Suling Emas, Bab 29 - Cinta Terlarang

Kho Ping Hoo, Suling Emas, Bab 29 - Cinta Terlarang. ‘Malam nanti tentu dia mati. Aku membiarkan dia mati dalam keadaan menderita untuk menebus dosanya!!
Anonim
‘Malam nanti tentu dia mati. Aku membiarkan dia mati dalam keadaan menderita untuk menebus dosanya!!

Malam itu gelap gulita. Apalagi di bagian belakang istana, karena malam itu semua pelayan atau pengawal dilarang memasuki kebun itu. Keluarga Suma tentu saja ingin menyimpan peristiwa itu, tidak ingin membiarkan orang luar tahu akan hubungan yang terjadi antara puteri Suma dengan seorang pegawai rendahan!

A Piauw si pengawal itu makan dan minum arak di bawah pohon. Ia dikirim oleh seorang pengawal lain atas perintah Suma Boan. Sambil minum arak A Piauw memandang ke arah tubuh yang masih lemas tergantung pada batang pohon. Diam-diam ia merasa amat kagum pada pemuda lemah itu. Seorang pemuda sastrawan yang tentu saja bertubuh lemah, akan tetapi sedikit pun tidak mengeluarkan rintihan atau keluhan, padahal ia telah diberi minum racun yang merusak usus dan dicambuki sampai seratus kali oleh Suma-kongcu yang terkenal mempunyai tangan yang kuat sekali! A Piauw menggeleng-geleng kepala. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tentu ia tidak akan sudi percaya. Mana ada seorang pemuda lemah dapat menahan segala derita tanpa mengeluh satu kalipun?

Angin malam bertiup dan daun-daun pohon bergoyang. A Piauw menarik leher bajunya ke atas. Entah mengapa, ia merasa bergidik. Sudah matikah pemuda itu? Berpikir demikian, ia bangkit berdiri dan menghampiri tubuh Bu Song. Muka itu masih tunduk, akan tetapi ketika ia mendekat, Bu Song mengangkat muka. Sepasang matanya masih bersinar tajam. A Piauw mundur lagi dan makin serem. Pemuda ini bukan orang sembarangan, pikirnya. Bagaimana kalau sampai besok pagi belum mati? Ah, terserah Kongcu saja pikirnya. Tugasnya hanya menjaga dan apa sukarnya menjaga seorang yang sudah setengah mati dan terikat pada pohon?

Kembali angin membuat daun-daun pohon bergoyang. Akan tetapi pohon di mana Bu Song terikat, terlampau keras goyangnya. Keadaan amat gelap dan lampu gantung yang berada di atas kepala A Piauw, tergantung pada batu karang. A Piauw menjadi curiga dan mendekati Bu Song. Akan tetapi matanya terbelalak ketika melihat Bu Song sudah terlepas dari ikatan, dan seorang kakek merangkul pundaknya.

‘Heee...! Apa... siapa...!

Hanya sekian saja A Piauw mampu mengeluarkan kata-kata karena tubuhya seolah-olah menjadi lumpuh seketika dan ia roboh seperti kain basah jatuh dari sampiran. Ia tak mampu bergerak maupun mengeluarkan suara, hanya matanya melotot menyaksikan betapa kakek itu berkelebat pergi sambil mengempit tubuh Bu Song.

Penolong Bu Song itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Kakek ini bermaksud mencari dan mengunjungi muridnya. Siang tadi ia mendengar dari Ciu Tiang akan nasib baik Bu Song yang di terima menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Diam-diam Kim-mo Taisu menjadi tidak senang hatinya. Ia sudah mendengar siapa adanya Pangeran Suma Kong, seorang bangsawan tinggi tukang korup. Ia khawatir kalau-kalau Bu Song akan menjadi rusak setelah menjadi kaki tangan pembesar koruptor itu. Maka sengaja malam itu ia pergi menyelidiki dan memasuki kompleks istana Pangeran Suma Kong melalui tembok belakang. Dan kebetulan sekali ia melihat betapa muridnya terikat pada pohon dengan tubuh bekas siksaan, maka ia cepat menolongnya dan membawanya pergi keluar dari tembok kebun istana.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Ciu Tang ketika Kim-mo Taisu datang lagi membawa tubuh Bu Song yang lemah dan masih pingsan. Cepat ia membantu dan setelah tubuh pemuda itu dibaringkan, Kim-mo Taisu segera memeriksanya. Lega hati kakek ini ketika mendapat kenyataan bahwa muridnya tidak menderita luka hebat, hanya luka di kulit saja. Akan tetapi melihat keadaannya, hatinya menjadi panas. Siksaan itu keterlaluan sekali dan kalau saja muridnya tidak memiliki hawa sakti dalam tubuh dan memiliki daya tahan yang luar biasa, tentu Bu Song sudah mati. Kakek ini sama sekali tidak tahu bahwa Bu Song malah telah diberi racun minum racun hebat yang untung sekali tidak membunuhnya karena tubuh Bu Song sudah kebal setelah pemuda ini menghabiskan obat sarang burung rajawali hitam.

Setelah diberi minum obat penguat, dalam waktu satu jam saja Bu Song sudah siuman. Ia membuka matanya dan memang tadi ketika tertolong, ia dalam keadaan sadar. Cepat ia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu yang menjaganya di situ. Kakek ini memberi isyarat kepada Ciu Tang untuk keluar dari kamar, kemudian ia menutup daun pintu dan menyuruh muridnya duduk kembali di pembaringan.

‘Ceritakan apa yang terjadi padamu,!

Bu Song menjadi rikuh sekali, merasa malu dan tidak enak hati. Gurunya ini juga bekas calon mertuanya. Bagaimana hatinya akan merasa enak kalau bercerita bahwa dia mengadakan hubungan dengan puteri Pangeran Suma, ketahuan dan dihajar seperti itu? Bukankah gurunya akan menganggapnya seorang laki-laki hina dan rendah, bahkan mungkin dianggapnya dia seorang pemuda hidung belang atau mata keranjang? Akan tetapi, untuk berbohong terhadap suhunya ia tidak mau, maka sambil menundukkan mukanya ia berkata.

‘Suhu, murid selayaknya menerima kematian. Agaknya Suhu telah membuang tenaga sia-sia dengan menolong murid yang berdosa. Teecu akan menceritakan segalanya secara terus terang dan andaikata Suhu menjadi marah dan lalu menghukum atau membunuh teecu, teecu akan menerima dengan hati rela.!

Kemudian ia menceritakan semua pengalamannya, semenjak ia turun gunung pergi ke kota raja, tentang pertemuannya dengan Kakek Kong Lo Sengjin, tentang ujian dan kemungkinan tentang peristiwa antara dia dan Suma Ceng.

‘Suhu, teecu telah berdosa. Teecu telah kehilangan kekuatan batin, tidak kuasa menghindarkan diri daripada perbudakan nafsu seperti yang diajarkan Suhu. Teecu tidak berdaya, bertemu dengan Suma Ceng membuat teecu ingat kepada Eng Eng dan segala sesuatu tidak dapat teecu hindarkan lagi. Teecu menerima salah dan terserah kepada hukuman Suhu.! Bu Song menutup ceritanya sambil menundukkan muka.

Kim-mo Taisu mendengarkan semua penuturan muridnya dengan termenung. Terbayanglah segala pengalamannya dengan wanita. Dia pun banyak mengalami malapetaka dan penderitaan karena cinta. Dalam cinta kasih, ia selalu mengalami kegagalan dan kesialan! Mengapa hal yang buruk itu agaknya menurun kepada muridnya? Akan tetapi, ada hal yang membuat ia penasaran dan marah sekali ketika mendengar cerita muridnya. Yaitu tentang Kong Lo Sengjin tentang percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang. Kiranya yang menyuruh bunuh isterinya adalah Kong Lo Sengjin, paman isterinya sendiri! Kiranya pamannya yang terlalu besar nafsunya akan kedudukan dan kemuliaan dunia itu telah sengaja membangkitkan amarah dalam hatinya dengan jalan menyuruh bunuh isterinya dan melakukan fitnah bahwa yang menyuruh bunuh adalah musuh-musuhnya!

‘Bu Song, setelah engkau mengalami banyak penghinaan dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat, apakah engkau masih menganggap bahwa ilmu silat adalah rendah dan tidak patut dipelajari oleh orang budiman?!

Bu Song diam saja, tidak dapat menjawab. Memang banyak sudah kenyataan menimpa dirinya hanya karena ia seorang lemah.

‘Andaikata engkau dahulu belajar ilmu silat dariku, apa kaukira Suma Boan berani menyiksamu? Bahkan mungkin Suma Ceng dapat menjadi jodohmu karena tidak ada orang berani melarangmu! Ilmu adalah ilmu, baik itu ilmu silat (bu) ataukah ilmu surat (bun). Ilmu tetap ilmu, titik. Tidak bisa dibilang baik maupun buruk. Semua benda di dunia ini tidak punya sifat baik atau pun buruk. Yang ada hanya wajar, sudah semestinya begitu, tidak baik tidak buruk. Baik buruknya tergantung kepada si manusia yang memanfaatkannya. Karena sesungguhnya, istilah baik dan buruk adalah ciptaan manusia sendiri. Baik buruknya tergantung dari manusia, kalau dipergunakan untuk kebaikan maka itulah ilmu yang baik. Kalau dipergunakan untuk kejahatan, maka buruklah ilmu itu! Seperti halnya semua anggota tubuh, misalnya mulut. Mulut tetap mulut, tidak baik tidak buruk. Kalau dipergunakannya hanya untuk menjadi jalan masuknya makan minum yang enak-enak dan menjadi jalan keluarnya maki-makian, ucapan kurang ajar, fitnah dan tipu, maka buruklah mulut itu! Akan tetapi kalau dipergunakan menjadi jalan masuk minum yang sehat dan jalan keluar omongan yang baik-baik bagi manusia lain, maka baiklah mulut itu!!

Kim-mo Taisu bicara penuh semangat dan Bu Song mendengarkan sambil menundukkan mukanya, namun dengan penuh perhatian.

‘Kau dahulu menganggap silat itu ilmu kasar untuk berkelahi dan membunuh orang atau melukainya, maka kau membencinya. Apakah ilmunya yang berkelahi, melukai atau membunuh orang? Bukan! Melainkan orangnya! Biarpun tak pandai silat, apakah tak dapat berkelahi atau membunuh orang? Sebaliknya kalau dipergunakan baik, maka ilmu silat amat berguna. Misalnya, untuk menjaga diri daripada hinaan orang-orang yang merasa dapat berbuat semaunya karena kekuatannya, untuk menolong orang-orang yang mengalami penindasan dari orang-orang jahat, dan masih banyak sekali hal-hal baik yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh orang-orang yang pandai ilmu silat. Sekarang kita meninjau ilmu bun. Kau melihat sendiri keadaan di kota raja. Siapakah yang duduk di istana, menjadi pembesar-pembesar yang berkekuasaan dan berpengaruh besar? Mereka ini tergolog orang pandai sastra, orang-orang pintar dan terpelajar. Akan tetapi, apakah mereka menggunakan kepandaiannya itu untuk kebaikan? Memang ada, akan tetapi hanya beberapa gelintir manusia saja! Yang terbanyak, kepandaiannya itu hanya untuk melakukan kejahatan yang lebih kejam daripada membunuh orang dengan bacokan pedang! Kepintarannya dipergunakan untuk ‘memintari! orang lain yang bodoh. Kau lihat, kalau ilmu bun dipergunakan untuk kejahatan, apakah boleh kau sebut bahwa ilmu bun itu jahat dan buruk?!

‘Dahulu pun teecu sudah pernah Suhu beri wejangan seperti sekarang ini sehingga di dalam lubuk hati teecu sudah ada pengertian seperti itu. Namun teecu tidak percaya oleh karena tadinya teecu mengira bahwa orang terpelajar yang mempelajari filsafat hidup dari kitab-kitab kuno tentulah menjalani hidup menurut jejak seorang kuncu (bijaksana/budiman). Maka teecu lebih condong mempelajari bun daripada bu. Akan tetapi siapa kira, setelah teecu berada di sini, teecu muak! Semua kata-kata Suhu benar belaka.!

‘Jadi, sekarang kau mau menjadi muridku, murid ilmu silat?!

Bu Song menjatuhkan diri berlutut.

‘Kalau Suhu masih percaya kepada teecu, kalau Suhu mau memberi pelajaran ilmu silat, berarti teecu menerima anugerah yang tiada bandingan nya. Tentu saja teecu akan merasa berterima kasih sekali.!

‘Ha-ha-ha-ha-ha!!

Baru kali ini semenjak bertahun-tahun Kim-mo Taisu dapat tertawa lagi.

‘Alangkah lucunya! Padahal di dalam dirimu telah terkumpul segala dasar ilmu silat yang hebat! Berlatih setahun kau akan memperoleh hasil sepuluh tahun, berlatih dua tahun akan memperoleh hasil dua puluh tahun! Sekarang mari kita berangkat ke istana Pangeran Suma. Kalau mereka memandang rendah kepadamu, kita bawa kekasihmu itu dengan kekerasan dan kalau perlu, kita bunuh Suma Kong dan puteranya, Suma Boan yang sudah menyiksamu! Pembesar-pembesar korup yang seperti lintah darat, yang telah menghisap darah rakyat sampai perutnya gendut, sudah sepatutnya dibunuh!!

Bu Song menubruk kaki suhunya.

‘Tidak..., jangan, Suhu... ampunkan teecu , jangan Suhu lakukan hal itu...!!

‘Hemm... !! Suara Kim-mo Taisu menjadi dingin sekali.

‘Kalau kau masih selemah ini, mana patut menjadi pendekar? Seorang pendekar harus berani mengambil tindakan, harus berani berbuat apa saja, kalau perlu kekerasan, asal semua tindakannya itu beralaskan kebenaran dan keadilan!!

‘Bukan sekali-kali teecu berlemah hati. Tidak, Suhu. Hanya... teecu menghormat dan menghargai rasa cinta teecu dan Ceng Ceng. Tidak mau teecu memaksakan cinta secara itu, apalagi membawa lari seorang gadis, puteri pangeran pula. Akan ke mana larinya nama baik Suma Ceng? Teecu amat mencintanya, tak mungkin teecu berani melakukan hal itu, mencemarkan nama baiknya selama hidup. Juga tentang ayah dan kakaknya, kalau kita membunuh mereka, bagaimana jadinya dengan nasibnya? Teecu teringat kepada Subo...!

Lemaslah seluruh tubuh Kim-mo Taisu mendengar ini. Muridnya mengingatkan ia akan nasib Khu Gin Lin, puteri bangsawan yang menjadi isterinya. Seperti juga kekasih muridnya ini, mendiang isterinya itu adalah puteri pangeran yang sekeluarganya terbasmi dan terbunuh. Ia menarik napas panjang.

‘Sesukamulah. Agaknya kau seperti aku, siap menderita karena cinta...!

‘Teecu bersumpah takkan menjatuhkan hati cinta kepada wanita lagi, Suhu.!

‘Ha-ha-ha-ha! Patah hati? Begitu pula aku dahulu, tapi nyatanya...!

‘Tidak teecu betul-betul bersumpah, selama hidup teecu tidak akan mencin...!

