Bab 6
***
Gadis cilik itu
membalapkan kudanya naik ke bukit itu. Seorang gadis mungil, berusia antara
sebelas dan dua belas tahun dengan wajah yang manis dan sepasang mata yang jeli
dan indah. Anak perempuan itu mengenakan pakaian cukup indah dan cara dia
menunggang kuda membuktikan bahwa ia sudah biasa dengan permainan ini. Kudanya
juga seekor kuda yang baik sekali, dengan tubuh panjang dan leher panjang. Anak
perempuan itu seperti berlumba saja ketika melarikan kudanya semakin cepat,
padahal jalan itu tidak rata dan mendaki. Namun, agaknya ia memang sudah biasa
dengan daerah ini, dan kudanyapun bukan baru sekali itu saja membalap ke arah
puncak bukit di mana terdapat banyak rumput hijau segar yang gemuk dan yang
akan dinikmatinya sebagai hadiah kalau mereka sudah tiba di puncak.
Akhirnya tibalah mereka di
puncak bukit yang merupakan tanah datar dengan padang rumput yang luas. Gadis
cilik itu meloncat turun, ia dan kudanya bermandi keringat, dan keduanya nampak
gembira. Apalagi setelah anak perempuan itu melepaskan kendali kuda dan
membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri menjatuhkan diri duduk di atas
rumput yang tebal, keduanya sungguh meniknati keindahan alam, hawa udara yang
berbau harum itu, bau tanah dan tumbuh-tumbuhan yang segar. Kicau burung
menambah semarak suasana. Beberapa lamanya anak perempuan itu rebah telentang
di atas rumput, melepaskan lelah dan memejamkan mata. Alangkah nikmatnya
telentang di atas rumput seperti itu! Lebih nikmat daripada rebah di atas kasur
yang paling lunak dengan tilam sutera yang paling halus.
Akan tetapi seekor semut
yang agaknya tertindih olehnya, menegigit tengkuknya. Ia bangkit dan menepuk
semut itu, membuangnya sambil bersungut-sungut. ‘Semut jahil kau!! katanya
dan kini ia menoleh kepada kudanya. Ketika ia melihat betapa kuda itu makan
rumput dengan lahapnya, nampak enak sekali dengan mata yang lebar itu
berkedap-kedip melirik ke arahnya, ia menelanludah dan perutnya tiba-tiba saja
merasa lapar sekali.
Anak perempuan itu adalah
Yauw Bi Sian. Seperti telah kita ketahui, Bi Sian tinggal bersama ayahnya, Yaw
Sun Kok, di kota Sung-jan, di ujung barat Propinsi Sin-kiang. Di tempat
tinggalnya banyak terdapat penduduk aseli Suku Bangsa Kirgiz, Uigur, dan Kazak
yang ahli menunggang kuda. Oleh karena keadaan lingkungan ini, sejak kecilpun
Bi Sian pandai menunggang kuda. Apalagi ia memang menerima latihan ilmu silat
dari ayahnya, maka menunggang kuda merupakan satu di antara kepandaian yang
cocok untuknya. Ayahnya yang amat sayang kepadanya bahkan membelikan seekor
kuda yang baik untuknya dan sudah biasa Bi Sian membalapkan kudanya pergi
seorang diri ke lembah-lembah dan padang-padang rumput.
Kepergian Sie Liong
membuat anak perempuan ini berduka dan berhari-hari ia menangis dan mendesak
ayah ibunya agar mencari Sie Liong sampai dapat dan mengajaknya pulang. Ia
merasa kehilangan sekali karena ia tumbuh besar di samping pawan kecilnya itu
yang merupakan paman, juga kakak, juga sahabat baiknya. Semua hiburan ayah
ibunya tidak dapat mengobati kesedihannya ketika ayahnya gagal menemukan
kembali Sie Liong.
Akan tetapi, lambat laun
ia manpu juga melupakan Sie Liong dan pada hari itu, setengah tahun setelah Sie
Liong pergi, ia membalapkan kuda seorang diri menaiki bukit itu. Matahari sudah
condong ke barat dan Bi Sian yang merasa perutnya tiba-tiba menjadi lapar
sekali melihat kudanya makan rumput, bangkit dan menghampiri kudanya.
Dirangkulnya leher kudanya. Kuda itu dengan manja mengangkat kepala dan
mengusapkan pipinya ke kepala gadis cilik itu.
‘Hayo kita pulang, hari
telah sore,! bisik Bi Sian dan iapun memasangkan kembali kendali kudanya. Pada
saat itu, muncul lima orang laki-laki kasar. Mereka itu berusia rata-rata tiga
puluh tahun dan mereka menghampiri Bi Sian sambil tersenyum menyeringai. Karena
tidak mengenal mereka, Bi Sian mengerutkan alisnya dan tidak memperdulikan
mereka. Akan tetapi ketika melihat gadis cilik itu hendak meloncat naik ke
punggung kuda, tiba-tiba seorang di antara mereka melangkah maju dan merampas
kendali kuda dari tangan Bi Sian.
‘Perlahan dulu, nona.
Kuda ini berikan kepada kami!! katanya.
Bi Sian terkejut dan
marah. Ia sama sekali tidak merasa takut, sama sekali tidak ingat bahwa ia
berada di tempat yang sunyi sekali dan lima orang itu jelas bukan orang
baik-baik. Telunjuknya menuding ke arah muka orang yang merampas kudanya.
‘Siapa kalian? Berani
kalian mengambil kudaku?! bentaknya.
‘Ha-ha-ha, bukan hanya
kudamu, nona, akan tetapi segala-galanya yang ada padamu. Hayo lepaskan semua
pakaianmu, kami juga minta semua pakaianmu itu.!
Bi Sian terbelalak, bukan
karena takut melainkan karena marahnya. Saking marahnya, ia tidak mengeluarkan
kata-kata lagi melainkan ia sudah meloncat ke depan dan memukul ke arah perut
orang yang bicara itu, seorang laki-laki brewokan yang agaknya menjadi pemimpin
mereka. Serangannya cepat sekali datangnya. Maklum, biarpun usianya baru hampir
dua belas tahun, akan tetapi sejak kecil Bi Sian sudah menerima gemblengan
ayahnya yang pandai sehingga dalam usia sekecil itu ia sudah memiliki ilmu
silat yang lumayan, terutama gerakannya cepat sekali walaupun dalam hal tenaga,
ia masih belum kuat benar. Si brewok itu sambil tertawa-tawa mencoba untuk
menangkap, akan tetapi dia kalah cepat.
‘Bukkk!! Perutnya kena
dihantam tangan yang kecil itu dan diapun terjengkang. Biarpun tidak terlalu
nyeri, akan tetapi dia terkejut dan juga merasa malu. Kawan-kawannya segera
menubruk dan tentu saja Bi Sian tidak mampu melawan lagi ketika mereka itu
meringkusnya.
‘Lepaskan ia!! tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring dan seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun
lebih, muncul di tempat itu. Bi Sian segera mengenal pemuda ini yang bukan lain
adalah Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan,
pemuda yang pernah berkelahi dengan ia dan Sie Liong. Pemuda yang oleh ayahnya
dicalonkan menjadi suaminya!
Lima orang itu membalik
dan memandang kepada Lu Ki Cong tanpa melepaskan kedua lengan Bi Sian yang
mereka telikung ke belakang. ‘Hemm, bocah lancang, siapa kau?! bentak si
brewok sambil menghampiri Ki Cong dengan sikap mengancam.
Akan tetapi pemuda remaja
itu tidak menjadi gentar. Diapun melangkah maju, membusungkan dada dan menjawab
dengan lantang, ‘Namaku Lu Ki Cong, putera dari Lu-ciangkun komandan keamanan
di Sung-jan!!
‘Ahhh....!! Si brewok
terkejut dan melangkah mundur mendekati teman-temannya yang juga terkejut dan
memandang ketakutan.
‘Maaf.... maafkan
kami.... kongcu....! Si brewok berkata dengan suara gemetar.
Lu Ki Cong melanpkah maju
lagi. ‘Kalian tidak tahu siapa gadis ini? Ia adalah puteri Yauw Taihiap,
seorang pendekar besar di Sung-jan, dan ia tunanganku, mengerti?!
‘Maaf.... maaf....! Kini
lima orang itu melepaskan Bi Sian dan mereka menggigil ketakutan.
‘Kalian patut dihajar!!
Ki Cong lalu melangkah maju dan tangan kakinya bergerak, menampar dan
menendang. Lima orang itu jatuh bangun lalu mereka melarikan diri tunggang
langgang, meninggalkan kuda tunggangan Bi Sian.
Sejenak dua orang muda
remaja itu saling pandang dan dalam pandang mata Bi Sian ada sinar kagum. Tak
disangkanya pemuda yang nakal itu memiliki keberanian dan kegagahan!
‘Terima kasih....!
katanya lirih, agak malu-malu mengingat bahwa tadi pemuda itu memperkenalkan ia
sebagai tunangannya kepada para penjahat.
Ki Cong tersenyum bangga,
lalu mendekati gadis cilik itu. ‘Sian-moi, perlu apa berterima kasih? Sudah
semestinya kalau aku membela dan melindungimu, kalau perlu dengan jiwa ragaku,
bukankah engkau ini tunanganku dan calon isteriku?! Berkata demikian, Ki Cong
mendekat dan tangannya lalu memegang lengan Bi Sian dengan mesranya. Merasa
betapa lengannya diraba dengan mesra, meremang rasanya bulu tengkuk Bi Sian dan
iapun menarik tangannya dengan renggutan, dan iapun melangkah mundur, alisnya
berkerut.
‘Aku tidak minta
pertolonganmu, dan aku bukan tunanganmu!! bentaknya marah.
‘Aihh, jangan bersikap
seperti itu kepadaku, calon suamimu, Sian-moi. Ingat, antara orang tua kita
sudah setuju akan perjodohan kita....!
‘Aku tidak perduli! Aku
tidak sudi!! kembali Bi Sian membentak.
‘Sian-moi, jangan
begitu. Mengapa engkau membenci aku? Apakah aku tidak menang segala-galanya
dibandingkan anak bongkok itu?!
Tiba-tiba sepasang mata
yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang seperti bernyala. ‘Jangan
menghina paman Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik
dari padamu!!
Karena pertolongannya tadi
agaknya tidak mendatangkan perasaan berterima kasih dan bersukur dari gadis
cilik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar, ‘Sian-moi,
engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tidak ada aku, apa yang terjadi padamu?
Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau telah
diperkosa! Dan engkau sedikitpun tidak berterima kasih kepadaku!!
‘Hemm, sudah kukatakan
aku tidak minta pertolonganmu dan tadi aku sudah bilang terima kasih. Mau apa
lagi?!
‘Setidaknya engkau harus
memberi ciuman terima kasih!! kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan
gadis cilik itu dan hendak merangkul dan mencium. Akan tetapi Bi Sian
menggerakkan tangannya.
‘Plakkk!! Pipi pemuda
remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.
‘Kau memang tidak tahu
terima kasih!! Lalu dia menangkap kedua pergelangan tangan Bi Sian. Gadia cilik
itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong sudah berhasil
merangkulnya, mendekap dan mencari muka anak perempuan itu dengan hidungnya.
Akan tetapi Bi Sian meronta dan membuang muka ke kanan kiri sehingga ciuman
yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran.
Tiba-tiba nampak ada
tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memukul kepala penuda remaja itu.
‘Tokk!! Seketika kepala
itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong berteriak mengaduh sambil meraba
kepalanya yang rasanya berdenyut-denyut. Dia melepaskan rangkulannya pada Bi
Sian dan membalik. Ketika dia melihat seorang kakek gembel yang tua berdiri
sambil memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.
‘Kau.... kau berani
nemukul aku?! bentaknya sambil melangkah maju mendekati kakek tua renta itu
dengan sikap mengancam.
Kakek yang rambutnya putih
riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan
saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian
mengemplang kepala Ki Cong dengan tongkatnya. Kini dia tertawa terkekeh-kekeh.
‘Aku! Memukulmu?
Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!!
‘Gembel tua busuk! Mana
bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kau pukulkan?!
‘Siapa bilang tidak
bisa?! Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata,
‘Tongkat, orang
menghinamu, dikatakannya engkau tidak bisa memukul sendiri. Tunjukkan bahwa
engkau bisa memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa
kali!!
Sungguh aneh sekali.
Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu
menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong.
‘Plakk!! Ki Cong
berteriak kesakitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia
dan kembali tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan
setengah mati dan sambil berteriak-teriak diapun lari tunggang langgang ke
bawah bukit setelah tongkat itu menghajar pantatnya beberapa kali.
Melihat ini, Bi Sian
tertawa senang sekali. Iapun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat
memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek
gembel. Bi Sian mendekati.
‘Kakek yang aneh,
sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tongkat pusaka, tongkat wasiat?!
‘Heh? Pusaka? Wasiat?
Ini tongkat butut, heh-heh-heh!!
Bi Sian makin mendekat,
sedikitpun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek gembel yang
terkekeh-kekeh dan menyeringai seperti orang gila itu.
‘Kakek, maukah engkau
memberikan tongkat itu kepadaku?!
‘Tongkat ini? Tongkat
butut ini? Heh-heh, boleh saja....!
Bi Sian gembira bukan main
dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu,
akan tetapi hanya sebatang tongkat biasa saja, sebuah potongan ranting pohon
yang sudah kering dan kotor. Ia mencoba untuk menggerak-gerakkan tongkat itu,
akan tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.
‘Kek, maukah engkau
mengajarkan aku caranya membuat tongkat ini terbang dan memukuli orang kurang
ajar? Aku ingin sekali belajar ilmu itu.!
Kakek itu tertawa
bergelak. ‘Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?!
‘Wah, banyak sekali
kegunaannya, kek. Pertama, untuk melindungi diriku sendiri. Ke dua, dapat
kupergunakan untuk melindungi paman kecilku yang bongkok.!
‘Paman kecil bongkok?!
‘Ya, pamanku Sie Liong
itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki
Cong tadi juga menghinanya!!
‘Sie Liong.... anak....
bongkok?! Koay Tojin berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.
‘Benar, kek! Apakah
engkau pernah melihatnya? Dia melarikan diri dari rumah ayah, sudah
berbulan-bulan, entah berada di mana, aku rindu sekali padanya. Kek, bolehkah
aku belajar ilmu itu?!
Koay Tojin mengelus
jenggotnya lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan
memasukkan kutu itu ke bibirnya. ‘Engkau benar mau menjadi muridku? Bukan
hanya memainkan tongkat itu, bahkan menpelajari ilmu-ilmu yang akan membuat
engkau menjadi orang paling lihai di dunia ini?!
‘Mau, kek! Aku mau
sekali!! kata Bi Sian girang karena ia mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan
dengan orang sakti, seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah
bercerita bahwa di dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga
kepandaiannya seperti dewa saja.
Untuk beberapa detik Koay
Tojin seperti kehilangan kesintingannya dan sepasang matanya yang mencorong itu
menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang
sinting kembali lagi.
‘Kau benar-benar mau?
Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau harus ikut ke manapun aku pergi, dan
aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apapun, dan kau harus bersedia hidup
seperti anak gembel seperti aku!!
‘Apa sukarnya? Aku
bersedia!! jawab Bi Sian dengan penuh semangat. Ia teringat kepada paman
kecilnya yang tentu hidup sebagai gembel pula. Dan tidak mungkin akan mati
kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua
ini.
‘Dan untuk waktu yang
tidak sedikit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai
aku mati!!
‘Aku setuju!!
‘Dan mentaati semua
perintahku!!
‘Setuju!!
‘Ha-ha-ha-ha....! Kakek
itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perut yang terguncang, kepalanya
menengadah dan mulutiya ternganga. Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa, akan
tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek itu yang tadinya menengadah
kini membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis. ‘Hu-hu
huuhhh....!
Tentu saja Bi Sian tidak
mau ikut nenangis, melainkan ikut duduk di atas rumput, sejenak memandang kakek
yang menangis tersedu-sedu itu dengan bengong. Karena kakek itu tidak juga
berhenti menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu
dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, ia mulai curiga, akan tetapi tidak
merasa takut, melainkan geli.
‘Kek, kenapa menangis?!
Tiba-tiba kakek itu
menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan muka yang basah air
mata, matanya kemerahan, kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak.
Tangis, seperti juga tawa, memang mempunyai daya tular yang ampuh. Biarpun
tadinya Bi Sian tidak mau ikut menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu
tidak dibuat-buat, melainkan menangis sungguh-sungguh tanpa disadarinya lagi
air matanya mulai keluar dari kedua matanya, menetes-netes menuruni kedua pipi.
Bi Sian terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air
mata dari kedua pipinya dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan
bertanya.
‘Hei, kakek, kenapa kau
menangis? Kenapa? Aku jadi ikut menangis, maka aku ingin tahu apa yang kita
tangiskan seperti ini. Orang tertawa atau menangis harus ada sebabnya, kalau
tanpa sebab kita bisa dianggap orang gila!!
Tiba-tiba saja kakek itu
berhenti menangis dan kini dia tertawa. Melihat anak perempuan itu memandangnya
dengan mata terbelalak, diapun berkata sambil mencela. ‘Kenapa kita tidak
boleh tertawa dan menangis tanpa sebab? Kita tertawa atau menangis menggunakan
mulut kita sendiri, tidak meminjam mulut orang lain, apa perduli pendapat orang
lain?!
‘Tapi kau tertawa dan
menangis tanpa memberitahu sebabnya, sungguh membikin aku menjadi bingung, kek.
Biasanya orang yang menangis dan tertawa tanpa sebab hanya orang-orang yang
miring otaknya, dan aku yakin engkau bukan orang sinting.!
‘Ha-ha-ha-ha, kau kira
orang sinting itu jelek? Di dunia ini, mana ada orang yang tidak sinting? Aku
tertawa karena hatiku gembira mendapatkan seorang murid yang baik seperti
engkau. Dan aku menangis karena aku harus mewariskan ilmu-ilmu kepadamu.
Hu-hu-huuhhh....! Kembali dia menangis.
Bi Sian mengerutkan
alisnya. ‘Sudahlah, kek. Jangan menangis. Kalau memang engkau tidak rela
mewariskan ilmu-ilmu kepadaku, sudah saja jangan menjadi guruku.!
‘Apa?! Seketika tangis
itu terhenti dan dia memandang dengan mata terbelalak. ‘Bukan takut
kehilangan ilmu karena biar kuwariskan kepada seratus orangpun tidak akan
habis, hanya ingat akan mewariskan itu aku jadi ingat bahwa berarti aku akan
mati! Dan aku takut.... aku takut mati....!
‘Hemm, engkau takut
mati, kek?!
Kakek itu berhenti lagi
setelah tangisnya disambung dengan wajah ketakutan, dan dia memandang wajah Bi
Sian. ‘Apa kau tidak takut mati?!
Anak perempuan itu
menggeleng kepala, pandang matanya jujur terbuka tidak pura-pura. ‘Kenapa aku
harus takut, kek? Orang takut itu kan ada yang ditakutinya. Kalau kematian,
kita kan tidak tahu apa itu kematian, bagaimana itu yang namanya mati. Kenapa
takut kepada sesuatu yang tidak kita mengerti? Aku tidak takut mati, kek!!
Kakek itu terbelalak,
memandang kepada anak perempuan itu dengan penuh heran dan kagum. Tiba-tiba dia
menjatuhkan diri berlutut di depan Bi sian. ‘Kau pantas menjadi guruku!
Ajarilah aku bagaimana agar aku tidak takut mati! Aku mau menjadi muridmu....!
Bi Sian melongo. Berabe,
pikirnya. Kakek gembel yang memiliki ilmu kesaktian ini agaknya memang benar-benar
sinting! ‘Wah, jangan gitu, kek. Bukankah aku yang menjadi muridmu dan
sepatutnya aku yang berlutut? Bangkitlah dan biarkan aku yang berlutut memberi
hormat kepadamu.!
‘Tidak! Tidak!! Koay
Tojin bersikeras. ‘Sebelum engkau mengajari aku bagaimana caranya agar tidak
takut mati, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut terus di depanmu sampai
dunia kiamat!!
Bi Sian seorang anak
berusia sebelas tahun lebih, bagaimana mungkin dapat memikirkan hal yang rumit
dan penuh rahasia seperti kematian? Ia seorang anak yang masih belum dewasa,
masih bocah. Akan tetapi justeru kepolosannya itulah yang membuat ia berpemandangan
polos dan sederhana, tidak seperti orang dewasa yang suka mengerahkan
pikirannya sehingga muluk-muluk dan berbelit-belit. Bi Sian hanya berpikir
sebentar, mengapa ia tidak pernah takut akan kematian.
‘Gampang saja, kek.
Jangan pikirkan tentang mati karena kita tidak mengerti. Jangan pikirkan dan
kau tidak akan pusing, tidak akan takut!!
Jawaban itu memang
sederhana dan sama sekali tanpa perhitungan, akan tetapi dasar kakek itu
sinting, dia menerimanya dan ‘mengolahnya! di dalam benaknya.
‘Jangan pikirkan....
jadi pikiran yang mendatangkan rasa takut? Kalau aku tidur, pikiran tidak
bekerja, apakah aku pernah takut? Tidak! Orang pingsanpun tidak pernah takut,
apalagi orang mati, sudah tidak bisa takut lagi! Jangan pikirkan....! Ha-ha-ha,
benar sekali! Tepat sekali! Itulah ilmunya!! Dan diapun bangkit, menyambar
tubuh Bi Sian dan melempar-lemparkan tubuh itu ke atas. Ketika tubuh turun,
ditangkap dan dilemparkan lagi, makin lama semakin tinggi. Mula-mula Bi Sian
agak merasa ngeri juga, akan tetapi betapa setiap kali meluncur turun tubuhnya
disambut dengan cekatan dan lunak, iapun tidak lagi merasa ngeri, bahkan
menikmati permainan aneh ini. Kalau tubuhnya dilempar ke atas, ia merasa
seperti menjadi seekor burung yang terbang tinggi, maka mulailah ia mengatur
keseimbangan tubuhnya agar kalau dilempar ke atas, kepalanya berada di atas dan
ketika meluncur turun, ia dapat membalikkan tubuh sehingga terjun dengan kepala
dan tangan di bawah.
‘Lebih tinggi, kek!
Lebih tinggi lagi!! berkali-kali ia berteriak dengan gembira dan kakek itu
agaknya juga memperoleh kegembiraan luar biasa melihat muridnya itu sama sekali
tidak takut, bahkan menantangnya untuk melemparkannya lebih tinggi! Benar-benar
muridnya itu tidak berbohong dan tidak takut mati! Maka diapun melemparkan
tubuh anak perempuan itu makin lama semakin tinggi. Bi Sian memang cerdik
sekali dan juga memiliki keberanian luar biasa.
Makin tinggi lemparan itu,
membuka kesempatan lebih banyak baginya untuk berjungkir balik dan membuat
bermacam gerakan di udara sehingga ia semakin trampil dan cekatan.
Akan tetapi, betatapun
saktinya, Koay Tojin adalah seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh
puluh tahun lebih, maka permainan yang membutuhkan pengerahan tenaga itu
membuat dia merasa lelah. Tiba-tiba dia melemparkan tubuh murid itu jauh ke
kiri, ke arah sebatang pohon besar dan dia sendiri lalu meloncat ke bawah pohon
itu, siap menerima tubuh muridnya kalau meluncur ke bawah.
‘Heiii....!! Bi Sian
berteriak kaget akan tetapi tubuhnya sudah masuk ke dalam pohon itu, disambut
daun-daun dan ranting-ranting pohon mengeluarkan bunyi berkeresakan keras. Bi
Sian dengan ngawur mengulur kedua tangannya dan berhasil menangkap sebatang
batang pohon dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar dan tinggi sekali
sehingga kalau sampai ia terjatuh ke bawah, tubuhnya tentu akan remuk!
Koay Tojin yang sudah tiba
di bawah pohon, menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan tetapi tubuh
itu tak kunjung jatuh! Dia merasa heran dan berteriak ke atas, tanpa dapat
melihat Bi Sian karena daun pohon itu memang lebat.
‘Heiiiiii! Guruku....
eh, muridku yang tak takut mati! Di mana kau, he?!
‘Kakek nakal! Kenapa kau
melempar aku ke pohon ini?!
Mendengar suara anak
perempuan itu, Koay Tojin tertawa bergelak saking lega dan gembira hatinya.
‘Ha-ha-ha, bukankah engkau tadi belajar terbang seperti burung? Kalau menjadi
burung harus sekali waktu hinggap di dalam pohon!! Kakek itu meloncat ke atas
dan di lain saat dia sudah duduk di atas sebuah cabang pohon, membantu Bi Sian
terlepas dari batang yang dipeluknya dengan erat dan mendudukkan pula murid itu
ke atas dahan pohon yang kokoh kuat.
‘Suhu nakal.!
‘Suhu....? Siapa suhu
(guru)?!
Bi Sian memandang wajah
kakek itu. ‘Hemm, sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah menjadi muridmu?
Kalau tidak disebut suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua atau Kakek?!
‘O ya benar! Engkau
muridku, aku suhumu. Kenapa kau bilang aku nakal?!
‘Lihat saja muka dan
kulit tanganku ini. Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan daun
pohon.!
Koay Tojin memeriksa kulit
muka, leher dan tangan yang baret-baret itu. ‘Ah, tidak apa-ana. Engkau harus
biasa hidup di atas pohon, karena seringkali kalau berada di hutan, aku tidur
di atas pohon. Lebih enak dan aman tidur di atas pohon, selagi pulas tidak
dihampiri dan dicium harimau.!
Mau tidak mau Bi Sian
bergidik ngeri. ‘Dicium harimau? Apakah suhu pernah dicium harimau?!
‘Wah, sudah sering!!
‘Bagaimana rasanya,
suhu?!
‘Wah, geli! Kumisnya
yang kaku itu menggelitik muka dan leher dan ketika aku terbangun.... wah, di
depan mukaku nampak moncong dengan gigi yang runcing dan mata yang menyala, dan
napasnya yang berbau amis!!
‘Kenapa dia tidak
langsung menerkam, pakai cium-cium segala, suhu?!
‘Ha-ha-ha, mana harimau
mau langsung makan mangsanya sebelum mencium sepuas hatinya? Dia mencium untuk
menikmati bau harum dan sedap calon mangsanya. Untung bauku agak tidak enak,
apak, sehingga ketika mencium-cium dan hidungnya menyedot bauku yang apak,
harimau itu agak ragu-ragu, mungkin takut kalau dagingku beracun, ha-ha-ha!
Keraguan itu membuka kesempatan bagiku untuk menghajarnya sampai dia lari
terpincang-pincang dan berkaing-kaing!! Kakek itu tertawa gembira sambil
menepuk-nepuk lututnya. Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. ‘Wah, aku
lupa! Muridku, engkau harus mulai berlatih mengumpulkan hawa sakti,
membangkitkan tenaga sakti di dalam tubuhmu!!
Tentu saja Bi Sian menjadi
bingung. ‘Apa maksudmu, suhu? Aku tidak mengerti!!
Koay Tojin lalu memegang
kedua pundak muridnya itu, mengangkatnya dan menjungkirbalikkan tubuh anak itu
sehingga kedua kaki Bi Sian kini tergantung ke dahan pohon, bergantung pada
belakang lutut yang ditekuk dan kepalanya berada di bawah.
‘Pertahankan keadaan
begini sekuatmu, kedua tangan biarkan tergantung saja dan tarikan napas
sepanjang mungkin. Kalau matamu berkunang, pejamkan mata.!
‘Bagaimana kalau kakiku
tidak kuat dan kaitannya pada dahan terlepas, suhu?!
‘Bodoh! Jangan boleh
terlepas! Kalau terlepas kan ada aku di sini! Nah, sambil bergantung begini
kita bercakap-cakap!! Dan dia sendiripun lalu menggantungkan kedua kakinya
seperti halnya Bi Sian pada dahan yang lebih tinggi sehingga kepalanya
berhadapan presis dengan kepala muridnya itu, dalam jarak dua meter. Bi Sian
merasa lucu sekali berhadapan muka dengan kakek itu dalam keadaan terbalik.
‘Nah, sekarang katakan
siapa namamu!!
‘Namaku Yaw Bi Sian,
suhu.!
‘Bagus, nama yang bagus.
Bi Sian, gurumu ini dipanggil Koay Tojin, datang dari Himalaya akan tetapi
sekarang menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal tertentu.!
‘Sekarang aku telah
menjadi muridmu, suhu. Seorang murid harus berlutut dan memberi hormat kepada
suhunya.!
‘Benar, hayo lekas
berlutut di depanku!!
‘Bagaimana mungkin kalau
kita bergantung seperti ini?!
‘Ah, benar. Aku lupa,
mari kita turun dulu!! Dan sebelum Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya
sudah meluncur turun ditarik oleh kakek itu dan tahu-tahu mereka telah berada
di atas rumput lagi.
Bi Sian lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan Koay Tojin, memberi hormat sampai delapan kali. Koay
Tojin girang bukan main dan tertawa bergelak sambil bertolak pinggang.
‘Bagus, sekarang engkau
telah menjadi muridku, Bi Sian. Bangkitlah!!
Akan tetapi Bi Sian tidak
mau bangkit. ‘Tidak, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut sampai dunia
kiamat kalau suhu tidak meluluskan tuntutanku!!
Kakek itu memandang
bengong, lalu terkekeh. ‘Heh-heh-heh, engkau ini presis seperti aku tadi, mau
berlutut sampai kiamat! Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?!
‘Engkau lupa bahwa
engkau ini guruku. Siapa lagi yang ditiru murid kalau bukan gurunya?!
‘Wah, wah, repot dah!
Baiklah, katakan apa permintaanmu itu?!
‘Ada tiga permintaanku
yang harus suhu penuhi, baru aku mau bangkit. Kalau tidak, aku akan
berlutut....!
‘....sampai dunia
kiamat!! Koay Tojin menyambut sambil terkekeh dan Bi Sian tersenyum juga.
Betapa lucunya keadaan itu, pikir Bi Sian. Apakah kegilaan suhunya sudah
menular padanya?
‘Katakan apa
tuntutanmu!!
‘Pertama, sebelum aku
pergi dengan suhu, aku harus pamit dulu kepada ayah ibuku.!
‘Hemm, setuju! Akan
tetapi sebentar saja, dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu bahwa engkau
pergi dengan aku.!
‘Ke dua, aku akan
menjadi murid suhu paling lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku akan
pulang ke rumah orang tuaku.!
‘Setuju! Tujuh tahun itu
lama, mungkin sebelum tujuh tahun aku sudah mati....! Eh, apa yang kukatakan
ini? Mati.... hih, aku takut.... ah, tidak, tidak. Aku tidak takut. Mati itu
apa? Jangan dipikirkan, ha-ha-ha!!
‘Dan ke tiga....!
‘Banyak amat!!
‘Cuma tiga, suhu. Yang
ke tiga dan terakhir, aku mau berkelana dengan suhu, hidup kekurangan. Akan
tetapi aku tidak sudi kalau disuruh mengemis!!
‘Waah, heh-heh-heh,
akupun memang gelandangan dan gembel, akan tetapi tak pernah mengemis. Kalau
ada orang memberi, aku terima, akan tetapi aku tidak pernah minta. Apapun yang
kita butuhkan, aku mampu adakan, untuk apa mengemis?!
Benarkah? Suhu dapat
mengadakan apa yang kita butuhkan?!
‘Tentu saja?!
‘Hem, mana mungkin?
Seperti sekarang ini. aku butuh sekali minum karena haus, dapatkah suhu
mengadakan semangkuk air jernih?!
‘Heh-heh, apa sukarnya?
Semangkuk air jernih? Lihat ini, terimalah!!
Bi Sian terbelalak ketika
tiba-tiba gurunya itu sudah mengulurkan tangan kirinya yang memegang sebuah
mangkuk yang penuh dengan air jernih! Ia menerimanya dan dengan sikap masih
kurang percaya dan ragu-ragu ia mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya, lalu minum
air itu dengan segarnya.
‘Suhu, dari mana suhu
memperoleh semangkuk air dingin ini?! tanyanya, kini keraguannya lenyap karena
air itu terasa segar dan memang benar air jernih aseli! Sambil terkekeh kakek
itu menerima mangkuk kosong yang dikembalikan Bi Sian dan bagaikan main sulap
saja, tiba-tiba saja mangkok di tangannya itupun dia lontarkan ke udara dan
lenyap!
‘Kuambil dari udara....
heh-heh-heh!!
Bi Sian terbelalak.
‘Wah, enak kalau begitu!! teriaknya. ‘Kalau kita perlu makan, minum, rumah,
pakaian, emas permata, kita tinggal ambil dari udara! Suhu, ajari aku melakukan
hal itu, kita akan menjadi kaya raya!!
‘Hushhh! Kau sudah gila?
Tidak boleh begitu!!
‘Mengapa tidak boleh?!
‘Tak perlu
kuberitahukan, kelak engkau akan mengerti sendiri. Nah, sekarang kuturuti
permintaanmu tadi, mari kita kunjungi rumah keluarga orang tuamu agar engkau
berpamit dari mereka.!
‘Itu kudaku di sana,
suhu. Kita menunggang kuda!!
‘Wah, aku tidak pernah
menunggang kuda. Kalau engkau mengikuti aku berkelana, tidak boleh menunggang
kuda.!
‘Tapi sayang kalau kuda
itu ditinggalkan begitu saja. Setidaknya dia harus kubawa pulang. Marilah, kita
boncengan, suhu!!
‘Engkau naiklah, Bi
Sian. Biar kakiku hanya dua buah, tiga dengan tongkatku, kiranya tidak akan
kalah melawan kuda yang berkaki empat itu.!
‘Mana mungkin, suhu?!
‘Sudahlah, jangan
cerewet, Bi Sian. Mari kita pergi!!
Mendongkol juga hati Bi
Sian dimaki cerewet oleh gurunya. Boleh kaurasakan nanti, pikirnya. Ingin
berlumba dengan kudaku yang larinya seperti angin? Bagaimanapun juga, ia tidak
percaya suhunya akan mampu menandingi kecepatan kudanya. Iapun lalu meloncat ke
atas punggung kuda dan menoleh kepada gurunya yang masih duduk bersila di atas
tanah. ‘Mari kita berangkat, dan cepat, suhu. Hari sudah mulai sore!!
Berkata demikian, Bi Sian
lalu mencambuk kudanya dan membalapkan kuda berlari menuruni bukit dengan cepat.
Setelah beberapa lamanya ia berlari, ia menoleh untuk melihat gurunya yang
ditinggalkan jauh. Tentu saja ia akan berhenti kalau melihat suhunya tertinggal
jauh. Akan tetapt betapa kaget dan heran rasa hatinya melihat bahwa kakek itu
tepat berada di belakang kudanya, seolah-olah sedang melenggang seenaknya saja!
Ia merasa penasaran dan
mencambuki kudanya, membalapkan kudanya makin cepat lagi. Setelah beberapa
lamanya, kembali ia menoleh dan untuk ke dua kalinya ia terbelalak melihat
suhunya tetap berada di belakang kudanya, bahkan memegang ujung ekor kuda itu
sambil tersenyum-senyum kepadanya! Kini Bi Sian tidak ragu-ragu lagi. Suhunya
memang seorang sakti seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Hatinya merasa
kagum dan juga bangga, juga girang karena ia merasa yakin bahwa akan banyak
ilmu yang hebat dapat diterimanya dari kakek aneh ini. Akan tetapi suhunya
sudah begitu tua. Rasa iba menyelinap di dalam hati Bi Sian dan kini ia
membiarkan kudanya berlari lambat agar gurunya yang sudah tua itu tidak terlalu
mengerahkan tenaga.
Tiba-tiba Bi Sian
menghentikan kudanya. Mereka sudah tiba di kaki bukit dan ia melihat ada enam
orang berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka itu adalah lima orang perampok
tadi, dan di belakang mereka ia mengenal Lu Ki Cong! Tentu saja Bi Sian
terheran-heran. Bagaimana lima orang perampok itu dapat berada di situ bersama
Ki Cong dan agaknya di antara mereka tidak terdapat permusuhan? Bukankah tadi
lima orang ‘perampok! itu dimaki dan dihajar oleh Lu Ki Cong?
‘Heh-heh-heh, sahabatmu
yang kurang ajar itu sudah menanti bersama lima orang anak buahnya.!
Bi Sian terkejut.
‘Anak buahnya? Tidak,
suhu, mereka adalah lima orang perampOk yang tadi malah dihajar oleh Ki Cong
ketika mereka menggangguku!!
‘Heh-heh-heh, dan
kukatakan bahwa mereka adalah anak buahnya!!
‘Kalian mau apa
menghadang perjalananku?! bentak Bi Sian kepada lima orang itu. ‘Minggir!!
Akan tetapi, betapa heran
rasa hati Bi Sian ketika ia melihat Lu Ki Cong menggerakkan tangannya dan
berteriak kepada lima orang perampok itu. ‘Bunuh kakek gila itu dan tangkap
gadis itu untukku!!
Lima orang itu bergerak ke
depan dan mengepung Bi Sian dan Koay Tojin. Marahlah Bi Sian karena gadis yang
cerdik itu sudah dapat menduga apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia melompat
turun dari atas kudanya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu Ki Cong
sambil memaki.
‘Tikus busuk Lu Ki Cong!
Sekarang aku mengerti akal busukmu. Kiranya lima orang ini adalah antek-antekmu
yang sengaja kau suruh menggangguku tadi kemudian engkau muncul sebagai jagoan
yang mengundurkan mereka untuk menarik hatiku! Engkau memang tikus busuk yang
licik, curang, dan jahat sekali!!
Lu Ki Cong tidak menjawab,
akan tetapi lima orang tukanp pukulnya itu kini menghampiri Bi Sian dan Koay
Tojin dengan sikap mengancam. Kaoy Tojin hanya tersenyum lebar dan berkata
kepada Bi Sian, ‘Bi Sian, bukankah engkau ingin menghajar tikus-tikus itu?
Nah, hajarlah mereka, jangan beri ampun seorangpun, terutama tikus cilik di
belakang itu!!
Tentu saja Bi Sian menjadi
ragu-ragu. Ia sudah maklum bahwa tak mungkin ia mampu mengalahkan lima orang
tukang pukul itu. Tadipun ia tidak berdaya, bahkan menghadapi Lu Ki Congpun ia
kalah tenaga. Bagaimana kini ia harus menghajar enam orang itu?
‘Tapi, suhu, bagaimana
aku mampu....!
‘Hushh! Bikin malu saja!
Engkau kan muridku? Hayo hajar mereka dan kau gunakan tongkat bututku ini agar
tanganmu tidak kotor!! Kakek itu menyerahkan tongkatnya. Besar hati Bi Sian. Ia
percaya sepenuhnya akan kesaktian gurunya yang kadang-kadang seperti sinting
itu memerintahkan ia menyerang, tentu gurunya sudah siap sedia membantunya. Dan
tongkat itu agaknya tongkat wasiat, pikirnya. Buktinya, tadi tongkat itu dapat
menghajar Ki Cong tanpa dipegang oleh suhunya. Kini tongkat itu berada di
tangannya dan entah bagaimana, ia merasa hatinya besar dan penuh semangat
ketika tongkat itu berada di tangannya. Tanpa memperdulikan bahaya yang mungkin
mengancam dirinya lagi, Bi Sian menerjang ke depan menggerakkan tongkat butut
di tangannya. Bagaimanapun juga, Bi Sian sejak kecil digembleng ilmu silat oleh
ayahnya, maka ia memiliki gerakan yang gesit dan langkah yang teratur dan kuat.
Menghadapi serangan anak
perempuan yang memegang tongkat butut itu, lima orang tukang pukul itu tentu
saja memandang rendah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah
biasa mempergunakan kekerasan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup
hebat, dan tenaga yang kuat. Kalau tadi mereka ‘dihajar! oleh Lu Ki Cong, hal
itu memang disengaja dan sudah diatur sebelumnya, merupakan siasat Lu Ki Cong
untuk menalukkan hati Bi Sian yang keras. Ki Cong yang mengatur semuanya dan
mempergunakan mereka. Tadi, Lu Ki Cong lari turun dari bukit, menemui mereka
dan minta kepada mereka untuk menghajar dan membunuh kakek gembel yang telah menghinanya,
sekalian menangkapkan Bi Sian karena dia masih merasa penasaran bahwa gadis
cilik itu tetap tidak mau tunduk kepadanya!
Sambil tersenyum mengejek,
menyeringai lebar, seorang di antara mereka yang brewok, maju dan mengulur
tangannya hendak menangkis lalu menangkap dan merampas tongkat butut itu ketika
Bi Sian memukulkan tongkat itu ke arah mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia
terkejut bukan main karena tangannya itu tertahan di udara, tak dapat
digerakkan seperti bertemu dengan benda yang tidak nampak, sementara itu,
tongkat butut di tangan Bi Sian sudah menyambar ke arah mukanya. Saking
herannya melihat tangannya tidak dapat bergerak terus, si brewok itu tak sempat
lagi mengelak.
‘Plakkk!! Tongkat itu
menghantam mukanya, tepat mengenai hidungnya dan darah mengucur dari hidungnya
yang seketika. Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju, seorang merampas
tongkat, seorang lagi hendak meringkus Bi Sian. Akan tetapi, kembali terjadi
keanehan ketika dua orang itu mendadak terhenti gerakan mereka dan seperti
patung tak mampu melanjutkan gerakan mereka. Bi Sian sudah mengayun tongkatnya
ke arah mereka, menyerang kepala.
‘Tukkk! Tukkk!! Dua buah
kepala itu masing-masing kebagian sekali pukulan yang cukup keras dan seketika
kepala itu keluar telurnya, menjendol biru!
‘Heh-heh-heh, bagus
sekali! Pukul terus, Bi Sian!!
Bi Sian sendiri
terheran-heran mengapa tiga orang itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak
dan makin yakinlah hatinya bahwa gurunya tentu mempergunakan kesaktian, atau
tongkat wasiat itu yang lihai bukan main. Iapun terus mendesak ke depan dan dua
orang tukang pukul lainnya yang sudah menerjangnya, disambutnya dengan dua kali
pukulan ke arah muka mereka.
Seperti yang terjadi pada
teman-teman mereka, dua orang itu tertahan serangan mereka dan tak mampu
menggerakkan tangan ketika tongkat butut itu menyambar ke arah kepala mereka.
Mereka baru dapat bergerak setelah kepala mereka terpukul dan hanya dapat
menggosok-gosok kepala yang menjadi benjol oleh pukulan tongkat itu.
Tentu saja lima orang itu
menjadi marah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang jarang menemukan
tandingan, dan di kota Sung-jan mereka amat ditakuti orang. Bagaimana kini
menghadapi seorang anak perempuan saja mereka sampai terkena hajaran tongkat
seorang demi seorang? Biarpun tidak sampai terluka parah namun pukulan tongkat
itu mendatangkan rasa sakit di hati yang jauh melebihi rasa nyeri di bagian
yang terpukul.
‘Bocah setan berani kau
memukul kami?! bentak si brewok.
‘Heh-heh-heh, muridku
tidak kenal takut, tidak kenal mundur, tidak takut mati, tentu saja berani
menghajar kalian, heh-heh. Hajar terus, Bi Sian, pukul anjing-anjing itu sampai
mereka melolong-lolong!!
Dan Bi Sian yang kini
sudah bersemangat dan bergembira sekali, menerjang terus! Biarpun lima orang
itu kini sudah marah bahkan mereka mencabut golok, namun apa artinya
golok-golok itu kalau setiap kali digerakkan, selalu tertahan di udara?
Akibatnya, mereka hanya menjadi bulan-bulanan sabetan dan pukulan tongkat di
tangan Bi Sian. Biarpun yang memukuli hanya seorang anak perempuan, akan tetapi
karena anak perempuan itu sudah terlatih silat dan memiliki tenaga cukup kuat,
dan yang dipukuli sama sekali tidak mampu mengelak, menangkis atau membalas,
akhirnya tubuh merekapun matang biru, muka mereka berdarah dan kepala
benjol-benjol!
Melihat ini, bukan hanya
lima orang tukang pukul itu yang mulai terkejut dan gentar, juga Lu Ki Cong
terbelalak matanya dan diapun membuat gerakan untuk menyelamatkan diri dan
berlari pergi.
‘Heh-heh, kau hendak
lari ke mana? Bi Sian, jangan biarkan monyet kecil itu melarikan diri!! teriak
Koay Tojin dan dia kelihatan menggapai dengan tangannya. Anehnya, kedua kaki Ki
Cong yang tadinya sudah melompat hendak berlari itu seperti menjadi kaku dan
tidak dapat digerakkan maju lagi. Sementara itu, Bi Sian yang marah sekali
kepada pemuda yang menipunya itu, cepat lari menghampirinya dan tongkatnya lalu
menghajar membabi-buta! Ki Cong yang dapat bergerak kembali, mencoba melawan,
akan tetapi hasilnya malah pukulan-pukulan itu semakin hebat.
‘Heh-heh-heh, pukul
kepalanya, hantam mukanya dan habiskan pantatnya biar tahu rasa monyet itu,
heh-heh!! Koay Tojin memberi semangat kepada muridnya. Dan Bi Sian terns
menghajar Ki Cong sampai akhirnya pemuda itu yang sudah berdarah hidungnya dan
babak bundas penuh balur dan bengkak-bengkak membiru, menjatuhkan diri
bergulingan di atas tanah sambil menangis!
Melihat ini, lima orang
tukang pukul itu mencoba untuk menolong tuan muda mereka. Akan tetapi biarpun mereka
mendesak maju dengan serentak, tiba-tiba saja gerakan mereka tertahan dan Bi
Sian sudah membalik dan menghujankan pukulan tongkatnya kepada mereka!
Lima orang tukang pukul
itu bukan orang bodoh. Walaupun tadinya mereka merasa penasaran dikalahkan oleh
seerang anak perempuan, akan tetapi kini mereka maklum bahwa sesungguhnya bukan
anak perempuan itu yang menghajar mereka, melainkan kakek gembel yang aneh itu.
Maka, mereka menjadi gentar sekali. Kalau dilanjutkan, jangan-jangan mereka
semua akan tewas oleh pukulan-pukulan anak perempuan yang galak itu! Mereka
lalu menyambar tubuh Lu Ki Cong yang masih menangis, dan melarikan diri dari
situ sambil terhuyung dan terpincang-pincang! Suara ketawa Koay Tojin mengikuti
mereka, menbuat mereka semakin takut dan berusaha lari secepatnya sampai jatuh
bangun! Bi Sian tidak mengejar karena ia sudah menjatuhkan dirinya di atas
tanah, terengah-engah dan bermandi peluh, akan tetani wajahnya berseri dan
mulutnya tersenyum puas.
Kakek itu tertawa
terpingkal-pingkal, bahkan lalu menjatuhkan diri pula di atas tanah dekat Bi
Sian, terus tertawa sanbil memegangi perutnya dan menggeliat-geliat. Melihat
ini, Bi Sian kembali timbul dugaan bahwa gurunya ini walaupun memang sakti
sekali, akan tetapi agaknya tidak lumrah manusia dan tentu akan dianggap
sinting oleh orang lain. Akan tetapi ia lebih tahu. Sinting atau tidak, suhunya
ini seorang manusia luar biasa! Iapun tahu benar bahwa suhunya yang telah
membantunya maka dengan begitu mudahnya ia menghajar enam orang tadi tanpa satu
kalipun mendapat balasan pukulan dari mereka.
‘Sudahlah, suhu. Apa sih
yapg kau tertawakan begitu hebat?! katanya untuk menghentikan aksi gurunya.
Benar saja. Koay Tojin menghentikan tawanya dan diapun bangkit berdiri.
‘Wah, kau hebat, Bi
Sian. Kau hebat sekali, engkau telah menghajar anjing-anjing itu sampai
berkaing-kaing, heh-heh-heh!!
Bi Sian lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan kaki gurunya. ‘Berkat pertolongan suhu! Aku berjanji
akan belajar dengan tekun dan penuh semangat agar kelak tidak menyusahkan suhu
lagi kalau bertemu dengan anjing-anjing seperti tadi.!
Bi Sian lalu menunggangi
kudanya lagi dan gurunya tetap berjalan di belakangnya. Kini Bi Sian mulai
menaruh hormat kepada gurunya karena ia yakin akan kesaktian kakek itu, maka
iapun tidak berani membalapkan kudanya, takut kalau membuat orang tua itu
menjadi kelelahan. Oleh karena itu, hari telah mulai gelap ketika akhirnya
mereka tiba di dalam kota Sung-jan. Atas petunjuk gurunya, Bi Sian menambatkan
kuda itu di kebun belakang, kemudian iapun menurut saja petunjuk suhunya
bagaimana harus berpamit dari ayah bundanya.
‘Kalau kita masuk ke
dalam dan bertemu ayah ibumu, tentu mereka akan menahanmu dan mungkin akan
memusuhiku. Hal itu amat tidak enak, maka sebaiknya engkau menurut aku saja.
Mari!!
Yaw Sun Kok dan isterinya
berada di ruangan dalam. Sejak tadi Sie Lan Hong merasa gelisah dan beberapa
kali ia menyuruh suaminya untuk pergi mencari dan menyusul puteri mereka yang
belum juga pulang.
‘Aku mulai khawatir,
kenapa sampai hari telah menjadi gelap begini ia belum juga pulang. Sebaiknya
kalau engkau pergi mencarinya,! bujuknya untuk ke beberapa kalinya.
‘Ia pergi membawa kuda
dan biasanya ia memang pulang setelah senja. Ada beberapa tempat yang biasa ia
datangi dan aku tidak tahu yang mana yang ia kunjungi kali ini. Kalau aku
mencari ke suatu tempat dan ia pergi ke lain tempat, mungkin aku akan
bersimpang jalan dengannya. Biarlah kita tunggu sebentar. Tidak perlu
khawatir.!
‘Akan tetapi, aku
gelisah sekali. Ia anak perempuan dan....!
‘Aihh, mengapa engkau
memandang rendah anak sendiri? Biarpun perempuan dan masih kecil, akan tetapi
Bi Sian sudah memiliki kepandaian yang cukup untuk melindungi diri sendiri. Dan
iapun ahli menunggang kuda, tidak mungkin terjadi sesuatu yang tidak baik padanya.
Pula, siapa yang akan berani mengganggunya? Semua orang di Sung-jan tahu bahwa
ia adalah anakku.!
Mendengar ucapan suaminya
itu, Si Lan Hong terdiam. Akan tetapi ia masih terus memandang ke arah pintu
dengan penuh harapan. Pada saat itu, tiba-tiba saja ada suara ketukan pada
jendela di sebelah kiri ruangan itu. Suami isteri itu cepat menengok dan.... di
balik jendela kaca itu nampaklah wajah puteri mereka! Bi Sian tersenyum lebar
dan wajahnya berseri penuh kegembiraan ketika ayah ibunya memandang kepadanya
dengan mata terbelalak.
‘Bi Sian....!! teriak
ibunya, dan ayahnya cepat melangkah ke jendela, hendak membuka jendela itu.
‘Jangan dibuka, ayah!
Ibu dan ayah, dengarkan baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku telah
mendapatkan seorang guru, guruku namanya Koay Tojin dan kedatanganku ini hanya
untuk pamit kepada ayah dan ibu. Aku akan ikut dia merantau selama tujuh tahun
dan setelah tamat belajar, aku pasti pulang. Jangan cari aku, ayah. Tidak akan
ada gunanya, karena ayah tidak akan dapat menyusul suhu!!
‘Bi Sian....!! Yauw Sun
Kok berseru dan cepat sekali dia sudah membuka daun jendela itu. Akan tetapi,
wajah anaknya itu telah hilang dan yang nampak hanya malam gelap. Dia merasa
penasaran dan cepat dia melompat keluar jendela. Isterinya juga meloncat keluar
jendela. Mereka memanggil-manggil nama Bi Sian sambil mencari-cari, akan tetapi
tidak nampak bayangan anak itu.
Tiba-tiba terdengar suara
anak mereka dari atas genteng. ‘Kuda itu kutambatkan di dalam kebun, ayah.
Nah, selamat tinggal, ayah dan ibu. Tujuh tahun lagi aku pulang!!
Ketika mereka menengok,
ternyata Bi Sian sudah berdiri di wuwungan rumah mereka, tentu saja Yauw Sun
Kok terkejut bukan main dan diapun cepat molompat naik ke atas genteng untuk
mengejar. Akan tetapi, dalam sekejap mata saja bayangan anaknya itupun lenyap.
Dia merasa penasaran sekali. Tak mungkin Bi Sian dapat melompat ke atas
wuwungan rumah seperti itu dan lebih tidak mungkin lagi menghilang seperti
setan.
Akan tetapi semua usahanya
untuk mencari sia-sia belaka. Baru sekali itu dalam hidupnya Yauw Sun Kok
merasa tidak berdaya sama sekali, seperti dipermainkan, seperti seorang yang
lemah. Diapun dapat menduga bahwa itu tentu gara-gara guru anaknya itu yang
bernama Koay Tojin. Tahulah dia bahwa anaknya bertemu dengan seorang sakti yang
memilihnya untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar nama
Koay Tojin! Dia tidak tahu ke mana puterinya dibawa dan siapa Koay Tojin itu,
orang macam apa! Tentu saja dia gelisah bukan main dan ketika isterinya
merangkulnya sambil menangis, Yauw Sun Kok hanya dapat menarik napas panjang
berulang-ulang dan merasa berduka sekali. ‘Aku akan mencarinya...., aku akan
mencarinya sampai jumpa dan membawanya pulang....! Dia menghibur isterinya
berkali-kali.
Akan tetapi, hiburan ini
hanya tinggal hiburan kosong belaka. Sampai berbulan-bulan Yauw Sun Kok
mengerahkan tenaga, bahkan minta bantuan orang namun tidak ada yang berhasil.
Tepat seperti dikatakan oleh puterinya ketika berpamit, dia tidak berhasil
menemukan jejak Koay Tojin.
Bahkan pada keesokan
harinya, Lu-ciangkun datang dengan marah-marah mencari Bi Sian sambil membawa
Lu Ki Cong yang babak bundas! Ki Cong menceritakan betapa dia dipukuli dengan
tongkat oleh Bi Sian yang dibantu seorang kakek gembel yang gila! Tentu saja Ki
Cong tidak menyebut-nyebut tentang lima orang tukang pukulnya.
Mendengar ini, makin
yakinlah hati Yauw Sun Kok bahwa puterinya memang dipilih sebagai murid oleh
seorang sakti dan bahwa Koay Tojin itu, menurut keterangan Lu Ki Cong, adalah
seorang kakek tua renta yang berpakaian gembel dan bersikap seperti orang gila!
Tentu dia sakti, pikirnya. Diapun minta maaf kepada Lu-ciangku, mengatakan
bahwa anak perempuannya itu telah pergi dibawa oleh seorang sakti yang
mengambilnya sebagai murid.
Demikianlah, akhirnya Yauw
Sun Kok dan isterinya hanya dapat menunggu dengan hati penuh kegelisahan dan
kerinduan. Mereka harus menanti sampai tujuh tahun! Mendung menyelimuti
kehidupan keluarga ini. Yauw Bi Sian yang tadinya seolah-olah menjadi matahari
yang menyinari kehidupan mereka, kini menghilang. Lebih-lebih lagi bagi Sie Lan
Hong! Kepergian puterinya ini merupakan pukulan berat baginya. Baru saja ia
kehilangan adik kandungnya dan dalam keadaan masih berduka, tiba-tiba saja
tanpa disangka-sangka, puterinya pergi untuk waktu yang lama sekali. Tujuh
tahun!
***
Terdengar suara lantang
seorang anak laki-laki yang membaca kitab dari dalam sebuah kamar di rumah
gedung indah itu. Suaranya lantang dan yang dibacanya adalah kitab sajak para
penyair jaman dahulu. Suara itu merdu dan cara membacanya amat baik, setiap
kata diucapkan dengan jelas dan dengan nada suara yang tepat. Kalau orang
mengintai ke dalam kamar itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan,
ganteng dan rapi, baik rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik,
maupun pakaiannya. Jelas seorang anak terpelajar dari keluarga bangsawan atau
hartawan! Cara dia duduk saja menghadapi kitab di atas meja itupun menunjukkan
bahwa dia adalah seorang yang pandai membawa diri, sopan santun.
Memang anak laki-laki
berusia tiga belas tahun itu sejak kecil sudah di gembleng dengan pelajaran
sastera. Yang dimaksud pelajaran sastera pada waktu itu adalah pelajaran
membaca dan menulis huruf, juga membaca kitab-kitab kuno dimana terdapat
pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pelajaran kebatinan yang berat-berat
menjadi santapan anak-anak remaja! Tentu saja hanya sedikit yang mampu meresapi
benar akan isinya, sebagian besar hanya mampu menghafal saja dengan lancar akan
tetapi mengenai inti artinya, jarang yang dapat mengerti secara mendalam. Apa
lagi menghayatinya!
Anak itu bernama Coa Bong
Gan, berusia tiga belas tahun dan dia adalah anak angkat dari Coa-wangwe
(Hartawan Coa), seorang yang kaya raya di kota Ye-ceng, sebuah kota di kaki
pegunungan Kun-lun-san sebelah barat. Coa Hun atau Hartawan Coa adalah seorang
pedagang besar yang berdagang segala macam barang dengan negara-negara barat di
perbatasan barat. Kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika terjadi
keributan karena adanya gerombolan perampok dari Nepal yang merusak dusun-dusun
di perbatasan selatan dan barat, rombongannya yang baru pulang dari barat
menemukan seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlarian seorang diri
sambil menangis di antara para pengungsi. Karena bocah itu mungil dan tampan,
dan tidak ada seorangpun mengakuinya sebagai anggauta keluarga, maka Coa Hun
lalu membawanya pulang dan semenjak itu, anak itu diakui sebagai anak angkat.
Anak berusia lima tahun itu hanya mengenal nama sendiri sebagai Bong Gan, maka
sejak itu dia bernama Coa Bong Gan, menggunakan nama keluarga Coa-wangwe.
Karena Coa-wangwe sendiri
tidak mempunyai anak laki-laki, hanya beberapa anak perempuan, maka Bong Gan
disayang oleh keluarga itu. Hanya Coa-wangwe tidak merahasiakan bahwa anak itu
adalah anak angkat, bukan anak kandung karena dia masih mengharapkan untuk
memperoleh seorang keturunan anak laki-laki. Untuk itu dia berusaha dengan
mengambil beberapa orang selir yang masih muda dan sehat, sedangkan dia sendiri
ketika membawa Bong Gan pulang baru berusia empat puluh dua tahun.
Karena itu, biarpun Bong
Gan disayang, akan tetapi tetap saja semua orang menganggapnya bukan sebagai
anak kandung Coa-wangwe dan sikap hormat para pelayan terhadapnya hanya kalau
berada di depan hartawan itu. Bahkan para selir dan juga Nyonya Coa merasa iri
dan tidak suka kepada Bong Gan yang dianggap bukan suku bangsa Han. Melihat
bentuk wajah anak itu, ketampanannya merupakan ketampanan suku Uigur atau Kazak
dan anak itu tidak ketahuan siapa orang tuanya. Agaknya dua hal ini, yaitu
kemuliaan yang diterima seorang anak yang tidak dikenal asal-usulnya,
ketampanan dan kecerdikannya, kecakapannya belajar ilmu kesusasteraan,
mendatangkan rasa iri hati dan banyak orang tidak suka kepada Bong Gan. Baru
namanya saja, yang diakui anak kecil itu ketika ditemukan, Bong Gan, berbau
nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin nama aselinya Munggan atau Boangana!
Bab 7
Bong Gan kini telah
menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai
sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada
di atasnya, bersikap anggun dan berwibawa terhadap yang tidak suka kepadanya.
Pakaiannya selalu baru dan rapi sekali, tubuhnya selalu dirawat baik-baik dari
rambutnya sampai kuku kakinya. dan dalam setiap penampilannya, dia hanya
mendatangkan rasa bangga kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang
dihormatinya secara berlebihan karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah
yang memungkinkan dia mempertahankan kemuliaannya!
Biarpun usianya baru tiga
belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak di antara
anggauta keluarga ayah angkatnya merasa iri hati dan tidak suka kepadanya. Dia
tahu pula bahwa mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, menyebar
banyak mata-mata yang bekerja sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari
kesalahannya agar kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada ayah angkatnya. Oleh
karena itu, dia bersikap hati-hati sekali. Malam itu, biarpun dia tahu bahwa
ayah angkatnya sedang berkunjung ke kota lain dan malam itu tidak akan pulang,
dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang
berirama dan merdu pada malam hari itu. Ini berarti bahwa biarpun ayah
angkatnya tidak berada di rumah, tetap saja dia belajar dengan tekun!
Setelah dia selesai
membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok dan
ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jantung pemuda remaja ini
berdentam penuh ketegangan. Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan
tersayang dari ayah angkatnya. Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia
seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis. Wajahnya lonjong seperti wanita
Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan
tetapi bulu-bulu halus pada lengannya menambah daya tarik seorang wanita
berdarah Kirgiz. Tentu saja ia menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia
paling muda dan paling cantik, dan ia diperoleh hartawan itu dengan tebusan
uang yang amat mahal! Karena ia amat disayang dan dimanja oleh hartawan itu,
tentu saja hal ini menimbulkan perasaan iri kepada para selir lain, walaupun
perasaan iri itu hanya mereka simpan dalam hati saja karena pengaruh selir muda
itu terhadap Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti membela sang
selir termuda kalau sampai terjadi pertengkaran terbuka.
Perjodohan antara seorang
pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta di antara mereka. Tanpa
perasaan ini, sudah pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Di dalam
hati Pek Lan, sedikitpun tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh
lebih tua itu, dan yang menjadi suaminya karena ia telah dibeli dari orang
tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan dengan
suka rela, melainkan karena terpaksa.
Oleh karena itu, baru saja
diboyong ke dalam rumah gedung Coa-wangwe, dan melihat betapa hampir semua isi
rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda
remaja yang tampan itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pemuda
remaja ini tampan, juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini bukan putera
kandung suaminya, dan juga ia melihat betapa orang-orang serumah itu juga tidak
suka kepada pemuda itu. Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya
terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan. Sudah lama ia bersikap
manis kepada Bong Gan, memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan
suaranya, namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk
menangkap isarat dan menanggapinya.
Sesungguhnya, biarpun
usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan seorang pemuda yang dungu. Ia
banyak membaca, di antaranya ia membaca cerita-cerita percintaan sehingga ia
sudah dapat membayangkan tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini.
Ketika Pek Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi
kecantikan wanita ini. Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui
kerling mata dan senyum manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan diapun merasa
suka sekali kepada wanita itu. Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap
tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya, dan dia selalu bersikap sopan, tidak
memperlihatkan tanda bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda
ayahnya itu bersikap menantang padanya. Juga dia masih terlalu muda untuk
berani memperlihatkan tanggapan.
Dan pada malam hari itu,
di luar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki kamarnya!
Melihat bahwa yang memasuki kamarnya dengan langkah halus adalah selir ayahnya,
maka Bong Gan cepat bangkit berdiri. Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek
Lan tujuh belas tahun akan tetapi tinggi badan mereka sama, bahkan Bong Gan
lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja itu cepat merangkap kedua tangan di depan
dada memberi hormat.
‘Ah, kiranya ibu yang
datang malam-malam begini....!
‘Hushh, jangan sebut ibu
kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak sekali mendengarnya....!
‘Tapi, ibu adalah isteri
ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?!
‘Usia kita hanya
berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau engkau menyebut ibu. Engkau
patut menjadi adikku dan aku enci-mu, biarpun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut
saja enci kepadaku, kecuali.... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau
menyebut ibu.!
Bong Gan tersenyum,
hatinya girang sekali karena wanita cantik itu bersikap amat manis. Belum
pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang
ini. Ayahnya tidak berada di rumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni
rumah itu agaknya sudah tidur sehingga tidak ada orang lain yang melihat ibu
muda ini memasuki kamarnya.
‘Baiklah, enci. Silakan
duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah,! katanya menunjuk ke arah kursi yang
tadi dia duduki.
‘Terima kasih,! Pek Lan
tersenyum dan duduk di atas kursi itu. Di atas meja terdapat beberapa buah buku
dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah buku cerita tentang percintaan
romantis. Akan tetapi, Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja.
‘Kau duduklah, Bong
Gan,! katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.
‘Biar saya berdiri saja,
enci. Kursinya hanya sebuah.!
‘Ahhh!! Pek Lan bangkit
berdiri, membawa bukunya dan duduk di atas pembaringan.
‘Biarlah ahu duduk di
sini. Kau duduklah.!
Bong Gan duduk di atas
kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk di
atas pembaringannya.
Beberapa kali Pek Lan yang
membaca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba salah
tingkah.
‘Bong Gan, huruf apakah
ini....?! Pek Lan bertanya, menunjuk ke lembaran buku yang dipegangnya. Karena
dari tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa
dia bangkit dan menghampiri, lalu membacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan
tetapi beberapa kali Pek Lan memanggilnya untuk menanyakan huruf yang tidak
dikenalnya sehingga beberapa kali pemuda itu menghampiri, membacakan hurufnya
dan duduk kembali.
‘Ah, terlalu sukar
bagiku, Bong Gan. Tolong kaubacakan untukku. Kesinilah dan duduklah di sini,
kita baca bersama. Kau ajari aku membaca, Bong Gan.!
Tentu saja Bong Gan
menjadi gemetar dan tidak berani duduk berjajar di atas pembaringan itu.
Walaupun dia sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita
itu, tidak berani duduk bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya
duduk di dekatnya, di tepi pembaringan.
‘Aih, mengapa engkau
malu-malu dan takut?!
‘Enci.... aku.... aku
tidak berani.... nanti dianggap tidak sopan....! kata Bong Gan gemetar,
walaupun hatinya berdebar girang dan tegang.
‘Aih, siapa bilang tidak
sopan? Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa
salahnya duduk berdekatan? Hayo, jangan takut!!
Dan kini Bong Gan
membiarkan dirinya ditarik dan diapun duduk di dekat Pek Lan. Tepi pinggul dan
paha mereka bersentuhan dan Bong Gan merasakan kelembutan yang hangat, yang
membuat tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras. Ketika dia membacakan
buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apalagi, ketika dia merasa betapa
jari-jari tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut
dengan sentuhan-sentuhan mesra. Makin lama, suara bacaannya semakin lemah
bahkan kacau dan akhirnya, buku yang tadi dibaca Bong Gan itu sudah menggeletak
di atas lantai di depan pembaringan sedangkan di atas pembaringan itu, Bong Gan
dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan
Bong Gan menjadi murid yang taat dan pandai.
Keduanya tenggelam dalam
buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi semakin haus. Pek Lan adalah seorang
wanita muda yang dikecewakan oleh perjodohan dengan Coa-wangwe yang
dilakukannya secara terpaksa, yang membuat ia selalu merasa penasaran dan tidak
puas. Kini, bertemu dengan seorang pemuda remaja yang menjadi muridnya yang
amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu saja Pek Lan menjadi lupa daratan.
Sebaliknya, Bong Gan sejak kecil memang haus akan kasih sayang, kini bertemu
dengan seorang wanita yang cantik menarik, yang menyayangnya, dan menjadi
gurunya dalam berenang di lautan kemesraan, diapun menjadi mabok. Sebetulnya
dia masih terlalu muda sehingga diapun tidak dapat lagi melihat kenyataan
betapa perbuatannya itu amatlah berbahaya, juga amat hina karena dia telah
berjina dengan selir ayah angkatnya yang berarti juga ibu angkatnya sendiri!
Langkah pertama
dilanjutkan dengan langkah berikutnya, ke sekian puluh kali dan mereka berdua,
yang dimabok kemesraan ini, yang dibikin buta oleh nafsu berahi, tidak tahu
bahwa banyak pasang mata dari mereka yang memang tidak suka kepada mereka,
selalu membayangi dan mengintai mereka. Para pemilik mata inilah yang kemudian
melaporkan kepada Coa-wangwe.
Tentu saja hartawan yang
usianya sudah setengah abad lebih ini menjadi terkejut, heran dan kemudian
marah. Dia terkejut mendengar bahwa selirnya yang paling disayangnya telah
bermain gila dengan putera angkatnya, dan dia merasa heran mengingat betapa
putera angkatnya itu biasanya selalu bersikap amat baik, terpelajar, rajin,
sopan dan selalu menyenangkan hati.
Bagaimana kini tiba-tiba
saja dia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjina dengan selirnya? Pula,
Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya masih remaja, masih
kanak-kanak dan belum dewasa! Tentu selirnya itu yang menjadi biang keladinya,
pikirnya dengan gemas dan marah. Akan tetapi dia belum mau percaya begitu saja
dan diaturlah oleh para selir yang lain dan para pelayan agar sang hartawan
dapat menangkap basah hubungan gelap yang dilakukan selirnya terkasih itu
dengan putera tersayang pula. Diatur agar hartawan itu meninggalkan gedung
untuk bermalam di luar, dan di waktu malam, ketika semua musuh rahasia dua
orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu bahwa mereka berdua sedang
mengadakan pertemuan rahasia, di kamar sang putera angkat, hartawan Coa lalu
tiba-tiba muncul dan daun pintu digedor dari luar!
Dapat dibayangkan betapa kaget
dan takutnya perasaan Pek Lan dan Bong Gan. Mereka hanya sempat membereskan
pakaian mereka sebelum daun pintu itu jebol karena dipaksa dari luar dan
keduanya segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Coa-wangwe yang mukanya
menjadi merah seperti udang direbus saking marahnya.
Biarpun kedua orang muda
yang amat disayangnya itu berlutut sambil menangis minta ampun, tetap saja
kemarahan Coa-wangwe tidak dapat diredakan, apa lagi di sampingnya terdapat
para selir dan pelayan yang membisikkan berita-berita yang amat menyakitkan
hatinya betapa putera angkat itu hampir setiap malam mengadakan pertemuan
dengan sang selir dan betapa mesranya hubungan di antara mereka. Diam-diam Pek
Lan melirik dan mencatat siapa-siapa yang pada malam itu hadir bersama suaminya
dan dapat ia menduga bahwa mereka inilah yang telah menjadi mata-mata yang
melaporkannya kepada suaminya.
Coa-wangwe demikian marah
sampai dia menyuruh para pelayan memberi hukuman cambuk rotan pada punggung
kedua orang muda itu sebanyak lima belas kali kemudian mengusir dua orang yang
punggungnya berdarah karena kulitnya pecah-pecah itu agar meninggalkan rumah
tanpa diberi bekal secuilpun pakaian pengganti atau sepotong uang kecil.
Keduanya meninggalkan rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang
sejak lama merasa iri hati dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh
sakit-sakit, akan tetapi hati lebih sakit lagi Bong Gan dan Pek Lan pergi
meninggalkan gedung itu, dan mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar
dari dalam kota Ye-ceng. Berita tentang diusirnya selir termuda dan putera
angkat dari Coa-wangwe itu lebih cepat keluar dari gedung dari pada mereka,
disebarkan oleh mereka yang membenci kedua orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek
Lan tidak berani mengangkat muka, karena semua orang memandang dengan mata dan
senyum mengejek.
Sampai di luar kota, malam
telah menjelang pagi dan mereka berdua masih terus berjalan di dalam keremangan
cuaca sambil menangis. Biarpun mereka tidak mempunyai tujuan ke mana harus
pergi, namun kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah, seolah-olah
khawatir kalau ada orang-orang yang mengejar untuk memperolokkan mereka.
Barulah mereka berhenti
setelah matahari terbit dan keduanya merasa lelah sekali. Mereka berhenti di
tepi sebuah hutan, di bawah pohon rindang. Suasananya di situ sunyi sekali
karena sudah amat jauh dari kota.
Melihat Pek Lan masih
menangis sambil setengah menelungkup di atas rumput, Bong Gan merasa kasihan
juga. Wanita muda ini biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus
menempuh perjalanan setengah malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.
‘Sudahlah, enci Pek Lan.
Untuk apa menangis lagi? Ditangisi sampai air mata darahpun tidak ada gunanya
lagi,! kata Bong Gan yang sudah dapat memulihkan keadaan hatinya. Anak yang
cerdik ini maklum bahwa bersedih-sedih tidak ada gunanya dan dia harus dapat
mencari jalan yang baik dalam kehidupannya yang baru ini.
Akan tetapi, kata-kata
hiburannya itu tanpa diketahuinya, membuat wanita itu menjadi lebih berduka dan
akhirnya menjadi marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di samping
kedukaannya, Pek Lan menganggap bahwa semua malapetaka yang menimpa dirinya ini
disebabkan oleh Bong Gan!
‘Engkau memang anak
durhaka!! bentaknya sambil bangkit duduk dan telunjuknya menuding ke arah muka
Bong Gan. ‘Engkaulah biang keladi semua ini, engkaulah penyebab malapetaka
yang menimpa diriku! Kalau bukan karena engkau, aku tentu masih hidup terhormat
dan mulia di rumah keluarlga Coa! Aahh, engkau yang mencelakakan aku! Engkau
anak tak tahu diri, engkau anak durhaka, tak tahu malu....!!
Sepasang mata Bong Gan
terbelalak. ‘Diam!! Dia membentak marah sekali. ‘Engkaulah perempuan yang
tidak tahu malu! Engkau yang datang pertama kali di dalam kamarku dan merayuku!
Lupakah engkau? Engkaulah yang tidak tahu malu, engkau mengkhianati ayah
angkatku dan engkau menyeret aku ke dalam lumpur kehinaan! Dan sekarang engkau
hendak menyalahkan aku dan menghinaku? Perempuan tak tahu malu!!
‘Apa? Kau berani memaki
aku? Anak kurang ajar kau!! Pek Lan bangkit berdiri. Bong Gan juga bangkit
berdiri dan Pek Lan segera menyerang anak laki-laki itu dengan tamparan dan
cakaran. Bong Gan tidak tinggal diam dan diapun membalas. Dua orang itu kini
bergulat, bukan di atas pembaringan dalam kamar mewah Bong Gan, bukan bergulat
memperebutkan kemesraan, melainkan bergulat dalam perkelahian dan memperebutkan
kebenaran masing-masing, berusaha untuk saling menyakiti!
Pek Lan lebih tua tiga
empat tahun, akan tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki, jadi masing-masing
ada kelebihan dan kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi ramai dan
seimbang! Akan tetapi tiba-tiba tubuh Bong Gan terlempar dan terguling-guling
seperti disambar kilat. Kiranya di situ sudah muncul seorang nenek yang amat
menakutkan dan mengerikan. Kalau saja Bong Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda
kemarahan, tentu mereka akan lari tunggang langgang atau menggigil ketakutan,
mengira bahwa di situ muncul iblis sendiri. Pek Lan melihat dengan jelas betapa
nenek itu tadi mendorong tubuh Bong Gan dan menyebabkan anak laki-laki itu
terlempar dan jatuh terguling-guling.
Hal ini berarti bahwa
nenek itu telah membantunya, maka biarpun hatinya merasa ngeri, ia tahu bahwa
nenek itu boleh ia harapkan. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek
itu sambil menangis! Sementara itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, merasa
betapa tubuhnya nyeri-nyeri karena terbanting dan terguling-guling itu dan dia
tidak berani bangkit berdiri, hanya memandang kepada nenek itu dengan mata
terbelalak dan hati dipenuhi keseraman.
Nenek itu berusia tua
sekali, tentu tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan tubuhnya demikian kurus
kering, kecil dan membungkuk seperti udang kering, seolah-olah usia tua sudah
membuat ia mengkerut dan kering. Muka yang kulitnya kehitaman itu
berkerut-kerut penuh garis malang-melintang, sepasang matanya sampai hampir
tertutup kelebihan kulit pada pelupuknya, tulang-tulang pipinya menonjol,
hidung dan mulutnya juga kecil karena mulut itu mengkerut ke dalam, tak nampak
lagi bibirnya yang seperti dikulum mulut yang tidak bergigi lagi. Rambutnya
tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan kotor. Tangan dan kaki seperti
tulang-tulang terbungkus kulit tipis. Tubuh yang membungkuk seperti udang itu
ditopang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering, ditutupi
pakaian yang seluruhnya berwarna hitam. Sungguh menyeramkan sekali keadaan
nenek itu, akan tetapi sepasang mata yang kecil dan bersembunyi itu
mengeluarkan sinar mencorong yang mengejutkan hati orang.
Nenek itu
mengangguk-angguk ketika melihat Pek Lan berlutut di depannya sambil menangis.
Tiba-tiba tangannya bergerak dan tongkatnya meluncur, tahu-tahu Pek Lan merasa
dagunya didorong sesuatu yang memaksa ia untuk menengadah. Kiranya nenek itu
sudah menggunakan ujung tongkatnya untuk memaksa gadis itu mengangkat muka.
Melihat wajah yang manis itu, kembali si nenek mengangguk-angguk.
‘Ceritakan, kenapa kau
menangis di sini!! terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biarpun jelas ia
mengeluarkan ucapan, namun mulut itu sama sekali tidak terbuka dan tidak
bergerak!
Pek Lan agaknya menyadari
bahwa ia bertemu dengan seorang manusia luar biasa atau mungkin iblis sendiri
yang memperlihatkan rupa, maka iapun menjawab sambil menahan tangisnya.
‘Nenek yang mulia, saya bernama Pek Lan dan saya diusir dari rumah suami saya
hartawan Coa di kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah
setan itu. Saya tidak mempunyai rumah dan keluarga saya di dusun pasti akan
menolak saya. Semua ini gara-gara bocah setan itu, akan tetapi dia tidak mau
mengaku salah, malah menyalahkan saya.!
Nenek itu mengangkat
mukanya memandang kepada Bong Gan yang masih mendekam di atas tanah. Sinar mata
nenek itu mencorong seperti hendak menyambar ke arahnya, membuat Bong Gan
menjadi semakin ngeri.
‘Huh-huh, bocah itu
mempunyai mata seperti setan. Apakah kau ingin agar aku membunuhnya?!
Pek Lan bergidik. Nenek
itu sungguh berhati kejam bukan main. Bagaimanapun marahnya terhadap Bong Gan,
tentu saja Pek Lan tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh. Kalau ia teringat
akan pengalamannya selama beberapa bulan ini, masih ada sisa kemesraan dalam
hatinya terhadap Bong Gan.
‘Jangan, nek, jangan
dibunuh, akan tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak berani lagi
menyalahkan aku!! katanya.
Nenek itu terkekeh.
‘Heh-heh, bagus. Akan kuhajar dia biar kapok!!
Bong Gan yang sudah merasa
ngeri melihat nenek itu, kini timbul keberaniannya. Biarpun nenek itu
mengerikan, namun ia hanya seorang nenek yang tua renta dan nampak ringkih. Dan
dia tidak mau dihajar begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan segera bangkit
berdiri dan siap untuk melawan kalau nenek itu hendak menghajarnya.
Dengan langkah
terseok-seok dibantu tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan dan ia terkekeh
melihat sikap anak laki-laki itu yang agaknya siap untuk melawannya.
‘Heh-heh-heh, bocah
setan, bergulinglah engkau!! Nampak ia menggerakkan tongkatnya dan nampak ada
sinar hitam panjang menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa dapat
ditahannya lagi, roboh dan tubuh itu terguling-guling!
Nenek itu tertawa
terpingkal-pingkal dan hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya tetap tertutup.
Entah melalui lubang mana suara terpingkal-pingkal itu.
‘Heh-heh-ho-ho....
sekarang terbanglah! Terbanglah!! Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan
tiba-tiba tubuh yang tadinya bergulingan itu, kini terlempar tinggi ke udara! Bong
Gan menjadi ketakutan. Tadi ketika tubuhnya terpelanting dan terguling-guling,
dia merasa nyeri-nyeri dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu jauh
ke atas, maka diapun mengeluarkan jerit ketakutan ketika tubuhnya meluncur ke
bawah dangan cepat sekali! Tentu akan remuk-remuk semua tulangnya, dan pecah
kepalanya!
‘Toloooooooong!! Dia
menjerit-jerit.
‘Nenek yang baik, jangan
bunuh dia!! Pek Lan yang memandang dengan mata terbelalak berseru, khawatir
kalau sampai pemuda cilik yang pernah menjadi kekasihnya itu akan terbanting
remuk dan tewas.
‘Ho-ho, tidak dibunuh,
tidak dibunuh!! kata nenek itu dan benar saja, begitu tubuh Bong Gan hampir
terbanting ke atas tanah, tiba-tiba ada sinar hitam panjang menyanbutnya dan
tubuh itu kini terlempar kembali ke atas lebih tinggi daripada tadi! Tentu saja
Bong Gan dengan ketakutan menjerit-jerit seperti seekor anjing digebuki.
Melihat kenyataan bahwa
nenek itu benar-benar tidak membunuh Bong Gan, hanya menghajarnya saja, legalah
hati Pek Lan dan iapun bertepuk tangan dan bersorak. Lupalah ia akan
kedukaannya.
‘Bagus! Hi-hi-hik,
bagus! Nah, tahu rasa sekarang engkau, Bong Gan! Hayo cepat kau minta ampun
padaku, baru aku mau minta kepada nenek yang mulia ini untuk menghentikan
permainannya!!
Bong Gan boleh jadi
ketakutan setengah mati, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan juga
keras hati. Mendengar ucapan Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan menutup
mulutnya, tidak lagi mau menjerit ketakutan, melainkan menutup mata
rapat-rapat.
Pada saat tubuhnya
meluncur turun untuk ke dua kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu berhenti di
udara seperti tertahan oleh tenaga yang tidak kelihatan, kemudian tubuh itu
bukan meluncur ke bawah melainkan ke samping dan tahu-tahu leher bajunya sudah
berada di ujung tongkat yang mengaitnya, dan tongkat itu dipegang oleh seorang
kakek gembel!
Kakek yang muncul itu
bukan lain adalah Koay Tojin, yang kebetulan tiba di tempat itu bersama
muridnya yang baru, yaitu Yauw Bi Sian! Melihat seorang anak laki-laki menjerit-jerit
dan tubuhnya dilempar-lempar ke atas oleh seorang nenek yang menyeramkan, Bi
Sian sudah merengek kepada gurunya.
‘Suhu, tolonglah anak
laki-laki itu dan hajar nenek yang jahat itu. Biar aku menghajar gadis yang
kejam itu!!
Mula-mula Koay Tojin
memandang ke pada nenek itu dan nampak terkejut. ‘Waaahhh! Menghajar nenek
itu? Mana aku berani? Ia adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan Hitam)....!
Hiiiih.... aku ngeri melihatnya....! Dan kakek gembel itu bergidik kengerian.
Melihat sikap gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau
gurunya jerih terhadap nenek yang kurus kering dan hampir mati itu!
‘Kalau suhu tidak
berani, biarlah aku yang melawannya! Aku tidak takut!!
Berkata demikian, Bi Sian
meloncat ke depan menghadapi nenek buruk itu dangan kedua tangan terkepal.
‘Hei, nenek iblis yang jahat! Kenapa engkau menyiksa orang? Hayo pergi dari
sini, kalau tidak akan kupukul engkau!!
Nenek itu menyeringai lalu
menoleh kepada Pek Lan, ‘Ho-ho, bagaimana ini? Apakah aku harus menghajarnya
juga?!
Pek Lan marah sekali
kepada anak perempuan yang muncul bersama kakek gembel itu karena mereka
menghentikan hajaran nenek itu terhadap Bong Gan.
‘Nek, bocah itu
mencampuri urusan kita, sebaiknya kau bunuh saja!! Di sini sudah nampak
perwatakan yang menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam sekali terhadap
orang yang tidak disukainya, atau orang yang mendatangkan kemarahan dalam
hatinya seperti gadis cilik itu.
‘Bunuh? Heh-heh, benar
sekali, memang bocah ini layak dibunuh!! jawab nenek itu sambil terkekeh tanpa
membuka mulut dan tiba-tiba ia menggerakkan tongkat ularnya ke arah Bi Sian.
Sinar hitam meluncur ke arah gadis cilik itu, mengeluarkan suara mendesir.
‘Wirrrr.... takkkk!!
Tongkat ular itu terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut di tangan
Koay Tojin. Benturan antara kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga
terasa oleh Pek Lan dan Bi Sian, dan nenek itu mengeluarkan suara menggereng
marah, matanya yang bersembunyi di lipatan kulit itu mencorong menatap kepada
kakek yang berdiri di depannya.
‘Ho-ho-ho! Bukankah
engkau ini kakek gembel gila dari Himalaya?! teriaknya marah. Koay Tojin
menyeringai pula. Dia tidak berpura-pura kalau tadi kepada muridnya dia
mengatakan takut kepada nenek itu, bukan takut karena kepandaian si nenek
iblis, melainkan ngeri karena dia sudah mengenal akan kejahatan dan kekejaman
hati nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo itu!
‘Dan engkau Biang Iblis
Awan Hitam yang sudah tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka mulutmu, perlihatkan
kepadaku, pasti tidak ada sepotongpun gigimu maka engkau malu membuka mulutmu!!
Nenek itu semakin marah.
Kata-kata ‘tidak bergigi lagi! bukan hanya dimaksudkan untuk mengejek
keburukan rupa, akan tetapi juga boleh diartikan sebagai ajakan bahwa nenek itu
tidak berbahaya lagi, seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi lagi!
‘Koay Tojin keparat!
Tidak bergigi lagi, ya? Nah, rasakan gigitanku!!
Nenek itu sudah menyerang
dengan cara yang amat aneh. Ia melontarkan tongkat ularnya ke atas dan tongkat
itu meluncur ke arah Koay Tojin dan menyerang kalang-kabut seperti digerakkan
oleh tangan yang tidak nampak!
Koay Tojin tertawa
bergelak, melompat ke belakang dan diapun melempar tongkat bututnya ke depan.
Seperti tongkat ular si nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kinipun
‘hidup! dan melawan tongkat ular itu dan terjadilah pertandingan yang amat
aneh antara dua batang tongkat itu! Keduanya ‘bersilat! tanpa ada yang
memegangnya, saling hantam dan saling tangkis sehingga terdengar bunyi nyaring
berkali-kali, dibarengi menyambarnya angin pukulan dahsyat.
Melihat betapa tongkat
ularnya tidak mampu mendesak tongkat butut lawan melalui kekuatan sihir, nenek
itu lalu mengangkat tangannya dan tongkat ularnya terbang kembali ke tangannya.
Koay Tojin juga sudah ‘memanggil! kembali tongkat bututnya dan kini Hek-in
Kui-bo menyerang Koay Tojin dengan tongkat itu, menggunakan tangannya. Koay
Tojin menangkis dan membalas sehingga terjadilah perkelahian yang seru antara
dua orang tua aneh itu.
Melihat betapa kini
gurunya sudah melawan nenek iblis, hati Bi Sian girang sekali dan melihat gadis
yang menyuruh nenek tadi membunuhnya, iapun meloncat ke depan Pek Lan dan tanpa
banyak cakap lagi Bi Sian menyerang Pek Lan dengan pukulan dan tendangan! Biarpun
Pek Lan sudah berusia tujuh belas tahun sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas
tahun, namun Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat.
Sebaliknya, sejak kecil Bi Sian digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat
oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja ketika diserang oleh anak perempuan itu,
Pek Lan menjadi repot sekali dan beberapa kali perutnya kena dipukul dan
kakinya ditendang. Ia mencoba untuk melawan dengan cubitan, jambakan dan
tamparan, akan tetapi ia tidak berhasil dan semakin lama, serangan Bi Sian
semakin ganas dan menyakitkan. Akhirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.
‘Nenek, tolong aku....
tolooooonggg!! Ia terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang
mengenai perutnya.
Sementara itu,
pertandingan antara Koay Tojin melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan seru
dan ramai. Mula-mula, Koay Tojin kewalahan juga menghadapi hujan serangan dari
nenek itu yang memang lihai dan berbahaya bukan main. Nenek itu selain memiliki
ilmu silat tongkat yang aneh dan gerakannya mirip ular, juga tongkat itu
sendiri mengandung hawa beracun, selain tenaga nenek keriputan itupun kuat dan
kecepatan gerakannya juga membingungkan. Akan tetapi begitu Koay Tojin
mengeluarkan ilmu silat tongkat ciptaannya yang baru dan amat lihai, yang
bahkan dipuji oleh suhengnya, yaitu Pek-sim Sian-su, yaitu Ta-kwi Tung-hoat
(Ilmu Tongkat Pemukul Iblis), kini Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan main. Ia
selalu terdesak dan beberapa kali nyaris terkena hantaman tongkat butut, maka
ketika mendengar suara Pek Lan minta tolong, ia mempunyai alasan untuk
melarikan diri. Ia meloncat ke belakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait
baju Pek Lan yang tiba-tiba merasa tubuhnya diterbangkan dan nenek itu
melarikan diri cepat sekali sambil membawa tubuh Pek Lan.
Bi Sian masih mengepal
kedua tangannya dan ia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Lan yang dilarikan
nenek itu. ‘Hemm, kalau tidak lari, tentu akan kupukuli sampai kapok
perempuan jahat itu!!
‘Ha-ha, Bi Sian,
sudallah, mari kita pergi, jangan melayani nenek iblis yang mengerikan itu.
Hihh....!! Koay Tojin bergidik. ‘Hayo pergi....!!
Akan tetapi pada saat itu,
Bong Gan yang sejak tadi melihat segala yang terjadi dengan hati penuh kagum
terhadap anak perempuan itu dan kakek gembel, kini menjatuhkan diri di depan
kaki Koay Tojin.
‘Locianpwe yang
mulia.... mohon kemurahan hati locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai
murid....!!
Kakek itu mengerutkan
alisnya, memandang kepada anak itu dan menyeringai. ‘Heh-heh, aku tidak sudi!
Aku sudah mempunyai murid yang jauh lebih baik, ha-ha! Mari Bi Sian, kita
pergi!! katanya sambil membalikkan tubuh mambelakangi Bong Gan dan melangkah
pergi.
‘Suhu, nanti dulu!! Bi
Sian berkata sehingga kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian mengamati
Bong Gan yang masih berlutut dan anak laki-laki itu menangis sesenggukan,
kelihatannya sedih bukan main.
‘Siapa namamu?! Bi Sian
bertanya.
‘Nama saya Bong Gan....!
jawab anak laki-laki itu sambil menahan tangisnya dan memandang kepada Bi Sian
dengan mata agak kemerahan dan penuh kedukaan.
‘Kenapa engkau hendak
dibunuh mereka tadi?!
‘Saya adalah seorang
anak yatim piatu yang dipungut oleh keluarga hartawan Coa di kota Ye-ceng,!
Bong Gan bercerita dengan suara yang memelas sekali. ‘Perempuan jahat tadi
adalah selir ayah angkat saya. Pada suatu hari, ayah kehilangan barang-barang
perhiasan berharga. Saya tahu bahwa yang mencurinya adalah perempuan tadi, akan
tetapi ia berbalik menjatuhkan fitnah dan sebagian dari barang curiannya ia
sembunyikan ke dalam kamar saya. Karena itu, ayah angkat saya marah dan kami
berdua diusir. Ketika kami tiba di sini, perempuan itu menyalahkan saya dan memukuli
saya. Saya melawan dan muncul nenek iblis tadi yang membela perempuan jahat
itu.! Bong Gan yang pandai, membuat karangan yang masuk di akal ini secara
tiba-tiba begitu sudah membuktikan bahwa dia memang seorang anak yang cerdik
sekali. Setelah selesai bercerita, dia lalu menangis lagi.
‘Nona, mohon belas
kasihan nona dan guru nona.... sudilah menerima saya menjadi murid. Saya mau
bekerja apa saja.... saya sudah tidak mempunyai seorang keluargapun, dan saya
takut kalau.... perempuan jahat dan nenek iblis tadi datang lagi membunuh
saya....!
‘Sudahlah, Bi Sian. Hayo
kita pergi, jangan layani anak cengeng itu!! Koay Tojin berkata tidak sabaran
lagi.
‘Nanti dulu, suhu,! kata
Bi Sian yang sudah tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia merasa kasihan
kepada anak itu. ‘Aku mau pergi kalau suhu juga nengajak dia ini!!
‘Apa??! Koay Tojin
terbelalak. ‘Untuk apa mengajak anak cengeng ini?!
‘Locianpwe, mohon maaf
sebanyaknya. Kalau perlu, saya dapat menjadi anak yang sama sekali tidak cengeng!
Kalau locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, biar menghadapi ancaman maut,
saya tidak akan takut dan tidak akan menangis sama sekali!!
Ucapan itu bernada
menantang dan Koay Tojin yang memiliki watak aneh itu sekali ini tertarik.
‘Ha-ha-ha-ha, benarkah itu? Engkau tidak akan takut, tidak akan menangis
menghadapi ancaman maut?!
‘Benar, locianpwe,! kata
Bong Gan, girang bahwa kakek gembel yang dia tahu amat lihai itu kini mau
memperdulikannya.
‘Aku ingin melihat
buktinya!! berkata demikian, Koay Tojin lalu melemparkan tongkatnya dan tongkat
itu kini meluncur ke arah Bong Gan, dan mulailah tongkat itu memukuli dan
mencambuki Bong Gan.
‘Plak! Plak! Plak!
Bukk!! Tongkat itu mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak
itu terkejut bukan main, dan juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak
sendiri memukulinya. Dan pukulan-pukulan itu mendatangkan perasaan nyeri yang
cukup hebat, apalagi kalau pukulan itu mengenai kepalanya. Dia menutupi kedua
kepalanya dan kini punggungnya, pahanya, pinggul, kaki dan lengannya menjadi
sasaran pukulan tongkat. Hampir saja Bong Gan berteriak kesakitan dan menjerit
minta tolong.
Akan tetapi, anak yang
cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka diapun menggigit bibir dan
biarpun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan menggeliat-geliat di atas
tanah di bawah hujan pukulan tongkat, namun tidak sedikitpun keluhan keluar
dari bibir yang digigitnya sendiri itu.
Bajunya sudah robek-robek
dan basah oleh keringat dan darah. Kulit punggungnya pecah-pecah berdarah. Akan
tetapi dia tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap kali terpelanting, dia
tergopoh bangkit dan mencoba untuk berlutut kembali ke arah kakek itu.
Melihat betapa tubuh Bong
Gan sudah berlepotan darah, hati Bi Sian merasa tidak tega. ‘Cukup, suhu,
cukup! Apakah suhu hendak memukulinya sampai mati?! teriaknya.
‘Ha-ha-ha!! Koay Tojin
tertawa bergelak dan di lain saat tongkat itu sudah kembali ke tangannya.
Hatinya gembira karena melihat Bong Gan benar-benar memegang janji dan sama
sekali tidak mengeluh. Diam-diam diapun mulai suka kepada bocah itu. ‘Mari
kita pergi, Bi Sian!! katanya dan sekali sambar, tangan Bi Sian sudah
dipegangnya dan sekali melompat keduanya lenyap dari situ.
Tentu saja Bong Gan
menjadi terkejut dan kecewa sekali. Dia sudah membiarkan tubuhnya dihajar babak
belur dan berdarah-darah, sakitnya tidak kepalang dan kini kakek itu
meninggalkannya begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia memaki. Akan tetapi
dalam kepalanya yang cerdik terdapat dugaan dan harapan bahwa kakek aneh itu
tetap masih mengujinya!
Dia tahu bahwa kakek itu
aneh dan sakti, dan anak perempuan itu manis bukan main, juga amat baik
kepadanya. Dia harus dapat menjadi murid kakek itu. Kalau tidak, dia akan hidup
sebatangkara dan selalu terancam bahaya. Dia ingin memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi agar dapat menjaga diri. Dia harus berhasil menjadi murid kakek
itu, atau kalau perlu dia akan mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan uji!
Dengan pikiran ini, Bong
Gan terus berlutut menghadap ke arah tempat kakek tadi berdiri, dengan nekat
dia berlutut terus sampai kedua kakinya kesemutan dan tidak merasa apa-apa
lagi, dan rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat karena sengatan sinar
matahari. Dia bertahan terus, bahkan ketika matahari terbenam dan tempat itu
mulai gelap dengan tibanya malam, dia tetap berlutut di tempat itu!
Memang patut dipuji
kekerasan hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh tubuh
nyeri karena luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa dingin yang
menyengat tulang, dan ditambah lagi perasaan ngeri karena di tepi hutan itu
gelap dan sunyi. Kadang-kadang terdengar suara binatang dari dalam hutan dan
mau tidak mau, seluruh bulu di tubuh Bong Gan meremang seram. Akhirnya, lewat
tengah malam, dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuhnya yang tidak kuat
lagi dan dia terguling dan pingsan!
Ketika Bong Gan siuman,
dia mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput tebal, di tepi sebuah
sungai kecil yang jernih, di dalam sebuah hutan. Bagaikan mimpi dia melihat
seorang anak perempuan yang manis sedang mengobati luka-luka di punggungnya
dengan menempelkan daun-daun hijau yang lebar. Terasa dingin dan nyaman sekali.
Agaknya anak perempuan itu
mengerjakan dengan kelembutan dan dia melihat anak itu memilin dan menggosok
daun-daun baru di antara kedua telapak tangannya sehingga daun itu menjadi
lemas dan mengeluarkan air kehijauan. Kemudian daun-daun itu ditempelkan di
atas kulit yang terluka oleh pukulan tongkat. Anak perempuan yang manis, anak
perempuan yang berjasa membujuk gurunya untuk menerimanya sebagai murid!
‘Terima kasih, kini
sudah terasa nyaman....! katanya dan diapun mengenakan bajunya, dan melihat
kakek aneh itu duduk pula di situ, memandang anak perempuan itu mengobatinya
dengan sikap acuh, Bong Gan cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu.
‘Suhu, teecu (murid)
menghaturkan terima kasih dan hormat....! sikapnya penuh hormat dan suaranya
mantap.
Melihat suhunya masih
melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru, ‘Suhu ini bagaimana sih?
Ini, muridmu yang baru menghaturkan terima kasih dan hormat, kenapa suhu diam
saja?!
Kakek yang melenggut itu
membuka mata, memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh, kemudian berkata,
‘Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau
kulihat engkau malas dan tidak tekun atau tidak taat, engkau akan kuusir. Dan
kalau kelak engkau menyeleweng, engkau akan kubunuh dengan tongkat ini!! Dia
mengacungkan tongkatnya.
Dengan hati yang girang
bukan main Bong Gan memberi hormat dengan sembah sampai delapan kali kepada
gurunya. ‘Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu.! Kemudian
dia menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu.
‘Suci, saya menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan suci kepada
saya, dan saya tidak akan melupakan budi kebaikanmu itu....!
Bi Sian terbelalak. ‘Eh,
eh, nanti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci?!
Bong Gan tersenyum.
‘Bukankah suci yang lebih dulu menjadi murid suhu?!
‘Bukan begitu! Aku tidak
mau cepat tua dengan disebut kakak! Coba sekarang kita lihat, siapa yang lebih
tua di antara kita. Berapa umurmu tahun ini?!
‘Tiga belas tahun.!
‘Nah, itu!! Bi Sian
berteriak. ‘Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh
menyebut suci padaku. Aku tidak mau!!
‘Habis, lalu bagaimana?!
‘Karena engkau lebih
tua, engkau menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng.!
Wajah Bong Gan menjadi
merah, akan tetapi hatinya girang walaupun dia merasa kikuk.
‘Baiklah sumoi.!
‘Nah, begitu baru benar,
suheng! Nama keluarga siapa sih? Apakah Bong?!
Bong Gan menggeleng
kepalanya.
‘Tadinya aku memakai
nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi
sebagai anak, aku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil,
aku hanya tahu bahwa namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa
nama keturunan atau boleh juga disebut nama keturunanku Bong.!
Koay Tojin kelihatannya
tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andaikata dia mendengarkan pun,
agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh
terhadap Bong Gan ini berubah saking pandainya Bong Gan membawa diri. Dia amat
rajin dan amat memperhatikan keperluan suhunya dan sumoinya, dia ringan kaki
dan tangan, mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun
dan rajin ketika mulai diajar dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau
mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian sehingga sikapnya
yang amat baik ini selain membuat Bi Sian menyayangnya, juga Koay Tojin mau
tidak mau mulai menyukainya.
Bahkan dengan adanya Bong
Gan sebagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang
janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis.
Ada saja akal dari Bong Gan untuk mendapatkan makanan bagi mereka bertiga tanpa
mengemis. Dengan menjual hasil buruan, atau rempa-rempa yang amat berharga,
Bong Gan bisa mendapatkan hasil untuk biaya hidup mereka.
***
Pek Lan menjatuhkan
dirinya berlutut di depan nenek buruk dan tua itu ketika si nenek menurunkannya
dari pondongan. Mereka berada di puncak sebuah bukit kecil yang sunyi.
‘Terima kasih, Nenek
telah menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk nenek apa yang
harus saya lakukan karena hidup saya sebatangkara dan tidak mempunyai harapan
lagi.!
‘Pek Lan, engkau
berjodoh untuk menjadi muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Kalau engkau
tidak mau menjadi muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah, engkau pilih
mana?!
Diam-diam Pek Lan terkejut
bukan main. Ia harus menjadi murid nenek iblis ini dan kalau ia tidak mau ia
akan dibunuh! Manusia macam apa nenek ini? Dan ia belum pernah mimpi berguru
kepada seorang nenek iblis. Mau belajar apa dari nenek ini? Tidak sukar untuk
memilih antara berguru kepada nenek itu atau mati.
‘Tentu saja saya memilih
berguru, nek.!
‘Hushhh! Kalau memilih
berguru ke padaku, kenapa masih menyabut nenek? Sebut aku subo (ibu guru)!!
‘Baik, subo. Saya akan
mentaati semua perintah subo.!
‘Bagus! Memang syaratnya
engkau harus mentaati semua perintahku. Perintah apa saja harus kautaati, tahu?
Kalau tidak, engkau akan kupecat sebagai murid dan akan kubunuh!!
Pek Lan bergidik. Nenek
ini sedikit-sedikit mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu timbul dalam
benaknya bahwa kalau ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti nenek itu, ia
akan mampu menghadapi siapapun juga, termasuk nenek ini! Ia akan dapat
menghajar semua orang yang tidak disukainya. Maka bangkitlah semangatnya.
‘Apapun yang subo
perintahkan kepada teecu akan teecu laksanakan.!
‘Heh-heh-heh, bagus
sekali. Sekarang engkau harus melaksanakan tugas yang amat penting. Kita
membutuhkan harta yang amat banyak agar kita dapat hidup tenteram dan
berkecukupan. Kalau sudah begitu barulah engkau akan dapat belajar dengan
baik.!
‘Bagaimana kita bisa
mendapatkan harta yang banyak, subo?!
‘Mari, ikut dengan aku
ke kota besar Ho-tan di timur. Di sana terdapat benteng besar pasukan dan di
kota itu terdapat seorang yang paling kaya raya yaitu Pangeran Cun Kak Ong yang
menjabat komandan atau panglima besar. Banyak barang rampasan disimpan sendiri
oleh pangeran itu dan kalau kita dapat memasuki gudang hartanya, tentu kita
akan menjadi kaya raya!!
Pek Lan ikut bergembira
dan iapun mengikuti subonya. Ia telah melihat kesaktian nenek itu dan ia
percaya bahwa nenek itu akan mampu melaksanakan rencananya dengan baik. Mereka
akan menjadi kaya raya dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat mulai mempelajari
ilmu-ilmu kesaktian dari nenek itu.
***
Pangeran Cun Kak Ong
adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun. Dia adalah
seorang bangsawan, masih sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu,
Kerajaan Beng-tiauw sudah mulai mengalami surut bukan hanya karena
pemerintahannya mendapat gangguan para bajak laut, pemberontakan-pemberontakan
dalam negeri, ancaman gerakan orang-orang Mancu di luar Tembok Besar, akan
tetapi terutama sekali karena para pembesarnya sudah kehilangan kesetiaan
mereka terhadap tanah air dan bangsa, melainkan mementingkan kesenangan pribadi
masing-masing sehingga sukar ditemukan seorang pembesar yang setia dan tidak
melakukan korupsi besar-besaran.
Pangeran Cun Kak Ong juga
seorang di antara para pembesar yang kegiatannya hanya membesarkan perut
sendiri. Ketika dia diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang nomor
satu di daerah Sin-kiang, dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit saja
bagian hasil dari daerah itu disetorkan ke pusat. Selebihnya, yang terbanyak,
masuk ke dalam gudang hartanya sendiri. Bangsawan ini memiliki kesukaan
mengumpulkan barang-barang kuno yang berharga, patung-patung emas,
barang-barang antik dari batu giok, perhiasan-perhiasan dari intan atau
mutiara, lukisan-lukisan yang mahal harganya. Dia seorang pembesar yang kaya raya
dan hidupnya di kota besar Ho-tan seperti kehidupan seorang raja, dengan
istananya yang megah dan siang malam dijaga oleh puluhan orang perajurit.
Bukan hanya penjagaan di
rumah seperti istana itu yang amat ketat, akan tetapi juga di istana itu
terdapat banyak rahasianya sehingga orang luar jangan harap dapat memasuki
istana tanpa terancam jebakan-jebakan rahasia. Apalagi kalau ada maling masuk,
jangan harap dia akan mampu menemukan kamar-kamar atau gudang-gudang rahasia di
bawah tanah! Inilah sebabnya mengapa orang sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin
mempergunakan muridnya yang cantik jelita untuk melaksanakan niatnya, yaitu
mencuri harta dari pangeran itu.
Satu di antara
kelemahan-kelemahan Pangeran Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Di dalam
istananya sudah terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik,
dari bermacam suku bangsa. Ada gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek
yang panas, bangsa Kirgiz yang cantik lembut, bangsa Hui yang pandai merayu,
bahkan ada dari bangsa Tajik yang bermata kebiruan dan berhidung mancung. Namun
dia masih selalu membuka mata dan hidung lebar-lebar setiap kali berjumpa
dengan wanita cantik yang belum menjadi miliknya!
Pada pagi hari itu, ketika
dia berkuda dari rumahnya menuju ke benteng, diiringkan oleh belasan orang
pengawal, tiba-tiba dia menahan kudanya dan memberi isarat kepada pasukannya
untuk berhenti. Semua perajurit ikut menengok ke kiri ke mana panglima itu
menengok dan mereka semua menahan senyum, maklum apa yang menyebabkan panglima
itu menahan kuda dan memberi isarat mereka agar berhenti. Kiranya di tepi jalan
itu terdapat seorang wanita muda yang sedang menangis dan wanita yang masih
amat muda itu, baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga tidak
mengherankan kalau panglima yang sudah terkenal mata keranjang itu tertarik
sekali.
Pangeran itu turun dari
atas kudanya dan sambil membusungkan dadanya dia melangkah gagah menghampiri
gadis cantik yang sedang memangis itu. Akan tetapi karena sejak beberapa tahun
ini perutnya berkembang lebih cepat dari pada dadanya sehingga perutnya amat
gendut, yang membusung bukan dadanya melainkan perutnya menjadi semakin
menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan lagak yang gagah, yakin akan
kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang serba gemerlapan.
Beberapa orang yang
tadinya juga tertarik dan mendekati gadis yang menangis itu, cepat mundur
ketika melihat panglima besar itu menghampiri gadis itu. Yang tinggal dekat
gadis itu hanya seorang nenek yang sudah tua sekali dan buruk rupa.
‘Nona, siapakah engkau
dan kenapa menangis di sini?! Pangeran Cun bertanya dan hatinya semakin
tertarik karena setelah dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu lebih
cantik dari pada yang diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih mulus
dan ketika menangis, gadis itu menunduk dan dari atas dia dapat melihat
celah-celah belahan dada dan nampaklah lereng sepasang bukit yang menantang.
Gadis itu tidak menjawab
melainkan menangis lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan menutupi mukanya dengan
kedua tangan dan sehelai saputangan sutera. Nenek di dekatnya juga ikut
berlutut, akan tetapi tidak mengeluarkan suara.
‘Nona ceritakanlah
padaku. Jangan engkau khawatir, aku yang akan menolongmu dan menghukum orang
yang membikin susah hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini, nona. Dari manakah
engkau?!
‘Maaf, Taijin.... karena
berduka maka tadi saya sukar sekali mengeluarkan suara.... saya memang bukan
orang sini.... saya berasal dari sebuah dusun kecil di luar kota Ye-ceng. Nama
saya Pek Lan dan saya.... saya, pengantin baru.... baru satu bulan menikah dan
ketika saya diboyong ke dusun suami saya.... di tengah jalan kami dihadang
perampok! Suami saya, semua keluarga saya.... melakukan perlawanan dan dalam
kesempatan itu, saya berhasil melarikan diri, dibantu oleh pelayan tua kami
yang setia ini. Ia gagu dan tuli, akan tetapi ia setia sekali.... karena itu,
tolonglah kami, Taijin....!
Gadis itu bukan lain
adalah Pek Lan, dan nenek yang diakuinya sebagai pelayan setia itu bukan lain
adalah gurunya, Hek-in Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam! Dan semua itu
adalah siasat dan rencana si nenek untuk menundukkan hati dan memenangkan
kepercayaan Pangeran Cun yang terkenal mata keranjang. Tepat seperti dugaan
nenek ini yang dapat melihat betapa cantik menariknya muridnya, seketika
Pangeran Cun jatuh hati! Apa lagi mendengar bahwa gadis jelita itu adalah
seorang pengantin baru yang baru satu bulan menikah dan kini berpisah dari
suaminya! Menurut patut, kalau dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan
pasukan untuk mencoba menyelamatkan sumi dan keluarga gadis ini. Akan tetapi
tidak sama sekali, dia menolong dengan cara ‘menampung! Pek Lan, dan hal ini
sudah pula diperhitungkan nenek Hek-in Kui-bo!
‘Aduh kasihan....!!
Pangeran itu berseru sambil melihat kemulusan gadis itu. ‘Jangan menangis,
nona, dan jangan bersedih. Tentu saja kami suka menolongmu. Mari, mari ikut ke
istana kami dan engkau akan segera melupakan malapetaka yang menimpa dirimu,
he-he!!
Pek Lan yang bermain
sandiwara demi memenuhi perintah gurunya, segera memberi hormat dan
berkali-kali menghaturkan terima kasih, tidak lupa untuk menghadiahkan kerling
memikat dan senyum kecil menantang, membuat hati pangeran itu menjadi semakin
tertarik dan seketika diapun membatalkan kepergiannya ke benteng, melainkan
memutar pasukannya pulang ke istana sambil mengawal kereta yang cepat
disediakan untuk Pek Lan dan ‘pelayannya!!
Tepat seperti
diperhitungkan oleh Hek-in Kui-bo, dalam waktu singkat sekali Pangeran Cun
bertekuk lutut dan tergila-gila kepada selir barunya ini! Hek-in Kui-bo yang
berpengalaman juga begitu bertemu dengan Pek Lan sudah tahu bahwa gadis itu
bukan perawan, melainkan seorang wanita yang biarpun masih muda namun sudah
matang, dan bahwa dalam diri Pek Lan tersembunyi watak cabul dan pemikat.
Pek Lan mentang amat
cerdik. Tentu saja iapun tidak punya rasa suka kepada Pangeran Cun. Biarpun dia
seorang pangeran, bangsawan tinggi yang berkedudukan tinggi dan kaya raya, akan
tetapi usianya sudah setengah abad lebih, mukanya yang sudah keriputan itu coba
ditutupi dengan watak pesolek, pakaian indah. Akan tetapi pakaiannya yang mewah
itu tidak mampu menyembunyikan perutnya yang gendut luar biasa. Pek Lan
terpaksa memejamkan mata agar tidak melihat perut yang seolah-olah akan meledak
itu setiap kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia mempergunakan
segala kecantikannya, gaya dan kepandaiannya untuk benar-benar meruntuhkan hati
sang pangeran.
Dalam keadaan terbuai
kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong mencurahkan seluruh kasih sayang
dan kepercayaannya kepada selir baru ini sehingga dalam waktu dua minggu saja
dia sudah membuka rahasia penyimpanan hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh
alat rahasia dan dijaga oleh jagoan-jagoan yang didatangkan dari kota raja dan
memiliki ilmu silat tinggi!
Setelah mengorek rahasia
ini, cepat Pek Lan memberitahu kepada gurunya yang menyamar sebagai pelayannya.
‘Subo, cepat bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!! keluh
Pek Lan yang terpaksa harus melayani pria yang tidak disukainya.
Nenek itu tertawa tanpa
membuka mulut. ‘Jangan khawatir, malam ini kita kerjakan! Akan tetapi,
pekerjaan ini berbahaya sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal
saja di dalam kamarmu. Aku akan memancing mereka mengejar keluar, barulah aku
akan mengambilmu dari kamarmu.!
‘Tapi...., tapi.... subo
jangan lupa untuk mengajak teecu keluar dari neraka ini!!
Kembali nenek itu tertawa,
‘Anak goblok, kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?!
‘Aih, subo. Siapa sih
yang suka siang malam dalam pelukan babi itu? Dengkurnya saja membuat kepalaku
selalu pening dan tidak dapat tidur barang sejampun. Seleranya seperti babi,
aku jijik....!
‘Jangan khawatir. Aku
akan bekerja cepat. Biarpun katanya tiga orang jagoan itu berilmu tinggi, akan
tetapi aku tidak takut dan tentu aku akan dapat merobohkan mereka,! kata nenek
itu setelah mencatat dalam ingatannya tentang jebakan-jebakan rahasia yang
berhasil dikorek dari mulut Pangeran Cun.
Malam gelap tiba dan
setelah lewat tengah malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar dari kamarnya
sendiri di dekat kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa tersiksa
‘menderita! dalam pelukan Pangeran Cun.
Ketika sang pangeran yang
kelelahan sudah tidur mendengkur keras seperti dengkurnya seperti babi
disembelih, Pek Lan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan, lalu duduk di
tepi pembaringan, melamun. Jantungnya berdebar tegang karena ia tahu bahwa saat
itu gurunya sedang memasuki lorong bawah tanah untuk mengunjungi gudang harta
yang dijaga ketat itu. Bagaimana kalau gurunya gagal?
Apakah ia tidak akan
tersangkut? Ia akah mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk
menyelamatkan diri, membanjiri pangeran itu dengan segala kemesraan dan
kehangatan. Setidaknya, ia tidak tertangkap basah dan tidak ikut dengan gurunya
ke gudang harta itu! Ia berada dalam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu
terjadi! Dengan memaksakan dirinya, Pek Lan kembali merebahkan diri dan
mendekati Pangeran Cun Kak Ong. Pangeran itu bergerak dalam tidurnya dan
lengannya yang gemuk dan berat itu merangkul, melintang di atas dada Pek Lan!
Gadis itu sampai merasa sesak bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya
miringkan tubuhnya agar tidak sampai mati terhimpit!
Bagaikan bayangan setan,
Hek-in Kui-bo berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah. Di bawah tanah itu
terdapat banyak kamar, di antaranya kamar atau gudang harta yang besar dan
terjaga ketat. Belasan orang penjaga berkeliaran di sekitar gudang itu, dan di
depan gudang terdapat sebuah kamar di mana tiga orang jagoan yang amat lihai
tidur dan berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan perondaan adalah anak
buah mereka yang jumlahnya ada selosin orang.
Dua orang penjaga meronda
dan berjalan di belakang gudang itu, membawa sebuah lentera minyak. Tiba-tiba
saja ada bayangan hitam berkelebat dan dua orang itu terbelalak, akan tetapi
tidak mampu bergerak atau berteriak karena mereka sudah tertotok secara aneh
sekali. Tentu saja yang menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek
ini sudah merampas lentera sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera
itupun padam! Dan seperti bayangan setan, ia kembali bersembunyi dan mengintai.
Tak lama kemudian dua
orang penjaga datang lagi membawa lentera dan tombak panjang. Mereka jelas
mencari-cari dua orang kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang kawan itu
berdiri di belakang gudang, tak bergerak, mereka cepat lari menghampiri. Akan
tetapi kembali ada bayangan hitam berkelebat dan di lain saat, dua orang inipun
berdiri seperti patung tak bergerak, tombak dan lentera terampas dari tangan
mereka! Semua ini terjadi dengan amat cepatnya dan kini empat orang itu dari
jauh nampaknya seperti sedang merundingkan sesuatu, berdiri seperti patung.
Bab 8
Dua orang berikutnya lebih
curiga. Mereka melihat empat orang kawan mereka berdiri di belakang gudang dan
seperti orang berunding, akan tetapi tanpa lentera dan tanpa tombak! Dan mereka
itu tidak bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka berdua bercuriga dan mereka
tidak menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan itu. Akan
tetapi tidak ada jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali ke depan gudang
dan melapor, tiba-tiba merekapun roboh terpelanting dengan pelipis berlubang
tertusuk ujung tongkat dan lentera mereka, tombak mereka terampas sebe lum
terbanting ke atas tanah. Kini bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in
Kui-bo, mengambil dua lentera terdahulu, membukanya dan menyiramkan minyak dari
dua lentera itu ke tubuh empat orang yang ditotoknya. Kemudian, sambil membuka
totokan mereka iapun membakar empat orang penjaga itu! Tentu saja empat orang
penjaga itu berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tubuh mereka terbakar! Mereka
lari cerai berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja mengejutkan
kawan-kawan mereka, bahkan tiga orang jagoan itupun cepat keluar dari kamar
mereka.
Empat orang yang terbakar
itu lari cerai berai dan tidak dapat bicara kecuali menjerit-jerit, membuat
tiga orang jagoan itu menjadi bingung mengejar ke sana-sini. Mereka lalu
merobohkan empat orang yang berlarian-larian dan membakar beberapa bagian
bangunan bawah tanah itu dengan tubuh mereka. Akan tetapi mereka tidak sempat
lagi memberi penjelasan dan tewas oleh luka-luka bakar. Kemudian, tiga orang
jagoan itu menemukan pula dua orang penjaga yang pelipisnya berlubang.
Tentu saja mereka terkejut
dan maklum bahwa ada orang jahat. Akan tetapi di mana? Mereka memeriksa semua
bagian, tidak ada jejak kaki orang luar! Tentu saja mereka tidak memeriksa ke
dalam gudang di mana Hek-in Kui-bo dengan santai memilih benda-benda yang
paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini maklum betapa perbuatannya
itu membuat semua penjaga mencari-cari keluar bukan ke dalam gudang! Ia
memasuki gudang itu dari jendela belakang yang dipasangi alat rahasia, akan
tetapi, berkat kecerdikan muridnya, ia telah mengetahui rahasia alat itu dan
telah melumpuhkannya.
Setelah berhasil membuka
jendela dan memasukinya tanpa tersentuh anak panah beracun yang dipasang di
sana, ia menutup kembali daun jendela dan memasang lagi anak panah itu,
kemudian ia memilih benda-benda yang paling berharga. Patung emas murni, benda
dari batu giok, perhiasan-perhiasan kuno dari intan, mutiara dan lain permata
mulia. Dikumpulkan semua benda yang merupakan harta yang membuat orang menjadi
kaya raya itu ke dalam sebuah kantung kain yang sudah dipersiapkannya
sebelumnya, kantung kain hitam yang tebal dan kuat, lalu dipanggulnya kain
hitam yang kini penuh barang berharga di atas punggungnya yang agak bungkuk.
Dengan hati-hati ia
mengintai keluar. Enam orang penjaga dan tiga orang jagoan itu masih sibuk
memadamkan api yang membakar empat orang penjaga karena mereka tadi berlarlan
menabarak sana-sini, ada beberapa tempat yang kebakaran pula. Mempergunakan
kesempatan ini, Hek-in Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula,
menutupkan lagi jendela itu dan iapun berkelebat menuju ke pintu lorong. Kalau
ia mau, mengandalkan gin-kangnya yang tinggi, tentu ia dapat menyelinap keluar
tanpa diketahui. Akan tetapi ia harus membawa muridnya keluar pula, dan hal ini
tidak mudah. Ia harus memancing semua penjaga untuk mengejarnya keluar dari
gedung itu, maka ia sengaja memberatkan tubuhnya dan langkahnyapun terdengar oleh
tiga orang jago.
‘Heiiii, berhenti....!!
Tiga orang jagoan itu berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah mengejar.
Memang benar keterangan yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga
orang jagoan ini memiliki kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat
sekali mengejar tubuh berpakaian hitam yang bungkuk itu. Namun, Hek-in Kui-bo
adalah seorang datuk sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar dari lorong,
masuk ke dalam taman gedung itu. Tiga orang jagoan terus mengejar dan melihat betapa
bayangan hitam itu dapat bergerak amat cepatnya, merekapun berteriak memberi
tanda kepada para rekan mereka yang berjaga di atas.
Keadaan menjadi gaduh
sekali ketika banyak penjaga berlarian ke sana-sini dan cuaca menjadi terang
karena semua penjaga menyalakan lentera-lentera dan lampu-lampu gantung. Hek-in
Kui-bo sengaja berkelebatan ke sana-sini untuk membikin kacau, kemudian ia
sengaja memperlihatkan diri dan lari ke dalam kebun di samping gedung. Kebun
atau taman ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan
para perwira, mereka mengejar ke sana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti di tempat
gelap dan ketika mereka semua datang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya.
Beberapa orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jagoan itu memang
lihai.
Mereka bukan saja mampu
menjaga diri dari amukan tongkat akan tetapi juga mampu membalas, walaupun bagi
Hek-in Kui-bo, mereka itu masih belum apa-apa, merupakan lawan-lawan yang lunak
saja. Setelah merobohkan kurang lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat ke
atas pagar tembok dan menghilang dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang
jagoan dan para perwira melakukan pengejaran, diikuti pula oleh pasukan
pengawal.
Mereka sama sekali tidak
tahu betapa bayangan hitam itu bersembunyi dekat tembok dan begitu mereka semua
berloncatan keluar, Hek-in Kui-bo mengambil jalan memutar dan sudah meloncat
masuk kembali!
Pangeran Cun sudah
mendengar keributan di luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari luar
kamar. Pangeran itu dengan malas mengenakan pakaian, bersungut-sungut.
‘Pencuri itu minta mampus barangkali. Bagaimana mungkin dapat melakukan
pencurian di gedungku ini yang dijaga ketat? Tentu sekarang sudah tertangkap!!
Diapun membiarkan selir tercinta itu mengenakan pakaian, bahkan dia tidak sadar
bahwa di sudut kamar terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang
sejak tadi dipersiapkan oleh Pek Lan, menggunakan saat pangeran itu mendengkur
pulas.
‘Brakkk!! Tiba-tiba
jendela itu berantakan dan tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main. Dia
membalik dan melihat dengan mata terbelalak betapa nenek buruk rupa pelayan
selirnya itu meloncat masuk, membawa buntalan hitam di punggungnya.
‘Pek Lan, mari kita
pergi!! kata nenek itu.
Pangeran Cun masih belum
sadar, akan tetapi mendengar nenek itu hendak mengajak pergi selirnya, dia
menjadi marah. ‘Keparat, mau apa kau? Pergi dari kamar ini!! Dan dia mencabut
pedang yang tergantung di dinding kamar itu.
‘Cerewet kau!! bentak
nenek itu dan sekali tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu telah
terbanting roboh di atas lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok oleh
ujung tongkat secara aneh.
‘Subo, kenapa tidak
dibunuh saja babi ini?! kata Pek Lan sambil mengambil buntalan dari sudut
kamar, bahkan ia lalu mengumpulkan perhiasan di atas meja. Perhiasan ini
merupakan hadiah dari sang pangeran dan tadi ia harus melepaskannya semua agar
tidak ‘mengganggu! pelayanannya kepada bangsawan itu.
‘Ah, jangan, heh-heh!
Bukankah dia yang membuat kita kaya raya? Mari kita pergi!! Nenek itu menyambar
lengan muridnya dan membawanya ‘terbang! melalui jendela. Karena para penjaga
sedang sibuk sendiri melakukan pengejaran keluar tembok pagar gedung itu,
dengan mudah guru dan murid ini meninggalkan gedung, menyelinap di kegelapan
malam membawa buntalan di punggung mesing-masing.
Biarpun Pek Lan selama dua
minggu ini tersiksa oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus bersikap manis dan
mesra, namun ia tidak merasa rugi. Pertama, ia telah menyenangkan hati gurunya
dan kedua, selain ia sendiri mendapatkan pakaian-pakaian indah dan perhiasan
mahal, gurunya berhasil mencuri banyak sekali barang yang tak ternilai
harganya, yang membuat mereka seketika menjadi kaya raya dan memungkinkan
mereka hidup mewah dengan harta benda itu.
Beberapa bulan kemudian,
di tepi Telaga Co-sa yang indah, berdiri sebuah rumah yang mungil dengan
perkebunan yang amat luas. Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli tanah yang amat
luas di daerah telaga ini, membangun rumah dan hidup sebagai seorang nenek yang
kaya raya, mempunyai beberapa orang pelayan, hidup bersama muridnya, dikagumi
dan disegani para penduduk dusun sekitarnya sebagai orang-orang kaya raya yang
hidupnya menyendiri dan tidak mau bergaul rapat dengan para penghuni dusun. Dan
mulai saat itu, Pek Lan yang tadinya merupakan seorang gadis manis lemah
lembut, mulai digembleng untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya,
dan ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu silat!
***
Ang-in-kok atau Lembah
Awan Merah merupakan sebutan bagi sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan
Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada di ujung barat
dan mungkin karena pemandangan di puncak ini waktu senja amatlah indahnya, di
mana orang dapat menikmati keindahan matahari terbenam di ufuk barat, membuat
angkasa seperti kebakaran dan kemerahan, maka puncak ini disebut Ang-in-kok.
Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke timur dari Pegunungan Kun-lun-san.
Ang-in-kok ini sunyi, tak
pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidaklah mudah. Orang
harus melalui jurang yang curam dan pendakian yang tidak mungkin dilakukan
orang biasa. Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh
Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu Pek-sim Sian-su untuk menjadi tempat
tinggal sementara. Mereka berempat menggembleng Sie Liong dan karena pemuda
remaja ini menjadi murid Pek-sim Sian-su, maka tiga orang kakek yang berasal
dari Himalaya itu, tiga orang tokoh besar yang usianya masing-masing sudah
tujuh puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari
Sie Liong!
Namun, adalah tiga suheng
ini yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga orang kakek ini
yang merasa dirinya sudah amat tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas penting
yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan tubuh, dan mereka mengharapkan sute
(adik seperguruan) mereka ini yang akan menjadi wakil mereka, maka merekapun
menggembleng anak itu dengan penuh kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan
ilmu andalan dan simpanan masing-masing kepada Sie Liong.
Pek In Tosu mengajarkan
ilmu simpanannya yang disebut Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih),
pukulan yang mengandung tenaga sin-kang amat hebatnya sehingga kalau pukulan
ini dipergunakan, maka dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih.
Pukulan ini bukan hanya kuat sekali dan angin pukulannya saja mampu merobohkan
lawan, akan tetapi juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan beracun
yang jahat dari orang-orang golongan hitam atau kaum sesat.
Orang ke dua dari Himalaya
Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang selalu tersenyum ramah itu, mengajarkan
ilmu simpanannya yang dinamakan Swat-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju).
Pukulan inipun mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, dan kehebatan ilmu
pukulan ini adalah terkandungnya hawa yang amat dingin dalam pukulannya, hawa
dingin yang mampu membikin beku darah dalam tubuh orang yang terpukul, sehingga
pukulan itu dinamakan Naga Salju!
Orang ke tiga dari
Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu
simpanannya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)!
Pukulan ini, sesuai dengan namanya, mengandung tenaga raksasa yang seolah-olah
dapat merobohkan gunung dengan telapaknya! Dan ketika dilatih ilmu ini, Sie
Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai yang besar.
Selama lima tahun Himalaya
Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan tekun, anak itupun rajin bukan main.
Tidak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suhengnya dan
seorang suhunya, akan tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri
dengan tekun. Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apalagi
ketika mereka mendapat kenyataan betapa Sie Liong memang memiliki bakat yang
luar biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan
tulang yang kuat. Apa lagi otaknya. Luar biasa!
Selama lima tahun itu Sie
Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali latihan ilmu-ilmu silat tinggi.
Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi ke dusun untuk mencari
bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan menukarnya
dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di puncak, antara lain kulit-kulit binatang
hutan, tanduk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar obat dan
ramuan-ramuan lain yang banyak didapatkan di tempat itu atas petunjuk Pek-sim
Sian-su yang ahli dalam hal pengobatan.
Selama lima tahun itu,
Pek-sim Sian-su jarang keluar dari dalam guhanya. Dia duduk bersamadhi dan
hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang dia keluar melihat kemajuan
yang dicapai murid barunya.
Setelah lewat lima tahun,
yaitu waktu yang dia berikan kepada tiga orang murid keponakan untuk
menggembleng anak itu, mulailah Pek-sin Sian-su sendiri menggembleng Sie Liong
yang sudah berusia delapan belas tahun. Dia telah menjadi seorang pemuda yang
sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi karena punggungnya
bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda cacat, bongkok dan agaknya hal
ini membuat dia bersikap rendah diri.
Gemblengan yang dilakukan
Pek-sim Sian-su merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah dipelajari
Sie Liong dari tiga orang suhengnya. Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah
dikuasainya, juga Pek-sim Sian-su mengajarkan latihan siu-lian untuk menghimpun
sin-kang yang menjadi semakin kuat.
Juga kekuatan batin yang
membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi
pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit
Bumi) dan ilmu pengobatan. Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu di
bawah bimbingan gurunya, sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah
meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat pertapaan masing-masing.
Setelah membimbing Sie
Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Sian-su berkata kepada muridnya
bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah.
‘Sie Liong, sekarang
usiamu sudah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cakup pula ilmu-ilmu
kaupelajari untuk kaupergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat apa
maksud pinto dan para suhengmu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu agar
engkau dapat mewakili kami yang sudah terlalu tua ini untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan di dalam kehidupan rakyat, membela yang benar dan menentang yang
jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke
Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw itu. Kami semua
merasa heran mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal
golongan kami yang dulu membela dia ketika dia hendak diculik oleh para Lama.
Selidikilah apa yang terjadi di sana dan kalau mungkin usahakan agar engkau
dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi di sini dan
minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama terhadap
kami.!
‘Baik, suhu. Semua
petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu
menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan suhu yang telah memberi
bimbingen kepada teecu.!
Pek-sim Sian-su lalu
meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat
pertapaannya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya meninggalkan tempat
itu, menuruni puncak dan dia langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat
perbatasan utara yang cukup jauh. Dia sudah mendengar keterangan dari encinya
tentang dusun tempat kelahirannya itu, di mana menurut encinya ayah ibunya
telah tewas akibat penyakit menular. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya
dan bersembahyang di makam mereka.
Setelah melakukan
perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki
dusun itu. Ketika dia mendapat keterangan yang meyakinkan bahwa dusun itu adalah
dusun Tiong-cin, jantungnya berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat ini adalah
tanah tumpah darahnya, tempat di mana ibunya melahirkannya! Kampung halaman
ayah ibunya yang telah meninggal dunia. Penduduk dusun itu melihat Sie Liong
dengan pandang mata heran. Jarang ada orang luar memasuki dusun itu, dan tidak
ada seorangpun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini.
Sie Liong juga tidak
memperlihatkan sikap yang mencurigakan bahkan dia mencari bagian yang sunyi
dari dusun itu, lalu ketika dia melihat seorang kakek memanggul cangkul menuju
ke ladangnya, dia cepat menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu.
‘Maaf, lopek (paman
tua). Bolehkah saya bertanya sedikit kepadamu?!
Biarpun pemuda yang
bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya
yang teratur dan halus membuat kakek itu menghentikan langkahnya dan menghadapi
pemuda bongkok itu. Setelah mengama tinya beberapa lamanya, kakek itupun menjawab.
‘Hemm, tentu saja boleh,
orang muda. Apakah yang kautanyakan?!
‘Maaf, lopek. Saya ingin
mengetahui di mana adanya makam dari suami isteri Sie Kian.!
Kakek itu membelalakkan
matanya dan kini memandang kepada Sie Liong penuh selidik. ‘Orang muda,
engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?!
Sie Liong tidak mau
membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab,
‘Saya masih sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan lewat
di dusun ini, maka saya ingin berkunjung ke makam mereka untuk memberi hormat.!
Kakek yang wajahnya sejak
tadi nampak muram itu bersungut-sungut. ‘Hem, apa perlunya mengingat orang
yang sudah mati? Paling banyak setahun sekali kuburannya ditengok, bahkan
kuburan keluarga itu sudah bertahun-tahun tidak ada yang datang menengok! Benar
kata orang bahwa kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi
mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati
dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak?!
Sebelum Sie Liong
menjawab, terdengar teriakan orang. ‘Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu....!!
Sie Liong menengok dan
melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari dan melihat
mereka, kakek berusia enam puluh tahun itu mengerutkan alisnya dan nampak
ketakutan. Sie Liong lalu melangkah ke samping, berdiri di pinggir untuk
melihat apa yang dibicarakan tiga orang itu dengan kakek berwajah muram ini.
Setelah dekat, nampak
bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan
di pinggang masing-masing tergantung sebatang golok. Lagak dan pakaian mereka,
juga golok itu, tidak menunjukkan bahwa mereka adalah segolongan petani.
Seorang di antara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja
disengat kalajengking, melangkah maju dan men udingkan telunjuknya kepada kakek
itu, tidak memperdulikan pemuda bongkok yang berdiri di pinggiran.
‘He, kakek Kwan! Apakah
sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah? Bukankah
hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw
Loya? Hayo katakan, engkau hendak minggat ke mana?!
Kakek itu membungkuk
dengan sikap takut-takut. ‘Aih, mana saya berani melarikan diri? Kalian lihat
sendiri, saya membawa cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang hutang itu....
ah, bagaimana lagi? Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali
hasilnya karena hujan turun terlalu pagi, banyak merusak gandum yang belum tua
benar. Terpaksa saya tidak mampu mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chung-cu
(kepala dusun Bouw). Harap sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan
tentu akan saya bayar lunas.!
‘Enak saja buka mulut!
Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh
mengembalikan, ada saja alasannya! Tak tahu malu!! bentak si hidung besar.
Muka kakek yang muram itu
berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali akan tetapi karena takut
maka tidak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.
‘Akan tetapi, selama
berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, dan kalau dikumpulkan,
bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah yang saya hutang!!
‘Tentu saja kau harus
membayar bunga. Memangnya yang yang kauhutang itu milik nenek moyangmu? Akan
tetapi hutang itu menurut janji harus dikembalikan selama enam bulan dan
sekarang sudah delapan bulan. Hari ini adalah hari terakhir, engkau harus
membayarnya. Harus kukatakan, mergerti?!
Kakek itu menarik napas
panjang.
‘Bagaimana saya dapat
membayarnya? Saya tidak mempunyai uang dan saya tidak bisa mencari pinjaman
kepada orang lain. Sungguh mati saya tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak
mau.... harap saya diberi waktu.!
Si hidung besar menggeleng
kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan. ‘Tidak,
majikan kami mengharuskan engkau membayar sekarang juga. Sudahlah, kami akan
pergi ke rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!!
Kakek itu tersenyum sedih.
‘Barang apa lagi? Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada
Bouw-chung-cu, dan sebagian untuk makan. Di rumah tidak ada lagi sepotongpun
benda yang berharga.!
‘Hemm, kukira tidak
demikian, orang tua! Ada bunga yang manis dan bunga itu cukup untuk membayar
hutangmu kepada majikan kami!! Berkata demikian si hidung besar lalu
membalikkan tubuh dan pergi bersama dua orang kawannya.
Kakek itu kelihatan pucat
dan ketakutan. ‘Celaka.... celaka.... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya
Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang
itu....?! Suaranya bercampur tangis kebingungan.
‘Lopek, siapakah itu Siu
Si? Dan mengapa mereka hendak membawanya?!
Ditanya oleh pemuda
bongkok itu, kakek itu yang sudah putus harapan, berkata, ‘Namaku Kwan Sun,
hidupku hanya dengan cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun yang sudah
yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada
cucuku dan beberapa kali dia ingin mengambil cucuku sebagai selir, akan tetapi
selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan
membuat Siu Si celaka! Ahh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie)
masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya....!
Ucapan terakhir ini
membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang
yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. Ayahnya sudah tidak ada, akan
tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.
‘Hayo, lopek, kenapa
tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu orang, aku akan membantumu!!
Berkata demikian, Sie Liong menarik tangan kakek itu diajak berjalan cepat.
Kakek itu tetap ketakutan
dan meragukan kemampuan pemuda bongkok ini untuk mengajaknya menentang
tukang-tukang pukul yang ganas dan kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan
ancaman bahaya bagi cucunya, diapun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan
menuju ke rumahnya.
Di sepanjang jalan, banyak
penduduk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela dan mereka
itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali, ‘Awas, Lo Kwan,
cucumu....!!
‘Mereka ke sana....!
‘Hati-hatilah, Lo Kwan,
kepala dusun mengincar cucumu....!!
Dari sikap mereka itu, Sie
Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini, akan
tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani bicara terang-terangan,
bahkan agaknya tidak berani keluar dari rumah masing-masing melihat ada tiga
orang tukang pukul kepala dusun menuju ke rumah kakek Kwan!
Akhirnya mereka tiba di
depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat
itu terdengar jerit tangis cucunya, dan seorang di antara tiga tukang pukul
itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah memegangi
pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah.
Ketika gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walaupun pakaiannya amat
sederhana, melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis.
‘Kong-kong, tolonglah
aku....!! Ia meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan
tangan saja yang didapatkan karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat
sekali.
Melihat cucunya meronta
dan menaagis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak
marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak,
akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.
‘Lepaskan cucuku! Ia
tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo lepaskan Siu Si....!!
teriaknya sambil mendekati si hidung besar dan berusaha membebaskan cucunya.
Akan tetapi, kaki yang panjang dan besar itu menendang dan tubuh Kwan Sun
terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.
‘Ha-ha-ha, apakah kau
bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan kalau engkau ingin melihat dia
bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!! Dia memberi isyarat kepada dua
orang kawannya yang sudah merasa puas menghancurkan pintu dan jendela rumah kecil
itu, dan menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan menangis melihat
kakeknya ditendang roboh.
‘Kawan, perlahan dulu!!
Tiba-tiba Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang,
akan tetapi matanya mencorong. Melihat ada orang berani menghadangnya, si
hidung benar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang
yang punggungnya bongkok ini.
‘Siapa engkau dan mau
apa kau menghadangku?! bentaknya marah.
‘Sobat, urusan hutang
pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau
suka membebaskannya,! kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.
Marahlah si hidung besar.
‘Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?! Dia menunjuk ke arah hidungnya yang
besar. ‘Apa kau ingin mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan gadis ini,
engkau mau apa?!
Sie Liong mengerutkan
alisnya.
‘Sungguh engkau telah
menyeleweng dari kebenaran. Kalau tidak kaubebaskan, terpaksa aku akan
memaksamu membebaskannya.!
‘Hah??! Si hidung besar
membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu
bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh, ‘Kau....
kau.... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!! Dia menoleh kepada dua orang
kawannya dan membentak. ‘Hajar mampus setan bongkok ini!!
Dua orang temannya itu
adalah orang yang pekerjaannya memang tukang mem ukul dan menyiksa orang. Tidak
ada kesenangan yang lebih mengasikkan bagi mereka melebihi menghajar orang
lain. Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa
mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka
pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam.
Selain itu, mendatangkan
pula uang karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala dusun
Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apa lagi harus menghajar
seorang pemuda bongkok! Pekerjaan kecil yang amat mudah, pikir mereka.
Dengan lagak bagaikan
jagoan-jagoan benar-benar, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong
sambil menyeringai. Apalagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak
memperlihatkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan seorang pemuda
bongkok sederhana saja.
‘Sekali pukul bongkokmu
itu akan pindah ke depan!! seorang di antara mereka mengejek.
‘Tidak, biar kupukul
sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari
Mongol!! Orang ke dua memperoloknya. Namun, Sie Liong diam saja, bahkan
sikapnya seperti mengacuhkan mereka, dan memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah
gentung-gentung kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya.
Dua orang itu agaknya
hendak bersaing dan berlumba siapa yang akan lebih dulu merobohkan Sie Liong,
maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam
ke arah kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok
itu.
Sie Liong melihat
datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja amat lambat datangnya. Dia
seolah tidak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang
itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia
mengembangkan kedua lengannya dan.... dua orang itu terlempar ke kanan kiri
sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sampai berdebuk
suaranya dan debu mengebul ketika pantat mereka rerbanting keras ke atas tanah.
Dua orang itu meringis dan tangan mereka men geluspantat yang amat nyeri itu,
akan tetapi perasaan malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri
itu. Mereka sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka sudah mencabut
golok dari pinggang masing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun
dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.
‘Tuan-tuan.... jangan
bunuh orang....!! kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang
menolongnya itu akan menjadi korban golok mereka. ‘Orang muda, pergilah,
larilah....!!
Akan tetapi, tentu saja
dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak memperdulikannya, dan
Sie Liong menoleh kepada Kwan Sun. ‘Lopek, jangan khawatir. Mereka ini adalah
orang-orang jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang, mereka
patut dihajar....! Baru saja dia bicara demikian, dua orang yang mempergunakan
kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun, sudah
menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri!
Kwan Sun dan cucunya
memejamkan kedua mata saking ngerinya, tidak tahan melihat betapa tubuh pemuda
bongkok itu akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah. Akan tetapi,
dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput!
Dan sebelum dua orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali
Sie Liong mengembangkan ke dua lengannya.
‘Plak! Plakkk!! Kini dua
tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka
terpental dan terbanting keras sampai mengeluarkan bunyi ‘ngek! ngek!! dan
mereka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan
menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk
bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah lenyap ke mana.
Kini si hidung besar
terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu
menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang per gelangan tangan Kwan Siu Si,
dan tangan kanan mencabut golok lalu ditempelkan kepada leher gadis itu!
‘Setan bongkok, mundur
kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!! bentaknya.
Sie Liong menggelengkan
kepalanya dan melangkah maju menghampiri. ‘Tidak, engkau tidak akan membunuh
gadis itu!! katanya dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biarpun
jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya mengenai
pundak kanan si hidung besar dan tanpa dapat dihindarkan lagi, si hidung besar
yang tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan tenaga melepaskan
goloknya. Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu,
Sie Liong sudah melangkah di depannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan
tangan kanannya menyambut Sie Liong dangan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong
menangkap pergelangan tangannya dan mencengkeram.
‘Aduh.... aduhhh....
aughhhhh!! Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis
pegangannya pada pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa
lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Di lain saat, Sie Liong sudah mandorongnya
dan tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat
bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!
Melihat ini, dua orang
temannya cepat menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh lagi,
mereka berdua lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan.
Melihat kejadian ini, Kwan
Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.
‘Taihiap.... mata kami
buta, harap maafkan....! kata Kwan Sun. ‘Kami tidak tahu bahwa taihiap
memiliki kepandaian tinggi dan telah menyelamatkan kami, akan tetapi.... harap
taihiap cepat pergi dari sini.... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama
gerombolannya....!
Sie Liong tersenyum dan
merasa suka kepada kakek itu. Biarpun dirinya sendiri dan cucunya terancam,
kakek itu masih sempat mengkhawatirkan dirinya dan tadipun menganjurkan agar
dia melarikan diri agar tidak sampai celaka di tangan orang-orang jahat itu.
‘Bangkitlah, lopek,!
katanya sambil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. ‘Engkau
juga, nona. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun ke sini, terutama
kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat
lopek, sebelum kepala dusun jahat itu muncul!!
Tidak sukar pekerjaan ini
karena tadipun, ketika pemuda bongkok itu menghajar tiga orang tukang pukul
yang amat mereka takuti, banyak penduduk mengintai dan melihatnya. Mereka
hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu mengalahkan
mereka bertiga. Maka, tanpa diperintah, mereka sudah mengabarkan kepada
orang-orang lain dan kini banyak orang berdatangan ke rumah kakek Kwan Sun.
Maka, ketika kakek itu minta kepada para penduduk agar datang ke situ karena
pemuda bongkok itu hendak bicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah
penuh dengan para penghuni dusun, terutama para prianya yang masih muda. Bahkan
yang tua-tuapun tidak ketinggalan. Melihat mereka, diam-diam Sie Liong merasa
terharu. Inilah teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!
‘Saudara-saudara,! katanya
dengan suara lantang, ‘kalian mempunyai seorang kepala dusun yang jahat dan
yang mempunyai kaki tangan penjahat, kenapa diam saja dan tidak melawan?!
Semua orang saling pandang
dan wajah mereka membayangkan ketakutan.
‘Mana kami berani?!
akhirnya seorang laki-laki muda menjawab.
‘Andaikata Sie-kauwsu
masih hidup, apakah mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti itu di dusun
ini?! tanya pula Sie Liong, sekali ini ditujukan kepada mereka yang tua-tua
karena tentu saja yang masih muda tidak mengenal Sie Kauwsu.
Mendengar ini, beberapa
orang tua segera menjawab. ‘Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika Sie Kauwsu
masih hidup!!
‘Nah, ketahuilah paman
sekalian. Aku bernama Sie Liong dan aku adalah putera Sie Kauwsu! Aku akan
mewakili mendiang ayahku untuk menghajar kepala dusun itu, dan kuharap kalian
semua mendukung dan membantuku!!
‘Kami.... kami tidak
berani....! beberapa orang berseru. ‘Kepala dusun Bouw mempunyai banyak
tukang pukul yang lihai.!
‘Hemm, kalian lihat
saja. Mereka itu hanya pandai menggertak, akan tetapi sama sekali tidak lihai.
Apalagi jumlah kalian jauh lebih banyak. Kalian tidak perlu turun tangan, lihat
saja aku akan menghajar mereka!! kata Sie Liong tanpa nada sombong, melainkan
nada penasaran mengapa begini banyak pria di dusun orang tuanya itu mandah saja
kehidupan mereka ditindas oleh seorang kepala dusun yang jahat.
Biarpun pemuda ini sudah
berjanji akan menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya, tetap saja para
penduduk dusun itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi telah mengalahkan
tiga orang tukang pukul lurah Bouw, akan tetapi mampukah pemuda yang bongkok
itu mengatasi Bouw-chung-cu dengan para jagoannya yang cukup banyak dan kejam?
Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk membantu pemuda bongkok itu dan
hanya berdiri bergerombol agak jauh.
‘Yang kumaksudkan
bukanlah agar kalian membantuku menghajar mereka, melainkan mendukung dan
selanjutnya bersikap berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang menindas
kalian. Juga kalau pembesar tinggi datang, kalian harus berani melaporkan
kejahatan para pejabat di sini.!
Orang-orang itu mengangguk
dan merasa lega bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk membantu dengan
perkelahian. Dengan demikian, andaikata pemuda itu gagal dan kalah, mereka
tidak akan dipersalahkan oleh Bouw-chung-cu.
Tak lama kemudian,
terdengar suara banyak orang. Para penduduk dusun itu segera bersembunyi di
balik rumah-rumah dan pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan dan
menyembunyikan kepalanya di dalam rumahnya. Nampak lurah Bouw yang bertubuh
gendut pendek itu diiringkan oleh lima belas orang yang bersikap gagah dan
kasar, di antaranya tiga orang yang tadi dihajar oleh Sie Liong. Lurah Bouw ini
memperoleh kedudukannya sebagai lurah Tiong-cin dengan jalan menyogok pembesar
tinggi yang berwenang menentukan siapa lurah di dusun itu, dan dengan jalan
mengancam mereka yang tidak setuju dia diangkat menjadi lurah, dengan bantuan
belasan orang tukang pukulnya.
Dia bukan orang berasal
dari dusun Tiong-cin, dan baru tiga tahun saja menjadi lurah di situ, dia telah
menjadi kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja kecil. Ketika mendengar
laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa di dusunnya datang seorang pemuda
bongkok yang berani menentang bahkan menghajar tiga orang tukang pukulnya,
lurah Bouw menjadi marah bukan main. Dia sendiri adalah seorang ahli silat yang
cukup pandai, dan dia segera mengumpulkan pembantunya yang berjumlah lima belas
orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok itu.
Sie Liong menanti
kedatangan mereka dengan sikap tenang saja, sebaliknya, melihat pemuda itu,
tiga orang jagoan yang tadi menerima hajarannya segera menuding dan berseru,
‘Itulah si setan bongkok!!
Lurah Bouw mendangkol
bukan main. Pemuda itu biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama sekali tidak
mengesankan sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Dan tiga orang
tukang pukulnya yang ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang membuatnya
tergila-gila dan mengilar, dapat digagalkan pemuda itu! Maka begitu berhadapan
dengan Sie Liong, lurah Bouw yang juga memegang sebatang golok seperti para
anak buahnya, menudingkan goloknya ke arah muka Sie Liong dan membentak marah.
‘Engkau ini orang
bongkok dari mana, berani datang ke dusun kami dan membikin kacau?!
Sie Liong mengangkat muka
memandang wajah lurah itu, sinar matanya yang mencorong mengejutkan hati lurah
itu, dan Sie Liong tersenyum. ‘Namaku Sie Liong dan aku adalah orang yang
dilahirkan di dusun Tiong-cin ini, dan aku datang untuk menengok kuburan ayah
ibuku. Tidak tahunya dusun ini telah berada dalam cengkeraman seekor serigala
yang kejam! Engkau mengerahkan penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun.
Engkau tidak pantas menjadi lurah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk
menghajar kalian dan membersihkan dusun kami ini dari srigala-srigala berwajah
manusia yang berkeliaran di sini!!
Wajah lurah Bouw menjadi
merah padam saking marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari dusun ini,
akan tetapi dia telah berhasil menjadi lurah dan hidup makmur di situ.
‘Jahanam keparat, setan
bongkok yang sombong!! Dia menoleh kepada para anak buahnya. ‘Pukul dia
sampai mati!!
Lima belas orang itu
memang sudah siap dengan senjata di tangan. Begitu mendengar komando ini,
mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok Sie Liong! Belasan senjata tajam
berupa golok, pedang dan tombak, datang bagaikan hujan ke arah tubuh Sie Liong.
Orang-orang dusun yang mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka merasa
ngeri. Bahkan ada yang diam-diam sudah meninggalkan tempat itu bersembunyi di
rumah sendiri saking takut terlibat.
Akan tetapi, Sie Liong
yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup menghadapi
hujan senjata tajam itu. Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua tangannya
dikibaskan ke kanan kiri dan depan belakang. Akibatnya, beberapa batang senjata
tajam terlempar karena pemegangnya merasa betapa ada tenaga yang dahsyat
menyambar tangan mereka dan membuat lengan mereka menjadi seperti lumpuh!
Akan tetapi mereka
mengandalkan pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus menyerang,
dan yang senjatanya terlepas, cepat memungut kembali senjata mereka dan
menyerang semakin ganas. Kini, melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa
orang anak buahnya melepaskan senjata, lurah Bouw sendiri menjadi penasaran dan
sambil mengeluarkan bentakan nyaring, diapun menyerang dengan mengangkat
goloknya tinggi-tinggi, kemudian melakukan bacokan yang amat cepat dan kuat.
Hanya dengan miringkan
tubuh, Sie Liong membuat bacakan itu luput dan lewat di dekat pundaknya, dan
sebelum kepala dusun itu sempat merobah posisinya, tiba-tiba saja dia merasa
tengkuknya diraba dan tubuhnya menjadi kaku! Di lain saat, Sie Liong telah
mengangkat tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai perisai atau sebagai
senjata yang diputar-putar di atas kepalanya! Melihat ini, tentu saja para
tukang pukul menjadi terkejut bukan main dan mereka menahan senjata mereka!
Sie Liong terus maju dan
kedua kakinya secara bergantian menendangi mereka dan beberapa orang pengeroyok
kena ditendang sampai terlempar jauh dan terbanting jatuh dengan kerasnya ke
atas tanah! Sebelum mereka dapat bangkit, tiba-tiba datang banyak orang yang
memukuli mereka yang terbanting jatuh itu! Mereka yang memukuli ini adalah
orang-orang dusun! Kiranya ketika para penghuni dusun melihat betapa pemuda
bongkok itu benar-benar dapat mengatasi lurah Bouw dan anak buahnya, mereka
menjadi bersemangat sehingga melihat beberapa orang tukang pukul yang mereka
benci itu terlempar, mereka lalu mengeroyok dan memukulinya dengan tangan
mereka!
Tentu saja tukang-tukang
pukul yang sudah kehilangan senjata dan masih pening karena terbanting keras,
kini hanya mampu berkaok-kaok ketika dikeroyok dan dipukuli para penduduk
dusun! Makin keras dia memaki dan mengancam, makin keras pula orang-orang itu
memukulinya sehingga mukanya menjadi bengkak-bengkak dan tubuhpun babak bundas,
pakaian mereka robek-robek!
Sie Liong tersenyum
gembira melihat ulah para penduduk dusun itu. Dia telah berhasil membangkitkan
semangat para penduduk dusun itu setelah semangat mereka itu lenyap selama
bertahun-tahun di bawah penindasan kepala dusun yang jahat itu. Maka diapun
segera melemparkan tubuh kepala dusun Bouw yang jatuh berdebuk dan
terguling-guling. Kepala dusun itu hanya dapat mengeluh karena kepalanya sudah
pening sekali ketika tubuhnya diputar-putar, kini terbanting keras pula setelah
totokan pada tengkuknya dibebaskan pemuda bongkok yang lihai itu. Dan diapun
terkejut ketika kini orang-orang dusun mengejarnya dan memukulinya.
‘Hei....! Keparat....
ini aku, lurahmu....!! teriaknya, akan tetapi teriakannya hanya disambut dengan
pukulan-pukulan para penduduk yang sudah melihat kesempatan untuk membalas
dendam bertahun-tahun itu. Lucunya, kini ban yak pula wanita dusun yang keluar
dan merekapun ikut pula memukuli kepala dusun dan anak buahnya dengan
gagang-gagang sapu!
Sie Liong mengamuk, dan
dalam waktu singkat saja, seluruh tukang pukul yang lima belas orang banyaknya
sudah dia robohkan dan kini mereka semua, juga kepala dusun Bouw,
berteriak-teriak dan mengaduh-aduh tanpa mampu melawan ketika orang-orang
dusun, tua muda, laki perempuan, mengeroyok mereka dan memukuli mereka sampai
seluruh muka mereka bengkak-bengkak!
Sampai beberapa lamanya Sie
Liong membiarkan orang-orang dusun itu melampiaskan kemarahan dan sakit hati
mereka, akan tetapi dia menjaga agar mereka tidak melakukan pembunuhan.
Akhirnya, khawatir kalau-kalau kepala dusun Bouw dan anak buahnya akan mati
konyol dia lalu berseru dengan suara nyaring.
‘Cukup, saudara-saudara,
cukup dan jangan memukul lagi!!
Teriakan yang nyaring ini
ditaati seketika oleh para penghuni dusun yang kini penuh semangat itu.
Dipimpin oleh seorang kakek yang bersemangat, mereka pun berseru, ‘Hidup putera
mendiang Sie Kauwsu....!!
Sie Liong mengangkat kedua
tangan ke atas memberi isarat agar mereka tenang, lalu dia memeriksa keadaan
enam belas orang musuh itu. Keadaan mereka sungguh menyedihkan, dan lebih dari
setengah mati. Muka mereka bengkak-bengkak dan bonyok-bonyok, bahkan kepala
dusun Bouw tidak mempunyai hidung lagi. Bukit hidungnya penyok dan hancur, ada
yang matanya pecah, patah tulang dan sebagainya. Akan tetapi Sie Liong merasa
bersukur bahwa tidak ada di antara enam belas orang itu yang tewas. Dia
menghampiri lurah Bouw dan mengguncang pundaknya. Lurah itu mengeluh dan
merintih, mencoba untuk membuka kedua matanya yang bengkak-bengkak, memandang
kepada Sie Liong.
‘Orang she Bouw,
bagaimana sekarang? Apakah engkau masih merasa penasaran dan hendak
mempergunakan kekuasaanmu untuk menindas rakyat dusun Tiong-cin?!
Lurah Bouw sudah ketakutan
setengah mati. Ketika tadi dipukuli rakyat, dia yang tadinya memaki-maki dan
mengancam, mulai menangis dan minta-minta ampun.
‘Ampun.... ampunkan
saya.... saya tidak berani lagi.... saya akan menjadi lurah yang baik....!
Akan tetapi mendengar
ucapannya itu, semua penduduk dusun menolak keras. ‘Tidak! Kami tidak mau dia
menjadi lurah kami!!
Sie Liong tersenyum dan
berkata kepada orang she Bouw itu. ‘Nah, engkau sudah mendengar sendiri.
Kalau tidak ada aku di sini, engkau tentu telah mereka pukuli terus sampai
mati. Orang she Bouw, sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu
pergi dari dusun ini secepatnya. Kami penduduk Tiong-cin tidak membutuhkan
engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri sendiri. Aku akan melapor
kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau
telah pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah,
sekarang engkau pergilah dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi,
gudang gandum dan padi harus kau tinggalkan, karena itu milik rakyat yang
kauperas!!
Semua penghuni dusun
bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong itu karena mereka semua
merasa setuju sekali. Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun
Hok, yaitu kepala dusun yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia
lalu bersama anak buahnya, kembali ke rumahnya dan mengumpulkan keluarga
mereka, membawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan
dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorak para penduduk yang merasa lega sekali.
Setelah enam belas orang
itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu kakek
Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di depan Sie
Liong. Kini mereka semua keluar, termasuk kanak-kanak dan wanita sehingga
ratusan orang berlutut di depan Sie Liong.
‘Sie-taihiap,! kata Kwan
Sun dengan suara nyaring, ‘kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin menghaturkan
terima kasih kepada taihiap yang telah membe baskan kami dari tekanan lurah
Bouw. Sekarang kami mohon agar taihiap suka menjadi kepala dusun kami.!
‘Hidup Sie-taihiap....!!
‘Kami setuju!!
‘Akur! Sie-taihiap
menjadi lurah kami!!
Melihat mereka itu
berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas dan hatinya terharu
sekali. Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan
olok-olok, ada yang dengan pandang mata kasihan. Dia seorang bongkok yang
dipandang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, di
dusun orang tuanya, di tempat kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!
‘Terima kasih atas
kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih mempunyai tugas yang
amat panting dan tidak mungkin tinggal selamanya di sini. Karena itu, aku tidak
dapat pula menjadi seorang lurah, apalagi mengingat bahwa aku tidak
berpengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun.
Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang di antara cu-wi yang
dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru.!
Kembali terjadi kegaduhan
ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian besar
suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga menyatakan
persetujuannya.
‘Kalian telah memilih
dengan tepat. Kwan Lopek memang tepat untuk menjadi lurah kalian yang baru.
Kuharap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!!
Kwan Sun bangkit dan
mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia, seorang petani biasa, diangkat
menjadi lurah. ‘Sie-taihiap, bukan saya menolak, akan tetapi bagaimana
mungkin saya menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di
kota besar Wen-su?!
Semua orang menjadi
bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar. Sie
Liong mengangguk-angguk, karena diapun baru tahu akan hal itu sekarang.
‘Harap lopek jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan
akan kutemui pejabat yang berwenang untuk itu, akan kuceritakan tentang keadaan
di Tiong-cin ini, tentang kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para
penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!! Semua orang bersorak gembira karena
mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang muda itu turun tangan,
pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika dia menumpas lurah Bouw
dan anak buahnya.
‘Akan tetapi, taihiap.
Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau menerima dan setelah taihiap pergi
dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?! tanya
seorang penduduk muda dan kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah
ketakutan. Membayangkan balas dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, selagi
Pendekar Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi di
dusun itu, membuat mereka mengeluarkan keringat dingin.
‘Jangan takut! Kalau
kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya tidak akan
mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi di antara cu-wi banyak pula yang kuat dan
memiliki gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat di
sini dan disebut Sie Kauwsu? Siapakah di antara cu-wi yang pernah berguru
kepada ayahku?!
Ternyata ada tujuh orang
yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tidak pernah berlatih,
akan tetapi ketika Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat,
ternyata mereka cukup mahir.
‘Aku akan melatih tujuh
orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan
melatih para muda di sini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu,
tentu tidak ada gerombolan penjahat yang berani main-main.!
Semua orang setuju dan
kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah
Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi
sebelum dia pergi ke rumah baru dari lurah Kwan lebih dahulu dia minta
penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.
‘Seperti lopek
mengetahui, saya datang untuk berkunjung ke makam ayah ibu saya di sini.
Sekarang saya ingin pergi dulu berkunjung ke makam itu. Di manakah makam
mereka, lopek?!
‘Ah, mari kuantar
sendiri, taihiap. Makam itu berada di pinggir dusun sebelah timur, tempat
pemakaman penduduk kita.! Lurah baru itu lalu mengantar Sie Liong menuju ke
tanah kuburan yang sunyi itu.
Tak lama kemudian, Sie
Liong sudah berlutut di depan tiga buah makam yang berdampingan. Makam yang
sederhana sekali, den tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah ibunya
tidak mempunyai sanak keluarga lagi di dusun itu. Setelah memberi hormat,
diapun membersihkan rumput-rumput liar di makam itu, dibantu oleh lurah Kwan.
‘Ini makam Sie Kauwsu
dan ini makam isterinya. Aku sendiri ikut mengubur jenazah mereka, dan yang ini
makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya.!
Sie Liong terkejut dan
heran. ‘Apakah suheng Kim Cu An Inipun tewas karena penyakit menular yang
ganas itu, lopek?!
Kini lurah Kwan itu yang
medangnya dengan mata terbelalak. ‘Penyakit menular? Apa maksudmu, taihiap?!
‘Bukankah.... bukankah
ayah ibu tewas karena penyakit menular?!
‘Ah, dari mana taihiap
mendengar berita itu! Sama sekali tidak begitu! Di sini memang pernah
berjangkit penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas,
ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!!
Sie Liong terkejut bukan
main, akan tetapi dia mampu menekan perasaannya sehingga tidak nampak pada
wajahnya. Dia mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan makam ayah
ibunya dan suhengnya, lalu dengan lembut dia berkata, ‘Kwan Lopek, sekarang
aku minta tolong kepadamu. Ceritakanlah dengan jelas apa yang telah terjadi pada
ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas.!
Kwan Sun
mengangguk-angguk. ‘Mendiang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat
di dusun ini yang gagah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia mempunyai
dua orang anak, yang pertama seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu
berusia lima belas tahun, dan anak ke dua adalah seorang anak laki-laki yang
baru kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong.!
‘Akulah anak itu,
lopek.!
Kakek itu mengangguk.
‘Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walaupun tadinya kami ragu-ragu....! Dia
memandang ke arah punggung Sie Liong. ‘Mendiang ayahmu mempunyai beberapa
orang murid, dan yang menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang
ketika itu berusia kurang lebih dua puluh tahun dan sudah ditunangkan dengan
puterinya yaitu Sie Lan Hong. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kami sedusun
dikejutkan oleh keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan
menyedihkan sekali....! Kakek itu berhenti bercerita dan termenung.
‘Lalu bagaimana, lopek?
Apa yang telah terjadi di rumah orang tuaku?! Sie Liong mendesak karena dia
sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi kepada
ayah ibunya.
Kwan Sun menghela napas
panjang. ‘Akulah seorang di antara para tetangga yang pertama kali
menyaksikan keadaan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An,
dalam keadaan tewas terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan
bahwa semua binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda,
juga mati terbunuh.!
‘Ahhh! Apa yang telah
terjadi dengan mereka, lopek? Siapa pembunuh mereka?!
Kakek itu manggeleng
kepalanya. ‘Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka dan siapa pembunuh
mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! Encimu, Sie Lan Hong dan engkau
sendiri, tidak berada di sana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi
dengan taihiap dan enci taihiap itu. Barang-barang dalam rumah Sie Kauwsu tidak
dicuri orang yang menjadi pembunuh itu. Dan barang-barang itu, rumah itu, sudah
lama dirampas oleh lurah Bouw.!
Sie Liong mengepal tinjunya.
‘Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!!
Kakek Kwan menggeleng
kepala. ‘Saya kira bukan, taihiap. Biarpun dia amat jahat, akan tetapi saya
yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang
mengetahui siapa pembunuhnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu
taihiap baru berusia setahun, akan tetapi encimu, Sie Lan Hong....!
‘Lopek,! Sie Liong
memotong, ‘apakah di antara para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan
melihat orang asing malam itu di dusun ini, lopek?!
Kakek itu manggeleng
kepala lagi.
Bab 9
‘Tidak ada. Kalau ada,
tentu dia sudah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan kami
semua merasa bersedih dan kehilangan.!
Sie Liong mengerutkan
alisnya, termenung. ‘Lopek, banyak terima kasih atas keteranganmu, dan aku
tidak ingin lagi bicara tentang hal itu.! Setelah berkata demikian, pemuda ini
bersila di depan makam dan memejamkan kedua matanya, bersamadhi. Kakek Kwan tidak
lagi berani mengganggunya.
Terjadi perang di dalam
pikiran Sie Liong. Mengapa encinya bercerita lain? Mengapa encinya seperti
hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan mengatakan bahwa ayah ibunya tewas
karena penyakit menular? Benarkah encinya tidak tahu akan peristiwa itu?
Ataukah encinya sengaja membohonginya? Akan tetapi, bagaimana mungkin encinya
berbohong kepadanya? Dia yakin benar betapa besar kasih sayang encinya
kepadanya. Dia tidak mau membicarakan urusan itu lagi dengan Kwan Sun, karena khawatir
kalau orang-orang mencurigai encinya. Bagaimanapun juga, memang segalanya
menunjukkan bahwa encinya tentu tahu akan peristiwa itu dan tahu pula siapa
pembunuh ayah ibunya! Hanya encinya yang tahu, dan dia pasti akan mendengarnya
dari encinya. Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, encinya.
Setelah merasa cukup
melakukan sembahyang di depan makam itu, Sie Liong lalu mengikuti Kwan Sun yang
menjadi lurah baru untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia harus tinggal
beberapa hari lamanya di dusun itu untuk melatih beberapa jurus kepada bekas murid-murid
ayahnya agar para penduduk dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi ancaman
orang-orang jahat seperti lurah Bouw.
Dengan penuh semangat para
penduduk dusun itu, terutama mereka yang pernah belajar silat kepada Sie Kauwsu
berlatih silat di bawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada malam
terakhir, Sie Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah lurah Kwan
merenungkan nasibnya. Nasib yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya.
Sejak kecil dia telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia
menjadi murid orang-orang sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidupnya
nampak indah dan berbahagia. Sekarang, begitu turun, dia mendengar berita
kematian orang tuanya yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya tewas
karena dibunuh orang, sama sekali bukan karena penyakit. Ayah ibunya dan seisi
rumah dibunuh, kecuali encinya dan dia! Apa artinya ini semua den mengapakah
encinya harus berbohong kepadanya? Dia harus mendengar penjelasan dari encinya.
Pada keesokan harinya dia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat
kelahirannya itu. Lurah Kwan terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi
meninggalkan dusun mereka.
‘Sie Taihiap, kenapa
engkau tergesa-gesa hendak meninggalkan kami? Harap taihiap menanti selama
beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang telah
menyelamatkan semua saudara di dusun ini dari penindasan orang jahat. Selain
itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang amat penting untuk diselesaikan
kepada taihiap.!
Sie Liong tersenyum. Dia
memang memiliki rasa persaudaraan dekat sakali dengan para penghuni dusun
Tiong-cin, tempat kelahirannya. Kalau para penduduk hendak menjamunya, sebagai
semacam pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin
mengecewakan hati mereka, dan pula, menunda beberapa haripun apa salahnya?
Biarpun hatinya ingin sekali mendengar dari encinya tentang kenatian orang
tuanya, namun dia tidak tergesa-gesa.
‘Baiklah, Kwan Lopek.
Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu
lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lopek?!
‘Sebelumnya maaf kalau
pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pribadi. Akan tetapi bolehkah aku
mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?!
Sie Liong tersenyum dan
menggeleng kepalanya. Kalau saja dia tidak menerima penggemblengan ilmu-ilmu
yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu
pertanyaan itu akan menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana
berani memikirkan tentang perjodohan? Wanita mana yang mau didekati seorang
laki-laki yang bongkok seperti dia? Yatim piatu, miskin, dan bongkok pula!
‘Tidak, lopek. Aku masih
hidup seorang diri.!
Tiba-tiba wajah kakek itu
berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi heran. Bahkan kini kakek itu
tertawa. ‘Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan
menghendaki, dan kalau taihiap tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan
seluruh penduduk dusun ini akan merasa berbahagia sekali kalau taihiap sudi
menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si. Ia juga sudah yatim piatu dan ia seorang anak
yang amat baik, taihiap.!
Wajah Sie Liong berubah
merah. Siu Si? Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali belum
pernah berpikir tentang jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau
dijodohkan dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Gadis
itu berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis dari dusun
tempat kelahirannya sendiri.
‘Bagaimana, Sie Taihiap?
Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung perasaanmu. Memang kami akui bahwa
Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apabila dibandingkan dengan
taihiap.!
‘Ah, jangan berkata
demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Bahkan
aku merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai
ayah ibu, aku harus minta keputusan enci-ku dalam hal perjodohan. Maka,
bersabarlah kalau aku belum dapat memberi jawaban dan keputusan sekarang. Aku
akan menyampaikan kepada enci dan minta keputusan enci.!
‘Tapi.... tapi, engkau
sendiri tidak berkeberatan, taihiap?!
Sie Liong menggelengkan
kepala.
Lurah Kwan menjadi girang
bukan main. ‘Terima kasih, taihiap! Aku akan memberitahu kepada kawan-kawan
agar secepatnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke rumah
encimu!!
Pada keesokan harinya,
perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk menghaturkan selamat
jalan diadakan di rumah Lurah Kwan. Semua penghuni dusun itu hadir, dan Sie
Liong duduk semeja dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri. Gadis ini
nampak malu-malu, karena ia sudah diberitahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya
menjodohkannya dengan pendekar itu. Sie Liong melihat betapa gadis yang manis
ini kelihatan canggung dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang
tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata yang agak kemerahan oleh tangis,
dan bahwa sikap ramah dan senyum di bibir yang mungil itu tidak wajar, seperti
dipaksakan.
Lurah Kwan bangkit berdiri
dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman bahwa dia
telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini
amat menggembirakan para penduduk dusun itu dan mereka menyambutnya dengan
sorakan dan tepuk tangan. Lurah Kwan mengangkat kedua lengan ke atas dan
merekapun diam, wajah mereka berseri dan mereka mendengarkan penuh perhatian
apa yang akan diucapkan oleh kepala dusun baru itu.
‘Perjodohan ini telah
kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan diapun tidak berkeberatan. Akan tetapi
jawaban dan keputusannya akan diberikan setelah dia menyampaikan hal itu kepada
encinya yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini
Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan pulang ke Sung-jan untuk minta
persetujuan encinya.!
Kembali orang-orang
bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si,
gadis yang tadi melayani mereka bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya,
diam-diam telah pergi meninggalkan meja dan keluar dari ruangan itu. Kwan Sun
yang melihat hal itu hanya tertawa.
‘Maafkan cucuku. Maklum,
ia malu-malu,! katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu.
Malam itu, di dalam
kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga Kwan
yang menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia akan pergi meninggalkan
dusun itu. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia
membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana kalau encinya
menyetujui ikatan jodoh itu?
Kalau encinya tidak
setuju, hal itu bukan yang digelisahkan. Kalau encinya tidak setuju, tinggal
menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi. Dia hanya suka
saja kepada Siu Si yang manis, apalagi gadis sedusun dengannya. Dia belum dapat
merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu yang dinamakan cinta antara
pria dan wanita. Akan tetapi, bagaimana kalau encinya setuju? Apakah dia harus
menikah dengan Siu Si? Lalu apa jadinya dengan dia? Dia tidak mempunyai rumah
tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan sesuatu. Tinggal di rumah
Lurah Kwan? Sebagai laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut
encinya? Inipun tidak betul, mengingat akan sikap cihu-nya dan bahkan urusan
kematian orang tuanya masih menjadi rahasia yang harus dia tanyakan kepada
encinya. Dan Bi Sian.... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termeung. Bi Sian!
Terbayanglah wajah anak
perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jantungnya berdebar. Mengapa
timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teringat kepada Bi Sian? Uhh, anak
itu tentu akan menggodanya setengah mati kalau mendengar bahwa dia hendak
kawin! Tiba-tiba saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia
tergesa-gesa menerima usul lurah Kwan? Kini dia telah melangkah maju, tidak
mungkin mundur lagi tanpa menyakiti hati keluarga Kwan.
Tiba-tiba Sie Liong
bangkit duduk, memejamkan mata dan mengerahkan pendengarannya yang terlatih. Dia
mendengar suara isak tangis tertahan!
Karena mengkhawatirkan
terjadinya sesuatu yang tidak bares, apalagi dia menduga bahwa tangis itu
agaknya suara tangis Siu Si di dalam kamarnya, dengan hati-hati Sie Liong
membuka jendela kamarnya dan sekali berkelebat dia sudah berada di luar
kamarnya, kemudian meloncat naik ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar
gadis yang dicalonkan menjadi isterinya itu.
Benar saja. Siu Si duduk
di atas pembaringan sambil menangis lirih. Agaknya gadis itu menahan suara tangisnya
agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk di dekat
gadis itu dan menghiburnya.
‘Bibi Liu, kau tidak
perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau menemaniku
dan membujukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat akrab
dengan Sui-koko, dan semua orang tahu, engkau juga tahu bahwa kami saling mencinta
dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Bahkan kong-kong, biarpun
tidak secara resmi, menyetujui kalau Siu-koko kelak menjadi suamiku. Akan
tetapi kenapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan.... Si Bongkok
itu?!
‘Hushh, jangan berkata
demikian, Siu Si. Dia adalah seorang pendekar sakti yang budiman....!
‘Aku tidak perduli! Biar
dia sakti seperti dewa sekalipun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa
mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?! Siu Si menangis lagi.
‘Hushh, kau tidak boleh
berkata begitu, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah
buruk. Pula, dia telah menyelamatkan kita semua, terutama engkau! Kalau tidak
ada dia, bukankah engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?!
‘Tapi dia menolongku
dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan
bahkan ingin menjadi suamiku? Aku tidak sudi.... tidak sudi menjadi isteri Si
Bongkok! Aihh, aku mau minggat saja dengan Siu-koko....!
‘Hushhh....!!
Wajah Sie Liong menjadi
pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapapun, dia sudah melayang
turun kembali ke dalam kamarnya. Hatinya seperti ditusuk rasanya. Dia
menyelamatkan dusun kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur,
menghindarkan Siu Si dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih. Akan tetapi
kini dia dituduh yang bukan-bukan. Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya
Si Bongkok dengan nada suara menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat
membencinya itu akan menjadi isterinya? Tidak, tidak mungkin!
Dengan tubuh lemas dan
jari tangan agak gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat, pendek saja
isinya.
Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa
pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau
terikat perjodohan dan aku bukan calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong.
Malam itu juga Sie Liong
meninggalkan rumah Lurah Kwan, meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju
ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala
di timur, dia sudah tiba di puncak sebuah bukit. Dia duduk menghadap ke arah
matahari yang baru tersembul, duduk memeluk kedua lututnya, tersenyum pahit dan
kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si di antara
isaknya. ‘Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku
tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok....!
Senyum yang menghias wajah
Sie Liong menjadi pahit sekali. Ia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Akan
tetapi kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Kenapa
dia harus marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biarlah
dia berbahagia dengan kebongko kannya, dengan keburukannya. Bongkok dan buruk
hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis
yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani
menentang kesewenang-wenangan. Kakeknya memang sewenang-wenang!
Kalau kakek Kwan itu sudah
tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda lain, kenapa mempunyai
niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia! Untuk membalas budi? Untuk
mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu
sehingga menjamin keamanan dan keselamatan penduduk? Yang jelas, niat itu sudah
pasti berpamrih. Kalau tidak, tentu kakek Kwan tidak akan memutuskan ikatan
kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain. Ya, dia harus berterima kasih
kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan tidak
berdaya, tidak menentang melainkan ‘terima nasib!, bukankah dia akan memasuki
sebuah perkawinan yang celaka? Isterinya akan merupakan orang yang sama sekali
tidak mencintanya, bahkan membencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena
terpaksa!
‘Terima kasih, Siu
Si....! dia berbisik, lalu bangkit berdiri. Pagi itu indah sekali. Matahari
muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang.
Dia tersenyum kepada matahari.
‘Terima kasih, matahari,
untuk pagi yang seindah ini....! dia kembali berbisik dan memandang matahari.
Tidak lama, karena segera sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk
kesehatan mata. Sie Liong membalikkan tubuh, lalu menuruni puncak bukit itu,
senyumnya tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang
cerah.
‘Terima kasih, Thian,
untuk tubuh yang bongkok ini....! dia berbisik penuh rasa sukur. Bukankah
tubuhnya itu pemberian Tuhan? Bongkok atau tidak, pemberian Tuhan adalah
anugerah yang sempurna, dan patut disukuri. Biarlah semua orang tidak
menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan
berkecil hati. Memang dia bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti
apa adanya ataukah tidak. Dia memang bongkok dan dia tidak ingin menjadi tidak
bongkok, karena keinginan seperti itulah yang men yengsarakan kehidupan
manusia. Menginginkan sesuatu yang tidak dimilikinya, menginginkan sesuatu yang
lain dari yang pada yang ada. Tidak, dia tidak menginginkan apa-apa. Dia memang
bongkok, seorang pemuda yang berbahagia.
***
‘Liong-te....!! Sie Lan
Hong menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita
itu merangkul dan menangis di dada adiknya. ‘Aih, Liong-te.... betapa girangnya
hatiku melihatmu....!!
Sie Liong membiarkan
encinya menangis dan menumpahkan semua peraaaan haru dan rindu, juga
kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang telah lama menghilang itu kini muncul
dalam keadaan selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda
guncangan hatinya, Sie Lan Hong melepaskan rangkulannya.
‘Enci, marilah kita
duduk dan bicara,! kata Sie Liong, ‘dan mana ci-hu (kakak ipar)?!
‘Cihu-mu.... dia pergi,
sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam.!
Sambil bergandeng tangan
mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhatikan segala yang nampak di situ.
Encinya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat encinya nampak
tua. Padahal kini usianya mendiri dua puluh tahun, berarti encinya baru tiga
puluh empat tahun. Belum setua nampaknya! Tentu encinya hidup dalam kedukaan,
pikirnya. Karena dia pergi? Dan rumah ini berbeda jauh dengan tujuh delapan tahun
yang lalu. Cihu-nya yang berdagang rempa-rempa dapat dikatakan hidup makmur
biarpun tidak terlalu kaya.
Dahulu, prabot rumahnya
cukup mewah dan keluarga encinya hidup berkecukupan. Akan tetapi sekarang
sunguh berbeda sekali keadaannya. Pakaian yang dikenakan encinya juga tidak
seindah dulu. Di tubuhnya tidak pula nampak perhiasan mahal. Dan prabot rumah
sudah berganti semua, terganti prabot yang murah dan buruk. Tentu saja hati Sie
Liong diliputi perasaan khawatir sekali walaupun wajahnya tidak membayangkan
sesuatu ketika dia duduk berhadapan dengan encinya. Keduanya saling pandang dan
wajah wanita itu berseri melihat betapa adiknya, walaupun punggungnya masih
bongkok, namun telah menjadi seorang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan
tubuhnya nampak sehat.
‘Liong-te, selama ini
engkau pergi ke mana saja?!
‘Aku mempelajari ilmu
silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya.! Sie Liong
menceritakan secara singkat tentang riwayatnya ketika belajar ilmu silat.
Mendengar ini, encinya girang sekali.
‘Ah, sukurlah, adikku.
Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak
akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka....!
Sie Liong merasa heran.
Biasanya dahulu encinya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka yang
sudah tiada.
‘Enci Hong, kedatanganku
ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan harap sekali ini engkau tidak berbohong
kepadaku.!
Wanita itu terbelalak
memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya
membayangkan ketakutan. ‘Apa.... apakah yang ingin kautanyakan, adikku?!
‘Apa yang telah terjadi
dengan ayah dan ibu kita, enci?!
Wanita itu nampak semakin
kaget. ‘Ayah dan ibu? Mereka.... mereka meninggal dunia....!
‘Tak perlu membohong
lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan di sana aku mendengar bahwa ayah
dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan
kuda, semua dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong
lagi!!
Sie Lan Hong menangis,
lalu mengusap air matanya dan berkata, ‘Engkau maafkan aku, Liong-te. Memang
dulu aku berbohong kepadamu agar tidak membuat engkau penasaran dan diracuni dendam.
Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah
mengetahuinya, maka dia memaksa aku pergi meninggalkan rumah dan membawa engkau
yang baru berusia sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andaikata aku tidak pergi
membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah menjadi korban pembunuhan
pula....!
Sie Liong memandang wajah
encinya dengan tajam dan penuh selidik. ‘Enci, di dusun kita itu tidak ada
seorangpun mengetahui siapa pembasmi keluarga kita. Apakah engkau tahu, enci?
Siapakah musuh besar yang demikian kejam itu?!
Sie Lan Hong menangis lagi
dan menggeleng kepala keras-keras. ‘Tidak.... ah, aku tidak tahu.... aku
tidak tahu.... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tihu siapa
pembunuh itu....!
Melihat encinya menangis
lagi, agaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang mengerikan,
Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar ayah ibunya, suhengnya, dua orang
pelayan dan semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang.
Tentu orang itu menyimpan dendam yang amat hebat maka melakukan perbuatan
sekejam itu.
Lalu dia teringat kepada
Yauw Bi Sian. ‘Enci, aku tidak melihat Bi Sian. Di manakah ia?!
Encinya kembali
memperlihatkan wajah duka. ‘Ia juga pergi mempelajari ilmu. Ia bertemu dengan
seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak pergi oleh gurunya itu.!
‘Ahhh....!! Sie Liong
kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada
seorang sakti! ‘Siapakah nama gurunya, enci?!
‘Namanya Koay Tojin....!
Sie Liong menahan debaran
jantungnya. Koay Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu? Koay
Tojin adalah sute dari Pek-sim Sian-su, gurunya sendiri!
‘Kapan ia pulang, enci?!
tanyanya, hatinya masih berdebar girang.
‘Entah, menurut janjinya
dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang.!
‘Enci yang baik, engkau
kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan dalam
rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi? Apakah
engkau sakit, enci?!
Ditanya demikian, Sie Lan
Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukan.
Sedih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja encinya menangis
tersedu-sedu. Setelah tangis itu mereda, Sie Liong memegang tangan encinya,
digenggamnya tangan itu.
‘Enci, engkau hanya
mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepadaku dan ceritakan semuanya.
Siapa tahu aku akan dapat meringankan beban penderitaan batinmu, enci.!
Wanita itu menggeleng kepalanya.
‘Aih, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu disusul Bi
Sian juga pergi. Semenjak itu ah, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahulu
begitu baik, begitu mencintaku, akan tetapi sudah beberapa tahun ini.... dia
hampir setiap malam pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan. Pekerjaannya tidak
diurus sehingga bangkrut.... dan dia.... dia hanya berjudi dan pelesir
saja....!
Sie Liong mengerutkan
alianya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang! Akan
tetapi, bagaimana dia dapat mcncampuri urusan rumah tangga encinya?
Bagaimanapun juga, cihu-nya telah menyeleweng, dan hal itu perlu ditegur dan
diingatkan.
Sie Liong teringat bahwa
adiknya baru datang. Diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri tersenyum.
‘Aih, engkau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja,
Liong-te. Mari, engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu.!
‘Biar kubersihkan
sendiri, enci. Akupun tidak akan lama sekali tinggal di sini.!
‘Liong-te, jangan
begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku.
Jangan tergesa-gesa pergi. Temanilah encimu yang kesepian ini, Liong-te. Ah,
kita sudah tidak mempunyai pelayan, semua harus dikerjakan sendiri.!
‘Baiklah, enci. Aku akan
tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita.!
Diam-diam dia bermakasud
untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia akan
menggunakan teguran keras!
Setelah jauh malam, baru
nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok! Memang semenjak
Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya
tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya. Dia
merasa bosan dengan isterinya dan dia berpelesir di luaran, menjadi langganan
rumah pelacuran dan rumah perjudian. Perdagangannya bangkrut karena tidak
diurusnya sehingga perabot rumahpun yang berharga telah dijualnya untuk modal
berjudi! Terhadap isterinya dia tidak perduli, bahkan pernah beberapa kali
kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya.
Melihat encinya
tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga ke luar dari dalam kamarnya.
‘Brakkkkkk!! Daun pintu didorong kuat-kuat dari luar ketika kuncinya dibuka
oleh encinya dari dalam dan tubuh Sie Lan Hong terdorong oleh daun pintu sampai
terhuyung dan hampir jatuh.
‘Perempuan gila!
Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk suamimu, hah? Engkau
sudah bosan melayani aku, atau engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan?
Awas, kubunuh kau!! bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan terhuyung menghampiri
isterinya. Jelas bahwa dia mabok.
Karena diperlakukan kasar
dan dimaki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya menghadapi
suaminya dengan cucuran air mata, kini tak dapat menahan kemarahannya.
‘Sungguh bagus sekali
sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang sudah malam
dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau malah
memaki-maki aku!!
Sie Liong hampir tidak
mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan
badan orang itu berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu
rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut, matanya
seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut. Cihu-nya itu seperti orang yang
tidak percaya mendengar ucapan isterinya.
‘Apa? Engkau hendak
melawan, ya? Siapa yang mengajarmu melawan suami? Perempuan sial! Perempuan
terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?!
Yauw Sun Kok mengangkat
tangan ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat,
Sie Liong maklum bahwa kalau encinya terkena pukulan itu, bisa celaka. Sekali
berkelebat tubuhnya sudah melompat dekat dan dia menangkap pergelanggn tangan
cihu-nya sambil berkata, ‘Harap jangan memukul!!
Yauw Sun Kok menoleh ke
kanan. Ketika melihat bahwa ada seorang pemuda menangkap lengannya,
kemarahannya memuncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya. ‘Bagus!
Sungguh perempuan tak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar
menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas, engkau berani melawan aku,
suamimu!!
Dia maju dan hendak
menyerang isterinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di
depannya. ‘Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci
dan mendakwa yang bukan-bukan!!
‘Engkau pemuda kurang
ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok....?! Yauw
Sun Kok membelalakkan kedua matanya seolah-olah tidak dapat melihat dengan
jelas, lalu mendekatkan mukanya. ‘Engkau bongkok....? Benarkah engkau Sie
Liong?!
‘Benar, cihu. Aku Sie
Liong.!
‘Sie Liong....?
Ha-ha-ha....!! Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok
itu. ‘Engkau sudah dewasa, akan tetapi masih cacat. Ha-ha-ha!! Dia
tertawa-tawa seperti orang gila.
‘Jangan bicara
sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dulu lagi. Dia telah menjadi murid
orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,!
kata Sie Lan Hong.
Seketika Yauw Sun Kok
berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
‘Apa? Engkau....? Engkau handak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemm, mau apa
engkau mencarinya, Sie Liong? Apa kaukira setelah beberapa tahun ini engkau
belajar sedikit ilmu silat lalu kaukira a kan mampu melawan pembunuh itu? Huh,
jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak
pengalaman, masih tidak mampu menandingi pembunuh itu. Apalagi engkau?!
‘Hemm, jadi cihu tahu
siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, cihu?!
‘Dia adalah Tibet Sin-mo
(Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang amat sakti. Aku sendiri tidak mampu
mencarinya. Apa lagi bocah cacat seperti engkau!!
Sie Liong mengerutkan
alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walaupun dahulu juga cihu-nya tidak
suka kepadanyaa, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya
demikian kasar dan menghina. Teringat dia akan cerita encinya dan tadipun dia
melihat betapa encinya akan dipukuli.
‘Cihu! Tidak sepatutnya
cihu berkata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh
hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak perduli! Dan sekarangpun
cihu memperlihatkan sikap yang amat buruk terhadap enci!!
‘Apa? Kau anak kurang
ajar.... Hemm, encimu sudah mengadu, ya....?!
‘Cihu, tanpa pengaduan
dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan,
pulang malam marah-marah, bahkan mau memukul enci! Keadaan rumah tanggamu
menjadi rusak, habis-habisan, karena kauhabiskan untuk berjudi! Cihu, engkau
harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam lumpur....!
‘Tutup mulutmu,
keparat!! Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim
serangan kilat ke arah dada dan leher adik isterinya. Biarpun dia sedang mabok,
akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini
masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar
untuk dapat menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu. Akan tetapi,
yang diserangnya adalah Sie Liong, biarpun seorang pemuda cacat, punggungnya
bongkok namun dia murid tersayang dari Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su
manusia sakti dari He-lan-san itu.
Dengan mudah saja Sie
Liong memiringkan tubuhnya dan menggunakan len gan kirinya untuk mendorong dari
samping dan tubuh Yauw Sun Kok terpelanting!
‘Cihu, aku tidak mau
dihina dan dipukul lagi!!
Melihat betapa akibat
serangannya membuat dirinya terpelanting, Sun Kok marah sekali. Dia menyambar
ke arah dinding di mana tergantung sebatang pedang hiasan. Biar dia mabok,
gerakannya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan
kanannya, terlolos dari sarungnya.
‘Jangan....! Jangan
berkelahi! Jangan pergunakan pedang....!! Sie Lan Hong berteriak ketakutan.
Akan tetapi suaminya tidak memperdulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie
Liong dengan pedangnya. Pedang menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie
Liong menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat berdesing di atas
kepalanya. Akan tetapi dengan cepat, pedang yang menyambar itu telah membalik
dan kini menusuk ke arah dadanya.
‘Cihu, engkau sedang
mabok!! bentak Sie Liong dan dia menggunakan tangannya dari samping memukul
pedang sambil mengerahkan tenaganya.
‘Plakkk!! Pedang itu
terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun
dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini
maklum betapa cihunya yang mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa yang
dihadapinya bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja
menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.
‘Dukkk!! keras sekali
tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda
itu masih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan
terbanting cukup keras.
Dia bangkit duduk dengan
mata terbelalak, dan pada saat itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian
atau perkelahlan yang lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya. ‘Hemm,
sudahlah. Engkau sedang mabok maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo,
mengasolah.... tidurlah....! Ia membantu suaminya bangkit berdiri dan
memapahnya menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah.
Biarpun mabok, sebenarnya
orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut
bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi!
Sungguh berbahaya sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia merasa
lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka
diapun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah
isterinya ke kamar. Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke
atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur.
***
Kakek gembel itu duduk di
bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali pada siang hari yang
amat panas itu duduk berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh. Angin
semilir sejuk dan kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat
bututnya menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan. Kakek gembel ini sudah
tua sekali, hampir delapan puluh tahun usianya. Pakaiannya butut penuh
tambalan.
Tiba-tiba kedua matanya
yang tadi tertutup seperti orang tidur, kini terbuka dan dia tertawa-tawa
seorang diri, lalu memejamkan kembali matanya. Orang-orang yang melihat
keadaannya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang gembel tua yang hidup
sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh kang-ouw lewat di situ
dan melihat gembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah mati. Kakek tua
renta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia adalah Koay Tojin,
seorang yang terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya
aneh dan biarpun dia jarang bahkan hampir tidak pernah mencampuri urusan dunia
ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau bertemu dengannya. Hal
ini adalah karena wataknya yang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan dan
celakalah orang yang sampai berhadapan dengan dia sebagai lawan!
Selagi kakek itu duduk
melenggut, tiba-tiba nampak bayangan dua orang berkelebat dan di depan kakek
itu kini nampak dua orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas tahun dan
seorang pemuda berusia hampir dua puluh tahun. Gadis itu cantik dan manis
sekali, dengan sepasang mata yang jeli dan tajam mencorong, sikap yang jenaka
dengan wajah selalu cerah ceria. Gadis manis inipun mengenakan pakaian
tambal-tambalan, akan tetapi bukan sembarang tambalan! Biarpun pakaiannya
tambal-tambalan, namun bersih dan semua tambalan itu terbuat dari kain yang
baru! Sepatu kulitnya juga mengkilat baru, rambutnya bersih licin, sama sekali
tidak nampak kesan seorang pengemis! Pemuda itupun berwajah tampan, matanya
mengandung kecerdikan dan mulutnya selalu terhias senyum yang manis sehingga
mendatangkan kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang merendahkan orang lain
dan memandang diri sendiri terlampau tinggi.
Seperti telah kita
ketahui, Koay Tojin mempunyai dua orang murid dan dua orang muda itulah
muridnya. Gadis itu bukan lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah Coa
Bong Gan. Biarpun Bi Sian lebih dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan tetapi
karena ia lebih muda, ia memaksa Bong Gan untuk menyebut sumoi (adik
seperguruan wanita) kepadanya, dan ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak
seperguruan pria).
‘Suhu, nih teecu (murid)
bawakan oleh-oleh untuk suhu! Bebek tim yang lunak dan bubur!! kata gadis itu
sambil duduk di atas batu dekat suhunya sambil menyerahkan bungkunan makanan.
‘Dan teecu bawakan arak
Hang-ciu kesukaan suhu!! kata pula Bong Gan gembira menyerahkan seguci arak.
Kakek itu membuka matanya
dan terkekeh, lalu menyeringai memandang kepada dua orang muridnya. ‘Heh-heh,
kalian adalah murid-murid yang baik. Kalian tahu saja kesukaan orang tua.
Heh-heh, tidak ada yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim.
Lunak dan gurih, tidak perlu menggunakan gigi untuk mengunyah, memudahkan
mulutku yang sudah tak bergigi lagi, heh-heh. Dan arak Hang-ciu memang harum
dan keras! Ha-ha-ha!!
Dua orang murid itu
tersenyum. Mereka tahu bahwa guru mereka berkelakar karena mereka baru kemarin
dulu menyaksikan betapa guru mereka itu, den gan mulutnya tanpa gigi sebuahpun,
masih kuat untuk menggigit daging kering yang amat keras dan mengunyahnya
dengan mata meram-melek! Dengan kekuatan sin-kang yang amat hebat, gusi dari
guru mereka yang sudah tidak bergigi lagi itu dapat menjadi lebih kuat daripada
gigi orang-orang muda!
Kakek itu makan minum
tanpa memperdulikan dua orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya. Akan
tetapi, diam-diam Koay Tojin kadang-kadang melirik. Dia merasa senang sekali
melihat Bi Sian. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang ternyata selain
memiliki bakat baik, juga gadis ini memiliki watak yang gagah perkasa dan baik.
Sebaliknya, kakek ini merasa khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria.
Watak Bong Gan sukar diselami walaupun pada lahirnya, dia juga seorang murid
yang berbakat dan amat rajin, pandai mengambil hati.
Akan tetapi ada sesuatu
dalam pandang mata pemuda itu yang membuat kakek itu kadang-kadang curiga dan
ragu-ragu. Pernah dia melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepada
sumoinya secara tidak wajar. Bukan memandang biasa, akan tetapi sinar mata
pemuda itu penuh nafsu berahi, memandangi ke seluruh bagian tubuh Bi Sian
seperti hendak melahapnya!
Sungguh seorang murid yang
kadang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya. Jangan-jangan dia telah
keliru memilih murid, pikirnya. Akan tetapi, dia sengaja sudah memberi
pelajaran lebih pada Bi Sian sehingga kalau sampai terjadi apa-apa, gadis itu
tidak akan kalah menghadapi dan melawan Bong Gan. Pernah dia ketika berdua saja
dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus berhati-hati terhadap suhengnya.
‘Wataknya sukar diselami,! demikian dia berkata, akan tetapi gadis itu hanya
tersenyum saja. ‘Aih, suhu ini ada-ada saja. Bukankah suheng seorang pemuda
dan murid yang amat baik?!
Setelah makan, Koay Tojin
mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju yang sudah butut. ‘Kebetulan
kalian datang, memang aku bermaksud untuk memanggil kalian.!
‘Suhu, ada keperluan
apakah?! Bi Sian bertanya sambil mendekati gurunya, sikapnya manja. Kakek itu
tersenyum untuk menutupi rasa nyeri di dalam hatinya. Dia merasa heran. Mengapa
mendadak saja hatinya begini aneh? Mengapa bayangan perpisahan dengan muridnya
ini mendatangkan rasa sakit? Padahal selamanya belum pernah dia merasakan hal
seperti ini! Akan tetapi kakek yang lihai ini segera dapat menemukan
jawabannya. Sikap Bi Sian terlalu baik, terlalu menyenangkan hatinya, sehingga
gadis itu selama tujuh tahun menjadi muridnya, hidup di sampingnya, seolah-olah
menjadi matahari yang menyinari hidupnya!
Kesenangan dan keenakan
memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan datanglah duka
karena kehilangan! Kalau gadis itu pergi, dibiarkan terpisah darinya, dia
seolah-olah kehilangan matahari yang menerangi hidupnya yang sudah tua, membuat
dia seperti dalam kegelapan! Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan
menciptakan duka!
Itulah hidup. Ada suka
pasti ada duka! Sudah menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada derita. Dan
melihat kenyataan ini, menghadapi kenyataan ini, menerima kenyataan ini secara
wajar merupakan seni hidup itu sendiri.
‘Bi Sian, dan kau juga
Bong Gan, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk memenuhi janji. Janji
antara aku dan kau, Bi Sian. Janji bahwa kita akan berkumpul sebagai guru dan
murid selama tujuh tahun saja.!
Gadis itu nampak terkejut!
Selama ikut dengan gurunya, iapun merasakan lebih banyak senangnya dari pada
susahnya. Hidup bebas seperti burung di udara. Tanpa dirasakannya, tahu-tahu
kini sudah tujuh tahun ia mengikuti gurunya.
‘Tapi, suhu....! Rasanya
belum lama aku ikut suhu, dan aku masih ingin mempelajari ilmu silat yang lebih
tinggi!! bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat kenyataan bahwa
ia harus berpisah dengan suhunya dan melihat pula kenyataan betapa beratnya hal
itu kalau terjadi karena ia merasa sayang kepada suhunya yang sudah tua itu!
Koay Tojin tertawa dan
nampak mulutnya yang tanpa gigi itu. ‘Ha-ha-ha, Bi Sian, janji tetap janji
yang harus dipegang teguh. Engkau bukan hanya berjanji kepadaku, akan tetapi
juga kepada ayah ibumu yang tentu telah menanti-nanti penuh kerinduan. Tentang
kepandaian, sampai berapa tingginya? Berapa ukurannya? Apa yang kaupelajari
selama ini sudah lebih dari pada cukup, Bi Sian.
Tinggal terserah kepadamu
untuk melatih diri. Dan engkau, Bong Gan, engkaupun sudah dewasa dan
kepandaianmu sudah cukup. Hanya berhati-hatilah, karena kepandaian silat
seperti juga pedang, dapat dipergunakan untuk berbuat kebaikan akan tetapi juga
dapat dipergunakan untuk melaktikan kejahatan. Semua tergantung kepadamu.!
Diingatkan kepada ayah
ibunya, kedukaan bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari hati Bi Sian,
tertutup oleh kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Bong Gang juga berlutut di dekat
sumoinya.
‘Suhu, selama tujuh
tahun ini, suhu telah melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang kepada
teecu. Teecu menghaturkan terima kasih, suhu dan entah bagaimana teecu akan
dapat membalas budi kebaikan suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak menjengkelkan
hati suhu, maka mohon suhu memaafkan teecu,! kata Bi Sian dengan hati terharu,
akan tetapi tidak setetespun air matanya tumpah. Ia memang pantang menangis,
apalagi setelah menjadi murid Koay Tojin.
Koay Tojin tersenyum. ‘Engkau
anak baik. Kalau hendak membalas budi kepadaku, pergunakanlah semua kepandaian
yang kauperoleh dariku itu dengan baik, tidak melakukan penyelewengan. Dengan
demikian berarti engkau menjunjung tinggi nama gurumu, sedangkan kalau engkau
melakukan kejahatan dan menyeleweng, engkau akan menyeret nama gurumu ke dalam
lumpur.!
‘Teecu juga menghaturkan
banyak terima kasih, suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi nama suhu,!
kata Bong Gan.
Koay Tojin tersenyum saja
dan memandang wajah murid pria ini dengan penuh keraguan. Dia tahu bahwa
muridnya ini cerdik sekali, demikian cerdiknya sehingga dia tidak dapat menduga
apa isi hatinya.
‘Engkau berhati-hatilah,
Bong Gan. Ingat bahwa musuh yang paling berbahaya, paling lihai dan paling
sukar ditundukkan adalah dirimu sendiri. Karena itu, sebelum menundukkan musuh,
sebaiknya kalau menundukkan dulu diri sendiri.!
Bong Gan tidak menjawab,
hanya mengangguk-angguk.
‘Sekarang, pergilah
kalian sebelum timbul kedukaan dalam hatiku!! kata Koay Tojin, lalu tangan
kanannya menyambar tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat,
tongkatnya itu sudah melakukan serangan totokan bertubi-tubi kepada dua orang
muridnya yang berlutut di depannya. Dua orang muda itu terkejut sekali.
Sambaran tongkat di tangan suhu mereka itu bukan main cepat dan dahsyatnya,
maka keduanya segera melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik
beberapa kali. Mereka terhindar dari serangan kilat itu, dan melihat betapa
kakek itu masih duduk bersandar batang pohon, memegangi tongkat sambil tertawa.
Tahulah Bi Sian bahwa suhunya memang ingin segera melihat mereka pergi tanpa
membiarkan kedukaan karena perpisahan itu memasuki hati. Maka iapun menjura dan
berkata dengan suara dibuat nyaring gembira.
‘Suhu, selamat tinggal!
Mudah-mudahan suatu waktu kita akan dapat berjumpa kembali!!
‘Ha-ha-ha, selamat
jalan. Kita pasti akan bertemu kembali, kalau tidak di alam sini tentu di alam
sana, heh-heh-heh!!
Bong Gan juga menjura dan
kedua orang itu lalu melompat pergi dan dalam waktu singkat mereka sudah lenyap
dari pandang mata. Kakek yang ditinggal seorang diri itu nampak tertegun,
matanya yang tua memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu, lalu dia
menghela napas panjang berulang kali, lalu bangkit berdiri, dan melangkah
perlahan pergi meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan yang berlawanan
dengan dua orang muridnya.
Dua orang itu berlari
cepat, keluar dari dalam hutan itu dan ketika mereka sudah berlari kurang lebih
satu jam dan tiba di kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya. Biarpun tubuhnya
terlatih baik, namun karena selama satu jam itu ia berlari cepat sambil menahan
getaran hatinya yang penuh haru, kini wajah dan lehernya basah oleh keringat.
Diambilnya saputangannya
dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga mengusap
keringatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian yang tidak
ada tambalannya, walaupun dari kain murah dan bentuknya sederhana saja, tidak
seperti pakaian Bi Sian yang penuh tambalan namun semua tambalannya kain yang
baru.
‘Suheng, sekarang engkau
hendak pergi ke mana?! tanya Bi Sian.
Bong Gan menghela napas
panjang, lalu duduk di atas sebuah batu besar di tepi jalan. Sebelum menjawab,
dia menatap wajah sumoinya dengan tajam, juga dengan wajah yang membayangkan
kedukaan. Betapa cantik manisnya sumoinya ini, pikirnya penuh kagum. Apakah dia
harus berpisah dari gadis manis ini? Membayangkan perpisahannya dengan gadis
yang telah menjadi sahabatnya dan saudara seperguruannya selama tujuh tahun,
hampir tak pernah mereka saling berpinah dan mengalami suka-duka bersama-sama,
wajah yang tampan itu nampak diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu
sehingga nampak jelas oleh Bi Sian.
‘Suheng, engkau pernah
menceritakan riwayatmu kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak mempunyai
keluarga sama sekali, tidak mempunyai handai taulan dan tidak mempunyai tempat
tinggal. Oleh karena itulah maka aku sengaja bertanya kepadamu karena aku ingin
tahu, ke mana engkau hendak pergi?!
‘Justeru pertanyaanmu
itulah yang membuat aku membungkam karena sukar bagiku untuk menjawabnya. Aku
sendiri sejak tadi bertanya-tanya di dalam hatiku kepada diriku sendiri, sumoi.
Ke mana aku harus pergi? Aku tidak mempunyai tujuan sama sekali! Aku menjadi
bingung setelah mendengar pertanyaanmu, sumoi.!
Bi Sian memandang wajah
suhengnya itu dengan hati kasihan. Selama ini, suhengnya telah membuktikan
bahwa dia seorang pemuda yang amat baik, amat rajin dan juga bersikap sopan
kepada gurunya dan juga kepada dirinya. Tidak pernah memperlihatkan
kekurang-ajaran sama sekali. Memang kadang-kadang suhengnya suka pergi
meninggalkan ia dan suhunya, akan tetapi kepergiannya itu tentu hanya untuk
mencari bahan makanan untuk mereka. Kalau pulang, suhengnya tentu membawa
seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci, ayam hutan, atau juga buah-buahan
segar. Beberapa kali suhengnya pernah berpamit kepada suhu mereka untuk
berjalan-jalan ke dusun atau kota, dan tidak pernah lancang mengajaknya.
Diam-diam Bi Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini, rasa suka yang
bercampur rasa iba. Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya kepada diri
sendiri tanpa mendapat jawaban!
‘Suheng, engkau ini
bagaimanakah? Andaikata aku tidak mengajak engkau berhenti dan bertanya, lalu
ongkau hendak ke mana?!
‘Aku.... aku hanya akan
mengikutimu, sumoi. Ke manapun engkau pergi.... tentu saja kalau.... kalau aku
tidak terlalu mengganggumu.!
Bi Sian tersenyum dan
menggeleng kepalanya, mendadak mendapat sebuah pikiran yang dianggap amat
bagus. ‘Tentu saja engkau tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau engkau suka,
marilah engkau ikut bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang tuaku itu
merupakan kota yang cukup ramai, dan siapa tahu engkau dapat tinggal dan
bekerja di sana. Ayahku seorang pedagang, mungkin dapat membantumu mencari
pekerjaan.!
Wajah yang diliputi
kedukaan itu kini menjadi cerah dan berseri. Sepasang mata itu bersinar-sinar
dan Bong Gan segera menjura ke arah sumoinya.
‘Ah, sumoi, sungguh
engkau berbudi mulia sekali! Terima kasih atas kebaikanmu, sumoi. Tentu saja
aku suka sekali pergi bersamamu!!
Bi Sian membalas
penghormatan suhengnya dan tertawa. ‘Ihh, suheng ini! Engkau adalah suhengku
dan lebih tua, mengapa memberi hormat kepadaku? Dan di antara kita saudara
seperguruan, perlukah bersungkan-sungkan? Sudah sepantasnya kalau kita saling
bantu, bukan?!
Demikianlah, suheng dan
sumoi ini melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya Bong Gan di
sampingnya, di sepanjang perjalanan Bi Sian tidak menemui banyak gangguan.
Andaikata ia melakukan perjalanan seorang diri, tentu akan banyak timbul
gangguan, mengingat bahwa ia seorang gadis yang cantik manis dan melakukan
perjalanan jauh seorang diri. Akan tetapi sikap Song Gan yang gagah membuat
banyak orang menjadi jerih untuk mengganggu mereka. Padahal, tentu saja
andaikata ada gangguan, Bi Sian sama sekali tidak akan merasa gentar bahkan hal
itu merupakan kesialan bagi si pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!
Ketika mereka pada suatu
siang memasuki kota Sung-jan, keduanya langsung saja menuju ke rumah Bi Sian.
Gadis ini nampak gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya
berkilat-kilat ketika mereka tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya. Akan
tetapi ia merasa heran melihat betapa toko itu tertutup dan segera ia mengajak
suhengnya memasuki pekarangan dan langsung menuju ke pintu depan.
Dua orang yang tadinya
duduk di ruangan depan, bangkit berdiri den melihat Bi Sian, wanita itu menjerit.
‘Bi Sian....!!
‘Ibuuu....!! Dua orang
wanita itu berlari saling tubruk dan di lain saat mereka telah berangkulan
sambil memanggil berulang kali. Sie Lan Hong menangis dalam rangkulan
puterinya, akan tetapi Bi Sian yang juga merasa terharu dan gembira, tidak
menangis, akan tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan dan
kasih sayang. Ia diam-diam merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan
agak pucat. Tak disangkanya bahwa dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak
tua sekali!
Sementara itu, ketika dua
orang wanita itu berangkulan, Bong Gan hanya berdiri menonton dengan canggung.
Juga Sie Liong, pemuda yang tadi sedang duduk bersama encinya, berdiri dan
memandang dengan wajah berseri, akan tetapi juga berdiri canggung.
Tentu saja hatinya girang
bukan main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain yang akrab itu
pulang dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis
sekali. Diapun heran melihat keponakannya itu pulang bersama seorang pemuda
yang tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung. Mereka saling pandang
sebentar saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum diperkenalkan.
‘Ibu.... ah, ibu....
kenapa ibu begini kurus? Mana ayah?!
Sie Lan Hong dapat
menguasai keharuan hatinya dan teringat akan dua orang pemuda itu. ‘Ayahmu
tidak berada di rumah, sedang keluar. Akan tetapi, mari kau temui dulu
pamanmu....!
Bi Sian yang melepaskan
pelukan ibunya, tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya tersenyum
dan hampir ia berteriak, ‘Paman Liong....!!
Sie Liong juga tersenyum.
‘Bi Sian, engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah!!
Bi Sian melangkah maju dan
memegang tangan Sie Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah menjadi seorang gadis
dewasa dan pamannya itupun sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Digenggamnya
tangan pemuda itu.
‘Paman Liong! Ah, tidak
kusangka akan bertemu denganmu di sini! Dan engkau.... ah, engkau juga sudah
menjadi seorang pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan.... hemm....! Gadis
itu melepaskan tangannya, mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah
sekali mukanya.
‘Dan.... bongkok!!
sambungnya mendahului, daripada didahului gadis itu.
‘Ah, itu aku sudah tahu.
Akan tetapi engkau gagah dan tampan, paman!!
Sungguh! Bi Sian masih
nakal seperti dulu, pikirnya gembira. Masih lincah jenaka dan suka menggoda
orang akan tetapi dengan cara yang menyenangkan.
‘Bi Sian, engkau masih
seperti dulu! Suka menggoda pamanmu!! Sie Lan Hong juga tertawa dan ia sendiri
terkejut. Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan baru sekarang
ia dapat tertawa kembali. Anaknya telah pulang!
‘Oya, ibu, paman. Aku
sampai lupa memperkenalkan. Dia ini adalah suhengku, namanya Bong Gan. Suheng,
inilah ibuku dan ini pamanku Sie Liong.!
Sejak tadi Bong Gan hanya
menonton saja dan hatinya terasa panas dan tidak enak melihat keakraban antara
sumoinya dan pemuda bongkok itu. Biarpun disebut paman, akan tetapi mereka itu
sebaya dan juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti paman dan
keponakan. Seketika, timbul perasaan tidak suka kepada kedua orang itu. Akan
tetapi karena dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat dan bersoja dan
sikapnya amat sopan santun.
‘Ibu, mana ayah?!
‘Sudah kukatakan, ayahmu
sedang keluar rumah. Mari, mari kita bicara di dalam....! Ibu itu merangkul
anaknya dan diajak masuk ke dalam rumah. Sie Liong mengkuti, akan tetapi Bong
Gan merasa ragu-ragu, dan dia menjadi salah tingkah. Dia bukan anggauta
keluarga, bagaimana berani ikut masuk? Akan tetapi agaknya Bi Sian dapat
memaklumi keadaannya, maka iapun menoleh dan berkata kepadanya.
‘Suheng, mari silakan
masuk saja. Paman Liong, ajaklah suheng. Dia memang pemalu.!
Sie Liong sejak tadi
memperhatikan suheng dari keponakannya itu. Seorang pemuda yang tampan dan
gagah, dan mengingat bahwa mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak dapat
diragukan lagi bahwa kepandaian mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi, ada
sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuatnya ragu-ragu. Entah apanya, mungkin
pandang matanya.
‘Saudara Bong, silakan
masuk,! katanya dan Bong Gan menganguk.
‘Terima kasih, terima
kasih....!! Mereka berempatpun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk
pertama kalinya Sie Liong masuk ke dalam rumah itu Bi Sian juga melihat
perubahan besar di dalam rumahnya. Prabot-prabot rumahnya sudah berubah,
sekarang jelek dan butut, tidak seperti dulu. Ibunya juga tidak mengenakan
perhiasan sedikitpun, dan toko mereka sudah ditutup! Apa yang terjadi? Ia tidak
berani langsung bertanya kepada ibunya karena di situ terdapat Bong Gan yang
bagaimana juga adalah orang luar. Ia akan bertanya kepada ibunya kalau mereka
hanya berdua, atau bertiga saja dengan pamannya.
Mereka berempat duduk
menghadap meja besar di ruangan dalam. Bi Sian segera menceritakan
pengalamannya ketika ia diambil murid Koay Tojin dan ia segera menceritakan
tentang perbuatan Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di
Sung-jan itu. ‘Coba ibu bayangkan, bukankah orang itu jahat sekali? Dia
mempergunakan anak buahnya yang menyamar sebagai perampok dan menggangguku,
kemudian dia muncul sebagai penolongku. Setelah para perampok palsu itu pergi,
dia menggangguku! Untung muncul suhu! Dan dia datang lagi membawa
perampok-perampok palsu itu dan mengeroyok suhu. Akan tetapi mereka dihajar
oleh suhu! Aih, betapa senangku pada waktu itu! Apakah manusia jahat itu
sekarang masih hidup, ibu?!
Sie Lan Hong menahan
senyumnya.
‘Hussssh, jangan berkata
demikian, anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal itu
diperpanjang. Dia masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan
itu.....!
Bi Sian bangkit berdiri
dan mengepal tinjunya. ‘Apa? Dia masih berani melanjutkan ikatan jodoh itu?
Biarlah, aku akan ke sana dan menghajarnya sendiri sampai dia minta ampun!!
‘Jangan, Bi Sian! Baru
saja engkau pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan. Bagaimanapun juga, dia
putera kepala pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya besar sekali.
Kalau engkau memusuhi mereka secara terang-terangan begitu, bukankah akibatnya
ayah dan ibumu yang akan menanggung?!
Bab 10
‘Sumoi, apa yang ibumu
katakan itu benar sekali. Engkau adalah penduduk kota ini, tidak baik memusuhi
penguasa setempat. Kalau memang engkau ingin memberi hajaran padanya, serahkan
saja kepadaku. Di sini aku tidak dikenal orang, maka tiada halangannya kalau
aku yang pergi menemui dan menghajar orang yang berani menghinamu,! kata Bong
Gan dengan sikap gagah.
‘Sudahlah Bi Sian. Aku
tidak menghendaki ribut-ribut,! kata Sie Lan Hong yang teringat akan keadaan
suaminya. Baru menghadapi suaminya saja yang kini berubah demikian jahat, ia
sudah berduka sekali. Apalagi ditambah urusan yang ditimbulkan karena
pengamukan Bi Sian terhadap keluarga Lu-ciangkun. ‘Engkau baru pulang, Bi
Sian. Tidak boleh terjadi hal-hal yang hanya akan mendatangkan keributan dan
kekacauan.!
Bi Sian masih merasa
penasaran, lalu ia menoleh kepada Sie Liong. ‘Coba pertimbangkan, paman
Liong. Bukankah sudah sepatutnya kalau manusia macam Lu Ki Cong itu kuberi
hajaran keras? Dahulupun dia yang menghinamu. Hal itu masih boleh dilupakan
karena engkau laki-laki. Akan tetapi penghinaannya terhadap diriku, sungguh
membuat hati ini panas dan mendongkol saja.!
Sie Liong tersenyum, akan
tetapi dia lalu bersikap sungguh-sungguh dan memandang tajam kepada
keponakannya itu. ‘Bi Sian, kurasa ibumu berkata benar. Tidak perlu mencari
gara-gara dan permusuhan. Mengenai kejahatan Lu Ki Cong kepadamu, bukankah
katamu tadi dia dan anak buahnya sudah mendapat hajaran keras dari suhumu? Nah,
dengan demikian berarti sudah lunas, bukan? Kalau sekarang dia melakukan perbuatan
jahat lagi, barulah pantas kau turun tangan menghajarnya. Kukira engkau cukup
mengerti bahwa kepandaian yang dipelajari bukan untuk menimbulkan kekacauan,
bahkan sebaliknya untuk memadamkan kekacauan. Bukankah begitu?!
Gadis itu memandang dengan
mata terbelalak. ‘Ehhh? Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan
melainkan untuk memadamkan kekacauan? Paman, aku pernah mendengar kalimat itu
diucapkan suhu! Bukankah begitu, suheng?!
Song Gan mengangguk, akan
tetapi dia memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut.
‘Kalau begitu, suhumu
adalah seorang yang bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku pernah menyaksikan
kehebatannya dan mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay Tojin, adalah
seorang yang sakti dan bijaksana!!
‘Paman Liong! Engkau....
engkau mengenal suhu?!
Sie Liong tersenyum lagi.
‘Mengenal sih tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan beliau dan
berhutang budi karena beliau pernah mengobati aku yang terluka oleh pukulan
beracun.!
‘Kalau begitu, engkau
tentu murid orang sakti pula, Paman Liong! Hayo ceritakan pengalamanmu. Siapa
itu gurumu yang sakti?! tanya Bi Sian gembira sekali membayangkan bahwa
pamannya yang disayangnya dan dikasihaninya itu kini telah menjadi seorang yang
lihai!
‘Aihh, Bi Sian. Aku yang
cacat ini mana bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi? Hanya kebetulan sekali
bahwa aku mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh seorang sakti
bernama Koay Tojin, dan aku mengenal nama itu, karena dia.... dia itu masih
terhitung paman guruku juga.!
Baik Bi Sian maupun Bong
Gan terkejut mendengar ini. ‘Apa?! gadis itu berseru. ‘Suhuku masih paman
gurumu? Kalau begitu, siapakah gurumu? Ah, sekarang aku ingat....! Pernah suhu
menyebut nama seorang yang katanya paling dia segani dan sayangi di dunia ini.
Nama orang itu adalah.... Pek-sim Sian-su! Benarkah engkau muridnya?!
Sie Liong mengangguk.
‘Engkau memang cerdik dari dulu, Bi Sian. Akan tetapi, orang cacat seperti
aku ini tidak dapat mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya banyak belajar
tentang hidup.!
‘Ah, aku tidak percaya!
Engkau tentu lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus mengajarku ilmu
silat!!
‘Wah, mana aku berani?
Melawanmu, dalam beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!! kata Sie Liong dan
suasana menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah
merasakan suasana di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.
Hanya Bong Gan yang diam
saja. Dia sendiri memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda bongkok itu.
Pemuda bongkok itu kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian! Katakanlah
pemuda itu sudah mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi dengan
punggungnya yang bongkok itu, bagaimana mungkin dia memperoleh ilmu yang
tinggi? Bagaimana mampu menghimpun tenaga sakti kalau tulang punggungnya saja
bengkok? Dia merasa tidak suka sekali, apalagi melihat betapa kadang-kadang
sepasang mata pemuda bongkok itu mencorong dan memandang tajam kepadanya,
seolah hendak menjenguk isi hatinya sehingga dia merasa ngeri sendiri! Masih baik
bahwa pemuda bongkok itu paman dari Bi Sian, adik ibunya sehingga bukan
merupakan seorang saingan dalam memperebutkan hati Bi Sian!
‘Aih, kalian jangan
main-main!! kata Sie Lan Hong. ‘Bi Sian, engkau ini baru saja pulang setelah
pergi selama tujuh tahun, dan begitu datang engkau hendak menantang pamanmu?
Ketahuilah, pamanmu inipun baru dua hari tiba di sini! Kedatangan kalian
sungguh kebetulan sekali. Sekarang, kalian harus beristirahat dan kita saling
melepas rindu dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu, bukan untuk saling
hantam dan gebuk! Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa! Adik jagoan dan
anak tukang pukul?!
Mereka tertawa, bahkan
Bong Gan juga tersenyum mendengar ucapan itu. Pada saat itu, terdengar teriakan
dari luar rumah. ‘Haii, mana dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah?
Aku sudah pulang siang-siang dan tidak mabok, ha-ha-ha-ha!!
Laki-laki itu muncul di
pintu. Mulutnya mengatakan tidak mabok, akan tetapi keadaannya yang
terhuyung-huyung itu jelas membuktikan keadaan yang sebaliknya.
‘Ayahhhhh....!! Bi Sian
berseru, bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan ayahnya.
Dahulu, ayahnya seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi sekarang, nampak
awut-awutan dan kotor!
Orang itu adalah Yauw Sun
Kok. Mendengar panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai dan mengejek tadi
dari bibirnya. Matanya terbuka lebar dan dia memandang kepada gadis yang sudah
bangkit berdiri dan melangkah maju menghampirinya itu.
‘Bi Sian.... kau.... kau
Bi Sian....?!
‘Ayah....!! Bi Sian lari
menghampiri. ‘Kau kenapakah, ayah?!
Ayahnya merangkul puteri
itu dan menangis! Bi Sian terkejut bukan main. Ayahnya menangis? Sungguh luar
biasa sekali ini! Ayahnya yang demikian gagah perkasa, ayahnya yang jantan.
Kini menangis?
‘Ayah, tenanglah, ayah.
Mari duduk....! Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk di kursi
menghadapi meja. Hanya sebentar saja Sun Kok menangis. Dia sudah memandang
kepada puterinya dengan mata merah. Lalu dia tertawa.
‘Ha-ha-ha, engkau sudah
pulang, Bi Sian? Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay Tojin?
Bagus! Engkau harus mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat mengalahkan Si
Bongkok ini. Dia telah mengalahkan aku, Bi Sian....!
‘Hemm, engkau telah
mabok lagi. Mari, engkau perlu tidur....!! Sie Lan Hong membantu suaminya
bangkit dan memapahnya ke dalam kamar. Yauw Sun Kok tidak membantah, hanya
mengomel, ‘Kau harus pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu, kaupukul bongkoknya,
biar mampus....!!
Saking heran dan
bingungnya, Bi Sian menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat bicara
apa-apa. Ia memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil menundukkan
mukanya. Pintu kamar itu tertutup setelah ayahnya dipapah ibunya masuk ke
dalamnya dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi dan menegangkan.
‘Paman Liong,! akhirnya
Bi Sian bicara dan biarpun suaranya perlahan, namun terdengar mengejutkan dan
memecahkan kesunyian itu. ‘Engkau.... engkau benar telah mengalahkan
ayah....?!
Sie Liong mengangkat
mukanya, memandang kepada keponakannya itu, kemudian melirik ke arah Bong Gan.
Bi Sian mengerti maksud lirikan itu, dan ia berkata, ‘Suheng adalah seperti
keluarga sendiri, paman. Tidak ada salahnya bicara di depan dia!!
Suaranya sudah terdengar
kaku, tanda bahwa dia penasaran mendengar ayahnya dikalahkan Sie Liong, dan
tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.
Sie Liong
mengangguk-angguk. ‘Aku tidak pernah mengalahkah dia, Bi Sian.!
‘Akan tetapi, ayah tadi
mengatakan....!
‘Kemarin dulu, ketika
aku datang, aku melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam keadaan mabok.
Terpaksa aku melindungi ibumu, bukan berarti melawan dan mengalahkan ayahmu.
Aku hanya mengelak dan menangkis.... dan ayahmu mabok, dan pukulan-pukulan
itu.... kalau mengenai ibumu, tentu akan berakibat parah! Kau tidak melihat
keadaan mereka? Keadaan rumah ini! Aih, Bi Sian.... kesemuanya berubah....!!
Kembali dia melirik ke
arah Bong Gan. Jelas bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara lebih
banyak di depan orang lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah merasa
tidak enak dengan munculnya ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit
berdiri.
‘Maafkan aku, sumoi.
Sebaiknya kalau aku mencari rumah penginapan di kota. Besok aku akan datang
berkunjung, sampaikan maafku kepada ayah den ibumu!!
Bi Sian hanya mengangguk.
Hatinya dipenuhi hal lain, yaitu kenyataan ten tang ayah dan ibunya. Dan dalam
keadaan seperti itu, memang sebaiknya kalau suhengnya bermalam di rumah
penginapan. ‘Baiklah, suheng. Maafkan kami.!
Bong Gan pergi
meninggalkan rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk di
dekat Sie Liong. Tadi ia memang marah sekali membayangkan bahwa pamannya telah
memukul ayahnya, akan tetapi kini sudah hilang kemarahannya. Ia terlalu percaya
kepada Sie Liong, tidak mungkin pamannya ini mau memukul ayahnya.
‘Nah, sekarang
ceritakanlah keadaan yang seaungguhnya, paman!! Bi Sian menuntut.
Sie Liong menarik napas
panjang. ‘Sebenarnya, ibumu yang harus menceritakan kepadamu. Akan tetapi
biarlah, akupun berkewajiban untuk memberitahukan semua kepadanu. Ketahuilah
bahwa setelah kita berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali. Setiap hari
dia bergaul dengan orang-orang sesat, dia berjudi, mabok-mabokan, pelesir,
menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia bangkrut. Bukan hanya
itu, malah semua barang di rumah, prabot dan perhiasan ibumu, semua dijual
untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih lagi, dia mulai
membenci ibumu dan suka memukuli ibumu.!
‘Ah, mana mungkin itu?!
‘Aku sendiripun tidak
akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak tahu bahwa
aku telah datang, dia datang malam-malam dalam keadaan mabok dan hendak
memukuli ibumu. Aku yang melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang, bukan
main-main, diserang mati-matian dengan pedang. Aku hanya membela diri, sama
sekali tidak memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu tahu bahwa
aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian.!
‘Aih, ayah....! Kenapa
begitu. Ibuu.... ah, kasihan sekali, ibuku....! Bi Sian lalu meninggalkan Sie
Liong dan iapun lari memasuki kamar ayah dan ibunya.
Melihat ini, Sie Liong
juga meninggalkan ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di belakang rumah.
Hatinya lega karena Bi Sian tidak sampai salah paham dengan dia. Diam-diam dia
merasa bangga dan kagum kepada keponakannya itu. Bi Sian telah menjadi seorang
gadis seperti yang selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah jenaka,
gagah perkasa, berkepandaian tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya tadi
ketika melihat ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah dipengaruhi emosi.
Dan teringatlah dia kepada
Bong Gan. Pemuda itu suheng Bi Sian? Sebagai suhengnya, tentu memiliki ilmu
silat yang lebih tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja mudah diduga
bahwa pemuda itu tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata
pemuda itu yang membuat hatinya merasa tidak enak.
Dia duduk di atas bangku
di bawah pohon. Mengapa dia merasa tidak enak? Karena pemuda itu suheng Bi Sian
dan kelihatan amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian mengajak pemuda itu
pulang? Hendak diperkenalkan kepada ayah ibunya? Kalau benar begitu, mengapa
dia harus merasa tidak enak? Sudah sepantasnya kalau Bi Sian saling mencinta
dengan pemuda itu!
‘Ah, tidak....!!
Tiba-tiba dia bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat dan sadar
lagi, duduk kembali. Ih, engkau ini kenapa? Demikian dia memaki diri sendiri.
Bi Sian seorang gadis yang cantik manis, dan suhengnya itupun seorang pemuda
tampan. Keduanya sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau saling jatuh cinta.
Kenapa di hatinya, harus ikut ribut-ribut? Dia kan hanya pamannya, dan dia kan
hanya seorang bongkok? ‘Yang tahu dirilah kau!! demikian dia memaki diri
sendiri dan Sie Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali.
***
Seorang pemuda memasuki
rumah pelesir yang mewah itu. Pemuda itu tampan dan segera menarik perhatian
para pelacur yang hendak memperebutkan perhatian pemuda itu. Maka, ketika
pemuda itu duduk di dalam ruangan makan di depan, segera ada lima orang gadis
pelacur menghampirinya, menyapanya dengan ramah dan tanpa diminta mereka segera
duduk mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis, muka mereka yang
berbedak tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak wangi, membuat
pemuda itu tersenyum-senyum gembira. Pemuda itu bukan lain adalah Bong Gan!
Sebetulnya, tidak aneh
kalau kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran, walaupun
selama ini dia amat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dla melakukan perjinahan
dengan Pek Lan, selir ayah angkatnya itu, dia sudah menjadi hamba nafsu berahi yang
tidak ketulungan lagi! Akan tetapi, sebagai murid Koay Tojin dan yang selalu
dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali menjaga diri sehingga di luarnya dia
nampak alim bukan main, sopan dan tidak pernah kurang ajar. Akan tetapi,
apabila dia memperoleh kesempatan, yaitu ketika melakukan perjalanan seorang
diri untuk berbelanja bumbu atau memburu binatang, dia selalu mempergunakan
kepandaiannya untuk memuaskan berahinya yang berkobar-kobar.
Di luar dugaan Bi Sian dan
Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan sering sekali mengganggu wanita. Baik
melalui ketampanannya, kepandaiannya, maupun dengan paksa! Banyak sudah isteri
atau anak gadis orang menjadi korbannya, namun selalu dapat menjaga diri,
menyembunyikan mukanya sehingga tidak ada yang mengenalnya. Wanita yang
dirobohkannya dengan modal ketampannya, selalu adalah isteri orang yang tentu
saja tidak akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran
bukan tempat asing bagi Bong Gan karena kalau dia tidak mendapat korban, maka
tempat pelacuranlah yang menjadi tempat dia melepaskan semua dorongan nafsu
birahinya.
Kini dia berada di rumah
pelacuran karena hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari Bi Sian,
bermalam di sebuah rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, diapun keluar
berjalan-jalan dan akhirhya masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang besar di
kota Sung-jan. Bong Gan tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah
penginapan tadi, dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk memasuki sebuah
rumah gedung dan dari dalam rumah itu, tanpa diketahui siapapun, dia telah
berhasil mencuri uang emas yang cukup banyak. Dengan kepandaian yang dia
miliki, kejahatan seperti itu mudah saja dia lakukan.
Tak lama kemudian, dia
sudah masuk ke dalam kamar ditemani oleh tiga orang gadis pelacur! Menjelang
tengah malam, baru dia keluar dari dalam kamar itu dan bermaksud untuk kembali
ke rumah penginapan. Besok pagi-pagi dia akan berkunjung ke rumah Bi Sian dan
dia tidak ingin kurang tidur. Akan tetapi, baru saja dia keluar digandeng tiga
orang gadis pelacur yang kelihatan amat mencintanya. Siapa orangnya takkan
mencinta seorang pemuda yang tampan, jantan dan royal dengan uangnya? Apa lagi
kalau perempuan itu seorang pelacur!
‘Heiii, bukankah engkau
suheng dari Bi Sian?! Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki menegurnya,
Song Gan menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria
yang menegurnya itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau ada kilat menyambar
kepalanya, belum tentu Bong Gan sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian
di rumah pelacuran!
Celaka, pikirnya, habislah
namanya. Rusaklah dia di mata ayah Bi Sian dan tentu sumoinya itu juga akan
mendengar dari ayahnya! Tentu sumoinya itu tidak akan sudi lagi berdekatan
dengan dia kalau mendengar bahwa dia dilihat ayahnya di rumah pelacuran,
dirangkul tiga orang pelacur. Dia cepat dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura
tidak mengenal Yauw Sun Kok dan melepaskan diri dari gandengan tiga orang
pelacur, dia lalu keluar sambil berkata dengan suara dirobah.
‘Anda salah lihat!!
Yaw Sun Kok belum mabok
pada saat itu. Dia memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau dia tidak
berjudi, tentu dia berada di sini, main-main dengan gadis pelacur, atau sekedar
mabok-mabokan. Ketika melihat pemuda yang digandeng tiga orang pelacur itu, dia
segera mengenalnya dan menegurnya. Sebetulnya kekhawatiran Song Gan tidak
beralasan. Orang yang sudah menjadi langganan rumah pelacuran seperti Yauw Sun
Kok, tentu tidak akan memandang rendah kepada pria lain yang juga datang
menghibur diri di tempat itu.
Yauw Sun Kok adalah
seorang manusia yang jiwanya lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga
jiwanya menjadi hamba dari nafsunya. Karena sejak kecil hidup sebagai orang
sesat, di tengah-tengah orang yang bekerja sebagai perampok, penjudi dan
penjahat-penjahat, akhirnya isterinya terbunuh oleh Sie Kian, dia menjadi sakit
hati dan setelah memperdalam ilmu-ilmunya, dia berhasil membalas dendam,
membasmi keluarga musuh besarnya itu. Akan tetapi dia tergila-gila kepada Sie
Lan Hong dan membawa gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie
Liong hidup atas permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya.
Karena cintanya terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah
jalan hidupnya. Dia dapat mengekang nafsu-nafsunya, karena semua nafsunya telah
dipuaskan oleh isteri yang dicintanya itu. Apalagi ketika Bi Sian terlahir. Sun
Kok bahkan pernah menjadi suami dan ayah yang baik.
Melihat Bong Gan bersikap
tidak mengenalnya, hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran. Akan tetapi tak
lama kemudian dia sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat tengah malam,
diapun berjalan pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.
Ketika Sun Kok melewati
daerah yang sunyi, di mana tidak ada rumah di kanan kiri jalan, tiba-tiba berkelebat
bayangan hitam yang langsung menyerangnya dengan kepalan tangan. Serangan itu
dahsyat sekali, mendatangkan angin pukulan yang keras.
Bagaimanapun juga, Sun Kok
adalah seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan tingkat kepandaiannya
cukup tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan cepat dia mengelak
sambil menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan
cengkeraman ke arah pundak penyerangnya! Namun, penyerang itu lihai bukan main
karena dengan amat mudahnya dia menghindarkan diri dari cengkeraman itu.
Saat itu dipergunakan Sun
Kok yang cepat melompat ke belakang itu untuk mengamati penyerangnya. Cuaca
gelap, akan tetapi dia melihat bayangan penyerangnya yang berpunggung bongkok!
‘Sie Liong....!! teriaknya
dengan suara penuh rasa ngeri. Memang sejak dahulu dia takut kepada adik
isterinya, takut kalau sampai anak itu mengetahui bahwa dialah pembunuh orang
tuanya. Kalau saja tidak melihat isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie
Liong. Dan kini, apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin
bongkok itu, masih berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya
hendak membalas dendam dan menyerangnya!
Maklum bahwa dia terancam
maut, tangan Yauw Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun menyambar ke
arah tubuh orang bongkok itu. Namun, dengan sigapnya, lawannya itu berhasil
mengelak dengan amat mudah. Sun Kok sudah mencabut pedangnya, pedang pusaka
Pek-lian-kiam dan biarpun dia mabok, akan tetapi perasaan takut melenyapkan
maboknya dan dia sudan mainkan pedangnya, menyerang dengan gesit.
Namun, sekali ini dia
harus mengakui bahwa dia telah berhadapan dengan seorang lawan yang amat
tangguh. Biarpun lawannya bertangan kosong, namun serangan-serangan pedangnya
tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang dapat bergerak secepat burung walet
terbang. Kemudian, ketika dengan gugup dia membalik untuk mencari lawan yang
tadi berkelebat lenyap ke arah belakangnya, tiba-tiba tangan kanannya menjadi
lumpuh tertotok dan pedangnya berpindah tangan! Sebelum Sun Kok mampu
menghindar, sinar pedang berkelebat dan pedang itu telah menembus dada dan
jantungnya! Sun Kok roboh terjengkang, seketika tewas dengan dada ditembusi
pedangnya sendiri!
Bayangan berpunggung
bongkok itu lalu menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu, menyeretnya menuju
ke rumah Yauw Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke atas genteng dan
selanjutnya berlompatan sehingga tidak ada orang melihatnya. Setelah
berlompatan dari rumah ke rumah, dia lalu turun ke pekarangan belakang rumah
Yauw Sun Kok. Ketika tiba di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu, kakinya
tersaruk sebuah benda yang mengeluarkan suara keras.
‘Siapa itu?! terdengar
bentakan suara wanira dari balik jendela. Bayangan itu tidak menjawab, menyeret
mayat itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia kurang cepat karena tiba-tiba daun
jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian masih sempat melihat seorang
laki-laki berkedok dan berpunggung bongkok menyeret sesosok mayat ke dalam
kebun.
‘Paman Liong....?! Dia
memanggil akan tetapi bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi
Sian cepat meloncat keluar dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam
kebun. Akan tetapi bayangan orang berpunggung bongkok itu lenyap dan ia
menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas tanah. Pada waktu itu, kebetulan
sekali bulan sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam, terlepas dari
cengkeraman awan dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup terang bagi
Bi Sian untuk mengenal wajah orang itu.
‘A.... ayahhhhh....!! Ia
menjerit dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu. Ayahnya, benar ayahnya, telah
tewas dengan dada ditembusi sebatang pedang yang dikenalnya sebagai pedang
pusaka milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam!
Jeritan Bi Sian ini
mengejutkan para pengnuni rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari keluar. ‘Bi
Sian, apa yang terjadi....?! tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam
kebun.
‘Ibu....! Ayah tewas
terbunuh orang....!! Bi Sian berseru dan iapun melompat lalu berlari
mencari-cari ke dalam kebun. Akan tetapi, ia tidak menemukan jejak orang yang
tadi menyeret tubuh ayahnya, lalu ia mendexati rumah. Tiba-tiba ia melihat
sesuatu. Cepat ia berjongkok den diambilnya benda itu.
Sebuah topeng! Topeng yang
tadi ia lihat dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!
‘Bi Sian, ada apakah
ribut-ribut itu?! Mendengar suara Sie Liong, Bi Sian cepat menyimpan topeng itu
ke dalam saku dalam bajunya. Ia memandang tajam kepada wajah Sie Liong. Biarpun
remang-remang, ia melihat bahwa selarut itu pamannya ini belum tidur!
‘Paman Liong, apakah
engkau tidak mendengar sesuatu?! tanyanya sambil memandang tajam penuh selidik.
‘Mendengar apa? Aku
hanya mendengar teriakanmu memanggil ayahmu, lalu suara enci Lan Hong di
belakang sini. Apakah yang telah terjadi?!
‘Paman Liong, mari
kaulihat sendiri!! katanya sambil menarik lengan pamannya itu. Lengan itu tidak
memperlihatkan sesuatu, tidak gemetar, juga sikap pamannya tenang-tenang saja.
Bi Sian ingin melihat bagaimana sikap pamannya kalau melihat cihu-nya
menggeletak tewas.
Setelah tiba di tempat
itu, dari jauh Sie Liong sudah mendengar ratap tangis encinya dan melihat
cihu-nya menggeletak dengan pedang masih menancap di dada, dia terkejut bukan
main.
‘Enci Hong, apa.... apa
yang telah terjadi? Siapa membunuh cihu?! Dia berlutut dan memeriksa. Tak salah
lagi. Cihunya telah tewas, tewas seketika melihat pedang itu menembus dada.
Melihat adiknya, Sie Lan Hong menangis semakin mengguguk sambil memeluk mayat
suaminya.
‘Liong-te....
bagaimanapun juga.... bagaimanapun jahatnya.... aku.... aku mencintanya....!!
Wanita itu meratap dan menangis sejadinya.
Sejak tadi Bi Sian sudah
memperhatikan sikap pamannya. Terlalu tenang, pikirnya. Terlalu tenang sehingga
tidak wajar. Akan tetapi, mengapa ia masih meragukan kenyataan itu? Ia melihat
dengan matanya sendiri. Orang yang menyeret mayat ayahnya itu berpunggung
bongkok! Siapa lagi kalau bukan pamannya? Dan orang itu bertopeng hitam, topeng
hitam yang ia temukan di luar kamar Sie Liong pula!
‘Engkau pembunuh
ayahku!! Tiba-tiba Bi Sian berteriak sambil melompat dekat Sie Liong, tangannya
sudah menyambar sebatang ranting kayu dan kini digenggam di tangannya, telunjuk
kirinya menuding ke arah muka Sie Liong.
Pemuda itu terkejut dan
heran. ‘Apa....? Apa maksudmu, Bi Sian?! Dia bangkit berdiri.
‘Maksudku, Sie Liong,
engkaulah yang membunuh ayahku!!
‘Ehh? Apa kau sudah
gila? Enci, bagaimana ini? Bagaimana anakmu menuduh aku membunuh suamimu?!
Akan tetapi anehnya, Sie
Lan Hong hanya menangis, tidak membantah sedikitpun juga. Memang, di dalam
hatinya, Lan Hong juga menduga bahwa tentu adiknya itu yang telah membunuh
suaminya, untuk membalaskan sakit hati orang tua mereka.
‘Liong-te, kenapa engkau
begitu kejam membunuhnya? Bagaimanapun juga, dia ayah Bi Sian, dia suamiku dan
aku.... aku cinta padanya....!
Mendengar ratap tangis
encinya ini, Sie Liong terbelalak dan merasa bagaikan disambar geledek di hari
terang! Akan tetapi, Bi Sian yang juga mendengar ucapan ibunya, sudah
mengeluarkan suara melengking panjang dan ia mengeluarkan topeng hitam itu,
melemparkannya ke arah muka Sie Liong yang cepat menangkapnya. Melihat bahwa
yang dilemparkan itu sebuah topeng hitam tipis, Sie Liong tidak tahu maksudnya.
Akan tetapi pada saat itu, tongkat di tangan Bi Sian sudah menyambar dengan
totokan-totokan maut ke arah muka, tenggorokan dan ulu hatinya. Tiga kali
totokan bertubi yang kesemuanya amat berbahaya!
Tanpa disadarinya, Sie
Liong menyimpan topeng itu ke dalam saku bajunya dan tubuhnya lalu dilempar ke
belakang, berjungkir balik setiap kali ada ujung tongkat menyambar dan setelah
tiga kali berjungkir balik, dia lalu memalangkan kedua lengannya seperti hendak
menggunting kalau tongkat yang amat berbahaya itu menyambar lagi. Akan tetapi
kini tongkat itu tidak menusuknya dari depan, melainkan menghantam dari kanan
ke arah lambungnya!
Bukan main cepat dan
kuatnya serangan Bi Sian. Kembali Sie Liong menghindar diri dengan loncatan ke
atas. Celaka, pikirnya. Bi Sian, dan bahkan encinya sendiri, agaknya sudah
yakin bahwa dia pembunuh cihu-nya! Agaknya membela diri dan menyangkal tidak
ada gunanya pada saat keduanya sedang emosi itu, dan melawan serangan Bi Sian
amat berbahaya. Gadis ini memiliki ilmu tongkat yang amat ganas dan lihai, dan
teringat dia akan ilmu tongkat yang pernah dipertontonkan Koay Tojin.
‘Kalian salah
sangka....!! katanya dan ketika tongkat itu kembali menyambar dengan totokan
maut ke arah pusarnya, Sie Liong melompat ke pinggir lalu kakinya menyambar
untuk menendang pinggang Bi Sian dari samping. Dia mengerahkan tenaga sehingga
angin tendangan itu menyambar keras. Bi Sian terkejut dan cepat melompat ke
belakang. Inilah yang dikehendaki Sie Liong. Dia mempergunakan kesempatan
selagi gadis itu melompat ke belakang, dia pun melompat jauh dan menghilang di
dalam kegelapan malam!
‘Pembunuh, hendak lari
ke mana kau?! Bi Sian melompat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, Sie Liong
dapat bergerak cepat sekali dan dia sudah tidak nampak bayangannya. Setelah
mengejar ke sana-sini tanpa hasil, dengan hati kesal Bi Sian kembali ke dalam
kebun. Ia menemukan ibunya masih menangisi mayat ayahnya.
‘Aku tidak berhasil
menyusul pembunuh keparat itu! Akan tetapi, ibu, aku akan mencarinya sampai
dapat!!
‘Sudahlah, Bi Sian. Yang
terpenting sekarang mengurus jenazah ayahmu,! kata Sie Lan Hong yang akhirnya
dapat menguasai hatinya yang terguncang.
‘Tapi, ibu, yang
terpenting adalah menangkap pembunuh itu!!
‘Hem, bagaimanapun juga,
dia adalah pamanmu, adik ibumu.!
‘Apakah kalau adik ibu,
lalu dia boleh membunuh ayah sesukanya? Apakah ibu sudah begitu membenci ayah
karena ayah telah berubah selama ini?!
‘Bi Sian....!! Sie Lan
Hong menangis lagi dan Bi Sian segera menyadari kekeliruannya. Ia berlutut dan
merangkul ibunya.
‘Maafkan, ibu. Maafkan
aku.... ah, kedukaan membuat aku bersikap kasar kepada ibu.! Gadis itu lalu
mengangkat jenazah ayahnya ke dalam rumah.
Para tetangga dan penduduk
kota Sung-jan terkejut mendengar berita kematian Yauw Sun Kok yang kabarnya
terbunuh orang semalam. Banyak orang menduga-duga siapa pembunuhnya. Yauw Sun
Kok mereka kenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, walaupun
akhir-akhir ini menjadi gila judi dan suka bermain perempuan dan mabok-mabokan.
Sie Lan Hong menangis
perlahan di dalam kamarnya. Ia tidak mau ditemani puterinya dan terpaksa Bi
Sian duduk bersila di ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan, ditemani
beberapa orang pria tua tetangga mereka.
Ketika Lan Hong menangis
lirih, tiba-tiba daun jendelanya terbuka dari luar. Begitu perlahan jendela itu
terbuka dari luar sehingga Lan Hong tidak mendengar sesuatu. Baru ia terkejut
ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu adiknya telah berdiri di dalam
kamar itu. Lan Hong memandang terbelalak kepada adiknya.
‘Mau apa.... kau datang?
Engkau sudah membunuhnya, tentu engkau sudah puas, bukan? Biarlah aku yang
menderita.... hu-huh.... sejak dulu, aku yang menderita....!!
‘Enci, dengarlah
baik-baik. Aku tidak membunuhnya, enci. Aku tidak membunuh cihu....!!
Wanita itu menghentikan
tangisnya lalu menarik napas panjang. ‘Sudahlah, Liong-te. Akupun tidak
menyalahkanmu. Dulu akupun hendak membunuhnya dan sudah sepatutnya kalau aku
atau engkau membunuhnya....!
‘Enci.... apa.... apa
maksudmu?! Sie Liong bertanya, hatinya berdebar tegang.
‘Engkau tentu telah
menduganya, maka engkau membunuhnya, bukan? Nah, baiklah, karena dia sudah
mati, kuceritakan segalanya kepadamu. Memang, Yauw Sun Kok yang menjadi
pembunuh ayah dan ibu kita, membunuh suheng Kim Cu An, dan dua orang pelayan
keluarga kita dan semua binatang peliharaan kita.!
Sedikit banyak memang
sudah ada dugaan di dalam hati Sie Liong yang selalu dibantahnya sendiri karena
bagaimana mungkin encinya menjadi isteri pembunuh ayah ibu mereka?
‘Tapi.... tapi mengapa,
enci?!
‘Mendiang ayah kita
pernah bentrok dengan Yauw Sun Kok ketika dia dan isterinya melakukan
perampokan. Dia dahulu seorang perampok. Isterinya tewas di tangan mendiang
ayah kita dan dia terluka. Dia lalu memperdalan ilmu silat dan pada malam hari
itu, dia berhasil membasmi keluarga ayah kita.!
‘Tapi.... tapi, mengapa
enci dan aku sendiri tidak dibunuhnya, dan mengapa pula enci menjadi
isterinya....?!
‘Itulah selalu aku yang
menderita. Dia tertarik kepadaku. Dia hendak memperkosaku dan membunuh kita
berdua kalau aku tidak mau menjadi isterinya. Terpaksa, untuk menyelamatkan
engkau yang baru berusia sepuluh bulan, dan menyelamatkan nyawaku sendiri, aku
menerima permintaannya. Aku menjadi isterinya dan engkau tidak dibunuhnya. Dan
ternyata dia amat baik kepadaku dan kepadamu sampai terlahir Bi Sian dan
aku.... aku.... anak durhaka dan tidak berbakti ini, aku jatuh cinta kepadanya,
kepada suamiku sendiri dan kepada pembunuh ayah ibuku....! Sie Lan Hong tidak
dapat menahan tangisnya lagi. Sie Liong mendengarkan dengan bengong. Die merasa
kasihan sekali kepada encinya.
‘Akan tetapi, aku tidak
membunuhnya, enci.!
‘Sudahlah, siapa mau
percaya. Dan aku sekarang tidak lagi menyalahkanmu, Liong-te. Sudah sepatutnya
engkau membunuhnya dan....!
Tiba-tiba pintu kamar itu
didorong terbuka dari luar dan Bi Sian meloncat masuk dengan mata terbelalak
dan tangannya memegang sebatang pedang yaitu pedang Pek-lian-kiam yang telah
membunuh ayahnya!
‘Pembunuh keparat,
berani engkau ke sini?! bentaknya dan secepat kilat Bi Sian menyerang dengan
pedang itu. Tusukan kilat mengarah dada Sie Liong dan selain nampak kilatan
pedang, juga terdengar bunyi mendesing saking cepat dan kuatnya pedang itu
meluncur. Namun, dengan cepat Sie Liong menyambar kursi dan melempar kursi itu
sebagai perisai. Terdengar suara nyaring dan kursi itu sudah patah-patah
berantakan. Akan tetapi tubuh Sie Liong sudah meloncat ke jendela.
‘Bi Sian, engkau keliru.
Aku tidak membunuh ayahmu!! kata Sie Liong sebe lum dia meloncat ke luar dan
melenyapkan diri,
‘Jahanam, jangan lari!!
Bi Sian hendak mengejar, akan tetapi ibunya sudah menubruknya dan memegangi
lengannya sambil menangis.
‘Jangan, anakku. Jangan
kejar dia....! Biarkan dia pergi....!! tangisnya.
Bi Sian mengerutkan
alisnya. Menghela napas panjang. ‘Hemm, ibu melindungi seorang pembunuh,
pembunuh suami ibu sendiri, walaupun pembunuh itu adik kandung ibu....! Ia
melepaskan diri, akan tetapi tidak mengejar seperti yang diminta ibunya,
melainkan dengan bersungut-sungut iapun kembali ke ruangan di mana jenazah
ayahnya dibaringkan. Ibunya melempar diri di atas pembaringan dan menangis.
Bagaimana ia tega untuk merusak hati anaknya dengan menceritakan semua
perbuatan ayahnya?
Tidak, ia tidak akan
menceritakan semua peristiwa jahanam dahulu itu kepada Bi Sian agar gadis itu
tidak tahu bahwa ayahnya seorang yang amat jahat. Tidak perlu ia tahu. Biarlah
ia sendiri yang menderita, asalkan Bi Sian tidak menderita! Seperti dulu ia berkorban
demi mempertahankan keselamatan Sie Liong, kini ia bersedia berkorban perasaan
demi menjaga agar batin puterinya tidak sampai menderita kehancuran.
Pada keesokan harinya,
para tetangga datang melayat dan pagi-pagi sekali Bong Gan sudah tiba di situ.
Maksudnya untuk berkunjung kepada sumoinya. Tentu saja dia terkejut bukan main
melihat peti mati di ruangan depan.
Bi Sian menyambutnya
dengan wajah pucat dan mata merah, bekas tangis dan kurang tidur.
‘Sumoi! Apa yang
terjadi! Siapa yang meninggal dunia....?! tanyanya dengan penuh kekhawatiran.
‘Yang meninggal dunia
adalah ayahku, suheng....!
‘Ahh....!! Pemuda itu
terbelalak memandang ke arah peti mati. ‘Ayahmu? Tapi kemarin beliau masih
segar bugar....!!
‘Malam tadi.... dia
meninggal....! Gadis itu memejamkan matanya, menahan diri agar tidak menangis
di depan pemuda itu, apa lagi para tetangga mulai berdatangan melayat. Melihat
Ini, Bong Gan lalu menghampiri meja sembahyang, memasang hio untuk memberi
hormat kepada jenazah dalam peti. Kemudian dia menghampiri lagi sumoinya.
‘Sumoi, kenapa ayahmu
meninggal? apakah sakit?!
‘Mari kita masuk,
suheng, aku mau bicara denganmu.!
Bong Gan mengikuti
sumoinya menuju ke ruangan dalam. Setelah berada berdua saja, gadis itu
mempersilakan suhengnya duduk. ‘Suheng, ayahku malam tadi dibunuh orang.....!
‘Hah....??! Bong Gan
meloncat bangkit berdiri dari kursinya, matanya terbelalak. ‘Dibunuh orang?
Bagaimana.... siapa....?!
‘Pembunuhnya adalah....
pamanku, adik ibu sendiri....!
‘Ahh! Pemuda
berpunggung.... bongkok bernama Sie Liong itu....?!
Bi Sian mengangguk,
menarik napas panjang. ‘Benar, dialah yang membunuh ayahku.!
‘Kalau begitu, biar aku
mencarinya dan menyeretnya ke depanmu, sumoi!! Bong Gan berseru sambil mengepal
tinju, matanya terbelalak penuh kemarahan.
‘Semalam aku sudah
menyerang dan mengejarnya, namun tidak berhasil. Dia tidak boleh dipandang
ringan, suheng. Agaknya dia telah memperoleh kepandaian yang hebat. Ingat, dia
itu murid supek Pek-sim Sian-su yang menurut suhu memiliki kesaktian yang amat
hebat. Karena itu, aku akan pergi mencarinya, suheng dan harap engkau suka
membantuku. Kalau kita maju berdua, tentu dia akan dapat kita kalahkan.!
‘Aku siap siaga, sumoi!
Tanpa kau minta sekalipun, aku memang akan mencarinya untuk membalaskan sakit
hatimu ini!!
‘Terima kasih, suheng.
Hanya engkau seoranglah yang dapat kumintai bantuan, yang dapat kuharapkan.
Nah, sekarang juga kita berangkat untuk mengejar dan mencari Sie Liong!!
‘Ehh? Sekarang? Tidak
menanti sampai selesai pemakaman ayahmu?!
‘Tidak, kalau terlambat,
dia akan pergi terlalu jauh. Aku sudah siap sedia, lihat, ini buntalan sebagai
bekal perjalanan sudah kusiapkan. Mari, kita berangkat sekarang juga!!
Pemuda itu masih bingung
karena kepergian itu demikian mendadak, walaupun hatinya merasa girang sekali
bahwa dia akan berdua lagi dengan sumoinya, berdua melakukan perjalanan!
‘Kau.... aku tidak
berpamit kepada ibumu?!
Gadis itu menggeleng
kepalanya dengan wajah duka. ‘Tidak, ibu melindungi adiknya, lebih baik aku
tidak menemuinya sebelum aku dapat membalas dendam kepada pembunuh ayahku!!
Berkata demikian, gadis itu lalu pergi, diikuti Bong Gan, keluar meninggalkan
rumah itu dari pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh para tetangga yang
datang berlayat.
Ketika Sie Lan Hong mendengar
bahwa puterinya lenyap bersama suhengnya, pergi tanpa pamit, iapun jatuh
pingsan. Tidak kuat ia menahan pukulan batin yang bertubi-tubi itu. Yang
terutama sekali memberatkan hati nyonya ini adalah karena ia dapat menduga ke
mana perginya puterinya itu. Tentu ia hendak pergi mencari Sie Liong untuk
menuntut balas dendam!
Maka iapun merasa menyesal
sekali mengapa ia tidak segera menceritakan saja sebab-sebab yang mendorong Sie
Liong membunuh Yauw Sun Kok. Kalau ia sudah menceritakan, tentu Bi Sian akan mengerti
dan dapat memaklumi mengapa pamannya itu membunuh ayahnya, karena memang
ayahnya amatlah jahat!
Setelah suaminya tewas dan
dimakamkan, Sie Lan Hong hidup seorang diri dalam keadaan sederhana. Ia
berdagang dengan modal seadanya, dan setiap hari ia berprihatin, bersembahyang
dan mohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk melindungi puterinya dan untuk
mencegah agar puterinya jangan sampai membunuh Sie Liong. Kalau hal ini terjadi
habislah hidupnya. Ia tidak akan berani melanjutkan lagi kehidupannya penuh
dengan penyesalan kalau sampai puterinya membunuh Sie Liong. Ia tidak khawatir
kalau puterinya akan terbunuh oleh Sie Liong. Ia sudah mengenal benar watak
adiknya yang bongkok itu. Sampai bagaimanapun juga, Sie Liong tidak akan
membunuh Bi Sian.
Hal ini ia yakin sama
yakinnya bahwa di dasar hatinya, adiknya itu amat mencinta dan menyayang Bi
Sian.
***
Wanita itu berusia kurang
lebih dua puluh empat tahun. Ia seorang wanita yang mempunyai daya tarik besar
sekali. Wajahnya yang berbentuk lonjong itu berkulit putih mulus kemerahan.
Matanya jeli dan kedua ujungnya meruncing dan kerlingannya dapat menarik hati
pria seperti besi semberani menarik besi. Senyumnya manis sekali, dengan bibir
yang lembut itu pandai bergerak-gerak penuh tantangan. Tubuhnya bagaikan bunga
sedang mekar, dengan lekuk lengkung yang indah menggairahkan, tidak begitu
disembunyikan karena pakaiannya yang ketat dengan jelas membayangkan keindahan
bentuk tubuh itu. Dadanya padat, pinggangnya kecil, pinggulnya besar,
langkahnya seperti seekor singa kelaparan. Pada lengan, kaki dan leher nampak
ditumbuhi bulu lembut dan ini menambah daya tarik. Pakaiannya juga indah, dari
sutera yang mahal.
Ketika wanita itu memasuki
pintu gerbang kota Ho-tan, semua mata pria yang melihatnya, memandang dengan
melotot. Bahkan ada yang matanya sampai mau meloncat keluar. Kalamenjing banyak
pria bergerak naik turun, seperti orang kehausan melihat buah yang segar, ada
yang lidahnya terjulur ke luar menjilat-jilat bibir sendiri, seperti
kucing-kucing kelaparan melihat tikus yang montok. Pendeknya, jarang ada pria
yang melewatkan penglihatan seindah itu begitu saja. Bahkan di antara mereka
yang memang berwatak ceriwis dan nakal, tersenyum menyeringai, ada pula yang
berdehem, ada yang memuji dengan suara. Bermacam-macamlah ulah para pria yang
salah tingkah itu ketika melihat wanita yang menggiurkan ini, dan kalau saja
sinar mata dapat menusuk seperti anak-anak panah, tentu tubuh wanita itu sudah
penuh dengan luka!
Wanita itu bukan tidak
sadar bahwa dirinya dijadikan tontonan yang mengasikkan. Ia sadar sepenuhnya
akan kecantikannya, dan ia tidak marah, bahkan bangga dan gembira sekali
menjadi pusat perhatian dan pujian. Maka ia sengaja membuat lenggangnya semakin
menggairahkan, pinggulnya yang montok itu seperti menari-nari, pinggangnya
meliak-liuk seperti batang pohon yang tertiup angin, matanya mengerling ke
kanan kiri dengan lembut namun tajam, dan bibirnya yang merah membasah itu
bergerak-gerak mengarah senyum. Manis sekali!
Semua orang bertanya-tanya
siapa gerangan wanita muda yang amat cantik itu. Kalau wanita penduduk biasa
dari kota Ho-tan, kiranya tidak mungkin karena melihat pakaiannya yang indah
dan mewah, tentu ia seorang wanita kaya raya, mungkin seorang puteri bangsawan.
Kalau ia benar wanita bangsawan dari luar kota, mengapa datang hanya berjalan
kaki saja? Tidak naik kereta? Wanita cantik itu penuh teka-teki, dan kalau ia
lebih lama berada di kota itu, tentu segera akan ada orang yang berani
mendekatinya untuk bertanya dan memperkenalkan diri. Terlalu cantik ia
dibiarkan sendirian saja di tempat ramai itu. Seperti setangkai bunga, yang
terlalu cantik dibiarkan tumbuh di hutan tanpa ada yang melindungi, seperti
setangkai buah yang segar dan matang, tentu takkan lama bertahan tergantung di
dahan pohon tanpa ada yang memetiknya.
Sudah mulai banyak pria
tua muda yang diam-diam membayanginya! Senja telah mulai tua dan malam sudah
menjelang masuk. Mereka yang membayanginya, merasa heran ketika melihat wanita
cantik itu menuju ke sebuah kuil tua di pinggir kota. Padahal kuil tua itu
sudah kosong dan tidak digunakan lagi, merupakan sebuah rumah tua yang ditakuti
penduduk karena dikabarkan bahwa kuil itu sekarang menjadi tempat tinggal
siluman-siluman! Hampir tidak ada orang berani memasuki, apalagi memasuki kuil,
bahkan masuk ke halamannyapun jarang ada yang berani, setelah hari mulai gelap.
Banyak orang mengabarkan bahwa kalau malam gelap, seringkali terdengar
suara-suara aneh dari tempat yang angker itu!
Ketika mereka yang
membayangi wanita itu melihat betapa si cantik itu melenggang lenggok memasuki
pekarangan kuil, sudah banyak di antara mereka yang diam-diam menahan kaki
mereka, lalu membalikkan tubuh dan pergi dengan bulu tengkuk meremang. Sebagian
masih bertahan, diliputi keheranan mau apa seorang cantik seperti itu memasuki
pekarangan kuil yang menyeramkan itu? Ketika mereka melihat bahwa wanita itu
terus melangkah masuk ke dalam kuil yang gelap, kotor dan tua itu, semua orang
membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang! Tidak salah lagi, sudah pasti
siluman yang mereka bayangi itu! Siluman yang suka menggoda pria, biasanya
siluman rubah yang dapat merobah diri menjadi wanita cantik sekali. Kalau ada
pria yang tertarik dan terpikat, akan dibawanya ke dalam kuil dan pada keesokan
harinya, tentu pria itu ditemukan dalam keadaan mati konyol atau setidaknya
tentu gila!
Kalau saja di antara
mereka itu ada yang bernyali besar dan terus membayangi wanita itu masuk ke
dalam kuil tentu dia akan menjadi semakin heran. Wanita itu setelah tiba di
dalam kuil, tiba-tiba saja bergerak cepat sekali, tubuhnya sudah mencelat naik
ke atas wuwungan rumah dan ia mengintai dari atas ke arah jalan yang menuju ke
kuil. Dari atas, dalam cuaca yang sudah mulai gelap, ia dapat melihat mereka
yang tadi membayanginya, satu demi satu meninggalkan jalan itu, bahkan ada yang
lari pontang panting, kembali ke tengah kota. Wanita itu tersenyum geli,
bibirnya yang menggairahkan itu berjebi mengejek, lalu tubuhnya melayang turun
lagi setelah ia merasa yakin bahwa tidak ada seorangpun yang mengikutinya masuk
ke dalam kuil.
‘Hi-hik,! ia tertawa
lirih dan berbisik-bisik, ‘biarkan mereka mengira aku siluman. Memang aku
siluman.... hi-hik, siluman aseli....!! Ia lalu melangkah masuk ke dalam
ruangan belakang kuil itu, bagian yang masih agak utuh karena banyak bagian
yang sudah rusak dan dindingnya retak-retak.
Ketika ia tiba di ruangan
belakang dan membuka pintu sebuah kamar, orang itu tentu akan berseru keheranan
dan ketakutan melihat betapa kamar yang diterangi oleh nyala api lilin itu
merupakan sebuah kamar yang bersih, berbau harum dan sama sekali tidak pantas
berada di dalam kuil tua yang kotor itu! Kamar ini cukup besar, terdapat sebuah
pembaringan yang lebar sekali, cukup untuk tidur enam tujuh orang! Sebuah
pembaringan yang diberi kasur tebal dan ditilami kain kapas yang berwarna merah
muda, dengan kelambu besar berwarna ungu!
Bantal-bantalnya bersih,
dengan sarung yang disulam bun ga-bunga dan burung, ada pula selimutnya yang
merah dan tebal. Dan di kamar itu terdapat pula lima buah kursi dan sebuah meja
dan di atas meja itu terdapat guci arak dan cawan lengkap, juga roti kering, manis-manisan,
buah-buahan dan makanan-makanan kering! Sebuah kamar yang menyenangkan. Dan
yang lebih mengherankan lagi dari pada semua itu adalah tiga orang pemuda yang
usianya antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun, kesemuanya hanya
mengenakan pakaian dalam yang minim, tiga orang pemuda yang tampan dan dengan
tubuh yang sehat dan mulus, mereka menyambut kedatangan wanita itu dengan
uluran tangan penuh gairah berahi, dan dengan pandang mata penuh kasih sayang
dan senyum memikat!
Ketika wanita itu mendekati
pembaringan, tiga orang pemuda itu menyambutnya dengan rangkulan, ciuman-ciuman
mesra dan belaian-belaian penuh gairah. Wanita cantik itu sampai kewalahan
menghadapi penyambutan mesra tiga orang pria muda itu, ia tertawa cekikikan
lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang mereka bertiga yang
duduk di atas pembaringan. Ketiganya sama-sama tampan, ganteng, jantan dan
menarik, pikirnya. Akan tetapi setelah bermain-main dengan mereka, berenang di
dalam lautan kemesraan sampai lupa waktu dan lupa batas selama tiga hari tiga
malam, ia telah mulai bosan!
Siapakah wanita cantik
yang menggairahkan akan tetapi juga mengerikan itu? Ia bukan lain adalah Pek
Lan! Tujuh tahun yang lalu, ketika ia berusia tujuh belas tahun, Pek Lan
menjadi selir tersayang dari Coa Hun yang terkenal sebagai Coa-wangwe (Hartawan
Coa), seorang yang ketika itu berusia sekitar lima puluh tahun dan merupakan
orang terkaya di kota Ye-ceng. Akan tetapi, Pek Lan, keturunan Kirgiz dan Han
itu, memiliki darah panari dan nafsu berahi yang besar sehingga ia tidak puas
hanya melayani seorang suami yang usianya sudah setengah abad. Maka, melihat
betapa putera angkat hartawan itu, biarpun baru berusia tiga belas tahun namun
sudah cukup besar, ia merayu anak itu yang bukan lain adalah Bong Gan sehingga
terjadilah hubungan gelap di antara mereka. Para selir dan pelayan yang merasa
iri melihat Pek Lan menjadi selir terkasih, melihat hubungan itu dan mereka
melaporkan kepada Coa-wangwe sehingga dua orang itu tertangkap basah, lalu
diusir dari rumah keluarga Coa.
Seperti kita ketahui, Pek
Lan bertemu dengan Hek-in Kui-bo, nenek iblis yang mengambilnya sebagai murid.
Nenek ini bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi dan amat kejam,
juga mewariskan pula wataknya yang amat jahat, kejam, licik dan tidak pantang
segala macam perbuatan buruk atau kemaksiatan apapun! Maka bagi Pek Lan, tidak
ada perbuatan jahat yang dipantangnya dan ia tumbuh semakin dewasa dan matang
menjadi seorang wanita yang berwatak iblis! Juga nafsu berahinya semakin
menjadi-jadi!
Untuk memuaskan nafsunya
ini, ia memilih pria yang disukanya, dirayu atau dipaksa untuk melayaninya
sampai ia merasa puas dan kalau ia sudah merasa bosan, pria itu lalu diusir
begitu saja, dan kalau banyak rewel bahkan dibunuhnya! Akan tetapi perbuatan
ini ia lakukan di luar rumah subonya. Subonya memiliki sebuah rumah yang mewah
di tepi telaga Go-sa dan mereka hidup sebagai orang kaya raya. Guru dan murid
ini telah mencuri sejumlah harta dari gedung Pangeran Cun Kak Ong di kota
Ho-tan, dan selama tujuh tahun terakhir ini, kalau mereka kekurangan uang,
mudah saja bagi mereka untuk mengisi kembali gudang harta mereka. Seluruh tokoh
sesat dari dunia hitam berlumba untuk menyerahkan sebagian dari hasil mereka
kepada Hek-in Kui-bo yang mereka anggap sebagai datuk mereka. Dan selain itu,
amat mudah bagi Pek Lan yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi untuk
mengambil begitu saja dari gudang-gudang harta para hartawan atau bangsawan.
Setelah lewat tujuh tahun
dan merasa bahwa dirinya sudah dibekali ilmu-ilmu yang hebat, Pek Lan teringat
akan penghinaan yang pernah dideritanya di rumah keluarga Coa-wangwe di kota
Ye-ceng. Oleh karena itu, ia berpamit dari subonya dan pergi ke kota itu, dengan
maksud untuk membalas semua penghinaan yang pernah diterimanya, tentu saja
berikut bunga-bunganya! Dan ketika ia tiba di kota Ye-ceng, ia melihat tiga
orang pemuda yang dijumpainya dalam perjalaran. Tiga orang pemuda yang tampan,
muda dan jantan. Perhatiannya segera tercurah kepada mereka, dan untuk
sementara itu melupakan urusannya di Ye-ceng, sibuk memikat tiga orang pemuda
itu.
Tidak sukar baginya untuk
menjatuhkan hati mereka, dengan kecantikannya dan kemontokan tubuhnya. Segera
ia membawa pemuda-pemuda itu ke dalam kuil tua, di mana ia telah membuat sebuah
kamar yang indah dan selama tiga hari tiga malam ia berenang dalam lautan
kemesraan dan kenikmatan bersama mereka sampai ia merasa agak bosan. Dan
setelah bosan, baru ia teringat kembali akan maksudnya semula datang ke kota
Ye-ceng itu.
Ketika tiga orang pemuda
yang sudah tergila-gila kepada wanita cantik itu membelai dan menciuminya, Pek
Lan yang semula merasa bosan lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi,
memandang kepada mereka bertiga sambil tertawa cekikikan.
‘Sudahlah, aku malam ini
tidak dapat main-main dengan kalian, karena mempunyai urusan penting. Kalian
makan minum yang kenyang, istirahat baik-baik dan malam nanti, larut tengah
malam, atau besok pagi-pagi, aku akan kembali ke sini dan kalian harus
bersiap-siap untuk kita bertanding lagi....! Ia tertawa cekikikan seperti
siluman dan tiga orang pemuda itupun tertawa gembira. Mereka tidak perduli
apakah Pek Lan seorang manusia biasa, ataukah seorang dewi atau seorang siluman!
Yang jelas, wanita itu telah menyenangkan hati mereka, memberi mereka
kenikmatan yang selama hidup mereka belum pernah mereka rasakan.
Setelah bermain-main dan
bersendau-gurau dengan tiga orang pemuda itu dan malam mulai gelap, Pek Lan
melepaskan diri lagi dari tangan-tangan mereka, lalu sekali berkelebat iapun
sudah lenyap dari dalam kamar itu! Tiga orang pemuda itu hanya dapat merasa
heran dan kagum. Kalau sudah ditinggalkan begitu, ketiganya baru mulai merasa
ngeri dan seram, menduga-duga siapa gerangan wanita cantik yang selama tiga
hari tiga malam mengajak mereka berenang dalam lautan asmara itu.
Tubuh Pek Lan lenyap
berubah menjadi bayangan yang gerakannya cepat sekali dan dalam waktu singkat,
bayangan telah berada di atas genteng rumah gedung keluarga Coa. Kemudian,
beberapa kali bayangan itu berkelebat dan melayang turun, dan ia sudah berada
di dalam gedung yang amat luas itu. Di bawah sebuah lampu dinding di dekat
taman, ia berhenti dan memandang ke sekeliling sambil tersenyum. Selama tujuh
tahun ini, tidak banyak perubahan nampak di rumah itu masih tetap mewah dan
indah. Rumah yang amat dikenalnya. Lalu ia mengingat-ingat. Ada tiga orang
selir muda dan cantik yang menjadi saingannya dan yang dulu melaporkannya
kepada Coa-wangwe. Di samping tiga orang selir itu, juga terdapat dua orang
pelayan pria dan seorang tukang kebun pria. Sudah lama ia merencanakan cara ia
membalas dendam, dan kini ia tersenyum sendiri. Senyum itu membuka sepasang
bibirnya yang merah basah, dan memperlihatkan kilatan giginya yang putih
berderet rapi. Cantik memang, akan tetapi juga mengerikan, karena sepasang
matanya mencorong dan wajah yang cantik itu seperti wajah seorang siluman
tulen!
Ia masih ingat di mana
adanya kamar-kamar dari para selir dan para pelayan itu. Dengan amat mudahnya,
ia membuka daun jendela sebuah kamar dan bagaikan seekor kucing saja, ia
melompat ke dalam. Ia membuka kelambu pembaringan yang tertutup dan melihat
seorang di antara musuh-musuhnya, yaitu selir yang tinggi semampai, tidur
nyenyak seorang diri memeluk guling. Ia mengguncang pinggul wanita itu yang
segera membuka matanya dan terbelalak melihat seorang wanita cantik yang asing
di depan pembaringannya.
‘Apa.... siapa kau....?!
tanyanya gagap.
Pek Lan tersenyum manis.
‘Benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Ingat tujuh tahun yang lalu....!
‘Pek Lan....! Kau....
Pek Lan....?! selir itu berseru kaget akan tetapi pada saat itu, Pek Lan
menggerakkan tangannya dan selir itu terkulai lemas dan tak mampu mengeluarkan
suara. Matanya terbelalak ketakutan ketika Pek Lan menariknya, memanggulnya dan
membawanya melompat keluar dari kamar melalui jendela yang daunnya ia tutupkan
kembali. Ia membawa tubuh selir itu ke dalam Pondok Merah, yaitu sebuah
bangunan mungil di tengah taman di mana biasanya Hartawan Coa menghibur diri,
mendengarkan nyanyian dan melihat tarian yang dilakukan oleh para selirnya atau
rombongan penari yang diundangnya. Karena malam itu Pondok Merah tidak
dipergunakan, maka pin tunya dikunci dari luar. Namun, dengan mudah Pek Lan mendorongnya
terbuka dan ia membawa tubuh selir itu ke sebuah kamar di pondok itu dan
melemparkan tubuh itu ke atas pembaringan. Selir itu hanya dapat terbelalak,
tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya, akan tetapi ia ngeri melihat
pandang mata Pek Lan yang mencorong seperti bukan mata manusia biasa itu!
Selir ke dua juga diseret
ke dalam Pondok Merah dalam keadaan tertotok, lumpuh dan tidak mampu
mengeluarkan suara oleh Pek Lan dan dilempar ke dalam kamar yang lain dalam
pondok.
Ketika ia memasuki kamar
selir ke tiga yang menjadi musuhnya, ternyata selir ini tidur dengan seorang
anak perempuan berusia kurang lebih dua tahun. Kiranya selir ini telah
mempunyai anak. Akan tetapi ia tidak perduli. Ia menotok selir ini dan juga
menotok anak kecil itu agar jangan menangis dan menggagalkan rencananya,
kemudian membawa pula selir ke tiga ini ke dalam Pondok Merah. Kebetulan pondok
itu memiliki tiga buah kamar dan kini tiga orang selir itu telah berada di
dalam kamar-kamar itu.
Kini Pek Lan menuju ke deretan
kamar para pelayan. Iapun masih ingat di mana letak kamar dari para pelayan
yang dianggapnya musuh. Seorang di antara mereka sudah mempunyai isteri yang
juga bekerja di situ sebagai tukang cuci. Ia tidak perduli, dan seperti yang
dilakukan kepada para selir tadi, iapun dengan mudah, seperti setan saja,
memasuki kamar pelayan dan menotok mereka, lalu menyeret mereka menuju ke
pondok di taman bunga. Isteri seorang di antara tiga pelayan pria itupun
ditotoknya sehingga tidak mampu berkutik maupun berteriak. Pek Lan
melempar-lemparkan tiga orang pelayan prla itu ke atas pembaringan di dalam
tiga buah kamar. Mereka itu tumpang tindih di atas pembaringan tanpa dapat
berterak, juga mereka hanya terbelalak saja ketakutan ketika Pek Lan
merobek-robek pakaian mereka sehingga enam orang di dalam tiga kamar itu semua
menjadi telanjang bulat.