Kisah Pendekar Bongkok Bab 6-10

Kho Ping Hoo, Kisah Pendekar Bongkok, Bab 6-10. Gadis cilik itu membalapkan kudanya naik ke bukit itu. Seorang gadis mungil, berusia antara sebelas dan dua belas tahun dengan wajah yang manis dan sepasang mata yang jeli dan indah. Anak perempuan itu mengenakan pakaian cukup indah dan cara dia menunggang kuda membuktikan bahwa ia sudah biasa dengan permainan ini.
Anonim
Bab 6

***

Gadis cilik itu membalapkan kudanya naik ke bukit itu. Seorang gadis mungil, berusia antara sebelas dan dua belas tahun dengan wajah yang manis dan sepasang mata yang jeli dan indah. Anak perempuan itu mengenakan pakaian cukup indah dan cara dia menunggang kuda membuktikan bahwa ia sudah biasa dengan permainan ini. Kudanya juga seekor kuda yang baik sekali, dengan tubuh panjang dan leher panjang. Anak perempuan itu seperti berlumba saja ketika melarikan kudanya semakin cepat, padahal jalan itu tidak rata dan mendaki. Namun, agaknya ia memang sudah biasa dengan daerah ini, dan kudanyapun bukan baru sekali itu saja membalap ke arah puncak bukit di mana terdapat banyak rumput hijau segar yang gemuk dan yang akan dinikmatinya sebagai hadiah kalau mereka sudah tiba di puncak.

Akhirnya tibalah mereka di puncak bukit yang merupakan tanah datar dengan padang rumput yang luas. Gadis cilik itu meloncat turun, ia dan kudanya bermandi keringat, dan keduanya nampak gembira. Apalagi setelah anak perempuan itu melepaskan kendali kuda dan membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang tebal, keduanya sungguh meniknati keindahan alam, hawa udara yang berbau harum itu, bau tanah dan tumbuh-tumbuhan yang segar. Kicau burung menambah semarak suasana. Beberapa lamanya anak perempuan itu rebah telentang di atas rumput, melepaskan lelah dan memejamkan mata. Alangkah nikmatnya telentang di atas rumput seperti itu! Lebih nikmat daripada rebah di atas kasur yang paling lunak dengan tilam sutera yang paling halus.

Akan tetapi seekor semut yang agaknya tertindih olehnya, menegigit tengkuknya. Ia bangkit dan menepuk semut itu, membuangnya sambil bersungut-sungut. ‘Semut jahil kau!! katanya dan kini ia menoleh kepada kudanya. Ketika ia melihat betapa kuda itu makan rumput dengan lahapnya, nampak enak sekali dengan mata yang lebar itu berkedap-kedip melirik ke arahnya, ia menelanludah dan perutnya tiba-tiba saja merasa lapar sekali.

Anak perempuan itu adalah Yauw Bi Sian. Seperti telah kita ketahui, Bi Sian tinggal bersama ayahnya, Yaw Sun Kok, di kota Sung-jan, di ujung barat Propinsi Sin-kiang. Di tempat tinggalnya banyak terdapat penduduk aseli Suku Bangsa Kirgiz, Uigur, dan Kazak yang ahli menunggang kuda. Oleh karena keadaan lingkungan ini, sejak kecilpun Bi Sian pandai menunggang kuda. Apalagi ia memang menerima latihan ilmu silat dari ayahnya, maka menunggang kuda merupakan satu di antara kepandaian yang cocok untuknya. Ayahnya yang amat sayang kepadanya bahkan membelikan seekor kuda yang baik untuknya dan sudah biasa Bi Sian membalapkan kudanya pergi seorang diri ke lembah-lembah dan padang-padang rumput.

Kepergian Sie Liong membuat anak perempuan ini berduka dan berhari-hari ia menangis dan mendesak ayah ibunya agar mencari Sie Liong sampai dapat dan mengajaknya pulang. Ia merasa kehilangan sekali karena ia tumbuh besar di samping pawan kecilnya itu yang merupakan paman, juga kakak, juga sahabat baiknya. Semua hiburan ayah ibunya tidak dapat mengobati kesedihannya ketika ayahnya gagal menemukan kembali Sie Liong.

Akan tetapi, lambat laun ia manpu juga melupakan Sie Liong dan pada hari itu, setengah tahun setelah Sie Liong pergi, ia membalapkan kuda seorang diri menaiki bukit itu. Matahari sudah condong ke barat dan Bi Sian yang merasa perutnya tiba-tiba menjadi lapar sekali melihat kudanya makan rumput, bangkit dan menghampiri kudanya. Dirangkulnya leher kudanya. Kuda itu dengan manja mengangkat kepala dan mengusapkan pipinya ke kepala gadis cilik itu.

‘Hayo kita pulang, hari telah sore,! bisik Bi Sian dan iapun memasangkan kembali kendali kudanya. Pada saat itu, muncul lima orang laki-laki kasar. Mereka itu berusia rata-rata tiga puluh tahun dan mereka menghampiri Bi Sian sambil tersenyum menyeringai. Karena tidak mengenal mereka, Bi Sian mengerutkan alisnya dan tidak memperdulikan mereka. Akan tetapi ketika melihat gadis cilik itu hendak meloncat naik ke punggung kuda, tiba-tiba seorang di antara mereka melangkah maju dan merampas kendali kuda dari tangan Bi Sian.

‘Perlahan dulu, nona. Kuda ini berikan kepada kami!! katanya.

Bi Sian terkejut dan marah. Ia sama sekali tidak merasa takut, sama sekali tidak ingat bahwa ia berada di tempat yang sunyi sekali dan lima orang itu jelas bukan orang baik-baik. Telunjuknya menuding ke arah muka orang yang merampas kudanya.

‘Siapa kalian? Berani kalian mengambil kudaku?! bentaknya.

‘Ha-ha-ha, bukan hanya kudamu, nona, akan tetapi segala-galanya yang ada padamu. Hayo lepaskan semua pakaianmu, kami juga minta semua pakaianmu itu.!

Bi Sian terbelalak, bukan karena takut melainkan karena marahnya. Saking marahnya, ia tidak mengeluarkan kata-kata lagi melainkan ia sudah meloncat ke depan dan memukul ke arah perut orang yang bicara itu, seorang laki-laki brewokan yang agaknya menjadi pemimpin mereka. Serangannya cepat sekali datangnya. Maklum, biarpun usianya baru hampir dua belas tahun, akan tetapi sejak kecil Bi Sian sudah menerima gemblengan ayahnya yang pandai sehingga dalam usia sekecil itu ia sudah memiliki ilmu silat yang lumayan, terutama gerakannya cepat sekali walaupun dalam hal tenaga, ia masih belum kuat benar. Si brewok itu sambil tertawa-tawa mencoba untuk menangkap, akan tetapi dia kalah cepat.

‘Bukkk!! Perutnya kena dihantam tangan yang kecil itu dan diapun terjengkang. Biarpun tidak terlalu nyeri, akan tetapi dia terkejut dan juga merasa malu. Kawan-kawannya segera menubruk dan tentu saja Bi Sian tidak mampu melawan lagi ketika mereka itu meringkusnya.

‘Lepaskan ia!! tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun lebih, muncul di tempat itu. Bi Sian segera mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan, pemuda yang pernah berkelahi dengan ia dan Sie Liong. Pemuda yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi suaminya!

Lima orang itu membalik dan memandang kepada Lu Ki Cong tanpa melepaskan kedua lengan Bi Sian yang mereka telikung ke belakang. ‘Hemm, bocah lancang, siapa kau?! bentak si brewok sambil menghampiri Ki Cong dengan sikap mengancam.

Akan tetapi pemuda remaja itu tidak menjadi gentar. Diapun melangkah maju, membusungkan dada dan menjawab dengan lantang, ‘Namaku Lu Ki Cong, putera dari Lu-ciangkun komandan keamanan di Sung-jan!!

‘Ahhh....!! Si brewok terkejut dan melangkah mundur mendekati teman-temannya yang juga terkejut dan memandang ketakutan.

‘Maaf.... maafkan kami.... kongcu....! Si brewok berkata dengan suara gemetar.

Lu Ki Cong melanpkah maju lagi. ‘Kalian tidak tahu siapa gadis ini? Ia adalah puteri Yauw Taihiap, seorang pendekar besar di Sung-jan, dan ia tunanganku, mengerti?!

‘Maaf.... maaf....! Kini lima orang itu melepaskan Bi Sian dan mereka menggigil ketakutan.

‘Kalian patut dihajar!! Ki Cong lalu melangkah maju dan tangan kakinya bergerak, menampar dan menendang. Lima orang itu jatuh bangun lalu mereka melarikan diri tunggang langgang, meninggalkan kuda tunggangan Bi Sian.

Sejenak dua orang muda remaja itu saling pandang dan dalam pandang mata Bi Sian ada sinar kagum. Tak disangkanya pemuda yang nakal itu memiliki keberanian dan kegagahan!

‘Terima kasih....! katanya lirih, agak malu-malu mengingat bahwa tadi pemuda itu memperkenalkan ia sebagai tunangannya kepada para penjahat.

Ki Cong tersenyum bangga, lalu mendekati gadis cilik itu. ‘Sian-moi, perlu apa berterima kasih? Sudah semestinya kalau aku membela dan melindungimu, kalau perlu dengan jiwa ragaku, bukankah engkau ini tunanganku dan calon isteriku?! Berkata demikian, Ki Cong mendekat dan tangannya lalu memegang lengan Bi Sian dengan mesranya. Merasa betapa lengannya diraba dengan mesra, meremang rasanya bulu tengkuk Bi Sian dan iapun menarik tangannya dengan renggutan, dan iapun melangkah mundur, alisnya berkerut.

‘Aku tidak minta pertolonganmu, dan aku bukan tunanganmu!! bentaknya marah.

‘Aihh, jangan bersikap seperti itu kepadaku, calon suamimu, Sian-moi. Ingat, antara orang tua kita sudah setuju akan perjodohan kita....!

‘Aku tidak perduli! Aku tidak sudi!! kembali Bi Sian membentak.

‘Sian-moi, jangan begitu. Mengapa engkau membenci aku? Apakah aku tidak menang segala-galanya dibandingkan anak bongkok itu?!

Tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang seperti bernyala. ‘Jangan menghina paman Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!!

Karena pertolongannya tadi agaknya tidak mendatangkan perasaan berterima kasih dan bersukur dari gadis cilik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar, ‘Sian-moi, engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tidak ada aku, apa yang terjadi padamu? Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau telah diperkosa! Dan engkau sedikitpun tidak berterima kasih kepadaku!!

‘Hemm, sudah kukatakan aku tidak minta pertolonganmu dan tadi aku sudah bilang terima kasih. Mau apa lagi?!

‘Setidaknya engkau harus memberi ciuman terima kasih!! kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak merangkul dan mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.

‘Plakkk!! Pipi pemuda remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.

‘Kau memang tidak tahu terima kasih!! Lalu dia menangkap kedua pergelangan tangan Bi Sian. Gadia cilik itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong sudah berhasil merangkulnya, mendekap dan mencari muka anak perempuan itu dengan hidungnya. Akan tetapi Bi Sian meronta dan membuang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran.

Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memukul kepala penuda remaja itu.

‘Tokk!! Seketika kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong berteriak mengaduh sambil meraba kepalanya yang rasanya berdenyut-denyut. Dia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika dia melihat seorang kakek gembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.

‘Kau.... kau berani nemukul aku?! bentaknya sambil melangkah maju mendekati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam.

Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian mengemplang kepala Ki Cong dengan tongkatnya. Kini dia tertawa terkekeh-kekeh.

‘Aku! Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!!

‘Gembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kau pukulkan?!

‘Siapa bilang tidak bisa?! Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata,

‘Tongkat, orang menghinamu, dikatakannya engkau tidak bisa memukul sendiri. Tunjukkan bahwa engkau bisa memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!!

Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong.

‘Plakk!! Ki Cong berteriak kesakitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil berteriak-teriak diapun lari tunggang langgang ke bawah bukit setelah tongkat itu menghajar pantatnya beberapa kali.

Melihat ini, Bi Sian tertawa senang sekali. Iapun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek gembel. Bi Sian mendekati.

‘Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tongkat pusaka, tongkat wasiat?!

‘Heh? Pusaka? Wasiat? Ini tongkat butut, heh-heh-heh!!

Bi Sian makin mendekat, sedikitpun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek gembel yang terkekeh-kekeh dan menyeringai seperti orang gila itu.

‘Kakek, maukah engkau memberikan tongkat itu kepadaku?!

‘Tongkat ini? Tongkat butut ini? Heh-heh, boleh saja....!

Bi Sian gembira bukan main dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu, akan tetapi hanya sebatang tongkat biasa saja, sebuah potongan ranting pohon yang sudah kering dan kotor. Ia mencoba untuk menggerak-gerakkan tongkat itu, akan tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.

‘Kek, maukah engkau mengajarkan aku caranya membuat tongkat ini terbang dan memukuli orang kurang ajar? Aku ingin sekali belajar ilmu itu.!

Kakek itu tertawa bergelak. ‘Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?!

‘Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama, untuk melindungi diriku sendiri. Ke dua, dapat kupergunakan untuk melindungi paman kecilku yang bongkok.!

‘Paman kecil bongkok?!

‘Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki Cong tadi juga menghinanya!!

‘Sie Liong.... anak.... bongkok?! Koay Tojin berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.

‘Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya? Dia melarikan diri dari rumah ayah, sudah berbulan-bulan, entah berada di mana, aku rindu sekali padanya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?!

Koay Tojin mengelus jenggotnya lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan memasukkan kutu itu ke bibirnya. ‘Engkau benar mau menjadi muridku? Bukan hanya memainkan tongkat itu, bahkan menpelajari ilmu-ilmu yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai di dunia ini?!

‘Mau, kek! Aku mau sekali!! kata Bi Sian girang karena ia mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga kepandaiannya seperti dewa saja.

Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti kehilangan kesintingannya dan sepasang matanya yang mencorong itu menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting kembali lagi.

‘Kau benar-benar mau? Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau harus ikut ke manapun aku pergi, dan aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apapun, dan kau harus bersedia hidup seperti anak gembel seperti aku!!

‘Apa sukarnya? Aku bersedia!! jawab Bi Sian dengan penuh semangat. Ia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup sebagai gembel pula. Dan tidak mungkin akan mati kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini.

‘Dan untuk waktu yang tidak sedikit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku mati!!

‘Aku setuju!!

‘Dan mentaati semua perintahku!!

‘Setuju!!

‘Ha-ha-ha-ha....! Kakek itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perut yang terguncang, kepalanya menengadah dan mulutiya ternganga. Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek itu yang tadinya menengadah kini membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis. ‘Hu-hu huuhhh....!

Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut nenangis, melainkan ikut duduk di atas rumput, sejenak memandang kakek yang menangis tersedu-sedu itu dengan bengong. Karena kakek itu tidak juga berhenti menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, ia mulai curiga, akan tetapi tidak merasa takut, melainkan geli.

‘Kek, kenapa menangis?!

Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan muka yang basah air mata, matanya kemerahan, kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak. Tangis, seperti juga tawa, memang mempunyai daya tular yang ampuh. Biarpun tadinya Bi Sian tidak mau ikut menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-buat, melainkan menangis sungguh-sungguh tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari kedua matanya, menetes-netes menuruni kedua pipi. Bi Sian terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan bertanya.

‘Hei, kakek, kenapa kau menangis? Kenapa? Aku jadi ikut menangis, maka aku ingin tahu apa yang kita tangiskan seperti ini. Orang tertawa atau menangis harus ada sebabnya, kalau tanpa sebab kita bisa dianggap orang gila!!

Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menangis dan kini dia tertawa. Melihat anak perempuan itu memandangnya dengan mata terbelalak, diapun berkata sambil mencela. ‘Kenapa kita tidak boleh tertawa dan menangis tanpa sebab? Kita tertawa atau menangis menggunakan mulut kita sendiri, tidak meminjam mulut orang lain, apa perduli pendapat orang lain?!

‘Tapi kau tertawa dan menangis tanpa memberitahu sebabnya, sungguh membikin aku menjadi bingung, kek. Biasanya orang yang menangis dan tertawa tanpa sebab hanya orang-orang yang miring otaknya, dan aku yakin engkau bukan orang sinting.!

‘Ha-ha-ha-ha, kau kira orang sinting itu jelek? Di dunia ini, mana ada orang yang tidak sinting? Aku tertawa karena hatiku gembira mendapatkan seorang murid yang baik seperti engkau. Dan aku menangis karena aku harus mewariskan ilmu-ilmu kepadamu. Hu-hu-huuhhh....! Kembali dia menangis.

Bi Sian mengerutkan alisnya. ‘Sudahlah, kek. Jangan menangis. Kalau memang engkau tidak rela mewariskan ilmu-ilmu kepadaku, sudah saja jangan menjadi guruku.!

‘Apa?! Seketika tangis itu terhenti dan dia memandang dengan mata terbelalak. ‘Bukan takut kehilangan ilmu karena biar kuwariskan kepada seratus orangpun tidak akan habis, hanya ingat akan mewariskan itu aku jadi ingat bahwa berarti aku akan mati! Dan aku takut.... aku takut mati....!

‘Hemm, engkau takut mati, kek?!

Kakek itu berhenti lagi setelah tangisnya disambung dengan wajah ketakutan, dan dia memandang wajah Bi Sian. ‘Apa kau tidak takut mati?!

Anak perempuan itu menggeleng kepala, pandang matanya jujur terbuka tidak pura-pura. ‘Kenapa aku harus takut, kek? Orang takut itu kan ada yang ditakutinya. Kalau kematian, kita kan tidak tahu apa itu kematian, bagaimana itu yang namanya mati. Kenapa takut kepada sesuatu yang tidak kita mengerti? Aku tidak takut mati, kek!!

Kakek itu terbelalak, memandang kepada anak perempuan itu dengan penuh heran dan kagum. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan Bi sian. ‘Kau pantas menjadi guruku! Ajarilah aku bagaimana agar aku tidak takut mati! Aku mau menjadi muridmu....!

Bi Sian melongo. Berabe, pikirnya. Kakek gembel yang memiliki ilmu kesaktian ini agaknya memang benar-benar sinting! ‘Wah, jangan gitu, kek. Bukankah aku yang menjadi muridmu dan sepatutnya aku yang berlutut? Bangkitlah dan biarkan aku yang berlutut memberi hormat kepadamu.!

‘Tidak! Tidak!! Koay Tojin bersikeras. ‘Sebelum engkau mengajari aku bagaimana caranya agar tidak takut mati, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut terus di depanmu sampai dunia kiamat!!

Bi Sian seorang anak berusia sebelas tahun lebih, bagaimana mungkin dapat memikirkan hal yang rumit dan penuh rahasia seperti kematian? Ia seorang anak yang masih belum dewasa, masih bocah. Akan tetapi justeru kepolosannya itulah yang membuat ia berpemandangan polos dan sederhana, tidak seperti orang dewasa yang suka mengerahkan pikirannya sehingga muluk-muluk dan berbelit-belit. Bi Sian hanya berpikir sebentar, mengapa ia tidak pernah takut akan kematian.

‘Gampang saja, kek. Jangan pikirkan tentang mati karena kita tidak mengerti. Jangan pikirkan dan kau tidak akan pusing, tidak akan takut!!

Jawaban itu memang sederhana dan sama sekali tanpa perhitungan, akan tetapi dasar kakek itu sinting, dia menerimanya dan ‘mengolahnya! di dalam benaknya.

‘Jangan pikirkan.... jadi pikiran yang mendatangkan rasa takut? Kalau aku tidur, pikiran tidak bekerja, apakah aku pernah takut? Tidak! Orang pingsanpun tidak pernah takut, apalagi orang mati, sudah tidak bisa takut lagi! Jangan pikirkan....! Ha-ha-ha, benar sekali! Tepat sekali! Itulah ilmunya!! Dan diapun bangkit, menyambar tubuh Bi Sian dan melempar-lemparkan tubuh itu ke atas. Ketika tubuh turun, ditangkap dan dilemparkan lagi, makin lama semakin tinggi. Mula-mula Bi Sian agak merasa ngeri juga, akan tetapi betapa setiap kali meluncur turun tubuhnya disambut dengan cekatan dan lunak, iapun tidak lagi merasa ngeri, bahkan menikmati permainan aneh ini. Kalau tubuhnya dilempar ke atas, ia merasa seperti menjadi seekor burung yang terbang tinggi, maka mulailah ia mengatur keseimbangan tubuhnya agar kalau dilempar ke atas, kepalanya berada di atas dan ketika meluncur turun, ia dapat membalikkan tubuh sehingga terjun dengan kepala dan tangan di bawah.

‘Lebih tinggi, kek! Lebih tinggi lagi!! berkali-kali ia berteriak dengan gembira dan kakek itu agaknya juga memperoleh kegembiraan luar biasa melihat muridnya itu sama sekali tidak takut, bahkan menantangnya untuk melemparkannya lebih tinggi! Benar-benar muridnya itu tidak berbohong dan tidak takut mati! Maka diapun melemparkan tubuh anak perempuan itu makin lama semakin tinggi. Bi Sian memang cerdik sekali dan juga memiliki keberanian luar biasa.

Makin tinggi lemparan itu, membuka kesempatan lebih banyak baginya untuk berjungkir balik dan membuat bermacam gerakan di udara sehingga ia semakin trampil dan cekatan.

Akan tetapi, betatapun saktinya, Koay Tojin adalah seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, maka permainan yang membutuhkan pengerahan tenaga itu membuat dia merasa lelah. Tiba-tiba dia melemparkan tubuh murid itu jauh ke kiri, ke arah sebatang pohon besar dan dia sendiri lalu meloncat ke bawah pohon itu, siap menerima tubuh muridnya kalau meluncur ke bawah.

‘Heiii....!! Bi Sian berteriak kaget akan tetapi tubuhnya sudah masuk ke dalam pohon itu, disambut daun-daun dan ranting-ranting pohon mengeluarkan bunyi berkeresakan keras. Bi Sian dengan ngawur mengulur kedua tangannya dan berhasil menangkap sebatang batang pohon dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar dan tinggi sekali sehingga kalau sampai ia terjatuh ke bawah, tubuhnya tentu akan remuk!

Koay Tojin yang sudah tiba di bawah pohon, menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan tetapi tubuh itu tak kunjung jatuh! Dia merasa heran dan berteriak ke atas, tanpa dapat melihat Bi Sian karena daun pohon itu memang lebat.

‘Heiiiiii! Guruku.... eh, muridku yang tak takut mati! Di mana kau, he?!

‘Kakek nakal! Kenapa kau melempar aku ke pohon ini?!

Mendengar suara anak perempuan itu, Koay Tojin tertawa bergelak saking lega dan gembira hatinya. ‘Ha-ha-ha, bukankah engkau tadi belajar terbang seperti burung? Kalau menjadi burung harus sekali waktu hinggap di dalam pohon!! Kakek itu meloncat ke atas dan di lain saat dia sudah duduk di atas sebuah cabang pohon, membantu Bi Sian terlepas dari batang yang dipeluknya dengan erat dan mendudukkan pula murid itu ke atas dahan pohon yang kokoh kuat.

‘Suhu nakal.!

‘Suhu....? Siapa suhu (guru)?!

Bi Sian memandang wajah kakek itu. ‘Hemm, sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah menjadi muridmu? Kalau tidak disebut suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua atau Kakek?!

‘O ya benar! Engkau muridku, aku suhumu. Kenapa kau bilang aku nakal?!

‘Lihat saja muka dan kulit tanganku ini. Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan daun pohon.!

Koay Tojin memeriksa kulit muka, leher dan tangan yang baret-baret itu. ‘Ah, tidak apa-ana. Engkau harus biasa hidup di atas pohon, karena seringkali kalau berada di hutan, aku tidur di atas pohon. Lebih enak dan aman tidur di atas pohon, selagi pulas tidak dihampiri dan dicium harimau.!

Mau tidak mau Bi Sian bergidik ngeri. ‘Dicium harimau? Apakah suhu pernah dicium harimau?!

‘Wah, sudah sering!!

‘Bagaimana rasanya, suhu?!

‘Wah, geli! Kumisnya yang kaku itu menggelitik muka dan leher dan ketika aku terbangun.... wah, di depan mukaku nampak moncong dengan gigi yang runcing dan mata yang menyala, dan napasnya yang berbau amis!!

‘Kenapa dia tidak langsung menerkam, pakai cium-cium segala, suhu?!

‘Ha-ha-ha, mana harimau mau langsung makan mangsanya sebelum mencium sepuas hatinya? Dia mencium untuk menikmati bau harum dan sedap calon mangsanya. Untung bauku agak tidak enak, apak, sehingga ketika mencium-cium dan hidungnya menyedot bauku yang apak, harimau itu agak ragu-ragu, mungkin takut kalau dagingku beracun, ha-ha-ha! Keraguan itu membuka kesempatan bagiku untuk menghajarnya sampai dia lari terpincang-pincang dan berkaing-kaing!! Kakek itu tertawa gembira sambil menepuk-nepuk lututnya. Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. ‘Wah, aku lupa! Muridku, engkau harus mulai berlatih mengumpulkan hawa sakti, membangkitkan tenaga sakti di dalam tubuhmu!!

Tentu saja Bi Sian menjadi bingung. ‘Apa maksudmu, suhu? Aku tidak mengerti!!

Koay Tojin lalu memegang kedua pundak muridnya itu, mengangkatnya dan menjungkirbalikkan tubuh anak itu sehingga kedua kaki Bi Sian kini tergantung ke dahan pohon, bergantung pada belakang lutut yang ditekuk dan kepalanya berada di bawah.

‘Pertahankan keadaan begini sekuatmu, kedua tangan biarkan tergantung saja dan tarikan napas sepanjang mungkin. Kalau matamu berkunang, pejamkan mata.!

‘Bagaimana kalau kakiku tidak kuat dan kaitannya pada dahan terlepas, suhu?!

‘Bodoh! Jangan boleh terlepas! Kalau terlepas kan ada aku di sini! Nah, sambil bergantung begini kita bercakap-cakap!! Dan dia sendiripun lalu menggantungkan kedua kakinya seperti halnya Bi Sian pada dahan yang lebih tinggi sehingga kepalanya berhadapan presis dengan kepala muridnya itu, dalam jarak dua meter. Bi Sian merasa lucu sekali berhadapan muka dengan kakek itu dalam keadaan terbalik.

‘Nah, sekarang katakan siapa namamu!!

‘Namaku Yaw Bi Sian, suhu.!

‘Bagus, nama yang bagus. Bi Sian, gurumu ini dipanggil Koay Tojin, datang dari Himalaya akan tetapi sekarang menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal tertentu.!

‘Sekarang aku telah menjadi muridmu, suhu. Seorang murid harus berlutut dan memberi hormat kepada suhunya.!

‘Benar, hayo lekas berlutut di depanku!!

‘Bagaimana mungkin kalau kita bergantung seperti ini?!

‘Ah, benar. Aku lupa, mari kita turun dulu!! Dan sebelum Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah meluncur turun ditarik oleh kakek itu dan tahu-tahu mereka telah berada di atas rumput lagi.

Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Koay Tojin, memberi hormat sampai delapan kali. Koay Tojin girang bukan main dan tertawa bergelak sambil bertolak pinggang.

‘Bagus, sekarang engkau telah menjadi muridku, Bi Sian. Bangkitlah!!

Akan tetapi Bi Sian tidak mau bangkit. ‘Tidak, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut sampai dunia kiamat kalau suhu tidak meluluskan tuntutanku!!

Kakek itu memandang bengong, lalu terkekeh. ‘Heh-heh-heh, engkau ini presis seperti aku tadi, mau berlutut sampai kiamat! Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?!

‘Engkau lupa bahwa engkau ini guruku. Siapa lagi yang ditiru murid kalau bukan gurunya?!

‘Wah, wah, repot dah! Baiklah, katakan apa permintaanmu itu?!

‘Ada tiga permintaanku yang harus suhu penuhi, baru aku mau bangkit. Kalau tidak, aku akan berlutut....!

‘....sampai dunia kiamat!! Koay Tojin menyambut sambil terkekeh dan Bi Sian tersenyum juga. Betapa lucunya keadaan itu, pikir Bi Sian. Apakah kegilaan suhunya sudah menular padanya?

‘Katakan apa tuntutanmu!!

‘Pertama, sebelum aku pergi dengan suhu, aku harus pamit dulu kepada ayah ibuku.!

‘Hemm, setuju! Akan tetapi sebentar saja, dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu bahwa engkau pergi dengan aku.!

‘Ke dua, aku akan menjadi murid suhu paling lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku akan pulang ke rumah orang tuaku.!

‘Setuju! Tujuh tahun itu lama, mungkin sebelum tujuh tahun aku sudah mati....! Eh, apa yang kukatakan ini? Mati.... hih, aku takut.... ah, tidak, tidak. Aku tidak takut. Mati itu apa? Jangan dipikirkan, ha-ha-ha!!

‘Dan ke tiga....!

‘Banyak amat!!

‘Cuma tiga, suhu. Yang ke tiga dan terakhir, aku mau berkelana dengan suhu, hidup kekurangan. Akan tetapi aku tidak sudi kalau disuruh mengemis!!

‘Waah, heh-heh-heh, akupun memang gelandangan dan gembel, akan tetapi tak pernah mengemis. Kalau ada orang memberi, aku terima, akan tetapi aku tidak pernah minta. Apapun yang kita butuhkan, aku mampu adakan, untuk apa mengemis?!

Benarkah? Suhu dapat mengadakan apa yang kita butuhkan?!

‘Tentu saja?!

‘Hem, mana mungkin? Seperti sekarang ini. aku butuh sekali minum karena haus, dapatkah suhu mengadakan semangkuk air jernih?!

‘Heh-heh, apa sukarnya? Semangkuk air jernih? Lihat ini, terimalah!!

Bi Sian terbelalak ketika tiba-tiba gurunya itu sudah mengulurkan tangan kirinya yang memegang sebuah mangkuk yang penuh dengan air jernih! Ia menerimanya dan dengan sikap masih kurang percaya dan ragu-ragu ia mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya, lalu minum air itu dengan segarnya.

‘Suhu, dari mana suhu memperoleh semangkuk air dingin ini?! tanyanya, kini keraguannya lenyap karena air itu terasa segar dan memang benar air jernih aseli! Sambil terkekeh kakek itu menerima mangkuk kosong yang dikembalikan Bi Sian dan bagaikan main sulap saja, tiba-tiba saja mangkok di tangannya itupun dia lontarkan ke udara dan lenyap!

‘Kuambil dari udara.... heh-heh-heh!!

Bi Sian terbelalak. ‘Wah, enak kalau begitu!! teriaknya. ‘Kalau kita perlu makan, minum, rumah, pakaian, emas permata, kita tinggal ambil dari udara! Suhu, ajari aku melakukan hal itu, kita akan menjadi kaya raya!!

‘Hushhh! Kau sudah gila? Tidak boleh begitu!!

‘Mengapa tidak boleh?!

‘Tak perlu kuberitahukan, kelak engkau akan mengerti sendiri. Nah, sekarang kuturuti permintaanmu tadi, mari kita kunjungi rumah keluarga orang tuamu agar engkau berpamit dari mereka.!

‘Itu kudaku di sana, suhu. Kita menunggang kuda!!

‘Wah, aku tidak pernah menunggang kuda. Kalau engkau mengikuti aku berkelana, tidak boleh menunggang kuda.!

‘Tapi sayang kalau kuda itu ditinggalkan begitu saja. Setidaknya dia harus kubawa pulang. Marilah, kita boncengan, suhu!!

‘Engkau naiklah, Bi Sian. Biar kakiku hanya dua buah, tiga dengan tongkatku, kiranya tidak akan kalah melawan kuda yang berkaki empat itu.!

‘Mana mungkin, suhu?!

‘Sudahlah, jangan cerewet, Bi Sian. Mari kita pergi!!

Mendongkol juga hati Bi Sian dimaki cerewet oleh gurunya. Boleh kaurasakan nanti, pikirnya. Ingin berlumba dengan kudaku yang larinya seperti angin? Bagaimanapun juga, ia tidak percaya suhunya akan mampu menandingi kecepatan kudanya. Iapun lalu meloncat ke atas punggung kuda dan menoleh kepada gurunya yang masih duduk bersila di atas tanah. ‘Mari kita berangkat, dan cepat, suhu. Hari sudah mulai sore!!

Berkata demikian, Bi Sian lalu mencambuk kudanya dan membalapkan kuda berlari menuruni bukit dengan cepat. Setelah beberapa lamanya ia berlari, ia menoleh untuk melihat gurunya yang ditinggalkan jauh. Tentu saja ia akan berhenti kalau melihat suhunya tertinggal jauh. Akan tetapt betapa kaget dan heran rasa hatinya melihat bahwa kakek itu tepat berada di belakang kudanya, seolah-olah sedang melenggang seenaknya saja!

Ia merasa penasaran dan mencambuki kudanya, membalapkan kudanya makin cepat lagi. Setelah beberapa lamanya, kembali ia menoleh dan untuk ke dua kalinya ia terbelalak melihat suhunya tetap berada di belakang kudanya, bahkan memegang ujung ekor kuda itu sambil tersenyum-senyum kepadanya! Kini Bi Sian tidak ragu-ragu lagi. Suhunya memang seorang sakti seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Hatinya merasa kagum dan juga bangga, juga girang karena ia merasa yakin bahwa akan banyak ilmu yang hebat dapat diterimanya dari kakek aneh ini. Akan tetapi suhunya sudah begitu tua. Rasa iba menyelinap di dalam hati Bi Sian dan kini ia membiarkan kudanya berlari lambat agar gurunya yang sudah tua itu tidak terlalu mengerahkan tenaga.

Tiba-tiba Bi Sian menghentikan kudanya. Mereka sudah tiba di kaki bukit dan ia melihat ada enam orang berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka itu adalah lima orang perampok tadi, dan di belakang mereka ia mengenal Lu Ki Cong! Tentu saja Bi Sian terheran-heran. Bagaimana lima orang perampok itu dapat berada di situ bersama Ki Cong dan agaknya di antara mereka tidak terdapat permusuhan? Bukankah tadi lima orang ‘perampok! itu dimaki dan dihajar oleh Lu Ki Cong?

‘Heh-heh-heh, sahabatmu yang kurang ajar itu sudah menanti bersama lima orang anak buahnya.!

Bi Sian terkejut.

‘Anak buahnya? Tidak, suhu, mereka adalah lima orang perampOk yang tadi malah dihajar oleh Ki Cong ketika mereka menggangguku!!

‘Heh-heh-heh, dan kukatakan bahwa mereka adalah anak buahnya!!

‘Kalian mau apa menghadang perjalananku?! bentak Bi Sian kepada lima orang itu. ‘Minggir!!

Akan tetapi, betapa heran rasa hati Bi Sian ketika ia melihat Lu Ki Cong menggerakkan tangannya dan berteriak kepada lima orang perampok itu. ‘Bunuh kakek gila itu dan tangkap gadis itu untukku!!

Lima orang itu bergerak ke depan dan mengepung Bi Sian dan Koay Tojin. Marahlah Bi Sian karena gadis yang cerdik itu sudah dapat menduga apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia melompat turun dari atas kudanya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu Ki Cong sambil memaki.

‘Tikus busuk Lu Ki Cong! Sekarang aku mengerti akal busukmu. Kiranya lima orang ini adalah antek-antekmu yang sengaja kau suruh menggangguku tadi kemudian engkau muncul sebagai jagoan yang mengundurkan mereka untuk menarik hatiku! Engkau memang tikus busuk yang licik, curang, dan jahat sekali!!

Lu Ki Cong tidak menjawab, akan tetapi lima orang tukanp pukulnya itu kini menghampiri Bi Sian dan Koay Tojin dengan sikap mengancam. Kaoy Tojin hanya tersenyum lebar dan berkata kepada Bi Sian, ‘Bi Sian, bukankah engkau ingin menghajar tikus-tikus itu? Nah, hajarlah mereka, jangan beri ampun seorangpun, terutama tikus cilik di belakang itu!!

Tentu saja Bi Sian menjadi ragu-ragu. Ia sudah maklum bahwa tak mungkin ia mampu mengalahkan lima orang tukang pukul itu. Tadipun ia tidak berdaya, bahkan menghadapi Lu Ki Congpun ia kalah tenaga. Bagaimana kini ia harus menghajar enam orang itu?

‘Tapi, suhu, bagaimana aku mampu....!

‘Hushh! Bikin malu saja! Engkau kan muridku? Hayo hajar mereka dan kau gunakan tongkat bututku ini agar tanganmu tidak kotor!! Kakek itu menyerahkan tongkatnya. Besar hati Bi Sian. Ia percaya sepenuhnya akan kesaktian gurunya yang kadang-kadang seperti sinting itu memerintahkan ia menyerang, tentu gurunya sudah siap sedia membantunya. Dan tongkat itu agaknya tongkat wasiat, pikirnya. Buktinya, tadi tongkat itu dapat menghajar Ki Cong tanpa dipegang oleh suhunya. Kini tongkat itu berada di tangannya dan entah bagaimana, ia merasa hatinya besar dan penuh semangat ketika tongkat itu berada di tangannya. Tanpa memperdulikan bahaya yang mungkin mengancam dirinya lagi, Bi Sian menerjang ke depan menggerakkan tongkat butut di tangannya. Bagaimanapun juga, Bi Sian sejak kecil digembleng ilmu silat oleh ayahnya, maka ia memiliki gerakan yang gesit dan langkah yang teratur dan kuat.

Menghadapi serangan anak perempuan yang memegang tongkat butut itu, lima orang tukang pukul itu tentu saja memandang rendah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa mempergunakan kekerasan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup hebat, dan tenaga yang kuat. Kalau tadi mereka ‘dihajar! oleh Lu Ki Cong, hal itu memang disengaja dan sudah diatur sebelumnya, merupakan siasat Lu Ki Cong untuk menalukkan hati Bi Sian yang keras. Ki Cong yang mengatur semuanya dan mempergunakan mereka. Tadi, Lu Ki Cong lari turun dari bukit, menemui mereka dan minta kepada mereka untuk menghajar dan membunuh kakek gembel yang telah menghinanya, sekalian menangkapkan Bi Sian karena dia masih merasa penasaran bahwa gadis cilik itu tetap tidak mau tunduk kepadanya!

Sambil tersenyum mengejek, menyeringai lebar, seorang di antara mereka yang brewok, maju dan mengulur tangannya hendak menangkis lalu menangkap dan merampas tongkat butut itu ketika Bi Sian memukulkan tongkat itu ke arah mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena tangannya itu tertahan di udara, tak dapat digerakkan seperti bertemu dengan benda yang tidak nampak, sementara itu, tongkat butut di tangan Bi Sian sudah menyambar ke arah mukanya. Saking herannya melihat tangannya tidak dapat bergerak terus, si brewok itu tak sempat lagi mengelak.

‘Plakkk!! Tongkat itu menghantam mukanya, tepat mengenai hidungnya dan darah mengucur dari hidungnya yang seketika. Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju, seorang merampas tongkat, seorang lagi hendak meringkus Bi Sian. Akan tetapi, kembali terjadi keanehan ketika dua orang itu mendadak terhenti gerakan mereka dan seperti patung tak mampu melanjutkan gerakan mereka. Bi Sian sudah mengayun tongkatnya ke arah mereka, menyerang kepala.

‘Tukkk! Tukkk!! Dua buah kepala itu masing-masing kebagian sekali pukulan yang cukup keras dan seketika kepala itu keluar telurnya, menjendol biru!

‘Heh-heh-heh, bagus sekali! Pukul terus, Bi Sian!!

Bi Sian sendiri terheran-heran mengapa tiga orang itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak dan makin yakinlah hatinya bahwa gurunya tentu mempergunakan kesaktian, atau tongkat wasiat itu yang lihai bukan main. Iapun terus mendesak ke depan dan dua orang tukang pukul lainnya yang sudah menerjangnya, disambutnya dengan dua kali pukulan ke arah muka mereka.

Seperti yang terjadi pada teman-teman mereka, dua orang itu tertahan serangan mereka dan tak mampu menggerakkan tangan ketika tongkat butut itu menyambar ke arah kepala mereka. Mereka baru dapat bergerak setelah kepala mereka terpukul dan hanya dapat menggosok-gosok kepala yang menjadi benjol oleh pukulan tongkat itu.

Tentu saja lima orang itu menjadi marah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang jarang menemukan tandingan, dan di kota Sung-jan mereka amat ditakuti orang. Bagaimana kini menghadapi seorang anak perempuan saja mereka sampai terkena hajaran tongkat seorang demi seorang? Biarpun tidak sampai terluka parah namun pukulan tongkat itu mendatangkan rasa sakit di hati yang jauh melebihi rasa nyeri di bagian yang terpukul.

‘Bocah setan berani kau memukul kami?! bentak si brewok.

‘Heh-heh-heh, muridku tidak kenal takut, tidak kenal mundur, tidak takut mati, tentu saja berani menghajar kalian, heh-heh. Hajar terus, Bi Sian, pukul anjing-anjing itu sampai mereka melolong-lolong!!

Dan Bi Sian yang kini sudah bersemangat dan bergembira sekali, menerjang terus! Biarpun lima orang itu kini sudah marah bahkan mereka mencabut golok, namun apa artinya golok-golok itu kalau setiap kali digerakkan, selalu tertahan di udara? Akibatnya, mereka hanya menjadi bulan-bulanan sabetan dan pukulan tongkat di tangan Bi Sian. Biarpun yang memukuli hanya seorang anak perempuan, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah terlatih silat dan memiliki tenaga cukup kuat, dan yang dipukuli sama sekali tidak mampu mengelak, menangkis atau membalas, akhirnya tubuh merekapun matang biru, muka mereka berdarah dan kepala benjol-benjol!

Melihat ini, bukan hanya lima orang tukang pukul itu yang mulai terkejut dan gentar, juga Lu Ki Cong terbelalak matanya dan diapun membuat gerakan untuk menyelamatkan diri dan berlari pergi.

‘Heh-heh, kau hendak lari ke mana? Bi Sian, jangan biarkan monyet kecil itu melarikan diri!! teriak Koay Tojin dan dia kelihatan menggapai dengan tangannya. Anehnya, kedua kaki Ki Cong yang tadinya sudah melompat hendak berlari itu seperti menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan maju lagi. Sementara itu, Bi Sian yang marah sekali kepada pemuda yang menipunya itu, cepat lari menghampirinya dan tongkatnya lalu menghajar membabi-buta! Ki Cong yang dapat bergerak kembali, mencoba melawan, akan tetapi hasilnya malah pukulan-pukulan itu semakin hebat.

‘Heh-heh-heh, pukul kepalanya, hantam mukanya dan habiskan pantatnya biar tahu rasa monyet itu, heh-heh!! Koay Tojin memberi semangat kepada muridnya. Dan Bi Sian terns menghajar Ki Cong sampai akhirnya pemuda itu yang sudah berdarah hidungnya dan babak bundas penuh balur dan bengkak-bengkak membiru, menjatuhkan diri bergulingan di atas tanah sambil menangis!

Melihat ini, lima orang tukang pukul itu mencoba untuk menolong tuan muda mereka. Akan tetapi biarpun mereka mendesak maju dengan serentak, tiba-tiba saja gerakan mereka tertahan dan Bi Sian sudah membalik dan menghujankan pukulan tongkatnya kepada mereka!

Lima orang tukang pukul itu bukan orang bodoh. Walaupun tadinya mereka merasa penasaran dikalahkan oleh seerang anak perempuan, akan tetapi kini mereka maklum bahwa sesungguhnya bukan anak perempuan itu yang menghajar mereka, melainkan kakek gembel yang aneh itu. Maka, mereka menjadi gentar sekali. Kalau dilanjutkan, jangan-jangan mereka semua akan tewas oleh pukulan-pukulan anak perempuan yang galak itu! Mereka lalu menyambar tubuh Lu Ki Cong yang masih menangis, dan melarikan diri dari situ sambil terhuyung dan terpincang-pincang! Suara ketawa Koay Tojin mengikuti mereka, menbuat mereka semakin takut dan berusaha lari secepatnya sampai jatuh bangun! Bi Sian tidak mengejar karena ia sudah menjatuhkan dirinya di atas tanah, terengah-engah dan bermandi peluh, akan tetani wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum puas.

Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, bahkan lalu menjatuhkan diri pula di atas tanah dekat Bi Sian, terus tertawa sanbil memegangi perutnya dan menggeliat-geliat. Melihat ini, Bi Sian kembali timbul dugaan bahwa gurunya ini walaupun memang sakti sekali, akan tetapi agaknya tidak lumrah manusia dan tentu akan dianggap sinting oleh orang lain. Akan tetapi ia lebih tahu. Sinting atau tidak, suhunya ini seorang manusia luar biasa! Iapun tahu benar bahwa suhunya yang telah membantunya maka dengan begitu mudahnya ia menghajar enam orang tadi tanpa satu kalipun mendapat balasan pukulan dari mereka.

‘Sudahlah, suhu. Apa sih yapg kau tertawakan begitu hebat?! katanya untuk menghentikan aksi gurunya. Benar saja. Koay Tojin menghentikan tawanya dan diapun bangkit berdiri.

‘Wah, kau hebat, Bi Sian. Kau hebat sekali, engkau telah menghajar anjing-anjing itu sampai berkaing-kaing, heh-heh-heh!!

Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. ‘Berkat pertolongan suhu! Aku berjanji akan belajar dengan tekun dan penuh semangat agar kelak tidak menyusahkan suhu lagi kalau bertemu dengan anjing-anjing seperti tadi.!

Bi Sian lalu menunggangi kudanya lagi dan gurunya tetap berjalan di belakangnya. Kini Bi Sian mulai menaruh hormat kepada gurunya karena ia yakin akan kesaktian kakek itu, maka iapun tidak berani membalapkan kudanya, takut kalau membuat orang tua itu menjadi kelelahan. Oleh karena itu, hari telah mulai gelap ketika akhirnya mereka tiba di dalam kota Sung-jan. Atas petunjuk gurunya, Bi Sian menambatkan kuda itu di kebun belakang, kemudian iapun menurut saja petunjuk suhunya bagaimana harus berpamit dari ayah bundanya.

‘Kalau kita masuk ke dalam dan bertemu ayah ibumu, tentu mereka akan menahanmu dan mungkin akan memusuhiku. Hal itu amat tidak enak, maka sebaiknya engkau menurut aku saja. Mari!!

Yaw Sun Kok dan isterinya berada di ruangan dalam. Sejak tadi Sie Lan Hong merasa gelisah dan beberapa kali ia menyuruh suaminya untuk pergi mencari dan menyusul puteri mereka yang belum juga pulang.

‘Aku mulai khawatir, kenapa sampai hari telah menjadi gelap begini ia belum juga pulang. Sebaiknya kalau engkau pergi mencarinya,! bujuknya untuk ke beberapa kalinya.

‘Ia pergi membawa kuda dan biasanya ia memang pulang setelah senja. Ada beberapa tempat yang biasa ia datangi dan aku tidak tahu yang mana yang ia kunjungi kali ini. Kalau aku mencari ke suatu tempat dan ia pergi ke lain tempat, mungkin aku akan bersimpang jalan dengannya. Biarlah kita tunggu sebentar. Tidak perlu khawatir.!

‘Akan tetapi, aku gelisah sekali. Ia anak perempuan dan....!

‘Aihh, mengapa engkau memandang rendah anak sendiri? Biarpun perempuan dan masih kecil, akan tetapi Bi Sian sudah memiliki kepandaian yang cukup untuk melindungi diri sendiri. Dan iapun ahli menunggang kuda, tidak mungkin terjadi sesuatu yang tidak baik padanya. Pula, siapa yang akan berani mengganggunya? Semua orang di Sung-jan tahu bahwa ia adalah anakku.!

Mendengar ucapan suaminya itu, Si Lan Hong terdiam. Akan tetapi ia masih terus memandang ke arah pintu dengan penuh harapan. Pada saat itu, tiba-tiba saja ada suara ketukan pada jendela di sebelah kiri ruangan itu. Suami isteri itu cepat menengok dan.... di balik jendela kaca itu nampaklah wajah puteri mereka! Bi Sian tersenyum lebar dan wajahnya berseri penuh kegembiraan ketika ayah ibunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

‘Bi Sian....!! teriak ibunya, dan ayahnya cepat melangkah ke jendela, hendak membuka jendela itu.

‘Jangan dibuka, ayah! Ibu dan ayah, dengarkan baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku telah mendapatkan seorang guru, guruku namanya Koay Tojin dan kedatanganku ini hanya untuk pamit kepada ayah dan ibu. Aku akan ikut dia merantau selama tujuh tahun dan setelah tamat belajar, aku pasti pulang. Jangan cari aku, ayah. Tidak akan ada gunanya, karena ayah tidak akan dapat menyusul suhu!!

‘Bi Sian....!! Yauw Sun Kok berseru dan cepat sekali dia sudah membuka daun jendela itu. Akan tetapi, wajah anaknya itu telah hilang dan yang nampak hanya malam gelap. Dia merasa penasaran dan cepat dia melompat keluar jendela. Isterinya juga meloncat keluar jendela. Mereka memanggil-manggil nama Bi Sian sambil mencari-cari, akan tetapi tidak nampak bayangan anak itu.

Tiba-tiba terdengar suara anak mereka dari atas genteng. ‘Kuda itu kutambatkan di dalam kebun, ayah. Nah, selamat tinggal, ayah dan ibu. Tujuh tahun lagi aku pulang!!

Ketika mereka menengok, ternyata Bi Sian sudah berdiri di wuwungan rumah mereka, tentu saja Yauw Sun Kok terkejut bukan main dan diapun cepat molompat naik ke atas genteng untuk mengejar. Akan tetapi, dalam sekejap mata saja bayangan anaknya itupun lenyap. Dia merasa penasaran sekali. Tak mungkin Bi Sian dapat melompat ke atas wuwungan rumah seperti itu dan lebih tidak mungkin lagi menghilang seperti setan.

Akan tetapi semua usahanya untuk mencari sia-sia belaka. Baru sekali itu dalam hidupnya Yauw Sun Kok merasa tidak berdaya sama sekali, seperti dipermainkan, seperti seorang yang lemah. Diapun dapat menduga bahwa itu tentu gara-gara guru anaknya itu yang bernama Koay Tojin. Tahulah dia bahwa anaknya bertemu dengan seorang sakti yang memilihnya untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar nama Koay Tojin! Dia tidak tahu ke mana puterinya dibawa dan siapa Koay Tojin itu, orang macam apa! Tentu saja dia gelisah bukan main dan ketika isterinya merangkulnya sambil menangis, Yauw Sun Kok hanya dapat menarik napas panjang berulang-ulang dan merasa berduka sekali. ‘Aku akan mencarinya...., aku akan mencarinya sampai jumpa dan membawanya pulang....! Dia menghibur isterinya berkali-kali.

Akan tetapi, hiburan ini hanya tinggal hiburan kosong belaka. Sampai berbulan-bulan Yauw Sun Kok mengerahkan tenaga, bahkan minta bantuan orang namun tidak ada yang berhasil. Tepat seperti dikatakan oleh puterinya ketika berpamit, dia tidak berhasil menemukan jejak Koay Tojin.

Bahkan pada keesokan harinya, Lu-ciangkun datang dengan marah-marah mencari Bi Sian sambil membawa Lu Ki Cong yang babak bundas! Ki Cong menceritakan betapa dia dipukuli dengan tongkat oleh Bi Sian yang dibantu seorang kakek gembel yang gila! Tentu saja Ki Cong tidak menyebut-nyebut tentang lima orang tukang pukulnya.

Mendengar ini, makin yakinlah hati Yauw Sun Kok bahwa puterinya memang dipilih sebagai murid oleh seorang sakti dan bahwa Koay Tojin itu, menurut keterangan Lu Ki Cong, adalah seorang kakek tua renta yang berpakaian gembel dan bersikap seperti orang gila! Tentu dia sakti, pikirnya. Diapun minta maaf kepada Lu-ciangku, mengatakan bahwa anak perempuannya itu telah pergi dibawa oleh seorang sakti yang mengambilnya sebagai murid.

Demikianlah, akhirnya Yauw Sun Kok dan isterinya hanya dapat menunggu dengan hati penuh kegelisahan dan kerinduan. Mereka harus menanti sampai tujuh tahun! Mendung menyelimuti kehidupan keluarga ini. Yauw Bi Sian yang tadinya seolah-olah menjadi matahari yang menyinari kehidupan mereka, kini menghilang. Lebih-lebih lagi bagi Sie Lan Hong! Kepergian puterinya ini merupakan pukulan berat baginya. Baru saja ia kehilangan adik kandungnya dan dalam keadaan masih berduka, tiba-tiba saja tanpa disangka-sangka, puterinya pergi untuk waktu yang lama sekali. Tujuh tahun!

***

Terdengar suara lantang seorang anak laki-laki yang membaca kitab dari dalam sebuah kamar di rumah gedung indah itu. Suaranya lantang dan yang dibacanya adalah kitab sajak para penyair jaman dahulu. Suara itu merdu dan cara membacanya amat baik, setiap kata diucapkan dengan jelas dan dengan nada suara yang tepat. Kalau orang mengintai ke dalam kamar itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan, ganteng dan rapi, baik rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik, maupun pakaiannya. Jelas seorang anak terpelajar dari keluarga bangsawan atau hartawan! Cara dia duduk saja menghadapi kitab di atas meja itupun menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang pandai membawa diri, sopan santun.

Memang anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sejak kecil sudah di gembleng dengan pelajaran sastera. Yang dimaksud pelajaran sastera pada waktu itu adalah pelajaran membaca dan menulis huruf, juga membaca kitab-kitab kuno dimana terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pelajaran kebatinan yang berat-berat menjadi santapan anak-anak remaja! Tentu saja hanya sedikit yang mampu meresapi benar akan isinya, sebagian besar hanya mampu menghafal saja dengan lancar akan tetapi mengenai inti artinya, jarang yang dapat mengerti secara mendalam. Apa lagi menghayatinya!

Anak itu bernama Coa Bong Gan, berusia tiga belas tahun dan dia adalah anak angkat dari Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang kaya raya di kota Ye-ceng, sebuah kota di kaki pegunungan Kun-lun-san sebelah barat. Coa Hun atau Hartawan Coa adalah seorang pedagang besar yang berdagang segala macam barang dengan negara-negara barat di perbatasan barat. Kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika terjadi keributan karena adanya gerombolan perampok dari Nepal yang merusak dusun-dusun di perbatasan selatan dan barat, rombongannya yang baru pulang dari barat menemukan seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlarian seorang diri sambil menangis di antara para pengungsi. Karena bocah itu mungil dan tampan, dan tidak ada seorangpun mengakuinya sebagai anggauta keluarga, maka Coa Hun lalu membawanya pulang dan semenjak itu, anak itu diakui sebagai anak angkat. Anak berusia lima tahun itu hanya mengenal nama sendiri sebagai Bong Gan, maka sejak itu dia bernama Coa Bong Gan, menggunakan nama keluarga Coa-wangwe.

Karena Coa-wangwe sendiri tidak mempunyai anak laki-laki, hanya beberapa anak perempuan, maka Bong Gan disayang oleh keluarga itu. Hanya Coa-wangwe tidak merahasiakan bahwa anak itu adalah anak angkat, bukan anak kandung karena dia masih mengharapkan untuk memperoleh seorang keturunan anak laki-laki. Untuk itu dia berusaha dengan mengambil beberapa orang selir yang masih muda dan sehat, sedangkan dia sendiri ketika membawa Bong Gan pulang baru berusia empat puluh dua tahun.

Karena itu, biarpun Bong Gan disayang, akan tetapi tetap saja semua orang menganggapnya bukan sebagai anak kandung Coa-wangwe dan sikap hormat para pelayan terhadapnya hanya kalau berada di depan hartawan itu. Bahkan para selir dan juga Nyonya Coa merasa iri dan tidak suka kepada Bong Gan yang dianggap bukan suku bangsa Han. Melihat bentuk wajah anak itu, ketampanannya merupakan ketampanan suku Uigur atau Kazak dan anak itu tidak ketahuan siapa orang tuanya. Agaknya dua hal ini, yaitu kemuliaan yang diterima seorang anak yang tidak dikenal asal-usulnya, ketampanan dan kecerdikannya, kecakapannya belajar ilmu kesusasteraan, mendatangkan rasa iri hati dan banyak orang tidak suka kepada Bong Gan. Baru namanya saja, yang diakui anak kecil itu ketika ditemukan, Bong Gan, berbau nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin nama aselinya Munggan atau Boangana!



Bab 7

Bong Gan kini telah menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada di atasnya, bersikap anggun dan berwibawa terhadap yang tidak suka kepadanya. Pakaiannya selalu baru dan rapi sekali, tubuhnya selalu dirawat baik-baik dari rambutnya sampai kuku kakinya. dan dalam setiap penampilannya, dia hanya mendatangkan rasa bangga kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang dihormatinya secara berlebihan karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah yang memungkinkan dia mempertahankan kemuliaannya!

Biarpun usianya baru tiga belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak di antara anggauta keluarga ayah angkatnya merasa iri hati dan tidak suka kepadanya. Dia tahu pula bahwa mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, menyebar banyak mata-mata yang bekerja sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada ayah angkatnya. Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati sekali. Malam itu, biarpun dia tahu bahwa ayah angkatnya sedang berkunjung ke kota lain dan malam itu tidak akan pulang, dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang berirama dan merdu pada malam hari itu. Ini berarti bahwa biarpun ayah angkatnya tidak berada di rumah, tetap saja dia belajar dengan tekun!

Setelah dia selesai membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok dan ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jantung pemuda remaja ini berdentam penuh ketegangan. Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan tersayang dari ayah angkatnya. Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis. Wajahnya lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan tetapi bulu-bulu halus pada lengannya menambah daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu saja ia menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling cantik, dan ia diperoleh hartawan itu dengan tebusan uang yang amat mahal! Karena ia amat disayang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini menimbulkan perasaan iri kepada para selir lain, walaupun perasaan iri itu hanya mereka simpan dalam hati saja karena pengaruh selir muda itu terhadap Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti membela sang selir termuda kalau sampai terjadi pertengkaran terbuka.

Perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta di antara mereka. Tanpa perasaan ini, sudah pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Di dalam hati Pek Lan, sedikitpun tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh lebih tua itu, dan yang menjadi suaminya karena ia telah dibeli dari orang tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan dengan suka rela, melainkan karena terpaksa.

Oleh karena itu, baru saja diboyong ke dalam rumah gedung Coa-wangwe, dan melihat betapa hampir semua isi rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda remaja yang tampan itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pemuda remaja ini tampan, juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini bukan putera kandung suaminya, dan juga ia melihat betapa orang-orang serumah itu juga tidak suka kepada pemuda itu. Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan. Sudah lama ia bersikap manis kepada Bong Gan, memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan suaranya, namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk menangkap isarat dan menanggapinya.

Sesungguhnya, biarpun usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan seorang pemuda yang dungu. Ia banyak membaca, di antaranya ia membaca cerita-cerita percintaan sehingga ia sudah dapat membayangkan tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini. Ketika Pek Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan wanita ini. Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata dan senyum manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan diapun merasa suka sekali kepada wanita itu. Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya, dan dia selalu bersikap sopan, tidak memperlihatkan tanda bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda ayahnya itu bersikap menantang padanya. Juga dia masih terlalu muda untuk berani memperlihatkan tanggapan.

Dan pada malam hari itu, di luar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki kamarnya! Melihat bahwa yang memasuki kamarnya dengan langkah halus adalah selir ayahnya, maka Bong Gan cepat bangkit berdiri. Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh belas tahun akan tetapi tinggi badan mereka sama, bahkan Bong Gan lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada memberi hormat.

‘Ah, kiranya ibu yang datang malam-malam begini....!

‘Hushh, jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak sekali mendengarnya....!

‘Tapi, ibu adalah isteri ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?!

‘Usia kita hanya berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau engkau menyebut ibu. Engkau patut menjadi adikku dan aku enci-mu, biarpun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut saja enci kepadaku, kecuali.... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau menyebut ibu.!

Bong Gan tersenyum, hatinya girang sekali karena wanita cantik itu bersikap amat manis. Belum pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang ini. Ayahnya tidak berada di rumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur sehingga tidak ada orang lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.

‘Baiklah, enci. Silakan duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah,! katanya menunjuk ke arah kursi yang tadi dia duduki.

‘Terima kasih,! Pek Lan tersenyum dan duduk di atas kursi itu. Di atas meja terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah buku cerita tentang percintaan romantis. Akan tetapi, Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja.

‘Kau duduklah, Bong Gan,! katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.

‘Biar saya berdiri saja, enci. Kursinya hanya sebuah.!

‘Ahhh!! Pek Lan bangkit berdiri, membawa bukunya dan duduk di atas pembaringan.

‘Biarlah ahu duduk di sini. Kau duduklah.!

Bong Gan duduk di atas kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk di atas pembaringannya.

Beberapa kali Pek Lan yang membaca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba salah tingkah.

‘Bong Gan, huruf apakah ini....?! Pek Lan bertanya, menunjuk ke lembaran buku yang dipegangnya. Karena dari tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa dia bangkit dan menghampiri, lalu membacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan tetapi beberapa kali Pek Lan memanggilnya untuk menanyakan huruf yang tidak dikenalnya sehingga beberapa kali pemuda itu menghampiri, membacakan hurufnya dan duduk kembali.

‘Ah, terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong kaubacakan untukku. Kesinilah dan duduklah di sini, kita baca bersama. Kau ajari aku membaca, Bong Gan.!

Tentu saja Bong Gan menjadi gemetar dan tidak berani duduk berjajar di atas pembaringan itu. Walaupun dia sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita itu, tidak berani duduk bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya duduk di dekatnya, di tepi pembaringan.

‘Aih, mengapa engkau malu-malu dan takut?!

‘Enci.... aku.... aku tidak berani.... nanti dianggap tidak sopan....! kata Bong Gan gemetar, walaupun hatinya berdebar girang dan tegang.

‘Aih, siapa bilang tidak sopan? Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa salahnya duduk berdekatan? Hayo, jangan takut!!

Dan kini Bong Gan membiarkan dirinya ditarik dan diapun duduk di dekat Pek Lan. Tepi pinggul dan paha mereka bersentuhan dan Bong Gan merasakan kelembutan yang hangat, yang membuat tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras. Ketika dia membacakan buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apalagi, ketika dia merasa betapa jari-jari tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut dengan sentuhan-sentuhan mesra. Makin lama, suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau dan akhirnya, buku yang tadi dibaca Bong Gan itu sudah menggeletak di atas lantai di depan pembaringan sedangkan di atas pembaringan itu, Bong Gan dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan menjadi murid yang taat dan pandai.

Keduanya tenggelam dalam buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi semakin haus. Pek Lan adalah seorang wanita muda yang dikecewakan oleh perjodohan dengan Coa-wangwe yang dilakukannya secara terpaksa, yang membuat ia selalu merasa penasaran dan tidak puas. Kini, bertemu dengan seorang pemuda remaja yang menjadi muridnya yang amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu saja Pek Lan menjadi lupa daratan. Sebaliknya, Bong Gan sejak kecil memang haus akan kasih sayang, kini bertemu dengan seorang wanita yang cantik menarik, yang menyayangnya, dan menjadi gurunya dalam berenang di lautan kemesraan, diapun menjadi mabok. Sebetulnya dia masih terlalu muda sehingga diapun tidak dapat lagi melihat kenyataan betapa perbuatannya itu amatlah berbahaya, juga amat hina karena dia telah berjina dengan selir ayah angkatnya yang berarti juga ibu angkatnya sendiri!

Langkah pertama dilanjutkan dengan langkah berikutnya, ke sekian puluh kali dan mereka berdua, yang dimabok kemesraan ini, yang dibikin buta oleh nafsu berahi, tidak tahu bahwa banyak pasang mata dari mereka yang memang tidak suka kepada mereka, selalu membayangi dan mengintai mereka. Para pemilik mata inilah yang kemudian melaporkan kepada Coa-wangwe.

Tentu saja hartawan yang usianya sudah setengah abad lebih ini menjadi terkejut, heran dan kemudian marah. Dia terkejut mendengar bahwa selirnya yang paling disayangnya telah bermain gila dengan putera angkatnya, dan dia merasa heran mengingat betapa putera angkatnya itu biasanya selalu bersikap amat baik, terpelajar, rajin, sopan dan selalu menyenangkan hati.

Bagaimana kini tiba-tiba saja dia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjina dengan selirnya? Pula, Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya masih remaja, masih kanak-kanak dan belum dewasa! Tentu selirnya itu yang menjadi biang keladinya, pikirnya dengan gemas dan marah. Akan tetapi dia belum mau percaya begitu saja dan diaturlah oleh para selir yang lain dan para pelayan agar sang hartawan dapat menangkap basah hubungan gelap yang dilakukan selirnya terkasih itu dengan putera tersayang pula. Diatur agar hartawan itu meninggalkan gedung untuk bermalam di luar, dan di waktu malam, ketika semua musuh rahasia dua orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu bahwa mereka berdua sedang mengadakan pertemuan rahasia, di kamar sang putera angkat, hartawan Coa lalu tiba-tiba muncul dan daun pintu digedor dari luar!

Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya perasaan Pek Lan dan Bong Gan. Mereka hanya sempat membereskan pakaian mereka sebelum daun pintu itu jebol karena dipaksa dari luar dan keduanya segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Coa-wangwe yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus saking marahnya.

Biarpun kedua orang muda yang amat disayangnya itu berlutut sambil menangis minta ampun, tetap saja kemarahan Coa-wangwe tidak dapat diredakan, apa lagi di sampingnya terdapat para selir dan pelayan yang membisikkan berita-berita yang amat menyakitkan hatinya betapa putera angkat itu hampir setiap malam mengadakan pertemuan dengan sang selir dan betapa mesranya hubungan di antara mereka. Diam-diam Pek Lan melirik dan mencatat siapa-siapa yang pada malam itu hadir bersama suaminya dan dapat ia menduga bahwa mereka inilah yang telah menjadi mata-mata yang melaporkannya kepada suaminya.

Coa-wangwe demikian marah sampai dia menyuruh para pelayan memberi hukuman cambuk rotan pada punggung kedua orang muda itu sebanyak lima belas kali kemudian mengusir dua orang yang punggungnya berdarah karena kulitnya pecah-pecah itu agar meninggalkan rumah tanpa diberi bekal secuilpun pakaian pengganti atau sepotong uang kecil. Keduanya meninggalkan rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang sejak lama merasa iri hati dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh sakit-sakit, akan tetapi hati lebih sakit lagi Bong Gan dan Pek Lan pergi meninggalkan gedung itu, dan mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar dari dalam kota Ye-ceng. Berita tentang diusirnya selir termuda dan putera angkat dari Coa-wangwe itu lebih cepat keluar dari gedung dari pada mereka, disebarkan oleh mereka yang membenci kedua orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek Lan tidak berani mengangkat muka, karena semua orang memandang dengan mata dan senyum mengejek.

Sampai di luar kota, malam telah menjelang pagi dan mereka berdua masih terus berjalan di dalam keremangan cuaca sambil menangis. Biarpun mereka tidak mempunyai tujuan ke mana harus pergi, namun kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah, seolah-olah khawatir kalau ada orang-orang yang mengejar untuk memperolokkan mereka.

Barulah mereka berhenti setelah matahari terbit dan keduanya merasa lelah sekali. Mereka berhenti di tepi sebuah hutan, di bawah pohon rindang. Suasananya di situ sunyi sekali karena sudah amat jauh dari kota.

Melihat Pek Lan masih menangis sambil setengah menelungkup di atas rumput, Bong Gan merasa kasihan juga. Wanita muda ini biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus menempuh perjalanan setengah malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.

‘Sudahlah, enci Pek Lan. Untuk apa menangis lagi? Ditangisi sampai air mata darahpun tidak ada gunanya lagi,! kata Bong Gan yang sudah dapat memulihkan keadaan hatinya. Anak yang cerdik ini maklum bahwa bersedih-sedih tidak ada gunanya dan dia harus dapat mencari jalan yang baik dalam kehidupannya yang baru ini.

Akan tetapi, kata-kata hiburannya itu tanpa diketahuinya, membuat wanita itu menjadi lebih berduka dan akhirnya menjadi marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di samping kedukaannya, Pek Lan menganggap bahwa semua malapetaka yang menimpa dirinya ini disebabkan oleh Bong Gan!

‘Engkau memang anak durhaka!! bentaknya sambil bangkit duduk dan telunjuknya menuding ke arah muka Bong Gan. ‘Engkaulah biang keladi semua ini, engkaulah penyebab malapetaka yang menimpa diriku! Kalau bukan karena engkau, aku tentu masih hidup terhormat dan mulia di rumah keluarlga Coa! Aahh, engkau yang mencelakakan aku! Engkau anak tak tahu diri, engkau anak durhaka, tak tahu malu....!!

Sepasang mata Bong Gan terbelalak. ‘Diam!! Dia membentak marah sekali. ‘Engkaulah perempuan yang tidak tahu malu! Engkau yang datang pertama kali di dalam kamarku dan merayuku! Lupakah engkau? Engkaulah yang tidak tahu malu, engkau mengkhianati ayah angkatku dan engkau menyeret aku ke dalam lumpur kehinaan! Dan sekarang engkau hendak menyalahkan aku dan menghinaku? Perempuan tak tahu malu!!

‘Apa? Kau berani memaki aku? Anak kurang ajar kau!! Pek Lan bangkit berdiri. Bong Gan juga bangkit berdiri dan Pek Lan segera menyerang anak laki-laki itu dengan tamparan dan cakaran. Bong Gan tidak tinggal diam dan diapun membalas. Dua orang itu kini bergulat, bukan di atas pembaringan dalam kamar mewah Bong Gan, bukan bergulat memperebutkan kemesraan, melainkan bergulat dalam perkelahian dan memperebutkan kebenaran masing-masing, berusaha untuk saling menyakiti!

Pek Lan lebih tua tiga empat tahun, akan tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki, jadi masing-masing ada kelebihan dan kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi ramai dan seimbang! Akan tetapi tiba-tiba tubuh Bong Gan terlempar dan terguling-guling seperti disambar kilat. Kiranya di situ sudah muncul seorang nenek yang amat menakutkan dan mengerikan. Kalau saja Bong Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda kemarahan, tentu mereka akan lari tunggang langgang atau menggigil ketakutan, mengira bahwa di situ muncul iblis sendiri. Pek Lan melihat dengan jelas betapa nenek itu tadi mendorong tubuh Bong Gan dan menyebabkan anak laki-laki itu terlempar dan jatuh terguling-guling.

Hal ini berarti bahwa nenek itu telah membantunya, maka biarpun hatinya merasa ngeri, ia tahu bahwa nenek itu boleh ia harapkan. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil menangis! Sementara itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri karena terbanting dan terguling-guling itu dan dia tidak berani bangkit berdiri, hanya memandang kepada nenek itu dengan mata terbelalak dan hati dipenuhi keseraman.

Nenek itu berusia tua sekali, tentu tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan tubuhnya demikian kurus kering, kecil dan membungkuk seperti udang kering, seolah-olah usia tua sudah membuat ia mengkerut dan kering. Muka yang kulitnya kehitaman itu berkerut-kerut penuh garis malang-melintang, sepasang matanya sampai hampir tertutup kelebihan kulit pada pelupuknya, tulang-tulang pipinya menonjol, hidung dan mulutnya juga kecil karena mulut itu mengkerut ke dalam, tak nampak lagi bibirnya yang seperti dikulum mulut yang tidak bergigi lagi. Rambutnya tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan kotor. Tangan dan kaki seperti tulang-tulang terbungkus kulit tipis. Tubuh yang membungkuk seperti udang itu ditopang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering, ditutupi pakaian yang seluruhnya berwarna hitam. Sungguh menyeramkan sekali keadaan nenek itu, akan tetapi sepasang mata yang kecil dan bersembunyi itu mengeluarkan sinar mencorong yang mengejutkan hati orang.

Nenek itu mengangguk-angguk ketika melihat Pek Lan berlutut di depannya sambil menangis. Tiba-tiba tangannya bergerak dan tongkatnya meluncur, tahu-tahu Pek Lan merasa dagunya didorong sesuatu yang memaksa ia untuk menengadah. Kiranya nenek itu sudah menggunakan ujung tongkatnya untuk memaksa gadis itu mengangkat muka. Melihat wajah yang manis itu, kembali si nenek mengangguk-angguk.

‘Ceritakan, kenapa kau menangis di sini!! terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biarpun jelas ia mengeluarkan ucapan, namun mulut itu sama sekali tidak terbuka dan tidak bergerak!

Pek Lan agaknya menyadari bahwa ia bertemu dengan seorang manusia luar biasa atau mungkin iblis sendiri yang memperlihatkan rupa, maka iapun menjawab sambil menahan tangisnya. ‘Nenek yang mulia, saya bernama Pek Lan dan saya diusir dari rumah suami saya hartawan Coa di kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah setan itu. Saya tidak mempunyai rumah dan keluarga saya di dusun pasti akan menolak saya. Semua ini gara-gara bocah setan itu, akan tetapi dia tidak mau mengaku salah, malah menyalahkan saya.!

Nenek itu mengangkat mukanya memandang kepada Bong Gan yang masih mendekam di atas tanah. Sinar mata nenek itu mencorong seperti hendak menyambar ke arahnya, membuat Bong Gan menjadi semakin ngeri.

‘Huh-huh, bocah itu mempunyai mata seperti setan. Apakah kau ingin agar aku membunuhnya?!

Pek Lan bergidik. Nenek itu sungguh berhati kejam bukan main. Bagaimanapun marahnya terhadap Bong Gan, tentu saja Pek Lan tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh. Kalau ia teringat akan pengalamannya selama beberapa bulan ini, masih ada sisa kemesraan dalam hatinya terhadap Bong Gan.

‘Jangan, nek, jangan dibunuh, akan tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak berani lagi menyalahkan aku!! katanya.

Nenek itu terkekeh. ‘Heh-heh, bagus. Akan kuhajar dia biar kapok!!

Bong Gan yang sudah merasa ngeri melihat nenek itu, kini timbul keberaniannya. Biarpun nenek itu mengerikan, namun ia hanya seorang nenek yang tua renta dan nampak ringkih. Dan dia tidak mau dihajar begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan segera bangkit berdiri dan siap untuk melawan kalau nenek itu hendak menghajarnya.

Dengan langkah terseok-seok dibantu tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan dan ia terkekeh melihat sikap anak laki-laki itu yang agaknya siap untuk melawannya.

‘Heh-heh-heh, bocah setan, bergulinglah engkau!! Nampak ia menggerakkan tongkatnya dan nampak ada sinar hitam panjang menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa dapat ditahannya lagi, roboh dan tubuh itu terguling-guling!

Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal dan hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya tetap tertutup. Entah melalui lubang mana suara terpingkal-pingkal itu.

‘Heh-heh-ho-ho.... sekarang terbanglah! Terbanglah!! Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan tiba-tiba tubuh yang tadinya bergulingan itu, kini terlempar tinggi ke udara! Bong Gan menjadi ketakutan. Tadi ketika tubuhnya terpelanting dan terguling-guling, dia merasa nyeri-nyeri dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu jauh ke atas, maka diapun mengeluarkan jerit ketakutan ketika tubuhnya meluncur ke bawah dangan cepat sekali! Tentu akan remuk-remuk semua tulangnya, dan pecah kepalanya!

‘Toloooooooong!! Dia menjerit-jerit.

‘Nenek yang baik, jangan bunuh dia!! Pek Lan yang memandang dengan mata terbelalak berseru, khawatir kalau sampai pemuda cilik yang pernah menjadi kekasihnya itu akan terbanting remuk dan tewas.

‘Ho-ho, tidak dibunuh, tidak dibunuh!! kata nenek itu dan benar saja, begitu tubuh Bong Gan hampir terbanting ke atas tanah, tiba-tiba ada sinar hitam panjang menyanbutnya dan tubuh itu kini terlempar kembali ke atas lebih tinggi daripada tadi! Tentu saja Bong Gan dengan ketakutan menjerit-jerit seperti seekor anjing digebuki.

Melihat kenyataan bahwa nenek itu benar-benar tidak membunuh Bong Gan, hanya menghajarnya saja, legalah hati Pek Lan dan iapun bertepuk tangan dan bersorak. Lupalah ia akan kedukaannya.

‘Bagus! Hi-hi-hik, bagus! Nah, tahu rasa sekarang engkau, Bong Gan! Hayo cepat kau minta ampun padaku, baru aku mau minta kepada nenek yang mulia ini untuk menghentikan permainannya!!

Bong Gan boleh jadi ketakutan setengah mati, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan juga keras hati. Mendengar ucapan Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan menutup mulutnya, tidak lagi mau menjerit ketakutan, melainkan menutup mata rapat-rapat.

Pada saat tubuhnya meluncur turun untuk ke dua kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu berhenti di udara seperti tertahan oleh tenaga yang tidak kelihatan, kemudian tubuh itu bukan meluncur ke bawah melainkan ke samping dan tahu-tahu leher bajunya sudah berada di ujung tongkat yang mengaitnya, dan tongkat itu dipegang oleh seorang kakek gembel!

Kakek yang muncul itu bukan lain adalah Koay Tojin, yang kebetulan tiba di tempat itu bersama muridnya yang baru, yaitu Yauw Bi Sian! Melihat seorang anak laki-laki menjerit-jerit dan tubuhnya dilempar-lempar ke atas oleh seorang nenek yang menyeramkan, Bi Sian sudah merengek kepada gurunya.

‘Suhu, tolonglah anak laki-laki itu dan hajar nenek yang jahat itu. Biar aku menghajar gadis yang kejam itu!!

Mula-mula Koay Tojin memandang ke pada nenek itu dan nampak terkejut. ‘Waaahhh! Menghajar nenek itu? Mana aku berani? Ia adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan Hitam)....! Hiiiih.... aku ngeri melihatnya....! Dan kakek gembel itu bergidik kengerian. Melihat sikap gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau gurunya jerih terhadap nenek yang kurus kering dan hampir mati itu!

‘Kalau suhu tidak berani, biarlah aku yang melawannya! Aku tidak takut!!

Berkata demikian, Bi Sian meloncat ke depan menghadapi nenek buruk itu dangan kedua tangan terkepal. ‘Hei, nenek iblis yang jahat! Kenapa engkau menyiksa orang? Hayo pergi dari sini, kalau tidak akan kupukul engkau!!

Nenek itu menyeringai lalu menoleh kepada Pek Lan, ‘Ho-ho, bagaimana ini? Apakah aku harus menghajarnya juga?!

Pek Lan marah sekali kepada anak perempuan yang muncul bersama kakek gembel itu karena mereka menghentikan hajaran nenek itu terhadap Bong Gan.

‘Nek, bocah itu mencampuri urusan kita, sebaiknya kau bunuh saja!! Di sini sudah nampak perwatakan yang menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam sekali terhadap orang yang tidak disukainya, atau orang yang mendatangkan kemarahan dalam hatinya seperti gadis cilik itu.

‘Bunuh? Heh-heh, benar sekali, memang bocah ini layak dibunuh!! jawab nenek itu sambil terkekeh tanpa membuka mulut dan tiba-tiba ia menggerakkan tongkat ularnya ke arah Bi Sian. Sinar hitam meluncur ke arah gadis cilik itu, mengeluarkan suara mendesir.

‘Wirrrr.... takkkk!! Tongkat ular itu terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut di tangan Koay Tojin. Benturan antara kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga terasa oleh Pek Lan dan Bi Sian, dan nenek itu mengeluarkan suara menggereng marah, matanya yang bersembunyi di lipatan kulit itu mencorong menatap kepada kakek yang berdiri di depannya.

‘Ho-ho-ho! Bukankah engkau ini kakek gembel gila dari Himalaya?! teriaknya marah. Koay Tojin menyeringai pula. Dia tidak berpura-pura kalau tadi kepada muridnya dia mengatakan takut kepada nenek itu, bukan takut karena kepandaian si nenek iblis, melainkan ngeri karena dia sudah mengenal akan kejahatan dan kekejaman hati nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo itu!

‘Dan engkau Biang Iblis Awan Hitam yang sudah tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka mulutmu, perlihatkan kepadaku, pasti tidak ada sepotongpun gigimu maka engkau malu membuka mulutmu!!

Nenek itu semakin marah. Kata-kata ‘tidak bergigi lagi! bukan hanya dimaksudkan untuk mengejek keburukan rupa, akan tetapi juga boleh diartikan sebagai ajakan bahwa nenek itu tidak berbahaya lagi, seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi lagi!

‘Koay Tojin keparat! Tidak bergigi lagi, ya? Nah, rasakan gigitanku!!

Nenek itu sudah menyerang dengan cara yang amat aneh. Ia melontarkan tongkat ularnya ke atas dan tongkat itu meluncur ke arah Koay Tojin dan menyerang kalang-kabut seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak!

Koay Tojin tertawa bergelak, melompat ke belakang dan diapun melempar tongkat bututnya ke depan. Seperti tongkat ular si nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kinipun ‘hidup! dan melawan tongkat ular itu dan terjadilah pertandingan yang amat aneh antara dua batang tongkat itu! Keduanya ‘bersilat! tanpa ada yang memegangnya, saling hantam dan saling tangkis sehingga terdengar bunyi nyaring berkali-kali, dibarengi menyambarnya angin pukulan dahsyat.

Melihat betapa tongkat ularnya tidak mampu mendesak tongkat butut lawan melalui kekuatan sihir, nenek itu lalu mengangkat tangannya dan tongkat ularnya terbang kembali ke tangannya. Koay Tojin juga sudah ‘memanggil! kembali tongkat bututnya dan kini Hek-in Kui-bo menyerang Koay Tojin dengan tongkat itu, menggunakan tangannya. Koay Tojin menangkis dan membalas sehingga terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang tua aneh itu.

Melihat betapa kini gurunya sudah melawan nenek iblis, hati Bi Sian girang sekali dan melihat gadis yang menyuruh nenek tadi membunuhnya, iapun meloncat ke depan Pek Lan dan tanpa banyak cakap lagi Bi Sian menyerang Pek Lan dengan pukulan dan tendangan! Biarpun Pek Lan sudah berusia tujuh belas tahun sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas tahun, namun Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat. Sebaliknya, sejak kecil Bi Sian digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja ketika diserang oleh anak perempuan itu, Pek Lan menjadi repot sekali dan beberapa kali perutnya kena dipukul dan kakinya ditendang. Ia mencoba untuk melawan dengan cubitan, jambakan dan tamparan, akan tetapi ia tidak berhasil dan semakin lama, serangan Bi Sian semakin ganas dan menyakitkan. Akhirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.

‘Nenek, tolong aku.... tolooooonggg!! Ia terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang mengenai perutnya.

Sementara itu, pertandingan antara Koay Tojin melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan seru dan ramai. Mula-mula, Koay Tojin kewalahan juga menghadapi hujan serangan dari nenek itu yang memang lihai dan berbahaya bukan main. Nenek itu selain memiliki ilmu silat tongkat yang aneh dan gerakannya mirip ular, juga tongkat itu sendiri mengandung hawa beracun, selain tenaga nenek keriputan itupun kuat dan kecepatan gerakannya juga membingungkan. Akan tetapi begitu Koay Tojin mengeluarkan ilmu silat tongkat ciptaannya yang baru dan amat lihai, yang bahkan dipuji oleh suhengnya, yaitu Pek-sim Sian-su, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis), kini Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan main. Ia selalu terdesak dan beberapa kali nyaris terkena hantaman tongkat butut, maka ketika mendengar suara Pek Lan minta tolong, ia mempunyai alasan untuk melarikan diri. Ia meloncat ke belakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait baju Pek Lan yang tiba-tiba merasa tubuhnya diterbangkan dan nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil membawa tubuh Pek Lan.

Bi Sian masih mengepal kedua tangannya dan ia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Lan yang dilarikan nenek itu. ‘Hemm, kalau tidak lari, tentu akan kupukuli sampai kapok perempuan jahat itu!!

‘Ha-ha, Bi Sian, sudallah, mari kita pergi, jangan melayani nenek iblis yang mengerikan itu. Hihh....!! Koay Tojin bergidik. ‘Hayo pergi....!!

Akan tetapi pada saat itu, Bong Gan yang sejak tadi melihat segala yang terjadi dengan hati penuh kagum terhadap anak perempuan itu dan kakek gembel, kini menjatuhkan diri di depan kaki Koay Tojin.

‘Locianpwe yang mulia.... mohon kemurahan hati locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai murid....!!

Kakek itu mengerutkan alisnya, memandang kepada anak itu dan menyeringai. ‘Heh-heh, aku tidak sudi! Aku sudah mempunyai murid yang jauh lebih baik, ha-ha! Mari Bi Sian, kita pergi!! katanya sambil membalikkan tubuh mambelakangi Bong Gan dan melangkah pergi.

‘Suhu, nanti dulu!! Bi Sian berkata sehingga kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian mengamati Bong Gan yang masih berlutut dan anak laki-laki itu menangis sesenggukan, kelihatannya sedih bukan main.

‘Siapa namamu?! Bi Sian bertanya.

‘Nama saya Bong Gan....! jawab anak laki-laki itu sambil menahan tangisnya dan memandang kepada Bi Sian dengan mata agak kemerahan dan penuh kedukaan.

‘Kenapa engkau hendak dibunuh mereka tadi?!

‘Saya adalah seorang anak yatim piatu yang dipungut oleh keluarga hartawan Coa di kota Ye-ceng,! Bong Gan bercerita dengan suara yang memelas sekali. ‘Perempuan jahat tadi adalah selir ayah angkat saya. Pada suatu hari, ayah kehilangan barang-barang perhiasan berharga. Saya tahu bahwa yang mencurinya adalah perempuan tadi, akan tetapi ia berbalik menjatuhkan fitnah dan sebagian dari barang curiannya ia sembunyikan ke dalam kamar saya. Karena itu, ayah angkat saya marah dan kami berdua diusir. Ketika kami tiba di sini, perempuan itu menyalahkan saya dan memukuli saya. Saya melawan dan muncul nenek iblis tadi yang membela perempuan jahat itu.! Bong Gan yang pandai, membuat karangan yang masuk di akal ini secara tiba-tiba begitu sudah membuktikan bahwa dia memang seorang anak yang cerdik sekali. Setelah selesai bercerita, dia lalu menangis lagi.

‘Nona, mohon belas kasihan nona dan guru nona.... sudilah menerima saya menjadi murid. Saya mau bekerja apa saja.... saya sudah tidak mempunyai seorang keluargapun, dan saya takut kalau.... perempuan jahat dan nenek iblis tadi datang lagi membunuh saya....!

‘Sudahlah, Bi Sian. Hayo kita pergi, jangan layani anak cengeng itu!! Koay Tojin berkata tidak sabaran lagi.

‘Nanti dulu, suhu,! kata Bi Sian yang sudah tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia merasa kasihan kepada anak itu. ‘Aku mau pergi kalau suhu juga nengajak dia ini!!

‘Apa??! Koay Tojin terbelalak. ‘Untuk apa mengajak anak cengeng ini?!

‘Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau perlu, saya dapat menjadi anak yang sama sekali tidak cengeng! Kalau locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, biar menghadapi ancaman maut, saya tidak akan takut dan tidak akan menangis sama sekali!!

Ucapan itu bernada menantang dan Koay Tojin yang memiliki watak aneh itu sekali ini tertarik. ‘Ha-ha-ha-ha, benarkah itu? Engkau tidak akan takut, tidak akan menangis menghadapi ancaman maut?!

‘Benar, locianpwe,! kata Bong Gan, girang bahwa kakek gembel yang dia tahu amat lihai itu kini mau memperdulikannya.

‘Aku ingin melihat buktinya!! berkata demikian, Koay Tojin lalu melemparkan tongkatnya dan tongkat itu kini meluncur ke arah Bong Gan, dan mulailah tongkat itu memukuli dan mencambuki Bong Gan.

‘Plak! Plak! Plak! Bukk!! Tongkat itu mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak itu terkejut bukan main, dan juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak sendiri memukulinya. Dan pukulan-pukulan itu mendatangkan perasaan nyeri yang cukup hebat, apalagi kalau pukulan itu mengenai kepalanya. Dia menutupi kedua kepalanya dan kini punggungnya, pahanya, pinggul, kaki dan lengannya menjadi sasaran pukulan tongkat. Hampir saja Bong Gan berteriak kesakitan dan menjerit minta tolong.

Akan tetapi, anak yang cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka diapun menggigit bibir dan biarpun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan menggeliat-geliat di atas tanah di bawah hujan pukulan tongkat, namun tidak sedikitpun keluhan keluar dari bibir yang digigitnya sendiri itu.

Bajunya sudah robek-robek dan basah oleh keringat dan darah. Kulit punggungnya pecah-pecah berdarah. Akan tetapi dia tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap kali terpelanting, dia tergopoh bangkit dan mencoba untuk berlutut kembali ke arah kakek itu.

Melihat betapa tubuh Bong Gan sudah berlepotan darah, hati Bi Sian merasa tidak tega. ‘Cukup, suhu, cukup! Apakah suhu hendak memukulinya sampai mati?! teriaknya.

‘Ha-ha-ha!! Koay Tojin tertawa bergelak dan di lain saat tongkat itu sudah kembali ke tangannya. Hatinya gembira karena melihat Bong Gan benar-benar memegang janji dan sama sekali tidak mengeluh. Diam-diam diapun mulai suka kepada bocah itu. ‘Mari kita pergi, Bi Sian!! katanya dan sekali sambar, tangan Bi Sian sudah dipegangnya dan sekali melompat keduanya lenyap dari situ.

Tentu saja Bong Gan menjadi terkejut dan kecewa sekali. Dia sudah membiarkan tubuhnya dihajar babak belur dan berdarah-darah, sakitnya tidak kepalang dan kini kakek itu meninggalkannya begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia memaki. Akan tetapi dalam kepalanya yang cerdik terdapat dugaan dan harapan bahwa kakek aneh itu tetap masih mengujinya!

Dia tahu bahwa kakek itu aneh dan sakti, dan anak perempuan itu manis bukan main, juga amat baik kepadanya. Dia harus dapat menjadi murid kakek itu. Kalau tidak, dia akan hidup sebatangkara dan selalu terancam bahaya. Dia ingin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat menjaga diri. Dia harus berhasil menjadi murid kakek itu, atau kalau perlu dia akan mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan uji!

Dengan pikiran ini, Bong Gan terus berlutut menghadap ke arah tempat kakek tadi berdiri, dengan nekat dia berlutut terus sampai kedua kakinya kesemutan dan tidak merasa apa-apa lagi, dan rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat karena sengatan sinar matahari. Dia bertahan terus, bahkan ketika matahari terbenam dan tempat itu mulai gelap dengan tibanya malam, dia tetap berlutut di tempat itu!

Memang patut dipuji kekerasan hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh tubuh nyeri karena luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa dingin yang menyengat tulang, dan ditambah lagi perasaan ngeri karena di tepi hutan itu gelap dan sunyi. Kadang-kadang terdengar suara binatang dari dalam hutan dan mau tidak mau, seluruh bulu di tubuh Bong Gan meremang seram. Akhirnya, lewat tengah malam, dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuhnya yang tidak kuat lagi dan dia terguling dan pingsan!

Ketika Bong Gan siuman, dia mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput tebal, di tepi sebuah sungai kecil yang jernih, di dalam sebuah hutan. Bagaikan mimpi dia melihat seorang anak perempuan yang manis sedang mengobati luka-luka di punggungnya dengan menempelkan daun-daun hijau yang lebar. Terasa dingin dan nyaman sekali.

Agaknya anak perempuan itu mengerjakan dengan kelembutan dan dia melihat anak itu memilin dan menggosok daun-daun baru di antara kedua telapak tangannya sehingga daun itu menjadi lemas dan mengeluarkan air kehijauan. Kemudian daun-daun itu ditempelkan di atas kulit yang terluka oleh pukulan tongkat. Anak perempuan yang manis, anak perempuan yang berjasa membujuk gurunya untuk menerimanya sebagai murid!

‘Terima kasih, kini sudah terasa nyaman....! katanya dan diapun mengenakan bajunya, dan melihat kakek aneh itu duduk pula di situ, memandang anak perempuan itu mengobatinya dengan sikap acuh, Bong Gan cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu.

‘Suhu, teecu (murid) menghaturkan terima kasih dan hormat....! sikapnya penuh hormat dan suaranya mantap.

Melihat suhunya masih melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru, ‘Suhu ini bagaimana sih? Ini, muridmu yang baru menghaturkan terima kasih dan hormat, kenapa suhu diam saja?!

Kakek yang melenggut itu membuka mata, memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh, kemudian berkata, ‘Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau kulihat engkau malas dan tidak tekun atau tidak taat, engkau akan kuusir. Dan kalau kelak engkau menyeleweng, engkau akan kubunuh dengan tongkat ini!! Dia mengacungkan tongkatnya.

Dengan hati yang girang bukan main Bong Gan memberi hormat dengan sembah sampai delapan kali kepada gurunya. ‘Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu.! Kemudian dia menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu. ‘Suci, saya menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan melupakan budi kebaikanmu itu....!

Bi Sian terbelalak. ‘Eh, eh, nanti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci?!

Bong Gan tersenyum. ‘Bukankah suci yang lebih dulu menjadi murid suhu?!

‘Bukan begitu! Aku tidak mau cepat tua dengan disebut kakak! Coba sekarang kita lihat, siapa yang lebih tua di antara kita. Berapa umurmu tahun ini?!

‘Tiga belas tahun.!

‘Nah, itu!! Bi Sian berteriak. ‘Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh menyebut suci padaku. Aku tidak mau!!

‘Habis, lalu bagaimana?!

‘Karena engkau lebih tua, engkau menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng.!

Wajah Bong Gan menjadi merah, akan tetapi hatinya girang walaupun dia merasa kikuk.

‘Baiklah sumoi.!

‘Nah, begitu baru benar, suheng! Nama keluarga siapa sih? Apakah Bong?!

Bong Gan menggeleng kepalanya.

‘Tadinya aku memakai nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak, aku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil, aku hanya tahu bahwa namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa nama keturunan atau boleh juga disebut nama keturunanku Bong.!

Koay Tojin kelihatannya tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andaikata dia mendengarkan pun, agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah saking pandainya Bong Gan membawa diri. Dia amat rajin dan amat memperhatikan keperluan suhunya dan sumoinya, dia ringan kaki dan tangan, mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun dan rajin ketika mulai diajar dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian sehingga sikapnya yang amat baik ini selain membuat Bi Sian menyayangnya, juga Koay Tojin mau tidak mau mulai menyukainya.

Bahkan dengan adanya Bong Gan sebagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal dari Bong Gan untuk mendapatkan makanan bagi mereka bertiga tanpa mengemis. Dengan menjual hasil buruan, atau rempa-rempa yang amat berharga, Bong Gan bisa mendapatkan hasil untuk biaya hidup mereka.

***

Pek Lan menjatuhkan dirinya berlutut di depan nenek buruk dan tua itu ketika si nenek menurunkannya dari pondongan. Mereka berada di puncak sebuah bukit kecil yang sunyi.

‘Terima kasih, Nenek telah menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk nenek apa yang harus saya lakukan karena hidup saya sebatangkara dan tidak mempunyai harapan lagi.!

‘Pek Lan, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah, engkau pilih mana?!

Diam-diam Pek Lan terkejut bukan main. Ia harus menjadi murid nenek iblis ini dan kalau ia tidak mau ia akan dibunuh! Manusia macam apa nenek ini? Dan ia belum pernah mimpi berguru kepada seorang nenek iblis. Mau belajar apa dari nenek ini? Tidak sukar untuk memilih antara berguru kepada nenek itu atau mati.

‘Tentu saja saya memilih berguru, nek.!

‘Hushhh! Kalau memilih berguru ke padaku, kenapa masih menyabut nenek? Sebut aku subo (ibu guru)!!

‘Baik, subo. Saya akan mentaati semua perintah subo.!

‘Bagus! Memang syaratnya engkau harus mentaati semua perintahku. Perintah apa saja harus kautaati, tahu? Kalau tidak, engkau akan kupecat sebagai murid dan akan kubunuh!!

Pek Lan bergidik. Nenek ini sedikit-sedikit mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu timbul dalam benaknya bahwa kalau ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti nenek itu, ia akan mampu menghadapi siapapun juga, termasuk nenek ini! Ia akan dapat menghajar semua orang yang tidak disukainya. Maka bangkitlah semangatnya.

‘Apapun yang subo perintahkan kepada teecu akan teecu laksanakan.!

‘Heh-heh-heh, bagus sekali. Sekarang engkau harus melaksanakan tugas yang amat penting. Kita membutuhkan harta yang amat banyak agar kita dapat hidup tenteram dan berkecukupan. Kalau sudah begitu barulah engkau akan dapat belajar dengan baik.!

‘Bagaimana kita bisa mendapatkan harta yang banyak, subo?!

‘Mari, ikut dengan aku ke kota besar Ho-tan di timur. Di sana terdapat benteng besar pasukan dan di kota itu terdapat seorang yang paling kaya raya yaitu Pangeran Cun Kak Ong yang menjabat komandan atau panglima besar. Banyak barang rampasan disimpan sendiri oleh pangeran itu dan kalau kita dapat memasuki gudang hartanya, tentu kita akan menjadi kaya raya!!

Pek Lan ikut bergembira dan iapun mengikuti subonya. Ia telah melihat kesaktian nenek itu dan ia percaya bahwa nenek itu akan mampu melaksanakan rencananya dengan baik. Mereka akan menjadi kaya raya dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat mulai mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari nenek itu.

***

Pangeran Cun Kak Ong adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun. Dia adalah seorang bangsawan, masih sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu, Kerajaan Beng-tiauw sudah mulai mengalami surut bukan hanya karena pemerintahannya mendapat gangguan para bajak laut, pemberontakan-pemberontakan dalam negeri, ancaman gerakan orang-orang Mancu di luar Tembok Besar, akan tetapi terutama sekali karena para pembesarnya sudah kehilangan kesetiaan mereka terhadap tanah air dan bangsa, melainkan mementingkan kesenangan pribadi masing-masing sehingga sukar ditemukan seorang pembesar yang setia dan tidak melakukan korupsi besar-besaran.

Pangeran Cun Kak Ong juga seorang di antara para pembesar yang kegiatannya hanya membesarkan perut sendiri. Ketika dia diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang nomor satu di daerah Sin-kiang, dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit saja bagian hasil dari daerah itu disetorkan ke pusat. Selebihnya, yang terbanyak, masuk ke dalam gudang hartanya sendiri. Bangsawan ini memiliki kesukaan mengumpulkan barang-barang kuno yang berharga, patung-patung emas, barang-barang antik dari batu giok, perhiasan-perhiasan dari intan atau mutiara, lukisan-lukisan yang mahal harganya. Dia seorang pembesar yang kaya raya dan hidupnya di kota besar Ho-tan seperti kehidupan seorang raja, dengan istananya yang megah dan siang malam dijaga oleh puluhan orang perajurit.

Bukan hanya penjagaan di rumah seperti istana itu yang amat ketat, akan tetapi juga di istana itu terdapat banyak rahasianya sehingga orang luar jangan harap dapat memasuki istana tanpa terancam jebakan-jebakan rahasia. Apalagi kalau ada maling masuk, jangan harap dia akan mampu menemukan kamar-kamar atau gudang-gudang rahasia di bawah tanah! Inilah sebabnya mengapa orang sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin mempergunakan muridnya yang cantik jelita untuk melaksanakan niatnya, yaitu mencuri harta dari pangeran itu.

Satu di antara kelemahan-kelemahan Pangeran Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Di dalam istananya sudah terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik, dari bermacam suku bangsa. Ada gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek yang panas, bangsa Kirgiz yang cantik lembut, bangsa Hui yang pandai merayu, bahkan ada dari bangsa Tajik yang bermata kebiruan dan berhidung mancung. Namun dia masih selalu membuka mata dan hidung lebar-lebar setiap kali berjumpa dengan wanita cantik yang belum menjadi miliknya!

Pada pagi hari itu, ketika dia berkuda dari rumahnya menuju ke benteng, diiringkan oleh belasan orang pengawal, tiba-tiba dia menahan kudanya dan memberi isarat kepada pasukannya untuk berhenti. Semua perajurit ikut menengok ke kiri ke mana panglima itu menengok dan mereka semua menahan senyum, maklum apa yang menyebabkan panglima itu menahan kuda dan memberi isarat mereka agar berhenti. Kiranya di tepi jalan itu terdapat seorang wanita muda yang sedang menangis dan wanita yang masih amat muda itu, baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga tidak mengherankan kalau panglima yang sudah terkenal mata keranjang itu tertarik sekali.

Pangeran itu turun dari atas kudanya dan sambil membusungkan dadanya dia melangkah gagah menghampiri gadis cantik yang sedang memangis itu. Akan tetapi karena sejak beberapa tahun ini perutnya berkembang lebih cepat dari pada dadanya sehingga perutnya amat gendut, yang membusung bukan dadanya melainkan perutnya menjadi semakin menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan lagak yang gagah, yakin akan kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang serba gemerlapan.

Beberapa orang yang tadinya juga tertarik dan mendekati gadis yang menangis itu, cepat mundur ketika melihat panglima besar itu menghampiri gadis itu. Yang tinggal dekat gadis itu hanya seorang nenek yang sudah tua sekali dan buruk rupa.

‘Nona, siapakah engkau dan kenapa menangis di sini?! Pangeran Cun bertanya dan hatinya semakin tertarik karena setelah dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu lebih cantik dari pada yang diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih mulus dan ketika menangis, gadis itu menunduk dan dari atas dia dapat melihat celah-celah belahan dada dan nampaklah lereng sepasang bukit yang menantang.

Gadis itu tidak menjawab melainkan menangis lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan dan sehelai saputangan sutera. Nenek di dekatnya juga ikut berlutut, akan tetapi tidak mengeluarkan suara.

‘Nona ceritakanlah padaku. Jangan engkau khawatir, aku yang akan menolongmu dan menghukum orang yang membikin susah hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini, nona. Dari manakah engkau?!

‘Maaf, Taijin.... karena berduka maka tadi saya sukar sekali mengeluarkan suara.... saya memang bukan orang sini.... saya berasal dari sebuah dusun kecil di luar kota Ye-ceng. Nama saya Pek Lan dan saya.... saya, pengantin baru.... baru satu bulan menikah dan ketika saya diboyong ke dusun suami saya.... di tengah jalan kami dihadang perampok! Suami saya, semua keluarga saya.... melakukan perlawanan dan dalam kesempatan itu, saya berhasil melarikan diri, dibantu oleh pelayan tua kami yang setia ini. Ia gagu dan tuli, akan tetapi ia setia sekali.... karena itu, tolonglah kami, Taijin....!

Gadis itu bukan lain adalah Pek Lan, dan nenek yang diakuinya sebagai pelayan setia itu bukan lain adalah gurunya, Hek-in Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam! Dan semua itu adalah siasat dan rencana si nenek untuk menundukkan hati dan memenangkan kepercayaan Pangeran Cun yang terkenal mata keranjang. Tepat seperti dugaan nenek ini yang dapat melihat betapa cantik menariknya muridnya, seketika Pangeran Cun jatuh hati! Apa lagi mendengar bahwa gadis jelita itu adalah seorang pengantin baru yang baru satu bulan menikah dan kini berpisah dari suaminya! Menurut patut, kalau dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk mencoba menyelamatkan sumi dan keluarga gadis ini. Akan tetapi tidak sama sekali, dia menolong dengan cara ‘menampung! Pek Lan, dan hal ini sudah pula diperhitungkan nenek Hek-in Kui-bo!

‘Aduh kasihan....!! Pangeran itu berseru sambil melihat kemulusan gadis itu. ‘Jangan menangis, nona, dan jangan bersedih. Tentu saja kami suka menolongmu. Mari, mari ikut ke istana kami dan engkau akan segera melupakan malapetaka yang menimpa dirimu, he-he!!

Pek Lan yang bermain sandiwara demi memenuhi perintah gurunya, segera memberi hormat dan berkali-kali menghaturkan terima kasih, tidak lupa untuk menghadiahkan kerling memikat dan senyum kecil menantang, membuat hati pangeran itu menjadi semakin tertarik dan seketika diapun membatalkan kepergiannya ke benteng, melainkan memutar pasukannya pulang ke istana sambil mengawal kereta yang cepat disediakan untuk Pek Lan dan ‘pelayannya!!

Tepat seperti diperhitungkan oleh Hek-in Kui-bo, dalam waktu singkat sekali Pangeran Cun bertekuk lutut dan tergila-gila kepada selir barunya ini! Hek-in Kui-bo yang berpengalaman juga begitu bertemu dengan Pek Lan sudah tahu bahwa gadis itu bukan perawan, melainkan seorang wanita yang biarpun masih muda namun sudah matang, dan bahwa dalam diri Pek Lan tersembunyi watak cabul dan pemikat.

Pek Lan mentang amat cerdik. Tentu saja iapun tidak punya rasa suka kepada Pangeran Cun. Biarpun dia seorang pangeran, bangsawan tinggi yang berkedudukan tinggi dan kaya raya, akan tetapi usianya sudah setengah abad lebih, mukanya yang sudah keriputan itu coba ditutupi dengan watak pesolek, pakaian indah. Akan tetapi pakaiannya yang mewah itu tidak mampu menyembunyikan perutnya yang gendut luar biasa. Pek Lan terpaksa memejamkan mata agar tidak melihat perut yang seolah-olah akan meledak itu setiap kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia mempergunakan segala kecantikannya, gaya dan kepandaiannya untuk benar-benar meruntuhkan hati sang pangeran.

Dalam keadaan terbuai kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong mencurahkan seluruh kasih sayang dan kepercayaannya kepada selir baru ini sehingga dalam waktu dua minggu saja dia sudah membuka rahasia penyimpanan hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh alat rahasia dan dijaga oleh jagoan-jagoan yang didatangkan dari kota raja dan memiliki ilmu silat tinggi!

Setelah mengorek rahasia ini, cepat Pek Lan memberitahu kepada gurunya yang menyamar sebagai pelayannya. ‘Subo, cepat bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!! keluh Pek Lan yang terpaksa harus melayani pria yang tidak disukainya.

Nenek itu tertawa tanpa membuka mulut. ‘Jangan khawatir, malam ini kita kerjakan! Akan tetapi, pekerjaan ini berbahaya sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal saja di dalam kamarmu. Aku akan memancing mereka mengejar keluar, barulah aku akan mengambilmu dari kamarmu.!

‘Tapi...., tapi.... subo jangan lupa untuk mengajak teecu keluar dari neraka ini!!

Kembali nenek itu tertawa, ‘Anak goblok, kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?!

‘Aih, subo. Siapa sih yang suka siang malam dalam pelukan babi itu? Dengkurnya saja membuat kepalaku selalu pening dan tidak dapat tidur barang sejampun. Seleranya seperti babi, aku jijik....!

‘Jangan khawatir. Aku akan bekerja cepat. Biarpun katanya tiga orang jagoan itu berilmu tinggi, akan tetapi aku tidak takut dan tentu aku akan dapat merobohkan mereka,! kata nenek itu setelah mencatat dalam ingatannya tentang jebakan-jebakan rahasia yang berhasil dikorek dari mulut Pangeran Cun.

Malam gelap tiba dan setelah lewat tengah malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar dari kamarnya sendiri di dekat kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa tersiksa ‘menderita! dalam pelukan Pangeran Cun.

Ketika sang pangeran yang kelelahan sudah tidur mendengkur keras seperti dengkurnya seperti babi disembelih, Pek Lan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan, lalu duduk di tepi pembaringan, melamun. Jantungnya berdebar tegang karena ia tahu bahwa saat itu gurunya sedang memasuki lorong bawah tanah untuk mengunjungi gudang harta yang dijaga ketat itu. Bagaimana kalau gurunya gagal?

Apakah ia tidak akan tersangkut? Ia akah mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk menyelamatkan diri, membanjiri pangeran itu dengan segala kemesraan dan kehangatan. Setidaknya, ia tidak tertangkap basah dan tidak ikut dengan gurunya ke gudang harta itu! Ia berada dalam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu terjadi! Dengan memaksakan dirinya, Pek Lan kembali merebahkan diri dan mendekati Pangeran Cun Kak Ong. Pangeran itu bergerak dalam tidurnya dan lengannya yang gemuk dan berat itu merangkul, melintang di atas dada Pek Lan! Gadis itu sampai merasa sesak bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya miringkan tubuhnya agar tidak sampai mati terhimpit!

Bagaikan bayangan setan, Hek-in Kui-bo berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah. Di bawah tanah itu terdapat banyak kamar, di antaranya kamar atau gudang harta yang besar dan terjaga ketat. Belasan orang penjaga berkeliaran di sekitar gudang itu, dan di depan gudang terdapat sebuah kamar di mana tiga orang jagoan yang amat lihai tidur dan berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan perondaan adalah anak buah mereka yang jumlahnya ada selosin orang.

Dua orang penjaga meronda dan berjalan di belakang gudang itu, membawa sebuah lentera minyak. Tiba-tiba saja ada bayangan hitam berkelebat dan dua orang itu terbelalak, akan tetapi tidak mampu bergerak atau berteriak karena mereka sudah tertotok secara aneh sekali. Tentu saja yang menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek ini sudah merampas lentera sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera itupun padam! Dan seperti bayangan setan, ia kembali bersembunyi dan mengintai.

Tak lama kemudian dua orang penjaga datang lagi membawa lentera dan tombak panjang. Mereka jelas mencari-cari dua orang kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang kawan itu berdiri di belakang gudang, tak bergerak, mereka cepat lari menghampiri. Akan tetapi kembali ada bayangan hitam berkelebat dan di lain saat, dua orang inipun berdiri seperti patung tak bergerak, tombak dan lentera terampas dari tangan mereka! Semua ini terjadi dengan amat cepatnya dan kini empat orang itu dari jauh nampaknya seperti sedang merundingkan sesuatu, berdiri seperti patung.



Bab 8

Dua orang berikutnya lebih curiga. Mereka melihat empat orang kawan mereka berdiri di belakang gudang dan seperti orang berunding, akan tetapi tanpa lentera dan tanpa tombak! Dan mereka itu tidak bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka berdua bercuriga dan mereka tidak menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan itu. Akan tetapi tidak ada jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali ke depan gudang dan melapor, tiba-tiba merekapun roboh terpelanting dengan pelipis berlubang tertusuk ujung tongkat dan lentera mereka, tombak mereka terampas sebe lum terbanting ke atas tanah. Kini bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in Kui-bo, mengambil dua lentera terdahulu, membukanya dan menyiramkan minyak dari dua lentera itu ke tubuh empat orang yang ditotoknya. Kemudian, sambil membuka totokan mereka iapun membakar empat orang penjaga itu! Tentu saja empat orang penjaga itu berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tubuh mereka terbakar! Mereka lari cerai berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja mengejutkan kawan-kawan mereka, bahkan tiga orang jagoan itupun cepat keluar dari kamar mereka.

Empat orang yang terbakar itu lari cerai berai dan tidak dapat bicara kecuali menjerit-jerit, membuat tiga orang jagoan itu menjadi bingung mengejar ke sana-sini. Mereka lalu merobohkan empat orang yang berlarian-larian dan membakar beberapa bagian bangunan bawah tanah itu dengan tubuh mereka. Akan tetapi mereka tidak sempat lagi memberi penjelasan dan tewas oleh luka-luka bakar. Kemudian, tiga orang jagoan itu menemukan pula dua orang penjaga yang pelipisnya berlubang.

Tentu saja mereka terkejut dan maklum bahwa ada orang jahat. Akan tetapi di mana? Mereka memeriksa semua bagian, tidak ada jejak kaki orang luar! Tentu saja mereka tidak memeriksa ke dalam gudang di mana Hek-in Kui-bo dengan santai memilih benda-benda yang paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini maklum betapa perbuatannya itu membuat semua penjaga mencari-cari keluar bukan ke dalam gudang! Ia memasuki gudang itu dari jendela belakang yang dipasangi alat rahasia, akan tetapi, berkat kecerdikan muridnya, ia telah mengetahui rahasia alat itu dan telah melumpuhkannya.

Setelah berhasil membuka jendela dan memasukinya tanpa tersentuh anak panah beracun yang dipasang di sana, ia menutup kembali daun jendela dan memasang lagi anak panah itu, kemudian ia memilih benda-benda yang paling berharga. Patung emas murni, benda dari batu giok, perhiasan-perhiasan kuno dari intan, mutiara dan lain permata mulia. Dikumpulkan semua benda yang merupakan harta yang membuat orang menjadi kaya raya itu ke dalam sebuah kantung kain yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, kantung kain hitam yang tebal dan kuat, lalu dipanggulnya kain hitam yang kini penuh barang berharga di atas punggungnya yang agak bungkuk.

Dengan hati-hati ia mengintai keluar. Enam orang penjaga dan tiga orang jagoan itu masih sibuk memadamkan api yang membakar empat orang penjaga karena mereka tadi berlarlan menabarak sana-sini, ada beberapa tempat yang kebakaran pula. Mempergunakan kesempatan ini, Hek-in Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula, menutupkan lagi jendela itu dan iapun berkelebat menuju ke pintu lorong. Kalau ia mau, mengandalkan gin-kangnya yang tinggi, tentu ia dapat menyelinap keluar tanpa diketahui. Akan tetapi ia harus membawa muridnya keluar pula, dan hal ini tidak mudah. Ia harus memancing semua penjaga untuk mengejarnya keluar dari gedung itu, maka ia sengaja memberatkan tubuhnya dan langkahnyapun terdengar oleh tiga orang jago.

‘Heiiii, berhenti....!! Tiga orang jagoan itu berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah mengejar. Memang benar keterangan yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga orang jagoan ini memiliki kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat sekali mengejar tubuh berpakaian hitam yang bungkuk itu. Namun, Hek-in Kui-bo adalah seorang datuk sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar dari lorong, masuk ke dalam taman gedung itu. Tiga orang jagoan terus mengejar dan melihat betapa bayangan hitam itu dapat bergerak amat cepatnya, merekapun berteriak memberi tanda kepada para rekan mereka yang berjaga di atas.

Keadaan menjadi gaduh sekali ketika banyak penjaga berlarian ke sana-sini dan cuaca menjadi terang karena semua penjaga menyalakan lentera-lentera dan lampu-lampu gantung. Hek-in Kui-bo sengaja berkelebatan ke sana-sini untuk membikin kacau, kemudian ia sengaja memperlihatkan diri dan lari ke dalam kebun di samping gedung. Kebun atau taman ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan para perwira, mereka mengejar ke sana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti di tempat gelap dan ketika mereka semua datang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya. Beberapa orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jagoan itu memang lihai.

Mereka bukan saja mampu menjaga diri dari amukan tongkat akan tetapi juga mampu membalas, walaupun bagi Hek-in Kui-bo, mereka itu masih belum apa-apa, merupakan lawan-lawan yang lunak saja. Setelah merobohkan kurang lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat ke atas pagar tembok dan menghilang dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang jagoan dan para perwira melakukan pengejaran, diikuti pula oleh pasukan pengawal.

Mereka sama sekali tidak tahu betapa bayangan hitam itu bersembunyi dekat tembok dan begitu mereka semua berloncatan keluar, Hek-in Kui-bo mengambil jalan memutar dan sudah meloncat masuk kembali!

Pangeran Cun sudah mendengar keributan di luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari luar kamar. Pangeran itu dengan malas mengenakan pakaian, bersungut-sungut. ‘Pencuri itu minta mampus barangkali. Bagaimana mungkin dapat melakukan pencurian di gedungku ini yang dijaga ketat? Tentu sekarang sudah tertangkap!! Diapun membiarkan selir tercinta itu mengenakan pakaian, bahkan dia tidak sadar bahwa di sudut kamar terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang sejak tadi dipersiapkan oleh Pek Lan, menggunakan saat pangeran itu mendengkur pulas.

‘Brakkk!! Tiba-tiba jendela itu berantakan dan tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main. Dia membalik dan melihat dengan mata terbelalak betapa nenek buruk rupa pelayan selirnya itu meloncat masuk, membawa buntalan hitam di punggungnya.

‘Pek Lan, mari kita pergi!! kata nenek itu.

Pangeran Cun masih belum sadar, akan tetapi mendengar nenek itu hendak mengajak pergi selirnya, dia menjadi marah. ‘Keparat, mau apa kau? Pergi dari kamar ini!! Dan dia mencabut pedang yang tergantung di dinding kamar itu.

‘Cerewet kau!! bentak nenek itu dan sekali tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu telah terbanting roboh di atas lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok oleh ujung tongkat secara aneh.

‘Subo, kenapa tidak dibunuh saja babi ini?! kata Pek Lan sambil mengambil buntalan dari sudut kamar, bahkan ia lalu mengumpulkan perhiasan di atas meja. Perhiasan ini merupakan hadiah dari sang pangeran dan tadi ia harus melepaskannya semua agar tidak ‘mengganggu! pelayanannya kepada bangsawan itu.

‘Ah, jangan, heh-heh! Bukankah dia yang membuat kita kaya raya? Mari kita pergi!! Nenek itu menyambar lengan muridnya dan membawanya ‘terbang! melalui jendela. Karena para penjaga sedang sibuk sendiri melakukan pengejaran keluar tembok pagar gedung itu, dengan mudah guru dan murid ini meninggalkan gedung, menyelinap di kegelapan malam membawa buntalan di punggung mesing-masing.

Biarpun Pek Lan selama dua minggu ini tersiksa oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus bersikap manis dan mesra, namun ia tidak merasa rugi. Pertama, ia telah menyenangkan hati gurunya dan kedua, selain ia sendiri mendapatkan pakaian-pakaian indah dan perhiasan mahal, gurunya berhasil mencuri banyak sekali barang yang tak ternilai harganya, yang membuat mereka seketika menjadi kaya raya dan memungkinkan mereka hidup mewah dengan harta benda itu.

Beberapa bulan kemudian, di tepi Telaga Co-sa yang indah, berdiri sebuah rumah yang mungil dengan perkebunan yang amat luas. Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli tanah yang amat luas di daerah telaga ini, membangun rumah dan hidup sebagai seorang nenek yang kaya raya, mempunyai beberapa orang pelayan, hidup bersama muridnya, dikagumi dan disegani para penduduk dusun sekitarnya sebagai orang-orang kaya raya yang hidupnya menyendiri dan tidak mau bergaul rapat dengan para penghuni dusun. Dan mulai saat itu, Pek Lan yang tadinya merupakan seorang gadis manis lemah lembut, mulai digembleng untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya, dan ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu silat!

***

Ang-in-kok atau Lembah Awan Merah merupakan sebutan bagi sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada di ujung barat dan mungkin karena pemandangan di puncak ini waktu senja amatlah indahnya, di mana orang dapat menikmati keindahan matahari terbenam di ufuk barat, membuat angkasa seperti kebakaran dan kemerahan, maka puncak ini disebut Ang-in-kok. Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke timur dari Pegunungan Kun-lun-san.

Ang-in-kok ini sunyi, tak pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidaklah mudah. Orang harus melalui jurang yang curam dan pendakian yang tidak mungkin dilakukan orang biasa. Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu Pek-sim Sian-su untuk menjadi tempat tinggal sementara. Mereka berempat menggembleng Sie Liong dan karena pemuda remaja ini menjadi murid Pek-sim Sian-su, maka tiga orang kakek yang berasal dari Himalaya itu, tiga orang tokoh besar yang usianya masing-masing sudah tujuh puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie Liong!

Namun, adalah tiga suheng ini yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga orang kakek ini yang merasa dirinya sudah amat tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas penting yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan tubuh, dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka ini yang akan menjadi wakil mereka, maka merekapun menggembleng anak itu dengan penuh kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan masing-masing kepada Sie Liong.

Pek In Tosu mengajarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih), pukulan yang mengandung tenaga sin-kang amat hebatnya sehingga kalau pukulan ini dipergunakan, maka dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih. Pukulan ini bukan hanya kuat sekali dan angin pukulannya saja mampu merobohkan lawan, akan tetapi juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan beracun yang jahat dari orang-orang golongan hitam atau kaum sesat.

Orang ke dua dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang selalu tersenyum ramah itu, mengajarkan ilmu simpanannya yang dinamakan Swat-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju). Pukulan inipun mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, dan kehebatan ilmu pukulan ini adalah terkandungnya hawa yang amat dingin dalam pukulannya, hawa dingin yang mampu membikin beku darah dalam tubuh orang yang terpukul, sehingga pukulan itu dinamakan Naga Salju!

Orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu simpanannya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)! Pukulan ini, sesuai dengan namanya, mengandung tenaga raksasa yang seolah-olah dapat merobohkan gunung dengan telapaknya! Dan ketika dilatih ilmu ini, Sie Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai yang besar.

Selama lima tahun Himalaya Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan tekun, anak itupun rajin bukan main. Tidak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suhengnya dan seorang suhunya, akan tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri dengan tekun. Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apalagi ketika mereka mendapat kenyataan betapa Sie Liong memang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan tulang yang kuat. Apa lagi otaknya. Luar biasa!

Selama lima tahun itu Sie Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali latihan ilmu-ilmu silat tinggi. Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi ke dusun untuk mencari bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan menukarnya dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di puncak, antara lain kulit-kulit binatang hutan, tanduk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar obat dan ramuan-ramuan lain yang banyak didapatkan di tempat itu atas petunjuk Pek-sim Sian-su yang ahli dalam hal pengobatan.

Selama lima tahun itu, Pek-sim Sian-su jarang keluar dari dalam guhanya. Dia duduk bersamadhi dan hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang dia keluar melihat kemajuan yang dicapai murid barunya.

Setelah lewat lima tahun, yaitu waktu yang dia berikan kepada tiga orang murid keponakan untuk menggembleng anak itu, mulailah Pek-sin Sian-su sendiri menggembleng Sie Liong yang sudah berusia delapan belas tahun. Dia telah menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi karena punggungnya bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda cacat, bongkok dan agaknya hal ini membuat dia bersikap rendah diri.

Gemblengan yang dilakukan Pek-sim Sian-su merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sie Liong dari tiga orang suhengnya. Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah dikuasainya, juga Pek-sim Sian-su mengajarkan latihan siu-lian untuk menghimpun sin-kang yang menjadi semakin kuat.

Juga kekuatan batin yang membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu pengobatan. Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu di bawah bimbingan gurunya, sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat pertapaan masing-masing.

Setelah membimbing Sie Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Sian-su berkata kepada muridnya bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah.

‘Sie Liong, sekarang usiamu sudah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cakup pula ilmu-ilmu kaupelajari untuk kaupergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat apa maksud pinto dan para suhengmu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu agar engkau dapat mewakili kami yang sudah terlalu tua ini untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di dalam kehidupan rakyat, membela yang benar dan menentang yang jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw itu. Kami semua merasa heran mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal golongan kami yang dulu membela dia ketika dia hendak diculik oleh para Lama. Selidikilah apa yang terjadi di sana dan kalau mungkin usahakan agar engkau dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi di sini dan minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama terhadap kami.!

‘Baik, suhu. Semua petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan suhu yang telah memberi bimbingen kepada teecu.!

Pek-sim Sian-su lalu meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat pertapaannya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya meninggalkan tempat itu, menuruni puncak dan dia langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat perbatasan utara yang cukup jauh. Dia sudah mendengar keterangan dari encinya tentang dusun tempat kelahirannya itu, di mana menurut encinya ayah ibunya telah tewas akibat penyakit menular. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya dan bersembahyang di makam mereka.

Setelah melakukan perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki dusun itu. Ketika dia mendapat keterangan yang meyakinkan bahwa dusun itu adalah dusun Tiong-cin, jantungnya berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat ini adalah tanah tumpah darahnya, tempat di mana ibunya melahirkannya! Kampung halaman ayah ibunya yang telah meninggal dunia. Penduduk dusun itu melihat Sie Liong dengan pandang mata heran. Jarang ada orang luar memasuki dusun itu, dan tidak ada seorangpun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini.

Sie Liong juga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari dusun itu, lalu ketika dia melihat seorang kakek memanggul cangkul menuju ke ladangnya, dia cepat menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu.

‘Maaf, lopek (paman tua). Bolehkah saya bertanya sedikit kepadamu?!

Biarpun pemuda yang bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya yang teratur dan halus membuat kakek itu menghentikan langkahnya dan menghadapi pemuda bongkok itu. Setelah mengama tinya beberapa lamanya, kakek itupun menjawab.

‘Hemm, tentu saja boleh, orang muda. Apakah yang kautanyakan?!

‘Maaf, lopek. Saya ingin mengetahui di mana adanya makam dari suami isteri Sie Kian.!

Kakek itu membelalakkan matanya dan kini memandang kepada Sie Liong penuh selidik. ‘Orang muda, engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?!

Sie Liong tidak mau membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab, ‘Saya masih sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan lewat di dusun ini, maka saya ingin berkunjung ke makam mereka untuk memberi hormat.!

Kakek yang wajahnya sejak tadi nampak muram itu bersungut-sungut. ‘Hem, apa perlunya mengingat orang yang sudah mati? Paling banyak setahun sekali kuburannya ditengok, bahkan kuburan keluarga itu sudah bertahun-tahun tidak ada yang datang menengok! Benar kata orang bahwa kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak?!

Sebelum Sie Liong menjawab, terdengar teriakan orang. ‘Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu....!!

Sie Liong menengok dan melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari dan melihat mereka, kakek berusia enam puluh tahun itu mengerutkan alisnya dan nampak ketakutan. Sie Liong lalu melangkah ke samping, berdiri di pinggir untuk melihat apa yang dibicarakan tiga orang itu dengan kakek berwajah muram ini.

Setelah dekat, nampak bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan di pinggang masing-masing tergantung sebatang golok. Lagak dan pakaian mereka, juga golok itu, tidak menunjukkan bahwa mereka adalah segolongan petani. Seorang di antara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja disengat kalajengking, melangkah maju dan men udingkan telunjuknya kepada kakek itu, tidak memperdulikan pemuda bongkok yang berdiri di pinggiran.

‘He, kakek Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah? Bukankah hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw Loya? Hayo katakan, engkau hendak minggat ke mana?!

Kakek itu membungkuk dengan sikap takut-takut. ‘Aih, mana saya berani melarikan diri? Kalian lihat sendiri, saya membawa cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang hutang itu.... ah, bagaimana lagi? Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali hasilnya karena hujan turun terlalu pagi, banyak merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa saya tidak mampu mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chung-cu (kepala dusun Bouw). Harap sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar lunas.!

‘Enak saja buka mulut! Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh mengembalikan, ada saja alasannya! Tak tahu malu!! bentak si hidung besar.

Muka kakek yang muram itu berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali akan tetapi karena takut maka tidak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.

‘Akan tetapi, selama berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, dan kalau dikumpulkan, bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah yang saya hutang!!

‘Tentu saja kau harus membayar bunga. Memangnya yang yang kauhutang itu milik nenek moyangmu? Akan tetapi hutang itu menurut janji harus dikembalikan selama enam bulan dan sekarang sudah delapan bulan. Hari ini adalah hari terakhir, engkau harus membayarnya. Harus kukatakan, mergerti?!

Kakek itu menarik napas panjang.

‘Bagaimana saya dapat membayarnya? Saya tidak mempunyai uang dan saya tidak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh mati saya tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak mau.... harap saya diberi waktu.!

Si hidung besar menggeleng kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan. ‘Tidak, majikan kami mengharuskan engkau membayar sekarang juga. Sudahlah, kami akan pergi ke rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!!

Kakek itu tersenyum sedih. ‘Barang apa lagi? Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada Bouw-chung-cu, dan sebagian untuk makan. Di rumah tidak ada lagi sepotongpun benda yang berharga.!

‘Hemm, kukira tidak demikian, orang tua! Ada bunga yang manis dan bunga itu cukup untuk membayar hutangmu kepada majikan kami!! Berkata demikian si hidung besar lalu membalikkan tubuh dan pergi bersama dua orang kawannya.

Kakek itu kelihatan pucat dan ketakutan. ‘Celaka.... celaka.... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu....?! Suaranya bercampur tangis kebingungan.

‘Lopek, siapakah itu Siu Si? Dan mengapa mereka hendak membawanya?!

Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek itu yang sudah putus harapan, berkata, ‘Namaku Kwan Sun, hidupku hanya dengan cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin mengambil cucuku sebagai selir, akan tetapi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka! Ahh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya....!

Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. Ayahnya sudah tidak ada, akan tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.

‘Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu orang, aku akan membantumu!! Berkata demikian, Sie Liong menarik tangan kakek itu diajak berjalan cepat.

Kakek itu tetap ketakutan dan meragukan kemampuan pemuda bongkok ini untuk mengajaknya menentang tukang-tukang pukul yang ganas dan kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman bahaya bagi cucunya, diapun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya.

Di sepanjang jalan, banyak penduduk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela dan mereka itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali, ‘Awas, Lo Kwan, cucumu....!!

‘Mereka ke sana....!

‘Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu....!!

Dari sikap mereka itu, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini, akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani bicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak berani keluar dari rumah masing-masing melihat ada tiga orang tukang pukul kepala dusun menuju ke rumah kakek Kwan!

Akhirnya mereka tiba di depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat itu terdengar jerit tangis cucunya, dan seorang di antara tiga tukang pukul itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah. Ketika gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walaupun pakaiannya amat sederhana, melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis.

‘Kong-kong, tolonglah aku....!! Ia meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang didapatkan karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat sekali.

Melihat cucunya meronta dan menaagis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.

‘Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo lepaskan Siu Si....!! teriaknya sambil mendekati si hidung besar dan berusaha membebaskan cucunya. Akan tetapi, kaki yang panjang dan besar itu menendang dan tubuh Kwan Sun terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.

‘Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan kalau engkau ingin melihat dia bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!! Dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas menghancurkan pintu dan jendela rumah kecil itu, dan menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan menangis melihat kakeknya ditendang roboh.

‘Kawan, perlahan dulu!! Tiba-tiba Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan tetapi matanya mencorong. Melihat ada orang berani menghadangnya, si hidung benar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok ini.

‘Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?! bentaknya marah.

‘Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau suka membebaskannya,! kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.

Marahlah si hidung besar. ‘Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?! Dia menunjuk ke arah hidungnya yang besar. ‘Apa kau ingin mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?!

Sie Liong mengerutkan alisnya.

‘Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Kalau tidak kaubebaskan, terpaksa aku akan memaksamu membebaskannya.!

‘Hah??! Si hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh, ‘Kau.... kau.... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!! Dia menoleh kepada dua orang kawannya dan membentak. ‘Hajar mampus setan bongkok ini!!

Dua orang temannya itu adalah orang yang pekerjaannya memang tukang mem ukul dan menyiksa orang. Tidak ada kesenangan yang lebih mengasikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain. Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam.

Selain itu, mendatangkan pula uang karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apa lagi harus menghajar seorang pemuda bongkok! Pekerjaan kecil yang amat mudah, pikir mereka.

Dengan lagak bagaikan jagoan-jagoan benar-benar, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil menyeringai. Apalagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak memperlihatkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan seorang pemuda bongkok sederhana saja.

‘Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah ke depan!! seorang di antara mereka mengejek.

‘Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!! Orang ke dua memperoloknya. Namun, Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka, dan memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah gentung-gentung kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya.

Dua orang itu agaknya hendak bersaing dan berlumba siapa yang akan lebih dulu merobohkan Sie Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam ke arah kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok itu.

Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja amat lambat datangnya. Dia seolah tidak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia mengembangkan kedua lengannya dan.... dua orang itu terlempar ke kanan kiri sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sampai berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pantat mereka rerbanting keras ke atas tanah. Dua orang itu meringis dan tangan mereka men geluspantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.

‘Tuan-tuan.... jangan bunuh orang....!! kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang menolongnya itu akan menjadi korban golok mereka. ‘Orang muda, pergilah, larilah....!!

Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak memperdulikannya, dan Sie Liong menoleh kepada Kwan Sun. ‘Lopek, jangan khawatir. Mereka ini adalah orang-orang jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang, mereka patut dihajar....! Baru saja dia bicara demikian, dua orang yang mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun, sudah menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri!

Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya, tidak tahan melihat betapa tubuh pemuda bongkok itu akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah. Akan tetapi, dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput! Dan sebelum dua orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong mengembangkan ke dua lengannya.

‘Plak! Plakkk!! Kini dua tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan terbanting keras sampai mengeluarkan bunyi ‘ngek! ngek!! dan mereka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah lenyap ke mana.

Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang per gelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan mencabut golok lalu ditempelkan kepada leher gadis itu!

‘Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!! bentaknya.

Sie Liong menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri. ‘Tidak, engkau tidak akan membunuh gadis itu!! katanya dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biarpun jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya mengenai pundak kanan si hidung besar dan tanpa dapat dihindarkan lagi, si hidung besar yang tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan tenaga melepaskan goloknya. Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong sudah melangkah di depannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya menyambut Sie Liong dangan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap pergelangan tangannya dan mencengkeram.

‘Aduh.... aduhhh.... aughhhhh!! Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Di lain saat, Sie Liong sudah mandorongnya dan tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!

Melihat ini, dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh lagi, mereka berdua lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan.

Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.

‘Taihiap.... mata kami buta, harap maafkan....! kata Kwan Sun. ‘Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki kepandaian tinggi dan telah menyelamatkan kami, akan tetapi.... harap taihiap cepat pergi dari sini.... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama gerombolannya....!

Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biarpun dirinya sendiri dan cucunya terancam, kakek itu masih sempat mengkhawatirkan dirinya dan tadipun menganjurkan agar dia melarikan diri agar tidak sampai celaka di tangan orang-orang jahat itu.

‘Bangkitlah, lopek,! katanya sambil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. ‘Engkau juga, nona. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun ke sini, terutama kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lopek, sebelum kepala dusun jahat itu muncul!!

Tidak sukar pekerjaan ini karena tadipun, ketika pemuda bongkok itu menghajar tiga orang tukang pukul yang amat mereka takuti, banyak penduduk mengintai dan melihatnya. Mereka hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu mengalahkan mereka bertiga. Maka, tanpa diperintah, mereka sudah mengabarkan kepada orang-orang lain dan kini banyak orang berdatangan ke rumah kakek Kwan Sun. Maka, ketika kakek itu minta kepada para penduduk agar datang ke situ karena pemuda bongkok itu hendak bicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan para penghuni dusun, terutama para prianya yang masih muda. Bahkan yang tua-tuapun tidak ketinggalan. Melihat mereka, diam-diam Sie Liong merasa terharu. Inilah teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!

‘Saudara-saudara,! katanya dengan suara lantang, ‘kalian mempunyai seorang kepala dusun yang jahat dan yang mempunyai kaki tangan penjahat, kenapa diam saja dan tidak melawan?!

Semua orang saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketakutan.

‘Mana kami berani?! akhirnya seorang laki-laki muda menjawab.

‘Andaikata Sie-kauwsu masih hidup, apakah mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti itu di dusun ini?! tanya pula Sie Liong, sekali ini ditujukan kepada mereka yang tua-tua karena tentu saja yang masih muda tidak mengenal Sie Kauwsu.

Mendengar ini, beberapa orang tua segera menjawab. ‘Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika Sie Kauwsu masih hidup!!

‘Nah, ketahuilah paman sekalian. Aku bernama Sie Liong dan aku adalah putera Sie Kauwsu! Aku akan mewakili mendiang ayahku untuk menghajar kepala dusun itu, dan kuharap kalian semua mendukung dan membantuku!!

‘Kami.... kami tidak berani....! beberapa orang berseru. ‘Kepala dusun Bouw mempunyai banyak tukang pukul yang lihai.!

‘Hemm, kalian lihat saja. Mereka itu hanya pandai menggertak, akan tetapi sama sekali tidak lihai. Apalagi jumlah kalian jauh lebih banyak. Kalian tidak perlu turun tangan, lihat saja aku akan menghajar mereka!! kata Sie Liong tanpa nada sombong, melainkan nada penasaran mengapa begini banyak pria di dusun orang tuanya itu mandah saja kehidupan mereka ditindas oleh seorang kepala dusun yang jahat.

Biarpun pemuda ini sudah berjanji akan menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya, tetap saja para penduduk dusun itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi telah mengalahkan tiga orang tukang pukul lurah Bouw, akan tetapi mampukah pemuda yang bongkok itu mengatasi Bouw-chung-cu dengan para jagoannya yang cukup banyak dan kejam? Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk membantu pemuda bongkok itu dan hanya berdiri bergerombol agak jauh.

‘Yang kumaksudkan bukanlah agar kalian membantuku menghajar mereka, melainkan mendukung dan selanjutnya bersikap berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang menindas kalian. Juga kalau pembesar tinggi datang, kalian harus berani melaporkan kejahatan para pejabat di sini.!

Orang-orang itu mengangguk dan merasa lega bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk membantu dengan perkelahian. Dengan demikian, andaikata pemuda itu gagal dan kalah, mereka tidak akan dipersalahkan oleh Bouw-chung-cu.

Tak lama kemudian, terdengar suara banyak orang. Para penduduk dusun itu segera bersembunyi di balik rumah-rumah dan pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan dan menyembunyikan kepalanya di dalam rumahnya. Nampak lurah Bouw yang bertubuh gendut pendek itu diiringkan oleh lima belas orang yang bersikap gagah dan kasar, di antaranya tiga orang yang tadi dihajar oleh Sie Liong. Lurah Bouw ini memperoleh kedudukannya sebagai lurah Tiong-cin dengan jalan menyogok pembesar tinggi yang berwenang menentukan siapa lurah di dusun itu, dan dengan jalan mengancam mereka yang tidak setuju dia diangkat menjadi lurah, dengan bantuan belasan orang tukang pukulnya.

Dia bukan orang berasal dari dusun Tiong-cin, dan baru tiga tahun saja menjadi lurah di situ, dia telah menjadi kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja kecil. Ketika mendengar laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa di dusunnya datang seorang pemuda bongkok yang berani menentang bahkan menghajar tiga orang tukang pukulnya, lurah Bouw menjadi marah bukan main. Dia sendiri adalah seorang ahli silat yang cukup pandai, dan dia segera mengumpulkan pembantunya yang berjumlah lima belas orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok itu.

Sie Liong menanti kedatangan mereka dengan sikap tenang saja, sebaliknya, melihat pemuda itu, tiga orang jagoan yang tadi menerima hajarannya segera menuding dan berseru, ‘Itulah si setan bongkok!!

Lurah Bouw mendangkol bukan main. Pemuda itu biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Dan tiga orang tukang pukulnya yang ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang membuatnya tergila-gila dan mengilar, dapat digagalkan pemuda itu! Maka begitu berhadapan dengan Sie Liong, lurah Bouw yang juga memegang sebatang golok seperti para anak buahnya, menudingkan goloknya ke arah muka Sie Liong dan membentak marah.

‘Engkau ini orang bongkok dari mana, berani datang ke dusun kami dan membikin kacau?!

Sie Liong mengangkat muka memandang wajah lurah itu, sinar matanya yang mencorong mengejutkan hati lurah itu, dan Sie Liong tersenyum. ‘Namaku Sie Liong dan aku adalah orang yang dilahirkan di dusun Tiong-cin ini, dan aku datang untuk menengok kuburan ayah ibuku. Tidak tahunya dusun ini telah berada dalam cengkeraman seekor serigala yang kejam! Engkau mengerahkan penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun. Engkau tidak pantas menjadi lurah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk menghajar kalian dan membersihkan dusun kami ini dari srigala-srigala berwajah manusia yang berkeliaran di sini!!

Wajah lurah Bouw menjadi merah padam saking marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari dusun ini, akan tetapi dia telah berhasil menjadi lurah dan hidup makmur di situ.

‘Jahanam keparat, setan bongkok yang sombong!! Dia menoleh kepada para anak buahnya. ‘Pukul dia sampai mati!!

Lima belas orang itu memang sudah siap dengan senjata di tangan. Begitu mendengar komando ini, mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok Sie Liong! Belasan senjata tajam berupa golok, pedang dan tombak, datang bagaikan hujan ke arah tubuh Sie Liong. Orang-orang dusun yang mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka merasa ngeri. Bahkan ada yang diam-diam sudah meninggalkan tempat itu bersembunyi di rumah sendiri saking takut terlibat.

Akan tetapi, Sie Liong yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup menghadapi hujan senjata tajam itu. Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua tangannya dikibaskan ke kanan kiri dan depan belakang. Akibatnya, beberapa batang senjata tajam terlempar karena pemegangnya merasa betapa ada tenaga yang dahsyat menyambar tangan mereka dan membuat lengan mereka menjadi seperti lumpuh!

Akan tetapi mereka mengandalkan pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus menyerang, dan yang senjatanya terlepas, cepat memungut kembali senjata mereka dan menyerang semakin ganas. Kini, melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa orang anak buahnya melepaskan senjata, lurah Bouw sendiri menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, diapun menyerang dengan mengangkat goloknya tinggi-tinggi, kemudian melakukan bacokan yang amat cepat dan kuat.

Hanya dengan miringkan tubuh, Sie Liong membuat bacakan itu luput dan lewat di dekat pundaknya, dan sebelum kepala dusun itu sempat merobah posisinya, tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya diraba dan tubuhnya menjadi kaku! Di lain saat, Sie Liong telah mengangkat tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai perisai atau sebagai senjata yang diputar-putar di atas kepalanya! Melihat ini, tentu saja para tukang pukul menjadi terkejut bukan main dan mereka menahan senjata mereka!

Sie Liong terus maju dan kedua kakinya secara bergantian menendangi mereka dan beberapa orang pengeroyok kena ditendang sampai terlempar jauh dan terbanting jatuh dengan kerasnya ke atas tanah! Sebelum mereka dapat bangkit, tiba-tiba datang banyak orang yang memukuli mereka yang terbanting jatuh itu! Mereka yang memukuli ini adalah orang-orang dusun! Kiranya ketika para penghuni dusun melihat betapa pemuda bongkok itu benar-benar dapat mengatasi lurah Bouw dan anak buahnya, mereka menjadi bersemangat sehingga melihat beberapa orang tukang pukul yang mereka benci itu terlempar, mereka lalu mengeroyok dan memukulinya dengan tangan mereka!

Tentu saja tukang-tukang pukul yang sudah kehilangan senjata dan masih pening karena terbanting keras, kini hanya mampu berkaok-kaok ketika dikeroyok dan dipukuli para penduduk dusun! Makin keras dia memaki dan mengancam, makin keras pula orang-orang itu memukulinya sehingga mukanya menjadi bengkak-bengkak dan tubuhpun babak bundas, pakaian mereka robek-robek!

Sie Liong tersenyum gembira melihat ulah para penduduk dusun itu. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk dusun itu setelah semangat mereka itu lenyap selama bertahun-tahun di bawah penindasan kepala dusun yang jahat itu. Maka diapun segera melemparkan tubuh kepala dusun Bouw yang jatuh berdebuk dan terguling-guling. Kepala dusun itu hanya dapat mengeluh karena kepalanya sudah pening sekali ketika tubuhnya diputar-putar, kini terbanting keras pula setelah totokan pada tengkuknya dibebaskan pemuda bongkok yang lihai itu. Dan diapun terkejut ketika kini orang-orang dusun mengejarnya dan memukulinya.

‘Hei....! Keparat.... ini aku, lurahmu....!! teriaknya, akan tetapi teriakannya hanya disambut dengan pukulan-pukulan para penduduk yang sudah melihat kesempatan untuk membalas dendam bertahun-tahun itu. Lucunya, kini ban yak pula wanita dusun yang keluar dan merekapun ikut pula memukuli kepala dusun dan anak buahnya dengan gagang-gagang sapu!

Sie Liong mengamuk, dan dalam waktu singkat saja, seluruh tukang pukul yang lima belas orang banyaknya sudah dia robohkan dan kini mereka semua, juga kepala dusun Bouw, berteriak-teriak dan mengaduh-aduh tanpa mampu melawan ketika orang-orang dusun, tua muda, laki perempuan, mengeroyok mereka dan memukuli mereka sampai seluruh muka mereka bengkak-bengkak!

Sampai beberapa lamanya Sie Liong membiarkan orang-orang dusun itu melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka, akan tetapi dia menjaga agar mereka tidak melakukan pembunuhan. Akhirnya, khawatir kalau-kalau kepala dusun Bouw dan anak buahnya akan mati konyol dia lalu berseru dengan suara nyaring.

‘Cukup, saudara-saudara, cukup dan jangan memukul lagi!!

Teriakan yang nyaring ini ditaati seketika oleh para penghuni dusun yang kini penuh semangat itu. Dipimpin oleh seorang kakek yang bersemangat, mereka pun berseru, ‘Hidup putera mendiang Sie Kauwsu....!!

Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas memberi isarat agar mereka tenang, lalu dia memeriksa keadaan enam belas orang musuh itu. Keadaan mereka sungguh menyedihkan, dan lebih dari setengah mati. Muka mereka bengkak-bengkak dan bonyok-bonyok, bahkan kepala dusun Bouw tidak mempunyai hidung lagi. Bukit hidungnya penyok dan hancur, ada yang matanya pecah, patah tulang dan sebagainya. Akan tetapi Sie Liong merasa bersukur bahwa tidak ada di antara enam belas orang itu yang tewas. Dia menghampiri lurah Bouw dan mengguncang pundaknya. Lurah itu mengeluh dan merintih, mencoba untuk membuka kedua matanya yang bengkak-bengkak, memandang kepada Sie Liong.

‘Orang she Bouw, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih merasa penasaran dan hendak mempergunakan kekuasaanmu untuk menindas rakyat dusun Tiong-cin?!

Lurah Bouw sudah ketakutan setengah mati. Ketika tadi dipukuli rakyat, dia yang tadinya memaki-maki dan mengancam, mulai menangis dan minta-minta ampun.

‘Ampun.... ampunkan saya.... saya tidak berani lagi.... saya akan menjadi lurah yang baik....!

Akan tetapi mendengar ucapannya itu, semua penduduk dusun menolak keras. ‘Tidak! Kami tidak mau dia menjadi lurah kami!!

Sie Liong tersenyum dan berkata kepada orang she Bouw itu. ‘Nah, engkau sudah mendengar sendiri. Kalau tidak ada aku di sini, engkau tentu telah mereka pukuli terus sampai mati. Orang she Bouw, sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu pergi dari dusun ini secepatnya. Kami penduduk Tiong-cin tidak membutuhkan engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri sendiri. Aku akan melapor kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau telah pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah, sekarang engkau pergilah dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi, gudang gandum dan padi harus kau tinggalkan, karena itu milik rakyat yang kauperas!!

Semua penghuni dusun bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong itu karena mereka semua merasa setuju sekali. Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun Hok, yaitu kepala dusun yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia lalu bersama anak buahnya, kembali ke rumahnya dan mengumpulkan keluarga mereka, membawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorak para penduduk yang merasa lega sekali.

Setelah enam belas orang itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu kakek Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. Kini mereka semua keluar, termasuk kanak-kanak dan wanita sehingga ratusan orang berlutut di depan Sie Liong.

‘Sie-taihiap,! kata Kwan Sun dengan suara nyaring, ‘kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin menghaturkan terima kasih kepada taihiap yang telah membe baskan kami dari tekanan lurah Bouw. Sekarang kami mohon agar taihiap suka menjadi kepala dusun kami.!

‘Hidup Sie-taihiap....!!

‘Kami setuju!!

‘Akur! Sie-taihiap menjadi lurah kami!!

Melihat mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas dan hatinya terharu sekali. Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan olok-olok, ada yang dengan pandang mata kasihan. Dia seorang bongkok yang dipandang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, di dusun orang tuanya, di tempat kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!

‘Terima kasih atas kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih mempunyai tugas yang amat panting dan tidak mungkin tinggal selamanya di sini. Karena itu, aku tidak dapat pula menjadi seorang lurah, apalagi mengingat bahwa aku tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun. Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang di antara cu-wi yang dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru.!

Kembali terjadi kegaduhan ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian besar suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga menyatakan persetujuannya.

‘Kalian telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek memang tepat untuk menjadi lurah kalian yang baru. Kuharap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!!

Kwan Sun bangkit dan mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia, seorang petani biasa, diangkat menjadi lurah. ‘Sie-taihiap, bukan saya menolak, akan tetapi bagaimana mungkin saya menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di kota besar Wen-su?!

Semua orang menjadi bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar. Sie Liong mengangguk-angguk, karena diapun baru tahu akan hal itu sekarang. ‘Harap lopek jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui pejabat yang berwenang untuk itu, akan kuceritakan tentang keadaan di Tiong-cin ini, tentang kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!! Semua orang bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang muda itu turun tangan, pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika dia menumpas lurah Bouw dan anak buahnya.

‘Akan tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau menerima dan setelah taihiap pergi dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?! tanya seorang penduduk muda dan kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan. Membayangkan balas dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, selagi Pendekar Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi di dusun itu, membuat mereka mengeluarkan keringat dingin.

‘Jangan takut! Kalau kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya tidak akan mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi di antara cu-wi banyak pula yang kuat dan memiliki gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat di sini dan disebut Sie Kauwsu? Siapakah di antara cu-wi yang pernah berguru kepada ayahku?!

Ternyata ada tujuh orang yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tidak pernah berlatih, akan tetapi ketika Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat, ternyata mereka cukup mahir.

‘Aku akan melatih tujuh orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan melatih para muda di sini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu, tentu tidak ada gerombolan penjahat yang berani main-main.!

Semua orang setuju dan kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi sebelum dia pergi ke rumah baru dari lurah Kwan lebih dahulu dia minta penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.

‘Seperti lopek mengetahui, saya datang untuk berkunjung ke makam ayah ibu saya di sini. Sekarang saya ingin pergi dulu berkunjung ke makam itu. Di manakah makam mereka, lopek?!

‘Ah, mari kuantar sendiri, taihiap. Makam itu berada di pinggir dusun sebelah timur, tempat pemakaman penduduk kita.! Lurah baru itu lalu mengantar Sie Liong menuju ke tanah kuburan yang sunyi itu.

Tak lama kemudian, Sie Liong sudah berlutut di depan tiga buah makam yang berdampingan. Makam yang sederhana sekali, den tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah ibunya tidak mempunyai sanak keluarga lagi di dusun itu. Setelah memberi hormat, diapun membersihkan rumput-rumput liar di makam itu, dibantu oleh lurah Kwan.

‘Ini makam Sie Kauwsu dan ini makam isterinya. Aku sendiri ikut mengubur jenazah mereka, dan yang ini makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya.!

Sie Liong terkejut dan heran. ‘Apakah suheng Kim Cu An Inipun tewas karena penyakit menular yang ganas itu, lopek?!

Kini lurah Kwan itu yang medangnya dengan mata terbelalak. ‘Penyakit menular? Apa maksudmu, taihiap?!

‘Bukankah.... bukankah ayah ibu tewas karena penyakit menular?!

‘Ah, dari mana taihiap mendengar berita itu! Sama sekali tidak begitu! Di sini memang pernah berjangkit penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!!

Sie Liong terkejut bukan main, akan tetapi dia mampu menekan perasaannya sehingga tidak nampak pada wajahnya. Dia mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan makam ayah ibunya dan suhengnya, lalu dengan lembut dia berkata, ‘Kwan Lopek, sekarang aku minta tolong kepadamu. Ceritakanlah dengan jelas apa yang telah terjadi pada ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas.!

Kwan Sun mengangguk-angguk. ‘Mendiang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat di dusun ini yang gagah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia lima belas tahun, dan anak ke dua adalah seorang anak laki-laki yang baru kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong.!

‘Akulah anak itu, lopek.!

Kakek itu mengangguk. ‘Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walaupun tadinya kami ragu-ragu....! Dia memandang ke arah punggung Sie Liong. ‘Mendiang ayahmu mempunyai beberapa orang murid, dan yang menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang ketika itu berusia kurang lebih dua puluh tahun dan sudah ditunangkan dengan puterinya yaitu Sie Lan Hong. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kami sedusun dikejutkan oleh keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan menyedihkan sekali....! Kakek itu berhenti bercerita dan termenung.

‘Lalu bagaimana, lopek? Apa yang telah terjadi di rumah orang tuaku?! Sie Liong mendesak karena dia sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi kepada ayah ibunya.

Kwan Sun menghela napas panjang. ‘Akulah seorang di antara para tetangga yang pertama kali menyaksikan keadaan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An, dalam keadaan tewas terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan bahwa semua binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda, juga mati terbunuh.!

‘Ahhh! Apa yang telah terjadi dengan mereka, lopek? Siapa pembunuh mereka?!

Kakek itu manggeleng kepalanya. ‘Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka dan siapa pembunuh mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! Encimu, Sie Lan Hong dan engkau sendiri, tidak berada di sana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi dengan taihiap dan enci taihiap itu. Barang-barang dalam rumah Sie Kauwsu tidak dicuri orang yang menjadi pembunuh itu. Dan barang-barang itu, rumah itu, sudah lama dirampas oleh lurah Bouw.!

Sie Liong mengepal tinjunya. ‘Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!!

Kakek Kwan menggeleng kepala. ‘Saya kira bukan, taihiap. Biarpun dia amat jahat, akan tetapi saya yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang mengetahui siapa pembunuhnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu taihiap baru berusia setahun, akan tetapi encimu, Sie Lan Hong....!

‘Lopek,! Sie Liong memotong, ‘apakah di antara para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan melihat orang asing malam itu di dusun ini, lopek?!

Kakek itu manggeleng kepala lagi.



Bab 9

‘Tidak ada. Kalau ada, tentu dia sudah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan kami semua merasa bersedih dan kehilangan.!

Sie Liong mengerutkan alisnya, termenung. ‘Lopek, banyak terima kasih atas keteranganmu, dan aku tidak ingin lagi bicara tentang hal itu.! Setelah berkata demikian, pemuda ini bersila di depan makam dan memejamkan kedua matanya, bersamadhi. Kakek Kwan tidak lagi berani mengganggunya.

Terjadi perang di dalam pikiran Sie Liong. Mengapa encinya bercerita lain? Mengapa encinya seperti hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena penyakit menular? Benarkah encinya tidak tahu akan peristiwa itu? Ataukah encinya sengaja membohonginya? Akan tetapi, bagaimana mungkin encinya berbohong kepadanya? Dia yakin benar betapa besar kasih sayang encinya kepadanya. Dia tidak mau membicarakan urusan itu lagi dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau orang-orang mencurigai encinya. Bagaimanapun juga, memang segalanya menunjukkan bahwa encinya tentu tahu akan peristiwa itu dan tahu pula siapa pembunuh ayah ibunya! Hanya encinya yang tahu, dan dia pasti akan mendengarnya dari encinya. Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, encinya.

Setelah merasa cukup melakukan sembahyang di depan makam itu, Sie Liong lalu mengikuti Kwan Sun yang menjadi lurah baru untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia harus tinggal beberapa hari lamanya di dusun itu untuk melatih beberapa jurus kepada bekas murid-murid ayahnya agar para penduduk dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi ancaman orang-orang jahat seperti lurah Bouw.

Dengan penuh semangat para penduduk dusun itu, terutama mereka yang pernah belajar silat kepada Sie Kauwsu berlatih silat di bawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada malam terakhir, Sie Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah lurah Kwan merenungkan nasibnya. Nasib yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya. Sejak kecil dia telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid orang-orang sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidupnya nampak indah dan berbahagia. Sekarang, begitu turun, dia mendengar berita kematian orang tuanya yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya tewas karena dibunuh orang, sama sekali bukan karena penyakit. Ayah ibunya dan seisi rumah dibunuh, kecuali encinya dan dia! Apa artinya ini semua den mengapakah encinya harus berbohong kepadanya? Dia harus mendengar penjelasan dari encinya. Pada keesokan harinya dia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya itu. Lurah Kwan terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan dusun mereka.

‘Sie Taihiap, kenapa engkau tergesa-gesa hendak meninggalkan kami? Harap taihiap menanti selama beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang telah menyelamatkan semua saudara di dusun ini dari penindasan orang jahat. Selain itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang amat penting untuk diselesaikan kepada taihiap.!

Sie Liong tersenyum. Dia memang memiliki rasa persaudaraan dekat sakali dengan para penghuni dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya. Kalau para penduduk hendak menjamunya, sebagai semacam pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin mengecewakan hati mereka, dan pula, menunda beberapa haripun apa salahnya? Biarpun hatinya ingin sekali mendengar dari encinya tentang kenatian orang tuanya, namun dia tidak tergesa-gesa.

‘Baiklah, Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lopek?!

‘Sebelumnya maaf kalau pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pribadi. Akan tetapi bolehkah aku mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?!

Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. Kalau saja dia tidak menerima penggemblengan ilmu-ilmu yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu pertanyaan itu akan menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana berani memikirkan tentang perjodohan? Wanita mana yang mau didekati seorang laki-laki yang bongkok seperti dia? Yatim piatu, miskin, dan bongkok pula!

‘Tidak, lopek. Aku masih hidup seorang diri.!

Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi heran. Bahkan kini kakek itu tertawa. ‘Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan merasa berbahagia sekali kalau taihiap sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si. Ia juga sudah yatim piatu dan ia seorang anak yang amat baik, taihiap.!

Wajah Sie Liong berubah merah. Siu Si? Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali belum pernah berpikir tentang jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau dijodohkan dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Gadis itu berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis dari dusun tempat kelahirannya sendiri.

‘Bagaimana, Sie Taihiap? Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung perasaanmu. Memang kami akui bahwa Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apabila dibandingkan dengan taihiap.!

‘Ah, jangan berkata demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai ayah ibu, aku harus minta keputusan enci-ku dalam hal perjodohan. Maka, bersabarlah kalau aku belum dapat memberi jawaban dan keputusan sekarang. Aku akan menyampaikan kepada enci dan minta keputusan enci.!

‘Tapi.... tapi, engkau sendiri tidak berkeberatan, taihiap?!

Sie Liong menggelengkan kepala.

Lurah Kwan menjadi girang bukan main. ‘Terima kasih, taihiap! Aku akan memberitahu kepada kawan-kawan agar secepatnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke rumah encimu!!

Pada keesokan harinya, perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk menghaturkan selamat jalan diadakan di rumah Lurah Kwan. Semua penghuni dusun itu hadir, dan Sie Liong duduk semeja dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri. Gadis ini nampak malu-malu, karena ia sudah diberitahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya menjodohkannya dengan pendekar itu. Sie Liong melihat betapa gadis yang manis ini kelihatan canggung dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata yang agak kemerahan oleh tangis, dan bahwa sikap ramah dan senyum di bibir yang mungil itu tidak wajar, seperti dipaksakan.

Lurah Kwan bangkit berdiri dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman bahwa dia telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini amat menggembirakan para penduduk dusun itu dan mereka menyambutnya dengan sorakan dan tepuk tangan. Lurah Kwan mengangkat kedua lengan ke atas dan merekapun diam, wajah mereka berseri dan mereka mendengarkan penuh perhatian apa yang akan diucapkan oleh kepala dusun baru itu.

‘Perjodohan ini telah kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan diapun tidak berkeberatan. Akan tetapi jawaban dan keputusannya akan diberikan setelah dia menyampaikan hal itu kepada encinya yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan pulang ke Sung-jan untuk minta persetujuan encinya.!

Kembali orang-orang bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si, gadis yang tadi melayani mereka bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya, diam-diam telah pergi meninggalkan meja dan keluar dari ruangan itu. Kwan Sun yang melihat hal itu hanya tertawa.

‘Maafkan cucuku. Maklum, ia malu-malu,! katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu.

Malam itu, di dalam kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga Kwan yang menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia akan pergi meninggalkan dusun itu. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana kalau encinya menyetujui ikatan jodoh itu?

Kalau encinya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan. Kalau encinya tidak setuju, tinggal menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi. Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang manis, apalagi gadis sedusun dengannya. Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu yang dinamakan cinta antara pria dan wanita. Akan tetapi, bagaimana kalau encinya setuju? Apakah dia harus menikah dengan Siu Si? Lalu apa jadinya dengan dia? Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan sesuatu. Tinggal di rumah Lurah Kwan? Sebagai laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut encinya? Inipun tidak betul, mengingat akan sikap cihu-nya dan bahkan urusan kematian orang tuanya masih menjadi rahasia yang harus dia tanyakan kepada encinya. Dan Bi Sian.... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termeung. Bi Sian!

Terbayanglah wajah anak perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jantungnya berdebar. Mengapa timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teringat kepada Bi Sian? Uhh, anak itu tentu akan menggodanya setengah mati kalau mendengar bahwa dia hendak kawin! Tiba-tiba saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul lurah Kwan? Kini dia telah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa menyakiti hati keluarga Kwan.

Tiba-tiba Sie Liong bangkit duduk, memejamkan mata dan mengerahkan pendengarannya yang terlatih. Dia mendengar suara isak tangis tertahan!

Karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak bares, apalagi dia menduga bahwa tangis itu agaknya suara tangis Siu Si di dalam kamarnya, dengan hati-hati Sie Liong membuka jendela kamarnya dan sekali berkelebat dia sudah berada di luar kamarnya, kemudian meloncat naik ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar gadis yang dicalonkan menjadi isterinya itu.

Benar saja. Siu Si duduk di atas pembaringan sambil menangis lirih. Agaknya gadis itu menahan suara tangisnya agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk di dekat gadis itu dan menghiburnya.

‘Bibi Liu, kau tidak perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau menemaniku dan membujukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat akrab dengan Sui-koko, dan semua orang tahu, engkau juga tahu bahwa kami saling mencinta dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Bahkan kong-kong, biarpun tidak secara resmi, menyetujui kalau Siu-koko kelak menjadi suamiku. Akan tetapi kenapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan.... Si Bongkok itu?!

‘Hushh, jangan berkata demikian, Siu Si. Dia adalah seorang pendekar sakti yang budiman....!

‘Aku tidak perduli! Biar dia sakti seperti dewa sekalipun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?! Siu Si menangis lagi.

‘Hushh, kau tidak boleh berkata begitu, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah buruk. Pula, dia telah menyelamatkan kita semua, terutama engkau! Kalau tidak ada dia, bukankah engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?!

‘Tapi dia menolongku dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan bahkan ingin menjadi suamiku? Aku tidak sudi.... tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau minggat saja dengan Siu-koko....!

‘Hushhh....!!

Wajah Sie Liong menjadi pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapapun, dia sudah melayang turun kembali ke dalam kamarnya. Hatinya seperti ditusuk rasanya. Dia menyelamatkan dusun kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur, menghindarkan Siu Si dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih. Akan tetapi kini dia dituduh yang bukan-bukan. Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya Si Bongkok dengan nada suara menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat membencinya itu akan menjadi isterinya? Tidak, tidak mungkin!

Dengan tubuh lemas dan jari tangan agak gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat, pendek saja isinya.

Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau terikat perjodohan dan aku bukan calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong.

Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala di timur, dia sudah tiba di puncak sebuah bukit. Dia duduk menghadap ke arah matahari yang baru tersembul, duduk memeluk kedua lututnya, tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si di antara isaknya. ‘Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok....!

Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Ia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Akan tetapi kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Kenapa dia harus marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biarlah dia berbahagia dengan kebongko kannya, dengan keburukannya. Bongkok dan buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani menentang kesewenang-wenangan. Kakeknya memang sewenang-wenang!

Kalau kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda lain, kenapa mempunyai niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia! Untuk membalas budi? Untuk mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan penduduk? Yang jelas, niat itu sudah pasti berpamrih. Kalau tidak, tentu kakek Kwan tidak akan memutuskan ikatan kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain. Ya, dia harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan ‘terima nasib!, bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka? Isterinya akan merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan membencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!

‘Terima kasih, Siu Si....! dia berbisik, lalu bangkit berdiri. Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang. Dia tersenyum kepada matahari.

‘Terima kasih, matahari, untuk pagi yang seindah ini....! dia kembali berbisik dan memandang matahari. Tidak lama, karena segera sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan mata. Sie Liong membalikkan tubuh, lalu menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.

‘Terima kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini....! dia berbisik penuh rasa sukur. Bukankah tubuhnya itu pemberian Tuhan? Bongkok atau tidak, pemberian Tuhan adalah anugerah yang sempurna, dan patut disukuri. Biarlah semua orang tidak menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan berkecil hati. Memang dia bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak. Dia memang bongkok dan dia tidak ingin menjadi tidak bongkok, karena keinginan seperti itulah yang men yengsarakan kehidupan manusia. Menginginkan sesuatu yang tidak dimilikinya, menginginkan sesuatu yang lain dari yang pada yang ada. Tidak, dia tidak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, seorang pemuda yang berbahagia.

***

‘Liong-te....!! Sie Lan Hong menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita itu merangkul dan menangis di dada adiknya. ‘Aih, Liong-te.... betapa girangnya hatiku melihatmu....!!

Sie Liong membiarkan encinya menangis dan menumpahkan semua peraaaan haru dan rindu, juga kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang telah lama menghilang itu kini muncul dalam keadaan selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan Hong melepaskan rangkulannya.

‘Enci, marilah kita duduk dan bicara,! kata Sie Liong, ‘dan mana ci-hu (kakak ipar)?!

‘Cihu-mu.... dia pergi, sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam.!

Sambil bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhatikan segala yang nampak di situ. Encinya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat encinya nampak tua. Padahal kini usianya mendiri dua puluh tahun, berarti encinya baru tiga puluh empat tahun. Belum setua nampaknya! Tentu encinya hidup dalam kedukaan, pikirnya. Karena dia pergi? Dan rumah ini berbeda jauh dengan tujuh delapan tahun yang lalu. Cihu-nya yang berdagang rempa-rempa dapat dikatakan hidup makmur biarpun tidak terlalu kaya.

Dahulu, prabot rumahnya cukup mewah dan keluarga encinya hidup berkecukupan. Akan tetapi sekarang sunguh berbeda sekali keadaannya. Pakaian yang dikenakan encinya juga tidak seindah dulu. Di tubuhnya tidak pula nampak perhiasan mahal. Dan prabot rumah sudah berganti semua, terganti prabot yang murah dan buruk. Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir sekali walaupun wajahnya tidak membayangkan sesuatu ketika dia duduk berhadapan dengan encinya. Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu berseri melihat betapa adiknya, walaupun punggungnya masih bongkok, namun telah menjadi seorang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya nampak sehat.

‘Liong-te, selama ini engkau pergi ke mana saja?!

‘Aku mempelajari ilmu silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya.! Sie Liong menceritakan secara singkat tentang riwayatnya ketika belajar ilmu silat. Mendengar ini, encinya girang sekali.

‘Ah, sukurlah, adikku. Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka....!

Sie Liong merasa heran. Biasanya dahulu encinya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka yang sudah tiada.

‘Enci Hong, kedatanganku ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan harap sekali ini engkau tidak berbohong kepadaku.!

Wanita itu terbelalak memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya membayangkan ketakutan. ‘Apa.... apakah yang ingin kautanyakan, adikku?!

‘Apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu kita, enci?!

Wanita itu nampak semakin kaget. ‘Ayah dan ibu? Mereka.... mereka meninggal dunia....!

‘Tak perlu membohong lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan di sana aku mendengar bahwa ayah dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!!

Sie Lan Hong menangis, lalu mengusap air matanya dan berkata, ‘Engkau maafkan aku, Liong-te. Memang dulu aku berbohong kepadamu agar tidak membuat engkau penasaran dan diracuni dendam. Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah mengetahuinya, maka dia memaksa aku pergi meninggalkan rumah dan membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andaikata aku tidak pergi membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah menjadi korban pembunuhan pula....!

Sie Liong memandang wajah encinya dengan tajam dan penuh selidik. ‘Enci, di dusun kita itu tidak ada seorangpun mengetahui siapa pembasmi keluarga kita. Apakah engkau tahu, enci? Siapakah musuh besar yang demikian kejam itu?!

Sie Lan Hong menangis lagi dan menggeleng kepala keras-keras. ‘Tidak.... ah, aku tidak tahu.... aku tidak tahu.... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tihu siapa pembunuh itu....!

Melihat encinya menangis lagi, agaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang mengerikan, Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar ayah ibunya, suhengnya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu menyimpan dendam yang amat hebat maka melakukan perbuatan sekejam itu.

Lalu dia teringat kepada Yauw Bi Sian. ‘Enci, aku tidak melihat Bi Sian. Di manakah ia?!

Encinya kembali memperlihatkan wajah duka. ‘Ia juga pergi mempelajari ilmu. Ia bertemu dengan seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak pergi oleh gurunya itu.!

‘Ahhh....!! Sie Liong kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada seorang sakti! ‘Siapakah nama gurunya, enci?!

‘Namanya Koay Tojin....!

Sie Liong menahan debaran jantungnya. Koay Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu? Koay Tojin adalah sute dari Pek-sim Sian-su, gurunya sendiri!

‘Kapan ia pulang, enci?! tanyanya, hatinya masih berdebar girang.

‘Entah, menurut janjinya dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang.!

‘Enci yang baik, engkau kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan dalam rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi? Apakah engkau sakit, enci?!

Ditanya demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukan. Sedih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja encinya menangis tersedu-sedu. Setelah tangis itu mereda, Sie Liong memegang tangan encinya, digenggamnya tangan itu.

‘Enci, engkau hanya mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepadaku dan ceritakan semuanya. Siapa tahu aku akan dapat meringankan beban penderitaan batinmu, enci.!

Wanita itu menggeleng kepalanya. ‘Aih, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu disusul Bi Sian juga pergi. Semenjak itu ah, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahulu begitu baik, begitu mencintaku, akan tetapi sudah beberapa tahun ini.... dia hampir setiap malam pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan. Pekerjaannya tidak diurus sehingga bangkrut.... dan dia.... dia hanya berjudi dan pelesir saja....!

Sie Liong mengerutkan alianya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat mcncampuri urusan rumah tangga encinya? Bagaimanapun juga, cihu-nya telah menyeleweng, dan hal itu perlu ditegur dan diingatkan.

Sie Liong teringat bahwa adiknya baru datang. Diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri tersenyum. ‘Aih, engkau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja, Liong-te. Mari, engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu.!

‘Biar kubersihkan sendiri, enci. Akupun tidak akan lama sekali tinggal di sini.!

‘Liong-te, jangan begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku. Jangan tergesa-gesa pergi. Temanilah encimu yang kesepian ini, Liong-te. Ah, kita sudah tidak mempunyai pelayan, semua harus dikerjakan sendiri.!

‘Baiklah, enci. Aku akan tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita.!

Diam-diam dia bermakasud untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia akan menggunakan teguran keras!

Setelah jauh malam, baru nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok! Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya. Dia merasa bosan dengan isterinya dan dia berpelesir di luaran, menjadi langganan rumah pelacuran dan rumah perjudian. Perdagangannya bangkrut karena tidak diurusnya sehingga perabot rumahpun yang berharga telah dijualnya untuk modal berjudi! Terhadap isterinya dia tidak perduli, bahkan pernah beberapa kali kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya.

Melihat encinya tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga ke luar dari dalam kamarnya. ‘Brakkkkkk!! Daun pintu didorong kuat-kuat dari luar ketika kuncinya dibuka oleh encinya dari dalam dan tubuh Sie Lan Hong terdorong oleh daun pintu sampai terhuyung dan hampir jatuh.

‘Perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk suamimu, hah? Engkau sudah bosan melayani aku, atau engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan? Awas, kubunuh kau!! bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan terhuyung menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia mabok.

Karena diperlakukan kasar dan dimaki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya menghadapi suaminya dengan cucuran air mata, kini tak dapat menahan kemarahannya.

‘Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang sudah malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!!

Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan badan orang itu berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut, matanya seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut. Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.

‘Apa? Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang mengajarmu melawan suami? Perempuan sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?!

Yauw Sun Kok mengangkat tangan ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat, Sie Liong maklum bahwa kalau encinya terkena pukulan itu, bisa celaka. Sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat dekat dan dia menangkap pergelanggn tangan cihu-nya sambil berkata, ‘Harap jangan memukul!!

Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Ketika melihat bahwa ada seorang pemuda menangkap lengannya, kemarahannya memuncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya. ‘Bagus! Sungguh perempuan tak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas, engkau berani melawan aku, suamimu!!

Dia maju dan hendak menyerang isterinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di depannya. ‘Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan mendakwa yang bukan-bukan!!

‘Engkau pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok....?! Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seolah-olah tidak dapat melihat dengan jelas, lalu mendekatkan mukanya. ‘Engkau bongkok....? Benarkah engkau Sie Liong?!

‘Benar, cihu. Aku Sie Liong.!

‘Sie Liong....? Ha-ha-ha....!! Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu. ‘Engkau sudah dewasa, akan tetapi masih cacat. Ha-ha-ha!! Dia tertawa-tawa seperti orang gila.

‘Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dulu lagi. Dia telah menjadi murid orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,! kata Sie Lan Hong.

Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak. ‘Apa? Engkau....? Engkau handak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemm, mau apa engkau mencarinya, Sie Liong? Apa kaukira setelah beberapa tahun ini engkau belajar sedikit ilmu silat lalu kaukira a kan mampu melawan pembunuh itu? Huh, jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak mampu menandingi pembunuh itu. Apalagi engkau?!

‘Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, cihu?!

‘Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang amat sakti. Aku sendiri tidak mampu mencarinya. Apa lagi bocah cacat seperti engkau!!

Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walaupun dahulu juga cihu-nya tidak suka kepadanyaa, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian kasar dan menghina. Teringat dia akan cerita encinya dan tadipun dia melihat betapa encinya akan dipukuli.

‘Cihu! Tidak sepatutnya cihu berkata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak perduli! Dan sekarangpun cihu memperlihatkan sikap yang amat buruk terhadap enci!!

‘Apa? Kau anak kurang ajar.... Hemm, encimu sudah mengadu, ya....?!

‘Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan, pulang malam marah-marah, bahkan mau memukul enci! Keadaan rumah tanggamu menjadi rusak, habis-habisan, karena kauhabiskan untuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam lumpur....!

‘Tutup mulutmu, keparat!! Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke arah dada dan leher adik isterinya. Biarpun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar untuk dapat menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu. Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong, biarpun seorang pemuda cacat, punggungnya bongkok namun dia murid tersayang dari Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su manusia sakti dari He-lan-san itu.

Dengan mudah saja Sie Liong memiringkan tubuhnya dan menggunakan len gan kirinya untuk mendorong dari samping dan tubuh Yauw Sun Kok terpelanting!

‘Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!!

Melihat betapa akibat serangannya membuat dirinya terpelanting, Sun Kok marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding di mana tergantung sebatang pedang hiasan. Biar dia mabok, gerakannya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan kanannya, terlolos dari sarungnya.

‘Jangan....! Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang....!! Sie Lan Hong berteriak ketakutan. Akan tetapi suaminya tidak memperdulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie Liong dengan pedangnya. Pedang menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat berdesing di atas kepalanya. Akan tetapi dengan cepat, pedang yang menyambar itu telah membalik dan kini menusuk ke arah dadanya.

‘Cihu, engkau sedang mabok!! bentak Sie Liong dan dia menggunakan tangannya dari samping memukul pedang sambil mengerahkan tenaganya.

‘Plakkk!! Pedang itu terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini maklum betapa cihunya yang mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.

‘Dukkk!! keras sekali tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda itu masih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup keras.

Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak, dan pada saat itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahlan yang lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya. ‘Hemm, sudahlah. Engkau sedang mabok maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo, mengasolah.... tidurlah....! Ia membantu suaminya bangkit berdiri dan memapahnya menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah.

Biarpun mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Sungguh berbahaya sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia merasa lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka diapun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah isterinya ke kamar. Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur.

***

Kakek gembel itu duduk di bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali pada siang hari yang amat panas itu duduk berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh. Angin semilir sejuk dan kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat bututnya menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan. Kakek gembel ini sudah tua sekali, hampir delapan puluh tahun usianya. Pakaiannya butut penuh tambalan.

Tiba-tiba kedua matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, kini terbuka dan dia tertawa-tawa seorang diri, lalu memejamkan kembali matanya. Orang-orang yang melihat keadaannya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang gembel tua yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh kang-ouw lewat di situ dan melihat gembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah mati. Kakek tua renta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia adalah Koay Tojin, seorang yang terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya aneh dan biarpun dia jarang bahkan hampir tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau bertemu dengannya. Hal ini adalah karena wataknya yang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan dan celakalah orang yang sampai berhadapan dengan dia sebagai lawan!

Selagi kakek itu duduk melenggut, tiba-tiba nampak bayangan dua orang berkelebat dan di depan kakek itu kini nampak dua orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda berusia hampir dua puluh tahun. Gadis itu cantik dan manis sekali, dengan sepasang mata yang jeli dan tajam mencorong, sikap yang jenaka dengan wajah selalu cerah ceria. Gadis manis inipun mengenakan pakaian tambal-tambalan, akan tetapi bukan sembarang tambalan! Biarpun pakaiannya tambal-tambalan, namun bersih dan semua tambalan itu terbuat dari kain yang baru! Sepatu kulitnya juga mengkilat baru, rambutnya bersih licin, sama sekali tidak nampak kesan seorang pengemis! Pemuda itupun berwajah tampan, matanya mengandung kecerdikan dan mulutnya selalu terhias senyum yang manis sehingga mendatangkan kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang merendahkan orang lain dan memandang diri sendiri terlampau tinggi.

Seperti telah kita ketahui, Koay Tojin mempunyai dua orang murid dan dua orang muda itulah muridnya. Gadis itu bukan lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah Coa Bong Gan. Biarpun Bi Sian lebih dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan tetapi karena ia lebih muda, ia memaksa Bong Gan untuk menyebut sumoi (adik seperguruan wanita) kepadanya, dan ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak seperguruan pria).

‘Suhu, nih teecu (murid) bawakan oleh-oleh untuk suhu! Bebek tim yang lunak dan bubur!! kata gadis itu sambil duduk di atas batu dekat suhunya sambil menyerahkan bungkunan makanan.

‘Dan teecu bawakan arak Hang-ciu kesukaan suhu!! kata pula Bong Gan gembira menyerahkan seguci arak.

Kakek itu membuka matanya dan terkekeh, lalu menyeringai memandang kepada dua orang muridnya. ‘Heh-heh, kalian adalah murid-murid yang baik. Kalian tahu saja kesukaan orang tua. Heh-heh, tidak ada yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim. Lunak dan gurih, tidak perlu menggunakan gigi untuk mengunyah, memudahkan mulutku yang sudah tak bergigi lagi, heh-heh. Dan arak Hang-ciu memang harum dan keras! Ha-ha-ha!!

Dua orang murid itu tersenyum. Mereka tahu bahwa guru mereka berkelakar karena mereka baru kemarin dulu menyaksikan betapa guru mereka itu, den gan mulutnya tanpa gigi sebuahpun, masih kuat untuk menggigit daging kering yang amat keras dan mengunyahnya dengan mata meram-melek! Dengan kekuatan sin-kang yang amat hebat, gusi dari guru mereka yang sudah tidak bergigi lagi itu dapat menjadi lebih kuat daripada gigi orang-orang muda!

Kakek itu makan minum tanpa memperdulikan dua orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya. Akan tetapi, diam-diam Koay Tojin kadang-kadang melirik. Dia merasa senang sekali melihat Bi Sian. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang ternyata selain memiliki bakat baik, juga gadis ini memiliki watak yang gagah perkasa dan baik. Sebaliknya, kakek ini merasa khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria. Watak Bong Gan sukar diselami walaupun pada lahirnya, dia juga seorang murid yang berbakat dan amat rajin, pandai mengambil hati.

Akan tetapi ada sesuatu dalam pandang mata pemuda itu yang membuat kakek itu kadang-kadang curiga dan ragu-ragu. Pernah dia melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepada sumoinya secara tidak wajar. Bukan memandang biasa, akan tetapi sinar mata pemuda itu penuh nafsu berahi, memandangi ke seluruh bagian tubuh Bi Sian seperti hendak melahapnya!

Sungguh seorang murid yang kadang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya. Jangan-jangan dia telah keliru memilih murid, pikirnya. Akan tetapi, dia sengaja sudah memberi pelajaran lebih pada Bi Sian sehingga kalau sampai terjadi apa-apa, gadis itu tidak akan kalah menghadapi dan melawan Bong Gan. Pernah dia ketika berdua saja dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus berhati-hati terhadap suhengnya. ‘Wataknya sukar diselami,! demikian dia berkata, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja. ‘Aih, suhu ini ada-ada saja. Bukankah suheng seorang pemuda dan murid yang amat baik?!

Setelah makan, Koay Tojin mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju yang sudah butut. ‘Kebetulan kalian datang, memang aku bermaksud untuk memanggil kalian.!

‘Suhu, ada keperluan apakah?! Bi Sian bertanya sambil mendekati gurunya, sikapnya manja. Kakek itu tersenyum untuk menutupi rasa nyeri di dalam hatinya. Dia merasa heran. Mengapa mendadak saja hatinya begini aneh? Mengapa bayangan perpisahan dengan muridnya ini mendatangkan rasa sakit? Padahal selamanya belum pernah dia merasakan hal seperti ini! Akan tetapi kakek yang lihai ini segera dapat menemukan jawabannya. Sikap Bi Sian terlalu baik, terlalu menyenangkan hatinya, sehingga gadis itu selama tujuh tahun menjadi muridnya, hidup di sampingnya, seolah-olah menjadi matahari yang menyinari hidupnya!

Kesenangan dan keenakan memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan datanglah duka karena kehilangan! Kalau gadis itu pergi, dibiarkan terpisah darinya, dia seolah-olah kehilangan matahari yang menerangi hidupnya yang sudah tua, membuat dia seperti dalam kegelapan! Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan menciptakan duka!

Itulah hidup. Ada suka pasti ada duka! Sudah menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada derita. Dan melihat kenyataan ini, menghadapi kenyataan ini, menerima kenyataan ini secara wajar merupakan seni hidup itu sendiri.

‘Bi Sian, dan kau juga Bong Gan, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk memenuhi janji. Janji antara aku dan kau, Bi Sian. Janji bahwa kita akan berkumpul sebagai guru dan murid selama tujuh tahun saja.!

Gadis itu nampak terkejut! Selama ikut dengan gurunya, iapun merasakan lebih banyak senangnya dari pada susahnya. Hidup bebas seperti burung di udara. Tanpa dirasakannya, tahu-tahu kini sudah tujuh tahun ia mengikuti gurunya.

‘Tapi, suhu....! Rasanya belum lama aku ikut suhu, dan aku masih ingin mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi!! bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat kenyataan bahwa ia harus berpisah dengan suhunya dan melihat pula kenyataan betapa beratnya hal itu kalau terjadi karena ia merasa sayang kepada suhunya yang sudah tua itu!

Koay Tojin tertawa dan nampak mulutnya yang tanpa gigi itu. ‘Ha-ha-ha, Bi Sian, janji tetap janji yang harus dipegang teguh. Engkau bukan hanya berjanji kepadaku, akan tetapi juga kepada ayah ibumu yang tentu telah menanti-nanti penuh kerinduan. Tentang kepandaian, sampai berapa tingginya? Berapa ukurannya? Apa yang kaupelajari selama ini sudah lebih dari pada cukup, Bi Sian.

Tinggal terserah kepadamu untuk melatih diri. Dan engkau, Bong Gan, engkaupun sudah dewasa dan kepandaianmu sudah cukup. Hanya berhati-hatilah, karena kepandaian silat seperti juga pedang, dapat dipergunakan untuk berbuat kebaikan akan tetapi juga dapat dipergunakan untuk melaktikan kejahatan. Semua tergantung kepadamu.!

Diingatkan kepada ayah ibunya, kedukaan bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari hati Bi Sian, tertutup oleh kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Bong Gang juga berlutut di dekat sumoinya.

‘Suhu, selama tujuh tahun ini, suhu telah melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang kepada teecu. Teecu menghaturkan terima kasih, suhu dan entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi kebaikan suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak menjengkelkan hati suhu, maka mohon suhu memaafkan teecu,! kata Bi Sian dengan hati terharu, akan tetapi tidak setetespun air matanya tumpah. Ia memang pantang menangis, apalagi setelah menjadi murid Koay Tojin.

Koay Tojin tersenyum. ‘Engkau anak baik. Kalau hendak membalas budi kepadaku, pergunakanlah semua kepandaian yang kauperoleh dariku itu dengan baik, tidak melakukan penyelewengan. Dengan demikian berarti engkau menjunjung tinggi nama gurumu, sedangkan kalau engkau melakukan kejahatan dan menyeleweng, engkau akan menyeret nama gurumu ke dalam lumpur.!

‘Teecu juga menghaturkan banyak terima kasih, suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi nama suhu,! kata Bong Gan.

Koay Tojin tersenyum saja dan memandang wajah murid pria ini dengan penuh keraguan. Dia tahu bahwa muridnya ini cerdik sekali, demikian cerdiknya sehingga dia tidak dapat menduga apa isi hatinya.

‘Engkau berhati-hatilah, Bong Gan. Ingat bahwa musuh yang paling berbahaya, paling lihai dan paling sukar ditundukkan adalah dirimu sendiri. Karena itu, sebelum menundukkan musuh, sebaiknya kalau menundukkan dulu diri sendiri.!

Bong Gan tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk.

‘Sekarang, pergilah kalian sebelum timbul kedukaan dalam hatiku!! kata Koay Tojin, lalu tangan kanannya menyambar tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat, tongkatnya itu sudah melakukan serangan totokan bertubi-tubi kepada dua orang muridnya yang berlutut di depannya. Dua orang muda itu terkejut sekali. Sambaran tongkat di tangan suhu mereka itu bukan main cepat dan dahsyatnya, maka keduanya segera melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik beberapa kali. Mereka terhindar dari serangan kilat itu, dan melihat betapa kakek itu masih duduk bersandar batang pohon, memegangi tongkat sambil tertawa. Tahulah Bi Sian bahwa suhunya memang ingin segera melihat mereka pergi tanpa membiarkan kedukaan karena perpisahan itu memasuki hati. Maka iapun menjura dan berkata dengan suara dibuat nyaring gembira.

‘Suhu, selamat tinggal! Mudah-mudahan suatu waktu kita akan dapat berjumpa kembali!!

‘Ha-ha-ha, selamat jalan. Kita pasti akan bertemu kembali, kalau tidak di alam sini tentu di alam sana, heh-heh-heh!!

Bong Gan juga menjura dan kedua orang itu lalu melompat pergi dan dalam waktu singkat mereka sudah lenyap dari pandang mata. Kakek yang ditinggal seorang diri itu nampak tertegun, matanya yang tua memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu, lalu dia menghela napas panjang berulang kali, lalu bangkit berdiri, dan melangkah perlahan pergi meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan yang berlawanan dengan dua orang muridnya.

Dua orang itu berlari cepat, keluar dari dalam hutan itu dan ketika mereka sudah berlari kurang lebih satu jam dan tiba di kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya. Biarpun tubuhnya terlatih baik, namun karena selama satu jam itu ia berlari cepat sambil menahan getaran hatinya yang penuh haru, kini wajah dan lehernya basah oleh keringat.

Diambilnya saputangannya dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga mengusap keringatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian yang tidak ada tambalannya, walaupun dari kain murah dan bentuknya sederhana saja, tidak seperti pakaian Bi Sian yang penuh tambalan namun semua tambalannya kain yang baru.

‘Suheng, sekarang engkau hendak pergi ke mana?! tanya Bi Sian.

Bong Gan menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu besar di tepi jalan. Sebelum menjawab, dia menatap wajah sumoinya dengan tajam, juga dengan wajah yang membayangkan kedukaan. Betapa cantik manisnya sumoinya ini, pikirnya penuh kagum. Apakah dia harus berpisah dari gadis manis ini? Membayangkan perpisahannya dengan gadis yang telah menjadi sahabatnya dan saudara seperguruannya selama tujuh tahun, hampir tak pernah mereka saling berpinah dan mengalami suka-duka bersama-sama, wajah yang tampan itu nampak diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu sehingga nampak jelas oleh Bi Sian.

‘Suheng, engkau pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak mempunyai keluarga sama sekali, tidak mempunyai handai taulan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Oleh karena itulah maka aku sengaja bertanya kepadamu karena aku ingin tahu, ke mana engkau hendak pergi?!

‘Justeru pertanyaanmu itulah yang membuat aku membungkam karena sukar bagiku untuk menjawabnya. Aku sendiri sejak tadi bertanya-tanya di dalam hatiku kepada diriku sendiri, sumoi. Ke mana aku harus pergi? Aku tidak mempunyai tujuan sama sekali! Aku menjadi bingung setelah mendengar pertanyaanmu, sumoi.!

Bi Sian memandang wajah suhengnya itu dengan hati kasihan. Selama ini, suhengnya telah membuktikan bahwa dia seorang pemuda yang amat baik, amat rajin dan juga bersikap sopan kepada gurunya dan juga kepada dirinya. Tidak pernah memperlihatkan kekurang-ajaran sama sekali. Memang kadang-kadang suhengnya suka pergi meninggalkan ia dan suhunya, akan tetapi kepergiannya itu tentu hanya untuk mencari bahan makanan untuk mereka. Kalau pulang, suhengnya tentu membawa seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci, ayam hutan, atau juga buah-buahan segar. Beberapa kali suhengnya pernah berpamit kepada suhu mereka untuk berjalan-jalan ke dusun atau kota, dan tidak pernah lancang mengajaknya. Diam-diam Bi Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini, rasa suka yang bercampur rasa iba. Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya kepada diri sendiri tanpa mendapat jawaban!

‘Suheng, engkau ini bagaimanakah? Andaikata aku tidak mengajak engkau berhenti dan bertanya, lalu ongkau hendak ke mana?!

‘Aku.... aku hanya akan mengikutimu, sumoi. Ke manapun engkau pergi.... tentu saja kalau.... kalau aku tidak terlalu mengganggumu.!

Bi Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya, mendadak mendapat sebuah pikiran yang dianggap amat bagus. ‘Tentu saja engkau tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau engkau suka, marilah engkau ikut bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang tuaku itu merupakan kota yang cukup ramai, dan siapa tahu engkau dapat tinggal dan bekerja di sana. Ayahku seorang pedagang, mungkin dapat membantumu mencari pekerjaan.!

Wajah yang diliputi kedukaan itu kini menjadi cerah dan berseri. Sepasang mata itu bersinar-sinar dan Bong Gan segera menjura ke arah sumoinya.

‘Ah, sumoi, sungguh engkau berbudi mulia sekali! Terima kasih atas kebaikanmu, sumoi. Tentu saja aku suka sekali pergi bersamamu!!

Bi Sian membalas penghormatan suhengnya dan tertawa. ‘Ihh, suheng ini! Engkau adalah suhengku dan lebih tua, mengapa memberi hormat kepadaku? Dan di antara kita saudara seperguruan, perlukah bersungkan-sungkan? Sudah sepantasnya kalau kita saling bantu, bukan?!

Demikianlah, suheng dan sumoi ini melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya Bong Gan di sampingnya, di sepanjang perjalanan Bi Sian tidak menemui banyak gangguan. Andaikata ia melakukan perjalanan seorang diri, tentu akan banyak timbul gangguan, mengingat bahwa ia seorang gadis yang cantik manis dan melakukan perjalanan jauh seorang diri. Akan tetapi sikap Song Gan yang gagah membuat banyak orang menjadi jerih untuk mengganggu mereka. Padahal, tentu saja andaikata ada gangguan, Bi Sian sama sekali tidak akan merasa gentar bahkan hal itu merupakan kesialan bagi si pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!

Ketika mereka pada suatu siang memasuki kota Sung-jan, keduanya langsung saja menuju ke rumah Bi Sian. Gadis ini nampak gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya berkilat-kilat ketika mereka tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya. Akan tetapi ia merasa heran melihat betapa toko itu tertutup dan segera ia mengajak suhengnya memasuki pekarangan dan langsung menuju ke pintu depan.

Dua orang yang tadinya duduk di ruangan depan, bangkit berdiri den melihat Bi Sian, wanita itu menjerit.

‘Bi Sian....!!

‘Ibuuu....!! Dua orang wanita itu berlari saling tubruk dan di lain saat mereka telah berangkulan sambil memanggil berulang kali. Sie Lan Hong menangis dalam rangkulan puterinya, akan tetapi Bi Sian yang juga merasa terharu dan gembira, tidak menangis, akan tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan dan kasih sayang. Ia diam-diam merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan agak pucat. Tak disangkanya bahwa dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak tua sekali!

Sementara itu, ketika dua orang wanita itu berangkulan, Bong Gan hanya berdiri menonton dengan canggung. Juga Sie Liong, pemuda yang tadi sedang duduk bersama encinya, berdiri dan memandang dengan wajah berseri, akan tetapi juga berdiri canggung.

Tentu saja hatinya girang bukan main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain yang akrab itu pulang dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali. Diapun heran melihat keponakannya itu pulang bersama seorang pemuda yang tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung. Mereka saling pandang sebentar saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum diperkenalkan.

‘Ibu.... ah, ibu.... kenapa ibu begini kurus? Mana ayah?!

Sie Lan Hong dapat menguasai keharuan hatinya dan teringat akan dua orang pemuda itu. ‘Ayahmu tidak berada di rumah, sedang keluar. Akan tetapi, mari kau temui dulu pamanmu....!

Bi Sian yang melepaskan pelukan ibunya, tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya tersenyum dan hampir ia berteriak, ‘Paman Liong....!!

Sie Liong juga tersenyum. ‘Bi Sian, engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah!!

Bi Sian melangkah maju dan memegang tangan Sie Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah menjadi seorang gadis dewasa dan pamannya itupun sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Digenggamnya tangan pemuda itu.

‘Paman Liong! Ah, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini! Dan engkau.... ah, engkau juga sudah menjadi seorang pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan.... hemm....! Gadis itu melepaskan tangannya, mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah sekali mukanya.

‘Dan.... bongkok!! sambungnya mendahului, daripada didahului gadis itu.

‘Ah, itu aku sudah tahu. Akan tetapi engkau gagah dan tampan, paman!!

Sungguh! Bi Sian masih nakal seperti dulu, pikirnya gembira. Masih lincah jenaka dan suka menggoda orang akan tetapi dengan cara yang menyenangkan.

‘Bi Sian, engkau masih seperti dulu! Suka menggoda pamanmu!! Sie Lan Hong juga tertawa dan ia sendiri terkejut. Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan baru sekarang ia dapat tertawa kembali. Anaknya telah pulang!

‘Oya, ibu, paman. Aku sampai lupa memperkenalkan. Dia ini adalah suhengku, namanya Bong Gan. Suheng, inilah ibuku dan ini pamanku Sie Liong.!

Sejak tadi Bong Gan hanya menonton saja dan hatinya terasa panas dan tidak enak melihat keakraban antara sumoinya dan pemuda bongkok itu. Biarpun disebut paman, akan tetapi mereka itu sebaya dan juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti paman dan keponakan. Seketika, timbul perasaan tidak suka kepada kedua orang itu. Akan tetapi karena dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat dan bersoja dan sikapnya amat sopan santun.

‘Ibu, mana ayah?!

‘Sudah kukatakan, ayahmu sedang keluar rumah. Mari, mari kita bicara di dalam....! Ibu itu merangkul anaknya dan diajak masuk ke dalam rumah. Sie Liong mengkuti, akan tetapi Bong Gan merasa ragu-ragu, dan dia menjadi salah tingkah. Dia bukan anggauta keluarga, bagaimana berani ikut masuk? Akan tetapi agaknya Bi Sian dapat memaklumi keadaannya, maka iapun menoleh dan berkata kepadanya.

‘Suheng, mari silakan masuk saja. Paman Liong, ajaklah suheng. Dia memang pemalu.!

Sie Liong sejak tadi memperhatikan suheng dari keponakannya itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan mengingat bahwa mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepandaian mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuatnya ragu-ragu. Entah apanya, mungkin pandang matanya.

‘Saudara Bong, silakan masuk,! katanya dan Bong Gan menganguk.

‘Terima kasih, terima kasih....!! Mereka berempatpun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk pertama kalinya Sie Liong masuk ke dalam rumah itu Bi Sian juga melihat perubahan besar di dalam rumahnya. Prabot-prabot rumahnya sudah berubah, sekarang jelek dan butut, tidak seperti dulu. Ibunya juga tidak mengenakan perhiasan sedikitpun, dan toko mereka sudah ditutup! Apa yang terjadi? Ia tidak berani langsung bertanya kepada ibunya karena di situ terdapat Bong Gan yang bagaimana juga adalah orang luar. Ia akan bertanya kepada ibunya kalau mereka hanya berdua, atau bertiga saja dengan pamannya.

Mereka berempat duduk menghadap meja besar di ruangan dalam. Bi Sian segera menceritakan pengalamannya ketika ia diambil murid Koay Tojin dan ia segera menceritakan tentang perbuatan Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu. ‘Coba ibu bayangkan, bukankah orang itu jahat sekali? Dia mempergunakan anak buahnya yang menyamar sebagai perampok dan menggangguku, kemudian dia muncul sebagai penolongku. Setelah para perampok palsu itu pergi, dia menggangguku! Untung muncul suhu! Dan dia datang lagi membawa perampok-perampok palsu itu dan mengeroyok suhu. Akan tetapi mereka dihajar oleh suhu! Aih, betapa senangku pada waktu itu! Apakah manusia jahat itu sekarang masih hidup, ibu?!

Sie Lan Hong menahan senyumnya.

‘Hussssh, jangan berkata demikian, anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal itu diperpanjang. Dia masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan itu.....!

Bi Sian bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. ‘Apa? Dia masih berani melanjutkan ikatan jodoh itu? Biarlah, aku akan ke sana dan menghajarnya sendiri sampai dia minta ampun!!

‘Jangan, Bi Sian! Baru saja engkau pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan. Bagaimanapun juga, dia putera kepala pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya besar sekali. Kalau engkau memusuhi mereka secara terang-terangan begitu, bukankah akibatnya ayah dan ibumu yang akan menanggung?!



Bab 10

‘Sumoi, apa yang ibumu katakan itu benar sekali. Engkau adalah penduduk kota ini, tidak baik memusuhi penguasa setempat. Kalau memang engkau ingin memberi hajaran padanya, serahkan saja kepadaku. Di sini aku tidak dikenal orang, maka tiada halangannya kalau aku yang pergi menemui dan menghajar orang yang berani menghinamu,! kata Bong Gan dengan sikap gagah.

‘Sudahlah Bi Sian. Aku tidak menghendaki ribut-ribut,! kata Sie Lan Hong yang teringat akan keadaan suaminya. Baru menghadapi suaminya saja yang kini berubah demikian jahat, ia sudah berduka sekali. Apalagi ditambah urusan yang ditimbulkan karena pengamukan Bi Sian terhadap keluarga Lu-ciangkun. ‘Engkau baru pulang, Bi Sian. Tidak boleh terjadi hal-hal yang hanya akan mendatangkan keributan dan kekacauan.!

Bi Sian masih merasa penasaran, lalu ia menoleh kepada Sie Liong. ‘Coba pertimbangkan, paman Liong. Bukankah sudah sepatutnya kalau manusia macam Lu Ki Cong itu kuberi hajaran keras? Dahulupun dia yang menghinamu. Hal itu masih boleh dilupakan karena engkau laki-laki. Akan tetapi penghinaannya terhadap diriku, sungguh membuat hati ini panas dan mendongkol saja.!

Sie Liong tersenyum, akan tetapi dia lalu bersikap sungguh-sungguh dan memandang tajam kepada keponakannya itu. ‘Bi Sian, kurasa ibumu berkata benar. Tidak perlu mencari gara-gara dan permusuhan. Mengenai kejahatan Lu Ki Cong kepadamu, bukankah katamu tadi dia dan anak buahnya sudah mendapat hajaran keras dari suhumu? Nah, dengan demikian berarti sudah lunas, bukan? Kalau sekarang dia melakukan perbuatan jahat lagi, barulah pantas kau turun tangan menghajarnya. Kukira engkau cukup mengerti bahwa kepandaian yang dipelajari bukan untuk menimbulkan kekacauan, bahkan sebaliknya untuk memadamkan kekacauan. Bukankah begitu?!

Gadis itu memandang dengan mata terbelalak. ‘Ehhh? Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan melainkan untuk memadamkan kekacauan? Paman, aku pernah mendengar kalimat itu diucapkan suhu! Bukankah begitu, suheng?!

Song Gan mengangguk, akan tetapi dia memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut.

‘Kalau begitu, suhumu adalah seorang yang bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku pernah menyaksikan kehebatannya dan mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay Tojin, adalah seorang yang sakti dan bijaksana!!

‘Paman Liong! Engkau.... engkau mengenal suhu?!

Sie Liong tersenyum lagi. ‘Mengenal sih tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan beliau dan berhutang budi karena beliau pernah mengobati aku yang terluka oleh pukulan beracun.!

‘Kalau begitu, engkau tentu murid orang sakti pula, Paman Liong! Hayo ceritakan pengalamanmu. Siapa itu gurumu yang sakti?! tanya Bi Sian gembira sekali membayangkan bahwa pamannya yang disayangnya dan dikasihaninya itu kini telah menjadi seorang yang lihai!

‘Aihh, Bi Sian. Aku yang cacat ini mana bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi? Hanya kebetulan sekali bahwa aku mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh seorang sakti bernama Koay Tojin, dan aku mengenal nama itu, karena dia.... dia itu masih terhitung paman guruku juga.!

Baik Bi Sian maupun Bong Gan terkejut mendengar ini. ‘Apa?! gadis itu berseru. ‘Suhuku masih paman gurumu? Kalau begitu, siapakah gurumu? Ah, sekarang aku ingat....! Pernah suhu menyebut nama seorang yang katanya paling dia segani dan sayangi di dunia ini. Nama orang itu adalah.... Pek-sim Sian-su! Benarkah engkau muridnya?!

Sie Liong mengangguk. ‘Engkau memang cerdik dari dulu, Bi Sian. Akan tetapi, orang cacat seperti aku ini tidak dapat mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya banyak belajar tentang hidup.!

‘Ah, aku tidak percaya! Engkau tentu lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus mengajarku ilmu silat!!

‘Wah, mana aku berani? Melawanmu, dalam beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!! kata Sie Liong dan suasana menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah merasakan suasana di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.

Hanya Bong Gan yang diam saja. Dia sendiri memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda bongkok itu. Pemuda bongkok itu kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian! Katakanlah pemuda itu sudah mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi dengan punggungnya yang bongkok itu, bagaimana mungkin dia memperoleh ilmu yang tinggi? Bagaimana mampu menghimpun tenaga sakti kalau tulang punggungnya saja bengkok? Dia merasa tidak suka sekali, apalagi melihat betapa kadang-kadang sepasang mata pemuda bongkok itu mencorong dan memandang tajam kepadanya, seolah hendak menjenguk isi hatinya sehingga dia merasa ngeri sendiri! Masih baik bahwa pemuda bongkok itu paman dari Bi Sian, adik ibunya sehingga bukan merupakan seorang saingan dalam memperebutkan hati Bi Sian!

‘Aih, kalian jangan main-main!! kata Sie Lan Hong. ‘Bi Sian, engkau ini baru saja pulang setelah pergi selama tujuh tahun, dan begitu datang engkau hendak menantang pamanmu? Ketahuilah, pamanmu inipun baru dua hari tiba di sini! Kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Sekarang, kalian harus beristirahat dan kita saling melepas rindu dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu, bukan untuk saling hantam dan gebuk! Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa! Adik jagoan dan anak tukang pukul?!

Mereka tertawa, bahkan Bong Gan juga tersenyum mendengar ucapan itu. Pada saat itu, terdengar teriakan dari luar rumah. ‘Haii, mana dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah? Aku sudah pulang siang-siang dan tidak mabok, ha-ha-ha-ha!!

Laki-laki itu muncul di pintu. Mulutnya mengatakan tidak mabok, akan tetapi keadaannya yang terhuyung-huyung itu jelas membuktikan keadaan yang sebaliknya.

‘Ayahhhhh....!! Bi Sian berseru, bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan ayahnya. Dahulu, ayahnya seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi sekarang, nampak awut-awutan dan kotor!

Orang itu adalah Yauw Sun Kok. Mendengar panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai dan mengejek tadi dari bibirnya. Matanya terbuka lebar dan dia memandang kepada gadis yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju menghampirinya itu.

‘Bi Sian.... kau.... kau Bi Sian....?!

‘Ayah....!! Bi Sian lari menghampiri. ‘Kau kenapakah, ayah?!

Ayahnya merangkul puteri itu dan menangis! Bi Sian terkejut bukan main. Ayahnya menangis? Sungguh luar biasa sekali ini! Ayahnya yang demikian gagah perkasa, ayahnya yang jantan. Kini menangis?

‘Ayah, tenanglah, ayah. Mari duduk....! Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk di kursi menghadapi meja. Hanya sebentar saja Sun Kok menangis. Dia sudah memandang kepada puterinya dengan mata merah. Lalu dia tertawa.

‘Ha-ha-ha, engkau sudah pulang, Bi Sian? Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay Tojin? Bagus! Engkau harus mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat mengalahkan Si Bongkok ini. Dia telah mengalahkan aku, Bi Sian....!

‘Hemm, engkau telah mabok lagi. Mari, engkau perlu tidur....!! Sie Lan Hong membantu suaminya bangkit dan memapahnya ke dalam kamar. Yauw Sun Kok tidak membantah, hanya mengomel, ‘Kau harus pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu, kaupukul bongkoknya, biar mampus....!!

Saking heran dan bingungnya, Bi Sian menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat bicara apa-apa. Ia memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil menundukkan mukanya. Pintu kamar itu tertutup setelah ayahnya dipapah ibunya masuk ke dalamnya dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi dan menegangkan.

‘Paman Liong,! akhirnya Bi Sian bicara dan biarpun suaranya perlahan, namun terdengar mengejutkan dan memecahkan kesunyian itu. ‘Engkau.... engkau benar telah mengalahkan ayah....?!

Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada keponakannya itu, kemudian melirik ke arah Bong Gan. Bi Sian mengerti maksud lirikan itu, dan ia berkata, ‘Suheng adalah seperti keluarga sendiri, paman. Tidak ada salahnya bicara di depan dia!!

Suaranya sudah terdengar kaku, tanda bahwa dia penasaran mendengar ayahnya dikalahkan Sie Liong, dan tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.

Sie Liong mengangguk-angguk. ‘Aku tidak pernah mengalahkah dia, Bi Sian.!

‘Akan tetapi, ayah tadi mengatakan....!

‘Kemarin dulu, ketika aku datang, aku melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam keadaan mabok. Terpaksa aku melindungi ibumu, bukan berarti melawan dan mengalahkan ayahmu. Aku hanya mengelak dan menangkis.... dan ayahmu mabok, dan pukulan-pukulan itu.... kalau mengenai ibumu, tentu akan berakibat parah! Kau tidak melihat keadaan mereka? Keadaan rumah ini! Aih, Bi Sian.... kesemuanya berubah....!!

Kembali dia melirik ke arah Bong Gan. Jelas bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara lebih banyak di depan orang lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dengan munculnya ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit berdiri.

‘Maafkan aku, sumoi. Sebaiknya kalau aku mencari rumah penginapan di kota. Besok aku akan datang berkunjung, sampaikan maafku kepada ayah den ibumu!!

Bi Sian hanya mengangguk. Hatinya dipenuhi hal lain, yaitu kenyataan ten tang ayah dan ibunya. Dan dalam keadaan seperti itu, memang sebaiknya kalau suhengnya bermalam di rumah penginapan. ‘Baiklah, suheng. Maafkan kami.!

Bong Gan pergi meninggalkan rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk di dekat Sie Liong. Tadi ia memang marah sekali membayangkan bahwa pamannya telah memukul ayahnya, akan tetapi kini sudah hilang kemarahannya. Ia terlalu percaya kepada Sie Liong, tidak mungkin pamannya ini mau memukul ayahnya.

‘Nah, sekarang ceritakanlah keadaan yang seaungguhnya, paman!! Bi Sian menuntut.

Sie Liong menarik napas panjang. ‘Sebenarnya, ibumu yang harus menceritakan kepadamu. Akan tetapi biarlah, akupun berkewajiban untuk memberitahukan semua kepadanu. Ketahuilah bahwa setelah kita berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali. Setiap hari dia bergaul dengan orang-orang sesat, dia berjudi, mabok-mabokan, pelesir, menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia bangkrut. Bukan hanya itu, malah semua barang di rumah, prabot dan perhiasan ibumu, semua dijual untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih lagi, dia mulai membenci ibumu dan suka memukuli ibumu.!

‘Ah, mana mungkin itu?!

‘Aku sendiripun tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak tahu bahwa aku telah datang, dia datang malam-malam dalam keadaan mabok dan hendak memukuli ibumu. Aku yang melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang, bukan main-main, diserang mati-matian dengan pedang. Aku hanya membela diri, sama sekali tidak memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian.!

‘Aih, ayah....! Kenapa begitu. Ibuu.... ah, kasihan sekali, ibuku....! Bi Sian lalu meninggalkan Sie Liong dan iapun lari memasuki kamar ayah dan ibunya.

Melihat ini, Sie Liong juga meninggalkan ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di belakang rumah. Hatinya lega karena Bi Sian tidak sampai salah paham dengan dia. Diam-diam dia merasa bangga dan kagum kepada keponakannya itu. Bi Sian telah menjadi seorang gadis seperti yang selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa, berkepandaian tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya tadi ketika melihat ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah dipengaruhi emosi.

Dan teringatlah dia kepada Bong Gan. Pemuda itu suheng Bi Sian? Sebagai suhengnya, tentu memiliki ilmu silat yang lebih tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa pemuda itu tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuat hatinya merasa tidak enak.

Dia duduk di atas bangku di bawah pohon. Mengapa dia merasa tidak enak? Karena pemuda itu suheng Bi Sian dan kelihatan amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian mengajak pemuda itu pulang? Hendak diperkenalkan kepada ayah ibunya? Kalau benar begitu, mengapa dia harus merasa tidak enak? Sudah sepantasnya kalau Bi Sian saling mencinta dengan pemuda itu!

‘Ah, tidak....!! Tiba-tiba dia bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat dan sadar lagi, duduk kembali. Ih, engkau ini kenapa? Demikian dia memaki diri sendiri. Bi Sian seorang gadis yang cantik manis, dan suhengnya itupun seorang pemuda tampan. Keduanya sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau saling jatuh cinta. Kenapa di hatinya, harus ikut ribut-ribut? Dia kan hanya pamannya, dan dia kan hanya seorang bongkok? ‘Yang tahu dirilah kau!! demikian dia memaki diri sendiri dan Sie Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali.

***

Seorang pemuda memasuki rumah pelesir yang mewah itu. Pemuda itu tampan dan segera menarik perhatian para pelacur yang hendak memperebutkan perhatian pemuda itu. Maka, ketika pemuda itu duduk di dalam ruangan makan di depan, segera ada lima orang gadis pelacur menghampirinya, menyapanya dengan ramah dan tanpa diminta mereka segera duduk mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis, muka mereka yang berbedak tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak wangi, membuat pemuda itu tersenyum-senyum gembira. Pemuda itu bukan lain adalah Bong Gan!

Sebetulnya, tidak aneh kalau kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran, walaupun selama ini dia amat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dla melakukan perjinahan dengan Pek Lan, selir ayah angkatnya itu, dia sudah menjadi hamba nafsu berahi yang tidak ketulungan lagi! Akan tetapi, sebagai murid Koay Tojin dan yang selalu dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali menjaga diri sehingga di luarnya dia nampak alim bukan main, sopan dan tidak pernah kurang ajar. Akan tetapi, apabila dia memperoleh kesempatan, yaitu ketika melakukan perjalanan seorang diri untuk berbelanja bumbu atau memburu binatang, dia selalu mempergunakan kepandaiannya untuk memuaskan berahinya yang berkobar-kobar.

Di luar dugaan Bi Sian dan Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan sering sekali mengganggu wanita. Baik melalui ketampanannya, kepandaiannya, maupun dengan paksa! Banyak sudah isteri atau anak gadis orang menjadi korbannya, namun selalu dapat menjaga diri, menyembunyikan mukanya sehingga tidak ada yang mengenalnya. Wanita yang dirobohkannya dengan modal ketampannya, selalu adalah isteri orang yang tentu saja tidak akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran bukan tempat asing bagi Bong Gan karena kalau dia tidak mendapat korban, maka tempat pelacuranlah yang menjadi tempat dia melepaskan semua dorongan nafsu birahinya.

Kini dia berada di rumah pelacuran karena hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari Bi Sian, bermalam di sebuah rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, diapun keluar berjalan-jalan dan akhirhya masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang besar di kota Sung-jan. Bong Gan tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah penginapan tadi, dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk memasuki sebuah rumah gedung dan dari dalam rumah itu, tanpa diketahui siapapun, dia telah berhasil mencuri uang emas yang cukup banyak. Dengan kepandaian yang dia miliki, kejahatan seperti itu mudah saja dia lakukan.

Tak lama kemudian, dia sudah masuk ke dalam kamar ditemani oleh tiga orang gadis pelacur! Menjelang tengah malam, baru dia keluar dari dalam kamar itu dan bermaksud untuk kembali ke rumah penginapan. Besok pagi-pagi dia akan berkunjung ke rumah Bi Sian dan dia tidak ingin kurang tidur. Akan tetapi, baru saja dia keluar digandeng tiga orang gadis pelacur yang kelihatan amat mencintanya. Siapa orangnya takkan mencinta seorang pemuda yang tampan, jantan dan royal dengan uangnya? Apa lagi kalau perempuan itu seorang pelacur!

‘Heiii, bukankah engkau suheng dari Bi Sian?! Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki menegurnya, Song Gan menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria yang menegurnya itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Bong Gan sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian di rumah pelacuran!

Celaka, pikirnya, habislah namanya. Rusaklah dia di mata ayah Bi Sian dan tentu sumoinya itu juga akan mendengar dari ayahnya! Tentu sumoinya itu tidak akan sudi lagi berdekatan dengan dia kalau mendengar bahwa dia dilihat ayahnya di rumah pelacuran, dirangkul tiga orang pelacur. Dia cepat dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura tidak mengenal Yauw Sun Kok dan melepaskan diri dari gandengan tiga orang pelacur, dia lalu keluar sambil berkata dengan suara dirobah.

‘Anda salah lihat!!

Yaw Sun Kok belum mabok pada saat itu. Dia memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau dia tidak berjudi, tentu dia berada di sini, main-main dengan gadis pelacur, atau sekedar mabok-mabokan. Ketika melihat pemuda yang digandeng tiga orang pelacur itu, dia segera mengenalnya dan menegurnya. Sebetulnya kekhawatiran Song Gan tidak beralasan. Orang yang sudah menjadi langganan rumah pelacuran seperti Yauw Sun Kok, tentu tidak akan memandang rendah kepada pria lain yang juga datang menghibur diri di tempat itu.

Yauw Sun Kok adalah seorang manusia yang jiwanya lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga jiwanya menjadi hamba dari nafsunya. Karena sejak kecil hidup sebagai orang sesat, di tengah-tengah orang yang bekerja sebagai perampok, penjudi dan penjahat-penjahat, akhirnya isterinya terbunuh oleh Sie Kian, dia menjadi sakit hati dan setelah memperdalam ilmu-ilmunya, dia berhasil membalas dendam, membasmi keluarga musuh besarnya itu. Akan tetapi dia tergila-gila kepada Sie Lan Hong dan membawa gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie Liong hidup atas permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya. Karena cintanya terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah jalan hidupnya. Dia dapat mengekang nafsu-nafsunya, karena semua nafsunya telah dipuaskan oleh isteri yang dicintanya itu. Apalagi ketika Bi Sian terlahir. Sun Kok bahkan pernah menjadi suami dan ayah yang baik.

Melihat Bong Gan bersikap tidak mengenalnya, hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran. Akan tetapi tak lama kemudian dia sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat tengah malam, diapun berjalan pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.

Ketika Sun Kok melewati daerah yang sunyi, di mana tidak ada rumah di kanan kiri jalan, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam yang langsung menyerangnya dengan kepalan tangan. Serangan itu dahsyat sekali, mendatangkan angin pukulan yang keras.

Bagaimanapun juga, Sun Kok adalah seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan tingkat kepandaiannya cukup tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan cepat dia mengelak sambil menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan cengkeraman ke arah pundak penyerangnya! Namun, penyerang itu lihai bukan main karena dengan amat mudahnya dia menghindarkan diri dari cengkeraman itu.

Saat itu dipergunakan Sun Kok yang cepat melompat ke belakang itu untuk mengamati penyerangnya. Cuaca gelap, akan tetapi dia melihat bayangan penyerangnya yang berpunggung bongkok!

‘Sie Liong....!! teriaknya dengan suara penuh rasa ngeri. Memang sejak dahulu dia takut kepada adik isterinya, takut kalau sampai anak itu mengetahui bahwa dialah pembunuh orang tuanya. Kalau saja tidak melihat isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie Liong. Dan kini, apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin bongkok itu, masih berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya hendak membalas dendam dan menyerangnya!

Maklum bahwa dia terancam maut, tangan Yauw Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun menyambar ke arah tubuh orang bongkok itu. Namun, dengan sigapnya, lawannya itu berhasil mengelak dengan amat mudah. Sun Kok sudah mencabut pedangnya, pedang pusaka Pek-lian-kiam dan biarpun dia mabok, akan tetapi perasaan takut melenyapkan maboknya dan dia sudan mainkan pedangnya, menyerang dengan gesit.

Namun, sekali ini dia harus mengakui bahwa dia telah berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Biarpun lawannya bertangan kosong, namun serangan-serangan pedangnya tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang dapat bergerak secepat burung walet terbang. Kemudian, ketika dengan gugup dia membalik untuk mencari lawan yang tadi berkelebat lenyap ke arah belakangnya, tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh tertotok dan pedangnya berpindah tangan! Sebelum Sun Kok mampu menghindar, sinar pedang berkelebat dan pedang itu telah menembus dada dan jantungnya! Sun Kok roboh terjengkang, seketika tewas dengan dada ditembusi pedangnya sendiri!

Bayangan berpunggung bongkok itu lalu menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu, menyeretnya menuju ke rumah Yauw Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke atas genteng dan selanjutnya berlompatan sehingga tidak ada orang melihatnya. Setelah berlompatan dari rumah ke rumah, dia lalu turun ke pekarangan belakang rumah Yauw Sun Kok. Ketika tiba di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu, kakinya tersaruk sebuah benda yang mengeluarkan suara keras.

‘Siapa itu?! terdengar bentakan suara wanira dari balik jendela. Bayangan itu tidak menjawab, menyeret mayat itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia kurang cepat karena tiba-tiba daun jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian masih sempat melihat seorang laki-laki berkedok dan berpunggung bongkok menyeret sesosok mayat ke dalam kebun.

‘Paman Liong....?! Dia memanggil akan tetapi bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi Sian cepat meloncat keluar dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam kebun. Akan tetapi bayangan orang berpunggung bongkok itu lenyap dan ia menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas tanah. Pada waktu itu, kebetulan sekali bulan sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam, terlepas dari cengkeraman awan dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup terang bagi Bi Sian untuk mengenal wajah orang itu.

‘A.... ayahhhhh....!! Ia menjerit dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu. Ayahnya, benar ayahnya, telah tewas dengan dada ditembusi sebatang pedang yang dikenalnya sebagai pedang pusaka milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam!

Jeritan Bi Sian ini mengejutkan para pengnuni rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari keluar. ‘Bi Sian, apa yang terjadi....?! tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam kebun.

‘Ibu....! Ayah tewas terbunuh orang....!! Bi Sian berseru dan iapun melompat lalu berlari mencari-cari ke dalam kebun. Akan tetapi, ia tidak menemukan jejak orang yang tadi menyeret tubuh ayahnya, lalu ia mendexati rumah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu. Cepat ia berjongkok den diambilnya benda itu.

Sebuah topeng! Topeng yang tadi ia lihat dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!

‘Bi Sian, ada apakah ribut-ribut itu?! Mendengar suara Sie Liong, Bi Sian cepat menyimpan topeng itu ke dalam saku dalam bajunya. Ia memandang tajam kepada wajah Sie Liong. Biarpun remang-remang, ia melihat bahwa selarut itu pamannya ini belum tidur!

‘Paman Liong, apakah engkau tidak mendengar sesuatu?! tanyanya sambil memandang tajam penuh selidik.

‘Mendengar apa? Aku hanya mendengar teriakanmu memanggil ayahmu, lalu suara enci Lan Hong di belakang sini. Apakah yang telah terjadi?!

‘Paman Liong, mari kaulihat sendiri!! katanya sambil menarik lengan pamannya itu. Lengan itu tidak memperlihatkan sesuatu, tidak gemetar, juga sikap pamannya tenang-tenang saja. Bi Sian ingin melihat bagaimana sikap pamannya kalau melihat cihu-nya menggeletak tewas.

Setelah tiba di tempat itu, dari jauh Sie Liong sudah mendengar ratap tangis encinya dan melihat cihu-nya menggeletak dengan pedang masih menancap di dada, dia terkejut bukan main.

‘Enci Hong, apa.... apa yang telah terjadi? Siapa membunuh cihu?! Dia berlutut dan memeriksa. Tak salah lagi. Cihunya telah tewas, tewas seketika melihat pedang itu menembus dada. Melihat adiknya, Sie Lan Hong menangis semakin mengguguk sambil memeluk mayat suaminya.

‘Liong-te.... bagaimanapun juga.... bagaimanapun jahatnya.... aku.... aku mencintanya....!! Wanita itu meratap dan menangis sejadinya.

Sejak tadi Bi Sian sudah memperhatikan sikap pamannya. Terlalu tenang, pikirnya. Terlalu tenang sehingga tidak wajar. Akan tetapi, mengapa ia masih meragukan kenyataan itu? Ia melihat dengan matanya sendiri. Orang yang menyeret mayat ayahnya itu berpunggung bongkok! Siapa lagi kalau bukan pamannya? Dan orang itu bertopeng hitam, topeng hitam yang ia temukan di luar kamar Sie Liong pula!

‘Engkau pembunuh ayahku!! Tiba-tiba Bi Sian berteriak sambil melompat dekat Sie Liong, tangannya sudah menyambar sebatang ranting kayu dan kini digenggam di tangannya, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Sie Liong.

Pemuda itu terkejut dan heran. ‘Apa....? Apa maksudmu, Bi Sian?! Dia bangkit berdiri.

‘Maksudku, Sie Liong, engkaulah yang membunuh ayahku!!

‘Ehh? Apa kau sudah gila? Enci, bagaimana ini? Bagaimana anakmu menuduh aku membunuh suamimu?!

Akan tetapi anehnya, Sie Lan Hong hanya menangis, tidak membantah sedikitpun juga. Memang, di dalam hatinya, Lan Hong juga menduga bahwa tentu adiknya itu yang telah membunuh suaminya, untuk membalaskan sakit hati orang tua mereka.

‘Liong-te, kenapa engkau begitu kejam membunuhnya? Bagaimanapun juga, dia ayah Bi Sian, dia suamiku dan aku.... aku cinta padanya....!

Mendengar ratap tangis encinya ini, Sie Liong terbelalak dan merasa bagaikan disambar geledek di hari terang! Akan tetapi, Bi Sian yang juga mendengar ucapan ibunya, sudah mengeluarkan suara melengking panjang dan ia mengeluarkan topeng hitam itu, melemparkannya ke arah muka Sie Liong yang cepat menangkapnya. Melihat bahwa yang dilemparkan itu sebuah topeng hitam tipis, Sie Liong tidak tahu maksudnya. Akan tetapi pada saat itu, tongkat di tangan Bi Sian sudah menyambar dengan totokan-totokan maut ke arah muka, tenggorokan dan ulu hatinya. Tiga kali totokan bertubi yang kesemuanya amat berbahaya!

Tanpa disadarinya, Sie Liong menyimpan topeng itu ke dalam saku bajunya dan tubuhnya lalu dilempar ke belakang, berjungkir balik setiap kali ada ujung tongkat menyambar dan setelah tiga kali berjungkir balik, dia lalu memalangkan kedua lengannya seperti hendak menggunting kalau tongkat yang amat berbahaya itu menyambar lagi. Akan tetapi kini tongkat itu tidak menusuknya dari depan, melainkan menghantam dari kanan ke arah lambungnya!

Bukan main cepat dan kuatnya serangan Bi Sian. Kembali Sie Liong menghindar diri dengan loncatan ke atas. Celaka, pikirnya. Bi Sian, dan bahkan encinya sendiri, agaknya sudah yakin bahwa dia pembunuh cihu-nya! Agaknya membela diri dan menyangkal tidak ada gunanya pada saat keduanya sedang emosi itu, dan melawan serangan Bi Sian amat berbahaya. Gadis ini memiliki ilmu tongkat yang amat ganas dan lihai, dan teringat dia akan ilmu tongkat yang pernah dipertontonkan Koay Tojin.

‘Kalian salah sangka....!! katanya dan ketika tongkat itu kembali menyambar dengan totokan maut ke arah pusarnya, Sie Liong melompat ke pinggir lalu kakinya menyambar untuk menendang pinggang Bi Sian dari samping. Dia mengerahkan tenaga sehingga angin tendangan itu menyambar keras. Bi Sian terkejut dan cepat melompat ke belakang. Inilah yang dikehendaki Sie Liong. Dia mempergunakan kesempatan selagi gadis itu melompat ke belakang, dia pun melompat jauh dan menghilang di dalam kegelapan malam!

‘Pembunuh, hendak lari ke mana kau?! Bi Sian melompat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, Sie Liong dapat bergerak cepat sekali dan dia sudah tidak nampak bayangannya. Setelah mengejar ke sana-sini tanpa hasil, dengan hati kesal Bi Sian kembali ke dalam kebun. Ia menemukan ibunya masih menangisi mayat ayahnya.

‘Aku tidak berhasil menyusul pembunuh keparat itu! Akan tetapi, ibu, aku akan mencarinya sampai dapat!!

‘Sudahlah, Bi Sian. Yang terpenting sekarang mengurus jenazah ayahmu,! kata Sie Lan Hong yang akhirnya dapat menguasai hatinya yang terguncang.

‘Tapi, ibu, yang terpenting adalah menangkap pembunuh itu!!

‘Hem, bagaimanapun juga, dia adalah pamanmu, adik ibumu.!

‘Apakah kalau adik ibu, lalu dia boleh membunuh ayah sesukanya? Apakah ibu sudah begitu membenci ayah karena ayah telah berubah selama ini?!

‘Bi Sian....!! Sie Lan Hong menangis lagi dan Bi Sian segera menyadari kekeliruannya. Ia berlutut dan merangkul ibunya.

‘Maafkan, ibu. Maafkan aku.... ah, kedukaan membuat aku bersikap kasar kepada ibu.! Gadis itu lalu mengangkat jenazah ayahnya ke dalam rumah.

Para tetangga dan penduduk kota Sung-jan terkejut mendengar berita kematian Yauw Sun Kok yang kabarnya terbunuh orang semalam. Banyak orang menduga-duga siapa pembunuhnya. Yauw Sun Kok mereka kenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, walaupun akhir-akhir ini menjadi gila judi dan suka bermain perempuan dan mabok-mabokan.

Sie Lan Hong menangis perlahan di dalam kamarnya. Ia tidak mau ditemani puterinya dan terpaksa Bi Sian duduk bersila di ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan, ditemani beberapa orang pria tua tetangga mereka.

Ketika Lan Hong menangis lirih, tiba-tiba daun jendelanya terbuka dari luar. Begitu perlahan jendela itu terbuka dari luar sehingga Lan Hong tidak mendengar sesuatu. Baru ia terkejut ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu adiknya telah berdiri di dalam kamar itu. Lan Hong memandang terbelalak kepada adiknya.

‘Mau apa.... kau datang? Engkau sudah membunuhnya, tentu engkau sudah puas, bukan? Biarlah aku yang menderita.... hu-huh.... sejak dulu, aku yang menderita....!!

‘Enci, dengarlah baik-baik. Aku tidak membunuhnya, enci. Aku tidak membunuh cihu....!!

Wanita itu menghentikan tangisnya lalu menarik napas panjang. ‘Sudahlah, Liong-te. Akupun tidak menyalahkanmu. Dulu akupun hendak membunuhnya dan sudah sepatutnya kalau aku atau engkau membunuhnya....!

‘Enci.... apa.... apa maksudmu?! Sie Liong bertanya, hatinya berdebar tegang.

‘Engkau tentu telah menduganya, maka engkau membunuhnya, bukan? Nah, baiklah, karena dia sudah mati, kuceritakan segalanya kepadamu. Memang, Yauw Sun Kok yang menjadi pembunuh ayah dan ibu kita, membunuh suheng Kim Cu An, dan dua orang pelayan keluarga kita dan semua binatang peliharaan kita.!

Sedikit banyak memang sudah ada dugaan di dalam hati Sie Liong yang selalu dibantahnya sendiri karena bagaimana mungkin encinya menjadi isteri pembunuh ayah ibu mereka?

‘Tapi.... tapi mengapa, enci?!

‘Mendiang ayah kita pernah bentrok dengan Yauw Sun Kok ketika dia dan isterinya melakukan perampokan. Dia dahulu seorang perampok. Isterinya tewas di tangan mendiang ayah kita dan dia terluka. Dia lalu memperdalan ilmu silat dan pada malam hari itu, dia berhasil membasmi keluarga ayah kita.!

‘Tapi.... tapi, mengapa enci dan aku sendiri tidak dibunuhnya, dan mengapa pula enci menjadi isterinya....?!

‘Itulah selalu aku yang menderita. Dia tertarik kepadaku. Dia hendak memperkosaku dan membunuh kita berdua kalau aku tidak mau menjadi isterinya. Terpaksa, untuk menyelamatkan engkau yang baru berusia sepuluh bulan, dan menyelamatkan nyawaku sendiri, aku menerima permintaannya. Aku menjadi isterinya dan engkau tidak dibunuhnya. Dan ternyata dia amat baik kepadaku dan kepadamu sampai terlahir Bi Sian dan aku.... aku.... anak durhaka dan tidak berbakti ini, aku jatuh cinta kepadanya, kepada suamiku sendiri dan kepada pembunuh ayah ibuku....! Sie Lan Hong tidak dapat menahan tangisnya lagi. Sie Liong mendengarkan dengan bengong. Die merasa kasihan sekali kepada encinya.

‘Akan tetapi, aku tidak membunuhnya, enci.!

‘Sudahlah, siapa mau percaya. Dan aku sekarang tidak lagi menyalahkanmu, Liong-te. Sudah sepatutnya engkau membunuhnya dan....!

Tiba-tiba pintu kamar itu didorong terbuka dari luar dan Bi Sian meloncat masuk dengan mata terbelalak dan tangannya memegang sebatang pedang yaitu pedang Pek-lian-kiam yang telah membunuh ayahnya!

‘Pembunuh keparat, berani engkau ke sini?! bentaknya dan secepat kilat Bi Sian menyerang dengan pedang itu. Tusukan kilat mengarah dada Sie Liong dan selain nampak kilatan pedang, juga terdengar bunyi mendesing saking cepat dan kuatnya pedang itu meluncur. Namun, dengan cepat Sie Liong menyambar kursi dan melempar kursi itu sebagai perisai. Terdengar suara nyaring dan kursi itu sudah patah-patah berantakan. Akan tetapi tubuh Sie Liong sudah meloncat ke jendela.

‘Bi Sian, engkau keliru. Aku tidak membunuh ayahmu!! kata Sie Liong sebe lum dia meloncat ke luar dan melenyapkan diri,

‘Jahanam, jangan lari!! Bi Sian hendak mengejar, akan tetapi ibunya sudah menubruknya dan memegangi lengannya sambil menangis.

‘Jangan, anakku. Jangan kejar dia....! Biarkan dia pergi....!! tangisnya.

Bi Sian mengerutkan alisnya. Menghela napas panjang. ‘Hemm, ibu melindungi seorang pembunuh, pembunuh suami ibu sendiri, walaupun pembunuh itu adik kandung ibu....! Ia melepaskan diri, akan tetapi tidak mengejar seperti yang diminta ibunya, melainkan dengan bersungut-sungut iapun kembali ke ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan. Ibunya melempar diri di atas pembaringan dan menangis. Bagaimana ia tega untuk merusak hati anaknya dengan menceritakan semua perbuatan ayahnya?

Tidak, ia tidak akan menceritakan semua peristiwa jahanam dahulu itu kepada Bi Sian agar gadis itu tidak tahu bahwa ayahnya seorang yang amat jahat. Tidak perlu ia tahu. Biarlah ia sendiri yang menderita, asalkan Bi Sian tidak menderita! Seperti dulu ia berkorban demi mempertahankan keselamatan Sie Liong, kini ia bersedia berkorban perasaan demi menjaga agar batin puterinya tidak sampai menderita kehancuran.

Pada keesokan harinya, para tetangga datang melayat dan pagi-pagi sekali Bong Gan sudah tiba di situ. Maksudnya untuk berkunjung kepada sumoinya. Tentu saja dia terkejut bukan main melihat peti mati di ruangan depan.

Bi Sian menyambutnya dengan wajah pucat dan mata merah, bekas tangis dan kurang tidur.

‘Sumoi! Apa yang terjadi! Siapa yang meninggal dunia....?! tanyanya dengan penuh kekhawatiran.

‘Yang meninggal dunia adalah ayahku, suheng....!

‘Ahh....!! Pemuda itu terbelalak memandang ke arah peti mati. ‘Ayahmu? Tapi kemarin beliau masih segar bugar....!!

‘Malam tadi.... dia meninggal....! Gadis itu memejamkan matanya, menahan diri agar tidak menangis di depan pemuda itu, apa lagi para tetangga mulai berdatangan melayat. Melihat Ini, Bong Gan lalu menghampiri meja sembahyang, memasang hio untuk memberi hormat kepada jenazah dalam peti. Kemudian dia menghampiri lagi sumoinya.

‘Sumoi, kenapa ayahmu meninggal? apakah sakit?!

‘Mari kita masuk, suheng, aku mau bicara denganmu.!

Bong Gan mengikuti sumoinya menuju ke ruangan dalam. Setelah berada berdua saja, gadis itu mempersilakan suhengnya duduk. ‘Suheng, ayahku malam tadi dibunuh orang.....!

‘Hah....??! Bong Gan meloncat bangkit berdiri dari kursinya, matanya terbelalak. ‘Dibunuh orang? Bagaimana.... siapa....?!

‘Pembunuhnya adalah.... pamanku, adik ibu sendiri....!

‘Ahh! Pemuda berpunggung.... bongkok bernama Sie Liong itu....?!

Bi Sian mengangguk, menarik napas panjang. ‘Benar, dialah yang membunuh ayahku.!

‘Kalau begitu, biar aku mencarinya dan menyeretnya ke depanmu, sumoi!! Bong Gan berseru sambil mengepal tinju, matanya terbelalak penuh kemarahan.

‘Semalam aku sudah menyerang dan mengejarnya, namun tidak berhasil. Dia tidak boleh dipandang ringan, suheng. Agaknya dia telah memperoleh kepandaian yang hebat. Ingat, dia itu murid supek Pek-sim Sian-su yang menurut suhu memiliki kesaktian yang amat hebat. Karena itu, aku akan pergi mencarinya, suheng dan harap engkau suka membantuku. Kalau kita maju berdua, tentu dia akan dapat kita kalahkan.!

‘Aku siap siaga, sumoi! Tanpa kau minta sekalipun, aku memang akan mencarinya untuk membalaskan sakit hatimu ini!!

‘Terima kasih, suheng. Hanya engkau seoranglah yang dapat kumintai bantuan, yang dapat kuharapkan. Nah, sekarang juga kita berangkat untuk mengejar dan mencari Sie Liong!!

‘Ehh? Sekarang? Tidak menanti sampai selesai pemakaman ayahmu?!

‘Tidak, kalau terlambat, dia akan pergi terlalu jauh. Aku sudah siap sedia, lihat, ini buntalan sebagai bekal perjalanan sudah kusiapkan. Mari, kita berangkat sekarang juga!!

Pemuda itu masih bingung karena kepergian itu demikian mendadak, walaupun hatinya merasa girang sekali bahwa dia akan berdua lagi dengan sumoinya, berdua melakukan perjalanan!

‘Kau.... aku tidak berpamit kepada ibumu?!

Gadis itu menggeleng kepalanya dengan wajah duka. ‘Tidak, ibu melindungi adiknya, lebih baik aku tidak menemuinya sebelum aku dapat membalas dendam kepada pembunuh ayahku!! Berkata demikian, gadis itu lalu pergi, diikuti Bong Gan, keluar meninggalkan rumah itu dari pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh para tetangga yang datang berlayat.

Ketika Sie Lan Hong mendengar bahwa puterinya lenyap bersama suhengnya, pergi tanpa pamit, iapun jatuh pingsan. Tidak kuat ia menahan pukulan batin yang bertubi-tubi itu. Yang terutama sekali memberatkan hati nyonya ini adalah karena ia dapat menduga ke mana perginya puterinya itu. Tentu ia hendak pergi mencari Sie Liong untuk menuntut balas dendam!

Maka iapun merasa menyesal sekali mengapa ia tidak segera menceritakan saja sebab-sebab yang mendorong Sie Liong membunuh Yauw Sun Kok. Kalau ia sudah menceritakan, tentu Bi Sian akan mengerti dan dapat memaklumi mengapa pamannya itu membunuh ayahnya, karena memang ayahnya amatlah jahat!

Setelah suaminya tewas dan dimakamkan, Sie Lan Hong hidup seorang diri dalam keadaan sederhana. Ia berdagang dengan modal seadanya, dan setiap hari ia berprihatin, bersembahyang dan mohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk melindungi puterinya dan untuk mencegah agar puterinya jangan sampai membunuh Sie Liong. Kalau hal ini terjadi habislah hidupnya. Ia tidak akan berani melanjutkan lagi kehidupannya penuh dengan penyesalan kalau sampai puterinya membunuh Sie Liong. Ia tidak khawatir kalau puterinya akan terbunuh oleh Sie Liong. Ia sudah mengenal benar watak adiknya yang bongkok itu. Sampai bagaimanapun juga, Sie Liong tidak akan membunuh Bi Sian.

Hal ini ia yakin sama yakinnya bahwa di dasar hatinya, adiknya itu amat mencinta dan menyayang Bi Sian.

***

Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Ia seorang wanita yang mempunyai daya tarik besar sekali. Wajahnya yang berbentuk lonjong itu berkulit putih mulus kemerahan. Matanya jeli dan kedua ujungnya meruncing dan kerlingannya dapat menarik hati pria seperti besi semberani menarik besi. Senyumnya manis sekali, dengan bibir yang lembut itu pandai bergerak-gerak penuh tantangan. Tubuhnya bagaikan bunga sedang mekar, dengan lekuk lengkung yang indah menggairahkan, tidak begitu disembunyikan karena pakaiannya yang ketat dengan jelas membayangkan keindahan bentuk tubuh itu. Dadanya padat, pinggangnya kecil, pinggulnya besar, langkahnya seperti seekor singa kelaparan. Pada lengan, kaki dan leher nampak ditumbuhi bulu lembut dan ini menambah daya tarik. Pakaiannya juga indah, dari sutera yang mahal.

Ketika wanita itu memasuki pintu gerbang kota Ho-tan, semua mata pria yang melihatnya, memandang dengan melotot. Bahkan ada yang matanya sampai mau meloncat keluar. Kalamenjing banyak pria bergerak naik turun, seperti orang kehausan melihat buah yang segar, ada yang lidahnya terjulur ke luar menjilat-jilat bibir sendiri, seperti kucing-kucing kelaparan melihat tikus yang montok. Pendeknya, jarang ada pria yang melewatkan penglihatan seindah itu begitu saja. Bahkan di antara mereka yang memang berwatak ceriwis dan nakal, tersenyum menyeringai, ada pula yang berdehem, ada yang memuji dengan suara. Bermacam-macamlah ulah para pria yang salah tingkah itu ketika melihat wanita yang menggiurkan ini, dan kalau saja sinar mata dapat menusuk seperti anak-anak panah, tentu tubuh wanita itu sudah penuh dengan luka!

Wanita itu bukan tidak sadar bahwa dirinya dijadikan tontonan yang mengasikkan. Ia sadar sepenuhnya akan kecantikannya, dan ia tidak marah, bahkan bangga dan gembira sekali menjadi pusat perhatian dan pujian. Maka ia sengaja membuat lenggangnya semakin menggairahkan, pinggulnya yang montok itu seperti menari-nari, pinggangnya meliak-liuk seperti batang pohon yang tertiup angin, matanya mengerling ke kanan kiri dengan lembut namun tajam, dan bibirnya yang merah membasah itu bergerak-gerak mengarah senyum. Manis sekali!

Semua orang bertanya-tanya siapa gerangan wanita muda yang amat cantik itu. Kalau wanita penduduk biasa dari kota Ho-tan, kiranya tidak mungkin karena melihat pakaiannya yang indah dan mewah, tentu ia seorang wanita kaya raya, mungkin seorang puteri bangsawan. Kalau ia benar wanita bangsawan dari luar kota, mengapa datang hanya berjalan kaki saja? Tidak naik kereta? Wanita cantik itu penuh teka-teki, dan kalau ia lebih lama berada di kota itu, tentu segera akan ada orang yang berani mendekatinya untuk bertanya dan memperkenalkan diri. Terlalu cantik ia dibiarkan sendirian saja di tempat ramai itu. Seperti setangkai bunga, yang terlalu cantik dibiarkan tumbuh di hutan tanpa ada yang melindungi, seperti setangkai buah yang segar dan matang, tentu takkan lama bertahan tergantung di dahan pohon tanpa ada yang memetiknya.

Sudah mulai banyak pria tua muda yang diam-diam membayanginya! Senja telah mulai tua dan malam sudah menjelang masuk. Mereka yang membayanginya, merasa heran ketika melihat wanita cantik itu menuju ke sebuah kuil tua di pinggir kota. Padahal kuil tua itu sudah kosong dan tidak digunakan lagi, merupakan sebuah rumah tua yang ditakuti penduduk karena dikabarkan bahwa kuil itu sekarang menjadi tempat tinggal siluman-siluman! Hampir tidak ada orang berani memasuki, apalagi memasuki kuil, bahkan masuk ke halamannyapun jarang ada yang berani, setelah hari mulai gelap. Banyak orang mengabarkan bahwa kalau malam gelap, seringkali terdengar suara-suara aneh dari tempat yang angker itu!

Ketika mereka yang membayangi wanita itu melihat betapa si cantik itu melenggang lenggok memasuki pekarangan kuil, sudah banyak di antara mereka yang diam-diam menahan kaki mereka, lalu membalikkan tubuh dan pergi dengan bulu tengkuk meremang. Sebagian masih bertahan, diliputi keheranan mau apa seorang cantik seperti itu memasuki pekarangan kuil yang menyeramkan itu? Ketika mereka melihat bahwa wanita itu terus melangkah masuk ke dalam kuil yang gelap, kotor dan tua itu, semua orang membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang! Tidak salah lagi, sudah pasti siluman yang mereka bayangi itu! Siluman yang suka menggoda pria, biasanya siluman rubah yang dapat merobah diri menjadi wanita cantik sekali. Kalau ada pria yang tertarik dan terpikat, akan dibawanya ke dalam kuil dan pada keesokan harinya, tentu pria itu ditemukan dalam keadaan mati konyol atau setidaknya tentu gila!

Kalau saja di antara mereka itu ada yang bernyali besar dan terus membayangi wanita itu masuk ke dalam kuil tentu dia akan menjadi semakin heran. Wanita itu setelah tiba di dalam kuil, tiba-tiba saja bergerak cepat sekali, tubuhnya sudah mencelat naik ke atas wuwungan rumah dan ia mengintai dari atas ke arah jalan yang menuju ke kuil. Dari atas, dalam cuaca yang sudah mulai gelap, ia dapat melihat mereka yang tadi membayanginya, satu demi satu meninggalkan jalan itu, bahkan ada yang lari pontang panting, kembali ke tengah kota. Wanita itu tersenyum geli, bibirnya yang menggairahkan itu berjebi mengejek, lalu tubuhnya melayang turun lagi setelah ia merasa yakin bahwa tidak ada seorangpun yang mengikutinya masuk ke dalam kuil.

‘Hi-hik,! ia tertawa lirih dan berbisik-bisik, ‘biarkan mereka mengira aku siluman. Memang aku siluman.... hi-hik, siluman aseli....!! Ia lalu melangkah masuk ke dalam ruangan belakang kuil itu, bagian yang masih agak utuh karena banyak bagian yang sudah rusak dan dindingnya retak-retak.

Ketika ia tiba di ruangan belakang dan membuka pintu sebuah kamar, orang itu tentu akan berseru keheranan dan ketakutan melihat betapa kamar yang diterangi oleh nyala api lilin itu merupakan sebuah kamar yang bersih, berbau harum dan sama sekali tidak pantas berada di dalam kuil tua yang kotor itu! Kamar ini cukup besar, terdapat sebuah pembaringan yang lebar sekali, cukup untuk tidur enam tujuh orang! Sebuah pembaringan yang diberi kasur tebal dan ditilami kain kapas yang berwarna merah muda, dengan kelambu besar berwarna ungu!

Bantal-bantalnya bersih, dengan sarung yang disulam bun ga-bunga dan burung, ada pula selimutnya yang merah dan tebal. Dan di kamar itu terdapat pula lima buah kursi dan sebuah meja dan di atas meja itu terdapat guci arak dan cawan lengkap, juga roti kering, manis-manisan, buah-buahan dan makanan-makanan kering! Sebuah kamar yang menyenangkan. Dan yang lebih mengherankan lagi dari pada semua itu adalah tiga orang pemuda yang usianya antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun, kesemuanya hanya mengenakan pakaian dalam yang minim, tiga orang pemuda yang tampan dan dengan tubuh yang sehat dan mulus, mereka menyambut kedatangan wanita itu dengan uluran tangan penuh gairah berahi, dan dengan pandang mata penuh kasih sayang dan senyum memikat!

Ketika wanita itu mendekati pembaringan, tiga orang pemuda itu menyambutnya dengan rangkulan, ciuman-ciuman mesra dan belaian-belaian penuh gairah. Wanita cantik itu sampai kewalahan menghadapi penyambutan mesra tiga orang pria muda itu, ia tertawa cekikikan lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang mereka bertiga yang duduk di atas pembaringan. Ketiganya sama-sama tampan, ganteng, jantan dan menarik, pikirnya. Akan tetapi setelah bermain-main dengan mereka, berenang di dalam lautan kemesraan sampai lupa waktu dan lupa batas selama tiga hari tiga malam, ia telah mulai bosan!

Siapakah wanita cantik yang menggairahkan akan tetapi juga mengerikan itu? Ia bukan lain adalah Pek Lan! Tujuh tahun yang lalu, ketika ia berusia tujuh belas tahun, Pek Lan menjadi selir tersayang dari Coa Hun yang terkenal sebagai Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang ketika itu berusia sekitar lima puluh tahun dan merupakan orang terkaya di kota Ye-ceng. Akan tetapi, Pek Lan, keturunan Kirgiz dan Han itu, memiliki darah panari dan nafsu berahi yang besar sehingga ia tidak puas hanya melayani seorang suami yang usianya sudah setengah abad. Maka, melihat betapa putera angkat hartawan itu, biarpun baru berusia tiga belas tahun namun sudah cukup besar, ia merayu anak itu yang bukan lain adalah Bong Gan sehingga terjadilah hubungan gelap di antara mereka. Para selir dan pelayan yang merasa iri melihat Pek Lan menjadi selir terkasih, melihat hubungan itu dan mereka melaporkan kepada Coa-wangwe sehingga dua orang itu tertangkap basah, lalu diusir dari rumah keluarga Coa.

Seperti kita ketahui, Pek Lan bertemu dengan Hek-in Kui-bo, nenek iblis yang mengambilnya sebagai murid. Nenek ini bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi dan amat kejam, juga mewariskan pula wataknya yang amat jahat, kejam, licik dan tidak pantang segala macam perbuatan buruk atau kemaksiatan apapun! Maka bagi Pek Lan, tidak ada perbuatan jahat yang dipantangnya dan ia tumbuh semakin dewasa dan matang menjadi seorang wanita yang berwatak iblis! Juga nafsu berahinya semakin menjadi-jadi!

Untuk memuaskan nafsunya ini, ia memilih pria yang disukanya, dirayu atau dipaksa untuk melayaninya sampai ia merasa puas dan kalau ia sudah merasa bosan, pria itu lalu diusir begitu saja, dan kalau banyak rewel bahkan dibunuhnya! Akan tetapi perbuatan ini ia lakukan di luar rumah subonya. Subonya memiliki sebuah rumah yang mewah di tepi telaga Go-sa dan mereka hidup sebagai orang kaya raya. Guru dan murid ini telah mencuri sejumlah harta dari gedung Pangeran Cun Kak Ong di kota Ho-tan, dan selama tujuh tahun terakhir ini, kalau mereka kekurangan uang, mudah saja bagi mereka untuk mengisi kembali gudang harta mereka. Seluruh tokoh sesat dari dunia hitam berlumba untuk menyerahkan sebagian dari hasil mereka kepada Hek-in Kui-bo yang mereka anggap sebagai datuk mereka. Dan selain itu, amat mudah bagi Pek Lan yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi untuk mengambil begitu saja dari gudang-gudang harta para hartawan atau bangsawan.

Setelah lewat tujuh tahun dan merasa bahwa dirinya sudah dibekali ilmu-ilmu yang hebat, Pek Lan teringat akan penghinaan yang pernah dideritanya di rumah keluarga Coa-wangwe di kota Ye-ceng. Oleh karena itu, ia berpamit dari subonya dan pergi ke kota itu, dengan maksud untuk membalas semua penghinaan yang pernah diterimanya, tentu saja berikut bunga-bunganya! Dan ketika ia tiba di kota Ye-ceng, ia melihat tiga orang pemuda yang dijumpainya dalam perjalaran. Tiga orang pemuda yang tampan, muda dan jantan. Perhatiannya segera tercurah kepada mereka, dan untuk sementara itu melupakan urusannya di Ye-ceng, sibuk memikat tiga orang pemuda itu.

Tidak sukar baginya untuk menjatuhkan hati mereka, dengan kecantikannya dan kemontokan tubuhnya. Segera ia membawa pemuda-pemuda itu ke dalam kuil tua, di mana ia telah membuat sebuah kamar yang indah dan selama tiga hari tiga malam ia berenang dalam lautan kemesraan dan kenikmatan bersama mereka sampai ia merasa agak bosan. Dan setelah bosan, baru ia teringat kembali akan maksudnya semula datang ke kota Ye-ceng itu.

Ketika tiga orang pemuda yang sudah tergila-gila kepada wanita cantik itu membelai dan menciuminya, Pek Lan yang semula merasa bosan lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang kepada mereka bertiga sambil tertawa cekikikan.

‘Sudahlah, aku malam ini tidak dapat main-main dengan kalian, karena mempunyai urusan penting. Kalian makan minum yang kenyang, istirahat baik-baik dan malam nanti, larut tengah malam, atau besok pagi-pagi, aku akan kembali ke sini dan kalian harus bersiap-siap untuk kita bertanding lagi....! Ia tertawa cekikikan seperti siluman dan tiga orang pemuda itupun tertawa gembira. Mereka tidak perduli apakah Pek Lan seorang manusia biasa, ataukah seorang dewi atau seorang siluman! Yang jelas, wanita itu telah menyenangkan hati mereka, memberi mereka kenikmatan yang selama hidup mereka belum pernah mereka rasakan.

Setelah bermain-main dan bersendau-gurau dengan tiga orang pemuda itu dan malam mulai gelap, Pek Lan melepaskan diri lagi dari tangan-tangan mereka, lalu sekali berkelebat iapun sudah lenyap dari dalam kamar itu! Tiga orang pemuda itu hanya dapat merasa heran dan kagum. Kalau sudah ditinggalkan begitu, ketiganya baru mulai merasa ngeri dan seram, menduga-duga siapa gerangan wanita cantik yang selama tiga hari tiga malam mengajak mereka berenang dalam lautan asmara itu.

Tubuh Pek Lan lenyap berubah menjadi bayangan yang gerakannya cepat sekali dan dalam waktu singkat, bayangan telah berada di atas genteng rumah gedung keluarga Coa. Kemudian, beberapa kali bayangan itu berkelebat dan melayang turun, dan ia sudah berada di dalam gedung yang amat luas itu. Di bawah sebuah lampu dinding di dekat taman, ia berhenti dan memandang ke sekeliling sambil tersenyum. Selama tujuh tahun ini, tidak banyak perubahan nampak di rumah itu masih tetap mewah dan indah. Rumah yang amat dikenalnya. Lalu ia mengingat-ingat. Ada tiga orang selir muda dan cantik yang menjadi saingannya dan yang dulu melaporkannya kepada Coa-wangwe. Di samping tiga orang selir itu, juga terdapat dua orang pelayan pria dan seorang tukang kebun pria. Sudah lama ia merencanakan cara ia membalas dendam, dan kini ia tersenyum sendiri. Senyum itu membuka sepasang bibirnya yang merah basah, dan memperlihatkan kilatan giginya yang putih berderet rapi. Cantik memang, akan tetapi juga mengerikan, karena sepasang matanya mencorong dan wajah yang cantik itu seperti wajah seorang siluman tulen!

Ia masih ingat di mana adanya kamar-kamar dari para selir dan para pelayan itu. Dengan amat mudahnya, ia membuka daun jendela sebuah kamar dan bagaikan seekor kucing saja, ia melompat ke dalam. Ia membuka kelambu pembaringan yang tertutup dan melihat seorang di antara musuh-musuhnya, yaitu selir yang tinggi semampai, tidur nyenyak seorang diri memeluk guling. Ia mengguncang pinggul wanita itu yang segera membuka matanya dan terbelalak melihat seorang wanita cantik yang asing di depan pembaringannya.

‘Apa.... siapa kau....?! tanyanya gagap.

Pek Lan tersenyum manis. ‘Benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Ingat tujuh tahun yang lalu....!

‘Pek Lan....! Kau.... Pek Lan....?! selir itu berseru kaget akan tetapi pada saat itu, Pek Lan menggerakkan tangannya dan selir itu terkulai lemas dan tak mampu mengeluarkan suara. Matanya terbelalak ketakutan ketika Pek Lan menariknya, memanggulnya dan membawanya melompat keluar dari kamar melalui jendela yang daunnya ia tutupkan kembali. Ia membawa tubuh selir itu ke dalam Pondok Merah, yaitu sebuah bangunan mungil di tengah taman di mana biasanya Hartawan Coa menghibur diri, mendengarkan nyanyian dan melihat tarian yang dilakukan oleh para selirnya atau rombongan penari yang diundangnya. Karena malam itu Pondok Merah tidak dipergunakan, maka pin tunya dikunci dari luar. Namun, dengan mudah Pek Lan mendorongnya terbuka dan ia membawa tubuh selir itu ke sebuah kamar di pondok itu dan melemparkan tubuh itu ke atas pembaringan. Selir itu hanya dapat terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya, akan tetapi ia ngeri melihat pandang mata Pek Lan yang mencorong seperti bukan mata manusia biasa itu!

Selir ke dua juga diseret ke dalam Pondok Merah dalam keadaan tertotok, lumpuh dan tidak mampu mengeluarkan suara oleh Pek Lan dan dilempar ke dalam kamar yang lain dalam pondok.

Ketika ia memasuki kamar selir ke tiga yang menjadi musuhnya, ternyata selir ini tidur dengan seorang anak perempuan berusia kurang lebih dua tahun. Kiranya selir ini telah mempunyai anak. Akan tetapi ia tidak perduli. Ia menotok selir ini dan juga menotok anak kecil itu agar jangan menangis dan menggagalkan rencananya, kemudian membawa pula selir ke tiga ini ke dalam Pondok Merah. Kebetulan pondok itu memiliki tiga buah kamar dan kini tiga orang selir itu telah berada di dalam kamar-kamar itu.

Kini Pek Lan menuju ke deretan kamar para pelayan. Iapun masih ingat di mana letak kamar dari para pelayan yang dianggapnya musuh. Seorang di antara mereka sudah mempunyai isteri yang juga bekerja di situ sebagai tukang cuci. Ia tidak perduli, dan seperti yang dilakukan kepada para selir tadi, iapun dengan mudah, seperti setan saja, memasuki kamar pelayan dan menotok mereka, lalu menyeret mereka menuju ke pondok di taman bunga. Isteri seorang di antara tiga pelayan pria itupun ditotoknya sehingga tidak mampu berkutik maupun berteriak. Pek Lan melempar-lemparkan tiga orang pelayan prla itu ke atas pembaringan di dalam tiga buah kamar. Mereka itu tumpang tindih di atas pembaringan tanpa dapat berterak, juga mereka hanya terbelalak saja ketakutan ketika Pek Lan merobek-robek pakaian mereka sehingga enam orang di dalam tiga kamar itu semua menjadi telanjang bulat.



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar