Sa Kouw tidak menjadi takut, bahkan ia tertawa haha-hihi. Dia seperti
tidak kenal bahaya, dia rupanya menyangka nona tetamunya tengah
main-main dengannya. Oey Yong penasaran, ia ulangi pertanyaannya.
"Aku tidak mempunyai guru," sahut si tolol akhirnya. "Siapa yang membilang ada orang yang mengajar aku?"
"Budak ini tidak suka bicara, mari kita masuk ke dalam lobang ini untuk
memeriksa," berkata Oey Yong kemudian. "Ciu Toako, tolong kau lindungi
guruku serta menjagai budak ini. Engko Ceng, mari kau bersama aku…"
"Tidak, tidak!" Pek Thong menggoyangi tangannya. "Aku pergi bersama kau!"
Si nona mengkerutkan keningnya. "Tidak, aku tidak mau pergi bersama kau!" ia menolak.
Pek Thong lihay, usianya pun tinggi, entah kenapa, terhadap si nona tak
berani ia membantah, bahkan sebaliknya, ia lantas memohon. "Nona yang
baik, lain kali aku tidak berani pula…" katanya.
Oey Yong lantas saja tertawa untuk kejenakan orang tua itu. Ia
mengangguk. Pek Thong jadi sangat girang, lekas ia mencari dua cabang
cemara, untuk disulut menyala, untuk dipakai ia menyuluhi ke dalam gua,
yang ia asapkan sekian lama. Oey Yong sendiri malah melemparkan sebatang
cemara yang apinya menyala ke dalam lobang itu, setelah itu ia
mendengar suara bentroknya batang itu dengan dinding. Maka teranglah
tempat rahasia itu tidak dalam.
Dengan memimjam penerangan obor kayu cemara itu orang memandang ke dalam
gua. Tidak ada bayangan orang di dalam situ, tidak ada suara apa-apa.
Maka itu tanpa bersangsi lagi, Ciu Pek Thong lantas lantas bertindak
masuk. Dia disusul oleh Oey Yong. Setelah memperhatikan seketika, nyata
gua itu ada sebuah kamar kecil.
"Kita terjebak, kita terjebak!" Pek Thong berseru-seru. "Tak bagus!"
Oey Yong sebaliknya mengeluarkan suara kaget. Dia melihat ke bawah dan
ia menampak tulang belulang seorang manusia, yang rebah celentang.
Pakaiannya sudah rusak, hingga tak dapat dikenali, semasa hidupnya dia
orang macam apa. Di pojok timur pun ada tulang-belulang serupa, terletak
di atas sebuah peti besi. Sebatang golok tajam panjang satu kaki tengah
menancap di punggung di atas tutup peti besi itu.
Pek Thong mendapatkan ruang kecil dan kotor dan seram dengan adanya
tulang-belulang itu, tidak ada apa-apa yang luar biasa, tetapi karena
Oey Yong masih memperhatikan segala apa, ia berlaku sabar untuk
menemani, hanya kemudian, ia tak dapat menahan sabar pula.
"Nona yang baik," katanya, "Hendak aku pergi ke luar, bolehkah?"
"Baiklah," menjawab si nona. "Pergi kau menggantikan engko Ceng, supaya ia datang ke mari."
Pek Thong girang bukan main, ia ke luar seperti burung terbang, akan di
lain saat Kwee Ceng datang masuk. Oey Yong mengangkat obor kayu
cemaranya, untuk menyuluhi, supaya Kwee Ceng dapat melihat segala apa
terutama itu tulang-belulang manusia, kemudian ia menanya bagaimana atau
apa yang menyebabkan kematiannya dua orang itu.
"Dia ini tentu lagi hendak membuka besi itu, lantas ada orang yang
hendak membokong dari belakang," kata Kwee Ceng seraya menunjuk
tulang-tulang di atas peti besi. "Yang di tanah itu, karena
tulang-tulangnya pada patah, mestinya diserang dengan tangan kosong."
"Aku juga menduga demikian, hanya duduknya hal-hal disini membuatnya aku tidak mengerti," menyatakan si nona.
"Apa yang kau maksudkan?"
"Umpama Sa Kouw," sahut si nona. "Dia mengerti ilmu silat Lok Eng
Ciang-hoat, benar ia menyakininya belum sempurna tetapi itu ada
pelajaran yang sejati. Dari mana ia dapatkan itu? Dua orang ini mati
disini, ada hubungan apakah di antara mereka dan Sa Kouw? Sebelum
ketahui jelas semua ini, tak tentram hatiku…"
"Baiklah kita tanya pula nona itu," Kwee Ceng mengusulkan. Ia tidak mau
menyebutnya nona itu nona tolol, karena ia sendiri sering dikatakan
tolol.
"Menurut penglihatanku, dia memang benar-benar tolol," kata Oey Yong.
"Dia tidak suka bicara, percuma kita menanya pula padanya. Mari kita
memeriksa pula dengan seksama, barangkali saja kita mendapati sesuatu."
Maka ia angkat obornya, menyuluhi pula dua perangkat tulang-belulang
manusia itu. Ketika ia menyuluhi ke peti besi, di kaki itu ada suatu
benda yang bergemerlap. Ia lantas jumput itu, ialah sebuah pay emas dan
di tengahnya ditabur dengan sebutir batu permata sebesar jempol tangan.
Ia membalik pay itu, maka ia menampak sebaris ukiran huruf-huruf,
bunyinya: "Cio Gan Keng, panglima kota Tiongciu, gelar Bu Kong Tayhu".
"Pay ini kepunyaannya ini setan mati, pangkatnya bukan kecil," kata si nona.
"Seorang berpangkat tinggi terbinasa di sini, sungguh aneh," Kwee Ceng mengutarakan keheranannya.
Oey Yong memeriksa pula tulang-tulang di tanah, ia tidak dapatkan apa,
hanya tulang punggung itu rada munjul, maka ia mengoreknya dengan ujung
cabang cemara, tempo debunya sudah berkisar, di bawah itu ada selembar
besi. Ia kaget hingga ia berseru, cepat sekali ia sambar besi lempangan
itu. Kwee Ceng pun berseru saking heran kapan ia telah melihat benda
itu.
"Kau kenal ini?" Oey Yong tanya.
"Ya. Inilah patkwa besi kepunyaannya Liok Chungcu di Kwie-in-chung."
"Tapi belum tentu kepunyaannya Liok Suheng sendiri."
"Mungkin. Melihat rusaknya pakaian, mayat ini mestinya sudah berada di sini sepuluh tahun."
Oey Yong berdiam akan tetapi otaknya bekerja. Habis itu ia sambar golok
di atas peti besi itu, ia bawa itu ke depan matanya, untuk melihat
dengan teliti. Ia mendapatkan ukiran sebuah huruf "Kiok". Atas itu
dengan kaget ia berseru: "Yang rebah di tanah ini adalah kakak
seperguruanku!"
Kembali Kwee Ceng memperdengarkan suara heran.
"Menurut Liok Suheng, Kiok Suheng masih hidup, siapa tahu dia telah
terbinasa di sini," berkata Oey Yong kemudian. "Engko Ceng, coba kau
lihat ini tulang kakinya."
Kwee Ceng berdongko. "Kedua tulang pahanya patah," ia berkata. "Ah, ia telah dihajar patah oelh ayahmu…"
Si nona mengangguk. "Kakak seperguruan ini bernama Kiok Leng Hong," ia
memberi keterangan. "Pernah ayah menerangkan, di antara enam muridnya,
Kiok Suheng ini paling pandai dan ia pun paling disayangi…"
Belum habis ia berkata, Oey Yong sudah lompat untuk lari ke luar dari
ruang rahasia itu. Kwee Ceng, yang merasa heran lari mengikuti. Oey Yong
lari kepada Sa Kouw.
"Kau she Kiok, bukankah?" ia menanya.
Sa Kouw tidak menyahuti, ia hanya tertawa geli.
"Nona, apakah shemu?" Kwee Ceng menanya, sabar.
"Aku tidak tahu," menyahut nona itu menggeleng kepala.
Selagi dua orang itu hendak menanyakan terlebih jauh, Pek Thong
menjerit-jerit; "Aku sudah lapar! Aku sudah lapar! Aku bisa mati
kelaparan!"
"Benar," berkata Oey Yong. "Mari kita bersantap dulu." Ia membukai
ikatannya Sa Kouw, ia ajak nona itu bersantap bersama. Sa Kouw tidak
menampik, ia tertawa, ia angkat mangkoknya dan dahar. Sembari bersantap
Oey Yong tuturkan Cit Kong apa yang ia dapatkan di dalam kamar rahasia
itu.
Pak Kay pun heran. "Rupanya orang she Cio itu menghajar mati suhengmu
itu, lantas ia hendak membuka peti besi itu," katanya, mengutarkan
dugaannya. "Tidak tahunya suhengmu itu belum mati dan ia menimpuk dengan
golok itu."
"Melihat keletakannya, mungkin begitu kejadiannya," Oey Yong
membenarkan. Ia lantas memperlihatkan golok lancip itu serta patkwa besi
pada si nona tolol. Ia menanya, "Apakah kau tahu siapa punya ini?"
Melihat itu, wajahnya Sa Kouw berubah. Ia berpaling, agaknya ia
berpikir, tapi ia tidak dapat mengingat apa-apa. Akhirnya ia menggeleng
kepalanya, hanya tangannya memegangi golok itu, tak mau dilepaskan.
"Rupanya pernah ia melihat golok ini, sekarang dia tidak ingat," bilang Oey Yong.
Habis bersantap, sesudah memernahkan Ang Cit Kong, yang merebahkan diri
untuk tidur, Oey Yong ajak Kwee Ceng pergi pula ke kamar gelap itu,
untuk memeriksa terlebih jauh. Sekarang perhatian mereka ditujukan
kepada peti besi itu, yang entah apa isinya. Semua tulang di atas tutup
peti disingkirkan. Mudah sekali mengangkatnya, sebab peti tidak dikunci.
Peti itu menyinarkan cahaya bergemerlapan, sebab isinya adalah pelbagai
macam batu permata.
Kwee Ceng hanya merasa aneh, tetapi Oey Yong ketahui itulah harta besar
sekali. Ayahnya biasa mengumpulkan permata tetapi tak sebanyak ini. Nona
Oey meraup permata itu, lalu ia melepaskan pula. Batu-batu itu mengasih
dengar suara nyaring.
"Semua permata ini mestinya ada riwayatnya," kata si nona kemudian. "Kalau ayahku ada disini, ia tentu mengetahuinya."
Lalu ia menjelaskan kepada Kwee Ceng namanya setiap batu permata itu.
Kwee Ceng gelap untuk semua permata itu, belum pernah ia melihatnya,
belum pernah ia mendengarnya. Oey Yong meraup pula, sampai dalam.
Tangannya membentur dasarnya peti besi. Ia merasakan lantai yang keras.
Ia jadi menduga peti besi itu ada lapisannya. Ia lantas meneliti
pinggirannya peti itu. Sekarang ia melihat gelang kecil di kiri dan di
kanan, yang tadinya kealingan batu-batu permata.
Ia menggunai kedua tangannya memegang sepasang gelang itu, lalu ia
mengangkat. Untuk herannya, ia mendapatkan di dasar peti itu sejumlah
barang kuno dari perunggu dan lainnya dan mestinya pun dari pelbagai
jaman yang telah lampau. Jadi inilah benda-benda yang lebih berharga
dari pada batu-batu permata itu. Masih ada lagi lain lapisan peti itu.
Ketika lapisan ini pun diangkat, di dalam situ terlihat pelbagai gambar
lukisan dan tulisan huruf segulung demi segulung.
"Mari bantui aku," si nona minta pada Kwee Ceng, untuk membeber
gambar-gambar itu. Kesudahannya, ia menjadi heran dan kagum. Sebab ia
melihat lukisan-lukisan dari Gouw Too Cu, Co Pa, Kie Jian dan Lie
Houw-cu kaisar dari dinasti Tong Selatan, dan lainnya lagi, jumlahnya
dua puluh lembar lebih. Dan semua itu pun barang-barang yang harganya
luar biasa.
Saking kagum, Oey Yong tidak mau melihat lebih lama, semua itu ia masuki
ke dalam peti itu, lalu ditutup dengan rapi, kemudian sambil memeluk
dengkul, ia duduk bercokol di atasnya. Ia berpikir keras.
"Ayahku pengumpul semua permata dan barang kuno, tetapi apa yang ia
peroleh tidak ada satu sepersepuluh dari harta karun ini," pikirnya.
"Kenapa Kiok Suheng ada demikian lihay hingga ia dapat memeproleh semua
ini?"
Tidak sempat nona ini berpikir terus, ia mendengar suara nyaring Ciu Pek
Thong, "He, ke luar kamu semua! Mari kita pergi ke rumahnya kaisar
untuk dahar Wanyoh Ngo-tin-kwee!"
"Kita pergi malam ini?" tanya Kwee Ceng.
"Lebih cepat satu hari lebih baik," berkata Cit Kong. "Kalau kita
berlambat, aku khawatir aku tak dapat bertahan lebih lama pula…"
"Suhu," berkata Oey Yong, "Paling cepat juga baru besok pagi kita dapat
masuk ke dalam kota. Suhu jangan dengarkan ocehannya Loo Boan Tong!"
"Ya, sudah, sudahlah!" berkata Ciu Pek Thong. "Memang sagalanya aku yang salah!" Terus ia menutup mulutnya.
Besoknya pagi, Oey Yong berdua dengan Kwee Ceng mematangi nasi, lalu
mereka sarapan bersama-sama Sa Kouw. Oey Yong memikirkan tempat yang
aman untuk menyimpan harta karun itu.
"Sudah, mari kita lekas pergi!" Pek Thong mengajaki. "Itu toh bukannya bendamu! Perlu apa kau capaikan hati?"
Si nona memikir, memang tempat itu adalah tempat yang paling aman.
Bukankah harta karun itu sudah berdiam di dalam kamar rahasia itu untuk
belasan tahun? Maka ia lantas bekerja, menutup rapat pula pintu rahasia
dan benahkan segala apa yang seperti bermula mereka datang.
Selama itu Sa Kouw tidak memperdulikan perbuatan orang, ia tidak tahu
menahu, ia hanya lebih suka membuat main golok tajam itu. Ketika mau
pergi, Oey Yong memberikan uang perak dua potong. Sa Kouw menerimanya
untuk terus dilempar secara sembarangan ke atas meja.
"Jikalau kau lapar, pakailah uang ini untuk membeli beras dan daging," pesan Oey Yong.
Nona itu acuh tak acuh, ia cuma tertawa saja. Oey Yong berduka sangat,
ia mengasihi nona tolol itu ini. Ia mau percaya dia ada hubungannya sama
Kiok Leng Hong, mungkin sanak atau muridnya suheng itu. Ia pun tidak
mengerti, orang tolol semenjak kecil atau hanya baru belakangan saja
karena sesuatu serangan otak. Tadinya ia hendak mencari keterangan di
kampung itu tetapi Ciu Pek Thong mendesak tak hentinya, terpaksa ia
turut juga. Maka berempat mereka pergi menuju ke kota. Cit Kong tetap
naik kereta.
Kota Lim-an ialah kota Hangciu yang tersohor indah, kota ini dijadikan
kota raja oleh karena pemerintahan Song berpindah ke Selatan. Oey Yong
berempat memasuki pintu kota timur, Cit Kong mendesak untuk pergi ke
istana kaisar, dari itu mereka menuju ke pintu Lee-ceng-mui.
Pek Thong bertiga memandang istana, yang indah, yang berukir dan
bergambar dan juga dicat merah dan air emas. Wuwungannya ditutup dengan
genteng kuningan yang berkilauan, yang pun diukir dengan naga-nagaan dan
burung hong.
"Bagus!" Pek Thong berseru, kagum. "Mari kita masuk!"
Di muka istana ada serdadu-serdadu pengawal, mereka mendengar suara
berisik itu, mereka melihat seorang tua dan sepasang muda-mudi
mengiringi kereta keledai, empat di antaranya lantas maju mendekati
untuk menangkap. Mereka semua bergenggaman kampak. Pek Thong si
berandalan gembira sekali, tidak perduli orang bertubuh kekar dan
romannya garang, ia hendak maju melayani mereka itu.
"Jangan!" mencegah Oey Yong. "Mari kita lekas pergi!"
"Takut apa?!" mata Pek Thong mencelik. "Masa mereka dapat gegares aku?"
"Jikalau kau tidak mau dengar aku, lain kali aku tidak mau memperdulikan
pula padamu!" kata Oey Yong yang terus mencambuk keledai hingga
keretanya menggelinding cepat ke arah barat. Kwee Ceng lantas menyusul.
Pek Thong takut juga nanti ditinggal pergi hingga ia tidak dapat turut
pesiar, ia turut pula berlalu dengan meninggalkan keempat pengawal pintu
itu. Mereka ini tidak mengejar, hanya mereka menertawai. Mereka menduga
itulah rombongan orang desa….Oey Yong larikan keretanya ke tempat sepi
di mana tidak ada lain orang, di situ ia berhenti.
"Kenapa tidak menerjang masuk ke istana?" kata Pek Thong. "Itu segala kantung nasi, mana mereka bisa mencegah kita?"
"Menerjang masuk memang tidak sukar," menyahut Oey Yong. "Tetapi kita
datang ke mari untuk bertarung atau untuk pergi ke dapur raja untuk
mencari barang makanan? Dengan menerjang masuk, kau membuatnya gaduh,
dengan begitu, mana bisa kau mendapatkan Wanyon Ngo-tin-kwee untuk
guruku?"
Pek Thong berdiam, tak dapat ia menjawab. "Baiklah, kembali aku yang salah!" katanya kemudian.
"Dasarnya salah!" kata Oey Yong.
"Ya, sudahlah!" kata pula si tua berandalan itu. Ia terus berpaling
kepada Kwee Ceng untuk mengatakan, "Wanita di kolong langit semuanya
galak-galak, maka itu juga Loo Boan Tong tidak sudi menikah seumur
hidupnya…"
Oey Yong tertawa. "Engko Ceng orang baik, orang tidak nanti menggalaki dia!" katanya.
"Kalau begitu, apakah aku bukannya orang baik?"
"Habis apa kau sebenarnya orang baik? Coba bilang, kau yang tidak hendak
menikah atau si nona yang tak sudi menikah denganmu?" Pek Thong
miringkan kepalanya, ia tidak menjawab.
"Mari kita mencari penginapan dulu," Kwee Ceng datang sama tengah. "Sebentar malam baru kita memasuki istana."
"Benar," kata Oey Yong. "Setelah suhu berdiam di hotel, nanti aku masak untuk kamu dahar."
"Bagus, bagus!" Cit Kong memuji. Ia girang sekali.
Mereka lantas menuju ke Jalan Gie-gay, untuk menyewa kamar di penginapan
Kim Hoa. Oey Yong benar saja lantas pergi ke dapur itu untuk memasak
tiga rupa barang hidangan, yang baunya lantas tersiar, hingga
orang-orang di penginapan itu menanyakan pelayan, koki kesohor yang mana
yang pandai masak itu.
Di waktu bersantap, Pek Thong tidak turut. Ia mendongkol dikatakan tak
ada wanita yang sudi menikah dengannya. Tapi dia dibiarkan saja
ngambek......! Habis bersantap, Cit Kong masuk untuk tidur, Kwee Ceng
mengajak Pek Thong jalan-jalan, Loo boan Tong tetap ngambek.
"Kalau begitu, baik-baiklah kau temani guruku," kata Oey Yong tertawa.
"Sebentar aku belikan kau beberapa rupa barang bagus untuk kau buat
main."
Mendengar itu, bangkit kegembiraan si berandalan tua itu. "Apakah kau tidak mendustakan aku?" tanyanya.
"Pasti tidak!" si nona memberikan perkataannya.
Ketika Oey Yong berlalu dari rumahnya di musim semi, pernah ia pergi ke
kota Hangciu ini, yang letaknya dekat dengan Tho Hoa To, hanya karena
khawatir dapat disusul ayahnya, ia tidak berani berdiam lama-lama di
situ, sekarang ia luang tempo, dia mengajak Kwee Ceng pesiar ke telaga
See Ouw yang tersohor itu.
Biar bagaimana, Kwee Ceng nampak tidak terlalu gembira. Oey Yong melihat
itu, ia menduga itulah disebabkan si pemuda memikirkan sakitnya Cit
Kong, maka ia berkata, "Suhu bilang ada serupa barang yang dapat
menyembuhkan penyakitnya, hanya itu sangat sukar didapatkannya, bahkan
ia melarang kita menanya barang apa itu. Biar bagaimana, aku hendak
berdaya untuk mendapatkannya, buat mengobati dia hingga sembuh!"
"Yong-jie, itulah paling bagus!" kata Kwee Ceng girang. "Apakah kau merasa pasti akan bisa mendapatkannya itu?"
"Aku tengah memikirkan jalannya. Tadi sebelum bersantap, pernah aku
menanyakan keterangan suhu. Di saat suhu hendak memberitahu, tiba-tiba
ia sadar, lantas ia bungkam. Tapi aku akan berdaya mengorek
keterangannya."
Kwee Ceng tahu kekasihnya cerdik, hatinya menjadi lega. Sembari
berbicara, mereka tiba di Toan-kio, jembatan buntung di tepi telaga.
Inilah salah satu tempat yang kesohor di See Ouw, di mana orang bisa
mendapat lihat sisa salju, cuma karena sekarang musim panas, yang
terlihat ialah pohon-pohon teratai dengan bunganya yang tumbuh di kolong
jembatan itu.
"Mari kita minum di sana sambil memandangi bunga teratai," Oey Yong
mengajak. Di tepian itu ia melihat sebuah rumah makan kecil yang
nampaknya resik. Kwee Ceng akur, maka berdua mereka pergi ke rumah makan
itu. Mereka meminta arak dan beberapa rupa barang santapan yang rasanya
lezat.
Sembari minum, Oey Yong memandang ke sekitarnya. Ia mendapatkan di
jendela timur ada sebuah kesokol, yang ditutupi dengan kain indah. Ia
lantas mendekati itu. Nyata di bawahnya itu ada tulisan yang berupa
syair.
"Syairnya indah juga," katanya.
"Apakah artinya itu?" tanya Kwee Ceng.
Oey Yong memberi penjelasan, tetapi anak muda itu tak ketarik hatinya.
Ia kata, "Di sini kota raja, segala menteri luang temponya, mereka main
minum arak dan pesiar saja. Rupanya urusan negara mereka kesampingkan…."
"Benar begitu," sahut Oey Yong. "Maka itu ayahku paling jemu semua orang
semacam mereka. Umpama ayah dapat membaca syair ini, mungkin ia cari
penulisnya untuk menebas tubuhnya menjadi dua potong…."
Tiba-tiba di belakang mereka ada orang tertawa dingin yang berkata, "Jiwi tahu apa maka kamu bicara sembarangan di sini?"
Kwee Ceng berdua menoleh dengan cepat. Mereka melihat seorang dengan
dandanan sebagai sastrawan, umurnya kurang lebih empat puluh tahun, yang
masih saja tertawa dingin.
Kwee Ceng lantas memberi hormat dan berkata: "Aku yang rendah tidak mengerti, tolong tuan menjelaskannya."
"Kau tahu inilah buah kalam istimewa dari Thayhaksu Jie Kok Po dari
tahun Sun-hie," kata orang itu. "Ketika itu Kaisar Hauw Cong datang ke
mari untuk minum arak, dia dapat melihat syair itu, dia puji tinggi,
lalu di itu hari juga ia memberikan pangkat kepada Jie Kok Po karena
karyanya itu. Itulah untuk bagus dari seorang sastrawan. Maka kenapa
jiwi bicara sembarangan saja?"
"Jadi kesokol ini pernah dilihat kaisar maka tuan rumah menutupinya?" tanya Oey Yong.
"Bukan itu saja!" kata orang itu, tetap tertawa dingin. "Coba lihat itu
bagian kata-kata 'Besok datang kembali dengan sisa mabuk': Bukankah pada
itu ada dua tanda hurufnya yang diubah?"
Oey Yong berdua Kwee Ceng mengawasi. Benar mereka mendapatkan dua huruf perubahan itu.
"Sebenarnya Jie Kok Po menulis, 'Besok datang pula dengan membawa sisa
arak,' tetapi kaisar cela itu, katanya pandangannya cupat, lalu ia
mengubahnya yaitu huruf 'bawa' ditukar dengan huruf 'mendukung' dan
huruf 'arak' ditukar dengan huruf 'mabok'. Sebenarnya Jie Kok Po
menulis, 'Besok datang pula dengan membawa sisa arak'. Kalau kaisar
tidak pintar, mana dapat ia mengubah itu?" Habis berkata orang itu
menggeleng kepala dan menghela napas.
"Ha, satu kaisar begitu gila arak!" seru Kwee Ceng dengan gusar, dan ia dupak terbalik kesokol itu, hingga rusak.
Sejak masih kecil Kwee Ceng telah mendengar keterangan ibunya perihal
kekejaman bangsa Kim, ia menyangka itu hanya disebabkan kelemahannya
kerajaan Song, maka ia mengharap, sepindahnya ke Selatan, raja nanti
bergiat memajukan negera, untuk menuntut balas, siapa tahu, raja gila
pelesiran. Maka dalam gusarnya, ia hajar kesokol ini, terus ia jambak si
sastrawan, untuk dijoroki, hingga ia roboh masuk ke jambangan arak.
Kepala di bawah, kaki di atas!
"Bagus!" Oey Yong berseru. Ia sambar kedua kaki meja dan patahkan itu,
lalu dengan sepasang kaki meja itu, ia menghajar kalang-kabutan.
Pemilik rumah makan dan tetamu lainnya, yang tidak tahu telah terjadi
apa, lari ke luar dengan ketakutan. Kwee Ceng lantas mengamuk seperti
Oey Yong, akhirnya ia hajar sebuah tiang hingga tiang itu patah dan
rumah makan itu ambruk. Setelah itu keduanya tertawa, sambil berpegangan
tangan, mereka ngeloyor ke Utara. Tidak ada orang yang berani menyusul
mereka.
"Puas juga sekarang!" kata Kwee Ceng di tengah jalan. Ia tertawa pula.
"Ya, apa yang kita lihat dan tak menyenangi, mari kita hajar!" Oey Yong membenarkan.
"Bagus begitu!"
Jalan lebih jauh di sepanjang jalan itu mereka nampak banyak syair, di
batu, di pohon, di tembok. Melihat itu, Kwee Ceng menghela napas. "Kalau
begini, tak bisa kita menghajar semua," ia bilang. "Kau cerdik,
Yong-jie, kau ada punya daya apa?"
"Aku lihat ada syairnya yang baik," sahut si nona.
"Ah, peduli apa!"
Selagi bicara, mereka tiba di puncak Hui Lay Hong. Di tengah itu ada
paseban Cui Bie Teng tulisannya Jenderal Han See Tiong. Girang Kwee Ceng
melihat itu, sebab Han See Tong ialah panglima tersohor yang menentang
bangsa Kim. Ia bertindak masuk ke dalam paseban itu. Di dalam itu ada
sebuah syair tulisan Han See Tiong.
"Bagus syair ini!" Kwee Ceng memuji.
"Sebenarnya itulah syairnya Bu Bok Ong Gak Hui," kata Oey Yong.
"Eh, mengapa kau ketahui itu?"
"Ayah pernah menuturkan itu padaku. Tempo tahun Ciauw-hin ke 11 di musim
dingin, Gak Bu Bok difitnah dan dihukum mati oleh Cin Kwee, lalu di
lain tahunnya di musim semi, Han See Tiong membangun paseban ini sebagai
tanda peringatan dan ia menuliskan syairnya Bu Bok itu, yang terus
diukir."
Kwee Ceng mengagumi panglima kenamaan itu, lama ia berdiri diam
mengawasi syairnya, yang pun ia usap-usap. Sedang begitu, mendadak Oey
Yong mendak seraya menarik ujung bajunya, hingga ia mesti mengikuti,
masuk ke dalam gombolan pohon bunga. Di situ pundaknya di tekan, hingga
ia berjongkok seperti si nona. Hampir di itu waktu, mereka mendengar
tindakan kaki memasuki paseban itu.
"Han See Tiong itu memang seorang enghiong," berkata seorang. "Tetapi
istrinya pun gagah meski istri itu asal bunga raja. Bukankah ia telah
turut maju di medan perang dan telah memukul tambur untuk mengajurkan
suaminya memperoleh kemenangan?"
Kwee Ceng mengenali suara itu tetapi tak ingat ia suara siapa itu.
"Gak Hui dan See Tiong memang enghiong tetapi mereka kalah dengan
kaisar," kata seorang lain. "Bukankah kaisar menghendaki kematiannya dan
semua kekuasaannya atas angkatan perang telah ditarik pulang? Mereka
gagah tetapi mereka mesti menerima nasib. Demikian pengaruh kaisar, yang
tak dapat ditentang!"
Sekarang Kwee Ceng ingat suaranya Yo Kang. Ia heran. Ia menduga-duga,
mengapa pemuda ini berada di tempat ini. Justru itu terdengar satu suara
lain, yang seperti cecer pecah, hingga ia bertambah heran dan kaget.
Itulah suaranya See Tok Auwyang Hong si Bisa dari Barat. Kata Auwyang
Hong, "Benar! Asal kaisar gelap pikiran yang bertahta dan segala dorna
memegang kekuasaan atas pemerintahan tak peduli satu enghiong terbesar,
ia tak ada gunanya!"
"Maka kalau raja bijaksana," berkata orang yang pertama, "Pastilah
orang-orang seperti Auwyang Sianseng bakal dapat memperlihatkan
kegagahan dan kepandaiannya!"
Kwee Ceng mengenali suara orang ini, ialah Wanyen Lieh, putra keenam
dari negara Kim atau musuh yang membunuh ayahnya. Tadi, dalam tempo
pendek, ia tak segera mendapat ingat. Mereka berdiam tidak lama di dalam
paseban, habis bicara dan tertawa, mereka berlalu pula.
"Coba duga," kata Kwee Ceng pada Oey Yong setelah mereka itu pergi jauh.
"Apa maksud mereka datang ke Lim-an ini? Dan adik Kang, kenapa ia ada
bersama mereka itu?"
"Memang sudah lama aku melihatnya adikmu itu bukan orang baik-baik, kau
tetap membilang ia turunan orang gagah," menyahut si nona. "Baru
sekarang kau mengerti! Kalau ia benar orang baik, kenapa dia bergaul
sama See Tok dan pangeran musuh itu?"
"Aku juga tidak mengerti," kata Kwee Ceng.
Oey Yong lantas menyebut hal yang ia dengar di ranggon Hoa Cui Kok di
istana Chao Wang baru-baru ini. Ia menambahkan, "Wanyen Lieh telah
mengumpulkan Pheng Lian Houw dan kambrat-kambratnya, maksudnya untuk
mencari surat wasiat Gak Bu Bok, maka mau aku menduga surat wasiat itu
mesti berada di dalam kota Lim-an ini. Sungguh celaka rakyat Song kita
apabila surat wasiat itu benar-benar terjatuh di tangan mereka itu!"
Tergetar hatinya Kwee Ceng. Memang itulah hebat. "Yong-jie," katanya.
"Kita mesti mencegah mereka berhasil mencuri surat wasiat itu!"
"Hanya sulitnya mereka itu ada bersama si Bisa dari Barat itu…"
"Apakah kau jeri?"
"Apakah kau sendiri tidak takut?"
"Memang aku takut terhadap See Tok, tetapi urusan ada begini besar, karenanya tak dapat kita main takut saja."
Oey Yong tertawa. "Kau tidak takut, aku juga tidak takut!" katanya.
"Bagus! Sekarang mari kita susul mereka!"
Mereka berlalu dari paseban itu, tetapi mereka tak dapat menyandak
Wanyen Lieh bertiga, dan sia-sia saja mereka ubak-ubakan di dalam kota.
Hangciu kota besar, dalam tempo yang singkat, kota itu tak dapat
diputari seluruhnya. Maka itu setelah setengah harian dan sang sore
mendatangi, mereka pergi ke taman Bu Lim Wan di Tiong-wa-cu.
Oey Yong melihat sebuah toko yang menjual pelbagai macam topeng, yang
lukisannya bagus dan hidup, ia menjadi ketarik hatinya. Ia ingat
janjinya kepada Ciu Pek Thong, yang ia hendak membelikan sesuatu, maka
ia masuk ke dalam toko itu, dengan mengeluarkan lima chie, ia dapat
membeli belasan topeng, seperti dari Ciong Hiok si raja setan, hakim
neraka, toapekkong dapur, malaikat tani, serdadu langit dan hantu
lainnya. Semua itu dibungkus jadi satu.
"Entah rumah makan apa itu?" kata Oey Yong. Ia mendapat cium bau makanan lezat dari restoran di sebelah toko topeng itu.
"Rupanya jiwi bukan orang sini maka jiwi tidak ketahui," berkata pelayan
toko tertawa. "Itulah restoran Sam Goan Lauw, yang kesohor nomor satu
di kota kita. Jangan jiwi melewatkan kesempatanmu ini!"
Oey Yong ketarik hatinya, ia menyambuti topengnya, lantas ia tarik
tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi. Rumah makan itu dipajang indah,
catnya pun bagus. Di atas lauwtengnya ada dipanjar banyak tengloleng. Di
pekarangannya dalam ada pohon-pohon bunga dan lainnya. Setibanya mereka
di lauwteng, pelayan menyambut mereka dengan manis, menunjuki mereka
tempat duduk. Kemudian, setelah dapat pesanan makanan, pelayan itu
mengundurkan diri.
Dari terangnya api, Kwee Ceng melihat beberapa puluh bunga raja dengan
pakaiannya yang mewah berkumpul di samping lorong. Ia heran. Ia hendak
menanyakan pelayan atau mendadak ia tunda maksudnya itu, sebab kupingnya
segera mendapat dengar satu suara dari balik tembok: "Baik juga! Coba
suruh mereka bernyanyi menemani kita minum arak!" Itulah suaranya Wanyen
Lieh.
Kwee Ceng dan Oey Yong saling merilik. Di dalam hatinya mereka kata:
"Bagus!" Mereka telah mencari berputaran, tak tahunya orang ada disini.
Lalu terdengar suara memanggil dari pelayan, atas mana satu nona bunga
raja menyahuti lantas datang menghampirkan. Dia bertindak elok dan
tangannya memegang kecrek. Tidak lama kemudian, sudah terdengar suara
bernyanyi yang merdu, nyanyian yang memujikan sungai Cian-tong dan
kotanya yang indah.
"Bagus!" demikian terdengar pujiannya Wanyen Lieh dan Yo Kang di
akhirnya lagu itu. Habis itu terdengar ucapan terima kasih dari si
tukang nyanyi, yang lantas mengundurkan diri dengan gembira, rupanya ia
mendapat persenan besar.
"Anak," kemudian terdengar suara Wanyen Lieh. "Kau tahu tidak, syairnya Liu Eng itu ada hubungannya sama negara Kim yang besar?"
"Anak tidak tahu, coba ayah menjelaskannya," terdengar jawabannya Yo Kang.
Mendengar orang saling memanggil anak dan ayah, Kwee Ceng dan Oey Yong
saling melirik. Kwee Ceng berdongkol berbareng masgul. Kalau bisa, ingin
ia menjambak Yo Kang, untuk paksa ia memberi keterangan.
Yang dibilang syairnya Liu Eng itu ialah syair "Bong Hay Tiauw" atau
"Memandang gelombang" yang tadi dinyanyikan si nona tukang nyanyi itu.
Lantas terdengar penjelasan Wanyen Lieh. "Di dalam tahun Ceng-liong dari
negara Kim yang agung. Junjungan kita Liang telah melihat syairnya Liu
Eng itu yang memuji telaga See Ouw. Karena ini, ketika dikirim utusan ke
Selatan, sekalian dikirim juga seorang pelukis, buat dia menggambar
panorama kota Lim-an dalam mana dilukiskan juga Junjungan kita lagi
berdiri bersama kudanya di puncak bukit Gouw San, kemudian Junjungan
sendiri yang menulis syair di dalam gambar itu, syair yang menguraikan
ia membawa angkatan perang ke See Ouw dan ia berdiri di puncak ke satu
dari bukit Gouw San itu."
"Sungguh bagus!" Yo Kang memuji. Kwee Ceng meremas tangannya sendiri saking mendongkolnya.
Lalu terdengar Wanyen Lieh menghela napas yang berkata dengan menyesal.
"Sayang tak tercapai cita-cita Junjungan Lian membawa angkatan perang ke
Selatan untuk mendaki puncak Gouw San itu, meski begitu, cita-cita itu
sekarang akan ditelad oleh anak cucunya. Cita-cita luhur dari Junjungan
itu terbukti dengan syair yang ia tulis pada sebuah kipas, bunyinya,
'Kalau gagang kipas ada di tangan, maka angin sejuk akan memenuhi kolong
langit'." Di waktu mengucap begitu, pastilah semangat Wanyen Lieh
tengah tersengsam.
Setelah itu terdengar tertawa nyaring dari Auwyang Hong, yang berkata,
"Kalau di lain hari ongya yang memegang kekuasaan besar pastilah akan
tercapai itu cita-cita berdiri di puncak gunung Gouw Wan!"
"Semoga terjadi apa yang sianseng katakan," kata Wanyen Lieh perlahan.
"Di sini ada banyak mata dan kuping, mari kita minum saja." Sampai di
situ, bertukarlah pokok pembicaraan mereka itu bertiga. Mereka berbicara
tentang keindahan tempat dan adat kebiasaan penduduknya.
"Mereka minum dengan gembira sekali, aku justru akan membikin mereka tidak gembira!"
Oey Yong berbisik di telinga Kwee Ceng, yang ia terus ajak pergi ke
taman belakang. Di sini si nona menyulut api, untuk membakar gudang kayu
di empat penjuru, maka di lain saat, berkobarlah api itu merupakan satu
kebakaran!
Dalam sekejap berisiklah suara orang yang berteriak-teriak dari berlari-larian. "Kebakaran! Kebakaran! Tolong! Padamkan api!"
"Mari lekas ke depan!" si nona membisiki lawannya. "Nanti mereka keburu lenyap lagi!"
"Malam ini mesti aku berhasil menikam mampus Wanyen Lieh!" kata Kwee Ceng sengit.
"Tapi kita mesti temani suhu masuk dulu ke istana," kata Oey Yong.
"Kemudian kita minta Ciu Toako layani See Tok, supaya kita leluasa
menghadap itu sepasang manusia celaka!"
"Benar!" kata Kwee Ceng setuju.
Mereka lantas turut berdesakan pergi ke depan di mana justru Wanyen Lieh
bersama Yo Kang dan Auwyang Hong terlihat lagi ke luar dari rumah
makan. Mereka menguntit dari kejauhan, melintasi sejumlah jalan dan
gang, sampai di penginapan Siang Hong di See-sie-tiang. Sekian lama
mereka menantikan, tidak juga Wanyen Lieh ke luar, maka mereka menduga
tentulah tiga orang itu mondok di hotel itu.
"Mari kita pulang, setelah mengajak Ciu Toako, baru kita satroni pula mereka!" kata Oey Yong. Kwee Ceng menurut.
Mereka pulang ke penginapan Kim Hoa. Baru sampai di depan penginapan,
mereka sudah dengar suara berisik dari Ciu Pek Thong, Kwee Ceng kaget,
ia khawatirkan luka gurunya. Ia lari masuk. Tiba di pekarangan, hatinya
lega. Di sana Pek Thong lagi berselisih sama beberapa anak-anak. Nyata
dia kalah bertaruh dan hendak menganglap dan anak-anak itu tidak mau
mengerti.
Melihat Oey Yong, karena takut ditegur, Pek Thong lantas ngeloyor masuk.
Oey Yong berdua Kwee Ceng mengikuti, sesampainya di dalam, si nona
mengeluarkan macam-macam topeng yang ia beli itu, ia perlihatkan pada si
orang tua. Pek Thong gembira, ia pakai itu satu demi satu, hingga
sebentar ia jadi hakim neraka, sebentar ia jadi hantu. Oey Yong lantas
bicara. Ia minta sebentar si tua itu membantu ia untuk menghadapi
Auwyang Hong.
"Baik!" Pek Thong menjawab. "Sebentar aku lawan dia dengan kedua tanganku, dengan dua macam ilmu silat juga!"
Oey Yong khawatir si tua ini nanti berlaku seperti di Tho Hoa To, sebab
menghukum diri disebabkan menggunai ilmu silat Kiu Im Cin-keng, dia
sudah ikat kedua tangannya untuk bertempur sama ayahnya. Maka itu ia
lantas berkata. "See Tok itu manusia sangat busuk, kalau kau gunai Kiu
Im Cin-keng untuk menghajar dia, kau tentu tidak melanggar larangan
kakak seperguruanmu!"
"Ah, itu tidak dapat!" menampik Ciu Pek Thong sambil membuka lebar
matanya. "Aku toh sudah menyakinkan ilmu silat baru tanpa menggunai Kim
Im Cin-keng itu." Oey Yong tidak mau memaksa. Ia khawatir si tua itu
nanti ngambek.
Siang hari itu, hatinya Ciu Pek Thong sudah seperti berada di dalam
dapur istana. Maka begitu tiba jam dua, Kwee Ceng lantas menggendong
gurunya, dengan sambil jalan di atas genteng, berempat mereka pergi ke
istana, menuju langsung ke dapur, yang berada di belakang bukit Liok
Pouw San dan dekat dengan pendopo istana Kee-beng-thian. Pendopo ini
ialah tempat menyiapkan barang hidangan untuk raja.
Istana terjaga kuat tapi di tengah malam seperti itu, dapur sepi, cuma
apinya yang terang menderang. Beberapa orang kebiri menjaga di situ tapi
mereka ini sudah keburu tidur pulas. Kwee Ceng mendudukkan Ang Cit Kong
di atas penglari. Oey Yong bersama Ciu Pek Thong menggerataki almari
untuk mencari barang hidangan seadanya, maka di lain saat, berempat
mereka sudah menggoyang janggut.
"Ah, pengemis bangkotan, barang makanan di sini mana lebih lezat dari
pada masakannya Nona Oey," kata Pek Tong menggeleng kepala. "Jauh-jauh
kau datang kemari, habisnya tak menggembirakan…."
"Sebenarnya aku ingin dahar Wanyon Ngo-tin-kwee, sayang kokinya entah
pergi kemana," sahut Ang Cit Kong. "Yang ada di sini ialah barang
makanan biasa, ini memang kurang lezat. Baik besok kita bekuk itu koki
dan suruh ia memasaki."
"Aku tidak percaya dia dapat menangkan masakan Nona Oey!" kata pula Pek
Thong. Oey Yong tertawa. Ia tahu dia dipuji, sebab Pek Thong bersyukur
sudah dibelikan topeng.
"Aku mau berdiam di sini menantikan koki itu," kata Cit Kong. "Kalau kau
tidak gembira, pergilah kau bersama anak Ceng, biar anak Yong menemani
aku. Besok malam baru kau datang menyambut aku."
Pek Thong membekal topengnya, ia pakai topeng malaikat kota. "Tidak, aku
akan berdiam di sini menemani kau!" katanya tertawa. “Besok aku akan
pakai topeng ini untuk menemui raja! Saudara Kwee dan nona Oey, kamu
awasi See Tok jangan sampai ia berhasil mencuri surat wasiatnya Gak Bu
Bok."
"Loo Boan Tong benar, maka pergilah kamu lekas," kata Ang Cit Kong.
"Asal kamu waspada." Muda-mudi iru menyahuti bahwa mereka akan taati
pesan itu.
"Malam ini jangan tempur si tua bangkotan yang berbisa, tunggu saja besok, lihat aku!" Pek Thong memesan pula.
"Meski pun kita tidak menang, kita mesti tempur dia," Oey Yong bilang.
Lalu bersama Kwee Ceng ia berlalu, maksudnya pergi ke penginapan Siang
Hong untuk mengintai Wanyen Lieh bertiga. Dua pendopo istana telah
dilewati ketika si nona merasakan hawa dingin serta kupingnya mendengar
suara air. Angin halus pun membawa datang harumnya bunga.
Oey Yong memang paling menggemari bunga, mendapat cium bau semerbak itu,
ia lantas berpikir di istana ini, di dekatnya, bunga-bunga di istana
mestinya beraneka warna, maka itu, mesti ia melihatnya. Karena ini ia
tarik tangannya Kwee Ceng, buat ajak si anak muda pergi mencari pohon
bunga itu.
Tidak gampang untuk muda-mudi ini sampai di tempat tujuannya, mereka
hanya merasai hawa semakin dingin dan suara air makin keras dan berisik.
Mereka jalan terus sampai melewati dua lorong panjang dan menikung,
lalu sampai di satu tempat di mana ada di taman rapi banyak pohon cemara
dan pohon bambu, hingga suasana di situ menjadi teduh ayem.
Oey Yong bergembira. Ia dapatkan jalanan di dalam istana ini kalah
dengan jalanan di Tho Hoa To, pulaunya itu, tetapi pepohonannya tidak
usah menyerah. Ketika ia jalan beberapa tindak, di hadapannya ia melihat
air tumpah turun dari gunung putih bagaikan rantai perak, jatuhnya ke
sebuah pengempang lebar. Di dalam empang itu kedapatan banyak pohon
teratai dengan bunganya yang merah dan putih. Di depan empang ada sebuah
paseban indah dengan merknya Cui Han Tong.
Tanpa sangsi-sangsi, Oey Yong bertindak masuk ke dalam paseban itu di
mana di bagian depannya terlihat banyak macam bunga musim panas, seperti
melati, giokkui dan ang-ciauw yang harum, dan di sebelah belakangnya
ada di pasang hio wangi dan dupa, yang menambah harumnya paseban itu. Di
atas meja pun tersajikan banyak macam buah, seperti ubi teratai,
semangka, tho dan lainnya. Di atas kursi ada beberapa buah kipas.
Mungkin tempat raja berangin sebelum raja itu masuk tidur.
"Sungguh raja berbahagia!" Kwee Ceng mengeluh.
"Nah, kau pun mencobai menjadi raja barang satu kali!" kata Oey Yong
tertawa seraya ia tarik tangan si anak muda itu, untuk orang bercokol di
atas pembaringan, kemudian ia ambil beberapa rupa buah, ia menyuguhinya
sambil berlutut dan berkata. "Silahkan Sri baginda dahar bebuahan!"
Kwee Ceng tertawa, sambil tangannya mengambil buah piepee, ia berkata, "Silakan bangun!"
"Salah!" berkata Oey Yong. "Raja tidak pernah mengatakan silakan bangun, itu terlalu sungkan!"
Kwee Ceng tertawa pula, begitu pun si nona. Selagi mereka gembira itu,
hingga mereka seperti lupa daratan, dari kejauhan terdengar bentakan.
"Siapa di sana?!" Keduanya menjadi kaget, serentak mereka berlompat,
untuk terus sembunyi di belakang gunung-gunungan. Teguran itu disusul
sama tindakan cepat dan berat dari dua orang, mendengar tindakan mana
lega hatinya si pemuda dan pemudi itu.
"Jangan pedulikan mereka!" Oey Yong berbisik. "Dua kantong nasi itu tidak bakal menemui kita!"
Itu waktu lantas terlihat dua orang, yang tubuhnya besar, tiba di
paseban, tangan mereka masing-masing mencekal sebatang golok. Mereka itu
lantas celingukan. Cuma sebentar, yang satu lantas tertawa.
"Ah. Lao Su, kau melihat setan!" katanya.
"Ya, dalam beberapa hari ini mataku seperti lamur!" sahut kawannya yang
dipanggil Lao Su itu, artinya Su si tua. Kemudian dua orang itu
mengundurkan diri.
Oey Yong tertawa di dalam hatinya, lalu ia menarik tangan Kwee Ceng
niatnya untuk diajak ke luar, tetapi belum lagi mereka muncul dari
tempat persembunyiannya mereka itu, kuping mereka mendapat dengar seruan
tertahan dari dua centeng istana itu, benar suara itu perlahan akan
tetapi si nona dan si pemuda mengerti, itulah suara dari orang yang kena
ditotok jalan darahnya. Mereka lantas berpikir, "Tentu Ciu Toako tak
sabaran, dia pun lantas ke luar pesiar!"
"Itu paseban di samping air tumpah ialah Cui Han Tong!" tiba-tiba Oey
Yong dan Kwee Ceng mendengar suara orang, perlahan. "Mari kita pergi ke
sana."
Muda-mudi ini terperanjat. Mereka mengenali suaranya Wanyen Lieh.
keduanya saling menjabat tangan erat-erat, terus mereka menyembunyikan
diri mereka. Tubuh mereka tidak berkutik, tetapi mata mereka dipasang,
diincarkan ke depan.
Di antara sinar bintang-bintang terlihat beberapa tubuh orang, bahkan
lantas dikenali, kecuali Wanyen Lieh dan Auwyang Hong, ada Pheng Lian
Houw, See Thong Thian, Leng Tie Siangjin dan Nio Cu Ong.
"Heran, mau apa mereka datang ke istana…" pikir muda mudi ini. "Tak mungkin mereka pun hendak mencuri barang makanan raja…"
"Siauw-ong telah meneliti surat yang ditinggalkan Gak Bu Bok," terdengar
suaranya Wanyen Lieh, "Juga siauw-ong telah periksa surat-surat dua
kaisar Kho Cong dan Hauw Cong, maka itu berani siauw-ong memastikan
surat wasiat Gak Bu Bok itu mestinya disimpan di sini, lima belas tindak
di Timur Cui Han Tong ini."
Sembari berkata pangeran Kim itu menunjuk dengan tangannya, maka semua
kawannya memandang ke arah tempat yang ditunjuk itu. Di sana adalah air
tumpah, tidak ada benda lainnya.
"Di dalam air tumpah mana bisa di simpan barang?" berkata Wanyen Lieh heran. "Toh bukti-bukti memastikan demikian…"
See Thong Thian pandai berenang, julukannya pun Kwie-bun Liong Ong, si
Raja Naga Pintu Setan, maka ia lantas berkata, "Nanti aku terjun akan
memeriksa air tumpah ini."
Cepat ia bersiap, atau ia sudah terjun ke dalam air. Tidak lama, ia
sudah timbul pula dan terus mendarat. Semua kawannya menghampirkan
padanya.
"Ongya benar pandai!" kata orang she See ini. "Di belakang air tumpah
ini ada sebuah gua dengan pintunya besi yang terkunci." Wanyen Lieh
menjadi sangat girang.
"Surat wasiat Gak Bu Bok mesti disimpan di dalam gua itu!" katanya
nyaring. "Sekarang siauw-ongya minta tuan-tuan suka pergi membuka pintu
besi itu."
Titah ini tak usah diulangi atau orang sudah lantas berlompat maju untuk
memasuki air tumpah itu, kecuali Auwyang Hong yang dengan tertawa
dingin berdiam terus di sisinya si pangeran Kim itu. Ia merasa
derajatnya lain, tak sudi ia berbuat seperti kawan-kawan itu.
See Thong Thian maju paling dulu. Begitu ia melewati air tumpah,
mendadak ada angin menyambar padanya. Dia lihay tetapi dia tidak
menyangka jelek, maka itu hendak ia berkelit, atau segera tangan kirinya
kena orang cekal terus ditolak dengan keras, hingga ia terpental balik
menubruk Nio Cu Ong! Syukur, dua-dua mereka lihay, keduanya tidak
terluka, mereka melainkan terhuyung mundur.
Semua orang heran, tetapi sementara itu, untuk kedua kalinya, See Thong
Thian sudah menyerbu pula air tumpah itu. Ia penasaran dan kali ini ia
bersiap sedia. Ia melindungi mukanya. Benar saja, baru ia lewati air,
atau sebuah kepalan sudah meninju kepadanya. Karena ia sudah bersedia,
ia menangkis dengan tangan kirinya seraya kepalan tangan kanan dipakai
membarengi menyerang membalas.
Ketika itu Nio Cu Ong pun menyerbu air tumpah itu, hanya untuk kagetnya,
ia dipapaki tongkat. Ia kaget, ia tidak sempat menangkis, maka itu ia
berkelit dengan melenggokkan tubuhnya. Tentu sekali, karenanya, ia roboh
ke air dan kena ditarik. Celaka untuknya, kakinya kena tergaet. Dasar
lihay, ia masih sempat lompat ke luar dari air tumpah. Berbareng dengan
itu, See Thong Thian pun mesti ke luar lagi karena ia kena didesak tinju
yang dahsyat.
Hauw Thong Hay telah menyaksikan semua itu. Ia sembrono, maka itu ia
tidak ingat bahwa ilmu silat ia kalah dari See Thong Thian, sang kakak
seperguruan, ia lantas maju. Ia mau mengandalkan kepandaiannya bisa
berenang dan di dalam air bisa membuka matanya.
Pheng Lian Houw menginsyafi bahaya yang mengancam bahaya yang mengancam
kawan ini, hendak ia memberikan bantuannya, tapi belum sempat ia maju,
atau suatu benda besar dan hitam sudah mental ke luar dari air tumpah
itu, jatuh ke tanah dengan suara gedebuk nyaring, yang mana disusul sama
jeritannya Hauw Thong Hay, sebab dialah yang melayang dan roboh itu.
Lian Houw lantas lompat menghampirkan. "Perlahan, saudara Hauw!" ia memperingati, berbisik. "Kau kenapa?"
"Celaka, kempolanku kena terhajar!" sahut Sam-tauw-kauw Si Ular Naga
Kepala Tiga. Lian Houw kaget dan heran dan merasa lucu juga.
"Sebenarnya telah terjadi apa?" ia menegasi. Ia meraba kempolan orang,
di situ ia tidak merasa ada yang luar biasa. Ia teliti, tentu ia tidak
mau sembarang menyerbu air tumpah itu. Maka ia menanya pula. "Ada orang
di dalam? Siapakah dia?"
"Mana aku tahu?" sahut Thong Hay ketus. Ia kesakitan dan mendongkol. "Begitu aku masuk begitu aku terhajar ke luar!"
Lian Houw tercengang. Justru itu Leng Tie Siangjin, dengan jubahnya
berkibaran, memasuki air tumpah itu, atau di lain saat dia perdengarkan
suaranya dalam bahasa Tibet, dia berbicara sambil berseru-seru dan
terdengar juga suara pertarungannya. Maka teranglah ia pun dapat
sambutan dan jadi berkelahi.
Wanyen Lieh semua saling mengawasi, mereka terbenam dalam keheranan.
Tidak tahu mereka, ada musuh siapa di dalam air tumpah itu. Menurut See
Thong Thian dan Nio Cu Ong, mereka samar-samar melihat sepasang
pemuda-pemudi, si pemuda dengan tangan kosong, si pemudi dengan tongkat.
Kembali terdengar teriakan Leng Tie Siangjin, teriakan kemurkaan. Rupanya dia pun menderita…
"Kenapa Siangjin juga begini tidak tahu selatan?" kata Wanyen Lieh
sambil mengerutkan kening. "Dia membikin banyak berisik, bagaimana kalau
pahlawan-pahlawan raja dapat mendengarnya? Dengan begitu masih bisakah
kita mencuri wasiat?"
Baru berhenti suaranya pangeran ini atau mereka melihat air tumpah
membawa serupa benda merah, yang segera juga dikenali jubah suci dari
Leng Tie Siangjin, menyusul mana, dengan diberikuti suara air, dua
cecernya orang suci ini terlempar ke luar dari dalam air tumpah itu.
Hauw Thong Hay khawatir cecer itu jatuh dengan menerbitkan suara
berisik, ia lompat untuk menangkapinya.
Dari dalam air tumpah lagi sekali terdengar dampratan Leng Tie Siangjin,
hanya kali ini disusul sama mencelatnya tubuhnya yang besar, akan
tetapi karena ia lihay, ketika ia tiba di luar, ia dapat berdiri dengan
tegar.
"Itulah bocah dan budak yang kita ketemukan di perahu!" Leng Tie kata dengan sengit.