Pek Thong dongak mengawasi langit, ia berdiam. Menampak demikian, tak
tenang hatinya Kwee Ceng, ia khawatir ia nanti salah bicara dan
menyinggung kakak yang aneh tabiatnya itu. Pek Thong menghela napas.
"Mengapa kau dapat memikir demikian?" tanyanya kemudian.
Adik angkat itu menggeleng kepala. "Aku sendiri tidak tahu," jawabnya.
"Aku hanya memikir, setelah kitab itu mencelakai banyak orang, walaupun
benar-benar mustika adanya sudah seharusnya dimusnahkan saja."
"Kau benar, alasanmu pun sederhana sekali," bilang Pek Thong, "Cumalah
aku itu waktu tidak dapat memikirkannya. Dulu hari suko pernah
membilangi aku bahwa aku berbakat baik dan ulet, tetapi aku pun terlalu
kukuh. Di sebelah itu katanya aku kekurangan sifat welas asih, kurang
kedermawaan, maka itu, bagaimana pun aku rajin, aku tidak bakal
menyampaikan puncak kemahiran. Ketika itu aku tidak percaya suko, aku
pikir apa sangkutannya pelajaran silat sama sifat prikemanusiaan? Hanya
sekarang, adikku, setelah berselang belasan tahun, barulah aku
mempercayainya. Adikku, dalam ilmu silat kau kalah dengan aku, tetapi
dalam hal kejujuran, hati lapang, kau menang dari pada aku, maka itu di
belakang hari, kau akan memperoleh hasil sepuluh lipat lebih banyak!
Sayang suko sudah menutup mata, kalau tidak, pelajaran suko semua bisa
diwariskan kepadamu. Suko, oh, suko, kau benar…."
Mengingat kebaikan kakak seperguruannya itu, tiba-tiba Pek Thong
menangis sedih sekali. Ia mendekam di batu. Kwee Ceng menjadi terharu.
Setelah menangis serintasan, Pek Thong angkat kepalanya. "Ah, ceritaku
belum berakhir," katanya. "Nanti habis bercerita, aku boleh menangis
pula. Ya, kita sudah bercerita sampai di mana? Kenapa kau tidak
membujuki aku supaya aku jangan menangis?"
Aneh benar kakak angkat ini, Kwee Ceng tertawa. "Koko bercerita sampai
Ong Cinjin menyembunyikan kitab di bawah batu," katanya. Pek Thong
menepuk pahanya.
"Benar!" ia berseru. "Setelah ia menaruh kitab di bawah batu itu, aku
minta suko memperlihatkan kitab itu padaku. Kau tahu, suko marah
terhadap aku! Maka semenjak itu, aku tidak menyebut-nyebutnya pula.
Benar saja, setelah itu dunia Rimba Persilatan menjadi tenang tentram.
Adalah kemudian, setelah suko menutup mata, atau lebih benar di saat ia
hendak meninggal dunia, telah timbul pula gelombang.
Keras suaranya Pek Thong ketika ia mengucapkan kata-katanya itu, Kwee
Ceng menjadi ketarik hatinya, karena ia percaya gelombang itu pastilah
bukan gelombang kecil. Ia lantas memasang kuping.
"Suko tahu saatnya sudah tiba, sesudah lantas mengurus segala apa
mengenai partainya dan meninggalkan pesannya, ia suruh aku mengambil
kitab Kiu Im Cin-keng itu," Pek thong melanjuti ceritanya. "Ia pun
menitahkan menyalakan api di perapian, ia niat membakar itu. Selagi
menantikan api marong, ia pegangi kitab itu, ia mengusap-usapnya,
sembari menghela napas panjang, ia berkata, 'Inilah hasil capek hatinya
cianpwee, mana dapat kitab ini termusnah di tanganku? Air itu dapat
mengapungkan perahu tetapi dapat juga mengaramkannya, maka itu haruslah
dilihat, bagaimana orang-orang di jaman belakangan dapat mempergunakan
kitab ini. Cuma orang-orang partai kita, siapa pun tidak dapat
menyakinkan ilmu ini, supaya jangan sampai orang luar mengatakan aku
merampas kitab ini sebab aku serakah'. Habis berkata begitu, suko
menutup mata. Malam itu jenazahnya ditunda di dalam kuil. Belum sampai
jam tiga, terjadilah onar…."
Kwee Ceng terkejut hingga ia berseru: "Oh…!"
"Malam itu aku berada bersama-sama tujuh murid Coan Cin Pay menemani
jenazah," Pek Thong melanjuti pula. "Tepat tengah malam, musuh datang
menyerbu. Semua mereka orang-orang lihay. Ketujuh murid itu memecah diri
untuk menyambut serangan. Untuk mencegah musuh bisa merusaki jenazah
gurunya, semua muridnya itu memancing musuh ke luar kuil. Aku sendiri
yang menjaga jenazah suko, tiba-tiba aku mendengar bentakan dari luar
kuil, menyuruh kita menyerahkan kitab. Musuh itu mengancam hendak
membakar kuil. Aku melongok ke luar, aku mengeluarkan peluh dingin. Aku
melihat seorang berdiri di atas pohon. Teranglah ia lebih lihay dari
pada aku dalam hal enteng tubuh. Walau pun demikian, terpaksa aku
melawan dia. Aku berlompat ke luar. Di atas pohon itu kita bertempur
sampai kira-kira empat puluh jurus. Musuh itu lebih muda beberapa tahun
dari pada aku tetapi ia lihay dan telengas. Aku melawan keras dengan
keras. Akhirnya pundakku kena dihajar dia, aku terjatuh dari atas
pohon…."
Kwee Ceng heran. "Suko sudah begini lihay, aku masih tetap tidak sanggup melawan dia. Siapakah dia itu?"
"Cobalah kau terka, dia itu siapa?" Pek Thong membaliki.
Kwee Ceng berpikir sejenak. "See Tok!" sahutnya.
"Eh, mengapa kau mengetahuinya?" tanya sang kakak heran.
"Sebab adikmu berpikir, orang yang terlebih lihay dari pada toako adalah
cuma mereka berlima yang mengadu pedang di Hoa San," menerangkan Kwee
Ceng. "Guruku Ang Cit Kong orang terhormat, Toan Hongya adalah hongya,
satu raja, mesti ia menghormati dirinya sendiri. Pemilik dari Tho Hoa To
itu adikmu tidak kenal baik tetapi melihat romannya, dialah bukan satu
manusia rendah yang suka menyerang orang yang lagi dirundung malang!"
Baru Kwee Ceng menutup mulutnya, dari dalam pepohonan yang lebat
terdengar suara bentakan: "Binatang cilik, kau masih mempunyai matamu!"
Hanya dengan sekali mencelat, Kwee Ceng sudah tiba di tempat dari mana
suara itu datang, akan tetapi orang itu lenyap dalam sekejap. Ia menjadi
heran sekali.
"Adik, mari kembali!" Pek Thong memanggil. "Itulah Oey Lao Shia, dia sudah pergi jauh!"
Kwee Ceng kembali kepada kakak angkatnya itu.
"Oey Lao Shia itu pandai ilmu gaib, maka itu tamannya ini diatur menurut
barisan rahasia Pat Tin Touw dari Cu-kat Bu Houw," Pek Thong
mengulangi.
"Cu-kat Bu Houw?"
"Benar," menyahut Pek Thong yang terus menghela napas. "Oey Lao Shia itu
sangat cerdas, dia pandai main tetabuan, main catur dan menulis surat
indah dan menggambar, dia juga mengerti obat-obatan dan ilmu alam, tak
terkecuali ilmu pertanian serta ilmu memeriksa keletakan tempat yang
indah. Juga ia paham ilmu perusahaan dan ilmu perang. Pendeknya, tidak
ada ilmu yang ia tidak paham, maka sayang sekali jalannya sesat. Kalau
dia mondar-mandir di tamannya ini, lain orang tidak akan dapat menyusul
atau mencari padanya."
Kwee Ceng berdiam, ia kagum memikirkan kepandaian Oey Lao Shia itu.
"Toako, bagaimana sehabisnya kau dirobohkan oleh See Tok?" ia tanya
kemudian.
"Bagus!" Pek Thong berseru seraya menepuk pahanya. "Kali ini kau tidak
lupa menyadarkan aku kepada ceritaku! Kena diserang See Tok, aku
merasakan sakit hingga ke ulu hati, aku pun tak dapat bergerak, tetapi
melihat ia menerobos ke dalam, aku paksakan mengejar. Di depan meja
jenazah suko, dia sambar kitab Kiu Im Cin-keng. Aku bingung bukan main,
sudah aku kalah, di situ pun tak ada lain orang. Justru itu mendadak aku
mendengar satu suara keras, lantas terlihat tutup peti mati berlubang,
hancuran kayunya berhamburan…"
Kwee Ceng kaget. "Apakah dia menghajar rusak peti mati Ong Cinjin?" dia menanya.
"Oh, tidak, tidak!" menyahuti Pek Thong lekas. "Adalah suko sendiri yang menhajar tutup petinya itu."
Kwee Ceng heran bukan main. Ia seperti mendengar dongeng dari kitab San
Hay Keng. Ia mengawasi kakak angkatnya itu dengan mulut celengap.
"Apakah kau pikir?" sang kakak angkat tanya. "Apakah suko terbangun
arwahnya? Apakah dia hidup pula? Bukan, semuanya itu bukan! Suko hanya
pura-pura mati!"
Kwee Ceng berseru pula, "Pura-pura mati?" ia mengulangi.
"Benar! Beberapa hari sebelumnya suko menutup mata, ia sudah ketahui See
Tok senantiasa berkeliaran di luar kuilnya, untuk menanti begitu lekas
ia meninggal dunia, hendak ia merampas kitab Kiu Im Cin-keng itu. Maka
itu, malam itu, suko berpura-pura mati. Dengan ilmu kepandaiannya, suko
dapat menahan jalan napasnya. Kalau ia membuka rahasia pada semua
muridnya, pasti mereka tidak akan sangat berduka. Bukankah See Tok
sangat licin? Dari itu ia menutup rahasia. Habis menggempur tutup peti
mati, suko meloncat ke luar untuk terus menotok See Tok dengan
totokannya It-yang-cie. See Tok kaget tidak terkira. Ia melihat tegas
dari jendela suko telah menutup mata, sekarang suko bisa berlompat ke
luar dari peti mati. Dia memangnya jeri terhadap suko, sekarang ia
kaget, tidak sempat ia membela diri. Maka ia terkena totokan It-yang-cie
pada alisnya, dengan begitu pecahnya ilmu yang dinamakan 'Hap Mo Kang',
atau Ilmu Kodok. Dia lari pulang ke Wilayah Barat, kabarnya tidak
pernah dia datang pula ke Tionggoan. Suko tertawa panjang, terus ia
duduk bersemedhi di atas meja. Aku tahu, dengan menggunai It-yang-cie,
Telunjuk Matahari, suko telah menggunai tenaga terlalu banyak, maka aku
tidak ganggu padanya, aku hanya lari ke luar untuk menyambut ketujuh
muridnya, untuk memukul mundur semua musuh. Ketika semua keponakanku itu
mendapat tahu gurunya belum menutup mata, girangnya bukan kepalang,
semua lantas lari pulang. Hanya ketika sudah tiba, mereka jadi kaget
sekali, semua mengeluh kecele…."
"Apakah yang sudah terjadi?" memotong Kwee Ceng heran.
"Tubuh suko rebah miring, wajahnya beda dari pada biasanya," menyahut
Pek Thong. "Aku lantas menghampirkan dan meraba tubuhnya. Nyata tubuh
itu dingin bagaikan es. Sekarang barulah suko berpulang ke alam baka.
Kita lantas melaksanakan pesan suko, ialah kitab dipecah menjadi dua,
bagian atas dan bagian bawah. Suko ingin, kalau kitab sampai lenyap
tercuri orang, tidaklah tercuri semuanya. Aku yang menyimpan bagian
atas, lalu bagian bawah aku bawa ke sebuah gunung kesohor di selatan.
Aku hendak menyembunyikan itu ketika di tengah jalan aku bertemu dengan
Oey Lao Shia…."
"Oh!" berseru Kwee Ceng kaget.
"Oey Lao Shia itu aneh tabiatnya tetapi dengan aku dia berjodoh bertemu
beberapa kali, dia tidak nanti kemaruk kitab seperti See Tok. Celakanya
itu waktu dia tengah bersama pengantin barunya…"
"Tentulah dia itu ibunya Yong-jie," berpikir si anak muda. "Apa sangkutannya dia dengan kitab itu….?"
"Aku mendapatkan terang sekali cahaya mukanya Oey Lao Shia itu, maka
untuk memberi selamat kepadanya sebagai mempelai, aku undang dia untuk
berjamu. Aku pun menuturkan halnya suko pura-pura mati dan sudah
menghajar Auwyang Hong. Mendengar ceritaku itu, istrinya Oey Lao Shia
minta pinjam lihat kitab itu. Dia mengaku bahwa dia tidak mengerti ilmu
silat, dia mau melihat saking ingin tahu saja. Dia ingin melihat kitab
yang sudah menyebabkan kebinasaan begitu banyak ahli silat kenamaan. Oey
Lao Shia sangat menyintai istrinya itu, tak ingin ia menolak keinginan
orang, ketika ia mendapatkan aku agaknya keberatan. Dia kata padaku,
'Pek Thong, istriku benar-benar tidak mengerti silat. Dia masih muda
sekali, dia gemar melihat apa yang baru, maka itu kau kasihlah ia
melihat.lihat. Ada apakah halangannya? Jikalau aku sendiri, melirik saja
kitabmu itu, aku nanti korek biji mataku untuk diserahkan padamu!' Oey
Lao Shia ada satu jago, pasti aku percaya padanya, tetapi kitab itu
sangat penting, terpaksa aku menggoyangi kepala terhadapnya. Dia menjadi
tidak senang, dia kata, 'Mustahil aku tidak menginsyafi kesulitanmu?
Kalau kau memberi lihat pada istriku ini, satu kali saja, nanti akan
datang harinya aku membalas budi kamu pihak Coan Cin Pay! Jikalau kau
tetap menampik, terserah padamu! Siapa suruh kita bersahabat! Dengan
pihak Coan Cin Pay, semua anggotanya tidak aku kenal! ' Aku mengerti
maksudnya itu. Dia biasa lakukan apa yang dia katakan. Dia tidak enak
mengganggu aku tetapi dia dapat mencari alasan untuk mengganggu Ma Giok
dan Khu Cie Kee semua. Dia lihay sekali, sungguh berbahaya kalau-kalau
ia sampai bergusar. Maka itu aku kata padanya; 'Oey Lao Shia, jikalau
kau hendak melampiaskan penasaranmu, kamu carilah aku Loo Boan Tong Ciu
Pek Thong. Perlu apa pula kau cari segala keponakan itu?' Istrinya itu
tertawa waktu dia mendengar aku menyebutkan julukanku Loo Boan Tong itu,
ia lantas berkata, 'Ciu Toako, kau gemar sekali berkelakar! Baiklah
kita jangan ngotot saja, lebih baik kita pelesiran. Tentang kitab
mustikamu itu tak apalah aku tidak melihatnya!' Ia menoleh kepada Oey
Lao Shia untuk berkata terus; 'Rupanya kitab Kiu Im Cin-keng itu sudah
kena dirampas si orang she Auwyang, maka itu Ciu Toako tidak sanggup
memperlihatkan padaku. Maka juga, apa perlunya kita memaksa dia, juga
boleh-boleh dia menjadi hilang muka?' Oey Lao Shia tertawa, dia kata;
'Kau benar! Eh, Pek Thong, marilah, mari aku membantu kau mencari si tua
bangka berbisa itu untuk membuat perhitungan!"
"Kalau begitu, ibunya Yong-jie sama cerdiknya seperti putrinya," Kwee
Ceng berpikir. Ia lantas memotong. "Mereka itu tengah memancing
kemendongkolan kau, toako!"
"Itulah aku ketahui," kata Pek Thong. "Hanya aku pun tidak mau mengalah.
Maka itu aku berkata padanya, 'Kitab itu ada padaku sekarang! Pula
tidak ada halangannya untuk memberi lihat itu pada enso! Tapi kau tidak
memandang muka padaku, kau membilangnya aku tidak sanggup melindungi
kitab itu, itulah aku tidak mengerti. Coba kau jelaskan, apakah
syaratmu?' Oey Lao Shia tertawa, dia kata, 'Kalau kita bertempur, kita
jadi renggang. Kaulah si tua bangka nakal seperti bocah, aku pikir
baiklah kita mengadu sesuatu seperti bocah-bocah tengah bermain-main…!'
Belum lagi aku memberikan jawabanku, istrinya sudah bertepuk-tepuk
tangan dan mengatakan, 'Bagus, bagus! Baiklah berdua kau mengadu
gundu!'"
Mendengar itu Kwee Ceng tertawa.
"Main gundu adalah kepandaianku," kata Pek Thong. "Maka itu aku
menjawab; 'Mengadu gundu ya mengadu gundu! Mustahil aku takut!' Nyonya
Oey itu tertawa, ia kata: 'Ciu Toako, jikalau kau kalah, kau kasih lihat
kitab itu padaku? Jikalau kau yang menang, kau menghendaki apa?' Atas
kata-kata istrinya, Oey Lao Shia membilang, 'Coan Cin Kauw ada mempunyai
mustika, mustahil Tho Hoa To tidak?'. Ia terus membuka buntalannya dan
mengeluarkan serupa barang hitam, semacam baju yang ada durinya. Coba
bade, barang apakah itu?"
"Itulah Joan-wie-kah, baju lapis duri," sahut Kwee Ceng.
"Oh, kiranya kau tahu itu?" kata kakak angkat ini. "Oey Lao Shia kata
padaku. 'Pek Thong, kau bilang, kau tidak membutuhkan ini untuk
melindungi dirimu, hanya kalau di belakang hari kau menikah sama si
bocah wanita nakal dan dia melahirkan bocah yang nakal, kalau bocah
nakal itu mengenakan baju lapis ini, faedahnya bukan kepalang! Jikalau
kau menang, pusaka Tho Hoa To ini menjadi kepunyaanmu!' Aku menjawab,
'Si bocah nakal tidak bakal terlahir, tetapi baju lapismu ini sangat
kesohor di dalam kalangan Rimba Persilatan, kalau aku mengenakannya,
pastilah aku aksi sekali! Dengan begitupun biarlah diketahui, tocu dari
Tho Hoa To telah roboh di tangannya Loo Boan Tong di Bocah Tua Nakal!'
Lantas Nyonya Oey memotong aku, katanya: 'Kau jangan omong saja!
Sekarang mulailah kamu berdua!' Sampai di situ cocoklah sudah. Lantas
kita mulai. Kita memegang masing-masing sembilan biji gundu, kita
membuat delapan belas lubang. Dialah yang menang siapa yang gundunya
masuk paling dulu."
Mendengar itu Kwee Ceng menjadi ingat kepada halnya tempo sendiri
bersama Tuli, saudara angkatnya, main gundu di gurun pasir. Maka itu ia
bersenyum.
"Gundu itu aku selalu sediakan di sakuku," Pek Thong berkata pula.
"Bertiga kita pergi ke luar, ke latar. Selagi ke luar aku perhatikan
gerak-gerik istrinya Oey Lao Shia. Aku dapat kenyataan dia benar tidak
mengerti ilmu silat. Akulah yang membuat lubang di tanah, lalu aku
menyuruh Oey Lao Shia yang mulai. Dalam hal menggunai senjata rahasia.
Oey Lao Shia lihay istimewa, dia mestinya menang dari pada aku, tetapi
dalam hal main gundu, ada lain tipunya. Aku membuat lubang yang
istimewa. Kalau gundu masuk ke dalam situ, gundu itu bisa ke luar pula.
Untuk itu aku mesti pandai mengimbangi menyentil gundu itu, dengan
begitu gundu jadi dapat berdiam terus di dalam lubang. Tiga kali Oey lao
Shia menyentil, tiga-tiga gundunya masuk tepat, hanya begitu masuk,
ketiganya lompat pula ke luar. Aku telah memasuki lima biji, semuanya
tidak ke luar lagi..."
"Oey Lao Shia lihay, ia mencoba menyusul tetapi gagal. Kembali satu
gunduku masuk. Aku girang bukan main, aku percaya aku bakal menang, dia
bakal kalah, dewa pun tidak bakal berhasil membantui dia. Ah, siapa tahu
Oey Lao Shia main curang, dia menggunai akal! Coba bade, apakah akal
liciknya itu?"
"Adakah dia melukai tanganmu, toako?"
"Bukan, bukan! Oey Lao Shia busuk sekali, tidak nanti dia pakai akal
sekasar semacam itu. Dia tahu dia bakal kalah, mendadak dia mengerahkan
tenaganya dan menghajar tiga gunduku hingga habislah sisa semua gunduku,
gundunya sendiri lantas masuk ke dalam lubang…."
"Jadi toako kehabisan gundumu?"
"Ya, aku cuma bisa melihat dia main sendiri. Demikianlah aku kalah…!"
"Toh itu tidak masuk dalam hitungan!" kata Kwee Ceng.
"Mestinya begitu tetapi Oey Lao Shia berkeras. Memang, umpama kata aku
memukul gundunya, dua-dua gundu mesti pecah. Aku tidak dapat memukul
seperti dia itu, yang hancur melainkan gunduku. Terpaksa aku menyerah.
Aku kata pada istrinya: 'Enso Oey, sekarang aku berikan kitabku padamu,
tapi sebentar, sebelum malam, kau mesti mengasih pulang padaku.'
Kemudian dengan main-main aku menambahkan; 'Bukankah kita tidak
menetapkan waktu lamanya kau meminjam? Maka itu, kau sudah melihat semua
atau belum, kau mesti kembalikan.' Aku khawatir mereka tidak sudi
membayar pulang, bisa-bisa dia meminjamnya sampai sepuluh tahun atau
seratus tahun. Atas itu sambil tertawa, Nyonya Oey kata padaku, 'Ciu
Toako, kau dijuluki Loo Boan Tong si Bocah Tua Nakal, tapi kau tidak
tolol! Bukankah kau khawatirkan aku nanti jadi seperti Lauw Pie yang
meminjam kota Kengciu, yang meminjam untuk selamanya? Baiklah, aku duduk
di sini, segera aku membaca, segera aku membayar pulang, tidak usah
juga sampai malam! kau jangan khawatir, kau boleh duduk nantikan!'
"Mendengar perkataannya itu, aku keluarkan kitab Kiu Im Cin-keng itu dan
aku serahkan padanya. Dia menyambuti, dia bawa itu ke bawah satunya
pohon. Di situ ia duduk di atas sebuah batu, lalu ia mulai
membalik-baliki lembarannya. Oey Lao Shia mengawasi aku, ia dapat
kenyataan hatiku tidak tentram, ia kata padaku; 'Eh, Lao Boan Tong, di
jaman sekarang ini ada berapa orangkah yang dapat mengalahkan kita
berdua?' Aku menjawab, 'Yang dapat mengalahkan kau, belum tentu ada,
tetapi yang dapat mengalahkan aku, terhitung kau sendiri, ada empat atau
lima orang!' kataku. 'Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, berempat
mereka mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, mereka tidak dapat saling
mengalahkan. Auwyang Hong telah dirusak ilmunya Hap-mo-kang, dalam waktu
sepuluh tahun, ia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kita. Di dalam
dunia kangouw terkabar ada Tiat-ciang Sui-siang Piauw Kiu Cian Jin,
tempo pertemuan di Hoa San, dia tidak hadir, biarnya dia lihay, aku
tidak percaya dia lihay luar biasa. Loo Boan Tong, bagaimana adanya ilmu
silatmu, aku tahu baik sekali, selain beberapa orang yang sudah
disebutkan barusan, kaulah yang nomor satu. Maka itu kalau kita
berserikat, siapapun tidak bisa melawan kita!' Atas pendapat itu aku
menjawab, 'Memang!' Oey Lao Shia berkata pula: 'Maka itu, kenapa hatimu
tidak tenteram? Dengan adanya kita berdua di sini, siapakah di kolong
langit ini sanggup merampas kitab itu?"
"Aku pikir, dia benar juga, dari itu hatiku menjadi sedikit lega. Ketika
aku mengawasi Nyonya Oey, ia tetap masih membalik-balik lembaran kitab.
Terang ia membaca dari bermula. Mulutnya berkelemik tak hentinya.
Melihat lagaknya itu, aku merasa lucu. Isinya Kiu Im Cin-keng rahasia
semuanya, meski ia pandai surat, dengan kita tidak mengerti ilmu silat,
tidak nanti ia dapat menangkap artinya. Ia membaca dengan perlahan, aku
menjadi tidak sabaran. Ketika ia sudah membaca habis halaman terakhir,
aku anggap, habis sudah ia membacanya. Siapa tahu, ia lantas
mengulanginya dari mula pula. Hanya kali ini ia membacanya dengan cepat
sekali, boleh dikata selama seminuman teh saja, habislah sudah. Ia
pulangi buku padaku, sembari tertawa ia berkata: 'Ciu Toako, kau kena
diperdayakan See Tok. Kitab ini bukannya Kiu Im Cin-keng!' Aku kaget
juga. 'Kenapa bukan?' aku menanya. 'Inilah kitab warisan kakak
seperguruanku. Bukupun serupa macamnya.' Nyonya Oey itu kata: 'Apa
gunanya kalau romannya saja yang sama? Kitab mu ini ada kitab
tenungannya si tukang meramalkan!'"
Kwee Ceng terkejut. "Mungkinkah Auwyang Hong telah dapat menukarnya selama Ong Cinjin belum ke luar dari peti mati?" ia menanya.
"Mulanya aku pun menerka demikian," sahut Pek Thong. "Tapi Oey Lao Shia
sangat licin, sedang perkataannya Nyonya Oey itu aku tidak dapat percaya
semuanya. Nyonya itu mengawasi aku, yang menjublak saja. Ia rupanya
menduga aku bersangsi, maka ia berkata pula: 'Ciu Toako, bagimana
bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng yang tulen? Tahukah kau?' Aku menjawab
bahwa semenjak kitab itu berada di tangan kakak seperguruanku, tidak
pernah ada orang yang membacanya. Kakak pun membilangi, selama tujuh
hari tujuh malam ia bergulat mendapatkan kitab itu, maksudnya untuk
menyingkirkan suatu akar bencana besar untuk kaum Rimba Persilatan, sama
sekali ia tidak pernah memikir untuk memilikinya sendiri. Maka itu ia
telah memesan semua murid Coan Cin Pay, siapa pun tidak boleh
menyakinkan ilmu dalam kitab itu."
"Ong Cinjin demikian jujur, ia mendatangkan hormatnya siapa juga,'
berkata lagi Nyonya Oey, 'Hanya karena itu, kena diperdayakan orang. Ciu
Toako, coba kau periksa kitab ini' Aku bersangsi, tetapi mengingat
pesan kakak seperguruanku, aku tidak berani memeriksa kitab itu. 'Inilah
kitab ramalan yang terdapat di mana-mana di wilayah Kanglam,' berkata
pula Nyonya Oey, harganya tak setengah peser juga. Lagi pula, taruh kata
inilah Kiu Im Cin-keng yang tulen dan kau tidak ingin mempelajarinya,
apabila kau hanya melihat saja, apakah halangannya?' Aku terdesak, aku
pun penasaran, maka akhirnya aku periksa kitab itu. Aku mendapatkan
pelbagai pelajaran silat serta rahasianya, sama sekali itulah bukannya
buku petang-petangan. Selagi aku memeriksa, Nyonya Oey berkata: 'Kitab
semacam ini aku telah membacanya habis semenjak aku berumur lima tahun,
aku dapat membacanya di luar kepala dari permulaannya sampai akhirnya.
Kami anak-anak di Kanglam, dalam sepuluh, sembilan pernah bersekolah.
Jikalau kau tidak percaya. Ciu Toako, mari aku membacanya untuk kau
dengar.' Benar-benar ia membaca, dari kepala sampai di buntut,
membacanya dengan lancar. Aku merasakan tubuhku dingin. Lalu nyonya itu
berkata pula: 'Halaman mana saja kau cabut dan tanyakan aku, asal kau
menyebut kalimatnya, dapat aku membaca di luar kepala. Buku ini yang
telah dibaca sejak masih kecil, sampai tua juga aku tidak dapat
melupakannya. Aku ingin mencoba, aku uji ia beberapa kali. Benar-benar
ia bisa membaca dengan hapal, tidak pernah ada yang salah. Maka itu, Oey
Lao Shia tertawa terbahak-bahak. Aku menjadi sangat mendongkol, aku
ambil kitab itu, aku merobek-robek, terus aku sulut dan bakar hingga
hangus habis!"
"Setelah itu mendadak Oey Lao Shia kata padaku: 'Loo Boan Tong, tidak
usah kau ngambul dengan tabiat bocahmu itu! Nah ini bajuku yang berduri
aku, aku hadiahkan padamu!' Aku tidak tahu bahwa aku telah dipermainkan.
Aku hanya menduga, karena merasa tidak enak hati, hendak ia
menghadiahkan kepadaku untuk membikin reda kemendongkolanku. Di samping
mendongkol, aku pun mengerti tidak dapat aku memiliki pusaka Tho Hoa To,
maka itu, aku tolak hadiah itu. Aku membilang terima kasih padanya,
lantas aku pulang. Seterusnya aku mengunci pintu, menyekap diri di
kampung halamanku, untuk menyakinkan ilmu silatku. Ketika itu belum
sanggup aku menandingi Auwyang Hong, dari itu aku berlatih keras selama
lima tahun. Aku memikir, setelah mendapatkan pelbagai macam ilmu, hendak
aku pergi ke Wilayah Barat untuk mencari See Tok untuk meminta pulang
kitab yang tulen itu."
"Kalau toako pergi bersama Ma Totiang dan Khu Totiang, bukankah itu terlebih baik lagi?" tanya Kwee Ceng.
"Aku menyesal, karena tabiatku suka menang sendiri, aku kena
dipermainkan orang," menyahut Pek Thong. "Aku tidak mengerti bahwa aku
sudah jadi bulan-bulanan. Memang, asal aku bicara dulu sama Ma Giok
beramai, rahasia akan terbuka. Beberapa tahun selewatnya itu, lalu di
kalangan kangouw tersiar berita bahwa muridnya Oey Lao Shia dari Tho Hoa
To, yaitu Hek Hong Siang Sat, telah mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng,
bahwa mereka sudah menyakinkan beberapa macam ilmu silat yang luar
biasa, bahkan dengan ilmunya itu mereka pergi ke segala tempat untuk
melakukan kejahatan. Mulanya aku tidak percaya, tetapi belakangan cerita
itu semakin santer. Lagi lewat satu tahun, Khu Cie Kee datang padaku,
dia memberitahukan bahwa ia telah mendapat kepastian benar Kiu Im
Cin-keng sudah didapatkan murid-murid dari Tho Hoa To. Gusar aku
mendengar warta itu. Aku kata dengan sengit, 'Oey Yok Su tidak pantas
menjadi sahabat!' Khu Cie Kee heran, ia menanya apa sebabnya aku
membilang begitu. Aku menjawab, 'Sebab dia pergi ke See Tok meminta
pulang kitab itu, dia pergi di luar tahuku, dan setelah mendapatkan itu,
dia tidak segera membayar pulang padaku. Sedikitnya ia harus
memberitahukan dulu.'"
"Setelah Oey Tocu mendapat kitab itu, mungkin mulanya ia memikir untuk
memberitahukan toako," berkata Kwee Ceng. "Hanya di luar dugaannya,
kitabnya itu kena dicuri muridnya yang jahat. Aku tahu betul, mengenai
kejadian itu dia murka bukan main, hingga empat muridnya yang lainnya,
yang tidak tahu apa-apa, sudah dipotong kakinya dan diusir."
Ciu Pek Thong menggeleng kepala. "Kau sama jujurnya dengan aku," dia
berkata. "Umpama kata kau yang mengalami kejadian seperti itu, kau pasti
tidak menginsyafi bahwa orang telah tipu padamu. Ketika itu Khu Cie
Kee, selainnya membicarakan urusan itu, juga meminta pengajaran beberapa
rupa ilmu silat padaku. Setelah beberapa hari, ia berangkat pergi.
Sesudah lewat dua bulan, ia datang padaku. Kali ini ia membawa kabar
kepastian bahwa Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong benar dapat ilmu
kepandaian dari buku yang dicuri dari gurunya. Dengan menempuh bahaya,
Khu Cie Kee mengintai Hek Hong Siang Sat dan mendengari pembicaraan
mereka itu. Nyatanya Oey Lao Shia mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng itu
bukan boleh merampas kitab dari tangan See Tok hanya boleh mencurinya
dari tanganku sendiri…."
Kwee Ceng heran. "Toh terang-terangan toako telah bakar habis itu?"
katanya. "Mungkinkah nyonya Oey telah menukarnya dan toako diberikan
kitab yang palsu?"
"Tidak!" sahut Pek Thong. "Di dalam hal itu aku telah berjaga-jaga.
Selagi istrinya Oey Lao Shia membaca, tidak pernah aku memisahkan diri
darinya. Dia tidak mengerti ilmu silat, umpama kata dia sangat gesit,
dia tidak bakal lolos dari mataku. Bukankah kita yang pandai menggunai
senjata rahasia mempunyai mata yang sangat awas? Dia bukannya menukar
kitab hanya dia menggunai kecerdasan dan kekuatan otaknya untuk
menghapalkan bunyinya kitab di luar kepalanya!"
Kwee Ceng heran hingga ia menanya menegaskan.
"Adikku, jikalau kau membaca sesuatu, berapa kali kau membacanya untuk
kau dapat membaca pula di luar kepala?" Pek Thong tanya, sabar.
"Yang gampang cukup dengan dua atau tigapuluh ulangan bacaan," menjawab
si adik angkat. "Yang sukar membutuhkan pembacaan dari enam sampai
tujuhpuluh kali, mungkin delapan atau sembilanpuluh kali."
"Kau benar, karena kau memang tidak terlalu berotak terang," berkata kakak angkat itu.
"Memang adikmu bebal sekali, toako. Baik dalam hal membaca buku baik pun
dalam hal belajar ilmu silat, kemajuanku sangat lambat."
Pek Thong menghela napas. "Tentang membaca buku kau tidak mengerti
banyak," katanya. "Mari kita bicara hal ilmu silat. Kalau gurumu
mengajarkan kau suatu rupa ilmu silat, bukankah itu memerlukan
pengajaran berulang-ulang beberapa puluh kali baru kau mengerti?"
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. "Benar," sahutnya.
"Akan tetapi di dalam dunia ini ada orang yang asal melihat orang berlatih dalam sesaat saja dapat ia menintainya."
"Itulah benar. Umpama putrinya Oey Tocu, Ang Insu mengajari dia cukup dua kali, tidak pernah sampai tiga kali."
"Nona itu demikian cerdas otaknya, mungkin dia akan berumur pendek
seperti ibunya," kata Pek Thong perlahan. "Ketika itu hari Nyonya Oey
meminjam lihat kitab, ia cuma membacanya dua kali, toh ia tidak
melupakan satu huruf jua. Rupanya setelah berpisah dari aku, segera ia
mengambil pit dan kertas untuk mencatatnya, setelah mana ia memberikan
itu kepada suaminya…."
Kwee Ceng heran hingga ia terperanjat. "Nyonya Oey tidak mengerti
tentang kitab itu, cara bagaimana dia sanggup menghapalkannya?" katanya.
"Kenapa di kolong langit ini ada orang yang demikian terang otaknya?"
"Aku rasa sahabatmu yang cilik itu, yaitu Nona Oey pun dapat berbuat
demikian," mengatakan Ciu Pek Thong. "Setelah mendapat keterangannya Khu
Cie Kee itu, aku lantas memanggil berkumpul tujuh murid Coan Cin Pay,
untuk mendamaikan urusan itu, guna bisa memaksa Hek Hong Siang Sat
membayar pulang kitab itu. Khu Cie Kee mengusulkan untuk aku jangan
turut turun tangan. Dia kata biarnya Hek Hong Siang Sat lihay, tidak
nanti mereka itu dapat melawan mereka bertujuh. Katanya kalau aku turun
tangan sendiri, aku ditertawakankan kaum kangouw. Bukankah aku dari
tingkat terlebih tinggi dan mereka itu lebih rendah? Aku setuju. Lantas
aku menyuruh Cie Kee berdua Cie It yang mencari Hek Hong Siang Sat dan
lima lainnya mengawasi saja, supaya mereka itu tidak dapat meloloskan
diri. Ketika Khu Cie Kee sampai di Hoolam, Hek Hong Siang Sat telah
lenyap. Kemudian didapat keterangan Hek Hong Siang Sat sudah kabur sebab
mereka dikepung Liok Seng Hong, satu murid lainnya dari Oey Lao Shia.
Untuk itu Seng Hong mengumpulkan banyak kawan jago-jago dari Tionggoan.
Tidak urung, mereka itu bisa lolos dan lenyap.
Kwee Ceng mengangguk. Ia berkata: "Pantas kalau Liok Chungcu membenci
Hek Hong Saiang Sat. Dia diusir gurunya tanpa bersalah, cuma disebabkan
Hek Hong Siang Sat yang bersalah, yang sudah mencuri kitab."
"Aku tidak dapat mencari Hek Hong Siang Sat itu, sudah tentu aku mencari
Oey Lao Shia. Oleh karena aku khawatir nanti terhilang pula, aku
bawa-bawa Kiu Im Cie-keng bagian atas itu. Setibanya di Tho Hoa To, aku
tegur Oey Lao Shia. Dia kata padaku, 'Pek Thong, aku Oey Yok Su, jikalau
aku kata satu, tentu satu. Aku telah bilang tidak nanti aku melihat
kitabmu itu, aku pegang perkataanku! Kapannya aku melihat kitabmu itu?
Kiu Im Cie-keng yang aku baca ialah yang dicatat oleh istriku, hal itu
tidak ada sangkutannya dengan kau!' Aku tidak mau mengerti, maka itu
kita jadi berselisih. Lantas aku minta dia kasih aku bertemu sama
istrinya. Atas itu aku melihat ia meringis, romannya berduka, lantas ia
ajak aku ke ruang dalam. Di sana aku terkejut untuk apa yang aku lihat,
Istrinya sudah meninggal dunia, di situ terlihat cuma meja abunya
beserta sincienya. Aku ingin memberi hormat pada arwah Nyonya Oey itu,
tetapi Oey Lao Shia kata padaku dengan dingin, 'Loo Boan Tong, tidak
usah kau berpura-pura! Coba kau tidak mengoceh tentang kitab tulen dan
yang palsu, tidak nanti istriku meninggalkan aku!' Aku jadi heran. 'Apa
katamu?' aku tanya. Dia tidak menjawab, dia mengawasi aku dengan murka.
Kemudian mendadak saja air matanya mengalir. Lewat sesaat baru ia suka
menerangkan tentang meninggalnya istrinya itu."
"Apakah sebabnya itu, toako?"
"Istrinya Oey Lao Shia itu ada seorang yang otaknya terang luar biasa,
untuk suaminya itu ia sudah mengingat baik-baik bunyinya kitab Kiu Im
Cin-keng yang ia pinjam lihat dari aku hanya dua kali membaca. Oey Yok
Su baru mendapatkan bagian bawah, ingin juga ia mendapatkan bagian
atasnya, sesudah berhasil mendapatkan itu baru ia hendak menyakinkannya
sekalian. Apa mau kitabnya itu kena dicuri oleh Tan Hian Hong dan Bwee
Tiauw Hong, kedua muridnya itu. Untuk menghibur suaminya, Nyonya Oey
hendak membuat catatan yang baru. Ia sebenarnya tidak mengerti maksudnya
kitab, sukar untuk ia mengingat-ingat pula karena waktunya telah
berselang lama. Kebetulan itu waktu, istrinya itu lagi mengandung sudah
delapan bulan. Keras Nyonya Oey ini berpikir, mengingat-ingat, selama
beberapa malam ia dapat mencatat pula tujuh sampai delapan ribu huruf
tetapi semua itu tidak tepat hubungannya satu dengan lain. Oleh karena
ia terlalu memeras otak, ia menjadi lelah, akhirnya melahirkan belum
waktunya. Bayinya itu satu anak perempuan. Oey Yok Su pandai sekali
tetapi tidak dapat ia merebut jiwa istrinya, yang ia sangat cintai.
Memangnya ia bertabiat aneh dan suka menimpakan kesalahan kepada orang
lain. Demikian kali ini, saking bersedih, pikirannya seperti terganggu.
Terhadap aku, ia mengoceh tidak karuan. Aku tahu tabiatnya itu, aku
mengerti kedukaannya, aku tidak sudi melayani dia. Aku pun berkasihan
padanya. Sambil tertawa aku berkata padanya, 'Kau gemar silat, bagimana
kau dapat menyintai istrimu sampai begini, apakah kau tidak khawatir,
orang nanti ketawakan kau?' Atas itu, dia menjawab,' Kau tidak tahu,
istriku ini lain dari pada istri orang kebanyakan.' Aku kata pula, 'Kau
telah kehilangan istrimu, inilah waktunya untuk kau menyakinkan ilmu
silatmu. Coba aku jadi kau, inilah ketika baik yang aku harap sekali.'"
Kwee Ceng terperanjat. "Ah, mengapa kau mengatakan demikian?" katanya.
Matanya Pek Thong membelalak. "Apa yang aku pikir, apa yang aku kata!"
ia kata dengan keras. "Kenapa aku tidak boleh mengatakan sesuatu? Karena
itu, Oey Lao Shia menjadi sangat gusar. Dengan mendadak ia menyerang
aku. Kita lantas jadi berkelahi. Karena perkelahian itu, kesudahannya
aku mesti duduk bercokol di sini selama limabelas tahun…"
"Jadinya toako kalah?" Kwee Ceng menegaskan.
Ciu Pek Thong tertawa. "Jikalau aku menang, tidak nanti aku berada di
sini," sahutnya. "Dia telah menghajar patah kedua kakiku, dia memaksa
aku mengeluarkan Kiu Im Cin-keng bagian atasnya, katanya untuk dibakar
buat menyembahyangi arwah istrinya. Aku tidak serahkan kitab itu, yang
aku simpan di dalam gua ini, aku sendiri menjaga di depan. Aku telah
berkeputusan, asal ia memaksa, hendak aku meludaskan kitab itu. Atas
sikapku itu, Oey Yok Su bilang bahwa akhirnya mesti ada jalan untuk dia
mendapatkannya, ialah dengan membikin aku meninggalkan gua ini. 'Marilah
kita coba!' aku menantang. Demikian sudah terjadi, aku berdiam saja di
dalam gua ini, aku mensia-siakan tempo lima belas tahun. Dia tidak
berani membikin aku kelaparan, dia telah mempergunakan pelbagai macam
tipu daya, akan tetapi tetap dia tidak berhasil. Aku tidak kena dipaksa
atau dibujuk. Hanya tadi malam hampir aku runtuh juga, syukur kau datang
mebolongi. Baiknya ada hantu atau malaikat yang bawa kau padaku,
jikalau tidak tentulah kitab itu sudah terjatuh ke dalam tangannya Oey
Lao Shia."
Kwee Ceng berpikir banyak mendengar keterangannya Pek Thong itu. "Toako, habis bagaimana selanjutnya?" ia menanya.
Pek Thong tertawa. "Hendak aku melewatkan waktu bersama-sama Oey Lao
Shia, untuk membuktikan, dia yang terlebih panjang umur atau aku yang
hidup terlebih lama!" sahutnya.
Kwee Ceng merasa itu bukanlah daya sempurna, hanya ia sendiri masih
belum bisa memikir sesuatu. "Kenapa Ma Totiang dan lainnya tidak datang
menolongi toako?" tanyanya kemudian.
"Kebanyakan mereka tidak ketahui aku berada di sini," menyahut Pek
Thong. "Umpama kata mereka mendapat tahu, tidak nanti mereka dapat masuk
ke mari, kecuali Oey Lao Shia sengaja memberikan ketikanya."
Kwee Ceng berdiam, ia berpikir pula. Tentang Ciu Pek Thong ia telah
memperoleh kepastian, usia dia tinggi tetapi sifatnya gembira, seperti
anak-anak yang doyan bergurau, omongannya pun polos dan langsung, tidak
licik. Ia merasa suka terhadap ini orang tua, yang sebaliknya pun
menyukai lainnya.
Tidak lama, matahari merah sudah naik tinggi, si bujang tua datang pula
dengan barang makanan. Habis bersantap, mereka berada berduaan saja, Pek
Thong kata kepada Kwee Ceng. "Lima belas tahun lamanya aku melewatkan
waktuku di Tho Hoa To ini, selama itu aku tidak mensia-siakannya. Di
sini aku tidak pernah mengangkat kaki setengah tindak sekali pun, hatiku
pun tidak terganggu, dengan begitu aku berhasil dengan peryakinkanku.
Cobalah di tempat lain, sedikitnya aku membutuhkan tempo dua puluh lima
tahun. Aku merasa bahwa aku telah memperoleh kemajuan, sayangnya aku
tidak punya kawan untuk berlatih bersama-sama, karenanya terpaksa aku
memakai kedua tanganku saja."
Kwee Ceng heran. "Bagaimana bisa menjadi, tangan kanan bertempur dengan tangan kiri?" dia menanya.
"Untuk itu aku main perumpamaan," menerangkan Pek Thong. "Tangan kananku
aku umpamakan Oey Lao Shia, tangan kiriku adalah aku sendiri. Kapan
tangan kanan memukul, tangan kiri menangkis, tangan kiri itu terus
membalas menyerang. Demikian kedua tangan itu bertarung."
Sembari berbicara, Pek Thong menggeraki kedua tangannya itu, seperti dua
orang lagi berkelahi. Ia memberikan contoh. Kwee Ceng heran, hingga ia
merasa lucu. Tapi berselang beberapa jurus, ia menjadi kagum. Ia
mendapat kenyataan, benarlah kedua tangan itu luar biasa gerak-geriknya.
Kalau lain orang menggunai kedua tangan, untuk menyerang dengan membela
diri, Pek Thong ini menggunai satu tangan saja. Inilah langka.
Anak muda itu terus mengawasi, sampai ia menanya; "Toako, barusan kau
menggunai jurus Di Bawah Pohon Membereskan Pakaian, kau menggerakkan
tangan kananmu, kenapa tidak kaki?"
Pek Thong berhenti, ia tertawa. "Benar matamu tajam," katanya. "Mari, mari kau coba!"
Ia melonjorkan tangan kanannya. Kwee Ceng mengulur tangannya, untuk
menandingi. "Hati-hati!" pesan si orang tua. "Aku hendak menolak kau ke
kiri…"
Selagi ia berkata, Pek Thong sudah mengerahkan tenaganya. Ia benar
menggunai jurusnya itu. Kwee Ceng sudah siap sedia, ia melawan dengan
Hang Liong Sip-pat Ciang. Kesudahannya ia terpukul mundur tujuh atau
delapan tindak, tangannya lemas dan sakit.
"Barusan aku meminjam tenaga di kakiku, kau cuma terdorong," kata Pek
Thong pula. "Sekarang mari kita coba pula, aku tidak akan pinjam tenaga
di kaki itu."
Kwee Ceng menurut, ia keluarkan pula tangannya. Ia lantas merasa seperti
tertolak dan ketarik, akan akhirnya, runtuh kuda-kudanya, lantas ia
jatuh ngusruk ke depan, kepalanya membentur tanah. Ketika ia merayap
bangun, ia berdiri bengong saking herannya.
"Mengerti kau sekarang?" Pek Thong tanya tertawa.
"Tidak," menyahut si anak muda, menggeleng kepala.
"Ilmu ini aku dapatkan selama sepuluh tahun aku berdiam di dalam gua
ini," Pek Thong menerangkan. "Aku pun mendapatkannya secara tiba-tiba.
Semasa hidupnya suko, ia pernah omong halnya menyerang menggertak
manjadi benar-benaran. Dulu hari itu aku tidak menginsyafinya, aku tidak
perhatikan, hanya kemudian baru aku memahamkan itu. Tadinya aku belum
mempercayai penuh, sebab aku cuma dapat berlatih, belum pernah
mencobanya. Sekarang barulah aku menguji terhadapmu. Adik, mari kita
mencoba pula. Kau jangan takut, lagi beberapa kalli aku akan membuatmu
roboh!"
Kwee Ceng bersangsi. Orang tua ini melihat adik angkat ini ragu-ragu, ia
lalu meminta. Katanya: "Adikku, aku menggemari ilmu silat melebihkan
jiwaku, selama lima belas tahun, aku mengharap-harapkan ada orang yang
bisa main-main dengan aku, buat beberapa jurus saja. Beberapa bulan yang
lain putrinya Oey Lao Shia telah ke mari, ia omong banyak, bisa
menghibur aku, hanya selagi aku ingin memancing ia untuk diuji, di lain
harinya ia tidak datang pula. Adikku yang baik, tidak nanti aku
merobohkan keras-keras padamu…."
Kwee Ceng mengawasi, ia melihat kedua tangan orang digerak-gerakkan,
seperti sudah sangat gatal. "Baik," sahutnya kemudian. "Roboh beberapa
kali tidak berarti apa-apa." Ia pun lantas melonjorkan tangannya.
Mereka lantas bentrok. Selang beberapa jurus, terasa tangannya Pek Thong
dikerahkan. Tidak ampun lagi, Kwee Ceng terguling tapi belum ia roboh,
ia disampok dengan tangan kiri, hingga ia berjumpalitan. Karena ini,
ketika ia jatuh, ia merasakan sakit.
Kelihatannya Pek Thong menyesal tetapi ia lantas berkata: "Adikku yang
baik, tidak percuma aku membuatnya kau roboh. Nanti aku memberi
penjelasan kepadamu tentang jurus ini." Kwee Ceng menahan sakit, ia
merayap bangun. Ia dekati kakak angkatnya itu.
Pek Thong mengangkat mangkok nasinya. "Mangkok ini asalnya terbuat dari
lumpur, karena tengahnya dikosongi, dapatlah dipakai mengisi nasi. Coba
semuanya terisi, ada apakah gunanya?"
Kwee Ceng mengangguk, hatinya berpikir; "Inilah sangat sederhana, tapi sebenarnya tadi-tadinya belum pernah aku memikirkannya."
"Demikian juga rumah," kata Pek Thong. "Karena di dalamnya kosong dan
ada pintu dan jendelanya, rumah itu dapat ditinggali. Kalau rumah itu
terisi dan tanpa pintu atua jendela, apa jadinya?"
Kwee Ceng mengangguk.
"Demikian pula ilmu silat Coan Cin Pay. Ilmu ini berpokok pada kosong
dan lemas. Kosong dapat diisi dan lemas dapat dibikin keras."
Kwee Ceng berpikir, ia masih belum mengerti jelas.
"Ang Cit Kong itu ahli Gwa-kee, ilmu luar, dia sudah sampai di puncaknya
kemahiran, maka itu, meski aku mengerti ilmu silat Coan Cin Pay,
mungkin aku bukan tandingan dia. Tapi ilmu luar itu ada batasnya, tidak
demikian dengan Coan Cin Pay. Buktinya ketika kakak seperguruanku
memperoleh gelar orang gagah nomor satu, ia bukannya mendapatkannya itu
karena beruntung. Tidak! Itulah karena kepandaiannya. Coba ia masih
hidup sekarang, setelah peryakinan lebih jauh belasan tahun, apabila dia
diadu pula, tidak nanti dia memakai tempo sampai tujuh hari tujuh
malam. Aku percaya, dalam tempo satu hari saja, dapat ia merobohkan
semua lawannya."
"Sayang adikmu tidak mempunyai rejeki untuk menemui Ong Cinjin," berkata
Kwee Ceng, "Ang Insu dengan Hang Liong Sip-pat Ciang menjadi jagonya
golongan ilmu luar, dan toako barusan, dengan ilmu silatmu yang
manjatuhkan aku itu, menjadi jago golongan lemas…."
Pek Thong tertawa. "Benar, benar!" katanya. "Memang lemas bisa
mengalahkan keras, hanya kalau Hang Liong Sip-pat Ciang kau adalah
semahir Ang Cit Kong, tidak dapat aku merobohkan kau. Semua itu
tergantung sama dalam dan ceteknya peryakinan. Sekarang kau
perhatikanlah."
Pek Thong lantas memberikan penjelasannya, berikut gerak-gerik
tangannya. Karena ia tahu orang lambat mengerti, ia berlaku sabar dan
perlahan. Kwee Ceng mesti belajar sambil mencoba, selang beberapa puluh
kali, barulah ia mulai mengerti.
"Kalau kau sudah tidak sakit lagi, mari aku mencoba merobohkan pula padamu!" kata Pek Thong kemudian.
Kwee Ceng tertawa, "Sakitnya sih tidak, malah pengajaran barusan belum aku mengerti semua," sahutnya. Ia lantas mengingat-ingat.
Pek Thong benar seperti bocah, ia mendesak. "Mari, marilah!" bilangnya.
Tapi ini justru menyebabkan Kwee Ceng mesti berpikir terlebih keras
lagi. Sampai sekian lama, baru si anak muda mengerti. Maka ia lantas
melayani pula kakak angkatnya itu. Lacur untuknya, walaupun ia sudah
bersedia, kembali ia kena dirobohkan!
Demikian seterusnya, siang dan malam, mereka berlatih. Kwee Ceng
menderita, tubuhnya jadi bengkak di sana-sini dan matang biru. Ia
bukannya roboh terbanting puluhan, bahkan ratusan kali. Tapi tubuhnya
kuat, ia pun bisa menahan sakit. Untungnya, kepadanya telah diwariskan
kepandaiannya itu kakak angkat. Itulah ilmu silat "Kong-beng-kun" atau
"Kepalan Kosong", yang terdiri dari pada tujuhpuluh dua jurus, yang
diciptakan sesudah lima belas tahun dalam kurungan………