‘Hushhh! Tak perlu bersumpah. Tidak ada yang melarang manusia untuk bercinta muridku. Bahkan Tuhan sendiri pun tidak. Cinta itu anugerah, bahkan hidup ini baru berarti kalau diisi dengan cinta. Akan tetapi, bukan cinta yang dige lapkan oleh nafsu. Kelak engkau akan mengerti sendiri!! Kakek itu menarik napas panjang karena teringat akan pengalamannya sendiri di waktu muda. Sampai kini pun ia merasa bahwa cinta kasihnya yang sejati adalah pada diri Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, ibu muridnya ini. Mungkin karena inilah maka ia menganggap Bu Song seperti puteranya sendiri, dan ada perasaan sayang amat besar dalam hatinya terhadap pemuda ini.

Mereka tidak lama berada di rumah Ciu Tang. Malam itu juga, menjelang fajar, Kim-mo Taisu mengajak muridnya pergi dan keluar dari kota raja. Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terlalu lama mereka berada di situ, sudah tentu Ciu Tang akan ikut menderita celaka.

Semenjak saat itu, mulailah Bu Song diajar ilmu silat. Seperti ketika ia mempelajari ilmu surat, pemuda ini amat tekun dan penuh perhatian. Dan baru terbukalah matanya bahwa sesungguhnya di dalam dirinya selama ini ia telah memiliki tenaga sakti yang hebat! Beberapa hari kemudian di dalam sebuah hutan, ia duduk bersila di depan suhunya yang juga duduk bersila. Ia disuruh mengatur napas dan mengumpulkan semangat seperti yang ia latih sejak kecil. Dan seperti biasa, kalau sudah begitu ia akan merasa ada hawa panas berkumpul di pusar.

‘Tarik napas dalam-dalam dan tekan hawa panas itu agar naik ke dadamu.! Terdengar suara gurunya.

Bu Song yang memejamkan mata menurut kata-kata gurunya ini, namun hawa panas yang berkumpul di sekitar bawah pusar itu sukar sekali ditekan naik. Tiba-tiba ia merasa betapa tangan suhunya menempel pada pusarnya dan dari telapak tangan suhunya itu keluar getaran hawa yang luar biasa kuatnya. Meminjam tenaga ini ia berusaha lagi dan kali ini berhasil. Hawa panas yang merupakan segumpal tenaga itu bergerak naik ke dada, membuat dadanya sesak dan ia terengah-engah hendak muntah.

‘Bernapas pula perlahan akan tetapi gunakan perhatian agar hawa jangan turun kembali. Setelah itu, dorong hawa itu ke arah pundak kanan.!

Demikianlah, sedikit demi sedikit Kim-mo Taisu melatih muridnya sehingga akhirnya, dalam waktu beberapa hari saja, Bu Song sudah berhasil menggunakan kekuatan untuk mendorong hawa panas itu mengitari tubuhnya, ke mana pun ia kehendaki. Dengan totokan-totokan yang tepat Kim-mo Taisu ‘membuka! jalan darah tubuh muridnya, kemudian mulailah ia mengajarkan langkah, kuda-kuda, dan pukulan.

Memang betul apa yang diucapkan Kim-mo Taisu. Dalam diri Bu Song sudah terdapat tenaga sin-kang yang amat kuat serta semua dasar ilmu silat tinggi memang sudah ia pelajari melalui huruf-huruf yang membentuk sajak-sajak dan ujar-ujar yang sengaja dahulu diselip-selipkan oleh Kim-mo Taisu dalam pelajaran ilmu sastera. Kini setelah dilatih prakteknya, tentu saja Bu Song cepat sekali dapat menangkap serta didorong bakatnya yang luar biasa, sebentar saja ia dapat menguasai setiap gerakan yang betapa sulit pun.

Dalam waktu setahun saja, dengan petunjuk suhunya, ia mampu sekali dorong merobohkan sebatang pohon sebesar manusia! Dalam waktu enam bulan, gin-kangnya sudah sedemikian hebat sehingga ia mampu mengikuti suhunya berloncatan di atas pohon seperti seekor tupai, dan merobohkan pohon sebesar manusia dapat ia lakukan dari jarak satu meter tanpa menyentuhnya! Guru dan murid ini tidak pernah berhenti berlatih silat. Siang dan malam berlatih terus dan beristirahat pun merupakan latihan samadhi mengumpulkan tenaga sakti. Kadang-kadang di waktu malam gelap, mereka berdua sudah berlatih saling serang bagaikan dua setan hutan yang berkelebatan di antara pohon-pohon. Kim-mo Taisu menggembleng muridnya dan menurunkan seluruh ilmu-ilmunya, tidak ada yang ia sisakan.

***

Pada waktu itu yang memegang kekuasaan adalah Kerajaan Cou, kerajaan terakhir dari jaman Lima Kerajaan. Seperti kerajaan-kerajaan yang terdahulu, juga Kerajaan Cou ini tidak lama menguasai pemerintahan (951-960). Setelah sembilan tahun berdiri, pada tahun 959, Raja Cou jatuh sakit berat. Kekuasaannya ia serahkan kepada putera mahkota yang pada waktu itu baru berusia sebelas tahun! Sebagai walinya tentu saja adalah ibu ratu. Semenjak inilah maka Kerajaan Cou menjadi lemah, karena para panglimanya banyak yang merasa tak senang melihat bahwa yang mereka bela hanyalah seorang anak yang manja serta seorang ibu yang ingin berkuasa saja.

Kerajaan Cou mempunyai seorang panglima tinggi yang amat dipercaya dan disayangi oleh Raja Cou. Panglima ini bernama Cao Kuang Yin, seorang ahli perang yang memang keturunan orang-orang terkenal. Nenek moyangnya adalah orang-orang yang menduduki jabatan tinggi, menjadi panglima semenjak jaman Kerajaan Tang dan berturut-turut dalam jaman Lima Kerajaan itu, nenek moyang Cao selalu menjadi orang-orang penting dalam pemerintahan, terutama dalam ketentaraan.

Seperti juga para panglima dan bangsawan lainnya, diam-diam Cao Kuang Yin tidak senang akan penggantian raja dengan seorang kanak-kanak didampingi ibunya yang tamak itu. bakan ketika raja kecil atas desakan ibu suri menjatuhkan hukuman kepada seorang pejabat tinggi yang membantah peraturan baru tentang pemungutan pajak yang diperberat, Panglima Cao sendiri menghadap ke istana dan dengan sejujurnya menyampaikan protes!

Peristiwa ini diikuti dengan hati tegang oleh para pembesar. Perbuatan Cao ini dapat dianggap sebagai sikap memberontak dan sekali raja kecil yang dipengaruhi ibunya itu menjatuhkan hukuman mati, panglima itu tentu takkan tertolong lagi. Namun, agaknya ibu suri juga dapat melihat bahwa panglima besar ini tidak boleh dipandang ringan. Di belakangnya banyak terdapat pasukan besar yang mencintanya. Maka untuk meredakan ketegangan, ibu suri menerima protes itu dan membebaskan kembali petugas atau pejabat tinggi yang terkenal setia itu.

Namun perisitwa itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pada waktu itu, musuh utama Kerajaan Cou, yaitu bangsa Khitan, selalu membuat kacau di daerah utara dan seringkali menyerbu kota-kota di utara. Dengan alasan menindas kerusuhan yang dilakukan oleh musuh itu, raja kecil atas desakan ibu suri lalu menjatuhkan surat perintah kepada Panglima Cao Kuang Yin untuk memimpin barisannya ke utara dan memerangi bangsa Khitan.

Sebagai seorang panglima perang yang setia, tentu saja Panglima Cao tidak dapat membantah perintah rajanya untuk menyerbu musuh. Apa pun alasannya, kalau ia tidak mentaati perintah ini, tentu dia akan menjadi bahan tertawaan orang sedunia sebagai seorang panglima yang takut perang! Terpaksa Panglima Cao memimpin barisannya bergerak ke utara, sungguhpun ia maklum bahwa bahaya yang mengancam kerajaan bukan hanya dari bangsa Khitan dan penjagaan tidak boleh dipusatkan di utara saja.

Para panglima muda, para perwira sampai para anggota barisan sebagian besar merasa tidak puas dan tidak senang dengan tugas ini. Bukan saja perjalanan dan tugas di utara itu amat berat, namun juga mereka dapat menduga bahwa perintah ini merupakan ‘pembalasan! dari ibu suri sehingga tak mungkin mereka akan menerima jasa kelak dalam tugas yang mempertaruhkan nyawa ini. Diam-diam para panglima muda dan perwira mengadakan permufakatan dan persekutuan, di luar tahu Panglima Cao.

Tujuh orang panglima muda dan sebelas orang perwira berkumpul dalam tenda besar pada malam hari itu, ketika barisan berhenti dan beristirahat setelah melakukan perjalanan beberapa hari dari kota raja. Mereka bermufakat untuk memaksa Panglima Besar Cao Kuang Yin dengan kekerasan agar suka memimpin barisan kembali ke kota raja dan menggempurnya serta mengambil alih kekuasaan. Pendeknya mereka hendak memaksa Coa Kuang Yin untuk memberontak terhadap raja kecil dan ibu suri!

Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang kakek aneh telah berdiri di sudut tenda. Kakek ini sudah tua sekali, kedua kakinya ditekuk bersila, tergantung di antara dua batang tongkat yang menggantikan kakinya. Tentu saja delapan belas orang komandan itu cepat bangkit dan kaget serta terheran-heran. Bagaimana tenda yang dijaga sekelilingnya oleh pasukan penjaga dapat kemasukan orang luar tanpa ada yang tahu? Karena mereka sedang merundingkan urusan rahasia gawat, tentu saja kehadiran seorang luar seperti kakek ini amat mengejutkan dan mereka sudah mencabut pedang dan golok masing-masing.

‘Ha-ha-ha-ha! Cu-wi Ciangkun, harap jangan kaget dan curiga! Aku datang untuk membantu kalian melaksanakan maksud hati kalian yang amat baik ini. Kerajaan Cou yang lapuk harus diruntuhkan!!

Karena yang mengucapkan kata-kata ini seorang luar yang tak dikenal, tentu saja para panglima itu makin kaget dan khawatir. Dua orang di antara para perwira yang terkenal hebat kepandaiannya dalam ilmu memanah, telah menggerakkan tangan dan

‘serrr! serrr!!

Dua batang anak panah dengan kecepatan kilat telah menyambar leher dan perut kakek itu! Kakek itu sama sekali tidak mengelak atau kelihatan bergerak, agaknya ia tidak melihat bahwa dua batang anak panah seperti dua tangan maut menjangkau hendak mencabut nyawanya. Ia masih enak-enak berkata,

‘Biarlah aku yang akan mengajukan alasan kepada Cao-goanswe (Jenderal Cao), dan kalau terjadi kegagalan sehingga kalian terpaksa melawannya, aku akan membantu kalian!!

Delapan belas orang ahli perang itu berdiri dengan mata terbelalak kagum dan keget. Kakek itu masih bicara dan sementara itu, dua batang anak panah seakan-akan telah mengenai dada dan leher, akan tetapi karena kakek itu bicara sambil menggerakkan kedua tangan, mereka tidak melihat bagaimana sekarang tahu-tahu kedua batang anak panah itu telah terjepit di antara jari-jari tangan kakek itu!

Seorang panglima muda melangkah maju dengan pedang di tangan.

‘Kau siapa? Berani memasuki tenda kami tanpa ijin?!

‘Ha-ha-ha! Ciangkun, engkau masih terlalu muda untuk mengenalku. Akan tetapi di antara kalian yang sudah tua tentu pernah mendengar namaku. Dahulu aku disebut Sin-jiu Couw Pa Ong seorang putera pangeran Kerajaan Tang dan aku masih ingat akan Cao Beng, Jenderal Kerajaan Tang yang menjadi kakek Jenderal Cao Kuang Yin sekarang! Akan tetapi sekarang aku hanya seorang kakek biasa saja yang disebut Kong Lo Sengjin!!

Kagetlah semua orang yang berada di dalam tenda itu. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong memang amat terkenal.

‘Dengan cara bagaiamana kau hendak mencampuri urusan kami, urusan tentara?!

‘Dalam urusan perang memang kalian ahli, dan menghadapi barisan tentu saja aku tidak berarti. Akan tetapi menghadapi kekerasan lawan, kiranya aku dapat banyak membantu. Misalnya, dengan mudah aku dapat melucuti belasan orang lawan. Kalian lihat baik-baik!! Tiba-tiba tubuh kakek itu berkelebat menyerbu mereka!

Kagetlah belasan orang itu. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan panglima-panglima yang sudah biasa bertempur maka tentu saja mereka itu pandai ilmu silat. Melihat bayangan kakek itu berkelebat dekat, tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu menggerakkan senjata mereka menerjang. Terdengar suara kaget bergantian dan dalam sekejap mata saja semua panglima dan perwira sudah kehilangan senjata mereka. Ketika mereka memandang, ternyata pedang dan golok mereka yang terampas secara aneh itu telah tertumpuk di atas meja dan kakek itupun sudah duduk diatas bangku dekat meja sambil tersenyum-senyum.

‘Bagaimana? Cukup berhargakah aku menjadi sekutu kalian?!

Mereka lalu duduk kembali mengelilingi meja.

‘Mengapa Locianpwe hendak membantu kami? Dengan maksud apa?!

Tanya seorang panglima tua kini menyebut locianpwe karena maklum bahwa kakek lumpuh itu benar-benar sakti luar biasa.

‘Dengan maksud apa? Tentu saja dengan maksud menegakkan kembali kekuasaan Tang yang sudah runtuh. Jenderal Cao adalah keturunan dari pembesar tinggi bangsawan Tang, maka sudah sepatutnya jika beliau diangkat. Akan tetapi kalau dia menolak, kita bisa memilih lain orang. Bukan Cao-goan-swe seorang di antara kita yang cakap menggantikan raja kanak-kanak dan ibunya!!

Karena tertarik oleh kesaktian Kong Lo Sengjin yang tentu saja akan dapat merupakan pembantu yang amat berharga, akhirnya belasan orang komandan itu menerima Kong Lo Sengjin menjadi sekutu dan berundinglah mereka tentang niat mereka memaksa Cao Kuang Yin untuk memberontak.

Pada saat itu, Jenderal Cao Kuang Yin sendiri tidak berada dalam tendanya. Panglima ini keluar seorang diri dan kini ia berdiri termenung di atas sebuah gunung kecil, menatap angkasa yang dihias bintang-bintang gemerlapan. Bulan seperempat tampak doyong di angkasa. Berkali-kali panglima ini menarik napas panjang, kemudian ia menengadah ke langit dan keluarlah keluhan hatinya yang tanpa ia sadari terucapkan mulutnya.

‘Liang, Tang, Cin, Han Cou... lima kerajaan bermunculan, namun semua tidak berhasil mengamankan negara memakmurkan rakyat jelata. Ahhh, sekian banyaknya bintang bermunculan dan berjatuhan, tiada satu yang menyinarkan cahaya menerangi jagad. Bilakah akan muncul sebuah bintang yang demikian?!

Tiba-tiba terdengar keluhan orang lain yang disambung den gan kata-kata seperti sajak.

‘Bila kepalanya benar, kaki tangan yang tidak baik pun dapat dimanfaatkan. Bila kepalanya tidak benar, kaki tangan yang betapa baik pun tidak ada manfaatnya! Segala sesuatu memang sudah dikehendaki Tuhan maka dapat terjadi, akan tetapi jika manusia tidak berusaha dan hanya mengandalkan kehendak Tuhan, tiada bedanya ia dengan pohon atau hewan!!

Cao Kuang Yin terkejut, apalagi setelah menengok ia melihat seorang laki-laki gagah perkasa yang berpakaian seperti tosu, berdiri tak jauh dari situ, juga menengadah sambil menuangkan arak dari sebuah guci arak. Ucapan tadi bukanlah kata-kata biasa, maka Cao Kuang Yin dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa pula, dan cepat ia menghadapinya sambil menjura dan berkata,

‘Saudara, ucapanmu benar-benar mengagumkan hatiku akan tetapi juga mengherankan hatiku akan tetapi juga mengherankan. Sudilah kiranya memberi penjelasan.!

Orang tua gagah itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Setelah menurunkan semua ilmunya kepada Bu Song selama hampir tiga tahun, ia lalu berpisah dari muridnya itu yang ia suruh pergi mencari suling emas di Pulau Pek-coa-to seperti yang diceritakan sastrawan Ciu Gwan Liong kepada Bu Song.

Adapun dia sendiri lalu mulai pergi mencari Kong Lo Sengjin inilah maka ia pada saat itu berada di atas bukit kecil, diam-diam membayangi Cao Kuang Yin yang ia kenal sebagai seorang panglima besar Kerajaan Cou. Kim-mo Taisu sudah mendengar akan semua urusan di kota raja, maka ia pun tahu bahwa jenderal ini memimpin pasukan besar menuju ke utara. Ia merasa heran ketika dalam penyelidikannya mendapat kenyataan bahwa orang yang dikejar-kejarnya, yaitu Kong Lo Sengjin, berada pula di dalam pasukan itu. Tentu saja ia tidak berani turun tangan secara sembrono dalam barisan yang begitu besar.

Kini ia sengaja mendekati Cao Kuang Yin dan sengaja menjawab keluhan jenderal itu untuk mengukur isi hatinya. Kini mendengar pertanyaan komandan itu dan melihat sikapnya yang wajar dan jujur sopan, diam-diam ia merasa kagum sekali. Segera Kim-mo Taisu menghadapinya dan membalas hormat selayaknya.

‘Cao-goanswe, harap maafkan kalau saya menganggu. Tadi saya mendengar keluhan Goanswe tentang lima kerajaan yang tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata. Saya merasa cocok dan tanpa disengaja mengeluarkan kata-kata yang mengagetkan Goanswe. Sesungguhnya, negara kita banyak memiliki patriot-patriot, pahlawan-pahlawan yang cinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada negara. Akan tetapi, kalau yang menjabat kaisar tidak bijaksana dan mementingkan kesenangan pribadi, tentu saja para pahlawan itu akan disalahgunakan tenaganya. Akibatnya, pemimpin-pemimpin yang baik akan dikesampingkan, pembesar-pembesar korup penjilat akan terpakai. Turunnya bintang cemerlang sebagai kaisar tentu saja adalah kehendak Thian, akan tetapi semua itu hanya akan terjadi melalui ikhtiar dan usaha manusia sendiri. Inilah pendapat saya pribadi, Goanswe, kalau keliru harap dimaafkan.! Kim-mo Taisu menenggak araknya kembali.

‘Ah, tidak... tidak keliru! Benar sekali pendapat Saudara. Ah, bukankah saya berhadapan dengan Kim-mo Taisu...?!

‘Cao-goanswe bermata tajam, benar-benar saya kagum sekali,! kata Kim-mo Taisu.

‘Nama Taisu menjulang setinggi Gunung Thai-san. Kipas di pinggang, pedang di punggung dan guci arak di tangan, kemudian mengeluarkan pendapat sedemikian bijaksana, siapa lagi orangnya kalau bukan Kim-mo Taisu?!

Tiba-tiba terdengar suara berisik dan muncullah belasan orang yang serta merta menerjang Cao Kuang Yin dengan mereka!

‘Bunuh! Serbu cepat selagi ada kesempatan baik!!

Begitulah teriakan-teriakan mereka. Gerakan mereka cepat dan ringan tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Cao Kuang Yin kaget sekali, cepat ia mengelak dari dua buah sambaran golok sambil melompat mundur dan mencabut pedangnya.

‘Kalian siapa? Tidak melihat bahwa aku Jenderal Cao? Mundur!!!

‘Ha-ha-ha, justeru kami mencari dan harus membunuh Jenderal Cao!! seorang di antara mereka berseru.

Mereka semua ada dua belas orang yang kini mengurung. Ketika jenderal itu hendak menerjang mencari jalan keluar, tibat-tiba Kim-mo Taisu berkata,

‘Tenanglah, Goanswe dan serahkan mereka kepadaku!!

Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu yang tadi menenggak araknya, menurunkan gucinya, kemudian tiba-tiba ia menyemburkan arak sambil memutar-mutar tubuhnya. Terdengar teriakan-teriakan kaget ketika dua belas orang itu merasai sambaran arak yang seperti jarum-jarum disebar. Sebelum hilang kekagetan mereka, tiba-tiba Kim-mo Taisu sudah bergerak cepat sekali, menggunakan kipasnya dan setiap kali kipasnya bergerak, seorang pengeroyok roboh. Hiruk-pikuk suara mereka, golok dan pedang beterbangan dan dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah roboh tak berkutik!

‘Jangan bunuh semua!!

Cao Kuang Yin mencegah, namun terlambat. Orang terakhir sudah roboh pula.

Jenderal itu cepat melompat ke dekat orang terakhir yang masih bergerak-gerak, kemudian ia menjambak leher baju orang itu dan membentak.

‘Hayo mengaku! Siapa menyuruh kalian!!

Orang itu berusaha membuka mulut, akan tetapi suara yang keluar hanyalah suara seperti babi disembelih karena jalan darahnya sudah putus oleh ketukan gagang kipas dan ia hanya dapat menuding-nudingkan telunjuknya, lalu lemas dan nyawanya melayang.

‘Cao-goanswe, orang-orang yang berbuat khianat macam mereka ini sudah sepatutnya dibunuh semua,! kata Kim-mo Taisu.

‘Ah, akan tetapi saya ingin mengetahui siapakah pesuruh mereka.!

‘Dia tadi menunjuk ke arah selatan, ke arah kota raja. Agaknya dari kota raja datangnya perintah.!

Cao Kuang Yin mengerutkan keningnya. Ia mengingat-ingat dan merasa bahwa di kota raja dia tidak mempunyai musuh. Kecuali ibu suri tentunya karena ia telah mengajukan protes. Mungkinkah ibu suri yang mengirim pembunuh-pembunuh ini?

‘Taisu telah menyelamatkan nyawa saya, sungguh merupakan budi besar.!

‘Penyelamat atau pencabut nyawa hanyalah menjadi kekusaan Thian! Sungguhpun kebetulan saya berada di sini ketika Goanswe diserang orang-orang itu, akan tetapi sesungguhnya bukan karena kebetulan saya mendekati Goanswe. Saya memang sengaja membayangi Goanswe ke tempat ini karena maksud tertentu.!

‘Ahh...?! Jenderal Cao kaget dan memandang tajam.

‘Maksud apakah?!

‘Saya mempunyai urusan pribadi dengan orang yang kini kebetulan berada dalam barisan Goanswe. Tanpa perkenan Goanswe saya tidak berani mencari keributan dalam pasukan Goanswe.!

‘Hemm, siapakah orang itu?!

‘Dia adalah Kong Lo Sengjin, atau dahulu terkenal dengan nama Sin-jiu Couw Pa Ong!!

‘Hah? Sin-jiu Couw Pa Ong? Akan tetapi dalam barisanku tidak ada Kakek terkenal itu!!

Sudah lama saya mengejarnya dan tidak salah lagi, dia berada dalam barisan Goanswe.!

‘Kalau begitu, biarlah kita periksa besok. Marilah Taisu ikut bersama saya. Malam ini harap Taisu suka menemani saya dan besok kita sama-sama memeriksa. Kalau betul ada Kakek itu dengan barisan, sudah tentu saya perkenankan Taisu untuk menyelesaikan urusan pribadi Taisu dengan dia tanpa campur tangan kami.!

‘Terima kasih. Goanswe benar-benar bijaksana.!

Kim-mo Taisu memberi hormat, kemudian mereka berdua berjalan bersama kembali ke perkemahan, Jenderal Cao bercakap-cakap dan rasa cocok sekali dengan pendekar itu sehingga mereka bercakap-cakap sampai jauh malam. Kim-mo Taisu diberi tempat mengaso dekat tenda besar dan lewat tengah malam barulah keduanya menghentikan percakapan lalu tidur di kemah masing-masing.

Peristiwa bersejarah itu terjadi pada pagi hari benar, ketika matahari belum muncul, baru sinarnya kemerahan yang nampak. Pada saat itu, Panglima Besar Cao Kuang Yin masih tidur nyenyak. Tiba-tiba ia terbangun dengan kaget dan tahu-tahu di dalam kemahnya telah penuh orang. Tujuh orang panglima bawahannya dan sebelas orang perwira, kesemuanya adalah komandan-komandan pasukan dalam barisan yang ia pimpin, telah hadir di dalam kemahnya dan di antara mereka tampak seorang kakek lumpuh bertongkat. Panglima tertua membawa sebuah baki perak yang ditutup sutera kuning dan para komandan yang lain berdiri dengan pedang di tangan!

‘Heee! Apa artinya ini? Apa kehendak kalian sepagi ini tanpa dipanggil memasuki kemahku dan mengganggu orang tidur?!

Cao Kuang Yin berseru sambil melompat turun dari permbaringannya. Ia sama sekali tidak merasa khawatir karena ia percaya penuh kepada semua pembantunya ini yang ia tahu amat setia dan sayang kepadanya.

‘Kami menghadap Goanswe untuk mempersilakan Goanswe untuk mempersilahkan Goanswe mengenakan pakaian ini kemudian memimpin kami semua kembali ke kota raja,! kata panglima tertua itu sambil menyodorkan baki.

Cao Kuang Yin merasa heran, mengerutkan keningnya dan membuka sutera kuning yang menutupi baki. Di atas baki itu, terlipat rapi, tampak satu stel pakaian berwarna kuning bersulamkan naga. Kagetlah Cao Kuang Yin. Pakaian seperti itu adalah pakaian kaisar! Pakaian seorang raja besar! Mereka ini menghendaki ia mengenakan pakaian kaisar dan memimpin mereka kembali ke kota raja. Itu berarti bahwa mereka ini menghendaki ia memberontak dan menggantikan kedudukan raja!

‘Ah, mana mungkin...?! Ia membantah dan undur dua langkah.

Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya maju, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah menerobos dari belakang Cao Kuang Yin dengan merobek tenda. Dengan sikap tenang ia berdiri di sebelah kiri panglima itu dan berkata,

‘Coa-goanswe, apakah mereka ini perlu dibasmi?!

Akan tetapi Cao Kuang Yin menggeleng kepala.

‘Biarkan mereka bicara dulu.!

Kakek itu yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kaget sekali melihat munculnya Kim-mo Taisu, akan tetapi setelah mengenalnya ia pun tersenyum, dan kemudian berkata,

‘Bagus! Hadirnya Kim-mo Taisu merupakan penambahan kekuatan kita. Cao-goanswe, perkenalkanlah, aku adalah Sin-jiu Couw Pa Ong. Aku mengenal baik kakekmu yang menjadi panglima ketika masa jayanya Kerajaan Tang. Semenjak Kerajaan Tang roboh oleh para pengkhianat bangsa, raja-raja bermunculan akan tetapi sampai sekarang pun tidak ada raja yang cukup bijaksana seperti dikala Kerajaan Tang. Oleh karena itu, para Ciangkun ini bermufakat untuk mengangkat Goanswe menjadi raja baru dan kita semua kembali ke kota raja untuk mengambil alih kekuasaan. Harap saja Goanswe tidak menolak oleh karena keputusan para Ciangkun ini sudah bulat. Dan karena hal ini cocok dengan cita-citaku, maka aku pun memasuki persekutuan ini. Kuharap saja tidak perlu aku harus menghadapi cucu bekas sahabatku sebagai musuh!!

Sebelum Cao Kuang Yin menjawab. Kim-mo Taisu yang sudah mendahuluinya, berkata kepada Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong,

‘Kong Lo Sengjin, tak perlu kau ikut bicara, karena kata-kata perbuatanmu berdasarkan kepalsuan belaka, seperti pengkhianatanmu menyuruh bunuh isteriku! Biarkan Cao-goanswe berurusan sendiri dengan para panglimanya, dan nanti setelah selesai, akulah yang akan berurusan dengan kau!!

Berubah wajah Kong Lo Sengjin mendengar ucapan ini, akan tetapi ia lalu mundur dan matanya memancarkan kemarahan besar. Sementara itu, panglima tua yang membawa baki sudah menekuk lutut di depan Cao Kuang Yin sambil berkata,

‘Kami semua mengharap agar Goanswe tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kota raja sedang kosong, mengambil alih kekuasaan amatlah mudah bagi kita. Kami semua mengharapkan pimpinan seorang raja yang kuat, bukan seorang anak-anak di pangkuan ibunya yang lemah! Kami telah bertekad bulat mengangkat Goanswe menjadi kaisar baru dan memimpin kami menyerbu ke kota raja.!

‘Kami landasi ketekatan ini dengan nyawa kami!!

Terdengar riuh para panglima dan perwira itu menyambung ucapan panglima tua ini.

Suasana menjadi sunyi dan tegang. Otot-otot di tubuh mereka semua, termasuk Kim-mo Taisu dan Kong Lo sengjin, menegang dan mereka sudah siap. Mati hidup dan bertanding mati-matian hanya tergantung daripada jawaban Cao Kuang Yin yang masih berdiri termenung, memandang pakaian kuning yang berada di atas baki. Wajahnya menjadi pucat, keningnya berkerut-kerut, matanya memancarkan sinar aneh. Di dalam hatinya timbul bermacam perasaan, dalam otaknya berkelebat macam-macam pikiran. Memang berat baginya, bagi seorang patriot yang semenjak nenek moyangnya dahulu terkenal sebagai panglima-panglima dan pembesar-pembesar yang setia kepada raja. Bagi seorang pejabat kesetiaan adalah nomor satu. Namun sebagai seorang bijaksana, ia maklum bahwa semenjak Kerajaan Tang roboh, rakyat tidak pernah mengalami ketenteraman dan perdamaian dalam hidupnya.

Perang saudara terjadi terus menerus, perebutan kekuasaan tak kunjung henti. Untuk mengakhiri semua penderitaan rakyat itu, perlu adanya tangan besi seorang pemimpin yang dapat menyatukan mereka dan menumpas yang ingkar dan para pengacau. Ia maklum bahwa para panglima dan perwira ini mengangkatnya sebagai kaisar bukan semata-mata karena mengaguminya dan ingin mengagungkannya, melainkan karena rasa benci mereka kepada pucuk pimpinan yang berada di tangan seorang kanak-kanak di atas pangkuan seorang ibu yang gila kuasa. Karena mereka ini melihat bahwa jalan satu-satunya agar pemberontakan mereka berhasil adalah mengangkat dia sebagai komandan tertinggi barisan, menjadi raja.

Akan tetapi ia pun maklum bahwa kalau ia menolak, tentu mereka ini akan menjadi nekat dan menyerangnya, berusaha membunuhnya. Ia tidak takut, apalagi di sampingnya terdapat Kim-mo Taisu yang sakti, akan tetapi kalau hal itu terjadi, maka akan menjadi rusaklah semua. Bagaimana sebuah barisan besar ditinggalkan para pimpinannya yang saling bermusuhan sendiri?

Jenderal Cao Kuang Yin menarik napas panjang, lalu terdengar ia berkata, suaranya nyaring dan berwibawa,

‘Aku hanya dapat menerima dan memakai pakaian ini setelah kalian semua bersumpah akan mentaati segala perintahku mulai detik ini juga!!

Delapan belas orang komandan pasukan itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan seperti telah dikomando mereka berbareng lalu menyatakan sumpah setia dan taat kepada kaisar baru!

Kembali Cao Kuang Yin menarik napas panjang. Sebelum menjemput pakaian kuning itu, ia lebih dulu melirik ke arah Kim-mo Taisu. akan tetapi pendekar sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang. Memang di dalam hati Kim-mo Taisu juga menyetujui usul para komandan itu dan ia tahu bahwa hanya dengan jalan ini agaknya negara akan dapat diselamatkan dan dibebaskan daripada perang saudara yang berlarut-larut. Cao Kuang Yin adalah seorang jenderal yang cakap, bertangan besi dan disegani.

Pakaian itu diambil oleh Cao Kuang Yin, lalu dipakainya, di luar pakaian tidurnya karena ketika itu ia masih berpakaian tidur. Seorang panglima mengambilkan topinya, topi jenderal sehingga Cao Kuang Yin kelihatan sebagai seorang raja yang sedang memimpin pasukan untuk maju perang. Melihat betapa angker dan gagah raja baru mereka itu, para komandan ini lalu berlutut memberi hormat dan mengucapkan ‘Banswee!! (Hidup) berkali-kali.

Kim-mo Taisu maju dan memberi hormat kepada Cao Kuang Yin. ‘Mohon perkenan Hong-siang agar hamba menyelesaikan urusan pribadi hamba dengan Kong Lo Sengjin.!

Cao Kuang Yin melirik ke arah kakek lumpuh yang masih berdiri di sudut, lalu mengangguk dan berkata lirih,

‘Terserah, akan tetapi kami masih membutuhkan bantuan Taisu, harap suka menemui kami di kota raja.!

Kim-mo Taisu menyanggupi, lalu menoleh ke arah Kong Lo Sengjin dan berkata nyaring,

‘Kong Lo Sengjin, urusan di sini telah selesai. Mari kita bereskan perhitungan kita di luar!! Inilah tantangan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh seorang sakti seperti Kong Lo Sengjin.

Akan tetapi pada saat itu di luar tenda terdengar suara hiruk-pikuk, suara banyak sekali orang dan mulailah terdengar teriakan-teriakan.

‘Hidup Kaisar! Hidup Kaisar ! Hidup Kaisar!!

Cao Kuang Yin melirik ke arah para komandannya, dan melihat mereka masih berlutut dan tersenyum, tahulah ia bahwa para komandannya itu memang sudah mengatur sebelumnya agar usul mereka diperkuat oleh para anak buah mereka! Ia lalu berkata,

‘Para Ciangkun boleh keluar dan mempersiapkan barisan. Hari ini juga kita kembali ke kota raja. Akan tetapi perintahku pertama kepada kalian dan kepada semua anggota barisan adalah: Dilarang keras untuk melakukan kekerasan kepada siapa saja di kota raja, karena tidak mungkin akan ada perlawanan. Tidak ada seorang pun keluarga raja boleh diganggu, juga para pembesar dan pejabat lama, atau para penduduk, sama sekali tidak boleh diganggu harta benda atau nyawanya. Siapa melanggar perintah laranganku ini, akan dihukum mati!!

Para komandan menyatakan taat dan setelah memberi hormat, keluarlah mereka bersama Kong Lo Sengjin. Kim-mo Taisu menjura ke arah Cao Kuang Yin dan keluar pula. Akan tetapi ternyata di luar tenda itu telah penuh dengan tentara, keadaan menjadi ribut sekali, apalagi setelah mereka itu diberi tahu bahwa Cao Kuang Yin telah menerima menjadi kaisar baru, mereka berteriak-teriak, bersorak-sorak dan bertepuk tangan. Gegap-gempita keadaan di saat itu dan Kim-mo Taisu menjadi bingung ke mana harus mencari Kong Lo Sengjin yang tidak tampak batang hidungnya. Ia menjadi penasaran dan mendongkol sekali, dan makin yakinlah hatinya bahwa kakek itu benar-benar seorang yang curang dan licik dan lain kali apabila ia mendapat kesempatan bertemu muka, tentu ia takkan menyia-nyiakan waktu lagi dan memaksanya bertanding mati-matian. Karena tidak ingin terlibat dalam urusan ketentaraan, maka ia segera menjauhkan diri, akan tetapi diam-diam ia berjanji dalam hati bahwa ia harus dan akan membantu kaisar baru ini apabila kelak ternyata kaisar baru ini berlaku bijaksana dan adil. Mendengar perintah pertamanya tadi, banyak hal-hal baik dapat diharapkan dari kaisar baru ini.

Demikianlah, seperti tercatat dalam sejarah, Cao Kuang Yin berhasil mengambil alih kekuasaan tanpa pertumpahan darah. Cao Kuang Yin mendirikan Kerajaan Song (Sung) dan ia menjadi kaisar pertama berjuluk Sung Thai Cu. Dengan cerdik kaisar ini dapat mengambil hati para pembesar dan bangsawan yang ia pilih untuk menjadi pembantu-pembantunya. Yang jujur dan pandai tetap mendapatkan jabatan lama. Yang curang dan korup dipensiun dan diberi gelar. Juga delapan belas komandan yang memaksanya menjadi kaisar itu, dengan alasan cerdik sekali telah diangkat oleh kaisar, diberi gelar kehormatan dan banyak hadiah, akan tetapi mereka tidak aktif lagi memimpin pasukan, dan diganti dengan tenaga-tenaga baru.

Mulailah Dinasti Sung yang kuat dan berhasil menyatukan bangsa. Buktinya dinasti ini dapat bertahan sampai tiga abad lebih (960-1279).

***

Seorang pemuda yang tampan gagah, bertubuh tinggi besar dan berpakaian sederhana, berjalan dengan langkah tegap menuruni lereng bukit terakhir di lembah Sungai Mutiara. Dari puncak bukit tadi sudah tampaklah Laut Selatan, di mana air Sungai Mutiara mengakhiri perjalanannya dan tampak pula samar-samar pulau-pulau kecil tidak jauh dari pantai.

Pemuda ini bukan lain adalah Bu Song. Dia bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu! Biarpun orangnya masih sama, akan tetapi keadaannya sudah jauh berbeda, seperti bumi dengan langit. Perubahan yang nampak pada wajahnya hanyalah bahwa kini timbul guratan-guratan pada wajahnya yang tampan, di kanan kiri kedua matanya, di dahi dan dekat mulut, juga di dagunya. Guratan yang timbul dari penderitaan batin. Guratan-guratan pada muka yang membuat ia tampak dewasa dan matang, akan tetapi juga membuat mukanya tampak murung dan tertutup awan, membuat wajahnya seperti topeng yang tidak lagi mencerminkan isi hatinya. Pandang matanya jauh, dilindungi kelopak mata dan bulu mata yang seringkali bergetar dan setengah terpejam.

Bu Song masih muda akan tetapi pengalaman-pengalaman pahit membuat ia berpemandangan seperti orang tua. Perubahan lebih lagi terjadi dalam tubuhnya. Ia kini bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu, yang lemah dan tidak tahu bagaimana caranya menjaga diri daripada serangan orang lain. Dia sekarang adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dalam beberapa bulan saja ia sudah mewarisi semua ilmu kepandaian suhunya, ilmu yang ia latih siang malam tanpa bosan. Dia kini sudah menjadi seorang pendekar.

Ketika Bu Song menceritakan semua pengalamannya kepada suhunya, ada dua hal yang dianggap penting oleh Kim-mo Taisu. Pertama tentang kekejian Kong Lo Sengjin yang menyuruh anggota Hui-to-pang membunuh isteri Kim-mo Taisu. Kedua adalah tentang kitab kuno pemberian sastrawan Ciu Gwan Liong dan cerita kakek sastrawan itu akan suling emas yang berada di tangan sastrawan Ciu Bun dan yang menurut kakek itu berada di Pulau Pek-coa-to di Lam-hai. Melihat kitab itu, Kim-mo Taisu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya yang telah ia gembleng selama beberapa bulan dengan hasil baik sekali.

‘Bu Song, kitab ini biarpun hanya terisi sajak-sajak kuno, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelajaran ilmu yang luar biasa. Kuncinya berada pada suling emas itulah. Hal inipun sudah kuketahui dan juga diketahui oleh semua orang kang-ouw. Memang aneh sekali mengapa Bu Kek Siansu menghadiahkan benda-benda seperti itu kepada dua orang sastrawan lemah. Memang suling dan kitab itu adalah pegangan para sastrawan, akan tetapi di balik sajak dan suara suling, terdapat daya yang hebat sekali dan yang dapat dipergunakan orang jahat untuk memperhebat kepandaiannya. Kau telah berjodoh dengan kitab ini dan sudah dipilih oleh mendiang sastrawan Ciu Gwan Liong, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk mencari suling emas itu ke Pulau Pek-coa-to di Lam Hai.!

Pesan Kim-mo Taisu inilah yang menjadi sebab mengapa pada pagi hari itu Bu Song telah menuruni bukit di lembah Sungai Mutiara. Pulau Pek-coa-to adalah sebuah di antara pulau-pulau kecil di muara Sungai Mutiara itu, di Lam-hai (Laut Selatan). Dengan kepandaiannya, Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan menjelang tengah hari ia telah tiba di pantai muara Sungai Mutiara. Suhunya telah memberi tahu bahwa Pulau Pek-coa-to adalah pulau yang ke tiga dari timur, yang tampak dari situ sebagai pulau yang paling kecil, akan tetapi agak panjang dan bentuknya berliku seperti tubuh ular. Juga dibandingkan dengan pulau lain, pulau ini tampak putih warnanya, atau lebih muda warnanya, maka inilah agaknya pulau ini disebut Pek-coa-to.

Demikian pikir Bu Song. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya karena bentuknya seperti ular putih maka pulau itu disebut Pulau Ular Putih, melainkan karena di atas pulau itu memang terdapat semacam ular berkulit putih yang tidak terdapat di tempat lain, ular yang amat berbisa!

Selagi Bu Song bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus menyeberang ke pulau itu, tiba-tiba hatinya girang melihat seorang nelayan mendorong-dorong perahu kecilnya di atas pantai berpasir. Agaknya nelayan ini hendak berlayar mencari ikan. Bu Song segera berlari menghampiri lalu berkata,

‘Twako, apakah kau hendak berlayar?!

Nelayan itu kaget. Daerah ini amat sepi, biasanya tidak pernah ada orang maka heranlah ia melihat seorang pemuda yang bersikap halus seperti orang kota dan suaranya agak asing, dengan lidah orang utara.

‘Betul. Seperti biasa saya hendak mencari ikan,! jawab nelayan itu sambil memasang tali layar dan bersiap-siap.

‘Kebetulan sekali, Twako. Kau tolonglah aku menyeberang ke pulau itu. Berapa biayanya pulang pergi?!

Nelayan itu tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah pulau yang ditunjuk Bu Song. Berkali-kali ia menoleh dari Bu Song ke pulau itu, memandangnya bergantian lalu bertanya,

‘Kongcu, pulau yang mana...?!

‘Itu yang ke tiga dari kiri, Pulau Pek-coa-to...!

‘Wah...!!

Tiba-tiba wajah nelayan itu menjadi pucat dan ia memandang Bu Song dengan mata terbelalak. Bu Song merasa tidak enak hatinya.

‘Twako, kenapa?!

Dengan suara tergagap nelayan yang berusia hampir empat puluh tahun itu bertanya,

‘Kongcu... mau apakah... pergi ke... pulau itu...?!

Sungguh aneh, muka yang menghitam karena sering dipanggang terik matahari itu kelihatan ketekutan ketika memandang Bu Song.

‘Ah, aku hanya ingin pesiar, Twako.!

Orang itu menarik napas panjang, agaknya lega hatinya mendengar bahwa pemuda kota ini bukan sengaja hendak ke pulau itu, dan agaknya tidak mengenal keadaan maka ingin pesiar ke tempat itu.

‘Kongcu salah pilih! Kalau ingin pesiar, banyak tempat yang indah, mengapa memilih pulau... maut... itu?!

‘Pulau maut? Apa maksudmu, Twako?!

‘Ah, Kongcu tentu saja tidak tahu. Pulau Pek-coa-to itu adalah pulau angker sekali. Karena keangkeran pulau itulah maka tempat ini sekarang menjadi sepi. Para nelayan merasa takut mencari ikan di muara ini, karena adanya pulau itulah. Jangankan mendarat, mendekati pulau itu saja sudah cukup untuk kehilangan nyawa!!

‘Mengapa begitu?!

‘Entahlah. Pulau itu penuh binatang-binatang yang luar biasa, berbisa dan buas. Selain itu, agaknya juga... iblis dan siluman menjadi penghuninya. Sudahlah, Kongcu, membicarakannya saja merupakan pantangan di sini. Saya seorang pelayan yang terpaksa mencari ikan di sini, karena satu-satunya sumber nafkah saya adalah pekerjaan ini. Akan tetapi saya selalu menjauhkan diri dari pulau itu. Kongcu benar-benar salah pilih kalau hendak bersenang-senang dan berpesiar di daerah ini.!

‘Tidak salah pilih, Twako. Aku benar-benar ingin pergi ke pulau itu. jangan kau kuatir, aku dapat menjaga diri dengan baik. Dan ini untuk biaya kalau kau suka mengantarku ke sana.!

Bu Song sengaja mengeluarkan lima potong perak yang ia dapat dari suhunya sebagai bekal di perjalanan. Ia mempunyai sekantung uang perak dan beberapa potong uang emas.

Melihat lima potong perak ini, Si Nelayan memandang terbelalak. Bukan sedikit perak itu! mencari ikan sebulan belum tentu akan menghasilkan sebanyak itu. Akan tetapi ia memandang Bu Song dan berkata lagi,

‘Bukan saya tidak mau menyeberangkan ke sana, Kongcu. Akan tetapi aku takut.!

‘Tidak usah takut, aku menjamin keselamatanmu.!

‘Kongcu kelihatan kuat akan tetapi... banyak temanku nelayan yang lebih besar dan kuat daripada Kongcu tewas secara aneh di dekat pulau itu...!

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar