Bab 21
Bong Gan memang benar
tidak berani memandang rendah. Dia tahu bahwa lawannya ini hebat dan lihai
sekali, maka diapun cepat menggerakkan tongkatnya dan memainkan Ta-kwi
Tung-hoat yang merupakan ilmu inti yang diajarkan oleh Koay Tojin kepada dua
orang muridnya. Dan begitu ada tongkgt di tangannya dan setelah memainkan
tongkat itu dangan ilmu Ta-kwi Tung-hoat, Bong Gan memang menjadi lihai sekali.
Tongkatnya itu bagikan seekor naga bermain di angkasa, berkelebatan dan
manyambar-nyambar dengan ganasnya.
Pek Lan telah digembleng oleh
Hek-in Kui-bo, seorang datuk sesat yang berilmu tinggi. Namun, tingkat nenek
itu masih kalah dibandingkan tingkat Koay Tojin, maka ilmu yang telah diserap
oleh Bong Gan juga lebih tinggi tingkatnya dibandingkan ilmu yang dikuasai Pek
Lan. Kalau Pek Lan menggunakan kecurangan seperti yang diajarkan oleh gurunya,
menggunakan senjata rahasia beracun dan sebagainya, baru mungkin ia dapat
mengimbangi kelihaian Bong Gan. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin
melukai Bong Gan apalagi membunuhnya. In sudah menjadi semakin tertarik kepada
pemuda tampan dan gagah, juga berkepandaian tinggi. Sungguh seorang kawan dan
rekan yang akan amat menyenangkan hati sebagai selingan kebosanannya harus
melayani Thai-yang Suhu saja!
Bong Gan juga kagum. Ilmu
pedang yang dimainkan gadis itu harus diakuinya amat hebat sehingga andaikata
dia tidak menggunakan tongkat, tentu dia akan kalah. Bahkan dangan
tongkatnyapun, dengan ilmu tongkatnya, dia hanya dapat mengimbangi permainan
pedang, mampu melindungi diri dan juga membalas dengan sama dahsyatnya.
Pertandingan itu berjalan seru di bawah sinar bulan sepotong dan diam-diam
keduanya merasa saling tertarik dan kagum. Kemudian Bong Gan mengeluarkan
seruan keras dan dia menggunakan jurus Menghitung Tulang Iga. Ujung tongkatnya
itu bagaikan berubah menjadi banyak dan menusuk-nusuk ke arah dada lawan,
seperti hendak mematahkan setiap tulang iga di dada itu!
Pek Lan terkejut bukan
main. Ia sudah berusaha memutar pedangnya menangkis, namun ujung tongkat itu
seperti hendak menyentuh dan menotok kedua payudaranya. Memang ia berhasil
melindungi diri dengan sinar pedangnya sehingga ujung tongkat tidak sampai
menyentuhnya, namun angin pukulan tongkat itu tetap menyambar-nyambar dan
seperti jari tangan yang meraba-raba dadanya! Sejak tadi ia memang sudah kagum
bukan main dan kini gairah berahinya bangkit, menyala dan barkobar. Sambil
mengeluarkan suara melengking panjang, Pek Lan menggerakkan pedangnya menangkis
tongkat dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk menempel. Pedang bertemu tongkat
dan melekat! Pek Lan menggunakan tangan kirinya untuk mendorong ke arah dada
lawan, akan tetapi pada saat itu, Bong Gan juga melepaskan tangan kanannya,
memegang tongkat hanya dengan tangan kiri dan tangan kanan itu menyambut
dorongan tangan kiri Pek Lan.
‘Plakkk!! Dua buah
tangan dengan jari terbuka itu bertemu dan saling melekat pula, seperti pedang
dan tongkat! Mereka tak bergerak, saling pandang dalam jarak hanya satu meter
lebih sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing cukup jelas.
Bong Gan tersenyum.
‘Nona, engkau sungguh cantik jelita....!
Pek Lan juga tersenyum.
‘Dan engkau perayu besar!!
‘Tidak, nona. Aku bicara
sejujurnya. Engkau memang cantik jelita dan manis sekali, dan ilmu kepandaianmu
hebat, aku tergila-gila kepadamu, aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu,
melainkan ingin bercinta denganmu, ingin mencium mulutmu yang manis itu....!
Senyum Pek Lan melebar.
Gairah berahinya sudah berkobar membakar seluruh dirinya karena sikap dan
ucapan Bong Gan bagaikan minyak bakar disiramkan pada api nafsu berahinya. Ia
menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang digelung itu terlepas dan rambut yang
panjang itu menyambar ke depan, melingkari leher Bong Gan. Ia menarik dan muka
pemuda itu mendekat. Ketika dua mulut itu berternu dalam ciuman yang penuh
nafsu, pedang dan tongkat jatuh dan dua pasang lengan itu saling dekap,
keduanya terguling ke atas rumput!
Mereka bagaikan dua orang
yang mabok, mabok oleh nafsu berahi mereka sendiri. Kedua orang ini memang
cocok, keduanya mempunyai kelemahan yang sama, yaitu menjadi hamba nafsu
berahi. Mereka saling menumpahkan berahi mereka lewat kemesraan yang panas.
Tiba-tiba, masing-masing terbelalak dan melepaskan rangkulan, bangkit duduk
dengan napas masih terengah-engah dan keringat membasahi dahi dan leher, saling
tatap seperti orang terkejut.
‘Kau.... kau.... Bong
Gan....?!
‘Kau.... Pek Lan....?
Tadinva mereka memang
hanya merasa pernah saling bertemu akan tetapi keduenya sudah saling tidak
mengenal. Hal ini dapat dimaklumi, karena ketika mereka dahulu menjadi kekasih
masing-masing, usia Pek Lan baru tujuh belas tahun dan usia Bong Gan bahkan
baru tiga belas atau empat belas tahun! Kini, Pok Lan telah menjadi seorang
wanita cantik yang matang, sedangkan Bong Gan menjadi seorang pemuda tampan
yang sudah dewasa, bukan lagi remaja setengah kanak-kanak seperti dahulu. Pula,
dahulu keduanya sama sekali tidak dapat bersilat dan kini keduanya telah
menjadi orang yang lihai ilmu silatnya. Akan tetapi, setelah keduanya
bermesraan, barulah mereka saling mengenal dan tentu saja keduanya terkejut
bukan main, terheran, juga marasa girang sekali!
‘Pek Lan, ah kau Pek
Lan, kekasihku....!
‘Bong Gan, betapa aku
rindu kepadamu....!!
Keduanya saling rangkul
dan saling cium lagi, seperti dua orang kekasih yang sudah bertahun-tahun
berpisah kini saling jumpa kembali. Mereka agaknya sudah lupa bahwa dalam
pertemuan terakhir dahulu mereka saling serang dengan penuh kemarahan dan
dendam, saling menyalahkan karena keduanya terpakea harus pergi dari rumah
gedung hartawan Coa karena tertangkap basah ketika mereka berdua melakukan
hubungan gelap, berjina!
Kembali mereka tenggelam
dalam gelombang nafsu berahi. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lan menahan dada Bong
Gan yang menggelutinya, lalu mendorong pemuda itu sehingga keduanya kembali
bangkit duduk.
‘Ada apakah, Pek Lan,
kekasihku? ‘Aku.... amat rindu kepadamu....! Bong Gan berbisik,
terengah-engah.
‘Nanti dulu, aku melihat
engkau bersama gadis cantik itu. Isterimukah ia?! tanya Pek Lan, bukan karena
cemburu hanya ingin tahu saja.
Bong Gan tersenymn lega.
Disangkanya mengapa Pek Lan menghentikan perbukan. Ia bernama Yauw Bi Sian dan
ia adalah kakak seperguruanku.!
‘Suci-mu? Hemm, kalau
begitu ia tentu lihai sekali.!
‘Sudahlah, kenapa
membicarakan orang lain? Engkau mengganggu saja....!! Bong Gan merangkul dan
kembali mereka tenggelam ke dalam lautan kemsaraan yang penuh nafsu berahi.
Semalam suntuk, dua orang
ini membiarkan diri mareka dipermainkan gelombang berahi. Mereka lupa diri,
lupa susila dan lupa sagalanya, karena yang terasa hanyalah gairah nafsu yang
tak terkendalikan, nafsu yang menuntut pemuasan namun yang tak mengenal puas.
Dan setiap kali mereka mendapat waktu luang untuk istirahat, mereka
bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka
berpisah.
‘Sungguh aneh keadaan
kita ini, Pek Lan,! kata Bong Gan sambil membelai rambut kekasihnya dalam
rangkulan. ‘Dahulu, ketika aku masih remaja, kita sudah saling jatuh cinta,
kita bermain cinta. Kemudian, ketika kita terusir keluar dari rumah keluarga
Coa, kita saling serang sampai engkau diambil murid Hek-in Kui-bo seperti yang
kauceritakan tadi, dan aku menjadi murid Koay Tojin. Kemudian, begitu bertem,
kita saling tertarik lagi tanpa saling mengenal, kemudian kita bertanding lagi,
sebelum saling bermain cinta.!
‘Engkau memang sudah
kucinta sejak dulu, Bong Gan,! kata Pek Lan sambil mencium dagu pemuda itu.
‘Dan engkau sampai tiba di Lasha ada keperluan apakah?!
‘Aku diminta suci-ku
untuk membantunya mencari musuh besarnya.!
‘Hemm, siapakah musuh
besarnya?!
‘Dia bernama Sie Liong
dan berjuluk Pendekar Bongkok.!
Pek Lan melepaskan
rangkulannya, bahkan bangkit duduk seperti orang terkejut.
‘Pendekar Bongkok?
Dia....?!
Kalau gairah nafsu sudah
terpuaskan dan mulai menipis, maka apa yang tadinya nampak amat indah menjadi
berubah. Bong Gan tidak begitu merasakan bentuk tubuh Pek Lan yang bermandikan
sinar bulan itu, tidak seindah tadi. Apalagi yang menjadi bahan percakapan kini
menarik hatinya.
‘Engkau sudah mengenal
dia, Pek Lan?!
‘Mengenalnya....?! Pek
Lan tersenyum getir. Tentu saja ia sudah mengenal Pendekar Bongkok, mengenalnya
dengan cara yang paling pahit. ‘Aku pernah bertemu dengan dia. Dia.... hemm,
lihai bukan main. Jadi Pendekar Bongkok itu musuh besar suci-mu?!
‘Ya, musuh besar akan
tetapi juga pamannya, adik ibu kandungnya.!
‘Ehh? Ceritakan
kepadaku, mengapa begitu, Bong Gan,! kata Pek Lan dan karena hawa mulai dingin
menjelang subuh itu, ia menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, meskipun belum ia
pakai sebagaimana mestinya.
Bong Gan juga mulai
mengenakan kembali pakaiannya. Dia tidak begitu bargairah lagi setelah semua
nafsu yang bergelora disalurkan dan terpuaskan. Dia mulai teringat akan hal-hal
lain seperti Bi Sian dan perjalanan mereka ke Lasha.
‘Suci adalah keponakan
Pendekar Bongkok karena Sie Liong itu adik kandung ibunya....!
‘Tapi Pendekar Bongkok
itu masih amat muda!!
‘Memang selisih usia
mereka tidak banyak. Pendekar Bongkok adalah murid Himalaya Sam Lojin dan Pek
Sim Sian-su, yaitu subeng dari guruku, Koay Tojin. Pada suatu hari, Pendekar
Bongkok telah.... eh, dia membunuh ayah kandung suci. Karena itu, suci
mendendam dan mencari Pendekar Bongkok, pamannya itu. Karena tahu akan
kelihaian pamannya, maka dia minta bantuanku dan kami berdua mengikuti jejak
Pendekar Bongkok sampai ke Lasha.!
‘Hemm, kalau begitu,
kita mempunyai kepentingan yang sama. Akupun dimusuhi Pendekar Bongkok dan dia
kami anggap sebagai musuh. Kalau engkau suka bergabung dengan kami, Bong Gan,
tentu keadaan kita akan lebih kuat. Apalagi, setelah kini saling bertemu, aku
tidak ingin berpisah lagi denganmu. Entah bagaimana dengan engkau!!
Song Gan mendekat dan
mencium pipi wanita itu. ‘Engkau tahu perasaanku terhadapmu, Pek Lan, dan
engkau tahu tidak ada kesenangan lebih besar bagiku melebihi kesenangan bekerja
sama denganmu dan selalu berada di dekatmu. Akan tetapi, bagaimana dangan suci?
Kalau ia marah kepadaku dan menentang kita, ia akan menjadi penghalang besar
dan menambah musuh yang amat berbahaya bagi kita.!
‘Kenapa menjadi musuh?
Bukankah ia memusuhi Pandekar Bongkok? Ajak saja ia bergabung dangan kami.
Thai-yang Suhu, guruku dalam ilmu sihir itu tentu akan suka pula bergabung
dangan kalian.!
‘Maksudmu pendeta yang
kulihat bersamamu di rumah makan itu?! Baru sekarang Bong Gan teringat akan
pendeta itu. ‘Jadi dia itu gurumu yang baru?!
‘Dia sahabat subo Hek-in
Kui-bo dan kini mengajarkan ilmu sihir kepadaku, menjadi guruku pula.!
‘Dan kalian hendak pergi
ke manakah? Mengapa sampai pula di Lasha?!
‘Kami hendak pergi
menghadap Kim Sim Lama, ketua Kim-sim-pai....!
‘Ah! Sie Liong Si
Pendekar Bongkok juga ke sana!!
‘Akan tetapi dia sebagai
lawan Kim-sim-pai, sedangkan kami datang sebagai sababat. Guruku, Thai-yang
Suhu, adalah seorang sahabat Kim Sim Lama dan kami datang untuk menggabungkan
diri dengan Kim-sim-pai yang mempunyai cita-cita besar.!
‘Cita-cita bagaimana?!
Bong Gan mulai tertarik.
‘Menggulingkan Dalai
Lama dan menjadi penguasa seluruh Tibet!!
‘Wah, pemberontakan? Apa
hubungannya itu dengan kita? Aku tidak mau menjadi pemberontak di negeri
asing!!
‘Bong Gan, engkau bodoh.
Kaukira akupun suka membantu pemberontakan orang Tibet? Kita bukan ikut
memberontak, melainkan membantu Kim-sim-pai mencapai cita-citanya. Kalau mereka
berhasil, kita tinggal pilih. Kedudukan tinggi dan kekuasaan di Tibet, atau
kita dapat pulang ke timur membawa kekayaan yang amat besar. Di sini tempat
harta yang amat banyak, emas permata, dan benda-benda aneh yang tak ternilai
harganya.!
Bong Gan mengerutkan
alisnya. ‘Jadi engkau dan Thai-yang Suhu hendak bersekutu dengan Kim-sim-pai,
membantu pemberontakan mereka untuk mencari kedudukan tinggi atau harta benda?!
‘Tentu saja, untuk apa
lagi kalau bukan mencari keuntungan? Apa artinya hidup ini kalau tidak mencari
keuntungan dan kesenangan?!
Bong Gan
mengangguk-angguk. ‘Hem, aku tertarik sekali, Pek Lan. Akan tetapi....
bagaimana dengan suci Yauw Bi Sian?!
‘Kau ajak saja ia
bersama kami.!
‘Uh, engkau tidak tahu
bagaimana wataknya! Ia keras hati dan sudah pasti ia tidak akan suka kalau
mendengar kita membantu Kim-sim-pai untuk suatu pemberontakan di Tibet. Ia....
ia.... hemm, condong untuk menentang segala yang dianggapnya jahat.!
‘Hi-hik, kaumaksudkan ia
seorang pandekar wanita?!
Bong Gan mengangguk.
‘Begitulah! Guru kami, Koay Tojin, menentang segala bentuk kejahatan dan....!
‘Dan kau sendiri?!
Bong Gan menyeringai.
‘Aku lebih suka mencari kesenangan dan keuntungan seperti engkau, Pek Lan.!
‘Kalau begitu,
tinggalkan saja suci-mu yang pura-pura alim itu. Engkau ikut dangan kami
bargabung dengan Kim-sim-pai dan persetan dengan gadis itu!!
‘Ah, tidak bisa begitu,
Pek Lan. Meninggalkan ia begitu saja? Ah, aku.... aku....!
‘Hemmm, aku tahu! Engkau
jatuh cinta kepada suci-mu yang cantik itu, bukan? Dasar mata keranjang kau!!
‘Tidak banyak bedanya
denganmu, Pek Lan.! Bong Gan membalas.
‘Hemm, kalau begitu.
Bujuk dan rayu ia agar suka bergabung dengan kami. Kalau ia begitu lihai, kami
lebih senang lagi dan Kim Sim Lama tentu akan suka menerima bantuannya.!
‘Itulah sukarnya, Pek
Lan. Terus terang saja, pernah aku menyatakan cintaku kepadanya dan ia.... ia
agaknya tidak menolak, akan tetapi dengan tegas mengatakan bahwa aku dilarang
bicara tentang cinta sebelum kami bertemu Pendekar Bongkok dan berhasil
membalas kematian ayahnya. Kalau saja ia suka menerima cintaku sekarang juga....
kalau saja ia dapat menjadi milikku sekarang, tentu akan mudah mengajaknya
bekerja sama denganmu.!
Pek Lan terkekeh genit dan
merangkul leher kekasihnya. ‘Huh, kalau bukan aku yang mendengar ucapanmu
itu, apakah orang tidak akan menjadi gila oleh cemburu? Engkau laki-laki mata
keranjang! Baiklah, jangan khawatir, guruku Thai-yang Suhu tentu akan dapat
membantumu menundukkan suci-mu itu. Akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu
setelah engkau berhasil menundukkan suci-mu, engkau harus mengajaknya untuk
bergabung dengan kami!!
Tentu saja Bong Gan merasa
girang bukan main. ‘Baik, aku berjanji! Dan iapun tentu akan setuju karena
bukankah dengan bekerja mama, akan lebih mudah untuk menghadapi Pendekar
Bongkok?!
‘Dan setiap saat aku
menginginkan engkau harus melayaniku dengan taat!!
Bong Gan tertawa. ‘Tentu
saja, dengan segala senang hati!!
‘Nah, kalau begitu,
sekarang aku menginginkan....!
Keduanya tertawa dan
kembali mereka menyelam ke dalam lautan kemesraan yang panas dan memabokkan.
***
Mereka memasuki kota Lasha
sambil menuntun kuda tunggangan mereka yang nampak lelah sekali. Sie Lan Hong
memandang ke kanan kiri, mengagumi bangunan-bangunan kuno yang kokoh dan megah
di lereng bukit-bukit itu. Sungguh sebuah kota yang aneh dan juga asing
baginya. Melihat daerah yang luas itu, perumahan yang berada di lereng-lereng
bukit, orang-orang yang berlalu lalang di jalan-jalan lebar, iapun mengerutkan
alisnya dan merasa khawatir.
‘Lie-toako, di tempat
besar seperti ini, ke mana kita harus mencari puteriku dan adikku?!
Lie Bouw Tek tersenyum,
dan memandang wanita itu dengan sinar mata lembut dan menghibur. ‘Jangan
khawatir, Hong-moi. Yang kita cari adalah dua orang Han, maka tentu tidak akan
begitu sukar. Tidak banyak orang Han di sini, maka kalau mereka berada di sini,
tentu ada yang melihat mereka.!
‘Sekarang, kita ke mana
toako?!
‘Kita mencari tempat
penginapan dulu, menyewa dua buah kamar, dan membiarkan kuda kita mendapat
perawatan, kemudian kita membersihkan diri, lalu makan. Setelah itu, baru kita
pergi menghadap atau berusaha agar dapat diterima menghadap Dalai Lama.!
‘Menghadap Dalai Lama?
Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa kedudukan Dalai Lama amat tinggi, hampir
seperti kaisar kita, dan tidak akan mudah menghadap beliau.!
‘Benar, akan tetapi aku
yakin akan dapat diterimanya, Hong-moi. Aku mengenal beliau pribadi, karena aku
pernah membantu beliau ketika ada segerombolan penjahat hendak membunuh beliau.!
‘Akan tetapi, adikku Sie
Liong mungkin pergi mencari Tibet Ngo-houw, kenapa engkau hendak mengajak aku
menghadap Dalai Lama?!
‘Begini, Hong-moi. Aku
sendiri menerima tugas dari Kun-lun-pai untuk menyelidiki mengapa Tibet
Ngo-houw memusuhi para tosu, bahkan memusuhi pula Kun-lun-pai. Dan di sepanjang
perjalanan kita mendengar akan adanya perkumpulan Kim-sim-pai yang kabarnya
hendak memberontak. Maka, kupikir sebaiknya kalau aku langsung saja bertanya
kepada Dalai Lama tentang sikap Tibet Ngo-houw itu. Aku yakin di sana aku akan
bisa mendapatkan keterangan yang lebih jelas. Dan tentang mencari adikmu dan
puterimu, kukira orang-orang Dalai Lama akan lebih tahu, atau setidaknya akan
lebih mudah kedua orang itu ditemukan kalau Dalai Lama membantu, menyuruh
orang-orangnya untuk menyelidiki dan mencari.!
Sie Lan Hang
mengangguk-angguk. Memang ia tahu bahwa Lie Bouw Tek adalah seorang pria yang
hebat, yang gagah perkasa, cerdik dan juga berpengalaman. Ia merasa lemah dan
bodoh sekali berada di samping pria ini, dan ia merasa aman dan terlindung.
Alangkah bedanya ketika ia masih menjadi isteri Yauw Sun Kok. Ia tak pernah
merasa tenteram, tak pernah merasa aman bahkan selalu merasa gelisah, takut dan
juga sakit hati. Lie Bouw Tek yang bukan apa-apanya, tidak ada hubungan apapun
antara mereka telah bersikap demikian baiknya!
Begitukah sikap setiap
orang pendekar, ataukah ada sesuatu yang istimewa dalam hubungan di antara
mereka? Mengingat akan hal ini, seringkali Lan Hong tersipu malu. Tidak,
bantahnya kepada diri sendiri. Ia hanya seorang janda yang mempunyai seorang
puteri lagi. Ia bukan seorang gadis muda! Sedangkan Lie Bouw Tek adalah seorang
pendekar gagah perkasa dan budiman, seorang tokoh Kun-lun-pai yang terkenal!
Betapa mungkin.... ah, ia telah mengharapkan terlalu jauh, sungguh tidak tahu
malu!
Lan Hong menurut saja
ketika Lie Bouw Tek mengajaknya mencari rumah penginapan. Mereka menyewa dua
buah kamar yang berdampingan dan menyerahkan dua ekor kuda mereka kepada
pelayan untuk diberi makan. Setelah mandi, dengan tubuh terasa segar dan
pakaian bersih menggantikan pakaian mereka yang penuh debu, keduanya lalu pergi
ke rumah makan. Mereka tidak terlalu menarik perhatian, seperti sepasang suami
isteri saja. Lie Bouw Tek sendiri walaupun dia seorang pendekar besar, namun
dia tidak menonjolkan diri dan pedang pusakanyapun tersembunyi di balik baju
luarnya. Atas nasihat Lie Bouw Tek pula, Sie Lan Hong juga menyembunyikan
pedangnya sehingga tidak terlalu menyolok. Pedang Lan Hong memang hanya pedang
pendek, maka setelah diselipkan di ikat pinggang, ujung sarung pedang masih
tertutup baju, dan gagangnya juga tidak nampak walaupun ada kalanya ujung itu
menonjol keluar.
Setelah makan, merekapun
pada pagi hari itu juga menuju ke istana Dalai Lama di lereng bukit. Suasana di
bukit itu sungguh nyaman. Terdapat beberapa buah taman bunga yang indah, dan
suasananya aman dan tenteram. Para pendeta Lama yang kadang-karang bersimpang
jalan dengan mereka, bersikap hormat dan ramah.
Akan tetapi ketika mereka
tiba di pintu gerbang memasuki daerah istana itu, beberapa orang pendeta Lama
menghadang mereka. Biarpun sikap mereka hormat, namun mereka dengan tegas
mengatakan bahwa orang luar tidak diperkenankan memasuki daerah itu tanpa ijin.
‘Harap kalian memaafkan
kami,! kata kepala jaga dengan sikap hormat. ‘Kalau hendak berjalan-jalan dan
menikmati keadaan, harap lakukan itu di luar daerah istana. Tak seorangpun,
tanpa ijin, diperbolehkan memasuki daerah dalam pintu gerbang.!
Lie Bouw Tek tersenyum dan
menjura dengan hormat, diikuti pula oleh Lan Hong. ‘Harap saudara sekalian
suka memaafkan saya. Memang saya sengaja datang ke Lasha untuk menghadap Dalai
Lama. Harap saudara sudi melaporkan ke dalam dan mengatakan bahwa kami ingin
menghadap Dalai Lama karena ada suatu keperluan yang amat penting.!
‘Omitohud....!! Kepala
jaga itu berseru. ‘Apakah sicu (tuan yang gagah) mengira akan demikian mudah
saja bertemu dengan beliau? Tanpa panggilan bagaimana sicu dapat diperkenankan
menghadap? Pinceng (saya) sungguh tidak berani lancang mengganggu beliau di
pagi hari ini, tanpa alasan yang cukup kuat.!
‘Sobat, harap sampaikan
saja ke dalam bahwa saya adalah utusan dari Kun-lun-pai yang ingin menyampaikan
sesuatu yang teramat penting untuk Dalai Lama,! kata pula Lie Bouw Tek dengan
sikap dan suaranya yang tenang berwibawa.
Mendengar disebutnya
Kun-lun-pai, sikap para pendeta penjaga itu berubah dan kepala jaga memandang
dengan sikap lebih hormat. ‘Omitohud, kiranya sicu utusan dari Kun-lun-pai?
Harap sicu menyampaikan surat dari ketua Kun-lun-pai lebih dahulu kepada Dalai
Lama melalui kami. Setelah surat itu kami sampaikan, tentu sicu diperkenankan
masuk menghadap.!
Akan tetapi Lie Bouw Tek
menggeleng kepalanya. ‘Sobat, sampaikan saja kepada Dalai Lama bahwa saya,
Lie Bouw Tek murid Kun-lun-pai, mohon menghadap. Kalau mendengar nama saya,
tentu beliau akan sudi menerimaku.!
Pada saat itu, seorang
pendeta Lama yang usianya sudah lima puluh tahun lebih berjalan tenang dari sebelah
dalam. Begitu melihat Lie Bouw Tek, diapun cepat menghampiri dan menjura dengan
sikap hormat.
‘Omitohud.... kiranya
Lie Taihiap yang berada di sini! Selamat datang, taihiap. Ada keperluan apakah
gerangan yang membawa taihiap datang berkunjung ke Lasha?!
Lie Bouw Tek tidak
mengenal pendeta Lama itu, akan tetapi dia tahu bahwa pendeta ini tentu seorang
di antara mereka yang dulu tahu akan bantuan yang dia berikan kepada Dalai
Lama. Diapun cepat memberi hormat dan berkata dengan lembut.
‘Selamat bertemu,
losuhu. Saya datang untuk mohon menghadap Dalai Lama karena ada suatu hal yang
amat penting harus saya sampaikan kepada beliau. Tolonglah, harap mintakan ijin
kepada beliau agar saya diperkenankan menghadap sekarang juga.!
‘Baik, taihiap. Tunggulah
sebentar di sini!! kata pendeta itu yang bergegas masuk ke arah bangunan istana
yang megah itu. Kini para pendeta jaga bersikap hormat dan ramah, bahkan
mempersilakan Bouw Tek dan Lan Hong untuk duduk menanti di dalam gardu
penjagaan.
Tak lama kemudian,
muncullah enam orang pendeta Lama yang merupakan sebuah pasukan kecil berbaris
menghampiri tempat itu. Mereka ditemani oleh pendeta Lama yang tadi menegur
Bouw Tek, yang kini tersenyum ramah.
‘Silakan, taihiap. Dalai
Lama yang agung mengundang taihiap.!
‘Akan tetapi, saya
datang bersama Sie-toanio ini, harap agar iapun diperkenankan menemani saya
untuk menghadap Dalai Lama.!
Pendeta itu mengerutkan
alisnya. ‘Tidak biasanya Dalai Lama mau menerima tamu wanita. Akan tetapi
karena toanio ini datang bersamamu, maka silakan masuk. Terserah kepada Dalai
Lama sendiri nanti setelah ji-wi (kalian berdua) tiba di luar ruangan tamu,
apakah toanio ini diperkenankan ikut masuk ataukah dipersilakan menunggu di
luar ruangan.!
Lie Bouw Tek mengangguk
dan bersama Lan Hong, dia lalu mengikuti enam orang pendeta itu yang mengawal
dan menjadi penunjuk jalan. Setelah mereka memasuki istana, tidak seperti Lie
Bouw Tek yang pernah satu kali masuk ke istana ini, Lan Hong memandang ke kanan
kiri dengan bengong. Ia terpesona menyaksikan segala keindahan yang terdapat di
istana itu. Ukir-ukiran yang indah sekali, marmar, emas, perak, sutera beraneka
warna! Ia merasa seperti memasuki sebuah istana dalam mimpi! Patung-patung
logam, marmar, perak atau emas yang ukirannya amat indahnya, lukisan-lukisan.
Pendeknya, selama hidupnya belum pernah Lan Hong menyaksikan keindahan seperti
itu.
Ketika mereka tiba di luar
sebuah pintu besar yang terjaga, enam orang pendeta pengawal itu mempersilakan
mereka menanti sebentar. Seorang di antara mereka memasuki ruangan di balik
pintu besar itu, dari mana keluar keharuman cendana yang nyaman. Tak lama
kemudian, pendeta itu keluar lagi dengan wajah cerah.
‘Taihiap dan toanio
dipersilakan masuk untuk menghadap Yang Agung Dalai Lama!!
Dengan wajah gembira Lie
Bouw Tek lalu mengajak Sie Lan Hong menasuki ruangan itu. Akan tetapi Sie Lan
Hong sendiri agak gemetar ketika melangkah masuk. Ruangan itu luas dan nampak
sunyi karena kosong. Di sudut paling belakang, nampak ada seorang pria duduk di
atas sebuah kursi yang besar dan terukir indah, mengenakan jubah dan kepalanya
tertutup topi pendeta.
‘Selamat datang,
pendekar perkasa Lie Bouw Tek dan toanio! Silakan duduk!!
Lie Bouw Tek cepat maju
memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada dan membungkuk
sampai dalam. Sie Lan Hong juga memberi hormat, akan tetapi ia merasa heran
bukan main. Tadinya ia membayangKan bahwa Dalai Lama yang mengepalai para
pendeta Lama di Tibet, tentu seorang kakek yang tua renta keriputan dan buruk.
Akan tetapi ternyata sama sekali tidak demikian! Pendeta yang duduk menyendiri
itu usianya hanya beberapa tahun saja lebih tua dari Lie Bouw Tek, dan wajahnya
tampak bersih! Wajah yang cerah dengan sepasang mata yang terang dan jernih,
senyum yang terbuka dan seluruh gerak geriknya membayangkan kesabaran,
keagungan dan kebesaran hati.
Setelah Bouw Tek dan Lan
Hong duduk di atas kursi yang agaknya sudah disediakan untuk mereka, menghadap
ke arah Dalai Lama, nampaklah oleh mereka bahwa di belakang Dalai Lama terdapat
sehelai kain sutera putih dan di balik kain sutera itu berdiri beberapa orang
pendeta Lama yang tak bergerak bagaikan arca-arca mati saja. Bouw Tok maklum
bahwa sedikitnya sepuluh orang pendeta Lama berdiri di sana, dan mereka itu
adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, yang merupakan
pasukan pengawal yang melindungi keselamatan Dalai Lama. Dalai Lama sendirl
memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ditambah penjagaan pasukan pengawal
pribadi ini, dan adanya ratusan orang pendeta Lama di kompleks istana itu, maka
tentu saja tempat itu amatlah kuatnya. Apalagi di benteng yang setiap waktu
siap mentaati perintah Dalai Lama.
‘Nah, menurut laporan
tadi engkau datang sebagai utusan Kun-lun-pai, maka katakanlah semua
keperluanmu berkunjung ke sini, taihiap.!
Dari tempat duduknya, Bouw
Tek memberi hormat kepada orang pertama yang paling berkuasa di Tibet itu.
‘Mohon dimaafkan kelancangan saya. Karena para pimpinan Kun-lun-pai yang
mengutus saya itu hanya menyampaikan pesan melalui beberapa orang murid yang
menyusul saya, maka saya tidak membawa surat perintah tertulis. Sebetulnya,
tugas saya dari Kun-lun-pai adalah untuk menyelidiki Tibet Ngo-houw, akan
tetapi karena saya merasa yakin akan dapat paduka terima dengan baik, maka saya
langsung saja menghadap paduka untuk mohon pertimbangan dan kebijaksanaan.!
Dalai Lama masih tersenyum
walaupun pandang matanya kehilangan cahaya kelembutannya sebentar mendengar
disebutnya nama Tibet Ngo-houw tadi.
‘Tibet Ngo-houw?
Taihiap, ada urusan apakah dengan Tibet Ngo-houw?!
Jelas bagi Bouw Tek bahwa
pertanyaan itu memancing. Dia merasa heran. Sejak dahulu semua orang juga tahu
bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama yang terkenal sebagai
pembantu-pembantu Dalai Lama yang dipercaya. Dan mungkin saja mereka kinipun
berada di balik sutera putih di belakang Dalai Lama itu. Mengapa Dalai Lama
masih bertanya lagi?
‘Ampunkan saya, bukan
maksud saya untuk mengadu, hanya saya diutus oleh para pimpinan Kun-lun-pai
untuk menyelidiki mengapa Tibet Ngo-houw datang ke Kun-lun-san, bukan hanya
mencari dan menyerang dengan maksud membunuhi para pertapa dan tosu yang
berasal dari Himalaya dan kini bertapa di sana, akan tetapi juga bahkan mereka
berlima itu memusuhi Kun-lun-pai.
Karena mereka itu mengaku
diutus oleh paduka, maka saya kira lebih baik saya langsung saja bertanya
kepada paduka mengenai sepak terjang Tibet Ngo-houw itu.!
Dalai Lama
mengangguk-angguk, agaknya sama sekali tidak heran atau terkejut mendengar
ucapan Bouw Tek ini, bahkan terdengar dia berkata lirih, seperti kepada diri
sendiri. ‘Hemm, sampai begitu jauh mereka berusaha memburukkan nama kami?!
Dalai Lama bertepuk tangan dua kali dan muncullah seorang pendeta Lama dari
balik kain sutera putih. Dia seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar,
bersikap agung dan usianya sudah enam puluh tahun lebih, mukanya persegi
seperti muka singa, membayangkan kekerasan dan kekokohan, akan tetapi sinar
matanya lembut. Dia menjura di depan Dalai Lama, menanti perintah.
‘Lie-taihiap, engkau
tentu masih ingat kepada Kong Ka Lama yang bijaksana dan sakti ini. Nah, dialah
yang akan menceritakan semuanya kepadamu. Maafkan, tiba saatnya bagi saya untuk
melakukan meditasi, maka selanjutnya, rundingkanlah segalanya dengan Kong Ka
Lama.! Setelah berkata demikian, Dalai Lama bangkit berdiri. Bouw Tek cepat
bangkit berdiri diikuti oleh Lan Hong dan setelah sedikit mengangguk kepada mereka
Dalai Lama lalu melangkah masuk dari pintu di belakang sutera putih,
meninggalkan Bouw Tek dan Lan Hong berdua dengan pendeta Lama yang bernama Kong
Ka Lama itu.
Setelah Dalai Lama dan
para pendeta yang mengawalnya memasuki pintu yang segera tertutup kembali,
barulah Kong Ka Lama menghadapi Bouw Tek dan Lan Hong, membuat gerakan dengan
tangan menunjuk pintu samping dan berkata, ‘Taihiap dan toanio, mari kita
bicara di ruangan sebelah.!
Mereka bertiga keluar dari
ruangan itu, melalui pintu samping mereka memasuki sebuah ruangan lain yang
tidak begitu besar. Ruangan inipun kosong dan hanya ada sebuah meja dan
beberapa buah kursi. Kong Ka Lama mempersilakan dua orang tamu itu duduk dan
dia sendiripun duduk menghadapi mereka.
Tentu saja Lie Bouw Tek masih
ingat kepada pendeta Lama ini. Kong Ka Lama atau artinya Lama Salju Putih
adalah seorang di antara jagoan Tibet yang mengawal Dalai Lama. Bahkan dulu,
ketika Dalai Lama dalam perjalanan keluar Lasha dihadang para pemberontak yang
menyerangnya, Kong Ka Lama yang mengepalai para pengawal melakukan perlawanan
dan melindungi Dalai Lama yang berada di dalam tandu. Pada waktu itulah
kebetulan dia melakukan perjalanan dan melihat peristiwa itu, lalu dia turun
tangan membantu para pendeta Lama, menghalau para penghadang sehingga akhirnya
Dalai Lama dapat diselamatkan. Kong Ka Lama adalah seorang pendeta Lama yang
berilmu tinggi dan masih saudara seperguruan dengan lima orang Tibet Ngo-houw,
maka dapat dibayangkan kelihaiannya.
‘Taihiap, pinceng (saya)
memenuhi perintah Dalai Lama untuk memberi keterangan dan penjelasan kepada
taihiap tentang sepak terjang Tibet Ngo-houw terhadap para tosu yang berasal
dari Himalaya dan yang kini mengungsi ke Kun-lun-san itu. Mungkin taihiap sudah
mendengar betapa yang mulia Dalai Lama dahulunya terlahir di sebuah dusun dan
melihat bahwa beliau adalah penjelmaan Dalai Lama yang tua, maka para pandeta
Lama yang ketika itu dipimpin oleh wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama
mengambil calon Dalai Lama baru itu secara paksa. Hal ini diketahui oleh
seorang pertapa Himalaya dan terjadilah bentrokan ketika pertapa itu membela
orang-orang dusun yang hendak mempertahankan anak itu sehingga akibatnya, tiga
orang pendeta Lama tewas. Akan tetapi anak itu dapat dibawa ke sini. Kemudian,
dengan bimbingan Kim Sim Lama, anak itu diangkat menjadi Dalai Lama.!
Lie Bouw Tek dan Sie Lan
Hong mendengarkan dengan penuh perhatian. Lie Bouw Tek tidak merasa heran
karena dia pernah mendengar sendiri dari Dalai Lama, yaitu ketika dia
menolongnya baberapa tahun yang lalu bahwa Dalai Lama ketika kecilnya
menimbulkan keributan karena dia dipaksa oleh para pendeta Lama ke Tibet
sehingga timbul pertempuran antara para pendeta Lama dan orang-orang dusun yang
mempertahankannya.
‘Itulah yang aneh,
lo-suhu,! katanya. ‘Kalau sedikit banyak para tosu Himalaya sudah berjasa
membela Dalai Lama ketika masih kecil, kenapa sekarang Dalai Lama yang mulia
dan adil bahkan menyuruh Tibet Ngo-houw untuk membunuhi para tosu dari
Himalaya, bahkan memusuhi para tosu Kun-lun-pai?!
Kong Ka Lama menarik napas
panjang. ‘Omitohud.... memang demikianlan agaknya yang dikehendaki mereka
yang hendak merusak nama baik yang mulia Dalai Lama. Dengarkah, taihiap, akan
pinceng lanjutkan penjelasan itu.! Kong Ka Lama berhenti sebentar, lalu
melanjutkan ceritanya.
‘Karena ketika diangkat
menjadi Dalai Lama, pemimpin kami itu masih belum dewasa, maka kekuasaan
dipegang sementara oleh wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama yang sudah
berpengalaman. Adalah Kim Sim Lama ini yang dahulu mengamuk, mengirim para
pendeta Lama ke Himalaya dan menyerang para tosu dan pertapa Himalaya. Tindakan
itu dia lakukan karena dendam, yaitu karena kematian tiga orang pendeta Lama
ketika terjadi pertempuran memperebutkan Dalai Lama ketika masih kecil. Perbuatan
itu mendatangkan keributan dan banyak para tosu dan pertapa tewas, terluka dan
lebih banyak lagi yang melarikan diri meninggalkan Himalaya. Di antaranya
banyak yang mengungsi ke Kun-lun-san.!
Lie Bouw Tek
mengangguk-angguk. ‘Akan tetapi, kiranya peristiwa itu sama sekali tidak ada
hubungannya dengan plhak Kun-lun-pai, lo-suhu.!
‘Omitohud, memang tidak
ada hubungannya. Harap taihiap dengarkan selanjutnya, nanti taihiap akan
mengerti. Beberapa tahun kemudian, setelah Dalai Lama menjadi dewasa dan mengerti,
beliau mendengar tentang segala sepak terjang Kim Sim Lama yang menjadi wakil,
juga pembimbingnya ketika beliau masih kecil. Beliau terkejut sekali. Pertama,
beliau adalah penjelmaan Dalai Lama yang selalu hidup suci, maka tentu saja
beliau tidak suka mendengar tentang permusuhan, apalagi dendam kebencian dan
bunuh membunuh. Apalagi yang dikejar-kejar adalah para pertapa, para tosu
karena dahulu seorang di antara mereka pernah membantu penduduk dusun yang
mempertahankan dirinya yang hendak dibawa dengan paksa oleh para pendeta Lama.
Juga masih banyak kebijaksanaan yang diambil Kim Sim Lama tidak disetujuinya.
Beliau menegur Kim Sim Lama dan terjadilah bentrokan!!
‘Hemm, terjadi
pemberontakan, begitukah maksud lo-suhu?!
Pendeta Lama itu mengangguk.
‘Semacam itulah. Dalai Lama tidak suka meributkan peristiwa itu, karena hanya
akan memukul nama baik Tibet sendiri. Kim Sim Lama dapat ditundukkan dan dia
pun meninggalkan Lasha, tidak mau lagi membantu Dalai Lama. Bahkan dia
membentuk suatu perkumpulan yang disebut Kim-sim-pai yang berpusat di sekitar
Telaga Yam-so, sebelah selatan Lasha. Akan tetapi, karena sampai sekarang
mereka tidak pernah melakukan gerakan pemberontakan, Dalai Lama mendiamkan
saja, bahkan memesan kepada kami semua agar tidak membuat keributan dengan
Kim-sim-pai, apalagi mengingat bahwa Kim Sim Lama adalah seorang tokoh tua di
sini dan sudah banyak jasanya dahulu ketika menjadi wakil Dalai Lama.!
‘Akan tetapi, bagaimana
dengan Tibet Ngo-houw yang mengamuk di Kun-lun-san?!
‘Omitohud....! Sungguh
hal itu sama sekali tidak kami ketahui sebelumnya, taihiap. Agaknya, Yang Mulia
Dalai Lama terlalu memberi hati kepada mereka dan agaknya sudah tiba saatnya
untuk menghentikan nafsu mereka yang merajalela. Hendaknya taihiap ketahui
banwa Tibet Ngo-houw merupakan tokoh-tokoh Tibet yang juga menjadi anak buah
Kim Sim Lama. Jelas bahwa perbuatan Tibet Ngo-houw itu sengaja mereka lakukan,
bukan lagi uutuk membalas dendam sekarang, melainkan terutama sekali untuk
memburukkan nama baik Dalai Lama, atau untuk mengadu domba agar para tosu, dan
juga Kun-lun-pai, memusuhi Dalai Lama.!
‘Ah, betapa liciknya!!
Bouw Tek berseru. ‘Sekarang baru saya mengerti, lo-suhu. Untung bahwa saya
langsung datang menghadap Dalai Lama sehingga memperolen keterangan yang
teramat penting ini.!
‘Omitohud, sukurlah
kalau taihiap sudah dapat mengerti. Harap taihiap sudi menyampaikan maaf kami
kepada Kun-lun-pai dan para tosu di pegunungan Kun-lun-san dan suka
memberitahukan keadaan yang sesungguhnya. Bahwa Dalai Lama sama sekali tidak
memusuhi para tosu, dan bahwa semua itu, sejak dahulu, adalah tindakan yang
diambil oleh Kim Sim Lama.!
‘Akan tetapi, apakah
perbuatan itu harus didiamkan saja? Jelas bahwa Kim Sim Lama melakukan
perbuatan menyeleweng dan jahat terhadap nama baik Dalai Lama....!
‘Lie-taihiap, hal itu
merupakan urusan dalam kami sendiri. Dalai Lama tentu akan mengambil
kebijaksanaan dan apapun yang diambilnya, kebijaksanaan itu tidak ada
hubungannya dengan pihak luar. Oleh karena itu, kami harap agar taihiap juga
tidak mencampuri. Bahkan pinceng yakin bahwa yang mulia Dalai Lama sendirilah
yang akan bertindak. Nah, kiranya cukup jelas, taihiap. Sekarang kami
persilakan ji-wi kembali ke luar istana, dan kalau mungkin secepatnya
meninggalkan Lasha agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.!
Pendeta Lama itu bangkit
berdiri. Bouw Tek dan Lan Hong bangkit berdiri. ‘Maaf, lo-suhu. Ada sedikit
lagi pertanyaan dari kami. Harap saja lo-suhu suka membantu kami.!
‘Hemm, urusan apakah itu,
taihiap?!
‘Sie-toanio ini datang
ke Lasha untuk mencari dua orang, lo-suhu. Yang pertama adalah puterinya,
seorang gadis bernama Yauw Bi Sian yang berusia kurang lebih delapan belas
tahun, dan yang ke dua adalah adiknya yang bernama Sie Liong dan terKenal
dengan julukan Pendekar Bongkok. Kami perkirakan merekapun datang ke Lasha.
Kalau barangkali lo-sunu dapat memberi keterangan tentang mereka....!
Pendeta Lama itu mengelus
jenggotnya yang dibiarkan memanjang, alisnya berkerut dan dia mengangguk-angguk
sambil memandang kepada Sie Lan Hong.
‘Hemm, jadi, toanio ini
kakak dari Pendekar Bongkok yang terkenal itu? Toanio, tentang puteri toanio
ini, kami tidak pernah mendengarnya. Akan tetapi kalau Pendekar Bongkok....
hemm, namanya sudah sampai pula ke dalam istana ini. Memang dia pernah berada
di Lasha, kabarnya bersama seorang gadis peranakan Tibet Han. Dan kebetulan
pula menurut kabar yang kami dengar, dia pernah bentrok dengan seorang anggauta
Kim-sim-pai.!
‘Aih, terima kasih,
lo-suhu. Dapatkah lo-suhu memberitahu, di mana dia sekarang?! tanya Lan Hong
yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara ‘Menurut penyelidikan para anak buah
kami yang diam-diam kami taruh di mana-mana untuk menjaga keamanan Lasha, ada
yang melihat PendeKar Bongkok mendatangi sarang Kim-sim-pai. Akan tetapi karena
anak bush kami itu dipesan dengan keras agar jangan sampai terlibat dalam
urusan Kim-sim-pai, dan karena tidak ada sangkut-pautnya dengan kami, maka
kamipun tidak tahu apa yang terjadi di sana. Nah, kiranya cukup keterangan
kami, taihiap dan toanio.!
Lie Bouw Tek tidak berani
mengganggu lagi dan diapun menghaturkan terima kasih, lalu meninggalkan istana
itu bersama Lan Hong. Wanita itu menahan-nahan perasaannya, dan baru setelah
mereka keluar dari istana itu, Lan Hong berkata dengan suara mengandung
kekhawatiran.
‘Aih, toako. Apa yang
hurus kulakukan sekarang? Aku ingin cepat menyusul dan mencari Sie Liong. Aku
harus lebih dahulu bertemu dia sebelum Bi Sian mendahuluiku. Aih, ngeri aku
membayangkan mereka saling bertemu sebelum aku menemui adikku....!
‘Tenanglah, Hong-moi.
Biar aku akan melakukan penyelidikan ke daerah Telaga Yam-so untuk mencari
Pendekar Bongkok dan aku akan mengajaknya ke sini menemuimu.!
‘Tidak! Aku harus ikut,
toako. Aku harus cepat menemukannya. Sekarang juga.!
‘Akan tetap hal itu
berbahaya sekali, Hong-moi. Tentu engkau tadi sudah mendengar keterangan Kong
Ka Lama. Daerah telaga Yam-so itu menjadi sarang Kim-sim-pai dan mereka adalah
para pendeta Lama yang memberontak. Banyak terdapat orang sakti di sana,
Hong-moi. Lebih baik engkau menanti saja di rumah penginapan dan biarlah aku
yang akan mencari adikmu di sana.!
‘Toako, tidak boleh
begitu. Yang mempunyai kepentingan adalah aku, bagaimana mungkin engkau yang
susah payah menempuh bahaya dan aku yang enak-enak menanti sambil tiduran di
kamar? Tidak, aku harus ikut! Aku tidak takut menghadapi bahaya dan aku juga
dapat menjaga diriku sendiri, toako!!
‘Akan tetapi, sungguh
aku amat mengkhawatirkan keselamatan dirimu, Hong-moi. Bagaimana kalau sampai
datang ancaman bahaya dan aku sampai tidak mampu melindungi dirimu? Aih,
Hong-moi, tak dapat aku membayangkan hal itu terjadi....!
Suara pendekar perkasa itu
tiba-tiba agak gemetar. ‘.... tidak, aku tidak dapat membiarkan engkau
terancam bahaya. Aku.... aku akan merasa menyesal selama hidupku!!
Melihat pendekar itu
bicara seperti itu, seperti tanpa disadarinya bahwa dia membuka rahasia
hatinya, tiba-tiba wajah Lan Hong berubah merah dan iapun tersipu. Kalau saja
tidak sedang menghadapi keadaan yang menegangkan, tentu ia akan semakin tersipu
malu, walaupun ada rasa bahagia dan bangga menyelinap di dalam hatinya.
‘Toako, banyak terima
kasih atas perhatianmu kepada diriku, akan tetapi sebaliknya, toako. Kalau
engkau pergi sendiri meninggalkan aku untuk mencari adikku, kemudian terjadi
sesuatu dengan dirimu, maka akupun akan merasa menyesal selama hidupku, bahkan
tak mungkin lagi aku menghadapi kehidupan yang kejam ini seorang diri saja....!
Keduanya menunduk dan
dalam saat seperti itu, biarpun mereka tidak secara langsung mengucapkan
pengakuan, namun keduanya merasa benar betapa keduanya saling membutuhkan,
saling manyayang, saling mencinta dan merasa ngeri kalau-kalau saling
kehilangan!
‘Baiklah, Hong-moi. Kita
pergi bersama, akan tetapi kita harus berhati-hati dan membuat persiapan. Aku
akan melakukan penyelidikan yang lebih seksama dulu. Besok baru kita berangkat
ke Telaga Yam-so.!
‘Terima kasih, toako.
Selama hidupku, aku tidak akan pernah dapat melupakan semua budi kebaikanmu
ini,! kata Lan Hong lirih dengan suara mengandung isak haru.
***
Telaga Yam-so merupakan
sebuah telaga yang besar dan luas di sebelah selatan. Orang Tibet menyebutnya
dalam Bahasa Tibet sebagai Yamzho Yumco (Telaga Yamso). Letaknya di sebelah
selatan sungai besar Brahmaputra yang amat panjang. Sungai itu mengalir di
sepanjang negara Tibet sampai membelok ke selatan dan berakhir di selatan
negara Bangladesh sebelah timur India. Daerah inilah, dari Sungai Brahmaputra
sampai ke Telaga Yamso, menjadi daerah yang dikuasai Kim-sim-pai!
Daerah ini amat sunyi,
penuh dengan hutan belantara yang liar, yang sambung menyambung sampai ke selatan,
sampai ke Pegunungan Himalaya. Dusun-dusun hanya dihuni orang-orang pribumi
Tibet, dan ada pula peranakan Tibet Bhutan dan beberapa orang peranakan India.
Namun mereka adalah orang-orang gunung yang sederhana, dan agaknya Kim-sim-pai
tidak mengusik mereka yang hidup tenang dan damai karena setiap harinya mereka
hanya mengurus mencari makan dengan jalan berburu, beternak kecil-kecilan, dan
ada pula yang menjadi penangkap ikan di sepanjang Sungai Brahmaputra atau
Telaga Yamso.
Akan tetapi, akhir-akhir
ini bermunculan banyak orang Nepal di daerah itu dan mulailah terdapat
gangguan-gangguan yang mengusik kehidupan yang tadinya aman damai dari para
penghuni dusun di daerah itu. Orang-orang Nepal ini adalah anak buah dari
pangeran Nepal pelarian yang kini telah bersekutu dengan Kim-sim-pai. Pangeran
itu, Janghar Singh, telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan dia berjanji untuk
membantu gerakan para pendeta Lama yang memberontak terhadap Dalai Lama itu,
sedangkan pihak Kim-sim-pai juga berjanji bahwa kelak, kalau mereka telah
menguasai Tibet, mereka akan membantu Pangeran Janghar Singh yang hendak
memberontak terhadap Kerajaan Nepal.
Gangguan para orang Nepal
itu kadang amat menggelisahkan penduduk. Kalau mereka itu kadang hanya minta
dengan paksa beberapa ekor hewan ternak, hal itu masih dapat diberikan dengan
hati sabar oleh para penghuni dusun. Akan tetapi ada kalanya, orang-orang Nepal
itu mengganggu wanita! Karena itu, maka banyaklah wanita muda yang cantik atau
bersih, diungsikan keluarga mereka ke tempat yang jauh dari daerah itu,
terutama mereka yang tinggal di lereng Pegunungan Himalaya yang menjadi
perbatasan antara Tibet dengan Nepal.
Pada suatu pagi yang
cerah, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang menunggang kuda tiba
di lereng bukit dekat Telaga Yam-so.
‘Sute, berhenti dulu!!
kata Bi Sian menahan kendali kudanya. Bong Gan juga menahan kudanya dan menoleh
lalu menghampiri suci-nya.
‘Ada apakah, suci?!
tanyanya, sambil memandang ke sekeliling dengan khawatir.
‘Lihat, sute, betapa
indahnya pemandangan di sini. Lihat telaga di bawah itu, airnya seperti
permadani biru dikelilingi bukit menghijau. Indah sekali!!
Bong Gan menarik napas
lega. Dia sudah mengatur rencana bersama Pek Lan dan menurut rencana itulah
pada pagi ini ia dan Bi Sian tiba di lareng bukit itu. Tadinya, ketika Bi Sian
minta berhenti, dia khawatir kalau-kalau sucinya itu mencurigai sesuatu.
Kiranya gadis itu hanya mengagumi alam yang memang amat indah itu.
‘Memang indah sekali tempat
ini, suci. Hawanya nyaman dan sejuk sekali. Aahh, alangkah senangnya kalau kita
dapat tinggal beberapa lamanya di tempat seindah ini!!
Bi Sian menoleh dan
memandang pemuda itu yang mengembangkan kedua lengannya sambil menghirup udara
yang amat menyegarkan itu. Ia tersenyum.
‘Ih, sute. Lupakah
engkau bahwa kita datang ke tempat ini bukan untuk pesiar melainkan untuk
mencari musuh besarku?!
‘Wah, memang
kadang-kadang aku lupa, suci. Perjalanan ini demikian menyenangkan bagiku.
Siapa tahu, kita dapat cepat menemukan musuhmu dan membereskan perhitungan,
agar kita mempunyai banyak waktu untuk menikmati tempat indah ini.!
Tiba-tiba sepasang mata Bi
Sian terbelalak. Bukan hanya matanya yang menangkap berkelebatnya banyak
bayangan orang, akan tetapi juga pendengaran telinganya menangkap gerakan
banyak orang di sekitar tempat itu.
‘Ada orang....!!
bisiknya.
‘Mereka mengepung kita!!
Bong Gan juga berbisik dan pemuda ini kelihatan terkejut. Padahal, di dalam
hatinya dia bersukur karena dia tahu bahwa ini merupakan siasat yang dijalankan
oleh Pek Lan. Maka, diapun hanya berpura-pura ketika kelihatan terkejut, tidak
seperti Bi Sian yang merasa benar-benar kaget karena melihat bahwa mereka telah
dikepung oleh sedikitnya tiga puluh orang. Bukan orang Han, bukan pula orang
Tibet, melainkan orang-orang yang aneh, rata-rata berkulit kehitaman dan gelap,
bentuk tubuh mereka tinggi dan sebagian besar dari mereka menggunakan penutup
kepala berupa sorban putih yang tebal.
‘Mereka orang-orang
asing....! kata pula Bong Gan. Padahal dia sudah mendengar dari Pek Lan yang
mengatur siasat itu bahwa yang akan mengepung mereka adalah orang-orang Nepal.
Melihat banyak orang
mengepung dan maju mendekat, dua ekor kuda yang mereka tunggangi menjadi panik.
Bi Sian lalu melompat turun dari atas punggung kudanya dan berkata kepada Bong
Gan, ‘Sute, turun saja dari atas kuda, agar kita dapat membela diri lebih
leluasa!!
Keduanya sudah melompat
turun dari atas punggung kuda dan dengan sikap tenang namun penuh
kesiapsiagaan, kakak adik seperguruan ini berdiri dengan saling membelakangi.
‘Sute, biarkan aku yang
bicara dengan mereka,! bisik Bi Sian dan diam-diam Bong Gan tersenyum. Memang
sebaiknya begitu agar tidak akan terdengar suaranya yang sumbang.
Kini, tigapuluh orang
lebih perajurit Nepal itu sudah datang dekat dan seorang di antara mereka, yang
melihat pakaiannya tentu merupakan komandannya berdiri di depan Bi Sian. Dia
seorang pria berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, matanya cekung
ke dalam dan hidungnya yang panjang itu agak bengkok ke kiri sehingga mulutnya
kelihatan seperti mengejek selalu.
‘Hei, kalian dengarlah
baik-baik!! Bi Sian berseru dengan suara lantang. ‘Kami dua orang pelancong
dari timur, tidak ingin bermusuhan dengan penduduk pribumi. Kenapa kalian
menghadang dan mengepung kami yang tidak bersalah?!
Orang tinggi kurus itu
memandang tajam, lalu menjawab. Dia dapat bicara dalam Bahasa Han, walaupun
logatnya aneh dan lucu. ‘Kami biasa menghormati tamu yang datang diundang.
Akan tetapi kalian berdua tidak diundang, telah melanggar wilayah kami. Sudah
sepatutnya kalau kami membunuh kalian, akan tetapi mengingat kalian dua orang
muda, dan seorang di antaranya bahkan wanita, kami tidak akan bersikap keras.
Orang-orang muda, menyerahlah kalian dengan baik, agar kami tawan dan kami
hadapkan kepada pemimpin kami!!
Bi Sian menatap orang itu.
Sikap mereka cukup gagah, pikirnya, tidak seperti gerombolan perampok atau
penjahat yang kejam. Maka, iapun berkata lantang. ‘Maafkan kalau tanpa
disengaja kami melanggar wilayah kalian. Akan tetapi kami tidak bersalah, harap
biarkan kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak suka untuk ditawan.!
Pemimpin tinggi kurus itu
mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian mencabut sebatang golok yang bentuknya
melengkung panjang, dan dia berkata dengan tegas, ‘Di wilayah ini, kami yang
berkuasa! Mau atau tidak mau, kalian harus menyerah untuk menjadi tawanan kami.
Harap kalian menyerah dengan damai!!
‘Kalau kami tidak mau
menyerah?! tanya Bi Sian yang sudah mulai marah dan penasaran.
‘Terpaksa kami
menggunakan kekerasan untuk menangkap kalian!!
‘Singg....!! Nampak
sinar putih berkilauan ketika ia mencabut pedang Pek-lian-kiam (Pedang Teratai
Putih). ‘Bagus! Andaikata aku mau menyerahpun, pedang ini yang tidak
membolehkannya. Karena tidak merasa bersalah, tentu saja aku tidak mau menyerah
dan kalau kalian hendak memaksaku dan menggunakan kekerasan, jangan salahkan
aku kalau kalian menjadi korban pedangku!!
Bong Gan juga sudah
menyambar sebatang dahan pohon di atasnya, membuangi ranting dan daunnya dan
kini dia sudah memegang sebatang tongkat.
‘Kalau kalian memaksa,
kami akan melawan!! Diapun membentak dan sambil berdiri saling membelakangi
dengan sucinya, dia melintangkan tongkatnya dan siap melakukan perlawanan.
‘Kami tidak akan
membunuh kalian, akan tetapi terpaksa harus menangkap kalian!! bentak pemimpin
rombongan itu dan diapun mengeluarkan aba-aba dalam Bahasa Nepal. Tiga puluh
orang lebih itu, dengan senjata tombak atau golok dan perisai, kini mengepung ketat
dan kepungan itu makin mendesak.
‘Sute, sedapat mungkin
robohkan mereka akan tetapi jangan bunuh!! kata Bi Sian. Dara itu menganggap
mereka itu bukan orang jahat, hanya akan menangkap dan tidak membunuh, oleh
karena itu iapun tidak ingin sutenya melakukan pembunuhan sehingga menanam
permusuhan yang semakin dalam.
‘Baik, suci,! kata Bong
Gan.
Pada saat kepungan itu
sudah makin dekat dan dua orang murid Koay Tojin itu siap bergerak menyerang
pengeroyok terdekat, tiba-tiba terdengar seruan nyaring suara seorang wanita.
‘Tahan....! Jangan
bertempur!!
Para pengepung itu menahan
senjata mereka dan mundur. Bi Sian dan Bong Gan menoleh ke arah suara wanita
itu dan mereka melihat seorang wanita yang berusia dua puluh empat tahun lebih,
cantik manis dengan muka lonjong dan kulit putih mulus berambut keemasan,
muncul bersama seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berkepala gundul,
berjubah pendeta dengan gambar Teratai Putih di dadanya. Kakek itu masih nampak
muda dan tampan, dengan tubuh tinggi besar. Begitu dua orang ini mendekat,
semerbak bau keharuman bunga mawar.
Tentu saja Bong Gan
mengenal wanita itu, wanita yang beberapa hari yang lalu, semalam suntuk berada
dalam pelukannya. Wanita itu adalah Pek Lan dan kakek yang nampak muda itu adalah
Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw. Akan tetapi Bi Sian tidak mengenalnya.
Melihat para pengepung itu
mundur, Bi Sian mengerti bahwa ia berhadapan dengan pemimpin gerombolan orang
asing yang menghadangnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa dua orang itu telah
bersekutu dengan Kim Sim Lama dan kini menjalankan siasat untuk menjebaknya!
Dan para pengepung itu adalah orang-orang Nepal yang dipergunakan untuk
membantu siasat itu, yang juga sudah diketahui oleh Bong Gan.
Sambil memandang tajam
wanita cantik yang sikapnya genit itu, Bi Sian berkata, pedang Pek-lian-kiam
masih melintang di depan dadanya.
‘Hemm, kiranya kalian
berdua, seorang gadis cantik dan seorang pendeta, yang memimpin gerombolan ini.
Apa alasan kalian menghadang perjalanan kami dan orang-orangmu yang mengepung
kami ini hendak menawan kami?! Suara Bi Sian penuh wibawa, tanda bahwa ia sama
sekali tidak merasa gentar. Diam-diam Pek Lan kagum. Pantas Bong Gan
tergila-gila kepada suci-nya sendiri dan ingin memperisterinya. Memang manis dan
jelita sekali! Dan diam-diam Thai-yang Suhu mengamati pedang di tangan gadis
itu. Pedang itu bersinar putih dan ada ukiran bunga teratai. Pedang Teratai
Putih! Sungguh merupakan pedang yang cocok sekali kalau menjadi miliknya,
bahkan kalau menjadi pusaka dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw (Agama
Teratai Putih), sekiranya pedang itu memang sebuah pusaka yang ampuh, bukan
pedang biasa saja.
Bab 22
Pek Lan tersenyum dan
nemang ia memiliki deretan gigi yang rapi dan putih sehingga nampak menarik
sekali ketika tersenyum, dan kerling matanya ke arah Bong Gan penuh daya pikat.
Diam-diam Bong Gan membandingkan dua orang wanita itu. Memang, biarpun Bi Sian
amat manis, namun ia tidak mampu bergaya seperti Pek Lan sehingga daya tariknya
tidak sekuat Pek Lan. Bagaimanapun juga, kalau harus memilih keduanya untuk
menjadi isterinya, tanpa ragu-ragu dia akan memilih Bi Sian. Bi Sian seorang
gadis yang masih perawan dan hatinya juga bersih, sebaliknya Pek Lan adalah
seorang wanita yang matang dan juga genit sehingga sukar diharapkan dapat
menjadi seorang isteri yang setia. Akan tetapi kalau untuk bersenang-senang,
tentu Pek Lan akan lebih memuaskan dan menyenangkan.
‘Adik yang baik, engkau
sungguh cantik jelita dan gagah berani. Jangan salah mengerti, kalau anak buah
kami melakukan penghadangan, hal itu terjadi karena kalian telah melanggar
wilayah kekuasaan kami. Akan tetapi, kami dapat pula menghargai orang-orang
gagah. Melihat kalian berdua yang tidak gentar menghadapi pengepungan
orang-orang kami, tentu kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kami ingin
sekali berkenalan melalui adu silat. Kalau memang kalian pantas menjadi kenalan
kami, tentu akan kami persilakan untuk menjadi tamu dari Sang Pangeran yang
menjadi tuan rumah kami. Suhu, engkau ujilah kepandaian adik manis ini, biar
aku yang menguji pemuda ini,! katanya kepada Thai-yang Suhu.
Memang Pek Lan cerdik. Ia
sudah mendengar dari Bong Gan bahwa tingkat kepandaian Bi Sian bahkan lebih
tinggi dibandingkan pemuda itu, padahal baginya, menghadapi Bong Gan saja ia
hanya mampu mengimbangi. Berbahaya kalau ia menghadapi Bi Sian kemudian sampai
kalah! Maka ia sengaja menyuruh Thai-yang Suhu yang menghadapi gadis itu
sedangkan ia akan menghadapi Bong Gan yang tentu saja hanya akan main-main
tidak bertanding sungguh-sungguh. Biarpun ilmu kepandaian silat dari tokoh
Pek-lian-kauw itupun tidak jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri,
namun setidaknya pendeta itu memiliki kekuatan sihir untuk melindungi diri.
Thai-yang Suhu memang
sudah tertarik sekali, bukan kepada Bi Sian saja, melainkan terutama sekali
tertarik melihat pedang di tangan gadis itu. Kini dia memperoleh kesempatan
untuk menguji apakah pedang Teratai Putih itu sebuah pedang pusaka ampuh
ataukah pedang biasa saja. Dia tidak menurunkan sepasang pedangnya karena
sepasang pedangnya merupakan pedang yang baik dan dia khawatir pedangnya akan
menjadi rusak kalau pedang di tangan gadis itu benar pedang pusaka ampuh. Maka
diapun meminjam sebatang pedang yang dipegang oleh seorang perajurit Nepal,
kemudian menghampiri Bi Sian.
‘Siancai.... harap
maafkan pinto (saya), nona. Kami memang hanya ingin menguji, karena hanya
melalui pertandingan silat maka perkenalan menjadi erat. Nah, silakan, nona!!
Melihat sikap dua orang
itu cukup hormat dan sopan, Bi Sian juga merasa tidak enak kalau ia bersikap
keras. Biarpun tadi pasukan itu mengepungnya, namun mereka belum melakukan
penyerangan.
‘Aku tidak ingin
berkelahi atau bermusuhan dengan siapapun juga, dan akupun tidak sengaja
melanggar wilayah siapapun juga. Wilayah ini bukan pekarangan, tidak dipagari,
melainkan pegunungan dan telaga. Bagaimana aku tahu bahwa tempat ini ada orang
yang memilikinya? Akan tetapi, biarpun tidak mau bermusuhan, kalau dimusuhi,
jangan dikira aku takut!!
‘Siancai....! Nona
memang gagah perkasa, karena itu pinto ingin sekali menguji kepandaianmu, bukan
berkelahi atau bermusuhan. Nona, lihat pedang!! kata Thai-yang Suhu sambil
menggerakkan pedang pinjamannya, mengirim serangan gertakan ke arah kepala
gadis itu. Bi Sian mengelak dengan cepat dan ketika tangannya bergerak, pedang
Pek-lian-kiam sudah menyambar ke depan, menusuk ke arah dada merupakan sinar
putih berkelebat.
Thai-yang Suhu terkejut
dan cepat dia juga melompat ke belakang untuk menghindarkan diri, kemudian
menyerang lagi dengan berhati-hati karena biarpun hanya menguji kepandaian,
kalau ilmu pedang lawan itu terlalu berat, mungkin saja dia akan terluka. Dia
tidak berani memandang ringan lawannya yang dapat membalas serangan sedemikian
cepat dan kuatnya.
Sementara itu, Bong Gan
juga sudah menggerakkan ranting di tangannya dan menyerang Pek Lan yang
menyambut dengan pedangnya. Merekapun bertanding dengan seru, tentu saja hanya
nampaknya demikian karena hati mereka yang tahu bahwa mereka hanya bersandiwara
dan tidak sungguh-sungguh bertanding.
Thai-yang Suhu mendapatkan
kesempatan untuk menguji keampuhan pedang di tangan Bi Sian. Ketika pedang
bersinar putih itu menyambar dengan bacokan ke arah lehernya, dia memutar
tubuhnya dan mengerahkan tenaga sekuatnya, menggunakan pedang pinjaman itu
untuk menangkis.
‘Trangggg....!!
Terdengar bunyi nyaring disusul pijaran bunga api dan.... pedang di tangan
pendeta Pek-lian-kauw itu tinggal sepotong! Pedang itu patah di tengah-tengah,
padahal pedang perajurit Nepal itu merupakan pedang melengkung yang cukup berat
dan tajam.
Thai-yang Suhu berseru.
‘Lihai sekali!! dan diapun melempar gagang pedangnya dan memberi hormat
kepada Bi Sian. ‘Nona yang lihai, pinto kagum sekali kepadamu!!
Pada saat itu, Pek Lan
juga mengeluarkan jerit tertahan dan iapun melompat ke belakang, lalu memberi
hormat kepada Bong Gan. ‘Saudara sungguh gagah, membuat kami kagum sekali.
Perkenalkanlah, kami berdua adalah sahabat-sahabat baik dari Pangeran Maranta
Sing yang menguasai lembah ini. Namaku Pek Lan dan suhu ini adalah Thai-yang
Suhu. Kalau kami boleh mengetahui, siapakah ji-wi (anda berdua) dan apa yang
anda berdua cari di tempat ini? Ataukah sekedar melancong saja?!
Sebelum Bi Sian menjawab,
dengan cepat sesuai dengan rencana Bong Gan sudah menjawab, ‘Kami kakak
beradik seperguruan. Namaku Coa Bong Gan dan suci ini bernama Yauw Bi Sian.
Kami datang ke tempat ini bukan sekedar melancong, melainkan hendak mencari
seorang musuh besar kami yang bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar
Bongkok....!!
Bi Sian memberi isyarat
kepada sutenya agar diam, akan tetapi sudah terlambat karena sutenya telah
memperkenalkan nama mereka dan juga menyebut nama Pendekar Bongkok. Dan
tiba-tiba saja sikap kedua orang itu berubah, alis mereka berkerut akan tetapi
sikap mereka bahkan semakin ramah.
‘Aih, kiranya ji-wi
musuh Pendekar Bongkok? Kalau begitu, di antara kita terdapat ikatan yang kuat
karena kamipun menganggap Pendekar Bongkok sebagai musuh besar kami! Adik Bi
Sian dan adik Bong Gan, aku akan merasa senang sekali untuk bekerja sama dengan
kalian menghadapi Pendekar Bongkok yang amat lihai itu!!
Akan tetapi Bi Sian
mengerutkan alisnya. Biarpun Pek Lan dan Thai-yang Suhu memperlihatkan sikap
yang ramah dan bersahabat, namun di dalam hatinya ia merasa tidak suka kepada
mereka.
‘Enci Pek Lan,! kata
Bong Gan yang agaknya hendak bersikap ramah karena Pek Lan menyebut adik
kepadanya dan kepada Bi Sian, ‘Kami tidak ingin bekerja sama dengan kalian,
dan kami akan cukup berterima kasih kalau engkau dapat memberitahu kepada kami
di mana adanya Pendekar Bongkok. Tahu kah engkau di mana dia?! Pertanyaan ini
berkenan di hati Bi Sian dan iapun mengangguk, menyatakan setuju dengan
pertanyaan sute-nya itu.
Akan tetapi Pek Lan
tersenyum manis sekali. ‘Kalian ini adik-adik yang gagah perkasa, mengapa
sungkan dan ingin enak sendiri saja? Kalau kita hendak bekerja sama, tentu
sebaiknya kalau ji-wi menerima undangan kami untuk mempererat perkenalan. Kalau
kita sudah menjadi sahabat yang akrab, tentu kami tidak akan ragu lagi untuk
membagi semua rahasia, termasuk di mana adanya Pendekar Bongkok. Nah, kami
ulangi undangan kami kepada ji-wi.!
Bong Gan menoleh kepada
sucinya seperti orang minta pertimbangan, lalu terdengar dia berkata, ‘Suci,
kita tidak mengenal daerah ini, maka kalau enci Pek Lan ini sudah berbaik hati
untuk menunjukkan di mana adanya musuh besar itu, kurasa tidak ada salahnya
kalau kita memenuhi undangannya. Tidak tahu bagaimana pendapatmu?!
Bi Sian tidak melihat
pilihan lain kecuali mengangguk. Ia menyarungkan pedangnya kembali. Thai-yang
Suhu segera memberi hormat kepadanya. ‘Nona yang masih begini muda sudah
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga sebatang pedang pusaka yang ampuh
sekali. Kalau boleh pinto mengetahui apa nama pedang pusaka itu, nona.!
Bi Sian merasa bangga dengan
pedangnya. Ia menepuk gagang pedang di pinggangnya dan menjawab, ‘Totiang,
pedangku ini adalah Pek-lian-kiam peninggalan ayahku.!
Makin giranglah rasa hati
Thai-yang Suhu. Pek-lian-kiam, sebatang pedang yang patut menjadi miliknya,
bahkan menjadi lambang dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw! Akan tetapi
dia menyembunyikan kegirangan ini di dalam hatinya saja. Bagaimanapun juga,
pedang itu harus dapat menjadi miliknya!
Bong Gan dan Bi Sian
merasa kagum sekali ketika memasuki gedung besar yang didirikan di antara
pohon-pohon dalam hutan di lereng bukit itu. Sebuah gedung yang besar dan di
dalamnya mewah sekali, seperti rumah raja-raja maja layaknya. Dan di sekeliling
gedung itu terdapat banyak rumah-rumah, merupakan perkampungan yang dikelilingi
tembok seperti sebuah benteng saja. Itulah tempat tinggal Pangeran Maranta
Sing, pangeran Nepal yang menjadi buruan pemerintahnya, karena telah
memberontak itu. Dia tinggal di perbatasan itu bersama anak buahnya, yaitu
sisa-sisa para perajurit anggauta pasukan pemberontakan yang dipimpinnya dan
telah gagal itu.
Bong Gan dan Bi Slan
dijamu oleh Pangeran itu yang menyambut mereka dengan ramah dan hormat. Bong
Gan memperlihatkan kegembiraannya dan Bi Sian akhirnya juga merasa gembira
karena pihak tuan rumah sungguh ramah kepadanya.
‘Harap jangan khawatir
tentang Pendekar Bongkok,! kata Pangeran Maranta Sing sambil tersenyum,
memperlihatkan deretan gigi putih di balik mukanya yang kehitaman dan kumisnya
yang melintang panjang itu bergerak-gerak ketika dia bicara. ‘Kalau dia
berani datang ke daerah ini, sudah pasti kami dapat menangkapnya. Daerah ini
telah kami kuasai bersama Kim-sim-pang, maka harap ji-wi tenang saja. Kita
pasti akan dapat menangkapnya.!
‘Apa yang diucapkan
Pangeran Maranta Sing ini benar, adik-adikku yang baik,! kata Pek Lan.
‘Betapapun lihainya Pendekar Bongkok, dia tidak akan mampu menandingi Kim Sim
Lama, apalagi di sini terdapat ji-wi yang bekerja sama dengan kami. Nah, mari
kita minum demi berhasilnya kita menangkap Pendekar Bongkok!!
Mereka makan minum sambil
bercakap-cakap dengan gembira. Dari percakapan itu tahulah Bong Gan dan Bi Sian
bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang pangeran dari Nepal yang
bersekutu dengan Kim-sim-pang, dan betapa Kim-sim-pang menentang pemeribtah
Dalai Lama di Tibet. Kalau diam-diam Bong Gan merasa amat tertarik oleh
janji-janji dan harapan yang dibayangkan dalam percakapan itu oleh pangeran
Nepal itu maupun Thai-yang Suhu dan Pek Lan, Bi Sian sendiri sama sekali tidak
tertarik. Bahkan ia tidak ingin melibatkan diri dalam pemberontakan itu, karena
yang terpenting adalah menemukan Pendekar Bongkok dan membalas kematian
ayahnya!
‘Nona, cicipilah masakan
ini!! kata Pangeran Nepal itu ketika melihat Bi Sian belum mencicipi masakan
yang warnanya merah. Bong Gan sudah memakannya, akan tetapi gadis itu agaknya
tidak mau mencicipi masakan yang asing baginya itu. ‘Ini adalah masakan aseli
dari Nepal, lezat sekali dan merupakan masakan kehormatan bagi tamu yang
diagungkan!!
Bi Sian tertarik, dan
merasa tidak enak untuk tidak memperhatikan karena dikatakan bahwa masakan itu
adalah masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!
‘Pangeran, masakan ini
terbuat dari apakah?! tanyanya, masih merasa ragu untuk mencicipinya karena
warnanya yang merah seperti darah walaupun baunya sedap dan masih mengepul
panas.
‘Bahan masakan ini amat
langka dan amat sukar diperoleh karena ini adalah sumsum di dalam tulang
punggung beruang salju yang besar, kuat dan ganas! Karena merupakan sumber
kekuatan sebuah binatang raksasa, maka masakan ini selain lezat, juga
mengandung khasiat yang luar biasa untuk kekuatan dan kesehatan. Marilah nona,
sebagai tamu agung, nona harus mencicipinya!! Pangeren itu mempergunakan sebuah
sendok yang bersih, mengambilkan masakan itu dan menaruhnya ke dalam mangkok di
depan Bi Sian. ‘Dan engkau juga, saudara Coa Bong Gan, mari ambil lagi
masakan ini.!
Bong,Gan tersenyum.
‘Sudah sejak tadi saya memakannya dan memang lezat sekali, suci. Rasanya
seperti otak, akan tetapi masakannya memakai bumbu yang aneh dan sedap bukan
main. Juga terasa hangat di dalam dada dan perut. Cobalah, suci!!
Bi Sian semakin tertarik,
juga untuk menghormati tuan rumah yang demikian ramah dan hormat, ia lalu
mencoba mencicipi masakan itu. Memang lezat!
‘Adik Yauw Bi Sian,
harap jangan sungkan dan ragu. Ketahuilah bahwa Pangeran Maranta Sing ini
adalah seorang ahli obat dan ahli masak! Masakan sumsum tulang punggung beruang
itu memang hebat dan aku sendiripun sudah mesanakan khasiatnya!! kata Pek Lan.
‘Siancai, memang benar
sekali,! kata pula Thai-yang Suhu. ‘Pinto yang makan masakan itu merasa
seperti muda kembali! Masakan itu tentu dapat membuat orang berumur panjang,
dan dapat memperkuat tenaga sin-kang!!
Mendengar ucapan kedua
orang itu, Bi Sian semakin tertarik dan iapun tidak berkeberatan lagi untuk
makan masakan itu cukup banyak. Karena ia dan Bong Gan yang menjadi tamu
kehormatan, maka semangkok besar masakan merah itu diperuntukkan mereka berdua
dan mereka pun memakannya sampai habis! Bi Sian mulai merasa bergembira dan
merasa mendapatkan teman-teman yang menyenangkan. Maka iapun minum arak lebih
banyak dari pada biasanya. Apalagi arak yang disuguhkan itu manis dan harum,
terbuat dari anggur Nepal yang baik.
Setelah makan minum sampai
kenyang, wajah Bi Sian yang cantik itu telah berubah kemerahan dan mulutnya pun
hampir tak pernah hentinya tersenyum manis. Akan tetapi, ketika ia memegang
kepalanya dan kepala itu terkulai ke atas meja, Bong Gan cepat bangkit dari
tempat duduknya dan menghampirinya.
‘Suci, kau kenapa....?!
katanya lembut sambil menyentuh pundak gadis itu.
Bi Sian mengangkat muka,
tersenyum dan pandang matanya saja sudah jelas menunjukkan bahwa ia mabok! Dan
juga pandang matanya itu aneh, begitu sayu dan penuh gairah.
‘Sute.... aku.... ah,
agaknya terlalu banyak minum anggur, kepalaku agak pening....!
Pek Lan memberi isyarat
dengan pandang matanya kepada Bong Gan, lalu berkata, ‘Adik Bong Gan, kasihan
itu adik Bi Stan mabok. Ia butuh istirahat. Mari kuantar kalian ke kamar
kalian.!
Pek Lan bangkit berdiri
dan membantu Bong Gan memapah Bi Sian menuju ke sebelah dalam gedung itu,
diikuti pandang mata Pangeran Maranta Sing yang tersenyum lebar dan Thai-yang
Suhu mengangguk-angguk puas. Tidak percuma saja ia merupakan seorang ahli sihir
dan ahli ramuan obat beracun. Ia telah mencampurkan pembius yang lembut pada
anggur yang diminum Bi Sian, dan masakan yang disuguhkan Pangeran Maranta Sing
itu mengandung pula obat perangsang yang amat kuat!
Pek Lan membawa mereka ke
sebuah kamar yang besar dan mewah, di mana terdapat sebuah tempat tidur yang
lebar. Kembali Pek Lan memberi isyarat kedipan mata kepada Bong Gan dan pemuda
ini mengerti.
‘Nah, inilah kamar
kalian, adik Bong Gan. Biarkan adik Bi Sian beristirahat dan tidur, nanti
peningnya tentu akan hilang. Dan engkau juga perlu beristirahat, engkaupun
sudah minum terlalu banyak, adik Bong Gan. Kalian mengasolah!!
‘Tapi, enci Pek Lan!!
Bong Gan membantah. ‘Mengapa hanya satu kamar? Kamar ini untuk suci saja,
akan tetapi di mana kamarku?!
‘Pangeran hanya
memberikan sebuah kamar saja untuk kalian berdua, dan kurasa kamar inipun cukup
besar, tempat tidurnyapun cukup luas untuk kalian bardua. Nah, selamat tidur.!
Pek Lan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar sambil tersenyum kepada Bong
Gan.
Bi Sian hanya mendengar
sayup-sayup saja apa yang mereka bicarakan. Ia telah terlalu pening sehingga
tidak perduli lagi bahwa ia berada sekamar dengan sutenya.
‘Aku.... aku pening....
mau tidur....!! katanya dan ia hendak melangkah ke arah pembaringan, akan
tetapi ia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau tidak segera dirangkul oleh Bong
Gan.
‘Marilah, suci, mari kubantu
engkau.... akupun agak pening.... mari kita beristirahat....!!
Bong Gan memapah suci-nya
ke tempat tidur, lalu membantu sucinya berbaring. Dengan hati-hati dia lalu
meraba kaki suci-nya melepaskan sepasang sepatunya. Bi Sian terbelalak ketika
merasa kakinya diraba sute-nya dan sepatunya dilepaskan.
‘Sute.... kenapa.... kau
di sini....? Aku mau tidur, pergilah....!
Akan tetapi Bong Gan tidak
mau tidur, bahkan duduk di tepi pembaringan sambil menatap wajah suci-nya yang
rebah telentang. ‘Suci, kita mendapatkan satu kamar saja. Kamar ini untuk
kita berdua.!
Dengan mata sayu Bi Sian
menatap wajah pemuda itu. Gairah yang tidak wajar membakar dirinya dan wajah
sute-nya itu tampak tampan luar biasa.
‘.... kenapa begitu....
ah.... sudahlah, aku mau tidur....!
Tiba-tiba Bi Sian membuka
matanya lagi karena merasa betapa wajahnya dibelai tangan orang. Ketika ia
melihat tangan sute-nya meraba dun membelai kedua pipi dan dagunya, ia tidak
meronta hanya menegur lembut.
‘Sute.... jangan
begitu....!
‘Suci, alangkah
cantiknya engkau. Aih, suci, aku cinta sekali kepadamu, suci!! Dan Bong Gan
sudah memeluk, mendekap dan menciumi muka gadis itu.
Bi Sian dalam keadaan
setengah sadar, akan tetapi obat perangsang telah mulai menguasai dirinya.
‘Jangan, sute.... jangan....! mulutnya mendesah, akan tetapi kedua lengannya
balas merangkul leher pemuda itu.
Dan terjadilah apa yang
selalu diharapkan dan dirindukan Bong Gan. Dia berhasil menguasai diri
suci-nya, berhasil menggaulinya berkali-kali tanpa gadis itu menolak atau
memberontak, bahkan gadis itu, di luar kesadarannya, telah membalas semua
kemesraanya dengan penuh gairah. Akhirnya, jauh lewat tengah malam, keduanya
tidur pulas kelelahan, masih saling rangkul.
Pada keesokan harinya,
ketika pengaruh obat bius dan obat perangsang meninggalkan kepala dan tubuh Bi
Sian dan ketika gadis itu terbangun dari tidurnya, dapat dibayangkan betapa
kagetnya melihat dirinya dalam keadaan bugil tidur berangkulan dengan sutenya
yang juga berbugil! Dan seketika terasalah olehnya kelainan dalam dirinya,
tahulah ia apa yang telah terjadi! Ia telah melakukan hubungan dengan sute-nya,
hubungan suami isteri! Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, ia segera
mengenakan pakaiannya, kemudian meloncat turun dari atas pembaringan.
Sekali tendang,
pembaringan itu roboh dan Bong Gan terbangun gelagapan. Dia melihat sucinya
sudah berpakaian dan berdiri membelakanginya, dengan pedang Pek-liam-kiam
terhunus di tangannya.
‘Sute, kenakan
pakaianmu. Cepat!! Suara sucinya membentak dan jelas bahwa sucinya marah bukan
main.
‘Ehh.... kenapa kita....
kenapa aku di sini.... kenapa tidur di sini dan.... eh, apa yang telah kita lakukan
ini....?! Bong Gan bersandiwara, bicara dengan gagap dan gelisah.
‘Cepat pakai pakaianmu
kataku!! Bi Sian membentak lagi. Bong Gan segera mengenakan pakaiannya dan
turun dari atas pembaringan. ‘Sudah.... sudah kupakai, suci....!
Bi Sian membalik dan
pedangnya menyambar, dan sudah menempel di leher Bong Gan. Pemuda itu
terbelalak dan wajahnya pucat.
‘Suci.... kenapa.... kau
hendak membunuhku....?!
‘Coa Bong Gan!! Bi Sian
membentak marah. ‘Apa yang telah kaulakukan terhadap diriku selagi aku mabok?
Hayo katakan! Apa yang telah kaulakukan? Keparat engkau!!
‘Suci! Apa.... apa yang
kulakukan....? Suci, seharusnya suci bertanya apa yang kita lakukan! Aku....
aku sendiri tidak tahu, suci, aku tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi
pada kita....! lalu dengan hati-hati dia menambahkan, ‘.... suci, sayup-sayup
aku teringat.... bukankah engkaupun.... eh, mendukung terjadinya peristiwa itu
semalam....?!
Wajah yang cantik itu
menjadi merah sekali dan kini dari kedua matanya mengalir beberapa butir air
mata. Akan tetapi pedangnya masih menempel di leher Bong Gan.
‘Aku.... aku berada
dalam pengaruh obat bius dan obat perangsang, hal itu kini aku yakin sekali.
Dan kau.... kau menggunakan kesempatan itu untuk.... untuk....!
‘Suci, engkau sungguh
tidak adil! Kalau aku sejahat itu, tidak perlu menanti kemarahanmu, aku akan
membunuh diriku sendiri! Akan tetapi, suci, kalau engkau terbius, mengapa aku
tidak? Akupun sama saja seperti keadaanmu, suci. Aku tidak ingat apa-apa lagi,
dalam keadaan setengah sadar seperti dalam mimpi saja semua itu terjadi. Suci,
kenapa engkau menyalahkan aku kalau keadaan kita sama? Kita berdualah yang
bertanggung jawab, dan aku.... eh, cinta padamu, suci....!
‘Jangan sentuh aku!!
bentak Bi Sian ketika tangan Bong Gan hendak menyentuh lengannya dan iapun kini
menangis terisak-isak. Ia kini melihat kenyataan itu. Sutenya tidak bersalah.
Sutenya juga minum pembius dan obat perangsang yang sama! Pek Lan! Ini semua
gara-gara Pek Lan, wanita genit itu!
‘Hemm, perempuan jahat
itu harus mampus!! katanya dan iapun melompat ke arah pintu, mendorong daun
pintu dan berlari keluar.
‘Suci....!! Bong Gan
berseru dan mengejar dari belakang. Akan tetapi Bi Sian tidak berhenti, tidak
menoleh dan pada saat itu, kebetulan sekali ia melihat Pek Lan melangkah dengan
tenangnya menuju ke arah mereka. Sepagi itu, Pek Lan sudah nampak rapi dan
cantik, sudah mandi dan mengenakan pakaian bersih seperti baru. Ketika melihat
Bi Sian dan Bong Gan, Pek Lan tersenyum dan wajahnya berseri.
‘Ah, ji-wi (kalian)
sudah bangun? Selamat pagi....!! katanya dengan suara merdu dan gembira.
‘Manusia jahat, cabut
senjatamu dan lawanlah aku!! bentak Bi Sian dengan pedang melintang di depan
dada.
Pek Lan terbelalak.
‘Adik Bi Sian, ada apakah ini? Apa artinya sikapmu ini?!
Bi Sian menudingkan
pedangnya ke arah muka Pek Lan. ‘Tidak perlu berpura-pura lagi. Keluarkan
senjatamu atau kalau tidak, aku akan membunuhmu begitu saja!!
‘Tapi.... tapi kenapa,
adik Bi Sian? Adik Bong Gan, kenapa kalian bersikap seperti ini terhadap aku?
Bukankah sejak saling berkenalan, aku selalu bersikap baik terhadap kalian?!
Pek Lan bertanya lagi, kini mendesak Bong Gan untuk memberi keterangan.
Bong Gan segera berkata,
‘Enci Pek Lan. Siapa orangnya tidak akan menjadi marah? Kemarin kami
kauundang untuk makan minum. Setelah makan minum, kami berdua.... kehilangan
kesadaran, terbius dan terangsang, sehingga.... kami melakukan pelanggaran....!
Bi Sian memandang dengan
mata mencorong penuh kemarahan. ‘Pek Lan, engkau menipu kami, engkau membius
kami, penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!! Ia sudah siap bergerak
mengangkat kedua tangan ke atas.
‘Nanti dulu, kedua orang
adikku yang baik! Bi Sian, jangan terburu nafsu dan menuduh yang bukan-bukan
kepadaku. Ingatlah, bahwa aku dan guruku Thai-yang Suhu juga hanya merupakan
dua orang tamu saja di sini! Bagaimana mungkin kami yang melakukan itu? Makanan
dan minuman itu bukan dari kami. Dan apa gunanya kami melakukan hal yang
membuat kalian berdua melakukan hubungan suami isteri di luar kesadaran kalian
ini? Jelas, yang memberi obat bius dan obat perangsang dalam mekanan dan
minuman kalian bukan kami.!
‘Maranta Sing! Dialah
yang melakukan itu, suci! Bukan enci Pek Lan. Sekarang aku yakin, Pangeran
Nepal itulah yang meracuni kita!! kata Bong Gan kepada suci-nya.
Bi Sian termenung, lalu
iapun mengangguk-angguk, dan berkata, ‘Maafkan aku, enci Pek Lan. Kalau
begitu, pangeran keparat itu yang harus kubunuh! Aku akan mencarinya dan....!
Pek Lan menggeleng kepala.
‘Tahan dulu, adikku yang baik. Mari kita bicara di dalam kamarku. Harap
jangan terburu nafsu. Ingat, kita berada di dalam benteng di mana terdapat
ratusan orang perajurit Nepal! Mari, mari, di kamarku kita dapat bicara dengan
leluasa,! kata Pek Lan dan ia mendahului mereka menuju ke kamarnya yang tidak
jauh dari situ. Terpaksa Bi Sian menahan kemarahannya dan bersama Bong Gan
iapun mengikuti Pek Lan masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar itu tidak seluas
kamar mereka, akan tetapi juga mewah dan prabot kamarnya serba indah. Begitu
memasuki kamar, Bong Gan dan Bi Sian mencium bau semerbak harum.
Setelah mempersilakan
kedua orang itu duduk, Pek Lan lalu duduk di tepi pembaringan, menghadapi
mereka. ‘Ketahuilah kalian bahwa Pangeran Maranta Sing menyuguhkan makanan
yang mengandung obat perangsang itu, bukan suatu kejahatan, bahkan dia sengaja
melakukan hal itu untuk menyenangkan kalian yang dianggap sebagai tamu agung
yang dihormati.!
Dua orang kakak beradik
seperguruan itu terbelalak, lalu mereka saling pandang dengan penuh keheranzn.
‘Akan tetapi, enci Pek Lan!! seru Bong Gan.
‘Bagaimana mungkin kami
dapat percaya itu? Memberi obat bius dan perangsang kepada kami sehingga kami
berdua melakukan pelanggaran? Dan itu merupakan suatu penghormatan?
Mustahil....!
‘Aku tidak percaya!! Bi
Sian juga berseru.
Pek Lan tersenyum. ‘Akan
tetapi, sesungguhnyalah begitu, Memang lain bangsa lain pula kebiasaannya, lain
negara lain pula peraturannya, dua orang adikku yang manis. Ketahuilah bahwa
masakan sumsum tulang punggung beruang itu merupakan makanan langka yang luar
biasa, dan mengandung daya rangsangan yang kuat. Biasanya hidangan ini
diberikan kepada sepasang pengantin keluarga raja saja! Dan anggur merah itupun
amat keras, hanya bekerjanya amat halus seperti obat bius. Akan tetapi keduanya
merupakan hidangan yang mahal dan langka, hanya diperuntukkan tamu kehormatan.!
‘Akan tetapi, kalau
pangeran itu tahu akan pengaruh makanan dan minuman itu, mengapa dia
menyuguhkan kepada kami? Dan kami diberi satu kamar pula? Apa maksudnya kalau
bukan hendak menjerumuskan kami dan menghina kami?!
Pek Lan menggeleng
kepalanya. ‘Sama sekali dia tidak bermaksud menghina kalian. Karena kalian
merupakan dua orang muda yang melakukan perjalanan bersama, maka dia menganggap
bahwa tentu kalian memiliki hubungan yang lebih erat. Kalian dianggapnya
sebagai suami isteri atau dua orang yang sedang berpacaran, sehingga hidangan
itu bahkan dianggapnya membantu dan menyenangkan kalian.!
‘Akan tetapi dia sudah
tahu bahwa kami adalah kakak dan adik seperguruan!! Bi Sian berseru. ‘Kami
belum menikah....!!
‘Itu menurut pendapat
dan kebiasaan kalian! Akan tetapi menurut kebiasaan di Nepal, kalau seorang
pemuda dan seorang gadis melakukan perjalanan bersama selama berbulan-bulan,
maka tidak ada pendapat lain kecuali bahwa mereka adalah suami isteri, baik
sudah menikah atau belum. Karena itu, adik-adikku, harap kalian tenang.
Pangeran Maranta Sing tidak bermaksdd buruk. Pula semua itu telah terjadi, dan
kalau kulihat, kalian memang pantas untuk menjadi jodoh masing-masing. Kalau
memang kalian saling mencinta, apa salahnya peristiwa yang terjadi semalam?!
‘Tidak! Penghinaan ini
hanya dapat ditebus dnegan nyawa! Noda ini hanya dapat ditebus dengan darah!
Pangeran Maranta Sing harus mempertanggung jawabkannya! Aku mau mencarinya!! Bi
Sian berteriak dan ia sudah bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya.
‘Sabar dan ingatlah,
adik Bi Sian! Selain pangeran itu tidak berniat jahat menurut pendapatnya,
bahkan ingin berbuat menyenangkan tamu, juga kita berada di sini, di dalam
bentengnya! Bagaimana mungkin engkau akan melawan ratusan orang perajurit
Nepal! Bukankah itu sama halnya dengan bunuh diri?!
‘Aku tidak perduli! Aku
tidak takut! Bagiku, kehormatan lebih penting daripada nyawa!! Bi Sian berkata
dengan air mata bercucuran kembali karena ia teringat akan nasibnya yang telah
menderita aib.
‘Suci.... ah, harap
dengarkan apa yang dikatakan enci Pek Lan, suci. Kita berada di tengah benteng
mereka, kita tidak mungkin mampu melawan mereka....! Bong Gan berkata.
Tiba-tiba Bi Sian membalik
dan menghadapinya dengan mata berapi saking marahnya. ‘Sute! Engkau masih
berani berkata demikian! Engkau takut mati! Huh, enak saja engkau. Engkau
adalah seorang laki-laki, tentu tidak dapat merasakan penderitaun seorang wanita
yang telah menderita aib dan noda seperti aku! Kalau engkau takut mati, biarlah
aku sendiri yang akan menuntut kepada pangeran itu!!
Melihat sikap suci-nya
itu, tiba-tiba saja Bong Gan menjatuhkan diri berlutut di depan suci-nya sambil
menangis! ‘Suci, semua ini akulah yang bersalah! Aku telah menodaimu, aku
mendatangkan aib bagimu. Akulah yang membikin celaka sehingga kini suci
menghadapi bahaya maut. Aku telah menghancurkan kehidupanmu, suci. Sungguh aku
merasa menyesal sekali. Engkau adalah satu-satunya orang yang kumiliki,
satu-satunya orang yang telah menolongku, dan baik kepadaku. Engkau
satu-satunya orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku dan sekarang.... aku pula
yang mencelakakanmu. Aih, suci, kalau begitu, engkau bunuhlah aku lebih dulu
agar aku tidak lagi melihat penderitaanmu.!
‘Sute, cukup....!! Bi
Sian berseru dan tangisnya semakin menjadi-jadi. Melihat ini, Bong Gan maklum
bahwa siasatnya berhasil baik, maka diapun memperkuat tangisnya.
‘Suci, bagaimana mungkin
aku dapat hidup kalau melihat engkau sengsara karena aku? Sudahlah, kalau
engkau tidak mau membunuhku, biar aku sendiri yang akan menghabiskan nyawaku
agar rasa penaaaran di hatimu berkurang, suci. Suci, selamat tinggal,
suci....!! Bong Gan menyambar pedang milik Pek Lan di atas meja, mencabutnya
dan menggerakkan pedang menggorok leher sendiri! Tentu saja semua ini sudah
diatur sebelumnya dan merupakan siasat belaka. Pek Lan diam-siam sudah siap
siaga mencegahnya kalau Bi Sian diam saja. Andaikata Bi Sian mendiamkan saja
sute-nya membunuh diri, demikian siasat yang mereka atur sebelumnya, maka Pek
Lan yang akan turun tangan mencegah sehingga bunuh diri itu nampak
sungguh-sungguh.
Akan tetapi, permainan
sandiwara itu berhasil mengelabui mata Bi Sian. Melihat kenekatan sute-nya yang
dalam hal ini juga sama-sama menjadi korban obat bius dan perangsang, cepat Bi
Sian menendang ke arah pergelangan tangan sutenya yang memegang pedang. Pedang
itu terlepas dari pegangan dan Bong Gan menutupi mukanya sambil menangis.
‘Suci, kalau engkau
tidak dapat mengampuni aku, kenapa engkau tidak membiarkan saja aku membunuh
diri?! ratapnya. Bi Sian tidak menjawab, hanya menangis sesenggukan, hatinya
seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia memang suka sekali kepada sute-nya ini,
bahkan mungkin juga ada peraaaan cinta, karena sute-nya pandai mengambil hati.
Iapun tahu bahwa sutenya amat mencintanya dan kini, sutenya telah
memperlihatkan perasaan cintanya yang amat mendalam. Ia merasa terharu sekali
dan agak meredalah kemarahannya. Bagaimanapun juga, yang menodainya adalah
sutenya sendiri, orang yang amat mencintanya, dan yang besar kemungkinan akan
menjadi suaminya kelak. Kini, setelah peristiwa itu, bukan mungkin lagi bahkan
sudah pasti pemuda ini akan menjadi suaminya.
‘Aih, betapa
mengharukan. Sudahlah, adik Bi Sian. Aku ikut terharu melihat besarnya cinta
antara kalian, terutama sekali apa yang telah dibuktikan oleh adik Bong Gan.
Sungguh, dia mencintamu dan biarpun dia itu sutemu, akan tetapi aku melihat
bahwa dia lebih tua darimu dan kalian memang cocok untuk menjadi suami isteri
kelak. Sebaiknya kalian berdua ikut bersama kami menghadap Kim Sim Lama. Kalau
kalian bekerja sama dengan Kim-sim-pang, aku yang tanggung bahwa dalam waktu
singkat kalian akan dapat bertemu dengan Pendekar Bongkok.!
Bong Gan sendiri terkejut
mendengar ini. Apakah Pek Lan sudah mendengar dari anak buahnya tentang
Pendekar Bongkok? Nada suara Pek Lan demikian meyakinkan seolah-olah Pendekar
Bongkok sudah berada dalam kekuasaannya!
‘Jangan main-main,
enci!! kata Bi Sian sambil mengerutkan alisnya. ‘Aku baru mau bekerja sama
denganmu atau rekan-rekanmu kalau benar kalian dapat menemukan Pendekar
Bongkok. Benarkah engkau berani tanggung? Aku tidak mau tertipu!!
Pek Lan tersenyum manis.
Tentu saja ia berani bertanggung jawab karena ia telah mendengar dari
orang-orangnya bahwa Pendekar Bongkok telah menjadi tawanan Kim Sim Lama!
‘Aku tanggung. Bahkan aku berani menanggung bahwa kami akan dapat menawan
Pendekar Bongkok untukmu, adik Bi Sian.!
Bi Sian memandang Bong Gan
yang masih berlutut sambil menutupl mukanya. ‘Sute, bangunlah. Memang benar,
semua nasib manusia telah digariskan Thian. Aku tidak dapat mengingkari dan
tidak ada gunanya menyesali hal yang telah lalu. Baiklah, kini tidak mungkin
lagi aku menolak cintamu, menolak pinanganmu. Aku bersedia menjadl
isterimu....!
‘Suci! Terima
kasih....!! Bong Gan berseru gembira walaupun mukanya masih basah air mata. Dia
masih berlutut akan tetapi tidak lagi menutupi mukanya.
‘Hemm, sudah sewajarnya
kalau kita menjadi suami isteri. Akan tetapi tidak sekarang! Kelak, kalau kita
sudah berhasil membunuh Pendekar Bongkok, baru kita malangsungkan pernikahan.
Akan tetapi sebelum itum engkau tidak boleh menjamahku. Mengerti?!
‘Baik.... baik....! Bong
Gan kini bangkit berdiri dan menatap wajah suci-nya itu dengan pandang mesra.
‘Akan tetapi, setelah kini kita bertunangan, bolehkah aku menyebutmu Sian-moi
(dinda Sian)? Dan maukah kau menyebut aku Gan-koko (kanda Gan)?!
Wajah Bi Sian menjadi
kemerahan akan tetapi untuk mencegah agar persoalan itu tidak diperpanjang,
iapun mengangguk. Melihat ini, Pek Lan girang bukan main dan iapun cepat
memberi hormat kepada mereka bergantian sambil berseru, ‘Kionghi, kionghi
(selamat, selamat)!!
Biarpun wajahnya berubah
kemerahan, Bi Sian terpaksa menerima pemberian selamat itu sambil menggumamkan
terima kasih. Dan dengan wajah gembira bukan main Bong Gan juga menghaturkan
terima kasih, ucapan terima kasih yang bukan sebagai basa-basi belaka karena
dia bersungguh-sungguh merasa berterima kasih kepada Pek Lan. Pek lan yang
telah mengatur kesemuanya itu, sehingga dia berhasil memiliki diri Bi Sian, dan
dia berjanji di dalam hatinya untuk membalas jasa Pek Lan itu dengan pelayanan
semesra mungkin.
‘Nah, marilah kita
berangkat sekarang juga. Untuk mencegah suasana tidak enak, ji-wi (kalian
berdua) tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, biar kupamitkan nanti.
Kalian bersiaplah, kita berangkat sekarang bersama suhu.!
Bi Sian merasa senang
bahwa ia tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, karena biarpun ia
dapat mengerti bahwa pangeran itu tidak dapat terlalu dipersalahkan karena
memang tidak berniat buruk, namun totap saja kalau ia bertemu dengan pangeran
itu, tentu ia akan sukar menahan kemarahannya. Mereka berdua berkemas dan tak
lama kemudian Pek Lan dan Thai-yang Suhu datang menjemput mereka. Berangkatlah
mereka meninggalkan istana dalam benteng di lereng bukit dekat telaga Yam-so.
Mereka menunggang empat
ekor kuda dan di sepanjang perjalanan, pemandangan alam yang amat indah membuat
Bi Sian perlahan-lahan dapat melupakan peristiwa semalam yang dianggapnya
sebagai malapetaka. Ia dapat menerima kenyataan itu dan menganggap bahwa memang
sudah menjadi jodohnya untuk bersuamikan Coa Bong Gan maka terjadi peristiwa
memalukan itu. Tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya bahwa semua peristiwa
itu adalah hasil rencana siasat yang telah diatur oleh Pek Lan dan Bong Gan,
dibantu oleh Thai-yang Suhu dan Pangeran Maranta Sing!
***
Sie Liong duduk bersila di
dalam ruangan tahanan itu. Dia duduk bersila hanya karena naluri saja, atau
karena tubuhnya sudah terbiasa dengan sikap duduk seperti itu. Dia duduk
bersila seperti sebuah arca mati, tidak bergerak-gerak. Sudah hampir satu bulan
lamanya dia menjadi seorang tawanan yang sama sekali tidak berdaya. Bukan hanya
ingatannya hilang dan dia lupa segala, akan tetapi juga tubuhnya menjadi lemah
dan dia kehilangan tenaga sin-kangnya, atau kalau dia mencoba untuk mengerahkan
tenaga, dadanya seperti ditusuk rasanya. Pernah dia mancoba untuk keluar dari
kamar tahanan itu, akan tetapi setibanya di pintu, seorang penjaga
menghadangnya.
‘Hei, engkau tidak boleh
keluar dari kamar ini tanpa ijin,! kata si penjaga. ‘Hayo masuk kembali.
Makanan dan minuman akan diantar dari luar, dan kalau engkau hendak kencing
atau berak, baru boleh keluar dari sini, akan tetapi juga kami kawal!!
Sie Liong tidak ingat
mengapa dia berada di situ, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya dan bagaimana
asal mulanya! Dia banya tahu bahwa dia berada di sebuah kamar yang asing, dan
dijaga oleh penjaga yang jumlahnya sampai belasan orang, menJaga di luar pintu
kamar itu. Dia sudah mencoba mengerahkan ingatannya, namun gagal. Yang
diingatnya sejak dia sadar, seperti orang bangun tidur dan tahu-tahu sudah
berada dalam kamar itu.
‘Aku mau keluar. Aku
tidak suka di sini. Biarkan aku keluar dari sini,! katanya kepada penjaga.
‘Tidak boleh! Hayo kau
kembali, atau harus kupaksa?!
Sie Liong tidak ingat lagi
bahwa dia adalah Pendekar Bongkok. Tidak ingat bahwa dia seorang yang berilmu
tinggi. Dan memang pada dasarnya dia berwatak lembut dan tidak suka berkelahi,
maka biarpun dia merasa tidak senang dengan cegahan itu, dia tetap bersikap
lembut.
‘Sobat, aku tidak
mengenal engkau dan kawan-kawanmu itu. Aku tidak mempunyai uruman dengan
kalian, maka kuharap engkau tidak menahanku lagi. Biarkan aku keluar,! katanya
dan dia nekat melangkah hendak keluar dari kamar tahanan itu.
‘Tidak boleh keluar!
Kembali ke dalam kamar!! bentak penjaga itu dan melihat Sie Liong nekat hendak
melangkah keluar, dia lalu mendorong dada Sie Liong. Biarpun Sie Liong lupa
bahwa dia pandai ilmu silat, namun naluri tubuhnya bergerak dan otomatis tenaga
sin-kang dari pusar menerjang ke atas, ke arah dada. Akan tetapi, begitu tenaga
sin-kang itu bergerak, dia mengeluh karena dadanya terasa nyeri dan otomatis
dia membiarkan dirinya lemas lagi. Dorongan itu mengenai dadanya dan dalam
keadaan tidak bertenaga itu, diapun terjengkang dan jatuh telentang ke dalam
kamar tahanan kembali! Penjaga itu tertawa.
‘Ha-ha-ha, jangan harap
engkau dapat keluar tanpa ijin. Sekali lagi, aku bukan hanya mendorong
melainkan memukulmu!!
Sie Liong tidak menjawab.
Ada kenyataan baru yang diketahuinya, yaitu bahwa dia berada dalam tahanan,
dijaga oleh orang-orang yang kasar dan galak, dan bahwa tidak mungkin dia
melawan karena begitu mengerahkan tenaga, dadanya terasa nyeri. Maka, diapun tidak
begitu bodoh untuk mencari penyakit dan menyabarkan hatinya, lalu duduk bersila
kembali di atas pembaringannya.
Obat penghilang ingatan
yang dipaksakan masuk ke dalam perutnya oleh Thay Hok Lama mempunyai kekuatan
selama satu bulan. Dalam beberapa hari lagi Sie Liong akan memperoleh kembali
ingatannya. Akan tetapi apa gunanya? Selain racun penghilang ingatan, juga Thay
Hok Lama telah memberinya minum racun yang membuat dia akan merasa nyeri di
dada setiap kali mengerahkan sin-kang, dan kalau dipaksanya, berarti dia
membunuh diri sendiri. Darahnya telah keracunan.
Sambil duduk bersila,
pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah agak menipis sehingga samar-samar
Sie Liong mulai teringat akan dirinya sendiri. Dia mulai teringat bahwa namanya
Sie Liong, bahwa dia ditangkap oleh para pendeta Lama. Hanya itu yang baru
dapat diingatnya. Mungkin besok atau lusa, kalau pengaruh racun penghilang
ingatan itu sudah hilang, baru dia akan dapat mengingat seluruhnya atau
sebagian besar dari hal-hal yang lalu.
Akan tetapi, pada hari
itu, datanglah Thai-yang Suhu, Pek Lan dan kedua orang muda yang hendak bekerja
sama dengan Kim-sim-pang itu. Bi Sian dan Bong Gan melihat betapa tempat itu
dari luar hanya seperti sebuah kuil biasa, kuil Kim-sim-pang yang dikunjungi banyak
orang yang bersembahyang. Ketika mereka diajak masuk ke belakang kuil, melalui
pintu yang terjaga oleh para pendeta Lama, barulah mereka tahu bahwa pusat
Kim-sim-pang berada di belakang kuil, merupakan perkampungan yang dihuni para
pendeta Lama.
Kim Sim Lama gembira
sekali manerima dua orang tamunya, apalagi ketika mendengar laporan Pek Lan
bahwa Bong Gan dan Bi Sian adalah dua orang muda yang memiliki kepandaian
tinggi. Pek Lan sendiri sudah lebih dulu menggabungkan diri dengan
Kim-sim-pang, dibawa oleh Thai-yang Suhu.
‘Omitohud....! Kami
sungguh merasa beruntung sekali dapat bekerja sama dengan ji-wi (kalian), dua
orang muda yang lihai. Kalau perjuangan kami berhasil, tentu kami tidak akan
melupakan jasa ji-wi dan akan memberi imbalan yang pantas,! kata Kim Sim Lama
yang mengira bahwa mereka berdua itu, seperti halnya Pek Lan dan Thai-yang
Suhu, adalah dua orang petualang yang mengharapkan imbalan jasa yang besar.
Mendengar ini, Bi Sian
mengerutkan alisnya. ‘Maaf, lo-suhu. Kami berdua datang dan menerima
penawaran enci Pek Lan untuk bekerja sama bukan untuk mendapatkan imbalan. Kami
tidak mencari imbalan jasa!!
Pek Lan cepat memberi
penjelasan kepada Kim Sim Lama. ‘Hendaknya lo-suhu ketahui bahwa adik Bi Sian
dan adik Bong Gan ini mengajak bekerja sama untuk menghadapi musuh besar
mereka, yaitu Pendekar Bongkok! Sudah kujanjikan kepada mereka bahwa kita akan
membantu mereka menangkap Pendekar Bongkok, dan sebagai gantinya, mereka akan
membantu perjuangan kita.!
Kim Sim Lama tertawa
girang. ‘Ha-ha-ha, kiranya begitu? Bagus sekali! Ji-wi tidak datang di tempat
yang keliru. Pinceng (saya) mempunyai berita yang amat baik bagi ji-wi. Apakah
nona Pek Lan belum memberitakan kepada ji-wi tentang Pendekar Bongkok?!
Bi Sian menoleh kepada Pek
Lan dan ia menggeleng kepala. Pek Lan tersenyum. ‘Adik Bi Sian, lupakah
engkau ketika aku berkata bahwa aku yang tanggung akan tertangkapnya Pendekar
Bongkok? Nah, ketahuilah bahwa Pendekar Bongkok sudah tertawan oleh lo-suhu Kim
Sim Lama dan kini berada dalam tahanan.!
Mendengar ini, Bong Gan
menjadi girang bukan main. ‘Ah, benarkah itu? Kalau begitu, mari kita
menemuinya, Sian-moi!
‘Nanti dulu, aku masih
belum percaya benar bahwa dia telah tertawan di sini. Bagaimana demikian
mudahnya?! Bi Sian meragu, khawatir kalau tertipu. Ia masih belum percaya benar
kepada orang-orang yang baru dikenalnya.
‘Omitohud.... nona itu
terlalu bercuriga dan berprasangka. Nona Yauw, kalau ingin bertemu dengan
Pendekar Bongkok Sie Liong, mari pinceng ikut mengantarkan.!
Bi Sian dan Bong Gan
mengikuti Kim Sim Lama, Pek Lan dan Thai-yang Suhu menuju ke bagian belakang
sarang Kim-sim-pang itu. Setelah tiba di luar kamar tahanan, Kim Sim Lama
tersenyum.
‘Nah, kalian berdua
lihat baik-baik siapa yang berada di dalam kamar tahanan itu!!
Bong Gan dan Bi Blan
memandang ke dalam kamar yang daun pintunya terbuka dan dijaga oleh beberapa
orang pendeta Lama itu. Di atas pembaringan duduk seorang laki-laki bongkok
yang bukan lain adalah Sie Liong!
‘Tidak mungkin....! Bi
Sian barkata lirih melihat Sie Liong yang katanya ditahan itu ditahan begitu
saja di dalam sebuah kamar yang dijaga beberapa orang pendeta Lama.
‘Bagaimana dia begitu.... begitu.... jinak?!
‘Ha-ha-ha, tidak perlu
heran, nona. Dia kehilangan ingatannya, dan juga kehilangan tenaganya. Dia
menjadi seorang yang lemah, ha-ha!! Kim Sim Lama tertawa.
Mendengar ini, Bong Gan
memandang dengan mata mencorong. Dia amat takut daa benci kepada Sie Liong
karena dia dapat merasakan bahaya mengancam dari orang bongkok itu. Kalau
sampai rahasianya terbongkar, tentu dia akan celaka. Akan tetapi kalau Sie
Liong sudah tewas, tentu akan aman rahasianya bahwa dia yang membunuh Yauw Sun
Kok, bukan Sie Liong. Kini, mendengar bahwa pendekar itu kehilangan ingatan dan
kehilangan tenaga, dia melihat kesempatan yang baik sekali untuk membunuhnya.
Dilihatnya sebatang golok besar di atas meja depan kamar tahanan, agaknya itu
adalah senjata milik seorang di antara para pendeta penjaga.
‘Keparat Sie Liong,
engkau tidak layak dibiarkan hidup!! bentaknya dan sebelum semua orang dapat
mencegah, dia sudah menyambar golok itu, menerobos masuk ke dalam kamar tahanan
melalui pintu terbuka.
Mendengar teriakan yang
memanggil namanya ini, Sie Liong mumbuka mata. Dia terkejut melihat seorang
laki-laki muda yang tidak dikenalnya, atau yang tidak diingatnya siapa,
meloncat ke arah pembaringan dan mengayun golok menyerangnya! Gerakan orang itu
sedemikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mempunyai kesempatan untuk
menyingkir lagi. Hanya dengan gerakan naluri Sie Liong mengangkat lengan
kirinya untuk menangkis.
‘Jangan bunuh dia!!
terdengar seruan Kim Sim Lama yang merasa terkejut sekali. Namun terlambat,
golok di tangan Bong Gan itu sudah meluncur dengan cepatnya dan bertemu dengnn
lengan kiri Sie Liong yang menangkisnya.
‘Crokkkk!! Lengan kiri
yang menangkis itu, lengan yang tidak mengandung tenaga sin-kang, mana mungkin
kuat menahan golok besar yang amat tajam itu? Lengan itu terbabat buntung di
atas siku, dan buntungan lengan terlempar ke atas lantai. Sie Liong terbelalak,
tidak mengeluarkan keluhan, hanya memandang ke arah lengan kirinya yang buntung
dan darah muncrat-muncrat dan diapun roboh pingsan di atas pembaringan!
Bong Gan hendak
menyusulkan serangan maut ke arah tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu,
akan tetapi nampak bayangan merah dan Kim Sim Lama telah memukul ke arah lengan
kanan Bong Gan.
‘Tranggg....!! golok
yang berlumur darah itu terlepas dari pegangan tangan Bong Gan yang merasa
nyeri lengannya dan terkejut sekali.
‘Aih, adik Bong Gan,
kenapa engkau lancang menyerangnya? Losuhu Kim Sim Lama membutuhkan dia hidup!!
tegur Pek Lan, sementara itu Bi Sian memandang dengan mata terbelalak ke arah
Sie Liong yang rebah pingsan di atas pembaringan, kini sedang diperiksa oleh
Kim Sim Lama. Ia tidak melihat betapa Pek Lan memberi isyarat teguran kepada
Bong Gan dan pemuda ini nampak gelisah. Di dalam hatinya, ada perasaan iba
kepada pamannya itu, dan kemarahan kepada Bong Gan yang secara curang menyerang
Sie Liong yang sedang kehilangan ingatan dan tenaga itu. Akan tetapi, ingatan
bahwa Sie Liong membunuh ayahnya membuat perasaan iba itu menipis karena ia
berkeras mengusirnya.
Kim Sim Lama menotok jalan
darah di ketiak Sie Liong untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar
melalui lengan yang buntung, kemudian terdengar dia memanggil seorang penjaga
dap menyuruhnya memanggil Camundi Lama dengan cepat.
Setelah petugas itu pergi,
Kim Sim Lama bangkit dan memandang kepada Bong Gan, sinar matanya penuh
penyesalan. ‘Orang muda, sungguh engkau lancang sekali. Bagaimanapun juga,
Pendekar Bongkok ini adalah tawanan kami, dan engkau tidak berhak menyerangnya
tanpa persetujuan kami. Sudah pinceng katakan bahwa dia kehilangan ingatan dan
tenaga, kenapa engkau masih hendak membunuhnya?!
‘Maafkan saya, Losuhu.
Saya amat membencinya dan menjadi naik darah ketika melihatnya. Maafkan, saya
mengaku salah. Akan tetapi, Losuhu, kalau dia tidak dibunuh, lalu untuk apa?
Dia berbahaya sekali.!
Kim Sim Lama menyeringai.
‘Untung pinceng masih sempat menghalangi kelancanganmu sehingga dia tidak
sampai terbunuh. Karena lukanya, terpaksa rencana kami harus dipercepat. Kami
hendak mempergunakan dia, maka sampai sekarang kami menahannya dan sedang
mencari kesempatan baik untuk mempergunakan dia.!
Karena Pendeta Lama yang
tua itu jelas nampak tidak senang, Bong Gan tidak berani lagi banyak bertanya.
Apalagi ketika pendeta itu menggumam kepada Pek Lan. ‘Untung bahwa dia
bermaksud membantu gerakan kita, kalau tidak, sukar bagi pinceng untuk
memaafkannya.!
Penjaga yang diutus tadi
sudah datang bersama seorang pendeta Lama yang kurus tinggi dan gerak-geriknya
lembut. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan pandang matanya lembut,
akan tetapi dahinya penuh kerut merut seperti biasa terdapat pada wajah orang
yang banyak menderita tekanan batin.
‘Camundi Lama, cepat
engkau obati luka di lengannya yang buntung itu. Kami tidak ingin melihat dia
cepat-cepat mati.! Pendeta tua itu mengangguk tanpa menjawab, lalu menghampiri
Sie Liong dan memeriksanya. Setelah memeriksa beberapa lamanya, dia menarik
napas panjang.
‘Dia kehilangan cukup
banyak darah, dan detik jantungnya amat lemah. Dia membutuhkan perawatan yang
cermat. Pinceng akan merawatnya, harap kamar ini dikosongkan dan buntungan
lengan itu disingkirkan. Juga bekas-bekas darah dibersihkan.!
Kim Sim Lama mengangguk
dan berkata kepada semua orang, ‘Kita tinggalkan dia bersama Camundi Lama,
tabib kita yang pandai.! Dan kepada para penjaga dia memerintahkan agar
membuang buntungan lengan dan membersihkan percikan darah. Lalu dengan sikap
masih tak senang Kim Sim Lama meninggalkan kamar itu.
Pek Lan memberi isyarat
kepada Bong Gan dan Bi Sian untuk kembali ke kamar mereka. Thai-yang Suhu juga
kembali ke kamarnya sendiri. Akan tetapi Pek Lan ikut masuk ke dalam kamar Bong
Gan dan Bi Sian. Di dalam kamar yang disediakan untuk mereka berdua itu, Pek
Lan diam-diam merasa geli. Di situ hanya ada sebuah saja tempat tidur, akan
tetapi melihat betapa lantai kamar terdapat sebuah bantal, selimut dan buntalan
pakaian Bong Gan, mengertilah ia bahwa Bi Sian memegang teguh pendiriannya,
yaitu ia tidak sudi dijamah Bong Gan sebelum mereka menikah, yaitu setelah
mereka berhasil menemukan Pendekar Bongkok.
‘Adik Bong Gan, yang
sudah terjadi tadi sudahlah. Akan tetapi lain kali harap engkau suka
bertanya-tanya dulu sebelum melakukan sesuatu. Untung bahwa Kim Sim Lama tidak
marah tadi. Kalau dia marah, siapapun tidak akan mampu melindungi keselamatan
nyawamu lagi.!
Wajah Bong Gan menjadi
kemerahan dan di dalam hatinya, dia marah dan penasaran karena dipandang
rendah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan kemarahannya,
apalagi karena sejak tadi Bi Sian juga menghindarkan pertemuan pandang mata
dengannya dan alis gadis itu selalu berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.
‘Demikian lihaikah Kim
Sim Lama itu?! dia bertanya, seolah-olah hendak membalas dan memandang rendah.
Pek Lan tersenyum
memandang penuda yang sejak masih remaja pernah menjadi kekasihnya itu.
‘Aihh, adik Bong Gan. Engkau tidak tahu siapa losuhu Kim Sim Lama! Dia pernah
menjadi orang ke dua di seluruh Tibet! Dan tentang kelihaiannya? Hemmm, biarpun
kalian berdua juga amat lihai, namun aku pernah mencoba kalian dan menurut
pendapatku, kita bertiga ini mengeroyok Kim Sim Lama seorang diripun kita akan
kalah.!
‘Ah, demikian hebatkah
dia?! Bong Gan berseru dan terbelalak kaget.
Bi Sian melirik kepada
pemuda itu dan berkata dengan nada suara kesal. ‘Kalau tidak lihai, mana
mungkin dia dapat menawan Pendekar Bongkok? Tidak seperti engkau yang menyerang
orang yang sudah kehilangan ingatan dan tenaganya!!
‘Aihh, Sian-moi, kenapa
engkau berkata demikian? Bukankah semua itu kulakukan demi engkau! Demi
membalas sakit hatimu terhadap dia?!
Bi Sian bersungut-sungut.
‘Aku paling tidak suka perbuatan yang pengecut dan curang. Suhu pasti tidak
akan suka melihat perbuatanmu tadi! Kalau aku membalas dendam, tentu akan
kulakukan dengan cara orang gagah!!
‘Sian-moi, engkau tidak
adil....!
‘Sudahlah, untuk apa
kalian ribut-ribut dan bertengkar? Peristiwa itu sudah terjadi dan
bagaimanapun, adik Bong Gan belum membunuhnya. Tahukah kalian mengapa Kim Sim
Lama melarang Bong Gan membunuh Pendekar Bongkok?!
‘Kenapa, enci Pek Lan?!
Bi Sian bertanya karena iapun tertarik sekali. Ia mulai merasa heran mengapa
kini kebenciannya terhadap Sie Liong hampir tak terasa lagi, terganti rasa iba
dan khawatir! Yang terbayang di depan matanya bukan pembunuhan atas diri
ayahnya, melainkan semua kebaikan dan sikap penuh kasih sayang dari pamannya
itu kepadanya sejak mereka masih kecil!
‘Kim Sim Lama
membutuhkan Pendekar Bongkok hidup karena dia ingin melihat Pendekar Bongkok
mati di Lasha, bukan di sini, sehingga Dalai Lama yang akan bertanggung jawab
atas kematiannya, bukan Kim Sim Lama.!
‘Kenapa begitu?! Bi Sian
bertanya sambil mengerutkan alisnya. Hatinya sudah merasa tidak senang karena perbuatan
itu dianggapnya licik dan curang.
Pek Lan tersenyum.
‘Kalian memang perlu diberi penjelasan agar kalian tahu siapa yang kalian
bantu dan apa artinya perjuangan yang dilakukan Kim-sim-pang ini. Ceritanya
panjang, akan tetapi sebaiknya kupersingkat saja. Ketika Dalai Lama masih
kecil, Kim Sim Lama menjadi wakilnya dan semua urusan bahkan ditangani oleh Kim
Sim Lama atas nama Dalai Lama.
Akan tetapi setelah Dalai
Lama semakin besar, semua tindakannya tidak cocok dengan pendapat Kim Sim Lama.
Bahkan Dalai Lama mengutus para pembantunya untuk membunuhi banyak pertapa di
Himalaya. Para pembantu utamanya adalah Tibet Ngo-houw. Karena perbuatan itu
sesungguhnya tidak disukai oleh Kim Sim Lama, maka akhirnya terjadi
pertentangan dan Kim Sim Lama meninggalkan Lasha, membentuk Kim-sim-pang yang
bertujuan menentang kelaliman Dalai Lama. Bahkan Tibet Ngo-houw akhirnya juga
membantu perjuangan Kim Sim Lama.!
‘Kalau begitu,
Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak?! Bi Sian bertanya.
‘Bagi Dalai Lama tentu
begitu, akan tetapi bagi kami, kami sedang mengadakan gerakan perjuangan untuk
menentang kelaliman Dalai Lama.!
‘Akan tetapi, apa
hubungannya dengan Pendekar Bongkok? Dan mangapa pula Kim Sim Lama menghendaki
agar orang menduga bahwa Pendekar Bongkok terbunuh di Lasha oleh Dalai Lama?!
Bi Sian mendesak karena ia merasa tertarik sekali.
‘Pendekar Bongkok adalah
utusan yang mewakili para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah
dikejar-kejar dan dibunuhi atas perintah Dalai Lama. Karena Pendekar Bongkok
hanya tahu bahwa yang melakukannya terutama sekali Tibet Ngo-houw, maka dia
mencari Tibet Mgo-houw sampai ke sini. Kim Sim Lama sudah menjelaskan bahwa
Tibet Ngo-houw hanyalah petugas saja mentaati Dalai Lama, bahwa Dalai Lama yang
bertanggung jawab.
Bahkan Kim Sim Lama
mengajak Pendekar Bongkok untuk bersama-sama membantu perjuangan menentang
kelaliman Dalai Lama. Akan tetapi dia tidak mau bahkan menyerang Tibet
Ngo-houw. Dia memang hebat, lihai bukan main dan baru dia dapat tertawan
setelah Kim Sim Lama sendiri turun tangan. Begitulah keadaan yang sebenarnya.
Karena Dalai Lama yang memusuhi para tosu, maka Kim Sim Lama tidak mau membunuh
Pendekar Bongkok itu di sini. Kesalahannya harus ditimpakan kepada Dalai Lama
yang menjadi biang keladi.!
Mendengar keterangan itu,
diam-diam Bi Sian membayangkan keadaan pamannya itu. Jelas baginya bahwa
pamannya seorang pendekar yang menjunjung perintah guru-gurunya, yaitu Himalaya
Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su. Pamannya adalah seorang pendekar yang
melaksanakan tugas di Tibet ini dan kini ditimpa malapetaka. Sedangkan ia? Ia
dibantu Bong Gan hanya untuk melampiaskan nafsu dendamnya kepada pamannya itu.
‘Aih, paman,! keluhnya di dalam hatinya, ‘kenapa engkau tega membunuh
ayahku?!
Bab 23
‘Enci Pek Lan, kapan
Pendekar Bongkok itu akan dibunuh, dan bagaimana dengan rencana pembunuhan yang
akan dilakukan di Lasha itu?! tanya Bong Gan dan sekali ini suara dan isi
pertanyaan pemuda yang menjadi sutenya dan juga tunangannya itu terdengar amat
tidak sedap di telinga Bi Sian. Sedikit rasa suka dan kagum yang pernah
mengeram di hatinya terhadap pemuda itu kini menipis, bahkan timbul kembali
penyesalan yang mendalam bahwa ia dan sutenya itu menjadi korban obat bius dan
perangsang sehingga ia terpaksa harus menjadi isteri Bong Gan karena dirinya
telah ternoda oleh laki-laki itu!
Pertanyaan yang diajukan
Bong Gan itu menarik pula perhatian Bi Sian yang kini ingin sekali mengetahui
apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pamannya itu. Melihat pamannya buntung
lengan kirinya oleh sabetan golok Bong Gan dalam keadaan tak dapat melawan itu
saja sudah membuat hatinya terasa sedih bukan main, bahkan kini ia merasa heran
mengapa ia pernah begitu membenci pamannya dan ingin sekali membunuhnya!
‘Hal itu masih
dirahasiakan Kim Sim Lama, Bong Gun. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan dia
lakukan terhadap Pendekar Bongkok. Dan aku mengenal watak Kim Sim Lama, maka
aku tidak berani bertanya. Hanya kalau kita dipanggil dan diberi tugas, kita
harus melaksanakannya dengan baik. Nah, sekarang mengasolah dan harap jangan
dilanjutkan pertengkaran yang tidak ada gunanya itu.!
Akan tetapi Bong Gan
merasa benar betapa berubah sikap suci-nya stau calon isterinya itu terhadap
dirinya setelah terjadi peristiwa pembacokan tadi. Bi Sian bersikap dingin, dan
jarang sekali memandang kepadanya. Akan tetapi, diam-diam dia merasa girang
karena setelah lengannya buntung, tentu makin tidak ada harapan bagi Sie Liong
untuk melarikan diri. Dia tentu akan mati dibunuh Kim Sim Lama, dan amanlah rahasia
pembunuhan yang dia lakukan terhadap Yauw Sun Kok itu. Betapapun juga, melihat
sikap wanita yang pernah digaulinya, yang akan menjadi isterinya demikian
dingin, hatinya merasa kesal dan mendongkol juga.
Memang sejak terjadi
hubungan badan antara mereka karena Bi Sian terpengaruh obat bius dan
perangsang itu, dia selalu memegang janji dan tidak pernah dia berani menyentuh
calon isterinya itu. Akan tetapi setidaknya, sikap Bi Sian biasa dan baik,
tidak seperti malam ini. Kalau siang tadi Bi Sian menurunkan sebuah bantal,
sehelai selimut di sudut kamar itu yang menjadi isyarat bahwa dia harus tidur
di lantai malam itu, dia masih melihatnya dengan senyum saja. Akan tetapi
sekarang, melihat Bi Sian rebah miring manghadap ke dinding membelakangi dia
yang duduk di atas lantai, hatinya menjadi semakin mendongkol.
Melihat tubuh Bi Sian yang
membelakanginya, teringatlah Bong Gan akan peristiwa yang penuh kamesraan
baginya di malam itu, ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian menyerahkan
diri kepadanya! Tidak seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius sehingga dalam
keadaan setengah sadar, dia sadar sepenuhnya dan menikmati perbuatan mereka itu
sepenuhnya. Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah dalam hati Bong Gan
dan diapun bangkit dan menghampiri pembaringan Bi Sian.
‘Sian-moi....!
panggilnya lirih. Tubuh itu tidak bergerak, masih menghadap ke dinding,
membelakanginya.
‘Sian-moi....! kembali
dia memanggil lembut dan sekali ini dia duduk di tepi pembaringan, menjaga agar
jangan sampai tubuhnya menyentuh pinggul atau punggung Bi Sian.
Sekali ini Bi Sian
melirik. ‘Hem, mau apa engkau? Jangan duduk di sini!!
‘Sian-moi, masih
marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, Sian-moi?
Aku merasa menyesal sekali, aku tidak ingin menyinggung hatimu, Sian-moi. Kau
tahu betapa benar cintaku kepadamu....!
‘Sudahlah, jangan
bicarakan urusan itu lagi. Pergi sana, tidur!!
‘Sian-moi, jangan engkau
begini kejam. Aku.... ah, betapa rinduku kepadamu, Sian-moi.... perkenankanlah
aku menyentuhmu, aku.... ingin menciummu, satu kali saja, Sian-moi. Bukankah
kita akan menjadi suami isteri?!
Bi Sian bangkit duduk,
matanya bersinar marah. ‘Apa? Engkau hendak melanggar janji? Sudah kukatakan
sebelum kita menikah, angkau tidak boleh menyentuhku!!
Bong Gan terkejut dan
bangkit berdiri. ‘Akan tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku memegang
janji, aku hanya mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang khawatir
kalau-kalau engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku setelah
Sie Liong tewas.!
‘Aku tidak sudi
melanggar janji. Kalau Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita menghadap ibuku
dan mohon perkenan dan doa restunya, setelah itu baru kita melangsungkan
pernikahan.!
‘Tapi, Sian-moi, biarkan
aku berdekatan sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa engkau benar
sudah tidak marah lagi kepadaku....! Pemuda itu masih memohon.
‘Sudahlah, kalau engkau
masih merengek dan berani menyentuhku, baru aku akan menjadi marah benar! Kau
tidurlah!!
Bong Gan sudah mengenal
watak suci-nya itu yang tidak pernah mengeluarkan ancaman kosong belaka.
Hatinya menjadl kecewa sekali dan timbul kekesalan hatinya. Dia adalah soorang
pemuda yang tidak pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh wanita yang
sudah jelas akan menjadi isterinya! Bukan hanya tidak boleh mencumbu rayu,
bahkan menyentuhpun tidak diperkenankan. Sambil menarik napas panjang diapun mundur,
lalu berkata dengan nada suara kesal.
‘Daripada tersiksa tidur
di lantai dan memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih baik aku tidur di luar
kamar.! Setelah berkata demikian, diapun keluar dari kamar itu, dan menutupkan
kembali daun pintu kamar itu dari luar.
Tadinya Bi Sian tidak
perduli Bong Gan akan tidur di manapun juga. Akan tetapi, lapat-lapat ia
mendengar suara ketawa lirih di luar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan
suara ketawa itu tidak terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini
menimbulkan kecurigaan hatinya. Juga ia khawatir kalau-kalau Bong Gan
mendatangi lagi tempat tahanan untuk membunuh Sie Liong. Ia tidak ingin
sute-nya itu atau ia sendiri membunuh Sie Liong begitu saja. Ia akan lebih dulu
minta penjelasan kepada pamannya itu mengapa dia membunuh ayahnya. Setelah itu,
untuk membalas dendam, barulah ia akan menantang Sie Liong, dengan bantuan Bong
Gan. Itulah yang ia kehendaki ketika ia mencari Sie Liong. Bukan membunuhnya
dalam keadaan yang tidak berdaya seperti itu.
Kecurigaan dan
kekhawatirannya membuat Bi Sian cepat meloncat turun dari atas pembaringan,
dengan hati-hati sekali sehingga tidak mangeluarkan suara dan iapun manghampiri
pintu dan perlahan-lahan membuka sedikit daun pintu itu, mengintai keluar. Ia
masih melihat Bong Gan dan Pek Lan di dekat tikungan lorong, saling rangkul dan
berciuman sebelum mereka menghilang di balik tikungan itu.
Bi Sian menjadi bengong
dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bermacam-macam perasaan mengaduk
hatinya, terutama sekali kemarahan. Ia sama sekali tidak marah karena cemburu.
Tidak! Ia tidak perduli apapun yang dilakukan Bong Gan kini. Akan tetapi
mendapat kenyataan betapa pria yang terpaksa harus diterimanya sebagai calon
suaminya itu ternyata adalah seorang laki-laki yang rendah dan hina!
Sebagai tamu orang berani
berjina dengan wanita lain! Tadinya, ada dorongan untuk mengejar dan
memaki-maki mereka berdua. Akan tetapi segera timbul pikiran lain. Mengapa ia
harus marah? Ia menutupkan kembali daun pintu kamar itu, menguncinya dari dalam
dan iapun duduk di sisi pembaringannya, melamun.
Tidak! Tidak mungkin ia
menjadi isteri seorang laki-laki macam itu. Belum menjadi suaminya saja sudah
berani melakukan penyelewengan di depan matanya! Dan ia telah ternoda oleh pria
macam itu! Tak terasa lagi air matanya bercucuran turun membasahi kedua
pipinya.
‘Tidak!! Ia menahan
suaranya yang ingin berteriak. ‘Aku tidak sudi menjadi isterinya!! Dan
kembali ia teringat betapa ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak
akan menikah selama hidupku. Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong
Gan!
Tiba-tiba ia mengerutkan
alisnya. Tangisnya terhenti walaupun mukanya masih basah air mata. Terbayang
betapa Bong Gan dan Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi. Ah, itu
hanya membuktikan bahwa sebelum malam ini memang pernah ada hubungan antara
kedua orang itu. Dan peristiwa di malam jahanam itu, ketika ia terbius dan
terangsang oleh racun yang dicampurkan dalam makanan dan minuman, sehingga ia
menyerahkan diri kepada Bong Gan di luar kesadarannya, ketika hal itu terjadi
Pek Lan berada pula di dekat mereka. Hal ini menimbulkan kecurigaannya. Agaknya
ada sesuatu antara Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah
berjalan lama di luar pengetahuannya.
Bagaimana juga, ia sudah
mengambil keputusan untuk tidak mau menjadi isteri Bong Gan! Bagaimana kalau
pemuda itu menagih janji? Ah, mudah saja, pikirnya. Peritiwa malam ini dapat
dijadikan alasan mengapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh alasan yang
kuat sekali. Bi Sian tersenyum walaupun mukanya masih basah air mata. Sungguh aneh.
Ia kini merasa seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan iapun menyadari
bahwa kalau selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata yang
menyebabkan adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan! Kini,
setelah ia memperoleh alasan kuat untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa
ringan dan nyaman. Dan tak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas, dengan
beberapa butir air mata masih tergantung di bulu matanya akan tetapi dengan
mulut tersenyum manis!
!Omitohud.... Orang muda
yang malang....! berulang kali Camundi Lama berbisik ketika dia mengobati dan
merawat Sie Liong di dalam kamar tahanannya. Camundi Lama adalah seorang
pendeta yang usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus
dan gerak geriknya lembut. Dia adalah seorang tabib yang amat pandai di Tibet
dan dia sama sekali bukan seorang pendeta yang ingin memberontak terhadap Dalai
Lama. Sama sekali tidak. Kalau dia kini berada di situ adalah karena dia memang
diculik dan dipaksa oleh Kim Sim Lama untuk bekerja di situ.
Karena dia tidak
dilibatkan dalam pemberontakan, dan tugasnya hanya menjadi tabib untuk
mengobati orang sakit, maka Camundi Lama juga menerima nasibnya dan menjadi
tabib dalam Kim-sim-pang. Dia mendengar tentang beberapa perbuatan yang keras
dan jahat dilakukan oleh orang-orang Kim-sim-pang, namun dia tidak mau
ikut-ikut dan pura-pura tidak tahu saja. Akan tetapi, ketika dia mendengar
tentang Pendekar Bongkok dan kini merawatnya, di dalam hatinya timbul perasaan
kagum dan iba. Seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok, akan tetapi
memiliki keberanian yang luar biasa di samping ilmu silat yang kabarnya
setingkat dengan kepandaian Kim Sim Lama sendiri! Dan dia merasa kasihan sekali
melihat betapa pemuda bongkok itu kini sama sekali tidak berdaya. Selain
keracunan darahnya sehingga dia tidak mampu mengerahkan tenaga, juga dia telah
minum racun penghilang ingatan, dan kini ditambah lagi buntung lengan kirinya!
‘Kasihan, orang muda
yang malang....! untuk ke sekian kalinya pendeta Lama itu berbisik.
Sie Liong membuka matanya.
Ingatannya masih belum pulih sama sekali, akan tetapi pengaruh racun penghilang
ingatan itu sudah mulai berkurang. Walaupun dia belum ingat semua peristiwa
yang lalu, namun dia mulai dapat mengingat apa yang terjadi dalam waktu dekat.
Dia memandang ke kanan kiri.
‘Ling Ling.... dimana
Ling Ling....!
Camundi Lama membungkuk
untuk memeriksa pandang mata pemuda itu. Pandang mata itu sudah agak jernih,
pikirnya. ‘Siapakah Ling Ling, orang muda?!
Kini Sie Liong memandang
kakek itu. Samar-samar dia teringat bahwa kakek ini yang mengobatinya. ‘Ah,
Ling Ling....? Ia.... ia aku tidak ingat lagi, akan tetapi aku selalu ingat
namanya dan.... ah, sudahlah, aku tidak ingat lagi....!
Pendeta Lama itu semakin
iba. ‘Omitohud.... engkau sungguh seorang pemuda yang bernasib malang.!
Sie Liong yang tadi
memejamkan mata, membukanya kembali. Dia sudah tahu ketika siuman untuk pertama
kalinya bahwa lengan kirinya buntung, dan dia teringat bahwa buntungnya lengan
kirinya itu adalah karena dia menangkis bacokan golok seorang pemuda yang tidak
dikenalnya.
‘Aku tidak bernasib
malang, losuhu,! katanya dan dengan susah payah diapun bangkit duduk bersila.
‘Ah? Tidak? Akan tetapi
baru saja engkau kehilangan lengan kirimu, orang muda,! kata Camundi Lama,
terheran-heran melihat sikap pemuda itu yang tenang saja, seolah-olah
kehilangan sebuah lengan kiri hanya kehilangan sesuatu yang tidak berharga, dan
tidak apa-apa!
Sie Liong memandang ke
arah pangkal lengan kirinya yang buntung dan diapun tersenyum. ‘Kalau memang
sudah hilang, perlu apa disesali dan disedihkan, losuhu? Lengan itu tidak akan
tumbuh kembali karena disedihkan. Lengan hanya merupakan satu di antara prabot-prabot
perlengkapan badan saja.!
‘Omitohud....! Banyak
orang mengeluarkan ucapan seperti itu, dan sudah sering pinceng (aku)
mendengarnya akan tetapi semua ucapan mereka itu hanyalah pengertian teori
belaka. Akan tetapi engkau, engkau benar-benar kehilangan lengan kirimu dan
engkau masih dapat bersikap setenang dan seenak ini! Orang muda, engkau bukan
hanya kehilangan lengan kiri, akan tetapi juga kehilangan ingatanmu, dan juga
kehilangan tenagamu karena darahmu telah keracunan. Engkau tidak berdaya sama
sekali, dan setiap saat nyawamu terancam. Nah, apakah engkau sekarang tidak
akan merasa sedih dan menyesal?!
Sie Liong menggeleng
kepala sambil tersenyum, demikian wajar dan tidak dibuat-buat. Semua
penderitaan yang dialaminya itu seperti mendatangkan suatu penerangan baginya,
membuat dia seperti hidup baru.
‘Kenapa sedih dan
menyesal, loshu? Badan ini hanya seperti bayangan saja, setiap saat pasti akan
lenyap. Bahkan kalau seluruh badan ini matipun tidak perlu disesalkan, mengapa
baru kehilangan yang sedikit itu harus berduka? Tidak, losuhu. Aku masih hidup
dan akan tetap hidup, dan kalau Thian manghendeki, aku akan dapat mengatasi
sagala kesulitan.!
‘Omitohud.... semoga
Sang Buddha memberi penerangan kepada seluruh manusia. Orang muda, ilmu apakah
yang kaupergunakan, bagaimana caranya maka engkau dapat menerima segala derita
sengsara ini dengan senyum di bibir?! Dia memandang penuh kagum.
‘Tidak ada ilmunya,
losuhu, hanya dengan cara penyerahan kepada Thian Yang Maha Kasih, menyerahkan
segala-galanya kepada Thian sehingga apapun yang terjadi atas diriku adalah
sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak ada penyesalan apapun, yang ada hanya puji syukur
karena semua ini sudah dikehendaki oleh Thian, dan segala kehendak Thian pun
jadilah, dan tidak ada kekeliruan.!
Tiba-tiba kakek itu
tersedu dan merangkul Sie Liong. Ada beberapa butir air mata membasahi mata
kakek itu.
‘Ah, orang muda, pinceng
harus banyak belajar darimu.... jangan khawatir, pinceng akan mencoba untuk
menolongmu. Racun penghilang ingatan itu sudah menipis dan akan lenyap sendiri
pengaruhnya. Akan tetapi racun dalam darah yang membuat engkau terancam bahaya
luka dalam kalau mengerahkan sin-kang, akan kucoba untuk menyembuhkannya. Nah,
kauminumlah obat ini dulu, orang muda, untuk membuat luka di lenganmu cepat
mengering, juga untuk mencegah luka itu keracunan dan membengkak. Aku akan
membuatkan obat penawar racun di tubuhmu.!
Dengan taat Sie Liong
meminum obat itu, kemudian dia tetap duduk bersila sedangkan kakek itu sibuk
pula membuat ramuan obat baru untuk menghilangkan racun yang berada dalam darah
Sie Liong.
Tiba-tiba terdengar
langkah kaki di luar kamar tahanan itu. Bukan langkah kaki para pendeta Lama
yang bertugas jaga, melainkan langkah kaki yang mantap dan ternyata yang
memasuki kamar itu adalah Kim Sim Lama bersama lima orang Tibet Ngo-houw! Thay
Si Lama, orang ke dua dari Tibet Ngo-houw masih nampak agak pucat akan tetapi
dia telah sembuh, disembuhkan oleh Camundi Lama pula dari luka di dalam
tubuhnya ketika dia muntah darah dalam pertempuran mengeroyok Sie Liong tempo
hari. Melihat munculnya Kim Sim Lama, Camundi Lama cepat memberi hormat.
Satu-satunya orang yang dihormati Camundi Lama hanyalah Kim Sim Lama, bukan
saja karena Kim Sim Lama yang memaksanya untuk menjadi tabib di Kim-sim-pang,
juga karena Kim Sim Lama adalah bekas wakil Dalai Lama yang pantas dihormati.
‘Bagaimana keadaannya?!
tanya Kim Sim Lama sambil lalu, dan dia melangkah mondekati Sie Liong yang
masih duduk bersila, seolah-olah hendak memeriksa luka di lengan kiri Sie Liong
yang sudah dibalut kain putih oleh tabib itu.
‘Sudah hampir kering,!
jawab Camundi Lama.
Tiba-tiba tangan kanan Kim
Sim Lama bergerak monotok ke arah pundak kiri Sie Liong. Pemuda itu melihat
gerakan itu, akan tetapi karena lengan kirinya tidak ada, dia tidak mampu
berbuat sesuatu dan begitu pundaknya terkena totokan jari tangan Kim Sin Lama,
diapun terkulai lemas di atas pembaringan.
‘Ehh? Kenapa....?!
Camundi Lama berseru heran dan kaget.
Melihat Sie Liong sudah
terkulai dan pingsan, Kim Sim Lama sagera berkata kepada Camundi Lama.
‘Camundi, sebagai seorang tabib, tentu engkau tidak akan menimbulkan
kecurigaan kalau membawa janazah untuk dikuburkan di tanah kuburan di Lasha.
Nah, engkau kami tugaskan untuk melaksanakan penguburan di kuburan umum di
Lasha itu bersama beberapa orang yang akan memikul peti matinya. Jangan
khawatir, Tibet Ngo-houw akan mengawalmu dan melindungimu.!
‘Akan tetapi, siapakah
yang meninggal dunia?! Camundi Lama bertanya heran.
Kim Sim Lama menunjuk ke
arah tubuh Sie Liong yang terkulai di atas pembaringan.
‘Dia itu! Kami
menghendaki agar tubuhnya dapat bertahan sampai beberapa hari lamanya, maka
tidak kami bunuh dia. Dan engkau tidak perlu banyak bertanya, Camundi, semua
ini demi berhasilnya perjuangan kita!!
Melihat sinar mata
mencorong dari Kim Sim Lama, Camundi Lama menundukkan mukanya dan mengangguk
taat. Dia memang tidak berani membantah dan tidak berani menentang kehendak Kim
Sim Lama. Dia sama sekali tidak takut akan ancaman terhadap dirinya sendiri.
Sama sekali tidak! Akan tetapi, dia dibuat tidak berdaya karena Kim Sim Lama
mengancam akan membunuh seluruh keluarganya, saudara-saudaranya,
keponakan-keponakannya, kalau sampai dia menentang kehendak Kim Sim Lama.
Inilah yang membuat Camundi Lama tidak berdaya sama sekali dan selalu harus
mentaati segala perintah bekas wakil Dalai Lama itu.
Empat orang pendeta Lama
datang membawa sebuah peti mati yang tipis, dan atas pentunjuk Kim Sim Lama,
tubuh Sie Liong yang pingsan itu dimasukkan dalam peti mati itu lalu ditutup.
‘Agar tubuh itu tidak
cepat rusak, harus ada lubang untuk memasukkan hawa,!
kata Camundi Lama dengan
sikap bersungguh-sungguh. Kim Sim Lama memenuhi permintaan ini dan dibuat
sebuah lubang sebesar ibu jari kaki di peti itu, tepat di atas bagian kepala
tubuh Sie Liong. Kemudian pada hari itu juga peti mati itu dipikul oleh empat
orang pendeta, diiringkan belasan orang pendeta yang membaca doa dan di antara
mereka itu terdapat Camundi Lama yang diharuskan memimpin penguburan. Camundi
Lama memang sudah dikenal oleh semua orang sebagai seorang tabib yang pandai,
maka tentu saja kalau dia yang mengawal peti mati yang akan dikubur, tak
seorangpun menaruh curiga.
Karena orang-orang dapat menduga
bahwa yang dimakamkan itu tentulah seorang anggauta Kim-sim-pang, maka tak
seorangpun berani bertanya-tanya, bahkan mendekatpun tidak berani. Biarpun
pihak pemerintah belum mengumumkan bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan
pemberontak karena Dalai Lama masih sungkan terhadap Kim Sim Lama, namun semua
orang sudah tahu belaka bahwa Kim-sim-pang adalah suatu perkumpulan yang
didirikan Kim Sim Lama dan perkumpulan ini menentang pemerintah, walaupun tidak
secara terang-terangan.
Peti mati itu dikubur. Para
pendeta Lama yang melakukan penguburan itu tidak ada yang bicara, bekerja
seperti robot saja. Hanya Camundi Lama yang diam-diam merasa berduka. Dia
merasa kagum, iba dan suka sekali kepada pemuda bongkok itu, akan tetapi dia
sendiri tidak mampu berbuat sesuatu. Tadi dia hanya memasukkan obatnya dengan
paksa kepada Sie Liong yang masih pingsan, yaitu obat pemunah racun. Dia hanya
mengatakan kepada Kim Sim Lama bahwa obat itu adalah obat untuk membuat tubuh
itu tidak segera rusak kalau sudah menjadi mayat. Dan ketika penguburan
berlangsung, Camundi Lama juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah,
karena dia tahu bahwa secara sembunyi, lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw
tentu mengamati pelaksanaan penguburan itu.
Camundi Lama memasukkan
sebuah tabung dari bambu yang sudah dilubangi ruasnya ke dalam peti mati dan
ujung bambu itu mencuat keluar dari tanah, tersembunyi di antara tumpukan batu
yang sengaja diletakkan di atas tanah kuburan. ‘Tabung ini untuk memasukkan
hawa agar mayatnya tidak lekas rusak seperti dikehendaki oleh Kim Sim Lama,!
katanya kepada para pendeta Lama yang mengerjakan penguburan itu dan mereka
semua tidak ada yang membantah karena mereka percaya sepenuhnya kepada tabib
yang selalu menyembuhkan mereka kalau mereka terserang penyakit itu. Padahal,
Camundi Lama melakukan semua itu untuk memberi kesempatan kepada Sie Liong
mempertahankon hidupnya dan kalau mungkin membebaskan dia dari cengkeraman
maut. Akan tetapi mana mungkin?
Pemuda itu sudah
kehilangan tenaganya, pikirnya dengan hati duka. Akan tetapi dia segera
teringat akan ucapan pemuda bongkok itu. Menyerah kepada Thian! Dan kalau sudah
menyerah, lalu dikehendaki Thian bahwa Sie Liong masih dibiarkan hidup, apa
anehnya? Tidak ada yang tidak mungkin bagi Sang Maha Kuasa! Dan kalau kita
sudah menyerah, kalau kita sudah menyerah sepenuhnya seperti mati, tidak
sedikitpun ada usaha yang timbul dari nafsu hati dan akal pikoran, maka yang
bakerja adalah kekuasaan-Nya! Teringat akan ini, mulut yang tadinya cemberut
sedih itu mengembangkan senyum penuh harapan.
Para pendeta Lama itu
sagera meninggalkan tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan baru itu
dalam kesunyian. Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai beberapa
lamanya terus melakukan pengintaian sampai Camundi Lama dan para pendeta
lainnya meninggalkan tanah kuburan.
Kemudian, Tibet Ngo-houw
juga pergi setelah menyuruh seorang anak buah mereka melakukan pengamatan dari
jauh. Pengamatan ini harus dilakukan terus menerus dan secara bergantian.
Kemudian mereka kembali untuk memberi laporan kepada Kim Sim Lama.
Sebelum peti mati itu
diangkur keluar, Pek Lan berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong Gan.
‘Dia sudah mati.... dia sudah mati....! katanya dengan wajah berseri.
‘Enci Pek Lan, siapa
yang telah mati?! tanya Bong Gan, akan tetapi Bi Sian diam saja. Sikapnya amat
dingin terhadap Bong Gan dan Pek Lan semenjak malam hari itu, akan tetapi ia
tidak pernah menyinggung apa yang dilihatnya itu.
‘Pendekar Bongkok, dia telah
mati!! kata Pek Lan.
‘Apa....?! Tiba-tiba Bi
Sian bangkit berdiri dan dengan mata terbelalak den muka agak pucat ia
memandang kepada Pek Lan. ‘Siapa yang membunuhnya?! tanyanya dan suaranya
agak gemetar.
Melihat ini, teringat akan
sikap calon isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur,!Sian-moi? Kalau dia
matipun, mengapa? Mengapa engkau kelihatan pucat dan suaramu gemetar? Apakah
engkau berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?!
‘Tutup mulutmu!! Bi Sian
membentak marah. ‘Aku merasa penasaran karena dia harus tewas di tanganku!
Kenapa Kim Sim Lama membunuhnya? Aku akan menanyakan kepadanya!! Bi Sian sudah
berlari keluar dari dalam kamarnya.
‘Sian-moi....!! Bong Gan
hendak mengejar, akan tetapi lengennya disambar oleh tangan Pek Lan dan sekali
tarik, tubuh pemuda itu sudah berada dalam rangkulannya.
‘Biarkan dia pergi
menemui Kim Sim Lama. Dia akan mampu menghadapinya. Ada aku do sini, perlu apa
engkau mengejar calon isteri yang amat galak itu?!
Bong Gan tertawa dan balas
merangkul.
Sementara itu, Bi Sian
mencari Kim Sim Lama dan mendengar bahwa pendeta itu berada di dalam ruangan
samadhi di belakang. Ia tidak perduli dan melihat ruangan itu terbuka pintunya,
iapun melangkah masuk. Kiranya Kim Sim Lama sedang duduk bersila akan tetapi
tidak bersamadhi, dihadapi oleh lima orang pendeta lain yang pernah
diperkenalkan kepadanya sebagai Tibet Ngo-houw. Dengan sikap gagah Bi Sian
masuk, akan tetapi iapun masih ingat bahwa ia seorang tamu di situ, maka iapun
memberi hormat kepada Kim Sim Lama dan berkata.
‘Losuhu, maafkan saya
mangganggumu. Akan tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa losuhu telah
membunuh Pendekar Bongkok. Benarkah itu?!
Dengan sikap tenang Kim
Sim Lama memandang Bi Sian sambil tersenyum. Akan tetapi Tibet Ngo-houw menjadi
marah. Melihat ini, Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para pembantunya untuk
tetap tenang dan diapun berkata kepada gadis itu,
‘Nona Yauw Bi Sian,
silakan duduk dan mari kita bicara sebagai tuan rumah dan tamunya yang sudah
saling bersahahat.!
Bi Sian menyadari
kekasarannya, maka iapun segera duduk di atas lantai karena ruangan samadhi itu
tidak mempunyai kursi atau bangku, akan tetapi lantainya bertilamkan babut
tebal yang halus.
‘Nona Yauw, kalau benar
pinceng membunuh Pendekar Bongkok, apakah hubungannya hal itu denganmu? Harap
nona jelaskan,! kata Kim Sim Lama.
‘Tentu saja ada
hubungannya yang erat sekali, losuhu. Aku meninggalkan rumah demikian jauhnya
hanya untuk mencari Pendekar Bongkok yang telah membunuh ayahku. Aku ingin
lebih dulu mendengar dari dia mengapa dia membunuh ayahku yang masih cihu-nya
(kakak iparnya) sendiri, setelah itu baru aku ingin membalas dendam kepadanya.
Akan tetapi sekareng, tahu-tahu sekarang dia telah dibunuh!!
‘Nona, dengarlah
baik-baik. Pendekar Bongkok itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi musuh kami
juga. Bukan hanya engkau yang ingin membunuhnya, akan tetapi kami juga. Dan
ketika engkau datang hendak bekerja sama dengan kami, Pendekar Bongkok telah
menjadi tawanan kami. Kalau kami yang menawan, lalu sekarang kami yang
membunuhnya, bukankah itu sudah menjadi hak kami? Kalau benar nona membencinya
dan menganggapnya sebagai musuh besar, tentu nona kini berterima kasih sekali
kepada kami yang telah menangkap dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas jasa
kami itu dengan bantuanmu terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau
membalas jasa atas kematian Pendekar Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu
hanya berarti bahwa nona sebenarnya tidak membenci Pendekar Bongkok, melainkan
malah hendak membelanya!!
‘Tidak! Dia memang musuh
besarku, dia telah membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh sendiri
dengan tanganku....!
Pada saat itu terdengar
suara di sebelah kiri, ‘Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci Pendekar Bongkok,
bukan?! Bi Sian menengok ke kiri dan ia bertemu dengan lima buah wajah yang
memiliki sinar mata mencorong dan ia merasa jantungnya bergetar hebat. Ia
merasa dirinya lemah dan tidak berani menentang lagi karena lima pasang mata
dari Tibet Ngo-houw itu mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat. Ia tidak
tahu bahwa sejak tadi Tibet Ngo-houw telah mengerahkan tenaga sihir mereka,
mempersatukan tenaga dan mulai menguasainya.
‘Aku.... aku membenci
Pendekar Bongkok....! Jawabnya seperti bukan kehendaknya sendiri, atau
kehendaknya sendiri akan tetapi hanya untuk membuat pengakuan yang wajar yang
bertentangan dengan suara hatinya! Ia sendiri memang percaya bahwa ia membenci
Sie Liong. Mengapa tidak! Sie Liong telah membunuh ayah kandungnya! Ia memaksa
diri sendiri untuk membenci Sie Liong walaupun suara hatinya membisikkan lain.
‘Kalau begitu, engkau
harus berterima kasih kepada Kim Sim Lama yang telah menewan dan membunuh musuh
besarmu,! kata lagi suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi juru bicara
karena di antara lima orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama memiliki ilmu sihir
yang paling kuat.
Kemauan dalam batin Bi
Sian menjadi lemah dan di luar kehendaknya sendiri, ia mengangguk dan berkata,
‘Aku berterima kasih....!
‘Nona Yauw Bi Sian,!
kini terdengar Kim Sim Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti menyusup
ke dalam kepala dan jantung Bi Sian rasanya, ‘Untuk menyatakan terima
kasihmu, mulai saat ini engkau akan membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!!
‘Aku akan membantu
Kim-sim-pang....! kata pula Bi Sian.
‘Nona, engkau akan
mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama!! terdengar suara kecil
melengking tinggi dari kanan. Bi Sian menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu
adalah Thai-yang Suhu, pendeta Pek-lian-kauw itu. Entah bagaimana, mendengar
ucapan itu, ia marasa setuju sekali dan iapun menjawab, suaranya
bersungguh-sungguh.
‘Aku akan mentaati
sagala yang diperintahkan Kim Sim Lama.!
Gadis itu tidak tahu bahwa
ia berada dalam cengkeraman pengaruh sihir yang amat kuat, karena pengaruh
sihir itu datang dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama, Tibet Ngo-houw,
dan Thai-yang suhu.
‘Nah, sekarang engkau
boleh kembali ke kamarmu, nona Yauw,! kata pula Kim Sim Lama. Bi Sian mengangguk,
bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya sambil
mulutnya berbisik-bisik seperti anak sekolah menghafalkan pelajarannya. ‘Aku
akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama....!
Bi Sian menjadi seperti
boneka hidup dan ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan pakaian dan rambut
kusut keluar dari kamarnya, ia bahkan sama sekali tidak perduli, masuk ke dalam
kamar, merebahkan diri di pembaringan den memejamkan mata untuk tidur, mulutnya
masih mengulang kedua kalimat itu, ‘Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan
mentaati Kim Sim Lama....!
Bong Gan dan Pek Lan dapat
mendengar bisikan itu. Mereka berdua tersenyum, lalu bergandeng tangan menuju
ke kamar Pek Lan untuk melanjutkan kemesraan yang tadi terganggu dengan
kembalinya Bi Sian.
***
Camundi Lama tidak tahu
betapa tepat dan benarnya, kebenaran yang mutlak dan tidak dapat dibantah pula,
bahwa kekuasaan Thian dapat melakukan apa saja yang menurut akal pikiran tidak
mungkinpun dapat terjadi dengan mudahnya kalau Thian menghendaki. Kebenaran
yang mutlak ini terjadi setiap saat di alam semesta, akan tetapi manusia tidak
memperhatikannya, tidak sadar dan waspada sehingga mengira bahwa yang terjadi
adalah akibat daripada usaha manusia.
Camundi Lama hanya melihat
kebenaran yang terkandung dalam ucapan Sie Liong, tidak melihat bahwa kebenaran
itu sedang terjadi, telah terjadi dan akan selalu terjadi di sekelilingnya. Dia
tidak menyadari bahwa dirinya pun telah menjadi alat yang dipergunakan Thian
untuk menyelamatkan Sie Liong. Ketika Sie Liong siuman dan membuka kedua
matanya, dia tidak melihat apa-apa. Gelap pekat saja yang nampak. Dia
memejamkan kedua matanya kembali dan mengingat-ingat.
Tepat pada hari itu
habislah sudah seluruh sisa pengaruh racun penghilang pikiran dan ingatannya
kembali lagi. Ke-waspadaan timbul kembali, terasa di seluruh tubuh. Teringatlah
dia bahwa dia sedang melaksanakan tugasnya menyelidik ke Kim-sim-pang, kemudian
dia teringat akan perkelahian melawan Tibet Ngo-houw dan akhirnya dia roboh
karena Kim Sim Lama membantu mengeroyoknya. Hanya sampai di situ saja
ingatannya, kemudian dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya.
Tahu-tahu dia berada di sini!
Dia membuka mata lagi,
akan tetapi sia-sia saja. Semuanya gelap. Sudah butakah kedua matanya? Dia
menggerakkan tangan, dan meraba-raba. Ternyata dia berada di dalam sebuah peti!
Dia meraba-raba kedua matanya. Tidak, dia tidak buta, hanya berada di dalam
sebuah peti yang teramat gelap. Kembali dia mencoba untuk mengingat-ingat dan
samar-samar dia teringat bahwa dia ditawan dalam sebuah kamar, dijaga
pendeta-pendeta Lama, dan teringat pula dengan hati terkejut bahwa dia pernah
diserang searang pria dengan golok, ditangkis dengan lengan kirinya dan lengan
kiri itu buntung. Cepat tangan kanannya bergerak lagi meraba lengan kiri.
Buntung! Lengan kirinya benar buntung! Tinggal sisa pangkal lengan saja
sedikit.
‘Ya Thian....!! Dia
berseru lirih. Sampai beberapa lamanya dia berdiam diri, di dalam hatinya
bertanya-tanya kepada Thian mengapa lengan kirinya harus buntung. Akan tetapi,
kembali dia menyandarkan diri kepada kekuasaan Thian. Kalau memang Thian
menghendaki, jangankan hanya sebuah lengan kirinya, biar seluruh tubuhnya
dihancurkan, biar nyawanya dicabut, dia rela, dia menyerah penuh kepasrahan!
Begitu ada penyerahan yang tulus ini, diapun merana aman dan tenteram.
Pikirannya menjadi terang dan tenang sekali.
Tanpa mengingat sedikitpun
lagi tentang lengan kiri yang buntung, dia menggunakan tangan kanan meraba-raba
dan akhirnya dia menemukan lubang di atas kepalanya. Ada lubang sebesar ibu
jari kaki pada peti itu dan ketika dia meraba dengan jari telunjuk, dia tahu
bahwa lubang itu tersambung sebatang tabung ke atas dan agaknya itulah yang
menyebabkan dia tidak mati kehabisan napas. Hawa udara segar masuk dari tabung
itu!
Dia mencoba untuk
menggerakkan tangan kanan dan kedua kakinya, untuk mancoba kekuatan peti itu.
Akan tetapi ternyata tenaggnya lemah sekali. Dan teringatiah dia bahwa sebelum
ini, kalau dia mengerahkan tenaga, bukan saja tenaganya lemah, akan tetapi juga
dadanya terasa nyeri. Agaknya penyakit itu telah sembuh! Akan tetapi tenaganya
masih tetap lemah, seolah-olah semua tenaga sin-kanghya lenyap. Dan dia pun
kini teringat bahwa ada orang yang mengobatinya. Camundi Lama! Pendeta yang
kurus tinggi itu, yang mengobatinya di dalam kamar tahanan. Ah, benar! Ketika
itu tabib yang baik itu sedang mengobatinya, lalu muncul Kim Sim Lama dan Tibet
Ngo-houw, dan Kim Sim Lama menotoknya!
‘Hemm, mereka memasukkan
aku ke dalam sebuah peti, seperti peti mati bentuknya, dan melihat gelapnya,
dan mencium bauh tanah ini, dengan tabung memasukkan udara segar, hemm....
agaknya peti ini berada di dalam tanah!! Dia terbelalak, namun tetap saja gelap
gulita. ‘Ah, merka telah menguburkan aku. Mereka mengubur aku hidup-hidup!!
Kembali perasaan khawatir dan takut menghantuinya, namun hampir barbareng,
kesadaran menyerahkan diri kepada Thian mengusir itu semua. Dia harus panrah,
percaya sepenuhnya akan kekuasaan Thian.
‘Kekuasaan Thian berada
di manapun juga,! demikian pernah Pek Sim Sian-su berkata, ‘di tempat yang
paling tinggi maupun paling rendah, dalam benda yang paling besar sampai yang
paling kecil, di atas langit maupun di bawah bumi....!
‘Di bawah bumi.... ah,
di sini pun terdapat kekuasaan Thian! Ya Thian, hamba menyerah, hamba pasrah,
apapun yang Thian kehendaki jadilah!! Hati Sie Liong bersorak dan pikirannya
semakin terang. Dia mulai menggunakan pikirannya kembali. Jelas, dia berada di
dalam sebuah peti dan peti itu dikubur. Entah mengapa, petinya berlubang dan
ada tabung yang memasukkan hawa udara segar. Orang tidak menghendaki dia cepat
mati. Tentu ini parbuatan Kim Sim Lama, akan tetapi untuk apa dia tidak tahu
dan tidak berniat menyelidiki karena hal itu akan sia-sia saja. Yang penting
sekarang harus mencari jalan untuk keluar dari tempat ini. Kembali dia
menggerakkan kedua kaki dan sebelah tangannya untuk mencoba memecahkan peti.
Akan tetapi ruangan itu
terlalu sempit, dan tenaganyapun terlalu kecil. Percuma saja, pikirnya. Dan
pula, andaikata peti itu dapat dipecahkan, dia tetap masih di dalam tanah.
Lebih celaka, kalau sampai tabung hawa itu patah dan kemasukan tanah, tentu dia
tidak akan dapat bernapas lagi dan itu berarti kematian yang mengerikan. Tidak,
dia tidak boleh terburu nafsu, tidak boleh putus harapan. Kalau orang memasang
tabung itu, berarti mereka tidak menghendaki dia mati dan tentu merekapun akan
mengeluarkannya lagi sebelum dia mati.
Dia mengingat-ingat
percakapannya dengan tabib Tibet itu. Dia terkena racun penghilang ingatan,
akan tetapi agaknya racun itu telah kehilangan daya kerjanya, maka sekarang dia
dapat mengingat-ingat lagi. Dan menurut tabib itu, dia juga keracunan. Darahnya
keracunan sehingga dia kehilangan tenaga sin-kangnya dan setiap kali
mengerahkan tenaga, tadinya dadanya terasa nyeri. Sekarang, dada itu telah
tidak nyeri lagi, namun tenaganya masih belum pulih. Tentu tabib itu telah
berhasil mengobatinya, namun belum sembuh sama sekali sehingga baru rasa
nyerinya yang hilang. Tenaga sin-kangnya belum kembali.
Kembali dia menggerakkan
tangan kanan, menekan ke arah peti. ‘Krek.... krekk....!! Peti itu retak oleh
dorongannya. Tenaga biasa, bukan tenaga sin-kang, akan tetapi karena memang dia
memiliki tubuh yang terlatih, tenaganya cukup besar. Begitu terdengar suara
berkeretekan, peti sedikit terbuka dan ada tanah dan pasir masuk dan menimpa
mukanya! Dengan cepat dia memejamkan mata dan menggunakan tangan kanan membersihkan
muka. Celaka, pikirnya. Kalau dia berhasil memecahkan peti itu, dia akan
tertekan tanah dan pasir, dan akan mati kehabisan hawa udara. Kini dia malah
tidak berani bargerak sama sekali karena setiap kali bergerak agak keras, ada
tanah dan pasir jatuh ke dalam peti yang sudah retak itu.
Tenang, Sie Liong,
tenanglah dan pergunakan akalmu. Akal juga pemberian Thian yang harus
dipergunakan pada saat yang dibutuhkan, seperti sekarang ini! Dia memang sudah
menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Thian namun di samping itu dia harus
berikhtiar, berusaha menggunakan segala alat yang ada padanya, pikirannya,
akalnya, tenaganya yang ada pada seluruh tubuh. Kekuasaan Thian membimbing,
akan tetapi bimbingan itupun tentu disalurkan melalui alat-alat yang ada
padanya.
Diapun mengingat-ingat.
Dia berada di dalam bumi! Di dalam tanah. Dan tiba-tiba teringatlah dia akan
pelajaran yang pernah diberikan Pek Sim Sian-su kepadanya, yaitu pelajaran
tentang tenaga-tenaga mujijat yang berada dalam alam semesta ini. Tenaga dahsyat
yang terdapat dalam api, dalam air, dalam hawa, dalam logam dan dalam tanah!
Dalam tanah terdapat tenaga yang maha dahsyat, demikian kata gurunya itu.
Tenaga Inti Bumi! Tenaga inilah yang menghasilkan segala zat, segala makanan,
segala benda di dunia ini. Yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan, yang mengeluarkan
hawa panas, yang mengeluarkan apa saja. Bumi nampak lemah dan diam.
Namun segala yang nampak
ini berasal dari bumi dan akan kembali ke bumi pada akhirnya! Bumi mengandung
tenaga dan daya tarik yang hebat, mengandung energi yang maha dahsyat. Dalam
bumi, dalam tanah, tedapat kekuasaan Thian, yaitu energi yang maha dahsyat itu!
Dan dia hanya tinggal menyerah dengan pasrah, dan kalau Thian menghendaki, maka
tentu dia akan kebagian sedikit tenaga dahsyat itu. Sedikit saja, cukup untuk
membuat dia keluar dari dalam kurungan maut itu.
Mulailah Sie Liong
mengatur pernapasan melalui lubang dalam tabung itu, mulai dia menghimpun hawa
murni dan membangkitkan tenaga saktinya. Perlahan-lahan, dengan penuh penyerahan
kepada Thian Yang Maha Kasih, dia mulai merasakan adanya hawa yang hangat
memasuki tubuh melalui napas yang dihisapnya. Hawa yang hangat ini berputar di
dalam pusarnya, seolah membangkitkan kembali tenaga saktinya yang nampaknya
tertidur itu, dan hawa murni yang terhisap olehnya itu kini bercampur dengan
sesuatu yang belum pernah dirasakannya.
Berbeda dengan hawa murni
yang dihimpun ketika dia latihan di atas sana, di atas tanah. Kini ada sesuatu
yang kadang panas kadang dingin, kadang menyesakkan dada, terbawa masuk ke
dalam tubuhnya, berkumpul di dalam pusar. Dia tidak tahu bahwa tanpa
disadarinya, tanpa disengaja, dia mulai menghimpun Tenaga Inti Bumi!
Itulah kekuasaan Thian
yang sudah diyakininya. Agaknya Thian menghendaki demikian sehingga tanpa
disengaja, nampaknya secara kebetulan saja, Sie Liong dapat menghimpun Tenaga
Inti Bumi sewaktu dia dikubur hidup-hidup dalam peti! Dan kebetulan sekali
pula, sesungguhnya bukan kebetulan melainkan sudah digariskan dan diatur oleh
kekuasaan Thian, pada saat itu racun dalam darahnya mulai dibersihkan oleh obat
yang dimasukkan ke dalam perutnya oleh Camundi Lama. Darahnya sudah bersih
kembali dan ketika tenaga sin-kangnya perlahan-lahan pulih, kebetulan saat itu
dari pengaturan pernapasan, dia menghimpun Tenaga Inti Bumi yang segera bersatu
dengan tenaga sin-kang yang sudah ada dalam tubuhnya!
Namun Sie Liong tidak
merasakan semua itu. Dia hanya memusatkan perhatian pada pernapasannya, sambil
menyerahkan segalanya kepada Thian, bagaikan orang yang benar-benar sudah mati.
***
Lie Bouw Tek memang
seorang pria yang gagah perkasa dan penuh keberanian. Dia berhasil menghadap
Dalai Lama bersama Sie Lan Hong dan mendengarkan penjelasan. Kini tahulah dia
bahwa semua peristiwa yang menimpa para tosu dari Himalaya yang mengungsi ke
Kun-lun-san, juga yang menimpa Kun-lun-pai sendiri, adalah suatu muslihat
belaka dari para pemberontak di Tibet untuk mengelabuhi mata umum dan melakukan
fitnah kepada Dalai Lama, agar Dalai Lama dimusuhi banyak pihak!
Akan tetapi dia tidak
perduli akan semua itu. Dia tidak hendak mencampuri urusan pemberontakan di
Tibet, tidak membela Dalai Lama, juga tidak membantu para pemberontak. Dia
hanya ingin mengajak Sie Lan Hong bertemu dengan adiknya yang dicari-carinya,
yaitu Sie Liong, dan juga mencari puterinya, Yauw Bi Sian. Karena tidak
bermaksud mencampuri urusan pemberontakan malainkan urusan pribadi, maka Lie
Bouw Tek tidak ragu-ragu atau takut-takut untuk mengunjungi sarang Kim-sim-pang
yang memberontak terhadap Dalai Lama! Dia terpaksa mengajak Sie Lan Hong yang
tidak mau ditinggal dan ingin pula mencari sendiri adik dan puterinya.
Pria perkasa berusia tiga
puluh enam tahun itu dan janda muda jelita berusia tiga puluh tiga tahun itu
melakukan perjalanan dengan tenang dan tenteram. Mereka sudah yakin akan cinta
kasih masing-masing, maka melakukan perjalanan berdua merupakan suatu hal yang
selain membahagiakan, juga mendatangkan perasaan tenteram dan penuh damai.
Melakukan perjalanan berdua merupakan suatu kebahagiaan yang membuat sinar
matahari lebih cerah, warna-warna lebih terang, suara apapun majadi lebih
merdu. Dunia nampak lebih indah daripada biasanya!
Pada pagi hari yang cerah
itu, mereka tiba di lereng sebuah bukit. Dari lereng itu mereka dapat melihat
ke bawah dan pemandangan alam di pagi hari itu teramat indahnya. Dari lereng
bukit itu mereka dapat melihat telaga Yam-so dengan airnya yang berkilauan
tertimpa sinar matahari pagi. Bukit-bukit di sekitar telaga itu penuh dengan
warna kehijauan dengan titik warna beraneka macam. Musim bunga telah tiba dan
di bukit-bukit itu ditumbuhi banyak sekali pohon yang berbunga indah.
Dari Kong Ka Lama mereka
telah mendengar keterangan jelas tentang letak sarang Kim-sim-pang. Mereka tahu
bahwa sarang itu berada di bukit ini. Dan perhitungan mereka memang tidak
salah. Selagi mereka menikmati keindahan pemandangan alam di bukit itu, tiba-tiba
terdengar suara banyak orang dan tempat itu sudah terkepung oleh belasan orang
pendeta Lama yang memegang bermacam senjata. Wajah para pendeta ini tidak
menyeramkan, namun cukup bengis.
Lie Bouw Tek berpura-pura
kaget walaupun dia sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah anak buah
Kim-sim-pang. Dia menjura kepada mereka semua, lalu berkata,
‘Maafkan kalau kami
menganggu cu-wi suhu (para pendeta sekalian). Kami adalah dua orang yang
bermaksud pergi bersembahyang ke kuil Kim-sim-pang. Dapatkah cu-wi menunjukkan
jalannya ke kuil itu?! Dari Kong Ka Lama Lie Bouw Tek sudah mendengar bahwa
sarang Kim-sim-pang itu tersembunyi di belakang sebuah kuil Kim-sim-pang yang
sesungguhnya hanya merupakan kedok belaka. Oleh karena itu, dia tadi mengajak
Lan Hong untuk mengambil jalan memutar, tidak datang dari depan, melainkan
hendak mencari jalan dari belakang kuil.
Mendengar ucapan Lie Bouw
Tek, belasan orang pendeta Lama itu memandang dengan alis berkerut penuh
kecurigaan, lalu seorang di antara mereka yang memimpin rombongan berkata,
‘Jalan menuju ke kuil adalah jalan raya yang sudah ada dari kaki bukit.
Kenapa ji-wi tidak mengambil jalan itu melainkan berkeliaran di tempat ini? Di
sini merupakan wilayah kekuasaan kami, dan tidak seorangpun boleh berkunjung di
sini tanpa seijin kami.!
Lie Bouw Tek mengangkat
kedua tangan memberi hormat. ‘Maafkan kami berdua. Kami tidak sengaja hendak
melanggar wilayah kekuasaan cu-wi. Karena tertarik oleh pemandangan yang indah
dari sini, maka kami berdua tidak melalui jalan raya dan....!
‘Katakan apa keperluan
ji-wi yang sesungguhnya, kalau tidak, terpaksa kami harus menangkap ji-wi dan
kami ajak menghadap pimpinan kami yang akan menentukan selanjutnya.!
Lie Bouw Tek sudah hendak
marah, mukanya sudah menjadi kemerahan. Melihat ini, Lan Hong menyentuh
lengannya dan iapun melangkah maju dan berkata dengan lembut.
‘Harap cu-wi suhu
memaafkan. Kami sama sekali tidak hendak mengganggu cu-wi (kalian). Kami datang
selain untuk bersembahyang, juga untuk mencari seorang adikku. Dia seorang
pemuda bongkok bernama Sie Liong dan....!
‘Pendekar Bongkok!! seru
seorang di antara mereka karena kaget. Mendengar ini, Lan Hong dan Bouw Tek
girang sekali.
‘Benar dia! Pendekar
Bongkok! Dialah yang kami cari,! kata Lie Bouw Tek. ‘Dapatkan cuwi
memberitahu di mana dia?!
Akan tetapi begitu
mendengar bahwa yang datang ini adalah keluarga Pendekar Bongkok, para pendeta
itu sudah memandang Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong sebagai musuh yang tentu
datang dengan maksud membebaskan Pendekar Bongkok yang pernah menjadi tawanan
Kim-sim-pang. Mereka sudah mengepung dan seorang dari mereka lari menuju ke
sarang untuk melapor. Melihat sikap mereka, mengacungkan senjata dan mengepung,
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Dia berdiri tegak dan berkata dengan suara
lantang.
‘Cu-wi tentulah
orang-orang Kim-sim-pang! Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Bouw Tek, seorang
murid Kun-lun-pai, dan ini adalah Sie Lan Hong, kakak perempuan Pendekar
Bongkok. Kami sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Kim-sim-pani, kami
hanya mencari adik kami itu!!
Akan tetapi, para pendeta
itu mengepung semakin ketat. ‘Ji-wi harus menyerah untuk kami tawan dan kami
hadapkan kepada pemimpin kami. Hanya beliau yang akan menentukan apakah ji-wi
bersalah ataukah tidak. Menyerahlah daripada kami harus menggunakan kekerasan!!
‘Hemm, kalian ini
orang-orang yang berpakaian pendeta, akan tetapi sikap dan tingkah laku kalian
seperti perampok-perampok saja! Kami tidak bersalah apapun, bagaimana harus
menyerah menjadi orang tangkapan? Kami tidak mau menyerah!! Barkata demikian, Lie
Bouw Tek sudah mencabut pedangnya yang bersinar merah. Sie Lan Song juga
mencabut pedangnya, karena ia tahu pula bahwa menyerah kepada orang-orang ini
berarti membiarkan diri terancam bahaya. Mereka adalah pemberontak, kalau sudah
menawan orang tentu tidak mudah melepaskannya lagi begitu saja. Iapun siap
mengamuk di samping Lie Bouw Tek untuk membela diri.
‘Hemm, terpaksa kami
menggunakan kekerasan!! bentak pemimpin rombongan dan empat orang sudah
menerjang dengan senjata mereka kepada Lie Bouw Tek, dan dua orang juga
menerjang ke arah Sie Lan Hong.
‘Trang-trang-tranggg....!!
Bunga api berpijar ketika Lie Bouw Tek menggerakkan pedangnya menangkis. Sinar
merah berkelebaten dan empat orang pendeta itu berseru kaget dan berloncatan
mundur karena senjata mereka telah buntung ketika bertemu dengan pedang di
tangan pendekar Kun-lun-pai itu!
Dua orang yang menyerang
Sie Lan Hong juga mendapatkan perlawanan keras. Bukan saja wanita cantik itu
mampu mengelak dan menangkis, bahkan membalas dengan hebat dan sebuah tandangan
kakinya sempat membuat seorang pengeroyok terhuyung dan mamegangi perutnya.
Para pendeta itu menjadi
marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka itu menyerang lagi, tiba-tiba
terdengar seruan yang amat berwibawa, ‘Tahan semua senjata....!!
Para pendeta mengenal
suara Kim Sim Lama dan mereka segera berloncatan ke belakang dan menghentikan
serangan mereka. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong cepat berdiri saling mendekati
agar dapat saling bantu jika mereka dikeroyok lagi. Lie Bouw Tek yang amat
mengkhawatirkan keselamatan Sie Lan Hong, menggunakan tangan kirinya menyentuh
lengan wanita itu, seperti hendak menenangkan hatinya dan meyakinkan bahwa dia
berada di situ dan akan selalu melindunginya. Dan kini mereka memandang kepada
pendeta Lama yang tinggi kurus dan tua renta itu. Pendeta Lama itu biarpun
sudah tua, mukanya kemerahan dan segar seperti muka kanak-kanak, hampir sama
merahnya dengan jubahnya yang lebar.
Lie Bouw Tek sudah
mendengar pula keterangan dari Kong Ka Lama, pengawal Dalai Lama, maka dia
dapat menduga dengan siapa dia kini berhadapan. Dia cepat mengangkat kedua
tangan ke depan dada, memberi hormat dan melihat ini, Sie Lan Hong juga
mencontohnya. Mereka memberi hormat kepada Kim Sim Lama, dan Lie Bouw Tek
berkata dengan suara lantang namun mengandung penghormatan.
‘Kalau kami tidak salah
duga, locianpwe tentulah yang terhormat Kim Sim Lama. Terimalah hormat kami,
locianpwe.!
Kim Sim Lama membungkuk
sedikit. ‘Omitohud.... orang muda yang gagah sudah mengenal pinceng (aku) dan
kalian berdua orang-orang muda secara berani sekali memasuki tempat larangan
kami. Siapakah kalian dan ada keperluan apa kalian berkeliaran di sini?! Tadi
dia sudah mendengar pelaporan seorang anak buahnya. Karena mendengar bahwa
pendekar yang dikeroyok itu seorang murid Kun-lun-pai yang berkepandaian
tinggi, diapun cepat keluar melerai perkelahian itu dan kini Kim Sim Lama ingin
mendengar sendiri pengakuan Lie Bouw Tek.
Dengan lantang Lie Bouw
Tek memperkenalkan diri. ‘Saya bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai yang
menerima perintah para suhu di Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa
para pendeta Lama telah memusuhi Kun-lun-pai, disamping memusuhi para tosu dan
pertapa lain. Dan sahabat saya ini bernama Sie Lan Hong, kakak kandung dari
Pendekar Bongkok dan ia datang untuk mencari adiknya itu. Kini kami berhadapan
dengan locianpwe Kim Sim Lama dan kami mengharap locianpwe akan sudi membantu
kami dengan keterangan tentang kedua hal itu.!
Kim Sim Lama
mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara ketawa dikulum, lalu berkata,
‘Omitohud, tidak keliru kalau Lie-sicu berdua minta keterangan dari pinceng.
Akan tetapi, tidak enak bicara di luar begini. Marilah, kalian ikut dengan
pinceng, kita bicara di dalam dan pinceng akan maberi keterangan yang
selengkapnya tentang kedua hal yang kalian pertanyakan itu.!
Biarpun dia maklum bahwa
mereka berdua memasuki sarang harimau dan naga yang penuh bahaya, namun Lie
Bouw Tek bersikap tenang. Dia yakin bahwa Kim Sim Lama tentu tidak akan
melakukan tindakan yang sembarangan setelah mengetahui bahwa dia adalah utusan
Kun-lun-pai. Bagaimanapun juga, dia yakin bahwa nama besar Kun-lun-pai masih
memiliki wibawa yang cukup kuat.
Mereka diajak memasuki
ruangan di belakang kuil di mana Kim Sim Lama mempersilakan mereka duduk. Kim
Sim Lama duduk menghadapi mereka dan di belakang Kim Sim Lama duduk pula Tibet
Ngo-houw dan Ki Tok Lama, sedangkan para pendeta lain tidak ada yang ikut
mendengarkan. Setelah memperkenalkan enam orang pendeta Lama itu sebagai para
pembantunya, Kim Sim Lama lalu berkata dengan suara tenang.
‘Sicu (orang gagah),
sekarang pinceng ingin lebih dulu menjelaskan tentang sikap bermusuhan yang
diperlihatkan oleh para tokoh Lama dari Tibet kepada para tosu, pertapa dan
bahkan Kun-lun-pai. Untuk itu, sebagai saksi, biarlah pinceng mengundang
seorang pertapa dan tosu untuk hadir di sini. Ki Tok Lama, panggil Thay-yang
Suhu ke sini.!
Ki Tok Lama, pendeta yang
pendek kecil itu keluar dari ruangan dan tak lama kemudian dia sudah datang
kembali bersama seorang tosu. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong memandang kepada
tosu itu. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya hampir
gundul dengan rambut pendek, berjubah seperti seorang tosu, tubuhnya tinggi
besar dan wajahnya tampan. Di punggungnya nampak sepasang pedang. Thai-yang
Suhu memberi hormat kepada Kim Sim Lama, lalu dipersilakan duduk di sebelah
kanannya oleh pemimpin itu.
‘Sicu Lie Bouw Tek dan
toanio (nyonya) Sie Lan Hong, ini adalah sahabat kami yang bernama Thai-yang
Suhu, dan dia adalah seorang tosu yang dahulu bertapa di Himalaya dan dia
mengetahui segala hal yang telah terjadi.!
‘Locianpwe, terus terang
saja, yang ingin saya ketahui hanyalah mengapa para pendeta Lama memusuhi
Kun-lun-pai, yang selamanya tidak pernah mencampuri urusan para pendeta Lama di
Tibet. Urusan lain dengan pihak lain, kami dari Kun-lun-pai tidak berhak
mencampuri,! kata Lie Bouw Tek.
‘Omitohud, bersabarlah,
sicu, semua ini ada hubungannya, dan karena pelaksana utama ketika Dalai Lama
memusuhi para tosu, pertapa dan juga Kun-lun-pai hadir di sini, sebaiknya kalau
sicu mendengarkan sendiri keterangan mereka. Thay Ku Lama, engkau wakili Tibet
Ngo-houw untuk memberi penjelanan tentang tugas kalian yang merupakan perintah
Dalai Lama.!
They Ku Lama yang berperut
gendut, orang pertama dan tertua dari Tibet Ngo-houw, segera berkata dari
tempat duduknya. ‘Sicu Lie Bouw Tek harap suka mendengarkan dengan sabar.
Terus terang saja, sampai sekarang kami Tibet Ngo-houw masih merasa menyesal
mengapa dulu itu kami mentaati perintah Dalai Lama yang makin lama menjadi
semakin lalim itu. kami sudah mengingatkannya bahwa dahulu, di waktu masih
kecil, dan dia ditunjuk sebagai calon Dalai Lama yang baru, dan pertapa
Himalaya bermaksud membela penduduk dusun yang hendak mempertahankan dia. Bahwa
para pertapa itu bermaksud baik walaupun dalam pertempuran itu akhirnya beberapa
orang pendeta Lama tewas.
Akan tetapi, dia tidak
perduli dan memaksa kami untuk menuntut balas, menyerang dan membunuhi para
pertapa di Himalaya. Bahkan kemudian, makin dewasa, Dalai Lama menjadi semakin
buas dan dia memaksa kami untuk melakukan pengejaran terhadap para pertapa dan
tosu Himalaya yang melarikan diri mengungsi ke Kun-lun-san. Karena itulah, maka
kami sampai bentrok dengan Kun-lun-pai. Dan semua ini adalah gara-gara
kelaliman Dalai Lama. Akhirnya kami menyadari hal itu dan kamipun meninggalkan
Dalai Lama, bersama-sama membantu suhu Kim Sim Lama untuk menentang Dalai Lama
yang lalim itu. Maka, ketahuilah bahwa kami hanyalah pelaksana, dan yang
bertanggung jawab terhadap para tosu, pertapa maupun Kun-lun-pai, sepenuhnya
adalah Dalai Lama!!
Lie Bouw Tek mengerutkan
alisnya. Sungguh keterangan ini merupakan kebalikan dari apa yang didengarnya
dari Dalai Lama! Siapakah yang benar? Pada saat itu, Thai-yang Suhu berkata
dengan suaranya yang lembut.
‘Semua yang diceritakan
Thay Ku Lama itu benar, Lie-sicu. Pinto (saya) sendiri dahulu merupakan seorang
di antara para tosu pertapa yang pernah melarikan diri mengungsi dan bahkan
menjadi musuh Gobi Ngo-houw yang ketika itu menjadi petugas yang melaksanakan
perintah Dalai Lama. Setelah mereka itu meninggalkan Dalai Lama, barulah kami
bersahabat dan pinto menjadi saksi akan kelaliman Dalai Lama. Karena itulah
maka pinto bersedia membantu gerakan Kim Sim Lama yang hendak menentang
kelaliman Dalai Lama dan pinto harapkan agar para pertapa dan tosu membantu
pula untuk menghadapi Dalai Lama yang jahat.!
Lie Bouw Tek menjadi
semakin ragu. Kalau Dalai Lama benar, kiranya tidak mungkin timbul
pemberontakan dari para pendeta Lama ini. Apakah dia harus menghadapi lagi
Dalai Lama dan bertanya kembali? Selagi dia meragu, Sie Lan Hong yang ingin
sekali mendengar tentang adiknya, bertanya.
‘Locianpwe tadi
mengatakan bahwa locianpwe tahu tentang adik saya, yaitu Pendekar Bongkok Sie
Liong. Mohon petunjuk locianpwe, dimana adanya adik saya itu sekarang.!
‘Omitohud.... harap
toanio menguatkan hati. Ada berita yang menyedihkan tentang Pendekar Bongkok.
Dia, sudah tewas oleh Dalai Lama dan kaki tangannya.!
‘Ahhhhhh....!! Sepasang
mata Lan Hong terbelalak dan wajahnya berubah pucat sekali.
‘Tidak mungkin....!! Lie
Bouw Tek juga berseru kaget sekali. Dia mendengar dari Lan Hong bahwa Pendekar
Bongkok juga membawa tugas yang sama dengan dia. Kalau dia bertugas menyelidiki
mengapa para pendeta Lama memusuh Kun-lun-pai, pendekar itupun menyelidiki
kenapa Dalai Lama memusuhi para tosu dan pertapa.
Bab 24
‘Omitohud.... pinceng
selamanya tidak pernah berbohong. Pendekar Bongkok datang untuk membalaskan
dandam para pertapa dan para tosu kepada Dalai Lama. Dia dikeroyok dan tewas.
Kalau ji-wi (kalian) hendak membuktikan, dapat kalian kunjungi makamnya.!
‘Ahhh.... Liong-te (adik
Liong).... benarkah.... engkau sudah tewas....?! Lan Hong menahan tangisnya,
kemudian bertanya kepada Kim Sim Lama, ‘Di mana kuburan adik saya?!
‘Marilah, pinto antarkan
kalau ji-wi hendak menyaksikan sendiri. Kuburannya masih baru!! kata Thai-yang
Suhu. Mendengar ini, Lan Hong segera bangkit berdiri.
‘Lie toako, aku ingin
menengok kuburan adikku!!
Lie Bouw Tok merasa iba
sekali kepada wanita yang dikasihinya itu. Bersusah payah wanita itu melakukan
perjalanan jauh untuk mencari adiknya, dan begitu bertemu hanya melihat
kuburannya! Diapun mengangguk kepada Thai-yang Suhu.
‘Totiang, terima kasih
sebelumnya atas kebaikan totiang yang hendak mengantarkan kami. Mari kita
berangkat.!
Keduanya memberi hormat
kepada Kim Sim Lama, kemudian bersama Thai-yang Subu, mereka maninggalkan kuil
itu lewat pintu samping. Di sepanjang perjalanan, Lan Hong diam saja, menahan
tangisnya. Akan tetapi Lie Bouw Tek yang merasa penasaran, mencoba untuk
mencari keterangan dari Thai-yang Suhu bagaimana sampai Pendekar Bongkok tewas
di tangan Dalai Lama dan kaki tangannya.
‘Siancai.... bagaimana
pinto dapat mengetahuinya? Kami semua hanya mendengar saja bahwa Pendekar
Bongkok menghadap Dalai Lama dan menuntut kepada Dalai Lama yang memusuhi para
pertapa dan tosu Himalaya yang mangungsi ke Kun-lun-san. Dan tahu-tahu,
Pendekar Bongkok telah tewas dan pinto melihat sendiri ketika jenazahnya
dimakamkan di kuburan itu. Hanya itulah yang pinto ketahui. Dalai Lama yang
lebih mengetahui bagaimana matinya Pendekar Bongkok.!
‘Liong-te....!! Lan Hong
mengeluh dan ia menggunakan ujung langan baju untuk mengusap air matanya.
Akhirnya, mereka tiba di
taman kuburan itu. Sunyi sekali di situ karena teman kuburan itu memang
terletak di luar kota, dan pada waktu itu bukan hari bersembahyang, maka tidak
ada orang lain kecuali mereka bertiga yang herkunjung ke situ. Sebelum
meninggalkan kuil tadi, Thai-yang Suhu sudah membawa hio-swa (dupa biting) dan
beberapa batang lilin. Dia mengeluarkan alat sembahyang sederhana itu dan Lie
Bouw Tek bersama Sie Lan Hong melakuknn upacara sembahyang dengan sederhana,
namun khidmat diiringi tangis Lan Hong perlahan-lahan.
Melihat kedukaan wanita
itu, Lie Bouw Tek berdiri tegak memandang gundukan tanah kuburan itu sambil mengepal
kedua tinjunya. Dia merasa penasaran sekali.
‘Benarkah ini? Benarkah
Pendekar Bongkok yang demikian terkenal itu tewas semudah ini? Benarkah yang
berada di bawah gundukan tanah ini jenazah Pendekar Bongkok?!
Mendengar ucapan itu yang
merupakan penumpahan resa penamaran yang tanpa disadarinya telah keluar dari
mulut pendekar Kun-lun-pai itu, Thai-yang Suhu mengerutknn alisnya.
‘Lie-sicu, apakah sicu
masih meragukan kebenaran keterangan kami semua? Kalau sicu masih belum
percaya, sekarang juga boleh sicu membongkar kuburan ini dan melihat apakah
benar jenazah Pendekar Bongkok yang berada di dalamnya atau bukan!!
Mendengar nada suara yang
keras itu, Lie Bouw Tek memandang heran kepada tosu itu. Akan tetapi, Lan Hong
sudah hanyut pula dalam keharuan dan penasaran, apalagi mendengar ucapan Lie
Bouw Tek tadi. Ia menjatuhken diri berlutut di depan kuburan itu dan berkata
dengan suara berduka.
‘Adikku Sie Liong, kalau
benar engkau telah mati, berilah tanda kepadaku agar hatiku tidak menjadi ragu
lagi. Adikku.... ah, adikku Sie Liong....!! Dan sekali ini Lan Hong yang sejak
tadi sudah menahan-nahan tangisnya kini terisak-isak.
Sementara itu, di bawah
gundukan tanah itupun terjadi peristiwa hebat yang tak diketahui seorangpun di
luar. Sudah tujuh hari lamanya Sie Liong ‘bertapa! di dalam tanah, dikubur
hidup-hidup! Dia dapat bernapas melalui lubang yang sengaja dipasang oleh tabib
Camundi Lama yang merasa iba kepadanya. Dan selama tujuh hari tujuh malam itu
dia pasrah kepada nasib! Bukankah segala sesuatu yang berada di atas bumi itu
berasal dari tanah! Bukankah kehidupan segala macam tumbuh-tumbuban juga
bersumber pada tanah! Bumi yang nampak lemah dan tak bergerak itu sesungguhnya
mengandung gerakan hidup yang dahsyat, maha dahsyat. Bumi mengandung energi,
mengandung kekuatan yang menyedot segala apapun kembali kepadanya. Ada Tenaga
Inti Bumi yang hebatnya tiada lawan.
Terkenang akan hal-hal
yang pernah diajarkan oleh Pek Sim Sian-su kepadanya, tentang Tenaga Inti Bumi,
tentang kekuatan dahsyat yang timbul melalui kepesrahan kepada kekuasaan Tuhan,
selama tujuh hari itu Sie Liong menghimpun tenaga mujijat itu. Dia sudah
pasrah. Tubuhnya lemah, lengan kirinya buntung, ingatannya hilang, darahnya
keracunan. Tenaga Inti Bumi, di luar kesadarannya, telah merasuk ke dalam
tubuhnya. Tenaga sakti yang dahsyat ini sekaligus mengusir semua hawa beracun,
membersihkan darahnya, bukan saja memulihkan tenaga saktinya, bahkan
menjadikannya beberapa kali lebih kuat. Mula-mula dia hanya merasa betapa
tubuhnya seperti sebuah balon yang ditiup, terus ditiup sehingga rasanya
menggembung, makin lama semakin kuat, sehingga rasanya seperti hendak meledak!
Dia tidak tahu betapa pada
saat itu, di atas sana, kakak kandungnya, Sie Lan Hong, sedang menangis dan
memanggil-manggil namanya, minta bukti dan tanda bahwa dia telah tewas. Dia
hanya merasa tubuhnya seperti akan meledak, maka tanpa memperdulikan apapun yang
akan terjadi, dia menggerakkan sebelah tangan dan kedua kakinya, meronta dan
mendorong, menendang.
‘Blaaaaarrrrr....!!
Dapat dibayangkan betapa
kagetnya tiga orang yang berada di depan gundukan tanah kuburan itu ketika
tiba-tiba terdengar suara keras seperti ledakan dan gundukan tanah itu pecah
dan bagaikan ada bahan peledak yang amat kuat meledak dari dalam gundukan
tanah, maka tanah dan batu berikil berhamburan. Sie Lan Hong menjerit, Lie Bouw
Tek sudah menarik lengan wanita itu diajak bertiarap agar jangan terkena tanah
dan batu kerikil yang muncrat berhamburan. Mereka masih melihat sesosok
bayangan orang meloncat keluar dari dalam lubang di bawah gundukan tanah itu,
meluncur ke atas dan berjungkir balik lima kali sebelum melayang turun ke atas tanah.
‘Keparat....! Kau....
iblis....!! Terdengar Thai-yang Suhu membentak. Pendeta palsu inipun terkejut
bukan main ketika melihat gundukan tanah itu tiba-tiba meledak dan dari
dalannya meloncat seorang yang dikenalnya sebagai Pendekar Bongkok! Masih
persis Pendekar Bongkok seminggu yang lalu, hanya pakaian dan rambutnya kusut
dan kotor berlumpur dan kini mukanya merah seperti udang direbus, matanya
mencorong seperti bukan mata manusia. Melihat ini, Thai-yang Suhu yang khawatir
kalau rahasianya terbuka, segera meloncat maju dan menerjang dengan sepasang
pedangnya! Dia langsung saja melakukan serangan maut, menusukkan pedang kanan
ke arah tenggorokan dan pedang kiri ke arah lambung Pendekar Bongkok!
Pada saat itu, Sie Liong
masih belum mendapatkan kembali ingatannya sepenuhnya dan dia bergerak tanpa
perhitungan pikiran lagi, melainkan digerakkan oleh kekuatan mujijat yang
tarhimpun di dalam dirinya. Ketika pedang di tangan Thai-yang Suhu itu meluncur
ke arah tenggorokan dan lambungnya, dia hanya mengeluarkan bentakan yang aneh,
melengking panjang dan tangannya bergerak ke arah sinar pedang yang
menyambarnya.
‘Bresss....!! Tubuh
Thai-yang Suhu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting dan tidak mampu
bangkit kembali karena kedua pedang di tangannya yang tadi dia pergunakan untuk
menyerang, entah bagaimana telah membalik dan menancap di dada dan lehernya
sendiri! Dia tewas seketika!
‘Liong-te....!! Lan Hong
meloncat menghampiri Sie Liong. Akan tetapi, dengan sekali lompatan yang jauh
sekali, Sie Liong melarikan diri. Dia balum ingat siapa wanita itu, dan dia
tidak ingin terjdi wanita itu tewas seperti orang yang menyerangnya tadi. Dan
begitu melompat, dia terkejut sendiri karena lompatannya tidak seperti biasa,
amat jauhnya seperti terbang saja! Melihat adiknya melarikan diri dengan
lompatan yang luar biasa itu, Lan Hong berseru memanggil-manggil dan mengejar.
‘Liong-te, tunggu....!
Liong-te....!!
Akan tetapi dengan
beberapa kali lompatan saja, bayangan Sie Liong telah lenyap dan Lan Hong berdiri
bingung, tidak tahu ke mana adiknya tadi pergi. Lie Bouw Tek sudah berada di
dekatnya dan pendekar Kun-lun-pai ini berkata.
‘Sudahlah, Hong-moi.
Tidak ada gunanya dikejar. Dia sudah jauh sekali, entah di mana. Dia....
dia.... seperti dapat terbang saja dan tidak mungkin bagi kita untuk dapat
menyusulnya.! Dia masih terpukau karena kagumnya menyaksikan kehebatan Pendekar
Bongkok, adik wanita yang dikasihinya itu. Dia sudah mendangar bahwa Pendekar
Bongkok memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi apa yang disaksikannya
tadi jauh melampaui dugaannya. Terlalu dahsyat ilmu yang dimiliki Pendekar
Bongkok itu, tidak lumrah manusia!
‘Aih, Lie-toako....
apakah engkau tidak melihat lengan kirinya tadi? Dia.... dia buntung! Aihh,
adikku, apa yang telah mereka lakukan kepadamu? Aku harus mencari Kim Sim Lama,
aku harus membalaskan adikku, akan kuminta pertaggungan jawabnya!! Lan Hong menangis.
‘Tenanglah, Hong-moi.
Yang penting, adikmu itu masih dalam keadaan selamat, bukan? Kalau kita kembali
ke sana, tentu mereka tidak akan menerina kita sebaik tadi. Apalagi Thai-yang
Suhu telah tewas. Kita bahkan harus cepat pergi dari sini. Aku hendak menghadap
Dalai Lama dan melaporkan segalanya. Kim Sim Lama dan para pengikutnya itu
jelas hendak melempar fitnah kepada Dalai Lama dan dia berbahaya sekali. Mari,
Hong-moi, mari kita pergi menghadap Dalai Lama. Kemudian baru kita mencari
jejak adikmu Sie Liong dan puterimu....!
‘Bi Sian....! Ah, di
mana anakku Bi Sian? Apa yang telah terjadi dengannya? Melihat apa yang menimpa
diri adikku, aku sungguh gelisah memikirkan anakku, toako.!
‘Hong-moi, kita tetap
berusaha untuk mencarinya, dan sementara itu, serahkan saja kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Di samping berusaha mencarinya, kita hanya dapat berdoa, Hong-moi.
Dan tenangkan hutimu karena bukankah menurut ceritamu, puterimu itu memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi? Kuraaa ia mampu menjaga diri sendiri.!
‘Memang benar, toako. Ia
lihai dalam ilmu silat. Akan tetapi, ia masih muda, kurang pengalaman, dan di
dunia ini terdapat demikian banyak orang yang jahat dan keji.!
Lie Bouw Tek menghiburnya.
Mereka berdua menjenguk ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong. Lubang dalam
tanah itu kosong dan pendekar Kun-lun-pai itu menemukan sebuah tabung bambu
yang sudah pecah-pecah. Dia mengerutkan alisnya, menduga-duga apa gunanya benda
itu, lalu membuangnya jauh-jauh. Kemudian, dia menyeret mayat Thai-yang Suhu
dan mendorongnya ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong, kemudian, dibantu
oleh Lan Hong, dia menimbuni lubang itu dengan tanah yang tadi berhamburan.
Semua ini mereka kerjakan dengan tergesa-gesa karena khawatir kalau sampai ada
yang melihatnya. Kemudian mereka cepat meninggalkan kuburan itu, pergi ke
Istana Dalai Lama untuk menghadap pendeta kepala para Lama itu.
Gadis itu dikenal oleh
semua orang yang biasa bekerja di Telaga Yam-so. Seorang gadis gila yang
menjijikkan. Baru kurang lebih satu bulan ia muncul di sekitar tepi telaga itu.
Seorang gadis atau wanita yang sebetulnya masih muda, akan tetapi keadaannya
kotor dan seperti seorang gembel gila. Pakaiannya butut, kotor dan dekil,
berbau apak lagi. Rambutnya lekat dan kotor, awut-awutan seperti rambut siluman
yang menakutkan, menutupi sebagian mukanya yang juga kotor sekali, penuh
lumpur. Matanya kadang berputar-putar liar, kadang gelisah, kadang terbelalak
menakutkan, ada kalanya merah karena tangis.
Orang melihat ia kadang
menangis tersedu-sedu, kadang tertawa seorang diri, bicara seorang diri dengan
kata-kata yang tidak jelas bahkan tidak karuan. Sekali lihat saja orang sudah
tahu bahwa ia seorang wanita muda yang hidup terlantar, terlunta-lunta, seorang
gembel menjijikkan yang gila! Makin dipandang, orang akan merasa semakin jijik
karena ulahnya. Tak seorang priapun yang dapat merasa tertarik oleh seorang
perempuan seperti wanita gila itu. Mereka bahkan menjauh, bukan saja jijik
karena bau apak itu, melainkan juga jijik kalau-kalau wanita gila itu akan
merangkul mereka!
Ia makan apa saja yang ia
temukan. Ikan-ikan kering, sisa yang ditinggalkan para nelayan. Ada kalanya ia
meminta-minta dan hanya karena jijik, bukan karena iba, orang melemparkan
makanan kepadanya. Tubuhnya kurus kering, sama sekali tidak menarik.
Tak seorangpun tahu bahwa
baru sebulan yang lalu, wanita itu merupakon seorang gadis berusia delapan
belas tahun yang hitam manis, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan. Dan tak
seorangpun tahu bahwa gadis itu memang sengaja berpura-pura gila dan menjadi
gembel menjijikkan! Ia adalah Sam Ling Ling, gadis peranakan Tibet Han yanig
telah yatim piatu itu. Ia tadinya oleh Sie Liong dititipkan kepada Bibi Cili.
Terpaksa Ling Ling membiarkan Sie Liong yang hendak melakukan penyelidikan itu
pergi, walaupun ia merasa berat hati. Sie Liong berjanji dalam waktu bulan akan
kembali menjemputnya. Setelah lewat sebulan dan Sie Liong belum juga datang,
Ling Ling minggat dari rumah Bibi Cili dan pergi mencari Sie Liong,
satu-satunya pria, bahkan satu-satunya manusia di dunia ini yang dicintainya!
Ling Ling maklum bahwa di
dunia ini banyak berkeliaran laki-laki jahat. Terutama sekali bagi seorang
wanita yang lemah, apa lagi yang memiliki kemudaan dan kecantikan, bahaya itu
lebib besar lagi mengancm dirinya. Oleh karena itu, ia menggunakan akal,
berpura-pura gila, mengotori tubuh dan pakaiannya, bahkan melumuri mukanya
dengan lumpur, kadang-kadang ia sengaja bergaya seperti orang gila yang
menjijikkan dan menakutkan. Dengan cara demikian, benar saja tidak seorangpun
pria sudi mendekatinya, apa lagi mengganggunya. Ia berkeliaran di sekitar
pantai telaga yang besar itu, setiap hari mencari-cari dan memperhatikan setiap
orang.
Akan tetapi makin hari
semakin berduka karena tidak pernah ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu
seorang pemuda yang punggungnya bongkok. Untuk bertanya-tanya, ia tidak berani
karena ia maklum bahwa Pendekar Bongkok amat dikenal orang dan kalau ia
bertanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan orang. Ia hanya mampu menangis
dengan sedih, akan tetapi kalau ada orang melihat ia menangis, ia sengaja lalu
memaksa diri untuk tertawa. Menangis, tertawa, menangis, tertawa agar ia
disangka gila dan bebas dari gangguan orang.
Makin hari ia semakin
kurus karena makin berduka dan hampir tidak makan kalau tidak perutnya
memaksanya sekali. Ia tidak pernah putus asa karena ia menaruh keyakinan besar
bahwa Sie Liong tidak mungkin dapat melupakannya dan meninggalkannya begitu
saja. Ia tahu bahwa Sie Liong hanya bongkok punggugnya, tidak bongkok hatinya.
Ia tahu bahwa Sie Liong adalah seorang manusia yang berbudi luhur, dan ia sudah
mengambil keputusan untuk hidup di samping Sie Liong selamanya, atau lebih baik
ia mati kalau harus hidup tanpa pemuda bongkok itu.
‘Liong-ko.... ah,
Liong-koko.... engkau berada di mana? Apakah engkau tidak merasakan di hatimu
betapa aku mencarimu, betapa aku mengkhawatirkanmu, betapa aku merindukannu?
Liong-koko....! demiklan ia meratap-ratap sambil menangis kalau tidak ada orang
melihatnya.
Setiap hari ia
mangharapkan. Kalau matahari muncul, muncul pula harapan baru di hatinya bahwa
pada hari itu ia tentu akan bertemu dengan Sie Liong. Kalau malam tiba, iapun
mengharap bahwa besok hari ia akan bertemu dengan pria yang dikenangkannya itu.
Ia tidak pernah putus asa. Tidak, ia keturunan Tibet yang tinggal di
pegunungan, di lingkungan yang keras dan sukar, dan keadaan lingkungan yang
sukar itu menggembleng bangsanya menjadi bangsa yang tidak pernah putus
harapan! Hanya orang yang tidak pernah hidup dalam kekurangan, kekerasan dan
kesukaran sajalah yang mudah putus asa.
Ia tidur di mana saja,
jauh dari orang lain untuk menghindari gangguan. Di guha-guha, di bawah pohon
di balik semak belukar. Mula-mula ia merasa takut sekali, akan tetapi lambat laun
rasa takutnya menghilang, terganti perasaan pasrah. Satu-satunya pelita yang
menerangi hidupnya hanyalah harapannya bertemu dengan Sie Liong.
Pada senja hari itu,
ketika matahari mulai bersembunyi di balik bukit, ia menuju ke sebuah guha di
tepi telaga. Guha kecil yang tertutup pohon dan ilalang, enak untuk melewatkan
malam, tidak begitu dingin karena terlindung dari hembusan angin malam.
Tubuhnya terasa nyaman karena sore tadi seorang pelancong sekeluarga yang
membawa mekanan dan makan di tepi telaga, memberikan sisa makanan bekal mereka
kepadanya. Nasi putih dan lauk pauknya, cukup banyak. Ia makan dengan
gembiranya.
Karena perutnya kenyang,
dan harapan baru muncul bahwa besok pagi ia akan melihat banyak orang dan siapa
tahu di antara mereka terdapat Sie Liong. Karena hatinya penuh harapan dan
tubuhnya segar, malam itu iapun tidur nyenyak. Bahkan ia bermimpi, bertemu
dengan Sie Liong. Kalau ada yang dekat dengan guha kecil itu tentu dia akan
mendengar betapa dalam mimpinya perempuan gila itu telah menangis terisak-isak.
Tangis kebahagiaan yang dicurahkan di atas dada pria yang dikasihinya yang
hanya terjadi dalam mimpi!
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali, baru saja matahari mengirim cahaya mudanya ke permukaan
telaga, Ling Ling sudah berlutut di tepi telaga. Seperti biasa, ia hendak
membersihkan badannya pada bagian tertentu saja. Ia tidak berani mandi sampai
bersih. Bahkan setelah mencuci muka, segera ia melumuri kembali kedua pipi dan
dahinya dengan lumpur!
Ketika ia berlutut dan
hendak memasukkan tangannya ke air, tiba-tiba ia melihat bayangannya sendiri.
Hampir ia menjerit saking kagetnya. Wajahnya demiktan buruknya! Buruk sekali
bahkan menjijikkan! Rambut itu! Muka itu! Seperti setan! Bagaimana kalau nanti
Sie Liong melihatnya! Hari ini Sie Liong pasti dapat dijumpainya. Dan kalau Sie
Liong melihat dirinya, tentu dia akan lupa dan bahkan mungkin akan jijik! Tak
terasa, dua butir air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di
kedua pipinya. Baru membayangkan Sie Liong jijik kepadanya saja, hatinya audah
seperti diremas rasanya. Sakit bukan main! Tidak, Sie Liong tidak boleh melihat
ia seperti ini! Sie Liong tidak boleh pangling padanya, tidak boleh jijik! Ia
harus membersihkan dirinya pagi ini, karena nanti ia akan bertemu dengan Sie
Liong!
‘Liong-koko, engkau
tidak boleh jijik padaku....! keluhnya dan seperti sudah berubah gila sungguh
ia lalu meloncat ke dalam air yang amat dingin itu! Ia memang pandai renang. Ia
lupa segala ketika tubuhnya sudah terendam air.
Lupa bahwa pakaian yang
menempel di tubuhnya itulah pakaian satu-satunya! Dan ia terjun dengan
pakaiannya! Rasa segar menyejukkan seluruh tubuhnya dan ia merasa gembira
sekali, seolah-olah ia hendak mandi sebersihnya untuk menyambut perjumpaannya
dengan Sie Liong. Ia mencuci rambutnya yang kotor penuh lumpur, bahkan ia
menanggalkan pakaian butut itu dan mencucinya sekali. Tubuhnya yang padat dan
ranum, biarpun agak kurus, kini nampak berkilauan, dengan kulit yang mulus dan
agak gelap, hitam manis seperti tembaga digosok! Rambutnya kini tidak kumal dan
kotor lagi, melainkan terurai panjang dan halus, dibiarkan terurai di depan
tubuhnya menutupi payudaranya yang kini terbebas dari pakaian yang butut.
Dalam kegembiraannya
karena ia hanya membayangkan pertemuannya yang amat membahagiakan dengan Sie
Liong, Ling Ling lupa segala dan kehilangan kewaspadaannya. Ia tidak tahu
betapa tak jauh dari situ, tiga orang pria muda yang baru pulang dari menjala
ikan semalam suntuk berjalan beriringan lewat di situ, memanggul jala dan menjinjing
keranjang ikan hasil pekerjaan mereka semalam. Ketika mereka lewat dekat guha
kecil itu, mereka mendengar suara berkecipaknya air. Mereka menengok dan
ketiganya berdiri bengong, terpukau seperti telah berubah menjadi tiga buah
arca! Kemudian, mereka menyelinap di balik batang pohon dan mengintai dengan
mata melotot.
‘Gadis.... gila
itu....!! bisik seorang di antara mereka.
‘Benar, gadis gila.
Lihat ia mencuci pakaiannya yang butut.!
‘Tapi.... ia cantik!
Lihat wajahnya itu. Alangkah manisnya. Dan rambutnya, halus hitam dan panjang.
Dan tubuhnya itu! Ah, betapa menarik dia.!
‘Benar! Lihat dadanya
itu.... hemmm....!!
Ling Ling sudah selesai
mandi dan mencuci pakaiannya. Ia menengok ke kanan kiri. Setelah melihat bahwa
di sekitar tempat itu tidak nampak ada manusia lain, ia lalu naik ke darat.
Tubuhnya yang telanjang hanya ditutup rambut panjang terurai, dan pakaian yang
basah dan sudah diperasnya itu dipergunakan untuk menutupi tubuhnya bagian
depan. Lalu ia melangkah ke arah guhanya.
Tak tahu sama sekali ia
betapa tiga pasang mata melahap ketelanjangannya dengan sinar mata yang berubah
menjadi buas!
Ling Ling membuat api
unggun di dalam guhanya. Api itu penting sekali, bukan saja untuk menghangatkan
tubuhnya yang agak kedinginan, akan tetapi juga perlu untuk mengeringkan
pakaiannya yang cuma satu-satunya itu. Pakaian itu masih jelek, robek sana sini,
akan tetapi walaupun butut tidaklah sekotor tadi. Dengan bertelanjang bulat dan
mengurai rambutnya agar kering pula, ia membeberkan pakaiannya dekat api agar
kering. Wajahnya berseri dan sama sekali tidak berbekas lagi ‘kegilaannya!.
Tiba-tiba in terbelalak
dan terpekik ketika tiga orang laki-laki muda itu berloncatan memasuki guhanya
yang kecil. Otomatis kedua tangannya menutupi tubuh bagian depan yang bugil,
matanya terbelalak ketakutan seperti mata seekor kelinci yang berada dalam
cengkeraman harimau. Melihat keadaan gadis itu, tiga orang muda itu menelan
ludah. Mereka bukanlah penjahat, melainkan nelayan-nelayan yang biasa mencari
nafkah dari menjala atau mengail ikan. Kehidupan yang miskin dan sederhana.
Mereka bukanlah orang-orang yang suka melakukan kejahatan, bukan pula
pengganggu wanita. Akan tetapi, keadaan pada saat itu membuat mereka seperti
gila oleh gairah nafsu yang mendadak berkobar menyala-nyala. Melihat betapa
gadis yang biasanya dianggap gila itu, gembel gila menjijikkan, yang biasanya mereka
hindari, kini ternyata berubah menjadi seorang gadis yang memiliki wajah manis
dan tubuh yang indah menggairahkan, seketika daya-daya rendah saling berebutan
menguasai hati dan pikiran. Dan sekali nafsu sudah menguasai diri, segala
pertimbanganpun lenyap. Baik buruk menjadi kabur, dan yang ada hanyalah gairah
yang mendorong orang melakukan pelampiasan untuk memuaskan dan menyalurkan
nafsu yang berkobar.
‘He-he, engkau cantik
menggairahkan!! kata tiga orang yang sudah lupa diri itu.
‘Tidak, tidak! Aku
jelek, aku orang gila....! Jangan ganggu aku!!
Ling Ling
berteriak-teriak, akan tetapi tiga orang itu sudah menubruk dan menangkapnya.
Ada yang memegang lengan, ada yang memegang kaki, ada yang mencengkeram rambut
panjang halus itu. Ling Ling ketakutan setengah mati. Ia menjerit-jerit,
meronta, mencakar dan menggigit. Namun, perlawanannya ini tidak lagi menakutkan
atau menjijikkan hati tiga orang pemuda itu, bahkan membuat nafsu berahi mereka
semakin berkobar. Mereka tidak perduli lagi gadis ini gila atau tidak. Yang
jelas bagi mereka, gadis ini cantik manis dan tubuhnya mulus!
Betapapun dengan nekatnya
Ling Ling meronta, apa arti kekuatan seorang gadis berusia delapan belas tahun
dibandingkan tenaga tiga orang pemuda yang kuat, yang setiap hari bekerja
kasar? Tak lama lagi ia akan terkulai lemas, akan kehabisan tenaga dan akhirnya
akan menjadi mangsa tiga pemuda yang bagaikan tiga ekor harimau kelaparan
memperebutkan seekor kelinci itu. Tenaga Ling Ling mulai lemah, akan tetapi
mulutnya masih terus berteriak-teriak.
‘Jangan....! Lepaskan
aku.... Aku orang gila, aku jelek.... aahhh.... toloooooong....!!
Seorang di antara tiga
orang itu cepat mendekap mulut yang menjerit-jerit itu, dan pada saat bahaya
yang lebih mengerikan dari pada maut mengancam Ling Ling, pada saat terakhir
ketika ia sudah ditelentangkan di lantai guha dan seorang di antara tiga pemuda
buas itu menindihnya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke dalam guha.
‘Aduuuhh....!!
‘Auhhh....!!
‘Heiii, aduhh....!!
Demikian cepat terjadinya
sehingga Ling Ling sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu tiga pemuda
itu telah melepaskan tangan-tangan mereka dari tubuhnya dan merekapun seperti
terseret keluar dari dalam guha sambil mengaduh-aduh.
‘Aku gila.... Jangan
ganggu aku,..... aku jelek dan gila....!! Ia cepat meraih tanah dari sudut guha
dan melumuri muka dan semua tubuhnya dengan tanah basah itu, juga rambutnya,
bahkan ia menyambar pakaian yang sudah kering, menggo sok-gosokkan pakaiannya
pada dinding guha yang lembab, kemudian ia mengenakan kembali 0pakaiannya,
dengan rambut yang kotor, muka yang kotor, lalu ia tertawa, menangis,
berteriak-teriak, berlagak kembali seperti orang gila!
Tiga orang pemuda itu
tentu saja terkejut dan merasa ngeri ketika tadi tiba-tiba pundak mereka
terpukul, membuat kedua lengan mereka seperti lumpuh, dan sebelum mereka dapat
melihat jelas siapa yang melakukan penyerangan terhadap diri mereka, tahu-tahu
rambut kepala mereka telah dijambak dan tubuh mereka diseret keluar dari dalam
guha dengan kasar. Mereka meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia.
Bahkan, semakin keras
mereka meronta, semakin nyeri rasanya, rambut kepala mereka seperti akan copot
bersama kulit kepala mereka. Oleh karena itu, mereka tidak berani meronta lagi
dan diam saja diseret keluar dari dalam guha lalu terus diseret sampai jauh
dari guha. Mereka merasa semakin ngeri ketika kini nampak bahwa yang menyeret
mereka adalah seorang laki-laki yang tubuhnya bongkok, dan orang itu
menggunakan sebelah tangan, yaitu tangan kanan, yang menjambak rambut mereka
bertiga menjadi satu dan menyeret mereka dengan ringan saja!
Melihat bahwa yang
menyeret mereka hanyalah seorang laki-laki bongkok yang lengannya hanya
sebelah, karena yang kiri nampaknya buntung, tiga orang pemuda itu menjadi
marah sekali.
‘Keparat busuk! Berani
engkau! Lepaskan rambutku!! teriak mereka.
Orang itu bukan lain
adalah Sie Liong! Hari itu tepat merupakan hari terakhir bekerjanya racun
perampas ingatan di dalam kepalanya, dan dia kini mulai teringat siapa dirinya,
teringat pula mengapa lengan kirinya buntung. Dia mulai teringat semuanya.
Tadi, ketika dia berjalan perlahan-lahan di tepi telaga, kehilangan kebingungannya
yang selama ini dideritanya, dia mendengar jerit wanita minta tolong.
Dengan kecepatan yang
sampai sekarang masih membuatnya sendiri terheran-heran, tubuhnya berkelebat
dan ketika dia memasuki guha kecil itu dan melihat tiga orang pemuda sedang
menggeluti seorang wanita yang bugil dan meronta-ronta, dia lalu turun tangan.
Dengan ketukan perlahan saja, menggunakan tangan tunggalnya, tiga orang pemuda
itu melepaskan calon korban mereka, dan dengan cepat, tangan Sie Liong sudah
mencengkeram rambut kepala mereka dengan satu tangan, kemudian menyeret mereka
keluar dari dalam guha.
Mendengar bentakan mereka,
Sie Liong melepaskan jambakan tangannya. Tiga orang pemuda nelayan itu
berloncatan berdiri, kepala terasa nyeri dan pedas oleh jambakan tadi. Mereka marah
bukan main, bukan saja karena kesenangan mereka terganggu dan gagal, akan
tetapi juga karena mereka merasa diperlakukan dengan penghinaan. Tanpa banyak
cakap lagi, tiga orang pemuda itu menerjang maju untuk menghajar pemuda bongkok
yang lengannya hanya tinggal sebelah. Mereka mengeluarkan suara
mendengus-dengus, dan serangan mereka itu penuh kemarahan.
‘Ehhh....?! Mereka
terbelalak karena yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan yang nampak
hanya bayangan berkelebat. Mereka membalik dan melihat bahwa pemuda bongkok itu
sudah berada di belakang mereka. Mereka bergerak untuk menyerang lagi, akan
tetapi tiba-tiba Sie Liong menggerakkan lengan kanan. Tangannya menyambar dan
tiga orang itupun terjengkang, terbanting keras!
‘Hemm, kalian ini tiga
orang jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!! terdengar Sie Liong berkata
lirih.
Tiga orang itu berusaha
untuk bangun, akan tetapi setiap kali tubuh mereka bergerak hendak bangkit,
ujung lengan baju kiri yang kosong itu menyambar, mengenai pipi atau leher dan
mereka merasa seperti disambar petir. Akhirnya, tiga orang itu menjadi
ketakutan dan mereka berlutut minta-minta ampun.
‘Ampunkan kami....,
taihiap, jangan bunuh kami....!! Mereka berlutut dan mengangkat kedua tangan ke
atas, muka mereka sudah matang biru dan bengkak-bengkak.
Sie Liong mengerutkan
alisnya. ‘Kalian penjahat atau perampok?! tanyanya ragu karena dia melihat
betapa mereka berpakaian seperti nelayan biasa.
‘Ampun, taihiap,
kami.... kami bukan penjahat.... kami adalah nelayan yang baru pulang dari
menjala ikan....!
‘Huh, kalian jahat!!
kata Sie Liong. Akan tetapi di dalam hatinya, dia telah mengampuni mereka.
‘Pergilah!! Kakinya menendang tiga kali dan tiga orang itu terguling-guling,
lalu mereka bangkit dan melarikan diri ketakutan.
Dia teringat kepada wanita
yang hampir diperkosa oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, maka kakinya
melangkah perlahan menuju ke guha kecil di tepi telaga.
‘Jangan ganggu.... aku
jelek.... aku gila.... aku kotor, heh-heh-heh.... hi-hi-hik, jangan ganggu
aku....!
Terdengar suara wanita itu
dalam guha itu. Sie Liong cepat menyelinap di balik sebatang pohon. Dia
mengintai ketika wanita itu keluar dari guha dan alisnya berkerut. Seorang
wanita gembel gila! Rambutnya kotor kusut, mukanya sebagian tertutup rambut,
muka yang kotor berlumpur pula. Pakaiannya butut dan kotor. Sungguh seorang
wanita yang kotor menjijikkan, gila lagi! Dan wanita inikah yang nyaris diperkosa
tiga orang pemuda tadi? Gilakah mereka itu? Bagaimana mungkin ada pria yang
bangkit gairah berahinya melihat wanita gembel gila yang menjijikkan ini?
‘Hi-hi-hik, aku gila....
ha-ha.... jangan ganggu aku.... ah, jangan ganggu aku....!! Wanita itu adalah
Ling Ling. Setelah tiga orang pria yang mengganggunya tadi lenyap, dan setelah
ia mengubah dirinya menjadi gembel gila lagi, baru ia berani keluar dan untuk
melindungi dirinya dari gangguan, ia sudah tertawa-tawa lagi. Akan tetapi,
setelah ia melihat bahwa di situ tidak ada orang, ia menghentikan tawanya dan
terjatuhlah ia berlutut dan menangis sesenggukan! Ia teringat akan peristiwa
mengerikan tadi. Hampir saja ia menjadi korban perkosaan dan teringat akan ini,
ia menjadi ketakutan dan teringat ia betapa di situ tidak ada Sie Liong yang
tentu akan selalu melindunginya.
Sementara itu, Sie Liong
dari tempat pengintaiannya tadinya juga mengira bahwa wanita itu memang gembel
gila. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita itu menengok ke kanan kiri, kemudian
menghentikan tingkah gilanya dan suara ketawanya, bahkan lalu menjatuhkan diri
berlutut dan menangis sesenggukan, dia memandang heran dan alisnya berkerut.
Dia adalah seorang yang cerdik dan tidak mudah ditipu. Tahulah dia bahwa wanita
itu hanya pura-pura gila! Ketawanya tadi adalah palsu, dan tangisnya yang
sekarang inilah baru aseli! Dia mendengarkan dengan ketajaman pendengarannya
ketika wanita yang menangis itu merintih dan mengeluh.
‘Hu-huu.... Liong-ko....
ahhh, Liong-koko.... uhu-hu-hu.... kenapa engkau begitu tega.... Liong-ko....
uhu-huuu.... kalau ada engkau, tentu tidak ada.... yang berani mengangguku....
aih, Liong-koko.... di mana engkau....?!
Sie Liong merasa seperti
kepala disambar kilat ketika dia mendengar rintihan dan keluh kesah ini.
Bagaikan seekor kijang, tubuhnya sudah melompat dan meluncur ke arah wanita
yang berlutut sambil menangis itu. Dipegangnya pundak wanita itu, diangkatnya
mukanya lalu tangan yang tinggal sebelah itu menyingkap rambut yang kusut
menutupi muka. Dipandangnya muka yang kotor itu. Sinar matahari pagi menyinari
muka itu. Sie Liong menggunakan tangannya untuk mengusap lumpur dari pipi dan
dia terbelalak.
‘Ling-moi....! Ling
Ling.... ah, Ling Ling.... kenapa engkau jadi begini....?! Sie Liong berlutut.
Ling Ling terbelalak,
wajahnya pucat sekali, diamatinya muka laki-laki itu, lalu pandang matanya
menurun, ke arah lengan kiri yang buntung.... lalu ke arah wajah itu kembali.
Matanya terbelalak terus tanpa berkedip, bibirnya bergerak-gerak, tak mampu bersuara
hanya mewek-mewek ke arah tangis dan butir-butir air mata menetes turun, dan
dengan susah payah baru ia dapat bersuara.
‘Liong-ko....?
Engkau.... engkau....! matanya memandang lengan kiri yang buntung. ‘....
engkau Liong-koko....?!
‘Ling-moi, ini aku, Sie
Liong....!
‘Liong-koko....!! Gadis
itu menubruk, merangkul leher Sie Liong dan roboh pingsan dalam pelukan lengan
kanan Sie Liong yang memangkunya.
‘Ling-moi, ah,
Ling-moi.... kau maafkan aku, Ling-moi....!! Sie Liong merangkul dan mencium
pipi yang kotor dengan lumpur itu, dan air matanya pun jatuh membasahi pipi
itu. Kecerdikannya membuka pikirannya dan dia dapat menduga apa yang terjadi.
Ling Ling yang ditinggalkan pada bibi Cili, dan baru hari ini hal itu teringat
olehnya lebih dari satu bulan, kurang lebih dua bulan yang lalu, tentu telah
pergi meninggalkan rumah bibi Cili dan nekat pergi hendak mencarinya. Dan
agaknya, dangan cerdik Ling Ling telah menyamar sebagai seorang gembel gila
untuk menghindarkan godaan para pria yang jahat dan kurang ajar. Akan tetapi,
mengapa tadi nyaris ia diperkosa tiga orang laki-laki muda, hal itu tidak dapat
dia menduganya.
Dengan perlahan dan
hati-hati, setelah merebahkan tubuh Ling Ling di atas rumput, Sie Liong
mengurut tengkuknya. Ling Ling siuman kembali dan begitu membuka kedua matanya
dan dapat bergerak, ia sudah berseru gelisah, ‘Liong-ko, di mana engkau....?!
Dan ia pun serentak bangkit duduk.
Sie Liong merangkulnya
dari samping. ‘Aku di sini, Ling Ling....!
Ling Ling menoleh.
‘Aihhh, Liong-koko.... engkau benar Liong-koku....!!
Ia merangkul dan menangis
seaunggukan di atas dada pemuda bongkok itu. Sie Liong membiarkan gadis itu
menangis, membiarkan ia melepaskan semua kegelisahan dan kedukaan yang diderita
selama ini agar larut bersama tangisnya.
Setelah tangisnya mereda
karena kehabisan air mata, Ling Ling mengangkat mukanya dari dada Sie Liong dan
memandang wajah pemuda itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan matanya kini
bersinar, tidak layu dan muram seperti tadi. ‘Liong-koko, kenapa engkau pergi
begitu lama? Ah, Liong-koko, jangan kau tinggal aku lagi. Lebih baik aku mati
saja daripada harus kau tinggalkan lagi, Liong-koko....!
Tiba-tiba in teringat,
lalu memandang ke arah lengan kiri pemuda itu. Wajahnya pucat kembali, matanya
terbelalak dan dengan kedua tangannya ia menangkap lengan baju kiri yang
kosong, meraba-raba, mencari-cari isi lengan baju itu. ‘Liong-ko.... di mana
lengan kirimu? Liong-koko, apa yang terjadi....? Engkau.... lengan kirimu....
buntung....?!
Sie Liong mengangguk, akan
tetapi dia tersenyum. Dia tahu bahwa dia kehilangan lengan kiri, akan tetapi
diapun sebagai gantinya mendapatkan ilmu yang amat hebat, sehingga kini dia
memiliki tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan sebelum kehilangan lengan
kirinya. ‘Aku terjebak oleh musuh ketika melakukan penyelidikan. Mereka jahat
dan kejam. Lengan kiriku buntung dan aku bahkan nyaris tewas. Tuhan masih
melindungiku, Ling Ling, sehingga aku masih dapat bertemu denganmu.!
‘Liong-koko.... ah,
Liong-koko, kasihan sekali engkau....! gadis itu meraba-raba, lalu menyingkap
baju pemuda itu. Melihat betapa lengan kiri itu buntung sampai dekat pundak,
dan bekas tempat lengan itu kini merupakan luka yang berkeriput, ia merangkul
dan menangis sambil menciumi pundak yang tanpa lengan itu, menciumi bekas luka
itu. Ia seolah hendak membersihkan luka itu dengan air matanya.
Sie Liong merangkulnya
dengan terharu. ‘Ling-moi, kenapa engkau masih selalu mengharapkan aku, ingin
hidup bersamaku? Lihat baik-baik, aku seorang laki-laki yang cacat ganda, ya
bongkok ya buntung lengan kiriku. Apa yang kau lihat pada diri seorang cacat
seperti aku? Apa yang kauharapkan dari seorang seperti aku?!
‘Liong-koko, aku.... aku
cinta padamu, koko. Biar, aku tidak malu mengaku bahwa aku cinta padamu. Aku
memujamu, dan engkaulah satu-satunya laki-laki yang kucinta, bahkan
satu-satunya manusia yang kumiliki. Engkau memang cacat, cacat tubuhmu, akan
tetapi engkaulah orang yang sebaik-baiknya bagiku. Engkau matahari hidupku.
Tanpa engkau, hidupku akan gulita. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku di
sampingmu koko, tentu saja.... kalau.... kalau engkau sudi menerima aku,
seorang gadis yang bodoh dan buruk, yatim piatu pula.!
‘Ling Ling....! Sie
Liong merangkul dan mendekap muka itu pada dadanya penuh kebahagiaan. Baru
sekarang dia bertemu dengan seorang manusia lain yang demikian mencintanya. Dia
dapat merasakan benar curahan kasih sayang Ling Ling melalui pandang matanya,
melalui sikapnya, melalui suaranya, melalui sentuhannya. ‘Ling Ling, akupun
cinta padamu. Aku.... aku ingin memperisterimu....!
‘Liong-koko! Betapa
bahagia hatiku. Aku mau melakukan apa saja asal boleh mendampingimu selama
hidupku!!
Sie Liong tersenyum.
‘Sekarang yang paling penting engkau membersihkan dirimu dulu dari lumpur
itu, bereskan rambutmu dan pakaianmu. Nah, cepat, aku tunggu di sini. Setelah
itu, kita pergi ke rumah bibi Cili dan bercakap-cakap.!
Ling Ling telah memperoleh
kembali kegembiraannya. Ia bangkit, tersenyum penuh kebahagiaan, menatap wajah
Sie Liong dengan sinar mata membayangkan cinta kasih sepenuhnya, kemudian ia
berlari-lari menuruni tepi telaga, dan membersihkan muka dan leher, dan tangannya
dari lumpur. Juga rambutnya.
Tak lama kemudian, mereka
sudah pergi dari tempat itu. Biarpun pakaian Ling Ling masih butut, akan tetapi
tidak terlalu kotor karena tadi sudah dicucinya, juga rambutnya disanggul.
Karena Sie Liong sendiri juga belum sempat berganti sejak keluar dari dalan
kuburan, maka keduanya kelihatan seperti dua orang petani yang baru kembali
dari sawah ladang, dengan pakaian ternoda lumpur.
Sambil berjalan menuju ke
rumah bibi Cili di Lasha sambil bercakap-cakap Ling Ling menceritakan semua
pengalamannya, betapa karena gelisah memikirkan Sie Liong yang tak kunjung
pulang, akhirnya ia melarikan diri meninggalkan rumah bibi Cili untuk mencari Sie
Liong. Ia terpaksa menyamar sebagai seorang gembel gila untuk menghindarkan
diri dari gangguan pria-pria jahat, presis seperti yang telah diduga oleh Sie
Liong. Sampai kemudian dia diganggu tiga orang pemuda itu dan nyaris diperkosa.
‘Akan tetapi, engkau
sudah menyamar sebagai seorang gembel gila, bagaimana tiga orang itu masih
ingin mengganggumu?! Sie Liong bertanya heran.
Ling Ling tersipu.
‘Salahku sendiri. Tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu, Liong-ko. Karena
itu, aku merasa yakin bahwa hari ini aku akan bertemu denganmu. Pagi tadi,
melihat bayanganku di air, aku merasa terkejut dan khawatir membayangkan
bertemu denganmu dalam keadaan seperti gembel gila yang kotor. Karena keadaan
sunyi, aku lalu mandi bersih dan mencuci pakaianku, lalu memasuki guha.
Agaknya, ketika mandi itu, mereka telah melihatku, dan ketika aku memasuki
guha, mereka lalu menyerangku dan hendak memaksaku....!
‘Ah, kita harus
berterima kasih kepada Tuhan atas segala petunjuk-Nya kepada kita!! seru Sie
Liong dan gadis itu demikian terheran sehingga ia berhenti melangkah dan
memandang wajah Sie Liong dengan heran.
***
Bibi Cili menerima mereka
dengan gembira, akan tetapi juga dengan khawatir, takut kalau-kalau pemuda
bongkok yang kini buntung pula lengan kirinya itu menjadi marah. Ia sudah tahu
bahwa pemuda bongkok itu adalah Pendekar Bongkok yang lihai sekali. Walaupun
kini lengan kirinya buntung, ia masih merasa takut.
‘Aih, taihiap, nona Ling
ini membikin saya bingung setengah mati. Ia pergi tanpa pamit dan saya tidak
tahu ke mana ia pergi. Sekarang, tahu-tahu telah kembali dengan taihiap,
dan.... ih, pakaiannya seperti ini....!
Sie Liong tersenyum.
‘Kami tidak menyalahkan engkau, bibi. Bahkan aku berterima kasih sekali
kepadamu. Kedatangan kami ini pertama untuk minta bantuan agar mencarikan
pakaian untuk kami, ke dua kalinya sekali lagi aku akan menitipkan Ling-moi di
sini, hanya untuk beberapa hari saja.!
‘Liong-koko! Apa artinya
kata-katamu ini? Engkau.... hendak menitipkan aku.... hendak meninggalkan aku
lagi?! suara itu sudah mengandung isak dan wajah itu berubah pucat, matanya
terbelalak penuh protes.
Sie Liong tersenyum dan
berkata kepada bibi Cili. ‘Pergilah, bibi. Carikan beberapa pasang pakaian
untuk aku dan Ling-moi. Jangan khawatir, kalau urusanku sudah selesai, pasti
harganya akan kuganti, juga akan kuberi imbalan tinggalnya Ling-moi di sini.!
‘Aih, tidak usah
sungkan, taihiap. Keponakanku pemilik rumah makan itu akan memberikan uang
berapa saja yang kubutuhkan untuk keperluanmu.! Bibi Cili lalu pergi
meninggalkan mereka. Setelah nyonya rumah pergi, barulah Sie Liong menarik
tangan Ling Ling, dirangkulnya gadis yang masih nampak gelisah itu.
‘Ling-moi, dengarkan
baik-baik. Engkau tahu bahwa kita menghadapi orang-orang yang selain amat jahat
akan tetapi juga lihai bukan main. Aku tidak mungkin dapat mendiamkan saja
segerombolan manusia itu mengumbar nafsu melakukan kejahatan. Sudah menjadi
tugasku untuk menentang mereka yang melakukan kejahatan. Oleh karena itu, aku
harus menemui Kim Sim Lama dan membasmi gerombolannya. Dan sungguh tidak
mungkin kalau aku harus membawamu serta. Amat berbahaya bagimu. Nah, karena
itulah terpaksa aku harus meninggalkanmu lagi di sini, bukan untuk waktu
bulanan atau berhari-hari. Aku berangkat pagi, sorenya tentu kembali.!
‘Akan tetapi,
Liong-ko.... setelah apa yang kita alami selama ini, tegakah engkau untuk
meninggalkan aku lagi? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dirimu?!
‘Aku dapat menjaga diri,
Ling Ling. Andaikata terjadi apa-apa dengan diriku, hal itu tentu sudah
dikehendaki oleh Tuhan dan engkau atau aku atau siapapun juga tidak akan mampu
mencegahnya.!
‘Biarpun aku tidak dapat
menolongmu, akan tetapi aku dapat melihatmu, koko! Biar aku harus matipun,
kalau bersamamu, aku tidak takut dan aku rela! Koko, jangan tinggalkan aku,
bawalah aku....!
Pada saat itu, seorang
anak laki-laki berusia belasan tahun masuk ke dalam rumah itu dengan muka pucat
dan napas memburu. Ling Ling mengenalnya sebagai anak laki-laki yang suka
disuruh suruh bibi Cili, yaitu anak tetangga sebelah.
‘A-kian, ada apa?!
tanyanya melepaskan rangkulan Sie Liong dari pundaknya.
‘Ci-ci.... celaka,
cici.... bibi Cici.... bibi.... Cili....!
‘Ada apa dengan bibi
Cili?! Sie Liong bertanya kepada anak itu.
‘Ia.... ia tadi
ditangkap oleh beberapa orang dan dipaksa naik sebuah kereta dan dilarikan
keluar kota....!
Sie Liong segera dapat
menduga siapa yang melakukan hal itu. Tentu anak buah Kim-sim-pang yang agaknya
tahu akan hubungan antara dia dan bibi Cili, maka wanita itu ditangkap.
‘Ling-moi, aku harus
menyelamatkan bibi Cili....! katanya dan sebelum Ling Ling mampu menjawab, Sie
Liong sudah meloncat keluar dari rumah itu. Dia tahu ke mana harus mengejar.
Tak salah lagi, wanita malang itu tentu akan dibawa ke sarang Kim-sim-pang!
Sementara itu, anak yang
membawa kabar segera meninggalkan Ling Ling karena dia ketakutan dan
bersembunyi ke dalam rumahaya sendiri. Ling Ling duduk termenung. Ucapan
terakhir Sie Liong masih terngiang di telinganya. Bagaimanapun juga, ia harus
mengakui kebenaran ucapan itu. Bahkan kini sudah nampak bukti kebenarannya.
Gerombolan penjahat itu telah menculik bibi Cili! Kalau Sie Liong diikutinya,
tentu pendekar itu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa. Ia harus tahu
diri. Ia harus dapat memaklumi tugas seorang pendekar! Ia telah terlalu
mementingkin diri sendiri. Tidak mungkin seorang pendekar menjadi miliknya
sendiri. Seorang pendekar adalah milik masyarakat, milik mereka yang tertindas,
mereka yang lemah dan sengsara karena kejahatan orang lain.
Tiba-tiba ia dikejutkan
oleh berkelebatnya bayangan orang. Tadinya dengan girang dan penuh harap ia
bangkit menyambut karena disangkanya Sie Liong yang datang. Akan tetapi
ternyata yang datang adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya.
Seorang pemuda yang tampan dan memiliki sinar mata tajam dan aneh. Ling Ling
hendak menjerit akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, ia roboh
terkulai dalam keadaan tertotok lemas dan tidak mampu bersuara. Di lain saat,
tubuhnya sudah dipondong oleh pemuda itu yang membawanya lari melalui pintu
belakang dengan gerakan cepat sekali.
Sie Liong melakukan
pengejaran dengan cepat keluar kota. Tak lama kemudian, tepat diduganya, dia
melihat sebuah kereta kecil yang ditarik dua ekor kuda dilarikan keluar kota.
Dia mempercepat larinya dan sebentar saja dia sudah berhasil menyusul dan
sekali dia melompat, dia telah berada di depan kuda yang menarik kereta dan
biarpun dia hanya mempunyai sebuah tangan saja, namun tangan yang mengandung
tenaga dahsyat itu sekali tangkap telah membuat kuda terbesar berhenti dan
meringkik ketakutan.
Dari dalam kereta berlompatan
keluar empat orang laki-laki, juga kusir kereta itu melompat turun. Mereka
berlima sudah memegang senjata golok dan tanpa banyak cakap lagi, mereka sudah
menyerang dan mengeroyok Sie Liong! Akan tetapi, pendekar ini menggerakkan
lengan baju kiri yang kosong, tubuhnya berputar seperti sebuah gasing.
‘Plak-plak-plak-plak-plak....!!
Lima orang itu
bergelimpangan dan roboh tak mampu bangkit kembali. Sambaran ujung lengan baju
tadi telah membuat mereka mengalami patang tulang pundak atau rahang. Golok
mereka beterbangan dan mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak mampu atau tidak
berani bangkit lagi. Sie Liong tidak memperdulikan mereka, lalu menghampiri
kereta dan membuka pintunya. Bibi Cili duduk di dalam kereta ketakutan dan
menangis.
Sie Liong membimbingnya
turun dari kereta. ‘Jangan takut, bibi. Mari kita pulang,! katanya. Wanita
itu hanya mengangguk, dan berjalan secepatnya untuk meninggalkan tempat itu dan
pulang ke rumahnya. Sie Liong mengikutinya. Mereka tidak bercakap-cakap. Bibi
Cili masih ketakutan, dan Sie Liong menduga-duga, mengapa gerombolan itu hendak
menculik bibi Cili.
Setelah mereka memasuki
rumah bibi Cili, barulah Sie Liong tahu bahwa dia telah tertipu! Ling Ling
telah lenyap! Dan sebagai gantinya, dia mendapatkan sehelai kertas di atas
meja, tertancap sebatang pisau belati. Cepat direnggutnya kertas itu dan dibaca
tulisannya.
Pendekar Bongkok!
Kalau engkau menghendaki
kekasihmu selamat, datanglah ke kuil kami!
Kim Sim Lama
Sie Liong mengepal surat
itu dalam tangan kanannya. Matanya mengeluarkan sinar mencorong dan dia berkata
lirih, ‘Kim Sim Lama, kalau engkau mengganggu Ling Ling, demi Tuhan, kubunuh
engkau!! Dan tubuhnya berkelebat lenyap dari depan bibi Cili yang menjadi
semakin ketakutan.
***
‘Omitnhud.... sampai
sedemikian jauhkah tindakan yang dilakukan oleh Kim Sim Lama? Kalau begitu,
demi keamanan dan ketertiban dalam kehidupan rakyat di Tibet, terpaksa kami
harus mengambil tindakan.!
Dalai Lama bicara dengan
nada suara serius, setelah dia mendengarkan pelaporan Lie Bouw Tek yang datang
menghadap bersama Sie Lan Hong. Setelah mereka meninggalkan kuburan, di mana
mereka melihat kuburan Sie Liong meledak dan melihat Sie Liong yang kini
buntung lengan kirinya itu membunuh Thai-yang Suhu kemudian melarikan diri, Lie
Bouw Tek mengajak Sie Lan Hong untuk pergi menghadap Dalai Lama kembali. Dalai
Lama adalah seorang pendeta kepala yang tentu saja tidak menuruti gejolak hati
yang dikuasai amarah. Akan tetapi mendengar laporan dari Lie Bouw Tek tentang perbuatan
Kim Sim Lama yang sengaja melempar fitnah kepadanya, apa lagi mendengar betapa
Kim Sim Lama kini membentuk gerombolan pemberontak dan barbuat kejam terhadap
rakyat, dia tidak dapat tinggal diam saja.
Dalai Lama lalu
memerintahkan Kong Ka Lama untuk memanggil semua tokoh Lama yang berkedudukan
dan berkepandaian tinggi. Berkumpullah puluhan orang Lama dan diam-diam Lie
Bouw Tek kagum. Ternyata Dalai Lama memiliki banyak orang pandai. Dia dan Sie
Lan Hong mendapat kehormatan untuk ikut dalam perundingan itu, karena pendekar
Kun-lun-pai ini telah dianggap berjasa besar memberi keterangan tentang sepak
terjang Kim Sim Lama.
Tidak kurang dari duapuluh
empat orang pimpinan Lama, dikepalai oleh Konga Sang sendiri, memimpin kurang
lebih seratus orang pendeta Lama pilihan dan mereka lalu berangkat menuju ke
sarang Kim-sim-pai. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong juga berada di antara para
pimpinan. Dan di belakang, menyusul kemudian lima ratus orang pasukan bergerak
menuju ke sarang itu pula, mengambil jalan lain untuk melakukan pengepungan.
Di pihak Kim-sim-pang juga
para pimpinannya membuat persiapan, akan tetapi persiapan untuk menghadapi
Pendekar Bongkok. Ketika Kim Sim Lama mendengar dari para penyelidik bahwa
Thai-yang Suhu tewas dan berada di dalam kuburan Pendekar Bongkok yang sudah
kosong, sedangkan Pendekar Bongkok tidak nampak di sana, dia menyebar para
penyelidik untuk mencari di mana adanya Pendekar Bongkok.
Para penyelidik ini yang
melihat kemunculan Pendekar Bongkok ketika dia menolong wanita gembel gila dari
gangguan tiga orang nalayan. Mereka melaporkan hal ini kepada Kim Sim Lama yang
cepat mengatur siasat bersama para pembantunya yang lihai. Dia marah sekali
mendengar bahwa Pendekar Bongkok masih hidup dan dapat keluar dari dalam
kuburan! Bahkan telah membunuh Thai-yang Suhu!
Tadinya, ketika mendengar
bahwa mayat Thai-yang Suhu berada di dalam kuburan dan mayat Pendekar Bongkok
lenyap, dia manduga bahwa tentu tokoh Kun-lun-pai itu yang melakukan pembunuhan
terhadap pembantunya itu dan melarikan mayat Pendekar Bongkok. Akan tetapi,
ketika dia mendengar laporan para anak buahnya tentang kemunculan Pendekar
Bongkok yang menolong gadis gembel gila, dia terkejut bukan main. Dia segera
memanggil semua pembantunya untuk merundingkan hal itu.
‘Ahh, bagaimana mungkin
dia hidup kembali?! Thai Hok Lama, orang ke em pat Tibet Ngo-houw dan ahli
racun itu berseru. ‘Mungkin saja dia dapat disembuhkan dari pengaruh racun,
akan tetapi bagaimana mungkin dia hidup kalau dikubur dan tidak dapat bernapas
selama beberapa hari? Ini tentu ada yang menolongnya ketika dia dikubur. Dan
yang tahu akan hal itu tentu Camundi Lama!!
‘Hemmm, benar sekali!!
kata pula Ki Tok Lama, sute dari Lima Harimau Tibet itu. ‘Kami memang sejak
dahulu tidak percaya kepadanya. Dia seorang yang setia kepada Dalai Lama. Hanya
karena dia pandai ilmu pengobatan saja kita tidak membunuhnya.!
Kim Sim Lama
mengangguk-angguk. Diapun curiga kepada Camundi Lama. ‘Panggil Camundi Lama
ke sini!! teriaknya kepada pengawal.
Sementara itu, mendengar
akan lolosnya Pendekar Bongkok, bukan main kaget dan marahnya hati Coa Bong
Gan. Lolosnya Pendekar Bongkok bukan saja membahayakan Kim Sim Lama karena
rahasianya tentu akan bocor, akan tetapi juga amat berbahaya baginya sendiri.
Dia telah membacok buntung lengan kiri pendekar itu, dan tentu dia tidak akan
tinggal diam saja, dan tentu akan membalas dendam. Pendekar Bongkok harus
didahului!
‘Locianpwe, Pendekar
Bongkok harus dapat dibasmi, dan saya tahu bagaimana caranya!! kata Coa Bong
Gan. Yauw Bi Sian yang hadir di situ tidak banyak bicara. Memang ia masih
merasa menyesal bahwa calon suaminya membuntungi lengan kiri Sie Liong, akan
tetapi kini ia semangatnya lemah, dan pula bagaimanapun juga, Pendekar Bongkok
adalah pembunuh ayah kandungnya.
‘Bagaimana cara itu?!
tanya Kim Sim Lama, tertarik.
‘Dia harus dipaksa
datang ke sini. Saya akan memancingnya keluar dari rumah pondokannya, kemudian
saya akan menculik gadis gembel gila itu, dan kalau dia sudah tiba di sini,
mudah saja untuk membunuhnya!!
Kim Sim Lama tersenyum
cerah. ‘Bagus sekali! Lengan kirinya sudah kaubuntungi, betapapun lihainya, dia
tidak ada artinya lagi. Lakukanlah siasat itu sekarang juga!!
Coa Bong Gan cepat pergi
sambil mengajak empat orang pendeta Lama, mem bawa pula sebuah kereta kecil.
Untuk memancing Sie Liong keluar meninggalkan rumah bibi Cili, dia menyuruh
empat orang pembantunya itu menculik bibi Cili di tempat ramai. Hal ini
disengajanya agar Sie Liong diberitakan orang tentang penculikan itu. Dan tepat
seperti yang telah dia perhitungkan, Sie Liong berlari cepat sekali dari dalam
rumah ketika mendengar bahwa bibi Cili diculik orang. Kesempatan itulah yang
dipergunakan Bong Gan untuk memasuki rumah dan menculik Ling Ling, sambil
meninggalkan surat tantangan dari Kim Sim Lama kepada Sie Liong, Si Pendekar
Bongkok.
Ketika Camundi Lama
dihadapkan kepada Kim Sim Lama, pendeta ahli pengobatan itu menghadap sambil
tersenyum. Dia sudah mendengar berita tentang lolosnya Pendekar Bongkok dari
dalam kuburan. Tidak sia-sialah usahanya menyelamatkan pendekar itu dan dia
sudah tahu apa yang harus dilakukan kalau Kim Sim Lama mencurigainya.
‘Camundi Lama!! bentak
Kim Sim Lama dengan sinar mata tajam mencorong. ‘Engkau pengkhianat! Apa yang
telah kaulakukan ketika engkau memimpin penguburan Pendekar Bongkok?!
Camundi Lama tersenyum dan
merangkap kedua tangan di depan dadanya. ‘Omitohud.... pinceng (aku) hanya
melakukan yang benar. Kim Sim Lama, engkau telah menjadi hamba kemurkaan dan
kejahatan. Engkaulah yang menjadi pengkhianat, mengkhianati Dalai Lama,
mengkhianati kebenaran, mengkhianati manusia dan Tuhan! Pinceng hanya mencegah
terjadinya pembunuhan keji terhadap diri Pendekar Bongkok. Pinceng memasang
tabung ketika dia dikubur hidup-hidup sehingga dia dapat bernapas melalui
tabung.!
‘Keparat jahanam!! Thay
Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw berseru marah. Kim Sim Lama juga
marah sekali mendengar pengakuan Camundi Lama itu.
‘Tangkap dia! Akan
kusiksa sendiri dia sampai mati!!
Akan tetapi, ketika para
pembantu Kim Sim Lama bangkit hendak bergerak, Camundi Lama tertawa.
‘Ha-ha-ha, tidak perlu kalian repot-repot. Sekarangpun pinceng akan
meninggalkan kalian orang-orang yang menjadi hamba nafsu sendiri. Kim Sim Lama,
engkau telah menyebar benih kejahatan yang kelak hanya akan meracuni dirimu
sendiri lahir batin.! Setelah berkata demikian, Camundi Lama roboh dan ketika
semua orang memeriksanya, dia telah tewas! Ternyata ketika dipanggil menghadap,
kakek ahli pengobatan ini telah mengambil keputusan untuk menelan racun yang
kerjanya halus namun pasti.
Ketika Coa Bong Gan datang
memondong Ling Ling, Kim Sim Lama menjadi girang sekali. ‘Ah, pantas kalau
Pendekar Bongkok mencinta gadis ini,! katanya sambil memandang Ling Ling yang
nampak ketakutan. ‘Kiranya gadis ini bukan gembel gila, melainkan seorang
gadis yang cantik dan manis. Coa-sicu, biar kami serahkan gadis ini dalam
pengawasanau. Jangan sampai ia dapat lolos sebelum Pendekar Bongkok datang
memenuhi tantangan kami.!
Coa Bong Gan mengangguk
girang dan membawa Ling Ling pergi ke kamarnya. Yauw Bi Sian hanya memandang
dengan alis berkerut, namun tidak perduli. Kini ia tidak perduli apa-apa lagi,
tidak perduli apa yang dilakukan Coa Bong Gan. Ia tidak tahu bahwa semangatnya
menjadi lemah karena ia selalu dikuasai oleh kekuatan sihir dari para pendeta
Lama pengikut Kim Sim Lama yang selain ahli dalam ilmu silat, juga ahli dalam
ilmu sihir. Sebetulnya, sebagai murid terkasih dari Koay Tojin tidak mudah
gadis perkasa ini dikuasai ilmu sihir.
Akan tetapi, pada saat
itu, hatinya sedang risau dan bimbang, perasaannya kacau balau. Sebagian ia
merasa dendam dan benci kepada Sie Liong, akan tetapi sebagian pula dari
perasaannya ia merasa iba. Juga perasaannya terhadap Bong Gan bercampur aduk
dengan kacau. Ada rasa suka yang timbul dari nafsu berahinya sendiri, akan
tetapi juga perasaan muak dan benci, bukan saja melihat bahwa Bong Gan seorang
pria yang cabul dan khianat, bermain gila dengan Pek Lan. Dan perasaan benci
ini semakin kuat karena melihat kecurangan Bong Gan yang menyerang dan
membuntungi lengan kiri Sie Liong selagi pemuda itu berada dalam keadaan tidak
berdaya sama sekali.
Bab 25
Kini Kim Sim Lama, dan
para pembantunya, juga Bi Sian, menanti dengan hati diliputi ketegangan.
Beranikah Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan Kim Sim Lama untuk
menyelamatkan Ling Ling? Agaknya, Kim Sim Lama yakin akan hal ini. Akan tetapi
Bi Sian sendiri diam-diam meragukannya. Begaimana Sie Liong akan berani datang?
Selain Kim Sim Lama dan para pembantunya terlampau kuat bagi Sie Liong, juga
kini Pendekar Bongkok telah buntung lengan kirinya sehingga tentu saja
kelihaiannya berkurang banyak! Selain itu, mengapa pula pamannya itu akan
mati-matian mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan seorang gadis peranakan
Tibet yang juga tidak amat cantik itu, bahkan kulitnya agak gelap? Bagaimanapun
juga, ia ikut merasa tegang menanti kemunculan Sie Liong, Si Pendekar Bongkok.
Akhirnya, saat menegangkan
yang mereka tunggu-tunggu itupun tibalah. Dan munculnya Pendekar Bongkok
sungguh mengejutkan semua orang, termasuk Kim Sim Lama sendiri. Semenjak
penculikan terhadap Ling Ling dilakukan dan semenjak kemunculan Sie Liong si
Pendekar Bongkok dinanti, kuil Kim-sim-pang ditutup untuk sementara. Semua anak
buah pendeta Lama dikerahkan untuk melakukan penjagaan ketat.
Akan tetapi betapa
mengejutkan! Ketika Kim Sim Lama dan para pembantunya sedang duduk di dalam
ruangan belakang, ruangan luas yang juga dipergunakan sebagai ruangan berlatih
silat, duduk berunding untuk mengatur siasat kalau Pendekar Bongkok berani
muncul, tiba-tiba saja terdengar suara keras pecahnya genteng di atas ruangan
itu dan sesosok bayangan melayang turun dari atas, melalui atap yang berlubang.
Dan bayangan ini bukan lain adalah Pendekar Bongkok yang sudah buntung lengan
kirinya!
Sie Liong kini yakin bahwa
pengalamannya di dalam kuburan telah mendatangkan suatu tenaga sakti yang luar
biasa baginya. Dia telah dapat menyerap tenaga sakti Intisari Bumi! Dengan
tenaga sakti yang dahsyat itu, dia mampu bergerak dangan kecepatan yang
berlipat ganda dibandingkan sebelum dia menguasainya. Karena itu, maka dia
merasa yakin akan dirinya karena walaupun sebelah lengannya telah buntung,
namun keadaannya jauh lebih kuat daripada sebelum lengan kirinya buntung.
Dengan tenaga sakti dahsyat itu, dia dapat bergerak ringan bagaikan burung
sehingga dia mampu menyelinap cepat memasuki sarang para pemberontak itu tanpa
diketahui para penjaga dan setelah mengetahui bahwa Kim Sim Lama dan para
pembantunya berada di ruangan silat, diapun meloncat naik ke atas genteng, lalu
memasuki ruangan itu memalui atap yang dijebolnya.
‘Kim Sim Lama, aku telah
datang memenuhi undanganmu. Harap segera kau bebaskan Ling Ling!! kata Sie
Liong, suaranya juga mengandung wibawa dan karena suara itu dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga sakti, maka suara itu melengking dan bergema di ruangan itu,
mengandung tenaga yang menggetarkan isi dada Kim Sim Lama dan para pembantunya.
Sikapnya tenang saja walaupun dia melihat hadirnya Bi Sian dan Bong Gan di
situ. Dan karena dia belum sempat berganti pakaian, maka pakaian yang melekat
di tubuhnya masih pakaian ketika dia dikubur hidup-hidup, dan pakaian itu sudah
kotor terkena lumpur. Lengan baju sebelah kiri tergantung lemas dan kosong.
Sejenak, ucapannya itu
bergema di dalam ruangan dan setelah gema itu menghilang, suasana menjadi sunyi
sekali, sunyi yang menegangkan. Akhirnya Kim Sim Lama dapat menguasai
kekagetannya dan diapun mengeluarkan suara tertawa untuk mengusir ketegangan
dan wibawa Pendekar Bongkok. Ketika tertawa, Kim Sim Lama bukan sembarang
tertawa, melainkan mengisinya dengan khi-kang, sehingga suara ketawanya juga
bergema dan menggetarkan jantung.
‘Ha-ha-ha-ha, Pendekar
Bongkok, atau sekarang menjadi Pendekar Buntung atau Pendekar Bongkok Buntung?
Bagus sekali, engkau datang menyerahkan nyawamu. Sekarang hatiku akan yakin
bahwa engkau akan benar-benar mati, karena sekali ini kami tidak ingin gagal.
Engkau akan mati di tanganku sendiri!!
Biarpun menghadapi ancaman
dan berhadapan dengan Kim Sim Lama bersama banyak sekali pembantunya, belum
lagi anak buahnya yang puluhan orang banyaknya di luar ruangan, namun Sie Liong
masih bersikap tenang.
‘Kim Sim Lama, engkau
telah menculik Ling Ling, menggunakannya sebagai umpan untuk memancing aku
datang. Nah, aku sudah datang memenuhi undanganmu. Bersikaplah sebagai
laki-laki sejati, keluarkan Ling Ling!!
‘Orang she Sie yang
sombong!! Tiba-tiba Thay Bo Lama, orang termuda Tibet Ngo-houw yang terkenal
berangasan itu sudah moloncat dan memaki. ‘Tidak perlu engkau menjual lagak.
Bukankah engkau datang ke Tibet untuk mencari Tibet Ngo-houw? Nah, kami berlima
sudah berada di depanmu. Tidak perlu pemimpin kami yang maju. Hayo kami Tibet
Ngo-houw yang mempertanggung jawabkan semua perbuatan kami. Engkau mau apa?
Sekali ini engkau tentu akan mati, bahkan tidak kebagian kuburan lagi!!
Empat orang saudaranya sudah
pula bangkit. Mereka semua setuju dengan sikap Thay Bo Lama. Biarpun pernah
mereka berlima mengeroyok namun tidak dapat memperoleh kemenangan, dan baru
setelah Kim Sim Lama yang maju mereka semua berhasil menangkap Sie Liong, akan
tetapi kini mereka sama sekali tidak takut. Mereka bahkan memandang rendah
pendekar itu dan mereka ingin menebus kekalahan mereka. Kini setelah pendekar
itu kehilangan lengan kiri, mereka yakin bahwa mereka akan mampu merobohkan dan
membunuh Pendekar Bongkok.
Sie Liong memandang kepada
mereka sejenak, kemudian dia menoleh kepada Kim Sim Lama. ‘Kim Sim Lama,
apakah omongan Tibet Ngo-houw dan engkau sendiri dapat kupercaya? Tibet
Ngo-houw hendak mengeroyok aku, apakah engkaupun akan turun tangan lagi
membantu mereka? Lebih baik dari sekarang berterus terang apakah engkau ingin
maju sendiri dan mengeroyokku dengan semua pembantumu yang berada di sini? Dan
mengerahkan pula semua anak buahmu!! Sie Liong kini menyapa semua orang dengan
pandang matanya dan sejenak pandang matanya hinggap di wajah Bi Sian.
Wanita itu menundukkan
mukanya yang berubah agak pucat. Nyeri rasa hati Sie Liong melihat kehadiran
keponakannya sebagai seorang di antara anak buah Kim Sim Lama! Ucapan ini
mengobarkan kemarahan dalam hati Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet
Ngo-houw. Memang dia harus mengakui bahwa seorang diri saja, dia pernah
dikalahkan Pendekar Bongkok. Akan tetapi sekarang, Pendekar Bongkok kehilangan
lengan kirinya! Jangankan dia maju berlima, bahkan seorang diripun agaknya dia
akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok!
‘Pendekar Bongkok,
dengarlah! Kami, Tibet Ngo-houw, akan membunuhmu tanpa bantuan siapapun!
Biarlah kami berlima mampus di tanganmu kalau sampai ada yang membantu kami.
Kau yang sudah hampir mampus ini masih berani bertingkah dan mengeluarkan
omongan besar! Nah, terimalah....!!
Thay Ku Lama meloncat ke
depan, dan tiba-tiba dia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok.
Terdengar suara berkokokan dari dalam perutnya yang gendut itu. Kedua lengannya
digerakkan menyilang dan selain perutnya yang gendut, juga kedua kakinya
mengeluarkan suara berkerotokan kemudian tiba-tiba saja dia meloncat ke depan,
kedua lengannya menyerang dengan dorongan kedua telapak tangan ke arah dada Sie
Liong!
Sesungguhnya, orang-orang
dengan kepandaian setingkat Tibet Ngo-houw ini sudah langka sekali dan sukar
dicari tandingan mereka. Tingkat ilmu mereka, baik ilmu silat atau ilmu batin,
sudah amat tinggi. Dan ilmu pukulan yang dipergunakan Thay Ku Lama itu adalah
Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Awan Hitam dan Badai). Kekuatan yang luar biasa
terkumpul di dalam perutnya yang gendut dan seperti seekor katak beracun,
begitu kekuatan dari perut itu dilepaskan, maka terciptalah gerak serangan yang
amat dahsyat. Seketika angin menyambar dahsyat dibarengi uap hitam mengepul
ketika dua tangan yang terbuka itu meluncur ke arah dada Sie Liong.
Sejak tadi Sie Liong dapat
menduga bahwa orang pertama Tibet Ngo-houw itu menyerangnya dengan pengerahan
tenaga sakti yang hebat. Dia tidak merasa takut, bahkan tanpa mengelak dia lalu
mendorongkan tangan kanannya menyambut.
‘Desss....! Plakkk!!
Lengan baju kiri itu menyusul dengan kecepatan kilat ketika tangan kanannya
menyambut serangan lawan. Pertemuan tenaga sakti yang amat hebat terjadi ketika
tangan kanan Pendekar Bongkok bertemu dengan kedua tangan Thai Ku Lama, dan
pada saat itu, Thay Ku Lama terkejut sekali, wajahnya seketika pucat dan
mulutnya menyeringai kesakitan. Dia merasa seolah semua tenaganya membalik dan
menghantam isi perutnya sendiri.
Pada saat itu, nampak
sinar putih menyambar dan mengenai tengkuknya. Itulah sambaran lengan baju yang
kosong, dan begitu terkena lecutan ujung lengan baju ini, Thay Ku Lama
terjungkal dan muntah darah! Ketika empat orang adiknya memeriksa, ternyata
orang pertama Tibet Ngo-houw itu telah tewas! Dalam segebrakan saja, Thay Ku
Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw, telah tewas di tangan Pendekar Bongkok yang
hanya memiliki tangan tunggal, yaitu yang kanan saja. Empat orang pendeta Lama
itu selain terkejut, juga marah bukin main. They Si Lama sudah mencabut
cambuknya, Thay Pek Lama mencabut sepasang pedang. Thay Hok Lama melolos rantai
bajanya, dan Thay Bo Lama juga menyambar tombaknya. Mereka berempat lalu
mengepung dan menerjang dengan ganas.
Somentara itu, Kim Sim Lama
memandang dengan wajah agak berubah. Apa yang baru saja terjadi sungguh
mengejukan hatinya bukan main. Dia tahu betapa lihainya Thay Ku Lama, orang
pertama Tibet Ngo-houw dangan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang itu. Akan
tetapi dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama tewas di tangan Pendekar Bongkok.
Padahal, Pendekar Bongkok sudah tidak berlengan kiri lagi. Bagaimana hal ini
mungkin terjadi, pikirnya. Sebelum lengan kirinya buntungpun, Pendekar Bongkok
tidak mungkin dapat menewaskan Thay Ku Lama seperti itu. Mungkinkah dia
mendapatkan ilmu baru? Rasanya hal itu tidak mungkin terjadi. Baru beberapa
hari saja lewat sejak Pendekar Bongkok buntung lengan kirinya. Sagaimana
mungkin dalam waktu beberapa hari saja sudah memperoleh ilmu yang demikian
dahsyatnya!
Akan tetapi, kini sepasang
matanya terbelalak penuh kekagetan dan keheranan. Pendekar Bongkok memang jelas
bukan Pendekar Bongkok yang tempo hari sebelum lengan kirinya buntung!
Menghadapi hujan serangan empat orang yang sedang marah dan sakit hati itu, Pendekar
Bongkok hanya menggerakkan tangan kanan yang mendorong-dorong, dan lengan baju
kirinya menyambar-nyambar.
Hebatnya, semua senjata
empat orang Harimau Tibet itu selalu terdorong membalik sebelum bertemu dengan
tangan kanan, dan setiap kali bertemu ujung lengan baju kiri, seolah-olah dari
tubuh Pendekar Bongkok keluar semacam tenaga sakti yang dahsyat dan yang
merupakan perisai yang melindungi tubuhnya. Setelah Pendekar Bongkok selalu
menangkis pengeroy okan lawan seolah hendak menguji tenaga mereka, tiba-tiba
Pendekar Bongkok mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya membungkuk
ke depan, kaki kanan ditarik ke belakang dan tubuh atasnya yang bongkok itu
lurus ke depan. Tangan kanannya mencengkeram ke depan, dan lengan baju kiri
yang tadinya ditarik ke belakang, membentuk garis lurus seperti seekor naga
meluncur, tiba-tiba ujung lengan baju kiri yang agaknya membentuk ekor naga itu
menyambar ke depan.
Terdengar suara bersiutan
dan disusul pekik dan robohnya empat orang pendeta Lama itu susul menyusul. Kim
Sim Lama terbelalak ketika melihat betapa empat orang pembantunya itu roboh
untuk tidak bangun kembali karena ternyata mereka telah tewas! Juga para
pembantunya yang lain terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang mereka
lihat. Betapa mungkin pemuda bongkok yang lengan kirinya sudah buntung itu
mampu membunuh lima orang Tibet Ngo-houw yang terkenal sakti itu dalam waktu
demikian singkatnya?
Kim Sim Lama sendiri
menjadi gentar melihat kesaktian luar biasa yang dimiliki Pendekar Bongkok.
Kalau Tibet Ngo-houw roboh dalam waktu demikian singkatnya, dia sendiripun akan
sukar untuk dapat menandingi Pendekar Bongkok. Maka tanpa malu-malu lagi dia lalu
mengeluarkan aba-aba, memerintahkan para pembantunya untuk maju mengeroyok.
Juga dia berseru agar pasukan yang berada di luar bersiap-siap mengepung!
‘Kim Sim Lama, bebaskan
Ling Ling dan aku tidak akan mencampuri urusanmu!! bentak Sie Liong, bukan khawatir
akan pengeroyokan terhadap dirinya melainkan khawatir akan nasib Ling Ling yang
terjatuh ke dalam tangan para pemberontak Tibet ini.
Akan tetapi tentu saja Kim
Sim Lama tidak memperdulikan permintaan ini. Pemuda ini terlalu berbahaya
baginya, apalagi sudah membunuh Tibet Ngo-houw, pembantu-pembantu utamanya yang
merupakan tangan kanan baginya. Pendekar Bongkok harus dibasmi!
‘Bunuh dia!! perintahnya
sambil menggerakkan tangan, matanya berkilat marah. Semua pembantunya sudah
menghunus senjata, kecuali Yauw Bi Sian. Ian hanya duduk termenung. Ia terkejut
dan kagum bukan main melihat pamannya yang dapat membunuh Tibet Ngo-houw
sedemikian mudahnya. Pamannya yang telah buntung lengan kirinya itu ternyata
menjadi semakin sakti!
Diam-diam ada perasaan
girang menyelinap di hatinya. Ah, kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayah
kandungnya, ingin rasanya ia mencabut senjata untuk membantu pamannya
menghadapi pengeroyokan semua orang itu! Ia akan rela mengorbankan nyawanya
untuk membela pamannya yang dikasihinya itu. Akan tetapi, pamannya telah
menjadi musuh besarnya, telah membunuh ayahnya, kini ia termangu. Tidak mau ia
ikut mengeroyok. Memang, ia telah bersumpah untuk membunuh Sie Liong, untuk
membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi ia tidak sudi mengeroyok Pendekar
Bongkok bersama orang-orang yang sesat itu.
Akan tetapi pada saat Sie
Liong menghadapi pengepung para pembantu Kim Sim Lama yang terdiri dari
orang-orang pandai, di antaranya terdapat Coa Bong Gan, Pek Lan, Ki Tok Lama,
dan belasan orang pendeta Lama lain, tiba-tiba terdengar sorak sorai gegap
gempita di luar sarang gerombolan pemberontak itu, disusul suara pertempuran
besar.
Kim Sim Lama terkejut,
apalagi ketika seorang perajurit tergopoh-gopoh melapor bahwa sarang mereka
diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh para pendeta anak buah Dalai Lama, Kim
Sim Lama cepat melompat keluar dari ruangan itu, diikuti oleh para pendeta Lama
lainnya! Keadaan menjadi geger dan orang-orang agaknya demikian bingung dan
panik mendengar bahwa tempat itu diserbu pasukan Dalai Lama sehingga mereka
seperti telah melupakan Pendekar Bongkok.
Sie Liong juga tidak tahu
harus berbuat apa. Orang-orang itu berlompatan pergi, juga Coa Bong Gan dan
yang tinggal di situ akhirnya hanya dia dan Yauw Bi Sian! Mereka berdiri saling
pandang, dan melihat pandang mata penuh kebencian dari gadis itu, Sie Liong
menghela napas panjang.
‘Bi Sian....! kata Sie
Liong lirih.
Akan tetapi, saat itu,
ketika mereka berdiri hanya berdua saja di dalam ruangan yang luas itu, Bi Sian
teringat akan nasibnya, teringat betapa ayahnya terbunuh oleh pemuda bongkok
ini. Bahkan pemuda bongkok ini yang membuat ia meninggalkan ibunya, merantau
sampai bertemu dengan Song Gan dan akhirnya ia ternoda oleh Coa Bong Gan,
sutenya sendiri. Semua ini membuat hatinya terasa perih, dan semua ini
gara-gara Sie Liong! Kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayahnya, tentu
tidak akan sampai terjadi semua ini!
‘Sie Liong, akhirnya
kita dapat berhadapan satu lawan satu. Engkau harus menebus nyawa ayah,
Bersiaplah!! Bi Sian mencabut pedang Pek-lian-kiam. Akan tetapi, Sie Liong
mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan sinar mata duka. Dia maklum
bahwa Bi Sian masih menuduh dia sebagai pembunuh Yauw Sun Kok, ayah gadis itu,
suami encinya. Percuma saja dia menyangkal.
‘Bi Sian, tolonglah aku.
Katakan di mana Ling Ling. Aku akan membebaskannya kemudian pergi dari sini.!
Pada saat itu, Bong Gan
memasuki ruangan sambil berseru, ‘Suci, mari kita pergi!!
Melihat betapa pemuda itu
memegang lengan Ling Ling, Sie Liong segera menghampirinya. ‘Lepaskan Ling
Ling....!!
Bong Gan tersenyum
mengejek. ‘Mundur kamu, bongkok! Atau.... akan kubunuh gadis ini di depan
matamu!!
Mendengar ancaman itu, Sie
Liong terkejut dan diapun menahan langkahnya. Dia dapat menyerang Bong Gan,
akan tetapi dia khawatir kalau-kalau pemuda jahat itu akan lebih dulu membunuh
Ling Ling. Melihat sutenya hendak menjadikan gadis peranakan Tibet itu menjadi
sandera, Bi Sian mengerutkan alisnya.
‘Sute, lepaskan gadis
itu!!
‘Aih, tidak bisa, suci!
Dia lihai sekali, kalau dia bergerak, aku akan bunuh gadis ini lebih dulu!!
Tanpa malu-malu Bong Gan berseru.
‘Pengecut!! Bi Sian
memaki. ‘Akupun tidak membutuhkan bantuanmu kalau engkau takut kepada Sie
Liong. Biar aku sendiri yang akan menuntut balas atas kematian ayahku. Bebaskan
gadis itu kataku!!
Bong Gan memandang dengan
bingung. Dia menoleh ke luar dan mendengarkan suara pertempuran yang tengah
berlangsung di luar. ‘Baiklah. Pendekar Bongkok, Sie Liong, janjilah lebih
dahulu bahwa engkau tidak akan menyerangku kalau aku bebaskan gadis ini!!
Tentu saja dia merasa
takut karena tadi dia melihat sendiri betapa Pendekar Bongkok telah dapat
membunuh lima orang Tibet Ngo-houw dengan mudahnya. Dia tahu bahwa dia bukanlah
lawan Pendekar Bongkok yang kini menjadi amat sakti itu. Dan dia sudah membuntungi
lengan kiri Pendekar Bongkok, maka dia merasa jerih kalau-kalau Pendekar
Bongkok akan membalas dendam dan membunuhnya.
Sie Liong menatap wajah
Coa Bong Gan dengan sinar mata mencorong. ‘Kalau engkau tidak mengganggu
gadis itu dan membebaskannya, aku tidak akan menyerangmu. Akan tetapi kalau
engkau mengganggunya atau membunuhnya, demi Tuhan, lari ke manapun engkau, akan
kukejar sampai dapat!!
Bong Gan bergidik melihat
mata yang mencorong itu dan dia mendorong tubuh Ling Ling ke arah Sie Liong.
Gadis itu yang sejak tadi diam saja, hanya memandang kepada Sie Liong dengan
suka pucat, terhuyung ke arah Sie Liong yang segera menyambut dengan rangkulan
penuh kasih sayang.
‘Ling Ling....!
‘Liong-koko.... ahh,
Liong-koko....!! Dan tiba-tiba saja Ling Ling menangis tersedu-sedan di atas
dada Sie Liong. Air matanya membanjir seperti bendungan pecah. Kalau tadi ia
hanya diam saja dengan muka pucat, kini tangisnya tak dapat ditahan lagi,
membuatnya sesenggukan dan tersedu-sedu.
‘Suci, mari kita pergi.
Pertempuran terjadi di luar. Dalai Lama dan pasukannya telah menyerbu. Kalau
terlambat, kita celaka!! kata Bong Gan.
‘Pengecut, engkau boleh
pergi. Aku tidak akan pergi, aku harus membalaskan kematian ayahku. Dia telah
membunuh ayah, maka dia harus menebus nyawa ayah, aku akan mati pula di
tangannya!!
‘Bi Sian, aku tidak
membunuh ayahmu....! Sie Liong yang masih mendekap Ling Ling yang menangis itu,
membantah lemah.
‘Tidak perlu bohong!
Tidak perlu menyangkal, Apakah engkau juga ingin menjadi pengecut yang tidak
berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Sie Liong, engkau pembunuh ayahku,
maka bersiaplah, mari kita selesaikan dengan mengadu nyawa!!
‘Sie Liong bukan
pembunuh ayahmu, Bi Sian!! Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dan
muncullah Sie Lan Hong bersama Lie Bouw Tek di pintu ruangan itu!
‘Ibuuu....!! Bi Sian
berseru, memburu kepada ibunya. Mereka saling rangkul. ‘Ibu, apa artinya
ucapanmu tadi?!
‘Bi Sian, anakku.
Percayalah, Sie Liong bukan pembunuh ayahmu! Aku yakin akan hal itu!!
‘Ibu....!! Bi Sian
memandang kepada ibunya penasaran. ‘Kalau bukan dia yang membunuh ayah, habis
siapa?!
‘Engkau mau tahu siapa
pembunuh ayahmu? Dialah orangnya!! Sie Lan Hong menunjuk ke arah Coa Bong Gan
yang seketika pucat dan terbelalak. Karena semua mata kini ditujukan kepadanya,
dia menjadi gentar dan tanpa disadarinya, dia melangkah mundur sampai mepet ke
dinding.
‘Ibu, apa artinya ini?
Sute Coa Bong Gan yang membunuh ayah? Bagaimana pula ini? Ibu, aku bingung, aku
tidak mengerti....! Bi Sian masih meragu karena hal itu dianggapnya tidak masuk
akal.
‘Tidak benar, suci, itu
fitnah saja!! Bong Gan mencoba untuk membantah, walaupun wajahnya sudah menjadi
pucat sekali.
‘Diam kau!! bentak Bi
Sian. ‘Ibu tidak akan menuduh dengan fitnah! Ibu, jelaskanlah agar aku dapat
mengerti.!
‘Bi Sian, setelah engkau
pergi, aku lalu melakukan penyelidikan tentang kematian ayahmu. Dan hasilnya
sungguh mengejutkan. Malam itu, ayahmu pergi ke rumah pelesir, tempat para
pelacur dan ayahmu di tempat itu minum sampai mabok. Akan tetapi, menurut
keterangan para pelacur di sana, sebelum ayahmu tiba, di sana ada seorang tamu
lain. Ayahmu melihat tamu itu, dan tamu itulah yang telah membunuh ayahmu.!
‘Siapa...., siapa dia,
ibu?!
‘Tamu itu adalah dia,
Coa Bong Gan ini!!
‘Bohong!! teriak Bong
Gan. ‘Apa perlunya aku membunuh ayahmu, suci?!
‘Hemm, apa perlunya?!
Sie Lan Hong berkata. ‘Suamiku telah melihatmu di rumah pelacuran. Dan engkau
tentu merasa takut kalau sampai suamiku menceritakan kelakuanmu yang hina itu
kepada puteriku. Engkau jatuh cinta kepada puteriku ini, bukan? Tentu engkau
tidak ingin puteriku mendengar bahwa engkau berkeliaran dan bermain gila di
rumah pelacuran, maka engkau membunuh suamiku yang sedang mabok. Dan untuk
menghilangkan jejak, engkau menyamar sebagai adikku dan melempar kedok itu di
dekat kamar Sie Liong!!
‘Aihh, pantas dia
bersikeras untuk membunuhku, dan telah berhasil membuntungi lengan kiriku.
Tentu untuk menghilangkan sama sekali jejaknya.! kata Sie Liong yang masih
merangkul Ling Ling.
Bi Sian kini menjadi
pucat, sepasang matanya terbelalak memandang kepada Bong Gan, saking kagetnya,
herannya dan marahnya ia sampai merasa hampir pingsan.
Ling Ling meronta lepas
dari rangkulan Sie Liong ketika mendengar ucapan Sie Liong. ‘Liong-koko, jadi
dia itulah yang telah membuntungi lenganmu? Keparat jahanam....!! Ling Ling
berlari menghampiri Bong Gan dengan sikap seperti seekor singa betina yang
hendak menyerang dengan cakaran dan gigitan.
‘Ling Ling, ke
sinilah....!!
Namun, seruan Sie Liong
itu terlambat. Bong Gan secepat kilat sudah menyambar lengan Ling Ling dan
menelikungnya. Dia kini tersenyum menyeringai dan memandang kepada semua orang
dengan sikap menantang. ‘Kalian semua mundur! Kalau ada yang berani maju,
akan kubunuh gadis ini!!
Melihat betapa Ling Ling
kembali menjadi tawanan Bong Gan, tentu saja Pendekar Bongkok tidak berani
berkutik. Juga Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek yang keduanya sudah memegang
pedang masing-masing, tidak berani maju. Akan tetapi, Bi Sian tidak perduli. Ia
melangkah mnju menghampiri sutenya, pedang Pek-lian-kiam masih di tangannya,
matanya tak pernah berkedip, terbelalak memandang kepada pemuda itu.
‘Coa Bong Gan....
kau.... kau..... yang telah membunuh ayah?! katanya lirih, seperti orang
bertanya juga seperti orang meragu dan tidak percaya.
‘Suci, mundur kau! Akan
kubunuh gadis ini kalau engkau tidak mau mundur!! bentak Bong Gan.
‘Bunuh aku! Keparat
jahanam kau! Bunuh aku!! Ling Ling meronta, lalu setelah lengan sebelah
terlepas, ia nekat meneakar dan menggigit. ‘Hayo bunuh aku! Jahanam busuk
kau, bunuh aku! Engkau telah membuntungi lengan Liong-koko! Hayo kau bunuh
aku....!! Dan bagaikan gila Ling Ling menubruk ke arah pedang yang dipegang
Bong Gan. Pemuda ini kewalahan juga ketika Ling Ling meronta, mencakar dan
menggigit. Ketika dia hendak menggerakkan tangan kiri untuk menotok, hal yang
tidak mudah karena tubuh gadis itu meronta dan menggeliat-geliat, tiba-tiba
Ling Ling dengan nekat menubruk ke arah pedang. Pedang yang runcing itu
memasuki perutnya dan darah muncrat ketika dengan lunglai, Ling Ling roboh.
Bong Gan terbelalak dan meloncat ke belakang sambil menarik pedangnya.
‘Ling-moi....!! Secepat
kilat Pendekar Bongkok meloncat dan menyambar tubuh Ling Ling yang mandi darah.
Sekali memeriksa, tahulah dia bahwa sia-sia saja menolong gadis itu. Gadis itu
dalam sekarat!
‘Ling Ling.... ahhh,
Ling Ling.... kenapa kau lakukan itu....?! Sie Liong menangis, mengguncang
tubuh gadis itu dan menciumi mukanya.
Ling Ling menggerakkan
bibirnya, berkata lirih. ‘.... aku.... aku lebih baik mati.... koko.... aku
tidak berharga lagi.... dia.... dia telah monodaiku....! Dan iapun terkulai,
tewas dan tak bernyawa lagi.
‘Ling-moi....
Ling-moi....!! Sie Liong mendekap mayat yang masih hangat itu dan menangis
sesenggukan di atas muka dan lehernya yang basah oleh air matanya. Dia tidak
perduli betapa pakaian dan tubuhnya penuh darah yang mengalir keluar dari luka
di perut Ling Ling. Dia merasa seolah-olah nyawanya sendiri yang melayang. Baru
dia menyadari betapa dia amat menyayang gadis ini, betapa amat berat berpisahan
dengannya.
‘Jahanam engkau, Coa
Bong Gan!! sekali meloncat, Bi Sian telah berada di depan pemuda itu, sepasang
matanya seperti dua bola api yang bernyala. ‘Engkau sungguh seorang manusia
berhati iblis! Aku yang dahulu membujuk suhu untuk menolongmu dan mengambilmu
sebagai murid! Ternyata engkau lebih rendah daripada seekor binatang! Engkau
telah membunuh ayahku, engkau telah membuntungi lengan kiri tangan kiri paman
Sie Liong! Engkau telah menodai aku dengan tipu muslihat, kini aku tahu! Dan
engkau masih begitu keji untuk menodai Ling Ling yang menjadi tawanan. Coa Bong
Gan, kalau aku tidak membunuhmu, aku akan menjadi setan penasaran!!
Kini Bong Gan kelihatan
ketakutan sekali. Dia tadi hendak mempergunakan Ling Ling sebagai sandera untuk
menyelamatkan diri, akan tetapi tak disangkanya, Ling Ling dengan nekat
membunuh diri. Dia menoleh ke arah satu-satunya pintu di ruangan itu. Di situ telah
berdiri Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek dengan pedang di tangan, siap untuk
menghadangnya dan mencegah dia melarikan diri. Dan Pendekar Bongkok yang
ditakutinya itu masih menangis sambil mendekap mayat Ling Ling!
Kalau saja dia dapat
merobohkan sucinya, masih ada harapan baginya untuk menyelamatkan diri selagi
Pendekar Bongkok asyik menangisi kematian kekasihnya. Yang ditakuti hanya
Pendekar Bongkok. Biarpun dia tahu akan kelihaian sucinya, bagaimanapun juga
dia sanggup menandinginya.
‘Bi Sian, ingat, engkau
sudah menjadi isteriku! Mari kita pergi dari sini, melupakan segalanya dan
hidup sebagai suami isteri yang berbahagia berdua....! Dia masih mencoba untuk
membujuk, akan tetapi pada saat itu, pedangnya bergerak menusuk ke arah dada Bi
Sian. Memang pemuda ini curang sekali, dan amat licik. Dia sengaja bicara untuk
membuat Bi Sian lengah dan hampir dia berhasil. Bi Sian yang mendengar
ajakannya itu merasa begitu muak sehingga ia menjadi lengah dan ketika Bong Gan
menusukkan pedangnya secara tiba-tiba, ia terkejut.
Tidak ada kesempatan lagi
untuk menangkis dan ia segera melempar diri ke samping untuk menghindar. Akan
tetapi ujung pundak, pada pangkal lengan, masih tercium mata pedang yang
membuat baju dan kulit di bagian itu terobek dan berdarah.
‘Jahanam!! Bi Sian
memaki dan kini ia menyerang dengan pedangnya. Demikian marahnya Bi Sian
sehingga serangannya amat ganas dan dahsyat. Bong Gan yang sebetulnya jerih
itu, menangkis dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan pedang yang seru
dan mati-matian antara suci dan sute ini, antara dua orang muda yang tadinya
akan menjadi suami isteri. Bi Sian menggerakkan pedangnya penuh semangat dan
penuh kebencian, dengan nafsu membunuh berkobar-kobar. Sebaliknya Bong Gan
melawan dengan peraaaan gentar dan bingung. Dia mengharapkan dapat bertahan
cukup lama agar memberi kesempatan kepada kawan-kawannya untuk datang
membantunya.
Bong Gan sama sekali tidak
tahu bahwa keadaan Kim Sim Lama dan anak buahnya tidak lebih baik daripada
keadaannya. Mereka itu sudah terkepung dan kini Kim Sim Lama bahkan sudah
dikeroyok oleh Kong Ka Lama sendiri yang dibantu banyak pendeta Lama yang
berkepandaian tinggi. Dan anak buah pemberontak itupun sudah terhimpit oleh
pasukan Dalai Lama, banyak yang roboh dan banyak pula yang terpaksa menyerah
karena tidak mampu melawan lagi.
Sie Liong telah mampu
menguasai dirinya lagi. Dia masih memangku mayat Ling Ling, dan kini dia tidak
lagi menangis. Dia mengangkat muka memandang perkelahian yang terjadi antara Bi
Sian dan Bong Gan. Dia merasa iba sekali kepada Bi Sian. Dia tadi mendengar
pula pengakuan Bi Sian bahwa keponakannya itu telah pula dinodai oleh Bong Gan.
Betapa jahatnya pemuda itu. Kalau saja pemuda itu tidak sedang berkelahi
mati-matian melawan Bi Sian, tentu dia sudah menerjangnya. Pemuda itu terlampau
jahat untuk dibiarkan hidup. Akan terlalu banyak orang yang akan menjadi korban
kejahatannya. Akan tetapi, dia tidak bergerak untuk membantu Bi Sian. Dia dapat
melihat betapa pemuda itu tidak akan mampu mengalahkan Bi Sian. Biarlah,
biarlah Bi Sian yang akan menghukumnya. Gadis itu lebih berhak.
Sie Lan Hong yang berdiri
di ambang pintu untuk menghadang larinya Bong Gan, ditemani oleh Lie Bouw Tek,
memandang ke arah perkelahian itu dengan mata basah dan wajah pucat. Iapun
merasa iba kepada puterinya. Puterinya telah ditipu oleh sutenya sendiri yang
jahat, bukan hanya puterinya memusuhi Sie Liong yang tidak berdosa, bahkan
puterinya telah dinodai pemuda itu yang ternyata adalah pembunuh suaminya. Ia
dapat merasakan betapa pedih hati puterinya. Tadi ia hendak meloncat dan
membantu puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh Lie Bouw Tek. Ketika ia
menoleh, pendekar Kun-lun-pai itu menggeleng kepalanya.
‘Tingkat kepandaian
mereka terlalu tinggi. Berbahaya bagimu dan bagi puterimu sendiri kalau engkau
membantu. Kulihat puterimu tidak akan kalah,! demikian kata Lie Bouw Tek. Dia
sendiri juga tidak berani membantu karena kalau hal ini dia lakukan, dia bukan
membantu Bi Sian, sebaliknya malah akan menjadi penghalang gerakan gadis yang
amat lihai itu. Namun dia tetap berjaga-jaga dan tentu akan membantu kalau
sampai puteri wanita yang dicintainya itu terancam bahaya kekalahan.
Pertempuran antara Bi Sian
dan Bong Gan kini sudah mencapai puncaknya. Sudah empat puluh jurus mereka saling
serang, dan walaupun Bi Sian selalu berada di pihak yang mendesak, namun Bong
Gan masih mampu mempertahankan diri dan belum juga roboh walaupun paha kirinya
telah terobek kulitnya, dan juga pangkal lengan kanannya sudah tersayat. Bi
Sian sendiri hanya mengalami luka yang pertama tadi, ketika pangkal lengan
kirinya robek kulitnya oleh serangan pertama yang curang. Kini pedang
Pek-lian-kiam lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung
dan yang menghimpit lawan sehingga sinar pedang yang dimainkan Bong Gan semakin
menyempit. Pemuda itu didesak terus, berputar-putaran di dalam ruangan yang
luas itu. Dia maklum bahwa tidak ada jalan keluar melarikan diri, maka diapun
melawan mati-matian dan dengan nekat.
‘Haiiiittt....!! Untuk
ke sekian kalinya, pedang Pek-lian-kiam yang bergulung-gulung sinarnya itu
meluncur dan mencuat ke arah leher Bong Gan, kemudian bertubi-tubi pedang itu
menusuk ke arah dada pemuda itu.
Dasar ilmu pedang yang
dimainkan Bi Sian adalah ilmu tongkat Ta-kui tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul
Setan) dari Koay Tojin. Dan jurus yang dimainkannya itu adalah jurus yang
disebut Menghitung Tulang Iga. Tentu saja Bong Gan juga mengenal jurus ini, dan
dia sudah memutar pedangnya untuk melindungi bagian dada yang dihujani pedang suci-nya
yang ditangkisnya, pada saat itu, Bi Sian menggerakkan tangan kirinya dan
dengan jurus pukulan Menghancurkan Kepala Setan, tangan kiri gadis itu dengan
tenaga sepenuhnya menghantam ke arah kepala Bong Gan!
‘Plakkk!! Biarpun Bong
Gan sudah miringkan kepalanya, tetap saja pelipisnya terkena hantaman itu. Dia
mengeluarkan jerit mengerikan dan tubuhnya terpelanting. Saat itu, Bi Sian
menubruk dan melihat ini, Sie Liong berseru kaget dan heran.
‘Bi Sian, jangan....!!
Namun terlambat, ketika Bi
Sian menubruk, Bong Gan yang matanya melotot besar itu menusukkan pedangnya.
‘Cappp....!! Pedang itu
menembus dada Bi Sian dan keduanya lalu roboh terkulai. Bong Gan tewas
seketika, dan Bi Sian merintih-rintih.
‘Bi Sian....!! Sie Lan
Hong lari menubruk puterinya yang tidak merintih lagi, melainkan memandang
kepada ibunya.
‘Ibu.... maafkan....
aku....!
‘Bi Sian....
anakku....!!
Sie Lan Hong menjadi lemas
dan ia pun pingsan dalam rangkulan Lie Bouw Tek. Sie Liong juga sudah berlutut
di dekat Bi Sian dan kini ia memangku kepala Bi Sian seperti yang dilakukan
kepada Ling Ling tadi. Setelah dia memeriksa, diapun menarik napas panjang.
Pedang di tangan Bong Gan tadi telah masuk terlalu dalam dan sukar
menyelamatkan nyawa gadis itu.
‘Bi Sian, kenapa kau
lakukan itu?! tegur Sie Liong. Dia tahu bahwa gadis itu sengaja membiarkan
dadanya ditusuk pedang. Gerakan gadis yang tadi menubruk merupakan bunuh diri
dan dia melihatnya dengan jelas.
‘Aku.... untuk apa
aku.... hidup lebih lama....? Paman.... kau.... kau mau memaafkan aku....?!
Sie Liong menunduk dan
mencium dahi itu. ‘Tentu saja.... engkau keponakanku tersayang....!
Bi Sian tersenyum walaupun
wajahnya pucat sekali. Terlalu banyak darah membanjir keluar dari dadanya.
‘Paman.... kalau aku hidup.... aku hanya akan menderita siksa batin....
menyesali kebodohanku.... aku.... aku ingin mati.... akan kuceritakan kepada
ayah.... engkau tidak membunuhnya, engkau.... engkau pamanku yang baik....!
‘Bi Sian....! Sie Liong
memeluk dan mendekap kepala keponakannya itu. ‘Sudahlah.... jangan banyak
cakap.... aku memaafkanmu, engkau keponakanku yang baik....!
‘Paman, engkau amat
mencinta.... Ling Ling....?!
Diingatkan kepada Ling
Ling yang menggeletak tak bernyawa di dekat situ, Sie Liong menoleh lalu
memejamkan mata. Beberapa butir air mata mengaliri kedua pipinya. Dia
mengangguk. ‘Aku.... cinta padanya, Bi Sian. Aku.... aku cinta....!
‘Dan.... aku? Kau....
sayang padaku, paman....? Bukan? Kausayang kepadaku....?!
Dalam ucapannya itu
terkandung permohonan yang demikian mendalam sehingga bagi Sie Liong merupakan
tusukan pedang yang membuatnya tak dapat menahan tangisnya. Dia
mengangguk-angguk saja mengangguk-angguk tanpa mampu menjawab.
‘Bi Sian anakku....!!
Sie Lan Hong yang baru saja siuman, mengeluh dan menubruk Bi Sian yang masih
dirangkul Sie Liong. Wanita ini menangis terisak-isak.
‘Ibu.... katakanlah,
engkau.... memaafkan aku, ibu. Paman.... paman Liong juga.... sudah memaafkan
aku....!
Bi Sian merangkul di
antara isaknya ia berbisik. ‘Ibu memaafkanmu.... nak....! Dan terdengar Bi
Sian melepas napas panjang seperti orang yang merasa lega, akan tetapi itu
merupakan nafas terakhir.
‘Bi Sian....!! Sie Lan
Hong kembali jatuh pingsan.
***
Pertempuran telah selesai.
Kim Sim Lama dalam keadaan luka-luka berat menjadi tawanan. Dia akan menjalani
hukuman di dalam tempat hukuman khusus di Tibet. Dihukum dan dikeram sampai
akhir hidupnya. Dalai Lama sendiri datang melayat ketika jenazah Bi Sian dan
Ling Ling sudah dimasukkan peti mati dan disembahyangi.
Juga para pendeta Lama
datang melayat ketika dua buah peti itu dimakamkan. Setelah semua pendeta Lama
yang melayat berpamit dan meninggalkan tanah kuburan, yang tinggal di situ
hanya Sie Liong, Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek.
Mereka masih duduk di atas
tanah, di depan kedua makam itu. Mayat para pemberontak yang tewas dalam
pertempuran ditanam di sarang mereka yang kini berubah menjadi kuburan yang
menyeramkan. Kini tiga orang itu duduk, tak berani mengeluarkan suara, tidak
berani mengganggu keheningan saat itu, setelah semua orang yang berlayat pergi.
Mereka melamun dalam alam pikiran masing-masing.
Sie Lan Hong melamun dan
mengenangkan semua riwayat hidupnya yang penuh duri. Sejak ia seorang gadis
remaja, dipaksa menjadi isteri Yauw Sun Kok, sampai melahirkan Bi Sian.
Hidupnya hampir tak pernah bahagia. Bahkan akhir-akhir ini hidupnya menderita
sengsara. Suaminya kembali ke dalam kehidupannya yang sesat. Kemudian suaminya terbunuh.
Puterinya yang tadinya lenyap dan kembali menjadi gadis perkasa, menuduh Sie
Liong menjadi pembunuh ayahnya dan gadis itu minggat untuk mencari Sie Liong
dan membalas dendam. Betapa ia selalu gelisah dan berduka. Sampai ia berjumpa
dengan Lie Bouw Tek dan timbul harapan baru dalam hidupnya.
Akan tetapi, perjumpaannya
dengan puterinya hanya untuk melihat puterinya tewas! Begitu pahit dan penuh
kesengsaraan batin. Akan tetapi, kini ia hidup sebatangkara, dan ada Lie Bouw
Tek di sampingnya. Akan datangkah masa bahagia dalam hidupnya? Ia melirik ke
arah pria itu. Lie Bouw Tek juga tengah melamun. Alangkah jantannya pria itu.
Dan ia tahu betapa pendekar Kun-lun-pai itu amat menyayang dan mencintanya.
Semoga jalan hidupnya di depan akan lancar dan mulus, penuh kebahagiaan untuk
menebus masa lalu yang penuh derita.
Lie Bouw Tek juga melamun.
Dia juga membayangkan keadaan Sie Lan Hong, janda menarik yang dicintanya.
Sungguh malang nasibnya, dan dia merasa semakin sayang karena timbul iba hati
terhadap wanita itu. Seorang wanita yang tabah, bertanggung jawab. Seorang
wanita yang akan menjadi isteri yang amat baik. Dan sudah terlalu lama ia hidup
menyendiri. Dia juga membutuhkan kelembutan seorang wanita, membutuhkan
perhatian dan sentuhan cinta kasih seorang wanita.
Selama ini dia tidak
pernah tertarik kepada wanita, dan baru setelah bertemu Sie Lan Hong, dia bukan
hanya tertarik, bahkan jatuh cinta. Pada diri Lan Hong dia menemukan segala
syarat bagi seorang calon isteri! Dia ingin membahagiakan hidup wanita itu!
Hidupnya kini mempunyai suatu arah, suatu tujuan. Ada seseorang yang
membutuhkan dirinya! Dia merasa ada gunanya hidup di dunia ini!
Sie Liong juga termenung.
Selesailah sudah, pikirnya. Habislah sudah. Demikianlah hidup. Semua itu hanya
bayangan, seperti awan berarak di angkasa, hanya selewat saja. Segala cita,
segala harapan, segala kesenangan, hanya selewat. Bukan, bukan itulah hakekat
hidup. Semua yang terjadi itu hanyalah permainan nafsu atas badan.
‘Sie-taihiap!!
Panggilan itu menariknya
kembali dari alam lamunan. Dia monoleh dan memandang. Lie Bouw Tek yang
memanggilnya. Dia mengerutkau alisnya, tidak mengenal siapa laki-laki gagah
perkasa ini. Dia hanya tahu bahwa pria ini datang bersama enci-nya, dan melihat
pula betapa pria itu akrab dengan enci-nya, bersikap mencinta dan melindungi.
‘Maaf, aku belum
mengenal siapa toako....! katanya ragu.
Enci-nya menghampirinya,
dan duduk di dekatnya, memegang lengan kanannya sambil mengamati pundak kiri
yang tak berlengan itu. ‘Adikku, aku tadi belum sempat minta maaf kapadamu.
Maafkan encimu ini yang pernah meragukan kebersihan hatimu, Liong-te. Aku
pernah meragukan engkau yang kusangka telah membunuh ayah Bi Sian untuk
membalas dendam kematian orang tua kita....!
Sie Liong menarik napas
panjang dan seketika manghalau semua kenangan itu. Tidak ada gunanya!
‘Sudahlah, enci Hong. Tidak perlu kita membicarakan hal yang telah lalu.
Bagaimana engkau bisa sampai ke tempat sejauh ini dan siapa pula toako ini?!
Dengan singkat Lan Hong
menceritakan tentang penyelidikannya kemudian tentang perjalannya ke Tibet
untuk mencari adiknya dan puterinya.
‘Dalam perjalanan itu,
ketika diserang oleh segerombolan penjahat, Lie-toako ini menyelamatkan aku,
Liong-te. Bahkan kemudian Lie-toako mengantar aku sampai ke Lasha dan
membantuku untuk mencari engkau dan Bi Sian. Lie-toako mewakili Kun-lun-pai
untuk melakukan penyelidikan mengapa Tibet Ngo-houw memusuhi Kun-lun-pai dan
selanjutnya kita bertemu di sini.!
Sie Liong mengangguk-angguk,
tidak tertarik lagi akan cerita mesa lalu yang hanya terisi banyak kenangan
yang menyedihkan hatinya. Dia lalu bangkit dan memberi hormat kepada Lie Bouw
Tek sambil berkata, ‘Kalau begitu terimalah hormatku dan terima kasihku bahwa
engkau telah menolong enciku, Lie-toako.!
‘Ah, jangan sungkan,
taihiap. Sebagai seorang pendekar besar tentu engkau tahu bahwa tidak ada
pertolongan, yang ada hanyalah pelaksanaan tugas menentang kejahatan dan
membantu yang menjadi korban kejahatan.!
‘Lie-toako, setelah apa
yang kaulakukan kepada enciku, harap jangan lagi menyebut taihiap kepadaku.
Namaku Sie Liong.!
‘Baiklah, adik Liong,
dan terina kasih atas keramahanmu. Kalau boleh aku bertanya, setelah semua
peristiwa ini lewat, engkau lalu hendak pergi ke manakah?!
‘Liong-te, mari kita
pulang saja ke timur. Sudah terlalu lama kita enci dan adik berpisah, dan
terlalu banyak kita berdua menderita kesengsaraan. Sudah tiba waktunya bagi
kita berdua untuk hidup bersama dengan bahagia, adikku,! Kata pula Sie Lan Hong
dengan suara lembut membujuk.
Akan tetapi Sie Liong
menggeleng kepala dan manghela napas panjang.
‘Maafkan aku, enci. Akan
tetapi, aku ingin bebas. Aku ingin manuruti suara hatiku, aku ingin mengikuti
gerak langkahku!
‘Akan tetapi, adikku.
Aku ingin berdekatan denganmu. Aku ingin mencurahkan kasih sayangku sebagai
enci-mu, ingin menghiburmu....!
Sie Liong tersenyum, bukan
senyum bahkan wajahnya nampak cerah. ‘Pandanglah aku, enci. Apakah aku
membutuhkan hiburan? Semua telah terjadi dan aku tidak merasa menyesal. Enci
Lan Hong, aku tidak khawatir meninggalkan engkau, karena aku melihat bahwa ada
seorang yang patut kau sayangi, kau hormati, dan kau harapkan perlindungannya.!
Sie Liong menatap wajah Lie Bouw Tek yang menjadi kemera han. Pendekar
Kun-lun-pai ini tersenyum malu-malu, lalu menarik napas panjang dan diapun kini
menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata jujur.
‘Liong-te, sungguh aku
kagum sekali. Engkau selain memiliki ilmu yang amat hebat, juga memiliki
kewaspadaan. Baiklah, aku ingin berterus terang saja. Tepat seperti yang
agaknya telah dapat kauduga, aku jatuh cinta kepada enci-mu. Dan mengingat
bahwa ia tidak memiliki anggauta keluarga lainnya, maka aku ingin menggunakan
kesempatan terakhir ini untuk minta persetujuanmu. Setujukah engkau jika aku
melamar adik Sie Lan Hong menjadi isteriku?!
Sie Liong tersenyum
gembira dan diam-diam dia semakin suka dan kagum kepada Lie Bouw Tek. Seorang
laki-laki yang jantan. Seorang pendekar yang gagah perkasa dan jujur. Cepat dia
memberi hormat kepada pendekar itu.
‘Lie-toako, aku akan
merasa berbahagia sekali kalau engkau menjadi cihu-ku (kakak iparku). Tentu
saja aku merasa setuju sepenuhnya. Akan tetapi, semua keputusan kuserahkan
kepada enci Lan Hong. Harap engkau ajukan sendiri lamaranmu kepada enci Lan
Hong.!
Biarpun dia merasa rikuh
bukan main, namun sebagai seorang laki-laki yang gagah dan jujur, Lie Bouw Tek
lalu menghadapi Lan Hong yang sejak tadi menundukkan mukanya yang menjadi
kemerahan.
‘Hong-moi, engkau sudah
mendengar sendiri percakapan antara aku dan adikmu. Nah, biar aku mempergunakan
kesempatan ini, disaksikan oleh adikmu, untuk mengajukan pinangan kepadamu.
Hong-moi, sudikah engkau menjadi isteriku?!
Kepala itu semakin
menunduk, dan muka itu menjadi semakin kemerahan. Kemudian, ia mengangkat muka,
memandang sedetik kepada Lie Bouw Tek, lalu ia menoleh kepada Sie Liong.
Akhirnya, wanita itu lari dan menubruk Sie Liong sambil menangis!
Sie Liong merangkul dan
menepuk-nepuk pundak encinya, tanpa bicara. Dia membiarkan encinya menangis di
pundaknya, pencurahan dari semua keharuan dari hati encinya. Setelah tangis itu
mereda, dia berbisik dekat telinga encinya.
‘Enci Hong, aku percaya
bahwa sekali ini engkau tidak salah pilih. Kionghi (selamat), enciku yang
baik.!
Lan Hong mengusap air
matanya. ‘Liong-te, marilah engkau ikut bersama kami, hidup berbahagia
bersama kami...! Biarpun Lan Hong belum menjawab lamaran Lie Bouw Tek, namun
ucapan ‘hidup bersama kami! itu saja sudah merupakan jawaban yang jelas.
Dengan lembut Sie Liong
melepaskan rangkulan encinya. ‘Terima kasih, enci Hong. Aku harus melanjutkan
perjalanan hidupku. Kuharap kalian dapat mengerti. Biarlah aku menjadi orang
pertama yang mengucapkan selamat kepada kalian. Semoga Tuhan selalu memberi
berkah dan bimbingan kepada kalian. Cihu (kakak ipar), harap jaga baik-baik
enciku yang kusayang ini, Enci Hong, selamat tinggal. Aku harus pergi
sekarang.!
‘Liong-te....!! Lan Hong
berseru akan tetapi ia dan Bouw Tek hanya melihat bayangan berkelebat dan
Pendekar Bongkok sudah lenyap dari depan mereka.
‘Liong-te....!! Lan Hong
berseru dengan isak, dan Bouw Tek sudah merangkul pundaknya.
‘Sudahlah, Hong-moi.
Biarkan dia menikmati kebebasannya dan jangan memberati dia dengan tangis.
Mari, mari kita menyongsong hidup baru. Engkaupun berhak untuk menikmati
kebahagiaan hidup, Hong-moi, bersamaku.!
Mereka lalu perlahan-lahan
melangkah pergi meninggalkan kuburan itu. Masa depan mereka terbentang luas di
mana mereka dapat hidup berbahagia setelah masa lalu yang suram mereka lewati.
Pemberontakan yang
dipimpin Kim Sim Lama itupun habis riwayatnya. Kim Sim Lama ditawan dan
menjalani hukuman. Semua pembantunya, termasuk pula Pek Lan, tewas dalam
pertempuran melawan para pendeta Lama dan pasukan pengikut Dalai Lama. Juga
pasukan Dalai Lama menyerang dan memukul mundur pasukan pemberontak Nepal yang
dipimpin Pangeran Maranta Sing dan mengusir mereka dari daerah Tibet. Daerah
Tibet seluruhnya menjadi aman dan rakyat mulai dapat hidup tenteram.
Di lembah bukit-bukit yang
sunyi, berjalanlah Pendekar Bongkok Sie Liong seorang diri. Keheningan
menyelimuti seluruh alam di sekitarnya, namun Sie Liong tidak merasa kesepian.
Hening akan tetapi tidak kesepian. Dia merasa menyatu dengan alam sekitarnya.
Kekuasaan Tuhan berada di mana-mana, di dalam dan di luar dirinya sehingga dia
tidak merasa terpisah, tidak merasa kesepian.
Nama Pendekar Bongkok
kemudian dikenal di seluruh dunia persilatan, walaupun jarang ada yang pernah
bertemu dengan dia. Hal ini adalah karena Pendekar Bongkok tidak pernah mau
kembali ke selatan. Dia merantau di sepanjang gurun Gobi dan di manapun dia
berada, dia selalu menentang kejahatan, membela yang benar dan lemah. Para
pedagang dan mereka yang melakukan perjalanan di daerah Gobi, yang pernah
mendapatkan pertolongan Pendekar Bongkok ketika mereka mengalami marabahaya,
ketika mereka diancam gerombolan perampok, mereka itulah yang mengabarkan nama
besar Pendekar Bongkok di dunia kang-ouw di selatan.
Namun Pendekar Bongkok
sendiri tidak pernah mau meninggalkan Gurun Gobi, bahkan dia tidak pernah mau
memperkenalkan diri atau namanya sehingga orang-orang yang tidak mau
mempergunakan julukan ejekan Pendekar Bongkok itu lalu menyebutnya Gobi Bu-beng
Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Gobi).
Sie Liong memang maklum
sepenuhnya akan keadaan dirinya. Dia bukan saja bongkok, akan tetapi juga
lengan kirinya buntung. Orang tapadaksa seperti dia hanya akan menerima ejekan
dan penghinaan saja di dunia ramai. Juga dia tidak lagi mengharapkan kasih
sayang wanita, karena dia maklum sepenuhnya bahwa cinta antara pria dan wanita
adalah cinta nafsu, cinta berahi yang selalu menuntut keindahan rupa, daya tarik
lahiriah. Dan untuk itu, dia sudah tidak mempunyai daya tarik sama sekali.
Tidak mudah menemukan seorang wanita seperti Ling Ling, atau seperti Bi Sian,
yang tidak begitu terpengaruh oleh keindahan rupa. Tidak, dia tidak akan
melibatkan diri dengan seorang wanita!
Demikianlah, kisah ini
ditutup dengan harapan pengarang, semoga ada suatu manfaat yang dapat dipetik,
dan semoga Sampai jumpa di kisah PENDEKAR SUPER SAKTI.
TAMAT