan Sie Liong melindungiku. Dan beberapa hari kemudian, tiba-tiba puteriku, Bi Sian pulang!! Wajah Lan Hong agak berseri ketika ia teringat akan peristiwa itu.

‘Dan ia telah menjadi seorang gadis yang sakti pula, murid Koay Tojin.! kata Bouw Tek, mulai dapat menggambarkan keadaan keluarga wanita itu.

‘Benar, toako. Ia berusia delapan belas tahun, menjadi seorang gadis yang cantik dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dan iapun gembira sekali bertemu dengan pamannya. Kautahu, toako, diantara adikku dan puteriku yang usianya hanya selisih dua tiga tahun itu terdapat hubungan yang amat akrab dan mereka itu saling menyayang karena mereka tumbuh besar bersama-sama. Bi Sian pulang ditemani sutenya yang bermalam di luar rumah kami, di rumah penginapan.! Wanita itu berhenti lagi dan Bouw Tek dengan tenang menanti kelanjutan cerita itu karena dia merasakan datangnya suatu peristiwa yang paling hebat, yaitu kematian suami wanita itu.

‘Kemudian, tiba-tiba saja terjadi peristiwa itu, toako,! kata Lan Hong seolah-olah dapat membara pikiran pendekar itu dan menjawabnya. ‘Siang hari itu suamiku pergi dan pada malam harinya dia dibunuh orang.! Kembali Lan Hong diam dan kini ia nampak demikian berduka.

‘Dan engkau tentu sangat berduka, Hong-moi.!

Lan Hong mengangkat mukanya dan sejenak mereka saling pandang. Lan Hong lalu mengerutkan alisnya. ‘Mungkin engkau akan menganggap aku jahat, toako. Akan tetapi terus terang saja aku tidak berduka atas kematiannya. Akhir-akhir itu dia mendatangkan kesan buruk sekali dalam hatiku karena sikapnya selama tujuh tahun itu. Yang membuat aku berduka adalah karena Bi Sian menuduh Sie Liong yang melakukan pembunuhan itu dan ia menyerang Si Liong mati-matian untuk membalas dendam!!

‘Hemm, sepatutnya gadis itu menyadari akan kejahatan ayahnya yang telah membunuh orang tua Pendekar Bongkok!! kata Bouw Tek penasaran.

‘Gadis itu puteriku, toako....!

‘Ah, maafkan aku, Hong-moi, riwayatmu demikian mencekam hatiku sehingga aku lupa diri. Lalu bagaimana kelanjutannya, Hong-moi?!

‘Ketika diserang Bi Sian, Sie Liong lalu pergi melarikan diri. Tak lama kemudian, Bi Sian juga pergi melakukan pengejaran.!

‘Dan puterimu itu tidak tahu bahwa ayahnya adalah pembunuh orang tua ibunya dan pamannya?!

Lan Hong menggeleng kepalanya. ‘Bagaimana aku dapat menceritakan hal itu kepadanya, toako? Tentu hal itu akan menghancurkan hatinya, karena bagaima napun juga, suamiku itu adalah ayah kandungnya.!

Lie Bouw Tek termenung. Memang serba salah dan serba susah bagi wanita yang malang ini, pikirnya. ‘Akan tetapi, tentu Pendekar Bongkok sudah mengetahui rahasia itu maka dia membunuh musuh besarnya.!

Lan Hong menggeleng kepalanya. ‘Kurasa tidak begitu. Memang, setelah terjadi pembunuhan, akupun mengira demikian. Akan tetapi, dia tidak tahu akan rahasia itu, buktinya setelah kuceritakan, baru dia mangetahuinya! Dia menyanggal bahwa dia telah membunuh kakak iparnya, dan diapun baru tahu akan rahasia itu setelah aku bercerita kepadanya.!

‘Lalu bagaimana puterimu menuduh dia sebagai pembunuh ayahnya?!

‘Karena sebelumnya, ayahnya mengatakan bahwa Sie Liong memukulnya, dan dalam keadaan mabok dia minta agar Bi Sian membalaskan penghinaan itu. Dan pada saat terjadinya pembunuhan, Bi Sian melihat bayangan seorang yang bongkok di taman, seorang bongkok yang bertopeng, dan Bi Sian manemukan topeng itu. Maka, ia menuduh pamannya sebagai pembunuh. Ah, itulah yang menyusahkan hatiku, toako. Bagaimana kalau mereka saling jumpa dan anakku itu nekat menyerang dan hendak membunuh pamannya? Karena itulah, maka aku nekat melakukan perjalantn ini, untuk mencari mereka dan untuk membujuuk puteriku agar jangan memusuhi Sie Liong karena sekarang aku yakin bahwa bukan Sie Liong yang membunuh suamiku.!

‘Eh? Bagaimana engkau bisa yakin, Hong-moi?!

Lan Hong lalu menceritakan tentang penyelidikannya ke rumah pelesiran, tentang segala keterangan yang diperolehnya dari para pelacur yang pada hari terakhir itu melayani suaminya. Lie Bouw Tek mendengarkan dengan penuh kagum. Wanita ini selain tabah, juga amat cerdik, pikirnya.

‘Dari keterangan itu aku yakin bahwa adikku tidak membunuh kakak iparnya, toako. Kalau dia yang membunuh, tidak perlu dia bertopeng, dan tidak perlu pula dia berpura-pura kepadaku. Dia memang belum pernah mengetahui rahasia itu sebelum mendengar dariku. Kalau bukan dia yang membunuhnya, berarti si pembunuh sengaja menyamar sebagai seorang yang bongkok dan men genakan topeng. Tidak sukar menyamar sebagai orang berpunuk dan bongkok, tinggal mengganjalkan sesuatu di punggungnya. Tentu saja dia bertopeng untuk menutupi wajahnya agar jangan ada yang tahu bahwa dia bukanlah Sie Liong. Jelas dia sengaja membunub dan melempar fitnah kepada adikku. Dan penyelidikanku ke rumah pelacuran itu membuktikan bahwa memang ada yang membunuh suamiku. Dia bukan lain adalah sute dari Bi Sian.!

‘Hemmm....! Lie Bouw Tek meraba-raba jenggotnya yang terpelihara rapi. ‘Pendapatmu itu memang nampaknya tepat Hong-moi. Teorimu juga masuk di akal. Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau benar seperti yang kausangka bahwa yang membunuh suamimu adalah sute dari puterimu, lalu apa alasannya? Mengapa dia membunuh suamimu yang baru dijumpainya?!

‘Akupun sudah memikirkan hal itu dan menemukan jawabannya. Aku dapat melihat bahwa sute dari puteriku yang namanya kalau tidak salah Coa Bong Gan, yang usianya lebih tua dari puteriku walaupun dia sutenya, agaknya jatuh cinta kepada Bi Sian. Sebagai orang yang jatuh cinta dan mengharapkan cintanya terbalas, tentu saja dia ingin selalu kelihatan sebagai seorang pemuda yang baik, bukan?!

Bouw Tek mengangguk, menatap tajam karena dia mengikuti dengan penuh perhatian dan amat tertarik.

‘Nah, dalam penyelidikanku itu, aku mendengar bahwa Bong Gan itu juga berada di rumah pelacuran ketika suamiku ke sana. Mereka saling melihat walaupun Bong Gan pura-pura tidak mengenalnya. Pertemuan itulah yang menjadi alasan mengapa pemuda itu membunuh ayah Bi Sian. Tentu dia khawatir kalau-kalau Bi Sian akan mendengar dari ayahnya bahwa dia melacur di rumah pelacuran! Dan karena dia pun memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Koay Tojin, maka dengan mudah dia melakukan pembunuhah itu dan menyamar sebagai Sie Liong. Dengan memakai kedok dan mengganjal punggungnya menjadi bongkok, mudah saja dia menjatuhkan fitnah kepada Sie Liong. Nah, bagaimana pendapatmu, toako?!

Lie Bouw Tek masih memandang dengan kagum dan mendengar pertanyaan itu dia mengangguk-angguk. ‘Kuat juga alasan itu, Hong-moi. Dan mengapa engkau melakukan pencarian ke daerah Tibet? Apakah engkau sudah yakin bahwa adikmu dan puterimu itu pergi ke Tibet? Dan di mana pula adanya sute dari puterimu itu?!

‘Coa Bong Gan pergi bersama Bi Sian, agaknya hendak membantunya menghadapi Sie Liong. Pernah Sie Liong bercerita kepadaku bahwa dia diberi tugas oleh para gurunya untuk melakukan penyelidikan terhadap para pendeta Lama di Tibet, entah untuk apa aku tidak tahu. Karena teringat akan keterangannya itulah aku mencari ke daerah ini dan hendak pergi ke Lasha.!

Lie Bouw Tok diam-diam terkejut dan juga girang. Kiranya Pendekar Bongkok menertma tugas dari guru-gurunya dan tugasnya itu sama benar dengan tugas yang dia terima dari Kun-lun-pai, menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet yang memusuhi Kun-lun-pai! Diapun pernah mendengar dalam perantauannya di daerah ini bahwa para pendeta Lama di Tibet memusuhi para pertapa dan terutama para tosu di Himalaya sehingga banyak tosu yang menyelamatkan diri meninggalkan Pegunungan Himalaya. Agaknya tugas Pendekar Bongkok yang menyelidiki para pandeta Lama itu ada hubungannya dangan hal itu.

‘Setelah mendangar riwayatmu, aku sekarang jelas mengapa engkau pergi seorang diri mencari puterimu dan adikmu di daerah yang berbahaya ini, Hong-moi. Jangan khawatir, aku akan membantumu mencari mereka sampai dapat. Sukurlah kalau belum terjadi apa-apa antara adikmu dan puterimu. Akan tetapi menurut pengetahuanmu, siapa diantara mereka yang lebih lihai, Hong-moi?!

‘Kukira Sie Liong lebih lihai, akan tetapi akupun yakin bahwa dia tidak mungkin mau melawan keponakan yang amat disayangnya itu. Aku khawatir sekali, toako.!

‘Kalau begitu, yang penting adalah mencari dan menemukan puterimu, Hong-moi. Engkau harus menceritakan senua rahasia itu kepadanya, tentang pembunuhan terhadap ayahnya yang dilakukan sutenya sendiri, bukan oleh pamannya.!

Lan Hong mengangguk lemah. ‘Akan kulakukan itu, walaupun hal itu pasti akan sangat menyedihkan hatinya.!

Malam telah larut dan Lan Hong dipersilakan mengaso dan tidur, sedangkan Bouw Tek berjaga di depan guha, dekat api unggun. Dia semakin tertarik kepada Lan Hong. Tak dapat dia menyalahkan Lan Hong yang dahulu terpaksa menyerahkan diri kepada pembunuh orang tuanya itu untuk menyelamatkan adik kandungnya. Sungguh terkutuk perbuatan ayah Bi Sian itu, akan tetapi dia sudah mati dan memang sepatutnya kalau dia mati terbunuh. Orang yang amat jahat! Dan diapun menjadi semakin kagum kepada Pendekar Bongkok, dan ingin sekali mendapat kesempatan untuk berjumpa dengan pendekar itu. Bukan saja untuk berkenalan, akan tetapi juga untuk.... membicarakan soal keputusan hatinya. Setelah mendengarkan riwayat Lan Hong, sudah bulat tekadnya untuk meminang janda ini menjadi isterinya!

***

Semua mata memandang, semua kepala menoleh ketika Sie Liong dan Ling Ling memasuki kedai makanan itu. Ling Ling adalah sebrang gadis yang terlampau menarik untuk dilewatkan begitu saja oleh mata pria. Dan temannya, Sie Liong, juga seorang pemuda yang terlampau aneh dengan cacatnya, sehingga semua orang tertarik untuk memandangnya. Mereka memasuki sebuah kedai makan di kota Nam-leng yang berada di sebelah barat kota besar Lasha pada tengah hari itu untuk makan siang. Seorang pelayan kedai menyambut mereka dan membawa mereka ke sebuah meja kosong di sudut kanan, diikuti pandang mata belasan orang tamu yang sedang duduk makan di kedai itu. Segera terdengar suara bisik-bisik, bahkan ada yang agak keras diselingi tawa sehingga terdengar sepenuhnya oleh pendengaran Sie Liong yang tajam terlatih, dan terdengar sebagian oleh Ling Ling.

‘Amboi.... manisnya....!!

‘Lihat bentuk tubuhnya.... seperti kijang emas....!!

‘Matanya.... ah, begitu jeli seperti bintang kejora!!

‘Kalau aku, yang paling menarik adalah mulutnya. Lihat, bibirnya tipis merah segar, seperti buah masak membikin gemes!!

‘Sayang ya, gadis semolek itu ditemani seorang.... ha-ha, seekor monyet!!

‘Bukan monyet, dia setan bongkok yang baru muncul dari kuburan, ha-ha!!

‘Siapa tahu, dia hanya pelayannya saja!!

‘Atau saudaranya!!

‘Tidak mungkin dia suaminya atau pacarnya. Huh, seperti onta begitu, mana mungkin berpasangan bidadari?!



Bab 18

Sie Liong diam saja, akan tetapi dia merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia tidak dapat merasa sakit hati lagi kalau dirinya diperolok orang. Dia sudah yakin sepenuhnya akan keburukan dirinya yang cacat. Dia pun tidak iri atau cemburu mendengar pria-pria itu memuji-muji kecantikan Ling Ling. Memang Ling Ling seorang gadis yang manis sekali. Akan tetapi semua olok-olok itu membuka matanya, menekan batinnya, membuat dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak pantas bersanding dengan Ling Ling! Apalagi mencintanya! Sungguh dia tidak tahu diri. Pria cacat seperti dia mana pantas menjadi pacar atau suami seorang gadis semanis Ling Ling? Mereka itu benar dalam olok-olok mereka. Menjadi pelayan Ling Ling saja tidak patut kalau melakukan perjalanan bersama seperti itu. Hanya akan menyeret Ling Ling dalam kerendahan dan membuat Ling Ling menjadi bahan olok-olok orang lain.

Ling Ling hanya dapat mendengar sebagian saja, akan tetapi cukup membuat kedua pipinya menjadi merah sekali. Ingin rasanya ia memaki-maki para tamu itu. Mereka berani merendahkan dan menghina Pendekar Bongkok! Ingin ia membujuk Sie Liong agar menghajar mereka itu, agar terbuka mata mereka siapa adanya pemuda bongkok yang mereka pandang rendah dan hina itu! Akan tetapi ia sudah cukup mengenal watak Pendekar Bongkok, tahu bahwa bujukannya takkan berhasil. Pendekar Bongkok terlalu rendah hati dan panyabar.

Ketika ia melirik, ia melihat betapa Sie Liong sama sekali tidak terpengaruh semua ejekan itu, seolah-olah tidak pernah mandengarnya. Diam-diam Ling Ling merasa penasaran, walaupun kagum. Untuk melampiaskan rasa penasaran hatinya, iapun berkata dengan suara agak dikeraskan kepada Sie Liong.

‘Liong-ko, kedai di sini cukup enak tempatnya, ya? Entah bagaimana dengan hidangannya, dan sayangnya, banyak sekali lalat kotor di sini!!

Sie Liong memandang kepadanya dan menahan senyumnya. Tempat itu memang tidak amat bersih, akan tetapi juga tidak banyak lalat kotor seperti yang dikatakan Ling Ling dan dia mengerti bahwa gadis itu menjadi panas hatinya mendengar olok-olok para tamu itu.

Di antara para tamu ada segerombolan pemuda berusia lebih dua puluh lima tahun yang duduk di meja sebelah mereka, jumlah mereka ada tiga orang dan mereka tadi juga mengeluarkan kata-kata pujian terhadap Ling Ling dangan sikap berani dan berandalan. Mendengar ucapan Ling Ling, seorang di antara mereka terkekeh.

‘Wah, kita dianggap lalat kotor! Ha-ha, kalau aku benar menjadi lalat, aku akan terbang dan hinggap di pipinya untuk mencuri cium, atau di bibirnya yang akan kugigit dengan gemas!! Kawan-kawannya tertawa mendengar kelakar yang kurang ajar itu.

‘Liong-ko, yang membikin aku tidak kuat dan muak tentang lalat-lalat itu adalah suaranya. Mari kita pergi mencari kedai lain saja, Liong-ko!! kata pula Ling Ling, kini lebih marah lagi.

‘Ha-ha, kawan-kawan. Kita tiga ekor lalat akan selalu terbang mengikutinya. Setuju?!

‘Akur....!! seru teman-temannya pula.

Ling Ling tak dapat menahan lagi kemarahannya walaupun Sie Liong memberi isyarat dengan kedipan mata agar gadis itu diam. Ia bangkit berdiri dan memanggil pelayan.

‘Hei, bung pelayan, ke sinilah!!

Ketika pelayan datang, Ling Ling berkata sambil melirik ke arah meja di sebelah di mana tiga orang pemuda berandal itu duduk. ‘Bung pelayan, kalau eng kau tidak mau mangusir lalat kuning di sana itu, aku tidak jadi makan di sini. Dia kotor sakali, menjijikkan!!

Sie Liong hendak mencegah, namun gadis itu sudah terlanjur bicara, bahkan kini terang-terangan Ling Ling memandang dengan mata melotot kepada pemuda berpakaian kuning, seorang di antara mereka bertiga itu. Tentu saja si pelayan menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Ketika si baju kuning itu bangkit dengan marah dan bersama dua orang temannya menghampiri meja Ling Ling, pelayan itu mundur dan pergi ketakutan. Si baju kuning kini menghampiri Ling Ling dan sambil tersenyum mengejek dia berkata.

‘Nona manis, berani engkau menghinaku, ya? Kalau sekarang juga kupeluk kau, kucium pipimu dan kugigit bibirmu, engkau mau apa? Mau mengandalkan pengawalmu yang bongkok ini? Hayo minta maaf kepadaku, kalau tidak, akan kucium pipimu!!

Pada saat itu, Sie Liong bangkit berdiri karena dia khawatir kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Berdirinya sudah terlalu dekat dan sekali tangannya menjangkau, dia tentu akan dapat merangkul Ling Ling yang kelihatan marah dan berani itu.

‘Harap sam-wi suka bersabar dan maafkan kami. Kalau mulai saat ini sam-wi (kalian bertiga) tidak menyinggung kami, tentu kamipun tidak akan berani menyinggung sam-wi. Maafkanlah kami dan habiskan perkara yang tidak ada artinya ini sampai di sini saja.!

Sikap dan ucapan Sie Liong ini dinilai sebagai pernyataan takut oleh tiga orang pemuda berandal itu. ‘Apa kau bilang? Mana bisa kami memaafkan begitu saja! Nona ini harus minta maaf kepada kami, dan engkau ini onta bongkok harus berlutut minta maaf kepada kami, baru kami mau sudah!!

Sie Liong mangerutkan alisnya. Dia tidak ingin mencari keributan, akan tetapi kalau dia disuruh minta maaf sambil berlutut, tentu saja dia tidak sudi.

‘Harap sam-wi tidak bersikap begitu. Kami adalah pendatang yang tidak ingin mencari permusuhan.!

‘Onta bongkok, engkau mencari permusuhan aku tidak takut! Tidak mencari pun, kami yang mencari permusuhan danganmu! Hayo ke sini rasakan hajaran kami!! kata si baju kuning.

Pada saat itu, terdengar suara yang parau dan dalam, namun nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu kedai makan itu.

‘Ho-ho, siapa dia yang mencari permusuhan di sini? Hayo maju dan lawan aku!!

Tiga orang pemuda berandalan itu menengok dengan marah. Mereka melihat seorang pria berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi besar, dengan jubah seperti pendeta akan tetapi pakaiannya butut seperti pengemis, dan tangan kirinya memegang sebuah hio-louw atau tempat abu sembahyang dari besi, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Melihat pakaiannya, orang-orang di situ tahu bahwa pria ini adalah sebangsa peminta derma untuk keperluan kuil atau para pendeta. Dia semacam pesuruh para pendeta dan akan menerima imbalan beberapa bagian dari hasil pemberian derma yang dikumpulkannya. Melihat seorang setengah pengemis yang menegur mereka, bahkan menantang, tiga orang pemuda berandalan itu tentu saja memandang rendah dan menjadi marah bukan main. Si baju kuning lalu melompat ke dekat orang itu dan memaki.

‘Kau ini pengemis busuk, jembel tua berani menegur kami dan berani menentang? Nah, aku melawanmu, nih, makan pukulanku!! Si baju kuning langsung mangayun kepalan tangan kanannya ke arah muka orang itu. Orang itu melihat mukanya dipukul, tidak mengelak, bahkan memutar mukanya dan menerima pukulan kepalan tangan itu dengan kepalanya yang berambut penuh uban, di bagian kiri atas telinga.

‘Dukkkk!! Pukulan itu keras sekali datangnya dan akibatnya, bukan yang punya kepala yang kesakitan melainkan si baju kuning yang menjerit kesakitan sambil terhuyung ke belakang dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Bukan main nyerinya tangan yang memukul tadi, seperti memukul besi dan seperti remuk rasanya semua buku tulang jari tangannya. Hal ini membuat kedua orang temannya menjadi marah. Mereka meloncat ke dekat kawan mereka dan kini mereka bertiga sudah mencabut golok yang tersembunyi di balik baju masing-masing. Dengan tiga batang golok di tangan, tiga orang pemuda berandalan itu mengepung.

Akan tetapi, penarik derma itu tersenyum mengejek, tidak menurunkan hio-louw dan masih berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan.

Tiga orang pemuda itu mengeluarkan teriakan garang lalu mereka menerjang dari tiga jurusan, sementara para tamu di kedai itu memandangi dengan gelisah, akan tetapi mereka tidak berani beranjak dari tempat masing-masing, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan. Tiga batang golok berkelebatan ketika tiga orang pemuda itu menyerang dan biarpun gerakan mereka tidak menunjukkan gerakan silat tingkat tinggi, namun mereka masih muda dan tenaga mereka kuat, juga agaknya mereka sudah biasa berkelahi menggunakan kekerasan.

‘Wuut-wuut-wuuut....!! Tiga batang golok menyambar.

‘Trang-trang-trangggggg....!! Tiga batang golok itu disambar tongkat butut dan tiga batang golok itu terlempar dan lepas dari tangan para pemegangnya. Tongkat itu masih terus menyambar-nyambar dan kaki tiga orang pemuda itu terbabat, membuat mereka roboh terpelanting!

Semua orang menjadi berisik dan tiba-tiba orang itu menurunkan hio-louw di atas meja kasir. Meja mengeluarkan suara berkeretekan saking beratnya hio-louw itu dan kini pemungut derma itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang ada gambarnya sebuah hati tersulam dengan benang emas.

‘Kim-sim-pai....!! terdengar orang berbisik-bisik. Mendengar disebutkannya Kim-sim-pang (perkumpulan Hati Emas), semua orang terkejut dan semua orang sudah tahu bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan para pemberontak yang dipimpin oleh Kim Sim Lama. Sudah terkenal sekali bahwa anggauta pemberontak ini banyak, juga mereka mempunyai jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Ketika mendengar bisikan itu, tiga orang pemuda berandalan yang mengaduh-aduh sambil menggosok-gosok tulang kering kaki mereka yang terasa nyeri sekali, kini memandang dengan maka pucat dan nyali mereka terbang entah ke mana.

‘Ha-ha-ha, kalian cacing tanah busuk. Hayo cepat serahkan semua milikmu sebagai sumbangan untuk menebus dosa atau kalian masih ingin berkenalan dengan tongkatku?!

‘Baik...., baik....! Tiga orang pemuda itu dengan tubuh gemetar segera mengeluarkan semua isi saku mereka, menyerahkan uang mereka kepada pengumpul derma itu dan memasukkan uang itu ke dalam hio-louw yang besar itu. Melihat betapa tiga orang pemuda itu hanya mempunyai uang perak sebanyak tidak lebih dari sepuluh tail, pria tinggi besar itu menyeringai.

‘Huh, nyawa kalian bertiga hanya kalian hargai sepuluh tail? Murah amat harganya nyawa kalian!!

‘Maafkan kami, hanya itulah milik kami,! kata si baju kuning sambil memberi hormat, diikuti dua orang kawannya.

‘Sudahlah,! kata pengumpul derma itu. ‘Sekarang semua yang berada di sini, harap suka memberi derma kepada kami. Yang Mulia Kim Sim Lama tentu akan memberkahi kalian yang telah memberi derma. Silakan mengisi hio-louw ini!!

Para tamu saling pandang dan mereka semua sudah mendengar bahwa apabila permintaan derma orang-orang Kim-sim-pai ini tidak dipenuhi, mereka tentu akan menganggap bahwa yang tidak memberi derma adalah musuh, maka mereka akan manggunakan kekerasan untuk menghajarnya. Maka, bangkitlah para tamu itu dan merekapun mengeluarkan isi saku mereka dan memasukkan uang ke dalam hio-louw. Biarpun tidak semua orang menyerahkan seluruh isi kantong mereka, akan tetapi tidak ada yang berani memberi sedikit sehingga belasan orang ditambah pemberian pemilik kedai makanah, memberi derma yang cukup banyak, hampir setengah hio-louw besar itu.

Akan tetapi, Sie Liong dan Ling Ling tidak berdiri, melainkan melanjutkan makan hidangan yang mereka pesan dengan tenang. Melihat ini, si baju kuning yang telah mendapatkan malu besar di depan para tamu dan terutama sekali penghinaan yang dideritanya itu ditonton pula oleh Pendekar Bongkok dan nona manis itu, lalu menumpahkan kedongkolannya kepada Pendekar Bongkok.

‘Heiii, onta bongkok! Engkau dan nonamu itu belum juga menyerahkan derma? Apakah engkau sudah bosan hidup? Losuhu, mereka berdua itu belum menyerahkan dana, bolehkah kalau aku yang memaksa mereka untuk memberi derma?! Untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, si baju kuning hendak menjilat si pengumpul dana dan hendak malakukan penghinaan terhadap Sie Liong dan Ling Ling.

