Tiat Sim mendengar angin menyambar belakangnya, ia putar tangan kirinya
ke belakang, untuk menangkis seraya mencekal, maka ujung tombak lantas
kena terpegang. Ia telah mainkan ilmu silat Ke luarga Yo bagian jurus
“Hui ma chio” atau “Membaliki kuda”, ialah tipu istimewa yang hanya
diketahui ke luarganya yang mewariskan ilmu silat itu. Sebenarnya habis
itu, tanpa menanti musuh menarik pulang tombaknya, tangan kanannya sudah
mesti membarengi menyerang, akan tetapi sekarang ia memeluki Pauw Sek
Yok dengan tangan kanannya itu, tidak dapat ia menyerang. Maka seraya
memutar tubuh, ia membentak: “Ilmu silatku ini diwariskan cuma kepada
anak laki-laki, tidak kepada anak perempuan, dari itu tentulah gurumu
tidak dapat mengajarakan kepadamu!”
Memang benar, walau pun Khu Cie Kee lihay, tapi ia tidak dapat mengerti
sedalam-dalamnya ilmu silat Ke luarga Yo itu, jadi kepandaian Wanyen
Kang menggunai tombak itu belum sempurna, maka ditegur begitu, pangeran
itu menjadi tercengang. Dengan begitu, mereka mencekal masing-masing
satu ujungnya tombak itu. Inilah hebatnya untuk tombak itu sendiri, yang
gagangnya sudah tua. Tempo keduanya saling membetot, gagang tombak itu
patah sendirinya.
Kwee Ceng lantas lompat maju, ia membentak: “Kau telah bertemu dengan
ayahmu sendiri, kenapa kau masih tidak berlutut untuk memberi hormat!”
Wanyen Kang bersangsi, ia menjadi tidak berayal.
Yo Tiat Sim tidak pedulikan pangeran itu, dengan bawa istrinya , ia
telah tiba di luar. Ia sudah lantas disambut Bok Liam Cu, gadisnya itu,
maka bersama-sama mereka melompati tembok untuk menyingkirkan diri.
Kwee Ceng juga tidak berani berayal-ayalan, segera ia pun lari ke luar.
Di saat ia hendak melompat tembok, ia merasakan sambaran angin ke arah
kepalanya. Ia menjadi kaget sekali, cepat sekali ia mendak. Meski
begitu, angin menyambar lewat di mukanya, ia merasakan perih bagaikan
kebaret pisau. Itulah menandakan lihaynya si penyerang. Selagi ia
terkejut, ia dengar bentakan: “Anak tolol, aku si orang tua sudah lama
menantikanmu di sini!”
Itulah suaranya Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong!
Pada itu waktu di lain kalangan, tatkala mendengar Pheng Lian Houw
mengatakan ialah muridnya Hek Hong Siang Sat, sambil tertawa Oey Yong
kata kepada cecu itu: “Kau kalah!” Ia berbicara dengan terpaksa, karena
hatinya cemas bukan main mendengar suaranya Kwee Ceng, maka habis
berkata, ia terus putar tubuhnya dan bertindak ke pintu.
Cuma dengan satu kelebatan, Pheng Lian Hoauw sudah menghadang di ambang pintu.
“Oleh karena kau adalah muridnya Hek Hong Siang Sat, aku tidak berniat
mengganggu padamu,” berkata orang she Pheng ini. “Hanya kau bilanglah,
apa perlunya gurumu menitah kau datang kemari?”
Oey Yong tertawa. Dia menanggapi, “Kau sendiri yang bilang, jikalau
dalam sepuluh jurus kau tidak dapat mengenali ilmu silatku, kau akan
membiarkannya aku berlalu dari sini. Kau adalah satu laki-laki sejati,
kenapa sekarang kau menyangkal?”
Pheng Lian Houw gusar sekali. Ia menyahuti dengan membentak: “Jurusmu
yang terakhir adalah jurus “Tindakannya si bintang sakti”. Apakah itu
bukannya pengajaran dari Hek Hong Siang Sat?!”
Oey Yong tertawa pula. “Belum pernah aku melihat Hek Hong Siang Sat,”
dia kata. “Laginya, dengan kepandaian semacam itu dari mereka, mereka
mana tepat menjadi guruku?”
“Percuma kau menyangkal!” bilang Lian Houw.
“Nama Hek Hong Siang Sat pernah aku dengar,” Oey Yong bilang tanpa
pedulikan perkataan orang. “Apa yang aku tahu tentang mereka ialah
mereka perusak perikeadilan dan prikemanusiaan, tidak ada kejahatan yang
mereka tidak lakukan. Mereka pun telah mendurhaka terhadap guru dan
kakek guru mereka, jadinya mereka adalah orang-orang dari Rimba
Persilatan? Kenapa Pheng Cecu samakan aku dengan mereka itu?”
Mulanya orang menyangka nona ini tidak hendak omong terus terang, akan
tetapi mendengar ia bicara demikian hebat terhadap Hek Hong Siang Sat,
yang dikatakan Pheng Lian Houw sebagai gurunya, mereka menjadi saling
mengawasi, dari heran mereka jadi mau mempercayai. Orang boleh berdusta
hebat tetapi tidak nanti ada murid yang berani mencela dan mencaci guru
sendiri di hadapan orang banyak.
Mau tidak mau, Pheng Lian Houw menggeser tubuhnya ke samping.
“Nona kecil, hitunglah kau telah menang,” katanya. “Aku si Lao Pheng
kagum sekali untukmu! Sekarang aku memikir untuk meminta tanya namamu
yang harum.”
Oey Yong tertawa lagi. “Maafkan, aku dipanggil Yong-jie,” ia menyahut.
“Apakah shemu?” Lian Houw menanya pula.
“Aku tidak punya she,” sahut si nona, yang tersenyum.
Semua orang di situ, kecuali Leng Tie Siangjin dan Auwyang Kongcu, telah
menjadi pecundangnya nona ini, oleh karena Leng Tie Siangjin telah
terluka parah, hingga tidak dapat ia menggeraki tubuhnya, kelihatannya
cuma Auwyang Kongcu yang bisa menghalangi nona ini, maka itu, semua mata
ditujukan kepada pemuda she Auwyang ini.
Auwyang Kongcu, sambil tersenyum, lantas bertindak perlahan. “Aku yang
rendah dan bodoh, ingin aku meminta pengajaran beberapa jurus dari
nona,” ia berkata.
Oey Yong mengawasi, terutama untuk pakaian orang yang serba putih.
“Mereka itu, ini nona-nona cantik yang menunggang unta putih, adakah
mereka orang-orangmu?” dia menanya, menegaskan.
Auwyang Kongcu tertawa. “Apakah kau telah bertemu dengan mereka itu?”
tanyanya. “Kecantikan mereka itu tidak ada separuhnya dari
kecantikanmu.”
Oey Yong agaknya jengah, hingga wajahnya bersemu merah. “Di sini ada
beberapa tua bangka yang hendak menyusahkan aku, mengapa kau tidak
membantu aku?” dia tanya.
Auwyang Kongcu tidak bisa lantas menjawab, dengan tajam ia menatap. Ia merasa hatinya gatal dan tulang-tulangnya lemas……
Anak muda ini lihay ilmu silatnya, di See Hek, wilayah Barat, ia
menjagoi seorang diri. Tapi ia pun gemar sekali pada paras elok. Maka
juga sejak beberapa tahun dia sudah kirim orang ke pelbagai tempat,
untuk mencari nona-nona cantik dan manis, untuk dia ambil mereka itu
sebagai gundik-gundiknya. Adalah di waktu-waktu yang senggang, ia
ajarkan mereka itu ilmu silat dan ilmu surat, dari itu dengan sendirinya
mereka itu menjadi juga murid-muridnya. Kali ini ia berlalu dari
kampung halamannya atas undangan Chao Wang, dia datang ke kota raja –
Yan-khia – dengan mengajak sekalian gundik-gundiknya yang merangkap
murid-muridnya itu. Dia sengaja menitahkan mereka menyamar sebagai pria,
dengan semua dimestikan mengenakan pakaian serba putih seraya
menunggang unta-unta putih juga. Oleh karena gundik-gundiknya itu
banyak, dia pecah mereka dalam beberapa rombongan. Serombongan di
antaranya, yang berjumlah delapan orang, adalah mereka yang di tengah
jalan bertemu dengan Kanglam Liok Koay dan Kwee Ceng. Mereka dengar itu
Biauw Ciu Sie-seng bicara perihal kuda jempolan, yang keringatnya merah,
mereka jadi ketarik hati dan ingin merampasnya untuk diserahkan kepada
Auwyang Kongcu, guna mengambil hatinya suami merangkap guru itu. Di luar
sangkaan mereka, mereka gagal. Auwyang Kongcu pun bangga akan
gundik-gundiknya itu, yang ia percaya adalah tercantik di kolong langit
ini, - sekalipun di dalam keraton raja, belum tentu ada tandingannya, -
ia tidak nyana mereka itu kalah dari Oey Yong, hingga ia menjadi
tergila-gila sampai umpama kata kepalanya pening. Demikian hatinya
goncang karena mendengar suara orang yang merdu itu.
“Nah, hendak aku pergi!” katanya si nona pula. “Kalau mereka itu menghalangi aku, kau bantu aku, maukah kau?”
Auwyang Kongcu tertawa. “Untuk aku membantu kau, itu pun dapat,”
katanya. “Asal kau angkat aku menjadi gurumu dan untuk selamanya kau
mengikuti aku.”
Si nona tertawa. “Umpama kata aku menjadi muridmu, tak usahlah untuk selama-lamanya aku mengikuti kau!” dia bilang.
“Murid-muridku beda dari pada murid-muridnya orang lain,” Auwyang Kongcu
bilang. “Semua muridku wanita dan asal sekali saja aku memanggil,
semuanya bakal datang.”
Oey Yong miringkan kepalanya. “Aku tidak percaya!” ujarnya.
Auwyang Kongcu hendak membuktikan perkatannya, ia lantas mengasih dengar
suaranya. Sebentar saja di muka pintu terlihat beberapa puluh wanita
muda dengan pakaian serba putih yang berseragam, melainkan tubuh orang
ada yang kurus dan montok, tinggi dan kate. Dengan lantas mereka berdiri
berkumpul di belakangnya anak muda itu. Mereka ini berkumpul di luar
selagi Auwyang Kongcu berpesta, baru mereka muncul setelah ada
panggilan.
Pheng Lian Houw semua seperti bermata kabur, memandang nona-nona manis itu, mereka jadi kaget sekali dan tergiur hatinya.
Ketika di Kalgan, Oey Yong telah robohkan delapan dari nona-nona itu, ia
ketahui kepandaian silat mereka itu biasa saja, sekarang ia sengaja
permainkan Auwyang Kongcu supaya orang mengumpulkan gundik-gundiknya
itu. Ia mengharap, selagi orang berkumpul banyak, ia dapat mencari jalan
untuk meloloskan diri. tapi Auwyang Kongcu cerdik, dia rupanya telah
dapat menerka, maka juga ia terus pergi ke ambang pintu, dengan
perlahan-lahan dia mengipasi dirinya, sedang di bawah sinar merah dari
api lilin, dia mengerling kepada si nona. Dia kelihatannya tenang dan
puas.
Mengetahui akalnya gagal, Oey Yong mengasah pula otaknya. “Jikalau kau
benar-benar lihay,” ia bilang. “Memang tidak ada yang terlebih baik dari
pada aku mengangkat kau menjadi guru, supaya dengan begitu kemudian aku
tak usahlah menerima penghinaan orang.”
“Apakah kau hendak mencobanya?” Auwyang Kongcu menegaskan.
“Benar!” jawab si nona.
“Baiklah!” berkata kongcu itu. “Nah, kau kemarilah! Kau tak usah takut, aku tidak akan balas menyerang.”
“Bagaimana?” si nona menanya. “Apakah tanpa membalas menyerang kau dapat mengalahkan aku? Benarkah?”
Pemuda itu tertawa. “Walaupun kau pukul aku, mana aku tega membalas memukul?” katanya kemudian.
Lian Houw semua heran. Mereka pun dapat anggapan, pemuda ini benar-benar
ceriwis. Mereka pikir: “Nona ini lihay, walau pun dia lebih pandai
sepuluh lipat, mana bisa dia mengalahkannya tanpa dia membalas
menyerang? Mungkinkah dia hendak menggunai ilmu siluman?”
“Aku tidak percaya yang kau benar-benar tidak bakal balas menyerang!”
bilang Oey Yong pula. “Hendak aku telikung tanganmu ke belakang!”
“Baik,” sahut Auwyang Kongcu, yang terus buka ikatan pinggangnya yang ia
serahkan kepada si nona, habis mana ia bawa kedua tangannya ke
belakangnya, bersedia untuk dibelenggu.
Oey Yong heran, yang orang benar-benar menyerahkan diri untuk
dibelenggu, pada wajahnya ia tidak ketarakan suatu apa, ia tetap senyum,
tetapi hatinya terkesiap. Ia pikir: “Terang sekali orang ini tidak
bermaksud baik, maka sungguh hebat jikalau aku sampai kena dibekuk
dia….” Karena ini, ia menjadi berpikir keras. Lekas ia mengambil
putusan: “Biarlah, aku bekerja setindak demi setindak….” Maka ia sambuti
ikat pinggang itu, yang terbuat dari benang sutra tetapi kuat, dengan
itu ia terus ikat tangan orang.
“Bagaimana sekarang – bagaimana kalah menangnya?” si nona tanya.
Auwyang Kongcu lonjorkan kaki kanannya, ia taruh itu di lantai, lalu
dengan kaki kiri menahan diri, ia berputar dengan kaki kiri itu, kaki
kanannya terus menggurat, maka itu, dengan begitu ia membuat lingkaran.
Lingkarannya sendiri dalam kira setengah dim, suatu tanda dari kuatnya
kaki kanannya itu. Lingkaran pun seluas enam kaki. Hal ini membuat See
Thong Thian dan Pheng Lian Houw kagum sekali.
“Siapa yang ke luar dari lingkaran ini, dia yang kalah,” berkata Auwyang
Kongcu, kemudian seraya ia bertindak masuk ke dalam lingkaran itu.
“Jikalau dua-duanya yang ke luar?” Oey Yong masih menanya.
“Begitu pun boleh dianggap aku yang kalah,” jawab Auwyang Kongcu.
“Jikalau kau kalah, toh kau tidak bakal merintangi aku lagi, bukan?” si nona menegaskan.
“Tentu saja! Tapi kalau kau yang kalah, maka kau mesti baik-baik turut
aku. Semua orang tua di sini menjadi saksinya!” kongcu itu memberi
kepastian.
“Baik!” kata Oey Yong, yang lantas bertindak memasuki lingkaran itu. Ia
bukan cuma bertindak masuk saja, begitu masuk lantas kedua tangannya
bekerja, tangan kiri dengan jurus “Angin menyambar yangliu”, yang satu
enteng, yang lain berat, yang satu lemah, yang lain keras, tetapi
menerjangnya berbareng.
Auwyang Kongcu sudah lantas mengegos tubuhnya akan tetapi sia-sia saja
ia berkelit, kedua tangan si nona mengenai tepat pundaknya, meski begitu
yang terkejut adalah si nona sendiri, karena begitu tangan mengenai
sasaran, ia menginsyafi keadaan yang tidak wajar. Kongcu itu lihay
tenaga dalamnya, dia membilang tidak akan membalas menyerang, dia
buktikan perkataannya itu, akan tetapi ia gunai kepandaiannya, meminjam
tenaga untuk menyerang tenaga, maka begitu serangan Oey Yong mengenakan
padanya, segera ia merasakan pukulannya itu membal balik, hingga ia
lantas terhuyung sendirinya, hampir ia melintasi garis lingkaran itu. Ia
tentu saja tidak berani menyerang untuk kedua kalinya. Sebaliknya,
dengan kecerdikannya, ia kata: “Aku hendak pergi sekarang! Kau tidak
dapat ke luar dari lingkaran untuk menyusul aku! Tadi kau sendiri yang
mengatakannya, kalau kita berdua sama-sama ke luar dari lingkaran, kau
yang kalah!”
Auwyang Kongcu tercengang karena herannya. Dia hanya bisa berdiri menjublak tanpa bisa bicara apa-apa!
Si nona tidak menghiraukannya lagi, ia bertindak dengan tenang, ke luar
dari lingkaran. Hanya begitu ia berada di luar, segera ia percepat
tindakannya itu. Sebab ia mengerti sembarang waktu bisa terjadi
perubahan. Maka terlihatlah gelang rambutnya yang terbuat dari emas itu
berkilauan dan bajunya yang putih berkibar-kibar, sebentar saja ia sudah
tiba di dekat pintu, tiba-tiba terlihat berupa benda besar yang
melayang jatuh di depannya. Ia sudah lantas berkelit ke samping,
tindakannya pun dihentikan. Segera ia dapat kenyataan, benda itu adalah
sebuah kursi thaysu, di atasnya mana ada bercokol satu paderi dari Tibet
yang tubuhnya tinggi dan besar, yang mengenakan jubah warna merah. Dia
duduk di kursi tapi ia lebih tinggi dari si nona. Anehnya, dia duduk
seperti terpaku di kursinya, hingga ia dapat berlompat bersama-sama
kursinya itu.
Oey Yong hendak menegur di pederi itu tetapi ia telah di dahului Leng
Siangjin, yang dari dalam jubahnya mengasih ke luar sepasang cecer
tembaga, begitu kedua tangannya dirapatkan, berbunyilah alat tetabuhan
itu hingga menulikan kuping. Ia masih heran tatkala di depan matanya
berkelebat suatu sinar, lalu sepasang cecer itu menyambar ke
arahnya….sebuah di atas, sebuah lagi di bawah.
Dalam keadaan seperti itu, Oey Yong tidak menjadi gugup, ia pun tidak
berlompat untuk lari menyingkir. Sebaliknya, dengan menjejak kedua
kakinya, ia justru mencelat ke depan. Tangan kanannya diangsurkan, untuk
menampa dasarnya cecer, kaki kirinya ditekankan di atasan cecer yang di
bawah tubuhnya dipengkeratkan, maka sekejap kemudian, ia sudah lewat di
antara kedua senjata rahasia itu. Cuma, walaupun itu sudah lolos dari
bahaya, karena ia berlompat maju, ia menjadi mendekati si orang suci
itu.
Kali ini Leng Tie Siangjin mengangkat tangannya, dengan ilmu pukulan
“Tay-ciu-in” atau “Tapak tangan besar”, dia memukul ke arah tubuhnya si
nona.
Oey Yong seperti juga tidak dapat menahan tubuhnya, ia maju terus,
hingga ia seperti hendak menyerbu ke rangkulannya lawannya itu. Orang
menjadi kaget hingga mereka pada berseru. Nona yang begitu cantik manis,
pastilah bakal runtuh di tangan yang kasar dari si paderi, bukan saja
tulang-tulangnya bakal patah, juga isi perutnya, bakalan remuk semua….
Bahaya tidak dapat dicegah lagi, satu suara keras segra terdengar.
Serangannya Leng Tie Siangjin tepat mengenai sasarannya, ialah punggung
si nona. Selagi orang kaget, si nona sendiri melayang terus bagaikan
layangan putus, sampai di luar gedung!
Dari kaget, orang menjadi heran sekali, hingga mereka tercengang. Mereka
lihat tangan kanan dari Leng Tie Siangjin mengucurkan darah, sebab
telapakan tangannya pecah menjadi sepuluh liang kecil.
Dalam kagetnya, Pheng Lian Houw berseru: “Budak itu memakai
Joan-wie-kah! Itulah mustika pemilik pulau dari pulau Tho-hoa di Tang
Hay!”
See Thong Thian pun berseru: “Dia masih begini muda, kenapa dia dapat memiliki Joan-wie-kah itu?”
Sementara itu Auwyang Kongcu sudah berlompat, untuk berlari-lari ke
luar. Biar bagaimana tidak dapat ia melupakan nona yang manis itu, hanya
tempo ia sampai di luar, di antara gelap petang tidak dapat lagi ia
melihat bayangannya si nona. Ia penasaran, maka sambil serukan sekalian
gundiknya, ia lari mencari. Di dalam hatinya ia menghibur diri. “Dia
dapat lolos, mungkin ia tidak terluka, maka maulah dia nanti
merangkulnya….”
Hauw Thong Hay, yang tidak tahu apa itu Joan-wie-kah, menanyakan itu kepada kakak seperguruannya.
“Pernahkah kau melihat landak?” Pheng Lian Houw mendahului menanya
“Tentu pernah aku melihatnya!” sahut orang she Hauw itu.
“Di dalam bajunya ia memakai baju lapis yang lemas,” Lian Houw lantas
memberi keterangan. “Baju lapis itu tidak takut kepada senjata tajam
seperti golok dan tombak. Baju itu mempunyai duri yang seperti duri
landak. Maka siapa memukul atau menendangnya, dia mesti menderita sebab
tertusuk duri-duri landak itu.”
Hauw Thong Hay mengulur lidahnya. “Syukur aku tidak sampai kena menghajar budak itu…” katanya.
Sembari berbicara, Thong Hay dan Lian Houw sertia Thong Thian turut
pergi mengejar, untuk mencari. Malah Chao Wang juga menitahkan Thung
Couw Tek mengepalai barisan pengiringnya pergi mencari. Hingga istana
pangeran itu menjadi kacau dan gempar!
Di pihaknya Kwee Ceng, yang bertemu sama Nio Cu Ong, dia takutnya bukan
main, dia lari tanpa memilih lagi jurusan timur atau barat, selatan atau
utara, asal ke tempat yang gelap. Cu Ong sebaliknya mengejar dia dengan
hebat. Som Sian Lao Koay ingin membekuk orang untuk dihisap darahnya!
Kwee Ceng dapat lari keras, dia pun berlari-lari di tempat yang gelap,
dengan begitu, sekian lama dia tidak dapat dicandak. Sebentar kemudian
dia sampai di satu tempat, di mana ada banyak pohon berduri serta batu
muncul di sana-sini, bagaikan rebung muda atau pedang yang ditancap di
tanah. Dia heran yang di pekarangannya istana ada tempat yang demikian.
Dia menjadi terlebih kaget, ketika dia merasakan sakit pada kakinya,
yang tertusuk duri. Mendadak kakinya menjadi lemas, terus tubuhnya
terjatuh hingga ia menjerit keras. Tapi ia masih sadar, dia lantas
siapkan kakinya, supaya setibanya di bawah, tak usah dia jatuh
terbanting. Mungkin ia menerka, dia terjatuh ke dalam sebuah liang, yang
dalamnya beberapa tombak. Ketika akhirnya kakinya tiba di dasar liang,
dia kena injak bukan batu atau tanah keras, hanya serupa benda licin,
hingga tidak ampun lagi, ia terus terpeleset dan terguling. Lekas-lekas
ia merayap bangun, tangannya terus dipakai mereba-raba kepada benda itu.
Untuk kagetnya, dia dapatkan sebuah tengkorak manusia.
“Rupanya ini adalah lubang peranti membuang mayatnya orang yang dibunuh
di istana….” ia menduga-duga. Justru hatinya lagi berpikir, di atas
sana, dia dengar teriakannya Nio Cu Ong: “Bocah, lekas naik!”
“Aku tidak ada begitu gila mau naik untuk mengantar jiwa….” pikir bocah
ini. Dia pun tidak sudi memberi penyahutan, hanya ia lantas meraba ke
belakangnya, sembari meraba dia sembari mundur. Ini pun ada penjagaan
untuk lari terus andai kata Nio Cu Ong berlompat turun. Di belakangnya,
ia tidak dapat meraba apa juga.
“Biarpun kau kabur ke istana Raja Akherat, akan aku susul padamu!”
terdengar pula suaranya Nio Cu Ong, bahkan kali ini tubuhnya terus
lompat turun.
Kwee Ceng kaget dan takut, terus ia mundur. Dia masih tidak dapat meraba
sesuatu apa yang bisa menghalangi mundurnya, maka ia mundur terus.
Kemudian ia putar tubuhnya, untuk berjalan dengan kedua tangannya
dilonjorkan ke depan. Dalam liang gelap yang gelap itu, dia tidak dapat
melihat apa juga.
Liang itu merupakan sebuah terowongan, baru menyusul kira dua tombak,
Nio Cu Ong telah dapat mengetahuinya. Dia bernyali besar, dia andalkan
kepandaiannya, dia menyusul terus. Hanya karena berada di tempat gelap,
dia bahkan tidak dapat melihat jeriji tangan di hadapannya, dia
bertindak dengan enteng, supaya ia tidak mengasih dengar suara apa-apa.
Dia takut Kwee Ceng nanti bokong padanya.
Kwee Ceng menyingkir terus dengan hatinya memukul keras. “Terowongan ini
mesti ada ujungnya, di sana habislah jiwaku….” ia mengeluh. Ia tidak
melihat siapa juga tetapi ia merasa pasti Nio Cu Ong sedang menyusul
padanya. Ia menjadi semakin takut.
Lagi beberapa tombak, tibalah Kwee Ceng di satu tempat yang terbuka, di
mana terdapat cahaya terang. Itulah ujungnya terowongan itu. Itulah
sebuah kamar atau ruang bertembok tanah.
Nio Cu Ong pun tiba dengan segera, lantas dia tertawa lebar. “Ha, bocah, ke mana kau hendak kabur?!” dia berseru.
Kwee Ceng bingung, ia melihat ke sekitarnya.
Justru itu, dari pojok kiri terdengar ini suara dingin seram: “Siapa berbuat kurang ajar di sini?!”
Kwee Ceng kaget, hatinya goncang keras. Siapa sangka di tempat demikian boleh ada penghuninya.
Sekalipun Nio Cu Ong, yang kosen dan nyalinya besar, ia turut terkejut juga.
Kembali terdengar suara seram dingin tadi: “Siapa ke dalam gua ini, dia
mesti mati, dia tidak bakal hidup pula! Apakah kamu sudah bosan hidup?!”
Terang suara itu adalah suaranya seorang wanita, hanya kali ini suara
itu disusul sama napas yang memburu, mungkin sekali, dialah seorang yang
sedang sakit.
“Aku datang kemari tidak sengaja,” berkata Kwee Ceng perlahan, menyahuti
orang itu. “Aku lagi dikejar-kejar orang….” Sebagai seorang polos,
tidak dapat ia berdiam saja atau mendusta.
Baru Kwee Ceng berhenti bicara, atau ia telah dengar sambaran angin.
tahulah ia, Nio Cu Ong tengah menyerang padanya, mungkin untuk ditawan.
Ia lantas saja berkelit.
Nio Cu Ong mendapatkan tangkapannya gagal, ia menyerang pula.
Kwee Ceng menjadi cemas dan sibuk, ia berkelit ke kiri dan kanan.
“Siapa yang berani datang kemari menangkap orang?!” terdengar pula suara wanita tadi.
Nio Cu Ong tidak takut, ia bahkan bergusar. “Apakah kau hendak menyamar menjadi iblis untuk menakut-nakuti aku?!” dia menegur.
Wanita itu tidak menyahuti, ia hanya kepada Kwee Ceng: “Eh, anak muda,
mari kau sembunyi padaku di sini!” Ia rupanya dapat menduga dari suara
orang. Ia mengucap demikian tetapi ia tidak berkisar dari tempatnya.
Kwee Ceng sedang bingung, di dalam keadaan seperti ini, tidak dapat lagi
ia bersangsi sedikit juga, maka ia lantas berlompat ke arah dari mana
suara itu datang. Begitu kakinya menginjak tanah, ia merasakan tangannya
disambar dan dicekal tangan lain orang yang dingin enyam, besar tenaga
orang itu, tubuhnya segera tertarik hingga ia roboh menubruk sebuah
dipan tempat duduk bersemadhi.
Wanita itu masih bernapas memburu, dia kata terhadap Nio Cu Ong:
“Barusan seranganmu, yang berupa tangkapan, ada lihay sekali. Apakah kau
ada satu jago Rimba Persilatan dari Kwan-gwa?”
Nio Cu Ong heran bukan buatan. “Aku tidak dapat melihat dia, kenapa dia
sebaliknya segera mengenali asal-usulnya ilmu silatku?” ia berpikir.
“Dia lihay sekali! Mungkinkah ia dapat melihat di tempat gelap?” Ia
menjadi tidak mau berlaku semberono, ia lantas menyahuti: “Aku adalah
seorang saudagar jinsom dari Kwantong, she Nio. Bocah ini telah curi
barangku, tidak dapat tidak, aku mesti tangkap dia. Aku minta sukalah
nyonya tidak menghalangi aku…”
“Oh, kiranya saudagar Som Sian Nio Cu Ong!” berkata wanita itu. “Kalau
lain orang, yang tidak tahu apa-apa, lancang masuk ke rumahku ini, dia
sudah tidak dapat diberi ampun, apapula kau Nio Lao Koay, kau ketua
sebuah partai! Apakah benar kau tidak kenal aturan kaum Rimba
Persilatan?!”
Som Sian Lao Koay terperanjat. “Nyonya yang terhormat, aku mohon tanya shemu yang mulia,” ia meminta.
“Aku….aku….” sahut si wanita itu.
Kwee Ceng baru mendengar sampai disitu, lantas ia merasakan tangannya
wanita itu bergemetar keras, lalu perlahan-lahan cekalannya menjadi
kendor. Ia pun mendengar orang merintih, tanda bahwa nyonya itu sangat
menderita.
“Apakah kau sakit?” ia tanya perlahan.
Nio Cu Ong dapat mendengar suaranya Kwee Ceng itu, ia menjadi bergusar
pula. Ia sangat andalkan kegagahannya, ia tidak ambil pusing siapa si
nyonya itu, yang ia duga sedang sakit keras atau terluka parah. Lantas
ia ulur kedua tangannya, untuk membekuk si anak muda. Ia baru saja
melanggar bajunya Kwee Ceng lalu mendadak ia merasakan tangannya
terbentur tenaga yang besar, hingga ia terkejut, walaupun begitu, ia
segera kirim tangan kirinya, untuk menyerang!
“Pergi!” membentak si wanita, yang sebelah tangannya segera mampir di
bebokongnya Som Sian Lao Koay, hingga ia terhuyung tiga tindak. Syukur
tangguh ilmu dalamnya, ia tidak sampai mendapat luka di dalam. Ia hanya
heran atas kesebatan wanita itu.
“He, bangsat perempuan, mari maju!” ia berseru saking murkanya.
Wanita itu terdengar napasnya memburu, tubuhnya tidak bergerak.
Sekarang Nio Cu Ong percaya pasti orang tidak dapat bergerak, karena
ini, ia menjadi lebih tabah. Dengan perlahan ia bertindak menghampirkan
wanita itu. Di saat ia hendak berlompat, untuk menerjang, tiba-tiba ia
mendengar suara angin, lalu sebuah cambuk panjang menyambar ke kakinya.
Ia menjadi kaget sekali, tetapi ia tidak mau kasih dirinya diserang
demikian, sambil lompat mencelat, kakinya terus menendang ke arah wanita
itu!
Tendangan orang she Nio ini ada sangat kesohor, untuk wilayah Kwan-gwa,
ia kenamaan duapuluh tahun lebih, tetapi kali ini, kesudahannya membuat
ia kaget tidak terkira. Belum lagi tendangannya itu mengenai sasaran
atau jalan darahnya kongsun-hiat, tiba-tiba kaku sendirinya. Jalan darah
itu ada di batas mata kaki, biasanya siapa kena tertotok, ia mesti
lantas roboh. Dalam kagetnya, ia ayun tubuhnya untuk berjumpalitan,
sedang tangannya dipakai menyampok. Di dalam hatinya ia berkata: “Wanita
ini awas sekali matanya! Dia bisa menotok jalan darah, mungkinkah dia
itu siluman?”
Juga sampokan Cu Ong adalah sampokan istimewa, tenaganya telah
dikerahkan sepenuhnya kepada tangannya itu. Ia pun menduga orang lagi
sakit, kalu serangannya mengenai sasarannya, pastilah itu tidak bakal
gagal.
Tiba-tiba terdengar urat-urat meretek, lalu tangannya si wanita diulur
panjang, ujung kukunya menyambar ke pundak. Cu Ong terkejut, ia
menangkis dengan tangan kirinya. Kali ini kedua tangan bentrok, tetapi
untuk kagetnya, ia rasakan tangan lawan dingin sekali, bagaikan es,
bukan seperti daging. Tidak ayal lagi, ia buang dirinya ke tanah, untuk
bergulingan pergi, bahkan dengan merayap, terus ia ke luar dari
terowongan itu, hingga di luarnya dapatlah ia bernapas lega.
“Sudah beberapa puluh tahun, belum pernah aku mengalami kejadian seperti
ini,” pikirnya. “Benarkah di dalam dunia ini ada iblis? Ah, mungkin
ongya ketahui rahasia ini…” Maka dengan cepat ia kembali ke Hoa Cui Kok.
Kwee Ceng dapat dengar suara orang berlari pergi, hatinya jadi lega,
dengan kegirangan dan bersyukur, lantas ia berlulut di depan wanita itu
untuk mengangguk-angguk hingga tiga kali. Ia berkata: “Teecu mengucap
banyak-banyak terima kasih untuk pertolongan cianpwee.”
Wanita itu bernapas tersengal-sengal, rupanya melawan Nio Cu Ong, ia telah menggunakan tenaga berkelebihan. Ia pun batuk-batuk.
“Kenapa Lao Koay hendak membunuh kau?” ia tanya selang seaat, setelah napasnya tidak terlalu memburu lagi.
“Ong Totiang mendapat luka, dia membutuhkan obat, maka itu teecu datang
ke istana ini…” Kwee Ceng menyahut. Tiba-tiba ia berhenti, karena ia
berpikir: “Wanita ini tinggal di dalam istana, apakah ia bukan orangnya
Wanyen Lieh?”
“Oh…!” berseru si wanita. “Jadinya kau telah curi obatnya Lao Koay! Aku
dengar kabar ia tengah menyakinkan pembuatan obat-obatan….”
“Apakah cianpwee terluka?” menanya Kwee Ceng, yang seperti tidak
memperdulikan perkataan orang. “Teecu ada punya empat macam obat yaitu
thian-cit, hiat-kat, him-tha dan bu-yok. Ong totiang tentu tidak
membutuhkan sebanyak itu. Kalau cianpwee….”
“Mana aku terluka!” memotong si wanita, agaknya ia gusar. “Siapa yang menghendaki kebaikanmu itu!”
“Ya, ya,” sahut Kwee Ceng, yang ketemu batunya, hingga tak tahu ia mesti
membilang apa. Sebaliknya, hatinya menjadi lemas pula apa bila ia
dengar suara napas empas-empis dari wanita itu. Maka ia kata pula:
“Jikalau cianpwee tidak merdeka untuk jalan, mari boanpwee menggendong
buat pergi ke luar…”
“Siapakah yang tua?!” wanita itu membentak. “Bocah tolol, cara bagaimana kau ketahui aku sudah tua?”
“Ya,ya,” sahut Kwee Ceng, yang tidak berani banyak omong. Ia terus
bungkam. Ia telah lantas pikir, untuk meninggalkan pergi kepada wanita
ini tetapi ia tidak tega hati. Maka ia membelas. Ia tanya pula: “Kau
menghendaki barang apa? Nanti aku pergi mengambilkannya….”
“Ah, kau benar baik….” kata wanita itu, tetapi ia tertawa dingin. Ia
ulur tangan kirinya, diletaki di pundak Kwee Ceng, terus ia menarik.
Kwee Ceng merasakan pundaknya itu sakit sekali, tanpa berdaya ia kena
ditarik hingga ke depan wanita itu. Yang membikin ia terkejut adalah
lehernya terasa dingin dengan mendadak. Sebab tangan kanan si wanita
sudah merangkulnya.
“Gendong aku pergi!” berseru si wanita itu, keren.
“Memang aku pun hendak menggendong kau,” kata Kwee Ceng dalam hatinya.
Ia lantas menggendong, dengan tindakan perlahan ia menuju ke luar.
“Adalah aku yang memaksa kau menggendong aku ke luar dari sini,” kata si wanita. “Tidak dapat aku dijual orang…”
Mendengar ini, Kwee Ceng merasa orang sangat berkepala besar, orang
tidak sudi menerima budi. Ia jalan terus hingga di mulut terowongan,
ialah liang yang tadi. Ia mengangkat kepalanya, akan melihat
bintang-bintang di langit, habis itu ia mencoba menggunai kedua
tangannya, akan merayap naik. Dalam hal kepandaian ini, ia telah
berlatih cukup di bawah pimpinan Tan Yang Cu Ma Giok. Liang sumur itu
cukup tinggi tetapi Kwee Ceng dapat memanjatnya.
Tidak lama keluarlah mereka dari gua itu.
“Siapa yang ajari kau ilmu ringan tubuh?!” si wanita tanya. “Lekas
bicara!” Ia memegang keras leher orang sampai si anak muda sukar
bernapas.
Saking kagetnya, Kwee Ceng kerahkan tenaganya di leher, untuk melawan
cekikan. Ia tidak tahu orang menguji padanya, cekikan itu menjadi
semakin keras. Hanya sesaat kemudian, tangan si wanita menjadi kendor
sendirinya.
“Ha, kau mengerti ilmu tenaga dalam yang sejati,” seru wanita itu. “Kau
bilang barusan Ong totiang mendapat luka. Apakah namanya Ong totiang
itu?”
Sebelum menjawab, Kwee Ceng berpikir: “Kau telah tolongi padaku, segala
apa kau boleh tanyakan, tidak nanti aku mendusta. Kenapa kau berlaku
begini kasar?” Tapi ia toh menjawab: “Ong Totiang itu bernama Ong Cie
It, orang dipanggil Giok Yang Cu.”
Tiba-tiba wanita itu menggetar, napasnya pun tersengal-sengal. “Jadinya
kau adalah muridnya Coan Cin Pay!” katanya. “Ong Cie It itu kau punya
pernah apa? Kenapa kau memanggil ia totiang, bukan suhu atau susiok?”
Suhu dan susiok ialah guru dan paman guru.
“Teecu bukan murid Coan Cin Kauw,” Kwee Ceng berkata. “Adalah Tan Yan Cu
Ma Giok, yaitu Ma Totiang yang pernah ajarkan aku ilmu mengendalikan
napas dan bersemadhi.”
“Habis, siapakah gurumu itu?!” si wanita tanya pula. Dia agaknya mendesak.
“Guru teecu semuanya ada tujuh orang,” sahut Kwee Ceng. “Merekalah yang
disebut Kanglam Cit Koay. Guru yang nomor satu ialah Hui Thian Pian-hok,
seorang she Kwa.”
Wanita itu batuk-batuk beberapa kali, agaknya susah ia berbicara. “Dialah Kwa Tin Ok!” katanya kemudian.
“Benar,” Kwee Ceng mengangguk.
“Apakah kau datang dari Mongolia?” tanya wanita itu lagi.
“Benar,” sahut Kwee Ceng pula, yang heran sekali. “Kenapa wanita ini ketahui aku datang dari Mongolia?” ia pikir.
“Kau dipanggil Yo Kang, benar tidak?!” masih wanita itu bertanya.
“Bukan, teecu she Kwee,” menjawab si anak muda.
Wanita itu perdengarkan suara seperti merintih, dari sakunya ia tarik ke
luar serupa barang, yang ia letaki di tanah. Itulah sebuah bungkusan,
entah dari cita atau kertas. Kapan bungkusan itu telah dibuka, di
dalamnya tertampak barang yang berkilauan. Itulah sebuah pisau belati,
melihat mana, Kwee Ceng rasanya kenal. Ia menjemput untuk dilihat
teliti. Di gagangnya ia dapatkan dua hruf ukiran, bunyinya : “Yo Kang”.
Itulah pisau yang ia pakai untuk menikam Tong Sie Tan Hian Hong si Mayat
Perunggu.
Selagi si anak muda mengawasi pisau itu, si wanita merampasnya. “Kau kenal pisau belati ini, bukan?!” dia tanya.
“Benar,” menjawab Kwee Ceng. “Di masa kecil pernah aku pakai pisau ini
membunuh seorang jahat, lalu mendadak orang jahat itu lenyap dan pisau
ini….”
Belum habis ia mengucap, lehernya sudah dicekal si wanita, terus
dicekik. Ia kaget, ia berontak, sebelah tangannya menyerangi si wanita.
Tapi tangan itu sudah lantas kena ditangkap!
Segera si wanita melepaskan tangannya yang kanan, ia duduk di tanah. “Kau lihat, aku ini siapa?!” ia tanya dengan bentakannya.
Di waktu malam seperti itu, seram suaranya.
Matanya Kwee Ceng telah berkunang-kunang tetapi ia masih bisa melihat si
wanita yang rambutnya yang panjang riap-riapan, mukanya pucat seperti
kertas. Ia lantas mengenali Tiat Sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi,
salah satu dari Hek Hong Siang Sat. Ia kaget tidak kepalang, ia lantas
berontak pula tetapi sia-sia saja, tangannya telah dicekal keras, kuku
orang sudah masuk ke dalam dagingnya…
Ketika malam itu di atas gunung terjadi pertempuran di antara Kanglam
Cit Koay dengan Hek Hong Siang Sat, Tan Hian Hong telah jambak mati
kepada Thi A Seng, sebaliknya ia kena ditikam Kwee Ceng pada anggota
tubuh kematiannya. Bwee Tiauw Hong sudah buta kedua matanya, tetapi ia
masih bisa bawa lari mayat suaminya itu, ia lolos justru ketika itu
turun hujan lebat. Sekarang dengan tiba-tiba Kwee Ceng mengantarkan
jiwanya, bagaimana Tiauw Hong tidak jadi girang. Sudah belasan tahun ia
cari pembunuh suaminya dengan sia-sia. Segera ia menjadi girang
bercampur sedih, lantas ia ingat penghidupannya yang dulu-dulu.
“Dulu aku adalah satu nona yang lincah, setiap hari aku memain saja, aku
dikasihi oleh ayah dan ibuku,” demikian ia melamun, sedang tangannya
terus memegang keras si anak muda, “Baru kemudian, sesudah kedua orang
tuaku menutup mata, orang perhina aku, hingga oleh guruku, Oey Yok Su,
aku ditolongi dan dibawa ke pulau Tho Hoa To, dimana aku diajarkan ilmu
silat. Sekejap kemudian, seorang pemuda yang matanya besar terbayang di
hadapanku. Dialah Tan Hian Tong, kakak seperguruanku. Sama-sama kita
belajar ilmu silat, sampai hati kita cocok satu sama lain. Demikian pada
suatu malam di musim semi, di bawah pohon tho, mendadak ia rangkul
aku…”
Wajahnya si Mayat Besi menjadi merah dengan tiba-tiba, Kwee Ceng pun
dengar napas orang memburu. Habis itu, si wanita menghela napas panjang.
Tiauw Hong lantas melamun pula. Ia ingat, sebab takut digusari guru
mereka, mereka buron dari Thoa Hoa To, lantas mereka menikah. Itu waktu
Tan Hian Hong telah memberitahukan bahwa ia telah mencuri sebagian kitab
“Kiu Im Cie Keng”. Setelah itu, mereka sembunyikan diri di gunung,
untuk menyakinkan ilmu seperti pengajaran kitab istimewa itu, hingga
setelah pandai, mereka berkelana dan menjagoi dunia kangouw. Banyak
orang kosen yang mereka robohkan, malah Hui Thian Sin-liong Kwa Pek Sia
telah mereka binasakan dan Kwa Tin Ok sudah mereka bikin buta matanya.
Bwee Tiauw Hong masih ingat baik-baik perkataan Tan Hian Hong, suaminya
itu: “Eh, perempuan bangsat, kitab Kiu Im Cie Keng itu aku cuma dapat
curi sebagian saja, bagian bawah. Bagian atasnya adalah mengutamakan
pelajaran tenaga dalam. Dengan begitu, pelajaran kita jadi kepalang
tanggung. Bagaimana sekarang?”
Atas itu, ia ingat, ia menjawab dengan balik menanya: “Apa daya?”
“Kita kembali ke Tho Hoa To, kita curi pula yang sebagian itu!”
Ia tidak berani pergi. Biar kepandaian mereka sepuluh lipat lebih lihay,
mereka masih tidak sanggup lawan dua jari tangan saja dari guru mereka.
