Alangkah lucunya manusia-manusia yang berselimut segala
yang baik-baik itu membiarkan diri berlagak seperti badut-badut berkedok
kepalsuan! Tentu saja hal ini tidak akan tampak oleh manusia sesama badut.
Hanya orang yang sudah sadar saja yang akan dapat menjadi penonton. Orang-orang
yang masih mabok dan belum sadar, mabok keduniaan, akan terseret dan ikut main
di atas panggung menjadi badut-badut dan bahkan saling berlomba memperebutkan kejuaraan
badut!
‘Kalau begitu, biarpun selisih usia kita tidaklah
terlalu banyak, aku yang lebih muda akan menyebutmu Gan-lopek juga.!
‘Heh-heh-heh, itu yang paling baik. Merupakan
kehormatan besar sekali mempunyai keponakan seorang berwatak pendeta dan
bertubuh pendekar yang harus disebut Taisu (guru besar) oleh Paman tuanya.
Ha-ha!!
‘Gan-lopek, harap sudahi main-main ini. Tidak perlu
kiranya kau berpura-pura lagi bahwa yang kaunyanyikan dan yang kaulukis ini
kebetulan saja menyangkut diriku. Terima kasih atas peringatanmu bahwa di atas
sana menanti musuh-musuhku yang berjumlah banyak hendak mengeroyokku. Akan
tetapi agaknya kau lupa bahwa seekor harimau tidak pernah mengenal takut. Nah,
aku pun tidak takut karena aku berbekal kebenaran. Sekali lagi terima kasih dan
selamat berpisah, Gan-lopek!!
Setelah memberi hormat lagi, Kim-mo Taisu melanjutkan
perjalanannya.
Gan-lopek melanjutkan corat-coretnya, mulutnya mengomel,
‘Cari mati...., cari mati...!!
Ketika kemudian Kim-mo Taisu menengok, ia melihat betapa
Gan-lopek yang aneh dan lucu itu telah mencoret-coret gambarnya sehingga gambar
yang indah itu berubah menjadi hitam semua, seperti seorang kanak-kanak yang
ngambul dan sengaja merusak lukisan itu untuk melampiaskan kekecewaan dan
kemendongkolan. Kim-mo Taisu tersenyum, mengangkat kedua pundak, lalu
melanjutkan perjalanannya mendaki puncak. Di atas puncak Tai-hang-san itu terdapat
bagian yang rata dan ditumbuhi rumput hijau, cukup luas dan pemandangan dari
puncak itu ke bawah amatlah indahnya. Kim-mo Taisu melihat ke bawah dan tampak
pemandangan luar biasa karena kini ‘semut-semut! di bawah itu sudah mulai
berperang!
Tiba-tiba dari belakang pohon-pohon di sekitar lapangan
itu muncul empat orang yang bergerak cepat menghampirinya. Paling depan ia
mengenal Kong Lo Sengjin yang ‘berjalan! di atas kedua tongkatnya. Akan
tetapi alangkah kaget, heran dan juga girangnya ketika melihat bahwa orang ke
dua adalah Ban-pi Lo-cia! Tanpa ia cari-cari kini musuh-musuh besarnya telah
berkumpul sehingga mudah baginya untuk segera menyelesaikan perhitungan lama!
Dasar seorang yang berwatak pendekar, Kim-mo Taisu hanya teringat akan
keuntungan perjumpaan ini, sama sekali tidak ingat bahwa Kong Lo Sengjin dan
Ban-pi Lo-cia menjadi satu merupakan lawan yang bukan main beratnya, belum lagi
ditambah dua orang yang berada di belakang mereka. Adapun dua orang itu juga
bukan orang sembarangan, karena yang satu adalah Pouw-kai-ong, Si Raja Pengemis
yang jahat dan licik, memiliki kepandaian yang aneh sekali, sedangkan orang ke
dua adalah Lauw Kiat, murid Ban-pi Lo-cia yang tentu saja tinggi ilmunya dan
semenjak dahulu mengeroyoknya tentu kini telah bertambah ilmunya.
Akan tetapi Kim-mo Taisu sama sekali tidak merasa gentar.
Memang harus ia akui bahwa bersatunya Kong Lo Sengjin dengan Ban-pi Lo-cia,
merupakan hal yang tidak ia sangka-sangka dan memang kedua orang itu ditambah
Pouw-kai-ong dan Lauw Kiat merupakan lawan yang berat sekali, jauh lebih berat
ketika ia dikeroyok oleh Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong, dan Ma Thai Kun dahulu.
Namun selama belasan tahun ini pun ilmunya sendiri sudah mendapat kemajuan
pesat. Dahulu ia terhitung masih muda, dan kini ia sudah dapat mematangkan ilmu
kepandaiannya, sedangkan dua orang lawannya yang paling pandai, Ban-pi Lo-cia
dan Kong Lo Sengjin, sudah terlalu tua sekarang dan karenanya tentu berkurang
tenaganya.
‘Hemm, siapa duga Sin-jiu Couw Pa Ong yang dahulu
terkenal sebagai seorang patriot sejati, seorang pembela tanah air dan negara
sampai mengorbankan kedua kakinya, kini menyeberang kepada musuh dan tidak malu
dalam usia tua merubah diri menjadi seorang penghianat yang serendah-rendahnya
karena bersekutu dengan orang Khitan !!
Kim-mo Taisu menegur karena memang hatinya merasa
tertusuk dan marah bukan main menyaksikan paman mendiang isterinya itu
bersekutu dengan Ban-pi Lo-cia.
‘Berlaku curang, menggunakan orang Hui-to-pang membunuh
keponakannya sendiri dan melemparkan fitnah kepada orang lain adalah biasa,
akan tetapi menghianati negara adalah kejahatan yang rendah, yang akan
mendatangkan noda yang tak terhapuskan selama tujuh keturunan !!
Marahlah Kong Lo Sengjin mendengar ini. Marah luar biasa
sehingga mukanya menjadi pucat, alisnya berdiri dan rambutnya yang sudah
awut-awutan itu seketika seperti menjadi kaku. Ia melangkah lebar dengan
tongkatnya mendekati Kim-mo Taisu dan memaki dengan bentakan keras.
‘Tutup mulutmu! Kwee Seng, kau anak kecil tahu apa
tentang perjuangan? Ketika kau belum terlahir aku sudah berjuang membela
negara. Sekarang kau berani memberi kuliah tentang perjuangan kepadaku? Keparat
!!
Kim-mo Taisu tersenyum mengejek
‘Justeru karena kau sudah terlalu tua maka engkau
menjadi pikun. Sudah layak kalau orang dinilai dari perbuatannya paling akhir.
Seribu perbuatan baik akan terhapus oleh sebuah perbuatan buruk. Seribu
perbuatan buruk dapat saja dicuci oleh sebuah perbuatan baik terakhir. Kong Lo
Sengjin, kau sudah tua, mendekati saat kematian, mengapa tidak menyiapkan bekal
yang baik malah menumpuk dosa dan kecemaran? Mengapa tidak mencari jalan terang
malah tersesat dalam kegelapan? Mengapa seorang patriot berubah menjadi
penghianat ?!
‘Setan neraka !!
Kong Lo Sengjin semakin marah.
‘Aku sudah mengorbankan seluruh keluargaku untuk
negara, bahkan mengorbankan kedua kakiku! Aku memang menyuruh bunuh isterimu
untuk membangkitkan semangatmu agar kau mengikuti jejakku! Kau yang baru
berkorban isteri saja sudah ribut dan hendak membalasku. Jangan kira aku takut.
Kini kau menuduhku yang bukan-bukan. Kau anak kecil tahu apa? Semenjak Kerajaan
Tang runtuh, selama setengah abad rakyat kita ditindas oleh raja-raja lalim.
Mula-mula mereka baik, akan tetapi akhirnya sama saja. Keadaan begini harus
diakhiri dan bangsa Khitan yang jaya sajalah yang akan dapat membantu merubah
keadaan. Dengan bantuan bangsa Khitan, aku akan mendirikan kembali Kerajaan
Tang yang megah! Kau, Kim-mo Taisu, kalau kau mau membantu kami, aku dan
sahabat-sahabatku ini akan melupakan segala urusan diantara kita yang sudah
lewat, dan mari kita bangun kembali Kerajaan Tang dengan bantuan
sahabat-sahabat Khitan. Kelak kau akan menjadi raja muda, karena kau masih
terhitung mantu keponakanku!!
Kim-mo Taisu memandang dengan mata terbelalak, kemudian
bertanya, suaranya perlahan dan lirih,
‘Dan kau...kau menjadi kaisarnya?!
‘Siapa lagi? Akulah raja muda Kerajaan Tang yang
terakhir!! jawab Kong Lo Sengjin sambil membusungkan dada.
Celaka, pikir Kim-mo Taisu. Kakek ini sudah menjadi gila!
Menjadi Kaisar Kerajaan Tang yang dibangun dengan bantuan bangsa Khitan? Sama
saja dengan memasukkan barisan srigala ke dalam rumah. Apakah kalau seandainya
bangsa Khitan berhasil, mereka mau menyerahkan kekuasaan kepada Kong Lo
Sengjin? Kepada seorang kakek lumpuh? Membayangkan betapa kerajaan dikuasai
oleh seorang kaisar lumpuh, Kim-mo Taisu menjadi geli hatinya dan tak
tertahankan lagi ia tertawa tergelak.
‘Ha-ha-ha! Kong Lo Sengjin, kiranya engkau sudah
menjadi gila! Tak usah kau melamunkan yang bukan-bukan karena sekarang juga kau
harus menebus kematian isteriku dengan nyawamu! Adapun teman-temanmu ini,
terutama sekali Ban-pi Lo-cia, juga takkan lepas dari tanganku karena dia harus
menebus kematian adik isteriku. Kong Lo Sengjin, tahukah engkau bahwa adik
kembar Gin Lin yang bernama Khu Kim Lin tewas karena kekejian dan kebiadaban
manusia Khitan ini?!
‘Tutup mulut ! Urusan pribadi tidak penting, yang
penting urusan negara!!
Kong Lo Sengjin sudah menjadi marah sekali dan menerjang
Kim-mo Taisu dengan kedua tongkatnya yang bergerak-gerak bergantian secara
dahsyat. Tentu saja kakek yang berubah wataknya ini tidak peduli betapa
keponakannya mati karena Ban-pi Lo-cia, karena dia sendiripun tega menyuruh
membunuh keponakannnya, isteri Kim-mo Taisu, hanya untuk kepentingan
cita-citanya.
Kim-mo Taisu yang kini sudah siap untuk bertanding, cepat
mengelak dengan lompatan tinggi ke kanan. Ketika kakinya kembali menyentuh
bumi, tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang, tangan kirinya memegang
sebuah kipas. Memang semenjak ia mengambil keputusan untuk mencari musuh-musuh
besarnya yang terdiri dari orang-orang sakti, dan mengingat akan pengalamannya
ketika ia dikeroyok tanpa memegang senjata. Kim-mo Taisu sudah mempersiapkan
diri dengan sepasang senjatanya yang lengkap yaitu pedang dan kipas. Begitu
lawannya mendesak maju, sekaligus Kim-mo Taisu menggerakkan pedang dan kipas,
pedangnya mainkan Pat-sian Kiam-hoat dan kipasnya mainkan Lo-hai San-hoat yang
merupakan pasangan luar biasa dan hebat. Betapapun saktinya Kong Lo Sengjin
menghadapi serbuan sepasang senjata aneh yang mengeluarkan angin pukulah
dahsyat ini, kakek itu terhuyung ke belakang.
Akan tetapi pada saat itu, Ban-pi Lo-cia sudah menerjang
maju dengan cambuk hitamnya sambil tertawa,
‘Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu, sekali ini kau takkan dapat
lolos dari cambukku!!
Betapa kaget hati kakek Khitan raksasa ini ketika ujung
cambuknya menyambar dan dekat dengan tubuh lawan, ujung cambuk itu terpental
kembali seakan-akan ada tenaga luar biasa yang menolaknya. Kiranya kebutan
kipas di tangan kiri Kim-mo Taisu telah berhasil mendorong kembali ujung cambuk
itu. Dari gerakan ini saja dapat dibayangkan betapa hebat tenaga sin-kang Kim-mo
Taisu dan diam-diam Ban-pi Lo-cia merasa khawatir. Ia maklum bahwa selama
belasan tahun ini, Kim-mo Taisu telah mendapat kemajuan pesat sekali dan dalam
hal tenaga dalam saja ia sudah tidak dapat menandingi lawannya! Biarpun begitu,
kakek raksasa ini tidak takut, apalagi pada saat itu, Pouw-kai-ong dan Lauw
Kiat sudah menyerbu maju untuk membantu.
Yang hebat dan tak tersangka-sangka oleh Kim-mo Taisu
adalah Pouw-kai-ong. Begitu Raja Pengemis ini bergerak menggunakan sebatang
tongkat pengemis, terdengar angin menderu dan serangannya berbahaya sekali.
Kiranya Raja Pengemis yang sebaya dengannya itu, juga telah memperoleh kemajuan
hebat. Hanya Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia sajalah yang merupakan lawan paling
lemah di antara empat orang ini. Namun pengeroyokan mereka cukup berbahaya dan
membuat Kim-mo Taisu harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua
kepandaiannya.
Pertandingan berlangsung dengan amat hebatnya. Betapapun
dia dikurung dan tidak diberi kesempatan oleh empat orang pengeroyoknya, namun
Kim-mo Taisu kadang-kadang menggunakan kesempatan untuk mengerling ke bawah
puncak, untuk melihat kalau-kalau ia dibutuhkan oleh panglima bala tentara
Sung. Di bawah puncak juga terjadi perang hebat antara pasukan-pasukan Khitan
melawan bala tentara Sung. Terjadilah penyembelihan manusia besar-besaran oleh
kedua fihak. Penyembelihan dan pembuhuhan kejam tanpa sebab-sebab pribadi,
hanya untuk memenuhi kehendak beberapa gelintir manusia yang ingin melihat
cita-citanya terlaksana! Bunuh-membunuh, yang kalah roboh dan harus mati, yang
menang tertawa dan hidup. Seolah-olah yang menang lupa bahwasannya mereka pun
hanya menang untuk sementara saja, menang untuk waktu yang tidak lama, karena
maut tentu akan datang menjemput nyawa mereka untuk menyusul nyawa mereka yang
kalah! Pedang dan golok yang memang haus darah, menusuk membacok mencincang
hancur tubuh lawan yang kalah, senang hati menyiksa yang kalah.
Seolah-olah mereka ini lupa bahwasanya sebelum maut kelak
mencabut nyawa mereka, akan tiba masanya mereka mengalami suka dan derita
sebelum mati, mungkin jauh lebih mengerikan dan lebih sengsara daripada penderitaan
mereka yang dicincang dalam perang. Lupa bahwa siksaan dalam bentuk penyakit
sebelum mati kadang kala amat mengerikan dan sengsara.
Dalam mengejar hasrat dan nafsu, manusia lupa bahwa tidak
ada yang menang atau kalah dalam kehidupan manusia. Yang menang mutlak dan
abadi hanya Tuhan. Karena itu, bahagialah mereka yang mengabdikan diri sebagai
hamba Tuhan, sebagai perajurit Tuhan yang bersenjatakan kasih, yang hanya
mengharapkan damai dan tenteram di dunia, tidak ada perang, tidak ada bunuh
membunuh, tidak ada benci, tidak ada dendam. Yang ada hanya kasih sayang sesama
hidup, bergembira melihat orang lain bersenang, prihatin dan mengulurkan tangan
menolong melihat orang lain bersusah. Kalau hidup antar manusia sudah seperti
itu, hidup antar negara tentu menjadi demikian pula. Tidak ada bentrok politik,
tiada perang agama, tiada perbedaan di antara bangsa, penuh kasih, penuh
toleransi. Amboi, alangkah nikmat hidup di dunia dalam keadaan seperti itu.
Kim-mo Taisu benar-benar seorang pendekar sakti. Empat
orang lawannya adalah orang-orang luar biasa, ahli-ahli silat yang sudah
mencapai tingkat tinggi. Bankan yang dua orang, yaitu Kong Lo Sengjin dan
Ban-pi Lo-cia adalah dua orang sakti yang merupakan tokoh-tokoh besar di dunia
persilatan. Namun, sampai sejam lebih mereka bertempur, belum juga empat orang
itu dapat merobohkan Kim-mo Taisu. Betapapun juga, harus diakui bahwa keadaan
Kim-mo Taisu amat berbahaya. Selain empat orang itu lihai juga mereka, terutama
Ban-pi Lo-cia dan Kong-lo Sengjin, bertanding penuh semangat dan kebulatan
tekad. Agaknya dua orang kakek itu maklum bahwa kali ini harus ada keputusan
terakhir, mempertaruhkan nyawa untuk menang atau kalah. Hidup atau mati! Karena
kenekatan inilah maka Kim-mo Taisu mulai terdesak. Ia belum mampu melukai
seorang di antara empat orang pengeroyoknya yang dapat bekerja sama amat baik
dan rapi, saling melindungi dan saling menjaga.
Agaknya Lauw Kiat mulai hilang sabar. Ia bersuit keras
dan dari dalam hutan di puncak gunung muncullah dua belas orang Khitan yang
bertubuh tinggi besar. Mereka datang membawa sebuah jala ikan. Aneh sekali
mengapa sebuah jala ikan dibawa oleh dua belas orang. Sebetulnya jala itu bukan
sembarang jala, melainkan sebuah alat untuk menangkap orang sakti. Jala ini
terbuat daripada bahan yang kuat sekali, tidak putus oleh sabetan senjata
tajam, dan di sebelah dalamnya terdapat banyak kaitan-kaitan berbentuk pancing
sehingga sekali seorang tertutup jala, betapapun saktinya, akan sukar baginya
untuk lolos karena makin keras ia bergerak memberontak akan makin banyak pula
kaitan-kaitan kecil berbentuk pancing manancap di tubuhnya!
‘Bantu kami tangkap dia!! seru Lauw Kiat dalam bahasa
Khitan.
Akan tetapi selagi dua belas orang itu mempersiapkan jala
dan mengatur kedudukan mereka yang dipersulit oleh adanya pertandingan yang
sedemikian cepat gerakannya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan. Begitu tiba
di situ, bayangan itu tertawa-tawa dan menyerang dua belas orang tinggi besar
itu secara kalang-kabut. Dari sudut matanya Kim-mo Taisu melihat bahwa yang
datang menyerang dua belas orang penebar jala itu bukan lain adalah Gan-lopek
si pelukis tadi!
Benar saja dugaan Kim-mo Taisu ketika bertemu dengan
kakek pelukis ini tadi. Tidak hanya pandai melukis dan melawak, Gan-lopek ini
ternyata lihai pula ilmu silatnya. Setidaknya terlalu lihai untuk dua belas
orang tinggi besar yang hanya pandai bermain dengan jala itu. Mereka itu adalah
orang-orang Khitan yang biasa menjala ikan, biasa pula mereka menangkap anjing
laut dengan jala. Tentang ilmu silat, mereka hanya tahu sedikit-sedikit,
walaupun bertenaga besar.
Karena penyerbuan Gan-lopek ini tak tersangka-sangka, dua
belas orang itu tidak sempat mempergunakan jala mereka, maka mereka mencabut
golok besar dan menerjang kakek yang tertawa-tawa itu. Kiranya Gan-lopek hanya
melayani mereka dengan sepasang mouw-pitnya. Pedangnya masih tergantung di
pinggang, sama sekali tidak ia pergunakan. Akan tetapi sepasang mouw-pitnya
hebat. Ketika tubuhnya berkelebatan dengan pinggul megal-megol seperti orang menari
agogo, kedua tangannya bergerak cepat, terdengar teriakan-teriakan marah.
Sebentar saja enam orang tinggi besar sudah tidak bisa berkelahi lagi karena
mereka menggunakan kedua tangan mereka yang menjadi gelap karena dicoret-coret
oleh sepasang mouw-pit sehingga muka mereka itu coreng-moreng dengan warna
hitam dan putih sedangkan mata mereka penuh tinta! Kemudian mereka roboh
seorang demi seorang tertotok gagang mouw-pit.
Sayang Gan-lopek orangnya suka bergurau. Kalau saja ia
cepat-cepat merobohkan dua belas orang itu tanpa bergurau seperti itu, agaknya
ia masih akan sempat membantu Kim-mo Taisu yang terdesak hebat. Ketika
Gan-lopek sedang enak-enaknya membabati roboh dua belas orang tinggi besar itu
seperti orang membabat rumput saja, tiba-tiba ia merasa angin menyambar hebat
dan dahsyat dari belakangnya, didahului suara Kim-mo Taisu,
‘Gan-lopek, awas!!
Gan-lopek terkejut, cepat menggerakkan kedua tangan ke
belakang, menangkis dengan sepasang mouw-pitnya. Akan tetapi terdengar suara
keras, sepasang mouw-pitnya patah dan pundak kanannya kena hantam ujung cambuk
di tangan Ban-pi Lo-cia yang telah menyerang Gan-lopek ketika melihat Gan-lopek
merobohkan dua belas orang tukang jala.
‘Aduuhh...!! Gan-lopek roboh terguling dan terus ia
menggulingkan tubuhnya untuk menghindari serangan susulan. Sambil bergulingan
Gan-lopek muntahkan darah segar, tanda bahwa hantaman pada pundaknya tadi telah
mengakibatkan luka berat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi cambuk hitam
itu bagaikan tangan maut terus mengejarnya untuk memberi pukulan maut terakhir.
Melihat keadaan ini, Kim-mo Taisu berseru keras,
pedangnya bergerak menjadi sinar panjang ke depan, membuat para pengeroyoknya
kaget dan mundur. Kesempatan ini ia pergunakan untuk menggerakkan tubuhnya,
meloncat dan melayang ke arah Ban-pi Lo-cia sambil mengirim tusukan dengan
pedang ke arah punggung kakek raksasa itu.
Ban-pi Lo-cia tengah mendesak Gan-lopek yang bergulingan.
Mendengar angin serangan dari belakang, raksasa Khitan itu cepat membalikkan
tubuh sambil mengayun Lui-kong-pian, yaitu cambuk hitamnya yang ampuh itu.
Kim-mo Taisu sudah menduga akah hal ini, cepat menggerakkan kipasnya ketika
kakinya sudah turun di atas tanah sambil mengerahkan sin-kang, mencipta tenaga
melekat. Begitu bertemu kipas, cambuk Lui-kong-pian itu tak dapat terlepas dari
kipas dan pada saat itu pedang Kim-mo Taisu datang menusuk dada. Ban-pi Lo-cia
cepat mengerahkan tenaga Hek-see-ciang di tangan kirinya, menghantam ke arah
lambung Kim-mo Taisu tanpa mempedulikan tusukan pedang. Dalam keadaan berbahaya
itu, kakek raksasa ini agaknya ingin mengadu nyawa, mengajak mati bersama.
Namun Kim-mo Taisu tidak sudi menerima ajakan ini, pedangnya yang menusuk
otomatis bergerak membabat ke bawah.
‘Crakkk!!
Buntunglah lengan kiri Ban-pi Lo-cia sebatas bawah siku.
Darah menyemprot akan tetapi sedikitpun tidak terdengan keluhan Ban-pi Lo-cia,
bahkan kakek itu tertawa bergelak dan cambuknya yang kini sudah terlepas,
menyambar pula. Kim-mo Taisu melihat sambaran cambuk ditambah serangan dari
belakang tentu dari seorang di antara para pengeroyok, cepat merebahkan diri ke
bawah, bergulingan dan melihat kesempatan baik, ia meloncat ke atas dan
mengerjakan pedangnya yang tak dapat dielakkan lagi oleh Ban-pi Lo-cia yang
sudah terhuyung-huyung. Pedang menancap di perutnya yang gendut. Kim-mo Taisu
menyontek pedang keatas lalu meloncat sambil mencabut pedang. Ban-pi Lo-cia
makin keras tertawa bergelak, akan tetapi kini ia tertawa sambil memandang
ususnya yang keluar dari lubang besar di perut, dipegangnya usus itu dengan
kedua tangannya. Akan tetapi ia terhuyung lalu roboh berkelojotan.
Hasil menewaskan seorang musuh besar ini bukan didapat
dengan mudah begitu saja oleh Kim-mo Taisu. Tanpa pencurahan tenaga dan
perhatian yang menyeluruh dalam serangan ini, tidak mungkin ia akan mampu
merobohkan seorang sakti seperti Ban-pi Lo-cia. Dan karena pencurahan perhatian
yang menyeluruh inilah, maka Kim-mo Taisu menebus dengan pengorbanan dirinya.
Ketika Kim-mo Taisu bergulingan ke bawah tadi, dari belakang telah menyambar
serangan hebat yang datang dari pukulan tongkat Pouw-kai-ong. Dengan gerakan
berguling ia berhasil menghindarkan ancaman tongkat Pouw-kai-ong, bahkan
berhasil menusuk dan menewaskan Ban-pi Lo-cia. Namun selagi ia menusuk dan
menyontekkan pedangnya ke atas lalu dicabut dan siap meloncat mundur, tiba-tiba
datang pukulan yang hebat dari arah kiri sedangkan dari arah kanannya menyambar
tongkat Pouw-kai-ong, dari belakang juga ia ditusuk oleh tongkat di tangan Lauw
Kiat, murid Ban-pi Lo-cia yang marah sekali melihat suhunya tewas.
Pada saat itu, Kim-mo Taisu baru saja meloncat, kedudukan
kedua kakinya masih belum menginjak tanah dengan kuat. Terpaksa ia menggerakkan
tubuh miring sehingga ia dapat menangkis tongkat Lauw Kiat denga pedang dan
menyampok tongkat Pouw-kai-ong dengan kipas. Maksudnya hendak melanjutkan
tangkisan pedangnya itu terus ke kanan membabat pukulan yang anginnya dahsyat
dan membuntungkan lengan Kong Lo Sengjin. Namun terlambat. Kiranya Kong Lo
Sengjin tidak memukul ke arah yang tadi, melainkan mengirim pukulan jarak jauh
ke arah punggung. Kim-mo Taisu yang sedang menangkis dua tongkat itu tak sempat
lagi mengelak. Punggungnya terkena pukulan jarak jauh dan ia terguling! Sebagai
seorang ahli silat yang tinggi ilmunya, pukulan jarak jauh itu hanya mampu
membuat ia terguling saja. Cepat ia terus menggelinding sambil menggerakkan
pedang dan kipasnya menjaga diri. Akan tetapi ketika ia meloncat berdiri,
tubuhnya terhuyung-huyung dan ia merasa punggungnya sakit dan kaku!
Inilah hebatnya Kong Lo Sengjin dan ini pula yang
menyebabkan ia dahulu dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Kakek ini memiliki ilmu
pukulan tangan kosong yang ampuh. Orang-orang yang kepandaiannya rendah, sekali
terkena sambaran angin pukulannya akan roboh dan tewas seketika. Kim-mo Taisu
memang kuat dan bukanlah seorang lawan berilmu rendah. Akan tetapi tadi ia
sedang menangkis dan ternyata kakek lumpuh itu telah mengirim pukulan tepat
pada saat ia menangkis dan dengan tepat pula memilih bagian yang pada saat itu
‘kosong!.
Tadi Kim-mo Taisu menangkis dengan pengerahan tenaga
sin-kang karena maklum bahwa kedua tongkat itu digerakkan oleh dua lawan yang
lihai. Oleh karena inilah maka tentu saja tenaga sin-kangnya dipergunakan dan
disalurkan ke dalam kedua lengan sehingga bagian punggungnya yang amat kuat itu
menjadi kosong dan lemah.
Kim-mo Taisu terkejut, maklum bahwa ia telah menderita
luka berat. Ia memuntahkan darah hidup, akan tetapi segera dapat mengatur
pernapasan dan serangan berikutnya dari ketiga orang itu dapat ia hadapi lagi
dengan gerakan yang cukup kuat dan cepat. Memang hebat kekuatan Kim-mo Taisu,
kuat dan ulet berani dan pantang mundur.
‘Taisu, mari lari...!!
Dengan suara lemah Gan-lopek yang sudah terluka pun itu
mengajak. Gan-lopek terluka hebat oleh pukulan ujung cambuk Ban-pi Lo-cia, dan
tak mungkin kuat lagi menghadapi lawan-lawan yang tangguh itu, maka ia mengajak
Kim-mo Taisu melarikan diri. Ia melompat pergi dari tempat itu. Akan tetapi
Kim-mo Taisu tidak mau melarikan diri. Ia melawan terus dengan nekat sungguhpun
punggungnya terasa makin sakit.
Gan-lopek berlari pergi sambil menarik napas panjang.
Tentu saja ia tidak bisa nekat seperti Kim-mo Taisu. Dia adalah orang luar yang
tidak tahu-menahu tentang urusan mereka. Kalau tadi ia turun tangan membantu
Kim-mo Taisu adalah karena ia melihat dua belas orang Khitan itu hendak
menggunakan jala yang ia kenal dan tahu amat berbahaya itu. Pula ia memang
merasa simpati dan suka kepada Kim-mo Taisu yang namanya terkenal harum. Ia
sudah turun tangan menolong Kim-mo Taisu dengan jalan merobohkan dua belas
orang tukang jala. Dan ia pun baru saja tertolong oleh Kim-mo Taisu dari
ancaman maut di tangan Ban-pi Lo-cia. Sudah impas. Akan tetapi dia sudah
terluka dan tak mungkin nekat memberikan nyawanya tanpa sebab. Kim-mo Taisu
boleh nekat, mungkin mempunyai alasan yang kuat untuk tidak melarikan diri.
Memang wawasan Gan-lopek itu benar. Andaikata Kim-mo
Taisu tidak berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, agaknya ia pun akan melarikan
diri. Lawan juga menggunakan kecurangan dengan mengeroyok, maka melarikan diri
bukanlah hal yang memalukan. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Kong Lo
Sengjin. Semua perhitungan harus diselesaikan saat itu juga.
Pertandingan antara Kim-mo Taisu dikeroyok tiga orang
lawannya masih berjalan seru. Biarpun Kim-mo Taisu telah terluka berat, akan
tetapi pihak pengeroyok juga telah kehilangan Ban-pi Lo-cia. Kini Kim-mo Taisu
hanya dapat membatasi diri dengan bertahan karena kalau ia terlalu banyak
menghamburkan tenaga untuk menyerang, tentu keadaannya akan makin payah dan
berbahaya. Pada saat lawan menyerang saja ia mengandalkan kegesitannya mengelak
sambil balas menyerang dan dengan cara ini ia dapat menghemat tenaganya. Ia
sudah bertekad bahwa biarpun akhirnya ia kalah dan tewas, ia harus dapat
merobohkan Kong Lo Sengjin lebih dahulu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi Kim-mo Taisu itu,
tiba-tiba muncullah Bu Song dan sepasukan tentara. Melihat suhunya dikeroyok
dan keadaannya payah, Bu Song mengeluarkan suara melengking tinggi dan
mendahului pasukan itu meloncat ke depan. Munculnya Bu Song mengagetkan tiga
orang yang mengeroyok. Kim-mo Taisu seorang diri saja sudah cukup berat dan
sukar dirobohkan, apa lagi datang bala bantuan belasan orang banyaknya! Mereka
terdiri dari orang-orang yang licik dan curang, maka begitu melihat pihak mereka
terancam, tanpa dikomando lagi mereka lalu melompat pergi dan Luw Kiat yang
pergi lebih dulu menyambar jenazah gurunya.
Bu Song cepat menghampiri suhunya yang berdiri
terhuyung-huyung.
‘Suhu...!! tegurnya penuh khawatir.
Kim-mo Taisu menggeleng kepala.
‘Tidak apa-apa. Dari mana kau? Mengapa ke sini?!
‘Teecu baru saja datang. Dari kota raja mendengar akan
keberangkatan Suhu bersama barisan. Teecu menyusul dan hendak membantu. Di
lereng gunung barisan kita telah berhasil memukul mundur musuh dan kini sedang
mengadakan pengejaran. Phang-ciangkun yang melihat Suhu belum juga kembali,
menyuruh teecu menyusul ke sini dengan pasukan pengawal. Apakah Suhu terluka?!
Biarpun mukanya pucat dan punggungnya nyeri, Kim-mo Taisu
masih sanggup melakukan perjalanan cepat bersama muridnya, mendahului pasukan
turun dari puncak. Akan tetapi begitu tiba di perkemahan, pendekar ini kembali
muntahkan darah segar dan roboh pingsan. Bu Song menyambar tubuh suhunya,
memondongnya ke dalam perkemahan dan membaringkannya, lalu merawatnya.
Setelah siuman Kim-mo Taisu berkata,
‘Kong Lo Sengjin hebat sekali pukulannya. Akan tetapi
tidak cukup hebat untuk merenggut nyawaku. Bu Song, kau cepat ceritakan
pengalamanmu. Berhasilkah?!
Setelah bertanya demikian, Kim-mo Taisu lalu duduk
bersila dan mengatur napas.
Bu Song yang maklum bahwa suhunya perlu mengaso dan
memulihkan kesehatannya, segera menuturkan pengalamannya di Pek-coa-to dan
perjumpaannya dengan Bu Tek Lojin. Perjalanannya berhasil baik dan merupakan
berita menyenangkan, maka ia berani bercerita kepada suhunya.
Benar saja, biarpun matanya dipejamkan, wajah Kim-mo
Taisu berseri-seri mendengar penuturan muridnya. Ia masih mengatur napasnya,
panjang-panjang, menarik napas sehingga dadanya mekar dan perutnya mengempis,
ditahannya lama-lama baru dikeluarkan seenaknya. Begitu terus menerus. Kemudian
ia membuka kedua matanya, memandang muridnya.
‘Keluarkan suling itu ‘ katanya lirih.
Dengan hati bangga dan girang dapat menyenangkan hati
suhunya, Bu Song mengeluarkan suling emas dari balik jubahnya, menyerahkan
suling itu kepada suhunya. Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak memgang suling itu,
hanya memandang dan berkata,
‘Memang betul ini suling emas, hadiah Bu Kek Siansu
kepada sastrawan Ciu Bun. Apakah sudah kaupelajari cara meniupnya untuk
mengiringi sajak dalam kitab?!
‘Sudah, Suhu.!
‘Coba kau mainkan suling itu dalam gerakan Pat-sian
Kiam-hoat.!
Bu Song melangkah mundur, lalu menggerakkan suling
melakukan jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat. Baru tiga jurus suhunya sudah
berkata,
‘Cukup! Kau sungguh bernasib baik sekali, muridku.
Sekarang aku tidak khawatir lagi. Dengan bantuan Bu Tek Lojin, kau sudah
melampaui gurumu....!
‘Ah, mana bisa begitu, Suhu? Murid yang bodoh...!
Kim-mo Taisu tertawa dan bertanya memotong kata-kata
muridnya,
‘Coba ceritakan bagaimana keadaan perang ketika kau
tiba di sini.!
Ternyata ketika Bu Song tiba di medan perang yang terjadi
di sekitar Pegunungan Tai-hang-san, pasukan-pasukan Sung berhasil menguasai
keadaan dan memberi hajaran kepada pasukan-pasukan Khitan yang jumlahnya jauh
kalah banyak. Girang hati Bu Song melihat keadaan ini dan di sepanjang jalan,
sambil bertanya-tanya kepada para perajurit tentang suhunya, Kim-mo Taisu, ia
membuka jalan darah dan merobohkan setiap musuh yang hendak menghalangi
jalannya. Akhirnya ia tiba di perkemahan besar itu dan pada saat itu, sedang
terjadi penyerbuan hebat di perkemahan. Keadaan kacau balau dan perang terjadi
dengan hebatnya. Keadaan para panglima terancam karena pihak musuh muncul
seorang yang luar biasa sekali. Orang itu pakaiannya seba hitam, mukanya
tertutup kedok tengkorak mengerikan, senjatanya sebuah sabit dan sepak-terjangnya
pun menyeramkan. Gerakannya cepat dan tenaganya mujijat sehingga setiap orang
perajurit yang berani menentangnya tentu roboh dengan tubuh terpotong menjadi
dua! Akan tetapi, para perajurit pengawal itu adalah perajurit-perajurit
pilihan yang tidak takut mati. Untuk menyelamatkan para komandannya dari
ancaman manusia iblis ini, puluhan orang perajurit mengurung iblis itu. Biarpun
banyak sekali perajurit yang roboh malang melintang dan tewas di tangan manusia
iblis ini, namun Sang Manusia Iblis tidak mampu menerobos ke dalam tenda besar
untuk membunuh empat orang panglima.
Pada saat itulah Bu Song tiba di tempat itu. Melihat
keadaan ini, ia menjadi marah dan sekali melompat, ia telah melompati pagar
manusia yang mengeroyok manusia iblis, tiba di depan iblis itu lalu menerjang
dengan suling emasnya yang ia tahu adalah senjata yang ampuh sekali. Si Manusia
Iblis itu tadi mengaku berjuluk Hek-giam-lo (Maut Hitam), kini berseru kaget
karena hampir saja lehernya kena hantaman suling yang mengeluarkan sinar
kuning. Ia cepat mengayun sabitnya yang tajam, ke arah pinggang Bu Song, akan
tetapi dengan mudah Bu Song menangkis dengan sulingnya. Terdengar suara nyaring
dan bunga api berpijar menyilaukan mata ketika kedua senjata itu bertemu. Akan
tetapi Hek-giam-lo memekik kesakitan, hampir saja sabitnya terlepas dari
pegangan
Melihat betapa orang muda di depannya ini luar biasa
kepandaiannya, Hek-giam-lo merasa khawatir, apalagi para perajurit pengawal
yang nekat dan gagah berani itu masih mengepung. Ia mengeluarkan pekik aneh dan
tubuhnya mencelat jauh, sabitnya diputar sehingga para pengawal terpaksa
mundur. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-giam-lo untuk melarikan diri!
Setelah Hek-giam-lo lari, penyerbuan itu dengan mudah dan
cepat dapat dibasmi habis. Selebihnya melarikan diri ke empat penjuru mencari
selamat memasuki hutan-hutan di lereng gunung.
‘Demikianlah, Suhu. Karena musuh telah dapat diusir
mundur, para ciangkun memimpin barisan melakukan pengejaran ke utara dan teecu
disuruh menyusul Suhu bersama sepasukan pengawal tadi,! Bu Song mengakhiri
ceritanya.
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk, senang hatinya. Kemudian
ia lalu mengerutkan keningnya lalu bertanya,
‘Kau bilang tadi bahwa sastrawan tua Ciu Bun dan kakek
sakti Bu Tek Lojin bersikap aneh sekali setelah mendengar perpaduan suara
antara sajak dalam kitab dan suara suling? Coba jelaskan lagi, karena hal itu
amat menarik.!
Bu Song mengulang ceritanya tentang sikap Ciu Bun yang
aneh setelah mendengar sajak terakhir dan iringan suara suling, kemudian betapa
Bu Tek Lojin bersikap lebih aneh lagi. Dengan penuh perhatian Kim-mo Taisu
mendengarkan, kemudian tiba-tiba ia berkata,
‘Bagaimana bunyi sajak terakhir itu ?!
Bu Song lalu membaca sajak dengan suara bernada tinggi
rendah, jelas dan berirama. Gurunya mendengarkan dan sekali saja mendengar,
sebagai seorang sastrawan, Kim-mo Taisu sudah hafal. Ia menarik napas panjang
dan berkata,
‘Sajak yang baik dan mengandung kebenaran mutlak, namun
terlalu tinggi untuk otak dan terlalu dalam untuk diselami pengertian. Hanya
dapat diterima oleh rasa dan getaran. Akan kunyanyikan, coba kau iringi dengan
tiupan suling, Bu Song muridku!!
Tiba-tiba Kim-mo Taisu yang tadinya menanggung nyeri di
punggungnya tampak bergembira dan wajahnya berseri. Diam-diam Bu Song merasa
khawatir. Dua orang tokoh golongan sastera dan silat bersikap aneh sekali
mendengar perpaduan itu. Jangan-jangan suhunya juga akan bersikap aneh seperti
mereka! Maka ia menjadi ragu-ragu. Siapa tahu perpaduan suara itu mengandung
sesuatu yang mujijat dan jahat!
‘Jangan kau khawatir, Bu Song. Ciu Bun kegirangan
seperti gila karena ia memang mencari dan mengharapkan sesuatu sehingga ketika
mendapatkannya ia menjadi girang luar biasa. Bu Tek Lojin terlalu banyak
melakukan hal-hal yang membuat ia merasa menyesal, mungkin karena sesalnya ia
bersikap sedih seperti orang gila pula. Aku tidak mengharapkan sesuatu, juga
tidak menyesalkan sesuatu, maka tidak akan apa-apa kecuali mendapatkan
penjernihan batin.
‘Mulailah!!
Setelah berkata demikian, sambil duduk bersila dengan
tulang punggung lurus, Kim-mo Taisu bernyanyi seperti Bu Song tadi, suaranya
merdu dan nyaring.
‘ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!!
Sampai tiga kali Kim-mo Taisu mengulang nyanyian ini,
diiringi suara suling Bu Song yang merayu-rayu. Kemudian ia diam dan keadaan
menjadi sunyi, sunyi hening dan gaib. Kim-mo Taisu memejamkan matanya. Dua
butir air mata menempel di atas pipi. Napasnya tenang dan wajahnya tersenyum,
seperti orang yang merasa puas dan lega. Tadinya Bu Song kaget melihat dua
butir air mata, akan tetapi hatinya lega melihat wajah yang tenang tenteram
itu.
‘Bu Song, dengarlah baik-baik,!
Katanya, suaranya lirih sehingga Bu Song mendekat dan
duduk bersila di atas lantai, di bawah gurunya.
‘Ada muncul dari tiada, akan tetapi tiada itu sendiri
adalah suatu keadaan, karenanya, tiada juga muncul dari ada. Maka jangan salah
duga, muridku, dan jangan salah laku. Mencari sesuatu dalam arti kata
mengejar-ngejar, berarti mencari kekosongan. Segala sesuatu tercipta atau
terjadi karena dua kekuatan Im dan Yang di alam semesta ini, yang saling tolak,
saling tarik, saling isi-mengisi. Segala sesuatu yang ada dan yang tidak ada
dalam pengertian manusia, terjadi oleh Im Yang ini, kemudian segala sesuatu di
alam semesta ini saling berkait, saling mempengaruhi sehingga tidak mungkin
lagi dipisah-pisahkan. Tidak ada yang paling penting dan tidak ada yang paling
tidak penting, tidak ada yang paling tinggi ataupun paling rendah. Semua itu
tali-temali dan kait-mengkait, seperti hukum Ngo-heng (Lima Anasir), Kayu, Api,
Tanah, Logam, Air, saling mempengaruhi, saling membasmi juga saling
menghidupkan, karenanya berputar dan terus berputar merupakan bibir mangkok.
Tidak ada ujungnya dan tidak ada pangkalnya, tiada awal tiada akhir, sekali
saja terganggu akan menjadi rusak sebentar dan mengakibatkan kekacauan,
menjatuhkan korban, baru dapat pulih kembali, kait-mengait, berputar-putar.
Semua sudah sewajarnya dan sudah semestinya begitu, jadi tidak perlu dianehkan
atau diherankan lagi. Semua itu kosong, lahirmu, hidupmu, sepak terjangmu,
susahmu, senangmu, matimu. Semua itu kosong dan hampa belaka karena memang
sudah semestinya begitu, sudah wajar, sehingga pengorbanan perasaan dan pikiran
itu sia-sia dan kosong belaka. Karena sesungguhnya yang disusah-senangi,
ditawa-tangisi manusia, itu bukan apa-apa. Kosong hampa dan sesungguhnya tidak
ada apa-apa! Mengertikah engkau, Bu Song?!
Dengan terus terang Bu Song menjawab,
‘Terlalu dalam untuk teecu, Suhu. Teecu kurang
mengerti.!
Kim-mo Taisu tersenyum dan membuka matanya. Sepasang
matanya memancarkan sinar aneh dan tajam sekali, bening dan penuh pengertian.
‘Tidak aneh, Bu Song. Memang kau masih terlalu muda
untuk mudah menangkap semua itu, sungguhpun engkau sudah banyak dijadikan
permainan perasaan dan jasmanimu sendiri. Nah, contohnya begini. Seorang ibu
kematian anaknya yang terkasih. Apakah yang aneh dalam peristiwa ini? Tidak
aneh. Anak itu terlahir, tentu saja bisa mati karena sakit atau karena sebab
lain. Jadi tidak aneh, dan sewajarnyalah kalau seseorang yang dilahirkan itu
akan mati, cepat atau lambat. Kuulangi lagi. Seorang ibu kematian anaknya yang
terkasih. Peristiwa wajar, bukan? Kejadian itu wajar, semestinya, tidak ada
sifat suka maupun duka. Sang ibu berduka, menangis dan tersiksa hatinya, merana
dan merasa sengsara. Inilah yang tidak wajar!!
Bu Song kaget, terheran, jelas membayang di wajahnya.
‘Mengapa kukatakan tidak wajar? Memang, karena semua
ibu bersikap demikian, bagi umum hal ini adalah wajar. Namun bagi hukum alam
tidaklah wajar karena tidak ada kaitannya sama sekali antara dua peristiwa itu.
Disusah-senangi, atau ditawa-tangisi, peristiwa kematian itu tidaklah berubah
karena tidak ada pertaliannya! Sang ibu berduka sampai jatuh sakit
paru-parunya. Nah, ini wajar, karena duka itu ada hubungannya dengan paru-paru,
keduanya termasuk kekuasaan Im. Karena hukum kait-mengait, tali-temali inilah
maka timbul bermacam peristiwa di dunia ini, semua wajar dan semestinya. Yang
tidak semestinya, yang tidak wajar, mendatangkan kekacauan dan karenanya
menimbulkan hal-hal lain sehingga meluas sampai menimbulkan perang, menjadikan
wabah penyakit, menimbulkan bencana alam dan lain-lain karena perputarannya
tidak selaras. Maka, kalau semua manusia dapat menempatkan diri masing-masing
selaras dengan kehendak alam, kalau manusia dapat menyesuaikan diri dengan
segala apa yang dihadapinya, menyesuaikan diri dengan segala apa yang
diperbuatnya, dengan kehendak alam, maka kekuatan Im dan Yang akan berimbang,
perputaran Ngo-heng akan sempurna, dunia akan tenteram dan aman.!
Sampai lama keadaan menjadi hening. Akhirnya Bu Song
berkata,
‘Maafkan teecu, Suhu. Teecu yang masih bodoh hanya
dapat menangkap secara samar-samar saja. Namun, menurut pendapat teecu, justeru
menyesuaikan diri dengan kehendak alam itulah yang hanya mudah dibayangkan
sukar dilaksanakan. Manusia sudah terlanjur menganggap wajar dan benar akan
sesuatu yang sudah dilakukan dan dibenarkan banyak orang, sudah menjadi
kebiasaan umum! Daun telinga wanita menurut kehendak alam tidak ada lubangnya,
akan tetapi oleh manusia dilubangi untuk tempat perhiasan telinga. Ini sudah
wajar dan benar menurut pendapat umum sehingga kalau ada wanita yang daun
telinganya tidak dilubangi, dia ditertawai dan dianggap menyeleweng dari
kebenaran umum. Pula, manusia terikat oleh wajib, terikat oleh hal-hal yang
menyangkut kemanusiaan. Betapa dapat melepaskan diri daripada kemanusiaan,
Suhu? Manusia dikurniai akal budi untuk dipergunakan. Maaf kalau kata-kata
teecu keliru.!
‘Tidak, kau tidak keliru. Memang semua ucapanku tadi
hanya dapat diterima oleh getaran perasaan. Memang manusia mempunyai wajib,
yaitu wajib ikhtiar. Dan kau memang betul bahwa sukar bagi kita untuk
melepaskan diri daripada kemanusiaan. Kalau tidak, tentu kita akan dicap
sebagai seorang gila karena menyeleweng daripada kebiasaan umum. Kurasa
cukuplah Bu Song, kelak kau akan mengerti sendiri. Kalau kau sudah hafal akan
isi kitab itu, kau pelajari dan selami baik-baik. Nah, tinggalkan aku, aku
hendak mengaso dan memulihkan tenagaku.!
Bu Song keluar dari tenda suhunya. Di luar sunyi karena
barisan sudah meninggalkan tempat itu. Hanya belasan orang pengawal tadi masih
berjaga di situ, di depan satu-satunya tenda yang sengaja ditinggalkan untuk
Kim-mo Taisu. Bu Song lalu menyuruh belasan orang pengawal itu menyusul barisan
mereka, melapor kepada Phang-ciangkun bahwa Kim-mo Taisu selamat dan kini
sedang beristirahat di situ, Enam belas orang pengawal itu memberi hormat lalu
meninggalkan lereng untuk menyusul induk pasukan dan bergabung dengan
teman-temannya. Kemudian Bu Song mengaso pula, dibagian belakang tenda.
Lewat tengah hari, Bu Song mendengar suara ribut-ribut di
depan tenda. Baru saja ia tadi hening dalam samadhinya sehingga ia tidak
memperhatikan apa yang terjadi disekitarnya. Karena terganggu samadhinya, Bu
Song melompat bangun dan lari ke depan. Kiranya suhunya sudah berdiri di depan
tenda dan berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, Pouw-kai-ong, Luw Kiat dan
Hek-giam-lo si manusia berkedok tengkorak seperti iblis!
‘Hemm, Kong Lo Sengjin! Kau merasa penasaran melihat
aku masih hidup dan datang lagi hendak melihat aku mati? Baik, kau majulah dan
mari kita selesaikan urusan kita agar lekas beres!!
Kim-mo Taisu sudah siap dengan sikap tenang sekali,
bahkan pedang di punggung dan kipas di pinggang belum ia ambil. Sikap yang
penuh ketenangan dan suara yang sama sekali tidak mengandung nada permusuhan
itu agaknya membuat empat orang itu terpukul hati nuraninya.
‘Kwee Seng! Kau selalu membawa maumu sendiri, tidak mau
menurut kehendakku. Karena itu engkau harus mati, kalau tidak tentu kau hanya
akan merintangi usaha kami!! kata Kong Lo Sengjin.
‘Kau harus menebus kematian Suhu!! bentak Lauw Kiat
sambil menggerakkan tongkatnya.
‘Ha-ha, Kim-mo Taisu. Ingatkah akan penghinaan-penghinaanmu
belasan tahun yang lalu? Sekarang harus kau tebus!! kata Pouw-kai-ong. Hanya
Hek-giam-lo yang diam saja, dan diam-diam Kim-mo Taisu menduga-duga siapa
gerangan orang yang bersembunyi di balik kedok tengkorak ini.
Kim-mo Taisu menarik napas panjang.
‘Menang atau kalah, hidup atau mati, sama saja. Yang
penting adalah berdiri di atas kebenaran! Kalau kalian merasa penasaran,
majulah!!
Pada saat itu Bu Song sudah tidak sabar lagi. Ia melompat
keluar dan membentak,
‘Manusia-manusia berhati keji dan curang! Setelah
memiliki ilmu kepandaian tinggi, mengapa masih belum dapat membuang sifat
pengecut dan curang? Suhu sedang terluka, hal ini kalian semua tahu. Akan
tetapi kalian datang berempat untuk mengeroyoknya. Di mana keadilan dan kegagahan
kalian?!
‘Bu Song, kau mundurlah dan lihat saja. Jangan
mencampuri dan melibatkan dirimu dengan urusan kotor ini. Bu Song, jangan
kautiru gurumu yang menanamkan pohon kebencian sehingga menghasilkan buah-buah
dendam dan permusuhan.!
Suara Kim-mo Taisu tenang dan sabar, namun mengandung
wibawa sehingga Bu Song terpaksa mundur lagi. Dada pemuda ini panas dan penuh
amarah, namun ditekan-tekannya dan ia hanya dapat memandang dengan hati was-was
dan penasaran. Muak ia melihat sikap musuh-musuh gurunya itu yang sama sekali
tidak mengindahkan aturan dunia kang-ouw. Orang yang sudah menamakan dirinya
pendekar, pantang melawan orang sakit, apalagi mengeroyoknya! Dan empat orang
itu, melihat tingkat ilmunya, sudah menempati tingkat lebih tinggi daripada pendekar-pendekar
silat biasa. Sungguh menjemukan dan menyakitkan hati, menimbulkan rasa
penasaran.
Di antara empat orang itu, agaknya hanya Lauw Kiat
seorang yang masih memiliki harga diri. Lauw Kiat murid kedua Ban-pi Lo-cia ini
adalah seorang Khitan peranakan. Ibunya seorang Khitan, ayahnya seorang Han
yang bernama keturunan Lauw. Akan tetapi karena sejak kecil ayahnya telah
meninggal dunia dan ia ikut ibunya di Khitan, maka ia berjiwa orang Khitan. Ia
selain berkepandaian tinggi, juga terkenal sebagi seorang gagah perkasa di
Khitan, yang biarpun tidak mengikatkan diri dalam ketentaraan, namun ia setia
kepada rajanya dan selalu membantu gerakan bala tentara Khitan. Ia menghargai
kegagahan, dan mengenal tata cara, aturan dan sopan santun pendekar dunia persilatan.
Mendengar teguran Bu Song tadi, merah seluruh muka Lauw
Kiat. Ditegur tentang aturan oleh seorang pemuda, benar-benar amat memalukan.
Maka ia lalu menerjang maju sambil berseru,
‘Kim-mo Taisu, aku membela kematian Suhu Ban-pi Lo-cia!
Lihat seranganku!!
Hebat juga serbuan Lauw Kiat ini, karena tongkatnya yang
baru, berat dan terbuat daripada baja, menyambar ganas dan mendatangkan angin
pukulan yang amat kuat.
Kim-mo Taisu yang sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya
dan masih belum sembuh, tidak mau menghamburkan tenaga dan ingin menyelesaikan
pertandingan itu secara secepat mungkin. Maka ia tidak mengelak menghadapi
sambaran tongkat baja itu, namun secepat kilat kipas dan pedangnya sudah berada
di kedua tangan. Kipas di tangan kirinya menahan tongkat yang menjadi lekat
pada kipas, kemudian bagaikan halilintar menyambar pedangnya sudah membabat ke
arah leher Lauw Kiat. Tokoh Khitan ini kaget bukan main. Berusaha keras
membetot tongkatnya sambil merendahkan tubuh untuk menghindarkan sabetan
pedang. Akan tetapi sungguh tak disangkanya bahwa pedang itu sama sekali tidak
menyabet leher seperti tampaknya, melainkan membabat kaki. Kasihan sekali Lauw
Kiat yang tidak sempat menghindarkan serangan luar biasa ini. Terdengar ia
mengeluh dan robohlah tokoh ini dengan kedua kakinya buntung. Darah bercucuran
dari kedua lutut yang sudah buntung itu, akan tetapi Lauw Kiat sudah pingsan,
tidak merasai nyeri lagi.
Kim-mo Taisu mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya
dan tahu-tahu ia sudah berlutut di dekat tubuh Lauw Kiat, menotok jalan darah
di paha untuk menghentikan darah yang mengalir keluar, kemudian mengeluarkan
obat bubuk untuk mengobati luka agar melenyapkan rasa nyeri. Akan tetapi
tiba-tiba Bu Song berseru,
‘Suhu, awas!!
Seruan peringatan Bu Song ini tidak ada gunanya karena
tentu saja pendekar sakti itu sudah tahu bahwa dia diserang hebat oleh Kong Lo
Sengjin, Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong secara berbareng, pada saat ia masih
berlutut dan hendak mengobati luka kedua kaki Pak-sin tung! Cepat Kim-mo Taisu
menggerakkan tubuh melesat pergi dari situ sambil membawa pedang dan kipasnya.
Obat bubuk tadi ia sebarkan, merupakan senjata rahasia mengarah mata ketiga
orang pengeroyoknya yang terpaksa melompat mundur, karena tahu bahwa jika obat
bubuk itu memasuki mata, akan celakalah mereka, mata menjadi pedih dan tak
dapat dibuka dan tentu saja akan berbahaya bagi mereka.
Dalam detik-detik selanjutnya terjadilah pertandingan mati-matian
yang amat cepat. Kalau tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian yang tinggi sudah
mengeluarkan jurus-jurus simpanannya, pertandingan silat berubah menjadi adu
nyawa yang cepat dan menyeramkan. Setiap gerak merupakan serangan maut. Cepat
dan kuat, sukar diikuti pandangan mata, seakan-akan mereka sudah bergulat
menjadi satu. Tiba-tiba terdengar suara keras, dan empat buah senjata runtuh
dan rusak. Tongkat Pouw-kai-ong patah menjadi dua ketika bertemu secara hebat
dengan kipas di tangan kiri Kim-mo Taisu yang juga robek tengahnya dan patah
gagangnya. Senjata sabit di tangan Hek-giam-lo yang mengerikan itu juga patah
menjadi tiga bertemu dengan pedang Kim-mo Taisu yang juga patah menjadi dua.
Terdengar mereka mengeluarkan teriakan-teriakan kaget dibarengi dengan lengking
tinggi yang keluar dari mulut Kim-mo Taisu dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah
beradu telapak tangan dengan Kong Lo Sengjin. Keduanya berhadapan, Kim-mo Taisu
agak merendahkan tubuh dengan lutut ditekuk, kedua lengan diluruskan kedepan,
kedua telapak tangan beradu dengan telapak tangan Kong Lo Sengjin yang
‘berdiri! di kedua tongkatnya. Mereka mengerahkan sin-kang dan mengadu tenaga
dalam secara mati-matian!
Pouw-kai-ong cepat menempelkan telapak tangan kanan ke
punggung Kong Lo Sengjin sebelah kanan, dan Hek-giam-lo juga meniru perbuatan
Raja Pengemis itu, menempelkan telapak tangan kiri ke punggung kakek lumpuh
yang sebelah kiri. Mereka berdua sebagai ahli-ahli tingkat tinggi maklum bahwa
dalam keadaan mengadu tenaga seperti itu, kalau mereka menyerang Kim-mo Taisu
dengan pukulan, yang berbahaya adalah Kong Lo Senjin sendiri. Pukulan yang
mengenai tubuh Kim-mo Taisu dapat ‘ditarik! dan ‘disalurkan! oleh lawan
kepada Kong Lo Sengjin sehingga sama artinya dengan memukul kawan sendiri meminjam
tangan lawan! Satu-satunya cara terbaik untuk membantu adalah seperti yang
mereka lakukan. Tenaga sin-kang mereka tersalur dan membantu Kong Lo Sengjin
menekan lawan.
Hebat akibatnya. Tadinya menghadapi Kong Lo Sengjin yang
sudah tua, Kim-mo Taisu masih menang tenaga. Kalau dilanjutkan, beberapa menit
lagi tentu ia akan sanggup merobohkan kakek itu. Akan tetapi setelah dua orang
lawannya yang lain datang mengeroyoknya, bukan main hebatnya tenaga yang
tersalur melalui dua telapak tangan Kong Lo Sengjin, Kim-mo Taisu berusaha
menahan, namun ia tidak kuat, apalagi karena di sebelah dalam dadanya masih
terluka cukup berat. Betapapun juga, pendekar yang gagah perkasa ini sama
sekali tidak mengeluh, dan sama sekali tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap
mengarahkan sin-kangnya dan mempertahankan diri sehingga wajahnya pucat,
matanya berkilat dan dari kedua ujung bibirnya menetes darah segar!
Melihat keadaan gurunya sedemikian rupa itu, Bu Song tak
dapat tinggal diam lagi. Biarpun suhunya tadi sudah memesan agar ia tidak turut
campur, namun bagaimana ia dapat berpeluk tangan melihat suhunya terancam
kematian oleh tiga orang lawan itu?
‘Maaf, Suhu. Terpaksa teecu harus turun tangan!!
Ia membentak dan segera melompat maju. Seperti juga
Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong, Bu Song mengerti bahwa untuk membantu suhunya
yang sedang mengadu tenaga dalam itu, sama sekali ia tidak boleh menggunakan
Iwee-kang memukul para lawan suhunya karena hal ini amat membahayakan suhunya
sendiri. Maka ia lalu menggerakkan kedua tangannya, keduanya dengan jari-jari
terbuka, yang kanan menusuk ke arah mata Pouw-kai-ong sedangkan yang kiri
merenggut kedok hek-giam-lo. Perhitungan Bu Song tepat, Pouw-kai-ong yang ia
serang matanya, dan tidak dapat mengelak mau tak mau harus melayaninya dengan
tangkisan, yang berarti menarik tenaganya membantu Kong Lo Seng-jin, sedangkan
Hek-giam-lo yang selalu mengenakan kedok, tentu merupakan pantangan paling
besar baginya untuk dibuka kedoknya dan pasti akan melayaninya. Kalau dia
menggunakan suling, tentu hasilnya lebih baik. Namun betapapun juga, Bu Song
tak sampai hati dan merasa malu harus menyerang dua orang yang tak bersiap itu
dengan senjata!
Pouw-kai-ong dan Hek-giam-lo yang melihat bahayanya
serangan, cepat menangkis sambil melompat mundur, melepaskan bantuan mereka
pada Kong Lo Seng-jin. Bu Song kini baru mau menggunakan sulingnya dan sekali
sulingnya bergerak, terdengar suara melengking tinggi dan sinar suling itu
membawa hawa pukulan dahsyat. Bukan main kagetnya Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong karena
mereka maklum bahwa tenaga dan kepandaian orang muda itu hebat bukan main,
jelas tampak dari gerakan serangan itu. Sedangkan mereka berdua sudah tidak
bersenjata lagi, yang tadi patah dan rusak sampyuh (sama-sama rusak) dengan
senjata-senjata Kim-mo Taisu. Maka mereka hanya mengandalkan gerakan mereka
yang cepat untuk mengelak dan mundur-mundur!
Sementara itu, Kim-mo Taisu yang sudah terluka hebat di
sebelah dalam tubuhnya, ketika melihat di sebelah dalam tubuhnya, ketika
melihat betapa Kong Lo Sengjin ditinggalkan kedua orang pembantunya, cepat
mengerahkan tenaga terakhir dan mendorong sekuatnya. Kong Lo Sengjin mengeluh
dan tubuhnya terlempar sampai enam tujuh meter ke belakang, seperti daun kering
tertiup angin, lalu roboh terbanting. Ketika ia bangkit berdiri di atas kedua
tongkatnya, wajahnya pucat sekali, matanya seperti tidak bersinar lagi, dan
tanpa berkata apa-apa kakek ini melangkah pergi sempoyongan seperti orang
mabok.
‘Bu Song, mundur!!!
Kim-mo Taisu berseru. Bu Song girang mendengar suara
suhunya dan ia mencelat mundur di samping suhunya, siap membela orang tua ini.
Kim-mo Taisu lalu memandang dua orang musuh itu sambil berkata, suaranya penuh
wibawa,
‘Apakah kalian masih hendak melanjutkan pertandingan?!
Dua orang itu, Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong, tentu saja
menjadi jerih hati mereka. Tanpa berkata apa-apa, Hek-giam-lo mengempit tubuh
Lauw Kiat dan melompat pergi dari situ bersama Pouw-kai-ong yang juga pergi
mengambil jurusan lain. Kedua tokoh ini memang telah dapat dibujuk oleh Kong Lo
Sengjin untuk membantunya, bersama Ban-pi Lo-cia, dengan janji-janji muluk
seperti biasa. Kini melihat betapa Kong Lo Sengjin sendiri telah dikalahkan
Kim-mo Taisu dan pergi meninggalkan gelanggang tanpa mempedulikan mereka, tentu
saja mereka pun tiada nafsu lagi untuk menandingi Kim-mo Taisu yang demikian
saktinya.
Setelah semua musuh pergi, Kim-mo Taisu terhuyung-huyung
dan tentu roboh kalau saja tidak segera dipeluk oleh Bu Song.
‘Bagaimana, Suhu? Hebatkah lukamu...?!
Kim-mo Taisu menggeleng kepala, menarik napas dalam lalu
berdiri lagi, dibantu oleh Bu Song.
‘Lukaku hebat memang, dan berat, Akan tetapi tidak apa,
sudah semestinya terjadi dalam pertandingan, tidak
seberat luka Kong Lo Sengjin. Akan tetapi hatiku terasa pedih dan sakit. Bu
Song, kau lihatlah baik-baik di sekelilingmu... kau lihatlah mayat-mayat
itu...!
Tentu saja sejak tadi Bu Song sudah melihatnya. Ratusan,
mungkin ribuan mayat berserakan di sekitar lereng bukit, mayat-mayat tentara
Sung dan Khitan yang belum sempat diurus orang karena perang masih terus
terjadi, kejar-mengejar. Pemandangan itu amat mengerikan, juga menyedihkan.
‘Bu Song, kau berlututlah!!
Tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata. Bu Song terkejut, juga
merasa heran, akan tetapi ia tidak membantah, lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan suhunya.
‘Bersumpahlah bahwa kau menaati pesanku yang terakhir
ini!!
Bu Song menekan perasaannya yang diselimuti kedukaan
karena ia maklum akan keadaan suhunya.
‘Teecu bersumpah demi Thian Yang Maha Kuasa akan
menaati pesan Suhu.!
‘Kau hanya boleh mempergunakan kepandaian silat yang
kau miliki untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, untuk menentang yang jahat
dan untuk menolong yang lemah tertindas, di samping penggunaan untuk membela
diri. Kalau kau mempergunakan ilmu silatmu untuk menyombongkan kepandaian,
untuk menanam permusuhan, dan untuk melampiaskan nafsu mencari kemenangan,
kau...kau akan terkutuk..!!
‘Teecu akan mentaati pesan Suhu ini !! jawab Bu Song,
suaranya tegas karena keluar dari hati yang jujur. Tanpa pesan suhunya, memang
ia pun berpendirian seperti yang diinginkan suhunya itu.
‘Jangan kau mendendam kepada siapa juga dan untuk dapat
melakukan hal ini, kau harus mematikan rasa benci terhadap siapapun juga.
Hati-hatilah terhadap wanita, Bu Song. Sesungguhnya, hidup gurumu selama ini
jatuh bangun hanya karena wanita, karena kelemahan hatiku terhadap wanita.
Jangan mudah menjatuhkan cinta, karena bagi penghidupanku selama ini, cinta
itulah yang merupakan pangkal segala derita. Leburkan rasa cintamu menjadi
kasih sayang yang merata terhadap semua manusia, dan hidupmu akan penuh
bahagia.!
Kembali Kim-mo Taisu berhenti dan napasnya terengah-engah.
Ia menekan dadanya dan wajahnya menjadi pucat sekali. Bu Song cepat bangun dan
memeluk suhunya.
‘Mari kita masuk ke dalam kemah dan beristirahat,
Suhu.!
Kim-mo Taisu tidak membantah diajak masuk dan dibaringkan
di dalam, akan tetapi ia masih sempat memberi pesan teakhir,
‘Sewaktu-waktu.. pada hari pertama musim semi...
datangilah puncak Thai-san. Siapa tahu kau berjodoh dengan... Bu Kek Siansu..!
Kata-katanya terhenti karena Kim-mo Taisu lalu muntahkan
darah segar. Bu Song terkejut dan cepat menolong. Dengan cepat tanpa ragu-ragu
ia menotok beberapa jalan darah di leher dan dada suhunya seperti yang pernah
ia pelajari dari suhunya, kemudian ia mengulur tangan, meletakkan telapak
tangannya di dada suhunya sambil mengerahkan tenaga.