Mendengar permintaan si baju kuning, pengumpul dana yang mulai merasa gembira karena hasil pemungutan dana itu dapat dikatakan berhasil baik, lalu mengangguk. Si baju kuning dan dua orang temannya segera mencari golok mereka yang tadi terlepas dari tangan dan dengan lagak jagoan mereka bertiga menghampiri Sie Liong dan Ling Ling yang sedang makan.

Sementara itu, biarpun kelihatan tenang dan melanjutkan makan bersama Ling Ling seolah-olah semua keributan yang terjadi itu tidak menarik perhatiannya, namun sesungguhnya begitu si pengumpul dana itu mengeluarkan bendera kecil dan terdengar seruan orang tentang Kim-sim-pai, kemudian mendengar ucapan pria tinggi beser itu bahwa semua penyumbang akan diberkahi oleh Kim Sim Lama, dia sudah tertarik sekali. Nama Kim Sim Lama pernah didengarnya dari Coa Kiu orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto yang membantu Thai-yang Suhu tokoh Pek-lian-kauw ketika mereka menculik gadis-gadis dusun. Menurut pengakuan Cia Kiu, Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang pernah mengganggu guru-gurunya di pegunungan Kun-lun, adalah kaki tangan Kim Sim Lama yang hendak memberontak terhadap Dalai Lama!

Dan orang ini, si tinggi besar yang mengumpulkan dana dengan kekerasan, adalah seorang di antara anak bush Kim Sim Lama! Maka, dia sudah memutar otak, mencari cara yang terbaik untuk menghubungi Kim Sim Lama melalui anak buahnya ini. Hanya dengan memasuki tempat gerombolan pemberontak Tibet itulah dia akan dapat memperoleh keterangan yang amat baik tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu di Himalaya.

Tiga orang pemuda berandalan yang berlagak jagoan itu, selain ingin mengambil hati si pemungut dana yang amat lihai itu, juga ingin melampiaskan kemarahan mereka kepada Sie Liong dan kalau mendapat kesempatan tentu saja ingin juga menggoda Ling Ling yang manis. Dengan sikap digagah-gagahkan, dengan dada dibusungkan, mereka membawa golok mendekati Sie Liong dan Ling Ling. Si baju kuning menggebrak meja sehingga makanan di atas meja itu berloncatan.

‘Brakk! Hei, onta bongkok! Apakah telinganu juga sudah tuli?!

Sie Liong adalah seorang penyabar, akan tetapi sakarang dia dan terutama sekali Ling Ling diganggu orang selagi makan. Dia mejnoleh dan memandang kepada si baju kuning.

‘Hemm, sobat. Engkau tadi sudah dihajar oleh pemungut derma itu, apakah masih juga belum jera dan masih ingin menjual lagak di sini? Pergilah dan jangan ganggu kami!!

‘Keparat, kau berani melawanku?! Si baju kuning mengangkat goloknya dan diayun ke arah telinga Sie Liong. Maksudnya jelas, untuk membuntungi sebelah telinga pemuda bongkok itu. Melihat ini, Sie Liong menaanggalkan kesabaranhya. Tangan kanan yang memegangi sumpit bergerak menotok ke arah pergelangan tangan si baju kuning.

‘Tukkk!! Golok itu terlepas dan sepasang sumpit itu masih terus meluncur ke depan, menotok ke arah dada. Si baju kuning roboh berlutut dan sepakan kaki Sie Liong membuat dia terlempar dan terjengkang lalu terguling-guling! Melihat ini, dua orang temannya yang tak tahu diri menjadi marah. Mereka mengayun golok. Akan tetapi, sepasang sumpit itu kini berada di kedua tangan Sie Liong, masing-masing tangan memegang sebatang dan sekali kedua tangan itu bergerak, dua orang itupun roboh terpelanting keras sekali karena mereka sudah kehilangan tenaga dan lemas seketika.

Seperti tadi, dua kali kaki Sie Liong menendang dan tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Setelah itu, Sie Liong membersihkan sepasang sumpitnya, lalu melanjutkan makan minum. Melihat ini, Ling Ling tersenyum gembira. Mampus kalian, pikirnya. Baru tahu ya siapa laki-laki yang bersama dengannya! Biarpun hatinya menjadi benar sekali, terasa mekar saking gembira dan bangganyam, namun Ling Ling yang melihat Sie Liong kembali melanjutkan makan minum, iapun melanjutkan makan dengan sikap yang tenang sekali. Terlalu tenang, sambil tak dapat ditahannya ia melirik ke sana sini sambil tersenyum-senyum. Sie Liong tentu saja melihat sikap gadis itu dan diam-diam dia merasa geli, akan tetapi juga senang karena dia melihat betapa gadis itu bergembira sekali.

Tiba-tiba Ling Ling terbelalak, mukanya pucat memandang ke arah belakang Sie Liong dan ia berbisik, ‘Liong-ko, awas.... dia datang....!!

Sie Liong memutar tubuhnya dan melihat pengumpul dana yang bertubuh tinggi besar itu sudah melangkah perlahan-lahan ke arah mejanya. Sikap yang tenang dan langkah yang lambat itu bahkan mendatangkan keseraman, seolah-olah ada seekor Beruang besar datang menghampiri, mengandung ancaman maut. Sepasang matanya melotot dan agaknya dia marah sekali kepada Sie Liong.

Sie Liong hanya sejenak saja memandang, lalu dia membalikkan tubuhnya lagi dan melanjutkan makan, seolah-olah tidak terjadi sesuatu! Melihat ini, Ling Ling juga menenang-nenangkan dirinya walaupun ia merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan gelisah. Ia tadi sudah melihat betapa lihainya si pemungut derma itu, dan agaknya dia kini marah kepada Pendekar Bongkok. Sementara itu, tiga orang pemuda yang tadi terkejut dan kesakitan terkena hajaran Pendekar Bongkok, kini sudah bangkit berdiri, agaknya siap membantu si pemungut dana. Mereka tidak merasa malu telah dihajar oleh si pemungut derma yang ternyata adalah orang Kim-sim-pai, nama yang amat terkenal dan ditakuti di seluruh Tibet. Akan tetapi dihajar oleh seorang pemuda asing yang bertubuh bongkok? Sungguh merupakan penghinaan yang memalukan sekali, apa lagi si bongkok itu muncul bersama seorang gadis cantik! Kini, melihat orang Kim-sim-pai menghampiri si bongkok, mereka mengharapkan agar si bongkok itu dihajar oleh orang Kim-sim-pai itu agar mereka dapat membalas penghinaan tadi, terhadap si bongkok maupun terhadap si gadls manis!

‘Orang muda bongkok, dan kau juga nona. Cepat keluarkan seluruh barang milik kalian dan karena kalian tadi berani menghina tiga orang yang membantuku, maka kalian harus juga menyerahkan pakaian yang menempel di tubuh kalian. Hayo cepat!!

Mendengar perintah ini, tiga orang pemuda yang berada di belakang pendeta pemungut derma itu tertawa-tawa menyeringai, membayangkan betapa akan senangnya melihat nona manis itu dipakna bertelanjang bulat di depan meraka, juga si bongkok! Akan tetapi kalau wajah Ling Ling berubah merah sekali mendengar ucapan orang Kim-sim-pai itu, sebaliknya Sie Liong bersikap tenang-tenang saja. Akan tetapi dia memutar tubuhnya dan masih duduk, menghadapi raksaaa yang berdiri jangkung di depannya itu.

‘Lo-suhu, engkau seorang pendeta, akan tetapi permintaanmu itu sungguh tidak sewajarnya. Bagaimana kalau kami menolak permintaanmu itu?!

Orang tinggi besar itu terbelalak kemudian tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu terguncang dan suara ketawanya menggetarkan seluruh tamu yang berada di situ. ‘Ha-ha-ha! Orang muda bongkok! Engkau belum mengenal siapa aku? Aku disebut orang Si Beruang Hitam dan belum pernah ada orang berani menentang perintahku! Kalau kalian tidak mentaati aku dan berani menolak perintahku, terpaksa aku akan dengan paksa menelanjangi kalian di sini, kemudian kubikin bongkokmu menjadi lurus!!

‘Ha-ha-ha!! Tiga orang pemuda itu tertawa dan disambung oleh si baju kuning. ‘Lo-suhu, kalau bongkoknya diluruskan, berarti tulang punggungnya akan patah-patah dan dia akan mampus!!

‘Kebetulan kalau begitu! Si manis ini kita yang merawat dan memeliharanya!! kata yang lain.

Kedua pipi Sie Liong mulai berubah merah dan diapun bangkit berdiri. Memang dia nampak bongkok dan lemah di depan anggauta Kim-sim-pai yang tinggi besar dan menyeramkan itu, seperti seekor domba berhadapan dengan seekor Beruang! Semua tamu memandang gelisah, bahkan Ling Ling juga agak pucat, khawatir kalau-kalau ‘jagonya! sekali ini akan kalah karena sikap orang Kim-sim-pai itu memang menyeramkan sekali.

‘Lo-suhu, sungguh aku merasa heran sekali melihat sikap dan sepak terjangmu. Engkau berjubah pendeta dan engkau mengumpulkan dana untuk para pendeta dan kuil. Ini berarti bahwa engkau adalah seorang manusia yang menjauhkan diri dari kesesatan, menjauhkan diri dari kekuasaan iblis yang bekerja melalui pengaruh nafsu, mendekatkan diri dengan Thian dan selalu mengikuti jalan kebenaran. Akan tetapi mengapa sepak terjangmu seperti ini? Sebanarnya engkau ini pendeta ataukah penjahat? Sadarlah, losuhu, sebelum terlambat!!

Sepasang mata itu melotot, mulut itu ternganga karena anggauta Kim-sim-pang itu terheran-heran, hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bertubuh cacat bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu kepadanya! Kalau yang berkata demikian itu atasannya di Kim-sim-pang, atau setidaknya seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi, atau seorang pejabat tinggi yang berkuasa, dia tidak akan merasa heran.

Akan tetapi seorang pemuda biasa, asing pula, bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu, di depan umum pula? Dia merasa terhina bukan main dan api kemarahan seperti hendak membakar-hanguskan kepala dan dadanya!

‘Demi semua dewa dan iblis! Siapakah engkau berani berkata seperti itu kepada Beruang Hitam? Hayo mengaku siapa engkau sebelum engkau terlanjur mampus dan menjadi mayat tanpa nama!! Berkata demikian, Si Beruang Hitam itu sudah menggerak-gerakkan sepuluh buah jari tangannya dun terdengar bunyi berkerotokan seolah-olah semua potongan tulang jari tangannya menjadi hidup dan berteriak-teriak.

Sie Liong bersikap tenang saja. Dia tahu apa artinya bunyi berkerotokan pada buku-buku jari tangan orang itu. Seorang yang memiliki tenaga yang amat kuat dan jari-jari tangan itu telah terlatih, akan tetapi tenaga itu baginya tidak berbahaya, hanya merupakan tenaga luar yang nampaknya saja dahsyat.

‘Namaku Sie Liong dan aku sama sekali tidak ingin memusuhimu, akan tetapi tentu saja aku akan menentang segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga.!

‘Bagus! Aku akan menelanjangimu, baru membunuhmu dan menyerahkan nona ini kepada tiga orang pemuda ini!! Berkata demikian, pendeta pemungut dana itu sudah menubruk ke depan, gerakannya memang mirip seekor Beruang yang menyerang dahsyat. Namun, Sie Liong sudah siap siaga dan dengan mudah dia menggeser kaki dan tubuhnya menyelinap ke kiri sehingga tubrukan itu luput.

‘Hyaaaaahhhhh....!! Pendeta itu semakin marah ketika tubrukannya luput dan dengan bentakan nyaring, kedua lengannya yang tadi menjulur ke depan, segera dibabatkan ke kanan mengejar bayangan Sie Liong dan kedua tangannya membentuk cakar harimau, mencengkeram ke arah dada dan muka Pendekar Bongkok.

Karena serangan susulan ini amat cepat datangnya dan dahsyat sekali, Sie Liong menyambutnya dengan tangkisan lengan kanan yang diputar dari kiri bawah ke kanan atas.

‘Desss....!!! Kedua lengan pendeta itu sekaligus tertangkis oleh lengan kanan Sie Liong yang mengerahkan sin-kang dan akibatnya, tubuh pendeta itu terpelanting dan jatuh terbanting menimpa meja! Sungguh sial baginya, mukanya berada di bawah dan tanpa dapat dicegahnya lagi, mukanya masuk ke dalam mangkok besar yang masih terisi masakan! Seperti harimau terjebak, dia menggereng marah dan ketika dia meloncat bangkit lagi, mukanya penuh dengan kuah dan saus tomat, nampak buruk, lucu, akan tetapi juga mengerikan!

Pada saat itu, Sie Liong mendengar suara Ling Ling menjerit dan ketika dia menoleh, ternyata tiga orang pemuda itu seperti berlumba hendak menelanjangi dan menciumi Ling Ling yang melawan mati-matian, mencakar dan menampar sejadi-jadinya.

‘Pengecut-pengecut busuk!! Sie Liong membentak marah, tangannya meraih beberapa batang supit dari meja berdekatan dan begitu tangan itu bergerak, tiga batang sumpit meluncur bagaikan anak panah. Tiga orang pemuda yang sedang memperebutkan Ling Ling itu menjerit dan roboh sambil berteriak-teriak dan mengaduh-aduh kesakitan karena pangkal lengan mereka dekat pundak telah tertembus sebatang sumpit! Rasa nyeri membuat tubuh mereka panas dingin, lengan lumpuh dan mereka hanya dapat mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat seperti cacing-cacing terkena abu panas! Ling Ling yang marah bukan main kepada mereka, segera menyambar barang seadanya di atas meja berdekatan, lalu menimpakan segala macam piring mangkok berikut sisa isinya ke atas kepala tiga orang itu. Terdengar suara hiruk pikuk pecahnya mangkok piring di atas kepala tiga orang pemuda itu yang menjadi semakin kesakitan. Nampak kepala mereka berdarah dan dahi mereka benjol-benjol!

Kini perkelahian antara tokoh Kim-sim-pai dan Pendekar Bongkok berlangsung seru. Meja kursi berserakan dan pendeta itu sudah marah dan penasaran bukan main. Semua serangannya selalu dapat dielakkan lawan, bahkan setiap kali ditangkis, dia merasa seluruh lengannya nyeri dan tubuhnya tergetar hebat. Sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya cukup tinggi, tahulah anggauta Kim-sim-pai itu bahwa pemuda bongkok itu sungguh memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, dan ilmu silat yang tinggi dan aneh.

‘Pemuda bongkok, sekarang saatnya engkau mampus!! bentak orang itu dan dia menyambar tongkat bututnya yang tadi dia letakkan di atas meja bersama hio-louw yang sudah terisi banyak uang sumbangan dari para tamu yang ketakutan tadi. Kalau tadi dia tidak mau mempergunakan tongkatnya adalah karena dia memandang rendah pemuda bongkok itu. Setelah semua serangannya gagal bahkan tiga kali dia terpelanting, akhirnya dia tidak mau sungkan lagi dan sudah menyambar tongkat bututnya dan sambil menggereng diapun menyerang dengan tongkatnya.

Tongkat itu terbuat dari kayu hitam yang berat dan kerasnya seperti besi. Besarnya hanya selengan tangan dan panjangnya setinggi tubuh pemiliknya. Namun, ketika dipakai menyerang, tongkat itu berputar den lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara bersiutan!

Melihat gerakan lawan yang menggunakan tongkat, tahulah Sie Liong bahwa tongkat lawan itu cukup berbahaya. Maka, diapun tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia mengerahkan tenaganya dan kedua tangannya mengepulkan uap putih ketika dia bergerak dengan ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih). Dengan berani dia menyambut gulungan sinar hitam itu dengan kedua tangannya, menangkis sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang.

‘Krakkkk!! Tongkat itu patah-patah menjadi tiga potong dan selagi anggguta Kim-sim-pai itu terkejut, tangan kiri Sie Liong sudah mendorongnya dengan pengerahan Swat-liong-ciang (Pukulan Naga Salju).

‘Plakkk!! Nampaknya tidak terlalu keras telapak tangan kiri Sie Liong mengenai dada dekat pundak lawan, namun akibatnya sungguh hebat. Tubuh tinggi besar itu terjengkang menabrak meja kursi dan ketika akhirnya dia merangkak bangun, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil kedinginan! Demikian hebatnya pukulan Swat-liong-ciang itu, mengandung kekuatan sin-kang yang amat dingin menembus tulang! Masih untung bagi pendeta itu bahwa Sie Liong tidak berniat membunuhnya sehingga membatasi tenaganya. Kalau dia menggunakan seluruh tenaga Swat-liong-ciang, tentu lawannya takkan mampu bangkit kembali, darahnya akan menjadi beku dan dia akan tewas seketika.

Orang itu yang berjuluk Beruang Hitam, bangkit dan memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak. ‘Kau.... kau.... yang berjuluk Pendekar Bongkok....!! Akhirnya dia bertanya. Sie Liong tidak menjawab, hanya mengangguk. Kembali orang itu nampak terkejut dan dia lalu menghela napas panjang.

‘Pendekar Bongkok, nama besarmu bukan kosong belaka. Aku mengaku kalah, akan tetapi urusan kita bukan berakhir sampai di sini saja!! Kalimat terakhir itu mengandung ancaman dan diapun menghampiri hio-louw di atas meja dan mengangkatnya lalu melangkah hendak pergi.

‘Beruang Hitam, tahan dulu! Engkau telah merusakkan banyak prabot rumah makan ini dan hendak pergi begitu saja membawa semua sumbangan itu? Tinggalkan semua isi hio-louw itu di sini!! kata Sie Liong yang melihat banyak meja kursi patah-patah dan mangkok piring pecah-pecah.Beruang Hitam itu berhenti, lalu membalikkan tubuhnya, menyeringai pahit dan tiba-tiba dia berkata, ‘Nah, terimalah ini!! Dia melontarkan hio-louw yang amat berat itu ke arah Sie Liong! Ling Ling terkejut sekali karena hio-louw yang berat itu menyambar ke arah Sie Liong, juga para tamu di rumah makan itu terbelalak dan merasa tegang. Namun, dengan tangan kirinya, Sie Liong menyambut hio-louw itu, lalu menuangkan seluruh isinya ke atas meja. Kemudian, dia melontarkan kembali hio-louw itu ke arah Beruang Hitam sambil berseru.

‘Bawalah pulang hio-louwmu ini dan jangan lagi mengganggu penduduk!!

Hio-louw itu melayang ke arah Beruang Hitam yang terpaksa menerimanya dengan kedua tangannya. Akan tetapi kini berat hio-louw itu ditambah dengan tenaga lontaran yang amat kuat dari Sie Liong. Beruang Ritam terhuyung dan biarpun dia tidak sampai roboh, namun ketika akhirnya dia dapat bertahan berdiri dengan kedua kaki gemetar, dari ujung mulutnya mengalir darah segar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menerima lontaran kembali hio-louw kosong tadi, dia telah menderita luka dalam. Tanpa bicara lagi diapun melangkah pergi meninggalkan rumah makan itu.

‘Pendekar Bongkok....!! Kini para tamu berbisik-bisik, menyebutkan nama ini dan mereka memandang kepada pemuda bongkok itu dengan sinar mata penuh kagum, heran dan juga gentar. Tiga orang pemuda yang tadi roboh terkena tusukan sumpit kemudian dihajar kepala mereka dengan mangkok piring oleh Ling Ling, kini merangkak dan dengan tubuh gemetar ketakutan mereka berlutut dan menghadap ke arah Sie Liong.

‘Taihiap, harap, ampunkan kami....! katanya.

‘Ampun, taihiap, mata kami seperti buta tidak melihat seorang pendekar sakti....! kata yang ke dua.

‘Taihiap.... Siocia (nona).... kami tidak berani lagi....! kata pemuda yang ke tiga.

Melihat sikap tiga orang pemuda yang rupanya sudah tidak karuan itu, baju robek-robek, muka berlepotan kuah, masakan dan darah, dahi benjol-benjol, pundak masih tertusuk sumpit, mengangguk-angguk sambil berlutut, Ling Ling dan Sie Liong saling pandang dan keduanya lalu tertawa geli.

‘Liong-ko, biarkan tiga lalat ini terbang pergi!! kata Ling Ling gembira dan bangga bukan main karena kemenangan Sie Liong yang menimbulkan kekaguman kepada semua orang. Kalau tadi semua orang memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata mencemooh, kini semua mata memandang kagum dan juga gentar!

Sie Liong lalu memandang kepada tiga orang itu. ‘Nah, kalian sudah mendengar? Hayo terbang pergi!! bentaknya.

Tiga orang pemuda itu lalu bangkit dan dengan terhuyung-huyung mereka lari keluar dari rumah makan itu, diiringkan senyum bahkan suara ketawa beberapa orang tamu rumah makan.

Sie Liong memanggil pengurus rumah makan. ‘Engkau perhitungkan berapa kerugian karena kerusakan ini, lalu ambil dari uang di atas meja ini. Selebihnya, kembalikan kepada para tamu yang tadi dipaksa untuk memberi sumbangan.! Dia lalu mengeluarkan uang membayar harga makanan dan minuman, kemudian memegang tangan Ling Ling dan menggandeng gadis itu keluar dari situ. Dengan bangga sekali Ling Ling memegang tangan pendekar itu dan ketika mereka berjalan keluar, ia merapatkan tubuhnya.

Akan tetapi ia tidak tahu betapa diam-diam Sie Liong merasa khawatir sekali. Ikutnya Ling Ling dengannya akan mendatangkan banyak kesulitan bagi dirinya dan terutama sekali bahaya besar bagi Ling Ling. Pula, tadi di rumah makan sudah terbukti jelas betapa gadis itu selama hidupnya akan menderita batin mendengar ejekan orang-orang kalau sampai menjadi teman hidupnya. Gadis yang semanis Ling Ling tidak pantas menjadi isteri seorang pria cacat seperti dia! Kalau dipaksakan, Ling Ling akan selalu mendengar ejekan orang. Masih baik kalau perasaan dan hatinya kuat, bagaimana kalau kelak sampai terguncang?

Bukan tidak mungkin, dan dia pun tidak akan terlalu menyalahkan kalau kelak timbul penyesalan dalam hati Ling Ling, telah menjadi isteri seorang pria yang cacat! Siapa tahu kelak akan datang penggoda, seorang pria yang tampan dan baik, sehat dan tidak cacat, dan hati Ling Ling jatuh. Kalau terjadi demikian, dia tidak akan dapat menyalahkan Ling Ling walaupun hal itu akan menghancurkan hatinya. Daripada menghadapi bahaya seperti itu, jauh lebih baik menyingkiri bahaya itu. Dan satu-satunya jalan adalah berpisah dari Ling Ling Hal itu sudah sejak lama dia pikirkan, sebelum mereka memasuki kota Lok-yang. Ling Ling adalah seorang gadis yang manis sekali dan setiap orang pemuda tentu akan mudah jatuh cinta kepadanya.

Masih banyak sekali pemuda yang tampan dan berbudi baik, yang pantas untuk menjadi jodoh gadis yang bernasib malang ini. Dia tahu bahwa diam-diam dia amat tertarik kepada Ling Ling, bahkan dapat dia mengaku bahwa dia telah jatuh cinta kepada Ling Ling dan akan merasa berbahagia sekali kalau selanjutnya dia hidup berdampingan dengan gadis itu sebagai suami isteri. Dan diapun dapat merasakan bahwa Ling Ling mencintanya! Akan tetapi, tentu cinta gadis itu timbul karena merasa berhutang budi dan merasa kasihan, bukan cinta seorang wanita yang tertarik oleh seorang pria.

‘Tidak, aku tidak boleh merusak kehidupan Ling Ling!! demikian dia telah mengambil keputusan sebelum mereka memasuki Lasha. Dan begitu masuk kota itu, dalam rumah makan tadi, kembali mereka telah mengalami gangguan yang timbul karena Ling Ling berdekatan dengan dia! Andaikata Ling Ling memasuki rumah makan itu bersama seorang pria yang sepadan, seorang pemuda yang tampan dan gagah, tak mungkin timbul keributan tadi. Tentu tidak akan ada yang mengejek. Peristiwa itu membuat dia semakin teguh dalam nintnya untuk memisahkan diri dari Ling Ling. Dia sedang menunaikan tugas yang amat berbahaya. Banyak lawan yang lihai berada di depannya. Kalau dia diikuti oleh Ling Ling, hal itu tentu akan mendatangkan bahaya besar mengancam diri Ling Ling.

‘Kita sekarang ke mana, Liong-ko?! tanya Ling Ling dengan sikap manis.

‘Kita ke rumah penginapan dulu, Ling-moi. Engkau perlu beristirahat dan nanti aku akan pergi sebentar untuk melakukan penyelidikan, melaksanakan tugasku. Hanya kuminta agar engkau tidak keluar dari kamarmu sebelum aku pulang, karena seperti engkau lihat sendiri tadi, di sini juga banyak berkeliaran orang jahat.!

Mereka memilih sebuah rumah penginapan dan menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Setelah mendapatkan dua buah kamar, Sie Liong sekali lagi memesan kepada Ling Ling agar jangan keluar dari dalam kamar sebelum dia kembali.

‘Baik, Liong-ko. Kalau aku tidak boleh ikut denganmu, aku akan menanti dalam kamar ini sampai engkau pulang. Biar setahun akan kunanti!! katanya setengah bergurau, lalu disambungnya cepat. ‘Akan tetapi, Liong-ko, kau nanti jangan terlalu lama, ya?!

Sie Liong mengangguk, kemudian meninggalkan kamar itu setelah menyuruh Ling Ling menutupkan daun pintu rapat-rapat. Sie Liong lalu pergi kembali ke rumah makan tadi. Pengurus rumah makan menyambutnya dengan ramah dan penuh hormat.

‘Ah, taihiap datang kembali? Apakah yang dapat kami bantu untuk taihiap?! tanya pemimpin rumah makan itu.

‘Dapatkah aku bicara empat mata denganmu, toako?! tanya Sie Liong kepada pemilik rumah makan yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu.

Pemilik rumah makan itu memandang heran, akan tetapi dia mengangguk dan mempersilakan Sie Liong masuk ke bagian belakang rumah makan itu yang merupakan rumah tinggalnya bersama isteri dan dua orang anaknya.