Hian Hong pun jeri, tetapi dia penasaran, dia hendak pergi mencurinya
juga. Dia bilang pada istrinya: “Aku mesti pergi, kita mesti jadi tanpa
tandingan di kolong langit ini, atau kau menjadi janda, perempuan
busuk!” Ia tidak sudi menjadi janda, maka kejadianlah mereka berdua
berlaku nekad.
“Kami tahu, karena buronan kami, suhu telah sangat gusar dan telah umbar
kegusarannya itu,” Tiauw Hong melamun lebih jauh. “Dalam murkanya suhu
telah putuskan ototnya semua muridnya, yang terus ia usir, hingga
selanjutnya di pulaunya itu guru hidup berdua saja dengan istrinya serta
beberapa budak pelayan. Ketika kami tiba di pulau, kami menemukan
berbagai peristiwa yang luar biasa. Kiranya musuhnya suhu telah datang
ke pulau untuk mengadu kepandaian. Pertandingan itu membuatnya kami
kaget, goncang hati kami. Dengan berbisik aku kata kepada suamiku, ‘Eh,
lelaki bangsat, kita gagal, mari kita lekas pergi!’ Tapinya suamiku
menampik. Kami telah menyaksikan suhu telah dapat membekuk musuhnya,
kaki siapa dia telah hajar patah. Aku ingat kepada subo, budi siapa aku
tidak dapat lupakan. Aku pergi ke jendela, untuk mengintai. Apa yang aku
lihat adalah meja abu. Kiranya subo telah menutup mata. Aku menjadi
bersedih. Di tepi meja abu aku lihat satu anak perempuan kecil duduk di
kursi, dia mengawasi aku sambil tertawa. Bocah ini mirip dengan subo.
Pastilah dia anaknya suboku itu. Aku pikir, mungkinkah subo meninggal
sehabis melahirkan yang sulit? Karena ini aku pikir untuk tidak
melahirkan anak juga! Selagi aku berpikir begitu, suhu telah dapat
dengar suara kami. Suhu muncul di ruang meja abu itu. Aku kaget hingga
lemas kaki tanganku, tidak dapat aku bergerak. Aku dengar bocah itu
berseru, ‘Ayah, empo!’ Dia tertawa manis, dia pentang kedua tangannya
dengan apa ia tubruk ayahnya. Bocah itu menolong kami. Suhu khawatir dia
jatuh, ia menyambuti anak itu. Lantas si bangsat laki-laki menarik
tanganku, untuk diajak lari. Kami kabur dengan naik perahu. Air laut
telah muncrat memasuki perahu kami, hatiku memukul terus, seperti mau
lompat ke luar.”
Ketika itu angin bersiur, hawanya dingin. Di kejauhan, burung hantu pun
mengasih dengar suaranya yang seram. Karena kupingnya jeli, Bwee Tiauw
Hong dapat dengar itu semua. Ia masih terbenam dalam lamunannya, tentang
peristiwa dulu-dulu itu, yang merupakan pengalamannya.
Demikian ia berkata terus dalam hatinya: “Menyaksikan pertempuran
dahsyat dari suhu, barulah suamiku itu padam hatinya. Dia kata, ‘Bukan
cuma kepandaian suhu belum dapat kita pelajari sebagian saja, juga
kepandaian lawannya itu kita berdua tidak dapat melawannya!’ Maka itu
kami lantas meninggalkan wilayah Tionggoan, kami menyingkir jauh sekali
sampai di gurun pasir di Mongolia. Suamiku itu berkhawatir kitabnya
nanti ada yang curi, sekalipun aku, dia tidak kasih lihat. Aku juga
tidak tahu di mana ia menyembunyikannya. Maka aku kata kapadanya,
‘Baiklah, bangsat lelaki, aku tak akan lihat kitabmu!’ Dia jawab aku,
‘Eh, perempuan bangsat, aku justru berbuat baik terhadapmu! Jikalau kau
lihat ini, kau tentu ingin mempelajarinya, tetapi kau tidak mengerti
ilmu dalam, tubuhmu bisa rusak.’ Aku jawab, ‘Baiklah! Jangan kau terus
mengaco-belo!’ Tapi ia mengajarkan aku Kiu Im Pek-ku Jiauw dan
Cwie-sim-ciang, yaitu cengkeramnan Tulang Putih serta Pukulan Meremukkan
Hati. Kemudian terjadilah pertempuran di atas gunung itu. Kanglam Cit
Koay telah mengepung aku. ‘Mataku! Mataku!’ Ya, aku merasakan sangat
sakit pada mataku, aku merasa gatal sekali. Aku empos semangatku, aku
lawan serangan racun. Aku tidak mati, tetapi mataku buta! Suamiku pun
binasa! Itulah pembalasan! Pernah kami membinasakan kakaknya dan mata
adiknya dibikin buta.”
Mengingat itu semua, dengan sendirinya cekalan Bwee Taiuw Hong menjadi semakin keras dan giginya pun bercatrukan.
“Matilah aku kali ini…” kata Kwee Ceng di dalam hatinya. “Entah dia
bakal gunai cara kejam bagaimana akan siksa aku hingga aku terbinasa….”
Karenanya, ia lantas berkata: “Eh, sekarang aku tidak menghendaki hidup
pula! Aku hendak minta suatu apa padamu, harap kau suka meluluskannya.”
“Kau hendak minta sesuatu dari aku?” Bwee Tiauw Hong tanya, ia tertawa dingin.
“Ya,” jawab Kwee Ceng. “Di tubuhku ada beberapa rupa obat, aku minta kau
tolong serahkan itu pada Ong Totiang yang sekarang ini lagi mondok di
penginapan Ang Ie, di luar kota barat.”
“Seumurku aku tidak pernah melakukan kebaikan!” Tiauw Hong membilang.
Dia tidak ingat lagi berapa banyak kesengsaraan yang dideritanya dan
berapa banyak jiwa yang telah dibunuhnya, tetapi pertempuran dahsyat di
atas gunung itu, ia masih ingat jelas sekali. Sekonyong-konyong matanya
menjadi gelap, ia tidak dapat melihat sinar bintang lagi.
“Suamiku berkata,” dia berkata di dalam hatinya lagi, ngelamun, “’Aku
tidak bakal ketolongan lagi…rahasianya Kiu Im Cie Keng ada di dadaku….’
Itulah kata-katanya yang terakhir. mendadak hujan turun seperti di
tuang-tuang. Lalu Kanglam Cit Koay perhebat serangannya atas diriku.
Bebokongku telah kena tertinju. Penyerang itu sempurna ilmu dalamnya,
dia membikin aku merasa sakit sampai di tulang-tulangku. Aku pondong
tubuhnya si lelaki bangsat, aku kabur. Aku tidak dapat melihat
musuh-musuhku itu, tetapi mereka juga tidak mengejar. Itulah aneh! Hujan
turun hebat sekali, langit mestinya gelap gulita, dan mereka itu tidak
dapat melihat aku. Aku berlari-lari di dalam hujan. Tubuhnya si lelaki
bangsat mulanya masih hangat, lalu perlahan-lahan menjadi dingin. hatiku
pun turut menjadi dingin karenanya. Seluruh tubuhku bergemetar,
dinginnya luar biasa. ‘Lelaki bangsat, apakah benar-benar kau telah
mati?’ Aku bertanya. ‘Kau yang begini lihay, kau mati tidak karuan?’ Aku
cabut pisau belati dari pusarnya, darah lantas muncrat ke luar.
Sebenarnya apakah yang heran? Orang dibunuh, darahnya pasti mengalir ke
luar. Aku sendiri, entah berapa banyak orang telah aku bunuh…. Sudahlah,
aku pun harus mati bersama si lelaki bangsat. Hanya, tanpa ada orang
yang memanggil dia lelaki bangsat, oh, bagaimana tawar! Lantas aku bawa
ujung belati ke mulutku, di bawah lidah. Itulah tempat kematianku.
Tiba-tiba aku kena raba huruf-huruf ukiran di gagang pisau belati itu.
Aku lantas meraba-raba. Itulah dua huruf ‘Yo Kang’. Ah, kiranya pembunuh
si lelaki bangsat itu bernama Yo Kang! Mana dapat aku tidak menuntut
balas? Sebelum membinasakan Yo Kang itu, mana boleh aku mati? Maka itu
aku meraba ke dadanya si lelaki bangsat, akan cari rahasianya kitab Kiu
Im Cie Keng itu. Sia-sia aku mencari, aku tidak mendapatkannya. Aku
penasaran! Aku lalu mencari di rambut kepalanya, terus ke bawah. Tidak
ada bagian anggotanya yang aku bikin kelompatan. Tempo aku meraba pula
dadanya, di situ aku merasakan kulit dagingnya yang rada luar biasa.”
Bwee Tiauw Hong lantas mengasih dengar suara tertawa kering dari
tenggorokannya. Hebat suara itu, menyeramkan, Kwee Ceng sampai bergidik.
Bwee Tiauw Hong merasa ia telah berada pula di gurun pasir, hujan besar
telah membasahkan seluruh tubuhnya, akan tetapi tubuh itu ia rasakan
panas sekali. Dia merasa seperti telah meraba dada suaminya, yang ia
selalu panggil dengan sebutan ‘lelaki bangsat’, sebagaimana dia sendiri
dipanggil ‘perempuan bangsat’ oleh suaminya itu. Nyata dada itu dicacah
dengan jarum, merupakan huruf-huruf dan peta. Itu dia rahasianya Kiu Im
Cie Keng. Hian Hong khawatir kitabnya dicuri orang, dia cacah tubuhnya
sendiri, setelah itu ia bakar kitabnya itu.
“Memang,” demikian dia ngelamun pula, “Suhu yang demikian lihay,
kitabnya masih kena kita curi. Maka siapa berani tanggung yang kitab
kami pun tak ada yang bakal mencurinya? Maka ia kata pada waktu itu,
‘Bagus betul pikiranmu ini. Ini artinya, selama orangnya masih hidup,
kitabnya pun ada, setelah orangnya mati, kitabnya lenyap bersama. ’Aku
lantas gunai pisau belati mengiris kulit dadanya si lelaki bangsat. Ah,
hendak aku memberi obat kepada kulit itu, supaya tidak menjadi nawoh dan
rusak, ingin aku membawa-bawanya di tubuhku. ‘Aku ingin kau selalu
mendampingi aku…’ Ketika itu aku tidak bersedih lagi sebaliknya aku
tertawa terbahak-bahak. Dengan kedua tanganku, aku lantas menggali
sebuah liang besar. Di situ aku kubur si lelaki bangsat. ‘Kau ajarkan
aku cengkaraman Kiu Im Pek-ku Jiauw, sekarang dengan kepandaian itu aku
menggalikan kau liang kubur. Lantas aku sembunyikan diri di dalam gua,
aku khawatir Kanglam Cit Koay dapat mencari aku. Sekarang ini aku
bukannya tandingan mereka, maka tunggulah aku selesai dengan
pelajaranku. Hm! itu waktu akan aku jambret setiap batok kepala, setiap
hati manusia! Aku akan belajar, tidak peduli aku bisa terluka di dalam
atau tidak. Peduli apa! Berselang dua hari, selagi perutku lapar, aku
dengar suara pasukan tentara lewat di depan guaku. Mereka itu bicara
dengan bahasa Nuchen dari negara Kim, aku lantas ke luar dari tempat
sembunyiku, aku minta barang makanan. Pangeran yang memimpin pasukan itu
mengasihani aku, dia suka menolong, malah ia terus ajak aku ke
istananya si Tiongtouw. Belakangan aku mendapat tahu, pangeran itu
adalah Pangeran Chao Wang, putra nomor enam dari raja Kim. Aku bekerja
di taman belakang, bekerja menyapui rumput, di situ secara diam-diam aku
menyakinkan ilmu kepandaianku. Beberapa tahun telah lewat tanpa ada
yang mengetahui perbuatanku itu. Semua orang menganggap akulah seorang
wanita tua yang buta yang harus dikasihani.”
“Kemudian pada suatu tengah malam…. Ah! Pangeran cilik yang nakal itu
telah datang ke taman belakang, untuk mencari telur burung, dia telah
mempergoki aku lagi menyakinkan cambuk perak.
Ia lantas menggerembengi aku, dia memaksa minta aku memberi pelajaran
padanya. Terpaksa aku ajarkan dia tiga jurus. Sekali saja, ia telah
dapat belajar dengan baik. Ternyatalah ia berotak terang sekali! Aku
jadi gembira, maka aku terus mengajari dia. Aku hendak mengajari dia
segala macam kepandaian asal dia suka bersumpah tidak membuka rahasia
kepada siapa juga, tidak kecuali kepada ongya dan onghui. Aku mengancam,
asal rahasia bocor, akan aku cambuk toblos batok kepalanya!”
“Lewat beberapa bulan, pangeran cilik itu memberitahukan kepada aku,
bahwa ongya hendak pergi lagi ke Mongolia. Lantas aku minta supaya aku
diajak, agar aku bisa bersembahyang di kuburan suamiku. Ongya menerima
baik permintaan itu. Dia sangat menyayangi pangeran kecil itu, yang
segala keinginannya senantiasa dipenuhi. Oh, disana tidak dapat aku
mencari tulang-tulangnya si lelaki bangsat. Lantas aku hendak mencari
Kanglam Cit Koay. Sungguh aku sangat beruntung, di sana aku dapatkan
tujuh saudara imam dari Coan Cin Kauw. Mataku tidak bisa melihat, cara
bagaimana aku bisa melawan mereka? Di antara mereka, yang lihay tenaga
dalamnya adalah Tan Yang Cu Ma Giok. Asal ia membuka mulutnya, walaupun
ia tidak berbicara keras, suaranya dapat terdengar sampai di tempat
jauh. Perjalananku ke Mongolia itu tidak sia-sia belaka. Aku dapat
mendesak kepada Ma Giok, hingga ia secara sembarangan mengajari aku
sepatah kata rahasianya ilmu dalam. Sepulangnya ke istana, aku berdiam
di dalam terowongan dalam tanah, di mana aku menyakinkan kepandaianku.
Tidak dapat ilmu dalam itu dipelajarkan tanpa petunjuk, aku
mempelajarinya dengan memaksa. Kesudahannya, separuh tubuhku ini tidak
dapat digeraki. Aku melarang si pangeran cilik datang padaku. Ia tidak
ketahui yang pelajaranku telah tersesat. Coba kalau bocah ini tidak
menerobos masuk ke dalam terowongan, pastilah aku akan mati kelaparan di
dalam situ. Hm, rupanya dari si lelaki bangsat yang memimpin bocah itu
datang padaku, supaya ia menolongi aku, supaya kemudian aku bunuh si
bocah untuk menuntut balas untuknya!”
Saking senang dan gembiranya, Tiauw Hong tertawa berkakakan tak hentinya. Dia tertawa haha tercampur hmhm, tertawa dingin!