Bab 27
˜Twako, justeru kedatanganku ini hendak menonton
pertandingan mereka. Tentu ramai sekali!!
Bok Liong melongo dan menggaruk-garuk rambutnya dengan
sepuluh jari tangannya.
˜Nonton? Moi-moi, kau terlalu meremehkan mereka!
Ketahuilah, kejahatan mereka sudah tersohor di kolong langit. Kadang-kadang
mereka menyiksa dan membunuh orang secara begitu saja, secara sembarangan.
Dalam gembira bisa saja mereka membunuh orang, apalagi dalam marah atau duka.
Pendeknya, sedikit persoalan saja cukup untuk mereka jadikan alasan menurunkan
tangan iblis. Bahkan mereka berlumba agaknya untuk dapat disebut orang yang
paling jahat, karena sebutan ini bagi Thian-te Liok-koai merupakan sebutan
kehormatan, yaitu orang jahat nomor satu di dunia! Moi-moi, mari kita pergi
cepat-cepat dari tempat terkutuk ini!! Kembali Bok Liong memegang tangan gadis
itu erat-erat.
Lin Lin kembali merasa tidak enak tangannya dipegang erat
oleh pemuda itu, akan tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda itu, ia
mendiamkannya saja, lalu menjawab.
˜Liong-twako, kenapa kau sekarang berubah begini penakut?
Belum lama ini kau bahkan berani menghadapi Hek-giam-lo dan orang-orangnya,
menyerbu berkali-kali dengan keberanian yang membuat orang sedunia boleh merasa
kagum. Kenapa sekarang kau takut? Dan pula, bukankah kau juga datang ke tempat
ini? Andaikata tidak berjumpa denganku, kau hendak ke mana?!
˜Ah, Lin-moi, sudah kuceritakan kepadamu tadi. Aku sakit
hati kepada Hek-giam-lo, mengira bahwa kau tentu celaka di tangah iblis itu.
Oleh karena inilah setelah aku menerima gemblengan dari Suhu, aku sengaja
datang ke sini karena teringat akan janji pertemuan para iblis di sini. Aku
pasti akan bertemu dengan Hek-giam-lo di puncak dan akan kuajak dia bertempur
sampai mati kalau dia tidak bisa mengembalikan kau. Moi-moi, sebelum bertemu
denganmu, aku menjadi nekat dan tidak ingin hidup lagi kalau kau tewas di tangan
Hek-giam-lo. Akan tetapi setelah kini melihat kau selamat, aku pun ingin hidup,
Moi-moi!! Ucapan ini terdengar gemetar penuh perasaan dan mata pemuda itu
menatap wajah Lin Lin penuh cinta kasih, membuat Lin Lin terharu dan ia pun
membalas pegangan itu dengan mesra.
˜Hemmm, kau selalu memikirkan tentang keselamatanku tanpa
menghiraukan keselamatanmu sendiri, Twako. Andaikata aku menuruti kehendakmu
tidak jadi naik ke puncak untuk nonton pertandingan hebat lalu kau hendak
mengajakku ke mana?!
Tiba-tiba Bok Liong berlutut dan memegangi kedua tangan
Lin Lin sambil memandang tajam dan suaranya gemetar, ˜Lin Lin, Moi-moi.. aku..
aku akan mengajakmu ke Cin-ling-san, menemui bibi gurumu, aku.. aku akan
meminangmu untuk menjadi isteriku..!
Bukan main kagetnya hati Lin Lin. Memang, tentu saja ia
tahu bahwa pemuda ini mencintanya, akan tetapi mendengar bahwa Bok Liong hendak
meminangnya dari tangan bibi gurunya, ia benar-benar menjadi kaget dan wajahnya
seketika berubah pucat. Ia menarik kedua tangannya dan bangkit berdiri.
˜Tidak.. tidak.. Liong-twako, aku.. menganggapmu sebagai
kakak sendiri, seorang kakak yang baik. Biarlah kita bersumpah mengangkat
saudara.. tapi aku tidak.. tidak..!
Bok Liong yang masih berlutut memegang kaki kanan Lin
Lin, suaranya penuh permohonan.
˜Lin Lin, dewi pujaan hatiku.. aku cinta kepadamu, Lin
Lin. Perlukah ini kujelaskan lagi? Aku mencintaimu semenjak pertemuan kita yang
pertama, aku rela mati untukmu.. sudilah kau menerima cintaku, bukan sebagai
adik, melainkan sebagai calon teman hidup selamanya. Aku bersumpah akan
membahagiakan hidupmu selamanya Moi-moi..!
Air mata bercucuran dari sepasang mata Lin Lin. Hatinya
amat terharu dan ia yakin bahwa andaikata ia menjadi isteri pemuda ini, sudah
pasti hidupnya akan terjamin dengan kasih sayang yang suci. Akan tetapi wajah
Suling Emas terbayang di depan matanya, membayang di antara air mata dan tak
mungkin ia menerima pinangan pemuda lain selama bayangan wajah ini tidak lenyap
dari kenangannya. Ia tahu bahwa Lie Bok Liong adalah seorang pendekar muda
pilihan, seorang gagah perkasa yang berhati emas, satria sejati. Namun, hatinya
telah terampas oleh Suling Emas dan ia hanya memiliki sebuah hati untuk
diberikan kepada pria idamannya.
˜Tidak, Liong-twako..!!
Setelah berkata demikian, Lin Lin menggerakkan kakinya
terlepas daripada pelukan Bok Liong dan tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan
pemuda itu, lari seperti terbang mendaki Gunung Thai-san!
Sejenak Lie Bok Liong tercengang, mukanya pucat sekali,
pandang matanya sayu mengikuti bayangan gadis pujaannya yang sebentar saja
sudah menghilang di balik pepohonan. Ia menghela napas panjang, meramkan kedua
matanya, menggigit bibir kemudian bangkit dan berjalan perlahan, mendaki gunung
itu pula. Ia merasa hatinya tertusuk, akan tetapi ia tidak putus asa. Lin Lin
tidak pernah menyatakan bahwa gadis itu tidak mencintanya, hanya menolak,
mungkin karena malu, mungkin karena kaget dan gelisah, hal ini memang mungkin
sekali, sebagai seorang gadis remaja yang mendengar pengakuan cinta dan
pinangan dari seorang muda. Ia tidak putus asa dan akan berlaku sabar. Akan
tetapi hatinya khawatir bukan main melihat gadis itu mendaki puncak Thai-san
yang ia tahu amat berbahaya pada waktu itu dengan akan hadirnya iblis-iblis
itu. Ia harus mengejar, harus menyusul dan siap untuk membela dan melindungi
Lin Lin daripada marabahaya. Gurunya, Gan-lopek, juga telah menyatakan bahwa
pada hari-hari pertandingan para iblis di puncak Thai-san, gurunya itu akan
datang untuk menonton pula. Dan agaknya hanya orang-orang sakti yang memiliki
kepandaian seperti gurunya itulah yang akan berani datang untuk menonton
pertandingan berbahaya itu.
Maka hatinya menjadi besar dan dengan tabah Lie Bok Liong
terus mendaki lereng gunung yang amat curam dan sukar dilalui itu. Baru
sekarang teringat olehnya betapa cepatnya tadi ia menyaksikan gerakan Lin Lin
ketika lari dari padanya mendaki gunung. Padahal ia tahu bahwa ilmu kepandaian
gadis itu hanya sebanding saja dengan tingkatnya, kalau tidak lebih rendah
malah. Bagaimana tadi ia melihat Lin Lin berlari seperti terbang mendaki gunung
sedangkan dia sendiri merasa betapa sukar dan berbahayanya sehingga ia harus
bergerak dengan hati-hati dan lambat!
Ketika Lie Bok Liong tiba di daerah gunung itu yang penuh
batu besar, di sebuah lereng di punggung Gunung Thai-san, tiba-tiba ia
mendengar suara orang terkekeh ketawa. Kagetnya bukan main karena ia tidak
melihat bayangan orang mengapa tahu-tahu ada suara ketawa yang menyeramkan ini?
Ia menengok dan memandang ke sana ke mari, namun tidak juga melihat bayangan
orangnya. Bulu tengkuk pemuda ini berdiri dan biarpun ia tidak percaya akan
setan yang dapat muncul di siang hari, ia dapat menduga bahwa tentu ada orang
sakti di tempat itu. Masih untung kalau orang sakti yang baik bagi Bok Liong,
akan tetapi suara ketawa itu bukan muncul dan mulut seorang sakti yang baik,
melainkan dari mulut seorang iblis sakti yang bukan main kejamnya, yaitu It-gan
Kai-ong sendiri!
Kini kakek ini muncul dari balik sebuah batu besar dan
mukanya lebih buruk daripada dulu. Punggungnya makin bongkok, rambutnya yang
riap-riapan itu kotor sekali, penuh lumpur dan debu, mukanya keriputan begitu
dalamnya seperti tersayat, matanya yang tinggal sebelah itu melotot sedangkan
mata yang buta mengeluarkan air lendir, mulutnya terkekeh dan dari ujung
bibirnya mengalir air liur. Tangannya memegang sebatang tongkat butut.
˜Heh-heh-ho-hah! Orang muda, pakaianmu seperti seorang
kang-ouw, kau membawa-bawa pedang. Apa kebisaanmu?!
Di dalam hatinya Bok Liong mendongkol sekali, akan tetapi
maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang iblis sakti yang sama sekali tak
boleh dipandang ringan, ia segera menjura dalam-dalam dan menjawab dengan sikap
sopan.
˜Kai-ong yang mulia, harap maafkan bahwa saya tidak tahu
Locianpwe berada di sini sehingga terlambat menyampaikan salam.!
˜Hua-hah-hah, kau mengenal aku? Akan tetapi aku tidak
mengenal kau.!
˜Mana mungkin Locianpwe mengenal saya yang tidak ternama
dan bodoh ini? Akan tetapi saya kira Locianpwe sudah mengenal Suhu.!
˜Heh-heh, tak perlu kau perkenalkan, aku akan tahu
sendiri. Terima ini!! Tiba-tiba tongkat butut di tangan itu bergerak dan
tahu-tahu sudah mengancam jalan darah maut di dada kiri Bok Liong dengan
totokannya!
˜Aaaiiihhhhh!! Bok Liong terkejut sekali, akan tetapi
sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi, jurus-jurus silatnya sudah mendarah
daging di tubuhnya sehingga gerak otomatisnya berjalan dan ia berhasil mengelak
dari totokan ini. Melihat gerakan itu, terutama sekali bagian tubuh belakang
yang megal-megol, It-gan Kai-ong tertawa sambil menarik kembali tongkatnya.
˜Heh-heh, kau murid si tukang gambar edan Gan-lopek! Mana
gurumu? Suruh dia muncul!!
˜Maaf, Locianpwe. Saya tidak berani memanggil Suhu kalau
beliau tidak berkenan muncul atas kehendak sendiri.! Jawaban Bok Liong ini
mencerminkan kecerdikannya. Ia tidak tahu apakah gurunya sudah berada di gunung
ini, dan ia pun tidak mau membohong dan menyombong bahwa gurunya akan
melindunginya, akan tetapi jawaban itu membayangkan bahwa gurunya mungkin ada
dan mungkin tidak, jadi tidak membohong akan tetapi sekaligus merupakan
peringatan bagi It-gan Kai-ong, bahwa Gan-lopek berada di situ maka ia tidak
boleh mengganggu murid orang sakti itu!
Akan tetapi It-gan Kai-ong adalah seorang manusia iblis
yang sukar digertak.
˜Heh-heh-heh, kalau begitu gurumu tentu belum datang. Sayang
sekali, sebetulnya aku hendak membekuk mampus gurumu itu agar kujadikan bukti
bahwa korbanku bukan orang biasa. Akan kagumlah iblis-iblis itu kalau aku
berhasil membawa she Gan si tukang gambar ke puncak. Menangkapmu tiada gunanya,
kau orang tiada guna dan tidak berarti. Tapi kau sudah bertemu denganku di
Thai-san, maka kau harus mampus!!
Kaget sekali Bok Liong. Ia bersiap-siap. ˜Locianpwe, di
antara Locianpwe dan saya Lie Bok Liong tidak terdapat pertentangan sesuatu,
mengapa Locianpwe hendak membunuhku?! Biarpun ia maklum bahwa keadaannya amat
berbahaya, namun suara pemuda gagah ini sama sekali tidak mengandung rasa takut
den tidak gemetar.
˜Huah-ha-ha! Semua iblis yang datang ke sini akan
membunuh siapa saja yang dihadapinya, besar kecil tua muda laki perempuan.!
Kemudian kakek pengemis yang menyeramkan den menjijikkan ini membuka mulutnya
meludah ke arah Bok Liong.
˜Cuh-cuh!!
Dua gumpal ludah menyambar bagaikan pelor-pelor baja ke
arah muka dan dada Bok Liong. Pemuda ini sudah waspada, cepat ia mengelak
dengan loncatan ke kiri sambil mencabut pedangnya. Berkat kegesitan dan
kewaspadaannya maka dua gumpal ludah itu tidak mengenai dirinya, melainkan
lewat cepat dan amblas masuk ke dalam batu besar di belakangnya!
˜Heh-heh-heh, Gan-lopek tidak sia-sia mengajarmu. Boleh
juga untuk main-main kau!! Kembali kakek itu meludah, kini ludahnya merupakan
semprotan air yang lebar, namun setiap titik air menuju ke arah jalan darah
dengan kekuatan yang cukup untuk mematikan lawan.
Bok Liong memutar pedangnya dan terbentuklah gulungan
sinar pedang merupakan payung bundar di depan tubuhnya yang menangkis semua
percikan air ludah itu.
Akan tetapi It-gan Kai-ong kembali menyerang dengan ludah
kental yang menyambar seperti peluru-peluru baja. Bok Liong menangkis dengan
pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia merasa tangannya tergetar hebat dan
hampir lumpuh setiap kali senjatanya itu menangkis gumpalan ludah. Bukan main
hebatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam serangan ludah-ludah itu.
˜Heh-heh-heh-hah-hah-hah, menarilah. Cuh-cuh-cuh!! Kakek
itu terus menyerang sambil meludah-ludah.
Bok Liong sibuk sekali dan ia mengerahkan sin-kang di
tubuhnya lalu mainkan pedangnya dengan cepat. Ia tidak berani lagi menangkis
ludah dari depan karena kalau terus-menerus mengadu tenaga ia akan celaka. Kini
ia menangkis dari samping sehingga ia hanya mengalihkan arah ludah-ludah itu ke
semping. Biar sampai habis ludahnya, tak mau aku menerima penghinaan ini, pikir
Bok Liong dan menangkis atau mengelak penuh kelincahan. Betapapun juga, hanya
diserang oleh ludah ini saja sudah cukup membuat Bok Liong repot menyelamatkan
diri dan tidak mampu balas menyerang!
Namun kelincahan Bok Liong yang selalu dapat
menghindarkan serangan ludahnya, membuat It-gan Kai-ong marah luar biasa. Ia
merasa penasaran juga karena biasanya, serangan ludahnya sudah cukup untuk
menewaskan lawan yang muda.
˜Eh, kau boleh juga. Cukup berharga untuk berkenalan
dengan tongkatku!! Tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dan tongkat di tangannya
bagi pandang mata Bok Liong sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang
sekaligus menerjang ke arah dirinya. Pemuda ini terkejut dan berusaha untuk
memutar pedang menangkis semua bayangan tongkat itu sambil bergerak mundur
dengan loncatan-loncatan lincah. Namun akhirnya ia terpaksa berhenti karena di
belakangnya terdapat sebuah jurang yang curam dan menganga lebar, siap
mencaploknya!
˜Heh-heh-heh, kau hendak lari ke mana sekarang?! It-gan
Kai-ong mengejek, terkekeh-kekeh dan tongkat bututnya mendesak makin dahsyat.
Betapapun dahsyat dan hebatnya ilmu tongkat It-gan
Kai-ong yang digerakkan dengan tenaga saktinya, namun Bok Liong bukanlah
seorang pemuda sembarangan. Ia murid terkasih dari Gan-lopek yang sudah
menurunkan ilmunya kepada murid ini, bahkan akhir-akhir ini mendapat tambahan
gemblengan lebih hebat. Maka menghadapi desakan maut di depan dan ancaman maut
di belakang, Bok Liong berlaku nekat dan pedangnya bergerak cepat mengeluarkan
suara berdesing. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus pilihan,
tidak lagi hanya menjaga diri, malah kini ia balas menyerang dengen nekat untuk
mengadu nyawa! Pertandingan mati-matian terjadi di pinggir jurang ini.
It-gan Kai-ong tidak lagi terkekeh sekarang. Betapapun
juga, balasan serangan pemuda yang sudah nekat ini tak boleh ia hadapi dengan
sembrono kalau ia tidak mau mendapat malu. Kakek ini pun mainkan tongkatnya
lebih hebat, mendesak hebat sehingga tiap kali kedua senjata bertemu, Bok Liong
merasa lengannya seakan-akan serasa patah. Namun dengan gigih ia melawan terus.
Ketika mendapat lowongan, ia menyambar seperti kilat ke depan, menusukkan
pedangnya ke arah perut It-gan Kai-ong. Ia tidak peduli lagi bahwa dalam
serangan nekat ini, ia membiarkan dirinya ˜terbuka! dan tidak terlindung.
Pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) di tangannya berubah menjadi cahaya
redup kekuningan yang mengandung hawa dingin karena memang ditusukkan dengan
pengerahan tenaga Im.
Akan tetapi tiba-tiba pedang itu terhenti gerakannya
karena sudah menempel pada tongkat butut di tangan It-gan Kai-ong. Bok Liong
kaget dan berusaha menarik kembali pedangnya namun terlambat. Tenaga Im-kang
yang terkandung di pedangnya itu ternyata membuat dia celaka, karena tenaga ini
memungkinkan lawannya yang sakti menempel dan ˜menyedot! sehingga ia merasa
betapa tubuhnya menjadi lemas.
Dalam kenekatannya, Bok Liong tidak mau menyerah
mentah-mentah. Ia mengerahkan sisa tenaga yang ada, tiba-tiba tangan kirinya
mengirim pukulan berbareng dengan kedudukan kakinya berubah, melangkah maju.
Pukulan ini mengarah dahi lawan yang kalau mengenai tepat akan membahayakan
keselamatan nyawa. Akan tetapi, karena memang kedudukan Bok Liong sudah kalah
dan sudah dikuasai, enak saja It-gan Kai-ong menghadapi pukulan ini. Tangan
kirinya menangkis dan sekaligus tongkatnya mendorong, maka terjengkanglah tubuh
Bok Liong ke belakang, rebah terlentang.
˜Heh-heh-heh, mampuslah kau, murid orang she Gan!!
Tongkat itu diangkat dan siap menjatuhken pukulan maut.
Melihat ini, Bok Liong tidak rela mati di tangan kakek
iblis itu. Tubuhnya menggelinding ke belakang dan ia bergulingan cepat sehingga
ia terlepas daripada pukulan tongkat, akan tetapi di lain saat tubuhnya sudah
terjungkal ke dalam jurang yang menganga lebar!
Pada saat itu, sebuah bayangan berkelebat datang dan kiranya
bayangan ini adalah seorang kakek pendek yang bukan lain adalah Empek Gan, guru
Lie Bok Liong.
˜He, pengemis iblis picak! Kau apakan muridku? Mana dia
sekarang?!
˜Heh-heh-heh, tua bangka she Gan, apa kau hendak menyusul
muridmu ke dasar jurang sana?! Dengan tongkatnya It-gan Kai-ong menunding ke
arah jurang.
Berubah wajah Empek Gan. Biasanya dia jenaka dan gembira,
akan tetapi karena mendengar bahwa muridnya yang ia sayang terjerumus ke dalam
jurang, timbullah kemarahannya.
˜Gembel busuk berhati iblis! Tak tahu malu benar engkau,
beraninya hanya terhadap orang muda. Kalau memang laki-laki, akulah lawanmu,
tua sama tua!!
˜Wah, tutup mulutmu yang busuk. Kau sendiri di Nan-cao
telah menghina muridku. Sekarang aku menghajar muridmu, bukankah sudah pantas?!
˜Tak perlu banyak bicara, It-gan Kai-ong, kau telah
membunuh muridku, kau harus dapat membunuhku pula, kalau tidak, kaulah yang
akan mengganti nyawanya!!
˜Majulah, siapa takut kepadamu?!
Kedua orang kakek ini memasang kuda-kuda. Maklum bahwa
lawan yang dihadapi kini adalah seorang lawan yang amat tangguh, keduanya tidak
main-main lagi. It-gan Kai-ong melintangkan tongkat bututnya di atas kepala,
kaki kanannya ditekuk lututnya dan diangkat ke atas, kaki kiri berdiri di ujung
jari, tangan kiri disodorkan ke depan dan matanya yang tinggal satu itu
memandang lurus ke depan dengan tajamnya. Adapun Gan-lopek sudah mengeluarkan
sepasang senjatanya pula, yaitu senjata yang disebut Hek-pek-mou-pit (Sepasang
Pena Bulu Hitam Putih), yang hitam di tangan kanan sedangkan yang berbulu putih
di tangan kiri. Ia berdiri dengan kedua lutut agak ditekuk ke bawah, tubuh
belakangnya menonjol dan bergoyang-goyang, kedua lengannya bersilang.
Ada lima menit mereka hanya berdiri berhadapan macam ini,
tidak melakukan penyerangan. Seperti dua ekor jago aduan yang saling pandang
dan saling taksir kekuatan masing-masing sebelum bergebrak. Kemudian terdengar
si raja gembel terkekeh aneh dan tubuhnya sudah menerjang maju didahului
tongkat bututnya. Tongkat ini mengandung tenaga dahsyat dan angin pukulannya
sampai menggoyangkan daun-daun pohon di sekitar tempat itu.
˜Wesssss!! Tongkat butut melayang lewat di dekat kepala
Gan-lopek, dan pelukis sakti ini mengerjakan senjatanya melakukan dua kali
totokan maut selagi serangan lawan lewat. Akan tetapi, dengan gerakan tubuh
yang tepat raja pengemis itu pun dapat menghindarkan diri. Karena gerakan
keduanya, mereka sekarang bertukar tempat dan kembali mereka berdiri tak
bergerak, saling pandang dengan seluruh urat syaraf di tubuh menegang.
Bagi orang yang belum begitu tinggi ilmu silatnya,
mungkin ia lebih suka melakukan penyerangan lebih dulu dalam pertempuran,
karena ia tentu menganggap bahwa dalam pertempuran, siapa lebih cepat atau
lebih dulu menyerang berarti menang kedudukan. Akan tetapi bagi orang-orang
sakti seperti Gan-lopek dan It-gan Kai-ong, malah sebaliknya. Yang menyerang
lebih dulu sebetulnya malah lebih lemah kedudukannya, karena setiap serangan
berarti melemahkan pertahanan sendiri dan kadang-kadang kalau lawan melihat
bagiannya yang lemah, terbukalah ˜lubang! dan hal ini berbahaya. Inilah
sebabnya maka keduanya sekarang sedang menaksir-naksir dan seakan-akan segan
untuk mulai menyerang lebih dulu. Akan tetapi karena tadi It-gan Kaiong sudah
menyerang sebagai pembukaan pertandingan, Gan-lopek yang tidak mau dianggap
takut, kini membalas dengan penyerangannya. Ia berseru keras dan tubuhnya
bergerak ke depan, sepasang mou-pit di tangannya berubah menjadi dua gulung sinar
putih hitam yang kecil tapi terang menyambar-nyambar ke depan mengancam tubuh
It-gan Kai-ong bagian atas dan bawah.
Biarpun sepasang pena bulu itu menotok bertubi-tubi ke
arah tujuh belas jalan darah, It-gan Kai-ong dapat menghindarkan diri dengan
gerakan tongkatnya yang menjadi gulungan sinar melingkar dan seperti seekor
ular yang melindungi seluruh tubuhnya. Kemudian tiba-tiba tongkatnya membalas
dengan babatan ke bawah, mengancam kedua kaki Gan-lopek. Tubuh kakek ini,
dengan pantatnya tetap megal-megol seperti ikan emas berenang, tiba-tiba mumbul
ke atas sehingga babatan tongkat hanya lewat di bawah kedua kakinya.
Dari atas Gan-lopek meluncur turun didahului pena bulu
hitam menotok leher, ketika lawan menangkis, pena bulu putih menerjang dan
sasarannya kini adalah pusar! Hebat bukan main sepak terjang kakek pelukis ini
sehingga It-gan Kai-ong harus menggunakan segala kepandaiannya untuk
menghindarkan diri. Gerakan Empek Gan gesit dan aneh, apalagi dengan gerakan
khusus pantatnya yang megal-megol ini membingungkan lawannya.
Namun It-gan Kai-ong adalah seorang di antara Thian-te
Liok-koai. Tentu saja kepandaiannya sudah amat tinggi dan betapapun lihainya
Empek Gan, kiranya tidak akan dapat mengalahkannya dengan mudah dan
paling-paling hanya dapat mengimbanginya saja. Begitu rapat dan kuat pertahanan
masing-masing sehingga saling serang dan saling keluarkan ilmu-ilmu simpanan
selama seratus jurus, belum juga ada yang tampak terdesak. Memang harus diakui
bahwa pihak Empek Gan lebih banyak menyerang, namun serangan-serangannya yang
lihai selalu gagal!
Di lain pihak, It-gan Kai-ong juga merasa penasaran
sekali. Ia telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang pilihan, bahkan telah
mengerahkan sin-kangnya yang simpanan, namun tetap tak mampu ia mendesak kakek
pelukis itu, apalagi menjatuhkan! Karena penasaran, ia menjadi marah dan
tiba-tiba ia meludah, menggunakan senjatanya yang kotor dan licik ke arah muka
Empek Gan.
˜Heh, gembel busuk!! Empek Gan memaki, pena bulunya
mengebut dan.. air itu menyambar kembali ke arah tuannya.
Akan tetapi It-gan Kai-ong memang tidak bermaksud
menggunakan ˜ilmu! meludah ini yang ia tahu takkan ada gunanya terhadap seorang
lawan seperti Empek Gan. Ia tadi meludah hanya untuk melampiaskan hatinya yang
gemas. Kini ia berteriak nyaring, suaranya melengking tinggi dan tiba-tiba
gerakan tongkatnya berubah sama sekali. Angin dari empat penjuru menyambar dan
berputar-putar seperti angin puyuh yang menyerang ke arah Gan-lopek.
˜Ayaaa..!! Gan-lopek berseru terkejut. Baru kali ini ia
menyaksikan daya serangan sehebat dan seaneh ini. Ia memaksa diri untuk
menangkis dan mengerahkan lwee-kangnya, namun tetap saja ia ikut terputar oleh
daya serang tongkat yang menimbulkan kekuatan seperti angin puyuh ini sehingga
tubuhnya berpusing tak tertahankan lagi! Ia tidak tahu bahwa inilah ilmu yang
telah dipelajari oleh It-gan Kai-ong dari kitab rampasannya dari tangan Bu Kek
Siansu, yaitu kitab yang separoh terampas olehnya sedangkan separohnya lagi
terampas oleh Hek-giam-lo. Tadinya It-gan Kai-ong tidak ingin mengeluarkan ilmu
ini sebelum ia berada di puncak Thai-san dan berhadapan dengan
anggauta-anggauta Thian-te Liok-koai yang lain, hendak menggunakannya sebagai
ilmu simpanan untuk senjata terakhir. Akan tetapi karena Gan-lopek merupakan
lawan yang ampuh dan ulet bukan main, saking mendongkolnya, It-gan Kai-ong
segera mengeluarkannya dan hasilnya bukan main!
Sayang bagi It-gan Kai-ong, ilmu itu hanya sebagian saja
ia miliki, sedangkan bagian lain berada di tangan Hek-giam-lo, maka ia seperti
kenal kepala tidak kenal buntut, tahu awal tidak tahu akhir. Lawannya sudah
˜tertawan! oleh daya serangannya, sudah ikut berpusing, akan tetapi ia tidak
tahu bagaimana untuk melanjutkan ilmunya dan merobohkan lawan. Betapapun juga,
dalam keadaan berpusing seperti itu, banyak lowongan terdapat dalam kedudukan
Gan-lopek dan dengan terkekeh-kekeh beringas It-gan Kai-ong menggerakkan
tongkathya untuk memberi pukulan maut kepada lawannya ini. Tongkatnya sudah
berkelebat menusuk ke arah lambung!
˜Trakkkkk..!! Tiba-tiba segulung sinat kuning menyambar
dan menangkis tongkat It-gan Kai-ong yang menusuk lambung Gan-lopek, disusul
ucapan nyaring. ˜Gan-lopek, jangan takut, biarkan kutusuk matanya yang sebelah
dan kaucoret-coret mukanya dengan tinta hitam putih!!
It-gan Kai-ong kaget sekali karena tangkisan pedang itu
membuat kakinya tergeser. Tidak hebat tenaga orang yang baru datang ini, akan
tetapi gerakannya benar-benar luar biasa sekali. Ia terbelalak heran dan
matanya yang tinggal satu itu mengeluarkan sinar berapi ketika ia mengenal
bahwa yang datang menolong Gan-lopek ini ternyata hanya seorang gadis remaja
yang bukan lain adalah Lin Lin.
Lebih-lebih kaget dan herannya ketika Lin Lin sudah
mengerjakan pedangnya. Pedang Besi Kuning, menerjang dengan gerakan-gerakan
yang luar biasa sekali. Karena tadinya ia memandang rendah, menyangka bahwa
gadis ini masih seperti dulu, tidak berapa kepandaiannya, It-gan Kai-ong
tadinya berlaku lambat. Siapa tahu, kesalahan menduga ini hampir
mencelakakannya. Tahu-tahu pedang itu dengan gerakan melingkar sudah mendekati
tenggorokan dan ketika ia mengelak, tahu-tahu ujung pedang sudah dekat sekali
dengan matanya yang tidak buta, merupakan serangan yang luar biasa sekali dan
agaknya matanya akan benar-benar ditusuk! Baiknya It-gan Kai-ong memiliki
kepandaian yang amat tinggi. Dalam keadaan berbahaya ini, menangkis atau
mengelak sudah tak keburu, ia meludah dan.. air ludahnya muncrat ketika bertemu
pedang. Kekuatan air ludah ini hebat karena ternyata sudah dapat menahan pedang
sehingga ia berhasil menggerakkan tongkatnya menangkis pedang yang agak
terlambat oleh tangkisan air ludah tadi.
˜Wah, kotor! Keparat busuk, manusia jorok! Pedangku kena
ludahnya! Celaka..!! Lin Lin melompat mundur dan menggosok-gosokkan pedangnya
pada batang pohon untuk menghapus air ludah yang menempel di situ!
Adapun It-gan Kai-ong yang merasa kaget sekali
menyaksikah gerakan pedang Lin Lin, maklum bahwa kalau ia dikeroyok, akan
berbahaya baginya. Ia seorang sakti, aaen tetapi sebagai seorang manusia iblis
tentu saja ia tidak segan-segan menggunakan kecurangan dan kelicikan. Melihat
bahwa keadaan dirinya berada di pihak lemah, ia cepat menggunakan kesempatan
selagi Lin Lin ribut membersihkan peding, untuk melesat pergi sambil berseru.
˜Gan-lopek, kegembiraanku lenyap dengan datangnya
gangguan seorang bocah. Lain kali kita lanjutkan!!
˜Dia curang, dia licik, main kotor!! Lin Lin memaki-maki,
kemudian menoleh kepada Gan-lopek dan berkata, ˜Gan-lopek, apakah kau juga
datang hendak menonton pertandingan para iblis itu?!
Sejenak, seperti juga It-gan Kai-ong tadi, Gan-lopek
tertegun, dan tercengang menyaksikan gerakan pedang Lin Lin. Akan tetapi ia
segera tertawa. ˜Ha-ha-ha, si iblis mata satu itu kiranya jerih menghadapi
seorang nona!! Kemudian kegembiraannya mereda ketika ia teringat akan muridnya.
˜Nona, muridku terjerumus ke dalam jurang. Kau sahabat
baiknya, bukan? Mari bantu aku mencarinya, mudah-mudahan dia masih hidup!!
Bukan main kagetnya hati Lin Lin mendengar ini dan tanpa
banyak cakap lagi ia lalu ikut kakek itu menuruni jurang dengan hati-hati
melalui jalan memutar yang tidak begitu terjal. Jurang itu amat curam dan
betapapun pandainya, seorang manusia biasa yang tidak pandai terbang seperti
burung tak mungkin dapat menuruninya tanpa memilih jalan memutar. Oleh karena
jalan memutar inilah maka sejam lebih kemudian baru mgreka berdua dapat sampai
ke dasar jurang dan mulai mencari-cari. Namun tidak ada jejak maupun bayangan
Lie Bok Liong!
Ke manakah pemuda yang tadi terjungkal masuk ke dalam
jurang itu? Apakah tubuhnya sudah hancur lebur terbanting dari tempat yang amat
tinggi sehingga tidak ada bekasnya lagi? Agaknya akan begitulah kalau tidak
terjadi hal yang kebetulan dan aneh, dan yang menyelamatkan nyawanya.
Ketika tubuhnya terjungkal dan melayang turun dengan
kecepatan mengerikan, Bok Liong sudah yakin bahwa ia tentu akan tewas. Namun
sebagai seorang yang berjiwa gagah, ia menggigit bibirnya dan menahan diri agar
tidak berteriak ketakutan. Bahkan kedua tangannya lalu mencengkeram sana-sini,
mencari pegangan. Tentu saja ia tidak dapat mencari apa yang akan dipegang atau
disambarnya, karena ia hanya melihat bayangan-bayangan batu terbang ke atas di
sampingnya, amat cepat memusingkan kepala. Akhirnya, tubuhnya yang melayang
terlampau dekat dengan batu menonjol terbentur pada batu itu. Karena yang
terbentur itu adalah pundaknya dan kepalanya juga sedikit menyerempet batu, Bok
Liong merasa kepalanya seolah-olah pecah dan seketika pandang matanya dan
pikirannya menjadi gelap, ia pingsan tapi masih melayang terus ke bawah.
Ia tidak tahu betapa sebelum tubuhnya menimpa batu-batu
di dasar jurang, tiba-tiba berkelebat bayangan yang berseru aneh, lalu bayangan
ini melesat ke arah ia akan jatuh, menggerakkan kedua tangannya dan tubuhnya
terayun naik lagi. Karena kekuatan luncuran tubuhnya tadi amat keras, kini oleh
bayangan itu dibelokkan dan membalik ke atas lagi, maka ada empat lima meter tubuhnya
melayang ke atas, lalu turun kembali dan disambut oleh kedua tangan bayangan
itu.
Hanya sebentar Bok Liong pingsan. Ketika ia membuka kedua
matanya, ia merasa kepala dan lehernya basah semua. Ia gelagapan dan membuka
matanya, seketika ingat bahwa ia tadi melayang jatuh. Kiranya ia sudah duduk di
atas batu, ketika ia bangun. Dan tak jauh dari situ ia melihat seorang wanita
muda berjalan pergi. Melihat tubuhnya tidak hancur, biarpun ada luka-luka
sedikit dan pundaknya sakit, Bok Liong menjadi heran dan mengira bahwa dia
tentu sudah mati. Inikah neraka? Ia menjadi bingung dan melihat wanita muda itu
cepat ia memanggil.
˜Heeeiii, Nona, tunggu..!!
Gadis itu menengok sebentar, akan tetapi lalu lari pergi.
˜Eh, kau Sian Eng..!! Bok Liong begitu heran sampai ia
meloncat berdiri, tidak mempedulikan rasa nyeri di pundaknya, dan melompat lari
mengejar. Biarpun hanya sekali menoleh, ia mengenal wajah itu, wajah Sian Eng!
Akan tetapi dalam sekejap mata saja bayangan gadis itu sudah lenyap dan
kecepatan yang luar biasa ini membuat Bok Liong berhenti termangu-mangu.
˜Aku tentu sudah mati.. dan agaknya Sian Eng juga sudah
mati.. tentu ini alam baka..! pikirnya sambil duduk di atas batu kembali.
Akan tetapi, sedikit demi sedikit pikirannya menjadi
terang kembali. Ia masih dapat merasa, tubuhnya masih lengkap, pikirannya masih
utuh dan ia tahu bahwa ia berada di dalam jurang, bahwa It-gan Kai-ong berada
di atas jurang sana dan kakek itulah yang membuat ia terguling ke dalam jurang.
Entah bagaimana, ia tidak terbanting remuk, agaknya Sian Eng yang telah
menolongnya, betapa tidak mungkinnya hal ini terjadi. Sian Eng cukup ia kenal,
tidak hanya orangnya, malah ia kenal pula kepandaiannya, tidak lebih tinggi
dari pada tingkatnya, malah jauh lebih rendah. Bagaimana gadis itu mau
menolongnya? Bagaimana caranya? Dan andaikata benar Sian Eng gadis itu tadi,
dan Sian Eng menolongnya, mengapa tadi terus pergi dan mengapa ada bayangan
yang begitu aneh pada wajah gadis yang biasanya halus peramah itu?
Ketika teringat lagi bahwa It-gan Kai-ong masih di atas
dan mungkin sekali kakek itu akan mencari jalan ke bawah dan melihatnya masih
hidup, Bok Liong segera menguatkan diri, berdiri dan pergi cepat-cepat dari
tempat itu. Untung pundaknya tidak patah tulangnya, hanya luka kulit dan daging
di bahu saja.
Inilah sebabnya mengapa Lin Lin dan Gan-lopek tidak dapat
menemukan Bok Liong, bekas-bekasnya pun tidak. Hal ini membuat Gan-lopek
terheran-heran, akan tetapi Lin Lin segera menjatuhkan diri di atas batu dan
menangis tersedu-sedu.
˜Eh-eh, mengapa kau menangis?! Gan-lopek bertanya heran.
Lin Lin tidak menjawab, terus menangis keras dan akhirnya
dengan kata-kata bercampur isak ia berkata. ˜Kasihan.. Liong-twako.. tentu
telah hancur lebur.. ah, Liong-twako kau orang yang amat baik.. mengapa
mengalami nasib begini buruk? Mati pun tidak ada kuburnya.. ah, Liong-twako..!!
Lin Lin menangis makin keras karena memang gadis ini merasa kasihan dan
berduka.
˜Hush, bocah tolol, kenapa kau bicara yang bukan-bukan?
Siapa bilang Bok Liong sudah mati?!
Seketika terhenti tangis Lin Lin dan ia berdongak
memandang wajah kakek itu dengan mata merah. Diam-diam si kakek girang sekali
melihat bahwa gadis ini betul-betul menangisi Bok Liong muridnya, tanda bahwa
gadis ini betul-betul mencinta muridnya.
Melihat pandang mata Lin Lin penuh pertanyaan seakan-akan
heran mendengar kata-katanya tadi, Gan-lopek segera tertawa dan berkata,
˜Ha-ha-ha, anak baik, tenangkan hatimu dan bergembiralah. Bok Liong belum mati.
Kalau tubuhnya terbanting ke dasar ini, biarpun akan hancur berantakan,
sedikitnya kita tentu akan menemukan daging atau tulangnya, atau tentu ada
tanda-tanda darahnya. Akan tetapi tidak terdapat tanda-tanda itu, hal ini hanya
bisa berarti bahwa Bok Liong telah selamat, entah bagaimana cara Tuhan
menyelamatkan seorang yang membela kebenaran, akan tetapi percayalah, aku yakin
bahwa Bok Liong pasti masih hidup dan selamat di saat itu.!
Bukan main girangnya hati Lin Lin. Kegirangan luar biasa
yang tidak dibuat-buat. Seketika ia melompat bangun dan merangkul kakek itu
dan.. menangis lagi.
˜Eh-eh, bagaimana ini? Kenapa kau begini cengeng, hah?!
Akan tetapi diam-diam Gan-lopek mengangguk-angguk dan hatinya sudah setuju
seratus prosen kalau muridnya berjodoh dengan gadis ini. Ia tahu betul betapa
besar cinta kasih Bok Liong terhadap Lin Lin. Hal ini diucapkan sendiri oleh
Bok Liong dalam keadaan tidak sadar ketika ia merawat muridnya itu setelah
menyelamatkannya dari tangan Hek-giam-lo. Dan sekarang, melihat sikap Lin Lin,
agaknya muridnya tidak bertepuk tangan sebelah, cinta kasih muridnya terhadap
Lin Lin bukan tiada terbalas.
Tiba-tiba Lin Lin mengundurkan diri dan tertawa.
Gan-lopek membelalakkan matanya, tapi kemudian ia pun tertawa, girang bukan
main karena ternyata calon ˜mantu murid! ini memiliki watak yang aneh. Keduanya
tertawa-tawa di dasar jurang, seperti dua orang yang sama-sama menonton dagelan
(badut) di panggung. Akan tetapi kalau ada orang lain melihat mereka, tentu
mengira mereka berdua itu sudah menjadi gila atau mungkin juga mereka disangka
iblis-iblis penjaga jurang!
˜Eh, nanti dulu. Kenapa kau tertawa?! Akhirnya Gan-lopek
berhenti dan bertanya karena merasa betapa suara ketawanya kalah merdu oleh
nona itu. Ia seakan-akan merasa seorang penyanyi yang merasa kalah indah
suaranya.
Lin Lin akhirnya dapat menghentikan ketawanya pula.
Sambil tersenyum dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, gadis ini
berkata.
˜Banyak sekali hal yang patut membikin aku tertawa, Kek.!
Tanpa ragu-ragu ia menyebut kakek kepada Gan-lopek.
˜Apa itu? Kukira kau tertawa saking bahagia mendengar Bok
Liong belum mati.!
˜Itulah yang pertama kali memang. Aku girang sekali bahwa
Liong-twako belum mati. Benar sekali dugaanmu, Kek, agaknya memang Liong-twako
tertolong secara ajaib dan belum tewas. Hal ini amat menggirangkan hatiku,
karena muridmu itu seorang yang amat baik terhadap aku, sehingga kalau ia mati
aku akan merasa sedih sekali.!
˜Hemmm, lalu hal apalagi yang membikin kau tertawa selain
hal yang kausebutkan tadi?!
Kembali Lin Lin tertawa dan tak segera menjawab. Ia
ketawa geli terpingkal-pingkal sambil menudingkan telunjuknya ke arah
Gan-lopek. Kakek ini tercengang keheranan, memandang ke sana ke mari,
berputaran berkeliling untuk mencari apa yang menyebabkan Lin Lin tertawa.
Agaknya perbuatannya ini makin menggelikan hati Lin Lin
yang makin terpingkal-pingkal. Akhirnya kakek itu juga tertawa menandingi Lin
Lin.
Gadis ini terkejut dan tentu ia akan segera berhenti
tertawa saking kagetnya karena suara ketawa kakek itu kali ini bukanlah suara
ketawa wajar, melainkan suara ketawa yang mengandung khi-kang dan yang membuat
ia hampir terjengkang karena suara itu mendebarkan jantungnya dan membuatnya
seperti lumpuh. Akan tetapi, gadis nakal ini tidak menghentikan suara
ketawanya, bahkan kini pun ia mengerahkan khi-kang dan sin-kangnya, disalurkan
ke dalam suara ketawanya untuk menandingi Gan-lopek.
Maka terjadilah hal aneh dan terdengarlah hal aneh pula.
Suara ketawa mereka, yang satu merdu tinggi yang lain rendah parau,
terbahak-bahak dan bergema dari daser jurang membubung naik sampai keluar
jurang, suara yang tentu akan dianggap orang yang tak melihat mereka sebagai
suara ketawa raja iblis dan kuntilanak sendiri! Lebih aneh lagi melihat keadaan
tubuh mereka. Tidak seperti orang bergirang tertawa karena keduanya berdiri
tegak, lutut sedikit ditekuk seperti orang memasang kuda-kuda, wajah sama
sekali tidak seperti orang kegirangan, melainkan sungguh-sungguh dan seperti
orang mengerahkan tenaga ketika sedang buang air dan sukar keluar!
˜Stop..! Stop..!! Akhirnya Gan-lopek berseru sambil
meloncat ke atas.
Lin Lin hampir terjengkang dan hal ini adalah karena
Empek Gan telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk ˜mendorong! gadis itu dalam
˜pergulatan! tenaga suara yang kalau dilanjutkan akan berbahaya itu. Setelah
berhasil mendorong, ia melompat dan terbebaslah mereka daripada pertandingan
khi-kang yang hebat itu. Kini Gan-lopek memandang dengan bengong, hanya
bibirnya yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara sehingga kumis dan
jenggotnya saja yang bergerak-gerak.
Lin Lin juga mengerahkan hawa murni untuk mengembalikan
tenaga, kemudian ia memandang dan berkata, ˜kau hebat, Kek!!
Si tua menarik napas panjang, mengelus-elus jenggot dan
mengangguk-angguk.
˜Siapa bilang aku hebat? Tidak, anak baik, aku tua bangka
dan tiada gunanya lagi. Akan tetapi engkau.. ah, hampir aku tidak percaya bahwa
kau memiliki khikang yang begitu hebat. Hampir aku tidak kuat menahannya. Kau
anak nakal, apa kau tadi bermaksud membunuh aku si tua bangka, yang biarpun
jelek-jelek masih guru Bok Liong?!
Lin Lin kaget. ˜Ah, mana mungkin aku mencelakakanmu, Kek?
Andaikata ada maksud yang buruk itu, tak mungkin aku mampu. Menghadapi seorang
sakti seperti kau ini, Kek, aku tiada ubahnya seekor semut melawan gajah!!
˜Huh-huh, kadang-kadang si semut berhasil memasuki
telinga gajah dan si gajah tua bangka mampus sendiri! Anak baik, aku pernah
melihatmu, pernah mendengar dari Bok Liong, akan tetapi kepandaianmu tidak
seperti yang kauperlihatkan tadi. Anak nakal, kau memiliki ilmu begini hebat,
mengapa berpura-pura bodoh?!
Kini Lin Lin benar-benar merasa heran. Akan tetapi segera
ia menjadi girang sekali karena ia dapat menduga bahwa ilmu yang ia dapatkan di
dalam tongkat Pusaka Beng-kauw itulah agaknya yang tadi mendatangkan khi-kang
luar biasa yang membuat Empek Gan kaget setengah mati dan keheranan. Akan
tetapi, teringat akan nasihat Suling Emas, Lin Lin tidak mau membuka rahasia
ini dan ia hanya berkata.
˜Kakek Gan, kau orang tua harap jangan mengejek orang
muda. Kepandaian apa yang kupunyai? Dari pada mengejek dan membikin panas perut
orang muda, lebih baik kau orang tua memberi petunjuk-petunjuk sehingga ilmuku
yang mentah akan menjadi matang dan berguna!!
Empek Gan tertawa. ˜Wah, boleh.. boleh.. memang aku tahu
bahwa kalau ilmumu sudah matang, aku si tua mana mampu menandingimu? Tapi, kau
tadi bicara tentang perut panas, tidak demikian dengan perutku. Perutku perih
sekali!! Tiba-tiba terdengar ˜ayam berkokok! dari dalam perut kakek itu
sehingga Lin Lin tertawa geli.
˜Tunggulah, Kek. Betapapun juga, aku adalah seorang
wanita dan aku tahu bagaimana caranya menyembuhkan perut perih.! Setelah
berkata demikian, gadis ini berlari memasuki hutan dan tak lama kemudian ia
sudah kembali membawa seekor kelinci yang gemuk sekali. Di dalam hatinya, Lin
Lin girang dan gembira karena ia mendapat jalan untuk menyempurnakan ilmu yang
baru ia dapat, yaitu dengan minta petunjuk-petunjuk Empek Gan pada bagian yang
sulit. Maklum bahwa kakek ini seorang sakti, maka ia segera menggunakan kecerdikannya
untuk ˜mengambil hati! melalui perut lapar Kakek Gan.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Empek Gan, dan mari kita
selidiki siapakah gerangan gadis yang telah menolong Bok Liong secara aneh itu?
Menurut pandangan Bok Liong, gadis itu mirip benar dengan Sian Eng, akan tetapi
tidak mau berhenti ketika ia dipanggil.
Siapakah gadis itu sesungguhnya? Pandang mata Bok Liong
yang tajam memang tidak salah. Gadis itu adalah Sian Eng! Akan tetapi, kita
tahu bahwa ilmu kepandaian Sian Eng tidaklah amat tinggi, dan sebaliknya, cara
menolong Bok Liong yang melayang jatuh dari atas jurang itu hanya akan dapat
dilakukan oleh orang yang memiliki kesaktian luar biasa.
Untuk mengetahui rahasia ini, mari kita ikuti perjalanan
dan pengalaman Sian Eng.
Telah kita ketahui bahwa Sian Eng dapat dibujuk oleh
laki-laki yang dikasihinya, Suma Boan, untuk memasuki lorong rahasia di bawah
tanah bekas tempat sembunyi Tok-siauw-kui yang belasan tahun lamanya bertapa
dan bersembunyi di tempat ini. Dan kemudian betapa Sian Eng terjebak ke dalam
ruangan di bawah tanah oleh alat-alat rahasia yang agaknya telah dipasang orang
sehingga ia terkurung oleh empat dinding batu tanpa dapat mencari jalan keluar
karena jalan keluar satu-satunya hanya mendorong batu yang menutup lorong, padahal
batu itu beratnya ribuan kati dan ternyata Suma Boan sendiri dari luar ruangan
itu tak mampu menggerakkan batu ini!
Di bagian depan cerita ini, kita tinggalkan Sian Eng
dalam keadaan roboh dan dikeroyok oleh kelelawar-kelelawar kecil beracun yang
menyerangnya dengan gigitan, lalu menyedot darahnya.
Setelah roboh dan merasa betapa kelelawar-kelelawar itu
menyerbunya, Sian Eng diserang rasa takut dan ngeri yang bercampuran dengan
sakit di seluruh tubuhnya. Gigitan binatang-binatang kecil itu mendatangkan
rasa panas, gatal dan perih. Ia bergulingan ke sana ke mari, menjerit-jerit
seperti orang gila, kemudian di dalam gelombang kengerian dan ketakutan itu
timbullah suatu kenekatan yang luar biasa, kemarahan yang secara aneh membuat
ia tiba-tiba mendapatkan kekuatan baru. Sian Eng meloncat bangun, kedua
tangannya mencengkeram kelelawar-kelelawar yang masih menempel di tubuhnya,
membanting, menginjak, bahkan ia lalu menggigit kepala binatang-binatang kecil
itu, meremukkan kepala dan mengisap darahnya. Rasa sakit yang amat hebat
membuat gadis ini seperti tidak ingat lagi akan keadaan sekitarnya, yang ada di
dalam ingatan hanya membalas, membunuh, mengamuk!
Pergulatan menyeramkan di gelap ini seandainya terjadi di
tempat terang dan kelihatan orang lain tentu akan membuat orang merasa ngeri
dan seram. Gadis itu sudah tidak karuan lagi pakaiannya, robek sana-sini,
rambutnya terurai awut-awutan. Juga tingkah lakunya seperti orang gila. Ia
bergulingan, kadang-kadang meloncat berjingkrak-jingkrak, kadang-kadang tertawa,
lalu menangis, semua ini karena penderitaan rasa nyeri yang hebat ditambah rasa
takut dan ngeri. Akan tetapi tiada hentinya ia membunuh kelelawat dan bahkan
mulai makan dagingnya dan minum darahnya.
Semalam suntuk Sian Eng bergulat. Bangkai kelelawar bertumpuk-tumpuk
di ruangan itu dan entah sudah berapa banyak darah yang diminumnya, daging yang
ditelannya. Akhirnya malam pun berakhir berganti pagi dengan ditandai seberkas
cahaya memasuki ruangan. Cahaya ini membantu Sian Eng mengusir kelelawar-kelelawar.
Akan tetapi Sian Eng juga kehabisan tenaga, menggeletak terlentang pingsan di
atas bangkai-bangkai kelelawar! Pakaiannya robek-robek, kulitnya penuh
bintik-bintik merah dari darah yang keluar dari luka-lukanya.
Sehari penuh Sian Eng menggeletak di atas bangkai-bangkai
kelelawar di dalam ruangan di bawah tanah itu, setengah pingsan setengah tidur,
atau seperti telah mati. Akan tetapi setelah matahari tenggelam dan ruangan itu
menjadi gelap, kelelawar-kelelawar kecil mulai beterbangan kemudian menyerangnya.
Sian Eng seperti dibangunkan dan seakan-akan seekor hantu betina atau
kuntilanak yang hanya ˜hidup! di waktu malam, ia bangkit lagi dan seperti malam
kemarin, kembali terjadi pertandingan dengan kelelawar-kelelawar kecil yang
menyerang dan mengeroyoknya secara ganas sekali. Kembali Sian Eng menjadi
korban gigitan, akan tetapi anehnya gerakan-gerakannya lebih tangkas dan lebih
ganas daripada kemarin.
Kini lebih banyak lagi kelelawar yang mati, dan lebih
banyak lagi yang darah dan dagingnya memasuki perut Sian Eng! Kembali semalam
suntuk terjadi perang kecil yang ganas mengerikan di dalam ruangan gelap, akan
tetapi kali ini Sian Eng kelihatannya makin kuat saja sehingga menjelang pagi,
binatang-binatang itu mulai gentar dan hanya satu dua ekor yang berani
menerjangnya. Namun sekali sambar, Sian Eng menangkapnya, merobeknya menjadi
dua dan mengisap darah yang menyembur keluar. Agaknya rasa darah, sakit hati,
dan ditambah lapar dan haus membuat Sian Eng berubah seperti seorang
kuntilanak! Anehnya begitu sinar matahari menerangi ruangan, Sian Eng baru
merasa lemas dan letih, lalu terguling dan menggeletak telentang setengah
telanjang di atas ˜kasur! terbuat daripada bangkai kelelawar yang
bertumpuk-tumpuk.
Seperti juga kemarin, sehari penuh Sian Eng tidur
setengah pingsan. Luka-luka kecil di kulitnya yang putih kuning dan halus, yang
kemarin tampak berbintik-bintik merah, kini mulai menghilang, akan tetapi
tubuhnya sebentar terasa panas membara, sebentar kemudian dingin seperti salju!
Memang terjadi sesuatu yang hebat pada diri gadis ini.
Kelelawar-kelelawar itu ternyata adalah sebangsa kelelawar yang beracun, yang
biasanya sekali menggigit orang tentu meninggalkan racun yang akan cukup
merampas nyawa orang itu dalam waktu dua tiga hari. Sedangkan Sian Eng telah
menerima gigitan yang bertubi-tubi dari kelelawar-kelelawar itu, gigitan ganas
yang disertai kemarahan sehingga racun yang jahat dan berbahaya banyak sekali
memasuki tubuh dan meracuni darahnya. Akan tetapi, secara kebetulan sekali
keadaan yang mengerikan itu membuat Sian Eng menggila dan mengganas, membuat ia
marah dan makan daging kelelawar serta minum darahnya. Justeru inilah yang
menjadi obat penawar, obat penawar yang tiada keduanya di dunia ini!
Di luar pengetahuan dan kesadarannya sendiri, selain
dapat mengisi perut untuk menahan lapar dan haus, Sian Eng telah mengobati
dirinya sendiri. Tidak saja mengobati dan menghalau bahaya dari racun gigitan
kelelawar-kelelawar, bahkan jauh lebih dari itu, ia telah memasukkan sumber
tenaga yang amat hebat, karena racun kelelawar itu mengandung hawa panas, yang
biasanya akan menghanguskan jantung, mengeringkan darah, sebaliknya, racun
penawar yang terdapat dalam daging dan darah kelelawar itu mengandung hawa dingin.
Kini mulailah kedua racun yang bertentangan itu bekerja,
bertempur mati-matian di dalam tubuh Sian Eng, membuat gadis ini dalam keadaan
tidak sadar sebentar kepanasan sebentar kedinginan. Kalau Tuhan Yang Maha Kuasa
menghendaki seseorang harus masih hidup, tidak akan kekurangan jalan, betapapun
aneh dan tak mungkin tampaknya jalan itu di mata manusia.
Demikian pula dengan halnya Sian Eng. Nyawanya tergantung
di ujung sehelai rambut. Hanya Tuhan saja yang mampu menolongnya, hanya Tuhan
yang memutuskan mati hidupnya. Dua macam racun yang memasuki tubuhnya, yang
satu lewat luka-luka gigitan yang ke dua lewat mulut, adalah racun-racun yang
amat berbahaya dan terlalu banyak masuk ke tubuhnya. Kini kedua macam racun
yang mempunyai kekuatan bertentangan itu saling bertanding, saling dorong untuk
menguasai tubuh Sian Eng yang akan berakhir dengan maut jika satu di antara
kedua racun itu kalah! Hawa panas dan dingin saling desak, kuasa-menguasai.
Sedikit saja selisih kekuatan kedua hawa ini, akan
tamatlah riwayat hidup Kam Sian Eng, gadis yang bernasib malang ini. Namun,
seperti sudah disebutkan tadi, Tuhan belum menghendaki riwayat gadis ini tamat,
karenanya secara ajaib sekali, kedua macam racun itu KEBETULAN memiliki
kekuatan seimbang! Mereka saling bercampur dan lenyaplah daya merusak, bahkan
sebaliknya, di dalam tubuh Sian Eng, kedua macam racun itu bercampur dan
lahirlah semacam daya tenaga mujijat yang membuat sin-kang (hawa sakti) di
tubuh gadis ini naik beberapa puluh kali lipat!
Tidaklah mengherankan apabila gadis itu bergerak bangun
setelah hari kembali menjadi gelap, yaitu pada malam ke tiga, gadis itu merasa
tubuhnya ringan dan nyaman sekali, sama sekali tidak ada rasa sakit lagi, yang
ada hanya rasa hangat yang menyenangkan. Selain ini, lenyap pula rasa takut dan
rasa ngeri. Bahkan ia tertawa-tawa ketika mendengar sambaran
kelelawar-kelelawar yang untuk ketiga kalinya kini mulai hendak menyerbu musuh
yang ulet itu.
Sian Eng merasa betapa sambaran binatang-binatang itu
amat lambat dan lemah. Dengan mudahnya ia menyentil dengan kuku-kuku jarinya.
Sekali sentil saja remuklah kepala kelelawar yang menyambar ke arahnya. Ketika
banyak sekali binatang itu mulai menyerbu, Sian Eng kewalahan juga dan terpaksa
membiarkan satu dua ekor menggigit tubuhnya yang setengah telanjang itu. Akan
tetapi, terjadilah keanehan. Gadis ini sama sekali tidak merasakan nyeri ketika
tergigit, sebaliknya, kelelawar yang menggigitnya itu melepas gigitan, jatuh
dan berkelojotan terus mati! Tentu saja hal ini tidak tampak oleh Sian Eng,
akan tetapi sejam kemudian, tidak ada seekor pun kelelawar yang menyerangnya
lagi. Binatang-binatang itu hanya beterbangan dan bercuit-cuit ketakutan,
seakan-akan mereka kini mengakui bahwa manusia yang tiga malam berturut-turut
dikeroyoknya itu tak terkalahkan dan patut menjadi ratu mereka.
Sian Eng terbebas daripada ancaman maut oleh racun-racun
berbahaya itu. Akan tetapi agaknya pengaruh racun-racun itu mempengaruhi juga
otaknya. Setidaknya tentu mengubah kesempurnaannya, mengganggu dan membuat Sian
Eng menjadi seorang aneh. Kadang-kadang ia tertawa sendiri kalau menangkap
kelelawar untuk dimakan, kadang-kadang ia menangis karena teringat akan Suma
Boan. Malam ke tiga itu diisi dengan tawa dan tangis berganti-ganti.
Pada keesokan harinya, Sian Eng dapat bergerak dengan
gesit dan pikirannya juga menjadi terang. Teringatlah ia bahwa ia terkurung di
situ, terkubur hidup-hidup. Pikiran ini menggerakkan semangatnya dan ia
menghampiri batu penutup lubang. Dicobanya tenaganya untuk membongkar batu itu,
untuk mondorongnya kembali. Ia merasa betapa dalam tubuhnya bergolak hawa yang
amat kuat, yang terasa panas sekali. Ia mengerahkan tenaga, hawa panas
meningkat, batu bergoyang, akan tetapi tiba-tiba hawa panas itu berubah menjadi
hawa dingin dan.. Sian Eng roboh pingsan dan batu itu kembali menutup lubang!
Setelah siuman kembali, Sian Eng mencoba dan berkali-kali
ia pingsan hanya karena perubahan hawa di dalam tubuhnya. Akhirnya ia maklum
bahwa di dalam tubuhnya terdapat hawa yang aneh, yang kadang-kadang panas,
kadang-kadang dingin, akan tetapi yang demikian hebat sehingga ia tidak mampu
menguasainya dan kalau ia memaksa terus mengerahkan tenaga yang aneh itu, tentu
akhirnya ia akan mati terpukul sendiri. Karena inilah Sian Eng lalu mencari
jalan lain. Ia memeriksa seluruh dinding, seinci demi seinci, diperiksanya
teliti sekali. Namun hasilnya sia-sia dan sementara itu, karena ia belum dapat
menguasai dua macam hawa di tubuhnya, berkali-kali Sian Eng roboh pingsan.
Akan tetapi pada suatu hari, kurang lebih lima hari
semenjak ia terkurung di situ, usahanya berhasil. Ia mulai memeriksa lantai.
Satu per satu batu-batu lantai ditelitinya dan akhirnya ketika ia mendongkel
sebuah batu di sudut kiri, terbongkarlah lubang yang lebarnya ada dua kaki
persegi. Mendadak dari dalam lubang itu meluncur keluar seekor ular yang
kepalanya putih. Bagaikan kilat menyambar, ular itu menerjang ke atas dan tanpa
dapat dielakkan lagi, lengan kiri Sian Eng kena digigit. Sian Eng menjerit dan
mengerahkan tenaga.
Karena ia belum menguasai dua macam tenaga di tubuhnya,
ia mengerahkan sekenanya saja dan kebetulan pada saat itu, hawa dingin di
tubuhnya yang lebih kuat maka seketika pengerahan tenaga ini membuat lengannya
yang tergigit ular itu terasa seperti berubah menjadi es! Dan hebatnya, ular
itu lalu melepaskan gigitannya, melingkar-lingkar menggeliat-geliat dan tak
bergerak lagi, mati! Sian Eng menjadi tertarik sekali. Inikah tempat
persembunyian kitab-kitab Tok-siauw-kui? Tanpa ragu-ragu lagi ia memasuki
lubang itu, dan ternyata setelah ia melompat turun, ia berada di sebuah ruangan
lain, ruangan atas dan tepat berada di bawah ruangan yang penuh bangkai
kelelawar itu. Dan cahaya matahari masuk melalui lubang dua kaki tadi, cukup
membuat ruangan itu menjadi terang.
Di sudut ruangan, terdapat sebuah meja batu atau lebih
tepat sebuah bangku batu yang permukaannya legok (cekung) dan menggambarkan
bentuk pantat dan kaki orang yang bersila. Agaknya tempat ini dahulunya dipakai
duduk bersila orang yang bertapa di sini. Akan tetapi, bagaimanakah sebuah
bangku batu sampai cekung seperti itu hanya karena diduduki orang saja,
benar-benar merupakan hal yang luar biasa sekali. Hanya bangku itulah yang
terdapat di dalam kamar itu, dan tidak ada apa-apa lagi.
Saking besarnya rasa kecewa dan menyesalnya, Sian Eng
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan bangku itu dan menangis. Ia melihat
betepa tapak kaki bersila itu kecil mungil, menggambarkan kaki seorang wanita,
maka ia merasa yakin bahwa tentu bangku ini menjadi tempat bersila dan bertapa
samadhi Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, ibu dari Suling Emas. Ia menangis karena
teringat akan hubungannya dengan Tok-siauw-kui.
Tok-siauw-kui dahulunya adalah isteri ayahnya, Jenderal
Kam Si Ek, yang kemudian pergi meninggalkan suaminya sehingga ayahnya itu
menikah lagi, dengan ibunya. Agaknya Tok-siauw-kui demikian benci kepada ibunya
sehingga kini biarpun sudah meninggal, Tok-siauw-kui masih melampiaskan sakit
hrtinya dan menghukum anak dari wanita yang merebut suaminya!
˜Bibi Liu Lu Sian.. mengapa kau begini kejam? Mengapa aku
yang kau siksa, padahal aku tidak berdosa kepadamu? Bibi.. betapapun juga aku
adalah anak tirimu.. kau pernah mencinta ayah kandungku.. demi mendiang
ayahku.. harap kautunjukkan jalan keluar bagiku, Bibi..!! Ia menangis dan masih
berlutut di depan bangku batu itu. Kemudian ia teringat akan ayahnya dan
menangis makin sedih.
˜Ayah.. Ayah, kau tentu sudah berkumpul dengan Bibi Liu
Lu Sian.. bujuklah dia agar supaya anakmu ini diberi petunjuk keluar dari neraka
ini!! sambil menangis Sian Eng membentur-benturkan kepalanya di atas lantai
depan bangku.
Tiba-tiba terdengar bunyi perlahan dan ternyata setiap
kali Sian Eng membenturkan jidatnya di atas lantai, bangku batu itu bergeser ke
kiri, makin lama makin ke kiri sehingga akhirnya tampaklah sebuah lubang di
bawah bangku batu itu. Sian Eng terkejut dan memandang dengan heran karena di
situ terdapat sehelai kain kuning yang menutupi sesuatu dan ditulisi dengan
huruf-huruf besar berbunyi: WASIAT PENINGGAIAN LIU LU SIAN.
Jantungnya berdebar keras dan tangannya sudah digerakkan
untuk meraih dan membuka kain kuning itu, untuk segera melihat wasiat deri
wanita sakti itu. Akan tetapi ia segera ingat bahwa benda-benda di bawah kain
kuning itu adalah milik Liu Lu Sian, dan bahwa wasiat wanita ini mustahil
ditinggalkan untuk dirinya. Ia tidak berani melanjutkan niatnya. Ia tidak
berhak! Akan tetapi selagi ia termenung, ia teringat akan tugasnya, teringat
akan kekasihnya, Suma Boan. Timbullah pertentangan dalam batinnya. Ia adalah
keturunan seorang gagah. Ayahnya, Kam Si Ek semenjak muda terkenal sebagai
seorang satria utama yang menjunjung tinggi kegagahan dan tidak sudi melakukan
sesuatu yang tercela. Semenjak ia masih kecil, ayahnya sudah menjejalinya
dengan budi pekerti orang gagah. Akan tetapi di lain pihak, cinta kasihnya
terhadap Suma Boan juga terasa berat menekan di hati.
Akhirnya kembali Sian Eng berlutut di depan bangku batu
tempat bersamadhi Tok-siauw-kui, membenturkan jidatnya di lantai sambil
berkata.
˜Bibi Liu Lu Sian, mohon perkenan bibi untuk mengambil
sebuah dua buah kitab peninggalan demi memenuhi kehendak kekasih. Mohon bibi
sudi memberi ampun..!
Tiba-tiba Sian Eng menghentikan kata-katanya karena pada
saat itu, dari dalam lubang tadi melayang keluar tiga batang anak panah yang
menyambar ke atas. Anak-anak panah itu lewat di depan mukanya dan peninglah
kepala Sian Eng mencium bau yang wangi memabukkan. Terang bahwa anak-anak panah
itu mengandung racun yang dahsyat dan andaikata ia tadi melanjutkan niatnya
membuka kain kuning, tentu anak-anak panah itu akan tepat mengenai muka dan
lehernya. Ia mendongak ke atas dan melihat anak-anak panah itu menancap pada
dinding batu, gagangnya bergoyang-goyang. Sian Eng bergidik ngeri dan ketika ia
memandang ke arah lubang tadi, ternyata kain kuningnya telah tersingkap dan di
bawahnya hanya terdapat alat-alat rahasia yang tadi menggerakkan tiga anak
panah.
Kiranya ketika ia membenturkan kepala di lantai depan
bangku batu yang kini sudah pindah ke kiri, ada alat rahasia yang menggerakkan
anak-anak panah itu sehingga ia selamat. Seorang yang begitu saja membuka kain
kuning tadi karena bernafsu memiliki wasiat, pasti akan menjadi korban anak
panah, betapapun pandainya, karena anak-anak panah itu menyambar tak
terduga-duga dan jarknya amat dekat.
Sian Eng memandang lebih teliti dan ternyata selain
alat-alat yang menggerakkan anak panah, juga di situ terdapat tulisan yang
terukir pada dasar lubang. Seperti tulisan di atas kain kuning, tulisan yang
terukir pada batu di dasar itu pun besar-besar, dan jelas, berbunyi : YANG TAHU
AKAN SOPAN SANTUN PATUT MENJADI MURIDKU. DUDUKLAH BERSAMADHI DI ATAS BANGKU,
HANYA YANG BERJODOH AKAN BERHASIL.
Sian Eng bukan bermaksud hendak menjadi murid
Tok-siauw-kui, melainkan bermaksud untuk mencari kitab peninggalan wanita sakti
itu, untuk diberikan kepada kekasihnya. Karena bukankah kitab-kitab ini akan
menyenangkan Suma Boan dan seperti dijanjikan oleh kekasihnya itu, setelah ia
berhasil menemukan kitab-kitab itu mereka akan pergi ke Cin-ling-san untuk
merundingkan urusan perjodohan mereka dengan bibi gurunya? Selain itu, ia
tadinya tidak memiliki keinginan lain. Akan tetapi setelah kini ia terkurung
dan tidak mampu keluar, timbullah keinginannya untuk mempelajari ilmu-ilmu
peninggalan Tok-siauw-kwi, sungguhpun hal ini hanya dimaksudkan untuk membuat
ia mampu keluar dari neraka ini.
Karena itulah, maka tanpa ragu-ragu lagi Sian Eng lalu
naik ke atas bangku batu dan duduk bersila. Alangkah herannya ketika ia
mendapat kenyataan betapa lekuk-lekuk di atas permukaan batu cocok benar dengan
ukuran tubuh belakang dan kakinya, seakan-akan sudah dicetak untuk dirinya.
Kemudian ia teringat akan Tok-siauw-kui yang muncul dan menggemparkan perayaan
Beng-kauw. Memang ada persesuaian dalam bentuk tubuh wanita sakti itu dengan
dirinya. Mulailah Sian Eng mengheningkan cipta, bersiulian (bersamadhi) di atas
bangku itu yang ternyata amat enak diduduki.
Akan tetapi sama sekali di luar dugaannya bahwa hal ini
akan membawa ia kepada hal-hal baru yang akan mengubahnya menjadi seorang
manusia lain! Ia tekun bersiulian seperti yang diajarkan ayahnya, duduk diam
tak bergerak sedikit pun juga, mematikan raga. Tanpa ia sadari, ia sudah duduk
seperti itu selama setengah hari!
Tiba-tiba terdengar suara keras dan kagetlah Sian Eng
karena ia merasa tubuhnya terjatuh ke bawah. Ketika ia membuka matanya, benar
saja, bangku batu itu sudah nyeplos ke bawah dan ia sudah berada di dalam
ruangan lain, di bawah ruangan yang tadi. Ia segera turun dan melihat betapa di
ruangan ini terdapat dipan untuk tidur, terdapat meja dan bangku, sedangkan di
atas meja terdapat akar-akar dan buah-buah obat, juga di sana-sini bertumpuk
kitab-kitab kuno. Sedangkan di sudut kiri terdapat sebatang pedang yang
mengeluarkan sinar merah, pedang telanjang yang menancap pada dinding batu
karang sampai setengahnya!
Dengan hati berdebar-debar tidak karuan Sian Eng
memperhatikan cara bagaimana ia tadi dapat merosot ke bawah bersama bangku yang
didudukinya. Setelah mengadakan pemeriksaan, kiranya bangku tadi dipasangi
alat-alat yang halus sekali dan ternyata kehangatan tubuhnya melepaskan
minyak-minyak beku dan menggerakkan alat-alat yang bergerak otomatis.
Kalau saja tubuh orang yang bersamadhi tidak cocok dengan
lekuk-lekuk di permukaan batu tadi, kiranya alat itu takkan dapat berjalan.
Terang bahwa Tok-siauw-kui memang menghendaki seorang yang bentuk tubuhnya
menyamainya, yang tentu saja seorang wanita, untuk menjadi ahli warisnya! Dan
kini kitab-kitab pelajaran yang serba rahasia, yaqg dicari penuh kerinduan oleh
orang-orang di seluruh dunia kang-ouw, terletak di depan Sian Eng, tinggal
memilih saja!
Akan tetapi Sian Eng tidak membutuhkan semua ilmu itu! Ia
hanya ingin mempelajari ilmu untuk menghimpun tenaga sakti agar ia dapat
menggerakkan batu-batu penutup lubang, agar ia dapat keluar dan ia akan membawa
sebuah dua buah kitab ilmu untuk diberikan kepada kekasihnya yang berada di
luar gua. Karena kitab-kitab itu banyak sekali macamnya, akhirnya ia dapat juga
menemukan sebuah kitab yang mengajarkan ilmu Ban-kin-pek-ko-chiu (Ilmu Keraskan
Tangan Selaksa Kati).