‘Begini, toako. Aku berani bicara denganmu karena engkaulah satu-satunya orang yang kukenal di Lasha ini, walaupun baru sekali kita bertemu yaitu ketika terjadi keributan tadi. Engkau sudah mengenal siapa aku dan kuharap engkau suka membantuku. Engkau sudah melihat nona yang datang bersamaku tadi?!

Pcmilik rumah makan itu mengangguk, dan semakin heran.

‘Ia adalah seorang sahabat baikku, akan tetapi ia yatim piatu dan hidup sebatangkara, juga ia seorang gadis yang lemah. Aku sedang melaksanakan tugas penting dan tidak mungkin membawanya terus karena hal itu akan menimbulkan bahaya seperti yang kau lihat sendiri dalam peristiwa tadi. Mengertikah engkau, toako?!

Pemilik rumah makan itu mengangguk, akan tetapi mengerutkan alis karena dia tetap tidak mengerti mengapa pendekar ini menceritakan itu semua kepadanya.

‘Sebelum aku melanjutkan, aku hendak memperkenalkan diri kami lebih dahulu, toako. Namaku Sie Liong dan seperti engkau mendengar tadi, aku dijuluki orang Pendekar Bongkok. Adapun sahabatku itu bernama Sam Ling, biasa disebut Ling Ling. Ia yatim piatu dan menjadi tanggung jawabku. Nah, sekarang aku akan mencarikan sebuah tempat tinggal yang aman bagi Ling Ling, sebuah keluarga yang dapat kupercaya untuk ditumpangi gadis itu. Untuk sementara waktu saja, sampai aku menyelesaikan tugasku, entah berepa hari lamanya. Dan tentu saja aku akan membayar semua biaya yang dikeluarkan selama Ling Ling mondok pada keluarga itu. Demikianlah, toako, dapatkah engkau menolong kami?!

Pemilik rumah makan itu adalah seorang keturunan Han Tibet, seperti juga Ling Ling. Dia menarik napas panjang. ‘Taihiap, semua orang di Lasha tahu bahwa aku adalah seorang pemilik rumah makan ini sejak ayahku dahulu dan bahwa kami adalah orang-orang yang mencari penghasilan dengan jujur. Aku dapat mengerti keadaan taihiap dan nona itu, dan seandainya tidak terjadi peristiwa tadi, tentu dengan senang hati aku menerima nona Ling Ling untuk tinggal di rumah kami sementara waktu. Akan tetapi.... setelah peristiwa tadi terjadi, amatlah berbahaya kalau ia tinggal bersama kami, taihiap. Tentu semua orang akan tahu bahwa ia mondok bersama kami dan kalau hal ini terdengar oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, kemudian terdengar oleh Kim-sim-pai, tentu kami sekeluarga akan celaka! Taihiap tidak menghendaki kami sekeluarga celaka, bukan?!

Sie Liong menghela napas. Dia dapat mengerti alasan yang dikemukakan pemiliki rumah makan itu.

‘Tentu saja kami tidak menghendaki demikian. Akan tetapi barangkali engkau dapat menunjuk keluarga lain yang kiranya dapat kutitipi Ling Ling untuk sementara waktu....!

Pemilik rumah makan itu mengingat-ingat, kemudian dia memandang pendekar itu dengan senyum cerah. ‘Ah, memang ada dan tepat sekali, taihiap. Seorang bibiku yang sudah tua hidup seorang diri di kota ini, di sudut kota dan dalam kampung yang tersembunyi dan sepi. Bibi Cili tentu akan suka menerima nona Ling Ling untuk sementara tinggal bersamanya. Ia bibiku sendiri, taihiap dan boleh percaya!!

Wajah Sie Liong berseri gembira. ‘Bagus! Sungguh aku berterima kasih sekali kepadamu, toako. Dapatkah kita sekarang pergi menemui bibi Cili untuk membicarakan masalah ini?!

Pemilik rumah makan itu dengan senang hati mengantar Sie Liong mengunjungi janda Cili dan benar saja seperti yang dikatakan pemilik restoran itu. Janda itu dengan senang hati menerima kehadiran Ling Ling di rumahnya berarti ia mempunyai seorang teman. Janda berusia lima puluh lima tahun ini ramah dan juga nampak sehat. Rumahnya tidak terlalu besar namun bersih dan pantas, karena janda ini hidup dari tunjangan para keponakannya, antara lain dari pemilik rumah makan itu.

Malam itu juga Sie Liong mangajak Ling Ling untuk pindah ke rumah janda Cili.

‘Akan tetapi kenapa kita harus pindah kamar malam ini juga, Liong-ko?! tanya Ling Ling ketika berkemas.

‘Bukan kita, Ling-moi, melainkan engkau sendiri.!

Tangan yang tadinya sibuk mengemasi pakaian berhenti bergerak dan sepasang mata Ling Ling terbelalak menatap wajah Sie Liong. ‘Aku sendiri? Dan engkau....?!

‘Aku harus melakukan penyelidikan melaksanakan tugasku, Ling-moi, engkau akan tinggal bersama bibi Cili untuk sementara waktu sampai selesai tugasku dan....!

‘Tidak, Liong-ko, tidak..... Aku tidak mau berpisah.... aku tidak mau kautinggalkan! Aku ikut bersamamu, Liong-ko, ke manapun engkau pergi....!! Gadis itu memandang dengan wajah membayangkan kegelisahan.

Sie Liong tersenyum dan memegang tangannya, tangan yang dingin dan gemetar, tangan seorang yang jelas amat membutuhkan perlindungannya.

‘Tenanglah, Ling-moi. Tidak mungkin engkau ikut denganku selama aku mengadakan penyelidikan. Terlalu berbahaya. Ingat saja tadi, di rumah makan, sudah muncul ancaman bahaya. Apalagi kalau aku melakukan penyelidikan dan bertemu dengan banyak lawan yang tangguh....!

‘Aku tidak takut, koko! Aku tidak takut! Biar sampai mati sekalipun aku rela asal dekat denganmu. Bersamamu, aku tidak takut menghadapi apapun juga, anal kita jangan saling berpisah....!

‘Aku percaya bahwa engkau tidak takut, Ling-moi, akan tetapi akulah yang khawatir. Kalau sampai terjadi apa-apa denganmu, aku akan selamanya menyesal. Karena itu, biarlah untuk sementara ini engkau tinggal bersama bibi Cili, seorang janda yang ramah. Nanti setelah tugasku selesai, aku akan menjemputmu. Bagaimanapun, engkau harun dapat membiasakan diri, Ling-moi. Tak mungkin kita akan selamanya berkumpul....!

‘Liong-koko.... Aku ingin selamanya berkumpul denganmu.... ah, aku.... aku.... jangan tinggalkan aku, koko....! Dan Ling Ling menangis!

Sie Liong mengerutkan alisnya, hatinya seperti diremas. Dia maklum akan isi hati gadis itu. Akan tetapi, dia harus mengeraskan hatinya. Demi kebahagiaan Ling Ling di kemudian hari. Sekarang ini, demi keamanan Ling Ling.

‘Ling-moi! Apakah engkau mulai sekarang membantah keinginanku? Apakah engkau ingin membuat aku bingung dan susah?!

Tangis itu seketika berhenti dan gadis itu mengangkat mukanya, menatap wajah Sie Liong dengan muka pucat. Tangisnya terhenti akan tetapi mata yang terbelalak itu kemerahan dan masih berlinang air mata.

‘Maaf.... maafkan aku, koko. Aku tidak ingin membuatmu bingung dan susah.... aku taat.... aku patuh, aku hanya ingin selalu berada di sampingmu. Mati bukan apa-apa bagiku, akan tetapi berpisah dari sampingmu.... ah, tak dapat aku membayangkan itu....! Ia menutupi mukanya, tidak menangis lagi melainkan seolah-olah hendak menutupi penglihatan bayangan yang menakutkan dan menyedihkan.

Sie Liong membiarkan gadis itu menguasai dirinya kembali. Dia memang sudah menduga sebelumnya bahwa keputusannya yang disampaikan kepada Ling Ling tentu akan diterima dengan kaget dan sedih oleh gadis itu. Setelah dia melihat gadis itu menurunkan kedua tangannya dari depan mukanya, Sie Liong tersenyum kepadanya, senyum yang membesarkan hati, senyum yang ramah dan penuh pengertian.

‘Ling-moi, kita manusia hidup di dunia ini harus selalu siap untuk menghadapi segala macam peristiwa tanpa menilainya sebagai suka dan duka. Semua adalah wajar saja, karena kita yakin bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, Ling-moi. Pertemuan akan selalu berakhir dengan perpisahan, hanya waktu saja yang berbeda dan menentukan, oleh karena itu, kita selalu harus siap siaga menghadapinya. Kalau aku mengambil keputusan agar engkau tinggal dulu bersama bibi Cili, hal itu hanya karena aku ingin melihat engkau berada dalam keadaan yang aman, tidak terbawa ancaman bahaya seperti kalau engkau ikut denganku.!

‘Tapi.... tapi.... hanya untuk sementara, bukan, Liong-ko? Kalau sudah selesai tugasmu, engkau tentu akan menjemputku, bukan? Dan memperbolehkan aku hidup di sampingmu?!

Sie Liong menarik napas panjang. Dia merasa belum waktunya baginya untuk berterus terang kepada gadis ini akan perasaan rendah dirinya, akan keputusan hatinya bahwa gadis ini tidak akan menemukan kehidupan yang cerah kalau menjadi jodohnya, akan selalu menghadapi cemoohan dan penghinaan dari orang lain. Kelak saja, kalau perlu, setelah selesai tugasnya, dia akan memberitahu isi hatinya. Sekarang ini, Ling Ling sudah terlampau sedih oleh perpisahan sementara sehingga dia tidak tega untuk menambah lagi beban penderitaan batinnya dengan pengakuan yang akan menghancurkan hati gadis itu.

‘Aku berjanji, Ling Ling, bahwa setelah selesai tugasku, aku tentu akan menjemputmu di rumah bibi Cili.!

Mendengar janji ini, seketika wajah yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan dan cerah kembali. Senyumnya muncul bagaikan matahari setelah awan gelap tercurah menjadi hujan. ‘Liong-ko, katakanlah, berapa lama aku harus menanti di rumah bibi Cili?!

Pertanyaen ini tidak disangka-sangka oleh Sie Liong sehingga dia menjadi agak bingung karena tidak tahu berapa lama dia akan dapat menyeleaaikan tugas itu. Dia hanya mendengar pengakuan Coa Kiu, orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto bahwa Tibet Ngo-houw, lima orang yang harus diselidikinya itu merupakan tokoh-tokoh utama di Tibet, bahkan merupakan pendukung dari Kim Sim Lama yang menjadi pemimpin pemberontak terhadap Dalai Lama di Tibet! Dia tidak tahu berapa lama dia akan mampu menyelesaikan tugasnya. Mungkin seminggu, sebulan dan bukan tidak mungkin pula setahun baru selesai atau bahkan belum selesai! Apalagi kalau yang diselidikinya itu menyangkut soal pemberontakan!

Melihat pemuda pujaan hatinya itu nampak ragu-ragu untuk menjawab, Ling Ling merasa khawatir sekali. ‘Bagaimana, koko? Berapa lama aku harus menanti engkau datang menjemputku? Seminggu?!

‘Aih, Ling-moi, urusan yang kuhadapi ini bukan mudah, membutuhkan waktu yang lebih lama. Kiranya tidak mungkin kalau hanya seminggu....!

‘Kalau begitu, satu bulan? Satu bulan amat lama, koko. Tentu paling lama sebulan engkau akan datang menjemputku, bukan?!

Mendengar betapa suara gadis itu mengandung kegelisahan dan harapan, Sie Liong merasa tidak tega untuk mengecewakan hatinya. Andaikata selama sebulan dia belum dapat menyelesaikan tugasnya, setidaknya dia akan dapat berkunjung ke rumah bibi Cili dan mengabarkan keadaannya kepada Ling Ling, mengatakan bahwa tugasnya belum selesai. Maka diapun mengangguk.

‘Akan kucoba untuk menyelesaikan tugasku selama sebulan.!

Wajah itu nampak lega dan tersenyum kembali, dan keharuan menyelinap di dalam hati Sie Liong. Melihat senyum itu saja, ada perasaan melekat dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia akan tega meninggalkan gadis yang agaknya telah menyerahkan seluruh harapan hidupnya kepadanya itu?

‘Aku akan sabar menanti, koko.!

Hati Sie Liong juga merasa lega. Setidaknya, walau belum terlepas benar dari gadis itu, dia sudah dapat memisahkan diri. Hal ini mengandung dua keuntungan. Pertama, dia dapat melakukan penyelidikan tanpa dibebani perlindungan kepada Ling Ling yang tentu kalau ikut dengannya akan merupakan halangan dan hambatan yang amat merepotkan, juga membahayakan. Ke dua, biarlah mereka saling berpisah untuk sementara waktu agar gadis itu memperoleh kesempatan untuk berkenalan dan bergaul dengan pemuda lain, pemuda yang tidak cacat, yang pantas menjadi pendamping gadis itu. Diam-diam dia sudah berpesan kepada bibi Cili agar memberi kesempatan kepada ‘adik angkatnya! itu untuk berkenalan dengan pemuda-pemuda yang baik karena dia ingin adiknya memperoleh seorang calon suami yang baik. Juga dia mengancam bahwa kalau terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap diri adiknya, dia kelak akan membuat perhitungan, sebaliknya kalau janda itu menjaga Ling Ling dengan baik, dia akan memberi hadiah yang layak. Pada hari itu juga, pergilah Sie Liong meninggalkan Ling Ling di rumah janda Cili, dan keberangkatannya diantar pandang mata sayu namun dengan senyum penuh kepercayaan, yang membuat langkah Sie Liong terasa berat sekali.

***

Bi Sian memasuki kota Lasha dengan wajah gembira. Bangunan-bangunan kuno dan besar megah di kota itu membuat dia kagum sekali. Sebuah kota yang lain dari pada yang lain, terletak di daerah pegunungan yang hawanya dingin dan bangunan raksasa itu berderet-deret di lereng-lereng bukit. Bangunan raksasa yang berderet-deret itu adalah tempat tinggal Dalai Lama dan para pendeta Lama yang merupakan golongan yang paling berkuasa dan kuat di Tibet. Ia tidak tahu betapa kemunculannya menarik perhatian banyak orang, terutama kaum prianya karena ia adalah seorang gadis yang selain cantik manis, juga pakaiannya yang tambal-tambalan itu sungguh aneh sekali. Tambal-tambal akan tetapi tidak butut, bahkan baru dan bersih! Bukan hanya mata para pria yang berada di jalan raya kota Lasha saja yang memandang kagum, bahkan juga Bong Gan mencuri pandang dari samping dan diapun kagum dan bangga.

Melihat gadis itu berwajah demikian cerah dan gembira, sepasang matanya yang indah itu bersinar dan mulutnya tersenyum-senyum, dengan lenggang perlahan bagaikan menari, sungguh Bi Sian merupakan seorang wanita yang memiliki daya tarik amat besar. Dan dia berbangga hati karena dialah pria yang mendampingi gadis ini. Bahkan pandang mata iri dari para pria di situ menambah kebanggaan hatinya! Dia jatuh cinta kepada gadis ini dan biarpun Bi Sian belum menjawab secara meyakinkan, namun gadis itu tidak marah mendengar dia mengaku cinta. Gadis itu sudah tahu bahwa dia mencintanya dan ia tidak marah. Itu sudah lebih dari cukup untuk sementara ini.

Hanya, kadang dia merasa tersiksa sekali, apalagi kalau mereka terpaksa bermalam di hutan atau kuil tua, melihat gadis itu tidur pulas demikian dekatnya! Nafsu berahinya membakar dirinya, dan dia tidak berani apa-apa, menyentuhpun tidak berani. Sama halnya dengan seorang kelaparan melihat dan mencium makanan lezat di depan hidung dan mulut, akan tetapi tidak boleh menjamahnya!

Akan tetapi, melihat betapa gadis yang dicintanya itu menjadi perhatian banyak orang begitu memasuki kota Lasha, Bong Gan mengerutkan alisnya, teringat akan kemungkinan adanya Sie Liong di kota ini. Dia lalu menyentuh lengan Bi Sian dan ketika gadis itu memandang kepadanya, dia memberi isyarat agar dia itu mengikutinya, menyelinap di antara rumah penduduk dan berada di balik sebuah rumah, tidak nampak dari jalan raya.

‘Ada apakah, sute?! tanya Bi Sian ketika mereka berada di balik rumah itu dan tidak nampak oleh orang lain.

‘Aku baru saja teringat, suci. Kita mencari Pendekar Bongkok dan mungkin saja dia sudah lebih dahulu berada di sini, maka sungguh tidak baik kalau kini kemunculanmu di sini menarik perhatian orang.!

Bi Sian menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut karena ia mengira bahwa ucapan pemuda itu keluar dari hati yang dibakar iri dan cemburu. Ian tadipun melihat betapa pandang mata para pria di kota itu ditujukan kepada dirinya penuh kagum dan heran, dan agaknya ini yang membuat Bong Gan berkata seperti itu.

‘Hemm, mengapa tidak baik, sute?! tanyanya, suaranya mengandung teguran.

Bong Gan tersenyum. Dia dapat menduga mengapa suci-nya itu bersikap tak senang,

‘Aih, suci. Aku sama sekali tidak merasa kurang senang melihat sikap orang-orang yang kagum kepadamu, bahkan aku merasa bangga! Akan tetapi, seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku, Pendekar Bongkok itu melarikan diri ketika kauserang dan agaknya dia tidak suka berkelahi denganmu. Hal ini berarti dia ingin menghindarkan diri darimu. Nah, andaikata dia sudah tiba di sini lalu dia mendengar akan kemunculanmu, seorang gadis yang mudah dikenal dan memiliki ciri khas, yaitu cantik manis dengan pakaian tambal-tambalan yang aneh, tentu dia akan lebih dahulu melarikan diri sebelum sempat kita temui.!

Bi Sian menarik napas panjang. ‘Ah, engkau benar, sute. Betapa cerobohnya aku! Benar sekali, kita masuk tanpa diketahui orang, dan lebih dahulu mencari keterangan tentang dirinya. Kiranya tidak akan sukar mencari orang dengan cacat bongkok seperti dia. Nah, kita masuk di rumah makan sana itu, sute, kita makan dan kita sekalian mencari keterangan di sana.!

Kembali Bi Sian yang memimpin seperti biasanya setelah ia disadarkan oleh sutenya. Dengan berindap kini, tidak menyolok, mereka lalu menuju ke rumah makan, masuk dan memilih tempat di sudut yang agak gelap dan tidak menyolok, juga tidak nampak dari pintu depan karena terhalang tihang. Tanpa banyak cakap mereka memesan makanan, dan minuman, lalu makan sambil diam-diam memperhatikan ruangan rumah makan itu. Siang hari itu, tidak banyak orang makan di situ. Karena Bi Sian sengaja duduk membelakangi ruangan menghadap dinding, make Bong Gan yang bertugas sebagai mata-mata dan menyelidiki keadaan ruangan itu, juga beberapa orang tamu yang makan minum di situ. Hanya ada tiga meja yang terisi tamu, masing-masing empat orang sehingga selain mereka berdua, ada dua belas orang tamu pria yang sedang makan minum.

Karena Bi Sian sengaja memalingkan muka dan duduk menghadap dinding, maka ia tidak menarik banyak perhatian.

Bong Gan tadinya menyapu para tamu dengan pandang matanya yang acuh dan tidak tertarik, akan tetapi tiba-tiba sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar, kemudlan pandang matanya melekat pada seseorang yang baru saja melangkah masuk. Jantungnya superti berhenti berdetak untuk beberapa saat lamanya, kemudian berdebar keras sekali. Apa yang dilihatnya membuat api gairah dalam dirinya seperti berkobar seketika, akan tetapi dia masih teringat bahwa Bi Sian duduk di depannya. Maka dia pun dapat menguasai perasaannya, agar jangan sampai nampak oleh suci-nya. Hanya ada satu yang dapat menarik perhatian dan membangkitkan gairah dalam hati pemuda ini, yalah wanita cantik. Dan wanita yang kini melenggang masuk ke dalam rumah makan itu lebih daripada cantik!

Gadis itu usianya sudah dewasa dan matang, setidaknya tentu ada dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya barbentuk bulat telur, kulitnya putih mulus agak kemerahan dan sebagian lengannya yang nampak karena lengan bajunya tergulung sebagian, juga berkulit putih halus, dengan bulu lembut. Wajah itu manis sekali, cantik jelita dengan daya tarik yang amat kuat. Kecantikan wajah seorang peranakan Kirgiz dan Han. Bentuk tubuhnya padat dan lemah gemulai, pinggangnya yang ramping itu seperti pohon yang-liu tertiup angin, lenggangnya mempesona, seperti lenggang seekor harimau kelaparan, dengan buah pinggul menari-nari, setiap kali melangkah, tepi lutut sebelah dalam saling bersenThian. Pakaiannya ketat sekali, membuat lekuk lengkung tubuhnya yang padat berisi dan denok itu membayang jelas. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah punggungnya yang terhias sebatang pedang beronce merah!

Ketika memasuki restoran itu barsama seorang berpakaian pendeta tosu yang usianya sudah enam puluh tahun, pria yang bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah enam puluh tahun masih nampak tampan dan gagah, dengan jubah yang lebar membungkus tubuhnya, wanita itu segera menjadi perhatian para tamu pria yang duduk di rumah makan itu. Gadis itupun melayangkan pandang matanya ke dalam ruangan rumah makan, dan ketika ia melihat Bong Gan yang memandang kepadanya dengan kagum, wanita itupun balas menatap dan sinar matanya memancarkan cahaya aneh, wajahnya yang berkulit putih mulus itu menjadi kemerahan, bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu mekar dalam senyum memikat, sepasang matanya lalu melepas kerling yang menyambar bagaikan kilat! Kemudian, gadis itu duduk menghadapi sebuah meja tak jauh dari tempat duduk Bong Gan dan sengaja ia duduk menghadap ke arah Bong Gan. Temannya, pendeta tinggi besar itu dengan sikap acuh saja lalu duduk di depannya, membelakangi meja Bong Gan.

Pelayan yang tadi juga menyambut Bong Gan dan Bi Sian dan yang menerima pesanan makanan, kini menghampiri dua orang tamu baru itu dan Song Gan dapat melihat dengan jelas bahwa pelayan itu sudah mengenal mereka, nampak amat menghormat pendeta itu ketika menerima pesanan yang diucapkan oleh si gadis jelita dengan suara merdu.

Bi Sian dapat melihat betapa tadi sute-nya seperti tertarik oleh sesuatu, dan mendengar suara wanita yang merdu memesan makanan, iapun tertarik dan memutar sedikit tubuhnya agar miring dan iapun mengerling ke arah meja itu. Melihat wanita yang amat cantik dengan sikap ramah terbuka, dengan pedang di punggung, tentu saja iapun amat tertarik, menduga bahwa tentu wanita itu seorang ahli silat, seorang wanita kang-ouw yang sudah biasa melakukan perantauan. Apalagi ditemani seorang pendeta tosu yang tinggi besar, maka tentu saja kehadiran dua orang itu memang amat menarik perhatian. Melihat betapi Bi Sian melirik ke arah wanita itu, Bong Gan bersikap alim dan diapun menundukkan muka, tidak lagi menatap wanita itu.

Wanita cantik manis itu tentu saja amat menarik dan memiliki daya tarik yang amat kuat karena ia bukan lain adalah Pek Lan, gadis peranakan Kirgiz Han yang memang memiliki kecantikan istimewa. Yang berada di sampingnya adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw yang tadinya adalah sahabat gurunya, Hek-in Kui-bo dan kini telah menjadi sahabat dan juga gurunya pula mengajarkan ilmu sihir dan sebagai imbalannya, Pek Lan menyerahkan dirinya untuk menjadi kekasih tokoh Pek-lian-kauw yang masih nampak muda dan tampan gagah itu.



Bab 19

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Thai-yang Suhu mendapat tugas dari Pek-lian-kauw untuk mengumpulkan gadis-gadis dusun yang muda dan cantik untuk dijadikan pelayan di perkumpulan agama sesat itu. Dalam pekerjaan ini, dia dibantu oleh Pek Lan yang menyamar sebagai ‘siluman merah! dan menculiki gadis-gadis dusun yang cantik. Juga tokoh Pek-lian-kauw itu dibantu oleh Tibet Sam Sinto. Akan tetapi, ketika gerombolan ini yang bersembunyi di Bukit Onta sedang mengumpulkan gadis-gadis itu, muncul Pendekar Bongkok yang bukan saja menggagalkan usaha mereka, bahkan membuat Pek Lan dan Thai-yang Suhu terpaksa harus melarikan diri, sedangkan dua orang di antara Tibet Sam Sinto tewas di tangan Pendekar Bongkok.

Thai-yang Suhu dan Pek Lan lalu melarikan diri dengan hati gentar menghadapi Pendekar Bongkok yang terlalu kuat bagi mereka. Akan tetapi kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan ke Lasha karena Thai-yang Subu hendak mengabarkan tentang kemunculan Pendekar Bongkok itu kepada Kim Sim Lama, yaitu pimpinan pemberontak di Tibet yang bekerja sama pula dengan Pek-lian-kauw. Dan dalam rumah makan ini, di mana Thai-yang Suhu sudah dikenal oleh pelayannya, mereka melihat Bong Gan dan Bi Sian. Tentu saja Pek Lan segera tertarik bukan main melihat Bong Gan, seorang pemuda yang memang tampan dan gagah!

Gairahnya segera bangkit, dan Pek Lan sudah menentukan pilihannya untuk bersenang-senang malam nanti! Gadis ini seperti telah dihinggapi penyakit. Biarpun ia melakukan perjalanan bersama Thai-yang Suhu yang menganggapnya sebagai kekasih, namun setiap kali bertemu seorang pria yang menarik hatinya, Pek Lan tentu akan berusaha untuk menundukkannya. Thai-yang Suhu mengenal baik watak Pek Lan dan diapun tidak mampu mencegah, bahkan tosu ini acuh saja karena dia sendiripun menganggap Pek Lan hanya sebagai hiburan dan selingan saja! Maka, melihat betapa Pek Lan memperlihatkan kekagumannya kepada pemuda yang duduk di meja sebelah Thai-yang Suhu mengambil sikap tidak perduli.

Setelah selesai makan, Bong Gan manggapai pelayan rumah makan untuk membayar harga makanan dan minuman. Sejak tadi, dia sudah main mata dengan gadis cantik itu dan dia melihat betapa gadis jelita itu memberi tanda-tanda dengan kerling mata dan senyumnya bahwa iapun menanggapi perasaan hati Bong Gan! Tentu saja Bong Gan menjadi semakin terpikat dan dia mengambil keputusan untuk malam nanti mancari kesempatan, meninggalkan Bi Sian kalau gadis itu sudah tidur di kamar lain dalam penginapan, untuk mencari gadis peranakan Kirgiz yang amat mempesona ini.

Ketika pelayan menerima uang pembayaran dari Bong Gan, pemuda ini yang ingin mempercepat penyelidikan yang dilakukan Bi Sian, segera bertanya, ‘Kami mencari seorang pemuda yang pungungnya bongkok. Apakah engkau barangkali mengetahuinya? Mungkin dia pernah datang ke rumah makan ini, atau engkau melihatnya di jalan?! Bi Sian tidak sempat mencegah Bong Gan mengajukan pertanyaan itu, dan iapun memperhatikan dan menanti jawaban si pelayan. Bagaimanapun juga, pertanyaan itu tidak akan mandatangkan kecurigaan kepada orang lain. Tidak ada anehnya kalau mereka bertanya-tanya tentang seorang pemuda bongkok.

Akan tetapi, mereka melihat betapa wajah pelayan itu tampak terkejut bukan main. Matanya terbelalak dan sejenak dia memandang bengong kepada Bong Gan. Lalu dia menjawab agak gugup.

‘Kongcu.... eh, apakah dia.... eh, dia seorang pemuda bongkok yang sakti?!

Tentu saja Bong Gan dan Bi Sian merasa girang bukan main mendengar pertanyaan itu. Tak salah lagi. Sie Liong yang dimaksudkan pelayan ini. Di dunia ini mana lagi ada orang bongkok yang sakti? Bong Gan mengangguk-angguk.

‘Benar dia! Di manakah dia?!

‘Dia....? Ah, saya tidak tahu, kongcu....! Pelayan itu menoleh ke arah kamar pemilik rumah makan, yang juga dijadikan kantoran. ‘Saya tidak tahu, akan tetapi majikan saya mungkin tahu....! Dan dia kelihatan seperti orang ketakutan, lalu cepat meninggalkan meja itu sambil mumbawa uang pembayaran yang diberikan Bong Gan.

Tentu saja Bi Sian merasa penasaran sekali. Dia bangkit dan berbisik kepada Bong Gan. ‘Mari kita bertanya kepada pemilik rumah makan....! Bong Gan mengangguk dan mengikuti suci-nya. Ketika mereka melewati meja sebelah dan Bong Gan memandang, Pek Lan menghadiahi sebuah senyum manis dan kedipan mata penuh arti. Melihat ini, Bong Gan tersenyum dan mengangguk sedikit, untuk memberi isyarat bahwa dia dapat menangkap semua isyarat gadis manis itu dan merasa setuju kalau mereka dapat mengadakan hubungan yang lebih dekat!

Bi Sian yang sudah merasa tertarik sekali mendengar berita tentang Sie Liong, sudah langsung menuju ke kantor pemilik rumah makan. Pemilik rumah makan itu sudah mendengar dari si pelayan bahwa gadis cantik berpakaian aneh dan pemuda tampan itu bertanya-tanya tentang Pendekar Bongkok. Kini, melihat mereka mendatangi kantornya, si pemilik rumah makan menyambut dengan pandang mata penuh perhatian. Semenjak dia membantu Pendekar Bongkok, yaitu mencarikan tempat pemondokan untuk gadis peranakan Tibet Han yang menjadi adik angkat Pendekar Bongkok itu, dia tidak lagi pernah bertemu dengan Pendekar Bongkok.

‘Apa yang dapat saya lakukan untuk ji-wi (kalian bordua)?! tanyanya ramah.

Bi Sian yang sudah tidak sabar lagi untuk segera mengetahui di mana adanya Sie Liong, segera langsung berkata, ‘Kami ingin mengetahui tentang seorang pemuda bongkok yang bernama Sie Liong dan yang terkenal dengan sebutan Pendekar Bongkok! Engkau tahu banyak tentang dia, maka kami harap engkau suka menceritakan di mana dia sekarang!!

Bagaimanapun juga, pemilik rumah makan itu bersimpati kepada Pendekar Bongkok yang pernah mengganti kerugiannya ketika terjadi keributan di rumah makan itu, dan bahkan adik angkat Pendekar Bongkok pernah tinggal bersama bibinya, yaitu bibi Cili. Maka, diapun merasa ragu apakah benar kalau dia bicara tentang Pendekar Bongkok kepada dua orang yang belum dikenalnya dan tidak diketahui maknud mereka mencari Pendekar Bongkok

‘Maaf, kalau boleh saya mengetahui, siapakah ji-wi dan ada hubungan apakah antara ji-wi dengan Sie Taihiap?!

Kini Bi Sian sudah tidak ragu lagi bahwa pemilik rumah makan ini jelas mengenal Sie Liong dan tahu di mana dia berada, maka kesabarannya habis. Ia ingin segera mengetahui di mana adanya musuh besarnya itu! Ketika melihat ada sumpit-sumpit berdiri di gelas tempat menyimpan sumpit, tangannya mengambil segenggam sumpit, lalu ia mengerahkan tenaganya pada jari-jari tangan yang menggenggam sumpit.

‘Krekk! Krekkk!! Sumpit-sumpit itu patah-patah dan remuk dalam genggaman tangan yang kecil dan berkulit halus lunak itu!

‘Sobat, katakan saja cepat-cepat di mana adanya Sie Liong dan jangan berbohong!! kata Bi Sian, lirih dan wajah pemilik rumah makan itu berubah pucat. Hampir dia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Tangan yang kecil dan berkulit halus itu memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya!

‘Saya.... saya tidak tahu di mana dia sekarang. Baiklah saya ceritakan perjumpaan saya dengan dia. Silakan duduk, silakan duduk....!

Bi Sian dan Bong Gan duduk dan pemilik rumah makan itu lalu berecrita. Diceritakannya betapa hampir dua bulan yang lalu, Sie Liong Si Pendekar Bangkok pernah makan bersama seorang gadis yang bernama Sam Ling dan diaku sebagai adik angkatnya, di rumah makan itu. Betapa kemudian terjadi keributan yang dilakukan oleh seorang anggauta Kim-sim-pai dan betapa kemudian semua orang baru mengetahui si bongkok itu adalah seorang sakti.

‘Setelah terjadi keributan itu, Sie Taihiap minta bantuanku untuk mencarikan tempat pemondokan bagi adik angkatnya dan saya menunjukkan rumah bibiku. Kemudian adik angkatnya itu tinggal bersama bibi Cili, akan tetapi Sie Taihiap pergi entah ke mana. Sejak itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan dia.!

‘Apakah adik angkatnya itu masih tinggal di sini?! tanya Bi Sian.

Pemilik rumah makan itu menggerakkan pundaknya. ‘Sejak tinggal di sana, baru satu kali saya pernah menengok. Dua minggu sejak ia tinggal di sana dan sejak itu, saya tidak pernah lagi ke sana karena repotnya pekerjaan.!

‘Hayo cepat antar kami ke sana, sekarang juga!! kata Bi Sian dan pandang matanya penuh kepastian. Pemilik rumah makan itu tidak berani membantah, lalu memesan kepada para pelayannya bahwa dia akan pergi sebentar. Tak lama kemudian, keluarlah dia dari rumah makan itu, diikuti Bi Sian dan Bong Gan. Ketika hendak meninggalkan rumah makan, Bong Gan sempat menengok ke arah gadis cantik itu dan melihat gadis itu dan pendeta yang menemaninya memandang padanya dengan penuh perhatian. Kembali gadis cantik itu berkedip kepadanya. Bong Gan tersenyum dengan jantung berdebar. Sayang, pikirnya. Dia belum sempat membuat kencan dengan gadis manis itu. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa gadis itupun ‘ada hati! kepadanya dan tentu mereka akan dapat saling bertemu lagi dalam suasana yang lebih bebas, berdua saja!

Pemilik rumah makan itu mengantar Bi Sian dan Bong Gan ke rumah bibi Cili. Akan tetapi ketika mereka tiba di situ, gadis yang bernama Sam Ling atau oleh bibi Cili disebut nona Ling itu sudah tidak berada lagi di situ!

‘Kurang lebih seminggu yang lalu, ia pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit!! kata bibi Cili ketika keponakannya datang bersama pemuda dan gadis cantik itu. ‘Aku sendiri tidak tahu ke mana ia pergi karena memang tidak pamit.!

Tentu saja Bi Sian marasa kecewa sekali. ‘Akan tetapi, kenapa ia pergi tanpa pamit?!

Bibi Cili menggeleng kepalanya. ‘Mungkin karena ia hendak mencari kakak angkatnya, Sie Taihiap itu. Setelah sebulan tinggal di sini, setiap hari ia menanti datangnya Sie Taihiap dan setiap malam ia menangis. Ia mengatakan kepadaku bahwa Sie Taihiap berjanji akan menjemputnya setelah satu bulan ia tinggal di sini. Kemudian, seminggu yang lalu, setelah tinggal di sini kurang lebih satu setengah bulan, ia pergi tanpa pamit.!

Bi Sian mengerutkan alisnya. ‘Apakah selama ia berada di sini, Pendekar Bongkok tidak pernah datang menjenguk?!

‘Pendekar Bongkok....? Ah, nona maksudkan Sie Taihiap? Tidak, tidak pernah lagi. Semenjak meninggalkan adik angkatnya di sini, dia pergi dan tak pernah muncul kembali.!

‘Apakah gadis itu tidak pernah menceritakan kepadamu ke mana perginya Sie Taihiap itu?! Bi Sian mendesak terus.

Wanita setengah tua itu mengerutkan alis dan mengingat-ingat, ‘Pernah ia bercerita bahwa kakak angkatnya itu seorang pendekar yang akan melakukan penyelidikan terhadap Kim-sim-pai....! menyebut nama perkumpulan ini, wanita itu kelihatan takut-takut, juga pemilik rumah makan itu kelihatan khawatir sekali dan memandang keluar pintu rumah, seolah takut kalau sampai terdengar orang lain bahwa mereka membicarakan Kim-sim-pai.

‘Apa itu Kim-sim-pai dan di mana tempatnya?!

Wanita itu semakin ketakutan dan menggeleng kepalanya. ‘Aku tidak tahu.... ah, aku tidak tahu....!

Pemilik rumah makan itu segera membantu bibinya. ‘Nona, sebetulnya kami semua merasa takut untuk menyebut nama itu, nama yang amat ditakuti seluruh penduduk Lasha. Kami hanya dapat memberitahukan kepadamu bahwa perkumpulan itu berada di sekitar Telaga Yan-so di sebelah selatan Lasha.... Sudahlah, kami tidak berani banyak bicara dan kami juga tidak tahu apa-apa lagl. Kalau nona hendak mencari Sie Taihiap, sebaiknya mencari ke sana....!

Bi Sian mengerutkan alisnya. Ia tahu, bahwa pemilik rumah makan dan bibinya itu bicara sejujurnya dan memang mereka ketakutan. Pernah Sie Liong bercerita tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa di Himalaya, bahkan ada pendeta Lama yang melakukan pengejaran sampai ke Kun-lun-san untuk membunuhi para pertapa dan tosu yang melarikan diri ke sana. Juga gurunya, Koay Tojin, pernah bicara tentang para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa di Himalaya. Apakah penyelidikan yang dilakukan Sie Liong ada hubungannya dengan hal itu? Memang, jalan satu-satunya untuk mencari Sie Liong adalah mengejarnya ke sarang perkumpulan Kim-sim-pai yang akan diselidiki Pendekar Bongkok itu! Sementara itu, Bong Gan yang cerdik segera bertanya kepada wanita itu.

‘Bibi, coba gambarkan bagaimana rupanya gadis bernama Sam Ling itu, agar kalau kami bertemu dengannya, kami akan mudah mengenalnya.! Bi Sian menyetujui pertanyaan sutenya, karena kalau mereka mengenal Ling Ling, siapa tahu gadis itu akan dapat membawa mereka kepada Sie Liong. Diam-diam Bi Sian juga merasa heran bukan main mendengar bahwa pamannya itu mempunyai seorang adik angkat!

‘Ia seorang gadis berusia delapan belas tahun yang amat manis, kulitnya agak gelap, sikapnya pendiam namun ia manis budi dan penurut. Sungguh aku sudah mulai merasa cinta kepada anak itu, dan aku khawatir sekali membayangkan betapa ia melakukan perjalanan seorang diri. Seorang gadis yang demikian manis dan menarik, tentu akan banyak mengalami ancaman bahaya....!

Diam-diam hati Bong Gan yang menjadi hamba nafsu berahinya itu sudah tertarik bukan main. Seorang gadis yang hitam manis!

‘Apakah ia seorang gadis Tibet?! tanyanya.

‘Ia peranakan Tibet Han,! jawab bibi Cili.

Bi Sian dan Bong Gan lalu meninggalkan rumah itu. ‘Kita harus cepat mencari ke daerah Telaga Yan-so!! kata Bi Sian penuh semangat.

Akan tetapi Bong Gan mempunyai rencana lain. Wajah cantik manis yang dijumpainya di rumah makan itu masih terus membayanginya. ‘Suci, kurasa kita harus bertindak hati-hati. Kita selidiki dulu perkumpulan macam apa sesungguhnya Kim-sim-pai yang ditakuti penduduk itu, dan di mana letak Telaga Yan-so. Hari telah sore, sebentar lagi gelap. Sungguh tiduk menguntungkan kalau kita meningialkan kota ini dan berada dalam perjalanan yang asing di waktu malam gelap. Kita selidiki dulu, dan setelah jelas, baru kita berangkat mencari ke sana. Bagaimana pendapatmu?!

‘Baiklah, kita mencari rumah penginapan,! kata Bi Sian singkat. Ia sudah ingin sekali dapat menemukan Sie Liong dan membalas dendamnya! Juga sungguh mengherankan, ia ingin sekali melihat seperti apa ‘adik angkat! pamannya itu, dan hubungan apa sesungguhnya yang ada di antara mereka!

Di sebelah selatan kota Lasha terdapat sebuah telaga yang terkunung pegunungan yang amat luas. Telaga ini indah bukan main, akan tetapi juga sunyi karena jalan menuju ke telaga itu melalui bukit dan jurang. Apalagi semenjak beberapa tahun ini, daerah itu merupakan daerah yang rawan. Tidak ada orang berani melalui daerah itu yang kabarnya dihuni banyak orang jahat dan iblis. Juga dikatakan bahwa akhir-akhir ini, perkumpulan Kim-sim-pang berpangkal di daerah itu. Makin takutlah orang untuk melewati daerah itu. Kim-sim-pang atau Kim-sim-pai (Perkumpulan atau Partai Hati Emas) amat ditakuti.

Menurut kabar angin, Kim-sim-pai dipimpin oleh seorang tokoh pendeta Lama yang pernah menjabat sebagai wakil Dalai Lama yang berjuluk Kim Sim Lama. Karena terjadi perbedaan paham dengan Dalai Lama, Kim Sim Lama lolos dari Lasha, kemudian dia membentuk perkumpulan Kim-sim-pai yang berdiri sendiri, terlepas dari kekuasaan Dalai Lama, terlepas dari kekuasaan pemerintah pusat Tibet. Karena tidak ada bukti-bukti bahwa Kim-sim-pai melakukan kejahatan apalagi pemberontakan, maka pemerintah Tibet tidak mengambil tindakan apapun. Hal ini adalah karena Dalai Lama mengingat akan jasa-jasa Kim Sim Lama ketika masih menjadi wakil Dalai Lama dahulu. Bahkan, Kim Sim Lama merupakan seorang tokoh besar, memiliki pengaruh yang besar pula dan jasanya sudah banyak. Kim Sim Lama merupakan seorang pendeta Lama yang tertua, dan Dalai Lama sendiripun dahulu diangkat menjadi Dalai Lama karena desakan Kim Sim Lama, dan atas pilihan Kim Sim Lama!

Kim Sim Lama merupakan orang ke dua paling berkuasa dan berpengaruh sesudah Dalai Lama. Karena dia tidak memiliki tanda-tanda sebagai reinkarnasi Dalai Lama yang meninggal dunia, maka tidak mungkin dia menjadi pengganti Dalai Lama dan karena itu, dia menjadi pendukung utama ketika Dalai Lama yang baru dipilih. Dalai Lama yang baru itu seorang anak dusun saja yang memlilki ciri-ciri sebagai penitisan Dalai Lama. Bahkan Kim Sim Lama tidak segan-segan mempergunakan kekerasan untuk memaksa bocah itu menjadi Dalai Lama yang baru, dan ketika para penduduk dusun menentang, dia tidak segan mengamuk dan membunuh mereka yang dianggapnya memberontak. Peristiwa ini membuat para pertapa dan para tosu di Himalaya menjadi marah.

Malah Pek Thian Sian-su, guru dari Himalaya Sam Lojin, atau suheng dari Pek-sim Sian-su, turun tangan sendiri untuk membela penduduk dusun itu. Pertapa sakti ini bertanding melawan Pek Sim Lama yang dibantu oleh sembilan orang pendeta Lama yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Pek Thian Sian-su berhasil merobohkan dan menewaskan tiga orang pendeta Lama, akan tetapi dia sendiri terluka dan anak itu tetap saja dibawa lari Kim Sim Lama. Karena ketika peristiwa itu terjadi Pek Thian Sian-su audah berusia hampir delapan puluh tahun, maka juka yang dideritanya membuat dia tewas tak lama kemudian.

Beberapa tahun lamanya tidak lagi terjadi keributan, akan tetapi setelah anak itu dawasa dan dijadikan Dalai Lama sudah berjalan dua tiga tahun, mulailah terjadi penyerbuan terhadap para tosu dan pertapa di pegunungan Himalaya. Banyak yang jatuh korban dan para tosu itu segera meninggalkan Himalaya dan pergi mengungsi ke pegunungan iain. Para pertapa menganggap bahwa Dalai Lama sungguh merupakan orang yang tidak mengenal budi. Dahulu dibela oleh para tosu, setelah menjadi Dalai Lama bahkan memusuhi para tosu!

Para tosu itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika Kim Sim Lama memilih Dalai Lama baru, dia beranggapan bahwa akhirnya dialah yang berkuasa di Tibet karena Dalai Lama baru tentu akan tunduk terhadap semua pimpinannya. Mula-mula memang demikian. Akan tetapi, setelah Dalai Lama yang baru itu mengerti urusan, dia tidak sudi dijadikan boneka! Dalai Lama yang baru itu lalu mempergunakan kedudukan dan kekuasaannya untuk menentang semua kebijaksanaan Kim Sim Lama yang dianggapnya tidak bijaksana!

Dan mulailah terjadi pertentangan antara Kim Sim Lama dan Dalai Lama. Karena kalah kedudukan, maka Kim Sim Lama tidak berani secara berterang memusuhi Dalai Lama yang banyak pendukungnya. Maka dia lalu mengundurkan diri dan membentuk Kim-sim-pang itu.

Dan mulailah dilakukan pengejaran terhadap para tosu! Semua ini dilakukan oleh kaki tangan Kim Sim Lama, dengan maksud menjatuhkan nama baik Dalai Lama dan memancing agar para tosu memusuhi Dalai Lama sehingga kedudukan Dalai Lama menjadi semakin lemah. Sementara itu, diam-diam Kim-sim-pai juga mengadakan persekutuan dengan seorang pangeran pemberontak dari Nepal yang sudah diusir oleh Raja Nepal. Pangeran itu dengan pengikutnya yang ternyata cukup banyak, bergabung dengan Kim-sim-pai dan keduanya merencanakan pemberontakan-pemberontakan untuk bersama-sama mengusai Tibet dan Nepal.

Di sebuah bukit dekat Telaga Yan-so, Kim-sim-pai menyusun kekuatan. Kim Sim Lama maklum bahwa kalau dia hanya mengandalkan anak buahnya dan pasukan Pangeran Nepal itu untuk menyerbu Lasha, dia akan mengalami kegagalan. Dalai Lama memiliki pasukan yang amat kuat, terdiri dari para pendeta Lama dan banyak di antara para pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak yang sakti. Maka, diapun tidak tergesa-gesa.

Di samping usaha yang dilakukan anak buahnya untuk memusuhi berbagai pihak dengan dalih diutus oleh Dalai Lama, juga dia mulai menyusupkan pengaruh ke dalam istana dan kuil di Lasha untuk menghasut dan mempengaruhi tokoh-tokoh di pemerintahan Tibet. Bagaikan seekor laba-laba dengan amat tekun dan sabar Kim Sim Lama mulai menyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan di Tibet. Pangeran Nepal itu sudah siap di perbatasan, sudah siap membantu gerakan Kim Sim Lama dengan janji bahwa kelak, kalau Kim Sim Lama sudah berhasil menguasai Tibet, maka dia akan membalas kebaikan pangeran itu dengan membantunya mengadakan pemberontakan di Nepal!

Kim Sim Lama memiliki banyak pembantu yang pandai. Dan pembantu-pembantu utamanya bukan lain adalah Lima Harimau Tibet! Seperti sudah kita ketahui, para pembantu utamanya inilah yang diutus untuk melakukan pengejaran terhadap para tosu dan pertapa Himalaya yang sudah melarikan diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Pengejaran dan pembunuhan yang dilakukan Lima Harimau Tibet terhadap para tosu itu bukan semata-mata karena mereka membenci para tosu, melainkan terutama sekali, dengan dalih sebagai utusan Dalai Lama, mereka hendak merusak nama Dalai Lama agar dibenci dan dimusuhi semua golongan, terutama golongan orang-orang sakti.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, sesosok tubuh berkelebat seperti terbang cepatnya, datang dari arah telaga Yam-so menuju ke bukit yang menjadi markas Kim-sim-pai. Melihat gerakannya yang cepat, larinya bagaikan terbang itu, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang yang memiliki gin-kang dan ilmu berlari cepat yang hebat. Orang akan merasa terkejut dan terheran-heran kalau melihat orangnya. Setelah dia berhenti dan menyelinap di bawah sebatang pohon, memandang ke atas, ke arah puncak bukit itu, baru nampak bahwa dia adalah seorang pemuda yang tubuhnya bongkok! Dia adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!

Setelah meninggalkan Ling Ling di rumah bibi Cili, hati Sie Liong merasa lega dan mulailah dia melakukan penyelidikan di Lasha tentang Kim-sim-pang. Ketika dia melihat munculnya pemungut derma di rumah makan membawa bendera Kim-sim-pai, teringatlah dia akan nama Kim Sim Lama yang pernah didengarnya dari pengakuan seorang di antara Tibet Sam Sinto. Tentu ada hubungan antara Kim-sim-pai dan Kim Sim Lama, pikirnya. Agaknya pemberontakan terhadap pemerintah Tibet seperti yang diceritakan Coa Kiu orang ke tiga Tibet Sam Sinto itu tentulah perkumpulan Kim-sim-pai itu yang dipimpin oleh Kim Sim Lama dan dibgntu oleh Lima Harimau Tibet yang harus diselidikinya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa hampir semua orang yang ditanyanya tentang Kim-sim-pai menjadi ketakutan dan tidak berani menjawab.

Yang berani menjawab mengatakan singkat bahwa Kim-sim-pai adalah perkumpulan orang-orang Tibet yang berpusat di sebuah bukit dekat Telaga Yam-so. Semakin jelas dan yakinlah hatinya bahwa jejak yang diikutinya benar. Memang di tempat itulah dia harus menceri keterangan tentang apa rahasianya maka para pendeta Lama memusuhi para pertapa dan tosu dari Himalaya.

Dari kaki bukit itu, yang nampak di atas hanyalah dinding tembok yang berwarna putih, panjang dan melingkar-lingkar seperti benteng. Akan tetapi, segera dia melihat beberapa orang mendaki bukit itu. Ada sebuah jalan besar yang cukup baik menuju ke atas bukit dan kini terdapat beberapa orang menuju ke puncak, ada yang berjalan kaki, ada pula yang menunggaug keledai atau kuda. Akan tetapi mereka itu sama sekali bukan kelihatan sebagai pasukan atau pendeta, melainkan penduduk biasa dan mereka semua membawa perbekalan untuk sembahyang.

Tentu saja dia merasa heran, akan tetapi diam-diam diapun lalu mendaki bukit, agak jauh di belakang serombongan orang yang memanggul atau memikul sebuah kursi di mana duduk setengah rebah seorang yang nampaknya sedang sakit. Dari keadaan itu saja mudah diduga bahwa orang-orang ini sedang pergi ke suatu tempat untuk bersembahyang, agaknya ke sebuah kuil.

Dugaannya benar. Kini mereka tiba di pintu gerbang dinding tembok yang panjang itu. Bukan dinding tembok benteng, melainkan dinding yang melingkari sebuah kuil yang luas sekali. Terdapat banyak bangunan di dalam kompleks atau perkampungan itu. Akan tetapi bangunan paling depan adalah sebuah kuil yang besar dan cukup megah. Di depan puntu kuil itu terdapat papan dengan tulisan tinta emas berbunyi: KUIL HATI EMAS.

Kim-sim-tang? Apakah ini pusat Kim-sim-pai? Dan di sini pula tinggal pemimpin pemberontak yang berjuluk Kim Sim Lama itu? Sungguh di luar dugaan sama sekali. Tempat ini sama sekali tidak menyeramkan seperti tempat yang menjadi sarang pemberontak. Bahkan merupakan sebuah kuil yang besar dan di mana datang banyak penduduk dusun untuk bersembahyang dan mohon sesuatu!

Akan tetapi dia segera teringat bahwa andaikata benar mereka itu pemberontak, mereka tetap saja adalah pendeta-pendeta yang biasanya memang berusaha untuk hidup saleh dan beribadat, menjauhi kejahatan dan mendekatkan diri dengan kebajikan. Merekapun bukan memberontak terhadap suatu kerajaan, melainkan terhadap Dalai Lama, seorang pimpinan pendeta pula. Mungkin saja suasananya menjadi lain dengan para pomberontak biasa yang biasanya terdiri dari orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, kejam dan liar.

Dia mulai memperhatikan keadaan luar kuil. Setelah melalui pintu gerbang dinding tembok yang tingginya lebih dari dua meter, nampak kuil itu, jauhnya kurang lebih lima puluh meter dari pintu gerbang. Di kanan kiri kuil itu terdapat bangunan-bangunan besar seperti pengawal kuil dan terdapat banyak jendela yang tertutup. Agaknya itu merupakan asrama para pendeta, pikirnya. Di depan kuil terdapat halaman yang luas penuh dengan tanaman bunga-bunga dan juga tanaman yang mengandung khasiat pengobatan. Di sana sini terdapat arca-arca Buddha yang besar dan megah, juga pahatannya amat halus. Asap dupa mengepul tebal dari cerobong yang dipasang di tengah bangunan kuil, akan tetapi ada juga asap yang mengepul keluar dari pintu depan yang besar, dan membawa keharuman yang khas.

Sie Liong melangkah masuk ke dalam kuil. Dua orang pendeta Lama berdiri di kanan kiri pintu sebelah dalam dan menyambutnya dengan doa-doa yang tidak terdengar jelas, namun kedua tangan mereka yang dirangkap dan berada di depan dada selalu menyambut para pendatang dengan doa dan puja-puji. Ketika Sie Liong memandang kepada mereka, kedua orang pendeta Lama yang masih muda-muda itu nampak memejamkan mata dan mereka itu kelihatan alim dan sopan.

Kuil itu penuh tumu dengan berbagai kesibukan sembahyang. Yang menyolok adalah tidak adanya sseorangpun wanita di situ. Sungguh berbeda dengan kuil-kuil lain yang selalu dipenuhi wanita.

Kemudian dia teringat bahwa kehidupan seorang pcndeta Lama memang amat keras dan satu di antara pantangan yang paling kuat adalah wanita. Karena kuil itu dilayani oleh para pendeta Lama, maka agaknya tidak ada tamu wanita diperkenankan masuk! Teringat dia akan kuil Siawu-lim-si yang juga pantang dimasuki wanita, apalagi wanita yang muda dan menarik.

Di sebelah dalam kuil, terdapat pula pendeta-pendeta tua dan muda yang melayani semua kebuThian mereka yang datang bersembahyang. Mereka semua rata-rata bersikap ramah, pendiam, sopan dan lembut. Sikap pendeta tulen, tidak nampak sikap keras dan liar sehingga orang takkan mau percaya kalau mendengar bahwa para pendeta Lama itu adalah pemberontak-pemberontak.

Meja-meja sembahyang yang besar-benar penuh dengan perabot sembahyang, lilin-lilin besar bernyala. Pendeknya, kuil itu lengkap dan juga amat luas. Akan tetapi hanya merupakan sebagian kecil saja dari daerah perumahan yang luas sekali itu. Di kanan kiri ruangan besar tempat sembahyang itu terdapat pintu-pintu kayu tebal dan besar, akan tetapi kedua pintu itu tertutup dan terkunci. Memang tidak ada hubungan pintu itu dengan keperluan sembahyang. Dan di sebelah dalam, terdapat pintu yang lebar sekali. Ketika mendekati pintu yang menuju ke dalam ini, Sie Liong melihat bahwa di situ terdapat sedikitnya tujuh orang pendeta yang berjaga, ada yang bersila, ada yang duduk, ada pula yang berdiri. Mereka itu tidak bergerak macam arca-arca saja, akan tetapi mata mereka tajam mengamati para tamu dan jelas bahwa tamu tidak diperkenankan masuk, karena jalan meauk itu tertutup atau terhalang oleh para penjaga ini. Sie Liong melihat betapa pintu itu menembus ke jalan lorong yang panjang, kemudian membelok ke kiri sehingga dari situ tidak dapat melihat apa yang berada di belakang kuil itu.

‘Apakah kongcu hendak melakukan sembahyang dan belum membawa perlengkapan? Kami dapat membantumu.! Sie Liong membalikkdn tubuhnya dan melihat seorang pendeta berusia empat puluhan tahun telah berdiri di depannya dengan kedua tangan terangkap di depan dada. Mendaki bukit berkunjung ke kuil tidak aembahyang, tentu saja tidak masuk akal. Dia belum ingin memperkenalkan diri dan menjelaskan keinginannya bertemu dengan Tibet Ngo-houw.

‘Saya ingin bertanya tentang nasib diri saya,! jawabnya karena memang dia tidak bermaksud untuk bersembabyang. Tadi dia melihat bagian kiri ruangan itu dan di sana terdapat sebuah meja sembahyang di mana orang-orang bertanya tentang nasib mereka.

‘Ah, mari kami bantu, kongcu. Bertanya nasibpun harus melakukan sembahyang dan kalau kongcu tidak membawa perlengkapan, dapat membeli di sini, harganya tidak lebih mahal daripada kalau membeli di toko.! kata pendeta itu dengan sikap ramah.

‘Terima kasih,! kata Sie Liong dan diapun mengikuti pendeta Lama itu yang mengambilkan perlengkapan bersembahyang berupa lilin dan hioswa (dupa biting). Kemudian, di bawah petunjuk pendeta itu, Sie Liong melakukan sembahyang di depan meja sembahyang, kemudian dia, seperti para tamu lain, dipersilakan untuk mengocok ciam-si, yaitu batang-batang bambu sebesar jari tangan yang pada ujungnya bernomor. Batang-batang bambu kecil sepanjang satu kaki ini berada di dalam tabung bambu besar dan mereka yang menanyakan nasib, setelah sembahyang dan dalam hati mengajukan permohonan tentang apa yang ingin diketahui mengenai nasibnya, diharuskan memegang tabung bambu sambil berlutut di depan meja sembahyang dan mengguncang-guncang tabung itu. Batang-batang bambu itu akan terguncang dan setelah ada sebatang meloncat atau terloncat keluar, maka itulah batang bambu yang menjadi jawaban pertanyaannya.

Sie Liong mengguncang tabung itu dan berloncatlah sebatang bambu dari dalamnya. Akan tetapi hal itu belum menentukan bahwa pilihan jawaban itu benar. Dia harus pula melemparkan dua potong bambu yang permukaannya berbeda.

Kalau dua potong bambu itu terjatuh ke atas lantai lalu kedua permukaannya sama dengan yang lain, dengan ada tulisan BENAR, maka batang bambu yang terloncat itu sudah sah akan kebenarannya. Sebaliknya, andaikata dua potong bambu itu terletak dengan permukaan yang berbeda menghadap ke atas, dia harus mengguncang sekali lagi dan memilih lagi. Juga apa bila kedua potong bambu itu menghadapkan tulisan SALAH, dia harus memilih lagi.

Setelah mendapat tanda BENAR, Sie Liong menyerahkan batang bambu itu kepada pendeta Lama yang bertugas di bagian pertanyaan nasib itu, dan setelah dicocokkan nomornya, pendeta itu memberinya sehelai kertas yang sudah ada tulisannya. Biasanya, kertas ini berisikan sajak atau syair yang merupakan jawaban dari permintaan orang yang bersembahyang dan minta sesuatu, dan karena sajak itu selalu mengandung perumpamaan dan maksud tersembunyi, maka ada pula pendeta yang bertugas memberi tafsirannya. Hal ini sudah pernah didengar dan diketahui Sie Liong walaupun baru sekarang dia sendiri mengocok batang bambu untuk mendapatkan ramalan nasibnya. Akan tetapi, ketika dia membuka gulungan kertas selembar itu, jantungnya berdesir. Di situ tertulis dengan jelas, dengan tulisan tangan yang indah, sebuah pesan untuknya!

KALAU PENDEKAR BONGKOK INGIN BICARA DENGAN KAMI, SILAKAN MASUK SELATAN PINTU PAGAR BELAKANG.

Sie Liong mengangkat muka memandang kepada pendeta yang melayaninya, akan tetapi pendeta itu hanya merangkapkan kedua tangan depan dada dan menundukkan mukanya. Sie Liong merasa kagum sekali. Kiranya para pendeta Lama ini memiliki perkumpulan yang kuat dan dapat bekerja dengan rapi sehingga dia yang ingin melakukan penyelidikan, bahkan lebih dahulu menjadi bahan penyelidikan dan keinginannya sudah diketahui oleh mereka! Diapun segera keluar dari kuil itu, keluar dari pintu gerbang pagar tembok dan mengambil jalan memutar. Kalau pihak Kim-sim-pai sudah tahu akan keadaan dirinya, bahkan mungkin tahu pula akan maksud kedatangannya, diapun tidak perlu berpura-pura lagi. Memang lebih baik kalau bicara dengan sejujurnya, menuntut sikap para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya, yang kini mengungsi ke Kun-lun-san, daripada melakukan penyelidikan secara rahasia, hal yang amat tidak enak kalau sampai ketahuan pihak yang diselidiki.

Dengan sikap tenang dan hati tabah Sie Liong menuju ke arah belakang. Ternyata, memang tempat itu luas sekali, bentuknya memanjang ke belakang, seperti sebuah perkampungan saja. Ketika dia memutari pagar tembok itu, akhirnya di sebelah belakang dia melihat sebuah pintu yang tidak besar, bukan pintu umum, melainkan pintu untuk keluar masuk para pendeta anggauta perkampungan itu sendiri. Di pintu kecil itu, Sie Llong disambut oleh dua orang pendeta Lama yang usiauya sekitar lima puluh tahun.

‘Sie Taihiap, silakan masuk dan mengikuti kami. Para suhu telah menanti di dalam,! kata seorang di antara mereka berdua yang bersikap hormat.

Kembali Sie Liong kagum bukan main. Mereka itu agaknya telah lama mengikuti gerak geriknya dan sudah tahu benar siapa dia! Hal ini amat tidak menguntungkan bagi dia, karena tentu mereka yang sudah mengetahui akan kedatangannya itu telah membuat persiapan-persiapan, Bagaimanapun juga, dia telah tiba di situ dan tidak mungkin dapat mundur kembali. Maka, sambil mengucapkan terima kasih, diapun mengikuti mereka masuk ke dalam melalui subuah taman yang indah. Ketika dia malewati sebuah bangunan besar, lapat-lapat dia mendengar suara ketawa wanita! Namun, segera suara ketawa itu terhenti dan diapun pura-pura tidak mendengarnya. Sie Liong hanya mencatat di dalam hatinya. Agaknya, sikap hormat dan sopan yang dia lihat di kuil tadi, sikap saleh dan beribadat para pendeta Lama yang melayani para tamu, masih perlu diselidiki lebih seksama lagi. Dari luarnya saja nampak bahwa pendeta itu hidupnya secara saleh dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi, namun di sini dia mendengar suara ketawa wanita! Tak mungkin dia salah dengar.

Dua orang pendeta Lama itu membawanya ke sebuah ruangan yang luas sekali. Sedikitnya lima ratus orang akan dapat berkumpul dalam ruangan yang luas itu. Ruangan itu terbuka dan di sudut terdapat bangku-bangku mengelilingi beberapa buah meja yang dideretkan menjadi meja panjang dan di situ dia melihat belasan orang pendeta Lama duduk bagaikan arca-arca tak bergerak, hanya mata mereka saja yang mencorong tajam menyambut kedatangannya. Dua orang pendeta yang mengantarnya lalu memberi hormat dengan menyembah kepada belasan orang itu, kemudian mengundurkan diri membiarkan Sie Liong seorang diri berhadapan dengan tiga belas orang pendeta Lama itu.

Sie Liong juga melayangkan pandang matanya kepada mereka. Segera dia mengenal lima orang di antara mereka yang duduk berjajar. Biarpun usia mereka kini sudah enam puluh tahun lebih, dan sudah tujuh delapan tahun yang lalu dia pernah bertemu dengan mereka, namun dia tidak melupakan lima orang pendeta Lama itu. Siapa lagi kalau bukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimati Tibet) yang pernah datang ke Kun-lun-pai dan menyerang Himalaya Sam Lojin dahulu! Dan karena mereka berlima inilah maka kini dia datang ke Tibet, karena para gurunya minta kepadanya untuk menyelidiki mengapa Dalai Lama mengutus lima orang pendeta Lama ini untuk memusuhi para pertapa dan para tosu dari Himalaya, bahkan mengejar-ngejar mereka yang sudah melarikan diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Selain lima orang ini, delapan yang lain dia tidak mengenalnya.

Akan tetapi, melihat seorang pendeta Lama yang usianya sudah tujuh puluh tahunan, tinggi kurus dengan muka kemerahan kekanak-kanakan, berjubah merah dan memegang sebatang tongkat pendeta yang berlapis emas, berwibawa dan duduk di kursi paling depan, juga kursinya berbeda dengan bangku-bangku yang lain, terbuat dari gading gajah, diapun dapat menduga bahwa mungkin kakek itulah yang berjuluk Kim Sim Lama!

‘Orang muda, apakah engkau yang bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok?! kakek itu bertanya dan diam-diam Sie Liong terkejut. Ketika dia bicara, suaranya demikian tinggi dan tajam sekali, membuat jantungnya tergetar dan wajah yang kekanak-kanakan itu mengeluarkan sinar, dan matanya mengandung wibawa yang amat kuat. Bukan main, pikirnya. Kakek ini bukan orang sembarangan dan akan merupakan lawan yang amat berat. Akan tetapi dia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada belasan orang itu.

‘Benar, losuhu, nama saya adalah Sie Liong dan adapun julukan itu mungkin hanya kelakar orang-orang yang melihat keadaan tubuh saya yang cacat saja.!

‘Sie Liong, engkau telah berada di sini. Katakan apa yang kau kehendaki maka engkau datang ke tempat kami.!

Hemm, kakek ini demikian terus terang, maka diapun tidak perlu menyembunyikan lagi keperluannya. Sejenak dia memandang ke arah lima orang pendeta Lama yang duduk di sebelah kanan kakek itu, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab. ‘Losuhu, sesungguhnya saya datang ke Tibet untuk bertemu dgn bicara dengan Tibet Ngo-houw. Karena saya mendengar bahwa Tibet Ngo-houw berada di sini, maka saya memberanikan diri untuk datang berkunjung, tanpa bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai.!

Sambil berkata demikian, sepasang mata Sie Liong dengan tajam menatap kepada lima orang pendeta Lama yang dimaksudkannya itu. Namun, mereka berlima itu tetap duduk tak bergoyang seperti arca. Hanya mata mereka yang ditujukan kepadanya, seperti mata para pendeta lainnya, dan Sie Liong kini melihat betapa pandang mata itu sama sekali tidak bersahabat, bahkan nampak marah.

‘Hemm, orang muda. Kalau engkau tidak bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai, kenapa engkau menghina orang kami yang sedang mengumpulkan sumbangan di Lasha?! Kini suara kakek itu tidak lagi lembut, melainkan mengandung kemarahan dan lengkingan suara itu makin meninggi.

Sie Liong kini merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya dan dia mulai merasa menyesal telah datang ke situ, namun hal ini agaknya telah terlambat karena dia melihat gerakan banyak orang di luar dan ketika dia menengok, ternyata ruangan itu telah dikepung oleh banyak sekali orang di luar. Bukan hanya pendeta-pendeta Lama berjubah merah, akan tetapi ada pula yang bukan pendeta Lama, dan jumlah mereka itu tentu mendekati lima puluh sampai seratus orang!

Namun, dia tetap bersikap tenang. ‘Losuhu, saya sama sekali tidak pernah menghina siapapun juga, apalagi menghina orang Kim-sim-pai yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya. Peristiwa di rumah makan itu adalah karena saya tertekan dan saya hanya membela diri, juga saya terpaksa mencegah pengumpulan sumbangan yang dilakukan dengan paksaan. Bukan hanya Kim-sim-pai, biar dari manapun, kalau saya melihat orang minta sumbangan secara paksa, sudah menjadi kewajiban saya untuk mencegahnya. Saya tidak bermaksud menghina Kim-sim-pai, dan harap para losuhu suka maafkan saya. Saya hanya ingin berurusan dengan Tibet Ngo-houw, tidak bermaksud berurusan dengan Kim-sim-pai. Tibet Ngo-houw, harap kalian cukup gagah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian di Kun-lun-san tujuh delapan tahun yang lalu!! Karena tahu bahwa ancaman bahaya terhadap dirinya datangnya dari Kim-sim-pai, maka Sie Liong sengaja menujukan tantangannya kepada Tibet Ngo-houw saja.

Tiba-tiba terdapat gerakan pada lima orang pendeta Lama itu yang sejak tadi diam seperti arca. ‘Omitohud, dia itu anak bongkok yang dahulu menggagalkan desakan kita terhadap Himalaya Sam Lojin!! Tiba-tiba seorang di antara mereka berlima yang bermata satu berseru. Dia adalah Thay Hok Lama, orang ke empat dari Lima Harimau Tibet Itu. Mendengar seruannya ini, empat orang saudaranya juga teringat dan mereka semua merasa heran. Anak bongkok itu kini berani datang dan bersikap demikian tenang dan gagah!

‘Benar sekali, Tibet Ngo-houw. Aku adalah anak bongkok yang dulu itu dan kini aku datang mencari kalian sebagai utusan dari Himalaya dan kini berada di Kun-lun-san. Sudah tiba saatnya kalian berlima mempertanggung jawabkan perbuatan kalian dahulu itu dan menjelaskan kepadaku apa yang menjadi sebab maka kalian memusuhi mereka yang sama sekali tidak berdosa.!

‘Omitohud.... betapa lancang dan sombongnya anak ini!! Tiba-tiba seorang di antara para pendeta yang hadir di situ berseru. Dia bukan seorang di antara Lima Harimau Tibet, melainkan seorang pendeta Lama Jubah Merah yang tubuhnya pendek kecil seperti kanak-kanak berusia belasan tahun. Akan tetapi melihat wajahnya, tentu usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Kim Sim Lama.

‘Susiok (paman guru), perkenankan teecu (murid) menghajar bocah lancang yang sama sekali tidak menghormati kita ini. Bocah ini tidak pantas dilayani oleh para suheng berlima!!

Kakek tua renta itu mengangguk. Juga Tibet Ngo-houw diam saja karena merekapun merasa malu kalau harus melayani seorang pemuda yang bongkok pula. Akan menurunkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim-sim-pai!

Pendeta Lama yang bertubuh pendek kecil itu bernama Ki Tok Lama dan diapun merupakan seorang di antara ‘dua belas besar! yang menjadi para pembantu utama Kim Sim Lama. Sebagai seorang di antara para pembantu utama, tentu saja dia memiliki tingkat ilmu kepandaian yang cukup hebat. Dua belas orang pembantu utama itu masih terhitung murid-murid keponakan Kim Sim Lama sendiri, demikian pula Tibet Ngo-houw juga merupakan murid keponakannya, sehingga tingkat kepandaian mereka satu dengan yang lain tidak banyak berselisih. Hanya Tibet Ngo-houw sudah memiliki nama besar dan mereka berlima itu sudah biasa bertindak sebagai kelompok yang bekerja sama, maka merekalah yang menjadi pembantu-pembantu utama. Maka kedudukan mereka berlima itu agak leblh tinggi dibandingkan para pembantu lainnya.

Ketika Ki Tok Lama sudah berdiri di depan Sie Liong, pemuda ini maklum bahwa keadaannya sungguh tidak menguntungkan baginya. Dia bukan seorang pemuda yang bodoh. Dia tahu bahwa dia telah terjebak, memasuki guha harimau yang amat berbahaya. Bagaimana mungkin dia yang seorang diri dapat menandingi lawan yang demikian banyaknya! Akan tetapi, untuk mundurpun tidak mungkin. Tempat itu telah terkepung. Jalan keluar telah buntu dan kalau dia nekat melarikan diri, tentu akan dikepung dan dikeroyok.

‘Sie Liong!! Ki Tok Lama membentak, ‘Engkau masih bocah ingusan sudah berani memakai julukan pendekar, dan engkau berani menghina para suhengku Tibet Ngo-houw! Hemm, coba keluarkan semua ilmu kepandaianmu, hendak pinceng (saya) lihat apakah sepak terjangmu juga sehebat suara dan sikapmu. Majulah!! Setelah berkata demikian, pendeta Lama yang bertubuh katai ini memasang kuda-kuda yang aneh. Kedua kakinya berdiri di ujung jari seperti berjingkat, tangan kanan miring di depan dada, sedangkan tangan kiri berada di balik punggung dengan bentuk cakar.

Melihat ini, diam-diam Sie Liong dapat menduga akan keadaan batin orang ini. Dengan berjingkat dia ingin mengangkat diri lebih tinggi sesuai dengan watak seorang yang masih dikuasai nafsu-nafsunya. Nampak dari depan, tangan kanannya seperti sikap seorang yang beribadat, yang menaruh tangan berdiri lurus di depan dada, akan tetapi diam-diam, tangan yang lain bersembunyi di punggung dalam bentuk cakar. Ini menandakan bahwa dia seorang munafik, yang pura-pura alim akan tetapi sesungguhnya batinnya masih bergelimang nafsu sehingga siap untuk melakukan kekerasan. Tentu saja bukan demikian maksud Ki Tok Lama, hanya gerakannya itu mungkin saja tanpa disadarinya menggambarkan keadaan batinnya.

Sie Liong memberi hormat dan berkata dengan sikap tenang dan suara lembut. ‘Losuhu, maatkan saya. Kedatangan saya ini untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw, bukan untuk bertanding dengan siapapun juga. Sudah saya katakan bahwa saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan Kim-sim-pai....!

‘Pengecut! Engkau sudah masuk ke sini dan bersikap sombong dan sekarang engkau tidak berani menyambut tantangan pinceng?!

‘Bukan tidak berani, melainkan karena saya tidak melihat adanya suatu alasan apapun untuk menyambut tantangan ini.!

‘Ada alasan atau tidak, mau atau tidak, engkau harus menerima seranganku ini. Nah, sambutlah!! Ki Tok Lama tidak memperdulikan semua alasan Sie Liong dan tubuhnya sudah bergerak dan dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh itu sudah meluncur ke depan dan tangan kirinya yang membentuk cakar tadi, dari belakang telah melayang dari atas ke depan, dan karena tubuhnya tadi meloncat tinggi, maka tangan itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong!

‘Hyaaaaattt....!! Dia mengeluarkan pekik melengking.

Diserang seperti itu, tentu saja Sie Liong tidak mungkin dapat tinggal diam. Serangan itu merupakan serangan maut dan diapun terkejut melihat betapa cepatnya gerakan lawan. Tahulah dia bahwa lawannya yang cebol itu memiliki gin-kang yang tinggi. Namun, masih belum terlalu cepat gerakan itu baginya. Dengan mudah diapun menggeser tubuh ke kiri dan terkaman itu luput. Ki Tok Lama menjadi semakin marah. Begitu tubuh turun, dia sudah membalik dan kembali dia sudah menyerang, kini lebih dahsyat, dengan kedua tangan menyambar dari kanan kiri.

Sekali lagi Sie Liong mengelak dengan loncatan mundur. ‘Losuhu, aku tidak ingin bertanding denganmu!! katanya masih lembut, akan tetapi tidak begitu hormat lagi.

Ki Tok Lama tidak perduli. Dua kali serangannya dengan jurus pilihan gagal. Hal ini saja sudah membuat dia merasa malu dan menganggap bahwa pemuda itu menghinanya.

‘Haiiiiiitttt....!! Dia menyerang lagi, kini dengan pukulan-pukulan yang bertubi dan tubuhnya yang ringkas itu bergerak-gerak bagaikan seekor tupai melompat-lompat dan setiap kali serangannya luput, sudah disusulkannya serangan berikutnya.

‘Losuhu, sekali lagi, aku tidak ingin berkelahi denganmu!! Sie Liong berkata, suaranya semakin keras. Namun jawabannya adalah serangan yang lebih genas. Sie Liong merasa serba salah. Kalau dia tidak melayani, tentu orang ini akan terus menyerangnya dan tak mungkin dia hanya selalu mengelak. Kalau dia membalas, berarti dia sudah terpancing dan melibatkan diri dalam permusuhan, padahal dia berada di dalam sarang Kim-sim-pai!

‘Engkau sungguh memaksaku!! katanya dan ketika kedua lengan lawan menghantam dengan pengerahan sin-kang, dia pun menyambut dari samping, menangkis untuk membuktikan kepada lawan bahwa kalau dia mau, tidak begitu sukar baginya untuk mengalahkan si cebol itu.

‘Dukk!! Sie Liong membatasi tenaganya, tidak mempergunakan seluruh tenaga, akan tetapi akibatnya tubuh si cebol terpelanting dan dia terhuyung-huyung hampir roboh terbanting.

Si cebol mengeluarkan teriakan melengking nyaring karena marahnya dan ketika dia melompat ke depan, dia telah memegang sepasang pedang, yaitu senjatanya yang selalu disembunyikan di balik jubah merahnya yang lebar.

‘Hemm, losuhu, bagaimana seorang pendeta mau memegang sepasang senjata tajam?! Sie Liong memperingatkan. Sesungguhnya, merupakan pantangan bagi seorang pandeta untuk menggunakan senjata untuk membunuh, apalagi memegang senjata pedang untuk menyerang lawan tidak bersenjata!

Agaknya Ki Tok Lama masih mengingat akan kedudukannya dan dia merasa sungkan juga. ‘Jangan banyak mulut, cepat kaukeluarkan senjatamu. Mari kita bertanding dengan menggunakan senjata!! tantangnya.

‘Losuhu, aku tidak pernah memegang senjata!! kata Sie Liong dengan harapan agar lawannya itu merasa malu dan mundur. ‘Sebaiknya kita hentikan saja ribut-ribut yang tiada gunanya ini dan membiarkan aku untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw.!

‘Tidak! Kau kalahkan dulu sepasang pedangku, baru engkau boleh bicara dengan kelima orang suheng Tibet Ngo-houw!! si cebol berkeras.

Sie Liong menarik napas panjang. Ketika dia memandang kepada para pimpinan Kim-sim-pai, mereka itu diam tak bergerak seperti arca. Dia melihat sebuah rak senjata di sudut, dan dengan perlahan dia menghampiri rak itu, mengambil sebatang tombak bergagang kayu dan mematahkan mata tombaknya. Gagang tombaknya saja yang berada di tangannya dan diapun berkata, ‘Baiklah, kalau engkau memaksa, losuhu, biar aku meminjam gagang tombak ini saja, agar tidak sampai melukaimu dengan senjata yang tajam atau runcing.!

Sie Liong mempergunakan senjata itu bukan karena takut menghadapi sepasang pedang lawan, melainkan untuk berjaga diri. Kalau sampai terpaksa dia didesak dan dikeroyok, dia harus memiliki senjata untuk melindungi dirinya dan tidak ada senjata di dunia ini yang lebih baik baginya dari pada sebatang tongkat!

Jawaban Sie Liong itu membuat wajah Ki Tok Lama menjadi semakin merah karena jelas memandang rendah kepadanya. ‘Lihat pedang!! bentaknya untuk berlagak bahwa dia tidak menyerang lawan tanpa peringatan lebih dahulu. Dua gulungan sinar bekkelebat ketika sepasang pedang di tangannya digerakkan secara cepat dan kuat sekali. Namun, dengan tenang Sie Liong bergerak mundur dan mengelak dari dua kali sambaran kilat dari sepasang pedang lawan. Tongkat di tangannya tidak tinggal diam dan ujung tongkat itu diputarnya sedemikian rupa sehingga ujungnya seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Dan ujung-ujung tongkat ini sekarang menyambar-nyambar ke arah jalan darah di seluruh tubuh Ki Tok Lama! Pendeta Lama itu terkejut bukan main dan terpaksa dia memutar sepasang pedangnya untuk melindungi diri dari serangan banyak ujung tongkat itu!

Akan tetapi, di antara ujung-ujung tongkat itu yang tentu saja sesungguhnya hanya memiliki dua ujung saja namun karena tongkat itu bergerak dengan menggetar, maka ujungnya nampak menjadi banyak, kini ada yang menyerang ke arah pergelangan lengan lawan yang memegang pedang, sementara ada ujung-ujung lain yang masih mengancam jalan darah tubuh Ki Tok Lama. Tentu saja pendeta ini menjadi semakin kaget dan bingung. Dia lebih condong melindungi tubuh yang akan tertotok, maka tak dapat dihindarkan lagi, kedua pergelangan tangannya tertumbuk ujung tongkat secara aneh sekali dan kedua tangan itu tiba-tiba teraaa lumpuh dan sepasang pedangnyapun terlepas dari tangannya.

Akan tetapi Sie Liong menghentikan gerakan tongkatnya, berdiri tegak di depan Ki Tok Lama dan berkata, ‘Losuhu, silakan mengambil kembali sepasang pedangmu.!

Dengan muka agak pucat dan mata terbelalak penuh rasa penasaran dan kemarahan, Ki Tok Lama bergerak cepat, menyambar sepasang pedang itu dari atas lantai, kemudian memutar sepasang pedangnya, siap untuk melakukan penyerangan yang lebih dahsyat dan nekat lagi.

‘Tahan senjata!! tiba-tiba Kim Sim Lama berseru. ‘Ki Tok Lama, kau mundurlah!!

Ki Tok Lama hanya memandang melotot ke arah Sie Liong sejenak, akan tetapi dia tidak berani membantah perintah susioknya dan diapun mundur sambil menyimpan kembali sepagang pedangnya di balik jubah merah. Kiranya ketika Sie Liong mulai melayani Ki Tok Lama tadi, Kim Sim Lama yang memandang penuh perhatian, menjadi kagum dan tertarik. Dia berbisik-bisik kepada Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Setelah memerintahkan Ki Tok Lama untuk mundur, Kim Sim Lama lalu diam saja dan menyerahkan kepada Thay Ku Lama untuk menghadapi Sie Liong seperti yang mereka bisikkan tadi.

Thay Ku Lama bangkit dari bangkunya, lalu menghampiri Sie Liong yang sudah siap siaga karena kini yang maju adalah orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Thay Ku Lama yang bertubuh besar dengan perut gendut itu menarik napas panjang. ‘Omitohud, sekarang pinceng ingat. Memang engkau adalah bocah yang dahulu itu, dan agaknya engkau telah menjadi murid para tosu pelarian itu. Bukankah ilmu tongkatmu tadi adalah Thian-te Sin-tung yang amat hebat dari Pek Sim Sian-su?!

Sie Liong terkejut. Sungguh tajam pandang mata Thai Ku Lama ini, dan pengetahuannya tentang ilmu silat amat luas. Hal itu saja membuktikan bahwa lima orang Harimau Tibet ini memang tidak boleh dipandang ringan.

‘Sesungguhnya, losuhu, aku pernah menerima bimbingan dari suhu Pek Sim Sian-su,! jawabnya jujur.

‘Hemm, begitukah? Nah, sekarang katakan, apa keperluanmu mencari kami Tibet Ngo-houw? Katakan saja terus terang karena yang hadir di sini bukanlah orang-orang lain bagi kami.!

Sie Liong memandang ke arah lima orang itu bergantian, kemudian dia berkata dengan suara lantang. ‘Tibet Ngo-houw, dengarlah baik-baik. Aku mewakili para locianpwe dan para pertapa yang selama ini kalian kejar-kejar, untuk bertanya kepada kalian, apa sesungguhnya yang mendorong kalian berlima untuk memusuhi mereka! Jawablah sejujurnya, benarkah kalian menjadi utusan Dalai Lama untuk membasmi para tosu dan pertapa asal Himalaya?!

Thay Ku Lama tertawa bergelak, perutnya yang gendut itu terguncang dan di antara suara ketawanya itu terdengar bunyi berkokok dari dalam perutnya, seperti suara katak besar. Pendeta Lama ini memang memiliki ilmu yang amat hebat, yang disebut Hek-in Tai-hong-ciang, suatu pukulan yang didorong oleh tenaga dari perut yang kalau dia pergunakan, selain dari perutnya keluar bunyi berkokok nyaring dan kedua kakinya ditekuk dalam-dalam seperti berjongkok, juga telapak tangannya itu mengeluarkan uap hitam.

‘Ha-ha-ha-ha-ha, tentu saja Dalai Lama yang mengutus kami untuk membasmi para pertapa Himalaya yang dianggap pemberontak!!

‘Pemberontakan apakah yang telah dilakukan oleh para locianpwe, para pertapa terhadap Dalai Lama?! Sie Liong mengeluarkan pertanyaan yang pernah diperbincangkan para gurunya itu.

‘Hemm, para tosu itu pernah membunuhi beberapa orang pendeta Lama, hal itu berarti pemberontakan!! kata pula Thay Ku Lama dengan sikap acuh.

‘Nanti dulu, losuhu. Pernah aku mendengar bahwa mendiang locianpwe Pek Thian Siansu, seorang pertapa Himalaya, membela penduduk yang diserbu para pendeta Lama. Terjadi perkelahian antara Pek Thian Siansu dan para pendeta Lama dan ada beberapa orang pendeta Lama yang tewas. Itukah yang menjadi sebab maka para pendeta Lama lalu memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya?! Sie Liong pernah mendengar cerita tiga orang gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin tentang guru mereka itu.

‘Ha, kiranya engkau sudah tahu? Nah, kenapa bertanya lagi? Para tosu itu mencampuri urusan kami para pendeta Lama, itulah maka mereka dianggap pemberontak.!

‘Akan tetapi, losuhu. Bukankah mendiang Pek Thian Siansu membela penduduk dusun yang mempertahankan seorang anak laki-laki yang hendak diculik oleh para para pdndeta Lama itu? Dan anak itu yang kemudian menjadi Dalai Lama! Bagaimada mungkin Dalai Lama itu malah mengutus losuhu berlima untuk memusuhi para pertapa Himalaya? Padahal, para pertapa itu dahulu bahkan pernah membelanya! Dan juga, kalau suhu berlima menjadi utusan Dalai Lama, bagalmana pula ngo-wi (anda berlima) sekarang berada di sini dan kudengar malah memusuhi Dalai Lama?!

Mendengar ucapan Sie Liong itu, Tibet Ngo-houw saling pandang dan They Ku Lama sendiri mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah. Tak disangkanya bahwa pemuda bongkok itu agaknya telah mengerti akan segala rahasia mereka!

Akan tetapi Kim Sim Lama yang sejak tadi mendengarkan saja, tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa. ‘Ha-ha-ha! Omitohud.... Sie Taihiap agaknya mengetahui ekornya. Baiklah, pinceng yang akan memberi penjelasan kepadamu. Memang, dahulunya Tibet Ngo-houw ini, para murid keponakanku, hanya mentaati perintah Dalai Lama saja. Pinceng sudah mencoba untuk mencegahnya karena ketika itu pinceng masih menjadi wakil Dalai Lama.

Akan tetapi, memang dia telah tersesat dan lalim itulah maka kami semua meninggalkan Dalai Lama dan berdiri sendiri di sini, dan kami memang bermaksud untuk menggulingkan penguasa yang lalim itu! Itulah sebabnya maka kini Tibet Ngo-houw berada di sini membantu Kim-sim-pai dan kami mempersilakan engkau untuk bekerja sama dengan kami, Sie Taihiap. Kami menentang Dalai Lama karena dia seorang pemimpin lalim, sedangkan engkau membantu kami untuk membalaskan dendam para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah melepas budi kepada Dalai Lama akan tetapi malah dibalas dengan pengejaran dan pembunuhan! Dan masih banyak pula pihak-pihak yang memusuhi Dalai Lama. Gerakan kita pasti akan berhasil, Sie Taihiap!!

Sejak tadi Sie Liong mendengarkan saja, dan alisnya mulai berkerut. Tentu saja dia tidak dapat menerima dan percaya semua yang dikatakan pendeta ketua itu. Jelas bahwa Kim Sim Lama sedang memberontak terhadap Dalai Lama, maka tentu saja dia memburuk-burukkan nama Dalai Lama! Dia tidak mau percauya begitu saja, pula dia tidak ingin melibatkan diri dalam pemberontakan dan pertikaian di Tibet yang bukan negaranya.

‘Terima kasih, losuhu. Akan tetapi tugas saya hanya bertanya kepada Tibet Ngo-houw mengapa dia dahulu memusuhi para pertapa pelarian dari Himalaya. Sekarang, setelah mereka menjawab bahwa mereka hanya utusan dari Dalai Lama, biarlah saya akan menghadap Dalai Lama sendiri untuk bertanya, mengapa beliau membalas budi kebaikan para tosu itu dengan pengejaran dan penumpasan. Selamat tinggal, para losuhu, saya hendak pergi sekarang.!

Akan tetapi, agaknya telah ada isyarat dari Kim Sim Lama, begitu dia malangkah ke arah pintu ruangan luas itu, di ambang pintu telah berdiri banyak pendeta Lama dengan berbagal macam senjata di tangan, menutup lubang pintu itu dengan sikap mengancam. Ketika dia melirik ke arah jendela-jendela di sekeliling ruangan, di sanapun sudah tertutup oleh tubuh banyak pendeta Lama yang berjaga-jaga dan jelas mereka semua itu tidak akan memberi jalan keluar padanya.

‘Nanti dulu, orang muda!! Tiba-tiba Kim Sim Lama berseru, suaranya tidak begitu ramah lagi walaupun masih lembut.

Sie Liong menatap tajam wajah pemimpin Kim-sim-pai itu. ‘Ada apa lagi, losuhu?!

‘Orang muda, engkau datang ke sini tanpa kami undang, dan kami telah bersikap terus terang, menceritakan segala rahasia kami kepadamu. Oleh karena itu, kalau engkau mau bekerja sama dengan kami untuk menentang Dalai Lama, hal itu sudah sepatutnya. Akan tetapi, kalau engkau menolak dan hendak pergi begitu saja, membawa semua rahasia kami, sudah tentu kami merasa keberatan!!

Sie Liong maklum bahwa saatnya sudah tiba. Kim Sim Lama sudah membuka kartunya. Tadi dia sudah merasa khawatir bahwa dia telah terperangkap, dan inilah buktinya. Dia dipaksa untuk bekerja sama atau dia tidak diperkenankan pergi meninggalkan tempat itu!



Bab 20

‘Losuhu, saya tidak ingin terlibat dalam pemberontakan! Tibet bukan negaraku dan saya tidak mempunyai urusan dalam pemberontakan. Saya hanya melaksanakan tugas untuk menyelidiki mengapa para pertapa di Himalaya dimusuhi oleh Dalai Lama.!

‘Sie Liong!! Kim Sim Lama membentak, kini terdengar marah. ‘Dengar baik-baik, pinceng pernah menjadi wakil Dalai Lama, merupakan orang ke dua sesudah Dalai Lama yang berkuasa di negeri ini! Dan sekarang pinceng adalah calon Dalai Lama atau pemilik Dalai Lama yang baru! Sekali aku memerintahkan, engkau akan mati!!

‘Losuhu, mati hidup bukan di tangan siapapun, melainkan di tangan Thian Yang Maha Kuasa! Kalau Thian sudah menghendaki aku harus mati, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang akan mampu mencegahnya, sebaliknya, kalau Thian menghendaki aku hidup, tidak ada kekuasaan pula yang akan mampu membunuhku. Mati hidup di tangan Thian, akan tetapi baik buruknya langkah hidup berada di tangan kita masing-masing. Oleh karena itu, aku tetap akan melangkah melalui jalan kebenaran dan aku menyerahkan jiwa ragaku kepada Thian. Aku tetap menolak untuk menjadi kaki tangan pemberontak, apapun yang akan menjadi akibatnya!!

Semua pendeta Lama yang berada di situ, diam-diam merasa kagum. Bahkan Kim Sim Lama juga merasa kagum. Pemuda ini, biarpun bongkok, ternyata jiwanya tidak bongkok dan semangatnya tegak lurus. Akan tetapi, betapapun kagum hatinya, dia tidak rela membiarkan Sie Liong pergi karena tentu semua rahasia akan ketahuan dan mereka terancam bahaya serbuan Dalai Lama sehelum mereka kuat benar.

‘Sie Liong, engkau masih muda akan tetapi selain memiliki ketabahan besar, juga kesombongan yang agak berlebihan. Agaknya engkau terlalu mengandalkan ilmu kepandaianmu sendiri sehingga merasa bahwa di kolong langit ini tidak ada orang yang akan mampu mengalahkanau. Nah, ingin sekali pinceng melihat sampai berapa hebat kepandaianmu maka angkau berani menentang kami! They Ku Lama, pinceng ingin melihat seorang di antara kalian mengujinya!! kata Kim Sim Lama.

Biasanya, kalau menghadapi lawan berat, Tibet Ngo-houw tentu maju berlima. Akan tetapi kini yang mereka hedapi hanya seorang pemuda bongkok, betapapun lihainya, kalau mereka maju berlima mengeroyok seorang pemuda bongkok, hal ini tentu saja amat merendahkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim Sim Lama! Bahkan Thay Ku Lama sendiripun merasa sungkan kalau harus bertanding melawan pemuda bongkok itu, maka dia memberi isyarat kepada Thay Bo Lama, saudara termuda diantara mereka berlima, untuk maju menandingi Sie Liong.

Thay Bo Lama bertubuh kurus kering dan wataknya memang keras dan berangasan. Begitu menerima isyarat dari suhengnya, dia sudah melompat ke depan menghadapi Sie Liong. Tangan kirinya sudah memegang sebatang tombgk karena tadi dia sudah menyambar tombaknya yang dia letakkan di atas lantai di bawah meja. Kini, dengan tombak berdiri di sebelah kirinya, tangan kanannya bergerak ke depan, telunjuknya menuding ke arah muka Sie Liong.

‘Orang muda sombong! Ketika masih kecil dahulu engkau sudah mengganggu kami, sekarang setelah dewasa, engkau masih datang mengganggu. Agaknya memang sudah dikehendaki Thian bahwa engkau akan mati di tanganku! Nah, engkau majulah, perlihatkan kepandaianmu kepada Thay Bo Lama!!

Sie Liong bersikap tenang. Dia sudah siap sedia menghadapi ancaman yang paling hebat karena dia maklum bahwa hanya dengan pertolongan Thian saja dia akan dapat lolos dari tempat ini, lolos dari ancaman bahaya maut.

‘Thay Bo Lama, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapapun juga di sini. Maka, tentu aku tidak akan menyerang siapapun, dan hanya akan membela diri kalau aku diserang.!

‘Sombong! Sambutlah serangan tombakku ini!! Dia segera menggerakkan tombaknya dan terdengarlah suara bersiutan karena tombak itu bergerak dengan cepat dan kuat bukan main. Ketika menyerang dengan tusukan, tombak itu meluncur seperti anak panah saja, menusuk ke arah dada Sie Liong! Sie Liong melihat gerakan ini dapat menduga bahwa lawannya yang kurus kering seperti cecak mati kering itu agaknya memiliki tenaga yang amat besar. Untuk meyakinkan dugaannya, diapun mengerahkan tenaganya pada tongkat yang dipegangnya, lalu dengan tubuh miring dia menangkis dari samping.

‘Trranggg....!!

Dugaan Sie Liong memang tepat. Biarpun lawannya itu kurus kering dan kelihatan lemah, namun ternyata di dalam lengan yang kecil dan hanya tulang terbungkus kulit itu terdapat tenaga raksasa yang mengejutkan. Untung bahwa dia telah menduga sebelumnya sehingga tidak merasa terkejut. Juga tidak sampai terpental karena diapun sudah mengerahkan tenaganya ketika menyambut dengan tangkisan tadi. Di lain pihak, Thay Bo Lama yang terkejut. Bocah bongkok itu mampu menangkis tombaknya dan tongkat yang dipegang bocah itu tidak sampai terpental atau patah, bahkan kedudukan kakinya sendiri yang menjadi goyah karena dia merasa seolah tombaknya bertemu dengan pagoda baja yang amat kuatnya!

‘Bogus! Bocah bongkok kiranya engkau telah mewarisi sedikit ilmu dari Pek Sim Sian-su dan karenanya menjadi sombong! Akan tetapi awas, hari ini engkau akan mampus di tangan pinceng!! bentak Thay Bo Lama sambil melintangkan tombaknya di depan dada.

‘Thay Bo Lama, ingatlah bahwa engkau yang memaksaku untuk berkelahi, bukan aku yang mencari permusuhan!! jawab Sie Liong dengan sikap yang amat tenang.

‘Hyeeeeeehhhh.... haittt....!! Thay Bo Lama mengeluarkan teriakan nyaring, lengan kirinya membuat gerakan memutar di depan dada untuk mengumpulkan tenaga sakti yang dipusatkan di kedua lengan. Kakek yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun ini ternyata memang masih amat kuat sehingga dari kedua lengannya itu timbul getaran melalui tombaknya dan kini tombak itu bagaikan hidup menyambar ke arah Sie Liong.

‘Wyuuuuuutt.... singgggg....!!

Ketika dielakkan, senjata itu menyambar-nyambar dan melakukan serangan bertubi-tubi dan selain mendatangkan sambaran angin yang amat kuat, juga mengeluarkan suara bersiutan dan bardesing. Namun, Sie Liong dapat selalu menghindairkan diri dengan tidak terlampau sulit, menggunakan gerakan kedua kakinya yang lincah untuk membuat tubuhuya selalu meliuk-liuk dan menyusup-nyusup di antara sinar tombak, dan kadang-kadang tongkatnya menolak tombak dengan tangkisan yang demikian kuat sehingga beberapa kali tombak itu menyeleweng dan Thay Bo Lama sendiri terhuyung!

Sie Liong maklum bahwa dia berada di dalam bahaya, juga dalam keadaan serba salah. Kalau dia terlalu lama melayani Thay Bo Lama, tentu tenaganya akan terkuras karena di situ masih terdapat banyak lawan yang tentu akan maju satu demi satu. Sebaliknya, kalau terlalu cepat dia mengalahkan Thay Bo Lama, hal ini hanya akan membuat mereka menjadi semakin penasaran dan marah kepadanya! Jalan lari tidak mungkin lagi karena dia sudah terperosok ke dalam sarang mereka. Bagaimanapun juga, dia harus menghadapi ancaman bahaya itu dengan gagah. Tiba-tiba dia mempercepat gerakan tongkatnya dan dia mainkan Thian-te Sin-tung di bagian yang menekan dan menyerang.

Begitu Sie Liong mengubah gerakannya dan mulai menyerang, Thay Bo Lama terkejut. Dia melihat betapa tongkat itu seperti berubah menjadi banyak sekali. Sebagian menahan tombaknya, sebagian pula menyerangnya bagaikan gelombang lautan yang menyarbu dirinya! Beberapa kali tubuhnya nyaris terpukul dan dia terus memutar tombak, melindungi tubuhnya sambil terdesak mundur. Padahal, belum ada tiga puluh jurus dia melawan! Cepat dia mengerahkan tenaga sakti dan mulutnya berkemak-kemik. Dia hendak menggunakan kekuatan sihir untuk mengalahkan lawan yang masih muda itu.

‘Hyaaaahh, orang muda berlututlah engkau!!

Namun, biar masih muda, Sie Liong adalah murid yang dikasihi dan digembleng oleh Pek Sim Sian-su, maka tentu saja dirinya sudah ‘berisi! dan segala macam kekuatan sihir tidak akan mudah mempengaruhi batinnya yang sudah kuat. Dia merasakan getaran ilmu sihir itu, namun cepat Sie Liong mengerahkan sin-kang melindungi dirinya dan sekali tongkatnya berkelebat, dua lutut kaki lawan telah dicium ujung tongkatnya. Thay Bo Lama mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba kedua kakinya menjadi lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi, diapun jatuh berlutut! Ternyata jeritannya mengandung perintah tadi disusul dengan dirinya sendiri yang berlutut, bukan lawannya.

‘Thay Bo Lama, tidak berani aku menerima penghormatan itu!! kata Sie Liong sambil melangkah mundur dan menghadap ke samping. Sikapnya wajar dan sedikitpun tidak menunjukkan ejekan. Justru sikap ini yang membuat Thay Bo Lama menjadi malu dan marah bukan main. Setelah rasa kesemutan yang membuat kedua lututnya lumpuh tadi lenyap, diapun bangkit berdiri dengan muka merah dan matanya mencorong memandang pemuda bongkok itu penuh kebencian.

‘Hyaaatt-ahh....!! Tiba-tiba Thay Bo Lama, pendeta mata satu itu sudah menyerang Sie Liong dengan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang rantai baja yang panjang dan berat sekali. Rantai itu menyambar ganas ke arah kepala Sie Liong. Pendekar Bongkok sudah mengenal sejak dahulu akan kelihaian Tibet Ngo-houw ini, maka melihat rantai menyambar ganas, diapun merendahkan tubuhnya dan rantai itu lewat di atas kepalanya, kemudian diapun melangkah maju mendekat. Rantai itu panjangnya ada tiga meter sehingga kalau berkelahi jarak jauh, dia akan rugi. Rantai lawan dapat mencapai dirinya sedangkan tongkatnya yang hanya satu setengah meter panjangnya tidak akan dapat mencapai lawan.

Akan tetapi, Thay Bo Lama sudah menyambutnya dengan dorongan tangan kiri yang terbuka. Ada angin yang berbau amis manyambar ke arah Sie Liong. Pemuda ini meloncat ke kiri, maklum bahwa itu adalah pukulan yang mengandung racun. Memang, pendeta Lama yang matanya buta sebelah itu, selain amat lihai memainkan rantai bajanya yang panjang dan berat, juga terkanal memiliki pukulan beracun, juga pandai mempergunakan racun sebagai senjata atau alat untuk mengalahkan lawannya.

Sambil melangkah maju, Sie Liong juga menggerakkan tongkatnya menusuk ke arah perut lawan baru ini. Namun tiba-tiba rantai baja itu ditekuk menjadi dua dan ternyata pendeta Lama itu kini memegang rantai di bagian tengah dan rantai yang tadinya tunggal dan panjang itu berubah menjadi dua rantai pendek karena dipegang bagian tengahnya! Dan dua batang rantai itu berputar menangkis tongkat, bahkan membalas dengan serangan dari kanan kiri, dua helai rantai baja itu melakukan gerakan menggunting. Kembali Sie Liong melangkah ke belakang untuk menghindarkan diri dari guntingan sepasang rantai baja itu. Akan tetapi, dia mendengar angin bersiut ke arah kepalanya dari belakang.

Cepat dia merendahkan tubuh sambil memutar tongkat untuk menyambut penyerangnya dari belakang itu. Kiranya Thay Bo Lama yang sudah menyerangnya dengan curang sekali. Thay Bo Lama yang tadi menghantamkan tombaknya ke arah kepala Sie Liong, kini berbalik malah diancam tongkat yang menusuk ke arah lambungnya dari samping. Cepat dia melempar tubuhnya mengelak, akan tetapi kaki Sie Liong menyambar dan diapun terpelanting!

Untung bahwa tendangan itu tidak mengenai dengan tepat sehingga tubuh Thay Bo Lama hanya terpelanting saja dan tidak terluka.

Pada saat itu, Thay Hok Lama sudah pula menyerang dengan rentai bajanya. Ketika Sie Liong menggerakkan tongkat menangkis, ujung rantai yang panjang itu melibat tongkat! Maksud Thay Hok Lama tentu saja untuk merampas tongkat. Dia membetot keras untuk membuat tongkat di tangan pemuda itu terlepas. Akan tetapi Sie Liong mempertahankan dan dengan pengerahan sin-kangnya, diapun membalas, menarik dan..... tubuh Thay Hok Lama melayang terbawa tarikan itu, melambung ke atas sehingga terpaksa Thay Hok Lama pelepaskan belitan rantainya dan dia meloncat turun dengan muka berubah merah.

Melihat betapa dua orang rekan mereka masih terdesak oleh Pendekar Bongkok, Thay Ku Lama memberi isyarat kepada dua orang sutenya, yaitu Thay Si Lama dan Thay Pek Lama. Tiga orang ini serentak berloncatan turun ke gelanggang dan merekapun sudah menggerakkan senjata masing-masing melakukan pengepungan. Thay Ku Lama yang bermuka codet dan berperut gendut itu telah memegang goloknya, Thay Si Lama yang bermuka bopeng mempergunakan senjata cambuknya, sedangkan Thay Pek Lama yang barmuka pucat memegang sepasang pedang! Lengkaplah kini Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet) mengepung Pandekar Bongkok Sie Liong!

Sie Liong tersenyum dan terbayanglah peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia masih kecil. Ketika itu, diapun melihat Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan tiga orang gurunya atau juga dapat disebut suhengnya, yaitu Himalaya Sam Lojin. Mereka adalah gurunya karena dia menerima gemblengan silat pertama dari mereka bertiga, akan tetapi merekapun kakak-kakak seperguruannya karena dia adalah murid Pek Sim Sian-su yang terhitung susiok (paman guru) dari Himalaya Sam Lojin. Masih terbayang olehnya betapa Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan Himalaya Sam Lojin, lima orang melawan tiga orang! Suatu pertandingan yang amat hebat dan dahsyat dan dia masih ingat betapa Himalaya Sam Lojin terdesak oleh Tibet Ngo-houw yang lihai itu. Untung ketika itu muncul Pek Sim Sian-su dan juga sute dari kakek sakti itu, Koay Tojin yang aneh dan Tibet Ngo-houw dapat dikalahkan dan diusir.

Dan kini, dia seorang diri harus menghadapi pengeroyokan lima orang Lama yang amat lihai itu! Namun, dia sudah monerima gemblengan lahir batin dari Pek Sim Sian-su dan dia tidak merasa gentar sedikitpun juga.

‘Hemm, aku datang mewakili para tosu yang dimusuhi hanya untuk minta keterangan mengapa mereka yang tidak berdosa itu dimusuhi, dan ternyata sekarang Tibet Ngo-houw juga berusaha keras untuk mengeroyok aku! Apakah inipun termasuk perintah Yang Mulia Dalai Lama? Ataukah nama beliau itu hanya kalian pergunakan untuk menjatuhkan nama Dalai Lama? Bukankah ini juga merupakan suatu muslihat dalam pemberontakan kalian terhadap Dalai Lama? Sungguh bagus sekali!! Sie Liong berkata. Karena maklum bahwa dia telah masuk sarang harimau dan tidak dapat mengharapkan lolos, maka diapun tidak menyembunyikan perasaan dan dugaannya.

Ucapan ini membuat lima orang pendeta Lama itu saling pandang dan tentu saja mereka merasa betapa janggalnya dan memalukan keadaan mereka di saat itu. Lima orang datuk besar persilatan yang namanya sudah menjulang tinggi, lima orang kakek sakti yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun dengan senjata-senjata pusaka andalan mereka di tangan, kini mengepung seorang pemuda yang cacat tubuhnya, bongkok dan hanya memegang senjata sebatang tongkat kayu pula!

Betapa memalukan keadaan ini. Akan tetapi mereka berada di sarang sendiri, tidak ada orang luar yang menyaksikan peristiwa memalukan itu. Yang hadir di situ hanyalah para rekan mereka, yaitu Kin Sim Lama, yang tentu maklum bahwa mereka harus maju bersama menghadapi musuh yang demikian lihainya, meskipun masih amat muda dan bongkok pula. Betapapun juga, ucapan Sie Liong tadi menyentuh perasaan harga diri mereka dan kini mereka berdiri berjajar, tidak lagi mengepung. Hal ini mereka lakukan atas isyarat Thay Ku Lama orang pertama di antara mereka.

Mereka hendak menggunakan tenaga gabungan mereka untuk mengalahkan Sie Liong sehingga tidak akan kelihatan terlalu mengepung dan mengeroyok! Mereka berdiri berjajar sambil bergandeng tangan, Thay Ku Lama di ujung kanan sebagai kepala dan Thay Si Lama di sebelah kiri paling ujung sebagai ekor. Mereka membentuk suatu barisan yang mereka ciptakan sendiri dan nama barisan ini adalah Siang-thouw-coa (Ular Berkepala Dua). Memang barisan atau ‘tin! ini mirip garakan ular yang berkepala dua. Mereka berlima dengan bergandeng tangan menghadapi lawan dengan gerakan melingkar-lingkar dan meliuk-liuk dan yang menjadi penyerang utama hanyalah sang kepala dan sang ekor yang keduanya dapat berganti tempat. Jadi penyerang utama hanya Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, sedangkan tiga orang Lama yang lain, karena kedua tangan mereka bergandeng untuk menyambung barisan itu, hanya membantu dengan tendangan-tendangan saja.

Menghadapi lima orang lawan yang sudah menyimpan senjata masing-masing dan kini bergandeng tangan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama sakti yang amat berbahaya, lihai dan licik sekali. Maka, dia pun menduga bahwa mereka tentu akan mempergunakan suatu cara penyerangan yang istinewa, dan melihat cara mereka bergandeng tangan, diapun dapat menduga bahwa ini tentu semacam tin (barisan) dan cara bergandeng tangan itu menunjukkan bahwa mereka berlima tentu akan menyatukan tenaga sin-kang mereka. Ini berbahaya bukan main. Menghadapi mereka itu satu lawan satu, mungkin dia masih dapat menandingi kekuatan sin-kang mereka, bahkan mengatasi mereka. Akan tetapi kalau tenaga sin-kang mereka berlima disatukan, dia harus berhati-hati sekali, terutama kalau hendak mengadu tangan!

‘Sie Liong, bocah sombong! Hendak kami lihat apakah engkau mampu menandingi barisan kami!! teriak Thay Ku Lama dan ‘barisan! lima orang ini mulai bergerak, melenggang-lenggok dan seperti ular berjalan mengelilingi Sie Liong! Thay Ku Lama berada paling depan sebagai kepala dan Thay Si Lama paling belakang sebagai ekor. Melihat lima orang pendeta Lama ini berjalan beriringan sambil bergandeng tangan seperti itu, sungguh merupakan penglihatan yang aneh dan lucu, seperti melihat lima orang anak kecil bermain-main saja.

Akan tetapi Sie Liong sama sekali tidak menganggap demikian. Dia tetap waspada, melintangkan tongkatnya di depan dada dan pandang matanya, juga pandengaran telinganya, tak pernah melepaskan gerakan lima orang lawan itu. Ketika lima orang itu mengelilinginya, dia tidak ikut memutar-mutar tubuh, hanya lenernya saja bergerak perlahan mengikuti mereka dan setelah mereka tiba di belakang tubuhnya, diapun memutar leher dari arah lain dan mengikuti gerakan mereka lagi hanya dengan menggerakkan leher. Tak pernah dia menggeser kaki yang selalu siap bergerak dengan sikap bertahan dan menjaga diri.

Pancingan pertama ini saja sudah tidak berhasil. Tadinya, Siang-thouw Coa-tin (Barisan Ular Kepala Dua) ini mengelilingi lawan memancing agar lawan ikut pula berputar. Kalau lawan melakukan ini, mereka akan berlari cepat mengelilinginya, memaksa lawan berputar demikian cepat dan dengan mengubah-ubah arah, berbalik-balik, maka lawan yang berputaran di dalam lingkaran mereka tentu akan menjadi bingung dan juga pening sehingga kedudukannya menjadi lemah. Namun, Pendekar Bongkok itu tidak mau memutar tubuh, hanya mengikuti gerakan mereka dengan leher saja. Kalau dilanjutkan seperti itu, bukan Pendekar Bongkok yang menjadi bingung, pening dan lelah, melainkan mereka sendiri.

Gerakan Siang-thouw Coa-tin itu kini berubah, mereka masih mengitari Sie Liong akan tetapi berganti arah, yang tadinya ekor menjadi kepala dan kepala menjadi ekor. Berubah lagi beberapa kali, kemudian, atas isyarat Thay Ku Lama yang melihat pemuda itu tidak terpancing dan tenang saja, Thay Si Lama melakukan penyerangan pertama. Tangan kirinya bergandeng dengan tangan Thay Pek Lama, kini dia mempergunakan tangan kanan untuk menghantam ke arah kepala Sie Liong.

‘Wuuuuuuttt....!! Sie Liong cepat mengelak karena dia merasa betapa pukulan itu mengandung angin pukulan yang amat dahsyat. Ketika pukulan itu melewati atas kepalanya, tiba-tiba barisan itu membalik dan kini ‘ekornya!, yaitu Thay Ku Lama sudah berganti kedudukan menjadi kepala dan tangan kiri orang pertama dari Tibet Ngo-houw ini sudah mencengkeram ke arah dada Sie Liong! Cepat dan tidak terduga sekali gerakan ini sehingga Sie Liong terkejut.

Dia cepat membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik.

‘Brettt....!! Ujung baju di dada Sie Liong tersentuh cengkeraman tangan kiri Thay Ku Lama dan terbukalah lubang di baju bagian dada itu, dan bekas robekan menjadi hangus!

Sambil melompat menjauhi, Sie Liong yakin bahwa dugaannya benar. Lima orang itu menyatukan tenaga sin-kang dan dia seolah menghadapi seorang lawan yang memiliki kekuatan sin-kang yang amat hebat. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berpikir banyak karena pada saat itu, Siang-thouw Coa-tin telah bergerak lagi dan dengan dahsyat dan cepatnya, juga dengan cara yang aneh dan tidak dapat diduga sebelumnya, menyerangnya dengan hantaman-hantaman tangan yang mengandung sin-kang amat kuat.

Sukar diduga siapa yang akan menyerangnya, Thay Ku Lama ataukah Thay Si Lama. Namun, Sie Liong sudah cepat mempergunakan langkah-langkah ajaib yang pernah dilatihnya dari Pek Sim Sian-su. Langkah-langkah yang menjadi dasar dari Thian-te Sin-tung dan yang membuat tubuhnya berkelebatan bagaikan bayang-bayang saja dan biarpun dia terdesak hebat, namun sampai belasan jurus lamanya, belum pernah ada pukulan lawan yang mampu menyerempetnya lagi.

Setelah dua puluh jurus dia selalu mengelak sambil memperhatikan gerakan barisan lima orang itu, akhirnya diapun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan Ular Kepala Dua adalah karena dua orang yang berada di kedua ujung itulah yang menyerangnya secara bergantian, dan mereka itulah kepala dan ekor, akan tetapi ekor dapat pula menjadi kepala dan sebaliknya. Justeru perubahan tiba-tiba inilah yang membingungkan lawan.

Dan diapun melihat betapa tiga orang pendeta Lama lainnya yang menjadi penghubung dan penyalur tenaga sin-kang yang disatukan, tidak dapat banyak berbuat sebagai penyerang karena kedua tangan mereka saling gandeng. Hanya kadang-kadang saja tiga orang ini membantu dengan tendangan kaki, akan tetapi karena tubuh mereka tidak bebas, dengan kedua tangan saling bergandengan itu mereka seperti terikat oleh barisan, maka tendangan mereka itu pun tldak banyak artinya bagi Sie Liong. Dan pemuda yang cerdik inipun menemukan suatu kenyataan yang memberi harapan, yaitu bahwa di bagian ‘tubuh! atau tengah yang dimainkan tiga orang inilah bagian barisan itu yang paling lemah!

‘Yaaaaattt....!! Thay Ku Lama sudah menyerang lagi dengan hantaman telapak tangan terbuka ke arah dada Sie Liong ketika pemuda itu membalik dari elakan serangan sebelumnya. Bukan main kerasnya angin pukulan itu. Sie Liong yang sudah membuat perhitungan matang, lalu menggerakkan kedua tangan pula untuk menyambut pukulan itu dari jarak dua meter. Dia tentu saja tidak berani menyambut langsung, maklum betapa hebatnya tenaga gin-kang yang mendorong pukulan itu. Akan tetapi dalam jarak dua meter, dia berani mengambil resiko karena tidak terlalu berbahaya. Dia juga mengerahkan sin-kang yang lemas, tidak mau mengadu keras lawan keras karena tenaga sin-kang jelas jauh kalau dibandingkan tenaga lawan yang disatukan itu, jauh kalah.

‘Desss....!! Dua pasang tangan itu tidak sampai bertemu, tidak saling sentuh, akan tetapi tenaga sin-kang yang menyambar sebagai kekuatan dahsyat itu telah saling bertemu dan bertumbuk di udara. Akibatnya hebat bukan main. Sie Liong merasa seperti didorong oleh angin taufan dan diapun terlempar! Namun, dia sudah memperhitungkan sehingga dia membiarkan dirinya terjatuh ke atas tanah lalu dia bergulingan. Dengan cepat tubuhnya berguling-guling ke sana-sini sehingga mematahkan tenaga luncuran sambil memperhatikan keadaan barisan lawan. Seperti yang diduganya, lima orang Tibet Ngo-houw itu mengira bahwa dia tentu terluka, dan mereka itu sudah datang menghampiri dengan cepat, dengan gerakan lenggak-lenggpk seperti seekor ular.

Tiba-tiba Sie Liong yang bergulingan itu tubuhnya menyambut dan setelah cukup dekat, dia meloncat dan mengeluarkan suara melengking nyaring, tongkatnya bergerak-gerak sehingga ujungnya menjadi banyak dan diseranglah tiga orang yang berada di tengah-tengah!

Serangan yang tiba-tiba ini membuat Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang berada di tengah-tengah terkejut bukan main. Juga Thay Ku Lama dan Thay Si Lama yang menjadi kepala dan ekor barisan itu terkejut. Mereka tadi salah perhitungan. Mereka mengira bahwa Sie Liong terluka.

Sungguh tak mereka sangka kini pemuda itu bahkan menyerang dengan hebat ke arah bagian barisan yang lemah. Tiga orang sute mereka itu hanya mampu membantu dengan penyaluran tenaga, sama sekali tidak dapat menangkis atau mengelak karena mereka itu seperti terkait dan terjepit! Padahal, serangan tongkat di tangan pemuda bongkok itu dahsyat bukan main karena dia memainkan jurus-jurus Thian-te Sin-tung!

‘Lepaskan ikatan!! bentak Thay Ku Lama yang melihat betapa tiga orang sutenya terancam bahaya maut oleh tongkat kayu yang digerakkan secara lihai sekali itu.

Terlepaslah tangan mereka yang bergandengan dan kini tiga orang pendeta Lama yang diserang itu dapat menggunakan kaki tangan mereka untuk membela diri. Merekapun segera bargerak, ada yang mengelak dan ada yang menangkis. Namun, gerakan mereka malepaskan diri dari ikatan barisan tadi terlambat sedikit dan akibatnya, Thay Pek Lama terjengkang dengan pundak tertotok ujung tongkat, Thay Hok Lama juga terpelanting karena kakinya menjadi lumpuh sebelah ketika ujung tongkat singgah di lutut kirinya, sedangkan Thay Bo Lama terhuyung ke belakang, dadanya kena didorong tangan kiri Sie Liong sehingga terasa napasnya sesak dan dadanya nyeri.

Masih untung bagi tiga orang pendeta Lama itu bahwa Sie Liong hanya berniat menghancurkan Siang-thouw Coa-tin itu saja, tidak berniat membunuh sehingga baik tongkat maupun tangan kirinya, menyerang dengan tenaga yang terbatas. Bagaimanapun juga, jelas bahwa barisan itu dapat dia pecahkan dan kini lima orang pendeta Lama itu berdiri dengan muka berubah merah karena malu dan marah. Tiga orang pendata Lama yang tadi terkena serangan, juga sudah dapat memulihkan tenaga dan mereka sudah menyambar senjata masing-masing, seperti juga yang dilakukan Thay Ku Lama dan Thay Si Lama!

Melihat ini, Sie Liong menjura. ‘Apakah ucapan Tibet Ngo-houw tidak dapat dipercaya lagi? Aku sudah menandingi barisanmu dan berhasil memecahkannya, kenapa kalian malah mengeluarkan senjata?!

‘Pendekar Bongkok, apakah engkau takut?! Thay Ku Lama bertanya dengan suara mengejek, juga empat orang sutenya mengeluarkan suara mengejek, semua ini tentu saja untuk menghibur atau menutupi kekalahannya tadi yang membuat mereka merasa malu, penasaran dan marah.

Mendengar ini, tiba-tiba saja Sie Liong menekuk punggungnya yang bongkok ke belakang dan dia menengadah, memandang langit-langit ruangan yang luas itu dan diapun mengeluarkan suara ketawa yang membuat semua orang di situ terkejut dan tercengang. Suara ketawa itu amat nyaring melengking, akan tetapi juga bergelak dan gemuruh seperti gelombang, mendatangkan getaran dahsyat yang seolah-olah akan meruntuhkan bangunan ruangan itu!

Bahkan Kim Sim Lama sendiri memandang kagum. Belum pernah selamanya dia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini, yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali! Bukan hanya hebat ilmu kepandaiannya, akan tetapi juga luar biasa sekali tabah dan beraninya! Seorang diri memasuki sarangnya dan menyambut tantangan Tibet Ngo-houw! Sungguh hampir tak masuk akal dan sukar dipercaya! Kehebatan Sie Liong ini saja sudah mendatangkan perasaan sayang di dalam hatinya dan betapa akan senangnya kalau dia dapat mempunyai seorang pendukung atau pembantu seperti pemuda bongkok itu!

‘Ha-ha-ha-ha-ha!! Sie Liong menghentikan ketawanya yang bergelombang dan bergemuruh tadi, lalu menudingkan tongkatnya ke arah muka Tibet Ngo-houw dan suaranya terdengar tidak seperti tadi, lemah lembut, melainkan tegas dan berani penuh kekuatan dan kegagahan. ‘Tibet Ngo-houw, bukan aku yang takut, melainkan kalian! Buktinya kalian mengeroyok aku! Seorang seperti aku ini, apa artinya takut? Aku seorang sebatangkara yang tidak memiliki apa-apa, tubuhpun cacat, dan kematian bagiku hanya kembali ke tempat yang jauh lebih baik daripada di dunia yang penuh kekotoran dan manusia busuk macam kalian ini! Bagiku, yang ada hanyalah berpegang kepada kebenaran dan keadilan. Demi kebenaran dan keadilan, matipun tidak apa-apa!

Kematian hanya pulang dan kembali kepada sumber kebenaran dan keadilan! Sebaliknya, kalian ini biarpun berpakaian pendeta, selalu menuruti nafsu angkara murka, menjadi setan sehingga kalian takut mati, karena kematian kalian akan menyeret kalian kepada kerajaan setan dan iblis!!

Seperti juga suara ketawanya tadi, kini ucapannya itu membuat banyak orang di situ merasa panas dingin dan bulu tengkuk mereka meremang. Akan tetapi, Tibet Ngo-houw yang sudah merasa malu dan penasaran, tidak memperdulikan semua itu dan atas isyarat Thay Ku Lama, mereka sudah bergerak mengepung dengan senjata masing-masing di tangan Sie Liong berada di tengah-tengah dan diapun sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kalau dia dikeroyok dengan pengepungan seperti ini, akan rugilah dia kalau hanya mempertahankan diri saja. Kalau sampai dia terdesak, akan sukarlah meloloskan diri dari kepungan, sukar untuk membalas serangan lawan yang tentu bertubi-tubi datangnya. Oleh karena itu, diapun mengambil keputusan untuk mendahului lawan dan mengambil sikap menyerang dan mengamuk!

Tiba-tiba dia mengeluarkan lengkingan dahsyat dan tubuhnya bergerak ke kiri. Pemuda bongkok itu sudah menyerang Thay Bo Lama yang berada di sebelah kirinya. Karena dia menggunakan jurus dari ilmu tongkat Thian-te Sin-tung, tentu saja serangannya itu hebat bukan main. Thay Bo Lama menggerakkan tombaknya menangkis, dan Thay Hok Lama yang berada di sampingnya juga mengayun rantai baja untuk melindungi sutenya, juga untuk menyerang Sie Liong! Namun, begitu serangannya gagal, Sie Liong tidak membiarkan dirinya diserang. Serangan Thay Hok Lama itu dia hindarkan dengan loncatan ke kanan dan dia sudah menotokkan ujung tongkatnya ke arah leher Thay Si Lama.

‘Tar-tar-tarrrr!! Thay Si Lama menggerakkan cambuknya meledak-ledak ketika ujung tongkat di tangan Sie Liong itu bagaikan seekor lalat menyambar-nyambar ke arah lehernya. Dia tahu betapa hebatnya totokan itu kalau mengenai sasaran, maka dengan sibuk diapun melindungi dirinya dengan putaran cambuk. Sementara itu, Thay Pek Lama juga menggerakkan siang-kiam (sepasang pedang) untuk membantu suhengnya dan membalas serangan Sie Liong.

Ketika pedang itu menyambar pinggang dan leher, Sie Liong melempar tubuh ke bawah dan bergulingan ke arah Thay Ku Lama. Begitu melompat, tongkatnya sudah menyerang dengan tusukan ke perut orang pertama Tibet Ngo-houw itu! Lama ini cepat memutar golok menjaga dirinya. Akan tetapi Sie Liong sudah membalik ke belakang lagi untuk menyerang Thay Hok Lama!

Amukan Sie Liong itu mangejutkan Tibet Ngo-houw. Gerakan pemuda itu demikian cepat, membagi-bagi serangan sehingga mereka tidak sempat menyusun kekuatan untuk mengepung dan menghimpit. Melihat ini, dengan muka merah dan hati panas sekali Thay Ku Lama berseru nyaring.

‘Ngo-heng-tin (barisan lima unsur)!!

Mendengar bentakan ini, para sutenya sadar dan mereka segera berlompatan menjauhi Sie Liong dan membuat berisan segi lima! Dan merekapun mulai bergerak mengelilingi Sie Liong, semakin lama semakin cepat dan lingkaran yang mereka buat itu semakin sempit. Sie Liong tidak berani lagi menyerang seperti tadi karena maklum bahwa begitu dia menyerang seorang di antara mereka, yang empat orang akan menubruk dan menyerangnya dari empat jurusan secara berbareng!

Dia pernah mendengar dari Pek Sim Sian-su tentang beberapa tin (barisan) dan Ngo-heng-tin merupakan barisan yang berbahaya, apalagi karena lima orang anggautanya mempergunakan lima macam senjata sehingga sukar sekali diduga gerakan dan corak penyerangan mereka. Akan tetapi diapun teringat pelajaran yang diberikan oleh para gurunya. Antara lain Pek Sim Sian-su pernah menceritakan sifat dan kehebatan Ngo-heng-tin. ‘Dalam Ngo-heng-tin terdapat unsur Im-yang pula, demikian kata kakek sakti itu. Lima unsur itu saling bantu, sehingga kalau ada seorang anggauta diserang, selain dia sendiri dapat membela diri, juga ada anggauta lainnya yang melindunginya, sedangkan tiga orang lainnya tentu akan membarengi saat itu untuk menghantam lawan. Memang kalau lima orang anggauta Ngo-heng-tin itu memiliki tenaga dan kepandainn yang setingkat denganmu, amat sukarlah mengalahkan mereka. Akan tetapi, dengan Thian-te Sin-tung dan langkah-langkah ajaib, tentu engkau akan dapat mempertahankan diri. Kalau engkau bisa memecahkan unsur yang paling membantu itu, baru engkau akan dapat mengacaukan pertahanan mereka. Usahakan agar engkau mengenal siapa di antara mereka itu yang saling melindungi, siapa yang memegang unsur air, api, kayu, tanah dan angin.! Demikianlah petunjuk yang diperolehnya dari Pek Sim Sian-su.

Terdengar seruan keras ketika Thay Ku Lama membuka serangan pertama! Golok di tangannya itu mula-mula diacungkan ke atas, dan kedua kaki pendeta yang bertubuh gemuk dengan perut gendut itu ditekuk sehingga tubuhnya hampir berjongkok. Dari perutnya berbunyi suara berkokokan seperti suara katak besar dan perut yang gendut itu bergoyang-goyang, kemudian tubuhnya meloncat ke depan dan tangan kirinya dengan jari terbuka mendorong ke arah Sie Liong. Uap hitam disertai angin keras menyambar ke arah Sie Liong. Itulah pukulan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Angin Taufan Awan Hitam) yang amat berbahaya. Sie Liong mengenal pukulan ampuh, maka diapun melempar tubuh ke kiri sehingga angin pukulan itu lewat. Ketika sinar golok di tangan kanan Thay Ku Lama menyambar, dia menggerakkan tongkatnya menangkis, lalu membalas dengan totokan-totokan ke arah tujuh jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan!

Menghadapi jurus hebat dari Thian-te Sin-tung ini yang membuat dirinya terancam maut oleh totokan-totokan, Thay Ku Lama menjadi sibuk dan cepat memutar goloknya untuk melindungi tubuhnya. Thay Si Lama cepat sekali memutar cambuknya, selain melindungi sehengnya, juga ujung cambuk itu berusaha membelit tongkat untuk merampasnya!

Sie Liong mulai merasakan keampuhan barisan Ngo-heng-tin. Dengan otomatis, ketika Thay Ku Lama diserangnya, Thay Si Lama sudah berada di situ, melindunginya dan ikut pula menyerangnya.

Dia meloncat tinggi melewati tubuh para pengepungnya dan tiba di belakang Thay Hok Lama, akan tetapi begitu lima orang pengeroyoknya membuat gerakan berlari dan berlompatan, dirinya sudah dikepung lagi oleh barisan segi lima itu. Dia cepat menubruk ke depan, menggerakkan pedangnya yang mula-mula menusuk ke arah sepasang mata Thay Pok Lama, kemudian ujung tongkat digetarkan untak menghantam leher dan ubun-ubun secara bergantian. Thay Hok Lama cepat mengeluarkan sepasang pedangnya menangkis, dan pada saat itu, secara otomatis pula Thay Hok Lama sudah menggunakan rantai bajanya melindungi Thay Pek Lama. Dan kedua orang pendeta Lama ini bergabung dan menyerang Sie Liong.

Setelah mencoba untuk mengamuk beberapa belas jurus lamanya, tehulah Sie Liong bahwa benar seperti dikatakan gurunya, lima orang itu saling melindungi. Dia lalu mencari mata rantai yang tidak bersambung dalam barisan itu. Tiba-tiba dia menyerang Thay Si Lama dengan hebatnya. Dia tahu bahwa tentu Thay Pek Lama yang akan melindungi suhengnya itu. Dan benar saja, Thay Pek Lama secara otomatis telah melindungi Thay Si Lama, akan tetapi ketika mereka berdua hendak membalas serangan Sie Liong, pemuda itu telah membalik secara tiba-tiba dan diapun sudah menyerang Thay Bo Lama!

Dia sudah memperhitungkan bahwa tentu Thay Ku Lama yang akan melindungi orang termuda dari Tibet Ngo-houw itu. Ketika Thay Ku Lama bergerak, diapun menarik kembali serangannya dan tiba-tiba dia menyerang Thay Hok Lama si mata satu! Serangannya sekali ini hebat bukan main, karena selain tongkatnya membuat serangan tusukan beruntun yang dahsyat, juga tangan kirinya dengan tenaga sin-kang sepenuhnya melakukan hantaman dengan ilmu Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung), ilmu pukulan sakti yang dia pelajari dari Hek Bin Tosu.

Thay Hok Lama terkejut bukan main dan memutar rantai melindungi dirinya. Dia mengharapkan perlindungan Thay Bo Lama seperti telah menjadi bagian masing-masing dalam barisan itu, namun baru saja Thay Bo Lama bergerak mundur karena desakan Sie Liong yang ternyata hanya pura-pura itu, maka sekali ini, Thay Hok Lama harus melinduagi diri sendiri dan tidak mempunyai pelindung lain. Akan tetapi, serangan Sie Liong itu terlampau hebat. Dia mampu monangkis tongkat, akan tetapi tidak mampu manghindarkan diri sama sekali dari tangan kiri Pendekar Bongkok yang memukulnya. Namun dia masih berusaha menangkis dangan tangan kirinya.

‘Desss....!! Tubuh Thay Hok Lama terpelanting keras dan terbanting sampai terguling-guling.

Tentu saja para Lama yang lain menjadl terkejut bukan main. Tak pernah mereka bermimpi bahwa Ngo-heng-tin akan dapat dipecahkan sedemikian mudahnya oleh Pendekar Bongkok sehingga belum lewat tiga puluh jurus saja seorang dari mereka sudah roboh!

Tiba-tiba nampak bayangan merah berkelebat dan tahu-tahu Kim Sim Lama yang memegang sebatang tongkat pendeta telah berada di tempat di mana tadi Thay Bo Lama berdiri.

‘Ngo-seng-tin (Barisan Lima Bintang)!! serunya dengan suaranya yang lembut namun berwibawa. Empat orang Lama itupun bergerak dan dipimpin oleh Kim Sim Lama sendiri, mereka membentuk barisan Bintang Lima yang gerakannya aneh namun cepat, seperti bintang yang berkedap-kedip karena senjata mereka digerak-gerakkan berkilauan dan kedudukan mereka selalu berubah. Tiba-tiba mareka berlima itu menyerang dari lima penjuru! Sie Liong cepat memutar tongkatnya melindungi diri, dan tangan kirinya mendorong dengan pukulan yang dia ubah-ubah pula untuk membingungkan para pengeroyoknya. Tongkatnya membentuk benteng yang amat kuat sehingga semua senjata terpental kalau hendak menerobos ke dalam lingkaran benteng sinar itu. Hanya tongkat di tangan Kim Sim Lama saja yang mampu membuat Sie Liong merasakan lengannya terguncang hebat dan kedudukan kakinya terhuyung.

‘Trakkk!! Pertemuan antara tongkat di tangan Sie Liong dan tongkat pendeta berkepala naga yang besar di tangan Kim Sim Lama amatlah hebatnya. Bukan saja Sie Liong tergetar, juga Kim Sim Lama tercengang dan jelas nampak betapa wajahnya dibayangi kekaguman dan keheranan karena dia mendapatkan kenyataan bahwa pemuda itu mampu menandingi kekuatan sing-kangnya!

Sie Liong tidak membiarkan dirinya dilanda kekagetan, melainkan cepat dia menghindarkan diri dari sambaran tombak Thay Bo Lama yang menusuk ke arah lehernya. Dia merendahkan dirinya dan tangan kirinya mendorong ke arah penyerangnya itu, cepat sekali.

‘Hyaaaattt....!! Hawa yang amat dingin menyambar ganas ke arah dada Thay Bo Lama. Ternyata Pendekar Bongkok telah mempergunakan Swat-liong-ciang (Tangan Naga Salju) yang dilatihnya dari Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin. Pukulan ini memang mengandung sin-kang yang berhawa dingin seolah-olah ada hawa salju yang menyambar ganas.

Thay Bo Lama terkejut dan menangkis dengan lengan kirinya pula.

‘Plakkk!! Dan akibatnya, tubuhnya terguling dan diapun menggigil kedinginan!

Saat itu dipergunakan oleh Thay Ku Lama untuk menyambarkan goloknya yang mengeluarkan suara berdesing! Sie Liong menundukkan mukanya dan menggerakkan tongkat menangkis. Pada saat yang sama, tongkat naga di tangan Kim Sim Lama kembali menyambar. Sie Liong yang maklum akan kehebatan pemimpin pemberontak ini, terpaksa menggunakan tongkat yang tadi membalik ketika menangkin golok Thay Ku Lama, untuk menghadapi sambaran tongkat naga Kim Sim Lama.

‘Dukkk!! Sekali ini, demikian kuatnya Kim Sim Lama menghantamkan tongkatnya, pula karena Sie Liong baru saja menangkis golok Thay Ku Lama sehingga tenaganyapun tidak sepenuhnya. Akibatnya Sie Liong terpelanting!

Kesempatan itu dipergunakan oleh Thay Si Lama untuk manghantamkan cambuknya ke arah kepala Sie Liong. Cambuk itu melecut dengan cepat seperti kilat menyambar! Sie Liong masih berhasil menggerakkan tongkatnya menangkis walaupun dia sudah terpelanting. Namun, ujung cambuk itu membelit tongkatnya dan terjadi tarik menarik. Sie Liong mengerahkan tenaga dan tangan kirinya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah Thay Si Lama. Thay Si Lama yang menguasai ilmu silat Sin-kun Hoat-lek, yaitu silat yang bukan saja mengandung tenaga sin-kang kuat, akan tetapi bahkan juga mengandung ilmu sihir itu, tidak gentar dan diapun menggerakkan telapak tangan kiri menyambut.

‘Desss....!! Hebat bukan main pertempuran dua telapak tangan dan akibatnya, tubuh Thay Si Lama terjengkang dan diapun muntah darah! Sie Liong sendiri juga terjengkang karena kedudukannya tadi tidak menguntungkan ketika dia mengadu tenaga dalam dengan Thay Si Lama. Kuda-kudanya tidak kokoh karena dia tadi dalam keadaan terpelanting dan terhuyung.

Pada saat dia terjengkang, ujung tongkat di tangan Kim Sim Lama menyambar dan menyentuh punggungnya. Sie Liong terkulai lemas dan roboh pingsan! Melihat betapa Thay Si Lama muntah darah, empat orang rekannya menjadi marah dan mereka sudah menggerakkan senjata untuk melumatkan tubuh Pendekar Bongkok.

‘Tahan!! Kim Sim Lama berseru dan tongkatnya diputar melindungi tubuh Sie Liong. Lima orang Harimau Tibet itu kini memandang heran kepada pemimpin mereka. Bahkan Thay Si Lama yang mengusap darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.

‘Maaf, susiok (paman guru), akan tetapi Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah selayaknya kalau dia dibunuh!! katanya dengan nada tidak senang.

‘Hemm, kalian ini sudah berpengalaman luas, mengapa masih berpandangan picik dan masih mudah dipengaruhi kemarahan dan dendam? Yang penting bagi kita adalah langkah yang kita perhitungkan, langkah yang pasti akan menguntungkan usaha kita! Kalau dia kalian bunuh, lalu apa untungnya? Boleh jadi dia lihai, akan tetapi tidak cukup lihai untuk membuat kita gentar. Pula, apa artinya dia seorang diri saja menghadapi kita? Sebaliknya, kalau dia tidak dibunuh, banyak pilihan bagi kita untuk memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan sebesarnya.!

Lima orang pendeta Lama itu memandang penuh perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para sutenya bertanya, ‘Susiok, manfaat apa yang dapat kita ambil dari bocah bongkok ini?!

‘Ha-ha-ha-ha! Nah, kalian lihatlah,! katanya kepada belasan orang pembantu utamanya.

‘Tanpa pimpinan pinceng, kalian sama seperti sekumpulan gajah kehilangan pembimbing. Biarpun kalian kuat, kelau tidak pandai mempergunakan akal, tidak akan ada gunanya dan tidak akan mencapai jauh! Dengarlah. Kita semua telah melihat bahwa bocah ini, biarpun masih muda dan tubuhnya bongkok, namun dia telah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat dan kiranya hanya pinceng seorang saja yang akan mampu menandinginya. Kalian semua, kalau maju satu lawan satu, bukanlah tandingannya! Nah, kalian tentu tahu betapa akan baik dan menguntungkan sekali bagi kita kalau saja dia mau membantu gerakan kita.!

‘Akan tetapi, susiok! Dia adalah murid Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim Sian-su. Dia musuh kita dan mana mungkin dia mau membantu gerakan kita?! Thay Si Lama mencela.

‘Bagaimana kalau kita mempergunakan sihir agar dia kehilangan ingatan dan suka membantu kita?! kata Thay Hok Lama.

Kim Sim Lama menggeleng kepalanya. ‘Memang benar bahwa kiranya takkan mungkin dia membantu kita, dan penggunaan sihirpun tidak ada artinya bagi seorang yang sudah memiliki sin-kang sekuat itu.!

‘Pinceng dapat membuatkan racun perampas ingatan....! kata pula Thay Hok Lama si ahli racun.

Kim Sim Lama tetap menggeleng kepalanya. ‘Biarpun dia sudah kehilangan ingatan, watak dasarnya tentu melarang dia untuk membantu kita. Dan apa artinya orang yang kehilangan ingatan untuk kita? Bahkan dia akan dapat menimbulkan kekacauan karena ketololannya. Tidak, agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu perjuangan kita dengan tenaganya.!

‘Lalu untuk apa lagi, susiok?! Thay Pek Lama bertanya.

Kim Sim Lama tersenyum dan mukanya yang merah kekanak-kanakan itu kini kelihatan cerdik luar biasa. Matanya mencorong, berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek.

‘Kita dapat mempergunakan dia untuk memperuncing hubungan yang sudah memburuk antara Dalai Lama dan para tosu. Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh Dalai Lama, barulah kematiannya ada gunanya untuk kita.!

Lima orang Tibet Ngo-houw mengangguk-angguk dan merekapun melihat manfaat itu. ‘Akan tetapi, bagaimana caranya agar dia dapat terbunuh oleh Dalai Lama, atau agar para tosu menganggap kematiannya disebabkan oleh Dalai Lama?!

‘Tentu saja satu-satunya jalan adalah agar dia mati di dalam istana Dalai Lama di Lasha!! kata Kim Sim Lama.

‘Akan tetapi, bagaimana caranya menyelundupkan dia ke dalam istana?! tanya Thay Bo Lama.

Kim Sim Lama tersenyum lagi. ‘Tidak percuma pinceng menyebar orang-orang ke dalam Lasha. Biarlah kita menanti kesempatan yang baik. Sementara ini, kita tahan dia di dalam penjara lebih dulu.!

‘Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali, susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup di dalam penjara, bagaimana kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos dari dalam penjara?! Thay Ku Lama berseru khawatir.

‘Ha-ha-ha-ha, mengapa engkau begitu bodoh? Tentu saja kita harus membuat dia tidak berdaya lebih dahulu. Nah sekarang racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok Lama.!

Thay Hok Lama merasa girang karena dia dapat berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir pel hitam. ‘Ingatannya dihilangkan sama sekali ataukah untuk sementara, susiok?!

‘Maksudmu bagaimana?! tanya Kim Sim Lama.

‘Pinceng mempunyai dua butir pel racun perampas ingatan. Kalau diminumkan sebutir, maka dia akan kehilangan ingatan selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir sekaligus dimasukkan ke perutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya sehingga semua syaraf ingatan di kepalanya akan hangus dan diapun akan kehilangan ingatan untuk selamanya.! Thay Hok Lama tertawa gembira karena bangga akan keahliannya tentang racun.

‘Berikan sebutir saja. Mungkin kita memerlukan dia dalam keadaan sadar dan setelah sebulan, kalau perlu, kita bisa meminumkannya sebutir lagi.!

Thay Hok Lama menghampiri tubuh Sie Liong yang masih pingsan, menotok lehernya sehingga dengan mudah dia membukakan mulut pemuda itu dan memaksakan sebutir pel ke dalam kerongkongannya. Dengan arak yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu memasuki perut Sie Liong tanpa diketahui pemuda yang masih pingsan itu.

‘Ha-ha-ha, setelah siuman dia sudah akan lupa segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami lempar dia di dalam kamar tahanan?! tanya Thay Hok Lama.

‘Nanti dulu! Biarpun ingatannya hilang, kalau tenaganya masih demikian kuat dan nalurinya masih membuat dia mampu bersilat, hal itu tetap saja membahayakan.!

‘Jangan khawatir, susiok. Pinceng mempunyai racun lain yang akan meracuni darahnya sehingga kalau dia mengerahkan sin-kangnya dia akan roboh sendiri,! kata Thay Hok Lama dan kembali dia mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan ke dalam perut Sie Liong melalui mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang berpintu besi.

‘Ha-ha-ha, dalam keadaannya seperti itu, dia tidak berbahaya lagi, seperti orang biasa saja. Tidak perlu kita sendiri yang berjaga, cukup dijaga anak buah saja,! kata Thay Hok Lama dan demikianlah, Sie Liong dilempar ke dalam kamar tahanan dan pemuda itu menggeletak pingsan di atas lantai kamar yang dingin itu. Lima orang Tibet Ngo-houw meninggalkan kamar itu setelah menyuruh enam orang penjaga berjaga di luar pintu besi dengan senjata di tangan. Tidak perlu dijagapun, pemuda yang sudah makan dua macam obat beracun itu takkan mampu membebaskan diri dari dalam kamar penjara!

***

Bayangan itu berkelebat cepat sekali meninggalkan wuwungan rumah penginapan. Bulan sepotong sudah naik tinggi dan sinarnya yang remang-remang menyinari muka orang yang berkelebat turun dari wuwungan genteng rumah penginapan itu. Dia seorang pemuda tampan sekali, dengan wajahnya yang bulat bersih dan sepasang alis yang hitam lebat, hidungnya mancung dan matanya mencorong, mulutnya selalu tersenyum memikat dan pakaiannya mewah dan bersih. Dia tersenyum-senyum ketika berhenti di kebun rumah penginapan itu, menoleh ke arah kamarnya yang berada di bagian tengah.

‘Selamat tidur, suci yang manis,! bisiknya sambil tersenyum. Pemuda ini adalah Coa Bong Gan, murid ke dua Koay Tojin yang melakukan perjalanan bersama sucinya, Yauw Bi Sian ke Lasha untuk mencari Pendekar Bongkok Sie Liong. Seperti telah diceritdkan di bagian depan, mereka memasuki kota Lasha dan di kota ini mereka berhasil mendapat keterangan tentang Pendekar Bongkok yang kabarnya akan melakukan penyelidikan ke sarang Kim-sim-pai daerah Telaga Yam-so.

Tentu saja Bi Sian segera akan melakukan pengejaran ke sana, akan tetapi Bong Gan mencegahnya, mengingatkan bahwa mereka harus lebih dulu menyelidiki Kim-sim-pai yang amat ditakuti penduduk dan di mana adanya sarang perkumpulan yang akan didatangi Sie Liong itu. Selain alasan ini, juga ada alasan rahasia yang membuat Bong Gan menahan sucinya agar jangan hari itu juga pergi meninggalkan Lasha!

Tadi, di rumah makan, dia bertemu dengan seorang wanita yang demikian cantik manis sehingga membuat hatinya jungkir balik! Yang membuat dia tergila-gila dan mengobarkan berahinya adalah ketika wanita yang cantik manis itu di rumah makan tadi jelas memberi tanda kepadanya dengan main mata! Kerling dan senyum wanita itu demikian memikatnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa dia tidak bertepuk tangan sebelah. Bukan dia saja yang bangkit berahinya, melainkan wanita itupun jelas tidak menyembunyikan perasaan hatinya yang tertarik kepadanya! Dia harus dapat bertemu dengan wanita itu, malam ini juga!

Sebelum dia dan sucinya meninggalkan Lasha, dia harus dapat mendekati wanita itu untuk mempererat hubungan, untuk berkenalan. Akan tetapi, setelah berhasil keluar dari rumah penginapan tanpa diketahui siapapun, dan sucinya tentu sudah tidur di kamar sebelah yang sudah gelap dan sunyi, dia menjadi bingung sendiri. Ke mana dia harus mencari wanita itu? Ada sesuatu pada wajah wanita itu yang amat menarik hatinya, yang secara mendadak saja menimbulkan gairah cintanya.

Tiba-tiba hidungnya kembang kempis. Keharuman mawar demikian menyolok hidungnya. Apakah kebun ini banyak bunga mawarnya? Akan tetapi ketika dia menoleh ke sekeliling, tidak ada pohon bunga mawar di situ. Akan tetapi keharuman itu demikian keras dan semakin keras lagi. Tiba-tiba ia merasa ada orang di belakang. Cepat dia memutar tubuhnya dan.... benar saja, dalam jarak lima meter dia melihat sesosok tubuh yang ramping. Akan tetapi, jarak itu terlampau jauh dalam keremangan itu untuk dapat mengenal mukanya. Hanya terdengar suara kekeh wanita dan orang itupun meloncat dan berkelebat pergi.

Seorang wanita! Cepat Bong Gan melakukan pengejaran. Dia makin heran dan kagum. Wanita itu sungguh memiliki ilmu berlari cepat yang hebat! Dia mengejar terus. Wanita itu melalui jalan-jalan sunyi dan setelah tiba di sebuah lapangan rumput dekat sungai kecil yang sunyi karena tempat itu merupakan pinggiran kota Lasha, dengan suara ketawa kecil masih terdengar, ia berhenti, seolah menanti.

Bong Gan meloncat ke depan wanita itu dan dia terpesona, terbelalak dan sejenak dia bengong. Wanita itu adalah wanita cantik manis yang membuatnya tergila-gila tadi! Betapa manisnya wajah yang bulat telur dengan dagu runcing itu. Kulit muka dan leher itu putih mulus, manisnya bukan main!

‘Hi-hik, kenapa engkau mengejarku?! terdengar suaranya yang merdu dan penuh godaan.

‘Karena aku tergila-gila kepadamu, nona. Pertemuan antara kita di rumah makan itu telah membuat aku jatuh cinta padamu, nona!! jawab Bong Gan yang masih belum hilang kekaguman dan keheranannya karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis cantik jelita yang membuatnya tergila-gila itu bukan wanita sembarangan saja, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu lari cepat yang agaknya tidak berada di bawah tingkatnya!

Wanita itu bukan lain adalah Pek Lan. Sebagai seorang yang mata keranjang dan gila pria ganteng, begitu bertemu dengan Bong Gan tentu saja ia sudah tertarik bukan main. Ia merasa betapa wajah pemuda ganteng itu tidak asing baginya, namun ia lupa lagi entah di mana pernah bertemu pemuda yang gagah dan ganteng itu. Sayang pemuda itu sudah mempunyai pasangan, seorang gadis yang demikian cantik. Akan tetapi justeru hal ini bahkan menimbulkan gairahnya, karena ia merasa ada saingan dan ia harus menang! Ia sudah bosan dengan permainan cinta Thai-yang Suhu yang biarpun masih tampan dan gagah, narnun sudah tua itu.

Malam itu, setelah ia tadi membayangi pemuda dan gadis itu dan mengetahui rumah penginapan mereka, ia lalu pergi mengunjungi rumah penginapan dan tanpa disangka-sangkanya, ia melihat bayangan melayang turun dari wuwungan rumah penginapan. Tentu saja ia terkejut dan heran, dan lebih besar lagi keheranannya ketika ia mengenal pemuda tampan yang digandrungi itulah bayangan yang amat gesit itu. Hatinya menjadi semakin bergairah. Kiranya seorang pemuda yang lihal! Ia semakin tertarik, dan ia lalu memancing pemuda itu keluar dari daerah ramai, menuju ke tempat sunyi di tepi sungai kecil yang mengalir di dekat tembok kota Lasha. Kini, mendengar pengakuan pemuda itu yang mengaku tergila-gila dan jatun cinta padanya, Pek Lan tertawa.

‘Aih, benarkah engkau jatuh cinta padaku? Kalau begitu, aku harus mengujimu dulu apakah engkau cukup gagah untuk dapat berdekatan dengan aku. Sambut seranganku ini!! Dan tiba-tiba Pek Lan sudah melakukan penyerangan dengan tangan kosong. Gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga kuat sehingga terdengar angin berdesir.

Timbul kegembiraan di hati Bong Gan. Kiranya bukan hanya pandai berlari cepat, pikirnya. Dia harus menunjukkan bahwa dia cukup jantan dan gagah untuk dapat ‘berdekatan! dengan wanita cantik yang menantang ini. Cepat diapun mengelak untuk menghindarkan serangan orang dan diapun membalas.

Tarnyata wanita itu memiliki gerakan yang gesit dan serangan Bong Gan dapat pula ia elakkan dengan cepat, kemudian ia melancarkan serangan bertubi-tubi yang membuat Bong Gan diam-diam menjadi semakin kagum. Kalau tadinya dia masih tersenyum mengejek dan hendak main-main, kini dia tahu bahwa wanita itu sungguh lihai dan dia sama sekali tidak boleh memandang ringan! Segera dia mainkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu inti dari Koay Tojin.

Ilmu silat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong, atau dapat pula dengan pedang, namun pada intinya ilmu silat ini adalah ilmu silat tongkat yang disebut Ta-kwi Tung-hoat (Silat Tongkat Pemukul IbliS). Begitu dia memainkan ilmu silat ini, kedua tangannya merupakan sepasang tongkat yang ampuh sekali dan memiliki gerakan yang aneh sehingga Pek Lan beberapa kali mengeluarkan seruan kagum. Namun, biarpun agak terdesak, ia masih dapat mengindarkan semua rangkaian serangan lawan. Karena ia memang sudah tertarik kepada pemuda itu, maka ia tidak mau mengeluarkan ilmu pukulan yang amat dahsyat, yaitu Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).

‘Tahan dulu....!! serunya sambil melompat ke belakang.

Bong Gan berdiri dan tersenyum, merasa menang karena betapapum juga, dia tadi sudah berhasil mendesak lawan dengan ilmu silat Pemukul Iblis dan wanita itu yang minta berhenti.

Akan tetapi Pek Lan sudah mengeluarkan pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil tersenyum. Manis dan gagah sekali. ‘Aku sudah melihat ilmu silat tangan kosongmu dan merasa kagum. Akan tetapi aku belum melihat bagaimana kehebatanmu kalau bermain senjata. Nah, keluarkan senjatamu dan mari kita main-main sebentar. Sebelum berkenalan, aku ingin mengenal kepandaianmu lebih dulu.!

Ketika masih ikut Koay Tojin, baik Bong Gan maupun Bi Sian tidak pernah diperbolehkan menggunakan senjata tajam walaupun mereka diajar bermain ilmu tongkat Ta-kwi Tung-hoat yang dapat dimainkan dengan pedang. Bi Sian sendiri juga tidak pernah menggunakan pedang. Baru setelah ia mewarisi pedang Pek-lian-kiam dari ayahnya gadis itu membawa senjata tajam. Demikian pula Bong Gan hampir tidak pernah membawa senjata tajam karena kedua kaki tangannya saja sudah cukup ampuh untuk menghadapi lawan yang bersenjata sekalipun.

Dia tidak gentar menghadapi gadis yang berpedang itu dengan tangan kosong, akan tetapi sebagai seorang laki-laki gila perempuan yang sudah banyak mengenal wanita, Bong Gan maklum akan watak wanita yang pada umumnya suka disanjung, suka dimanja dan dihargai. Kalau kini dia maju dengan tangan kosong tentu wanita itu akan tersinggung dan merasa dipandang rendah. Hal ini sungguh akan merugikan dirinya.

Dia lalu mengambil sebatang ranting pohon sebesar lengannya, dan sambil melintangkan tongkat sepanjang hampir dua meter itu dia berkata, ‘Maaf, nona. Aku tidak pernah membawa senjata. Pula, kita adalah kenalan baru yang hendak mempererat hubungan, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata tajam melawanmu? Biarlah aku menggunakan tongkat ini saja.!

Pek Lan mengerutkan alisnya. ‘Engkau memandang rendah kepadaku?!

Bong Gan menahan senyumnya. Tepat seperti yang diduganya. Wanita ini tidak menyimpang dari watak wanita pada umumnya, tidak suka dipandang rendah dan ingin selalu dihargai. Maka diapun cepat berkata,

‘Aih, siapa berani memandang rendah kepadamu, nona? Dari pertandingan tangan kosong tadi saja aku tahu bahwa aku bukanlah tandinganmu! Apalagi kalau engkau berpedang, mana aku berani memandang rendah? Terus terang saja, satu-satunya senjata yang paling dapat kuandalkan adalah tongkat dan kalau ada tujuh belas macam senjata pilihan di sini, aku tetap akan memilih sebatang tongkat.!

Lenyap kerut di antara sepasang alis yang hitam panjang melengkung indah itu. ‘Bagus, kalau begitu, aku ingin melihat ilmu tongkatmu! Sambutlah pedangku ini!! Dan iapun menyerang dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar