Liok Seng Hong dan putranya serta Wanyen Kang tidak mengerti, mereka
mengikuti si anak muda. Tiba di ruang belakang, di sana api dipasang
terang-terang.
"Aku pinjam pit dan kertas," Kwee Ceng memohon pula.
Seorang bujang sudah lantas menyerahkan perabot tulis yang di minta itu.
Kwee Ceng segera menulis di atas sehelai kertas, bunyinya,
"Sincie dari ayah almarhum, Kwee Siauw Thian." Semua huruf itu besar-besar, lantas itu di taruh di tengah-tengah ruangan.
Sampai sebegitu jauh Toan Thian Tek tidak tahu apa yang orang hendak
perbuat, begitu lekas ia membaca nama Kwee Siauw Thian, barulah ia kaget
hingga umpama kata semangatnya terbang. Ia segera melihat kelilingnya,
lalu ia menjadi terlebih kaget lagi. Ia seperti terkurung Kanglam Liok
Koay yang semuanya beroman keren. Tanpa merasa, celananya basah
sendirinya. Lebih-lebih ia tidak dapat melupakan Han Po Kie, si kate
gemuk, yang matanya tajam itu. tadi karena kaget dan ketakutan, ia tidak
memperhatikannya.
Sekarang tubuhnya bergemetaran. Tiba-tiba tangannya Kwee Ceng terangkat
dan turun dengan cepat. Satu suara nyaring menyusul itu. Itulah pecahnya
sebuah meja di depan mereka.
"Bilanglah, kau mau mampus cepat dan senang atau kau menghendaki tubuhmu
dibikin berkeping-keping hingga kau merasakan penderitaan?!" berkata si
anak muda, suaranya bengis. Ia berbicara seraya mengawasi tajam musuh
besarnya itu. Sampai di situ Toan Thian Tek merasa bahwa ia tidak bakal
hidup pula.
"Memang benar ayahmu itu akulah yang membunuhnya," ia berkata. "Tetapi aku diperintah oleh atasanku, aku tak bisa berbuat lain."
Matanya Kwee Ceng bersinar, biji mata itu seperti mau melompat ke luar.
"Siapakah itu yang memerintah kau?!" ia tanya. "Siapa mengirim kau untuk membinasakan ayahku itu! Lekas bilang, lekas!"
"Itulah Liok-ongya Wanyen Lieh, putra keenam dari negera Kim!" sahut Toan Thian Tek.
Mendengar itu Wanyen Kang terkejut. "Apa kau bilang?" dia menanya.
Toan Thian Tek memang mengharap-harap dapat menyeret orang, supaya
dosanya menjadi terlebih ringan. Maka itu ia lantas membeber, membuka
rahasia bagaimana itu hari Wanyen Lieh tertarik pada Pauw Sek Yok,
istrinya Yo Tiat Sim, untuk mendapatkannya, orang bekerja sama tentara
kerajaan Song, dusun Gu-kee-cung didatangi, diserbu, kedua keluarga Yo
dan Kwee dibikin celaka. Tapi dengan berpura-pura baik hati, dia sendiri
menolongi Pauw Sek Yok. Hanya kemudian ia berpisah dari ibunya Kwee
Ceng itu dalam kekalutan tentara, ia kabur pulang ke Lim-an. Kemudian
dengan perlahan-lahan ia mendapat kenaikan pangkat sampai pada
pangkatnya yang sekarang ini. Ia menutur jelas perasaannya itu.
Diakhirnya ia berlutut di depan Kwee Ceng.
"Kwee Enghiong, Kwee Tayjin," ia berkata, "Hamba yang rendah menerima
titah orang, itulah bukan kedosaanku…." Ia pun mengangguk-angguk di meja
sincie dari Kwee Siauw Thian. "Kwee Looya," ia berkata pula, "Arwahmu
di langit mengerti, orang yang membikin celaka keluargamu itu, ialah
musuhmu Wanyen Lieh adanya, si pangeran keenam, bukannya aku yang
berjiwa semut. Kwee Looya, hari ini putramu sudah menjadi begini besar
dan gagah, kau tentunya girang dan puas, maka itu aku mohon dengan
perlindunganmu, supaya sukalah putramu ini memberi ampun pada jiwa
anjingku ini…."
Selagi orang mengoceh itu, mendadak Wanyen Kang lompat padanya,
menghajar batok kepalanya, yang lantas saja hancur pecah, tubuhnya roboh
dan jiwanya melayang.
Kwee Ceng mendekam di tanah, ia menangis tersedu-sedu. Baru sekarang
Seng Hong mengerti jelas, maka bersama anaknya ia menjalankan kehormatan
di depan sincie, perbuatannya ini dituruti oleh Kanglam Liok Koay. Juga
Wanyen Kang turut memberi hormat, beberapa kali ia mengangguk-angguk,
kemudian ia berkata, "Saudara Kwee, baru sekarang aku ketahui…. Wanyen
Lieh adalah musuh besarmu. Tadinya aku tidak ketahui peristiwa ini, aku
telah melakukan segala apa yang bertentangan, sungguh aku berdosa."
Ia pun lantas menangis karena ingat penderitaan ibunya. Kwee Ceng mengangkat kepalanya.
"Kau hendak perbuat apa sekarang?" ia tanya pada pangeran muda itu.
"Hari ini barulah aku tahu, aku adalah orang she Yo, maka itu untuk
selanjutnya aku akan memakai namaku, Yo Kang," menyahut Wanyen Kang.
"Bagus!" kata Kwee Ceng. "Dengan begini barulah kau menjadi satu
laki-laki sejati! Besok aku hendak pergi ke Pak-hia, untuk membunuh
Wanyen Lieh, kau hendak turut atau tidak?"
Yo Kang tidak lantas bisa memberikan jawabannya. Ia ingat budinya
pangeran Kim itu yang telah merawat ia semenjak masih kecil. Kapan ia
lihat sinar matanya pemuda she Kwee itu, yang agaknya kurang puas, ia
menyahuti juga, "Siauwtee akan iku toako menuntut balas!"
Yo Kang menyebut dirinya siauwtee (adik) dan memanggilnya toako (kakak),
sedang tadi ia hampir memanggil ayah angkat di waktu menyebutkan
namanya Wanyen Lieh itu. Kwee Ceng girang sekali.
"Bagus saudara!" berseru dia. "Almarhum ayahmu dan ibuku pun pernah
membilangi aku bahwa dulu hari ayahmu dan ayahku telah membuat
perjanjian untuk kita mengangkat saudara. Aku ingin mewujudkan peasn
itu, bagaimana pikiranmu?"
"Itulah yang aku harap," menyahut Yo Kang.
Lantas keduanya menjalankan kehormatan di depan sincie, ini kali untuk mengangkat saudara.
Sampai di situ, bereslah segala apa, maka tuan rumah mempersilahkan
semua tamunya beristirahat. Besoknya pagi, Kanglam Liok Koay pamitan
dari tuan rumah dengan mengajak Kwee Ceng dan Yo Kang.
Seng Hong membekalkan sesuatu kepada tetamunya itu, yang ia antar sampai di luar rumahnya.
Kwee Ceng memberitahukan gurunya bahwa bersama Yo Kang ia hendak pergi
ke Utara untuk membunuh Wanyen Lieh, ia minta petunjuk dari mereka itu.
"Janji di harian Tiong Ciu masih lama, karena kami tidak punya urusan apa-apa, mari kami antar kamu," kata Kwa Tin Ok.
"Begitupun baik," menyatakan Cu Cong dan yang lainnya.
Kwee Ceng bukannya menampik tetapi ia menegaskan sebenarnya tidak perlu
gurunya turut dia. Ia kata ilmu silatnya Wanyen Lieh biasa saja, dengan
adanya Yo Kang sebagai pembantu, ia sudah merasa cukup. Ia sebaliknya
memperingatkan bahwa guru gurunya itu baru saja kembali, sudah
seharusnya mereka beristirahat di kampung halaman mereka. Ia pun tidak
berani membikin pusing gurunya itu, yang budinya sangat besar sekali.
Kanglam Liok Koay memikir alasan muridnya ini pantas, mereka tidak memaksa untuk turut, mereka jadi memberikan pesan saja.
"Janji untuk pergi ke Thoa Hoa To tidak usah kau penuhkan," kata Han
Siauw Eng kemudian. Ia memesan begini sebab ia tahu muridnya jujur dan
berkhawatir muridnya pergi ke pulau Tho Hoa To sedang Tong Sia Oey Yok
Su itu telengas dan tabiatnya sangat aneh.
"Jikalau teecu tidak pergi, apakah itu bukan berarti tidak menepati janji?" tanya si murid.
"Sama hantu itu mana dapat kita bicara perihal kepercayaan!" kata Yo Kang. "Toako, kau terlalu kukuh!"
Tapi Kwa Tin Ok berpikir lain. Atas suaranya Yo Kang itu ia
memperdengarkan "Hm!" kemudian ia bilang: "Anak Ceng, kata-kata kami
bangsa laki-laki tidak boleh dibuat permainan! Sekarang ini ada bulan
enam tanggal lima, nanti pada bulan tujuh tanggal satu kita bertemu di
Cui Sian Lauw di Kee-hin, dari sana kita boleh berangkat bersama-sama ke
Tho Hoa To. Sekarang pergilah kau menaiki kuda merahmu menuju Pakkhia
untuk mencari balas. syukurlah jikalau kau berhasil, kalau tidak, kita
boleh minta bantuannya semua totiang dari Coan Cin Pay. Mereka adalah
orang-orang yang memuliakan peri kebajikan, pastilah mereka tidak akan
menapik permohonan kita."
Kwee Ceng bersyukur sangat akan semua gurunya begitu bersungguh-sungguh,
ia menghaturkan terima kasih seraya menjatuhkan diri berlutut di tanah.
"Adik angkatmu adalah dari keluarga agung, kau mesti hati-hati," Lam Hie Jin memesan.
Kwee Ceng tidak mengerti, ia mengawasi. Cu Cong tertawa, ia pun berkata:
"Putrinya Oey Yok Su beda dari ayahnya, kami selanjutnya jangan
membikin ia mendongkol pula. Benar bukan, shatee?"
Han Po Kie membuat main kumisnya. "Anak busuk itu mengatai aku si labu,
rupanya dialah yang paling cantik!" kata si kate terokmok ini, yang
akhirnya tertawa sendirinya.
Hatinya Kwee Ceng menjadi lega sekali. Itu artinya gurunya tidak
membenci pula Oey Yong. Hanya kapan ia ingat si nona, yang entah di mana
adanya, ia jadi berduka.
"Nah, anak Ceng, kau lekas pergi lekas kembali!" berkata Coan Kim Hoat.
"Kami menantikan kabar baik dari kau di Kee-hin!" Sampai di situ,
kanglam Liok Koay lantas berangkat.
Kwee Ceng berdiri di tepi jalanan sambil memegangi les kudanya. Ia
mengawasi sampai semua gurunya itu sudah tidak nampak lagi, baru ia
menoleh kepada Yo Kang sambil berkata, "Yo hiantee, kudaku ini bisa lari
keras, untuk ke Pakkhia pergi dan pulang, cukup dengan belasan hari,
maka itu marilah aku temani kau jalan-jalan dulu untuk beberapa hari."
Yo Kang menurut, maka itu mereka melakukan perjalanan dengan
perlahan-lahan.
Kalut pikirannya Yo Kang. Ia membayangai baru berselang sebulan yang ia
hidup mewah dan mulia, datang ke Kanglam dengan diiringi secara besar.
Bagaimana agung kedudukannya utusan dari negara Kim yang tangguh itu.
Sekarang? Sekarang ia menuju ke kota raja seorang diri, dalam keadaan
sangat sepi. Tidakkah ia tengah bermimpi dan impiannya itu buyar dengan
tiba-tiba?
Kwee Ceng dapat melihat perubahan roman orang itu, ia hanya menyangka
orang tengah berduka karena mengingat ayah dan ibunya. Ia lantas
menghiburi.
Tengah hari itu mereka tiba di Lie-yang. Lantas mereka mencari tempat
pemondokan. Justru itu satu pelayan penginapan menghampirkan mereka.
"Apakah tuan-tuan adalah tuan Kwee dan tuan Yo?" dia menanya sembari
memberi hormat dan tertawa. "Barang santapan sudah siap sedia, silahkan
tuan-tuan turut aku pergi bersantap dulu."
Dua-dua pemuda itu terkejut.
"Kenapa kau mengenali kami?" menanya Yo Kang.
"Aku menerima pesan, tuan-tuan," sahut pelayan itu, tetap sambil
tertawa. "Tadi seorang tuan datang padaku mengasih tahu perihal bakal
datangnya tuan-tuan. Aku pun diberi lukisan tentang roman dan potongan
tubuh tuan-tuan." Sembari berkata, ia menuntun kuda orang untuk dirawat.
"Sungguh baik tuan dari Kwie-in-chung itu," Kwee Ceng memuji.
Mereka duduk di meja menghadapi barang masakan pilihan yang mahal
harganya, begitu pun araknya. Kwee Ceng mendapati masakan ayam yang ia
paling doyan. Mereka bersantap dengan bernafsu, habis dahar mereka
hendak membayar uangnya.
"Tidak usah tuan-tuan, semuanya sudah dibayar," si pelayan menerangkan.
Kwee Ceng tertawa, ia memberi upah kepada pelayan itu, yang mengucap
terima kasih berulang-ulang dan dengan hormat mengantari ke luar.
Di tengah jalan, Kwee Ceng memuji pula Liok Chungcu, tetapi Yo Kang,
yang masih mendongkol bekas dikalahkan dan ditawan, mengatakan,
"Teranglah ia menggunai muslihat ini untuk membaiki semua orang gagah,
pantas dia menjadi kepala di Thay Ouw!"
"Hiantee, bukankah chungcu itu paman gurumu?" tanya Kwee Ceng heran.
"Benar Bwee Tiauw Hong pernah mengajarkan ilmu silat pada saya tetapi
dia bukanlah guruku," menjawab orang yang ditanya. "Coba aku mengetahui
mereka itu ada dari golongan sesat, tidak nanti aku kesudian belajar,
hingga tak usahlah hari ini aku mengalami kejadian ini….."
Kwee Ceng jadi semakin heran. "Hiantee, bagaimana sebenarnya?" ia menanya.
Yo Kang merasa ia kelepasan omong, mukanya menjadi merah. "Aku merasa
Kiu Im Pek-kut Jiauw bukanlah pelajaran murni," ia menyahut.
"Kau benar, hiantee," Kwee Ceng mengangguk. "Tian Cun Cinjin ada lihay
sekali, ia pun dari kalangan ilmu silat sejati, kalau kau menghaturkan
maaf padanya, tentulah ia dapat memaafkan padamu." Yo Kang berdiam.
Malam itu mereka tiba di Kim-tan, di sana pun ada pelayan penginapan
yang menyambutnya, yang menyiapkan barang makanan dan penginapan tanpa
bayaran, sebab sudah ada yang memesan dan membayarinya. Mereka menerima
itu tanpa banyak bertanya-tanya.
Kemudian, beruntun tiga hari, mereka mendapat pengalaman serupa. Mereka
menjadi heran sekali hingga mereka menyangsikan chungcu dari
Kwie-in-chung. Tatkala mereka melewati Ko-yu dan masih ada serupa
penyambutan, dengan menyindir Yo Kang berkata: "Hendak aku melihat
sampai di mana Kwie-in-chung akan mengantar tetamunya…."
Kwee Ceng lebih curiga lagi, sebab pada setiap barang santapan tentu ada
satu dua rupa santapan yang ia paling gemari, kalau itu adalah
perbuatan Liok Koan Eng, sungguh luar biasa. Habis bersantap, ia kata:
"Hiantee, nanti aku jalan lebih dulu, untuk mencari tahu."
Yo Kang menurut, ia membiarkan orang melarikan kudanya seorang diri.
Beruntun tiga perhentian telah dilewati, setibanya di Po-eng, tidak ada
lagi penyambutan serupa itu. Sengaja Kwee Ceng memilih penginapan yang
paling besar serta minta kamar yang paling mewah juga. Sore itu, selagi
ia berada di dalam kamarnya, ia dengar suara kuda dilarikan,
kelenengannya berbunyi nyaring. Penunggang kuda itu berhenti di depan
penginapan, dia masuk ke dalam, dia lantas memesan makanan untuk besok,
katanya untuk tuan Kwee dan tuan Yo.
Kwee Ceng telah menduga kepada Oey Yong, tetapi mendengar suara orang,
ia heran juga. Ia girang sekali. Ia tak mau lantas menemui. Ia hendak
main-main. Maka ia menunggu sampai jam dua, diam-diam ia ke luar dari
kamarnya. Ia naik ke atas genting, terus ke kamarnya si nona. Tiba-tiba
ia tampak bayangan orang berkelebat, malah ia kenali Oey Yong adanya.
"Heran, malam-malam begini ia hendak kemana?" pikirnya. Ia membungkam, terus ia menguntit.
Oey Yong lari ke luar kota. Ia rupanya tidak tahu ada orang yang
membayanginya. Ia pergi ke tepinya sebuah kali kecil. Di bawah satu
pohon yangliu ia duduk numprah. Dari sakunya ia keluarkan serupa barang,
terus ia buat main di tangannya, tubuhnya dibungkukkan.
Malam itu terang bulan, angin berdesir, meniup daun-daun yangliu dan
juga ikat pinggangnya si nona. Air kali mengalir terus. Di sana sini
terdengar suara rupa-rupa serangga.
"Ini engko Ceng….ini Yong-jie…" terdengar nona itu mengoceh sendirian.
Heran Kwee Ceng. Ia berindap-indap, menghampirkan ke belakang orang. Di
bawah terangnya sinar rembulan, ia melihat tegas dua buah boneka, satu
laki-laki dan satu perempuan, keduanya gemuk dan mungil. Itulah boneka
buatan Bu-sek yang kesohor, yang pun kesohor di Thay Ouw. Ia menjadi
ketarik hatinya. Ia maju lagi beberapa tindak. Di depan boneka itu ada
ditaruhkan beberapa mangkok dan cawan kecil, yang berisi macam-macam
bunga.
Kembali terdengar suara perlahan dan halus dari nona itu; "Mangkok ini
engko Ceng yang dahar, cawan inilah Yong-jie. Semua ini Yong-jie yang
masak sendiri. Enak tidak?"
"Enak! Enak sekali!" Kwee Ceng menyahuti.
Oey Yong terperanjat, ia menoleh dengan cepat. Lalu ia tertawa,
memperlihatkan wajahnya yang manis. Dengan gesit ia berlompat
menghanpiri kepada anak muda itu.
Mereka lalu berduduk di bawah pohon di tepian kali itu. Lantas mereka
berbicara dengan asyik mengenai urusan mereka sejak perpisahan beberapa
hari itu, tetapi yang mereka rasakan seperti sudah bulanan atau tahunan.
Si nona saban-saban tertawa, hingga si pemuda menjadi berdiam saja.
Katanya dalam hati: "Yong-jie begini mencintai aku, kalau di belakang
hari kita tidak hidup bersama, bagaimana rasanya…?"
Ketika malam itu Oey Yong menceburkan diri, ia bersembunyi lama, sesudah
menduga ayahnya telah pergi, barulah ia kembali ke Kwie-in-chung. Ia
girang akan mendapatkan pemuda pujaannya itu tak kurang suatu apa. Ia
menyesal juga yang ia telah berlaku keras terhadap ayahnya. Ia terus
menyembunyikan diri. Ketika besoknya pagi, ia lihat Kwee Ceng berangkat
berdua dengan Yo Kang, ia lantas mendahului, untuk seterusnya
saban-saban ia memesan barang makanan dan rumah penginapan. Ia tahu
barang santapan yang digemari Kwee Ceng, selalu ia menyelipkan satu atau
dua rupa. Tentu saja ia tidak tahu yang Kwee Ceng curiga dan lantas
mendahului, hingga ia kepergok. Tapi ini cuma membuatnya gembira sekali.
Asyik mereka pasang omong, sampai jauh malam, sampai si nona datang
kantuknya, tanpa merasa ia kepulasan di pangkuannya anak muda itu. Kwee
Ceng khawatir orang mendusin, ia tidak berani bergerak, ia diam
menyenderkan diri di bongkol pohon yangliu. Tanpa merasa, ia pun
ketiduran. Ketika itu ada di bulan keenam, hawa malam sejuk, sedang
rembulan bercahaya terus.
Kwee Ceng yang mendusin paling dulu tatkala kupingnya mendengar
burung-burung berkicau, membuka matanya, ia mendapatkan sang fajar sudah
mulai menyingsing. Ia pun dapat mencium semerbaknya bunga-bunga.
Oey Yong tidur nyenyak, napasnya berjalan perlahan. Ia mengerutkan
alisnya, tapi mukanya dadu, mulutnya yang mungil tersenyum, maka itu ia
nampaknya manis sekali. Rupanya ia tengah bermimpi.
"Biarlah ia tidur terus, aku tidak boleh menganggunya," Kwee Ceng berpikir.
Pemuda ini mengawasi muka orang, ia seperti mau menghitungi bulu alisnya
yang bagus dari si nona itu tatkala mendadak ia mendengar suara orang
lain, datangnya kira-kira dua tombak lebih di sebelah kirinya.
"Telah aku ketahui kamarnya nona Thia itu, ialah itu kamar di dalam
taman yang letaknya di belakang rumah gadai Tong Jin," demikian suara
itu.
"Baiklah, sebentar malam kita bekerja," kata suara lain, terang suaranya orang tua.
Mereka bicara dengan perlahan, tetapi di pagi yang sunyi itu nyata
terdengarnya. Kwee Ceng terperanjat. Ia lantas menyangka pada penjahat
tukang petik bunga, yang gemar mengganggu kesucian kaum wanita. Ingin ia
melihat mereka itu.
Tiba-tiba Oey Yong mencelat bangun.
"Engko Ceng, hayo tangkap aku!" katanya. Terus ia lari ke sebuah pohon besar.
Kwee Cneg dapat menerka maksudnya nona cerdik ini, ia lantas mengejar,
malah sambil tertawa geli, bagaikan mereka itu tengah bermain petak.
Hanya larinya mereka dibikin berat, seperti larinya orang yang tidak
mengerti ilmu silat.
Dua orang itu terkejut, tidak mereka menyangka di pagi hari itu sudah
ada orang lain di situ, bahkan dekat mereka, tetapi kapan mereka melihat
dua muda-mudi, yang main lari-larian, mereka tidak bercuriga. Hanya
karena itu, mereka lantas ngeloyor pergi.
Kwee Ceng dan Oey Yong melihat belakang orang, yang pakaiannya
compang-camping, tanda dandanan pengemis. Mereka menanti sampai orang
sudah cukup pergi jauh, si nona tanya si pemuda, apa maunya dua orang
itu mencari nona Thia.
"Kebanyakan maksudnya tidak baik. Kita menolong orang, baik atau tidak?" kata Kwee Ceng.
"Memang baik sekali. Cuma kita tidak tahu dua pengemis itu orang-orangnya Ang Cit Kong atau bukan." kata si nona.
"Aku rasa bukan," jawab si pemuda.
Mereka lantas pulang ke penginapan untuk bersantap, habis itu mereka
pergi pesiar, sampai ke kota barat. Di situ mereka mendapatkan rumah
gadai Tong Jin, dengan huruf-hurufnya yang tinggi dan besar. Benar di
belakang situ ada sebuah taman serta lauwtengnya yang tinggi, yang
dialingi kere bambu bercat hijau. Memandang lauwteng itu mereka
tersenyum, lantas mereka berjalan terus, akan pesiar ke lain bagian
kota. Sorenya mereka pulang, untuk bersantap, akan kemudian beristirahat
di kamar masing-masing.
Lewat sedikit satu jam, keduanya ke luar dari kamar, untuk lari ke kota
barat. Mereka melompati taman, hingga mereka dapat memandang lauwteng di
mana ada sinar api. Mereka terus naik ke atas lauwteng, akan menyangkel
di payon, untuk mengintip ke dalam. Hawa malam panas, jendela tidak
ditutup. Apa yang mereka lihat membikin mereka terperanjat.
Di dalam kamar itu ada tujuh orang, semuanya wanita. Seorang nona umur
delapan atau sembilan belas tahun, yang cantik, lagi membaca buku di
terangnya lampu. Mungkin dia si nona Thia, Thia Toa-siocia yang
dimaksudkan kedua pengemis itu. Enam lainnya dandan sebagai budak,
tetapi mereka pada mencekal senjata, tiga memegang golok sebatang, tiga
lainnya masing-masing pedang, sepasang roda serta sebatang tongkat besar
yang panjang.
Melihat keadaan mereka itu, Kwee Ceng dan Oey Yong mendugai si nona
lihay. Sekarang keduanya berpikir lain. Hendak mereka menonton dulu.
Mestinya ada apa-apa yang aneh mengenai si nona dan si pengemis.
Tidak lama mereka mengintai, mereka mendengar satu suara di luar
pekarangan. Oey Yong tarik tangan Kwee Ceng, buat diajak bersembunyi.
Segera mereka melihat dua bayangan, yang benar ada dari si pengemis
tadi. Mereka ini langsung ke bawah lauwteng di mana mereka
memperdengarkan siulannya perlahan.
"Orang-orang gagah dari Kay Pang di sana?" menanya satu budak seraya menyingkap kere. "Silahkan naik."
Dua pengemis itu menggenjot tubuh mereka untuk naik ke lauwteng. Si nona
sudah lantas menyambut. Ia memberi hormat sambil menanyakan she dan
nama kedua tetamunya itu.
"Aku yang rendah she Lee," menyahuti si pengemis tua. "Ini keponakan muridku, Ie Tiauw Hin."
Melihat muka orang yang penuh luka, Nona Thia mengingat sesuatu.
"Bukankah locianpwee ada Hang Liong Ciu Lee Seng?" ia menanya.
"Tajam matamu, nona!" tertawa si pengemis. "Aku yang rendah dan gurumu,
Ceng Ceng Sanjin, pernah berjodoh bertemu satu kali, walau pun kita
tidak bersahabat rapat, kita saling menghormati."
Mendengar nama Ceng Ceng Sanjin itu, Kwee Ceng ingat orang adalah yang
disebut Sun Put Jie Sun Siang-kouw, salah satu dari Coan Cin Cit Cu.
Karenanya, nona Thia ini bukanlah orang luar.
"Locianpwee baik sekali hendak menolongi, boanpwee sangat bersyukur,"
berkata pula si nona. "Di dalam segala hal, boanpwee akan mendengar kata
locianpwee."
"Nona ada seorang terhormat, kalau kau dipandang lebih banyak oleh itu
binatang, itu pun sudah hebat," berkata Hang Liong Ciu Lee Seng si
Penakluk Naga. Mendengar itu merah mukanya si nona.
"Sekarang, silahkan nona beristirahat di kamar ibumu, di sini tinggalkan
beberapa pelayanmu ini," Lee Seng memberi petunjuk. "Aku yang rendah
ada mempunyai daya untuk menghadapi binatang itu."
"Boanpwee tidak gagah, tetapi boanpwee tidak jeri terhadap binatang
itu," berkata si nona. "Loacianpwee hendak bertanggung jawab sendiri,
sungguh aku malu…."
"Jangan berkata demikian, nona," berkata pula Lee Seng. "Ang Pangcu kami
ada bersahabat kental dengan Ong Tiong Yang Cinjin dari Coan Cin Pay
kamu, kita dengan begitu menjadi seperti orang sendiri."
Sebenarnya nona Thia ingin sekali mencoba ilmu silatnya, tetapi menampak
mata tajam dari Lee Seng, ia tidak berani membantah, maka ia lantas
memberi hormat.
"Baiklah, aku menurut saja kepada locianpwee," bilangnya. Lantas ia turun dari lauwtengnya.
Lee Seng segera menghampirkan pembaringannya si nona, akan menyingkap
kelambunya. Pembaringan itu indah segalanya, tetapi ia naik ke atas itu
tanpa membuka sapatu lagi, tak peduli sepatu dan pakaiannya dekil, ia
terus merebahkan diri.
"Pergi kau turun," ia menitahkan Ie Tiauw Hin, "Ramai-ramai kamu menjaga
di bawah. Tanpa titahku, aku larang kamu lancang turun tangan!" Tiauw
Hin menurut, ia lantas berlalu.
Lee Seng menutup diri dengan selimut indah, ia suruh budak-budak
menurunkan kelambu dan memadam api juga. Kemudian barulah mereka itu
mengundurkan diri pula.
Oey Yong tertawa di dalam hatinya menyaksikan kelakuan Lee Seng itu.
"Semua orang Kay Pang telah meneladan tingkah pola pemimpinnya," semua
suka berbuat jenaka, tidak peduli di tempat apa."
Karena sudah ketahui ada penjagaan, nona ini bersama Kwee Ceng mendekam
terus di bawah payon, berdiam menanti dengan mulut bungkam.
Lantas terdengar suara kentongan orang ronda tanda jam tiga. Menyusul
itu terdengar suara membeletuknya batu masuk ke dalam taman. Itulah batu
tanda menanya dari orang yang biasa ke luar malam.
Oey Yong menarik ujung baju Kwe Ceng untuk memberitahu. Hanya sebentar,
di luar tembok terlihat melompat masuknya tujuh atau delapan orang, yang
semuanya lompat lebih jauh naik ke atas lauwteng. Mereka itu menyalakan
api sebentar, habis itu mereka menuju ke pembaringan.
Hanya sejenak itu, Oey Yong telah dapat melihat mukanya orang-orang itu.
Dua yang menjadi kepala adalah orang-orangnya Auwyang Kongcu, yaitu dua
pria yang biasa membawa-bawa galah panjang peranti menggiring ular.
Enam yang lain adalah murid-murid wanita Auwyang Kongcu itu. Si dua pria
berdiri di kiri kanan pembaringan, empat wanita menungkrup tubuh Lee
Seng dengan sehelai selimut lebar. Lalu dua yang lain mementang sebuah
kantung besar ke dalam tubuh Lee Seng dibelesaki, lalu karung itu di
ikat kuat-kuat. Semua mereka bekerja sebat sekali, seperti sudah
terlatih mahir, tanpa ada yang bersuara. Dua wanita menggendong kantung
itu, lantas mereka lompat turun dari lauwteng.
Kwee Ceng hendak berbangkit, untuk menyusul, Oey Yong mencegah padanya.
"Biarkan orang-orang Kay Pang jalan lebih dulu," si nona membisiki.
Kwee Ceng menurut, ia mengawasi. Kantung berisi manusia itu digotong
berdelapan. Di belakang mereka itu lalu mengiringi lebih dari sepuluh
orang lainnya, mereka itu mencekal tongkat bambu, rupanya mereka adalah
orang-orang Kay Pang.
Menanti sampai orang sudah berpisah beberapa tombak dari mereka, baru
Oey Yong dan Kwee Ceng ke luar dari tempat persembunyian mereka, untuk
menguntit. Seorang pengemis berjalan di paling belakang.
Kedua rombongan itu menuju ke luar kota, pergi ke sebuah rumah besar.
Rombongan Auwyang Kongcu terus masuk ke dalam rumah, rombongan pengemis
lantas memencarkan diri mengurung.
Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng, buat diajak ke belakang, dari mana
mereka melompat tembok masuk ke pekarangan dalam. Sekarang ketahuan
rumah besar itu adalah rumah abu satu keluarga Lauw. Di pendopo ada
sejumlah sincie, dan ada pian-pian yang besar memuat nama-nama almarhum
yang dihormati itu, semuanya pernah memangku pangkat. Pendopo diterangi
lima batang lilin besar. Duduk di tengah ada satu orang, yang tangannya
mengipas perlahan-lahan. Menduga ialah Auwyang Kongcu, Oey Yong dan Kwee
Ceng berlaku hati-hati. Mereka bersembunyi dan mengintai di bawah
jendela, hati mereka menduga-duga, apa Lee Seng sanggup melayani pemuda
yang lihay itu.
Sebentar kemudian muncullah delapan penggotong kantung manusia itu.
"Kongcu, nona Thia sudah disambut!" kata satu di antaranya.
Auwyang Kongcu mengasih dengar suara tertawa dingin, bukannya ia
menyambuti orangnya itu, hanya ia memandang ke luar pendopo seraya
berkata: "Sahabat, setelah dengan baik hati kamu datang berkunjung
kemari, kenapa kamu tidak masuk saja untuk minum teh?"
"Hebat orang ini," pikir Kwee Ceng.
Orang-orang Kay Pang tetap bersembunyi. Tanpa tanda dari Lee Seng, tidak
berani mereka lancang bertindak. Auwyang Kongcu tidak berkata pula,
hanya ia memandang kepada kantung.
"Aku tidak sangka si nona Thia begini gampang diundangnya!" katanya. Ia
bertindak menghampirkan, perlahan tindakannya. Ketika ia mengibaskan
kipasnya, kipas itu tertutup rapat merupakan sepotong besi mirip dengan
pit (alat tulis tionghoa).
Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut. Mereka menduga orang sudah ketahui
musuhlah yang berada di dalam kantung itu. Diam-diam mereka menyiapkan
kong-piauw, bersedia menolongi Lee Seng.
Mendadak ada terdengar suara sar-ser dari jendela, lalu dua batang panah
tangan menyambar ke arah Auwyang Kongcu. Rupanya orang-orang Kay Pang
sudah merasakan pemimpim mereka terancam bahaya. Auwyang Kongcu membawa
tangan kirinya ke samping lantas telunjuk dan jari tengahnya menjepit,
sebatang panah tangan itu patah seketika.
Orang-orang Kay Pang terkejut, malah Ie Tiauw Hin lantas berseru. "Paman Lee, ke luarlah!"
Menyambut seruan itu, tiba-tiba terdengar suara memberebet pecahnya
kantung, lantas dua batang golok menyambar, disusul mana bergelinding ke
luarnya tubuh Lee Seng, tangan siapa terus memegangi kantung sebagai
daya pembelaan diri. Sesudah itu pengemis ini berlompat berdiri.
Lee Seng ketahui Auwyang Kongcu lihay, ia menggunai akalnya ini, untuk
membokong, tapi ternyata ia gagal. Auwyang Kongcu bebas dari sambaran
golok, bukannya kaget, ia justru tertawa.
"Si nona cantik berubah menjadi pengemis tua, sungguh ilmu sulap kantong
yang jempolan!" katanya tertawa. Lee Seng tidak menggubris ejekan itu.
"Selama tiga hari ini, tempat ini beruntun kehilangan empat nona-nona,
bukankah itu perbuatan bagus dari kau, tuan yang terhormat?" ia balas
mengejek.
Kongcu itu tertawa pula. "Kota Po-eng ini bukannya kota melarat miskin,
kenapa sih orang-orang polisi dapat berubah menjadi segala tukang
minta-minta?" ia berkata dengan ejekannya.
Lee Seng pun tidak menjadi gusar. "Sebenarnya aku pun tidak mengemis
nasi di sini," menyahut Lee Seng, "Tetapi kemarin ini aku mendengar
pembilangnya beberapa pengemis cilik tentang lenyapnya tak berbekas dari
beberapa nona cantik manis, dari itu timbullah kegembiraan aku si
pengemis tua, maka aku jadi datang melongok!"
Dengan ogah-ogahan Auwyang Kongcu berkata: "Sebenarnya beberapa nona itu
tidak cantik luar biasa, kalau kau menginginkannya, dengan memandang
mukamu, sukalah aku membayarnya pulang!" Ia pun terus mengibasi
tangannya, maka beberapa murid perempuannya lantas masuk ke dalam untuk
mengajak ke luar empat nona. Mereka ini kusut pakaiannya, kucal
romannya, semuanya pada menangis.
Murka Lee Seng menyaksikan keadaannya keempat nona itu. "Tuan yang
terhormat, apakah shemu yang mulia dan namamu yang besar?" ia menanya.
"Murid siapakah kau ini?"
Auwyang Kongcu tetap membawa sikapnya acuh tak acuh. "Aku she Auwyang. Saudara, kau ada pengajaran apakah untukku?"
"Mari kita main-main!" Lee Seng berkata keras.
"Tidak ada yang terlebih baik dari itu!" kata si anak muda menyambut. "Silahkan kau mulai dulu!"
"Bagus!" seru Lee Seng, yang segera menggeraki tangan kanannya. Tapi
belum sempat ia menyerang, di depan matanya berkelebat satu bayangan
putih dan angin pun mendesir. Ia menjadi sangat kaget, ia mencelat.
Tidak urung, lehernya terlanggar juga satu jari tangan. Syukur ia cukup
sebat, kalau tidak, lehernya itu bisa tercekuk!
Lee Seng ini berkedudukan tinggi di dalam partainya, Kay Pang, Partai
Pengemis, dia lihay. Semua pengemis di empat propinsi Ouwlam dan Ouwpak
serta Ciatkang dan Kangsouw tunduk di bawah perintahnya. Siapa tahu
dalam satu gebrak saja, hampir ia celaka. Maka mukanya menjadi merah.
Begitu ia hendak memutar tubuh, tangannya sudah mendahului melayang.
"Dia juga mengerti Hang Liong Sip-pat Ciang," Oey Yong berbisik pada Kwee Ceng. Dan si anak muda mengangguk.
Auwyang Kongcu tidak berani menangkis serangan itu, yang ia lihat hebat
sekali. Selagi ia berkelit, Lee Seng memutar tubuhnya. Lantas ini
pengemis maju satu tindak, kedua tangannya diangkat ke depan dada, untuk
kembali menyerang, menyusul penyerangannya yang gagal itu.
"Itulah jurus dari ilmu silat Po-giok-kun," Kwee Ceng berbisik pada kekasihnya. Si nona pun mengangguk.
Mendapat kenyataan orang lihay, Auwyang Kongcu tidak berani berlaku acuh
tak acuh seperti semula lagi. Ia selipkan kipasnya di pinggang, setelah
berkelit, ia membalas menyerang, menghajar pundak orang itu.
Lee Seng menangkis, habis mana ia menyerang pula, tetap dengan satu
jurus dari Po-giok-kun. Kali ini Auwyang Kongcu memperlihatkan
kepandaiannya. Ia menangkis dengan tangan kiri, sembari menangkis
tubuhnya mencelat ke samping lawan, terus ke belakang lawan itu. Luar
biasa gesit gerakannya itu. Maka juga segera ia dapat menyerang ke arah
punggung lawan ini.
Dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut. "Inilah serangan yang sukar di tangkis…!" kata mereka dalam hati, kaget.
Ketika itu orang-orangnya Lee Seng, yang tadinya mengurung di luar,
sudah pada masuk ke dalam. Mereka melihat pemimpin mereka terancam
bahaya, di antaranya ada yang berniat berlompat membantu. Lee Seng
sendiri merasakan ancaman bahaya. Desiran angin sudah mengenai bajunya.
Tapi ia pun gesit sekali. Ia memutar tubuhnya sambil menangkis. Kembali
ia menggunai ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang, jrus "Naga Sakti
menggoyang ekor". Auwyang Kongcu tidak berani menangkis serangan itu, ia
melenggakkan tubuh, terus dia berlompat mundur.
"Sungguh berbahaya!" kata Lee Seng dalam hatinya. Sekarang dia sudah
memutar tubuh, untuk menghadapi pula lawannya. Tapi segera ternyata,
dalam ilmu silat ia kalah unggul, selama tiga puluh jurus lebih,
saban-saban ia terancam bahaya. Syukur untuknya ia selalu ketolongan
sama jurusnya "Sin liong pa bwee" - "Naga Sakti menggoyang ekor " itu.
"Rupanya Ang Cit Kong baru mengajari ia ini satu jurus pembela diri," Oey Yong berbisik pada Kwee Ceng.
Anak muda ini mengangguk. Ia lantas ingat lelakonnya sendiri ketika
melayani Nio Cu Ong dengan "Hang liong yu hui" atau "Naga menyesal".
Mengingat ini, ia jadi sangat bersyukur kepada Ang Cit Kong. Lee Seng
yang menjadi salah satu pemimpin baru diajari satu jurus yang lihay itu,
ia sendiri dalam tempo satu bulan sudah dapat lima belas jurus.
Pertempuran itu berjalan terus. Auwyang Kongcu mendesak lawannya hingga
dipojok. Lee Seng sudah berpengalaman, ia dapat menerka maksud lawannya.
Maka ia lantas berdaya akan menggelakkan diri, guna kembali ke tengah
ruangan.
Sekonyong-konyong Auwyang Kongcu tertawa lama, selagi tertawa kepalannya
menyambar, tepat menggenai janggut lawannya itu. Lee Seng terkejut, ia
mengulur tangannya, untuk membalas, tetapi ia telah kena didului. Tangan
kiri Auwyang Kongcu sudah menemui pula sasarannya. Habis itu beruntun
tiga empat kali lagi ia kena tertinju pula, kepalanya dan dadanya. Ia
menjadi sakit, kepalanya pusing, ia begitu terhuyung, ia roboh.
Beberapa pengemis berlompat maju untuk menolongi pemimpinnya itu, tetapi
Auwyang Kongcu menyambar dua orang, yang ia angkat dengan membentrokkan
kepalanya satu dengan lainnya, menampak mana, yang lain-lainnya menjadi
keder.
"Kau kira aku ini siapa yang dapat kena terjebak kaum bangsa pengemis
busuk?!" berkata Auwyang Kongcu tertawa mengejek. Ia terus menepuk kedua
tangannya, maka dari dalam lantas ke luar dua murid wanitanya,
mendorong tubuhnya seorang nona yang tertelikung kedua tangannya, yang
romannya kucal sekali. Dialah si nona Thia yang hendak dilundungi oleh
kawanan pengemis itu. Semua orang terkejut, tak terkecuali Oey Yong dan
Kwee Ceng.
Auwyang Kongcu mengibasi tangannya, atas itu nona Thia dibawa masuk
pula. Dengan roman sangat bangga ia berkata pula: "Selagi si pengemis
tua nelusup masuk ke dalam kantong, aku yang rendah menantikan di bawah
lauwteng, lantas aku mengundang nona Thia, terus aku pulang terlebih
dahulu untuk menunggui kamu di sini!"
Semua pengemis itu terbengong, mereka saling mangawasi. Pikir mereka, mereka benar-benar roboh.
Auwyang Kongcu mengipasi dirinya, ia tertawa ketika ia berkata pula:
"Nama Partai Pengemis sangat kesohor sehingga nama itu membuatnya orang
tertawa hingga giginya copot! Apa yang dinamakan ilmu silat mencuri ayam
dan meraba-raba anjing, apa yang disebut pukulan mengemis nasi dan
menangkap ular, semua itu telah dikeluarkan! Di belakang hari, masihkah
kau berani usilan urusan kongcu kamu? Sekarang ini suka aku memberi
ampun pada jiwanya ini pengemis bangkotan, asal aku dapat meminjam dia
punya kedua cahaya terang sebagai tanda mata…!"
Sembari berkata begitu, pemuda ini mengulur tangannya, untuk dengan
kedua jerijinya mencongkel mata orang yang ia menyebutnya ‘cahaya
terang’. Kalau mata Lee Seng kena dicongkel, butalah dia.
"Tahan!" mendadak terdengar satu seruan, disusul sama orangnya, yang
berlompat masuk ke dalam ruangan, untuk terus menolak ke arah Auwyang
Kongcu.
Pemuda ini terperanjat, ia telah merasakan sambaran angin hingga ia
terhuyung. Inilah hebat sebab semenjak ia ke luar dari wilayah Barat,
sering ia menghadapi lawan yang berat tetapi belum pernah seberat ini.
Ketika ia sudah melihat orangnya, ia menjadi heran sekali. Sebab orang
itu ialah si anak muda bernama Kwee Ceng, dengan siapa ia pernah hadir
bersama dalam pestanya Chao Wang. Ia tahu orang berkepandaian biasa
saja. Kenapa ia sekarang menjadi begini lihay.
"Kau sesat dan buruk, bukannya kau mencoba mengubah kelakuan, kau justru
mencelakai orang!" orang itu menegur. "Apakah kau benar-benar tidak
melihat mata pada semua orang gagah di kolong langit ini?"
Dia memang Kwee Ceng, yang melihat saat untuk tak berdiam lebih lama pula.
Auwyang Kongcu melirik, ia tertawa. "Jadi kaukah si orang gagah di kolong langit ini?" dia mengejek.
"Aku yang muda tidak berani menyebut diriku orang gagah," manyahut Kwee
Ceng dengan merendah, "Aku hanya hendak membesarkan nyaliku untuk
memberi nasehat kepada kau, kongcu. Aku minta sukalah kau
memerdekakannya nona Thia, habis itu lekas-lekas kau pulang ke Wilayah
Barat!"
Auwyang Kongcu tertawa pula. "Jikalau aku tidak sudi dengar nasehatmu, sabahat cilik?" dia menanya.
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Oey Yong dari luar jendela telah mendahului. Katanya; "Engo Ceng, kau hajarlah ini telur busuk!"
Auwyang Ongcu terperanjat. Ia dengar suara orang dan mengenali. "Nona
Oey!" ia lantas berkata, "Kau menghendaki aku memerdekakan Nona Thia,
inilah tidak susah, asal kau sendiri yang sudi ikut padaku! Jikalau kau
sudi, bukan melainkan Nona Thia, juga wanita-wanita di sampingku, akan
aku merdekakan semuanya! Bahkan aku akan berjanji, selanjutnya di
belakang hari aku tidak akan cari lain wanita lagi! Tidakkah ini bagus?"
"Itulah bagus!" menyahut Oey Yong, yang lompat masuk sambil tertawa,
"Kita pergi ke Wilayah Barat untuk pesiar, sungguh menarik! engko Ceng,
bukankah bagus begitu?"
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Auwyang Kongcu sudah mendahului. "Aku
hanya menghendaki kau sendiri yang turut aku pergi bersama," katanya.
"Buat apa ini bocah busuk turut bersama?!"
Mendadak Oey Yong menjadi gusar, tangannya menyambar. "Kau berani memaki dia?!" serunya. "Kaulah si bocah busuk!"
Auwyang Kongcu kesengsem melihat Oey Yong datang dengan senyumannya
berseri-seri. Orang nampaknya botoh dan manis sekali, maka itu ia
berlaku ceriwis, ia pun tidak menyangka si nona bisa gusar secara
tiba-tiba itu. Ia pun tidak bersiaga, maka "Plok!" pipi kirinya kena
ditampar. Sebab si nona menggunai jurus dari "Lok Eng Ciang" yang lihay
itu. Beruntung untuknya, si nona tidak menggunai seluruh tenaganya, ia
hanya merasa pipinya itu panas dan sakit.
"Fui!" berseru si kongcu yang menjadi penasaran, seraya tangannya
menjambak ke dada si nona. Oey Yong tidak mau menyingkir dari tangan si
pemuda itu, sebaliknya dengan kedua tangannya ia menyerang ke arah
kepala orang.
Auwyang Kongcu adalah satu pemuda ceriwis, melihat nona itu tidak
menangkis atau berkelit, ia girang bukan main. Begitulah tanpa pedulikan
kepalanya, ia mengulur terus tangannya itu. Hanya ketika jari tangannya
mengenakan dada orang, ia kaget sekali. Tangannya itu terasa tertusuk
dan sakit.
"Oh!" ia menjerit. "Dia mengenakan baju lapis berduri"
Baru sekarang ia ingat. Maka syukur untuknya, karena berlaku ceriwis, ia
tidak menjambak keras, ia cuma meraba. Karena ini ia lekas-lekas
menangkis kedua tangan si nona.
"Tidak gampang untuk kau menghajar aku!" kata Oey Yong tertawa. "Cuma aku yang berhak menghajar kau, kau sebaliknya tidak!"
Auwyang Kongcu kewalahan, karena ini, ia tumplak kedongkolannya terhadap
Kwee Ceng, yang berdiam saja mengawasi aksi mereka berdua.
"Biarlah aku mampuskan dulu bocah ini, supaya dia mati hatinya!"
pikirnya. Dengan "dia" ia maksudkan si nona manis itu. Ia mengawasi Oey
Yong tetapi kakinya bergerak menyentil ke belakang di mana Kwee Ceng
berdiri, mengarah dada si anak muda. Itulah tendangannya yang lihay,
ajarannya SeeTok Auwyang Hong, pamannya yang kesohor itu.
Kwee Ceng seperti terbokong, tidak dapat ia mengelakkan diri. Tapi ia
tak sudi mandah saja dihajar, ia segera membalas menyerang. Jadi keras
lawan keras. Maka berbareng dua-dua serangan mereka berhasil. Yang satu
tertendang kempungannya, yang lainnya terhajar pahanya yang dipakai
menendang itu. Dua-dua lantas merasakan sangat sakit. Akan tetapi
dua-duanya penasaran, maka itu, bukannya mereka mundur, mereka malah
maju pula. Karena itu keduanya jadi bertempur.
Semua orang Kay Pang heran, apa pula mereka mengenali pukulannya Kwee
Ceng. "Itulah jurus istimewa dari Lee Seng yang biasa dipakai untuk
menolong diri…." kata mereka. "Kenapa dia pun mengerti dan gerakannya
cepat melebihkan Lee Seng?"
Kwee Ceng memang menyerang dengan "Sin-liong Pa-bwee". Di lain pihak
sudah ada beberapa pengemis yang menolongi Lee Seng, yang mereka angkat
bangun, maka itu, pemimpin pengemis itu pun jadi bisa menyaksikan
pertempuran orang itu, hingga ia pun heran.
"Hang Liong Sip-pat Ciang itu adalah ilmu rahasia Ang Pangcu yang tidak
sembarangan diturunkan," memikir pemimpin pengemis ini, "Aku sudah
berjasa untuk partai, aku cuma diajarkan satu jurus, tetapi anak muda
ini lain, agaknya ia mengerti banyak. Mungkinkah ia telah dapat
mewariskannya semua?"
Juga Auwyang Kongcu sendiri heran bukan main. Baru berselang dua bulan atau pemuda ini telah maju demikian pesat.
Cepat sekali mereka sudah bertempur empatpuluh jurus. Kwee Ceng telah
gunai semua lima belas jurusnya Hang Liong Sip-pat Ciang, ia telah
memutar balik itu. Dasar kalah jauh dari Auwyang Kongcu, ia tidak dapat
merobohkannya, ia cuma dapat bertahan. Maka itu, lewat lagi belasan
jurus, ia kewalahan. Auwyang Kongcu berlaku sangat gesit, ia berlompatan
ke segala penjuru, tinjunya saban-saban menyambar. Satu kali Kwee Ceng
kena didupak kempolannya hingga ia terhuyung. Syukur ia tangguh, ia
tidak dapat celaka. Ia melawan terus, ia mengulangi jurus-jurusnya.
Untuk sementara ini Auwyang Kongcu tidak berani mendesak, berselang lagi
sepuluh jurus lebih, setelah ia dapat memahami ilmu silat orang, baru
ia merangsek pula. Karena ini ia mulai mencari lowongan untuk turun
tangan.
Kwee Ceng sudah habis menjalankan lima belas jurus, ia lantas memulai
lagi pula dari seperti semula. Inilah ketika yang justru ditunggu
Auwyang Kongcu. Kongcu ini lantas mendahulukan menyambar ke pundak
lawannya itu.
Kaget sekali Kwee Ceng. Tidak ada jalan untuk dia melindungi diri dengan
limabelas jurusnya itu. Di saat sangat berbahaya itu, ia berlaku nekat.
Ia menubruk seraya menepuk tangannya lawan. Itulah ilmu silat menurut
caranya sendiri. Ini justru di luar terkaan Auwyang Kongcu yang menjadi
kaget, karena ia tidak menyangka bakal disambut secara demikian. Tidak
ampun lagi, lengannya kena dihajar. Bahna kaget, ia lompat mundur ke
belakang beberapa tindak. Syukur untuknya, ia melainkan merasakan sakit,
tulang lengannya tidak patah atau remuk.
Kwee Ceng girang melihat hasilnya itu, yang pun di luar dugaannya. Ia
bahkan jadi insyaf akan dapat diputar balikkannya ilmu silat itu tanpa
menurut aturannya. Ia hanya menginsyafi, karena belum terlatih,
tenaganya jadi berkurang banyak. Tidak demikian, celakalah tangannya
pemuda dari Wilayah Barat itu. Karena ini, hendak ia mencoba terus.
Lagi sekali mereka mulai bergerak pula, selagi Kwee Ceng hendak mencoba,
Auwyang Kongcu sebaliknya penasaran dan hendak menuntut balas.
Kesudahannya, pemuda she Auwyang ini menjadi heran sekali. Ia
mendapatkan kenyataan, di sebelah jurus-jurus yang biasa, lawannya
mempunyai tiga jurus tambahan lainnya, hingga sulit untuk dia memberi
hajaran tepat seperti tadi. Sekarang ini Kwee Ceng dapat menutup
kempolan kirinya dan pinggangnya kanannya, dua lowongan yang diarah oleh
lawannya.
Kwee Ceng berkelahi dengan bernapsu, ia mengulangi dan mengulangi
tambahan tiga jurusnya itu hingga ia seperti telah membikin lengkap
delapan belas jurus Hang Liong Sip-pat Ciang. Ia pun menjadi semakin
hapal, pertempuran itu seperti merupakan latihannya.
Segera Auwyang Kongcu melayani dengan sabar, gerakannya jadi rada
kendor. Ia memikir hendak menanti musuhnya itu letih sendirinya. Dangan
berkelahi secara begini, berbareng ia memahami pula cara berkelahinya
musuhnya. Ia cerdik, belum lama ia sudah dapat melihat kekosongannya
musuhnya itu. Atas ini, ia tidak mau mensia-siakan ketika lagi, mendadak
ia mengirim serangannya. Dengan tangan kiri ia menggertak dengan
menjambak, diam-diam kakinya melayang naik!
Kwee Ceng terkejut. Sulit untuk ia menangkis atau berkelit. Oey Yong
menonton dengan waspada, ia melihat pemudanya itu terancam bahaya,
karena ia senantiasa siap sedia, segera ia mengayun sebelah tanganya,
maka tujuh atau delapan jarum kongcian menyambar kepada Auwyang Kongcu.
Kaget itu pemuda dari Wailayah Barat, tetapi ia masih sempat menebas
dengan kipasnya. Hanya selagi ia merasa berhasil menyingkirkan semua
jarum, kakinya toh dirasai sakit dengan mendadak, seperti ada benda yang
menancap di jalan darahnya. Karena ini, meskipun tendangannya mengenai
sasaran, kenanya tidak hebat. Dengan kaget ia melompat mundur.
"Tikus mana membokong kongcumu!" ia membentak. "Kalau kau berani, mari berlaku terus terang…."
Belum lagi pemuda ini menutup mulutnya, satu benda berkelebat menyambar
kepadanya, sia-sia belaka ia hendak berkelit, tahu-tahu mulutnya
kemasukan serupa barang yang memberi rasa sari asin dan keras. Ia kaget
dan gusar, lekak-lekas ia melepehkannya. Untuk kemendongkolannya, ia
melihat sepotong tulang ayam. Karena ia tahu dari mana datangnya
sambaran, ia lantas angkat kepalanya, dongak melihat ke penglari.
Justru ia mengangkat kepalanya, justru ada debu yang meluruk jatuh. Ia
berlompat ke samping, terus ia dongak pula, seraya membuka mulutnya
untuk mendamprat. Kali ini belum sempat ia bersuara, mulutnya itu
kembali kemasukan tulang - tulang kaki ayam, maka juga giginya kebentur
hingga ia merasakan sakit pada giginya itu!
Bukan alang kepalang mendongkolnya pemuda ini, yang seumurnya belum
pernah ada orang hinakan atau mempermainkan secara demikian. Lekas-lekas
ia membuang tulang dari mulutnya itu. Di waktu itu dia melihat
berkelebatnya suatu bayangan, yang lompat turun dari penglari itu. Dalam
murkanya, ia pun berlompat untuk memapakinya, guna menyerang bayangan
itu. Tapi heran, bukannya ia dapat menyerang, ia justru kena memegang
serupa barang. Tempo ia sudah melihat barang itu, mendongkolnya bukan
kepalang. Itu adalah dua potong ceker ayam yang bekas digeragoti, yang
sudah tidak ada dagingnya!
Berbareng dengan itu, di atas penglari itu terdengar suara orang tertawa
lebar yang disusul dengan pertanyaan, "Bagaimana? Bagaimana dengan ilmu
silat mencuri ayam dan meraba-raba anjing dari si pengemis tua?"
Kapan Kwee Ceng dan Oey Yong mendengar suara itu, keduanya girang bukan main. "Cit Kong!" mereka berseru tanpa tertahan lagi.
Semua orang lantas mengangkat kepalanya, maka di atas penglari itu
mereka lihat Ang Cit Kong tengah duduk dengan enteng sekali, mulutnya
lagi mengegerogoti paha ayam berikut dadanya, yang dipegangi sebelah
tangannya.
Mengenali orang tua itu, hatinya Auwyang Kongcu menjadi dingin sekali.
"Ang Siepee di sana?" ia berkata, "Di sini titjie memberi hormat!"
Benar-benar ia lantas menekuk kedua lututnya dan mengangguk-angguk.
"Oh, kau mengenal si pengemis tua?" tanya Ang Cit Kong seraya terus menggayam ayamnya. Ia menanya acuh tak acuh.
"Memang pernah titjie bertemu sama Ang siepee," menyahut Auwyang Kongcu,
yang menyebut dirinya titjie, keponakan. "Titjie ada punya mata tetapi
titjie tidak mengenal gunung Tay San, seharusnya titjie mati saja.
Dahulu hari itu titjie sudah lantas mengirim pesuruh burung ke Barat,
akan memohon petunjuk dari pamanku, setelah itu barulah titjie
mengetahui siepee. Pamanku itu memesan, apabila titjie bertemu pula sama
siepee, mesti titjie menyampaikan hormatnya seraya mengharap kesehatan
siepee."
"Si Racun Tua itu pandai sekali berpura-puar!" berkata Ang Cit Kong,
yang menyebut si racun Tua kepada See Tok Auwyang Hong. "Dia pun banyak
mulutnya! Aku si pengemis tua, dapat aku mencuri, dapat aku gegares,
tetapi aku tidak merampas anak dara orang, maka kenapa aku bolehnya
tidak sehat? Bukankah pamanmu tidak sakit dan tidak tumbuhan juga?"
Auwyang Kongcu malu dan jengah, ia menyahuti sembarangan saja.
"Barusan aku mendengar kata-katamu," berkata lagi Ang Cit Kong.
"Bukankah kau menyebut-nyebut tentang ilmu silat mencuri ayam dan
meraba-raba anjing, tentang pukulan mengemis nasi dan menangkap ular?
Bukankah kau sangat memandang enteng kepada semua ilmu silat itu?"
Di dalam hatinya Auwyang Kongcu kata, "Aku tidak menyangka bahwa dia
telah bersembunyi di atas penglari…" Tapi toh ia menyahuti, "Siepee, aku
mohon sukalah siepee memaafkan keponakanmu ini. Tadi aku telah mengoceh
tidak karuan karena aku tidak mengetahui ketua Partai lo-enghiong ini
justru siepee adanya…"
Ang Cit Kong tertawa terkakak, selagi tertawa, tubuhnya berlompat turun.
"Kau menyebut dia lo-enghiong, tetapi dia tidak sanggup melawan kau,
maka itu kaulah si enghong!" berkata ketua pengemis itu. "Apakah kau
tidak malu? Haha-haha!"
Enghiong ialah pendekar dan lo-enghiopng adalah pendekar tua. Auwyang
Kongcu malu sekali dengan hatinya mendongkol bukan main, tetapi ia
insyaf orang bukanlah tandingannya, tidak berani ia turun tangan, tidak
berani ia lancang mulut, maka ia terpaksa merendahkan diri.
"Kau mengandalkan ilmu silatnya si Racun Tua, kau datang ke Tionggoan,
ke tenggara ini untuk malang melintang! Hm! Hm! Tapi ketahui olehmu,
selama si pengemis belum mampus, aku khawatir kau tidak akan mendapatkan
tempatmu di sini!" berkata pula si pengemis tua itu.
Auwyang Kongcu terus mesti mengendalikan diri. "Siepee bersama pamanku
ada sama kesohornya, maka itu aku menurut saja segala perintah siepee,"
ia berkata, merendah.
"Bagus, ya!" berseru Cit Kong. "Kau maksudkan aku si besar menghina si kecil, si tua menghina kamu si anak muda?"