Bab 31
Diam-diam Ouw Kian menjadi girang. Memang dia sendiri
adalah seorang jago pedang yang menganggap bahwa ilmu pedangnya adalah yang
paling tinggi di dunia. Entah sudah berapa ratus kepala orang terpenggal oleh
pedangnya itu, selama ia merantau sebagai perampok tunggal. sebelum ia
ditundukkan Ma-bin Lo-mo dan menjadi pembantu Iblis Muka Kuda.
Cepat ia menggerakkan tangan dan dengan aksi yang boleh
juga, tubuh tegak kaki kanan diangkat menempel lutut kiri, tangan kiri
menjulang ke atas dengan telunjuk menunjuk langit, tangan kanan mencabut pedang
di pinggangnya. Aksinya memang hebat, sayang dia pakai senyum-senyum segala
sehingga mukanya yang memang tak dapat dikatakan tampan itu menjadi makin
buruk!
‘Lihatlah kiam-sutku yang tiada tandingan!! Ouw Kian
membentak lalu pedangnya berkelebatan menyilaukan mata. Dia sudah bersilat
pedang, tidak langsung menyerang karena pada pendapatnya, kalau melihat ilmu
pedangnya gadis puteri ketua Pek-lian Kai-pang itu tentu akan menguncup hatinya
dan akan menyerah tanpa bertanding lagi.
‘Hemmm....!! Sin Lian mendengus sebal dan membentak,
‘Sambutlah!! Pedangnya sudah menusuk dengan kecepatan kilat. Dara ini adalah
murid dari Siauw-lim Chit-kiam, tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah
terkenal sebagai ahli pedang kenamaan dan Sin Lian sudah mewarisi Ilmu Pedang
Chit-seng-sin-kiam (Ilmu Pedang Sakti Tujuh Bintang).
Kini, menghadapi Si Muka Bopeng yang sombong, gadis itu
sudah menusuk, ujung pedang tergetar dan pecah menjadi tujuh sinar, akan tetapi
dara itu hanya mempergunakan tiga sinar untuk menusuk ke tiga bagian tubuh
lawan yaitu tenggorokan, ulu hati dan pusar. Gerakannya cepat sekali sehingga
seolah-olah ada tiga batang pedang yang melakukan penyerangan.
‘Trang-trang-cringgg....! Ehhhhh....!! Ouw Kian
kebingungan dan ilmu pedangnya yang dipamerkan tadi menjadi kacau-balau karena
secara bertubi-tubi ia harus menangkis tiga sinar itu! Tangkisannya ngawur,
akan tetapi karena memang dia seorang yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, ia
berhasil juga menangkis sambil berloncatan ke belakang, tangannya tergetar
setiap kali pedangnya bertemu dengan ujung pedang lawan!
Barulah ia terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira
bahwa gadis muda yang cantik itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan kuatnya,
tanda bahwa ilmu pedang gadis itu hebat bukan main.
Ouw Kian maklum akan kelihaian lawannya, maka ia tidak
lagi berani banyak aksi dan cepat ia menggerakkan pedang, bertanding dengan
sungguh-sungguh dan melakukan serangan balasan. Namun, tusukan dan bacokan
pedangnya mengenai angin dan di detik berikutnya, kembali ujung pedang Sin Lian
seperti berubah menjadi lebih banyak lagi, kemudian lima sinar menyambar ke
arahnya dengan suara mencicit!
‘Aahhh.... ayaaaaa.... trang-trang-trang....!! Ouw Kian
berhasil menangkis tiga kali, akan tetapi tangkisan yang ke tiga membuat
tubuhnya terdesak dan posisinya rusak sehingga susulan dua kali serangan
agaknya takkan dapat ia tangkis lagi.
‘Hemmm.... mundurlah!! Tiba-tiba terdengar seruan
Ma-bin Lo-mo dan ujung pedang Sin Lian hanya dapat merobek sedikit kain baju di
bagian dada Ouw Kian karena mendadak tubuh Ouw Kian seperti ditiup angin,
terlempar ke belakang.
Ma-bin Lo-mo setelah menggunakan sin-kang mendorong tubuh
Ouw Kian dan menyelamatkannya dari pedang Sin Lian, kini berdiri menghadapi
gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.
‘Nona, bukankah itu Chit-seng-sin-kiam yang kau
mainkan? Apakah engkau anak murid Siauw-lim-pai?!
‘Tidak salah, locianpwe. Aku adalah murid Siauw-lim
Chit-kiam!! jawab Sin Lian tenang.
Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk. ‘Pantas, kiam-hoatmu
lihai. Dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam tewas, kabarnya di tangan puteri
Mancu, sudah sepatutnya engkau menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi
sungguh sayang sekali kalau murid Siauw-lim-pai sampai menjadi kaki tangan
pengkhianat seperti Bu Sam Kwi. Nona Lauw, kurasa guru-gurumu akan marah kalau
mendengar engkau akan membantu pengkhianat Bu Sam Kwi.!
‘Siangkoan-locianpwe, guru-guruku pun kini berjuang
bersama kekuatan di Se-cuan bersama-sama menentang Mancu!!
Tiba-tiba Siangkoan Lee tertawa, suara ketawa yang tidak
lumrah manusia, lebih mirip suara ringkik kuda marah,
‘Hiiyeeeeeh-heh-heh-heh! Sungguh memalukan! Sungguh tersesat dan menyeleweng
jauh! Seorang pemberontak dan pengkhianat malah dibantu, apakah dunianya
tokoh-tokoh kang-ouw yang menyebut diri kaum bersih dan golongan putih sudah
terbalik?!
Sin Lian menjadi marah mendengar guru-gurunya diajek.
‘Locianpwe, kalau locianpwe tidak setuju dengan pendirian kami, sudah saja.
Locianpwe boleh berjuang sendiri. Apa artinya perjuangan yang liar tanpa
pimpinan? Tidak peduli apa yang dilakukan oleh Bu-ongya dahulu, namun sekarang
kenyataan Bu-ongya adalah satu-satunya tokoh yeng gigih melakukan perlawanan
terhadap penjajah dan di sanalah berkumpul seluruh orang gagah yang hendak
mempertahankan tanah air. Kalau tidak berjuang di bawah benderanya, habis siapa
yang akan menjadi pemimpin kami?!
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ
berkelebat bayangan dua orang dan di dekat Sin Lian sudah berdiri dua muda yang
memiliki gerakan cepat sekali, juga mengagumkan karena mereka adalan seorang
pemuda tampan gagah dan seorang dara cantik jelita. Suara ketawa tadi adalah
suara mereka berdua yang meloncat dari kumpulan para tamu, dan kini yang wanita
berkata.
‘Ma-bin Lo-mo, mengapa engkau memaksa orang lain untuk
berjuang demi mencapai cita-cita pribadimu?!
Ma-bin Lo-mo melotot dan membentak. ‘Bocah
berjuang tanpa pamrih pribadi, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee
berjuang untuk dapat mengangkat diri sendiri menjadi kaisar menggantikan
Kerajaan Mancu. Tentu saja dia menentang Bu Sam Kwi raja muda di Se-cuan!!
Diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut, akan tetapi dia adalah
seorang yang angkuh dan percaya kepada diri sendiri, maka dengan mata melotot
ia membentak,
‘Memang benar! Dan mengapa tidak? Aku jauh lebih
berharga daripada si pengkhianat Bu itu! Dan siapa yang menentang pendapat ini,
boleh maju membuktikan sendiri bahwa aku lebih patut kalian jadikan pemimpin
dalam perjuangan menentang penjajah daripada si pengkhianat bangsa Bu Sam Kwi!!
Melihat kakek yang menjadi amat marah dan mengambil sikap
menantang-nantang itu, Lauw-pangcu cepat menghadapinya dan menjura penuh
hormat.
‘Harap Siangkoan-locianpwe sudi menghabiskan saja
urusan ini. Marilah, silakan duduk sebagai tamu terhormat dan dalam kesempatan
ini kiranya tidak perlu kita melanjutkan pembicaraan yang hanya menimbulkan
pertentangan itu. Yang penting, garis besar kita semua sama, ialah menentang
penjajah Mancu. Silakan!!
‘Tidak bisa!! Ma-bin Lo-mo membentak, pandang matanya
masih marah membayangkan ketidakpuasan dan kemarahan ditujukan kepada dua orang
muda yang baru tiba itu.
‘Kalau kalian semua masih melanjutkan keinginan hendak
mengabdi kepada pengkhianat Bu, tak mungkin aku tinggal diam saja! Dengan
demikian kalian berarti menjerumuskan diri ke dalam penyelewengan dan menjadi
pengkhianat-pengkhianat bangsa pula! Bagaimana aku, Siangkoan Lee, boleh
tinggal diam saja melihat orang-orang mengkhianati Kerajaan Beng?!
Kakek yang menjadi datuk golongan sesat ini lalu
melangkah maju menghadapi Lauw-pangcu dan berkata,
‘Lauw-pangcu, percuma bagiku bicara dengan segala macam
bocah lancang. Lauw-pangcu adalah seorang yang sudah tua dan sudah banyak
pengalaman, maka kuminta agar mulai sekarang juga insyaf dan membelokkan
kembali perjuangan ke arah jalan benar. Jangan lagi membantu pengkhianat Bu Sam
Kwi dan marilah kita bekerja sama. Kalau memang ada pahala di kemudian hari
setelah perjuangan berhasil, kitalah yang patut menerimanya, bukan pengkhianat
Bu itu. Nah, harap putuskan sekarang juga, Lauw-pangcu. Bagaimana pendirianmu?!
Lauw-pangcu menghela napas panjang. ‘Siangkoan-locianpwe
terlalu mendesak, apa boleh buat. Kalau menurut saya pribadi, saya tetap akan
membantu Se-cuan, karena berhasil tidaknya perjuangan kita sesungguhnya
tergantung kepada kekuatan Se-cuan sebagai tempat pertahanan terakhir.!
Ketua Pek-lian Kai-pang itu berhenti sebentar lalu
menoleh ke arah para tamu yang memandang tegang. ‘Tentu saja pendirian saya
ini merupakan pendirian Pek-lian Kai-pang pula dan kami tidak akan mempengaruhi
pendapat para sahabat pejuang yang saat ini menjadi tamu kami.!
Para tamu berteriak-teriak menyatakan persetujuan mereka
dengan pendirian Lauw-pangcu. Mereka bersorak riuh-rendah dan hal ini membuat
wajah Ma-bin Lo-mo menjadi merah. Jelaslah bahwa tidak banyak yang
mendukungnya.
‘Lauw-pangcu! Kalau begitu engkau ini bukan lain adalah
pemimpin pengkhianat! Pantas.... pantas....! Memang semenjak dahulu, jauh
sebelum penjajah Mancu datang, Pek-lian Kai-pang (Partai Teratai Putih) memang
terdiri dari orang-orang pemberontak dan pengkhianat! Sekarang, sudah menjadi
pengemis gembel gelandangan pun masih menjadi pengkhianat! Sungguh tak tahu
malu!!
‘Ma-bin Lo-mo, siapa yang tak tahu malu?! Lauw Sin Lian
membentak marah mendengar ayahnya dimaki-maki. ‘Engkaulah yang tidak tahu
malu! Sebagai tamu, seharusnya menghormati dan mentaati peraturan tuan rumah,
kalau tidak cocok boleh pergi karena engkau bukanlah tamu yang diundang!!
‘Hi-yeh-heh-heh! Lauw-pangcu, kalau engkau memang
gagah, marilah kita mencoba-coba kepandaian agar semua tamu terbuka matanya dan
melihat siapa di antara kita yang lebih pantas menjadi pemimpin!!
‘Siangkoan Lee! Biarpun sudah tua dan lemah, kalau
ditantang aku tidak akan mundur....!! Lauw-pangcu menjadi marah.
‘Tahan, Ayah! Biarlah aku yang menghajar anjing tua
ini!! bentak Sin Lian dan dia sudah menerjang maju dengan pedangnya. Karena ia
maklum akan kelihaian datuk kaum sesat ini, tentu saja ia tidak memandang
rendah seperti ketika menghadapi Ouw Kian si Muka Bopeng tadi, melainkan
mengerahkan tenaga dan menggerakkan pedang sehingga ujungnya menimbulkan tujuh
sinar yang berturut-turut meluncur ke arah tujuh bagian berbahaya dari tubuh
Ma-bin Lo-mo.
Di antara tokoh-tokoh kang-ouw, agaknya tingkat
kepandaian Sin Lian sudah amat hebat dan sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam,
agaknya sukar dicari tandingannya di kalangan orang muda. Akan tetapi sekali
ini yang diserang adalah Ma-bin Lo-mo, seorang di atara tokoh-tokoh yang sudah
mendapat sebutan datuk, yaitu datuk golongan hitam atau golongan sesat. Ilmu
kepandaian Ma-bin Lo-mo jauh lebih tinggi daripada tingkat Sin Lian. Apalagi
hanya dara remaja ini, biar Siauw-lim Chit-kiam sekalipun maju bersama, belum
tentu akan dapat mengatasi kepandaian Ma-bin Lo-mo yang tingkatnya dapat
disejajarkan dengan ketua Siauw-lim-pai yaitu guru Siauw-lim Chit-kiam!
Melihat sinar pedang gadis itu yang memecah menjadi tujuh
sinar, diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut dan kagum, memuji ilmu pedang ciptaan
Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai yang telah dikuasai dengan baik oleh gadis
ini. Kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah Ma-bin Lo-mo akan dapat
merobohkan Sin Lian dengan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang dahsyat. Akan
tetapi dia mempunyai cita-cita lain.
Kedatangannya sebetulnya bukan hendak memusuhi Pek-lian
Kai-pang, melainkan hendak menarik mereka menjadi sekutu dan membantunya. Kini
menghadapi puteri Lauw-pangcu, dia tidak mau sembrono menurunkan tangan keji,
dan hanya ingin membuktikan bahwa dia patut menjadi pemimpin dengan
kepandaiannya yang paling lihai di antara mereka semua.
‘Hi-yeh-heh.... kiam-sut yang bagus, akan tetapi tidak
ada artinya kalau kaupergunakan untuk menyerangku, Nona Cilik!! Ia mengejek,
kedua tangannya bergerak ke depan membuat gerakan melingkar-lingkar dan tujuh
sinar pedang itu seperti diseret angin puyuh yang amat kuat. Betapapun Sin Lian
mengerahkan tenaganya untuk menahan, tetap saja pedang dan tangannya terseret
oleh gelombang hawa yang amat dahsyat dan dingin sehingga gerakan pedangnya
kacau dan semua serangannya gagal dengan sendirinya.
‘Ma-bin Lo-mo, sungguh tak patut menghina nona rumah!!
Tiba-tiba pemuda yang datang bersama gadis jelita tadi menerjang maju. Mereka
berdua sudah menerjang dengan pedang mereka dan yang amat hebat adalah gin-kang
mereka karena gerakan kedua orang muda ini cepat seperti kilat!
Pedang di tangan pemuda dan gadis ini telah menolong Sin
Lian karena puteri Lauw-pangcu yang tadinya terancam untuk terputar tubuhnya
oleh hantaman angin pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dahsyat, kini berhasil
meloncat ke pinggir ketika Ma-bin Lo-mo terpaksa menghentikan gerakan tangannya
untuk menghadapi serangan kedua orang muda itu. Ia pun terkejut menyaksikan
kecepatan gerakan mereka. Matanya silau menyaksikan sinar dua pedang yang amat
cepat datangnya. Kakek ini mengeluarkan suara meringkik dan tubuhnya sudah
mencelat ke atas menghindarkan diri daripada sambaran dua pedang.
Akan tetapi, kini Sin Lian sudah maju lagi dengan pedang
diputar cepat. Kini murid Siauw-lim Chit-kiam ini bersikap hati-hati karena
maklum betapa lihainya kakek bermuka kuda itu. Pedangnya membentuk segulung
sinar yang mencuat ke depan amat terangnya menusuk dada kakek itu yang baru
melayang turun. Dua orang muda yang lihai itupun menyambut turunnya tubuh
Ma-bin Lo-mo dengan tusukan dan bacokan pedang.
Ma-bin Lo-mo kembali mengeluarkan suara terkekeh seperti
bunyi ringkik kuda. Ujung kakinya tiba-tiba menangkis atau menotol ujung pedang
tiga orang muda itu dengan ‘meminjam! tenaga mereka, tubuhnya sudah melesat
ke belakang tiga orang lawan. Tiga orang muda itu cepat membalikkan tubuhnya.
Mereka kaget sekali karena tidak mengira kakek itu sedemikian lihainya. Juga
para tamu terkejut dan menjadi jerih.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara keras, ‘Harap
hentikan pertandingan! Saya datang membawa berita penting!!
Semua orang menoleh, dan tiba-tiba Ma-bin Lo-mo
mengeluarkan suara meringkik aneh, wajahnya berubah pucat ketika memandang
kepada pemuda berkaki buntung yang jalan terpincang-pincang maju dibantu
tongkatnya. Ma-bin Lo-mo meloncat dan menghadang Han Han sambil berkata.
‘Kau.... kau masih hidup....?! Tentu saja Ma-bin Lo-mo
sudah mendengar berita di In-kok-san bahwa Han Han dan Kim Cu telah menjalani
hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li kepada dua orang murid itu,
dan dia mendengar bahwa selain dibuntungi, juga kemudian Han Han dan Kim Cu
dilempar ke dalam jurang maut yang tak berdasar!
Tentu saja ia menjadi kaget sekali melihat bekas murid
ini tahu-tahu muncul di situ! Karena menyangka bahwa seperti juga dahulu, bocah
aneh tentu hanya akan menimbulkan keonaran dan akan menghalangi cita-citanya,
Ma-bin Lo-mo tidak mau banyak cakap lagi, setelah menegurnya lalu mengulur
tangan kanannya yang menuding tadi, mengerahkan Swat-im Sin-ciang menyerang ke
arah jantung Han Han di balik dadanya.
‘Siangkoan-locianpwe, apakah engkau baik-baik aja?! Han
Han menyoja (mengangkat tangan ke depan dada) untuk memberi hormat. Tidak ada
seorang pun yang menduga bahwa pada detik itu, dua buah tenaga tak tampak yang
amat dahsyat bertemu di antara mereka dan akibatnya, wajah Ma-bin Lo-mo menjadi
pucat seperti kertas dan ia menahan darah yang sudah naik ke kerongkongannya
agar tidak muntah!
Tenaga Swat-im Sin-ciang yang ia lancarkan untuk
menyerang Han Han tadi membalik dengan cepat dan tidak terduga-duga olehnya sehingga
melukai rongga dadanya sendiri!
Memang ia tahu bahwa bocah bekas muridnya yang telah
menggembleng diri di Pulau Es ini memiliki kepandaian aneh dan tenaga dahsyat,
akan tetapi dia telah buntung dan betapa dalam waktu tak lama saja telah mampu
menangkis Swat-im Sin-ciang tanpa gerakan memukul melainkan hanya bersoja sudah
mampu mengembalikan pukulannya?
Hal yang tidak diduga-duga oleh Ma-bin Lo-mo ini membuat
ia terluka dan jerih. Dengan mulut tertutup rapat ia menggapai Ouw Kian dan
pergi dari tempat itu diikuti Si Muka Bopeng yang terheran-heran, juga para
tamu menjadi lega ketika melihat bahwa kakek yang ditakuti itu pergi tanpa
pamit.
‘Han Han....!! Suara ini keluar dari mulut Sin Lian dan
pemuda tampan itu secara berbareng.
‘Han-twako....!! gadis yang datang bersama pemuda
itupun berseru, wajahnya menjadi merah, akan tetapi, seperti juga Sin Lian dan
pemuda yang datang bersamanya tadi, gadis ini pun memandang ke arah kaki
buntung Han Han dengan heran.
Han Han tersenyum lalu menjura ke arah Sin Lian dan dua
orang muda itu yang bukan lain adalah dua orang murid Im-yang Seng-cu, Wan Sin
Kiat dan sumoinya, Lu Soan Li.
‘Lauw-siocia, Lu-siocia, Saudara Sin Kiat, bagaimana
keadaanmu bertiga? Kuharap baik-baik saja.!
Tiga orang muda itu tetap memandang ke arah kakinya dan
tak dapat mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa orang yang mereka kagumi itu
kini mendadak muncul dengan kaki buntung, mereka bertiga begitu heran dan kaget
sehingga sukar mengeluarkan kata-kata. Leher serasa dicekik keharuan dan
kasihan.
‘Ah, engkau Sie Han....? Akan tetapi, kenapa
kakimu....?! Lauw-pangcu sudah melangkah maju dan memegang pundak Han Han.
‘Benar, engkau bocah aneh yang dahulu itu, akan tetapi
mengapa kakimu itu, Han Han?!
Han Han menjura kepada Lauw-pangcu dan berkata tenang,
‘Karena kecelakaan kaki saya menjadi buntung,
Lauw-locianpwe. Saya merasa girang dapat bertemu dengan locianpwe dalam keadaan
sehat dan biarlah saya menggunakan kesempatan ini untuk ikut pula mengucapkan
selamat ulang tahun ke tujuh puluh tahun, semoga locianpwe diberkahi panjang
usia dan kesehatan!!
Lauw-pangcu tersenyum dan memandang wajah pemuda itu
dengan kagum. Ia melihat betapa pemuda ini telah menjadi seorang yang selain
tampan dan gagah, juga matang bahkan ada sesuatu yang amat aneh terpancar dari
pandang mata pemuda itu. Akan tetapi sebelum ia sempat bicara lagi, Wan Sin
Kiat sudah memegang lengan tangan Han Han dan berkata.
‘Kebetulan sekali engkau datang, Han Han. Dan di
mana.... di mana Nona Lulu?!
Ditanya tentang Lulu, wajah Han Han menjadi muram, dan ia
menggeleng kepalanya.
‘Entahlah, aku sedang mencari dia.!
‘Mencari Lulu? Ahhh, tadinya kusangka bahwa engkau
datang bersama Lu-moi!! kata Sin Lian dan Han Han menjadi terheran-heran
mendengar gadis itu menyebut Lulu dengan suara demikian akrab. Melihat ini,
Lauw-pangcu tertawa dan berkata,
‘Marilah kita bicara di dalam!! Ia memberi perintah
kepada seorang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk melayani para tamu, kemudian
ia mengajak Han Han, Sin Lian, Sin Kiat dan Soan Li memasuki pondoknya.
Setelah mereka duduk di dalam pondok mengelilingi meja
dan disuguhi makanan dan arak oleh anak buah kai-pang yang cepat keluar
kembali, Lauw-pangcu lalu berkata.
‘Agaknya banyak sekali urusan yang harus kita
bicarakan, Han Han. Akan tetapi lebih dulu perkenalkanlah dua orang muda
perkasa yang membantu kami menghadapi Ma-bin Lo-mo ini.!
‘Kiranya Lauw-locianpwe dan Lauw-siocia....!
‘Iiihhh, kenapa engkau sekarang berubah seperti ini,
Han Han? Masa menyebut aku nona-nonaan segala, apakah aku harus menyebut tuan
muda kepadamu?!
Tiba-tiba Sin Lian menegur dengan mulut cemberut. Hati
Soan Li yang melirik dan melihat ini menjadi berdebar dan terasa tidak enak.
Akan tetapi Sin Kiat dan Lauw-pangcu tertawa menyaksikan sikap Sin Lian ini.
Merah wajah Han Han ditegur gadis itu. ‘Eh.... baiklah.
Aku ulangi lagi, agaknya Lauw-pangcu dan Sin Lian belum mengenal dua saudara
ini. Dia adalah Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat dan Nona ini adalah Hoa-san
Kiam-li Lu Soan Li!!
‘Ah, kiranya murid-murid dari Im-yang Seng-cu? Maaf
kalau saya yang tua tidak mengenal dan bersikap kurang hormat.! Akan tetapi Sin
Lian tidak bersikap seperti ayahnya, bahkan memandang kepada dua orang muda itu
dengan alis berdiri. Betapapun juga, di dalam hati gadis ini masih ada bekas
luka akibat siasat adu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai.
Soan Li yang cerdik tentu saja dapat mengerti akan sikap
Sin Lian ini dan ia cepat berkata.
‘Nama besar Enci Sin Lian sebagai murid tokoh-tokoh
Siauw-lim Chit-kiam telah lama saya mendengarnya. Enci Sin Lian, kedatangan
kami berdua ini adalah hendak menghapus segala peristiwa hitam yang timbul di
antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, yang sesungguhnya ditimbulkan oleh siasat
buruk adu domba oleh Pemerintah Mancu. Kiranya Enci sudah pula mendengar akan
hal itu, peristiwa yang patut disesalkan sehingga menyeret pula Han-twako yang
sama sekali tidak berdosa. Han-twako yang terseret oleh siasat adu domba di antara
kedua partai, sampai-sampai mendatangi Pek-eng-piauwkiok dan bertemu dengan
tokoh-tokoh Hoa-san-pai, bahkan mengalami penghinaan pula. Sungguh kami merasa
menyesal sekali....!
Wajah keruh di muka Sin Lian segera menghilang. Memang
pada dasarnya, watak Sin Lian adalah lincah dan peramah, kalau tadi ia berwajah
keruh melihat munculnya dua orang tokoh Hoa-san-pai adalah karena ia teringat
akan kematian dua orang di antara ketujuh orang gurunya. Ia cepat tersenyum dan
berkata.
‘Adik Soan Li, aku telah tahu akan hal itu semua. Aku
telah mengetahui betapa kalian berdua sampai bentrok dengan orang-orang
Hoa-san-pai sendiri. Aku telah diceritakan oleh adikku Lulu yang pandai
bercerita sehingga peristiwa di piauw-kiok itu seolah-olah dapat kubayangkan
dengan mata sendiri!!
‘Eh, Non eh, Sin Lian, apa artinya semua ini? Adikmu
Lulu.... bagaimana ini?!
Kembali Lauw-pangcu tertawa, agaknya kakek ini merasa
girang sekali dapat bertemu dengan Han Han yang sudah banyak ia dengar dari
Lulu. Ia memandang pemuda ini dan diam-diam kakek yang sudah berpengalaman ini
dapat mempercayai omongan Lulu yang pernah mengatakan bahwa di dunia ini
kakaknya adalah yang paling sakti!
Sungguhpun ia maklum bahwa Lulu melebih-lebihkan akan
tetapi ia dapat menangkap wibawa yang amat luar biasa dan sinar aneh terpancar
keluar dari sepasang mata pemuda itu.
‘Ha-ha-ha-ha, agaknya telah terjadi banyak sekali hal
yang amat kebetulan dan yang perlu kita saling tuturkan, Han Han. Akan tetapi
biarlah kita mulai satu-satu dan lebih dulu kiranya lebih baik kalau kita
persilakan dua orang murid Im-yang Seng-cu untuk menuturkan maksud kunjungannya
yang terhormat.!
Kini Wan Sin Kiat bicara, suaranya halus dan tegas,
‘Tadi telah disinggung oleh sumoi akan maksud kedatangan kami berdua. Tidak lain
hanya untuk menemui Nona Lauw sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam untuk
menjelaskan persoalan salah paham akibat adu domba pihak Mancu antara
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kami tidak berani lancang menghadap ke
Siauw-lim-si, maka mendengar bahwa locianpwe dan Nona Lauw berada di sini dan
kebetulan sekali mengadakan pesta ulang tahun, kami sengaja datang menyampaikan
selamat ulang tahun dan ingin penjelasan untuk menghapus permusuhan. Siapa
mengira bahwa Nona Lauw telah mendengar persoalannya. Kami merasa girang sekali
kalau Nona Lauw sudah mengerti bahwa yang melakukan pembunuhan terhadap kedua
orang locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam bukanlah orang Hoa-san-pai.!
Sin Lian mengangguk-angguk. ‘Saya telah menghadap para
pimpinan Siauw-lim-pai dan ternyata beliau semua telah mendengar dari
keterangan Han Han sendiri yang datang ke sana. Apalagi setelah saya mendengar
penuturan sumoi, semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai telah
terhapus dengan sendirinya dan kini kami hanya ingin membalas kematian kedua
orang suhu saya itu kepada pihak Mancu.!
Lauw-pangcu menghela napas. Memang perang adalah
peristiwa yang menjijikkan dan menyedihkan. Dan orang-orang Mancu telah
menggunakan siasat yang amat busuk! Nah, sekarang biarlah aku menuturkan
tentang adikmu, Han Han. Ketahuilah bahwa adikmu Lulu telah menjadi anak
angkatku, dan menjadi adik angkat Sin Lian.!
‘Aaahhh....!! Han Han membelalakkan matanya dan menjadi
beng
alah seorang manusia yang benar-benar memiliki watak murni
dan bersih, dan aku merasa bahagia sekali bisa menjadi ayah angkatnya.!
Lauw-pangcu lalu menuturkan semua pengalaman Lulu semenjak bertemu dengannya
sampai menjadi anak angkatnya dan betapa sampai setahun Lulu memperdalam ilmu
silatnya di lembah Huang-ho itu.
‘Enam bulan yang lalu dia berangkat meninggalkan tempat
ini untuk mencarimu, bahkan telah berjanji untuk datang pada saat perayaan
ulang tahun Ayah, berjanji untuk datang bersamamu. Akan tetapi mengapa engkau
datang sendiri? Mana Lulu?! Sin Lian menutup cerita ayahnya yang didengar oleh
Han Han dengan muka terheran-heran dan hati terharu, juga girang. Akan tetapi
pertanyaan Sin Lian membuat wajahnya muram kembali dan ia menghela napas
panjang.
‘Aku mencarinya ke kota raja tanpa hasil....!
Melihat kesedihan Han Han dan karena tertarik dan kagum
mendengar penuturan Lauw-pangcu sehingga hatinya yang dahulu sudah terpikat
oleh Lulu itu kini menjadi makin kagum, Sin Kiat segera berkata.
‘Han Han, jangan khawatir. Aku akan membantumu mencari
Nona Lulu sampai dapat!!
Han Han tersenyum mendengar janji yang dikeluarkan dengan
suara sungguh-sungguh ini. Dia memandang wajah Sin Kiat, dapat melihat sinar
penuh kasih dari mata pemuda gagah itu. Diam-diam ia merasa senang sekali kalau
adiknya yang nakal itu kelak dapat berjodoh dengan pemuda ini!
‘Terima kasih, Sin Kiat. Aku hanya khawatir kalau
sampai terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa diri adikku. Dia itu
terlalu berani dan sembrono....!
‘Han Han, engkau tidak tahu bahwa semenjak berlatih di
sini selama satu tahun, Lulu bukanlah Lulu yang dahulu lagi. Ilmu kepandaiannya
melonjak secara hebat sehingga Ayah sendiri dan aku, kiranya bukan tandingannya
lagi!! kata Sin Lian tentu saja ia melebihkan, karena dalam hal kematangan ilmu
silat, tentu saja Lulu tidak dapat menandinginya.
‘Sekarang tiba giliranmu, Han Han. Ketika engkau muncul
tadi, kaukatakan bahwa engkau datang membawa berita penting. Akan tetapi
sebelum kauceritakan itu, aku ingin sekali mendengar mengapa.... kakimu sampai
buntung, Han Han.!
Han Han tersenyum pahit dan memandang ke arah kakinya
yang buntung, menghela napas panjang dan kemudian berkata, ‘Urusan kecil....
salahku sendiri dan sudah semestinya buntung. Kakiku buntung akibat hukuman
yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li....!
‘Iblis betina yang kejam....!! Sin Lian berteriak
marah, seperti mengeluarkan api. ‘Dan.... Lulu-moi belum tahu akan hal itu?!
Han Han menggeleng kepala dan memandang. Alangkah kaget
dan herannya ketika ia melihat mata Sin Lian merah seperti hendak menahan
tangis!
‘Hemmm, aku sudah mendengar dari suhu akan kekejaman
iblis betina itu! Sungguh keji sekali! Han-twako, kenapa dia melakukan hal
sekejam itu?! Han Han menoleh kepada Soan Li yang wajahnya menjadi pucat.
Ia tersenyum. ‘Tidak kejam, melainkan sudah menjadi
peraturan di In-kok-san begitu. Murid yang melarikan diri akan dihukum buntung
kakinya. Dan aku pernah menjadi muridnya, kemudian aku melarikan diri. Ketika akhir-akhir
ini tertangkap, kakiku dibuntungi sebelah. Sudahlah, hal ini sudah terjadi,
tidak ada gunanya dibicarakan lagi,!
Ia terpaksa mengeluarkan ucapan hiburan ini karena
melihat betapa Sin Lian dan Soan Li ketihatan marah dan kebencian hebat
terpancar keluar dari mata mereka terhadap Toat-beng Ciu-sian-li.
‘Yang penting adalah keperluan yang membawaku datang ke
sini. Lauw-pangcu, saya merampas sebuah surat dari tangan utusan-utusan Mancu
yang ditujukan kepada Su-ciangkun komandan pasukan Mancu yang bertugas
melakukan pembersihan. Inilah suratnya, harap Lauw-pangcu dan cu-wi sekalian
membaca agar dapat diatur bagaimana baiknya.!
Mata Lauw-pangcu terbelalak ketika ia membaca surat
perintah rahasia dari Puteri Nirahai itu dan ketika ia memberikan surat itu
kepada Sin Lian, kemudian dibaca pula oleh Sin Kiat dan Soan Li, Sin Kiat
berseru,
‘Ahhh! Puteri Nirahai inilah orangnya yang menjadi
blang keladi permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai! Dia kabarnya amat
lihai dan amat cerdik mengatur siasat-siasat licik! Lauw-pangcu, kalau begitu,
keadaan pangcu di sini berbahaya, harus cepat-cepat pindah....!!
Lauw-pangcu tetap tenang dan menggeleng kepala.
‘Wan-sicu lupa bahwa pasukan Mancu belum menerima surat perintah ini.!
Tiba-tiba kakek itu memukul telapak tangan kirinya dengan kepalan kanannya,
wajahnya berseri dan pandang matanya penuh semangat. Biarpun sudah lama sekali
ia tidak lagi aktif dalam perjuangan karena selain merasa tua juga setelah
menjadi ayah angkat Lulu hatinya menjadi hambar terhadap perjuangan, kini
agaknya timbul kembali jiwa kepahlawanannya.
‘Ah, ini kesempatan bagus sekali untuk menghancurkan
mereka! Surat ini harus disampaikan kepada Su-ciangkun, biarkan mereka
melakukan penyerangan ke sini. Kita mengatur barisan pendam, menjebak mereka
dan dengan mudah kita akan dapat membasmi mereka! Akan tetapi surat perintah
ini harus disampaikan kepada mereka!!
Han Han menerima kembali surat itu dan menyimpannya dalam
sampul lalu mengantonginya. ‘Tepat seperti dugaan saya bahwa pangcu akan
mengambil keputusan seperti itu, karena itulah maka saya lebih dahulu datang ke
sini. Biarlah saya menyerahkan urusan memasang barisan pendam itu kepada
pangcu, dan saya akan melanjutkan perjalanan saya mengunjungi Su-ciangkun untuk
menyerahkan surat ini.!
‘Heeiii....! Ah, itu berbahaya sekali! Han Han, biarlah
surat itu diserahkan oleh anak buah Pek-lian Kai-pang!!
‘Lauw-pangcu, apakah kalau yang menyerahkan anak buahmu
tidak berbahaya?!
‘Memang berbahaya, akan tetapi andaikata anak buahku
sampai mati sekalipun dia akan mati dengan rela, mati sebagai gugurnya seorang
pejuang.!
‘Hemmm, pangcu. Apakah saya takut mati? Tidak, saya
sendiri yang harus menyerahkan surat ini, bukan sekali-kali untuk membantu
perjuangan karena saya masih belum bisa mengikatkan diri dengan perang,
melainkan karena alasanku pribadi. Nah, selamat tinggal, aku harus pergi
sekarang. Kalau terlalu lama, khawatir kalau-kalau pihak Mancu tahu bahwa
utusan mereka telah kubunuh dan pembawa surat ini bukan utusan mereka,
melainkan palsu!!
Setelah berkata demikian, Han Han menjura dan cepat ia
terpincang-pincang keluar dari pondok itu. Setibanya di ruangan depan, para
tamu memandangnya dengan penuh perhatian, akan tetapi Han Han tidak mengacuhkan
mereka dan terus keluar dari tempat itu, menuruni puncak.
Setelah tiba di lereng puncak itu di mana tidak ada orang
lain lagi yang akan melihatnya, Han Han lalu meloncat dan mengerahkan ilmu
kepandaiannya yang mukjizat, yaitu gerakan-gerakan kilat yang membuat ia dapat
bergerak secara luar biasa, berloncatan seperti terbang.
‘Han Han....!! Teriakan ini membuat Han Han cepat
membuang ilmunya, mematahkan daya dorongan hebat yang membuat tubuhnya seperti
dapat terbang, cepat ia melayang turun ke atas tanah. Kiranya di situ berdiri
Sin Lian yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh kekaguman.
‘Han Han.... kau.... kau ah, betapa hebat gerakanmu
tadi....!!
Wajah Han Han menjadi merah. Ia merasa jengah karena
ilmunya terlihat oleh Sin Lian.
‘Ah, kau terlalu memuji, Si Lian. Ada urusan apakah
engkau menyusulku?!
Sin Lian menundukkan muka untuk menghindarkan pertemuan
pandang, akan tetapi justeru karena menunduk, ia melihat kaki buntung itu dan
seperti diingatkan ia merasa kasihan dan terharu sekali. Kini, di luar tahunya
orang lain, ia tidak memaksa diri mempertahankan air matanya dan dua butir air
mata menitik turun ke atas sepasang pipinya.
‘Eh, Sin Lian.... kau menangis? Kenapa?!
Sin Lian menggigit bibir. Sukar sekali untuk bicara.
Akhirnya setelah menghapus dua butir air mata dari pipinya tanpa disadarinya
bahwa ada dua butir lagi menggantikan yang ia hapus, ia dapat berkata lirih.
‘Aku.... aku kasihan melihatmu.... ngeri hatiku
membayangkan betapa kakimu dipotong....!
Han Han tersenyum. ‘Ah, semenjak kecil engkau adalah
seorang gadis yang amat baik hati, Sin Lian. Berkali-kali engkau membelaku dan
sampai sekarang pun engkau masih menaruh kasihan kepadaku. Terima kasih, Sin Lian,
engkau benar-benar seorang gadis yang amat berbudi. Aku girang bahwa Lulu telah
menjadi adik angkatmu.!
‘Han Han, harap kau maafkan aku....!
‘Ehhh? Maafkan? Kenapa?!
‘Dahulu, aku telah salah sangka, mengira engkau
membantu orang-orang Hoa-san-pai untuk memusuhi Siauw-lim-pai sehingga aku
menghinamu, menyerangmu.!
Han Han menarik nafas panjang. ‘Akulah yang harus minta
maaf kepadamu, Sin Lian. Aku menganggap saudara-saudaramu orang-orang
Siauw-lim-pai sebagai perampok. Ahhhhh, sudahlah, semua adalah akibat siasat
busuk Puteri Nirahai. Percayalah kalau aku dapat bertemu dengan dia, akan
kuberi hajaran puteri yang jahat itu! Nah, sekarang aku harap kau suka pulang,
aku hendak melanjutkan perjalananku.!
Pemuda buntung itu sudah membalikkan tubuh ketika ia
mendengar suara Sin Lian memanggil, ‘Han Han....!!
Ia memutar tubuh. Dua pasang mata bertemu pandang,
melekat, terpesona dan Han Han terkejut bukan main melihat betapa sepasang mata
Sin Lian itu mengeluarkan sinar yang sama benar dengan sepasang mata Kim Cu!
Salahkah penglihatannya? Ataukah.... ah, mungkinkah seorang dara seperti Sin
Lian ini mempunyai rasa kasih sayang kepada dia seorang buntung? Tentu ia salah
menyangka. Hemmm, tak tahu diri, celanya kepada hatinya sendiri sambil cepat mengalihkan
pandang, menunduk.
Tak tahu diri, seorang pemuda buntung macammu ini mana
mungkin menarik kasih sayang seorang dara seperti Sin Lian? Kalau Kim Cu memang
benar mencintanya, akan tetapi cinta kasih Kim Cu terhadapnya timbul sebelum
kakinya buntung. Hanya Kim Cu-lah satu-satunya gadis di dunia ini yang dapat
mencintanya, tentu saja di samping Lulu, adiknya yang ia tahu merupakan
satu-satunya manusia yang ia cinta dan yang mencintanya sepenuh jiwa! Sin Lian
mencintanya? Tak mungkin! Hanya dugaan yang timbul dari rasa iba diri.
‘Ada apakah, Sin Lian?! tanyanya dan ia berani lagi
mengangkat muka memandang setelah berhasil menguasai hatinya. Kini ia tidak
melihat lagi sinar aneh dari mata Sin Lian dan diam-diam ia mentertawakan
dirinya sendiri yang ternyata telah salah menduga.
‘Han Han, biarkan aku pergi menemanimu mengantar surat
itu ke markas pasukan Mancu. Aku sudah bilang kepada Ayah.!
Han Han terkejut. ‘Ahhh, tidak mungkin! Semua orang
tentu mengenal engkau sebagai puteri Lauw-pangcu dan hal itu amat berbahaya!!
‘Apakah kalau engkau yang pergi ke sana tidak
berbahaya? Kalau memang akan menghadapi bahaya, biarlah kita hadapi bersama.
Aku tidak takut!!
Han Han tersenyum di dalam hatinya. Kalau sudah berkeras
kepala begini, Sin Lian seperti masih kanak-kanak, tidak ada perubahan sama
sekali sejak dahulu! Akan tetapi ia segera berkata dengan halus.
‘Sin Lian, bukan demikian maksudku. Tentu saja engkau
pun tidak takut akan bahaya, dan tentu saja kalau ada engkau, kita berdua akan
dapat menghadapi musuh lebih kuat lagi. Akan tetapi, kalau engkau ikut, tentu
rusak rencana kita semua. Mana mungkin orang-orang Mancu itu percaya akan surat
yang kubawa ini? Mereka tentu akan curiga dan semua siasat yang diatur Ayahmu
akan gagal. Percayalah, kalau aku sendiri yang ke sana dan mengaku sebagai
kepercayaan Puteri Nirahai, tentu mereka akan percaya dan akan dapat terjebak
oleh barisan pendam Ayahmu. Selain itu, ada lagi alasan pribadi mengapa aku
sendiri harus menghadap perwira she Su itu, Sin Lian.!
‘Akan tetapi....!
‘Tidak ada tapi, Sin Lian. Engkau tinggallah di sini,
dan Ayahmu amat memerlukan bantuanmu untuk menghadapi para penyerbu nanti.!
Ketika melihat betapa sinar mata gadis itu masih berkeras, Han Han cepat
menyambung, ‘Sudahlah, Sin Lian, kalau sudah selesai tugas kita, kelak kita
bicara lagi sepuasnya. Selamat berpisah!! Setelah berkata demikian, Han Han
berkelebat dan terkejutlah Sin Lian karena tiba-tiba pemuda buntung itu sudah
lenyap dari depannya. Ia mengangkat muka, melihat bayangan pemuda itu mencelat
ke atas dan terus berloncatan amat cepatnya seperti terbang saja. Sebentar saja
bayangan pemuda itu hanya tampak seperti sebuah titik hitam yang bergerak-gerak
seperti seekor belalang berloncatan.
‘Han Han....!! Ia mengeluh, penuh kagum, penuh iba
melihat kaki buntungnya dan penuh.... perasaan aneh di hatinya. Sejenak Sin
Lian memandang sampai bayangan itu lenyap, lalu ia termenung, dan menundukkan
mukanya, teringat ia akan ucapan Lulu tentang Han Han itu. Betapa secara
berkelakar Lulu ingin menjodohkan dia dengan Han Han, betapa Lulu itu secara
tepat mengatakan bahwa dia mencinta Han Han.
Sin Lian yang berdiri seorang diri itu tersenyum-senyum
malu dengan kedua pipi berubah merah sekali, matanya berseri dan sampai lama ia
berdiri melamun lupa akan segala. Dia menjadi amat heran akan sikapnya sendiri,
heran akan isi hatinya. Betapapun tampannya, betapapun gagahnya, Han Han adalah
seorang pemuda cacat, seorang buntung!
Mengapa hatinya begini tertarik, lebih tertarik dan suka
daripada dahulu ketika mereka berdua masih kanak-kanak, bahkan lebih tertarik
ketika ia mendengar cerita Lulu, padahal ketika itu ia membayangkan Han Han
seorang pemuda tanpa cacat?
Mengapa tidak ada sedikit pun perasaan kecewa atau
terhina melihat pemuda buntung itu, membayangkannya berada di sampingnya
sebagai teman hidup? Bahkan ada rasa bangga di hatinya, bangga bahwa biarpun
kakinya buntung sebelah, namun Han Han memiliki kepandaian yang amat luar
biasa, dan hal itu terbukti dari gerakan pemuda itu yang benar-benar belum
pernah ia lihat pada orang lain! Bangga bahwa sebagai seorang buntung kakinya,
seorang penderita cacat, Han Han memiliki kelebihan yang banyak sekali kalau
dibandingkan dengan orang yang utuh badannya.
Sin Lian sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya dia
seorang yang mengenang dan memikirkan pemuda buntung itu. Juga Lu Soan Li,
gadis tokoh Hoa-san itu, yang semenjak pertemuan pertamanya dengan Han Han
ketika masih belum buntung kakinya dahulu telah jatuh hati, kini setelah
bertemu lagi dengan Han Han yang telah buntung kakinya, merasa betapa hatinya
seperti ditusuk-tusuk penuh rasa iba dan haru melihat pemuda itu. Dia merasa
heran mengapa hatinya seperti itu, ingin ia menghibur pemuda buntung itu, ingin
membela, ingin membahagiakan hidupnya dan mengusir awan kesengsaraan yang
seolah-olah menyelimuti wajah tampan yang berambut panjang itu.
‘Suheng, aku merasa khawatir sekali kalau-kalau dia
akan menemui bencana di markas pasukan Mancu. Dia seorang diri saja dan....
kakinya sudah buntung. Ah, suheng, mengapa kau tadi tidak mencegahnya pergi?
Bukankah lebih baik suheng atau aku yang pergi mewakilinya? Sungguh kita
keterlaluan sekali, membiarkan seorang buntung menempuh bahaya di sarang
harimau!!
‘Engkau maksudkan Han Han?! Sin Kiat bertanya, kemudian
ia mengangguk. ‘Memang berbahaya sekali. Habis, kalau menurut pendapatmu,
bagaimana baiknya, sumoi?!
‘Suheng, biarlah secara diam-diam aku membayanginya.
Dia berjuang untuk perjuangan bersama, kalau sampai gagal, bukan hanya dia akan
celaka, akan tetapi kita di sini semua pun akan mengalami malapetaka. Akan
tetapi hal ini lebih baik dirahasiakan, suheng. Suheng membantu persiapan di
sini, membantu Lauw-pangcu yang akan mengatur barisan pendam untuk menjebak
pasukan Mancu, sedangkan aku membantu Han-twako....!
Sin Kiat memandang wajah sumoinya dengan tajam, kemudian
menghela napas dan berkata, suaranya tegas mengandung pertanyaan yang menuntut
jawaban sejujurnya.
‘Sumoi, engkau jatuh cinta kepada Han Han, bukan?!
Sunyi sejenak. Soan Li menundukkan mukanya dengan kedua
pipi merah sekali, tak berani menentang pandang mata suhengnya yang penuh
selidik, kemudian sambil menunduk ia menjawab, suaranya juga penuh tuntutan
yang membela diri.
‘Suheng, agaknya tidak banyak bedanya dengan perasaan
hati suheng terhadap Lulu.!
Sin Kiat menarik napas panjang, lalu memegang pundak
sumoinya, memaksa tubuh sumoinya menjadi tegak untuk memandang wajah sumoinya.
‘Soan Li, sumoiku yang manis. Engkau tahu bahwa aku adalah sebagai kakakmu
sendiri. Aku tidak akan menyalahkan perasaan hatimu, tidak pula hendak menekan
kebebasan hatimu. Bahkan aku tidak akan mencela kalau engkau jatuh cinta kepada
Han Han, karena memang dia seorang pemuda yang hebat! Aku sendiri amat kagum
kepadanya. Dan aku tidak akan menyangkal lagi bahwa aku jatuh cinta kepada
Lulu, maka akan amat picik dam liciklah kalau aku mencela sumoi jatuh cinta
kepada Han Han. Akan tetapi, keadaanmu berbeda dengan keadaanku, sumoi. Engkau
telah ditunangkan dengan Tan-siucai (Sastrawan Tan) oleh suhu. Engkau tidak
bebas lagi, menjadi calon isteri orang lain! Karena itu, sebagai wakil suhu,
aku peringatkan kepadamu, sumoi, agar engkau selalu ingat akan kenyataan itu
dan jangan menurutkan perasaan hati yang akan menyeretmu ke jalan sesat.!
Tiba-tiba Soan Li bangkit berdiri dan memandang suhengnya
dengan mata penuh kemarahan. ‘Suheng, apakah suheng menilai saya serendah
itu?!
‘Eh, sumoi, apa maksudmu?! Sin Kiat juga bangkit
berdiri, alisnya berkerut.
‘Suheng sendiri mengerti bahwa saya ditunangkan oleh
suhu dan sebagai murid yang tidak mempunyai orang tua lagi, saya harus mentaati
kehendak suhu. Saya belum pernah melihat wajah tunanganku, dan tentu saja saya
tidak mencintanya. Kalau sekarang saya mencinta orang lain, adakah itu
merupakan pelanggaran? Adakah itu merupakan perbuatan atau perasaan sesat? Aku
mencinta Han Han, akan tetapi hal ini hanya merupakan perasaan hati saja.
Jangan suheng mengira bahwa saya akan melupakan kesusilaan, akan melakukan
hal-hal yang rendah dan hina, akan mengkhianati ikatan jodoh yang sudah dilakukan
suhu! Jangan sekali-kali suheng mengira bahwa dengan cinta kasihku ini aku lalu
akan melakukan hal-hal yang sesat!!
Melihat sumoinya berdiri dengan muka kemerahan saking
marah dan penasaran, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan dua butir air
mata seperti dua butir mutiara yang perlahan-lahan menetes turun ke atas kedua
pipinya yang kemerahan menandakan bahwa hatinya terluka dan berduka, Sin Kiat
lalu memegang kedua lengan sumoinya dan berkata.
‘Maafkan aku.... maafkan aku.... sumoi. Sungguh tidak
patut aku mencurigai sumoiku yang bijaksana. Ahh, sumoi, kalau memang
sedemikian kuat pendirianmu, aku pun tidak akan ragu-ragu lagi. Memang
sebaiknya kalau Han Han dibantu, karena tugasnya amat penting. Silakan, akan
tetapi, hati-hatilah, sumoi.!
Soan Li terisak, saking girangnya dan saking terharu
hatinya. Ia menghapus air matanya dan mencengkeram lengan suhengnya.
‘Suheng,! katanya gemetar, ‘terima kasih, suheng.
Akan tetapi berjanjilah jangan sampai rahasia hatiku ini terdengar oleh siapa
pun juga.... akan kusimpan sebagai rahasia.... kubawa mati....!
Melihat sumoinya berkelebat hendak pergi, Sin Kiat
memanggil. ‘Sumoi!! Sumoinya menahan kakinya, menengok.
‘Sumoi, hati-hatilah, sumoi....!!
Soan Li tersenyum manis kepada kakaknya, senyum mulutnya
akan tetapi berlinangan air matanya. Setelah sumoinya pergi, Sin Kiat
termenung. Takkan terlupakan selamanya bayangan wajah sumoinya ketika menengok
tadi, wajah yang tersenyum manis akan tetapi yang diliputi kedukaan besar,
kedukaan yang timbul karena kekecewaan hati, cinta kasih yang takkan dapat
tersampaikan karena gadis itu telah terikat oleh jodoh yang ditentukan oleh
suhu mereka.
Wajah yang manis, akan tetapi betapa menyedihkan senyum
di antara linangan air mata! Berulang kali Sin Kiat menarik napas panjang dan
diam-diam ia menyesal mengapa suhunya menentukan jodoh bagi sumoinya. Ia merasa
yakin bahwa calon suami yang dipilihkan suhunya itu tentulah seorang yang
benar-benar baik, akan tetapi apakah artinya kebaikan seseorang sebagai calon
suami tanpa disertai rasa cinta dari pihak calon isteri?
Sin Kiat mencoba melupakan rasa duka di hatinya itu
dengan menyibukkan dirinya membantu Lauw-pangcu yang mulai mengumpulkan anak
buahnya bahkan dibantu oleh para tamu mengatur jebakan untuk menyambut serbuan
pasukan Mancu.
Tidaklah terlalu sukar bagi Han Han untuk mendapatkan
markas pasukan Mancu yang dicarinya. Markas itu berada di tepi sungai, sebuah
dusun yang penduduknya telah diusir dan kini dusun itu diubah menjadi sebuah
markas yang terjaga kuat. Ketika ia berjalan terpincang-pincang dan berhadapan
dengan puluhan orang tentara penjaga yang segera mengurungnya dengan todongan
golok dan tombak, diam-diam Han Han merasa beruntung bahwa dia membawa surat
perintah rahasia itu untuk dapat bertemu dengan Su-ciangkun. Tanpa surat itu,
biarpun ia sanggup menerobos memasuki markas, namun hal itu tentu saja akan
amat berbahaya mengingat betapa ketatnya penjagaan dan bahwa markas itu tentu
dihuni oleh ribuan orang tentara yang tak mungkin akan dapat dilawannya sendirian
saja.
‘Berhenti! Siapa engkau dan mau apa mendekati benteng
penjagaan?! bentak seorang pemimpin regu yang mengurungnya sambil menodongkan
ujung goloknya di leher Han han.
Han Han bersikap angkuh dan ia menjawab, ‘Jangan
bersikap kurang ajar kalau kalian tidak ingin dihukum oleh Su-ciangkun! Aku
adalah utusan pribadi Puteri Nirahai dari kota raja, membawa surat pribadi
beliau untuk disampaikan kepada Su-ciangkun!!
Ujung golok itu agak menjauhi lehernya, namun pengurungan
masih ketat. Suara kepala regu itupun tidaklah galak lagi ketika bertanya.
‘Hemmm, bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau adalah
utusan dari kota raja? Masa kota raja mengutus seorang.... eh, pincang.... dan
apa tandanya bahwa engkau adalah utusan kota raja?!
Han Han tersenyum di dalam hatinya. Biarpun masih
memperlihatkan keraguan, setidaknya kepala regu ini sudah berhati-hati sehingga
tidak berani menyebutnya buntung, melainkan pincang sungguhpun ia tidak dapat
membeda kan mana yang lebih merendahkan antara sebutan pincang dan buntung,
‘Hemmm, beranikah engkau meragukan utusan Sang Puteri
Nirahai? Tidak tahukah engkau, apa pura-pura tidak tahu bahwa Puteri Nirahai
terkenal mempunyai banyak pembantu orang-orang kang-ouw sebagai
pengawal-pengawal pribadi dan pengawal-pengawal rahasia? Karena sekali ini
Puteri Nirahai mengirim perintah rahasia dan pribadi kepada Su-ciangkun, tentu
saja mengutus seorang di antara pembantu-pembantu pribadinya, dan tidak mengutus
utusan resmi. Mengerti.!?!
Tentu saja para penjaga itu mengenal atau setidaknya
sudah mendengar akan kekuasaan Puteri Nirahai, karena pemimpin pasukan-pasukan
yang bermarkas di situ, Su-ciangkun, adalah anak buah puteri yang amat mereka
kagumi dan hormati itu. Akan tetapi karena Han Han hanya seorang pemuda buntung
yang sama sekali tidak mengesankan, tentu saja mereka pun ragu-ragu apakah
benar orang muda macam ini menjadi utusan pribadi Puteri Nirahai.
‘Maafkan kami kalau engkau betul utusan dari kota raja,
orang muda. Akan tetapi, betapapun juga, kami sebagai petugas-petugas yang
melakukan penjagan, tidak akan berani memperbolehkan orang luar lewat tanpa
lebih dulu yakin bahwa engkau benar-benar utusan dari kota raja.!
‘Hemmm, kalian boleh juga, tahu akan kewajiban sebagai
penjaga-penjaga yang tertib. Nah, sekarang lihatlah ini, apakah engkau masih
ragu-ragu melihat cap dari Sang Puteri?!
Ia mengeluarkan surat bersampul dan memang di baglan
depan sampul itu, di atas kiri terdapat cap dari puteri yang berwarna merah.
Tentu saja sebagian tentara biasa, para penjaga itu selamanya belum pernah
melihat cap sang puteri, hanya mereka merasa malu untuk mengakui kebodohan
mereka. Kepala regu mengangguk-angguk dengan hati bingung, lalu berkata.
‘Baiklah, mari kuajak menghadap Su-ciangkun!!
Dengan hati berdebar Han Han lalu dikawal kepala regu itu
memasuki benteng dan diam-diam ia terkejut melihat banyaknya tentara dengan
perlengkapan yang hebat. Tidak mengherankan kalau pasukan-pasukan Mancu selalu mendapat
kemenangan, kiranya selain bala tentaranya banyak, juga per lengkapan mereka
cukup, dipimpin pula oleh orang-orang pandai.
Dia dibawa memauki sebuah gedung besar di tengah markas
dan juga di sini terdapat penjagaan yang ketat. Setelah melalui lima lapisan
penjagaan yang makin lama makin kuat, akhirnya Han Han dibadapkan pada seorang
perwira Mancu yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan alisnya tebal
sekali. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang benar-benar patut
menjadi seorang pembesar tentara.
Melihat wajah perwira ini, jantung Han Han berdebar dan
terbayanglah segala peristiwa yang ia lihat belasan tahun yang lalu. Tidak
salah lagi, inilah wajah seorang di antara tujuh perwira, wajah yang dulu ikut
tertawa-tawa ketika berpesta di dalam rumahnya, dilayani oleh ayahnya yang
membongkok-bongkok dan merendahkan diri!
Sungguhpun yang memperkosa encinya dan ibunya hanya dua
orang perwira yang ia kenal sebagai Giam Cu yang kini menjadi cihunya, dan Giam
Kok Ma yang kini ia anggap sebagai musuh nomor satu, namun lima orang perwira
lain takkan pernah terlupa olehnya. Lima orang perwira lainnya itupun ikut
bertanggungjawab atas terbasminya keluarga orang tuanya!
Ia menekan perasaan hatinya yang menegang penuh dendam
ketika tiba-tiba perwira tinggi besar itu menegurnya dengan suara parau dan
penuh wibawa.
‘Heh, orang muda yang buntung! Engkau mengaku sebagai
utusan Puteri Nirahai di kota raja! Kalau benar demikian, apa yang ditugaskan
padamu?!
Han Han sadar dari lamunannya dan mendengar pertanyaan
ini, maklumlah ia bahwa kepala regu yang mengawalnya sudah melaporkan kepada
atasannya tanpa ia ketahui karena ia tadi termenung seperti orang mimpi. Segera
ia membungkuk dan menjawab.
‘Benarkah saya berhadapan dengan Su-ciangkun yang
memimpin pasukan untuk melakukan pembersihan di sekitar lembah Huang-ho? Karena
saya membawa perintah pribadi Sang Puteri untuk menghadap Su-ciangkun sendiri,
maka saya tidak mau kalau sampai salah alamat!!
‘Ha-ha-ha-ha! Bukan aku yang mencurigai engkau apakah
betul-betul utusan Sang Puteri, malah engkau yang mencurigai apakah aku
betul-betul Su-ciang kun. Ha-ha-ha, sungguh lucu!! Perwira tinggi besar itu
menepuk--epuk meja dan tiba-tiba mejanya amblas ke dalam lantai bersama kursi
yang didudukinya dan sebelum ia lenyap ke bawah melalui lantai rahasia,
terdengar suaranya,
‘Tangkap dia dan rampas suratnya!!
Han Han terkejut sekali dan ketika ia memandang, ternyata
ia telah dikurung oleh sembilan orang tinggi besar yang memegang golok dan
bersikap mengancam. Diam-diam ia merasa heran. Apakah perwira itu mengenalnya
sebagai utusan palsu? Kalau benar demikian, mengapa tidak sejak tadi ia
ditangkap?
Dan kalau memang benar demikian, mengapa dia dipancing ke
sini lebih dulu kemudian hanya dikurung oleh sembilan orang ini? Mengapa tidak
dikerahkan pasukan besar untuk menangkap atau membunuhnya? Ah, tak mungkin
kalau Su-ciangkun mengetahui bahwa dia adalah seorang utusan palsu. Tentu
perwira yang cerdik ini hendak mengujinya karena memang sudah terkenal bahwa
para pembantu Puteri Nirahai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi.
Teringat ia akan Setan Botak dan tokoh-tokoh aneh lain
yang hadir ketika ia hendak ditangkap oleh Toat-beng Ciu-sian-li dahulu. Ia
lalu tersenyum dan memandang ke sekeliling, kemudian berkata tenang.
‘Apakah kalian begini tak tahu diri hendak mengganggu
utusan Puteri Nirahai? Apakah kalian ini masing-masing memiliki nyawa rangkap?!
Sembilan orang itu saling pandang, kemudian seorang di
antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin menjawab, ‘Kami hanya
melaksanakan perintah Su-ciangkun yang bertanggung jawab dan kalau memang
engkau benar-benar utusan Sang Puteri, tentu tidak akan gentar menghadapi
kami!!
Han Han tertawa derigan hati lega karena yakinlah ia
sekarang bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar hanya mengujinya.
‘Ha-ha-ha! Kalian kira begitu mudah akan merampas surat yang dipercayakan
kepadaku? Surat ini sama dengan nyawaku, kalau kalian akan merampasnya, jangan
harap sebelum dapat membunuhku!!
Bab 32
Tiba-tiba pemimpin itu berseru dan serentak sembilan
orang itu maju menyerang Han Han. Pemuda ini maklum bahwa ia harus mengalahkan
sembilan orang pengeroyoknya, akan tetapi ia tidak boleh terlalu menonjolkan
kepandaiannya agar jangan mengejutkan hati perwira itu yang ia sangka tentulah
mengintai dari tempat rahasia.
Maka ia pun lalu mengerakkan tongkatnya sambil
mengerahkan tenaga, tidak mempergunakan ilmunya gerak kilat. Ia memutar tongkat
menghadapi golok mereka, berpusing pada satu kakinya. Tongkatnya berubah
menjadi segulung sinar yang bagaikan seekor naga melingkar menangkis sembilan
batang golok yang menyerangnya.
Terdengar suara nyaring sekali, sembilan kali
berturut-turut, disusul golok-golok itu beterbangan cepat dan robohlah sembilan
orang itu seorang demi seorang karena sambungan lutut kanan mereka telah
terlepas dicium ujung tongkatnya yang bergerak amat cepat sehingga tak dapat
diikuti pandang mata para pengeroyoknya!
Sembilan orang itu saking heran dan kagetnya tidak sempat
berteriak dan hanya roboh memegangi lutut dan memandang Han Han dengan mata
terbelalak.
Pintu terbuka dari luar dan muncullah Su-ciangkun sambil
tertawa bergelak dan mengangkat ibu jari kanannya tinggi. ‘Ha-ha-ha, bukan
main! Para pembantu pribadi Sang Puteri benar-benar hebat dan sicu merupakan
seorang di antara yang paling hebat! Merobohkan sembilan orang pengawalku dalam
segebrakan saja! Bagaimana mungkin dapat kupercaya kalau tidak menyaksikan
dengan mata sendiri? Hebat.... hebat....!!
Menurut keinginan hatinya, Han Han bernafsu sekali untuk
bergerak membunuh musuh besarnya ini. Akan tetapi dia tidak mau sembrono.
Pertama, ia tidak mau kesalahan tangan. Setelah banyak peristiwa hebat terjadi
karena kesalahan sangka sehingga akibatnya ia membunuhi orang-orang Hoa-san-pai
dan Siauw-lim-pai, kini ia tidak mau bertindak sembrono lagi. Kedua, tempat itu
merupakan tempat yang amat berbahaya karena kalau ia dikurung oleh ribuan orang
tentara, sangatlah sukar untuk menyelaniatkan diri. Maka ia lalu menjura dan
berkata sambil tersenyum.
‘Ciangkun terlalu memuji. Apakah kini ciangkun percaya
bahwa saya adalah utusan pribadi Puteri Nirahai?!
‘Percaya.... percaya....! Hanya kepandaianmu yang
membikin aku percaya, sicu. Kalau bukan pribadi, tentu membawa tanda-tanda dari
pasukannya. Akan tetapi aku sudah tahu akan pembantu-pembantu pribadi Sang
Puteri yang terdiri dari orang-orang aneh. Hanya di antara mereka itu belum
pernah aku mendengar akan seorang pembantu yang..... eh, maaf, yang kakinya
buntung seperti sicu. Aku mengenal Gak-locianpwe....!
‘Maksudmu Kang-thouw-kwi, ciangkun?!
‘Benar, dan masih ada lagi tiga orang murid beliau....!
Perwira itu berhenti sambil memandang muka Han Han. Pemuda ini tahu bahwa
perwira itu lagi-lagi mengujinya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata.
‘Tentu ciangkun maksudkan Hek-giam-ong, Pek-giam-ong,
dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio?!
‘Aha, kiranya sicu telah mengenal pula mereka. Tentu
saja, sebagai pembantu kepercayaan Sang Puteri, sicu tentu mengenal mereka
semua. Kini aku tidak ragu-ragu lagi, marilah kita bicara di dalam, sicu.!
Perwira itu lalu menggandeng tangan Han Han dan diajaknya
pemuda itu memasuki sebuah kamar di dalam gedung itu. Han Han melihat bahwa di
depan tiap pintu dan jendela kamar inipun dijaga oleh belasan orang pengawal,
maka ia menjadi makin berhati-hati lagi.
Kamar itu besar dan megah, di dalamnya terdapat tiga
orang wanita muda yang pakaian suteranya membayatigkan tubuh-tubuh mulus tanpa
pakaian dalam. Mereka itu cantik-cantik dan begitu memasuki kamar, Su-ciangkiin
lalu menyuruh mereka pergi. Tiga orang wanita itu tadinya melempar pandang mata
mesra kepada wajah Han Han yang tampan, akan tetapi ketika melihat ke bawah, ke
arah kaki Han Han yang buntung, mereka membuang muka dan segera berjalan pergi
dengan langkah-langkah lemah gemulai seperti menari, lenyap memasuki kamar lain
melalui sebuah pintu yang tertutup tirai sutera merah.
‘Silakan duduk, sicu. Siapakah nama sicu?!
‘Saya she Suma, ciangkun.! Han Han sengaja menggunakan
nama Suma, nama keturunannya yang asli malah, karena ia khawatir kalau-kalau
perwira ini telah mendengar nama Sie Han.
Agaknya perwira itu tergesa-gesa ingin membaca surat yang
dibawanya, maka tidak menanyakan namanya sehingga legalah hati Han Han yang
tidak perlu membohong dan mencari nama palsu lagi. Ia lalu mengeluarkan surat
bersampul itu dari sakunya, menyerahkan kepada perwira itu.
Perwira itu menerima surat, mengamati tulisan dan capnya,
kemudian membuka sampul dan mengeluarkan suratnya. Setelah membaca surat itu,
wajah perwira itu berseri dan ia menepuk pahanya sendiri.
‘Bagus! Kiranya di sana tempat persembunyian kakek
gembel yang telah lama kucari-cari itu? Hemmm, benar-benar Sang Puteri amat
hebat dan cerdik, sudah dapat mengetahui tempat persembunyiannya. Sekarang ini
akan dapat kuhancurkan sisa-sisa Pek-lian Kai-pang yang sudah banyak membikin
pusing para petugas keamanan! Silakan Suma-sicu kembali ke kota raja dan
melaporkan bahwa kami akan melaksanakan perintah Sang Puteri sebaik-baiknya.
Dan sebaiknya sicu menunggang kuda, akan kuperintahkan menyediakan kuda terbaik
dan bekal secukupnya!!
Akan tetapi Han Han mengangkat tangan kanannya dan
berkata, ‘Tidak, ciangkun. Saya menerima tugas dari Sang Puteri untuk
menyaksikan sendiri sampai perintah itu dilakukan dengan hasil baik, bahkan
saya diperintahkan membantu. Setelah berhasil, baru saya akan kembali ke kota
raja dan menyampaikan pelaporan kepada Sang Puteri.!
‘Begitukah? Bagus sekali!! Perwira itu menjadi girang
dan wajahnya berseri. ‘Dengan bantuan sicu yang gagah perkasa, akan lebih
cepat para pemberontak itu dihancurkan!!
Perwira itu lalu bertepuk tangan dua kali. Masuklah lima
orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Dengan suara keras dan singkat
Su-ciangkun memberi perintah untuk mengeluarkan hidangan.
Han Han merasa sungkan sekali, karena ketika perwira itu
mengajaknya makan minum telah memanggil tiga orang wanita cantik setengah
telanjang tadi dan menyuruh mereka melayani!
‘Ha-ha-ha, jangan sungkan-sungkan, Suma-sicu. Mereka
ini adalah selir-selirku yang bertugas mengawani dan melayaniku di sini. Jangan
sungkan, kalau sicu menginginkan seorang di antara mereka, tunjuk saja!
Ha-ha-ha, aku akan merasa bangga kalau ada selirku yang memenuhi selera seorang
seperti sicu.!
‘Terima kasih, ciangkun. Ti.... tidak.... saya.... saya
amat lelah dan setelah makan akan beristirahat. Perjalanan jauh yang saya
lakukan amat melelahkan. Pula, saya rasa ciangkun akan melakukan persiapan
secepatnya untuk segera menyerbu para pemberontak itu.!
‘Ha-ha-ha-ha! Suma-sicu benar mengagumkan, begini penuh
semangat! Baiklah, kalau sicu ingin beristirahat.! Ia memberi tanda dengan
tangan kepada seorang di antara tiga orang wanita itu. ‘Kau antarkan
Suma-sicu ke kamar tamu sebelah kanan!!
Han Han menjura kepada perwira itu, menyambar tongkatnya
dan terpincang-pincang mengikuti wanita yang berjalan dengan pinggul
menari-nari. Wanita itu membawanya ke sebuah kamar yang indah dan terlalu bersih
bagi Han Han yang semenjak meninggalkan Istana Pulau Es belum pernah memasuki
kamar seindah ini.
‘Saya akan menemani taihiap semalam di sini....! Wanita
itu tersenyum dan membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Karena ia
menjatuhkan diri terlentang, sutera penutup tubuhnya yang memang tidak rapat
itu tersingkap dan tampaklah oleh Han Han kulit paha dan perut yang putih
kuning. Matanya menjadi ‘silau! dan ia memejamkan kedua matanya.
‘Hi-hi-hik.... marilah taihiap.... apakah seorang gagah
perkasa seperti taihiap takut kepadaku? Hi-hik....!! Han Han merasa betapa
kedua lengan wanita itu yang telah bangkit seperti dua ekor ular merayap
melingkari lehernya, tubuh wanita itu menggeser-geser tubuhnya dan bau harum
memasuki hidungnya. Han Han mengeraskan hati dan sekali renggut dan mendorong,
tubuh wanita itu terhuyung ke belakang dan wanita itu menjerit kecil.
‘Maaf....!! Han Han membuka matanya. ‘Aku.... aku mau
tidur sendiri.!
Wanita itu tertawa. ‘Hi-hik, taihiap masih.... masih
jejaka tulen?!
Han Han memandang tajam dan berkata agak ketus,
‘Pergilah, aku mau mengaso!!
Ketika bertemu pandang dengan sinar mata pemuda itu, si
wanita kaget dan seperti seekor anjing dipukul dia tergesa-gesa pergi dari
kamar itu melalui pintu, lupa untuk menggoyang kibulnya seperti biasa!
Hari itu juga Su-ciangkun mengadakan persiapan, memanggil
semua perwira pembantunya dan mengatur rencana untuk mengirim seribu orang
pasukan menyerbu tempat persembunyian Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho.
Han Han yang diberi kebebasan pura-pura ikut pula
melakukan pemeriksaan, bahkan ia lalu membantu untuk melakukan penjagaan dengan
dalih kalau-kalau ada mata-mata musuh yang menyelundup dan mengetahui persiapan
mereka. Su-ciangkun yang sudah mempercayainya tidak menjadi curiga dan Han Han
lalu keluar dari benteng untuk ‘melakukan pemeriksaan! di luar daerah
benteng.
Padahal ia hendak mengenal tempat itu sehingga kalau
sewaktu-waktu ia turun tangan membunuh musuhnya, ia akan mengenal jalan untuk
menyelamatkan diri. Ia mengambil keputusan untuk membiarkan Su-ciangkun
mengirim pasukannya untuk dibasmi oleh Lauw-pangcu yang memasang jebakan,
kemudian dengan alasan ikut pula menyerbu, ia akan mempunyai banyak kesempatan
‘membereskan! musuh besarnya itu.
Hari telah menjadi malam ketika Han Han berjalan-jalan di
luar benteng tanpa dicurigai para penjaga yang kini menganggapnya sebagai
seorang utusan kota raja yang menjadi tamu Su-ciangkun, dan bahkan pemuda yang
kabarnya amat lihai itu akan membantu pula penyerbuan sarang pemberontak.
Tiba-tiba Han Han melihat berkelebatnya bayangan orang di
antara pohon-pohon di luar benteng. Pandang matanya yang tajam dapat melihat
bahwa bayangan itu adalah orang yang tidak ingin dilihat penjaga. Cepat ia
menengok ke kanan kiri dan setelah merasa yakin tidak ada penjaga yang
melihatnya, ia menggunakan kepandaiannya mencelat ke tempat itu, menyelinap di
antara gerombolan pohon, mencelat ke atas dan tampaklah olehnya bayangan hitam
berindap-indap di antara batang-batang pohon. Bagaikan seekor burung garuda
menyambar, tubuhnya menukik ke bawah, ke arah bayangan itu.
Sebatang pedang yang berkilauan sinarnya menyambut
tubuhnya. Han Han cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan yang memegang
pedang sambil berbisik,
‘Sssttttt, aku Han Han, Nona Lu....!!
Lu Soan Li, bayangan itu, kaget bukan main. Kaget karena
hampir saja pedangnya melukai atau membunuh orang yang hendak dilindunginya!
Juga ia amat kagum, bahkan tidak mengerti bagaimana pergelangan tangannya
sampai dapat ditangkap oleh orang yang diserangnya itu. Kagum betapa setelah
kakinya buntung, agaknya Han Han kini malah memiliki kelihaian yang amat luar
biasa!
‘Han-twako.... kau.... ahhh, betapa gelisah hatiku
setengah hari lamanya, aku berkeliaran di sini, tidak tahu harus berbuat
bagaimana untuk mendengarkan hasil kunjunganmu ke sarang harimau itu!! kata
Soan Li sambil menyimpan pedangnya, setelah menarik napas lega melihat bahwa
orang yang dijadikan kenangan ternyata selamat.
‘Nona, kenapa engkau bisa berada di sini? Mengapa
engkau.... eh, agaknya menyusulku....?!
‘Aku.... mengkhawatirkan keadaanmu, twako. Dan aku
ingin.... ingin membantumu....!
Han Han memandang muka yang ditundukkan itu. Cuaca sudah
gelap, akan tetapi ia masih dapat melihat muka tunduk itu di bawah sinar
bintang-bintang yang memenuhi langit biru. Heran dia mengapa nona ini susah
payah hendak melindunginya? Ingin ia menegur, akan tetapi melihat gadis itu
menundukkan muka dan bersikap seperti seorang anak kecil takut dimarahi, ia
tidak tega untuk menegur, hanya berkata.
‘Ah, kenapa Sin Kiat membiarkan engkau menempuh bahaya
ini? Kedatanganmu ini amat berbahaya, Nona.!
‘Apakah kunjunganmu ke benteng itu tidak kurang
berbahaya?!
Han Han menghela napas. ‘Nona, aku telah berhasil
bertemu dengan Su-ciangkun. Besok pagi-pagi pasukan terdiri dari seribu orang
akan diberangkatkan ke sana untuk menyerbu. Lebih baik malam ini juga Nona
kembali ke sana memberi kabar kepada Lauw-pangcu. Aku akan pura-pura ikut
menyerbu. Kembalilah....!
‘Akan tetapi.... apakah.... apakah amat yakin hatimu
bahwa engkau tidak.... tidak akan terancam bahaya di sana....?! Bertanya
demikian, saking khawatirnya, Soan Li sampai lupa diri dan kedua tangannya
memegang lengan Han Han.
Han Han merasa betapa dari jari-jari tangan itu tersalur
getaran-getaran aneh. Jantungnya berdebar. Apa pula ini? Mengapa gadis ini
begini mengkhawatirkan keselamatannya sehingga melupakan keselamatan diri
sendiri? Apakah yang terjadi dalam hati nona ini? Seperti mimpi, tanpa ia
sadari, mulutnya mengeluarkan bisikan hatinya yang penuh dugaan dan pertanyaan.
‘Lu-siocia, mengapa tanganmu gemetar....?!
Soan Li yang mendengar ini seperti didongkel isi hatinya,
jari-jari tangannya malah mencengkeram lengan Han Han dan suaranya terdengar
penuh perasaan dan gemetar!
‘Twako.... Han-twako, aku.... amat khawatir kalau-kalau
engkau akan celaka....!
Han Han tertawa. Teringat ia akan adiknya, Lulu. Dalam
keadiaan gelap, ia merasa seolah-olah gadis ini adalah Lulu. Bentuk tubuhnya
hampir sama, dan harum rambutnya sama dengan harum rambut Lulu, suaranya juga
hampir sama menggetarkan kekhawatiran dengan perhatian sepenuhnya atas
keselamatan dirinya. Karena teringat kepada Lulu, Han Han merasa terharu sekali
dan mengangkat kedua tangan, ditaruhnya kedua tangan ke atas pundak Soan Li dan
berkata dengan suara halus.
‘Adikku yang baik, jangan engkau mengkhawatirkan
aku....!!
Han Han terkejut sekali karena tiba-tiba gadis itu
terisak dan ia merasa betapa muka itu menimpa dadanya, dan bajunya menjadi
basah oleh air mata yang menembus ke kulit dadanya! Sejenak ia tertegun,
terharu dan tangannya mengusap rambut yang halus itu. Kemudian ia teringat
bahwa bukan Lulu yang dielus rambutnya, melainkan Lu Soan Li, Hoa-san Kiam-li!
Ia menurunkan tangannya dan bertanya.
‘Nona Lu.... mengapa kau....?!
Soan Li menahan napas, menahan tangis, kemudian
merenggangkan tubuhnya.
‘Twako.... aku.... aku.... akan merasa sengsara sekali
kalau kau sampai celaka.... hati-hatilah, twako....!! Tubuhnya lalu berkelebat
dalam gelap dan ia lenyap dari depan Han Han ditelan kegelapan malam. Sampai
lama Han Han berdiri termenung di tempat itu, mengerutkan keningnya dan tiada
habisnya mengherankan sikap gadis itu.
Karena ia benar-benar tidak mengerti dan tidak dapat
menduga apa yang menyebabkan Soan Li berhal seperti itu, menangis di dadanya
dan mengucapkan kata-kata seperti itu, ia menggaruk-garuk rambut kepalanya.
Mimpikah dia? Dirabanya bajunya. Masih basah oleh air mata gadis itu. Soan Li
telah menangis karena mengkhawatirkan keselamatannya!
Betapa mungkin ini? Terbayanglah ia akan wajah Sin Lian.
Tak salah lagi, Sin Lian mencintanya, Seperti Kim Cu. Ahhh, Kim Cu, Sin Lian,
dan Soan Li! Tiga wajah gadis jelita itu berganti-ganti terbayang di depan
matanya, membuat Han Han menjadi bingung dan pandang matanya kabur, kepalanya
pening. Ia cepat-cepat membalikkan tubuhnya kembali ke benteng. Lebih baik
menghilangkan kebingungan ini dengan tidur nyenyak, untuk menghadapi peristiwa
besok pagi. Besok ia akan membunuh Su-ciangkun, akan tetapi ia harus mendapat
kepastian lebih dulu bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar seorang di
antara tujuh orang perwira yang menjadi musuh besarnya.
Soan Li berlari di malam gelap sambil masih terisak-isak.
Hatinya penuh dengan dua macam perasaan, bahagia dan juga berduka. Han Han
mencintanya! Terasa oleh hatinya, ketika tangan pemuda itu terletak di atas
kedua pundaknya, ketika jari-jari tangan itu mengelus rambutnya. Dan dia,
biarpun tanpa kata-kata, telah memperlihatkan rasa cintanya terhadap pemuda
itu. Matanya terasa panas ketika ia teringat akan hal ini. Ia merasa malu
sekali.
Ah, malu apa? Biarlah! Memang demikian kenyataan hatinya.
Dia mencinta Han Han! Biarpun takkan mungkin dia menyambung cinta kasihnya
dengan perjodohan, biarpun dia akan menjadi isteri orang lain, hanya tubuhnya
saja yang terpaksa ia serahkan kepada suami pilihan gurunya. Akan tetapi hati
dan kasih sayangnya telah ia serahkan kepada Han Han!
Soan Li menjatuhkan diri di bawah pohon. Duduk bersandar
pohon, mengenang semua peristiwa tadi. Peristiwa yang takkan ia lupakan selama
hidupnya. Biarlah, selagi masih jelas terukir di lubuk hatinya, selagi sentuhan
tangan Han Han pada pundak dan rambutnya masih terasa hangat, selagi air
matanya yang tadi membasahi dada pemuda itu kini masih ada sisanya, biarlah ia
mengenangkan saat-saat bahagia itu. Gadis itu tersenyum penuh kebahagiaan, akan
tetapi air matanya terus mengalir.
Tak lama kemudian ia meloncat bangun dan melanjutkan
perjalanannya. Ia teringat akan tugasnya. Dia harus segera melapor kepada
Lauw-pangcu agar dapat melakukan persiapan sebaiknya. Musuh akan menyerbu,
berangkat besok pagi. Seribu orang banyaknya!
Karena malam gelap dan perjalanan itu melalui hutan-hutan
di sepanjang tepi Sungai Huang-ho, Soan Li tidak dapat mempergunakan lari
cepatnya. Ia berjalan dengan cepat menyusuri sungai. Baru nanti menjelang pagi
ia akan tiba di sarang Pek-lian Kai-pang. Namun belum terlambat. Pasukan musuh
baru akan berangkat besok pagi, tentu akan menyerbu besok sore.
Lewat tengah malam, selagi gadis ini berjalan dekat
sungai, tiba-tiba ia melihat dua buah perahu mendarat. Ia menjadi curiga,
apalagi ketika melihat betapa orang-orang yang berloncatan keluar dari dua buah
perahu itu amat gesit dan ringan tubuhnya. Cepat ia menyelinap di antara pohon
dan mendekati mereka.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat orang
terakhir yang keluar dari perahu adalah Ma-bin Lo-mo! Ouw Kian si Muka Bopeng
juga berada di situ, bersama seorang yang mukanya seperti tengkorak dan seorang
hwesio bertubuh gemuk. Dia menduga-duga. Apakah Ma-bin Lo-mo dan
pembantu-pembantunya itu akan menyerbu pula ke benteng?
Biarpun Ma-bin Lo-mo terkenal seorang pejuang pula, akan
tetapi teringat akan sikapnya ketika menghadiri perayaan ulang tahun
Lauw-pangcu, Soan Li menganggapnya sebagai musuh dan ia merasa lega bahwa kakek
lihai itu muncul terakhir sehingga kehadirannya di situ tidak diketahui orang.
Kalau Ma-bin Lo-mo yang meloncat ke darat lebih dulu, besar bahayanya
kedatangannya mendekat akan diketahui oleh tokoh In-kok-san itu. Dari perahu ke
dua muncul belasan orang berpa kaian.... pengawal Mancu! Soan Li memandang dengan
jantung berdebar. Apa artinya ini? Ma-bin Lo-mo datang bersama belasan pengawal
Mancu? Sungguh aneh dan mencurigakan.
‘Siangkoan-locianpwe, ada keperluan apakah locianpwe
memanggil saya dan Kek Bu Hwesio di tengah malam begini dan ke mana kita hendak
pergi?! Si Muka Tengkorak bertanya kepada Ma-bin Lo-mo.
‘Dan mereka itu.... kenapa berada di sini bersama
locianpwe?! tanya pula hwesio gemuk.
‘Hemmm.... kalian belum mengerti. Telah terjadi
perubahan hebat sekali di kalangan para pejuang. Mereka itu telah menyeleweng
dan malah membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi! Aku melihat perubahan besar.
Kekuasaan Mancu seperti munculnya matahari yang tak terkalahkan, dan sebaliknya
pertahanan Bu Sam Kwi memperpanjang perang dan menyusahkan banyak rakyat. Sudah
tiba waktunya kita berganti haluan dan berlaku cerdik. Aku menerima tawaran
Kang-thouw-kwi dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk membantu pemerintah
menghancurkan Se-cuan.!
‘Omitohud....!! Hwesio itu berkata lirih.
‘Apa!? Siapa tidak setuju dan siapa tidak suka
membantuku?!
‘Ohhh, tidak.... tidak.... pinceng setuju dan suka
membantu.!
‘Saya pun akan membantu dan selalu siap mengikuti jejak
locianpwe,! kata Si Muka Tengkorak.
‘Nah, dengarlah baik-baik. Pasukan ini membawa pesan
dari Su-ciangkun, yaitu komandan yang bertugas di daerah ini, untuk memanggil
aku karena di markas itu muncul seorang mata-mata musuh.!
‘Siapa....?! tanya Si Hwesio Gemuk.
‘Bocah buntung terkutuk itu. Han Han!!
‘Eh, bukankah dia dahulu yang kita bakar di kapal....?!
Si Muka Tengkorak bertanya.
‘Tidak ada waktu untuk bercerita panjang. Bocah itu
telah mehyelundup ke dalam benteng dan mengingat bahwa dia kini lihai bukan
main, kita harus menyergapnya, dan menurut perintah Su-ciangkun, harus dapat
kita tangkap hidup-hidup untuk memaksa pihak pemberontak agar suka menakluk.
Hayo kita berangkat!!
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Soan Li yang
mendengarkan semua ini. Tanpa berpikir panjang lagi gadis itu lalu melesat
pergi untuk cepat-cepat kembali ke benteng. Dia harus memberi tahu Han Han.
Dengan cara apa pun juga. Ternyata, entah bagaimana caranya, rahasia Han Han
telah diketahui musuh! Betapa lihainya musuh!
‘Heiii.... siapa itu? Kejar!! Ma-bin Lo-mo yang
berpendengaran tajam dan bermata jauh lebih awas daripada yang lain, sudah
melihat berkelebatnya bayangan Soan Li dan langkah kaki gadis itu. Dia cepat
mengejar, diikuti oleh tiga orang pembantunya dan para pengawal pasukan yang
sudah mendaratkan kuda mereka. Empat ekor kuda disediakan untuk Ma-bin Lo-mo
dan para pembantunya. Terdengarlah derap kaki belasan ekor kuda yang melakukan
pengejaran.
Soan Li juga mendengar derap kaki kuda yang makin lama
makin jelas. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan berlari secepat mungkin. Dia
harus mendahului mereka tiba di benteng!
Dia akan mengamuk sehingga Han Han yang mendengar
amukannya akan keluar dan akan mendengar peringatannya. Han Han harus
diselamatkan. Kalau ia terlambat, celakalah pemuda itu!
Betapapun lihainya Han Han, tidak mungkin dapat melawan
Ma-bin Lo-mo, apalagi masih ada empat orang pembantunya dan para pengawal,
ditambah ribuan orang tentara di dalam benteng. Dia harus berlari cepat. Nyawa
pemuda yang dicintanya itu tergantung pada kekuatan kedua kakinya berlari!
Di dalam tubuh setiap orang manusia memang terdapat
kekuatan yang maha dahsyat, yang gaib dan sukar diukur oleh akal manusia.
Kekuatan maha dahsyat ini kadang-kadang timbul di luar kesadaran, agaknya
selalu bersembunyi di bawah sadar.
Timbul apabila si manusia berada dalam keadaan tak sadar
oleh perasaan yang menghimpitnya. Orang yang berduka hebat kadang-kadang dapat
bertahan untuk berpuasa sampai berbulan-bulan yang takkan mungkin dapat
tertahan tubuh seorang manusia dalam keadaan biasa. Seorang yang sedang
ketakutan hebat kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang ajaib seperti
mengangkat benda yang beberapa kali lipat lebih daripada daya kekuatan
tubuhnya, dapat melompat jauh lebih tinggi daripada kemampuannya dalam keadaan
biasa.
Demikian pula dengan Soan Li. Gadis ini sebagai murid
Im-yang Seng-cu, memang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki
sin-kang kuat dan gin-kang yang hebat sehingga memungkinkan dia lari cepat
sekali. Akan tetapi, dalam keadaan penuh kekhawatiran, ketegangan seperti saat
itu, kekuatan maha dahsyat yang mukjizat itu timbul di luar kesadarannya
sehingga membuat kecepatan larinya menjadi berlipat ganda apabila dibandingkan
dengan kemampuannya yang biasa. Bahkan kejaran kuda yang dibalapkan itu masih tidak
mampu menyusulnya!
Setelah malam terganti pagi, sinar matahari mulai muncul
mendahului mataharinya sendiri, Soan Li telah lari mendekati benteng. Peluhnya
membasahi seluruh pakaiannya, napasnya terengah-engah dan kini Ma-bin Lo-mo
bersama tiga orang pembantunya yang sudah meninggalkan kuda, sudah amat dekat
di belakangnya.
‘Berhenti....!! Ma-bin Lo-mo berteriak. ‘Kau adalah
gadis yang kemarin dulu berada di rumah Lauw-pangcu!
Soan Li maklum bahwa kalau ia sampai tersusul, ia akan
celaka. Akan tetapi hal ini sama sekali tidak menggelisahkan hatinya. Yang amat
menggelisahkan hatinya adalah bahwa kalau dia terpegang oleh Ma-bin Lo-mo,
berarti Han Han akan celaka! Maka ia lalu mengerahkan tenaganya dan melompat
jauh ke depan. Biarpun Ma-bin Lo-mo suaranya terdengar dekat, namun sebenarnya
masih agak jauh.
‘Berhenti, kalau tidak pinceng terpaksa merobohkanmu!!
terdengar pula bentakan dari belakang. Akan tetapi Soan Li berlari terus, tidak
mempedulikan teriakan-teriakan di belakangnya.
Pada saat itu, pintu benteng terbuka dan muncullah
sepasukan tentara Mancu didahului oleh dua ekor kuda yang ditunggangi oleh
Su-ciangkun sendiri dan Han Han, di samping tentara yang memegang bendera
kebesaran Su-ciangkun.
Han Han....!! Jerit suara Soan Li melengking amat
nyaringnya. Akan tetapi terdengar bentakan dari belakangnya.
‘Robohlah, bocah keras kepala!!
Serangkum tenaga yang amat dahsyat menyambar dari
belakang. Soan Li yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, maklum bahwa
Ma-bin Lo-mo menyerangnya dengan pukulan sin-kang, pukulan jarak jauh yang amat
kuat. Cepat ia mengelak dengan meloncat ke samping, akan tetapi tetap saja hawa
pukulan Swat-im Sin-ciang menyerempetnya dan ia terhuyung-huyung, merasa betapa
tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi dingin sekali. Pada saat tubuhnya terhuyung
itu, terdengar teriakan Han Han.
‘Soan Li....!!
‘Han Han.... awas.... tertipu....!!
‘Syut-syut-syut-ser-ser-ser....!! Ketika tangan Kek Bu
Hwesio, yaitu hwesio gemuk yang menjadi pembantu Ma-bin Lo-mo bergerak, belasan
batang panah tangan telah beterbangan menyambar ke arah tubuh Soan Li dari
belakang. Memang hwesio yang menjadi pelarian Kong-thong-pai ini memiliki
keahlian mempergunakan panah tangan.
Soan Li sedang terhuyung dan perhatiannya tertarik kepada
Han Han, maka biarpun ia berusaha melempar tubuh mengelak, tetap saja ada enam
batang anak panah mengenai tubuhnya, menancap di pundak, punggung dan lengan.
‘Aduhhhhh....! Han Han.... Han-twako.... awas....!!
‘Soan Li....!! Han Han sudah sejak tadi mencelat dari
atas kudanya dan dengan kecepatan luar biasa sekali tubuhnya berloncatan ke
depan sehingga dalam beberapa detik saja ia sudah tiba di tempat itu. Namun
terlambat. Dengan mata terbelalak pemuda ini melihat betapa tubuh Soan Li penuh
dengan anak panah dan dara ini merangkak ke arahnya dengan tangan terulur ke
depan dan bibir mengeluarkan kata-kata.
‘Han Han.... mereka akan membunuhmu.... kau
terjebak....!!
Akan tetapi Han Han tidak mendengarkan lagi ucapan gadis
itu. Tongkatnya sudah bergerak seperti kilat menyambar ke arah Ma-bin Lo-mo dan
hwesio yang hanya gundul kepalanya akan tetapi di tengkuknya tumbuh rambut,
jenggotnya seperti jenggot kambing dan kumisnya melingkar itu. Kek Bu Hwesio
meloncat ke belakang, lalu melepas anak panah ke arah Han Han, sedangkan Ma-bin
Lo-mo cepat mengelak.
Akan tetapi dengan gerakan tongkatnya, Han Han berhasil
meruntuhkan semua anak panah dan melihat betapa tubuh Soan Li penuh anak panah,
kemarahannya meluap ke arah hwesio itu dan tubuhnya secara tiba-tiba sudah
mencelat ke depan Kek Bu Hwesio. Ma-bin Lo-mo mendengus dan menerjang dengan
pukulan Swat-im Sin-ciang. Akan tetapi dengan tangan kirinya Han Han menangkis.
‘Desss!! Tubuh Ma-bin Lo-mo mencelat sampai hampir
sepuluh meter. Kakek ini berjungkir-balik dan matanya terbelalak saking heran
dan gentarnya. Han Han sudah menggerakkan tangannya dan ketika itu ada serangan
dari belakang, yaitu serangan pedang yang dilakukan oleh Ciuw Kian dan serangan
pecut besi di tangan Swi Coan si Muka Tengkorak, dua orang pembantu Ma-bin
Lo-mo.
‘Haiiiiittttt!! Han Han menggerakkan tongkatnya ke
belakang, cepat sekali sampai tak dapat diikuti pandangan mata.
‘Prakk! Prakkk!! Tanpa dapat mengeluh lagi Ouw Kian dan
Swi Coan roboh dengan kepala pecah!
Kek Bu Hwesio sudah dapat melompat mundur dan enam orang
pengawal yang berkuda sudah datang menerjang. Han Han mengamuk. Tongkatnya
bergerak sedemikian rupa sehingga enam orang pengawal itu mencelat dengan tubuh
remuk, tiga ekor kuda roboh akan tetapi tongkat Han Han tertinggal di perut
kuda terakhir!
Dia terpaksa melepaskan tongkatnya karena pada saat itu,
belasan batang anak panah yang dilepas Kek Bu Hwesio datang menyambar. Dengan
kedua tangan kosong Han Han menangkap belasan batang anak panah lalu kedua
tangannya bergerak. Terdengar teriakan-teriakan ketika belasan orang pengawal
roboh dan beberapa ekor kuda roboh pula terkena anak panah yang dilontarkan Han
Han.
Kini sekali kakinya mengenjot tanah, tubuhnya sudah
menyambar ke depan, tahu-tahu jubah depan Kek Bu Hwesio sudah ia cengke ram
dengan tangan kiri.
‘Han Han.... Twako.... awas.... larilah....!!
Han Han menoleh dan melihat betapa Soan Li
merangkak-rangkak ke arahnya, dan kini menyentuh lututnya, tak tertahankan lagi
air matanya bercucuran. Gadis itu, dalam keadaan hampir mati, masih saja
memikirkan keselamatannya!
Dengan kemarahan meluap, ketika pada saat itu ada seekor
kuda yang ditunggangi seorang pengawal meloncat hendak menubruk, Han Han
menggunakan tangan kanan menampar ke arah perut kuda.
‘Bukkk!! Kuda meringkik, terlempar ke udara bersama
penunggangnya dan terbanting roboh menindih penunggangnya yang mati seketika
karena tulang punggungnya patah.
‘Jahanam engkau.... penjahat berpakaian pendeta....!!
Mulut Han Han mendesis, kedua matanya bercucuran air mata dan ia membanting
tubuh hwesio itu ke atas tanah.
‘Prokk!! Hwesio itu tewas dengan kepalanya hancur tidak
merupakan kepala lagi.
‘Han-twako....!! Soan Li mengeluh. ‘Larilah....!!
‘Soan Li.... ah, Soan Li....!! Han Han menyambar tubuh
gadis itu, dipanggulnya dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas, ketika turun,
kakinya menendang roboh dua orang pengawal.
‘Tangkap.... kepung....!! Terdengar suara Ma-bin Lo-mo
yang juga mengejar sungguhpun ia terbelalak menyaksikan sepak terjang pemuda
itu. Betapa mungkin pemuda buntung itu menjadi sedemikian lihainya setelah
kakinya buntung?
Han Han menangkap seorang pengawal dengan sebelah tangan
dan melontarkannya ke arah Ma-bin Lo-mo yang mengejarnya. Terpaksa kakek ini
mengelak, akan tetapi Han Han sudah merobohkan lagi empat orang pengawal yang
berani membayanginya dan melihat keganasan sepak terjang pemuda buntung itu,
para perajurit menjadi gentar. Han Han terus melompat dan mengerahkan ilmu yang
ia pelajari dari Khu Siauw Bwee sehingga tubuhnya yang memang gul tubuh Soan Li
itu sebentar saja mencelat berulang-ulang, makin jauh dan lenyap dari situ!
‘Kejar....! Tangkap....!!
Entah mulut siapa yang berteriak-teriak ini, terlalu
banyak. Dan mereka memang mengejar, akan tetapi karena hati telah menjadi
gentar, tidak ada yang mendahului kawan dan pengejaran itu sia-sia belaka.
Dengan air mata bercucuran, Han Han merebahkan tubuh Soan
Li ke atas rumput setelah mencabuti anak panah yang menancap di bagian belakang
tubuh gadis itu. Akan tetapi Soan Li rebah tak bergerak, mukanya pucat, seluruh
pakaiannya berlumuran darah, kedua matanya meram.
‘Soan Li....! Soan Li.... ah, Soan Li!! Han Han menangis
dan mengguncang tubuh itu, seolah-olah hendak memanggil kembali nyawa yang
sudah hampir meninggalkan raga itu.
Soan Li membuka kedua matanya, memandang Han Han dan....
tersenyum! Senyum ini merupakan tangan maut sendiri yang merenggut jantung Han
Han.
‘Soan Li....! Mengapa engkau mengorbankan diri
untukku....?!
‘Han.... Twako.... syukur engkau selamat.... hatiku
puas....!
‘Soan Li! Soan Li.... kenapa engkau begini....? Apa
kaukira aku akan bahagia melihat engkau mati karena hendak menyelamatkan aku?
Soan Li.... kau tidak boleh mati hanya untuk aku....!! Han Han seperti orang
gila, mengguncang-guncang tubuh gadis itu yang sudah memejamkan mata kembali.
Soan Li membuka mata untuk kedua kalinya dan pandang mata
gadis itu persis pandang mata Kim Cu, persis pandang mata Sin Lian. Begitu
mesra! Han Han menangis, mengguguk. Tak mampu ia bicara lagi.
‘Han-twako.... aku bahagia.... aku.... aku cinta
padamu, Han-twako....!
‘Soan Li....!!
Mulut gadis itu megap-megap seperti ikan dilempar ke
darat. Han Han menjerit, lalu menutup mulut gadis itu dengan mulutnya sendiri,
seolah-olah ia ingin menyambung nyawa gadis itu, ingin menambah napas gadis itu
dengan napasnya.
‘Han-twako....! gadis itu mengeluh dan Han Han seperti
merasa betapa napas terakhir terhembus dari mulut itu memenuhi dadanya sendiri
dan ia tergelimpang, pingsan sambil memeluk Soan Li!
Tentu saja Han Han sama sekali tidak tahu bahwa siasat
yang diaturnya bersama Lauw-pangcu itu sebetulnya telah diketahui semua oleh
pihak Mancu! Dua orang utusan yang dibunuhnya dan dirampas suratnya, adalah
utusan dari Puteri Nirahai. Puteri ini memiliki kecerdikan yang luar biasa,
maka tentu saja ketika mengirim utusan kepada Su-ciangkun untuk membawa
perintah sepenting itu, Puteri Nirahai tidak mau bertindak sembrono.
Setengah hari setelah dua orang utusan pertama itu
berangkat dia mengirim utusan ke dua yang bertugas menyelidiki apakah perintah
yang dibawa utusan pertama itu telah tiba di markas Su-ciangkun dengan selamat.
Tentu saja utusan ke dua ini menemukan mayat dua orang
kawannya di tengah jalan maka cepat ia melanjutkan perjalanan ke markas
Su-ciangkun. Ketika ia menyampaikan laporan tentang terbunuhnya utusan dari
kota raja dan lenyapnya surat perintah, saat itu Han Han sedang mengunjungi
Lauw-pangcu.
Demikianlah, ketika Han Han muncul di markas itu mengaku
sebagai utusan Puteri Nirahai, tentu saja Su-ciangkun sudah tahu bahwa pemuda
buntung itu sebetulnya adalah mata-mata pemberontak yang membunuh utusan kota
raja dan merampas surat perintah.
Ketika Han Han menyerahkan surat perintah itu kepadanya
dan ia membaca isinya yang tulen, Su-ciangkun sebagai seorang perwira perang
mengerti bahwa pihak pemberontak menggunakan surat perintah itu untuk mengatur
jebakan. Dia lalu sengaja mencoba ilmu kepandaian Han Han, terkejut menyaksikan
kelihaian pemuda buntung itu, maka ia menerimanya dengan baik akan tetapi
diam-diam ia mengirim utusan untuk memanggil Ma-bin Lo-mo agar dengan bantuan
orang sakti itu, pemuda buntung yang lihai ini dapat ditangkap dalam keadaan
hidup. Dia ingin menggunakan pemuda buntung itu untuk memaksa para pemberontak
agar suka menyerah tanpa perang.
Dan mengapa Ma-bin Lo-mo yang terkenal sebagai seorang
pejuang itu tiba-tiba bersekutu dengan perwira Mancu? Mengapa pula dia mau
diundang oleh pasukan utusan Su-ciangkun, dan datang menunggang perahu, bahkan
mengajak pula tiga orang pembantunya untuk membantu pasukan Mancu?
Hal ini sebetulnya sudah terjadi jauh sebelum Ma-bin
Lo-mo mendatangi tempat tinggal Lauw-pangcu. Jauh sebelum itu, Ma-bin Lo-mo
telah bertukar haluan, diam-diam ia telah membalik dan membantu Kerajaan Mancu.
Hal ini tadinya ia lakukan secara terpaksa sekali karena tekanan yang dilakukan
Kang-thouw-kwi Gak Liat sesuai dengan rencana yang diatur oleh Puteri Nirahai.
Gak Liat telah menemui Ma-bin Lo-mo dan membujuk Iblis
Muka Kuda ini untuk bekerja sama membantu Kerajaan Ceng dan menghancurkan
pertahanan Bu Sam Kwi di Se-cuan. Tentu saja Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang
dahulu pernah menjadi seorang menteri di Kerajaan Beng, menolak dan memaki-maki
Gak Liat.
‘Setan Botak tak tahu malu!! Demikian jawabnya.
‘Engkau telah melupakan bangsa dan mengekor kepada bangsa Mancu, itu adalah
urusanmu sendiri. Mengapa engkau membujuk-bujuk aku? Kalau aku tidak sudi,
engkau mau apa? ‘Hemmm.... Hwi-yang Sin-ciang darimu itu sama sekali tidak
membuat aku takut!!
‘Ha-ha-ha-ha, Si Kuda Iblis sombong sekali bicaramu!!
Kang-thouw-kwi Gak Liat memaki dan tertawa mengejek. ‘Siapakah tidak tahu
bahwa Siangkoan Lee dahulu adalah seorang menteri Kerajaan Beng? Akan tetapi
siapa pula tidak tahu bahwa Menteri Siangkoan Lee menjadi rusak namanya karena
selain tukang merampas anak bini orang, tukang merampas harta dan tanah ladang,
juga tukang korupsi besar-besaran?!
‘Setan Botak mau mampus! Mulutmu sama busuknya dengan
hatimu! Mari kita tentukan siapa yang lebih unggul di antara kita!!
Melihat Ma-bin Lo-mo sudah dapat dibikin panas hatinya
dan hendak menyerang, Gak Liat cepat berkata, ‘Tahan dulu! Sama sekali aku
tidak takut kepadamu, kuda iblis! Akan tetapi sayang kalau kau mampus sekarang,
tenagamu masih amat dibutuhkan pemerintah. Sekarang kau boleh pilih, membantu
pe merintah Ceng ataukah engkau mati dikeroyok murid-muridmu sendiri?!
‘Hahhh? Apa maksudmu, Setan Botak keparat?!
Gak Liat tertawa. ‘Ma-bin Lo-mo, marilah kita bicara
sebagai orang-orang tua yang sudah matang pikirannya. Aku tahu, juga pemerintah
bahwa engkau berjuang untuk dirimu sendiri. Engkau bercita-cita mengalahkan
Pemerintah Ceng agar engkau dapat membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah
runtuh dan engkau akan menjadi kaisarnya! Hemmm, boleh saja bercita-cita
mengejar kemuliaan, akan tetapi jangan terlampau tinggi. Engkau mimpi di siang
hari. Lebih baik engkau mengabdi kepada Kerajaan Ceng dan engkau tentu akan
menikmati kemuliaan dan kedudukan yang cukup tinggi, sesuai dengan
kepandaianmu. Pemerintah Ceng pandai menghargai orang. Kalau engkau menolak,
murid-muridmu yang menjadi pasukan In-kok-san akan tahu siapa sebetulnya yang
membasmi keluarga mereka!!
Wajah Ma-bin Lo-mo berubah. Ia pura-pura tidak mengerti
dan memaki lagi, ‘Gak Liat, apa artinya ucapanmu itu?!
‘Wah, engkau masih pura-pura lagi, Siangkoan Lee?
Engkau bermaksud membentuk pasukan yang kuat, terdiri dari murid-muridmu di
In-kok-san. Untuk keperluan itu, engkau memilih banyak bocah yang berbakat,
diam-diam kaubunuh keluarga mereka dan kaukatakan bahwa orang Mancu yang
membunuh, sehingga engkau menanamkan benih kebencian di hati para muridmu
terhadap Pemerintah Mancu agar kelak dapat kaupergunakan tenaga mereka untuk
membantu kau mencapai cita-citamu....!!
Wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat. ‘Setan....! Cukup,
tak perlu membuka mulut lagi. Katakan, apa kehendakmu?!
‘Aku hanya melakukan tugas yang diperintahkan Puteri
Nirahai.!
‘Hemmm, apa kehendaknya?!
‘Tidak lain, kau diminta untuk bekerja sama, membantu
pemerintah untuk menghancurkan para pemberontak, terutama sekali pemberontak Bu
Sam Kwi di Se-cuan. Untuk jasa-jasamu, tentu kaisar tidak akan melupakan dan
kelak kita tentu akan menikmati hari tua yang mulia dan terhormat.!
Demikianlah, siasat yang dijalankan oleh Gak Liat atas perintah
Puteri Nirahai itu berhasil baik. Ma-bin Lo-mo membujuk murid-muridnya yang
berjumlah hampir seratus orang untuk membalik dan membantu Pemerintah Mancu.
Tentu saja sebagian besar muridnya tidak sudi karena bukankah kduarga mereka
terbasmi habis oleh orang-orang Mancu? Mereka yang tidak mau mengikuti jejak
guru mereka lalu meninggalkan In-kok-san dan sebagian menggabung pada para
pejuang. Banyak pula yang lari ke Se-cuan untuk membantu Bu Sam Kwi mengadakan
perlawanan terhadap bala tentara Mancu yang berusaha menalukkan Se-cuan.
Ketika tidak berhasil menangkap Han Han, bahkan tiga
orang pembantunya yang setia dan pandai itu tewas secara mengerikan di tangan
pemuda kaki buntung yang amat luar biasa itu, Ma-bin Lo-mo menjadi marah dan
menyesal sekali. Juga di dalam hatinya ia merasa heran.
Dia maklum bahwa Han Han telah mewarisi ilmu-ilmu aneh
dari Pulau Es, akan tetapi dia pernah bertanding melawan Han Han sebelum kaki
pemuda itu buntung, dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi mengapa
sekarang pemuda itu setelah kakinya buntung menjadi makin hebat kepandaiannya?
Bahkan tadi ketika menangkis pukulan saktinya juga membuktikan bahwa tenaga
sin-kang pemuda itu jauh lebih matang daripada sebelum kakinya buntung!
Dan ilmunya bergerak seperti kilat itu, berloncatan
seperti terbang saja! Ilmu apakah itu dan dari mana pemuda buntung itu
memperolehnya? Diam-diam ia merasa gentar sekali, maklum bahwa kini tingkat
kepandaiannya tidak akan dapat menandingi kepandaian pemuda yang mukjizat itu!
Pasukan yang dipimpin oleh Su-ciangkun, dibantu oleh
Ma-bin Lo-mo, melanjutkan perjalanan mereka menyerbu sarang Pek-lian Kai-pang.
Kekacauan yang ditimbulkan oleh Han Han dan Soan Li tadi tidak mengubah rencana
mereka menghancurkan sarang pemberontak. Su-ciangkun sebagai seorang ahli
perang yang pandai, maklum bahwa pasukannya akan menghadapi jebakan kaum
pemberontak, maka diam-diam dia memecah-mecah pasukannya menjadi empat bagian.
Bagian pertama sengaja ia biarkan untuk dijebak, akan
tetapi diam-diam dua pasukan menyusul dari kanan kiri merupakan sayap untuk
melindungi induk pasukan yang akan dijebak musuh. Sedangkan bagian ke empat
menggunakan perahu-perahu menyerbu melalui air! Dengan siasat yang lihai ini,
bukan pasukan Mancu yang terancam, sebaliknya malah pihak pemberontak yang
berada dalam bahaya.
Lauw-pangcu yang sudah mengatur barisan pendam di dalam
hutan, menjadi girang sekali ketika melihat pasukan Mancu terdiri dari dua
ratus lima orang memasuki hutan itu, memasuki jebakan, memasuki perangkap yang
dipasangnya!
Hari telah menjelang senja ketika pasukan Mancu itu
memasuki hutan yang dijadikan tempat perangkap untuk menyergap pasukan Mancu.
Setelah pasukan Mancu yang megah itu semua memasuki hutan, tiba-tiba terdengar
suara melengking dan itulah tanda yang diberikan oleh Sin Lian.
Dari lubang-lubang dalam tanah menyambar ratusan batang
anak panah ke arah dua ratus lima orang tentara Mancu yang menggunakan
perisai-perisai dan golok menangkis anak panah dan melindungi diri. Akan tetapi
ada beberapa orang terjungkal dan beberapa ekor kuda roboh. Selagi pasukan
Mancu menjadi bingung karena diserang dari kanan kiri dan muka belakang, para
pejuang bersorak-sorak dan berteriak-teriak, meloncat keluar dari tempat
persembunyian mereka dalam tanah berlubang, dari balik-balik batang pohon dan
semak-semak, dari atas pohon dan menyerbu pasukan yang sedang bingung itu.
Jumlah anak buah Lauw-pangcu tidak kurang dari tiga ratus
orang dan hampir semua adalah ahli-ahli silat yang pandai. Apalagi di situ,
terdapat Lauw-pangcu sendiri yang mengamuk, dan terutama sekali Lauw Sin Lian
dan Wan Sin Kiat yang membabati para perajurit Mancu seperti orang membabati
rumput saja. Kalau Su-ciangkun tidak mengatur siasat lebih dulu dengan
membagi-bagi pasukannya, dan andaikata pasukannya hanya berjumlah lima ratus
dan semua terjebak, tentu akan hancurlah pasukannya. Pasukan induk ini melawan
sekuatnya, namun karena mereka diserbu dari empat penjuru secara tiba-tiba,
mereka menjadi kacau-balau.
Para pemberontak atau pejuang sudah merasa girang sekali
dan menganggap bahwa siasat mereka berhasil. Tidak sampai setengah malam tentu
semua pasukan Mancu akan dapat mereka basmi semua, demikian pikir Lauw-pangcu
dan anak buahnya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara terompet tanduk berbunyi
dari empat penjuru di luar hutan itu dan menyerbulah tujuh ratus lima puluh
orang tentara Mancu dari empat penjuru, dipimpin oleh Su-ciangkun sendiri dan
dibantu oleh Ma-bin Lo-mo!
Kalau tadi anak buah Lauw-pangcu meayergap dan mengurung,
kini mereka sendiri dikurung dan keadaan menjadi kacau-balau. Perang terjadi
amat hebatnya. Anak buah Lauw-pangcu yang terjepit itu menjadi nekat dan
mengamuk mati-matian. Mereka akan mati seperti tikus-tikus terjepit, maka lebih
baik melawan dan mati sebagai sekumpulan harimau.
Lauw-pangcu terkejut bukan main. Juga Sin Lian dan
terutama sekali Sin Kiat menjadi khawatir sekali. Bukan mengkhawatirkan diri
sendiri, melainkan mengkhawatirkan sumoinya dan Han Han. Kalau sampai keadaan
berubah seperti ini, hanya berarti bahwa Han Han dan sumoinya tentu telah
gagal.
Namun, mereka tidak sempat banyak berpikir karena pihak
musuh datang menyerbu bagaikan air membanjir. Dikeroyok banyak lawan, satu
lawan empat, mulai berjatuhanlah pihak pejuang. Di bawah sinar obor yang dipegang
kedua pihak, tampak darah muncrat, diselingi bunga api berpijar dan
teriakan-teriakan bercampur dengan rintihan. Tubuh-tubuh manusia berjatuhan
tumpang tindih, mayat-mayat yang mandi darah mulai berserakan.
Lauw-pangcu yang mengamuk hebat, setelah merobohkan tidak
kurang dari dua puluh orang lawan dengan tongkatnya yang lihai, akhirnya roboh
juga dengan dada tertembus tombak. Melihat ayahnya roboh, Sin Lian menjerit dan
dengan isak tertahan gadis ini mengamuk. Pedangnya berkelebat seperti naga
mengamuk dan tentara musuh yang berani mendekatinya tentu roboh hanya dalam dua
tiga gebrakan saja. Melihat kenekatan Sin Lian yang mencoba mendekati ayahnya,
Sin Kiat menyerbu dan membantunya. Makin mawutlah pihak musuh. bahwa siasat
mereka berhasil. Tidak sampai setengah malam tentu semua pasukan Mancu akan
dapat mereka basmi semua, demikian pikir Lauw-pangcu dan anak buahnya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara terompet tanduk
berbunyi dari empat penjuru di luar hutan itu dan menyerbulah tujuh ratus lima
puluh orang tentara Mancu dari empat penjuru, dipimpin oleh Su-ciangkun sendiri
dan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo! Kalau tadi anak buah Lauw-pangcu meayergap dan
mengurung, kini mereka sendiri dikurung dan keadaan menjadi kacau-balau. Perang
terjadi amat hebatnya. Anak buah Lauw-pangcu yang terjepit itu menjadi nekat
dan mengamuk mati-matian. Mereka akan mati seperti tikus-tikus terjepit, maka
lebih baik melawan dan mati sebagai sekumpulan harimau.
Lauw-pangcu terkejut bukan main. Juga Sin Lian dan
terutama sekali Sin Kiat menjadi khawatir sekali. Bukan mengkhawatirkan diri
sendiri, melainkan mengkhawatirkan sumoinya dan Han Han. Kalau sampai keadaan
berubah seperti ini, hanya berarti bahwa Han Han dan sumoinya tentu telah
gagal. Namun, mereka tidak sempat banyak berpikir karena pihak musuh datang
menyerbu bagaikan air membanjir.
Dikeroyok banyak lawan, satu lawan empat, mulai
berjatuhanlah pihak pejuang. Di bawah sinar obor yang dipegang kedua pihak,
tampak darah muncrat, diselingi bunga api berpijar dan teriakan-teriakan
bercampur dengan rintihan. Tubuh-tubuh manusia berjatuhan tumpang tindih,
mayat-mayat yang mandi darah mulai berserakan.
Lauw-pangcu yang mengamuk hebat, setelah merobohkan tidak
kurang dari dua puluh orang lawan dengan tongkatnya yang lihai, akhirnya roboh
juga dengan dada tertembus tombak. Melihat ayahnya roboh, Sin Lian menjerit dan
dengan isak tertahan gadis ini mengamuk. Pedangnya berkelebat seperti naga
mengamuk dan tentara musuh yang berani mendekatinya tentu roboh hanya dalam dua
tiga gebrakan saja. Melihat kenekatan Sin Lian yang mencoba mendekati ayahnya,
Sin Kiat menyerbu dan membantunya. Makin mawutlah pihak musuh.
‘Hemmm, kalian sudah bosan hidup!! Bentakan ini disusul
dengan menyambarnya angin pukulan dingin dan ternyata Ma-bin Lo-mo yang
menyaksikan sepak terjang dua orang muda ini sudah maju menyerang. Melihat
kakek ini, Sin Lian membentak marah.
‘Kiranya engkau iblis tua bangka! Kiranya engkau adalah
anjing penjilat Mancu juga!!
Akan tetapi terpaksa Sin Lian harus membuang diri
menghindar dari sambaran angin pukulan Ma-bin Lo-mo seperti yang dilakukan Sin
Kiat, kemudian ia membalas dengan terjangan ke depan dan menusukkan pedangnya
ke dada kakek itu. Sin Kiat juga menerjang dari kiri, pedangnya membabat leher.
Ma-bin Lo-mo sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang
kedua orang muda itu, maka ia tidak berani memandang rendah. Melihat dua sinar
pedang menyambar, ia cepat melompat ke belakang, ujung lengan bajunya menampar
untuk menangkis pedang Sin Lian yang melanjutkan tusukan dengan babatan kilat.
‘Brett!! Pedang Sin Lian terpental dan cepat ia
mennutar tubuh agar pedangnya tidak terlepas, akan tetapi ujung lengan baju
Ma-bin Lo-mo terbabat putus! Kakek ini marah sekali, setelah ia mengelak dari
tusukan pedang Sin Kiat yang menyambar, secepat kilat kedua tangannya mendorong
ke arah dua orang muda itu. Sin Kiat dan Sin Lian maklum akan kelihaian pukulan
jarak jauh ini.
Mereka tidak keburu mengelak, dan menangkis dengan
gerakan tangan sambil mengerahkan sin-kang pula. Akan tetapi, tetap saja tubuh
mereka terdorong hebat ke belakang, membuat mereka terhuyung dan pada saat itu,
dua orang perwira pembantu Su-ciangkun sudah menubruk dan menusukkan tombak
mereka ke arah kedua orang muda yang sedang terhuyung itu. Sin Kiat yang sedang
terhuyung melihat datangnya tusukan tombak dengan tenaga yang kuat itu, cepat
menjatuhkan diri, berguling ke depan sehingga tombak lewat di atas kepalanya,
kemudian ia menusukkan pedangnya yang amblas ke dalam perut lawan.
Ketika darah mengucur menyusul pedang yang dicabutnya,
Sin Kiat sudah meloncat kembali sehingga tidak terkena semprotan darah. Adapun
Sin Lian yang tadinya juga terhuyung, ketika ditusuk dari arah kanan oleh
perwira Mancu, tidak sempat menangkis. Ia mempergunakan tangan kiri menyambar
leher tombak, meminjam tenaga lawan menarik tombak sehingga tubuh lawan ikut
terdorong ke depan, lalu menggunakan tenaga sin-kang ia menekuk tombak sehingga
patah tengahnya, lalu terus ia tusukkan ke lambung perwira itu sehingga tembus!
Melihat betapa dalam keadaan terhuyung kedua orang muda
itu masih sempat merobohkan dua orang perwira menengah, Ma-bin Lo-mo menjadi
penasaran dan marah. Ia menerjang maju, bertubi-tubi menggerakkan kedua tangan
ke arah Sin Lian dan Sin Kiat yang menjadi sibuk mengelak dan menangkis, tidak
sempat lagi menyerang, padahal para pengeroyok sudah mengelilingi mereka dan
siap-siap menghujankan senjata kepada dua orang muda lihai ini apabila mereka
roboh oleh desakan Ma-bin Lo-mo. Menghadapi kakek bermuka iblis, murid
Siauw-lim Chit-kiam dan murid Im-yang Seng-cu benar-benar kewalahan karena
Ma-bin Lo-mo menggunakan Swat-im Sin-ciang yang luar biasa kuatnya.
Tiba-tiba keadaan perang menjadi makin kacau ketika
banyak tentara Mancu roboh dan bahkan ada yang terlempar ke sana-sini seperti
diamuk badai. Ternyata yang datang mengamuk itu adalah Han Han! Setelah dia
siuman dari pingsannya dan menangisi Soan Li yang telah tewas, akhirnya Han Han
teringat akan bahaya yang mengancam Lauw-pangcu dan anak buahnya.
Teringat akan itu, dengan hati berduka sekali ia lalu
menggali lubang dan menguburkan jenazah Soan Li. Kemudian ia menggunakan
kepandaiannya berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat tinggal
Lauw-pangcu.
‘Han Han.... mana sumoi....?! Sin Kiat merasa lega
melihat pemuda buntung itu, akan tetapi ia gelisah karena tidak melihat
sumoinya datang bersama Han Han.
Ditanya tentang Soan Li, Han Han diingatkan kembali, air
matanya mengalir turun dan tanpa menjawab ia lalu menerjang maju, menghadapi
Ma-bin Lo-mo yang sedang mendesak Sin Kiat dan Sin Lian.
Ma-bin Lo-mo yang marah sekali itu ketika melihat Han
Han, lalu menerjang sambil mengeluarkan suara meringkik keras seperti kuda
marah. Ia masih merasa penasaran dan kini ia mengerahkan seluruh tenaganya yang
ada. Terdengar suara bercuitan ketika tenaga Swat-im Sin-ciang dengan kekuatan
sepenuhnya menyambar ke depan! Han Han mengenal pukulan sakti, cepat ia berseru.
‘Kalian minggirlah!!
Sin Kiat dan Sin Lian yang sudah berkali-kali mengenal
pukulan dahsyat dari kakek itu, cepat melompat ke kanan kiri. Akan tetapi Han
Han sama sekali tidak mau melompat minggir. Ia sudah marah sekali, kemarahannya
yang timbul dari kedukaan yang hebat karena kematian Soan Li, maka kini
menyaksikan betapa Ma-bin Lo-mo mengerahkan pukulan Swat-im Sin-ciang, ia pun
berteriak keras dan dengan berdiri di atas sebelah kakinya, ia mendorongkan
kedua tangannya ke depan menyambut pukulan Ma-bin Lo-mo!
Han Han sudah kehilangan tongkatnya yang tertinggal di
perut kuda ketika ia mengamuk di depan benteng, kini ia tidak bertongkat lagi.
Akan tetapi sin-kang yang keluar dari kedua lengannya adalah inti sari dari
tenaga Im-kang yang amat dahsyat, yang sudah dia kuasai ketika ia berlatih di
Pulau Es.
‘Desssss....!! Hebat bukan main benturan dua tenaga
sakti yang sama-sama mengandung hawa dingin itu. Empat orang tentara Mancu yang
berdiri terlalu dekat, memekik ngeri dan roboh tak bernyawa lagi, karena
jantung mereka membeku terkena sambaran tenaga sakti yang saling bertabrakan.
Tubuh Han Han mencelat ke atas, tinggi sekali, akan tetapi ia sudah meloncat
lagi ketika kakinya menyentuh dahan pohon, kini tubuhnya mencelat ke depan
menyambar Ma-bin Lo-mo yang terhuyung ke belakang dengan mulut muntahkan darah
segar!
Melihat betapa tubuh Han Han dari atas pohon menukik ke
bawah, Ma-bin Lo-mo mengeluarkan seruan kaget, cepat tubuhnya melesat ke bawah,
bergulingan dan lenyap di antara kaki para pengawal.
‘Bresssss!! Lima orang pengawal roboh dan tewas
seketika dengan tulang-tulang remuk ketika terjangan Han Han dari atas itu
menyambar ke arah mereka. Akan tetapi Ma-bin Lo-mo tidak tampak lagi
bayangannya.
Bab 33
Han Han mengamuk terus dengan hebatnya. Juga Sin Lian dan
Sin Kiat mengamuk dengan pedang mereka. Setelah kini Ma-bin Lo-mo terluka dan
tidak muncul lagi, tidak ada yang dapat mengimbangi amukan tiga orang muda yang
perkasa ini. Akan tetapi, di pihak para pejuang, ternyata hanya tinggal mereka
bertiga karena yang lain-lain semua telah tewas dalam perang tanding yang amat
seru di dalam hutan itu. Adapun di pihak tentara Mancu juga mengalami kerugian
tidak sedikit, kurang lebih sama jumlahnya dengan anak buah Pek-lian Kai-pang!
‘Han Han, mari kita pergi....!! kata Sin Kiat. ‘Semua
saudara telah tewas, tak perlu melawan lagi!!
Akan tetapi Han Han tidak mau mendengarkan kata-kata Sin
Kiat. Hatinya sudah terlalu sakit dan ia akan bertempur sampai mati untuk
membalaskan dendam Soan Li. Melihat itu, Sin Lian lalu menyambar tubuh ayahnya
yang telah menjadi mayat, sambil menangis terisak ia mendekati Han Han yang
masih mengamuk.
‘Han Han.... bantulah aku.... menyelamatkan jenazah
Ayah....!!
Mendengar suara wanita menangis, Han Han seperti baru
sadar dari keadaan yang tidak wajar itu, yang membuatnya mengamuk seperti orang
gila. Ia menengok dan ketika ia melihat Sin Lian menangis sambil memondong
mayat Lauw-pangcu, Han Han terkejut sekali.
‘Ah, Lauw-pangcu....!!
‘Dia gugur, Han Han, tolonglah aku membuka jalan keluar
dari sini....!!
Han Han mengangguk, kemudian bersama Sin Kiat ia mengawal
Sin Lian yang memondong mayat ayahnya keluar dari kepungan. Sebetulnya hal ini
tidak perlu karena para pengepung itu tidak ada yang berani mengganggu melihat
tiga orang muda itu keluar dari hutan. Mereka telah menjadi jerih menyaksikan
sepak terjang mereka tadi, apalagi sepak terjang pemuda yang buntung kakinya.
Sin Lian yang menangis sambil memondong tubuh ayahnya,
berlari terus sampai pagi, baru ia berhenti di pinggir Sungai Huang-ho paling
barat, di mana air sungai itu datang mengalir dari utara dan di tikungan itu
membelok ke timur.
Daerah ini penuh pula dengan hutan dan amat sunyi.
Setengah malam mereka tadi berlari, tanpa berkata-kata, masih tegang dan
berduka menghadapi malapetaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang. Yang paling
gelisah adalah Sin Kiat. Pemuda ini ingin sekali mengetahui akan keadaan
sumoinya, ia pun ingin tahu bagaimana pihak Mancu sampai dapat melakukan
sergapan seperti itu, bahkan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo.
Ia menduga bahwa tentu Han Han tahu akan itu semua, akan
tetapi mengingat akan kedukaan Sin Lian, Sin Kiat menahan keinginan tahunya.
Setelah dia dan Han Han membantu Sin Lian mengubur jenazah Lauw-pangcu di dalam
hutan itu, barulah Sin Kiat mengajak Han Han menjauhi Sin Lian yang berkabung
dan menangis di depan kuburan ayahnya.
‘Han Han, ceritakanlah lekas, bagaimana dengan sumoi!!
Akan tetapi, mendengar pertanyaan ini, Han Han
menjatuhkan diri duduk di atas tanah, matanya memandang jauh dengan sinar muram
dan kosong, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Sin Kiat. Melihat ini, Sin
Kiat berlutut dan menyentuh lengan Han Han, mengguncangnya dan bertanya tegang.
‘Han Han, apa yang terjadi dengan sumoi? Di mana dia?!
Tiba-tiba Han Han mengibaskan lengannya dan Sin Kiat terlempar
ke belakang, terjengkang. Ia meloncat lagi dan terkejut melihat Han Han sudah
berdiri di atas sebelah kakinya dan menudingkan telunjuk ke mukanya sambil
membentak,
‘Sin Kiat, kenapa engkau membolehkan sumoimu pergi
menyusulku? Kenapa tidak kau cegah dia? Percuma saja engkau menjadi suhengnya!!
Pucatlah wajah Sin Kiat. Tanpa mempedulikan kemarahan Han
Han, ia menubruk maju dan memegang lengan pemuda buntung itu.
‘Han Han....!! Ia menjerit, suaranya gemetar. ‘Lekas
katakan, di mana dia? Di mana sumoi....? Dia sendiri yang memaksa hendak
menyusulmu, karena mengkhawatirkan keadaanmu. Han Han, di mana sumoi?!
Mendengar suara Sin Kiat menjerit-jerit ini, Sin Lian
yang menangis di depan kuburan ayahnya menjadi terkejut, menengok dan cepat ia
menghampiri mereka karena ia melihat Han Han berdiri seperti orang marah dan
Sin Kiat menjerit-jerit seperti orang gila.
‘Ada apakah? Han Han, apa yang terjadi?!
Suara Sin Lian ini mengusir kemarahann di hati Han Han.
Ia menghela napas panjang, menundukkan muka sehingga air mata yang memenuhi
pelupuk mata itu menetes jatuh satu-satu. ‘Soan Li.... dia.... dia telah
tewas....!!
‘Sumoi....!! Sin Kiat memekik keras. Matanya melotot,
mukanya pucat seperti mayat dan tangannya mencengkeram lengan Han Han.
‘Apa....! Sumoiku.... mati? Han Han, bagaimana? Siapa yang membunuhnya?!
Han Han menjatuhkan diri lagi duduk di atas rumput. Sin
Lian juga duduk di atas tanah, mukanya makin berduka. Sin Kiat duduk dan
mengangkat kedua lutut, menunjang kedua siku dengan lututnya dan menutupi
mukanya mendengarkan penuturan Han Han yang menceritakan semua peristiwa itu
dengan suara gemetar.
Setelah habis cerita Han Han, Sin Kiat masih menutupi
mukanya. Perlahan-lahan dari celah-celah jari tangannya keluar beberapa tetes
air mata. Dadanya bergelombang, diseling sedu. Hancur hati Sin Kiat. Teringat
ia akan wajah sumoinya yang menengok dan tersenyum ketika hendak
meninggalkannya. Senyum manis di antara linangan air mata duka!
‘Aduh, sumoi....! Ah, dia seperti adikku sendiri....
ahhh, bagaimana aku harus bertanggung jawab terhadap suhu, terhadap....
keluarga tunangannya....?!
Tiba-tiba Han Han menggerakkan kepala, menoleh memandang
Sin Kiat.
‘Tunangannya?!
Sin Kiat yang maklum akan isi hati sumoinya, dan dapat
menduga bahwa Han Han yang kelihatan demikian berduka dan menyesal atas
kematian sumoinya agaknya juga sudah tahu akan perasaan cinta Soan Li
terhadapnya, tanpa menoleh kepada Han Han berkata lirih.
‘Ya tunangannya. Beberapa tahun yang lalu, atas
kehendak suhu, sumoi telah ditunangkan dengan putera sahabat suhu, seorang
siucai she Tan yang tinggal di Nan-king!
Han Han menghela napas panjang. ‘Dan dia mati berkorban
untukku....! Ia ber bisik lirih.
‘Betapa mulia hatinya.... dan betapa besar dosaku....!!
Sin Lian melirik dan melihat betapa wajah Han Han muram
daripada biasanya, betapa wajah yang menarik itu makin bertambah guratannya. Ia
merasa kasihan dan teringatlah ia akan pernyataan Lulu bahwa banyak wanita yang
jatuh cinta kepada Han Han. Kini mengertilah ia dan biarpun tidak ada yang
bicara di saat itu, Sin Lian dapat menduga apa yang telah terjadi di dalam hati
Soan Li. Tentu dara jelita murid Im-yang Seng-cu itu diam-diam jatuh cinta
kepada Han Han, akan tetapi karena merasa bahwa dia telah terikat jodoh dengan
orang lain, maka Soan Li menahan diri. Betapapun juga, cinta kasihnya membuat
gadis itu nekat hendak menyusul Han Han untuk melindunginya dan akhirnya
mengorbankan nyawa sendiri.
‘Kasihan Adik Soan Li....!! Sin Lian berkata dan
menyentuh lengan Han Han, berkata, ‘Han Han, sudahlah, tak perlu kita terlalu
berduka karena kematian orang-orang yang kita sayang. Ayahku tewas, juga Soan
Li tewas sebagai ksatria, tewas dalam pelaksanaan tugas. Perlu apa harus
berduka? Tidak, Han Han. Sebenarnya, menurut patut, kita malah harus bangga
bahwa mereka tewas sebagai orang-orang gagah, dan sudah menjadi kewajiban kita
untuk melanjutkan cita-cita dan kegagahan mereka. Kita harus melanjutkan
perjuangan mendiang Soan Li, menentang penjajah Mancu sampai detik hidup
terakhir!!
Mendengar ucapan gadis perkasa ini, hati Han Han dan Sin
Kiat kagum bukan main. Gadis ini baru saja kematian ayahnya, satu-satunya orang
di dunia ini yang menjadi keluarganya dan mereka dapat mengerti betapa duka
hati Sin Lian. Namun gadis itu masih mampu menghibur mereka berdua, dua orang
pria yang semestinya lebih kuat hatinya!
‘Nona Lauw benar-benar mengagumkan sekali dan apa yang
diucapkannya tak dapat disangkal kebenarannya! Hidup atau mati bukanlah urusan
manusia, bagi manusia yang paling tepat hanya menjaga agar hidup atau mati
sebagai manusia-manusia yang membela kebenaran dan keadilan! Han Han, marilah engkau
ikut bersamaku ke Se-cuan. Agaknya tinggal di sanalah satu-satunya tempat di
mana kita dapat menyumbangkan tenaga menentang penjajah sampai berhasil atau
hancur!!
‘Aku.... aku harus mencari Lulu....! Suara Han Han
masih tidak bersemangat. Memang Han Han masih merasa tertekan oleh runtutan
peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Urusan Kim Cu, gadis yang berkorban
demi cinta kasihnya terhadap dirinya merupakan urusan yang amat menindih
hatinya dan yang takkan pernah dapat ia lupakan, yang membuat ia merasa
berdosa, merasa menjadi penyebab hancurnya kebahagiaan hidup seorang gadis
semulia Kim Cu.
Kemudian ditambah lagi dengan lenyapnya Lulu yang amat
membingungkan dan menggelisahkan hatinya, lalu kekecewaan karena belum juga ia
berhasil membunuh seorang pun di antara tujuh orang musuh besar keluarganya.
Kini peristiwa yang menimpa diri Soan Li dan menyebabkan dara itu tewas, tewas
di depan matanya sendiri, sebagai pengorbanan dalam usaha gadis itu yang hendak
menyelamatkannya.
Ia merasa berduka sekali, bertubi-tubi perasaan hatinya
mengalami hantaman yang berat, membuat ia kehilangan semangat, merasa seperti
hanyut dalam arus yang penuh kesengsaraan, membuat ia kehilangan pegangan dan
dalam keadaan seperti itu, dia harus cepat bertemu Lulu. Hanya adiknya itulah
tempat ia berpegang dalam arus penuh kesengsaraan ini, hanya adiknya Lulu
itulah yang akan dapat menghiburnya, yang akan dapat mengembalikan semangatnya.
‘Aku harus mencari adikku Lulu....! katanya lagi penuh
rindu.
‘Han Han, aku pun ingin sekali bertemu dengan adikku
itu. Aku pun akan mencarinya. Bahkan aku akan mengumpulkan sisa teman-teman
seperjuangan, dan aku akan berusaha mencari Lulu untuk kemudian kuajak mereka
semua ke Se-cuan,! kata Sin Lian.
‘Aku pun akan membantumu mencari adikmu itu, Han Hari.
Akan tetapi, mengingat bahwa adikmu pun tentu sedang mencari-carimu seperti
yang ia katakan kepada Nona Sin Lian, apakah tidak mungkin kalau dia itupun
pergi mencarimu ke Se-cuan, mengira bahwa engkau berada di sana? Lebih baik
kita berangkat ke Se-cuan sambil mendengar-dengar dan mencari-cari.!
Han Han mengangguk-angguk. ‘Pendapatmu benar juga, dan
aku pun memang harus pergi ke Se-cuan karena urusan pribadi.! Ia teringat akan
penuturan Sie Leng encinya bahwa sebagian besar musuh-musuhnya berada di
Se-cuan, yaitu memimpin bala tentara yang ditugaskan mengurung dan menggempur
Se-cuan.
‘Memang demikian lebih baik,! kata Sin Lian. ‘Kalian
berdua berangkatlah lebih dulu ke Se-cuan, sedangkan aku sendiri akan
mengumpulkan sisa teman-teman dan sekalian mencari Lulu di bagian timur. Kalau
bertemu, tentu akan kuajak menyusul ke barat.!
Setelah mereka melakukan penghormatan terakhir di depan
kuburan Lauw-pangcu, Sin Lian lalu meninggalkan dua orang pemuda itu untuk
mengumpulkan sisa teman-teman seperjuangan yang pada malam itu sebagian besar
terbasmi oleh tentara Mancu. Adapun Han Han atas desakan Sin Kiat mengantar
temannya ini berkunjung ke makam Soan Li di mana Sin Kiat berkabung dan Han Han
juga tak dapat menahan runtuhnya air matanya.
‘Han Han, ketahuilah, hanya kepada aku seorang mendiang
sumoi membuka rahasia hatinya bahwa dia mencintamu.!
Han Han menghela napas. ‘Sin Kiat, kalau engkau tahu
bahwa dia sudah ditunangkan dengan laki-laki lain, mengapa engkau tidak
menegurnya?!
‘Sudah kutegur, akan tetapi akhirnya aku harus membela
dia. Dia ditunangkan dengan Tan-siucai atas kehendak suhu, bahkan dia belum
pernah bertemu dengan tunangannya itu. Kalau dia bertemu denganmu dan jatuh
cinta, salahkah itu? Karena itu, aku mewakili mendiang sumoiku untuk bertanya
terus terang kepadamu, Han Han. Adakah engkau mencinta sumoi?!
Han Han menundukkan mukanya dan menggeleng kepala.
‘Manusia cacat macam aku ini bagaimana berani menjatuhkan kasih sayang kepada
seorang wanita, Sin Kiat? Tidak, semenjak kakiku buntung, aku tidak lagi berani
membiarkan hatiku menjatuhkan cinta kepada seorang wanita karena aku maklum
bahwa tidak ada seorang pun wanita di dunia ini dapat hidup bahagia di samping
seorang suami cacat memalukan seperti aku. Tidak, aku tidak berani dan tidak
dapat mencinta seorang gadis murni cantik dan perkasa seperti sumoimu itu....!
Sin Kiat menarik napas panjang. Di dalam hatinya pemuda
ini dapat mengerti akan sikap rendah hati Han Han ini, sikap yang mungkin
timbul karena peristiwa yang menyedihkan di samping buntungnya kaki pemuda ini.
Ia pun tidak mau menyinggung-nyinggung lagi akan hal itu, namun diam-diam
timbul rasa khawatir di hatinya karena sebagai seorang pemuda yang berpandangan
tajam, Sin Kiat dapat menduga bahwa Sin Lian pun seperti adiknya, jatuh cinta
kepada pemuda kaki buntung yang mengagumkan ini.
***
Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Ceng yang didirikan oleh
bangsa Mancu adalah seorang kaisar yang benar-benar pandai sekali, bukan hanya
di bidang kemiliteran akan tetapi juga di bidang pekerjaan sipil seperti
pembangunan dan lain-lain. Kaisar yang amat pandai dan amat lama memegang
kendali pemerintahan Kerajaan Mancu ini (tahun 1663-1722) telah berhasil dengan
baik menarik bangsa pribumi yang tadinya menentang penjajahan menjadi
tenaga-tenaga yang amat penting dan berguna demi memajukan negara di bawah pemerintahannya.
Untuk mencapai hasil baik, Kaisar Kang Hsi memajukan
kebudayaan pribumi, bahkan mengundang bangsa pribumi yang terkenal sebagai kaum
cendekiawan, kaum cerdik pandai, untuk menduduki jabatan-jahatan penting dalam
pemerintah. Tentu saja kaum sastrawan dan kaum persilatan menyambut undangan
ini dengan gembira sehingga banyaklah sastrawan-sastrawan dan ahli-ahli silat
muda mengalir ke kota raja. Mereka diterima oleh kaisar dan diberi
jabatan-jabatan yang penting.
Juga dalam urusan membersihkan negara daripada para
pemberontak, kaisar yang pandai ini berhasil baik sekali. Dengan bantuan
tokoh-tokoh kang-ouw yang kena terbujuk, pula karena memang bala tentara Mancu
merupakan bala tentara yang kuat, tahan uji, dan berdisiplin, maka
gerombolan-gerombolan bersenjata yang menentang Kerajaan Ceng satu demi satu
dapat dihancurkan.
Sudah menjadi kenyataan sejarah bahwa di antara
gerombolan-gerombolan pejuang yang menentang penjajah Mancu demi perasaan
patriotik, terdapat banyak pula gerombolan yang sebenarnya adalah
penjahat-penjahat dan perampok yang mempergunakan dalih ‘perjuangan! untuk
dapat memeras dan merampok rakyat jelata. Dengan dalih perjuangan, mereka yang
mengotorkan dan mencemarkan perjuangan itu mengancam rakyat yang dipaksa
membantu perjuangan mereka dengan menyerahkan harta benda untuk biaya
perjuangan!
Sebetulnya, kenyataan itulah yang merupakan sebuah di
antara kelemahan perjuangan kaum patriot di masa itu. Karena nama perjuangan
dibikin cemar, maka ketika tentara Mancu datang dan menyapu para perampok yang
berkedok pejuang itu, rakyat menyambut dengan gembira, menganggap bahwa
pemerintah yang baru berhasil membebaskan rakyat daripada pemerasan dan
penindasan pejuang-pejuang yang kini disamakan dengan perampok jahat itu!
Hal ini adalah satu di antara sebab-sebab mengapa
penduduk pribumi dapat cepat melenyapkan perasaan kebencianhya terhadap bangsa
Mancu yang menjajah. Selain itu juga Kaisar Kang Hsi dengan taktiknya yang
tepat dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan tradisi-tradisi lama di
Tiongkok. Para pembesar Mancu diharuskan belajar bahasa dan sastra Tiongkok dan
bahkan diharuskan bicara dalam bahasa pribumi, bukan dalam pertemuan-pertemuan
resmi saja bahkan di antara keluarga para pembesar Mancu pun mereka menggunakan
bahasa pribumi.
Hal ini adalah karena Kaisar Kang Hsi yang bijaksana itu
maklum bahwa sekali bangsanya sudah menjadi ‘bangsa aseli!, maka dalam
abad-abad selanjutnya tidak akan ada lagi ‘pribumi! yang menganggap bahwa
pemerintah Kerajan Ceng adalah kerajaan asing!
Biarpun hampir seluruh daerah Tiongkok telah dikuasai,
dan semua pemberontak di perbatasan-perbatasan telah dapat dihancurkan, namun
hanya Se-cuan yang masih tetap bertahan. Hal ini adalah karena pemerintah Ceng
yang cerdik memang sengaja membiarkan daerah ini agar menjadi pusat pelarian
bagi para pemberontak. Agar dengan adanya wadah ini, para pemberontak yang
sudah kehilangan kesatuannya akan melarikan diri ke Se-cuan dan kelak akan
mudah untuk menyerbu satu tempat saja daripada kalau harus mengejar pemberontak-pemberontak
yang tersebar di mana-mana. Selain sukar juga membutuhkan benyak tenaga dan
biaya.
Karena sengaja didiamkan, dan hanya sekali-kali diadakan
pengepungan dan penyerangan kecil, maka terjadilah semacam perang dingin dan
tapal batas. Se-cuan merupakan daerah gawat. Pedagang-pedagang petualang yang
berani hilir-mudik melewati perbatasan yang gawat ini tentu akan memperoleh
keuntungan yang besar sekali, akan tetapi tentu saja dengan resiko ditembus
tombak perutnya, baik oleh tentara di pihak Se-cuan maupun tentara Mancu,
karena dicurigai sebagai mata-mata musuh.
Dan biarpun belum diadakan penyerbuan besar-besaran,
namun telah terjadi ketegangan karena di pihak orang-orang gagah di dunia
kang-ouw terpecah dua, ada yang pro Se-cuan, ada pula yang pro Kerajaan Ceng.
Bentrokan-bentrokan kecil terjadi di mana-mana dan tentu saja mata-mata kedua
pihak pun disebar dengan leluasa karena di pihak pemerintah Mancu pun memiliki
banyak kaki tangan orang kang-ouw yang terdiri dari orang pribumi.
Han Han dan Sin Kiat yang melakukan perjalanan ke barat,
di sepanjang jalan mereka menyelidiki tentang Lulu. Akan tetapi tidak ada
seorang pun yang dapat memberi petunjuk. Bahkan banyak kaum pejuang yang
hilir-mudik ke Se-cuan, yang mengenal Sin Kiat, juga tidak ada yang pernah
melihat Lulu. Hati mereka kecewa sekali, terutama Han Han yang menjadi makin
gelisah. Masih hidupkah adiknya itu? Kalau hidup, di mana dan mengapa tidak ada
jejaknya?
Pada suatu pagi, kedua orang muda ini memasuki kota
Tiang-koan-bun yang letaknya dekat dengan perbatasan Se-cuan. Di bagian ini
telah ada pelarangan membawa senjata yang dilaksanakan dengan keras oleh para
penjaga, berbeda dengan pedalaman yang biarpun ada pula pelarangan umum itu,
namun pelaksanaannya tidaklah begitu ketat.
Karena maklum akan hal ini dan tidak ingin mencari
perkara di daerah gawat, Sin Kiat menyembunyikan pedangnya di balik baju dan ia
berpakaian sebagai seorang penduduk biasa. Han Han masih berpakaian seperti
biasa, sederhana dan berwarna putih, tangan kirinya memegang sebatang tongkat
kayu yang dibuatnya begitu saja dari sebuah ranting pohon.
‘Malam nanti kita menyelundup lewat perbatasan, masuk
daerah Se-cuan,! kata Sin Kiat perlahan ketika mereka tiba di sudut kota.
Han Han berhenti melangkah dan pandang matanya termenung,
keningnya berkerut. Ia menoleh ke kanan kiri seperti orang mencari-cari, dan
memang ia selalu tak pernah berhenti mencari-cari dengan pandang matanya,
seolah-olah setiap saat ia mengharapkan akan melihat berkelebatnya bayangan
Lulu.
‘Sin Kiat, agaknya yang kau pentingkan hanya perjuangan
saja,! kata Han Han lirih.
Sin Kiat memandang heran. ‘Habis, bagaimana kalau tidak
begitu, Han Han? Dalam masa seperti ini, siapa tidak mementingkan perjuangan?!
Terdengar derap kaki kuda dan seorang penunggang kuda
lewat di jalan itu. Han Han tidak mempedulikan, bahkan menengok tidak memandang
Sin Kiat dan berkata.
‘Bagiku, yang terpenting adalah mencari Lulu sampai
dapat ditemukan!!
Sin Kiat juga mengerutkan keningnya. ‘Hemmm, Han Han,
mengapa kau menekankan hal itu? Apakah kau kira aku pun tidak gelisah
memikirkan Nona Lulu? Kiranya tidak perlu kujelaskan lagi bahwa engkau tentu
paham akan isi hatiku terhadap adikmu! Aku pun ingin sekali bertemu dengan dia,
ingin melihat dia selamat. Akan tetapi, kita memiliki tujuan dalam perjalanan
ini, yaitu ke Se-cuan! Tentang adikmu yang kau tahu amat kucinta.... hemmm....
bukankah kita sudah selalu menyelidiki tentang dia? Bukankah aku pun selama ini
mengerahkan seluruh tenaga untuk mencari dia? Siapa tahu, dia berada di
Se-cuan.!
Han Han menarik napas panjang dan kini ia menoleh
memandang wajah Sin Kiat yang tampan itu. Tentu saja dia tahu bahwa pemuda
perkasa ini, pemuda yang gagah dan berwatak pendekar, jatuh cinta kepada Lulu.
Dan diam-diam ia pun akan merasa setuju sekali kalau adiknya mendapatkan jodoh
seperti Sin Kiat.
Akan tetapi itu adalah perkara nanti. Yang perlu mencari
Lulu sampai dapat! Apa perlunya memikirkan perjodohan Lulu kalau gadis itu
sendiri masih belum dapat ditemukan, belum diketahui masih hidup atau sudah
mati?
‘Begini sajalah. Engkau pergilah dulu ke sana, aku akan
mencarinya di sekeliling perbatasan ini. Selain itu, dulu sudah kukatakan bahwa
aku mempunyai urusan pribadi yang harus kuselesalkan sebelum aku menyusulmu ke
Se-cuan. Kita berpisah di sini saja, Sin Kiat.!
Selama dalam perjalanan, Sin Kiat sudah mengenal Han Han
lebih baik lagi dan ia mengerti bahwa pemuda berkaki buntung itu sedang
menderita tekanan batin hebat sekali sehingga apa yang keluar dari mulutnya selalu
merupakan keputusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ia maklum bahwa akan
percuma saja dia membantah, maka katanya.
‘Baiklah, Han Han. Kalau engkau menghendaki demikian,
biar aku yang masuk ke sana lebih dulu dan akan kucari Nona Lulu di sana. Kalau
berhasil, aku akan kembali ke sini dan biarlah tempat ini menjadi tempat
pertemuan kita. Selain itu, harap kau suka melihat-lihat kalau-kalau Nona Lauw
Sin Lian tiba di sini, kalau Nona Lulu tidak ada di Se-cuan, barangkali dia
akan datang bersama Nona Lauw.!
Han Han mengangguk dan mereka lalu berpisah, baru
beberapa langkah Sin Kiat sudah membalikkan tubuhnya. ‘Han Han, ada urusan
apakah sebetulnya? Apakah aku tidak bisa membantumu sebelum kita berpisah?!
Han Han hanya menggeleng kepala. ‘Urusan ini adalah
urusan pribadiku. Berangkatlah, Sin Kiat dan sampai jumpa. Percayalah, kalau
memang aku memerlukan bantuanmu, tentu aku akan minta bantuan. Sekarang ini,
bantuanmu satu-satunya yang kuperlukan hanya mencari Lulu sampai dapat.!
Sin Kiat menghela napas. ‘Kau tentu tahu bahwa aku siap
mengorbankan apa saja untuk adikmu. Sampai jumpa!! Sin Kiat lalu pergi
meninggalkan Han Han yang masih berdiri termenung-menung di tempat itu.
Aku harus mencari Lulu dan juga mencari musuh-musuhku,
pikirnya. Dan menurut encinya tidak hanya cihunya berada di perbatasan Se-cuan,
akan tetapi juga musuh besarnya nomor satu, Giam Kok Ma, dan mungkin juga empat
perwira lainnya. Ia merasa menyesal kalau teringat betapa dia tidak berhasil
membunuh Su-ciangkun karena pada waktu itu ada Ma-bin Lo-mo dan dia sedang
menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara sehingga Su-ciangkun mendapat
banyak kesempatan untuk melarikan diri.
Sekali ini aku tidak boleh gagal, pikirnya. Kembali
terdengar derap kaki kuda, kini ada banyak kuda yang datang ke kota itu. Ketika
Han Han menengok, ia melihat pasukan yang terdiri dari belasan orang penunggang
kuda berhenti di tempat ramai dan kepala regu berkuda itu membacakan pengumuman
dengan suara lantang dari atas kudanya yang menggerak-gerakkan kepala. Han Han
mendengarkan.
Kiranya pasukan itu adalah pasukan yang bertugas
mengumumkan bahwa berhubung dengar ulang tahun ke sepuluh dari kaisar, yaitu sepuluh
tahun semenjak kaisar memegang kendali kerajaan, maka di seluruh negara
diadakan pesta perayaan yang dibiayai oleh pemerintah dan rakyat akan dihibur
dengan tontonan-tontonan gratis, bahkan di beberapa tempat akan disediakan arak
dan roti kering yang boleh dimakan dan diminum di tempat itu secara gratis
pula. Pesta akan dimulai malam nanti sampai tiga hari tiga malam lamanya.
‘Terutama di daerah ini, akan diadakan pesta
besar-besaran, rakyat diberi kesempatan bersuka ria!! Demikian kepala regu itu
menutup pengumumannya dengan suara lantang. Penduduk kota itu menjadi girang
dan bersorak-sorak. Diam-diam Han Han memuji kecerdikan pemerintah. Justeru di
perbatasan ini pemerintah agaknya akan membuktikan perbedaan yang menyolok
antara kehidupan rakyat di daerah pemerintah dan di seberang lewat perbatasan,
daerah pemberontak. Di samping merayakan ulang tahun kedudukan kaisar, juga
pesta itu dapat dipergunakan untuk mempengaruhi penduduk di daerah pemberontak
agar mereka melihat bahwa prikehidupan rakyat di daerah pemerintah lebih
makmur!
Waktu itu permulaan tahun 1673 dan memang sudah sepuluh
tahun Kaisar Kang Hsi menduduki singgasana pemerintah Ceng.
Han Han yang berjalan-jalan di kota sambil menyelidiki
adiknya, juga mencari keterangan tentang perwira-perwira Mancu yang bertugas di
perbatasan, melihat persiapan-persiapan yang dibuat untuk pesta malam nanti.
Panggung-pang gung dibuka, panggung wayang dan lain-lain, suasana mulai ramai
dan meriah karena rakyat juga menghias rumah-rumah mereka dengan bunga-bunga
kertas yang dibagi-bagikan oleh petugas pemerintah setempat.
Tadinya Han Han hendak mencari tempat penginapan yang
tidak usah bayar, seperti di kelenteng atau kalau perlu di bawah jembatan, akan
tetapi ketika ia merogoh saku bajunya, ia mendapatkan uang di situ dan ketika
dilihatnya, ternyata ada beberapa potong uang perak dan dua potong uang emas!
Han Han menghela napas dan maklum bahwa tentulah Sin Kiat yang menaruhkan uang
di sakunya di luar tahunya, mungkin malam tadi ketika mereka tidur di hutan di
luar kota.
Dan ia maklum mengapa Sin Kiat melakukan hal itu.
Pertama, karena Sin Kiat maklum bahwa dia memang tidak beruang sama sekali, ke
dua karena kalau Sin Kiat memberi secara terang-terangan, tentu dia akan
menolaknya!
Karena mempunyai uang, Han Han tidak jadi mengisi perut
dengan roti kering dan arak gratis, juga tidak mencari penginapan gratis,
melainkan menyewa sebuah kamar sederhana di sebuah rumah penginapan kecil di
sudut kota. Setelah mandi dan bertukar pakaian bersih, sore hari itu ia keluar
dari kamar, terpincang-pincang pada tongkatnya, hendak menonton keramaian
dengan harapan mungkin Lulu akan datang pula.
Adiknya itu paling suka menonton pertunjukan, maka
seandainya Lulu berada di tempat yang berdekatan, tentu adiknya itu akan datang
ke kota Tiang-koan-bun ini untuk nonton wayang!
Akan tetapi, sama sekali bukan Lulu yang dilihatnya di
antara ribuan orang yang tak dikenalnya yang memenuhi kota di malam hari itu,
melainkan seorang pria muda yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya
akan dia jumpai lagi, Gu Lai Kwan!
Atau suhengnya, murid Toat-beng Ciu-sian-li, pemuda
In-kok-san yang lihai, yang dulu diperintah oleh Toat-beng Ciu-sian-li untuk
membunuhnya! Golok pemuda inilah yang telah membacok putus kakinya!
Han Han terkejut sekali dan cepat menyelinap di antara
orang banyak. Dia tidak membenci Gu Lai Kwan yang dahulu di waktu kecilnya
adalah temannya main-main, juga teman berlatih. Biarpun senjata pemuda ini yang
membuntungi kakinya, akan tetapi pemuda itu hanyalah mentaati perintah
Toat-beng Ciu-sian-li, karena murid yang tidak taat akan menerima hukuman lebih
berat lagi. Lai Kwan adalah seorang di antara mereka berempat yang diambil
murid oteh Toat-beng Ciu-sian-li. Lai Kwan, dia sendiri, Kim Cu dan Phoa Ciok
Lin yang bermata tajam dan berwajah serius itu!
Melupakan semua persoalan yang pernah timbul di antara
mereka, Han Han yang tadinya girang melihat Lai Kwan dan hendak menegur,
tiba-tiba teringat bahwa Ma-bin Lo-mo kini telah bersekongkol dengan pemerintah
Mancu. Kalau Ma-bin Lo-mo telah menjadi kaki tangan Mancu, sangat boleh jadi
Toat-beng Ciu-sian-li juga menjadi kaki tangan Mancu dan tentu murid-muridnya
sama saja.
Mengingat akan hal ini, ia membatalkan niatnya menegur
bekas suheng ini dan Han Han malah membayanginya dengan diam-diam. Ia melihat
Lai Kwan dengan senyum-senyum di wajahnya yang tampan itu berjalan-jalan dan
menonton pertunjukan wayang sebentar, kemudian pemuda In-kok-san itu lalu
berjalan lagi memasuki sebuah rumah penginapan besar. Pengurus rumah pengirapan
itu menyambutnya dengan membungkuk-bungkuk penuh hormat dan Han Han yang
menyelinap di sudut hotel itu bersembunyi di balik dinding mendengar suara Lai
Kwan bertanya dengan suara angkuh.
‘Ouwyang-kongcu sudah datang?!
‘Sudah, sudah, Gu-taihiap. Malah semua orang sudah
berkumpul, tinggal menanti taihiap dan beberapa orang tamu agung lagi,!
pengurus hotel itu berkata hormat.
Han Han mengangguk-angguk. Tak salah dugaannya. Kalau Lai
Kwan sudah berhubungan dengan Ouwyang-kongcu yang ia duga tentulah bukan lain
Ouwyang Seng adanya, jelas bahwa pemuda ini pun mengikuti jejak Ma-bin Lo-mo
dan bersekongkol dengan pemerintah Mancu. Hemmm, dahulu Ouwyang Seng pernah
menculik Lulu dan biarpun tidak mengganggu Lulu, namun dapat diharapkan bahwa
pemuda putera pangeran itu kini mengetahui di mana adanya Lulu. Sungguh
pertemuan yang tak pernah disangka-sangkanya.
Hatinya girang sekali dan timbul harapan baru. Dengan
cepat, tanpa diketahui siapa pun, Han Han menyelinap ke belakang, menggunakan
kepandaiannya bagaikan seekor burung tubuhnya sudah mencelat ke atas. Ia maktum
bahwa di tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai, maka ia bersikap
hati-hati, dan selain mempergunakan gin-kangnya sehingga kakinya tidak
menimbulkan suara dan tongkatnya tidak pernah menyentuh genteng, ia juga selalu
bersembunyi di dalam bayangan yang gelap sampai ia berhasil mengintai dari atas
ruangan yang dimasuki Lai Kwan.
Ruangan itu merupakan ruangan paling belakang di hotel
itu dan dari atas Han Han dapat melihat bahwa hotel itu ternyata tidak dimasuki
tamu lain kecuali rombongan orang-orang penting. Agaknya hotel ini telah
diborong. Buktinya Li Kwan memasuki hotel itu tanpa memperhatikan keadaan
sekelilingnya dan agaknya semua kamar di hotel itu hanya ditempati oleh
orang-orang mereka sendiri.
Ketika Han Han melihat mereka yang duduk memenuhi ruangan
itu, sejumlah belasan orang, ia makin kaget mengenal tokoh-tokoh yang ia jumpai
dahulu ketika ia terjebak oleh Giam Kok Ma di kota raja. Ia mengenal Ouwyang
Seng, Kang-thouw-kwi Gak Liat, cihunya sendiri Giam Cu, musuh besarnya, Giam
Kok Ma, kemudian tokoh-tokoh aneh seperti Sin-tiauw-kwi Ciam Tek yang kepalanya
seperti burung berondol bulunya itu, kakak beradik Tikus Kuburan Bhong Lok dan
Bhong Poa Sik, juga tiga orang murid Setan Botak, yaitu Hek-giam-ong,
Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio! Masih ada beberapa orang
perwira dan tokoh-tokoh aneh yang tak dikenalnya, akan tetapi semua ini sudah
cukup bagi Han Han bahwa di situ diadakan rapat yang amat penting oleh
perwira-perwira Mancu dan tokoh-tokoh lihai dunia kang-ouw yang menjadi kaki
tangan pemerintah Mancu.
Dia akan mendengarkan dulu apa yang hendak mereka
bicarakan, siapa tahu kalau-kalau mereka akan menyinggung-nyinggung nama Lulu.
Andaikata tidak, masih belum terlambat baginya untuk mencari kesempatan
menangkap Ouwyang Seng dan memaksa pemuda bangsawan itu bicara tentang Lulu.
Kalau dia turun tangan, ia masih merasa sangsi apakah ia akan mampu menghadapi
sekian banyaknya orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Ketika Lai Kwan muncul, sebagian dari mereka berdiri dan
menyambut dengan hormat, terutama para perwira. Hanya Gak Liat dan tiga orang
muridnya yang tidak berdiri, bahkan Gak Liat lalu menegur.
‘Gu-sicu, mana gurumu dan Si Kuda Iblis?!
Gu Lai Kwan menjura ke arah Gak Liat yang dianggapnya
orang yang lebih tinggi kedudukannya, lalu menjawab sambil duduk di atas kursi
yang masih banyak yang kosong.
‘Siankouw.... eh, maksudku subo (Ibu Guru) tidak dapat
hadir sendiri dan mewakilkan kepada saya, juga Siangkoan suhu tidak dapat
datang, akan tetapi dalam waktu tiga hari suhu den subo akan datang ke
Tiang-koan-bun.!
Gak Liat mengangguk-angguk. Tak lama kemudian masuklah
tiga orang perwira Mancu dan agaknya para anggauta rapat sudah terkumpul semua,
buktinya Giam Cu, kakak iparnya bangkit berdiri dan menjura kepada semua orang
sambil berkata.
‘Cu-wi sekalian tentu sudah maklum mengapa saat ini
kita berkumpul semua di kota ini. Bertepatan dengan ulang tahun ke sepuluh dari
Hong-siang (Kaisar) yang bijaksana dan yang dalam sepuluh tahun telah
mendatangkan kemajuan pesat di negara kita, maka kita dihadapkan pada
pemberontak yang kini telah berkumpul semua di Se-cuan. Menurut perintah dari
Hong-siang sendiri, dalam tahun ini juga kita diharuskan menyerbu dan
menghancurkan pusat pemberontak itu dan untuk tugas ini telah diserahkan kepada
yang mulia Puteri Nirahai yang akan memimpin sendiri penyerbuan ke Se-cuan.
Kita semua sudah mengetahui akan kecerdikan dan keahlian Sang Puteri, maka kini
beliau telah mengutus Gak-locianpwe yang mewakili beliau untuk memimpin
penyerbuan ke Se-cuan. Maka kami serahkan kepada Gak-locianpwe yang akan
mengemukakan pendapat dan rencananya.! Giam Cu lalu duduk kembali dan menoleh
kepada Gak Liat, dan semua orang pun kini memandang kepada Si Setan Botak itu.
Kang-thouw-kwi Gak Liat menggaruk-garuk botaknya, lalu
berkata tanpa berdiri.
‘Sesungguhnya, dalam soal ketentaraan saya tidak
memiliki pengertian apa-apa dan untuk pelaksanaan penyerbuan, tentu saja saya
mengharapkan petunjuk-petunjuk para perwira tinggi yang sudah berpengalaman
dalam soal perang. Akan tetapi, untuk menghadapi para tokoh pemberontak yang
kabarnya memiliki banyak orang pandai, saya dan teman-teman siap untuk turun
tangan. Adapun Sang Puteri yang menyuruh saya mewakili beliau hanya mengatakan
bahwa penyerbuan harus dilakukan dengan rahasia sehingga pihak musuh tidak
sedang berjaga, dan di dalam suasana pesta ini kiranya mereka tidak akan
menyangka akan datangnya penyerbuan. Maka telah diputuskan oleh Sang Puteri
untuk melakukan penyerbuan pertama pada bulan depan hari ke tujuh.!
Han Han terkejut mendengar ini. Ah, kiranya tentara Mancu
akan melakukan penyerbuan besar-besaran tak lama lagi menggunakan kesempatan
selagi pihak Se-cuan tidak menyangka-nyangka karena dalam suasana pesta itu
agaknya tidak mungkin tentara Mancu akan melakukan penyerangan. Dan agaknya
Kaisar Mancu hendak mempergunakan penyerbuan Se-cuan ini sebagai hadiah ulang
tahunnya!
Han Han tidak begitu peduli akan perang, akan tetapi
mengingat akan keganasan tentara Mancu, ia dapat membayangkan betapa akan
sengsaranya rakyat yang tinggal di daerah Se-cuan dan ia merasa telah menjadi
kewajibannya untuk memberi tahu ke Se-cuan agar di sana orang dapat
berjaga-jaga. Apalagi kalau diingat bahwa banyak sahabat baiknya berada di
sana, bahkan Sin Lian sendiri pun tak lama lagi tentu akan masuk ke Se-cuan
bersama teman-temannya.
Akan tetapi, tidak mungkin ia meninggalkan Giam Kok Ma
begitu saja. Musuh besar yang paling dibencinya itu, Si Muka Kuning yang dahulu
memperkosa ibunya, telah berada di situ. Bagaimana ia dapat melewatkan
kesempatan baik ini begitu saja? Dia harus turun tangan melakukan pembalasan
terhadap perwira keji ini, baru ia akan memaksa Ouwyang Seng bicara tentang
Lulu. Setelah itu, barulah ia akan pergi ke Se-cuan untuk menyampaikan berita
penyerbuan itu kepada Wan Sin Kiat!
Dengan sabar ia mendengarkan semua percakapan mereka dan
mengingat-ingat nama tempat-tempat yang akan dijadikan dasar tempat penyerangan
mereka, tempat-tempat di pihak musuh yang akan diserbu dan lain-lain. Tentu
saja Han Han tidak dapat ingat semua, akan tetapi setelah mengingat beberapa
nama tempat yang penting, ia merasa sudah cukup. Ketika pembicaraan yang
penting dihentikan dan pertemuan diubah menjadi pesta di mana mereka silih
berganti mengangkat cawan arak dan minum untuk memberi selamat kepada kaisar,
makan minum sambil tertawa-tawa, Han Han lalu melesat meninggalkan tempat
pengintaiannya, turun di belakang hotel lalu berjalan perlahan keluar dari
jalan samping ke jalan besar. Ia menyelinap di antara para penonton dan
menonton pertunjukan silat dan barongsai yang dimainkan di panggung dekat
hotel. Dari tempat ia menonton, di antara ratusan orang penonton, ia dapat
melihat ke arah hotel untuk memata-matai orang yang keluar dari tempat itu.
Betapa mengkal hati Han Han ketika ia menanti hampir
tengah malam, belum ada juga yang keluar dari hotel, apalagi Giam Kok Ma yang
ia tunggu-tunggu munculnya. Ia mulai tidak sabar dan sudah melangkahkan kaki
untuk turun tangan di hotel itu saja, tidak peduli di situ banyak terdapat
orang pandai!
Untuk membalas dendamnya, ia tidak takut mengorbankan
nyawanya. Kalau tadi ia bersikap hati-hati, bukan karena takut ia akan celaka.
Akan tetapi takut kalau gagal. Ia tidak rela mati sebelum ia mampu membalas
dendam ibunya! Akan tetapi ternyata sampai sekarang perwira muka kuning yang
ditunggu-tunggunya belum juga muncul.
Selagi bergerak terpincang-pincang tiga langkah,
tiba-tiba ia berhenti dan matanya memandang ke depan hotel. Sebuah kereta
datang dari luar memasuki halaman hotel itu, kereta yang dikusiri oleh seorang
berpakaian pengawal, dan di belakang kereta berdiri pula dua orang pengawal
memegang tombak!
Cepat Han Han menyelinap dan mengintai agak dekat
pekarangan hotel. Jantungnya berdebar dan diam-diam ia mengharap mudah-mudahan
jerih payahnya bersabar sejak tadi tidak akan sia-sia belaka. Wajah Han Han
berseri ketika tak lama kemudian ia melihat orang yang dituggu-tunggu muncul
dari dalam hotel itu. Giam Kok Ma!
Pemuda ini menggeget gigi ketika melihat wajah perwira
muka kuning yang amat dibencinya itu. Dan di samping orang ini berjalan
cihu-nya (iparnya), Giam Cu, Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan. Agaknya musuh
besarnya itu akan duduk sekereta dengan tiga orang ini. Dugaannya benar, sambil
tertawa bebas tanda pengaruh arak, mereka berempat memasuki kereta dan kusir
lalu memecut empat ekor kuda besar yang bergerak menarik kereta keluar dari
pekarangan hotel.
Tanpa diketahui oleh siapapun, Han Han menggunakan
kepandaiannya membayangi kereta itu. Di ujung kota sebelah barat, kereta
berhenti dan Han Han cepat mendekat sambil berjongkok di balik batu di pinggir
jalan. Dia mendengar Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan tertawa-tawa dan dua orang
muda itu keluar dari kereta. Kereta berjalan lagi keluar kota!
Han Han girang bukan main. Kesempatan yang amat baik ini sama
sekali tidak disangka-sangkanya. Akan tetapi di dalam kereta masih ada cihu-nya
dan dia tidak mau membawa-bawa cihu-nya dalam urusan membalas dendam ini. Dia
sudah berjanji kepada encinya untuk tidak mengganggu Giam Cu, dan kalau dia
turun tangan di depan cihu-nya lalu Giam Cu membantu musuh, agaknya ia akan
bisa lupa diri dan melanggar janji kepada encinya. Biarlah, dia akan tunggu
sampai dua orang itu berpisah, baru ia akan turun tangan. Kalau Giam Kok Ma
turun lebih dulu, ia akan menyergap pembesar ini di rumah tempat ia bermalam.
Kereta berhenti pula di depan kelompok rumah besar yang
agaknya merupakan rumah-rumah penginapan perwira. Giam Cu keluar dari kereta
sambil tertawa-tawa dan setelah perwira ini disambut oleh pengawal yang
mengantarnya masuk ke dalam, kereta bergerak lagi!
‘Thian menghendaki agar manusia terkutuk macam engkau
menerima hukuman!! Han Han berbisik dalam hatinya. Ketika kereta itu agak jauh
meninggalkan rumah itu dan agaknya hendak menuju ke tempat penginapan Giam Kok
Ma, Han Han meloncat ke atas dan sekali ia menggerakkan tangan, dua orang
pengawal yang berdiri di belakang kereta telah tewas dalam keadaan berdiri dan
tengkuk mereka patah.
Han Han meloncat ke belakang kereta sambil melemparkan
dua tubuh yang tak bernyawa lagi itu, kemudian ia meloncat lagi ke depan
kereta. Kusir kereta yang sedang mencambuki kuda agar berjalan lebih cepat
karena ia pun ingin sekali mengaso, terbelalak kaget ketika melihat bayangan
berkelebat dan tahu-tahu ada orang duduk di sampingnya. Namun ia tidak sempat
berteriak, tubuhnya sudah terlempar jauh dalam keadaan tidak bernyawa tagi. Han
Han menyambar kendali kuda dan menggerak-gerakkan cambuk yang mengeluarkan
bunyi meledak-ledak. Empat ekor kuda itu membalap cepat.
‘Heiiiii....! Mengapa terlalu cepat? Perlahan-lahan
saja, kepalaku pening.... ah! Heh, ke mana ini? Kenapa membelok ke kiri?!
Giam Kok Ma yang tadinya sudah setengah mabuk, tiba-tiba
merasa tengkuknya menjadi dingin sekali ketika mendengar suara tertawa dari
tempat kusir kereta. Suara ketawa itu aneh sekali, dan kusirnya tidak akan
berani tertawa seperti itu kalau ia tegur.
‘Heh, apa ini? Hayo berhenti....!! Giam Kok Ma
memukul-mukul pintu kereta sambil berteriak-teriak marah. ‘Penggwal, suruh
kusir berhenti dan beri sepuluh kali cambukan pada pantatnya!!
Akan tetapi tidak ada jawaban dari belakang. Giam Kok Ma
cepat menyingkap tirai bagian belakang dan.... betapa kagetnya ketika ia
melihat tempat pengawal di belakangnya itu sudah kosong! Ia melongok keluar
jendela, akan tetapi tidak dapat melihat wajah kusir karena gelap.
‘Berhenti....!! Ia berseru lagi dan kini kusir menahan
kuda, kereta pun berhenti.
Dengan kemarahan meluap-luap Giam Kok Ma yang juga
memiliki ilmu silat lumayan, meloncat keluar dari kereta sambil mencabut
pedangnya, pedang kebesaran. Kalau perlu akan membunuh kusir yang lancang ini,
dan ia bisa pulang dengan menunggang kuda!
Ia terheran-heran dan menjadi ngeri melihat seorang yang
buntung sebelah kakinya, yang turun dari tempat kusir, dengan sikap seenaknya
dan tenang sekali mencabut lampu kereta dan berjalan menghampirinya, bukan
berjalan melainkan meloncat dengan kecepatan luar biasa sekali.
Han Han memegang lampu kereta, mengangkat lampu
tinggi-tinggi sehingga mereka berdua dapat saling memandang muka masing-masing.
Han Han memandang wajah yang kekuningan itu penuh kebencian, sedangkan Giam Kok
Ma agaknya tidak mengenal Han Han. Sungguhpun perwira ini merasa seperti pernah
melihat wajah tampan yang bermata seperti sepasang api bernyala dengan rambut
panjang terurai itu, namun ia tidak ingat pernah bertemu dengan seorang
laki-laki buntung seperti ini.
‘Siapa.... siapa engkau....? Di mana kusirku? Mana
pengawal-pengawalku?!
Han Han tersenyum, senyum yang tampak mengerikan dan
menyeramkan bagi Giam-ciangkun. ‘Giam Kok Ma, tidak perlu mencari kusir dan
pengawal-pengawalmu. Mereka telah kubunuh di tengah jalan tadi. Giam Kok Ma,
apakah engkau lupa kepadaku?!
‘Siapa.... siapa kau....?! Suaranya meragu karena kini
ia teringat akan suara ini, suara orang yang pernah membuat ia tidak enak makan
tidak nyenyak tidur.
‘Ingatlah baik-baik, pandang mukaku. Lupakah engkau
akan peristiwa terkutuk yang kau lakukan di Kam-chi dekat Nan-king, di sebuah
dusun kecil di mana engkau melakukan perbuatan terkutuk di rumah keluarga Sie
Bun An?!
‘Kau.... kau....?!
‘Benar! Kulihat engkau mulai teringat. Tentu engkau
ingat akan anak laki-laki yang berteriak-teriak seperti gila ketika engkau
memperkosa ibunya, kemudian engkau membunuh ibu anak itu, kawan-kawanmu
membunuh seluruh keluarga anak itu, merampas barang-barangnya! Akulah anak itu!
Akulah anak yang kaulemparkan ke dinding! Ingat?! Pandang mata Han Han seperti
pandang mata beekor harimau marah.
Giam Kok Ma menggeleng-geleng kepalanya dan berteriak,
‘Tidak.... tidak....! Ah, tolooonggg....!!
Han Han tersenyum lebar. ‘Benar kata orang bahwa
manusia yang berhati kejam sebenarnya adalah seorang pengecut besar! Giam Kok
Ma, bersiaplah engkau untuk menebus dosamu, menerima hukumanmu atas perbuatanmu
yang terkutuk terhadap Ibuku!! Han Han melangkah maju karena perwira itu dengan
muka sepucat mayat kini mundur-mundur, agaknya siap untuk melarikan diri.
Akan tetapi kemudian perwira itu menguatkan hatinya.
Orang ini kakinya buntung dan dia sendiri memegang pedang! Masa tidak akan
dapat melawan seorang buntung?
‘Mampuslah, buntung!!
Makian ini dikeluarkan oleh Giam Kok Ma untuk membesarkan
hatinya dan menggugah keberaniannya dan pedangnya berkelebat membacok ke arah
muka yang mengerikan hatinya itu. Akan tetapi Han Han menggerakkan tangan dan
Giam Kok Ma tidak tahu entah bagaimana, nemun pedangnya sudah berpindah ke
tangan kiri Han Han yang memegang tongkat!
Han Han tersenyum, senyum seorang yang dikuasai kemarahan
dan kekejaman. ‘Bagus, Giam Kok Ma, masih ada lagikah perlawananmu? Jika
engkau melawan, sedikitnya engkau memperkecil sebutan pengecut!!
Kedua kaki perwira itu mulai menggigil, mukanya sudah
tidak ada sinar merahnya lagi. Ia hendak lari, akan tetapi kedua kakinya tidak
mempunyai kekuatan lagi dan dia menjadi nekat, tangannya dikepal dan
dihantamkan ke dada Han Han.
‘Bukkk! Aughhh....!! Perwira itu memegangi kepalan
tangan kanannya yang terasa nyeri sekali, seolah-olah ia tidak memukul dada,
melainkan memukul baja. Serasa remuk tulang-tulangnya! Saking takutnya tanpa ia
sadari lagi celananya menjadi basah!
Kiranya rasa ngeri dan takut membuat perwira yang
biasanya galak ini menjadi terkencing-kencing! Tiba-tiba ia menggerakkan
kakinya, membalikkan tubuhnya dan hendak lari. Akan tetapi ia terguling oleh
sabetan tongkat pada kakinya. Han Han mengempit tongkatnya, mengangkat lampu
kereta dan kini pedang rampasan di tangannya berkelebat.
‘Brettt-brettt....!! Pakaian pembesar itu koyak-koyak
dan ia telanjang bulat. Pedang itu telah merobek semua pakaiannya tanpa
menggores sedikit pun kulitnya! Giam Kok Ma menggigil, bukan karena dingin
setelah ia telanjang bulat, melainkan saking takutnya. Tanpa malu-malu lagi ia
merangkak bangun dan berlutut, bersoja-kwi (menyembah-nyembah) sampai dahinya
penuh debu tangan dan ia meratap.
Taihiap.... ampunkan.... ampunkan hamba....
ampuuunnnnn....!! Dan ia menangis mengguguk seperti anak kecil!
Akan tetapi sepasang mata Han Han mengeluarkan sinar yang
lebih ganas dan beringas daripada tadi. Di bawah sinar lampu kereta ia melihat
tubuh perwira yang telanjang bulat itu berlutut dan menyembah-nyembah,
mengingatkan ia akan keadaan perwira itu belasan tahun yang lalu di kamar
ibunya! Mengingatkan ia ketika perwira itu memperkosa ibunya! Ia seolah-olah
dapat melihat ibunya di bawah tubuh perwira itu, ibunya yang meronta-ronta,
menggeliat-geliat dan merintih-rintih!
‘Bedebah! Keparat! Manusia berhati iblis! Manusia
terkutuk! Terimalah hukumanmu!!
Giam Kok Ma mengangkat muka, ketika melihat wajah Han Han
yang beringas di bawah sinar lampu kereta, semangatnya seperti terbang
meninggalkan tubuhnya. ‘Aduhhh.... ampunkan, taihiap.... apa.... apa yang
akan taihiap lakukan....?!
‘Apa yang akan aku lakukan? Ha-ha-ha, Giam Kok Ma, apa
yang dulu kau lakukan kepada Ibuku? Jawablah.... heh-heh, jawab!!
‘Ampunnn....!!
‘Giam Kok Ma, ingatkah engkau betapa tangan-tanganmu
yang kotor itu menyentuh Ibuku, menelanjangi Ibuku? Hemmm, ingatlah peristiwa
itu dan rasakan hukumanmu!!
Pedang itu berkelebat, Giam Kok Ma menjerit dan
merintih-rintih sambil momegangi tangan kirinya yang tidak berjari lagi. Kelima
jari tangan kirinya telah dibabat putus tanpa ia rasai dan tahu-tahu ia hanya
merasa perih dan jari-jari tangannya sudah lenyap!
‘Ampum.... aduh, ampun....!!
‘Manusia terkutuk, ingatlah engkau akan ratap tangis
Ibuku! Betapa engkau tertawa mengejek ketika memperkosanya dan dia
menjerit-jerit, betapa engkau dan kawan-kawanmu tertawa ketika kau bunuh
seluruh keluargaku! Betapa tanganmu yang menjijikkan mengotori Ibuku kemudian
membunuhnya. Terimalah hukumanmu!!
Kembali tampak sinar pedang berkelebat menyambar dan kini
kelima buah jari tangan Giam Kok Ma terbang lenyap, yaitu jari tangan kanan
yang memegangi tangan kiri yang sudah tak berjari itu.
‘Aduhhhh.... mati aku.... aduh, ampunnnn....
taihiap....!!
‘Mintalah ampun kepada Tuhan, atau mintalah ampun
kepada iblis! Akan tetapi jelas aku tidak dapat mengampunimu!! Pedang di tangan
Han Han berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, disusul jerit-jerit
mengerikan yang keluar dari mulut Giam Kok Ma! Darah muncrat-muncrat dan
keadaan perwira yang bertelanjang bulat itu benar-benar amat mengerikan.
Jari-jari tangannya putus semua, disusul jari-jari kakinya, kemudian alat kelaminnya
dibabat pedang sehingga terputus. Darah muncrat-muncrat,
Giam Kok Ma tidak dapat menjerit lagi, hanya berkelojotan
dan mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih. Han Han tertawa, suara
ketawanya tidak seperti manusia, sepertinya iblis telah menguasai dirinya dan
suara itu adalah suara ketawa iblis sendiri yang menyoraki kemenangannya!
‘Ha-ha-ha-ha! Rasakan engkau! Hendak kulihat apakah
engkau ini akan mampu lagi memperkosa wanita! Ha-ha-ha!!
Sejenak Han Han seperti menikmati pemandangan yang
disinari lampu kereta di tangannya itu. Tubuh telanjang bulat yang mandi darah,
yang menggeliat-geliat dan berkelojotan, sepasang mata di muka calon mayat yang
terbelalak penuh ketakutan, mulut yang menjadi menceng saking menahan rasa
nyeri menusuk-nusuk. Kemudian Han Han tertawa lebih keras.
‘Ha-ha-ha! Lihatlah Ibu! Lihatlah musuh besarmu!!
Pedangnya yang sudah merah itu bergerak dan kini menyayat-nyayat kulit tubuh
telanjang itu. Tidak terlalu dalam, hanya menggurat-gurat kulit sehingga kulit
di seluruh tubuh Giam Kok Ma pecah disayat-sayat, dan seluruh tubuh dari muka
sampai ke kakinya menjadi merah oleh darahnya sendiri!
Bukan main rasa nyeri diderita orang ini karena pedang
itu tidak menggurat terlalu dalam sehingga dia tidak pingsan. Dalam keadaan
sadar merasai siksaan seperti itu benar-benar amat mengerikan. Sambil terus
tertawa-tawa pedang Han Han berkelebat, terdengar jerit terakhir Giam Kok Ma
ketika ujung pedang memasuki rongga perut, dari ulu hati terus merobek ke
bawah, sehingga terbukalah perutnya, usus dan semua isi perut yang tidak
tertutup lagi itu berhamburan keluar semua!
Han Han masih belum puas, karena iblis kebencian dan
dendam masih menguasai hatinya. Pedangnya menyambar-nyambar. Leher itu putus,
disusul pinggang dan dalam sekejap mata saja tubuh Giam Kok Ma sudah putus
menjadi beberapa potong!
Han Han berdiri terengah-engah, tak bergerak seperti
patung, memandang daging-daging berdarah yang berceceran di depannya, matanya
terbelalak, hidungnya kembang-kempis dan pedang bernoda darah di tangan kiri,
lampu di tangan kanan. Tiba-tiba kerongkongannya mengeluarkan suara keluhan
aneh, matanya yang terbelalak dan yang tadi bersinar ganas dan liar, kehilangan
sinar itu, terganti sinar penuh takut dan ngeri.
Dengan tangan menggigil ia melempar pedang yang
berlumuran darah itu ke atas tanah. Matanya tak pernah berkedip memandang
daging berceceran itu, kini kedua pundaknya yang menggigil seolah-olah ia
diserang demam.
‘Tidak! Tidak!! Ia menggeleng-geleng kepalanya
seolah-olah tidak percaya bahwa pemandangan mengerikan itu adalah akibat
perbuatannya. Kemudian ia mengangkat kedua tangan menutupi muka, terus
menggeleng-geleng kepalanya dan tubuhnya bergoyang-goyang seperti pohon muda
terlanda angin besar.
‘Tidak....! Tidak mungkin....!! Ia berteriak, kemudian
menurunkan tangan dan memandang ke kanan kiri mencari-cari.
‘Iblis....! Iblis menguasai aku! Iblis, di mana
engkau....? Harus kuhancurkan engkau!!
Tubuhnya melesat ke sana ke mari, tongkatnya berkelebatan
dan terdengarlah suara hiruk-pikuk. Kereta hancur, empat eker kudanya terlepas
dan lari ketakutan. Pohon-pohon di sekitar tempat itu jebol dan tumbang.
Akhirnya Han Han roboh terkulai di atas tanah dan
menangis. ‘Ibu.... Ibu.... mengapa aku menjadi begini? Iblis.... mengapa aku
begini kejam dan ganas? Ah, Giam Kok Ma, engkau boleh jadi seorang manusia
jahat dan kejam, telah memperkosa Ibuku dan membunuh keluargaku. Akan
tetapi.... ya Tuhan.... yang aku lakukan tadi.... ah, jauh lebih kejam....! Giam
Kok Ma, engkau manusia keji dan jahat, akan tetapi aku tidak lebih baik
daripada engkau....!!
Tiba-tiba Han Han mencelat dan lenyap dari situ, di dalam
gelap masih terdengar suaranya, ‘Tuhan.... ampunkan aku.... Ayah Ibu,
ampunkan aku....!! Disusul suara tangisnya dan tubuhnya berkelebatan keluar
dari tempat itu, menuju ke kota Toang-koan-bun kembali.
Peristiwa yang terjadi di hutan itu, yang amat
mengerikan, adalah peristiwa yang sering kali terjadi pada setiap manusia.
Manusia adalah mahluk yang sebenarnya amat lemah menghadapi nafsu-nafsunya
sendiri. Sekali nafsu menguasai diri, pertimbangannya menjadi miring, akal
diperalat pemuasan nafsu, dan budi lenyap sinarnya, tertutup oleh uap hitam
dari nyala nafsu yang berkobar.
Han Han dikuasai nafsu dendam kebencian yang
bertahun-tahun ditekannya, kini meledak dan sepenuhnya menguasai dirinya
sehingga ia melakukan pembalasan dendam yang amat kejam, tidak kalah kejamnya
dengan perbuatan yang dilakukan Giam Kok Ma sendiri ketika perwira itupun
dikuasai nafsunya. Setelah iblis atau nafsu meninggalkannya dan ia sadar,
penyesalan datang menimpanya. Baru terbuka mata pemuda itu betapa kejam dan
kelirunya perbuatannya tadi, baru teringat olehnya akan wejangan-wejangan
kebatinan yang pernah dibacanya bahwa membalas kekejaman dengan kekejaman,
membalas kejahatan dengan kejahatan, adalah perbuatan manusia yang lemah.
‘Lulu.... ah, Adikku Lulu.... di mana engkau....?! Han
Han berloncatan dan kini ia mengeluh memanggil-manggil nama adiknya. Ia merasa
seperti hanyut terbawa air yang deras, hanyut tidak berdaya dan tidak ada
sesuatu yang dapat menolongnya kecuali Lulu yang merupakan bayang-bayang di
permukaan air yang menghanyutkan. Kalau berjumpa dengan Lulu, tentu dia tidak
akan sengsara seperti ini.
Teringat akan Lulu, hati Han Han berduka dan ia kini
berjalan perlahan dibantu tongkatnya, menuju ke Tiang-koan-bun yang sudah
tampak dalam cuaca pagi yang remang-remang.
‘Aihhhhh....!!
Jerit yang hanya satu kali ini, seolah-olah mulut yang
menjeritnya itu kena dekap, cukup bagi Han Han. Itulah jerit yang keluar dari
mulut seorang wanita! Tubuhnya melesat ke kiri, memasuki hutan kecil dari mana
ia mendengar suara jerit itu. Dan di belakang beberapa buah batu gunung yang
besar, ia melihat pemandangan yang membuat mukanya menjadi merah sekali.
Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan sambil tertawa-tawa sedang
mempermainkan seorang wanita muda yang cantik. Lai Kwan menelikung lengan
wanita itu dari belakang dan mendekap mulutnya. Wanita yang kelihatannya
memiliki kepandaian itu meronta-ronta dan sambil tertawa-tawa Ouwyang Seng
merenggut pakalan wanita itu sehingga terlepas dari tubuhnya dan terobek,
membuka dan menelanjangi tubuh yang berkulit kuning langsat! Di atas tanah
menggeletak tiga orang laki-laki tua yang sudah tewas.
Bab 34
‘Kuda betina ini liar! Lebih baik bunuh saja sekali
pemberontak ini!! Lai Kwan berseru karena la kewalahan juga menelikung gadis
yang meronta sekuat tenaga itu.
‘Wah, sayang kalau dibunuh begitu saja, Lai Kwan. Dia
manis sekali, heh-heh!! Ouwyang Seng meraba dada yang telanjang itu. ‘Kita
permainkan dulu sepuas kita, baru dibunuh. Lai Kwan, apakah engkau tidak
mau....?!
Wajah Lai Kwan merah sekali. ‘Aku.... aku.... tidak
pernah, Kongcu....!
‘Ha-ha-ha-ha! Benar-benar engkau masih hijau! Engkau
lihatlah aku, sesudah aku, engkau boleh belajar, ha-ha!!
‘Akan tetapi.... itu.... itu perbuatan bejat....! Lai
Kwan berkata lagi.
Ouwyang Seng yang sudah hendak merangkul gadis yang tak
berdaya itu, membalik dan memandang Lai Kwan. ‘Ucapanmu sungguh tolol Lai
Kwan. Engkau tahu siapa gadis ini? Seorang pemberontak! Dia agaknya seorang
petugas pemberontak yang memata-matai kita, yang hilir mudik lewat perbatasan.
Dia ini amat berbahaya, dia musuh kita! Apa salahnya kalau sebelum dibunuh kita
menikmati tubuhnya yang indah, wajahnya yang manis ini? Sayang bukan kalau
kembang yang harum dibuang begitu saja sebelum kita kenyang menciuminya dan
mengambil sari madunya?!
Gadis itu meronta-ronta dan hampir terlepas dari pegangan
Lai Kwan. ‘Kau totok dia agar lumpuh, Kongcu. Wah, dia kuat bukan main!!
‘Ha-ha-ha, lebih baik dia meronta-ronta begitu daripada
ditotok lumpuh seperti orang mati! Rebahkan dia di rumput dan kau pegangi kedua
tangannya, Lai Kwan. Biarkan kakinya menendang-nendang, ha-ha-ha!!
‘Tidak, Kongcu.... aku.... aku malu melihatnya. Biar
kuikat dia.... eh, dia terlepas....!!
Lai Kwan yang melepaskan sebelah tangan untuk memegangi
tali hitam yang tergulung dan tergantung di punggungnya, yaitu yang biasanya ia
pergunakan sebagai senjata tidak kuasa lagi menahan ketika gadis itu meronta
dan terlepas, kemudian gadis itu membalik cepat, mengirim tendangan ke arah
selangkangan Lai Kwan dengan cepat dan kuat. Lai Kwan terkejut dan terpaksa ia
meloncat ke belakang sambil melepaskan senjatanya, tali hitam.
‘Ha-ha-ha, biarkan dia lepas, mari kita kejar dan
tangkap lagi, lebih menggembirakan begitu. Ha-ha, lari tanpa pakaian ia
kelihatan menarik sekali!! Ouwyang Seng tertawa.
Cadis yang sudah telanjang bulat itu malu bukan main dan
membalikkan tubuh melarikan diri. Lai Kwan menggerakkan tangan, tali hitam yang
dipergunakan sebagai cambuk itu mengeluarkan bunyi meledak dan meluncur ke
depan, hendak menjerat leher si gadis yang melarikan diri.
‘Ahhh....!! Tiba-tiba Lai Kwan berseru kaget. Ujung
talinya tertahan dalam gigitan seorang pemuda berkaki buntung yang tahu-tahu
telah berdiri di depannya! Gadis telanjang itu lenyap di balik batu besar.
‘Engkau.... Sie Han sute....?! Lai Kwan berseru kaget.
‘Ha-ha-ha, kiranya Han Han si bocah gembel itu masih
hidup! Lai Kwan, jadi dia ini sutemu? Punya sute kurang ajar macam itu, tangkap
saja dia!! Ouwyang Seng bertolak pinggang dan memandang dengan kening berkerut.
Gu Lai Kwan mengerahkan tenaganya dan membetot-betot tali
hitam. Kalau si buntung ini tidak mau melepaskan gigitannya, tentu akan rontok
giginya, pikir pemuda ini. Akan tetapi, betapapun ia nengeluarkan semua
tenaganya, tali itu tetap tak bergerak sedikit pun dari gigitan Han Han!
‘Han Han, lepaskan senjataku!! Lai Kwan membentak.
‘Kalau tidak....!
Tiba-tiba Lai Kwan terjengkang dan cepat ia menggulingkan
tubuhnya. Kalau ia tadi kurang cepat bergerak, tentu ia akan kena hantaman
senjatanya sendiri yang tiba-tiba meluncur ke arah mukanya ketika Han Han
melepaskan gigitannya. Ia sudah meloncat bangun dan menghadapi Han Han dengan
muka merah.
‘Gu Lai Kwan, sampai begini jauhkah engkau menyeleweng?
Engkau tidak saja menghamba kepada pemerintah Mancu, hal yang masih dapat
dimengerti dan dimaafkan, akan tetapi engkau menjadi pembantu Ouwyang-kongcu,
membantunya hendak memperkosa wanita! Ke manakah perginya kegagahanmu sebagai
murid In-kok-san?!
‘Han Han, kaki buntung yang lancang mulut dan sombong!
Wanita itu adalah seorang pemberontak, seorang tawanan. Seorang tawanan boleh
diperlakukan sesuka hati yang menawannya. Engkau mau apa? Aku tidak memperkosa
wanita!!
‘Lai Kwan, bocah buntung ini sudah begitu menghinamu.
Perlu apa banyak bicara lagi? Mungkin dia kini pun sudah menjadi kaki tangan pemberontak.
Tangkap saja atau bunuh!! Ouwyang Seng berseru.
Lai Kwan memang merasa agak jerih kepada Han Han. Dia
maklum bahwa Han Han telah mewarisi ilmu kepandaian dari Pulau Es. Akan tetapi
karena sekarang Han Han sudah buntung kakinya, biarpun tadi sin-kangnya masih
luar biasa sehingga dia tahu takkan dapat mengalahkan tenaga Han Han, dia
merasa yakin bahwa dalam pertandingan, pemuda yang buntung sebelah kakinya ini
tentu tidak lincah dan mudah dikalahkan. Apalagi di situ ada Ouwyang-kongcu
yang ia tahu memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari padanya.
‘Han Han, engkau menyerahlah agar tidak perlu kami
menggunakan kekerasan merobohkanmu!!
Han Han menghela napas panjang. ‘Sayang seorang muda
perkasa seperti engkau, kini tidah lebih hanya seperti seekor anjing yang suka
menjilat apa saja atas perintah majikannya.!
‘Keparat buntung!! Lai Kwan marah sekali dan tali hitam
di tangannya bergerak, mengeluarkan suara ‘tar-tar!! dan berubah menjadi
segulungan sinar hitam yang menyambar ke arah kepala Han Han.
‘Wuuuttttt....!! Han Han menundukkan kepala dan sinar
hitam itu menyambar lewat atas kepalanya, membuat rambutnya berkibar. Dari
belakang, sinar hitam itu membalik dan kini ujung cambuk menotok tiga jalan
darah di tengkuk, punggung dan lambung.
Han Han masih tidak bergerak, bahkan tidak mengelak sama
sekali. Girang hati Lai Kwan. Ilmu cambuknya memang lihai dan kalau sekali
luput menyerang dari depan, ujung cambuk itu disendal kembali dan dari belakang
tubuh lawan dapat melakukan penyerangan yang lebih dahsyat lagi tanpa diduga
lawan sehingga serangan membalik inilah yang sering kali merobohkan lawan. Kini
agaknya Han Han tidak menduganya, maka ia merasa yakin bahwa tiga kali totokan
ujung cambuknya akan mengenai sasaran secara tepat sekali.
‘Tes! Tes! Tes!! Memang tiga kali totokan ujung cambuk
itu mengenai sasaran dengan tepat. Akan tetapi Han Han sama sekali tidak
bergeming, apalagi roboh seperti yang dan disangka Lai Kwan. Malah Han Han
sudah menggerakkan tangan kanan menangkap cambuk itu, dan tongkat di tangan
kirinya meluncur ke depan menotok ke arah pergelangan tangan Lai Kwan yang
memegang cambuk.
‘Ayaaaaa....!! Lai Kwan cepat meloncat ke belakang dan
terpaksa ia harus melepaskan cambuknya.
‘Lai Kwan, jangan engkau turut campur. Aku mengajukan
pertanyaan yang harus dijawab oleh Ouwyang Seng!!
‘Setan buntung sombong kau! Lai Kwan, hayo kita bunuh
dia!! Ouwyang Seng berteriak keras dan sekali tangan kanannya bergerak, ia
telah mencabut pedang dari punggungnya dan tampaklah sinar yang menyilaukan
mata. Pedang itu terbuat daripada logam yang putih dan sinarnya menyilaukan
seperti sinar matahari.
Lai Kwan yang sudah dirampas senjatanya, pulih kembali
ketabahannya melihat kawannya sudah mencabut pedang. Ia lalu berteriak keras
dan menubruk maju, mengerahkan tenaganya dan memukul dengan pukulan Swat-im
Sin-ciang dari tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah
ubun-ubun kepala Han Han dengan ilmu pukulan Toat-beng-tok-ciang yang
mengandung racun. Agaknya karena maklum akan kelihaian Han Han, sekali
menyerang Lai Kwan ingin merobohkannya dan telah mengeluarkan ilmu-ilmu
simpanannya sekaligus, dua macam pukulan sakti yang amat hebat dan sukar
dilawan!
Ouwyang Seng bukanlah seorang bodoh. Dia cerdik sekali
dan juga dia memiliki kepandaian tinggi. Selain menerima gemblengan Si Setan
Botak yang lihai sehingga ia mewarisi ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang, juga
pemuda bangsawan yang suka sekali mempelajari ilmu silat ini telah berguru kepada
banyak tokoh pandai, dan ia bahkan memiliki pedang terbuat daripada logam putih
yang luar biasa, pedang yang bernama Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) dan
Gak Liat sendiri telah menciptakan ilmu pedang yang diambil dari inti ilmu-ilmu
pedang yang pernah dipelajari Ouwyang Seng yaitu ilmu pedang yang diberi nama
Jit-kong Kiam-hoat, sesuai dengan nama pedangnya!
Sekali pandang saja, ketika Han Han menggigit cambuk,
kemudian kebal terhadap totokan, bahkan dalam segebrakan Han Han berhasil
merampas cambuk, mengertilah Ouwyang Seng, bahwa Han Han yang dahulu memang
amat lihai sehingga perlu dikeroyok oleh gurunya dan Ma-bin Lo-mo, kini setelah
buntung kakinya ternyata tidak kehilangan kelihaiannya! Maka ia menggunakan
saat Lai Kwan menerjang dengan dahsyat itu untuk meloncat pula dan pedangnya
yang berubah menjadi segulungan sinar menyilaukan, menyerang Han Han dari
belakang.
‘Syuuutttt.... syuuuttt....!! Dua pukulan sakti Lai
Kwan menghantam.
‘Ciuuutttt.... singggg....!!
‘Heiii....! Ayaaa....!!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lai Kwan dan
Ouwyang Seng ketika tiba-tiba tubuh Han Han melambung ke atas dan karena
gerakan Han Han ini amat tiba-tiba setelah serangan dari depan dan belakang
sudah dekat, tak dapat dicegah lagi hawa pukulan Lai Kwan bertemu dengan sinar
pedang Ouwyang Seng.
Keduanya kaget dan cepat menahan diri, namun tetap saja
mereka terpelanting ke kanan kiri. Dengan enak saja Han Han yang memegang
tongkat di tangan kiri dan cambuk di tangan kanan turun lagi, berdiri di atas
tanah dengan kakinya yang hanya satu tanpa dibantu tongkat.
‘Ouwyang Seng, jawablah, di mana adanya Lulu?!
Ouwyang Seng memandang marah. ‘Persetan dengan bocah
liar itu!! bentaknya dan pedangnya sudah meluncur ke depan menusuk dada Han
Han. Lai Kwan juga sudah menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi. Namun,
sekali lagi mereka berdua hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh
Han Han sudah pindah tempat.
‘Ouwyang Seng, jawablah. Dahulu kau yang menculik
Lulu....! Han Han berhenti untuk mencelat lagi ke lain tempat merghindarkan
serangan susulan dua orang pengeroyoknya, lalu menyambung, ‘.... dan Lulu
lari dari istana. Di manakah dia sekarang....?!
Ouwyang Seng menjadi penasaran bukan main. Dia dan Lai
Kwan menyerang dengan hebat secara berbareng, akan tetapi sampai tiga kali
berturut-turut Han Han lenyap begitu saja, gerakannya demikian cepat seperti
menghilang dan tahu-tahu sudah pindah tempat. Dan semua itu dilakukan oleh Han
Han dengan seenaknya, malah sambil bicara!
‘Dia sudah minggat, mana aku tahu?! Ouwyang Seng
menyerang lagi mendahului Lai Kwan yang kaget bukan main menyaksikan kehebatan
gerakan Han Han. Dulu sebelum buntung, tidak sehebat ini kelincahan Han Han.
Bagaimana sekarang setelah buntung malah menjadi begini lihai? Ia menubruk
maju, kini meloncat ke atas karena tadi ia melihat betapa Han Han selalu
mencelat ke atas kalau diserang. Ia hendak memapaki tubuh Han Han kalau
mencelat lagi ke atas menghindarkan serangan pedang Ouwyang Seng.
‘Ouwyang Seng bersumpahlah....! Han Han benar saja
mencelat lagi ke atas ketika sinar pedang yang menyilaukan itu meluncur ke arah
lehernya. Lai Kwan yang sudah meloncat, dengan girang memapaki tubuh Han Han
dengan dua pukulan saktinya.
‘Syuuut.... syutttt!! Lai Kwan berseru kaget karena
kembali pukulannya itu hanya mengenai angin kosong. Bayangan tubuh Han Han yang
tadi mencelat ke atas itu secara aneh meluncur ke kiri dan dengan enaknya turun
dan berdiri lagi melanjutkan kata-katanya, ‘.... bersumpahlah bahwa kau
benar-benar tahu di mana adanya Lulu!!
‘Setan! Mampuslah!! Kembali Ouwyang Seng menyerang, ia
tidak mau sembarangan menusuk atau membacok, melainkan memutar pedangnya
sehingga gulungan sinar pedangnya membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama
makin lebar dan lingkaran itu mulai mengurung tubuh Han Han! Lai Kwan juga
sudah menerjang maju dan siap menyambut dengan pukulan maut kalau Han Han
mengelak dari sinar pedang Ouwyang Seng yang kini benar-benar mengerahkan
segala kepandaiannya untuk merobohkan Han Han.
Han Han berdiri tenang saja, menanti sampai lingkaran
sinar pedang itu makin menyempit, makin menghimpit dirinya dan tiba-tiba pada
saat pedang meluncur dengan gerakan melingkar hendak membabat pinggangnya, Han
Han menggerakkan tangan dan seperti seekor ular hidup, pecut yang dirampasnya
dari tangan Lai Kwan tadi bergerak maju, menyambut pedang dan di lain detik
pedang itu sudah terbelit oleh cambuk hitam!
Ouwyang Seng berseru kaget dan mengerahkan tenaga
membetot untuk merampas kembali pedangnya, untuk melepaskan libatan atau kalau
perlu membabat putus cambuk itu dengan ketajaman pedang pusakanya. Akan tetapi
pedangnya seperti telah melekat dengan cambuk, sama sekali tidak bergerak.
‘Bersumpahlah....!! Han Han yang berdiri sambil
memegang ujung tali atau cambuk dengan tangan kanan, mempertahankan dengan
menyalurkan sin-kang menggunakan tenaga ‘menempel dan menyedot!.
Melihat kesempatan baik selagi Han Han mengadu tenaga dengan
Ouwyang Seng, Lai Kwan menerjang dari belakang menghantam punggung Han Han
dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-jiu yang amat kuat. Hawa dingin sekali
menyambar ke arah punggung sebelum kepalan yang memukul itu sendiri tiba.
‘Desssss....!! Lai Kwan merasa betapa hawa pukulan
amblas memasuki telapak tangan Han Han yang luar biasa dinginnya, seperti
sebongkah batu dilempar ke telaga.
‘Ayaaaaa....!! Ouwyang Seng yang masih membetot-betot
gagang pedangnya, tiba-tiba merasa betapa ada hawa dingin menyerangnya melalui
pedang dan tangannya, terus menjalar ke dadanya. Ia terkejut dan cepat
melepaskan pedangnya, terhuyung ke belakang dengan muka pucat
Lai Kwan yang kaget merasa betapa tenaga sin-kangnya
amblas, berseru keras dan tiba-tiba tubuhnya terlempar ke belakang sampai lima
meter lebih. Ia berbanting dan kepalanya pening, tubuhnya menggigil karena
terasa dingin sekali. Tadi ia dilontarkan oleh hawa pukulan yang dingin sekali
dari telapak tangan Han Han. Cepat ia duduk bersila untuk mengerahkan sin-kang
dan memulihkan kesehatannya maklum bahwa hawa pukulannya sendiri ditambah hawa
yang amat kuat telah membalik dan melukai dadanya!
‘Ouwyang Seng, apa sih sukarnya memberi keterangan
tentang Lulu?! Han Han menegur.
Ouwyang Seng bangkit berdiri dengan muka masih pucat.
Tahulah ia kini bahwa pemuda buntung di depannya ini luar biasa lihainya. Dia
akan menjadi manusia segoblok-gobloknya kalau masih nekat hendak melawan. Maka
ia tersenyum dan berkata.
‘Adikmu itu aneh seperti engkau, tidak mengenal budi
orang. Dia diangkat menjadi pelayan istana malah minggat dan kabar terakhir
yang kudengar, dia bersekongkol dengan pemberontak! Malah menjadi anak buah
Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho. Kini Pek-lian Kai-pang
telah berantakan, entah adikmu itu mati atau hidup, siapa yang tahu?!
Han Han memandang tajam penuh selidik. Tentang keadaan
Lulu setelah lari dari istana dan tinggal bersama Lauw-pangcu, dia sudah tahu.
Yang perlu ia ketahui adalah sekarang! Di mana adanya Lulu sekarang?
‘Ouwyang Seng, benarkah engkau tidak tahu di mana
adanya adikku sekarang?!
Ouwyang Seng menggeleng kepala.
‘Bersumpahlah!!
Sepasang mata pemuda bangsawan itu memancarkan kebencian.
‘Setan engkau, Han Han! Tidak percaya kepadaku? Baiklah, aku bersumpah bahwa
aku tidak tahu di mana adanya adikmu itu sekarang! Dan aku bersumpah lain kali
aku tentu akan berhasil mencabut nyawamu!!
Han Han mengerutkan keningnya. Ia tidak peduli akan
ancaman pemuda bangsawan ini. Ia kecewa mendengar bahwa pemuda itu tidak tahu
di mana adanya Lulu. Dengan sembarangan ia melemparkan cambuk dan pedang ke
atas tanah dan ia menghampiri Lai Kwan yang masih duduk bersila.
‘Lai Kwan, kalau aku mengingat bahwa engkau yang
membuntungi kakiku, kalau aku menuruti nafsu dendam, agaknya sekarang engkau
pun akan kehilangan sebuah kakimu. Akan tetapi aku tidak akan melakukan hal
bodoh dan keji itu, Lai Kwan, karena dahulu engkau hanya melaksanakan perintah
Toat-beng Ciu-sian-li. Dan mengingat akan hubungan di antara kita sewaktu kecil,
kuperingatkan kepadamu bahwa engkau telah tersesat. Menjadi sahabat atau kaki
tangan seorang pemuda bangsawan seperti Ouwvang Seng amat berbahaya, akan
menyeretmu ke jurang kemaksiatan dan kesesatan! Insyaflah engkau Lai Kwan, demi
kebaikanmu sendiri!!
‘Han Han manusia sombong engkau!! Ouwyang Seng memaki
dan menghampiri Lai Kwan, menarik lengan pemuda itu dan memaksanya bangun
berdiri. ‘Hayo, Lai Kwan, kita pergi. Muak aku mendengar ocehannya, dan jijik
aku melihat kakinya yang buntung!!
Han Han hanya menarik napas panjang untuk menekan
kemarahannya oleh penghinaan Ouwyang Seng itu. Semenjak kecil, pemuda bangsawan
itu menghinanya. Sampai sekarang pun, putera pangeran itu masih belum mengubah
wataknya yang angkuh, sombong den memandang rendah orang lain. Akan tetapi,
apakah dia sendiri pun seorang yang baik, lebih baik dari Ouwyang Seng?
Hemmn.., ia kini meragukan hal itu. Dia keturunan
bangsawan yang lebih jahat lagi, yang terkenal sebagai keluarga yang luar biasa
keji dan jahatnya. Keluarga bangsawan Suma sudah terkenal, bahkan kakeknya
sendiri dahulu adalah seorang yang berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga).
Jai-hwa-sian! Tidak sembarang penjahat cabul mendapat julukan Sian (Dewa),
tentu kejahatannya sudah melewati takaran! Menurut cerita Im-yang Seng-cu,
kakeknya itu sedemikian jahat dan kejinya sehingga tokoh besar Siauw-lim-pai
yang berniat hendak menyadarkannya masih dia bikin celaka!
Keluarganya, kakeknya, demikian jahatnya dan dia sendiri?
Dia telah melakukan hal-hal yang menimbulkan bencana, telah kesalahan tangan
membunuhi orang-orang yang tak berdosa, dan dia telah menyiksa Giam Kok Ma
secara kejam sekali, sungguh bukan seperti manusia lagi. Darah keluarga Sumakah
ini? Maka ia menekan kemarahannya dan membiarkan Ouwyang Seng bersama Gu Lai
Kwan pergi setelah mereka mengambil senjata masing-masing.
‘Kenapa kau membiarkan mereka pergi? Kejar dan
bunuhlah! Mereka itu adalah orang-orang penting dari kerajaan penjajah! Kalau
kau membunuh mereka, kau akan berjasa besar dan Bu-ongya tentu akan berterima
kasih sekali. Si bedebah itu adalah putera Pangeran Ouwyang Cin Kok!! Suara
wanita itu nyaring dan penuh semangat. Han Han berkata suaranya lemah, sama
sekali tidak bersemangat.
‘Saya bukan anak buah Bu Sam Kwi.!
‘Ehhh! Kalau begitu, kenapa kau menolong aku?!
Mendengar suara yang lincah galak dan nyaring, yang
mengingatkannya akan adiknya, Han Han seperti tergugah dari lamunan dan ia
tersenyum sambil membalikkan tubuh. Matanya terbelalak melihat gadis itu yang
muncul dari balik batu besar masih telanjang bulat! Telanjang seperti bayi baru
lahir akan tetapi juga begitu wajar seolah-olah gadis itu lupa bahwa dia tidak
berpakaian sama sekali.
Gadis itu memandahg ke arah lenyapnya bayangan Ouwyang
Seng dan Gu Lai Kwan, wajahnya yang cantik itu kelihatan marah dan penasaran
sekali, agaknya ia merasa amat menyesal mengapa dua orang musuh penting seperti
mereka itu, setelah dikalahkan, tidak dibunuh.
Han Han masih terbelalak. Selama hidupnya, baru sekali
ini ia melihat seorang wanita berdiri telanjang bulat di depannya, dan baru
sekali ini melihat pemandangan yang begini menggairahkan, begini mempesonakan
sehingga dia berdiri melongo seperti terkena hikmat mukjizat.
Tiba-tiba gadis itu seperti merasa ada sinar mata panas
merayapi kulit tubuhnya yang halus, ia membalik menghadapi Han Han. Melihat
sinar mata pemuda itu, agaknya gadis yang tadi diperga ruhi kemarahan dan
penasaran sehingga lupa akan keadaan dirinya, baru teringat. Ia menjerit kecil,
jari-jari tangan kanannya cepat menutup tubuh bagian bawah sedangkan jari-jari
tangan kirinya otomatis berusaha menutupi dadanya yang tentu saja tidak membawa
hasil baik seperti yang diharapkan. Mata gadis itu yang tajam bersinar-sinar
kini kelihatan marah sekali, wajahnya merah seperti udang direbus dan mulutnya
mencaci-maki!
‘Laki-laki! Engkau sama saja seperti mereka! kurang
ajar, genit tak tahu malu....!!
Han Han yang tadinya hanya membelalakkan mata, kini
membuka mulutnya pula dan tarpa memindahkan matanya dari penglihatan yang amat
mempesonakan itu ia berkata gagap,
‘Nona.... eh.... apa maksudmu....?!
‘Matamu itu! liar! Mata cabul! Matamu melihat apa,
heh?!
Baru sekarang Han Han berkedip, wajahnya pucat. Celaka,
ini tentu gara-gara darah kakeknya! Ia menampar kepalanya sendiri, begitu keras
sehingga ia terpelanting!
‘Eh....! Eh, apa kau gila....?!
Akan tetapi Han Han tidak mempedulikan teguran ini,
tongkatnya bergerak hendak memukul kepalanya. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu
meloncat maju dan menangkap tongkat itu.
‘Eh, kau benar sudah gila! Celaka benar....!!
Han Han teringat bahwa kalau tadi ia melanjutkan
pukulannya dengan tongkat ke arah kepalanya, tentu kepalanya sudah pecah dan
nyawanya akan melayang. Ia menghela napas panjang, meloncat bangun membelakangi
gadis itu, tangan kirinya dilonjorkan ke arah tumpukan pakaian gadis itu yang
robek-robek dan sekali ia menggerakkan tangan.... pakaian itu seperti hidup,
terbang ke arah tangannya! Gadis itu memandang dengan mata terbelalak penuh
kagum. Han Han lalu menyodorkan pakaian itu ke arah Si Gadis di belakang
tubuhnya tanpa menengok berkata.
‘Nih, pakaianmu, pakailah Nona!!
Gadis itu menyambar pakaiannya dan memakainya. Karena
pakaian itu robek di bagian depan, maka ia memakai pakaian dalam berwarna merah
muda itu dengan terbalik, yaitu bagian punggung yang tidak robek ditaruh di
depan sehingga yang robek adalah bagian belakang, kemudian menutupi pakaian
dalam itu dengan pakaian luarnya. Biarpun pakaian luar ini robek di bagian
depan, akan tetapi tubuhnya sudah tertutup aman oleh pakaian dalam yang dibalik.
Sambil memegangi bagian depan yang robek itu ia berkata.
‘Sudah.... sudah kupakai....!
Barulah Han Han berani membalikkan tubuhnya dan mukanya
kini merah sekali ketika ia bertemu pandang dengan sinar mata gadis itu. Ia
menunduk dan berkata,
‘Maafkan aku, Nona. Aku tadi telah bersikap tak tahu
malu. Engkau benar, mataku memang kurang ajar, .... selamat tinggal....!! Ia
lalu melangkah pergi, berjalan terpincang-pincang dibantu tongkatnya dengan
tubuh lemas.
‘Eh, nanti dulu....!! Akan tetapi Han Han tidak menoleh
dan melanjutkan langkah kakinya. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti mendengar
suara tangis yang amat memilukan. Hebat bocah ini, pikirnya. Tangisnya pun
seperti tangis Lulu! Ia menghela napas dan menengok. Ketika melihat betapa gadis
itu memeluki tubuh seorang di antara tiga buah mayat yang menggeletak di situ,
hatinya terharu. Apalagi ketika gadis itu dalam tangisnya menyebut ‘ayah....
ayah....! ia lalu meloncat dan sekali loncat saja ia sudah berdiri di belakang
gadis itu.
Dilihatnya bahwa yang ditangisi gadis itu adalah mayat
seorang laki-laki tua yang usianya tujuh puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil.
Mayat ke dua adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang usianya
juga lima puluh tahun lebih, mayat ke tiga seorang laki-laki berusia enam
puluhan tahun yang kepalanya besar.
‘Nona, yang sudah mati tiada guna ditangisi, takkan
hidup kembali....!
Tiba-tiba nona yang menangis itu membalik dan meloncat
bangun. Agaknya ia kaget mendengar suara Han Han yang disangkanya sudah pergi
itu karena kedatangan Han Han sama sekali tidak diketahuinya. Ketika melihat
bahwa yang menegurnya adalah pemuda pincang yang aneh itu, ia marah sekali.
‘Kau....! Aku sudah tahu bahwa orang mati tidak akan
hidup kembali, akan tetapi aku menangisi kematian Ayahku, apa sangkut-pautnya
denganmu? Kenapa kau melarang? Aku tidak meminjam air matamu untuk menangis.
Kau benar-benar menjemukan!
Tiba-tiba gadis itu menerjang maju, gerakannya ringan dan
cepat sekali dan tahu-tahu jari telunjuknya sudah menotok jalan darah di dada
Han Han. Pemuda ini kaget, bukan karena kecepatan gerak tangan gadis itu yang
cukup mengagumkan hatinya, melainkan kaget karena melihat gadis itu marah-marah
seperti itu.
Dia tidak takut menerima totokan jari telunjuk ini, akan
tetapi kalau ia menutup jalan darah dan mempergunakan sin-kang menerima
totokan, tentu gadis itu akan merasa makin tersinggung di samping telunjuknya
yang kecil runcing bisa patah tulangnya. Maka Han Han lalu miringkan tubuhnya
mengelak.
Akan tetapi sungguh di luar dugaannya bahwa tangan yang
luput menotok itu cepat sekali sudah membalik, telunjuk kiri itu kembali
menotok lambung, sedangkan telunjuk kanan menotok pundak! Heran dia, gadis ini
dapat bergerak cepat sekali dan caranya menotok jalan darah juga aneh, hanya
dengan sebuah jari telunjuk, tidak dengan dua jari seperti yang lajim dilakukan
ahli totok jalan darah!
‘Plak-plak-plak....!! Han Han menangkis dengan telapak
tangannya, menepuk lengan gadis itu dengan pengerahan sedikit tenaga. Gadis itu
kelihatannya penasaran sekali, bergerak lebih cepat lagi dan kini
totokan-totokannya mengarah jalan darah yang mematikan! Han Han tertarik dan
kagum.
Gerakan gadis ini benar-benar luar biasa cepatnya dan
agaknya dalam hal kecepatan tidak kalah oleh Sin Liang sungguhpun keistimewaan
ilmu sitatnya hanyalah totokan-totokan satu jari. Ternyata gadis ini adalah
seorang ahli totok satu jari yang memiliki gin-kang cukup hebat, sungguhpun
tentu saja tidak secepat Lulu gerakannya! Ia pun mengimbangi kecepatan gadis
itu dan setelah Han Han mempergunakan ilmunya gerak kilat, gadis itu menjadi
bingung karena berkali-kali pemuda buntung itu lenyap dari depannya!
‘Eh, di mana kau....?! Gadis itu membalik sambil
menotok tubuh Han Han yang tahu-tahu berada di belakangnya, akan tetapi kembali
pemuda itu lenyap.
‘Eh, menghilang? Kau setankah....?! Kembali ia
menyerang kalang-kabut begitu tampak berkelebatnya tubuh Han Han.
Karena gerakan-gerakannya yang cepat, gadis itu lupa
bahwa pakaian luarnya masih terbuka di bagian depan. Biarpun pakaian dalamnya
masih menutupi tubuh depannya, akan tetapi pakaian dalam itu tipis, tidak mampu
menyembunyikan lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan tubuhnya. Han Han menjadi
silau dan ia meloncat jauh ke belakang dan berseru.
‘Stoppp....! Berhenti, Nona. Mengapa engkau menyerangku
seperti itu? Aku bukan musuh dan aku tidak bermaksud menghina. Aku bermaksud
menghiburmu.!
Gadis itu cemberut dan teringat akan bajunya lalu
menggunakan tangan kiri menutup bagian depan, telunjuk kanannya yang kecil
runcing, yang dapat dipergunakan sebagai senjata penotok yang ampuh, kini
menuding ke arah hidung Han Han sehingga pemuda ini merasa hidungnya gatal seperti
akan ditotok!
‘Kau hendak menghibur ataukah mengejek? Kalau menghibur
mengapa mengatakan mayat takkan hidup lagi kalau ditangisi? Yang betul kau
bicara! Apakah kalau engkau sudah menolongku tadi, pertolongan yang tak
kuminta, kau lantas boleh bicara sesukamu?!
Han Han menghela napas. Kalau gadis ini tidak banyak
sekali persamaan dalam wataknya dengan Lulu, tentu ia sudah pergi. Galak bukan
main dan.... tidak mengenal budi!
‘Maafkanlah Nona kalau kata-kataku kauanggap keliru.
Nah, lanjutkantah tangismu, aku tidak akan mencegahmu. Menangislah sepuas
hatimu.!
‘Kau mengejek, ya? Biarpun kau sepuluh kali lebih
pandai, aku Tan Hian Ceng bukan gadis penakut! Mati bukan apa-apa bagi seorang
gadis pejuang, tahu?!
Celaka, pikir Han Han. Bicara begini salah, begitupun
tidak betul. Lebih baik tidak bicara. Dia hanya mengangkat pundak dan memandang
bengong ke arah tiga mayat itu. Tentu mereka itu pejuang-pejuang atau mata-mata
dari Se-cuan, pikirnya. Mereka itu tewas sebagai pejuang. Betapa bahagianya. Dan
gadis ini, di samping kegalakannya yang luar biasa, juga mengagumkan. Bukan
mengagumkan keindahan tubuhnya dan kecantikannya, cepat-cepat Han Han membantah
pikirannya sendiri, melainkan mengagumkan kegagahan dan keberaniannya.
‘Heh, jawablah! Aku tidak takut mati! Ibuku sudah
tiada, kini Ayahku mati, aku tidak takut mati, kau tahu?!
Han Han memandang gadis itu dan ia terharu, merasa
kasihan kepada gadis ini yang biarpun bersikap galak seperti itu, sesungguhnya
gadis ini menderita duka yang hebat. Ia mengangguk.
‘Jadi engkau tidak mengejek aku?!
Han Han menggeleng kepala.
‘Dan engkau mengapa kembali lagi? Matamu tidak kurang
ajar lagi. Engkau tidak akan kurang ajar dan mengejekku, bukan?!
Han Han menggeleng kepala.
‘Kalau begitu, mengapa engkau menolongku? Engkau
membenci Ouwyang Seng dan pemuda lihai yang membantunya tadi?!
Han Han mengangguk.
Gadis itu bertolak pinggang dan kembali pakaian luarnya
terbuka. Han Han meramkan mata dan menunduk. ‘Eh, pemuda buntung yang
memiliki kepandaian seperti iblis! Mengapa engkau? Tadi kau pandai bicara,
kata-katamu memanaskan perut, sekarang kenapa tiba-tiba menjadi gagu?!
Han Han menarik napas panjang. Baru sekarang ia bertemu
dengan gadis yang membuat dia bingung dan bohwat (kehabisan akal). Banyak
bicara tidak benar, kalau didiamkan saja tentu akan marah pula. Sepasang mata
yang bening dan tajam itu kini pun sudah mulai menyala. Ia tahu bahwa mata
seperti ini kalau sudah berkobar karena marah, bisa repot dia!
‘Nona, aku tidak gagu. Aku tidak berani bicara, karena
tiap kali aku bicara, engkau salah terima dan mengira aku mengejek dan
menghina.!
Gadis itu memandang wajah Han Han dengan penuh perhatian,
sepasang matanya tidak pernah berkedip, menjelajahi wajah Han Han terus ke
bawah sampai ke kakinya yang buntung, naik lagi ke atas dan berhenti pada
matanya sehingga pandang mata mereka bertaut dan melekat. Han Han merasa
seolah-olah dia menjadi seekor kuda yang sedang diteliti, diperiksa dan
ditaksir-taksir oleh seorang calon pembeli!
Tiba-tiba sikap kaku gadis itu berubah dan dia berkata
lirih, ‘Maafkan aku.... maafkan bahwa aku telah salah duga.... ah, tentu
In-kong menganggap aku sebagai seorang yang bocengli dan tak kenal budi. Akan
tetapi tadi.... mata In-kong.... sungguh.... mengerikan hatiku....! Gadis itu
kembali berlutut di dekat jenazah ayahnya dan menangis.
Biarpun hatinya amat terharu, namun ada rasa geli juga.
Bocah ini benar-benar amat menarik, mengingatkan ia akan Lulu. Adiknya itu,
Lulu, kadang-kadang kalau sudah kumat penyakitnya juga sifatnya aneh sekali.
Gadis inipun aneh, sekejap marah-marah seperti seekor harimau betina diganggu
anaknya, di lain detik sudah menjadi lembut dan lunak seperti seekor domba! Ia
pun lalu berlutut dan berkata hati-hati.
‘Nona, marilah kita mengubur jenazah-jenazah ini, tidak
baik dibiarkan begini saja.!
Tan Hian Ceng, nona itu, menoleh kepadanya dengan mata
merah dan muka basah air mata, lalu mengangguk. ‘Kau benar. Kita harus cepat
menguburnya, kalau tidak, ada bahayanya datang pasukan Mancu.... sudikah kau
membantuku mengubur Ayah dan Paman-pamanku ini?!
Han Han sebenarnya merasa geli. Dia yang mengusulkan
untuk mengubur jenazah tiga orang itu, eh, kini dia dimintai tolong membantu.
Akan tetapi dengan wajah serius ia menjawab, ‘Tentu saja. Marilah, Nona.!
Gadis itu kembali bengong terheran-heran ketika melihat
betapa dengan tongkatnya, pemuda buntung itu menggali tanah dengan kecepatan
yang luar biasa sehingga dalam waktu singkat tiga buah lubang yang cukup dalam
telah digali berjajar di bawah pohon. Apa yang dilakukan pemuda buntung itu
seperti main sulap saja dan diam-diam ia menjadi kagum bukan main. Selama
hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu
kepandaian sehebat ini. Seperti bukan manusia!
Tiga jenazah itu lalu dimasukkan lubang. Dengan suara
penuh duka, setelah tiga jenazah dimasukkan lubang, Hian Ceng berkata sambil
menunjuk jenazah-jenazah itu satu demi satu.
‘Ini adalah ayahku, seorang pejuang kenamaan yang telah
berjuang puluhan tahun namanya Tan Sun dan terkenal di dunia kang-ouw sebagai
It-ci Sin-mo (Iblis Sakti Satu Jari).! Han Han mengangguk-angguk. Nama ini
pernah ia dengar dan kini mengertilah ia mengapa gadis ini amat pandai
menggunakan satu jari untuk menotok jalan darah di tubuh lawan.
Dia itu adalah Paman Giam Ki, seorang pejuang sahabat
baik Ayah, terkenal pula dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Bertenaga
Selaksa Kati).!
Han Han juga pernah mendengar nama ini dan diam-diam ia
mengagumi kakek yang bertubuh tinggi besar itu. Tentu dahulu menjadi seorang
ahli gwa-kang (tenaga kasar).
‘Dan yang itu adalah seorang sahabat Ayah pula, bernama
Thio Kai, seorang ahli dalam menyelundup perbatasan. Atas petunjuk dia inilah
maka kami dapat melakukan tugas dengan sebaiknya, dapat memata-matai gerakan
tentara Mancu dan mengumpulkan segala perlengkapan yang dibutuhkan oleh
teman-teman pejuang di Se-cuan.!
Han Han kagum dan terharu. Tiga orang ini adalah
orang-orang gagah yang biarpun sudah tua namun masih bersemangat tinggi untuk
melaksanakan tugas perjuangan sehingga kini tewas mengorbankan nyawa untuk
bangsa! Ah, betapa mulia mereka ini, jauh lebih mulia dan lebih berguna
daripada dia!
Akan tetapi, betapa mungkin dia memusuhi bangsa Mancu
sedangkan Lulu adiknya yang tercinta itupun seorang gadis Mancu pula? Dan
keluarga Lulu telah habis dibunuh Lauw-pangcu dan para pejuang, namun Lulu
adiknya yang berhati mulia itu sama sekali tidak membenci bangsa Han, bahkan
tidak membenci Lauw-pangcu.
Sebaliknya malah! Adiknya itu menghapus dendam dan
kebencian, menggantinya dengan kasih sayang sehingga ia rela menjadi anak
angkat Lauw-pangcu, musuh besarnya! Betapa mulia mereka itu, tiga orang pej
uang yang kini menjadi mayat ini, dan Lulu adiknya! Saking terharu dan merasa
betapa dia sendiri adalah seorang yang tidak berharga, Han Han menjatuhkan diri
berlutut, memberi hormat kepada tiga jenazah itu dan dua titik air mata
mengalir turun dari kedua matanya!
Hian Ceng melongo memandang Han Han, air matanya nerocos
turun mengalir di kedua pipinya. ‘Engkau.... engkau mengucurkan air mata
untuk Ayahku? Ah, maafkan aku,.... betapa kurang ajar sikapku terhadapmu
tadi.... kiranya kau adalah seorang pendekar yang budiman....!
Han Han bangkit perlahan-lahan, bersandar pada
tongkatnya. ‘Nona Tan, aku hanya seorang yang rendah, seorang tak berharga.
Karena kagum kepada Ayah dan kedua sahabatnya ini aku merasa betapa aku lebih
rendah lagi. Marilah kita kubur mereka baik-baik.!
Hian Ceng kini sudah berubah sikapnya. Amat taat dan amat
menghormat. Ia pun berdiri. ‘Baiklah..! ia lalu mengambil tanah segenggam dan
menaburkan tanah itu ke dalam kuburan ayahnya dan kedua orang pamannya. Han Han
lalu menggunakan sin-kangnya, mendorong ke arah tanah galian dan angin yang
amat kuat menyambar, membuat tanah itu beterbangan. Hian Ceng terpaksa meloncat
mundur dan ia hanya melihat tanah berputaran seperti ada angin puyuh. Matanya
berkunang menyaksikan ini dan ketika putaran tanah berdebu lenyap, ternyata
lubang galian itu telah teruruk tanah yang menggunduk, merupakan tiga buah
kuburan yang rapi!
Hian Ceng menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan
ayahnya yang berada di tengah, menangis sesenggukan. Han Han membiarkan gadis
yang sedang berkabung dan berduka itu menangis. Dia lalu meloncat ke dekat batu
besar yang rata permukaannya, dan berdiri di depan batu yang tingginya sama
dengan dia, tongkatnya diangkat dan dengan kening berkerut tongkatnya
menggurat-gurat pada permukaan batu. Dengan pengerahan tenaga sin-kang, ia
telah mengukir huruf-huruf di permukaan batu itu.
[bSepanjang usia dicurahkan membela bangsa tak kunjung
padam sampai nyawa meninggalkan raga Tan Sun, Giam Ki, dan Thio Kai tiga
pahlawan patut dijadikan sari tauladan! Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia!
‘Indah sekali.... ah, kau luar biasa....!! Suara itu
membuat Han Han menengok. Kiranya Hian Ceng telah berdiri di dekatnya, membaca
ukiran huruf-huruf itu dengan air mata bercucuran.
‘Ah, tidak ada artinya, Nona. Hanya sekedar untuk
peringatan di depan kuburan Ayahmu.!
‘Akan tetapi.... batu ini begini besar, tentu berat
sekali. Betapa mungkin kita berdua menggesernya ke depan kuburan yang begitu
jauh?! Hian Ceng terbelalak. Ayahnya adalah seorang ahli lwee-keh, memiliki
tenaga lwee-kang (tenaga dalam) yang kuat, dan dia pun telah mewarisi tenaga
lwee-kang yang cukup lumayan, sudah mengimbangi ayahnya. Akan tetapi dia dan
ayahnya takkan mungkin menggeser batu sebesar ini.
‘Biarlah aku yang menggesernya, Nona. Harap kau suka
minggir.!
Hian Ceng melompat menjauhi dan memandang dengan mata
terbelalak dan jantung berdebar. Han Han lalu menggunakan tongkatnya, menusuk
bawah batu besar itu, kemudian ia mengerahkan sin-kang, tongkat dipantulkan
dan.... batu besar ini melayang dan jatuh menimpanya!
‘Ahhhhh.... awas!....!! Hian Ceng menjerit, akan tetapi
ia segera menutup mulutnya dengan tangannya, matanya terbelalak kagum kaget dan
heran melihat betapa pemuda berkaki buntung itu menerima batu dengan tangan
kanannya, kemudian berloncatan dua kali membawa batu itu sampai ke depan
kuburan ayahnya, lalu menurunkan batu itu perlahan-lahan ke depan ketiga buah
kuburan!
‘Bukan main....!! Hian Ceng berbisik, lalu melangkah
perlahan menghampiri Han Han.
‘kiranya kau adalah seorang taihiap yang sakti. Ah,
dengan bantuan taihiap di Se-cuan, jangan harap penjajah Mancu akan dapat
menaklukkan Se-cuan. Tentu kau akan ke sana, bukan?!
Akan tetapi betapa kecewa hati Hian Ceng ketika melihat
pemuda itu menggeleng kepada. Han Han yang memandang wajah gadis melihat
kekecewaan membayang di wajah yang cantik dan yang ia duga tentu biasanya cerah
itu, cepat ia berkata.
‘Tidak, Nona. Aku.... aku bukanlah seorang pejuang
gagah perkasa dan mulia seperti Ayahmu dan engkau. Aku.... aku hendak mencari
adikku.!
Gadis itu menggeleng kepalanya. ‘Sukar dapat dipercaya!
Seorang gagah perkasa seperti In-kong, seorang yang memiliki kesaktian
hebat.... yang budiman tidak membantu perjuangan? Ah, betapa mungkin.... dan
siapakah adikmu kalau aku boleh bertanya?!
‘Adikku bernama Lulu, sudah hampir dua tahun lenyap....
sampai sekarang aku mencarinya tanpa hasil....!
Mendengar suara Han Han yang penuh duka, Hian Ceng
menjadi kasihan. ‘Yang terakhir kalinya engkau mendengar adikmu itu berada di
mana?
‘Di lembah Huang-ho, bersama Lauw-pangcu....!
‘Eh? Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?! Gadis itu
bertanya kaget dan heran.
‘Benar, dia diambil anak angkat oleh Lauw-pangcu....!
‘Ah....! Kalau adikmu itu anak angkat Lauw-pangcu,
tentu mudah dicari. Aku yakin bahwa kalau dia lenyap tak dapat kautemukan
jejaknya, dia pasti berada di daerah Se-cuan! Semua pejuang akhirnya pergi ke
sana, Marilah kita ke Se-cuan dan aku tanggung engkau akan dapat menemuinya di
sana.!
‘Memang tadinya aku hendak mencari di sana, menyusul
sahabat baikku Wan Sin Kiat....!
‘Wah, kau sahabat baik Hoa-san Gi-hiap?!
Han Han mengangguk. ‘Kami, yaitu aku, dia dan Nona Lauw
Sin Lian....!
‘Puteri Lauw-pangcu, murid Siauw-lim Chit-kiam yang
lihai?! Gadis itu memotong lagi.
Han Han mengangguk, girang bahwa nona pejuang ini
ternyata mengenal semua tokoh pejuang.
‘Kami berjanji akan bertemu di Se-cuan. Sin Kiat lebih
dulu, Nona Sin Lian hendak mengumpulkan sisa-sisa anggauta Pek-lian Kai-pang
yang habis dibasmi oleh tentara Mancu di lembah Huang-ho....!
‘Aaahhhhh....!!
‘Lauw-pangcu juga gugur dalam penyerbuan itu.!
‘Ahhhhh....!!
Tiba-tiba terdengar derap banyak kuda dari jauh. Gadis
itu cepat berkata, ‘Mereka datang, In-kong, mari kita lari. Cepat....!!
Gadis itu dalam ketegangannya agaknya lupa bahwa Han Han
memiliki kepandaian hebat. Dia menyambar tangan Han Han dan diajaknya pemuda
itu melarikan diri. Han Han maklum bahwa kalau pasukan Mancu yang besar
jumlahnya tiba, tentu mereka berdua tidak akan mampu melawan.
Dia sendiri akan dapat melarikan diri dengan mudah, akan
tetapi belum tentu akan mudah bagi Hian Ceng untuk menyelamatkan diri. Maka ia
tidak melepaskan tangan gadis itu yang menggandengnya, bahkan ia balas memegang
dan tubuhnya lalu berloncatan cepat sekali, membawa tubuh Hian Ceng yang
terbawa meloncat-lonca dan melayang-layang.
‘Heiii.... eeeiiitttt.... eh, kita terbang....!! Hian
Ceng menjerit kaget dan ngeri, akan tetapi tak lama kemudian ia tertawa-tawa
gembira.
‘Waduhhhhh.... hebat sekali.... eiiihh, ngeri....
terlalu tinggi kita meloncat.... aihhhhh!! Saking ngerinya melihat betapa tubuh
mereka mencelat ke atas pohon, kemudian dengan mengenjotkan kaki satu ke
ranting lalu melambung lagi, Hian Ceng memejamkan mata dan merangkul Han Han!
Han Han mendiamkannya saja, bahkan berloncatan makin
cepat sehingga tidak terdengar lagi suara kaki kuda. Mereka telah berada jauh
di balik sebuah bukit, dan Han Han menurunkan tubuh Hian Ceng.
‘Kita sudah aman, Nona.!
Hian Ceng turun dan membuka matanya. Kedua pipinya merah
sekali dan ia memandang Han Han dengan sinar mata penuh kagum. ‘Aku kagum
sekali.... ah, betapa senangku dapat berkenalan denganmu.!
Han Han memandang wajah Hian Ceng yang kedua pipinya
kemerahan. Gadis ini amat cantik dan memiliki kelincahan yang sama dengan Lulu.
Juga wajahnya cerah, tadi baru saja menyedihkan kematian ayahnya kini sudah
dapat tersenyum amat manis.
‘Nona, engkau mengingatkan aku akan adikku, Lulu.!
‘Ah, adikmu tentu cantik sekali ya.." kata
‘Memang cantik sekali, Nona.!
‘Dan dia tentu amat lihai.!
‘Memang dia amat lihai!!
‘Dan dia tentu amat menyenangkan hati, ya.!
‘Memang sesungguhnyalah dia amat menyenangkan hatiku,
aku amat menyayanginya.!
Hian Ceng tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh
memandang Han Han, alisnya yang hitam kecil menjelirit itu mengerut, suaranya
terdengar agak marah,
‘Kalau begitu, kau membohongiku dan mempermainkan aku!!
Nah-nah-nah, sudah kumat lagi, pikir Han Han. ‘Mengapa,
Nona? Aku tidak bohong! Masa aku bohong kalau mengatakan bahwa adikku Lulu
cantik jelita, manis, lihai dan menyenangkan hatiku?! Dia benar-benar tidak
mengerti karena biarpun Lulu kadang-kadang juga merajuk dan mengambek, akan
tetapi ada sebabnya, bukan seperti nona ini yang tiada hujan tiada angin lalu
menyambar-nyambar seperti kilat di siang hari!
‘Kau bohong! Kalau begitu, mana bisa aku mengingatkan
kau kepada adikmu itu?!
Han Han mengangkat alis membelalakkan mata dan di dalam
hatinya ia tertawa bergelak, akan tetapi mulutnya menahan ketawa itu sehingga
ia menyeringai seperti orang sakit gigi.
‘Oohhh.... mengapa tidak? Engkau hampir sama dengan
dia, juga watakmu hampir sama dengan wataknya.!
‘Akan tetapi dia cantik manis....!
Engkau juga.... ehhhh!! Han Han menutup mulutnya,
khawatir disangka mengejek lagi. Akan tetapi melihat kini gadis itu menahan
senyum dan kelihatan gembira karena wajahnya berseri, ia melanjutkan, ‘Dan
engkau pun lihai dan menarik, menyenangkan hati....!
Dengan muka berseri girang Hian Ceng berkata, suaranya
penuh semangat, ‘Aku akan mencari adikmu sampai dapat! Percayalah, kalau
memang benar dia berada di daerah Se-cuan, aku pasti akan dapat menemukannya!
Setelah Paman Thio Kai meninggal dunia, akulah satu-satunya orang yang paling
mengenal keadaan daerah Se-cuan. Sudah kujelajahi semua daerah karena hal ini
amat penting bagi tugasku sebagai penyelidik. Sssttttt.... kita sekarang harus
berhati-hati, Lembah di depan itu disebut Lembah Neraka oleh kaum pejuang
karena di situ musuh melakukan penjagaan yang sangat ketat.!
Dari tempat yang agak tinggi itu Han Han memandang tajam
ke depan. ‘Akan tetapi kelihatannya sunyi saja.!
Gadis itu mengangguk. ‘Itulah bahayanya. Kaum pejuang
yang menyeberang dan belum mengenal keadaan, akan terjebak, mengira bahwa jalan
itu aman. Padahal tentara penjajah yang tidak kurang dari seribu orang
jumlahnya bersembunyi di kanan kiri lembah itu, ada yang mendirikan perkemahan
di dalam jurang-jurang di kedua sampingnya, dan ada yang memasang barisan di
atas tebing, siap dengan anak panah mereka.
Karena jalan di bagian lereng sebelah kiri itu merupakan
jalan satu-satunya dan di sana terapit dinding batu gunung maka jalan itu
sempit dan sekali orang lewat di situ, sukar untuk menyelamatkan diri jika
diserang dari kanan kiri, atas dan kedua jalan itu ditutup oleh mereka dari
depan belakang. Dahulu, setahun yang lalu, tidak kurang dari dua ratus orang
pengungsi dari timur, yang hendak melarikan diri ke Se-cuan dan lewat di lorong
itu, disembelih habis semua oleh mereka, laki-laki wanita dan kanak-kanak!!
Han Han bergidik, teringat akan keganasan bala tentara
Mancu yang melakukan pembunuhan terhadap para pengungsi. Kalau kaum pejuang
yang mereka bunuh, hal itu memang sewajarnya, sebagai musuh dalam perang. Akan
tetapi tentara Mancu yang ganas itu banyak pula membunuhi rakyat yang tidak
tahu apa-apa, hal ini benar-benar merupakan perbuatan kejam yang harus
ditentang.
‘Kalau jalan itu demikian berbahaya, bagaimana kita
akan dapat lewat? Mengapa Nona tidak mengambil jalan lain yang lebih aman?!
‘Jalan depan itu yang terdekat dan bagiku, yang paling
aman.!
‘Eh, bagaimana bisa begitu? Bukankah kaukatakan tadi
bahwa....!
‘Bagi yang tidak mengerti bagaimana akalnya memang
berbahaya, juga bagi rombongan yang terdiri dari banyak orang. Akan tetapi
biasanya kami berempat....! dia berhenti sebentar, teringat akan ayahnya dan
dua orang pamannya yang tewas, ‘kami selalu menggunakan jalan ini,. lihat,
pegunungan yang menjulang di sebelah kanan itu adalah Pegunungan Min-san. Dan
yang menjulang tinggi di sebelah kiri itu adalah Pegunungan Ta-pa-san. Kita
sekarang ini berada di Pegunungan Cin-ling-san. Dan lihatlah baik-baik di balik
jurang di bawah itu.!
Han Han memandang daerah yang dikelilingi pegunungan ini
dan ketika ia melihat ke arah yang ditunjuk, ia melihat garis kebiruan yang
panjang berliku-liku seperti tubuh seekor naga biru. ‘Kau maksudkan sungai
itu, Nona?!
‘Benar, sungai yang mengalir ke selatan itu adalah
Sungai Cia-ling dan kita akan memasuki daerah Se-cuan melalui sungai itu.!
‘Naik perahu?!
‘Tidak mungkin naik perahu, di kedua tepi sungai itu
penuh dengan perkemahan musuh dan barisan tentara sudah siap menghujani setiap
perahu yang lewat dari luar perbatasan dengan panah api....!!
‘Habis, bagaimana?! Han Han memandang heran. Gadis itu
tersenyum manis, agaknya merasa bangga sekali bahwa dalam hal ini dia dapat
mengatasi Han Han, dan dialah yang memimpin. Menghadapi pemuda buntung ini ia
merasa kecil tak berarti, merasa bukan apa-apa karena kepandaian pemuda itu
luar biasa sekali, akan tetapi kini dialah yang menjadi ‘pemimpin!!
‘Marilah, Aku akan menunjukkan jalan dan caranya
nanti!! Hian Ceng memegang tangan Han Han dan menariknya ke kanan, menuruni
jalan menurun yang curam. Melihat jurang yang dituruni ini dan cara gadis itu
menuruni dengan merayap seperti itu, sebetulnya Han Han tidak sabar. Kalau dia
mau, dengan menggendong Hian Ceng ia dapat saja turun dengan gerak kilatnya
sehingga dapat cepat tiba di Sungai Cia-ling.
Akan tetapi ia merasa betapa telapak tangan gadis yang
menggandeng tangannya itu hangat sekali, tanda bahwa gadis itu gembira dan
bersemangat. Ia dapat menyelami perasaan Hian Ceng yang kini merasa menjadi
orang yang lebih pandai, menjadi pemimpin, maka dia tidak tega untuk
menghancurkan kegembiraan dan kebanggaannya. Maka ia pun ikut merayap turun.
Akhirnya mereka tiba di tepi Sungai Cia-ling. Hian Ceng
mengajak Han Han bersembunyi di balik semak-semak di tepi sungai, lalu menuding
ke arah selatan. Han Han memandang dan melihat sebuah perahu dengan lima orang
tentara Mancu berada di pinggir. Perahu ditambatkan pada pohon dan lima orang
itu mengobrol sambil makan minum perbekalan mereka.
‘Kita bunuh mereka dan rampas perahunya?! bisik Han
Han.
Hian Ceng menggeleng kepala dan mendekatkan mulutnya di
telinga pemuda itu, berbisik, ‘Jangan, kalau kita bunuh dan akhirnya
diketahui, penyeberangan perbatasan menjadi sulit. Dan perahu itupun tidak ada
gunanya bagi kita.!
Akan tetapi Han Han hampir tidak dapat menangkap arti
ucapan gadis itu karena merasa betapa bibir itu bergerak-gerak menyentuh daun
telinga, hawa yang hangat dari mulut meniup-niup telinga, hidung itu
menyentuh-nyentuh pipi dan pelipis, jantungnya berdebar keras. Selama hidupnya
Han Han belum pernah berdekatan dengan wanita seperti sekarang ini.
Dahulu pernah dia mengalami hal luar biasa dengan Lulu
ketika berada di Pulau Es, hal yang sampai sekarang kalau ia ingat membuat ia
menjadi merah mukanya, akan tetapi ketika itu ia dan Lulu berada dalam keadaan
tidak sadar dan diamuk gairah nafsu berahi yang dibangkitkan oleh racun ular
merah. Mereka dulu keracunan dan masih dapat melawan sehingga mereka berdua
terhindar dari perbuatan yang akan membuatnya menyesal selama hidupnya.
Dan selain peristiwa itu, memang ser ing kali Lulu dengan
sikapnya yang manis memeluknya, mengambung pipinya, akan tetapi Lulu adalah
adiknya dan perbuatan itu tidak menimbulkan sesuatu dalam batinnya. Kemudian,
pernah pula berdekapan dengan Kim Cu, akan tetapi, hal itupun dia lakukan
ketika ia diamuk kedukaan karena kakinya buntung dan diamuk keharuan melihat
cinta kasih Kim Cu yang demikian mendalam kepada dirinya. Berbeda dengan
sekarang ini. Sekarang dia berada dalam keadaan sadar dan gadis ini baru saja
dia kenal!
‘Lalu.... bagaimana....?! bisiknya.
‘Kau bisa berenang....? maafkan, tentu kau tidak
bisa....! Gadis itu melirik ke arah kaki yang tinggal satu itu.
Han Han menghela napas, bukan karena menyesal melihat
kakinya buntung. Kebuntungan kakinya bukan apa-apa lagi baginya, akan tetapi ia
menyesal bahwa kebuntungan ini selalu mendatangkan rasa kasihan dan tidak enak,
canggung bagi orang lain.
‘Akan tetapi memang tidak perlu berenang,! gadis itu
cepat menyambung dengan kata-kata lirih. ‘Aku memerlukan selonjor batang
pohon itu ke tengah sungai dan kita bersembunyi di bawahnya, berpegang dan
bergantung kepada cabangnya. Dengan demikian, tanpa susah payah kita akan dapat
melewati barisan musuh dengan aman.!
Han Han mengangguk-angguk. Jadi beginikah akalnya gadis
cerdik ini? Cerdik dan penuh keberanian karena kalau sampai akal ini diketahui
musuh, tentu dia akan menjadi seperti tikus terjebak!
Bab 35
‘Baik sekali, Nona. Akan tetapi bagaimana kita akan bernapas
dalam air?!
Gadis itu tersenyum, senyum kemenangan penuh bangga
karena kembali dialah yang akan dapat mengatasi kesulitan itu. Tangan kirinya
meraih ke kiri dan jari-jari tangannya yang kecil dan kuat itu telah mematahkan
sebatang alang-alang, mematahkan batang itu ke mulutnya.
‘Dengan dua tiga batang alang-alang di mulut, dapat
kita menyedot hawa dari permukaan air.!
Har Han memandang kagum. Memang cerdik sekali. Dengan
pipa batang alang-alang itu memang mereka akan dapat tinggal di bawah permukaan
air sampai berapa lamanya pun! Permainan yang cerdik, akan tetapi amat
berbahaya. Dengan tubuh dalam air, berarti sama sekali tidak dapat melindungi
tubuh terhadap bahaya dari luar. seolah-olah hanya menggantungkan nyawa kepada
berhasilnya akal itu. Menggantungkan nyawa kepada batang alang-alang!
Betapa bahayanya! Akan tetapi, ia tidak mau mengecewakan
orang dan mengangguk-angguk, bahkan ia lalu berkata, ‘Aku akan mencari batang
pohon itu di sana.!
Sebelum Hian Ceng menjawab, tubuhnya sudah melesat dan
lenyap. Gadis itu tertegun dan mengintai ke arah para tentara yang berada di
perahu, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak melihat gerakan Han Han.
Sedangkan dia sendiri yang biasanya membanggakan matanya, dan yang berada dekat
sekali dengan Han Han, tidak dapat melihat bagaimana pemuda buntung itu lenyap
begitu saja dari depan hidungnya!
Karena percaya penuh akan kelihaian Han Han, maka Hian
Ceng tidak mau tinggal diam dan ia lalu mulai mencari dan mengumpulkan batang
alang-alang yang cukup besar dan tua sehingga batangnya kuat, tidak mudah
patah. Ia mengumpulkan sampai sepuluh batang dan tak lama kemudian Han Han
kembali dan berbisik.
‘Batang pohon sudah siap di sana, dekat tikungan.! Ia
menuding.
‘Bagus, mari kita ke sana, In-kong. Ini batang jerami
alang-alang, kau pakai sebagian.!
Berindap-indap mereka lalu maju ke tepi sungai di
tikungan sehingga tidak tampak oleh lima orang tentara di perahu. Melihat
sebatang pohon besar yang jebol bersama akar-akarnya, Hian Ceng terbelalak.
Kalau keadaan tidak demikian genting, tentu ia ingin sekali tahu bagaimana
caranya pemuda buntung itu menumbangkan pohon ini berikut akarnya!
Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang muda itu lalu
menyeret batang pohon ke sungai, menghanyutkan batang pohon itu sampai ke tengah
sungai dan mereka bergantung pada dahan di bawah batang. Dan batang alang-alang
menyambung mulut mereka dengan hawa di permukaan air, bersembunyi di antara
daun-daun pohon sehingga mudah bagi mereka untuk bernapas. Batang pohon itu
hanyut dengan cepat karena arus air kuat juga di bagian itu.
Han Han bergantung pada dahan pohon dengan jantung
berdebar tegang. Bagaimana ia tidak akan merasa tegang kalau berada dalam
keadaan seperti itu, sama sekali tidak dapat menjaga diri, tak dapat
menggunakan kepandaiannya, tidak dapat melihat musuh dan menggantungkan
keselamatan dirinya pada dua batang alang-alang?
Tiba-tiba tangan Hian Ceng mencengkeram lengah Han Han.
Han Han membuka matanya memandang ke arah atas yang ditunjuk gadis itu.
Mula-mula hanya tampak bayangan hitam, akan tetapi lalu tampak kayu lonjong
bergerak. Perahu! Han Han khawatir sekali, jelas ada perahu mendekati batang
pohon. Ia lalu menyembulkan kepalanya, bersembunyi di antara daun-daun pohon
itu. Benar saja, perahu dengan lima orang tentara Mancu berada dekat sekali,
dan mereka semua sudah berdiri di perahu dengan tombak di tangan. Seorang di antara
mereka berteriak.
‘Awas kawan! Di hawah pohon ini tentu ada ikan-ikan
pemberontak, kita panggang mereka, ha-ha-ha!!
Han Han terkejut sekali. Untung dia menyembulkan
kepalanya, kalau tidak tentu mereka benar-benar akan disate oleh tombak-tombak
itu. Mereka yang berada di perahu akan dapat melihat Han Han dan Hian Ceng,
sebaliknya mereka yang berada di dalam air sukar untuk dapat melihat gerakan
mereka yang di perahu!
Cepat Han Han menyelam lagi dan ketika perahu sudah cukup
dekat bagian depannya. Han Han menggerakkan tongkatnya, mendorong perahu dengan
gerakan tiba-tiba sehingga perahu itu terbalik dan lima orang tentara Mancu itu
terlempar ke air!
Han Han kagum sekali melihat betepa dengan gerakan yang
cepat, Hian Ceng sudah mengerjakan jari-jari tangannya yang lihai sehingga
tanpa mendapat kesempatan sama sekali, dua orang telah ditotok dan tewas
seketika, rambut kepala mereka dicengkeram oleh tangan Hian Ceng. Han Han juga
mengerjakan tongkatnya dan tiga orang tentara yang lain tewas tanpa dapat
mengerti mengapa mereka mati dan oleh siapa.
Han Han menahan mayat-mayat mereka dengen tongkat. Mereka
berdua terpaksa menyembulkan kepala ke permukaan air. Untung kedua tepi sungai
sunyi di saat itu sehingga peristiwa itu tidak teriihat oleh tentara lain.
‘Kita harus membawa mayat mereka ke tepi, kalau
terhanyut, kita celaka....! kata Hian Ceng yang hendak berenang minggir sambil
menyeret dua mayat korbannya.
‘Biarkan aku melempar mereka ke darat!! Han Han
mencegah dan tongkatnya bergerak dan.... tubuh seorang tentara terlempar dan
terbanting di tepi sungai. Lima kali Han Han menggerakkan tongkatnya dan lima
mayat itu kini semua sudah menggeletak di pantai sungai. Perahunya yang
tersangkut pada pohon itu, oleh Han Han didorong. Kekuatan mendorongnya luar
biasa sekali sehingga perahu itu terdorong bagaikan anak panah cepatnya
sehingga setibanya di tepi, ujung perahu itu menancap pada tanah!
Mereka cepat menyelam lagi. Tiba-tiba tangan gadis itu
sekali lagi mencengkeram lengannya, Han Han membuka mata memandang gadis itu
yang kelihatan lucu dan aneh sekali karena gerakan air membuat wajah gadis itu
peletat-peletot dan bengkak-bengkok. Hian Ceng mengangkat tangan kanan yang
dikepal jari-jarinya kecuali ibu jari yang diangkat ke atas, di depan hidung Han
Han. Ah, kiranya gadis itu hanya ingin menyatakan kagumnya, hanya ingin
memujinya dan karena di dalam air itu tak mungkin mengeluarkan suara, maka
gadis itu mengacungkan jempolnya di depan hidung untuk memuji.
‘Kita sudah masuk perbatasan daerah Se-cuan, di sini
aman. Pakaian kita basah, kalau tidak dijemur dulu, bisa masuk angin!!
Han Han hanya mengangguk-angguk kemudian ia membalikkan
tubuhnya membiarkan gadis itu membuka dan menjemur pakaian. Ia mendengar gadis
itu mandi di anak sungai yang memuntahkan airnya di Sungai Cia-ling.
Benar-benar mengherankan sekali. Setengah hari lamanya
sudah merendam tubuh di air, sekarang masih mandi lagi! Benar-benar wanita
merupakan mahluk yang paling aneh, merupakan manusia yang wataknya
kadang-kadang mengherankan sekali. Bahkan watak adiknya sendiri pun
kadang-kadang membuat dia bengong dan menggeleng-geleng kepala, menggaruk-garuk
belakang telinga. Kini ia pun menggeleng kepala dan menggaruk telinga tanpa
disadarinya.
‘Heiiiiii....!, kenapa kau menggeleng kepala dan
menggaruk belakang telinga?! terdengar teriakan gadis itu dari belakangnya.
Bukan main! Sudah mandi, kiranya masih mencurahkan perhatian kepadanya sehingga
semua gerak-geriknya diketahuinya belaka!
‘Aku heran mendengar engkau mandi, Nona,! kata Han Han
sambil membuka bajunya, memeras air dari bajunya dan menggantungkannya di
tempat panas bersama pakaiannya yang hanya satu stel. Celananya tetap ia pakai
dan dia pun duduk di tempat panas untuk mengeringkan celana yang dipakainya.
‘Mengapa heran mendengar orang mandi? Apakah engkau
belum pernah mendengar orang mandi?!
‘Bukan begitu maksudku. Baru saja kita keluar dari
dalam sungai di mana kita berendam sampai setengah hari. Mengapa engkau mandi
lagi, Nona?!
‘Mengapa tidak? Air Sungai Cia-ling kotor, dan air
sungai kecil ini amat jernih.! Kini suara gadis itu terdengar dekat, agaknya
sudah selesai mandi. ‘Dan engkau tidak perlu lagi membelakangiku, In-kong.
Aku sudah bersembunyi di balik semak-semak.!
Han Han membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi
semak-semak dan sungai. Namun ia masih dapat melihat bayangan tubuh gadis yang
telanjang itu di antara celah-celah daun semak-semak itu. Terpaksa ia
menundukkan mukanya agar matanya jangan sampai melihat bayangan itu.
Sunyi sejenak. Gadis itu memeras pakaiannya yang basah
dan yang baru saja dicucinya, kemudian dari bayangan yang dikerlingnya sebentar
untuk mengetahui apa yang dilakukan Hian Ceng, Han Han depat menduga bahwa
gadis itu sedang menyambung bagian kain yang robek dengan benang-benang yang ia
cabut dari kain pengikat kepalanya.
‘Mengapa diam saja, In-kong? Apa yang kau pikirkan?!
Tiba-tiba pertanyaan ini mengejutkan Han Han dan menyadarkannya dari lamunan.
‘Eh, tidak apa-apa. Akalmu tadi baik sekali, Nona.!
‘Uh, baik apa? Buruk sekali! Hampir saja celaka. Akal
itu sudah kuno, tidak memenuhi syarat lagi. Musuh sudah tahu, perlu diganti
dengan akal yang lebih tepat.! Hian Ceng lalu bercerita panjang lebar tentang
semua pengalamannya sambil menanti keringnya pakaian.
Dari cerita ini tahulah Han Han bahwa gadis ini memang
seorang gadis pejuang, gadis yang semenjak berusia tujuh tahun sudah ditinggal
mati ibunya, kemudian ikut dengan ayahnya ke manapun It-ci Sin-mo Tan Sun yang
sudah tua itu pergi. Dia diajak berjuang oleh ayahnya, tak tentu tempat
tinggalnya, sebagian besar hidup di dalam hutan-hutan di atas gunung-gunung dan
di tempat-tempat liar!
Mengertilah Han Han mengapa sikap gadis ini terbuka,
lincah liar dan polos. Agaknya, hidupnya selama ini di tempat-tempat terbuka,
bersama-sama dengan para pejuang, hidup penuh kekerasan, menghadapi banyak
bahaya maut bersama pejuang yang sudah mengeras wataknya dan menjadi kasar,
membuat gadis ini menjadi gadis alam. Pantas saja tidak pemalu seperti
gadis-gadis kota, dan tidak merasa canggung biarpun kini ia bercakap-cakap
dengan Han Han dalam keadaan telanjang, biarpun tertutup semak-semak.
Setelah pakaian mereka kering dan tubuh mereka yang
tadinya dingin menjadi hangat oleh sinar matahari, Hian Ceng berpakaian dan
muncul dari balik semak-semak. Wajahnya segar dan bersih, rambutnya terurai
lepas, pakaiannya sudah tertutup rapat dan dia memandang Han Han yang sudah
sejak tadi berpakaian dengan wajah berseri.
‘Marilah kuperlihatkan padamu daerah Se-cuan yang
indah, kuperkenalkan daerah pejuang!! Ia lalu berlari-lari cepat. Han Han
segera berloncatan mengejar gadis yang mendaki pundak itu dan kegembiraan gadis
itu menular kepadanya sehingga dengan kaget dan heran akan tetapi juga senang
ia sadar dan teringat betapa kini hatinya tidak begitu tertekan lagi,
semangatnya tidak lemah lagi seperti sebelum ia bertemu dengan Hian Ceng. Ah,
melihat gadis itu yang demikian lincah gembira, melihat dia hidup seperti tidak
mengenal susah padahal baru saja ditinggal mati ayahnya, benar-benar
menyadarkannya bahwa hidup ini sebetulnya tidaklah begitu buruk!
Tak lama kemudian tiba di sebuah puncak di Pegunungan
Cin-ling-san dan Hian Ceng berhenti. Han Han kagum sekali. Memang pemandangan
di situ amat indahnya, sungguhpun dia harus mengakui bahwa ia lebih tertarik
dan merasa lebih indah ketika memandang sepasang mata yang bersinar-sinar
gembira, bibir yang tersenyum dan agak terbuka karena terengah-engah, pipi yang
kemerahan dan segar, rambut yang sudah kering betul dan melambai-lambai tertiup
angin seperti benang-benang sutera
‘Lihatiah, Puncak-puncak Pegunungan Ta-pa-san di timur
dan puncak-puncak Pegunungan Min-san dibarat tampak semua dari sini. Seperti
juga di lembah Cin-ling-san ini, di lembah kedua gunung itupun terjaga oleh
barisan Mancu. Berkali-kali pihak Mancu menyerang dari tiga daerah pegunungan
ini, akan tetapi kami selalu dapat memukul mundur mereka. Daerah Se-cuan memang
amat tepat menjadi pusat perjuangan melawan Mancu. Daerah yang dikurung
gunung-gunung. Puncak yang amat tinggi dan jauh di barat itu, di balik
Pegunungan Min-san, adalah Pegunungan Bayangkara. Di sebelah selatan Min-san
disambung dengan Pegunungan Ciung-lai-san, dan di tapal batas sebelah selatan
masih disambung lagi oleh Pegunungan Ta-liang-san. Daerah timur ditutup oleh
Sungai Yang-ce-kiang dan bala tentara Bu-ongya dikerahkan untuk menjaga tapal
batas di timur sepanjang Sungai Yang-ce-kiang, dan di utara di lembah-lembah
Gunung Ta-pa-san dan Min-san.!
Sambil memandang ke sekeliling dari tempat tinggi ini,
Han Han kagum akan pengetahuan gadis itu tentang keadaan dan daerah itu.
‘Pusat pemerintah di mana Bu-ongya tinggal berada di
kota raja Cung-king, dan semua benteng pertahanan yang dijadikan pusat para
pejuang yang membantu Bu-ongya tersebar di tiga tempat, yaitu Cung-king,
Kwan-yang dan Wan-sian. Engkau sendiri harus ke Cung-king, In-kong, selain
untuk bertemu dengan Bu-ongya, juga di sana tentu engkau akan bertemu dengan
para pejuang lain yang sudah In-kong kenal. Mari kita turun dan melanjutkan
perjalanan. Biarpun sekarang telah memasuki daerah sendiri yang aman, akan tetapi
perjalanan masih harus ditempuh dua hari dua malam dan amat sukar
perjalanannya, baru kita akan bertemu dengan penjaga-penjaga. Nanti aku akan
menyuruh mereka mengantar In-kong ke Cung-king.!
‘Dan kau sendiri, Nona?!
‘Aku akan pergi mencari adikmu, kumulai dengan
mencarinya di Kwang-yang.!
‘Aku pun hendak mencari adikku. Memang untuk keperluan
itulah aku memasuki Se-cuan.!
‘Benar, akan tetapi sebagai seorang yang baru saja
memasuki Se-cuan, In-kong adalah seorang asing. Kalau tidak menghadap dulu ke
Cung-king, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan bagi In-kong sendiri yang
akan dicurigai di mana-mana. Selain itu, sudah sepatutnyalah kalau orang
memasuki daerah yang sedang bergolak, terlebih dahulu menghadap Bu-ongya yang
dapat dikatakan sebagai tuan rumahnya.!
Gadis itu pandai sekali berdebat dan Han Han terpaksa
membenarkannya. Mereka lalu menuruni puncak itu dan setelah hari menjadi gelap,
Hian Ceng mengajak Han Han beristirahat di sebuah lereng gunung di mana
terdapat sebuah gubuk kecil di pinggir hutan, gubuk yang menurut kata Hian Ceng
sengaja dibuat oleh para pejuang untuk tempat istirahat.
Hian Ceng benar-benar mengenal daerah itu. Dia pergi
sebentar dan datang lagi membawa buah-buahan dan seekor ayam hutan yang gemuk.
Sambil bernyanyi-nyanyi Hian Ceng membersihkan dan memanggang daging ayam itu,
kemudian mereka makan dan minum air jernih.
Malamnya, Hian Ceng yang sudah lelah sekali tidur di
dalam gubuk, di atas dipan bambu, rebah miring. Dingin sekali malam itu. Han
Han duduk tidak jauh dari tempat Hian Ceng rebah karena gubuk itu hanya sempit
saja, dan biasanya, para pejuang yang kemalaman di tempat ini tidur saja di
ataS dipan yang memenuhi gubuk, berderet-deret seperti ikan bandeng. Hal ini
juga sudah dikatakan oleh Hian Ceng tadi ketika gadis yang sudah biasa hidup di
alam liar ini hendak tidur dan merebahkan tubuhnya miring.
‘Mari kita tidur. Kita harus mengaso karena perjalanan
besok masih jauh!!
Wajah Han Han merah sekali mendengar ajakan itu, untung
bahwa sinar api unggun yang merah menyembunyikan warna mukanya. ‘Tidurlah,
Nona.!
‘Eh, masa engkau duduk saja? Tidurlah, tempat ini cukup
lebar. Biasanya kami juga tidur di sini, bersama Ayah dan para Paman. Mengapa
malu? Nih, di belakangku masih lega, rebahlah di sini.!
Akan tetapi tentu saja Han Han hanya dapat menggeleng
kepala dan pura-pura tidak memperhatikan gadis itu dengan menambah kayu pada
api unggun. Ia mengerti bahwa gadis yang biasa hidup di alam terbuka, biasa
mengalami kesukaran hidup bersama para pejuang lainnya, menganggap tidur
bersama seperti itu biasa saja! Bahkan bertelanjang di depannya pun tadinya
dianggap bukan apa-apa. Ia baru marah karena pandang mata Han Han yang
terpesona! Benar-benar gadis yang jujur, polos dan murni. Akan tetapi dia yang
sudah kenyang membaca kitab-kitab, tahu akan segala peradaban, segala
kesusilaan dan kesopanan, bagaimana mungkin dapat rebah di samping seorang
gadis? Kalau rebah dan tidur sepembaringan dengan Lulu, hal itu sih tidak
terlalu menyiksa perasaan. Akan tetapi dengan gadis yang baru dikenalnya ini?
Tak mungkin!
Perut yang kenyang membuat Han Han mengantuk juga. Memang
tubuhnya amat lelah dan sudah beberapa malam ia tidak tidur. Sambil duduk
bersandar tiang bambu gubuk itu, Han Han melenggut.
‘Huhhhhh.... dinginnnnn....!! Suara Hian Ceng
membangunkannya dan ia melihat api unggun hampir padam. Hawa malam itu memang
dingin sekali. Bagi Han Han tentu saja tidak terasa dingin. Dibandingkan dengan
hawa di Pulau Es, hawa dingin malam ini di puncak gunung bukan apa-apa! Akan
tetapi ia melihat tubuh gadis yang rebah miring itu agak menggigil. Hian Ceng
masih tidur dan mungkin saking dinginnya tadi sampai terucapkan mulutnya. Kedua
kakinya ditekuk, kedua lengan memeluk tubuh sendiri, kepala ditundukkan sedalam
mungkin sehingga tubuh itu seperti hendak melingkar macam tubuh ular!
Han Han merasa kasihan, lalu menambah kayu pada api
unggun. Setelah api unggun membesar, ia lalu mengeluarkan satu stel pakaiannya
yang tadi sudah dikeringkan, duduknya digeser mendekati Hian Ceng dan
diselimutkanlah pakaiannya itu ke atas tubuh Hian Ceng.
Hian Ceng menghela napas senang, tangannya meraih
‘selimut! ini dan tanpa disengaja jari-jari tangannya mencengkeram pula
tangan Han Han. Ia menarik ‘selimut! itu makin ke atas dan memeluk pula
tangan Han Han. Pemuda ini berdebar jantungnya, akan tetapi tidak berani
bergerak, khawatir kalau membangunkan gadis itu sehingga Hian Ceng tentu akan
menjadi malu sekali. Maka ia membiarkan saja tangannya dipeluk dan didekap ke
atas dada Hian Ceng.
Terasa oleh telapak tangannya betapa jantung gadis itu
berdetak halus, betapa dada itu turun naik dengan halus pula, tanda bahwa gadis
itu sudah pulas. Akan tetapi tangannya didekap dengan kedua tangan oleh gadis
itu dan Han Han terpaksa menyandarkan lagi tubuhnya ke dinding, menekan
perasaannya, ‘mematikan! perasaan tangannya yang menumpang dada, lalu ia pun
tertidur.
Paginya, kokok ayam hutan dan bau sedap menyengat hidung
membuat Han Han terbangun. Ia membuka mata dan cepat menengok ke arah tangannya
yang masih terulur ke kanan. Kiranya tangannya itu kini bukan terletak di atas
dada Hian Ceng, melainkan di atas tumpukan pakaiannya yang semalam ia
selimutkan gadis itu. Ia menengok ke arah kiri dan melihat Hian Ceng dengan
wajah segar, agaknya sudah mandi sepagi itu, sedang memanggang daging, agaknya
daging kelinci. Mendengar Han Han terbangun, gadis itu menengok dan berkata
mencela.
‘Engkau sungguh terlalu. Semalam suntuk tidur sambil
duduk saja!!
Han Han menjadi merah mukanya, teringat betapa semalam ia
meletakkan tangan di atas dada orang, perbuatan yang sungguh tidak patut
sungguhpun tidak ia sengaja.
‘Nona, sepagi ini sudah memanggang daging?!
Nona itu tertawa. ‘Lekaslah mencuci muka, daging sudah
hampir matang!!
Han Han tersenyum dan menyambar tongkatnya, berloncatan
ke anak sungai yang mengalir dekat gubuk itu. Setelah mencuci muka dan mulut,
ia kembali ke gubuk. Hian Ceng sudah menyiapkan panggang daging dan dua cawan
besar berisi air panas. Kiranya di sudut gubuk itu memang tersedia ceret untuk
memasak air dan beberapa buah cawan.
tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan.
Setelah selesai makan daging yang sedap, mereka menghirup
air panas. Han Han berkata, ‘Nona, mulai sekarang harap kauhilangkan saja
sebutan In-kong itu. Andaikata benar aku pernah menolongmu, namun sudah terbalas
impas oleh pertolonganmu yang berkali-kali terhadap aku.!
‘Habis, disuruh menyebut apa? Kongcu?!
‘Ihhh, orang macam aku mana patut disebut Tuan Muda?!
‘Ah, ya! Semestinya aku menyebutmu taihiap!!
‘Jangan, sebut saja namaku, atau sebut saja twako
karena aku lebih tua daripadamu, Nona.!
‘Ah, mana pantas? Aku menjadi tidak sopan kalau
begitu!!
‘Nona, setelah apa yang kita bersama alami selama ini,
menghadapi bahaya maut dan kita sudah seperti sahabat lama, bahkan lebih dari
itu, seperti saudara, perlu lagikah kita bersopan-sopan?!
‘Hemmm, kalau engkau begitu sopan terhadap aku,
In-kong, bagaimana aku tidak seharusnya bersikap sopan kepadamu? Engkau
menyebutku Nona, bukankah itu bersopan-sopan namanya? Kalau engkau menyebutku
adik, tentu aku akan menyebutmu kakak.!
Han Han tersenyum. Memang harus ia akui kalau berhadapan
dengan seorang gadis yang masih asing, dia merasa likat dan janggal, malu-malu
dan gugup. ‘Baiklah, Moi-moi. Baikiah, Ceng-moi (Adik Ceng), dan kau sebut
saja Twako kepadaku.!
‘Twako siapa? Engkau sudah mengetahui namaku, akan
tetapi aku belum tahu siapakah sebetulnya penolong besarku ini!!
Kembali Han Han tersenyum. Berdekatan dengan Hian Ceng
ini benar-benar mendatangkan kegembiraan mengusir mendung kedukaan yang selama
ini menyelimuti pikirannya, sejak ia kehilangan Lulu.
‘Adikku yang baik, namaku Sie Han. Akan tetapi Lulu dan
kawan-kawan baikku menyebutku Han Han.!
‘Han-twako!! Dengan sikap manja dan genit dibuat-buat
sehingga tampak lucu sekali Hian Ceng lalu menjura dan bersoja kepada Han Han.
Mereka melanjutkan lagi perjalanan itu, naik turun gunung
dan pada keesokan harinya, setelah malam tiba, kembali mereka hermalam di
puncak terakhir. ‘Sekali ini terpaksa kita harus bermalam di bawah pohon,
Twako.!
Han Han merobohkan seekor kijang dengan batu dan malam
itu perut mereka kenyang dengan daging kijang yang sedap dan gurih, akan tetapi
yang dimakan setelah dipanggang tanpa bumbu. Mereka duduk berdekatan di bawah
pohon, bersandar batang pohon yang amat besar itu, melepaskan lelah. Setelah
kini berganti sebutan, Han Han merasa biasa dan tidak begitu likat lagi
terhadap Hian Ceng, dan makin sukalah hatinya kepada gadis ini yang dapat
mengobati sakit di hatinya karena rindu kepada adiknya.
‘Lima tahun yang lalu, kdlau tidak ada Paman Thio Kai,
aku dan Ayah telah mati di sini,! kata Hian Ceng sambil termenung, teringat
akan pengalamannya ketika melakukan perjalanan dengan ayahnya dan lewat serta
bermalam di tempat itu.
‘Mengapa? Apa yang terjadi?! Han Han menoleh, melihat
betapa rambut gadis itu menjadi kekuningan tertimpa sinar bulan yang telah
muncul tinggi.
‘Kami diserang halimun beracun....!
‘Halimun beracun? Apa itu?!
‘Aku sendiri tidak tahu, Twako, akan tetapi menurut
keterangan Paman Thio kemudian, halimun beracun itu mengandung inti hawa yang
tak mungkin tertahan oleh manusia sehingga manusia yang bertemu dengan halimun
beracun di atas gunung tentu akan mati membeku kalau tidak mempunyai pengalaman
dan dapat cepat menyelamatkan diri seperti yang dilakukan Paman Thio.!
‘Apa penolaknya?! Han Han tertarik sekali. ‘Kan bisa
membuat api unggun?!
‘Api akan padam karena kayu bakarnya tiba-tiba menjadi
dingin membasah. Untung Paman Thio yang sudah biasa menjelajahi gunung-gunung
tinggi bahkan pernah mendaki Gunung Himalaya, sudah cepat menuangkan minyak di
atas kayu dan membakarnya. Dengan terus menambah minyak, api unggun itu tidak
menjadi padam, dan Paman Thio menyuruh kita menggali lubang secepatnya di tanah
dekat api unggun. Kami semua berlindung di dalam lubang dan dihangatkan oleh
api minyak. Kami selamat, akan tetapi pada keesokan paginya kami mendapatkan
sebelas orang teman yang juga diserang halimun beracun itu telah mati dalam
keadaan mengerikan. Mereka itu ada yang masih duduk bersila, ada yang memeluk
batang pohon, akan tetapi kesemuanya sudah mati kaku dan semua darah di tubuh
mereka membeku!!
Han Han tertarik sekali. Ia membayangkan betapa panik dan
menderitanya orang-orang yang terserang hawa dingin yang melebihi kekuatan daya
tahan tubuh manusia. Orang-orang yang menjadi teman-teman seperjuangan ayah
gadis ini tentulah bukan orang sembarangan dan sudah memiliki sin-kang yang
kuat, namun tetap saja tidak dapat bertahan terhadap serangan hawa dingin dari
halimun beracun itu.
‘Twako, celaka....!! Tiba-tiba Hian Ceng berteriak
kaget. Han Han cepat menoleh dan baru ia melihat betapa api unggun yang tadi
bernyala besar tiba-tiba padam dan tempat itu menjadi gelap, rambut Hian Ceng
tidak bersinar kuning lagi, bahkan makin lama tak tampak sedangkan hawa menjadi
luar biasa dinginnya!
‘Han-twako.... halim.... mun.... beracun.... kita lari
saja...., akan tetapi ke mana.... yang tidak ada halimunnya....?! Suara Hian
Ceng sudah menggigil dan agaknya gadis itu takkan dapat bertahan lama. Memang
terasa oleh Han Han betapa dinginnya kabut hitam yang disebut halimun beracun
ini.
‘Han-twako....!!
‘Ceng-moi, tenanglah. Ada aku di sini, jangan
khawatir.!
‘Di.... dinginnn.... tak tertahankan....!
‘Menggeserlah, jangan tempelkan punggungmu ke pohon.
Biar kubantu engkau melawan dingin.!
Hian Ceng tadi sudah mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi
percuma saja, hawa dingin makin menusuk-nusuk dan telinganya mendengar suara
menderu aneh seperti banyak iblis tertawa-tawa.
Ia masih dapat mendengar perintah Han Han maka ia
menggeser duduknya ke kiri, mendekati pemuda itu dan tiba-tiba ia merasa betapa
sebuah telapak tangan meraba lalu menempel di punggungnya, tepat di tulang
punggung. Belum lama telapak tangan pemuda itu menempel di punggungnya,
tiba-tiba ia merasa ada serangkum hawa panas menyengat punggung. Ia terkejut
dan merintih lirih, akan tetapi kemudian hawa panas membakar itu perlahan-lahan
membuyar dan tergantilah hawa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya dan
terus hawa hangat itu berputaran dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun!
Serangan hawa yang tadinya amat dingin itu kini terasa
hangat dan nyaman sekali sehingga Hian Ceng menjadi mengantuk bukan main! Tanpa
disengaja ia menyandarkan tubuhnya ke belakang dan kepalanya berbantal dada Han
Han, matanya sukar dibuka lagi saking mengantuknya! Akan tetapi ada bisikan di
dekat telinganya.
‘Ceng-moi, jangan tidur.... kerahkan sin-kangmu, terima
bantuan Yang-kang dariku dan salurkan ke seluruh tubuh, kalau kau tidur,
berbahaya....!!
Hian Ceng teringat dan menjadi terkejut. Biarpun ia masih
menyandarkan kepalanya, kini ia mengerahkan sin-kangnya dan benar saja, hawa
hangat itu yang tadinya berhenti kini mengalir kembali.
Kurang lebih sejam kemudian, Han Han berkata, ‘Sudah
aman.... kabut dingin sudah lewat!!
Akan tetapi begitu ia menghentikan pengerahan
sin-kangnya, Hian Ceng tak dapat menahan kantuknya dan ia sudah tidur nyenyak
berbantal pundak Han Han dan karena kepalanya miring maka dahinya menempel dagu
Han Han!
Pemuda ini menghela napas panjang, berbahaya, pikimya.
Benar-benar kekuasaan alam amat dahsyat. Kalau saja ia dahulu tidak tekun
berlatih di Pulau Es, agaknya sin-kangnya tidak akan mampu melawan halimun
beracun itu. Suara aneh seperti banyak iblis tertawa tadi adalah suara
daun-daun yang membeku dan rontok! Kini sinar bulan tampak lagi dan ia
menunduk. Wajah Hian Ceng tertimpa sinar bulan, bukan main cantiknya. Jantung
pemuda ini berdebar keras dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi panas.
‘Alangkah cantiknya.... bibir itu.... begitu dekat,
mata tertutup dihias bulu-bulu mata yang bersatu, kelihatan panjang melentik,
kedua pipi yang merah, segar bagaikan buah apel.... hawa yang hangat berhembus
dari hidung dan mulut yang setengah terbuka. Kalau aku menciumnya, siapa yang
tahu?! Demikian terdengar bisikan hatinya dengan suara merayu dan membujuk.
‘Gila engkau!! hardik suara lain di dasar hatinya.
‘Buang jauh-jauh niat busuk, kotor dan cabul itu!!
‘Aaahhhhh, siapa bilang kotor dan cabul? Dia begini
cantik manis, seperti setangkai bunga atau sebutir buah masak. Betapa sayangnya
bunga harum tidak dicium dan buah manis tidak digigit. Hayolah, sekali ciuman
di bibir yang menggairahkan itu, apa salahnya? Dia tidak akan marah, karena dia
tidak tahu dan....! suara itu makin lembut, ‘Andaikata dia tahu sekalipun,
dia tidak akan marah. Sinar matanya padamu begitu lembut, membayangkan kagum
dan sayang....!
‘Tidak!! Suara ke dua membentak. ‘Seorang gagah
menggunakan kesempatan begini, untuk mencuri ciuman!!
‘Bukan mencuri....! bantah suara ke dua halus, ‘baru
saja kau menyelamatkan nyawanya dari bahaya maut, dibalas sekali ciuman mesra
apa salahnya? Dan ingat, dia sendiri yang menyandarkan kepalanya di bahumu, dia
begitu mesra.... kau seorang laki-laki muda, masa begitu bodoh....?!
Han Han memandang wajah itu, bibirnya menggigil, matanya
menjadi sayu. Bukan main! Wajah itu demikian cantiknya, cantik jelita melebihi
segala keindahan yang pernah dilihatnya!
Tak dapat menahan lagi dia! Dia harus mencium wajah Hian
Ceng, biarpun hanya satu kali, biarpun dengan mencuri. Mulut itu begitu dekat,
dia tinggal menunduk sedikit saja dan bibir mereka akan bertemu. Mesra! Han Han
sudah menunduk, tiba-tiba bagaikan kilat berkelebat memasuki otak dan
ingatannya, ia terbayang akan peristiwa di Istana Pulau Es ketika dia
terpengaruh racun dan dengan penuh gairah dan berahi memuncak, dia dan Lulu
juga saling mencumbu, dan saling memeluk cium dan betapa kemudian dia merasa
amat menyesal dan untung masih belum terlanjur!
Ketika bibirnya menyentuh bibir Hian Ceng, Han Han
teringat dan dengan kaget sekali ia mendapat kenyataan bahwa saat itu ia hendak
mengulangi lagi adegan yang dulu ia lakukan bersama Lulu di bawah pengaruh
racun! Dan sekarang, tidak ada racun yang mempengaruhi dirinya, namun mengapa
ada dorongan yang mukjizat mendesaknya sehingga ia ingin sekali melumat bibir
itu penuh nafsu, mencengkeram dan membelai tubuh di depannya ini? Mengapa?
Tiba-tiba Han Han merenggutkan mukanya dari muka gadis
itu, membalikkan tubuhnya dan membentak, ‘Bedebah Suma Hoat....!! Tangannya
yang mengerahkan tenaga sin-kang telah menghantam pohon itu sehingga terdengar
suara keras, tangannya menerobos masuk ke dalam batang pohon besar sampai
sesiku dan pohon itu bergoyang keras daun-daunnya banyak yang rontok berguguran!
‘Aihhhhh....! Ada.... ada apa....?! Hian Ceng meloncat
kaget dan mundur-mundur melihat Han Han berdiri tegak dengan muka tersinar
cahaya bulan, amat menyeramkan. Tiba-tiba gadis ini menjerit lagi ketika Han
Han melompat dan menghantam sebatang pohon di sebelah kirinya, kini menggunakan
dorongan dengan tenaga sin-kang sehingga pohon itu roboh, lalu meloncat ke
kanan mendorong roboh pohon lain, mulutnya memaki-maki.
‘Si keparat engkau, Suma Hoat....!!
Sudah ada sepuluh batang pohon roboh oleh amukan Han Han.
‘Han-koko....!! Seruan yang merupakan jerit melengking
ini memasuki telinga Han Han seperti suara Lulu, seketika lemaslah tubuhnya,
otot-ototnya seperti dilolos dan ia menoleh dan berbisik.
‘Lulu....!! bisiknya mengandung isak.
Hian Ceng menubruk dan merangkulnya, berkata dengan suara
penuh kekhawatiran.
‘Han-koko....! Kau kenapa....?!
Han Han mengangkat tangannya, mengelus kepala gadis itu
dan hatinya lega. Kini telah minggat nafsu berahi yang tadi membakarnya, telah
lenyap dorongan hati yang ia anggap sebagai warisan watak dan darah kakeknya,
Jai-hwa-sian Suma Hoat. Kini ia dapat membelai rambut gadis itu tanpa nafsu
berahi, sewajarnya timbul dari kasih seperti kalau dia membelai rambut Lulu.
‘Tidak apa-apa, Ceng-moi. Tadi aku mengusir setan....!
Tubuh gadis itu menggigil. ‘Aihhh.... betul-betulkah
ada iblis yang menggerakkan halimun beracun tadi?!
Han Han mengangguk. Pada saat seperti itu lebih baik dia
membohong. Tidak mungkin ia menceritakan keadaan yang sebenarnya. ‘Agaknya
begitulah, Moi-moi. Akan tetapi iblis-iblis itu telah pergi dan kabut dingin
telah lenyap. Mari kita membuat api unggun.!
Setelah api unggun menyala dan hawa menjadi hangat,
keduanya bersandar pada pohon dan berusaha untuk tidur. Namun Han Han tak dapat
memejamkan mata sekejap pun, hatinya masih ngeri kalau ia membayangkan gelora
nafsu yang menguasainya tadi. Juga gadis itu tidak tidur lagi, hatinya masih
ngeri kalau mengingat halimun beracun.
‘Twako, besok kita berpisah, Twako akan ke Cung-king
bersama para penjaga yang akan kita temui di kaki gunung besok pagi, dan aku
akan mulai mencari adikmu ke Kwang-yang.!
‘Hemmm, baiklah, Ceng-moi.!
‘Twako, dua kali kau sudah menyelamatkan aku. Pertama
menyelamatkan aku daripada bahaya yang mengerikan sekali, ke dua menyelamatkan
aku daripada maut di cengkeraman iblis halimun beracun. Twako, kau sungguh baik
sekali....!
‘Sudahlah, Moi-moi. Tidak perlu menyebut-nyebut hal itu
lagi....! Han Han mendekati api unggun dan menambah kayu sehingga api menyala
lebih besar. ‘Tidurlah....!
‘Twako, aku akan mencari adikmu sampai dapat! Sungguh,
akan kukerahkan segala kemampuanku untuk mencarinya. Kalau sudah dapat kubawa
kepadamu.... Twako, kau berjanjilah.... kau perbolehkan aku ikut denganmu. Aku
sudah tidak punya siapa-siapa lagi, dan di dekatmu aku merasa aman, merasa
tenteram dan senang.!
Ceng-moi, hal itu belum perlu dibicarakan sekarang.
Tidurlah....! Suara Han Han terdengar terharu penuh duka, dan kembali pemuda
ini menambah kayu pada api unggun sehingga nyalanya makin membesar.
Tiba-tiba Hian Ceng sudah berjongkok di sebelahnya,
memegangi kedua lengannya dan berkata, ‘Han-koko, mengapa engkau berduka
lagi? Engkau agaknya menderita sekali.... ah, percayalah, Koko, aku akan
berusaha dengan seluruh jiwa ragaku untuk membahagiakanmu....!
Han Han memandang dan betapa kaget hatinya ketika melihat
pandang mata gadis ini persis pula pandang mata Kim Cu, juga pandang mata Sin
Lian dan pandang mata mendiang Lu Soan Li! Pandang mata penuh cinta kasih!
Cepat ia membuang muka dan merenggut lengannya dengan halus.
‘Ceng-moi.... maafkan aku, biarkanlah aku sendiri....
tidurlah dan besok pagi kita bicarakan lagi....!! Di dalam suaranya terbayang
penuh permintaan sehingga gadis itu menjadi kasihan, menarik napas panjang dan
kembali ke pohon, bersandar dan mencoba tidur. Akan tetapi, berkali-kali ia menengok
dan memandang Han Han yang duduk menghadapi api unggun, membelakanginya. Baru
setelah menjelang pagi gadis itu dapat tidur pulas.
Akan tetapi, ketika sinar matahari yang menembus
celah-celah daun mencium pipinya dan membangunkannya, Hian Ceng tidak melihat
lagi Han Han berada di situ. Pemuda itu sudah pergi dan di atas tanah dekat api
unggun yang sudah padam, Hian Ceng melihat tulisan yang cukup jelas.
‘Aku ke Cung-king, tak pertu dikawal. Sampai jumpa.!
Hian Ceng menghela napas panjang. Dunia terasa sunyi
setelah pemuda buntung itu meninggalkannya. Akan tetapi ia tidak merasa
khawatir bahwa Han Han pergi ke Cung-king tanpa pengawal. Pemuda buntung itu
bukan manusia biasa, kepandaiannya hebat dan agaknya akan mampu mengatasi
segala perkara yang dihadapinya. Hian Ceng kembali menghela napas teringat akan
semua pengalamannya dengan Han Han yang biarpun hanya berkumpul beberapa hari
namun amat mengesankan dan menegangkan hatinya.
Ah, ia merasa yakin bahwa Han-koko-nya akan mampu
mengatasi segala perkara yang menimpa dirinya, akan tetapi ia ragu-ragu apakah
pemuda itu akan dapat mengatasi dirinya sendiri. Pemuda itu kelihatan selalu
berduka, dan peristiwa malam itu sungguh mengerikan, ketika pemuda itu
berperang dengan ‘iblis! yang ia dapat menduga tentu berada dalam dirinya
sendiri. Pemuda itu sering kali menderita hebat karena di dalam tubuhnya
terdapat dua kekuatan yang saling berlawanan!
Dia harus mencari Lulu sampai dapat, membawanya kepada
Han Han kemudian dia tidak akan mau berpisah lagi! Setelah mengambil keputusan
ini dalam hatinya, Hian Ceng pergi dari situ ke Kwang-yang.
Seperti ketika dia memasuki kota raja Peking, ketika Han
Han memasuki Cung-king buntungnya sebelah kakinya tidak menarik perhatian orang
karena di Se-cuan pun banyak terdapat penderita cacat akibat perang. Hanya
rambutnya yang panjang dan sinar matanya yang tajam luar biasa itulah yang
menarik perhatian orang. Sebaliknya, Han Han menjadi kagum ketika ia memasuki
kota besar ini karena ia merasa seolah-olah memasuki sebuah dunia yang lain.
Amat jauh bedanya keadaan di kota ini dengan kota-kota
lain di luar perbatasan. Bukan hanya cara berpakaian dan rambut, di mana tidak
tampak rambut dikuncir seperti di kota-kota jajahan, juga cara mereka itu
bicara, pandang mata dan sikap penduduk ini semua bersemangat dan gagah. Belum
lama ia memasuki kota Cung-king dan sedang mencari-cari di mana gerangan istana
tempat tinggal Bu Sam Kwi, raja muda yang menguasai daerah Se-cuan dan yang
namanya terkenal sekali, atau di mana kiranya ia akan dapat bertemu Sin Kiat,
tiba-tiba ada orang memegang lengannya dan berkata.
‘Sahabat muda, marilah singgah di rumahku. Tentu engkau
baru datang dari garis depan, bukan?!
Han Han menengok dan melihat seorang laki-laki setengah
tua yang sikapnya ramah sekali. Hatinya terharu ketika melihat bahwa orang
inipun buntung sebelah kakinya, terpincang-pincang dan membawa tongkat seperti
dia. Tubuhnya tinggi besar dan kuat, dan seluruh sikapnya jelas membayangkan
bahwa orang ini tentu seorang pejuang.
‘Terima kasih, Paman. Aku ada perlu penting, tidak
mempunyai banyak waktu,! jawab Han Han ramah.
‘Kalau begitu, mari kita minum teh hangat di warung
itu. Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang perang. Tentu menarik
sekali. Nasib kita sama, aku pun kehilangan sebelah kakiku dalam perang. Akan
tetapi aku tidak menyesal, jangankan hanya satu kaki, biar nyawaku sekalipun
kurelakan demi membela bangsa dari cengkeraman penjajah!!
Han Han merasa jantungnya tertikam. Dia terharu sekali.
Orang ini benar-benar bahagia. Biar kehilangan kaki, namun orang ini kehilangan
dengan hati rela karena kakinya hilang tidak percuma, melainkan untuk
perjuangan membela bangsa. Kehilangan kakinya bahkan merupakan pupuk bagi
suburnya semangat perjuangan. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia.
Konyol! Hatinya terharu dan ia tidak dapat menolak lagi. Keduanya terpincang-pincang
memasuki warung makan. Penjaga warung menyambut mereka dengan wajah ramah.
Mereka makan bubur ayam dan minum teh panas yang dipesan
laki-laki besar buntung itu. Bermacam-macam pertanyaannya yang dijawab dengan
singkat saja oleh Han Han. Untuk menyenangkan hati orang itu dan tidak
menimbulkan kecurigaan, ia membenarkan bahwa ia kehilangan kaki ketika ia
membantu pihak pejuang dalam perang melawan penjajah. Akhirnya Han Han menutup
kata-katanya dengan ucapan sungguh-sungguh.
‘Paman yang gagah, terima kasih atas keramahanmu.
Memang sebetulnya aku bukanlah anggauta pasukan pejuang, akan tetapi
kedatanganku ini membawa berita penting sekali yang harus kusampaikan sendiri
kepada Bu-ongya. Di manakah istananya?!
Tiba-tiba laki-laki buntung itu bangkit berdiri,
bersandar pada tongkatnya dan bertanya dengan suara yang kaku, tidak seramah
tadi, ‘Orang muda, di pihak siapakah kau berdiri? Pangeran Kiu ataukah Raja
Muda Bu?!
Han Han menjadi bingung dan menggeleng kepalanya. ‘Aku
tidak tahu, aku tidak di pihak siapa-siapa.!
Bagus! Mari kita keluar dari sini dan bicara di luar.!
Orang itu membayar harga bubur dan teh, menggandeng tangan Han Han dan
terpincang-pincang keluar. Karena kini ada dua orang buntung jalan bersama dan
bercakap-cakap, hal ini menarik perhatian orang juga, akan tetapi yang
ditujukan kepada mereka adalah mata yang mengandung kasihan.
‘Hiante, engkau orang yang baru datang, akan tetapi
jasamu sudah jelas karena engkau telah mengorbankan sebelah kaki untuk
perjuangan. Kesetiaan dan kebaktianmu terhadap tanah air dan bangsa sudah
terbukti. Aku tidak tahu apa yang akan kausampaikan kepada Bu-ongya, akan
tetapi kiranya perlu kuberitahukan kepadamu bahwa di sini terjadi perbedaan
paham sehingga timbul tiga macam paham.
Pertama adalah paham Bu-ongya yang bertekad untuk
berjuang mati-matian sampai titik darah terakhir mempertahankan kerajaannya.
Mempertahankan kerajaannya! Mengertikah engkau, Hiante? Dan ke dua adalah paham
Pangeran Kiu yang menganjurkan agar berdamai, bukan takluk, berdamai dengan
penjajah Mancu dengan syarat-syarat yang menguntungkan pihak Se-cuan.
Nah, yang ke tiga adalah paham yang paling murni, tidak
mementingkan diri pribadi, yaitu paham para pejuang yang datang dari luar
Se-cuan, yang berjuang demi tanah air dan bangsa, sama sekali tidak ingin
menjadi raja atau mendapat kemuliaan. Seperti.... seperti engkau dan aku. Nah,
selamat berpisah, kalau engkau masih hendak mengunjungi Bu-ongya, hal yang
tentu saja tidak mungkin atau akan sulit sekali, nah, itu di sana istananya,
yang atapnya menjulang tinggi!! Laki-laki buntung itu lalu meninggalkan Han
Han. Pemuda ini berdiri termangu-mangu dan heran mendengarkan keterangan yang
diucapkan dalam bisikan-bisikan itu.
Ah, dia tidak akan peduli akan urusan itu. Yang penting, dia
harus menyampaikan rencana penyerbuan tentara Mancu untuk menyelamatkan
Se-cuan. Perebutan kekuasaan terjadi di mana-mana dan dia tidak akan melibatkan
diri. Tugasnya hanya menyampaikan rencana Mancu yang merupakan ancaman bagi
rakyat Se-cuan, kemudian ia akan mencari Lulu. Han Han yang telah melangkah,
berhenti lagi. Teringat ia akan ucapan laki-laki gagah yang buntung tadi.
Laki-laki itu kehilangan kakinya untuk berdarma bakti
kepada tanah air dan bangsa. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia! Tidak,
dia harus pula menyumbangkan tenaga untuk membantu rakyat dan bangsanya yang
terancam penyerbuan Se-cuan. Bala tentara Mancu dibantu orang-orang pandai
seperti Setan Botak, Iblis Muka Kuda, Toat-beng Ciu-sian-li dan masih banyak
lagi tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Mereka itu bukan hanya membantu
penjajah, akan tetapi juga terkenal sebagai tokoh-tokoh kaum sesat yang sudah
sepatutnya kalau dia tentang.
Dia akan membantu Se-cuan, bukan semata-mata untuk ikut
melibatkan diri dalam perang yang dibencinya, melainkan terutama sekali untuk
membela rakyat yang akan menderita karena penyerbuan bala tentara Mancu untuk
menentang tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat itu. Bukankah adiknya Lulu, juga
telah membantu perjuangan Pek-lian Kai-pang? Adiknya benar. Bukan memusuhi
bangsa Mancu atau bangsa apa pun juga, melainkan menentang kelaliman dan
kejahatan, dari manapun juga datangnya!
Dengan langkah lebar Han Han menuju ke pintu gerbang
besar di depan istana yang cukup megah itu. Beberapa orang penjaga segera menghadangnya
dan tak lama kemudian ia sudah berhadapan dengan tujuh orang penjaga dengan
seorang komandan jaga.
‘Ho-han (Orang Gagah) hendak mencari siapakah? Apakah
hendak mengunjungi Ho-han Bu-koan?! tanya komandan jaga dengan sikap hormat.
Kalau saja Han Han menjawab dengan anggukan kepala, tentu ia akan diberi jalan
karena memang para penjaga sudah biasa melihat orang-orang kang-ouw, yang
aneh-aneh memasuki istana untuk pergi ke Ho-han Bu-koan, yaitu sebuah gedung
besar yang khusus disediakan oleh Bu Sam Kwi untuk menampung orang-orang gagah
dari luar Se-cuan yang melarikan diri ke Se-cuan untuk menggabungkan diri
menghadapi penjajah.
Akan tetapi Han Han menggeleng kepala! Bahkan ia lalu
menjawab, ‘Tidak, aku mohon menghadap Bu-ongya.!
Para penjaga itu terkejut dan memandang Han Han penuh
perhatian dan kecurigaan. ‘Ada keperluan apakah hendak menghadap Ongya?!
Urusan penting yang hanya akan saya sampaikan kepada
Bu-ongya sendiri.!
‘Tidak begitu mudah, orang muda. Kalau engkau membawa
surat penting, katakan dari siapa. Kalau engkau membawa pesan, katakan engkau
utusan siapa, agar kami dapat melaporkan ke dalam.!
Han Han menggeleng kepala. ‘Laporkan saja bahwa aku
mohon menghadap Bu-ongya untuk keperluan yang amat penting, aku membawa berita
yang amat penting bagi keselamatan Se-cuan.!
Ada yang terbelalak mendengar ini, ada pula yang tertawa.
Agaknya pemuda ini seorang yang miring otaknya, pikir mereka. Berita apakah
yang dapat menyelamatkan Se-cuan? Seolah-olah Se-cuan dapat diancam begitu
saja!
Akan tetapi komandan jaga yang dapat menduga bahwa pemuda
buntung itu tentu bukan orang sembarangan, melihat sikapnya yang dingin dan
sinar mata yang tajam mengerikan itu, lalu berkata.
‘Kalau Ho-han hendak menghadap Ongya, harus lebih dulu
menghadap ke Ho-han Bu-koan. Mari, silakan, Ho-han!!
Han Han tidak tahu apa itu yang disebut Ho-han Bu-koan
(Rumah Silat Kaum Ho-han) dan ia pun tidak peduli asal dia diperbolehkan
bertemu dengan Bu Sam Kwi untuk melaporkan rencana penyerbuan oleh tentara
Mancu seperti yang ia dengarkan dari rapat yang dipimpin Setan Botak. Ia
mengangguk dan terpincang-pincang mengikuti komandan jaga itu. Mereka memasuki
pekarangan istana yang lebar dan karena dikawal oleh komandan jaga, maka para
penjaga dan pengawal hanya memandang Han Han penuh perhatian.
Agaknya mereka merasa heran mengapa ada pemuda pincang
hendak pergi ke Ho-han Bu-koan. Selihai-lihainya orang pincang bisa apa sih?
Kakinya pun tinggal satu!
Komandan jaga itu membawa Han Han memasuki sebuah gedung
yang besar, juga di samping kanan istana. Di depan gedung ini terdapat papan
nama dengan huruf-huruf besar dan gagah, tulisan tangan yang indah sekali,
hanya empat huruf : HOHAN BU KOAN. Berbeda dengan istana yang bagian depannya
penuh dengan penjaga dan pengawal, gedung ini tidak dijaga dan pin tunya yang
lebar pun terbuka. Komandan jaga mengajak Han Han memasuki pintu. Ruangan depan
kosong saja dan komandan itu berkata kepada Han Han.
‘Para Ho-han tentu sedang berkumpul di dalam. Mari kita
masuk saja, Ho-han!!
Han Han mengangguk dan bersikap waspada, akan tetapi ia
hanya mengikuti komandan jaga itu memasuki ruangan dalam sambil
terpincang-pincang dibantu tongkatnya. Begitu melewati pintu tembusan,
tampaklah sebuah ruangan yang amat luas dan di situ tampak berkumpul banyak
sekali orang, ada empat puluh orang lebih dengan sikap seenaknya, ada yang
duduk di atas meja, ada pula yang duduk bersila di atas tanah dan rebah-rebahan
di lantai. Sikap orang-orang kang-ouw yang tidak acuh!
‘Apapun yang terjadi di atasan, apa pun yang mereka
perebutkan, kita tidak peduli, yang penting, hancurkan penjajah Mancu!!
Terdengar seorang laki-laki tinggi kurus berkata sambil menggunakan sepasang
sumpit yang istimewa panjang dan besarnya, sumpit gading, menjemput sepotong
daging dari mangkok di atas meja dan melempar daging itu ke mulutnya.
Dia, melemparnya karena ia hanya menggerakkan sumpit itu
dan dagingnya terlempar memasuki mulutnya yang ternganga, lalu dikunyahnya
mengeluarkan suara seperti babi sedang makan! Orang ini yang menarik adalah
matanya, karena matanya buta sebelah, hanya sukar dikatakan yang mana yang
buta, karena yang kiri hanya tampak putih saja sedangkan yang kanan hanya
tampak guratan hitam!
Agaknya mereka sedang membicarakan tentang pertentangan
paham antara Bu-ongya dan Pangeran Kiu seperti yang ia dengar dari laki-laki
buntung tadi. Munculnya Han Han bersama komandan jaga membuat semua orang
menghentikan percakapan dan mereka menengok, memandang ke arah Han Han penuh
perhatian dan penyelidikan, agak curiga karena mereka tidak mengenal pemuda
buntung ini.
‘Harap cu-wi Ho-han (Orang-orang Gagah Sekalian) suka
memaafkan. Ho-han muda ini datang dan mengatakan mohon menghadap Ongya karena
membawa berita yang penting bagi keselamaian Se-cuan tanpa mau memberi tahu
kepada saya. Karena meragukan keterangannya maka saya antar ke sini agar cu-wi
dapat menyelidik dan memberi keputusan. Terserah!! Komandan jaga itu lalu
keluar dari situ setelah sekali lagi memandang Han Han penuh kecurigaan.
Sejenak sunyi di ruangan itu ketika semua mata ditujukan
kepada Han Han. Pemuda ini memandang ke sekeliling, memperhatikan ruangan yang
bersih dan indah itu. Di tengah ruangan terdapat permadani berwarna biru tua
yang bersih dan indah, dan di dekat pintu terdapat jendela besar yang tidak
berdaun, terbuka memperlihatkan sebuah kebun yang indah pula sehingga ruangan
ini mendapat hawa dari luar yang amat sejuk. Karena ruangan itu amat bersih,
tidak heran orang-orang kang-ouw itu duduk atau rebah di atas lantai begitu
saja.
Karena tidak ada orang yang menegurnya, Han Han menjadi
tidak sabar dan ia bergerak maju terpincang-pincang ke tengah ruangan, di atas
permadani biru tua dan berkata.
‘Maafkan saya. Sesungguhnya komandan jaga itu keliru
mengantar saya ke sini karena saya tidak mempunyai urusan dengan cu-wi Enghiong
sekalian. Saya hanya ingin bertemu dengan Raja Muda Bu Sam Kwi untuk
menyampaikan urusan yang amat penting.!
Akan tetapi alangkah heran hati Han Han ketika melihat
betapa semua orang memandangnya dengan mata marah, bahkan seorang laki-laki
berusia tiga puluh tahun yang bertubuh kurus dan bermuka pucat sudah meloncat
maju menghadapinya di atas permadani biru dan membentak.
‘Sahabat yang gagah, perkenalkan namamu!!
Han Han menjadi makin heran. Laki-laki ini bersikap
gagah, kata-katanya pun bersahabat karena menyebutnya sahabat yang gagah, akan
tetapi nada suaranya marah! Ia menjura dan menjawab, ‘Namaku Han Han.!
‘Siapa gurumu? Dari golongan mana? Selama berjuang ikut
rombongan yang dipimpin siapakah?!
Menghadapi pertanyaan bertubi-tubi seperti seorang hakim
memeriksa pesakitan ini, berkerutlah alis Han Han, akan tetapi karena
pertanyaan itu diajukan dengan sopan dan semua orang agaknya memperhatikan, ia
menganggap bahwa memang sikap orang-orang kang-ouw ini aneh, maka ia pun
menjawab singkat.
‘Nama guruku tidak boleh kuperkenalkan orang lain, aku
bukan dari golongan manapun dan aku tidak pernah ikut berjuang!!
‘Aaahhhhh....!! Seruan ini terdengar dari banyak mulut
dan semua orang memandang dengan penuh kecurigaan, bahkan ada bisikan dari
sudut, ‘Jangan-jangan mata-mata anjing Mancu....!!
Mendengar ini, Han Han mengangkat muka memandang mereka
dan berkata lagi, ‘Aku bukan pejuang, bukan pula mata-mata Mancu, akan tetapi
aku datang untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi Raja Muda Bu Sam
Kwi!!
‘Manusia sombong!! laki-laki kurus yang berdiri di
depannya membentak lagi. ‘Tidak perlu banyak bicara yang tidak-tidak lagi,
aku Sin-jiauw-eng (Garuda Cakar Sakti) Lo Hwat menyambut tantanganmu. Lihat
serangan!!
Han Han terkejut sekali karena mendadak orang kurus itu
mencengkeram ke arah dadanya. Ia pikir tidak perlu membantah lagi, biarlah
kalau dia dianggap sombong dan menantang. Dia pun tidak menangkis atau
mengelak, hanya mengerahkan sin-kang pada dadanya yang dicengkeram. Melihat
betapa pemuda buntung ini sama sekali tidak mengelak maupun menangkis,
Sin-jiauw-eng Lo Hwat kaget dan cepat mengubah serangan mencengkeram menjadi
dorongan telapak tangan.
Dia adalah seorang gagah, tentu saja tidak mau membunuh
orang yang tidak mau mempertahankan diri, sungguhpun orang ini telah berani
berdiri di atas permadani biru! Han Han sama sekali tidak tahu bahwa sudah
menjadi ‘hukum! di Ho-han Bu-koan itu bahwa siapa yang berdiri di atas
permadani biru itu berarti menantang yang hadir untuk pibu (mengadu ilmu
silat)!
‘Bukkk!!
Tubuh Han Han sedikit pun tidak bergoyang akan tetapi
sebaliknya Lo Hwat yang memukulnya dengan dorongan keras malah terjengkang!
Semua orang yang hadir mengeluarkan seruan kagum. Lo Hwat terkenal sebagai
seorang yang memiliki tenaga lwee-kang kuat sekali di samping keahliannya
memperguna kan jari tangan sebagai cakar garuda. Kini, Si Garuda Cakar Sakti
itu memukul dada pemuda buntung ltu dan roboh terjengkang sendiri!
‘Aku tidak ingin berkelahi,! kata Han Han.
Akan tetapi Lo Hwat sudah mencelat bangun lagi, matanya
menjadi merah saking malu, marah dan penasaran. Dia tadi menaruh kasihan, siapa
akan mengira bahwa dia malah dibikin malu oleh bocah buntung ini. Sambil
berseru keras ia lalu meloncat ke atas, kemudian dari atas tubuhnya menyambar
bagaikan seekor burung garuda, kedua tangannya membentuk cakar, yang kanan
mencakar ke arah kepala Han Han sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah
pundak.
Han Han menjadi penasaran. Serangan lawan sekali ini amat
berbahaya dan kalau dia diam saja, hanya menggunakan sin-kang melindungi tubuh,
dia tentu akan dianggap menghina atau juga takut. Dengan kaki satu masih
berdiri tegak, ia mengelebatkan tongkatnya ke atas.
Gerakan tongkatnya cepat bukan main, tahu-tahu sudah
menempel kedua lengan lawan dan sekali ia membanting, tubuh Lo Hwat sudah
terguling ke atas lantai dan terbanting, sedangkan Lo Hwat ini sama sekali
tidak tahu mengapa tubuhnya tiba-tiba jatuh. Ketika ia memandang, pemuda
buntung itu masih berdiri tegak di atas satu kaki, tongkatnya dikempit di bawah
ketiak kiri dan kedua lengannya bersedakap! Kemarahan Lo Hwat memuncak.