Suling Emas, Bab 31 - Bangkai Burung Hantu

Kho Ping Hoo, Suling Emas, Bab 31 - Bangkai Burung Hantu. Permainan catur dimulai. Kakek itu mempersilakan Bu Song menggerakkan biji caturnya lebih dahulu. Bu Song berlaku hati-hati dan membuat gerakan sederhana.
Anonim
Permainan catur dimulai. Kakek itu mempersilakan Bu Song menggerakkan biji caturnya lebih dahulu. Bu Song berlaku hati-hati dan membuat gerakan sederhana. Akan tetapi gerakan biji catur kakek itu amat luar biasa, terlalu berani, kasar dan sama sekali tidak mempergunakan teknik bermain catur, membabi buta dan asal makan saja! Sibuk juga Bu Song menghadapi perlawanan kasar dan ceroboh macam ini. Kakek itu bermain seperti tidak mempergunakan otak sehingga sebentar saja Bu Song dipaksa saling makan dan dalam waktu sing kat biji-biji catur mereka yang berada di atas papan tinggal sedikit.

Sekarang mulailah kakek itu benar-benar bermain catur. Gerakan-gerakan atau langkah-langkah biji caturnya teratur rapi, mendesak dan memancing penuh tipu muslihat dan ternyata merupakan tingkat permainan catur yang tinggi! Bu Song kaget dan mengertilah ia akan cara bermain lawannya. Ia tetap berlaku hati-hati sebelum menggerakkan biji caturnya. Kening pemuda ini sampai kerut-merut karena pencurahan perhatian yang bulat dan pemerasan otak yang sungguh-sungguh. Kakek itu pun kini tidak main-main lagi. Duduk tekun menghadapi papan catur, tangan kiri menekan tanah, lutut kaki tangan diangkat untuk menumpangkan tangan kanan, matanya tidak pernah berkedip memandang papan catur, bibir yang tersembunyi di balik kumis itu berkemak-kemik seperti orang membaca doa atau menghafal sesuatu. Bahkan burung hantu yang hinggap di atas lengan kanannya juga diam tak bergerak seperti mati.

Pertandingan kini menegangkan sekali. Bu Song menang sebuah biji catur. Biji caturnya tinggal empat, akan tetapi biji catur kakek itu tinggal tiga buah lagi! Kini setiap gerakan dilakukan hati-hati dan setelah memakan waktu pemikiran yang cukup lama. Keadaannya tegang. Biarpun mereka berdua kelihatan tenang-tenang dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, bahkan bergerak pun hanya kalau menjalankan biji catur, namun ketegangannya tidak kalah oleh pertandingan silat. Hal ini adalah karena bagi Bu Song, pertandingan ini sama artinya dengan pertandingan mengadu nyawa!

Dalam keadaan menang kuat satu biji, Bu Song berusaha memancing lawan dengan umpan-umpannya. Ia mengumpankan biji yang kelebihan itu dan apabila lawannya kena dipancing, tentu dalam waktu singkat ia dapat menghabiskan biji catur lawan. Akan tetapi dalam keadaan kalah kuat itu, Bu Tek Lojin ternyata cerdik sekali dan tidak menghiraukan umpan, melainkan main dalam sistim pertahanan yang ulet bukan main.

Bu Song menukar siasat. Karena semua umpan pancingannya tidak berhasil, ia kini mempergunakan kelebihan biji caturnya untuk mendesak dan mengurung, lalu menggiring biji-biji lawan ke sudut sehingga Si Kakek itu tidak bisa mendapatkan jalan keluar lagi kecuali mengadu biji atau saling makan. Dan kalau saling makan, berarti Bu Song akan menang karena ia masih kelebihan sebuah biji catur!

Sampai lama kakek itu memandang ke arah papan di mana tiga buah biji caturnya sudah kehabisan jalan. Keringat besar-besar memenuhi dahinya dan akhirnya ia menarik napas panjang, menggerakkan biji caturnya dan terpaksa makan biji catur lawan. Bu Song tersenyum. Kemenangan sudah pasti berada di tangannya. Dengan gembira ia pun balas memakan, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia hendak mengambil biji catur lawan, biji catur itu lekat pada kertas dan tak dapat diambil kecuali kalau dengan kertasnya. Diam-diam ia mendongkol sekali. Kakek ini mulai curang, pikirnya, atau menggunakan akal bulus. Terpaksa ia lalu mengerahkan sin-kangnya, disalurkan pada jari-jari tangannya dan dapatlah ia kini mengambil biji catur itu dari atas kertas dan tiba-tiba Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak dan melompat berdiri.

‘Ha-ha-ha! Hebat kepandaianmu main catur.!

Dengan girang Bu Song juga bangkit berdiri dan hatinya lega sekali.

‘Bu Tek Lojin, apakah kau mengaku kalah?!

‘Eh, Bu Song. Selain ilmu bermain catur, juga tenaga lwee-kangmu lumayan. Kau murid siapa?!

‘Suhu Kim-mo Taisu berkenan memberi sedikit pelajaran kepada saya.!

‘Oh-oh-oh...! Kiranya murid Kim-mo Taisu? Ha-ha-ha, benar-benar tidak kusangka! Orang gila itu punya murid sebaik ini? Berapa tahun kau belajar ilmu silat dari Si Gila itu?!

Tak senang hati Bu Song mendengar suhunya disebut orang gila dan sama sekali tidak dipandang mata oleh kakek ini, padahal ia tahu benar betapa di dunia kang-ouw gurunya adalah seorang tokoh besar yang disegani kawan atau lawan. Akan tetapi ia menjawab juga,

‘Hanya dua tahun. Dibanding dengan Suhu, saya belum ada sepersepuluhnya!!

Mendadak kakek itu menggerakkan tubuhnya dan alangkah kagetnya Bu Song karena tanpa peringatan apa-apa kakek itu sudah menyerangnya dengan pukulan yang hebat sekali karena mendatangkan angin berciutan. Pukulan tangan kiri kakek dengan jari tangan terbuka itu menusuk ke arah dadanya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Akan tetapi pukulan susulan tangan kanan kakek itu memasuki bagian lambung kiri! Kecepatan serangan susulan ini tidak memungkinkan Bu Song mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga pada lengannya dan menangkis.

‘Dukkk!!

Tubuh kakek itu tergetar sehingga burung hantu yang hinggap di pundaknya mengeluarkan suara keras lalu terbang ke atas. Akan tetapi tubuh Bu Song terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya! Orang muda itu terhuyung-huyung dan setelah beberapa meter jauhnya barulah ia berhasil mempertahankan diri agar tidak sampai terbanting jatuh. Cepat ia memutar tubuh menghadapi kakek itu, lalu menegur,

‘Bu Tek Lojin, apakah begitu mudah kau melupakan janji taruhanmu?!

Akan tetapi kakek itu menjawab dengan makian,

‘Bocah lancang. Berani kau berani gila dan membohongi seorang tua bangka seperti aku?!

‘Kaukira aku begitu bodoh? Jangankan belajar kepada Kim-mo Taisu si gila itu, biarpun kau belajar dari aku sendiri, tak mungkin kau seperti sekarang ini!!

‘Aku bersumpah bahwa aku tidak membohong!!

‘Sudahlah! Keluarkan suling emas itu dan kau ajari aku meniup suling!!

Bu Song kaget. Tak disangkanya kakek ini seorang yang sama sekali tidak merasa malu untuk melanggar janjinya. Kalau begini, percuma saja ia tadi mati-matian menggunakan otak untuk memenangkan pertandingan catur!

‘Bu Tek Lojin! Benar-benarkah kau tidak malu melanggar janjimu? Kau sudah kalah bermain catur, berarti kau harus memenuhi taruhanmu!!

‘Huh! Jangan banyak cerewet! Aku minta pinjam suling dan minta kau mengajar tiupan suling, sama sekali tidak pernah kujanjikan. Hayo cepat keluarkan suling emas itu, jangan kau bikin marah orang tua seperti aku!!

Bu Song maklum bahwa kakek ini hanya menggunakan ucapan tipuan, akan tetapi sesungguhnya ingin merampas suling berikut rahasianya. Akhirnya ia toh harus melawan dengan kekerasan juga. Maka ia berdiri tegak, menggeleng kepala dan menjawab,

‘Bu Tek Lojin! Suling adalah alat musik untuk menenangkan hati dan pikiran, dan menjadi pegangan seorang yang suka akan kesenian dan kesusasteraan. Aku sudah berjanji takkan memberikan benda ini kepada siapapun juga. Harap kau jangan memaksa.!

Kakek itu berjingkrak-jingkrak saking marahnya.

‘Bocah sial! Semua tokoh kang-ouw tidak ada seorang pun berani membantah perintahku! Apa kau sudah bosan hidup? Serang dia!!

Ia membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah Bu Song. Agaknya ini merupakan perintah bagi burung hantu yang terbang berputaran di atas karena tiba-tiba burung itu mengeluarkan pekik menyeramkan lalu seperti sebuah peluru kendali burung itu meluncur ke arah muka Bu Song, menyerang dengan paruh dan kedua cakarnya ditambah kedua sayapnya yang menampar!

Bu Song sudah siap siaga. Sungguhpun ia tidak mengira bahwa binatang itu yang akan mewakili Si Kakek menyerangnya, namun karena ia sudah siap, dengan mudah saja ia berhasil mengelak dengan merendahkan dirinya. Burung itu menyambar lewat di atas kepalanya, akan tetapi luar biasa sekali burung ini karena begitu sambarannya luput, secara tiba-tiba ia dapat menghentikan luncuran tubuhnya dan dengan gerakan sayap ia sudah membalik, lalu menerjang lagi mengarah sepasang mata Bu Song! Cepat dan tak terduga-duga gerakan ini sehingga biarpun Bu Song sekali lagi mengelak, burung itu masih berhasil menggores pipi kanan Bu Song dengan cakarnya! Luka di pipi itu tidak berbahaya, hanya luka kulit, namun mengeluarkan darah menetes-netes!

Bu Tek Lojin tertawa terkekeh-kekeh dan bertepuk-tepuk tangan. Mendengar ini, bangkit kemarahan di hati Bu Song. Ia mulai panas. Apalagi burung itu kini sudah menyambar pula dari depan. Tadi Bu Song sampai terkena cakaran karena ia kurang hati-hati dan sama sekali tidak menduga bahwa binatang itu dapat bergerak secepat itu, atau ada juga sedikit sikap memandang rendah. Burung hantu itu hanya seekor burung sebesar ayam, tentu saja ia tadinya memandang rendah. Siapa kira, burung itu ternyata bukanlah burung biasa dan memiliki gerakan cepat dan berbahaya! Bahkan gerak-geriknya seperti seorang ahli silat yang terlatih baik, kini dengan gerakan ekor dan sayapnya, burung itu sudah membalik lagi dan menerjang Bu Song, seperti tadi menyerang muka, paruhnya menusuk di antara kedua mata, sayapnya menghantam kanan kiri kepala bagian pelipis, kedua cakarnya men cengkeram ke arah tenggorokan! Serangan hebat yang boleh dikatakan serangan maut!

Namun Bu Song selain marah juga sudah siap dan waspada. Kini ia tidak mau mengelak, melainkan mengulur tangan kanan ke depan menyambut burung itu dengan cengkeraman dari samping. Cengkeraman tangan Bu Song ini hebat karena mengandung pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Kalau burung itu kena dicengkeram oleh jari-jari tangan kanan Bu Song, pasti akan hancur! Burung itu ternyata hebat. Paruhnya mengeluarkan teriakan keras, agaknya ia kaget menghadapi cengkeraman tangan yang amat kuat itu dan secara luar biasa tubuhnya membalik ke atas dan... cengkeraman tangan Bu Song luput! Bahkan susulan hantaman tangan kiri Bu Song yang dilancarkan menyusul cengkeramannya juga tidak dapat menyusul kecepatan gerakan burung itu dan hanya menyerempet ekornya sehingga tiga helai bulu ekor burung itu rontok!

Si burung hantu agaknya menjadi marah sekali. Dari atas ia menyambar turun dengan kecepatan roket, menerjang kepala Bu Song. Kagetlah orang muda ini, cepat ia miringkan tubuh menggerakkan kepala, namun pita rambutnya masih terkena cengkeraman dan terlepaslah rambutnya! Bu Song tidak diberi kesempatan karena lagi-lagi burung itu sudah menerjangnya sambil mengeluarkan pekik menyeramkan. Benar-benar seekor burung luar biasa, pikir Bu Song. Kali ini Bu Song mengangkat lengan kanan melindungi kepala, akan tetapi ia sengaja tidak balas menyerang, melainkan memberikan lengannya sebagai umpan dan penutup kepala. Agaknya burung itu yang juga penasaran tak pernah dapat mengenai kepala lawan, kini hendak melampiaskan kemarahannya kepada lengan itu. Ia mencengkeram, mematuk dan manampar lengan kanan Bu Song. Namun, begitu kedua cakarnya mencengkeram lengan kanan Bu Song yang kulitnya keras licin karena penuh hawa sakti sehingga kuku-kuku burung tajam meruncing itu hanya merobek baju, tangan kiri Bu Song bergerak menghantam, tepat mengenai punggung burung itu.

‘Bukkk!! Burung itu mengeluarkan pekik keras lalu tubuhnya mencelat, kedua sayapnya berusaha terbang namun sia-sia, ia jatuh lagi seperti sebuah batu, berdebuk di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi karena tulang-tulang punggungnya remuk dagingnya hancur. Dari paruhnya keluar darah.

‘Wah, berani kau membunuh burungku yang kupelihara puluhan tahun?! bentak Bu Tek Lojin marah.

‘Aku hanya membela diri, Burungmu yang menyerang dan hendak membunuhku!! Bu Song mem bereskan rambutnya yang terlepas awut-awutan, mengikat kembali dengan sutera pengikat rambut yang tadi terlepas dan jatuh ke tanah.

‘Nah, kaukeluarkan suling emas itu cepat-cepat!! Bu Song mendongkol sekali.

‘Kalau saya tidak mau menuruti permintaanmu, bagaimana Bu Tek Lojin?!

‘Mau atau tidak masa bodoh, pokoknya kau harus keluarkan suling emas itu!! jawaban ini disusul tangan kakek itu yang diulur ke depan mencengkeram dada Bu Song.

Dari tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat sehingga belum juga tangan kakek itu mendekati dada, Bu Song sudah merasa betapa dadanya tergetar hebat. Cepat ia terus saja maju hendak mencengkeram pundaknya, ia mengerahkan tenaga dan melawan mati-matian. Dengan gerakan yang gesit ia berhasil mengelak, lalu dari samping ia membalas dengan pukulan tangan kiri. Biarpun baru belajar dua tahun lebih, akan tetapi karena memang dasar-dasar ilmu silat tinggi sudah ada padanya, maka Bu Song sudah berhasil mewarisi ilmu-ilmu simpanan Kim-mo Taisu, yaitu ilmu silat tangan kosong Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti), Cap-jit-seng-kun (Ilmu Silat Tujuh Belas Bintang), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan). Empat ilmu ini adalah ilmu silat pilihan, tingkatnya tinggi dan hanya dapat dimainkan oleh orang yang memiliki sin-kang sempurna karena setiap gerakan selalu harus disertai pengerahan tenaga lwee-kang. Oleh karena ini maka pukulannya ke arah dada kakek itu pun bukan pukulan biasa, dan sebelum tiba di tubuh orang sudah didahului angin pukulan yang dahsyat pula.

Namun kakek itu amat luar biasa gerakannya. Hanya dengan kepretan jari tangan saja ia berhasil menghalau serangan balasan Bu Song, kemudian dengan gerak ilmu silat aneh sekali ia mulai mendesak Bu Song. Pemuda ini yang maklum akan kesaktian lawan, melawan sekuat tenaga, namun ia kalah cepat sehingga untuk tiga kali serangan lawan ia hanya dapat membalas satu kali saja!

‘Wah, kau bohong...! Kau bohong...!! kakek itu menyerang, mendesak sambil memaki-maki. Bu Song diam saja. Bagaimana ia dapat menjawab kalau seluruh perhatiannya harus ia curahkan untuk menjaga diri agar jangan sampai terkena pukulan lawan yang lihai ini?

‘Masa belajar dua tahun sudah memiliki kepandaian seperti ini? Kau bohong atau... memang kau seorang manusia luar biasa!! Sambil bicara kakek pendek itu melakukan gerakan yang amat aneh dan cepat sehingga tanpa dapat dicegah lagi dalam serangkaian serangan yang susul menyusul, lutut Bu Song terkena ciuman ujung kaki telanjang itu hingga pemuda ini terguling!

Tentu saja Bu Song terkejut sekali. Dengan gerakan lincah, begitu tubuhnya mencium tanah, ia menggerakkan kaki tangannya menekan dan sekaligus tubuhnya sudah mencelat ke atas dan berdiri kembali. Malah kini ia mengeluarkan suling emas dari balik bajunya dan serta merta Bu Song menyerang dengan Ilmu Silat Pat-sian Kiam-hoat! Ia tidak berpedang, maka suling itu dapat ia pergunakan sebagai pedang. Hebat sekali gerakan Pat-sian Kiam-hoat ini dan ternyata suling itu juga merupakan benda mujijat karena sekali berkelebat telah membentuk segulung cahaya kekuningan yang menyilaukan mata, bahkan mengeluarkan bunyi melengking aneh karena dalam gerakan itu lubangnya kemasukan angin seperti ditiup!



‘Aih...!!

Bu Tek Lojin mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya ia lempar ke belakang, terus ia bergulingan di atas tanah menjauh. Setelah melompat berdiri, ia memandang kaget dan kagum.

‘Wah, hebat ilmu pedangmu, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu. Akan tetapi dua tahun... ah, tak mungkin! Dan suling emas itu.... hebat pula!!

Akan tetapi sambil bicara, kakek itu sudah menerjang maju lagi, dengan gerakan aneh dan cepat, tubuhnya miring-miring kemudian menerjang Bu Song dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin menderu. Bu Song yang sudah bertekad bulat tidak hendak menyerahkan sulingnya mentah-mentah dan hendak melawan sekuat tenaga, menyambut bayangan kakek yang berkelebatan itu dengan gerakan sulingnya. Ia tetap mainkan Pat-sian Kiam-hoat bahkan kini tangan kirinya ia gerakkan dengan ilmu Lo-hai San-hoat. Biarpun ilmu silat ini adalah ilmu silat yang khusus diciptakan Kim-mo Taisu untuk mainkan senjata kipas, akan tetapi dapat juga dimainkan dengan tangan kosong. Gerakan kipas menampar dengan jari-jari dikembangkan, adapun totokan ujung gagang kipas dapat diubah menjadi totokan jari tangan.

Kembali Bu Tek Lojin memuji-muji. Kakek yang tak pernah mau kalah dan merasa bahwa dialah orang nomor satu di dunia ini, tidak memuji kosong belaka. Dalam hatinya ia benar-benar memuji. Baru sekali ini selama hidupnya ia bertemu dengan seorang muda yang begini hebat kepandaiannya, apalagi kalau diingat bahwa orang muda ini hanya belajar silat selama dua tahun! Dia sendiri merasa tidak sanggup mendidik murid yang bagaimana berbakat pun selama dua tahun menjadi sehebat ini!

Pertandingan kini berlangsung lebih hebat daripada tadi.

Memang Bu Song seorang luar biasa. Dia memang kurang latihan kalau dibandingkan dengan lawannya. Akan tetapi gerakan-gerakannya sudah hampir sempurna, apalagi suling emas di tangannya itu ternyata cocok sekali dipakai mainkan Pat-sian Kiam-hoat. Tubuhnya tidak nampak lagi, lenyap saking cepatnya gerakan kaki tangan dan terselimut gulungan sinar kuning menyilaukan mata dari suling itu. Gulungan sinar ini memanjang dan membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga emas bermain-main, sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi angin berciutan.

Namun, lawannya adalah seorang sakti dan luar biasa. Memiliki sin-kang yang jauh melampaui manusia biasa sehingga Bu Song selalu masih terdesak. Ketika tangan kirinya menampar ke arah pelipis kanan kakek itu, Bu Tek Lojin tertawa dan meloncat ke atas, membiarkan jari-jari tangan Bu Song bertemu dengan pundaknya.

‘Plakkk!!

Bu Song kaget sekali, tangannya serasa hancur dan panas. Selagi ia hendak melompat ke belakang, kakek itu sudah menyambar ke depan, tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah matanya sedangkan tangan kiri merampas suling! Bu Song terkejut melihat tangan yang menyambar ke arah mata. Lengan sedikit saja tentu matanya akan menjadi buta atau setidaknya mukanya akan terluka dan bercacad.

Terpaksa ia mengelak dan karena perhatiannya tercurah sepenuhnya menghadapi bahaya mengerikan ini, ia tidak dapat mencegah lagi sulingnya terampas. Ia hanya merasa betapa tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan menjadi seperti lumpuh, kemudian sulingnya terlepas dari genggamannya. Dengan nekat ia melancarkan tendangannya mengenai pantat kurus Si Kakek tua yang sudah membalikkan tubuh setelah berhasil merampas suling, dan... tubuh kakek itu terlempar ke atas tinggi sekali dan tidak turun lagi!

Bu Song terheran dan memandang ke atas. Kiranya kakek itu sudah duduk di atas cabang sebatang pohon, duduk menggantungkan kedua kakinya dan kedua tangannya menimang-nimang suling emas, mengelus-elusnya dan mengintai lubang-lubangnya. Kemudian kakek itu meniup-niup lubang suling. Memang bisa berbunyi suling itu, akan tetapi bunyinya tidak keruan dan menyakitkan telinga. Memang kakek aneh ini selamanya tidak pernah meniup suling. Beberapa kali ia berusaha meniup, bahkan mengerahkan khi-kangnya akan tetapi dalam hal meniup suling, ilmu khi-kang tidak dapat menolong banyak. Makin kuat angin memasuki lubang, makin tidak karuan bunyi suling, bahkan ketika kakek itu meniup sekerasnya, terlampau banyak tenaga angin memasuki lubang sehingga yang keluar hanya suara mendesis saja! Akhirnya kakek itu berhenti meniup, memijit-mijit kedua pelipisnya yang merasa lelah dan berdenyut, mulutnya merengut kecewa.

‘Heiii, hayo kau ajari aku meniup suling! Benda ini diperebutkan semua orang, apa sih kegunaannya kalau aku tidak pandai meniup dan melagukannya?!

Bu Song sudah dapat menguasai dirinya. Ia mendapat kenyataan pahit betapa kesaktian kakek itu mengandalkan kepandaian silat. Mengingat akan kesaktian kakek itu, belum tentu kalau seorang tokoh seperti itu suka melanggar janji. Mungkin kakek ini memang benar-benar hanya ingin meminjam suling emas dan mempelajari bunyinya serta tahu rahasianya. Mungkin kakek ini hanya tertarik karena semua orang memperebutkannya, karena benda ini adalah benda keramat pemberian seorang kakek yang dianggap manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu.

Bu Tek Lojin sudah sedemikian saktinya, kiranya dicari tandingnya sukar di atas dunia ini, maka untuk apakah kakek itu menginginkan suling emas? Tentu hanya karena ingin tahu. Maka ia lalu menjawab,

‘Bu Tek Lojin adalah seorang Locianpwe yang sakti dan berkedudukan tinggi. Betulkah kali ini tidak melanggar janji, hanya akan meminjam suling dan belajar meniupnya? Kalau betul demikian, saya yang muda tentu saja akan suka sekali memberi petunjuk tentang ilmu meniup suling kepada Locianpwe.!

‘Ha-ha-ha, begitu baru anak baik!!

Tiba-tiba tubuh kakek itu melayang turun dan ia sudah duduk di atas batu besar sambil melambaikan tangan menyuruh Bu Song mendekat.

‘Coba kau beritahu, bagaimana memegangnya, bagaimana meniupnya dan bagaimana membuka tutup lubang-lubangnya?!

Bu Song memeberi petunjuk sedapatnya, bahkan ia memberi contoh membunyikan suling itu, dari nada rendah sampai nada tertinggi. Akan tetapi dasar kakek itu sudah terlalu tua, sudah terlambat untuk belajar, apalagi mempelajari seni musik yang membutuhkan bakat! Bukan main sukarnya. Jari-jari tangannya canggung kaku, bibirnya sukar meniup sempurna karena terganggu kumis tebal dan ia tidak memiliki perasaan peka akan bunyi seperti perasaan seniman. Lebih dua jam kakek itu meniup-niup sampai sepasang matanya melotot dan kedua pipinya kembung, hasilnya sia-sia belaka, yang dikeluarkan dari suling hanya suara merengek-rengek seperti kucing terinjak ekornya!

Tiba-tiba kakek itu menghentikan usahanya belajar, mendengus-dengus dan dari matanya keluar dua butir air mata yang besar-besar! Kiranya saking marah dan jengkelnya melihat hasil kosong usahanya, kakek itu sampai mengeluarkan air mata.

‘Tidak ada gunanya! Suling sialan, tidak ada gunanya. Hanya suara iblis yang keluar dari lubangnya. Untuk apa diperebutkan? Suling keparat lebih baik dihancurkan!!

Setelah berkata demikian, kakek itu menghantamkan suling itu kepada batu yang didudukinya, berulang-ulang. Terdengar suara keras dan tampak bunga api berpijar keluar ketika suling bertemu dengan batu.

‘Locianpwe, jangan...!!

Bu Song kaget dan mencegah sambil melangkah maju karena ia khawatir kalau-kalau sulingnya akan rusak. Akan tetapi sebuah dorongan tangan kiri kakek itu mengeluarkan angin yang menghantam dadanya dan membuat Bu Song terpelanting ke belakang!

Kakek itu agaknya makin marah ketika mendapat kenyataan bahwa suling itu tidak rusak sama sekali biarpun ia pukul-pukulkan batu, bahkan batunya yang remuk-remuk di bagian yang dipukul suling.

‘Locianpwe, harap jangan marah. Suara suling itu dapat dibarengi bunyi sajak, baru selaras dan nikmat didengar!! Dalam gugupnya, Bu Song sengaja bicara terus terang akan rahasia suling.

Tangan yang sudah diangkat untuk menghantamkan suling sekuatnya pada batu itu berhenti bergerak. Kakek itu memandangnya seperti orang terheran-heran.

‘Kau tahu pula akan kitab kuno yang dibawa Ciu Gwan Liong? Apakah begitu kebetulan sehingga engkau mendapatkan kitab itu pula?!

Bu Song menggeleng kepala.

‘Kitab apakah, Locianpwe? Saya hanya pernah mendengar Suhu bersyair yang katanya Suhu dengar dari Locianpwe Bu Kek Siansu dan yang ternyata menjadi timpalan bunyi suling ini.!

Berubah wajah kakek itu, matanya bersinar-sinar.

‘Bagaimana bunyinya? Hayo perdengarkan padaku, bagaimana bunyinya!!

‘Locianpwe, syair dan bunyi suling harus dilagukan bersama, barulah dapat dinikmati perpaduannya yang luar biasa. Oleh karena hal ini membutuhkan dua orang maka biarlah Locianpwe menghafal bunyi syair, kemudian kita berdua mainkan lagu mujijat ini, Locianpwe yang membaca syair dan saya yang menyuling.!

‘Boleh, boleh!! Kakek itu berkata tak sabar. ‘Lekas kau perdengarkan, akan kuhafalkan!!



‘ADA muncul dari TIADA,

betapa mungkin mencari sumber TIADA!

Mengapa cari ujung sebuah mangkok?

Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?

Akhirnya semua itu kosong hampa,

Sesungguhnya tidak ada apa-apa!!

Bu Song sengaja memilih syair terakhir dari kitab kuno itu yang telah membuat Ciu Bun girang luar biasa. Mula-mula Bu Tek Lojin mengikuti dan meniru bunyi syair sebaris demi sebaris, kemudian setelah hafal, kakek itu berseri-seri wajahnya, sajak itu dihafal berulang-ulang dan makin lama suaranya menjadi makin nyaring!

Tiba-tiba kakek itu menubruk dan meloncat, kedua lengannya merangkul pundak Bu Song dan memeluknya!

‘Anak baik! Lekas kautiup suling ini, lekas beri kesempatan telingaku mendengar perpaduannya...!!

Bu Song lalu duduk bersila, sambil berkata,

‘Mulailah, Locianpwe, saya akan mengiringi dengan bunyi suling.!

Kakek itu pun melompat berdiri di atas batu besar, membusungkan dada, menengadah ke langit lalu membaca syair itu kuat-kuat dengan suara dilagukan seperti yang dipelajarinya dari Bu Song tadi. Lambat-lambat keluarnya suara itu, dan berirama. Suara suling yang ditiup Bu Song mengiringi dan karena Bu Song berusaha memenangkan kakek itu dengan cara ini, maka ia mencurahkan seluruh perhatian dan perasaannya sehingga suara suling itu luar biasa sekali, menggetar-getar dan mengalun, menggores perasaan.

Mula-mula kakek itu nampak gembira, suaranya makin nyaring dan setelah habis syair itu ia baca, ia mengulanginya lagi dari permulaan, makin lama suaranya makin penuh perasaan, matanya bersinar-sinar, kulit mukanya sebentar pucat sebentar merah dan tak lama kemudian air mata bertitik-titik turun dari kedua matanya. Suaranya mulai menggetar-getar, kemudian menjadi parau dan akhirnya ia tidak melanjutkan nyanyiannya, melainkan jatuh duduk di atas batu terisak-isak menangis, menjambak-jambak rambutnya seperti orang gila, kemudian tertawa-tawa dan menangis lagi!

Bu Song kaget sekali. Sungguh jauh bedanya akibatnya yang menimpa diri kakek ini kalau dibandingkan dengan Ciu Bun. Sastrawan itu menerima hikmat perpaduan suara mujijat itu dengan penuh kebahagiaan, sebaliknya kakek ini menjadi seperti orang gila. Bu Tek Lojin masih terisak-isak, kemudian ia meloncat turun dari atas batu, berjingkrak-jingkrak dan tertawa-tawa, meloncat lagi ke atas batu dan akhirnya ia terduduk dengan lemas. Duduk bersila seperti orang bersamadhi, kedua lengannya bersilang di depan dada, mukanya menunduk dan ia tidak bergerak-gerak lagi seperti berubah menjadi arca!

Bu Song melihat semua tingkah kakek itu dengan mata terbelalak. Pemuda ini masih duduk bersila di atas batu lain, tiga meter jauhnya dari tempat kakek itu. tadinya ia terheran-heran dan tidak dapat menduga apa yang selanjutnya akan terjadi. Ia tidak tahu apakah akibatnya nanti akan baik baginya atau tidak. Namun harus ia akui bahwa perpaduan suara itu benar-benar mengandung sesuatu kemujijatan yang luar biasa. Dia sendiri hanya merasa betapa nikmat paduan suara syair dan suling itu. Tadinya ia girang melihat betapa kakek itu menangis dan menjambaki rambutnya, kini ia merasa kuatir karena kakek itu diam seperti berubah menjadi batu. Dengan hati-hati ia memanggil.

‘Locianpwe...!!

Kakek itu tidak menjawab. Bu Song bukan seorang bodoh. Seharusnya ia menggunakan kesempatan ini untuk pergi dengan aman, membawa pergi suing emas yang dicari oleh orang-orang pandai itu. Akan tetapi, dia seorang yang memiliki dasar hati penuh welas asih kepada orang lain. Melihat kakek itu seperti orang berduka, ia menjadi iba hati dan perlahan ia meniup lagi sulngnya, lirih namun amat merdu karena ditiup dengan penuh perasaan.

Belum habis ia meniup suling, kakek itu bergerak lalu mengangkat mukanya memandang kepada Bu Song. Ternyata kedua matanya merah dan basah.

‘Bu Song, lekas kau mainkan semua jurus Pat-jiu Kiam-hoat dengan suling itu! Jangan melawan kalau aku menotok dan memukulmu. Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk membalas budimu yang telah membuka mata hatiku. Mulailah, Anak baik!!

Bu Song tidak tahu apa yang akan dilakukan kakek itu. akan tetapi karena ia maklum bahwa menghadapi kakek ini ia sama sekali tidak berdaya, maka ia tidak membantah dan menyerahkan keselamatan dirinya kepada Tuhan. Mulailah ia mainkan suling itu dengan jurus pertama dari Pat-sian Kiam-hoat. Tiba-tiba berkelebat bayangan kakek itu yang melayang turun dari atas batu dan ketika melakukan gerak jurus pertama, Bu Song merasa betapa lambungnya tertotok. Ia kaget namun tidak melawan dan bukan main herannya karena jurus pertama yang dilakukan dengan tusukan suling dari pinggang itu sama sekali tidak terganggu oleh totokan, malah ia merasa betapa hawa sakti di tubuhnya tersalur keluar melalui lambung yang baru saja terkena totokan sehingga jurus yang ia gerakkan itu mengandung tenaga yang jauh lebih kuat daripada biasanya. Bu Song menjadi girang, lenyap semua sisa kekuatirannya karena ia maklum bahwa kakek ini membantunya, membantu membuka ‘pintu! dalam tubuh agar hawa sakti yang ia salurkan dari pusat dapat lancar. Ia teringat akan cerita suhunya bahwa ilmu semacam ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Penggunaan hawa sakti dalam tubuh untuk disalurkan ke dalam tubuh ke dalam tubuh orang lain, seperti dalam pengobatan, jika dilakukan akan membahayakan tubuh penolong itu sendiri. Namun Bu Song tidak sempat mencegah lagi karena ia sudah bersilat menghabiskan enam belas jurus Pat-sian Kiam-hoat gubahan suhunya dan enam belas kali ia merasa ditotok dan dipukul di bagian-bagian tertentu dari tubuhnya oleh kakek itu yang melakukannya dengan amat cepat dari belakang, kanan kiri atau dari depan.

Begitu selesai mainkan Pat-sian Kiam-hoat, Bu Song menyimpan sulingnya dan cepat menengok. Kiranya kakek itu sudah bersila lagi di atas batu, mukanya pucat seperti mayat, matanya tertutup dan sama sekali tubuhnya tidak bergerak. Bu Song meloncat mendekati dan memanggil lirih,

‘Locianpwe...!! Kakek itu tidak menjawab. Melihat keadaan orang yang pucat dan payah, makin yakin hati Bu Song bahwa kakek itu telah mengorbankan diri dan menurunkan ilmu yang hebat kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

‘Locianpwe, banyak terima kasih teecu haturkan atas budi kebaikan Locianpwe!!

Kembali tidak ada jawaban. Sampai lama Bu Song berlutut.

Karena tidak ada suara apa-apa dari kakek itu, Bu Song mengangkat muka memandang. Hatinya khawatir. Kakek itu duduk seperti mayat kaku. Ia meloncat ke atas batu dan mengulur tangan meraba. Bukan main kagetnya ketika meraba dada, sama sekali tidak ada tanda-tanda kakek itu bernapas! Juga jantung di dada tidak terasa detiknya. Bu Song meraba pergelangan tangan. Juga tidak berdetik. Tangan yang ditaruh di depan hidung kakek itu pun tidak merasai hembusan napas! Kakek ini telah mati!

Karena menyangka bahwa kakek itu mati kehabisan tenaga setelah membantunya menyempurnakan gerakan dengan bantuan hawa sakti tadi, Bu Song menjadi terharu dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menitikkan air mata! Kemudian ia melompat turun, mencari tempat yang baik untuk membuat lubang di tanah. Tak jauh dari situ, sekira sepuluh meter jauhnya, terdapat sebatang pohon. Di bawah pohon itulah Bu Song lalu menggali lubang, hanya menggunakan sebuah batu runcing dibantu tangannya dengan pengerahan tenaga dalam. Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya pekerjaannya selesai. Sebuah lubang yang cukup lebar dan dalam terbuka. Selagi ia hendak menghampiri kakek itu yang duduk bersila dan disangka mati itu melayang langsung ke dalam itu dan kini duduk di dalam lubang dalam keadaan bersila!

Bu Song bengong. Lalu berlutut sambil memanggil,

‘Locianpwe...!!

Hatinya girang karena jelas bahwa Bu Tek Lojin belum mati. Kalau sudah mati, mana mungkin ada mayat bisa meloncat sehebat itu memasuki lubang? Akan tetapi kalau masih hidup, kenapa tidak bernapas dan tidak terasa detik perjalanan darahnya, dan mengapa pula diam saja dan malah masuk sendiri ke dalam lubang kuburan?

Setelah berkali-kali memanggil tanpa jawaban, tahulah Bu Song bahwa kakek itu sudah tidak mau melayaninya, maka dia lalu berlutut memberi penghormatan terakhir sambil berkata,

‘Locianpwe, sekali lagi terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe. Perkenankan teecu pergi melanjutkan perjalanan mencari Suhu.!

Kemudian ia bangkit berdiri, untuk beberapa menit memandang tubuh yang seperti arca duduk bersila di dalam lubang itu, kemudian ia menghela napas dan membalikkan tubuh, pergi dari tempat itu dengan langkah-langkah lebar.

Pergantian kekuasaan terjadi secara lunak. Benar-benar luar biasa, sungguhpun selama jaman Lima Dinasti yang setengah abad lamanya itu (907-960), kerajaan jatuh bangun tanpa ada perang saudara yang cukup serius. Akan tetapi habisnya jaman Lima Dinasti yang diambil alih oleh Kerajaan Sung ini benar-benar merupakan peralihan kekuasaan yang paling lunak. Hal ini adalah karena Jenderal Cao Kuang Yin menguasai sebagian terbesar bala tentara, di samping politiknya yang lunak sehingga dia sama sekali tidak membolehkan anak buahnya melakukan kekerasan dan gangguan di kota raja. Keluarga kerajaan ‘musuh! pun tak seorang pun diusik, bahkan banyak di antara mereka diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka.

Biarpun keadaan di kota raja sendiri aman tenteram dan tidak terjadi banyak keributan dalam peralihan kekuasaan itu, namun peristiwa itu menarik perhatian suku bangsa Khitan yang sejak dulu menjadi musuh besar. Kerajaan Khitan menduga bahwa tentu keadaan di kota raja menjadi kacau karena peralihan kekuasaan ini. Oleh karena itulah maka bala tentara Khitan lalu menyerbu dari utara. Juga kerajaan-kerajaan lain ingin mengambil keuntungan dari peralihan kekuasaan ini dan mereka mengadakan serangan ke perbatasan untuk memperlebar wilayah mereka, menggunakan kesempatan selagi para pemimpin pasukan di perbatasan kebingungan karena mendengar tentang pergantian kekuasaan di kota raja.

Mendengar tentang serangan-serangan dari empat penjuru ini, Kaisar Sung pertama, menjadi marah dan segera mengirim pasukan-pasukan dan utusan-utusan ke perbatasan untuk membantu para pasukan lama di sana sambil mengangkat pemimpin lama menjadi pemimpin baru. Adapun yang paling diperhatikan adalah serangan dari utara, dari suku bangsa Khitan, oleh karena memang dari suku bangsa Khitan inilah datangnya bahaya yang paling besar. Untuk menghalau musuh lama ini, Kaisar Sung Thai Cu lalu mengerahkan sebuah barisan besar, dipimpin oleh panglima-palingma pembantunya yang setia dan gagah perkasa, pandai mengatur barisan. Selain ini, juga kaisar yang bijaksana dan pandai mempergunakan tenaga ini memanggil Kim-mo Taisu dan minta bantuan pendekar ini untuk menyertai barisan besar itu melawan pasukan-pasukan Khitan yang terkenal kuat dan memiliki panglima-panglima yang berkepandaian tinggi pula.

Kim-mo Taisu maklum bahwa hanya kaisar kerjaan baru inilah yang dapat diharapkan akan mendatangkan kemakmuran kepada rakyat, maka dengan rela hati ia mengulurkan bantuannya dan berangkatlah Kim-mo Taisu dengan barisan Kerajaan Sung yang pertama kali mengadakan ekspedisi ke utara untuk melawan musuh besar mereka, yaitu bangsa Khitan. Selain memang suka membantu kaisar ini, juga Kim-mo Taisu memiliki urusan pribadi di utara, yaitu untuk mencari musuh lamanya, ialah Ban-pi Lo-cia si tokoh Khitan yang sakti. Juga ingin ia bertemu kembali dengan musuh lamanya, Bayisan manusia Khitan yang curang. Ingin ia memberi hajaran orang itu untuk kedua kalinya!

Pada masa itu, kedudukan bangsa Khitan sudah jauh, sudah melewati tembok besar yang tadinya dibangun dengan maksud mencegah masuknya musuh-musuh seperti bangsa Khitan! Hal ini terjadi ketika Dinasti Cin (936-947) berdiri. Kerajaan Cin hanya dapat berdiri dan merebut kekuasaan dari Kerajaan Tang muda karena bantuan barisan Khitan. Untuk jasa ini, Kerajaan Cin memberikan wilayah ujung timur laut di sebelah selatan tembok besar sampai ke kota besar Yen (Peking sekarang), juga wilayah Pegunungan Yin-san. Wilayah yang luas dan jauh lebih subur daripada daerah kekuasaan bangsa Khitan sendiri jauh di utara.



Ketika barisan besar dari Kerajaan Sung sudah menyeberangi Pegunungan Tai-hang-san di sebelah selatan Peking, tiba-tiba muncullah pasukan-pasukan Khitan dari segala jurusan dan terjadilah perang hebat di sekitar lereng pegunungan Tai-hang-san. Perang yang berlangsung dengan seru dan baru berakhir setelah matahari menyelam di sebelah barat. Pasukan-pasukan Khitan seperti pasukan-pasukan setan melenyapkan diri dan sunyilah keadaan di sekitar bekas tempat peperangan. Mayat-mayat menggeletak bergelimpangan dan udara penuh dengan bau amisnya darah, penuh pula dengan rintihan dan keluhan mereka yang menderita luka.

Para Panglima Sung memerintahkan pasukan-pasukan dalam barisan besar untuk mundur di balik puncak Tai-hang-san dan membuat perkemahan besar di lapangan terbuka sehingga tidak memungkinkan pihak musuh untuk melakukan penyerbuan serentak. Bendera besar Kerajaan Sung dipasang di tengah-tengah perkemahan, dikelilingi oleh bendera-bendera para panglima yang memimpin barisan itu. Dalam perang ini, Kim-mo Taisu tidak ikut maju karena pendekar ini melihat betapa di pihak Khitan juga tidak ada tokoh bukan tentara yang ikut perang. Ikut sertanya dalam barisan itu adalah untuk menandingi orang-orang sakti seperti Ban-pi Lo-cia. Kalau hanya perang biasa, pasukan lawan pasukan, tidak perlu ia bantu karena selain ia tidak mengerti tentang mengatur pasukan dan siasat perang, juga hal ini selain merendahkan kemampuan pasukan Sung, juga dapat merendahkan namanya sendiri sebagai pendekar sakti.

Malam itu para penjaga perkemahan menjaga dengan penuh kewaspadaan, akan tetapi juga diam tidak berani mengeluarkan suara ribut. Para panglima sudah memberi perintah agar malam itu dipergunakan betul-betul oleh pasukan untuk beristirahat secukupnya agar besok menjadi segar kembali untuk menghadapi lawan. Karena itulah maka tidak ada penjaga yang bermain kartu, tidak ada yang bersenda-gurau dan malam menjadi sunyi sekali.

Namun pada pagi harinya, para penjaga menjadi gempar ketika mereka melihat betapa bendera-bendera itu kini telah lenyap dan di atas tiang bendera yang tengah, yang paling tinggi, tampak sebuah benda kecil bergantung. Dalam keadaan terjaga keras dan rapat, ada orang dapat menyelundup masuk ke dalam perkemahan sudah merupakan hal aneh. Akan tetapi kalau orang itu dapat mengambil semua bendera lalu meninggalkan sesuatu di puncak tiang tanpa merobohkan tiang-tiang bendera, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa.

Beberapa orang penjaga hendak menurunkan tiang untuk mengambil benda yang tergantung di atas, akan tetapi komandan jaga melarangnya.

‘Jangan sentuh! Biar kita melapor ke dalam agar panglima menyaksikan sendiri hal ini. Siap saja untuk menerima teguran, mungkin hukuman!!

Dengan muka pucat dan lesu komandan jaga lalu menghadap para panglima yang juga sudah bangun karena mendengar suara ribut-ribut di luar.

Empat orang panglima yang memimpin barisan itu berlari-lari keluar. Semalam mereka semua dalam barisan, dari perajurit sampai panglima, tidak ada yang menanggalkan pakaian seragam dan selalu berdekatan dengan senjata. Empat orang panglima itu masih dalam pakaian dinas, hanya muka dan rambut mereka kusut karena begitu bangun tidur mereka berlarian keluar. Mereka berhenti di luar tenda untuk menerima pelaporan komandan jaga yang melapor dengan suara gemetar, menceritakan betapa keras dan ketat mereka melakukan penjagaan semalam, namun ternyata pagi hari itu semua bendera lenyap dan sebagai gantinya di ujung tiang tengah yang paling tinggi, terdapat sebuah benda kecil tergantung di atas.

Pada saat itu, Kim-mo Taisu dengan tenang juga sudah datang ke tempat itu. Empat orang panglima itu saling pandang dengan kening berkerut, lalu memberi perintah untuk mencatat semua perajurit dan komandannya yang bertugas jaga malam itu untuk dihukum kelak kalau memang mereka bersalah dan lalai. Setelah itu, bersama Kim-mo Taisu, mereka melangkah keluar. Para perajurit yang tadinya ribut-ribut kini semua terdiam melihat muculnya empat orang panglima. Keadaan sunyi dan ketika mereka melihat ke atas, empat orang panglima itu menjadi pucat mukanya.

‘Betapa mungkin menyelundup masuk dan melakukan perbuatan itu!!

Kata Panglima Phang tertua di antara rekan-rekannya., kemudian menoleh kepada Kim-mo Taisu sambil berkata,

‘Agaknya pihak musuh mempergunakan orang sakti untuk mempermainkan kita. Kami kira hanya Taisu yang dapat menerangkan hal ini.!

Diam-diam Kim-mo Taisu menarik napas panjang. Ia suka kepada kaisar pendiri Kerajaan Sung, maka ia menyambut permintaan bantuan raja itu dengan hati terbuka. Akan tetapi maklum pula bahwa empat orang panglima ini diam-diam di dalam hati mereka memandang rendah kepadanya. Memang hal ini pun tidaklah aneh dan ia tidak terlalu menyalahkan panglima-panglima itu, karena sesungguhnya, apakah artinya dia sebagai seorang pendekar silat dalam perang yang begitu besar?

Kepandaiannya tidak berarti banyak. Andaikata ia mampu mengamuk dan membunuh puluhan orang lawan, akan tetapi tidak mungkin ia mengundurkan serbuan ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu orang musuh dengan kepandaian silatnya itu! berbeda dengan panglima ini yang memiliki kepandaian ilmu perang, pandai mengatur barisan dan siasat perang. Sesungguhnya, di tangan mereka inilah letak dasar kemenangan. Andaikata dia disuruh memimpin seratus ribu orang perajurit dan disuruh melawan perang panglima yang pandai yang hanya mempunyai lima puluh ribu orang perajurit belum tentu dia dapat mencapai kemenangan! Ilmunya hanya berguna untuk pertandingan perorangan, namun hampir tidak ada gunanya dalam perang antara ratusan ribu orang itu.

Akan tetapi, kalau ada peristiwa seperti pagi hari ini, barulah ilmu perorangan seperti yang ia miliki dapat dipergunakan, bahkan dibutuhkan. Ia menjura dan berkata,

‘Phang-ciangkun, permainan itu tidak ada artinya sama sekali. Anak-anak pun kalau dilatih mampu melakukannya. Biar kuturunkan benda itu dan kupasang kembali bendera-bendera tanpa menurunkan tiangnya!!

Setelah berkata demikian, dengan gerakan sembarangan Kim-mo Taisu menggenggam sekepal tanah pasir itu ke atas, ke arah ujung tiang. Tiang bendera itu tingginya sepuluh meter lebih dan agaknya bagi orang biasa takkan mungkin menimpuk jatuh benda yang berada di tempat setinggi itu hanya menggunakan tanah pasir. Akan tetapi Kim-mo Taisu bukanlah orang biasa! Begitu sinar hitam berkelebat ke atas, benda yang tergantung di puncak tiang itu pun melayang jatuh, disambut sorak sorai para perajurit yang mengagumi kehebatan Kim-mo Taisu.

Phang-ciangkun mengambil benda itu yang ternyata hanyalah surat bersampul kuning. Ketika ia melihat huruf-huruf yang tertulis di luar sampul ia berseru heran.

‘Haiii! Kiranya sebuah surat ditujukan kepada Taisu!!

Dengan hati heran akan tetapi sikapnya tenang, Kim-mo Taisu menerima sampul kuning itu dan membacanya. Benar saja. Huruf-huruf indah menghias sampul itu dan ditujukan kepadanya. Ia segera mengeluarkan suratnya dan membaca. Kiranya terisi surat tantangan dari... Kong Lo Sengjin! Sungguh hal yang tak tersangka-sangka! Dia mencari-cari Kong Lo Sengjin ke mana-mana, kiranya malah kakek lumpuh itu kini berada di sini dan mengajukan surat tantangan kepadanya!

Tentu saja kalau kakek itu yang datang menyelundup dan melakukan hal-hal itu, bukanlah sesuatu yang aneh. Hanya anehnya, mengapa kakek itu menurunkan semua bendera? Bukankah itu merupakan penghinaan bagi Kerajaan Sung, padahal kakek lumpuh itu dahulu ikut pula membantu para panglima memaksa Cao Kuang Yin menjadi raja dan memberontak? Mungkin untuk memamerkan kepandaian saja? Saking girang hatinya akan bertemu dengan kakek yang hendak dimintai pertanggungan jawabnya tentang pembunuhan terhadap isterinya, tanpa disadarinya Kim-mo Taisu bergelak, lalu berkata,

‘Harap diambilkan bendera-bendera baru, biar kupasangkan di tempatnya!!

Di dalam hatinya, sama sekali tidak terkandung niatnya untuk memamerkan kepandaian, melainkan hanya untuk menandingi perbuatan Kong Lo Sengjin dan disamping itu, juga untuk membesarkan hati barisan.

Bukankah ia ditugaskan menyertai barisan itu untuk melawan pihak musuh kalau menggunakan tenaga orang sakti?

Ketika lima buah bendera itu dibawa keluar oleh petugas dan diterima Panglima Phang lalu diberikan kepadanya, Kim-mo Taisu lalu mengayun tubuhnya ke atas. Memang sepandai-pandainya manusia, tak mungkin ia mampu terbang tanpa sayap, maka loncatan Kim-mo Taisu pun tidak dapat mencapai puncak tiang yang tingginya belasan meter itu. Namun dengan tangan menyambar tiang, ia dapat menggunakan tenaga tangannya untuk menekan tiang dan tubuhnya mencelat lagi ke atas. Dengan cara ini akhirnya tubuhnya mencapai ujung tiang, kedua tangannya memasangkan bendera Kerajaan Sung. Jauh dibawahnya, para perajurit bertepuk-tepuk tangan memuji tiada hentinya. Memang, apa yang dilakukan oleh Kim-mo Taisu itu adalah pertunjukan hebat yang takkan mudah dilakukan oleh orang lain. Hanya seorang sakti yang sudah memiliki lwee-kang tinggi saja akan mampu melakukan hal ini.

Selesai mengikatkan bendera di ujung tiang sehingga bendera itu berkibar tertiup angin pagi, Kim-mo Taisu menggunakan tenaga loncatan dengan menekan ujung tiang untuk meloncat ke tiang lain yang lebih rendah. Berturut-turut ia memasangkan bendera-bendera tanda pangkat para panglima pada empat batang tiang itu dengan cara berloncatan sehingga dalam waktu singkat saja lima helai bendera itu sudah berada di tempatnya, menggantikan bendera-bendera yang hilang, berkibar megah. Kim-mo Taisu dengan gerak layang yang amat indah dan ringan, meloncat turun dari atas tiang terakhir dan hinggap di atas tanah tanpa menimbulkan sedikit pun suara maupun debu! Kembali sorak-sorai menyambutnya.

‘Phang-ciangkun, surat ini adalah surat tantangan dari seorang musuh besar saya. Terpaksa saya harus meninggalkan Ciangkun sekalian sebentar untuk melayaninya!!

Panglima Phang mengerutkan alisnya yang tebal. Sebagai seorang panglima yang tahu akan banyak siasat perang, ia menaruh curiga.

‘Maaf, Taisu, kalau Taisu tidak menyeratai kami dan kalau tidak berada dalam kancah perang melawan musuh bangsa Khitan yang terkenal cerdik dan curang, agaknya tantangan untuk Taisu itu sewajarnya saja dalam dunia persilatan. Akan tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, kami merasa curiga. Jangan-jangan mereka menggunakan siasat memancing naga keluar dari sarang, di satu pihak mereka menggunakan orang-orang pandai untuk mengepung Taisu, di lain pihak mereka hendak menggunakan saat Taisu tidak berada di sini untuk melakukan penyerbuan besar-besaran!!

‘Benar sekali kecurigaan Ciangkun, dan memang agaknya begitulah. Namun, musuhku ini dahulu sama sekali bukan seorang musuh negara, bahkan sejak dahulu ia musuh orang Khitan pula. Entah mengapa kali ini ia merampasi bendera, agaknya hanya untuk memamerkan kepandaian dan menakut-nakuti kanak-kanak saja. Betapapun juga, memang dia selama ini kucari-cari, maka saya harus menerima tantangannya. Jangan Ciangkun berkhawatir. Saya ditantang untuk mendatangi puncak itu di mana dia menanti. Dari puncak saya akan dapat melihat keadaan barisan di sini dan setiap waktu Ciangkun membutuhkan tenagaku, dapat Ciangkun melepas tanda panah berapi ke udara. Kalau ada tanda itu, berarti saya harus datang, dan saya pasti akan meninggalkan urusan pribadi dan akan kembali ke sini secepatnya! Karena, andaikata orang-orang Khitan mengerahkan barisannya menyerbu, untuk menghadapi mereka tergantung dari keahlian Ciangkun berempat mengatur barisan. Tugas saya hanya menghadapi orang-orang macam yang semalam datang menyelundup ke sini. Bukankah demikian? Nah, sekarang juga saya pergi!!

Kim-mo Taisu menjura, kemudian berkelebat dan lenyap dari situ. Yang tampak hanya bayangannya saja berkelebat cepat sekali, bahkan ada kalanya melalui atas kepala sekumpulan perajurit yang berdiri menghadang jalan keluar Semua orang kagum dan untuk beberapa lamanya mereka memandang ke arah puncak gunung yang berada tidak jauh dari tempat perkemahan itu. Betapa kagum hati mereka ketika tak lama kemudian tampak bayangan kecil Kim-mo Taisu bergerak-gerak lari mendaki puncak!

‘Puncak itu tidak berapa jauh, mudah saja kita undang ia kembali atau mengirim pasukan menyusul kalau kita memerlukan tenaganya,!

Kata Phang-ciangkun kepada teman-temannya. Mereka lalu bersiap-siap menyambut musuh dan memang tidak terlalu pagi mereka berkemas dan bersiap karena tak lama kemudian terdengar suara derap kaki bercampur sorak-sorai dan suara terompet dan tambur orang-orang Khitan! Cepat Phang-ciangkun dan tiga orang temannya naik ke tempat tinggi untuk mempelajari keadaan, kemudian setelah musuh tampak muncul dari depan dan dari kiri. Phang-ciangkun dahulu pernah menjadi pembantu Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai, dan dia sudah mempunyai banyak pengalaman pula menghadapi barisan Khitan sehingga banyak ia mengenal siasat-siasat barisan Khitan yang mengandalkan kekuatan atau siasat perang gerilya. Maka Phang-ciangkun tidak hanya mencurahkan perhatian ke arah utara dan barat (depan dan kiri), melainkah menaruh perhatian dan penjagaan pula kepada jurusan lain mencegah dan mematahkan serangan gelap.

Dengan ilmu lari cepatnya, Kim-mo Taisu mendaki puncak Gunung Tai-hangsan. Setelah tiba di lereng puncak, tampaklah matahari rendah di timur, bulat dan besar berwarna merah seperti bola api yang indah sekali. Sejenak Kim-mo Taisu menunda langkah kakinya dan memandang penuh kekaguman. Kemudian ia memutar tubuh dan melihat ke bawah. Tampak barisan Sung yang amat besar jumlahnya itu mulai bergerak dan juga amat megah dan indah tampaknya. Barisan itu seperti semut, terpisah-pisah dan terbagi menjadi lima bagian, ke empat penjuru dan yang ke lima tinggal di tengah. Barisan darat, barisan kuda, barisan panah, barisan tombak, dan barisan golok panjang serta golok pendek tampak jelas dari atas karena barisan-barisan itu memakai pakaian seragam yang berbeda-beda. Bendera-bendera berkibar dan suara penyambutan perang dari bawah yang amat gemuruh itu dari tempat tinggi ini hanya terdengar gemanya saja, seperti sekumpulan tawon merah. Jauh di sebelah utara, tampak samar-samar pasukan-pasukan Khitan, ada pula yang bergerak dari balik puncak. Dibandingkan dengan barisan Sung, pasukan-pasukan Khitan itu tidak berarti jumlahnya dan legalah hati Kim-mo Taisu. Ia percaya akan kemampuan para komandan pasukan Sung, akan keberanian perajurit-perajuritnya.

Dengan hati lega Kim-mo Taisu melanjutkan perjalanannya ke puncak. Sedikitpun ia tidak merasa ragu-ragu atau takut-takut, sesungguhpun ia dapat menduga bahwa Kong Lo Sengjin yang berwatak aneh dan curang itu mungkin sekali membawa pembantu-pembantu. Tiba-tiba ia terheran ketika dari balik sebatang pohon muncul seorang laki-laki yang bersenandung seorang diri, tangan kanannya memegang sebuah mouw-pit (pena bulu) hitam, tangan kirinya memegang mouw-pit putih. Kiranya ia muncul bukan untuk menghadangnya, karena ia mundur-mundur, memandang ke arah batang pohon yang besar itu, maju lagi dan tangan kirinya bergerak ke depan. ‘Rettt!! Mouw-pit putih telah membuat coretan pendek pada sehelai kertas putih yang dibentangkan di batang pohon. Kemudian ia mundur lagi sampai tiga meter lebih, matanya menyipit, menatap ke depan, kepalanya miring-miring, lalu ia maju lagi menggerakkan mouw-pit hitam di tangan kanan. ‘Rettt!! lalu ia mundur lagi. Mulutnya yang tadinya bersenandung tidak jelas apa maksudnya, kini bernyanyi, suaranya serak dan suara nyanyian itu tidak enak didengar.

‘Biar iblis kalau berhati emas, bukan jahat namanya!

Biar raja kalau berwatak srigala, dia melebihi iblis!

Biar srigala kalau banyak dan mengandalkan pengeroyokan,

seekor harimau pun bisa mengalami bencana !

Karena itu lebih baik lari menjauhkan diri!!

Kim-mo Taisu yang sedang menghadapi urusan penting, tadinya tidak ingin menunda perjalanannya. Akan tetapi mendengar nyanyian ini, terutama baris kalimat pertama dan kedua, dia menjadi tertarik. Dia dijuluki Kim-mo Taisu. Guru Besar Iblis Berhati Emas! Sedangkan Kong Lo Sengjin adalah Sin-jiu Couw Pa Ong, seorang raja muda! Jelas bahwa sajak yang dinyanyikan itu bukan hanya kebetulan saja. Apalagi disebut-sebut tentang srigala-srigala yang hendak mengeroyok, maka sang harimau lebih baik pergi jauh. Tak salah lagi! Orang aneh itu bernyanyi dengan kata-kata memberi peringatan kepadanya agar jangan melayani tantangan Couw Pa Ong yang akan mengeroyoknya! Ketika Kim-mo Taisu mendekat, tampaknya olehnya bahwa laki-laki yang usianya lima puluh tahun lebih, agak pendek dan matanya lebar itu sedang melukis. Ia memandang ke arah kertas yang dibentangkan dan menempel batang pohon dan... hampir saja Kim-mo Taisu berseru saking kagumnya. Dia sendiri adalah seorang sastrawan, tentu saja mengenal seni lukis, bahkan sedikit banyak pandai juga melukis. Bukankah menulis huruf sama dengan seni lukis pula?

Apa yang dilihatnya di atas kertas itu benar-benar sebuah lukisan yang mengagumkan. Coretan-coretannya kuat sekali, kuat dan hidup. Gambar itu melukiskan empat ekor serigala sedang berkelahi mengeroyok seekor harimau. Biarpun lukisan itu hanya hitam putih, namun hidup sekali. Mata empat ekor srigala itu seolah-olah hidup dan menyinarkan kelicikan dan kecurangan di samping kebuasan. Mulut mereka seolah-olah tampak hidup mengeluarkan uap amis, dengan air liur menetes-netes, lidah terjulur keluar, gigi runcing-runcing penuh ancaman. Juga harimau itu amat indah, membayangkan kegagahan dan keberanian, akan tetapi keadaannya payah dikeroyok empat ekor srigala yang buas dan berkelahi dengan cara yang curang itu, selalu mengarah kaki belakang sang harimau.

‘Lukisanmu indah sekali, Sobat!! Kim-mo Taisu memuji.

Orang itu kelihatan kaget bukan main, kedua mouw-pitnya sampai melayang ke atas dan sekali tangan kanannya bergerak ia sudah mencabut sebatang pedang yang bersinar terang kekuningan, tubuhnya melompat ke belakang membalikkan tubuh dan siap dengan pedang di depan dada, ketika sepasang mouw-pit hitam putih itu meluncur turun, tanpa mengalihkan pandang mata ke arah Kim-mo Taisu dengan tangan kirinya bergerak ke depan dan tahu-tahu kedua mouw-pit itu sudah terjepit di antara tangan kirinya!

Mereka saling pandang. Kim-mo Taisu maklum bahwa pelukis aneh ini ternyata memiliki kepandaian yang tinggi pula, maka ia makin kagum dan cepat-cepat ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan menjura.

‘Maafkan saya kalau saya mengganggu Saudara yang sedang enak-enak melukis. Akan tetapi melihat lukisan yang hebat luar biasa ini, dan mendengan nyanyian Saudara, tak mungkin saya lewat begitu saja. Kim-mo Taisu bukanlah seorang yang tidak tahu akan maksud baik orang lain, juga tidak buta akan kepandaian melukis yang begini mengagumkan!!

Tiba-tiba orang itu tertawa dan mukanya berubah lucu sekali. Apalagi ketika ia memasang kuda-kuda tadi, pinggulnya lenggak-lenggok seperti orang sedang ber-agogo! Cepat-cepat ia menyimpan pedangnya, lalu balas memberi hormat sambil pecuca-pecucu (mulut digerak-gerakkan meruncing).

‘Wah-wah-wah! Akulah yang layak ditampar! Aku yang layak minta maaf karena seperti orang buta saja tidak melihat timbulnya matahari pagi yang demikian indah merajai angkasa raya! Tidak mengenal Kim-mo Taisu yang tersohor sebagai seorang pendekar sakti, terutama baik budi pekertinya. Maaf, maaf !!

Ia menghormat lagi lalu berkata,

‘Aku yang bodoh bernama Gan Siang Kok, akan tetapi anak-anak kecil yang suka melihat gambar-gambarku menyebutku Gan-lopek. Heh-heh-heh, memang aku sudah tua tentu saja suka disebut lopek! Mau pura-pura muda saja, rambut sudah beruban gigi sudah tidak lengkap, Heh-heh, hati sih tinggal muda, tapi rambut dan gigi ini tak dapat disangkal ketuaannya. Ha-ha-ha !!

Kim-mo Taisu tersenyum. Orang ini biarpun aneh, wataknya terbuka dan mempunyai pandangan luas dan selalu gembira. Agaknya memandang dunia dengan hati terbuka dan dari sudut yang mengandung kelucuan. Memang kalau orang berpemandangan awas dan berhati terbuka, di dunia ini banyak sekali terdapat hal-hal yang membuat hati menjadi geli, seperti melihat badut-badut berlagak di atas panggung. Melihat betapa di dalam kehidupan manusia sehari-hari, selalu manusia tunduk kepada kepalsuan yang disebut kebiasaan umum!

Kekeliruan-kekeliruan dan penyelewengan-penyelewengan yang tidak dianggap salah lagi karena orang banyak, bahkan semua orang melakukannya! Kepalsuan yang kadang-kadang disebut kesopanan, disebut kebiasaan umum, disebut peraturan dan bahkan disebut hukum!

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar