Tiba-tiba Kwat lin bangkit
serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhnya yang menderita nyeri,
lelah dan kelaparan karena selama tiga hari tiga malam dia dipermainkan tanpa
diberi makan atau minum oleh kakek iblis itu. Dia berdiri tegak, telanjang
bulat, lalu memandang ke arah semua mayat suhengnya, dan matanya menjadi liar,
keluar suara parau dari mulutnya yang pecah-pecah bibirnya oleh gigitan kakek
iblis.
‘Suheng sekalian,
dengarlah! Aku The Kwat Lin, bersumpah untuk membalaskan kematian suheng
sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku sekarang hanyalah untuk membalas dendam
dan membunuh iblis busuk Pat-jiu Kai-ong!! Tiba-tiba dia terhuyung mundur
memandang wajah twa-suhengnya. Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak dahulu
mencuri hatinya.
‘Twa Suheng......!! Dia
menubruk dan berlutut di dekat mayat yang sudah mulai membusuk itu.
‘Jangan berduka,
Twa-suheng....jangan menangis......! Dia berdiri sesunggukan.
‘Apa.....? Aku telanjang.....?
Pakaianmu......?!
Seperti orang gila yang
bicara dengan sesosok mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dan
celana luar dari mayat yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, dan
mengenakan pada tubuhnya sendiri. Tentu saja agak kebesaran.
‘Hi-hi-hik, pakaianmu
kebesaran, Suheng.......!
Dia memandang wajah mayat
twa-suhengnya dan tertawa lagi.
‘Hi-hik,nah,begitu,
tertawalah Twa-suheng, tertawalah para suheng sekalian......, tertawa dan
bergembiralah karena dendam kalian pasti akan kubalaskan...! Hi-hi-hik...
hu-hu-huuuhhh...!
Dia menangis lagi
terisak-isak dan dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan tempat mengerikan itu
setelah mengambil pedang twa-suhengnya. Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik
di antara pedang ketiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, sebatang pedang
pemberian Ketua Bu-tong pai sendiri, pedang yang di dekat gagangnya ada gambar
setangkai bunga Bwee merah, maka pedang itu diberi nama Ang-bwe-kiam (Pedang
Bunga Bwee Merah).
Dia terhuyung-huyung, pergi
tak tentu tujuan, asal menggerakkan kedua kaki melangkah saja, langkah yang
kecil-kecil dan terhuyung-huyung karena tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan
sakit semua. Kadang-kadang terdengar dia terisak menangis, kemudian terkekeh
geli sehingga kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang bibirnya
pecah-pecah mukanya penuh debu dan air mata, matanya membengkak dan merah,
rambutnya riap-riapan dan pakaiannya terlalu besar, ini tentu orang itu akan
merasa seram, mengira bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila. Dugaan
ini memang tidak meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang melanda
diri Kwat Lin membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga terjadi
perubahan pada ingatannya!
Pada hari yang sama ketika
Cap-sha Sin-hiap roboh di tangan kakek iblis Pat-jiu Kai-ong di kaki Pegunungan
Jeng-hoa-san, terjadi pula peristiwa hebat di bagian lain dari Pegunungan itu.
Kalau Cap-sha Sin-hiap roboh di daerah timur pegunungan, maka di daerah barat
terjadi pula peristiwa yang hampir sama sungguhpun sifatnya berbeda.
Pada pagi hari itu,
seorang wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari pegunungan
Jeng-hoa-san sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan wajah berseri dan
harus diakui bahwa wajah wanita cantik manis sekali, mempunyai daya tarik yang
kuat sungguhpun usianya sudah empat puluh tahun. Tidak ada keriput mengganggu
kulit mukanya yang putih halus, mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir
yang senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah pecah, akan tetapi
kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka
hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga
dan ngeri karena sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali berkedip.
Mata itu terbuka terus seperti mata boneka!
Dengan langkah-langkah
gontai dan lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan bergoyang ke kanan kiri,
wanita itu berjalan seorang diri, memutar-mutar sebuah payung yang
dipanggulnya. Sebuah payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan
ujungnya meruncing. Pakaiannya serba mewah dan indah, rambutnya panjang sekali,
digelung ke atas seperti sebuah menara hitam yang indah, terhias tusuk sanggul
dari mutiara dan emas.
Yang menarik adalah
kuku-kuku jari tangannya. Kuku yang panjang terpelihara, diberi warna merah,
panjang meruncing dan agak melengkung seperti kuku kucing atau harimau.
Pakaiannya yang mewah itu dibuat terlalu pas dengan tubuhnya sehingga
membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang menggairahkan dari
dada sampai ke kaki karena celananya yang terbuat dari sutera merah muda itu
pun ketat sekali!
Biarpun kelihatannya
seperti seorang wanita cantik dan genit, namun sesungguhnya dia bukanlah manusia
biasa saja! Inilah dia yang terkenal sekali di dunia hitam kaum penjahat,
karena wanita ini bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li (Wanita Pandai Berpayung
Pedang), sebuah julukan yang membuat bulu tengkuk orang yang sudah mengenalnya
berdiri sangking ngerinya karena wanita yang sebenarnya hanya bernama Liok Si
ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan kekejaman yang sukar
dicari bandingnya! Bahkan ia disamakan dengan wanita cantik penjelmaan siluman
rase yang biasa mengganggu pria, dan setiap orang pria yang terjebak dalam
pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot habis oleh siluman ini!
Tentu saja bagi mereka
yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak akan mengira bahwa
wanita yang berlenggak-lenggok dengan payung di pundak itulah iblis wanita yang
menggeggerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang luar biasa. Dan mudah
saja diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini mendaki lereng
Jeng-hoa-san!
Tentu saja dia pun
mendengar berita menggeggerkan dunia kang-ouw akan adanya Sin-tong, Si Bocah
ajaib dan mendengar ini, kontan keras hatinya berdebar-debar penuh
ketegangandan penuh gairah! Dia dapat membayangkan betapa tenaga mukjijat yang
dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan menghisap sari tenaga ratusan orang pria,
akan meningkat dengan hebat sekali kalau dia bisa menghisap kejantanan si Bocah
Ajaib itu! Maka begitu mendengar akan bocah ajaib di puncak Pegunungan
Jeng-hoa-san di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh
mengunjungi pegunungan itu. Perjalanan yang jauh karena biarpun sering kali
Liok Si ini pergi merantau namun dia memiliki sebuah pondok kecil seperti
istana mewahnya terletak di tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu
di daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yang liar ini terdapat di kaki Pegunungan
Luliang-san, merupakan daerah maut karena banyak lumpur dan pasir yang
berputar, merupakan perangkap maut bagi manusia dan hewan. Namun di
tengah-tengah rawa-rawa itu, yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain,
terdapat sebuah tanah datar, tanah keras semacam pulau dan diatas pulau inilah
letaknya istana kecil milik Liok Si yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, bersama
belasan orang pembantu-pembantu yang sudah menjadi orang-orang kepercayaannya.
Dia disebut Cai-li(Wanita
Pandai) karena sebetulnya wanita ini dulunya adalah puteri seorang sasterawan
kenamaan dan semenjak kecil Liok Si telah mempelajari kesusasteraan sehingga
dia mahir sekali akan sastra, bahkan dia pernah menyamar sebagai pria menempuh
ujian pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar siucai! Akan tetapi,
penyamarannya keetahuan dan seorang pembesar tinggi istana yang kagum kepadanya
lalu mengambilnya sebagai seorang selir. Selain ilmu sastra, juga Liok Si ini
semenjak kecil digembleng ilmu oleh para sahabat ayahnya, apalagi setelah
menjadi selir pembesar tinggi di istana, dia mengadakan hubungan dengan
kepala-kepala pengawal, dengan pengawal-pengawal kaisar yang berilmu tinggi,
menyerahkan tubuhnya sebagai pengganti ilmu silat-ilmu silat tinggi yang
diperolehnya sebagai ‘bayaran!. Akhirnya, pembesar itu mengetahui akan tabiat
selirnya ini yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria maka dia diusir
dari istana pembesar itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh wanita ini? Dia
membunuh Si Pembesar, membawa banyak harta benda yang dicurinya dari istana
itu, kemudian minggat!
Belasan tahun kemudian,
muncullah nama julukan Kiam-mo Cai-li, namun tidak ada yang menduga bahwa dia
adalah Liok Si yang dahulu menjadi selir bangsawan dan yang membunuh bangsawan
itu sehingga menjadi orang buruan pemerintah.
Liok Si berjalan sambil
tersenyum-senyum, kadang-kadang senyumnya melebar dan tampak giginya yang putih
mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah gigi yang agak meruncing
sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira sekali kalau dia
membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh bocah ajaib itu.
‘Hemmm, aku harus
bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama mungkin.
Hemmm...!
Tiba-tiba dia terkejut dan
menghentikan langkahnya, akan tetapi kembali dia tersenyum manis matanya
mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima orang laki-laki berdiri
di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya menyambar-nyambar dan terbayang
kepuasan dan kekaguman. Memang, hati seorang wanita gila pria seperti Liok Si
tentu saja menjadi berdebar tegang ketika melihat lima orang pria yang usianya
rata-rata tiga puluh tahun lebih bertubuh tegap-tegap dan rata-rata berwajah
tampan dan gagah! Seperti melihat lima butir buah yang ranum dan matang hati!
‘Aih-aihh... Siapakah
Ngo-wi (Anda berlima) yang gagah perkasa ini? Dan apakah Ngo-wi sengaja hendak
bertemu dan bicara dengan aku?!
Seorang di antara mereka,
yang usianya tiga puluh tahun, mukanya bulat dan alisnya seperti golok hitam
dan tebal, berkata,
‘Apakah kami berhadapan
dengan Kiam-mo Cai-li dari Rawa Bangkai?!
Wanita itu memainkan bola
matanya memandangi wajah merka berganti-ganti dengan berseri, mulunya tersenyum
ketika menjawab,
‘kalau benar mengapa?
Kalian ini siapa?!
‘Kami adalah Kee-san
Ngo-hohan (Lima Pendekar dari Gunung Ayam)!.
‘Kiam-mo Cai-li
mengeluarkan bunyi
‘tsk-tsk-tsk! dengan
lidahnya tanda kagum. Segera dia menjura dan berkata manis.
‘Aih, kiranya lima
pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai
murid-murid utama Hoa-san-pai? Aih, terimalah hormatnya seorang wanita bodoh
seperti aku.!
‘Harap Toanio tidak
mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah tahu siapa adanya Kiam-mo Cai-li,
dan karena melihat engkau mendaki Jeng-hoa-san, maka terpaksa kami memberanikan
diri untuk menghadang.!
‘Ehm...! Maksud kalian?!
Senyumnya makin manis dan kerling matanya makin memikat.
‘Kami telah mendengar
akan berita bahwa tokoh-tokoh kang-ouw sedang berusaha untuk memperebutkan
Sin-tong yang berada di Hutan Seribu Bunga dan kami mendengar pula bahwa
Kiam-mo Cai-li merupakan seorang di antara mereka yang hendak menculik
Sin-tong. Karena kami telah berhutang budi, diberi obat oleh Sin-tong maka kami
hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari tangan... maaf,
para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya.
Andaikata kami tidak berhutang budi sekalipun, mengingat bahwa Sin-tong adalah
seorang anak ajaib yang telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah
menjadi kewajiban kami untuk melindunginya.!
Kembali Kiam-mo Cai-li
tersenyum.
‘Terus terang saja,
memang aku mendengar tentang Sin-tong dan aku ingin mendapatkannya, maka hari
ini aku mendaki Jeng-hoa-san. Habis kalian mau apa?!
Kalau begitu, kami minta
dengan hormat agar kau suka membatalkan niatmu itu, Toanio. Kalu kau memaksa
hendak menganggu Sin-tong, terpaksa kami akan merintangimu dan tidak
membolehkan kau melanjutkan perjalanan!!
‘Hi-hi-hik, galak amat!
Lima orang laki-laki muda tampan gagah bertemu dengan seorang wanita cantik
penuh gairah, sungguh tidak semestinya kalu bermain senjata mengadu nyawa!!
‘Hemm, habis semestinya
bagaimana?! tanya orang pertama dari Kee-san Ngo-hohan yang betapapun juga
merasa jerih mendengar nama besar wanita ini dan mengharapkan wanita itu akan
mengalah dan pergi dari situ, tidak mengganggu Sin-tong.
Mata itu tajam mengerling
dan senyumnya penuh arti, bibirnya penuh tantangan.
‘Mestinya? Mestinya kita
bermain cinta memadu kasih!!
‘Perempuan hina!!
‘Jalang!!
‘Siluman betina!
Lima orang itu telah
mencabut senjata masing-masing yaitu senjata golok besar yang selam ini telah
mengangkat nama mereka di dunia kang-ouw. Kelima orang pendekar ini memang
merupakan ahli-ahli bermain golok dengan Ilmu Hoa-san-to-hoat yang terkenal,
dan selain itu juga mereka semua mahir akan ilmu menotok jalan darah yang
bernama Sam-ci-tiam-hoat, yaitu ilmu menotok menggunakan tiga buah jari tangan.
‘Siaaaattt...singg...siang...!
‘Ha-ha, bagus! kalian
memang gagah sekali bermain golok, tentu lebih gagah kalau bermain cinta,
hi-hik!! Kiam-mo Cai-li mengelak dan tiba-tiba payung hiatmnya berkembang
terbuka. Payung itu merupakan senjata isimewa, terbuat dari baja yang kuat dan
kainnya terbuat dari kulit badak yang kering dan sudah dimasak lemas, namun kuatnya
luar biasa dapat menahan bacokan senjata tajam. Adapun ujung payung itu
meruncing, merupakan ujung pedang, dan gagangnya yang melengkung itu pun dapat
digunakan sebagai senjata kaitan yang lihai.
‘Trang-trang-trang...!!!
Bunga api berpijar ketika golok-golok itu tertangkis oleh payung dan karena
kini tubuh wanita itu tertutup payung yang berkembang dan berputar-putar, maka
sukarlah bagi lima orang itu untuk menyerangnya dari depan. Mereka lalu
berloncatan dan mengurung wanita itu.
‘Hi-hik, hayo
keroyoklah. Kalu baru kalian lima orang ini saja, masih terlampau sedikit
bagiku. Hi-hik, hendak kulihat sampai dimana kekuatan kalian apakah patut untuk
menjadi lawan-lawanku untuk bermain cinta!!
‘Perempuan rendah!!
Orang pertama dari lima pendekar itu marah sekali, goloknya menyambar dahsyat,
tapi tiba-tiba golok itu terhenti di tengah udara karena telah terikat oleh
sebuah benda hitam panjang yang lembut. Kiranya wanita itu telah mengudar
gelung rambutnya dan ternyata rambut itu panjangnya sampai ke bawah pinggulnya,
rambut yang gemuk hitam, panjang dan harum baunya, bahkan bukan itu saja
keistemewaannya, rambut itu dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh, sebagai
cambuk yang kini berhasil membelit golok orang pertama dari Kee-san ngo-hohan!
Sebelum orang ini sempat menarik goloknya, tangan kiri Kiam-mo Cai-li bergerak
menghantam tengkuk orang itu dengan tangan miring.
‘Krekk!! Laki-laki itu
mengeluh dan roboh tak dapat bangkit kembali karena dia telah terkena totokan
istimewa yang membuat tubuhnya lumpuh sungguhpun dia masih dapat melihat dan
mendengar.
Empat orang lainnya
terkejut dan marah sekali. Mereka memutar golok lebih gencar lagi, bahkan kini
tangan kiri mereka membantu dengan serangan totokan Sam-ci-tiam-hoat yang
ampuh!
Namun orang yang mereka
keroyok itu tertawa-tawa mempermainkan mereka. Setiap serangan golok dapat
dihalau dengan mudah oleh payung yang diputar-putar sedangkan ujung rambut yang
panjang itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan menyambar-nyambar di
atas kepala mereka, tidak menyerang, hanya mendatangkan kepanikan saja karena
memang dipergunakan untuk mempermainkan mereka.
‘Mampuslah!! Orang ke
dua yang menyerang dengan golok ketika goloknya ditangkis, cepat dia
‘memasuki! lowongan dan berhasil mengirim totokan. Karena tempat terbuka yang
dapat dimasuki jari tangannya di antara putaran payung itu hanya di bagian
dada, maka dia menotok dada kiri wanita itu. Dalam keadaan seperti itu,
menghadapi lawan yang amat tangguh, pendekar ini sudah tidak mau lagi mempergunakan
sopan santun yang tentu tidak akan dilanggarnya kalau keadaan tidak mendesak
seperti itu.
‘Cusss...!! tiga buah
jari tangan itu tepat mengenai buah dada kiri yang besar, tapi dia hanya
merasakan sesuatu yang lunak hangat, sedangkan wanita itu sama sekali tidak
terpengaruh, bahkan mengerling dan berkata,
‘Ihh, kau bersemangat
benar, tampan. Belum apa-apa sudah main colek dada, hihik!!
Tentu saja pendekar ini
menjadi merah sekali mukanya. Dia merasa malu akan tetapi juga penasaran. Ilmu
totok yang dimilikinya sudah terkenal dan belum pernah gagal. Tadi jelas dia
telah menotok jalan darah yang amat berbahaya di dada wanita itu, mengapa wanita
itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, bahkan menyindirnya dan dianggap dia
mencolek dada?, Dengan marah dia menerjang lagi bersama tiga orang sutenya.
‘Sudah cukup, sudah
cukup, rebah dan beristirahatlah kalian!! Tiba-tiba payung itu tertutup kembali,
berubah menjadi pedang yang aneh dan segulung sinar hitam menyambar-nyambar
mendesak empat orang itu, kemudian dari atas terdengar ledakan-ledakan dan
berturut-turut tiga orang lagi roboh terkena totokan ujung rambut wanita sakti
itu. Seperti orang pertama, mereka ini pun roboh tertotok dan lumpuh, hanya
dapat memandang dengan mata terbelalak namun tidak menggerakan kaki tangan
mereka!
Orang termuda dari mereka
kaget setengah mati melihat betapa empat orang suhengnya telah roboh. Namun dia
tidak menjadi gentar, bahkan dengan kemarahan dan kebencian meluap dia memaki,
‘Perempuan hina, pelacur
rendah, siluman betina, aku takkan mau sudah sebelum dapat membunuhmu!!
‘Aihhh... kau penuh
semangat akan tetapi mulutmu penuh makian menyebalkan hatiku!! Golok itu
tertangkis oleh payung sedemikian kerasnya sehingga terpental dan sebelum
laki-laki itu dapat mengelak, sinar hitam menyambar dan ujung rambut telah
membelit lehernya! Pria itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan libatan
rambut dari lehernya dengan kedua tangan, akan tetapi begitu wanita itu
menggerakkan kepalanya, rambutnya terpecah menjadi banyak gumpalan dan
tahu-tahu kedua pergelangan lengan orang itu pun sudah terbelit rambut yang
seolah-olah hidup seperti ular-ular hitam yang kuat.
‘Nah, kesinilah, Tampan.
Mendekatlah, kekasih. Kau perlu dihajar agar tidak suka memaki lagi!!
Laki-laki itu sudah
membuka mulut hendak memaki lagi, akan tetapi libatan rambut pada lehernya
makin erat sehingga dia tidak dapat bernapas, kemudian rambut itu menariknya
mendekat kepada wanita yang tersenyum-senyum itu! Kini laki-laki itu sudah
berada dekat sekali, bahkan dada dan perutnya telah menempel pada dada yang
membusung dan perut yang mengempis dari wanita itu. Tercium olehnya bau wangi
yang aneh dan memabokkan, akan tetapi karena lehernya terbelit kuat-kuat, dan
napasnya tak dapat lancar, maka dia terpaksa menjulurkan lidahnya keluar.
‘Aihhh, kau perlu diberi
sedikit hajaran, Tampan!!
Empat orang pendekar yang
tertotok melihat dengan mata terbelalak penuh kengerian betapa wanita itu kini
mendekatkan muka sute mereka yang termuda, kemudian membuka mulut dan mencium
mulut sute mereka yang terbuka dan lidah yang terjulur keluar itu.Mereka
melihat tubuh sute mereka berkelojot sedikit seperti menahan sakit, mata sute
mereka terbelalak, namun wanita itu terus mencium dan menutup mulut pria itu
dengan mulutnya sendiri yang lebar. Tak dapat terlihat oleh empat orang
pendekar itu betapa wanita itu yang kejam dan keji seperti iblis, telah
menggunakan giginya untuk menggigit sampai terluka lidah sute mereka yang
terjulur keluar, kemudian menghisap darah dari luka di lidah itu!
Mereka berempat hanya
melihat betapa wanita itu memejamkan mata, baru sekarang mereka melihat wanita
itu memejamkan mata, kelihatan penuh nikmat, akan tetapi wajah sute mereka
makin pucat dan mata sute mereka yang terbelalak itu membayangkan kenyerian dan
ketakutan yang hebat. Agaknya wanita itu tidak puas karena darah yang
dihisapnya kurang banyak, maka kini dia melepaskan mulut pemuda itu dan
memindahkan ciuman mulutnya ke leher si Pemuda.
Dapat dibayangkan betapa
kaget empat orang pendekar itu melihat bahwa mulut sute mereka penuh warna
merah darah!
‘Sute...!!!! Mereka
berseru akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangan mereka.
Sute mereka meronta-ronta
seperti ayam disembelih, matanya melotot memandang ke arah para suhengnya
seperti orang minta tolong, kemudian tubuhnya berkelojotan ketika wanita itu
kelihatan jelas menghisap-hisap lehernya ternyata bahwa urat besar di lehernya
telah ditembusi gigi yang meruncing dan kini dengan sepuasnya wanita itu
menghisap darah yang membanjir keluar dari urat di leher itu!
Mata yang melotot itu
makin hilang sinarnya dan pudar, wajahnya makin pucat dan akhirnya tubuh yang
meregang-regang itu lemas. Orang termuda itu pingsan karena kehilangan banyak
darah, takut dan ngeri. Kiam-mo Cai-li melepaskan libatan rambutnya dan tubuh
itu tergulig roboh, terlentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah.
'Sute...!! Kembali mereka
mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka melihat betapa wanita itu
menggunakan lidahnya yang kecil merah dan meruncing itu untuk menjilati darah
yang masih belepotan di bibirnya yang menjadi makin merah. Wajahnya kemerahan,
segar seperti kembang mendapat siraman, berseri-seri dan ketika dia mendekati
empat orang itu, mereka terbelalak penuh kengerian.
Akan tetapi, wanita itu
tidak menyerang mereka, agaknya dia sudah puas menghisap darah orang termuda
tadi. Hanya kini kedua tangannya bergerak -gerak dan sekali renggut saja
pakaian empat orang itu telah koyak-koyak. Kemudian dia bangkit berdiri, dengan
gerakan memikat seperti seorang penari telanjang, dia membuka pakaiannya,
menanggalkan satu demi satu sambil menari-nari, sampai dia bertelanjang bulat
sama sekali di depam empat orang itu yang membuang muka dengan perasaan ngeri
dan sebal!
‘Kalian layanilah aku,
puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan membebaskan kalian berlima.
Lihat, bukankah tubuhku menarik? Aku hanya ingin mendapatkan cinta kalian, aku
tidak menginginkan nyawa kalian.!
‘Cih, siluman betina!
Kauanggap kami ini orang-orang apa? Kami adalah murid Hoa-san-pai yang tidak
takut mati. Seribu kali lebih baik mampus daripada memenuhi nafsumu yang
terkutuk dan menjijikan!! kata empat orang itu saling susul dan saling bantu.
Kiam-mo Cai-li tersenyum.
‘Hi-hik, begitukah? Kalau begitu, baiklah, kalian melayani aku sampai
mampus!!
Dia lalu membungkuk dan
menarik lengan seorang di antara mereka, kemudian menggunakan kuku jari
kelingking kiri menggurat beberapa tempat di punggung dan tengkuk pria ini.
Orang itu menggigil,
menggigit bibir menahan sakit, akan tetapi karena dia tidak mampu mengerahkan
sinkang, dia tidak dapat melawan pengaruh hebat yang menggetarkan tubuhnya
melalui luka-luka goresan kuku beracun dari kelingking itu. Mukanya menjadi
merah, juga matanya menjadi merah dan napasnya terengah-engah. Tiga orang
pendekar yang lain memandang penuh kekhawatiran dan kengerian.
Tiba-tiba wanita itu
terkekeh, menggunakan tangan membebaskan totokan sehingga orang itu dapat
menggerakkan kaki tangannya dan terjadilah hal yang membuat tiga orang pendekar
yang masih rebah lumpuh itu terbelalak penuh kengerian. mereka melihat Sute
mereka itu seperti seorang gila menerkam dan mendekap tubuh wanita itu penuh
gairah nafsu! Dengan mata terbelalak mereka melihat betapa wanita itu
menyambutnya dengan kedua lengan terbuka, bergulingan di atas rumput dan tampak
betapa wanita itu membiarkan dirinya diciumi, kemudian mengalihkan mulutnya
yang lebar ke leher Sute mereka! Mereka bertiga terpaksa memjamkan mata agar
tidak usah menyaksikan peristiwa yang memalukan dan terkutuk itu. Mereka
mengerti bahwa Sute mereka melakukan hal terkutuk itu karena terpengaruh oleh
racun yang diguratkan oleh kuku jari kelingking si iblis betina, dan mereka
tahu pula bahwa Sute mereka yang diamuk pengaruh jahanam itu tidak tahu bahwa
darahnya dihisap oleh wanita itu yang seperti telah dilakukan pada orang
pertama tadi kini juga menghisap darahnya sepuas hatinya.
Dapat diduga lebih dhulu
bahwa tiga orang yang lain juga mengalami siksaan yang sama tanpa dapat berdaya
apa-apa tanpa dapat melawan. Hal ini dilakukan berturut-turut oleh Kiam-mo
Cai-li dan tiga hari tiga malam kemudian, dia meninggalkan tempat itu sambil
menjilat-jilat bibirnya penuh kepuasan. Setelah dia melempar kerling ke arah
lima tubuh telanjang yang sudah menjadi mayat semua itu, bergegas dia pergi
mendaki Jeng-hoa-san untuk mencari Sin-tong yang amat diinginkan.
Lima orang Kee-san
Ngo-hohan itu mengalami kematian yang amat mengerikan. Tubuh mereka kehabisan
darah, kulit mengeriput. Mereka seperti lima ekor lalat yang terjebak ke sarang
laba-laba dan setelah semua darah mereka disedot habis oleh laba-laba, mayat
mereka yang sudah kering dan habis sarinya itu dilemparkan begitu saja.
Kwa Sin Liong, atau yang
lebih terkenal dengan nama panggilan Sin-tong, pada pagi hari itu seperti biasa
setelah mandi cahaya matahari, lalu menjemur obat-obatan dan tidak lama
kemudian berturut-turut datanglah orang-orang dusun yang membutuhkan bahan obat
untuk bermacam penyakit yang mereka derita.
Sin tong mendengarkan
dengan sabar keluhan dan keterangan mereka tentang sakit yang mereka derita,
menyiapkan obat-obat untuk mereka semua dengan hati penuh belas kasihan. Semua
ada sebelas orang dusun, tua muda laki perempuan yang memandang kepada bocah
itu dengan sinar mata penuh kekaguman. Baru bertemu dan memandang wajah
Sin-tong itu saja, mereka sudah merasa banyak berkurang penderitaan sakit
mereka.
Seolah-olah ada wibawa
yang keluar dari wajah bocah penuh kasih sayang itu yang meringankan rasa sakit
yang mereka derita. Tentu saja hal ini sebenarnya terjadi karena kepercayaan
mereka yang penuh bahwa bocah itu akan dapat menyembuhkan penyakit mereka,
sehingga keyakinan ini sendiri sudah merupakan obat yang manjur. Dan bocah
ajaib itu memeang bukanlah seorang dukun yang menggunakan kemukjizatan dan
sulap atau sihir untuk mengobati orang, melainkan berdasarkan ilmu pengobatan
yang wajar. Dia memilih buah, daun, bunga atau akar obat yang memang tepat
mengandung khasiat atau daya penyembuh terhadap penyakit-penyakit tertentu itu.
Tiba-tiba terdengar
nyanyian yang makin lama makin jelas terdengar oleh mereka semua. Juga Sin
Liong, berhenti sebentar mengumpulkan dan memilih obat yang akan dibagikan
karena mendengar suara nyanyian yang aneh itu. Akan tetapi begitu kata-kata
nyanyian itu dimengertinya, dia mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng
kepala.
‘Aihh, kalau hidup hanya
untuk mengejar kesenangan, apapun juga tentu tidak akan dipantangnya untuk akan
dipantangnya untuk dilakukan demi mencapai kesenangan!! kata Sin Liong.
‘Huh-ha-ha, benar
sekali, Sin-tong. Untuk mencapai kesenangan harus berani melakukan apapun juga,
termasuk membunuh para tamu-tamu yang tiada harganya ini!!
Terdengar jawaban dan
tahu-tahu disitu telah berdiri Pat-jiu Kai-ong! Sebagai lanjutan kata-katanya,
tongkatnya ditekankan kepada tanah di depan kaki lalu lima kali ujung tongkat
itu bergerak menerbangkan tanah dan kerikil ke depan. Tampak sinar hitam
berkelebat menyambar lima kali, disusul jerit-jerit kesakitan dan robohlah
berturut-turut lima orang dusun yang berada di depan Sin Liong, roboh dan
berkelojotan kemudian tewas seketika karena tanah dan kerikil itu masuk ke
dalam kepala mereka!
‘Hi-hi-hik, kepandaian
seperti itu saja dipamerkan di depan Sin-tong, lihat ini!!
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa merdu dan tau-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik yang
bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li! Dia menudingkan payung hitamnya yang tertutup
itu ke arah para penghuni dusun yang berwajah pucat dan dengan mata terbelalak
memandang lima orang teman mereka yang telah tewas.
‘Cuat-cuat-cuat...!!
Dari ujung payung itu meluncur sinar-sinar hitam dan berturut-turut, enam orang
dusun yang masih hidup menjerit dan roboh tak bergerak lagi, leher mereka
ditembusi jarum-jarum hitam yang meluncur keluar dari ujung payung itu!
Sejenak Sin Liong
terbelalak memandang kepada kedua orang itu yang berdiri di sebelah kanan dan
kirinya. Kemudian dia memandang ke bawah, ke arah tubuh sebelas orang dusun
yang telah menjadi mayat. Mukanya menjadi merah, air matanya berderai dan
dengan suara nyaring dia berkata sambil menudingkan telunjuknya bergantian
kepada Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai,
‘Kalian ini manusia atau
iblis? Kalian berdua amat kejam, perbuatan kalian amat terkutuk. Membunuh
orang-orang tak berdosa seolah kalian pandai menghidupkan orang.!
Bocah itu memandang kepada
sebelas mayat dan sesenggukan menangis.
‘Hi-hi-hik, anak baik,
apakah kau takut kubunuh? Jangan khawatir, aku datang bukan untuk membunuhmu,!
kata Kiam-mo Cai-li, agak kecewa melihat betapa bocah ajaib itu menangis dan
membayangkannya ketakutan.
Sin Liong mengangkat muka
memandang wanita itu, biarpun air matanya masih berderai turun namun pandang
matanya sama sekali tidak membayangkan ketakutan,
‘Kau mau bunuh aku atau
tidak, terserah. Aku tidak takut!!
‘Ha-ha-ha! Benar hebat!
Sin-tong, kalau kau tidak takut kenapa menangis?! Pat-jiu Kai-ong menegur.
‘Apa kau menangisi
kematian orang-orang tak berharga itu?! Kiam-mo Cai-li menyambung.
‘Mereka sudah mati
mengapa ditangisi? Aku menangis menyaksikan kekejaman yang kalian lakukan, kau
menangis karena melihat kesesatan dan kekejaman kalian.!
Dua orang tokoh sesat itu
terbelalak heran saling pandang kemudian mereka teringat kembali akan niat
mereka terhadap anak ajaib ini, maka keduanya seperti dikomando saja lalu
tertawa, dan keduanya dengan kecepatan kilat menyerbu ke depan hendak menubruk
Sin-Liong yang berdiri tegak dan memandang dengan sinar mata sedikitpun tidak
membayangkan rasa takut!
‘Desss......!! Karena
gerakan mereka berbarengan, disertai rasa khawatir kalau-kalau keduluan oleh
orang lain, maka melihat Pat-jiu Kai-ong sudah lebih dekat dengan Sin-tong,
Kiam-mo Cai-li lalu merobah gerakannya, tidak hendak menangkap Sin-tong karena dia
kalah dulu, melainkan melakukan gerakan mendorong dengan kedua tangannya ke
arah Pat-jiu Kai-ong! Pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh wanita iblis ini
dahsyat sekali, membuat Pat-jiu Kai-ong terkejut ketika ada angin panas
menyambar, maka dia cepat menunda niatnya menangkap Sin-tong dan bergerak
menangkis. Keduanya merasakan dahsyatnya tenaga lawan dan terpental ke
belakang!
Sejenak mereka saling
berpandangan dan Pat-jiu Kai-ong yang lebih dulu dapat menguasai dirinya lalu
tertawa,
‘Ha-ha-yha, lama tidak
jumpa, Kiam-mo Cai-li menjadi makin gagah saja!!
‘Pat-jiu Kai-ong, selama
ada aku disini, jangan harap kau akan dapat merampas Sin-tong dari tanganku!!
Wanita itu berkata dan memandang tajam, siap menghadapi kakek yang dia tahu
merupakan lawan yang tangguh itu.
‘Aha, Kiam-mo Cai-li,
sekali ini kau mengalahlah kepadaku. Aku membutuhkannya untuk menyempurnakan
ilmuku...!
‘Hi-hik, Ilmu Hiat-ciang
Hoat-sut, bukan? Kau sudah cukup tangguh, Kai-ong, dan betapa mudahnya bagimu
untuk mencari seratus orang anak lagi untuk kau hisap darah, otak dan
sum-sumnya. Jangan Sin-tong!!
‘Hemmmm, kau mau menang
sendiri. Apa kaukira aku tidak tahu mengapa kau menghendaki Sin-tong? Dia masih
terlalu muda, Cai-li, tentu tidak akan memuaskan hatimu. Apa sukarnya bagimu
mencari orang-orang muda yang kuat dan menyenangkan?!
‘Cukup! Kita mempunyai
keinginan sama, dan jalan satu-satunya adalah untuk memperebutkannya dengan
kepandaian!!
‘Ha-ha-ha, bagus sekali.
Memang aku ingin mencoba kepandaian Wanita Pandai dari Rawa Bangkai!!
Liok Si, Si Wanita Pandai
Berpayung Pedang dari Rawa Bangkai sudah tak dapan menahan kemarahannya melihat
ada orang berani merintanginya, maka sambil berteriak keras dia sudah menerjang
maju dengan senjatanya yang istimewa, yaitu payung hitam yang tangkainya
sebatang pedang runcing itu.
‘Trakkk!! Pat-jiu
Kai-ong sudah menggerakkan tongkatnya menangkis. Gempuran dua tenaga raksasa
membuat keduanya terpental lagi ke belakang dan Pat-jiu Kai-ong cepat meloncat
ke depan, tongkatnya berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar
ganas.
‘Trakk! Trakkk!!!
Dua kali senjata payung
dan tngkat bertemu di udara dan keduanya terhuyung ke belakang. Diam-diam
mereka berdua terkejut sekali dan maklum bahwa dalam hal tenaga sakti, kekuatan
mereka berimbang. Sebelum mereka melanjutkan pertandingan mereka, tiba-tiba
mereka melangkah mundur dan memandang tajam karena berturut-turut ditempat itu
telah muncul lima orang kakek yang melihat cara munculnya dapat diduga tentu
memiliki kepandaian tinggi. Mereka muncul seperti setan-setan, tidak dapat
didengar atau dilihat lebih dahulu, tahu-tahu sudah berdiri di situ sambil
memandang ke arah Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li dengan bermacam sikap.
Ketika dua orang datuk kaum sesat atau golongan hitam ini melihat dengan penuh
perhatian mereka terkejut sekali. Biarpun diantara lima orang itu ada yang
belum pernah mereka jumpai, namun melihat ciri-ciri mereka, kedua orang datuk
golongan hitam ini dapat mengenal mereka yang kesemuanya adalah orang-orang aneh
di dunia kang-ouw yang masing-masing telah memiliki nama besar sebagai
orang-orang sakti.
Sementara itu, ketika
melihat dua orang kakek dan nenek tadi bertanding memperebutkan dirinya, Sin
Liong menjadi makin berduka. Tak disangkanya bahwa di tempat yang penuh damai
ini di mana dia selama hampir tiga tahun tinggal penuh ketentraman dan
kedamaian, yang membuat dia hampir melupakan kekejaman-kekejaman manusia ketika
terjadi pembunuhan ayah-bundanya, kini dia menyaksikan kekejaman yang lebih
hebat lagi di mana sebelas orang dusun yang sama sekali tidak berdosa dibunuh
begitu saja oleh dua orang itu. Maka dia lalu duduk di atas batu, bersila dan
tak bergerak seperti arca, hatinya dilanda duka, dan dia memandang dengan sikap
tidak mengacuhkan. Bahkan ketika muncul lima orang aneh itu, dia pun tidak
membuat reaksi apa-apa kecuali memandang dengan penuh perhatian namun dengan
sikap sama sekali tidak mengacuhkan.
Orang pertama adalah
seorang kakek berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka merah
seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam-kok, kelihatan gagah sekali, di
punggungnya tampak dua batang pedang menyilang, matanya lebar alisnya tebal dan
suaranya nyaring ketika dia tertawa,
‘Ha-ha-ha, kiranya bukan
hanya golongan putih saja yang tertarik kepada Sin-tong, juga iblis-iblis
berdatangan sungguhpun tentu mempunyai niat lain!! Dengan ucapan yang jelas
ditujukan kepada Kiam-mo Cai-li dan Pat-jiu Kai-ong ini, dia memandang dua
orang itu dengan terang-terangan. Orang ini bukanlah orang sembarangan, namanya
sendiri adalah Siang-koan Houw, akan tetapi dia lebih terkenal dengan sebutan
Tee-tok (Racun Bumi) karena selain merupakan seorang ahli racun yang sukar
dicari tandingannya, juga dia amat ganas menghadapi lawan tidak mengenal ampun
dan selain itu, juga dia amat jujur dan blak-blakan, bicara dan bertindak tanpa
pura-pura lagi. Ilmu silatnya tinggi sekali, dan yang paling terkenal sehingga
menggegerkan dunia persilatan adalah ilmu pukulannya yang disebut Pek-lui-kun
(Ilmu Silat Tangan Kilat) dan Ilmu Pedangnya Ban-tok Siang-kiam (Sepasang
Pedang Selaksa Racun)! Tidak ada orang yang tahu dimana tempat tinggalnya
karena memang dia seorang perantau yang muncul dimana saja secara tak
terduga-duga seperti kemunculannya sekarang ini di Hutan Seribu Bunga.
‘Huhh, bekas Suteku yang
tetap goblok!! kata orang kedua. ‘Masa masih tidak mengerti apa yang
dikehendaki dua iblis ini. Jembel busuk itu tentu ingin menghisap darah dan
otak Sin-tong untuk menyempurnakan Ilmu Iblisnya Hiat-Ciang Hoat-sut.
Sedangkan iblis betina
genit ini apa lagi yang dicari kecuali sari kejantanan Sin-tong? Hayo kalian
menyangkal, hendak kulihat apakah kalian begitu tak tahu malu untuk
menyangkal!! Orang yang kata-katanya amat menusuk ini adalah seorang kakek yang
beberapa tahun lebih tua daripada Tee-tok, bahkan menyebut Tee-tok sebagai
bekas sutenya karena memang demikian. Dia bertubuh tinggi kurus dan mukanya
seperti tengkorak mengerikan, di ketiaknya terselip sebatang tongkat panjang
dan gerak-geriknya ketika bicara seperti seekor monyet tidak mau diam, bahkan
kadang-kadang menggaruk-garuk kepala atau pantatnya, matanya liar memandang ke
kanan-kiri. Inilah dia tokoh hebat yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit),
bekas suheng Tee-tok yang memiliki kepandaian khas. Selain lihai dalam hal
racun sesuai dengan nama dan julukannya, juga dia adalah seorang pemuja Kauw
Cee Thian atau Cee Thian Thaiseng, Si Raja Monyet itu, yaitu sebatang tongkat
yang dia beri nama Kim-kauw-pang seperti tongkat Si Raja Monyet. Juga dia telah
menciptakan ilmu silat tangan kosong yang meniru gerak-gerik seekor monyet yang
diberinya nama Sin-kauw-kun (Ilmu Silat Monyet Sakti). Seperti juga Tee-tok,
dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan tidak ada yang tahu lagi
nama aslinya, yaitu Bhong Sek Bin.
‘Hemmm, setelah ada aku
disini jangan harap segala macam iblis dapat berbuat sesuka hati sendiri!! kata
orang ke tiga, suaranya kasar dan keras, pandang matanya seperti ujung pedang
menusuk. Orang ini bernama Ciang Ham julukannya Thian-he Te-it, Sedunia Nomor
satu! Usianya kurang lebih 50 tahun, dan dia adalah ketua dari Perkumpulan
Kang-jiu-pang (Perkumpulan Lengan Baja) yang didirikannya di Secuan.
Di tangan kirinya tampak
sebatang senjata tombak gagang panjang, dan selain terkenal sebagai seorang
ahli bermain tombak, dia pun terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia
pun terkenal memiliki lengan sekuat baja! Pakaiannya ringkas seperti biasa
dipakai oleh seorang ahli silat dan setiap gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia
telah mempunyai kepandaian silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya.
Orang ke empat adalah
seorang berpakaian sastrawan, sikapnya halus, usianya 50 tahun tapi masih
tampak tampan, tubuhnya sedang dan dia sudah menjura ke arah kedua orang datuk
golongan hitam itu. Di pinggangnya terselip sebatang mauwpit alat tulis pena
panjang.
‘Kami berlima dengan
tujuan yang sama datang ke tempat ini, tidak sangka bertemu dengan dua orang
tokoh terkenal seperti Ji-wi (Anda berdua), Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li,
terutama sekali kepada Cai-li, terimalah hormatku.!
Pat-jiu Kai-ong sudah
segera dapat mengenal siapa orang ini, akan tetapi Kiam-mo Cai-li tidak
mengenalnya. Hati wanita ini yang tadinya panas mendengar kata-kata menentang
dari tiga orang pertama, merasa seperti dielus-elus oleh sikap dan kata-kata
orang berpakaian sastrawan yang tampan ini. Maka dia pun membalas
penghormatannya dan dengan lirikan mata memikat dan senyum simpul manis sekali
dia bertanya,
‘Harap maafkan, kana
tetapi siapakah saudara yang manis budi dan yang tentu memiliki ilmu kepandaian
bun dan bu (Sastra dan silat) yang tinggi ini?!
Laki-laki itu tersenyum
dan menjawab halus, ‘Saya yang rendah dinamakan orang Gin-siauw Siucai
(Pelajar Bersuling Perak), seorang yang suka menyendiri di Beng-san.!
Kiam-mo Cai-li kembali
menjura, tersenyum dan berkata,
‘Aihhh, sudah lama
sekali saya telah mendengar nama besar Cin-siauw Siucai, sebagai seorang ahli
silat tinggi, terutama sekali sebagai seorang peniup suling yang mahir dan
sudah lama pula mendengar akan keindahan tamasya alam di Beng-san.
Mudah-mudahan saja saya akan berumur panjang untuk mengunjungi Beng-san yang
indah, menjadi tamu Gin-siauw Siucai yang ramah dan sopan, tidak seperti
kebanyakan pria yang kasar tak tahu sopan santun!! Ucapan terkhir ini jelas
ditujukannya kepada tiga orang tokoh pertama yang kasar-kasar tadi.
Orang ke lima dari
rombongan itu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya
tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang sebuah hudtim (Kebutan
Pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya
digoyang-goyang menipasi lehernya seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di
Hutan Seribu Bunga itu sejuk! Kini dia membuka mulut dan terdengarlah suaranya
yang merdu menyanyikan sajak dalam kitab To-tek-kheng, kitab utama dari kaum
tosu (Pemeluk Agama To)!
Amat sempurna,
namun tampak tak sempurna,
tampak tidak lengkap,
sungguhpun kegunaannya
tiada kurang
Terisi penuh,
namun tampaknya meluap
tumpah,
tampaknya kosong,
sungguhpun tak pernah
kehabisan
Yang paling lurus,
kelihatan bengkok,
yang paling cerdas,
kelihatan bodoh,
yang paling fasih,
kelihatan gagu.
Api panas dapat mengatasi
dingin,
air sejuk dapat mengatasi
panas,
Sang Budiman, murni dan
tenang
dapat memberkati dunia!!
‘Huah-ha-ha-ha! Anda
tentulah lam-hai Seng-jin (Manusia Sakti Laut Selatan), bukan? Sajak-sajak
To-tek-kheng agaknya telah menjadi semacam cap Anda, ha-ha-ha!! kata Pat-jiu
Kai-ong sambil tertawa mengejek.
Tosu itu berkata,
‘Siancai! Pat-jiu Kai-ong bermata tajam, dapat mengenal seorang tosu miskin
dan bodoh.!
‘Ah, jangan merendah,
Totiang,! kata Kiam-mo Cai-li, ‘Siapa orangnya yang tidak tahu bahwa biarpun
Anda seorang yang berpakaian tosu dan kelihatan miskin, namun memiliki sebuah
istana dan menjadi majikan dari Pulau Kura-kura. Ini namanya menggunakan
pakaian butut untuk menutupi pakaian indah di sebelah dalamnya.!
‘Siancai! Pujian
kosong...!! Tosu itu berkata dan mukanya menjadi merah. Tee-tok Siangkoan Houw
mngeluarkan suara menggereng tidak sabar.
‘Apa apaan semua
kepura-puraan yang menjemukan ini? Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, ketika
kami berlima datang tadi, kami melihat kalian sedang memperebutkan Sin-tong dan
tentu sebelas orang dusun ini kalian berdua yang membunuhnya!!
‘Tee-tok, urusan itu
adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau mencampuri?! Pat-jiu Kai-ong menjawab
dengan senyum dan suara halus seperti kebiasaannya namun jelas bahwa dia merasa
tak senang.
‘Bukan urusanku, memang!
Akan tetapi ketahilah, kami berlima mempunyai maksud yang sama, yaitu
masing-masing menghendaki agar Sin-tong menjadi muridnya. Biarpun kami saling
bertentangan dan berebutan, namun kami memperebutkan Sin-tong untuk menjadi murid
kami atau seorang di antara kami. Sedangkan kalian berdua, mempunyai niat
buruk!! kata pula Tee-tok yang terkenal sebagai orang yang tidak pernah
menyimpan perasaan dan mengeluarkannya semua tanpa tedeng aling-aling lagi
melalui suaranya yang nyaring.
‘Tee-tok, jangan sombong
kau! Mengenai kepentingan masing-masing memperebutkan Sin-tong, adalah urusan
pribadi yang tak perlu diketahui orang lain. Yang jelas, kita bertujuh
masing-masing hendak memiliki Sin-tong, Untuk kepentingan pribadi masing-masing
tentu saja sekarang bagaimana baiknya? Apakah kalian ini lima orang yang
mengaku sebagai tokoh-tokoh sakti dan gagah dari dunia kang-ouw hendak
mengandalkan banyak orang mengeroyok kami berdua. Aku, Kiam-mo Cai-li sama
sekali tidak takut biarpun aku seorang kalian keroyok berlima, akan tetapi
betapa curang dan hinanya perbuatan itu. Terutama sekali Gin-siauw Siucai,
tentu tidak begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan!! kata Kiam-mo Cai-li
yang cerdik.
‘Perempuan sombong kau,
Kiam-mo Cai-li!! Tee-tok membentak marah dan melangkah maju.
‘Siapa sudi
mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan seorang iblis betina
seperti engkau dari muka bumi!!
‘Tee-tok, buktikan
omonganmu!! Kiam-mo Cai-li membentak dan dia pun melangkah maju.
‘Eh-eh, nanti dulu! Apa
hanya kalian berdua saja yang menghendaki Sin-tong? Kami pun tidak mau
ketinggalan!! kata Pat-jiu Kai-ong mencela.
‘Benar sekali! Perebutan
ini tidak boleh dimonopoli oleh dua orang saja! Aku pun tidak takut menghadapi
siapa pun untuk memperoleh Sin-tong!! Thian-te Te-it Ciang Ham membentak
menggoyang tombak panjangnya melintang di depan dada.
‘Siancai, siancai...!!
Lam-hai Seng-jin melangkah maju, menggoyang kebutannya. ‘Harap Cuwi suka
bersabar dan tidak turun tangan secara kacau saling serang. Semua harus diatur
seadilnya dan sebaiknya. Kita bukanlah sekumpulan bocah yang biasanya hanya
saling baku hantam memperebutkan sesuatu, sudah jelas bahwa kita bertujuan
sama, yaitu ingin memperoleh Sin-tong. Akan tetapi kita lupa bahwa hal ini
sepenuhnya terserah kepada pemilihan Sin-tong sendiri. Maka marilah kita
berjanji. Kita bertanya kepada Sin-tong, kepada siapa ia hendak ikut dan kalau
dia sudah menjatuhkan pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau
mencampuri, Bagaimana?!
‘Hemm, tidak buruk
keputusan itu. Aku setuju!! kata Tee-tok.
‘Aku pun setuju!! kata
Thian-tok dan yang lain pun tidak mempunyai alasan untuk tidak menyetujui
keputusan yang memang adil ini, kemudian melanjutkan dengan kata-kata sengaja
dibikin keras agar terdengar oleh Sin-tong.
‘Tentu saja harus jujur
tidak membohongi Sin-tong akan maksud hati sebenarnya. Misalnya yang mau
mengambil murid, yang hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan
menghisap sari kejantanannya juga harus berterus terang!!
Tentu saja dua orang tokoh
golongan hitam itu mendongkol sekali dan ingin menyerang Thian-tok yang licik
itu.
‘Isi hati orang siapa
yang tahu? Boleh saja kau bilang hendak mengambil murid, akan tetapi siapa tahu
kalau kau menghendaki nyawanya?! Kiam-mo Cai-li mengejek Thian-tok.
‘Kau...! Majulah,
rasakan Kim-kauw-pang pusakaku ini!!
‘Boleh! Siapa takut?!
Wanita itu balas membentak.
‘Siancai...!! Lam-hai
Seng-jin mencela dan melangkah maju. ‘Apakah kalian benar-benar hendak
menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju, nah marilah kita mendengar
sendiri siapa yang menjadi pilihan Sin-tong.!
Tujuh orang itu lalu
menghampiri Sin-tong yang masih duduk bersila seperti sebuah arca, hatinya
penuh kengerian menyaksikan tingkah laku tujuh orang itu.
‘Sin-tong, Lihatlah, aku
satu-satunya wanita di antara kami bertujuh. Lihatlah aku, seorang wanita yang
hidup kesepian dan merana karena tidak mempunyai anak, kau mendengar bahwa
engkau pun sebatangkara, tidak mempunyai ayah bunda lagi. Marilah anakku,
marilah ikut dengan aku, aku akan menjadi pengganti ibumu yang mencintaimu
dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai seorang Pangeran di istanaku, di Rawa
Bangkai, dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia. Marilah Sin-tong,
Anakku!!
Sin Liong mengangkat muka
memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk dan tidak menjawab,
juga tidak bergerak, hatinya makin sakit karena dia dengan jelas dapat melihat
kepalsuan di balik bujuk-rayu manis itu, apalagi kalau dia mengingat betapa
wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu saja membunuh jiwa enam orang
dusun yang tidka berdosa! Dia merasa ngeri dan tidak dapat menjawab.
‘Sin-tong, aku adalah
ketua dari Pat-jiu Kai-pang di Pegunungan Hong-san. Sebagai seorang ketua
perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan sekali melihat engkau seorang anak
yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah bersamaku, Sin-tong, dan kelak engaku akan
menjadi raja Pengemis.
Bukankah kau suka sekali
menolong orang? Orang yang paling perlu ditolong olehmu adalah golongan
pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan aku, dan Pat-jiu Kai-ong akan
menjadikan engkau seorang yang paling gagah di dunia ini!!
Kembali Sin-tong memandang
wajah itu dan diam-diam bergidik. Orang yang dapat membunuh lima orang dusun
sambil tertawa-tawa seperti kakek ini sekarang menawarkan kepadanya untuk
menjadi raja pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali menundukkan
mukanya.
‘Anak ajaib, anak baik,
Sin-tong, dengarlah, Aku adalah Gin-siauw Siucai, seorang sastrawan yang
mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Beng-san. Selama hidupku aku tidak
pernah melakukan perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku tekun menghimpun
ilmu silat, ilmu sastra dan ilmu meniup suling. Aku ingin sekali mengangkat
engkau sebagai muridku, Sin-tong.!
‘Ha-ha-ha, kau turut aku
saja, Sin-tong. Biarpun aku seorang yang kasar, namun hatiku lembut menghadapi
anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan sebaya denganmu. Biarlah
kau menjadi saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takkan kecewa menjadi murid
Tee-tok. Pilihlah aku menjadi gurumu, Sin-tong.!
‘Tidak, aku saja! Aku
Bhong Sek Bin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapapun dan sekarang
kukatakan di depanmu, tanda bahwa aku percaya dan suka sekali kepadamu. Akulah
keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng, akulah yang mewarisi ilmu
Kim-kauw-pang. Kau jadilah murid Thian-tok dan kelak kau akan merajai dunia kang-ouw,
Sin-tong.!
‘Lebih baik menjadi
muridku. Aku Thian-he Te-it Ciang Ham, di kolong dunia nomor satu dan ketua
dari Kang-jiu-pang di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi calon manusia
terpandai di kolong langit!!
‘Siancai...siancai..!
Kaudengarlah mereka semua itu, Sin-tong. Semua hendak mengajarkan ilmu silat
dan memamerkan kekayaan duniawi, tidak seorangpun yang hendak mengajarkan
kebatinan kepadamu. Akan tetapi pinto (aku) ingin sekali mengambil murid
kepadamu, hendak pinto jadikan engkau seorang calon Guru Besar Kebatinan. Kau
berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan besar
seperti Nabi Lo-cu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah
murid Lam-hai Seng-jin, Sin-tong!!
Hening sejenak. Semua mata
ditujukan kepada bocah yang masih duduk bersila seperti arca dan yang tidak
pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandang orang yang
membujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus menggetar dan penuh duka.
‘Terima kasih kepada
Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapapun juga di antara Cuwi
karena di balik semua kebaikan Cuwi terdapat kekerasan dan nafsu membunuh
sesama manusia, tidak, saya tidak akan turut siapapun, saya lebih senang
tinggal disini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian tinggalkan saya, saya
akan mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani ini.!
‘Wah, kepala batu! Kalau
begitu, aku akan memaksamu!! kata Tee-tok yang berwatak berangasan dan kasar.
‘Eh, nanti dulu! Siapa
pun tidak boleh mengganggunya!! bentak Thian-tok.
‘Siancai...sabar dulu
semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau memilih seorang diantara kita
secara sukarela. Karena itu, tentu kita semua ingin merampasnya secara
kekerasan. Maka harus diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak-kanak,
kita adalah orang-orang yang telah menghimpun banyak ilmu, maka sebaiknya kalau
kita sekarang masing-masing mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang
keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak meimiliki Sin-tong,! kata Lam-hai
Seng-jin yang lebih sabar daripada yang lain.
‘Mana bisa diatur
begitu?! bantah Pat-jiu kai-ong yang khawatir kalau-kalau lima orang itu akan
mengeroyok dia dan Kiam-mo Cai-li. ‘Lebih baik seorang lawan seorang, yang
kalah masuk kotak dan yang menang harus menghadapi yang lain setelah
beristirahat. Begitu baru adil!!
‘Tidak!! bantah Kiam-mo
Cai-li, wanita yang cerdik ini dapat melihat kesempatan yang menguntungkannya
kalu terjadi pertandingan bersama seperti yang diusulkan Lam-hai Seng-jin.
Dalam pertempuran seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang.
‘Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya kita bertujuh
mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan demikian,
satu0satunya orang yang kelaur sebagai pemenang, Jelas dia telah lihai dari
pada yang lain.!
Akhirnya Pat-jiu kai-ong
kalah suara dan ketujuh orang itu telah mengelurkan senjata masing-masing,
membentuk lingaran besar dan bergerak perlahan-lahan saling lirik, siap untuk
menghantam siapa yang dekat dan menangkis serangan dari manapun juga!
Benar-benar merupakan pertandingan hebat yang kacau balau dan aneh!
Sin Liong yang masih duduk
bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi silau ketika tujuh
orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing-masing untuk menyerang dan
menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga bagi Sin Liong, yang
kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan orang
berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa.
Memang hebat pertandingan
ini karena dipandang sepintas lalu, seolah-olah seetiap orang melawan enam
orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu. Ketika Tee-tok menyerang
Pat-jiu Kai-ong dengan siang-kiamnya, sepasang pedangnya ini membabat dari kiri
kanan. Pat-jiu Kai-ong terkejut karena pada saat itu dia sedang menyerang
Lam-hai Seng-jin yang di lain pihak juga sedang menyerang Gin-siauw Siucai!
Akan tetapi terdengar suara keras ketika sepasang pedang Tee-tok itu bertemu
dengan tombak di tangan Thian-he Te-it dan tongkat Thian-tok, sehingga
seolah-olah dua orang ini melindungi Pat-jiu Kai-ong. Pertandingan kacau balau
dan hanya Kiam-mo Cai-li yang benar-benar amat cerdiknya. Dia tidak melayani
seorang tertentu, melainkan berlarian berputar-putar, selalu menghindarkan
serangan lawan yang manapun juga dan dia pun itdak menyerang siapa-siapa, hanya
menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk membuat kacau dan
kadang-kadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang diantara mereka
yang terdesak.
Siasatnya adalah untuk
merobohkan seorang demi seorang dengan jalan ‘mengeroyok! tanpa membantu
siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu rata-rata adalah
orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah mudah dibokong oleh
Kiam-mo Cai-li, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan mulailah mereka
menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu terseret
ke dalam pertandingan kacau-balau itu! Terpaksa dia mempertahankan diri dengan
pedang payungnya, dan membalas serangan lawan yang paling dekat dengan
kemarahan meluap-luap.
Sin Liong menjadi bengong.
Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia melihat seorang laki-laki duduk
ongkang-ongkang di atas cabang pohon besar yang tumbuh dekat medan pertandingan
itu. Laki-laki itu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh
perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih lebar, dan tangan kanan yang
memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencorat-coret di atas kain putih
itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan sedang
menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu! Sin Liong yang
terheran-heran itu memperhatikan. Orang laki-laki itu kurang lebih empat puluh
tahun usianya, pakaiannya seperti seorang pelajar akan tetapi di bagian dada
bajunya yang kuning muda itu ada lukisan seekor Naga Emas dan seekor Burung
Hong Merah. Indah sekali lukisan baju itu. Wajahnya tampan dan gagah, dengan
kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, pakaiannya juga bersih dan terbuat
dari sutera halus, sepatu yang dipakai kedua kakinya masih baru atau setidaknya
amat terpelihara sehingga mengkilap.
Rambutnya memakai kopyah
sasterawan dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia
mencorat-coret melukis pertandingan antara tujuh orang sakti itu. Sin Liong
makin bingung. Betapa mungkin melukis tujuh orang yan gsedang berkelebatan
hampir tak tampak itu?
Sin Liong tidak lagi
memperhatikan pertandingan, hanya memandang ke arah orang itu. Dia mendengar
bentakan-bentakan nyaring dan tidak tahu bahwa tujuh orang itu telah ada yang
terluka. Thian-he Te-it telah terkena hantaman tongkat Thian-tok di pahanya
sehingga terasa nyeri sekali. Pat-jiu Kai-ong juga kena serempet pundaknya
sehingga berdarah oleh sebatang di antara Siang-kiam di tangan Tee-tok,
sedangkan Lam-hai Seng-jin dan Gin-siauw Siucai juga telah mengadu tenaga dan
keduanya tergetar samapi muntahkan darah namun berkat sinkang mereka, kedua
orang ini tidak sampai mengalami luka dalam yang parah.
Sin Liong melihat betapa
laki-laki di atas pohon itu tersenyum, menghentikan coretannya, menyimpan
pensil dan menyambar jubah luar yang tadi tergantung di ranting pohon,
memakainya, kemudian mengantongi gambar yang telah digulungnya dan tubuhnya
melayang turun.
‘Tontonan tidak bagus!!
Terdengar dia berseru. ‘Tujuh orang tua bangka gila memperlihatkan tontonan
di depan seorang anak kecil benar-benar tak tahu malu sama sekali!!
Tujuh orang itu terkejut
ketika mendengar suara yang langsung menggetarkan jantung mereka itu.
Mengertilah mereka bahwa yang datang ini memiliki khikang dan singkang yang
amat kuat, sehingga dapat mengatur suaranya, langsung dipergunakan untuk
menyerang mereka dan sama sekali tidak mempengaruhi Sin-tong yang masih duduk
bersila. Dengan hati tegang mereka lalu meloncat mundur dan masing-masing
melintangkan senjata di depan dada, memandang ke arah laki-laki gagh yang baru
muncul itu. Namun, tidak ada seorangpun diantara mereka yang mengenalnya, maka
ketujuh orang itu menjadi marah sekali.