Sepasang Pedang Iblis, Bab 6-10

Kho Ping Hoo, Sepasang Pedang Iblis, Bab 6-10. Ada pun pertandingan antara Thai Li Lama melawan wanita cantik Thian-liong-pang merupakan pertandingan yang lebih seru dan menarik. Wanita cantik itu bukan orang sembarangan dalam Thian-liong-pang.
Anonim
Ada pun pertandingan antara Thai Li Lama melawan wanita cantik Thian-liong-pang merupakan pertandingan yang lebih seru dan menarik. Wanita cantik itu bukan orang sembarangan dalam Thian-liong-pang. Memang benar bahwa dia kini menjadi kepala pelayan pribadi Pangcu yang mukanya berkerudung. Akan tetapi dahulunya dia adalah seorang tokoh penting dari Thian-liong-pang. Wanita ini masih merupakan keturunan pendiri Thian-liong-pang, biar pun hanya merupakan cucu buyut luar.

Dia bernama Tang Wi Siang dan semenjak usia dua puluh lima telah menjadi janda karena suaminya tewas dalam pertempuran melawan musuh-musuh Thian-liong-pang. Sebagai bekas isteri dari seorang di antara pimpinan Thian-liong-pang, apa lagi dia sendiri pun keturunan nenek moyang Thian-liong-pang, tentu saja Tang Wi Siang mendapat kedudukan penting di dalam perkumpulan itu dan juga dia mewarisi ilmu silat yang dimiliki turun-temurun oleh Thian-liong-pang.

Ketika suatu hari muncul Si Wanita berkerudung, wanita berkedok yang tak dikenal oleh siapa pun juga muncul di perkumpulan itu, merobohkan pemimpinnya dengan mudah, kemudian mengangkat diri sendiri menjadi pangcu, Wi Siang terpilih menjadi kepala pelayan pribadi dan oleh pangcu baru yang mempunyai kesaktian seperti iblis itu Wi Siang digembleng ilmu silat baru yang hebat-hebat sehingga kepandaiannya meningkat tinggi sekali, jauh lebih tinggi dari pada semua tokoh Thian-liong-pang yang dulu menjadi pimpinan! Akan tetapi sekarang keadaannya menjadi lain dan tentu saja bukan hanya Wi Siang yang menerima ilmu dari ketua baru ini, masih banyak tokoh lain yang menerima ilmu sehingga kini para pengurus Thian-liong-pang bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah, melainkan orang-orang sakti yang luar biasa.

Pangcu baru yang tetap merupakan manusia rahasia itu menurunkan ilmu-ilmunya disesuaikan dengan bakat masing-masing. Tang Wi Siang mempunyai bakat yang baik sekali dalam ilmu meringankan tubuh, maka oleh ketua baru yang aneh itu dia diberi ilmu silat yang mengandalkan gerakan cepat. Ketua baru itu memang mengenal segala macam ilmu silat sehingga kadang-kadang membingungkan dan mengherankan hati para pembantunya. Bahkan ilmu silat keturunan Thian-liong-pang pun dikenalnya baik!

Kini, menghadapi Thai Li Lama, Tang Wi Siang mendapatkan lawan yang amat tangguh. Thai Li Lama di samping suheng-nya juga merupakan tokoh besar di Tibet. Ilmu kepandaiannya amat tinggi, hanya kalah sedikit kalau dibandingkan dengan Thian Tok Lama. Di samping ilmu yang aneh-aneh, Thai Li Lama ini adalah seorang ahli ilmu hitam yang kuat sekali. Dia memiliki ilmu hitam I-hun-to-hoat, yaitu ilmu merampas semangat orang atau menundukkan kemauan orang dengan kekuatan gaib. Tentu saja ia amat jarang ia mempergunakan ilmu hitamnya ini karena dengan ilmu silatnya saja, jarang ada lawan mampu menandinginya.

Tadinya Thai Li Lama memandang rendah lawannya. Biar pun mengaku sebagai tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi wanita itu masih amat muda, paling banyak tiga puluh tahun lebih! Pula ia hanyalah seorang wanita, sampai di mana kehebatannya? Karena memandang rendah, pada gebrakan-gebrakan awal Thai Li Lama hanya menggunakan kedua ujung jubahnya yang panjang untuk menyerang dan menangkis. Akan tetapi betapa kaget hati pendeta Tibet ini ketika tiba-tiba saja bayangan wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu telah memukul dari atas belakang mengarah pundak dan ubun-ubun kepalanya yang gundul.

"Omitohud...!" Ia berseru.

Cepat ia memutar kedua tangan melindungi kepala dan pundak. Tetapi wanita itu telah melejit pergi membatalkan serangan, tahu-tahu sudah mengirim pukulan ke punggung disusul tendangan ke belakang lututnya.

Sambil meloncat jauh ke depan dan memutar tubuh, sepasang mata Thai Li Lama mulai bersinar aneh. Mengertilah kini bahwa lawannya bukanlah sembarang orang yang dapat dipandang rendah. Kiranya wanita itu memiliki ginkang yang amat mengagumkan dan yang dapat mendatangkan bahaya baginya karena ia dapat menduga bahwa dalam hal meringankan tubuh, dia masih kalah jauh!

Maka ia lalu mendengus pendek. Mulailah ia memasang kuda-kuda dan mengerahkan sinkang sehingga setiap kali kedua tangannya menyambar, angin dahsyat bertiup mendahului tangannya menyambar ke arah lawan. Kakek yang maklum akan kelihaian lawan ini tidak segan-segan mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-kun-hoat-lek, ilmu pukulan sakti yang selain mengandung sinkang kuat sekali, juga mengandung hawa ilmu hitam yang mengakibatkan gelombang getaran aneh mempengaruhi lawan.

"Tasss!" Pukulan Thai Li Lama yang amat kuat dan aneh itu dapat dihindarkan oleh Wi Siang yang melesat cepat dan pukulan itu mengeluarkan suara seperti ujung pecut dipukulkan.

"Tass! Tasss!" Dua kali pukulan kedua tangan Thai Li Lama berbunyi mengenai tempat kosong karena tubuh Wi Siang sudah melesat ke kanan kiri.

Tiba-tiba wanita itu sudah membalas dengan terjangan hebat, jari tangan kiri menusuk ke arah mata lawan sedangkan jari tangan kanan mencengkeram ke lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat dan cepat sekali datangnya sehingga Thai Li Lama terkejut bukan main. Untuk menghadapi serangan maut yang amat cepat ini, menangkis sudah tidak keburu lagi, maka hwesio ini terpaksa melempar tubuh ke belakang dan terus bergulingan!

Bagaikan seekor burung walet cepatnya, wanita itu mengejar dan menyambar-nyambarkan serangan dari atas ke arah tubuh yang bergulingan. Memang kini Wi Siang mainkan ilmu silat yang khusus diturunkan ketuanya kepadanya, yaitu ilmu silat Yan-cu-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung Walet), ilmu yang seluruhnya digerakkan dengan ginkang yang amat cepat sehingga membingungkan lawan.

Repot sekali keadaan Thai Li Lama yang sudah bergulingan. Karena dia terus diserang dengan gencar tanpa dapat membalas dan tubuhnya sedang bergulingan, maka dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk meloncat bangun dan terpaksa harus terus bergulingan sambil melindungi tubuh dengan gerakan kedua lengannya. Keadaan sungguh berbahaya dan biar pun tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari pada lawan, namun karena posisinya sudah rusak seperti itu, dengan bergulingan terus mana mungkin kakek ini mampu melindungi tubuhnya terus-menerus? Gerakan Wi Siang amat cepatnya, ke mana pun ia menggulingkan diri pergi, tubuh wanita itu seperti seekor burung telah menyambarnya dan mengirim serangan maut.

Tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara melengking tinggi dari dalam perutnya disusul bentakan keras. "Mundurrrr...!"

Hebat bukan main pengaruh lengking dan bentakan itu, sampai terasa oleh semua orang yang menonton, malah banyak di antara penonton yang otomatis menggerakkan kaki melangkah mundur, seolah-olah perintah itu ditunjuk kepadanya dan ada tenaga rahasia yang mendorong mereka mundur. Apa lagi pengaruh terhadap Tang Wi Siang yang langsung menghadapi serangan ilmu hitam itu.

Wanita ini memekik aneh dan tubuhnya mencelat mundur, seolah-olah ia kaget menghadapi semburan seekor ular berbisa. Saat itu dipergunakan oleh Thai Li Lama untuk meloncat bangun dan setelah meloncat bangun, baru Wi Siang sadar bahwa dia kena diakali dengan pengaruh ilmu hitam. Marahlah wanita itu dan ia menerjang maju lagi sambil membentak.

"Pendeta siluman!"

Akan tetapi Thai Li Lama juga marah sekali, marah yang timbul karena malu. Tadi ia harus bergulingan sampai lama dan pakaiannya kotor semua, maka kini menghadapi terjangan lawan ia mendorongkan kedua tangannya bergantian dengan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek sehingga timbul angin besar menyambar ke arah Wi Siang. Wanita ini mengenal bahaya, maka ia lalu melesat ke kiri, menghindarkan diri dan siap mengirim serangan susulan. Akan tetapi tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara aneh dan amat berpengaruh sambil menudingkan telunjuknya ke arah lawan.

"Engkau sudah lelah sekali...! Kedua kakimu sukar digerakkan...!"

Aneh! Tiba-tiba Wi Siang berdiri terbelalak, tak mampu menggerakkan kedua kaki dan tangannya memegang dahi seperti serasa pusing, tubuhnya lemas saking lelahnya.

"Pendeta curang... kau menggunakan ilmu siluman...!"

Yang berteriak ini adalah Bun Beng. Anak ini semenjak tadi menonton pertandingan dengan hati tertarik dan ia amat kagum menyaksikan sepak terjang wanita Thian-liong-pang. Ketika tadi Thai Li Lama membentak ‘mundur’ dia sendiri sampai melangkah mundur. Anak yang cerdik ini maklum bahwa pendeta Tibet itu menggunakan ilmu siluman yang aneh, maka ia menjadi penasaran dan mendekati pertempuran. Kini, melihat betapa wanita yang dikaguminya itu terpengaruh oleh suara Thai Li Lama, ia memaki dan meloncat maju, menerjang ke depan Thai Li Lama!

Gerakannya ini membuat Tang Wi Siang sadar, sebaliknya Thai Li Lama menjadi marah. Pendeta ini menggerakkan tangan kanan memukul ke arah Wi Siang yang cepat meloncat tinggi ke atas, akan tetapi Bun Beng yang sudah meloncat maju itu secara langsung disambar angin pukulan dahsyat sehingga tubuhnya terlempar seperti peluru dan... melayang melalui tebing menuju ke air pusaran maut!

Semua orang tertegun, bahkan yang sedang bertanding berhenti dan memandang ke arah tubuh Bun Beng yang melayang ke bawah. Dalam keadaan seperti itu, biar orang sepandai koksu sendiri tidak mungkin akan dapat menolong Bun Beng. Semua mata terbelalak ngeri ketika melihat betapa tubuh anak itu terjun ke bawah dan terlempar tepat ke arah tengah-tengah air pusaran maut yang mengerikan itu dengan kepala lebih dulu! Mereka menahan napas dan koksu membanting-banting kaki saking kecewa dan menyesal melihat anak yang amat ia butuhkan itu menuju ke jurang maut yang tak mungkin dapat dielakkan lagi.

Bun Beng menghadapi maut dengan mata terbuka lebar. Ia maklum bahwa tubuhnya akan diterima oleh pusaran air yang merupakan moncong maut terbuka lebar dan ia tahu bahwa ia akan mati. Akan tetapi apa bedanya? Dia diperebutkan oleh tiga kekuasaan yang mengerikan. Memang lebih baik kalau ia menyerahkan diri kepada kekuasaan yang paling besar, yaitu kekuasaan alam yang akan merenggut nyawanya. Maka tanpa menjerit sedikit pun ia membiarkan tubuhnya terbanting di tengah-tengah pusaran air.

"Byurrr!"

Sebelum tubuhnya menyentuh air, Bun Beng yang cerdik masih ingat untuk menarik napas sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya. Begitu tubuhnya menyentuh air, terus saja tubuhnya ditarik ke bawah oleh pusat air yang berpusing itu. Bun Beng, berbeda dengan orang Pulau Neraka tadi, tidak melakukan perlawanan, bahkan menyerahkan dirinya ditarik dengan kekuatan maha dahsyat ke dalam air, menahan napasnya.

Semua orang yang memandang ke arah air menjadi pucat melihat betapa anak yang terjatuh tepat di tengah-tengah pusaran air itu langsung dihisap dan ditarik ke dalam, lenyap seketika! Mereka masih memandang tanpa berkedip, menanti dengan dugaan bahwa tubuh anak itu tentu akan timbul kembali dalam keadaan tak bernyawa dan rusak-rusak. Akan tetapi, ditunggu sampai lama, tubuh Bun Beng tak pernah timbul kembali, seolah-olah lenyap dan habis ditelan bulat-bulat oleh pusaran air itu.

"Celaka... benar-benar celaka...!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membanting-banting kakinya dengan muka merah saking marahnya, kemudian menyapu mereka yang masih berada di pulau dengan pandang matanya. "Kalian semua orang-orang sial yang hanya mendatangkan kerugian bagi kerajaan! Kalian seperti anak-anak kecil nakal yang mengganggu aku! Kalian ini orang-orang kang-ouw suka mencari ribut yang membuat pekerjaanku menjadi tertunda-tunda dan terhalang!"

Semua orang menjadi terkejut dan heran memandang ke arah koksu yang marah-marah itu. Alangkah bedanya sikap kakek botak itu dengan tadi sebelum Bun Beng terlempar ke dalam pusaran air. Tadi sikap koksu itu ramah dan gembira, akan tetapi sekarang, mendadak saja marah-marah.

"Teruskan pibu! Aku masih belum kalah!" Tang Wi Siang, tokoh Thian-liong-pang berkata dengan suara dingin.

"Kami pun belum kalah! Yang menang berhak tinggal di pulau ini, yang kalah harus pergi!" Pimpinan rombongan Pulau Neraka juga berkata, sedikit pun tidak mempedulikan kemarahan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun.

Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah siap lagi menandingi lawan mereka, akan tetapi koksu menggoyangkan tangan dengan sikap tidak sabar sambil berkata. "Sudah, sudah! Tidak ada pibu-pibuan! Apa yang diperebutkan? Anak itu telah mampus ditelan pusaran air, dan pulau ini... dibutuhkan kerajaan. Harap semua pergi dari sini sekarang juga kalau tidak ingin dianggap pemberontak dan kubasmi semua!"

Sekarang semua orang memandang tajam, ada yang terheran-heran, ada pula yang memandang marah. Kini baru tampaklah oleh mereka siapa sebenarnya koksu ini, dan orang macam apa! Keadaan menjadi sunyi dan tiba-tiba terdengar suara tertawa memecahkan kesunyian, disusul suara nyanyian orang yang tertawa itu:


Aku...! Aku...! Aku...!
Pujaanku! Milikku! Hakku!
Keluargaku, sahabatku, hartaku, namaku!
Kurangkul dia yang menguntungkan aku
Kupukul dia yang merugikan aku
Yang terpenting di dunia dan akhirat adalah
Aku...! Aku...! Aku...!


Semua orang terkejut dan menengok, memandang ke arah orang yang menyanyikan kata-kata aneh itu. Yang bernyanyi ini agaknya belum lama datang, dan tak seorang pun melihat kedatangannya karena tadi mereka semua sedang tertarik menonton pertandingan yang seru disusul kejadian mengerikan yang menimpa diri Bun Beng. Orang itu adalah seorang kakek tua yang pakaiannya bersih sederhana, namun kedua kakinya telanjang tak bersepatu. Wajahnya berseri pandang, matanya tajam penuh kejujuran dan tangannya memegang sebatang tongkat berkepala naga.

"Im-yang Seng-cu...!" Beberapa orang tokoh kang-ouw yang masih berada di situ berbisik ketika mengenal kakek itu.

Memang kakek itu adalah Im-yang Seng-cu, seorang tokoh aneh yang tadinya merupakan tokoh dari Hoa-san-pai, akan tetapi karena sikap dan wataknya yang aneh-aneh, dia malah dibenci oleh pimpinan Hoa-san-pai sendiri sehingga Im-yang Seng-cu ini tidak pernah berada di Hoa-san-pai, melainkan merantau mengelilingi dunia sehingga ilmu kepandaiannya makin meningkat hebat. Karena kesukaannya mempelajari ilmu-ilmu silat dari lain aliran itulah yang membuat ia dianggap sebagai murid Hoa-san-pai yang murtad, sungguh pun para pimpinan Hoa-san-pai harus mengakui bahwa Im-yang Seng-cu selalu memiliki sepak terjang seorang tokoh kang-ouw yang aneh dan budiman, tidak mencemarkan nama Hoa-san-pai, dan bahwa kesukaannya akan mempelajari ilmu-ilmu silat itu membuat ia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada Ketua Hoa-san-pai sendiri!

"Ha-ha-ha-ha! Dunia ini menjadi ramai, manusia saling makan melebihi binatang paling buas, semua diciptakan oleh AKU ini! Timbul dari AKU! Ha-ha-ha, bukankah begitu, Koksu yang mulia?"

Karena sikapnya tetap menghormat, bahkan ia menjura dengan hormat kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun biar pun kata-katanya amat lucu dan aneh, koksu tidak menjadi marah. Apa lagi koksu pernah mendengar nama besar Im-yang Seng-cu, maka ia lalu miringkan kepala melirik dan bertanya.

"Apakah orang gagah yang datang ini yang berjuluk Im-yang Seng-cu?"

"Tidak salah, Koksu. Orang-orang memang menyebutku Im-yang Seng-cu. Sungguh pun sebenarnya aku pun hanyalah AKU, seperti setiap orang di antara kalian semua, dan kita memiliki penyakit yang sama, penyakit AKU!"

Karena ucapan itu dianggap berbelit-belit, koksu bertanya, suaranya mulai tidak senang, "Im-yang Seng-cu, apa maksud semua kata-katamu itu? Apa pula maksud kedatanganmu?"

Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya dan tersenyum lebar. "Sudah begitu jelas masih belum mengerti dan perlu kuterangkan lagi? Segala peristiwa yang terjadi dalam penghidupan semua manusia merupakan perputaran yang berporos pada ke AKU-an itulah. Apa yang menyebabkan kita pada saat ini berkumpul di sini? Memilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)? Menggelikan! Tentu sebelum terjadi pemilihan sudah kau tangkap dan dianggap pemberontak! Tidak, mereka itu semua malu-malu untuk mengakui bahwa sasaran utama bukanlah perebutan bengcu, melainkan untuk memperebutkan pusaka-pusaka keramat yang kabarnya lenyap dan berada di pulau ini! Benar tidak? Dan semua datang memperebutkan karena terdorong oleh ke-AKU-annya itulah! Siapa yang dapat membantah?"

"Hemm, Im-yang Seng-cu, omonganmu terlalu besar dan main sikat sama rata saja. Engkau mengenal aku dan tahu bahwa aku adalah seorang petugas negara. Jelas bahwa kedatanganku ini bukan karena aku pribadi, melainkan sebagai utusan!" Koksu itu membantah.

"Kami pun datang sebagai utusan!" teriak seorang tosu dari Kun-lun-pai.

Ramailah semua orang membantah ucapan Im-yang Seng-cu. Kakek bertelanjang kaki ini tertawa bergelak, "Melihat kesalahan orang lain mudah, melihat kesalahan sendiri bukan main sukarnya! Mengakui kelemahan dan kebodohan sendiri merupakan kekuatan yang jarang dimiliki manusia! Koksu yang baik, dan Cu-wi sekalian. Cu-wi semua mengaku sebagai utusan dan bukan karena diri pribadi datang ke sini. Akan tetapi utusan siapakah? Koksu, yang mengutusmu tentulah Kaisarmu, kerajaan dan negaramu, bukan?"

"Tentu saja!"

"Nah, apa bedanya itu? Manusia selalu mementingkan ke-AKU-annya. Diriku, negaraku, rajaku, dan lain sebagainya, yang berporos kepada AKU. Kini terjadi perebutan tidak mau saling mengalah, tak lain tak bukan karena masing-masing membela ke-AKU-annya itulah! Ha-ha-ha-ha! Hapuslah kata-kata AKU dan dunia akan aman, manusia akan hidup penuh damai, tidak akan terjadi perebutan karena lenyap pula istilah milikku, hakku dan aku-aku lain lagi."

"Wah-wah, Im-yang Seng-cu bicara seolah-olah dia sendirilah satu-satunya manusia yang suci di dunia ini!" Seorang kakek Kong-thong-pai menyindir.

"Ha-ha-ha-ha! Sudah kukatakan tadi bahwa penyakitku juga sama dengan penyakit kalian, yaitu penyakit AKU. Penyakit yang sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh manusia yang sakit, mempengaruhi setiap gerak-gerik dan sepak terjang dalam hidupnya. Ini pula yang menimbulkan watak manusia yang amat licik dan rendah. Kalau senang, ingin senang sendiri. Kalau susah, ingin mencari kawan, bahkan kesusahan menjadi ringan seolah-olah terhibur oleh kesusahan lain orang. Betapa rendahnya!"

"Hemmm, apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?" Karena kakek aneh ini tidak menyerang seseorang, maka kemarahan koksu agak mereda, bahkan ia mulai tertarik. Tidak mengadu ilmu silat, mengadu filsafat juga boleh karena dia pun bukan seorang yang buta tentang filsafat.

"Maksudku sudah menjadi watak manusia pada umumnya jika ia berada dalam keadaan menderita, maka penderitaannya terasa ringan terhibur kalau dia melihat penderitaan orang lain! Hiburan yang paling manjur bagi seorang yang sengsara adalah melihat bahwa di sampingnya banyak terdapat orang-orang yang lebih sengsara dari padanya. Mengapa begini? Inilah jahatnya sifat AKU yang menimbulkan rasa sayang diri, rasa iba diri, perasaan-perasaan yang selalu berputar pada poros ke-AKU-annya. Contohnya yang lebih jelas, orang yang mempunyai keluarga tercinta sakit parah akan menderita kesengsaran batin yang hebat. Akan tetapi bagaimana kalau melihat ribuan orang lain sakit? Tentu tidak ada penderitaan batin seperti yang dirasakannya kalau keluarganya yang sakit. Timbul pertentangan-pertentangan dalam hidup antar manusia karena saling membela AKU-nya. Timbul perang di antara negara karena saling membela AKU-nya pula. Manusia menjadi tidak aman dan tidak tenteram hidupnya karena dikuasai oleh AKU-nya inilah, tidak sadar bahwa yang menguasainya itu bukanlah AKU SEJATI, melainkan aku darah daging yang bergelimang nafsu-nafsu badani. Dengarlah betapa AKU SEJATI mengeluh dalam tangisnya!" Im-yang Seng-cu lalu berdongak dan bernyanyi.


Aku sudah bosan!
Aku sudah muak!
Terbelenggu dalam sangkar darah daging!
Setiap saat aku dipaksa
menyaksikan tingkah nafsu angkara mempermainkan sangkar sampai gila
Tawa-tangis, suka-duka,
marah-sesal, suka-duka...
bebaskan aku dari semua ini...!


"Omitohud! Ucapanmu benar-benar merupakan dosa besar, Im-yang Seng-cu. Bagi seorang beragama yang selalu berusaha untuk hidup bersih dan suci, ucapanmu itu merupakan penghinaan. Ucapan kotor yang menjijikkan!" Seorang hwesio berkata dengan alis berkerut.

Dia adalah seorang hwesio yang berada dalam rombongan Bu-tong-pai dan yang sejak tadi hanya menjadi penonton. Agaknya ucapan Im-yang Seng-cu itu membuat hwesio ini tidak sabar lagi untuk berdiam diri. "Engkau tidak boleh menyama-ratakan semua manusia, Im-yang Seng-cu. Manusia ada yang bodoh, ada yang pintar, ada yang kotor batinnya, ada yang bersih dan untuk mencapai kepintaran dan kebersihan batinnya. Jalan satu-satunya hanyalah mempelajari agama dan mematuhi hukum-hukum agamanya."

Im-yang Seng-cu tertawa dan memberi hormat kepada hwesio gendut itu. "Maaf, tentu yang kau maksudkan itu adalah agamamu, bukan?"

"Tentu saja Agama Buddha, karena pinceng beragama Buddha," Jawab hwesio itu.

"Hemm, pertanyaan itu pun terdorong oleh sifat ke-AKU-an pula! Orang selalu merasa baik sendiri, bersih sendiri dan benar sendiri. Karena ini maka para pemeluk agama menjadi saling mencurigai, saling memburukkan dan persatuan antar manusia makin parah. Semua agama adalah baik karena mengajarkan kebaikan, namun sayang sekali, orang-orangnya yang menyalah-gunakan sehingga pelajaran kebaikan sering kali dipergunakan untuk saling menghina dan saling menyalahkan. Maaf, Lo-suhu, aku tidak akan menyinggung pelajaran agama karena aku yakin bahwa semua agama itu mengajarkan kebaikan, tidak ada kecualinya! Akan tetapi, orang yang merasa dirinya paling bersih adalah orang yang kotor karena perasaan diri paling bersih ini sudah merupakan kekotoran! Ada gambaran yang paling tepat untuk itu. Seseorang yang melihat tahi akan menutup hidungnya, merasa jijik dan muak, sama sekali dia lupa bahwa di dalam perutnya sendiri mengandung penuh tahi! Orang yang merasa dirinya paling pintar sesungguhnya adalah sebodoh-bodohnya orang, karena perasaan diri pintar ini sudah merupakan kebodohan! Orang yang merasa dirinya paling kuat sesungguhnya adalah orang yang lemah, karena kesombongannya akan membuatnya lengah. Karena sifat mementingkan AKU-nya, maka manusia berlomba mengejar kemenangan dalam apa pun juga, saling serang saling bunuh. Dalam perkelahian, yang mati dianggap kalah, yang hidup dianggap menang. Yang hidup ini agaknya lupa bahwa dia pun kelak akan mati apabila sudah tiba saatnya! Dan siapa dapat memastikan bahwa yang menang akan lebih bahagia dari pada yang kalah dan mati? Ha-ha-ha, kalau manusia ingat akan semua ini, aku tanggung manusia akan berpikir dulu sebelum memperebutkan kemenangan!"

Filsafat yang diucapkan oleh Im-yang Seng-cu ini membuat penasaran hati mereka yang mendengarkan.

"Im-yang Seng-cu, ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau seorang yang sombong sekali!" Bentak Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. "Kabarnya engkau adalah seorang tokoh Hoa-san-pai. Beginikah pelajaran To-kauw yang dianut oleh para tosu Hoa-san-pai?" Sambil berkata demikian, koksu ini melirik ke arah rombongan orang Hoa-san-pai. Tentu saja koksu ini sudah mendengar bahwa Im-yang Seng-cu adalah orang yang dianggap murtad oleh Hoa-san-pai, dan Koksu yang cerdik ini sengaja menimbulkan perpecahan atau memanaskan keadaan!

"Dia bukan orang Hoa-san-pai!" Tiba-tiba terdengar suara keras dan dari rombongan Hoa-san-pai melangkah maju seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh pendek dan jenggotnya yang sudah putih itu pun dipotong pendek. Tosu ini memandang tajam ke arah Im-yang Seng-cu dan sikapnya penuh wibawa.

Im-yang Seng-cu menghadapi tosu itu dan memberi hormat. "Aihh, kiranya Suheng Lok Seng Cu hadir pula di sini. Terimalah hormat dari Sute..."

"Pinto mewakili Suhu dan memimpin rombongan Hoa-san-pai, sama sekali tidak ada hubungan lagi denganmu, Im-yang Seng-cu. Engkau tidak lagi diakui sebagai seorang murid Hoa-san-pai!"

Semua orang memandang dengan hati tegang, dan koksu memandang dengan mata bersinar. Tahu rasa engkau sekarang, orang sombong, pikirnya. Akan tetapi Im-yang Seng-cu tetap berseri wajahnya dan tenang sikapnya ketika menjawab,

"Lok Seng Cu, aku pun tidak pernah menonjolkan diri sebagai seorang tokoh Hoa-san-pai. Aku berusaha untuk menjadi manusia bebas, akan tetapi... hemm... alangkah sukarnya dan betapa tidak mungkinnya usaha itu. Hidup sendiri sudah tidak bebas. Kita terbelenggu oleh kebudayaan, oleh agama, oleh hukum-hukum yang diciptakan manusia hanya untuk menyerimpung kaki manusia sendiri. Di mana kebebasan? Aihhhh, aku pun rindu kebebasan, seperti Aku sejati...!"

Jawaban itu membuat Lok Seng Cu bungkam, karena memang orang yang dianggap murtad ini tidak pernah menyeret nama Hoa-san-pai dalam setiap sepak terjangnya, dan kalau tadi dianggap tokoh Hoa-san-pai, adalah koksu yang mengatakan, bukan pengakuan Im-yang Seng-cu sendiri.

Karena ‘pembakarannya’ tidak berhasil, koksu menjadi penasaran dan ingin ia ‘menangkap’ Im-yang Seng-cu untuk memancing-mancing kalau-kalau kakek aneh ini akan mengeluarkan ucapan yang menyinggung sehingga dapat dijadikan alasan untuk menyerangnya. "Im-yang Seng-cu, apa pula artinya perkataanmu bahwa manusia kehilangan kebebasan karena terbelenggu oleh hukum-hukum yang diadakan manusia sendiri?"

Im-yang Seng-cu menghela napas panjang. "Inilah yang membuat hatiku selalu menjadi gelisah menyaksikan betapa makin lama manusia makin menjerat leher sendiri, membelenggu tangan kaki sendiri dengan hukum-hukum dan aturan-aturan sehingga beberapa ribu tahun lagi manusia tak dapat bergerak tanpa melanggar hukum! Betapa bayi takkan menangis begitu terlahir, menghadapi semua belenggu ini? Begitu terlahir, tubuhnya sudah dibelenggu kain-kain penutup tubuh, menyusul peraturan dan hukum-hukum yang tiada putusnya. Ada hukum ada pelanggaran, diperkenalkan yang buruk, mengerti tentang kesucian berarti mengerti tentang kedosaan. Aihhh, betapa repot hidup ini!"

"Seorang manusia yang tidak mentaati peraturan berarti melanggar kesusilaan, melanggar kesopanan dan hanya seorang Siauw-jin (orang rendah) yang akan berbuat seperti itu!" Yang berkata demikian adalah Bhe Ti Kong, panglima tinggi besar yang kosen dan jujur itu. Sebagian besar para pembesar dan panglima Kerajaan Ceng (Kerajaan Mancu) mempelajari Agama Khong Hu Cu dan karena orang-orang bicara tentang filsafat, Bhe Ti Kong tertarik lalu mengajukan bantahan atas pendirian Im-yang Seng-cu tadi.

Im-yang Seng-cu tersenyum dan mengangguk-angguk, "Bagus sekali, Ciangkun. Memang tepatlah kalau orang mempelajari kebudayaan setempat! Sekali lagi aku katakan bahwa aku hanya menyesalkan keadaan hidup manusia, bukan sekali-sekali menganjurkan agar semua orang melanggar hukum dan peraturan-peraturan yang sudah ada. Aku sendiri sampai sekarang masih memakai pakaian dan peraturan-peraturan masih tetap kupegang karena seperti juga semua manusia, aku pun dihinggapi penyakit ke-AKU-an sehingga rela melakukan hidup dalam kepalsuan-kepalsuan dan tidak wajar. Seperti semua agama, telah kukatakan tadi, Agama Khong Hu Cu juga mengajarkan segala kebaikan, merupakan pelajaran-pelajaran yang benar-benar tepat. Akan tetapi sayang, betapa sedikit manusia yang mematuhinya secara lahir batin, menyesuaikan pelajaran-pelajaran itu dalam sepak terjang hidupnya sehari-hari! Bukankah Nabi Khong Hu Cu bersabda bahwa seorang Kuncu hanya mengejar kebenaran sedangkan seorang Siauw-jin hanya mengejar keuntungan! Nah, Nabi Khongcu sendiri telah maklum akan penyakit ke-AKU-an manusia sehingga perlu memperingatkan manusia yang selalu ingat akan keuntungan diri pribadi, keuntungan lahiriah! Kukatakan tadi bahwa begitu terlahir, bayi telah dibelenggu kain-kain penutup tubuh. Kalau pakaian dimaksudkan untuk melindungi tubuh, hal yang hanya timbul karena kebiasaan, karena sesungguhnya kalau tidak dibiasakan pun tidak apa-apa, maka apa hubungannya dengan kesusilaan dan kesopanan?"

"Wah, orang yang tidak mau berpakaian dan bertelanjang bulat adalah orang yang tak tahu malu dan tidak sopan!" Seorang membantah dan karena semua orang berpendapat demikian, tidak ada yang peduli siapa yang mengeluarkan bantahan itu tadi.

Im-yang Seng-cu tertawa, "Benarkah begitu? Kalau pun benar, maka anggapan itu muncul setelah orang menciptakan peraturan dan hukum dengan itu! Tidak wajar dan palsu seperti yang lain-lain! Apakah seorang bayi yang baru terlahir dan sama sekali tidak berpakaian itu dianggap tak tahu malu dan tidak sopan? Ha-ha-ha, kulihat Cu-wi kini mulai dapat mengerti apa yang kumaksudkan. Bayi, manusia cilik itu tadinya wajar dan tidak mengenal hukum kesusilaan, maka tidak bisa dianggap rendah atau tak tahu malu. Siapa tidak mengenal hukumnya, dapatkah dianggap melanggar? Setelah tahu akan hukumnya lalu melanggar, barulah dimaki-maki. Dengan demikian, bukankah hukum-hukum diadakan untuk membelenggu kaki tangan manusia sendiri, membatasi kebebasan dan kewajaran hidup? Timbulnya segala kesalahan adalah karena melanggar hukum, dan timbulnya segala pelanggaran hukum adalah karena mengenal hukum yang diciptakan. Berarti, tanpa hukum takkan ada pelanggaran! Pengertian akan baik dan buruk itulah yang membuat manusia terpecah dua, ada yang baik dan ada yang jahat. Pengertian akan kesucian dan kedosaan, hukum-hukum yang diadakan untuk mengerti kedua hal itulah yang menimbulkan kedosaan."

Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Im-yang Seng-cu, engkau benar-benar hebat, membuat kami semua bengong mendengarkan kata-katamu. Apakah engkau datang untuk berkhotbah? Ataukah hendak menyebarkan agama baru?"

"Tidak, Koksu. Aku hanya mencoba untuk membentangkan keadaan sebenarnya, mengajak semua orang berlaku wajar dan tidak berpura-pura, menyesuaikan diri dengan keadaan bukan semata-mata demi keuntungan diri pribadi. Seperti engkau sendiri, Koksu. Kehadiranmu dengan banyak pasukan pemerintah di tempat ini mengapa pakai berpura-pura? Kalau memang pemerintah melarang semua orang gagah mencari pusaka-pusaka yang dikabarkan berada di pulau ini, lebih baik terang-terangan saja. Tetapi hendaknya diingat bahwa mencari pusaka-pusaka lama dan memperebutkannya adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan pemerintah sehingga amatlah menggelikan kalau pemerintah akan menggunakan dalih memberontak!"

Muka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berubah merah. "Memang sesungguhnyalah! Kami telah menguasai pulau ini dan tak seorang pun boleh mencoba untuk mencari benda apa saja yang berada di pulau ini. Kalau ada yang tidak setuju, boleh menentangku!" Sambil berkata demikian, kakek botak itu melangkah maju dengan sikap menantang.

Im-yang Seng-cu tertawa lagi dengan sikap tenang. "Im-kan Seng-jin, siapa yang dapat melawanmu? Aku sendiri sudah tua, bukan kanak-kanak yang suka mengadu kepalan memperebutkan permainan." Dia lalu menghadapi semua orang yang masih berada di situ sambil berkata nyaring, "Harap Cu-wi sekalian pulang ke tempat masing-masing. Biar pun belum mencari dan menyelidiki sendiri, namun aku yakin bahwa pusaka-pusaka yang lenyap itu tidak mungkin berada di pulau ini. Kakek bongkok Gu Toan penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang amat lihai itu mati terbunuh dan pusaka-pusaka Suling Emas lenyap, hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Setelah berhasil merampas pusaka masa orang sakti itu lalu meninggalkannya begitu saja di tempat ini? Mustahil! Marilah kita pergi dan biarlah Koksu yang mempunyai banyak pasukan ini kalau perlu membongkar pulau dan meratakan dengan laut untuk mencari pusaka-pusaka itu. Ha-ha-ha!"

Im-yang Seng-cu melangkah pergi dari situ dan semua orang lalu pergi tanpa pamit, dipandang oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan alis berkerut karena merasa disindir, akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Koksu ini mengerti benar akan politik yang dijalankan Pemerintah Ceng, yaitu ingin membaiki para tokoh-tokoh kang-ouw dan sedapat mungkin mempergunakan kepandaian mereka, bukannya memusuhi mereka sehingga memancing pemberontakan-pemberontakan karena Kerajaan Mancu mengerti benar bahwa rakyat masih belum mau tunduk kepada pemerintah penjajah dan di dalam hati amat membenci pemerintah Ceng.

Maka, untuk menghilangkan rasa penasaran karena tadi ia merasa ‘ditelanjangi’ oleh Im-yang Seng-cu, juga karena alasan yang dikatakan oleh bekas tokoh Hoa-san-pai tentang pusaka-pusaka itu tepat, maka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun lalu mengerahkan pasukannya untuk sekali lagi melakukan pencarian di pulau itu, bukan mencari pusaka yang ia tahu memang tidak berada di pulau itu, melainkan mencari petunjuk-petunjuk selanjutnya karena jejak yang didapatkannya hanya sampai di pulau itu.

Akan tetapi, sampai beberapa hari mereka bekerja, hasilnya sia-sia sehingga akhirnya koksu terpaksa kembali ke kota raja dengan hati mengkal dan memerintahkan kepada dua orang pembantunya yang paling boleh diandalkan, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, untuk merantau di dunia kang-ouw, memasang mata dan telinga, mencari kabar dan cepat-cepat memberi laporan kepadanya kalau ada berita bahwa ada tokoh kang-ouw yang mendapatkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali Pusaka Sepasang Pedang Iblis.

Mengapakah koksu ini ingin benar mendapatkan Sepasang Pedang Iblis? Sebenarnya, sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi sekali, dia tidak hanya menginginkan sepasang pedang itu, juga ingin memiliki pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas yang amat keramat dan ampuh. Akan tetapi, lebih dari segala pusaka di dunia ini, ia ingin sekali mendapatkan Sepasang Pedang Iblis, hal ini bukan hanya karena dia mendengar akan keampuhan sepasang pedang yang pernah menggegerkan dunia pada puluhan tahun yang lalu, juga karena masih ada hubungan antara Bhong Ji Kun ini dengan Si Pembuat Pedang itu!

Sepasang Pedang Iblis adalah sepasang pedang milik Pendekar Wanitar Sakti Mutiara Hitam yang kemudian terjatuh ke tangan sepasang pendekar murid Mutiara Hitam. Kedua pedang yang ampuh itu dibuat oleh dua orang ahli pedang dari India, laki-laki dan wanita yang sakti dan yang hanya setelah dikalahkan oleh Mutiara Hitam baru mau membuatkan sepasang pedang yang dikehendaki Mutiara Hitam, dibuat dari dua bongkah logam yang jatuh dari langit!

Kedua orang India ini bernama Mahendra dan Nila Dewi. Ada pun koksu Kerajaan Mancu yang lihai ini pun adalah seorang peranakan India dan antara dia dengan kedua orang ahli pedang India itu masih ada hubungan keluarga! Biar pun Mahendra dan Nila Dewi yang dianggap suami isteri itu hanya merupakan kakek dan nenek luar yang sudah jauh, akan tetapi sedikit banyak ada hubungan darah sehingga kini Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi penasaran kalau tidak dapat merampas Sepasang Pedang Iblis buatan kakek dan neneknya.

Demikianlah, kini dengan mati-matian Bhong Ji Kun berusaha mendapatkan Sepasang Pedang Iblis. Untuk menyelidiki gerak-gerik orang-orang kang-ouw yang dianggapnya menjadi sebab kehilangan pusaka-pusaka itu, koksu memberi tugas kepada Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Tibet yang memiliki kepandaian tinggi itu, tingkat kepandaian yang hanya sedikit di bawah tingkat Si Koksu sendiri.

********************

Sesosok bayangan putih menyambar turun dari angkasa dan terdengar bunyi kelepak sayap disusul bergeraknya daun-daun pohon ketika pohon itu tertiup angin yang keluar dari gerakan sayap dan burung garuda putih yang besar itu hinggap di atas tanah. Laki-laki berkaki buntung sebelah itu meloncat turun dan terdengar keluhannya lirih ditujukan kepada si Burung Garuda.

"Pek-eng (Garuda Putih), kita tidak berhasil mencari Kwi Hong! Aihhh... kenapa selama hidupku aku harus selalu menderita kehilangan...?"

Burung itu menggerak-gerakkan lehernya dan paruhnya yang kuat mengelus-elus kepala Suma Han yang berambut putih, seolah-olah burung itu hendak menghiburnya. Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Han. Majikan Pulau Es yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga Pendekar Siluman. Usia pendekar sakti ini belum ada tiga puluh tahun, akan tetapi biar pun wajahnya masih tampan dan segar, rambutnya yang putih dan pandang matanya yang sayu membuat pendekar ini memiliki wibawa seperti seorang kakek-kakek tua renta!

"Pek-eng...," katanya lirih, berbisik-bisik sambil mengelus leher burung itu, "siapa yang mempunyai, dia yang akan kehilangan..."

"Nguk-nguk..." Garuda itu mengeluarkan suara lirih, seolah-olah ikut berduka.

"Engkau pun merasa kehilangan karena engkau mempunyai garuda betina yang kini pergi bersama Kwi Hong. Aku telah banyak menderita kehilangan karena aku banyak mempunyai orang-orang yang kucinta...! Ahhh, betapa bahagianya orang yang tidak mempunyai apa-apa karena dia tidak akan menderita kehilangan apa-apa! Siapa bilang yang punya lebih senang dari pada yang tidak punya? Ah, dia tidak tahu! Mempunyai berarti menjaga karena selalu diintai bahaya kehilangan. Hanya orang yang tidak mempunyai apa-apa saja yang dapat enak tidur, tidak khawatir kehilangan apa-apa!"

Suma Han menjatuhkan diri di atas tanah, bersandar batang pohon dan dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tidur pulas! Memang To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es ini di samping kesaktiannya yang luar biasa, mempunyai kebiasaan aneh, yaitu dalam urusan makan dan tidur ia berbeda dengan manusia-manusia biasa. Kadang-kadang sampai belasan malam dia tidak tidur sekejap mata pun, selama belasan hari tidak makan sesuap pun, akan tetapi dia dapat tidur sampai berhari-hari dan sekali makan menghabiskan beberapa kati gandum!

Garuda putih yang setia dan cerdik itu, begitu melihat majikannya pulas lalu terbang ke atas pohon, hinggap di cabang pohon dan tidur juga. Burung ini sudah melakukan penerbangan amat jauh dan lama sehingga tubuhnya terasa lelah. Dua makhluk yang sama-sama lelah itu kini mengaso dan keadaan di dalam hutan itu sunyi, yang terdengar hanya bersilirnya angin mampermainkan ujung-ujung daun pohon.

Dalam keadaan tertidur pulas itu, wajah Suma Han berubah sama sekali. Biasanya di waktu ia sadar, wajah yang tampan itu selalu terselubung kemuraman yang mendalam, apa lagi karena sinar matanya yang tajam dan dingin serta aneh itu selalu tampak sayu, membuat wajahnya seperti matahari tertutup awan hitam. Kini setelah ia tidur pulas, lenyaplah garis-garis dan bayangan gelap, membuat wajahnya kelihatan tenang tenteram dan mulutnya tersenyum penuh pengertian bahwa segala yang telah, sedang dan akan terjadi adalah hal-hal yang sudah wajar dan semestinya, hal-hal yang tidak perlu mendatangkan suka mau pun duka! Wajahnya seperti wajah seorang yang telah mati, tenang dan tidak membayangkan penderitaan batin karena seluruh urat syaraf mengendur dan tidak dirangsang nafsu perasaan lagi karena di dalam tidur atau mati, segala persoalan lenyap dari dalam hati dan pikiran.

"Suma Han, bangunlah!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun mengandung getaran kuat yang membuat Pendekar Super Sakti membuka mata.

Dengan malas ia bangkit dan memandang orang yang membangunkannya. Kiranya di depannya telah berdiri seorang kakek yang dikenalnya baik karena kakek yang memegang tongkat berujung kepala naga itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu! Namun ia bersikap tak acuh dan garis-garis bayangan suram kembali memenuhi wajahnya ketika ia bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya. Ia hanya sekilas memandang wajah kakek itu, kemudian menunduk, seolah-olah enggan untuk berurusan dan memang sesungguhnya, dalam saat seperti itu Suma Han merasa malas untuk berurusan dengan siapa pun juga. Betapa pun, mengingat bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar yang dikenalnya baik, bahkan Im-yang Seng-cu adalah guru dari orang-orang yang amat dikenal dan disayangnya, maka ia berkata sambil tetap menundukkan muka.

"Locianpwe Im-yang Seng-cu, apakah yang Locianpwe kehendaki sehingga demikian perlu membangunkan saya yang sedang mengaso?"

"Apa yang kukehendaki? Ha-ha! Thian yang Maha Adil agaknya yang menuntun aku sehingga tanpa kusengaja dapat bertemu denganmu di sini, Suma Han. Aku hendak membunuhmu!"

Suma Han sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan, bahkan seperti tidak peduli. Dia hanya mengangkat muka dan memandang sejenak, membuat Im-yang Seng-cu terpaksa mengejapkan mata karena merasa seolah-olah ada sinar yang menusuk-nusuk keluar dari sepasang mata Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu. Akan tetapi sepasang mata itu menunduk kembali dan dada Suma Han mengembung besar ketika ia menarik napas panjang.

"Ada akibat tentu bersebab. Datang-datang Locianpwe hendak membunuh saya, pasti ada sebabnya. Kiranya tidak keterlaluan kalau saya yang hendak Locianpwe bunuh ini lebih dulu mendengar apa yang menyebabkan Locianpwe hendak membunuh saya." Suaranya tetap tenang.

Im-yang Seng-cu juga menghela napas panjang. Sebenarnya tak ada seujung rambut pun rasa senang di hatinya untuk menghadapi Pendekar Super Sakti dengan ancaman untuk membunuhnya! Baik karena pengetahuannya bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan pendekar muda ini, mau pun karena memang dia selalu merasa suka dan kagum kepada Suma Han.

"Tentu ada sebabnya! Dahulu engkau yang menjadi sebab kematian seorang muridku yang tersayang, yaitu Soan Li. Hal itu masih dapat kulupakan sungguh pun ada orang yang takkan dapat melupakannya, yaitu Tan-siucai..."

Suma Han memejamkan mata, dan bibirnya mengeluarkan keluhan disusul ucapannya yang menggetar, "Mohon Lo-cianpwe jangan menyebut-nyebut namanya lagi..."

Di depan kedua matanya yang terpejam itu, pendekar muda yang berkaki buntung ini membayangkan semua peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Hoa-san Kiam-li (Pendekar Pedang Wanita dari Hoa-san) Lu Soan Li adalah murid ke dua Im-yang Seng-cu, seorang dara jelita yang lihai sekali dan berjiwa patriot, seorang gadis manis yang jatuh cinta kepadanya, bahkan kemudian telah mengorbankan nyawanya untuk dia! Lu Soan Li tewas di dalam pelukannya dan menghembuskan napas terakhir setelah mengaku cinta kepadanya. Dara perkasa itu tewas dalam usaha untuk menyelamatkannya.

"Suma Han, urusan Soan Li memang sudah kulupakan. Akan tetapi sekarang engkau kembali telah menghancurkan kebahagiaan hidup dua orang yang paling kusayang di dunia ini, kusayang seperti anak-anakku sendiri. Engkaulah yang menjadi sebab kehancuran hidup mereka, karena itu tidak ada jalan lain bagiku kecuali membunuhmu atau mati di tanganmu!"

Suma Han merasa seolah-olah jantungnya ditembusi anak panah beracun, akan tetapi sikapnya tenang dan ia hanya memandang penuh pertanyaan sambil berkata, "Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan Lulu dan Sin Kiat?"

Pendekar Siluman Majikan Pulau Es ini merasa gelisah karena ia dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan adik angkatnya, yaitu seorang gadis Mancu yang amat dicintanya, bahkan merupakan satu-satunya orang yang paling dicintanya di dunia ini. Telah lima tahun ia meninggalkan adiknya itu ketika adiknya menikah dengan Wan Sin Kiat yang berjuluk Hoa-san Gi-Hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san) yaitu murid pertama Im-yang Seng-cu! Siapa lagi yang merupakan dua orang yang dicinta kakek ini kalau bukan muridnya itu?

Ada pun tentang pertanyaan Im-yang Seng-cu tentang dendam yang dikandung di hati orang yang benama Tan-siucai (Pelajar Tan), dia tidak peduli. Dia tahu bahwa Tan-siucai adalah tunangan mendiang Lu Soan Li dan karena dia tidak merasa berdosa terhadap kematian Soan Li yang mengorbankan diri untuk menyelamatkannya, maka dia pun tidak peduli apakah ada orang yang mendendam kepadanya atau tidak. Akan tetapi kalau adiknya, Lulu yang dicintainya itu tertimpa mala petaka...!

"Locianpwe, saya minta Locianpwe menceritakan kepada saya apa yang telah terjadi dengan Lulu!" Kembali Suma Han berkata, sungguh pun sikap dan suaranya tenang, namun jelas ia mendesak dan pandang matanya penuh tuntutan.

"Kau mau tahu? Baiklah, sebaiknya engkau dengar sejelasnya agar kalau nanti kau tewas di tanganku tidak menjadi setan penasaran dan kalau sebaliknya aku yang mati di tanganmu agar lengkap noda darah di tanganmu!" Kakek itu lalu menghampiri pohon yang menonjol. Melihat sikap kakek itu, Suma Han juga duduk di depannya, bersiap mendengarkan penuturan kakek itu.....

Im-yang Seng-cu lalu mulai dengan penuturannya tentang keadaan Lulu dan Sin Kiat. Lima tahun lebih yang lalu, dengan disaksikan oleh Im-yang Seng-cu sebagai wali pengantin pria, yaitu muridnya Wan Sin Kiat, dilangsungkanlah pernikahan Wan Sin Kiat dengan Lulu yang dihadiri oleh Suma Han sebagai kakak angkat dan walinya. Setelah menyaksikan pernikahan adiknya, Suma Han lalu pergi dan semenjak itu tidak pernah kembali atau bertemu dengan Lulu lagi.

Akan tetapi, semenjak ditinggal pergi kakak angkatnya, Lulu selalu kelihatan berduka. Memang pada bulan-bulan pertama dia agak terhibur oleh limpahan kasih sayang Wan Sin Kiat, suaminya. Akan tetapi, bulan-bulan berikutnya hiburan suaminya tidak dapat menyembuhkan kedukaan hatinya, seolah-olah semua kegembiraan hidupnya terbawa pergi oleh bayangan Suma Han, kakaknya. Lebih-lebih setelah Lulu melahirkan seorang anak laki-laki, hubungan suami isteri ini kelihatan makin merenggang.

Im-yang Seng-cu yang sering kali mengunjungi muridnya dapat melihat kerenggangan ini, akan tetapi tentu saja dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara suami isteri itu. Kurang lebih setahun kemudian setelah Lulu melahirkan anak, pada suatu hari Im-yang Seng-cu didatangi muridnya, dan betapa kaget hatinya melihat Wan Sin Kiat menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Hal ini amat mengejutkan hati kakek itu yang mengenal betul kegagahan muridnya.

"Sin Kiat, hentikan tangismu! Air mata seorang gagah jauh lebih berharga dari pada darahnya, jangan dibuang-buang!" Bentak kakek itu yang tidak tahan melihat muridnya yang gagah perkasa itu menangis tersedu-sedu. Wan Sin Kiat menyusut air matanya dan menekan kedukaan hatinya.

"Ceritakan apa yang telah terjadi. Seorang jantan harus berani menerima segala peristiwa yang menimpanya, baik mau pun buruk, secara gagah pula!"

"Maaf, Suhu. Teecu sanggup menghadapi derita apa pun juga, akan tetapi ini... ahhh, Suhu. Isteri teecu, Lulu, telah pergi meninggalkan teecu!"

"Apa...?" Im-yang Seng-cu terkejut juga mendengar ini. "Dan puteramu?"

"Dibawanya pergi."

"Kenapa tidak kau kejar dia? Mengapa datang ke sini dan tidak segera mengejar dan membujuknya pulang?" Im-yang Seng-cu menegur muridnya karena mengira bahwa tentu terjadi percekcokan antara suami isteri itu, hal yang amat lumrah.

Akan tetapi Sin Kiat menggeleng kepala dengan penuh duka. "Percuma, Suhu. Hatinya keras sekali dan kepergiannya merupakan hal yang sudah ditahan-tahannya selama dua tahun, semenjak teecu menikah dengannya."

"Aihh, bagaimana pula ini? Bukankah kalian menikah atas dasar saling mencinta?"

"Teecu memang mencintanya dengan jiwa raga teecu, bahkan sampai saat ini pun teecu tak pernah berkurang rasa cinta teecu terhadap Lulu. Akan tetapi... dia... ahhh, kasihan Lulu... dia menderita karena cinta kasihnya bukan kepada teecu, melainkan kepada Han Han..."

"Suma Han? Dia kakaknya!"

"Itulah soalnya, Suhu. Sesungguhnya, Lulu amat mencinta kakak angkatnya, dan baru setelah melangsungkan pernikahan dan ditinggal pergi Han Han, dia sadar dan baru menyesal. Lulu sudah berusaha untuk melupakan kakak angkatnya, berusaha untuk membalas cinta kasih teecu, aduh kasihan dia... semua gagal, cintanya terhadap kakak angkatnya makin mendalam dan membuatnya makin menderita..."

"Dan semua itu dia ceritakan kepadamu?" Im-yang Seng-cu bertanya dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar penuturan yang dianggapnya aneh tak masuk akal itu.

"Tidak pernah, sampai ketika ia pergi, Suhu. Dia meninggalkan surat, mengakui segala isi hatinya dan minta teecu agar mengampunkan dia, melupakan dia, akan tetapi dengan pesan agar teecu tidak mencarinya karena sampai mati pun dia tidak akan mau kembali kepada teecu."

"Mau ke mana dia?"

"Dia tidak menyatakan dalam surat, akan tetapi teecu rasa dia mau pergi mencari Han Han."

"Si Pemuda Keparat Suma Han!" Im-yang Seng-cu mengetukkan tongkatnya di lantai.

"Jangan, Suhu. Han Han tidak bersalah dalam hal ini... juga Lulu tidak bersalah. Sejak dahulu teecu sudah menduga bahwa cinta kasih di antara kakak beradik angkat itu melebihi cinta kasih kakak adik biasa. Hanya karena sudah tergila-gila kepada Lulu teecu tidak berpikir panjang lagi..."

"Tidak bersalah, katamu? Kalau memang mereka saling mencinta, kenapa dia membiarkan adiknya menikah denganmu? Akan kucari mereka, kalau sampai mereka berdua itu kudapatkan menjadi suami isteri, hemmm... hanya mereka atau aku yang boleh hidup lebih lama di dunia ini!"

"Suhu!" Wan Sin Kiat membujuk suhu-nya, akan tetapi Im-yang Seng-cu berkeras karena merasa betapa peristiwa itu merupakan penghinaan dan penghancuran kehidupan muridnya yang dianggapnya sebagai anaknya sendiri.

Dapat dibayangkan betapa hancur hati guru ini ketika beberapa bulan kemudian ia mendengar bahwa Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat, murid yang patah hati itu, gugur di dalam perang membela Raja Muda Bu Sam Kwi di Se-cuan, ketika bala tentara Mancu menyerbu Se-cuan dan dalam perang ini pulalah Bu Sam Kwi meninggal dunia.

Menurut berita yang didengar oleh Im-yang Seng-cu, muridnya itu berperang seperti orang gila yang tidak mengenal mundur lagi sehingga diam-diam ia mengerti bahwa muridnya sengaja menyerahkan nyawa, mencari mati dalam perang. Hatinya seperti ditusuk pedang dan biar pun dia merasa bangga bahwa di dalam kedukaannya muridnya itu memilih mati sebagai seorang patriot sejati, namun dia berduka sekali karena kematian muridnya adalah kematian akibat putusnya cinta kasih!

Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, Suma Han memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya tidak berubah, akan tetapi pandang matanya makin sayu seperti orang mengantuk.

Im-yang Seng-cu bangkit berdiri. "Nah, sekarang bersiaplah engkau untuk menebus dosamu. Kedua orang muridku mati karena engkau. Hidupku yang tidak berapa lama lagi ini akan tersiksa oleh dendam dan penasaran, maka aku harus membunuhmu atau engkau menghentikan siksa batinku dengan membunuhku!"

Akan tetapi Suma Han tetap bengong, sama sekali tidak memandang kepada Im-yang Seng-cu, melainkan hanya memandang kosong ke depan dan mulutnya berkata lirih, "Hemm... kalau begitu... dia agaknya..." Ucapan ini diulang beberapa kali.

Pada saat itu, muncullah dua orang pendeta Lama yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, diikuti oleh Bhe Ti Kong panglima tinggi besar. Begitu muncul, terdengar suara Thian Tok Lama, "Suma-taihiap, pinceng bertiga datang menyampaikan permintaan koksu supaya Taihiap suka menyerahkan Sepasang Pedang Iblis kepada pinceng."

Akan tetapi Pendekar Super Sakti masih termenung seperti tadi, sama sekali tidak mempedulikan munculnya tiga orang ini, bahkan seolah-olah tidak mendengar kata-kata Thian Tok Lama. Ia tetap berdiri termenung memandang jauh dan terdengar suaranya lirih berulang-ulang. "Aihhh... tentu dia...!"

Thian Lok Lama mengerutkan alisnya melihat sikap Suma Han yang dianggapnya memandang rendah kepadanya. Dahulu, pendeta Lama ini pernah beberapa kali bentrok dengan Suma Han dan maklum akan kepandaian pendekar muda berkaki buntung ini, akan tetapi karena kini ia mengandalkan pengaruh koksu dia tidak menjadi takut. Terdengar pendeta Tibet itu berkata lagi, suaranya lantang menggema di seluruh hutan.

"Suma-taihiap! Koksu menghormati Taihiap sebagai To-cu terkenal dari Pulau Es, maka mengajukan permintaan secara baik-baik dan hormat. Harap saja Taihiap suka menghargai penghormatan Koksu!"

Suma Han tetap tidak menjawab dan termenung. Terdengarlah suara ketawa Im-yang Seng-cu, "Ha-ha-ha-ha-ha! Penghormatan yang menyembunyikan paksaan adalah penghormatan palsu. Menuduh orang menyimpan pusaka tanpa bukti lebih mendekati fitnah!"

Thian Tok Lama menoleh ke arah Im-yang Seng-cu dengan sikap marah, akan tetapi pendeta Tibet yang cerdik ini tidak mau melayani karena dia tahu bahwa menghadapi Suma Han saja sudah merupakan lawan berat, apa lagi kalau dibantu kakek aneh yang dia tahu bukan orang sembarangan pula itu. Maka dia berkata lagi, tetap ditujukan kepada Suma Han.

"Koksu berpendapat bahwa karena Taihiaplah orangnya yang dahulu menguburkan jenazah Siang-mo Kiam-eng (Sepasang Pendekar Pedang Iblis) bersama sepasang pedang itu, maka kini tetap Taihiap pula yang membongkar kuburan dan mengambil sepasang pedang itu. Hendaknya diketahui bahwa yang berhak atas Sepasang Pedang Iblis adalah Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, karena pembuat pedang itu adalah nenek moyangnya dari India. Maka pinceng percaya akan kebijaksanaan Suma-taihiap untuk mengembalikan pedang-pedang itu kepada yang berhak."

Akan tetapi Suma Han mengangguk-angguk dan bicara seorang diri. "Benar, tak salah lagi, tentu dia..."

"Orang ini terlalu sombong!" Tiba-tiba Bhe Ti Kong membentak dan meloncat maju. "Berani engkau menghina utusan Koksu negara, orang muda buntung yang sombong?"

Setelah membentak demikian, Bhe-ciangkun sudah menerjang maju, mencengkeram ke arah pundak Suma Han dengan maksud menangkapnya dan memaksanya tunduk.

"Plakk! Auggghhhhh...!" tubuh tinggi besar Bhe-ciangkun terlempar ke belakang dan terbanting ke atas tanah. Ia meloncat bangun dengan muka pucat dan tangan kirinya memijit-mijit tangan kanan yang tadi ia pakai mencengkeram pundak Suma Han.

Pendekar Super Sakti masih berdiri tak bergerak, termenung seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Ketika Bhe Ti Kong mencengkeram tadi, Pendekar Siluman itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, akan tetapi begitu tangan panglima kerajaan mencengkeram pundak, Bhe-ciangkun merasa tangannya seperti ia masukkan ke dalam tungku perapian yang luar biasa panasnya dan ada daya tolak yang amat kuat sehingga ia terjengkang dan terpelanting.

Melihat kawannya roboh, Thian Lok Lama dan Thai Li Lama terkejut dan marah, mengira bahwa pendekar berkaki buntung itu sengaja menyerang Bhe Ti Kong, maka dengan gerakan otomatis keduanya lalu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh. Angin yang dahsyat menyambar dari tangan mereka, menyerang Suma Han yang masih berdiri termenung, seolah-olah tidak tahu bahwa dia sedang diserang dengan pukulan maut jarak jauh yang amat kuat. Baju di tubuh Suma Han berkibar terlanda angin pukulan itu akan tetapi, tenaga pukulan dengan sinkang itu seperti ‘menembus’ tubuh Suma Han lewat begitu saja dan....

"Kraaakkkk!" sebatang pohon yang berada di belakang Suma Han tumbang dilanda angin pukulan itu, akan tetapi tubuh Pendekar Siluman itu sendiri sedikit pun tidak bergoyang!

Hal ini membuat Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terheran-heran dan penasaran. Kalau lawan itu menggunakan tenaga sinkang melawan serangan mereka, bahkan andai kata mengalahkan sinkang mereka sendiri, hal itu tidaklah mengherankan. Akan tetapi Pendekar Siluman Majikan Pulau Es itu sama sekali tidak melawan dan angin pukulan mereka hanya lewat saja seolah-olah tubuh itu terbuat dari pada uap hampa! Rasa penasaran membuat keduanya menerjang maju dan menggunakan dorongan telapak tangan mereka menghantam dada Suma Han dari kanan kiri!

"Buk! Bukk!" Dua buah pukulan itu mengenai dada Suma Han, akan tetapi akibatnya kedua orang pendeta Lama itu terjengkang dan terbanting seperti halnya Bhe Ti Kong tadi!

"Ha-ha-ha-ha! Kiranya utusan-utusan koksu kerajaan adalah pelawak-pelawak yang pandai membadut, pandai menari jungkir balik!" Im-yang Seng-cu bersorak dan bertepuk tangan seperti orang kagum dan gembira menyaksikan aksi para pelawak di panggung.

Dua orang pendeta Lama itu meloncat bangun dan memandang Im-yang Seng-cu dengan mata mendelik. Keduanya tadi roboh karena biar pun Suma Han kelihatannya diam tidak bergerak, namun dengan kecepatan yang tak dapat diikuti mata, dua buah jari tangan kanan kiri pemuda berkaki buntung itu telah menyambut pukulan telapak tangan kedua lawan dengan totokan sehingga begitu telapak tangan berhasil memukul dada, tenaganya sudah buyar sehingga merekalah yang ‘terpukul’ oleh hawa sinkang yang melindungi tubuh Suma Han.

Tentu saja keduanya terkejut setengah mati. Mereka sudah mengenal Suma Han, sudah tahu akan kelihaian Pendekar Super Sakti itu. Tetapi yang mereka hadapi kini adalah pemuda buntung yang kepandaiannya beberapa kali lipat dari pada dahulu, lima tahun yang lalu. Hal ini mengejutkan hati mereka, juga mendatangkan rasa jeri. Kemudian mereka menimpakan kemarahan, yang timbul karena malu kepada Im-yang Seng-cu yang mengejek mereka.

"Im-yang Seng-cu, engkau sungguh seorang yang tak tahu diri! Di muara Huang-ho Koksu telah mengampuni nyawamu, sekarang engkau berani menghina kami. Coba kau terima pukulan pinceng!"

Thian Tok Lama menerjang Im-yang Seng-cu yang cepat meloncat ke samping karena datangnya serangan itu amat hebat. Pukulan yang dilancarkan Thian Tok Lama adalah pukulan Hek-in-hui-hong-ciang, ketika memukul tubuhnya agak merendah, perutnya yang gendut makin menggembung dan dari dalam perutnya terdengar suara seperti seekor ayam biang bertelur, berkokokan dan tangan kanannya berubah biru. Pukulannya bukan hanya mendatangkan angin dahsyat, akan tetapi juga membawa uap hitam!

Melihat betapa serangan Thian Tok Lama dapat dielakkan oleh Im-yang Seng-cu, Thai Li Lama yang juga amat marah terhadap kakek bertelanjang kaki itu sudah menyambut dari kiri dengan pukulan Sin-kun-hoat-lek yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya dibanding dengan Hek-in-hui-hong-ciang.

"Ayaaaa...!" Biar pun diancam bahaya maut, Im-yang Seng-cu masih dapat mengejek sambil melompat tinggi ke atas kemudian ia berjungkir balik. "Kedua pelawak ini selain lucu juga gagah sekali!"

Tentu saja Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi makin marah. Api kemarahan di dalam hati mereka seperti dikipas, makin berkobar dan dengan nafsu mereka kembali menyerang. Im-yang Seng-cu tentu saja repot bukan main. Ia memutar tongkatnya melindungi tubuh. Melawan seorang di antara kedua orang Lama ini saja tidak akan menang apa lagi dikeroyok dua.

"Plakk... krekkkk!" Ujung tongkat di tangan Im-yang Seng-cu patah dan ia terhuyung ke belakang. Thai Li Lama segera mengejarnya dengan pukulan maut.

Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat, meluncur turun dari atas dan Thai Li Lama yang sedang menyerang Im-yang Seng-cu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar dari atas ke arah kepalanya. Cepat ia mengelak dan mengibaskan tangan.

"Bressss!" Dua helai bulu burung garuda putih membodol ketika cengkeraman burung itu dapat ditangkis Thai Li Lama.

Pendeta Tibet ini menjadi marah dan terjadilah pertandingan hebat antara burung garuda dengan pendeta ini, sedangkan Thian Tok Lama kembali sudah menerjang dan mendesak Im-yang Seng-cu dengan Pukulan Hek-in-hui-hong-ciang yang merupakan cengkeraman maut.

Im-yang Seng-cu adalah seorang bekas tokoh Hoa-san-pai yang sudah mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi sehingga jarang ada orang yang mampu menandinginya. Hampir segala macam ilmu-ilmu silat tinggi dikenalnya dan inilah yang membuat kakek itu lihai sekali, bahkan pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya malah telah melampaui tingkat Ketua Hoa-san-pai sendiri! Akan tetapi sekali ini menghadapi Thian Tok Lama, dia benar-benar bertemu tanding yang amat kuat.

Pendeta Lama itu adalah seorang tokoh Tibet yang memiliki kepandaian tinggi ditambah tenaga mukjizat dari ilmu hoat-sut (sihir) yang banyak dipelajari oleh tokoh-tokoh Tibet. Biar pun hoat-sut yang dikuasai Thian Tok Lama tidaklah sekuat ilmu Hoat-sut milik Thai Li Lama, namun ilmu ini memperkuat sinkang-nya dan menambah kewibawaannya menghadapi lawan. Dalam hal tenaga sinkang, Im-yang Seng-cu jelas kalah setingkat oleh lawannya.

Memang tubuh gendut Thian Tok Lama mengurangi kegesitannya dan Im-yang Seng-cu lebih gesit dan ringan, namun sekali ini Im-yang Seng-cu bertemu dengan lawan yang menggunakan ilmu silat aneh dan asing, sama sekali tidak dikenalnya! Setelah saling serang puluhan jurus lamanya, akhirnya Im-yang Seng-cu terdesak dan hanya mundur sambil mempertahankan diri saja, tidak mampu balas menyerang. Hanya ada sebuah keuntungan yang membuat dia tidak dapat cepat dirobohkan, yaitu bahwa dia bersikap tenang dan gembira, selalu mengejek, berbeda dengan sikap Thian Tok Lama yang dipengaruhi kemarahan dan penasaran.

Seperti juga Im-yang Seng-cu, garuda putih yang menyambar dan menyerang Thai Li Lama mau tidak mau harus mengakui kelihaian pendeta Tibet kurus itu. Memang Thai Li Lama tidak akan mampu menyerang burung itu kalau Si Garuda terbang tinggi, akan tetapi biar pun kelihatannya Si Burung yang selalu meluncur turun dan menyerang kepala Thai Li Lama, selalu burung itu yang terpental oleh tangkisan dan pukulan Thai Li Lama! Banyak sudah bulu putih burung itu bodol dan kini serangannya makin mengendur, bahkan garuda putih itu mulai mencampuri pekik kemarahannya dengan suara tanda gentar.

Sementara itu Suma Han masih terus berdiri bersandar di tongkatnya. Sinar matanya memandang kosong dan bibirnya bergerak-gerak, "Tentu dia... wahai... Lulu... untuk apakah engkau mengambil pusaka-pusaka itu...? Lulu... satu-satunya sinar bahagia yang menembus semua awan hitam di hatiku hanya melihat engkau hidup bahagia di samping suami dan anakmu... akan tetapi... engkau menghancurkan kebabagiaanmu sendiri... sekaligus memadamkan sinar bahagia di hatiku. Mengapa...? Mengapa...?"

Biar pun wajah yang tampan itu masih tidak membayangkan perasaan apa-apa, tetapi bulu matanya basah dan jari-jari tangan yang memegang kepala tongkatnya gemetar, jantungnya seperti diremas-remas, perasaan hatinya menangis dan mengeluh.

Bhe Ti Kong, panglima Mancu tinggi besar yang tadi terpelanting roboh sendiri ketika menyerang Suma Han, sejak tadi memandang pendekar kaki buntung super sakti itu. Dengan hati khawatir panglima ini menyaksikan kedua orang temannya yang bertanding melawan Im-yang Seng-cu dan burung garuda putih. Biar pun kedua orang temannya selalu mendesak, akan tetapi Bhe Ti Kong mengerti bahwa kalau Si Kaki Buntung itu maju, tentu kedua orang pendeta Tibet itu akan kalah.

Dia adalah seorang panglima, sudah biasa mengatur siasat-siasat perang, siasat untuk mencari kemenangan dalam pertempuran. Melihat keadaan pihaknya ini, tentu saja Bhe Ti Kong tidak menghendaki pihaknya kalah dan terancam bahaya ikutnya Pendekar Siluman itu dalam pertempuran. Melihat Suma Han termenung seperti orang mimpi, ia menghampiri perlahan-lahan dan mencabut senjatanya yang mengerikan, yaitu sebatang tombak gagang pendek yang bercabang tiga, runcing dan kuat.

Bhe Ti Kong bukanlah seorang yang berwatak curang atau pengecut, dan apa yang hendak dilakukan ini semata-mata dianggap sebagai siasat untuk kemenangan pihaknya. Biasanya dalam pertempuran perang, tidak ada istilah curang atau pengecut, yang ada hanyalah mengadu siasat demi mencapai kemenangan. Sekarang pun, ketika ia berindap-indap menghampiri Suma Han dari belakang dengan senjata di tangannya, satu-satunya yang memenuhi hatinya hanyalah ingin melihat pihaknya menang.

Setelah tiba di belakang Suma Han, Bhe Ti Kong mengangkat senjatanya dan menyerang. Panglima tinggi besar ini memiliki tenaga yang amat kuat, senjatanya juga berat dan kuat sekali, maka serangan yang dilakukannya itu menusukkan tombak runcing ke punggung Suma Han, merupakan serangan maut yang mengerikan dan agaknya tidak mungkin dapat dihindarkan lagi!

"Wirrrr...!" Senjata tombak cabang tiga yang runcing itu meluncur ke arah punggung Suma Han.

Akan tetapi, pada waktu itu ilmu kesaktian yang dimiliki Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es ini, sudah ‘mendarah daging’ sehingga boleh dibilang setiap bagian kulit tubuhnya memiliki kepekaan yang tidak lumrah. Perasaan di bawah sadarnya seolah-olah telah bangkit bekerja setiap detik sehingga jangankan baru sedang melamun, bahkan biar pun dia sedang tidur nyenyak sekali pun, perasaan ini bekerja melindungi seluruh tubuhnya dari bahaya yang mengancam dari luar.

Pada saat itu pikirannya sedang melayang-layang, seluruh panca inderanya sedang ikut melayang-layang pula bersama pikirannya sehingga dia seperti tidak tahu sama sekali akan segala yang terjadi di sekelilingnya, tidak tahu betapa Im-yang Seng-cu dan garuda tunggangannya didesak hebat oleh Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Akan tetapi, ketika ada senjata menyambar punggung mengancam keselamatannya, perasaan di bawah sadar itu mengguncang kesadarannya dengan kecepatan melebihi cahaya!

"Suuuuutttt!"

Bhe Ti Kong berseru kaget dan bulu tengkuknya berdiri karena tiba-tiba orang yang diserangnya itu lenyap. Ketika ia menoleh, yang tampak olehnya hanyalah bayangan berkelebat cepat menyambar ke arah Thian Tok Lama yang mendesak Im-yang Seng-cu, kemudian bayangan itu mencelat ke arah Thai Li Lama yang bertanding dan tahu-tahu tubuh kedua orang pendeta Lama itu terhuyung-huyung ke belakang dan mereka berdiri dengan wajah pucat memandang Suma Han yang sudah berdiri bersandar tongkat dan memandang mereka berdua dengan sinar mata tajam berpengaruh.

Keduanya telah kena didorong oleh hawa yang dinginnya sampai menusuk tulang dan biar pun kedua orang pendeta ini sudah mengerahkan sinkang, tetap saja mereka itu menggigil dan wajah mereka yang pucat menjadi agak biru, gigi mereka saling beradu mengeluarkan bunyi! Setelah mengerahkan sinkang beberapa lamanya, barulah mereka itu dapat mengusir rasa dingin dan tahulah mereka bahwa kalau Si Pendekar Super Sakti menghendaki, serangan tadi tentu akan membuat nyawa mereka melayang.....


"Katakan kepada koksu kerajaan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bahwa To-cu Pulau Es tidak tahu-menahu tentang Sepasang Pedang Iblis! Nah, sekarang pergilah dan jangan mengganggu orang-orang yang tidak bersalah!"

Thian Tok Lama menghela napas panjang. Pemuda buntung itu hebat luar biasa dan ucapan seorang yang sakti seperti itu tentu saja tidak membohong. Ia menjura dan berkata, "Baiklah dan harap To-cu sudi memaafkan kelancangan kami," Ia memberi isyarat kepada Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong, kemudian mereka bertiga meninggalkan tempat itu.

Keadaan menjadi sunyi. Garuda putih itu kini hinggap di atas cabang pohon, menyisiri bulu-bulunya dengan paruh sambil kadang-kadang memandang ke arah majikannya. Im-yang Seng-cu yang masih mengatur pernapasannya yang agak terengah karena tadi ia terlampau banyak mempergunakan tenaga untuk melindungi dirinya dari desakan hebat Thian Tok Lama, kini melangkah maju mendekati Suma Han, memandang penuh perhatian ke arah wajah yang sudah menunduk kembali itu lalu berkata.

"Suma Han, marilah kita lanjutkan urusan di antara kita. Sudah kuceritakan semua tentang sebabnya mengapa hari ini aku harus membunuhmu atau terbunuh olehmu. Karena engkau, kedua orang muridku tewas dan orang-orang yang kucinta di dunia ini habis. Jangan berkepalang tanggung, hayo kau tewaskan aku pula atau engkaulah yang akan mati di tanganku!"

Tanpa mengangkat mukanya yang tunduk, Suma Han membuka pelupuk matanya yang menunduk. Sinar matanya bagaikan kilat menyambar wajah kakek itu, membuat hati Im-yang Seng-cu tergetar. Diam-diam kakek ini kagum bukan main. Manusia berkaki satu yang berdiri di depannya adalah seorang manusia yang amat luar biasa!

"Benarkah Locianpwe begitu bodoh ataukah hanya pura-pura tolol? Ada kemenangan dalam diri manusia yang melebihi segala makhluk, yaitu perbuatan dengan pamrih demi kebahagiaan orang lain. Bahkan rela berkoban demi kebahagiaan orang lain. Sudah tentu saja akibatnya bermacam-macam sesuai dengan kehendak Tuhan, namun menilai perbuatan bukanlah dilihat akibatnya, melainkan ditinjau pamrihnya."

Im-yang Seng-cu tersenyum dan menyembunyikan kegembiraannya di balik kata-kata mengejek. "Suma Han, semua perbuatan memang berakibat. Hanya seorang gagah sajalah yang berani mempertanggung jawabkan setiap perbuatannya! Kepandaianmu amat tinggi dan aku sudah kehilangan tongkatku, namun jangan mengira bahwa aku akan gentar melawanmu. Jangan bersembunyi di balik kata-kata yang muluk-muluk. Mari kita selesaikan!"

Suma Han menghela napas panjang. "Kalau sekeras itu kehendak Locianpwe, demi penyesalan hatiku telah mengakibatkan kesengsaraan orang-orang yang kucinta, silakan Locianpwe!"

"Bagus! Nah, sambutlah ini!" Dengan wajah yang tiba-tiba berubah girang bukan main, Im-yang Seng-cu meloncat maju, tangan kanannya dengan pengerahan sinkang sekuatnya menghantam dada Suma Han.

"Dessss!" tubuh Suma Han terlempar sampai lima meter, tongkat yang dipegangnya terlepas dan ia roboh terguling, mulutnya muntahkan darah segar.

Seketika wajah Im-yang Seng-cu menjadi pucat sekali. Rona kegirangan lenyap dari wajahnya dan ia meloncat mendekati. "Celaka! Keparat engkau, Suma Han! Engkau telah menipuku...! Ahhh... engkau akan membuat aku mati menjadi setan penasaran... selamanya aku... belum pernah memukul orang yang tidak melawan. Kenapa engkau tidak melawan? Celaka... aiiiihhh... celaka...!"

Tiba-tiba terdengar pekik keras dan bayangan putih menyambar dari atas. Garuda putih telah menyambar dan cakarnya mencengkeram pundak Im-yang Seng-cu, tubuh kakek itu dibawa ke atas lalu dibanting lagi ke bawah.

"Brukkk!"

Im-yang Seng-cu tertawa, pundaknya luka berdarah. "Bagus...! Bagus sekali, garuda sakti! Hayo lekas serang lagi. Hayo bunuh aku... ha-ha-ha! Majikanmu yang gila tidak mau membunuhku, mati di tanganmu pun cukup terhormat. Marilah!" Ia menantang-nantang sambil tertawa dan bangkit berdiri terhuyung-huyung.

Garuda putih menyambar lagi ke bawah dengan penuh kemarahan.

"Pek-eng, berhenti!" Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya mengandung getaran dahsyat dan burung itu tidak jadi menyerang Im-yang Seng-cu, melainkan hinggap di atas tanah dekat Suma Han dan mendekam, mengeluarkan suara mencicit sedih dan takut.

Im-yang Seng-cu membanting-banting kakinya ke atas tanah. "Suma Han, engkau benar-benar kejam! Engkau berkali-kali mengecewakan hatiku! Engkau menerima pukulanku tanpa melawan, membuat aku menjadi seorang manusia yang rendah dan hina! Dan sekarang engkau melarang burungmu menyerangku. He, Pendekar Super Sakti! Apakah setelah engkau berjuluk Pendekar Siluman hatimu pun menjadi kejam seperti hati siluman? Apakah engkau akan puas menyaksikan aku hidup merana menanti datangnya maut menjemput nyawaku yang sudah tidak betah tinggal di tubuh sialan ini?"

"Locianpwe," Suma Han berkata lirih sambil mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan baju. "Locianpwe datang dengan niat membunuhku. Pukulanmu tadi cukup keras akan tetapi belum cukup untuk melukai aku, apa lagi membunuh. Kalau masih belum puas, mari, pukul lagi, Locianpwe."

"Engkau tidak melawan?"

Suma Han menggeleng kepala. "Bagaimana harus melawan? Locianpwe hendak membunuhku karena kesalahanku terhadap Lulu dan Sin Kiat. Biar pun tak kusengaja, memang aku telah bersalah terhadap mereka. Kalau Locianpwe mau membunuhku, lakukanlah!"

Im-yang Seng-cu membanting-banting kakinya lagi. "Kau... kau...!" Dan kakek ini mengusap-usap kedua matanya kerena kedua mata itu menitikkan air mata!

"Locianpwe, ketika garuda menyerangmu, Locianpwe tidak melawan pula, menyambut maut dengan tertawa-tawa. Locianpwe rela mati karena merasa bersalah memukul orang yang tidak melawan. Locianpwe rela mati demi membalas kesengsaraan orang-orang yang Locianpwe cinta. Kalau semulia itu hatimu, apakah aku yang muda tidak boleh menirunya?"

"Kau... kau siluman!"

"Locianpwe, aku mengerti bahwa sesungguhnya Locianpwe tidak ingin membunuhku, melainkan mengharapkan kematian di tanganku. Tak mungkin aku melakukan hal itu, Locianpwe. Sekarang hanya ada dua pilihan bagi Locianpwe. Membunuhku tanpa aku lawan, atau kita sudahi saja urusan ini, biarlah kita berdua melanjutkan hidup dengan kesengsaraan batin menjadi derita. Bukankah hidup ini menderita? Bukankah penderitaan batin merupakan pengalaman hidup yang paling berharga? Bagaimana, Locianpwe? Kalau belum puas memukulku, silakan ulangi kembali!"

Suma Han terpincang-pincang maju mendekati sambil memasang dadanya, Im-yang Seng-cu mundur-mundur seperti ngeri didekati sesuatu yang akan dapat membuat ia menyesal selamanya. "Tidak... tidak... jangan kau dekati aku...!" Kemudian ia menutup mukanya dengan kedua tangan.

"Jika begitu, selamat tinggal, Lo-cianpwe. Locianpwe agaknya lebih suka menghukum batinku, karena sesungguhnya kalau Locianpwe membunuhku, berarti membebaskan aku dari pada penyesalan dan kesengsaraan batin. Selamat tinggal!" Suma Han mengambil tongkatnya, meloncat ke atas punggung garuda dan terdengarlah kelepak sayap dibarengi angin bertitip dan Majikan Pulau Es itu sudah membubung tinggi dibawa terbang garuda putih.

Im-yang Seng-cu menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat, alisnya berkerut dan sampai lama ia memutar pikirannya. Tiba-tiba ia tertawa, "Ha-ha-ha! Untuk ke sekian kalinya aku kalah! Ahhh, bagaimana bocah setan itu tahu bahwa aku akan merasa girang mati di tangannya? Aihh, celaka memang nasibku. Keinginan terakhir mati di tangan Pendekar Super Sakti gagal, bahkan aku yang hampir saja membunuhnya sehingga penderitaanku akan bertambah makin berat. Bukan main...! Dia itu... seorang manusia yang luar biasa... Ahhhh, kalau saja Tuhan dapat mengabulkan setiap permintaan manusia, biarlah sekali ini si manusia Im-yang Seng-cu mohon agar Tuhan sudi mengobati penderitaan batin Suma Han serta melimpahkan kebahagiaan kepadanya. Dia manusia sejati, manusia berbudi luhur... pendekar di antara segala pendekar...!"

"Ha-ha-ha! Kalau dia pendekar di antara segala pendekar, engkau adalah pengecut di antara segala pengecut hina, Im-yang Seng-cu!"

Im-yang Seng-cu terkejut, menoleh dan memandang terbelalak kepada seorang laki-laki muda yang berdiri di depannya. Laki-laki ini usianya masih muda, belum lebih tiga puluh tahun, wajahnya tampan dan gerak-geriknya halus, pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang terpelajar, pakaian pelajar yang bersih dan rapi. Akan tetapi yang mengejutkan hati Im-yang Seng-cu adalah sepasang mata di wajah tampan itu.

Mata itu mempunyai sinar yang mengerikan, seperti mata orang gila, namun juga mempunyai wibawa yang tajam berpengaruh dan aneh. Bukan mata manusia, seperti itulah patutnya mata setan! Biar pun pakaiannya seperti seorang pelajar, namun di punggung orang muda itu tampak gagang sebatang pedang, gagang pedang hitam dengan ronce benang hitam pula.

Biar pun hati Im-yang Seng-cu terkejut dan heran, namun dia marah mendengar orang yang tak dikenalnya ini memakinya sebagai pengecut di antara segala pengecut hina. Bagi seorang kang-ouw, seorang yang menjunjung kegagahan, makian pengecut merupakan makian yang paling rendah menghina.

"Orang muda, kulihat pakaianmu sebagai seorang terpelajar, patutnya engkau tahu akan tata susila dan sopan santun. Kulihat pedangmu di punggung, patutnya engkau tahu akan sikap kegagahan di dunia kang-ouw. Namun engkau datang-datang memaki orang tua, patutnya engkau seorang biadab yang sombong. Siapakah engkau?"

Pemuda itu tersenyum lebar. Senyum yang manis, yang membuat wajahnya makin tampan, akan tetapi seperti yang tersembunyi di balik keindahan matanya, juga di balik senyumnya ini bersembunyi sifat aneh yang mendirikan bulu roma, sifat kejam dan penuh kebencian terhadap sekelilingnya!

"Im-yang Seng-cu, belasan tahun yang lalu sering kali engkau memondong dan menimangku, bahkan yang terakhir engkau mengajarkan Ilmu Pukulan Hoa-san Kun-hoat kepadaku sebagai pembayaran taruhan karena engkau kalah bermain catur melawan Ayahku."

Terbelalak kedua mata Im-yang Seng-cu dan ia memandang penuh perhatian, kemudian berseru. "Siancai...! Kiranya engkau Tan-siucai (Sastrawan Tan) dari Nan-king...!"

Pemuda tampan itu mengangguk-angguk dan senyumnya makin kejam, "Betul, aku adalah Tan Ki atau Tan-siucai dari Nan-king."

"Tapi... tapi... ah, bagaimana Ayahmu?"

"Ayah telah meninggal dunia."

"Ahhh! Sahabatku yang baik, kiranya engkau lebih bahagia dari pada aku, betapa rinduku bermain catur sampai lima hari lima malam melawanmu...!"

"Tak usah khawatir, Im-yang Seng-cu, sebentar lagi pun engkau akan menyusul Ayah akan tetapi tempatmu di neraka, tidak di sorga seperti Ayah!"

Keharuan Im-yang Seng-cu mendengar kematian sahabatnya, serta kegirangannya bertemu dengan pemuda itu, lenyap berganti penasaran dan keheranan melihat sikap Tan-siucai.

"Apakah maksudmu dengan ucapan dan sikapmu ini? Engkau dahulu menganggap aku sebagai paman dan bersikap hormat. Sekarang engkau bersikap kurang ajar, bahkan berani memaki-maki aku. Apa artinya ini?"

"Artinya, orang tua pengecut! Aku datang untuk membunuhmu!"

Im-yang Seng-cu memandang terbelalak, kemudian tertawa bergelak, merasa betapa sangat lucunya peristiwa ini. Tadi baru saja dia menemui Suma Han dengan niat untuk membunuh pendekar itu, dan kini pemuda yang dianggap keponakannya sendiri, yang dijodohkan dengan muridnya, mendiang Lu Soan Li, kini datang-datang justru berniat membunuhnya!

"Tertawalah sepuasmu selagi engkau masih dapat tertawa, Im-yang Seng-cu," Tan-siucai mengejek.

"Orang muda, aku tidak takut mati. Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau tiba-tiba bersikap seperti ini?"

"Dengarlah agar engkau tidak mati penasaran. Engkau seorang pengecut besar karena engkau tidak dapat membunuh Pendekar Siluman. Akulah yang akan membunuhnya kelak. Sayang aku datang terlambat, kalau tidak tentu dia sudah kubunuh sekarang. Engkau telah menyia-nyiakan kewajibanmu menjaga tunanganku, membiarkan tunanganku melakukan penyelewengan dari ikatan jodoh denganku. Membiarkan tunanganku yang tercinta itu mengorbankan diri untuk pemuda lain, membiarkannya mencinta pemuda lain. Kemudian, setelah bertemu dengan Pendekar Siluman, engkau tidak berhasil membunuhnya. Engkau pengecut besar dan harus mampus!"

Im-yang Seng-cu menjadi marah sekali. "Kau tentu sudah gila! Betapa manusia dapat menjaga perasaan hati manusia lain? Kalau muridku Soan Li yang malang mencinta Suma Han, itu adalah haknya. Dan sekarang aku tahu bahwa memang seribu kali lebih baik mencinta Suma Han dari pada mencinta seorang gila macam engkau. Aku sudah mendengar bahwa kau mendendam atas kematian Soan Li, dan sudah kuperingatkan Suma Han tentang ini. Akan tetapi kalau alasanmu seperti itu, engkau gila dan bagaimana kau akan dapat membunuh aku? Ha-ha-ha, betapa tolol dan sombongnya engkau Tan Ki!"

"Engkau tadi hendak menyerahkan nyawa di tangan burung garuda, bahkan engkau sengaja ingin mati di tangan Suma Han. Apakah engkau tidak ingin mati di tanganku?"

"Ha-ha-ha! Gila! Gila engkau! Tentu saja aku tidak sudi mati di tanganmu!" Kakek itu tertawa-tawa, lupa betapa anehnya sikap ini. Tadi ia ingin mati, sekarang ada orang akan membunuhnya, dia marah-marah!

"Mau atau tidak, tetap saja engkau akan mati di tanganku, Im-yang Seng-cu!" Sambil berkata demikian, Tan-siucai sudah menerjang maju dengan tangan kirinya. Tangan ini menampar, kelihatan perlahan saja, akan tetapi angin pukulan tamparan itu membuat Im-yang Seng-cu terkejut dan cepat mengelak. Dia terheran bukan main karena tamparan itu adalah tamparan yang mengandung tenaga dalam amat kuat!

Akan tetapi Tan-siucai tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berheran karena kini sudah mendesak lagi dengan dua pukulan beruntun, tangan kiri mencengkeram ubun-ubun disusul tangan kanan yang menyodok ke ulu hati. Serangan yang dahsyat, serangan maut yang berbau ilmu silat tinggi dan lihai sekali.

"Aihhhhh!"

Im-yang Seng-cu meloncat ke belakang, timbul rasa penasarannya karena dia tidak mengenal jurus yang dilakukan bekas pelajar yang dahulu lemah itu. Maka ia pun balas menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat yang dapat dielakkan secara mudah oleh Tan-siucai. Pertandingan seru terjadi dan walau pun agaknya Tan-siucai telah digembleng orang sakti dengan ilmu silat aneh dan telah memiliki tenaga sinkang yang kuat, namun menghadapi seorang kakek seperti Im-yang Seng-cu, pemuda itu kewalahan juga.

"Ha-ha-ha-ha, bagaimana engkau akan dapat membunuhku, pemuda gila?" Im-yang Seng-cu mengejek. Biar pun diam-diam ia terkejut dan terheran-heran sebab mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini benar-benar tinggi dan aneh, namun dia merasa yakin bahwa untuk dapat membunuhnya, tidaklah begitu mudah.

"Begini, Im-yang Seng-cu!" Tan-siucai menjawab dan tiba-tiba tangan kirinya dibuka dan didorongkan ke arah muka kakek itu sambil mulutnya membentak, "Diam!"

Hebat bukan main bentakan dan gerakan tangan itu karena secara aneh sekali, tiba-tiba Im-yang Sengcu tak dapat menggerakkan kaki tangannya seolah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu. Dan pada saat itu, tangan kanan Tan-siucai telah bergerak ke belakang, tampak sinar hitam berkelebat dan pedang hitam di tangannya telah meluncur dan ambles ke dalam perut Im-yang Seng-cu, tepat di bawah ulu hati. Ketika pemuda itu mencabut pedangnya, darah menyembur keluar dari perut dan karena ketika mencabut pedangnya digerakkan ke bawah, perut itu robek dan isi perutnya keluar.

Barulah Im-yang Seng-cu dapat bergerak, kedua tangannya otomatis bergerak ke depan, yang kiri mendekap luka, yang kanan memukul ke depan. Angin pukulan kuat membuat pemuda itu terhuyung ke belakang. Baju depannya merah terkena percikan darah yang menyembur dari perut kakek itu.

Im-yang Seng-cu terhuyung-huyung, matanya terbelalak, mulutnya berkata, "Celaka... ingin mati di tangan pendekar... kini mampus di tangan setan... benar-benar tubuh sial...!" Ia berusaha menubruk maju dengan loncatan cepat ke arah Tan-siucai, untuk memberi serangan terakhir. Akan tetapi Tan-siucai mengelak dan tubuh kakek itu terjerembab ke atas tanah tanpa nyawa lagi.

"Heh-heh-heh!" Dari balik sebatang pohon muncul seorang yang berkulit hitam dengan cara seperti setan.

Orang ini bertubuh tinggi sekali, tinggi dan kurus. Kulitnya hitam mengkilap, kedua kakinya telanjang. Usianya sukar ditaksir, akan tetapi tentu tidak kurang dari enam puluh tahun. Dahinya lebar, hidungnya panjang melengkung, sepasang matanya lebar dan bersinar-sinar aneh, mulutnya hampir tak tampak tertutup jenggot dan kumis yang putih. Kedua telinganya memakai anting-anting perak berbentuk cincin. Rambutnya yang sudah lebih banyak putihnya itu tertutup sorban berwarna kuning. Tubuhnya hanya dibalut kain kuning pula yang menutup tubuh seperti cawat dan setengah dada.

"Cukup baik gerak tangan kirimu dan bentakanmu cukup berhasil. Sayang gerakan pedangmu tidak tepat. Lihat, pakaianmu terkena darah. Sungguh memalukan aku yang menjadi gurumu, heh-heh!" Kata orang itu yang dapat diduga tentu datang dari barat karena bentuk muka, warna kulit, dan gaya bicaranya.

"Mohon petunjuk Guru," kata Tan-siucai, alisnya berkerut tanda tidak senang hati dicela gurunya.

"Membunuh lawan terkena percikan darahnya, amatlah tidak baik dan engkau tadi membuka kesempatan lawan untuk menyerang sehingga kau terhuyung. Untung kepandaian orang ini tidak amat hebat. Kalau lebih hebat, apakah kau tidak akan celaka karena pukulan terakhir orang yang sudah menghadapi maut? Serahkan pedangmu, dan lihat baik-baik!"

Tan-siucai menyerahkan pedangnya. Pedang hitam itu oleh kakek ini lalu diselipkan di bawah kain yang membelit pundaknya. Kemudian dia menghampiri mayat Im-yang Seng-cu, dipandangnya sejenak, kemudian tangan kirinya dengan telapak menghadap ke arah mayat tiba-tiba digerakkan. Mulutnya mengeluarkan pekik aneh dan... mayat itu tiba-tiba berdiri di depannya. Darah masih mengucur dari perut mayat Im-yang Seng-cu yang terbuka dengan usus terurai keluar.

"Diam...!" Kakek itu membentak seperti yang dilakukan oleh muridnya tadi, tampak sinar hitam berkelebat menjadi gulungan sinar yang mengitari tubuh mayat itu. Kakek itu sudah meloncat ke belakang mayat dan... tubuh Im-yang Seng-cu yang sudah tak bernyawa lagi itu kini roboh menjadi enam potong! Kedua lengan dan kedua kakinya terpisah, dan lehernya juga telah terbabat putus!

"Nah, dengan begini, engkau tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk mengirim serangan. Mula-mula kedua lengan lalu kaki dan leher yang harus kau babat putus, bukan menusuk perut seperti tadi. Dan jangan lupa untuk bergerak meloncat ke belakang, berlawanan dengan menyemburnya darah dari tubuhnya! Ah, sampai lupa. Hayo cepat, kita tampung racun kuning!"

Mendengar ini, Tan-siucai lalu menggunakan kakinya, mengungkit bagian-bagian tubuh mayat itu sehingga terlempar ke atas cabang pohon, ditumpuk di situ. Kemudian kakek berkulit hitam itu menuangkan cairan obat dari sebuah botol ke atas tumpukan potongan tubuh mayat yang segera mencair. Mula-mula seperti terbakar mendidih, kemudian dari tumpukan daging dan tulang itu menetes-netes cairan kuning yang segera ditampung oleh Tan-siucai ke dalam sebuah botol melengkung berwarna merah. Hebat sekali obat itu. Dalam waktu bebeberapa menit saja semua daging, tulang dan pakaian bekas tubuh Im-yang Seng-cu mencair dan hanya menjadi seperempat botol cairan kuning yang kental! Setelah tubuh itu habis sama sekali dan menutup botol dengan sumbat dan menyimpannya, guru dan murid yang aneh itu pergi dari situ.

Tan-siucai atau Tan Ki ini adalah bekas tunangan Hoa-san Kiam-li (Pendekar Pedang Wanita dari Hoa-san) Lu Soan Li, murid Im-yang Seng-cu. Dia tinggal di Nan-king. Setelah dia mendengar akan kematian tunangannya yang dicinta dan dibanggakan, pemuda yang sudah tidak berayah ibu ini lalu pergi merantau. Dendam dan sakit hati membuat dia seperti gila dan akhirnya secara kebetulan dia berjumpa dengan kakek dari Nepal yang bernama Maharya itu yang kemudian mengambilnya sebagai murid.

Kakek Maharya, seorang sakti dari Nepal, tidak hanya tertarik kepada Tan-siucai karena melihat bakat pada diri pemuda itu, juga tertarik mendengar kisah pemuda itu yang menaruh dendam kepada Pendekar Siluman. Di samping ini, sebagai seorang asing yang baru datang ke Tiong-goan, dia membutuhkan seorang pembantu dan pengajar bahasa. Sebagai seorang sastrawan, tentu saja pemuda itu merupakan seorang guru bahasa yang baik.

Demikianlah. selama bertahun-tahun Tan Ki atau Tan-siucai merantau bersama gurunya, menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang aneh, juga menerima pelajaran ilmu sihir yang merupakan keistimewaan gurunya. Tujuan mereka hanya dua. Pertama memenuhi kebutuhan Maharya, yaitu mencari Sepasang Pedang Iblis, dan kedua memenuhi kebutuhan Tan-siucai, mencari Im-yang Seng-cu dan Pendekar Siluman untuk membalas dendam kematian tunangannya!

Secara tak tersangka-sangka mereka tiba di hutan itu dan hampir saja sekaligus Tan-siucai dapat bertemu dengan dua orang yang dimusuhinya, akan tetapi dia terlambat karena Pendekar Siluman telah meninggalkan tempat itu. Betapa pun juga, dia berhasil membunuh seorang musuhnya, yaitu Im-yang Seng-cu yang dahulunya adalah sahabat ayahnya, bahkan orang yang telah mengikatkan jodoh antara dia dan Lu Soan Li. Akan tetapi, karena jalan pikirannya yang telah gila, Im-yang Seng-cu dianggap biang keladi kematian tunangannya sehingga berhasil dia bunuh secara mengerikan.

********************


Siapa yang mengatakan bahwa keselamatan diri seseorang, mati hidupnya tergantung sepenuhnya kepada dirinya sendiri, menandakan bahwa dia belum sadar akan kekuasaan tertinggi yang tak dapat ditambah mau pun dikurangi. Kekuasaan tertinggi yang menggerakkan matahari, bulan dan bintang-bintang sampai debu-debu terkecil dalam cahaya matahari, kekuasaan yang menumbuhkan pohon-pohon raksasa sampai setiap jenggot di dagu pada kekuasaan tertinggi yang menguasai atas mati dan hidup.

Kalau yang Maha Kuasa menghendaki seseorang mati, kekuasaan apa pun di dunia tidak akan dapat menawar-nawar. Sebaliknya kalau dikehendaki-Nya seseorang hidup, tidak ada pula kekuasaan di dunia yang akan dapat menghentikan hidup orang itu. Hal-hal yang kelihatan tidak mungkin bagi akal manusia, sama sekali bukan merupakan hal tidak mungkin bagi kekuasaan itu.


Kekuasaan tertinggi dan ajaib ini memperlihatkan kekuasaannya pula ketika Bun Beng terlempar ke dalam pusaran air. Sebelum dia, tokoh Pulau Neraka yang ahli dalam air dan bertenaga besar juga terjatuh ke dalam pusaran air itu. Dengan segala kemahiran dan kekuatannya, anggota Pulau Neraka itu berusaha melawan pusaran air yang menghayutkan dan menyeretnya ke dalam pusaran yang amat kuat, namun usahanya menyelamatkan diri itu sia-sia belaka dan tubuhnya hancur dihempaskan pada batu-batu karang. Akan tetapi sebaliknya dengan Bun Beng. Ketika anak ini jatuh ke tengah pusaran air dan merasa ada kekuatan dahsyat dari pusaran itu menyedot tubuhnya ke bawah, sedikit pun dia tidak melawan akan tetapi bahkan inilah yang membuat dia selamat!

Air pusing yang mempunyai daya sedot amat dahsyat itu seketika ‘menelan’ tubuh Bun Beng, disedot ke bawah lalu dihanyutkan dengan kecepatan yang luar biasa di bawah permukaan air. Biar pun Bun Beng yang cerdik sebelum terbanting ke air telah menyedot napas sebanyaknya, namun tak lama kemudian ia pingsan selagi tubuhnya masih dihanyutkan dengan cepat sekali melalui terowongan di dalam gunung batu karang.

Ketika anak itu siuman kembali, ia telah menggeletak di antara batu-batu besar yang halus permukaannya, sebagian tubuhnya yang bawah terbenam air di antara batu dan untung bahwa dia terhempas ke tempat itu dengan muka di atas air. Ia membuka mata, tubuhnya terasa nyeri semua dan dinginnya luar biasa sehingga ia menggigil. Sudah matikah aku, pikirnya ngeri. Ia bangkit duduk, memandang ke sekeliling. Tidak, dia belum mati dan berada di lambung sebuah gunung yang tertutup kabut tebal. Dia duduk dan memandang terheran-heran.

Bagaimana ia dapat sampai di lambung gunung? Kekuasaan alam memang penuh mukjizat. Kiranya ada terowongan yang menghubungkan tempat itu dengan pusaran air di mana ia terjatuh, sebuah terowongan di dalam tubuh gunung. Pusaran air itu tercipta oleh permainan angin yang memasuki terowongan, menimbulkan daya berpusing yang amat kuat sehingga menyedot air dan menciptakan air berpusing yang amat menakutkan.

"Nguk-nguk-nguk! Huk! Huk! Hukkk!"

Bun Beng terkejut dan menoleh ke kanan kiri. Di tempat seperti ini, bagaimana bisa terdengar suara anjing? Biasanya anjing hanya berkeliaran di tempat datar, bukan di pegunungan di batu-batu karang seperti ini, dekat air sungai. Akan tetapi hatinya juga girang karena biasanya anjing-anjing itu dipelihara orang yang dapat ia mintai tolong.

"Huk-huk-huk! Ggrrrrr... nguk-nguk!"

Bun Beng menoleh ke kanan dan seketika ia terloncat bangun. Dari atas batu besar turun beberapa ekor binatang aneh yang kepalanya seperti kera! Kiranya yang menyalak-nyalak dan menggereng-gereng itu adalah binatang yang aneh ini, setengah kera setengah anjing (kera baboon). Ketika melihat binatang aneh itu merayap turun dengan gerak-gerik seperti manusia, moncong anjing mereka mengeluarkan suara anjing dan kera campur aduk, melihat pinggul mereka berlenggang-lenggok, pinggul yang tidak berekor akan tetapi ada dagingnya menonjol merah, mau tidak mau Bun Beng tertawa geli. Lucu memang tampaknya binatang-binatang itu.

Akan tetapi kegelian hatinya segera berubah menjadi kemarahan ketika binatang-binatang itu mengelilinginya kemudian meraba-raba dan merenggutkan pakaiannya yang basah sambil mengeluarkan bunyi ngak-ngik-nguk tidak karuan. Bun Beng melepaskan tangan seekor kera yang menjambak-jambak rambutnya. Kera itu mengeluarkan teriakan marah dan Bun Beng dikeroyok! Lengan-lengan yang panjang berbulu lebat itu mengeroyoknya, merenggut pakaian dan menjambak rambut. Bun Beng jatuh terduduk, seekor kera hendak menggigitnya dari depan. Ia mengayun tangan menampar.

"Plakk! Nguuuuk-nguk!" Kera itu terpelanting dan memekik marah sekali, sedangkan kera-kera lain sudah menubruk Bun Beng dari belakang.

Terdengar bunyi kain robek dan setelah meronta-ronta dan membagi-bagi pukulan ke kanan kiri, akhirnya Bun Beng berdiri dalam keadaan telanjang bulat! Pakaiannya robek-robek tidak karuan diperebutkan oleh sekumpulan kera itu. Marahlah Bun Beng dan ia lalu mengamuk, kaki tangannya bergerak dan beberapa ekor kera terpelanting terkena tendangan dan pukulannya. Akan tetapi tubuh binatang-binatang ini kuat sekali dan mereka kini kini juga marah, meloncat bangun dan mengeroyok Bun Beng.

Tiba-tiba terdengar pekik dahsyat dan kera-kera baboon itu seketika menghentikan pengeroyokan dan mundur. Bun Beng menengok dan seekor kera yang lebih besar dari pada sekumpulan kera yang mengeroyok dan menelanjanginya. Kera itu dengan kedua lengan panjangnya melangkah maju menghampiri, moncongnya mengeluarkan suara menggereng dan mendesis, matanya yang kecil memandangnya penuh amarah. Gerak-geriknya seperti orang menantang. Kera-kera lain melonjak-lonjak dan bertepuk tangan, seperti sekumpulan anak-anak yang menjagoi kera besar ini. Tahulah Bun Beng bahwa dia ditantang oleh kera besar, maka dia pun lalu memasang kuda-kuda dan membentak.

"Kera anjing keparat! Majulah! Siapa takut padamu?"

Kera besar itu agaknya juga tahu bahwa Bun Beng marah kepadanya, karena ia segera meringis dan mengeluarkan bunyi marah. "Ngukk...! Kerr...!"

"Monyet buruk! Majulah! Siapa takut padamu?" Bun Beng menantang dan dia telah melompat ke kiri, mencari tempat yang lebih rata karena dia maklum bahwa binatang kera amat lincah dan kalau harus bertanding di tempat berbatu sambil berloncatan, mana dia mampu menang?

Kera itu menggereng lagi dan meloncat, sekaligus ia menyerang Bun Beng dengan ganas, menubruk sambil mencengkeram dan moncongnya dibuka lebar siap menggigit. Bun Beng sudah bersiap, cepat ia mengelak dengan meloncat ke kanan, sambil tidak lupa mengayun kaki kirinya menendang ke arah perut kera.

"Bukkk!" Tendangan Bun Beng adalah tendangan seorang anak laki-laki yang sejak kecil terlatih, maka tidak dapat disebut lemah, namun ketika kakinya mengenai perut binatang itu, kakinya yang menendang terpental seperti menendang bola karet!

"Monyet lutung! Kau kuat sekali!" Ia berseru marah dan kera itu seolah-olah tertawa terkekeh, sedangkan kera-kera lain tetap bertepuk tangan dan berjingkrak tidak teratur.

Kera besar itu kembali sudah menubruk, bahkan kedua lengannya yang panjang tidak hanya membuat gerakan mencengkeram ngawur seperti lazimnya dilakukan oleh binatang kera yang tidak tahu akan seni bersilat, melainkan kedua tangan berjari panjang penuh bulu itu melakukan pukulan dengan telapak tangan terbuka.

"Wuuut! Wuuuutt!"

Kedua tangan itu menyambar berturut-turut dan hanya dengan kegesitannya mengelak saja Bun Beng dapat menghindarkan diri dari tamparan yang amat kuat itu. Dia mulai marah dan agaknya Bun Beng tidak akan patut mengaku sebagai murid mendiang Siauw Lam Hwesio kalau dia harus mengakui keunggulan seekor binatang kera. Akan percuma sajalah gemblengan yang dilakukan Kakek Siauw-lim-pai itu kepadanya beberapa tahun.

Di samping latihan ilmu silat dan menghimpun tenaga serta rahasia penggunaan tenaga, juga Bun Beng menerima petunjuk-petunjuk yang mempertajam otaknya sehingga dalam menghadapi bahaya dan lawan tangguh dia dapat mempergunakan siasat. Dia mengerti bahwa dalam hal tenaga kasar dia tidak akan dapat mengimbangi kera yang lebih kuat dari pada seorang manusia dewasa itu. Juga dari pengalamannya ketika menendang perut tadi dia maklum bahwa kera itu memiliki kulit yang tebal dan kuat serta otot-otot yang membuat tubuhnya kebal. Dia tidak boleh sembarangan menyerang, melainkan harus menggunakan siasat mencari bagian yang lemah.

Namun kini dia terdesak terus. Kera besar itu agaknya merasa penasaran. Dia dapat mengalahkan seekor harimau dengan mudah, masa kini tidak mampu merobohkan seorang manusia kecil yang lemah ini dalam waktu singkat? Akan percuma saja dia menjadi kera bangkotan, jagoan yang paling kuat dan paling ditakuti di antara rombongan kera baboon di situ! Maka sambil mendengus-dengus marah dia memperhebat serangannya, setiap kali tubrukannya luput disambung dengan terkaman lain yang cepat dan kuat, sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membalas.

Tak dapat dibantah bahwa memang Bun Beng terlatih ilmu silat namun dia sama sekali belum memiliki pengalaman bertempur tanpa aturan dan secara nekat itu. Dia terdesak hebat dan hanya mampu mengelak ke sana-sini, menangkis sedapatnya dan sudah dua kali ia terkena tamparan yang membuat pipinya merah membengkak dan matanya berkunang kepalanya pening! Melihat ini kera-kera yang lain mengeluarkan suara seperti sekumpulan bocah bersorak-sorak, dan kera jagoan itu menjadi makin buas.

"Blekkkk!"

Sebuah tamparan dengan lengan kanan berbulu yang amat keras dapat ditangkis oleh Bun Beng, akan tetapi karena dia kalah tenaga, tamparan itu masih menembus tangkisannya dan mengenai pundak kirinya. Bun Beng mengaduh, tulang pundaknya seperti remuk rasanya, kiut-miut nyeri bukan main dan dia roboh terjengkang tanpa dapat ditahan pula.

"Gerrrr...!" Kera besar menggereng dan menubruk tubuh lawan yang sudah telentang tidak berdaya itu.

Dalam keadaan penuh bahaya ini, keadaan Bun Beng sebagai manusia membuktikan keunggulannya. Dia memiliki akal dan dalam detik-detik berbahaya itu ia menggunakan akalnya. Ketika melihat kera besar menubruk, dia menggulingkan tubuhnya sampai tiga kali dan tidak lupa tangannya mencengkeram tanah dan berhasil menggenggam tanah. Pada saat kera menubruk lagi, tangannya bergerak dan tanah yang digenggamnya itu meluncur, menyambut muka si Kera yang tentu saja tidak memiliki akal untuk menduga serangan ini. Matanya tetap melotot penuh geram kemenangan sehingga kedua matanya merupakan sasaran tepat, kemasukan butiran-butiran pasir tanah.

"Auurrghh...!" Kera itu memekik-mekik dan menggunakan kedua tangan menggosok matanya. Tentu saja karena cara menggosoknya kaku, pasir tanah itu makin dalam masuk ke mata dan makin nyeri rasanya.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bun Beng. Dia sudah meloncat bangun dan menghujankan pukulan tendangan ke tubuh si Kera. Akan tetapi dia tidak memukul sembarangan, melainkan memilih tempat yang lemah, memukul ke arah hidung, mata, dan telinga sedangkan tendangannya mengarah sambungan lutut dan pusar. Tentu saja kera besar yang masih setengah mati menggosoki matanya menjadi sasaran serangan dan tubuhnya terguling-guling. Ia mengeluarkan suara seperti menangis dan akhirnya ia berlutut di atas tanah, menutupi kepalanya dengan kedua matanya bercucuran air mata!

Dari gerak-gerik ini Bun Beng dapat menduga bahwa lawannya sudah menyerah kalah, maka ia memandang dengan muka berseri, berdiri tegak dan bertolak pinggang, merasa gagah menjadi jagoan sampai dia lupa bahwa tubuhnya sama sekali tidak tertutup pakaian, telanjang bulat karena semua pakaiannya sudah habis terkoyak tangan-tangan jahil rombongan kera tadi!

Kera-kera yang tadinya menonton pertandingan kini berlarian datang dan Bun Beng sudah siap untuk ‘mengamuk’ kalau dia dikeroyok. Akan tetapi kera-kera itu kini tidak menyerangnya, hanya memegang-megang lengannya, kakinya, rambutnya dan bahkan ada yang mencium-ciumnya dari kaki sampai kepala tanpa melewatkan sedikit pun bagian tubuhnya sehingga dia merasa girang akan tetapi geli dan jijik!

Agaknya air mata yang banyak keluar dari sepasang mata kera besar telah mencuci bersih mata itu, kini kera besar dapat membuka matanya yang berubah merah dan dia pun merangkul dan menciumi Bun Beng! Mengertilah anak ini bahwa semenjak saat ia berhasil ‘mengalahkan’ jagoan kera baboon, dia telah diaku sebagai ‘seekor’ di antara mereka! Dia telah diterima menjadi anggota kera baboon.

Semenjak saat itu, mulailah penghidupan baru yang sama sekali asing bagi Bun Beng! Dia hidup di antara sekumpulan kera baboon, bertelanjang bulat, mencari makan, bermain-main dan berayun-ayun di dahan-dahan pohon dan di batu-batu gunung persis seekor kera. Hanya bedanya, dan kadang-kadang timbul penyesalan di hatinya akan perbedaan ini bahwa dia tidak berbulu seperti ‘kawan-kawannya’ sehingga sering kali dia menderita kedinginan. Namun, lambat laun ia dapat membiasakan diri dan tubuhnya menjadi kebal akan hawa dingin.

Sebagai seorang makhluk yang berakal, dalam mencari makanan dan lain-lain tentu saja dia paling menang, sehingga tidak lama kemudian dia dicontoh oleh kera kera itu dan seolah-olah menjadi pemimpin mereka. Apa lagi semenjak dia mengalahkan jagoan kera, dia dianggap paling kuat dan teman-temannya tidak ada yang berani mencoba-coba dengan dia! Selama beberapa bulan hidup di antara sekumpulan kera, Bun Beng mendapatkan sebuah kenyataan yang amat berkesan di hatinya.

Semenjak dia dijadikan rebutan para tokoh kang-ouw sehingga terdapat pertentangan dan terjadi pembunuhan, kemudian disusul dengan pengalaman-pengalaman di mana ia menyaksikan permusuhan antar manusia yang berakibat pembunuhan-pembunuhan mengerikan, ia mendapat kenyataan betapa manusia merupakan sekumpulan makhluk yang amat kejam dan sama sekali tidak mempuyai rasa setia kawan terhadap sesama manusia.

Kini hidup di antara sekumpulan kera yang dianggap sebagai binatang bodoh dan tidak berakal, dia menemukan perbedaan yang amat menyolok. Sekumpulan kera ini hidup amat rukun dan penuh setia kawan. Memang benar bahwa di antara mereka kadang-kadang terjadi perkelahian, namun perkelahian ini hanya terbatas dalam mengadu kekuatan sampai seekor di antara mereka mengaku kalah. Yang menang tidak akan menindas, yang kalah tidak akan menaruh dendam dan tidak ada rasa mengganjal di antara mereka!

Akan tetapi seekor saja terganggu, sekelompok akan maju bertanding dan membela! Seekor saja celaka, yang lain akan turun tangan tanpa pamrih. Tidak ada di antara mereka yang memonopoli sesuatu. Buah-buah yang bergantungan, air yang mengalir, tidak ada yang menuntut sebagai hak pribadinya. Memang mereka ini tidak pandai berbasa-basi, tidak pandai bermanis muka, tidak pandai bersopan-santun dan tidak pandai melakukan segala kepalsuan-kepalsuan lain yang sudah menjadi ‘pakaian’ manusia.

Betapa liar mereka itu, betapa bebas dan bahagia karena mereka tidak mengejar kesenangan, tidak mengejar kebahagiaan seperti manusia sehingga kesenangan dan kebahagiaan dengan sendirinya datang kepada mereka! Mereka tidak mengenal kecewa karena tidak mengharap, tidak bertemu duka, karena tidak mencari suka. Betapa wajar dan betapa dekat dengan alam, betapa dekat dengan kekuasaan alam!

Di samping menemukan hal-hal yang mendatangkan kesan di hatinya yang timbul dari pengetahuannya ketika dulu membaca kitab-kitab filsafat, juga Bun Beng menemukan dan mempelajari kepandaian-kepandaian aneh yang mereka miliki sebagai anugerah langsung dari alam tanpa mereka pelajari, yaitu kecekatan, ketrampilan yang belum tentu dapat dimiliki manusia yang sengaja mempelajarinya bertahun-tahun! Dengan menyatukan diri di tengah-tengah mereka, dalam beberapa bulan saja Bun Beng dapat berloncatan di atas karang di tebing-tebing yang curam, memanjat pohon-pohon besar dan loncat berayun dari dahan ke dahan. Juga ia dapat mengenal pengetahuan anugerah alam tentang daun-daun dan akar-akar obat yang dipergunakan kera-kera itu untuk mengobati luka-luka, keracunan dan lain-lain.

Selama enam bulan hidup di tengah-tengah kera itu, Bun Beng mengalami hal-hal yang amat luar biasa. Setelah setengah tahun hidup bertelanjang bulat seperti itu, dia menjadi terbiasa dan kadang-kadang kalau ia teringat akan peradaban manusia, ia menjadi geli sendiri. Betapa dia akan dianggap kurang susila, kurang ajar, tidak tahu malu dan sebagainya oleh manusia-manusia beradab!

Dari manakah timbulnya rasa malu kalau telanjang dan terlihat orang lain? Mengapa pula harus malu? Perasaan malu ini adalah buatan manusia sendiri! Buktinya, tidak ada seorang pun anak-anak yang merasa malu dilihat bertelanjang. Setelah kepada anak itu ditanamkan pengertian bahwa bertelanjang dilihat orang adalah memalukan, barulah timbul perasaan malu ini! Andai kata tidak ada penanaman pengertian ini, kiranya tidak akan timbul pula perasaan malu.

Musim dingin tiba, akan tetapi Bun Beng yang bertelanjang bulat itu tidak menderita kedinginan. Kulit tubuhnya sudah terlatih sedikit demi sedikit sehingga kebal. Akan tetapi perasaan dan kesadarannya sebagai manusia tidak pernah hilang dan hanya karena terpaksa tidak ada pakaian saja maka dia bertelanjang bulat di antara sekumpulan kera baboon.

Ketika pada suatu hari dia bersama sekawanan kera itu menyerang dan membunuh beberapa ekor harimau, Bun Beng menguliti harimau yang dibunuhnya dan kulit harimau itu ia pakai untuk menutupi tubuhnya bagian bawah. Bukan terdorong oleh rasa malu atau penahan dingin, melainkan dengan penutup bawah itu dia terhindar dari gangguan semut dan nyamuk yang tidak dapat mengganggu kera-kera itu karena kulit mereka tertutup bulu. Dan setelah ia memakai cawat kulit harimau, kawanan kera itu kelihatan lebih segan dan takut kepadanya! Kulit-kulit harimau yang lain ia simpan untuk cadangan cawat atau persediaan kalau sewaktu-waktu ia memerlukannya.

Pada suatu hari, para kera itu mengeluarkan bunyi cecowetan seperti biasa kalau mengajak pergi ke suatu tempat. Sudah banyak macam suara kera itu yang merupakan isyarat-isyarat dan dapat dimengerti oleh Bun Beng, maka sekali ini, menyaksikan sikap mereka seolah-olah mereka hendak melakukan sesuatu yang besar dan aneh, Bun Beng segera mengikuti mereka. Kera-kera itu memasuki goa di antara batu karang dan memasuki terowongan di dalam gunung yang cukup lebar.

Mula-mula terowongan itu gelap, akan tetapi makin jauh makin terang dan anehnya, mulailah Bun Beng merasa betapa ada hawa panas keluar dari dalam. Hatinya mulai tegang dan ia mengikuti terus. Tak lama kemudian mereka tiba di ujung terowongan yang merupakan ruangan yang luas di dalam gunung. Sinar matahari masuk melalui celah-celah batu gunung yang merupakan dinding tinggi sekali. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sumber air panas! Air keluar dari sumber di dalam gunung ini, mengucur keluar dari celah-celah dua batu besar, mengeluarkan uap saking panasnya. Akan tetapi, Bun Beng tidak memperhatikan itu semua karena ia terbelalak memandang ke sebelah kanan, tak jauh dari sumber air panas itu dan merasa seolah-olah ia sedang dalam mimpi. Apakah yang ia lihat?

Pemandangan yang amat luar biasa! Di situ, menempel pada dinding batu, terdapat sebuah kursi batu yang jelas bukan buatan alam, melainkan berbekas tangan manusia. Kursi itu besar sekali, terbuat dari pada batu persegi yang ditumpuk-tumpuk, dan di atas kursi itu duduk seekor kera tua besar sekali yang memakai pakaian. Kalau melihat pemandangan ini di kota, tentu Bun Beng akan tertawa geli dan menganggap kera itu sebagai peliharaan pemain komidi binatang.

Seekor kera tua duduk di kursi memakai jubah yang sepatutnya dipakai seorang pendeta, jubah berwarna kuning yang sudah koyak-koyak, terutama di ujung kedua lengannya. Dan kera tua berbaju itu memandangnya dengan muka berseri, tanda senang hati, sikap yang sudah dikenal Bun Beng. Kera tua itu agaknya senang melihatnya, dan moncongnya yang lebar itu berkemak-kemik, telunjuknya menuding-nuding!

Kawanan kera melewati kursi itu sambil membungkuk-bungkuk, mata melirik-lirik penuh sikap takut terhadap kera tua yang berpakaian. Tetapi mereka tidak mempedulikan ‘kakek’ kera itu dan sambil cecowetan riuh rendah dan penuh kegembiraan mereka masuk ke dalam air panas yang mengalir seperti sebatang sungai kecil. Bun Beng masih tertarik dan terpesona oleh karena kera tua yang aneh itu, akan tetapi ketika berapa ekor kera mulai menarik-nariknya diajak mandi, timbul pula kegembiraannya.

Cepat ditanggalkannya cawat kulit harimau dan ia pun masuk ke dalam anak sungai yang airnya panas. Betapa nikmatnya mandi dan merendam tubuh di air yang panas itu! Merupakan penawar yang nyaman setelah diserang musim dingin di luar. Dan air panas itu benar-benar mendatangkan rasa nyaman sekali di tubuhnya, seolah-olah mengandung sesuatu yang memiliki daya mukjizat menguatkan tubuh. Mengertilah ia kini bahwa sumber air panas itu merupakan semacam ‘air obat’ yang dimanfaatkan oleh kera-kera itu agaknya setahun sekali, yaitu di waktu musim dingin tiba. Yang amat mengherankan hatinya dan tidak dimengerti adalah munculnya kera tua berpakaian pendeta itu!

Setelah puas mandi air panas, Bun Beng mengenakan cawat kulit harimaunya lagi dan mulailah ia mendekati kera tua untuk menyelidiki keadaannya yang aneh. Ketika ia mendapat kenyataan bahwa kera itu ternyata sudah amat tua dan lumpuh, ia merasa kasihan dan terharu. Wajah kera itu begitu penuh pengertian dan sekiranya kera tua itu dapat bicara, tentu dia akan dapat mendengar dongeng yang menarik dari mulut kera itu. Dan kembali ia menyaksikan kesetia-kawanan yang hebat. Agaknya kera tua itu menjadi semacam ‘juru kunci’ atau penunggu sumber air panas dan selamanya tinggal di situ. Ada pun untuk keperluan setiap harinya, dia tidak perlu bingung karena kera-kera baboon setiap beberapa hari sekali ternyata mengirim buah-buah dan makanan untuk si Tua ini.

Melihat betapa kera tua itu pandai berpakaian dan sikapnya jauh lebih ‘jinak’ dibandingkan dengan kera-kera lain, Bun Beng percaya bahwa tentu kera tua ini tidak asing dengan manusia. Maka dia menjadi lebih berani dan ketika ia melihat sebuah ruangan dari batu karang di belakang kursi besar itu, tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki ruangan itu. Hal pertama yang menarik hatinya ukir-ukiran huruf dinding batu. Goresannya dalam dan biar pun sudah banyak lumutnya, masih mudah dibaca karena ukiran itu selain dalam juga besar.

Di musim dingin perut gunung mengeluarkan air panas, di musim panas perut gunung mengeluarkan air dingin. Dingin menciptakan panas, panas menimbulkan dingin keajaiban apa lagi yang dikehendaki manusia untuk membuktikan kekuasaan alam?

Bun Beng belum dapat menangkap keindahan kata-kata itu, akan tetapi ia dapat mengagumi coretan yang indah dan kuat. Tidak salah lagi, tentu di sini pernah tinggal seorang pertapa yang pandai dan mungkin sekali kera tua itu adalah binatang peliharaannya! Ia memeriksa lagi dan di dalam sebuah peti batu ia menemukan beberapa stel pakaian kasar. Di atas meja batu tampak sepasang pedang dan sebuah kitab yang tua sekali. Jantungnya berdebar penuh ketegangan.

Teringat ia akan pertentangan di muara Sungai Huang-ho. Bukankah di antara pusaka yang dicari dan diperebutkan itu disebut-sebut pula ‘Sepasang Pedang Iblis’? Dan kitab itu, mungkin sebuah di antara kitab-kitab pusaka yang dicari oleh tokoh-tokoh kang-ouw? Ia mendekati meja dan memandang penuh perhatian dengan hati tegang. Ia merasa seperti ada yang memandangnya dan ketika ia menengok, benar saja kera tua itu sedang menoleh dan memandangnya penuh perhatian, sungguh pun pada wajah yang tua itu tidak tampak kemarahan. Maka ia makin berani dan tak dapat menahan keinginan tahunya.

Dirabanya gagang kedua pedang yang bersarung indah itu, kemudian perlahan-lahan diangkatnya pedang yang lebih panjang. Ia mencabut gagang pedang dari sarungnya. Baru tercabut sebagian saja, ia sudah cepat-cepat memasukkannya kembali dengan kaget karena pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang membuat bulu tengkuknya meremang. Dengan hati-hati ia meletakkan pedang itu kembali, lalu mencoba untuk melihat pedang ke dua yang lebih pendek. Kembali ia terkejut karena pedang ini pun mengeluarkan sinar kilat yang menyilaukan mata.

"Aihhhhhh...!" Ia menahan napas memandang dua batang pedang yang berada di atas meja, hatinya ngeri dan kagum.

Tidak salah lagi, pedang itu tentulah pedang pusaka yang amat ampuh! Inikah yang disebut Sepasang Pedang Iblis? Ah, kelihatannya indah sekali, sama sekali tak pantas disebut pedang iblis karena yang memakai nama ‘Iblis’ tentulah buruk menakutkan! Kini ia memperhatikan kitab tua itu, mengambilnya dan membuka sampulnya. Sam-po-cin-keng, demikianlah huruf-huruf indah yang tertulis di halaman pertama. Ia membuka-buka lembarannya dan ternyata itu adalah sebuah kitab pelajaran ilmu silat yang amat luar biasa, semua ada tiga macam.

Anak ini tidak tahu bahwa di tangannya itu adalah sebuah kitab rahasia yang amat hebat. Tiga ilmu silat pusaka yang tergabung dalam kitab itu bukanlah pelajaran ilmu silat biasa karena Sam-po-cin-keng adalah tiga macam ilmu dahsyat yang di jaman dahulu dicipta oleh ketua dan pendiri Beng-kauw yang bernama Liu Gan dan berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Tangan Delapan)! Ilmu ini kemudian menurun kepada puterinya yang bernama Liu Lu Sian berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Cantik Beracun) yang bukan lain adalah ibu kandung pendekar sakti Suling Emas!

Ketika kawanan kera meninggalkan tempat sumber air panas itu, Bun Beng ikut pula keluar, akan tetapi tidak lupa ia membawa sepasang pedang, kitab dan satu stel pakaian! Ketika ia lewat di depan kursi besar, ia menjura ke arah kera tua sambil berkata, "Kakek kera, terima kasih atas pemberian benda-benda pusaka ini."

Kera itu menyeringai dan mengangguk! Agaknya kera ini seperti mendapat firasat bahwa memang bocah itu berjodoh dengan benda-benda itu, ataukah memang dia telah menerima pesan dari orang yang meninggalkan benda-benda itu agar kalau ada orang datang dan mengambil benda-benda itu berarti telah berjodoh! Tidak ada yang tahu karena kera itu hanya pandai meniru berpakaian, tidak pandai bicara!

Bun Beng mulai tekun membaca kitab kuno dan mempelajari isinya. Namun amat sukar baginya untuk mengerti isinya karena memang ilmu silat yang diajarkan di dalam kitab itu adalah ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dan tak mungkin dapat dimengerti begitu saja oleh Bun Beng yang masih belum ada pengalaman. Namun karena pada dasarnya dia memang rajin dan berhati keras, biar pun tidak mengerti, dia tetap membaca bahkan menghafalkan huruf-huruf yang tertulis dalam kitab itu sampai hafal di luar kepala!

Memang demikianlah cara orang jaman dahulu mempelajari kitab. Semenjak anak-anak mengenal huruf, mereka diharuskan membaca kitab-kitab pelajaran Nabi Khong-hu-cu yang amat sukar dimengerti anak kecil. Namun anak-anak itu dengan rajin menghafal sehingga ada yang sampai hafal di luar kepala akan semua ujar-ujar dalam kitab suci tanpa mengerti makna yang sesungguhnya! Hal ini sama sekali bukan tidak ada faedahnya, karena di samping memperkaya perbendaharaan kata-kata dan huruf-huruf yang banyak jumlahnya, juga kalau si anak sudah dewasa, hafalan ayat-ayat itu perlahan-lahan akan dapat dimengertinya dan yang terpenting diujudkan dalam praktek hidupnya.

Dua bulan kemudian, saat tengah menyambung-nyambung kulit harimau dan ujungnya ia ikat dengan tali pohon yang kuat, Bun Beng mendengar kawanan kera berteriak-teriak di tepi tebing yang curam. Dia tidak tertarik dan melanjutkan pekerjaannya. Bun Beng kini sudah memakai pakaian, yaitu pakaian yang dibawanya dari ruangan dekat sumber air panas. Dia sedang mencoba untuk membuat sayap tiruan. Sudah lama ia bercita-cita menuruni tebing yang amat curam itu, akan tetapi jangankan dia, bahkan kawanan kera itu saja tidak ada yang berani menuruni tebing yang demikian terjalnya.

Jalan satu-satunya hanyalah ‘terbang’ turun dan timbullah akalnya ketika ia menyaksikan burung-burung dengan enaknya naik turun melayang-layang di dekat tebing yang curam. Kalau saja dia dapat terbang melayang seperti burung-burung itu! Keinginan inilah yang membuatnya pada saat itu bekerja keras. Dia sudah mencoba dengan memegangi keempat ujung kulit harimau meloncat dari atas pohon dan kulit harimau yang terbuka itu menahan peluncuran tubuhnya sehingga ia dapat hinggap di atas tanah dengan lunak!

Kini ia hendak membuat ‘sayap’ yang besar dengan menyambung-nyambung kulit harimau dan mengikat keempat ujungnya dengan tali yang kuat. Dengan ‘sayap’ ini dia hendak memeriksa keadaan di bawah tebing karena sering ia melihat bayangan-bayangan bergerak jauh sekali di bawah, seperti bayangan manusia! Juga beberapa kali dia melihat burung besar sekali terbang ke bawah tebing itu. Mungkin sekali dia akan dapat kembali ke dunia ramai kalau bisa menuruni tebing itu. Ada pun tebing-tebing yang lain semua buntu, merupakan jurang-jurang yang tiada habisnya.

Setelah sayap tiruan itu jadi dan mendengar kawanan kera itu makin ribut, ia tertarik juga dan cepat ia menghampiri. Kera-kera itu melihat ke bawah sambil menunjuk-nunjuk. Bun Beng juga memandang dan tampak olehnya jauh di bawah sana, banyak bayangan-bayangan atau titik-titik yang bergerak-gerak. Terjadi perang di bawah sana! Dia tidak dapat memandang tegas dan ia menduga-duga apakah mata kawanan kera itu dapat memandang lebih jelas?

Inilah saat untuk ‘terbang melayang’ turun, pikirnya. Bergegas ia lalu mengambil kitab kuno yang ia masukkan di balik bajunya, menyimpan pula sepasang pedang di balik baju di punggung, lalu ia mengikatkan tiga ujung tali ke pinggang dan memegangi tali ke empat dengan tangan kiri.

Melihat Bun Beng mendekati tepi tebing membawa ‘sayap’ aneh itu, kera-kera menjadi bingung. Mereka itu lalu memekik-mekik ketika Bun Beng tiba-tiba meloncat dari pinggir tebing yang amat curamnya. Ada yang menutupi muka, ada yang menjerit-jerit akan tetapi ada pula yang menari-nari! Bun Beng yang sudah nekat itu merasa betapa tubuhnya meluncur ke bawah lalu tertahan, pinggangnya sakit karena tali-tali yang mengikat pinggang menegang, akan tetapi dia girang sekali karena mendapat kenyataan betapa ‘sayap’ di atasnya mengembang!

"Selamat tinggal, kawan-kawanku yang baik!" Ia melambai ke atas dan melihat betapa kera-kera baboon itu makin lama makin kecil sedangkan tubuhnya terus meluncur perlahan ke bawah.

Tiba-tiba ‘sayapnya’ terguncang oleh angin. Celaka, pikirnya. Mudah-mudahan tidak ada angin kencang yang akan menghancurkan ‘sayapnya’ dan menghempaskan ke batu karang yang menjadi dinding tebing curam itu. Untung baginya, angin tidak kencang dan tak lama kemudian ia sudah dapat melihat orang-orang yang berada di bawah. Dan dugaannya ketika berada di atas tebing tadi ternyata tidak meleset. Dia melihat orang-orang sedang bertempur di bawah itu. Dari atas ia melihat belasan orang laki-laki yang tampan dan gagah, semua berpedang sedang sibuk menahan amukan tiga orang yang rambutnya riap-riapan dan bersenjata kebutan.

Ilmu silat ketiga orang ini hebat bukan main sehingga biar pun orang-orang gagah berpedang itu lebih besar jumlahnya, namun mereka terdesak hebat, bahkan banyak yang telah terluka. Tetapi, dengan semangat gagah mereka itu terus mempertahankan diri. Seorang di antara belasan orang gagah itu yang bertubuh tinggi, dan yang tampaknya paling lihai memutar pedang menahan amukan seorang di antara tiga lawan bersenjata kebutan yang lihai itu.

Kebutan di tangan Si Brewok yang rambutnya panjang itu kecil saja, namun kakek yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini menggerakkan kebutan secara istimewa sehingga senjata kecil ini berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung yang mengancam tubuh orang gagah itu dari delapan penjuru! Tiba-tiba orang tinggi itu berseru kaget ketika pedangnya kena digulung kebutan dan terampas. Pedang terlepas dari tangannya dan agaknya dia tidak dapat menghindarkan diri lagi dari cengkeraman maut melalui kebutan. Pada saat itu dia melihat tubuh Bun Beng yang melayang-layang turun, maka terdengarlah seruannya dengan wajah girang.

"Thai-seng... tolonglah kami...!"

Seruan ini disusul oleh pekik-pekik kegirangan dari orang-orang gagah yang sedang terdesak dan Bun Beng mendengar teriakan-teriakan mereka.

"Cee-thian Thai-seng datang menolong kita...!"

"Dewa kita Kauw Cee Thian datang!"

"Benar! Dia tentu penjelmaan Sun Go Kong...!"

Bun Beng terbelalak keheranan. Benarkah mereka itu menganggap dia Kauw Cee Thian atau Sun Go Kong, juga disebut Cee-thian Thai-seng tokoh dongeng raja kera yang maha sakti dalam dongeng See-yu-ki? Hampir ia tertawa bergelak, akan tetapi melihat wajah mereka yang berseri penuh harapan dan melihat mereka dalam keadaan terancam itu tidak mungkin main-main, timbul kenakalannya.

Bun Beng yang mengerti bahwa tentu dia disangka seorang ‘manusia bersayap’ lalu mengeluarkan pekik melengking yang agaknya terdengar amat nyaring oleh orang-orang di bawah itu. Tiga orang berambut panjang yang riap-riapan itu memandang dan wajah mereka berubah pucat.

"Ihhh...! Siluman di siang hari...!" Mereka berseru kemudian mereka berkelebat pergi melarikan diri terbirit-birit karena ngeri dan takut melihat siluman terbang itu!

Setelah melihat tiga orang itu melarikan diri, baru sekarang Bun Beng melihat dengan hati penuh kengerian betapa tubuhnya meluncur turun dan tanah di bawah seolah-olah mulut raksasa besar yang akan mencaploknya. Saking ngerinya, dia meneruskan jeritannya melengking, akan tetapi sekali ini bukan jerit pura-pura untuk menakuti orang melainkan jeritan sungguh-sungguh. Untung dia masih ingat untuk mengembangkan tangannya yang memegang tali sehingga ‘sayap’ itu terbuka lebih lebar, menampung hawa menahan peluncuran tubuhnya. Biar pun demikian, masih saja dia terbanting dan tentu dia akan terluka kalau saja dia tldak cepat menggulingkan tubuhnya sampai terguling-guling dan baru dapat meloncat berdiri dengan kepala pening dan mata berkunang. Akan tetapi ia tertegun menyaksikan belasan orang gagah itu telah menjatuhkan diri berlutut menghadap kepadanya, tidak berani mengangkat muka memandang!

Bun Beng mengerutkan alisnya. Gilakah orang-orang ini? Ataukah dia yang sudah gila?

"Hamba sekalian menghaturkan banyak terima kasih, bukan saja karena pertolongan Thai-seng, terutama sekali karena Paduka sudah sudi memperlihatkan diri kepada hamba sekalian."

Hampir saja Bun Beng tertawa jika tak melihat sikap mereka yang penuh kesungguhan. Ia sukar untuk mempercaya apa yang dilihatnya dan didengarnya. Mereka berjumlah sembilan belas orang, tua muda, laki-laki semua dan rata-rata bersikap gagah. Mengapa orang-orang gagah ini bersikap begini aneh dan menganggap dia sebagai penjelmaan Sun Go Kong Si Raja Kera dalam dongeng See-yu?

"Cuwi sekalian telah salah sangka. Aku sungguh mati bukan Sun Go Kong, melainkan seorang anak biasa she Gak bernama Bun Beng. Harap Cu-wi suka berdiri dan jangan berlutut, membuat aku merasa canggung dan malu saja."

Orang bertubuh tinggi yang bicara tadi, yang ternyata adalah pemimpin rombongan orang-orang itu, mengangkat muka, demikian pula kawan-kawannya, memandang Bun Beng dengan sinar mata penuh keraguan dan agaknya tidak percaya akan kata-kata Bun Beng sehingga mereka masih tetap berlutut.

Bun Beng menunduk dan memandang tubuhnya sendiri, lalu tertawa. Pakaiannya saat itu memang aneh, dari kain kuning yang tidak berlengan berkaki, hanya membungkus dari leher ke paha, apa lagi dia ber-’sayap’! Sambil tertawa ia menanggalkan sayap tiruan itu dan berkata, "Lihatlah baik-baik, Cu-wi. Aku adalah seorang anak biasa yang meloncat dari atas sana menggunakan sayap tiruan dari kulit harimau. Aku bernama Gak Bun Beng dan siapakah Cu-wi? Berdirilah agar kita dapat bicara dengan enak."

Kini sembilan belas orang itu bangkit berdiri dan memandang Bun Beng dengan penuh keheranan, kekaguman dan tidak percaya. Bagaimana mungkin mereka dapat percaya bahwa anak itu adalah seorang anak biasa saja padahal mereka tadi menyaksikan sendiri betapa anak itu muncul seperti seorang dewa dan telah berhasil membuat tiga orang lawan mereka lari tunggang langgang tanpa melakukan gerakan apa-apa? Akan tetapi setelah mereka memandang penuh perhatian, mereka mau juga percaya akan keterangan Bun Beng dan mereka kini memandang kagum sekali. Biar pun bukan Sun Go Kong, anak ini adalah seorang anak luar biasa dan telah ‘menyelamatkan’ nyawa mereka yang tadl terancam maut.

Orang tinggi besar ltu menjura dan berkata, "Harap Siauw-enghiong (Pendekar Cilik) suka memaafkan kami yang salah menduga. Betapa pun juga karena engkau datang dari atas sana, kami yakin bahwa engkau tentu bukanlah seorang anak sembarangan, apa lagi engkau telah menyelamatkan kami sembilan belas orang saudara. Terimalah rasa syukur dan terima kasih kami, Gak-enghiong, dan mudah-mudahan kami akan berkesempatan membalasnya."

Bun Beng menjadi malu melihat sikap orang-orang itu yang amat sopan dan sungkan. Ia balas menjura dan berkata, "Harap Cu-wi jangan bersikap sungkan. Aku sama sekali tidak merasa telah menolong kalian. Menghadapi tiga orang liar yang lihai itu, aku seorang bocah bisa berbuat apakah? Hanya kebetulan saja kehadiranku mengejutkan dan menakutkan mereka. Siapakah mereka itu dan mengapa menyerang Cu-wi? Siapa pula Cu-wi yang tinggal di tempat sunyi ini?"

"Panjang ceritanya, Gak-inkong (Tuan Penolong Gak). Karena engkau adalah seorang penolong, bagimu tidak ada yang dirahasiakan lagi. Akan tetapi marilah kita bersama kami ke tempat tinggal kami agar kita dapat bicara dengan leluasa."

Bun Beng lalu mengikuti mereka menuju ke tempat tinggal mereka yang ternyata terdiri dari goa-goa besar yang banyak terdapat di kaki gunung itu. Goa-goa itu mereka jadikan tempat tinggal, juga sekaligas merupakan tempat perlindungan yang kuat karena jalan masuk goa itu tertutup oleh pintu besi yang kokoh kuat.

Bun Beng mendapat penghormatan yang sungguh-sungguh dari sembilan belas orang itu yang agaknya menganggap hutang budi sebagai hal yang amat penting. Anak ini sampai merasa canggung dan tidak enak hati, akan tetapi dia terpaksa menerima keramahan mereka, menerima dan memakai pakaian yang mereka beri kemudian bersama mereka makan minum sambil mendengarkan penuturan Si Jangkung yang bernama Ciu Toan dan menjadi pemimpin mereka itu.

Ciu Toan yang menganggap Bun Beng sebagai tuan penolong dan penyelamat nyawa mereka, menceritakan semua keadaan mereka, didengarkan oleh Bun Beng dengan hati tertarik akan tetapi juga terheran-heran karena di dalam penuturan Ciu Toan banyak terdapat hal yang aneh-aneh.....

Sembilan belas orang gagah itu bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan orang-orang yang pernah menggemparkan dalam perang terakhir melawan pemerintah Ceng yang dikuasai oleh bangsa Mancu. Nama mereka amat terkenal sebagai pejuang-pejuang yang gigih dan gagah perkasa, dan pada waktu itu mereka masih bergabung dalam sebuah pasukan kecil yang terkenal dengan nama Pasukan Tiga Puluh Batang Pedang.

Mereka dahulu berjumlah tiga puluh orang yang di antaranya adalah saudara-saudara kandung, saudara-saudara misan yang semua mengangkat saudara dan bersumpah untuk bersama-sama sekuat tenaga menentang penjajah Mancu. Akan tetapi, ketika pertahanan terakhir terhadap bala tentara Mancu di Se-cuan hancur dan daerah ini jatuh pula ke tangan Pemerintah Ceng, pasukan kecil yang terkenal gagah perkasa ini pun mengalami kehancuran. Dari jumlah tiga puluh orang hanya tinggal sembilan belas orang saja.

Karena tak dapat bertahan lagi menghadapi bala tentara Mancu yang amat besar dan kuat, mereka terpaksa melarikan diri. Sepak terjang mereka selama perlawanan menghadapi bala tentara Ceng sedemikian hebat dan terkenalnya sehingga setelah daerah itu ditundukkan, Pemerintah Ceng lalu mencari sisa-sisa Pasukan Tiga Puluh Batang Pedang ini. Tentu saja untuk menangkap dan menghukum mereka yang telah mendatangkan kerugian banyak terhadap pasukan-pasukan Mancu.

Sembilan belas orang ini menjadi orang-orang buruan yang terpaksa menyembunyikan diri. Karena pengejaran dan pencaharian dilakukan oleh orang-orang pandai yang diutus oleh Kerajaan Mancu, maka sembilan belas orang yang dipimpin Ciu Toan itu akhirnya bersembunyi di kaki gunung itu dan sudah hampir dua tahun mereka tinggal di tempat itu.

"Cu-wi adalah orang-orang gagah perkasa, mengapa tadi bersikap begitu aneh dan menganggap aku sebagai Sun Go Kong?" Tanya Bun Beng yang merasa kagum sekali terhadap orang-orang itu yang biar pun kalah perang tetap tidak mau tunduk kepada pemerintah penjajah.

Ciu Toan menjadi merah mukanya, akan tetapi ia menjawab juga, "Kami... kami menjadi pemuja-pemuja Dewa Sun Go Kong setelah berada di sini, dan... tadinya kami mengira bahwa kembali beliaulah yang telah menyelamatkan kami seperti yang terjadi dua tahun yang lalu."

Bun Beng kini membelalakkan matanya. "Apa? Benarkah Cu-wi pernah diselamatkan oleh... oleh... Raja Kera Sun Go Kong?"

Dengan alis berkerut dan wajah sungguh-sungguh Ciu Toan berkata, "Memang sukar dipercaya bagi yang tidak mengalaminya sendiri. Dewa Sun Go Kong dianggap sebagai tokoh dongeng, akan tetapi kami percaya bahwa beliau memang ada dan di puncak tebing penuh rahasia itulah tempat pertapaannya. Kami sudah mengalaminya sendiri," Kemudian Ciu Toan menceritakan pengalaman mereka dua tahun yang lalu, didengarkan oleh Bun Beng dengan hati tertarik sekali.....

Ketika sembilan belas orang buruan itu baru beberapa hari tinggal di situ dan sedang sibuk membuat tempat tinggal di goa-goa, pada suatu pagi mereka diserbu dan dikepung oleh segerombolan perampok yang sebelum mereka datang memang menguasai daerah kaki pegunungan itu. Jumlah para perampok ada lima puluh orang lebih dan terjadilah pertempuran hebat yang mengancam keselamatan sembilan belas orang ini.

Mereka melakukan perlawanan gigih. Karena keahlian mereka adalah berperang, sedangkan dalam pertandingan perorangan ilmu kepandaian mereka tidak terlalu luar biasa, maka mereka terdesak hebat oleh para perampok yang bertekad membunuh semua orang yang mereka anggap hendak merebut wilayah kekuasaan para perampok itu. Dalam keadaan terdesak dan banyak di antara mereka telah terluka, tiba-tiba dari atas tebing menyambar batu-batu kecil yang merobohkan para perampok itu. Anehnya, batu-batu kecil ini tidak mengenai para bekas pejuang, dan yang mengenai tubuh para perampok tidak sampai membunuh mereka, hanya tepat mengenai jalan darah yang membuat para perampok terguling dan lumpuh untuk sementara.

Para perampok menjadi panik karena mereka diserang secara aneh oleh lawan yang tidak dapat mereka lihat. Apa lagi kalau mereka ingat bahwa dari tempat setinggi itu sampai penyerangnya tidak tampak, orang dapat merobohkan mereka yang sedang bergerak dan bertempur dengan kerikil-kerikil kecil yang mengenai jalan darah, dapat dibayangkan betapa saktinya si penyambit batu-batu kecil! Karena jeri, para perampok melarikan diri dan semenjak itu tidak berani lagi datang mengganggu para bekas pejuang.....


Ciu Toan dan teman-temannya mengobati luka yang mereka derita dan mereka pun merasa heran sekali. Mereka mencoba untuk mendaki tebing karena merasa yakin bahwa di puncak tebing tentu tinggal seorang sakti yang telah menolong mereka. Akan tetapi terpaksa mereka mengurungkan niat ini karena tebing itu tidak mungkin didaki, terlalu terjal, tinggi dan licin sekali. Mereka hanya berhasil mendaki sampai seperempat saja dan terpaksa menghentikan usaha mereka. Akan tetapi, selagi mereka beristirahat dengan peluh bercucuran, mereka melihat bayangan seperti bayangan manusia berloncatan mendaki tebing itu dengan kecepatan luar biasa sekali.

"In-kong (Tuan Penolong)... harap sudi menemui kami...!" Mereka berteriak-teriak, namun bayangan itu sebentar saja lenyap di puncak tebing. Kemudian terdengar suara dari atas, lirih saja namun amat jelas terdengar oleh mereka.

"Turunlah kalian, tidak boleh naik ke sini!"

Karena memang mereka merasa tidak mungkin dapat mendaki tebing, tanpa dilarang sekali pun akan turun juga. Akan tetapi mereka makin penasaran karena terheran-heran menyaksikan bayangan tadi. Seorang manusia, betapa pun pandainya, mana mungkin mendaki tebing seperti itu secara cepat seperti terbang saja? Dan suara dari atas itu, seolah-olah orangnya berbisik di dekat telinga mereka. Bukan manusia! Dewa agaknya, dewa penjaga gunung yang telah menolong mereka.

Dan selagi mereka menduga-duga sambil bersiap-siap untuk menuruni lereng tebing yang sukar dan berbahaya itu, tiba-tiba seorang di antara mereka berseru kaget sambil menuding ke puncak tebing. Mereka semua memandang dan melihat seekor kera besar memakai pakaian pendeta duduk di pinggir puncak tebing, di atas batu dan kera itu menggerak-gerakkan kedua tangan seolah-olah menyuruh mereka cepat turun!

Ciu Toan dan saudara-saudaranya menjatuhkan diri berlutut karena mereka tidak meragukan lagi bahwa kera besar itulah yang menolongnya. Dan siapa lagi kalau bukan Sun Go Kong yang memiliki kesaktian sehebat itu? Di dunia ini mana ada kera yang berpakaian pendeta yang sakti luar biasa dan yang dapat mengeluarkan kata-kata seperti manusia? Kecuali Sun Go Kong!

Demikianlah, sejak saat itu, mereka memuja Sun Go Kong yang bertapa di puncak tebing tinggi itu. Kepercayaan mereka makin menebal ketika tiga kali berturut-turut kawanan perampok lain dan sekali pasukan pemerintah menyerbu, mereka semua itu lari ketakutan karena mereka roboh sebelum sempat menyerang, roboh oleh batu-batu kecil dan bahkan pasukan Pemerintah Mancu roboh oleh suara melengking yang melumpuhkan mereka! Kemudian, dari atas puncak tebing melayang sebuah benda yang ternyata adalah kitab-kitab kecil berisi Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat (Ilmu Silat Kera Sakti) dan yang kini telah mereka pelajari dan menjadi andalan mereka untuk menjaga diri!

"Demikianlah Gak-inkong, maka ketika engkau melayang turun secara aneh itu kami tidak ragu-ragu lagi bahwa engkau tentu penjelmaan Dewa Sun Go Kong yang kembali menolong kami. Sungguh pun kini ternyata bahwa engkau bukan dewa itu, namun kami tetap percaya bahwa Sun Go Kong berada di puncak tebing itu." Ciu Toan mengakhiri ceritanya yang amat luar biasa itu.

"Bolehkah aku melihat kitab kecil itu?" Bun Beng bertanya.

"Tentu saja." jawab Ciu Toan yang lalu mengambil kitab itu.

Bun Beng hanya melihat tulisan pada halaman pertama yang berbunyi ‘Sin-kauw-kun-hoat’ dan kini dia merasa yakin bahwa tulisan itu sama dengan penulis kitab ‘Sam-po-cin-keng’ yang dimilikinya. Dia sekarang mengerti bahwa yang menolong para bekas pejuang ini adalah manusia sakti yang tinggal di sumber air panas, dan agaknya yang tampak oleh mereka adalah kera tua yang berpakaian pendeta dan yang sekarang, entah mengapa mungkin karena tuanya, telah lumpuh! Tetapi, melihat kesungguhan mereka memuja Sun Go Kong, dia tidak mau membuka rahasia itu dan diam saja.

"Dan tiga orang berambut riap-riapan yang menyerang kalian itu siapakah?"

"Kami sendiri juga heran mengapa orang-orang itu dapat mencari kami," jawab Ciu Toan. "Mereka adalah tiga orang dari Thian-liong-pang yang amat terkenal memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi."

"Thian-liong-pang?" Bun Beng terkejut dan ia teringat akan pengalamannya di muara Huang-ho. Dia pun tahu betapa hebat orang-orang Thian-liong-pang. "Kenapa mereka datang menyerbu? Apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-pang?"

Ciu Toan menggeleng kepala. "Kami hanya memusuhi kaum penjajah. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami suka dipaksa mengabdi perkumpulan apa pun juga. Mereka datang seperti biasa mereka lakukan di dunia kang-ouw, yaitu hendak menarik secara paksa agar kami suka masuk menjadi anggota Thian-liong-pang."

"Aneh sekali!" Bun Beng berkata.

"Memang Thian-liong-pang kini telah terkenal sebagai perkumpulan yang kuat, memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi dan mempunyai kebiasaan aneh, yaitu suka memaksa orang-orang kang-ouw menjadi anggota mereka, bahkan kadang-kadang menculik ketua-ketua perkumpulan lain yang dijadikan tamu secara terpaksa!"

"Sungguh luar biasa!" Kembali Bun Beng berkata, teringat akan wanita cantik tokoh Thian-liong-pang yang dijumpainya di muara Huang-ho itu.

"Betapa pun aneh dan luar biasa, namun engkau lebih aneh lagi, Gak-inhong. Seorang anak kecil bersikap seperti engkau, muncul secara luar biasa dari puncak tebing! Engkau... engkau tentu... ada hubungannya dengan Dewa Sun Go Kong, bukan?"

Bun Beng merasa serba salah. Kalau dia berterus terang bahwa di atas sana tidak ada dewa tidak ada iblis yang ada hanyalah kera-kera tak berekor, kera baboon biasa saja, hanya ada seekor kera yang biasa memakai pakaian, tentu cerita ini akan merupakan cemohan bagi kepercayaan mereka. Untuk membohong, dia pun tidak biasa karena orang-orang ini demikian jujur dan gagah, bagaimana ia mampu membohong terhadap mereka dan mengatakan dia benar-benar bertemu dengan tokoh khayal Sun Go Kong? Berterus terang tidak tega, membohong pun tidak mau, habis bagaimana?

"Cu-wi-enghiong dan Cu-wi sekalian. Aku Gak Bun Beng adalah seorang anak yatim piatu yang merantau tanpa tujuan dan secara kebetulan saja berada di puncak tebing. Karena tersesat jalan tidak tahu bagaimana harus turun, akhirnya aku mendapatkan akal, meniru burung membuat sayap tiruan dan dengan nekat melayang ke bawah sini."

Orang-orang itu memandangnya tak percaya. "Akan tetapi engkau membuat sayap tiruan dari kulit harimau!"

Bun Beng tersenyum dan menjawab, "Aku mempunyai sedikit kepandaian untuk merobohkan dan membunuh beberapa ekor harimau."

"Hebat..., hebat...! Inkong tentu murid seorang sakti!" Mereka memandang kagum.

"Memang guruku sakti sayang beliau telah meninggal dunia." Bun Beng menarik napas panjang, hatinya memang berduka kalau mengingat akan gurunya, juga merasa sakit hati atas kematian suhu-nya yang amat mengerikan.

"Bolehkah kami mengetahui siapa Suhu Inkong yang mulia?"

"Mendiang Guruku adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai."

"Aihhh...! Kiranya Inkong murid kakek yang sakti itu?" Orang-orang itu menjadi makin kagum dan gembira sekali dan sikap mereka terhadap Bun Beng makin menghormat. "Kami mempersilakan Inkong tinggal di sini bersama kami. Dengan adanya Inkong di sini kami merasa senang dan aman. Kami dua puluh lima orang...." Tiba-tiba Ciu Toan berhenti bicara dan mukanya berubah.

"Dua puluh lima orang?" Bun Beng mencela. "Kulihat hanya ada sembilan belas orang. Mana yang enam orang lagi?"

Ciu Toan kelihatan bingung dan jelas bahwa dia telah terlanjur bicara tanpa disengaja. "Kami... kami tadinya... bersisa dua puluh lima orang, akan tetapi sayang... enam orang telah meninggal dunia di sini..." Ia pun terdiam dan wajah mereka semua kelihatan muram.

Biar pun masih kecil Bun Beng dapat menduga bahwa pasti ada rahasia di balik kematian enam orang saudara mereka itu yang agaknya tidak akan mereka ceritakan kepada orang lain. Maka dia pun tidak mau mendesak lebih lanjut.

Bun Beng yang tidak tahu harus pergi ke mana, menerima penawaran mereka dan dia tinggal bersama mereka. Lebih senang tinggal dengan orang-orang ini dari pada tinggal di atas dan menjadi ‘seekor’ di antara sekumpulan kera itu, pikirnya. Dia mendapatkan sebuah kamar di goa dan di situ dia menyimpan sepasang pedang dan kitabnya. Setiap hari dia membantu mereka mengerjakan sawah atau berburu binatang di sekitar hutan di kaki gunung.

Namun beberapa hari kemudian, sembilan belas orang itu berpamit kepada Bun Beng untuk mencari ‘akar obat-obatan’. Ketika Bun Beng menyatakan hendak membantu, mereka menolak. "Ini adalah tugas pekerjaan kami yang amat penting dan tidak boleh kami minta bantuan siapa pun juga," kata Ciu Toan.

"Mengapa tidak boleh? Siapa yang tidak membolehkan? Dan akar obat-obatan apakah yang kalian cari?"

Mereka saling pandang dan kembali Bun Beng terheran melihat wajah mereka muram dan seperti orang ketakutan. "Maaf, Gak-inkong. Kami tidak dapat bercerita tentang ini. Harap suka menunggu di sini, kami hanya akan pergi selama tiga hari."

Tanpa memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membantah lagi, pergilah kesembilan belas orang itu membawa sepuluh buah keranjang kosong. Dia terheran dan merasa penasaran sekali, akan tetapi dengan sabar ia menanti. Setelah pada hari ke tiga dia tidak melihat mereka kembali, Bun Beng kehabisan kesabarannya dan dia pun meninggalkan tempat itu, pergi menyusul ke arah hutan di mana dia melihat mereka pergi tiga hari yang lalu.

Hari masih pagi ketika Bun Beng berangkat dan tiba-tiba ia melihat seekor burung yang besar sekali beterbangan di atas hutan di depan. Ia terbelalak memandang dan tadinya ia mengira bahwa yang terbang itu tentulah burung garuda tunggangan Pendekar Siluman. Jantungnya berdebar tegang, juga girang karena berjumpa dengan Pendekar Siluman merupakan idam-idaman hatinya.

Ia kagum dan tertarik sekali kepada pendekar kaki buntung itu. Jantungnya makin berdebar keras ketika ia melihat burung besar itu menukik turun dan benar saja, di atas punggung burung besar duduk seorang manusia! Karena jaraknya jauh, dia tidak dapat mengenal orang yang menunggang burung itu, akan tetapi siapa lagi di dunia ini yang memiliki binatang tunggangan seekor burung besar kecuali Pendekar Siluman?

Saking girangnya, lupalah Bun Beng akan niat hatinya semula menyusul sembilan belas orang bekas pejuang dan kini ia berlari-larian menuju ke arah hutan di mana burung itu beterbangan di atasnya, hutan yang agak gundul karena di situ banyak terdapat batu gunung yang tinggi-tinggi. Akan tetapi, setelah memasuki hutan dan tiba di dekat dinding gunung batu ia terkejut dan merasa heran sekali.

Kiranya sembilan belas orang itu berada di situ, kesemuanya berlutut dan di depan mereka berjajar sepuluh buah keranjang yang kini sudah terisi akar-akar dan daun-daunan. Apa yang mereka lakukan itu? Ciu Toan berlutut di deretan paling depan dengan wajah ketakutan. Ketika ia mendengar bunyi kelepak sayap burung, ia memandang ke atas dan melihat burung besar itu terbang rendah di atas pohon-pohon dan batu-batu.

Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa burung itu bukanlah garuda putih tunggangan Pendekar Siluman, bahkan tampak pula olehnya bahwa yang duduk di atas punggung burung besar itu adalah seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, berwajah tampan dan angkuh. Burung itu terbang rendah di atas sepuluh buah kerajang seolah-olah memberi kesempatan kepada penunggangnya untuk menjenguk ke bawah karena ia terbang miring, kemudian membubung lagi sambil menyambar dua buah keranjang dengan kedua cakarnya, lalu terbang menghilang. Namun sembilan belas orang itu masih tetap berlutut dan Bun Beng masih bersembunyi memandang dengan jantung berdebar tegang. Rahasia apa pula ini?

Tak lama kemudian, kembali bocah yang menunggang burung rajawali besar itu datang di atas punggung burungnya, diikuti oleh tiga ekor burung rajawali besar lain. Empat ekor burung itu menukik turun dan menyambar keranjang-keranjang terisi akar dan daun-daunan, akan tetapi kini hanya tujuh buah keranjang yang diterbangkan sedangkan sebuah keranjang lagi yang isinya hanya sedikit, hampir kosong, tidak diangkat pergi.

"Kenapa hanya sembilan keranjang dan yang sebuah kosong?!" Tiba-tiba terdengar bentakan dari atas, suara yang angkuh dan galak dari anak laki-laki yang duduk di atas punggung rajawali.

Sembilan belas orang itu menjadi pucat mukanya dan jelas tampak tubuh mereka gemetar.

"Maaf... kami... telah berusaha tiga hari tanpa henti mengumpulkan, akan tetapi karena setiap tiga bulan diambil terus, kini hasilnya makin kurang dan hanya mendapatkan sembilan keranjang..."

"Bohong! Malas!" Anak di atas burung itu membentak, suaranya nyaring galak sehingga Bun Beng yang mendengarnya menjadi gemas dan marah. "Kalian berani menentang dan membantah perintah kami? Tidak cukup murahkah nyawa kalian semua ditebus dengan akar-akar dan daun-daun obat tiga bulan sekali? Siapa yang bertanggung jawab akan kekurangan ini?"

Sembilan belas orang itu berlutut dengan tubuh gemetar dan mereka itu tak dapat menjawab hanya menggumamkan kata-kata mohon maaf.

"Diam semua!" Anak itu membentak dan mereka semua terdiam. "Siapa yang bertanggung jawab? Ataukah semua bertanggung jawab dan siap menerima hukuman dari kami?"

Tiba-tiba Ciu Toan meloncat berdiri dan dengan sikap yang gagah ia menengadah memandang anak laki-laki di punggung burung rajawali sambil berkata nyaring, "Aku, Ciu Toan yang bertanggung jawab atas kekurangan ini, saudara-saudaraku tidak ada yang bersalah, akulah yang siap menerima hukuman!"

Anak itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Nah, kalau begitu, menunggu apa lagi? Apakah harus kami yang turun tangan menyuruh burung rajawali merobek-robek perutmu?"

"Tidak! Aku Ciu Toan bukan orang yang takut mati. Demi keselamatan saudara-saudaraku, biarlah saat ini aku menerima hukuman!" Tiba-tiba Ciu Toan mencabut pedangnya dan langsung menggorok leher sendiri!

"Ciu-twako...!" Bun Beng meloncat maju dan lari menghampiri dengan niat mencegah, sedangkan para bekas pejuang hanya berlutut sambil menangis. Namun terlambat. Tubuh Ciu Toan terhuyung dan roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika!

"Keparat! Setan...!" Bun Beng mengepal tinju dan memandang ke atas, akan tetapi bocah di atas punggung rajawali itu tertawa, burungnya terbang tinggi dan dari jauh masih terdengar gema suara ketawanya. Barulah orang-orang itu bergerak, menubruk dan menangisi jenazah Ciu Toan.

"Kalian ini orang-orang gagah macam apa? Mengapa tidak bangkit melawan bocah setan yang menunggang burung itu? Mengapa membiarkan Ciu-twako membunuh diri? Apa artinya ini semua?" Bun Beng membanting-banting kakinya dengan marah.

"Sssttt... In-kong, harap jangan bicara di sini. Marilah kita pulang membawa jenazah Ciu-twako dan nanti kami akan ceritakan semua," jawab seorang di antara mereka dengan sikap takut-takut.

Biar pun marah dan hampir tak dapat menahan kesabarannya, namun terpaksa Bun Beng menurut karena tidak ada yang mau menjawab pertanyaannya. Jenazah Ciu Toan diangkut dan setelah dikebumikan dengan upacara sekedarnya, Bun Beng mendengar penuturan delapan belas orang itu....

"Agaknya Dewa Sun Go Kong hanya menolong kami dari ancaman lain, akan tetapi tekanan dari Majikan Pulau Neraka ini membuat kami tidak berdaya dan tidak ada yang mampu menolong...," kata mereka sambil menarik napas dengan muka berduka sekali.

"Pulau Neraka? Bocah itu dari Pulau Neraka?"

Orang tertua dari para pejuang itu mengangguk. "Sudah amat lama terjadinya. Ketika kami mencari daun-daun obat di hutan, kami bertemu dengan seorang anggota Pulau Neraka yang membutuhkan akar jinsom dan daun pencuci darah yang banyak terdapat di hutan itu. Kami dan dia berebutan dan bertanding. Karena dia hanya seorang dan kami keroyok, pada waktu itu jumlah kami masih dua puluh lima orang, dia terluka dan melarikan diri. Akan tetapi, beberapa hari kemudian datang seorang tokoh Pulau Neraka yang bermuka kuning, kami dikalahkan dan dipaksa menukar nyawa dengan penyerahan sepuluh keranjang akar dan daun obat setiap tiga bulan. Burung-burung rajawali itu yang datang mengambil dan sudah dua kali ini yang mewakili Pulau Neraka adalah anak laki-laki itu. Amat sukar mengumpulkan akar dan daun obat sekian banyaknya. Tiga orang saudara kami tewas tergigit ular beracun di waktu mencari obat siang malam, dan yang dua orang terpaksa membunuh diri seperti yang dilakukan Ciu-twako karena penyetoran obat kurang. Sekarang Ciu-twako yang mengorbankan diri."

Bun Beng mengepal tinjunya, penasaran sekali. "Mengapa kalian tidak melawan?"

Orang itu menggeleng kepala. "Melawan tiada gunanya. Kepandaian mereka hebat bukan main. Melawan satu orang yang bermuka kuning itu saja kami tidak berdaya sama sekali. Pula, kami sudah berjanji ketika kami dikalahkan. Ciu-twako membunuh diri untuk menolong saudara-saudaranya. Siapa pun di antara kita yang menjadi pemimpin, tentu akan berbuat seperti dia. Kami tidak berdaya...."

Bun Beng menggeleng-geleng kepala. "Sungguh menjemukan kalau begitu, mengapa Cu-wi tidak pergi saja meninggalkan tempat ini?"

"Pergi ke mana? Kami adalah orang-orang buruan. Di tempat ramai sudah siap orang-orang pemerintah penjajah untuk menangkap kami," jawab orang itu penuh duka.

Bun Beng bangkit berdiri dan memandang orang-orang itu dengan hati penasaran. Dia masih kecil, akan tetapi dia sudah tahu apa artinya kegagahan, maka melihat sikap orang-orang yang dianggapnya gagah perkasa ini, hilang kesabarannya.

"Cu-wi sekalian tadinya kuanggaap sebagai orang-orang yang gagah perkasa dan patut dikagumi, akan tetapi sekarang mengapa begini.... pengecut? Seorang gagah lebih mengutamakan kehormatan dari pada nyawa! Lebih baik melawan penindas sampai mati dari pada membiarkan diri dihina dan ditindas seperti yang dilakukan orang-orang Pulau Neraka kepada Cu-wi! Bukankah orang dahulu mengatakan bahwa lebih baik mati sebagai seekor harimau dari pada hidup sebagai seekor babi?"

Delapan belas orang itu memandang kepada Bun Beng dengan wajah muram. Pemimpin baru mereka, yang tertua, berkata. "Kami telah menyerahkan jiwa raga untuk negara dan bangsa, kami akan melawan sampai mati terhadap penjajah. Kami tahu kapan dan terhadap siapa dapat melawan. Menghadapi Pulau Neraka, kami tidak berdaya, melawan berarti mati semua. Kalau kami menakluk, berarti hanya beberapa orang terancam bahaya mati, masih ada sisanya untuk menanti kesempatan melakukan perlawanan terhadap penjajah Mancu. Kami tidak akan menyia-nyiakan nyawa kami hanya untuk urusan pribadi."

Jawaban ini membuat Bun Beng tertegun keheranan dan ia tidak mengerti apakah orang-orang ini tergolong orang gagah ataukah orang bodoh. Kalau pengecut terang bukan karena mereka itu takut melawan bukan karena takut mati, melainkan takut kalau mereka mati dengan sia-sia, bukan mati menghadapi penjajah yang agaknya sudah menjadi cita-cita hidup mereka. Maka dia tidak membantah lagi dan diam-diam ia mengatur persiapan untuk menghadapi bocah penunggang rajawali dari Pulau Neraka yang dibencinya itu.

Diam-diam Bun Beng menyembunyikan sepasang pedangnya ke dalam sebuah goa kecil yang tidak dipakai, menutup goa dengan batu dan menanam rumput alang-alang di depannya. Kitab Sam-po-cin-keng yang sudah ia hafal di luar kepala isinya itu dibakarnya. Semua ini ia lakukan tanpa sepengetahuan delapan belas orang itu yang kini sibuk mengumpulkan lagi sepuluh keranjang akar dan daun obat yang sebelum waktu penyetoran tiba agar tidak jatuh korban lagi di antara mereka.

Tiga bulan kemudian, ketika sepuluh buah keranjang itu disiapkan di tempat biasa dan delapan belas orang itu berlutut menanti datangnya burung-burung rajawali yang hendak mengambil keranjang-keranjang itu, Bun Beng telah berada di dalam sebuah di antara keranjang obat yang tertutup. Diam-diam dia telah memasuki keranjang yang telah ia keluarkan isinya dan hal ini dapat ia lakukan karena ia memaksa mereka untuk diperbolehkan membantu mereka ketika ia menyusul mereka ke hutan.

Bun Beng memiliki jiwa petualang yang besar, yang tumbuh dengan cepat semenjak dia diajak oleh mendiang Siauw Lam Hwesio ke muara Sungai Huang-ho dan banyak mengalami hal-hal yang aneh dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang luar biasa. Dia telah melihat tokoh-tokoh Pulau Neraka, bahkan dia tahu bahwa ketika kecil, orang-orang Pulau Neraka ikut pula memperebutkan dirinya. Hal ini hanya berarti bahwa di antara ayahnya yang disebut Kang-thouw-kwi Gak Liat, dengan pimpinan Pulau Neraka tentu ada hubungannya, karena ibunya seorang tokoh Siauw-lim-pai, tentu tidak mempunyai hubungan dengan Pulau Neraka.

Kini, mendengar bahwa bocah yang angkuh dengan burung-burung rajawali besar itu datang dari Pulau Neraka timbul niat di hatinya untuk ikut ke Pulau Neraka, di mana dia akan menegur cara mereka mengumpulkan obat-obatan dengan memeras dan menekan bekas-bekas patriot atau pejuang itu! Tentu saja Bun Beng tahu bahwa perbuatannya amat berbahaya bagi keselamatannya, namun dia sama sekali tidak merasa takut. Kalau bocah sombong dan angkuh itu berani menunggang di punggung rajawali, mengapa dia tidak berani diterbangkan dengan bersembunyi di dalam keranjang akar obat?

Jantung Bun Beng berdebar keras ketika menanti di dalam keranjang, khawatir kalau-kalau ada di antara delapan belas orang itu yang mencarinya dan ada yang memeriksa keranjang. Akan tetapi hatinya lega melihat dari celah-celah keranjang bahwa ke delapan belas orang itu berlutut dengan menundukkan kepala, sama sekali tidak memperhatikan sepuluh buah keranjang yang kini terisi penuh semua.

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan nyaring yang tersusul suara kelepak sayap di atas pohon-pohon. Burung-burung itu telah datang! Bun Beng cepat merendahkan tubuhnya dan menutupi kepalanya dengan daun-daun obat, jantungnya berdebar tegang. Burung rajawali yang ditunggangi anak laki-laki itu seperti biasa terbang rendah di atas keranjang-keranjang itu dan anak laki-laki itu memeriksa isi keranjang dari tutup yang berlubang-lubang. Kemudian kelepak sayap terdengar makin keras, burung rajawali mulai menyambar dan membawa terbang keranjang-keranjang itu! Keranjang di mana Bun Beng bersembunyi mendapat giliran terakhir. Hatinya lega bercampur tegang ketika ia merasa tubuhnya terangkat dan terayun-ayun, merasa betapa tubuhnya membubung tinggi!

Agak pening juga rasa kepala Bun Beng dan perutnya terasa mual hendak muntah, akan tetapi kalau teringat kepada anak yang menunggang rajawali terbang, ia menguatkan hatinya dan menggigit bibir. Entah berapa lama dia diterbangkan dan kini dia tidak merasa pening atau mual lagi, agaknya dia sudah mulai biasa! Kalau dahulu ia ‘terbang’ sendiri di atas tebing tidaklah begini mengerikan karena dia dapat melihat sekelilingnya, tidak seperti sekarang mendekam di dalam keranjang.

Tiba-tiba ia mendengar suara keras sekali dan baru ia ketahui bahwa rajawali yang menggondol keranjang itulah yang mengeluarkan suara keras. Dia mendengar pula pekik rajawali-rajawali lain dan lapat-lapat mendengar suara dua orang saling memaki! Bun Beng terheran-heran. Bagaimana mungkin di angkasa ada dua orang bercekcok? Saking herannya, ia membuka tutup keranjang dan betapa kagetnya saat menyaksikan pemandangan yang amat hebat.

Di angkasa itu, anak laki-laki yang angkuh dari Pulau Neraka sedang bertanding melawan seorang anak perempuan sebaya yang menunggang seekor burung garuda putih yang besar. Mereka berdua sama-sama memegang pedang dan bertanding mati-matian sambil saling memaki! Juga burung garuda itu membantu penunggang masing-masing, saling bertempur mempergunakan cakar dan paruh!

Tiba-tiba Bun Beng teringat! Burung garuda putih itu! Serupa benar dengan burung tunggangan Pendekar Siluman! Ahhh! Bukankah dahulu Pendekar Siluman mencari muridnya? Murid perempuan? Agaknya perempuan inilah murid Pendekar Siluman! Perasaan kagum dan sukanya terhadap Pendekar Siluman otomatis tertumpah kepada murid perempuan pendekar itu, apa lagi lawan anak perempuan itu adalah anak laki-laki yang angkuh dan yang dibencinya. Dia sampai lupa menutupkan kembali tutup keranjang, lupa bahwa keranjang yang didudukinya itu dicengkeram oleh kaki rajawali yang besar dan kuat, dan dia asyik menonton pertandingan sambil mendengarkan percekcokan mulut. Agaknya kedua anak itu sama-sama galak dan pandai memaki!

"Iblis cilik! Rajawalimu akan mampus oleh garudaku seperti juga engkau akan mampus di tanganku!" bentak anak perempuan itu.

"Ha-ha-ha, kau perempuan kuntilanak! Hanya galak dan main gertak saja. Pedangku akan membuat kau terguling, dan tubuhmu akan hancur gepeng terbanting ke bawah!" Anak laki-laki itu balas memaki.

"Mampuslah!"

Anak perempuan itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya, tangan kiri mencengkeram bulu leher garudanya, pedangnya menusuk dengan dahsyat. Karena tubuhnya condong ke depan, maka serangannya itu amat hebat, mengarah tenggorokan lawan.

"Tranggggg...!"

Anak laki-laki itu menangkis, akan tetapi pedang di tangan anak perempuan itu secara aneh dan cepat sekali menyeleweng dari atas membesut melalui pedang lawan dan langsung menikam dada!

"Celaka...!" Anak laki-laki itu berteriak.

Ia lalu menggerakkan tubuhnya meloncat ke kanan. Dalam kegugupannya menghadapi serangan maut itu, dia lupa bahwa dia duduk di atas punggung rajawalinya yang sedang terbang, maka ketika ia meloncat ke kanan, otomatis tubuhnya melayang jatuh dari punggung rajawali!

Betapa pun bencinya terhadap anak laki-laki yang angkuh itu, hati Bun Beng merasa ngeri juga menyaksikan tubuh anak itu terguling jatuh dari atas punggung rajawali, padahal tanah di bawah sedemikian jauhnya sampai hampir tidak tampak teraling awan!

Akan tetapi anak laki-laki itu ternyata hebat, tenang dan cekatan. Juga rajawali tunggangannya sudah terlatih. Cepat ia menggerakkan tangan dan berhasil memegang kaki rajawali dengan tangan kirinya. Melihat ini, anak perempuan itu marah dan kembali mendoyongkan tubuh ke depan untuk menusukkan pedangnya. Sambil bergantungan kepada kaki rajawalinya, anak laki-laki itu menangkis.

"Cringgg...!" sepasang pedang bertemu dengan kerasnya sehingga bunga api berpijar.

Melihat kemenangan majikannya, garuda putih itu kelihatan bersemangat. Paruhnya menghunjam ke arah kepala rajawali. Rajawali cepat mengelak, akan tetapi paruh garuda itu masih mengenai pinggir sayapnya sehingga banyak bulu burung rajawali membodol dan berhamburan melayang. Rajawali memekik dan terbang menjauh, dikejar oleh burung garuda.

Agaknya melihat kawannya bertempur, rajawali yang mencengkeram keranjang Bun Beng hendak membantu. Ketika garuda putih itu kembali menerjang rajawali yang kini sudah diduduki lagi punggungnya oleh anak laki-laki yang kelihatan marah sekali, rajawali yang membawa Bun Beng menerkam dari belakang, menggunakan kaki kiri dan paruhnya karena kaki kanannya mencengkeram keranjang terisi Bun Beng. Garuda putih tak sempat menghadapi lawan dari belakang ini karena pada saat itu dia harus menghadapi serangan balasan lawannya yang marah. Melihat ini, anak perempuan itu memutar pedangnya menusuk ke arah rajawali ke dua. Burung rajawali ini menggerakkan paruhnya menangkis.

"Trangg...! Aihhhh... pedangku!" Anak perempuan itu berteriak marah dan kaget karena pedangnya terpental, terlepas dari tangannya dan melayang turun lenyap ditelan awan.

Kini burung garuda itu memekik-mekik siap menghadapi penggeroyokan dua ekor burung rajawali. Setiap ada lawan mendekati, kedua kakinya menerjang secepat kilat dan tentu berhasil merontokkan beberapa helai bulu lawan. Menyaksikan kegarangan garuda ini, kedua ekor burung rajawali hanya terbang mengelilingi dan mengancam. Kini anak laki-laki itu tertawa-tawa mengejek kepada anak perempuan yang sudah tak bersenjata lagi.

"Ha-ha-ha-ha, kuntilanak kecil! Engkau telah terkurung sekarang. Mana kegaranganmu tadi? Ayo bersumbarlah sekarang, ha-ha-ha! Engkau tahu rasa sekarang. Apa kau kira semua orang takut kepada penghuni Pulau Es? Ha-ha, mukamu sudah pucat! Betapa pun juga, wajahmu manis sekali. Jika kau menyerah dan ikut bersamaku ke tempatku, aku akan menjamin bahwa engkau akan diampuni, akan tetapi untuk itu aku minta upah dan balas jasa. Tidak sukar, asal engkau kelak suka berlutut dan mengangguk-angguk delapan kali di depan kakiku, menyebut aku Koko yang baik, lalu membiarkan aku mencium kedua pipimu, engkau bahkan akan kujadikan sahabatku dan...."

"Tutup mulutmu yang busuk! Berani engkau memandang rendah Pulau Es? Biar aku mati, Suhu tentu akan mencarimu dan merobek mulutmu serta membunuhi semua nenek moyangmu, kalau engkau tidak begitu pengecut untuk menyebutkan nama dan tempatmu!"

Gadis cilik itu terpaksa harus miringkan tubuh dan mencengkeram bulu leher burungnya ketika burungnya terserang dari atas bawah dan menukik miring untuk menghindarkan diri dan balas menyerang. Sebuah tusukan dari anak laki-laki itu berhasil dia tangkis dengan tendangan mengarah pergelangan tangan, namun anak laki-laki itu sudah cepat menarik kembali tangannya sambil menyeringai.

"Ha-ha-ha! Kematian sudah di depan mata, engkau masih menyombongkan Pulau Es! Dan engkau menyombongkan Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tentu dia gurumu, bukan? Ha-ha-ha, tunggu saja. Nanti pimpinan kami akan membasmi seluruh penghuni Pulau Es, termasuk Pendekar Siluman."

"Keparat sombong! Aku tahu sekarang! Engkau tentu seorang di antara anggota Thian-liong-pang yang sombong!"

"Heh-heh-heh, boleh kau terka, bocah manis! Engkau tidak akan tahu!"

"Dia dari Pulau Neraka!" Tiba-tiba Bun Beng tak dapat menahan kemarahannya lagi sehingga ia lupa diri dan berteriak.

"Hahh...?" Kini anak laki-laki itu memandang dan baru tahu bahwa keranjang terakhir itu bukan berisi akar dan daun obat, melainkan terisi seorang anak laki-laki! "Kau... siapa...?"

Sementara itu anak perempuan itu tersenyum mengejek, "Aha, kiranya engkau adalah keturunan orang-orang buangan itu? Pantas seperti iblis!"

Bun Beng yang kini tidak meragukan lagi bahwa gadis cilik itu tentulah murid Pendekar Siluman yang dikaguminya, ketika melihat betapa pengeroyokan dua ekor rajawali membahayakan garuda dan gadis cilik itu, segera menggerakkan tangan menghantam ke arah perut rajawali yang membawa keranjangnya.

"Bukkk!"

Pukulan Bun Beng di luar tahunya kini berbeda dengan pukulannya sebelum ia mempelajari Sam-po-cin-keng. Tenaga sinkang-nya bertambah kuat sekali berkat bertelanjang selama setengah tahun dan mempelajari ilmu silat yang mukjizat. Begitu terkena hantaman ini, rajawali memekik dan otomatis cengkeramannya pada keranjang itu terlepas dan tubuh Bun Beng ikut meluncur ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia sukar bernapas!

Akan tetapi rajawali itu sendiri yang sudah terluka dan terkejut oleh pukulan Bun Beng, segera kabur terbang secepatnya. Ditinggalkan kawannya, burung rajawali pertama menjadi jeri, juga anak laki-laki itu agaknya menjadi jeri setelah rahasianya terbuka, maka ia menyuruh burungnya terbang pergi meninggalkan burung garuda dan anak perempuan yang menungganginya.

Anak perempuan itu terbelalak penuh kengerian dan berusaha mengikuti keranjang terisi anak laki-laki yang jatuh dengan pandangan matanya. Akan tetapi jatuhnya keranjang itu terlampau cepat dan sudah lenyap ditelan awan, maka ia menggerakkan pundaknya dan menyuruh garudanya terbang pergi juga dengan cepat sekali.

"Bibi Pek-eng (Garuda Putih), bawa aku pulang ke Pulau Es. Sudah terlalu lama kita pergi, aku khawatir Suhu akan marah sekali kepadaku!" Bisik anak perempuan itu kepada garudanya.

Anak itu, tepat seperti dugaan Bun Beng, adalah Giam Kwi Hong, keponakan dan juga murid dari Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es. Anak ini telah dibawa olah Suma Han ke Pulau Es di mana dia digembleng oleh pendekar sakti itu sebagai muridnya. Karena dia amat disayang oleh gurunya yang juga menjadi pamannya, dan karena semua penghuni Pulau Es juga sayang dan takut kepadanya, maka Kwi Hong memiliki watak yang agak manja sehingga dia berani meninggalkan Pulau Es di luar tahu gurunya.

Hal ini adalah karena dia selalu dilarang untuk meninggalkan pulau dan memang anak yang ditekan dan dilarang, biasanya setelah agak besar akan berontak karena larangan itu justru menimbulkan daya tarik dan gairah untuk mengetahui bagaimana macamnya dunia di luar Pulau Es! Kwi Hong menunggang garuda betina putih meninggalkan pulau untuk ‘melihat-lihat’.

Garuda itu terbang menuju ke timur laut, akan tetapi karena dia merasa lelah setelah bertempur, tanpa diperintah setelah terbang setengah hari lamanya, dia menukik turun dan hinggap di atas gunung karang dekat laut untuk beristirahat. Burung ini biar pun terlatih dan kuat sekali, namun dia tetap seekor binatang yang bergerak menurutkan kebutuhan tubuhnya. Dia merasa lelah dan harus beristirahat sebelum melanjutkan penerbangan ke Pulau Es yang jauh.

Karena lelah kedua-duanya, baik garuda itu mau pun Kwi Hong tidak tahu bahwa dari depan tampak dua titik hitam yang terbang cepat sekali. Ketika Kwi Hong melompat turun dari punggung garudanya, dua titik hitam itu telah berada di atas dan ternyata itu adalah dua ekor burung rajawali, ditunggagi oleh anak laki-laki bekas lawannya tadi sedangkan yang seekor lagi ditunggangi oleh seorang wanita yang cantik sekali. Dua ekor rajawali itu meluncur turun dan tak lama kemudian hinggap tak jauh dari situ.

Melihat bekas lawannya, garuda putih memekik dan menerjang maju, akan tetapi wanita itu menggerakkan tangan dan tampak berkelebat bayangan hitam kecil panjang yang menyambut tubuh garuda. Di lain saat, garuda itu telah terbelenggu kedua kaki dan paruhnya sehingga tidak mampu bergerak, hanya kedua sayapnya saja bergerak-gerak dan tubuhnya meronta-ronta.

"Diam engkau!" Wanita cantik itu tiba-tiba mencelat ke dekat garuda, sekali tangannya menotok burung itu rebah miring tak mampu menggerakkan kedua sayapnya lagi.

"Setan! Kau apakan burungku...?" Kwi Hong marah sekali dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal.

"Inikah anak perempuan itu?" Wanita cantik itu bertanya kepada anak laki-laki yang cepat mengangguk.

"Dialah kuntilanak kecil itu. Biar aku membunuhnya!" Berkata demikian, anak laki-laki itu sudah menerjang maju dengan pedangnya, menusuk dada Kwi Hong yang cepat mengelak dan mengirim tendangan yang juga dapat dielakkan oleh anak laki-laki itu.

"Engkau setan iblis cilik kurang ajar! Kau kira aku takut padamu? Biar kau bawa semua penghuni Pulau Neraka ke sini, aku tidak takut!" Kwi Hong balas memaki dan kini biar pun bertangan kosong, dia menerjang maju dengan ganas dan dahsyat. Setelah turun dari punggung burung, barulah ia tahu bahwa anak laki-laki itu lebih muda darinya, maka keberaniannya makin membesar. Masa dia takut terhadap anak kecil?

Ilmu silat Kwi Hong saat itu sudah mencapai tingkat hebat juga berkat gemblengan paman atau gurunya. Selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga dia memiliki sinkang yang jauh lebih kuat dari pada lawannya, di samping gerakan ginkang-nya yang membuat tubuhnya ringan dan gesit bukan main. Biar pun lawannya memegang pedang, namun setelah bertanding tiga puluh jurus yang ditonton wanita cantik penuh perhatian, kini dia mulai mendesak terus sedangkan anak laki-laki itu sibuk memutar-mutar pedang menjaga diri dari serangan yang datang bertubi-tubi dari segala jurusan itu.

"Mundur kau!" Tiba-tiba wanita cantik itu mendorongkan tangannya dan tubuh Kwi Hong terpental ke belakang.

Kwi Hong marah sekali. "Engkau siluman!"

Dan ia maju lagi, akan tetapi tubuhnya tidak dapat maju, seolah-olah ada dinding tak tampak yang menghadang di depannya. Ia mencoba melompat mundur, juga tidak berhasil. Tubuhnya telah dikurung hawa yang amat kuat yang tidak memungkinkan dia lari ke mana pun juga!

"Bocah liar, apakah engkau murid Suma Han, Pendekar Siluman itu?" Wanita itu bertanya, suaranya dingin sekali.

Kwi Hong mengangkat muka memandang. Dia maklum bahwa wanita itu memiliki kesaktian hebat, akan tetapi sebagai murid Pendekar Super Sakti, dia tidak takut dan memandang wanita itu penuh perhatian. Wanita itu belum tua, belum ada tiga puluh tahun, memiliki kecantikan luar biasa sekali, dengan sepasang matanya yang lebar, bening dan bersinar tajam akan tetapi juga mengerikan. Tubuhnya ramping dan padat, ditutup pakaian yang serba hitam sehingga wajahnya yang sudah putih menjadi makin jelas warna putihnya.

Diam-diam Kwi Hong bergidik. Warna putih wajah wanita itu tidak wajar! Bukan putih susu, bukan pula putih karena pucat, melainkan putih sama sekali, seperti putihnya kapur!

"Benar, aku adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es. Sebaiknya engkau yang memiliki ilmu siluman jangan mengganggu aku kalau sudah mengenal betapa lihainya Guruku agar kelak tidak menyesal."

"Heh-heh, kuntianak cilik! Engkau masih berani menggertak Ibuku?" Anak laki-laki itu mengejek.

"Keng In! Diam engkau!" Wanita itu membentak dan Kwi Hong memandang heran.

"Ah, jadi bocah nakal ini anakmu? Kalau begitu apakah engkau ini Majikan Pulau Neraka?"

Wanita cantik bermuka putih itu mengangguk. "Tidak salah, akulah Majikan Pulau Neraka dan engkau harus ikut bersamaku ke Pulau Neraka."

"Aku tidak sudi!" Kwi Hong melotot dengan berani.

Wanita itu tersenyum dan makin heranlah Kwi Hong. Kalau wanita itu diam, wajahnya yang putih tampak dingin menakutkan, akan tetapi kalau tersenyum bukan hanya mulutnya yang tersenyum, melainkan juga matanya, hidungnya dan seluruh wajahnya. Cantik dan manis bukan main!

"Mau tidak mau harus ikut."

"Ahh, tidak malukah engkau sebagai Majikan Pulau Neraka hanya pandai memaksa seorang anak kecil? Kalau engkau memang sakti seperti dikabarkan orang, coba kau lawan Guruku, tentu dalam sepuluh jurus engkau mati!"

"Anak, engkau menarik! Engkau penuh keberanian. Hemm, agaknya Suma Han masih belum dapat mengatasi kegalakan anak perempuan, hanya pandai melatih silat tetapi tidak pandai mengekang keliaranmu. Siapa namamu?"

"Aku Giam Kwi Hong!"

Wanita itu mengerutkan kening. "Apa engkau masih mempunyai hubungan keluarga dengan Gurumu?"

Kwi Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng dan berkata bangga. "Benar! Nah, engkau tidak boleh main-main dengan aku, karena Pamanku tentu akan marah kepadamu."

Kembali wanita itu tersenyum. "Memang aku ingin membuat dia marah, aku ingin dia mencoba-coba merampasmu dari tanganku, ingin Pendekar Siluman berani datang ke Pulau Neraka dan menghadapi kami. Hayo!"

Kwi Hong hendak meronta dan menolak, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu tubuhnya terlempar ke depan disambut lengan wanita itu dan tahu-tahu ia telah dibawa mendekati garuda putihnya. Sekali wanita itu menggerakkan tangan, tali hitam dari sutera yang mengikat kaki dan paruh burung itu terlepas dan totokannya pun bebas pula.

"Pulanglah engkau lapor majikanmu!" Wanita itu menepuk punggung garuda putih yang agaknya maklum akan kelihaian wanita itu karena dia memekik kesakitan lalu terbang ke arah timur.

Wanita itu lalu meloncat ke punggung rajawali bersama Kwi Hong yang dikempitnya, lalu burung itu terbang cepat ke atas, disusul oleh anak laki-laki bernama Keng In yang juga sudah meloncat ke punggung rajawalinya.

Dari atas punggung rajawali itu, Kwi Hong melihat betapa mereka menuju ke sebuah pulau di tengah laut. Pulau itu dari atas kelihatan hitam sekali, menjadi lawan Pulau Es yang kelihatan putih dari atas. Di sekelilingnya terdapat pulau-pulau mati yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya. Setelah burung itu berada di atas pulau hitam, tampak olehnya bahwa tumbuh-tumbuhan di situ berwarna hijau gelap mendekati biru sehingga dari atas tampak hitam, apa lagi karena di atas pulau itu terdapat awan hitam yang seolah-olah selalu menyelimuti pulau.

Kedua burung rajawali itu meluncur turun dan setelah tidak begitu tinggi tampak oleh Kwi Hong betapa pulau itu dikelilingi tepi laut yang merupakan tebing-tebing batu karang, sedangkan secara aneh sekali ombak besar menghantam tepi pantai dengan dahsyat dari segala penjuru. Dia bergidik. Pulau yang buruk dan menyeramkan. Bagaimana mungkin ada perahu dapat mendarat di pulau ini kalau ombaknya demikian besar? Tentu perahu itu akan dihempaskan ke batu karang dan hancur lebur!

Kini tampak rumah-rumah di pulau itu. Gentengnya terbuat dari kayu yang hitam pula, atau dicat hitam? Begitu burung itu menukik turun dan hinggap di pekarangan sebuah rumah besar seperti istana, tampak banyak orang berlarian datang menyambut.

Tiba-tiba Kwi Hong tertawa saking geli hatinya. Dia melihat wajah anak yang bernama Keng In itu biasa saja seperti orang lain, hanya ibunya yang mengaku Majikan Pulau Neraka itu wajahnya berwarna putih seperti kapur, seperti dicat putih. Kini orang-orang yang lari berdatangan itu memiliki wajah yang beraneka warna. Ada yang mukanya berwarna hitam seperti arang, ada yang biru, ada yang merah, ungu, hijau, kuning. Akan tetapi terbanyak adalah warna-warna yang gelap, sedangkan muka yang berwarna terang, terutama yang kuning, tidak banyak. Tidak ada seorang pun yang berwarna putih mukanya seperti wanita ibu Keng In itu.

"Hi-hi-hik-hik! Alangkah lucunya. Mengapa kalian penghuni-penghuni Pulau Neraka mencat muka kalian? Apakah hari ini akan diadakan pesta dan panggung sandiwara dan kalian semua ikut bermain?"

Semua orang yang datang menyambut To-cu mereka itu melotot mendengar ucapan ini. Seorang wanita cantik, yang mukanya berwarna merah muda sehingga warna ini amat menguntungkan karena menambah kecantikannya, bertanya.

"Twanio, siapakah bocah kurang ajar ini?"

Dari pandang mata semua orang, jelas bahwa pertanyaan yang diajukan kepada ketua ini mewakili suara hati semua orang.

"Dia? Dia ini adalah murid dan juga keponakan dari Pendekar Siluman..."

Mendengar wanita itu menyebut julukan gurunya yang amat tidak disukanya, Kwi Hong memotong cepat, "Beliau adalah Pendekar Super Sakti tanpa tanding, To-cu dari Pulau Es yang terkenal di seluruh pelosok dunia!"

Akan tetapi ucapannya itu seolah-olah tidak terdengar oleh mereka karena mendengar disebutnya nama Pendekar Siluman itu saja para penghuni Pulau Neraka sudah menjadi amat terkejut dan saling pandang. Dari sinar mata mereka jelas tampak betapa mereka itu terkejut dan jeri. Melihat ini, Kwi Hong melanjutkan kata-katanya.

"Awas kalian kalau mengganggu aku! Guruku akan datang dan membasmi Pulau Neraka ini beserta seluruh penghuninya!"

Akan tetapi Ketua Pulau Neraka itu dengan tenang berkata, "Kwi Hong, engkau anak kecil tahu apa? Tidak perlu membuka mulut besar karena aku sengaja membawamu ke sini agar Gurumu datang. Hendak kulihat apakah dia akan mampu merampasmu kembali. Dan engkau bebas di sini, mau ke mana pun boleh."

Kwi Hong cepat memutar tubuhnya menghadapi wanita muka putih itu. "Aku boleh pergi?"

Wanita itu tersenyum. "Silakan!"

"Terima kasih!" Kwi Hong lalu meloncat dan lari pergi meninggalkan pekarangan rumah itu.

"Biarkan dia pergi ke mana dia suka, akan tetapi awasi baik-baik agar dia tidak sampai celaka. Persiapkan anak panah dan semua senjata rahasia. Begitu ada burung garuda muncul di atas pulau, sambut dengan anak panah dan senjata-senjata rahasia, terutama anak panah berapi. Kalau Pendekar Siluman mampu menerobos masuk ke Pulau Neraka, aku sendiri yang akan menandinginya!"

Para penghuni pulau itu bubar dan sibuk melaksanakan perintah Ketua mereka. Mereka kelihatan panik karena nama besar Pendekar Super Sakti sudah lama mereka dengar dan mereka rata-rata merasa jeri terhadap pendekar itu. Yang kelihatan tenang hanyalah Si Ketua dan beberapa orang yang tingkatnya sudah tinggi, yaitu mereka yang mukanya berwarna kuning, hijau pupus atau merah muda. Penjagaan ketat dilakukan siang malam, dan persiapan menyambut lawan istimewa itu dilakukan dengan rapi.

Dengan hati girang Kwi Hong berlari keluar dari kelompok bangunan itu, memasuki sebuah hutan. Tidak disangkanya bahwa Ketua Pulau Neraka itu demikian baik hati sehingga dia diperbolehkan pergi begitu saja! Tiba-tiba ia berhenti berlari dan memandang terbelalak ke depan karena di depannya menghadang barisan ular yang berwarna merah dan hitam, bukan main banyaknya! Ada ribuan ekor dan mereka mengeluarkan suara mendesis-desis dan tampak uap hitam keluar dari moncong mereka! Kwi Hong menggigil dan cepat membelok ke kanan, akan tetapi di mana pun penuh ular, demikian pula di kiri.

Terpaksa ia memutar tubuhnya dan lari ke lain jurusan. Melihat sebuah hutan lain yang berdekatan, dia masuk dan hatinya lega karena tidak melihat ular seekor pun. Akan tetapi, hutan ini amat gelap dan tidak ada lorong bekas kaki manusia, maka ia masuk secara ngawur saja. Tiba-tiba terdengar suara mengaung yang makin lama makin keras. Suara itu seolah-olah datang dari segenap penjuru, membuat telinganya serasa akan pecah dan kepalanya pening. Selagi ia kebingungan, tiba-tiba ia melihat ribuan ekor lebah berwarna hitam beterbangan mengejarnya!

Celaka, pikirnya. Lebah tidak seperti ular yang dapat ditinggal lari begitu saja. Tentu akan mengejarnya dengan kecepatan terbang dan kalau dia dikeroyok, celaka! Ia membalikkan tubuhnya dan lari hendak keluar dari hutan. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia tidak tahu lagi mana jalan keluar. Lama ia berlari cepat dengan ribuan lebah terbang mengejarnya, dan dia masih belum keluar dari hutan, bahkan mungkin tersesat makin dalam!

Ketika lebah-lebah itu sudah dekat sekali, ia mencium bau amis dan wangi. Makin takutlah dia karena maklum bahwa lebah-lebah itu adalah binatang berbisa. Jangankan dikeroyok begitu banyak, disengat oleh seekor pun bisa berbahaya. Saking bingung dan gugupnya, ia tersandung dan jatuh menelungkup. Lebah-lebah sudah mengiang di atas kepalanya sehingga dengan hati ngeri Kwi Hong menggunakan kedua tangan menutupi kepalanya. Kedua matanya dipejamkan dan hatinya mengeluh, "Mati aku sekarang!"

Akan tetapi, tiba-tiba suara itu menghilang berbareng dengan timbulnya suara melengking tinggi seperti suara suling. Ia membuka mata dan bangkit duduk. Ribuan ekor lebah berbisa itu benar-benar telah pergi dan tampak olehnya sesosok bayangan seorang laki-laki tua bermuka hijau pupus berkelebat pergi ke arah kiri. Dia mengerti bahwa tentu orang itu mengusir lebah dengan tiupan suling, maka ia pun mengikuti bayangan orang Pulau Neraka yang menolongnya itu.

Benar dugaannya, orang yang memegang suling itu agaknya sengaja menanti dia karena beberapa kali berhenti agar Kwi Hong tidak sampai tertinggal. Kiranya jalan keluar dari hutan itu tidaklah semudah ketika masuk. Laki-laki tua itu membelok ke kiri, ke kanan, sampai berulang kali, ada kalanya seperti memutar dan bahkan mengambil arah yang bertentangan dengan arah tadi. Kwi Hong mengikuti terus dan betapa girang serta heran hatinya ketika dalam waktu sebentar saja dia sudah keluar dari hutan!

Akan tetapi kakek muka hijau itu pun sudah lenyap. Kwi Hong dapat mengerti bahwa tentu kakek itu diperintah oleh ketuanya untuk menolong dia, maka kembali ia merasa berterima kasih dan tidak mengerti mengapa Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu mula-mula menculiknya kemudian kini membolehkan dia pergi malah menyuruh orang menolongnya dari bahaya maut. Ia berjalan terus, mengambil jurusan yang berlawanan dengan hutan-hutan yang dimasukinya tadi. Ia melihat daerah yang berbatu dan ke sanalah ia menuju. Biar pun batu-batu itu kelihatan hitam menyeramkan, namun dia tidak takut. Dia harus keluar dan pergi dari pulau ini.

Kakinya mulai terasa lelah, namun Kwi Hong tidak mau berhenti dan mendaki pegunungan kecil dari batu-batu karang hitam itu. Ketika ia tiba di bagian yang paling tinggi, tampaklah air laut membentang luas jauh di depan bawah. Dari tempat itu kelihatan air laut tenang dan hanya di pantai tampak membuas putih. Hatinya menjadi girang, akan tetapi begitu ia mulai menuruni batu-batu itu, tiba-tiba ia tersentak kaget mendengar suara menggereng yang menggetarkan batu karang yang diinjaknya.

Ketika ia memandang ke bawah, ia terpekik dan mukanya menjadi pucat. Di depannya, di antara batu-batu karang itu, terdapat binatang-binatang yang bentuknya seperti cecak, akan tetapi besar sekali, panjangnya dari dua meter sampai tiga meter. Ada ratusan ekor banyaknya, baris memenuhi jalan di depannya dengan mulut terbuka, lidahnya keluar masuk dan tampak gigi yang runcing mengerikan.

"Ohhhh...!" Kwi Hong cepat membalikkan tubuhnya dan lari pergi dengan maksud mengambil jalan lain yang tidak melalui tempat berbahaya itu. Dilihatnya daerah yang penuh dengan tanaman menjalar dan kelihatannya bersih, tidak terdapat binatang-banatang buas.

Ke sinilah ia berlari. Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit karena ketika kakinya menyentuh tanaman menjalar itu, tiba-tiba kedua kakinya terlibat dan tanaman itu seperti hidup! Ujung ranting-ranting tanaman yang lemas dan panjang itu seperti tangan-tangan setan menyergapnya dan melibat seluruh tubuhnya dengan kekuatan yang luar biasa, seolah-olah memiliki daya menempel dan menyedot.

Kwi Hong meronta-ronta, menggunakan kekuatan kaki tangannya untuk melepaskan diri, namun sia-sia karena lilitan ‘tangan-tangan’ tanaman itu makin erat saja. Dan dilihatnya tanaman yang tumbuh di sekitarnya sudah bergerak-gerak seolah-olah tanaman-tanaman itu hidup dan kini berusaha untuk melepaskan diri dari tanah dan mengeroyoknya!

"Iiiihhh...!" Ia menjerit ketika sehelai di antara ‘tangan-tangan’ itu merayap dan akan melilit lehernya.

Pada saat itu tampak berkelebat sinar hitam, terdengar suara keras dan tanaman yang melilitnya itu jebol dari tanah berikut akar-akarnya. Begitu jebol, tanaman itu seolah-olah kehilangan tenaganya dan dengan mudah Kwi Hong melepaskan diri, lalu meloncat menjauhi tanaman-tanaman berbahaya itu. Dia merasa betapa kulit bagian tubuh yang terlilit tadi terasa gatal-gatal panas, tanda bahwa tanaman itu pun mengandung racun jahat!

Dia tidak peduli lagi ketika melihat sesosok bayangan berkelebat pergi, hanya dapat menduga bahwa tentu bayangan itu yang tadi menolongnya. Dia lari cepat, ingin menjauhi tempat berbahaya itu secepat mungkin. Kini hanya tinggal satu jurusan lagi yang dapat ia ambil.

Kembali ke belakang berarti kembali ke perkampungan penghuni. Ke kiri berarti memasuki hutan-hutan yang penuh binatang-binatang berbisa, di antaranya ular-ular dan lebah yang telah dijumpainya. Entah binatang-binatang berbisa mengerikan apa lagi yang berada di situ, dia tidak mampu membayangkan. Kalau ke kanan berarti dia harus melalui tanaman-tanaman hidup itu atau binatang-binatang cecak raksasa!

Kini dia berlari ke depan, satu-satunya daerah yang belum dilaluinya. Tampak dari atas daerah ini seperti daerah aman karena tidak tampak tanaman, tidak ada binatang hidup, melainkan pasir bersih yang terus membentang sampai ke laut. Itulah agaknya jalan keluar!

Betapa girang hatinya ketika ia sudah menuruni pegunungan dan tiba di daerah pasir itu. Bersih tidak ada bahaya. Biar pun dia sudah lelah sekali dan napasnya masih terengah karena merasa ngeri oleh pengalamannya tadi, namun dalam girangnya Kwi Hong tidak merasakan kelelahannya dan ia berlari terus, hendak mencapai tepi laut secepatnya. Pasir yang terbentang luas dan selalu tertimpa sinar matahari itu terasa hangat dan lunak.

"Aihhhh...!" Tiba-tiba Kwi Hong menjerit karena kakinya amblas ke dalam pasir sampai selutut tingginya.

Cepat ia berusaha menarik kaki kirinya yang terjeblos ini ke atas, akan tetapi begitu ia mempergunakan tenaga pada kaki kanan untuk menekan pasir dan menarik kaki kirinya, kini kaki kanannya juga ambles ke bawah, malah melewati lututnya! Ia terkejut sekali, mengerahkan tenaga untuk keluar. Akan tetapi, makin banyak ia mengeluarkan tenaga, makin dalam kedua kakinya amblas ke dalam pasir sehingga setelah tubuhnya masuk ke pasir sampai pinggang, Kwi Hong diam tak berani bergerak lagi dan hanya memandang ke sekeliling dengan mata terbelalak seperti kelinci masuk perangkap!

Keadaan sekelilingnya sunyi, yang ada hanya pasir dan terdengar lapat-lapat mendeburnya ombak di pantai depan. Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras. Ia memutar tubuh atas dan terbelalak memandang dengan hati penuh kengerian. Seekor binatang seperti anjing hutan sedang datang berlari, matanya merah, moncongnya menggereng-gereng dan binatang itu lari ke arah dia terbenam di pasir!

Tak dapat diragukan lagi niat yang terbayang di mata binatang itu, sudah tentu akan menerkamnya! Binatang itu meloncat, Kwi Hong menjerit dan dengan mata terbelalak ia melihat betapa kaki binatang itu amblas pula ke dalam pasir, hanya dalam jarak dua meter di sebelah kirinya! Kini binatang itu melolong-lolong, meronta-ronta, namun tubuhnya makin amblas ke bawah. Makin dalam sehingga yang tampak hanya lehernya saja. Binatang itu memandang kepadanya dengan marah dan gerengannya makin hebat.

Seolah-olah terasa oleh Kwi Hong hawa panas yang menyembur dari mulut yang terbuka lebar itu. Kwi Hong hampir pingsan, matanya tak pernah berkedip memandang binatang itu yang ternyata adalah seekor anjing srigala yang berbulu hitam. Tubuh binatang itu makin amblas, lolongannya makin dahsyat dan akhirnya gerengannya berhenti karena kepalanya mulai terbenam, mulutnya kemasukan pasir, hidungnya, matanya dan akhirnya yang tampak hanya ujung kedua telinganya yang masih bergerak-gerak dalam sekarat. Akhirnya kedua ujung telinganya itu pun lenyap. Binatang itu telah ditelan pasir, tanpa meninggalkan bekas!

"Tolong...!" Kwi Hong menjerit dengan hati penuh kengerian ketika ia merasa betapa tubuhnya makin amblas, agaknya kakinya disedot dan ditarik sesuatu.

Berdiri bulu kuduknya karena timbul dugaannya bahwa srigala itu telah menjadi setan dan kini setan penasaran itu menarik kedua kakinya ke bawah! Dia tidak tahu bahwa tempat itu memang paling berbahaya dari pada daerah lain di pulau itu. Ancaman bahaya lain tampak di depan mata, sedikitnya orang dapat menjaga diri. Akan tetapi bahaya pasir ini tidak tampak, kelihatan tenang dan aman, akan tetapi sekali orang terperosok ke dalamnya, pasir di bawah yang bergerak itu akan menyedot tubuh sampai terbenam di dalamnya dan tentu saja akan mati!

Karena panik dan tubuhnya menegang, Kwi Hong terhisap makin dalam, kini dia terbenam sampai ke dada! Tiba-tiba terdengar suara. "Wirrrrr!"

Dan sinar hitam menyambar, tahu-tahu dada dan kedua lengannya telah terbelit sehelai tali sutera hitam dan tubuhnya ditarik keluar dari pasir! Dia menengok dan melihat wanita cantik bermuka putih. Majikan Pulau Neraka telah berdiri kurang lebih sepuluh meter di sebelah kanannya dan sedang menggunakan tali sutera hitam untuk membetotnya. Sebentar saja tubuhnya sudah tertarik keluar dan diseret sampai ke depan kaki wanita itu yang melepaskan libatan tali suteranya.

"Ohhhh... ahhhh..." Kwi Hong merangkak bangun sambil terengah-engah, kemudian ia berdiri di depan wanita itu yang menggulung talinya dan melibatkan di pinggangnya yang ramping sambil memandang kepadanya.

"Aku mengerti sekarang...." Kwi Hong berkata marah. "Kiranya engkau tidak sebaik yang kuduga! Engkau sengaja membebaskan aku karena yakin bahwa aku tidak akan dapat pergi dari pulau setan ini! Engkau sengaja mempermainkan aku!"

"Sudah puaskah engkau sekarang? Jangankan engkau, biar Gurumu sekali pun belum tentu dapat memasuki dan keluar dari pulau ini. Aku membebaskan engkau karena tahu bahwa lari dari sini tidak mungkin. Masih banyak lagi bahaya-bahaya yang lebih hebat dari pada yang kau lihat tadi. Ada rawa-rawa yang mengeluarkan uap beracun, binatang-binatang mulai dari sebesar harimau sampai sekecil semut yang gigitannya mengandung bisa maut, tanah-tanah yang dapat merekah dan mengubur manusia hidup-hidup. Ini adalah Pulau Neraka, tahu? Kau kutahan di sini untuk melihat apakah Gurumu akan mampu merampasmu kembali."

Kwi Hong bergidik, kemudian berkurang kemarahannya terhadap wanita itu. Dalam dunia kang-ouw, tidaklah aneh kalau seorang tokoh menggunakan siasat memancing datangnya lawan dengan penculikan seperti yang dilakukan atas dirinya. Betapa pun juga, ia harus mengaku bahwa dia tidak menerima perlakuan yang tidak baik.

"Sungguh mengherankan. Jika Pulau Neraka ini begini berbahaya melebihi gambaran neraka sendiri, mengapa kalian suka menjadi penghuni di sini?" tanyanya sambil memandang wajah jelita yang berwarna putih itu, diam-diam menduga-duga apakah warna pada muka mereka itu disebabkan oleh keadaan pulau yang amat mengerikan ini.

"Engkau takkan mengerti. Marilah kita pulang. Engkau tentu lelah dan amat lapar bukan?"

Kwi Hong mengerutkan keningnya. "Lelah dan lapar tidak penting. Yang penting, kapan engkau hendak membebaskan aku dari pulau jahanam ini?"

"Engkau anak baik, berani dan patut menjadi murid Pendekar Siluman..."

"Pendekar Super Sakti!" Kwi Hong memotong.

Wanita aneh itu tersenyum. "Baiklah Pendekar Super Sakti. Kapan engkau bebas, tergantung dari Gurumu. Kalau dia tidak berhasil merampasmu kembali, aku akan senang sekali kalau engkau menjadi muridku, menjadi teman puteraku."

"Aku tidak sudi! Terutama sekali tidak sudi menjadi teman anakmu yang kurang ajar itu!"

Sejenak wanita itu mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi tidak lama ia dapat menguasai kemarahannya dan berkata. "Dia nakal dan manja, akan tetapi tidak kurang ajar. Marilah!"

Kwi Hong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil membikin marah wanita aneh ini dan tanpa menjawab ia lalu mengikuti wanita itu pergi dari situ. Sungguh amat mengherankan. Wanita itu mengambil jalan membelak-belok tidak karuan, akan tetapi sebentar saja mereka telah tiba di depan gedung besar seperti istana yang temboknya bercat hitam itu! Anak laki-laki bernama Keng In itu datang berlari-lari menyambut mereka dan begitu melihat Kwi Hong, ia tertawa dan mengejek.

"Aha, engkau datang lagi? Tadinya kusangka engkau akan dapat keluar dari pulau ini!"

"Keng In, mulai sekarang engkau tidak boleh bersikap kurang ajar dan mengganggu Kwi Hong. Dia tawanan kita, akan tetapi juga tamu terhormat. Kau ajak dia bermain-main dengan baik, tapi tidak boleh kau ganggu. Kalau sampai engkau mengganggunya dan dia menghajarmu, aku tidak akan membelamu!" Wanita itu berkata.

Keng In membelalakkan matanya, memandang ibunya seperti orang kaget dan heran karena selamanya ibunya tidak pernah menegurnya dengan kata-kata keras, kemudian wajahnya menjadi muram dan kecewa, mulutnya merengut, tetapi dia mengangguk dan bibirnya menjawab lirih, "Baik, Ibu."

Di dalam hatinya, diam-diam Kwi Hong merasa puas. Rasakan kau sekarang, pikirnya! Akan tetapi karena dia merasa tidak enak hati terhadap wanita itu, dia diam saja dan tidak membantah ketika diajak makan. Melihat keadaan di pulau yang menyeramkan itu, Kwi Hong tadinya tidak mengharapkan makanan yang baik. Akan tetapi betapa heran dia dan juga girang hatinya ketika menghadapi meja, dia melihat hidangan yang serba lezat dan mahal! Baru masakan ikan udang dan kepiting serta penghuni laut lainnya saja sudah ada belasan macam, belum daging binatang darat dan sayur mayur yang serba lengkap. Benar-benar seperti hidangan dalam istana raja! Karena perutnya lapar, dan wataknya bebas tidak malu-malu, Kwi Hong tanpa sungkan makan hidangan yang disukainya, diam-diam memuji karena selain serba lengkap, juga masakannya amat enak, tidak kalah oleh masakan di Pulau Es!

Sudah satu minggu Kwi Hong tinggal di Pulau Neraka. Dia mendapat perlakuan yang baik, mendapat kamar di sebelah kiri kamar ketuanya sendiri dengan pintu tembusan. Keng In tinggal di kamar sebelah kanan. Agaknya Ketua Pulau Neraka itu hendak mengawasi sendiri kepada Kwi Hong, siap untuk mempertahankan apabila Suma Han datang! Namun Kwi Hong mendapat kebebasan penuh, hanya ke mana dia pergi, perlu ada yang diam-diam mengawasinya, terutama tokoh-tokoh muka kuning yang kedudukannya sudah tinggi.

Mentaati perintah ibunya, kini Keng In tidak lagi suka mengganggunya, bahkan setelah kenal, anak laki-laki ini merupakan teman yang cukup menyenangkan. Otaknya cerdas sekali dan Kwi Hong mendapat banyak keterangan mengenai pulau mengerikan itu dari Keng In.

Di pulau itu terdapat sekawanan burung rajawali yang dijinakkan, jumlahnya ada sembilan ekor. Burung-burung itu dilatih sedemikian rupa sehingga hanya mentaati perintah wanita majikan pulau, puteranya, dan empat orang tokoh muka kuning saja. Terhadap perintah lain orang, burung-burung ini tidak peduli, apa lagi terhadap perintah Kwi Hong yang mereka anggap sebagai musuh! Maka lenyaplah harapan Kwi Hong untuk dapat melarikan dari dengan bantuan seekor di antara burung-burung itu. Demikian terlatih burung-burung itu sehingga mereka tidak mau menerima makanan yang diberikan Kwi Hong.

Pulau itu berpenghuni kurang lebih lima puluh orang. Selain Keng In, ada pula belasan orang anak-anak laki perempuan, akan tetapi karena mereka itu adalah anak-anak dari para anak buah pulau, tentu saja mereka takut mendekati Keng In yang di situ seolah-olah menjadi semacam ‘pangeran’. Betapa pun juga, ada beberapa orang di antara mereka yang menjadi teman Keng In dan kini sudah berkenalan pula dengan Kwi Hong.

"Semua orang di sini mengecat mukanya, mengapa engkau dan anak-anak itu tidak?" Pada suatu hari Kwi Hong bertanya kepada Keng In.

"Mengecat muka? Ah, betapa bodoh anggapan itu. Warna-warna pada muka penghuni Pulau Neraka menjadi tanda akan kedudukan mereka, karena warna itu timbul setelah sinkang mereka meningkat tinggi. Makin terang warnanya, makin tinggi ilmu kepandaian dan kedudukan mereka."

"Ahh, kalau begitu, Ibumu yang mempunyai warna putih merupakan orang yang paling pandai?"

"Tentu saja! Tidak ada yang dapat menandingi Ibu. Kemudian menyusul para tokoh bermuka kuning dan merah muda, hijau pupus dan selanjutnya, makin gelap warna mukanya, makin rendah kedudukannya. Yang tinggal di pulau ini adalah anggota yang sudah memiliki kepandaian, sudah melatih ilmu sinkang yang khas sehingga ada warna timbul di mukanya. Masih ada puluhan anggota paling rendah yang belum berhasil memiliki sinkang sehingga mukanya berwarna, dan mereka itu belum boleh tinggal di pulau, melainkan di sekitar Pulau Neraka, yaitu di pulau-pulau kecil dan sewaktu-waktu kalau tenaga mereka dibutuhkan, baru mereka dipanggil. Yang berhasil, mula-mula mukanya hitam, lalu merah dan selanjutnya, jangan kau memandang rendah. Warna-warna itu menandakan bahwa kami telah memiliki sinkang khas Pulau Neraka yang amat lihai!"

"Hemmm.... dan engkau sendiri mengapa belum memiliki warna pada mukamu?"

Keng In mengerutkan alisnya. "Sebelum berusia lima belas tahun, anak-anak tidak boleh mempelajari sinkang itu, bisa membahayakan nyawanya. Sinkang itu dilatih dengan minum racun-racun dahsyat setiap hari! Tentu saja anak-anak dari mereka yang sudah berwarna mukanya boleh tinggal di sini."

Kwi Hong teringat akan segala macam binatang dan tetumbuhan beracun di pulau ini dan dia bergidik. Ia maklum bahwa memang penghuni Pulau Neraka memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mendengar cara berlatih sinkang sambil minum racun itu, dia dapat membayangkan betapa hebat ilmu mereka. Akan tetapi dia masih merasa yakin bahwa gurunya akan mampu menandingi mereka semua, bahkan Si Wanita Muka Putih ibu Keng In.....

"Kenapa begitu jahat, memaksa orang-orang di gunung mengumpulkan obat-obat setiap bulan?"

"Eh, kau tahu juga?"

"Tentu saja, kalau tidak masa aku menyerangmu. Aku telah menyelidiki secara diam-diam di punggung garudaku dan menyaksikan kesibukan mereka, melihat pula betapa di antara mereka ada yang membunuh diri karena tidak dapat mengumpulkan akar dan daun obat secukupnya. Mengapa kau begitu jahat?"

"Itu adalah perintah Ibuku. Mereka itu terlalu sombong, tidak mau mengalah bahkan melukai anggota kami yang mencari obat. Kami amat membutuhkan akar-akar dan daun-daun obat itu. Engkau melihat sendiri keadaan di pulau ini. Banyak racun yang berbahaya mengancam kami, bahkan hawa yang kami hisap setiap saat telah keracunan. Tanpa obat-obat yang tepat untuk memusnahkan racun, bagaimana kami bisa hidup?"

Kwi Hong mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan tidak bisa menyalahkan mereka. Gadis cilik yang hidup di Pulau Es ini pun mengerti akan kebenaran yang dipergunakan sebagai hak yang lebih kuat untuk hidup kalau perlu dengan menekan atau membunuh yang lemah. Hukum rimba berlaku di tempat-tempat yang berbahaya di mana makhluk harus menjaga diri sendiri dari bahaya-bahaya yang mengancam dan di mana satu-satunya yang dibutuhkan hanya kekuatan dan kemenangan! Keadaan seperti itu memaksa manusia mengandalkan kekuatan untuk hidup dan hal ini menjadi kebiasaan membentuk watak orang-orang kang-ouw yang tidak suka akan segala macam aturan!

********************

Ketika Suma Han meloncat turun dari burung garudanya di depan Istana Pulau Es, tiga orang pembantu utamanya yang menyambut memandang dengan penuh perhatian. Terutama sekali Phoa Ciok Lin yang menjadi kepala pengurus bagian dalam, seorang wanita muda yang cantik jelita, memandang wajah Suma Han dengan mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang. Dia melihat sesuatu pada wajah yang menjadi pujaan hatinya.

Dia tahu bahwa pendekar yang dikaguminya itu menderita tekanan batin yang hebat sekali. Biar pun pendekar itu dapat menutupinya di dalam hati sehingga tidak tampak sedikit pun ketegangan urat syarafnya, akan tetapi wajah yang tampan itu terselubung kemurungan yang amat mendalam.

Yap Sun, wakil bagian luar Pulau Es yang bertubuh gemuk berusia lima puluh tahun itu pun mengerti bahwa majikannya sedang berduka, demikian pula Thung Sik Lun, sute-nya yang kurus. Namun pandangan mereka tidak setajam Phoa Ciok Lin yang lebih menggunakan perasaan hatinya.

"Kami mohon maaf kepada To-cu bahwa kami tidak berhasil mencari Siocia. Apakah To-cu juga tidak berhasil?" Yap Sun melapor dan sekaligus bertanya sungguh pun dia sudah menduga bahwa kemurungan wajah majikannya itu tentu karena Kwi Hong tak berhasil ditemukan.

Suma Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam ia terkejut melihat pandang mata Phoa Ciok Lin yang tajam menyelidik. Tentu wajahnya telah membayangkan perasaan hatinya yang terhimpit, pikirnya. "Bocah itu benar-benar membikin repot banyak orang. Aku tidak berhasil menemukannya, Paman Yap. Sampai jauh aku menjelajah tanpa hasil. Biarlah kita menunggu saja di pulau, kalau dia sudah bosan merantau tentu akan pulang juga."

Sambil berkata demikian, Suma Han lalu melangkah masuk ke dalam Istana Pulau Es yang kuno namun kini bersih itu, diikuti oleh Phoa Ciok Lin yang sejak tadi hanya menyambut kedatangan Suma Han dengan pandang matanya yang bening.

"Kusediakan makan, Taihiap?"

Suma Han menggeleng. "Aku tidak lapar."

"Ingin beristirahat? Kamar Taihiap sudah kusuruh bersihkan setiap hari. Atau perlu disediakan minum? Minum apakah?"

"Tidak usah repot, Ciok Lin, dan terima kasih atas kebaikanmu. Aku hanya ingin... menyendiri." Suma Han lalu menjatuhkan diri di atas sebuah kursi dan menyandarkan tongkatnya di meja.

Ciok Lin tetap berdiri memandang, kedua tangan tergantung seperti orang lemas, wajahnya penuh kekhawatiran. Karena sampai lama wanita itu masih berdiri tanpa bergerak, Suma Han mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu dan Suma Han menunduk kembali.

"Ciok Lin, maaf. Kau tinggalkan aku, aku ingin menyendiri." katanya.

Gadis yang usianya sebaya, hanya lebih muda satu tahun dari Majikan Pulau Es itu menahan napas menekan hati yang perih. "Baiklah, Taihiap...." Ia membalikkan tubuh dan melangkah pergi dengan muka menunduk.

"Ciok Lin..." Suma Han menyadari akan sikapnya. Dia tahu betapa pembantunya ini selain amat setia, juga memujanya seperti dewa, bahkan kadang-kadang ada sinar mata memancar keluar dari sepasang mata yang membuat dia khawatir karena sinar mata itu jelas membayangkan sinar kasih sayang amat mendalam! Ia menyesal telah bersikap sedingin itu setelah orang menyambutnya demikian ramah dan penuh perhatian.

Dengan gerakan cepat, gadis itu memutar tubuh. "Ada apakah, Taihiap?"

Suma Han tersenyum minta maaf, dan mulutnya terkata. "Aku memang tidak lapar, akan tetapi akan segarlah kalau kau suka mengambilkan secawan air dingin dari sumber."

Wajah yang manis itu berseri gembira. "Baik, Taihiap, segera kuambilkan!" Dan kini tubuh gadis itu tidak melangkah perlahan dengan muka menunduk lagi, melainkan berkelebat dan lenyap laksana menghilang saja.

Suma Han tersenyum seorang diri. Perempuan! Sungguh lebih mudah mengukur dalamnya lautan dari pada mengukur dalamnya hati perempuan. Semenjak kecil ia hidup bersama Lulu adiknya, mengira bahwa dia sudah mengenal adik angkatnya itu lahir batin. Siapa kira kenyataan menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak mengenal isi hatinya sehingga segala jeri payah yang ia lakukan untuk adik angkatnya itu malah berakibat sebaliknya seperti yang ia harapkan.

Dia berhasil mengawinkan adiknya dengan Wan Sin Kiat, seorang pemuda pilihan, tampan dan gagah perkasa, berbudi mulia dan berjiwa pendekar. Akan tetapi, siapa kira pernikahan itu malah merupakan kesengsaraan bagi Lulu yang kemudian nekat meninggalkan suaminya bersama anaknya sehingga Wan Sin Kiat membunuh diri dengan cara berjuang sampai mati! Semua itu karena Lulu mencinta dia? Benarkah seperti yang dikatakan Im-yang Seng-cu? Dan dia... sudah lama namun dianggapnya terlambat ketika ia merasa yakin bahwa satu-satunya cinta kasih murni yang berada di hatinya adalah untuk Lulu seorang!

Semenjak pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu dan mendengar berita tentang Lulu, Suma Han mengalami pukulan batin yang amat hebat, lebih hebat dari pada kekhawatirannya tentang kepergian Kwi Hong. Semenjak itu, dia tidak pernah makan, minum atau tidur sehingga ketika ia tiba di istana Pulau Es, tubuhnya menjadi kurus, mukanya sayu dan agak pucat. Kini menghadapi sikap Phoa Ciok Lin, pembantunya yang setia, hatinya terasa makin perih. Kalau mungkin, dia minta dijauhkan dari pada kaitan kasih sayang dengan wanita! Betapa banyaknya penderitaan batin yang ia alami karena hubungan kasih sayang ini yang hanya tampaknya saja manis, namun sesungguhnya mengandung kepahitan yang sampai lama terasa di hati.

Berkelebatnya bayangan menyadarkannya dari lamunan dan Ciok Lin telah berdiri di depannya, membawa sebuah cawan kosong dan seguci air segar yang baru diambilnya dari sumber air di atas pegunungan pulau itu. Diam-diam Suma Han memuji. Ilmu kepandaian Ciok Lin telah meningkat dengan hebat dan kini dapat dipercaya menjadi orang kedua di Pulau Es, jauh melampaui kepandaian Yap Sun sendiri! Ia memandang wajah itu dan diam-diam tersenyum di hatinya. Gadis itu telah mengambil air dari gunung yang cukup jauh, bahkan telah mencuci muka, bersisir, dalam waktu yang amat cepat!

Suma Han menerima air di cawan yang dituangkan oleh Ciok Lin, lalu meminumnya. Segar dingin terasa sampai ke perutnya.

"Terima kasih, Ciok Lin."

"Tambah lagi, Taihiap?"

"Cukup, letakkan saja di meja, nanti kuambil sendiri."

Sejenak Ciok Lin ragu, kemudian ia memberanikan diri, mengangkat muka memandang wajah yang bayangannya sudah terukir di hatinya itu. "Taihiap, dalam kepergian Taihiap mencari Kwi Hong, apakah Taihiap berjumpa dengan kenalan lama?"

Suma Han membalas pandangan itu dengan sinar mata penuh selidik, "Ciok Lin, mengapa kau menduga demikian?"

Ciok Lin menarik napas panjang lalu berkata, "Semenjak saya berada di sini, saya melihat Taihiap hidup tenang dan tenteram seperti permukaan laut yang tidak tersentuh angin. Akan tetapi sekarang laut itu bergelombang dan digelapkan awan. Apa lagi yang menimbulkan hal itu kecuali pertemuan dengan kenalan lama dan dipaksa mengenang peristiwa-peristiwa lalu?"

Suma Han menghela napas, "Aihhh, dugaanmu memang benar, Ciok Lin. Sekali berkunjung ke dunia ramai, banyak persoalan tidak menyenangkan hati terdengar. Akan tetapi sudahlah, aku akan beristirahat dan akan mencoba melupakan semua itu. Yang terpenting adalah soal perginya Kwi Hong. Harap engkau suka meninggalkan aku sendiri."

"Baiklah, Taihiap."

Sekali ini Ciok Lin pergi dan Suma Han duduk termenung mengenangkan kata-katanya sendiri. Melupakan? Urusan dengan Im-yang Seng-cu, urusan dendam Tan-siucai bekas tunangan Lu Soan Li yang katanya mendendam kepadanya, urusan perebutan pusaka-pusaka yang lenyap. Semua itu dapat dengan mudah ia lupakan karena memang tidak dipikirkannya lagi. Akan tetapi Lulu...! Dapatkah ia melupakan Lulu?

Kalau adik angkatnya itu hidup bahagia di samping suami dan anaknya, tentu dia akan dapat melupakannya, atau bahkan ikut merasa berbahagia karena adik yang dicintanya itu hidup bahagia. Akan tetapi sekarang? Kebahagiaan itu berantakan dan betapa mungkin ia dapat melupakannya? Apa lagi karena perginya Lulu meninggalkan suaminya itu menimbulkan dugaan di hatinya bahwa tentu Lulu yang telah melakukan hal yang menghebohkan dan menggegerkan dunia kang-ouw.

Siapa lagi yang dapat membongkar kuburan dan membawa pergi Sepasang Pedang Iblis? Hanya dia dan Lulu yang mengetahui di mana adanya sepasang pedang itu dikubur. Di mana sekarang adanya Lulu dan anaknya? Jangan-jangan..., ahhh, dia teringat akan ketua Thian-liong-pang, wanita yang mukanya diselubungi kain itu. Bentuk tubuhnya, suaranya, dan sinar mata dari balik selubung itu! Mengapa dia begitu bodoh? Tentu Lulu orangnya!

Akan tetapi kalau benar Lulu, mengapa menantangnya? Dan ilmu kepandaiannya pun hebat sekali. Orang seperti Lulu memungkinkan terjadinya segala hal aneh. Dia tidak akan merasa heran kalau tiba-tiba Lulu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari padanya sendiri! Yang amat mengherankan hatinya, kalau benar ketua Thian-liong-pang itu Lulu adanya, mengapa waktu itu menantang dia? Mengapa seperti hendak memusuhinya?

Sampai tiga hari lamanya pertanyaan ini mengganggu hati Suma Han. Ketika pada pagi hari itu ia mengambil keputusan untuk pergi lagi meninggalkan Pulau Es, pertama untuk mencari Kwi Hong lagi dan kedua untuk menyelidiki Thian-liong-pang karena ia merasa penasaran kalau belum membuka selubung muka Ketua itu untuk melihat apakah dugaannya tidak salah, tiba-tiba terdengar seruan-seruan di luar istana.

"Garuda betina datang...!"

"Nona Kwi Hong tidak bersama dia...!"

Seruan-seruan itu cukup menyatakan bahwa garuda betina pulang tanpa Kwi Hong, berarti bahwa telah terjadi sesuatu dengan diri murid atau keponakannya itu! Akan tetapi Suma Han tidak menjadi gugup. Dengan tenang ia berloncatan keluar dan garuda betina sudah berada di pekarangan bersama garuda jantan yang agaknya sudah lebih dulu menyambut. Melihat Suma Han, garuda betina itu lalu mendekam dan mengeluarkan suara seperti rintihan, kemudian meloncat ke atas terbang dan turun lagi mendekam, terbang lagi dan mendekam lagi.

Suma Han menghampiri, "Apakah Nona ditawan orang?"

Garuda itu mengeluarkan suara dan mengangguk-angguk, lalu terbang dan mendekam lagi. Suma Han menoleh kepada pembantu-pembantunya dan berkata, "Agaknya Kwi Hong ditawan orang, biar aku sendiri yang menyusul dan menolongnya. Jaga pulau baik-baik, aku pergi takkan lama." Setelah berkata demikian ia menggapai dengan tangan kirinya.

Garuda jantan meloncat datang dan sekali menggerakkan tubuhnya, Suma Han telah mencelat ke atas punggung garuda jantan yang terbang tinggi mengejar garuda betina yang telah mendahuluinya. Garuda betina yang menjadi penunjuk jalan terbang tinggi di atas lautan kemudian mengelilingi sekumpulan pulau-pulau kecil. Di tengah kumpulan pulau itu tampak sebuah pulau hitam.

"Hemm, agaknya penghuni Pulau Neraka yang menawan Kwi Hong. Betapa lancang dan beraninya mereka!" Suma Han menjadi gemas dan menyuruh garudanya menukik ke bawah, ada pun garuda betina yang kelihatannya jeri, hanya berani mengikuti dari belakang.

Suma Han adalah seorang pendekar yang selain sakti, juga amat cerdik. Kalau penghuni Pulau Neraka sudah berani menculik muridnya, tentu mereka itu kini telah siap untuk menyambut kedatangannya, karena sudah tentu mereka ini tahu bahwa dia akan menolong muridnya. Kenyataan bahwa garuda betina pulang tanpa menderita luka merupakan bukti bahwa penghuni Pulau Neraka sengaja memancingnya datang dan harus berlaku hati-hati sekali. Dari atas dia melihat pulau yang belum pernah dikunjungi, hanya didengarnya saja dongengnya itu. Pendaratan ke pulau itu hanya mungkin dilakukan dari angkasa, karena pulau itu dikurung lautan yang bergelombang dahsyat, yang akan menghempaskan setiap perahu yang mencoba untuk mendarat. Tentu kini penjagaan ketat dilakukan untuk menyambut kedatangannya

Lewat angkasa menunggang burung, pikirnya. Justru tempat yang berbahaya, yang tidak mungkin didarati, yaitu melalui lautan, merupakan tempat yang terbebas dari pada penjagaan. Karena pikiran ini, dia lalu menyuruh garudanya terbang rendah di atas laut dekat tebing karang yang airnya berombak besar.

Setelah burung itu terbang rendah, Suma Han meloncat dari atas punggung burung, melemparkan tongkatnya ke bawah. Tongkat kayu itu langsung disambar ombak dan mengambang. Bagaikan seekor burung, tubuh Suma Han menyusul tongkatnya dan kaki tunggalnya sudah hinggap di atas tongkat yang terombang-ambing ombak.

Dengan menekuk lutut ia menggunakan kedua tangannya sebagai dayung sehingga tongkatnya meluncur ke pinggir mendekat karang. Pada saat itu, ombak dari belakangnya mendorong pula sehingga tubuhnya meluncur ke depan, ke arah tebing batu karang yang agaknya akan menerima dan menghancurkan tubuh Pendekar Super Sakti ini. Namun Suma Han telah memperhitungkan dan ia sudah mendahului meloncat dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun sambil menyambar tongkatnya.

Ketika tubuhnya meluncur dekat tebing karang, tongkatnya menotok ke depan, ke arah batu karang dan menggunakan tenaganya untuk mencelat ke ke atas, menotok lagi dan meloncat lagi sehingga dengan lima kali loncatan ia telah dapat sampai di puncak tebing dengan selamat. Ia menoleh dan melihat bahwa dua ekor burung garuda peliharaannya itu telah hinggap dengan selamat di sebuah batu karang yang menonjol, tidak tampak dari darat. Ia girang akan kecerdikan dua ekor burung itu yang mengerti akan siasatnya yang menyuruh mereka bersembunyi dan menanti isyaratnya.

Dari atas tebing yang tinggi ini, Pendekar Super Sakti memeriksa keadaan pulau. Hemm, benar-benar tempat yang berbahaya, pikirnya. Berbahaya dan teratur oleh tangan ahli karena keadaannya mencurigakan sekali. Dari tempat dia mendarat, kalau hendak memasuki pulau harus melalui hutan-hutan yang gelap dan pohon-pohonnya diatur mencurigakan, seperti lorong menyesatkan dan banyak bagian yang serupa sehingga memasuki hutan itu tentu akan membingungkan orang dan menyesatkan. Pula, mungkin di dalam hutan itu bersembunyi binatang-binatang jahat yang berbisa.

Dari sebelah kiri melewati daerah yang seperti rawa, amat luas dan penuh alang-alang tinggi. Daerah itu amat berbahaya karena melalui rawa yang tertutup oleh alang-alang orang tak mampu menjaga diri sebaiknya, apa lagi kalau sampai terjeblos ke dalam lumpur dan diserang banyak binatang buas. Dari sebelah kanan melalui pegunungan karang yang ditumbuhi tanaman-tanaman yang aneh bentuknya, kelihatan sunyi namun malah mencurigakan sekali karena biasanya, di tempat-tempat yang diatur orang-orang pandai seperti pulau itu, tempat yang kelihatan paling aman biasanya justru merupakan tempat yang paling berbahaya.

Ada pun pendaratan dari seberang sana, berlawanan dengan tempat ia mendarat, orang harus melalui daerah yang penuh pasir, kelihatan bersih sunyi dan aman, namun ia merasa yakin bahwa tempat itu pun amat berbahaya karena selain pendatang tidak akan dapat bersembunyi dan nampak dari jauh, juga dia sudah mendengar tentang pasir bergerak yang dapat menyedot benda bergerak ke dalamnya. Dia mendarat tanpa perhitungan karena memang belum mengenal keadaan. Nasib saja yang menentukan dan setelah ia mendarat di situ, biarlah ia memasuki pulau itu dari situ pula, melalui hutan-hutan gelap yang kelihatan paling berbahaya itu.

Sampai beberapa lama dia memeriksa seluruh hutan itu dari atas, menghafal letak-letak kelompok pohon yang beraneka macam dan memperhatikan mata angin dengan melihat letak matahari. Melihat arah matahari, dia tahu bahwa dia telah mendarat di bagian selatan dan untuk menuju ke tengah hutan yang ia yakin tentu menjadi markas atau sarang penghuni Pulau Neraka, dia harus menuju ke utara. Tiba-tiba Suma Han menggerakkan tubuh menyelinap ke balik batu karang menonjol, menyembunyikan diri dan mengintai.

Tidak salah lagi, yang terbang di atas itu adalah seekor burung rajawali yang besarnya menandingi garudanya dan di punggung rajawali itu duduk seorang manusia. Burung itu terbang berputaran di atas pulau, maka tahulah dia bahwa orang yang menunggang rajawali itu, yang terlalu jauh untuk dapat dilihat besar kecilnya atau laki-laki perempuannya, tentu sedang melakukan pengintaian atau pemeriksaan.

Setelah burung itu menukik turun dan lenyap di balik pohon-pohon, ia lalu keluar dari tempat sembunyinya. Sekali lagi ia memandang keadaan hutan yang akan dilaluinya, kemudian tubuhnya bergerak ke depan cepat sekali, dengan loncatan-loncatan jauh. Akan tetapi, dalam kecepatannya yang luar biasa Suma Han selalu tetap waspada dan hati-hati karena dia maklum betapa berbahaya daerah yang tak dikenalnya itu.

Dia kini sudah memasuki hutan yang gelap. Bagian atas hutan itu tertutup rapat oleh daun-daun lebat sehingga sukar untuk melihat di mana adanya matahari. Namun, dari sinar matahari yang menerobos ke bawah ia dapat memperhitungkan dan dia terus maju menuju ke arah utara. Dia tidak mau membelok melainkan lurus bergerak ke depan. Kalau keadaan sedemikian gelapnya dan ia merasa kehilangan arah, Suma Han mencelat ke atas pohon besar dan melihat letak matahari, lalu turun lagi dan melanjutkan perjalanannya.

Tiba-tiba ia berhenti bergerak. "Ular...," bisiknya dan ia sudah siap.

Penciumannya yang tajam sudah dapat menangkap bau amis ular-ular itu, sedangkan pendengarannya dapat menangkap suara mendesis-desis dari depan. Namun dia tidak gentar dan melanjutkan perjalanan ke depan. Hutan yang gelap sehingga mudah menyesatkan orang itu kini terganti dengan bagian yang terbuka, ada seratus meter luasnya dan di tempat inilah berkumpulnya ular-ular itu, kemudian di seberang sana disambung pula dengan hutan lain.

Suma Han berdiri dan memperhatikan ular-ular itu. Diam-diam ia kagum sekali. Dari mana saja penghuni pulau ini mengumpulkan ular-ular yang selain amat banyak jumlahnya, ada ribuan ekor, juga amat banyak macamnya, semua terdiri dari ular-ular berbisa! Dia mengenal beberapa ekor ular yang gigitannya amat berbahaya, sekali gigit tentu merenggut nyawa. Dan melihat ular-ular yang beraneka macam itu, dengan warna yang bermacam-macam pula, timbul rasa sayang di hati Suma Han. Sayang kepada kumpulan ular berbisa yang begitu lengkap di bumi! Pula, dia tidak mempunyai niat sedikit pun juga untuk melakukan pembunuhan dan pengrusakan di pulau ini.

Pertama, dia belum melihat bukti bahwa Kwi Hong di tahan di Pulau ini. Kedua, andai kata benar demikian, dia menduga bahwa penghuni Pulau Neraka hanya melakukan hal itu untuk memancing dia datang, tentu Kwi Hong tidak diganggu karena buktinya, burung garuda betina pun tidak dilukai. Kalau orang tidak berniat buruk, mengapa dia harus melakukan pembunuhan dan pengrusakan.

Kini ular-ular itu telah mengetahui kedatangannya, binatang-binatang ini mendesis-desis dan bergerak maju seperti barisan, siap untuk mengeroyok manusia yang berani datang ke tempat itu. Suma Han mengukur dengan pandang matanya. Kalau bukan dia yang datang ke tempat itu, agaknya sukar untuk melewati ular-ular yang memenuhi daerah sepanjang seratus meter itu, kecuali dengan membunuh mereka semua.

Untuk meloncati jarak yang sekian jauhnya, biar dia seorang ahli ilmu Soan-hong-lui-kun sekali pun, tentu tidak mungkin. Akan tetapi dengan tongkatnya ditambah ilmunya, dia tidak merasa menghadapi kesukaran. Dia tersenyum, dapat menduga bahwa tentu ada mata manusia yang mengintai gerak-geriknya dan ingin melihat bagaimana dia akan melalui barisan ular itu.

Maka dia lalu meloncat ke depan beberapa meter jauhnya dan kalau dia tidak bertongkat, tentu terpaksa kakinya akan menyentuh tanah dan ada bahaya di sambar ular-ular itu. Akan tetapi dengan cekatan dan mudah ia menotolkan tongkatnya ke atas tanah di antara ular-ular yang menjadi kalang kabut berusaha menyerang tongkatnya. Dengan kekuatan tangannya yang memegang tongkat, begitu tongkat menotol tanah, tubuhnya sudah mencelat lagi ke depan.

Beberapa ekor ular yang mati-matian menggigit ujung tongkat itu terpelanting dan kembali Suma Han menggunakan tongkatnya menotol tanah dan tubuhnya mencelat lagi. Demikianlah, dengan akal ini, dalam beberapa loncatan saja Suma Han telah tiba di seberang daerah ular dengan selamat tanpa membunuh seekor ular pun! Ia berdiri dan membalikkan tubuh sambil tersenyum memandangi ular-ular yang menjadi kacau dan membalik, mencari lawan.

"Begini sajakah halangan memasuki pulau?" kata Suma Han sambil melanjutkan perjalanan, ke utara menuju ke tengah pulau dan melalui hutan di depan yang tidak begitu gelap seperti hutan pertama.

Tiba-tiba seperti jawaban ucapannya tadi terdengar suara gerengan keras dan dari dalam semak-semak meloncat keluar puluhan anjing serigala yang mengeluarkan bau harum dan amis! Suma Han mengelak dengan loncatan cepat sambil memperhatikan. Kembali ia merasa kagum. Serigala-serigala hitam ini benar-benar merupakan sekumpulan binatang yang aneh. Bulunya hitam mengkilap dan indah, moncongnya panjang dan mengingat akan bau yang keluar dari moncong mereka, menandakan bahwa binatang buas ini pun berbisa.

"Bukan main! Benar-benar segala macam binatang berbisa bersarang di pulau ini," pikir Suma Han.

Melihat betapa kawanan serigala itu banyak sekali, gerakan mereka gesit, maka agaknya akan melelahkan kalau harus berlari-lari dan mengelak menghindari mereka yang tentu akan terus mengejar-ngejarnya. Dengan demikian maka perjalanannya akan kacau dan banyak bahayanya dia akan tersesat. Maka cepat ia mencelat ke atas pohon, berjongkok dengan kaki tunggalnya di atas dahan pohon, sejenak memandang serigala-serigala yang berusaha meloncat-loncat untuk mencapainya.

Pemandangan ini lucu bagi Suma Han, maka tanpa terasa lagi ia tertawa, kemudian melanjutkan perjalanannya melalui pohon-pohon. Karena pohon-pohon itu tumbuh berdekatan, amat mudah bagi seorang yang berilmu tinggi seperti dia untuk berloncatan dari dahan ke dahan dan dari pohon ke pohon, selalu mengambil arah ke utara atau mengkanankan matahari pagi.

Akan tetapi baru saja terbebas dari serangan gerombolan serigala hitam, datanglah serombongan lebah hitam yang terbang berbondong-bondong dan mengeroyoknya! Suma Han terkejut, dapat menduga bahwa sengatan lebah ini pun tentu berbisa. Dia memutar lengan kiri, sehingga timbul angin yang digerakkan hawa sinkang-nya sehingga lebah-lebah yang mendekatinya terbawa hanyut oleh angin itu. Akan tetapi karena dahan-dahan, ranting-ranting dan daun-daun menghalanginya, dia tidak dapat bergerak dengan leluasa. Melawan gerombolan lebah di pohon amatlah berbahaya, kalau meloncat turun, gerombolan srigaia hitam tentu akan menerkamnya.

Maka Suma Han cepat meloncat dengan pengerahan ilmu Soan-hong-lui-kun. Karena dia meloncat-loncat dengan selalu dikejar lebah-lebah yang terbang cepat, tentu saja dia tidak dapat memperhatikan arah lagi dan dia hanya berloncatan cepat dengan niat keluar dari hutan dan mencari tempat terbuka di mana dia akan dapat menghalau lebah-lebah itu dengan mudah. Sambil berloncatan dan kadang-kadang memutar lengan kiri untuk meruntuhkan lebah-lebah itu, diam-diam ia memuji dan mulailah dia tidak berani memandang rendah para penghuni Pulau Neraka!

Akhirnya dia berhasil juga keluar dari hutan itu, di tempat terbuka dan dengan hati lega ia mendapat kenyataan bahwa gerombolan anjing serigala sudah tak tampak lagi, tentu tidak sanggup mengejar dia yang berloncatan dari pohon ke pohon sedemikian cepatnya dan kehilangan jejak penciuman. Akan tetapi, kawanan lebah itu masih terus mengejarnya. Suma Han meloncat turun dari pohon terakhir dan sudah siap.

Ketika lebah-lebah itu terbang datang, dia lalu menanggalkan jubahnya dan memutar jubah dengan tangan kanannya sedangkan tangan kiri tetap memegangi tongkatnya. Kalau dengan tangan saja gerakan Suma Han sudah mampu mendatangkan angin yang menyambar dahsyat apa lagi kini menggunakan jubah. Angin bertiup keras dan lebah-lebah itu terbawa angin yang digerakkan oleh jubah di tangan Suma Han, sama sekali tak mampu mendekati pendekar itu. Bahkan ketika Suma Han membuat gerakan memutar dengan tangannya, jubahnya menimbulkan angin berpusing yang membuat lebah-lebah itu terseret angin yang berputaran ke atas sampai tinggi!

Tiba-tiba terdengar bunyi lengking tinggi nyaring dan halus, bunyi suling ditiup secara istimewa dan menyusul suara ini, datanglah berbondong-bondong lebah-lebah hitam dari segenap penjuru mengeroyok dan mengurung Suma Han!

"Setan...!" Suma Han mengomel, maklum bahwa suara suling itu dapat mengemudi perasaan lebah-lebah ini dan hal itu amat berbahaya karena kalau lebah-lebah itu datang makin banyak, mana mungkin dia dapat menghindarkan diri tanpa membasmi mereka, hal yang tak diinginkannya.

Dengan hati mengkal Suma Han lalu mengerahkan khikang-nya dan keluarlah lengkingan yang tinggi dan lebih nyaring dari pada suara suling itu sambil jubah di tangannya masih terus diputarnya. Usahanya berhasil baik sekali karena lebah-lebah itu menjadi kacau-balau. Makin nyaring lengking yang keluar dari dalam dada Suma Han, makin kacaulah mereka tidak tentu lagi arah terbangnya. Ada yang terbang ke atas, ada yang ke bawah, ke kanan kiri depan belakang, bahkan ada yang terbang membalik dari arah mereka datang! Ada pun lebah-lebah yang terlalu dekat dengan Suma Han membubung tinggi dan menjadi pening sehingga lebah-lebah itu berjatuhan, bergerak gerak dan merayap-rayap di atas tanah karena untuk sementara mereka tidak kuasa terbang, bahkan merayap pun berputaran seperti anak-anak yang mabok setelah bermain putar-putaran!

Suara suling terhenti dan melihat bahwa lebah-lebah itu kini sudah pergi dalam keadaan kacau, Suma Han menghentikan lengkingannya dan putaran jubahnya, lalu tubuhnya mencelat lagi ke depan. Melihat hutan yang ditinggalkan dan letak matahari, hatinya mendongkol karena ternyata dalam melarikan diri tadi, dia tidak lari ke utara melainkan tersesat lari ke barat!

Karena tidak ingin tersesat lagi dan ingin melihat keadaan, ia melompat ke atas pohon di pinggir hutan yang baru ditinggalkan. Ketika ia memandang ke utara, hatinya girang karena dari tempat itu dia sudah dapat melihat sekelompok bangunan berwarna hitam. Akan tetapi, dari tempat itu menuju ke bangunan terdapat pasukan-pasukan yang menghadang jalan.

"Hemm, kini kalian tidak mengandalkan binatang-binatang lagi, melainkan maju sendiri menyambutku. Bagus!"

Dia lalu melayang turun dan mempergunakan ilmunya berloncatan cepat menuju ke utara. Ternyata di sepanjang jalan tidak ada lagi rintangan dan akhirnya ia tiba di lapangan luas dan berhadapan dengan dua puluh tujuh orang yang mukanya berwarna biru muda. Mereka berpakaian seragam dan membentuk barisan sembilan kali tiga, bersenjatakan tombak panjang yang ada rantainya di ujung.

Suma Han sudah mendengar bahwa kedudukan dan tingkat kepandaian para anak buah Pulau Neraka ditentukan oleh warna muka mereka, makin terang warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Kini menghadapi dua puluh tujuh orang bermuka biru muda, Suma Han mengomel di dalam hatinya. "Orang-orang Pulau Neraka sungguh memandang rendah kepadaku!"

Sebagai To-cu dari Pulau Es, tentu saja dia merasa terhina kalau kedatangannya hanya disambut oleh pasukan bermuka biru muda, warna yang tentu hanya menduduki tingkat ke empat atau ke lima. Maka dia pun tidak mau bicara melayani mereka, melainkan terus saja melangkah dengan kaki tunggalnya ke depan seolah-olah dua puluh tujuh orang itu hanya arca-arca yang tidak bernyawa dan tidak ada artinya!

Melihat sikap pendatang yang ditakuti ini, terdengar seorang di antara mereka berseru aneh memberi aba-aba dan tiga pasukan dari sembilan orang berjumlah dua puluh tujuh orang itu menggerakkan senjata, ada yang menyerang dengan tombak, ada pula yang membalikkan tombak dan menyabet dengan rantai baja di ujung gagang tombak. Serangan mereka amat cepat dan kuat sehingga terdengar angin bersuitan menyambar ke arah Suma Han yang menjadi sasaran dari tombak-tombak runcing dan rantai-rantai berat itu.

Namun, Suma Han masih berloncatan terus ke depan seolah-olah tidak peduli akan serangan mereka, akan tetapi setelah senjata-senjata itu datang dekat, dia memutar tongkatnya. Terdengarlah suara hiruk pikuk ketika semua senjata itu bertemu tongkat, bertemu dan terus melekat, rantai membelit-belit tongkat dan ujung tombak tak dapat ditarik kembali, bahkan kini mereka berteriak kesakitan dan terpaksa melepaskan senjata karena telapak tangan mereka terasa dingin membeku. Yang bersikeras mempertahankan senjatanya segera menjerit dan memegangi tangan yang terpaksa melepaskan tombak karena kulit telapak tangan mereka berdarah!

Dengan tenang Suma Han melangkah terus, menggerakkan tongkatnya dan belasan batang tombak terpelanting ke kanan kiri, terpelanting keras sekali, ada yang meluncur seperti anak panah dan hilang di antara pohon-pohon, ada pula yang menancap di atas tanah sampai setengahnya lebih!

Mereka yang telah menyerang, belasan orang itu, meritih-rintih, dan mereka yang belum menyerang berdiri bengong menyaksikan kejadian yang luar biasa itu. Karena maklum bahwa menyerang seperti kawan-kawannya tadi tidak akan berhasil sedangkan lawan telah melewati hadangan pasukan mereka, belasan orang sisa yang kehilangan tombak lalu menggerakkan tombak mereka, melontarkan kuat-kuat sehingga kini ada belasan yang meluncur ke depan, mengeluarkan suara berdesing menyerang ke arah tubuh belakang Suma Han!

Seperti tadi, Suma Han tenang-tenang saja, tidak menengok sama sekali sehingga seolah-olah sekali ini dia akan celaka oleh belasan batang tombak yang meluncur secara kuat, cepat dan tepat ke arah punggungnya. Akan tetapi setelah ujung tombak-tombak itu tinggal beberapa senti lagi dari punggungnya, tubuhnya membalik, tangan kanannya mengibas ke depan dan... belasan batang tombak itu runtuh dan semua menancap ke atas tanah di depan kakinya, berjajar-jajar rapi seperti diatur. Kemudian ia membalikkan tubuh lagi dan berjalan maju terpincang-pincang dibantu tongkatnya, tenang seperti tidak pernah terjadi sesuatu.

"Pendekar Siluman... kepandaiannya seperti iblis..." Pasukan muka biru muda itu berbisik dan saling pandang dengan mata terbelalak.

Kini pada sebuah tikungan, Suma Han melihat sebuah pasukan lain lagi, pasukan yang terdiri dari dua kali sembilan orang bermuka hijau pupus. Hemm, pikirnya, setingkat lebih tinggi, tetapi tetap saja dia tidak puas dan merasa dipandang rendah. Dia dapat menduga bahwa tingkat tertinggi tentu berwarna putih, dan warna yang mendekati putih adalah warna kuning. Kalau Si Ketua merasa terlalu tinggi untuk menghadang sendiri, sedikitnya dia harus mengutus tokoh-tokoh bermuka kuning untuk menghadapinya. Akan tetapi muka hijau pupus? Hmmm, kalian terlalu memandang rendah To-cu Pulau Es, padahal orang-orang Pulau Neraka dulunya hanyalah orang-orang buangan dari Pulau Es!

"Haiii! Berhenti! Apakah yang datang ini Pendekar Siluman dari Pulau Es?" Seorang di antara mereka bertanya.

Akan tetapi, seperti juga tadi, Suma Han tidak mau melayani mereka bicara melainkan melangkah maju terpincang-pincang ke depan, tidak mempedulikan delapan belas orang yang bersenjata masing-masing sebatang golok besar itu, sedangkan tangan kiri mereka siap mendekati kantung di pinggang yang ia duga tentu berisi senjata rahasia berbisa!

Melihat sikap Suma Han, delapan belas orang itu kemudian membuka barisan dan mengurung. Akan tetapi sikap tidak peduli dari Pendekar Super Sakti itu membuat mereka hati-hati sekali sehingga kurungan itu mengikuti gerakan Suma Han yang melangkah maju. Tiba-tiba seorang di antara mereka berseru keras dan terdengar goloknya berdesing menyambar, diikuti oleh golok-golok lain yang menyambar secara berturut-turut.

Hemmm, kepandaian mereka ini sedikitnya tiga kali lipat dari pada tingkat pasukan pertama yang bermuka biru muda tadi, pikir Suma Han. Ketika semua golok bergerak menyerangnya, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehingga delapan belas orang yang mendadak kehilangan lawan itu sudah mengira dia pandai menghilang! Akan tetapi mereka segera melihat ke atas dan delapan belas buah tangan kiri bergerak.

"Ciat-ciat-ciatt!" Belasan batang pisau hitam mencuat gemerlapan melayang ke arah seluruh bagian tubuh Suma Han.

"Trang-cring-cring-trang...!" Semua pisau itu terpental dan melayang jauh ke segenap penjuru karena ditangkis oleh segulung sinar dari tongkat yang diputar, sedangkan tubuh Suma Han sudah melayang turun lagi.

Delapan belas orang itu kembali menerjang, sinar golok mereka berkeredepan menyilaukan mata. Suma Han memutar tongkatnya sambil mengerahkan tenaga. Terdengar suara hiruk pikuk dan setelah suara itu lenyap, delapan belas orang itu berdiri bengong memandangi gagang golok di tangan yang sudah tidak ada goloknya lagi karena senjata mereka telah patah semua!

Ketika mereka memandang ke depan, mereka melihat pendekar kaki buntung itu sudah berloncatan ke depan. Mereka tidak berani mengejar karena selain mereka maklum bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan pendekar itu, juga di depan terdapat pasukan penjaga lain yang lebih tinggi tingkatnya.

Kini Suma Han melihat pasukan terdiri dari sembilan orang yang bermuka merah muda, yaitu tiga wanita dan enam pria, masing-masing memegang senjata Siang-kiam (Sepasang Pedang).

"To-cu dari Pulau Es, perlahan dulu!" tegur seorang di antara mereka yang usianya sudah lima puluh tahun lebih dan berambut panjang riap-riapan sampai ke pundak.

"Kalian ini anak buah Pulau Neraka tingkat berapakah?" Suma Han bertanya, sikapnya tenang dan dingin dengan suara yang dikeluarkan sambil mengerahkan Im-kang sehingga sembilan orang yang mendengar suara ini tergetar jantungnya dan menggigil kedinginan.

Akan tetapi dengan pengerahan sinkang, mereka dapat mengusir rasa dingin itu dan kini pasukan itu terpecah menjadi tiga, masing-masing tiga orang, seorang wanita dan dua orang pria, lalu tiga rombongan kecil ini mengurung Suma Han dari depan, kanan dan kiri.

"Kami adalah murid-murid tingkat dua!" jawab kakek itu.

"Hemm, Ketua kalian membuang-buang waktu saja. Mengapa tidak dia sendiri saja yang maju untuk melawan aku agar lebih cepat dibuktikan siapa yang lebih kuat?"

"Orang muda yang sombong!" Seorang wanita di rombongan sebelah kirinya menudingkan pedang. Wanita itu usianya sekitar empat puluh tahun, cantik akan tetapi sinar matanya liar dan ganas. "Biar pun engkau To-cu Pulau Es, akan tetapi engkau masih muda, kakimu buntung, tidak selayaknya bersikap sombong seperti itu. Lihat pedang!" Wanita itu sudah menyerang, disusul dua orang temannya.

Melihat gerakan mereka, Suma Han terheran. Itulah jurus ilmu pedang dari kitab-kitab peninggalan Koai-Lojin atau Kam Han Ki di Pulau Es! Jurus yang ampuh akan tetapi sayang bahwa gerakan mereka kurang sempurna.

"Hemmm, mengapa begitu cara melakukan jurus Siang-liong-jio-seng (Sepasang Naga Berebut Bintang)?"

Dengan tongkatnya ia menangkis enam batang pedang itu, tangan kanannya meraih dan secara aneh sekali sepasang pedang di tangan wanita galak itu telah pindah ke tangan Suma Han! Pendekar ini menancapkan tongkatnya dan memutar sepasang pedang dengan kedua tangan. "Beginilah mestinya! Dalam perebutan antara sepasang naga, yang kanan harus mengalah karena biasanya lawan memperhatikan tangan kanan sehingga yang kiri dapat melakukan serangan tiba-tiba yang mengacaukan lawan. Jangan menitik beratkan gerakan pedang kanan!"

Sementara itu, delapan orang yang melihat betapa senjata seorang kawan mereka terampas dan yang dua orang lagi terpental ketika ditangkis kini cepat menerjang dengan pedang mereka. Suma Han masih terus menggerakkan sepasang pedang dengan jurus Siang-liong-jio-seng yang amat dikenal oleh mereka itu dan anehnya, biar pun mereka mengenal baik jurus ini, berturut-turut mereka berseru kaget karena terdengar kain robek dan tiba-tiba tubuh lawan yang dikepung itu berkelebat lenyap, yang tinggal hanya sepasang pedang rampasan itu menancap di tanah, dan ketika mereka saling pandang, tampaklah betapa pakaian mereka telah robek dan berlubang di dua tempat, yaitu di ulu hati dan perut!

Sebagai ahli-ahli pedang yang sudah tinggi tingkatnya, sembilan orang bermuka merah muda ini maklum bahwa kalau Pendekar Siluman menghendaki, mereka tentu telah roboh dengan jantung tertembus pedang dan sudah tewas semua! Maka mereka hanya dapat menghela napas dan memandang pendekar kaki buntung yang kini telah berjalan terpincang-pincang menuju ke penjagaan terakhir, yaitu empat orang kakek bermuka kuning.

Empat orang kakek itu usianya rata-rata sudah lima puluh tahun lebih, sikapnya gagah dan angker, pakaiannya sederhana, dengan jubah panjang dan rambut serta jenggot mereka panjang, kaki mereka telanjang tak bersepatu dan tangan mereka hanya bersenjatakan sebatang tongkat kecil yang panjangnya satu setengah meter, terbuat dari kayu hitam atau ranting yang lemas.

Melihat keadaan ini, Suma Han bersikap hati-hati karena dia dapat menduga bahwa tentu empat orang kakek ini adalah tokoh-tokoh tingkat satu, hanya di bawah Sang Ketua dan telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hanya ia merasa heran mengapa jumlah mereka ada empat orang, tidak enam atau tiga karena semenjak pasukan pertama, penghuni Pulau Neraka itu menggunakan bentuk barisan tiga bintang yang dapat diluaskan menjadi masing-masing pasukan sembilan orang namun pada dasarnya masih mempergunakan bentuk barisan tiga bintang dengan gerakan segi tiga.

Dia tidak tahu bahwa sebetulnya jumlah tokoh tingkat satu bermuka kuning itu ada enam orang, yang seorang telah meninggal dunia sedangkan yang seorang lagi kini sedang merantau atas perintah Ketua mereka untuk menyelidiki keadaan kang-ouw yang geger karena hilangnya pusaka-pusaka yang diperebutkan setelah pasukan Pulau Neraka mengalami kegagalan di muara Sungai Huang-ho dahulu. Oleh karena itu kini hanya tinggal empat orang saja yang menghadapinya sebagai penjagaan terakhir dan mereka pun kini menjaga di depan bangunan besar yang menjadi istana dari majikan Pulau Neraka.

Setelah melayangkan pandang ke arah istana hitam yang angker itu, Suma Han lalu menghadapi empat orang itu dan berkata, "Melalui garuda betina peliharaanku, Pulau Neraka telah mengundang aku datang, dan sekarang aku datang untuk menjemput muridku. Harap Su-wi Lo-cianpwe suka menyampaikan kepada To-cu Pulau Neraka agar mengembalikan muridku kepadaku."

Empat orang kakek itu memandang dengan penuh perhatian, memandang pendekar buntung itu dari kaki sampai ke kepala dengan penuh takjub karena baru sekarang mereka melihat pendekar yang terkenal di seluruh dunia itu, yang ternyata tidak kelihatan luar biasa, bahkan hanya merupakan seorang pemuda yang cacad! Betapa pun juga, melihat sikap dan sinar matanya, mereka bergidik dan maklum bahwa pemuda di depan mereka ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat.

Seorang di antara mereka yang rambutnya sudah hampir putih semua segera mengangkat kedua tangan depan dada sambil berkata, "To-cu dari Pulau Es sudah dapat tiba di sini, membuktikan bahwa nama besarnya bukan omong kosong belaka. Akan tetapi sudah menjadi tugas kami untuk menjaga di sini dan kalau To-cu hendak menjemput murid dan bertemu dengan To-cu kami, harus melalui tongkat kecil kami."

Suma Han mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. "Hemmm... agaknya To-cu Pulau Neraka terlalu memandang rendah orang! Kalian ingin menguji kepandaianku? Nah, lihat baik-baik, biar pun kalian berempat, apakah aku kalah banyak?" Suara Suma Han mengandung getaran yang dahsyat dan berpengaruh.

Tiba-tiba empat orang kakek itu memandang terbelalak dan bingung karena di depan mereka kini bukan hanya ada seorang pemuda kaki buntung, melainkan pemuda itu telah berubah menjadi delapan orang kembar! Tentu saja mereka terkejut sekali dan betapa pun mereka mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh mukjizat itu, tetap saja pandangan mereka tidak berubah, lawan telah menjadi dua kali lipat lebih banyak dari pada jumlah mereka!

Karena bingung, empat orang kakek itu lalu menggerakkan ranting di tangan mereka, menghantam Suma Han yang terdekat. Akan tetapi, biar pun ranting mereka mengenai tepat tubuh lawan, mereka seolah-olah menghantam bayangan saja dan ranting itu ‘lewat’ menembus tubuh orang yang diserang. Hal ini memang tidak mengherankan karena yang mereka serang itu bukanlah tubuh Suma Han yang asli, melainkan bayangan yang timbul karena pengaruh kekuatan ilmu merampas semangat dan pikiran orang yang dilakukan Suma Han. Selagi mereka terheran-heran, Suma Han yang asli telah menggerakkan tongkatnya, empat kali menotok dan empat orang kakek itu mengeluh dan jatuh terduduk di atas tanah dalam keadaan lumpuh!

"Sudah kalian lihat kepandaian To-cu dari Pulau Es?" Suma Han berkata dan kini empat orang kakek melihat bahwa lawannya hanya seorang saja, berdiri di depan mereka, bersandar pada tongkat dan tangan kanan bertolak pinggang!

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari dalam istana hitam yang daun pintunya tertutup itu, "Kalau To-cu Pulau Es memang gagah perkasa dan super sakti, janganlah mengandalkan ilmu siluman!"

Suma Han memandang ke arah pintu istana hitam itu dengan mata terbelalak saking herannya. Tadinya ia mengira bahwa melihat keadaan empat orang kakek tingkat satu ini, tentu To-cu dari Pulau Neraka merupakan seorang kakek yang menyeramkan dan lebih mendekati iblis dari pada manusia. Akan tetapi suara yang keluar dari istana hitam itu, yang ia duga tentulah seorang To-cu pulau itu, adalah suara seorang wanita, suara yang nyaring dan merdu! Bukan suara seorang kakek kasar, juga pasti bukan suara seorang nenek-nenek karena suara seperti itu tentu hanya dimiliki seorang wanita yang masih muda.

Mungkinkah ini? Mungkinkah Ketua atau Majikan Pulau Neraka seorang wanita muda? Suma Han tidak akan percaya kalau saja dia tidak teringat akan Ketua Thion-liong-pang. Bukankah Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu pun wanita muda dan yang dia kini yakin tentu Lulu, adik angkatnya? Kalau benar demikian, maka dua perkumpulan yang paling terkenal dan kuat kini dipimpin oleh wanita-wanita muda! Benar-benar merupakan hal yang sukar dipercaya.

Betapa pun juga, mendengar ucapan itu wajahnya menjadi merah. Dia tadi memang mempergunakan kekuatan batinnya yang menguasai empat orang lawan melalui sinar mata dan suaranya dan hal itu dia lakukan hanya karena dia enggan bertanding melawan mereka. Menghadapi pasukan-pasukan tingkat rendahan tadi, dia masih dapat melalui mereka tanpa melukai seorang pun. Akan tetapi, dari gerakan empat orang kakek ini dia maklum bahwa dia menghadapi empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan untuk mengalahkan empat orang ini tanpa melukainya merupakan hal yang tidak mudah ia lakukan.

Maka tadi ia mengambil cara yang paling mudah, yaitu mengalahkan mereka dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya yang mukjizat, yang kini telah mencapai tingkat amat tinggi setelah ia menerima gemblengan dan petunjuk terakhir dari manusia dewa Koai Lojin. Sekarang To-cu Pulau Neraka mencela dan mengejeknya, kalau dia tidak memperlihatkan kepandaiannya, tentu saja dia akan merasa malu sekali.

"Begitukah yang kalian kehendaki? Nah, Su-wi Locianpwe, bangunlah!" Tongkatnya bergerak dan empat orang kakek muka kuning itu dapat bergerak kembali dan mereka melompat bangun.

Kini mereka bersikap hati-hati sekali. To-cu Pulau Es ini benar-benar hebat. Sebagai To-cu Pulau Es yang kenamaan, menyebut mereka ‘locianpwe’ ini saja sudah menjadi bukti bahwa To-cu Pulau Es ini adalah seorang yang rendah hati dan karenanya dapat dibayangkan betapa tinggi ilmunya.

"Maaf, kami hanya pelaksana tugas!" Kakek beruban berkata sebagai pernyataan kesungkanan hati mereka, juga ucapan ini merupakan pembuka serangan karena secepat kilat empat orang itu sudah menyerang Suma Han dari empat penjuru!

Suma Han cepat menggerakkan tubuhnya, menggunakan Soan-hong-lui-kun untuk mengelak, akan tetapi tiga orang di antara mereka mengayun tongkat ke atas dan menghujankan serangan ke atas tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk turun! Sedangkan yang seorang tetap ‘menutup’ bagian bawah dengan serangan cepat, rantingnya diputar seperti kitiran sehingga berubah menjadi gulungan sinar.

Suma Han terkejut bukan main. Teringat ia akan gaya serangan bibi gurunya, Maya, ketika menghadapi ibu gurunya, Khu Siauw Bwee. Mungkinkah tiga orang kakek ini telah mempelajari ilmu yang khusus dicipta oleh Maya untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun? Namun dia tidak diberi kesempatan untuk banyak berheran, terpaksa ia menggerakkan tongkatnya menotok ranting yang terdekat dan menggunakan tenaga pertemuan senjata itu untuk mencelat lagi ke samping, kemudian sambil memutar tongkat menangkis keempat senjata lawan ia turun lagi ke atas tanah. Segera ia dikurung dan diserang lagi. Suma Han memutar tongkat melindungi tubuh sambil memperhatikan gaya permainan para pengeroyoknya dan mengukur tingkat kepandaian mereka.

Dia kagum sekali. Ranting di tangan mereka itu kadang-kadang berubah menegang keras seperti baja, kadang-kadang lemas seperti cambuk dan gerakan mereka amat ringan dan cepat, tenaga sinkang mereka pun amat kuat. Dibandingkan dengan pembantunya, Yap Sun, agaknya tingkat setiap orang kakek muka kuning ini lebih tinggi, akan tetapi dibandingkan dengan Phoa Ciok Lin yang dia gembleng sendiri, pembantu utamanya itu lebih menang setingkat. Betapa pun juga, kalau Ciok Lin yang menghadapi pengeroyokan ini, tentu pembantunya itu akan kalah!

Yang amat membikin dia penasaran dan kewalahan adalah ilmu silat mereka yang istimewa digerakkan untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun. Biasanya, dengan ilmu gerak kilatnya ini dengan mudah dia akan dapat menguasai lawan-lawan yang mengeroyoknya. Akan tetapi sekarang, biar pun dia memiliki gerakan kilat yang jauh lebih cepat dari pada gerakan mereka, namun keempat orang itu selalu mendahuluinya, menutup lubang-lubang ke mana dia dapat mencelat sehingga Soan-hong-lui-kun tak dapat ia mainkan dengan leluasa, bahkan sering kali macet dan tertutup di tengah jalan. Terpaksa Suma Han mengeluarkan kepandaiannya, memutar tongkatnya melindungi tubuh sehingga beberapa kali terdengar suara keras bertemunya tongkat dengan empat batang ranting itu.

Kalau begini keadaannya, aku hanya akan dapat menang dengan merobohkan mereka, dan hal ini berarti bahwa empat orang itu akan terluka. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi, maka sambil mengeluarkan lengking panjang, tiba-tiba tubuh Suma Han mencelat ke belakang, membiarkan empat orang itu mengejarnya dan dengan gerakan cepat ia menancapkan tongkat di tanah kemudian kedua lengannya ia lonjorkan dengan tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan lalu membuat gerakan mendorong.

"Aihhhhh...!"

Empat orang yang sedang menerjang maju itu terhenti gerakannya dan terpental mundur sampai dua langkah. Tubuh mereka menggigil karena ada hawa dingin menyambar mereka. Cepat mereka pun berdiri melonjorkan kedua lengan sambil mengerahkan sinkang. Dengan mempersatukan tenaga, mereka mampu mengusir hawa dingin yang menyerang, bahkan berusaha membalas dengan pukulan sinkang jarak jauh.

Akan tetapi, tiba-tiba mereka terkejut sekali karena dorongan hawa dingin yang menekan dan yang berhasil mereka lawan itu tiba-tiba berubah menjadi hawa yang amat panas seperti ada api menerjang mereka. Cepat mereka menyesuaikan diri dengan pengerahan sinkang mencipta tenaga dingin. Namun kembali serangan hawa sinkang dari majikan Pulau Es itu berubah dingin, dan sebelum mereka berempat menyesuaikan diri kembali berubah dan terus berubah-ubah sehingga keempat orang itu akhirnya menjadi kacau pengerahan sinkang-nya, mempengaruhi jalan darah dan mereka terhuyung-huyung lalu roboh pingsan! Suma Han menghentikan pengerahan sinkang-nya dan tiba-tiba dari dalam istana itu menyambar sesosok tubuh manusia berpakaian hitam dengan kecepatan yang luar biasa.

Menduga bahwa orang yang gerakannya secepat kilat ini tentu Ketua Pulau Neraka, maka melihat tubuh itu meluncur dan mengirim pukulan ke arah dadanya, Suma Han tidak berani memandang rendah dan cepat ia mengangkat tangan kanan menangkis.

"Dukkkk!"

Ia terkejut karena orang itu pun mempergunakan Im-kang yang amat kuat sehingga terasa olehnya hawa dingin menyerangnya. Pertemuan dua lengan yang sama-sama mempergunakan Im-kang itu hebat sekali, membuat Suma Han terpental selangkah ke belakang akan tetapi lawannya juga terpental tiga langkah! Sebelum Suma Han dapat melihat jelas, orang itu telah menubruk lagi dengan pukulan kedua tangan terbuka. Dia cepat mengangkat kedua tangannya menerima telapak tangan lawan.

"Plakkk!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat, dua muka berhadapan dan dua pasang mata bertemu pandang.

Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di saat itu, belum tentu Suma Han akan sekaget ketika ia melihat wajah yang putih itu. Ia menarik kembali kedua tangannya, meloncat mundur dengan kaki tunggalnya, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan bibirnya bergerak memanggil.

"Lulu...!" Kaki tunggalnya menggigil sehingga ia jatuh berlutut memegang tongkatnya.

"Han-koko...!" Wanita bermuka putih yang bukan lain adalah Lulu itu menubruk maju dan berlutut pula.

"Lulu... Moi-moi...!" Suma Han memandang wajah cantik yang kini warnanya menjadi putih, memandang sepasang mata bintang yang bercucuran air mata. "Lulu Adikku..."

"Aku bukan adikmu Han-koko!"

"Ohhhhh..." Suma Han mengeluh, mereka saling pandang kemudian saling memeluk, berdekapan seolah-olah hendak menumpahkan semua rasa rindu yang selama ini menyesak dada. Akan tetapi Suma Han segera dapat menguasai hatinya dan melepaskan pelukan, memegang kedua pundak Lulu dan memandang wajah itu.

"Lulu-moi-moi... jadi engkaukah To-cu Pulau Neraka? Ahhh... Moi-moi, mengapa jadi begini...?"

"Karena engkau, Koko! Karena engkau kejam, engkau tega kepadaku!"

"Lulu, jangan berkata demikian. Engkau satu-satunya orang yang kusayang di dunia ini, sejak dahulu sampai sekarang. Mengapa engkau melarikan diri meninggalkan suamimu? Tahukah engkau bahwa dia menjadi sengsara dan membunuh diri dengan berjuang sampai mati? Ahhh, Lulu...!"

"Aku tahu! Dan semua itu terjadi karena engkau, Koko. Engkau kejam dan tega kepadaku, meninggalkan aku! Kita sama dibesarkan di Pulau Es, akan tetapi engkau tinggal di sana melupakan aku, padahal seharusnya kita berdua yang tinggal di sana. Engkau memaksa aku menikah dengan orang yang sebenarnya tidak kucinta, engkau meninggalkan aku dengan hati remuk, juga membuat hatiku hancur, kebahagiaanku musnah. Butakah engkau, atau pura-pura tidak tahu bahwa semenjak dahulu hanya engkau satu-satunya pria yang kucinta?"

"Ahh... Lulu...!"

"Dan perasaanku meyakinkan bahwa engkau pun cinta kepadaku... Tidak! Jangan katakan bahwa cintamu adalah cinta saudara! Engkau menipu hati sendiri dan sebaliknya dari pada menyambung cinta kasih antara kita menjadi perjodohan engkau malah memaksa aku berjodoh dengan orang lain, sedangkan engkau sendiri rela pergi dengan hati hancur! Engkau menghancurkan kebahagiaan hati kita berdua! Pura-pura tidak tahukah engkau bahwa semenjak dahulu, sampai sekarang, ya, sampai saat ini, aku hanya akan bahagia kalau menjadi isterimu! Koko Han Han, jawablah, engkau tentu ingin menerima aku sebagai isterimu, bukan?"

Suma Han, Pendekar Super Sakti yang telah memiliki kekuatan batin luar biasa itu, kini hampir pingsan. Cinta merupakan kekuatan yang maha hebat, yang mengalahkan segala kekuatan di dunia ini. Jantungnya seperti diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil dan kedua matanya basah.

"Lulu... aku... aku telah dijodohkan oleh Subo dengan Nirahai... dan dia... dia pun juga meninggalkan aku..."

Lulu meloncat berdiri dan melangkah mundur, sejenak dadanya berombak menahan kemarahan yang timbul karena cemburu. "Hemmm... dan engkau lebih mencinta Suci Nirahai dari pada aku?"

Suma Han juga bangkit berdiri dengan kaki lemas. Dia memandang wajah Lulu, lalu menghela napas dan menunduk, "Lulu... aku... aku..., ahhh, bagaimana aku harus menjawab? Semenjak dahulu aku cinta padamu, cinta lahir batin, dengan seluruh jiwa ragaku. Namun engkau adikku, maka aku mengalah. Kemudian Subo menjodohkan aku dengan Nirahai, dan dia... dia mirip denganmu. Karena sudah menjadi isteriku, bagaimana aku tidak mencinta dia? Akan tetapi engkau... ahhhh, aku mencinta kalian berdua, Lulu... sungguh pun cintaku terhadapmu tiada bandingnya di dunia ini... akan tetapi engkau... ah, engkau adalah isteri Sin Kiat dan...."

"Han-koko! Engkau masih lemah seperti dulu! Ahhhh, pria mulia yang bodoh! Pria gagah perkasa yang lemah! Selalu mengalah, membiarkan diri sendiri merana, berniat membahagiakan orang dengan pengorbanan diri sendiri, tetapi malah menimbulkan kesengsaraan kepada semua orang! Aku mencintamu, Koko, akan tetapi aku adalah seorang wanita! Aku tidak sudi lagi bertekuk lutut dan meminta-minta! Tidak, lebih baik mati! Aku sudah bersumpah untuk memilih dua kenyataan dalam hidupku. Menjadi isterimu atau menjadi musuhmu! Tidak ada pilihan lain!"

"Lulu... Lulu...!" Suma Han mengeluh, hatinya bingung bukan main.

"Ibu...!"

"Paman...!"

Keng In dan Kwi Hong berlari-lari keluar dari istana hitam. Keng In menghampiri ibunya dan Kwi Hong menghampiri pamannya. Kehadiran dua orang anak ini mengembalikan kesadaran dan ketenangan Suma Han dan Lulu.

Suma Han memandang keponakan atau muridnya itu, lalu menegur, "Bagus sekali perbuatanmu, ya!"

Kwi Hong berlutut di depan pamannya dan berkata penuh rasa takut, "Paman... aku tadinya sudah akan pulang, akan tetapi ditangkap Bibi ini. Harap Paman maafkan aku dan memberi hajaran kepadanya!"

"Ibu, apakah dia ini To-cu Pulau Es, Pendekar Siluman? Mengapa Ibu tidak menghajarnya?" Keng In bertanya kepada ibunya.

Lulu tidak menjawab, hanya meraba kepala anaknya dan pandang matanya tidak pernah lepas dari wajah Suma Han.

Suma Han menghela napas dan berkata kepada Kwi Hong. "Berdirilah, mari kita pulang." Dia lalu mengeluarkan suara melengking tinggi memanggil burung garuda. Tak lama kemudian, tampaklah dua ekor burung itu terbang dengan cepat ke tempat itu, lalu meluncur turun di depan Suma Han.

"Lulu, aku pergi..."

Lulu tidak menjawab, hanya mengangguk, sinar matanya membuat Suma Han tidak kuat memandang lebih lama lagi. Ia menghela napas lagi, meloncat ke punggung garuda jantan sedangkan Kwi Hong meloncat ke punggung garuda betina, kemudian dua ekor burung itu terbang cepat meninggalkan pulau, diikuti pandang mata Lulu dan Keng In.....


"Ibu, mengapa membiarkan mereka pergi?"

Lulu menunduk, tidak menjawab, hatinya tertusuk oleh pertanyaan itu. Mengapa dia membiarkan Suma Han pergi? Membiarkan harapan dan kebahagiaannya terbawa pergi bersama orang yang dicintanya itu?

"Toanio, mengapa Pendekar Siluman dibiarkan pergi?" Tiba-tiba seorang di antara empat kakek bermuka kuning bertanya. Kiranya empat orang itu kini telah siuman dari pingsannya dan melihat Suma Han bersama Kwi Hong naik dua ekor burung garuda yang terbang pergi dari tempat itu.

Lulu memandang mereka. "Dia datang seorang diri, apa baiknya kalau kita mengalahkan dia dengan pengeroyokan di tempat kita sendiri? Alangkah rendah dan memalukan. Lain kali masih banyak waktu untuk kuhancurkan dia. Dia itu musuhku! Musuhku...!"

Akan tetapi Lulu cepat membalikkan tubuh, menggandeng tangan Keng In dan berjalan memasuki istananya. Setelah ia berada seorang diri kamarnya, Ketua Pulau Neraka ini melempar diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan mukanya yang menangis itu di atas bantal.

"Koko... ahhhh, Han-koko... engkau masih lemah seperti dulu...! Kalau engkau tidak mau berkeras memperisteri aku, biarlah aku mati di tanganmu... kau tunggu saja...!"

********************

Mengapa Lulu tiba-tiba menjadi majikan Pulau Neraka? Agar tidak membingungkan, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya semenjak dia lari pergi meninggalkan suaminya, Wan Sin Kiat atau yang terkenal dengan julukan Hoa-san Gi-hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san).

Semenjak Lulu melangsungkan pernikahannya dengan Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat, kemudian ditinggal pergi oleh Suma Han, dia mengantar kepergian Suma Han dengan ratap tangis dan merasa betapa semangatnya dan seluruh kebahagiaan hatinya terbawa pergi oleh kakak angkatnya itu. Semenjak itu, dia hidup menderita kesengsaraan batin dan barulah ia sadar bahwa sesungguhnya hanya kakak angkatnya itu pria yang dicintanya dan betapa dia telah melakukan kesalahan yang besar dalam hidupnya dengan menerima dijodohkan dengan Wan Sin Kiat.

Dia suka kepada Sin Kiat dan kagum akan kegagahan pemuda yang menjadi suaminya ini, akan tetapi dia tidak dapat mencintanya sebagai seorang isteri mencinta suami karena kini dia merasa yakin bahwa dia hanya dapat mencinta Suma Han seorang yang tak mungkin diganti dengan pria lain. Akan tetapi, karena dia sudah dinikahkan dengan Sin Kiat, sudah bersumpah di depan meja sembahyang, Lulu memaksa hatinya mempergunakan kebijaksanaan dan berusaha untuk mencinta suaminya, melayaninya sebagaimana kewajiban seorang isteri yang baik. Namun, sampai dia melahirkan seorang anak, tetap saja dia tidak dapat mencinta Sin Kiat, tidak dapat melupakan Suma Han, bahkan makin berat penderitaan batinnya yang menjerit-jerit ingin dekat dengan pria yang dicintanya itu. Suaminya juga maklum dan merasa akan keadaan isterinya itu, dan akhirnya, karena tidak kuat lagi, Lulu membawa anaknya pergi meninggalkan suaminya.

Dengan niat hati hendak mencari Suma Han yang dia duga tentu kembali ke Pulau Es, dia melakukan perjalanan yang jauh dan sukar ke utara. Akan tetapi Lulu sekarang tidak seperti dahulu ketika masih kanak-kanak bersama Han Han (Suma Han) melakukan perjalanan, kini setelah menjadi murid Maya, ilmu kepandaiannya hebat dan dia dapat melakukan perjalanan cepat.

Betapa pun juga, tidak ada orang lain yang tahu di mana letaknya Pulau Es. Maka Lulu yang tidak bertanya kepada orang lain, hanya melanjutkan perjalanannya dengan mengira-ngira saja, sambil mengingat-ingat perjalanannya dahulu ketika meninggalkan Pulau Es bersama Suma Han. Banyak daerah yang sudah ia lupakan, maka di luar tahunya, dia tersesat sampai memasuki daerah Khitan!

Pada suatu pagi, dia melihat sebuah tanah kuburan yang luas, tanah kuburan yang megah dan terawat baik. Dia tidak tahu bahwa tanah kuburan itu adalah tanah kuburan keluarga Suling Emas! Baru dia tahu ketika melihat seorang kakek bongkok yang lihai bertanding melawan seorang tinggi besar kurus berkulit hitam memakai sorban. Ia teringat akan penuturan suci-nya, Puteri Nirahai, tentang penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang lihai dan bongkok benama Gu Toan. Kini melihat kakek bongkok itu dan keadaan tanah kuburan, ia segera menduga bahwa tentu inilah kuburan keluarga Suling Emas yang terkenal. Ia segera merasa berpihak kepada kakek bongkok.

Setelah menggendong Keng In erat-erat di punggungnya, Lulu mencabut pedangnya dan meloncat ke gelanggang pertempuran sambil berseru, "Apakah Locianpwe yang bernama Gu Toan?"

Kakek bongkok itu sedang didesak hebat oleh orang India tinggi kurus yang amat lihai, namun dia masih sempat bertanya tanpa menoleh. "Bagaimana engkau bisa tahu?"

"Suci Nirahai yang menceritakan. Aku adalah sumoi-nya, murid Subo Maya."

"Ahhh... kebetulan sekali! Cepat kau pergi menyelamatkan pusaka-pusaka dan pergi dari sini. Bawa pusaka-pusaka itu."

Lulu tertegun dan bingung. "Pusaka apa...?"

"Dessss!" Tubuh Gu Toan terguling-guling karena dia terkena pukulan di pundaknya oleh tangan kakek India yang lihai. Akan tetapi ia meloncat bangun lagi dan mulutnya menyemburkan darah segar.

Melihat ini Lulu menerjang dengan pedangnya, namun orang India itu mendorongkan tangan kiri ke depan dan Lulu terhuyung-huyung!

"Jangan bantu aku! Lekas kau buka batu di belakang kuburan Suling Emas, ambil semua pusaka dan bawa pergi. Cepat...!" Kakek Gu Toan kembali berkata dan menerjang orang India itu dengan nekat.

Kakek itu mempergunakan bahasa selatan yang dimengerti oleh Lulu, akan tetapi agaknya tidak dimengerti oleh kakek India itu yang menjadi marah dan mengamuk dengan kaki tangannya yang panjang-panjang.

Maklum bahwa menyelamatkan pusaka agaknya lebih penting dari pada nyawa kakek bongkok itu, apa lagi teringat bahwa pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas adalah pusaka yang diperebutkan semua orang kang-ouw, Lulu cepat meloncat dan meneliti batu nisan kuburan satu demi satu. Akan tetapi tidak sukar dan tidak lama dia mencari karena batu nisan kuburan Suling Emas adalah yang terbesar dan berada di tengah-tengah. Cepat dia menyelinap di belakang nisan atau gundukan tanah kuburan dan dengan tenaga sinkang dia mendorong batu besar yang berada di situ. Batu tergeser dan di bawahnya terdapat sebuah lubang. Cepat diraihnya sebuah peti kuning yang berada di situ dan dikempitnya. Ketika ia meloncat bangun, ia melihat Si Bongkok kembali terhuyung-huyung terkena pukulan lawannya yang lihai. Dia ingin membantu akan tetapi Si Bongkok berseru.

"Lekas pergi! Lekas lari... pusaka itu menjadi milikmu...!"

Mendengar ini dan karena kalau dia melawan dia mengkhawatirkan keselamatan anak di gendongannya, Lulu lalu meloncat dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Beberapa hari kemudian ketika ia membuka peti kuning, ia mendapatkan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi, yaitu ilmu-ilmu yang dipelajari Suling Emas dari Bu Kek Siansu dan telah ditulis sebagai kitab oleh Suling Emas. Ilmu silat Kim-kong-sin-hoat, Hong-in-bun-hoat, Pat-sian-kiam-hoat dan Lo-hai-san-hoat. Selain empat buah kitab ilmu silat tinggi ini, terdapat pula sebuah kipas, kipas pusaka milik mendiang Suling Emas!

Lulu teringat bahwa pusaka Suling Emas dahulu dipinjam oleh Nirahai. Dia menjadi girang sekali dan sambil melanjutkan perjalanannya mencari Pulau Es yang ternyata tersesat ke Khitan, mulailah ia mempelajari ilmu-ilmu itu. Karena dia telah menerima gemblengan ilmu-ilmu yang tinggi dan pada dasarnya dia memiliki sinkang luar biasa dari latihan-latihan di Pulau Es, maka ilmu-ilmu itu cepat dapat dikuasainya.

Akhirnya, setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan menempuh segala macam kesukaran, tibalah dia di tepi laut yang ia ingat menjadi tempat dia dan Suma Han mendarat dahulu ketika mereka meninggalkan Pulau Es. Tempat itu sunyi sekali, tidak ada manusia dan tentu saja tidak tampak nelayan, maka dengan tekun dan sabar Lulu membuat sebuah perahu dari batang pohon.

Biar pun dia memiliki tenaga yang hebat, namun sebagai seorang wanita yang tidak pernah melakukan pekerjaan berat, tentu saja pembuatan perahu ini memakan waktu berbulan-bulan. Dengan nekat ia lalu meluncurkan perahunya ke tengah lautan dan hanya mengandalkan dayung dan kedua tangannya untuk mendayung perahu, pergi mencari Pulau Es, atau lebih tepat lagi, pergi mencari Suma Han, laki-laki yang dicintanya. Tekadnya, kalau tidak dapat mencari Suma Han dan hidup di samping pria ini, lebih baik mati saja!

Dalam pelayaran dengan perahu yang tidak memenuhi syarat ini, ditambah ketidak mampuan mengemudikan perahu, pelayaran ini merupakan penderitaan hebat bagi Lulu dan anaknya, jauh lebih hebat dari pada ketika dia melakukan perjalanan darat. Beberapa kali badai dan taufan mengancam nyawa, mengombang-ambingkan perahu hampir tenggelam. Dalam keadaan seperti itu Lulu hanya dapat menangis, mendekap puteranya dan menyebut-nyebut nama Suma Han, seolah-olah dia minta pertolongan dari orang yang dicintanya itu. Sungguh ajaib sekali, kalau Tuhan belum menghendaki dia mati, biar pun badai seperti itu, Lulu dan puteranya tetap selamat!

Karena serangan badai dan ombak Lulu menjadi bingung, tidak tahu di mana arah tujuannya, dan tidak tahu di mana adanya Pulau Es! Jangankan itu, bahkan dia tidak tahu lagi di mana letaknya daratan yang sudah tidak tampak lagi dari tengah lautan. Dia tidak takut kelaparan karena dengan kepandaiannya, mudah saja baginya untuk menangkap ikan dan memanggang dagingnya, minuman pun tidak kurang karena kini selain air hujan, ia dapat pula minum dari gumpalan es yang kadang-kadang terdapat di atas permukaan air laut. Hanya menghadapi amukan badai, dia benar-benar tidak berdaya dan hanya mampu menangis, menyebut-nyebut nama Suma Han.

Pada suatu pagi, tiba-tiba dia mendengar suara melengking di atas perahu dan betapa kagetnya ketika ia melihat seekor burung rajawali yang besar sekali beterbangan di atas perahu sambil mengeluarkan suara melengking-lengking panjang. Tiba-tiba burung itu menyambar ke bawah, agaknya hendak menerkam Keng In yang berada di atas papan perahu.

"Prakkk!" Dayung di tangan Lulu hancur, akan tetapi burung itu pun terpental dan terbang ke atas sambil memekik marah.

"Keparat jahanam! Burung sialan! Kupatahkan batang lehermu. Hayo turun kalau kau berani!" Lulu marah sekali dan menantang-nantang sambil memaki-maki.

Dia menyambar Keng In, teringat akan peti terisi pusaka-pusaka, maka anak dan peti itu dia ikat kuat-kuat di punggungnya, tangannya mencabut pedang, siap menghadapi burung rajawali yang agaknya masih penasaran dan beterbangan mengelilingi atas perahu kecil.

Burung rajawali itu kembali menyambar, kini menyerang Lulu yang telah menyakitinya. Lulu mengayun pedangnya membabat ke arah kaki burung itu. Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya bahwa burung itu ternyata kuat dan juga pandai sekali bertempur, karena kuku-kuku jari kakinya diulur seperti pisau-pisau runcing menangkis sambil mencengkeram.

"Crakkkk... aihhh!" Lulu menjerit dan meloncat ke belakang.

Kuku jari kaki kiri burung itu patah terbabat pedang, akan tetapi cengkeraman kaki kanannya berhasil merampas pedang dan melukai sedikit lengan tangan Lulu! Sambil terbang berputaran, burung itu memekik-mekik kesakitan dan juga saking marahnya pedang rampasan dilepaskan dan jatuh ke dalam laut, kemudian ia siap untuk menyerang lagi.

Biar pun marah sekali, Lulu tidak kehilangan ketenangannya dan ia berlaku cerdik. Dilolosnya sabuk sutera dari pinggang dan begitu burung itu menyambar turun, Lulu menggerakkan sabuknya yang meluncur ke atas merupakan sinar putih, ujung sabuk dengan tepat melibat leher burung dan ia meloncat ke atas mengayun dirinya dengan sabuk itu. Di lain saat, Lulu telah duduk di atas punggung rajawali, menarik sabuknya kuat-kuat sehingga leher burung itu tercekik!

"Menyerahlah! Kalau tidak, biar kita mati bersama. Kucekik lehermu sampai patah!" Lulu membentak keras, tangan kirinya mencengkeram bulu leher, sedangkan tangan kanannya menarik ujung sabuk yang telah melibat leher burung.

Burung itu meronta-ronta, berusaha memutar kepala untuk mematuk orang yang menduduki punggungnya, namun Lulu lebih cepat lagi menghantam kepala burung itu dengan telapak tangan kiri. Setelah burung itu megap-megap hampir kehabisan napas, Lulu mengendurkan cekikannya dan kembali membentak.

"Hayo terbang baik-baik kalau tidak ingin mampus!"

Setelah beberapa kali dicekik dan dipukul kepalanya, binatang itu agaknya merasa bahwa dia telah bertemu makhluk yang lebih kuat, maka sambil mengeluh panjang ia tidak meronta lagi, melainkan terbang dengan lurus dan cepat menuju ke utara. Lulu girang bukan main. Kalau burung ini sudah menyerah, tentu saja lebih mudah mencari Pulau Es dengan menunggang burung raksasa ini dari pada naik perahu kecil yang selalu dilanda ombak!

"Eh, Tiauw-ko (Kakak Rajawali) yang baik! Kita sekarang telah bersahabat. Tolonglah terbangkan aku ke Pulau Es. Pulau Es, kau tahu?"

Akan tetapi burung bukan manusia, mana dapat diajak bicara? Kalau dia mengalami kesukaran dan kekagetan, tempat pertama yang akan didatangi adalah sarangnya, maka biar pun kini dia tidak berani lagi membantah atau melawan penunggangnya, otomatis dia terbang secepatnya menuju ke sarangnya, yaitu di Pulau Neraka!

Pada waktu itu, Pulau Neraka merupakan tempat yang asing dan tidak dikenal orang. Biar pun para penghuninya memiliki ilmu kepandaian yang lihai, namun merupakan keturunan orang-orang buangan yang selamanya mengasingkan diri di tempat ini. Pemimpin mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian paling tinggi, dan pada waktu itu, yang menjadi pimpinan adalah enam orang bermuka kuning yang ilmunya tinggi sekali. Seorang di antara mereka yang paling tua menjadi pemimpin pertama sedangkan lima orang lain menjadi pembantu-pembantunya.

Karena hidup terasing, keadaan mereka lebih menyerupai kehidupan orang-orang yang masih biadab, pakaian yang menutupi tubuh hanya terbuat dari pada kulit-kulit binatang atau kulit pohon. Namun mereka rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, bahkan banyak di antara mereka yang turun-temurun mempelajari huruf-huruf sehingga pada waktu itu mereka mengenal huruf-huruf yang kuno yang dipergunakan ratusan tahun yang lalu dan yang sekarang mengalami banyak perubahan.

Ketika Lulu melihat burung yang ditungganginya itu terbang di atas sebuah pulau hitam yang kelihatan dari atas mengerikan, dia berkata, "Tiauw-ko, itu bukan Pulau Es! Pulau Es kelihatan putih bersih, tidak seperti ini. Kau keliru memilih tempat!"

Akan tetapi rajawali yang tidak mengerti kata-kata ini, tetap saja terbang merendah dan tiba-tiba Lulu melihat gerakan orang-orang di atas pulau, juga dia melihat bangunan-bangunan aneh. Melihat di bawah ada orang, dia girang sekali. Mungkin sekali penghuni pulau di bawah ini akan dapat memberi keterangan tentang Pulau Es, dan siapa tahu kalau-kalau Pulau Es sudah dekat dan dia dapat minta mereka mengantar dengan perahu. Menunggang rajawali yang tidak mengerti perintahnya ini pun amat berbahaya!

"Turunlah! Turun ke tempat orang-orang itu!" Lulu menepuk-nepuk leher rajawali dan burung itu menukik turun dengan amat cepatnya sehingga Lulu cepat merangkul lehernya. Anaknya mulai menangis.

"Diamlah, Nak. Diamlah, kita turun dan bertemu dengan orang-orang..." Lulu menghibur dan menepuk-nepuk paha anaknya yang ia gendong di punggung.

Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika burung rajawali sudah terbang rendah, ia melihat betapa kulit tubuh dan muka orang-orang di bawah itu bermacam-macam warnanya, tidak lumrah manusia karena ada yang hitam, merah, hijau, biru dan kuning! Akan tetapi karena burung itu sudah hinggap di atas tanah, ia lalu melompat turun dengan gerakan ringan dan dalam keadaan siap waspada. Burung rajawali yang merasa punggungnya tidak ditunggangi lagi, memekik girang lalu terbang ke atas membubung tinggi, masih memekik-mekik.

Orang-orang yang aneh itu menghadapi Lulu dan memandang penuh perhatian. Enam orang kakek yang bermuka kuning melangkah maju dan seorang di antara mereka yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih berkata, suaranya kaku dan aneh, akan tetapi Lulu masih dapat menangkap artinya.

"Toanio siapakah? Apakah seorang buangan baru dari Pulau Es?"

Kini Lulu yang terbelalak keheranan. "Orang buangan dari Pulau Es? Apa maksudmu? Aku justeru mencari Pulau Es. Tahukah kalian di mana pulau itu?"

"Kami tidak tahu dan mau apa engkau mencari Pulau Es?"

"Aku mau mencari sahabatku di sana!"

"Sahabatnya di Pulau Es!" Orang-orang itu berteriak dan sikap mereka berubah, kini memandang Lulu dengan geram.

Hal ini mengejutkan hati Lulu. Celaka, agaknya mereka ini adalah orang-orang yang membenci Pulau Es, entah apa sebabnya. Melihat mereka sudah siap-siap dengan mencabut bermacam senjata, Lulu cepat bertanya,

"Kalian siapakah? Dan pulau apakah ini?"

Kakek itu menjawab, "Kami adalah keturunan orang-orang buangan dari Pulau Es. Pulau ini adalah Pulau Neraka. Kami mendendam kepada Pulau Es, dan sekali waktu, pasti kami akan menyerbu dan membasmi musuh-musuh kami di Pulau Es!"

Hati Lulu makin terkejut, akan tetapi dia mempunyai pikiran yang baik. Han Han (Suma Han) telah bersikap kejam dan tega kepadanya. Biar pun dia merasa yakin bahwa kakak angkatnya itu pun mencintainya, namun telah tega mengawinkan dia dengan orang lain! Sekarang setelah ia melarikan diri dari suaminya. Mengingat akan watak kakak angkatnya itu, tentu dia akan dimarahi dan belum tentu kakak angkat itu mau menerimanya. Akan tetapi kalau dia dapat menguasai orang-orang ini! Dia kelak akan dapat memperlihatkan bahwa dia pun bukan orang sembarangan, dan dia akan menginsafkan kakak angkatnya itu! Apa lagi karena sekarang dia telah menjadi pewaris pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas.

"Bagus!" tiba-tiba Lulu berkata kepada kakek itu. "Kalau begitu, biarlah aku akan memimpin kalian untuk menyerbu Pulau Es!"

Terdengar suara ketawa di sana-sini, dan kakek itu berkata, "Engkau katakan tadi bahwa engkau hendak mencari sahabatmu di Pulau Es?"

"Benar, akan tetapi dia telah menyakiti hatiku. Bagaimana pendapat kalian? Aku akan memimpin kalian, mengajari ilmu dan mengatur agar kalian menjadi orang pandai dan beradab, tidak seperti sekarang ini!"

"Perempuan muda, bicaramu takabur sekali! Engkau anggap kami ini orang apa mudah saja mengangkat seorang pemimpin seperti engkau? Biar pun engkau datang secara aneh menunggang rajawali liar, akan tetapi tentang kepandaian, hemm... agaknya melawan orang tingkat terendah dari kami saja belum tentu engkau menang!"

Semenjak gadis muda, Lulu memiliki watak keras, berani dan tinggi hati. Kini mendengar kata-kata itu, naik darahnya. "Siapa yang paling tinggi tingkatnya di sini?"

Kakek bermuka kuning itu tertawa. "Aku!"

"Baik. Kalau begitu aku akan mengalahkan engkau, dan kalau kau kalah, apakah aku cukup berharga menjadi ketua di sini?"

Kembali terdengar suara ketawa di sana sini yang memanaskan perut Lulu. Kakek itu mengelus jenggotnya dan berkata, "Perempuan muda, engkau sungguh lancang. Akan tetapi begitulah, siapa yang paling pandai di sini dia diangkat menjadi pemimpin. Aku orang pertama di sini, kalau engkau bisa mengalahkan aku, tentu saja engkau patut menjadi pemimpin."

"Bagus! Kalau begitu, kau tunggu sebentar!" Lulu lalu menurunkan peti dan anaknya.

Keng In, anaknya yang baru berusia setahun lebih itu menangis karena lapar, maka dia lalu menyusui anaknya, ditonton oleh semua orang yang berada di situ dengan heran. Kebiasaan di situ, tidak ada anak yang disusui karena Sang Ibu yang sudah berubah warna kulitnya berarti telah mempunyai darah yang beracun sehingga anak-anak diberi makanan buah-buahan sejak kecil, dan diberi bahan makanan lain.

Setelah menyusui anaknya yang lantas tertidur saking lelahnya, Lulu meloncat bangun dan menggulung lengan bajunya, menghadapi kakek itu. Dia teringat pedangnya yang sudah jatuh ke laut, maka dia bertanya,

"Engkau hendak bertanding dengan senjata apa?"

"Perempuan muda, senjataku adalah ranting ini, akan tetapi karena engkau tidak bersenjata, biarlah kuhadapi engkau dengan tangan kosong pula. Bahkan kalau engkau bersenjata pun, aku sanggup menghadapimu dengan tangan kosong!" Setelah berkata demikian, kakek muka kuning itu lalu menancapkan rantingnya di atas tanah, kemudian kakinya yang telanjang itu melangkah maju menghampiri Lulu.

"Bagus, kiranya engkau masih memiliki sikap gagah. Nah, maju dan seranglah!" Biar pun Lulu mempergunakan kata-kata dan sikap sombong, namun sebenarnya dia cerdik dan diam-diam dia waspada karena dia dapat menduga bahwa orang-orang aneh ini tentu memiliki kepandaian yang aneh pula.

"Perempuan muda, jaga seranganku!" Kakek itu lalu melangkah maju, tangan kirinya menyambar.

"Wuuuutttttt!"

Angin keras menyambar ke arah kepala Lulu sehingga dia kaget karena tepat seperti telah diduganya, orang ini memiliki tenaga sinkang yang hebat. Namun dia tidak gentar dan dengan mudah ia mengelak dengan loncatan ringan kemudian dari samping kakinya menendang ke arah lambung lawan.

"Plakkk!"

Kakek itu menangkis dan dia berseru kaget. Sama sekali tidak disangkanya bahwa perempuan muda itu memiliki tendangan yang demikian hebat sehingga tangkisannya yang dapat mematahkan balok itu ketika mengenai kaki terasa nyeri sedangkan wanita itu terhuyung pun tidak! Tahulah dia bahwa wanita itu tidak bersombong kosong, maka mulai dia menerjang bagaikan angin ribut, cepat dan kuat setiap pukulannya.

Lulu merasa girang. Tangkisan tadi sengaja dia terima dengan kaki untuk mengukur tenaga dan biar pun kakinya juga terasa nyeri, namun dia tahu bahwa sinkang-nya yang dilatih di Pulau Es dahulu tidak takut menandingi tenaga kakek ini. Maka dia pun kini melawan dengan pengerahan tenaga, bahkan dia mulai mainkan ilmu-ilmu silat baru yang ia pelajari dari kitab peninggalan Suling Emas.

Berkali-kali kakek itu berseru kaget dan heran ketika mengenal ilmu silat yang dasarnya sama dengan ilmunya sendiri, hanya dia tidak mengenal perubahan-perubahannya yang jauh lebih hebat dari pada kepandaiannya. Ketika Lulu mencoba untuk mainkan Kim-kong Sin-kun, dia masih mampu menahan, akan tetapi ketika Lulu merobah ilmunya dan mencoba mainkan Hong-in-bun-hoat, kakek itu berseru kaget dan terdesak hebat.

Dia hanya melihat wanita muda itu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang menulis huruf-huruf indah di udara, akan tetapi daya serangan kedua tangan itu luar biasa sekali, dan kuatnya bukan main sehingga angin pukulannya saja membuat dia tergetar. Memang demikianlah sifat Hong-in-bun-hoat (Silat Sastera Angin dan Awan), yang dapat dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan pedang. Ilmu ini mendasarkan pergerakan dengan menulis huruf-huruf dan seperti menjadi sifat huruf-huruf itu, coretannya sesuai dengan makna hurufnya seperti lukisan, akan tetapi kalau coretan-coretan itu dilakukan sebagai gerakan menyerang, hebatnya bukan main!

Setelah mempertahankan diri sampai seratus jurus, sebuah ‘coretan’ tak tersangka-sangka dengan jari tangan kiri Lulu berhasil memasuki pertahanan Si Kakek dan jari-jari yang lembut itu mengenai pangkal lengan.

"Cusss!"

"Aduhhhhh...!" Kakek itu terhuyung-huyung ke belakang dan dari pangkal lengannya keluar darah. Baju kulit harimau beserta kulit dan daging pangkal lengan itu terkuak oleh jari tangan Lulu!

"Toanio, tidak kusangka ilmu kepandaianmu hebat bukan main! Akan tetapi aku belum kalah! Hadapi rantingku ini!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan gesit sekali kakek yang sudah terluka itu menyambar rantingnya lalu menerjang maju.

"Cuittt... tar-tar-tar...!" Senjata yang hanya merupakan ranting kayu itu ternyata lemas sekali seperti ujung pecut yang dapat meledak-ledak dan mengancam kepala Lulu dari empat penjuru!

Kalau saja Lulu tahu bahwa sekali terkena ujung ranting itu dia akan menderita luka berbisa yang berbahaya, tentu dia akan menjadi gugup dan mendatangkan bahaya. Untung dia tidak tahu sehingga dia dapat bersikap tenang, mengelak ke sana sini sambil berusaha merampas ranting!

Akan tetapi tiba-tiba ranting itu menjadi kaku seperti baja dan langsung dipergunakan untuk menusuk perutnya. Lulu mengelak dengan loncatan ke kiri, dan ranting itu sudah meledak lagi berubah lemas menyambarnya seperti lecutan cambuk. Diserang secara aneh oleh senjata yang dapat lemas dan berubah kaku ini, Lulu menjadi sibuk sekali. Untung bahwa dia pernah digembleng oleh Maya dalam hal ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sehingga kini tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata istimewa lawan itu.

Para penghuni Pulau Neraka yang tadinya memandang rendah kepada Lulu, kini menjadi bengong dan terbelalak kagum. Biar pun wanita itu terdesak, namun jelas tampak oleh mereka betapa wanita itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan lebih tinggi tingkatnya dari pada kakek yang menjadi ketua mereka!

Payah juga Lulu menghindarkan diri dari desakan kakek itu. Ia menjadi penasaran dan marah karena sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Tubuhnya terus dikejar ujung ranting yang menghalangi dia melakukan serangan. Sayang dia tidak mempunyai senjata. Tiba-tiba ia teringat. Di dalam peti kuning terdapat sebuah senjata kipas peninggalan Suling Emas! Dan dia pun sudah mempelajari ilmu Silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) dari sebuah di antara kitab-kitab dan sudah pula berlatih mainkan kipas itu, Teringat akan ini, dia berseru. "Tahan senjata!"

Kakek itu berhenti, napasnya empas-empis. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, namun belum pernah ujung rantingnya menyentuh tubuh lawan! Karena dia menyerang terus menerus dan belum pernah ia melakukan pertandingan selama itu, napasnya memburu dan hampir putus, mukanya sebentar merah sebentar pucat, membuat muka yang berwarna kuning itu sebentar tua sebentar muda warnanya.

"Apakah engkau menyerah kalah?" kakek itu menegur.

Lulu meloncat mendekati petinya, membuka dan mengambil kipas, lalu berdiri lagi menghadapi lawannya. "Belum ada setitik darahku keluar, bagaimana aku menyerah kalah? Tidak, engkaulah yang sebaiknya menyerah dan menjadi pembantuku, karena kalau aku menggunakan senjataku ini, engkau pasti akan kalah."

"Senjata... kipas...?" Kakek itu hanya mengerti kipas dari dongeng nenek moyang dan sebagian besar penghuni di pulau itu belum pernah melihat kipas selamanya, juga mendengar pun belum, maka mereka memandang terheran-heran.

"Benar, inilah senjataku saat ini!"

"Toanio, engkau lihai, akan tetapi jangan main-main. Menurut dongeng nenek moyang, kipas hanyalah dipergunakan oleh para siucai (mahasiswa) dan wanita cantik untuk menyilirkan badan dan menuliskan sajak serta gambar. Bagaimana kini akan kau pergunakan sebagai senjata?"

"Lopek, engkau lupa bahwa engkau sendiri mempergunakan senjata yang tidak semestinya, hanya sebatang ranting. Karena itu tentu engkau mengerti bahwa makin sederhana senjatanya, makin berbahaya. Awaslah terhadap kipas pusakaku ini. Ingat, Kwan Im Pouwsat dengan kipasnya sanggup menundukkan seribu satu macam siluman!"

Kakek itu melotot marah dan sambil mengeluarkan suara melengking-lengking dia menerjang maju. Jantung Lulu tergetar hebat oleh suara lengkingan itu, maka tahulah dia bahwa kakek itu mempergunakan khikang untuk mempengaruhinya. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja yang mampu mengeluarkan suara seperti itu, suara yang dimiliki binatang-binatang besar tanpa latihan, seperti yang dimiliki singa atau harimau sehingga sekali menggereng, jantung calon korbannya tergetar dan kakinya lemas tak mampu lari lagi.

Lulu juga mengeluarkan suara teriakan melengking yang tinggi mengatasi suara kakek itu dan dia cepat menggerakkan kipasnya ketika ranting itu menerjangnya. Dan ternyatalah bahwa senjata kipas ini amat tepat untuk menghadapi senjata ranting yang kadang-kadang menjadi pecut kadang-kadang menjadi tombak baja itu! Dengan ilmu sakti Lo-hai-san-hoat, kipasnya dapat dikembangkan dan dikebutkan menghalau ujung ranting, kemudian disusul dengan totokan-totokan mengunakan ujung gagang kipas.

Kakek yang sudah hampir kehabisan napas itu menjadi makin repot. Kini dialah yang terdesak karena rantingnya kalau dibuat lemas, selalu terdorong angin kebutan kipas sehingga gerakannya kacau bahkan tak dapat ia kuasai lagi, sedangkan kalau dibikin kaku, tangkisan gagang kipas membuat kedua telapak tangannya panas dan perih.

Dengan gerengan marah kakek itu menusukkan rantingnya yang menjadi kaku. Lulu sudah mendengar anaknya menangis lagi, agaknya sadar dari tidurnya, maka dia ingin mempercepat kemenangannya. Melihat ujung ranting datang, dia cepat menggerakkan kipasnya dengan kedua gagang menggunting dengan jurus ilmu kipas yang disebut Siang-in-toan-san (Sepasang Awan Memotong Gunung). Ujung ranting itu terjepit dan tidak dapat dicabut kembali! Kakek itu terkejut, menggereng dan hanya menggunakan tangan kiri memegang ranting sedangkan tangan kanannya melayang ke depan dibarengi langkah kakinya, langsung mengirim pukulan ke arah dada Lulu. Pukulan yang antep sekali karena kakek itu mengerahkan sinkang-nya!

"Hemmm!" Lulu mendengus, tangan kirinya didorongkan ke depan, telapak tangannya menerima kepalan lawan sambil mengerahkan sinkang yang dilatih di Pulau Es dan yang ini telah mencapai tingkat tinggi.

"Desssss!"

Kepalan tangan kakek itu menempel di telapak tangan Lulu. Lulu mengerahkan napas memperkuat Im-kang. Mendadak kakek itu menggigil tubuhnya, menarik tangannya, terhuyung ke belakang dan....

"Uaaakkk!" dia muntah darah dan roboh terguling dalam keadaan pingsan!

Keadaan menjadi sunyi sekali. Tak seorang pun bergerak, hanya memandang penuh takjub seolah-olah belum dapat percaya bahwa pemimpin mereka dikalahkan wanita muda itu! Yang terdengar hanya tangis Keng In. Lulu berdiri tegak. Kipas terkembang di depan dada, tangan kiri terbuka jarinya di atas kepala, sikapnya gagah dan menyeramkan.

"Masih adakah yang tidak mau menerima aku menjadi Ketua Pulau Neraka?" Suaranya dikeluarkan dengan pengerahan khikang sehingga menggetarkan jantung semua orang.

Para penghuni Pulau Neraka itu tidak ada yang bergerak, semua memandang kepada lima orang kakek bermuka kuning yang menjadi pemimpin mereka. Akan tetapi lima orang kakek ini juga tidak bergerak melainkan memandang kepada yang roboh pingsan. Perlahan-lahan kakek tua itu siuman, membuka mata, bangkit duduk dan memandang kepada Lulu, kemudian ia berlutut dan berkata,

"Mulai saat ini, Toanio adalah pemimpin kami!"

Mendengar ini, lima orang kakek muka kuning lalu menjatuhkan diri berlutut diikuti semua penghuni Pulau Neraka dan terdengarlah seruan-seruan mereka.

"Toanio...!"

"To-cu...!"

Lulu tersenyum. "Baiklah, aku girang sekali bahwa kalian suka mengangkat aku menjadi ketua. Aku berjanji akan memimpin kalian dan menurunkan ilmu sehingga tidak saja kalian akan memperoleh kemajuan, juga akan menjadi penghuni Pulau Neraka yang akan menggemparkan dunia! Sekarang, lebih dulu aku minta makanan untuk aku dan anakku."

Demikianlah, mulai saat itu Lulu menjadi ketua mereka. Dia menjalankan peraturan baru, menghapuskan pantangan keluar pulau, bahkan dia menyebarkan pembantu-pembantunya yang pandai untuk keluar pulau dan mencari bahan pakaian untuk mereka semua, mencari kebutuhan-kebutuhan hidup sebagaimana layaknya manusia-manusia beradab.

Dia menurunkan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu-ilmu dari keempat kitab dia simpan sebagai kepandaian pribadinya. Bahkan dia melatih diri dan mempelajari ilmu keturunan penghuni Pulau Neraka sehingga dia melatih sinkang dengan minum racun-racun tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang di pulau itu sehingga setelah mencapai tingkat tertinggi, dalam beberapa tahun saja wajahnya berwarna putih kapur! Juga dia mendidik Keng In dengan penuh kasih sayang sehingga bocah ini menjadi manja. Burung-burung rajawali juga ia taklukkan sehingga dapat dipergunakan untuk binatang tunggangannya.

Kemajuan yang dicapai oleh Pulau Neraka amat hebat. Karena Lulu mengutus pasukan-pasukannya keluar pulau, sebentar saja mereka terlibat dengan orang-orang kang-ouw dan mulailah nama Pulau Neraka terkenal sebagai kekuatan yang menakutkan.

Ketika puteranya yang bertugas mengumpulkan akar dan daun obat untuk keperluan penghuni menolak bahaya dari keracunan datang melapor akan munculnya seorang anak perempuan murid Majikan Pulau Es, Lulu cepat berangkat sendiri dan menangkap Kwi Hong. Sudah lama ia berkeinginan mengunjungi Pulau Es, akan tetapi karena merasa belum cukup kuat, ia selalu menunda.

Dari penyelidikan orang-orangnya, ia mendengar bahwa Suma Han telah menjadi majikan Pulau Es dan bahwa di sana terdapat banyak anak buahnya, banyak pula terdapat wanita-wanita cantik yang gagah perkasa dan betapa Pulau Es seolah-olah merupakan sebuah kerajaan kecil. Mendengar ini, makin sakit rasa hati Lulu karena dia menganggap bahwa Han Han (Suma Han) kejam dan lupa kepadanya. Bukankah sepantasnya kalau Suma Han mencari dan mengajak dia hidup bahagia di Pulau Es? Dialah yang berhak tinggal di Pulau Es, di samping Suma Han!

Ketika ia memancing Suma Han sehingga Pendekar Super Sakti itu datang berkunjung ke Pulau Neraka, mengalahkan semua orangnya, dia melihat betapa Suma Han masih selemah dahulu. Jelas bahwa pria itu mencintanya, tetapi pria itu tidak memperlihatkan kejantanan, tidak memperlihatkan kekuasaannya untuk menundukkannya, bahkan seperti juga dulu, rela pergi dengan hati menderita!

Herankah kita apabila Lulu menangis terisak-isak semalam itu dan di dalam hatinya berjanji untuk memusuhi Suma Han yang telah merampas hatinya, kemudian mengecewakan hatinya dan menghancurkan harapan serta kebahagiaannya? Apa lagi ketika dia mendengar bahwa pria idaman hatinya itu telah dijodohkan dengan Nirahai, suci-nya. Dia akan memusuhi Suma Han, dan akan mencari Nirahai. Sekarang dia tidak takut terhadap suci-nya yang lihai itu, bahkan dia pun tidak takut terhadap Suma Han yang belum sempat diujinya itu. Setelah dia mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, dia tidak takut terhadap siapa pun juga! Rasa kemarahan yang bangkit karena cemburu ini akhirnya mengalahkan kesedihannya dan membuat majikan Pulau Neraka yang digambarkan seperti iblis itu dapat tidur pulas dengan bantal masih basah air mata!

********************

"Siuuuutttt... byurrrr!"

"Lihat, Paman Pangeran, apa yang jatuh dari langit itu?" Seorang gadis cilik yang berpakaian serba merah, berusia kurang lebih sembilan tahun, berseru sambil menunjuk ke arah benda yang jatuh dari langit dan tampak mengapung di atas lautan.

"Hemmm, yang manakah? Ahhh, kau benar. Benda apakah itu? Haiii, Ciangkun, suruh dekatkan perahu dan coba kau ambil benda itu!" kata laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang berpakaian mewah dan berwajah tampan itu. Mereka berada di atas sebuah perahu yang mewah dan indah, dengan hiasan bendera sebagai tanda bahwa penumpangnya adalah seorang bangsawan.

Memang demikianlah kenyataannya. Laki-laki tampan berpakaian mewah itu adalah seorang pangeran Mongol yang bernama Pangeran Jenghan yang pada waktu itu sedang berpesiar di lautan utara di atas perahunya, dikawal oleh pasukan Mongol yang menumpangi tiga buah perahu lain. Ada pun gadis cilik berpakaian merah yang berwajah cantik jelita berusia sembilan tahun itu adalah keponakannya yang bernama Milana.

Atas perintah kepala pengawal, seorang kakek yang memakai topi caping lebar seperti para pengawal lain yang berada di perahu besar, perahu yang ditumpangi pangeran itu didayung mendekati benda yang terapung di laut. Setelah agak dekat, Milana berseru, "Sebuah keranjang! Dan ada orangnya di dalam!"

"Hmmm, agaknya dia sudah mati...!" Pangeran Jenghan berseru melihat seorang anak laki-laki rebah meringkuk di keranjang tak bergerak-gerak seperti tak bernyawa lagi.

Memang itulah keranjang berisi Bun Beng yang jatuh dari angkasa ketika keranjangnya dilepas oleh cengkeraman burung rajawali. Ketika keranjang meluncur dengan cepatnya, Bun Beng pingsan. Keranjang itu jatuh ke laut dan mengapung sehingga menyelamatkan nyawa Bun Beng. Namun kalau saja ada kebetulan kedua, yang pertama jatuhnya keranjang ke laut, yaitu kalau tidak kebetulan lagi dia jatuh tidak di dekat perahu itu, tentu keranjangnya sebentar lagi akan tenggelam dan dia tidak akan tertolong.

Kepala pengawal segera menggerakkan tangan kanannya dan tampaklah sehelai tali meluncur seperti seekor ular panjang, menuju ke arah keranjang. Dengan tepat sekali ujung tali itu membelit keranjang pada saat Bun Beng siuman dari pingsannya. Anak ini terkejut ketika membuka matanya melihat bahwa dia berada di tengah laut. Lebih lagi kagetnya ketika tiba-tiba keranjang yang didudukinya itu terangkat ke atas seperti ada yang menerbangkan. Celaka, pikirnya, agaknya dia telah disambar lagi oleh burung rajawali!

"Brukkkk!"

Keranjang yang diterbangkan oleh tali yang dilepas secara lihai oleh kepala pengawal Mongol itu terbanting ke atas papan dan tubuh Bun Beng terlempar keluar, bergulingan di atas papan. Ia merangkak bangun dengan kepala pening, bangkit berdiri terhuyung-huyung. Karena pandang matanya berkunang, dia cepat berlutut dan memegangi kepala dengan kedua tangan, menutupi mukanya dan memejamkan matanya.

"Sungguh ajaib! Eh, anak, engkau siapakah dan mengapa bisa jatuh dari langit dalam sebuah keranjang?"

Suara yang terdengar asing dan kaku mempergunakan bahasa pedalaman ini membuat Bun Beng menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka dan membuka mata memandang. Dilihatnya seorang laki-laki berpakaian indah berdiri di depannya, dan di samping laki-laki itu berdiri seorang anak perempuan yang cantik jelita berpakaian merah. Ia memandang ke sekeliling. Kiranya dia berada di atas sebuah perahu besar dan tak jauh dari situ kelihatan tiga buah perahu lain. Mengertilah dia bahwa keranjangnya jatuh ke laut dan bahwa dia telah ditolong oleh orang-orang ini. Maka perlahan dia bangkit berdiri, kemudian membungkuk dan menjawab.

"Namaku Gak Bun Beng. Tadinya aku digondol burung rajawali dan dilepaskan dari atas. Aku pingsan dan tidak tahu apa-apa, baru siuman ketika keranjang dinaikkan ke sini. Aku telah menerima budi pertolongan kalian, sudilah menerima ucapan terima kasihku."

Sejenak semua orang yang berada di situ tertegun dan keadaan menjadi sunyi. Cerita anak ini terlalu aneh, apa lagi melihat anak yang berwajah tampan, bersikap sederhana dan halus akan tetapi menggunakan bahasa yang sederhana pula, sama sekali tidak bersikap hormat kepada Pangeran Jenghan! Para pengawal sudah mengerutkan alis hendak marah karena dianggapnya sikap anak ini kurang ajar dan tidak menghormat kepada junjungannya. Akan tetapi Pangeran itu tersenyum dan mengangkat kedua lengan ke atas.

"Ajaib...! Ajaib...! Seolah-olah engkau dijatuhkan dari langit oleh para dewa untuk bertemu dengan aku! Eh, Gak Bun Beng, bagaimana engkau sampai bisa terbawa terbang dalam keranjang oleh seekor burung raksasa? Amat aneh ceritamu, sukar dipercaya!"

Bun Beng berpikir. Memang pengalamannya amat aneh dan sukar dipercaya. Orang ini telah menyelamatkan nyawanya. Kalau dia menceritakan semua pengalamannya, semenjak terlempar ke air berpusing sampai hidup di antara kawanan kera kemudian bertemu dengan para pemuja Sun Go Kong dan bertemu dengan murid Pendekar Siluman yang bertanding sambil menunggang garuda melawan anak iblis dari Pulau Neraka, agaknya ceritanya akan lebih tidak dipercaya lagi. Dia tidak suka bercerita banyak tentang dirinya karena hal itu hanya akan menimbulkan kesulitan saja, maka ia lalu mengarang cerita yang lebih masuk akal.

"Saya sedang mencari rumput untuk makanan kuda dan di dalam hutan saya tertidur dalam keranjang ini. Tiba-tiba saya terkejut dan ternyata bahwa keranjang yang saya tiduri telah berada di angkasa, dicengkeram oleh seekor burung besar. Karena ketakutan, saya meronta-ronta dan akhirnya keranjang itu dilepaskan dan saya jatuh ke sini."

Pangeran Jenghan mengangguk-angguk, akan tetapi melihat pandang matanya yang penuh selidik dan kerutan alisnya, ternyata bahwa di dalam hatinya Pangeran ini masih kurang percaya. Akan tetapi dia berkata, "Hemm, engkau tentu kaget dan lelah, juga lapar. Pakaianmu robek-robek. Ciangkun, beri dia makan dan suruh istirahat di bagian belakang kapal."

Bun Beng lalu mengikuti pengawal itu. Dia disuruh makan hidangan yang amat lengkap dan serba mahal. Kemudian dia diperbolehkan mengaso. Karena memang merasa lelah sekali, tak lama kemudian Bun Beng tertidur di atas papan perahu di bagian belakang.

Bun Beng terbangun oleh suara nyanyian merdu. Ia membuka mata dan menoleh. Kiranya yang sedang bernyanyi adalah anak perempuan berpakaian merah yang dilihatnya tadi. Anak itu berdiri di atas papan, di pinggir perahu, memandang ke angkasa yang biru indah, dan suaranya amat merdu ketika bernyanyi. Akan tetapi, bagi Bun Beng yang amat mengherankan adalah nyanyian itu. Kata-kata dalam nyanyian itu bukanlah nyanyian kanak-kanak bahkan mengandung makna dalam seperti sajak dalam kitab-kitab kuno. Ia mendengarkan penuh perhatian tanpa menggerakkan tubuhnya yang masih terlentang.


Betapa ajaib alam dunia
segala sesuatu bergerak sewajarnya
menuju ke arah titik sempurna
matahari memindahkan air samudra
memenuhi segala kebutuhan di darat
dibantu hembusan angin yang kuat
setelah melaksanakan tugas mulia
air kembali ke asalnya
semua itu digerakkan oleh cinta
apa akan jadinya dengan alam semesta tanpa cinta?


Bun Beng mengerutkan alisnya. Anak ini masih terlalu kecil untuk menyanyikan kata-kata seperti itu! Mungkin hanya seperti burung saja yang meniru kata-kata tanpa tahu artinya.

"Gak Bun Beng, engkau sudah sadar dari tadi, mengapa pura-pura masih tidur?"

Bun Beng terkejut dan bangkit duduk, matanya terbelalak. Bagaimana anak perempuan itu bisa tahu bahwa dia sudah terbangun? Padahal dia tidak mengeluarkan suara dan anak itu tidak pernah menengok bahkan ketika menegurnya pun tidak membalikkan tubuh.

"Eh, apa engkau mempunyai mata di belakang kepalamu?" Bun Beng melompat berdiri dan bertanya.

Anak perempuan itu kini membalikkan tubuhnya, memandang dengan sepasang mata yang mengingatkan Bun Beng akan sepasang mata burung garuda tunggangan murid Pendekar Siluman. Anak itu tersenyum dan Bun Beng terseret dalam senyum itu, tanpa disadari ia pun meringis tersenyum.

"Apa kau kira aku ini siluman yang mempunyai mata di belakang kepala?"

"Kalau tidak mempunyai mata di belakang, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku telah bangun dari tidur?"

"Bunyi pernapasan orang tidur dan orang sadar jauh bedanya, dan biar pun sedikit, gerakan tubuhmu terdengar olehku."

Bun Beng bengong. Wah, kiranya anak perempuan yang kelihatan lemah lembut dan pandai bernyanyi dengan suara merdu ini memiliki pendengaran yang tajam luar biasa. Ah, ini hanya menandakan bahwa anak ini telah berlatih sinkang! Teringatlah ia akan cara pengawal menaikkan keranjangnya. Tak salah lagi, tentu penumpang perahu ini merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan anak ini bukan anak sembarangan, dapat dibandingkan dengan murid Pendekar Siluman, atau anak laki-laki Pulau Neraka itu! Akan tetapi, karena dia sendiri pun sejak kecil telah digembleng orang-orang pandai, Bun Beng memandang rendah dan tidak memperlihatkan kekagumannya, bahkan pura-pura tidak tahu bahwa anak perempuan ini memiliki kepandaian.

"Nyanyianmu tadi sungguh ngawur!" Karena tidak tahan melihat betapa sinar mata anak perempuan itu memandangnya seperti orang mentertawakan, Bun Beng lalu mengambil sikap menyerang dengan mencela untuk memancing perdebatan agar dia dapat dikenal sebagai seorang yang lebih pandai dari pada anak itu!

Bun Beng merasa kecelik kalau dia memancing kemarahan anak itu, karena anak itu sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali dan bertanya. "Bagian manakah yang kau katakan ngawur?"

"Semuanya! Maksudku, engkau bernyanyi seperti burung, tanpa mengerti artinya! Misalnya kalimat yang mengatakan bahwa semua itu digerakkan oleh cinta, aku tanggung engkau tidak mengerti apa artinya. Bocah sebesar engkau ini mana tahu tentang cinta?"

Mata itu bersinar lembut ketika menjawab, "Gak Bun Beng, ketika aku diajar menyanyikan kata-kata itu, aku telah diberi penjelasan. Tentu saja aku tahu dan aku heran sekali kalau engkau tidak tahu arti cinta. Cinta adalah kasih sayang murni yang menguasai seluruh alam. Tanpa cinta atau kasih sayang ini, kehidupan akan tiada! Segala macam benda dan makhluk, baik yang bergerak mau pun yang tidak, seluruhnya dapat hidup oleh kasih sayang ini. Cinta adalah sifat dari pada Tuhan yang menguasai seluruh alam!"

Kembali Bun Beng menjadi bengong. Tidak salahkah pendengarannya? Ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak perempuan yang masih... ingusan! Ia penasaran dan menyerang lagi.

"Engkau hanya meniru-niru, belum tentu engkau mengerti betul tentang cinta. Kalau benar mengerti, coba kau beri penjelasan dan contoh-contoh!"

Kini anak itu memandang wajah Bun Beng dan kelihatan sinar mata membayangkan perasaan kasihan! "Bun Beng, benarkah engkau tidak mengenal arti cinta itu? Aih, sungguh patut dikasihani! Sinar matahari yang memberi kehidupan itu adalah kuasa cinta! Air laut yang mengandung garam, yang menjadi awan dan hujan mengaliri segala yang membutuhkan air di darat, angin yang bertiup, hawa udara yang kita hisap, tanah yang kita injak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, semua itu adalah kuasa cinta! Darahmu yang mengalir di seluruh tubuhmu tanpa kau sengaja, pernapasanmu yang terus bekerja tanpa kau sadari dalam tidur pun, semua itu digerakkan oleh apa kalau tidak oleh kekuasaan yang penuh kasih sayang? Bibit bertunas menjadi pohon tanpa bergerak, tanah dan air menghidupkannya, angin dan hawa menyegarkannya, sampai berdaun dan berbunga. Bunga tanpa bergerak menciptakan buah, dan buah pun akan jatuh sendiri dan bersemi menjadi bibit, demikian seterusnya. Benda-benda itu tanpa bergerak telah teratur sendiri, bukankah itu bukti nyata betapa maha besarnya cinta kasih yang dimiliki Tuhan? Dan engkau masih bertanya akan bukti?"

Kini Bun Beng terbelalak memandang wajah yang semringah kemerahan itu. Bukan main!

"Eh... oh... maafkan, kiranya engkau benar-benar hebat! Siapakah yang mengajarkan kepadamu akan semua pengetahuan itu?" Ia berhenti sebentar lalu menengok ke arah bilik perahu besar. "Tentu... laki-laki yang berpakaian mewah tadi, ya?"

Akan tetapi anak perempuan itu menggeleng kepala. "Bukan dia. Yang mengajarkan semua itu adalah Ibuku sendiri. Banyak hal lain yang diajarkan Ibu kepadaku, akan tetapi tentang cinta ini, ada sebuah nyanyian yang kudengar sering kali dinyanyikan Ibu, yang aku tidak mengerti artinya. Kalau kutanyakan, Ibu selalu menggeleng kepala tanpa menjawab. Dan kau tahu... Ibu selalu mengucurkan air mata kalau menyanyikan lagu itu."

Bun Beng tertarik sekali. Anak ini mempunyai sikap yang amat menarik dan watak yang begitu halus! Tentu ibunya orang luar biasa pula. "Benarkah? Bagaimana nyanyian itu?"

"Sebetulnya tidak boleh aku beritahukan orang lain. Akan tetapi engkau seorang anak yang aneh, yang datang tiba-tiba saja dari langit, dikirim oleh Tuhan sendiri melalui kekuasaan cinta kasihnya."

"Aihh, mengapa begitu? Sudah kuceritakan bahwa aku diterkam..."

"Burung rajawali yang menerbangkanmu ke atas, bukan? Engkau lupa! Kekuasaan apa yang membuat burung itu mampu terbang? Kemudian, kekuasaan apa yang membuat engkau kebetulan dijatuhkan di atas laut, dekat dengan perahu Paman sehingga engkau tertolong? Tanpa kekuasaan cinta kasih itu, kita dapat berbuat apakah?"

Bun Beng terdesak. "Baiklah... baiklah..., engkau benar. Akan tetapi, orang sepandai engkau masih tidak mengerti arti nyanyian yang dinyanyikan Ibumu sambil menangis. Coba perdengarkan nyanyian itu, kalau engkau tidak mengerti artinya, tentu aku mengerti," Bun Beng membusungkan dadanya karena kini timbul kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa dia lebih pandai. Kalau gadis cilik yang aneh ini tidak tahu artinya kemudian dia bisa mengartikannya, berarti dia menang!

Anak perempuan itu ragu-ragu sejenak, memandang wajah Bun Beng penuh selidik. Kemudian dia menghela napas dan berkata, "Sudah kukatakan bahwa engkau seorang anak luar biasa dan aku percaya kepadamu. Akan tetapi, berjanjilah bahwa engkau takkan menceritakan kepada siapa pun juga tentang nyanyian Ibu ini, karena kalau Ibu mengetahui, tentu Ibu akan menyesal sekali kepadaku."

"Engkau takut dimarahi?"

"Tidak. Kalau Ibuku memarahiku, hal itu biasa saja. Akan tetapi kalau sampai Ibu menyesal dan berduka karena perbuatanku, hal ini amat menyedihkan hatiku."

Keharuan meliputi hati Bun Beng. Ah, kalau saja dia mempunyai ibu, dia akan mencontoh anak ini! Rasa takut dalam hati seorang anak melihat ibunya marah, bukanlah cinta kasih. Namun rasa sedih dalam hati seorang anak melihat ibunya berduka dan menyesal, barulah timbul dari cinta kasih yang murni!

Dia menelan ludah, "Engkau... engkau seorang anak yang baik sekali! Aku berjanji, aku bersumpah tidak akan menceritakan kepada lain orang."

Anak perempuan itu tersenyum. "Aku percaya kepadamu dan kepercayaanku tidak akan sia-sia. Nah, dengarlah nyanyian istimewa Ibuku!"


Cinta kasih menguasai alam semesta
suci murni dan penuh mesra
namun mengapa hatiku merana...
jiwaku dahaga akan cinta...?
aihhh... haruskah aku menjadi ikan dalam air mati kehausan?
cinta... cintaku...
mengapa engkau begitu tega...?


Bun Beng berdiri bengong dan dua titik air mata turun membasahi pipinya ketika ia melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata anak perempuan itu yang kini terisak-isak.

"Engkau... engkau menangis...?" tanyanya, suaranya serak.

Anak perempuan itu menoleh, mengusap air matanya dan mengangguk, "Aku... aku teringat kepada Ibu. Aku kasihan mengingat dia berduka dan aku sedih karena tidak mengerti mengapa dia menangis dan apa artinya nyanyiannya itu."

Bun Beng mengerutkan alisnya, berpikir. Kemudian ia berkata, "Ahhh, aku mengerti! Ibumu tentu mencinta seseorang! Tentu saja seorang pria! Ehhh... maaf, tentu mencinta Ayahmu. Di mana Ayahmu?"

Anak perempuan itu bengong dan mengangguk-angguk. "Aihhh... agaknya engkau benar, Bun Beng. Terima kasih! Kalau aku menanyakan Ayahku, Ibu selalu kelihatan berduka dan hanya mengatakan bahwa Ayah pergi amat jauh, bahwa Ayah adalah seorang pendekar besar. Akan tetapi Ibu tidak pernah mau mengatakan di mana adanya Ayah dan siapa namanya, hanya menyuruh aku bersabar karena kelak tentu akan bertemu dengan Ayah."

"Nah, benar kalau begitu! Ibumu mencinta Ayahmu, merindukan Ayahmu yang lama pergi! Eh, siapakah namamu?"

"Namaku Milana."

"Bagus sekali!"

"Apakah yang bagus?"

"Namamu itu. Tentu engkau puteri bangsawan, bukan?"

Milana menggeleng kepala, "Ibu melarang aku menganggap diri keturunan bangsawan, biar pun Paman Jenghan adalah seorang pangeran Mongol. Aku disuruh ikut di Kerajaan Mongol untuk mempelajari ilmu. Ibu sendiri entah pergi ke mana akan tetapi sering kali, sedikitnya sebulan sekali, Ibu tentu datang menjengukku dan menurunkan pelajaran-pelajaran kepadaku. Kini, Paman Pangeran Jenghan berpesiar ke laut ini dan mengajakku, tidak kusangka akan bertemu dengan engkau, Bun Beng."

"Ibumu tentu seorang yang hebat! Dan engkau di samping pandai bernyanyi dan mempelajari kesusasteraan, tentu engkau belajar ilmu silat pula."

"Benar, keluarga istana Mongol penuh dengan orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi menurut Paman Pangeran, tidak ada yang melebihi ilmu kepandaian Ibu yang amat tinggi. Hanya aku belum pernah menyaksikan sendiri kepandaian Ibu, kecuali kalau dia datang dan pergi lagi dari kamarku dengan kecepatan seperti menghilang. Kadang-kadang aku bahkan menduga apakah Ibu itu sebangsa dewi, bukan manusia biasa..."

"Milana...!"

Mereka terkejut dan menengok. "Paman memanggilku." Anak perempuan itu berlari menuju ke bilik perahu besar, diikuti oleh Bun Beng. Mereka melihat kesibukan di perahu itu dan semua pengawal memegang senjata. Juga para pengawal di tiga buah perahu kecil siap dengan senjata mereka.

Pangeran Jenghan menyongsong keponakannya. "Lekas kau sembunyi di bilik kapal. Engkau juga, Bun Beng. Jangan sekali-kali keluar dari bilik kalau belum aman."

"Apakah yang terjadi, Paman?" Milana bertanya.

"Kita akan diserang sekawanan bajak! Perahu-perahu mereka sudah tampak datang. Cepat sembunyi!" Pangeran itu memegang lengan Milana dan ditariknya keponakan itu memasuki bilik kapal, diikuti oleh Bun Beng. Kemudian pintu bilik ditutup dan Pangeran itu meloncat ke luar.

"Mau apakah bajak-bajak laut itu?" Di dalam bilik Milana bertanya kepada Bun Beng.

"Hm, namanya juga bajak, tentu mau membajak, merampas kapal atau membakarnya, dan membunuh kita."

Mata yang bening itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi agak pucat.

"Mengapa? Bukankah mereka itu juga manusia?"

Bun Beng tersenyum pahit. "Pujianmu tentang cinta kasih itu akan hancur kalau jatuh ke tangan manusia, Milana. Tidak ada makhluk di dunia ini yang sejahat, sekejam, dan seganas manusia."

"Ohhh...! Akan tetapi... aku tidak pernah menyaksikan kekejaman manusia."

"Kalau begitu engkau belum berpengalaman, Milana. Berhati-hatilah kalau engkau berhadapan dengan sesama manusia dan simpan saja kepercayaanmu tentang cinta kasih itu di dalam hati. Tuhan memang bersifat Maha Kasih, kasih sayangnya melimpah, akan tetapi manusia hanya menghancurkan kasih sayang murni itu. Mengapa Pamanmu menyembunyikan kita? Kalau memang ada serbuan bajak, aku lebih suka berada di luar dan membantu menghadapi mereka. Seribu kali lebih baik mati sebagai seekor harimau yang melakukan perlawanan mati-matian di luar sana dari pada mati sebagai tikus-tikus terjepit di tempat ini!"

"Aku... aku tidak pernah bertempur!"

"Kulihat kepandaianmu sudah baik, dan kau belum pernah bertempur?"

Milana menggeleng kepala. "Aku... aku tidak mau bertempur, tidak mau menggunakan ilmu silat yang kupelajari untuk melukai dan membunuh manusia lain!"

"Dan kalau mereka menerjang ke sini dan membunuhmu?"

"Lebih baik dibunuh dari pada membunuh."

Bun Beng membelalakkan mata dan menggeleng-geleng kepalanya. "Wah-wah-wah, bagaimana ini? Habis, untuk apa Ibumu mengajar ilmu silat tinggi kepadamu?"

"Kata Ibu untuk menjaga diri dari mara bahaya."

"Nah, sekarang mara bahaya tiba. Mari kita pergunakan untuk menjaga diri!"

"Tapi dengan membunuh bajak? Aku tidak mau!"

"Mari kita keluar, Milana. Akulah yang akan menjaga dan melindungimu. Biarlah aku yang akan membunuh mereka kalau mereka berani mengganggu kita."

"Kau... kau berani membunuh orang?"

"Tentu saja kalau orang itu juga mau membunuhku. Membela diri, bukan?"

"Bun Beng, pernahkah ada orang yang hendak membunuhmu?"

Bun Beng tertawa. "Tak terhitung banyaknya! Engkau belum mengenal kekejaman manusia. Mari kita keluar. Dengar, sudah ada suara pertempuran!" Dan memang pada saat itu sudah terdengar teriakan-teriakan di antara berdencingnya senjata-senjata yang beradu.

Ketika kedua orang anak itu tiba di luar, Milana mengeluarkan jerit tertahan melihat betapa empat buah perahu mereka telah dikurung dan tampak banyak sekali anak buah bajak menyerang. Pamannya dan para pengawal melakukan perlawanan dengan gigih dan karena kepandaian Pangeran Jenghan dan para pengawalnya memang tinggi, banyak anak buah bajak yang menyerbu itu roboh dan jatuh ke laut dalam keadaan terluka atau tewas.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar