Koan Eng lompat ke depan pembaringan. “Ayah, kau tidak apa-apa?” ia menanya.
Ayahnya itu tertawa. “Binatang ini benar-benar lihay!” katanya.
Dua tauwnia sudah lantas maju, untuk membelenggu kaki dan tangan Wanyen Kang.
“Dalam kantongnya perwira she Toan yang ditawan itu ada beberapa
borgolan tembaga, itu dapat dipakai untuk membelenggu binatang ini, coba
kita lihat, dia dapat berontak lagi atau tidak!” berkata Thio Cecu.
“Bagus!” sahut beberapa orang, di antaranya ada yang lantas pergi lari,
untuk mengambil borgolan itu, maka dilain detik, pangeran itu sudah
diborgol tangan dan kakinya.
“Mereka sediakan ini untuk menyusahkan rakyat jelata, sekarang biarlah
ia yang mencicipi sendiri!” kata Liok Chungcu dengan tertawa.
Wanyen Kang bermandikan peluh pada dahinya, ia menahan sakit, ia tidak mengeluh atau merintih.
“Bawa dia kemari!” kata Liok Chungcu, yang tahu orang kesakitan.
Dua tauwnia menggotong pangeran itu dekat kepada tuan rumah.
Liok Chungcu menotok tulang punggung serta dada kiri di beberapa tempat,
setelah mana hilang rasa sakitnya Wanyen Kang, hingga pangeran itu
mendongkol berbareng heran. Katanya dalam hatinya: “Gerakan tangannya
orang ini sama dengan gerakan tangannya suhu, mungkinkah mereka ada
hubungan satu sama lain?” Tapi belum sempat ia bicara, Koan Eng sudah
suruh orang bawa ia ke tempat tahanan. Semua cecu pun pada lantas
mengundurkan diri.
Baru setelah itu, Kwee Ceng dan Oey Yong memutar tubuhnya. Semenjak tadi
mereka berdiam saja, melainkan secara diam-diam mereka melirik.
“Anak-anak gemar berkelahi, jiwi tentu menertawakan mereka,” kata Liok Chungcu kepada tetamunya.
“Siapa dia itu?” tanya Oey Yong. Dia membawa sikap wajar, “Apakah dia telah mencuri di sini, maka chungcu menjadi gusar sekali?”
Di dalam hatinya, nona ini semakin curiga. Gerakan tangan dan totokannya tuan rumah ini sama dengan pelajarannya sendiri.
Chungchu itu tertawa. “Benar, dia telah mencuri tidak sedikit barang
kami!” sahutnya. “Mari, mari kita melihat gambar-gambar dan kitab,
jangan kegembiraan kita diganggu pencuri itu.”
Koan Eng sudah mengundurkan diri juga, maka di kamar tulis itu mereka
tetap berada bertiga, tapi yang berbicara adalah tuan rumah dan Oey Yong
berdua, Kwee Ceng tidak mengerti hal kitab dan gambar, pemuda itu
tertarik sama huruf-huruf yang coret-coretannya tajam mirip dengan
gerakan pedang. Meski begitu ia berdiam saja. Bukankah mereka toh sudah
berpura-pura tidak mengerti silat?
Habis bersantap tengah hari, Liok Chungcu perintah kedua bujangnya
mengantarkan kedua tetamunya pesiar kedua gua Thio Kong dan Sian Kong
seperti ia telah menjanjikan. Kedua gua itu kesohor untuk pemandangan
alamnya yang indah. Sampai sore baru mereka kembali dengan merasa
senang.
“Bagaimana, Yong-jie, kita tolongi dia atau jangan?” tanya Kwee Ceng di saat mereka hendak masuk tidur.
“Kita baik tinggal dulu di sini beberapa hari,” sahut si nona. “Kita masih belum ketahui jelas tentang tuan rumah kita ini.”
“Ilmu silatnya sama dengan ilmu silatmu,” Kwee Ceng memberitahukan.
Oey Yong berpikir, “Inilah anehnya,” katanya. “Mungkinkah ia kenal Bwee Tiauw Hong?”
Keduanya tidak dapat menerka. Mereka pun khawatirkan tembok ada
kupingnya, lantas mereka memadamkan api dan tidur. Pada tengah malam,
keduanya mendusin karena kuping mereka mendengar suara perlahan di atas
genting. Keduanya lantas lompat bangun, untuk menghampirkan jendela.
Begitu mereka mementang daun jendela, mereka menampak berkelebatnya satu
bayangan orang, yang terus bersembunyi di antara pohon-pohon bunga
mawar. Setelah celingukan, orang itu bertindak ke timur, hati-hati
sekali sikapnya, menandakan ia bukannya salah seorang penghuni rumah.
Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng, keduanya lompat ke luar dari jendela,
untuk menguntit bayangan itu. Mereka bisa lantas bekerja karena tadi,
di waktu masuk tidur, mereka tidak membuka pakaian luar.
Belasan tindak kemudian, di antara cahaya bintang-bintang, kelihatan
nyata bayangan itu adalah seorang nona, yang ilmu silatnya lumayan juga.
Karena ini Oey Yong bertindak mendekati,. Tepat orang itu menoleh, ia
lantas mengenali Bok Liam Cu. Ia lantas saja tersenyum. Di dalam hatinya
ia berkata: “Bagus, kau hendak menolong kekasihmu! Hendak aku melihat,
bagaimana caramu bertindak!”
Bok Liam Cu jalan pergi datang di taman itu, lalu di lain saat ia tersesat jalan.
Oey Yong sebaliknya kenal taman itu, yang diatur menurut patkwa. Inilah
keistimewaannya Oey Yok Su, ayahnya. Tentang patkwa ini, ayahnya telah
mengajari padanya. Jadi taman ini diatur menurut barisan rahasia
Pat-kwa-tin.
“Dengan caramu ini berjalan, sampai seratus tahun pun tidak nanti kau
dapat cari kekasihmu itu,” kata Oey Yong dalam hatinya. Tapi ia hendak
membantu. Maka ia memungut segumpal tanah, ia menimpuk, “Ambil jalan ke
sana!” ia menunjuki, suaranya perlahan, ia sendiri bersembunyi di
belakang pohon.
Nona Bok terperanjat. Ia menoleh, ia tidak melihat siapa juga. Ia pun
bercuriga dan bersangsi. Lantas ia melompat ke arah dari mana timpukan
datang. Tentu sekali Oey Yong telah lenyap.
“Entah ia bermaksud baik atau jahat, tapi baiklah aku turuti
pengunjukannya,” kemudian nona Bok berpikir. Ia terus pergi ke kiri.
Lalu habis itu, setiap ia bersangsi, ada timpukan tanah yang memberi
petunjuk padanya. Ia telah berjalan berliku-liku, sampai mendadak ada
timpukan yang jauh, yang bersuara di jendelanya sebuah kamar yang di
depannya. Berbareng dengan itu, dua bayangan berkelebat dan lenyap.
Cerdas Liam Cu, segera ia lari menghampiri jendela itu, jendela dari
sebuah rumah kecil. Setibanya di depan rumah itu, dua orang lelaki
tergeletak di tanah, matanya mereka mengawasi dia. Mereka itu masih
mencekal senjata, tapi tak dapat bergerak. Terang sudah mereka itu
adalah korban-korban totokan di jalan darah.
“Pasti ada orang pandai yang membantu aku,” berpikir Liam Cu. Ia masuk
ke dalam rumah itu, kuping dan matanya dipasang. Segera ia mendapat
dengar suara orang bernapas.
“Engko Kang!” ia memanggil perlahan. “Kau…!”
“Ya, aku!” ada jawaban untuk itu.
Itulah suara Wanyen Kang, yang sadar sebab barusan mendengar suara tubuh
roboh di luar rumah. Dia memang lagi memasang kuping. Dia kenali suara
si nona.
Dalam gelap gulita, Liam Cu segera menghampirkan.
“Ada dua orang pandai yang membantu aku, entah siapa mereka itu,” kata nona ini. “Mari kita pergi!”
“Apakah kau membawa golok pedang mustika?” tanya pangeran itu.
“Kenapa?” balik tanya si noa.
Wanyen Kang tidak menjawab, ia hanya perdengarkan suara borgolan.
Liam Cu mengerti, ia menjadi sangat masgul.
“Menyesal pisau belati mustikaku itu telah aku berikan pada adik Oey,” ia menyesalkan diri.
Oey Yong dan Kwee Ceng yang tetap bersembunyi, mereka dapat dengar suara
si nona. Di dalam hatinya, nona Oey berkata: “Sebentar akan aku
serahkan pisau mustika itu.”
“Nanti aku pergi curi kunci borgolnya!” kata Liam Cu akhirnya. Ia bingung dan berkhawatir.
“Jangan pergi, adik!” Wanyen Kang mencegah. “Orang di sini lihay, percuma kau pergi.”
“Bagaimana kalau aku gendong kau?” tanya si nona.
“Tidak dapat, orang ikat aku pada tiang.” jawab sang pangeran.
“Habis bagaimana?” tanya si nona lagi.
Lalu terdengar suara menangis perlahan dari nona itu.
“Mari kau dekati aku….” kata Wanyen Kang tertawa.
Liam Cu membanting kaki. “Orang tengah bergelisah, kau masih bisa bergurau!” tegurnya.
“Siapa bergurau?” Wanyen Kang masih tertawa. “Aku omong sebenarnya.”
Liam Cu tidak memperdulikannya, ia mengasah otaknya.
“Kenapa kau ketahui aku berada di sini?” Wanyen Kang tanya kemudian.
“Aku mengikuti kau terus-menerus…” jawab si nona perlahan.
“Oh, adik, kau baik sekali.” Suara Wanyen Kang agak tergerak. “Mari kau
dekati aku, kau menyender di tubuhku, hendak aku bicara.”
Liam Cu menjatuhkan diri dan duduk, ia menurut.
“Aku adalah utusan negeri Kim, tidak nanti mereka berani lancang
membunuh aku,” berkata Wanyen Kang. “Hanya dengan tertahan di sini,
pastilah gagal urusan tentara dari ayahku. Aku bingung….Adik, baiklah
kau tolongi aku.”
“Bagaimana?” tanya si nona.
“Di leherku ada cap emas, kau loloskan itu.”
Liam Cu menurut.
“Inilah cap perutusan,” Wanyen Kang memberitahukan. “Sekarang kau lekas
pergi ke Lim-an, di sana kau menemui Soe Mie Wan, itu perdana menteri
kerajaan Song….”
Nona Bok terkejut.
“Aku seorang wanita biasa, cara bagaimana perdana menteri itu dapat menemui aku?” tanyannya.
“Kalau ia melihat cap ini, pasti ia repot sekali menyambut kau!” kata
Wanyen Kang tertawa. “Kau beritahu padanya bahwa aku ditawan perampok di
Thay Ouw ini, hingga karenanya tidak dapat aku datang padanya. Kau
pesan apa bila ada utusan Mongolia yang datang, suruh ia jangan
menerimanya hanya segera bunuh saja si utusan itu!“
“Eh, kenapa begitu?” si nona menanya heran.
“Inilah urusan besar dari tentara dan negera, dijelaskan pun kau tidak
bakal mengerti! Pergi kau sampaikan pesanku ini kepada perdana menteri
itu, itu artinya kau sudah mewakilkan aku melakukan satu pekerjaan yang
besar. Jikalau utusan Mongolia itu keburu sampai dan dapat bicara dengan
raja Song, itu artinya kerugian besar bagi kami negara Kim.”
“Apa itu negara Kim?” Liam Cu tanya. “Aku adalah rakyatnya kerajaan Song! Sebelum kau omong jelas, tidak bisa aku bekerja”.
“Bukankah nanti kau bakal menjadi permaisuri di negara Kim?” Sembari berbicara, Wanyen Kang tersenyum.
“Ayah angkatku ialah ayahmu sejati, adalah orang Han. Apakah kau
benar-benar sudi menjadi raja Kim?” tanya Liam Cu. “Aku cuma tahu,
cuma….”
“Kenapa?” Wanyen Kang memotong.
“Sampai sebegitu jauh aku pandang kau sebagai orang pintar dan gagah,”
kata Liam Cu, “Dan aku menyangka kau berpura-pura saja menjadi pangeran,
bahwa kau lagi menantikan ketikanya yang baik untuk berbuat sesuatu
guna kerajaan Song! Kau benar-benarkah hendak mengakui musuh sebagai
ayahmu!”
Wanyen Kang bediam. Ia dapat mendengar suara lagu orang berubah,
kata-katanya seperti macet di tenggorokan. Itulah tandanya orang gusar
dan menyesal. Maka ia berdiam.
“Negara yang indah dari kerajaan Song telah separuhnya dirampas orang
asing!” berkata pula Liam Cu. “Dan rakyat kita bangsa Han telah
ditangkap-tangkapi, dibunuh dan dianiaya! Mustahilkah kau sendiri juga
tidak memikirkan itu? Kau….kau…..”
Berhenti si nona berbicara, ia lemparkan cap ke tanah, sambil menutup muka, ia bertindak pergi.
Wanyen Kang terkejut, segera ia memanggil
“Adik, aku salah!” katanya, memanggil, “Mari kembali!”
Liam Cu berhenti bertindak, ia berpaling, “Mau apa kau?!” ia tanya.
“Tunggulah sampai aku sudah lolos dari sini, aku akan tak lagi menjadi
utusan negeri Kim,” berkata Wanyen Kang. “Aku juga tidak akan kembali ke
negera Kim itu, hanya bersama kau, aku akan hidup menyepi sebagai orang
tani, supaya kita bisa hidup bersama dengan tenang dan berbahagia….”
Nona Bok menghela napas, ia berdiri menjublak. Semenjak pibu, ia sudah
pandang Wanyen Kang sebagai pemudanya yang paling gagah. Bahwa Wanyen
Kang tidak hendak mengakui ayahnya sendiri, ia masih menyangka pada itu
ada sebabnya. Ia pun menduga orang menjadi utusan negara Kim karena ada
suatu maksud tersembunyi, guna nanti melakukan suatu usaha besar untuk
kerajaan Song. Tapi siapa tahu, sekarang sia-sia saja pengharapannya
itu. Ia dapatkan kenyataan orang hanya satu manusia serakah, yang
kemaruk sama harta dan kemuliaan….
“Adikku, kau kenapa?” Wanyen Kang tanya.
Liam Cu berdiam.
“Memang ibuku membilangi aku bahwa ayah angkatmu adalah ayahku yang
sejati,” Wanyen Kang berkata pula. “Sayang sebelum aku menanya dengan
jelas, keduanya mereka sudah menutup mata, karenanya sampai sekarang aku
jadi ragu-ragu…..”
Pikiran Liam Cu tergerak juga.
“Kalau ia belum mengetahui jelas, ia dapat diberi maaf…” pikirnya. Lalu
ia berkata: “Sekarang kau jangan sebut lagi hal aku harus pergi kepada
perdana menteri Song untuk membawa capmu ini. Hendak aku mencari adik
Oey untuk minta pisau mustika guna menolongi kau…”
Oey Yong mendengar itu semua, kalau tadinya ia hendak menyerahkan
pisaunya, segera ia mengubah maksudnya. Ia benci mendengar Wanyen Kang
hendak berbuat sesuatu untuk tentara Kim. Ia pikir: “Baiklah aku
membiarkan dia tertutup lagi beberapa hari di sini….” Ayahnya memang
membenci sekali negera Kim itu.
“Taman ini aneh jalannya, kenapa kau ketahui jalanannya itu?” kemudian Wanyen Kang menanya.
“Ada seorang pandai yang memberi petunjuk padaku,” sahut Liam Cu. “Dia menyembunyikan diri, aku belum tahu siapa dia.”
Wanyen Kang mengasih dengar suara tidak tegas.
“Adikku,” katanya pula, “Kalau lain kali kau datang pula, mungkin kau
kepergok penghuni rumah ini. Kalau benar kau hendak menolongi aku, pergi
kau cari satu orang…”
“Aku tidak sudi mencari perdana menteri she Soe itu!” memotongi si nona.
“Bukannya Soe Sinsiang, hanya guruku,” Wanyen Kang memberi tahu
“Oh…” si nona terhenti suaranya.
“Kau pergi membawa ikat pinggangku ini,” Wanyen Kang berkata pula. “Di
gelang emasnya ikat pinggang itu kau ukir kata-kata: ‘Wanyen Kang dapat
susah di Kwie-in-chung di tepi telaga Thay Ouw’ Tigapuluh lie di utara
kota Souwciu ada sebuah bukit belukar, di sana kau cari sembilan buah
tengkorak yang bertumpuk menjadi satu: Satu di atas, tiga di tengah dan
lima di bawah. Ikat pinggangku ini, kau letakkan di bawah tenggorak itu.
Liam Cu heran, “Untuk apakah itu?” ia menanya.
“Guruku itu telah buta kedua matanya,” Wanyen Kang memberi keterangan.
“Kalau ia dapat memegang ikat pinggang itu serta gelang emasnya, lantas
ia bakal dapat mencari aku. Setelah meletaki ikat pinggang itu, jangan
kau berlambat, kau mesti lekas-lekas mengangkat kaki. Aneh tabiat
guruku, apabila ia mendapatkan ada orang di dekat tumpukan tengkorak
itu, mungkin ia akan membunuhmu. Guruku lihay, pasti dia bakal dapat
menolongi aku. Kau tunggui saja aku di kuil Hian Biauw Koan di kota
Souwciu.”
“Kau bersumpah dulu, bahwa kau tidak akan akui pula bangsat menjadi ayah
dan tidak menjual negara ini untuk mencelakai rakyat!” berkata si nona.
Mendengar itu, Wanyen Kang menjadi tidak senang. Ia kata: “Setelah
urusanku beres, sudah tentu aku akan bertindak menurut kata hatiku yang
benar. Sekarang kau memaksa aku mengangkat sumpah, apakah mau?!”
Liam Cu lemah hatinya. “Baik, aku akan pergi menyampaikan warta!” bilangnya. Ia meloloskan ikat pinggang si anak muda.
“Adikku, kau hendak pergi sekarang?” kata Wanyen Kang, “Mari, adik!”
“Tidak!” kata si nona yang bertindak ke pintu.
“Aku khawatir belum lagi guruku datang menolongi aku, mereka sudah
keburu membunuh aku,” kata pula Wanyen Kang, “Maka itu untuk
selama-lamanya aku tidak bakal melihat pula padamu…”
Liam Cu menjadi lemah hatinya. Ia kembali, ia senderkan tubuhnya dalam
rangkulan pangeran itu. Ia pasrah. Kemudian, mendadak ia berkata dengan
keras: “Di belakang hari, jikalau kau tidak menjadi orang baik-baik, aku
bakal mati di hadapanmu!”
Inilah Wanyen Kang tidak sangka, maka itu, ia menjadi melengak.
Liam Cu berlompat bangun, untuk berlalu.
Oey Yong sudah lantas menunjuki pula jalan secara diam-diam seperti
tadi, maka setibanya di kaki tembok, Liam Cu bertekuk lutut, mengangguk
tiga kali, katanya: “Oleh karena cianpwee tidak sudi memperlihatkan
diri, biarlah aku memberi hormatku ke udara saja.”
“Oh, itulah aku tidak berani terima!” terdengar satu suara halus dibarengi sama tertawa geli.
Liam Cu segera mengangkat kepalanya tetapi tetap ia tidak melihat siapa
juga kecuali bintang-bintang di langit. Ia heran bukan main. Ia seperti
mengenali suara Oey Yong, hanya ia heran, kenapa orang berada di sini
dan ketahui jalan rahasia itu. Ia jalan belasan lie, lantas ia berhenti
di bawah sebuah pohon besar untuk tidur, lalu besoknya, dengan menaik
perahu, ia menyeberangi telaga Thay Ouw dan pergi ke kota Souwciu.
Souwciu adalah kota ramai di tenggara walaupun ia tidak dapat melawan
Hangciu, di sini orang hidup secara mewah melupakan kekejaman bangsa Kim
yang pernah menggilas-gilasnya. Tapi Liam Cu tidak pikirkan ke
pelesiran. Habis bersantap di sebuah rumah makan, melihat matahari sudah
doyong ke barat, ia lantas pergi ke luar kota utara. Dengan menuruti
petunjuk Wanyen Kang, ia hendak mencari gurunya pemuda itu. Makin lama
jalanan makin sulit. Matahari pun segera melenyap di belakang bukit.
Segera terdengar suara-suara aneh dari burung-burung hutan. Sampai
langit sudah gelap ia mencari di lembah, belum juga ia menemui tumpukan
tengkorak seperti katanya Wanyen Kang.
“Baiklah aku cari pondokan, besok pagi aku mencari pula,” pikirnya.
Syukur di sebelah barat situ ada sebuah rumah, dengan kegirangan ia lari
menghampirkan, hingga ia mendapatkan sebuah kuil tua dan rusak, namanya
Yoh Ong Bio. Ketika ia menolak pintu, pintu itu roboh menjeblak,
debunya beterbangan. Terang itulah sebuah kuil kosong. Di dalamnya penuh
kabang-kabang, segala apa tidak teratur.
Senang juga Liam Cu akan mendapati meja masih utuh, ia lantas bersihkan
itu, untuk menempatkan diri. Ia tutup pintu tadi, yang ia pasang pula,
lantas ia mengeluarkan rangsum kering untuk menangsal perut. Ia pakai
buntalannya sebagai bantal waktu ia merebahkan diri. Kapan ia ingat
Wanyen Kang, ia menjadi berduka dan malu, tanpa merasa air matanya
meleleh turun. Karena ini, sampai kentongan yang kedua barulah ia dapat
tidur. Tiba-tiba saja ia mendusin. Ada suara apa-apa di luar kuil, bukan
suara angin, bukan suara air. Ia berduduk untuk memasang kuping
terlebih jauh. Ketika ia mendengar suara bertambah nyaring, ia lompat ke
pintu untuk melihat ke luar. Ia menjadi kaget sekali, hatinya memukul
dengan keras.
Di bawah terangnya rembulan, terlihat ribuan, ya laksaan ular hijau,
berlegat-legot menuju ke timur, bau amisnya masuk ke dalam kuil.
Menggelesernya ular itu, itulah yang menerbitkan suara luar biasa itu.
Di belakang pasukan ular itu nampak tiga orang pria dengan pakaian serba
putih yang tangannya memegang galah panjang peranti menggiring ular
itu.
Liam Cu tidak berani mengintai lebih lama, ia khawatir nantinya
kepergok. Sesudah mendengar suara orang pergi jauh, baru ia mengintai
pula. Sekitarnya jadi sepi pula, hingga ia merasa tengah bermimpi.
Ia membuka pintu, ia pergi ke luar. Tidak lagi ia melihat ketiga orang
dengan pakaian putih itu. Ia merasa hatinya lega. Ia jalan beberapa
tindak ke jalan yang bekas diambil ular itu. Di saat ia hendak membalik
tubuh, untuk kembali ke kuil, ia melihat suatu barang putih tidak jauh
dari dekatnya itu. Warna putih itu bertojoh sinar rembulan, adanya di
atas batu. Ia heran, ia menghampirkan. Ia segera melihat tumpukan
tengkorak, malah bertumpuknya tepat seperti ditunjuk Wanyen Kang.
Ia kaget berbareng girang. Dengan hati kebat-kebit, ia menghampirkan,
untuk meletaki di bawah itu ikat pinggang Wanyen Kang. Tangannya
bergetar ketika ia meraba tengkorak itu. Luar biasa sekali, lima jarinya
tepat masuk ke dalam lima lubang di tulang tengkorak itu hingga ia
menjerit seraya memutar tubuh untuk kabur. Atau mendadak ia ingat tak
perlu ia takut. Ia ketakutan sendiri tanpa perlunya. Maka sekarang ia
dapat tersenyum. Maka ia lantas merapikan menaruh ikat pinggangnya itu.
“Pasti benar gurunya luar biasa sekali, entah bagaimana romannya yang
menakuti…” pikirnya. Ia memang belum pernah melihat Bwee Tiauw Hong, dan
tempo Tiauw Hong bertempur hebat di istana, dia dan ayahnya sudah kabur
lebih dulu. Habis itu ia memuji, mengharap gurunya Wanyen Kang itu
menemui ikat pinggang ini nanti segera menolongi muridnya balik ke jalan
yang lurus.
Tengah si nona memuji, ia merasai pundaknya ada yang pegang. Ia kaget
sekali. Tanpa menoleh, ia berlompat ke depan, kemudian sambil meletaki
kedua tangannya di depan dadanya, baru ia memutar tubuhnya. Di luar
dugaannya, orang sudah berada di belakangnya, kembali pundaknya di
pegang. Ia berlompat pula, kembali dia disusul, kembali pundaknya di
pegang. Kejadian ini terulang empat lima kali. Ia bermandikan keringat
dingin. Tak tahu ia, ia lagi menghadapi manusia lihay atau hantu.
“Kau siapa?!” akhirnya ia menanya, suaranya bergemetar.
Orang itu mencium ke lehernya. “Harum!” katanya.
Liam Cu berbalik dengan cepat sekali, maka sekarang ia dapatkan di
depannya berdiri seorang pemuda dengan dandanan sebagai mahasiswa,
tangannya menggoyang-goyangkan kipas, gerak-geriknya halus. Untuk
kagetnya ia kenali Auwyang Kongcu, salah seorang yang memaksa kematian
ayah dan ibu angkatnya. Ia gusar tetapi ia tidak berdaya, maka itu ia
memutar tubuhnya untuk lari. Baru saja belasan tindak, atau Auwyang
Kongcu sudah berada di hadapannya sembari tertawa haha-hihi, ia
mementang kedua tangannya. Asal ia maju lagi, ia tentu telah masuk ke
dalam rangkulannya pemuda itu! Maka ia menghentikan tindakannya, untuk
lari ke kiri. Tapi baru beberapa tindak, kembali orang berada di
hadapannya. Ketika ia mengulangi lari beberapa kali lagi, tetap pemuda
itu menyaksikan orang kaget dan takut, saban-saban dia mengulur
tangannya untuk mencekuk. Rupanya senang dia mempermainkan nona itu.
Liam Cu menjadi nekat, ia menghunus goloknya dan menyerang. Dua kali ia membacok, dua-dua kalinya gagal.
“Ah, jangan galak!” seru pemuda itu tertawa, habis ia membebaskan diri.
Ia mengegos ke kiri, tangan kanannya dikibaskan, tangan kirinya diulur.
Maka si nona sudah lantas kena dipegang pinggangnya yang ceking ramping
itu.
Liam Cu berontak tetapi cuma-cuma, ia merasakan tubuhnya sakit. Goloknya
pun sudah kena dirampas si pemuda. Ia berontak pula tetapi hanya
menyebabkan tubuhnya kena dipeluk. Ia merasakan nadinya ditekan, habis
mana habislah semua tenaganya, tubuhnya menjadi lemas, tidak bisa ia
meronta pula.
Auwyang Kongcu mengasih dengar tertawa ceriwisnya. “Kau angkat aku menjadi gurumu, segera aku merdekakan kau!” katanya.
Liam Cu merasakan mukanya diusap-usap, ia mengerti, orang bermaksud
buruk terhadapnya, saking mendongkol dan takutnya, mendadak saja ia
pingsan. Beberapa lama ia tak sadarkan diri, ia tidak tahu, kapan
kemudian ia mendusin perlahan-lahan, ia merasakan tubuhnya masih dipeluk
orang. Mulanya ia menyangka ia berada dalam rangkulan Wanyen Kang, ia
girang, tetapi ia membuka matanya, ia dapatkan Auwyang Kongcu. Ia kaget,
ia malu, ia lantas berontak. Hendak ia berteriak, mulutnya sudah
disumpal dengan sapu tangan. Sekarang ia mendapatkan dirinya diapit kiri
dan kanan oleh masing-masing delapan wanita yang cantik-cantik, yang
semuanya pun serba putih pakaiannya, setiap wanita memegang alat
senjata, hanya mata mereka mengawasi ke tengkorak-tengkorak di atas
batu.
Heran nona Bok, tak tahu orang lagi berbuat apa. Ia menyesal tak dapat
menggerakkan tubuhnya, ia melainkan bisa menoleh. Ia kaget luar biasa
waktu ia berpaling ke Auwyang Kongcu.
Di belakang pemuda itu berkumpul ular-ular hijaunya, tubuh semua ular
itu tidak bergerak, mulutnya terbuka, di situ terlihat lidahnya semua,
warnanya merah, merupakan sebagai lautan lidah. Di antara ribuan ular
itu ada tiga pria dengan bjau putih dan tangan mencekal galah.
Ketika ia menoleh ke arah sembilan tengkorak, yang ia awasi, di sana
terlihat gelang emas pada ikat pinggang mengasih lihat warna
bergemerlapan, tiba-tiba ia ingat suatu apa.
“Mungkin mereka ini lagi menanti tibanya guru engko Kang,” ia berpikir.
“Mestinya mereka lagi bersiap dengan sikap bermusuh….. Kalau gurunya
Wanyen Kang datang seorang diri, mana ia sanggup melawan mereka ini? Di
sini pun ada ribuan ular hijau….”
Cemas hatinya si nona. Ia lalu berharap-harap supaya gurunya Wanyen Kang jangan datang.
Selang setengah jam, rembulan tampak mulai naik, Auwyang Kongcu terlihat mendongak memandang si putri malam.
“Apakah mungkin guru Wanyen Kang baru akan datang sesudah rembulan naik?” nona Bok ini menduga-duga.
Rembulan terus naik perlahan-lahan, naik melintasi atas pepohonan.
Langit menjadi terang sekali dan bersih sekali. Tidak ada suara lain,
kecuali kutu-kutu dari empat penjuru atau suara burung malam. Malam
sunyi sekali……….
Auwyang kongcu masih memandangi putri malam. Sekarang ia serahkan Liam
Cu kepada satu nona, untuk nona itu yang memeluknya. Ia sendiri
mengeluarkan kipasnya, dicekal di tangan kanannya. Matanya mengawasi ke
sebuah pengkolan.
Liam Cu menduga bahwa orang yang dinanti-nanti bakal segera datang, dengan sendirinya hatinya tegang. Apakah bakal terjadi?
Tidak lama dalam kesunyian itu, dari jauh terdengar suara tajam, lalu
suara itu datang mendekat. Maka sekarang terlihat seorang wanita dengan
rambut riap-riapan muncul di pengkolan. Dia sudah lantas bertindak
dengan perlahan. Mungkin ia sudah merasa ada orang di dekat-dekatnya.
Liam Cu menduga inilah gurunya Wanyen Kang. Ia menjadi heran. Ia telah
menyangka kepada seorang luar biasa, tidak tahunya cuma wanita macam
ini….
Bwee Tiauw Hong telah memperoleh kemajuan setelah di dalam istana ia
mendapatkan beberapa petunjuk dari Kwee Ceng untuk melatih diri. Ia
menyakinkannya dengan sungguh-sungguh. Hasilnya kedua kakinya dapat
dipakai berjalan dengan cepat. Ia tahu Kanglam Liok Koay sudah pulang ke
Kanglam, ia hendak menyusul untuk membalas dendam. Demikian ia menyusul
selagi si pangeran muda menjadi utusan negara Kim, mengikuti ke
Selatan. Ia masih berlatih diri terus, karena itu ia tidak dapat naik
perahu, ia ambil jalan darat, supaya nanti dapat bertemu di Souwciu.
Karena perpisahan ini, ia tidak tahu bahwa Wanyen Kang sudah terjatuh ke
dalam tangan perampok. Ia pun tidak tahu bahwa Auwyang Kongcu untuk
membalas sakit hati gundiknya, telah menantikan ia di tempat ini. Hanya
saking lihaynya , ia segera mendengar suara orang bernapas. Sekarang ia
mendengar satu suara lain yang ia anggap luar biasa.
“Sungguh lihay!” kata Auwyang Kongcu dalam hatinya. ia lihat berhenti
bertindak. Ia lantas mengibaskan kipasnya, ia berbangkit, berniat untuk
segera menyerang. Syukur sebelum ia melompat, tiba-tiba ia melihat satu
orang muncul dari sebuah tikungan. Ia mengawasi, orang itu tinggi dan
kurus, pakaiannya sebagai seorang sastrawan, hanya mukanya belum tampak
jelas. Yang aneh, tindakan orang itu tidak bersuara. Sekalipun Bwee
Tiauw Hong, ia masih mengasih dengar tindakan perlahan.
Segera orang itu telah datang dekat. Ia berdiri di belakang Bwee Tiauw Hong, matanya menyapu kepada pemuda she Auwyang itu.
Sekarang Auwyang Kongcu dapat melihat wajah orang, ia terkejut, tubuhnya
menggigil. Itulah muka dengan sepasang mata seperti berputaran, dengan
warna kulit dari mayat, romannya tidak jelek amat tetapi diam dan
dingin. Karena ini, ia mesti mengatasi dirinya.
Ketika itu Bwee Tiauw Hong pun bertindak perlahan, setindak demi setindak.
Hatinya Auwyang Kongcu gentar. “Baiklah aku turun tangan lebih dulu!”
pikirnya. Maka tangan kirinya dikibaskan sebagai tanda. Menyusul itu
tiga penggembala ular lantas membunyikan suitan. Maka semua ular mulai
bergerak-gerak.
Semua wanita berbaju putih itu duduk tidak bergeming. Mungkin mereka
semua membekal obat pemunah racun, semua ular berlegot melewati mereka,
tidak ada yang melanggarnya.
Bwee Tiauw Hong mendengar suara bergeraknya ular-ular itu. Ia berlompat mundur beberapa tombak.
Dengan petunjuk si penggembala, semua ular itu memisahkan diri memenuhi
tegalan belukar. Siapa kena tergigit, celakalah dia. Semua binatang itu
berbisa.
Liam Cu mengawasi dengan hati kebat-kebit. Ia lihat Bwee Tiauw Hong
beroman jeri, maka ia cemas hatinya untuk gurunya Wanyen Kang ini. Hanya
sedetik, Bwee Tiauw Hong telah lantas mengeluarkan cambuknya yang
panjang, yang ia terus putar di sekitarnya. Di lain pihak, semua ular
sudah datang mendekat, sikapnya mengurung. Beberapa ekor, menuruti
titahnya suitan, berlompat menyerang, tetapi segera mereka terpental
balik terkena angin cambuknya Tiauw Hong itu.
“Siluman wanita she Bwee!” berseru Auwyang Kongcu sesudah sekian lama ia
membungkam saja. “Ketahui olehmu, aku tidak menghendaki nyawamu! Kau
keluarkan kitab Kiu Im Cin-keng, kongcumu akan segera membebaskanmu!”
Tiauw Hong tidak mengambil mumet, ia terus putar cambuknya.
“Jikalau kau sanggup, kau putarlah cambukmu selama satu jam!” Auwyang
Kongcu berkata pula. “Aku nanti menunggu kau sampai besok pagi. Aku mau
lihat kau serahkan kitabmu itu atau tidak!”
Tiauw Hong tidak menyahuti, tetapi ia bergelisah, Ia memikir daya untuk
meloloskan diri. Ia pasang kupingnya. Ia ketahui, di sekitarnya ular
belaka. Ia tidak berani bertindak, ia khawatir nanti kena menginjak
ular. Hebat kalau ia kena dipagut walaupun cuma satu kali saja…..
Dari berdiri, Auwyang Kongcu lantas berduduk. Ia berdiam lagi sekian
lama, lalu dengan suara puas, ia mengasih dengar suaranya. “Orang she
Bwee, kitabmu itupun kau dapati dari mencuri, dan selama dua puluh
tahun, kau pasti sudah meyakinkannya dengan seksama, maka itu, perlu apa
kau peluki saja kitab itu hingga mampusmu? Kau pinjamkan itu kepadaku,
untuk aku lihat, dengan begitu dari musuh kita menjadi sahabat, aku akan
melupakan segala apa yang sudah lewat! Tidakkah itu bagus sekali?”
“Kalau begitu, bubarkan barisan ularmu ini!” menyahut Bwee Tiauw Hong.
Auwyang Kongcu tertawa, “Kau serahkan dulu kitabmu!” katanya.
Kitab “Kiu Im Cin-keng” di tangan Bwee Tiauw Hong hanya separuh tetapi
ia pandang itu bagaikan nyawanya, dari itu tidak sudi ia menyerahkannya.
Ia sudah mengambil keputusan: “Kalau aku mati, aku akan merobek-robek
ini!”
Liam Cu tegang hatinya, ia habis sabar.
“Lekas panjat pohon! Lekas panjat pohon!” ia berteriak menganjurkan.
Tapi mulutnya disumbat, tak dapat ia mengasih dengar teriakannya itu.
Tiauw Hong buta, tidak tahu ia di dekatnya ada sebuah pohon pohon kayu
besar. Ia pun percaya betul kepandaiannya, tidak suka ia mengangkat
kaki. Sebelah tangannya ia masuki ke dalam sakunya.
“Baiklah, hari ini nyonya besarmu menyerah!” katanya kemudian. “Kau ambillah ini!”
“Kau lemparkan!” kata Auwyang Kongcu yang licik.
“Kau sambutlah!” seru Bwee Tiauw Hong, yang tangannya terayun.
Menyusul itu Auwyang Kongcu roboh.
Liam Cu mendengar suara sar ser, lantas dua orang wanita di sampingnya
turut roboh juga. Hanya Auwyang Kongcu tetap bergulingan, di waktu mana
ia dapat dengar robohnya lagi dua wanitanya. Ia berlompat bangun dengan
hatinya gentar, tubuhnya mandi keringat dingin. Hebat senjata rahasia
musuh, yang juga membikin ia menjadi sangat gusar.
“Perempuan siluman!” dia berteriak seraya mundur, “Hendak aku membikin kau hidup tidak, mati pun tidak!”
Bwee Tiauw Hong itu menyerang dengan “bue-heng-teng”, yaitu paku rahasia
yang seperti tidak tampak wujudnya. Ia kagum akan mendapatkan musuh
dapat menolong diri. Tentu saja, hatinya pun cemas.
Auwyang Kongcu mengawasi tajam kedua tangan orang, ia mau menunggu asal
cambuk wanita itu kendor, ia akan menitahkan ularnya menyerbu. Di
sampingnya sudah ada bangkainya beberapa puluh ularnya itu. Tapi ia
mempunyai ribuan, laksaan, mana orang bisa ke luar dari kurungan? Cuma,
karena jeri pada cambuk perak lawannya, si pemuda juga tidak berani
datang dekat.
Satu jam orang seperti saling berdiam, rembulan mulai doyong ke barat.
Inilah hebat untuk Tiauw Hong. Mana ia mesti putar cambuknya, mana ia
mesti memasang kuping. Dengan terpaksa, kalangan cambuknya itu menjadi
menciut.
Senang Auwyang Kongcu menyaksikan itu. Ia perintahkan ularnya merangsek
maju. Ia hanya khawatir orang menjadi nekat dan merusak kitabnya. Ia
lantas bersiap sedia, asal Tiauw Hong mulai merobek, ia hendak
merampasnya.
Tiauw Hong meraba ke dalam sakunya, kepada kitabnya, wajahnya berubah pucat.
Auwyang Kongcu tidak tahu bahwa musuhnya ini telah berkata di dalam
hatinya: “Sungguh aku tidak sangka, selagi sakit hatiku belum terbalas,
aku mesti terbinasa di sini….”
Tepat tengah wanita ini berpikir keras, kupingnya mendengar suara
seperti bunyinya burung hong di tengah udara, atau suara seperti
ditabuhnya batu kumala. Menyusul beberapa suara itu, terdengarlah suara
seruling yang halus dan merdu.
Kedua pihak, yang “tengah” bertempur, menjadi terkejut. Auwyang Kongcu
yang mengangkat kepalanya untuk melihat, mendapatkan orang yang tadi,
yang mengenakan baju hijau, lagi bercokol di atas pohon. Dialah yang
lagi meniup seruling itu.
Bukan main herannya pemuda ini. Ia ketahui baik lihaynya matanya tetapi
toh kali ini ia gagal. Tak tahu ia kapannya si baju hijau itu berada di
atasnya pohon itu. Pula aneh, orang itu duduk dengan tenang sekali
selagi pohon itu bergoyang-goyang. Ia lihay ilmunya ringan tubuh tetapi
tidak nanti ia dapat menyamai orang itu. Ia sampai mau menerka hantu…..
Seruling masih berbunyi terus. Hatinya Auwyang Kongcu goncang, tetapi
wajahnya tersenyum. Ia lantas merasakan tubuhnya panas, dengan
sendirinya ia seperti hendak menari-nari. Baru tangan dan kakinya
bergerak, atau ia kaget sendirinya, lekas-lekas ia menetapkan hatinya.
Ia sekarang mendapatkan ular-ularnya pada mendekati bawah pohon itu,
kepalanya diangkat tinggi-tinggi, bergerak-gerak mengikuti irama
seruling itu.
Hampir di itu waktu, si penggembala ular, tiga pria itu, bersama-sama
belasan wanita serba putih itu, sudah berada di bawah pohon, di mana
mereka itu menari-nari. Hebat caranya mereka menari, sebab selanjutnya
mereka bukan cuma menari, mereka merobek-robek pakaian mereka dan
mencakari muka mereka, toh mereka pada tertawa. Mereka menari bagaikan
kalap, tak lagi mereka merasakan sakit.
Auwyang Kongcu kaget bukan main. Tahulah ia bahwa ia telah bertemu musuh
yang tangguh. Ia lantas mengeluarkan enam biji senjata rahasianya,
torak perak yang beracun, dengan sekuat tenaganya ia menyerang orang itu
di tiga jurusan, kepala, dada dan perut. Dalam hal senjata rahasia, ia
adalah satu ahli, belum pernah ia gagal. Tapi aneh kali ini, toraknya
itu disampok ujung seruling dan jatuh, serulingnya tak pernah terpisah
dari mulutnya orang itu.
Atau di lain pihak saat pemuda ini membeber kipasnya, ia pun
menari-nari. Dia kaget bukan main, ia mencoba untuk menguasai dirinya.
Dia menahan gerakan tangan dan kakinya. Katanya itu dalam hati, “Lekas
robek baju, sumpal kupingmu, jangan dengari lagi serulingnya!”
Hanya luar biasa suara seruling itu, telinga telah disumbat tapi
suaranya masih terdengar. Maka pemuda itu kaget dan berkhawatir sekali.
Baru sekarang ia tahu takut. Ia bermandikan keringat dingin.
Bwee Tiauw Hong sendiri duduk bercokol di tanah, kepalanya dikasih tunduk. Terang ia tengah bersemadhi, untuk menguasi dirinya.
Beberapa perempuan dari Auwyang Kongcu itu telah roboh di tanah,
tubuhnya bergulingan. Mereka itu telah merobek pakaian mereka. Liam Cu
tengah tertotok jalan darahnya, tidak bisa ia menggeraki kaki tangannya,
tetapi mendengari suara seruling itu, hatinya goncang. Ia sekarang
rebah di tanah, hatinya tidak karuan rasa.
Auwyang Kongcu menderita hebat. Kedua belah pipinya menjadi merah,
kepalanya dirasakan panas sekali, lidah dan tenggorokannya kering. Tapi
ia masih ingat untuk membela diri. Maka ia gigit lidahnya, di waktu ia
merasakan sakit, gangguan seruling itu menjadi berkurang sendirinya.
Lekas-lekas ia bergerak, ia lompat ke Liam Cu, tubuh siapa ia pondong,
untuk dibawa lari. Sebentar saja ia sudah berada jauh beberapa lie, di
mana suara seruling tadi tidak terdengar pula. Di sini ia merasa hatinya
lega tetapi tenaganya habis, tubuhnya basah kuyup dengan keringatnya,
ia seperti sakit berat. Tapi ia menguati hati, ia mencoba lari terus.
Supaya tak usah berhenti di tengah jalan, ia bebaskan totokan pada tubuh
Liam Cu, untuk menyuruh si nona turut lari masuk ke dalam kota Souwciu.
********************
Oey Yong sendiri bersama Kwee Ceng, sehabisnya menunjukkan jalan pada
Liam Cu, sudah lantas pulang ke kamarnya untuk terus tidur. Mereka tidak
memikir untuk mencari tahu apa yang nona Bok itu perbuat. Besoknya
siangnya, mereka jalan-jalan di tepi telaga Thay Ouw. Malamnya, mereka
berkumpul dengan tuan rumah, melihat gambar-gambar dan berbicara tentang
ilmu surat.
Biar bagaimana, hatinya Kwee Ceng tidak tenang. Dengan kepergiannya Liam
Cu, berarti Bwee Tiauw Hong bakal datang. Ia tahu Tiauw Hong kejam,
maka ada kemungkinan Kwie-in-chung nanti menampak bahaya. Siapa di rumah
ini yang sanggup melawan si Mayat Besi? Karenanya, di waktu ia berada
berduaan dengan Oey Yong, ia utarakan kekhawatirannya itu.
“Apakah tidak lebih baik kita memberitahukan tuan rumah perihal Bwee
Tiauw Hong, supaya Wanyen Kang dibebaskan, agar rumah ini lolos dari
bahaya?” katanya kepada si nona.
“Jangan,” Oey Yong menggoyangi tangan. “Mulanya aku percaya Wanyen Kang
itu baik hatinya, setelah mendengar suaranya enci Bok, biarlah ia
mengalami lebih banyak penderitaan. Kalau tetap dia tidak mengubah
kelakuannya, kita bunuh saja padanya!”
“Bagaimana kalau Bwee Tiauw Hong sampai datang?” tanya si pemuda lagi.
“Kita justru boleh mencoba kepandaian ajaran Ang Cit Kong terhadap dirinya!” sahut si nona, yang tertawa.
Oey Yok Su terkenal sebagai Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka
gadisnya ini, tak banyak tapi sedikit menerima warisan sifatnya yang
kukuh dan keras itu dan luar biasa. Kwee Ceng ketahui baik sifat ini, ia
tidak mau membantah, bahkan ia tertawa. Cuma di dalam hatinya ia sudah
mengambil ketetapan, mengingat kebaikannya tuan rumah, layak saja
apabila ia membantu melindungi tuan rumahnya itu.
Berselang dua hari, kedua tetamunya ini tidak mengutarakan bahwa mereka
hendak pergi melanjuti perjalanan mereka. Tuan rumah tetap melayani
mereka dengan manis, bahkan tuan rumah ini mengharap-harap mereka
berdiam lebih lama.
Di hari ketiga, pagi, selagi tuan rumah duduk pasang omong bersama Oey
Yong dan Kwee Ceng di kamar tulis, Koan Eng muncul dengan air mukanya
tak biasa, bersamanya ada satu chungteng yang membawa sebuah penampan,
di atasnya itu ada serupa barang yang ditutupi kain hijau. Anak itu
memberitahukan baru saja ada yang mengantar barang itu, setelah mana ia
menyingkap kain hijaunya, maka di situ terlihatlah sebuah tengkorak
dengan lubang lima jari tangan.
Terang sudah, itulah tanda mata dari Bwee Tiauw Hong.
Oey Yong dan Kwee Ceng telah menduga bakal terjadi hal begini, paras
mereka tidak berubah, sebaliknya tuan rumah, mukanya pucat dan suaranya
tak lancar ketika ia menanya: “Siapa…siapakah yang membawa ini kemari?”
Ia pun memcoba berbangkit dengan bantuan tangannya.