Kena dihajar secara demikian, pemuda kita merasa kegelapan mata. Tidak
sempat ia mengempos semangatnya. Bagus untuknya, selama dua tahun ia
telah peroleh latihan tenaga dalam dari Tang Yang Cu Ma Giok, walaupun
ia terhajar hebat, ia tidak terluka, tidak patah tulang-tulang rusuknya,
ia cuma merasakan sangat sakit. Dalam pada itu, ia sadar akan dirinya,
maka tidak membuang tempo lagi, ia melakukan pembalasan, dengan
tendangan beruntun Wanyoh Lian-hoan-twie, maka dalam sekejap saja, ia
dapat menendang terus-terusan sembilan kali, semuanya cepat dan hebat.
Inilah pelajaran yang ia wariskan dari Ma Ong Sin Han Po Kie di Malaikat
Raja Kuda, dengan ilmu mana Han Po Kie pernah robohkan beberapa jago
dari Selatan dan Utara. Hanya sampai sebegitu jauh, Kwee Ceng belum
mendapatkan kesempurnaannya.
Kongcu itu menjadi repot, ia berkelit dan berlompatan tiada hentinya.
Tujuh tendangan ia bisa kasih lolos, tetapi yang kedelapan dan
kesembilan, telah mengenakan kempolannya kiri dan kanan. Syukur
untuknya, karena berberang ia berkelit, ia tak sampai tertendang roboh,
ia cuma terjerunuk.
Karena ini keduanya menjadi terpisah. Kwee Ceng lantas saja singkirkan
jubah sulam yang menungkrup kepalanya itu. Ia menjadi kaget dan
mendongkol. Pertempuran itu merupakan satu pengalaman luar biasa
untuknya. Mulanya di Mongolia ia menghadapi orang-orang jujur, lalu
perlahan-lahan ia melihat perubahan. Ia merasa asing untuk kelakuan
curang.
Kongcu itu kena tertendang, ia menjadi gusar sekali, maka dia segera
maju seraya tangan kirinya dipakai menyerang ke pundaknya si pemuda.
Kwee Ceng menangkis, atau ia menjadi kaget. Tiba-tiba saja ia merasakan
sakit pada dadanya. Karena ini ketika ia didesak, ia kewalahan, maka
tempo kakinya disambar, dengan mengasih dengar suara “Bruk!” ia roboh
memegang tanah!
Semua pengiringnya si kongcu lantas bertepuk tangan dan tertawa.
Kongcu itu tepuki kempolannya yang penuh debu, ia tertawa tawar. “Dengan
kepandaian begini kau hendak mencari balas untuk orang lain?” ia
mengejek. “Hm, baik kau pulang dulu untuk belajar lagi sama gurumu
sedikitnya buat duapuluh tahun!”
Kwee Ceng tidak menyahuti, ia hanya menjalankan napasnya, hingga ia
merasakan sakit di dadanya itu berkurang. Ia berlompat bangun kapan ia
lihat orang kembali hendak ngeloyor pergi.
“Lihat kepalan!” ia berseru sambil menyerang.
Dengan mendak, kongcu itu berkelit. Kwee Ceng tidak berhenti sampai di
situ, tangan kirinya menyambar ke muka orang. Si kongcu menangkis. Kedua
tangan lantas bentrok, mereka saling menolak. Kelihatan nyata, tenaga
dalam Kwee Ceng terlatih besar tetapi si kongcu menang latihan ilmu
silatnya. Maka itu mereka menjadi berimbang.
Kwee Ceng menyedot napas, ia hendak mengerahkan tenaganya, selagi begitu
ia masih tetap menolak. Tiba-tiba ia rasai tenaga lawan lenyap, tak
sempat ia menahan dirinya, tubuhnya terhuyung ke depan. Ketika ia bisa
menahan dirinya, dari belakangnya datang serangan. Ia sudah terjerunuk
melewati lawannya, dalam keadaan sulit itu, ia menangkis dari belakang,
tubuhnya sekalian diputar.
“Kau pergi!” berseru si kongcu, yang tangannya menolak keras.
Tidak dapat Kwee Ceng bertahan, ia rubuh ngusruk, tetapi sikutnya
mengenai tanah, dengan cepat ia mencelat bangun, kakinya dibarengi
dipakai menendang dada lawannya. Ia berlaku sangat sebat, ia ingin
membalas, untuk mencari kemenangan.
Kongcu itu dapat berkelit, hanya setelah itu, ia didesak oleh si pemuda
yang bersilat dengan “Hun-kin Co-kut Ciu” yaitu ilmu silat untuk memisah
otot-otot dan tulang.
Kongcu ini pernah juga menyakinkan Hun-kin Co-ku Ciu hanya pelajarannya
beda daripada pelajaran Kwee Ceng yang didapat dari Biauw Ciu Sie-seng
Cu Cong, maka itu, ia membela diri dengan berlaku hati-hati. Habis itu,
keduanya bertempur terus. Selama tujuh puluh jurus, mereka berimbang
dengan ketangguhannya.
Menampak demikian si kongcu menggunai akal.
Kwee Ceng tidak tahu lawannya lagi memancing, ia lantas menyerang. Ia
hendak menotok jalan darah hian-kie-hiat. Tiba-tiba ia ingat bahwa ia
tidak bermusuhan sama si kongcu, ia lantas geser incarannya ke sisi
sasanan semula. Maka adalah di luar dugaannya ketika si kongcu, yang
menangkis dengan tangan kiri, sudah membarengi menyerang dengan tangan
kanan ke arah pinggang, malah tinjuan itu dilakukan saling susul hingga
tiga kali.
Kwee Ceng berkelit, dengan menggeser pinggangnya, lalu ia membalas.
Ketika ini digunai si kongcu, untuk memegang tangan orang yang kanan
itu, buat terus ditarik dengan kaget sambil berbareng kakinya dipakai
menjejak paha si pemuda. Maka tidak ampun lagi, pemuda itu terguling
jatuh.
Bok Ek menonton dari bawah benderanya. Lukanya telah dibalut rapi oleh
putrinya. mendapatkan tiga kali Kwee Ceng roboh, ia lantas maju, untuk
mengasih bangun. Ia tahu sekarang, pemuda itu bukan lawan si kongcu,
yang menang seurat. Ia pun kata: “Lao-tee, mati kita pergi, jangan kita
layani segala manusia hina!”
Kwee Ceng roboh dengan mata kabur dan kepala pusing, ia menjadi gusar
sekali, maka setelah dikasih bangun, ia lepaskan diri dari tangan Bok
Ek, ia maju pula, untuk menyerang.
“Eh, kau masih belum takluk?” berkata si kongcu, seraya mundur.
Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya ia merangsak.
“Jikalau kau tetap ganggu aku, jangan salahkan aku berlaku kejam!” kongcu itu mengancam.
“Kau pulangi sepatu orang!” bentak Kwee Ceng. “Kalau tidak, aku tidak mau mengerti!”
Kongcu itu tertawa melihat orang berkukuh, romannya ketolol-tololan.
“Bukankah nona itu bukan adikmu?” ia bertanya, “Kenapa kau seperti
hendak mengadu jiwa memaksa aku menjadi toaku-mu!”
“Kurang ajar!” mencaci Kwee Ceng. “Aku tidak kenal dia, siapa bilang dia
adikku!” Ia gusar sebab kongcu itu ejek dia sebagai toaku, ipar. Itulah
cacian di antara orang Pakkhia, tetapi ia tidak tahu, ia cuma
mendongkol. Karena dicaci begitu, ia ditertawai sekalian pengikut si
kongcu.
Si kongcu sendiri merasa lucu berbareng mendeluh. “Tolol, awas!” ia berseru seraya menyerang.
Kwee Ceng melawan, dari itu, mereka menjadi bergumul pula. Kali ini
pemuda ini berlaku waspada, tidak lagi ia kena dipancing. ia kalah
pandai tapi ia bersemangat, maka kewalahan juga si kongcu.
Pertempuran seru itu ditonton semakin banyak orang. Bok Ek jadi merasa
tidak enak hati. Ia tahu, kalau datang polisi, ia bisa dapat susah,
sedikitnya ia bakal diseret ke kantor pembesar setempat. Ia juga
berkhawatir untuk banyaknya orang, di antara siapa ia tampak beberapa
yang matanya tajam dan air mukanya luar biasa, ada juga yang membekal
senjata. Di sebelah mereka, yang bicarakan silat kedua anak muda itu,
ada yang bertaruh untuk siapa yang bakal menang.
Dengan perlahan-lahan Bok Ek menggeser ke tempat pengiring-pengiringnya
si kongcu, segera ia lihat, di antara mereka itu ada tiga orang yang
menarik perhatiannya. Yang satu adalah satu pendeta bangsa Tibet,
tubuhnya besar, kopiahnya disalut emas, jubahnya merah dan gerombongan.
Dia berdiri tegar hingga ia melebihkan tingginya semua orang. Orang yang
kedua sudah lanjut usianya, sebab rambutnya sudah putih semua, tubuhnya
sedang saja, hanya mukanya bercahaya segar, dan tidak keriputan. Dia
pun bermata tajam. Karena romannya yang luar biasa itu, tak bisa diduga
usianya yang tepat. Orang yang ketiga bertubuh kate dan kecil, nampaknya
sangat gesit, mukanya pun bersinar merah, matanya mencorong tajam. Maka
juga, mengawasi mereka, tukang jual silat ini terkejut hatinya.
“Leng Tie Siangjin,” berkata satu pengiring, “Baik kau maju dan hajar
bocah itu, kalau mereka bertempur terus dan siauw-ongya salah tangan
hingga ia terluka, hilanglah jiwa kami semua…”
Itulah si pendeta Tibet yang ditegur. Dia tersenyum, dia tidak menjawab.
Adalah si rambut ubanan yang berkata sambil tertawa: “Paling juga
kakimu dikemplang patah! Mustahil ongya hendak mengehndaki jiwamu?”
Bok Ek terperanjat. Orang disebutnya siauw-ongya dan ongya, pangeran
muda dan pangeran. Kalau begitu, benar juga, bencana akan datang kalau
sampai siauw-ongya itu terluka. Tidakkah di antara
pengiring-pengiringnya si siauw-ongya adalah orang-orang yag gagah dan
lihay?”
“Jangan takut!” berkata si orang kate dan kecil. “Siauw-ongya lebih lihay dari pada lawannya itu!”
Orang ini kate dan kecil akan tetapi suaranya mengejutkan. Suara itu
nyaring, hingga beberapa orang di sampingnya menjadi terkejut, semua
pada berpaling memandang dia, yang matanya bersinar, hingga mereka
lekas-lekas melengos.
Si rambut putih tertawa, dia pun berkata: “Siauw-ongya telah belajar
ilmu silat belasan tahun, kecewa kalau itu tidak dipertontonkan di muka
orang banyak. Dia tentu tidak senang ada orang yang membantu padanya…”
“Eh, saudara Nio, coba bilang,” berkata si kate kecil, “Ilmu silat
siauw-ongya itu ada dari partai mana?” Kali ini ia berbicara dengan
perlahan.
Si rambut putih tertawa. “Haouw Laotee, kau lagi uji mataku, bukan?” ia
berkata. “Kalau mataku tidak salah, itulah ilmu silatnya kaum agama Coan
Cin Kauw.”
“Sungguh begitu, sungguh aneh!” kata si kate kecil itu. “Bukankah kaum
Coan Cin Kauw itu bangsa aneh? Kenapa mereka justru mewariskan
kepandaiannya pada siauw-ongya…?”
“Ongya pandai bergaul, siapa saja tak dapat ia undang?” kata pula si
rambut ubanan itu. “Umpama kau sendiri, Haouw Laotee. Kau biasa menjagoi
di dua propinsi Shoatang dan Shoasay, kenapa kau juga berada di istana
ongya?”
Si kate kecil itu mengangguk.
Si ubanan sudah lantas mengawasi kedua anak muda yang lagi bertempur
itu. Ia dapatkan Kwee Ceng berubah silatnya, ialah gerakannya jadi ayal
tapi tubuhnya terjaga rapat, sia-sia saja beberapa kali siauw-ongya
menyerang padanya.
“Haouw Laotee, coba lihat, dari partai mana asalnya ilmu silat si bocah itu?” ia tanya.
“Kelihatannya kepandaiannya itu kacau, dia tentu bukan satu gurunya,” sahut si kate kecil itu kemudian.
“Pheng Ceecu benar,” berkata seorang di pinggiran, “Bocah ini adalah muridnya Kanglam Cit Koay.”
Bok Ek pandang orang itu, yang mukanya kurus dan sinarnya biru, di
jidatnya ada tiga tahi lalatnya. Ia kata di dalam hatinya: “Dia
memanggil Pheng Ceecu, mungkinkah si kate kecil ini adalah kepala
berandal? Nama Kanglam Cit Koay sudah lama tidak terdengar, apa benar
mereka masih hidup?”
Selagi Bok Ek berpikir, si muka biru dan kurus itu sudah berlompat maju
ke tengah kalangan seraya ia berseru: “Hai bocah, kau ke sini!” Dia pun
menarik keluar sebatang kongce atau cagak dari dalam sakunya.
Orang banyak terkejut, ada yang berteriak. Bok Ek pun tidak kurang
kagetnya, tapi ia segera bersiap, untuk membantu Kwee Ceng. Tentu saja
ia tidak kenal si orang ini, ialah Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay, paman
gurunya Hong Ho Su Koay.
Hauw Thong Hay bukan menyerang Kwee Ceng, dia hanya maju ke antara orang
banyak, di antara siapa ada satu anak muda yang tubuhnya kurus lemah,
yang pakaiannya compang-camping, kapan anak itu dapat lihat dia, dia
menjerit “Ayo!” seraya terus memutar tubuh, untuk angkat langkah
panjang. Thong Hay mengejar terus, ia diikuti empat orang lainnya yang
bukan lain daripada Hong Ho Su Koay.
Kwee Ceng sedang bertempur, ia heran atas itu suara bentakan, kapan ia
lihat siapa yang dikejar Thong Hay, ia terkejut. Pemuda dengan pakaian
tidak karuan itu adalah Oey Yong, sahabat barunya. Karena ini, ia sudah
lantas kena ditendang si kongcu.
“Tahan dulu!” ia berseru seraya lompat keluar kalangan. “Aku hendak pergi sebentar, segera aku kembali!”
“Lebih baik kau mengaku kalah!” mengejek si kongcu.
Kwee Ceng tidak berniat berkelahi terus, pikirannya lagi kusut, ia
khawatirkan keselamatannya Oey Yong, tetapi justru ia hendak melompat
lari, tiba-tiba ia tampak sahabatnya itu lari mendatangi, sepatu
kulitnya diseret hingga berisik kedengarannya. Dia pun terus tertawa. Di
belakangnya tampak Thong Hay tengah mengejar, mulutnya mencaci kalang
kabutan, setelah datang dekat, berulang-ulang ia tikam bebokong orang
yang ia kejar itu!
Oey Yong sangat lincah, selalu dapat ia kelit tubuhnya.
Kongce itu ada cagak tiga, semuanya tajam, di bawah cahaya matahari,
sinarnya berkilauan, sinar itu ditimpali tiga gelangnya yang bergerak
dan berbunyi nyaring setiap kali digeraki. tapi senjata itu tidak
dihiraukan Oey Yong. Ia nyelusup sana dan nyelusup sini di antara orang
banyak.
Segera juga orang banyak tertawa riuh. Mukanya Hauw Thong Hay, pada
pipinya yang kiri dan kanan, tambah tanda tapak lima jari tangan, tanda
arang hitam. Terang sudah, dia telah kena ditampar oleh lawannya yang
licin itu.
“Mari! Mari!” Oey Yong menantang, setiap kali ia dapat pisahkan diri
jauh-jauh dari lawannya, yang ia tinggalkan lalu ia berdiri diam,
menoleh dan mengejek, tangannya menggapai berulang-ulang.
“Jikalau aku tidak berhasil menggeset kulitmu dan mematahkan
tulang-tulangmu, aku Sam-tauw-kauw tidak sudi menjadi manusia!” Thong
Hay sesumbar. Ia berteriakan, ia mengejar.
Oey Yong menanti sampai orang sudah datang dekat, kembali ia lari.
Kelakuannya ini, ditimpali sama kalapnya Thong Hay, membuatnya orang
banyak saban-saban tertawa riuh.
Dalam saat itu, terlihatlah datang memburunya tiga orang yang napasnya
tersengal-sengal. Merekalah tiga Siluman dari Hong Ho. Song-bun-hu Cian
Ceng Kian, Siluman yang keempat, tidak tampak.
Itu waktu barulah Kwee Ceng menginsyafi bahwa sebenarnya Oey Yong itu
lihay ilmu silatnya, bahwa ialah yang selama di hutan cemara
Hek-siong-lim di Kalgan sudah menggantung Hong Ho Su Koay di atas pohon
dan memancing kepada Hauw Thong Hay.
“Bagus perbuatannya,” ia pikir.
Kelakuan Hauw Thong Hay itu, yang dipermainkan Oey Yong, menyebabkan rombongannya Leng Tie Siangjin memperbincangkannya.
Leng Tie itu adalah paderi dari Tibet, dari partai Cong Gee,
keistimewaannya ialah ilmu Tay-ciu-in, Tapak Tangan yang lihay, kawannya
yang ubanan tapi mukanya tampak segar bagai muka anak kecil, adalah Nio
Cu Ong, ketua dari partai Tiang Pek Pay dari Gunung Tiang Pek San. Ia
tetap awet muda sebab sejak masih kecil ia doyan makan jinsom serta
lainnya pohon obat, hingga ia dijuluki Som Sian Lao Koay, Dewa
Jinsom-Siluman Tua. Julukan ini harus dipecah dua: Siapa yang
menghormati dia, memanggilnya Som Sian, Dewa Jinsom, dan siapa bukan
orang-orang partainya, di belakangnya, menyebut ia Lao Koay, si Siluman
Tua. Dan orang yang matanya tajam bagaikan kilat itu adalah orang yang
sangat terkenal di Tionggoan, namanya Pheng Lian Houw, julukannya
Cian-ciu Jin Touw, Pembunuh Seribu Tangan. Di selatan dan utara Sungai
Besar, sekalipun wanita umumnya kenal namanya itu, dan anak-anak yang
lagi nangis, kalu ditakut-takuti; “Peng Lian Houw datang!” tentulah
berhenti tangisnya.
Berkatalah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong: “Selama aku di Kwan-gwa, telah
aku dengar nama besar dari Kwie Bun Liong Ong, bahwa ia lihay sekali,
kenapa adik seperguruannya ini begini tidak punya guna, sampai satu
bocah pun dia tidak sanggup layani?”
Pheng Lian Houw mengkerutkan keningnya, dia bungkam. Dia bersahabat erat
dengan Kwie-bun Liong Ong See Thong Thian si Raja Naga Pintu Iblis,
sering mereka “bekerja tanpa modal”, dan ia tahu baik Houw Thong Hay
lihay, maka kenapa hari ini orang she Hauw itu jadi demikian tidak
berdaya?
Selagi Oey Yong permainkan Hauw Thong Hay, pertempuran di antara Kwee
Ceng dan si siauw-ongya, pangeran muda, telah berhenti. Siauw-ongya
telah robohkan Kwee Ceng lima-enam kali, dia sangat letih, tangan dan
kakinya dirasakan ngilu, dia pun berdahaga dan lapar, dengan sapu
tangannya, ia susuti peluhnya.
Di pihak lain, Bok Ek telah kasih turun bendera Pie-bu Ciauw-cin, ia
hampirkan Kwee Ceng untuk dihiburkan, untuk diajak pulang ke
penginapannya, untuk beristirahat. Tapi, belum keburu mereka berangkat,
mereka sudah dengar ramainya tindakan kaki serta berisiknya gelang
konce, lalu terlihat Oey Yong berlari-lari kembali dengan tetap dikejar
oleh Hauw Thong Hay. Tangannya Oey Yong sambil mengibar-ibarkan dua
potong kain. Hauw Thong Hay sebaliknya, pakiannya menjadi tidak karuan
macam: Baju di dadanya robek putus, hingga kelihatan baju dalamnya yang
putih. Jauh di belakang mereka terlihat Gouw Ceng Liat serta Ma Ceng
Hiong, yang satu bersenjatakan tombak, yang lainnya ruyung, lari
mendatangi dengan napas memburu. Ketika mereka ini datang dekat, Oey
Yong dan Hauw Thong Hay sudah lenyap pula.
Semua orang banyak, yang menjadi penonton, heran berberang merasa lucu,
mereka menjadi tertarik untuk menonton terus. Justru itu, mereka lantas
dengar bentakan-bentakan riuh yang datang dari arah barat, lalu mereka
tampak belasan orang polisi serta pengiring, dengan cambuk di tangan,
lagi menyerang kalang-kabutan ke kiri dan ke kanan, kepada orang banyak,
yang mereka usir pergi. Maka itu, orang banyak itu lantas saja mundur
ke kedua pinggir jalan. Menyusul rombongan hamba-hamba galak itu,
terlihatlah enam orang menggotong sebuah joli besar yang indah.
“Ong-hui datang! Ong-hui datang!” pengikut-pengikutnya si siauw-ongya berseru berulang-ulang setelag mereka melihat joli itu.
Siauw-ongya lantas mengerutkan keningnya.
“Rewel!” ia menggerutu. “Siapakah telah pergi membawa berita kepada ong-hui!?”
Tidak ada yang berani menjawab. Segera juga joli telah sampai di lapangan pibu, semua pengikut maju untuk memberi hormat.
Dari dalam joli, yang tertutup rapat, lantas terdengar suaranya seorang
wanita, suara yang halus: “Kenapa berkelahi? Baju luar pun tidak
dipakai! Nanti masuk angin!”
Bok Ek dapat mendengar tegas sekali suara itu, hatinya tercekat. Suara
itu seperti mengaung di kupingnya, ia menjadi diam sambil berpikir
keras.
“Kenapa suara ini sama suaranya orangku ini?” katanya di dalam hatinya.
Tiba-tiba ia tertawa sendirinya. Ia berpikir pula: “Orang ini adalah
onghui dari negeri Kim, aku memikir kepada istriku, apakah aku sudah
pikun? Sungguh gila untuk memikir yang tidak-tidak…”
Tidak dapat ia lantas melenyapkan pikirannya itu, maka ia bertindak,
untuk mendekati joli indah itu. Kebetulan itu waktu, dari dalam joli
diulur keluar sebelah tangan yang putih dan halus, yang memegang sapu
tangan putih, dengan apa mukanya si siauw-ongya disusuti, untuk
singkirkan peluh dan debunya. Sembari berbuat begitu, si wanita masih
mengucapkan beberapa kata-kata, yang halus dan perlahan, hingga si
penjual silat ini tak dapat mendengarnya dengan tegas. Mungkin si
saiuw-ongya ditegur dan dihiburi oleh onghui ini, onghui ialah selir
seorang pangeran atau raja.
“Ibu, aku senang bermain-main,” terdengar suaranya pangeran muda itu. “Tidak apa-apa…”
“Lekas pakai bajumu, mari kita pulang bersama!” kata si onghui kembali.
Kembali si Bok Ek terperanjat. “Benarkah di kolong langit ini ada dua
orang yang suaranya sangat mirip satu dengan lainnya?” ia menanya dalam
hatinya, yang terus berdebaran.
Satu pengiring menjumput jubah sulam dari siauw-ongya, sembari berbuat
begitu, ia pandang Kwee Ceng dengan bengis dan memdamprat: “Binatang
cilik! Lihat, kau telah bikin kotor jubah ini!”
Satu pengiring lain, yang tangannya mencekal cambuk, terus saja
menghajar ke arah kepala si anak muda, atas mana, Kwee Ceng berkelit,
sebelah tangannya diangkat, untuk menangkap lengan orang, berbareng
dengan mana, satu kakinya menyapu. Tidak ampun lagi, pengiring itu roboh
terguling. Tapi Kwee Ceng tidak berhenti sampai di situ, ia rampas
cambuk orang itu, guna dipakai menyabet hingga tiga kali.
“Siapa suruh kau menganiaya rakyat jelata!” ia menegur.
Orang senang melihat kejadian itu. Belasan serdadu maju, untuk menolongi
kawannya itu, tetapi tempo mereka mulai menyerang Kwee Ceng, satu demi
satu, mereka ditangkap si anak muda, lalu dilemparkan saling susul.
Siauw-ongya menjadi gusar. “Kau masih berani main gila?!” tegurnya. Ia
terus lompat, untuk tolongi dua serdadu yang dilemparkan paling
belakang, habis mana, ia tendang itu anak muda.
Kwee Ceng berkelit, lalu ia menyerang. Dengan begitu, keduanya jadi bertempur lagi.
“Jangan! Jangan berkelahi!” onghui berseru mencegah.
Terhadap ibunya, siauw-ongya itu agaknya tidak takut, malah ia seperti
termanjakan. Ia berkelahi terus, sembari berkelahi, ia menyahuti:
“Tidak, ibu , tidak dapat tidak, ini hari aku mesti labrak dia ini!”
Setelah belasan jurus, siauw-ongya itu berkelahi dengan hebat sekali,
rupanya ia hendak banggakan kegagahannya di depan ibunya. Kwee Ceng
lantas terdesak lagi, dua kali ia kena dibikin memegang tanah.
Selama itu, Bok Ek tidak pedulikan segala apa di sekitarnya, sepasang
matanya terus diarahkan kepada joli indah itu. Maka tempo tenda
tersingkap, ia dapat melihat satu wajah dengan sepasang mata jeli dan
rambut yang bagus, sinar mata itu ayu sekali, mengawasi kedua anak muda
yang lagi bertarung itu. Mengawasi mata orang itu, Bok Ek berdiri
menjublak bagaikan patung.
Kwee Ceng dirobohkan dua kali, dia bukan menyerah kalah, ia menjadi
lebih kosen, maka kali ini, ia tidak dapat dirobohkan pula. Ia bertubuh
kuat, ia dapat melayani pukulan berulang-ulang kepada tubuhnya itu. Ia
pun menang ‘kang-lat’ atau tenaga latihan, ia menjadi ulet sekali.
Itu waktu, Oey Yong dan Thong Hay telah berlari-lari balik, sekarang di
rambutnya Sam-tauw-kauw, Ular Naga Kepala Tiga itu, ada ditancapkan
cauw-piauw atau tanda barang hendak dijual, dengan begitu berarti, Thong
Hay hendak menjual kepalanya itu! Ia hanya tidak tahu bahwa ia telah
dipermainkan oleh Oey Yong, lawannya yang lincah dan licik itu. Di
belakang mereka tidak tertampak dua Siluman, mungkin mereka telah kena
dirobohkan pemuda itu.
Nio Cu Ong bertiga menjadi heran, hingga mereka menduga-duga, Oey Yong itu sebenarnya orang macam apa.
Selagi bertempur, lengan Kwee Ceng kena dihajar satu kali, lalu ia
membalas memukul paha siauw-ongya. Mereka jadi semakin sengit
berkelahinya. Kwee Ceng berkelahi dengan ilmu silat Hun-kin Co-ku-hoat,
untuk merabu otot dan tulang musuh, siauw-ongya sebaliknya dengan
Kim-na-ciu, ilmu menangkap yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Maka
itu, kedua-duanya saling terancam hilang jiwa atau terluka parah.
Karena ini Leng Tie Siangjin dan Nio Cu Ong lantas menyiapkan senjata
rahasia mereka, untuk menolong apabila siauw-ongya benar-benar terancam
jiwanya. Mereka adalah orang-orang tua yang kosen, sungkan mereka
mengepung Kwee Ceng, sebaliknya mereka merasa, kapan perlu, bisa mereka
mencegah Kwee Ceng menurunkan tangan jahat terhadap si pangeran muda.
Makin lama Kwee Ceng makin gagah. Inilah tidak heran sebab ia hidup di
tanah gurun. Sebaliknya siauw-ongya biasa hidup di istana, ia termanja,
ia kalah ulet, maka ia lantas terdesak.
Satu kali Kwee Ceng menyambar ke muka siauw-ongya itu. Siauw-ongya
berkelit, terus ia membalas meninju. Atas itu, Kwee Ceng mendahulukan,
dengan tangan kanannya, ia membentur sikut kanan si pemuda agung,
berbareng dengan itu, ia maju, tangan kirinya membangkol tangan lawan
itu, lalu tangan kanannya diteruskan untuk memegang leher lawan.
Siauw-ongya terkejut, ia membalas membangkol dan memegang leher lawannya
itu. Maka keduanya menjadi berkutat, yang satu hendak mematahkan
tangan, yang lain hendak mencekik.
Semua orang kaget, onghui sampai berparas pucat, separuh mukanya keluar
dari tenda. Putrinya Bok Ek, yang tadinya numprah di tanah, berlompat
bangun, parasnya pun pucat.
Di saat itu terdengar suara menggelepok. Nyata muka Kwee Ceng kena
digaplok, sebab siauw-ongya merubah siasat. Keras pukulan itu, Kwee Ceng
merasakan matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing. Tapi ia masih
sadar. Sambil berseru, ia sambar bajunya siuaw-ongya, terus ia kerahkan
tenaganya, ia angkat tubuh siauw-ongya, untuk dilemparkan. Ia nyata
telah menggunai ilmu silat bangsa Mongolia, yang ia peroleh dari Jebe.
Siauw-ongya dilemparkannya, tapi sebelum tubuhnya dilepas, ia sudah
berdaya, dengan cepat ia ayun tubuhnya itu, Kedua tangannya menyambar
tanah, dengan begitu, ia tidak terbanting. Habis itu sama sebatnya, ia
menyambar kedua kaki lawannya itu, ia menarik keras, maka Kwee Ceng kena
ditarik roboh hingga saling tindih, hanya siauw-ongya berada di sebelah
atas. Dia ini sebat, dia lompat, tangannya menyambar tombak di tangan
seorang serdadu yang berada dekat dengannya, dengan tombak itu, segera
ia menikam Kwee Ceng.
Dengan menggulingkan tubuh, Kwee Ceng menghindarkan diri, tapi ia
didesak, ia dikam terus, lagi dua kali, terpaksa ia kembali bergulingan,
hingga sukar untuk ia melompat bangun, terpaksa sambil bergulingan, ia
layani tombak musuhnya itu. Karena didesak tak hentinya, ia berguling
hingga ke dekat tiang bendera Pibu Tiauw-cin. Di sini ia gunai
kesempatannya, ia sambar tiang itu, terus ia pakai menangkis, sesudah
mana ia berlompat bangun, untuk melakukan penyerangan membalas. Maka
sekarang mereka bertempur dengan bersenjata, meskipun Kwee Ceng hanya
bergenggaman tiang bendera.
Tiang bendera itu terlalu panjang, kurang tepat untuk Kwee Ceng, yang
bersilat dengan tipu Hang Mo Thung-hoat, pengajaran dari gurunya yang
pertama, Hek Pian-hok Kwa Tin Ok si Kelelawar Hitam, akan tetapi, ia
dapat mainkan itu dengan baik. Siauw-ongya tidak kenal permainan silat
lawannya itu, ia lantas saja kena didesak hingga ia mesti selalu membela
diri.
Bok Ek tetap perhatikan ilmu silat tombak dari siauw-ongya, makin lama
ia menjadi makin heran. Itulah terang Yo Kee Ciang-hoat, yaitu ilmu
tombak Keluarga Yo, ilmu mana diturunkan hanya kepada anak laki-laki,
tidak kepada anak perempuan. Yang mengerti ilmu itu, untuk bagian
Selatan Tionggoan saja sudah jarang, maka heran kenapa di negara Kim ada
yang dapat memainkannya itu? Ia terus mengawasi, sampai akhirnya ia
merasa sedih sendirinya, tidak dapat ia mencegah mengucurnya air
matanya.
Nona Bok pun memperhatikan jalannya pertempuran, ia juga agaknya berpikir keras.
Diakhirnya terdengar teriakannya onghui: “Berhenti! Berhenti! Jangan
berkelahi lagi!” Karena nyonya agung itu mendapatkan putranya telah
bermandikan keringat.
Mendengar suaranya onghui, Peng Lian Houw bertindak ke dalam kalangan.
ia segera geraki tangan kirinya, untuk menyampok tiang bendera. Atas
itu, Kwee Ceng merasakan telapak tangannya sakit, tiang bendera lantas
terlepas dari cekalannya, mental ke udara, hingga benderanya
berkibar-kibar bagus.
Anak muda itu terkejut. Seumurnya kecuali Bwee Tiauw Hong, belum pernah
ia menemui tandingan selihay ini. Belum sempat ia memandang orang, atau
satu pukulan telah menjurus ke mukanya. Ia berkelit dengan cepat, tetapi
tidak urung, lengannya kena terhajar. Tidak ampun lagi, ia terguling
roboh.
Setelah merobohkan bocah itu, Pheng Lian Houw berpaling kepada si
pangeran muda dan berkata sambil tertawa: “Siauw-ongya, akan aku
bereskan dia ini, supaya dia jangan mengganggu terlebih jauh…” Sembari
berkata, ia maju ke Kwee Ceng, ia ulur tangan kanannya ke arah kepala
orang, justru si anak muda lagi merayap bangun.
Kwee Ceng kaget, lebih-lebih ia tahu, kedua tangannya sakit. Untuk tolongi dirinya, ia memaksa menangkis juga.
Di saat anak muda ini terancam bahaya maut, sekonyong-konyong datang
teriakan dari antara orang banyak: “Perlahan!” Lalu terlihat melesatnya
satu bayangan abu-abu perak disusul serangan semacam senjata, yang terus
saja melibat tangannya si orang she Pheng itu, hingga serangan itu
batal. Tetapi Lian Houw tidak diam saja, ia segera menarik pulang
tanagnnya, begitu keras, hingga senjata yang melibatnya ia terputus.
Orang yang baru datang itu agaknya terperanjat, hingga ia tercengang,
tetapi lekas juga ia sambar Kwee Ceng, yang pinggangnya ia peluk,
setelah mana, ia lompat mundur.
Sekarang orang bisa lihat, dia adalah satu tojin atau imam usia
pertengahan, jubahnya warna abu-abu, tangannya mencekal sebatang hudtim
atau kebutan, hanya kebutan itu tinggal sepotong, sepotong yang lain
masih melibat di tangannya Lian Houw. Ia terus mengawasi pada Lian Houw,
yang kemudian berkata: “Tuan, adakah kau Pheng Cecu yang namanya sangat
tersohor? Hari ini aku dapat bertemu denganmu, sungguh aku merasa
sangat girang!”
“Tidak berani aku menerima yang namaku yang rendah dijunjung sedemikian
tinggi olehmu,” sahut Lian Houw. “Aku mohon ketahui gelaran suci dari
totiang.”
Semua orang lantas mengawasi kepada imam itu, yang romannya tampan, yang
kumis dan janggutnya terbelah tiga. Kaos kakinya yang putih serta
sepatunya yang abu-abu bersih sekali. Ia tidak menjawab, hanya Ia ulur
kakinya, untuk dimajukan satu tindak, lalu ia menarik pulang, tetapi
karena injakan atau tindakannya itu, di tanah lalu tertapak dalam.
Sedang di tanah utara ini, tanah kering dan keras.
Melihat tapak sepatu itu, Peng Lian Houw terperanjat. “Jadinya totiang
adalah Thie Kak Sian Giok Yang Cu Ong Cinjin?” ia menanya.
Imam itu menjura. “Teecu terlalu memuji kepadaku,” ia menyahut. “Memang
benar, pinto adalah Ong Cie It. Tidak berani pinto menerima itu sebutan
cinjin.”
Peng Lian Houw, begitu juga Som Sian Lao Koay, Nio Cu Ong dan Leng Tie
Siangjin mengawasi imam itu, yang mereka tahu namanya tidak kalah
daripada Tiang Cun Cu Khu Cie Kee. Sudah lama mereka ketahui hal imam
ini, baru sekarang mereka menemui sendiri orangnya. Mereka dapatkan
orang sungguh alim dan agung. Coba tadi mereka tidak telah menyaksikan
gerakan yang gesit dan melihat itu tapak kaki, tidak nanti mereka mau
percaya dia adalah Thie Kak Sian Giok Yang Cu si Dewa Kaki Besi yang
pernah menakluki jago-jago di Utara.
Ong Cie It tersenyum, terus ia menunjuk pada Kwee Ceng dan berkata:
“Pinto tidak kenal anak ini, hanya karena kemuliaan hatinya dan
kegagahannya barusan, hatiku menjadi sangat tertarik, maka itu dengan
besarkan nyali, pinto mohon Pheng Ceecu memberi ampun kepada jiwanya.”
Melihat sikap orang yang demikian hormat, sedang orang pun dari Coan Cin
Kauw, Peng Lian Houw suka berbuat baik, maka itu sambil membalas
hormat, ia memberikan persetujuannya.
Ong Cie It menjura pula seraya menghaturkan terima kasih, ketika ia
memutar tubuh, ia menghadapi si siauw-ongya dengan wajahnya keren
sekali.
“Siapakah namamu?” ia menanya bengis, “Siapakah gurumu?!”
Siauw-ongya itu telah merasa kurang enak hati. Sebenarnya ia sudah
memikir untuk berlalu, tetapi ia terlambat. Ia berdiri diam dan
menyahuti: “Namaku Wanyen Kang. Nama guruku tidak dapat aku beritahukan
padamu.”
“Bukankah gurumu ada tanda tahi lalat merah pada pipinya yang kiri?” Ong Cit It tanya pula.
Wanyen Kang tertawa hihi-hihi, hendak ia menjawab secara jenaka, atau
mendadak matanya si imam bersinar tajam bagaikan kilat, maka hatinya
terkesiap, batal ia untuk main gila. Ia lantas mengangguk.
“Memang telah aku duga, kau adalah muridnya Khu Suhengku itu,” berkata
Ong Cinjin. “Hm, bagus benar perbuatanmu ya? Pada mula kali gurumu
hendak mengajarkan silat padamu, apakah ia telah bilang padamu? Apakah
pesannya?”
Wanyen Kang perlihatkan roman cemas. Ia dapat lihat suasana buruk.
“Anak, lekas pulang!” demikain terdengar suara ibunya dari dalam joli.
Anak ini dapat dengar panggilan itu, justru berbareng dengan itu, ia
mendapat satu pikiran. Ia insyaf, kalau gurunya ketahui perbuatannya,
inilah hebat. Maka itu, lekas ia ubah sikapnya. Dengan sabar, ia
berkata: “Totiang kenal guruku itu, terang totiang adalah satu cianpwee,
oleh karena itu boanpwe mohon sukalah totiang datang ke rumahku, untuk
boanpwe nanti mendengar segala pengajaranmu.”
Dengan lantas siauw-ongya ini membahasakan diri “boanpwe”, orang dari
tingkat lebih rendah, karena ia tahu ia lagi berhadapan dengan satu
cianpwee, orang yang tingkat derajatnya terlebih tua.
“Hm!” Ong Cie It perdengarkan suaranya.
Wanyen Kang benar-benar cerdik, tanpa tunggu orang buka mulut lagi, ia
sudah lantas menjura kepada Kwee Ceng, sembari tersenyum, ia berkata:
“Saudara Kwee, kalau kita tidak bertempur, pasti kita tidak kenal satu
sama lain. Ilmu silat kau saudara, aku sangat mengaguminya. Maka itu,
aku pun minta suka kau bersama totiang berkunjung ke rumahku. Sukakah
kau kalau kita mengikat persahabatan?”
Kwee Ceng tidak menjawab, ia hanya menunjuk kepada Bok Ek dan gadisnya
serta bertanya: “Bagaimana urusan jodohmu dengan nona itu?”
Wanyen Kang menjadi likat. “Hal itu kita perlahan-lahan saja kita bicarakan pula,” katanya.
Mendengar itu, Bok Ek tarik tangannya Kwee Ceng. “Engko Kwee kecil, mari
kita pulang!” berkata ia. “Buat apa kau layani pula manusia hina dina
ini?”
Wanyen Kang dengar suara orang menghina itu, ia tidak menjadi gusar, ia
hanya menjura pula kepada Ong Cie It seraya berkata: “Totiang, boanpwe
menantikan segala kehormatan atas kedatangan totiang ke rumahku. Totiang
tanyakan saja istananya Chao Wang.”
Habis berkata begitu, ia sambar les dari seekor kuda pilihan yang satu
pengiringnya bawa kepadanya, terus ia lompat naik ke atas kuda itu, yang
pun ia kasih lari ke antara orang banyak, hingga mereka itu
berlari-lari untuk menyingkir dari bahaya kena diterjang kuda.
Ong Cie It mendongkol untuk sikap keagung-agungan itu. Tapinya ia berkata kepada Kwee Ceng, “Engko kecil, kau turut aku,”
“Aku hendak menantikan dulu sahabatku…” Kwee Ceng menjawab.
Belum berhenti suaranya bocah ini, Oey Yong muncul dari antara orang
banyak, lantas saja ia berkata sambil tertawa: “Aku tidak kenapa-kenapa!
Sebentar aku pergi mencari padamu…!” Baru ia mengucap, kemudian ia
menyelinap di antara orang banyak itu. Ia memang bertubuh kecil dan
lincah.
Di lain pihak, lantas terlihat Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay lari mendatangi.
Melihat si Ular Naga Kepala Tiga ini, Kwee Ceng tertawa di dalam hati.
Tapi ia pun cerdik, ia lantas menjatuhkan diri di depan Ong Cinjin.
“Totiang, banyak-banyak terima kasih,” ia berkata.
Ong Cie It tidak bilang suatu apa, ia cekal tangan si bocah, untuk
diajak pergi, hingga di lain saat mereka sudah tinggalkan orang banyak
itu dan tengah menuju keluar kota.
Cepat tindakannya si imam, sebentar saja mereka sudah berada di luar
kota. Selang lagi beberapa lie, tibalah mereka di belakang sebuah puncak
buklit. Di sini si imam berjalan semakin cepat. Memang ia hendak
menguji enteng tubuhnya si bocah.
Sampai sebegitu jauh, Kwee Ceng dapat mengikuti dengan baik kepada si
imam itu. Ia sudah belajar lari keras, tubuhnya enteng, dan di bawah
pimpinan Tan Yang Cu Ma Giok, ia dapat manjat puncak, maka itu, ia bisa
berlari-lari tanpa napasnya memburu atau hatinya berdenyutan.
Ong Cie It cekal tangan orang, ia lari terus-terusan, tiba-tiba ia melepaskannya. Ia terperanjat dan mengawasi bocah itu.
“Dasarmu tidak jelek!” ia berkata dalam herannya itu. “Kenapa kau tidak dapat mengalahkan dia itu?”
Kwee Ceng tidak tahu bagaimana harus menjawab, ia cuma tertawa saja.
“Siapakah gurumu?” Ong Cinjin menanya lagi.
Kwee Cneg tahu di antara adik seperguruan dari Ma Giok ada yang bernama
Ong Cie It, ialah ini imam, dari itu, tidak mau ia mendusta. Ia
menyebutkan Kanglam Cit Koay dan Ma Giok.
Mendengar itu Ong Cie It menjadi girang sekali. “Toasuko telah ajarkan
kau ilmu silat, bagus!” katanya. “Sekarang aku tidak usah
mengkhawatirkan apa-apa lagi!”
Kwee Ceng heran, ia mengawasi imam itu.
“Orang dengan siapa tadi kau bertempur, yang dipanggil setahu apa
siauw-ongya Wanyen Kang itu adalah muridnya suhengku Tiang Cun Cu, kau
tahu atau tidak? bertanya si imam.
Bocah itu tercengang. “Apa?” dia menanya. “Aku tidak tahu…”
Ma Giok mengajarkan Kwee Ceng tanpa penjelasan, bocah ini menjadi tidak
tahu tentang ilmu silat kaum Coan Cin Kauw, sekarang setelah mendengar
pertanyaannya Ong Cie It, ia menjadi ingat kepada pertempurannya sama In
Cie Peng hingga ia ingat juga, ilmu silat Wanyen Kang sama dengan ilmu
silatnya In Cie Peng itu. Ia lantas menunduki kepala.
“Teecu tidak tahu siauw-ongya itu adalah muridnya Khu Totiang, teecu
telah berlaku kurang ajar, teecu mohon totiang suka memberi maaf,” ia
memohon.
Ong Cie It tertawa bergelak.
“Hatimu mulia, aku suka sekali! Mustahil aku nanti persalahkan kau!” ia
berkata. Kemudian ia meneruskan dengan sikapnya sungguh-sungguh : “Kami
kaum Coan Cin Kauw ada punya aturan yang keras, kalau ada murid yang
bersalah, dia dapat dihukum berat, tetapi tidak nanti dilindungi atau
dieloni. Siauw-ongya itu sombong dan ceriwis, nanti aku suka minta
toasuko menghukum padanya!”
“Asal ia suka menikah dengan nona Bok, baiklah totiang memberi ampun
padanya,” berkata Kwee Ceng, yang tidak mendendam, hatinya masih ingin
merekoki jodohnya nona Bok.
Ong Cie It menggeleng kepala, ia tidak bilang suatu apa, di dalam
hatinya tapinya ia suka bocah ini yang jujur dan hatinya pemurah.
kemudian setelah berpikir, ia berkata-kata seorang diri: “Toasuko
biasanya benci kejahatan sebagai musuh besarnya, dia lebih-lebih
membenci bangsa Kim, maka itu kenapa dia bolehnya mengajari silat kepada
satu pangeran Kim? Sungguh membikin pusing kepala…” Terus ia mengawasi
Kwee Ceng dan berkata pula: “Khu Toasuko telah menjanjikan aku bertemu
di Yan-khia, dalam beberapa hari ini tentulah ia bakal tiba, maka
setelah bertemu dengannya, aku akan menanya jelas segala apa. Toasuko
telah menerima satu murid she Yo, dia kata hendak ajak muridnya itu
pergi ke Kee-hin untuk dicoba pibu denganmu. Entah bagaimana
kepandaiannya murid she Yo itu, nanti kau jangan khawatir. Di sini ada
aku, tidak nanti aku bikin kau mendapat susah….”
Kwee Ceng telah terima titah gurunya untuk sebelum tanggal dua puluh
empat bulan tiga sampai di Kee-hin, Ciat-kang untuk apa ia dimestikan
pergi ke Kee.hin itu, gurunya tidak memberikan keterangan apa-apa, maka
itu ia heran atas kata-katanya imam ini.
“Totiang, pibu apakah itu?” ia bertanya.
Ong Cie It dapat menduga, ia menghela napas. “Gurumu belum membilang
suatu apa kepadamu, tak baik aku mewakilkan mereka memberi keterangan,”
ia menjawab.
Ong Cie It ketahui maksudnya Kanglam Cit Koay. Dia telah mendengar
lelakonnya kedua keluarga Yo dan Kwee itu, bahwa dalam pibu, Kanglam Cit
Koay pasti menghendaki kemenangan, maka itu tidak heran Tujuh Manusia
Aneh dari Kanglam itu tidak mau menjelaskan sesuatu kepada Kwee Ceng,
maksudnya pasti untuk mencegah Kwee Ceng menjadi bersusah hati hingga
peryakinan ilmu silatnya menjadi terganggu. Atau mungkin disebabkan
musuh adalah turunan sahabat ayahnya, Kwee Ceng itu nanti berkelahi
tidak dengan sungguh-sungguh dan karenanya menjadi tidak memperoleh
kemenangan.
Kwee Ceng juga tidak berani menanya apa-apa lagi, dia cuma manggut-manggut.
“Sekarang mari kita lihat itu orang she Bok dan gadisnya,” berkata Ong
Cie It kemudian. “Nona itu bertabiat keras, aku khawatir dia nanti
menerbitkan bencana jiwa…”
Kwee Ceng terkejut. ia menjadi ingat kepada nona itu. Maka keduanya
lantas berjalan dengan cepat ke kota barat, terus ke rumah penginapan
Kho Seng di jalan besar utama. Baharu mereka sampai di depan pintu, dari
dalam hotel sudah muncul beberapa pengiring dengan pakaian seragam
bersulamnya, semua lantas memberi hormat kepada Ong Cinjin seraya
berkata: “Kami diperintahkan siauw-ongya mengundang totiang serta Tuan
Kwee menghadiri pesta di gedung kami.” Mereka lantas menyerahkan sehelai
kartu nama di atas mana ada tertera: “Hormat dari teecu Wanyen Kang.”
“Sebentar kita datang,” berkata Ong Cie It.
“Dan ini kue-kue dan bebuahan, siauw-ongya minta totiang dan Tuan Kwee
sudi menerimanya,” berkata pula si pengiring. “Di mana totiang dan Tuan
Kwee tinggal? Nanti kami pergi mengantarkan ke sana.”
Beberapa pengiring lainnya lantas maju untuk mengasih lihat barang
antaran mereka, yang terdiri dari dua belas, isinya semua adalah makanan
dan bebuahan yang istimewa.
“Oey Yong suka dahar makanan semacam ini, baik aku tinggalkan untuk
dia,” Kwee Ceng berpikir. Ia polos, ia bersedia menerima antaran itu.
Ong Cie It tak berkesan baik terhadap Wanyen Kang, hendak ia menampik,
akan tetapi kapan ia melihat sikap Kwee Ceng, ia lantas terima itu. Ia
tersenyum, di dalam hatinya ia berkata: “Dasar bocah! Dia tidak harus
dipersalahkan.”