Akan tetapi Swat Hong tidak mau melayaninya, membuang
muka dan melanjutkan langkahnya. Akan tetapi laki-laki itu melompat dan
menghadang didepannya sambil bertolak pinggang.
"Eitt..... nanti dulu! Berani kau menghina Perwira
Malik? Dia bukan hanya lihai dan menembak tepat, juga banyak wanita
tergila-gila kepadanya! Dan kau berani memandang rendah?"
Swat Hong memandang dengan mata melotot lalu mendengus,
"Pergilah!" sambil melangkah terus. "Dan
kau laki-laki kurang ajar!"
Swat Hong berkata dan sekali dia menggerakan lengannya
yang terpegang, dia berbalik sudah memegang pergelangan tangan laki-laki itu
dan begitu dia membetot, laki-laki itu jatuh tersungkur mencium tanah!
"Aihhh, berani kau memukulku?"
Prajurit itu marah sekali dan cepat melompat dan
menubruk.
"Plakkk! Augghhh....!"
Perajurit itu terlempar dan mengaduh-aduh, mukanya
membengkak. Melihat ini, lima orang perajurit kawan orang pertama itu menjadi
marah dan menerjang maju.
"Tangkap, dia tentu mata-mata!" Swat Hong
merasa muak sekali dan juga marah. Melihat lima orang itu menerjang dan hendak
berlumba menangkap dan merangkulnya, kaki tangannya bergerak dan
dalamsegebrakan saja, lima orang itu pun roboh tersungkur dan tidak dapat
berlagak lagi karena mengaduh-aduh kesakitan. Tentu saja keadaan menjadi ribut
dan banyak anak buah pasukan mengurung, akan tetapi tiba-tiba perwira yang ahli
menggunakan anak panah tadi meloncat maju dan menghadik.
"Mundur semua!"
Setelah orang-orang mundur tidak melanjutkan gerakan
mereka untuk mengeroyok, perwira itu membungkuk di depan Swat Hong sambil
berkata,
"Harap Nona maafkan. Sudah lazim bahwa anak buah
pasukan selalu bersikap kasar. Nona tentu bukan orang sini, kalau boleh
bertanya hendak ke manakah?"
"Hemm..�? pikir Swat Hong. Pantas kalau banyak
wanita tergila-gila. Memang perwira yang bernama Malik ini gagah sekali, gagah
dan tampan, amat keras daya tariknya terhadap wanita terutama sekali sepasang
matanya yang tajam dengan bulu mata panjang lentik dan alis yang tebal itu.
Juga dagunya berlekuk dan menambah kejantanannya. Selain tampan dan gagah, juga
laki-laki ini pandai bersikap manis terhadap wanita.
"Sudahlah, aku pun tidak ingin mencari permusuhan,
asal mereka jangan kurang ajar. Bahkan aku ingin menghadap Kaisar untuk
membantu perjuangannya. Di manakah aku dapat menghadap Kaisar?"
Mendengar ucapan gadis yang cantik jelita dan gagah itu,
seketika lenyaplah kemarahan para prajurit.
"Aih, kiranya seorang pendekar wanita!"
"Tentu tokoh kang-ouw kenamaan!"
Perwira Malik menghentikan ribut-ribut itu dan kembali
dia tersenyum, manis dan menarik sekali.
"Untuk membantu perjuangan, tidak perlu menghadap
Sri Baginda, Nona. Tidak mudah menghadap Sri Baginda yang sedang sibuk.
Kebetulan di sini juga merupakan markas dan dipimpin Bouw-ciangkun. Banyak pula
orang-orang kang-ouw yang telah diterima menjadi sukarelawan. Akan tetapi baru
sekarang datang seorang sukarelawati seperti Nona. Ahh, terimalah hormat dan
rasa kagumku, Nona. Engkau tentulah yang disebut pendekar wanita dari dunia
kang-ouw, bukan?"
Swat Hong tidak peduli, yang penting adalah membantu
perjuangan untuk membasmi An Lu Shan dan keturunan atau penggantinya.
"Dapatkah aku bertemu dengan Bouw-ciangkun?"
"Tentu saja. Akan tetapi, perkenankanlah aku
memuaskan keinginan hatiku yang sudah terpendam bertahun-tahun untuk
menyaksikan kelihaian seorang pendekar wanita dari timur, Nona."
Perwira Malik memperlihatkan gendewanya.
"Dapatkah Nona mainkan gendewa dan anak panah?"
Swat Hong maklum bahwa dia hendak diuji, dan siapa tahu,
mungkin perwira ini termasuk seorang di antara para pengujinya.
"Senjata ini kurang praktis untuk pertandingan jarak
dekat dan terang-terangan."
Perwira Malik mengerutkan alisnya, akan tetapi bibirnya
tetap tersenyum manis.
"Benarkah? Nona, dengan gendewa ini aku dapat
merobohkan musuh dalam jarak seratus langkah, biarpun musuh itu menggunakan
senajta apa pn untuk melindungi dirinya. Aku dapat melepaskan anak panah
terus-menerus dan bertubi-tubi sampai puluhan batang!"
"Hemm, mungkin berhasil merobohkan segala burung dan
manusia yang bodoh saja."
"Wah....!" Malik membelalakkan matanya.
"Apakan di dunia ini ada orang yang sanggup menyelamatkan diri dalam jarak
seratus langkah dari gendewaku?"
"Boleh kaucoba. Aku bersedia."
"Eiiiihhh, jangan, Nona! Aku akan menyesal selama
hidupku kalau sampai melukaimu, apalagi membunuhmu!"
"Tidak perlu khawatir, aku malah akan menghadapi
hujan anak panahmu itu dengan tangan kosong!".
"Mustahil!"
Orang Han yang pertama kali dirobohkan Swat Hong, kini
mendekat dan karena dia maklum akan kelihaian dara itu, kini dia hendak mencari
muka dan berkata,
"Saudara Malik, jangan memandang rendah seorang
lihiap. Dia pasti akan sanggup memenuhi kata-katanya."
Atas dorongan dan desakan banyak orang, akhirnya Malik
mau juga mencoba kepandaian wanita cantik jelita itu. Dengan tenang Swat Hong
melangkah sambil menghitung sampai seratus, langkah pendek-pendek saja,
kemudian membalik dan menghadapi Malik dengan mata tak berkedip.
"Wah, terlalu dekat....! Terlalu dekat sekali!
langkahmu begitu pendek-pendek, Nona. Ini hanyalah lima puluh langkah, tidak
ada seratus!"
Malik berteriak sambil melangkah mundur sampai lima puluh
langkah. Diam-diam Swat Hong memuji kejujuran dan niat baik di hati perwira
asing itu.
"Terserah kepadamu. Nah, aku sudah siap."
katanya. Malik ragu-ragu, mukanya agak pucat.
"Tapi...... tapi, setidaknya kau harus membawa
pedang untuk menangkis atau sebuah perisai."
"Tidak perlu. Seranglah!"
Didesak oleh orang banyak, dan memang di dalam hatinya
dia juga merasa penasaran sekali, Malik lalu memasang lima batang anak panah di
gendewanya, dan masih ada puluhan batang di tempat anak panah yang siap untuk
disambar tangan kanan menyusul rombongan anak panah terdahulu.
"Nona, siap dan hati-hatilah!" teriaknya dan
terdengar suara menjepret ketika tampak lima sinar berturutturut meluncur ke
arah Swat Hong, diikuti oleh puluhan pasang mata yang tidak berkedip dan dengan
hati penuh ketegangan. Swat Hong melihat betapa lima batang anak panah itu
meluncur disekeliling tubuhnya. Tahulah dia bahwa orang itu memang amat hebat
ilmu panahnya akan tetapi juga amat lembut hatinya terhadap wanita sehingga
sengaja membuat anak panah rombongan pertama menyeleweng. Dia diam saja tidak
bergerak membiarkan lima batang anak panah itu lewat, diikuti seruan menahan
napas dari semua orang yang sudah merasa ngeri melihat nona itu sama sekali
tidak mengelak!
Malik membelalakkan matanya. hampir dia tidak percaya.
Anak panahnya itu hanya sedikit saja selisihnya dari kulit tubuh wanita itu,
namun wanita itu dengan tenang saja berdiri diam tidak bergerak!
"Tidak perlu sungkan, bidik yang tepat!"
Swat Hong berkata setelah dia merasa yakin bahwa luncuran
anak panah itu dapat diikuti dengan pandang matanya sehingga mudah bagi dia
untuk menjaga diri. Lima batang lagi anak panah sudah berada di gendewa Malik
dengan cepat bukan main dan kembali terdengar suara menjepret ketika lima
batang anak panah itu menyambar seperti kilat ke arah Swat Hong. Dara itu
melihat betapa lima batang ini menyambar ke arah kakinya semua, maka dia
mengerti bahwa Malik masih saja khawatir kalau-kalau mencelakainya, maka dia
meloncat dan sekaligus menendang ke bawah sehingga dia bukan hanya mengelak,
bahkan berhasil menendang runtuh semua anak panah itu! Malik mengeluarkan
seruan kagum dan kini dia pun tidak ragu-ragu lagi akan kehebatan pendekar
wanita itu. Anak panahnya meluncur bertubi-tubi seperti hujan derasnya, susul
menyusul ke arah tubuh Swat Hong dan dara ini pun memperlihatkan kepandaiannya.
Sambil mengelak berloncatan ke sana-sini, tangannya menyambar dan dua batang
anak panah ditangkapnya dengan kedua tangannya, lalu dia menggunakan dua batang
anak panah itu untuk menangkis semua anak panah yang datang menyambar, kemudian
dengan cepat dan tak terduga-duga dia menyambitkan sebatang anak panah yang
meluncur cepat ke arah Malik.
"Auhhh....!"
Malik berteriak kaget dan gendewanya terlepas dari tangan
kirinya karena tangan kirinya itu kena sambar sebatang anak panah. Gendewanya
terlepas akan tetapi tangan kirinya tidak terluka karena anak panah yang
menyambar tangannya itu dilepas dengan cara dibalik sehingga bukan ujung yang
runcing yang mengenai tangannya, melainkan ujung belakang yang bulu-bulunya
telah dibuang . Malik segera lari menghampiri Swat Hong, memandang penuh kagum,
kemudian dia membungkuk sampai dalam sambil berkata,
"Duhai....., Nona adalah setangkai bunga di tengah
padang pasir! Satu di antara puluhan ribu wanita belum tentu ada yang seperti
Nona...... saya merasa kagum dan hormat sekali.......!"
Wajah Swat Hong menadi merah. Bukan main hebatnya pujian
yang keluar dari mulut pria ini, pujian yang aneh dan istimewa. Akan tetapi
sebelum dia menjawab terdengar kaki kuda berderap dan muncullah seorang
panglima sebangsa Malik naik kuda. Usianya tentu sudah empat puluhan tahun,
tinggi besar dan berwibawa, gagah dan juga tampan, akan tetapi begitu bertemu
pandang, Swat Hong merasa tidak suka kepada panglima ini karena pandang mata
itu seolah-olah hendak menelanjangi dan sinar mata orang itu seperti dapat
menembus pakaiannya! Malik cepat berdiri dengan tegak memberi hormat kepada
atasannya.
Panglima itu lalu bertanya kepada Malik dalam bahasa
mereka sendiri yang tidak dimengerti oleh Swat Hong, dijawab pula oleh Malik.
Panglima itu mengangguk-angguk, bicara lagi lalu memutar kudanya pergi dari
tempat itu setelah melempar kerling penuh gairah dan kagum ke arah Swat Hong.
"Nona, Komandanku tadi bertanya tentang Nona dan
menyuruh Nona langsung saja menghadap Bouw-ciangkun untuk melapor. Tentu saja
bantuan tenaga seorang yang berkepandaian tinggi seperti Nona amat dihargai dan
dibutuhkan. Mari Nona, saya antar."
"Kau baik sekali, terima kasih," jawab Swat
Hong yang merasa memperoleh seorang sahabat dalam diri perwira yang simpatik
ini.
"Nama saya Malik, Nona." Swat Hong tersenyum,
mengerti bahwa itulah cara yang sopan dari sahabat barunya untuk menanyakan
namanya.
"Namaku Han Swat Hong."
Mereka memasuki sebuah bangunan besar dan di ruangan
dalam, Malik membawa Swat Hong ke dalam sebuah kamar di mana duduk seorang tua
berpakaian panglima perang. Orang ini berusia lima puluh tahun lebih, mukanya
bulat dan matanya sipit menjadi agak lebar ketika dia memandang Swat Hong yang
datang bersama Malik. Setelah memberi hormat, Malik berkata
"Nona Han Swat Hong ini ingin menjadi
sukarelawati."
"Hemm, aku sudah mendengar dari komandanmu. Kau
boleh pergi meninggalkan Nona ini di sini,"
jawab Panglima Bouw dengan sikap angkuh. Menyaksikan
sikapnya ini saja Swat Hong sudah merasa kurang senang. Malik memberi hormat,
melirik kepada Swat Hong lalu melangkah keluar dengan tegap. Setelah derap kaki
Malik tidak terdengar lagi, kamar itu menjadi sunyi sekali biarpun di situ,
selain Bouwciangkun dan Swat Hong, masih terdapat empat orang pengawal yang
berdiri di sudut kamar seperti arca.
"Silahkan duduk, Nona."
Suara Bouw-ciangkun berubah, tidak singkat dan keras seperti
tadi, melainkan lunak dan manis. Hal ini membuat Swat Hong makin tidak senang
lagi, akan tetapi karena kedatangannya hendak membantu kerajaan melawan
pemberontak, bukan hendak berhubungan dengan orang ini, dia tidak banyak cakap,
lalududuk.
"Kami telah mendengar akan kelihaian Nona yang
mendemonstrasikan kepandaian di luar tadi. Kebetulan sekali kedatangan Nona,
karena Kaisar memang membutuhkan seorang pengawal wanita untuk menjaga
keselamatan keluarga Kaisar. Oleh karena itu, harap Nona menanti di dalam
pesanggrahan, kalau kesempatan sudah terbuka, kami akan mengantarkan Nona untuk
menghadap Kaisar sendiri."
Girang juga hati Swat Hong karena dia lebih senang untuk
bekerja dekat dengan keluarga Kaisar daripada bekerja sama dengan para prajurit
Kaisar itu. Pula, memang karena merasa bahwa ayahnya adalah masih sedarah
dengan keluarga Kaisar maka dia berkeinginan membantu keluarga Kaisar, maka
pekerjaan menjadi pengawal untuk melindungi keselamatan keluarga Kaisar amatlah
cocok baginya.
"Baik, saya akan menanti," jawabnya.
Setelah mencatatkan nama Swat Hong, Bouw-ciangkun sendiri
lalu mengantarkan dara itu pergi ke pesanggrahan, yaitu sebuah bangunan yang
terpencil, berada di pinggir gunung, bangunan yang bentuknya indah dan mungil.
Ketika menuju ke bangunan ini, Swat Hong melihat beberapa orang penjaga yang
jumlahnya hanya belasan orang akan tetapi senjata mereka aneh, yaitu sebatang
pedang yang bengkak-bengkok seperti ular dan memegang perisai yang bentuknya
seperti batok kura-kura.
"Mereka ini adalah pasukan istimewa, pasukan
pengawalku." kata Bouw-ciangkun menjelaskan dengan nada suara bangga
ketika Swat Hong memandang mereka itu yang berdiri tegak dan memebri hormat
kepada Bouwciangkun dengan gagah. Setelah mereka memasuki pesanggrahan, Bouw-ciangkun
melanjutkan,
"Mereka terdiri dari orang-orang pilihan, bermacam
suku bangsa di barat dan utara."
Akan tetapi Swat Hong sudah tidak memperhatikan lagi
cerita tentang pasukan pengawal tadi, karena dia sedang memperhatikan keadaan
pesanggrahan yang cukup mewah itu.
"Rumah ini kosong?" tanyanya.
"Memang di kosongkan dan disediakan untuk tamu
agung. Karena sekarang tidak ada tamu, maka Nona boleh beristirahat di sini
barang sehari dua hari untuk menanti kesempatan Kaisar dapat menerima Nona
menghadap. saya akan mengirim dua orang pelayan wanita untuk melayani segala
keperluan Nona, dan sekarang juga saya akan berusaha melaporkan kedatangan Nona
kepada kaisar."
Swat Hong hanya memangguk dan pembesar itu pergi
meninggalkannya. Ketika Swat Hong sedang memeriksa keadaan pesanggrahan itu
yang ternyata mewah dan lengkap dengan kamar tidur yang indah, masuklah dua
orang pelayan wanita membawa perlengkapan dan bahan masakan.
"Kami menerima perintah untuk melayani Nona di
sini," kata mereka segera ke dapur.
Swat Hong merasa tidak enak hatinya. Dia melamar untuk
menjadi pejuang membantu Kaisar, akan tetapi dia diterima seperti seorang tamu
agung, ditempatkan di rumah mungil dan dilayani dengan istimewa seperti
dimanja! Apakah karena dia wanita? Ataukah karena dia memperlihatkan
kepandaiannya tadi dan dipilih menjadi pengawal keluarga Kaisar?
Dia ingin melihat-lihat keadaan di luar. Akan tetapi baru
saja dia meninggalkan pondok itu sejauh belasan langkah, tiba-tiba muncullah
tiga orang mengawal istimewa yang bersenjata pedang berbentuk ular dan perisai
kura-kura tadi.
"Harap Nona jangan meninggalkan pondok . Kami
diperintah untuk menjaga pesanggrahan dan kalau Nona memaksa pergi kami harus
mengawal Nona."
Swat Hong mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena maksud
itu baik, biarpun dianggapnya tidak ada gunanya, aneh dan menyebalkan, dia
tidak menjawab melainkan kembali memasuki pondok, terus ke kamar dan merebahkan
diri di atas pembaringan. Dia merasa seperti seorang asing di situ.
Tiba-tiba dia tersenyum teringat kepada Malik. Untung ada
orang yang simpatik itu. Setidaknya, dia yakin bahwa dia mempunyai seorang
sahabat yang boleh dipercaya. Akan tetapi baru saja dia beristirahat di atas
tempat tidur yang lunak itu, terdengar suara hiruk pikuk di luar. Swat Hong
yang memang selalu merasa tidak enak itu meloncat dan berlari ke luar.
Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang datang adalah
Bouw-ciangkun dan Panglima Arab tinggi besar yang menjadi atasan Malik tadi,
diiringkan oleh tujuh orang pelayan pria yang membawa baki tertutup. Begitu
berhadapan, Bouw-ciangkun menjura dengan hormat sambil berkata,
"Kiong-hi, Nona Han. Kami telah menghadap Kaisar dan
karena Beliau masih sibuk, mulai besok lusa Nona boleh menghadap sendiri.
Sementara itu, Beliau mengirim kami berdua untuk menemani Nona menerima
hidangan yang dikirim dari dapur keluarga Kaisar!"
Hati Swat Hong tidak senang dan curiga, akan tetapi
karena nama Kaisar disebut-sebut, dia tidak berani menolak. Dia tahu bahwa
penolakan hadiah dari Kaisar dapat diartikan penghinaan dan pemberontakan!
Banyak dia mengerti tentang peraturan kerajaan, karena selain dia sendiri
adalah puteri raja di Pulau Es juga dia banyak membaca kitab-kitab ayahnya
tentang penghidupan keluarga Raja di daratan besar. Terpaksa dia membalas
dengan menjura penuh hormat, kemudian bersama dua orang panglima itu dia
memasuki pondok dan duduk menghadapi meja besar bersama mereka berdua.
Setelah hidangan yang lengkap dan masih panas diatur di
atas meja dan parapelayan mudur berdiri di sudut, dua orang pelayan wanita
muncul melayani mereka makan minum. Bouw-ciangkun memperkenalkan panglima itu
sebagai panglima yang menjadi komandan dari pasukan Arab yang membantu.
"kami mengandalkan bantuan sahabat-sahabat dari
barat ini untuk merampas kembali kota raja."
Antara lain Bouw-ciangkun berkata, akan tetapi urusan itu
hanya didengarkan sepintas lalu saja oleh Swat Hong yang menghendaki agar
pertemuan ini cepat selesai. Dengan tangannya sendiri Bouw-ciangkun lalu
mengisi cawan-cawan kosong di depan Swat Hong, Panglima Arab, dan dia sendiri,
lalu mengangkat cawan arak sambil berkata,
"Mari kita mulai makan minum bersama dengan
mengucapkan terima kasih kepada Sri Baginda dengan mengangkat cawan
penghormatan untuk kejayaan Sri Baginda Kaisar!"
Swat Hong mengangkat cawan dan minum bersama mereka,
kemudian Bouw-ciangkun mempersilahkan Swat Hong dan Panglima Arab itu untuk
mulai makan. Sambil makan, Bouw-ciangkun dengan gembira menceritakan keadaan
mereka, kekuatan yang sedang mereka susun, juga menceritakan kekacauan di kota
raja sebagai akibat perebutan kekuasaan di antara para peberontak sendiri.
Betapa An Lu Shan dan puteranya tewas dan sekarang Shi Su Beng yang berkuasa
juga menghadapi bersaingan dari bekas kawan-kawannya sendiri.
"Ha-ha-ha, seperti sekumpulan anjing memperebutkan
tulang!"
Dia menutup ceritanya sambil tertawatawa. Panglima Arab
itu yang diperkenalkan tadi bernama Hussin bin Siddik.
Bouw-ciangkun tertawa girang dan melanjutkan makan minum
sepuas-puasnya. Setelah kenyang, kedua orang panglima itu berpamit dan sambil
tertawa Bouw-ciangkun berkata,
"Harap Nona jangan pergi meninggalkan pesanggrahan
ini karena siapa tahu tiba-tiba saja Sri Baginda Kaisar telah siap menerima
kunjungan Nona. hal itu bisa saja terjadi di siang hari atau di malam hari.
Sebaiknya kalau Nona mengaso saja dalam pesanggrahan dan sewaktu-waktu, kalau
Sri Baginda menghendaki, aku sendiri atau Panglima Hussin yang akan datang
menjemput Nona."
Swat Hong mengangguk dan setelah dua orang panglima itu
pergi dan meja dibersihkan lalu ditinggal pergi oleh para pelayan, dia lalu
minta kepada wanita pelayan untuk menyediakan air. Setelah mandi dan tukar
pakaian, Swat Hong kembali beristirahat di dalam kamar yang indah itu. Berada
di dalam kamar ini teringatlah dia akan kamarnya sendiri di Pulau Es, kamar
yang lebih indah dan lebih menyenangkan lagi. Dia menutup mulut dengan tangan
dan menguap..... goyang-goyang kepalanya. Mengapa dia begini mengantuk? Dia
menguap lagi. Bukan main! Rasa kantuk sukar dipertahankannya lagi.
Aneh sekali! Hari baru menjelang senja, belum malam. Pula
habis makan dan mandi, mana bisa mengantuk? Kembali dia menguap dan Swat hong
meloncat bangun, duduk sambil memegangi kedua pelipisnya. Ini tidak wajar,
pikirnya! Rasa kantuk yang amat hebat dan terbayanglah wajah Panglima Hussin
yang mengajaknya minum sampai tiga kali, kemudian terbayanglah dan terdengar
lagi kata-kata Bouw-ciangkun yang menyatakan bahwa kalau Kaisar menghendaki,
sewaktu-waktu dia atau Panglima Hussin akan datang menjenguknya. Semua ini
dilakukan sambil tertawa-tawa dan seakan-akan ada "main mata" di
antara kedua orang panglima itu!
"Celaka....!"
Dia mengeluh, ingin dia turun membasahi muka denan air,
akan tetapi dia tidak kuat, baru saja dia turun, dia sudah terguling ke atas
lantai karena kepalanya pening dan Swat Hong sudah tidur di atas lantai dengan
pulasnya!
Tak lama kemudian, setelah matahari mulai condong ke
barat, sesosok bayangan seorang pemuda berkelebat dan mengintai pesangrahan itu
dari balik batu-batu gunung. pemuda ini tinggi besar, gagah dan tampan, dengan
sebatang pedang di punggungnya, berpakaian sederhana dan matanya bersinar-sinar
penuh kemarahan. Pemuda ini adalah Kwee Lun! Bagaimana dia dapat datang di
tempat jauh itu? Seperti telah dituturkan di bagian depan, dua tahun yang lalu
pemuda ini berpisah dari Swat Hong dan langsung dia pulang ke Pulau Kura-kura
di Lam-hai.
Tepat seperti dugaannya semula, gurunya, Lam-hai
Seng-jin, terheran-heran dan kagum mendengar penuturan muridnya terutama
pengalaman muridnya yang bertemu dan bersahabat dengan penghuni Pulau Es!
Setelah muridnya selesai menceritakan semua pengalamannya, juga tentang
kematian Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang dicintainya dengan suara berduka,
kakek itu berkata,
"Pengalamanmu sudah cukup, muridku. Sekarang biarlah
aku memperdalam ilmumu dan menerima sisa-sisa dari semua kepandaianku. Setelah
itu, berangkatlah kau lagi ke daratan besar. Negara sedang kacau balau dilanda
oleh para pemberontak. Tenagamu dibutuhkan. Kabarnya kaisar mengungsi ke Secuan,
maka sebaiknya kalau kau kelak menyusul ke sana untuk membantu kaisar, jangan
membiarkan dirimu terbujuk oleh kaum pemberontak."
Demikianlah, Kwee Lun berlatih silat untuk yang terakhir
dari gurunya, terutama sekali memperhebat ilmu pedang yang dimainkan bersama
dengan kipas di tangan kirinya. Setahun kemudian berangkatlah dia meninggalkan
Pulau Kura-kura untuk kedua kalinya, mendarat di daratan besar dan langsung dia
pergi ke barat, ke Secuan! Kebetulan sekali dia tiba pada hari itu juga,
berbareng dengan datangnya Swat Hong!
Hanya bedanya, kalau Swat Hong datang dari timur, adalah
Kwee Lun datang dari selatan, akan tetapi mereka memasuki daerah yang sama
yaitu yang dikuasai oleh Bouw-ciangkun. Kwee Lun terus melaporkan diri dan
langsung diterima sebagai sukarelawan. Dia tidak tahu bahwa pada siang hari itu
juga Swat Hong datang dan bertemu dengan perwira Malik dari pasukan Arab yang
diperbantukan. Tanpa disengaja, ketika Kwee Lun berjalan-jalan dan bertemu
dengan para perajurit Han, bertanya-tanya tentang keadaan, dia mendengar
kelakar seorang di antara para prajurit itu.
"Wah, enak juga menjadi panglima tentara asing!
Selain jaminannya lebih hebat, juga hiburannya lebih luar biasa lagi. Bayangkan
saja, dara perkasa yang mengebohkan siang tadi, kabarnya akan diserahkan
sebagai hadiah kepada Panglima Hussin!"
"Ah, masa?"
"Hem, jelita sekali dia!"
"Dan masih perawan hijau lagi!"
"Akan tetapi ilmu silatnya hebat! jangan-jangan
panglima itu akan mampus olehnya!"
"Mudah-mudahan begitu!"
"Tapi panglima itu terkenal pandai, dan lihat saja
Perwira Malik itu, dimana-mana para wanita tergila-gila kepadanya. Agaknya
mereka memiliki jimat untuk menundukan hati wanita."
Mendengar ini, Kwee Lun mengerutkan alisnya. Tak
disangkanya, di tempat seperti ini dia mendengar kan peristiwa yang sepantasnya
terjadi di dunia penjahat. Seorang dara dihadiahkan begitu saja! Mendengar
bahwa dara itu lihai ilmu silatnya, dia tertarik.
"Kalau wanita itu lihai, mana bisa dia dihadiahkan
begitu saja?" dia ikut bicara sambil tersenyum.
"Aha, kau tidak tahu, kawan. Banyak jalan yang dapat
dilakukan oleh Bouw-ciangkun. Dan kabarnya, tidak pernah ada wanita yang dapat
melawan apabila dikehendaki oleh Panglima Hussin itu. Apalagi kalau
Bouw-ciangkun sudah mengijinkannya, dan dalam hal ini, agaknya Bouw-ciangkun
selalu berusaha mengambil hati orang-orang berkulit hitam itu!"
Kwee Lun makin tak senang hatinya. Dia mendengarkan
dengan teliti dan akhirnya memperoleh keterangan bahwa dara yang hendak
dihadiahkan itu kabarnya telah dikurung di dalam pesanggerahan, yaitu rumah
kecil terpencil yang oleh para perajurut diberi nama tempat penjagalan perawan!
"Hem, semenjak kecil suhu menanamkan sifat pendekar, membela keadilan dan
kebenaran kepadaku." Kwee Lun berpikir, "Biarpun sekarang aku menjadi
seorang pejuang, tetap aku harus menentang kejahatan, dari siapapun juga
datangnya! Dengan pikiran ini, Kwee Lun mulai melakukan penyelidikan dan pada
sore hari itu dia sudah mendekati rumah pesanggerahan itu dan menyelinap untuk
menyelidiki dari jarak dekat, kalau mungkin memasuki rumah itu dan menolong si
gadis yang hendak dijadikan korban. Melihat betapa di empat penjuru terdapat
empat orang penjaga yang selalu melakukan perondaan mengelilingi pesanggerahan
itu, Kwee Lun bersembunyi dan mengintai. Penjaga-penjaga yang memegang pedang
ular dan perisai kura-kura itu kelihatanya bukan penjaga-penjaga sembarangan.
Dia harus menanti sampai malam tiba, barulah ada harapan baginya untuk dapat
memasuki pesanggrahan itu tanpa diketahui orang. Asal saja dia tidak terlambat,
pikirnya.
Akan tetapi, tiba-tiba dia melihat seorang perwira Arab
yang berkumis rapi datang menghampiri pesanggerahan itu. Empat orang penjaga
menghadangnya, mereka bercakap-cakap dan perwira itu dibiarkan oleh para
penjaga memasuki pesanggrahan. Hemm, ini agaknya pembesar yang di
"hadiahi" gadis itu, pikir Kwee Lun dengan marah sekali. Kalau dia
harus menanti lebih lama lagi , mungkin dia akan terlambat.
Kebetulan sekali terdapat seorang penjaga meronda di
dekat tempat dia bersembunyi,
"Keparat busuk!"
Kwee Lun berseru marah dan dia meloncat dari tempat
sembunyinya. Penjaga itu terkejut cepat menarik perisai kura-kura di depan
dadanya dan mengangkat pedangnya, siap untuk menyerang.
"Haaaaiiiiittttt!!!"
Tubuh Kwee Lun yang meloncat ke atas itu langsung
menendang dengan tumit kakikanan di depan.
"Bresss....!!"
Perisai kura-kura itu ternyata kuat menahan tendangan
Kwee Lun, akan tetapi pemegangnya terdorong dan terjengkang bergulingan.
Mendengar suara berisik ini, berdatanganlah para penjaga lain dan dalam waktu
sebentar saja Kwee Lun terpaksa harus mencabut pedang dan kipasnya, mengamuk
dikepung oleh belasan orang penjaga yang bersenjata pedang ular dan perisai
kukra-kura itu. Sementara itu, perwira berkumis yang bukan lain adalah Perwira
Malik tadi, setelah berhasil meyakinkan para penjaga bahwa dia datang untuk
memeriksa apakah dara itu masih berada di pesanggrahan, terkejut mendengar
ribut-ribut dan ketika dia menengok, dia melihat seorang pemuda perkasa sedang
dikepung para penjaga. Perwira yang cerdik ini menduga bahwa tentu pemuda itu
datang untuk menolong Swat Hong, maka dia bergegas memasuki rumah itu. Dua
orang pelayan wanita dibentaknya untuk minggir.
"Aku harus menjaga dia, ada orang jahat datang!
Didorongnya dau pintu kamar dan cepat ditutupnya dari dalam. Melihat Swat Hong
rebah terlentang dan tidur pulas di atas lantai, Malik cepat berlutut dan
mengeluarkan sebuah botol hijau dari sakunya.
"Huh, benar jahat! Mengorbankan siapa saja tanpa
pilih bulu!"
Gerutunya sambil membuka tutup botol hijau yang cepat dia
tempelkan di depan hidungSwat Hong. Tak lama kemudian dara itu terbangun,
mengeluh dan merintih,
"Aduhh....pening kepalaku....."
"Sttt..... Nona Swat Hong...... sadarlah...... aku
datang menolongmu......"
Malik mengguncang-guncang dara itu. Swat Hong membuka
matanya dan terkejut melihat Malik berlutut di dekatnya.
"Lekas kaucium ini....."
Malik kembali mendekatkan botol di depan hidung Swat
Hong. Gadis itu memang sudah mempunyai kesan baik terhadap diri Malik, maka dia
tidak membantah dan disedotnya botol itu. Tercium bau keras dan dia tersedak
lalu berbangkis.
"Apa.... apa yang terjadi......?" Swat Hong
bertanya, kepalanya masih agak pening.
"Lekas kau telan ini...." Malik memberikan
sebutir pil hitam.
"Engkau telah terkena racun Hashish yang dicampurkan
di dalam anggur. Ini obat penawarnya."
Teringatlah Swat Hong dan tahulah dia mengapa dia
tertidur di lantai. Tanpa bertanya lagi dia lalu menelan pel kecil itu dan
benar saja, peningnya hilang dan pikirannya terang kembali.
"Nona, aku mendengar bahwa siang tadi kau dijamu
oleh mereka. Tahulah aku bahwa kau tentu diberi anggur bercampur hashish. Lekas
kau keluar, di luar sedang terjadi pertempuran. Seorang pemuda agaknya datang
hendak menolongmu, dia bersenjata pedang dan kipas...."
"Kwee Lun.....!" Swat Hong berseru kaget,
menyambar pedangnya di atas meja dan hendaklari keluar.
"Nanti dulu, Nona."
Swat Hong berhenti.
"Kau baik sekali, Saudara Malik. Aku berterima kasih
kepadamu."
"Bukan itu. kau....kau harus lukai aku dengan pedang
itu. Kalau tidak, aku akan dihukum mati sebagai pengkhianat."
Barulah sadar Swat Hong betapa perwira ini telah
menolongnya dengan taruhan nyawa sendiri.
"Kau adalah seorang yang amat baik, bagaimana
mungkin aku tega untuk melukaimu? Kau sahabatku..... dan ternyata di segala
bangasa, ada saja manusianya yang jahat dan baik, tidak ada bedanya dengan
bangsa lain. Aku mengerti maksudmu, saudara Malik, nah, biar kurobohkan kau
dengan totokan!"
Swat Hong bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu dua jalan
darah di tubuh Malik telah di totoknya dan perwira itu terguling roboh dan tak
mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh, tubuhnya lemas tak mampu
bergerak. Swat Hong cepat menyambar botol dan sisa obat penawar, memasukannya
di dalam sakunya, kemudian dia menendang meja kursi sampai terpelanting ke
kanan kiri sehingga menimbulkan kesan seolah-olah di kamar itu telah terjadi
pertempuran, mencabut pedang dari pinggang Malik dan melemparkan pedang di
lantai, kemudian dia memegang tangan Malik dan berkata, suaranya terharu,
"Selamat tinggal saudara Malik. Sekali lagi terima
kasih dan kita takkan bertemu kembali."
Hanya dengan bibir dan pandang matanya saja Malik
tersenyum penuh kagum, mulutnya hanya dapat berkata,
"Kau..... setangkai bunga di padang
pasir........"
Swat Hong melompat dan berlari ke luar. Dua orang pelayan
wanita yang lari mendatangi dia tendang terguling dan menjerit-jerit, kemudian
dia terus lari ke luar. Heran juga ketika dia melihat bahwa dugaannya tadi
benar ketika mendengar penuturan Malik tentang seorang pemuda bersenjata kipas
dan pedang. Kwee Lun telah datang dan mengamuk di luar pesanggrahan! Gerakan
pemuda itu hebat bukan main karena memang selama satu tahun dia berlatih dengan
tekun. Akan tetapi ternyata para pengeroyoknya juga merupakan pasukan yang
terlatih dan memiliki keistimewaan. Bukan hanya senjata mereka yang aneh, yaitu
pedang ular dan perisai kura-kura, akan tetapi juga mereka itu membentuk
barisan yang kokoh kuat, saling membantu dan banyak menggunakan perisai untuk
berlindung, kemudian pedang ular itu meluncur dari depan perisai, persis
gerakan seekor kura-kura menyerang dan menyembunyikan kepala di dalam batoknya.
Menghadapi kepungan yang ketat ini, Kwee Lun merasa kewalahan juga. Akan tetapi
dia mengamuk dengan penuh keberanian dan akhirnya dia dapat membobolkan
kepungan dengan jalan berloncatan ke sana-sini, kemudian mendadak dia meloncat
melewati kepala pengepung yang berada di belakangnya dan begitu berada di luar
kepungan dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedang dan
kipasnya. Empat belas orang sisa pasukan itu sudah mengepung lagi, akan tetapi
mendadak terdengar lengking nyaring dan robohlah empat orang diserang oleh Swat
Hong dari luar kepungan.
"Nona Han....!"
"Kwee-toako, mari kita basmi mereka ini!" seru
Swat Hong.
Kwee Lun girang bukan main, tak pernah disangkanya bahwa
dara yang hendak dijadikan korban itu adalah Han Swat Hong. Dia merasa kecelik
juga, karena ternyata bahwa gadis yang akan ditolongnya itu berbalik malah
menolongnya!
"Kita lari saja, Nona. tidak perlu melawan tentara
yang amat banyak!"
";Tidak aku harus bunuh dulu si keparat she
Bouw....!"
Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk dan
berbondong-bondong datanglah pasukan besar dipimpin oleh Bouw-ciangkun sendiri!
Melihat Bouw-ciangkun, Swat Hong menjadi marah sekali. Dari mulutnya terdengar
suara melengking nyaring dan tubuhnya melesat seperti terbang cepatnya,
pedangnya menyambar sebagai sinar kilat ke arah Bouw-ciangkun. panglima ini
terkejut, menggerakan pedang menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring dan
pedang di tangan panglima itu patah disusul robohnya tubuhnya yang berkelojotan
karena ternyata lehernya hampir putus terbabat pedang di tangan Swat Hong!
"Nona, jangan...."
Kwee Lun lari mendekat dan mereka sudah dikepung oleh
ratusan orang perajurit yang menjadi bengong menyaksikan kematian komandan
mereka secara yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Semua orang menduga
bahwa tentu nona yang tadinya melamar sebagai sukarelawati dan pemuda yang
menjadi sukarelawan ini tentulah mata-mata dari pihak pemberontak!
"Tangkap mata-mata!"
"Bunuh mereka!"
"Tahan semua senjata....!!"
Kwee Lun berteriak dan suaranya mengatasi semua keributan
itu, semua orang menahan senjata dan memandang kepada pemuda itu dengan marah.
Mau bicara apa lagi mata-mata yang sudah membunuh komandan mereka ini?
"Saudara-saudara sekalian! Kami berdua bukan
mata-mata pemberontak, sama sekali bukan! Bahkan kami adalah musuh-musuh
pemberontak. Kami berdua adalah sungguh-sungguh hendak membantu gerakan Sri
Baginda Kaisar untuk menghalau pemberontak dari kota raja. Akan tetapi
celakanya, Nona Han Swat Hong yang beriktikad baik ini dicurangi oleh
Bouw-ciangkun. Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan dapat membantu
banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw-ciangkun hendak dikorbankan sebagai
hadiah kepada panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu saja kami melawan kejahatan
ini!"
"Tangkap......!"
"Bunuh.....! Dia telah membunuh
Bouw-ciangkun......!"
"Jangan percaya hasutan mulut mata-mata
pemberontak!"
Kini tempat itu penuh dengan perajurit, tidak hanya
ratusan, bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah marah semua karena biarpun di
antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun, namun kenyataan
dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja menggegerkan dan mengacaukan mereka. Dengan
senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu.
"Menyesal tidak berhasil, Nona."
"Tidak apa, Toako. Mati di sampingmu membesarkan
hati."
"Benarkah?"
"Tentu saja, karena engkau seorang yang baik sekali,
Kwee-toako."
"Kalau begitu, marilah mati bersama!"
Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap dengan
sepasang senjatanya, mereka saling membelakangi dan saling melindungi. Para
perajurit sudah berdesak-desakan hendak menyerbu. Tiba-tiba terdengar suara
yang halus dan tenang, namun penuh wibawa,
"Harap Cu-wi sekalian tidak menggerakkan
senjata.......!"
Sungguh ajaib sekali. Biarpun ada di antara mereka yang
tidak mempedulikan kata-kata ini dan hendak tetap menyerang, tiba-tiba saja
merasa bahwa tangan mereka tidak mampu bergerak! Terdengar seruan-seruan kaget
dan heran, dan kini semua mata memandang kepada seorang pemuda yang dengan
tenangnya berjalan memasuki kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para
perajurit. Juga Kwee Lun dan Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka
berdua pun merasa betapa tangan mereka tidak dapat digerakkan!
Otomatis mereka pun menoleh dan melihat pula seorang
pemuda yang memasuki kepungan itu dengan sikap tenang sekali. Seorang pemuda
yang berpakaiannya sederhana, agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar
biasa, pemuda yang memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir.
"Su.... Suhenggggg.....!"
Tiba-tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari
pegangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda itu yang
bukan lain adalah Kwa Sin Liong!
"Suheng..... aihhh, Suheng...... Ibuku....."
"Tenanglah, Sumoi, tenanglah........"
Suara Sin Liong mengandung wibawa yang luar biasa
sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan hebat karena sama sekali
tidak menyangka bahwa suhengnya masih hidup itu, dapat menenangkan hatinya.
"Suheng..... betapa bahagia rasa hatiku! Suheng,
jangan kau tinggalkan aku lagi....."
"Tidak, Sumoi. Tidak lagi."
"Aku cinta padamu, Suheng! Aku cnta padamu!"
Tanpa malu-malu Swat Hong meneriakkan suara hatinya ini di
tengah-tengah kepungan ratusan, bahkan ribuan orang perajurit! KweeLun
memandang semua itu dan dua titik air mata membasahi bulu matanya. Dia merasa
terharu, juga girang sekali, girang melihat kebahagian Swat Hong dan sekaligus
dia teringat kepada Soan Cu. Dia pun sudah dapat bergerak, melangkah maju dan
berkata,
"Kwa-taihiap, syukur bahwa engkau masih dalam
keadaan selamat. Sungguh aku ikut merasa girang...."
Sin Liong tersenyum kepadanya.
"Kwee-toako, engkau seorang sahabat yang baik.
Simpanlah pedang dan kipasmu, tidak perlu melanjutkan pembunuhan yang tidak ada
gunanya ini."
Kwee Lun menurut, akan tetapi matanya memandang ragu dan
sambil menyarungkan pedang dan menyimpan kipasnya, dia bertanya,
"Akan tetapi.... mereka itu....?"
Terdengar teriakan-teriakan dari para pengepung.
"Tangkap mata-mata musuh!"
"Bunuh pemberontak!"
"Tangkap pembunuh Bouw-ciangkun!"
Ribuan orang perajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong
memegang lengan suhengnya dan Kwee Lun juga mendekati Sin Liong. Betapapun
juga, gentar dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apalagi dia tidak
boleh melawan. Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat
pemuda ini. Sin Liong memegang lengan sumoinya dan terdengarlah suaranya penuh
kesabaran dan ketenangan yang wajar,
"Cu-wi sekalian tahu bahwa mereka berdua ini bukan
mata-mata, dan Cu-wi tahu apa yang telah terjadi. Maka harap Cu-wi perkenankan
kami pergi, kemudian sebaiknya melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah
terjadi sehingga dapat diambil tidakan tepat, demi ketertiban."
Suara ini demikian halus, akan tetapi mengatasi semua
teriakan dan anehnya orang-orang itu tidak berteriak-teriak lagi.
"Kami hendak pergi sekarang!"
Sin Liong memegang lengan Swat Hong dengan tangan
kanannya, memegang lengan Kwee Lun dengan tangan kiri, lalu menarik kedua orang
itu keluar dari kepungan. Swat Hong dan Kwee Lun melangkah dengan bengong,
merasa seperti dalam mimpi saja karena ketika mereka melangkah pergi melalui
ribuan orang pasukan itu, tidak ada seorang pun di antara para perajurit yang
mencoba untuk menghalangi mereka, bahkan ajaibnya, tidak ada seorang pun yang
memandang mereka, seolah-olah para perajurit itu tidak melihat mereka!
Dan memang begitulah. Para perajurit itu pun bengong
ketika secara tiba-tiba setelah pemuda tampan halus itu berpamit, tiga orang
itu tiba-tiba saja lenyap dari situ tanpa meninggalkan bekas! Setelah Sin Liong
dan dua orang temannya pergi jauh, barulah gempar di tempat itu dan akhirnya
Kaisar memperoleh laporan tentang semua peristiwa yang terjadi.
Panglima Hussin dikirim pulang dan pimpinan pasukannya
diserahkan kepada Malik! Sementara itu, Sin Liong, Kwee Lun dan Swat Hong pergi
meninggalkan Secuan. Ketika mereka tiba jauh dari daerah itu, mereka berhenti
dan Swat Hong berkata,
"Suheng, mengapa kita meninggalkan Secuan? Aku ingin
sekali menjadi sukarelawati, membantu Kaisar dan membasmi pemberontak yang
telah mengakibatkan kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan kematian
kakek buyutku!"
"Benar apa yang dikatakan Nona Swat Hong, Kwa-taihiap.
Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah kita bertiga membantu kerajaan membasmi
pemberontak."
Sin Liong menarik napas panjang, memegang tangan sumoinya
dan diajak duduk di atas rumput. Swat Hong duduk dekat suhengnya dan memandang
wajah suhengnya dengan penuh kagum dan kasih sayang.
"Kwee-toako, benarkah engkau tertarik dengan perang,
dengan saling bunuh membunuh antara manusia, antara bangsa sendiri itu? Betapa
mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah, untuk
menentang yang jahat masih dapat dimengerti dan masih mending. Akan tetapi
bunuh-membunuh hanya untuk membela sekelompok manusia lain saling memperebutkan
kemuliaan duniawi, sungguh patut disesalkan. Mereka itu hanya ingin
mempergunakan orang lain demi mencapai cita-cita sendiri."
"Aih, apa yang dikatakan Suheng memang tepat,
Kwee-toako. Ingat saja pengalamanku. Aku jauh-jauh datang untuk menjadi
sukarelawati, membantu mereka, akan tetapi belum apa-apa aku sudah akan
dikorbankan demi untuk menyenangkan hati panglima asing itu."
Swat Hong berkata kemudian dia menceritakan pengalamannya
kepada Sin Liong, semenjak mereka berpisah dan dia ditolong oleh kakek
buyutnya, sampai dia berpisah dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi
maut.
"Aku tidak berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang
kutitipi pusaka-pusaka Pulau Es. Maka aku berniat membantu Kaisar sekaligus
mencari mereka yang kurasa melarikan diri membawa pusaka-pusaka itu untuk
mereka sendiri. Sungguh menggemaskan!"
"Jangan tergesa-gesa berperasangka buruk terhadap
orang lain, Sumoi. Kelak kita memang harus mencari mereka dan meminta kembali
pusaka-pusaka itu untuk kita bawa kembali ke Pulau Es."
Kwee Lun juga menceritakan riwayatnya semenjak dia
berpisah dari Swat Hong. Kemudian mereka minta agar Sin Liong suka menceritakan
riwayatnya.
"Bagaimana engkau yang menurut cerita Kakek buyut
dilempar ke sumur ular dan ditutup dengan reruntuhan guha, dapat menyelamatkan
diri, Suheng?" dan selama ini engkau kemana saja?"
Sin Liong tersenyum.
"Aku memang nyaris tewas di sumur itu, akan tetapi
memang agaknya belum tiba saatnya aku mati, maka batu mustika hijau kepunyaanmu
ini telah menolongku, Sumoi."
Sin Liong mengeluarkan mustika hijau itu. Swat Hong
menerima batu itu dan menciumnya.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!"
katanya girang.
Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat keadaannya
selama dua tahun di dalam sumur ular sampai dia berhasil keluar ketika sumur
itu dibongkar oleh Han Bu Ong dan orang-orang kerdil.
"Ahh, Ibunya yang mencelakanmu, anaknya yang tanpa
sengaja menolongmu!"
Swat Hong berseru heran.
"Lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan
menyelamatkan aku dan Kwee-toako?"
"Mula-mula aku pergi ke kota raja dan mendengar
betapa Ibumu, juga Soan Cu telah tewas di sana, akan tetapi juga bahwa ibu
tirimu The Kwat Lin juga tewas pula. Karena aku menduga bahwa peristiwa itu
tentu membuat engkau dimusuhi oleh para pemberontak, maka aku yakin bahwa kau
tentu membantu Kaisar di Secuan, maka aku segera menyusul ke sini dan kebetulan
sekali melihat engkau dan Kwee-toako dikeroyok para perajurit."
Sin Liong tidak memberitahukan bahwa sesungguhnya telah
terjadi keajaiban pada dirinya sehingga seolah-olah dia tahu bahwa sumoinya
berada di Secuan. Seolah-olah apa yang terjadi bukan merupakan rahasia lagi
baginya!
Tiba-tiba Kwee Lun bertanya nada suaranya hati-hati dan
penuh sungkan,
"Kwa-taihiap, sejak dulu saya tahu bahwa Taihiap
memiliki kepandaian luar biasa. Akan tetapi..... tadi di sana seruan taihiap
membuat ribuan orang berhenti bergerak, bahkan aku pun..... tidak mampu
bergerak. Kemudian....... ketika kita pergi, terjadi keajaiban, seolah-olah
mereka itu sama sekali tidak melihat kita pergi....."
Sin Ling hanya tersenyum dan mengangkat pundak tanpa
menjawab.
"Benar!.. Apa yang telah kau lakukan tadi,
Suheng?" Swat Hong juga bertanya.
"Tidak apa-apa, Sumoi. Engkau pun melihat sendiri.
Kita pergi dari mereka, dan karena tidak ada permusuhan atau kebencian di
hatiku, tentu saja mereka pun tidak melakukan apa-apa."
Swat Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan keanehan
watak Suhengnya dan kadang-kadang ucapan suhengnya tidak dimengerti sama
sekali, maka jawaban sederhana ini cukup baginya. Tidak demikian dengan Kwee
Lun. Pemuda ini menduga bahwa Pemuda Pulau Es itu bukanlah manusia biasa, maka
cepat dia berkata,
"Kwa-taihaip, jika Taihiap berkenan, saya.......
saya mohon petunjuk......" Sin Liong menoleh, memandang. Mereka bertemu
pandang dan Sin Liong tersenyum lagi.
"Kau sebaiknya pulang saja ke Pulau Kura-kura,
Kwee-toako. Dan mengingat engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku yakin
bahwa engkau tidak akan menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka mungkin
aku dapat menambahkan sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau coba-coba mainkan
pedang dan kipasmu itu sebaik mungkin."
Bukan main girangnya hati Kwee Lun. Dia menjura dengan
hormat sambil mengucapkan terima kasih, kemudian dia mencabut pedang dan
kipasnya lalu bermain silat di depan Sin Ling dan Swat Hong. Seperti kita
ketahui, dari kitab kuno Sin Liong memperoleh ilmu luar biasa, yaitu mengenal
semua inti ilmu silat dari gerakan pertama saja. Maka setelah Kwee Lun mainkan
jurus-jurus simpanan yang paling lihai dan menghentikan permainan silatnya,
Swat Hong bertepuk tangan memuji, sedangkan Sin Liong berkata,
"Ada kelemahan-kelemahan di dalam beberapa jurusmu,
Toako."
Pemuda luar biasa ini lalu memberi petunjuk kepada Kwee
Lun yang menjadi terheran-heran, kagum dan girang sekali. Petunjuk-petunjuk itu
merupakan penyempurnaan dari semua ilmu silatnya.Dia menerima dan melatih
petunjuk-petunjuk ini dan demikianlah, sampai hampir sebulan lamanya, tiga
orang ini melakukan perjalanan ke timur dan disepanjang perjalanan, Kwee Lun
menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong, bahkan Kwee Lun menerima pelajaran
latihan untuk menghimpun tenaga sinkang.
Selama sebulan itu, Kwee Lun memperoleh keyakinan bahwa
pemuda Pulau Es ini benar-benar bukan seorang manusia biasa. Tidak tanduknya,
bicaranya, pandang matanya, dan betapa pemuda itu dapat mengerti ilmu silatnya
lebih sempurna daripada dia sendiri!
Maka ketika tiba saatnya berpisah, dia tanpa ragu-ragu
menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong!
"Harap jangan berlebihan, Kwee-toako," kata Sin
Liong.
"Wah, Toako. Apa-apaan ini?" Swat Hong juga
mencela.
"Kwa-taihiap, saya boleh dibilang adalah murid
Taihiap. Dan Han-lihiap, agaknya belum tentu selama hidupku akan dapat bertemu
lagi dengan Ji-wi (Kalian). Perkenankan saya, Kwee Lun, menghaturkan terima
kasih dan selama hidup saya tidak akan melupakan Ji-wi!"
"Hushhhh..... sudahlah, Toako. Kita berpisah di
sini. Engkau ke selatan dan kami akan terus ke timur. Mari, Sumoi, kita
lanjutkan perjalanan,"
Swat Hong beberapa kali menengok dan melihat Kwee Lun
masih berlutut dengan mata basah air mata! Dia pun terharu, akan tetapi tidak
lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah dari Kwee Lun hampir dua tahun
yang lalu, kini Sin Liong, suhengnya, pria yang dicintainya, berada di
sampingnya. Tidak ada lagi perkara apa pun di dunia ini yang dapat menyusahkan
hatinya lagi!
***
Sudah terlalu lama kita meninggalkan BuSwi Nio dan Lie
Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh Swat Hong untuk menyelamatkan
pusaka-pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan Swat Hong bahwa mereka itu bertindak
curang, mengangkangi sendiri pusaka-pusaka yang secara kebetulan terjatuh
ketangan mereka itu? Sama sekali tidak demikian dan mari kita mengikuti
perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan kota raja.
Malam hari itu, mereka berhasil lolos keluar dari kota
raja dan semalam suntuk terus melarikan diri ke barat. Pada keesokan harinya,
dengan tubuh lesu dan lelah, mereka sudah tiba jauh dari kota raja dan selagi
mereka hendak mengaso, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang.
Mereka terkejut dan cepat menyelinap ke dalam semak-semak untuk bersembunyi.
Akan tetapi, empat orang yang menunggu kuda itu sudah melihat mereka dan begitu
tiba di tempat itu, mereka meloncat turun, mencabut senjata dan seorang di
antara mereka berseru,
"Dua orang pengkhianat rendah, keluarlah!"
Dari tempat persembunyian mereka, Swi Nio dan Toan Ki
mengenal empat orang itu. Mereka adalah bekas-bekas teman mereka ketika masih
membantu An Lu Shan dahulu di masa "perjuangan". Karena mengenal
mereka dan tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang dahulu juga
membantu pemberontakan karena sakit hati kepada kelaliman Kaisar, Swi Nio dan
Toan Ki meloncat keluar. Liem Toan Ki tersenyum memandang kepada kakek berusia
lima puluh tahun yang memimpin rombongan empat orang itu.
Kakek ini bernama Thio Sek Bi, murid dari seorang tokoh
kang-ouw kenamaan, yaitu Thian-tok Bhong Sek Bi! Adapun tiga orang yang lain
adalah orang-orang kang-ouw yang agaknya tunduk kepada Thio Sek Bi ini, namun
menurut pengetahuan Toan Ki, kepandaian mereka tidaklah perlu dikhawatirkan.
Hanya orang she Thio ini lihai.
"Thio-twako, kita sama mengerti bahwa perjuangan
kita hanya untuk menghalau Kaisar lalim. Urusan kami di istana The Kwat Lin
sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan perjuangan. Harap Toako tidak
mencampuri urusan pribadi dan suka mengalah, membiarkan kami pergi dengan
aman."
"Ha-ha-ha-ha! Liem Toan Ki, enak saja kau bicara!
Setelah berhasil memperoleh pusaka-pusaka keramat, mau lolos begitu saja dan
melupakan teman! Kami berempat tentu akan menerima uluran tanganmu yang
bersahabat kalau saja persahabatan itu kau buktikan dengan membagikan sebagian
pusaka itu. Demikian banyaknya, buat apa bagi kalian? Membagi sedikit kepada
kawan, sudah sepatutnya, ha-ha!"
Thio Sek Bi berkata sambil menudingkan senjata toya
ditangannya ke arah punggung Toan Ki, di mana terdapat buntalan pusaka yang
dititipkan kepadanya oleh Swat Hong.
"Ya, sebaiknnya bagi rata, bagi rata antara teman
sendiri, Saudara Liem Toan Ki dan Nona Bu Swi Nio!" kata orang ke dua
sedangkan teman-temannya juga mengangguk setuju.
Toan Ki terkejut. Mengertilah dia bahwa tentu empat ini
malam tadi ikut mengepung dan mereka mendengar penitipan pusaka itu oleh Swat
Hong , maka mereka lalu diam-diam mengejar sampai di hutan ini.
"Hem, saudara-saudara. Kalau kalian tahu bahwa ini
adalah pusaka tentu kalian tahu pula bahwa ini bukanlah milikku, dan aku hanya
dititipi saja dan tidak berhak membagi-bagikan kepada siapapun juga."
"Ha-ha-ha! Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu?
Pusaka-pusaka dari Pulau Es yang hanya dikenal di dunia kang-ouw sebagai dalam
dongeng telah berada di tangan kalian dan kalian benar-benar tidak
menghendakinya? Bohong!" kata Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek.
"Bohong atau tidak, apa yang dikatakan oleh Ki-koko
adalah tepat! kami tidak kan membagi pusaka kepada kalian atau siapapun juga.
Habis kalian mau apa?"
Bu Swi Nio membentak sambil mencabut pedangnya.
"Ha-ha, wah lagaknya! Kalau begitu, pusaka itu akan
kami rampas dan kalian berdua, mati atau hidup, akan kami seret kembali ke kota
raja!"
Kata Thio Sek Bi sambil memutar toyanya, diikuti oleh
tiga orang kawannya. Swi Nio dan Toan Ki menggerakan senjata dan melawan dengan
mati-matian. Ilmu toya yang dimainkan oleh Thio Sek Bi amat hebat dan aneh
karena dia adalah murid dari Thian-tok. Thian-tok terkenal sebagai seorang ahli
racun dan sebagai pemuja tokoh dongeng Kauw-cee-thian Si Raja Monyet, maka yang
paling hebat di antara ilmu silatnya adalah ilmu silat toya panjang yang
disebut Kim-kauw-pang seperti senjata tokoh dongeng Kau-cee-thian sendiri!
Muridnya ini, biarpun senjatanya toya, namun dimainkan
dengan gerakan yang amat aneh dan sebentar saja Toan Ki sudah terdesak olehnya.
Namun, Liem Toan Ki adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki dasar ilmu
yang bersih dan kuat. Selain itu, dia sudah mempunyai banyak pengalaman, bahkan
tidak ada yang tahu bahwa dia adalah murid Hoa-san-pai karena selain dia tidak
pernah mengaku karena takut membawa-bawa nama Hoasan- pai dengan pemberontakan,
juga ilmu silatnya sudah dia campur dengan ilmu silat lain sehingga tidak
kentara benar.
Dengan gerakan pedang yang indah dan cepat, dia dapat
menjaga diri dari desakan toya di tangan Thio Sek Bi. Di lain pihak, Swi Nio
yang menghadapi pengeroyokan tiga orang itu, tidak mengalami banyak kesulitan.
Wanita muda ini pernah digembleng oleh The Kwat Lin, sedikit banyaknya telah
mewarisi ilmu yang dahsyat dari wanita itu, maka kini dikeroyok oleh tiga orang
lawan yang tingkatnya dibawah dia, tentu saja dia dengan mudah dapat
mempermainkan mereka. Terdengar Swi Nio mengeluarkan suara melengking
berturut-turut seperti yang biasa dikeluarkan oleh The Kwat Lin, dan tiga orang
lawannya roboh berturut-turut dan terluka parah, tidak mampu melawan lagi.
Sambil melengking keras, Swi Nio meloncat dan membantu kekasihnya yang terdesak
oleh toya Thio Sek Bi.
"Cring! Tranggggg......!"
Swi Nio terhuyung, akan tetapi Thio Sek Bi merasa betapa
telapak tangannya panas. Liem Toan Ki tidak menyia-nyiakan kesempatan itu,
menubruk maju dan memutar pedangnya kemudian dibantu oleh kekasihnya dia terus
mendesak sehingga permainan toya dari murid Thian-tok itu menjadi kacau.
Akhirnya, tiga puluh jurus kemudian, robohlah Thio Sek Bi, lengan kanannya
terbacok dan terluka parah, juga pundak kirinya terobek ujung pedang Swi Nio.
BAB 24
"Lekas.....! Kita pakai kuda mereka!" Liem Toan
Ki berkata kepada kekasihnya. Swi Nio menyambar kendali dua ekor kuda terbaik,
sedangkan Toan Ki lalu mencambuk dua ekor kuda yang lain sehingga
binatang-binatang itu kabur ketakutan. Kemudian mereka meloncat ke atas
punggung kuda rampasan itu dan membalapkan kuda meninggalkan tempat itu.
"Mestinya mereka itu dibunuh, akan tetapi aku tidak
tega melakukannya," kata Toan Ki.
"Benar, belum tentu mereka itu jahat."
"Moi-moi, berhenti dulu," tiba-tiba Toan Ki
berkata. Swi Nio menahan kudanya dan melihat kekasihnya seperti orang bingung.
"Ada apakah?"
"Tidak baik kalau kita menuruti permintaan Nona Han
Swat Hong pergi ke Awan Merah."
Bu Swi Nio mengerutkan alisnya dan memandang kepada
kekasihnya dengan penuh selidik. Selama ini, dia selain mencinta, juga kagum
dan percaya penuh kepada kekasihnya yang dianggapnya seorang pria yang gagah
perkasa dan patut dibanggakan. Akan tetapi sekarang dia memandang penuh curiga.
jangan-jangan kekasihnya juga ketularan penyakit seperti empat orang tadi,
menginginkan pusaka Pulau Es!
Biarpun dia sendiri belum pernah membuka-buka
pusaka-pusaka itu, namun dia maklum bahwa pusaka-pusaka Pulau Es yang berada di
tangan gurunya adalah pusaka yang tak ternilai harganya, benda keramat yang
tentu mengandung ilmu-ilmu mukjizat!
"Kenapa..apa maksudmu?"
Mendengar nada suara kekasihnya, Toan Ki mengangkat muka
memandang. Mereka bertemu pandang dan Toan Ki tersenyum, memegang tangan
kekasihnya dan mencium tangan itu.
"Ihhhh! kau berdosa padaku, memandang penuh curiga
seperti itu!" katanya tertawa.
"Tidak, Moi-moi, tidak ada pikiran yang bukan-bukan
di dalam hatiku. Aku hanya teringat akan bahaya besar kalau kita ke Awan Merah.
Thio Sek Bi tadi adalah murid Thian-kok, sedangkan Thian-kok adalah suheng dari
Puncak Awan Merah di Tai-hang-san! Kalau murid dari Sang Suheng seperti Thio
Sek Bi tadi, apakah kita dapat mengharapkan sute akan lebih baik? Jangan-jangan
kita seperti ular-ular menghampiri penggebuk!"
"Sialan! Kau samakan aku dengan ular? Koko, kalau
begitu, bagaimana baiknya sekarang?"
Swi Nio menghentikan kelakarnya karena menjadi khawatir
juga.
"Swi-moi, tugas yang kita pikul bukanlah ringan.
Apalagi karena agaknya sudah banyak yang tahu bahwa kita berdualah yang
memegang pusaka-pusaka Pulau Es, maka kurasa langkah-langkah kita tentu akan dibayangi
orang-orang kang-ouw yang ingin merampas Pusaka Pulau Es. Ke mana pun kita
pergi, kita tentu akan dicari oleh mereka."
Swi Nio menjadi pucat. Baru dia sadar betapa berat dan
berbahaya tugas mereka.
"Aihh, kalau begitu bagaimana baiknya?�?
"Tidak ada jalan lain kecuali berlindung ke Hoa-san.
Aku akan minta bantuan Hoa-san-pai agar suka menerima kita bersembunyi di sana
dan menyembunyikan pusaka di sana. Hanya Hoa-sa n-pai saja yang dapat kupercaya
dan kiranya tidak sembarangan orang berani main gila di Hoa-san-pai."
"Engkau benar, Koko dan aku setuju sekali. Akan
tetapi, bagaimana nanti kalau yang mempunyai pusaka ini menyusul kita ke Puncak
Awan Merah dan tidak mendapatkan kita di sana?"
"Lebih baik begitu dari pada mendapatkan kita di
sana tanpa pusaka lagi, atau mendengar bahwa kita tewas dan pusaka dirampas
orang! Sebagai orang-orang yang sakti, tentu mereka akan dapat mencari kita
atau menduga bahwa aku berlindung ke Hoa-san-pai. Mari kita berangkat, Moi-moi,
hatiku tidak enak sebelum kita tiba di Hoa-san."
Demikianlah, dua orang itu lalu bergegas melanjutkan
perjalanan ke Hoa-san. Setelah tanpa halangan mereka tiba di bukit itu, Toan Ki
mengajak kekasihnya langsung menghadap ketua Hoa-san-pai yang terhitung
twa-supeknya sendiri yang tidak pernah dijumpainya. Setelah bertemu dengan Kong
Thian Cu, ketua Hoa-san-pai pada waktu itu, seorang kakek tinggi kurus yang
bersikap lemah lembut dan rambutnya sudah putih semua, serta merta kedua orang
muda itu menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu Liem Toan Ki menghaturkan hormat kepada
Twa-supek," kata Toan Ki.
"Teecu Bu Swi Nio menghaturkan hormat kepada
Locianpwe," kata Swi Nio penuh hormat. Kakek itu mengangguk-angguk.
"Duduklah dan bagaimana engkau dapat menyebut pinto
sebagai Twa supek, orang muda?"
"Teecu adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang membuka
perguruan silat di Kun-min dan menurut Suhu, katanya beliau adalah sute dari
Twa-supek yang menjadi ketua di Hoa-san-pai, sungguhpun Suhu berpesan agar
teecu tidak menyebut-nyebut nama Hoa-san-pai kepada siapapun juga."
Kakek itu kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang,
mengelus jenggotnya dan kembali mengangguk-angguk.
"Tan-sute memang murid Suhu, akan tetapi sayang,
pernah dia membuat mendiang Suhu marah dan mengusirnya. Padahal bakatnya baik
sekalli. Kiranya dia membuka perguruan silat? Dan dia pesan agar muridnya tidak
membawa nama Hoa-san-pai? Bagus, ternyata dia jantan juga. Di manakah dia
sekarang dan bagaimana keadaannya?"
"Suhu telah tewas dalam keadaan penasaran, difitnah
pembesar sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman mati."
"Ahhh....!"
"Karena itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga
menderita karena orang tua teecu juga menjadi korban keganasan pembesar
pemerintah, lalu ikut berjuang bersama An Lu Shan, kemudian setelah berhasil
tecu mengundurkan diri karena teecu tidak menghendaki kedudukan apa-apa.
Apalagi melihat betapa An Goanswe menerima bantuan orang-orang dari kaum sesat,
maka teecu mengundurkan diri."
"Bagus, baik sekali engkau mengambil keputusan itu,
karena biarpun engkau tidak menyebut nama Hoa-san- pai, namun pinto akan ikut
merasa menyesal kalau ada orang yang mewarisi kepandain Hoa-san-pai
mempergunakan kepandaian itu untuk urusan pemberontak. Sekarang engkau bersama
Nona ini datang menghadap pinto ada keperluan apakah?"
"Teecu datang untuk mohon pertolongan Twa-supek.
Nona ini adalah tunangan teecu, dia puteri dari mendiang Lu-san Lojin."
"Siancai....! Lu-san Lojin sudah meninggal? Pinto
pernah bertemu satu kali dengan ayahmu, Nona. Seorang yang gagah perkasa!"
Kemudian kakek ini menoleh kepada Liem Toan Ki dan
bertanya,
"Pertolongan apakah yang kalian harapkan dari
pinto?"
Dengan terus terang tanpa menyembunyikan sesuatu Liem
Toan Ki lalu menceritakan tentang penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es,
betapa kemudian puteri Pulau Es telah menitipkan Pusaka Pulau Es kepada mereka
berdua, kemudian betapa mereka dihadang orang jahat yang hendak merampas pusaka
dan mereka mengambil keputusan untuk bersembunyi di Hoa-san-pai.
Kakek itu menjadi bengong mendengar penuturan panjang
lebar itu, beberapa kali memandang ke arah buntalan di punggung Toan Ki dan
memandang wajah mereka berdua seperti orang yang kurang percaya.
"Siancai.... kalau tidak melihat wajah kalian berdua
yang agaknya bukan orang gila dan bukan pembohong, pinto sukar untuk percaya
bahwa kalian telah bertemu bahkan bertanding bahu-membahu dengan orang-orang
Pulau Es! Pinto kira bahwa nama Pulau Es hanya terdapat dalam dongeng
belaka."
"Karena teecu yakin bahwa tentu orang-orang di dunia
kang-ouw akan saling berebut untuk merampas pusaka-pusaka ini, maka teecu
berdua mengambil keputusan untuk berlindung di Hoa-san-pai sampai yang berhak
atas pusaka-pusaka itu datang mengambilnya."
Sampai lama kakek itu termenung dan menundukan kepalanya,
dipandang dengan hati gelisah dan tegang oleh Toan Ki dan Swi Nio. Akhirnya
kakek itu mengangkat mukanya memandang dan berkata, suaranya bersungguh-sungguh.
"Selamanya Hoa-san-pai menjaga nama dan kehormatan
sebagai partai orang-orang gagah. Entah berapa banyak anak murid Hoa-san-pai
tewas dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan, bahkan ada pula yang tewas
tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di mana tewasnya seperti Ke-esan Ngo-han,
lima orang murid pinto yang dahulu bertugas melindungi Sin-tong....."
"Aihhhh....!!"
Tiba-tiba Swi Nio mengeluarkan teriakan tertahan dan
ketika kakek itu memandang kepadanya, dia cepat berkata,
"Mendiang Subo adalah bekas ratu Pulau Es yang
menyeleweng dan bersekutu dengan Kiam-mo Cai-li Liok Si memberontak kepada
pemerintah. Pernah teecu mendengar penuturan Subo ketika menceritakan kelihaian
Kiam-mo Cai-li bahwa Kee-san Ngo-hohan terbunuh oleh Kiam-mo Cai-li itu."
Ketua Hoa-san-pai itu kelihatan terkejut dan sinar
matanya menjadi keras,
"Hemm, kiranya iblis betina itu yang membunuh
murid-murid pinto....! "
"Akan tetapi iblis itu telah tewas di tangan Nona
Han Swat Hong puteri Pulau Es yang menitipkan pusaka kepada teecu berdua,
Twa-supek,"
Toan Ki berkata. Kakek itu mengangguk-angguk dan
mendengarkan penuturan mereka berdua tentang penyerbuan hebat di kota raja, di
dalam istana dari The Kwat Lin, bekas Ratu Pulau Es yang minggat dan melarikan
Pusaka-pusaka Pulau Es itu.
"Kalau begitu, sudah sepatutnya kalau Hoa-san-pai
membantu para penghuni Pulau Es. Kalian boleh tinggal di sini dan biarlah
Hoa-san-pai yang melindungi kalian dan pusaka-pusaka itu sampai yang berhak
datang mengambilnya."
"Sebelumnya teecu berdua menghaturkan banyak terima
kasih atas kebijaksanan dan kemuliaan hati Twa-supek. dan teecu ingin
mengajukan permohonan ke dua......" Kakek itu tersenyum.
"Permohonanmu yang paling hebat, menegangkan dan
berbahaya telah pinto terima dan urusan pusaka ini hanya kita bertiga saja yang
mengetahuinya, tidak boleh kalian bocorkan keluar agar tidak menimbulkan
keributan, sekarang, ada permohonan apa lagi yang hendak kau kemukakan?"
"Teecu...... mohon .....karena teecu berdua sudah
tidak mempunyai keluarga lagi, dan teecu berdua sudah cukup lama bertunangan,
maka.... teecu mohon berkah dan doa restu Twa-supek untuk menikah di
sini."
Toan Ki yang hidupnya sudah penuh dengan segala macam
pengalaman hebat itu, tidak urung tergagap ketika mengucapkan permintaan ini,
sedangkan Bu Swi Nio menundukkan mukanya yang menjadi mereh sekali. Kong
Thian-cu tertawa bergelak, lalu berkata,
"Pernikahan adalah peristiwa amat menggembirakan.
Tentu saja pinto suka sekali memenuhi permintaan ini. Liem Toan Ki, engkau
adalah murid Hoa-san-pai pula, tentu saja engkau berhak untuk menikah di sini,
disaksikan oleh semua murid Hoa-san-pai yang berada di sini."
Demikianlah, Pusaka-pusaka Pulau Es yang di rahasiakan
itu disimpan oleh Kong Thian-cu sendiri di dalam kamar pusaka yang tersembunyi,
tidak ada anggauta Hoa-san-pai lain yang mengetahuinya dan sebulan kemudian
diadakanlah perayaan sederhana namun khidmat untuk melangsungkan upacara
pernikahan antara Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Pada malam pertama pernikahan
itu Bu Swi Nio menangis di atas dada suaminya, menangis dengan penuh keharuan,
kedukaan yang bercampur dengan kegembiraan mengenangkan semua pengalamannya,
kematian ayahnya dan kakaknya, malapetaka yang menimpa dirinya ketika dalam
keadaan mabok dan tidak ingin diri dia diperkosa oleh Pangeran Tan Sin Ong.
Dia memeluk suaminya dan berterima kasih sekali karena
dia dapat membayangkan bahwa kalau tidak ada pria yang kini menjadi suaminya
dengan syah dan terhormat ini tentu dia sudah membunuh diri dan andai kata
dalam keadaan hiduppun ia akan mendrita aib dan terhina.
Sampai dua tahun suami isteri yang saling mencinta dan
berbahagia ini hidup di Hoa-san-pai, menjadi anggota-anggota dan anak murid
Hoa-san-pai yang tekun berlatih dan rajin bekerja. Akan tetapi mereka gelisah
sekali karena sampai selama ini, Han Swat Hong atau lain tokoh Pulau Es tidak
ada yang muncul bahkan gadis luar biasa dari Pulau Neraka, Ouw Soan Cu, juga
tidak muncul. Tentu saja hati mereka akan menjadi lebih lega dan bebas dari
kekhawatiran kalau saja pusaka-pusaka Pulau Es itu sudah diambil oleh yang
berhak dan tidak menjadi tanggung jawab mereka.
Lebih hebat lagi kegelisahan hati mereka ketika pada
suatu hari Ketua Hoa-san-pai, Kong Thian-cu yang sudah tua itu, meninggal dunia
karena sakit. Sebelum meninggal dunia, Kong Thian-cu memberitahukan di mana dia
menyembunyikan pusaka-pusaka itu yang tidak diketahui orang lain. Setelah Kong
Thian-cu meninggal dunia, kedudukan Ketua Hoa-san-pai digantikan oleh seorang
tokoh Hoa-san-pai lain, terhitung sute dari Kong Thian-cu yang telah menjadi seorang
tosu yang saleh, berjuluk Pek Sim Tojin. Ketua yang baru ini pun tidak tahu
akan rahasia Pusaka Pulau Es, sehingga kini rahasia pusaka itu seluruhnya
menjadi tangung jawab Liem Toan Ki dan isterinya. Biarpun selama dua tahun itu
tidak terjadi sesuatu, namun hati suami isteri ini selalu merasa tidak
tenteram. Bahkan mereka berdua seringkali merundingkan bagaimana baiknya.
Hendak meninggalkan Hoa-san-pai dan mencari Swat Hong, mereka tidak berani
meninggalkan Hoa-san-pai di mana pusaka itu disimpan, juga mereka tidak tahu ke
mana harus mencari Han Swat Hong.
Tinggal diam saja di Hoa-san mereka merasa makin lama
makin gelisah. Selama itu, tidak ada satu kali pun mereka berani memeriksa
pusaka yang disimpan di tempat yang amat rapat di kamar pusaka oleh mendiang
Kong Thian-cu. Akhirnya mereka terpaksa menahan diri, dan saling berjanji bahwa
kalau setahun lagi pemilik pusaka yang sah tidak muncul, mereka akan menghadap
Pek Sim Tojin, menceritakan dengan terus terang dan menyerahkan pusaka itu
untuk dipelajari bersama sehingga dengan demikian pusaka itu ada manfaatnya
demi kemajuan dan kebaikan Hoa-san-pai sendiri.
***
"Suheng, kita berhenti istirahat dulu di sini!"
Swat Hong berkata. Sin Liong menoleh kepada dara itu,
tersenyum dan berkata,
"Engkau lelah, Sumoi?" Swat Hong mengangguk dan
Sin Liong menghentikan langkahnya, lalu keduanya duduk dibawah sebatang pohon
besar di lereng bukit itu. Tempat perhentian mereka itu ditepi jalan yang
merupakan lorong setapak, di sebelah kiri terdapat dinding bukit, di sebelah
kanan jurang yang amat curam. Pemandangan di seberang jurang amatlah indahnya,
tamasya alam yang tergelar di bawah kaki mereka, sehelai permadani hidup yang
permai dengan segala macam warna berselang-seling, kelihatan kacau namun
menyedapkan pandangan karena di dalam kekacauan itu terdapat keselarasan yang
wajar.
Sawah ladang bekas hasil tangan manusia berpetak-petak,
digaris oleh sebatang sungai yang berbelok-belok, dengan rumpun di sana-sini
diseling pohon-pohon besar yang masih bertahan di antara perobahan yang
dilakukan oleh tangan-tangan manusia. Sebatang pohon yang daun-daunnyatelah
menguning dan banyak yang rontok, kelihatan menyendiri dan menonjol di antara
segala tumbuh-tumbuhan menghijau , dan seolah-olah segala keindahan berpusak
kepada pohon menguning hampir mati itu. Matahari yang berada di atas kepala
tidak menimbulkan bayangan-bayangan sehingga haritampak cerah sekali. Sinar
matahari dengan langsung dan bebas menyinari bumi dan segala yang berada di
atasnya, terang menderang tidak ada gangguan awan.
Di dalam keheningan itu, Swat Hong dapat melihat ini
semua. Ketika tanpa disengaja tangannya yang digerakkan untuk menyeka keringat
bertemu dengan lengan Sin Liong, barulah dia sadar akan dirinya dan
sekelilingnya. Dan dia terheran. Semenjak dia bertemu dengan suhengnya dan
melakukan perjalanan ini, seringkali dia tenggelam ke dalam keindahan yang amat
luar bias, yang sukar dia ceritakan dengan kata-kata. Dia merasa tenteram,
tenang dan penuh damai sungguhpun suhengnya jarang mengeluarkan kata-kata. Dia
seperti merasa betapa diri pribadi suhengnya bersinar cahaya yang hangat dan
aneh, terasa ada getaran yang ajaib keluar dari pribadi suhengnya yang
mempengaruhinya dan mendatangkan suatu perasaan yang menakjubkan, yang mengusir
segala kekesalan, segala kerisauan, dan segala kedukaan.
Sudah beberapa kali dia ingin mengutarakan ini kepada
suhengnya, namun setiap kali dia hendak bicara, mulutnya seperti dibungkamnya
sendiri oleh keseganan yang timbul dari perasaan halus dan lembut terhadap
suhengnya itu, sesuatu yang belum pernah dirasakannya semula. Dia mencinta
suhengnya, ini sudah jelas. Namun sekarang timbul perasaan lain yanglebih agung
daripada sekedar cinta biasa, perasaan yang membuat dia penuh damai.
"Suheng......." Dia memberanikan hatinya
berkata.
"Ya......?"
Sin Liong mengangkat muka memandangnya sambil tersenyum.
Senyumnya begitu lembut penuh kasih, pandang matanya begitu bersinar penuh
pengertian sehingga Swat Hong merasa betapa seolah-olah sebelum dia bicara,
suhengnya itu telah tahu apa yang terkandung di dalam hatinya! Inilah yang
biasanya membuat membungkam dan tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Kini dia
mengeraskan hati dan berkata dengan suara lirih,
"Suheng, kita akan ke manakah?"
"Ke Hoa-san, sudah kuberitahukan kepadamu,"
jawabnya sederhana.
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka berada di
Hoa-san?"
Sin Liong tersenyum, senyum cerah, secerah sinar matahari
di saat itu, senyum yang bebas dan wajar tidak menyembunyikan sesuatu tidak
membawa arti sesuatu.
"Sumoi, pusaka itu kau berikan kepada Liem Toan Ki
dan tunangannya, dan karena Liem Toan Ki adalah murid Hoa-san-pai, maka tentu
saja mereka berada di Hoa-san."
Swat Hong mengangguk-angguk, memang dia tahu bahwa Toan
Ki adalah murid Hoa-san, akan tetapi dia lupa bahwa dia tidak pernah
menceritakan hal ini kepada suhengya!
"Bagaimana kalau mereka tidak berada si sana,
Suheng?"
Kembali senyum itu. Senyum seorang yang begitu pasti
lebih agung daripada sekedar cinta biasa, perasaan yang membuat dia penuh
damai.
"Sumoi, apakah gunanya memikirkan hal-hal yang belum
terjadi? Membayangkan hal-hal yang belum terjadi adalah permainan buruk dari
pikiran, karena hal itu hanya akan menghasilkan kecemasan dan kekhawatiran
belaka. Apa yang akan terjadi kelak kita hadapi sebagaimana mestinya kalau
sudah terjadi di depan kita."
Setelah tubuh mereka beristirahat dengan cukup, keduanya
lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Hoasan. Makin lama Swat Hong makin
mendapat kesan bahwa suhengnya benar-benar telah berubah, jahu bedanya dengan
dahulu. Pada suatu hari, ketika mereka tiba di kaki Pegunungan Hoa-san dan
beristirahat, Swat Hong tidak dapat menahan rasa keinginan tahunya dan dia
berkata,
"Suheng, setelah dua tahun berpisah denganmu dan
berjumpa kembali, aku memperoleh kenyataan bahwa engkau telah berubah
sekali!"
"Begitukah, Sumoi?"
"Aku tidak tahu apanya yang berubah, memang
kelihatannya engkau masih biasa sepeti dulu, Suhengku yang sabar, tenang dan
bijaksana. Akan tetapi entahlah, engkau berubah benar, sungguhpun aku sendiri
tidak dapat mengatakan apanya yang berubah." Sin Liong tersenyum dan sinar
matanya berseri.
"Memang setiap manusia seyogianya mengalami
perubahan, Sumoi. Kita masing-masing haruslah berubah, tidak terikat dengan
masa lalu, dengan segala macam kebiasaan masa lalu, setiap hari, setiap detik
kita haruslah baru! Kalau demikian, barulah hidup ada artinya!"
Swat Hong hendak berkata lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin
Liong memegang tangannya dan mengajaknya bangkit berdiri lalu berlahan-lahan
melanjukan perjalanan mulai mendaki bukit pertama. Ketika Swat Hong hendak
menanyakan sikapyang tiba-tiba ini dari suhengnya, dia mendengar suara orang
dan tampaklah olehnya banyak orang berbondong-bondong naik ke pegunungan
Hoa-san, datangnya dari berbagai penjuru. Mereka itu terdiri dari bermacam
orang, dengan pakaian yang bermacam-macam pula, namun jelas bahwa rata-rata
memiliki gerakan yang ringan dan tangkas dan mudah bagi Swat Hong untuk
mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang kang-ouw! Melihat kenyataan bahwa
tidak ada di antara mereka yang memperhatikan Sin Liong dan Swat Hong, hanya
memandang sepintas lalu saja seperti mereka itu saling memandang, tahulah Swat
Hong bahwa mereka itu bukan merupakan satu rombongan, melainkan terdiri dari
banyak rombngan sehingga tentu saja mereka mengira bahwa dia dan suhengnya
adalah anggauta rombongan lain.
Hati Swat Hong diliputi penuh pertanyaan. Siapakah mereka
dan apa kehendak mereka itu? Apakah di Puncak Hoa-san terdapat perayaan dan
mereka ini adalah para tamu yang berkujung ke Hoa-san-pai, akan tetapi melihat
sikap suhengnya diam dan tenang saja, Swat Hong merasa malu untuk bertanya dan
teringatlah dia akan kata-kata suhengnya tentang permainan pikiran yang
membayangkan masa depan yang menimbulkan kekhawatiran belaka. Mau tidak mau dia
harus membenarkan karena kini dia merasakan sendiri. Biarlah dia hadapi apa
yang sedang terjadi sebagaimana mestinya dan sebagai apa adanya tanpa
merisaukan hal-hal yang belum terjadi!
Ketika akhirnya mereka tiba di Puncak Hoa-san, di depan
markas perkumpulan Hoa-san-pai yang besar, Swat Hong menjadi terkejut. Di
tempat itu ternyata tidak terdapat perayaan apa-apa dan kini banyak tosu dan
anggauta Hoa-san-pai berkumpul dan berdiri di ruangan depan yang tinggi,
sedangkan di bawah anak tangga, di halaman depan penuh dengan orang-orang
kang-ouw yang bersikap menantang!
Ketika dia melirik ke arah suhengnya, dia melihat Sin
Liong bersikap masih biasa dan tenang, dan suhengnya ini pun memandang ke depan
dengan perhatian sepenuhnya. Maka dia pun lalu memandang lagi dan dia melihat
seorang tosu berambut putih dengan tenang berdiri menghadapi para orang-orang
kang-ouw itu sambil menjura dengan sikap hormat lalu berkata dengan suara halus
namun cukup nyaring,
"Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan kami yang tidak
tahu akan kedatangan Cu-wi maka tidak mengadakan penyambutan sebagaimana
mestinya. Pinto melihat bahwa Cu-wi adalah tokoh-tokoh kang-ouw dari bermacam
golongan dan tingkat, dan pada hari ini berbondong datang mengunjungi
Hoa-san-pai, tidak tahu ada keperluan apakah?"
Swat Hong memandang para orang kang-ouw itu dan
diantaranya banyak tokoh aneh yang tidak dikenalnya itu, dengan heran dia
melihat adanya Siang-koan Houw Tee Tok, tokoh yang tinggal di Puncak Awan Merah
di Tai-hang-san itu!
"Suheng, itu Tee Tok berada pula di sini,"
bisikannya sambil menyentuh lengan suhengnya.
"Aku sudah melihatnya," kata Sin Liong
perlahan,
"Dan yang di sebelah sana itu adalah Bhong Sek Bin
yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit). Bekas suheng dari Tee Tok, dan itu
adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham Ketua kang-jiu-pang di Secuan. yang di sana
itu adalah Lam-hai Seng-jin, tosu majikan Pulau Kura-kura di Lamhai....."
"Guru Kwee-toako?" Sin Liong mengangguk.
Swat Hong memandang penuh perhatian dan terheran-heran
melihat suhengnya mengenal orang-orang yang memiliki julukan aneh-aneh itu.
Thian-he Tee-it berarti Di Kolong Langit Nomer Satu! Dan Lam-hai Seng-jin
berarti Manusia dari laut Selatan!
"Dan itu adalah Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling
Perak), seorang bertapa di Bukit Bengsan dan yang di ujung itu adalah seorang
yang pernah menyerang Pulau Neraka seperti yang pernah kuceritakan kepadamu,
Sumoi. Dialah Tok-gan Hai-liong (Naga Laut Mata Satu) Koan Sek, seorang bekas
bajak laut."
"Wah, begitu banyak orang pandai mendatangi
Hoa-san-pai, ada apakah, Suheng?"
"Kita melihat dan mendengarkan saja."
Sementara itu, ucapan dan pertanyaan Ketua Hoa-san-pai
tadi mendatangkan suasana berisik ketika para pendatang yang jumlahnya ada lima
puluhan orang itu saling bicara sendiri tanpa ada yang menjawab langsung
pertanyaan Ketua Hoa-san-pai. Agaknya mereka itu merasa sungkan dan saling
menanti, menyerahkan jawaban kepada orang lain yang hadir di situ. Betapapun
juga, para tokoh kang-ouw itu merasa segan juga karena Hoa-san-pai terkenal
sebagai sebuah perkumpulan atau partai persilatan yang besar, yang selama ini
tidak pernah mencampuri urusan perebutan kekuasaan atau tidak pernah pula
mencampuri urusan kang-ouw yang tidak ada hubungannya dengan mereka.
Orang-orang Hoa-san-pai terkenal sebagai orang-orang
gagah yang disegani di dunia persilatan, maka tentu saja mereka itu diliputi
perasaan sungkan. Pek Sim Tojin yang berambut putih dan bersikap tenang itu
melihat seorang kakek tinggi besar bermuka tengkorak yang menyeramkan maju ke
depan, maka melihat bahwa belum juga ada yang mau menjawab, dia lalu berkata
ditujukan kepada kakek tinggi besar bermuka tengkorak itu.
"Kalau pinto tidak salah mengenal orang, Sicu adalah
Thian-tok Bhong Sek Bin. Sicu adalah seorang yang amat terkenal di dunia
kang-ouw dan mengingat bahwa kedatangan Sicu pasti mempunyai kepentingan besar,
maka pinti harap Sicu suka berterus terang mengatakan apa keperluan itu."
Thian-tok Bhong Sek Bin menyeringai penuh ejekan.
"Ha-ha-ha, engkau benar, Totiang! Aku adalah Bhong
Sek Bin dan memang bukan percuma jauh-jauh aku datang mengunjungi Hoa-san-pai.
Tentang mereka semua ini aku tidak tahu, akan tetapi kedatanganku adalah untuk
bicara dengan dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Suruh mereka
berdua keluara bicara dengan aku dan aku tidak akan membawa-bawa
Hoa-san-pai!"
Ucapan ini disambut oleh suara berisik lagi di antara
para tamu, bahkan banyak kepala dianggukan tanda setuju dan di sana sini
terdengar teriakan,
"Suruh mereka keluar!"
Pek Sim Tojin mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya
yang putih.
"Pinto tidak menyangkal bahwa di antara anak murid
Hoa-san-pai terdapat dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan isterinya bernama
Bu Swi Nio. Akan tetapi, selama ini mereka adalah murid-murid Hoa-san-pai yang
tekun dan baik, bahkan tidak pernah turun dari Hoa-san, tidak pernah melakukan
keonaran di luar, apalagi membuat permusuhan dengan golongan manapun. Kini
Cu-wi sekalian berbondong datang, agaknya bersatu tujuan untuk menemui mereka!
Pinto sebagai ketua Hoa-san-pai yang bertanggung jawab atas semua sepak terjang
murid-murid Hoa-san-pai, berhak mengetahui apa yang terjadi antara Cu-wi dengan
mereka!"
Hening sejenak dan agaknya semua tamu kembali merasa
sungkan dan ragu-ragu untuk menjawab. Sementara itu, hati Swat Hong terasa
tegang begitu mendengar nama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio disebut-sebut. Dia
menunjukan pandang matanya ke atas ruangan depan, namun di antara para anggauta
Hoa-san-pai, dia tidak meliahat adanya kedua orang itu.
"Suheng...., agaknya mereka benar berada di sini
seperti yang Suheng duga...." bisik Swat Hong dengan hati tegang, akan
tetapi suhengnya memberi isyarat agar dia tenang saja.
"Sumoi, aku berpesan, kalau nanti terjadi apa-apa,
kau serahkan saja kepadaku dan jangan kau ikut turun tangan, ya!"
Dengan penuh kepercayaan akan kemampuan suhengnya, Swat
Hong mengangguk akan tetapi hatinya berdebar penuh ketegangan. Tidak salah
lagi, pikirnya yang menduga-duga, tentu orang-orang kang-ouw ini mencari Liem
Toan Ki dan Bu Swi Nio berhubung dengan Pusaka-pusaka Pulau Es itu! Kalau tidak
demikian apalagi?
Melihat bahwa tidak ada orang yang menjawab pertanyaan
Ketua Hoa-san-pai itu, Thian-he Tee-it Ciang Ham yang datang bersama lima orang
muridnya, mengacungkan tombak di tangan kanannya, ke atas dan berteriak.
"Totiang, sebagai KetuaHoa-san-pai tentu saja kau
berhak mengetahui sepak terjang muridmu, akan tetapi kalau urusan ini tidak
menyangkut Hoa-san-pai, bagaiman kami dapat bicara denganmu? Ini adalah urusan
pribadi, urusan Liem Toan Ki sendiri, maka suruh dia keluar agar kami dapat
bicara dengan dia! Kalau Totiang bersikeras, berarti Hoa-san-pai akan
mencampuri urusan pribadi!"
Berkerut alis Ketua Hoa-san-pai itu. Ucapan tadi, biarpun
tidak secara langsung, sudah merupakan tantangan dan hanya terserah kepada
Hoa-san-pai untuk melayani tantangan itu ataukah tidak. Maka dia tidak mau
bertindak sembrono dan ingin melihat dulu bagaimana duduk perkaranya. Ketua
Hoa-san-pai ini memang belum sempat diberi tahu oleh Liem Toan Ki dan isterinya
tentang pusaka Pulau Es itu.
"Supek, biarlah teecu berdua yang menghadapi
mereka!"
Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah Liem Toan
Ki dan isterinya dari dalam, mereka sudah kelihatan mempersiapkan diri dengan
senjata pedang di pinggang dan pakaian ringkas. Wajah mereka agak pucat, namun
sikap mereka gagah dan tidak jerih. Liem Toan Ki meloncat ke depan, Di atas
ruangan depan itu berdampingan dengan istrinya, menghadapi orang-orang kang-ouw
itu sambil berkata,
"Sayalah Liem Toan Ki dan isteri saya Bu Swi Nio.
Tidak tahu urusan apakah yang membawa Cu-wi sekalian datang mencari kami di
Hoa-san?"
Hiruk pikuklah para tamu itu setelah mereka melihat
sepasang suami isteri muda muncul dari dalam. Pertama-tama yang berteriak
adalah Thian-tok Bhong Sek Bin,
"Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio, kalian telah berani
melukai muridku! Aku baru bisa mengampuni kalian kalau kalian menyerahkan
pusaka-pusaka yang kau bawa itu!"
Liem Toan Ki tersenyum.
"Hemm, kami terpaksa melukai muridmu karena dia
menyerang kami, Locianpwe. Pusaka apa yang Locianpwe maksudkan?"
"Pura-pura lagi, keparat! Pusaka Pulau Es!"
teriak Thian-tok marah.
"Serahkan Pusaka Pulau Es kepada kami!"
"Kepada kami!"
"Bagi-bagi rata!"
"Dijadikan sayembara!"
Macam-macam teriakan para tokoh kang-ouw dan Liem Toan Ki
mengangkat kedua lengannya ke atas.
"Cu-wi sekalian, apa buktinya bahwa kami berdua
menyimpan Pusaka Pulau Es?"
"Orang she Liem, kau masih berpura-pura lagi
bertanya? Aku dan banyak orang melihat betapa gadis Pulau Es itu menyerahkan
pusaka itu kepadamu!"
Tiba-tiba terdengar suara orang yang bukan lain adalah
Thio Sek Bi, murid Thian-tok yang pernah berusaha merampok pusaka itu.
Mendengar ucapan ini dan melihat munculnya murid Thian-tok dan beberapa orang
bekas pengawal yang dulu ikut bertempur di istana The Kwat Lin, tahulah Toan Ki
dan Swi Nio bahwa menyangkal tidak akan ada gunanya lagi.
"Kita harus mempertahankan mati-matian," bisik
Swi Nio kepada suaminya
"Cu-wi sekalian! Kami berdua tidak menyangkal lagi
bahwa memang telah dititipkan kepada kami pusaka oleh Nona Han Swat Hong, dua
tahun yang lalu. Akan tetapi, kami tidak akan menyerahkan pusaka itu kepada
siapapun juga kecuali kepada yang berhak, yaitu Nona Han Swat Hong!"
Teriakan-teriakan hiruk pikuk menyambut ucapan lantang
ini.
"Kalau begitu, kalian akan menjadi tawananku!"
Thian-tok membentak marah sambil melangkah ke depan, akan
tetapi gerakannya ini segera diikuti oleh banyak orang dan jelas bahwa mereka
hendak memperebutkan Liem Toan Ki dan istrinya agar menjadi orang tawanan
mereka, tentu untuk dipaksa menyerahkan pusaka!
"Siancai..... harap Cu-wi bersabar dulu.....!"
Tiba-tiba dengan suara yang halus namun berpengaruh,
Ketua Hoa-san-pai berkata sambil mengangkat kedua tangan ke atas,
"Biarkan pinto bicara dulu!"
"Totiang, kau hendak bicara apa lagi?"
Thian-tok membentak marah, alisnya berdiri dan matanya
melotot.
"Pinto mengaku bahwa urusan pusaka Pulau Es itu sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Hoa-san-pai dan Hoa-san-pai pun tidak
mengetahuinya. Maka sebagai Ketua Hoa-san-pai, pinto hendak bertanya dulu
kepada murid Liem Toan Ki. Ini adalah urusan dalam dari Hoa-san-pai, kiranya
Cu-wi tidak akan mencampurinya!"
Terdengar teriakan-teriakan,
"Silahkan! Silahkan, tapi cepat dan serahkan mereka
kepada kami!"
Pek Sim Tojin lalu menghadapi Liem Toan Ki dan bertanya,
"Toan Ki, apa artinya ini semua? Benarkah kalian
menyembunyikan Pusaka Pulau Es di Hoa-san-pai?"
Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio segera menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki Ketua Hoa-san-pai itu.
Liem Toan Ki segera berkata,
"Harap Supek mengampunkan teecu berdua. Adalah
mendiang Twa-supek yang mengijinkan teecu berdua dan Beliau yang melarang teecu
berdua menceritakan kepada siapapun juga, bahkan Beliau yang membantu teecu
berdua dalam hal ini. Karena sekarang mereka telah mengetahuinya dan hendak
menggunakan paksaan, biarlah teecu berdua menghadapinya sendiri tanpa
membawa-bawa Hoa-san-pai."
Setelah berkata demikian, Toan Ki dan Bu Swi Nio meloncat
bangun, mencabut pedang dan berkatalah Toan Ki dengan suara lantang,
"Haiiii, kaum kang-ouw dengarlah! Urusan ini adalah
urusan kami berdua suami isteri, bukan sebagai murid Hoa-san-pai, maka kalau
kalian begitu tidak tahu malu hendak merampas Pusaka Pulau Es, biar kami
menghadapi kalian sampai titik darah penghabisan!"
"Keparat, aku tidak membiarkan kau mapus sebelum
kalian menyerahkan pusaka itu."
Thian-tok membentak.
"Tahan!" Tiba-tiba Pek Sim Tojin membentak dan
sikapnya angker sekalil.
"Cu-wi sekalian sungguh terlalu, memperebutkan
pusaka milik orang lain dan sama sekali tidak memandang mata kepada
Hoa-san-pai, hendak membikin ribut di sini. Siapa saja tidak akan pinto ijinkan
untuk menggunakan kekerasan di Hoa-san-pai!"
"Tepat sekali! Aku Tee-tok Siangkoan Houw pun bukan
seorang yang tak tahu malu! Aku tidak akan memperbolehkan siapapun menjamah
Pusaka Pulau Es yang menjadi milik Nona Han Swat Hong!"
Tiba-tiba tokoh Tai-han-san yang tinggi besar itu sudah
melompat ke atas ruangan luar dan mendampingi Toan Ki dan Swi Nio dengan sikap
gagah!
"Ha-ha-ha, itu baru namanya laki-laki sejati!
Tee-tok, kau membikin aku merasa malu saja! Aku pun tua bangka yang tidak
berguna mana ingin memperebutkan pusaka orang lain? Aku pun tidak membiarkan
siapa pun memperebutkan pusaka itu!"
Lam-hai Seng-jin, guru Kwee Lun, tosu yang bersikap halus
dengan tangan kiri memegang kipas dan tangan kanan memegang hudtim, telah
melangkah ke ruangan depan mendampingi Tee-tok.
"Masih ada aku yang menentang orang-orang kang-ouw
tak tahu malu hendak merampas pusaka orang!"
Tampak bayangan berkelebat disertai suara halus
melengking dan diruang depan itu nampak Gin-siauw Siucai Si Sastrawan yang
bersenjata suling perak dan mauwpit!
Melihat ini Thian-tok tertawa bergelak dengan hati penuh
kemarahan, apalagi melihat bekas sutenya, Tee Tok, mempelopori lebih dulu
membela Hoa-san-pai dan murid Hoa-san-pai yang membawa Pusaka Pulau Es yang
amat dikehendakinya.
"Ha-ha-ha! Kalian pura-pura menjadi pendekar
budiman? Hendak kulihat sampai di mana kepandaian kalian!"
Thian-tok sudah lari ke depan, diikuti oleh banyak tokoh
kang-ouw lagi dan dapat dibayangkan betapa tentu sebentar akan terjadi perang
kecil yang amat hebat antara para anggauta Hoa-san-pai dibantu oleh tiga tokoh
kang-ouw itu melawan para orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka.
"Tahan....!"
Seruan ini halus dan ramah, tidak mengandung kekerasan
sesuatu pun, akan tetapi anehnya, semua orang merasa ada getaran yang membuat
mereka menghentikan gerakan mereka mencabut senjata dan kini semua mata memandang
ke arah ruangan depan itu karena tadi ada berkelebat dua sosok bayangan orang
ke arah situ. Ternyata Sin Liong dan Swat Hong telah berdiri di ruangan depan
markas Hoa-san-pai.
Dengan sikap tenang sekali Sin Liong menghadapi semua
orang, terutama sekali memandang tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang hadir,
dan yang semua memandang kepadanya dengan mata terbelalak, kemudian terdengar
pemuda ini berkata,
"Cu-wi Locian-pwe mengapa sejak dahulu sampai
sekarang gemar sekali memperebutkan sesuatu?"
Thian-tok Bhong Sek Bin yang berwatak kasar memandang
dengan terbelalak, demikian pula Thian-he Tee-it Ciang Ham, Lam-hai Seng-jin,
Gin-siauw Siucai dan para tokoh lain yang belasan tahun lalu pernah hendak
memperebutkan bocah ajaib, Sin-tong yang bukan lain adalah Sin Liong sendiri.
Mereka merasa kenal dengan pemuda ini, akan tetapi lupa lagi. "Ka......
kau siapakah.....?" akhirnya Thian-tok bertanya.
"Ha-ha-ha, kalian lupa lagi siapa dia ini?"
Tiba-tiba Tee Tok Siangkoan Houw berseru keras, hatinya
girang dan lega bukan main bahwa dia tadi tidak ragu-ragu melindungi Pusaka
Pulau Es. Melihat munculnya pemuda yang dia tahu memiliki kelihaian yang luar
biasa itu, dia girang sekali.
"Coba lihat dengan baik-baik, belasan tahun yang
lalu di lereng Pegunungan jeng-hoa-san kalian juga memperebutkan sesuatu. Siapa
dia?"
"Sin-tong....!"
"Bocah ajaib......!!"
Teringatlah mereka semua dan kini memandang Sin Liong
dengan mata terbelalak.
"Mau apa kau datang ke sini?"
Thian-tok bertanya dengan suara agak berkurang galaknya.
Sin Liong sudah menjura kepada Ketua Hoa-san-pai, kepada Tee tok dan lain tokoh
yang tadi membela Hoa-san-pai, diikuti oleh Swat Hong kemudian Swat Hong
berkata kepada Toan Ki dan Swi Nio,
"Terima kasih kami haturkan kepada Ji-wi yang
ternyata adalah orang-orang gagah yang pantas dipuji dan dikagumi kesetiaan dan
kegagahannya. Sekarang saya harap Ji-wi suka mengembalikan pusaka- pusaka itu
kepadaku." Toan Ki dan Swi Nio menjura dan Toan Ki menjawab,
"Harap Lihiap suka menanti sebentar." kemudian
pergilah dia bersama Swi Nio ke sebelah dalam, diikuti pandang mata Ketua
Hoa-sanpai yang menjadi terheran-heran.
"Mau apa kalian dua orang muda datang ke sini?"
kembali Thian-tok bertanya.
"Harap Locianpwe ketahui bahwa kami berdua adalah
penghuni Pulau Es yang datang untuk mengambil kembali Pusaka Pulau Es. Pusaka
itu adalah milik Pulau Es dan harus dikembalikan ke sana."
"Penghuni Pulau Es....??"
Suara ini bukan hanya keluar dari mulut para tamu, tetapi
juga dari pihak Hoa-san- pai dan mereka yang membelanya, kecuali Tee Tok
Siangkoan Houw yang sudah tahu akan keadaan pemuda dan pemudi itu. Tak lama
kemudian muncullah Toan Ki dan Swi Nio. Toan Ki membawa bungkusan yang dulu dia
terima dari Swat Hong, lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Swat Hong sambil
menjura dan berkata,
"Dengan ini kami mengembalikan pusaka yang Lihiap
titipkan kepada kami dengan hati lega!"
Memang hatinya lega dan girang sekali dapat terlepas dari
tanggung jawab yang amat berat itu. Swat Hong membuka dan meneliti
pusaka-pusaka itu. Melihat bahwa pusaka itu masih lengkap, dia makin kagum.
"Suheng tidak pantas kalau kita tidak membalas budi
mereka ini."
Sin Liong tersenyum, mengangguk, kemudian dia berkata
kepada Thian-tok dan lain tamu yang masih memandang dengan bengong dan kini
dari mata mereka itu terpancar ketegangan dan keinginan besar. Setelah Pusaka
Pulau Es yang terkenal itu tampak di depan mata, mana mungkin mereka mundur
begitu saja tanpa usaha untuk mendapatkannya?
"Cu-wi Locianpwe jauh-jauh datang ke sini, harap
suka memaklumi bahwa pusaka-pusaka ini telah kembali ke pemiliknya dan akan
dikembalikan ke Pulau Es. Maka kami berdua mengharap sudilah Su-wi tidak
mengganggu lagi Hoa-san-pai dan suka meninggalkan tempat ini."
"Kami harus mendapatkan pusaka itu!"
"Kami juga!"
"Kami minta bagian!" Teriakan-teriakan itu
terdengar riuh rendah dan Sin Liong lalu berkata lagi dengan halus,
"Kami berdua akan berada di sini selama tiga hari,
kemudia kami akan meninggalkan Hoa-san-pai. Kalau kita tidak berada di sini,
masih belum terlambat bagi kita untukbicara lagi tentang pusaka. Amatlah tidak
baik bagi nama Cu-wi Locianpwe kalau mengganggu Hoa-san-pai yang sama sekali
tidak tahu-menahu tentang hal ini. Nanti kalau kami sudah meninggalkan
Hoa-san-pai, boleh kita bicara lagi."
Melihat sikap orang-orang Hoa-san-pai, dan sekarang sudah
jelas bahwa pusaka itu berada di tangan Sin-tong dan dara muda itu, Thian-tok
lalu mendengus dan berkata,
"Baik, kami menanti di bawah bukit. Kalian berdua
tidak akan dapat terbang lalu."
Pergilah mereka itu meninggalkan Hoa-san-pai, akan tetapi
semua orang tahu belaka bahwa mereka tentu akan mengurung tempat itu dan tidak
akan membiarkan Sin Liong dan Swat Hong lolos dari situ membawa pergi pusaka-pusaka
Pulau Es yang amat mereka inginkan itu. Sin Liong lalu menjura kepada Ketua
Hoasan- pai, para tokoh Hoa-san-pai, Toan Ki dan Swi Nio, juga kepada Tee Tok
dan mereka yang tadi membela Hoa-san-pai, kemudian berkata,
"Terutama kepada Saudara Liem Toan Ki dan Nyonya,
sudah sepantasnya kalau kami meninggalkan sedikit ilmu untuk Jiwi pelajari. Dan
kepada para Locianpwe, kiranya akan ada manfaatnya kalau saya melayani para
Locianpwe main-main sedikit untuk memperluas pengetahuan ilmu silat."
Semua orang menjadi ragu-ragu karena tidak tahu akan
maksud hati pemuda yang aneh itu, akan tetapi Tee-tok Siangkoan Houw sudah
tertawa bergelak lalu meloncat ke halaman depan.
"Marilah, ingin aku tua bangka ini memperdalam
sedikit kepandaianku!"
Sin Liong tersenyum lalu melangkah perlahan ke
pekarangan.
"Silahkan Siangkoan Locianpwe menggunakan
Pek-liu-kun (Ilmu Silat Tangan Geledek)!" katanya tenang.
"Harap Locianpwe jangan sungkan dan keluarkanlah
jurus-jurus simpanan dari Pek-liu-kun!"
Tee Tok sudah maklum akan kehebatan pemuda ini, dan
setelah dua tahun tidak jumpa, kini sikap pemuda ini luar biasa sekali, bahkan
dengan kata-kata biasa saja pemuda itu sudah mengundurkan semua orang yang tadi
sudah bersitegang hendak menggunakan kekerasan. Dia dapat menduga bahwa
bukanlah percuma pemuda ini mengajak dia berlatih silat, tentu ada niat-niat
tertentu. Karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai maksud jahat dan tadi
membela Pusaka Pulau Es dengan sungguh hati, dia kini pun tanpa ragu-ragu lagi
lalu mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Dengan
sepenuh tenaga dan perhatiannya, dia menyerang pemuda itu dengan jurus-jurus
simpanan dari Ilmu Silat Pek-lui-kun yang dahsyat.
"Haiiittt..... eihhh.....?"
Bukan main heran dan kagetnya ketika melihat pemuda itu
menghadapi dengan gerakan-gerakan yang sama! Tiap jurus yang dimainkannya,
dihadapi oleh Sin Liong dengan jurus yang sama pula dan dipakai sebagai
serangan balasan namun dengan cara yang sedemikian hebatnya sehingga jurus yang
dimainkannya itu tidak ada artinya lagi!
Jurus yang dimainkan oleh pemuda itu untuk menghadapinya
jauh lebih ampuh, dan sekaligus menutup semua kelemahan yang ada, menambah daya
serang yang amat hebat sehingga dalam jurus pertama saja, kalau pemuda itu
menghendaki, tentu dia sudah dirobohkan sungguhpun dia sudah hafal benar akan
jurusnya sendiri itu! Bukan main girang hati kakek itu. Dia terus menyerang
lagi dengan jurus lain, dan sama sekali dia menggunakan delapan belas jurus terampuh
dari Pek-lui-kun dan yang kesemuanya selain dapat dihindarkan dengan baik oleh
Sin Liong, juga telah dengan sekaligus "diperbaiki" dengan sempurna.
Semua gerakan ini dicatat oleh Tee Tok dan setelah dia selesai mainkan delapan
belas jurus pilihan itu, dia melangkah mundur dan menjura sangat dalam ke arah
Sin Liong.
"Astaga.... kepandaian Taihiap seperti dewa
saja......., saya...... saya menghaturkan banyak terima kasih atas petunjuk
Taihiap....." katanya agak tergagap.
"Ah, Locianpwe terlalu merendah," jawab Sin
Liong.
Tee Tok lalu menjura ke arah Ketua Hoa-san-pai dan yang
lain-lain, seketika pamit dan pergi dengan langkah lebar dan wajah termenung
karena dia masih terpesona dan mengingat-ingat gerakan-gerakan baru yang
menyempurnakan delapan belas jurus pilihannya tadi!
Lam Hai Seng-jin bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang
tokoh kawakan yang berilmu tinggi. Melihat peristiwa tadi, tahulah dia bahwa
pemuda ini memang bukan orang sembarangan dan agaknya telah mewarisi ilmu
mukjizat yang kabarnya dimiliki oleh penghuni Pulau Es. Maka dia tidak mau
menyianyiakan kesempatan itu dan dai sudah meloncat maju dengan senjata hudtim
dan kipasnya.
"Orang muda yang hebat, kau berilah petunjuk
kepadaku!"
"Totiang, muridmu Kwee Lun Toako adalah sahabat baik
kami, harap Totiang sudi mengajarnya baik-baik," jawab Sin Liong dan dia
pun segera menghadapi serangan kipas dan hudtim dengan kedua tangannya.
Biarpun dia tidak menggunakan kedua senjata itu, namun
kedua tangannya digerakan seperti kedua senjata itu, dan dia pun mainkan
jurus-jurus yang sama, namun gerakannya jauh lebih hebat, bahkan sempurna.
Seperti juga tadi, kakek ini memperhatikan dan dia telah menghafal dua puluh
jurus campuran ilmu hudtim dan kipas.
"Terima kasih, terima kasih..... Siancai, pengalaman
ini takkan kulupakan selamanya." Dia menjura kepada yang lain lalu berlari
pergi.
"Totiang, sampaikan salamku kepada Kwee-toako!"
seru Swat Hong, akan tetapi kakek itu hanya mengangguk tanpa menoleh karena dia
pun sedang mengingat-ingat semua jurus tadi agar tidak sampai lupa.
Berturut-turut Gin-siauw Siucai juga menerima petunjuk
ilmu silat suling perak dan mauwpitnya, kemudian Ketua Hoa-san-pai juga
menerima petunjuk ilmu pedang Hoa-san-kiamsut.
Para tokoh kang-ouw yang mengurung tempat itu di lereng
puncak, terheran-heran melihat tiga orang tokoh itu meninggalkan puncak seperti
orang yang termenung. Akan tetapi diam-diam mereka menjadi girang karena tiga
orang lihai itu tidak membantu atau mengawal muda-mudi Pulau Es yang mereka
hadang. Tiga hari lamanya Sin Liong dan Swat Hong tinggal di Hoa-san, setiap
hari menurunkan ilmu-ilmu tingi kepada Toan Ki dan Swi Nio sehingga kedua orang
suami isteri ini kelak akan menjadi tokoh-tokoh kenamaan dan mengangkat nama
Hoa-san-pai sebagai partai persilatan yang besar dan lihai.
Pada hari ke empatnya, pagi-pagi mereka meninggalkan
markas Hoa-san-pai, diantar sampai ke pintu gerbang oleh Ketua Hoa-san-pai,
Toan Ki, Swi Nio dan para pimpinan Hoa-san-pai.
"Taihiap, Lihiap, pinto khawatir Jiwi akan mengalami
gangguan di jalan. Menurut laporan para anak murid pinto, orang-orang kang-ouw
itu masih menanti di lereng gunung."
Pek Sim Tojin berkata dengan alis berkerut.
"Bagaimana kalau kami mengantar Ji-wi sampai melewati mereka dengan
selamat?" Sin Liong tersenyum.
"Terima kasih, Locianpwe. Akan tetapi, menghindari
mereka berarti membuat mereka terus merasa penasaran. Sebaliknya malah kalau
kami berdua menemui mereka dan membereskan persoalan seketika juga."
Toan Ki dan Swi Nio yang selama tiga hari menerima
petunjuk dari Sin Liong, telah menaruh kepercayaan penuh akan kesaktian pemuda
Pulau Es ini, maka mereka tidak merasa khawatir. Mereka maklum bahwa pemuda dan
gadis dari Pulau Es itu bukanlah manusia sembarangan, apalagi pemuda itu
memiliki wibawa yang tidak lumrah manusia, gerak-geriknya demikian penuh
kelembutan, penuh belas kasih sehingga tidaklah mungkin dapat terjadi sesuatu
yang buruk menimpa seorang manusia seperti ini!
Memang benar seperti yang dilaporkan oleh anak buah
Hoa-san-pai bahwa para tokoh kang-ouw itu, dipelopori oleh Thian-tok, masih
menghadang di lereng puncak. Thian-tok yang tadinya mengandalkan kepandaiannya
sendiri, setelah menyaksikan betapa pemuda dan dara Pulau Es itu telah mendapatkan
kembali pusaka-pusakanya, diam-diam telah mengajak semua tokoh lain bersekutu
dengan janji bahwa kalau pusaka dapat dirampas, dia akan memberi bagian kepada
mereka semua. Terutama yang menjadi pembantunya sebagai orang ke dua adalah
Thian-he Tee-it Ciang Ham yang tingkat kepandaiannya hanya berselisih atau
kalah sedikit saja dibandingkan dengan kepandaian Racun Langit itu. Maka ketika
Sin Liong yang membawa pusaka di punggungnya bersama Swat Hong berjalan
berlahan dan tenang melalui tempat itu, segera para tokoh kang-ouw itu muncul
dan telah mengurung dua orang muda itu dengan ketat, mempersiapkan senjata
masing-masing dengan sikap mengancam. Sin Liong menggelenggelengkan kepala.
"Hal itu tidak bisa dilakukan, Cu-wi Locianpwe.
Pusaka-pusaka ini adalah milik Pulau Es turun-temurun, mana mungkin sekarang
diserahkan kepada orang lain? Setelah kami berdua berhasil menemukannya
kembali, kami harus mengembalikannya kepada Pulau Es, tempatnya semula. Maka
harap Cu-wi suka memaklumi hal ini dan tidak memaksa kepada kami."
"Orang muda yang keras kepala! Kalau kami memaksa,
bagaimana?"
"Terserah kepada Cu-wi sekalian. Sumoi, harap Sumoi
suka pergi dulu ke pinggir, jangan menghalangi para Locianpwe ini."
Swat Hong mengangguk dan tersenyum, kemudian tubuhnya
berkelebat dan terkejutlah semua orang kang-ouw itu ketika melihat gadis itu
meloncat seperti terbang saja, melayang melalui kepala mereka dan kini telah
berdiri di luar kepungan! Sungguh merupakan bukti kepandaian ginkang yang amat
hebat! Sin Liong sengaja menyuruh sumoinya pergi keluar dari kepungan karena
tidak menghendaki sumoinya itu naik darah dan turun tangan menggunakan
kekerasan terhadap orang-orang kang-ouw ini.
Setelah kini melihat sumoinya keluar dari kepungan, dia
lalu menyilangkan kedua lengannya di depan dada, berkata,
"Silahkan kepada Cu-wi apa yang hendak Cu-wi lakukan
setelah jelas kukatakan bahwa Pusaka Pulau Es tidak akan kuberikan kepada
Cu-wi."
Melihat sikap tenang dan penuh tantangan ini, para tokoh
kang-ouw menjadi marah juga. Pemuda itu tidak memegang senjata, berdiri dalam
kepungan dan pusaka itu berada di dalam buntalan yang berada di punggungnya.
Maka serentak orang-orang kang-ouw yang sudah mengilar dan ingin sekali
merampas pusaka itu menerjang maju dan berebut hendak menyerang Sin Liong dan
mengulur tangan hendak merampas buntalan. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum,
berdiri tegak dan menyilangkan kedua lengannya sambil memandang tanpa berkedip
mata.
"Ahhh....!"
"Hayaaa.....!"
"Aihhhh.....!"
Semua orang terhuyung-huyung mundur karena belum juga
tangan mereka menyentuh pemuda itu, hati mereka sudah lemas dan luluh
menghadapi wajah yang tersenyum itu, tangan mereka seperti lumpuh dan tenaga
mereka seperti lenyap seketika membuat mereka terhuyung dan hampir jatuh saling
timpa! Thian-tok dan Thian-he Tee-it menjadi kaget dan marah sekali melihat
keadaan teman-teman mereka itu. Kedua orang itu berilmu tinggi ini memang
membiarkan teman-teman mereka turun tangan lebih dulu untuk menguji kepandaian pemuda
yang keadaannya amat mencurigakan karena terlampau tenang itu. Kini melihat
betapa teman-temannya mundur tanpa pemuda itu menggerakan sebuah jari tangan
pun, kedua orang itu terkejut marah dan penasaran. Thian-tok menerjang ke depan
dengan senjata Kim-kauw-pang di tangannya, sedangkan Ciang Ham juga sudah
meloncat dekat dengan senjata tombak di tangan.
"Orang muda, serahkan pusaka itu!" Thian-tok
membentak.
"Sin-tong, jangan sampai terpaksa aku menggunakan
tombak pusakaku!"
Ciang ham juga menghardik. Akan tetapi Sin Liong tetap
tidak bergerak hanya berkata,
"Terserah kepada Ji-wi Locianpwe, Ji-wi yang
melakukan dan Ji-wi pula yang menanggung akibatnya."
"Keras kepala!"
Thian-tok membentak dan tongkatnya yang panjang sudah
menyambar ke arah kepala pemuda itu. Sin Liong sama sekali tidak mengelak,
bahkan berkedip pun tidak ketika melihat tongkat itu menyambar ke arah
kepalanya, disusul tombak di tangan Thian-he Tee-it CiangHam yang menusuk ke
arah lambungnya.
"Desss! Takkkk!!"
"Aihhh.......!"
"Heiiii....."
Thian-tok Bhong Sek Bin dan Thian-he Tee-it Ciang ham
berteriak kaget dan meloncat ke belakang.Tongkat itu tepat mengenai kepala dan
tombak itu pun tepat menusuk lambung, namun kedua senjata itu terpental kembali
seperti mengenai benda yang amat kuat, bahkan telapak tangan mereka terasa
panas! Tentu saja mereka merasa penasaran, biarpun ada rasa ngeri di dalam hati
mereka. Pada saat itu, orang-orang kang-ouw lainnya yang melihat betapa dua
orang lihai itu sudah menyerang dengan senjata, juga menyerbu ke depan. Sin
Liong tetap diam saja ketika belasan batang senjata yang bermacam-macam itu
datang bagaikan hujan menimpa tubuhnya. Semua senjata tepat mengenai sasaran,
akan tetapi tidak ada sedikit kulit tubuh pemuda itu yang lecet, kecuali
pakaiannya yang robek-robek dan orang-orang itu terpelanting ke sana-sini,
bahkan ada yang terpukul oleh senjata mereka sendiri yang membalik. Makin keras
orang menyerang, makin keras pula senjata mereka membalik. Bahkan Thian-tok
sudah mengelus kepalanya yang benjol terkena kemplangan tongkatnya sendiri,
sedangkan paha Ciang ham berdarah karena tombaknya pun membalik tanpa dapat
ditahannya lagi ketika mengenai tubuh Sin Liong untukyang kedua kalinya. Ketika
mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Sin Liong, mereka melihat pemuda
itu masih tersenyum-senyum, masih berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang
di depan dada, hanya bedanya, kini pakaiannya robek-robek dan penuh lobang.
Thian-tok dan Thian-he Tee-it adalah orang-orang yang terkenal di dunia persilatan
sebagai tokoh-tokoh besar yang sudah banyak mengalami pertempuran. Mereka tahu
pula bahwa orang yang memiliki sinkang amat kuat dapat menjadi kebal, akan
tetapi selama hidup mereka belum pernah menyaksikan kekebalan seperti yang
dihadapi mereka sekarang ini.
Kekebalan yang agaknya tanpa disertai pengerahan tenaga.
Apalagi melihat cahaya aneh seperti melindungi tubuh pemuda itu, mereka maklum
bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Tanpa melawan saja pemuda ini telah
membuat mereka tidak berdaya, betapa hebatnya kalau pemuda ini mengangkat
tangan membalas!
"Maafkan kami......!" Thian-tok berseru lalu
melompat dan berlari pergi.
"Sin-tong, maafkan......!"
Ciang Ham juga berkata lalu menyeret tombaknya,
terpincang-pincang pergi dari situ. Tentu saja para tokoh lain yang memang
sudah merasa ngeri dan jerih, melihat kedua orang yang diandalkan itu lari,
cepat membalikkan tubuh dan berserabutan lari dari situ meninggalkan SinLiong
yang masih berdiri tegak di tempat itu. Swat Hong lari menghampiri suhengnya,
lalu memeluk suhengnya itu.
"Suheng......., kau tidak apa-apa......?"
tanyanya. Sin Liong menggeleng kepala dan tersenyum.
"Pakaianmu hancur......"
"Pakaian rusak mudah diganti, akhlak yang rusak
lebih menyedihkan lagi karena mendatangkan malapetaka."
"Suheng, kau......"
"Ada apakah, Sumoi......?" Swat Hong
menggelengkan kepala dan dia melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dua
tindak dan memandang suhengnya dengan pandang mata penuh takjub dan juga jerih.
"Suheng, kau...... kau berbeda dari
dulu......."
"Aih, Sumoi, aku tetap Sin Liong suhengmu yang
dahulu."
"Tidak, tidak.....! kau berbeda sekali. Ilmu apakah
yang kau pergunakan tadi? Mendiang Ayahku sekalipun tidak pernah memperlihatkan
ilmu mujijat seperti itu........"
"Apakah keanehannya, Sumoi? Ilmu yang berdasarkan
kekerasan tentu hanya mengakibatkan pertentangan dan kerusakan belaka, dan
setiap bentuk kekerasan hanya akan mecelakakan diri sendiri."
"Suheng, ajarilah aku ilmu tadi....."
"Tidak ada yang bisa mengajar, kelak kau akan
mengerti sendiri, Sumoi. marilah kita lanjutkan perjalanan kita."
Setelah berkata demikian, Sin Liong memegang tangan
sumoinya dan terdengar jerit tertahan dara itu ketika dia merasa bahwa dia
dibawa lari oleh suhengnya dengan kecepatan seperti terbang saja! Dia sendiri
adalah seorang ahli ginkang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup luar biasa,
akan tetapi apa yang dialaminya sekarang ini benar-benar seperti terbang, atau
seperti terbawa oleh angin saja! Makin yakinlah hatinya bahwa suhengnya telah
menjadi seorang yang amat luar biasa kesaktiannya, menjadi seorang manusia
setengah dewa!
***
Gerakan pembalasan yang dilakukan oleh Kaisar Kerajaan
Tang yang baru, yaitu kaisar Su Tiong, yang dilakukan dari Secuan, amat hebat.
Gerakan pembalasan untuk merampas kembali ibu kota Tiang-an dari tangan
pemberontak ini dibantu oleh pasukan yang dapat dikumpulkan di Tiongkok bagian
barat, dibantu pula oleh pasukan Turki, bahkan pasukan Arab. Dengan bala
tentara yang besar dan kuat, Kaisar Su Tiong melakukan serangan balasan
terhadap pemerintah pemberontak yang tidak lagi dipimpin oleh An Lu Shan karena
jenderal pemberontak itu telah tewas.
Perang hebat terjadi selama sepuluh tahun, dan di dalam
perang ini, para pemberontak dapat dihancurkan dan kota demi kota dapat
dirampas kembali sampai akhirnya ibu kota dapat direbut kembali oleh Kaisar Su
Tiong. Di dalam perang ini, Han Bu Ong putera The Kwat Lin yang bersama
orang-orang kerdil membantu pemerintah pemberontak, tewas pula dalam
pertempuran hebat sampai tidak ada satu orang pun orang kerdil tinggal hidup.
Dalam tahun 766 berakhirlah perang yang mengorbankan
banyak harta dan nyawa itu, namun kerajaan Tang telah menderita hebat sekali
akibat perang yang mula-mula ditimbulkan oleh pemberontak An Lu Shan itu.
Kematian yang diderita rakyat, pembunuhan-pembunuhan biadab yang terjadi di
dalam perang selama pemberontakan ini adalah yang terbesar menurut catatan
sejarah. Menurut catatan kuno, tidak kurang dari tiga puluh lima juta manusia
tewas selama perang yang biadab itu! Bukan hanya kerugian harta dan nyawa saja,
akan tetapi juga setelah perang berakhir, Kerajaan Tang kehilangan banyak
kekuasaan atau kedaulatannya! Bantuan-bantuan yang diterima oleh Kaisar di
waktu merebut kembali kerajaan, membuat Kaisar terpaksa membagi-bagi daerah
kepada para pembantu yang diangkat menjadi gubernur-gubernur yang lambat laun makin
besar kekuasaannya dan seolah-olah menjadi raja-raja kecil yang berdaulat
sediri.
Di samping itu, pemberontak An Lu Shan membentuk
pasukan-pasukan yang ketika pemberontak dihancurkan, melarikan diri ke
perbatasan dan menjadi pasukan-pasukan liar yang selalu merupakan gangguan
terhadap kekuasaan pemerintah.
Demikianlah, dengan dalih apapun juga, pemberontakan
lahiriah hanya mendatangkan kerusakan dan malapetaka, karena tidaklah mungkin
perdamaian diciptakan oleh perang! Menurut sejarah di seluruh dunia, tidak
pernah ada revolusi jasmani mendatangkan perdamaian dan kesejahteraan. Kiranya
hanyalah revolusi batin, revolusi yang terjadi di dalam diri setiap orang
manusia, yang akan dapat mengubah keadaan yang menyedihkan dari kehidupan
manusia di seluruh dunia ini.
Dengan tewasnya Han Bu Hong di dalam perang itu, maka
habislah semua tokoh yang keluar dari Pulau Es dan Pulau Neraka. Yang tinggal
hanyalah Sin Liong dan Swat Hong berdua saja, akan tetapi kedua orang ini pun
sudah kembali ke Pulau Es dan semenjak peristiwa di Hoa-san-pai itu, tidak ada
lagi yang tahu bagaimana keadaan kedua orang itu dan, di mana adanya mereka!
Yang jelas, Pulau Es masih ada dan kedua orang suheng dan
sumoi yang saling mencinta itu pun masih hidup. Buktinya, beberapa tahun kemudian
kadang-kadang mereka itu muncul sebagai manusia-manusia sakti menyelamatkan
belasan orang nelayan yang perahunya diserang badai. Didalam kegelapan selagi
badai mengamuk dahsyat itu, ketika perahu-perahu mereka dipermainkan badai dan
nyaris terguling, tiba-tiba muncul sebuah perahu kecil yang didayung oleh
seorang pria berpakaian putih dan seorang wanita cantik, dan kedua orang ini
dengan kesaktian luar biasa menggunakan tali untuk menjerat perahu-perahu itu
kemudian menariknya keluar dari daerah yang diamuk badai! Apakah mereka itu Sin
Liong dan Swat Hong, tidak ada orang yang mengetahuinya karena setiap kali
muncul menolong para nelayan dan para penghuni pulau-pulau yang berada di
utara, kedua orang itu tidak pernah memperkenalkan nama mereka. Kalau benar
mereka itu adalah Sin Liong dan Swat Hong, bagaimanakah jadinya dengan mereka?
Apakah suheng dan sumoi yang saling mencinta dan yang telah kembali ke Pulau Es
itu langsung menjadi suami isteri? Hal ini pun tidak ada yang tahu, karena
agaknya bagi mereka berdua, menjadi suami isteri atau bukan adalah hal yang
tidak penting lagi. Diri mereka telah dipenuhi oleh cinta kasih, bukan cinta
kasih yang biasa melekat di bibir manusia pada umumnya, karena cinta kasih
seperti itu telah diselewengkan artinya, cinta kasih kita manusia hanya akan
mendatangkan kesenagan dan kesusahan belaka dan justeru karena cinta kasih kita
itu mendatangkan kesenangan maka dia mendatangkan pula kesusahan karena
kesenangan dan kesusahan adalah saudara kembar yang tak mungkin dapat dipisah.
Puluhan tahun, bahkan seratus tahun kemudian di dunia
kang-ouw timbul semacam cerita setengah dongeng tentang seorang manusia
setengah dewa yang mereka sebut Bu Kek Siansu, seorang laki-laki tua yang
sederhana namun yang pribadinya penuh cinta kasih, cinta kasih terhadap siapa
pun dan apa pun. Bu Kek Siansu yang dikenal sebagai tokoh Pulau Es dan menurut
cerita tradisi dari keturunan tokoh-tokoh seperti Tee Tok Siangkoan Houw, Lam
Hai Sengjin dan muridnya, Kwee Lun, Gin-siauw Siucai, tokoh-tokoh Hoa-san-pai,
katanya bahwa Bu Kek Siansu itu adalah anak yang dahulu disebut Sin-tong (Anak
Ajaib), yaitu pemuda Kwa Sin Liong yang menghilang bersama sumoinya, Han Swat
Hong, dan yang kabarnya menetap di Pulau Es, tidak pernah lagi terjun ke dunia
ramai.
Dan memang seorang manusia seperti Bu Kek Siansu tidak
pernah mau menonjolkan diri, selalu bergerak tanpa pamrih, hanya digerakan oleh
cinta kasih. Maka kita pun tidak mungkin dapat mengikuti seorang manusia
seperti Bu Kek Siansu, dan hanya kadang-kadang saja dapat melihat muncul di
antara orang banyak, dan di dalam dunia persilatan, Bu Kek Siansu akan muncul
di dalam ceritera "Suling Emas". Demikinlah, terpaksa pengarang
menutup cerita "Bu Kek Siansu" ini yang hanya dapat menceritakan pengalaman
pemuda Kwa Sin Liong sewaktu dia belum menjadi seorang Bu Kek Siansu, sewaktu
dia belum memiliki cinta kasih sehingga masih diombang-ambingkan oleh suka dan
duka dalam kehidupannya. Dengan mengenangkan isi nyanyian yang dinyanyikan oleh
anak nelayan itu, penulis mengajak para Pembaca Budiman untuk sama-sama
mempelajari dan mudah-mudahan kita pun akan memiliki Cinta Kasih melalui
pengenalan diri pribadi. Teriring salam bahagia dari pengarang dan sampai jumpa
kembali di kisah SULING EMAS
TAMAT