Berhari-hari ia melakukan perjalanan naik turun gunung.
Ia mentaati pesan gurunya dan mulailah ia makan sarang burung rajawali hitam.
Enak rasanya, gurih dan harum. Juga setiap kali makan perutnya terasa kenyang
dan tahan sampai sehari tidak makan. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa
benda yang dimakannya adalah obat kuat yang amat langka didapat, obat yang
membuat darahnya menjadi bersih dan tulang-tulangnya menjadi kuat. Setelah
melakukan perjalanan lima belas hari, habislah bekal sarang burung itu dan
mulailah ia mencari buah-buahan di sepanjang jalan dan ada kalanya ia membeli
masakan di warung sebuah dusun yang dilaluinya. Bekal yang diberikan gurunya
cukup banyak.
Pada suatu hari ketika ia melalui sebuah lereng gunung
yang terjal, ia mendengar suara orang bertempur. Suara itu datangnya dari bawah
lereng dan yang membikin Bu Song tertarik dan kaget adalah suara melengking
tinggi yang aneh, seperti orang tertawa akan tetapi juga seperti suara wanita
menangis. Ia lalu mempercepat langkahnya menuju ke arah suara itu.
Benar saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang wanita
cantik sedang bertanding melayani dua orang laki-laki tua. Akan tetapi
pertandingan itu amat aneh. Si wanita duduk bersila di bawah pohon, sedangkan
dua orang laki-laki itu berdiri di depannya. Yang seorang adalah kakek
berkepala gundul bersenjata toya sedangkan yang ke dua seorang kakek tinggi
kurus berambut panjang dan berpedang yang berkilauan cahayanya.
Anehnya, kedua orang kakek itu hanya mengancam dengan
senjata mereka sedangkan Si Wanita hanya tertawa-tawa mengejek, sama sekali
tidak bergerak dari tempat ia bersila.
Pada saat Bu Song tiba di tempat itu dan mengintai dari
balik sebuah batu besar, wanita itu berkata, suaranya merdu akan tetapi dingin
menyeramkan.
‘Sekali lagi kuperingatkan kalian. Jangan ganggu aku
dan pergilah. Aku tidak memusuhi Siauw-lim-pai, juga tidak memusuhi
Kong-thong-pai. Adalah partai kalian yang selalu memusuhi aku. Aku sudah bosan
bertempur, bosan membunuh. Pergilah dan jangan ganggu aku!!
‘Siluman betina, dendam di antara kita sedalam lautan.
Harus ditebus dengan nyawa!! seru kakek itu sambil menggerakkan pedangnya
membacok.
‘Omitohud, Tok-siauw-kwi, pinceng juga bukan tukang
berkelahi, akan tetapi dosamu terhadap Siauw-lim-pai sudah terlalu banyak.
Kewajiban pinceng untuk menghukummu!! kata Si Hwesio pula sambil melangkah
maju.
Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara lengking tinggi
dan rambutnya yang panjang itu bergerak ke depan, berubah menjadi segulung
sinar hitam yang menyambar dahsyat. Dua orang kakek itu terkejut sekali.
sia-sia saja mereka mengge rakkan senjata untuk membebaskan diri karena senjata
mereka itu tahu-tahu telah terlibat rambut dan tanpa dapat mereka cegah lagi,
senjata toya dan pedang itu sudah terbang pergi dari tangan mereka dan
terlempar ke dalam jurang!
‘Kalian bukan lawanku. Pergilah, aku beri ampun
kalian!!
Wanita itu berkata lagi, tetap masih duduk bersila,
bahkan kini meramkan mata seperti orang hendak samadhi.
Akan tetapi dua orang kakek itu kelihatan menjadi makin
marah.
‘Tok-siauw-kwi siluman jahat! Kami tidak takut mati.
Engkau atau kami yang harus mati saat ini juga!!
Hwesio itu menyambar sepotong ranting pohon dan mempergunakannya
sebagai tombak yang ia lontarkan sepenuh tenaga ke arah wanita itu. adapun
kakek dari Kong-thong-pai itupun mengeluarkan batang senjata piauw yang ia
sambitkan sekuat tenaga ke arah tiga bagian tubuh yang berbahaya.
Melihat ini diam-diam Bu Song merasa ngeri. Jarak antara
kedua orang itu dan Si Wanita cantik yang duduk bersila meramkan mata di bawah
pohon tidaklah jauh, sedangkan serangan itu luar biasa cepat dan kuatnya. Ia
membayangkan betapa wanita itu akan tewas dalam keadaan mengerikan dan ada juga
rasa penasaran di dalam hatinya yang menganggap perbuatan dua orang laki-laki
itu sama sekali tidak dapat dipuji. Jelas bahwa wanita itu sudah mengalah, akan
tetapi dua orang itu nekat saja, bahkan melakukan penyerangan yang amat curang.
Akan tetapi tiba-tiba mata Bu Song menjadi silau melihat
cahaya terang keluar dari kedua tangan wanita itu. Entah apa yang terjadi ia
tidak dapat mengikuti dengan jelas, akan tetapi tahu-tahu kedua orang kakek itu
menjerit keras dan... dada Si Hwesio sudah tertusuk ranting yang ia lontarkan
tadi, adapun Si Kakek mendekap dadanya yang dimakan oleh tiga batang piauwnya
sendiri. hebat sekali luka mereka, dengan mata terbelalak mereka berputaran
lalu roboh berkelojotan dan tak lama kemudian tewaslah kedua orang itu.
Wanita itu mengeluarkan suara melengking keras seperti
orang menangis. Ketika Bu Song memandang lagi, ternyata wanita itu sudah
lenyap, tidak ada lagi di tempat tadi. Berdebar jantung Bu Song. Peristiwa yang
amat hebat dan mengerikan terjadi di depan matanya. Peristiwa pembunuhan,
lagi-lagi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu tinggi. Ia keluar dari
tempat sembunyinya, melangkah lebar menghampiri dua orang yang sudah menjadi
mayat itu, lalu menarik napas panjang. Dengan hati rasa penasaran ia berdongak
dan berkata dengan suara keras.
Dendam! Pembunuhan! Bunuh-membunuh! Apakah hanya untuk
ini manusia dilahirkan di dunia?!
Kemudian Bu Song turun tangan, menggulung lengan baju dan
membongkar batu-batu di bawah pohon, menggali lubang yang cukup lebar untuk
mengubur dua jenazah kakek yang tidak dikenalnya itu. Sambil mengerjakan ini,
wajah wanita itu terbayang di depan matanya dan berulang kali Bu Song menarik
napas panjang.
Wanita yang patut dikasihani, pikirnya. Hidup bergelimang
dalam gelombang permusuhan yang tak dapat disingkiri dan yang agaknya
mengejar-ngejarnya terus. Kali ia menang. Apakah lain kali akan dapat menang
terus? Kepandaian tidak ada batasnya dan sekali waktu tentu wanita itu yang
menjadi korban, tewas mengerikan seperti keadaan dua orang kakek ini. Masih
baik kedua orang kakek ini tewas di depannya sehingga masih ada yang mengubur
jenazah mereka!
Setelah selesai mengubur dua mayat itu, Bu Song
mengebut-ngebutkan pakaiannya dari debu, menyandangkan bungkusan pakaian yang
tadi ia turunkan, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. matahari sudah
condong ke barat dan dengan ujung lengan bajunya Bu Song menghapus peluhnya.
Tiba-tiba ia berhenti dan memandang penuh per hatian ke
depan. Tadi melihat bayangan berkelebat dan kini tahu-tahu didepannya telah
berdiri Si Wanita cantik berambut panjang yang tadi membunuh dua orang kakek
itu! Bu Song memandang jantungnya berdebar. Dilihat sepintas lalu, wanita ini
tidak menakutkan sama sekali. Bahkan amat menarik dan cantik, akan tetapi pandang
matanya dingin dan kerut pada mulutnya membayangkan sesuatu yang mengerikan.
‘Mengapa engkau mengubur mereka?!
Wanita itu bertanya, matanya tajam memandang penuh
selidik, Bu Song menengok ke belakang, ke arah kuburan kedua orang kakek itu,
lalu ia balas memandang dan menarik napas panjang. Sedikit pun ia tidak takut
kepada wanita ini dan teguran wanita itu bahkan mendatangkan rasa penasaran di
dalam hatinya. Ia maklum bahwa wanita ini menderita batinnya dan berusaha
menutupi penderitaan batinnya dengan sikap yang dingin dan keras.
‘Bibi, pertanyaanmu itu tidak pada tempatnya.
Sepatutnya akulah yang bertanya mengapa Bibi membunuh mereka?!
Wanita itu tercengang, agaknya sama sekali tidak menduga
akan mendapat jawaban begini.
‘He, orang muda, jawab pertanyaanku. Jangan engkau
main-main. Mengapa engkau men gubur mereka? Apa hubunganmu dengan mereka itu?!
‘Bukan apa-apa, hanya sesama manusia. Melihat dua orang
manusia terbunuh dan menjadi mayat di jalan, sudah menjadi kewajibanku untuk
mengubur mereka. Aku dan juga Bibi sendiri pun kelak kalau mati membutuhkan
bantuan orang lain untuk mengubur mayat kita.!
‘Apa kau bilang? Orang muda, jaga baik-baik mulutmu.
Tahukah kau bahwa sekali aku turun tangan kau takkan hidup lagi?!
Alangkah herannya hati wanita yang ditakuti di dunia
kang-ouw itu ketika melihat Si Pemuda tertawa geli mendengar ucapannya.
‘Bibi hanya membikin lelucon yang tidak lucu!!
‘Apa..., apa maksudmu?!
‘Bibi ini siapa kok sampai dapat menguasai hidup
matinya orang lain? Bibi tidak merasa memberi hidup kepadaku, bagaimana Bibi
dapat menguasai hidup dan matiku?!
‘Apa? Kau menantang?!
Tok-siauw-kwi lebih heran daripada marah.
‘Tidak ada yang menantang. Aku hanya mau katakan bahwa
kalau Thian yang memberiku hidup menghendaki aku mati, tanpa Bibi turun tangan
pun aku akan mati. Akan tetapi kalau Thian tidak menghendaki aku mati, biar ada
seribu orang seperti Bibi turun tangan, aku tidak akan mati! Mati hidup berada
di tangan Thian. Bibi ini memang siapa hendak mengalahkan kekuasaan Thian?
Padahal mati hidup Bibi sendiri berada di tangan-Nya! Dapatkah Bibi melawan
maut apabila Thian menghendaki nyawa Bibi kembali ke asalnya?!
Seketika pucat wajah Tok-siauw-kwi. matanya terbelalak
dan ia meraba pipinya tanpa ia sadari.
‘Aku... aku tidak akan mati...!!
Bu Song menggeleng-geleng kepalanya, lalu ia melangkahkan
kaki pergi dari situ sambil berkata,
‘Bibi seorang yang patut dikasihani...!!
Angin menyambar keras tahu-tahu wanita itu sudah berdiri
menghadang di depannya.
‘Eh, bocah lancang. Kau bilang apa tadi?!
‘Aku bilang kau patut dikasihani sampai-sampai tidak
mau mengakui kekuasaan Thian, dan mengingkari kenyataan bahwa semua manusia
mesti mati. Bibi takut mati, itu berarti Bibi kehilangan pegangan dalam hidup,
bahwa Bibi kehilangan keperibadian, bahwa Bibi menganggap hidup ini dapat kau
pegang dan kau kuasai. Itulah sebabnya Bibi terlalu mudah membunuh orang
mengira bahwa nyawa Bibi berada di tangan orang lain yang memusuhi Bibi. Ah,
betapa sengsara hidup seperti Bibi ini.!
Makin pucat muka wanita itu.
‘Kau bohong! Aku tidak takut siapapun juga! Kau lihat
sendiri tadi. Mereka berdua memusuhiku akan tetapi tidak dapat melawanku. Siapa
memusuhiku akan mati!!
‘Betulkah itu, Bibi? Mengalahkan orang lain bukan hal
aneh, mengalahkan nafsu pribadi barulah perbuatan mulia! Makin banyak Bibi
membunuh orang, makin banyak pula menanam bibit permusuhan dan makin
sengsaralah hidup. Manusia hidup untuk saling bantu, saling tolong, bukan
saling bermusuhan dan saling bunuh.!
‘Habis, kalau dua orang keparat tadi memaksaku, apakah
aku harus menyerahkan diri dibunuh begitu saja?!
‘Ah, Bibi kurang akal. Bibi sakti, apa sukarnya
menjauhkan diri dari mereka yang memusuhi Bibi? Akan tetapi Bibi memang haus
darah, suka membunuh, sungguh keji...!!
Wanita itu marah sekali. Ia mengeluarkan lengking tinggi
dan tangannya. Sudah diangkat ke atas. Dari tangan kanan itu keluar hawa yang
amat panas, sedangkan bunyi melengking hebat itu sudah hampir merobohkan Bu
Song yang tiba-tiba merasa dadanya seperti ditusuk-tusuk.
‘Keparat bermulut lancang! Siapa kau? Aku takkan
membunuh orang tak bernama!!
Bu Song tenang-tenang saja. Memang ia sendiri memandang
hidup ini hampa dan penuh derita kecewa setelah kematian Eng Eng. Sama sekali
ia tidak takut akan kematian yang mengancamnya.
‘Kalau Thian menghendaki aku mati dan Bibi berhasil
membunuhku, berarti Bibi hanya membebaskan aku daripada belenggu hidup. Aku
tidak akan rugi apa-apa, akan tetapi kau sendiri yang menambahi mata rantai
yang membelenggu kehidupanmu, Bibi. Namaku Bu Song.!
‘Bu Song...??!
Mata itu terbelalak lebar dan muka yang cantik itu makin
pucat.
‘Kau... kau... murid Kim-mo Taisu...?!
‘Beliau adalah guruku, akan tetapi aku tidak akan
menggunakan nama Guruku untuk perisai nyawaku. Guruku sendiri tidak menguasai
nyawaku, hanya Thian yang berhak akan mati hidupku!!
‘Plakkk!!
Tangan itu menampar turun, akan tetapi yang ditampar
bukan muka Bu Song, melainkan mukanya sendiri! wanita itu jatuh terguling, lalu
menangis dan akhirnya melompat pergi cepat sekali. Hanya lengking tangisnya
masih terdengar oleh Bu Song yang berdiri bengong, lalu menggeleng-geleng
kepalanya. Kasihan, pikirnya. Wanita itu terlalu banyak dosa, terlalu banyak
membunuh orang sehingga pikirannya tidak waras lagi! Ia lalu membalikkan tubuh
dan melanjutkan perjalanannya menuruni lereng itu dengan langkah lebar.
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak pernah menduga bahwa
wanita itu bukan lain adalah ibu kandungnya sendiri! Wanita itu adalah
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian! Sikap pemuda lemah yang begitu berani menasihati dan
menegurnya sudah membuat wanita ini terheran-heran, kemudian, menimbulkan
kemarahannya yang luar biasa. Akan tetapi begitu ia mendengar bahwa pemuda itu
adalah Bu Song, putera kandungnya sendiri, ia merasa seakan-akan mukanya
ditampar oleh tangannya sendiri. Hampir saja ia tadi membunuh anak kandungnya
sendiri! Anaknya begitu tampan dan gagah. Ingin ia memeluknya, mendekap kepala
itu di dadanya. Akan tetapi betapa ia dapat melakukan hal itu setelah anaknya
mengubur dua orang yang dibunuhnya? Ibu yang tersesat, seorang manusia iblis
yang oleh anak itu sendiri disebut haus darah, suka membunuh dan keji! Alangkah
akan jijik dan bencinya anak itu kepadanya!
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian menangis sambil berlari cepat
seperti terbang meninggalkan tempat itu. Kemudian ia menjatuhkan diri di bawah
pohon besar dalam sebuah tempat ia bertemu anaknya tadi. Ia menangis
menjambak-jambak rambutnya, membentur-benturkan kepalanya pada batang pohon di
depannya. Lu Sian menjadi seperti gila dan pada saat itu ia hanya ingin mati!
Tangisnya menjadi-jadi kalau ia teringat kepada Kwee Seng
yang sudah memberi tahu bahwa puteranya itu selain menjadi muridnya juga akan
menjadi mantunya. Bagaimana ia sebagai seorang ibu kandung dapat membiarkan
putera tunggalnya menikah tanpa memberi restu dan tanpa menyaksikannya? Akan
tetapi setelah pertemuan ini, betapa ia dapat menjumpai pemuda itu dan mengaku
sebagai ibunya?
Tiba-tiba Lu Sian berhenti menangis dan dengan kaget ia
mengangkat muka mendengarkan. Suara yang-khim yang amat merdu bergema di dalam
hutan itu. sejenak ia tertegun, timbul kemarahannya. Siapakah berani mengganggu
keasyikannya berduka? Dia sedang berduka, sedang menangis, eh, orang itu berani
membunyikan musik. Bukankah suara yang-khim tanda orang bersuka dan seakan-akan
mengejeknya yang sedang berduka? Sama artinya dengan mentertawa kan orang
sedang menangis. Tok-siauw-kwi menjadi beringas dan sekali tubuhnya bergerak,
ia sudah melesat ke arah suara, cepat laksana burung terbang.
Pemain yang-khim itu seorang kakek tua renta yang
rambutnya sudah putih semua. Kakek itu duduk bersila memangku sebuah alat musik
yang-khim, jari-jari kedua tangannya bergerak-gerak perlahan memainkan
tali-tali yang-khim, mulutnya tersenyum dan pandang matanya melayang jauh ke
depan dan agaknya seperti hendak menjenguk rahasia di balik awan.
Melihat cara kakek ini mainkan yang-khim, Lu Sian dapat
menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi dan tak salah lagi
tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang selama ini mengejar-ngejar
dan memusuhinya. Lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum kakek itu sempat
menyerangnya, ia pikir. Karena ingin sekali pukul beres, Lu Sian sudah mengeluarkan
jarum-jarum merah Sian-tok-ciam dan dengan pengerahan tenaga sin-kang ia
melemparkan jarum-jarum itu ke arah kakek tua renta yang masih enak-enak main
yang-khim. Dengan jelas Lu Sian melihat betapa tujuh batang jarum-jarumnya
mengenai sasaran dengan tepat dan lenyap memasuki tubuh kakek itu melalui jalan
darah yang diarahnya. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat betapa kakek itu
masih saja enak-enak mainkan yang-khim, hanya kedua matanya kini dipejamkan dan
napasnya tertahan. Tak lama kemudian, uap putih mengepul dari ubun-ubun
kepalanya yang sudah berambut putih, disusul dengan uap putih yang keluar dari
mulut dan hidungnya ketika kakek itu membuang napas dan... dari dalam mulut
kakek itu keluarlah tujuh batang jarum merahnya, runtuh dan jatuh berhamburan
di dekat yang-khim!
Lu Sian tak pernah dapat percaya kalau tidak menyaksikan
sendiri hal aneh ini. Ilmu apakah yang dimiliki kakek itu? Tadi ia melihat
jelas betapa jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat! Lu Sian menjadi
kaget dan juga gelisah. Kalau kakek ini seorang musuh, berarti ia kini bertemu
dengan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa! Dan teringatlah ia akan
peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi! Agaknya kali ini ia takkan
menang, dan benarkah maut akan menjemput nyawanya melalui tangan kakek yang
bermain yang-khim ini? Tidak, ia tidak boleh menerima kalah begitu saja!
Dengan penuh kegeraman hati Lu Sian melompat dekat dan
kini ia menggunakan kedua tangannya berbareng melakukan pukulan maut ke arah
kedua pundak kakek tua renta itu. Pukulan ini akan menghanguskan jantung dan
menghancurkan isi dada dan untuk melakukan ini, kedua tangan Lu Sian
mengeluarkan asap hitam dan seakan-akan membara saking panasnya.
Dua pukulan yang dahsyat itu tepat mengenai sasarannya,
di kedua pundak dekat leher kakek tua renta. Akan tetapi kakek itu masih tetap
enak-enak duduk mainkan yang-khim sedangkan Lu Sian terhuyung-huyung ke
belakang seperti orang mabok. Kedua tangannya tadi jelas mengenai sasaran, akan
tetapi semua tenaganya seperti disedot ke dalam samudra yang tak berdasar,
membuat ia kehilangan keseimbangan, bahkan akibatnya ia merasa dirinya kosong
sama sekali! ia bengong memandang kakek itu yang jelas mulai tampak terkena
akibat pukulannya. Kulit kakek itu dari pundak terus sampai ke leher dan
mukanya berubah hitam sekali, penuh hawa beracun dari pukulannya tadi. Akan
tetapi mulut itu masih tersenyum dan kini sepasang mata yang bening seperti
mata kanak-kanak memandangnya penuh perasaan iba! Kemudian terdengarlah
nyanyian kakek itu diiringi suara yang-khim.
Kejahatan yang dilakukan terhadap seorang tak berdosa
Akan berbalik menimpa si dungu yang melakukannya,
Bagaikan menebarkan debu melawan arah angin
Yang akan menimpa dirinya sendiri!
Lu Sian masih berdiri bengong memandang kakek itu dan
mengira bahwa sebentar lagi kakek itu tentu akan roboh dan tewas akibat hawa
pukulannya. Akan tetapi anehnya, kakek itu masih tersenyum dan warna menghitam
itu bahkan perlahan-lahan lenyap dari kulit muka dan lehernya. Bagaikan dalam
mimpi Lu Sian jatuh terduduk dan mendengarkan nyanyian wejangan kakek itu yang
serasa meremas-remas jantungnya.
Engkau bagaikan setangkai daun yang mengering layu
urusan kematian telah mendekatimu.
Engkau berdiri di ambang pintu kematian
apakah persiapanmu untuk bekal di perjalanan!
Buatlah pulau perlindungan bagimu,
berjuanglah segera penuh bijaksana.
Apabila engkau bersih dari noda dan bebas dari dosa
engkau akan mencapi sorga, alam para Ariya!
Berapa lama hidup ini?
Tanpa terasa engkau sudah menghampiri Raja Kematian.
Tiada akan ada tempat untuk istirahat di perjalanan
dan engkau belum menyiapkan suatu perbekalan!!
Suara itu merayu dan seperti menghimpit perasaan Lu Sian.
Tidak kuat ia menahan lebih lama lagi, maka sambil berlutut di depan kakek itu
ia berteriak.
‘Orang tua... aku mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak
perlu menyiksaku dengan kata-kata....!!
Lu Sian lalu menangis tersedu-sedu. Nyanyian kakek itu
seakan-akan mendengungkan semua teguran dan peringatan yang keluar dari mulut
puteranya tadi dan karenanya membuat hatinya makin hancur. Teringatlah ia akan
kesesatan hidupnya dan sadarlah ia betapa rindu ia akan kehidupan yang wajar
dari manusia biasa dalam sebuah keluarga bahagia, selama ini.
Suara yang-khim terhenti. Dengan gerakan tenang kakek itu
menyandangkan alat musiknya di pundak lalu berkata,
‘Terasa tersiksa karena sadar akan dosa-dosanya adalah
baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah perbuatan jahat tidak diulangi lagi.
Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan jahat. Penderitaan dalam hidup adalah
buah daripada perbuatan jahat yang menjadi pohon tanaman kita sendiri. Orang
yang bersengsara, bukankah engkau yang disebut Tok-siauw-kwi?, tiada permusuhan
di antara kita, mengapa kau datang-datang menyerangku dan kini minta kubunuh?!
Lu Sian mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak kuat
ia menentang pandang mata kakek itu lama-lama, maka ia menunduk lagi dan tetap
berlutut,
‘Semua orang di dunia kang-ouw memusuhiku, mengapa kau
tidak? Sudahlah, tak perlu bermain-main denganku, orang tua. Kau terlalu sakti
bagiku, aku mengaku kalah. Lekas kau turunkan tangan maut menghabisi riwayatku,
aku pun sudah bosan hidup!!
Akan tetapi kakek itu tertawa perlahan.
‘Mengatasi kemarahan dengan kesabaran, mengatasi
kebencian dengan kasih sayang, mengatasi kesombongan dengan kerendahan hati,
mengatasi kebohongan dengan kebenaran, mengatasi kejahatan dengan kebajikan.
Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu tandanya kesadaran sudah
mulai muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar tidak menyesak
dada dan menjadi lapang untuk kau bertobat.!
Kini Lu Sian memandang penuh perhatian kepada kakek itu
dan naiklah sedu sedan di kerongkongannya ketika timbul dugaan hatinya.
‘Kau... kau... Bu Kek Siansu...?!
Kakek itu tersenyum dan mengangguk.
‘Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh siapapun
juga. Anak baik, bersediakah kau kembali ke jalan yang lurus?!
Suara ini demikian tenang dan penuh rasa kasih sayang,
seakan-akan suara seorang ayah sendiri yang penuh perasaan iba, Lu Sian menjadi
terharu lalu menubruk kaki orang tua itu dan menangis.
Kemudian berceritalah Lu Sian, menceritakan semua
pengalamannya yang membuat ia dimusuhi semua orang kang-ouw, semua perbuatannya
dalam mengabdi kepada nafsu-nafsunya. Tanpa malu-malu dan secara
terang-terangan ia bukakan semua isi hatinya kepada kakek ini. Ia bercerita
tentang Kwee Seng, tentang Tan Hui, dan tentang partai-partai persilatan besar
yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri kitab-kitab di Siauw-lim-pai,
di Go-bi-pai, mencuri pedang di Hoa-san-pai.
Lu Sian bercerita penuh perasaan sesal sambil menangis
dan pada akhir ceritanya ia muntah darah dan roboh pingsan di depan kaki Bu Kek
Siansu yang mendengarkan penuh kesabaran dan pengertian. Dalam keadaan seperti
mimpi ia merasa seperti terbang di antara awan yang menyelubunginya, dan
terngianglah di telinganya suara Bu Kek Siansu yang tenang dan sabar.
‘Jauhi segala permusuhan. Jangan layani mereka yang
memusuhimu. Bertobat berarti menghentikan semua perbuatan yang keliru. Kampung
halaman merupakan tempat yang paling aman.!
Ketika Lu Sian sadar kembali, ia mendapatkan dirinya di
tempat tadi, akan tetapi Bu Kek Siansu sudah tidak ada di situ. Hanya suara
kakek itu masih terus bergema di telinganya. Teringat akan ayahnya, akan
Beng-kauw dan kota raja Nan-cao, teringat ketika ia masih kecil ikut ayahnya
merantau. Terbayanglah ia akan istana di bawah tanah yang menjadi tempat
rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang disindirkan oleh Bu Kek Siansu dalam
nasihatnya? Lu Sian bangkit berdiri, tubuhnya terasa lemah dan dengan
terhuyung-huyung wanita yang selama bertahun-tahun ini menimbulkan banyak geger
di dunia kang-ouw, kini pergi dengan hati perih dan pikiran hampa.
***
‘Kek, apa maksudmu dengan jatuh ke atas?!
‘Mereka itu orang-orang yang telah naik menempati
kedudukan, akan tetapi makin tinggi kedudukan mereka, makin jahatlah sepak
terjang mereka. Yang kuat mempergunakan kekuatannya untuk menindas yang lemah.
Yang pintar mempergunakan kepintarannya untuk menipu yang bodoh. Yang bodoh dan
lemah memang jatuh ke bawah akan tetapi yang kuat dan pintar itu bukankah
berarti jatuh ke atas? Ada dua macam kejahatan, akan tetapi secelaka-celakanya
jatuh ke bawah, lebih sialan lagi yang jatuh ke atas, ha-ha-ha!!
Bu Song sejak kecil dijejali filsafat, maka ia dapat
menangkap arti kata-kata sulit kakek itu.
‘Kek, jadi menurut keyakinanmu, tidak perlu kita
menempuh ujian dan menduduki pangkat?!
‘Kalau kau ikut-ikut jatuh ke atas....!
‘Kau keliru sama sekali, Kek. Kalau semua orang
terpelajar seperti engkau ini pendiriannya, hanya mengeluh dan menangis,
menyanyikan sajak-sajak kosong, meratapi nasib rakyat dan memaki-maki kelaliman
para pembesar, apakah akan jadinya? Keadaan takkan berubah baik, bahkan makin
memburuk. Kita harus bergerak. Kita harus bekerja dan berusaha memberantas
semua yang buruk, mempergunakan kekuasaan dan kebisaan kita masing-masing!
Bahkan dengan kepandaian kita, kita harus dapat menempati kedudukan yang
memungkinkan kita menggunakan kekuasaan kita merubah segala hal yang tidak
patut. Kek, apakah artinya menghafal sepuluh ribu ujar-ujar baik tanpa
melakukannya dalam hidup? Lebih baik mengeta hui satu saja akan tetapi
betul-betul dijalankan dalam hidup.!
Tiba-tiba kakek itu memandang dengan mata terbelalak.
Maboknya seperti hilang seketika dan ia memegang pundak Bu Song sambil
bertanya,
‘Kau... kau siapa...?!
‘Sudah kukatakan tadi, Kek, namaku Liu Bu Song.!
Pemuda ini tidak mau menggunakan she ayahnya, karena nama
Kam Si Ek terlampau terkenal di kota raja, maka ia sengaja menggunakan she
ibunya.
‘Kau... lain daripada yang lain. Kau masih muda,
semangatmu besar. Kau... murid siapakah?!
‘Guruku yang terhormat, yang memberi bimbingan kepada
saya sejak kecil adalah Kim-mo Taisu.!
‘Ahhh...! Kiranya dia gurumu! Kalau begitu pantas saja
kau bicara besar, kiranya kau seorang ahli silat pula yang dapat mengandalkan
kepandaian kasar itu utuk mencari kedudukan!!
‘Harap kau orang tua jangan salah duga. Suhu hanya
mengajarkan ilmu sastera kepadaku, sama sekali aku tidak pernah mempelajari
ilmu silat. Aku benci ilmu itu yang hanya dipergunakan untuk saling bunuh.!
Sejenak kakek itu memandang penuh keheranan, kemudian ia
merangkul pundak Bu Song.
‘Bagus! Kalau begitu kaulah orangnya yang patut
mewarisi suling emas!!
‘Apa, Kek? Apa maksudmu?!
‘Orang muda, pernahkah kau mendengar nama sastrawan Ciu
Bun?! Bu Song menggeleng kepala.
‘Kalau nama kakakku Ciu Bun yang amat terkenal saja kau
tidak pernah dengar apalagi namaku. Aku adalah Ciu Gwan Liong, adiknya. Akan
tetapi biarpun nama kami berdua kau tak pernah dengar, tentu kau sudah
mendengar nama besar Bu Kek Siansu.!
‘Aku pernah mendengar Suhu menyebut-nyebut nama kakek
sakti itu.!
‘Tentu saja. Gurumu mana bisa menjadi begitu lihai
kalau tidak bertemu dengan Bu Kek Siansu? Ketika itu di puncak Thai-san, secara
kebetulan gurumu dan kami berdua menerima anugerah dari Bu Kek Siuansu. Gurumu
menerima petunjuk ilmu silat, sedangkan kami orang-orang sastrawan yang lemah,
menerima kitab sajak ini dan suling emas. Kitabnya diberikan kepadaku ini dan
suling emasnya berada di tangan kakakku Ciu Bun. Akan tetapi terpaksa kami
berdua pisah. Kerajaan jatuh bangun, para sastrawan tidak mendapat penghargaan
sama sekali. Selain itu juga ternyata suling emas dan kitab ini tidak hanya
berguna bagi para sastrawan menghibur diri dan menenangkan hati, malah
dijadikan perebutan para tokoh kang-ouw! Kami dikejar-kejar terutama sekali
kakakku sehingga terpaksa kakak Ciu bun melarikan diri dan bersembunyi di pulau
kosong di Lam-hai. Kami berdua sudah bersepakat untuk mempertahankan kitab dan
suling, dan telah bersepakat pula kelak memberikan kepada orang yang kami
pandang tepat. Nah, pilihanku jatuh kepadamu, orang muda. Tidak salah lagi,
apalagi engkau murid Kim-mo Taisu. Ah, Thian agaknya sengaja mengirim kau ke
sini untuk membebaskan aku daripada tugas menyimpan kitab ini. Kausimpanlah
kitab ini baik-baik, dan kelak, kau carilah kakakku di Pek-coa-to di Lam-hai,
kau perlihatkan kitab ini tentu suling emasnya akan diberikan kepadamu. Kau
minta petunjuk dari padanya, kedua benda pusaka itu kelak amat berguna bagimu.
Lekas simpanlah...!!
Kakek itu memasukkan kitab kecil di tangan cepat-cepat ke
dalam saku baju Bu Song sebelah dalam.
‘Lindungi kitab ini dengan taruhan nyawamu...!!
Tergesa-gesa kakek itu memberi pesan ini dan tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda. Kiranya tujuh orang berkuda tadi sudah kembali lagi
dan kini mereka meloncat turun dari atas kuda, lalu langsung menghampiri
sastrawan tua Ciu Gwan Liong dan Bu Song. Sastrawan itu masih duduk bersila
akan tetapi Bu Song sudah bangkit berdiri melihat tujuh orang itu datang dengan
sikap mengancam. Si Komandan bermuka hitam lalu langsung menyerbu Ciu Gwan Liong
dan menangkap leher bajunya, ditariknya ke atas dengan amat mudah sehingga
tubuh kakek sastrawan itu tergantung.
‘Ah, kiranya kau tua bangka pengemis inilah sastrawan
Ciu Gwan Liong! Hayo mengakulah, bukankah kau Ciu Gwan Liong?!
‘Aku benar she Ciu bernama Gwan Liong,! jawab kakek itu
dengan suara angkuh biarpun keadannya amat terhina seperti itu.
‘Kalian ini anjing-anjing peliharaan yang hanya
mengandalkan sisa makanan pembesar negeri, mengapa bersikap begini kasar dan
tidak sopan terhadap orang tak bersalah?!
‘Wah, mulut besar! Hayo ikut kami menghadap Taijin!!
Si Muka Hitam lalu melemparkan tubuh kakek itu kepada
anak buahnya yang menerima tubuh kakek itu sambil tertawa-tawa. Di lain saat
tubuh kakek itu sudah direbahkan tertelungkup melintang di atas punggung kuda
seperti segulung tikar.
‘Mana ada aturan begini?! Bu Song melangkah maju
menegur Si Muka Hitam.
‘Dengan alasan apakah kalian menangkap orang secara
sewenang-wenang?!
‘Heii! Kau pemuda tolol jangan ikut campur! Tidak tahu
bahwa kami adalah alat negara?! bentak Si Muka Hitam marah sekali.
Bu Song sama sekali tidak takut, ia malah melangkah maju
dan berkata dengan suara keras,
‘Justeru karena kalian alat negara seharusnya
menggunakan peraturan dan hukum kesopanan! Bukankah negara itu diatur dengan
hukum dan alat-alat negara adalah penegak hukum? Hanya perampok saja yang
menindas dan menangkap orang tanpa kesalahan dan kalian sebagai alat negara
seharusnya malah memberantas tindakan seperti itu. Hayo bebaskan kakek yang
tidak bersalah itu, kalau tidak, aku akan melaporkan kalian kepada pembesar
negeri di kota raja, tentu kalian akan dipecat dan dihukum!!
Sesaat Si Muka Hitam tercengang sampai melongo.
Benar-benar belum pernah selama hidupnya ia melihat orang berani berkata-kata
seperti itu terhadapnya. Kemudian ia tertawa bergelak dan sekali kakinya
bergerak perut Bu Song sudah tersambar tendangan keras yang membuat tubuh Bu
Song terpelanting dan bergulingan.
‘Ha-ha-ha, kau boleh melapor, ha-ha! Justeru yang
menyuruh tangkap sastrawan ini adalah pembesar negeri, tolol!!
Bu Song masih penasaran dan tendangan itu biarpun
membuatnya jatuh terguling akan tetapi tidaklah amat nyeri, maka ia sudah cepat
bangun kembali.
‘Kalau begitu pembesar negeri yang menyuruhmu itu
sewenang-wenang!! bentaknya pula. Si Muka Hitam tertawa dan juga penasaran.
Tendangannya amat keras dan ia terkenal sebagai seorang yang kuat. Bagaimana
orang muda ini masih sanggup bangun dan malah kini membuka mulut menegur
pembesar negeri?
‘Kau menentang?!
Bentaknya dan kini tangan kanannya bergerak memukul,
menyambar ke arah muka Bu Song. Pemuda ini melihat jelas pukulan menyambar. Ia
kaget dan berusaha mengelak, akan tetapi mukanya bertemu dengan pukulan kiri
yang menyusul.
‘Dessss!!
Pukulan ini keras sekali dan membuat matanya berkunang
dan pada saat itu sebuah tinju yang amat keras telah menghantam dadanya,
membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Tujuh orang itu
tertawa-tawa, akan tetapi diam-diam Si Muka Hitam heran dan kaget sekali
melihat betapa pemuda itu sudah bangun lagi dengan cepat, sea kan-akan tidak
merasakan pukulan-pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga itu!
Diam-diam ia menaruh curiga dan memandang pemuda yang luar biasa kuat menahan
pukulan itu yang sudah berdiri tegak lagi, kemudian ia memerintahkan anak
buahnya untuk naik kuda dan membawa pergi tawanan mereka. Diam-diam ia merasa
jerih juga terhadap pemuda aneh itu.
Akan tetapi baru saja ketujuh orang itu meloncat ke atas
kuda sambil tertawa-tawa, suara ketawa mereka berubah menjadi jerit-jerit
mengerikan dan mereka semua termasuk Si Muka Hitam terlempar dari atas punggung
kuda dan ketika Bu Song memandang, ternyata mereka bertujuh sudah putus
nyawanya. Darah mengucur dari leher mereka seperti sekawanan lembu dipotong
lehernya.
Dua bayangan melompat keluar dari balik pohon dan mereka
ini langsung menghampiri kakek sastrawan dan menolongnya turun dari atas
punggung kuda. Dua orang laki-laki ini berkepala gundul, berpakaian ringkas
dengan lengan pendek, usia mereka empat puluh tahun lebih dan agaknya mereka
adalah sebangsa hwesio.
‘Saudara Ciu Gwan Liong harap jangan khawatir. Mari
kami kawal Saudara menghadap ketua kami. Biar ada seratus anjing-anjing macam
mereka tentu akan kami basmi semua.!
Ciu Gwan Liong mengangkat kedua tangan memberi hormat.
‘Kehormatan besar! Akan tetapi siapakah Ji-wi Suhu ini
dan siapa pula ketua kalian? Aku tidak ada urusan dengan ketua kalian.!
‘Kami dari Hui-to-pang, dan ketua kami mengundang
Saudara untuk diajak berunding.!
‘Ha-ha-ha, berunding?! Sastrawan tua itu tertawa
bergelak.
‘Kalian orang-orang kang-ouw di mana-mana sama saja!
Orang lemah macam aku ini mana dibutuhkan kalau tidak karena sebuah kitab kuno?
Ji-wi Losuhu ketahuilah bahwa kitab yang dicari-cari itu tidak ada padaku. Aku
bersumpah, kitab itu tidak ada padaku!!
Dua orang gundul itu saling pandang, kemudian seorang
diantara mereka berkata sambil tertawa dingin, ‘Kami hanya melakukan perintah
membawa Saudara menghadap Pangcu kami.!
‘Ji-wi adalah pendeta-pendeta yang mengutamakan
kebajikan, mengapa kini menggunakan kekerasan memaksa orang untuk ikut?!
Tiba-tiba Bu Song mendekati dan membela kakek itu.
‘Bukankah dalam kitab sucimu terdapat ujar-ujar Nabi
Buddha bahwa seorang bhikku biarpun masih muda asal ia mentaati ajaran Sang
Buddha, ia akan menerima penerangan dunia seperti bulan purnama terbebas awan?
Kalau dua orang pendeta seperti Ji-wi sudah menggunakan kekerasan, membunuh
orang dan memaksa kakek ini untuk ikut, bukankah itu sudah melanggar segala
hukum agama kalian sendiri dan berarti memupuk dosa?!
Dua orang hwesio itu saling pandang, muka mereka berubah
merah dan sinar mata mereka menjadi bengis. Melihat pemuda yang telah diserahi
kitab ini kembali mencampuri urusan secara berani mati untuk membelanya, sastrawan
tua itu cepat-cepat berkata,
‘He sastrawan muda yang gila! Kau mau mengikuti ujian,
pergilah dan jangan usil mencampuri urusan orang lain! Terhadap Ji-wi Losuhu
ini, aku sanggup mengatasi, tidak membutuhkan bantuanmu. Hayo pergi, sikapmu
memualkan perutku!!
Bu Song terkejut dan heran. Masa kakek ini begini tak
kenal budi, dibela malah balas memaki? Akan tetapi kemudian ia ingat bahwa
kakek ini telah menyerahkan kitab kepadanya dan agaknya kitab itu yang kini
diperebutkan, maka ia lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,
‘Orang tua, kalau begitu biarlah kita berpisah. Harap
kau orang tua suka menjaga diri baik-baik.!
Kemudian ia melempar pandang penuh teguran kepada dua
orang hwesio itu dan membalikan tubuhnya, melangkah hendak pergi dari situ,
akan tetapi tiba-tiba Bu Song roboh terguling ketika sebuah tangan seorang
hwesio bergerak ke depan dan menyentuh pundaknya. Bukan main kuat tangan itu
sehingga tanpa dapat dicegah lagi Bu Song terpelanting.
‘Nanti dulu, orang muda. Kau pun harus ikut kami!!
‘Hei, apa-apaan ini? Ji-wi Suhu kalau mau mengajak aku
mengunjungi ketua kalian boleh saja, mari kita berangkat biar aku berunding
atau berdebat dengannya. Akan tetapi orang muda ini tidak ada sangkut-pautnya
dengan urusan ini. Aku tidak sudi kalau pergi bersama dia!!
‘Dia sudah melihat kami hendak pergi bersamamu, maka ia
tak boleh hidup lagi. Kalau dia tidak boleh ikut, biar dia kita tinggalkan!!
Jawab seorang hwesio dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Sebuah benda bersinar terang menyambar ke arah Bu Song dan pemuda yang tanpa
disadarinya sendiri telah memiliki pandang mata yang kuat dan tajam itu dapat
melihat sebatang golok kecil melayang menuju ke arah lehernya! Akan tetapi
karena ia tidak pernah memperlajari bagaimana cara orang mengelak dari ancaman
seperti itu, ia menjadi bingung dan pada saat itu, dari arah yang berlawanan,
menyambar sebuah benda kecil yang dengan kecepatan kilat melayang dan membentur
hui-to (golok terbang) itu.
‘Cringg!!
Golok itu runtuh di atas tanah terpukul oleh sebuah benda
yang hanya sebuah kerikil saja.
Dua orang hwesio itu mengangkat muka dan ternyata tak
jauh dari situ telah berdiri seorang kakek tua yang kedua kakinya lumpuh dan
berdirinya di atas kedua tongkat yang dipegangnya. Kedua kakinya bersila. Bu
Song tentu saja mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin,
kakek yang menjadi paman dari ibu gurunya!
Biarpun ia tidak pernah menyukai kakek ini yang ia anggap
kasar, galak, aneh dan ganas, namun kini ia harus mengakui bahwa kakek ini
telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman golok terbang tadi.
‘Kong-lo Sengjin!! Seorang di antara dua hwesio itu
membentak.
‘Kembali kau hendak memusuhi Hui-to-pang! Belum lama
ini seorang saudara kami kau bujuk membunuh isteri Kim-mo Taisu dan kau biarkan
ia tewas di tangan Kim-mo Taisu!!
‘Ha-ha, salahnya sendiri dia tidak kuat melawan Kim-mo
Taisu!!
‘Kau yang mengkhianatinya, kau berjanji hendak
menghadapi Kim-mo Taisu. Sekarang ternyata kau malah menarik Kim-mo Taisu
menjadi sekutumu. Kau curang dan sekarang apalagi yang hendak kaulakukan kepada
kami?!
‘Hwesio-hwesio tengik. Kau ini orang-orang apa berani
bicara seperti itu kepadaku? Aku datang melarang kalian membunuh pemuda ini,
dan tentang Ciu Gwan Liong, dia akan ikut bersamaku, bukan bersama kalian! Hayo
lekas menggelinding pergi dari sini!!
‘Kong Lo Sengjin orang lain boleh takut kepadamu, akan
tetapi kami tidak!!
Bentakan ini disusul gerakan kedua tangan mereka dan
tampaklah sinar berkelebatan. Kiranya banyak sekali golok terbang telah
menyambar dan melayang ke arah tubuh kakek lumpuh itu bagaikan hujan. Hebat
memang kepandaian yang merupakan keistimewaan tokoh-tokoh Hui-to-pang ini.
Sinar terang golok-golok kecil itu sampai menyilaukan mata, mengeluarkan suara
angin besar dan selain cepat melebihi anak panah terlepas dari busur, juga amat
kuat karena digerakkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang tinggi. Bu Song yang
menonton dari samping merasa ngeri karena ia selain silau memandang sinar
berkelebatan, juga tidak tahu bagaimana seorang manusia dapat menyelamatkan
diri dari bahaya yang demikian hebatnya. Tujuh orang penunggang kuda yang
lihai-lihai tadi seketika tewas, karena diserang sebuah hui-to setiap orang dan
dia sendiri kalau tidak tertolong Kong Lo Sengjin, tentu telah disembilih golok
terbang.
Apalagi sekarang kakek lumpuh itu sekaligus diserang
dengan hui-to yang sedemikian banyaknya. Mana mungkin menyelamatkan diri? Ia
sudah membayangkan betapa kakek itu akan roboh dengan tubuh tersayat-sayat
menjadi beberapa potong daging kecil-kecil!
Akan tetapi kali ini serangan golok-golok terbang itu
ditujukan kepada Kong Lo Sengjin, seorang kakek sakti yang berilmu tinggi.
Memang kakek ini pun terkejut melihat hebatnya serangan kedua orang hwesio itu,
dan maklum bahwa benda-benda terbang itu amat kuat dan berbahaya, tidak mungkin
dapat ia halau dengan kedua lengan kosong belaka. Namun kakek ini segera
mengayun tubuhnya dan kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu kini
diputar-putar di sekeliling tubuhnya, berubah menjadi segulung sinar yang
melingkar-lingkar.
Terdengar suara trang-tring-trang-tring tiada hentinya
dan amatlah indah pemandangan di waktu itu. Sinar-sinar berkeredepan itu yang
melayang ke arah kakek lumpuh, kini ber pencaran seperti bintang-bintang jatuh
dan suara nyaring yang terdengar karena bertemunya golok-golok terbang dengan
kedua tongkat seakan-akan menimbulkan semacam musik yang aneh.
Akhirnya habislah puluhan batang golok yang menjadi bekal
kedua orang tokoh Hui-to-pang itu. Mereka berhenti melemparkan golok terbang
dan berdiri dengan mata mendelik memandang lawan. Akan tetapi kini Kong Lo
Sengjin pun sudah kehilangan tongkatnya dan tampak ia duduk bersila di atas
tanah. Kedua tongkat yang tadinya mewakili kedua kaki dan kemudian dipergunakan
untuk menangkisi golok-golok terbang itu ternyata telah hancur menjadi beberapa
potong, menggeletak di depan kakinya yang lumpuh.
Ternyata semua golok terbang dapat ditangkis akan tetapi
kakek itupun kehilangan sepasang tongkatnya yang menjadi rusak.
Bu Song kaget dan mengira bahwa kakek itu terluka.
Biarpun ia tidak pernah merasa suka kepada kakek itu, dan tadi hatinya berdebar
keras mendengar percakapan antara mereka tentang pembunuhan yang dilakukan atas
diri ibu gurunya yang ternyata merupakan persekongkolan antara kakek lumpuh itu
dan orang Hui-to-pang, namun melihat kakek itu tak berdaya agaknya, ia merasa
kasihan dan melangkah mendekati.
‘Locianpwe, apakah kau terluka? Sungguh tak tahu malu
kedua hwesio itu, mengeroyok seorang tua yang lumpuh dengan golok terbang!!
‘Aku hanya kehilangan kedua tongkatku, akan tetapi
tidak mengapa, ada engkau di sini yang menggantikannya. Hayo, anak tolol, kau Bantu
kakekmu mengantar mereka ke neraka!!
‘Apa... apa maksud Locianpwe...?!
Akan tetapi tiba-tiba tubuh kakek itu bergerak, mencelat
ke atas dan sebelum Bu Song tahu apa yang hendak dilakukan kakek itu, tubuh itu
telah menyambar dan tahu-tahu telah berada di atas punggungnya! Kedua kaki yang
lumpuh itu bergantungan dari atas kedua pundaknya dan ternyata kakek itu sudah
menduduki tengkuknya!
‘Hayo bawa aku mendekati mereka!!
Tahulah kini Bu Song maksud kakek itu. Ia hendak
dijadikan semacam kuda tunggang karena kakek itu lumpuh dan tidak dapat
berjalan! Tentu saja ia merasa tidak suka, apalagi kalau disuruh bertempur,
akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terdorong ke depan dan tanpa dapat ia
tahan lagi kedua kakinya sudah melangkah cepat ke depan. Kiranya kakek sakti
itu menggunakan tenaga saktinya untuk memaksa dan mendorongnya.
Kedua orang hwesio Hui-to-pang itu pun marah melihat
hui-to-pang mereka tidak berhasil tidak berhasil merobohkan Kong Lo Sengjin,
hanya merusak sepasang tongkatnya. Akan tetapi mengingat bahwa kakek lumpuh itu
kehilangan senjatanya, mereka menjadi besar hati dan segera menerjang maju,
menyerang Kong Lo Sengjin dan tentu saja karena Bu Song tidak terluput pula
dari serangan-serangan!
Dapat dibayangkan betapa kecut hati Bu Song. Ia merasa
angin menyambar-nyambar dari depan dengan dahsyatnya. Akan tetapi Kong Lo
Sengjin juga sudah bergerak, kedua tangannya menyambar-nyambar ke depan dan
bukan main hebat dan dahsyatnya angin pukulan yang keluar dari tangan dan
lengan bajunya. Begitu kakek lumpuh ini memutar kedua tangannya, lawan-lawannya
terdesak mundur dan mengeluarkan seruan kaget.
‘Ha-ha-ha, kalian hendak lari ke mana?!
Kong Lo Sengjin berseru dan tubuhnya sampai hampir
tergantung dari leher Bu Song saking besarnya nafsu menjatuhkan kedua lawannya
yang selalu melompat menjauhkan diri. Beberapa kali kakek itu menepuk kepala Bu
Song sambil menghardik,
‘Hayo cepat kejar mereka, tolol!!
Akan tetapi Bu Song yang tidak mempunyai nafsu untuk
berkelahi, hanya bergerak seenaknya saja, hanya menurutkan dorongan yang
memaksa tubuhnya mendoyong ke depan atau ke kanan kiri dan melakukan langkah
kalau terpaksa saja.
Ternyata bahwa kedua orang hwesio itu hanya istimewa
dalam penggunaan hui-to saja. Dalam pertandingan tangan kosong, mereka bukanlah
lawan Kong Lo Sengjin yang memiliki sin-kang jauh lebih kuat daripada mereka.
Semua serangan mereka, baik yang ditujukan kepada tubuh kakek itu maupun yang
mereka arahkan kepada Bu Song membalik oleh dahsyatnya angin gerakan kedua
lengan kakek lumpuh. Mereka menyadari hal ini, maka setelah melawan dengan
susah payah selama puluhan jurus, keduanya lalu melompat dan melarikan diri.
‘Tolol, kejar mereka!!
Kong Lo Sengjin menjambak-jambak rambut Bu Song. Akan
tetapi Bu Song tidak mau, bahkan berdiri tegak.
‘Saya tidak bisa lari secepat mereka, pula apa gunanya
saya mengejar mereka, Locianpwe?!
‘Hayo kejar mereka, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!!
Akan tetapi Bu Song tidak menjawab, melainkan memandang
ke kiri dan berseru.
‘Celaka, Kakek itu menggantung diri!!
Amat cepat gerakan Kong Lo Sengjin. Tubuhnya sudah
mencelat dari atas pundak Bu Song dan dalam keadaan melayang ini ia sekali
sambar sudah memutuskan tali gantungan dan melempar tubuh Ciu Gwan Liong ke
atas tanah, sedangkan dia sendiri pun sudah bersila di dekatnya.
‘Tua bangka sialan!!
Kong Lo Sengjin mengomel, akan tetapi ia tidak pedulikan
kakek sastrawan yang sudah megap-megap itu, melainkan cepat ia memeriksa semua
pakaian Ciu Gwan Liong dan mengeluarkan isi sakunya. Akan tetapi benda yang
dicari-cari, kitab itu, tidak ada. Kong Lo Sengjin menjadi marah, ia
mencengkeram kedua pundak kakek yang sudah sekarat itu, mengguncang-guncang dan
mengangkat tubuhnya sambil berseru,
‘Di mana kitab itu? Hayo katakan, di mana kitab itu?!
Suaranya amat menakutkan dan penuh ancaman.
‘Locianpwe, jangan siksa dia. Lihat dia sudah payah...!
‘Tidak peduli! Heii, Ciu Gwan Liong, hayo bilang, di
mana kitab itu kau sembunyikan? Demi iblis, kalau tidak mengaku, kusiksa kau
biar mati perlahan-lahan!!
‘Locianpwe...!
Bu Song sudah hampir saja mengaku dan menyerahkan kitab
itu karena ia tidak tahan menyaksikan kakek yang lemah itu tersiksa, akan
tetapi pada saat itu Si Sastrawan tua sudah membuka mata dan berkata lemah.
‘Kitab itu kuberikan... kepada... Kim-mo Taisu...!
Setelah berkata demikian, kakek itu menjadi lemas dan
ketika Kong Lo Sengjin melepaskannya, ia telah tewas! Bu Song menundukkan
mukanya dan menarik napas panjang.
‘Biarkan aku mengubur jenazahnya...!
Lalu ia memungut sebatang golok besar dari pinggang mayat
seorang di antara tujuh penunggang kuda tadi.
‘Dan mayat mereka juga...! tambahnya.
‘Huh, bocah kurang pekerjaan engkau ini. Eh, mana
Gurumu? Dan mengapa engkau berada di sini?!
‘Saya diutus oleh Suhu untuk menempuh ujian di kota
raja, Locianpwe. Adapun Suhu sendiri sudah meninggalkan gunung untuk membalas
dendam kematian Subo.!
Kong Lo Sengjin termenung sejenak.
‘Kau buatkan sepasang tongkat untukku. Hayo lekas! Aku
harus segera pergi dari sini!!
Bagi Bu Song, lebih lekas kakek itu pergi lebih baik,
maka tanpa membantah ia lalu naik ke atas pohon, memilih dua batang cabang
pohon dan menebangnya dengan golok. Setelah membuangi ranting dan daunnya, ia
menyerahkan sepasang tongkat itu kepada Kong Lo Sengjin. Kakek ini menerima
sepasang tongkat dan sekali menggerakkan tubuhnya, ia sudah ‘berdiri! di atas
kedua tongkat itu.
‘Kau dengar baik-baik! Menurut Kakek sastrawan ini,
kitabnya diserahkan kepada Suhumu. Hal ini berarti Suhumu akan dimusuhi dan
dicari orang seluruh kang-ouw. Maka kau harus tutup mulut, jangan bicarakan hal
itu kepada siapapun juga. Awas kalau, kau membongkar rahasia ini, aku akan
datang dan menghacurkan kepalamu, mengerti?!
‘Mengerti, Locianpwe.!
Kong Lo Sengjin tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian
ia melesat pergi dengan kecepatan yang membuat Bu Song kagum dan bengong. Tapi
ia lalu tak memperhatikan lagi kakek itu dan segera mulai dengan tugasnya
mengubur mayat Ciu Gwan Liong dan mayat ke tujuh orang penunggang kuda tadi.
Matahari telah terbenam ke langit barat ketika ia menyelesaikan tugasnya,
kemudian sambil menggendong bungkusan pakaiannya, ia melanjutkan perjalanannya,
melangkahkan kaki menuju ke tembok kota raja.
Untung pintu gerbang belum tertutup dan tergesa-gesa ia
memasuki kota raja yang amat asing baginya. Kagum ia melihat gedung-gedung
besar akan tetapi juga hatinya kecut ketika ia menyaksikan para pengawal dan
orang-orang berpakaian seperti tujuh orang penunggang kuda yang mayatnya ia
kubur tadi menjaga di tiap pintu gerbang gedung-gedung besar itu. Dengan
bertanya-tanya, mudah saja ia mencari rumah penginapan Liok-an yang berada di
ujung kiri jalan raya, dekat pintu gerbang kotaraja sebelah barat. Rumah
penginapan Liok-an ini tidak besar, dan huruf Liok-an yang terpancang di atas
papan depan rumah itu sudah tua. Karena hari sudah menjelang gelap, Bu Song
merasa tidak sopan mencari tempat sahabat atau kenalan gurunya, maka ia lalu
memasuki rumah penginapan itu dan minta kamar kepada seorang pelayan tua yang menyambutnya.
Losmen ini kecil dan miskin, maka tidak banyak tamunya dan dengan mudah Bu Song
mendapatkan sebuah kamar. Kemudian kepada pelayan tua ia bertanya tentang
seorang pengurus rumah gadai bernama Ciu Tang yang katanya tinggal di sebelah
kiri losmen itu.
‘Ciu Tang? Memang ada, dan sore hari begini rumah gadai
sudah tutup. Rumahnya di sebelah belakang losmen ini. Apakah Kongcu hendak
menemuinya?!
‘Benar, Lopek. Akan tetapi besok pagi-pagi saja. Saya
harap kau suka mengantar saya ke sana.!
Pelayan itu senang dengan sikap dan kata-kata pemuda yang
sopan ini, maka ia segera menyatakan kesanggupannya. Dan pada keesokan harinya,
pagi-pagi ia sudah diantar pelayan itu ke sebuah rumah dalam lorong kecil dekat
losmen. Setelah bertemu dengan orang yang