"Ehhh.... celaka.....!!"
Siok Tojin berseru, akan tetapi bagaimana dia dapat
menghindarkan diri dari serangan ke tiga ini? Kedua tangannya telah menahan dua
ancaman maut dan sama sekali tidak bisa dilepaskan.
"Plak-plak....!!"
Seperti ular hidup mematuk saja layaknya, ujung rambut
panjang itu menotok dua kali, membuat ke dua lengan tangan Siok Tojin seketika
lumpuh dan pedangnya telah dirampas oleh ujung rambut yang terayun-ayun dan
berputar ke atas, membawa pedang itu berputaran di atas kepala.
"Bagaimana, Totiang?" Kiam-mo Cai-li bertanya.
Sambil menundukan kepalanya, Siok Tojin berkata lirih,
"Pinto mengaku kalah."
Dan memang dia tahu akan kekeliruannya sekarang, akan
tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah dikalahkan dalam lima enam jurus saja!
Dia tahu pula bahwa lawan tidak hendak mencelakakannya, kakau tidak, tentu
ujung rambut itu dapat melakukan totokan maut yang akan menewaskannya. Rambut
itu membawa pedang meluncur ke bawah dan melempar pedang menancap di depan kaki
Siok Tojin, kemudian dua kali rambut menyambar, dan menotok sehingga
terbebaslah tosu itu dari totokan. Siok tojin menghela napas, mengambil
pedangnya, menjura lalu tanpa berkata-kata lagi dia melangkah mundur ke tempat
teman-temannya.
"Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Kiam-mo Cai-li.
Pedang payung lihai, kukunya berbahaya, rambutnya hebat, akan tetapi yang lebih
hebat lagi adalah kecerdikannya yang memancing kemarahan Siok Tojin! Memang
kecerdikan seperti itu amat dibutuhkan dalam tugas bekerja dari dalam yang
membutuhkan kecerdikan seperti yang dimiliki Kiam-mo Cai-li, kionghi! An
Goanswe tentu akan girang sekali mendengar laporan kami tentang diri Kiam-mo
Cai-lil!"
Kiam-mo Cai-li yang sudah duduk kembali, tersenyum
girang.
"Aihh, Loenghiong Pat-jiu Mo-kai terlalu memuji!�
katanya dengan bangga dan girang.
"Sekarang untuk melengkapi tugas kami yang diberikan
oleh An Goanswe, kuharap The-toanio suka memperlihatkan kepandaian,"
Kata pula Pat-jiu Mo-kai sambil melangkah maju menyeret
tongkat bututnya.
"Dan agaknya terpaksa aku sendiri yang harus maju
melayani Toanio."
The Kwat Lin masih tetap duduk dan memandang kakek
pengemis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian dengan suar tenang
dia berkata,
"Siapa lagi yang diutus oleh An Goanswe untuk
menguji kami?"
"Hanya kami bertiga, dan karena Siok Tojin sudah
kalah....."
"Maka tinggal engkau dan Tan Lo-enghiong itu. Nah,
kaulihat Tan Lo-enghiong juga telah membawa senjatanya, membawa sebatang toya,
maka sebaiknya kalau kalian berdua maju dan mengeroyokku!"
Pat-jiu Mo-kai tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, The-toannio, apakah Toanio juga hendak
menggunakan siasat seperti Kiam-mo Cai-li tadi? Ingat, tidaklah mudah untuk
memancing kemarahanku!"
The Kwat Lin mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju.
"Siapa yang menggunakan siasat? Tanpa siasat pun,
menghadapi kalian berdua aku masih sanggup."
Tiba-tiba terdengar suara Han Bu Ong,
"Ibu, berikan dia kepadaku! Biar aku yang menandingi
pengemis tua itu!"
Pat-jiu Mo-kai diam-diam terkejut. Kalau seorang anak
belasan tahun berani menghadapinya, tentu ibunya memiliki kepandaian yang hebat
sekali. Akan tetapi The Kwat Lin menoleh kepada puteranya dan berkata,
"Bu Ong, kita tidak sedang menghadapi musuh, dan pertandingan
ini hanya untuk menguji kepandaian saja. Jangan kau ikut-ikutan!" Han Bu
Ong cemberut lalu berkata,
"Apalagi hanya dikeroyok dua, biar kalian berlima
maju semua, ibu akan dapat mengalahkan kalian dengan satu tangan saja!"
Kembali Pat-jiu Mo-kai terkejut. Bocah itu, putera The
Kwat Lin, tidak lebih dianggap seperti bocah biasa, dan tentu telah memiliki
kepandaian tinggi pula, maka kata-katanya tidak boleh dianggap kosong belaka.
Lenyaplah keraguannya dan dia berkata kepada The Kwat Lin,
"Memang sesungguhnya aku sendiri dan Tan Goan Kok
merupakan orang-orang yang diutus menguji kepandaian Toanio, apakah kami boleh
maju bersama menghadapi kelihaian Toanio?"
Dengan sikap tak acuh The Kwat Lin berkata sambil
menggerakan tangan kirinya,
"Majulah, jangan sungkan-sungkan!" Tan Goan Kok
yang berwatak kasar itu melompat ke depan.
"Hemm, tentu Nyonya rumah memiliki kelihaian yang
luar biasa maka menantang kita maju berdua, Pat-jiu Mo-kai!" Pat-jiu
Mo-kai mengangguk-angguk.
"Hati-hatilah, Tan-sicu�
Mereka berdua lalu memasang kuda-kuda di sebelah kanan
kiri The Kwat Lin. Pat-jiu Mo-kai memegang tongkat butut dengan tangan kanan
seperti memegang sebatang pedang, tongkat itu menuding ke depan dari dadanya,
lurus ke depan, sedangkan tangan kirinya menjaga di depan pusar, kedua kaki
ditekuk sedikit, agak merapat di depan dan belakang.
Tan Goan Kok memegang toyanya dengan kedua tangan,
kuda-kudanya kuat sekali, kokoh seperti batu karang dan toya di kedua tangannya
itu sedikit pun tidak bergoyang. Melihat dua orang itu sudah memasang
kuda-kuda, The Kwat Lin lalu mencabut pedangnya, yaitu Angbwe- kiam dan
melangkah maju sambil berkata,
"Nah silahkan kalian mulai!"
"Kami adalah tamu-tamu dan kami maju berdua, tidak
pantas kalau kami mulai, silahkan Toanio mulai,"
kata Pat-jiu Mo-kai yang tidak mau membuka serangan
karena dia ingin lawan maju menyerang lebih dulu agar dia atau temannya dapat
mengacaukan pertahanan lawan dengan serangan mendadak. The Kwat Lin tersenyum,
maklum akan siasat kakek jembel itu.
"Nah, sambutlah!"
Teriaknya dan Pat-jiu Mo-kai kecele kalau hendak
melanjutkan siasatnya karena tiba-tiba pedang itu lenyap bentuknya, berubah
menjadi sinar yang menyambar ke arah mereka seperti kilat cepatnya sehingga
sekali bergerak, pedang itu telah menyerang mereka berdua dalam waktu yang
hampir bersamaan! Tentu saja mereka terkejut sekali dan cepat menggerakkan
tongkat dan toya untuk menangkis.
"Trang...! Cringggg....!!"
Pat-jiu Mo-kai dan Tan Goan Kok terhuyung ke belakang.
Tenaga yang keluar dari Ang-bwe-kiam sungguh dahsyat, membuat telapak tangan
mereka terasa panas dan hampir saja senjata mereka terlepas.
Terkejutlah kedua orang itu dan The Kwat Lin diam-diam
mentertawakan mereka karena dia memang hendak mengukur lebih dulu kekuatan
lawan. Karena merasa penasaran, kini ke dua orang itu maju dari kanan kiri dan
mulailah mereka menyerang dengan ganas. Kwat Lin sudah dapat mengetahui bahwa
di antara kedua orang pengeroyoknya, tongkat kakek jembel itulah yang lebih
lihai maka dia selalu mendahulukan tangkisannya terhadap tongkat itu, baru dia
menangkis toya yang menyambar.
Dia tahu bahwa kakek Tan Goan Kok yang kasar itu hanyalah
menggandalkan tenaga gwakang yang besar, namun makin besar tenaga kasar lawan,
makin mudah dia menghadapinya karena sedikit getarkan pedang yang dilakukan
dengan pengerahan sinkang cukup membuat telapak tangan Tan Goan Kok terpukul
sendiri oleh tangannya. Lewat sepuluh jurus, setelah dia yakin akan ukuran
tenaga kedua orang lawannya,
Tiba-tiba The Kwat Lin menyarungkan kembali pedangnya dan
menghadapi kedua lawan itu dengan tangan kosong. Tentu saja dua orang lawannya
cepat menahan senjata dan pat-jiu Mo-kai berseru,
‘Heiii, The-toanio. Kami belum kalah mengapa engkau
mengakhiri pertandingan?"
"Siapa Mengakhiri? lanjutkanlah serangan kalian, aku
menyimpan pedang karena takut rusak."
"Huhhh, dengan tangan kosong pun ibu akan mudah
mengalahkan kalian!"
Dua orang kakek itu lalu maju lagi dan menggerakan
senjata mereka untuk menyerang. Tongkat pat-jiu Mo-kai melayang dari atas
menghantam kepala, sedangkan toya Tan Goan Kok menyambar dari samping
menghantam lambung! Mereka terkejut setengah mati melihat lawan itu sama sekali
tidak mengelak, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan meloncat sedikit.
"Bukkk! Bukkkk!!"
Tongkat itu dengan kerasnya menghantam leher dan toya itu
menghantam pangkal paha, akan tetapi tiba-tiba dua orang kakek itu roboh
terguling dalam keadaan lemas tertotok!
"Horeeee....!!"
Han Bu Ong bersorak melihat betapa dalam segebrakan saja
setelah ibunya menyimpan pedang, dua orang pengeroyok itu dapat dirobohkan.
Sementara itu, The Kwat Lin cepat membebaskan totokannya dan dua orang kakek
itu dapat bangkit sambil memungkut senjata mereka dan memandang dengan mata
terbelalak kagum kepada wanita itu. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa
mereka dapat dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, namun kenyataannya memang
demikian dan mengingat akan siasat lawan ini, mereka bergidik dan kagum sekali.
Ternyata ketika tadi dia menggunakan pedang, The Kwat Lin hanya ingin mengukur
sampai di mana kekuatan dua orang lawannya. Setelah yakin benar, dia menyimpan
pedang dan sengaja menerima hantaman yang sudah dia ukur akan dapat diterima
oleh leher dan pinggulnnya, kemudian pada saat kedua senjata itu tiba di
tubuhnya, menggunakan kesempatan selagi kedua orang kakek itu terkejut melihat
lawan tidak mengelak dan menerima pukulan, cepat seperti kilat kedua tangan The
Kwat Lin bergerak dan berhasil menotok roboh dua orang kakek yang sama sekali
tidak menduga bahwa lawan yang terkena hantaman dua kali itu akan menotok
mereka!
"Bukan Main!!!"
Tan Goan Kok berseru dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Belum pernah selama hidupnya dia bertemu tanding sehebat itu.
"Kami mengaku kalah! Kiranya The toanio memiliki
kelihaian yang amat luar biasa dan kami akan melaporkan semua ini kelak kepada
An Goanswe," kata pat-jiu Mo-kai.
The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li girang sekali setelah
dapat menundukan para utusan itu, maka pesta lalu diadakan untuk menyambut
utusan-utusan An Lu Shan dan sambil makan minum mereka lalu merundingkan dan
merencanakan siasat untuk bekerja sama. Dalam kesempatan ini, Pat-jiu Mo-kai
mengeluarkan sebuah peti hitam kecil dan menyerahkannya kepada The Kwat Lin
sambil berkata,
"Harap Toanio suka menerima hadiah tanda
persahabatan dari An Goanswe ini."
The Kwat Lin menyatakan terima kasih, lalu bersama
Kiam-mo Cai-li membuka peti yang terisi emas dan perak dalam jumlah yang cukup
banyak. The Kwat Lin lalu melepaskan rantai kalungnya dan menyerahkannya kepada
Pat-jiu Mo-kai sambil berkata,
"Kami tidak mempunyai apa-apa untuk dipersembahkan
kepada An Goanswe sebagai tanda persahabatan ini, harap Mo-kai suka menerima
dan menyampaikan kepada Beliau."
Pat-jiu Mo-kai menerima kalung itu dan mereka berlima
terbelalak kagum melihat mata kalung yang amat besar dan indah penuh batu
permata yang amat luar biasa. Biarpun mereka bukanlah ahli, namun pengalaman
mereka membuat mereka, terutama tiga orang kakek itu dapat menduga bahwa harga
kalung ini tidak kalah mahalnya dengan peti dan isinya, hadiah dari An Lu Shan
tadi!
"Hendaknya di antara pelaporan Cuwi, diberitahukan
kepada An Goanswe bahwa kami sama sekali tidak membutuhkan harta benda,
melainkan hendaknya An Goanswe mengingat bahwa saya adalah bekas Ratu Pulau Es
dan puteraku adalah seorang Pangeran, sedangkan Kiam-mo Cai-li adalah majikan
Rawa Bangkai sehingga kelak kalau perjuangan kita berhasil, sudah sepatutnya
kalau kami memperoleh kedudukan yang setingkat dengan keadaan dan dengan
bantuan kami."
Mengertilah tiga orang kakek itu bahwa wanita lihai bekas
ratu ini ternyata memiliki ambisi untuk kedudukan tinggi bagi puteranya.
***
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Lui Bwee, Ratu Pulau
Es yang bernasib sengsara, ibu dari Swat Hong itu. Seoerti telah diceritakan di
bagian depan, Liu Bwee meninggalkan Pulau Es, naik perahu dan mencari atau
menyusul puterinya, Han Swat Hong yang lebih dulu meninggalkan Pulau Es menuju
ke Pulau Neraka hendak menggantikan hukuman yang dijatuhkan oleh Raja Pulau Es
atau diri Liu Bwee.
Sambil menahan tangisnya, wanita yang menderita sengsara
karena madunya ini mendayung perahu secepatnya meninggalkan Pulau Es. Akan
tetapi, biarpun semenjak kecil berada di Pulau Es, namun dia belum pernah pergi
Ke Pulau Neraka. Siapakah orangnya yang berani pergi ke Pulau Neraka, kecuali
mereka yang memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu? Karena tidak mengenal
jalan, Lui Bwee menjadi bingung, apalagi karena tidak lagi melihat bayangan
puterinya. Dia adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai
mengemudikan perahu, akan tetapi karena tidak tahu di mana letaknya Pulau
Neraka, dia menjadi bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah tertentu, asal
meninggalkan Pulau Es sejauh-jauhnya saja. Dia ingin menjauhkan diri dari
suaminya yang amat tercinta, dan terutama dari The Kwat Lin, madunya yang telah
menghancurkan hidupnya. Setelah sehari sema lam berputaran tanpa tujuan dan
sama sekali tidak melihat Pulau Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat
seorang pun manusia yang dapat dia tanyai di antara gumpalan-gumpalan es yang
mengambang di laut dan pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di situ, tanpa
makan tanpa tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat di sebuah pulau kosong
yang subur. Dia mencari makanan untuk memenuhi tuntutan perutnya yang lapar,
kemudian melihat bahwa pulau ini cukup subur dan baik hawanya, dia mengambil
keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa selama hidupnya sampai hari akhir.
Dia sudah merasa bosan dengan urusan dunia yang hanya mendatangkan kesengsaraan
batin belaka. Mulailah Liu Bwee, wanita cantik yang usianya kurang lebih tiga
puluh lima tahun dan masih kelihatan muda sekali itu mengasingkan diri dan
bertapa di pulau kosong sampai hampir enam bulan lamanya.
Dia sudah menemukan ketentraman batin, melupakan segala
urusan duniawi. Namun ada saja sebabnya kalau memang belum jodohnya menjadi
pertapa. Pada suatu hari, badai yang amat hebat mengamuk. Badai inilah yang
membasahi Pulau Es dan badai ini mengamuk juga di pulau kosong di mana Liu Bwee
bertapa itu. Hebat bukan main dan biarpun Liu Bwee tadinya sudah bersembunyi di
dalam goa, dia diterjang air laut yang naik ke atas pulau. Berkat ketangkasan
dan kepandaiannya, Liu Bwee berhasil menyambar ujung ranting pohon ketika
tubuhnya diseret oleh harus ombak laut yang amat kuat dan dia berhasil naik ke
puncak pohon kecil yang menyelamatkanya. Akan tetapi, air bergelombang dari
arah laut dan dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat-kuat setiap kali
air menghantamnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Dan hal ini berlangsung
berjam-jam. Betapapun kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang manusia, maka makin
lama makin lemaslah tubuhnya karena dia harus berjuang melawan air laut yang
dahsyat itu. Setiap kali ombak datang bergulung, hampir menenggelamkan pohon
itu dan selain dia harus berpengang kuat-kuat mengerahkan sinkangnya agar
jangan sampai terseret oleh air, juga dia harus menahan napas karena iar
menghantam seluruh tubuh dan mukanya.
"Celaka...." pikirnya ketika untuk kesekian
puluh kalinya dia berhasil mempertahankan dirinya dari serangan air laut.
"Kalau terus begini, aku tidak akan kuat lagi
bertahan...."
Liu Bwee melihat ke kanan kiri. Banyak pohon yang sudah
tumbang dan dia merasa ngeri. Kalau pohon di mana dia berlindung ini tumbang,
dia tentu akan tewas. Sayang dia tidak dapat pindah ke pohon yang tinggi di
sana itu, tentu dia akan aman dan air tidak dapat mencapai pohon itu. Kembali
datang serangan air, Liu Bwee memejamkan mata, menahan napas dan berpegang
eraterat, maklum bahwa yang datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat.
"Haiiii....! Yang di sana itu.....! Berpeganglah
kuat-kuat....! Aku akan berusaha menolongmu....!!"
Teriakan suara laki-laki ini datang dari arah pohon
tinggi tadi. Liu Bwee membuka matanya, melihat sinar hitam kecil menyambar dari
pohon besar itu, akan tetapi pada saat itu, air pun datang menerjang dengan
kekuatan yang amat dahsyat.
"Oughhh....!"
Betapapun kuat kedua tangannya Liu Bwee berpegang pada
ranting pohon, namun kekuatan air itu lebih dahsyat lagi. Terdengar batang itu
patah dan tubuh Liu Bwee hanyut terseret ombak. Dia sudah putus asa dan
menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan.
"Matilah aku...." bisiknya.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa nyeri dan tertahan,
kemudian tubuhnya ditarik menuju ke pohon besar! Ketika dia memperhatikan,
kiranya tubunya telah terlibat sehelai tali hitam yang amat kuat dan
teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi menyambar kepadanya sebelum air
menghantamnya. Dia maklum bahwa ada orang menolongnya maka bangkit kembali
semangatnya untuk melawan maut, mempertahankan hidupnya. Lui Bwee mulai
menggerakkan kaki tangannya, berenang agar tidak sampai tengelam dan mem
biarkan dirinya diseret oleh tali itu ke arah pohon besar yang lebih tinggi
itu.
Napasnya terengah-engah hampir putus karena tenaganya
sudah habis dipergunakan untuk melawan hantaman-hantaman air yang bertubi-tubi
tadi. Kalau saja tidak ada tali hitam yang melingkari pinggangnya dan selain
menariknya ke arah pohon juga menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak
sanggup berenang ke pohon itu. Dia berenang hanya untuk mencegah tubuhnya
tenggelam saja. Tahulah dia bahwa nyawanya diselamatkan oleh tali dan diam-diam
dia berterima kasih sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang belum
tampak olehnya itu. Dengan seluruh tenaga yang masih bersisah padanya, Liu Bwee
berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam.
"Pertahankanlah.... sebentar lagi...."
terdengar suara laki-laki tadi dari pohon itu.
Liu Bwee merasa betapa tubuhnya di tarik makin cepat ke
arah pohon karena dari arah laut sudah datang lagi gelombang yang amat dahsyat.
Ngeri juga dia menyaksikan gelombang sebesar gunung yang datang
bergulung-gulung dari depan seolah-olah seekor naga raksasa yang datang hendak
menelannya.
"Cepat.... cepatlah!"
Dia merintih dan dalam keadaan setengah pingsan dia
merasa betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya diseret ke arah pohon itu.
Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan yang kuat, menyambarnya,
tubuhnya diangkat ke atas pohon tepat pada saat gelombang itu datang
bergulung-gulung. Liu Bwee mengeluh dan tak sadarkan diri!
"Aneh....!"
Lapat-lapat Liu Bwee mendengar kata-kata "aneh"
itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya sakit-sakit, kepalanya pening dan tenaganya
habis maka dia tidak membuka mata dan membiarkan saja ketika measa betapa ada
telapak tangan hangat menyentuh tengkuknya dan dari telapak tangan itu keluar
hawa sinkang yang hangat dan yang membantu peredaran jalan darahnya, memulihkan
kembali tenaganya secara perlahan-lahan.
"Aneh sekali....!"
Kini Liu Bwee teringat semua dan mengenal suara itu
sebagai suara laki-laki yang menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan
menggerakan tubuhnya hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit
karena tubuhnya limbung dan kalau laki-laki itu tidak cepat menyambar
lengannya, tentu dia sudah jatuh terguling dari atas batang pohon yang besar
itu, jatuh ke bawah yang masih direndam air laut yang masih berguncang.
"Ahhhh....!"
Dia berkata lalu mengangkat muka memandang. Seorang
laki-laki, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih duduk di atas dahan di
depannya. Laki-laki itu berwajah gagah sekali, alisnya tebal matanya lebar dan
air mukanya yang penuh goresan tanda penderitaan batin itu kelihatan matang dan
penuh ketulusan hati, tubuhnya tegap dan pakaiannya bersih dan rapi, di
punggungnya tampak sebatang pedang.
Laki-laki itu memandang kepadanya dengan air muka
membayangkan keheranan, maka tentu laki-laki ini yang tadi berkali-kali
menyerukan kata-kata "aneh" dan tentu laki-laki ini pula yang telah
menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.
"Engkaulah yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku
harus menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolonganmu."
Liu Bwee berkata sambil memandang wajah yang gagah dan
sederhana itu. Laki-laki itu mengelus jenggot yang hitam panjang, menatap wajah
Liu Bwee kemudian berkata,
"Harap jangan berkata demikian. Dalam keadaan dunia
seolah-olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga manusia
manapun, sudah sepatutnya kalau di antara manusia saling bantu-membantu.
Hemmm... sungguh aneh sekali....!"
"In-kong (Tuan Penolong), mengapa berkali-kali
mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee.
Orang itu tidak tertawa, hanya mengelus jenggotnya dan
menatap wajah Liu Bwee tanpa sungkan-sungkan, seolah-olah dia sedang memandang
benda yang aneh dan belum pernah dilihatnya.
"Siapa kira di pulau kosong ini, di mana laki-laki
pun sukar untuk hidup, terdapat seorang wanita yang masih muda dan cantik
jelita."
Liu Bwee merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu
bahwa tentu kulit mukanya menjadi merah sekali dan diam-diam dia memaki dirinya
sendiri. Huh, apa artinya kau bertapa sampai berbulan-bulan kalau sekarang
mendengar pujian dari mulut seorang laki-laki kau merasa berdebar dan girang,
demikian dia memaki dalam hatinya.
Untuk menutupi perasaannya, dia pura-pura tidak mendengar
dan cepat bertanya,
"Bagaimana Inkong bisa tiba di tempat ini? Setahuku,
di pulau ini tidak ada orang lain kecuali aku seorang."
"Memang aku tidak tinggal di pulau ini,
Toa-nio...."
Kembali wajah Liu Bwee menjadi mereh mendengar sebutan
nyonya besar ini, laki-laki itu terlalu merendahkan diri.
"Aku adalah seorang perantau di antara pulau-pulau
kosong di sekitar tempat ini, akan tetapi tidak pernah mendarat di sini karena
tidak menyangka bahwa di sini ada orangnya. Sekali mendarat di sini, badai
mengamuk dan kebetulan sekali aku melihat engkau berjuang melawan maut di pohon
kecil itu."
"Untung bagiku. engkau seolah-olah diutus oleh Thian
untuk datang menolongku."
"Aku girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum
sekali. Belum tentu ada satu di antara seribu orang yang akan dapat bertahan
melawan hantaman gelombang air laut sehebat itu berkali-kali, dan kau malah
masih kuat berenang. Inilah yang mengherankan aku. Seorang wanita muda....."
"Aku tidak muda lagi, usiaku sudah tiga puluh lima
tahun...."
"Itu masih muda namanya, setidaknya bagiku. Seorang
wanita muda...."
Dan mata laki-laki itu bercahaya penuh tantangan sehingga
Liu Bwee tidak membantah lagi,
"Cantik dan berkepandaian tinggi, bukan orang
sembarangan, ini sudah jelas sekali, berada seorang diri di pulau kosong. Siapa
tidak akan merasa heran?"
"Aku sedang mencari puteriku yang hilang...."
"Ah...!" Laki-laki itu terkejut dan memandang
penuh perhatian.
"Berapakah usianya dan siapa namanya? Aku akan
membantumu mencarinya."
Dia bicara dengan suara mengandung keperihatinan dan
perasaan iba yang jelas sekali nampak sehingga Liu Bwee merasa makin tertarik
dan berterima kasih. Jelas baginya bahwa penolongnya adalah seorang laki-laki
yang baik hati, sungguhpun kehadirannya di bagian dunia yang amat terasing ini
bukanlah hal yang tidak aneh.
"Dia sudah dewasa, sekitar enam belas tahun, namanya
Han Swat Hong...."
"Ahhhh??" Kembali laki-laki itu memotong dengan
seruan kaget dan matanya terbelalak memandang Liu Bwee.
"She Han....? Apa hubungannya dengan Han Ti
Ong?"
"Dia anaknya...."
Liu Bwee sendiri terkejut karena merasa telah terlanjur
bicara maka dia menahan katakatanya.
Laki-laki itu terkejut dan jelas terbayang di mukanya
betapa jawaban ini sama sekali tidak disangkanya. Matanya memandang Liu Bwee
dengan penuh perhatian dan penuh selidik, dan sampai lama dia baru bertanya.
"Kalau puterimu itu adalah anak Han Ti Ong berarti
bahwa... Paduka adalah Ratu Pulau Es...."
Liu Bwee menarik napas panjang. Dia tidak dapat
bersembunyi lagi, dan pula, orang yang telah menyelamatkan nyawanya ini memang
berhak untuk mengetahui semuanya. Apalagi karena memang penderitaan batinnya
adalah karena terkumpulanya rasa penasaran di dalam hatinya yang membutuhkan
jalan keluar. Selain ini, sebutan "paduka" amat menyakitkan
telinganya. Maka dia kembali menarik napas panjang.
"Itu sudah lalu.... sekarang aku bukanlah ratu lagi,
melainkan seorang buangan....."
"Apa....? Seorang permaisuri dibuang dari Pulau
Es?"
Liu Bwee lalu menceritakan riwayatnya, menceritakan
betapa suaminya, Raja Pulau Es telah mengambil seorang selir bernama The Kwat
Lin dan betapa akhirnya karena ulah selir itu, dia difitnah dihukum buang Ke
Pulau Neraka!
"Puteriku Han Swat Hong, menjadi marah dan lari
minggat dari Pulau Es hendak mewakili aku menerima hukuman buang di Pulau
Neraka. Aku mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil, bahkan aku tersesat ke
pulau ini dan karena merasa putus harapan, aku lalu bertapa di sini sampai enam
bulan lamanya. Hari ini semestinya penderitaanku berakhir, akan tetapi agaknya
Thian masih hendak memperpanjang hukumanku makan aku dapat kau
selamatkan...."
Tak tertahankan lagi, Liu Bwee menutupi mukanya dan
menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dia terisak-isak.
"Krekkk! Krekkk!" ranting kayu di depan
laki-laki itu telah hancur berkeping-keping karena diremasnya di tangan
kanannya.
"Kejam! Jahat sekali! Orang yang merasa dirinya
bersih adalah sekotor-kotornya orang! Seperti Han Ti Ong dan semua raja di
Pulau Es! Menghukumi orang-orang dan membuang mereka ke Pulau Neraka, hidup di
neraka yang amat sengsara. Akan tetapi mereka sendiri, Si penghukum itu,
melakukan kekejian dan kejahatan bertumpuk-tumpuk dan merasa dirinya benar!
Betapa menjemukan! Aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menentang kejahatan dan
kepalsuan macam ini!"
Liu Bwee mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya
masih basah oleh air matanya.
"Inkong, engkau siapakah dan mengapa seolah-olah
menaruh permusuhan dengan Pulau Es?"
"Aku bernama Ouw Sian Kok, aku putera tunggal dari
ketua di Pulau Neraka."
"Ohhh....!!"
Kini giliran Liu Bwee yang menjadi kaget setengah mati
karena tidak mengira bahwa penolongnya ternyata adalah musuh besar Pulau Es!
"Harap Paduka jangan khawatir...."
"In-kong, jangan kau menyebutku Paduka. Aku bukanlah
seorang permaisuri lagi melainkan seorang buangan seperti engkau pula, kau tahu
bahwa namaku Liu Bwee, orang biasa anak nelayan, hanya bekas ratu sekarang
menjadi orang buangan."
"Hem, baiklah Liu-toanio. Dan akupun tidak suka
disebut Inkong, aku lebih tua dari padamu, sebut saja aku Twako. Sebutlah, aku
bukanlah musuh langsung dari Pulau Es, karena aku bukan seorang buangan,
melainkan keturunan seorang buangan. Akan tetapi aku pun hanya bekas putera
Ketua Pulau Neraka, karena sudah lima belas tahun lamanya aku meninggalkan
Pulau Neraka, tidak pernah menjenguknya lagi dan menjadi perantau di antara
pulau-pulau kosong ini...."
Tiba-tiba wajah yang gagah itu kelihatan menyuram.
"Eh, kenapakah Ouw-twako? Apa yang terjadi denganmu
maka engkau menjadi demikian?"
Liu Bwee bertanya, tertarik hatinya. Ouw Sian Kok
menghela napas panjang, agaknya tidak suka menceritakan peristiwa masa lalu
yang telah merobah jalan hidupnya sama sekali.
"Aku memang sudah tidak senang tinggal di Pulau
Neraka. Keadaan pulau itu membuat orang yang tinggal di situ menjadi buas, liar
dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman di pulau itu. Akan tetapi sebagai
putera Ketua, aku menekan ketidak senanganku dan terutama karena aku hidup
penuh kasih sayang dengan isteriku. Kami mempunyai seorang anak perempuan yang
sudah lima belas tahun tidak pernah kulihat. Tuhan menghukum aku. Isteriku yang
tercinta itu meninggal dan aku.... aku lalu pergi meninggalkan ayah, anakku,
dan Pulau Neraka sampai sekarang."
Sehabis bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan
berkali-kali menghela napas panjang. Liu Bwee memandang dengan mata penuh belas
kasihan, bengong dan tidak dapat berkata-kata. Betapa besar persamaan
penderitaan di antara mereka. Dia pun kehilangan suami, sungguhpun suaminya
masih hidup akan tetapi apa bedanya dengan mati kalau suaminya sudah tidak
mencintainya lagi? Dan dia kehilangan anaknya pula, sama benar dengan nasib Ouw
Sian Kok yang kehilangan isteri dan anaknya. Hanya bedanya, kalau dia
mencari-cari Swat Hong, adalah laki-laki ini sengaja meninggalkan puterinya.
"Kasihan engkau, Ouw-twako," katanya sambil
menyentuh tangan laki-laki yang telah menolongnya itu.
Ouw Sian Kok menghela napas, kemudian tiba-tiba
mengangkat mukanya dan tersenyum.
"Betapa aneh dan lucunya. Engkau yang bernasib
malang ini menaruh kasihan kepada aku! Hemm, isteriku dirampas oleh Tuhan, aku
tidak mungkin bisa mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas wanita lain, itu
merupakan hal yang lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita
melupakan semua itu dan yang terpenting kita memperhatikan keadaan kita
sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat badai mulai berhenti dan air yang
merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut, cuaca sudah terang tidak
segelap tadi!"
Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan kiri benar
saja, badai telah berhenti. Seketika lupalah dia akan segala kedukaan dan
wajahnya berseri. Dia tidak tahu betapa Ouw Sin Kok memandangnya dengan penuh
kagum melihat wajah yang cantik itu, dengan air mata yang masih menepel di
pipi, kini terenyum dan berseri-seri.
"Mari kita turun!" kata Liu Bwee setelah
melihat bahwa dengan amat cepatnya air telah meninggalkan pulau, seperti
serombongan anak-anak nakal yang pulang ke rumah dipanggil ibunya. Mereka meloncat
turun dan menuju ke tepi pantai di mana Ouw San Kok menaruh perahunya. Girang
hatinya bahwa sebelum meninggalkan perahu ketika badai mulai mengamuk, dia
telah mengikat perahunya dengan kuat sekali pada batu karang sehingga kini
perahunya itu masih berada di situ.Akan tetapi perahu Liu Bwee lenyap tak
meninggalkan bekas.
"Liu-toanio, mari kita berangkat."
"Eh, ke mana?"
Liu Bwee memandang penuh keheranan dan mengerutkan
alisnya.
"Ke Pulau Es."
"Apa....? Apa maksudmu?" Liu Bwee hampir
menjerit.
"Aku tidak sudi! Aku tidak mau kembali hanya untuk
menerima penghinaan saja."
"Liu-toanio, seorang wanita seperti Toanio tidak
selayaknya hidup sengsara seperti ini. Han Ti Ong telah berlaku sewenang-wenang
dan tersesat. Biarlah aku yang akan menegur dan mengingatkannya akan
kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat Toanio diperlakukan dengan
tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup sengsara. Marilah dan jangan
khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan lebih mudah menyadarkan suamimu
yang sedang tergila-gila kepada wanita lain itu. Akulah yang bertanggung jawab,
dan kupertaruhkan nyawaku untuk itu."
Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran-heran,
bengong dan seperti terpesona sehingga dia menurut saja ketika diajak naik ke
perahu oleh Ouw Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat berkata,
"Ouw-twako.... mengapa kau melakukan semua ini
untukku? Mengapa engkau menolongku, membelaku mati-matian? Mengapa engkau
begini baik kepadaku?"
Sambil mendayung perahunya dengan gerakan tangkas dan
kuat sekali sehingga perahu itu melucur amat cepatnya di permukaan air laut
yang kini amat tenang, setenang-tenangnya seolah-olah raksasa yang habis
mengamuk hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga, Ouw Sian Kok menjawab
tanpa menoleh kepada Liu Bwee,
"Engkau begitu sengsara, dan begitu tenang,
mengingatkan aku kepada isteriku yang tercinta. Engkau begitu membutuhkan
perlindungan, begitu membutuhkan bantuan.Siapa lagi kalau bukan aku yang
membantumu, Toanio?"
Liu Bwee memandang laki-laki itu dari samping, tak terasa
lagi kedua matanya basah dan beberapa butir air mata turun di sepanjang
pipinya. Sejenak dia tidak mampu menjawab. Memang dia sudah tidak mempunyai
siapa-siapa lagi di dunia ini, hanya Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya
berada di mana. Tidak ada seorang pun yang menemaninya, apalagi membelanya.
Maka kemunculan laki-laki gagah perkasa ini yang memperlihatkan sikap
membelanya mati-matian itu menimbulkan sikap keharuan hatinya, apalagi mendengar
betapa laki-laki itu ketika melihat dia teringat akan isterinya tercinta yang
telah meninggal dunia, hatinya menjadi terharu sekali dan dia tidak tega untuk
menolak lagi. Di samping itu, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di dalam hati
wanita ini karena dia seperti mendapat bisikan hatinya bahwa laki-laki
penolongnya ini menaruh hati kepadanya dan rela membelanya dengan taruhan
nyawa! Hal ini bukan membuat dia merasa bangga dan girang seperti yang mungkin
akan dirasakannya jika dia masih seorang gadis muda, melainkan mendatangkan
rasa sungkan dan malu sehingga pelayaran itu dilanjutkan dengan diam-diam
karena Liu Bwee merasa sukar sekali untuk membuka mulut. Beberapa jam berlalu
dengan sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang merasa tidak tahan berkata,
"Toanio, aku mohon maaf sebanyaknya kalau semua
ucapanku yang sudah-sudah menyinggung perasaanmu."
Liu Bwee menggigit bibirnya. Laki-laki ini, yang gagah
perkasa dan budiman harus diakuinya memiliki sifat jantan dan rendah hati.
"Tidak ada yang harus dimaafkan," katanya
lirih.
"Toanio marah kepadaku?"
Sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi, sekali ini
dia tidak dapat menahan keinginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan menatap
wajah wanita itu. Kebetulan sekali pada saat itu Liu Bwee juga memandang kepadanya.
Sedetik dua pasang mata itu bertemu bertemu, akan tetapi Liu Bwee segera
mengalihkan pandang matanya dan menjawab dengan gerakan kepalanya menggeleng.
Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia
berkata,
"Aku girang bahwa kau tidak marah kepadaku,
Toanio."
Perahu didayungnya kuat-kuat dan perahu itu meluncur
cepat sekali menuju ke tujuan, yaitu Pulau Es yang biarpun tidak pernah
didatanginya, namun sudah diketahui di mana letaknya, karena sering kali dalam
perantauannya dia memandang pulau itu dari jauh. Kegembiraan besar seperti yang
belum pernah dialaminya selama lima belas tahun ini memenuhi hatinya. Kalau
saja tidak ada Liu Bwee di situ, kalau saja dia tidak merasa malu, tentu dia
akan bernyanyi dengan riang sebagai peluapan rasa gembiaranya. Dua hari dua
malam meeka melakukan pelayaran, kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas
perahu dan minum air es yang mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya
tibalah mereka di Pulau Es dan dari jauh saja sudah kelihatan perbedaan pulau
itu yang amat mengherankan Liu Bwee.
"Mengapa begitu sunyi? dan begitu bersih licin?
Ouw-twako, cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi apaapa di sana,"
Katanya dengan jantung berdebar, tidak saja karena
melihat pulau di mana dia di besarkan sejak kecil itu akan tetapi juga tegang
hatinya membayangkan pertemuannya dengan suaminya dan dengan selir suaminya.
Setelah perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat. Jantungnya
berdebar tegang, akan tetapi kini disertai rasa khawatir. Pulau Es berubah
bukan main. Mengapa tidak tampak seorang pun?
Tak lama kemudian dia berlari diikuti Ouw Sian Kok yang
sudah mengikat perahunya. Pria ini pun terheran-heran mengapa pulau yang
terkenal sekali di Pulau Neraka sebagai kerajaan itu kelihatan begini sunyi
senyap.
Ketika mendekati sebuah tanjakan dan tampak Istana Pulau
Es, Liu Bwee mengeluarkan seruan tertahan dan mukanya menjadi pucat sekali.
"Apa.... apa yang terjadi.....? Dan
bangunan-bangunan mereka..... mengapa lenyap? Hanya tinggal istana yang kosong
dan rusak..... ahhh..."
Terhuyung-huyung Liu Bwee berlari mendekati istana,
tetapi diikuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa khawatir sekali. Seperti seorang
mabok, Liu Bwee berteriak-teriak memanggil orang-orang dan berlari memasuki
istana yang sudah kosong itu, diikuti oleh Ouw Sian Kok yang juga merasa heran.
Akan tetapi laki-laki ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi.
"Ke mana...? Mereka semua ke mana ....?"
Liu Bwee berdiri di tengah ruangan istana yang dahulu
begitu megah dan kini kosong dan sunyi itu. Melihat wajah yang pucat itu, mata
yang terbelalak liar, Ouw Sian Kok cepat meloncat dan memegang lengan Liu Bwee,
ditariknya keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian Kok
berkata suaranya tegas dan penuh rasa iba,
"Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang
telah kita alami di pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama
hidupku belum pernah mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini tidak begitu
jauh dan melihat hebatnya badai, tidak salah lagi bahwa pulau ini pun dilanda
badai." Bagaikan kilat cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikan
tubuh memandang pria itu, matanya terbelalak.
"Ahhh....! Kau benar....! Badai itu! Pulau Es diamuk
badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan....!" Liu Bwee mendekap
mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas es dan menangis
sesenggukan.
"Aku khawatir sekali, Tonio, bahwa tidak hanya
benda-benda yang disapu bersih dari permukaan pulau ini, melainkan juga para
penghuninya. kalau ada penghuninya yang selamat, mustahil mereka meninggalkan
pulau. Siapa yang mampu melawan kedahsyatan badai seperti itu?"
"Kau benar... ah... suamiku.... aihhh, semua
saudaraku di Pulau Es, benarkah kalian tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya
mimpi...?"
Seperti orang kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati
istana, meraba-raba tembok istana dan berbisik-bisik. Melihat ini Sian Kok
merasa kasihan sekali akan tetapi karena dia maklum akan kehancuran hati bekas
permaisuri Raja Pulau Es itu, dia hanya memandang dan menjaga, mendiamkannya
saja.
"Ohhh.... mereka semua tewas? Semua tewas....? Siapa
percaya.... suamiku yang berilmu tinggi, tak mungkin dia tewas oleh
badai...." Liu Bwee berbisik-bisik dan meraba-raba tembok seolah-olah dia
hendak bertanya dan mencari keterangan kepada dinding batu itu. Tiba-tiba jari
tangannya menyentuh huruf-huruf terukir di situ. Matanya terbelalak memandang
dan bibirnya bergerak membaca tulisan yang dikenalnya benar, tulisan suaminya
yang dibuat dengan cara mengukir batu itu dengan jari tangannya!
"Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah
menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu,
rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan
Kai-ong."
"Ohhh....!!"
Liu Bwee memejamkan matanya, kepalanya seperti dipukuli
orang dan pandang matanya berkunang. Dia cepat menekankan kedua tangannya pada
dinding agar jangan roboh, tidak tahu bahwa Sian Kok sudah meloncat ke dekatnya
dan siap menolongnya. Pria ini membaca ukiran huruf di dinding itu dan
menggeleng-geleng kepalanya. Dia kagum sekali. Raja Pulau Es benar-benar hebat,
dalam saat terakhir melawan badai masih sempat menuliskan huruf secara itu.
"Jelas bahwa badai telah membasmi semua isi pulau
ini, Toanio," katanya hati-hati.
Liu Bwee tersadar. Membuka mata dan kebetulan sekali
tangannya meraba bekas cengkeraman jari tangan suaminya pada dinding batu.
Melihat itu, tak tertahankan lagi dia sesenggukan. Dia pun dapat membayangkan
apa yang terjadi.
"Duhai suamiku.... betapa kau menderita
hebat...." bisiknya diantara isak tangisnya. Sian Kok memandang bekas
cengkera man jari tangan itu dan dia pun dapat membayangkan Han Ti Ong berusaha
menahan dirinya dari seretan air dengan mencengkeram batu dinding. namun,
kekuatan badai yang amat dahsyat itu akhirnya menang dan tentu Raja itu diseret
dan ditelan gelombang membadai, lenyap dalam perut lautan. Liu Bwee menjatuhkan
dirinya berlutut sambil menangis. Kembali tangannya meraba huruf-huruf di
bawah. Agaknya huruf-huruf dibuat orang sambil berlutut pula dan di dinding
bawah ini juga terdapat bekas cengkeraman jari tangan. Setelah mengusap matanya
agar pandangan matanya tidak tertutup air mata, dia membaca lagi,
"Bwee-moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian
menghukum aku. Selamat tinggal."
Membaca ini, Liu Bwee mengeluarkan suara menjerit lalu
tergelimpang dan roboh pingsan. Untung Sian Kok cepat menyambarnya sehingga
kepalanya tidak sampai terbentur dinding batu. Sian Kok cepat mengangkat tubuh
wanita itu dan matanya menyapu tulisan di bawah itu. Dia menghela napas dan
membawa tubuh yang pingsan itu ke dalam istana dan meletakannya ke dalam sebuah
kamar. Ketika memeriksanya, dia memperoleh kenyataan bahwa nyonya ini menerima
pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya gawat.
Dengan tergesa-gesa, Sian Kok meninggalkan Liu Bwee,
berlari ke perahunya dan cepat mendayung perahunya menuju ke sebuah pulau dan
memetik beberapa daun obat yang dikenalnya. Tak lama kemudian dia sudah kembali
ke Pulau Es, memasak obat dan mencekokan obat itu ke dalam mulut Liu Bwee.
Kemudian dia membantu nyonya itu dengan penyaluran sinkangnya sehingga semalam
suntuk dia duduk bersila di dekat Liu Bwee, mengerahkan tenaga agar tubuh
nyonya yang pingsan itu tetap hangat.
Pada keesokan harinya, Liu Bwee mengeluh dan sadar
sehingga menggirangkan hati Sian Kok yang lupa akan keadaan dirinya sendiri
yang kehabisan tenaga dan mukanya pucat sekali. Setelah sadar dan teringat
lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan, dibiarkan oleh Sian Kok yang menganggap
tangis itu sebagai obat mujarab. Setelah tangiasnya mereda, Liu Bwee teringat
bahwa tahu-tahu dia berada di dalam kamar istana yang kosong itu. Maklumlah dia
bahwa dia pingsan dan dibawa ke tempat ini oleh Sian Kok. Dia mengangkat muka,
menghentikan tangisnya dan memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat mukanya
dan kelihatan lelah sekali, maka sebagai seorang ahli, dia dapat menduga
sebabnya.
"Berapa lamakah aku pingsan di sini, Toako?"
"Hemm, semalam suntuk kau pingsan, membuat hatiku
gelisah,"
"Dan selama ini engkau menjagaku, mengerahkan
sinkang untuk membantuku, bukan?"
"Hemmm...., tak perlu dibicara kan itu. Yang
penting, engkau telah siuman kembali dan harap kau suka menjaga kesehatanmu
sendiri, jangan terlalu menurutkan perasaan berduka. Toanio, dalam tulisan
pesan suamimu itu disebut Sin Liong, siapakah dia?"
"Sin Liong adalah murid suamiku, seorang pemuda yang
amat baik," Liu Bwee berkata sambil menghapus sisa air matanya.
"Kalau begitu, legakan hatimu, Toanio. Biarpun
sangat boleh jadi suamimu, seperti semua penghuni Pulau Es, disapu habis oleh
badai, namun kurasa puterimu selamat dan baru-baru ini datang pula ke pulau
kosong ini."
Liu Bwee memandang dengan mata terbelalak.
"Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Aku melihat bekas tapak kaki mereka, tapak kaki
seorang wanita dan seorang pria, masih jelas membekas di bagian es yang membeku
di atas sana, dan aku juga menemukan ini."
Ouw Sian Kok mengeluarkan sehelai saputangan hijau dan
memeberikannya kepada Liu Bwee. Liu Bwee menyambar saputangan itu dan kembali
matanya yang sudah mengering mencucurkan air mata. Dia mendekap saputangan itu
dan berkata,
"Benar, ini adalah saputangan pengikat rambut anaku!
Di mana tapak-tapak kaki itu, Toako? Ingin aku melihatnya!" Mereka lalu
meninggalkan istana menuju ke bagian atas dan benar saja, tampak jelas bekas
tapak kaki dua orang, kecil dan besar, tanda bahwa baru saja, mungkin paling
lama -laki dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Swat Hong dan Sin Liong?
"Tidak salah lagi, tentu anaku dan Sin Liong. Akan
tetapi di mana mereka sekarang? Aku harus bertemu dengan puteriku,
Ouw-twako."
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya yang tebal.
"Mereka itu adalah orang-orang muda yang lihai dan
tentu mereka telah melihat pula tulisan berukir di dinding pesan suamimu. Dan
tentu mereka berusaha untuk mencari sampai dapat wanita bernama The Kwat Lin
itu."
"Kalau begitu, aku akan menyusul mereka, Toako.
Tentu mereka melakukan pengejaran ke daratan besar."
Ouw Sian Kok mengangguk-angguk.
"Kukira dugaanmu tidak keliru. Akan tetapi, Toanio,
pernahkah Toanio ke daratan besar di barat sana?"
Liu Bwee menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya
berkerut karena dia pun merasa bingung dan khawatir, ke mana harus mencari
puterinya, padahal menurut penuturan yang didengarnya di Pulau Es, daratan
besar amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada tepi. Melihat wajah wanita itu,
Ouw Sian Kok merasa makin kasihan dan dengan suara penuh semangat dia berkata,
"Toanio, jangan khawatir. Di dalam perantauanku,
pernah aku mendarat di daratan besar dan biarlah aku menemanimu mencari
puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi penunjuk jalan."
Berseri wajah Liu Bwee dan dia memandang kepada laki-laki
itu penuh harapan dan terima kasih, akan tetapi mulutnya berkata,
"Ahhh, aku selalu menyusahkan Twako saja...."
"Jangan berkata demikian, Toanio. Aku hidup sebatang
kara, akan tetapi aku adalah seorang pria. Sedangkan engkau seorang wanita yang
masih muda, mana bisa harus hidup bersunyi diri apalagi hendak mencari puterimu
di daratan besar? Aku sudah merasa cukup berbahagia kalau Toanio sudi
kutemani."
"Tentu saja aku girang sekali dan banyak terima
kasih atas budimu yang berlimpah-limpah itu, Toako. Semoga kelak Thian saja
yang dapat membalasmu karena apakah dayaku untuk membalas kebaikanmu?"
Dia menjadi terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah
seorang wanita periang dan jenaka, namun penderitaan batin membuat dia menjadi
perasa dan halus budi serta lemah. Ouw Sian Kok tidak menjawab, hanya menjawab
dalam hatinya,
"Pandang matamu itu sudah merupakan pembalasan yang
berlipat ganda bagiku."
Berangkatlah kedua orang ini meninggalkan Pulau Es.
Pelayaran yang amat sulit dan sukar, namun biarpun dia bekas permaisuri Raja
Pulau Es, Liu Bwee di waktu kecil sudah kenyang bermain-main dengan perahu maka
dia tidaklah amat menderita bahkan dapat membantu sehingga perjalanan dengan
perahu mengarungi lautan luas itu berjalan lancar.
***
"Ha-ha-ha, kalian ini kaki tangan An Lu Shan si
Pemberontak Laknat, apakah tidak mendengar siapa adanya Cap-pwe Eng-hiong dari
Bu-tong-pai? kami adalah patriot-patriot sejati, dan kalian menghendaki supaya
kami menyerah? sampai titik darah terakhir akan kami lawan kalian para
pemberontak laknat!"
Ucapan ini keluar dari mulut seorang laki-laki berusia
tiga puluh lebih yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa,
mewakili tujuh belas orang adik-adik seperguruannya yang kesemuanya bersikap
gagah perkasa. Sedikit pun delapan belas orang itu tidak memperlihatkan rasa
takut biarpun mereka itu dikurung oleh sedikitnya lima puluh orang prajurit
yang berpakaian seragam dan bersenjata lengkap, bahkan mereka mengejek dan
menantang komandan pasukan yang tadinya membujuk agar mereka menyerah dan
membantu pergerakan An Lu Shan.
Mereka terdiri dari delapan belas orang, kesemuanya
laki-laki yang bersikap gagah perkasa, berpakaian sederhana dan rambut mereka
digelung ke atas. Dengan pedang di tangan, mereka siap menghadapi pengeroyokan
lima puluh lebih pasukan pemberontak An Lu Shan itu. Cap-pwe Eng-hiong atau
Delapan Belas Pendekar dari Bu-tong-san ini adalah murid-murid dari Kui Tek
Tojin, Ketua Bu-tong-pai.
Mereka termasuk para anggauta Bu-tong-pai yang meninggalkan
Bu-tong-pai ketika The Kwat Lin merebut kekuasaan. Biarpun mereka merupakan
orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi, namun pada waktu itu The Kwat Lin
merebut kekuasaan di Bu-tong-pai, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu. The
Kwat Lin adalah termasuk kakak seperguruan mereka, akan tetapi wanita itu
memiliki tingkat ilmu kepandaian yang bahkan melebihi guru mereka sendiri, di
samping kenyataan bahwa wanita itu telah merampas tongkat pusaka Bu-tong-pai
sehingga guru mereka dan para tokoh lain di Bu-tong-pai tidak dapat berkutik
lagi.
Setelah The Kwat Lin melarikan diri karena gagalnya Swi
Liang di istana, para tokoh Bu-tong-pai dipimpin oleh Kui Tek Tojin kembali ke
Bu-tong-san dan kedatangan pasukan pemerintah yang menyerbu Bu-tong-pai mereka
sambut dengan penjelasan yang menyadarkan pihak pemerintah. Namun, sebagai
akibatnya, Bu-tong-pai sekarang mau tidak mau harus memperlihatkan
"kebersihannya" dengan jalan membantu pemerintah menentang para
pemberontak. Hanya dengan cara inilah Bu-tong-pai dapat membuktikan kesetian
mereka kepada pemerintah dan karena itu pula, delapan belas orang murid Kui Tek
Tojin itu mulai turun tangan menentang pasukan-pasukan An Lu Shan setiap kali
terdapat kesempatan. An Lu Shan menjadi marah mendengar betapa Bu-tong-pai yang
dahulu merupakan perkumpulan yang bebas, tidak membantu mana-mana dalam perang
pemberontakan, kini mulai membantu pemerintah, maka dia lalu mengirim pasukan
untuk membasmi Delapan Belas Pendekar Bu-tong itu.
Demikianlah, pada hari itu, selagi delapan belas orang
itu menyelidiki kedudukan An Lu Shan di utara, mereka dikepung oleh pasukan itu
dan disuruh menyerah, akan tetapi tentu saja delapan belas orang pendekar
Bu-tong-pai itu tidak sudi menyerah, bahkan siap untuk melawan mati-matian.
Ucapan Song Kiat, Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama) dari delapan belas
orang pendekar itu, mendatangkan kemarahan di hati komandan pasukan yang segera
mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah hampir enam puluh orang pasukan itu
mengeroyok Cap-pwe Eng-hiong.
Terjadilah perang kecil yang amat hebat dan segera
delapan belas orang pedekar itu terkejut sekali memperoleh kenyataan bahwa
pasukan yang mengeroyok mereka itu bukanlah pasukan biasa, melainkan pasukan
pilihan yang dipimpin oleh komandan yang memiliki kepandaian tinggi dan para
prajuritnya ratarata memiliki ilmu silat yang lumayan. Mereka melawan dengan
mati-matian, bantu-membantu dan memutar pedang mereka dengan pengerahan seluruh
tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma delapan belas orang ini dijuluki
Cap-pwe Eng-hiong karena gerakan mereka memang cepat dan tangkas serta kuat
sekali, sehingga biarpun dikeroyok oleh lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya,
yaitu setiap orang dikeroyok oleh tiga empat orang lawan, mereka mempertahankan
diri dengan baik, bahkan lewat tiga puluh jurus, mulailah ada lawan yang
berjatuhan dan terluka parah oleh pedang Cap-pwe Eng-hiong yang mengamuk itu.
Dengan gagah perkasa ke delapan belas orang itu mengamuk
dan mendesak pasukan An Lu Shan. Berturut-turut robohlah pihak lawan sehingga
tempat itu mulai ternoda darah merah dan tubuh para perajurit yang terluka
malang melintang menghalangi kaki mereka yang masih bertempur. Diantara lima
puluh lebih orang perajurit itu, sudah ada dua puluh lebih yang roboh, bahkan
komandannya juga sudah terluka oleh sambaran pedang di tangan Song Kiat.
Kemenangan yang sudah tampak di depan mata ini menambah semangat Cap-pwe
Eng-hiong, mereka bergerak makin ganas dan cepat dengan niat membasmi semua
musuh dan tidak membiarkan seorang pun meloloskan diri.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar sorak sorai dan
muncullah kurang lebih seratus orang anak buah pasukan An Lu Shan yang baru
tiba dan serta mereta mereka itu menerima aba-aba untuk menyerbu dan membantu
kawan-kawan mereka. Kedatangan pasukan baru yang lebih besar lagi jumlahnya ini
mengejutkan hati Cap-pwe Eng-hiong yang tidak menyangka-nyangkanya, namun bukan
berarti bahwa mereka menjadi gentar, bahkan menambah kegembiraan mereka
mengamuk sungguhpun sekali ini mereka segera terkurung dan terdesak hebat karena
jumlah musuh jauh lebih besar. Pertempuran yang berat sebelah itu terjadi di
daerah pegunungan yang amat sunyi, jauh dari perkampungan, jauh dari dunia
ramai.
Akan tetapi pada saat pasukan kedua datang menyerbu, di
tempat itu muncul pula dua orang yang menonton pertempuran itu dengan alis
berkerut dan pandang mata ngeri. Mereka itu adalah seorang laki-laki dan
seorang wanita yang bukan lain adalah Ouw Sian Kok dan Liu Bwee! Mereka berdua
meninggalkan Pulau Es, telah mendarat di daratan besar dan telah melakukan
perjalanan berhari-hari sehingga pada hari itu mereka tiba di pegunungan utara
ini. Sebagai orang-orang yang sejak kecil tidak pernah menyaksikan perang, kini
penglihatan di depan itu sungguh amat tidak menyenangkan, juga amat
mengherankan hati mereka.
"Betapa buasnya mereka....!" Liu Bwee berkata
lirih.
"Hemm, memang sudah banyak kudengar bahwa manusia di
dunia ramai, di daratan besar ini, lebih buas daripada binatang-binatang hutan,
manusia-manusia saling bunuh antara sesamanya, dan sekarang kita melihat perang
yang begini ganas kejam...."
"...dan licik sekali!" Liu Bwee menyambung.
"Jumlah yang amat banyak mengeroyok jumlah sedikit, benar-benar tidak
mengenal arti kegagahan sama sekali."
"Jika tidak keliru dugaanku, yang berjumlah banyak itu
tentulah anggauta pasukan, lihat pakaian mereka yang seragam, sedangkan delapan
belas orang itu benar-benar harus dipuji kegagahan mereka, biarpun dikeroyok
banyak dan didesak hebat, melawan terus dan sedikit pun tidak kelihatan
gentar."
"Pikiranmu cocok dengan pikiranku, Toako. Memang
mereka itu mengagumkan dan karena itu, mari kita bantu mereka."
"Cocok, Toanio. Yang lemah harus kita bantu.
Mari....!"
Ouw Sian Kok dan Liu Bwee lalu meloncat ke depan dan
terdengarlah suara melengking tinggi keluar dari mulut kedua orang ini. Begitu
mereka menyerbu, dalam segebrakan saja Liu Bwee merobohkan empat orang dengan
kaki tangannya sedangkan Ouw Sian Kok merobohkan enam orang yang
dilemparlemparkan seperti orang membuang rumput-rumput kering saja! Pasukan
menjadi geger dan delapan belas orang pendekar itu melirik dan menjadi kagum
dan girang sekali karena sekilas pandang saja maklumlah mereka bahwa laki-laki
dan wanita asing yang tiba-tiba membantu mereka itu adalah orang-orang yang
luar biasa lihainya!
Seorang komandan pasukan menerjang Ouw Sian Kok dengan
tombaknya, sebatang tombak bergagang panjang dan dihias ronce merah, sebuah
tombak pusaka yang baik sekali. Tombak itu meluncur dan berdesing, menusuk
perut Ouw Sian Kok. Laki-laki ini kagum melihat mata tombak yang mengeluarkan
cahaya, cepat ia miringkan tubuh sambil mengayun kaki dan tangannya merobohkan
dua orang pengeroyok lain, kemudian secepat kilat menangkap tombak itu dengan
kedua tangan, lalu menggerakan sinkang membetot dan membalikan tombak sehingga
gagang tombak terlepas dari pegangan pemiliknya dan gagang tombak itu terus
menghantam tengkuknya membuat komandan itu terjungkal!
Liu Bwee yang juga dikeroyok banyak sekali orang sudah
berhasil merampas sebatang pedang yang dianggapnya cukup baik dan dengan pedang
ini dia mengamuk, setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya tentu
patah atau terlempar dari pegangan pemiliknya, dan tangan kiri serta kedua
kakinya merobohkan setiap lawan yang berani menyerangnya.
Amukan kedua orang dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini
amat hebat, dalam belasan gebrakan saja tidak kurang dari tiga puluh orang
anggauta pasukan telah roboh. Hal ini tentu saja menimbulkan kegemparan,
membesarkan hati delapan belas orang pendekar, akan tetapi membuat jerih sisa
anggauta pasukan.
Akhirnya, sisa pasukan merasa tidak kuat dan melarikan
diri meninggalkan teman-teman yang terluka! Delapan belas orang pendekar itu
berdiri berjajar, beberapa orang di antara mereka menderita luka-luka ringan
dan kelihatanlah betapa gagahnya mereka, sedikit pun tidak kelihatan menderita
ketika mereka berdiri berjajar di depan kedua orang itu. Song Kiat mewakili
saudara-saudaranya, menjura kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee, diturut oleh
tujuh belas orang saudara seperguruannya dan dia berkata,
"Kami delapan belas orang seperguruan dari
Bu-tong-pai menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan Lihiap
yang telah menyelamatkan kami dari pengeroyokan anjing-anjing pemberontak itu.
Bolehkan kami mengetahui nama Ji-wi yang mulia?"
Liu Bwee hanya memandang dan menyerahkan jawabannya
kepada Ouw Sian Kok yang sudah mengelus jenggotnya dan tertawa.
"Cuwi amat gagah perkasa, dan bantuan kami berdua
tadi tidak ada artinya, Melihat Cuwi dikeroyok, kami berdua menjadi gatal
tangan dan maafkan kalau kami mencampuri. Hal ini tidak perlu dibicarakan lagi
dan tidak perlu kami memperkenalkan nama hanya ingin kami ketahui, siapakah
pasukan itu dan mengapa Cuwi bentrok dengan mereka ?"