"Sungguh berbahaya!" kata Kwee Ceng perlahan. "Jikalau tidak ada kau,
tidak dapat aku mengendalikan diri, dan itu artinya bahaya……."
"Masih ada enam hari dan enam malam, kau mesti janji akan dengar kata aku," kata si nona.
"Kapannya pernah aku tidak dengar kau?" Kwee Ceng menanya sambil tertawa.
Oey Yong tersenyum, lalu ia miringkan kepalanya. "Nanti aku berpikir," katanya.
Dari atas mulai bersorot sinar matahari, maka terlihatlah muka Oey Yong
yang merah dadu, yang cantik manis, sedang di lain pihak, Kwee Ceng
tengah memegangi tangan orang yang halus lemas, tanpa merasa, dadanya
memukul. Maka lekas-lekas ia menenangi diri, walaupun begitu, mukanya
merah. Ia jengah sendirinya. Sejak mereka bertemu dan bergaul, belum
pernah Kwee Ceng memikir seperti sekali ini terhadap si nona, dari itu
ia menyesal sendirinya dan menyesali dirinya juga.
"Eh, engko Ceng, kau kenapa?" tanya Oey Yong. Ia heran menampak perubahan mukanya si anak muda.
"Aku bersalah, mendadak saja aku memikir…..aku memikir…."
Pemuda itu tunduk, perkataannya berhenti sampai di situ. "Kau memikirkan apa sebenarnya?" si nona menanya pula.
"Tetapi sekarang aku sudah tidak memikir pula."
"Tadinya kau memikir apa?"
Kwee Ceng terdesak. "Aku memikir untuk merangkulmu, menciummu...."
karena terpaksa ia mengaku. Sebagai seorang jujur, tak dapat ia
berdusta.
Mukanya si nona bersemu merah. Ia berdiam. Justru itu ia nampak semakin
menggiurkan. Melihat orang diam saja dan bertunduk, Kwee Ceng menjadi
tak enak hati.
"Yong-jie, kau gusarkah?" ia menanya. "Dengan memikir demikian, aku jadi buruk seperti Auwyang Kongcu……"
Tiba-tiba si nona tertawa. "Tidak, aku tidak gusar!" sahutnya. "Aku
hanya memikir, di belakang hari, kau akhirnya bakal merangkul aku,
mencium aku, bahwa aku bakal jadi istrimu!"
Mendapat jawaban itu, lega hatinya Kwee Ceng.
"Engko Ceng," kemudian si nona tanya. "Kau memikir untuk mencium aku, adakah hebat pikiranmu itu?"
Kwee Ceng hendak memberikan jawabannya ketika ia menundanya. Tiba-tiba
terdengar tindakan kaki cepat dari dua orang, yang terus masuk ke dalam
rumah makan disusuli suara nyaring dari Hauw Thong Hay. "Aku telah
bilang, di dunia ini ada setan, kau tidak percaya!"
"Apakah itu setan atau bukan setan?" terdengar suaranya See Thong Thian.
"Aku bilang padamu, kita sebenarnya bertemu dengan seorang pandai!"
Oey Yong lantas saja mengintai, maka ia melihat muka Huaw Thong Hay
berbelepotan darah dan bajunya See Thong Thian robek tidak karuan.
Melihat dua saudara seperguruan itu rudin demikian, Wanyen Lieh dan Yo Kang menjadi heran. Mereka lantas menanyakan sebabnya.
"Nasib kita buruk," menyahut Hauw Thong Hay. "Tadi malam di dalam istana
kita bertemu hantu, sepasang kuping aku si Lao Hauw telah kena
ditabasnya kutung…"
Wanyen Lieh melihat kupingnya Thong Hay itu, benar lenyap dua-duanya. Ia menjadi heran sekali.
"Masih ngoceh saja!" See Thong Thian menegur. "Apakah kita telah tidak cukup memalukan?!"
Thong Hay takut kepada kakak seperguruannya itu, tetapi ia melawan. "Aku
melihat tegas sekali," katanya, membela. "Satu setan hakim yang mukanya
biru kumisnya merah seperti cusee sudah berpekik seraya menubruk aku,
begitu aku menoleh, sepasang kupingku tahu-tahu sudah lenyap. Hakim itu
mirip benar dengan patung hakim di dalam kuil, kenapa dia bukannya hakim
neraka tulen?"
See Thong Thian pun menerangkan, ia cuma bertempur tiga jurus dengan
hakim neraka itu lantas pakaiannya kena disobek rubat-rubit seperti itu.
Mereka itu menjadi heran tanpa pemecahan, dari itu mereka cuma dapat
menduga-duga. See Thong Thian percaya ia berhadapan sama satu jago Rimba
Persilatan yang lihay, maka itu ia menyangsikan hantu, tetapi ia pun
tidak bisa membuktikan kesangsiannya itu. Ketika Auwyang Kongcu ditanya,
mungkin ia ketahui sesuatu, ia pun menggeleng kepala.
Tengah mereka ini berdiam dengan terbenam dalam keheranan itu, terlihat
baliknya Leng Tie Siangjin bersama Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong
bertiga. Mereka datang saling susul, keadaan mereka juga tidak karuan.
Leng Tie Siangjin dengan kedua tangannya tertelikung ke belakang dengan
rantai besi. Pheng Lian Houw dengan muka bengkak dan matang biru mungkin
bekas digaploki pulang pergi. Nio Cu Ong lebih lucu lagi, ialah
kepalanya sudah dicukur licin mirip dengan kepalanya seorang paderi!
Mereka ini, katanya, begitu lekas mereka memasuki istana, akan mencari
surat wasiatnya Gak Hui, telah bertemu hantu. Masing-masing bertemu sama
hantu sendiri, ialah satu hantu Bu Siang Kwie, satu malaikat Oey Leng
Koan, dan satu lagi toapekkong tanah.
Nio Cu Ong pulang dengan mulutnya memaki kalang-kabutan seraya tangannya
mengusap-usap kepalanya yang gundul licin itu. Pheng Lian Houw dapat
menguasai diri, ia berdiam saja. Leng Tie Siangjin tertelikung hebat
sekali, rantai melibat keras kulit dan dagingnya. Pheng Lian Houw mesti
bekerja sekuat tenaganya, baru rantai itu dapat diloloskan, karena itu
lengan orang suci dari Tibet itu jadi berdarah. Mereka ini saling
mengawasi saja. Mereka percaya sudah bertemu sama musuh lihay, maka itu
terpaksa mereka menutup mulut.
"Kenapa Auwyang Sianseng masih belum kembali?" tanya Wanyen Lieh sesudah mereka itu membungkam sekian lama.
"Setahu dia pun bertemu hantu atau tidak…"
"Auwyang Sianseng sangat lihay, umpama kata ia juga bertemu hantu, tidak nanti ia dapat dikalahkan," berkata Yo Kang.
Mendengar jawaban Yo Kang ini, Pheng Lian Houw jengah sendirinya. Oey
Yong melihat dan mendengar semua pembicaraan mereka, ia puas sekali.
"Aku telah membelikan topeng pada Ciu Toako, siapa tahu sekarang ia
telah perlihatkan pengaruhnya," katanya dalam hati. "Inilah di luar
sangkaanku. Hanya entahlah si tua bangka yang berbisa itu bertemu
dengannya atau tidak…" Nona ini menoleh kepada Kwee Ceng, ia dapatkan si
anak muda lagi berlatih terus, maka ia pun menemani.
Pheng Lian Houw semua sudah lapar sekali, dari itu repotlah mereka
membelah kayu untuk menyalakan api, untuk membeli beras dan memasak
nasi. Hauw Thong Hay pergi mencari mangkok, di dapur ia melihat itu
mangkok besi, ketika ia angkat itu, tidak bergerak, Ia heran hingga ia
berseru. Lagi sekali ia menarik dengan mengerahkan tenaganya, tetap ia
tak berhasil.
Oey Yong yang berada di dalam kamar dapat mendengar suara Thong Hay itu.
Ia terkejut. Ia tahu ancaman bahaya apabila kamar itu ketahuan
orang-orang di luar itu, justru merekalah rombongan musuh. Tidak saja
mereka berjumlah besar dan semuanya lihay, Kwee Ceng sendiri tak dapat
menggeraki tubuhnya. Maka itu ia cemas hati, ia menjadi bingung.
See Thong Thian mendengar suara Thong Hay, ia mengatakan adik
seperguruannya itu berisik saja. Adik ini penasaran. "Kalau begitu,
kaulah yang mengambilnya!" katanya sengit.
Thong Thian menghampirkan, ia mencoba mengangkat. "Ah…!" serunya heran. Ia pun tak berdaya.
Berisiknya mereka ini membikin Pheng Lian Houw datang mendekati. Ia
mengawasi mangkok itu. "Pasti ini ada rahasianya," bilangnya kemudian.
"See Toako, coba kau memutarnya ke kiri atau ke kanan."
Oey Yong kaget bukan main. Ia serahkan pisau belatinya kepada Kwee Ceng,
ia sendiri memegangi tongkatnya Ang Cit Kong. Justru itu ia melihat
tulang-belulang di pojokan, tiba-tiba ia mendapat pikiran. Ia lantas
ambil kedua buah tengkorak, ia belesaki itu ke dalam buah semangka.
See Thong Thian di luar kamar sudah bekerja, diputarnya mangkok besi itu
membuat pintu rahasia terbuka. Melihat itu, Oey Yong lantas bekerja. Ia
riap-riapkan rambutnya hingga terurai tidak karuan di mukanya,
tangannya memegang semangka bertengkorak itu, ia ajukan ke depan,
mulutnya memperdengarkan suara meniru hantu.
Hauw Thong Hay yang pertama melihat setan "berkepala dua" itu, ia kaget
bukan main. Bukankah mereka itu baru saja diganggu hantu? Maka itu ia
menjerit keras dan lari ngiprit. Perbuatannya ini dituruti yang lainnya,
yang hatinya menjadi ciut. Hingga di situ tinggal Auwyang Kongcu
seorang, yang rebah di atas rumput tanpa bergerak.
Oey Yong tertawa lebar, lalu ia menghela napas lega. Lekas-lekas ia
menutup pula pintu rahasianya. Sekarang ia mesti berpikir keras, untuk
mencari lain jalan guna menyelamatkan diri. Sebagai orang-orang kangouw
lihay, mesti Thong Hay beramai bakal datang pulang.
Selagi si nona berpikir, ia mendengar suara pintu depan dibuka, lalu
satu orang bertindak masuk. Ia menjadi berkhawatir sekali. Ia lantas
mencekal tempulingnya dan tongkatnya diletaki di sampingnya. Begitu
lekas pintu dibuka dan orang terlihat, hendak ia mendahului menimpuk
dengan tempuling itu.
Tidak lama terdengarlah suara halus tapi nyaring memanggil-manggil tuan
rumah. Oey Yong menjadi heran. Itulah suara wanita. Lekas-lekas ia
mengintai. Tidak keliru pendengarannya itu. Orang yang baru datang itu
benar seorang wanita, yang terus berduduk di sebuah kursi. Dia berdandan
indah seperti seorang nona hartawan. Karena ia menghadapi kaca, mukanya
tidak kelihatan.
Selang sesaat, kembali nona itu memanggil-manggil tuan rumah, yang
jawabannya tak juga kunjung tiba. Oey Yong menjadi heran. Ia ingat
sekarang suara nona itu.
"Dia toh Nona Thia dari Poo-ceng?" katanya dalam hati.
Kebetulan itu waktu si nona berpaling. Maka heran dan giranglah Nona Oey
ini. Tidak salah, nona itu ialah Thia Yauw Kee. Maka ia menduga-duga
sekarang, kenapa nona itu bisa berada di tempat ini. Sementara itu Sa
Kouw, yang tidur layap-layap, bangun juga atas panggilan si nona. Ia
menghampirkan.
"Tolong bikinkan aku barang makanan," nona Thia minta.
Si tolol menggeleng kepala, tandanya tak ada barang makanan, tetapi
justru itu, hidungnya mencium bau nasi baru matang, sambil menoleh, ia
lari ke dapur. Untuk herannya ia menampak nasih putih di dalam tempulo.
Itulah nasi Wanyen Lieh beramai. Ia menjadi girang sekali. Tanpa cari
tahu dari mana datangnya nasi itu, ia menyendoki satu mangkok untuk nona
tetamunya, ia sendiri turut dahar pula.
Tidak biasa, nona Thia dahar tanpa lauk pauknya, nasi itu pun nasi
keras, maka itu baru beberapa suap, ia sudah meletaki mangkok serta
sumpitnya. Sa Kouw sendiri memakan habis tiga mangkok, setelah mana ia
menepuk-nepuk perutnya, romannya menandakan ia sangat puas.
"Nona aku numpang tanya," nona Thia menanya. "Tahukah kau dusun Gu-kee-cun dari sini berapa jauh lagi?"
"Gu-kee-cun?" menyahut si tolol. "Ini justru Gu-kee-cun. Hanya aku tak tahu berapa jauh terpisahnya.."
Nona Thia itu agaknya likat, mukanya menjadi bersemu dadu, kepalanya
terus ditunduki dan tangannya membuat main ujung bajunya. "Oh, kiranya
inilah Gu-kee-cun!" katanya kemudian. "Sekarang aku hendak tanyakan kau
tentang satu orang, apakah kau tahu….kau tahu….."
Sa Kouw tidak menanti hingga orang mengucapkan habis pertanyaannya, ia
menggoyang-goyang kepalanya, terus ia berlari ke luar. Oey Yong sendiri,
yang mendengar pertanyaan nona Thia jadi berpikir.
"Ah, siapakah yang ia cari di sini? Ya, ia muridnya Sun Put Jie, mungkin
ia dititahkan guru atau paman gurunya mencari Yo Kang yang ada muridnya
Khu Cie Kee…"
Sambil berpikir, nona Oey mengawasi nona Thia itu. Dia duduk dengan
sopan, pakaiannya indah dan rapi, tangannya mengusap-usap bunga di
samping kupingnya. Mukanya pun bersemu merah. Entah apa yang ia lagi
pikirkan.
Oey Yong mengawasi terus. Itu waktu terdengar pula tindakan kaki di luar
rumah maka, lalu satu orang muncul sambil memanggil-manggil tuan rumah.
"Sungguh kebetulan!" berkata Oey Yong di dalam hatinya. "Kenapa
orang-orang yang kukenal di kolong langit ini justru pada berkumpul di
Gu-kee-cun ini?"
Orang baru itu ialah Liok Koan Eng, tuan muda dari Kwie-in-chung. Ia
berdiri di muka pintu. Heran ia melihat nona Thia. Ia tidak menegur,
hanya kembali ia memanggil tuan rumah. Nona Thia melihat seorang muda,
ia malu dan likat, ia lantas menoleh ke arah lain.
Koan Eng pun heran, hingga ia tanya dirinya sendiri. "Kenapa ada nona
cantik di sini dan dia sendirian saja?" Ia bertindak masuk, terus ke
dapur. Ia tidak menemukan siapa juga, maka agaknya ia bernafsu kapan ia
mendapat lihat nasi di tempulo.
"Aku lapar, hendak aku minta beberapa mangkok untukku, bolehkah nona?" ia tanya nona Thia.
Yauw Kee menganggap lucu orang minta nasi yang bukan kepunyaannya
sendiri, ia tertawa. "Nasi itu bukan kepunyaanku, kau makanlah!" katanya
tertawa.
Tanpa banyak bicara, Koan Eng lantas berdahar. Ia makan dua mangkok.
"Terima kasih," katanya kemudian seraya memberi hormat kepada nona Thia.
"Sekarang aku mohon menanya, adakah nona ketahui dusun Gu-kee-cun
berapa jauh terpisahnya dari sini?"
Nona Oey menjadi bertambah heran, nona Thia pun tak terkecuali.
"Kiranya dia juga mencari dusun Gu-ke-cun," pikir nona Oey.
"Tempat ini justru desa Gu-ke-cun," menyahut Yauw Kee sambil ia membalas hormatnya si anak muda.
Koan Eng menjadi girang. "Bagus!" katanya. "Sekarang aku minta tanya nona tentang satu orang…"
Yauw Kee memikir untuk memberitahukan bahwa ia bukannya penduduk
Gu-kee-cun itu, atau ia ingat baiklah ia dengar dulu, siapa yang dicari
pemuda ini. Maka itu ia menanti.
"Ada seorang muda she Kwee nama Ceng, entah dia tinggal di rumah yang
mana di sini?" Koan Eng tanya. "Apakah ia berada di rumahnya?"
Yauw Kee heran, lebih-lebih Oey Yong. "Mau apa dia mencari engko Ceng?" putrinya Tong Shia tanya dirinya sendiri.
Yauw Kee tidak menyahut, ia hanya likat hingga mukanya jadi merah,
lekas-lekas ia menunduk. Oey Yong mendapat lihat wajah dan kelakuan
orang itu, saking cerdiknya ia dapat menerka hati orang.
"Ah, kiranya!" pikirnya. "Engko Ceng telah menolongi dia di Poo-eng, rupanya ia lantas mencintainya secara diam-diam…"
Oey Yong polos dan jujur, ia tidak kenal iri atau cemburu, maka itu
mengetahui ada orang yang mencintai Kwee Ceng, justru ia menjadi girang
sekali. Memang tidak keliru dugaan putrinya Oey Yok Su ini. Yauw Kee
ingat budinya Kwee Ceng. Ia memang dibantu oleh Lee Seng dan lainnya
dari Kay Pang, Partai Pengemis, tetapi mereka bukannya tandingannya
Auwyang Kongcu, tanpa ada pemuda itu, pastilah ia bakal terhina.
Melihat Kwee Ceng muda, romannya tampan, dan orang pun jujur, mulia
hatinya dan gagah, lantas ia menjadi ketarik dan jatuh hati, maka
seperginya pemuda itu, ia ingat dan memikirkannya tak hentinya.
Lama-lama tak dapat ia menguasai dirinya lagi, setelah memikir pergi
pulang, pada suatu malam ia pergi secara diam-diam dari rumahnya. Ia
mengerti ilmu silat tetapi belum pernah ia melakukan perjalanan seorang
diri dan jauh, dia asing dengan segala apa kaum kangouw. Tetapi ia
memberanikan diri. Ia mencari dusun Gu-kee-cun sebab Kwee Ceng membilang
ia berasal dari dusun itu dengan kotanya Lim-an. Untung nona Thia,
karena dandannya indah, di tengah jalan tidak ada orang yang
mengganggunya, sampai ia tiba di Gu-kee-cun, hanya ia belum tahu itulah
desa yang ia cari itu. Maka itu, ia minta keterangan dari Sa Kouw.
Begitu ia mendapat jawaban, ia menjadi likat sendirinya, pikirannya pun
kacau.
Dari tempat jauh ia datang, setelah tiba, ia mengharap-harap Kwee Ceng
tak ada di rumah…kata ia di dalam hatinya: "Sebentar aku mencuri datang
ke rumahnya, setelah melihat dia, aku akan lantas berangkat pulang lagi.
Aku tidak boleh membikin dia ketahui datangku ini. Kalau dia melihat
aku, aku malu sekali…"
Di luar dugaan Yauw Kee, Koan Eng datang ke situ, dan pemuda ini
menanyakan Kwee Ceng. Ia kaget dan heran. Bukankah ia tengah "bersalah"?
Ia mau menduga si anak muda telah pecahkan rahasia hatinya, ia menjadi
malu sendirinya. Setelah berdiam sekian lama, ia bangun berdiri, dengan
niat mengangkat kaki. Tapi ia belum sempat ia mewujudkan itu, sebab
mendadak dari sebelah luar nongol satu kepala orang yang romannya jelek.
Cepat sekali, kepala itu diperengkatkan. Ia terkejut hingga ia
bertindak mundur.
Lekas sekali, kepala dengan muka jelek itu nongol pula, bahkan sekarang
ia mengasih dengar suaranya: "Hantu kepala dua, kalau kau berani,
marilah muncul di terangnya matahari! Sam-tauw-kauw Hauw Looya bersedia
untuk melayani kau bertempur!"
Dua-dua Liok Koan Eng dan Thia Yauw Kee menjadi heran. Adakah mereka yang ditantang? Kalau benar, kenapakah?
"Hm!" Oey Yong mengasih dengar suara perlahan. "Dia toh datang pula!"
Tapi nona ini menjadi berkhawatir untuk keselamatan Yauw Kee dan Koan
Eng itu. Terang mereka ini bukan tandingannya rombongan Thong Hay ini.
Maka ia pikir baiklah mereka berdua itu lekas mengangkat kaki dari situ.
Daya apa dia ada punya?
Memang Thong Hay muncul cepat sekali. Tadi ialah yang kabur lebih dulu,
hingga kawan-kawannya turut lari. Kawan-kawan itu menyangka munculnya
pula si hantu istana, mereka lari jauh. Ia lari belum jauh, lantas ia
berhenti, dengan begitu ia jadi ditinggalkan semua kawannya. Ia
bertabiat keras, hatinya menjadi panas.
"Hantu itu tak dapat berbuat apa-apa di siang hari bolong!" demikian ia
dapat berpikir. "Tidak, aku si Lao Hauw tidak takut, biar aku balik pula
untuk singkirkan hantu itu! Biar mereka itu melihat aku!"
Dengan tindakan lebar, ia kembali ke rumah makan. Meski begitu, hatinya
toh kebat-kebit. Ia heran apabila ia mengintai dan ia dapat melihat Koan
Eng dan Yauw Kee. Pikirnya, "Celaka betul, sekarang hantu kepala dua
itu mencipta diri jadi setan pria dan setan wanita! Oh, Lao Huaw, kau
mesti waspada!" Begitulah ia menantang.
Koan Eng dan Yauw Kee berdiam sesaat, lantas mereka tidak
memperdulikannya. Mereka menduga lagi berhadapan sama orang yang otaknya
tak beres.
Thong Hay menantang dengan sia-sia. Si setan pria dan wanita tidak
muncul menyambut tantangannya itu. Ia jadi lebih percaya bahwa setan
tidak munculkan diri di waktu siang. Karena itu, hatinya menjadi semakin
besar. Untuk menyerbu, ia ragu-ragu. Kemudian ia ingat pembilangan
bahwa hantu takut sama kotoran manusia atau air kencing.
"Kenapa aku tidak hendak mencoba?" pikirnya Ia pun lantas mengambil
keputusan, maka ia pergi akan mencari kakus. Tidak sulit untuk mencari
tempat kotoran itu. Di samping rumah makan ada sebuah. Saking penasaran,
ia melupakan segala apa. Untuk membungkus najis itu, ia pakai bajunya
yang ia loloskan. Dengan membawa kotoran itu, ia kembali ke rumah makan.
Ketika ia sampai, ia lihat kedua setan muda mudi itu lagi berduduk
diam. Ia menjadi gusar sekali.
"Hantu yang bernyali besar!" ia lantas membentak. "Kau lihat Hauw Looya
kamu akan membikin segera memperlihatkan diri asalmu!" lantas ia
bertindak masuk, tangan kirinya mencekal senjatanya bercagak tiga,
tangan kanannya membekal bungkusan najis.
Koan Eng dan Yauw Kee terperanjat melihat "si edan" kembali, mereka
melengak. Mereka mengawasi dengan menjublak. Di sebelah itu, hidung
mereka lantas mencium bau busuk yang santer.
Hauw Thong Hay sendiri sudah berpikir, "Aku dengar orang bilang, setan
pria kalah jahat dengan setan wanita, sekarang baik aku hajar dulu yang
wanita!" Maka itu, ia menimpuk ke arah Yauw Kee.
Nona Thia ini kaget hingga ia berteriak, ketika ia hendak berkelit, Koan
Eng mendahului, menolong ia menangkis serangan dengan sebuah bangku.
Hanya hebat tangkisan itu. Bungkusan terhajar jatuh ke lantai, baunya
berhamburan, siapa mendapat cium, ia pasti muak.
Thong Hay sendiri sudah lantas berkoak. "Hantu kepala dua sudah pulang
ke asalnya!" Dan koakannya ini disusul sama serangannya menikam kepada
nona Thia! Dia semberono, tetapi ilmu silatnya cukup baik. Maka itu
hebatlah tikamannya ini.
Koan Eng dan Yauw Kee bertambah heran. Mereka sekarang percaya, orang
bukan orang edan hanya seorang gagah dari Rimba Persilatan. Tidak ayal
lagi, Koan Eng menggunai bangku untuk menangkis pula tikaman itu.
"Kau siapa tuan?" ia menanya. Ia tidak mau berlaku tak tahu aturan.
Hauw Thong Hay tidak memperdulikan pertanyaan itu, ia hanya menuruti
saja kehendak hatinya. Begitulah ia menyerang beruntun hingga lagi tiga
kali. Dengan terpaksa Koan Eng membela diri, sambil menangkis
berulang-ulang, ia masih menanyakan nama orang.
Thong Hay bertempur dengan hati lega. Ia melihat orang mengerti ilmu
silat tetapi tidak selihay musuh tadi malam. Karena ini, sekarang ia
suka bicara. Ia menyahuti, "Hantu, kau ingin mengetahui namaku supaya
kau bisa menggunai jampemu yang berbahaya? Tidak, tuan besarmu justru
tidak hendak memberitahukan namanya!"
Ia menggeraki cagaknya, ia membikin gelangnya bersuara nyaring, lalu ia
mengulangi serangannya secara hebat. Koan Eng segera juga keteter dan
terdesak ke tembok. Ia memang kalah gagah dan senjata bangku juga tidak
cocok untuknya. Tidak ada ketika untuknya mencabut golok di pinggangnya.
Ia terdesak ke tembok di betulan lobang tempat Oey Yong mengintai.
Teranglah Hauw Thong Hay telah melihat ketikanya yang baik dengan hebat
ia mengirimkan tusukannya. Masih sempat Koan Eng berkelit, maka itu,
ujung senjata musuh menikam ke tembok di samping lobang.
Koan Eng berlaku sebat, belum lagi musuh mencabut senjatanya, ia
mendahulukan menghajar dengan bangkunya. Tapi Thong Hay lihay, matanya
awas, gesit gerakannya, sebelah kakinya terangkat naik, mendahului
menendang lengan lawannya itu, yang mengenai tepat, sedang dengan tangan
kirinya ia membarengi menyerang.
Koan Eng terkejut. Bangkunya terlepas dari tangannya. Justru itu ia pun
mesti berkelit dari serangan tangan kiri. Tengah ia mendak, Thong Hay
sudah mencabut senjatanya yang nancap di tembok itu.
Thia Yauw Kee, yang melihat bahaya, lompat kepada Koan Eng, untuk
menolongi si anak muda. Ia menghunus goloknya untuk diserahkan kepada
anak muda itu.
"Terima kasih!" kata Koan Eng seraya menyambuti golok dari tangan si
nona. Ia kagum untuk kelincahan si nona itu, yang dalam saat genting
seperti itu dapat membantu padanya.
Sebab gerakannya Thong Hay, ia sudah menyerang pula. Di saat senjata
lawan hampir sampai di dadanya, Koan Eng menangkis dengan keras, maka
keras juga bentrokan kedua senjata, hingga muncratlah lelatu apinya.
Thong Hay merasakan telapakan tangannya sakit. Pertempuran berlanjut
terus, kaki keduanya telah menginjak kotoran. Selama itu Thong Hay
bergelisah. Nyatanya lawannya itu tangguh.
"Perlihatkan diri asalmu!" ia membentak sambil menikam ke arah perut.
Itulah pukulan "Menolak peragu menuruti aliran air". Menampak ilmu silat
itu, Koan Eng lompat mundur tiga tindak.
"Tahan dulu!" ia berseru. "Kau pernah apakah dengan Kwie-bun Liong Ong?"
Thong Hay melirik dengan tajam. "Ha, hantu, kau kenal juga nama sukoku!" katanya dingin.
Koan Eng menduga kepada orang gila, yang menyerang ia kalang-kabutan,
atau orang salah menyangka, tetapi sekarang, mendengar orang menyebut
diri sebagai adik seperguruan dari See Thong Thian, tahulah ia bahwa
orang ini datang menuntut balas untuk Hong Ho Su Koay, Empat Siluman
dari sungai Hoang Hoo. Ia jadi hendak membalaskan sakitnya Toat-pek-pian
Ma Ceng Hiong. Karena ini, ia lantas berkelahi semakin hebat.
Tidak lama, kembali Koan Eng kena terdesak, tidak peduli ia berlaku
mati-matian. Yauw Kee dapat melihat si pemuda terancam bahaya. Mulanya
ia berdiam saja di pojokan menyaksikan pertempuran itu, ia pun takut
pada kotoran, tetapi sekarang menampak ancaman bahaya itu, tidak dapat
ia berdiam terus-terusan. Ia mencabut pedangnya sambil mengajukan diri.
"Jangan takut, akan aku bantu kau!" ia berkata. Ia bahkan segera menikam
punggung lawan. Ia murid kepala dari Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie, dari
itu ia adalah orang dari kaum Coan Cin Pay.
Majunya nona ini ada dalam dugaan Hauw Thong Hay. Tidak demikian dengan
Koan Eng. Maka pemuda ini menjadi heran berbareng girang, hingga
terbangun semangatnya, kalau tadi ia repot membela diri, hingga ia tidak
dapat melakukkan penyerangan balasan, sekarang ia dapat melakukan itu.
Mulanya Thong Hay jeri juga, ia khawatir si nona lihay, tetapi selang
beberapa jurus, legalah hatinya. Dia mendapat kenyataan nona ini kurang
latihannya. Maka kemudian, walaupun dikepung berdua, ialah yang dapat
lebih banyak menyerang.
Oey Yong dari dalam kamar mengikuti terus pertempuran itu. Ia menjadi
berkhawatir. Ia mengetahui dengan baik, lama-lama muda-mudi itu bisa
bercelaka di tangan musuh yang telengas ini. Ia berkhawatir sebab ada
keinginannya untuk membantui tetapi keinginan itu tidak dapat
diwujudkan. Mana bisa ia tinggalkan Kwee Ceng?
"Nona kau pergilah!" berkata Koan Eng kemudian. "Urusan di sini bukan urusanmu!"
Yauw Kee tak mau mundur. Ia tahu pemuda itu mengkhawatirkan
keselamatanya. Untuk kebaikan hati itu, ia merasa sangat bersyukur.
Tentu sekali, tidak dapat ia mengangkat kaki membiarkan kawan itu
menghadapi bahaya maut. Maka itu ia menggeleng kepalanya.
"Kita bermusuh, maka itu kau carilah aku sendiri si orang she Liok!"
Koan Eng serukan Thong Hay. "Lekas kau membuka jalan untuk nona ini
mengundurkan diri!"
Thong Hay tertawa lebar. Sekarang ia telah memperoleh kepastian
muda-mudi ini bukannya hantu atau iblis, hatinya menjadi besar. Ia pun
sudah menang di atas angin! Bukankah si nona pun cantik manis?
"Hantu pria aku hendak tangkap, iblis wanita aku hendak bekuk juga!"
katanya dingin. Ia mengulangi serangannya yang hebat, hanya terhadap
Thia Yauw Kee, ia tidak menggunai tenaga sepenuhnya. Koan Eng menjadi
bertambah khawatir.
"Nona lekas kau menyingkir!" ia serukan nona itu. "Aku berterima kasih padamu!"
"Kau she Liok?" tanya si nona perlahan tanpa menghiraukan anjuran orang untuk mengangkat kaki.
"Benar," menyahut Koan Eng. "Nona sendiri she apa dan murid siapakah?"
"Guruku she Sun, orang menyebutnya Ceng Ceng Sanjin," sahut nona Thia.
"Aku sendiri…aku…" Ia hendak menyebut namanya tetapi ia malu.
"Nona," berkata Koan Eng. "Akan aku tahan dia, kau pergilah menyingkir! Asal aku dapat menolong jiwaku, nanti aku susul padamu!"
Mukanya Yauw Kee merah. Ia tidak menjawab itu anak muda, hanya ia
membentaki lawannya. "Eh, siluman, jangan kau lukakan dia! Ketahui
olehmu, guruku ialah Sun Cinjin dari Coan CinPay dan dia segera bakal
datang kemari!"
Nama Coan Cin Pay sangat terkenal, maka mendengar disebutnya partai itu,
hati Thong Hay tercekat. Bukankah Thie-kak-sian Giok Yang Cu Ong Cie It
pernah memperlihatkan kepandaiannya di dalam istana Chao Wang? Meski
begitu, ia tidak sudi mengasih lihat kelemahannya. Maka itu ia sengaja
berseru. "Biarnya tujuh siluman Coan Cit Cit Cu datang kemari, hendak
aku membinasakan semuanya!"
"Orang bosan hidup, kau ngaco belo!" mendadak terdengar seruan dari arah luar.
Kaget ketiga orang itu, dengan sendirinya mereka pada lompat mundur.
Koan Eng khawatir Thong Hay main gila, ia tarik Yauw Kee ke belakangnya,
ia lantas berdiri di depan si nona seraya ia bersiap dengan goloknya.
Semua mata mengawasi ke luar. Di ambang pintu berdiri seorang tojin atau
imam usia muda, romannya tampan, tangannya mencekal kebutan atau
hudtim. Ia bersenyum dingin ketika ia menegaskan pula. "Siapakah yang
membilang hendak membinasakan Coan Cin Cit Cu?"
"Itulah aku Hauw Looya yang membilangnya!" sahut Thong Hay takabur. "Kau mau apa?!"
"Baiklah! Sekarang kau cobalah membunuhnya!" menantang si imam muda.
Kata-kata ini disusul sama gerakan tubuhnya seraya kebutannya mengebut
ke muka si Ular Naga Kepala Tiga.
Ketika itu selesailah Kwee Ceng dengan latihannya, tempo kupingnya dapat
mendengar suara berisik di luar kamar itu, ia lantas mengintai.
"Mungkinkah benar imam muda ini anggota Coan Cin Cit Cu?" Oey Yong tanya.
Kwee Ceng segera mengenali imam muda itu, ialah In Cie Peng muridnya
Tiang Cun Cu Khu Cie Kee. Dialah yang dua tahun lampau pergi ke Mongolia
menyampaikan surat gurunya kepada Kanglam Liok Koay dan dalam pibu,
pertandingan itu, ia kena dikalahkan dia itu. Maka itu, ia beritahukan
si nona Oey siapa imam itu.
"Dia pun tak dapat melawan Hauw Thong Hay," berkata Oey Yong sambil menggeleng-geleng kepala.
Setelah lewat dua tahun, kepandaiannya In Cie Peng telah bertambah,
walaupun demikian, berkelahi sama-sama Liok Koan Eng mengepung Hauw
Thong Hay mereka cuma berimbang saja.
Yauw Kee menonton dengan bengong. Ia terkejut ketika ia dipegang oleh
Koan Eng dan ditarik ke belakang si anak muda, habis mana anak muda itu
menyerang Thong Hay yang menyambuti serangannya In Cie Peng. Ia tengah
mengusut-usut tangannya itu tatkala ia mendengar suara Koan Eng, "Nona,
awas!"
Itulah Hauw Thong Hay, yang menggunai kesempatannya akan membokongi si
nona, yang ia tikam pundaknya. Ia tidak menyangka akan serangan itu,
atas pemberian ingat si anak muda, ia lantas berkelit, setelah mana
dalam murkanya ia maju menyerang. Dengan begitu, Thong Hay jadi
dikerubuti bertiga.
Walau pun ia gagah, sekarang Thong Hay bingung juga. Memang nona Thia
ini tidak lihay, akan tetapi dikepung berdua, mereka sudah berimbang,
dengan bertambah satu tenaga lagi, ia merasa berat. Ia menjadi cemas
sendirinya, hendak ia meloloskan diri, tetapi kepungan rapat.
In Cie Peng mempermainkan kebutannya di muka lawannya itu, lama-lama
Thong Hay menjadi seperti kabur matanya, maka satu kali ia alpa,
gerakannya kurang sebat, ia merasakan pahanya sakit, sebab goloknya Koan
Eng mampir di pahanya itu. Ia menjadi murka sekali, ia mendamprat
leluhur lawannya.
Masih si Ular Naga Kepala Tiga membuat perlawanan. Karena luka di
kakinya itu, kelincahannya menjadi berkurang. Masih ia diganggu kebutan
Cie Peng, yang membikin ia kewalahan. Kapan tiba saatnya ia mencoba
menikam, Cie Peng libat gaetannya itu, hingga keduanya jadi saling
tarik.
Biar bagaimana, Thong Hay menang tenaga, kesudahannya saling tarik itu,
kebutannya Cie Peng kena tertarik hingga terlepas. Tapi menang di sini,
Thong Hay kalah di lain pihak. Dengan mengadu tenaga sama Cie Peng, ia
menjadi lengah, maka juga ujung pedangnya Yauw Kee menusuk pundak
kanannya, atas mana terlepaslah tempulingnya yang bercagak tiga!
In Cie Peng lepas kebutannya itu, ia tidak menjadi kaget atau bingung,
bahkan ia memperlihatkan kegesitannya, ialah justru lawannya kena
tertikam, ia maju untuk menotok. Tepat ia mengenakan jalan darah
hian-kie, atas mana, Sam-tauw-kauw roboh seketika.
Koan Eng tidak berlaku ayal, ia berlompat untuk menubruk, lalu dengan
menggunai ikat pinggang lawan, ia ringkus lawannya itu, kedua tangan
siapa ditelikung.
"Lihat, muridnya Coan Cin Cit Cu saja kau tidak sanggup lawan!" kata In
Cie Peng mengejek. "Masihkah kau hendak membinasakan semua Coan Cin Cit
Cu?"
Thong Hay gusar, ia memaki kalang kabutan. Ia kata ia toh dikepung
bertiga. Cie Peng tidak sabaran, ia sobek ujung baju orang dan pakai itu
untuk menyumbat mulut orang yang kotor itu, maka sekarang, si Ular Naga
Tiga Kepala melainkan bisa mendelik mata dan mukanya merah, mulutnya
tak bersuara lagi.
"Suci," berkata Cie Peng kepada Yauw Kee sambil ia memberi hormatnya.
"Kau adalah murid dari Sun Susiok, maka terimalah hormatnya suteemu."
Yauw Kee membalas hormat sambil merendahkan diri. "Entah suheng murid paman guru yang mana?" ia bertanya.
"Siauwtee ialah In Cie Peng, muridnya Tiang Cun Cu," menyahut saudara asal seperguruan ini.
Yauw Kee tidak pernah ke luar pintu, ia tidak kenal keenam saudara
gurunya tetapi ia pernah mendengar dari gurunya tentang mereka itu, maka
tahulah ia siapa Tiang Cun Cu itu. "Kalau begitu, In Suheng, kaulah
suhengku," katanya perlahan. "Adikmu ini she Thia, kau panggil saja
sumoy padaku."
In Cie Peng bersenyum melihat sumoy itu, adik seperguruannya, tetapi
meski begitu, ia melayani berbicara, setelah mana ia belajar kenal
dengan Liok Koan Eng. Orang she Liok itu memberitahukan she dan namanya
tetapi ia tak menyebutkan nama dan gelaran ayahnya dan menyebut juga
pekerjaannya sebagai kepala perampok di telaga Thay Ouw, ia cuma
menerangkan, ia bermusuh dengan Hauw Thong Hay sebab ia telah membunuh
Ma Ceng Hiong.
"Orang edan ini kosen, dia tidak dapat dimerdekakan!" berkata nona Thia.
"Biarlah aku lantas binasakan dia!" berkata Liok Koan Eng.
"Ah, jangan!" mencegah nona Thia, yang hatinya pemurah.
"Tidak apalah dia tidak dibikin mampus!" kata Cie Peng tertawa. "Sumoy, sudah berapa lama kau berada disini?"
"Baru saja," sahut si nona dengan wajahnya merah jengah.
Cie Peng mengawasi muda-mudi ini, pikirannya bekerja. "Mereka rupanya
pasangan, jangan aku berdiam lama di sini, membuat mereka muak saja…"
pikirnya. Maka ia lantas berkata, "Aku sedang menjalankan tugas yang
diberikan suhu. Aku diperintah pergi ke dusun Gu-kee-cun guna
menyampaikan berita kepada satu orang. Nah, sampai di sini saja, harap
kita bisa bertemu pula!"
Yauw Kee masih likat. "In Suheng, kau sedang mencari siapa?" tanyanya perlahan.
Cie Peng agaknya bersangsi, tetapi sejenak kemudian, ia pikir, "Thia
sumoy orang sendiri, dia berjalan sama anak muda ini, dia pun bukan
orang lain, tidak ada halangannya untuk aku bicara." Maka ia menjawab
bahwa ia lagi mencari seorang kenalan she Kwee.
Keterangan ini membuatnya beberapa orang terkesiap hatinya. Mereka yang
berada di dalam kamar rahasia, begitu pun Liok Koan Eng, bahkan pemuda
she Liok ini lantas bertanya. "Adakah ia yang bernama Ceng?"
"Benar," sahut Cie Peng memberikan kepastian. "Saudara Liok kenal sahabat she Kwee itu?"
"Siauwtee justru hendak mencari Kwee Susiok itu," menyahut Koan Eng.
"Eh, kau memanggil dia susiok?" tanya Cie Peng dan Yauw Kee berbareng.
Nona ini pun heran waktu pertama mendengar Cie Peng menyebut ‘sahabat
she Kwee’.
"Ayahku setingkat derajatnya dengannya, maka itu siauwtee memanggil susiok," Koan Eng menjelaskan. Susiok artinya paman guru.
Tingkat Liok Seng Hong sederajat dengan Oey Yong, dengan sendirinya Koan
Eng mesti memanggil paman guru kepada Kwee Ceng. Mengenai Kwee Ceng
itu, Yauw Kee tidak membilang suatu apa akan tetapi perhatiannya
tertarik.
"Apakah kau telah bertemu padanya. Ada di mana dia sekarang?" Cie Peng menanya dengan cepat.
"Siauwtee pun baru tiba di sini, selagi siauwtee hendak mencari
keterangan, kita bertemu ini orang edan, tidak karuan dia menyerang
kita," menerangkan Koan Eng.
"Kalau begitu, mari kita sama-sama pergi mencarinya," kata Cie Peng kemudian.
Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi. Mereka telah mendapat dengar
semua pembicaraannya ketiga orang itu. "Mereka pasti bakal kembali,"
kata Kwee Ceng. "Yong-jie, kau bukalah pintu."
"Mana dapat?" si nona berkata. "Mereka mencari kamu tentu untuk urusan
penting. Kau lagi beristirahat, mana dapat kau memecah pikiranmu?"
"Tetapi urusannya mesti sangat penting," si anak muda bilang.
"Biarnya langit ambruk, tidak nanti aku membuka pintu," si nona kata pasti.
Hati Kwee Ceng tidak tenang, tetapi Oey Yong benar. Ia pun khawatir si
nona menjadi berduka. Maka terpaksa ia berdiam saja, melanjuti
istirahatnya itu.
Benar saja, selang tidak lama, Koan Eng bertiga kembali ke rumah
makannya Sa Kouw. Koan Eng berduka, katanya, "Di kampung halamannya
sendiri susiok tidak dapat dicari. Bagaimana sekarang?"
"Urusan penting apakah itu antara kamu berdua, saudara Liok?" Cie Peng tanya Koan Eng. "Bolehkah aku ketahui itu?"
Sebenarnya Koan Eng tidak suka memberitahu, tetapi ketika ia menampak
wajah nona Thia, ia mengubah pikirannya dalam sekejap. "Omonganku
panjang," ia menyahut. "Biarlah aku bersihkan dulu kotoran di sini,
nanti baru kita bicara."
Di rumahnya Sa Kouw ini, sapu pun tidak ada, maka itu Koan Eng dan Cie
Peng menggunai rumput untuk menyapu kotoran. Setelah itu ketiganya duduk
menghadapi meja.
Koan Eng hendak mulai bicara ketika Yauw Kee mencegah. "Tunggu dulu!"
katanya seraya ia berbangkit bertindak mendekati Hauw Thong Hay. Ia
memotong sejuwir ujung baju orang tawanan itu, yang mana ia pakai
menyumpal kedua kupingnya dia itu. "Biar dia jangan mendapat dengar!" ia
menambahkan dengan tertawa.
"Kau teliti, nona!" Koan Eng memuji. Ia pun tersenyum.
Oey Yong dalam tempat persembunyiannya tertawa di dalam hatinya.
Pikirnya, "Kau masih bicara tentang teliti! Sudah kami berdua, sukar
untuk mengetahuinya, di sana pun ada rebah Auwyang Kongcu, kau masih
belum ketahui juga……"
Thia Yauw Kee masih hijau, inilah tidak heran. In Cie Peng biasa
mengikuti gurunya tetapi ia dasarnya semberono. Sedang Koan Eng, yang
biasa memerintah, kurang waspada. Demikian mereka berbicara, bertindak,
tanpa memeriksa dulu tempat di sekitarnya. Nona Thia mendapatkan kuping
Thong Hay telah terpapas, ia tercengang, tetapi hanya sejenak.
"Sekarang kau boleh bicara!" katanya tertawa pada Koan Eng habis ia menyumbat.
Untuk sesaat, agaknya pemuda she Liok itu bersangsi.
"Ah, dari mana aku harus mulai?" katanya. "Sekarang aku lagi mencari
Kwee susiok. Sebenarnya tidak seharusnya aku pergi mencari tetapi tanpa
mencari, tak dapat…."
"Inilah aneh!" berkata Cie Peng.
"Memang. Aku mencari Kwee Susiok bukan untuk urusannya sendiri hanya untuk keenam gurunya."
"Ah, Kanglam Liok Koay?" Cie Peng tanya seraya menepuk meja. "Mungkin
kita ada bersamaan tujuan. Sekarang mari kita masing-masing menulis di
tanah, lalu minta Thia sumoy yang melihatnya, cocok atau tidak."
Belum lagi Koan Eng menyahuti, sambil tertawa Yauw Kee mendahului. "Bagus! Nah putarlah tubuhmu dan menulislah!"
In Cie Peng dan Liok Koan Eng memegang masing-masing sebatang puntung,
sambil belakang-membelakangi, mereka sudah lantas mencoret-coret di
tanah.
"Thia Sumoy!" kemudian kata Cie Peng tertawa, "Kau lihat tulisan kita sama atau tidak?"
Yauw Kee melihat coretan mereka itu. "In Suheng, kau menduga keliru," katanya perlahan. "Tulisan kamu tidak sama."
"Ah!" seru Cie Peng sambil berbangkit.
Yauw Kee tertawa dan menambahkan. "Kau menulis 'Oey Yok Su' dan dia menggambar sebatang bunga tho."
Oey Yong heran. "Mereka mencari engko Ceng, mengapa toh ada sangkutannya sama ayahku?" ia menduga-duga.
Lalu terdengar suara Koan Eng perlahan. "Apa yang ditulis In Suheng
adalah nama dari kakek guruku, dan siauwtee tidak berani menulisnya
langsung…"
"Oh, kakek gurumu?" kata Cie Peng terperanjat. "Kalau begitu, pikiran
kita sama saja. Bukankah Oey Yok Su itu tocu dari pulau Tho Hoa To?"
Yauw Kee heran. "Oh, kiranya begitu!" katanya.
"Karena saudara Liok ada orang kaum Tho Hoa To," berkata In Cie Peng,
"Dengan begitu dengan mencari Kanglam Liok Koay, kau tentunya bermaksud
tak baik untuk mereka itu…"
"Sebaliknya, suheng…"
Cie Peng tidak puas orang omong sangsi-sangsi. "Oleh karena saudara Liok
tidak mengangap aku sebagai sahabat, sudahlah, tak ada gunanya untuk
kita bicara banyak-banyak," katanya. "Ijinkanlah aku meminta diri." Ia
lantas berbangkit dan memutar tubuh, untuk berlalu.
"Tunggu, In Suheng!" mencegah Koan Eng. "Aku hendak menutur sesuatu, aku pun hendak memohon bantuanmu."
Adalah tabiat Cie Peng yang ia paling senang kalau orang meminta apa-apa
padanya, dari itu ia lantas menjadi girang. "Baiklah!" katanya.
"Sekarang kau boleh bicara!"
"In Suheng," berkata Koan Eng menerangkan, "Kau adalah orang Coan Cin
Pay, maka itu bukankah ada semacam tugas dari kamu umpama kata kau
mendengar sesuatu tentang lain orang, kau akan lantas memberitahukan
atau mengisikinya supaya orang itu berhati-hati dan berjaga-jaga?
Sekarang, andaikata, ada salah seorang dari pihak seatasan kau hendak
mencelakai seseorang, dan kau mengetahuinya itu, pantas atau tidak kalau
kau mengisiki orang itu untuk lari menyingkirkan diri?"
In Cie Peng seperti dapat menduga maksud orang. Ia menepuk pahanya. "Aku
mengerti sekarang," katanya. "Teranglah di antara kamu pihak Tho Hoa To
ada orang yang tengah menghadapi kesulitan. Nah, kau bicaralah!"
"Di dalam perkara ini," berkata Koan Eng. "Jikalau aku memeluk tangan
menonton saja, aku jadi berbuat tak selayaknya, sebaliknya, apabila aku
mencampurnya tahu, aku jadi menentang kaumku sendiri. Maka itu, In
Suheng, walaupun aku ingin memohon bantuanmu, tak dapat aku membuka
mulutku…"
Cie Peng mau menduga, akan tetapi karena orang tidak menjelaskannya, ia
pun tidak dapat mengambil putusan, maka itu ia menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Ia nampaknya likat sendiri.
Yauw Kee memandang kedua orang itu, ia mendapat jalan. "In Suheng,"
katanya, "Kau tanyalah Liok Toako. Kalau ia mengangguk, itulah soalnya,
kalau ia menggeleng kepalanya, itulah bukannya. Asal Liok Toako tidak
mengatakannya sendiri, itu berarti ia tidak melanggar aturan kaumnya."
"Bagus dayamu ini, Thia Sumoy!" kata Cie Peng girang. "Saudara Liok,
mari dengar aku bicara dulu tentang urusanku. Guruku yaitu Tiang Cun Cu
Khu Cinjin, di luar keinginannya, telah mendapat suatu kabar penting,
ialah kabar halnya Tocu Tho Hoa To karena membenci Kanglam Liok Koay,
berniat membunuh jago-jago dari Kanglam itu, hendak membinasakan mereka
serumah tangga. Karena itu guruku lantas mendahulukan pergi untuk
memberi kisikan. Nyatanya Liok Koay tidak ada di rumahnya, mereka telah
pergi pesiar. Atas itu guruku lantas menitahkan semua anggota keluarga
Liok Koay itu pergi menyingkirkan diri masing-masing. Maka ketika Oey
Yok Su sampai ke Kee-hin, ia tidak menemukan seorang juga. Ia menjadi
sangat gusar dan mendongkol, tetapi ia cuma dapat menungkuli diri,
dengan gondok ia berangkat ke Utara. Setelah itu taklah lagi bagaimana
kejadiannya peristiwa. Dan kau, tahukah kau tentang itu?"
Koan Eng mengangguk.
In Cie Peng berdiam sebentar habis itu ia berkata pula. "Turut rasaku
dia terus mencari Kanglam Liok Koay. Sebenarnya di antara guruku dan
Liok Koay ada suatu perselisihan, tetapi perselisihan itu sudah dapat
disudahi sedang mengenai urusannya, kesalahan berada di pihak Oey Yok Su
maka itu kebetulan Coan Cin Cit Cu berkumpul di Kanglam, mereka lantas
memisah diri mencari Liok Koay untuk menasehati mereka untuk
berhati-hati menjaga diri, bahkan paling betul mereka menyingkir
jauh-jauh, supaya mereka tak dapat dicari kakek gurumu itu. Coba kau
pikir, tindakan itu tepat atau tidak?"
Koan Eng mengangguk pula.
Mendengar sampai di situ, Oey Yong berpikir, "Engko Ceng sudah tiba di
Tho Hoa To memenuhi janji, kenapa ayah hendak pergi mencari pula Liok
Koay?" Ia tidak tahu ayahnya telah kena dijual Leng Tie Siangjin dan
mempercayai yang ia telah mati kelelap di laut hingga dia menjadi sangat
berduka dan gusar dan karenanya hendak menumpahkan amarahnya kepada
Kanglam Liok Koay.
Kembali terdengar suaranya In Cie Peng. "Oleh karena tidak dapat mencari
Liok Koay, guruku ingat Kwee Ceng yang menjadi murid Liok Koay itu.
Kwee Ceng itu ada orang asal dusun Gu-kee-cun di Lim-an dan dipercaya
betul ia telah kembali ke kampung halamannya, dari itu aku dititahkan
datang kemari mencari dia di sini. Guruku percaya pastilah Kwee Ceng
mengetahui di mana adanya semua gurunya itu. Kau telah datang ke mari,
saudara Liok, bukankah itu untuk urusan yang sama?"
Lagi-lagi Koan Eng mengangguk.
"Sekarang telah ternyata Kwee Ceng belum kembali ke kampung halamannya
ini," berkata Cie Peng pula, "Meskipun begitu guruku telah melakukan
kewajibannya terhadap Liok Koay itu, maka itu walaupun dia tidak dapat
mencari mereka itu, itulah disebabkan habis daya. Melihat yang mereka
sukar dicari, aku percaya, Oey Yok Su juga tentu tak akan dapat mencari
mereka. Nah, saudara Liok, kau hendak memohon bantuanku, bukankah itu
urusan mengenai urusan ini juga?"
Untuk kesekian kalinya, Liok Koan Eng kembali mengangguk.