"Wah, ketanggor (melanggar batu) aku sekali ini! Kau
benar bocah hijau tak tahu apa-apa. Pat-jiu Sin-ong Liu Gan agaknya tidak
pernah memberi pengertian kepada bocah ini! Suling Emas adalah pusaka pemberian
Bu Kek Siansu kepada Sastrawan Ciu Bun. Sekarang, Sastrawan Ciu Bun lenyap,
entah mampus atau belum, akan tetapi suling emas itu lenyap, menjadi perebutan
orang-orang di dunia. Nah, aku perlu suling itu, kalau seorang di antara kalian
menemukannya, harus diberikan kepadaku. Harus, mengerti?"
"Tidak, tidak mengerti."
"Tolol! Kau menantang?"
"Tidak, Bu Tek Lojin. Kumaksudkan, aku tidak
mengerti mengapa hanya sebuah suling emas saja dijadikan rebutan. Berapa sih
harganya suling emas? Agaknya orang-orang kang-ouw sekarang sudah menjadi mata
duitan semua!"
Kakek itu tertawa bergelak-gelak, perutnya sampai menjadi
keras dan ia memegangi perutnya, tubuhnya ditekuk menjadi lebih pendek lagi.
"Ho-ho-ho-hah-hah! Goblok, sekali goblok tetap
tolol. Kau tahu apa? Suling itu menjadi kunci rahasia ilmu kesaktian hebat,
selain itu, emasnya mengandung logam murni yang berasal dari bintang, siapa
memegangnya, berarti memegang sebuah senjata yang paling ampuh di dunia
ini."
"Ah, begitukah? Baik, nanti kusampaikan kepada ayah
dan kawan-kawan lain."
Kata Lu Sian, akan tetapi di dalam hatinya sudah timbul
keinginan untuk memiliki sendiri suling emas itu. Kakek itu kaget. Biarpun
sakti, agaknya ia mudah kaget.
"Bocah gendeng, bikin kaget saja, kukira Bu...
eh!"
Ia menghentikan ucapannya, lalu berseru keras.
"Muridku! Kau naik ke sini!"
Karena tidak ingin berurusan dengan kakek itu, Lu Sian
berkata.
"Bu Tek Lojin, sudahlah, aku minta diri, hendak
melanjutkan perjalananku."
"Eh, nanti dulu, kau jumpai muridku yang baik!"
Hemm, segala murid anak kecil disuruh menjumpai. Akan
tetapi tidak enak kalau membantah dan membuat marahnya kakek sakti ini, maka ia
berdiri menanti.
"Bocah tolol, tidak lekas-lekas naik? Kalau habis
sabarku, kujewer telingamu sampai copot!"
Teriak kakek itu marah-marah. Diam-diam Lu Sian merasa
kasihan kepada bocah murid kakek ini yang demikian galak.
"Teecu datang, Suhu!"
Terdengar teriakan dari jauh, akan tetapi mendadak
berkelebat bayangan dan tahu-tahu di situ berdiri seorang laki-laki yang tubuhnya
juga agak cebol gemuk, kepalanya botak dan jenggotnya juga panjang! Hampir Lu
Sian tak dapat menahan ketawanya. Yang disebut bocah dan ia sangka kanak-kanak
ini tidak tahunya juga seorang laki-laki yang sudah tua, malah panjang
jenggotnya, laki-laki yang seperti juga gurunya, berpakaian tidak karuan dan
bertelanjang kaki. Orang botak itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan
gurunya.
"Kalisani, hayo kau awan perempuan ini, untuk ujian.
Dia puteri Pat-jiu Sin-ong, cukup untuk kau pakai berlatih!"
Kalisani, murid Bu Tek Lojin yang kita kenal sebagai
bekas Panglima Khitan itu segera bangkit berdiri memandang Lu Sian, lalu
menjura.
"Nona, Suhu sudah memerintah kepadaku, terpaksa
kuharap Nona suka melayaniku barang sepuluh jurus!"
Setelah berkata demikian, ia memasang kuda-kuda seperti
orang hendak membuang air, karena ia berjongkok sampai rendah sekali dan
mukanya menahan napas sampai merah seperti orang sakit perut! Kuda-kuda ini
lucu sekali dan seandainya Lu Sian tidak sudah menduga bahwa lawan aneh ini
seorang yang tak boleh dipandang ringan, tentu ia tidak dapat menahan
ketawanya, Lu Sian sendiri memiliki watak aneh, keras hati dan tidak mau kalah.
Sekarang ia ditantang terang-terangan biarpun ia tahu bahwa kepandaian Bu Tek
Lojin jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya, namun ia tidak takut,
dan ia harus memperlihatkan kepandaiannya, apa pun yang akan terjadi. Oleh
karena itu, melihat Kalisani sudah memasang kuda-kuda, ia berseru keras.
"Orang hutan, jaga seranganku!"
Tubuhnya bergerak cepat sekali dan ia menerjang maju,
langsung mengirim tendangan dengan ujung sepatunya ke arah leher orang yang
berjongkok di depannya. Ketika lawannya melompat ke belakang sambil mengulur
tangan dengan maksud menangkap kakinya yang menendang, Lu Sian menarik kakinya
dan tubuhnya condong ke depan, langsung tangan kanannya menghantam dada
sedangkan tangan kiri dengan dua jari tangan menusuk ke arah mata. Inilah jurus
dari Ilmu Silat Sin-coa-kun yang amat berbahaya dan ganas. Akan tetapi Kalisani
bukanlah seorang yang masih hijau. Sebelum menjadi murid Bu Tek Lojin, ia telah
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi panglima tua di Khitan, tentu saja
ia tidak dapat dikalahkan dengan mudah dan jurus yang berbahaya ini dengan amat
mudahnya dapat ia hindarkan dengan cara melompat ke kanan. Malah ia segera
membalas serangan lawan dengan pukulan keras dari kanan.
Melihat lawannya juga dapat bergerak dengan gesit sekali,
Lu Sian makin bersemangat. Ia mengelak dari pukulan itu dan balas menerjang
ganas sambil mengerahkan gin-kangnya dan terus mainkan Ilmu Silat Ular Sakti
yang memiliki jurus-jurus ganas dan berbahaya. Berkat gin-kang Coa-in-hui yang
ia pelajari dari Tan Hui, kini permainan Ilmu Silat Tangan Kosong Ular Sakti
menjadi berlipat ganda lebih lihai daripada sebelum ia memiliki gin-kang itu.
Diam-diam Kalisani terkejut sekali. Sedikitpun juga ia
tidak mengira bahwa lawannya begini hebat. Tadi ketika ia disuruh suhunya
menandingi Lu Sian, ia merasa ragu-ragu dan tidak enak hati. Dia seorang yang
sudah tua dan berpengalaman banyak, pula memiliki ilmu silat tinggi. Bagaimana
harus melawan seorang wanita muda? Akan tetapi karena suhunya yang memberi
perintah, tentu saja ia tidak berani membantah. Ia tadinya hendak berjaga diri
saja dan sedapat mungkin mengalahkan wanita ini dengan lunak, karena Kalisani
bukanlah seorang pria yang suka menghina atau menyakiti hati wanita. Siapa
kira, kini menghadapi desakan Lu Sian, ia menjadi bingung dan pandang matanya
kabur, demikian cepatnya wanita ini bergerak!
Maka ia lalu tidak sungkan-sungkan lagi, cepat ia pun
mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan tenaga dalam kedua lengannya, mempercepat
gerakannya. Alangkah herannya ketika beberapa kali lengan mereka saling
bertemu, wanita itu tidak roboh atau mencelat, bahkan dia sendiri merasa betapa
hawa pukulan yang amat kuat menggetarkan lengannya! Maklumlah ia kini bahwa
biarpun masih muda wanita yang pantas menjadi lawannya ini lihai sekali. Pantas
saja suhunya mengatakan bahwa wanita ini cukup tangguh untuk diajak berlatih
ilmu silat!
Dengan ilmu gin-kang Coa-in-hui, benar-benar Lu Sian
dapat menguasai lawannya. Ia menang cepat dan sudah tiga kali tangannya
berhasil menyerempet tubuh lawan, malah satu kali ia berhasil memukul pundak
Kalisani. Akan tetapi tubuh lawannya kebal dan pukulan itu hanya membuat
Kalisani terhuyung-huyung sebentar, maka ia berlaku amat hati-hati dan mencari
kesempatan untuk dapat memukul tepat. Lu Sian sengaja mempermainkan lawan
dengan kecepatannya untuk mengacaukan pertahanannya.
"Bocah tolol! Segala macam ilmu cakar bebek dari
Khitan itu mana mampu menghadapi Sin-coa-kun dari Beng-kauw? Tolol! Kau
muridku, mengapa tidak menggunakan pelajaran dariku?"
Bu Tek Lojin marah-marah, mencak-mencak dan memaki-maki.
Kalisani memang tidak mau mempergunakan ilmu simpanannya yang ia pelajari dari
Bu Tek Lojin. Ilmu itu ada tiga macam, yaitu Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan Kosong
Selaksa Kati) yang merupakan penghimpunan tenaga sin-kang yang luar biasa, ke
dua adalah Khong-in-liu-san yang merupakan ilmu serangan yang luar biasa
hebatnya, dan ke tiga adalah Ilmu Silat Kim-lun-sin-hoat (Ilmu Sakti Roda
Emas), semacam ilmu silat yang dapat dimainkan dengan tangan kosong, akan
tetapi lebih tepat dengan gelang atau roda emas yang ia terima sebagai tanda
mata dari Tayami! Ilmu-ilmu ini ia tahu amat hebat, maka ia tidak tega untuk
mempergunakannya terhadap Lu Sian yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak
ada permusuhan dengannya.
Kini mendengar seruan gurunya, baru ia ingat. Akan tetapi
terlambat. Sebelum ia sempat mempergunakan ilmu itu, sebuah hantaman LuSian
mengenai lehernya, membuat Kalisani terlempar dan bergulingan, kemudian
terbentur pohon dan rebah telentang dengan mata mendelik. Pingsan!
"Uuhhh, tolol, mencari mampus!"
Bu Tek Lojin marah dan mendongkol sekali melihat
"jagonya" keok. Ia melompat dekat dan dua kali menotok leher dan
punggung, muridnya sudah merangkak bangun lagi.
"Hayo maju lagi, kalau kau tidak bisa menang
kulemparkan kau ke dalam jurang!" bentaknya. Memang kakek ini memiliki
watak yang luar biasa sekali, sama sekali ia tidak pernah mau mengaku kalah
terhadap siapapun juga.
"Bu Tek Lojin, aku tidak hendak bermusuh!"
mendongkol juga karena sudah jelas ia menang, mengapa kakek ini nekat menyuruh
muridnya maju lagi?
"Aku tadi melayani hanya untuk membuktikan bahwa
bukan muridmu saja yang memiliki kepandaian di kolong jagad ini. Sekarang aku
tidak ada waktu lagi."
"E-e-eh, nanti dulu! Siapa bilang muridku kalah?
Tadi ia sengaja mengalah, kau tahu? Kalisai.., hayo maju lagi!"
Lu Sian gemas. Orang tua ini harus diberi rasa, pikirnya.
Kali ini aku akan memukul mampus muridnya, lihat dia hendak berlagak bagaimana
lagi? Maka ia cepat berseru keras dan mendahului Kalisani, menerjang dengan
cepat.
Kalisani sudah bersiap sedia. Ia sudah merasai kehebatan
kepandaian lawan, maka sekarang ia cepat merobah gerakannya dan mainkan ilmu
silat Kim-lun-sin-hoat dan mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin.
Tulang-tulangnya berbunyi berkerotokan, ini tanda bahwa sin-kang di tubuhnya
telah terhimpun. Sebenarnya, ia belum matang dalam latihan Khong-in-ban-kin,
maka tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi. Kalau ia sudah berhasil menghimpun
tenaga tanpa tulang-tulangnya berbunyi, barulah ilmunya itu sempurna.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lu Sian ketika dia
menerjang, ia disambut dengan hawa pukulan jarak jauh yang luar biasa kuatnya,
yang menolak setiap gerakannya sehingga ia tidak dapat mendekati lawannya.
Sebaliknya, kedua tangan lawan yang digerakkan berputar-putar membentuk
lingkaran-lingkaran seperti roda itu membingungkan hatinya. Baru belasan jurus,
Lu Sian sudah main mundur.
"Hua-hah-ho-ho-ho-hoh!"
Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak menyaksikan betapa
muridnya dapat mendesak lawan,
"Kalisani, jangan sungkan. Hantam dia sampai babak
belur! Comot hidungnya, jewer telinganya, cubit pantatnya, ha-ha-ha!"
Dapat dibayangkan betapa marahnya Lu Sian mendengar
ejekan-ejekan ini. Kakek tua bangka mau mampus, pikirnya marah. Tiba-tiba kedua
tangannya bergerak pada saat ia meloncat jauh ke belakang dan dari kedua
tangannya itu menyambar sinar-sinar kemerahan ke arah Kalisani dan Bu Tek Lo
Jin! Kakek cebol ini masih tertawa-tawa, akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya
berhenti dan terkejutlah ia melihat sinar merah menyambar. Namun dengan mudah
saja ia mengebutkan lengan baju dan semua jarum Siang-tok-ciam yang dilepaskan
Lu Sian runtuh ke tanah.
Kalisani sebaliknya kaget sekali. Tahu bahwa dari depan
menyambar senjata rahasia berbahaya, ia membanting tubuh ke belakang dan
bergulingan, sehingga ia terbebas daripada ancaman jarum maut. Akan tetapi, Lu
Sian tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.
Dalam kemendongkolannya, Lu Sian sudah mencabut pedang
Toa-hong-kiam dan kini ia memutar pedang menerjang Kalisani dengan Ilmu Pedang
Toa-hong Kiam-hoat yang gerakannya seperti angin badai mengamuk. Kasihanlah
Kalisani. Ia berloncatan ke sana ke mari menghindar daripada gulungan sinar
pedang, seperti monyet berjoget.
"Wah, bocah jahat!"
Tiba-tiba pedang di tangan Lu Sian berhenti di udara, dan
ketika Lu Sian menoleh, kiranya pedangnya itu ujungnya sudah dijepit dua buah
jari tangan Bu Tek Lojin. Ia marah sekali cepat mengerahkan tenaga menarik
pedang untuk membikin buntung jari tangan orang. Namun sia-sia, sedikit pun
pedangnya tidak bergeming, masih tetap terjepit dua buah jari tangan.
"Lepaskan pedangku!"
"Heh-heh-hoh!"
"Bu Tek Lojin, lepaskan pedangku!"
"Kalau tidak kulepaskan, kau mau apa? Mau panggil
ayahmu? Panggillah dia, Aku tidak takut!"
"Ayah tidak berada di sini. Akan tetapi akan
kupanggil Bu Kek Siansu!"
Tangan yang menjepit pedang itu tiba-tiba gemetar dan Lu
Sian mempergunakan kesempatan ini untuk menarik pedangnya dan meloncat mundur.
"Kau bohong! Dia... dia... eh, tidak berada di sini..."
Biarpun mulut berkata demikian, namun kakek itu jelalatan
memandang ke sana ke mari.
"Hemm, kau tidak percaya? Baru tadi aku bertemu
dengan beliau, dan aku mendengar beliau menagancam hendak menghajar kepalamu
sampai peok dan gepeng!"
"Oh... ah... tidak... bisa....!"
"Kau tidak percaya? Biar kupanggil beliau. Beliau
paling benci melihat kau mengganggu orang muda. Siansu...! Siansu...! Silakan
datang ke sini, Bu Tek Lojin menantang Siansu...!!"
"Ohhh... jangan...! Jangan... aku... aku hanya
main-main tadi... Eh, murid tolol, hayo pergi!"
Kakek aneh itu menyambar lengan muridnya dan sekali
berkelebat mereka lenyap dari tempat itu.
Lu Sian berdiri termenung. Untuk ke sekian kalinya ia
mendapatkan orang-orang yang jauh lebih lihai daripadanya! Ah, selamanya ia
tentu akan menemui kekecewaan dan penghinaan saja kalau ia tidak berhasil
memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di dunia ini. Ia teringat akan
ayahnya. Betapapun juga, tingkat kepandaian ayahnya sudah amat tinggi dan ia
ingat bahwa ayahnya menyimpan kitab-kitab ilmu yang tinggi dan dirahasiakan. Ia
harus menemui ayahnya, menceritakan perceraiannya dengan Kam Si Ek, kemudian
minta kepada ayahnya untuk menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi kepadanya.
Dengan pikiran ini, Liu Lu Sian lalu berangkat ke
selatan, melakukan perjalanan cepat menuju ke Nan-cao, ke rumah ayahnya. Akan
tetapi kembali ia kecewa. Ketika ayahnya mendengar bahwa ia meninggalkan Kam Si
Ek, ayahnya marah-marah dan memaki-makinya.
"Isteri macam apa engkau ini?" Antara lain
Pat-jiu Sin-ong marah-marah memakinya.
"Seorang isteri dan ibu meninggalkan suami dan anak
begitu saja?! Sungguh celaka!!"
"Kam Si Ek terlalu kukuh dan cinta kepada tugasnya,
Ayah. Asal kuajak pindah dan meninggalkan pekerjaannya, dia marah-marah. Aku
bosan dan merasa dijadikan bujang dalam rumah!"
"Huh! Sudah menjadi kewajiban seorang isteri untuk
mengurus rumah tangga, melayani suami dan memelihara anak. Ke mana pun si suami
pergi, si isteri harus mengikutinya. Sebelum menikah denganmu, Kam SI Ek memang
sudah terkenal sebagai seorang patriot, mana ia sudi menuruti kehendakmu
meninggalkan tugasnya? Sayang dia menjadi orang Shan-si, kalau dia menjadi
penduduk sini dan membantu negara kita, alangkah baiknya. Dan kau
meninggalkannya begitu saja? Anak durhaka! Perbuatanmu ini akan mengotori pula
namaku sebagai ayahmu. Tahu??"
Lu Sian tidak tahan mendengar maki-makian ayahnya dan ia
lari ke kamarnya dengan muka merah, menutup diri dalam kamar tidak mau keluar
lagi. Ia memeras otak. Agaknya tinggal di rumah ayahnya pun tidak akan
menyenangkan, pikirnya. Pula, setelah ayahnya marah-marah, agaknya tidak
mungkin tercapai pengharapannya, yaitu menerima ilmu-ilmu tinggi dari ayahnya.
Oleh karena inilah, maka pada malam hari itu juga, ia menyelinap masuk ke dalam
kamar pusaka ayahnya, mengambil tiga kitab rahasia, simpanan ayahnya yang oleh
ayahnya disebut Sam-po Cin-keng, lalu malam itu juga ia meninggalkan ayahnya!
Tiga buah kitab itu adalah pusaka yang amat dirahasiakan
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Sebuah merupakan kitab pelajaran inti Ilmu Khi-kang
Coam-im-I-hun-to (Suara Merampas Semangat Orang) dan kitab ke tiga adalah inti
pelajaran Ilmu Silat Beng-kauw-kun (Ilmu Silat Beng-kauw) yang merupakan
ciptaan baru dengan maksud untuk dijadikan pegangan bagi para pimpinan
Beng-kauw. Ilmu silat ini adalah gabungan daripada semua ilmu silat yang pernah
diajarkan ayahnya kepada Lu Sian, yaitu Pat-mo-kun, Sin-coa-kun, dan
Toa-hong-kun.
Dengan semangat besar Lu Sian mempelajari ilmu-ilmu ini.
Beng-kauw-kun dapat ia pelajari dengan mudah Karena ia sudah mengenal tiga
macam ilmu silat itu, maka tentu saja lebih mudah baginya untuk menghafal dan
melatih diri dengan ilmu silat gabungan yang amat hebat ini. Akan tetapi untuk
melatih kedua ilmu perampas semangat melalui suara dan pandang mata, bukanlah
pekerjaan mudah. Untuk itu ia harus memperkuat sin-kang dan khi-kangnya lebih
dahulu, maka setiap kali ada kesempatan, ia lalu bersamadhi dan melatih tenaga
dalam menurut petunjuk kitab-kitab itu.
Di samping melatih diri dengan kitab-kitab yang ia curi
dari ayahnya, juga Liu Lu Sian mulai mencari keterangan perihal suling emas
seperti yang ia dengar dari Bu Tek Lojin. Kakek yang amat sakti, dan kalau
kakek itu sendiri menginginkan suling emas yang katanya menjadi rahasia akan
ilmu silat yang paling tinggi, tentu suling emas itu merupakan benda keramat
yang tak ternilai harganya. Akan tetapi tak seorang pun di antara orang-orang
kang-ouw yang ia tanyai, tahu akan benda keramat itu.
Ia merantau terus ke timur dan masuklah ia di daerah yang
termasuk wilayah Kerajaan Min (Hok-kian sekarang). Pada suatu hari menjelang
senja ia tiba di kota Kim-peng yang ramai dengan perdagangan dan banyak
dikunjungi orang luar kota. Lu Sian masuk ke dalam sebuah rumah penginapan
An-hoa, tidak mempedulikan pandang mata banyak laki-laki yang berada di ruangan
depan. Seorang pelayan terbongkok-bongkok datang menyambutnya, dan melihat
pedang di pinggang Liu Lu Sian, pelayan itu bersikap hormat.
"Pelayan, sediakan sebuah kamar yang bersih
untukku!"
"Maaf, Li-hiap, maaf... semua kamar telah penuh. Dan
agaknya di seluruh rumah penginapan dalam kota ini tidak ada lagi kamar kosong
karena kota Kim-peng kita kebanjiran tamu yang hendak menyaksikan perayaan
besar di kuil Siauw-lim-si."
Mendongkol sekali rasa hati Lu Sian. Kalau ia kemalaman
di hutan, sudah biasa baginya tidur di atas pohon atau di dalam guha, akan
tetapi kalau ia berada di kota seperti sekarang ini tentu saja ia ingin
bermalam dalam sebuah kamar rumah penginapan.
"Ah, tidak bisakah kau mencarikan sebuah kamar
untukku?" tanyanya, suaranya kecewa dan menyesal.
"Sungguh nona, saya merasa menyesal sekali, Kami
akan senang sekali dapat melayani Nona, akan tetapi apa hendak dikata, banyak
sekali tamu berkunjung dan sebelum Nona datang, sudah banyak pula tamu yang
terpaksa kami tolak karena sudah kehabisan kamar."
Lu Sian menghela napas panjang. Menurutkan kemendongkolan
hatinya, ingin ia memaksa dan menggunakan kekerasan, akan tetapi ia tekan
perasaan ini dan ia sudah membalik kan tubuh hendak meninggalkan rumah
penginapan An-hoa tu ketika tiba-tiba terdengar orang berkata.
"Nona, mencari ke mana pun tidak akan ada gunanya.
Lebih baik kau bermalam di kamarku, semalam atau selamanya pun boleh!"
Lu Sian memandang. Laki-laki itu usianya sudah tiga puluh
tahun lebih, wajahnya bundar gemuk seperti bola, basah oleh peluh, baju di
dadanya terbuka, agaknya karena hawa yang panas, sehingga tampak dadanya yang
gemuk berdaging. Matanya sipit, mulutnya menyeringai, sikapnya kurang ajar. Dia
ini duduk menghadapi meja bersama tiga orang laki-laki lain yang
tersenyum-senyum menahan ketawa.
Hati Lu Sian yang sudah mendongkol itu kini mendidih,
akan tetapi hanya dugaannya saja laki-laki ini main-main dengannya, kenyataannya
belum terbukti, maka ia lalu berkata,
"Terima kasih atas kebaikan tuan memberikan kamar
tuan kepada saya. Akan tetapi tuan sendiri lalu hendak tidur di mana?"
Laki-laki gendut itu tertawa menyeringai memandang kepada
tiga orang kawannya yang juga tertawa gembira. Kemudian dia bangkit berdiri dan
melangkah maju mendekati Lu Sian sambil berkata,
"Aiihhh, Nona, mengapa repot-repot? Kamar yang
kusewa itu selain bersih, juga cukup lebar sehingga cukup untuk kita berdua.
Kalau sudah pulas aku tidak banyak bergerak!"
"Ha-ha-ha-ha! Heh-heh-heh!" Tiga orang kawannya
terpingkal-pingkal.
"Memang tidak banyak bergerak akan tetapi kalau
sudah pulas! Ha-ha!"
Meledak rasanya hati Lu Sian saking marahnya. Pada saat
itu muncul seorang pemuda dari kiri, seorang pemuda yang sejak tadi duduk di
meja sudut, berpakaian serba kuning. Cepat ia melangkah maju dan menjura kepada
Lu Sian sambil berkata,
"Nona, harap jangan melayani mereka. Kau pakailah
kamarku, aku dapat tidur bersama dua orang suhengku di kamar belakang..."
Akan tetapi Lu Sian sudah tidak sudi mendengarkan omongan
orang lain lagi karena matanya sudah memancarkan cahaya berapi ditujukan kepada
si laki-laki gendut. Tiba-tiba tubuhnya bergerak ke depan, sukar diikuti
pandang mata saking cepatnya dan...
"plak-plak-plak-plak!"
Muka dan tubuh laki-laki gendut itu dihajar habis-habisan
oleh kedua tangan Lu Sian, tanpa sedikit pun memberi kesempatan pada Si Gendut
untuk mengelak, membalas, bahkan bernapas. Tubuh Si Gendut itu seperti di
sambar petir, tersentak ke kanan kiri, ke belakang, terhuyung-huyung dan
akhirnya roboh menabrak kursi, kulit mukanya hancur mandi darah, kedua matanya
menonjol keluar, hidungnya remuk, telinga kirinya hilang dan napasnya
empas-empis mau putus!
"Hayo, mana kawan-kawannya? Maju semua, biar
kuhabiskan nyawanya! Bedebah! Keparat bermulut kotor! Hayo kalian bertiga
kawannya, bukan? Kalian tadi menertawai aku? Maju semua! Pengecut, anjing
bernyali tikus kalian kalau tidak berani maju!"
Pemuda pakaian kuning itu agaknya terkejut menyaksikan
sepak terjang Lu Sian yang demikian ganas, juga amat kaget mendapat kenyataan
bahwa Lu Sian memiliki kepandaian sehebat itu, terbukti dari gerakan tubuhnya
yang ringan tangkas sekali.
Si Gendut dan tiga orang kawannya adalah sebangsa buaya
darat yang biasa mencari perkara dan mencari keuntungan di tempat-tempat ramai.
Tiga orang buaya darat itu melihat kawannya dihajar setengah mati, menjadi
kaget dan marah. Tadi mereka hanya melongo karena sedemikian cepatnya Lu Sian
bergerak sehingga mereka tak sempat menolong kawan. Kini mereka bangkit
serentak dan
"sratt-sratt-sratt!" tangan mereka telah
mencabut golok.
"Awas...! Lari...!!"
Pemuda baju kuning berteriak kaget kepada tiga orang itu.
Namun terlambat! Sinar merah mernyambar dari tangan Lu Sian, tidak hanya ke
arah tiga orang buaya darat itu, akan tetapi juga ada yang menyambar ke arah
pemuda baju kuning. Pemuda itu dengan gerakan tangkas miringkan tubuh dan
tangannya menyambar sebatang jarum Siang-tok-ciam sambil melompat mundur.
Akan tetapi tiga orang buaya darat itu sudah terjengkang
dan merintih-rintih karena dada mereka sudah tertusuk jarum-jarum berbisa yang
dilepas oleh Lu Sian tadi!
"Ah, jarum beracun yang hebat!"
Pamuda baju kuning itu berseru kaget sambil meneliti
jarum merah di tangannya. Kemudian ia melangkah maju mendekati Lu Sian, menjura
sambil berkata.
"Nona, kumohon dengan hormat sudilah kiranya Nona
mengampuni mereka ini dan memberi obat penyembuh racun."
"Hemm, kau memiliki kepandaian juga!"
Hatinya panas karena jarumnya dapat ditangkap oleh pemuda
itu.
"Apakah kau kawan mereka dan hendak membela mereka?"
"Sama sekali bukan, Nona. Sobodoh-bodohnya orang
macam Yap Kwan Bi ini, masih belum begitu tersesat untuk bersahabat dengan
segala macam buaya darat."
Lu Sian merasa heran sekali mengapa hatinya menjadi lega
mendegar bahwa pemuda yang tampan sekali ini bukan sahabat penjahat-penjahat
itu. Pemuda ini amat tampan, mukanya halus seperti muka wanita, matanya lebar
dan memandang dunia dengan jujur dan berani, senyumnya manis dan dagunya
mempunyai belahan yang membayangkan sifat jantan, alisnya seperti golok dan
amat hitam.
"Kalau bukan sahabat, mengapa kau mintakan
ampun?" masih mengagumi wajah yang amat tampan dan benuk tubuh yang tegap
dan padat.
"Nona, aku tahu bahwa kau adalah seorang pendekar
wanita yang lihai dan orang-orang ini mencari mampus berani mengeluarkan ucapan
menghina dan kurang ajar terhadapmu. Akan tetapi, nyawa manusia bukanlah nyawa
ayam yang mudah dicabut begitu saja. Pula, dengan melayani segala cacing kecil
macam mereka ini, bukankah berarti merendahkan kepandaian sendiri? Mereka sudah
cukup mendapat pengajaran, maka sepatutnya kalau mereka diampuni dan diberi
obat penawar racun. Alangkah tidak baiknya kalau kota yang tenteram ini
dikotori oleh pembunuhan yang disebabkan hal-hal kecil! Aku Yap Kwan Bi yang
bodoh mengharapkan kebijaksanaan Nona."
Pemuda itu bicara dengan teratur dan sopan, halus dan
mengesankan. Seketika lenyap kemarahan di hati Lu Sian, seperti awan tipis
tertiup angin. Ia mencibirkan bibirnya dan pemuda itu memejamkan matanya karena
jantungnya sudah jungkir balik di dalam dada. Bukan main wanita ini, pikirnya.
Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan wanita secantik ini, dan ketika
bibir yang kecil mungil dan merah membasah itu mencibir, memuncaklah daya
tariknya sehingga ia hampir jatuh berlutut.
Ketika pemuda itu membuka matanya, Lu Sian telah
mengeluarkan obat bubuk berwarna kuning, memberikan tiga bungkus kepada tiga
orang buaya darat itu sambil berkata,
"Cabut jarum-jarum itu dan bersihkan, lalu berikan
kepadaku!"
Tiga orang itu dengan tubuh menggigil menahan sakit
membuka baju dan mencabut jarum-jarum yang menancap di dada mereka, dua batang
seorang. Setelah membersihkan jarum-jarum itu dengan baju, mereka
menyodorkannya kepada Lu Sian yang menerima dan menyimpannya.
"Sekarang minum obat ini seorang sebungkus dengan
arak!"
Tergesa-gesa mereka membuka bungkusan obat, meminumnya
dengan arak dan seketika rasa gatal-gatal dan panas pada tubuh mereka lenyap.
Mereka segera menjatuhkan diri, mengangguk-anggukkan kepala sampai dahi mereka
membentur lantai di depan Lu Sian.
"Kalian bertiga tidak lekas pergi membawa teman
kalian yang sial ini, apakah menanti hajaran lagi?"
Yap Kwan Bi berseru, muak menyaksikan sikap mereka itu.
Tanpa banyak bicara lagi tiga orang itu lalu menyeret tubuh teman mereka yang
mukanya dirusak oleh Lu Sian tadi, meninggalkan rumah penginapan
Karena semua orang memandangnya dengan mata kagum dan takut,
Lu Sian membuang muka dan hendak berjalan keluar meninggalkan tempat itu. Akan
tetapi Yap Kwan Bi cepat berkata,
"Nona, aku tidak main-main ketika menawarkan
kamarku. Percayalah, tidak ada niat buruk di hatiku. Pakailah kamarku dan aku
akan tidur bersama kedua suhengku yang belum datang. Kami bertiga memakai kamar
besar."
Tak enak hati Lu Sian untuk menampik terus, memang ia
membutuhkan kamar dan pemuda ini amat sopan, amat tam pan, amat menarik. Ia
segera menjura untuk membalas penghormatan pemuda itu. "Terima kasih. Kau
baik sekali, Saudara Yap. Karena aku harus membalas setiap kebaikan atau
keburukan orang terhadapku, maka aku persilakan kau suka menerima undanganku
untuk makan dan minum bersamaku sore hari ini."
Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang belum pernah
bergaul dengan wanita. Penawaran ini mendebarkan jantungnya dan membuat kedua
pipinya kemerahan. Masa seorang wanita yang datang sendirian mengajak makan
minum seorang pemuda? Akan tetapi ia teringat bahwa wanita ini bukanlah gadis
sembarangan, melainkan seorang perantauan di dunia kang-ouw, maka hal itu
tidaklah amat janggal. Ia cepat-cepat menjura menghaturkan terima kasih.
"Kau baik sekali, Nona. Mari kuantar Nona ke kamar
Nona."
"Pesankan semeja makanan dan minuman untuk dua
orang, pilih masakan yang terbaik dan antarkan cepat ke kamarku."
Perintahnya kepada pelayan.
"Baik, Li-hiap, baik..."
Pelayan itu mengangguk-angguk dan pergi cepat-cepat untuk
melakukan perintah orang. Lu Sian bersama pemuda itu memasuki ruangan dalam,
diikuti pan dang mata banyak orang yang tadi peristiwa hebat itu. Kamar itu
tidak besar, namun cukup bersih. Pemuda itu mengambil bungkusan pakaiannya
untuk dipindahkan ke kamar lain dan Lu Sian melihat gagang pedang tersembul
keluar dari dalam bungkusan pakaian. Ia tersenyum. Gerak gerik pemuda ini
benar-benar sopan, dan ia demikian tampan, ia demikian tangkas.
"Saudara Yap mari kita duduk bercakap-cakap sambil
menanti datangnya hidangan. Silakan."
Mereka duduk menghadapi meja satu-satunya di dalam kamar,
mulut belum berkata apa-apa, mata sudah saling pandang dan sesaat pandang mata
mereka bertaut, sukar dilepaskan lalu muka pemuda itu menjadi merah sekali, ia
menjadi bingung dan gugup sehingga Lu Sian tak dapat menahan senyumnya.
Melihat seorang pemuda terpesona oleh kecantikannya
adalah hal yang lumrah, tidak aneh baginya. Akan tetapi biasanya laki-laki yang
terpesona oleh kecantikannya itu memperlihatkan sikap kurang ajar, sedangkan
pemuda ini sebaliknya malah menjadi malu-malu dan panik! Ia tahu bahwa kalau ia
diamkan saja, pemuda itu akan menjadi makin panik, maka ia segera berkata
dengan senyum manis menghias bibir.
"Saudara Yap memiliki kepandaian yang tinggi,
sungguh membuat orang kagum sekali."
Pemuda itu tersenyum dan cepat-cepat menjawab.
"Ah, Nona terlalu memuji. Apakah artinya kebodohanku
ini dibandingkan dengan kelihaianmu? Justru Nonalah yang membuat semua orang,
terutama aku sendiri, menjadi amat kagum."
Pada saat itu pelayan datang mengantar hidangan dan arak
yang ia atur di atas meja depan sepasang orang muda itu. Setelah pelayan pergi,
Lu Sian menuangkan arak di atas cawan, lalu berkata sambil tersenyum,
"Dalam pertemuan ini kita saling cocok dan menjadi
sahabat, akan tetapi janggal sekali sebutan yang masing-masing kita gunakan. Saudara
Yap, namaku Lu Sian dan kalau kau suka memberi tahu berapa usiamu, kita dapat
mengatur tentang sebutan."
Melihat wanita itu demikian terbuka dan jujur sikapnya,
Kwan Bi merasa girang.
"Tahun ini usiaku dua puluh satu tahun."
"Kalau begitu biarlah aku menyebutmu Adik dan kau
menyebutku Cici!" Pemuda itu dengan muka gembira bangkit berdiri dan
menjura. "Lu-cici!"
Lu Sian juga bangkit berdiri, tertawa gembira mengingat
betapa pemuda ini menyangka dia she Lu bernama Sian. Ia pun menjura dan berkata
dengan senyum melebar dan kerling mata menyambar,
"Yap-te yang baik...!"
Mereka duduk kembali dan Lu Sian mengangkat cawan arak
mengajak minum, menawarkan makan dengan sikap lincah manis sehingga lenyaplah
rasa malu-malu dan kikuk di pihak pemuda itu. Mereka makan dan sinar mata
mereka saling sambar dan saling lekat di kala sumpit-sumpit mereka tanpa
sengaja bertemu dan beradu ketika dalam waktu bersamaan mengambil masakan yang
sama. Tadinya memang tidak disengaja, akan tetapi lama kelamaan ada unsur kesengajaan!
Ketika hawa arak mulai membikin sepasang pipi Lu Sian
menjadi kemerahan, ujung bibirnya bergerak-gerak manis dan sinar matanya
memancarkan kehangatan, ia berkata,
"Adik Yap baru berusia dua puluh satu tahun sudah
memiliki kepandaian hebat. Bolehkah aku tahu dari perguruan manakah?"
"Lu-cici terlalu memuji. Kepandaianku amat jelek dan
masih rendah, boleh dibilang paling rendah di antara murid-murid
Siauw-lim-pai."
"Ahh! Kiranya murid Siauw-lim-pai?"
Lu Sian menepuk kedua tangannya dengan pandang mata
kagum, lalu ia tertawa dan berdiri sambil memberi hormat.
"Maafkan tadi aku berlaku kurang hormat kepada
seorang pendekar besar dari Siauw-lim!"
"Lu-cici jangan metertawakan Siauw-te!"
Pemuda itupun berdiri dan tertawa.
"Kau membikin aku menjadi kikuk saja! Marilah kita
duduk kembali dan jangan terlalu mengadakan pujian kosong terhadap diriku yang
bodoh."
Mereka tertawa-tawa gembira dan duduk kembali. Pengaruh
arak telah membuat keduanya bicara makin bebas dan gembira, diseling tawa dan
senyum serta lirikan mata yang mulai memancarkan dendam nafsu.
"Yap-te, siapakah yang belum mendengar tentang
kehebatan dan kebesaran Siauw-lim-pai? Ilmu silat dari Siauw-lim-pai adalah
warisan langsung dari Tat Mo Couwsu, terkenal sebagai rajanya ilmu silat. Sudah
lama aku mendengar akan kebesaran Siauw-lim-pai dan semenjak kecil, aku sudah
bermimpi-mimpi ingin sekali mendapat kesempatan mengunjungi dan melihat-lihat
keadaan dalam kelenteng yang menjadi pusat Siauw-lim-pai!"
"Ah, aku akan merasa bangga dan bahagia sekali
andaikata dapat mengantar Lu-cici melihat-lihat ke sana! Sayang, sungguh
menyesal hatiku bahwa hal itu tak mungkin karena ada larangan keras wanita
memasuki ruangan dalam perguruan kami. Maaf, Lu-cici."
"Sayang sekali, Yap-te. Akan tetapi kalau kau mau
menceritakan tentang keadaan sebelah dalam, aku pun bisa membayangkan dan
bukankah itu sama dengan mellihat sendiri? Aku bisa melihat-lihat dengan
meminjam sepasang matamu yang awas."
Lu Sian tertawa dan pemuda itu pun tertawa.
Maka sambil makan minum berceritalah Yap Kwan Bi tentang
keadaan sebelah dalam kuil Siauw-lim-si yang luas, tentang patung-patung besar,
tentang ruangan-ruangan latihan, ruangan ujian dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan Lu Sian, pemuda ini bercerita tentang kamar kitab.
"Kamar kitab ini merupakan satu di antara
kamar-kamar yang tidak boleh dimasuki murid, kecuali kalau masuk bersama Suhu,
Susiok atau mendapat perkenan langsung dari Sukong (Kakek Guru) ketua
Siauw-lim-pai sendiri."
"Kau sebagai murid terkasih tentu pernah masuk,
bukan, Adik yang gagah?"
"Sudah belasan kali ketika Suhu menyuruh aku
memperdalam Ilmu I-kin-keng untuk membersihkan dan memperkuat otot-otot dalam
tubuh dan tentang ilmu samadhi melatih napas."
"Wah, kalau begitu lengkap sekali perpustakaan
Siauw-lim-pai! Ah, betapa inginku menjenguk ke sana sebentar. Adikku yang baik,
tidak dapatkah kau mengantar Cicimu ini masuk sebentar saja ke sana?"
Pemuda itu bergidik.
"Mana bisa, Lu-cici? Percayalah, kalau ke tempat
lain, biar mempertaruhkan nyawa, akan kuantarkan. Akan tetapi ke ruangan dalam
Siauw-lim-si? Ah, hukumannya berat, hukuman mati. Dan sama sekali tidak boleh
dibuat main-main di sana. Para Suhu amat keras dan lihai."
Lu Sian menghela napas penuh kecewa, akan tetapi dalam
benaknya telah tergambar keadaan sebelah dalam ruangan Siauw-lim-si seperti
yang diceritakan Yap Kwan Bi tadi.
"Berapa banyakkah kita-kitab di dalam kamar kitab
itu?"
Ia terus menghujani Kwan Bi dengan pertanyaan-pertanyaan
sehingga beberapa saat kemudian Lu Sian sudah tahu betul akan letak dan rahasia
kamar ini, betapa kitab tentang samadhi berada di rak terbawah, kemudian Ilmu
Silat Lo-han-kun di rak kedua sebelah kiri, ilmu ini di rak itu, ilmu tentang
itu di rak ini. Akan tetapi yang menarik perhatian Lu Sian adalah kitab tentang
ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai, yang bernama Im-yang-tiam-hoat.
Ilmu ini pernah ia dengar dari ayahnya yang menyatakan bahwa ilmu menotok jalan
darah Siauw-lim-pai ini adalah paling hebat, paling kuat dan merupakan dasar
pelajaran segala macam ilmu menotok jalan darah. Maka ketika ia bertanya kepada
Kwan Bi dan mendengar bahwa kitab Im-yang-tiam-hoat itu berada di rak paling
atas di ujung kiri, hatinya berdebar.
�Yap-te, aku merasa girang sekali bertemu denganmu dan
dapat menjadi sahabat. Kau menyenangkan sekali!"
"Ah, Lu-cici, kaulah yang luar biasa. Kau baik
sekali kepadaku dan... aku berhutang budi kepadamu. Entah bagaimana aku dapat
membalas kebaikanmu ini, Lu-cici."
Keadaan pemuda itu sudah mulai mabok. Tidak biasa ia
minum arak sampai banyak, akan tetapi menghadapi seorang wanita cantik jelita
seperti Lu Sian, ia menjadi lupa diri dan minum terus setiap kali Si Jelita
mengisi cawan araknya. Lenyaplah kekakuan sikap Yap Kwan Bi dan ketika Lu Sian
mengulur tangan kirinya di atas meja, dekat dengan tangan kanannya,
jari-jarinya merayap mendekati dan menyentuh kulit tangan halus lunak itu.
Biarpun bersentuhan hanyalah ujung jari pada punggung tangan, namun seakan-akan
ada aliran listrik memasuki tubuh melalui tempat persentuhan sebagai pusat
pembangkit tenaga, langsung menyerang jantung yang men jadi berdebar-debar
keras. Karena tidak ada reaksi apa-apa dari pihak Lu Sian, tangan pemuda itu
makin berani dan di lain saat sepuluh buah jari tangan mereka sudah saling
cengkeram!
"Lu-cici... alangkah janggalnya aku menyebutmu Cici.
Kau... kau begini cantik jelita dan tentu lebih muda daripadaku. Kau paling
banyak delapan belas tahun..."
Pemuda itu berkata agak sukar karena cengkeraman jari
tangan itu membuat napasnya sesak dan kepalanya berpusing! Lu Sian tersenyum
manis dan perlahan-lahan melepaskan jari-jari tangannya, lalu menarik kembali
lengannya. Kedua pipinya merah dan kedua matanya terselaput air, bibirnya
tersenyum-senyum aneh dan matanya memandang pemuda itu setengah terpejam.
Sejenak ia menahan napas untuk menekan desakan nafsu yang menggelora. Dia
wanita lemah, mudah dibakar nafsu, akan tetapi dia pun kuat menguasai nafsu
yang datang membakar.
"Yap-te, aku memang lebih tua daripadamu."
"Ah, kau ini seperti Bibi Guruku saja, Lu-cici. Dia
sudah berusia lima puluh tahun, akan tetapi semua orang tentu tidak percaya
karena ia kelihatan masih muda. Ah, agaknya biarpun Bibi Guru tidak mewarisi
kelihaian ilmu silat Siauw-lim-pai, namun ia telah mewarisi Ilmu I-kin-swe-jwe
(Ganti Otot Suci Sumsum) dengan sempurna sehingga ia dapat mengalahkan usia tua
dan menjadi tetap muda!"
"Siapakah Bibi Gurumu yang hebat itu? Apakah aku
bisa berkenalan dengannya?"
"Tentu saja bisa, Lu-cici. Dia dahulu bernama Su Pek
Hong, kini menjadi pendeta wanita disebut Su-nikouw, menjadi ketua kuil wanita
di sebelah barat kota. Kau ingin bertemu dengannya, Cici? Mari kuantar!"
"Ah, kau baik sekali! Akan tetapi, aku akan mandi
dulu...."
"Mandi? Air persediaan di rumah penginapan ini hanya
sedikit, itupun tidak terlalu bersih, Lu-cici. Di sebelah barat, tidak jauh
dari kuil Kwan-im-bio tempat tinggal bibi guru Su-nikouw, terdapat telaga kecil
di sebuah hutan. Airnya jernih sekali dan aku sendiri selalu mandi di
sana."
Lu Sian serentak bangkit berdiri, wajahnya berseri.
"Kalau begitu menanti apa lagi? Mari kita ke sana,
mandi lalu mengunjungi bibi gurumu Su-nikouw!"
Setelah membereskan perhitungan makanan, mereka berdua
keluar dari rumah penginapan. Malam telah tiba ketika mereka berada di luar
rumah penginapan. Yap Kwan Bi yang mengenal jalan, tanpa ragu-ragu lagi
menggandeng tangan Lu Sian, diajak berjalan cepat melalui lorong-lorong gelap.
Mereka setengah berlari menuju ke sebelah barat kota, bahkan setelah keluar
dari pintu gerbang sebelah barat, mereka berlari cepat sambil tertawa-tawa
seperti dua orang kanak-kanak bergembira. Tak lama kemudian mereka memasuki
sebuah hutan yang sunyi dan gelap karena sinar bulan tertutup daun-daun pohon.
Setelah makin dekat dengan telaga kecil yang berada di tengah hutan, jalan yang
merekal lalui licin.
"Hati-hati, jalannya licin..."
Baru saja Kwan Bi berkata demikian, Lu Sian terpeleset
dan tentu jatuh kalau Kwan Bi tidak cepat memeluknya.
"Eh, hampir jatuh aku..."
Lu Sian tertawa. Akan tetapi pemuda itu tidak melepaskan
pelukannya.
"Heee, Yap-te, mengapa kau ini....?" Tegurnya,
pura-pura marah.
Dengan dada turun naik dan napas tersendat-sendat, Kwan
Bi mempererat dekapannya dan berbisik di dekat telinga Lu Sian, suaranya
menggetar, tubuhnya agak menggigil.
"Ah... aku telah gila... aku... aku cinta padamu,
Lu-cici!"
Lu Sian tertawa dan mencubit dagu yang halus tak
ditumbuhi rambut itu sambil melepaskan diri dari pelukan.
"Aihhh, kiranya kau nakal!"
Kemudian sambil tertawa-tawa ia lari menuju ke telaga.
Kini pohon-pohon tidak begitu banyak lagi dan sinar bulan tampak indah sekali
menyinari permukaan air telaga dan membuat keadaan sekeliling yang sunyi itu
menjadi amat romantis. Sejenak Yap Kwan Bi tertegun, kemudian ia pun tertawa
dan mengejar ke telaga. Cinta memang aneh dan luar biasa pengaruhnya. Seorang
muda yang sedang dicengkeram cinta, seakan-akan menjadi buta dan linglung.
Demikian pula dengan Kwan Bi. Andaikata dia tidak dibikin
mabok dan buta oleh perasaan ini, tentu dia akan menjadi curiga dan heran
mengapa seorang wanita sedemikian tinggi ilmu kepandaiannya seperti Lu Sian
begitu mudah terpeleset hampir jatuh! Mungkin hal ini terjadi bukan hanya
karena ia menjadi buta oleh nafsu cinta, melainkan terutama sekali oleh
kekurangan pengalamannya.
"Yap-te, mari kita mandi!"
Seru Lu Sian dengan suara gembira, Yap Kwan Bi berdiri
seperti terpaku di atas tanah, tak kuasa bergerak maupun membuka suara, matanya
memandang ke arah Lu Sian seperti orang terkena pesona, hanya kalamenjingnya
yang bergerak perlahan ketika ia menelan ludah. Pemandangan yang tampak olehnya
benar-benar merupakan pemandangan yang belum pernah ia saksikan selamanya,
pemandangan indah dan menggairahkan hati mudanya. Betapa tidak? Wanita yang
cantik jelita seperti bidadari itu dengan gerakan indah seperti dewi menari,
menanggalkan pakaian luarnya begitu bebas, seakan-akan dia tidak berada di
situ, menanggalkan pakaian luar dan kaus serta sepatu, kemudian melepaskan
sanggulnya, menoleh kepadanya sambil tersenyum lebar lalu meloncat ke dalam
air!
Suara air muncrat menyadarkan Kwan Bi, dan ia pun lari
mendekati telaga dengan hati berdebar-debar. Cepat ia menanggalkan pula
pakaiannya dan melompat ke dalam air, berenang menghampiri Lu Sian yang
tertawa-tawa dan bermain-main dengan air yang jernih di tengah telaga. Setelah
dekat, Kwan Bi menangkap lengan tangan Lu Sian sambil berkata,
"Lu-cici, kau ... tidak marah kepadaku?"
"Marah? Kenapa mesti marah?"
"Kau tidak marah mendengar aku mencintaimu?"
"Hi-hik, kenapa marah? Kau baik sekali, akan tetapi
harus kau buktikan dulu cintamu!"
jawab Lu Sian manja, dan ia kelihatan cantik luar biasa
di bawah sinar bulan. Benar-benar seperti seorang dewi dari langit turun dan
mandi di telaga ini.
"Oh, Lu-cici... aku mencintaimu... aku berani
bersumpah, dan kau minta bukti? Ini buktinya...!" Kwan Bi memeluk,
merangkul dan mencium.
"Eiiihhh... ini bukan bukti namanya. Belum apa-apa
kau sudah mau enaknya saja!"
Lu Sian merenggutkan diri terlepas dari pelukan,
tertawa-tawa menggoda membuat pemuda itu makin gemas, makin bergelora gairahnya.
"Adikku yang tampan, sebelum itu kau harus
membuktikan bahwa kau benar-benar mencintaku dan suka menolongku."
"Pertolongan apakah? Katakanlah, kasihku, katakan.
Biar dengan taruhan nyawa sekalipun, aku pasti akan memenuhi permintaanmu,
membuktikan cinta kasihku kepadamu," kata Kwan Bi dengan suara gemetar dan
tubuh menggigil saking hebatnya golombang nafsu membakarnya.
"Yap Kwan Bi, aku ingin sekali melihat kamar
penyimpanan kitab di Siauw-lim-si, memilih sebuah kitab dan meminjamnya. Maukah
kau menolongku?"
"Ah... ini... ini... agaknya sukar sekali
Lu-cici!"
Bibir yang melebihi madu manisnya itu berjebi dan cuping
hidung yang bangir itu bergerak-gerak mengejek,
"Huhh! Dan kau bilang mencintaku? Berani
bersumpah?"
Lu Sian berenang ke pinggir telaga dan mendarat, duduk di
atas rumput. Setelah wanita itu keluar dari dalam air, tubuh yang bentuknya
ramping padat itu hanya tertutup pakaian dalam yang basah kuyup oleh air pula.
Kwan Bi Seperti dicabut semangatnya. Sejenak ia menatap pemandangan luar biasa
itu, pandang matanya menelan lekuk-lengkung tubuh yang demikian menantang, maka
maboklah pemuda ini. Ia lupa segala, tidak peduli akan segala apa di dunia ini,
yang teringat olehnya hanyalah wajah jelita dan tubuh menggairahkan. Setiap
titik darahnya, setiap hembusan napasnya, seakan-akan berteriak-teriak dalam
kerinduan membutuhkan si jelita!
"Lu-cici..., tunggu dulu!"
Serunya sambil mengejar, berenang ke darat. Diam-diam Lu
Sian tersenyum. Pemuda itu amat tampan, amat menyenangkan dan hatinya memang
sudah tergerak. Tanpa adanya harapan melihat kitab pusaka Siauw-lim-pai
sekalipun ia akan merasa senang bersahabat dengan Yap Kwan Bi si muda remaja
yang tampan ini. Apalagi kalau mendapatkan kitab!
"Mengapa lagi? Kau tidak mau menolongku, berarti kau
tidak suka kepadaku."
Lu Sian pura-pura marah dan membuang muka dengan gerakan
sedemikian rupa sehingga tubuhnya tampak dari samping dan makin menonjol
keindahannya.
Yap Kwan Bi menelan ludah beberapa kali, matanya seperti
lekat pada lekuk lekung di depannya.
"Lu-cici... aku tadi bukan bilang tidak mau
menolong, hanya menyatakan sukar sekali."
"Jadi kau mau menolongku?"
Tiba-tiba Lu Sian membalik dan memegang lengan pemuda
itu. Tentu saja tubuhnya mendekat dari rambut serta tubuhnya semerbak bau harum
dan wangi yang khas! Menggigil tubuh Kwan Bi dan hampir saja ia menitikkan air
mata saking dikuasai haru, kasih dan nafsu.
"Tentu, Lu-cici. Biarpun hal itu merupakan perbuatan
yang amat murtad. Kalau ketahuan, tentu akan dihukum mati oleh para Suhu.
Namun, demi cintaku kepadamu, Cici, biarlah akan kulakukan juga. Mati untukmu
merupakan kebahagiaan bagiku."
Suaranya menggetar dan terharulah hati Lu Sian. Agaknya
dalam soal cinta, pemuda yang lebih muda dari padanya ini tidaklah kalah oleh
bekas suaminya, Kam Si Ek, dan bekas kekasihnya, Tan Hui. Saking terharunya, ia
lalu merangkul leher pemuda itu dan memberi ciuman mesra dengan bibirnya.
"Kau baik sekali, Yap-te, dan aku beruntung
mendapatkan sahabat seperti engkau."
Kemudian ia menjauhkan diri ketika melihat betapa pemuda
itu terangsang oleh ciumannya dan hendak mendekapnya.
"Nanti dulu, Adikku, bersabarlah. Kau ceritakan,
bagaimana kita akan dapat memasuki kamar kitab di Siauw-lim-si? Padahal di sana
tentu terjaga kuat oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai."
"Kau betul, Cici. Akan tetapi, kebetulan sekali
besok lusa diadakan sembahyang besar di Siauw-lim-si. Agaknya Thian memang akan
menolong dan melindungi cinta kasih kita. Dalam upacara sembahyang besar itu, semua
murid Siauw-lim-si berikut pimpinannya yang telah menjadi hwesio dan nikouw,
melakukan upacara sembahyang beramai-ramai dan berbareng. Tidak ada seorang pun
hwesio yang tidak ikut dalam upacara itu. Nah, pada saat itulah, selama upacara
sembahyang dilakukan semua tempat dalam lingkungan Siauw-lim-si tidak terjaga.
Adapun penjagaan hanya dilakukan oleh murid-murid bukan pendeta, itupun yang
dijaga hanya sekeliling tembok yang mengurung Siauw-lim-si. Aku pun ikut
menjadi penjaga, penjaga pintu gerbang dan tembok bagian selatan. Kalau aku
yang menjaga di sana, apakah sukarnya bagimu untuk masuk? Dan selagi para
hwesio melakukan upacara sembahyang, kau dapat dengan leluasa memasuki kamar
kitab, bukan?"
"Ah, bagus kalau begitu! Masih dua hari lagi? Ah,
masih banyak waktu bagi kita untuk..." Lu Sian mengerling tajam. "...
untuk bersenang-senang bersama bukan?"
"Ketika kau menawarkan kamarmu untukku, bukankah di
sudur hatimu ada maksud itu?"
Wajah yang tampan itu menjadi merah, akan tetapi pemuda
ini menggeleng kepala dan berkata dengan suara sungguh-sungguh,
"Tidak, Lu-cici. Ketika itu aku hanya berniat
menolong, karena memang sifat pendekar harus selalu dilaksanakan oleh para
murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi... ah, entah mengapa, aku tergila-gila
kepadamu, dan aku cinta kepadamu! Tak baik kalau kita kembali ke sana bersama,
Lu-cici, orang-orang tentu akan menaruh curiga. Di sinilah tempat kita,
bukankah enak dan nyaman sekali di sini?" Yap Kwan Bi memeluknya lagi dan
kali ini Lu Sian mendiamkannya saja.
Tiba-tiba wanita ini bangkit berdiri dan menarik tangan
Kwan Bi.
"Eh, bocah pelupa! Bukankah kau hendak
memperkenalkan aku kepada bibi gurumu Su-nikouw?"
Yap Kwan Bi tertawa, agak kecewa karena tidak ada
keinginan lain di dunia ini baginya kecuali berdua-dua dan bersenda gurau
bermain cinta dengan Lu Sian, jauh dari urusan dan orang lain. Akan tetapi ia
tidak berani menolak. Setelah mengenakan pakaian luar, mereka berdua bergandeng
tangan dan berlari menuju ke Kuil Kwan-im-bio Su-nikouw atau Su Pek Hong adalah
seorang nikouw yang ramah tamah wataknya. Ia menjadi ketua Kwan-im-bio yang
kecil namun bersih dan rapi, hanya diurus oleh tujuh orang nikouw. Ketika
Su-nikouw menyambut kedatangan murid keponakannya, Lu Sian memandang dengan
heran dan kagum.
Nikouw itu tidak cantik, wajahnya biasa saja dan tubuhnya
terlalu kurus, akan tetapi harus diakui bahwa melihat wajah dan tangannya,
wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh tahun usianya. Padahal
menurut penuturan Kwan Bi, nikouw ini usianya sudah lima puluh tahun lebih!
Benar-benar hebat sekali dan timbullah keinginan di hati Lu Sian untuk
mendapatkan ilmu awet muda ini.
"Eh, Kwan Bi, kaukah ini? Darimana kau dan siapakah
Nona ini? Apakah kau tidak ikut membuat persiapan di Siauw-lim-si?"
Yap Kwan Bi sudah memberi hormat lalu menjawab,
"Bibi Guru, kedatangan teecu adalah untuk mengantar
Lu-lihiap ini, yang ingin berjumpa dan berkenalan dengan Bibi. Teecu menanti
kedatangan Sam-suheng dan Ngo-suheng untuk bersama-sama merencanakan tugas jaga
besok lusa."