Dan pada suatu hari terjadilah suatu hal yang sudah lama
diduga-duga akan terjadi hal yang menjadi akibat daripada keadaan yang
ditekan-tekan di dalam istana yang dimulai dengan masuknya The Kwat Lin yang
kini telah menjadi permaisuri itu ke Pulau Es. Pagi hari itu, Sin Liong tengah
duduk seorang diri di tempat yang menjadi tempat kesukaannya bersama Swat Hong,
yaitu di tepi pantai yang paling sunyi, pantai yang tak pernah tertutup salju
karena pasir berwana putih yang terjadi dari pecahan batu karang dan segala
macam kulit kerang dan kepompong itu seolah-olah selalu mengeluarkan hawa
hangat. Selagi dia duduk termenung itu terdengarlah olehnya suara tabur dipukul
gencar, tanda bahwa pagi hari itu diadakan persidangan pengadilan yang amat
penting, sidang yang diadakan kurang lebih tiga bulan semenjak tiga orang
pesakitan terakhir itu di buang ke Pulau Neraka.
Suara tambur itu seolah-olah menghantami isi dada Sin Liong,
karena suara itu suara yang paling tidak disukainya, suara yang menandakan
bahwa akan ada orang lagi yang dihukum! Maka dia tidak bergerak, mengambil
keputusan tidak akan menonton karena menonton berarti hanya akan menghadapi hal
yang menyakitkan hatinya. Akan tetapi dia meloncat bangun ketika mendengar
suara panggilan Swat Hong, suara panggilan yang lain dari biasanya karena suara
dara itu mengandung isak tangis yang mengejutkan.
"Kwa-suheng...!!"
Sin liong terkejut melihat dara itu berlari-lari kepadanya sambil
menangis dan dengan wajah yang pucat sekali.
"Ada apakah, Sumoi?" tegurnya sebelum dara itu tiba di
depannya.
"Suheng..., celaka... Ibuku..."Biarpun hatinya berdebar
penuh kaget dan kejut, Sin Liong bersikap tenang ketika di memegang kedua
pundak Sumoinya dan bertanya,
"Ada apakah dengan Ibumu? Tenanglah, Sumoi."
Swat Hong menahan isaknya.
"Mereka... mereka menangkap Ibuku dan membawanya ke sidang
pengadilan..."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah keterlaluan ini, pikirnya.
Rasa penasaran membuat dia berlaku agak kasar. Digandengnya tangan Sumoinya,
ditariknya dara itu dan dia berkata,
"Mari kita lihat!"
Ketika dua orang itu tiba di ruangan pengadilan, mereka mendapat
kenyataan bahwa keadaan berlainan sekali dengan sidang pengadilan yang
sudah-sudah karena suasana amat sunyi. Tidak ada seorang pun diperbolehkan
mendekati ruangan pengadilan, bahkan ketika Sin liong dan Swat Hong tiba
disitu, mereka dihadang oleh beberapa orang penjaga,
"Maaf, atas perintah Sribaginda, tidak ada yang boleh
memasuki ruang sidang pengadilan hari ini."
Dengan kedua tangan di kepal,Swat Hong melompat maju, matanya
melotot dan mukanya merah sekali,
"Apa kalian bilang? Kalian berani melarang aku memasuki
ruangan? Apakah kalian sudah bosan hidup?"
Sin Liong cepat memegang lengan sumoinya karena dia maklum bahwa
kalau sumoinya ini sudah marah, tentu akan hebat akibatnya. Juga para penjaga
itu mundur ketakutan karena mereka mengerti betapa lihainya Sang Puteri ini.
"Harap Saudara sekalian melaporkan kepada atasan Saudara
Bahwa kami akan memasuki ruang sidang," kata Sin Liong dengan tenang
kepada para penjaga.
"Akan tetapi kami hanya mentaati perintah. Bagaimana kami
berani melanggar?" jawab kepala penjaga dengan muka bingung.
"Aku tahu. Ibuku yang diadili, Bukan? Nah, dengar kalian! Apa
pun yang akan terjadi dengan ibuku, aku harus hadir, kalau perlu aku akan bunuh
kalian semua agar dapat masuk!" Kembali Swat Hong membentak.
"Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami masuk.
Akibatnya biarkan kami berdua yang menanggungnya," kembali Sin Liong
berkata dan keduanya memaksa masuk. Para penjaga tidak ada yang berani melarang
akan tetapi mereka cepat-cepat lari untuk melapor kedalam.
Han Ti Ong mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong dan Swat
Hong memasuki ruang sidang, akan tetapi dia hanya mengangguk kepada para
penjaga yang kebingungan. Hal ini melegakan hati para penjaga dan mereka
cepat-cepat meninggalkan ruangan itu untuk menjaga di luar, karena mereka pun
tidak boleh mendengarkan sidang yang sedang mengadili isteri raja!
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Swat Hong melihat ibunya
dengan tenang berlutut di depan meja pengadilan bersama seorang laki-laki muda
yang berpakaian sebagai pelayan dalam istana. Hatinya menduga dan dia merasa
ngeri karena melihat ibunya dan pemuda itu berlutut di situ, dia seolah-olah
melihat Sia Gin Hwa dan Lu Kiat, dua orang pesakitan yang saling berzinah itu!
Akan tetapi dia tidak percaya! Tak mungkin ibunya...! Akan tetapi dia menjadi
lemas dan menurut saja ketika Sin Liong menariknya dan mengajaknya duduk
dideretan kursi pinggiran yang sekali ini sama sekali kosong. Di belakang meja
panjang hanya duduk jaksa, hakim, Raja Han Ti Ong , permaisurinya, dan Han Bu
Ong, bocah berusia delapan tahun yang mengenakan pakaian indah dan duduk dengan
agungnya di dekat ibunya, matanya memandang kearah Sin Liong dan Swat Hong
dengan angkuh.
Kemudian terdengarlah suara nyaring Sang Jaksa, suara yang bagi
telinga Swat Hong terdengar seperti sambaran pedang yang menusuk-nusuk hatinya
dan bagi Sin Liong seperti guntur di tengah hari!
"Liu Bwee, sebagai bekas istri Sri Baginda, dari seorang anak
nelayan biasa menjadi seorang mulia terhormat, ternyata membalas budi Sri
Baginda dengan aib dan noda yang hina, telah ditangkap karena melakukan
perzinahan dengan seorang pelayan muda. Dosa ini amat besar karena selain
menimbulkan aib dan malu kepada Sri Baginda, juga kalau diketahui dunia luar
akan mencemarkan nama Kerajaan Pulau Es. Oleh karena itu, sepatutnya dia
dijatuhi hukuman yang seberat mungkin."
"Bohong...! Ibu tidak mungkin...." Swat Hong menjerit
dan hendak melompat maju menyerang jaksa yang berani mengeluarkan ucapan
menuduh ibunya seperti itu akan tetapi Sin Liong menangkap lengannya untuk
mencegah sumionya bergerak.
"Swat Hong! Berani engkau kurang ajar di depan Ayah?"
Terdengar Han Ti Ong membentak dengan penuh wibawa.
"Ayah, tuduhan itu fitnah belaka! Tidak mungkin ibu melakukan
hal yang kotor itu. Mana buktinya? Siapa saksinya?" kembali Swat Hong
menjerit-jerit.
"Hong-ji, jangan begitu. Ibumu tidak berdosa, akan tetapi
kita harus. tunduk kepada peraturan dan hukum, anakku.Tenanglah."
Ucapan ini keluar dari mulut Liu Bwee yang menoleh kearah Swat
Hong, suaranya lirih dan jelas, namun mengandung kedukaan yang merobek hati.
"Liu Bwee, engkau telah mendengar tuduhan atas dirimu. Apakah
pembelaanmu?"
Terdengar suara hakim tua itu dengan halus dan lirih seperti
biasanya, namun penuh wibawa karena dalam sidang ini, dialah orang yang paling
kuasa.
"Saya tidak akan membela diri, hanya seperti dikatakan anakku
tadi, agar tidak mendatangkan penasaran, harap suka disebutkan siapa saksinya
dan apa buktinya yang memperkuat tuduhan terhadap diriku," kata Liu Bwee
dengan tenang dan suara halus.
Jaksa yang termasuk orang di antara anggauta keluarga raja yang
tidak senang kepada Liu Bwee karena dia dahulupun mengharapkan agar Han Ti Ong
memilih anak perempuannya, segera berkata lantang,
"Buktinya? Engkau ditangkap ketika berada di dalam kamar
dengan A Kiu, padahal dia bukanlah pelayanmu. Apalagi yang kalian kerjakan
kalau bukan berzinah? Seorang wanita dan seorang laki-laki yang tidak ada
hubungan apa-apa berada di dalam kamar berdua saja! selain itu, perzinahan
kalian juga telah ada yang menyaksikan."
Wajah Swat Hong sebentar pucat dan sebentar merah. Tak dapat dia
menahan kemarahanya. Ibunya dituduh berzinah dengan seorang pelayan!
"Bohong! itu bukan bukti!! Kalau memang ada yang menyaksikan,
hayo siapa yang menyaksikan?"
Teriaknya, tidak memperdulikan cegahan Sin Liong yang masih
memegang lengannya karena khawatir kalau-kalau dara ini mengamuk.
"Akulah saksinya!"
Tiba-tiba terdengar suara kecil merdu dan Han Bu Hong telah
bangkit berdiri dengan sikap menantang. Mulut anak ini tersenyum mengejek dan
matanya bersinar-sinar.
"Enci Hong, akulah yang telah melihat ibumu dan pelayan itu
di atas ranjang...."
"Ssssttt, diam...!" Permaisuri menarik puteranya.
Akan tetapi hakim telah berkata lagi,
"Sudah terbukti kesalahan besar yang dilakukan Liu Bwee.
Kesalahan paling besar yang dapat dilakukan oleh seorang wanita..."
"Nanti dulu!"
Dengan muka pucat sekali Swat Hong memotong kata-kata hakim.
"Tidak adali kalau begini! kita belum mendengar keterangan A
Kiu. Heei A Kiu!, aku percaya bahwa engkau seorang manusia yang jujur, tidak
mungkin seorang pria penghuni Pulau Es Seperti engkau menjatuhkan fitnah
sebagai seorang pengecut hina dina. Hayo ceritakan sesungguhnya apa yang
terjadi!"
Suara Swat Hong ini nyaring sekali dan muka A Kiu menjadi pucat,
kepalanya makin menunduk.
Suasana menjadi hening dan akhirnya terpecah oleh suara Raja,
"A Kiu, kau diperkenankan untuk bicara!"
Tubuh itu menggigil, muka yang tampan itu pucat sekali ketika
diangkat memandang Raja, kemudian melirik ke arah Liu Bwee yang masih bersikap
tenang dan agung berlutut di sebelahnya. Ketika dia melirik ke arah Swat Hong
yang berdiri dengan sikap angkuh memandang kepadanya, A Kiu mengeluh lirih,
kemudian menelungkup dan berkata dengan suara mengandung isak,
"Hamba tidak berdaya... hamba memang berada di kamar itu...
tapi... tidak seperti kesaksian Pangeran kecil... hamba terpaksa
karena..."
"Berani kau mengatakan puteraku bohong?"
Jeritan ini keluar dari mulut permaisuri dan hawa pukulan yang
dahsyat sekali menyambar ketika permaisuri menggerakan tangan kirinya ke arah A
Kiu.
"Dess...! Aungghh...!" Tubuh A Kiu terlempar bergulingan
dan rebah tak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah.
Hebat sekali pukulan jarak jauh yang di lakukan permaisuri itu, mengenai kepala
A Kiu yang tentu saja tidak kuat menahannya.
Hakim dan jaksa saling pandang, sedangkan Raja menegur
Permaisurinya,
"Kau terlalu lancang...."
"Apakah aku harus diam saja kalau seorang rendah macam dia
menghina putera kita?"
Permaisuri membantah dengan suara agak ketus. Raja diam saja dan
menarik nafas panjang. Dia merasa bingung dan berduka sekali harus menghadapi
perkara ini, lalu memberi isyarat kepada hakim sambil berkata,
"Lanjutkan."
Hakim menelan ludah beberapa kali, kemudian berkata lantang,
"Saksi utama yang mejadi pelaku perzinahan telah terbunuh
karena berani menghina Pangeran. Akan tetapi dia mengaku telah berada di kamar
itu, maka sudah jelas dosa yang dilakukan oleh Liu Bwee. Karena itu sudah adil
kalau dia harus dijatuhi hukuman berat. Liu Bwee, pengadilan memutuskan hukuman
buang ke Pulau Neraka kepadamu!"
"Ibuuuu..!!" Swat Hong meronta dan melepaskan diri dari
Sin Liong, meloncat dan menubruk ibunya.
"Sssst, tenanglah, Hong-ji...." ibunya terbisik dengan
sikap masih tenang saja, sungguhpun wajahnya kelihatan makin berduka.
"Tenang? Tidak! ibu tidak boleh dihina sampai begini!"
Swat Hong lalu bangkit berdiri, menghadapi ayahnya dan berkata lantang,
"Ibuku telah dijatuhi hukuman tanpa bukti dan saksi yang
jelas. Akan tetapi keputusan telah dijatuhkan dan saya tidak rela melihat ibu
dibuang ke Pulau Neraka. Saya sebagai anak tunggalnya, yang takan mampu
membalas budinya dengan nyawa, saya yang akan mewakilinya, memikul hukuman itu.
Saya yang akan mejadi penggantinya ke Pulau Neraka, maka harap Sri Baginda
bersikap bijaksana, membiarkan ibu yang sudah mulai tua ini menghabiskan
usianya di Pulau Es. Ibu, selamat tinggal!"
"Hong-ji...!"
Ibunya memekik, akan tetapi Swat Hong sudah meloncat dan lari
keluar dari tempat itu dengan cepat.
Sin Liong memandang dengan alis berkerut. Tak disangkanya hal yang
sudak dikhawatirkannya akan terjadi, sesuatu yang tidak menyenangkan, suatu
yang akan meledak, ternyata sehebat ini.
"Hong-ji... ah, Hong-ji, Anakku...!"
Liu Bwee tak dapat menahan lagi tanggisnya. Dia maklum bahwa untuk
mengejar anaknya dia tidak mungkin dapat karena kepandaian puterinya itu sudah
tinggi sekali, juga dia sebagai seorang pesakitan, tentu saja tidak berani
melanggar hukum dan lari dari tempat itu.
"Aduh, anakku... Swat Hong... Swat Hong... apa yang mereka
lakukan atas dirimu...?"
Ibu yang hancur hati ini meratap.
Hakim menjadi bingung dan beberapa kali menoleh kearah Raja
seolah-olah hedak minta keputusan Han Ti Ong. Raja ini menggigit bibir, jengkel
dan marah karena tak disangkanya bahwa urusan akan berlarut-larut seperti ini.
Ketika dia menerima laporan tentang istri pertamanya, Liu Bwee, yang berzinah
dengan seorang pelayan muda, hatinya panas dan marah sekali. Akan tetapi dia
masih hendak membawa perkara ini kepengadilan agar diambil keputusan yang
seadil-adilnya. Siapa mengira terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya.
Permaisurinya membunuh pelayan muda, kemudian kini Swat Hong membela ibunya,
bahkan menggantikan ibunya "membuang diri" ke Pulau Neraka. maka
kini,melihat betapa hakim menjadi bingung dan minta keputusannya, dia
memukulkan kepalan kanan ke telapak kiri sambil berkata.
"Sudahlah, sudahlah! Biar kupenuhi permintaan Swat Hong. Anak
yang keras kepala itu sudah menggantikan ibunya ke Pulau Neraka. Sudah saja!
Aku perkenankan Liu Bwe tinggal terus disini!"
Setelah berkata demikian, dia menggandeng tanggan Bu Ong dan
permaisurinya, bangkit berdiri dan hendak meninggalkan tempat yang tidak
menyenangkan itu. Akan tetapi Liu Bwee juga bangkit berdiri dan wanita ini
berkata lantang, sambil menatap wajah suaminya dengan mata tajam.
"Biarpun anakku telah menebus dosa yang tidak kulakukan, dan
aku telah diperbolehkan tinggal di sini, akan tetapi apa artinya hidup disini
bagiku setelah anakku pergi ke Pulau Neraka? Tidak, aku tidak akan sudi tinggal
di sini lagi. Aku mulai saat ini tidak menganggap diriku sebagai penghuni Pulau
Es. Aku juga mau pergi dari sini!"
Setelah berkata demikian, Liu Bwee lalu meloncat dan pergi.
Setelah dia bukan pesakitan lagi, setalah dia bukan terhukum, dia berani pergi,
bahkan dengan sikap tidak menghormat lagi kepada Raja yang pernah menjadi suami
dan pujaan hatinya selama bertahun-tahun itu.
"Hmm, sesukamulah!'
Kata Han Ti Ong perlahan dan dengan wajah muram raja ini memasuki
istana bersama permaisuri dan Pangeran Bu Ong.
Sampai ruangan persidangan itu kosong dan mayat A Kiu dibawa
pergi, Sin Liong masih duduk di situ. Di dalam hatinya, dia merasa menyesal
melihat sikap Raja Han Ti Ong, gurunya yang di cintainya itu. Tahulah dia bahwa
perubahan pada diri gurunya itu terutama sekali terjadi karena hadirnya The
Kwat Lin yang kini telah menjadi permaisurinya. Diam-diam dia merasa menyesal
sekali. Bukankah dia sendiri yang dahulu minta kepada gurunya membawa pendekar
waniti Bu-tong-pai itu ke Pulau Es? Kini, wanita itu menjadi selir gurunya, dan
setelah The Kwat Lin menjadi permaisuri, kebahagiaan ibu Swat Hong menjadi
musna! Bahkan kini berekor seperti ini, dengan larinya Swat Hong menggantikan
ibunya ke Pulau Neraka sedang ibu dara itu sendiri pergi entah ke mana!
Dialah, langsung atau tidak bertanggung jawab. Akan tetapi, tidak
mungkin dia menegur gurunya, Juga permaisuri tidak dapat dipersalahkan.
Betapapun juga, dia harus memperlihatkan tanggung jawabnya atas kerusakan hidup
Swat Hong dan ibunya. Kalau dia mendiamkan saja, seolah-olah dia ikut pula
persekutuan untuk merusak hidup ibu dan anak itu.
"Pulau Neraka kabarnya merupakan tempat berbahaya sekali. Aku
harus menyusul Swat Hong dan melindunginya." Demikian dia mangambil
keputusan dalam hatinya dan dia tidak lagi berpamit kepada gurunya karena
maklum gurunya sedang berada dala kedukan dan kepusingan. Pula, Sin Liong sudah
biasa meninggalkan pulau itu mencari tetumbuhan obat, maka kepergiannya dengan
sebuah perahu menunggalkan Pulau Es tidak ada yang menaruh curiga.
Dengan tenaganya yang amat kuat Sin Liong mendayung perahunya
sehingga perahu meluncur amat cepatnya menuju ke Pulau Neraka. Dia sudah tahu
dimana letaknya pulau itu, dari keterangan yang diperolehnya ketika dia
bertanya-tanya kepada para penghuni Pulau Es Bahkan diam-diam pernah pula
seorang diri mendayung perahu mendekati Pulau Neraka ini akan tetapi hanya
melihat dari jauh dan dia merasa ngeri sekali. Pulau itu dari jauh tampak kehitaman
seperti pulau yang pantas dihuni oleh setan dan iblis. Pantainya penuh dengan
batu-batu karang yang runcing dan tajam, amat berbahaya apalagi kalau ombak
sedang besar. Sama sekali tidak tampak ada penghuninya sehingga ketika itu Sin
Liong menduga-duga bahwa orang-orang buangan yang dibuang dari Pulau Es tentu
telah tewas di jalan, tentu tewas di atas pulau itu. Maka dia menentang keras
dalam hatinya kalau melihat di Pulau Es diadakan pengadilan dan diputuskan
hukuman buang ke Pulau Neraka, karena baginya, dibuang ke Pulau Neraka sama
dengan menghadapi kematian yang mengerikan, baik di dalam perjalanan menuju ke
pulau itu atau setelah berasil mendarat. Dan kini Swat Hong telah pergi ke
Pulau Neraka mewakili ibunya! Dia kagum dan khawatir. Kagum akan keberaniannya
dan kebaktian sumoinya terhadap ibunya, akan tetapi khawatir sekali akan
keselamatan sumoinya yang belum dewasa benar iyu. Sumoinya baru berusia empat
belas tahun! biarpun dia tahu bahwa ilmu kepandaian sumoinya sudah hebat dan
cukup untuk dipakai untuk menjaga diri, namaun betapapun juga sumoinya itu
masih kanak-kanak! Sin Liong sama sekali tidak ingat bahwa usianya sendiri
hanya satu tahun lebih tua dari pada usia Swat Hong!
Perjalanan dari Pulau Es ke Pulau Neraka melalui lautan yang penuh
dengan gumpalan-gumpalan es yang mengapung di permukaan laut, gumpalan es yang
kadang-kadang sebesar gunung dan celakalah kalau sampai perahu tertumpuk oleh
gumpalan es menggunung itu yang kadang-kadang bergerak, digerakan oleh angin.
Celaka pula kalau sampai terjepit di antara dua gumpalan es yang begitu saling
menempel tentu akan melekat dan membuat perahu terjepit di tengah-tengah. Akan
tetapi, Sin Liong sudah banyak mendengar tentang ini maka dia tahu pula caranya
menghindarkan perahunya dan tidak mendekat gumpalan-gumpalan es yang berbahaya,
melainkan mencari jalan di celah-celah yang agak lebar. Kemudian dia tiba di
daerah lautan yang penuh dengan ikan hiu. Ratusan ikan hiu yang hanya tampak
siripnya itu berenang di kanan kiri dan belakang perahunya. Betapapun juga
tinggi ilmunya, ngeri juga hati Sin Liong karena dia tahu bahwa sekali
perahunya terguling, kepandaianya tidak akan berguna banyak dalam melawan
ratusan ikan buas itu di dalam air! Cepat ia mengeluarkan bungkusan yang sudah
dibawanya sebagai bekal, membuka bungkusan dan menaburkan sedikit bubuk hitam
di kanan kiri, depan belakang perahunya. Tak lama kemudian, ikan-ikan hiu itu
pergi berenang pergi dengan cepat seperti ketakutan setelah mencium bau bubukan
hitam yang disebarkan oleh Sin Liong. Pemuda ini sudah mendengar akan bahaya
ikan-ikan buas, maka dia telah membawa bekal racun bubukan hitam yang sering
kali dipergunakan oleh para penghuni Pulau Es untuk mengusir ikan-ikan buas di
waktu mereka mencari ikan.
Beberapa jam kemudian, kembali dia menghadapi ancaman ikan-ikan
kecil yang banyak sekali jumlahnya, mungkin laksaan. Ikan-ikan besar ibu jari
kaki, akan tetapi keganasannya melebihi ikan hiu. Ikan-ikan ini bahkan berani
menyerang orang di atas perahu dengan jalan meloncat dan menggigit. Sekali
mulut yang penuh gigi runcing seperti gergaji itu mengenai tubuh, tentu
sebagian daging dan kulit terobek dan terbawa moncongnya! Apalagi kalau sampai
orang jatuh ke dalam air. Dalam waktu beberapa menit saja tentu sudah habis
tinggal tulangnya dikeroyok laksaan ikan buas ini. Kembali Sin Liong dengan
cepat menyebar obat bubuk hitam beracun itu dan ikan-ikan kecil itupun lari
cerai berai tidak berani lagi mendekati sampai perahu meluncur meninggalkan
daerah berbahaya itu.
Setelah melalui perjalanan yang amat sulit akhirnya menjelang
senja, sampai juga perahu Sin Liong di pantai Pulau Neraka. Tetapi seperti
dugaannya, pulau itu memang mengerikan sekali. Hutan yang terdapat di pulau itu
amat besar dan liar, pohon-pohon aneh dan menghitam warnanya memenuhi hutan
yang kelihatannya sunyi dan mati. Namun, dibalik kesunyian itu Sin Liong
merasakan seolah-olah banyak mata mengamatinya dan maut tersembunyi
disana-sini, siap untuk mencengkram siapa pun yang berani mendarat!
Melihat keadaan pulau ini makin berdebar hati Sin Liong, penuh
kekhawatiran terhadap keselamatan Swat Hong. Apakah dara itu sudah berasil
mendarat? Tentu Swat Hong dapat mencapai pulau ini, karena dara itupun tahu
jalan ke situ, dan mengerti pula tempat-tempat berbahaya yang dilaluinya tadi
sehingga seperti juga dia, tentu Swat Hong telah membawa bekal obat pengusir
ikan-ikan buas tadi dengan cukup.
Akan tetapi dia tidak melihat sebuah pun perahu di pantai Pulau
Neraka. Apakah ada penghuninya? Atau semua orang buangan telah mati terkena
racun yang kabarnya memenuhi pulau ini?
Karena khawatir kemalaman sebelum dapat menemukan Swat Hong, Sin
Liong lalu meloncat ke darat dan menarik perahunya ke atas. Kemudian dia
membalik dan memasuki hutan. Baru saja dia berjalan beberapa langkah, terdengar
suara berdengung-dengung dan entah dari mana datangnya, tampak ratusan ekor
lebah berwarna putih menyambar-nyambar dan mengeroyoknya! Dari bau yang tercium
olehnya, tahulah Sin Liong bahwa lebah-lebah itu mengandung racun yang amat
jahat maka tentu saja dia terkejut sekali! Cepat dia lari dari tempat itu,
namun lebah-lebah itu mengejar terus, beterbangan sambil mengeluarkan suara
berdengung-dengung yang mengerikan.
Sin Liong cepat menanggalkan jubah luarnya dan memutar jubah itu
di sekeliling tubuhnya. Dari putaran jubah ini menyambar angin dahsyat dan
lebah-lebah itu terdorong jauh oleh hawa yang menyambar dari putaran jubah, Sin
Liong tidak tega untuk membunuh lebah-lebah itu maka dia hanya menggunakan hawa
putaran jubahnya untuk mengusir. namun, binatang-binatang kecil itu hanya tidak
mampu mendekati dan menyerang tubuh Sin Liong, akan tetapi sama sekali tidak
terusir, bahkan kini makin banyak dan terbang mengelilingi Sin Liong dari jarak
jauh sehingga tidak terjangkau oleh hawa pukulan jubah. Melihat ini, Sin Liong
kaget. betapapun kuatnya tidak mungkin baginya untuk berdiri di situ sambil
memutar jubahnya semalam suntuk, bahkan selamanya sampai lebah-lebah itu
terbang pergi! lalu teringatlah dia akan senjata yang paling ampuh. Api! Dengan
tangan kiri terus memutar jubah melindungi tubuhnya, Sin Liong lalu
mengumpulkan daun kering dan mencari batu yang keras. Dengan pengerahan
tenaganya, dia menggosok dua batu itu sehingga timbul percikan bunga api yang
membakar daun kering. Diambilnya sebatang ranting kering dan dibakarnya ranting
ini.
Benar saja. Dengan ranting yang ujungnya menyala ini dipegang
tinggi di atas kepala, tidak ada lebah yang berani mendekatinya. Dia
melanjutkan perjalanan, dan terus menerus menyalakan api diujung ranting yang
dikumpulkan dan dibawanya.
Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika melihat banyak
sekali binatang berbisa di sepanjang jalan. Ular-ular kecil, kalajengking,
lebah-lebah dan sebangsanya merayap-rayap lari ketika dia datang dengan obor di
tangan. Untung dia membawa ranting bernyala. Semua binatang berbisa itu takut
terhadap api. Andaikata dia tidak membawa api tentu dia telah dikeroyok oleh
binatang-binatang kecil yang semuanya berbisa itu, dari atas dan bawah!
lebah-lebah itu terus mengikutinya, akan tetapi dari jarak jauh, terbukti dari
suara yang berdengung-dengung itu masih terus berada di belakangnya.
Tiba-tiba terdengar suara bersuit panjang dan lebah-lebah itu
beterbangan makin dekat, kembali mengurungnya dan kelihatan seperti marah.
Bahkan ada beberapa yang ekor yang meluncur dekat sekali, akan tetapi menjauh
lagi ketika Sin Liong menggunakan api di ujung ranting untuk mengusirnya.
Suitan terdengar berkali-kali dan lebah-lebah itu makin marah dan mengamuk,
juga tampak oleh Sin Liong betapa binatang kecil lainya yang banyak terdapat di
hutan itu mulai mendekatinya, namun masih takut-takut oleh api di ujung
ranting.
"Siuuuttt..." tiba-tiba tampak benda hitam menyambar
kearah ujung rantingnya. Maklumlah Sin Liong bawa sambitan yang amat kuat itu
bermaksud memadamkan api di ujung ranting. Tentu saja dia tidak mau terjadi hal
ini, maka cepat ia menari kebawah ranting terbakar itu dan menggunakan tangan
kirinya menyambar benda yang dilontarkan. Kiranya segumpal tanah hitam!
Mengertilah dia bahwa ada orang yang membokonginya dan orang itu agaknya yang
besuit-suit tadi. Suitan yang agaknya merupakan perintah kepada
binatang-binatang itu untuk mengeroyoknya!
"Haiiii, Saudara penghuni Pulau Neraka! Harap jangan
menyerang. Aku Kwa Sin Liong datang dengan maksud baik! Aku hanya mau mencaru
Sumoiku di sini!"
Hening sejenak. Suitan-suitan tidak terdengar lagi dan lebah-lebah
itu kembali menjauh, demikian ular, kelabang dan lain binatang kecil. Terdengar
bunyi tampak kaki menginjak daun-daun kering dan tak lama kemudian muncullah
belasan orang yang bertelanjang kaki, berpakaian tidak karuan, bermuka
menyeramkan itu kotor tidak terawat, mata mereka merah dan bergerak liar
seperti mata orang-orang gila. Dengan gerakan perlahan, pandang mata penuh
juriga, belasan orang itu menghampiri dan mengurung Sin Liong. Pemuda itu
tersenyum ramah, bersikap tenang dan mengangkat ranting menyala tinggi-tinggi
untuk memperhatikan wajah mereka.
"Harap Cuwi sudi memaafkan kedatanganku yang tiba-tiba ini.
Akan tetapi sungguhnya aku, Kwa Sin Liong, tidak berniat buruk terhadap Pulau
Neraka apalagi terhadap penghuninya. Aku datang untuk mencari sumoiku yang
bernama Han Swat Hong, yang mungkin sudah mendarat di pulau ini."
Seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok sehingga yang
tampak hanya matanya dan sedikit hidungnya, melangkah maju dan menegur,
suaranya parau dan kasar.
"kau dari mana?"
"Dari Pulau Es...."
Belasan orang itu mendengus dan kelihatan marah sekali. Si Brewok
mengangkat tinggi senjata golok besarnya dan membentak,
"kalau begitu kau harus mampus!"
"Nanti dulu, harap Cuwi bersabar."
Sin Liong cepat berseru dan mengangkat tangan kirinya ke atas,
"Aku bukan musuh dari Cuwi, sudah kukatakan bahwa aku datang
bukan untuk bermusuh, mengapa Cuwi hendak membunuhku?"
Pada saat itu, muncul pula lima orang, dan terdengar seruan heran
dari seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar,
"Ehh, bukankah ini Kwa-kongcu dari Pulau Es?" Sin Liong
memandang dan merasa girang sekali ketika mengenal orang itu yang bukan lain
adalah Bouw Tang Kui, penghuni Pulau Es yang dihukum buang ke Pulau Neraka
karena telah mencuri batu mustika hijau!
"Bouw-lopek!" serunya girang. "Aku datang untuk
mencari Swat Hong yang juga sudah dibuang ke sini!"
"Apa??"
Bouw Tang Kui berteriak, lalu berkata kepada Si Brewok yang
agaknya menjadi pemimpin rombongan itu.
"Dia adalah seorang yang telah membelaku, membela Lu Kiat dan
Sia Gin Hwa ketika dijatuhi hukuman buang. Dia seorang pemuda yang tak setuju
dengan hukum di Pulau Es, biarpun dia adalah murid Raja Han Ti Ong
sendiri."
"Apa...??" Mereka kelihatan terkejut mendengar ini.
"Muridnya...?"
"Benar," jawab Bouw Tang Kui. "Dan kita bukanlah
lawanya."
Si Brewok meragu.
"Kalau begitu, kita bawa dia kepada To-cu (Majikan
Pulau)!"
Bouw Tang Kui melangkah maju.
"Harap Kongcu menurut saja kami hadapkan kepada To-cu
sehingga Kongcu dapat bicara sendiri dengannya."
Sin Liong mengangguk. Memang menghadapi orang-orang kasar ini akan
berbahaya sekali karena mereka sukar diajak bicara. Kalau dia dapat bicara
dengan Majikan Pulau yang tentu merupakan tokoh yang paling pandai, dia akan
dapat minta keterangan apakah Swat Hong telah berada di pulau itu. Dia
mengangguk dan beberapa orang penghuni Pulau Neraka lalu menyalakan obor. Sin
Liong sendiri membuang rantingnya, mengenakan lagi jubahnya dan mengikuti
rombongan belasan orang itu memasuki hutan. Di sepanjang jalan dia melihat
tempat-tempat berbahaya, lumpur-lumpur yang tertutup rumput tinggi, pasir-pasir
berpusing yang dapat menyedot apa saja yang menginjaknya, pohon-pohon yang aneh
dengan buah-buah yang kelihatan lezat namun dari baunya dia tahu bahwa buah itu
mengandung racun jahat, dan lain-lain. Benar-benar pualu yang amat aneh dan
berbahaya, fikirnya. Pantas kalau disebut Pualu Neraka, dan diam-diam dia
mencela kekejaman Kerajaan Pulau Es yang membuang orang-orang bersalah ke
tempat seperti ini. Dari keadaan orang-orang yang menangkapnya ini, hanya Bouw
Tang Kui seorang yang kelihatan masih normal. Hal ini mungkin karena raksaksa
ini baru beberapa bulan saja dibuang ke sini, sedangkan yang lain-lain, biarpun
dapat mempertahankan hidupnya, namun telah berubah menjadi orang-orang liar
yang agaknya telah berubah pula watak dan ingatanya! Dan selain menjadi
orang-orang yang tidak normal agaknya mereka telah menguasai ilmu yang dahsyat
dan mengerikan, yaitu ilmu menguasai binatang-binatang berbisa di pulau itu.
Buktinya, biarpun meraka berjalan di hutan penuh binatang berbisa itu tanpa
sepatu tidak ada seekor pun yang berani menyerang mereka. Akhirnya dengan
menggunakan ketajaman pandang mata dan penciuman hidungnya Sin Liong maklum
bahwa orang-orang ini telah menggunakan semacam obat yang agaknya
digosok-gosokan ke seluruh kaki mereka sehingga binatang itu menyingkir begitu
mereka mendekat.
Tak disangkanya sama sekali, ketika mereka tiba di tengah jalan,
di situ terdapat tanah lapang yang luas dan tampak sebuah rumah besar,
dikelilingi pondok-pondok kayu sederhana. lampu-lampu dinyalakan terang dan Sin
Liong dibawa ke sebuah ruangan yang luas di mana telah menanti ketua pulau itu
yang disebut To-cu.
Ruangan itu luasanya lebih dari sepuluh meter persegi, dikelilingi
banyak orang yang memegang bermacam senjata dan yang sikapnya semua penuh
curiga dan permusuhan, kecuali Bouw Tang Kui, Sia Gin Hwa, Lu Kiat dan belasan
orang lagi yang belum lama dibuang kesitu sehingga mereka ini mengenal Sin
Liong sebagai murid Han Ti Ong yang selalu baik kepada mereka, bahkan banyak di
antara mereka yang pernah diobati oleh pemuda ini.
"Hayo berlutut di depan tocu!"
Kata Si Brewok sambil mendorong Sin Liong ke depan. Akan tetapi
Sin Liong dengan tenang berdiri di depan To-cu itu dan memandang penuh
perhatian. Orang ini sudah tua, sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya.
Kepalanya besar sekali, tubuhnya kurus kecil sehingga kelihatan lucu, seperti
seekor singa jantan yang duduk di kursi! Sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya
menyeringai. Sebetulnya wajahnya tampan, akan tetapi karena sikapnya yang ganas
itu membuat wajahnya kelihatan menyeramkan dan menakutkan. Pakaianya tidak
seperti pakaian sebagian besar penghuni Pulau Neraka yang butut, melainkan
pakaian dari kain yang baru dan bersih. Kursinya terbuat dari tulang-tulang
berukir, dan di kedua lengan kursinya dihias dengan rangka ular dengan
moncongnya ternganga lebar memperlihatkan gigi yang runcing melengkung. Di
sebelah kanan ketua Pulau Neraka ini duduk seorang anak perempuan yang tadinya
hampir membuat Sin Liong salah kira. Anak itu usianya sebaya dengan Swat Hong,
seorang anak perempuan yang cantik dan tersenyum-senyum, sikapnya kelihatannya
gembira dan mungkin karena sebaya maka kelihatanya mirip dengan Swat Hong.
Hampir saja Sin Liong tadi memanggilnya ketika mula-mula memasuki ruangan.
Ketika melihat betapa pemuda tawanan itu memandangnnya penuh perhatian, anak
perempuan itu tersenyum-senyum.
Melihat Sin Liong tidak mau berlutut di depannya, kakek itu
memandang tajam, kemudia berkata berlahan, suaranya rendah,
"Hemmm, kau tidak mau berlutut, ya? Hendak kulihat kalau
kedua lututmu patah, kau berlutut atau tidak?" Berkata demikian, tiba-tiba
tangan kakek itu menyambar sebatang toyak dari tangan seorang penjaga, menekuk
toya itu sehingga patah tengahnya dan sekali dia menggerakan tangan, sepasang
potong toya itu menyambar ke arah kedua kaki Sin Liong!
Pemuda itu terkejut, akan tetapi bersikap tenang. Dia maklum bahwa
ketua Pulau Neraka itu bermaksud menggunakan lemparan tongkat untuk membikin
sambungan lututnya terlepas. Maka dia cepat menggerakan kedua kakinya, meloncat
ke atas, kemudian setelah melihat kedua toya berkelebat ke bawah kaki dia
menggunakan kedua kakinya menginjak. Sepasang tongkat pendek itu menancap di
atas lantai dan pemuda itu berdiri di atas kedua ujung tongkat dengan tubuh
tegak dan bersikap seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu!
"Waduhhh, dia hebat sekali, kong-kong (Kakek)!" anak
perempuan yang tadi tersenyum-senyum itu besorak penuh kagum, padahal anak buah
Pulau Neraka memandang marah karena mengangap bahwa pemuda itu mengejek ketua
mereka.
"Hebat apa! Permainan kanak-kanak seperti itu!" Kakek
berkepala besar itu mendengus marah.
"Kong-kong juga bisa? Ajarkan aku kalau begitu!" anak
prempuan itu berkata dengan sikap dan suara manja.
"Hushh! Diamlah kau!"
Kakek itu membentak dan sejak tadi matanya tidak pernah berpindah
dari Sin Liong. Dibentak seperti itu, anak perempuan itu cemberut dan mukanya
merah, menahan tangis. Sin Liong merasa kasihan lalu meloncat turun dan berkata
menghibur,
"Adik yang manis, jangan berduka. Biarlah kalau ada
kesempatan aku akan mengajarkannya kepadamu."
Anak perempuan itu memandang Sin Liong dengan mata terbelalak,
kemudian lenyaplah kemuraman wajahnya yang manja menjadi berseri-seri kembali.
"Orang muda yang bersikap dan bermulut lancang! Siapa engkau
yang mengandalkan sedikit kepandaian untuk mengacau Pulau Neraka?"
Kakek itu membentak, menahan kemarahanya karena dia merasa
direndahkan sekali ketika serangan sepasang tongkatnya tadi gagal dan dihadapi
oleh pemuda itu secara luar biasa.
Sin Liong cepat memberi hormat dengan menjura dalam-dalam,
kemudian dia berkata dengan suara tenang,
"Harap To-cu suka memaafkan kedatanganku ke Pulau Neraka ini.
Seperti telah kukatakan kepada semua penghuni Pulau Neraka kedatanganku sama
sekali tidak mengandung niat buruk atau hendak bermusuhan. Aku bernama Kwa Sin
Liong dan ...."
"Dia murid Han Ti Ong!" tiba-tiba Si Brewok berkata
lantang.
Ucapan ini disambut dengan suara berisik dari semua oang yang
berada di situ karena mereka sudah menjadi marah sekali. Semua orang yuang
berada disitu adalah orang-orang buangan dari Pulau Es, semenjak raja pertama
sehingga sudah tinggal disitu selama tiga keturunan, ada orang buangan baru dan
ada pula yang merupakan turunan dari orang-orang buangan lama, akan tetapi
kesemuanuya mempunyai rasa benci dan dendam pada satu nama, yaitu Pulau Es!
Maka begitu mendengar pemuda tampan dan tenang ini adalah murid Han Ti Ong,
raja terakhir dari Pulau Es, dapat dibayangkan kemarahan hati mereka. Dengan
pandang mata mereka yang liar mereka hendak mencabik-cabik dan membunuh pemuda
itu yang dianggapnya seorang musuh besar, dan andaikata mereka itu tidak takut
kepada ketua mereka, tentu mereka telah menyerbu untuk melaksanakan niat yang
terbayang dalam pandang mata mereka itu.
"Akan tetapi dia selalu menentang Han Ti Ong, menentang
pembuangan ke Pulau Neraka!"
Terdengar suara beberapa orang membela, yaitu suara Bouw Tang Kui,
Lu Kiat, Sia Gin Hwa dan beberapa orang buangan baru yang lain.
"Bunuh saja dia!"
"Seret murid Han Ti Ong!"
"Jadikan dia mangsa ular!"
Kakek bekepala besar itu mengangkat kedua lengannya ke atas dan
membentak,
"Diam...!!"
Sin Liong kembali terkejut. Ketika mengeluarkan suara bentakan
tadi ketua Pulau Neraka agaknya telah mengerahkan khikangnya sehingga dia
sendiri yang berdiri di depan kakek itu merasa betapa kedua kakinya tergetar!
Mengertilah dia bahwa ketua Pulau Neraka ini benar-benar memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan tahulah dia bahwa dia telah memasuki sarang naga dan
berada dalam keadaan terancam. Namun Sin Liong tidak merasa takut sedikitpun
juga karena dia merasa bahwa dia tidak melakukan suatu kesalahan terhadap
mereka ini. Maka kembali dia menjura kepada ketua Pulau Neraka sambil berkata,
"To-cu, sekali lagi kujelaskan bahwa kedatanganku ini sama
sekali tidak mengandung niat buruk dan kalau tidak ada perlu sekali pasti aku
tidak akan berani menginjakan kaki ke pulau ini. Aku datang untuk mencari
Sumoiku yang bernama Han Swat Hong puteri Suhu....."
Sin Liong menghentikan kata-katanya karena teringat bahwa dia
telah kelepasan bicara, akan tetapi karena sudah terlanjur maka tak mungkin
kata-kata itu ditariknya kembali.
"Putera Han Ti Ong...??" Ketua Pulau Neraka berseru
keras sekalli sampai mengagetkan semua orang.
"Kau mencari puteri Han Ti Ong di sini?"
Sin Liong berkata,
"Benar, To-cu. Karena aku menduga bahwa dia berada di sini
maka aku menyusul ke sini."
"Tangkap puteri Han Ti Ong!"
"Bunuh dia!"
"Gantung puterinya!"
Kini Sin Liong mengangkat kedua lengannya dan sambil menggerakan
khikangnya dia beseru,
"Harap Cu-wi diam!"
Dan diamlah semua orang. Di antara meraka yang memiliki kepandaian
tinggi, termasuk ketua Pulau Neraka, kagum sekali karena orang muda yang belum
dewasa benar ini ternyata memiliki kekuatan khikang yang amat hebat!
"Harap Tocu tidak salah sangka. Puteri Han Ti Ong itu juga
menjadi orang buangan."
Ucapan Sin Liong ini tentu saja mengejutkan dan mengherankan hati
semua orang sehingga mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata melainkan hanya
memandang kepada SinLiong dengan mata terbelalak.
"Kau bohong!" Kakek berkepala besar itu menghardik.
"Mana mungkin Han Ti Ong membuang puterinya sendiri ke Pulau
Neraka?"
"Agaknya Tocu telah mengerti akan kerasnya peraturan hukum di
Pulau Es, dan sebetulnya yang dianggap melanggar hukum adalah istri suhu
sendiri, istri tua, yang aku yakin hanyalah karena fitnah belaka. Suhu telah
menjatuhkan hukuman kepada Subo, dan Sumoi lalu mewakili ibunya untuk membuang
diri ke Pulau Neraka, maka aku menyusul ke sini untuk mengajaknya pulang ke
Pulau Es."
Tiba-tiba ketua Pulau Neraka tertawa bergelak, tertawa penuh
kegembiraan sampai kedua matanya mengeluarkan air mata!
"Huah-ha-ha-ha! Ha-ha-ha, betapa lucunya! Rasakan kau
sekarang Han Ti Ong, Raja keparat! Rasakan kau betapa perihnya orang tertimpa
kesengsaraan karena keluarga berantakan. Ha-ha-ha!"
Semua orang yang melihat dan mendengar kata-kata ketua Pulau
Neraka ini, kontan tertawa-tawa semua, mentertawakan Raja Pulau Es! Biarpun
mereka belum sempat membalas dendam kepada Raja Pulau Es, mendengar nasib buruk
Raja itu sudah merupakan hiburan besar yang amat menyenangkan hati mereka.
Hanya anak perempuan itu saja yang tidak ikut tertawa karena dia agaknya tidak
mengerti apa-apa, dan pada saat itu dia hanya saling pandang dengan Sin Liong
yang juga terheran-heran.
"Hei, Kwa Sin Liong! Betapa baiknya ceritamu, akan tetapi aku
masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri peteri Han Ti Ong datang ke
pulau ini. kita tunggu dan lihat saja. Setelah aku melihat puteri Han Ti Ong
berada di pulau ini, barulah kita akan bicara lagi. Tangkap dia dan masukan
dalam kamar tahanan sambil menanti munculnya puteri Han Ti Ong!"
Si Brewok dan beberapa orang yang agaknya menjadi pembantu utama
ketua Pulau Neraka sudah melangkah menghampiri Sin Liong dengan sikap
mengancam. Pemuda ini maklum bahwa tidak ada jalan lain kecuali menyerah sambil
menanti munculnya Sumoinya karena sebelum dia bertemu degnan Sumoinya, melawan
hanya akan menimbulkan permusuhan yang tidak ada artinya saja. Maka dia
mengangkat kedua tangannya dan berkata,
"Aku tidak akan melawan, kecuali kalau kalian menggunakan
kekerasan. Aku menyerah dan mau menanti di kamar tahanan sampai Sumoiku
muncul."
Melihat sikap tenang dan ucapan yang berwibawa ini, belasan orang
yang mengurung Sin Liong dengan sikap mengancam tadi kelihatan ragu-ragu. Akan
tetapi Sin Long lalu melangkah ke depan dan berkata,
"Marilah bawa aku ke kamar tahanan."
"Jangan ganggu dia, biar dia mengaso di kamar tahanan dan
layani baik-baik sampai puteri Han Ti Ong mucul. kalau dia membohong, hemm,
baru kita akan berpesta membunuhnya!" Ketua Pulau Neraka berkata sambil
terkekeh-kekeh karena hatinya senang sekali mendengar betapa Han Ti Ong sampai
membuang istrinya sendiri ke Pulau Neraka, kemudian puterinya malah membuang
diri ke Pulau Neraka. Biarpun dia belum percaya benar akan cerita ini sebelum
dia menyaksikan buktinya, namun berita itu saja sudah mendatangkan rasa senang
di dalam hatinya.
Dengan sikap gagah dan tenang sekali Sin Liong digiring ke dalam
kamar tahanan, diikuti oleh pandang mata penuh khawatir dari anak perempuan
tadi. Setelah rombongan itu lenyap, anak perempuan itu mencela ketua Pulau
Neraka,
"Kong-kong kenapa dia ditahan? Dia luar biasa, berani dan
pandai sekali!"
"Hushh! Dia orang Pulau Es, dia murid Han Ti Ong, karena itu
dia adalah musuh kita. Mengerti?"
Anak perempuan itu cemberut, lalu meninggalkan kakek itu sambil
bersungut-sungut sedangkan kakeknya tertawa bergelak dengan hati senang. Dia
lalu memberi isyarat memanggil seorang kepercayaannya, lalu berbisik-bisik
sambil tersenyum-senyum. Pembantunya juga tertawa, mengangguk-anguk lalu pergi.
Kakek ini, ketua Pualu Neraka yang memiliki kepandaian tinggi, sama sekali
tidak curiga kepada cucunya sendiri, tidak tahu bahwa cucunya itu tadi
menyelinap dan mendengarkan perintah yang dia berikan kepada orang
kepercayaannya.
Sin Liong adalah seorang pemuda yang tidak pernah mempunyai
prasangka buruk terhadap orang lain. Dia belum banyak mengenal kepalsuan watak
manusia dan biarpun terhadap orang-orang Pulau Neraka, dia tetap menaruh
kepercayaan. Maka diapun percaya penuh akan kata-kata ketua Pulau Neraka dan
dengan suka rela dia menyerahkan diri, tidak melawan ketika digiring memasuki
kamar tahanan! Setelah berada di dalam kamar di bawah tanah yang sempit itu,
dengan jendela dan besi dari baja, dan ruji baja yang kuat memenuhi jendela
sebagai jalan hawa, dia segera duduk besila. Dia tak menaruh khawatir akan
keadaan dirinya, akan tetapi dia merasa gelisah mengapa sumoinya belum tiba di
Pulau Neraka? Dia percaya bahwa ketua Pulau Neraka tidak membohonginya. Kalau
benar bahwa Swat Hong telah berada di Pulau Neraka, tentu tidak seperti ini
sikap mereka terhadap dirinya. Kalau begitu, jelas bahwa Sumoinya belum tiba di
Pulau Neraka, padahal telah berangkat lebih dahulu. Ke manakah perginya
sumoinya itu?
Tengah malam telah lewat dan keadaan sunyi sekali dalam kamar
tahanan itu. Tidak ada penjaga di luar pintu atau jendela, akan tetapi dia tahu
bahwa di pintu masuk lorong tahanan itu terdapat beberapa orang penjaga yang
selalu siap dengan senjata di tangan. Tiba-tiba dia mendengar suara wanita yang
marah-marah di sebelah luar dan suara para penjaga ketakutan.
"Kalian berani melarangku masuk?" terdengar suara wanita
itu.
"Nona, tahanan ini adalah orang penting! dan...."
"Dan kauanggap aku bukan orang penting? Kaukira aku mau apa?
Aku mau mengejeknya dan memakinya, dia adalah musuh besarku. Apakah kau berani
melarangku? Coba kau melarang dan aku akan mengatakan kepada Kong-kong bahwa
kalian berani kurang ajar kepadaku hendak menggodaku, aku mau melihat apakah
kepala kalian masih akan menempel di leher!"
"Ah, tidak... bukan begitu...."
"Maafkan, Nona...."
"Silahkan masuk, silahkan;;;;"
"Awas kalau ada yang mengikuti aku dan mengintai, berarti dia
maukurang ajar dan akan kuberitahukan kepada Kong-komg!"
Sin Liong sudah menduga siapa wanita yang bicara di luar dan
ribut-ribut dengan para penjaga itu, akantetapi begitu dara itu muncul di bawah
sinar lampu di luar ruji jendelanya, hampir saja dia berteriak memanggil karena
mengira bahwa Swat Hong yang muncul itu. Di bawah sinar lampu yang tidak begitu
terang memang gadis cucu ketua Pualu Neraka ini hampir sama dengan Swat Hong.
Setelah melihat jelas bahwa yang datang adalah cucu ketua Pulau Neraka dan
mengingat akan kata-kata gadis ini di luar tadi bahwa kedatangannya dengan niat
mengejek dan memakinya, Sin Liong tetap duduk bersila dan bahkan memejamkan
matanya, pura-pura tidur.
"Ssssttt..."
Sin Liong tidak menjawab, bergerak sedikitpun tidak. Perlu apa
melayani seorang bocah yang hanya datang hendak mengejek dan memakinya?
Demikian pikirnya sungguhpun hatinya terasa tidak enak juga harus mendiamkan
saja orang yang susah payah datang sampai ribut mulut dengan para penjaga.
Tentu akan kecewa hatinya, pikir Sin Liong dan diam-diam dia mengintai dari
balik bulu matanya yang direnggangkanya sedikit.
"Pssstttt... kau tidak tidur, bulu matamu bergerak-gerak,
jangan kau tipu aku...." anak perempuan itu berkata lagi dengan suara
bisik-bisik dan meruncingkan bibirnya di antara ruji-ruji jendela.
Sin Liong menarik napas panjang dan membuka matanya.
"Hah, kau boleh mengejek dan memaki sesukamu, kemudian
pergilah agar aku dapat mengaso benar-benar," katanya.
"Hi-hik!" Gadis itu menahan ketawanya, menutupi mulutnya
yang kecil. "Kiranya engkau sama bodohnya dengan para penjaga itu, percaya
saja apa yang kukatakan apa yang kukatakan di luar tadi!"
Sin Liong bangkit berdiri dan menghampiri jendela kamar tahanan.
Mereka saling berhadapan dan saling pandang melalui ruji-ruji jendela.
"Apa yang kaumaksudkan, Nona?"
Mulut yang tersenyum itu kini cemberut dan terdengar suaranya
manja,
"Kau tadi menyebutkan Adik yang manis. Mengapa sekarang
menjadi Nona? kau benar pandai mengecewakan hati orang!"
Mau tidak mau Sin Liong tersenyum. Bocah ini manja dan lincah,
mengingatkan dia kepada Han Swat Hong. Banyak persamaan antara kedua orang
perempuan itu.
"Baiklah, Adik yang manis. sebenarnya, mau apa kau datang ke
sini kalau bukan untuk mengejek dan memaki aku yang dianggap musuh oleh
kakekmu?"
"Aku datang untuk bercakap-cakap."
"Hemm, waktu dan tempatnya tidak tepat untuk bercakap-cakap.
Aku adalah seorang tahanan dan engkau adalah cucu To-cu di sini, tempat ini di
kamar tahanan yang kotor dan sempit dan sekarang sudah lewat tengah malam.
Harap engkau kembali ke kamarmu dan tidur yang nyenyak. jangan-jangan kau akan
dimarahi Kong-kongmu."
"Aku tidak takut! Aku sengaja datang ke sini untuk
bercakap-cakap denganmu. Siapa berani melarangku?"
Sikapnya menjadi galak, matanya bersinar-sinar dan Sin Liong
menarik napas panjang. Sejak lama dia memperoleh kenyataan betapa ganjilnya
watak wanita. Dia melihat watak-watak yang aneh dan sukar dimengerti yang
dilihatnya pada diri Sia Gin Hwa yang menyeleweng dari suaminya, berzinah
dengan Lu Kiat, pada diri Liu Bwee ibu Swat Hong yang tadinya periang lalu
berubah pemurung dan berhati begitu sabar dan mengalah terhadap suaminya yang
menyakitkan hatinya, pada diri The Kwat Lin yang juga amat berubah setelah
menjadi istri raja, pada diri Swat Hong yang telah nekad membuang diri ke Pualu
Neraka, dan kini dia berhadapan dengan seorang gadis yang juga berwatak aneh
sekali.
"Baiklah, jangan marah karena tidak ada yang melarangmu di
sini. Kalau kau ingin bercakap-cakap, nah, bercakaplah dan aku akan
mendengarkan."
Gadis itu melongo.
"Bercakap apa?"
Diam-diam Sin Liong merasa geli. Benar-benar seorang gadis yang
masih seperti kanak-kanak dan mungkin semua sikapnya tadi, ketika bergembira
dan ketika marah, tidaklah setulusnya hati maka demikian mudah berubah.
"Bercakap apa saja sesukamu, misalnya siapa namamu, siapa
pula nama Kong-kongmu dan keadaan di pulau ini dan lain-lain."
Wajah itu berseri kembali, gembira setelah ingat bahwa
sesungguhnya banyak sekali bahan untuk dibicarakan.
"Namaku Soan Cu, Ouw Soan Cu...."
"Namamu indah." Sin Liong memuji untuk menyenangkan
hatinya. Dan memang hati Soan Cu senang sekali mendengar pujian ini.
"Benarkah? Benarkah namaku indah?" Dengan penuh gairah
dia lalu menceritakan riwayatnya secara singkat.
Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu bernama Ouw Kong Ek bukanlah
seorang buangan dari Pulau Es, melainkan keturunan orang buangan yang semenjak
ratusan tahu menjadi ketua di situ karena memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Kakek dari Ouw Kong Ek, seorang buangan dari Pulau Es yang berilmu tinggi,
adalah seorang pertama yang menjadi "Ketua" di Pulau Neraka, kemudian
menurunkan kedudukan ini kepada anaknya sampai kepada Ouw Kong Ek. Ouw Kong Ek
sendiri mengambil seorang buangan dari Pulau Es, seorang bekas pelayan
permaisuri Raja Pulau Es yang dijatuhi hukuman buang karena fitnah dan
sesungguhnya dia tidak mau melayani seorang pangeran yang tergila-gila
kepadanya, menjadi istrinya mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Ouw
Sian Kok. Akan tetapi istrinya meninggal dunia ketika Ouw Sian Kok menikah
dengan seorang gadis Pulau Neraka dan Ketua Pulau Neraka ini tinggal menduda.
Dia mencurahkan pengharapanya kepada putera tunggalnya yang mewarisi semua
ilmunya dan yang diharapkan kelak akan menggantikan kedudukanya kalau dia sudah
mengundurkan diri.
Namun nasib buruk menimpa keluarga Ouw. Ketika istri Ouw Sian Kok
melahirkan seorang anak, yaitu Soan Cu, ibu muda ini meninggal dunia. Ouw Sian
Kok demikian berduka sehingga ingatannya terganggu, menjadi gila dan melarikan
diri dari Pulau Neraka, tak seorangpun tahu kemana perginya orang gila itu.
"Demikianlah riwayatku yang tidak mengembirakan, Sejak kecil
aku tidak pernah melihat wajah ibu dan ayahku. Ayah sampai sekarang tidak
pulang dan tidak ada yang tahu berada di mana. Aku dipelihara dan dididik oleh
Kong-kong yang mengharapkan kelak aku menggantikan kedudukan ketua di sini.
Akan tetapi aku tidak sudi!"
"Mengapa tidak suka, Soan Cu?"
"Siapa sudi mengurusi orang-orang gila itu! Mereka semua gila
dan jahat, karena itu aku suka kepadamu Sin Liong. Engkau lain dari pada
mereka, engkau berani dan baik. Maka aku datang untuk menolongmu. Ketahuilah,
sebentar lagi, kalau kau dikira sudah tidur, engkau akan dibunuh!"
Sin Liong terkejut akan tetapi tetap bersikap tenang.
"Benarkah? Mengapa aku dibunuh? Bukankah Kongkongmu berjanji
bahwa kita akan berjanji akan menunggu sampai Sumoiku tiba di Pulau
Neraka?"
"Uhh, kau percaya kepada Kong-kong! Hmm, dia hanya
membohong."
"Ah, mengapa begitu? Sebagai seorang ketua tidak sepatutnya
kalau dia menipu."
"Membohong dan menipu merupakan pebuatan yang menguntungkan
dan bahkan dianggap baik dan layak di sini! itu adalah tanda dari kecerdikan
seseorang!"
"Pantas kau tadi pun membohongi penjaga." Sin Liong
mencela.
"Memang, kalau tidak membohong, mana bisa masuk dengan mudah?
Dan kau tentu akan celaka kalau akau tidak membohong."
"Hmmm..., alasan dicari-cari dan ngawur. Jadi mereka hendak
membunuhku? Mudah saja, apa dikira aku begitu mudah dibunuh?"
"Kau tidak tahu kecerdikan Kong-kong, Sin Liong. Kalau
digunakan kekerasan, agaknya kau akan melawan dan sudah melihat kau tadi sudah
lihai. Akan tetapi, mereka akan mengerahkan binatang-binatang berbisa untuk
mengeroyokmu dan membunuhmu di kamar sempit ini! Kalau segala macam ular,
kalajengking, kelabang, lebah dan lain binatang berbisa itu datang memenuhi
tempat ini dan mengeroyokmu, apa yang akan dapat kaulakukan untuk menyelamatkan
diri?"
"Hemm, aku akan berusaha membela diri, kalau aku gagal, aku
akan mati dan habis perkara. tidak ada hal yang menggelisahkan hatiku."
"Kau sombong! Kau tidak minta tolong kepadaku?"
"Andaikata aku minta tolong juga, kalau kau tidak mau
menolong, apa artinya? Tanpa kuminta sekalipun, kalau kau mau menolong,
bagaimana caranya? Sudahlah, kau hanya akan menyusahkan dirimu sendiri saja,
Soan Cu. Betapapun juga terima kasih atas kedatanganmu dan kebaikan hatimu. Kau
seorang dara yang cantik dan baik budi, sayang kau berada diantara orang-orang
liar itu. Pergilah, jangan sampai kakekmu melihat engkau berada disini."
Soan Cu mengeluarkan sebuah bungkusan.
"Inilah yang akan menyelamatkanmu. Kaupergunakan obat bubuk
ini untuk menggosok semua kulit tubuhmu yang tampak, dan sebarkan sebagian di
sekelilingmu. Tidak akan ada seekor pun binatang berbisa yang berani datang
mendekat, apalagi menggigitmu. Nah, sebetulnya kedatanganku hanya untuk
menyerahkan ini, akan tetapi kita terlanjur ngobrol panjang lebar. Selamat
tinggal, Sin Liong."
Sin Liong menerima bungkusan itu, mengulurkan tangan dari antara
ruji jendela dan memegang lengan dara itu.
"Nanti dulu, Soan Cu."
Ada apa lagi?" Gadis itu membalikan tubuh dan mereka saling
berpegangan tangan. Hal ini dilakukan oleh Sin Liong karena dia merasa terharu
juga oleh pertolongan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu.
"Soan Cu, tahukah engkau apa yang akan terjadi padamu kalau
sampai Kong-kongmu mengetahui akan perbuatanmu ini?"
"Menolong engkau? Ah, paling-paling dia akan
membunuhku!"
"Hemm, begitu ringan kau memandang akibat itu? Soan Cu,
mengapa kau melakukan ini untukku? Mengapa kau menolongku dengan mempertaruhkan
nyawa?"
"Sudah kukatakan tadi. Kau lain dari pada semua orang yang
kulihat di pulau ini. Aku suka padamu dan aku tidak ingin mendengar apalagi
melihat engkau mati. Sudalah, hati-hati menjaga dirimu, Sin Liong!" Gadis
itu meloncat dan berlari keluar.
Sin Liong berdiri temenung sejenak, kemudian kembali ketengah
kamar tahanan dan duduk bersila menenangkan hatinya. Andaikata tidak ada Soan
Cu yang datang memberikan obat penawar dan pengusir binatang berbisa, dia pun
tidak kan gentar dan belum tentu dia akan celaka oleh binatang-binatang itu,
sungguhpun dia sendiri belum mau membayangkan apa yang akan dilakukanya kalau
serangan itu tiba. Apalagi sekarang ada obat bubuk itu. Dia teringat betapa
penghuni Pulau Neraka dapat menjelajahi hutan yang penuh binatang berbisa
dengan enaknya karena tubuh mereka sudah memakai obat penawar. Agaknya inilah
obat penawar itu. Dia membuka bungkusan dan melihat obat bubuk berwarna kuning
muda yang tidak akan kentara kalau dioleskan di kulit tubuhnya. Sin Liong
bersila dan mengatur pernapasan, melakukan siulian (samadhi) lagi.
Pendengarannya menjadi amat terang dan tajam sehingga dia dapat
menangkap suara mendesis dan suara yang dikenalnya sebagai suara lebah yang
datang dari jauh, makin lama makin mendekat itu. Tahulah dia bahwa apa yang
diceritakan oleh Soan Cu memang tidak bohong. Sekali ini agaknya anak itu tidak
membohong! Maka dia lalu membuka bungkusan, menggosok kulit tubuhnya yang tidak
tertutup pakaian dengan obat itu. Mukanya sampai ke leher, tangan dan kakinya, digosoknya
sampai rata. Kemudian sambil membawa bungkusan yang terisi sisa obat itu, dia
menanti.
Tak lama kemudian, suara itu menjadi makin dekat dan tiba-tiba
saja munculah mereka! Diam-diam Sin Liong bergidik juga. Tentu dia akan
melompat kalau saja dia tidak mempunyai obat penolak itu. Dari bawah pintu,
puluhan ekor ular kecil dan kelabang besar, kalajengking yang besarnya sebesar
ibu jari, merayap dengan cepat memasuki kamar, berlumba dengan lebah-lebah
putih yang beterbangan masuk melalui jendela.
Sin Liong cepat menyebarkan bubuk obat ke sekeliling di atas
lantai, dan menaburkan sebagian ke atas, ke arah lebah-lebah yang berterbangan.
Dia tersenyum kagum melihat akibatnya. Semua binatang berbisa itu, dari yang
paling kecil sampai yang paling besar, tiba-tiba serentak membalik saling
terjang dan saling timpa, lari cerai berai meninggalkan kamar. Lebah-lebah
putih juga terbang dengan kacau, menabarak dinding dan banyak yang jatuh mati,
yang sempat terbang keluar jendela saling tabrak seperti mabok, dan sebentar
saja suara binatang-binatang itu sudah menjauh.
Akan tetapi mendadak Sin Liong meloncat berdiri ketika medengar
suara lain yang membuat jantungnya berdebar, Suara seorang wanita memaki-maki,
"Iblis kalian semua! Manusia-manusia gila! Kalau tidak dapat
membasmi kalian, jangan sebut aku Han Swat Hong!"
Sin Liong meloncat ke arah jendela, kedua tangannya bergerak dan
terdengar suara keras ketika ruji-ruji jedela jebol semua. Dia meloncat dan
keluar dari kamarnya, terus berlari keluar melalui lorong. Setibanya di luar,
tampaklah olehnya Swat Hong berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak
pinggang, dua orang anggota Pulau Neraka roboh dan mengaduh-aduh di bawah
sedangkan belasan orang lain mengurung gadis itu. Sin Liong menggeleng-geleng
kepala. Sumoinya memang galak dan pemberani. Bukan main gagahnya. Dikurung oleh
orang-orang Pulau Neraka itu masih enak-enak saja, bahkan tidak mencabut
pedang, padahal semua yang mengurungnya memegang senjata.