Bab 20
˜Ayah, aku minta ijin padamu untuk menggantikan kedudukan
kauwcu dari agama kita Beng-kauw, dan puteraku menjadi kaisar di Nan-cao!!
Suara ini lantang dan terdengar semua orang yang hadir. Suasana menjadi sunyi
sekali setelah Liu Lu Sian mengucapkan permintaannya ini. Tak seorang pun
berani mengeluarkan suara, bahkan banyak yang menahan napas untuk menyaksikan
apa selanjutnya yang akan terjadi. Apakah Beng-kauw yang sudah demikian
tersohor itu akan berganti kauwcu (kepala agama) secara demikian sederhana dan
juga kasar? Apakah Kaisar Nan-cao akan ˜dicopot! dan diganti begitu saja di
depan banyak tamu dari seluruh pelosok dunia? Apakah Nan-cao dan Beng-kauw akan
diserahkan kepada seorang wanita berwatak iblis seperti Tok-siauw-kui yang kini
lebih patut disebut Tok-kui-bo (Biang Iblis Beracun) itu? Kalau hal ini
terjadi, akan gegerlah dunia, karena tadi wanita itu sudah berjanji akan
memerangi dan menundukkan semua kerajaan! Dan dengan ilmu kepandaiannya yang
demikian hebatnya, hal itu benar-benar merupakan bahaya besar.
Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara ledakan
keras dan semua orang menjadi pucat, mulut ternganga dan mata terbelalak
memandang ke arah peti mati yang mendadak meledak keras itu. Tutup peti mati pecah
berantakan dan.. sesosok tubuh yang tinggi besar bangkit dari dalam peti mati,
langsung berdiri tegak. Tubuh tinggi besar berpakaian serba putih, bermuka
pucat tapi tetap dapat dikenal sebagai muka Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Mata yang
terbelalak lebar hampir keluar dari pelupuknya itu seperti bukan mata manusia,
dan suaranya terdengar berkumandang seperti suara dari dunia lain ketika
0mulutnya yang tertarik keras itu bergerak.
˜Tiga tahun aku menanti datangnya saat ini.. Lu Sian..
aku dapat menduga akan hal ini setelah kau mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga
Pusaka) dan minggat.. hanya aku yang dapat menahanmu. Mari kau ikut aku
meninggalkan dunia yang banyak penderitaan ini..!!
Sejenak Liu Lu Slan terhenyak kaget, mundur dua langkah
dan mukanya berubah pucat. Akan tetapi beberapa detik kemudian ia agaknya dapat
menahan gelora hatinya yang terkejut, karena ia melangkah maju lagi tiga
langkah dengan gerakan tenang. Kemudian suaranya terdengar lantang, juga
mengandung kumandang seperti terdengar dari dunia lain karena ia juga
mempergunakan ilmu mujijat Coam-im-i-hun-to seperti yang dipergunakan ayahnya
tadi.
˜Tidak, Ayah. Aku masih ingin hidup, ingin menguasai
dunia, ingin memperkembangkan Beng-kauw sehingga seluruh manusia di permukaan
bumi ini menjadi penganut Beng-kauw semua!!
˜Bodoh! Agama yang dipaksakan dengan kekerasan akan
hancur sendiri karena para penganutnya akan menjadi penganut palsu. Mari, ikut
dengan aku!!
˜Ayah, kenapa kau tidak mati sendiri? Aku tidak mau
ikut!!
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang disangka telah mati selama
tiga tahun lebih itu tertawa, suara ketawanya bergelombang dan kumandangnya
datang susul menyusul. Lebih separoh jumlah tamu jatuh bergulingan, tidak kuat
menahan getaran suara ketawa bergelombang ini yang seakan-akan membetot
semangat mereka sehingga mereka roboh pingsan! Hanya tokoh-tokoh besar saja
yang sanggup menahan sehingga tidak roboh terguling, akan tetapi mereka tetap
saja harus mengerahkan sin-kang dan tergoyang-goyang di atas tempat duduk masing-masing.
˜Kau hendak memaksa, Ayah? Aku melawan!! bentak Liu Lu
Sian dan tubuhnya bergerak ke depan, melancarkan pukulan dengan kedua
tangannya, dibantu rambut kepalanya. Karena maklum bahwa di dunia ini agaknya
hanya ayahnya yang merupakan lawan terberat, maka sekaligus Liu Lu Sian
mengeluarkan seluruh tenaganya untuk merobohkan ayahnya yang disangkanya telah
mati itu.
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan masih tertawa keras ketika ia
mengulur kedua tangannya ke depan. Dua pasang tangan bertemu di udara, sepasang
mata Liu Gan makin melotot keluar dan ia tampak kaget sekali, mulutnya
mengeluarkan suara
˜Uhhhhh!! dan darah segar tersembur keluar dari mulutnya.
Akan tetapi dari mulut Liu Lu Sian keluar jerit mengerikan, lalu terdengar
suara gaduh ketika tubuh dua orang itu roboh menabrak dan menggulingkan peti
mati berikut meja sembahyang. Keduanya roboh miring dengan sepasang tangan
masih saling menempel, akan tetapi ketika Beng-kauw Liu Mo dan yang lain-lain
mendekati, mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang ayah dan anak ini telah
putus napasnya! Pat-jiu Sin-ong Liu Gan telah memenuhi kehendaknya, yaitu
mengajak puterinya bersama-sama meninggalkan dunia. Sebetulnya hanya Liu Mo
seorang yang tahu bahwa suhengnya itu tiga tahun yang lalu belum mati,
melainkan minta supaya dimasukkan peti dan dianggap mati karena sesungguhnya
suhengnya itu bermaksud menyembunyikan diri dan bertapa, menanti munculnya Liu
Lu Sian karena kakek ini sudah dapat membayangkan bahwa puterinya yang binal
itu setelah berhasil mencuri Sam-po-cin-keng, di kemudian hari pasti akan
menggegerkan dunia
Suling Emas sudah berlutut di dekat jenazah ibunya,
wajahnya muram dan sedih, akan tetapi hatinya lega karena ia pikir lebih baik
begini daripada melihat ibunya hidup membuat kekacauan di dunia. Liu Hwee juga
berlutut di situ dan menangis. Tubuh Kauw Bian Cinjin yang terluka hebat, akan
tetapi tidak membahayakan nyawanya, telah diangkut ke dalam untuk dirawat. Para
anggauta Beng-kauw nampak berkabung dan berduka, juga masih tegang oleh
peristiwa hebat tadi. Tak seorang pun di antara mereka berani bersuara.
Beng-kauwcu Liu Mo lalu berdiri dan menghadapi para
tamunya yang masih tegang, apalagi mereka yang tadi pingsan dan sudah siuman
kembali.
˜Cu-wi sekalian yang terhormat. Harap Cu-wi maafkan akan
segala peristiwa yang tidak kami sengaja ini. Cu-wi maklum bahwa peristiwa ini
adalah urusan pribadi Beng-kauw, maka kami harap Cu-wi sekalian sudi memaklumi
dan tidak salah faham. Agar ucapan keponakan kami tadi tidak dianggap sebagai
sikap Beng-kauw, kami sebagai ketua Beng-kauw di sini menyatakan dengan tegas
bahwa Beng-kauw tidak bermaksud memaksa orang menjadi pemeluknya, dan bahwa
Nan-cao sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu negara tetangga, akan
tetapi kami pun pantang diganggu. Kemudian, mengingat akan keadaan yang menimpa
kami, maka kami persilakan Cu-wi sekalian kembali ke tempat masing-masing,
diikuti ucapan selamat jalan dan terima kasih serta maaf bahwa kami tidak
sempat mengantar.!
Maka bubarlah para tamu. Setelah mereka memberi hormat,
berduyun-duyun mereka keluar dari Kota Raja Nan-cao. Di sepanjang jalan mereka
itu ramai membicarakan peristiwa mengerikan yang terjadi di Nan-cao dan mereka
merasa puas bahwa mereka mendapat kesempatan menyaksikan hal-hal luar biasa,
ketegangan yang mengerikan dan pertempuran-pertempuran tingkat tinggi yang tak
mungkin mereka saksikan lagi.
Suling Emas ikut membantu pemakaman ibu dan kakeknya,
juga penguburan Cui-beng-kui. Kemudian ia berlutut di depan Beng-kauwcu Liu Mo
dan berkata dengan suara sedih.
˜Saya mintakan maaf atas sepak terjang mendiang Ibu yang
telah mengacau Beng-kauw.!
Liu Mo menarik napas panjang dan mengulur tangan mengelus
kepala Suling Emas,
˜Tidak apa, anak baik. Memang Ibumu sejak dahulu begitu,
keras hati dan aneh wataknya. Untung bahwa kau agaknya mewarisi watak Ayahmu.
Mendiang Ayahmu, Jenderal Kam Si Ek adalah seorang laki-laki sejati, seorang
pendekar perkasa yang mengagumkan. Karena itu pula, melihat gelagat adikmu Bu
Sin dan anakku Hwee-ji, aku akan merasa bahagia sekali kalau mereka dapat
terangkap jodoh. Aku serahkan urusan ini kepadamu.!
˜Baiklah. Dan sebagai penebus dosa Ibu, saya akan
menyusul Hek-giam-lo ke Khitan untuk minta kembali tongkat Beng-kauw yang
dirampasnya.!
Setelah berpamit, Suling Emas mengajak kedua orang
adiknya, Bu Sin den Sian Eng, pergi dari Nan-cao untuk mencari dan menolong Lin
Lin, sekalian untuk merampas kembali tongkat Beng-kauw den untuk mewakili
Ibunya menghadapi lima orang Thian-te Liok-koai di puncak Thai-san! Perpisahan
yang sederhana, akan tetapi mendatangkan kedukaan den kesepian di hati Bu Sin
dan Liu Hwee. Hanya pandang mata mereka saja saling menyatakan perasaan hati
yang mewakili seribu bahasa. Terpisahnya dua hati yang saling mencinta.
Mari kita ikuti pengalaman Lin Lin yang sudah lama kita
tinggalkan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, sekeluarnya dari
terowongan rahasia dan melihat Cui-beng-kui, Lin Lin lupa akan segalanya saking
marahnya melihat pembunuh ayah bunda angkatnya. Maka ia lalu menerjang dan
menyerang Cui-beng-kui, malah dibentu oleh Bu Sin dan Sian Eng. Akan tetapi
tentu saja mereka bukan lawan Cui-beng-kui yang sakti, dan sebagaimana telah
kita ketahui, Lin Lin kemudian ditolong oleh orang-orang Khitan yang secara
aneh sekali berhasil membawa pergi Lin Lin berikut pedangnya dan mayat
orang-orang Khitan yang tewas di situ. Kiranya orang-orang Khitan itu melakukan
gerakan ilmu barisan yang mereka sebut ˜mengancau atau mengail ikan!, berhasil
membikin bingung orang-orang yang berada di situ dan dalam kehebohan itu dapat
membawa pergi Lin Lin. Memang, orang-orang Khitan ini yang semenjak dahulu
merupakan bangsa perantau, pandai sekali berperang gerilya sehingga hanya dua
belas orang saja telah berhasil ˜mencuri! Lin Lin dari depan banyak orang.
Lin Lin sendiri yang ketika itu hampir celaka di tangan
Cui-beng-kui kalau saja secara sembunyi tidak ditolong oleh Suling Emas, hanya
melihat orang-orang Khitan itu berlari-lari di sekelilingnya, membuatnya pening
dan entah begaimana, akhirnya ia ikut berlari-lari dan tahu-tahu ia sudah
berlari jauh meninggalkan Nan-cao, tapi selalu berada di dalam kurungan
orang-orang Khitan!
Setelah menjelang senja dan rombongan orang Khitan itu
yang tiada henti-hentinya berlari tiba jauh di daerah perbatasan kota raja mereka
berhenti. Lin Lin terengah-engah dan barulah gadis ini sadar sepenuhnya bahwa
ia tadi ikut berlari-lari bersama rombongan itu keluar dari kota raja.
˜He, kalian ini membawaku ke mana? Antarkan aku kembali
ke Kota Raja Nan-cao. Aku harus bunuh Cui-beng-kui iblis jahat itu!!
Seorang di antara dua belas perajurit Khitan itu, yang
paling tua, menjura dengan hormat di depan Lin Lin lalu berkata,
˜Tuan puteri, susah payah hamba berhasil menyelamatkan
Paduka daripada bahaya maut. Hamba hanya melakukan perintah. Kalau Paduka
kembali ke sana, berarti hanya akan mengorbankan nyawa secara sia-sia.!
˜Huh, tidak gampang Cui-beng-kui dapat membunuhku. Suling
Emas takkan membiarkan dia membunuhku. Tadi pun Suling Emas membantuku. Hayo
antar aku kembali ke sana!!
˜Tuan puteri, hamba sekalian tidak berani. Hamba yang
membantu mendiang Pak-sin-tung-lociangkun, selain kehilangan beliau, juga
kehilangan dua belas orang saudara. Hamba semua hanya melaksanakan perintah
Hek-lo-ciangkun, sebaiknya Paduka bicara dengan beliau..!
˜Siapa Hek-lo-ciangkun (Panglima Tua Hitam)?! tanya Lin
Lin.
˜Paduka sendiri yang memerintahkan beliau merampas
tongkat..!
˜Ohhh, kau maksudkan Hek-giam-lo? Mana dia sekarang? Dia
harus membantuku membunuh Cui-beng-kui! Mana dia? Suruh dia ke sini!! Dengan
sikap yang agung seakan-akan memang semenjak kecil dia memerintah orang-orang
Khitan, Lin Lin membentak-bentak mereka.
˜Hek-lo-ciangkun sudah lama menanti Paduka, Tuan Puteri.
Marilah, tidak jauh lagi. Setelah bertemu dengan Hek-lo-ciangkun, Paduka dapat
berunding dengannya.!
Lin Lin menganggap omongan ini tepat.
˜Baik, hayo kita berangkat menemui Hek-giam-lo!!
Maka berangkatiah mereka, sekarang tidak berlarian
seperti tadi lagi, melainkan berjalan kaki. Lin Lin di depan bersama pemimpin
rombongan, diiringkan oleh yang lain dari belakang. Rombongan itu berjalan
dengan langkah tegap, wajah mereka berseri, sama sekali tidak kelihatan berduka
walaupun baru saja kehilangan seorang panglima dan dua belas orang kawan.
Semangat mereka tinggi dan dalam melangkahkan kaki secara berirama mereka lalu
bernyanyi dengan suara lantang dan gagah! Mula-mula Lin Lin merasa betapa lucu
kelakuan mereka ini, akan tetapi lambat laun ia merasa tertarik sekali dan
kagum. Agaknya panggilan darahnya membuat ia merasa dekat dengan orang-orang
ini, malah sebentar kemudian ia ikut pula mengatur langkah membarengi mereka
dan karena lagu itu pendek dan diulang-ulang, beberapa menit kemudian Lin Lin
ikut pula bernyanyi bersama mereka! Kata-katanya asing baginya, namun, dasar ia
cerdas, sebentar saja ia hafal tanpa dapat mengerti maksud kata-katarnya. Ikut
sertanya Lin Lin dalam barisan ini sambil bernyanyi menambah semangat
orang-orang Khitan itu dan suara nyanyian mereka makin keras dan makin
bersemangat.
Tak lama kemudian sampailah mereka di tepi sebuah sungai.
Inilah Sungai Kan-kiang, sungai yang mengalir menuju ke utara dan menjadi anak
sungai atau cabang dari sungai besar Yang-ce-kiang. Pemimpin rombongan
mengeluarkan sebuah tanduk, agaknya tanduk rusa yang besar. Ketika ia meniup
tanduk itu terdengar bunyi suara yang aneh, seperti suara binatang tidak keras
akan tetapi suara itu membawa getaran yang kuat.
Sepuluh menit kemudian, terdengarlah lengking seperti
suling dan tampaklah sebuah perahu besar meluncur datang. Di kepala perahu
berdiri sesosok tubuh yang berselubung pakaian hitam dengan muka tertutup kedok
tengkorak. Hek-giam-lo!
Sebentar kemudian perahu itu minggir dan Lin Lin meloncat
ke atas perahu, diikuti oleh dua belas orang pengikutnya. Perahu itu diikatkan
pada sebatang pohon. Setelah berada di atas perahu, dua belas orang itu sibuk
bekerja, dan agaknya mereka sudah biasa dengan pekerjaan di perahu. Kini anak
buah perahu yang tadinya hanya tiga orang, menjadi lima belas orang.
Lin Lin cepat menghampiri Hek-giam-lo.
˜Bagaimana Hek-giam-lo? Apakah perintahku sudah kau
lakukan? Mana tongkat Beng-kauw itu?! berkata Lin Lin dengan sikap memerintah.
Hek-giam-lo membungkuk sedikit, lalu terdengar suaranya
dari balik kedok tengkorak. ˜Berkat bintang Paduka yang terang, tongkat
Beng-kauw sudah berhasil hamba rampas, sekarang berada di dalam bilik perahu.
Harap Paduka sudi masuk bilik dan beristirahat, sebentar lagi kita berangkat.!
˜Berangkat?! Lin Lin terkejut. ˜Ke mana?!
˜Ke mana lagi kalau bukan ke Khitan? Kita pulang, Tuan
Puteri.!
˜Tidak! Aku perintahkan, tidak pulang ke Khitan sekarang!
Hek-giam-lo, kau harus membantuku, kembali ke Nan-cao untuk menghadapi
Cui-beng-kui!!
Sejenak tengkorak hitam itu diam saja, bergerak pun
tidak, seakan-akan ia termenung. Sukar untuk mengatakan bagaimana perasaannya
di saat itu karena wajahnya yang aseli tidak nampak. Akan tetapi setelah ia
bicara, ternyata bahwa ia menahan kemarahannya.
˜Tuan Puteri Yalina, sudah banyak kita kehilangan orang,
bahkan sute Pak-sin-tung sampai tewas, semua gara-gara permintaan Paduka yang
bukan-bukan! Sekarang hamba tidak dapat memenuhi permintaan Paduka lagi, kita
harus berangkat kembali ke Khitan di mana Sri Baginda sudah menanti-nanti
kedatangan Paduka.!
˜Tidak! Kau harus monurut perintahku, Hek-giam-lo!!
Si Tengkorak Hitam menggeleng-geleng kepalanya dan
mendengus tak acuh.
˜Kau lihat apa ini? Kau harus tunduk kepadaku!! Lin Lin
mencabut keluar Pedang Besi Kuning dan menodongkannya ke arah Hek-giam-lo.
Melihat ini, para anak buah perahu serta-merta menjatuhkan diri berlutut.
Akan tetapi Hek-giam-lo mendengus aneh dan sekali
tubuhnya bergerak, ia telah menyergap maju dan tiba-tiba Lin Lin merasa
tubuhnya menjadi kaku dan pedang itu telah terampas oleh Hek-giam-lo! Tengkorak
Hitam itu mengeluarkan suara perintah dalam bahasa Khitan dan lima orang yang
berlutut di belakang Lin Lin, tiba-tiba melompat dan menerkam gadis itu,
menelikung kedua lengannya ke belakang dan mengikatnya dengan sehelai sabuk
sutera yang kuat. Di lain saat, ketika mereka melepaskan Lin Lin, gadis itu
sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh.
Lin Lin terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa
orang-orang itu, termasuk Hek-giam-lo akan berani melawannya. Akan tetapi ia
tidak takut, malah ia lalu memaki-maki.
˜Keparat kau, Hek-giam-lo! Awas kau, sesampainya di
Khitan, akan kuberi tahu kepada Sri Baginda tentang perlakukanmu yang kurang
ajar agar kau mendapat hukuman penggal leher!!
Hek-giam-lo mendengus, kemudian memberi perintah dalam
bahasa Khitan. Agaknya ia menyuruh pergi para anak buahnya karena mereka itu
seorang demi seorang lalu menghilang ke dalam dan ke balik bilik perahu.
Kemudian Hek-giam-lo menghadapi Lin Lin yang berdiri dengan tegak walaupun
kedua tangannya terbelenggu.
˜Yalina, ucapanmu ini mengingatkan aku akan Ibumu. Dahulu
Ibumu juga hendak memenggal leherku, malah ia telah menyiram mukaku dengan
racun. Kau tahu aku siapa? Nah, tengoklah baik-baik!! Cepat sekali Hek-giam-lo
merenggut kedoknya dan.. Lin Lin menjadi pucat, memandang terbelalak pada wajah
seorang laki-laki yang bentuknya tampan gagah, akan tetapi wajah itu mengerikan
karena.. tidak berkulit lagi! Daging muka itu, atau lebih tepat
tulang-tulangnya terbungkus kulit tipis licin, hidung dan bibirnya yang masih
bagus bentuknya itu pun menjadi mengerikan dengan kulit tipis berkerut dan
putih seakan-akan tidak berdarah. Matanya tidak berbulu lagi, alisnya pun
hilang, kepalanya tidak berambut. Benar-benar wajah yang mengerikan, jauh lebih
mengerikan daripada wajah Cui-beng-kui!
˜Kau.. kau siapa..?!
Dengan suara lirih dan penuh kengerian Lin Lin bertanya.
Secepat tadi ketika merenggutkan kedoknya, Hek-giam-lo
sudah memasangnya kembali. Kedok tengkorak itu agaknya tidak mengerikan lagi,
dibandingkan dengan muka yang bersembunyi di balik kedok.
˜Hemmm, kau telah melihat wajahku? Wajah yang dahulunya
tampan gagah, karena aku berdosa mencinta Ibumu, aku mendapat perlakuan begini
kejam. Ibumu menolak aku, kakaknya sendiri seayah lain ibu, dan dia memilih
seorang perajurit biasa menjadi suaminya, yaitu Ayahmu!!
Hek-giam-lo diam sejenak, agaknya menahan kemarahannya.
Lin Lin teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin tentang Puteri Mahkota Khitan
yang bernama Tayami, yang menurut Kim-lun Seng-jin adalah ibunya. Teringat ia
betapa kakek itu bercerita bahwa Puteri Tayami bersama suaminya, seorang
perajurit gagah perkasa dan pilihan, gugur dalam perang melawan musuh karena
ada saudara-saudara ibunya yang berkhianat. Mengingat ini, serta-merta naik
darah panas ke kepalanya dan mulutnya menyerang dengan ejekan.
˜Jadi kaukah orangnya yang berkhianat, bersekutu dengan
Kerajaan Sung sehingga bengsaku dipukul hancur di Shan-si, dan ibu serta ayahku
gugur?! Enak saja mulut Lin Lin menyebut ˜bangsaku! dan ˜ayah ibuku!, karena
memang ia sudah tidak ragu-ragu lagi. Inilah musuh besarnya yang sesungguhnya,
orang yang menjadi biang keladi kematian ayah bundanya yang gugur sebagai
pejuang bangsa yang gagah perkasa.
˜Heh-heh, kau pandai menduga, ya? Memang betul begitulah.
Akan tetapi pembalasanku ini tidak berlebihan, kau sudah melihat mukaku yang
disiram air beracun oleh Ibumu.!
˜Aku tidak percaya! Aku tidak percaya Ibu seganas itu!
Kecuali kalau kau melakukan hal yang jahat, untuk membela diri mungkin Ibu
terpaksa harus menggunakan racun.!
˜Hemmm, kau memang pandai menduga, agaknya arwah Ibumu
yang berbisik di dalam hatimu. Aku tidak bersalah, dosaku tidak berarti. Ibumu
cantik jelita, seperti engkau begini, dan aku dahulu seorang pria yang tampan
dan muda, penuh semangat dan nafsu. Aku hanya memasuki kamar Ibumu, hendak
mencumbu rayu, sudah sewajarnya antara pria dan wanita. Tapi dia.. dia.. ah, semenjak
itu aku benci kepadanya!! Lin Lin dapat membayangkan semua itu, biarpun ia
tidak mendapat cerita yang jelas, namun ia dapat menduga apa yang telah terjadi
pada masa sebelum ia terlahir di dunia itu (baca ceritaSuling Emas).
˜Hek-giam-lo, kalau begitu sikapmu tunduk kepadaku hanya
pura-pura. Kau menawanku mau apa?!
Secara tidak terduga, Hek-giam-lo kembali menjura dengan
penuh penghormatan!
˜Ih, tak perlu membadut dan berpura-pura lagi!! bentak
Lin Lin.
˜Tuan Puteri Yalina, hamba tidak berpura-pura. Hamba
Hek-giam-lo hanya mentaati perintah Sri Baginda atau kakak hamba sendiri.
Paduka harus hamba bawa ke Khitan dan di sana Paduka akan dikaruniai anugerah
sebagai permaisuri menjadi ratu di sisi Sri Baginda kakak hamba.!
˜Apa..?! Lin Lin menjerit. ˜Kalau dia itu kakakmu, dan
kau kakak seayah ibuku, berarti kau dan dia itu masih pamanku. Dia paman tua,
dia uwakku, masa dia hendak memperisteriku? Gila kau!!
˜Heh-heh, tidak ada yang gila, Tuan Puteri. Jamak laki-laki
beristerikan wanita, muda lagi cantik. Ibu Paduka memang seayah dengan hamba
dan Sri Baginda, akan tetapi berlainan ibu, jadi di antara kita sudah bukan
apa-apa. Paduka akan menjadi ratu di Khitan, menjadi junjungan di samping Sri
Baginda, karena itulah hamba juga menjadi hamba Paduka. Hanya karena Paduka
tidak mau suka rela pergi ke Khitan, terpaksa hamba membelenggu Paduka.!
˜Gila..! Kau dan semua orang Khitan yang gila ataukah aku
yang berubah gila? Raja Khitan, kakakmu itu selamanya belum pernah melihat aku,
kenapa dia bersikeras hendak menawanku dan mengambilku sebagai permaisuri? Di
dunia ini, mana ada peristiwa yang lebih gila daripada ini?!
˜Paduka akan menyesal mengeluarkan caci maki seperti itu,
Tuan Puteri. Kakak hamba Sri Baginda mengambil keputusan ini berdasarkan
kebijaksanaan yang luar biasa. Mengingat bahwa Paduka masih keturunan langsung
dari kaisar tua, dan banyak panglima tua yang mengharapkan Paduka duduk menjadi
yang dipertuan di Khitan, kebijaksanaan yang paling tepat adalah mengangkat
Paduka menjadi permaisuri. Sudahlah, harap Paduka sudi mengaso.!
˜Tidak! Aku tidak sudi, tidak mau..! Aku tidak sudi pergi
ke Khitan!!
Pada saat itu, sesosok bayangan hitam berkelebat cepat
sekali dan tahu-tahu Lie Bok Liong sudah ada di belakang Lin Lin. Tangan
kirinya berusaha merenggut putus sabuk sutera yang mengikat tangan gadis itu,
sedangkan tangan kanannya menodongkan pedangnya ke dada Hek-giam-lo!
˜Jangan takut, Lin-moi, aku membelamu,! bisik pemuda itu
sambil mengerahkan tenaga tangan kirinya untuk melepaskan ikatan kedua tangan
Lin Lin.
Gadis itu terkejut sekali. Andaikata Suling Emas yang
menolongnya pada saat itu, tentu ia akan merasa bahagia dan girang sekali. Akan
tetapi Lie Bok Liong? Ia cukup mengenal sahabat ini dan tahu sampai di mana
tingkat kepandaiannya. Tidak jauh selisihnya dengan kepandaiannya sendiri. Mana
bisa menang menghadapi Hek-giam-lo yang berdiri dengan tegak dan tak bergerak
itu? Tidak saja akan sia-sia usaha pertolongan Bok Liong, malah sebaliknya
selain ia sendiri tidak akan tertolong, pemuda ini malah akan menghadapi bahaya
pula.
Para anak buah perahu bermunculan, akan tetapi mereka
hanya berdiri tertegun, tidak berani turun tangan sebelum menerima perintah
Hek-giam-lo yang tampak tenang-tenang itu. Agaknya iblis tengkorak ini sengaja
membiarkan Bok Liong melepaskan belenggu Lin Lin, buktinya ia diam saja, hanya
berdiri bertolak pinggang, seakan-akan ia gentar karena ditodong pedang oleh
Lie Bok Liong.
Akhirnya terlepas juga ikatan tangan Lin Lin dan pemuda itu
segera menarik tubuh Lin Lin supaya berada di belakangnya, sedangkan ia sendiri
memasang kuda-kuda, siap menghadapi lawan. Sikapnya gagah sekali dan pemuda
yang tegap ini sudah siap sedia mengorbankan nyawanya untuk membela gadis yang
telah merampas hatinya.
Tiba-tiba Lin Lin teringat akan sesuatu dan wajahnya
berseri, timbul harapan di hatinya. Tentu, pikirnya, tentu guru pemuda ini ikut
datang, kalau tidak, masa Bok Liong akan seberani ini menghadapi Hek-giam-lo?
˜Liong-koko, mana gurumu?! bisik Lin Lin penuh harap.
Bok Liong tidak menjawab, matanya bergerak-gerak
memandang Hek-giam-lo dan para anak buah Khitan yang bermunculan dan
mengurungnya di atas perahu yang lebar itu. Perahu mulai bergoyang sedikit
karena pergerakan mereka. Ia tidak dapat menjawab karena memang ia datang tidak
bersama suhunya. Pemuda ini ketika melihat Lin Lin lenyap secara aneh bersama
orang-orang Khitan, merasa khawatir sekali. Hatinya sudah terampas oleh senyum
dan sinar mata Lin Lin. Lie Bok Liong pemuda perkasa murid Gan-lopek itu telah
jatuh cinta kepada Lin Lin.
Karena itu, tanpa mempedulikan lagi peristiwa yang amat
aneh dan menyeramkan yang terjadi di ruangan sembahyang Beng-kauw, ia
menyelinap pergi dan secepat kilat ia lari menyusul rombongan orang Khitan. Ia
terus membayangi mereka sampai mereka tiba di pinggir sungai dan melihat
kekasih hatinya itu dihadapkan Hek-giam-lo dan dirampas pedangnya lalu diikat
tangannya, Lie Bok Liong lupa segala, menjadi nekat dan cepat ia bertindak
untuk menolong Lin Lin. Tentu saja ia cukup maklum betapa lihainya Hek-giam-lo,
akan tetapi untuk membela Lin Lin yang dipuja di dalam hatinya, jangankan hanya
menghadapi seorang Hek-giam-lo, biar di situ ada sepuluh orang Hek-giam-lo
sekalipun, ia tidak akan mundur selangkah dan siap mengorbankan nyawanya untuk
membela Lin Lin!
Melihat cara Bok Liong menodongkan pedang dengan tubuh
agak bergoyang-goyang, Hek-giam-lo mengeluarkan suara mendengus,
˜Huh, orang muda, mana gurumu Gan-lopek si badut gila
itu? Suruh dia yang keluar menghadapi aku!!
Diam-diam Bok Liong terkejut. Dengan melihat cara ia
memasang kuda-kuda saja iblis ini sudah mengenal ilmu silatnya, terang bahwa
sekarang ia bertemu lawan yang seimbang gurunya. Akan tetapi ia tidak gentar
dan tidak menjawab ucapan Hek-giam-lo, melainkan menjawab pertanyaan Lin Lin
tadi.
˜Lin-moi, jangan takut. Untuk menolongmu dari para iblis
ini, tidak usah Suhu yang maju, cukup dengan aku saja.! Kemudian ia menghadap
Hek-giam-lo dan berkata lantang.
˜Hek-giam-lo, kau seorang Locianpwe yang berilmu tinggi.
Tidak seharusnya kau memaksa Nona ini yang tidak mau ikut ke Khitan. Harap kau
orang tua suka memandang muka Suhuku dan membebaskannya, biarkan dia pergi
bersamaku ke mana ia suka. Kelak kalau aku atau Suhu lewat Khitan, tentu tidak
lupa singgah untuk menyampaikan terima kasih dan hormat.! Ucapan Bok Liong ini
adalah ucapan gagah seorang tokoh kang-ouw terhadap tokoh kang-ouw lain, dan
biasanya orang-orang kang-ouw tunduk akan ˜sopan sentun! kang-ouw seperti ini.
˜Bocah gila, melihat muka tolol gurumu, aku mau ampunkan
kau. Hayo lekas kau minggat dari sini dan jangan mengganggu urusan kami. Tuan
Puteri Yalina akan ikut bersama kami, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya
denganmu. Pergi!!
Berbareng dengan ucapan ini, Hek-giam-lo menggerakkan
lengan bajunya yang berubah menjadi sinar hitam menyambar ke arah dada Lie Bok
Liong.
Tenaga sakti yang dahsyat merupakan angin yang kuat
sekaii menyambar ke depan. Bok Liong sudah siap sedia, cepat ia lompat
menghindar ke samping tubuhnya bergoyang-goyang, pinggulnya megal-megol akan
tetapi tahu-tahu pedangnya sudah menyelinap di antara sambaran angin, mengirim
tusukan balasan ke arah jambung si iblis tengkorak. Diam-diam Hek-giam-lo kaget
dan kagum. Seorang muda yang dapat menghindarkan serangannya dan seketika dapat
balas menyerang, jarang sekali terdapat di dunia kang-ouw. Maklumlah ia bahwa
pemuda murid Gan-lopek ini sudah lumayan kepandaiannya.
Tentu saja dengan mudah ia dapat menangkis tusukan pedang
itu dengan kibasan lengan bajunya. Ketika pedangnya terkena kibasan ujung lengan
baju, hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya. Bok Liong kaget bukan
main, namun ia tetap melanjutkan serangannya, kini pedangnya membuat tiga
lingkaran lebar yang makin lama makin sempit lalu menjurus ke arah dada lawan.
Hebat serangan ini, dan kuat sekali. Namun dengan mudah pula Hek-giam-lo
menghindar, lalu dari samping pukulan jarak jauh dengan ujung lengan baju
membuat Bok Liong terhuyung-huyung, hampir menabrak seorang anak buah Khitan.
Anehnya, orang Khitan ini sama sekali tidak bergerak atau menyerang, dan ini
merupakan bukti betapa teguh mereka memegang disiplin. Tanpa perintah kepala
mereka, orang-orang Khitan ini tidak berani sembarangan bergerak. Dan mereka
memang betul, karena andaikata ada yang bergerak, hal itu berarti membantu Hek-giam-lo
tanpa diperintah dan ini berarti pula menghina tokoh besar itu yang mungkin
hukumannya adalah maut!
Lin Lin yang melihat perlawanan gigih dari Bok Liong
terhadap Hek-giam-lo, menjadi kagum. Tiba-tiba ia lari menerobos memasuki bilik
perahu. Juga orang-orang Khitan mendiamkannya saja, apalagi gadis itu adalah
˜tuan puteri! bagi mereka, tanpa ada perintah Hek-giam-lo mereka tidak akan
berani mengganggunya sedikit pun juga. Tak lama kemudian Lin Lin sudah berlari
keluar lagi, di tangannya memegang tongkat Beng-kauw yang kepalanya dihias
permata ya-beng-cu!
Kiranya gadis ini memasuki bilik untuk mencari senjata
karena pedangnya sudah terampas oleh Hek-giam-lo. Setelah tiba di luar, ia
melihat Bok Liong terkurung sinar hitam yang dibuat oleh lengan baju
Hek-giam-lo, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan tongkat
Beng-kauw mengemplang dari belakang ke arah kepala Hek-giam-lo!
˜Werrrrr!! Tongkat itu lewat dekat kepala ketika
Hek-giam-lo menghindar, kemudian sekali lompat iblis tengkorak ini sudah tiba
dekat Bok Liong. Lengan baju kiri digerakkan melibat pedang Bok Liong, tangan
kanan mengirim pukulan dari atas ke bawah yang kalau mengenai kepala Bok Liong
tentu akan pecah seketika.
˜Hayaaaaa..!! Bok Liong menjatuhkan diri ke belakang dan
bergulingan, pukulan itu menyambar lewat dan ˜brakkk!! papan perahu terkena
pukulan tangan Hek-giam-lo menjadi amblong berlubang besar! Biarpun Bok Liong
sudah terhindar daripada bahaya maut, namun pedangnya, pedang pusaka
Goat-kong-kiam, kini sudah terampas dan berada di tangan si iblis tengkorak!
Hek-giam-lo mengeluarkan suara seperti orang tertawa, tangan kanannya bergerak
dan pedang rampasan meluncur ke belakang menangkis tongkat Beng-kauw yang sudah
menyambarnya lagi.
˜Traaanggggg!! Biarpun pedang itu disambitkan untuk
menangkis, namun tenaga sambitannya membuat Lin Lin mengaduh karena telapak
tangannya terasa panas dan perih, baiknya tongkatnya tidak terlepas. Pedang itu
terbentur dan meluncur seperti anak panah ke arah kaki Bok Liong! Pemuda ini
cepat melompat menghindar agar jangan sampai kakinya terbabat pedangnya
sendiri. Cappp! Pedang Goat-kong-kiam menancap sampai setengah lebih di atas
papan perahu.
˜Bocah gila, lekas minggat. Sekali lagi aku tidak memberi
ampun!! kata Hek-giam-lo sambil menggerakkan tangan kiri menyambut tongkat yang
kembali telah dipukulkan oleh Lin Lin ke arah kepalanya. Kali ini Hek-giam-lo
menerima tongkat itu, menarik lalu mendorong kuat sekali. Lin Lin menjerit dan tubuhnya
terlempar.. keluar perahu!
˜Byurrrrr..!! Tubuhnya menimpa air yang muncrat tinggi.
˜Tolong.. auppp..!! Lin Lin kaget sekali karena tubuhnya
kaku, kaki tangannya lumpuh tak dapat digerakkan untuk berenang, maka dengan
panik ia minta tolong.
Sesosok bayangan melompat ke air. Dia adalah Bok Liong
yang cepat menyelam dan menyambar tubuh Lin Lin yang sudah tenggelam itu,
kemudian memeluknya dan membawanya berenang ke pinggir perahu. Tongkat
Beng-kauw masih berada di tangan gadis itu yang tidak mau melepaskannya.
Dengan agak sukar Bok Liong menyambar pinggiran perahu,
lalu menaikkan tubuh Lin Lin, yang masih kaku karena tadi terkena totokan lihai
Hek-giam-lo. Ia sendiri meloncat ke atas perahu dan kembali mencabut pedangnya.
˜Hek-giam-lo, kau bukan lawanku. Sekali lagi, memandang
muka Suhu, harap kau suka membebaskan Lin-moi dan aku. Kalau kau mau berkelahu,
lawanlah Suhu, baru sebanding. Akan tetapi kalau kau tidak mau membebaskan
Lin-moi, terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!!
˜Heh, bocah edan! Nona ini adalah Tuan Puteri kami, dia
adalah calon Permaisuri Khitan! Kau ini bocah gila berani jatuh hati
kepadanya?!
Marahlah Bok Liong. Ia melompat maju dengan serangan
pedangnya. Kali ini Hek-giam-lo melibat ujung pedang lawan dengan lengan
bajunya, menggerakkan ke bawah dan.. tubuh Bok Liong terbanting ke atas papan
perahu. Setika tubuh Bok Liong amblas sampai sepinggang karena kebetulan sekali
ia terbanting pada papan yang telah bolong terkena pukulan Hek-giam-lo tadi.
Kasihan pemuda itu, ia beruseha melepaskan diri namun sia-sia karena
pinggangnya terjepit sehingga ia seperti seekor tikus masuk perangkap. Namun ia
masih memaki-maki, ˜Hek-giam-lo, kaubunuhlah aku, tapi bebaskan Lin-moi!!
˜Tidak dibunuh buat apa?! Berkata demikian, Hek-giam-lo
menghampiri tubuh Bok Liong yang masih terjepit papan perahu. Pemuda ini
biarpun sudah tidak berdaya, namun pedangnya masih berada di tangan dan ia
dengan sikap menantang siap untuk melakukan serangan terakhir dengan senjatanya
sebelum tewas, sedikitpun tidak terbayang rasa takut di wajahnya.
˜Hek-giam-lo, jangan bunuh dia!! tiba-tiba Lin Lin
berseru keras.
Hek-giam-lo menengok ke arah gadis itu yang kini sudah
berdiri dengan muka pucat. Iblis itu mendengus, lalu menggumam,
˜Tidak dibunuh buat apa? Dia kurang ajar, berani
mencintai Tuan Puteri, harus dibunuh mati untuk menebus dosanya..!! Setelah
berkata demikian, Hek-giam-lo melangkah lagi menghampiri Bok Liong.
˜Hek-giam-lo, kalau kau membunuhnya, aku tidak sudi ikut
ke Khitan!! Kembali Lin Lin berseru.
˜Hamba dapat memaksa Paduka!!
Karena Hek-giam-lo membacokkan pedangnya dengan sekuat
tenaga. Tubuhnya yang terjepit membuat ia tidak dapat menyerang secara baik,
hanya asal membacok saja. Hek-giam-lo mendengus dan tahu-tahu pedang itu sudah
terlibat oleh ujung lengan baju sebelah kiri, sedangkan tangan kanan iblis itu
sudah bergerek mencengkeram ke arah kepala Bok Liong. Pemuda ini hanya dapat
memandang dengan mata mendelik dan dengan sikap gagah menanti detangnya maut
dengan mata terpentang lebar.
˜Hek-giam-lo, kalau kaubunuh dia, aku akan bunuh diri!!
teriak Lin Lin yang sudah kebingungan sekali melihat Bok Liong terancam bahaya
maut. Pemuda itu datang untuk menolongnya, tak mungkin sekarang ia diam saja
menyaksikan penolongnya terancam kematian yang mengerikan.
Cengkeramen ke arah kepala itu mendadak berubah dan kini
yang dicengkeram adalah baju pada punggung Bok Liong. Sekali sentak tubuh
pemuda itu sudah keluar dari jepitan papan dan sekali mengayun tangan
Hek-giam-lo melemparkan tubuh Bok Liong keluar dari perahu dan
˜byuuurrrrr..!!
Untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika tertimpa
tubuh pemuda itu.
Hanya sebentar Bok Liong tenggelam. Segera ia muncul
lagi, terengah-engah dan menyemburkan air dari dalam mulutnya. Pedang
Goat-kong-kiam masih di tangan kanannya dan dengan mata mendelik marah ia
berenang ke arah perahu sambil memaki.
˜Hek-giam-lo iblis penakut anak-anak! Kalau kau tidak
membebaskan Lin-moi, akan mengadu jiwa denganmu!!
Melihat kenekatan pemuda yang keras kepala ini, Lin Lin
bingung dan kaget sekali. Cepat ia berlari ke pinggir perahu dan berseru,
˜Liong-twako, jangan ke sini lagi! Kau pergilah, sia-sia
melawan dia!!
˜Lin-moi, tidak bisa aku meninggalkan kau tertawan iblis
itu. Kalau perlu aku akan mengadu jiwa, apa artinya kematian? Hidup pun tidak
akan berguna bagiku kalau kau mengalami bencana!! Penuh semangat pemuda ini
menjawab. Jawaban yang sekaligus menyatakan cinta kasihnya terhadap gadis itu!
Merah seketika wajah Lin Lin dan sejenak ia terharu.
Pemuda ini benar-benar hebat, gagah perkasa dari cinta
kasihnya terhadap dirinya sudah cukup teruji. Berkali-kali pemuda ini
menolongnya dari bencana tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri.
˜Jangan, Twako,! katanya, suaranya agak gemetar. ˜Kau
pergilah, aku tidak apa-apa, percayalah. Kelak kita dapat bertemu kembali. Aku
minta dengan sangat, jangan kau kembali ke perahu!!
Bok Liong meragu, akan tetapi mendengar suara yang
gemetar itu dan melihat wajah Lin Lin yang ketakutan mengkhawatirkan keadaan
dan keselamatan dirinya, diam- diam ia merasa bahagia sekali.
˜Baiklah, Lin-moi, asal kau selamat, aku menurut segala
kehendakmu. Tapi, aku akan selalu membayangimu. Awas mereka yang berani
mengganggu, aku pasti akan menjungkir balikkan bumi langit untuk mengadu jiwa!!
Setelah berkata demikian, pemuda itu berenang ke pinggir. Setelah mendarat,
barulah ia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua dan ia menggigil
kedinginan. Akan tetapi melihat perahu itu meluncur maju menurutkan aliran
sungai, ia pun cepat-cepat mengikuti dari tepi sungai. Pemuda ini sudah
mengambil keputusan untuk terus mengikuti jejak Lin Lin yang menjadi tawanan
orang-orang Khitan. Ia bersikeras untuk membayangi terus, biarpun ia harus
berjalan sampai ke Khitan, atau kalau perlu, ia akan terus membayangi sampai ke
neraka!
Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan ini. Yang
dibayangi naik perahu, karena perahu itu menurutkan aliran air, maka tidak
pernah berhenti. Bok Liong harus mengikuti terus siang malam, dan ia harus
menyaksikan dengan tubuh letih betapa para penumpang perahu enak-enakan duduk
melengggut, atau harus menyaksikan dengan perut lapar betapa para penumpang
perahu makan minum di atas dek.
Adapun Lin Lin selalu berada di dalam bilik perahu. Hanya
kadang-kadang saja gadis itu keluar dan dengan hati pedih melihat bayangan Bok
Liong bergerak di tepi sungai. Hatinya makin terharu dan kasihan melihat pemuda
itu, bukan hanya karena kesetiaan dan cinta kasih pemuda itu, melainkan
terutama sekali kasihan karena hatinya sendiri tidak akan dapat membalas cinta
kasih Bok Liong. Hatinya sendiri, sudah tersangkut oleh.. sebuah suling yang
terbuat daripada emas!
Kita tinggalkan dulu Lie Bok Liong yang dengan sengsara
membayangi jejak orang-orang Khitan yang menawan Lin Lin sebagai seorang
tawanan terhormat karena gadis ini, biarpun hakekatnya amat dibenci oleh
Hek-giam-lo, namun sesungguhnya adalah calon ratu yang akan diperisteri oleh
Kaisar Khitan. Mari kita mengikuti perjalanan Suling Emas bersama dua orang
adiknya, Sian Eng dan Bu Sin.
˜Twako, kenapa kau tadi tidak mencegah Lin-moi dibawa pergi
orang-orang Khitan? Bagaimana kalau sampai dia mengalami celaka?! Di tengah
perjalanan Sian Eng menegur Suling Emas.
Suling Emas diam saja, hanya menarik napas panjang.
Mereka bertiga berjalan seenaknya, Suling Emas sebagai petunjuk jalan di depan,
di belakangnya berjalan Sian Eng dan Bu Sin berjalan di belakang.
˜Eng-moi, bagaimana kau bisa menegur Twako seperti itu?
Kau tahu sendiri betapa peristiwa hebat susul-menyusul yang menyedihkan hati
Twako,! kata Bu Sin. Terang bahwa Suling Emas menghadapi hal-hal hebat,
pertemuan dengan ibunya yang ternyata seorang iblis betina, kemudian
kejadian-kejadian berikutnya yang hebat. Tentu saja Suling Emas kurang
memperhatikan keadaan Lin Lin.
˜Kalian tidak usah khawatir. Lin Lin berada di tangan
suku bangsanya sendiri, takkan diganggu. Melihat gelagatnya, apalagi mengingat
akan pengalaman Adik Sian Eng ketika diculik orang-orang Khitan, agaknya Lin
Lin adalah Puteri Khitan yang dahulu dipungut ayah kita. Betapapun juga, kita
akan pergi ke Khitan, merampas kembali tongkat Beng-kauw, sekalian mencari Lin
Lin. Menurut pendapatku, sebaiknya kalian pulang dulu ke Cin-ling-san, biar aku
mencari Lin Lin, kalau sudah jumpa, akan kuajak dia menyusul ke Cin-ling-san,
tentu saja kalau dia mau.!
˜Kalau ia mau? Apa maksudmu, Twako?! tanya Sian Eng
heran.
˜Bukankah dia itu Puteri Khitan? Kalau dia sudah kembali
kepada bangsanya dan merasa berhak berada di sana dan tidak mau kembali ke
Cin-ling-san, tentu saja kita tidak dapat memaksanya bukan?!
˜Aku ikut, Twako. Aku akan membujuknya! Tidak boleh dia
tinggal bersama suku bangsa liar itu!! seru Sian Eng yang sudah pernah dibawa
kepada suku bangsa Khitan itu.
˜Betul, Twako. Aku dan Eng-moi akan ikut, sekalian untuk
meluaskan pengalaman.!
Kembali Suling Emas menarik napas panjang. Baru saja
kedua orang adiknya ini mengetahui rahasia bahwa dia sebenarnya adalah Kam Bu
Song, dan baru saja mereka berkumpul. Tidak tegalah hatinya untuk mengusir
mereka.
˜Baiklah, akan tetapi perjalanan amat sukar dan jauh.
Pula aku menghadapi banyak rintangan. Setelah keadaanku diketahui semua tokoh
kang-ouw, bahwa mendiang Tok-siauw-kui adalah ibuku, agaknya perjalananku tidak
akan aman lagi.!
˜Mengapa, Twako?!
Suling Emas menarik napas panjang, lalu berkata dengan
suara mengeluh.
˜Mendiang ibuku.. ah tak perlu dibicarakan lagi.! Ia
tidak melanjutkan kata-katanya dan ketika Sian Eng hendak bertanya dari
belakang Bu Sin menyentuh lengannya dan memberi tanda supaya adiknya ini tidak
banyak bertanya.
˜Orang-orang Khitan itu tentu berangkat ke utara melalui
jalan sungai. Satu-satunya jalan tercepat ke utara hanya melalui Sungai
Kan-kiang. Mereka sudah menang dulu tiga hari. Aku tahu jalan tercepat menuju
ke Kan-kiang, melalui anak Bukit Pek-kee-san (Bukit Ayam Putih). Akan tetapi
perjalanannya amat sukar dan jalan turunnya sebelah sana hanya dapat ditempuh
melalui sebuah jurang. Jurang ini tidak lebar, hanya sepuluh tombak lebih (dua
puluh meter kurang lebih), akan tetapi amat dalam. Dahulu aku memasang sehelai
tambang untuk penyeberangan di atas jurang itu. Mari kita melalui jalan itu
agar dapat melakukan perjalanan cepat.!
Dua orang adiknya menurut dan mulailah mereka mendaki
Bukit Pek-kee-san. Memang betul seperti yang dikatakan Suling Emas, perjalanan
ini amat sukar. Bukit itu tidak terlalu tinggi, akan tetapi jalan pendakiannya
melalui daerah yang sukar sekali. Mereka harus melompati banyak jurang-jurang
kecil, melalui daerah batu karang yang tandus dan panas, dengan jalan penuh
batu-batu kecil yang bergerak-gerak kalau diinjak, melalui jalan yang licin dan
berbahaya. Akan tetapi, karena mereka bertiga adalah orang-orang muda yang
berilmu tinggi, maka mereka dapat melakukan perjalanan cepat. Hanya Sian Eng
yang kadang-kadang harus berpegang pada lengan Suling Emas, karena di antara mereka,
hanya Sian Eng yang paling rendah tingkat kepandaiannya. Bu Sin telah
mendapatkan kemajuan hebat sekali semenjak ia digembleng oleh kakek sakti di
air terjun.
Matahari telah condong ke barat ketika mereka bertiga
tiba di tepi jurang yang dimaksudkan, jurang satu-satunya yang akan membawa
mereka ke tepi Sungai Kan-kiang setelah mereka berhasil menyeberanginya dan
tiba di bukit kecil di seberang. Ngeri keadaan di situ, karena tepi jurang itu
membuka lubang menganga seakan-akan tak berdasar di bawah kaki mereka. Akan
tetapi bukan hal inilah yang membuat Sian Eng memandang dengan muka pucat dan
membuat Bu Sin tertegun. Bahkan Suling Emas sendiri mengerutkan keningnya dan
mengeluarkan suara seperti kutukan di dalam tenggorokannya.
Memang tambang besar dan kuat itu masih melintang di atas
jurang, menjadi sehelai jembatan yang luar biasa. Akan tetapi ˜jembatan! ini
tidak kosong! Di tengahnya, antara lima tombak dari tepi, tampak seorang kakek
tinggi kurus gundul dan buruk menyeramkan berdiri di atas kepalanya di atas
tambang! Posisi yang amat sukar dan luar biasa. Bukanlah mudah untuk ˜berdiri!
jungkir-balik dengan kepala di atas tambang, kedua lengan bersedakap dan kedua
kaki menjulang ke atas, dan lagi kalau tambang itu melintang di atas jurang
yang dalamnya ratusan meter! Tapi kakek itu tampak enak-enak saja melenggut,
meram melek dan dari mulutnya yang terbuka dan kelihatan gigi kecil-kecil
ompong itu keluar dengkur yang keras.
˜Hemmm, tak kusangka gangguan dimulai sepagi ini!! gumam
Suling Emas dan dengan kaki kirinya ia menginjak tambang di tepi jurang, lalu
bentaknya keras.
˜Lo-tong (Anak Tua)! Apakah kehendakmu menghadang aku di
sini dan menjual kepandaian secara tengik begini? Hayo pergi, kalau tidak,
jangan salahkan aku kalau aku menendang tubuhmu yang reyot itu ke dasar
jurang!!
Bu Sin dan Sian Eng berdiri di belakang Suling Emas dan
memandang penuh kengerian. Kalau terjadi pertandingan di atas tambang antara
Suling Emas dan kakek yang bukan lain adaleh Tok-sim Lo-tong, seorang di antara
Enam Iblis itu, alangkah mengerikan! Mereka maklum dan percaya penuh akan
kesaktian kakak mereka, akan tetapi pertandingan dilakukan di atas tambang yang
melintang di atas jurang seperti itu, benar-benar amatlah berbahaya, baik bagi
yang kalah maupun bagi yang menang. Sekali saja keseimbangan badan kacau, atau
sekali saja kaki terpeleset dan jatuh, jangan harap akan dapat menyelamatkan
nyawa, kecuali kalau orang itu mempunyai sayap seperti burung!
˜Heh-heh, Kim-siauw-en, kiranya kau anak dari si wanita
cabul Tok-siauw-kui, heh-heh-heh!!
Merah wajah Suling Emas. Begitu cepatnya cerita itu
tersiar, pikirnya.
˜Tok-sim Lo-tong tak perlu kau bersusah payah membakar
hatiku. Kalau kau berniat menantangku, mari kulayani kau. Untuk apa bertingkah
seperti anak-anak padahal kau sudah tua bangka begini?!
˜Heh-heh, berani kau melawanku? Di atas tambang ini?!
˜Takut apa?! Suling Emas meloncat ke atas tambang dengan
gerakan seringan burung walet, lalu menoleh dan berkata kepada kedua orang
adiknya,
˜Jangan kalian menyeberang sebelum aku beri isyarat dari
sana.!
Sehabis memberi peringatan kepada adik-adiknya Suling
Emas melangkah maju sambil mengeluarkan senjatanya, yaitu sulingnya. Ia maklum
bahwa biarpun kelihatan seperti orang tolol, kekanak-kanakan, namun Tok-sim
Lo-tong adalah seorang sakti dan jahat sehingga ia dianggap cukup berharga
untuk menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Maka ia tidak berani
memandang rendah dan sengaja ia mengeluarkan sulingnya.
˜Heh-heh-heh!! Tok-sim Lo-tong terkekeh dan tubuhnya
bergerak seperti baling-baling berputaran beberapa kali di udara lalu tahu-tahu
ia telah berdiri di atas tambang. Hebat sekali demonstrasinya ini, seakan-akan
tambang itu merupakan tanah keras biasa baginya. Begitu kedua kakinya yang telanjang
itu menginjak tambang, ia lalu lari ke tengah dan tiba-tiba tubuhnya
bergoyang-goyang ke kanan kiri. Jari-jari kakinya mencengkeram tambang dan
guncangan-guncangan yang dibuat pada tambang itu membuat tubuh Suling Emas
bergoyang-goyang pula, makin lama makin hebat sampai tubuh pendekar ini menjadi
miring ke kanan kiri.
Bu Sin dan Sian Eng memandang pucat. Kakek sinting itu
berbahaya sekali dan karena kedua kakinya telanjang, tentu saja ia lebih
leluasa ˜main-main! di atas tambang daripada Suling Emas yang memakai sepatu
kulit dengan sol dipasangi baja, Suling Emas dengan sepatunya itu lebih mudah
terpeleset, tidak seperti lawannya yang dapat mencengkeram tambang dengan
jari-jari kakinya!
˜Heh-heh-heh, terjunlah.. terjunlah.. heh-heh!! Tok-sim
Lo-tong terkekeh-kekeh dan guncangannya pada tambang itu makin menghebat
sehingga agaknya tak lama lagi Suling Emas takkan dapat menahan dirinya.
Namun Suling Emas bukanlah pendekar sembarangan saja.
Biarpun usianya belum tua, namun ia seorang yang selain memiliki kesaktian
tinggi juga ia cerdik sekali di samping wataknya yang tenang dan waspada.
Menghadapi akal lawan ini, ia berlaku tenang dan tidak gentar sedikit pun juga.
Dengan ilmu lwee-kangnya ia dapat membuat kedua kakinya seakan-akan lengket
pada tambang dan biarpun tubuhnya tergucang-guncang dan miring ke kanan kiri
sampai hampir roboh, namun ia sama sekali tidak dapat terjatuh dari atas
tambang.
˜Tua bangka curang, cukup permainanmu ini!! tiba-tiba
Suling Emas berseru dan tubuhnya melayang ke atas, kedua kakinya terlepas dari
tambang! Hampir Sian Eng berteriak karena hal ini benar-benar berbahaya.
Betapapun saktinya, Suling Emas tidak dapat terbang, bagaimana begitu sembrono
berani melepaskan tambang? Tubuhnya tentu akan turun lagi dan bagaimana kalau ia
tidak dapat menginjak tambang lagi?
˜Heh-heh-heh, kau cari mampus!! teriak Tok-sim Lo-tong
dengan girang karena ia melihat kesempatan baik. Guncangan pada tambangnya
makin hebat, dan ia rasa tentu kali ini Suling Emas tidak akan mampu turun lagi
di atas tambang. Akan tetapi mendadak ia berseru keras dan melompat ke
belakang, berjungkir balik dan seperti baling-baling ia berloncatan terus ke
belakang karena sinar yang terang menyambar-nyambar bagaikan patuk burung
garuda, mengarah jalan darah paling penting di tubuhnya. Sekali saja ia terkena
totokan ujung suling, tentu ia akan menjadi lumpuh dan akibatnya dialah yang
akan jatuh ke bawah.
Karena Tok-sim Lo-tong sibuk mengelak inilah maka tambang
tidak terguncang-guncang lagi dan tentu saja hal ini sudah diperhitungkan oleh
Suling Emas yang dengan mudahnya dapat turun lagi di atas tambang. Kini dialah
yang menyerang, terus mendesak lawan dengan sulingnya sehingga kakek gundul itu
berseru-seru marah, akan tetapi terpaksa mundur terus sambil berjungkir balik
makin lama mendekati tepi seberang jurang.
Mendadak Tok-sim Lo-tong memekik dan tubuhnya melayang
tinggi dan cepat, tahu-tahu ia sudah berada di seberang dan kedua tangannya
yang kurus itu telah mengangkat sebuah batu karang sebesar kerbau, lalu
dilontarkannya batu karang itu ke arah Suling Emas yang masih berada di atas
tambang! Serangan hebat dan berbahaya sekali dan sekaligus menyatakan bahwa
kakek kurus kering itu benar-benar luar biasa karena dengan mudahnya dapat
mengangkat dan melontarkan batu karang yang demikian besarnya.
Namun Suling Emas tidak menjadi gentar atau gugup. Ia
merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok, sulingnya berkelebat dan
berhasil menotol dan mendorong batu itu dari bawah. Luncuran batu itu
menyeleweng lewat di atas kepalanya, lalu meluncur ke bawah. Sampai lama
barulah terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah bawah, akan tetapi Suling Emas
sama sekali tidak mempedulikannya, tidak melihat sedikit pun ke bawah,
melainkan waspada memandang ke arah lawan sambil melangkah maju.
Di seberang lain, Sian Eng meramkan mata saking ngerinya,
juga Bu Sin merasa ngeri sekali. Mereka melihat betapa batu karang sebesar
kerbau itu menimpa batu-batu di bawah dan hancur berkeping-keping. Dapat
dibayangkan betapa tubuh manusia akan hancur lebur kalau terjatuh dari tempat
setinggi ini.
Tok-sim Lo-tong agaknya menjadi marah dan penasaran
sekali. Sambil meringkik aneh ia menubruk ke arah tambang, agaknya bermaksud
memutus tambang itu. Suling Emas dapat menduga niat jahat ini, maka sekali
melompat ia telah berada di tepi dan sulingnya berkelebat merupakan sinar
terang menusuk ubun-ubun kepala Tok-sim Lo-tong. Terpaksa iblis ini tidak
melanjutkan niat jahatnya, sebaliknya ia menggulingkan tubuhnya ke belakang.
Sambil bergulingan ini, kedua tangannya tiada hentinya bergerak dan batu-batu
besar kecil berhamburan menyambar ke arah Suling Emas bagaikan hujan derasnya.
Hebat memang iblis itu.
Sukar dikatakan apakah gerakannya bergulingan itu gerakan
mengelak ataukah menyerang, sifatnya mengandung kedua-duanya. Ia bergulingan
untuk mengelak dari suling lawan, namun ia pun bergulingan sambil menyerang.
Serangan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena semua batu itu
besar kecil menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh, bukan sambaran sembarang
sambar! Suling Emas sibuk memutar sulingnya menangkis, malah mengeluarkan
kipasnya dan senjata ke dua ini banyak berjasa mengebut runtuh batu-batu kecil.
Biarpun serangan itu hebat, namun Suling Emas masih sempat berseru ke sebelah
belakangnya.
˜Kalian menyeberanglah!!
Bu Sin dan Sian Eng mendengar seruan yang nyaring luar
biasa ini. Mereka lalu mendekati jembatan tambang.
˜Kau menyeberang dulu, Eng-moi, biar aku di belakangmu,!
kata Bu Sin.
Menyeberang tambang seperti itu bukanlah hal yang terlalu
sukar bagi Sian Eng. Hanya tempat dan keadaannyalah yang terlalu mengerikan
sehingga jantungnya berdebar tegang, wajahnya agak pucat dan rasa takut
menyelubungi hatinya. Melihat betapa kedua kaki adiknya agak menggigil, Bu Sin
menyentuh pundaknya dan berkata.
˜Jangan takut, adikku. Tidak apa-apa, tambangnya begini
besar dan kuat, jaraknya tidak jauh, apa sukarnya? Asal kau jangan memandang ke
bawah.!
Sian Eng mengangguk, lalu melangkah maju ke atas tambang,
diikuti kakaknya. Dua orang muda ini melangkah hati-hati sekali, mengembangkan
kedua lengan ke kanan kiri untuk mengatur keseimbangan tubuh.
Ketika mereka tiba di tengah-tengah ˜jembatan!, mendadak
terdengar suara orang tertawa di sebelah belakang mereka. Bu Sin dan Sian Eng
kaget, cepat menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat dua orang
laki-laki memegang golok, datang tertawa-tawa sambil menggerakkan golok hendak
membabat tambang yang mereka injak!
˜Twako.. tolong..!! Hampir berbareng Bu Sin dan Sian Eng
berteriak, akan tetapi hampir putus asa karena pada saat itu Suling Emas masih
bertempur seru menghadapi Tok-sim Lo-tong.
Dua batang golok yang tajam menyambar ke arah tambang dan
agaknya dalam detik-detik berikutnya tubuh Bu Sin dan Sian Eng akan terbanting
hancur lebur di dasar jurang kalau saja pada saat itu tidak terjadi hal yang
hebat. Suling Emas mendengar teriakan adik-adiknya, cepat menengok dan berseru
keras, tangan kirinya yang memegang kipas menyambar ke bawah dan di lain detik,
dua buah batu kecil telah dilontarkan oleh kipas itu, bagaikan dua butir peluru
saja. Menyambarnya dua buah batu kecil itu sama sekali tidak kelihatan saking
cepatnya.
Tahu-tahu dua orang pemegang golok itu memekik ngeri,
mereka terguling roboh dan karena mereka berdiri di tepi jurang, tubuh mereka
tak dapat dicegah lagi menggelinding turun dan melayang ke bawah. Hanya
terdengar raung mengerikan ketika dua tubuh itu melayang-layang, kemudian
sunyi, bahkan terbantingnya tubuh itu ke atas batu-batu runcing di sebelah
bawah tidak terdengar sampai ke atas, saking tingginya tempat itu.
Sejenak Sian Eng meramkan mata dan tubuhnya
bergoyang-goyang. Ia merasa ngeri dan tegang, kedua kakinya menggigil dan
hampir pingsan. Untung baginya, Bu Sin lebih tabah hatinya. Pemuda ini cepat
melangkah maju dan menangkap lengan adiknya ketika melihat gadis itu
bergoyang-goyang dan tidak dapat bergerak maju.
˜Eng-moi, bahaya telah lewat, hayo cepat menyeberang!!
katanya sambil mengguncangkan dan mendorong. Sian Eng sadar kembali, mengeluh
lirih lalu melangkah kecil menyeberangi tambang yang tinggal beberapa meter
jauhnya itu. Setelah berhasil mencapai tepi penyeberangan luar biasa ini, Bu
Sin dan Sian Eng mendapat kenyataan bahwa bukit di seberang sini jauh bedanya
dengan bukit di seberang sana. Bukit ini subur, indah dan menyenangkan sekali.
Dari atas tampak di lereng gunung itu air sungai bening berkilauan. Itulah
Sungai Kan-kiang.
Tentu saja mereka hanya dapat memandang tamasya alam ini
sepintas lalu saja karena perhatian mereka segera tertuju ke arah Suling Emas
yang masih bertempur melawan Tok-sim Lo-tong. Mereka berdua maklum bahwa dengan
tingkat kepandaian mereka, membantu Suling Emas berarti malah mengacaukan
gerakan-gerakannya, maka mereka hanya memandang dengan kagum dan juga cemas.
Kakek tinggi kurus itu ternyata lihai bukan main. Ia
menghadapi Suling Emas hanya bertangan kosong saja, akan tetapi ternyata segala
sesuatu yang berada di dekatnya merupakan senjatanya! Batu-batu besar kecil,
ranting-ranting dan dahan, kadang-kadang malah pohon-pohon yang cukup besar
dicabutnya dan dimainkan sebagai senjata! Memang demikianlah keadaan kedua
saudara Tok-sim Lo-tong dan suhengnya, Toat-beng Koai-jin.