Bab 4
Bu Sin bertukar pandang
dengan dua orang adiknya. Mereka tadinya menaruh curiga terhadap enam orang
yang mengaku pemburu-pemburu ini, akan tetapi mendengar disebutnya nama Suling
Emas, mereka tertarik sekali. Agaknya kata-kata suling itulah yang menarik perhatian.
Bukankah musuh besar mereka adalah seorang yang membawa suling? Karena itu
mereka bertiga lalu ikut mendengarkan, sungguhpun mereka memilih tempat duduk
yang agak jauh, di atas batu-batu besar dan selalu siap waspada menjaga segala
kemungkinan.
˜Terjadinya di hutan
Hek-yang-liu (Cemara Hitam),! pemburu she Tan itu mulai bercerita,
˜kurang lebih tiga bulan
yang lalu. Kalian tahu hutan itu penuh dengan ular besar. Aku memang hendak
berburu ular, mendapat pesanan kulit ular dari saudagar kulit, dan jantung ular
kembang dari seorang pemilik toko obat di kota Wu-han.!
˜Kau memang tabah sekali,
Tan-twako, berburu ular besar sendirian saja,! komentar seorang temannya.
˜Aku sudah biasa berburu
ular, cukup dengan tombak dan anak panah serta gendewa. Dalam waktu dua hari
saja aku sudah dapat memanah mati dua ekor ular sebesar paha. Akan tetapi pada
hari ke tiga, ketika aku sedang menjemur kulit dan jantung ular, tiba-tiba
muncul empat ekor harimau yang langsung menyerangku. Mereka adalah dua ekor
harimau tua dan dua ekor masih muda. Aku cepat meraih tombak dan melawan, akan
tetapi bagaimana dapat melawan empat ekor harimau yang menyerang sekaligus?
Agaknya mereka berlumba untuk menerkam aku lebih dulu. Aku dapat menusuk paha
seekor harimau, akan tetapi pada saat tombakku masih menancap di paha, harimau
jantan yang tua telah menubruk dan menerkam pundak kiriku. Aku melepaskan
tombak, mencabut pisau, akan tetapi sebelum aku dapat menusuk dada berbulu
putih di atas mukaku itu, harimau ke dua sudah menggigit pangkal lengan kananku
sehingga pisau itu terlepas, seluruh tubuh terasa nyeri dan aku tak berdaya
lagi..!
˜Twako, kukira apa yang
dapat kaulakukan hanya berteriak minta tolong,! kata seorang. Kata-kata ini
kalau diucapkan pada suasana yang tidak sedang tegang tentu terdengar lucu.
˜Hutan itu sunyi, minta
tolong apa artinya? Pula, aku sudah nekat dan siap menghadapi kematian sebagai
seorang pemburu!! bantah pemburu she Tan dengan suara gagah. ˜Akan tetapi
agaknya belum tiba saatnya aku mati. Pada waktu itu aku sudah hampir pingsan,
pandangan mataku sudah kabur. Tiba-tiba terdengar suara suling yang melingking
tinggi. Empat ekor harimau itu agaknya terkejut, aku sendiri merasa seakan-akan
kedua telingaku ditusuk jarum dan agaknya aku sudah pingsan. Namun dalam
keadaan hampir tak sadar itu aku melihat bayangan orang memegang suling yang
berkilauan ditimpa sinar matahari. Jelas bahwa suling itu terbuat daripada
benda kuning berkilauan, tentu suling emas. Terdengar suara gaduh ketika empat
ekor harimau itu meraung-raung dan mengaum, lalu tampak harimau-harimau itu
bergerak cepat, menerkam ke depan, terjadi perkelahian cepat yang tak dapat
diikuti pandangan mata, kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi..!
˜Lalu bagaimana, Twako?!
Lima orang pendengarnya makin tegang. Juga tiga orang muda itu mendengarkan
penuh perhatian.
˜Entah berapa lama aku
pingsan, aku tidak tahu. Ketika aku membuka mata, kulihat bangkai empat ekor
harimau menggeletak di sana-sini. Anehnya, pundak dan lenganku sudah terbalut
oleh robekan bajuku sendiri, rasanya dingin nyaman dan aku tidak merasakan
nyeri lagi. Ketika kuperiksa bangkai-bangkai itu, kiranya empat ekor harimau
itu pecah kepalanya. Wah, aku pesta besar, tidak saja karena mendapat daging
harimau yang menguatkan tubuh, juga mendapatkan empat lembar kulit harimau yang
utuh dan indah. Mau aku mengalami hal itu sekali lagi kalau hadiahnya demikian
besar.!
˜Jadi yang menolong itu
adalah Suling Emas, pendekar ajaib yang sering kali kita dengar namanya namun
belum pernah menampakkan diri kepada orang lain itu?!
˜Agaknya begitulah. Siapa
lagi kalau bukan dia yang dapat membunuh empat ekor harimau tanpa merusak
kulitnya? Siapa lagi pendekar yang membawa suling emas kalau bukan Si Suling
Emas?!
Tanpa mereka sadari, Bu
Sin dan dua orang adiknya kini sudah duduk mendekat api unggun.
˜Twako, siapakah
sebenarnya Suling Emas itu? Apakah dia itu seorang pendekar yang suka menolong
orang? Ataukah dia seorang penjahat yang suka membunuh orang?! tiba-tiba Bu Sin
bertanya.
˜Siapa yang tahu, anak
muda? Sepak terjang seorang ajaib seperti dia itu tak dapat diketahui orang.
Tentang pembunuh, agaknya dia memang suka membunuh. Pernah aku mendengar betapa
gerombolan perampok di muara Sungai Yang-ce sebanyak tiga puluh orang lebih
semua terbunuh olehnya.!
˜Kabarnya dia pernah
menggegerkan dunia kang-ouw dengan membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai.
Heran betul, membunuh perampok-perampok itu adalah pekerjaan pendekar akan
tetapi dua orang hwesio alim dari Siauw-lim-pai, kenapa dibunuhnya?! kata
seorang pemburu yang berhidung besar.
˜Juga ketika terjadi geger
di kota raja karena hilangnya burung hong mutiara milik permaisuri, orang-orang
mengabarkan bahwa Suling Emas yang mencurinya. Ada yang bilang dia itu sudah
tua sekali, seorang kakek yang pakaiannya seperti seorang pelajar kuno.
Betulkah ini, Tan-twako? Ketika kau ditolongnya, orang macam apa yang kau
lihat?!
˜Aku hampir pingsan dan
gerakannya secepat kilat, hanya bayangannya saja yang kulihat. Tapi ada yang
mengabarkan bahwa dia itu masih amat muda, seorang pemuda yang pakaiannya
seperti pelajar. Yang sama dalam berita angin itu hanya tentang pakaiannya.
Tentu dia seorang pelajar.!
˜Dan pandai bersuling.!
˜Suka menolong orang, suka
pula membunuh, suka mencuri..!
Macam-macam suara para
pemburu ini yang mengemukakan masing-masing, akan tetapi jelas bagi Bu Sin
bahwa tak seorang pun di antara mereka tahu akan hal yang sesungguhnya.
Diam-diam ia berpikir. Betulkah pembunuh orang tuanya adalah Suling Emas ini?
Dan orang yang muncul dengan sulingnya, yang agaknya ditakuti It-gan Kai-ong,
apakah dia itu Suling Emas? Pakaiannya memang seperti pakaian pelajar, tapi
berwarna hitam. Tentang wajahnya, ia pun tak dapat melihatnya karena orang itu
membelakanginya. Tapi jelas pakaian pelajar berwarna hitam dan tubuhnya tinggi
besar.
˜Sudahlah, apa pun dia,
terang bahwa dia adalah seorang sakti yang berkepandaian tinggi. Tidak baik
kita membicarakannya. Siapa tahu ia mendengarkan percakapan kita. Hiiihhh,
meremang bulu tengkukku. Orang sakti seperti dia tidak boleh dibicarakan. Kalau
sedang baik, memang menyenangkan sekali, akan tetapi kalau marah..! Pemburu she
Tan itu menggigil seperti orang kedinginan, menyorongkan kedua lengannya dekat
api.
˜Betapapun juga, kalau dia
marah dan membunuhku, aku tidak akan penasaran karena memang aku berhutang budi
dan nyawa kepadanya.!
Sebentar kemudian, keenam
pemburu itu sudah tidur mendengkur di dekat api. Mereka ini benar-benar
sembrono dan tidak pedulian. Masa enam orang di dalam hutan besar kesemuanya
tidur? Tidak menjaga secara bergiliran? Bagaimana kalau api unggun menjilat
baju? Mungkin mereka merasa aman karena di situ ada tiga orang muda yang
agaknya tidak nampak lelah. Mendongkol hati Bu Sin. Kalau mereka menganggap dia
dan adik-adiknya sebagai penjaga keselamatan mereka, ia tidak sudi. Ia mengajak
kedua orang adiknya menjauhi tempat itu dan membuat api unggun sendiri,
kira-kira empat ratus meter jauhnya dari tempat para pemburu.
Menjelang tengah malam,
keadaan amat sunyi di dalam hutan itu. Bu Sin tak dapat meramkan mata sedikit
pun. Pengalaman yang mereka alami semenjak keluar dari dusun, amatlah hebat.
Mulailah mereka berkenalan dengan kehidupan perantauan, bertemu dengan
orang-orang kang-ouw dan malah mereka secara tidak sengaja telah terjun ke
dalam permusuhan dengan golongan pengemis kang-ouw yang dikepalai atau dirajai
oleh seorang tokoh sakti yang mengerikan bernama It-gan Kai-ong. Nama ini
takkan mudah terlupa dari ingatannya dan ia tahu bahwa ia harus berhati-hati
dan menjauhkan diri dari kakek iblis itu. Lin Lin dan Sian Eng tidur pulas
meringkuk di dekat api unggun, berbantal akar pohon yang menonjol kduar dari
tanah.
Tak baik melakukan
perjalanan dengan gadis-gadis ini, pikirnya. Biarpun mereka berdua memiliki
kepandaian tidak kalah olehnya, namun mereka tetap perempuan, banyak
mendatangkan dan memancing keributan. Ia harapkan dapat bertemu dengan
kakaknya,
Kam Bu Song di kota raja
dan besar harapannya pula bahwa keadaan kakaknya yang sepuluh tahun lebih tua
daripadanya itu telah mendapatkan kedudukan yang cukup baik. Ia harus
menitipkan kedua orang adiknya kepada kakaknya itu, kemudian ia akan
melanjutkan usahanya mencari musuh besarnya itu, seorang diri.
Lewat sedikit tengah
malam, Lin Lin bangun.
˜Sin-ko, sekarang kau
tidurlah, biar aku yang berjaga.! Mendengar suara adiknya, Sian Eng juga bangun
mengulet dan menguap.
˜Biarlah aku yang
berjaga,! katanya. ˜Kalian tidurlah, aku tidak mengantuk,! kata Bu Sin,
kasihan melihat dua orang
adiknya. Ia mengalah dan ingin berjaga semalam suntuk, membiarkan kedua adik
perempuannya itu tidur melepaskan lelah.
˜Ah, mana bisa, Sin-ko?
Kau pun manusia dari darah daging saja, mana tidak lelah dan ngantuk? Biarlah
aku dan Cici Sian Eng berjaga,! kata Lin Lin sambil menambah ranting kering
pada api unggun sehingga keadaan menjadi hangat.
˜Biarlah kita
bercakap-cakap dulu, aku tadi merenungkan hasil kepergian kita ke kota raja.
Bagaimana kalau kita tidak dapat menemukan saudara tua kita di sana?!
˜Sin-ko, jangan
khawatirkan hal yang belum kita hadapi. Tentu dia berada di sana. Andaikata
tidak ada di sana pun, kurasa mencari seorang bernama Kam Bu Song, putera dari
mendiang ayah Kam-goanswe, seorang pelajar yang datang dari Ting-chun di kaki
Gunung Cin-ling-san, tidak akan sukar. Tentu ada yang mengenalnya di kota raja.
Nah, tenang dan tidurlah Sin-ko.!
Bu Sin tersenyum. Adiknya
yang sulung ini memang besar hati dan kalau mendengarkan bicaranya memang ia
tidak perlu gelisah. Seorang gagah tidak menakuti hal yang belum dihadapi,
bahkan hal yang sudah dihadapi sckalipun tidak boleh mendatangkan rasa takut,
harus dihadapi dengan tenang dan waspada, demikian pesan ayahnya dahulu.
˜Lin Lin, kau benar. Biar
kucoba tidur agar besok kuat kupakai jalan jauh.! Bu Sin lalu merebahkan
tubuhnya, miring menghadapi api unggun.
Akan tetapi tiba-tiba
tubuhnya mencelat ke atas, juga dua orang gadis itu meloncat berdiri. Mereka
berdiri dan saling pandang, penuh rasa kejut dan seram. Suara melengking tinggi
itu masih terdengar mengiang-ngiang ke telinga mereka. Lengking tinggi menusuk
telinga, suara suling. Lalu disusul suara pekik ketakutan, atau mungkin pekik
kesakitan, betapapun juga, pekik ini susul-menyusul dan amat mengerikan.
Akhirnya, tiga orang itu tidak dapat menahan lagi, telinga serasa pecah oleh
lengking itu. Dengan kedua tangan menutupi telinga, Bu Sin memberi isyarat
kepada adik-adiknya. Mereka lalu duduk bersila, menutupkan kedua telapak tangan
ke telinga, meramkan mata dan bersamadhi, mengerahkan lwee-kang untuk menjaga
isi dada yang terguncang hebat oleh suara itu.
Dapat dibayangkan hebatnya
suara itu karena biarpun mereka sudah menutupi telinga dan mengerahkan
lwee-kang masih saja suara itu menyerbu masuk ke dalam telinga dan tubuh mereka
gemetaran. Akan tetapi berkat lwee-kang mereka, tiga orang muda itu dapat
mempertahankan diri dan tidak terluka dalam.
Hanya sepuluh menit kurang
lebih suara itu melengking-lengking, lalu sunyi, sunyi seperti kuburan. Mereka
menurunkan kedua tangan. Bergidik ketika saling pandang. Sinar mata mereka
saling mufakat bahwa yang bersuara tadi tentulah Suling Emas, karena mereka
masih ingat akan suara suling yang pernah menusuk telinga mereka ketika mereka
terancam oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi suara suling kali ini amatlah
mengerikan.
Sampai pagi tiga orang
muda itu tak dapat tidur lagi. Malah mereka duduk bersila mengumpulkan tenaga,
siap sedia menanti datangnya bahaya dan mengambil keputusan untuk
mempertahankan diri mati-matian biarpun akan datang serangan orang sakti sekali
pun. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan kesunyian yang mencekam itu segera
dipecahkan oleh kicau burung dan kokok ayam hutan.
˜Mari kita segera pergi
dari sini,! kata Bu Sin. Kedua orang adiknya dapat menangkap pandang mata dan
suara hati yang tersembunyi dalam ucapan ini, seakan-akan berkata,
˜Untung tidak terjadi
apa-apa pada kita, lebih cepat pergi dari sini lebih baik.!
Biasanya dalam perjalanan
yang lalu, sebelum pergi tentu mereka bertiga akan mencari mata air atau sungai
untuk mencuci muka atau mandi, terutama Lin Lin yang suka sekali bermain di
air. Akan tetapi kali ini ketiganya agaknya lupa untuk cuci muka dan
tergesa-gesa pergi dari situ.
˜Ha, Sin-ko, lihat mereka
itu!!
Ketiganya memandang. Dari
jauh tampak enam orang pemburu itu masih rebah, ada yang meringkuk, ada yang
telentang atau telungkup, sedangkan api unggun sudah lama padam.
˜Malas amat
pemburu-pemburu itu, mengapa belum juga bangun?! kata Sian Eng.
˜Mari kita lihat, agak
aneh sikap mereka.! kata Bu Sin. Ketiganya berlari mendekat dan tak lama
kemudian mereka bertiga berdiri dengan muka pucat dan bengong. Kiranya enam
orang itu sudah tak bernyawa lagi dan kepala mereka, tepat di ubun-ubun, semua
telah bolong sehingga tampak otaknya!
Tahulah mereka bertiga
sekarang bahwa yang menjerit-jerit malam tadi adalah mereka inilah, jerit
ketakutan dan kengerian.
˜Ahhhhh..!! Sian Eng
menutupi mukanya, perutnya tiba-tiba terasa mual dan ingin muntah. Lin Lin
cepat merangkulnya.
˜Tenang, Cici.! Akan
tetapi dia sendiri gemetar dan kaki tangannya menjadi dingin.
˜Mari kita pergi,! ajak Bu
Sin, juga pemuda ini suaranya gemetar.
˜Nanti dulu Sin-ko. Tak
mungkin kita meninggalkan begitu saja enam mayat ini. Mereka tentu akan dirobek-robek
binatang buas.!
˜Habis kau mau apa?!
˜Kita kubur dulu mereka.
Lupakah kepada pesan Ayah bahwa melihat orang kesusahan harus menolong,
terhadap orang tua harus menghormat, terhadap anak-anak harus melindungi, dan
melihat mayat tak terurus harus menguburnya?!
Seketika wajah Bu Sin
menjadi merah.
˜Terima kasih, Lin-moi.
Hampir saja aku lupa akan pesan Ayah karena ngeri dan seram. Mari!!
Sekarang Sian Eng telah
dapat menguatkan hatinya dan tiga orang muda ini lalu menggunakan pedang mereka
untuk menggali lubang yang cukup besar untuk mengubur enam orang itu. Karena
Lin Lin dan Sian Eng merasa enggan mengangkat mayat-mayat lelaki itu, Bu Sin
yang turun tangan dan mengangkat mayat-mayat itu seorang demi seorang,
dimasukkan ke dalam kuburan bertumpuk, lalu mereka bertiga menguruk lubang itu
dengan tanah.
Hari telah siang ketika
mereka selesai melakukan tugas ini dan cepat-cepat mereka meninggalkan tempat
hutan besar itu, menuju ke arah munculnya matahari. Lega hati mereka bahwa
mereka tidak menemui gangguan di jalan sampai mereka keluar dari hutan dan
melalui dusun-dusun.
Rumah makan itu masih
sunyi. Agaknya hari masih terlampau pagi untuk makan. Bu Sin dan dua orang
adiknya sudah amat lapar. Maklum semalam berjalan terus di bawah sinar bulan.
Asap berbau sedap yang melayang keluar dari dalam dapur rumah makan menyerang hidung,
membuat mereka tak dapat menahan lapar lagi.
Hanya ada dua meja yang
dihadapi tamu. Kebetulan agaknya, dua meja itu adalah meja di ujung kiri dan
meja di ujung kanan. Yang sebuah dihadapi seorang laki-laki berjenggot panjang,
empat puluhan tahun usianya, duduk bersunyi sendiri. Meja ke dua dihadapi dua
orang, agaknya suami isteri, kurang lebih tiga puluhan tahun. Sikap kedua orang
ini gagah, baik si suami maupun si isteri. Mereka duduk berhadapan, makan bubur
panas-panas dengan sumpit, cepat sekali seakan-akan mereka tergesa-gesa. Di
punggung mereka tergantung gagang dua buah senjata. Tadinya Bu Sin dan
adik-adiknya mengira bahwa mereka itu masing-masing membawa siang-kiam (pedang
pasangan), akan tetapi mereka terheran melihat bahwa dua buah senjata itu
tidaklah sama. Sebuah pedang dan sebilah golok!
Bu Sin dan dua orang
adiknya belum sempat memilih tempat, karena pada saat mereka memasuki ruangan
depan rumah makan itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
˜Pencuri-pencuri bangsa
Hou-han hendak sembunyi ke mana kalian?! Muncullah empat orang laki-laki yang
nampak gesit-gesit dan kuat, berlompatan ke dalam dan mereka segera mengurung
suami isteri itu. Seorang mencabut pedang, seorang lain mengeluarkan sepasang
siang-kek (tombak pendek sepasang), orang ke tiga mengeluarkan sebuah cambuk
baja yang ujungnya seperti jangkar kecil, sedangkan orang ke empat yang agaknya
pemimpin rombongan ini, juga yang tadi membentak, memasang kuda-kuda dengan
tangan kosong.
˜Lebih baik kalian
menyerahkan kembali benda itu kepada kami, mungkin kami akan dapat mengampuni
nyawa kalian,! kata pula yang bertangan kosong.
Suami isteri itu saling
lirik. Ketika si suami menurunkan mangkoknya, isterinya mencela,
˜Makan dulu sampai habis,
baru layani anjing-anjing ini. Mengapa tergesa-gesa?!
Keduanya lalu makan terus
dengan tenangnya, menghabiskan bubur di dalam mangkok. Bu Sin dan adik-adiknya
amat kagum menyaksikan sikap dua orang ini. Amat tenang dan amat gagah. Namun
mereka bertiga tak dapat bersimpati kepada sepasang suami isteri ini karena
bukankah tadi rombongan itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah orang-orang
Hou-han? Berarti orang yang sekampung dengan Bu Sin bertiga, akan tetapi siapa
tahu mereka itu adalah pembantu-pembantu dari Kerajaan Hou-han, yang memusuhi
mendiang ayah mereka? Keluarga Kam terkenal sebagai keluarga yang tidak mau
tunduk kepada Kerajaan Hou-han, bahkan dianggap setengah pelarian.
Suami isteri itu sudah
selesai makan. Tiba-tiba mereka bergerak dan dua pasang sumpit di tangan
meluncur bagaikan anak panah. Empat batang sumpit itu menyerang empat orang
yang mengurung mereka. Namun para pengurungnya juga bukan orang sembarangan.
Dengan mudah mereka mengelak dan sumpit-sumpit itu menancap sampai separohnya
lebih pada dinding.
˜Bagus!! Pujian ini keluar
dari mulut laki-laki jenggot panjang yang sejak tadi masih duduk di sudut,
menghadapi meja dan tenang-tenang saja sambil makan daging goreng dan nonton
adegan di depannya itu. Matanya bersinar-sinar wajahnya berseri-seri, agaknya
ia gembira sekali dapat makan sambil menikmati tontonan gratis ini.
Melihat betapa sambitan
mereka dengan sumpit-sumpit itu tidak mengenai sasaran, suami isteri itu
melempar mangkok kosong ke lantai sambil meloncat dan begitu kedua tangan
mereka bergerak, kedua tangan mereka sudah mencabut senjata dan kini tangan
kiri memegang pedang sedangkan tangan kanan memegang golok. Mereka membuat
gerakan memutar dan sudah berdiri saling membelakangi siap dengan senjata di
tangan. Cerdik mereka, pikir Bu Sin yang menonton di dekat pintu. Suami isteri
itu berdiri berhadapan punggung, dengan kedudukan demikian mereka dapat
mencegah serangan gelap dari belakang.
Pertandingan dimulai tanpa
kata-kata. Empat orang itu segera menyerbu, yang bersenjata pedang dan si
pemegang siang-kek mengeroyok si suami, sedangkan wanita itu dikeroyok oleh si
pemegang cambuk dan yang bertangan kosong. Para pelayan rumah makan itu lari
berserabutan keluar sambil berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin dan adik-adiknya
menjadi kagum setelah pertempuran itu berlangsung seru. Kepandaian empat orang
itu cukup tinggi, apalagi yang bertangan kosong, akan tetapi gerakan mereka
biasa. Sebaliknya, suami isteri itulah yang mendatangkan kagum. Si suami
bergerak dengan tenang, namun kedudukannya kokoh kuat seperti batu karang.
Sebaliknya, isterinya lincah bukan main, berloncatan ke sana ke mari
seakan-akan seekor burung walet yang gesit, mendesak kedua orang lawannya.
Pertempuran itu makin lama
makin hebat dan tahulah Bu Sin bertiga bahwa kepandaian mereka itu rata-rata
lebih tinggi daripada tingkat kepandaian sendiri. Diam-diam ia merasa khawatir
sekali dengan warisan ayahnya yang ia miliki, juga kedua orang adiknya,
bagaimana mereka bertiga akan dapat merantau di dunia kang-ouw dan lebih-lebih
lagi, bagaimana mereka akan mampu mencari dan membalas sakit hati orang tua
mereka? Makin dekat dengan kota raja, agaknya makin banyak terdapat orang-orang
yang kepandaian silatnya amat tinggi.
Tiba-tiba nyonya muda itu
mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya melayang ke atas dan goloknya menyambar
lawannya yang paling tangguh, yaitu laki-laki yang bertangan kosong. Pada saat
itu cambuk dari lawannya ke dua telah melayang dan melecut, dengan gerakan
cepat sekali meluncurlah jangkar kecil runcing itu ke arah lehernya!
˜Roboh dia..!! Lin Lin
berseru perlahan. Sejak tadi perhatian Lin Lin terpusat pada wanita ini. Ia
amat kagum karena maklum bahwa dalam ilmu silat, wanita itu jauh melampauinya,
baik dalam permainan senjata maupun ilmu meringankan tubuh. Akan tetapi karena
ia tidak tahu apa persoalannya maka terjadi pertempuran itu, hatinya tidak
berpihak mana-mana. Betapapun juga, melihat ujung cambuk yang seperti jangkar
kecil itu menyambar leher, ia berseru dengan hati tegang.
Namun wanita yang masih
meloncat di udara itu tiba-tiba menggerakkan pinggulnya dan.. seperti seekor
ular hidup, sabuknya yang panjang itu melayang ke belakang dan ujungnya tepat
sekali melibat ujung cambuk. Terjadi saling libat dari tarik-menarik sehingga
jalannya pertempuran di pihak wanita itu agak kaku.
Mendadak laki-laki
berjenggot pendek yang duduk di sudut itu tertawa dan tahu-tahu tubuhnya sudah
mencelat ke dalam gelanggang pertempuran. Bu Sin dan dua orang adiknya kaget
sekali, tidak mengira bahwa laki-laki penonton yang aneh itu dapat bergerak
secepat itu. Tahu-tahu laki-laki ini sudah mengulur tangannya membetot ujung
sabuk dan cambuk yang saling libat sambil berkata.
˜Tidak ramai kalau
begini!!
Hebat orang ini. Sekali
renggut saja, libatan dua macam senjata itu terlepas dan kelihatan tangan
kirinya tadi bergerak cepat ke arah tubuh laki-laki yang dikeroyok dari
belakang. Kemudian setelah cambuk dan sabuk terlepas, sambil tertawa
terkekeh-kekeh laki-laki berjenggot ini sudah meloncat keluar dari tempat itu.
Suami isteri yang
menghadapi pengeroyokan berat itu agaknya tidak begitu memperhatikan ikut
campurnya laki-laki berjenggot, akan tetapi Bu Sin yang sejak tadi memandang
tajam, dapat melihat betapa tangan laki-laki berjenggot itu memegang sesuatu
ketika tadi bergerak di belakang laki-laki yang dikeroyok.
˜Mari, ikuti dia..!!
katanya perlahan memberi isyarat kepada Sian Eng dan Lin Lin. Ketiganya cepat
meloncat keluar pula dan menyusup di antara banyak orang yang berkumpul dan
menonton di luar rumah makan.
˜Sin-ko, buat apa kita
campuri urusan mereka?! Lin Lin mencela, akan tetapi melihat Bu Sin dan Sian
Eng sudah melompat keluar, terpaksa ia pun mengikuti mereka. Mereka membayangi
si jenggot panjang itu dari jauh dan karena yang dibayangi hanya berjalan
seenaknya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengikuti terus. Akan tetapi setelah
keluar dari desa itu, si jenggot panjang lalu lari dengan gerakan cepat. Bu Sin
yang ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa yang dicurinya tadi dari
sepasang suami isteri dari Hou-han, mengajak adik-adiknya mengikuti terus.
Menjelang sore mereka
memasuki kota An-sui dan laki-laki itu setelah masuk kota kembali berjalan
biasa. Kota An-sui cukup besar dan karena kota ini sudah termasuk wilayah
Kerajaan Sung, apalagi letaknya tidak jauh dari kota raja, maka keadaannya
ramai dan di situ banyak terdapat rumah-rumah kuno dan besar milik orang-orang
bangsawan. Orang berjenggot panjang itu akhirnya memasuki sebuah rumah besar
yang di bagian depannya ditulis dengan huruf besar: GEDUNG PANGERAN SUMA.
Tentu saja kakak beradik
itu tidak berani masuk terus.
˜Kita bermalam di kota
ini,! kata Bu Sin dan pergilah mereka mencari rumah penginapan.
˜Malam nanti kita
menyelidik.!
Setelah berada di kamar
penginapan, Lin Lin kembali mencela,
˜Sin-ko, kepergian kita
bukankah untuk mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kita? Apa perlunya
kita mencampuri urusan si jenggot tadi?!
˜Kau lihat sendiri, tadi
dia mencuri sesuatu dari suami isteri dari Hou-han itu,! jawab kakaknya.
˜Peduli apa kalau dia mau
mencuri apa pun juga? Apa sangkut pautnya dengan kita, Koko? Biarpun aku kagum
kepada suami isteri yang gagah itu, akan tetapi kita tidak mengenalnya dan
tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tadi bertempur, tidak mengenal pula siapa
lawan-lawannya.!
˜Kau benar, Lin-moi. Akan
tetapi ada satu hal yang membuat aku tertarik dan terpaksa berpihak kepada
mereka. Mereka itu adalah orang-orang dari wilayah Hou-han, seperti juga kita.
Siapa tahu kalau-kalau benda yang dicuri si jenggot tadi amat penting bagi
Kerajaan Hou-han?!
˜Sin-ko, kau berpihak
kepada Kerajaan Hou-han? Tak ingat bahwa Ayah telah melarikan diri dari
kerajaan itu karena kelaliman rajanya?!
˜Waktu itu belum menjadi
kerajaan, adikku. Ayah seorang setia dan tidak suka akan pemberontakan. Akan
tetapi sekarang telah menjadi wilayah Hou-han, aku tidak membela apa-apa, akan
tetapi sedikitnya tentu berpihak kepada wilayah sendiri, bukan?
˜Adik Lin, kalau takut,
malam ini tidak usah ikut, tinggal saja di kamar, biar aku dan Sin-ko sendiri
yang pergi menyelidik,! kata Sian Eng yang tidak senang melihat kerewelan Lin
Lin. Lin Lin tidak marah, malah tertawa,
˜Cici, kalau ada apa-apa
terjadi kapadamu, siapa yang akan menolong kalau aku tidak ikut? Tentu saja aku
ikut.!
˜Kalau begitu tak perlu
banyak rewel.!
˜Kita mengaso dulu sore
ini, siapa tahu malam nanti kita harus menggunakan banyak tenaga,! kata Bu Sin.
˜Aku akan pesan makanan di luar rumah penginapan.!
Tak lama Bu Sin keluar,
ketika masuk lagi wajahnya berubah.
˜Mereka juga sudah berada
di kota ini.!
˜Siapa?! tanya Lin Lin.
˜Siapa lagi, suami isteri
itu.!
Mendengar ini, Lin Lin
tertarik dan mereka menjadi tegang. Apakah sepasang suami isteri itu sudah tahu
ke mana perginya orang berjenggot tadi? Apakah mereka sudah tahu bahwa orang
itu mengambil sesuatu dari mereka?
˜Hebat, cepat benar mereka
dapat mengejar ke sini. Agaknya mereka menang dalam pertempuran tadi,! kata Lin
Lin. ˜Apakah mereka sudah tahu tempat si jenggot itu?!
˜Kurasa mereka tentu tahu.
Mereka itu bukan orang biasa, melainkan orang-orang kang-ouw yang ulung. Akan
ramai malam nanti, kita menjadi penonton saja sambil menambah pengalaman,! kata
Bu Sin, dan mereka bertiga pergi ke dalam kamar mengaso.
Penghuni rumah gedung itu
adalah keluarga Pangeran Suma Kong, sedangakan Pangeran Suma Kong ini adalah
pangeran Kerajaan Sung yang masih merupakan keluarga dekat dengan kaisar. Akan
tetapi karena ia pernah melakukan korup besar-besaran dan ketahuan kaisar, ia
lalu diberhentikan daripada jabatan, akan tetapi mengingat bahwa ia masih
keluarga, kaisar tidak menjatuhkan hukuman, hanya membebaskan daripada tugas.
Pangeran Suma Kong lalu mengundurkan diri dari kota raja, tinggal di kota
An-sui, hidup sebagai bangsawan ˜pensiunan! yang kaya, memiliki gedung besar
dan sawahnya di luar kota An-sui amat luas. Tentu saja diam-diam Pangeran Suma
Kong menaruh dendam kepada Kerajaan Sung, akan tetapi karena ia sudah tua dan
merasa tidak berdaya, ia menghibur diri dengan pelbagai kesenangan, tidak mau
mempedulikan lagi tentang urusan kerajaan.
Namun tidak demikian
dengan puteranya yang bernama Suma Boan. Puteranya ini bukanlah seorang lemah.
Diam-diam dia mempelajari ilmu silat dari orang sakti yaitu bukan lain adalah
Si Raja Pengemis It-gan Kai-ong. Malah diam-diam Suma Boan menghimpun kekuatan,
bersekutu dengan Kerajaan Wu-yue di selatan. Karena It-gan Kai-ong sendiri
adalah seorang tokoh selatan yang membantu Kerajaan Wu-yue, maka dengan mudah
Suma Boan mendapatkan pengaruh di kerajaan itu dan diam-diam mengadakan
persekutuan untuk bersama-sama cari kesempatan baik dan kalau tiba waktunya
menggulingkan pemerintahan Kerajaan Sung.
Suma Boan sudah berusia
tiga puluhan tahun lebih, belum menikah, namun terhadap wanita ia terkenal
jahat dan mata keranjang. Selirnya banyak, di dalam gedung itu saja ada tujuh
orang, belum terhitung selir yang di luar gedung. Banyaknya selir itu masih
tidak mengurangi kenakalannya untuk mengganggu setiap orang wanita cantik yang
menarik hatinya, tidak peduli wanita itu masih gadis, janda maupun masih
menjadi isteri orang lain! Dia beruang, ilmu silatnya tinggi, maka tiada orang
berani menentangnya. Di An-sui ia terkenal sebagai jagoan, bahkan namanya
terkenal sampai di kota raja. Di dunia kang-ouw, ia bukan seorang yang tidak
dikenal pula, dengan julukannya yang amat tekebur, Lui-kong-sian (Dewa
Geledek)!
Suma Boan hanya mempunyai
seorang saudara kandung, yaitu adik perempuannya yang bernama Suma Ceng,
berusia dua puluh tujuh tahun. Suma Ceng sudah lama menikah dengan seorang
pangeran dan kini tinggal di kota raja. Para pelayan di dalam gedung itu maklum
betapa jauh bedanya watak Suma Ceng yang sudah pindah ikut suaminya di kota
raja itu dengan Suma Boan. Suma Ceng seorang wanita yang halus tutur sapanya,
lemah lembut dan baik budi pekertinya, ramah dan suka menolong terhadap para
pelayan. Sebaliknya, semua pelayan kuncup hatinya dan tunduk ketakutan bila
berhadapan dengan Suma Boan.
Malam hari itu, di ruangan
sebelah dalam dari gedung keluarga Suma, terdengar suara ketawa gembira.
Beberapa orang pelayan wanita yang muda dan cantik sibuk melayani tiga orang
yang sedang makan minum menghadapi meja besar. Mereka ini bukan lain adalah
Suma Boan sendiri, It-gan Kai-ong yang menjadi gurunya, dan seorang laki-laki berjenggot
panjang yang pagi tadi dibayangi oleh Bu Sin bertiga.
˜Ciok-twako, kali ini
benar-benar kau telah berjasa besar. Biarlah kuberi selamat dengan secawan
arak!! terdengar Suma Boan berkata sambil tertawa dan mengangkat cawan araknya.
Si jenggot panjang yang
bernama Ciok Kam itu tertawa merendah, mengangkat cawan araknya sambil berkata,
˜Kongcu terlalu memuji.
Hanya secara kebetulan saja saya mendapatkan surat itu, bukan sekali-kali
karena jasa saya, melainkan mengandalkan rejeki semata-mata dan kemurahan hati
Ong-ya yang telah menurunkan beberapa ilmu pukulan kepada saya. Karena itu,
penghormatan saya kembalikan kepada Kongcu dan terutama kepada Ong-ya!! Si
jenggot panjang menggerakkan cawan ke arah It-gan Kai-ong sambil membungkuk.
˜Ha-ha-ho-hoh, Ciok Kam
patut menjadi pembantu kita. Surat yang dirampasnya amat penting dan agaknya
kau akan dapat mempergunakannya dengan baik muridku. Untuk keuntungan ini mari
kita minum sepuasnya!! Mereka menenggak habis isi cawan dan cepat-cepat seorang
pelayan wanita yang cantik, yaitu seorang di antara para selir Suma Boan yang
amat dipercayanya sehingga diperkenankan menghadiri pertemuan ini, mengangkat
guci dan mengisi cawan-cawan kosong itu.
˜Jangan khawatir, Suhu.
Surat yang menyatakan hubungan persekutuan antara Kerajaan Hou-han dan Nan-cao
ini tentu akan teecu bawa ke kota raja. Tentu Kaisar akan girang dan berterima
kasih sekali kepada teecu dan saat yang baik itu akan teecu pergunakan untuk
mencari kedudukan. Biarkan Hou-han dan Nan-cao ribut dengan Sung, biarkan
anjing-anjing berebut tulang, kelak kita tinggal memukul mereka. Bukankah
begitu, Suhu?!
˜Ha-ha, kau lebih tahu
akan hal itu. Aku orang tua mana becus memikirkan tentang negara? Kalau ada
lawan yang tak sanggup kauhadapi, nah, serahkan kepadaku. Itulah bagianku.
Ha-ha-ha!!
˜Siapakah orangnya di
dunia ini yang dapat melawan Suhu? Agaknya orang itu harus dilahirkan lebih
dulu. Bukankah begitu, Ciok-twako?!
˜Betul-betul, kepandaian
Ong-ya seperti malaikat langit, mengandalkan bantuan Ong-ya, tidak ada
cita-cita yang takkan dapat tercapai,! jawab si jenggot panjang bernama Ciok
Kam.
Sementara itu, tiga
bayangan berkelebat cepat sekali di atas genteng rumah besar itu. Mereka ini
bukan lain adalah Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin. Sambil mengerahkan gin-kang,
mereka dengan hati-hati sekali berloncatan di atas genteng. Di ruangan tengah
mereka mendengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa.
˜Lin-moi, kau menjaga di
sini, aku dan Cicimu mengintai,! kata Bu Sin.
Kakak beradik itu lalu
menggunakan gerak tipu In-liong-hoan-sin (Naga Awan Membalikkan Tubuh), tanpa
mengeluarkan suara keduanya sudah berjungkir balik dengan kedua kaki tergantung
pada ujung tembok genteng, tubuh bergantung kepala di bawah seperti dua ekor
kelelawar. Lin Lin berjongkok di atas genteng, memandang kagum kepada dua orang
kakaknya itu.
Adapun Bu Sin dan Sian Eng
dalam keadaan bergantung membalik itu melihat bayangan orang dari jendela,
bayangan tiga orang laki-laki yang duduk sambil minum arak dan tertawa-tawa.
˜Ha-ha-ha, tikus-tikus
kecil macam itu perlu apa diributkan? Kalau tidak ingat akan sepotong uang
perak, sudah lama mereka menjadi bangkai.!
Suara ini membuat Bu Sin
dan Sian Eng kaget setengah mati. Kiranya itu adalah suara It-gan Kai-ong! Dan
mereka malah datang ke tempat itu, benar-benar seperti ular mendekati
penggebuk!
˜Suhu dan Ciok-twako
duduklah dan lanjutkan minum arak. Hidungku mencium bau harum wanita, tak boleh
dilewatkan begitu saja. Suhu, bolehkah?!
˜Ho-ho-hah, kalau kau
melihat dua orang gadis itu tentu kau akan membanjir air liurmu. Aku sudah tua,
tidak butuh hal itu lagi. Pergilah!!
Tiba-tiba sesosok bayangan
hitam yang jangkung melompat keluar dari ruangan itu, melesat ke arah pintu.
Akan tetapi sia-sia Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat sambil memutar tubuh ke
atas genteng lagi. Bukan main heran dan khawatimya ketika mereka tidak melihat
adanya Lin Lin yang tadi berjongkok di atas genteng. Ke mana adik mereka itu?
Namun mereka tidak sempat membingungkan ke mana perginya Lin Lin karena pada
saat itu, bayangan laki-laki jangkung yang keluar dari ruangan tadi sudah
melesat naik ke atas genteng dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri
seorang laki-laki muda yang berpakaian pesolek, bertubuh jangkung dan berhidung
panjang. Muka yang tampan, namun membayangkan kekejaman. Laki-laki ini
tersenyum mengejek melihat Bu Sin dan Sian Eng mencabut pedang. Akan tetapi
sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia memandang wajah Sian Eng dan
senyumannya melebar.
˜Melihat wajah temanmu,
nyawamu kuampuni. Lekas pergi dari sini dan tinggalkan temanmu ini untuk
menemaniku semalam ini,! kata laki-laki jangkung yang bukan lain adalah Suma
Boan itu kepada Bu Sin. Dapat dibayangkan betapa marahnya Bu Sin dan Sia Eng
mendengar kata-kata yang amat menghina ini. Akan tetapi karena berada di atas
rumah orang dan mereka merasa telah melanggar aturan, maka ia mempertahankan
kesabarannya dan berkata.
˜Harap kau suka menahan
mulutmu yang lancang. Lebih baik lepaskan adik perempuanku dan kami akan pergi
dari tempat ini. Kami bukan maling, hanya tadi kami mengikuti seorang laki-laki
berjenggot panjang yang telah merampas barang orang. Nah, kalau kau tuan rumah
maafkan kami dan kembalikan adikku.!
Mendengar disebutnya
laki-laki berjenggot merampas barang, seketika lenyaplah sikap main-main Suma
Boan. Ia tidak peduli lagi akan ucapan tentang adik kedua orang ini.
˜Bagus, kalian mata-mata!!
Sekaligus ia menerjang
maju dengan serangan yang dahsyat sekali. Bu Sin dan Sian Eng cepat mengelak
sambil melompat mundur dan memutar pedang, akan tetapi pada saat itu dari
jendela yang terbuka menyambar angin pukulan yang hebat, yang sekaligus
mendorong mereka roboh di atas genteng! Terdengar suara It-gan Kai-ong tertawa
bergelak. Kiranya kakek inilah yang mendorongkan tangannya mengirim pukulan
jarak jauh dari jendela ke atas genteng! Melihat betapa dua orang muda
gemblengan seperti Bu Sin dan Sian Eng dapat roboh dengan sekali terkena
dorongan angin pukulan, dapat dibayangkan betapa saktinya raja pengemis itu.
Bu Sin dan Sian Eng kaget
bukan main. Tubuh mereka tak dapat dicegah lagi terlempar ke bawah genteng dan
biarpun mereka dapat mempergunakan gin-kang untuk mengatur keseimbangan badan
dan mencegah terbanting, namun sedikitnya mereka tentu akan luka-luka kalau
saja tidak ada dua orang yang menyambar tubuh mereka. Ketika mereka memandang,
kiranya yang menolong mereka itu adalah suami isteri yang dikeroyok di rumah
makan pagi tadi!
˜Adikku masih di atas..!
Sian Eng berkata.
˜Sssttt..!! wanita yang
tadi menyambar tubuhnya menarik tangan Bu Sin dan Sian Eng berlindung dalam
gelap. Mereka memandang ke atas dan apa yang tampak di atas membuat Bu Sin dan
Sian Eng seketika pucat, hati mereka berdebar penuh kengerian. Apa yang tampak
oleh mereka?
Bukan hanya Suma Boan yang
kini berdiri di atas genteng, melainkan ada bayangan ke dua, bayangan mahluk
yang mengerikan sekali, bukan manusia bukan binatang melainkan tengkorak
memakai pakaian hitam! Muka tengkorak putih dengan sepasang lubang mata hitam
besar dan gigi berjajar kacau itu benar-benar amat menyeramkan tertimpa sinar
lampu yang menyinar dari pinggir gedung, dari atas diterangi bintang-bintang di
langit.
Agaknya suma Boan juga
kaget melihat mahluk ini, terdengar ia berseru keras,
˜Suhu.. Hek-giam-lo di
sini!!
Akan tetapi tiba-tiba ia
terjengkang di atas genteng dan bayangan muka tengkorak itu berkelebat lenyap
dari situ. Sebuah bayangan lain yang gerakannya seperti setan menyambar dari
bawah, disusul bentakan It-gan Kai-ong.
˜Hek-giam-lo mayat busuk,
jangan lari kau!!
Suma Boan tidak terluka
hebat. Dia merangkak bangun dan berdiri lagi di atas genteng, meraba bajunya
dan dengan suara marah ia berseru.
˜Celaka..! Hek-giam-lo
keparat, surat itu diambilnya..!!
˜Bagaimana, Kongcu? Apa
yang terjadi..?! Bayangan si jenggot panjang yang naik ke atas genteng.
˜Celaka, kita tertipu!!
kata Suma Boan. ˜Tadinya dua orang bocah itu menuduh kita menangkap adiknya,
ketika mereka dijatuhkan Suhu, eh, tahu-tahu muncul Hek-giam-lo. Ia tidak berkata
apa-apa aku didorong roboh dan ketika Suhu muncul ia melarikan diri, kini
dikejar Suhu. Akan tetapi surat itu tidak ada lagi di dalam saku bajuku. Lihat,
bajuku robek, siapa lagi yang mampu merampasnya secara begini kalau bukan
Hek-giam-lo?!
˜Wah, sial betul. Tapi,
tak usah khawatir, Kongcu. Kalau Ong-ya sudah mengejarnya, masa tidak akan
dapat merampasnya kembali?!
˜Belum tentu.. belum
tentu..!! Suma Boan menggeleng kepalanya, ˜dia lihai sekali. Heran aku,
siapakah dua orang bocah tadi? Apakah kaki tangan orang Khitan?!
Sambil bersunggut-sunggut
dan menyumpah-nyumpah Suma Boan melompat turun diikuti oleh si jenggot panjang,
Ciok Kam, masuk ke dalam gedung. Sebentar saja para pelayan menyambutnya,
keadaan menjadi ribut karena orang-orang mendengar tentang penyerbuan musuh di
atas genteng. Akan tetapi, Suma Boan membentak,
˜Tidak ada apa-apa, mundur
semua!! Pelayan-pelayan itu, kecuali selirnya yang melayani minum, mundur
ketakutan, kembali ke tempat masing-masing.
Suami isteri bersama Bu
Sin dan Sian Eng yang bersembunyi melihat semua itu. Bu Sin dan adiknya amat
bingung memikirkan Lin Lin, akan tetapi laki-laki itu berkata.
˜Adikmu tidak berada di
dalam gedung. Tadi kami melihat dia dibawa lari Seng-jin. Lebih baik kalian
lekas pergi dari sini, amat berbahaya di sini. Kami berterima kasih bahwa
kalian sudah menaruh perhatian akan urusan kami. Biarpun kalian anak-anak
keluarga Kam, tidak percuma kalian menjadi orang-orang dari wilayah Hou-han.
Nah, kita berpisah di sini.!
˜Nanti dulu..!! Bu Sin
mencegah. ˜Siapakah Seng-jin yang membawa adik kami? Dan siapa kalian ini?
Urusan apakah yang menimbulkan semua keributan ini?!
Wanita itu yang menjawab
kini, tersenyum duka,
˜Dituturkan tidak ada
gunanya, juga tidak ada waktu. Kau takkan mengerti, orang muda. Tentang adikmu,
dia tadi dibawa Kim-lun Seng-jin, seorang sakti yang aneh. Percuma kau
mencarinya, tak mungkin mengikuti jejak seorang seperti Kim-lun Seng-jin.
Tentang kami.. hemmm, cukup kau ketahui bahwa kami adalah orang-orang Hou-han
dan bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Selamat tinggal, jangan lama-lama berada di
sini, pergi cepat. Berbahaya!!
Setelah berkata demikian,
suami isteri itu berkelebat dan menghilang di dalam gelap. Bu Sin dan Sian Eng
saling pandang, mereka bingung sekali memikirkan tentang diri Lin Lin. Akan
tetapi mereka pun tahu bahwa kepandaian mereka masih jauh daripada cukup untuk
dapat mencari Lin Lin yang katanya dibawa lari Kim-lun Seng-jin. Sedangkan
menghadapi si jenggot panjang dan orang muda jangkung di dalam gedung ini saja
sudah terlalu berat bagi mereka, apalagi It-gan Kai-ong ada di situ! Tidak ada
jalan lain bagi Bu Sin dan adiknya kecuali segera menyelinap pergi dari tempat
itu, lari keluar menyelinap-nyelinap di dalam kegelapan malam.
Dengan hati pepat dan
gelisah mereka kembali ke kamar rumah penginapan dan alangkah heran akan tetapi
juga lega hati mereka ketika mereka melihat tulisan Lin Lin di atas meja,
tulisan dalam sebuah kertas berlipat yang singkat saja.
Sin-ko dan Eng-cici,
Terpaksa aku pergi dulu
berpisah dengan kalian. Kakek gundul yang menolongku memaksa aku ikut dia
sendiri saja. Akan tetapi dia baik dan bilang bahwa dia dapat membawaku ke
tempat pembunuh orang tua kita.
Sampai jumpa pula,
Lin Lin
Bu Sin menarik napas panjang,
lega hatinya. Tentu yang dimaksudkan di dalam surat, yang disebut oleh Lin Lin
˜kakek gundul! itu adalah Kim-lun Seng-jin yang tadi diceritakan oleh suami
isteri dari Hou-han. Ia tersenyum geli. Kakek gundul yang bernama Kim-lun
Seng-jin boleh saja disebut aneh, akan tetapi kakek itu akan ˜ketemu batunya!
kalau melakukan perjalanan bersama Lin Lin. Adik angkatnya ini kadang-kadang
mempunyai perangai yang luar biasa sekali, sukar dikendalikan, aneh dan tentu
kakek gundul itu akan menjadi banyak pusing olehnya.
˜Dia diberi petunjuk orang
sakti akan jejak musuh besar kita, baik sekali. Mudah-mudahan dia berhasil dan
selamat,! katanya sambil merobek-robek surat itu.
˜Kita sendiri bagaimana,
Sin-ko? Ke mana kita harus mencari atau mengikuti Lin Lin?!
˜Dia sendiri saja kalau
sudah minggat mana kita mampu mengejarnya, apalagi sekarang bersama seorang
sakti. Kita tidak perlu mencarinya, kita melanjutkan perjalanan ke kota raja.
Agaknya akan lebih baik kalau kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu, karena sebagai
seorang yang lama tinggal di kota raja, tentu dia mempunyai banyak pengalaman
dan akan dapat memberi petunjuk kepada kita.!
Demikianlah, pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Bu Sin dan Sian Eng sudah meninggalkan kota An-sui,
menuju ke kota raja.
Apakah yang terjadi dengan
Lin Lin? Gadis remaja ini mengalami hal yang amat luar biasa. Seperti kita
ketahui, ketika Bu Sin dan Sian Eng mengintai ke dalam ruangan gedung itu
dengan cara menggantungkan kaki dengan kepala di bawah, Lin Lin berjongkok di atas
genteng sambil melihat kedua saudaranya itu. Kaget ia ketika melihat Bu Sin dan
Sian Eng berloncatan ke atas kemudian kedua orang itu roboh ke bawah genteng.
Akan tetapi, selagi ia
kebingungan dan khawatir, tiba-tiba serangkum angin pukulan yang dilontarkan
oleh It-gan Kai-ong menyerangnya, membuat dia terlempar dan tentu ia pun akan
terguling roboh ke bawah kalau saja tidak terjadi hal yang amat aneh. Ia tidak
tahu mengapa dan bagaimana, akan tetapi tubuhnya yang sudah terjengkang itu
tiba-tiba dapat terapung ke atas, lalu tubuhnya itu seperti dibawa angin
terbang melalui genteng, cepat bukan main. Tentu saja ia takut sekali dan
berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya agar kalau jatuh ke bawah tidak
terbanting, namun ia sama sekali tak dapat menggerakkan kaki tangannya dan ia
˜terbang! dengan tubuh telentang. Kalau ia tidak mengalami sendiri, tentu ia
tidak akan mau percaya bahkan pada saat itu ia mengira bahwa ia sedang mimpi.
Entah berapa lama ia
berada dalam keadaan melayang ini, namun ia merasa bahwa ia diterbangkan
tubuhnya dan ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia telah berada di luar kota
An-sui!
˜Heh-heh-heh, untung kau
tidak menjadi korban It-gan Kai-ong,! terdengar suara terkekeh bicara.
Lin Lin membalikkan tubuh,
ke kanan kiri, memutar tubuh melihat ke sekelilingnya. Akan tetapi tidak tampak
seorang pun manusia. Bulu tengkuknya mulai berdiri dan kedua lututnya gemetar.
Ia seorang gadis yang tabah dan menghadapi siapa pun juga ia takkan mundur,
takkan mengenal takut. Namun kejadian kali ini membuat ia yakin bahwa ia sedang
diganggu iblis dan dongeng-dongeng tentang iblis yang pernah ia dengar membuat
ia ketakutan.
˜Siapa kau?!
˜Siapa aku? Aku siapa?
Heh-heh, aku sendiri tidak kenal siapa aku ini dan dari mana asalku, apalagi
kau bocah ingusan. Heh-heh-heh! Aku dan kau sama saja!!
Suara itu tepat di
belakangnya, maka secepat kilat Lin Lin memutar tubuh dengan gerakan
Hek-yan-tiauw-wi (Burung Walet Sabet Buntut), gerakannya cepat bukan main dan
ia sengaja mengerahkan gin-kangnya. Akan tetapi, kembali ia hanya melihat
tempat kosong, tidak ada bayangan, apalagi orangnya!
˜Heh-heh-heh, siapa aku?
Siapa aku? Hayo cari dan tebak, di mana dan siapa aku, heh-heh-heh!! Suara itu
tertawa-tawa geli seperti seorang kanak-kanak bermain kucing-kucingan.
Panas juga dada Lin Lin.
Ia yakin sekarang bahwa yang bicara itu tentu seorang manusia biasa, biarpun
seorang manusia yang memiliki kepandaian yang luar biasa. Masa aku tidak dapat
mencarimu? Demikian pikirnya dengan gemas. Cepat ia melompat lagi, berputaran
dan mengeluarkan kepandaiannya untuk membalik sana berputar sini, lari
berputaran seperti kitiran cepatnya. Namun tak pernah ia dapat melihat bayangan
di sekeliling dirinya, padahal suara itu terus-menerus berbunyi, tertawa-tawa
di belakang, kanan dan kirinya!
˜Heh-heh-heh! Kau seperti
seekor anjing hendak menggigit buntut sendiri berputaran. Heh-heh.. lucu..
lucu.. lagi, Nona. Sekali lagi, lucu benar..!!
Tentu saja Lin Lin tidak
sudi berputar lagi, malah ia cepat berhenti dan membanting kakinya. Hampir ia
menangis.
˜Kau ini setan apa
manusia? Kalau manusia perlihatkan dirimu. Kalau setan minggat dari sini, aku
tidak butub setan!! bentaknya sambil bertolak pinggang.
˜Heh-heh, lebih baik jadi
setan, biarpun selalu melakukan kejahatan akan tetapi memang itu kewajibannya,
kalau tidak melakukan yang jahat-jahat mana disebut setan? Setidaknya setan
mengakui kejahatannya, sebaliknya manusia banyak yang pura-pura suci dan bersih,
padahal lebih jahat dan kotor daripada setan sendiri. Heh-heh, Nona, aku di
belakangmu, masa kau tidak dapat melihat?! Lin Lin membalikkan tubuhnya dan..
tidak melihat apa-apa.
˜Kau main kucing-kucingan?
Aku tidak sudi main-main denganmu.!
˜Lho, aku di sini, lihat
baik-baik.!
Lin Lin menurunkan pandang
matanya dan benar saja. Di depannya berdiri seorang kakek yang.. tubuhnya
pendek, hanya setinggi dadanya dan karena kakek itu tadi jongkok tentu saja
tidak kelihatan. Sekarang kakek ini berdiri, kedua kakinya yang pendek itu
tidak bersepatu, lucu sekali tampaknya. Badannya agak gemuk, kepalanya bundar
seperti bola karet, licin tidak berambut sehelai pun juga. Tapi alisnya tebal
sekali, dan rambut alisnya itu berdiri menjulang ke atas. Kumis dan jenggotnya
panjang melambai sampai ke dada. Kedua daun telinganya lebar seperti telinga
area Ji-lai-hud dihiasi sepasang anting-anting perak. Melihat orang seperti itu
anehnya, Lin Lin tak dapat menahan ketawanya.
˜Hi-hi-hik, kau ini
golongan apa? Apakah pemain wayang?! Lin Lin tertawa dan menutupi mulutnya.
˜Memang dunia ini panggung
wayang dan kita anak wayangnya. Bagaimana lakonnya dan apa peran apa yang harus
kita pegang terserah Sang Sutradara. Heh-heh-heh, dan agaknya Sang Sutradara
menghendaki supaya aku menjalankan peran menolong kau dari ancaman It-gan
Kai-ong si pengemis busuk.!
˜Kakek pendek, bagaimana
kau tadi bisa membawa aku terbang? Dan bagaimana kau tadi bisa menghilang? Aku
sudah belajar ilmu gin-kang bertahun-tahun akan tetapi belum ada sekuku hitam
dibandingkan dengan gerakanmu. Apakah kau tadi menggunakan ilmu sihir?!
˜Heh-heh, bocah nakal
seperti kau ini, baru belajar jalan sudah berani mendaki gunung menyeberangi
lautan! Aku tanggung, dengan kepandaianmu yang baru kelas nol itu, kau akan selalu
bertemu bahaya dan akhirnya kau akan roboh! Gerakanmu masih begitu kaku dan
lambat, kau namakan itu ilmu gin-kang? Ho-heh-hoh, lucu amat!!
Panas perut Lin Lin,
bibirnya cemberut, matanya bersinar marah. Akan tetapi kakek itu malah
tertawa-tawa, memegangi perut dan berjingkrakan seperti tak dapat menahan lagi
kegelian hatinya.
˜Dan pedang itu..
heh-heh-heh, bawa-bawa pedang macam itu untuk apa? Apakah untuk mengiris bawang
ataukah untuk menyembelih ayam? Heh-heh, untuk itupun kurang tajam, baiknya untuk
menakut-nakuti tikus. Heh-heh, kau takut tikus, kan?!
Lin Lin membanting
kakinya.
˜Kakek pendek, cebol,
gundul pacul! Sudah tua ompong masih sombong..!!
Kakek itu tiba-tiba
meringis, memperlihatkan isi mulutnya. Hebat giginya berderet rapi seperti gigi
Lin Lin sendiri.
˜Kau lihat, siapa ompong?
Gigiku tidak kalah dengan gigimu? Hayo kau meringis, kita lihat gigi siapa
lebih putih, lebih mengkilap!!
Geli juga hati Lin Lin.
Memang gadis inipun wataknya aneh, mudah marah, mudah gembira. Mudah menangis
mudah tertawa. Melihat betapa kakek itu meringis memamerkan giginya, mau tidak
mau ia tertawa juga.
˜Ihhh, jijik ah! Gigimu
kuning-kuning begitu!!
˜Masa? Ah, mana bisa?
Sedikitnya dua kali sehari kugosok dengan bata. Kau bohong..!!
Tampak oleh Lin Lin kakek
itu mengulur tangan kepadanya. Ia cepat melangkah mundur, akan tetapi tahu-tahu
gelung rambutnya sebelah kiri yang terbungkus sutera itu terlepas karena tusuk
kondenya dari perak telah berada di tangan kakek itu. Untuk apa kakek itu
merampas tusuk kondenya? Untuk bercermin! Bunga perak pada tusuk konde itu
sebesar kuku jari dan kakek itu berusaha untuk bercermin memeriksa giginya dari
pantulan sinar bintang yang menimpa bunga perak. Tentu saja hasilnya sia-sia.
Diam-diam Lin Lin terkejut
bukan main. Bagaimana kakek itu dapat merampas tusuk kondenya sedemikian
cepatnya sehingga sama sekali tidak terasa olehnya? Terang bahwa kakek ini
memiliki kesaktian yang hebat. Kalau saja mau menurunkan kepandaian itu
kepadanya!
˜Kek, mengapa kau menolong
aku dari tangan It-gan Kai-ong? Mau apa kau membawa aku ke sini?! akhirnya dia
bertanya.
Kakek itu mengomel,
˜Gigiku putih.. tidak kuning..!!
˜Mengapa kau menolong
aku?!
˜Siapa bilang gigiku
kuning, memalukan!! Kakek itu bersungut-sungut.
Lin Lin hendak marah, akan
tetapi melihat sikap kakek itu seperti seorang anak kecil merajuk, ia tertawa
lagi.
˜Memang gigimu putih,
siapa bilang kuning?!
˜Kau tadi yang bilang!!
˜Dan kau percaya? Ih,
bodohmu sendiri mengapa percaya. Gigimu putih seperti.. seperti kapur.!
Kakek itu nampak girang.
Kapur memang putih sekali, maka ia girang mendengar ucapan ini. Tangannya
bergerak dan sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Lin Lin. Gadis ini
tak sempat mengelak, ketika ia meraba gelungnya, tusuk konde itu sudah berada
di tempatnya lagi dan ia sama sekali tidak merasakannya! Makin kagum hatinya.
˜Kek, kenapa kau
menolongku dan mau apa kau membawa aku ke sini?!
˜Karena kau cantik,
seperti anakku dahulu.!
Rasa haru sejenak
menyelinap di hati Lin Lin.
˜Di mana anakmu, Kek?!
˜Di mana? Di.. mana, ya?
Sang Sutradara sudah lama membebaskannya daripada tugas di panggung wayang. Dia
tidak MAIN lagi.!