Pendekar Pemanah Rajawali Bab-16 Gara-gara Sepatu Sulam Dan Jubah Salut Emas

Sia Tiaw Eng Hiong (Pendekar Pemanah Rajawali), BAB 16 GARA-GARA SEPATU SULAM DAN JUBAH SALUT EMAS
Anonim
Tiba-tiba Kwee Ceng sadar. Ia merasakan ada tangan yang lemas yang memegang tangannya. Ketika ia menoleh, dengan lantas ia lihat Oey Yong, yang setahu kapan telah turun dari lauwteng.

“Jangan pedulikan dengan mereka, mari kita naik pula ke lauwteng!” berkata ini sahabat baru.

“Mereka ini hendak merampas kudaku,” kata Kwee Ceng. “Setahu kenapa, mereka pada rubuh sendirinya….”

Meski ia mengucap demikian, Kwee Ceng menurut, ia memutar tubuhnya. Demikian juga si anak muda itu.

Justru mereka memutar tubuh, si pemuda tampan dan berpakaian mewah itu juga telah berada di depan, malah ia sudah lantas membungkuk akan melihat delapan pemudi yang menyamar sebagai pemuda-pemuda itu, kemudian ia mengawasi kedua anak muda itu, sinar matanya menandakan ia sangat heran.

Oey Yong tarik tangannya Kwee Ceng, untuk naik di tangga, kemudian sembari tertawa manis, ia tuangi air teh di cawannya pemuda itu.

“Toako, kudamu itu bagus sekali!” katanya memuji.

Kwee Ceng hendak sahuti sahabatnya ketika ini tatkala ia dengar ramai suara kelengan unta di depan rumah makan itu, ia pergi ke jendela diikuti Oey Yong, apabila mereka melongok ke bawah, mereka lihat delapan nona serba putih itu berlalu dengan unta mereka. Salah satu nona menoleh ke belakang, ia memandang Kwee Ceng, maka Kwee Ceng dapat melihat sinar matanya yang tajam, tanda dari kemurkaan, sepasang alisnya pun terbangun. Tiba-tiba saja ia ayun tangannya yang kanan, atas mana dua potong ginso menyambar ke loteng, ke arah pemuda ini.

Cepat-cepat Kwee Ceng cabuti kopiahnya, dengan niat menyambuti torak perak itu. Akan tetapi si pemuda tampan dan berpakaian mewah itu telah dului ia, dengan menyentil dua kali, ia melayangkan dua batang senjata rahasia yang bersinar emas berkilauan, lalu di antara dua kali suara tintong, ginso itu jatuh sendirinya, jatuh bareng bersama senjata penyerangnya. kedua kacung lantas pungut empat senjata rahasia itu, diserahkan kepada si pemuda, yang menyambuti seraya terus dikasih masuk ke dalam sakunya. Habis itu, ia lantas bertindak naik di tangga lauwteng, dia terus menghampirkan Kwee Ceng, di depan siapa ia berhenti, untuk terus segera memberi hormat sambil berjura.

“Aku mohon tanya she dan nama mulia dari toako,” ia minta.

Kwee Ceng cepat-cepat membalas hormat. “Siauwtee she Kwee, bernama Ceng,” ia menyahuti. “Kongcu ada pengajaran apakah?” lanjutnya.

“Apakah saudara Kwee datang dari pulau Tho Hoa To dari Tang-hay?” pemuda itu menaya. “Aku mohon tanya, ada urusan apakah saudara datang ke mari?”

Ditanya begitu, Kwee melengak. “Siauwtee datang dari gurun pasir utara,” ia menyahut. “Belum pernah siauwtee pergi ke pulau Tho Hoa To itu. Barusan kongcu membantu aku, aku sangat berterima kasih.”

Kongcu itu berkata: “Saudara Kwee tak hendak mengenalkan diri, nah di sini saja kita berpisahan, sampai nanti kita bertemu pula!” Lalu ia menjura dalam sekali.

Kwee Ceng lekas-lekas membalasi, di waktu mana ia merasakan sambaran angin. Kongcu itu telah mengibaskan tangannya, ujung tangan bajunya menjurus ke matanya.

Inilah Kwee Ceng tidak sangka. Sembari memberi hormat orang menyerang ia secara hebat sekali. Celaka kalau ia kena tersampok. Maka dengan lantas ia menunduk, untuk masuki kepalanya ke selangkangannya, guna terus lompat berjumpalitan. Meski begitu, pundaknya kena tersambar juga, hingga terbit satu suara nyaring dan ia merasakan sakit ngilu pada pundaknya itu. Karena ini, di waktu ia sudah taruh kakinya, ia kaget dan gusar dengan berbareng.

“Kau…kau….”

Tapi si kongcu pegat ia, sembari tertawa, ia kata, “Aku cuma mencoba ilmu kepandaianmu, saudara Kwee. Ilmu totok kau lihay sekali, tapi ilmu silatmu tangan kosong biasa saja. Maaf…!” Kembali ia menjura.

Kwee Ceng khawatir orang nanti bokong pula padanya, ia mundur setindak.

Oey Yong agaknya kaget, tubuhnya bergeser, tangannya menjatuhkan sebatang sumpit ke kaki kongcu, di saat kongcu itu mengangkat tubuhnya habis menjura, Oey Yong pun telah dapat menjumput sumpitnya itu. Si kongcu rupanya jijik untuk pakaian kotor anak muda ini, ia mundur satu tindak, kepada Kwee Ceng ia tersenyum, terus ia putar tubuhnya untuk bertindak ke tangga lauwteng.

“Ini untuk kau…” kata Oey Yong dengan perlahan, tangannya disodorkan.

Kwee Ceng melihat telapak tangan anak muda ini, ia tercengang. Di tangan kawan ini terlihat dua potong tusuk konde emas serta dua potong ginso, yang bergemerlapan kuning dan putih. Itulah ginso yang tadi si kongcu simpan dalam sakunya. Entah kapan sahabat ini mengambilnya. Ia tercengang sebentar lantas ia ingat, ia mengerti. Ia sambuti tusuk konde emas dan ginso itu.

“Kongcu, kau lupakan barangmu ini!” ia panggil si pemuda yang seperti anak bangsawan itu.

Kongcu itu menghentikan tindakannya, ia berpaling.

Kwee Ceng angsurkan kedua barang emas dan perak itu.

Menampak barangnya itu, kongcu terkejut sehingga air mukanya berubah, cepat luar biasa tangannya menyambar ke arah Kwee Ceng, lima jarinya yang kuat seperti kuku garuda menyambar ke tangan Kwee Ceng itu.

Kwee Ceng kaget tidak terkira. Dari gerakannya saja, ia sudah dapat menduga orang bergerak dengan ilmu silat Kiu-im Pek-kut Jiauw seperti keenam gurunya sering menuturkan kepadanya. Maka ia menduga, adakah kongcu ini sekaum dengan Tiat Sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi? Ia menginsyafi hebatnya cengkeraman Tulang Putih itu, sebab masih ada bekas cengkeramannya Bwee Tiauw Hong dulu hari pada lengannya, cuma ia dapat membedakannya, sambaran kongcu ini kalah jauhnya sebatnya dengan sambarannya si Mayat Besi. Tidak berani ia menangkis atau menyambuti cengkeraman itu, belum ia terjambak, empat senjata di tangannya sudah lantas mencelat. cepat luar biasa ia telah kerahkan tenaganya.

Kongcu itu terkejut. Ia dapatkan, belum lagi serangannya mengenai, empat senjata itu sudah mendahulukan menyambar ke arahnya. ia juga dapat lihat anak muda itu berdiri tegar di tempatnya. Dengan terpaksa ia sambuti empat potong benda itu. Setelah menatap, ia memutar tubuhnya untuk terus turun di tangga lauwteng.

Kapan Kwee Ceng kembali ke kursinya, ia dapatkan Oey Yong mengawasi ia sambil sahabat itu tertawa geli.

“Kenapa barang itu berada di tanganmu?” ia menanya heran.

“Dia membikinnya jatuh selagi dia menjura kepadamu, lantas aku jumput!” sahut Oey Yong masih tertawa.

Kwee Ceng jujur, ia tidak menduga orang mendusta.

“Toako, kenapa rombongan wanita itu mencoba merampas kudamu?” kemudian Oey Yong menanya.

“Sebab kudaku adalah han-hiat-po-ma,” jawab Kwee Ceng, yang terus tuturkan perihal kuda itu sampai ia bertemu rombongan si wanita itu, yang menyamar sebagai pemuda-pemuda dan menunggang unta. Kemudian ia melanjuti, “Setahu siapa yang membantu aku secara diam-diam dengan merobohkan mereka itu. Kalau tidak tentulah mesti terjadi pertempuran hebat…”

Oey Yong masih tersenyum.

“Kudaku itu lari cepat sekali, sebenarnya aku telah lombai mereka seperjalanan tiga hari, entah kenapa, mereka dapat menyusul padaku…” Kwee Ceng kemudian mengutarakan keheranannya. “Sungguh memusingkan kepala..”

“Aku lihat di antara mereka ada satu yang mencekal sepasang burung dara,” kata Oey Yong.

Tiba-tiba Kwee Ceng menepuk meja. “Ya, aku ingat sekarang!” ia kata pula separuh berseru. “Itu waktu memang aku lihat terbangnya dua ekor burung di atasan kepalaku. Rupanya tiga wanita itu melepaskan burung itu untuk memberi kabar kepada lima kawannya, untuk mereka memegat atau mengawasi aku, dari itu, mereka gampang saja mencari padaku.”

Setelah itu, Oey Yong tanya tentang tenaga larinya kuda merah itu dan Kwee Ceng menuturkannya dengan jelas. Ia kelihatannya menjadi kagum sekali. Ia keringkan secawan teh, lalu ia tertawa.

“Toako,” katanya, “Hendak aku meminta sesuatu yang berharga darimu, apa kau sudi mengabulkannya?” dia bertanya.

“Kenapa tidak?” Kwee Ceng menjawab.

“Sebenarnya aku suka sekali dengan kudamu itu,” menerangkan Oey Yong.

“Baik, hiantee, aku hadiahkan itu padamu!” kata Kwee Ceng tanpa bersangsi.

Oey Yong terperanjat. Sebenarnya ia main-main saja. Bukankah mereka baru pertama bertemu? Ia malah mengharap jawaban si pemuda adalah penolakan. Ia lantas mendekam di meja, terus terdengar tangisannya sesegukan.

Sekarang adalah giliran Kwee Ceng yang menjadi heran. “Hiantee, kau kenapakah?” ia menanya cpat. “Apakah kau kurang sehat?”

Oey Yong angkat kepalanya, ia mengawasi si pemuda. Mukanya penuh air mata. Tapi sekarang ia tidak menangis, sebaliknya ia tertawa. Air matanya itu yang mengalir di kedua belah pipinya itu, menyebabkan mehongan luntur, hingga tampak dua baris kulitnya yang putih mulus.

“Toako, marilah kita pergi!” ia mengajak.

Kwee Ceng menurut. Bersama-sama mereka turun dari lauwteng. Lebih dulu ia membayar uang makan, baru ia tuntun kudanya. Ia pesan kepada kudanya: “Aku haturkan kau kepada sahabatku yang baik, maka baik-baiklah kau mendengar katanya, jangan kau bawa adatmu.” Kemudian sembari menoleh kepada si anak muda, ia mempersilakan, “Hiantee, kau naiklah!”

Sebenarnya kuda itu tak dapat ditunggangi orang lain, akan tetapi ia sekarang tidak membangkang.

Oey Yong naik kuda itu. Kwee Ceng menyerahkan les kuda itu, ia terus tepuk kempolan kudanya itu. Dengan lantas kuda itu berlari pergi.

Pemuda itu menanti sampai orang tidak terlihat lagi, baru ia melihat langit. Ia mendapatkan sang malam bakal lekas tiba. Karena ini, ia lantas pergi mencari rumah penginapan. Ketika di saat ia hendak memadamkan api, untuk rebahkan diri, tiba-tiba ia dengar ketokan pada pintu.

“Siapa?” ia tanya heran.

“Satu sahabat,” sahut suara di luar, suaranya parau.

Kwee Ceng turun dari pembaringan, ia membuka pintu. Di antara cahaya lilin, ia tampak lima orang berdiri di depannya. Setelah ia mengenali orang, ia terkejut bukan main. Empat di antaranya ada membawa golok dan ruyung. Mereka itulah Hong Ho Su Koay. Dan orang yang ke lima, yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya kurus, mukanya lonjong, di jidatnya ada tiga kutil besar, romannya sangat tidak mengasih untuk diawasi.

Si kurus sudah lantas tertawa tawar, tanpa bilang suatu apa, ia membuka tindakan lebar akan memasuki kamar orang, akan terus mencokol di atas pembaringan, sambil melirik, ia awasi tuan rumah.

Kwee Ceng pun mengawasi, hingga ia melihat tegas, muka orang ada tanda bekas luka-luka senjata tajam, hingga dia itu tak dapat melihat lepas ke depan.

Toan-hu-to Sim Ceng Kong si Golok Memutus Roh, dengan dingin, lantas berkata: “Inilah paman guru kami, Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay yang sangat ternama besar! Lekas kau berlutut dan mengangguk-angguk kepalanya!”

Kwee Ceng mengerti bahwa ia telah terkurung, bahwa Hong Ho Su Koay saja sudah bukan tandingannya, apapula mereka dibantu oleh paman gurunya itu, yang julukannya pun berarti si Ular Naga Kepala Tiga.

“Tuan-tuan ada punya urusan apa?” ia tanya sambil menjura.

“Mana guru-guru kamu?” Hauw Thong Hay menanya.

“Guruku tidak ada di sini,” sahut Kwee Ceng.

“Ah! Kalau begitu hendak aku memberi ketika padamu untuk hidup lagi setengah harian!” kata Ular Naga Kepala Tiga itu. “Sekarang hendak aku memberi pengajaran kepadamu, agar orang tidak nanti mengatakan Sam-tauw-kauw menghina anak kecil. Besok tengah hari aku menantikan di rimba Hek-siong-lim di luar kota, kau datang ke sana dengan minta gurumu semua temani padamu!” Habis berkata, ia berbangkit, tanpa menanti penyahutannya Kwee Ceng, ia sudah ngeloyor keluar. Sesampai di luar, ia suruh Twie-beng-chio Gouw Ceng Liat si Tombak Mengejar Jiwa menutup pintu, hingga terdengar suara membeletok.

Kwee Ceng memadamkan api, terus ia duduk numprah di atas pembaringannya. Kapan ia memandang ke jendela, ia tampak bayangan orang mondar-mandir. Rupanya orang telah menjaga ia di luar kamar. Ia masih berdiam saja. Selang tidak lama, ia dapat dengar apa-apa di atas genting. Itulah suara ketokan beberapa kali, disusul sama bentakan: “Bocah, jangan kau memikir untuk kabur, engkongmu menunggui kau disini!”

Jadi terang dia telah dikurung keras. Dia lantas rebahkan dirinya, niatnya untuk tidur tanpa menghiraukan segala apa. Tapi ia tidak dapat pulas, ia mesti gulak-galik saja.

Besok pagi, jongos muncul dengan air cuci muka dan tiamsim, untuk sarapan. Di belakang jongos itu terlihat Cian Ceng Kian dengan sepasang kampaknya.

“Suhu semua berada di tempat jauh, tidak nanti mereka dapat menolongi aku,” Kwee Ceng berpikir. “Sudah terang aku tidak bakal dapat lolos, baiklah aku mati bertempur!”

Oleh karena berpikir begini, hatinya menjadi mantap. Ia lantas saja bercokol di atas pembaringan, untuk bersemadhi menuruti ajarannya Ma Giok. Ia bersemadhi hingga tengah hari, baru ia berbangkit turun.

“Mari kita pergi!” ia kata kepada Cian Ceng Kian.

Mereka jalan berendeng, menuju ke arah barat, sampai sepuluh lie lebih. Di sana ada sebuah rimba besar, yang menutupi matahari. Seram suasana di situ. Di sini Ceng Kian tinggalkan si pemuda, untuk dengan cepat bertindak ke sebelah dalam rimba.

Kwee Ceng loloskan joan-pian, cambuk lemasnya. Ia berlaku tenang, setindak demi setindak, ia maju. Ia menjaga diri dari bokongan di kiri atau kanannya. Satu lie sudah ia berjalan, ia tidak bertemu dengan musuhnya. Tiba-tiba ia dapat ingatan, ialah pesan gurunya yang keempat: “Jikalau tidak ungkulan, lari!” Maka ia berpikir: “Sekarang tidak ada orang mengawasi aku, rimba pun lebat, kenapa aku tidak hendak sembunyikan diri?” Maka hendak ia segera mewujudkan pikirannya ini. Tapi tiba-tiba.

“Bocah haram! Anak campuran! Anak jadah!” demikian ia dengar makian hebat.

Sambil berlompat, Kwee Ceng putar cambuknya, untuk melindungi diri. Akan tetapi tidak ada serangan terhadapnya. Sambil berdiri diam, ia angkat kepalanya, memandang ke arah dari mana cacian itu datang. Lantas ia berdiri menjublak!

Di atas empat pohon di dekatnya itu, ia tampak Hong Ho Su Koay tergantung masing-masing di sebuah cabang besar, kaki dan tangan mereka terbelenggu, tubuh mereka bergelantungan, sia-sia saja mereka mencoba meronta-ronta, melainkan mulut mereka yang dapat dipentang lebar-lebar. Mereka mencaci kalang-kabutan begitu lekas mereka tampak si pemuda musuhnya itu.

Kwee Ceng heran bukan kepalang, akan tetapi ia tertawa. “Apakah kau tengah main ayunan di sini?” dia bertanya. “Sungguh menggembirakan, bukan?” Nah sampai bertemu pula! Maaf, tidak dapat aku menemani kalian lama-lama…!”

Sim Ceng Kong berempat mencaci maki pula, semakin hebat. Mereka malu untuk minta tolong. Di samping itu mereka heran sekali kenapa paman guru mereka itu yaitu Hauw Thong Hay, tidak lekas kembali. Selagi Kwee Ceng bertindak, hampir ia lenyap dari pandangan mata, tiba-tiba Toat-pek-pian, Ma Ceng Hiong si Cambuk Perampas Roh, berubah pikirannya. Ia takut mati, maka ia lupa akan malunya.

“Kwee Enghiong, kami menyerah kalah!” dia berteriak. “Aku mohon sukalah kau memerdekakan kami!”

Kwee Ceng sudah lantas berpikir: “Sebenarnya aku tidak bermusuh dengan mereka, adalah mereka yang memusuhi aku, maka itu apa perlunya aku membiarkan mereka mati bersengsara di sini?” Dengan cepat ia mengambil keputusan, terus ia kembali dengan berlompatan, ia kasih turun mereka itu satu per satu. Pantas Hong Ho Su Koay tidak sanggup berontak melepaskan diri, alat menggantungnya itu adalah tambang kulit yang kuat. Ia pun mengutunginya itu dengan golok emasnya.

Sesudah empat Siluman itu direbahkan di tanah, pemuda itu totok mereka bergantian, maka mereka itu lantas saja tidak dapat geraki kaki dan tangan mereka, habis mana barulah ia putuskan belengguan mereka itu. Sambil tertawa, ia berkata: “Lagi dua belas jam baru kamu dapat pulang tenaga dalam dan merdeka. Sebetulnya, siapakah yang menggantung kamu di sini?”

“Kau masih berpura-pura!” membentak Cian Ceng Kian mendongkol. “Kalau bukannya kau, siapa lagi?”

Kwee Ceng heran. Ia lantas saja mengangkat kaki, akan meninggalkan mereka itu. Ia heran orang menuduh padanya, tetapi ia mengerti, mesti ada orang yang sudah tolongi ianya. Di mana di situ tidak ada Hauw Thong Hay, ia khawatir paman guru mereka itu nanti keburu kembali, maka ia pikir, mesti ia lekas menyingkir. Ia lari ke luar rimba, terus ia balik ke kota, malah di sini ia segera membeli seekor kuda untuk dengan itu ia lantas melanjuti perjalannya ke selatan.

“Siapakah itu orang secara diam-diam menolongi aku?” ia berpikir di sepanjang jalan. Keanehan itu tak dapat ia melupainya. “Hong Ho Su Koay lihay tetapi mereka dapat digantung, teranglah lawannya itu mesti jauh terlebih lihay dari pada mereka. Yang hebat mereka sampai tidak melihat padanya, hingga mereka menyangka aku. Herannya, ke mana perginya Hauw Thong Hay si Ular Naga itu? dia tidak tertampak sekalipun bayangannya?”

Kwee Ceng terus melakukan perjalannya itu. Pada suatu hari, tibalah ia di Tiongtouw, kota raja Tay Kim Kok, negara Kim (Kin) yang besar, yang paling ramai dan indah, sampai tidak dapat dilawan oleh Pian-liang, kota raja yang lama dari kerajaan Song, atau Lim-an, kota raja yang baru. Ia menjadi besar di gurun pasir, belum pernah ia menyaksikan suasana kota besar itu, yang indah lauwteng dan rangonnya, yang permai sero-seronya, sedang kereta-kereta bagus dengan semua kuda pilihannya mondar-mandir di jalan-jalan besar. Di pelbagai rumah minum ia pun dengar suara tertawa, merdunya bunyi tetabuan. Semua itu ia saksikan di waktu siang berderang. Untuk bersantap, ia sampai tidak berani memilih restoran yang mentereng, ia cari sebuah restoran yang kecil. Habis berdahar, ia berjalan-jalan, ia baru berhenti ketika di sebelah depannya ia dengar sorak-sorai yang ramai, di sana ada berkumpul sejumlah orang. Ia mendekati. Ia menyelak di antara banyak orang itu, untuk melihat ke sebelah dalam.

Orang banyak itu mengurung sebuah tanah lapang, di situ ada dipancar bendera suram, dasarnya putih, ada sulaman empat huruf besar: “Pi Bu Ciauw Cin”. Artinya: mencari jodoh dengan jalan pibu atau mengadu kepandaian. Di bawah bendera itu ada satu nona dengan baju merah tengah bertempur sama seorang pria, yang tubuhnya jangkung dan besar, bertempur dengan seru sekali. Heran Kwee Ceng apabila ia saksikan ilmu silat si nona itu. Ia berpikir: “Dia lihay, kenapa dia munculkan diri di tempat umum seperti ini?”

Selang lagi beberapa jurus, nona itu menggunai akal. Si pria dapat melihat lowongan, ia menjadi kegirangan, ia lantas menyerang dengan kedua tangannya, ke arah dada. Nona itu tidak mengambil sikap menangkis, atau berkelit. Pria itu tidak sampai hati, ia batal meninju, hanya mengubah kepalannya menjadi tangan terbuka, ia menolak ke arah pundak.

Luar biasa gesitnya nona itu, ia berkelit dengan mendak, kedua kakinya bergerak saling susul-menyusul, membawa tubuhnya melejit ke samping ke belakang penyerangnya itu, kapan tangan kirinya diayunkan, “Buk!” punggung si pria kena terhajar, sampai terjerunuk ke depan, roboh ke tanah, hanya syukur, setelah memegang tanah, dia dapat menahan diri dan mengerahkan tenaga, untuk berlompat bangun. Mukanya pemuda itu menjadi merah, dengan kemalu-maluan ia menyelinap di antara orang banyak. Syukur untuknya, ia tadi berkasihan terhadap si nona, maka sekarang si nona tidak menghajar hebat kepadanya.

Para penonton lantas saja bertempik sorak.

Nona itu singkap naik rambut yang turun ke dahinya, lalu ia mundur ke bawah bendera.

Kwee Ceng pandang nona itu, yang cantik sekali, umurnya mungkin baru tujuh atau delapan belas tahun, sikapnya pun berpengaruh. Mendadak ia ingat apa-apa, hingga ia berpikir, “Kenapa aku seperti kenal dia? seperti aku pernah bertemu dengannya, entah di mana…?” kemudian ia tersenyum sendiri, ia ingat, “Baharu saat ini kau tiba di Tionggoan, kapan aku pernah bertemu orang lain? Aku tadinya menyangka, nona-nona serba putih dan menunggang unta itu sudah elok semua, aku pikir kenapa ada demikian banyak wanita cantik, siapa tahu nona ini melebihkan mereka itu…. Dasar aku kurang berpengalaman! Rupanya di Tionggoan ini dimana-mana wanitanya cantik semuanya, maka tak usahlah aku menjadi heran…”

Pemuda ini polos, hatinya masih terbuka, maka itu, walaupun ia telah melihat wajah-wajah yang cantik manis, hatinya tidak tergiur. Maka itu ia lantas memandang ke kiri dan kanannya.

Si nona lantas bicara perlahan sama seorang yang berdiri di dekatnya, pria itu mengangguk, terus ia mengangguk keempat penjuru seraya terus berkata, “Aku yang rendah bernama Bok Ek. Aku lewat di tempat tuan-tuan tidak dengan maksud mencari nama atau mencari uang, hanya guna anakku ini. Anakku sudah dewasa usianya, ia masih belum ketemu jodohnya, maka itu sekarang aku lagi mencarikan jodohnya itu. Adalah keinginanku, pasangan anakku tidak usah berharta, cukup asal ia satu pria sejati yang mengerti ilmu silat. Karena ini dengan beranikan diri, aku mancarikan jadohnya dengan jalan pibu ini. Siapa yang usianya di bawah tiga puluh tahun dan belum menikah, asal ia bisa menyerang anakku dengan satu kepalannya atau kakinya, akan aku rangkap jodoh anakku ini dengan jodohnya. Kami berdua, ayah dan anak, sudah membuat perjalanan dari selatan hingga di utara, sudah melintas tiga belas propinsi, akan tetapi kami masih belum menemui jodoh yang dicari itu, sebabnya rupanya, mereka yang gagah sudah pada menikah atau mereka yang muda sungkan hatinya?” Ia berhenti sebentar, lagi ia menjura kepada orang banyak, baharu ia menambahkan: “Kota Pakkhia ini adalah tempat rebahnya harimau atau tempat sembunyi naga, di sini mesti banyak orang berilmu dan gagah, oleh karena itu, aku harap tuan-tuan memaafkannya kalau ada kata-kataku yang tidak tepat. Tuan-tuan, perkenankanlah kami undurkan diri, untuk pulang ke rumah penginapan guna beristirahat, nanti besok kami datang pula ke mari untuk melayani tuan-tuan.”

Habis mengucap, lagi sekali orang itu mengangguk, lalu ia cabut benderanya, itu bendera Pi Bu Ciauw Cin. Tiba-tiba saja.

“Tunggu dulu!”

Itulah suara berbareng, yang datangnya dari sebelah kiri dan kanan, dari mana lantas terlihat dua orang berlompat ke dalam kalangan.

Orang banyak lantas mengawasi, akhirnya mereka semua tertawa geli. Yang muncul dari sebelah timur itu adalah seorang tua dengan tubuh terokmok, mukanya penuh berewokan, kumisnya sudah ubanan separuh lebih, dan umurnya juga sudah lewat lebih dari setengah abad. Yang datang dari barat itu lebih lucu pula. Dialah satu paderi yang kepalanya licin lanang!

“Eh, kamu tertawakan apa?” tanya si tua itu kepada orang banyak, yang ia awasi. “Bukankah dia mau adu kepandaian untuk mencari suami? Nah, aku masih belum menikah! Mustahilkah aku tidak cocok?”

Si paderi itu awasi si tua, ia tertawa. “Oh, kakek-kakek!” katanya. “Taruh kata kau menang, apakah kau tidak kasihan terhadap si nona yang masih demikan remaja bagaikan sekuntum bunga? Apakah setelah kau menikah kau hendak membuatnya ia menjadi janda?”

Orang tua itu menjadi gusar. “Habis kau, mau apakah kau dengan datang kemari?” ia menegur.

Paderi itu tersenyum. “Setelah aku mendapatkan istri begini cantik, aku akan segera pulang asal menjadi orang biasa lagi!” sahutnya.

Mendengar itu, kembali riuhlah tertawa orang banyak.

Si nona menjadi mendongkol. Ia merasa bagaimana orang hendak mempermainkan padanya, maka juga, wajahnya menjadi merah, sepasang alisnya terbangun, matanya bersorot tajam. Ia lantas loloskan mantelnya, berniat ia menghajar kedua manusia ceriwis itu.

Bok Ek tarik tangan gadisnya. “Tenang, nanti aku yang melayani mereka,” ia membujuk.

Si empek dan paderi masih adu omong terus, mereka jadi sengit sekali. Di samping mereka, para penonton juga tak henti-hentinya tertawa. Tidakkah pemandangan itu sangat lucu?

“Saudara-saudara, nah kamu pibulah terlebih dulu!” satu penonton yang membuka mulut. “Nanti, siapa yang menang, ia yang maju melawan si nona manis!”

“Bagus!” berseru si paderi, yang agaknya tidak menghiraukan ejekan orang banyak itu. “Aki-aki, mari kita berdua main-main…!”

Paderi ini menantang, tetapi, belum lagi ia peroleh jawaban, sebelah tangannya sudah melayang.

Si empek-empek berkelit, segera ia balas menyerang. Maka dengan itu, keduanya menjadi bertempur.

Kwee Ceng menonton. Ia dapatkan si paderi bersilat dengan jurus-jurus Lo Han Kun dari ilmu silat Siauw Lim Pay, sedang si empe menggunai ilmu silat Ngo Heng Kun. Jadi keduanya ada dari golongan Gwakang, ilmu Bagian Luar. Si paderi dapat berlompat dan mendekam dengan cepat, lincah gerakannya. Si empek sebaliknya tenang tegar, jangan pandang usianya yang tua, tenaganya sebenarnya masih besar.

Satu kali si paderi dapat merapatkan diri, kepalannya menghajar tiga kali beruntun, ke arah pinggang lawannya. Si empek kuat sekali, ia terima serangan tanpa berkelit atau menangkis, tapi berbareng dengan itu, ia angkat tinggi tangan kanannya, untuk dikasih turun ke arah kepala lawannya, bagaikan martil, kepalannya menumbuk kepala licin mengkilap dari si paderi. Tak tahan paderi itu, segera ia jatuh duduk, numprah di tanah. Ia berdiam tidak lama, mendadak ia tarik keluar sebatang golok kayto dari dalam jubahnya, dengan itu ia membabat kakinya si tua!

“Celaka!” berteriak orang banyak.

Si tua dapat menolong diri dengan berlompat berkelit, berbareng dengan mana, tangannya meraba ke pinggangnya, untuk mengasih keluar sepotong thiephie atau ruyung besi. Kiranya mereka sama-sama membekal senjata. Maka itu sekarang mereka melansungkan pertandingan itu dengan golok dan ruyungnya masing-masing.

“Bagus! Bagus!” teriak orang banyak berulangkali. Hanya sambil berseru-seru, mereka pada mengundurkan diri setindak demi setindak. Hebat menyambar-nyambarnya golok kayto dan ruyung besi, takut mereka nanti kena terserempet….

“Tuan-tuan, tahan!” Bok Ek berseru seraya ia menghampirkan. “Di sini adalah kota raja, tidak dapat kita sembarang menggunai senjata tajam!”

Dua orang itu lagi bertempur seru sekali, mereka tidak memperdulikan seruan itu.

Melihat ia tidak dihiraukan, tiba-tiba Bok Ek menyerbu. Dengan satu dupakan, ia membuat golok kayto terpental tinggi dan dengan sambaran tangan ia rampas ruyungnya si empek-empek, kemudian selagi golok turun, ia hajar itu dengan ruyung sehingga golok itu patah dua!

Para penonton kagum, mereka bersorak. Tapi itu belum semua, dalam sengitnya, Bok Ek cekal kedua ujung ruyung, ia lantas menekuk, maka ruyung itu menjadi bengkok melengkung, hingga sudah tentu saja selanjutnya tak dapat digunai lagi!

Si tua dan si paderi tercengang, mereka menjadi kuncup hatinya, tanpa membilang suatu apa lagi, keduanya nyelusup antara orang banyak, untuk angkat kaki!

Kwee Ceng mengawasi Bok Ek, yang tubuhnya sedikit bongkok tetapi badannya lebar dan kekar, tanda dari tenaganya yang besar, Cuma rambut dekat kedua samping kupingnya sudah berwarna kelabu dan kulit mukanya berkerenyut dan itu waktu, wajahnya guram. Dilihat dari roman, ia mungkin telah berusia enam puluh hampir.

“Besok kita pulang ke selatan…” berkata dia dengan masgul. Dia pun menghela napas.

“Ya,” menyahut si nona, yang diajak bicara.

Sampai di situ, penonton hendak bubaran. Bukankah pibu telah berakhir? Tapi justru itu, mereka dengar suara kelenengan kuda, hingga mereka pada menoleh, Kwee Ceng pun tak terkecuali.

Ke situ datang satu kongcu atau pemuda sambil diiringi beberapa puluh pengikut. Suara kelenengan itu datang dari rombongan itu. Kapan Kwee Ceng telah melihat si kongcu, lekas-lekas ia sembunyikan diri di antara orang banyak itu. Ia kenali si kongcu yang ia telah ketemukan di rumah makan di Kalgan.

Kongcu itu melihat bendera Pi Bu Ciauw Cin, ia lantas awasi si nona baju merah, terus ia loncat dari kudanya, sembari tersenyum, ia masuk ke dalam kalangan.

“Apakah nona yang mengadakan pibu untuk mencari jodoh?” ia menanya sambil ia memberi hormat.

Nona itu dengan wajah bersemu merah, melengos, ia tidak menyahuti. Adalah Bok Ek, yang menghampirkan pemuda itu, untuk memberi hormat.

“Aku yang rendah she Bok. Kongcu ada keperluan apa apakah?” ia menanya.

“Bagaimana aturan atau syarat-syaratnya pibu perjodohan ini?” menanya si pemuda.

Bok Ek memberikan keterangannya.

“Kalau begitu, hendak aku mencoba-coba,” kata si pemuda.

“Ah, kongcu bergurau!” berkata Bok Ek tertawa. Lagi-lagi ia memberi hormat.

“Kenapa begitu?” si pemuda menegaskan.

“Kami adalah orang kangouw, mana berani kami beradu tangan sama kongcu?” menyahut Bok Ek. “Laginya ini bukannya cuma soal menang atau kalah, ini mengenai hari kemudian dari anakku. Aku minta kongcu sudi memaafkan aku.”

Pemuda itu mengawasi si nona. “Sudah berapa lama sejak kamu mengadakan pibu ini?” ia tanya pula.

“Sampai sebegitu jauh sudah satu tahun lebih dan kami telah menjelajahi tiga belas propinsi,” menjawab Bok Ek dengan sebenarnya. Pemuda itu tampaknya heran.

“Apakah mungkin belum pernah ada orang yang dapat menangkan dia?” ia menegaskan. “Ah, aku tidak percaya!” Ia tunjuki si nona.

Bok Ek tersenyum. “Sebabnya mungkin, orang yang pandai silat itu sudah menikah atau ia sungkan beradu tangan dengan anakku,” ia menerangkan.

“Kalau begitu, mari, mari!” berkata si pemuda, menantang. Ia bertindak ke tengah kalangan.

Diam-diam girang hatinya Bok Ek. Ia dapatkan orang, muda dan tampan. Si nona agaknya kagumi pemuda itu. Ia tahu, di dalam tiga belas propinsi, belum pernah ia bertemu pemuda semacam ini. Maka itu ia loloskan mantelnya, ia hampirkan si pemuda untuk memberi hormat.

Pemuda itu membalas hormat, ia tersenyum. “Silakan mulai, nona!” ia kata.

“Silakan kongcu membuka dulu bajumu,” berkata nona itu.

“Tidak usah,” menyahuti si kongcu.

Para penonton pada berkata dalam hatinya, “Si nona lihay sekali, sebentar kau nanti merasai…” Tapi ada juga yang berpikir: “Bok Ek ayah dan anak adalah orang kangouw, masa mereka berani bikin malu satu kongcu? Tentu si kongcu bakal dibikin mundur teratur, supaya ia tidak hilang mukanya…”

“Silahkan, kongcu!” berkata si nona.

Kali ini kongcu itu sudah tidak sungkan lagi. Tiba-tiba ia memutar ke kanan, hingga bajunya yang panjang dan tangan bajunya juga, turut bergerak, lalu tangan kirinya menyambar ke pundak si nona.

Terkejut si nona itu apabila ia menyaksikan gerakan orang yang luar biasa itu. Sambil mendak, ia nyelusup di bawah ujung bajunya pemuda itu. Di luar dugaannya, orang ada sangat gesit. Sekarang ujung baju dari tangan kanan si pemuda yang menyusul menyambar. Sukar untuk menyingkir dari serangan susulan itu, maka si nona menjejak tanah untuk mencelat mundur.

“Bagus!” berseru si kongcu. Ia lantas merangsak, tidak menunggu kedua kaki si nona keburu menginjak tanah, ia mengebut pula.

Nona itu bukan berlompat mundur, melainkan ia hanya berjumpalitan, maka itu ketika si kongcu datang dekat, sebelah kakinya menjejak ke arah hidung si kongcu.

Untuk membebaskan diri, kongcu itu lompat ke kanan. maka barenglah mereka di waktu mereka menurunkan tubuh.

Penonton semua kagum, untuk lihaynya si kongcu dan untuk kelincahan si nona. Mereka itu sama-sama lincah.

Si nona dengan wajah merah, mulai membalas menyerang. Sekarang si koncu yang main berkelit. Maka ada menarik akan menyaksikan baju indah si kongcu bagaikan bercahaya, dan baju si nona seperti mega bermain.

Kwee Ceng pun kagum. Pemuda-pemudi itu berimbang usianya, mereka tampan dan elok, mereka pun pandai silat, sungguh cocok apabila mereka menjadi pasangan hidup, menjadi suami-istri. Karena ini tidak lagi ia benci si kongcu untuk kelakuannya di rumah makan baru-baru ini, sekarang ia mengharap-harap akan kemenangan si kongcu.

Pertandingan itu berjalan terus dengan seru, sampai tiba-tiba orang dengar suara “bret!” robek. Nyata si nona dapat menjambret ujung baju si kongcu dan ia menariknya, sebab si kongcu juga membetot, ujung baju itu putus dengan menerbitkan suara nyaring itu. Si nona lantas lompat mundur jauh-jauh, tangannya mengibaskan baju rampasannya itu!

“Tunggu dulu!” Bok Ek segera kasih dengar suaranya. “Kongcu, silakan kau loloskan bajumu, untuk kamu menentukan kemenangan terakhir!”

Kongcu itu bermuram wajahnya, kedua tangannya bergerak, maka robeklah bajunya, kancing-kancingnya jatuh di tanah. Ia bukan membuka dengan baik, ia hanya menyobeknya!

Satu pengiring lari menghampirkan guna membantui meloloskan baju itu.

Sekarang terlihat kongcu ini dengan pakaian dalamnya dari sutera hijau muda yang indah, yang pinggangnya dilibat dengan sabuk hijau. Ia nampak semakin tampan. Bercahaya wajahnya yang putih dan bibirnya yang merah.

Tanpa berkata apa-apa, kongcu ini mulai menyerang. Ia menggunai tangan kirinya, anginnya menyambar keras. Melihat itu si nona, Bok Ek dan Kwee Ceng terperanjat. Mereka tidak sangka, satu kongcu demikian lihay.

Setelah menyaksikan lagi sekian lama, Kwee Ceng jadi berpikir: “Ilmu silatnya dia ini mirip betul sama ilmu silatnya In Cie Peng, si imam muda, yang itu malam menempur aku. Apakah boleh jadi mereka berasal dari satu perguruan?”

Sekarang si kongcu tidak mau mengalah lagi, karena itu sukar untuk si nona membalas mendesak, malah untuk merapatkan saja sulit.

“Kongcu ini lebih lihay daripada In Cie Peng, si nona bukan tandingannya,” berpikir Kwee Ceng setelah ia menyaksikan terlebih jauh. “Pasti jodoh mereka bakal terangkap…”

Bok Ek pun girang melihat jalannya pertempuran ini, malah ia lantas berseru: “Anak Liam, sudah tak usah kau melawan lebih lama lagi, kongcu menang jauh dari padamu…!”

Tapi orang lagi bertempur hebat sekali, sedang si kongcu kata di dalam hatinya,: “Kalau sekarang aku hendak robohkan kau, gampang sekali, cuma aku tidak tega…”

Benar saja, ketika tangan kirinya menyambar, tangan kiri si nona kena dicekal. Ia tahu si nona bakal mengibas ke luar, selagi si nona mengerahkan tenaganya, ia sekalian menolak seraya cekalannya itu dilepaskan. Maka tidak ampun lagi, nona itu rubuh terjengkang. Hanya, belum lagi tubuh orang mengenai tanah, tangan kanan si kongcu sudah menyambar, merangkul, hingga si nona manis lantas berada di dalam pelukannya.

Orang banyak bertempik bersorak, tapi ada juga yang menggerutu.

Si nona menjadi sangat malu. “Lekas lepaskan aku!” ia minta, suaranya perlahan.

Si kongcu tertawa. “Kau panggil engko padaku, nanti aku lepas kau!” sahutnya.

Nona itu mendongkol. Itulah permintaan ceriwis. Ia lantas berontak. Tapi sia-sia saja, ia malah terpeluk semakin keras.

Bok Ek lantas maju. “Kongcu sudah menang, tolong kau lepaskan anakku,” ia minta.

Pemuda itu tertawa lebar, ia masih belum mau melepaskan pelukannya. Dalam sengitnya, si nona menjejak.

Kongcu itu melepaskan tangannya yang kanan, tangan itu dipakai menangkis dan menangkap kaki orang, dengan begitu, tetap ia memegang tubuh si nona.

Nona ini penasaran, ia berontak sekuat tenaganya, tempo akhirnya ia bebas, ia jatuh terduduk di tanah. Ia menjadi malu sekali, ia tunduk, sembari tunduk, ia raba kaos kakinya yang putih. Sebab sepatunya telah terlepas.

Kongcu itu berdiri sambil tertawa haha-hihi, tangannya mencekali sepatu orang, yang ia bawa ke hidungnya!

Melihat itu, beberapa penonton bangsa bergajul, lantas saja berseru-seru, “Harum! Harum!”

“Kau she apa kongcu?” Bok Ek menanya. Ia tertawa, ia tidak menghiraukan sikap ceriwis si pemuda.

Kongcu itu pun tertawa.

“Tidak usah bicara lagi!” katanya, seraya ia putar tubuhnya untuk minta jubah sulamnya dari pengiringnya. tapi ia menoleh kepada si nona yang ia awasi, sepatu siapa ia masuki ke dalam sakunya.

“Kami tinggal di Hotel Ko Seng di jalan utama kota barat,” berkata Bok Ek, “Mari kita pergi sama-sama ke sana untuk berbicara.”

“Aku tidak sempat,” berkata si anak muda. “Apakah yang hendak dibicarakan?” tanya dia kemudian.

Bok Ek heran, air mukanya sampai berubah. “Kau toh telah mengalahkan anakku!” ia kata. “Aku telah melepas kata, maka itu tentu saja aku hendak jodohkan anakku ini denganmu. Ini ada urusan seumur hidupnya manusia, mana bisa kita memandangnya enteng?”

Kongcu itu melengak, ia tertawa besar. “Bukankah kita main-main dengan ilmu silat?” katanya. “Tidakkah itu sangat menarik hati? Tentang perjodohan, terima kasih banyak!”

Mukanya Bok Ek menjadi pucat, ia sampai berdiam saja.

“Kau…! Kau…!” katanya kemudian seraya menuding.

Pengiringnya si kongcu tertawa dingin dan menyela, “Kau kira kongcu kami ini bangsa apa? Kongcu kami bersanak dengan kamu orang kangouw tukang jual silat dari kelas tiga rendah empat bawah? Hm! Pergilah kau tidur dengan mimpimu di siang bolong!”

Bukan main gusarnya Bok Ek, tangannya melayang, maka pengiring itu berkoak kesakitan, mulutnya mengeluarkan darah, beberapa giginya rontok, seketika ia roboh di tanah, terus pingsan!

Kongcu itu tidak ambil peduli kejadian itu, ia suruh lain pengiringnya tolongi pengiring yang terluka itu, ia sendiri menghampirkan kudanya, untuk menaikinya.

“Jadi kau sengaja mengganggu kami?!” berteriak Bok Ek.

Kongcu itu tetap tidak mengambil mumat, ia injak sanggurdi dengan sebelah kakinya.

Bok Ek habis sabar, dengan tangan kirinya ia cekal lengan kiri pemuda itu. “Baik!” serunya. “Anakku pun tidak nanti nikah dengan kau, manusia hina dina! Bayar pulang sepatu anakku itu!”

Kongcu itu mengawasi, ia tertawa. “Sepatu ini toh anakmu yang dengan suka sendiri menghaturkannya kepadaku,” ia menyahuti. “Ada apa sangkut pautnya denganmu?”

Ia terus geraki tangan kirinya itu dan terlepaslah cekalannya Bok Ek.

“Akan aku adu jiwa!” berteriak ayah yang dipermainkan itu seraya ia lompat berjingkrak, kedua tangannya digeraki berbareng, untuk menyerang kedua pelipis orang. Itulah jurus “Ciong kouw cie beng” atau “Gembreng dan tambur ditabuh berbareng.”

Kongcu ini berkelit sambil menjejak sanggurdinya, maka itu tubuhnya lantas mencelat ke tengah kalangan.

“Jikalau aku telah hajar roboh padamu, orang tua, kau tentunya tidak bakal memaksa aku nikahi anakmu, bukan?” kata ia sambil tertawa, untuk mengejek.

Kecuali bangsa bergajul, semua penonton menjadi panas hatinya. Dari berkesan baik mereka menjadi jemu dan membenci. Kongcu ini terang selain ceriwis pun kurang ajar dan keterlaluan. Cumalah mereka bisa mendelu saja, tidak ada yang berani membuka mulut.

Bok Ek sudah lantas lompat untuk menerjang pemuda itu.

Kongcu itu mengetahui orang seperti kalap, bahwa serangannya itu sangat berbahaya, maka dengan sebat ia berkelit, sesudah mana dari samping, tangan kirinya membalas menyerang perut dengan jurusnya “Tok coa sim hiat” yaitu “Ular berbisa mencari lubang.”

Bok Ek berkelit ke kanan, dari situ ia menyerang pula, dua jari tangannya mencari pundak bagian yang kosong. Itulah salah satu jurus “Eng Jiauw Kun” atau “Kuku Garuda” dari ilmu silat Utara.

Kongcu itu lihay, agaknya dengan gampang saja ia mendak sedikit, lalu ia lolos dari bahaya, menyusul itu, tidak kelihatan ia menarik pulang tangan kirinya atau tangan kanannya sudah melakukan penyerangan pembalasan. Tangan kirinya itu telah diangkat ke depan mukanya, dalam sikap “Touw in hoat jit” atau “Nyelusup ke mega menukar matahari”, guna melindungi mukanya.

Bok Ek tarik lengan kirinya. Di lain pihak, ia menyerang dengan tangan kanannya. Untuk membalas serangan dengan serangan, dengan tidak kalah sebatnya. Ketika lawan itu berkelit, ia mendesak, lagi ia menyerang, kali ini dengan kedua tangannya, ke arah kedua belah pipi. Inilah pukulan “Wie Hok Hong cu” atau “Malaikat Wie Hok mempersembahkan toya”.

Kongcu itu tidak memandang enteng kepada musuh ini, ia hanya tidak menyangka semua serangan lawan sedemikian berbahayanya, maka ia tidak mau main acuh tak acuh lagi, ia membalas dengan sama hebatnya. Mendadak saja kedua tangannya bergerak, menyambar kedua tangannya Bok Ek itu, pada bagian belakang telapakan tangan, menyusul mana ia menarik tubuhnya, mencelat mundur, sepuluh jarinya berubah menjadi merah semuanya.

Para penonton berseru kaget. Sebab belakang telapakan tangan dari Bok Ek telah berlumuran darah!

Si nona menjadi kaget berbareng gusar, ia memburu kepada ayahnya itu, untuk menolongi. Ia robek ujung baju si ayah, guna robekannya dipakai membalut lukanya.

Bok Ek tolak mundur anaknya. “Kau minggir!” katanya sengit. “Hari ini aku mesti mengadu jiwa dengannya, atau aku tidak hendak berhenti!”

Wajahnya si nona guram, ia memandang tajam kepada si pemuda. Tiba-tiba tangannya merogoh ke sakunya, akan mengasih ke luar sebuah pisau belati dengan apa ia terus tublas dadanya sendiri.

