Bab 2
Akan tetapi perhitungan Maya
meleset. Dia tidak memperhitungkan pekik yang keluar dari mulut Bhutan ketika
ia melakukan penikaman. Pekik itu menarik perhatian dan mengejutkan beberapa
orang anak buah gerombolan yang berada tidak jauh dari tempat itu! Mereka kaget
dan meninggalkan wanita korban mereka yang sudah setengah mati, lalu meloncat
ke tempat terdengarnya suara, pekikan. Tentu saja merasa terkejut melihat tubuh
Bhutan berkelojotan dan lenyapnya Maya. Mereka berteriak-teriak dan tak lama kemudian,
empat belas orang bekas pengawal itu telah mengejar Maya!
Akhirnya Maya yang kelelahan
dan kehabisan tenaga karena memang tubuhnya sekarang telah menjadi lemah akibat
tidak terpelihara dengan baik, makan dan tidur tidak teratur, tertangkap oleh
gerombolan itu di luar sebuah dusun menjelang pagi. Empat belas pasang tangan
memperebutkannya, dan seorang di antara mereka cepat,berkata,
Heh, kawan-kawan jangan bodoh!
Kalau diperebutkan begitu, dia
akan mampus. Sayang sekali kalau begitu!
Lebih baik dia dirawat dan
kita pelihara baik-baik. Dia dijadikan milik kita bersama. Ingat, dia bukan
kembang sembarang kembang, harus diperlakukan penuh kelembutan. Ha-ha-ha!!
Mendengar ini, yang lain-lain
setuju dan sambil tertawa-tawa mereka menggandeng tangan Maya yang sudah babak
belur itu.
Nah, ini ada dusun, melihat
bangunan-bangunannya lumayan juga. Bocah ini masih terlalu kecil, kita pelihara
dulu sampai menjadi segar dewasa. Lihat, dia sudah hampir mati kelelahan. Lebih
baik kita mencari bunga di dusun itu dan berpesta-pora!! terdengar suara
seorang di antara mereka. Setelah Bhutan tewas, empat belas orang itu merupakan
gerombolan tanpa pimpinan yang tentu saja menjadi lebih buas seperti
srigala-srigala tanpa bimbingan.
Sambil bersorak-sorak, empat
belas orang itu menyerbu dusun. Dua orang penjaga di pintu pagar dusun, mereka
bunuh tanpa banyak cakap lagi. Mulailah lagi perbuatan jahat dan penuh kebuasan
melanda dusun itu. Penduduknya yang terkejut karena tak menyangka akan diserbu
pada pagi hari itu, menjadi geger! Ada sebagian penduduk yang nekad melakukan
perlawanan, namun tentu saja mereka itu bukan tandingan gerombolan bekas
pasukan pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu. Mulailah
terjadi pembunuhan, disusul perampokan, pembakaran dan perkosaan. Mulailah
terdengar pekik-pekik mengerikan, pekik kematian dicampur dengan jerit-jerit
penuh ketakutan, jerit-jerit para wanita yang diperlakukan semaunya oleh
gerombolan itu. Sementara itu Maya tidak mendapat kesempatan untuk lari karena
sewaktu para gerombolan menyerbu dusun, kaki tangannya dibelenggu kuat-kuat dan
dia dipaksa menunggu mereka dalam keadaan tidak dapat bergerak, hanya sepasang
matanya yang lebar menyaksikan semua kekejian yang terjadi di dusun itu.
Seperti biasa pula pada akhir
penyerbuan sebuah dusun, para gerombolan ini menyeret wanita yang mereka pilih,
ada yang sibuk mengumpulkan benda-benda berharga, ada yang minum arak sampai
mabok dan di antara asap rumah-rumah yang masih menyala, mereka tertawa-tawa
dan berkumpul di dekat tumpukan mayat-mayat, memandang rumah terbakar, ada yang
mulai mengganggu wanita di depan mata kawan-kawannya, ada yang
bernyanyi-nyanyi, menyanyikan lagu kemenangan barisan tentara Khitan. Semua ini
terjadi dengan hiruk-pikuk dan Maya terpaksa harus menonton semua yang terjadi
di depan mata karena ia berada di tengah-tengah antara mereka. Belenggunya
sudah dilepas dan dia menjadi muak dan pening. Di belakangnya, tiga orang
gerombolan sedang mengganggu tiga orang wanita yang menjerit-jerit di antara
suara ketawa mereka, di depannya juga ada dan di kanan kiri,
gerombolan-gerombolan itu tertawa-tawa, minum-minum dan mengamat-amati hasil
rampokan mereka dengan gembira!
Tiba-tiba terdengar derap kaki
kuda banyak sekali mendatangi dusun yang terbakar itu. Empat belas orang
gerombolan bekas pengawal menjadi terkejut. Akan tetapi mereka sudah terlalu
mabok, mabok oleh arak dan mabok nafsu sehingga mereka terlambat untuk
mengetahui bahwa yang datang adalah pasukan musuh, pasukan bangsa Yucen yang
berjumlah lima puluh orang! Tahu-tahu mereka diserbu oleh pasukan Yucen yang
banyak jumlahnya itu dan terjadilah perang tanding yang berat sebelah. Biarpun
gerombolan bekas pengawal ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun
mereka itu sudah setengah mabok dan jumlah mereka kalah banyak. Mereka
melakukan perlawanan gigih dan mengamuk. Melihat kesempatan ini, Maya berusaha
untuk melarikan diri. Ia meloncat, akan tetapi sebuah tamparan seorang pengawal
terdekat membuat ia roboh terpelanting dan pingsan di antara tumpukan mayat!
Perang kecil yang berat
sebelah itu berlangsung tidak terlalu lama. Biarpun mengorbankan beberapa orang
anak buahnya, namun pasukan Yucen akhirnya berhasil membunuh empat belas orang
gerombolan bekas pengawal Khitan itu. Mayat mereka malang-melintang dan
bertumpuk-tumpuk di antara mayat-mayat bekas korban mereka, penduduk dusun dan
wanita-wanita muda yang mereka perkosa. Sisa pasukan Yucen lalu pergi
meninggalkan dusun itu yang kini berubah menjadi tempat yang mengerikan sekali.
Keadaan amat sunyi, yang terdengar hanyalah api yang masih memakan atap-atap
rumah. Tampak di sana-sini muncul beberapa orang penduduk yang berani datang
untuk mengambil dan mengungsikan barang-barang mereka, akan tetapi tak seorang
pun berani mendekati tumpukan mayat empat belas orang gerombolan yang merubah
dusun itu menjadi neraka bagi penduduknya.
Tak lama kemudian, dari arah
barat tampak dua orang berjalan ke arah dusun itu. Dari jauh sudah tampak bahwa
mereka adalah seorang laki-laki dan seorang wanita, yang laki-laki berkulit
hitam sekali dan yang wanita berkulit putih, akan tetapi tubuh wanita itu
tinggi, bahkan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan laki-laki berkulit
hitam itu. Kalau dilihat dari dekat, tentu orang akan terheran-heran melihat
pakaian dan wajah mereka yang berbeda jauh dari penduduk umumnya. Laki-laki itu
tinggi kurus, kulitnya hitam arang, rambutnya yang keriting ditutup sorban
kuning, tubuh atas tidak berbaju hanya dilibat kain kuning yang sudah dekil,
tubuh bawah memakai celana hitam sampai di bawah lutut, kakinya tidak
bersepatu. Sederhana sekali pakaian dan sikapnya, namun wajahnya membayangkan
kewibawaan besar dengan sepasang mata yang tajam seperti mata pedang tetapi
juga menyeramkan dan liar itu bergerak ke sana-sini.
Si Wanita tidak kalah anehnya.
Wajahnya berbentuk seperti laki-laki itu, kening lebar, mata lebar, hidung
mancung sekali dan besar, dagu runcing sehingga dia memiliki kecantikan yang
aneh dan khas. Telinganya memakai hiasan cincin besar, rambutnya terurai sampai
ke punggung. Tubuhnya tinggi besar, nampak kuat seperti tubuh pria namun
gerak-geriknya yang lemah-lembut menandakan bahwa dia benar-benar seorang
wanita. Memakai baju berlengan pendek dan celana panjang sampai ke kaki
berwarna biru, akan tetapi di luar bajunya, ia memakai sutera kuning yang
panjang dilibat-libatkan di tubuh. Lengan kirinya yang berkulit putih
kemerahan, bukan putih kekuningan seperti kulit wanita pribumi, memakai sebuah
gelang emas yang besar dan tebal. Demikian pula kedua pergelangan kakinya
dihias gelang kaki terbuat dari pada emas sehingga kadang-kadang kalau kedua
kaki berganti langkah, gelang-gelang itu beradu dan menimbulkan suara
berdencing nyaring. Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan mereka
berjalan berdampingan tanpa berkata-kata, memasuki dusun itu dan
menggeleng-geleng kepala menyaksikan rumah-rumah terbakar dan mayat-mayat
bertumpukan dan berserakan.
Ketika tiba di tumpukan mayat
empat belas orang bekas pengawal Khitan dan wanita-wanita serta penduduk,
mereka berhenti dan bicara dalam bahasa India.
Bukankah pakaian mereka itu
menunjukkan bahwa mereka, pasukan pengawal Khitan?! kata Si Wanita.
Agaknya begitulah,! jawab yang
laki-laki suaranya parau dan dalam. Manusia di mana-mana sama saja, sekali
diberi kesempatan, lalu berlumba saling membunuh.!
Keduanya sudah akan melangkah
pergi lagi ketika tiba-tiba terdengar rintihan yang keluar dari tumpukan mayat.
Ha! Seorang anak perempuan!!
Laki-laki itu berkata dan matanya mengeluarkan sinar aneh, kedua tangannya
bergerak mendorong ke depan. Angin yang kuat menyambar ke arah tumpukan mayat
dan.... sebagian mayat yang bertumpuk di atas terlempar seperti daun-daun
kering tertiup angin. Tampaklah kini seorang anak perempuan yang merintih tadi
bangun dan berusaha melepaskan diri dari himpitan mayat-mayat. Anak ini adalah
Maya yang tadi pingsan kemudian tubuhnya tertindih banyak mayat!
Aihh! Anak siapa ini?! Wanita
itu meloncat maju mendahului Si Laki-laki, gerakannya cepat sekali seperti
terbang dan sekali sambar ia telah mencengkeram punggung baju Maya dengan
tangan kiri dan mengangkat tubuh Maya ke atas sambil dipandangnya penuh
perhatian. Lagak wanita itu seperti seorang wanita sedang memeriksa seekor
kepiting yang hendak dibelinya di pasar!
Haiii! Kesinikan anak itu! Dia
milikku karena akulah yang menemukannya, ,aku yang pertama membongkar tumpukan
mayat yang menimbunnya!! Laki-laki itu berseru, melangkah maju.
Tidak!! Wanita itu memondong
Maya dan meloncat menjauhi. Aku yang lebih dulu mengambilnya. Anak ini
hebat....!! ia mengelus pipi, memeriksa mata, rambut dan mulut Maya. Anak
hebat....! Ah, manis, siapakah namamu?! tanyanya dalam bahasa Han.
Biarpun dia seorang puteri
Khitan, namun sejak kecil ia diajar bahasa Han di samping bahasa Khitan, maka
Maya lalu menjawab, Namaku Maya. Kalian siapakah?! Anak ini lupa akan
kesengsaraannya karena heran menyaksikan dua orang aneh yang tadi bicara dalam
bahsa yang tak dimengertinya, juga yang mempunyai wajah asing, hidung panjang
dan pakaian yang aneh pula.
Maya? Bagus sekali! Nama yang
bagus sekali!! Wanita itu berseru girang dan menciumi kedua pipi Maya. Anak itu
mencium bau kembang yang aneh, wangi namun memuakkan baginya, akan tetapi dia
tidak melawan dan membiarkan mukanya dihujani ciuman oleh wanita itu. Kau cocok
denganku! Hebat! Engkau tentu suka menjadi kekasihku bukan? Maya, engkau tentu
anak Khitan!! Wanita itu kini menggunakan bahasa Khitin dan Maya menjawab dalam
bahasa itu juga, suaranya berubah girang. Benar, aku adalah Puteri Maya,
puteri.... Raja dan Ratu Khitan!!
Apa....?! Laki-laki itu
meloncat maju. Puteri Khitan? Hayo, Dewi, berikan padaku anak itu. Aku yang
berhak! Dia berdarah raja, dan tampaknya dia memang memiliki darah murni.
Berikan!!
Tidak!! Wanita itu memondong
Maya dengan lengan kiri sedangkan tangan kanannya mengepal tinju, mukanya merah
menentang dan matanya bersinar-sinar merah kepada laki-laki berkulit hitam itu.
Mahendra! Belum puaskan engkau dengan darah beberapa orang anak yang telah
kauhisap habis? Engkau penghisap darah anak yang tiada puasnya! Tidak, anak ini
adalah milikku. Engkau tidak boleh mengganggu Maya! Dia punyaku dan kalau
engkau memaksa aku akan membunuhmu.!
Laki-laki itu yang disebut
Mahendra, tertawa bergelak sehingga ngeri hati Maya melihatnya. Muka yang hitam
itu kelihatan lebih hitam lagi setelah tertawa dan nampak deretan gigi yang
putih mengkilap!
Ha-ha-ha-ha! Nila Dewi, engkau
mengancamku berkali-kali seolah-olah aku ini hanya seekor semut yang mudah mati
diinjak! Aku memang haus akan darah anak perempuan, akan tetapi hal itu
hanyalah karena aku belum menemukan anak yang darahnya cocok untuk
menyempurnakan ilmuku. Kalau aku sudah mendapatkan darah seorang anak seperti
Maya ini, tentu aku selanjutnya takkan butuh darah lagi. Berikanlah, sayang.
Malam nanti terang bulan, kita dapat berkasih-kasihan. Kalau ada aku di sini,
masa engkau butuh belaian seorang bocah seperti itu lagi? Ha-ha-ha!!
Mahendra, aku tidak main-main.
Maya ini milikku dan habis perkara!!. Nila Dewi mulai mencium-cium dan
mencucup-cucup kulit leher dan pipinya. Gilakah perempuan ini, pikirnya.
Ha-ha-ha, kalau begitu,
sebaiknya kita bertanya kepada Maya agar dia yang memilih.! Mahendra memandang
Maya dan berkata dalam bahasa Khitan, Eh, Maya anak manis, dengarlah. Kalau
engkau memilih aku, terus terang saja aku akan mengambil darahmu untuk obat,
akan kuisap habis dan engkau akan mati seketika tanpa merasa terlalu nyeri.
Sebaiknya kalau engkau memilih Nila Dewi, dia akan menjadikan engkau kekasihnya
untuk menuruti nafsu berahinya yang selalu berkobar tak pernah padam. Engkau akan
dibelai, diperas dan perlahan-lahan engkau pun akan mati! Memilih aku berarti
mati seketika tanpa banyak menderita, memilih dia berarti akan mau sekerat demi
sekerat dan banyak menderita!!
Phuaahhh, bohong!! Nila Dewi
menjerit marah. Memilih dia mati seperti seekor ayam disembelih, sedangkan
memilih aku, hemmm.... akan mengalami kenikmatan dunia. Andaikata mati, mati
dalam kenikmatan, bukankah itu bahagia sekali! Kau memilih aku, ya Maya?
Memilih aku, anak manis?! Nila Dewi mendekatkan mukanya dan mencium bibir Maya,
mengecupnya lama-lama sampai tersedak-sedak kehabisan napas baru dilepaskan.
Kini Maya menjadi takut sekali, hatinya dicengkeram rasa ngeri yang hebat.
Kiranya dia terjatuh kedalam tangan dua orang asing yang entah gila entah
memang berwatak Seperti iblis! Kalau tahu begini, jauh lebih baik dia pingsan
di bawah tumpukan mayat-mayat itu!
Hayo pilih, pilih siapa
engkau. Maya?! Laki-laki berkulit hitam itu mendesak dan melangkah maju.
Maya memandang mereka
bergantian dengan mata terbelalak. Bagaimana dia bisa memilih? Keduanya sama
menyeramkan dan memilih yang manapun berarti dia akan mati! Kematian di tangan
laki-laki itu sudah pasti, darahnya akan disedot habis. Dia bergidik ngeri.
Akan tetapi biarpun dia tidak dapat membayangkan bagaimana akan mati di tangan
wanita itu, namun ia sudah membayangkan kengerian yang membuat ia bergidik dan
menggigil. Dia dijadikan kekasih! Apa artinya ini?
Kedua orang itu memang bukan
manusia-manusia, lumrah. Keduanya adalah saudara seperguruan, murid-murid seorang
sakti di Pegunungan Himalaya. Keduanya memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan
tinggi, akan tetapi mempunyai keahlian yang khusus, yaitu membuat pedang yang
ampuh. Guru mereka, bertapa di Himalaya itu memang seorang ahli membuat senjata
ampuh, di samping memiliki kesaktian yang tinggi. Ketika mereka, kakak beradik
seperguruan ini mulai tergoda nafsu berahi di tempat sunyi itu dan melakukan
pelanggaran hubungan kelamin, gurunya marah-marah dan mengusir mereka. Mahendra
dan Nila Dewi melarikan diri ke tempat asal mereka, yaitu di India Utara.
Akan tetapi, di tempat ini pun
mereka terkenal sebagai manusia-manusia iblis yang tidak segan melakukan
pembunuhan dan perbuatan-perbuatan keji, menculik anak-anak, sehingga akhirnya
mereka dimusuhi pemerintah dan kembali melarikan diri. Sekali ini mereka lari
ke Nepal dan di negara ini mereka berdua, berkat kepandaian mereka yang tinggi,
diangkat menjadi empu-empu pembuat pusaka kerajaan. Di tempat ini mereka dapat
bertahan sampai puluhan tahun karena Raja Nepal selalu menyediakan segala
kebutuhan mereka, anak-anak kecil untuk dihisap darahnya oleh Mahendra,
anak-anak dan dara-dara jelita untuk dijadikan kekasih Nita Dewi yang mempunyai
kesukaan aneh sekali, yaitu suka bermain cinta dengan wanita muda cantik!
Sampai berusia empat puluh
tahun lebih, kedua orang saudara seperguruan ini masih menjadi kekasih,
kadang-kadang bermain-main cinta dengan mesra, akan tetapi kadang-kadang
bercekcok sebagai dua orang musuh besar, bahkan tidak jarang mereka bertanding
mati-matian!
Akan tetapi, selalu Mahendra
yang mengalah karena diam-diam Mahendra benar-benar jatuh cinta kepada adik
seperguruannya ini. Karena cintanya yang besar maka dia pun tidak mengganggu
kesukaan kekasihnya yang membagi cintanya dengan anak-anak perempuan cantik.
Kehidupan di Nepal membosankan
dua orang manusia iblis ini. Apalagi ketika mendengar bahwa di timur terjadi
pergolakan perang antar suku, mereka lalu meninggalkan Nepal untuk menonton
keramaian. Di mana terjadi perang, di sana akan banyak ditemukan korban-korban
mereka!
Memilih siapa, anak manis?!
Nila Dewi bertanya, suaranya halus lemah-lembut dan penuh kasih sayang sehingga
sejenak Maya terpengaruh, membuat dia hampir merangkul wanita itu. Akan tetapi
dia teringat dan mulailah anak yang memi liki keberanian luar biasa dan yang
sudah berhasil mendinginkan hatinya yang tegang itu memutar otaknya. Kalau
memilih Mahendra, berarti terus mati dan tidak ada kesempatan menyelamatkan
diri. Dia harus hidup. Masih banyak hal yang harus ia kerjakan dalam hidupnya!
Kalau dia memilih Nila Dewi, berarti akan ada kesempatan baginya untuk
melarikan diri.
Aku memilih Nila Dewi!!
katanya lantang.
Nila Dewi girang sekali,
sambil memondong Maya dia menari-nari berputaran. Maya merasa heran dan juga
kagum karena tarian Nila Dewi sungguh indah. Tubuhnya dapat bergerak-gerak
lemah-gemulai, pinggangnya meliak-liuk seperti tubuh ular dan sepasang gelang
pada kakinya saling beradu menimbulkan irama seperti musik yang mengiringi
tariannya!
Anak manis! Anak baik!
Kekasihku.... aihh, engkau memilih aku, hi-hik!! Nila Dewi menunduk kembali
mencium mulut ,Maya, tangan kiri memondong, sedangkan jari-jari tangan kanannya
menggerayangi Maya. Maya terkejut sekali dan merasa betapa semua bulu di
tubuhnya bangun berdiri penuh kengerian. Sungguhpun wanita ini tidak
menjijikkan seperti Bhutan, akan tetapi perbedaannya hanyalah karena Nila Dewi
wanita, namun belaian-belaiannya sungguh men gerikan hatinya, memuakkan dan
menimbulkan jijik dan takut.
Tiba-tiba Mahendra melompat
cepat dan Maya merasa betapa belaian dan ciuman Nila Dewi berhenti, tubuh
wanita itu menjadi lemas kemudian roboh bersama dia!
Mahendra, engkau pengecut
curang....!! Nila Dewi mengeluh, berusaha untuk bangkit akan tetapi roboh lagi.
Mahendra tertawa-tawa, memeluk Nila Dewi dan memberi ciuman yang membuat Maya
yang melihatnya membuang muka. Ketika ia memandang lagi, ternyata Nila Dewi
telah duduk bersila dekat pohon, kedua lengan ditelikung ke belakang dan diikat
kuat-kuat. Tahulah ia bahwa tadi selagi Nila Dewi mencium dan membelainya,
penuh nafsu berahi yang menghilangkan kewaspadaannya, Mahendra telah
menyerangnya dan menotok wanita itu roboh terkulai lemas dan tidak dapat
melawan lagi!
Timbul rasa takutnya dan ia
hendak lari. Akan tetapi, sekali sambar saja Mahendra sudah menangkapnya,
kemudian menggunakan sebuah tali panjang mengikat kedua kaki dan tangannya,
bahkan tali pengikat kaki yang panjang itu lalu dipergunakan oleh Mahendra
untuk menggantung tubuh Maya dari cabang pohon. Tali itu diikatkan pada cabang
pohon sehingga tubuh Maya tergantung menjungkir dengan kepala di bawah dan
kedua tangannya terikat ke belakang punggung!
Mahendra!! Nila Dewi yang
duduk bersila di bawah pohon itu berteriak. Kalau engkau membunuh Maya, aku
bersumpah untuk membunuhmu!!
Mahendra tertawa, mengeluarkan
sebuah mangkok tanah dan sebatang pisau belati yang tajam sekali dari balik
baju yang melibat tubuhnya, berkata, Nila Dewi, engkau tahu bahwa aku tidak
akan membunuhnya, betapapun ingin aku menyedot habis darahnya melalui leher dengan
jalan menggigit urat lehernya dan menyedot sampai tubuhnya kering, betapa ingin
aku membelah kepalanya dan makan otak serta sumsumnya untuk menambah tenaga.
Akan tetapi aku ingat akan kebutuhanmu. Tidak, aku tidak akan membunuhnya, maka
kukeluarkan pisau dan mangkok ini. Aku hanya akan mengambil darahnya semangkok
untuk kuminum, dia tidak akan mati dan engkau masih akan dapat menikmatinya.
Boleh bukan?!
Keparat kau! Iblis kau! Awas
kalau sampai dia cacat!! Nila Dewi mencaci-maki.
Tenanglah, kekasihku. Aku akan
mengerjakannya dengan hati-hati sekali agar dia tidak cacad. Aku hanya
menginginkan semangkok darah dan.... sedikit sumsumnya. Kalau kukerat sedikit
punggungnya, kukeluarkan sumsum dari tulang punggung dan kutadah darahnya,
kemudian lukanya kuobati, dia tidak akan cacad, heh-heh!!
Jahanam sialan engkau!! Nila
Dewi memaki gemas, akan tetapi hatinya lega juga karena ia tahu bahwa Mahendra
tidak akan membunuh Maya.
Dapat dibayangkan betapa
ngerinya hati Maya mendengar percakapan yang dilakukan dalam bahasa Khitan itu.
Ia meronta-ronta seperti seekor kelinci, namun tak dapat melepaskan kedua
tangannya.
Heh-heh. merontalah kuat-kuat
Anak manis. Agar darahmu lebih cepat alirannya dan lebih hangat!! Mahendra
melangkah mendekati Maya dengan sikap seorang yang hendak menyembelih! Maya
sudah memejamkan kedua matanya, maklum bahwa menjerit-jerit dan meronta-ronta
tiada gunanya lagi. Siapa yang akan dapat menolongnya di dalam hutan ini? Tadi
ia sudah menyaksikan kehebatan kedua orang manusia iblis itu, bahkan dia tadi
bengong dan diam-diam kagum sekali melihat betapa laki-laki hitam itu memondong
dia dan mengempit tubuh Nila Dewi lalu ber lari terbang meninggalkan dusun
memasuki hutan itu. Biarlah aku mati, keluhnya dalam hati karena tidak melihat
harapan lagi.
Siluman jahat, apa yang
kaulakukan?! Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tahu-tahu berkelebat
bayangan putih dan tak jauh dari situ berdiri seorang laki-laki setengah tua
yang berpakaian seperti seorang sastrawan. Gerakannya demikian ringan sehingga
ia muncul seperti setan! Seruannya itu disusul menyambarnya dua buah benda,
yang sebuah menyambar ke arah kening Mahendra di antara kedua mata, yang sebuah
lagi menyambar tali yang menggantung tubuh Maya.
Harrggghhh....!! Mahendra
menggereng, marah dan cepat ia melempar tubuh ke belakang. Tali yang
menggantung Maya putus disambar benda yang ternyata hanyalah sebuah batu
kerikil, dan tubuhnya jatuh ke bawah. Anak yang sudah pandai ilmu silat ini
tentu saja dapat menyelamatkan diri dengan cara berjungkir balik dan
menjatuhkan diri dengan bahu lebih dulu kemudian bergulingan. Kedua tangan dan
kakinya masih terikat dan ia meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan kaki
tangannya.
Sementara itu, Mahendra
menyerang pendatang itu dengan pisau di tangan kanan dan mangkok tanah di
tangan kiri.
Gerakan-gerakan Mahendra
ketika menyerang amat aneh dan cepat, juga mendatangkan angin keras yang
menandakan bahwa tenaga dalam orang ini hebat sekali. Namun berkali-kali
Mahendra mengeluarkan seruan kaget dan karena laki-laki itu dapat menandinginya
dengan baik sekali, bahkan membalas dengan serangan pukulan ujung lengan baju
yang mendatangkan hawa panas tanda sin-kang yang amat kuat!
Siapa pria setengah tua yang
perkasa dan sanggup menandingi iblis dari Nepal itu? Dia bukan lain adalah
Menteri Kam Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Menteri Kam Liong
pergi seorang diri menyelidiki keadaan di Khitan. Dapat dibayangkan betapa duka
hatinya ketika mendapat berita bahwa Khitan telah hancur, dan bahwa kini Khitan
telah diduduki oleh bangsa Yucen yang berhasil menghalau bangsa, Mongol. Betapa
adik tirinya, Raja Talibu dan isterinya telah gugur dalam perang dan bahwa
puteri mereka lenyap, melarikan diri, kabarnya menuju ke Go-bi-san mencari
kakek dan neneknya.
Kalau saja waktunya tidak
terbatas dan dia tidak terikat kewajiban pekerjaannya, tentu dia akan menyusul
ke Go-bi-san mengunjungi ayahnya, pendekar sakti Suling Emas. Akan tetapi
Go-bi-san terlalu jauh dan dia harus segera kembali ke selatan berhubung dengan
gawatnya keadaan sebagai akibat pergolakan di utara ini. Maka dengan hati
tertekan kedukaan, Menteri Kam Liong melakukan perjalanan pulang ke selatan.
Kebetulan sekali di dalam hutan itu ia melihat Mahendra yang hendak menyembelih
seorang anak perempuan secara kejam sekali. Kam Liong tidak mengenal Maya,
karena memang anak Raja Khitan itu tidak pernah dilihatnya. Disangkanya bahwa
anak itu tentulah anak pelarian para pengungsi yang dusunnya dilanda perang.
Diam-diam Kam Liong terkejut
bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa laki-laki hitam itu lihai bukan
main. Terpaksa ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan barulah ia dapat
mendesak lawannya. Pertandingan antara mereka berjalan seru dan cepat sekali
dan karena Mahendra berkali-kali mundur dan berloncatan menjauh, makin lama dua
orang yang bertanding ini makin menjahui tempat di mana Maya berusaha
melepaskan ikatan kaki tangannya.
Maya kekasihku, jangan pergi.
Aku akan melindungimu.! Nila Dewi berkata. lembut sambil berusaha pula
membebaskan ikatan kedua tangannya. Akan tetapi totokan tadi masih membuat
tubuhnya lemas dan jalan darahnya tidak lancar maka diam-diam ia memaki
Mahendra dan kemudian meme jamkan mata untuk memulihkan jalan darahnya. Kalau
jalan darahnya sudah pulih, sekali renggut saja tentu akan putus tali pengikat
tangannya. Maya agaknya mengerti pula akan hal ini, maka ia pun meronta-ronta
dan berusaha mendahului nenek itu untuk melepaskan diri dan lari.
Kalau di sebelah sana tampak
berkelebatnya dua bayangan orang bertanding dengan seru, di sini terjadi pula
perlombaan yang tidak kalah menegangkan, yaitu Maya berlumba melawan Nila Dewi
untuk lebih dulu membebaskan diri dari ikatan. Maya mengerti bahwa kalau dia
kalah dalam perlumbaan ini, lenyaplah satu-satunya harapan dan kesempatan untuk
melarikan, karena Mahendra yang sakti itu sedang bertanding dengan orang gagah
yang menolongnya, maka tentu Nila Dewi akan membawanya lari! Untung bagi Maya
bahwa Mahendra yang tentu saja memandang rendah padanya dan memastikan bahwa
anak ini tidak mungkin terlepas dari tangannya tadi tidak mengikat terlalu
kuat, berbeda dengan ikatan pada kedua lengan Nila Dewi. Kini Maya dengan mata
terbelalak memandang ke arah Nila Dewi yang masih menghimpun tenaga untuk
memulihkan jalan darah berusaha keras untuk melepaskan ikatan kedua kakinya.
Akhirnya ia berhasil melepaskan kakinya dari ika tan. Ia meloncat bangun dan
dengan kedua tangan masih terikat di belakang ia melarikan diri.
Robohlah....!! Tiba-tiba
terdengar suara Nila Dewi nyaring dan bagaikan didorong tenaga mukjizat Maya
terguling roboh! Ia cepat menengok dan melihat Nila Dewi sudah melompat
berdiri. Kiranya wanita ini tadi telah menggunakan sin-kang untuk menendangnya
dari jarak jauh, akan tetapi penggunaan sin-kang ini melenyapkan tenaga yang
sudah mulai terkumpul, ia menjadi lemas kembali dan roboh bersandar batang
pohon. Melihat ini, Maya tidak mempedulikan tubuhnya yang babak-belur, terus
meloncat bangun dan lari lagi sekuatnya dengan kedua tangan masih terikat!
Berhenti.... ahhhh, kekasihku,
tega engkau meninggalkan aku....?! Nila Dewi berkata, akan tetapi tanpa
menengok Maya terus lari secepatnya.
Sementara itu, pertandingan
antara Kam Liong dan Mahendra masih berjalan seru. Berkali-kali pisau belati
dan mangkok tanah menyambar, namun selalu Kam Liong dapat mengelak atau
menangkis dengan kepretan ujung lengan bajunya. Tiba-tiba Mahendra berseru
marah sekali dan menyambitkan mangkok tanah pada Kam Liong. Pendekar ini
memukul kearah mangkok dengan jari tangan kiri terbuka.
Brakkk!! Mangkok itu pecah
berkeping-keping.
Mampuslah!! Mahendra berseru
dan segulung sinar kuning yang lemas menyambar ke arah kepala Kam Liong.
Pendekar ini terkejut melihat betapa lawannya telah melepaskan kain yang
melilit tubuh atasnya dan menggunakan kain kuning itu untuk menyerangnya dengan
gerakan seperti seorang nelayan melempar jaring ikan!
Cepat ia mengelak, namun kain
itu digerakkan secara lihai sehingga kembali telah melayang untuk
menjaringnya!! Kam Liong terkejut. Kiranya lawannya ini benar-benar lihai
sekali menggunakan kedua tangannya. Tampak sinar kuning emas berkelebat disusul
sinar putih dan dia telah memegang suling emas dan kipasnya.
Suling Emas....!! Mahendra
terkejut, meloncat ke belakang dan.... melarikan diri seperti orang ketakutan
melihat setan.
Kam Liong tidak mengejar,
sejenak memandang suling di tangannya dan menarik napas panjang penuh kagum.
Nama ayahnya, Pendekar sakti Suling Emas, agaknya sedemikian hebatnya sehingga
orang hitam aneh tadi pun mengenal senjata itu dan lari ketakutan! Ia cepat meloncat
ke tempat di mana anak tadi digantung dan tidak melihat lagi bocah itu, kecuali
wanita India yang masih duduk bersandar pohon dan men ghimpun kekuatan dalam.
Ia merasa lega. Kiranya bocah tadi cukup cerdik dan agaknya berhasil melarikan
diri sewaktu penculiknya bertanding melawannya. Dia tidak mengenal dua orang
India itu, tidak mempunyai permusuhan dengan mereka. Niatnya hanya menolong
anak perempuan itu dan setelah anak, perempuan itu berhasil menyelamatkan diri,
dia pun tidak mau mengganggu wanita India yang sedang menghimpun tenaga. Kam
Liong menyimpan kedua senjatanya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu,
melanjutkan perjalanannya pulang ke kota raja di selatan.
Di dalam perjalanan pulang
ini, selain berduka atas hancurnya Kerajaan Khitan dan tewasnya adik tirinya
Raja Talibu, berprihatin menyaksikan perkembangan bangsa Yucen yang makin kuat
juga Kam Liong merasa gelisah memikirkan hal yang selama ini selalu menjadi
duri dalam daging baginya. Perjalanannya ke utara telah menghasilkan pendengaran-pendengaran
yang makin menggelisahkan hatinya, yaitu tentang desas-desus bahwa di antara
para pembesar yang membujuk-bujuk Kaisar untuk memusuhi Khitan, termasuk pula
saudara misannya yang bernama Suma Kiat
Suma Kiat adalah putera
tunggal mendiang bibinya, yaitu Kam Sian Eng, adik tiri ayahnya Suling Emas.
Namun semen jak mudanya, Suma Kiat memiliki watak yang jahat dan palsu (baca
cerita MUTIARA HITAM) sehingga ia seringkali bentrok, bahkan terasing dari
keluarga keturunan Suling Emas yang terdiri dari para pendekar perkasa yang
menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, mengingat bahwa Suma
Kiat masih saudara misannya, Kam Liong yang berwatak budiman merasa kasihan dan
berkat usahanya, akhirnya Suma Kiat dapat diterima oleh Kaisar dan menjabat
pangkat panglima dalam, pasukan pertahanan pemerintah.
Memang Suma Kiat bukan seorang
sembarangan, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang, amat tinggi mewarisi
ilmu-ilmu mendiang ibunya yang dahulu tergolong seorang di antara datuk-datuk
persilatan yang disegani. Setelah memiliki kedudukan sebagai panglima, Suma
Kiat yang memang berdarah keturunan keluarga Pangeran Suma, menjadi seorang
bangsawan terhormat dan disegani pula, hidup mulia dan bahagia dalam gedungnya
di kota raja, Selama dia memangku jabatannya, ia bekerja dengan baik dan hal
ini sebagian besar adalah karena Suma Kiat merasa takut dan segan terhadap
kakak misannya, Menteri Kam Liong yang selain memiliki kedudukan lebih tinggi
daripadanya, juga memiliki ilmu kepandaian lebih lihai pula.
Kini Suma Kiat telah menjadi
seorang setengah tua dan hidup sebagai seorang bangsawan dalam gedungnya yang
indah.
Ia telah menikah dengan
seorang wanita bangsawan yang cantik dan mempunyai seorang putera. Puteranya
ini bernama Suma Hoat, tampan seperti Ibunya, wataknya juga halus dan
lemah-lembut seperti Ibunya. Karena semenjak kecil oleh Ibunya ia dijejali
pelajaran sastra dan filsafat, diingatkan bahwa dia adalah keluarga dari
pendekar besar Suling Emas, maka sifat-sifat pendekar tertanam di jiwa anak ini.
Dia digembleng ilmu silat oleh ayahnya sendiri dan karena bakatnya, dia dapat
mewarisi ilmu silat tinggi dari ayahnya. Namun ada satu sifat dari nenek
moyangnya, yaitu keluarga Suma, yang agaknya menurun dan mengalir dalam
darahnya, yaitu dia dikuasai nafsu berahi dan berwatak mata keranjang!
Selain puteranya sendiri, Suma
Kiat juga mempunyai seorang murid lain yang sebetulnya adalah pelayan
keluarganya, seorang pemuda yang sebaya dengan puteranya, bernama Siangkoan
Lee. Anak ini mukanya buruk seperti muka kuda, pendiam dan rajin. Biarpun
bakatnya tidak sebaik Suma Hoat dalam ilmu silat dan sastra namun berkat
kerajinannya, dia pun memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali dalam ilmu
silat karena Siangkoan Lee ini diam-diam mempunyai cita-cita tinggi dan selalu
mengumpulkan ilmu-ilmu silat tinggi untuk dipelajarinya. Berkat kerajinan dan
keuletannya, akhirnya ia pun diberi pekerjaan di kantor menjadi seorang
bangsawan! kecil, tidak lagi menjadi seorang pelayan.
Banyak hal terjadi sebagai
akibat perbuatan keluarga Suma ini yang memaksa Menteri Kam Liong turun tangan
dan membuatnya gelisah, dan beberapa hal di antaranya terjadi beberapa tahun
yang lalu ketika Suma Hoat dan Siangkoan Lee dua orang murid Suma itu, baru
berusia kurang lebih dua puluh tahun.
Pada suatu hari, Suma Hoat
diantar oleh Siangkoan Lee pergi berburu ke hutan. Berburu binatang merupakan
sebuah di antara kesukaan pemuda bangsawan ini, di samping kesukaannya
mengujungi tempat-tempat hiburan untuk mendengar wanita-wanita cantik bernyanyi
dan menari kemudian memilih yang tercantik di antara mereka untuk diajak
bersenang-senang.
Dengan menunggang kudanya yang
berbulu putih dan tinggi besar, Suma Hoat kelihatan tampan dan gagah perkasa.
Pakaiannya serba indah, terbuat daripada sutera halus, rambutnya yang hitam
panjang itu dihias dengan hiasan berupa seekor naga emas bertabur batu kemala,
gagang pedangnya yang terbuat dari emas menghias punggungnya, wajahnya yang
berkulit putih berseri-seri dengan sepasang mata lebar dan lincah pandangnya, bibirnya
selalu tersenyum. Banyak wanita akan terguncang hatinya apabila melihat pemuda
bangsawan yang tampan ini membalapkan kuda putihnya. Didampingi pemuda
Siangkoan Lee yang buruk rupa, Suma Hoat kelihatan lebih tampan lagi.
Para wanita cantik di rumah-rumah
hiburan yang semua mengenal baik Suma-kongcu (Tuan Muda Suma) ini, berkumpul di
jendela loteng dan melambai-lambaikan saputangan sutera yang harum, melontarkan
senyum memikat. Namun Suma Hoat hanya membalas senyuman mereka dan tidak
berhenti karena memang sekali ini tidak ingin menghibur hati dengan
wanita-wanita cantik itu, melainkan hendak pergi berburu binatang buas di
hutan. Pula, ia sudah mulai bosan dengan wanita-wanita cantik yang akan
menghibur pria manapun juga asal yang beruang itu, bosan dengan cinta yang
diobral mereka, cinta kasih yang dijual.
Dua orang pemuda itu
membalapkan kuda mereka keluar dari kota raja dan memasuki dusun-dusun menuju
ke hutan yang besar. Di sebuah dusun mereka mendengar keluh kesah rak yat
tentang gangguan seekor harimau besar yang sudah banyak mencuri kambing dan
kerbau penduduk, bahkan telah membunuh dua orang anak kecil. Mendengar ini,
bangkit semangat Suma Hoat untuk membunuh harimau itu.
Kita harus dapat menangkapnya
dan membunuhnya, kalau belum berhasil aku tidak mau pulang!! demikian Suma Hoat
berkata kepada Siangkoan Lee, bekas pelayannya, juga yang menjadi sutenya.
Asal saja dia berani keluar
dari tempat sembunyiannya, Kongcu,! jawab Siangkoan Lee yang masih menyebut
kongcu! kepada suhengnya itu, mengingat akan kedudukan mereka.
Demikianlah, kedua orang muda
itu menjelajah hutan-hutan yang dikabarkan menjadi sarang sang harimau. Telah
sepekan lamanya mereka mengintai, menunggu dan mencari, namun hasilnya sia-sia
belaka. Harimau besar yang dicari-carinya tidak tampak, Suma Hoat menjadi
penasaran sekali. Dia sampai lupa akan niatnya semula, yaitu berburu binatang.
Banyak sudah selama sepekan ini dia melihat binatang-binatang hutan, namun
semua itu dibiarkannya saja lewat tanpa diusik karena kini seluruh perhatiannya
dicurahkan untuk mencari harimau yang telah mengganas di dusun-dusun sekeliling
daerah pegunungan itu.
Berkali-kali Siangkoan Lee
membujuk kongcunya untuk pulang saja, akan tetapi dengan alis berkerut, Suma
Hoat yang berkemauan keras ini malah membentaknya.
Sudah kukatakan bahwa sebelum
berhasil membunuh harimau laknat itu, aku tidak mau pulang. Jangankan baru
sepekan, biar selama hidupku di sini aku tetap harus mencarinya sampai dapat!!
Siangkoan Lee yang
meninggalkan pekerjaan khawatir kalau-kalau dimarahi majikannya, tetapi ia
tidak berani membantah lagi. Siang malam mereka mencari, bahkan kalau malam
mereka pun mengintai, baru kalau sudah lelah sekali tidur di bawah pohon saja
sambil membuat api unggun. Suma Hoat benar-benar mempunyai kemauan yang keras
sekali dan pantang mundur sebelum niatnya terpenuhi.
Pada pagi hari yang ke
sembilan, dua orang pemuda itu memasuki hutan yang paling ujung, hutan yang
tidak berapa besar akan tetapi yang belum mereka datangi, berada di lereng
dekat kaki bukit. Mereka berjalan kaki menuntun kuda masing-masing sambil
memandang tajam mencari-cari kalau-kalau ada gerakan binatang yang mereka
cari-cari.
Tiba-tiba mereka mendengar
suara lapat-lapat, jerit seorang wanita di kaki bukit. Suma Hoat menoleh kepada
Siangkoan koan Lee. Adakah engkau mendengar suara di sana?!
Siangkoan Lee mengangguk.
Seperti jerit seorang wanita.!
Benar! Kita menunggu apa lagi?
Jangan-jangan harimau itu menyerang wanita!! Cepat sekali Suma Hoat sudah
melompat ke atas kudanya dan membalap, diikuti oleh Siangkoan Lee.
Setelah menuruni lereng,
mereka tiba di jalan umum yang datang dari timur dan dari atas sudah tampak
oleh mereka sebuah kereta terguling di pinggir jalan dan beberapa orang
laki-laki yang berpakaian pelayan dan pengawal malang-melintang di sekitar
tempat itu. Jauh dari kereta itu tampak serombongan orang sedang mengangkuti
barang-barang dan di antara mereka terdapat seorang laki-laki tinggi besar yang
menunggang kuda dan memangku seorang wanita yang meronta-ronta dan agaknya wanita
itulah yang tadi mengeluarkan jeritan.
Bukan harimau yang
menyerangnya, Kongcu,! kata Siangkoan Lee.
Memang bukan, akan tetapi
lebih jahat daripada harimau. Mereka perampok keparat yang bosan hidup!
Kaubasmi anak buahnya, aku akan menolong wanita itu!!
Dua orang muda itu membedal
kuda mereka dan sebentar saja mereka sudah tiba di tempat itu. Siangkoan Lee
sudah meloncat turun dari kuda dan membentak
Kalian perampok-perampok hina.
Tahan dulu!!
Para anak buah perampok yang
sedang tertawa-tawa mengangkuti beberapa peti berisi barang-barang berharga
seperti perhiasan-perhiasan dan sutera gulungan berkayu-kayu, menjadi marah
ketika melihat Siangkoan Lee, seorang pemuda yang masih hijau dan kelihatannya
tidak menakutkan itu. Jumlah mereka ada sembilan orang, tentu saja mereka tidak
takut.
Seorang di antara mereka, yang
bertubuh tinggi kurus dan kelihatan kuat terbukti dari bawaannya, yaitu sebuah
peti yang berat sekali, melangkah maju dan melotot kepada Siangkoan Lee,
kemudian membentak, Eh, bocah bermuka buruk! Kau mau apa?!
Jawab dulu, apakah engkau ini
telah melakukan perampokan dan membunuh para pengawal dan pelayan itu?!
Ha-ha-ha! Benar sekali! Tidak
hanya pengawal dan pelayan, juga tuan besar nyonya besar telah menjadi mayat di
dalam kereta! Hanya puterinya, heh-heh, cantik dan menggairahkan, menjadi
bagian tai-ong kami! Kau mau bagian? Jangan main-main! Para pengawal yang kuat
itu semua mampus oleh kami. Nih, terima bagianmu!! Tiba-tiba Si Tinggi Kurus
itu melontarkan peti yang berat ke arah Siangkoan Lee.
Peti yang beratnya lebih dari
seratus kati itu melayang ke arah Siangkoan Lee dan para anggauta gerombolan
itu tertawa-tawa, yakin bahwa pemuda kerempeng itu tentu akan roboh tertimpa
peti dan gepeng tubuhnya. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti dan mereka
melongo ketika melihat Siangkoan Lee menerima sambaran peti itu hanya dengan
telapak tangannya dan Si Pemuda kurus itu melontar-lontarkan peti itu ke atas
seperti seorang anak kecil mempermainkan sebuah bola karet, kemudian tangan itu
mendorong maju, peti melayang ke arah, Si Tinggi Kurus dengan kekuatan dahsyat.
Ahhh....!! Perampok tinggi
kurus itu terkejut, menggunakan kedua tangan untuk menerima peti, akan tetapi
tak tertahan olehnya dan dialah yang roboh terjengkang, kepalanya pecah tertimpa
peti yang berat!
Para perampok yang tinggal
delapan orang itu menjadi marah sekali. Mereka menurunkan bawaan masing-masing,
mencabut senjata lalu menerjang Siangkoan Lee seperti serombongan srigala
mengamuk. Pemuda kurus ini pun membentak keras dan mencabut sebatang golok
melengkung yang amat tajam, memutar golok menghadapi pengeroyokan delapan orang
itu tanpa merasa gentar sedikit pun. Ternyata olehnya bahwa para perampok itu
bukanlah orang-orang biasa, melainkan penjahat-penjahat kawakan yang pandai
ilmu silat dan bertenaga besar. Namun, Siangkoan Lee mainkan goloknya dengan
hebat dan sebagai murid yang tekun dari Suma Kiat yang berilmu tinggi, tentu
saja gerakannya selain cepat juga mengandung tenaga sin-kang yang kuat.
Sementara itu, Suma Hoat
membalapkan kudanya melewati para anak buah perampok yang ia serahkan kepada
sutenya, terus mengejar kepala perampok yang melarikan wanita itu. Karena
kepala rampok itu menjalankan kudanya perlahan sambil tertawa-tawa dan
tangannya menggerayangi tubuh wanita rampasannya, sambil mencium dan kelihatan
makin gembira karena wanita itu meronta-ronta, sebentar saja kuda Suma Hoat
telah menyusulnya.
Berhenti kamu keparat hina!!
bentak Suma Hoat dan sekali meloncat tubuhnya sudah berdiri menghadang di depan
kuda yang ditunggangi kepala perampok tinggi besar itu. Kepala perampok yang
tubuhnya seperti raksasa itu membelalakkan matanya yang lebar. Kumis dan
jenggotnya yang tebal bergerak-gerak, mukanya menjadi merah dan dia menjadi
marah sekali.
Heh, siapa engkau bocah yang
bosan hidup?! bentaknya sambil melompat turun dan masih memondong wanita yang
kini berhenti meronta dan memandang kepada Suma Hoat dengan mata terbelalak
seperti seekor kelinci ketakutan, namun dari sinar matanya timbul harapan yang
tadinya sudah patah.
Serrr....!! Jantung Suma Hoat
seperti berhenti berdetik tertikam sinar mata itu. Tak disangkanya dia akan
melihat seorang dara yang seperti itu. Cantik jelita, manis dan berwajah
seperti bidadari! Mengingat betapa tangan kasar dan kotor kepala perampok itu
tadi menggerayangi tubuh Si Jelita, apalagi mengingat betapa wajah menyeramkan
penuh cambang bauk itu tadi mencium muka yang begitu halus, bibir yang begitu
merah segar, kemarahannya meluap dan darahnya seperti mendidih.
Binatang rendah!! ia memaki
sambil menunjuk ke arah muka kepala perampok itu.
Engkau tidak mengenal
Suma-kongcu, putera Panglima Suma Kiat? Engkau telah merampok, membunuh orang
dan menculik gadis terhormat. Sekarang tibalah saatnya engkau mampus di tangan
Suma Hoat!!
Heh-heh-heh! Aku Si Tangan
Besi Ciu Ok mana kenal segala macam bangsawan tukang korup? Kalau engkau sudah
bosan hidup, marilah!! Perampok itu melepaskan tubuh dara itu setelah menotok
punggungnya membuat dara itu lemas dan rebah miring di atas rumput.
Kautunggulah sebentar, calon biniku, heh-heh! Lihat dan nikmati baik-baik
betapa kakandamu membunuh tikus bermuka halus ini!!
Akan tetapi Suma Hoat sudah
menerjangnya dengan hebat. Kepala perampok itu menangkis, mengandalkan kekuatan
tangannya. Dia dijuluki Tiat-ciang (Si Tangan Besi) karena kedua tangannya amat
kuat dan keras seperti besi, hasil latihan ilmu Tiat-ciang-kang yang latihannya
menggunakan bubuk besi panas. Akan tetapi begitu ia menangkis, ia terpekik
kaget karena lengannya terasa sakit dan ia terhuyung ke belakang. Kudanya
kaget, meringkik dan lari.
Kepala perampok laknat,
kematianmu sudah di depan mata!! Suma Hoat yang marah sekali itu sudah
menerjang lagi dengan pukulan-pukulan mautnya. Si Kepala Perampok adalah
seorang ahli silat, akan tetapi dalam hal ilmu silat dia tidak dapat
dibandingkan dengan Suma Hoat yang memiliki ilmu silat tinggi. Ilmu silat yang
dimiliki kepala perampok ini adalah ilmu silat kasar dan dia selama ini hanya
mengandalkan kedua tangannya yang kuat. Namun, bertemu dengan pemuda itu,
seolah-olah kedua tangannya bertemu dengan baja yang lebih keras lagi!
Setelah tiga kali menangkis
dan tiga kali terhuyung dengan lengan terasa nyeri dan panas, kepala perampok
itu memekik keras dan mencabut keluar senjatanya berupa sehelai rantai baja yang
ujungnya dipasangi bola baja berduri. Cepat ia mengayun senjatanya menerjang
lawan.
Wuuut-wuut-wuuttt....!! Angin
menyambar keras ketika bola berduri itu menyambar dan rantainya terputar-putar.
Namun dengan mudah Suma Hoat mengelak dan pemuda ini enggan mencabut pedangnya
setelah menyaksikan gerakan lawan yang hanya memiliki ilmu silat kasar itu. Dia
menghadapi lawan yang bersenjata rantai dengan kedua tangan kosong, mengelak ke
kanan kiri dengan lincahnya menanti kesempatan baik.
Dara cantik yang tertotok dan
rebah miring, dapat menyaksikan pertandingan itu dan dari mulutnya yang kecil
terdengar jerit-jerit tertahan kalau melihat senjata yang dahsyat itu
menyambar, mengancam wajah yang halus tampan Si Pemuda penolongnya. Biarpun
dara itu tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia merasa heran mengapa pemuda
tampan itu tidak mau mencabut pedangnya yang tergantung di punggung!
In-kong (Tuan Penolong)....,
pergunakan. pedangmu....!! Akhirnya ia tidak dapat menahan kekhawatiran hatinya
lagi melihat betapa nyaris kepala pemuda itu dihantam bola berduri, begitu
dekat bola itu menyambar lewat di atas telinga kiri Suma Hoat. Aneh sekali,
dara itu sudah lupa akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri, sebaliknya
khawatir kalau-kalau pemuda itu kena pukul dan pecah kepalanya.
Mendengar suara itu, Suma Hoat
tersenyum gembira. Aku harus memperlihatkan kelihaianku, pikirnya gembira
seperti lazimnya seorang pemuda ingin berlagak memamerkan kepandaiannya di
depan seorang dara yang menarik hatinya. Cepat ia merubah gerakannya, sekarang
tubuhnya berkelebat cepat sekali sehinga Si Kepala Rampok berkali-kali
berteriak kaget karena tubuh lawan seperti lenyap. Tiba-tiba Suma Hoat mendapat
kesempatan baik, ketika bola berduri menyambar ia menggunakan tangannya dari
samping menangkap bola itu dan sekuat tenaga ia melontarkan bola ke arah muka
penyerangnya.
Prokkk! Adduuuuhhh....!! Tubuh
kepala perampok itu terjengkang dan roboh telentang dengan muka berubah menjadi
onggokan daging yang remuk dan nyawanya melayang tak lama kemudian.
Dara jelita itu memejamkan
mata penuh kengerian, kemudian ia menangis terisak-isak. Suma Hoat cepat
berlutut dan sekali totok ia membebaskan tubuh dara itu dari pengaruh totokan
Si Kepala Rampok. Tenanglah, Nona. Bahaya telah lewat. Si Keparat laknat
tewas.!
Dara itu cepat menjatuhkan
diri berlutut di depan Suma Hoat, In-kong telah menyelamatkan nyawa saya, akan
tetapi.... hu-hu-huuukkkk.... ayah bundaku telah terbunuh.... di dalam
kereta....!!
Suma Hoat terkejut dan marah
sekali. Mari kita lihat, temanku sedang membasmi kawanan perampok, perlu
bantuanku!! Ia lalu menyambar pinggang dara itu, dibawa meloncat ke atas
punggung kudanya yang tidak lari karena kuda itu sudah terlatih baik, kemudian
membalapkan kudanya ke arah pertempuran yang masih berlangsung dekat kereta.
Ternyata bahwa Siangkoan Lee
dengan mudah telah merobohkan tiga orang pengeroyok dengan goloknya dan kini
yang lima orang masih mengeroyoknya mati-matian. Melihat ini Suma Hoat sambil
memeluk pinggang dara itu dengan lengan kiri, mencabut pedang dengan tangan
kanan, kudanya menyerbu, pedangnya berkelebat dan terdengarlah pekik-pekik
kesakitan dan empat orang perampok roboh dan tewas. Siangkoan Lee berhasil
merobohkan perampok terakhir dan Suma Hoat setelah menyimpan pedangnya lalu menurunkan
tubuh dara itu. Sambil terisak-isak dara itu berlari ke arah kereta yang rebah
miring, membuka pintunya dan menjerit-jerit memanggil ayah bundanya.
Suma Hoat meloncat dekat
kereta. Cepat ia mengeluarkan tubuh seorang setengah tua yang terluka dadanya.
Orang itu masih hidup dan cepat pemuda ini mengeluarkan obat luka yang merah
warnanya, mengobati luka itu dan membalutnya. Ayah dara itu masih hidup biarpun
terluka parah, akan tetapi ibunya telah tewas karena tusukan pedang yang
menembus jantungnya!
Terima kasih.... Kongcu....
saya Ciok Khun menghaturkan terima kasih kepadamu....!
Paman hendak pergi ke
manakah?! Suma Hoat bertanya, hatinya seperti ditusuk-tusuk karena kasihan
melihat dara itu menjerit-jerit memeluki mayat ibunya.
Dengan suara tersendat-sendat
laki-laki itu bercerita. Dia tinggal di dusun Kwi-bun-an, tak jauh dari kota
raja. Mereka, suami isteri itu, hendak mengantarkan anak dara mereka yang
bernama Ciok Kim Hwa, yang hendak dljodohkan dengan putera bangsawan Thio di
kota raja. Karena itulah maka mereka berkereta membawa barang-barang berharga,
dikawal oleh pasukan bangsawan Thio yang menjemput mereka dan yang terbunuh
semua oleh para perampok.
Siangkoan Lee, kau cepat
antarkan Paman Ciok dan barang-barang serta jenazah ini ke kota raja. Biar aku
yang mengawal Ciok-siocia, kata Suma Hoat. Siangkoan Lee mengangguk, maklum
bahwa keadaan orang yang terluka perlu perawatan dengan cepat dan bahwa kalau
Si Nona ikut dalam kereta, tentu nona itu akan berduka sekali menyaksikan
jenazah ibunya. Maka ia lalu mengumpulkan barang-barang yang berceceran, di
masukkan barang-barang itu ke dalam kereta, kemudian ia mengikat kudanya di
depan dua ekor kuda penarik kereta dan membalapkan kereta ke kota raja.
Mari, Nona. Kau akan kukawal
ke kota raja dan jangan khawatir, aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa
ragaku.!
Ucapan ini membuat wajah Si
Dara Jelita menjadi merah, akan tetapi kedukaannya terlalu besar sehingga
mengurangi rasa kegembiraan aneh yang menyelinap di rongga dadanya ketika ia
duduk atas panggung kuda, di depan pemuda tampan yang telah menolongnya itu.
Selama hidupnya, baru pertama
kali itu Suma Hoat mengalami hal yang aneh dalam hatinya. Jantungnya berdebar
luar biasa sekali, rasa girang yang amat besar menyelimuti hatinya, dan di balik
rasa girang ini terselip rasa sakit di hatinya ,karena dara ini hendak
dikawinkan dengan orang lain! Kekecewaan yang amat keras dan aneh. Mengapa dia
menjadi begini? Tak dapat disangkal bahwa dia selalu tertarik oleh wajah cantik
jelita, akan tetapi selamanya dia tidak pernah menginginkan wanita yang menjadi
milik orang lain!
Eh, Suma Hoat, kau ini
mengapakah?! Berulang-ulang ia bertanya kepada dirinya sendiri, tak terasa lagi
menjalankan kudanya perlahan karena dia tidak ingin cepat tiba di kota raja,
tidak ingin dirampas kenikmatan dan kebahagiaan hatinya duduk berdua di atas
kuda bersama dara yang bernama Ciok Kim Hwa ini!
Kereta yang dibalapkan
Siangkoan Lee sudah jauh sekali dan sudah tidak tampak, juga tidak terdengar
derap kaki, kuda dan roda kereta.... Suma Hoat tak dapat menahan getaran
hatinya dan ia bertanya halus,
Nona....! Ia meragu dan tidak
melanjutkan kata-katanya.
Dara itu menanti sebentar,
karena lama pemuda itu tidak melanjutkan, dia menoleh dan berkata, Ada apakah,
Inkong?!
Suma Hoat memejamkan mata
karena tidak kuat menyaksikan wajah yang begitu dekat dengannya, mencium bau
harum yang keluar dari rambut dan muka dara itu.
Kenapa, In-kong?! tanya Kim
Hwa yang terheran-heran melihat pemuda itu memejamkan mata.
Jadi.... Nona akan.... menikah
dengan pemuda keluarga Thio....?!
Wajah itu tiba-tiba menjadi
merah sekali dan cepat dipalingkan tidak berani menentang pandang mata Suma
Hoat. Sampai lama nona itu tidak menjawab dan Suma Hoat merasa betapa tubuh
didepannya itu gemetar. Akhirnya terdengar nona itu menjawab lirih.
Bu.... bukan pemuda, melainkan
seorang duda tua, adik dari Thio-taijin....!!
Suma Hoat mengangkat alisnya
dan membelalakkan matanya. Seorang duda tua?!
Dara itu mengangguk dan
menarik napas panjang.
Kenapa engkau mau, Nona?!
Kim Hwa mengangkat muka
memandang. Bagaimana saya dapat menolak kehendak orang tua, In-kong? Yang
melamar adalah Thio-taijin untuk adiknya yang sudah mempunyai belasan orang
anak, dan yang telah mempunyai banyak selir pula. Bagaimana saya dapat
menolak....?! Kalimat terakhir itu mengandung isak dan Kim Hwa menundukkan
muka, kelihatan berduka sekali.
Ah, kasihan engkau, Nona.
Seorang dara semuda Nona, cantik jelita, dipaksa menikah dengan seorang bandot
tua!! Suma Hoat merasa penasaran sekali dan mendengar ucapan Suma Hoat, Kim Hwa
terisak-isak menangis sesenggukan. Suma Hoat merasa makin kasihan. Dengan
gerakan halus ia menyentuh pundak yang bergoyang-goyang itu dan berkata,
Jangan menangis, Nona, dan
jangan berputus asa. Seperti telah kukatakan tadi, aku akan melindungimu dengan
seluruh jiwa ragaku. Kalau engkau tidak suka menikah dengan duda tua keluarga
Thio itu, kautolak saja dan aku yang akan melindungimu!!
Ucapan penuh semangat ini
membuat Kim Hwa menjadi terharu dan berterima kasih sekali sehingga tangisnya
makin mengguguk. Ketika Suma Hoat menghiburnya dengan mengelus rambut kepalanya
yang hitam panjang dan halus, Kim Hwa tersedu dan merebahkan kepalanya di atas
dada Suma Hoat! Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, tanpa
kata-kata namun keduanya yakin apa yang terjadi dengan perasaan hati
masing-masing. Kuda yang mereka tunggangi berjalan perlahan seenaknya, agaknya
tidak mau mengganggu majikannya yang sedang dilanda asmara. Jari-jari tangan
Suma Hoat yang mengelus-elus rambut itu seolah-olah mengeluarkan getaran yang
membuat Kim Hwa memejamkan mata dengan sepasang pipinya, yang menjadi
kemerahan.
Tiba-tiba kuda putih yang
tadinya melangkah, perlahan dan tenang, menghentikan langkahnya hidungnya
kembang-kempis, kemudian mengeluarkan suara meringkik keras dan keempat kakinya
menggaruk-garuk tanah.
Eh, Pek-ma (Kuda Putih), ada
apakah?! Suma Hoat yang sedang diterbangkan ke angkasa kemesraan itu terkejut,
melepaskan belaian tangannya pada rambut Kim Hwa dan cepat menyambar kendali
untuk menguasai kudanya.
Sebagai jawaban, tiba-tiba
terdengar suara gerengan yang menggetarkan hutan itu, gerengan seekor harimau
yang berada di dalam gerumbulan dan yang kini keluar sambil memandang ke arah
kuda.
Celaka, In-kong....!! Kim Hwa
menjerit penuh kengerian dan kedua lengannya otomatis merangkul pinggang pemuda
itu, tubuhnya gemetar.
Tenanglah, Nona. Aku memang
sedang mencari-cari harimau itu. Mari kita turun dan kautunggu saja di sini
sampai aku selesai membunuh pengganggu dusun-dusun ini.!
Tanpa menanti jawaban, Suma
Hoat sudah memondong tubuh Kim Hwa turun dari atas punggung kuda putih yang
juga berdiri menggigil ketakutan. Ia menurunkan Kim Hwa yang berdiri dengan
muka pucat di dekat kuda, matanya terbelalak memandang ke arah harimau yang
besarnya luar biasa dan kepada penolongnya yang kini melangkah maju menghampiri
harimau dengan senyum tenang di wajahnya yang tampan!
Suma Hoat memandang harimau
yang dihampirinya itu penuh kagum. Pantas saja penduduk dusun tidak berdaya
menghadapi pengganggu ini. Kiranya seekor harimau yang luar biasa besarnya,
sebesar anak lembu, dengan matanya yang liar tajam dan sikapnya yang angkuh dan
memandang rendah seperti sikap seorang raja besar!
In-kong...., pedangmu....
gunakan pedangmu....!! Terdengar suara Kim Hwa gemetar penuh kekhawatiran. Dara
ini melihat betapa penolongnya itu sudah dekat sekali dengan hari mau akan
tetapi masih saja bertangan kosong. Hanya orang gila saja yang melawan harimau
sebesar itu dengan tangan kosong, pikirnya, maka karena kekhawatirannya, ia
memaksa diri memperingatkan. Mendengar ini Suma Hoat menoleh dan tersenyum!
Kim Hwa-moi, jangan khawatir.
Dia ini bagiku hanyalah seekor kucing....!
Awas.... ah, In-kong....!! Kim
Hwa menjerit. Akan tetapi tanpa diperingatkan juga, telinga Suma Hoat yang
terlatih sudah mendengar gerakan harimau itu dan dengan mudah saja ia
menggerakkan tubuh ke kiri mengelak, dari tubrukan dahsyat itu. Akan tetapi
harimau itu benar-benar berbeda dengan harimau-harimau biasa yang pernah ditangkap
dan dibunuh Suma Hoat dengan tangan kosong. Begitu tubrukannya luput dan
kakinya menyentuh tanah, tubuh harimau itu sudah membalik dengan cepat sekali,
kedua kaki depan mencakar dari kanan kiri dan kaki belakangnya mengenjot tanah
sehingga tubuhnya kembali sudah menerkam ke arah Suma Hoat!
In-kong....!! Suara jerit Kim
Hwa mengandung isak.
Suma Hoat terkejut dan kagum
menyaksikan ketangkasan dan kecepatan harimau yang amat besar itu. Timbul rasa
sayangnya dan ia hendak mengambil kulit binatang besar ini tanpa cacad.
Ketika tubuh yang menubruknya
itu melayang ke arahnya, ia cepat menyusup ke bawah perut harimau sehingga
kembali tubrukan itu luput dan sebelum harimau dapat membalik, Suma Hoat telah
menangkap ekornya yang panjang, mengerahkan tenaga dan.... tubuh harimau itu
terangkat dan diputar-putar di atas kepalanya! Harimau meronta-ronta dan
menggereng-gereng berusaha mencakar atau menggigit tangan kuat yang memegangi
ekornya.
Penglihatan itu mengerikan dan
menegangkan sekali. In-konggg....!! kembali Kim Hwa menjerit dan menutupi muka
dengan kedua tangan, tidak tahan melihat perkelahian itu karena ia tidak mau
melihat tubuh penolongnya dicakar atau digigit sampai pecah-pecah kulitnya dan
berlumuran darahnya! Hal itu tentu akan terjadi karena penolongnya itu
terlampau berani, tidak mau menggunakan pedang membunuh binatang yang demikian
besar dan kuatnya!
Suma Hoat melepaskan ekor yang
dipegangnya. Tubuh harimau terlempar ke atas dan terbanting jatuh ke atas
tanah. Biasanya, harimau yang terbanting seperti ini tentu akan pingsan dan
menjadi lemah, maka Suma Hoat tersenyum-senyum menghampiri Kim Hwa dan berkata,
Jangan khawatir, dia....!
In-konggggg....!! Kim Hwa
menjerit dan mukanya menjadi pucat sekali karena harimau yang terbanting itu
tiba-tiba sudah meloncat dan menerkam ke punggung Suma Hoat! Saat itu,
perhatian Suma Hoat sedang tertuju kepada Kim Hwa, maka gerakannya mengelak
agak terlambat dan kaki depan kiri harimau itu masih menampar pundaknya
sehingga tubuhnya terpelanting! Harimau menggereng marah dan menubruk tubuh
lawan yang sudah jatuh itu.
In-konggggg....!! Jeritan Kim
Hwa sekali ini lemah sekali dan ia sudah terkulai, lemas dan roboh pingsan di
atas tanah!Suma Hoat dapat melihat keadaan dara yang membuatnya tergila-gila
itu, maka timbul kemarahannya. Ketika harimau menerkamnya ia menyambut dengan
sebuah tendangan yang mengenai perut harimau sehingga binatang itu terpental ke
samping,
kemudian sebelum harimau itu
sempat menyerangnya kembali, Suma Hoat sudah melompat ke atas punggungnya!
Harimau marah, meloncat-loncat, bergulingan, akan tetapi Suma Hoat tetap di
atas punggungnya, kemudian jari tangannya bergerak ke depan.
Crapp!! Harimau mengeluarkan
suara gerengan dahsyat dan darah bercucuran dari kedua matanya yang sudah
berlubang! Suma Hoat melompat turun ketika harimau yang menjadi buta matanya
itu menerjang ke depan secara ngawur. Binatang itu menjadi seperti gila saking
nyeri dan bingungnya, mukanya dicakarinya sendiri, menggereng-gereng, kemudian
meloncat ke depan sekuat tenaga.
Desssss!! Kepala harimau itu,
menubruk batu besar, pecah seketika dan tubuhnya berkelojotan dalam sekarat.
Suma Hoat tidak mempedulikan
lagi bangkai harimau itu dan cepat ia lari menghampiri tubuh Kim Hwa yang
menggeletak pingsan di atas tanah.
Kim Hwa....!! Ia memanggil dan
mengguncang-guncang pundak dara itu, namun Kim Hwa tidak menjawab dan tubuhnya
lemas. Ketika Suma Hoat meraba dahinya, ternyata dahi itu panas! Tahulah dia
bahwa kegelisahan dan ketakutan membuat dara itu pingsan dan ada bahaya dia akan
terserang demam. Cepat ia pergi meninggalkan gadis yang pingsan itu untuk
mencari air karena dalam keadaan seperti itu, air dingin amat penting untuk
membasmi kepala dan dahinya.
Ia harus pergi agak jauh juga
untuk mencari air di sebuah anak sungai. Selagi ia bingung karena tidak membawa
tempat air, kemudian melepas jubahnya dan mencelupkan jubah ke dalam air
dingin, tiba-tiba terdengar kudanya meringkik keras disusul jerit Kim Hwa!
Hwa-moi....!! Suma Hoat
berteriak, menyelipkan jubah basah dipunggungnya lalu ia melompat dan berlari
cepat ke tempat gadis itu ditinggalkan. Betapa kagetnya ketika ia melihat kuda
putihnya sudah lari dan Kim Hwa sudah berdiri dan terbelalak ketakutan
memandang ke arah seekor harimau besar yang berdiri dekat sekali di depan dara
itu!
Suma Hoat kaget dan heran,
ketika mengerling ke arah bangkai harimau yang masih berada di tempat tadi,
tahulah dia bahwa harimau besar ke dua ini adalah harimau betina. Kiranya ada
dua ekor harimau, sepasang binatang buas yang amat besar yang telah mengganggu
dusun.
Tiba-tiba gadis itu menjerit
dan hendak lari, akan tetapi harimau menerkam ke depan dan dara itu roboh
telentang.
Hwa-moi....!! Dengan beberapa
kali loncatan saja Suma Hoat sudah tiba di situ, disambarnya ekor harimau dan
direnggutnya binatang itu terlepas dari tubuh Kim Hwa.
Breeeettt!! Baju Kim Hwa
terbawa oleh cakar harimau dan tampak sedikit darah di dada yang putih mulus
itu. Suma Hoat yang merasa khawatir dan marah sekali, mencabut pedang dan
tampak sinar berkelebat disusul muncratnya darah dari leher harimau yang hampir
putus terbabat pedang!
Kim Hwa....!! Suma Hoat cepat
berlutut di dekat Kim Hwa. Dara itu merintih dan membuka matanya. Ketika
melihat bahwa yang mencuci luka kecil di dadanya dengan jubah basah adalah
pemuda penolongnya, ia mengeluarkan jerit tertahan dan menangis.
Diamlah, Moi-moi, diamlah
manis.... syukur bahwa engkau hanya terluka kecil saja, tergores cakar harimau
laknat....!! Suma Hoat telah menaruh obat bubuk ke atas luka kecil itu. Darah
telah berhenti dan kini, seperti tak disadarinya, jari tangannya mengelus kulit
di seputar luka. Matanya tak pernah berkedip memandang wajah itu, dada yang
terbuka itu, leher itu dan ia terpesona.
Kim Hwa tadinya memejamkan
matanya, kemudian kesadarannya kembali dan mulailah dia merasa betapa dadanya
tak tertutup lagi, betapa tangan yang hangat menggetar-getar itu mengelus-elus
dan membelainya. Ia membuka matanya perlahan melihat wajah yang tampan, mata
yang penuh kemesraan itu memandangnya, dada yang bidang itu pun tak berbaju
karena bajunya tadi dipakai mencuci lukanya. Perasaan aneh dan mesra memenuhi
rongga dada Kim Hwa. Seperti disentakkan ia menangkap tangan yang mengelus
dadanya, membawanya ke depan hidung dan mulut, menciumi tangan pemuda yang
telah dua kali menyelamatkan nyawanya.
Moi-moi....!! Suma Hoat tak
dapat menahan getaran hatinya dan ia menjatuhkan mukanya ke atas dada itu.
Koko....!! Kim hwa terisak,
memeluk kepala itu, lalu perlahan menarik kepala itu sehingga dekat, dengan
sinar mata yang mengeluarkan seluruh perasaan hati mereka, dengan napas
terengah yang saling meniup muka mereka, kemudian dua muka yang sama eloknya
itu saling mendekat, dua pasang lengan saling rangkul, saling mendekap.
Moi-moi....!!
Koko....!!
Mereka terisak, berciuman
seperti tak sadar lagi. Akhirnya Suma Hoat tersentak kaget. Belum pernah ia
merasai seperti ini. Dia sudah biasa bermain cinta dengan wanita cantik, akan
tetapi mereka itu wanita-wanita yang menjual cinta! Dan dia hanya menurutkan
dorongan nafsu belaka. Sekarang jauh sekali bedanya! Di samping nafsu yang
bergolak dan menindih membakar seluruh urat syaraf di tubuhnya, terdapat
perasaan lain. Dia tidak ingin menyusahkan Kim Hwa, dia tidak ingin mengganggu
dara ini, dia menaruh kasihan dan kesayangan yang luar biasa. Dia rela mati
untuk kebahagiaan dara ini! Sungguh bedanya seperti bumi dengan langit
dibandingkan dengan wanita-wanita yang biasa dicintanya.
Belaian jari tangan wanita ini
pada pipinya, tengkuknya, dadanya, balasan ciumannya begitu lembut dan mesra
dan ia merasakan cinta kasih yang murni di balik kemesraan ini, membuat ia
terharu sekali dan ketika ia mengangkat muka memandang wajah yang cantik itu,
kedua mata Suma Hoat menjadi basah. Juga ia melihat Kim Hwa menitikkan air mata
yang berlinangan seperti butiran-butiran mutiara, namun mulut yang merah dan
panas itu tersenyum, malu-malu dan mesra. Dua pasang mata berpandangan,
bertanya-tanya dan saling menjawab. Namun, Suma Hoat masih tidak berani
meyakinkan hatinya, maka ia berbisik lirih dekat telinga Kim Hwa.
Moi-moi.... bolehkah....?
Benarkah ini....? Ahhh, betapa ingin hatiku untuk memilikimu, menjadikan engkau
milikku, lahir batin, hati dan tubuhmu.... akan tetapi... engkau seorang gadis
terhormat.... bahkan calon isteri orang lain.... ahh, Moi-moi, katakanlah,
betapa besar pun cintaku, betapa besar pun hasrat hatiku memilikimu sehingga
kalau tidak terpenuhi aku akan mati merana, namun aku rela mati daripada
memaksamu, daripada menyusahkanmu.... Moi-moi, jawablah, bolehkah aku....?!
Suara Suma Hoat mengandung isak, bercampur rintihan hatinya dan dua titik air
mata membasahi pipinya.
Kim Hwa tersenyum, senyum
penuh pengertian yang hanya dimiliki seorang wanita yang mencinta, senyum yang
hanya dimiliki seorang ibu terhadap anaknya, walaupun air matanya sendiri
menetes-netes, kemudian dara itu mengangkat kedua tangannya, mengusap dua titik
air mata dari pipi Suma Hoat, kemudian kedua lengan itu merangkul leher,
mulutnya berbisik lirih sekali.
Suma-koko...., aku.... aku
rela menyerahkan jiwa ragaku kepadamu.... biarlah aku menikmati kebahagiaan
sehari ini bersama orang yang kucinta sepenuh hatiku.... sebelum aku memasuki
neraka bersama laki-laki pilihan orang tuaku.... Koko.... cintailah aku.... aku
menyerah, serela-relanya demi Tuhan....!!
Moi-moi...!! Suma Hoat memeluk
dan mendekap, kemesraan hatinya meluap.
Koko....!! Kim Hwa terengah
menjerit dan merintih, rintih kebahagiaan yang selama hidupnya takkan terlupa
oleh Suma Hoat. Dengan penuh kemesraan, dengan nafsu yang terkendalikan oleh
cinta murni, dengan pandang mata penuh kagum dan hormat, dengan landasan hati
ingin saling membahagiakan orang yang dicintanya, dua orang muda itu berlangen
asmara, berenang di lautan cinta yang memabokkan, dibuai dan dipermainkan
gelombang-gelombang getaran hati dan perasaan.
Sehari semalam mereka lupa
diri, yang teringat hanyalah orang yang dicintanya, yang tak pernah terpisah
sekejap mata pun, saling mencurahkan perasaan kasih sayang semesra mungkin, dan
dalam keadaan seperti itu, bagi mereka berdua yang ada hanyalah cinta kasih di
antara mereka. Kalau sudah saling mencinta, kalau dunia ini terasa kosong dan
yang ada hanya mereka berdua, kalau bagi mereka tidak ada urusan lain di dunia
ini kecuali peluapan asmara, apalagikah yang dapat mereka ingat?
Sungguh patut dikasihani kedua
orang muda ini. Semenjak kecil, Suma Hoat melihat betapa ayahnya mengumpulkan
wanita-wanita cantik, betapa ayahnya selalu mengejar kesenangan dengan
selir-selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik, seringkali bahkan dia tanpa
sengaja menyaksikan ayahnya bermesra-mesraan dengan beberapa orang selir di
dalam taman atau di dalam kamar. Sifat ayahnya yang gila bercinta dengan
selir-selir muda ini tanpa disadari membentuk watak di dalam jiwanya, watak
seorang pria yang haus akan cinta.
Sebagai putera bangsawan yang
tampan dan kaya, banyaklah wanita yang menggodanya dan semenjak berusia enam
belas tahun, Suma Hoat sudah mencari-cari dan, mengejar-ngejar cinta. Namun,
apa yang didapatnya di dalam tubuh dan hati wanita-wanita cantik yang penuh
gairah menyusup ke dalam pelukannya? Cinta palsu belaka! Cinta harta dan cinta
nafsu. Wanita-wanita itu sudah tidak mengenal cinta murni lagi, cinta yang
membuat seseorang tak ingin lagi berpisah, ingin hidup bersama selamanya,
menempuh hidup berdua, suka sama dinikmati, duka sama diderita!
Kini, bertemu dengan Kim Hwa,
dia menemukan cinta kasih yang murni, maka tidaklah mengherankan apabila dia
terpesona dan lupa diri, lupa segala! Yang teringat hanyalah bahwa dara yang
menyerahkan jiwa raga demikian ikhlas dan mesra adalah wanita yahg harus
disayangnya, dihormatinya, dibelanya sampai mati!
Adapun Kim Hwa adalah seorang
dara yang selama hidupnya belum pernah mengenal cinta, belum pernah berdekatan
dengan pria kecuali dengan ayahnya. Namun, sebagai seorang dara terpelajar, dia
maklum apa artinya dijodohkan dengan seorang duda tua yang kaya raya. Dia
seolah-olah dijual seperti seekor kucing atau anjing saja, sebuah benda yang
mahal. Dia maklum bahwa dia akan berkorban perasaan selama hidupnya, hal yang
membuat ia berduka dan putus asa. Kalau tidak kepada ayah bundanya, ingin dia
membunuh diri saja daripada setiap saat menderita batin, harus menurut dan
tunduk dirinya dijadikan benda permainan seorang pria yang sama sekali tidak
dicintanya. Kini, bertemu dengan Suma Hoat yang menolong keselamatan nyawanya,
yang begitu jumpa telah merebut hatinya, telah menimbulkan cinta kasihnya,
kemudian terdorong oleh keadaan yang membangkitkan dorongan dan rangsangan
nafsu berahi, menggolakkan darah muda, tidaklah mengherankan apabila ia
menyerahkan diri bulat-bulat, penuh kerelaan dan kemesraan yang timbul dari
keputusasaan akan dikawinkan laki-laki tua yang tak dicintanya!
Memang patut dikasihani mereka
ini. Di dalam amukan badai asmara yang memiliki kekuatan tak tertandingi di
seluruh alam ini, keduanya lupa sama sekali bahwa kehidupan manusia sudah tidak
bebas lagi sehingga mengakibatkan cinta kasih pun tidak bebas lagi! Manusia
telah menciptakan hukum-hukum sehingga kehidupan manusia seolah-olah
terselimuti oleh segala macam hukum. Belenggu besar mengikat kaki tangan
kehidupan manusia berbentuk kebudayaan, kesusilaan dan lain-lain. Siapa
melanggarnya tentu akan terbentur dengan hukum ini dan akan menghadapi hal-hal
yang tidak menyenangkan. Manusia tidak dapat bergerak bebas menurutkan perasaan
hatinya, harus lebih dulu melihat ke depan, apakah pelaksanaan perasaan hatinya
itu tidak akan bersilang dan melanggar hukum! Demikian pula dengan cinta!
Perjalanan cinta penuh liku-liku, penuh rintangan yang berupa hukum,
kesusilaan, kebudayaan, agama dan tradisi. Manusia di jaman sekarang tidak bisa
hidup menurutkan cinta dan pelaksanaannya tanpa mempedulikan semua itu. Akan
terbentur dan.... gagal! Dalam segala hal, juga dalam cinta, manusia harus
mempergunakan perhitungan, bukan memperhitungkan untung rugi, melainkan
memperhitungkan baik buruknya, terutama menjenguk masa depan.
Karena itu, sekali lagi, patut
dikasihani Suma Hoat dan Kim Hwa yang membukakan pikiran dan hati, terjun dan
bersenang berdua ke dalam lautan cinta asmara yang memabukkan sehingga sehari
semalam kedua manusia ini tidak pernah meninggalkan tanah bertilam rumput itu
di mana tiada puas-puasnya mereka saling mencurahkan perasaan cinta mereka.
Baru keesokan harinya mereka berdua menunggang kuda putih, melanjutkan perjalanan
ke kota raja. Kuda dijalankan perlahan, dibiarkan berjalan sendiri tanpa
kendali.
Kim Hwa duduk dipangku oleh
Suma Hoat. Mereka masih mabuk dan nanar, masih setengah terbius oleh kemesraan.
Kim Hwa menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya dan Suma Hoat melingkarkan
lengan kirinya di leher Si Jelita, tangan kanan membelai-belai rambut, mengusap
leher dan pipi.
Koko....! terdengar Kim Hwa
berkata lirih, suaranya mengandung kemanjaan yang amat manis terdengar oleh
telinga mereka.
Hemmm....?! Jawaban ini mengandung
kemanjaan penuh dengan perasaan ingin menyayang dan disayang. Memang cinta
kasih murni menimbulkan hasrat yang tak kunjung padam, hasrat ingin memiliki
dan dimiliki, ingin menyayang dan disayang, ingin memberikan seluruh hati dan
tubuh di samping ingin meminta seluruhnya! Menimbulkan hasrat ingin bersatu,
ingin menjadi satu badan dan hati, satu nasib, satu kehidupan, satu perasaan!
Suma-koko, aku cinta padamu
dengan seluruh jiwa ragaku.!
Suma Hoat mencium mulut yang
mengucapkan kata-kata mesra itu, lalu tersenyum.
Aku pun cinta padamu, Hwa-moi.
Entah sudah berapa ratus kali ucapan ini keluar dari mulutmu yang manis, namun
tak pernah aku merasa bosan, bahkan setiap kali kau berkata demikian, makin
besarlah kebahagiaan hatiku.!
Hening sejenak, keduanya
menikmati kehangatan pelukan.
Koko, aku.... aku takut....!
Dalam kata-kata itu terkandung kegelisahan besar dan tubuhnya agak menggigil.
Jangan takut, Moi-moi, ada aku
di sampingmu, takut apakah?! Suma Hoat memperkuat pelukannya.
Kalau sudah sampai di kota
raja, aku.... ah, tentu akan dikawinkan....!
Tidak! Sudah kukatakan bahwa
aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku! Aku akan minta bantuan ayahku
yang berpengaruh untuk meminangmu dan untuk menundukkan keluarga Thio. Jangan
khawatir, engkau tentu akan menjadi isteriku, sayang, isteriku tercinta!!
Kim Hwa merangkul dan kini
dialah yang mencium bibir pemuda itu. Koko, aku telah menjadi isterimu dan akan
menjadi isterimu salamanya, apa pun yang terjadi, di dunia maupun di akhirat!
Lebih baik aku mati daripada pria lain menjamah tubuhku yang telah menjadi
milikmu.!
Hati Suma Hoat menjadi gembira
sekali dan ia ingin cepat-cepat sampai ke kota raja agar urusannya ini dapat
segera diselesaikan, agar dia dapat segera menjadi suami isteri dengan Kim Hwa
dan takkan terpisah lagi selamanya. Maka dibalapkanlah kudanya, menuju ke kota
raja!
Ketika akhirnya Suma Hoat
menurunkan Kim Hwa di depan gedung keluarga Thio dan disambut oleh bangsawan
itu dan Ciok Khun yang sudah agak sembuh, hati mereka ini merasa tidak senang.
Akan tetapi, keluarga Thio tentu saja tidak berani menegur putera Suma-ciangkun
sedangkan Ciok Khun yang telah ditolong, juga tidak berani berkata apa-apa
sungguhpun hati ayah ini tidak enak karena puterinya menyusul demikian terlambat.
Apa saja yang terjadi selama sehari semalam itu dengan puterinya? Setelah
menyerahkan Kim Hwa, Suma Hoat lalu membedalkan kudanya pulang ke rumah orang
tuanya.
***
Taijin, mohon Paduka sudi
menolong hamba....!! Bangsawan Thio setengah menangis ketika menghadap Menteri
Kam Liong, kemudian melaporkan tentang peristiwa yang menimpa keluarganya dan
yang mengancam pencemaran nama keluarganya. Adiknya yang sudah duda akan
menikah dengan puteri keluarga Ciok, akan tetapi ketika keluarga itu berangkat
ke kota raja, di tengah jalan diganggu perampok dan ditolong oleh Suma-kongcu.
Sekarang tiba-tiba
Suma-ciangkun mengajukan pinangan kepada Ciok Khun, meminang puterinya untuk
Suma-kongcu! Padahal, dara itu telah menjadi calon isteri adik hamba, Taijin.
Kalau sampai dibatalkan, bagaimana pendapat oraang akan nama baik keluarga
hamba?!
Menteri Kam Liong mengerutkan
alisnya. Dia cukup mengenal adik misannya, Suma Kiat atau Suma-ciangkun yang
banyak mengumpulkan selir-selir muda yang cantik dengan cara apa pun, kalau
perlu dengan kekerasan. Dia pun sudah mendengar akan watak Suma Hoat, putera
tunggal adik misannya itu yang terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang
dan sudah biasa berkeliaran ke rumah-rumah pelacuran. Kini, menghadapi
peristiwa ini tentu saja ia menjadi marah dan menganggap bahwa keluarga Suma
tidak patut, hendak merampas calon isteri orang lain!
Hemmm, sungguh tidak benar
perbuatan itu! Jangan khawatir, sekarang juga aku akan menulis surat kepada
Suma-ciangkun agar suka menarik kembali pinangannya dan minta maaf kepada Ciok
Khun!!
Bangsawan Thio tiba-tiba
menjatuhkan diri berlutut. Terima kasih atas bantuan Taijin, akan tetapi....
uhhh....!
Apa lagi?! Menteri Kam Liong
membentak karena hatinya kesal mendengar urusan yang tidak menyenangkan hatinya
itu.
Mengenai pinangan itu, kalau
Taijin mencampuri, tentu beres dan hamba bersyukur sekali. Akan tetapi, sungguh
hamba sekeluarga bingung menghadapi Suma-kongcu....!
Dia kenapa?! Menteri Kam Liong
mengerutkan alisnya.
Dia.... setiap malam.... mengunjungi
Ciok Kim Hwa di kamarnya.... hamba sekeluarga mana berani mengganggunya?!
Apa....!! Menteri itu
menggebrak meja dan bangkit berdiri. Bocah kurang ajar! Biar aku sendiri yang
akan menghadapinya setelah surat kukirim dan pinangan ditarik kembali. Kalau
dia masih berani mengganggu, aku sendiri yang akan menghajarnya. Pergilah!!
Bangsawan Thio mengundurkan
diri dengan ketakutan melihat menteri itu marah-marah. Menteri Kam Liong lalu
menulis surat setelah menenggak araknya untuk mengusir perasaan marah di
hatinya. Berulang kali ia menarik napas, teringat akan nenek moyang keluarga
Suma yang tidak patut.
Ketika menerima surat dari
kakak misannya, Panglima Suma Kiat mengepal-ngepal tinju dengan hati bingung.
Dia ditangisi Suma Hoat, dipaksa meminang Ciok Kim Hwa dan hal itu telah
dilakukannya. Siapa kira, kini Menteri Kam Liong turut campur dan tentu saja
dia tidak berani membantah. Segera dikirimnya utusan kepada keluarga Ciok yang
tinggal mondok di gedung keluarga bangsawan Thio, membatalkan pinangan. Berita
ini diterima dengan penuh kegembiraan oleh Ciok Khun dan keluarga Thio. Akan
tetapi, diterima dengan ratap tangis oleh Kim Hwa di dalam kamarnya yang
mengunci pintu dan tidak mau makan, hanya menangis saja dalam kamar tertutup.
Ketika Suma Hoat pulang, dia
disambut oleh maki-makian ayahnya yang marah-marah dan menganggap puteranya itu
membikin malu saja. Mula-mula Suma Hoat menjadi heran dan bingung, akan tetapi
ketika mendengar bahwa ayahnya terpaksa membatalkan pinangan terhadap Kim Hwa
karena teguran Menteri Kam Liong, pemuda ini hampir pingsan dan lari ke
kamarnya, menangis, dan meninu-ninju kasur. Wajahnya menjadi pucat sekali dan
hatinya hancur. Aku akan lari bersamanya!! Ia berkata seorang diri, matanya
menjadi merah dan liar. Malam ini aku mengajak dia larl minggat! Itulah jalan
satu-satunya!!
Malam itu gelap sekali. Hujan
turun rintik-rintik sejak sore, membuat hawa menjadi dingin, cuaca gelap dan
keadaan sunyi senyap. Di ruangan dalam gedung bangsawan Thio. Menteri Kam Liong
dijamu penuh kehormatan oleh bangsawan Thio, adiknya calon pengantin, duda yang
usianya sudah lima puluh tahun, dan ditemani pula oleh Ciok Khun. Menteri Kam
Liong diundang selain untuk dijamu dan sebagai tanda terima kasih keluarga itu,
juga Menteri ini memenuhi janjinya untuk mencegah Suma Hoat mengganggu Ciok Kim
Hwa di kamarnya.
Para penjaga sudah disiapkan
bersembunyi di sekeliling kamar Kim Hwa, bertugas mengintai kalau-kalau Suma
kongcu datang di kamar itu seperti biasa. Datang seperti setan karena pemuda
ini datang melalui genteng dan bergerak cepat seperti burung saja. Mereka hanya
bertugas mengintai, karena untuk menangkap tentu saja mereka tidak berani.
Untuk tugas itu, mereka mengharapkan bantuan Menteri Kam Liong yang selain
tinggi ilmunya, juga tinggi kedudukannya dan masih pek-hu (uwa) dari pemuda
bangsawan yang lihai itu.
Sesosok bayangan berkelebat
dan para penjaga cepat lari memberi laporan kepada mereka yang masih makan
minum di ruangan dalam. Mendengar laporan ini merah wajah Kam Liong dan
bergegas mereka semua lari menuju ke kamar dara itu. Bangsawan Thio bersama
adiknya di depan, disusul Ciok Khun dan paling belakang adalah Menteri Kam
Liong yang bersikap tenang sungguhpun hatinya panas, malu dan marah. Betapapun
juga, Suma Hoat adalah keponakannya dan perbuatan itu berarti mencemarkan nama
baiknya pula.
Bayangan itu memang Suma Hoat
yang bergegas memasuki kamar kekasihnya melalui genteng. Sambil membongkar
genteng ia membayangkan betapa kali ini kekasihnya tentu tidak menyambut dengan
ciuman dan pelukan gembira seperti biasa, dan mungkin akan menyambutnya dengan
tangisan, akan tetapi ia sudah mengambil keputusan untuk membawa lari
kekasihnya, menghiburnya dan membahagiakannya. Setelah berhubungan cinta dengan
Kim Hwa, ia tidak suka menoleh ke arah wanita lain, seolah-olah ia muak
terhadap wanita lain. Ia sudah menemukan cintanya! Jangan khawatir, kekasihku,
kita akan hidup, ia berbisik, sambil menutupkan kembali genteng agar jangan
kemasukan air hujan, kemudian membuka langit-langit dan meloncat turun dengan
ringan sekali ke dalam kamar. Ia menduga bahwa Kim Hwa tentu menelungkup di
ranjang sambil menangis.
Setelah kedua kakinya
menginjak lantai, ia menghampiri pembaringan, membuka kelambu dan....
pembaringan itu kosong! Matanya mencari-cari dan seperti ada sesuatu yang
mendorongnya, ia membalikkan tubuh ke kanan dan.... ia tersentak kaget,
napasnya terhenti seketika, kedua kakinya menggigil, matanya terbelalak
memandang kearah tubuh yang tergantung di sudut, tubuh yang tak bergerak-gerak,
tubuh Kim Hwa yang lehernya terikat ikat pinggang dan tergantung pada tiang
melintang. Sebuah bangku roboh terguling di bawah kakinya.
Suma Hoat memaksa kakinya
melangkah, kakinya menggigil, wajahnya pucat, bibirnya gemetar, bergerak-gerak
namun tak mengeluarkan suara, kedua lengannya diulur ke depan, siap memeluk,
hatinya menjerit. Kekasihku, marilah.... kenapa kau tidak menyambut aku....?!
Akan tetapi tubuh itu masih tergantung tak bergerak dan ia terhuyung ke depan,
pandang matanya gelap, mengharapkan semua ini hanya mimpi, digigitnya bibirnya
sendiri sampai robek berdarah, namun tetap saja tubuh kekasihnya itu
tergantung, tak bergerak.
Kim Hwa....!! Jeritnya meledak
dari dasar hatinya dan pemuda itu terguling roboh, pingsan di bawah kaki mayat
Kim Hwa yang masih tergantung!
Pintu kamar ditendang roboh
oleh Menteri Kam Liong yang berlari-lari mendengar jerit dari kamar itu. Mereka
semua masuk dan berdiri terbelalak memandang berganti-ganti ke arah mayat Kim
Hwa yang tergantung lehernya dan tubuh Suma Hoat yang rebah pingsan.
Kim Hwa anakku....!! Ciok Khun
berseru akan tetapi ia ditahan oleh bangsawan Thio ketika hendak menubruk maju
karena khawatir menyaksikan kehadiran Suma Hoat.
Suma Hoat....!! Kam Liong
berseru memanggil keponakannya dengan suara berat.
Suma Hoat bergerak perlahan,
mengeluh lalu berdongak. Kim Hwa....!! Ia menjerit lagi, meloncat bangun dan
sekali renggut putuslah ikat pinggang yang mengikat leher dan memutuskan nyawa
gadis itu. Dipondongnya tubuh itu, lalu dipangkunya, diciumnya muka itu didekap
kepalanya.!Kim Hwa....! Kekasihku.... Isteriku.... kau.... kau.... aduh, Kim
Hwa.... mengapa kau membunuh diri....?! Suma Hoat menangis, mengguguk diatas
dada mayat kekasihnya. Kemudian ia mengangkat muka, memandang wajah kekasihnya
yang matanya terpejam seperti orang tidur
Lalu ia memondong tubuh itu,
perlahan dibawanya tubuh itu ke atas ranjang, direbahkannya hati-hati, lalu
diselimutinya dan ia berkata lirih, Kekasihku, engkau tentu lelah, ya? Engkau
mengantuk? Tidurlah manis, tidurlah nyenyak. Biar aku menjagamu....! Kemudian
matanya terbelalak, seolah-olah ia baru tahu bahwa kekasihnya yang disangkanya
tidur itu tak bernapas lagi dan, ia menggerak-gerakkan bibir tanpa ada suara
yang keluar! Kemudian ia mengeluh dan merintih, seperti anak kecil kebingungan,
diguncang-guncangnya pundak Kim Hwa, dan terdengar keluhannya,