Kwee Ceng dan Oey Yong, yang bersembunyi di belakang gunung, mendengar
nyata pembicaraannya Wanyen Lieh beramai. Karena mereka itu hendak
mencuri surat wasiat Gak Hui, mereka takut sekali surat wasiat itu kena
didapatkan pangeran itu. Inilah hebat. Dengan menggunai siasatnya Gak
Hui itu, pasti bangsa Kim bakal berhasil menyerbu negara Song. Bagaimana
itu bisa dicegah? Di antara orang-orangnya Wanyen Lieh pun ada Auwyang
Hong yang lihay. Oey Yong mencoba mencari akal, untuk membikin mereka
itu kaget dan nanti lari kabur. Kwee Ceng sebaliknya tidak sabaran,
karena tidak ada tempo lagi untuk berpikir lama-lama atau mengatur tipu.
Akhirnya pemudi ini menarik tangan si pemuda, untuk diajak pergi ke
belakang air tumpah. Mereka sampai di sana tanpa ada yang lihat dan
tanpa ada yang dengar, sebab tumpahnya air sangat berisik.
Muda-mudi ini telah siap sedia ketika See Thong Hay mencoba memasuki air
tumpah itu, dengan gampang dia dihajar kembali. Hasilnya penolakan ini
membikin mereka berdua jadi heran dan kagum, girang sekali. Itulah
buahnya pernyakinan mereka atas ilmu Ie-kin Toan-kut Pian. Demikian
mereka menghajar Hauw Thong Hay dan akhirnya Leng Tie Siangjin hingga
pendeta Tibet ini mencaci kalang kabutan.
"Engko Ceng, mari lekas!" Oey Yong mengajak. "Mari kita ke luar dan
berteriak-teriak, biar kawanan pahlawan pada datang kemari, dengan
begitu mereka ini tentulah tak dapat bekerja terlebih jauh melakukan
pencurian!"
Oey Yong berkata demikian sebab ia percaya, habis Leng Tie Siangjin,
Auwyang Hong bakal turun tangan, kalau See Tok yang maju, pasti mereka
tidak berdaya lagi.
"Pergi kau ke luar dan berteriak-teriak, aku sendiri akan berjaga di sini!"
"Tapi ingat, jangan tempur si bangkotan yang berbisa itu!" Oey Yong memesan.
"Aku mengerti! Nah, keluarlah! Keluarlah lekas!"
Baru Oey Yong mau ke luar atau mendadak mereka merasakan tolakan angin
keras sekali. Mereka kaget tetapi mereka tidak mau menangkis, hanya
dengan berbareng keduanya lompat ke samping masing-masing.
Hebat tolakan itu, yang ada Ha-mo-kang, pukulan Kuntauw Kodok dari
Auwyang Hong. Karena tidak memperoleh perlawanan, serangan itu mengenai
tepat pintu besi dari gua, maka itu terdengarlah satu suara nyaring
sedang air muncrat ke segala penjuru.
Oey Yong melompat tetapi ia kalah sebat, punggungnya kena tersampok
angin. Dalam sekejap itu ia merasakan sulit bernapas, kepalanya pusing,
matanya berkunang-kunang, akan tetapi ia masih ingat tugasnya, hanya
berdiam sejenak, untuk memusatkan pikiran, segera ia melompat ke luar,
akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya. "Ada pembunuh gelap! Ada
pembunuh gelap! Tangkap! Tangkap!" Dan sembari berteriak-teriak, ia
kabur ke depan.
Wanyen Lieh semua kaget. "Marilah kita hajar mampus dulu budak ini!"
Pheng Lian Houw berseru bahna mendongkolnya. Ia gusar dan penasaran.
Segera ia melompat, untuk mengejar.
Suaranya Oey Yong mendengung dalam malam yang sunyi itu, suara itu dapat
didengar rombongan-rombongan Siewie atau pahlawan kaisar di empat
penjuru istana. Paling dulu terdengar seruan mereka berulang-ulang,
untuk saling memberi tanda, habis itu mereka lantas bergerak.
Oey Yong berlompat naik ke atas genting, ia mencabuti genting dengan apa
ia menimpuk kalang-kabutan. Perbuatannya ini pun menambah suara
berisik. Pheng Lian Houw, disusul Nio Cu Ong, merangsak, untuk mendekati
si nona. Dalam keadaan seperti itu, Wanyen Lieh masih dapat bersikap
tenang. Ia menoleh ke sisinya, kepada seorang yang mengenakan pakaian
hitam dan bertopeng hitam juga.
"Anak Kang, pergilah kau bersama Auwyang Sianseng masuk ke air tumpah
untuk mengambil surat wasiat itu!" katanya. Pangeran itu masih belum mau
melepaskan ikhtiarnya mencuri surat yang dia sangat harapkan itu. Orang
disampingnya itu, yang memakai topeng, memang Yo Kang adanya, putra
pungutnya.
Auwyang Hong sendiri sudah lantas nongkrong di tanah, untuk mengerahkan
tenaganya, guna menggunai Kuntauw Kodok menyerang pula ke arah air
tumpah, maka itu, begitu ia menyerang, terdengar pula suara berisik
seperti tadi. Bahkan kali ini kedua daun pintu gua tertolak mundur ke
dalam.
Setelah berhasil dengan serangannya itu, Auwyang Hong mau berlompat maju
guna masuk ke dalam air tumpah, guna memasuki gua dan mengambil surat
wasiat yang diarah itu. Justru ia bertindak, matanya melihat bayangan
orang yang berkelebat dari samping, dan belum lagi bayangan itu tiba,
angin serangannya sudah mendahului. Ia mengenali, itulah pukulan Hui
Liong Thay-thian, Naga Terbang ke Langit.
"Hm!" pikir See Tok sambil ia berkelit. "Memang aku hendak tanyakan dia
keterangan kitab Kiu Im Cin-keng. Kebetulan sekali, sekarang baik aku
sekalian membekuk dia…!" Karena ini, sambil berkelit ke samping, sebelah
tangannya diulur, guna menjambak penyerang itu.
Si penyerang benar Kwee Ceng adanya. Anak muda ini sudah nekat. Ia
bertekad membelai surat wasiatnya Gak Hui, maka itu, ia tidak peduli
musuh lihay dan Oey Yong telah melarang ia menempur See Tok. Ia harap,
dalam tempo yang pendek, kawanan siewie akan sudah tiba di situ. Ketika
ia menampak gerakannya Auwyang Hong, ia menduga orang tidak niat berbuat
telengas, ia hanya hendak ditangkap. Ia sebenarnya heran. Tapi tak ada
ketika untuk menduga-duga maksud orang. Dengan tangan kirinya ia
menangkis, dengan tangan kanan ia menyerang ke pundak. Ia menggunai satu
jurus dari Khong-beng-kun, yaitu Pukulan Kosong.
Kwee Ceng menggunai ilmu silatnya ajaran Ciu Pek Thong, yaitu sepasang
tangan saling berkelahi sendiri dan jurus yang ia pakai ialah jurus
Khong-beng-kun, meskipun itu tak sehebat Hang Liong Sip-pat Ciang, toh
tak dapat dipandang enteng. Tidak heran kalau Auwyang Hong terkejut.
"Bagus!" berseru See Tok yang lihay. Ia mendak dengan pundaknya, sebelah
tangannya dilonjorkan, guna menangkap lengannya si penyerang. Biar
bagaimana, ia berkelahi dengan waspada, sebab ia dapat kenyataan, tiap
hari kepandaiannya pemuda ini bertambah terus.
Auwyang Hong penasaran yang ia belum berhasil menyakinkan Kiu Im
Cin-keng, ia ingin mengerti jelas kitab itu, keinginannya bertambah
ketika ia dengar ocehan Ang Cit Kong di atas getek. Ia hanya tak insyaf
bahwa ia tengah dipermainkan bocah she Kwee itu, sebab kitab Kiu Im
Cin-keng yang berada di tangannya ialah kitab yang tidak karuan macam,
yang Kwee Ceng kacaukan urutan huruf-hurufnya, hingga tak dapat
diartikan lagi.
Sementara itu di empat penjuru Cui Han Tong sudah terlihat obor api
terang bagaikan siang. Pelbagai siewie muncul dalam satu-satu rombongan,
mereka itu lari ke arah dari mana terdengar teriakan-teriakan, ialah
teriakannya Oey Yong.
Wanyen Lieh melihat terangnya obor, ia menjadi bingung juga. Sejak
masuknya Auwyang Hong dan Yo Kang ke dalam air tumpah, mereka tidak
kelihatan muncul kembali. Syukur untuknya, semua siewie lari ke arah Oey
Yong, siapa sedang menungkuli dua-dua Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong
yang terus mengejar padanya. Untuk sementara, wilayah air tumpah itu
masih selamat. Walau pun begitu, pangeran ini membanting-banting
kakinya, tangannya menggapai-gapai tak hentinya.
"Lekas! Lekas!" ia memanggil Leng Tie Siangjin dan putranya.
"Jangan sibuk, ongya!" berkata Leng Tie. "Nanti siauwceng masuk pula!"
Pendeta Tibet ini lantas masuk ke air tumpah, di mana ia melihat Auwyang
Hong sedang menempur Kwee Ceng, sedang Yo Kang yang hendak menerobos
masuk, tidak mendapatkan ketikanya. Leng Tie Siangjin tidak puas
mengawasi pertempuran itu. Bukankah tempo mereka sudah sangat mendesak?
Kenapa Auwyang Hong bersikap seperti sedang berlatih?
"Auwyang Sianseng, mari aku bantu kau!" ia berseru.
"Minggir jauh-jauh!" Auwyang Hong membentak.
Leng Tie menjadi tidak puas. Di dalam hatinya ia kata: "Di saat seperti
ini mana dapat kau masih bertingkah seperti satu enghiong? Jangan kau
masih bawa lagakmu sebagai guru besar!" Lantas ia maju ke samping, ke
arah Kwee Ceng, sebelah tangannya melayang ke tempilingan kiri si bocah.
Menampak demikian, Auwyang Hong menjadi gusar sekali. Ia maju sambil
menjambil pundaknya pendeta Tibet itu, terus ia mengangkatnya, terus ia
melemparkannya! Tepat serangannya See Tok ini. Leng Ie Siangjin itu
lihay dan tangannya pun ada racunnya, maka untuk melayani dia, anggota
tubuhnya yang tak berbahaya yang mesti dihadapi.
Bukan main murkanya pendeta Tibet itu, tidak memperdulikan pula orang
lihay dan dipandang Wanyen Lieh, ia mencaci kalang-kabutan, cuma ia
memakai bahasa Tibet, Auwyang Hong tidak mengerti. Ia pun tak bisa
mencaci lama-lama atau segera ia tak dapat bersuara lagi, sebab mulutnya
lantas kemasukan air. Karena oleh Auwyang Hong ia dilemparkan ke air
tumpah, hingga mulutnya tersumpal air!
Wanyen Lieh terkejut akan melihat tubuh Leng Tie Siangjin terlempar ke
luar air tumpah. Justru itu kupingnya juga mendengar suara berisik dari
arah Cui Han Tong di mana ternyata, pot kembang yang besar di depan
paseban itu telah jatuh hancur. Menyusul itu, ia menampak munculnya
sejumlah siwi.
"Celaka!" ia mengeluh dalam hati. Tidak ayal lagi, dengan menjinjing
jubahnya, dia berlompat ke air tumpah, untuk masuk ke situ, guna
menyembunyikan diri. Ia mengerti ilmu silat, tetapi di tempat begitu,
kepandaiannya masih belum berarti, begitu kakinya menginjak tanah,
begitu ia terpeleset jatuh. Syukur untuknya, Yo Kang dapat melihatnya
dan putra ini segera lompat menyambar, menolongi padanya. Dengan melongo
pangeran Kim itu melihat ke sekitarnya.
"Auwyang Sianseng, apakah bocah ini dapat kau usir?" ia tanya See Tok.
Pertanyaan ini menandakan Wanyen Lieh seorang besar. Ia bukan
memerintah, ia hanya menanya. Pertanyaannya itu membangkitkan hawa
amarah orang. Hatinya Auwyang Hong menjadi panas.
"Kenapa tidak bisa?" menjawab Auwyang Hong, yang terus berjongkok seraya
mulutnya mengasih dengar suara seperti kerak-keroknya kodok. Dengan
begitu ia bersiap dengan Kuntauw Kodoknya, lalu terus kedua tangannya
dimajukan ke depan. Si Bisa dari Barat ini telah mengerahkan tenaganya,
umpama di situ ada Ang Cit Kong atau Tong Shia Oey Yok Su, tidak nanti
mereka berani melawannya dari depan, apa pula seorang seperti Kwee Ceng.
Sebenarnya juga, Auwyang Hong melayani Kwee Ceng sebagai lagi berlatih,
tidak heran Leng Tie Siangjin melihatnya menjadi muak. Ada sebabnya
kenapa See Tok berbuat demikian. Itulah disebabkan Kwee Ceng menggunai
Khong-beng-kun. Maka See Tok melayani, untuk menanti sampai anak muda
itu habis menjalankan semua jurus dari ilmu silatnya itu, habis itu baru
ia hendak turun tangan, mencekuk si pemuda. Sayang maksudnya tak segera
kesampaian. Mendadak Wanyen Lieh masuk ke air tumpah itu dan ia mesti
dengar itu pertanyaan yang seperti serupa ejekan, hingga hatinya menjadi
panas. Ia lantas bertindak. Meski begitu, ia tidak mau membinasakan
Kwee Ceng, sebab si bocah masih dibutuhkan olehnya. Di lain pihak, ia
tidak menginsyafi bocah yang polos dan jujur itu, yang taat dengan
tugasnya.
Kwee Ceng tidak mau mundur, sekalipun ia mesti mati terbinasa. Hendak ia
melindungi surat wasiatnya Gak Bu Bok. Begitu ia menyingkir, pasti
Auwyang Hong akan mendapatkan surat wasiat itu, di situ ada banyak
pahlawan raja tetapi menghadapi Auwyang Hong, pastilah mereka tidak
berdaya. Di dalam keadaan seperti itu, selagi bahaya mengancam -sebab ia
tahu ia tidak sanggup menangkis- ia menggenjot kedua kakinya, akan
mengapungi diri tinggi empat kaki. Secara begitu, ia bebas dari
serangan. Ketika turun pula, ia tetap berada di muka gua di mana ia
menghadang seperti semula.
"Bagus!" berseru Auwyang Hong kagum. Segera ia menarik pulang kedua tangannya.
See Tok ada sangat hebat. Kalau serangannya bertenaga beberapa ratus
kati, tarikan pulang tangannya pun masih bertenaga besar, ada tenaga
menariknya.
Kwee Ceng terkejut akan merasakan angin menolak punggungnya. Ia mengerti
ancaman bahaya. Ia memutar balik tangannya, untuk membela diri. Kali
ini ia menggunai jurus "Sin liong pa bwee" atau "Naga sakti menggoyang
ekor" Tentu saja itulah gerakan keras lawan keras. Seharusnya ia mencoba
berkelit, sebaliknya, ia menangkis. Siapa kalah tenaga dalam, dialah
yang bakal bercelaka.
Wanyen Lieh berdiri menjublak menonton cara orang berkelahi itu, yang
mengherankan ia. Kenapa Auwyang Hong berdiam saja sebagai patung, cuma
kedua tangannya yang ditolakkan ke depan dan ditarik pulang? Kenapa Kwee
Ceng main berlompatan dan hanya mengawasi See Tok? Kenapa See Tok
menarik pulang tangannya dan si bocah menangkis ke belakang, hingga
keduanya berdiam bagaikan patung?
Kedua pihak sebenarnya tengah mengadu tenaga dalam, Auwyang Hong tetap
menarik, Kwee Ceng tetap mempertahankan diri. Lekas juga bocah ini
bermandikan keringat. Ia telah mesti mengeluarkan seluruh tenaganya
untuk dapat bertahan itu.
Kembali Auwyang Hong menjadi kagum. Ia tahu benar, lagi sejenak Kwee
Ceng bakal terluka parah. Ia membutuhkan bocah itu, tidak dapat ia
mencelakainya. Maka ia memikir untuk mengalah. Lantas mengurangi tenaga
manariknya itu. Tapi berbareng sama dikuranginya tenaganya, ia merasakan
tolakan keras pada dadanya. Ia terkejut. Syukur tenaga dalamnya mahir,
kalau tidak tentulah ia roboh terguling. Benar-benar ia tidak menyangka,
begitu muda Kwee Ceng, tenaganya besar sekali. Segera ia menahan napas,
tangannya menolak. Dengan begitu, lenyaplah tenaga mendorong tadi.
Kalau Auwyang Hong terus menyerang, robohlah Kwee Ceng. Tapi ini tidak
dilakukan See Tok. Dia masih mengharap habisnya tenaga si bocah, untuk
menangkap hidup padanya, guna menggorek keterangan hal Kiu Im Cin-keng
dari mulut orang….
Sesaat kemudian mulailah terlihat tenaganya dua orang itu, yang satu
berlebihan, yang lainnya berkurang. Tapi Wanyen Lieh dan Yo Kang, yang
tetap menonton, tidak mendapat tahu kapan akan selesainya pertempuran
macam itu, karenanya mereka menjadi cemas sendirinya. Mereka bingung
mendengar suara berisik, satu tanda rombongan siwi tengah bekerja keras
mencari si orang jahat…
Sekonyong-konyong dari dalam air tumpah terlihat dua siwi menerjang ke
luar. Yo Kang berlaku sangat sebat, sebelum kedua siwi itu tahu apa-apa,
mereka sudah diterjang pangeran muda ini, yang kedua tangannya
menyambar ke masing-masing ulu hati mereka, hingga menancap, dengan
begitu robohlah mereka dengan jiwa mereka melayang. Yo Kang dengan
bengis sudah menggunai cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw.
Setelah itu Yo Kang menghunus pisau belatinya, lalu dengan menggenjot
diri, ia lompat kepada Kwee Ceng, untuk menikam pinggangnya si anak
muda. Dalam keadaan seperti itu, Kwee Ceng tidak dapat berkelit. Kalau
ia mencoba menyingkirkan tubuhnya, segera ia bakal terbinasa pukulan
Kodok dari Auwyaang Hong. Maka itu dalam sekejap saja ia merasakan sakit
pada pinggangnya, hingga ia berbareng merasa juga pernapasannya
berhenti berjalan. Maka lupalah ia segala apa, tanpa merasa ia menghajar
lengannya si penyerangnya itu, si pembokong.
Yo Kang merasakan sakit sekali. Ia bukan lagi tandingannya Kwee Ceng,
walaupun ia mencoba menarik pulang tangannya, lengannya menjadi korban
pula. Tapi itu waktu separuh pisaunya sudah masuk ke pinggang si anak
muda. Karena bergeraknya itu, tenaga Kwee Ceng menjadi semakin
berkurang, dari itu, ia lantas terkena dorongan tenaganya Auwyang hong.
Tanpa bisa menjerit lagi ia roboh terkulai.
"Sayang!" berseru Auwyang Hong, yang akhirnya toh juga melukai bocah
lawannya itu. "Ia bakal mampus, baiklah aku tak usah pedulikan lagi
padanya. Paling perlu aku lekas mencari surat wasiatnya Gak Bu Bok…."
Maka tanpa bersangsi lagi, ia berlompat ke dalam air tumpah. Wanyen Lieh
bersama-sama Yo Kang, lantas mengintil di belakang See Tok. Auwyang
Hong sudah lantas dirintangi sejumlah siwi, tetapi ia seperti tidak
menghiraukan mereka itu, siapa datang dekat, ia sambar dan lempar,
setelah mana, siwi lainnya tak dapat maju terlebih jauh, hingga tak lagi
ada yang bisa mendekati pintu gua.
Yo Kang turut masuk ke dalam gua. Ia menyalakan api untuk dipakai
menyuluhi. Di tanah ada banyak tanda debu, suatu tanda tak pernah ada
orang yang datang ke situ. Di tengah-tengah gua ada sebuah meja batu, di
atas mana ada satu kotak batu persegi dua kaki, kotak mana tersegel.
Lainnya barang tak nampak di situ.
Dengan membawa apinya, Yo Kang menyuluhi hingga dekat. Di segelan ada
suratnya tetapi, rupanya karena sudah terlalu tua, huruf-hurufnya tak
dapat terbaca lagi.
"Surat wasiat itu ada di dalam kotak ini," berkata Wanyen Lieh.
Yo Kang menjadi sangat girang, ia ulur tangannya akan mengambil peti
itu. Melihat gerakan orang, Auwyang Hong menggeraki tangan kirinya ke
pundak orang, atas mana tidak tetaplah berdirinya Yo Kang, tubuhnya
terhuyung berberapa tindak. Pemuda ini tak mengerti, ia melongo
mengawasi orang. Auwyang Hong sebaliknya sudah lantas mengempit kotak
itu.
"Kita sudah berhasil, mari kita lekas mengundurkan diri!" kata Wanyen Lieh nyaring.
Auwyang Hong bertindak di depan, diikuti oleh Wanyen Lieh dan Yo Kang.
Selagi lewat di dekat Kwee Ceng, Yo Kang melihat tubuh orang mandi darah
dan rebah tak bergeming di antara siwi korbannya See Tok, ia lantas
menghela napas. "Dasar kau tidak tahu selatan, suka kau usilan," katanya
perlahan. "Maka itu janganlah kau sesalkan aku…"
Sebelum jalan terus, Yo Kang ingat pisau belatinya masih nancap di
pinggang mangsanya, maka ingin ia mencabut senjatanya itu. Selagi ia
membungkuk, untuk mengambil pisau itu, di air tumpah itu terlihat satu
bayangan berkelebat di susul sama pertanyaan ini, "Engko Ceng, kau di
mana?"
Yo Kang terkejut. Ia mengenali suaranya Oey Yong. Lupa pada pisau
belatinya, ia lompat melewati tubuhnya Kwee Ceng, terus lari ke luar air
tumpah, akan menyusul Auwyang Hong dan Wanyen Lieh.
Oey Yong mencari Kwee Ceng setelah ia permainkan Nio Cu Ong, yang ia
tinggalkan begitu lekas terlihat siwi muncul di sana-sini. Sebaliknya,
Pheng Lian Houw berdua tidak berani mengejar terus sebab takut keperogok
kawanan siwi. Mereka kembali ke dekat air tumpah, akan menggabungkan
diri dengan See Thong Thian dan lainnya. Di sini mereka bertempur sama
beberapa siwi sampai Auwyang Hong muncul, maka beramai-ramai mereka
mengangkat kaki.
Oey Yong sia-sia mencari Kwee Ceng, ia lantas masuk ke dalam air tumpah.
Ia menyalakan api, dari itu ia segera melihat tubuh Kwee Ceng yang
mandi darah rebah di antara beberapa siwi. Ia kaget sekali - rebahnya si
pemuda tepat di sampingnya. Saking kagetnya, tubuhnya gemetaran, sampai
api terlepas jatuh dari tangannya.
Di itu waktu di luar gua terdengar riuh suaranya kawanan siwi yang
berteriak-teriak, "Tangkap orang jahat! Tangkap orang jahat!" Tapi
mereka itu cuma berteriak-teriak, tidak ada satu pun yang berani maju
akan merintangi Auwyang Hong beramai. Sebabnya ialah, lebih dulu dari
itu, beberapa kawannya sudah menjadi korban See Tok hingga mereka
menjadi kecil hatinya, terpaksa mereka mementang bacot saja.
Oey Yong sadar dengan cepat. Ia membungkuk akan memeluk tubuhnya Kwee
Ceng. Ia merasakan tubuh itu hangat. Ia memanggil beberapa kali, ia
tidak memperoleh jawaban. Ia menjadi bingung sekali. Maka itu ia lantas
panggul tubuh engko itu, untuk dibawa menyingkir ke belakang
gunung-gunungan.
Di Cui Han Tong sendiri telah berkumpul banyak orang, sebab ada datang
juga siwi dari lain-lain bagian istana. Obor di situ terang bagaikan
siang hari. Maka ketika Oey Yong berkelebat - tak peduli ia sangat gesit
- ada siwi yang melihatnya. Siwi itu lantas berteriak, terus ia memburu
diikuti beberapa kawannya.
Dalam mendongkolnya, Oey Yong mencaci dalam hatinya. "Ah, kawanan
kantung nasi! Sungguh, kamu tidak punya guna! Kenapa kau bukan pergi
mengejar orang jahat hanya orang baik-baik?" Ia menggertak gigi, tapi ia
lari terus.
Ada beberapa siwi yang lihay, yang larinya cepat, mereka sudah lantas
datang dekat. Oey Yong menjadi bertambah mendongkol, ia meraup jarum
rahasianya, ia menimpuk ke belakang, ke arah pengejar-pengejar itu.
"Aduh!" demikian terdengar teriakan, saling susul.
Itulah tanda robohnya beberapa siwi, karena mana yang lainnya tidak
berani mengejar terlebih jauh. Maka si nona bersama engko Cengnya terus
lari ke luar dari tembok istana.
Keributan itu membikin istana menjadi kacau balau. Orang pun bingung,
sebab tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada huru-hara di dalam
untuk merampas tahta kerajaan atau ada menteri yang berontak guna
merampas pemerintahan? Toh setelah itu, orang berisik sendirinya. Tidak
ada kejadian lainnya lagi. Di situ telah berkumpul semua siwi, semua
serdadu Gie-lim-kun.
Dari tengah malam itu, hingga pagi, orang bergelisah tidak karuan.
Sedatangnya fajar, tentara penunggang kuda di kirim ke pelbagai jurusan,
untuk mencari si orang jahat, antaranya dengan melakukan penggeledahan
secara besar-besaran. Tentu saja di itu waktu Wanyen Lieh semua telah
kabur ke luar kota, bahkan Oey Yong bersama Kwee Ceng telah tiba di
dusun kemarinnya mereka mondok.
Sebenarnya Oey Yong kabur tanpa pilih arah, baru setelah melihat tidak
ada yang mengejar, ia tidak lari keras seperti semula.Lebih dulu ia
sembunyi di dalam sebuah gang kecil. Di sini ia pegang hidungnya Kwee
Ceng. Ia merasakan hembusan napas. Di situ tidak ada api, tak jelas ia
melihat muka si anak muda. Ia mengerti di waktu siang tidak dapat ia
berkeliaran di dalam kota dengan membawa-bawa orang terluka, karena ini,
ia terus lari ke tembok kota, untuk melompatinya. Maka di lain saat
tibalah ia ditempatnya Sa Kouw, si nona tolol.
Walau pun ia kuat, setelah berlari-lari setengah malaman, mana hatinya
pun berkhawatir dan bingung. Oey Yong toh tersengal-sengal. Ia lantas
menjatuhkan diri akan berduduk, guna meluruskan jalan napasnya itu.
Dengan begitu, dengan perasaannya pulih hatinya pun menjadi terang.
Sekarang ia lantas menyalakan sebatang kayu cemara dengan apa ia
menyuluhi mukanya Kwee Ceng. Apa yang ia lihat membikin ia kaget,
melebihi kagetnya di dalam gua tadi.
Kwee Ceng rebah tak bergeming, kedua matanya tertutup rapat, mukanya
sangat pucat. Taklah ia ketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati.
Inilah pukulan sangat hebat untuk Oey Yong, hingga hatinya goncang
keras. Ia berdiri bengong dengan tangannya memegangi obor kayunya itu.
Ia merasakan ketika ada orang datang mendekati padanya, ia baru sadar
tempo obor kayunya itu ada yang sambar. Segera ia menoleh, akan
mengenali Sa Kouw.
Si tolol muncul karena ia dengar suara tak seperti biasanya.
Sa Kouw pun cemas menyaksikan keadaan Kwee Ceng itu. Ia lari ke dapur,
untuk mengambil air dingin. Oey Yong mengerti apa yang harus ia
kerjakan. Ia keluarkan sapu tangannya, ia celupkan itu ke dalam air,
untuk di lain saat menyusut muka yang kecipratan darah dari si anak
muda. Dari lubang hidung ia merasakan hembusan napas yang semakin lemah.
Setelah itu ia hendak memeriksa luka, atau matanya bentrok sama sinar
berkilauan warna kuning emas dari pinggangnya Kwee Ceng. Karena ini
sekarang ia melihat sebuah pisau belati nancap di pinggang!
Baru sekarang Oey Yong dapat menyabarkan diri. Dengan hati-hati ia
membukai baju dalam dari si anak muda, dengan begitu ia melihat jelas
nancapnya pisau itu. Darah di situ sudah mulai bergumpal. Kelihatannya
pisau masuk kira tiga dim dalamnya.
Nona ini menjadi bersangsi. Ia tidak berani lantas mencabut pisau itu,
khawatir nanti Kwee Ceng lantas menghembuskan napasnya yang terakhir.
Kalau ia tidak mencabut, sebaliknya ia memperlambat tempo. Ini pun
membahayakan untuk si anak muda. Ia berpikir keras. Akhirnya ia
menggertak gigi, tangannya diulurkan. Ingin ia mencabut, mendadak ia
menarik pulang tangannya itu. Tiba-tiba saja ia bimbang sendirinya.
Kesangsian si nona berjalan terus, maka beberapa kali ia hendak
mencobanya mencabut pisau belati itu, saban-saban ia gagal pula. Sa Kouw
menyaksikan kesangsian orang, ia menjadi tidak sabaran. Tiba-tiba saja
ia mengulurkan tangannya dengan sebat ia mencabut pisau itu. Kwee Ceng
menjerit, begitu pun Oey Yong. Si pemuda bahna sakit, si pemudi saking
kaget. Si tolol sebaliknya girang sekali, ia tertawa tebahak-bahak. Ia
masih tertawa ketika Oey Yong kaget melihat darah mengalir ke luar dari
lukanya engkonya itu. Saking berkhawatir dan mendongkol, ia sampok si
tolol itu hingga dia terguling, setelah mana ia menggunai sapu tangannya
menyumbat luka Kwee Ceng, untuk mencegah ke luarnya terus darah itu.
Dengan jatuhnya Sa Kouw, obor cemara di tangannya pun padam. Si tolol
menjadi gusar, ketika ia berlompat bangun, ia menendang. Oey Yong tidak
menangkis, ia membiarkan pahanya kena ditendang. Sa Kouw khawatir si
nona nanti membalas, ia memutar tubuhnya untuk berlari. Tidak lama ia
mendengar nona Oey menangis. Ia menjadi heran, maka ia kembali. Ia
menyalakan lagi obor cemaranya.
"Apakah kau kena tertendang sakit?" ia menanya Oey Yong.
Nona itu tidak menyahut, ia hanya berlutut mendampingi Kwee Ceng. Pemuda
itu pingsan karena rasa nyerinya, sesaat kemudian ia baru mendusin.
"Apakah surat wasiatnya Gak Bu Bok kena mereka curi?" Kwee Ceng menanya. Itulah hal yang ia ingat paling dulu.
Oey Yong girang mendengar orang dapat bicara, meskipun suaranya lemah.
"Jangan khawatir, penjahat itu tak dapat turun tangan…" ia menyahut. Ia
tentu saja berdusta, karena ia tidak ingin orang menjadi kaget dan
bersusah hati. Sebenarnya ia ingin menanyakan lukanya si anak muda,
ketika ia merasakan tangannya hangat-hangat, disebabkan darah yang baru
ke luar dari pinggang Kwee Ceng itu.
"Eh, Yong-jie, kenapa kau menangis?" menanya Kwee Ceng yang baru sekarang melihat si nona berlinang-linang air matanya.
"Aku tidak menangis," kata Oey Yong, yang paksakan diri untuk tertawa.
"Dia menangis tadi!" Sa Kouw campur mulut. "Kau hendak menyangkal? Apakah kau tidak malu? Lihat, mukamu masih ada air matanya!"
"Yong-jie, jangan takut," Kwee Ceng menghibur. "Di dalam Kiu Im Cin-keng
ada terdapat cara-cara untuk mengobati luka, aku tidak bakalan mati."
Mendengar itu, Oey Yong merasakan di dalam kegelapannya ia memperoleh
pelita. ia girang. Tadinya ia mau minta penjelasan tentang obat itu,
niat ini ia batalkan, khawatir si anak muda nanti menjadi letih. Maka ia
ambil obor dari tangannya si tolol.
"Enci, tadi aku kena serang kau, apakah kau sakit?" ia menanya sambil
tertawa. "Ah, kau menangis, tidak dapat kau menyangkal!" kata si tolol
yang tidak memperdulikan pertanyaan orang. Ia hanya mengingat
penyangkalan nona ini.
"Ya, benar, aku menangis," kata Oey Yong tersenyum. "Kau sendiri tidak menangis, kau baik sekali."
Mendengar dirinya di puji, Sa Kouw menjadi sangat girang. Kwee Ceng
sendiri repot meluruskan pernapasannya, dengan begitu rasa sakitnya
berkurang.
"Coba kau memakai jarum emasmu menusuk beberapa kali jalan darahku ceng-ciok dan siauw-yauw," katanya perlahan pada Oey Yong.
"Ah, aku menjadi bodoh!" kata si nona, terperanjat. Dengan lekas ia
mengeluarkan sebatang jarumnya dan terus bekerja. Tiga kali ia menusuk
di pinggang kiri di mana ada dua jalan darah yang disebutkan itu.
Tusukan ini membantu memperlambat mengalirnya darah dan pun mengurangi
rasa nyeri.
"Luka di pinggangku ini, Yong-jie, meskipun dalam, tetapi tidak
berbahaya," Kwee Ceng kata pula, suaranya tetap perlahan. "Yang hebat
ialah serangan Ha-mo-kang dari si Bisa bangkotan, syukurlah ia tidak
menggunai sepenuhnya tenaganya, dengan begitu aku masih dapat ditolong,
cumalah dengan begitu kau bakal menderita merawati aku tujuh hari tujuh
malam…"
"Biarnya aku bersengsara tujuh puluh tahun, untukmu aku senang," menyahut si nona cepat.
Kwee Ceng terharu sekali, hatinya menggetar hampir ia pingsan pula. Ia
berdiam akan menenangkan diri. "Sayang suhu pun terluka," katanya
kemudian.
"Sudahlah, kau jangan terlalu banyak pikir," mencegah Oey Yong sekalian
menghibur. "Sekarang ini kau mesti berdaya mengobati lukamu sendiri,
supaya orang lega hatinya…."
"Sekarang perlu kita mendapatkan dulu tempat yang tenang," berkata Kwee
Ceng. "Di sana aku nanti mengobati diriku dengan bantuanmu. Menurut
ajaran kitab, kita mesti mengadu tenaga bergantian dengan sama-sama
mengendalikan napas. Dengan jalan begitu kau membantu aku dengan tenaga
dalammu. Seperti aku bilang tadi, sulitnya ialah tempo yang mesti
digunakan mesti tujuh hari tujuh malam, selama mana tak boleh kedua
tangan kita berpisahan. Pikiran kita berdua bersatu padu, dapat kita
berbicara tetapi tidak boleh ada orang yang ketiga yang menyelak
menyampur bicara. Pula tidak dapat kita bangun atau berjalan sekalipun
setengah tindak. Jikalau ada orang yang mengganggu kita, maka…."
Oey Yong mengerti cara pengobatan itu, yang sama dengan orang semedhi,
ialah sebelumnya berhasil tidak boleh ada gangguan, gangguan
menggagalkan dan bisa mendatangkan bahaya juga. Ini sebabnya, siapa
tengah bersemedhi, ia membutuhkan kawan yang menjaga di sampingnya, guna
mencegah gangguan yang tidak diinginkan itu. Ia jadi berpikir. "Aku
perlu membantu dia, di sini tidak ada orang lain, siapa yang dapat
melindungi? Sa Kouw tidak dapat diandalkan, dia terlalu tolol, malah
mungkin dialah yang nanti merecoki. Juga di mana bisa didapatkan tempat
sunyi di dalam waktu sesingkat ini? Umpama kata Ciu Toako datang kemari
masih belum tentu ia sanggup menjagai kita selama tujuh hari tujuh
malam…Bagaimana baiknya sekarang?"
Kembali ia berpikir keras, matanya memandang tajam ke sekelilingnya. Mendadak ia melihat tempat menyimpan mangkok dan lainnya.
"Ada!" pikirnya sejenak. "Kenapa aku tidak mau sembunyi di dalam kamar
rahasia itu? Dulu hari Bwee Tiauw Hong tidak mempunyai pembela, dia
sembunyi di dalam gua…"
Ketika itu sang pagi mulai terang dan Sa Kouw pergi ke dapur untuk masak bubur.
"Engko Ceng, kau boleh beristirahat," berkata Oey Yong. "Aku hendak
pergi sebentar untuk membeli barang makanan, sekembalinya aku, kita
mulai berlatih sambil menyembunyikan diri."
Kwee Ceng menurut, ia membiarkan kekasihnya itu pergi. Oey Yong pergi ke
kampung. Sembari jalan ia pikirkan apa yang ia mesti beli. Tidak
sembarang barang dapat disimpan selama tujuh hari tujuh malam, atau
barang itu bakal rusak dan bau dan tidak dapat dimakan lagi. Ia tidak
usah berpikir lama atau menjadi bingung karenanya. Ia lantas membeli dua
pikul semangka, yang ia minta tukang jualnya pikul ke rumah Sa Kouw.
Setelah menerima uang, si tukang semangka berkata: "Nona, inilah
semangka Gu-kee-cun, manis dan lezat rasanya, bila kau sudah
mencobainya, baru kau tahu!"
Terperanjat Oey Yong akan mendengar nama desa ini, ialah Gu-kee-cun.
"Kalau begitu, inilah kampung halamannya engko Ceng," pikirnya. Ia
menjadi berkhawatir pemuda itu terganggu pikirannya apabila dia ketahui
ini kampungnya, maka ia lantas menyahuti sembarangan saja asal si tukang
semangka lekas pergi. kemudian lekas-lekas ia masuk ke dalam. Ia
mendapatkan Kwee Ceng lagi tidur dan darah dari lukanya sudah berhenti
mengalir.
Sedangnya pemuda itu tidur, ia lantas bekerja. Ia membuka pintu dapur,
terus ia putar pesawat rahasianya, akan masuk ke dalam kamar rahasia. Ke
dalam situ ia angkut masuk semua semangkanya. Kepada Sa Kouw ia memesan
wanti-wanti agar si tolol jangan beritahukan siapa juga yang mereka
berdua berada di dalam kamar rahasia itu, dan meski ada peristiwa
bagaimana hebat, si nona dilarang menerbitkan suara berisik.
Sa Kouw tidak mengerti maksud orang akan tetapi ia menginsyafi, karena
ia menampak bicara dan gerak-gerik tamunya ini sangat sungguh-sungguh.
"Baik," katanya mengangguk. "Kamu hendak makan semangka sambil
menyembunyikan diri di kamar ini, kamu hendak memakan habis dulu semua
semangka, baru kamu akan ke luar lagi. Baiklah, sekarang aku tidak akan
bicara!"
"Memang, Sa Kouw tidak akan bicara!" kata Oey Yong, sengaja mengangkat.
"Sa Kouw memang anak baik, kalau Sa Kouw bicara, dia anak buruk…!"
"Sa Kouw tidak akan bicara, Sa Kouw anak baik!" si tolol mengulangi.
Tidak lama Kwee Ceng sadar, ia diberikan bubur satu mangkok besar. Oey
Yong pun memakannya semangkok. Habis dahar, nona ini mendukung pemuda
itu masuk ke dalam kamar rahasia. Ketika ia menoleh ke luar pintu, ia
lihat Sa Kouw mengawasi mereka. Sambil tertawa si tolol berkata, "Sa
Kouw tidak akan bicara!"
Mendapatkan orang demikian tolol, Oey Yong menjadi berkhawatir. "Dia
begini tolol, ada kemungkinan dia nanti sembarangan bicara sama siapa
saja. Bagaimana kalau dia membilangnya, 'Mereka sembunyi di dalam sini
memakan semangka, Sa Kouw tidak akan bicara'? Kelihatannya cuma dengan
dibunuhnya baru lenyap ancaman untuk kita…"
Biarnya ia jujur dan polos Oey Yong tidak menghiraukan tentang welas
asih atau kepantasan, sesat atau sadar, maka itu ia pun tidak pernah mau
pikir, ada hubungan apa di antara Sa Kouw dan Kiok Leng Hong. Sekarang
ia melainkan pikirkan keselamatannya Kwee Ceng, yang mesti ditolongi dan
dilindungi. Untuk Kwee Ceng, ia bersedia umpama kata mesti membunuh Sa
Kouw. Maka ia lantas ambil pisau belatinya si anak muda.
Di saat ia hendak pergi ke luar, matanya bentrok sama sinar mata si
pemuda itu, sinar kaget atau luar biasa. Ia memikir, "Mungkinkah dia
dapat melihat sinar pembunuhan pada wajahku?" Lantas ia ingat. "Tidak
apa aku membunuh Sa Kouw, hanya bagaimana nantinya, engko Ceng sembuh?
Bagaimana aku harus membilangnya apabila ia menanyakan? Mesti dia bakal
membikin banyak berisik…"
Nona ini menjadi ragu-ragu. "Engko Ceng baik dan halus budi pekertinya,"
ia berpikir lebih jauh. "Ada kemungkinan dia bakal tak menyebut-nyebut
Sa Kouw, tetapi siapa tahu apabila ia terus-menerus membenci aku? Ah,
sudahlah, biarlah kita mencoba menempuh bahaya…….!"
Oey Yong lantas mengunci pintu. Kemudian ia meneliti seluruh ruang itu.
Di ujung barat ada sebuah lobang angin atau dari mana masuk sinar
terang, maka di siang hari, sinar terang itu dapat menerangi ruang. Di
tembok ada sebuah lobang angin kecil, yang ketutupan debu, lalu debu itu
disingkirkan.
Kwee Ceng duduk menyender di tembok. Ia bersenyum. "Tidak ada tempat
yang baik untuk beristirahat dari pada ini," katanya. "Kau bakal
menemani dua mayat, apakah kau tidak takut?"
Oey Yong tertawa meskipun sebenarnya ia risi juga. "Yang satu kakak
seperguruanku, tidak nanti ia mengganggu aku," sahutnya. "Yang satu lagi
perwira kantung nasi, hidupnya aku tidak takuti, apa pula sesudah dia
mati!" Sembari berkata, ia mendupaki jerangkong itu ke pojok Utara,
kemudian ia menghampar rumput kering. Kemudian lagi ia geser semua
semangka, untuk didekati kepada mereka berdua, supaya gampang diambil
dengan mengulur tangan saja.
"Bagus tidak begini?" ia tanya Kwee Ceng akhirnya.
"Bagus!" menjawab orang yang ditanya. "Sekarang mari kita mulai berlatih!"
Oey Yong membantui pemuda itu mengambil tempat duduk di atas rumput, ia
sendiri lantas duduk besila di depannya, sedikit di sebelah kiri,
darimana, dengan berpaling, ia bisa mengintai ke lobang angin di tembok
itu. Untuk girangnya, ia mendapatkan sebuah kaca rata di sana, dengan
perantaraan kaca itu, ia bisa melihat ke luar. Maka itu, ia memuji si
pembangun kamar rahasia, yang demikian teliti dengan pembuatan kamarnya
itu. Orang sembunyi tapi berbareng orang pun bisa melihat ke luar.
Sa Kouw duduk seorang diri di tanah sambil tangannya menggapai kaca ular
sutera, mulutnya bergantian ditutup dan dibuka, suaranya perlahan. Oey
Yong memasang kupingnya, mendengari, maka tahulah ia, si tolol lagi
menyanyikan lagu menina-bobokan anak kecil supaya tidur. Mulanya ia
merasa lucu tetapi kemudian ia merasakan suara itu halus dan
mengharukan. Tanpa merasa ia berpikir; "Adakah ini nyanyian ibunya dulu
hari untuk ia mendengari? Kalau ibuku tidak telah menutup mata, ibu pun
akan menyanyikan aku begini rupa…."
"Yong-jie, kau memikirkan apa?" tanya Kwee Ceng mendapatkan orang
berdiam saja. "Lukaku tidak berbahaya, kau jangan bersusah hati."
Oey Yong mengusap-usap matanya, ia tertawa. "Sekarang lekas kau ajari aku caranya menyembuhkan lukamu," ia berkata.
Kwee Ceng menurut, dengan perlahan ia membaca di luar kepala kitab Kiu
Im Cin-keng bagian pengobatan luka-luka. Isinya pasal ini menjelaskan
luka disebabkan serangan tenaga dalam, bagaimana ia harus dilawan untuk
memulihkan kesehatan.
Cuma mendengar satu kali saja, Oey Yong telah dapat menghapalkan itu.
Cuma beberapa bagian yang kurang jelas, dengan meyakinkan bersama, ia
pun akan dapat mengerti. Maka itu, di lain saat, mereka sudah mulai
berlatih. Dua orang ini cocok satu sama lain, sebab si pemuda berkata
baik, si pemudi cerdas sekali. Mereka berlatih dengan Oey Yong
mengeluarkan tangan kanannya, yang mana ditahan oleh Kwee Ceng dengan
telapakan tangan kirinya, kemudian mereka saling menolak dengan menukar
tangan.
Latihan ini dilakukan dua jam sekali maka itu, di waktu beristirahat
dengan tangan kirinya Oey Yong memotong semangka, yang separuh untuk
Kwee Ceng, yang separuh lagi untuknya sendiri. Selagi makan buah itu,
tangan mereka yang sebelah ditempelkan terus satu pada lain.
Sesudah berlatih hingga jam bie-sie, satu atau dua lohor, Kwee Ceng
merasakan dadanya sedikit lega, tak pepat seperti semula. Terang itu
tanda telah berjalannya hawa hangat dari tangan Oey Yong, yang masuk ke
dalam tubuhnya sendiri. Dengan begitu, rasa nyeri di pinggangnya turut
berkurang juga. Hal ini membuatnya girang, hingga ia jadi berlatih
semakin bersungguh-sungguh.
Ketika tiba pada istirahat yang ketiga kali, dari lobang di atas
terlihat masuknya sinar matahari yang lemah. Itulah tanda dari telah
datangnya sang sore. Cuaca jadi semakin guram. Dengan berlalunya sang
tempo, Kwee Ceng merasa semakin lega pernapasannya, dan Oey Yong pun
bertambah segar. Dengan begitu, mereka bisa melewati tempo beristirahat
itu dengan memasang omong.
Tidak lama keduanya hendak mulai latihannya terlebih jauh, kuping mereka
mendapat dengar suara berlari-lari keras ke arah rumah makan dan
berhenti di depan pondokan. Setelah itu terdengar masuknya beberapa
orang, sebagaimana itu ternyata dari tindakan kaki mereka yang ramai.
"Lekas sediakan nasi dan lauk pauknya!" begitu terdengar satu suara
keras dan kasar. "Tuan-tuan besarmu sudah kelaparan hingga mau mati…."
Kwee Ceng dan Oey Yong saling mengawasi. Mereka mengenali suaranya Sam
tauw-kauw Hauw Thong Hay. Si nona lantas mengintai dari liang kecil di
tembok di sisinya. Sekarang ia mendapat kepastian itulah rombangan musuh
mereka sebab mereka adalah Wanyen Lieh bersama Yo Kang, Auwyang Hong,
Pheng Lian Houw, Nio Cu Ong dan See Thong Thian. Sa Kouw tidak
kelihatan, setahu mana perginya si tolol itu.
Hauw Thong Hay menghajar meja kalang kabutan, masih tidak ada suara
penyahutan untuknya. Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong memperhatikan rumah
itu, lalu mereka mengerutkan kening mereka.
"Tidak ada orang di sini…" kata Cu Ong.
"Kalau begitu, biarlah pada pergi ke kampung untuk membeli makanan!" kata Thong Hay, ia mendongkol tetapi ia sudi gawe.
Pheng Lian Houw tertawa, dia kata, "Hebat kawanan Gie-lim-kun itu,
mereka ada kawanan kantung nasi tetapi mereka bisa telasap-telusup di
segala tempat, mereka membuatnya arwah-arwah pun tak aman, hingga
sekarang kitalah yang untuk satu hari lamanya tak dapat gegares! Ongya
adalah orang Utara tetapi ongya ketahui di sini ada ini dusun sunyi
senyap. Hebat!"
Wanyen Lieh tahu orang mengangkat-angkat padanya tetapi ia tidak jadi
kegirangan hingga terkentarakan pada air mukanya, sebaliknya, ia nampak
masgul.
"Pada sembilan belas tahun yang lalu, pernah aku datang ke mari," katanya sambil menghela napas.
Orang melihat wajah pangeran ini, yang agaknya berduka, mereka heran.
tentu sekali mereka tidak tahu, pada sembilan belas tahun yang lampau
itu, di situ Pauw Sek Yok telah menolongi jiwanya dari ancaman bahaya
maut.
Mereka ini tidak usah menanti lama atau Hauw Thong Thay telah kembali
bersama arak dan barang makanan, maka Pheng Lian Houw segera menuangi
arak untuk mereka masing-masing, kemudian ia berkata pada si pangeran.
"Hari ini ongya mendapatkan surat wasiat, itulah bukti yang Negara Kim
yang terbesar bakal menggetarkan pengaruhnya di kolong langit, dari itu
kami semua hendak memberi selamat kepada ongya! Saudara-saudara mari
minum!" Ia pun mengangkat cawannya, untuk cegluk kering isinya.
Nyaringnya suara Pheng Lian Houw ini, Kwee Ceng dari tempatnya sembunyi
dapat mendengar itu. Pemuda ini menjadi terkejut. "Kalau begitu
berhasillah mereka mencuri surat wasiat Gak Ongya!" pikirnya.
Begitu ia berpikir demikian begitu ia merasakan napasnya sesak. Oey Yong
terkejut. Kagetnya si pemuda ia dapat merasakan pada tangannya, yang
terus menempel sama tangannya si pemuda itu. Ia mengerti sebabnya
gangguan itu. Itulah berbahaya untuk si anak muda. Maka lekas-lekas ia
geser kepalanya, untuk mendekati kuping orang untuk berbisik. "Ingat
kesehatanmu! Kita dapat mencuri pulang! Asal gurumu yang kedua turun
tangan, lagi sepuluh surat wasiat pun ia dapat curi!"
Kwee Ceng anggap kata-kata itu benar. Ia mengetahui baik kepandaiannya
gurunya yang nomor dua itu ialah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa
Tangan Lihay. Maka itu ia berdaya untuk menentramkan diri, tak suka ia
mendengari lebih jauh pembicaraan mereka itu. Ia meramkan kedua matanya.
Oey Yong mengintai pula, justru Wanyen Lieh mengangkat cawan araknya.
Habis mencegluk, pangeran ini kata dengan gembira. "Semuanya siauw-ong
mengandal kepada tuan-tuan. Jasa Auwyang Sianseng ialah yang nomor satu!
Jikalau tidak sianseng mengusir bocah she Kwee itu pastilah kita mesti
bekerja lebih sulit lagi."
Auwyang Hong tertawa kering, suaranya bagaikan cecer pecah. Kwee Ceng
berdenyut hatinya mendengar tertawanya orang itu. Oey Yong pun bingung,
hingga ia berkata seorang diri. "Berterima kasih kepada langit dan bumi,
biarlah ini makhluk berbisa tua bangka jangan ngoceh lebih lama di
sini, bisa-bisa engko Ceng nanti bercelaka karenanya…"
"Tempat ini sangat mencil dan sunyi," berkata Auwyang Hong, "Tidak nanti
tentara Song dapat menyusul kita sampai di sini. Sebenarnya apa itu
surat wasiat Gak Bu Bok, baiklah kita sama melihatnya, untuk menambah
pemandangan kita."
Sembari berkata, ia merogoh sakunya untuk mengeluarkan itu kotak batu,
yang mana ia letaki di atas meja. Di mulut See Tok mengatakan demikian,
di dalam hatinya ia sudah mengambil kepastian apabila ia mendapatkan
surat wasiat itu berfaedah, hendak ia merampasnya untuk menjadi miliknya
sendiri, kalau itu hanya ilmu perang biasa, yang baginya tak ada
pentingnya, suka ia mengalah dan menyerahkannya kepada Wanyen Lieh,
dengan begitu ia menjadi berbuat jasa untuk pangeran itu…….
Sejenak itu, semua mata diarahkan kepada kotak batu itu. Oey Yong melihat semua itu, segera otaknya bekerja.
"Cara apa aku mesti ambil untuk dapat memusnahkan surat wasiat itu?"
demikian pikirnya. "Kemusnahan adalah yang terlebih baik dari pada surat
wasiat itu jatuh ke dalam tangannya ini manusi-manusia jahat dan
berbahaya….!"
Lalu terdengar suaranya Wanyen Lieh. "Ketika siauw-ong memeriksa surat
peninggalannya Gak Hui itu, yang bunyinya seperti teka-teki, lalu itu
dihubungi sama catatan hikayat beberapa kaisar di dalam istananya kaisar
she Tio itu, maka tahulah siauw-ong surat wasiat ini disimpan di Cui
Han Tong, disimpan di dalam kotak batu yang berada lima belas tindak di
arah Timurnya. Buktinya sekarang, dugaanku itu tidak salah. Aku mau
percaya, tak ada orang yang ketahui kenapa telah terjadi pengacauan kita
di dalam istana semalam…….."
Kelihatannya pangeran ini sangat puas, lebih-lebih setelah kembali orang
memuji padanya. Wanyen Lieh mengurut kumisnya. "Anak Kang, kau bukalah
kotak itu!" ia memerintah.
Yo Kang menurut perintah. Ia maju, menghampirkan. Lebih dulu ia
menyingkirkan segelannya kotak, habis itu ia membuka tutupnya. Maka ke
dalam situ menyorotlah sinar matanya semua orang. Apa yang dilihat
membuatnya semua hadiran menjadi tercengang bahna herannya, sehingga
untuk sesaat itu tak ada seorang jua yang dapat membuka suaranya.
Semua mata diarahkan tajam ke dalam kotak batu, yang diharap isinya
istimewa, siapa tahu kotak itu ternyata kosong melompong, tidak ada
serupa benda juga di dalam situ, jangan kata surat wasiat tentang siasat
perang, sehelai kertas kosong pun tidak kedapatan. Oey Yong tidak dapat
turut melihat isinya kotak, tetapi ia melihat tegas wajah semua orang,
maka maulah ia menduga untuk kosongnya kotak itu. Diam-diam ia
bersyukur.
Wanyen Lieh menjadi sangat lesu, ia duduk dengan memegangi meja, sebelah
tangannya menunjang janggut. Ia berpikir keras sekali. Di dalam hatinya
ia kata. "Aku telah memikir matang, aku menduga surat wasiat itu berada
di dalam kotak ini, kenapa surat itu tak ada sekalipun bayangannya?"
begitu ia memikir demikian, begitu ia mendapat pikiran, wajahnya pun
menjadi bercahaya saking gembiranya. Ia sambar kotak itu, terus ia
bertindak ke cimchee, di sini dengan tiba-tiba ia banting kotak ke
lantai batu!
Dibarengi suara nyaring, kotak itu pecah menjadi beberapa keping. Oey
Yong cerdas, kupingnya lihay, dari suara pecahnya kotak itu, ia mendapat
tahu kotak sebenarnya terdiri dari dua lapis, artinya ada lapisan
dalamnya.
"Ah, siapa sangka kotak ini ada lapisannya?" katanya di dalam hati. Ia
dapat menduga demikian, tetapi bukannya ia girang karena dugaannya itu
tepat, ia justru menjadi masgul. Percuma menduga dengan berhasil, ia
sendiri tidak bisa muncul untuk mendapatkan kepastian. Tapi ia tak usah
bergelisah lama-lama, atau Wanyen Lieh tertampak sudah kembali ke
mejanya seraya berkata. "Aku sangka kotak itu ada lapisan dalamnya, tak
tahunya isinya tidak…" Ia lesu sekali. Lian Houw semua heran, mereka
ramai membicarakan kotak itu.
"Ah, siapa sangka!" pikir Oey Yong, hatinya lega, hingga di dalam
hatinya ia tertawai mereka itu. Ia berbisik pada Kwee Ceng, akan
memberitahukan Wanyen Lieh belum berhasil mendapatkan surat wasiatnya
Gak Hui. Kwee Ceng pun lega hatinya mendengar keterangan itu.
"Aku lihat kawanan penjahat ini belum mati hatinya, meski mereka bakal
pergi pula ke istana," Oey Yong mengutarakan dugaannya. Karena ini ia
menjadi berkhawatir untuk gurunya, yang masih berada di dapur istana.
Ada kemungkinan guru itu bakal diperogoki. Benar di sana ada Ciu Pek
Thong yang melindungi tetapi Pek Thong bangsa berandalan, yang
edan-edanan.
Jitu juga dugaanya nona Oey ini. Segera terdengar suaranya Auwyang Hong.
"Kegagalan kita ini tak berarti banyak, sebentar malam kita pergi pula
ke istana, untuk mencari terlebih jauh!"
"Malam ini tak dapat," Wanyen Lieh mencegah. "Tadi malam keadaan kacau sekali, tentu karenanya penjagaan diperkeras."
"Memang penjagaan tetap dilakukan, itu pun tidak berarti," berkata
Auwyang Hong. "Ongya bersama sie-cu malam ini tak usah turut, baiklah
ongya berdua beristirahat di sini bersama keponakanku."
"Dengan begitu kembali siauw-ong membikin sianseng bercapai lelah," kata
pangeran Kim itu sambil memberi hormat. "Baiklah siauw-ong menanti
kabar baik saja."
Pembicaraan mereka berhenti sampai di situ. Habis bersantap Wanyen Lieh
merebahkan diri di hamparan rumput, ditemani putra angkatnya dan Auwyang
Kongcu. Auwyang Hong bersama yang lainnya lantas pergi memasuki kota,
untuk menyerbu ke istana.
Wanyen Lieh tak dapat tidur, ia golek-golek saja. Ia memikirkan surat
wasiat dan kepergian sekalian pahlawannya itu. Ia merasa tidak enak
waktu kupingnya mendengar seekor anjing kampung membaung dan mengulun,
suaranya sangat menyedihkan, tak sedap masuk ke kupingnya. Ia menjadi
tak tentram dan masgul.
Belum lama pada pintu terdengar suara. Rupanya daun pintu ada yang
tolak, sebab segera terlihat masuknya satu orang. Ia menggeraki
tubuhnya, buat bangun berduduk, tangannya memegang gagang pedang. Yo
Kang telah berlompat ke belakang pintu, menyembunyikan diri, bersiap
sedia.
Yang datang itu satu nona dengan rambut riap-riapan, mulutnya
memperdengarkan nyanyian perlahan. Ia menolak pintu untuk masuk terus.
Dialah Sa Kouw, yang tadi pergi bermain di rimba dekat rumahnya dan
sekarang baru kembali. Ia melihat ada orang asing di rumahnya itu, ia
tidak mengambil mumet, langsung ia pergi ke tumpukan rumput tempat ia
biasa tidur. Begitu ia merebahkan diri segera terdengar suara napasnya
menggeros.
Melihat bahwa orang ada seorang nona dusun yang tolol, Yo Kang tertawa
sendirinya dan terus ia tidur pula. Wanyen Lieh tetap berpikir, masih ia
tak dapat pulas. Maka kemudian ia bangun, untuk nyalakan sebatang
lilin, yang ia letaki di atas meja. Ia mengeluarkan sejilid buku, untuk
dibaca, dibolak-balik lembarannya.
Selama itu, Oey Yong terus mengintai dari lubang temboknya. Kebetulan ia
menampak seekor selaru terbang memutari api, lalu menyerbu, maka
terbakarlah sayapnya dan robohlah tubuhnya di atas meja. Wanyen Lieh
jumput selaru itu.
"Jikalau Pauw-sie hujinku ada di sini, pastilah kau bakal ditolong
diobati," berkata ia dengan perlahan. Ia pun lantas mengeluarkan sebuah
pisau kecil serta satu peles kecil berisi obat, ia pegang itu di kedua
tangannya, untuk dibuat main. Ia nampaknya sangat berduka. Oey Yong
menepuk perlahan pundaknya Kwee Ceng, ia memberi isyarat supaya pemuda
itu melihat kelakuan si pangeran.
Kwee Ceng lantas mengintai, akan di lain saat ia menjadi gusar sekali.
Samar-samar ia ingat, pisau dan obat itu kepunyaan Pauw Sek Yok, ibunya
Yo Kang. Semasa di dalam istana Chao Wang, Sek Yok pernah menggunai itu
mengobati lukanya seekor kelinci. Selagi ia mengawasi terus, ia dengar
pangeran itu berkata seorang diri dengan perlahan. "Pada sembilan belas
tahun dulu di kampung ini yang buat pertama kali aku bertemu denganmu….
Ah, aku tidak tahu, sekarang entah bagaimana dengan rumahmu yang dulu
itu?"
Habis berkata pangeran itu berbangkit, ia ambil lilinnya, terus ia jalan ke luar pintu.
Kwee Ceng berdiam. "Mustahilkah kampung ini kampung Gu-kee-cun, kampung
halamannya ayah dan ibuku?" ia menanya dirinya sendiri. Ia lantas pasang
mulutnya di kuping Oey Yong, untuk menanyakan. Oey Yong mengangguk.
Tiba-tiba Kwee Ceng merasakan dadanya goncang, darahnya berjalan keras,
hingga tubuhnya bergerak-gerak karenanya. Tangan kanan Oey Yong menempel
sama tangan kiri anak muda itu, ia merasakan goncangan keras dari
hatinya si anak muda, ia menjadi berkhawatir. Goncangan itu bisa
mencelakai anak muda ini. Lekas-lekas ia ulur tangan kanannya, akan
ditempel dengan tangan kiri orang, terus ia mengerahkan tenaganya
menekan.
Kwee Ceng pun turut menekan, ini justru ada baiknya. Dengan begitu,
perhatiannya terpusatkan pula, tak terbagi dengan perasaan yang
menggoncangkan hati itu. Perlahan-lahan hatinya menjadi tenang kembali.
Tidak lama tertampak sinar api, lalu Wanyen Lieh bertindak masuk sambil
menghela napas panjang. Kwee Ceng mengawasi dengan tenang. Sekarang ia
dapat menguasai dirinya. Oey Yong dapat merasai ketenangan hati kawannya
ini, ia membiarkan si kawan terus mengintai, cuma sebelah tangan dia
itu tetap ia tempel sama tangannya sendiri.
Sekarang ini tangan Wanyen Lieh memegang sebuah senjata berwarna hitam.
Itulah bukannya golok, bukannya kampak. Dengan bengong si pangeran
mengawasi senjata itu di samping api lilin. Sekian lama, ia mengasih
dengar pula suaranya yang perlahan. "Rumah keluarga Yo rusak hingga tak
ketinggalan sepotong genteng juga. Keluarga Kwee masih meninggalkan
tombak pendek yang dulu hari dipakai Kwee Siauw Thian…."
Hati Kwee Ceng tercekat mendengar nama ayahnya disebut oleh musuh yang
telah membunuh ayahnya itu. Lantas saja ia berpikir, "Jahanam ini
terpisah dari aku tak ada sepuluh tindak, dengan sebuah pisau belati
dapat aku menimpuk mampus padanya…." Terus dengan tangan kanannya ia
menanya. "Yong-jie, dengan sebelah tanganmu dapat kau memutar membuka
daun pintu?"
"Jangan!" mencegah si nona, yang dapat menerka maksud orang. "Gampang
untuk membunuh dia tetapi dengan begitu orang menjadi mendapat tahu
tempat sembunyi kita ini….."
"Dia…dia memegang senjatanya ayah aku…" kata Kwee Ceng, suaranya menggetar.
Seumurnya Kwee Ceng belum pernah melihat wajah ayahnya, ia cuma
mengetahuinya sebagian dari penuturan dan lukisan ibunya, yang lain
berkat kekhawatiran hatinya memikir ayahnya itu, yang ia bayangi. Ia
memuja sangat ayahnya itu. Maka itu melihat ujung tombak ayahnya,
hatinya goncang keras kerana kebencian dan kemarahannya yang hebat.
Oey Yong mengalami kesulitan. Memang susah untuk membujuki pemuda ini.
Tapi ia mencoba. Ia berbisik pula ke telinga si anak muda. "Ibumu dan
Yong-jie menghendaki hidupmu…"
Kata-kata ini besar pengaruhnya. Kwee Ceng terkejut, terus ia menyimpan
pula pisau belatinya di pinggangnya. Ia kembali mengintai. Wanyen Lieh
telah merebahkan kepalanya di meja.
Pemuda itu menghela napas. Bukankah ia tak dapat membalas sakit hati
ayahnya? Karena lesu, ia lalu bersemedhi lebih jauh. Tapi, belum lagi ia
menyingkirkan matanya dari lubang angin, ia melihat seorang duduk di
tumpukan rumput. Di dalam kaca, tak terlihat mukanya dia itu yang
terkurung sinar api. Hanya setelah ia berbangkit berdiri dan mendekati
Wanyen Lieh, akan mengambil peles obat dan pisau kecil tadi, selagi
memutar tubuh, dia dapat dikenali sebagai Yo Kang.
Untuk sesaat Yo Kang memandangi bengong kepada peles obat dan pisau
kecil itu, kemudian dari sakunya ia mengeluarkan sebuah tombak. Ia pun
mengawasi tombak itu. Tidak lama ia berdiam, berbareng sama berubahnya
air mukanya, ia menjumput tombak pendek yang terletak di tanah, dengan
itu ia menikam ke arah punggungnya Wanyen Lieh.
Kwee Ceng melihat itu, girang hatinya. Ia mengerti, Yo Kang tentu
mengingat ayah dan ibunya dan sekarang hendak menuntut balas. Asal
tombak itu dikasih turun habis sudahlah jiwa pangeran Kim itu. Tapi,
tangan Yo Kang terangkat naik terus berdiam, tidak terus dikasih turun,
untuk menikam. Lewat beberapa saat, tangan itu pun diturunkan tanpa
tikaman.
"Bunuh, bunuhlah!" Kwee Ceng berseru-seru di dalam hatinya. "Sekarang
kalau kau tidak turun tangan, kau hendak menunggu sampai kapan lagi?"
Lalu ia menambahkan, "Jikalau kau menikam, kau tetap saudaraku yang
baik, urusanmu di dalam istana sudah menikam aku, akan aku bikin habis
saja."
Tangan Yo Kang gemetaran, tangan itu dikasih turun perlahan sekali, maka kemudian, tombak itu menggeletak pula di tanah…
"Anak haram!" Kwee Ceng mendamprat di dalam hatinya. Ia menyesal dan mendongkol sekali.
Yo Kang meloloskan bajunya yang panjang, ia pakai itu untuk menutupi
tubuhnya Wanyen Lieh, rupanya ia takut ayah angkat itu masuk angin. Kwee
Ceng lantas melengos. Tak sudi ia mengawasi terlebih lama lagi. Ia
sungguh tak mengerti sikapnya Yo Kang ini.
"Jangan bergelisah tidak karuan," Oey Yong menghibur. "Jangan keburu
nafsu. Setelah kau sembuh, meski jahanam ini lari ke ujung langit, kita
akan kejar padanya!" Kwee Ceng mengangguk, setelah mana ia berlatih
terus.
Ketika sang fajar datang, beberapa ekor ayam jago kampung mengasih
dengar keruyuk mereka saling sahut, di lain pihak muda-mudi itu sudah
berlatih tujuh rintasan hingga mereka merasakan tubuh mereka segar
sekali.
Oey Yong menunjuki telunjuknya. "Telah lewat satu hari!" katanya sambil
tertawa. Ia puas dengan selesainya latihan hari pertama itu.