Bok Ek kaget bukan main, lupa kepada tangannya yang sakit, ia tangkis tublasan itu, maka sekarang ia terlukai anaknya itu, sebab si nona tidak keburu membatalkan tikamannya.

Para penonton menjadi mendongkol berberang berduka. Inilah mereka tidak sangka. Mereka pun tidak berani mencampur tangan.

Adalah Kwee Ceng yang tidak dapat melihat terlebih jauh. Selagi si kongcu hendak menaiki pula kudanya, ia bertindak ke dalam kalangan, ia berseru. “Halo, sahabat! Perbuatanmu ini tidak tepat!”

Kongcu itu berpaling, kapan ia lihat anak muda kita, ia tercengang. Tapi cuma sebentar saja, terus ia tertawa. “Habis kau mau apa?” ia menantang. “Bagaimana baru tepat?”

Semua pengiring si kongcu tertawa ramai. Mereka lihat roman orang yang ketolol-tololan, dan lagu suaranya pun beda dari lagu suara mereka, sikap dan lagu suara itu telah diajoki kongcu mereka. Tentu saja mereka menganggap itu lucu.

Kwee Ceng melongo sebentar. Ia tidak lantas menginsyafi orang lagi permainkan padanya.

“Kau harus menikah dengan baik-baik dengan nona ini!” ia menjawab kongcu itu.

Si kongcu miringkan kepalanya, ia tertawa haha-hihi. “Jikalau aku tidak sudi nikahi dia?” dia tanya.

“Jikalau kau tidak sudi menikah dengannya, apa perlunya kau maju dalam pertandingan?” Kwee Ceng tanya. “Apakah kau tidak lihat itu merek bendera yang menjelaskan pibu untuk pernikahan?”

Kongcu itu tidak menjawab, ia hanya mengawasi dengan tajam. “Sebenarnya kau hendak main gila denganku atau bagaimana?” dia tanya tegas kemudian.

Kwee Ceng tidak menjawab, hanya ia pun balik menanya. “Nona ini cantik dan ilmu silatnya pun sempurna, kenapa kau tidak sudi menikah dengannya? Jikalau kau tidak hendak menikah sama nona macam begini, di belakang hari ke mana lagi kau hendak mencarinya?”

“Eh, kau tidak mengerti urusan, bicara denganmu sia-sia saja!” kata si kongcu. “Kau sebenarnya murid siapa? Kau memanggil apa kepada Oey Yok Su dari pulau Tho Hoa To?”

Kwee Ceng menggoyangi kepalanya. “Siapa guruku, tak dapat aku beritahu padamu!” ia jawab. “Aku tidak tahu Oey Yok Su itu orang macam apa.”

“Habis, siapa yang ajarkan kau ilmu menotok istimewa dari pulau Tho Hoa To itu?” si kongcu masih menanya.

“Ilmu menotok jalan darahku itu adalah guruku yang kedua yang mengajarkannya,” menjawab Kwee Ceng.

“Siapa itu gurumu yang kedua?” tanya kongcu itu kemudian.

“Aku tidak mau memberitahu” jawab Kwee Ceng pula.

“Baiklah, masa bodoh!” berkata itu pemuda yang lantas memutar tubuhnya.

Kwee Ceng ulur tangannya untuk mencegah. “Eh, kenapa kau hendak pergi pula?” ia menanya.

“Habis kenapa?” kata si kongcu lagi.

“Bukankah aku telah beri nasehat kepadamu untuk kau nikahi nona ini?” kata Kwee Ceng.

Kongcu itu tertawa dingin, dia buka tindakannya yang lebar, untuk berjalan pergi.

Sampai di situ, Bok Ek hampirkan ini anak muda. Sejak tadi ia mendengari orang pasang omong, di samping ia mendongkol terhadap si kongcu, tahu ia bahwa anak muda ini baik hatinya dan berpihak padanya. Ia cuma merasa orang masih terlalu muda dan belum mengenal dunia.

“Saudara kecil, jangan kau ladeni dia!” dia berkata. “Asal nyawaku masih ada, sakit hati ini tidak dapat tidak dilampiaskan!” Terus ia kata dengan suara nyaring: “Anak muda, kau tinggalkan she dan namamu!”

Kongcu itu berpaling, ia tertawa. “Aku sudah bilang, tidak dapat aku memanggil mertua kepadamu, maka kenapa kau begini meliliit hendak mengetahui she dan namaku?” ia bertanya.

Kwee Ceng menjadi habis sabar, ia lompat kepada pemuda itu. “Kalau begitu, kau bayar pulang sepatunya si nona!” ia membentak.

Kongcu itu menatap. “Kau gemar campur urusan bukan urusanmu!” ia berkata. “Bukankah kau menaruh hati kepada nona itu?”

“Bukan!” jawab Kwee Ceng, yang menggeleng kepalanya. “Sebenarnya kau hendak membayar pulang sepatu itu atau tidak?”

Dengan mendadak saja anak muda ini menggeraki kedua tangannya, mencekal kedua nadi si kongcu. Ia telah gunai salah satu tipu dari ilmu silat Kim-na-ciu, yang semuanya terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Ilmu silat itu adalah untuk menangkap tangan lawan.

Kongcu itu terkejut berbareng gusar. Ia berontak tetapi tidak berdaya. “Kau mau mampus?!” tanyanya, sebelah kakinya menendang ke bawahan perut si anak muda.

Kwee Ceng tidak menangkis atau berkelit, dengan sebat ia tarik tangannya kongcu itu, hingga orang terlempar tubuhnya, dengan begitu, ia bebas dari tendangan orang itu.

Kongcu itu enteng sekali tubuhnya, walaupun ia telah terlempar, ia cuma terpelanting, tidak sampai ia mencium tanah. Hanya dengan begitu, ia telah kalah satu babak. Ia menjadi gusar sekali.

“Kau sudah bosan hidup, bocah?” ia berseru.

Kwee Ceng mengawasi, ia menggeleng kepala. “Buat apakah aku bertempur denganmu?” ia berkata, “Kau tidak mau nikahi dia, sudah saja, kau bayar pulang sepatunya itu!”

Orang banyak menyangka pemuda ini hendak membelai keadilan, mereka tidak nyana, akhirnya cuma sebegitu saja sikapnya. Mereka yang gemar menonton menjadi kecele.

Kongcu ini jeri juga terhadap Kwee Ceng, bahwa orang tidak ingin berkelahi, itu cocok dengan keinginannya, akan tetapi ia dipaksa menyerahkan sepatu si nona, mana dapat ia mengalah: Tidakkah ia berada di hadapan orang banyak? Maka itu seraya menyingkap jubahnya, ia memutar tubuh, mulutnya mengasih dengar tertawa dingin.

“Apakah kau hendak pergi?” menegur Kwee Ceng seraya menyambar jubah orang itu.

Si kongcu lantas menggunai ketikanya. Ia berkelit, jubahnya itu dilayangkan sekali, dipakai menungkrap kepala orang.

Kwee Ceng gelagapan. Justru itu dua kali iganya kena dihajar, sebab si kongcu sudah tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar