Ada pun pertandingan antara Thai Li Lama melawan wanita cantik
Thian-liong-pang merupakan pertandingan yang lebih seru dan menarik.
Wanita cantik itu bukan orang sembarangan dalam Thian-liong-pang. Memang
benar bahwa dia kini menjadi kepala pelayan pribadi Pangcu yang mukanya
berkerudung. Akan tetapi dahulunya dia adalah seorang tokoh penting
dari Thian-liong-pang. Wanita ini masih merupakan keturunan pendiri
Thian-liong-pang, biar pun hanya merupakan cucu buyut luar.
Dia bernama Tang Wi Siang dan semenjak usia dua puluh lima telah menjadi
janda karena suaminya tewas dalam pertempuran melawan musuh-musuh
Thian-liong-pang. Sebagai bekas isteri dari seorang di antara pimpinan
Thian-liong-pang, apa lagi dia sendiri pun keturunan nenek moyang
Thian-liong-pang, tentu saja Tang Wi Siang mendapat kedudukan penting di
dalam perkumpulan itu dan juga dia mewarisi ilmu silat yang dimiliki
turun-temurun oleh Thian-liong-pang.
Ketika suatu hari muncul Si Wanita berkerudung, wanita berkedok yang tak
dikenal oleh siapa pun juga muncul di perkumpulan itu, merobohkan
pemimpinnya dengan mudah, kemudian mengangkat diri sendiri menjadi
pangcu, Wi Siang terpilih menjadi kepala pelayan pribadi dan oleh pangcu
baru yang mempunyai kesaktian seperti iblis itu Wi Siang digembleng
ilmu silat baru yang hebat-hebat sehingga kepandaiannya meningkat tinggi
sekali, jauh lebih tinggi dari pada semua tokoh Thian-liong-pang yang
dulu menjadi pimpinan! Akan tetapi sekarang keadaannya menjadi lain dan
tentu saja bukan hanya Wi Siang yang menerima ilmu dari ketua baru ini,
masih banyak tokoh lain yang menerima ilmu sehingga kini para pengurus
Thian-liong-pang bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah,
melainkan orang-orang sakti yang luar biasa.
Pangcu baru yang tetap merupakan manusia rahasia itu menurunkan
ilmu-ilmunya disesuaikan dengan bakat masing-masing. Tang Wi Siang
mempunyai bakat yang baik sekali dalam ilmu meringankan tubuh, maka oleh
ketua baru yang aneh itu dia diberi ilmu silat yang mengandalkan
gerakan cepat. Ketua baru itu memang mengenal segala macam ilmu silat
sehingga kadang-kadang membingungkan dan mengherankan hati para
pembantunya. Bahkan ilmu silat keturunan Thian-liong-pang pun dikenalnya
baik!
Kini, menghadapi Thai Li Lama, Tang Wi Siang mendapatkan lawan yang amat
tangguh. Thai Li Lama di samping suheng-nya juga merupakan tokoh besar
di Tibet. Ilmu kepandaiannya amat tinggi, hanya kalah sedikit kalau
dibandingkan dengan Thian Tok Lama. Di samping ilmu yang aneh-aneh, Thai
Li Lama ini adalah seorang ahli ilmu hitam yang kuat sekali. Dia
memiliki ilmu hitam I-hun-to-hoat, yaitu ilmu merampas semangat orang
atau menundukkan kemauan orang dengan kekuatan gaib. Tentu saja ia amat
jarang ia mempergunakan ilmu hitamnya ini karena dengan ilmu silatnya
saja, jarang ada lawan mampu menandinginya.
Tadinya Thai Li Lama memandang rendah lawannya. Biar pun mengaku sebagai
tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi wanita itu masih amat muda, paling
banyak tiga puluh tahun lebih! Pula ia hanyalah seorang wanita, sampai
di mana kehebatannya? Karena memandang rendah, pada gebrakan-gebrakan
awal Thai Li Lama hanya menggunakan kedua ujung jubahnya yang panjang
untuk menyerang dan menangkis. Akan tetapi betapa kaget hati pendeta
Tibet ini ketika tiba-tiba saja bayangan wanita cantik itu lenyap dan
tahu-tahu telah memukul dari atas belakang mengarah pundak dan ubun-ubun
kepalanya yang gundul.
"Omitohud...!" Ia berseru.
Cepat ia memutar kedua tangan melindungi kepala dan pundak. Tetapi
wanita itu telah melejit pergi membatalkan serangan, tahu-tahu sudah
mengirim pukulan ke punggung disusul tendangan ke belakang lututnya.
Sambil meloncat jauh ke depan dan memutar tubuh, sepasang mata Thai Li
Lama mulai bersinar aneh. Mengertilah kini bahwa lawannya bukanlah
sembarang orang yang dapat dipandang rendah. Kiranya wanita itu memiliki
ginkang yang amat mengagumkan dan yang dapat mendatangkan bahaya
baginya karena ia dapat menduga bahwa dalam hal meringankan tubuh, dia
masih kalah jauh!
Maka ia lalu mendengus pendek. Mulailah ia memasang kuda-kuda dan
mengerahkan sinkang sehingga setiap kali kedua tangannya menyambar,
angin dahsyat bertiup mendahului tangannya menyambar ke arah lawan.
Kakek yang maklum akan kelihaian lawan ini tidak segan-segan
mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-kun-hoat-lek, ilmu pukulan
sakti yang selain mengandung sinkang kuat sekali, juga mengandung hawa
ilmu hitam yang mengakibatkan gelombang getaran aneh mempengaruhi lawan.
"Tasss!" Pukulan Thai Li Lama yang amat kuat dan aneh itu dapat
dihindarkan oleh Wi Siang yang melesat cepat dan pukulan itu
mengeluarkan suara seperti ujung pecut dipukulkan.
"Tass! Tasss!" Dua kali pukulan kedua tangan Thai Li Lama berbunyi
mengenai tempat kosong karena tubuh Wi Siang sudah melesat ke kanan
kiri.
Tiba-tiba wanita itu sudah membalas dengan terjangan hebat, jari tangan
kiri menusuk ke arah mata lawan sedangkan jari tangan kanan mencengkeram
ke lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat dan cepat sekali
datangnya sehingga Thai Li Lama terkejut bukan main. Untuk menghadapi
serangan maut yang amat cepat ini, menangkis sudah tidak keburu lagi,
maka hwesio ini terpaksa melempar tubuh ke belakang dan terus
bergulingan!
Bagaikan seekor burung walet cepatnya, wanita itu mengejar dan
menyambar-nyambarkan serangan dari atas ke arah tubuh yang bergulingan.
Memang kini Wi Siang mainkan ilmu silat yang khusus diturunkan ketuanya
kepadanya, yaitu ilmu silat Yan-cu-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung
Walet), ilmu yang seluruhnya digerakkan dengan ginkang yang amat cepat
sehingga membingungkan lawan.
Repot sekali keadaan Thai Li Lama yang sudah bergulingan. Karena dia
terus diserang dengan gencar tanpa dapat membalas dan tubuhnya sedang
bergulingan, maka dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
meloncat bangun dan terpaksa harus terus bergulingan sambil melindungi
tubuh dengan gerakan kedua lengannya. Keadaan sungguh berbahaya dan biar
pun tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari pada lawan, namun
karena posisinya sudah rusak seperti itu, dengan bergulingan terus mana
mungkin kakek ini mampu melindungi tubuhnya terus-menerus? Gerakan Wi
Siang amat cepatnya, ke mana pun ia menggulingkan diri pergi, tubuh
wanita itu seperti seekor burung telah menyambarnya dan mengirim
serangan maut.
Tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara melengking tinggi dari dalam perutnya disusul bentakan keras. "Mundurrrr...!"
Hebat bukan main pengaruh lengking dan bentakan itu, sampai terasa oleh
semua orang yang menonton, malah banyak di antara penonton yang otomatis
menggerakkan kaki melangkah mundur, seolah-olah perintah itu ditunjuk
kepadanya dan ada tenaga rahasia yang mendorong mereka mundur. Apa lagi
pengaruh terhadap Tang Wi Siang yang langsung menghadapi serangan ilmu
hitam itu.
Wanita ini memekik aneh dan tubuhnya mencelat mundur, seolah-olah ia
kaget menghadapi semburan seekor ular berbisa. Saat itu dipergunakan
oleh Thai Li Lama untuk meloncat bangun dan setelah meloncat bangun,
baru Wi Siang sadar bahwa dia kena diakali dengan pengaruh ilmu hitam.
Marahlah wanita itu dan ia menerjang maju lagi sambil membentak.
"Pendeta siluman!"
Akan tetapi Thai Li Lama juga marah sekali, marah yang timbul karena
malu. Tadi ia harus bergulingan sampai lama dan pakaiannya kotor semua,
maka kini menghadapi terjangan lawan ia mendorongkan kedua tangannya
bergantian dengan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek sehingga timbul angin
besar menyambar ke arah Wi Siang. Wanita ini mengenal bahaya, maka ia
lalu melesat ke kiri, menghindarkan diri dan siap mengirim serangan
susulan. Akan tetapi tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara aneh dan
amat berpengaruh sambil menudingkan telunjuknya ke arah lawan.
"Engkau sudah lelah sekali...! Kedua kakimu sukar digerakkan...!"
Aneh! Tiba-tiba Wi Siang berdiri terbelalak, tak mampu menggerakkan
kedua kaki dan tangannya memegang dahi seperti serasa pusing, tubuhnya
lemas saking lelahnya.
"Pendeta curang... kau menggunakan ilmu siluman...!"
Yang berteriak ini adalah Bun Beng. Anak ini semenjak tadi menonton
pertandingan dengan hati tertarik dan ia amat kagum menyaksikan sepak
terjang wanita Thian-liong-pang. Ketika tadi Thai Li Lama membentak
‘mundur’ dia sendiri sampai melangkah mundur. Anak yang cerdik ini
maklum bahwa pendeta Tibet itu menggunakan ilmu siluman yang aneh, maka
ia menjadi penasaran dan mendekati pertempuran. Kini, melihat betapa
wanita yang dikaguminya itu terpengaruh oleh suara Thai Li Lama, ia
memaki dan meloncat maju, menerjang ke depan Thai Li Lama!
Gerakannya ini membuat Tang Wi Siang sadar, sebaliknya Thai Li Lama
menjadi marah. Pendeta ini menggerakkan tangan kanan memukul ke arah Wi
Siang yang cepat meloncat tinggi ke atas, akan tetapi Bun Beng yang
sudah meloncat maju itu secara langsung disambar angin pukulan dahsyat
sehingga tubuhnya terlempar seperti peluru dan... melayang melalui
tebing menuju ke air pusaran maut!
Semua orang tertegun, bahkan yang sedang bertanding berhenti dan
memandang ke arah tubuh Bun Beng yang melayang ke bawah. Dalam keadaan
seperti itu, biar orang sepandai koksu sendiri tidak mungkin akan dapat
menolong Bun Beng. Semua mata terbelalak ngeri ketika melihat betapa
tubuh anak itu terjun ke bawah dan terlempar tepat ke arah tengah-tengah
air pusaran maut yang mengerikan itu dengan kepala lebih dulu! Mereka
menahan napas dan koksu membanting-banting kaki saking kecewa dan
menyesal melihat anak yang amat ia butuhkan itu menuju ke jurang maut
yang tak mungkin dapat dielakkan lagi.
Bun Beng menghadapi maut dengan mata terbuka lebar. Ia maklum bahwa
tubuhnya akan diterima oleh pusaran air yang merupakan moncong maut
terbuka lebar dan ia tahu bahwa ia akan mati. Akan tetapi apa bedanya?
Dia diperebutkan oleh tiga kekuasaan yang mengerikan. Memang lebih baik
kalau ia menyerahkan diri kepada kekuasaan yang paling besar, yaitu
kekuasaan alam yang akan merenggut nyawanya. Maka tanpa menjerit sedikit
pun ia membiarkan tubuhnya terbanting di tengah-tengah pusaran air.
"Byurrr!"
Sebelum tubuhnya menyentuh air, Bun Beng yang cerdik masih ingat untuk
menarik napas sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya. Begitu
tubuhnya menyentuh air, terus saja tubuhnya ditarik ke bawah oleh pusat
air yang berpusing itu. Bun Beng, berbeda dengan orang Pulau Neraka
tadi, tidak melakukan perlawanan, bahkan menyerahkan dirinya ditarik
dengan kekuatan maha dahsyat ke dalam air, menahan napasnya.
Semua orang yang memandang ke arah air menjadi pucat melihat betapa anak
yang terjatuh tepat di tengah-tengah pusaran air itu langsung dihisap
dan ditarik ke dalam, lenyap seketika! Mereka masih memandang tanpa
berkedip, menanti dengan dugaan bahwa tubuh anak itu tentu akan timbul
kembali dalam keadaan tak bernyawa dan rusak-rusak. Akan tetapi,
ditunggu sampai lama, tubuh Bun Beng tak pernah timbul kembali,
seolah-olah lenyap dan habis ditelan bulat-bulat oleh pusaran air itu.
"Celaka... benar-benar celaka...!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
membanting-banting kakinya dengan muka merah saking marahnya, kemudian
menyapu mereka yang masih berada di pulau dengan pandang matanya.
"Kalian semua orang-orang sial yang hanya mendatangkan kerugian bagi
kerajaan! Kalian seperti anak-anak kecil nakal yang mengganggu aku!
Kalian ini orang-orang kang-ouw suka mencari ribut yang membuat
pekerjaanku menjadi tertunda-tunda dan terhalang!"
Semua orang menjadi terkejut dan heran memandang ke arah koksu yang
marah-marah itu. Alangkah bedanya sikap kakek botak itu dengan tadi
sebelum Bun Beng terlempar ke dalam pusaran air. Tadi sikap koksu itu
ramah dan gembira, akan tetapi sekarang, mendadak saja marah-marah.
"Teruskan pibu! Aku masih belum kalah!" Tang Wi Siang, tokoh Thian-liong-pang berkata dengan suara dingin.
"Kami pun belum kalah! Yang menang berhak tinggal di pulau ini, yang
kalah harus pergi!" Pimpinan rombongan Pulau Neraka juga berkata,
sedikit pun tidak mempedulikan kemarahan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun.
Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah siap lagi menandingi lawan mereka,
akan tetapi koksu menggoyangkan tangan dengan sikap tidak sabar sambil
berkata. "Sudah, sudah! Tidak ada pibu-pibuan! Apa yang diperebutkan?
Anak itu telah mampus ditelan pusaran air, dan pulau ini... dibutuhkan
kerajaan. Harap semua pergi dari sini sekarang juga kalau tidak ingin
dianggap pemberontak dan kubasmi semua!"
Sekarang semua orang memandang tajam, ada yang terheran-heran, ada pula
yang memandang marah. Kini baru tampaklah oleh mereka siapa sebenarnya
koksu ini, dan orang macam apa! Keadaan menjadi sunyi dan tiba-tiba
terdengar suara tertawa memecahkan kesunyian, disusul suara nyanyian
orang yang tertawa itu:
Aku...! Aku...! Aku...!
Pujaanku! Milikku! Hakku!
Keluargaku, sahabatku, hartaku, namaku!
Kurangkul dia yang menguntungkan aku
Kupukul dia yang merugikan aku
Yang terpenting di dunia dan akhirat adalah
Aku...! Aku...! Aku...!
Semua orang terkejut dan menengok, memandang ke arah orang yang
menyanyikan kata-kata aneh itu. Yang bernyanyi ini agaknya belum lama
datang, dan tak seorang pun melihat kedatangannya karena tadi mereka
semua sedang tertarik menonton pertandingan yang seru disusul kejadian
mengerikan yang menimpa diri Bun Beng. Orang itu adalah seorang kakek
tua yang pakaiannya bersih sederhana, namun kedua kakinya telanjang tak
bersepatu. Wajahnya berseri pandang, matanya tajam penuh kejujuran dan
tangannya memegang sebatang tongkat berkepala naga.
"Im-yang Seng-cu...!" Beberapa orang tokoh kang-ouw yang masih berada di situ berbisik ketika mengenal kakek itu.
Memang kakek itu adalah Im-yang Seng-cu, seorang tokoh aneh yang tadinya
merupakan tokoh dari Hoa-san-pai, akan tetapi karena sikap dan wataknya
yang aneh-aneh, dia malah dibenci oleh pimpinan Hoa-san-pai sendiri
sehingga Im-yang Seng-cu ini tidak pernah berada di Hoa-san-pai,
melainkan merantau mengelilingi dunia sehingga ilmu kepandaiannya makin
meningkat hebat. Karena kesukaannya mempelajari ilmu-ilmu silat dari
lain aliran itulah yang membuat ia dianggap sebagai murid Hoa-san-pai
yang murtad, sungguh pun para pimpinan Hoa-san-pai harus mengakui bahwa
Im-yang Seng-cu selalu memiliki sepak terjang seorang tokoh kang-ouw
yang aneh dan budiman, tidak mencemarkan nama Hoa-san-pai, dan bahwa
kesukaannya akan mempelajari ilmu-ilmu silat itu membuat ia memiliki
tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada Ketua Hoa-san-pai
sendiri!
"Ha-ha-ha-ha! Dunia ini menjadi ramai, manusia saling makan melebihi
binatang paling buas, semua diciptakan oleh AKU ini! Timbul dari AKU!
Ha-ha-ha, bukankah begitu, Koksu yang mulia?"
Karena sikapnya tetap menghormat, bahkan ia menjura dengan hormat kepada
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun biar pun kata-katanya amat lucu dan aneh,
koksu tidak menjadi marah. Apa lagi koksu pernah mendengar nama besar
Im-yang Seng-cu, maka ia lalu miringkan kepala melirik dan bertanya.
"Apakah orang gagah yang datang ini yang berjuluk Im-yang Seng-cu?"
"Tidak salah, Koksu. Orang-orang memang menyebutku Im-yang Seng-cu.
Sungguh pun sebenarnya aku pun hanyalah AKU, seperti setiap orang di
antara kalian semua, dan kita memiliki penyakit yang sama, penyakit
AKU!"
Karena ucapan itu dianggap berbelit-belit, koksu bertanya, suaranya
mulai tidak senang, "Im-yang Seng-cu, apa maksud semua kata-katamu itu?
Apa pula maksud kedatanganmu?"
Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya dan tersenyum lebar. "Sudah begitu
jelas masih belum mengerti dan perlu kuterangkan lagi? Segala peristiwa
yang terjadi dalam penghidupan semua manusia merupakan perputaran yang
berporos pada ke AKU-an itulah. Apa yang menyebabkan kita pada saat ini
berkumpul di sini? Memilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)?
Menggelikan! Tentu sebelum terjadi pemilihan sudah kau tangkap dan
dianggap pemberontak! Tidak, mereka itu semua malu-malu untuk mengakui
bahwa sasaran utama bukanlah perebutan bengcu, melainkan untuk
memperebutkan pusaka-pusaka keramat yang kabarnya lenyap dan berada di
pulau ini! Benar tidak? Dan semua datang memperebutkan karena terdorong
oleh ke-AKU-annya itulah! Siapa yang dapat membantah?"
"Hemm, Im-yang Seng-cu, omonganmu terlalu besar dan main sikat sama rata
saja. Engkau mengenal aku dan tahu bahwa aku adalah seorang petugas
negara. Jelas bahwa kedatanganku ini bukan karena aku pribadi, melainkan
sebagai utusan!" Koksu itu membantah.
"Kami pun datang sebagai utusan!" teriak seorang tosu dari Kun-lun-pai.
Ramailah semua orang membantah ucapan Im-yang Seng-cu. Kakek
bertelanjang kaki ini tertawa bergelak, "Melihat kesalahan orang lain
mudah, melihat kesalahan sendiri bukan main sukarnya! Mengakui kelemahan
dan kebodohan sendiri merupakan kekuatan yang jarang dimiliki manusia!
Koksu yang baik, dan Cu-wi sekalian. Cu-wi semua mengaku sebagai utusan
dan bukan karena diri pribadi datang ke sini. Akan tetapi utusan
siapakah? Koksu, yang mengutusmu tentulah Kaisarmu, kerajaan dan
negaramu, bukan?"
"Tentu saja!"
"Nah, apa bedanya itu? Manusia selalu mementingkan ke-AKU-annya. Diriku,
negaraku, rajaku, dan lain sebagainya, yang berporos kepada AKU. Kini
terjadi perebutan tidak mau saling mengalah, tak lain tak bukan karena
masing-masing membela ke-AKU-annya itulah! Ha-ha-ha-ha! Hapuslah
kata-kata AKU dan dunia akan aman, manusia akan hidup penuh damai, tidak
akan terjadi perebutan karena lenyap pula istilah milikku, hakku dan
aku-aku lain lagi."
"Wah-wah, Im-yang Seng-cu bicara seolah-olah dia sendirilah satu-satunya
manusia yang suci di dunia ini!" Seorang kakek Kong-thong-pai
menyindir.
"Ha-ha-ha-ha! Sudah kukatakan tadi bahwa penyakitku juga sama dengan
penyakit kalian, yaitu penyakit AKU. Penyakit yang sudah mendarah daging
sehingga tidak terasa lagi oleh manusia yang sakit, mempengaruhi setiap
gerak-gerik dan sepak terjang dalam hidupnya. Ini pula yang menimbulkan
watak manusia yang amat licik dan rendah. Kalau senang, ingin senang
sendiri. Kalau susah, ingin mencari kawan, bahkan kesusahan menjadi
ringan seolah-olah terhibur oleh kesusahan lain orang. Betapa
rendahnya!"
"Hemmm, apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?" Karena kakek aneh ini tidak
menyerang seseorang, maka kemarahan koksu agak mereda, bahkan ia mulai
tertarik. Tidak mengadu ilmu silat, mengadu filsafat juga boleh karena
dia pun bukan seorang yang buta tentang filsafat.
"Maksudku sudah menjadi watak manusia pada umumnya jika ia berada dalam
keadaan menderita, maka penderitaannya terasa ringan terhibur kalau dia
melihat penderitaan orang lain! Hiburan yang paling manjur bagi seorang
yang sengsara adalah melihat bahwa di sampingnya banyak terdapat
orang-orang yang lebih sengsara dari padanya. Mengapa begini? Inilah
jahatnya sifat AKU yang menimbulkan rasa sayang diri, rasa iba diri,
perasaan-perasaan yang selalu berputar pada poros ke-AKU-annya.
Contohnya yang lebih jelas, orang yang mempunyai keluarga tercinta sakit
parah akan menderita kesengsaran batin yang hebat. Akan tetapi
bagaimana kalau melihat ribuan orang lain sakit? Tentu tidak ada
penderitaan batin seperti yang dirasakannya kalau keluarganya yang
sakit. Timbul pertentangan-pertentangan dalam hidup antar manusia karena
saling membela AKU-nya. Timbul perang di antara negara karena saling
membela AKU-nya pula. Manusia menjadi tidak aman dan tidak tenteram
hidupnya karena dikuasai oleh AKU-nya inilah, tidak sadar bahwa yang
menguasainya itu bukanlah AKU SEJATI, melainkan aku darah daging yang
bergelimang nafsu-nafsu badani. Dengarlah betapa AKU SEJATI mengeluh
dalam tangisnya!" Im-yang Seng-cu lalu berdongak dan bernyanyi.
Aku sudah bosan!
Aku sudah muak!
Terbelenggu dalam sangkar darah daging!
Setiap saat aku dipaksa
menyaksikan tingkah nafsu angkara mempermainkan sangkar sampai gila
Tawa-tangis, suka-duka,
marah-sesal, suka-duka...
bebaskan aku dari semua ini...!
"Omitohud! Ucapanmu benar-benar merupakan dosa besar, Im-yang Seng-cu.
Bagi seorang beragama yang selalu berusaha untuk hidup bersih dan suci,
ucapanmu itu merupakan penghinaan. Ucapan kotor yang menjijikkan!"
Seorang hwesio berkata dengan alis berkerut.
Dia adalah seorang hwesio yang berada dalam rombongan Bu-tong-pai dan
yang sejak tadi hanya menjadi penonton. Agaknya ucapan Im-yang Seng-cu
itu membuat hwesio ini tidak sabar lagi untuk berdiam diri. "Engkau
tidak boleh menyama-ratakan semua manusia, Im-yang Seng-cu. Manusia ada
yang bodoh, ada yang pintar, ada yang kotor batinnya, ada yang bersih
dan untuk mencapai kepintaran dan kebersihan batinnya. Jalan
satu-satunya hanyalah mempelajari agama dan mematuhi hukum-hukum
agamanya."
Im-yang Seng-cu tertawa dan memberi hormat kepada hwesio gendut itu. "Maaf, tentu yang kau maksudkan itu adalah agamamu, bukan?"
"Tentu saja Agama Buddha, karena pinceng beragama Buddha," Jawab hwesio itu.
"Hemm, pertanyaan itu pun terdorong oleh sifat ke-AKU-an pula! Orang
selalu merasa baik sendiri, bersih sendiri dan benar sendiri. Karena ini
maka para pemeluk agama menjadi saling mencurigai, saling memburukkan
dan persatuan antar manusia makin parah. Semua agama adalah baik karena
mengajarkan kebaikan, namun sayang sekali, orang-orangnya yang
menyalah-gunakan sehingga pelajaran kebaikan sering kali dipergunakan
untuk saling menghina dan saling menyalahkan. Maaf, Lo-suhu, aku tidak
akan menyinggung pelajaran agama karena aku yakin bahwa semua agama itu
mengajarkan kebaikan, tidak ada kecualinya! Akan tetapi, orang yang merasa dirinya paling bersih adalah orang yang kotor karena perasaan diri paling bersih ini sudah merupakan kekotoran!
Ada gambaran yang paling tepat untuk itu. Seseorang yang melihat tahi
akan menutup hidungnya, merasa jijik dan muak, sama sekali dia lupa
bahwa di dalam perutnya sendiri mengandung penuh tahi! Orang yang
merasa dirinya paling pintar sesungguhnya adalah sebodoh-bodohnya orang,
karena perasaan diri pintar ini sudah merupakan kebodohan! Orang
yang merasa dirinya paling kuat sesungguhnya adalah orang yang lemah,
karena kesombongannya akan membuatnya lengah. Karena sifat mementingkan
AKU-nya, maka manusia berlomba mengejar kemenangan dalam apa pun juga,
saling serang saling bunuh. Dalam perkelahian, yang mati dianggap kalah,
yang hidup dianggap menang. Yang hidup ini agaknya lupa bahwa dia pun
kelak akan mati apabila sudah tiba saatnya! Dan siapa dapat memastikan
bahwa yang menang akan lebih bahagia dari pada yang kalah dan mati?
Ha-ha-ha, kalau manusia ingat akan semua ini, aku tanggung manusia akan
berpikir dulu sebelum memperebutkan kemenangan!"
Filsafat yang diucapkan oleh Im-yang Seng-cu ini membuat penasaran hati mereka yang mendengarkan.
"Im-yang Seng-cu, ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau seorang yang
sombong sekali!" Bentak Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. "Kabarnya engkau
adalah seorang tokoh Hoa-san-pai. Beginikah pelajaran To-kauw yang
dianut oleh para tosu Hoa-san-pai?" Sambil berkata demikian, koksu ini
melirik ke arah rombongan orang Hoa-san-pai. Tentu saja koksu ini sudah
mendengar bahwa Im-yang Seng-cu adalah orang yang dianggap murtad oleh
Hoa-san-pai, dan Koksu yang cerdik ini sengaja menimbulkan perpecahan
atau memanaskan keadaan!
"Dia bukan orang Hoa-san-pai!" Tiba-tiba terdengar suara keras dan dari
rombongan Hoa-san-pai melangkah maju seorang tosu berusia enam puluh
lima tahun, bertubuh pendek dan jenggotnya yang sudah putih itu pun
dipotong pendek. Tosu ini memandang tajam ke arah Im-yang Seng-cu dan
sikapnya penuh wibawa.
Im-yang Seng-cu menghadapi tosu itu dan memberi hormat. "Aihh, kiranya
Suheng Lok Seng Cu hadir pula di sini. Terimalah hormat dari Sute..."
"Pinto mewakili Suhu dan memimpin rombongan Hoa-san-pai, sama sekali
tidak ada hubungan lagi denganmu, Im-yang Seng-cu. Engkau tidak lagi
diakui sebagai seorang murid Hoa-san-pai!"
Semua orang memandang dengan hati tegang, dan koksu memandang dengan
mata bersinar. Tahu rasa engkau sekarang, orang sombong, pikirnya. Akan
tetapi Im-yang Seng-cu tetap berseri wajahnya dan tenang sikapnya ketika
menjawab,
"Lok Seng Cu, aku pun tidak pernah menonjolkan diri sebagai seorang
tokoh Hoa-san-pai. Aku berusaha untuk menjadi manusia bebas, akan
tetapi... hemm... alangkah sukarnya dan betapa tidak mungkinnya usaha
itu. Hidup sendiri sudah tidak bebas. Kita terbelenggu oleh kebudayaan,
oleh agama, oleh hukum-hukum yang diciptakan manusia hanya untuk
menyerimpung kaki manusia sendiri. Di mana kebebasan? Aihhhh, aku pun
rindu kebebasan, seperti Aku sejati...!"
Jawaban itu membuat Lok Seng Cu bungkam, karena memang orang yang
dianggap murtad ini tidak pernah menyeret nama Hoa-san-pai dalam setiap
sepak terjangnya, dan kalau tadi dianggap tokoh Hoa-san-pai, adalah
koksu yang mengatakan, bukan pengakuan Im-yang Seng-cu sendiri.
Karena ‘pembakarannya’ tidak berhasil, koksu menjadi penasaran dan ingin
ia ‘menangkap’ Im-yang Seng-cu untuk memancing-mancing kalau-kalau
kakek aneh ini akan mengeluarkan ucapan yang menyinggung sehingga dapat
dijadikan alasan untuk menyerangnya. "Im-yang Seng-cu, apa pula artinya
perkataanmu bahwa manusia kehilangan kebebasan karena terbelenggu oleh
hukum-hukum yang diadakan manusia sendiri?"
Im-yang Seng-cu menghela napas panjang. "Inilah yang membuat hatiku
selalu menjadi gelisah menyaksikan betapa makin lama manusia makin
menjerat leher sendiri, membelenggu tangan kaki sendiri dengan
hukum-hukum dan aturan-aturan sehingga beberapa ribu tahun lagi manusia
tak dapat bergerak tanpa melanggar hukum! Betapa bayi takkan menangis
begitu terlahir, menghadapi semua belenggu ini? Begitu terlahir,
tubuhnya sudah dibelenggu kain-kain penutup tubuh, menyusul peraturan
dan hukum-hukum yang tiada putusnya. Ada hukum ada pelanggaran,
diperkenalkan yang buruk, mengerti tentang kesucian berarti mengerti
tentang kedosaan. Aihhh, betapa repot hidup ini!"
"Seorang manusia yang tidak mentaati peraturan berarti melanggar
kesusilaan, melanggar kesopanan dan hanya seorang Siauw-jin (orang
rendah) yang akan berbuat seperti itu!" Yang berkata demikian adalah Bhe
Ti Kong, panglima tinggi besar yang kosen dan jujur itu. Sebagian besar
para pembesar dan panglima Kerajaan Ceng (Kerajaan Mancu) mempelajari
Agama Khong Hu Cu dan karena orang-orang bicara tentang filsafat, Bhe Ti
Kong tertarik lalu mengajukan bantahan atas pendirian Im-yang Seng-cu
tadi.
Im-yang Seng-cu tersenyum dan mengangguk-angguk, "Bagus sekali,
Ciangkun. Memang tepatlah kalau orang mempelajari kebudayaan setempat!
Sekali lagi aku katakan bahwa aku hanya menyesalkan keadaan hidup
manusia, bukan sekali-sekali menganjurkan agar semua orang melanggar
hukum dan peraturan-peraturan yang sudah ada. Aku sendiri sampai
sekarang masih memakai pakaian dan peraturan-peraturan masih tetap
kupegang karena seperti juga semua manusia, aku pun dihinggapi penyakit
ke-AKU-an sehingga rela melakukan hidup dalam kepalsuan-kepalsuan dan
tidak wajar. Seperti semua agama, telah kukatakan tadi, Agama Khong Hu
Cu juga mengajarkan segala kebaikan, merupakan pelajaran-pelajaran yang
benar-benar tepat. Akan tetapi sayang, betapa sedikit manusia yang
mematuhinya secara lahir batin, menyesuaikan pelajaran-pelajaran itu
dalam sepak terjang hidupnya sehari-hari! Bukankah Nabi Khong Hu Cu
bersabda bahwa seorang Kuncu hanya mengejar kebenaran sedangkan seorang
Siauw-jin hanya mengejar keuntungan! Nah, Nabi Khongcu sendiri telah
maklum akan penyakit ke-AKU-an manusia sehingga perlu memperingatkan
manusia yang selalu ingat akan keuntungan diri pribadi, keuntungan
lahiriah! Kukatakan tadi bahwa begitu terlahir, bayi telah dibelenggu
kain-kain penutup tubuh. Kalau pakaian dimaksudkan untuk melindungi
tubuh, hal yang hanya timbul karena kebiasaan, karena sesungguhnya kalau
tidak dibiasakan pun tidak apa-apa, maka apa hubungannya dengan
kesusilaan dan kesopanan?"
"Wah, orang yang tidak mau berpakaian dan bertelanjang bulat adalah
orang yang tak tahu malu dan tidak sopan!" Seorang membantah dan karena
semua orang berpendapat demikian, tidak ada yang peduli siapa yang
mengeluarkan bantahan itu tadi.
Im-yang Seng-cu tertawa, "Benarkah begitu? Kalau pun benar, maka
anggapan itu muncul setelah orang menciptakan peraturan dan hukum dengan
itu! Tidak wajar dan palsu seperti yang lain-lain! Apakah seorang bayi
yang baru terlahir dan sama sekali tidak berpakaian itu dianggap tak
tahu malu dan tidak sopan? Ha-ha-ha, kulihat Cu-wi kini mulai dapat
mengerti apa yang kumaksudkan. Bayi, manusia cilik itu tadinya wajar dan
tidak mengenal hukum kesusilaan, maka tidak bisa dianggap rendah atau
tak tahu malu. Siapa tidak mengenal hukumnya, dapatkah dianggap
melanggar? Setelah tahu akan hukumnya lalu melanggar, barulah
dimaki-maki. Dengan demikian, bukankah hukum-hukum diadakan untuk
membelenggu kaki tangan manusia sendiri, membatasi kebebasan dan
kewajaran hidup? Timbulnya segala kesalahan adalah karena melanggar
hukum, dan timbulnya segala pelanggaran hukum adalah karena mengenal
hukum yang diciptakan. Berarti, tanpa hukum takkan ada pelanggaran!
Pengertian akan baik dan buruk itulah yang membuat manusia terpecah dua,
ada yang baik dan ada yang jahat. Pengertian akan kesucian dan
kedosaan, hukum-hukum yang diadakan untuk mengerti kedua hal itulah yang
menimbulkan kedosaan."
Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha!
Im-yang Seng-cu, engkau benar-benar hebat, membuat kami semua bengong
mendengarkan kata-katamu. Apakah engkau datang untuk berkhotbah? Ataukah
hendak menyebarkan agama baru?"
"Tidak, Koksu. Aku hanya mencoba untuk membentangkan keadaan sebenarnya,
mengajak semua orang berlaku wajar dan tidak berpura-pura, menyesuaikan
diri dengan keadaan bukan semata-mata demi keuntungan diri pribadi.
Seperti engkau sendiri, Koksu. Kehadiranmu dengan banyak pasukan
pemerintah di tempat ini mengapa pakai berpura-pura? Kalau memang
pemerintah melarang semua orang gagah mencari pusaka-pusaka yang
dikabarkan berada di pulau ini, lebih baik terang-terangan saja. Tetapi
hendaknya diingat bahwa mencari pusaka-pusaka lama dan memperebutkannya
adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan pemerintah sehingga
amatlah menggelikan kalau pemerintah akan menggunakan dalih
memberontak!"
Muka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berubah merah. "Memang
sesungguhnyalah! Kami telah menguasai pulau ini dan tak seorang pun
boleh mencoba untuk mencari benda apa saja yang berada di pulau ini.
Kalau ada yang tidak setuju, boleh menentangku!" Sambil berkata
demikian, kakek botak itu melangkah maju dengan sikap menantang.
Im-yang Seng-cu tertawa lagi dengan sikap tenang. "Im-kan Seng-jin,
siapa yang dapat melawanmu? Aku sendiri sudah tua, bukan kanak-kanak
yang suka mengadu kepalan memperebutkan permainan." Dia lalu menghadapi
semua orang yang masih berada di situ sambil berkata nyaring, "Harap
Cu-wi sekalian pulang ke tempat masing-masing. Biar pun belum mencari
dan menyelidiki sendiri, namun aku yakin bahwa pusaka-pusaka yang lenyap
itu tidak mungkin berada di pulau ini. Kakek bongkok Gu Toan penjaga
kuburan keluarga Suling Emas yang amat lihai itu mati terbunuh dan
pusaka-pusaka Suling Emas lenyap, hal itu hanya dapat dilakukan oleh
orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Setelah berhasil
merampas pusaka masa orang sakti itu lalu meninggalkannya begitu saja di
tempat ini? Mustahil! Marilah kita pergi dan biarlah Koksu yang
mempunyai banyak pasukan ini kalau perlu membongkar pulau dan meratakan
dengan laut untuk mencari pusaka-pusaka itu. Ha-ha-ha!"
Im-yang Seng-cu melangkah pergi dari situ dan semua orang lalu pergi
tanpa pamit, dipandang oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan para
pembantunya dengan alis berkerut karena merasa disindir, akan tetapi dia
tidak dapat berbuat apa-apa. Koksu ini mengerti benar akan politik yang
dijalankan Pemerintah Ceng, yaitu ingin membaiki para tokoh-tokoh
kang-ouw dan sedapat mungkin mempergunakan kepandaian mereka, bukannya
memusuhi mereka sehingga memancing pemberontakan-pemberontakan karena
Kerajaan Mancu mengerti benar bahwa rakyat masih belum mau tunduk kepada
pemerintah penjajah dan di dalam hati amat membenci pemerintah Ceng.
Maka, untuk menghilangkan rasa penasaran karena tadi ia merasa
‘ditelanjangi’ oleh Im-yang Seng-cu, juga karena alasan yang dikatakan
oleh bekas tokoh Hoa-san-pai tentang pusaka-pusaka itu tepat, maka
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun lalu mengerahkan pasukannya untuk sekali
lagi melakukan pencarian di pulau itu, bukan mencari pusaka yang ia tahu
memang tidak berada di pulau itu, melainkan mencari petunjuk-petunjuk
selanjutnya karena jejak yang didapatkannya hanya sampai di pulau itu.
Akan tetapi, sampai beberapa hari mereka bekerja, hasilnya sia-sia
sehingga akhirnya koksu terpaksa kembali ke kota raja dengan hati
mengkal dan memerintahkan kepada dua orang pembantunya yang paling boleh
diandalkan, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, untuk merantau di
dunia kang-ouw, memasang mata dan telinga, mencari kabar dan cepat-cepat
memberi laporan kepadanya kalau ada berita bahwa ada tokoh kang-ouw
yang mendapatkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali Pusaka Sepasang
Pedang Iblis.
Mengapakah koksu ini ingin benar mendapatkan Sepasang Pedang Iblis?
Sebenarnya, sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi sekali, dia
tidak hanya menginginkan sepasang pedang itu, juga ingin memiliki
pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas yang amat keramat dan
ampuh. Akan tetapi, lebih dari segala pusaka di dunia ini, ia ingin
sekali mendapatkan Sepasang Pedang Iblis, hal ini bukan hanya karena dia
mendengar akan keampuhan sepasang pedang yang pernah menggegerkan dunia
pada puluhan tahun yang lalu, juga karena masih ada hubungan antara
Bhong Ji Kun ini dengan Si Pembuat Pedang itu!
Sepasang Pedang Iblis adalah sepasang pedang milik Pendekar Wanitar
Sakti Mutiara Hitam yang kemudian terjatuh ke tangan sepasang pendekar
murid Mutiara Hitam. Kedua pedang yang ampuh itu dibuat oleh dua orang
ahli pedang dari India, laki-laki dan wanita yang sakti dan yang hanya
setelah dikalahkan oleh Mutiara Hitam baru mau membuatkan sepasang
pedang yang dikehendaki Mutiara Hitam, dibuat dari dua bongkah logam
yang jatuh dari langit!
Kedua orang India ini bernama Mahendra dan Nila Dewi.
Ada pun koksu Kerajaan Mancu yang lihai ini pun adalah seorang
peranakan India dan antara dia dengan kedua orang ahli pedang India itu
masih ada hubungan keluarga! Biar pun Mahendra dan Nila Dewi yang
dianggap suami isteri itu hanya merupakan kakek dan nenek luar yang
sudah jauh, akan tetapi sedikit banyak ada hubungan darah sehingga kini
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi penasaran kalau tidak dapat
merampas Sepasang Pedang Iblis buatan kakek dan neneknya.
Demikianlah, kini dengan mati-matian Bhong Ji Kun berusaha mendapatkan
Sepasang Pedang Iblis. Untuk menyelidiki gerak-gerik orang-orang
kang-ouw yang dianggapnya menjadi sebab kehilangan pusaka-pusaka itu,
koksu memberi tugas kepada Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang
pendeta Tibet yang memiliki kepandaian tinggi itu, tingkat kepandaian
yang hanya sedikit di bawah tingkat Si Koksu sendiri.
********************
Sesosok bayangan putih menyambar turun dari angkasa dan terdengar bunyi
kelepak sayap disusul bergeraknya daun-daun pohon ketika pohon itu
tertiup angin yang keluar dari gerakan sayap dan burung garuda putih
yang besar itu hinggap di atas tanah. Laki-laki berkaki buntung sebelah
itu meloncat turun dan terdengar keluhannya lirih ditujukan kepada si
Burung Garuda.
"Pek-eng (Garuda Putih), kita tidak berhasil mencari Kwi Hong! Aihhh...
kenapa selama hidupku aku harus selalu menderita kehilangan...?"
Burung itu menggerak-gerakkan lehernya dan paruhnya yang kuat
mengelus-elus kepala Suma Han yang berambut putih, seolah-olah burung
itu hendak menghiburnya. Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Han.
Majikan Pulau Es yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga
Pendekar Siluman. Usia pendekar sakti ini belum ada tiga puluh tahun,
akan tetapi biar pun wajahnya masih tampan dan segar, rambutnya yang
putih dan pandang matanya yang sayu membuat pendekar ini memiliki wibawa
seperti seorang kakek-kakek tua renta!
"Pek-eng...," katanya lirih, berbisik-bisik sambil mengelus leher burung
itu, "siapa yang mempunyai, dia yang akan kehilangan..."
"Nguk-nguk..." Garuda itu mengeluarkan suara lirih, seolah-olah ikut berduka.
"Engkau pun merasa kehilangan karena engkau mempunyai garuda betina yang
kini pergi bersama Kwi Hong. Aku telah banyak menderita kehilangan
karena aku banyak mempunyai orang-orang yang kucinta...! Ahhh, betapa
bahagianya orang yang tidak mempunyai apa-apa karena dia tidak akan
menderita kehilangan apa-apa! Siapa bilang yang punya lebih senang dari
pada yang tidak punya? Ah, dia tidak tahu! Mempunyai berarti menjaga
karena selalu diintai bahaya kehilangan. Hanya orang yang tidak
mempunyai apa-apa saja yang dapat enak tidur, tidak khawatir kehilangan
apa-apa!"
Suma Han menjatuhkan diri di atas tanah, bersandar batang pohon dan
dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tidur pulas! Memang To-cu
(Majikan Pulau) Pulau Es ini di samping kesaktiannya yang luar biasa,
mempunyai kebiasaan aneh, yaitu dalam urusan makan dan tidur ia berbeda
dengan manusia-manusia biasa. Kadang-kadang sampai belasan malam dia
tidak tidur sekejap mata pun, selama belasan hari tidak makan sesuap
pun, akan tetapi dia dapat tidur sampai berhari-hari dan sekali makan
menghabiskan beberapa kati gandum!
Garuda putih yang setia dan cerdik itu, begitu melihat majikannya pulas
lalu terbang ke atas pohon, hinggap di cabang pohon dan tidur juga.
Burung ini sudah melakukan penerbangan amat jauh dan lama sehingga
tubuhnya terasa lelah. Dua makhluk yang sama-sama lelah itu kini mengaso
dan keadaan di dalam hutan itu sunyi, yang terdengar hanya bersilirnya
angin mampermainkan ujung-ujung daun pohon.
Dalam keadaan tertidur pulas itu, wajah Suma Han berubah sama sekali.
Biasanya di waktu ia sadar, wajah yang tampan itu selalu terselubung
kemuraman yang mendalam, apa lagi karena sinar matanya yang tajam dan
dingin serta aneh itu selalu tampak sayu, membuat wajahnya seperti
matahari tertutup awan hitam. Kini setelah ia tidur pulas, lenyaplah
garis-garis dan bayangan gelap, membuat wajahnya kelihatan tenang
tenteram dan mulutnya tersenyum penuh pengertian bahwa segala yang
telah, sedang dan akan terjadi adalah hal-hal yang sudah wajar dan
semestinya, hal-hal yang tidak perlu mendatangkan suka mau pun duka!
Wajahnya seperti wajah seorang yang telah mati, tenang dan tidak
membayangkan penderitaan batin karena seluruh urat syaraf mengendur dan
tidak dirangsang nafsu perasaan lagi karena di dalam tidur atau mati,
segala persoalan lenyap dari dalam hati dan pikiran.
"Suma Han, bangunlah!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun
mengandung getaran kuat yang membuat Pendekar Super Sakti membuka mata.
Dengan malas ia bangkit dan memandang orang yang membangunkannya.
Kiranya di depannya telah berdiri seorang kakek yang dikenalnya baik
karena kakek yang memegang tongkat berujung kepala naga itu bukan lain
adalah Im-yang Seng-cu! Namun ia bersikap tak acuh dan garis-garis
bayangan suram kembali memenuhi wajahnya ketika ia bangkit berdiri,
bersandar pada tongkatnya. Ia hanya sekilas memandang wajah kakek itu,
kemudian menunduk, seolah-olah enggan untuk berurusan dan memang
sesungguhnya, dalam saat seperti itu Suma Han merasa malas untuk
berurusan dengan siapa pun juga. Betapa pun, mengingat bahwa kakek ini
adalah seorang tokoh besar yang dikenalnya baik, bahkan Im-yang Seng-cu
adalah guru dari orang-orang yang amat dikenal dan disayangnya, maka ia
berkata sambil tetap menundukkan muka.
"Locianpwe Im-yang Seng-cu, apakah yang Locianpwe kehendaki sehingga demikian perlu membangunkan saya yang sedang mengaso?"
"Apa yang kukehendaki? Ha-ha! Thian yang Maha Adil agaknya yang menuntun
aku sehingga tanpa kusengaja dapat bertemu denganmu di sini, Suma Han.
Aku hendak membunuhmu!"
Suma Han sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan, bahkan seperti
tidak peduli. Dia hanya mengangkat muka dan memandang sejenak, membuat
Im-yang Seng-cu terpaksa mengejapkan mata karena merasa seolah-olah ada
sinar yang menusuk-nusuk keluar dari sepasang mata Pendekar Super Sakti
atau Pendekar Siluman itu. Akan tetapi sepasang mata itu menunduk
kembali dan dada Suma Han mengembung besar ketika ia menarik napas
panjang.
"Ada akibat tentu bersebab. Datang-datang Locianpwe hendak membunuh
saya, pasti ada sebabnya. Kiranya tidak keterlaluan kalau saya yang
hendak Locianpwe bunuh ini lebih dulu mendengar apa yang menyebabkan
Locianpwe hendak membunuh saya." Suaranya tetap tenang.
Im-yang Seng-cu juga menghela napas panjang. Sebenarnya tak ada seujung
rambut pun rasa senang di hatinya untuk menghadapi Pendekar Super Sakti
dengan ancaman untuk membunuhnya! Baik karena pengetahuannya bahwa dia
tidak akan mampu mengalahkan pendekar muda ini, mau pun karena memang
dia selalu merasa suka dan kagum kepada Suma Han.
"Tentu ada sebabnya! Dahulu engkau yang menjadi sebab kematian seorang
muridku yang tersayang, yaitu Soan Li. Hal itu masih dapat kulupakan
sungguh pun ada orang yang takkan dapat melupakannya, yaitu
Tan-siucai..."
Suma Han memejamkan mata, dan bibirnya mengeluarkan keluhan disusul
ucapannya yang menggetar, "Mohon Lo-cianpwe jangan menyebut-nyebut
namanya lagi..."
Di depan kedua matanya yang terpejam itu, pendekar muda yang berkaki
buntung ini membayangkan semua peristiwa yang terjadi beberapa tahun
yang lalu. Hoa-san Kiam-li (Pendekar Pedang Wanita dari Hoa-san) Lu Soan
Li adalah murid ke dua Im-yang Seng-cu, seorang dara jelita yang lihai
sekali dan berjiwa patriot, seorang gadis manis yang jatuh cinta
kepadanya, bahkan kemudian telah mengorbankan nyawanya untuk dia! Lu
Soan Li tewas di dalam pelukannya dan menghembuskan napas terakhir
setelah mengaku cinta kepadanya. Dara perkasa itu tewas dalam usaha
untuk menyelamatkannya.
"Suma Han, urusan Soan Li memang sudah kulupakan. Akan tetapi sekarang
engkau kembali telah menghancurkan kebahagiaan hidup dua orang yang
paling kusayang di dunia ini, kusayang seperti anak-anakku sendiri.
Engkaulah yang menjadi sebab kehancuran hidup mereka, karena itu tidak
ada jalan lain bagiku kecuali membunuhmu atau mati di tanganmu!"
Suma Han merasa seolah-olah jantungnya ditembusi anak panah beracun,
akan tetapi sikapnya tenang dan ia hanya memandang penuh pertanyaan
sambil berkata, "Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan Lulu dan
Sin Kiat?"
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es ini merasa gelisah karena ia dapat
menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan adik angkatnya, yaitu
seorang gadis Mancu yang amat dicintanya, bahkan merupakan satu-satunya
orang yang paling dicintanya di dunia ini. Telah lima tahun ia
meninggalkan adiknya itu ketika adiknya menikah dengan Wan Sin Kiat yang
berjuluk Hoa-san Gi-Hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san) yaitu murid
pertama Im-yang Seng-cu! Siapa lagi yang merupakan dua orang yang
dicinta kakek ini kalau bukan muridnya itu?
Ada pun tentang pertanyaan Im-yang Seng-cu tentang dendam yang dikandung
di hati orang yang benama Tan-siucai (Pelajar Tan), dia tidak peduli.
Dia tahu bahwa Tan-siucai adalah tunangan mendiang Lu Soan Li dan karena
dia tidak merasa berdosa terhadap kematian Soan Li yang mengorbankan
diri untuk menyelamatkannya, maka dia pun tidak peduli apakah ada orang
yang mendendam kepadanya atau tidak. Akan tetapi kalau adiknya, Lulu
yang dicintainya itu tertimpa mala petaka...!
"Locianpwe, saya minta Locianpwe menceritakan kepada saya apa yang telah
terjadi dengan Lulu!" Kembali Suma Han berkata, sungguh pun sikap dan
suaranya tenang, namun jelas ia mendesak dan pandang matanya penuh
tuntutan.
"Kau mau tahu? Baiklah, sebaiknya engkau dengar sejelasnya agar kalau
nanti kau tewas di tanganku tidak menjadi setan penasaran dan kalau
sebaliknya aku yang mati di tanganmu agar lengkap noda darah di
tanganmu!" Kakek itu lalu menghampiri pohon yang menonjol. Melihat sikap
kakek itu, Suma Han juga duduk di depannya, bersiap mendengarkan
penuturan kakek itu.....
Im-yang Seng-cu lalu mulai dengan penuturannya tentang keadaan Lulu dan
Sin Kiat. Lima tahun lebih yang lalu, dengan disaksikan oleh Im-yang
Seng-cu sebagai wali pengantin pria, yaitu muridnya Wan Sin Kiat,
dilangsungkanlah pernikahan Wan Sin Kiat dengan Lulu
yang dihadiri oleh Suma Han sebagai kakak angkat dan walinya. Setelah
menyaksikan pernikahan adiknya, Suma Han lalu pergi dan semenjak itu
tidak pernah kembali atau bertemu dengan Lulu lagi.
Akan tetapi, semenjak ditinggal pergi kakak angkatnya, Lulu selalu
kelihatan berduka. Memang pada bulan-bulan pertama dia agak terhibur
oleh limpahan kasih sayang Wan Sin Kiat, suaminya. Akan tetapi,
bulan-bulan berikutnya hiburan suaminya tidak dapat menyembuhkan
kedukaan hatinya, seolah-olah semua kegembiraan hidupnya terbawa pergi
oleh bayangan Suma Han, kakaknya. Lebih-lebih setelah Lulu melahirkan
seorang anak laki-laki, hubungan suami isteri ini kelihatan makin
merenggang.
Im-yang Seng-cu yang sering kali mengunjungi muridnya dapat melihat
kerenggangan ini, akan tetapi tentu saja dia tidak tahu apa sebenarnya
yang terjadi antara suami isteri itu. Kurang lebih setahun kemudian
setelah Lulu melahirkan anak, pada suatu hari Im-yang Seng-cu didatangi
muridnya, dan betapa kaget hatinya melihat Wan Sin Kiat menjatuhkan diri
berlutut di depannya sambil menangis! Hal ini amat mengejutkan hati
kakek itu yang mengenal betul kegagahan muridnya.
"Sin Kiat, hentikan tangismu! Air mata seorang gagah jauh lebih berharga
dari pada darahnya, jangan dibuang-buang!" Bentak kakek itu yang tidak
tahan melihat muridnya yang gagah perkasa itu menangis tersedu-sedu. Wan
Sin Kiat menyusut air matanya dan menekan kedukaan hatinya.
"Ceritakan apa yang telah terjadi. Seorang jantan harus berani menerima
segala peristiwa yang menimpanya, baik mau pun buruk, secara gagah
pula!"
"Maaf, Suhu. Teecu sanggup menghadapi derita apa pun juga, akan tetapi
ini... ahhh, Suhu. Isteri teecu, Lulu, telah pergi meninggalkan teecu!"
"Apa...?" Im-yang Seng-cu terkejut juga mendengar ini. "Dan puteramu?"
"Dibawanya pergi."
"Kenapa tidak kau kejar dia? Mengapa datang ke sini dan tidak segera
mengejar dan membujuknya pulang?" Im-yang Seng-cu menegur muridnya
karena mengira bahwa tentu terjadi percekcokan antara suami isteri itu,
hal yang amat lumrah.
Akan tetapi Sin Kiat menggeleng kepala dengan penuh duka. "Percuma,
Suhu. Hatinya keras sekali dan kepergiannya merupakan hal yang sudah
ditahan-tahannya selama dua tahun, semenjak teecu menikah dengannya."
"Aihh, bagaimana pula ini? Bukankah kalian menikah atas dasar saling mencinta?"
"Teecu memang mencintanya dengan jiwa raga teecu, bahkan sampai saat ini
pun teecu tak pernah berkurang rasa cinta teecu terhadap Lulu. Akan
tetapi... dia... ahhh, kasihan Lulu... dia menderita karena cinta
kasihnya bukan kepada teecu, melainkan kepada Han Han..."
"Suma Han? Dia kakaknya!"
"Itulah soalnya, Suhu. Sesungguhnya, Lulu amat mencinta kakak angkatnya,
dan baru setelah melangsungkan pernikahan dan ditinggal pergi Han Han,
dia sadar dan baru menyesal. Lulu sudah berusaha untuk melupakan kakak
angkatnya, berusaha untuk membalas cinta kasih teecu, aduh kasihan
dia... semua gagal, cintanya terhadap kakak angkatnya makin mendalam dan
membuatnya makin menderita..."
"Dan semua itu dia ceritakan kepadamu?" Im-yang Seng-cu bertanya dengan
mata terbelalak, terheran-heran mendengar penuturan yang dianggapnya
aneh tak masuk akal itu.
"Tidak pernah, sampai ketika ia pergi, Suhu. Dia meninggalkan surat,
mengakui segala isi hatinya dan minta teecu agar mengampunkan dia,
melupakan dia, akan tetapi dengan pesan agar teecu tidak mencarinya
karena sampai mati pun dia tidak akan mau kembali kepada teecu."
"Mau ke mana dia?"
"Dia tidak menyatakan dalam surat, akan tetapi teecu rasa dia mau pergi mencari Han Han."
"Si Pemuda Keparat Suma Han!" Im-yang Seng-cu mengetukkan tongkatnya di lantai.
"Jangan, Suhu. Han Han tidak bersalah dalam hal ini... juga Lulu tidak
bersalah. Sejak dahulu teecu sudah menduga bahwa cinta kasih di antara
kakak beradik angkat itu melebihi cinta kasih kakak adik biasa. Hanya
karena sudah tergila-gila kepada Lulu teecu tidak berpikir panjang
lagi..."
"Tidak bersalah, katamu? Kalau memang mereka saling mencinta, kenapa dia
membiarkan adiknya menikah denganmu? Akan kucari mereka, kalau sampai
mereka berdua itu kudapatkan menjadi suami isteri, hemmm... hanya mereka
atau aku yang boleh hidup lebih lama di dunia ini!"
"Suhu!" Wan Sin Kiat membujuk suhu-nya, akan tetapi Im-yang Seng-cu
berkeras karena merasa betapa peristiwa itu merupakan penghinaan dan
penghancuran kehidupan muridnya yang dianggapnya sebagai anaknya
sendiri.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati guru ini ketika beberapa bulan
kemudian ia mendengar bahwa Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat, murid yang
patah hati itu, gugur di dalam perang membela Raja Muda Bu Sam Kwi di
Se-cuan, ketika bala tentara Mancu menyerbu Se-cuan dan dalam perang ini
pulalah Bu Sam Kwi meninggal dunia.
Menurut berita yang didengar oleh Im-yang Seng-cu, muridnya itu
berperang seperti orang gila yang tidak mengenal mundur lagi sehingga
diam-diam ia mengerti bahwa muridnya sengaja menyerahkan nyawa, mencari
mati dalam perang. Hatinya seperti ditusuk pedang dan biar pun dia
merasa bangga bahwa di dalam kedukaannya muridnya itu memilih mati
sebagai seorang patriot sejati, namun dia berduka sekali karena kematian
muridnya adalah kematian akibat putusnya cinta kasih!
Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, Suma Han memandang dengan mata
terbelalak. Wajahnya tidak berubah, akan tetapi pandang matanya makin
sayu seperti orang mengantuk.
Im-yang Seng-cu bangkit berdiri. "Nah, sekarang bersiaplah engkau untuk
menebus dosamu. Kedua orang muridku mati karena engkau. Hidupku yang
tidak berapa lama lagi ini akan tersiksa oleh dendam dan penasaran, maka
aku harus membunuhmu atau engkau menghentikan siksa batinku dengan
membunuhku!"
Akan tetapi Suma Han tetap bengong, sama sekali tidak memandang kepada
Im-yang Seng-cu, melainkan hanya memandang kosong ke depan dan mulutnya
berkata lirih, "Hemm... kalau begitu... dia agaknya..." Ucapan ini
diulang beberapa kali.
Pada saat itu, muncullah dua orang pendeta Lama yaitu Thian Tok Lama dan
Thai Li Lama, diikuti oleh Bhe Ti Kong panglima tinggi besar. Begitu
muncul, terdengar suara Thian Tok Lama, "Suma-taihiap, pinceng bertiga
datang menyampaikan permintaan koksu supaya Taihiap suka menyerahkan
Sepasang Pedang Iblis kepada pinceng."
Akan tetapi Pendekar Super Sakti masih termenung seperti tadi, sama
sekali tidak mempedulikan munculnya tiga orang ini, bahkan seolah-olah
tidak mendengar kata-kata Thian Tok Lama. Ia tetap berdiri termenung
memandang jauh dan terdengar suaranya lirih berulang-ulang. "Aihhh...
tentu dia...!"
Thian Lok Lama mengerutkan alisnya melihat sikap Suma Han yang
dianggapnya memandang rendah kepadanya. Dahulu, pendeta Lama ini pernah
beberapa kali bentrok dengan Suma Han dan maklum akan kepandaian
pendekar muda berkaki buntung ini, akan tetapi karena kini ia
mengandalkan pengaruh koksu dia tidak menjadi takut. Terdengar pendeta
Tibet itu berkata lagi, suaranya lantang menggema di seluruh hutan.
"Suma-taihiap! Koksu menghormati Taihiap sebagai To-cu terkenal dari
Pulau Es, maka mengajukan permintaan secara baik-baik dan hormat. Harap
saja Taihiap suka menghargai penghormatan Koksu!"
Suma Han tetap tidak menjawab dan termenung. Terdengarlah suara ketawa
Im-yang Seng-cu, "Ha-ha-ha-ha-ha! Penghormatan yang menyembunyikan
paksaan adalah penghormatan palsu. Menuduh orang menyimpan pusaka tanpa
bukti lebih mendekati fitnah!"
Thian Tok Lama menoleh ke arah Im-yang Seng-cu dengan sikap marah, akan
tetapi pendeta Tibet yang cerdik ini tidak mau melayani karena dia tahu
bahwa menghadapi Suma Han saja sudah merupakan lawan berat, apa lagi
kalau dibantu kakek aneh yang dia tahu bukan orang sembarangan pula itu.
Maka dia berkata lagi, tetap ditujukan kepada Suma Han.
"Koksu berpendapat bahwa karena Taihiaplah orangnya yang dahulu
menguburkan jenazah Siang-mo Kiam-eng (Sepasang Pendekar Pedang Iblis)
bersama sepasang pedang itu, maka kini tetap Taihiap pula yang
membongkar kuburan dan mengambil sepasang pedang itu. Hendaknya
diketahui bahwa yang berhak atas Sepasang Pedang Iblis adalah Koksu
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, karena pembuat pedang itu adalah nenek
moyangnya dari India. Maka pinceng percaya akan kebijaksanaan
Suma-taihiap untuk mengembalikan pedang-pedang itu kepada yang berhak."
Akan tetapi Suma Han mengangguk-angguk dan bicara seorang diri. "Benar, tak salah lagi, tentu dia..."
"Orang ini terlalu sombong!" Tiba-tiba Bhe Ti Kong membentak dan
meloncat maju. "Berani engkau menghina utusan Koksu negara, orang muda
buntung yang sombong?"
Setelah membentak demikian, Bhe-ciangkun sudah menerjang maju,
mencengkeram ke arah pundak Suma Han dengan maksud menangkapnya dan
memaksanya tunduk.
"Plakk! Auggghhhhh...!" tubuh tinggi besar Bhe-ciangkun terlempar ke
belakang dan terbanting ke atas tanah. Ia meloncat bangun dengan muka
pucat dan tangan kirinya memijit-mijit tangan kanan yang tadi ia pakai
mencengkeram pundak Suma Han.
Pendekar Super Sakti masih berdiri tak bergerak, termenung seolah-olah
tidak pernah terjadi sesuatu. Ketika Bhe Ti Kong mencengkeram tadi,
Pendekar Siluman itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, akan
tetapi begitu tangan panglima kerajaan mencengkeram pundak, Bhe-ciangkun
merasa tangannya seperti ia masukkan ke dalam tungku perapian yang luar
biasa panasnya dan ada daya tolak yang amat kuat sehingga ia
terjengkang dan terpelanting.
Melihat kawannya roboh, Thian Lok Lama dan Thai Li Lama terkejut dan
marah, mengira bahwa pendekar berkaki buntung itu sengaja menyerang Bhe
Ti Kong, maka dengan gerakan otomatis keduanya lalu menggerakkan tangan
memukul dari jarak jauh. Angin yang dahsyat menyambar dari tangan
mereka, menyerang Suma Han yang masih berdiri termenung, seolah-olah
tidak tahu bahwa dia sedang diserang dengan pukulan maut jarak jauh yang
amat kuat. Baju di tubuh Suma Han berkibar terlanda angin pukulan itu
akan tetapi, tenaga pukulan dengan sinkang itu seperti ‘menembus’ tubuh
Suma Han lewat begitu saja dan....
"Kraaakkkk!" sebatang pohon yang berada di belakang Suma Han tumbang
dilanda angin pukulan itu, akan tetapi tubuh Pendekar Siluman itu
sendiri sedikit pun tidak bergoyang!
Hal ini membuat Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terheran-heran dan
penasaran. Kalau lawan itu menggunakan tenaga sinkang melawan serangan
mereka, bahkan andai kata mengalahkan sinkang mereka sendiri, hal itu
tidaklah mengherankan. Akan tetapi Pendekar Siluman Majikan Pulau Es itu
sama sekali tidak melawan dan angin pukulan mereka hanya lewat saja
seolah-olah tubuh itu terbuat dari pada uap hampa! Rasa penasaran
membuat keduanya menerjang maju dan menggunakan dorongan telapak tangan
mereka menghantam dada Suma Han dari kanan kiri!
"Buk! Bukk!" Dua buah pukulan itu mengenai dada Suma Han, akan tetapi
akibatnya kedua orang pendeta Lama itu terjengkang dan terbanting
seperti halnya Bhe Ti Kong tadi!
"Ha-ha-ha-ha! Kiranya utusan-utusan koksu kerajaan adalah
pelawak-pelawak yang pandai membadut, pandai menari jungkir balik!"
Im-yang Seng-cu bersorak dan bertepuk tangan seperti orang kagum dan
gembira menyaksikan aksi para pelawak di panggung.
Dua orang pendeta Lama itu meloncat bangun dan memandang Im-yang Seng-cu
dengan mata mendelik. Keduanya tadi roboh karena biar pun Suma Han
kelihatannya diam tidak bergerak, namun dengan kecepatan yang tak dapat
diikuti mata, dua buah jari tangan kanan kiri pemuda berkaki buntung itu
telah menyambut pukulan telapak tangan kedua lawan dengan totokan
sehingga begitu telapak tangan berhasil memukul dada, tenaganya sudah
buyar sehingga merekalah yang ‘terpukul’ oleh hawa sinkang yang
melindungi tubuh Suma Han.
Tentu saja keduanya terkejut setengah mati. Mereka sudah mengenal Suma
Han, sudah tahu akan kelihaian Pendekar Super Sakti itu. Tetapi yang
mereka hadapi kini adalah pemuda buntung yang kepandaiannya beberapa
kali lipat dari pada dahulu, lima tahun yang lalu. Hal ini mengejutkan
hati mereka, juga mendatangkan rasa jeri. Kemudian mereka menimpakan
kemarahan, yang timbul karena malu kepada Im-yang Seng-cu yang mengejek
mereka.
"Im-yang Seng-cu, engkau sungguh seorang yang tak tahu diri! Di muara
Huang-ho Koksu telah mengampuni nyawamu, sekarang engkau berani menghina
kami. Coba kau terima pukulan pinceng!"
Thian Tok Lama menerjang Im-yang Seng-cu yang cepat meloncat ke samping
karena datangnya serangan itu amat hebat. Pukulan yang dilancarkan Thian
Tok Lama adalah pukulan Hek-in-hui-hong-ciang, ketika memukul tubuhnya
agak merendah, perutnya yang gendut makin menggembung dan dari dalam
perutnya terdengar suara seperti seekor ayam biang bertelur, berkokokan
dan tangan kanannya berubah biru. Pukulannya bukan hanya mendatangkan
angin dahsyat, akan tetapi juga membawa uap hitam!
Melihat betapa serangan Thian Tok Lama dapat dielakkan oleh Im-yang
Seng-cu, Thai Li Lama yang juga amat marah terhadap kakek bertelanjang
kaki itu sudah menyambut dari kiri dengan pukulan Sin-kun-hoat-lek yang
tidak kalah ampuh dan dahsyatnya dibanding dengan Hek-in-hui-hong-ciang.
"Ayaaaa...!" Biar pun diancam bahaya maut, Im-yang Seng-cu masih dapat
mengejek sambil melompat tinggi ke atas kemudian ia berjungkir balik.
"Kedua pelawak ini selain lucu juga gagah sekali!"
Tentu saja Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi makin marah. Api
kemarahan di dalam hati mereka seperti dikipas, makin berkobar dan
dengan nafsu mereka kembali menyerang. Im-yang Seng-cu tentu saja repot
bukan main. Ia memutar tongkatnya melindungi tubuh. Melawan seorang di
antara kedua orang Lama ini saja tidak akan menang apa lagi dikeroyok
dua.
"Plakk... krekkkk!" Ujung tongkat di tangan Im-yang Seng-cu patah dan ia
terhuyung ke belakang. Thai Li Lama segera mengejarnya dengan pukulan
maut.
Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat, meluncur turun dari atas dan
Thai Li Lama yang sedang menyerang Im-yang Seng-cu terkejut sekali
ketika ada angin dahsyat menyambar dari atas ke arah kepalanya. Cepat ia
mengelak dan mengibaskan tangan.
"Bressss!" Dua helai bulu burung garuda putih membodol ketika cengkeraman burung itu dapat ditangkis Thai Li Lama.
Pendeta Tibet ini menjadi marah dan terjadilah pertandingan hebat antara
burung garuda dengan pendeta ini, sedangkan Thian Tok Lama kembali
sudah menerjang dan mendesak Im-yang Seng-cu dengan Pukulan
Hek-in-hui-hong-ciang yang merupakan cengkeraman maut.
Im-yang Seng-cu adalah seorang bekas tokoh Hoa-san-pai yang sudah
mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi sehingga jarang ada orang
yang mampu menandinginya. Hampir segala macam ilmu-ilmu silat tinggi
dikenalnya dan inilah yang membuat kakek itu lihai sekali, bahkan pada
waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya malah telah melampaui tingkat
Ketua Hoa-san-pai sendiri! Akan tetapi sekali ini menghadapi Thian Tok
Lama, dia benar-benar bertemu tanding yang amat kuat.
Pendeta Lama itu adalah seorang tokoh Tibet yang memiliki kepandaian
tinggi ditambah tenaga mukjizat dari ilmu hoat-sut (sihir) yang banyak
dipelajari oleh tokoh-tokoh Tibet. Biar pun hoat-sut yang dikuasai Thian
Tok Lama tidaklah sekuat ilmu Hoat-sut milik Thai Li Lama, namun ilmu
ini memperkuat sinkang-nya dan menambah kewibawaannya menghadapi lawan.
Dalam hal tenaga sinkang, Im-yang Seng-cu jelas kalah setingkat oleh
lawannya.
Memang tubuh gendut Thian Tok Lama mengurangi kegesitannya dan Im-yang
Seng-cu lebih gesit dan ringan, namun sekali ini Im-yang Seng-cu bertemu
dengan lawan yang menggunakan ilmu silat aneh dan asing, sama sekali
tidak dikenalnya! Setelah saling serang puluhan jurus lamanya, akhirnya
Im-yang Seng-cu terdesak dan hanya mundur sambil mempertahankan diri
saja, tidak mampu balas menyerang. Hanya ada sebuah keuntungan yang
membuat dia tidak dapat cepat dirobohkan, yaitu bahwa dia bersikap
tenang dan gembira, selalu mengejek, berbeda dengan sikap Thian Tok Lama
yang dipengaruhi kemarahan dan penasaran.
Seperti juga Im-yang Seng-cu, garuda putih yang menyambar dan menyerang
Thai Li Lama mau tidak mau harus mengakui kelihaian pendeta Tibet kurus
itu. Memang Thai Li Lama tidak akan mampu menyerang burung itu kalau Si
Garuda terbang tinggi, akan tetapi biar pun kelihatannya Si Burung yang
selalu meluncur turun dan menyerang kepala Thai Li Lama, selalu burung
itu yang terpental oleh tangkisan dan pukulan Thai Li Lama! Banyak sudah
bulu putih burung itu bodol dan kini serangannya makin mengendur,
bahkan garuda putih itu mulai mencampuri pekik kemarahannya dengan suara
tanda gentar.
Sementara itu Suma Han masih terus berdiri bersandar di tongkatnya.
Sinar matanya memandang kosong dan bibirnya bergerak-gerak, "Tentu
dia... wahai... Lulu... untuk apakah engkau mengambil pusaka-pusaka
itu...? Lulu... satu-satunya sinar bahagia yang menembus semua awan
hitam di hatiku hanya melihat engkau hidup bahagia di samping suami dan
anakmu... akan tetapi... engkau menghancurkan kebabagiaanmu sendiri...
sekaligus memadamkan sinar bahagia di hatiku. Mengapa...? Mengapa...?"
Biar pun wajah yang tampan itu masih tidak membayangkan perasaan
apa-apa, tetapi bulu matanya basah dan jari-jari tangan yang memegang
kepala tongkatnya gemetar, jantungnya seperti diremas-remas, perasaan
hatinya menangis dan mengeluh.
Bhe Ti Kong, panglima Mancu tinggi besar yang tadi terpelanting roboh
sendiri ketika menyerang Suma Han, sejak tadi memandang pendekar kaki
buntung super sakti itu. Dengan hati khawatir panglima ini menyaksikan
kedua orang temannya yang bertanding melawan Im-yang Seng-cu dan burung
garuda putih. Biar pun kedua orang temannya selalu mendesak, akan tetapi
Bhe Ti Kong mengerti bahwa kalau Si Kaki Buntung itu maju, tentu kedua
orang pendeta Tibet itu akan kalah.
Dia adalah seorang panglima, sudah biasa mengatur siasat-siasat perang,
siasat untuk mencari kemenangan dalam pertempuran. Melihat keadaan
pihaknya ini, tentu saja Bhe Ti Kong tidak menghendaki pihaknya kalah
dan terancam bahaya ikutnya Pendekar Siluman itu dalam pertempuran.
Melihat Suma Han termenung seperti orang mimpi, ia menghampiri
perlahan-lahan dan mencabut senjatanya yang mengerikan, yaitu sebatang
tombak gagang pendek yang bercabang tiga, runcing dan kuat.
Bhe Ti Kong bukanlah seorang yang berwatak curang atau pengecut, dan apa
yang hendak dilakukan ini semata-mata dianggap sebagai siasat untuk
kemenangan pihaknya. Biasanya dalam pertempuran perang, tidak ada
istilah curang atau pengecut, yang ada hanyalah mengadu siasat demi
mencapai kemenangan. Sekarang pun, ketika ia berindap-indap menghampiri
Suma Han dari belakang dengan senjata di tangannya, satu-satunya yang
memenuhi hatinya hanyalah ingin melihat pihaknya menang.
Setelah tiba di belakang Suma Han, Bhe Ti Kong mengangkat senjatanya dan
menyerang. Panglima tinggi besar ini memiliki tenaga yang amat kuat,
senjatanya juga berat dan kuat sekali, maka serangan yang dilakukannya
itu menusukkan tombak runcing ke punggung Suma Han, merupakan serangan
maut yang mengerikan dan agaknya tidak mungkin dapat dihindarkan lagi!
"Wirrrr...!" Senjata tombak cabang tiga yang runcing itu meluncur ke arah punggung Suma Han.
Akan tetapi, pada waktu itu ilmu kesaktian yang dimiliki Pendekar Super
Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es ini, sudah ‘mendarah
daging’ sehingga boleh dibilang setiap bagian kulit tubuhnya memiliki
kepekaan yang tidak lumrah. Perasaan di bawah sadarnya seolah-olah telah
bangkit bekerja setiap detik sehingga jangankan baru sedang melamun,
bahkan biar pun dia sedang tidur nyenyak sekali pun, perasaan ini
bekerja melindungi seluruh tubuhnya dari bahaya yang mengancam dari
luar.
Pada saat itu pikirannya sedang melayang-layang, seluruh panca inderanya
sedang ikut melayang-layang pula bersama pikirannya sehingga dia
seperti tidak tahu sama sekali akan segala yang terjadi di
sekelilingnya, tidak tahu betapa Im-yang Seng-cu dan garuda
tunggangannya didesak hebat oleh Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Akan
tetapi, ketika ada senjata menyambar punggung mengancam keselamatannya,
perasaan di bawah sadar itu mengguncang kesadarannya dengan kecepatan
melebihi cahaya!
"Suuuuutttt!"
Bhe Ti Kong berseru kaget dan bulu tengkuknya berdiri karena tiba-tiba
orang yang diserangnya itu lenyap. Ketika ia menoleh, yang tampak
olehnya hanyalah bayangan berkelebat cepat menyambar ke arah Thian Tok
Lama yang mendesak Im-yang Seng-cu, kemudian bayangan itu mencelat ke
arah Thai Li Lama yang bertanding dan tahu-tahu tubuh kedua orang
pendeta Lama itu terhuyung-huyung ke belakang dan mereka berdiri dengan
wajah pucat memandang Suma Han yang sudah berdiri bersandar tongkat dan
memandang mereka berdua dengan sinar mata tajam berpengaruh.
Keduanya telah kena didorong oleh hawa yang dinginnya sampai menusuk
tulang dan biar pun kedua orang pendeta ini sudah mengerahkan sinkang,
tetap saja mereka itu menggigil dan wajah mereka yang pucat menjadi agak
biru, gigi mereka saling beradu mengeluarkan bunyi! Setelah mengerahkan
sinkang beberapa lamanya, barulah mereka itu dapat mengusir rasa dingin
dan tahulah mereka bahwa kalau Si Pendekar Super Sakti menghendaki,
serangan tadi tentu akan membuat nyawa mereka melayang.....
"Katakan kepada koksu kerajaan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bahwa To-cu
Pulau Es tidak tahu-menahu tentang Sepasang Pedang Iblis! Nah, sekarang
pergilah dan jangan mengganggu orang-orang yang tidak bersalah!"
Thian Tok Lama menghela napas panjang. Pemuda buntung itu hebat luar
biasa dan ucapan seorang yang sakti seperti itu tentu saja tidak
membohong. Ia menjura dan berkata, "Baiklah dan harap To-cu sudi
memaafkan kelancangan kami," Ia memberi isyarat kepada Thai Li Lama dan
Bhe Ti Kong, kemudian mereka bertiga meninggalkan tempat itu.
Keadaan menjadi sunyi. Garuda putih itu kini hinggap di atas cabang
pohon, menyisiri bulu-bulunya dengan paruh sambil kadang-kadang
memandang ke arah majikannya. Im-yang Seng-cu yang masih mengatur
pernapasannya yang agak terengah karena tadi ia terlampau banyak
mempergunakan tenaga untuk melindungi dirinya dari desakan hebat Thian
Tok Lama, kini melangkah maju mendekati Suma Han, memandang penuh
perhatian ke arah wajah yang sudah menunduk kembali itu lalu berkata.
"Suma Han, marilah kita lanjutkan urusan di antara kita. Sudah
kuceritakan semua tentang sebabnya mengapa hari ini aku harus membunuhmu
atau terbunuh olehmu. Karena engkau, kedua orang muridku tewas dan
orang-orang yang kucinta di dunia ini habis. Jangan berkepalang
tanggung, hayo kau tewaskan aku pula atau engkaulah yang akan mati di
tanganku!"
Tanpa mengangkat mukanya yang tunduk, Suma Han membuka pelupuk matanya
yang menunduk. Sinar matanya bagaikan kilat menyambar wajah kakek itu,
membuat hati Im-yang Seng-cu tergetar. Diam-diam kakek ini kagum bukan
main. Manusia berkaki satu yang berdiri di depannya adalah seorang
manusia yang amat luar biasa!
"Benarkah Locianpwe begitu bodoh ataukah hanya pura-pura tolol? Ada
kemenangan dalam diri manusia yang melebihi segala makhluk, yaitu
perbuatan dengan pamrih demi kebahagiaan orang lain. Bahkan rela
berkoban demi kebahagiaan orang lain. Sudah tentu saja akibatnya
bermacam-macam sesuai dengan kehendak Tuhan, namun menilai perbuatan
bukanlah dilihat akibatnya, melainkan ditinjau pamrihnya."
Im-yang Seng-cu tersenyum dan menyembunyikan kegembiraannya di balik
kata-kata mengejek. "Suma Han, semua perbuatan memang berakibat. Hanya
seorang gagah sajalah yang berani mempertanggung jawabkan setiap
perbuatannya! Kepandaianmu amat tinggi dan aku sudah kehilangan
tongkatku, namun jangan mengira bahwa aku akan gentar melawanmu. Jangan
bersembunyi di balik kata-kata yang muluk-muluk. Mari kita selesaikan!"
Suma Han menghela napas panjang. "Kalau sekeras itu kehendak Locianpwe,
demi penyesalan hatiku telah mengakibatkan kesengsaraan orang-orang yang
kucinta, silakan Locianpwe!"
"Bagus! Nah, sambutlah ini!" Dengan wajah yang tiba-tiba berubah girang
bukan main, Im-yang Seng-cu meloncat maju, tangan kanannya dengan
pengerahan sinkang sekuatnya menghantam dada Suma Han.
"Dessss!" tubuh Suma Han terlempar sampai lima meter, tongkat yang
dipegangnya terlepas dan ia roboh terguling, mulutnya muntahkan darah
segar.
Seketika wajah Im-yang Seng-cu menjadi pucat sekali. Rona kegirangan
lenyap dari wajahnya dan ia meloncat mendekati. "Celaka! Keparat engkau,
Suma Han! Engkau telah menipuku...! Ahhh... engkau akan membuat aku
mati menjadi setan penasaran... selamanya aku... belum pernah memukul
orang yang tidak melawan. Kenapa engkau tidak melawan? Celaka...
aiiiihhh... celaka...!"
Tiba-tiba terdengar pekik keras dan bayangan putih menyambar dari atas.
Garuda putih telah menyambar dan cakarnya mencengkeram pundak Im-yang
Seng-cu, tubuh kakek itu dibawa ke atas lalu dibanting lagi ke bawah.
"Brukkk!"
Im-yang Seng-cu tertawa, pundaknya luka berdarah. "Bagus...! Bagus
sekali, garuda sakti! Hayo lekas serang lagi. Hayo bunuh aku...
ha-ha-ha! Majikanmu yang gila tidak mau membunuhku, mati di tanganmu pun
cukup terhormat. Marilah!" Ia menantang-nantang sambil tertawa dan
bangkit berdiri terhuyung-huyung.
Garuda putih menyambar lagi ke bawah dengan penuh kemarahan.
"Pek-eng, berhenti!" Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya mengandung
getaran dahsyat dan burung itu tidak jadi menyerang Im-yang Seng-cu,
melainkan hinggap di atas tanah dekat Suma Han dan mendekam,
mengeluarkan suara mencicit sedih dan takut.
Im-yang Seng-cu membanting-banting kakinya ke atas tanah. "Suma Han,
engkau benar-benar kejam! Engkau berkali-kali mengecewakan hatiku!
Engkau menerima pukulanku tanpa melawan, membuat aku menjadi seorang
manusia yang rendah dan hina! Dan sekarang engkau melarang burungmu
menyerangku. He, Pendekar Super Sakti! Apakah setelah engkau berjuluk
Pendekar Siluman hatimu pun menjadi kejam seperti hati siluman? Apakah
engkau akan puas menyaksikan aku hidup merana menanti datangnya maut
menjemput nyawaku yang sudah tidak betah tinggal di tubuh sialan ini?"
"Locianpwe," Suma Han berkata lirih sambil mengusap darah dari bibirnya
dengan ujung lengan baju. "Locianpwe datang dengan niat membunuhku.
Pukulanmu tadi cukup keras akan tetapi belum cukup untuk melukai aku,
apa lagi membunuh. Kalau masih belum puas, mari, pukul lagi, Locianpwe."
"Engkau tidak melawan?"
Suma Han menggeleng kepala. "Bagaimana harus melawan? Locianpwe hendak
membunuhku karena kesalahanku terhadap Lulu dan Sin Kiat. Biar pun tak
kusengaja, memang aku telah bersalah terhadap mereka. Kalau Locianpwe
mau membunuhku, lakukanlah!"
Im-yang Seng-cu membanting-banting kakinya lagi. "Kau... kau...!" Dan
kakek ini mengusap-usap kedua matanya kerena kedua mata itu menitikkan
air mata!
"Locianpwe, ketika garuda menyerangmu, Locianpwe tidak melawan pula,
menyambut maut dengan tertawa-tawa. Locianpwe rela mati karena merasa
bersalah memukul orang yang tidak melawan. Locianpwe rela mati demi
membalas kesengsaraan orang-orang yang Locianpwe cinta. Kalau semulia
itu hatimu, apakah aku yang muda tidak boleh menirunya?"
"Kau... kau siluman!"
"Locianpwe, aku mengerti bahwa sesungguhnya Locianpwe tidak ingin
membunuhku, melainkan mengharapkan kematian di tanganku. Tak mungkin aku
melakukan hal itu, Locianpwe. Sekarang hanya ada dua pilihan bagi
Locianpwe. Membunuhku tanpa aku lawan, atau kita sudahi saja urusan ini,
biarlah kita berdua melanjutkan hidup dengan kesengsaraan batin menjadi
derita. Bukankah hidup ini menderita? Bukankah penderitaan batin
merupakan pengalaman hidup yang paling berharga? Bagaimana, Locianpwe?
Kalau belum puas memukulku, silakan ulangi kembali!"
Suma Han terpincang-pincang maju mendekati sambil memasang dadanya,
Im-yang Seng-cu mundur-mundur seperti ngeri didekati sesuatu yang akan
dapat membuat ia menyesal selamanya. "Tidak... tidak... jangan kau
dekati aku...!" Kemudian ia menutup mukanya dengan kedua tangan.
"Jika begitu, selamat tinggal, Lo-cianpwe. Locianpwe agaknya lebih suka
menghukum batinku, karena sesungguhnya kalau Locianpwe membunuhku,
berarti membebaskan aku dari pada penyesalan dan kesengsaraan batin.
Selamat tinggal!" Suma Han mengambil tongkatnya, meloncat ke atas
punggung garuda dan terdengarlah kelepak sayap dibarengi angin bertitip
dan Majikan Pulau Es itu sudah membubung tinggi dibawa terbang garuda
putih.
Im-yang Seng-cu menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat, alisnya
berkerut dan sampai lama ia memutar pikirannya. Tiba-tiba ia tertawa,
"Ha-ha-ha! Untuk ke sekian kalinya aku kalah! Ahhh, bagaimana bocah
setan itu tahu bahwa aku akan merasa girang mati di tangannya? Aihh,
celaka memang nasibku. Keinginan terakhir mati di tangan Pendekar Super
Sakti gagal, bahkan aku yang hampir saja membunuhnya sehingga
penderitaanku akan bertambah makin berat. Bukan main...! Dia itu...
seorang manusia yang luar biasa... Ahhhh, kalau saja Tuhan dapat
mengabulkan setiap permintaan manusia, biarlah sekali ini si manusia
Im-yang Seng-cu mohon agar Tuhan sudi mengobati penderitaan batin Suma
Han serta melimpahkan kebahagiaan kepadanya. Dia manusia sejati, manusia
berbudi luhur... pendekar di antara segala pendekar...!"
"Ha-ha-ha! Kalau dia pendekar di antara segala pendekar, engkau adalah
pengecut di antara segala pengecut hina, Im-yang Seng-cu!"
Im-yang Seng-cu terkejut, menoleh dan memandang terbelalak kepada
seorang laki-laki muda yang berdiri di depannya. Laki-laki ini usianya
masih muda, belum lebih tiga puluh tahun, wajahnya tampan dan
gerak-geriknya halus, pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang
terpelajar, pakaian pelajar yang bersih dan rapi. Akan tetapi yang
mengejutkan hati Im-yang Seng-cu adalah sepasang mata di wajah tampan
itu.
Mata itu mempunyai sinar yang mengerikan, seperti mata orang gila, namun
juga mempunyai wibawa yang tajam berpengaruh dan aneh. Bukan mata
manusia, seperti itulah patutnya mata setan! Biar pun pakaiannya seperti
seorang pelajar, namun di punggung orang muda itu tampak gagang
sebatang pedang, gagang pedang hitam dengan ronce benang hitam pula.
Biar pun hati Im-yang Seng-cu terkejut dan heran, namun dia marah
mendengar orang yang tak dikenalnya ini memakinya sebagai pengecut di
antara segala pengecut hina. Bagi seorang kang-ouw, seorang yang
menjunjung kegagahan, makian pengecut merupakan makian yang paling
rendah menghina.
"Orang muda, kulihat pakaianmu sebagai seorang terpelajar, patutnya
engkau tahu akan tata susila dan sopan santun. Kulihat pedangmu di
punggung, patutnya engkau tahu akan sikap kegagahan di dunia kang-ouw.
Namun engkau datang-datang memaki orang tua, patutnya engkau seorang
biadab yang sombong. Siapakah engkau?"
Pemuda itu tersenyum lebar. Senyum yang manis, yang membuat wajahnya
makin tampan, akan tetapi seperti yang tersembunyi di balik keindahan
matanya, juga di balik senyumnya ini bersembunyi sifat aneh yang
mendirikan bulu roma, sifat kejam dan penuh kebencian terhadap
sekelilingnya!
"Im-yang Seng-cu, belasan tahun yang lalu sering kali engkau memondong
dan menimangku, bahkan yang terakhir engkau mengajarkan Ilmu Pukulan
Hoa-san Kun-hoat kepadaku sebagai pembayaran taruhan karena engkau kalah
bermain catur melawan Ayahku."
Terbelalak kedua mata Im-yang Seng-cu dan ia memandang penuh perhatian,
kemudian berseru. "Siancai...! Kiranya engkau Tan-siucai (Sastrawan Tan)
dari Nan-king...!"
Pemuda tampan itu mengangguk-angguk dan senyumnya makin kejam, "Betul, aku adalah Tan Ki atau Tan-siucai dari Nan-king."
"Tapi... tapi... ah, bagaimana Ayahmu?"
"Ayah telah meninggal dunia."
"Ahhh! Sahabatku yang baik, kiranya engkau lebih bahagia dari pada aku,
betapa rinduku bermain catur sampai lima hari lima malam melawanmu...!"
"Tak usah khawatir, Im-yang Seng-cu, sebentar lagi pun engkau akan
menyusul Ayah akan tetapi tempatmu di neraka, tidak di sorga seperti
Ayah!"
Keharuan Im-yang Seng-cu mendengar kematian sahabatnya, serta
kegirangannya bertemu dengan pemuda itu, lenyap berganti penasaran dan
keheranan melihat sikap Tan-siucai.
"Apakah maksudmu dengan ucapan dan sikapmu ini? Engkau dahulu menganggap
aku sebagai paman dan bersikap hormat. Sekarang engkau bersikap kurang
ajar, bahkan berani memaki-maki aku. Apa artinya ini?"
"Artinya, orang tua pengecut! Aku datang untuk membunuhmu!"
Im-yang Seng-cu memandang terbelalak, kemudian tertawa bergelak, merasa
betapa sangat lucunya peristiwa ini. Tadi baru saja dia menemui Suma Han
dengan niat untuk membunuh pendekar itu, dan kini pemuda yang dianggap
keponakannya sendiri, yang dijodohkan dengan muridnya, mendiang Lu Soan
Li, kini datang-datang justru berniat membunuhnya!
"Tertawalah sepuasmu selagi engkau masih dapat tertawa, Im-yang Seng-cu," Tan-siucai mengejek.
"Orang muda, aku tidak takut mati. Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau tiba-tiba bersikap seperti ini?"
"Dengarlah agar engkau tidak mati penasaran. Engkau seorang pengecut
besar karena engkau tidak dapat membunuh Pendekar Siluman. Akulah yang
akan membunuhnya kelak. Sayang aku datang terlambat, kalau tidak tentu
dia sudah kubunuh sekarang. Engkau telah menyia-nyiakan kewajibanmu
menjaga tunanganku, membiarkan tunanganku melakukan penyelewengan dari
ikatan jodoh denganku. Membiarkan tunanganku yang tercinta itu
mengorbankan diri untuk pemuda lain, membiarkannya mencinta pemuda lain.
Kemudian, setelah bertemu dengan Pendekar Siluman, engkau tidak
berhasil membunuhnya. Engkau pengecut besar dan harus mampus!"
Im-yang Seng-cu menjadi marah sekali. "Kau tentu sudah gila! Betapa
manusia dapat menjaga perasaan hati manusia lain? Kalau muridku Soan Li
yang malang mencinta Suma Han, itu adalah haknya. Dan sekarang aku tahu
bahwa memang seribu kali lebih baik mencinta Suma Han dari pada mencinta
seorang gila macam engkau. Aku sudah mendengar bahwa kau mendendam atas
kematian Soan Li, dan sudah kuperingatkan Suma Han tentang ini. Akan
tetapi kalau alasanmu seperti itu, engkau gila dan bagaimana kau akan
dapat membunuh aku? Ha-ha-ha, betapa tolol dan sombongnya engkau Tan
Ki!"
"Engkau tadi hendak menyerahkan nyawa di tangan burung garuda, bahkan
engkau sengaja ingin mati di tangan Suma Han. Apakah engkau tidak ingin
mati di tanganku?"
"Ha-ha-ha! Gila! Gila engkau! Tentu saja aku tidak sudi mati di
tanganmu!" Kakek itu tertawa-tawa, lupa betapa anehnya sikap ini. Tadi
ia ingin mati, sekarang ada orang akan membunuhnya, dia marah-marah!
"Mau atau tidak, tetap saja engkau akan mati di tanganku, Im-yang
Seng-cu!" Sambil berkata demikian, Tan-siucai sudah menerjang maju
dengan tangan kirinya. Tangan ini menampar, kelihatan perlahan saja,
akan tetapi angin pukulan tamparan itu membuat Im-yang Seng-cu terkejut
dan cepat mengelak. Dia terheran bukan main karena tamparan itu adalah
tamparan yang mengandung tenaga dalam amat kuat!
Akan tetapi Tan-siucai tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berheran
karena kini sudah mendesak lagi dengan dua pukulan beruntun, tangan
kiri mencengkeram ubun-ubun disusul tangan kanan yang menyodok ke ulu
hati. Serangan yang dahsyat, serangan maut yang berbau ilmu silat tinggi
dan lihai sekali.
"Aihhhhh!"
Im-yang Seng-cu meloncat ke belakang, timbul rasa penasarannya karena
dia tidak mengenal jurus yang dilakukan bekas pelajar yang dahulu lemah
itu. Maka ia pun balas menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat yang
dapat dielakkan secara mudah oleh Tan-siucai. Pertandingan seru terjadi
dan walau pun agaknya Tan-siucai telah digembleng orang sakti dengan
ilmu silat aneh dan telah memiliki tenaga sinkang yang kuat, namun
menghadapi seorang kakek seperti Im-yang Seng-cu, pemuda itu kewalahan
juga.
"Ha-ha-ha-ha, bagaimana engkau akan dapat membunuhku, pemuda gila?"
Im-yang Seng-cu mengejek. Biar pun diam-diam ia terkejut dan
terheran-heran sebab mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini
benar-benar tinggi dan aneh, namun dia merasa yakin bahwa untuk dapat
membunuhnya, tidaklah begitu mudah.
"Begini, Im-yang Seng-cu!" Tan-siucai menjawab dan tiba-tiba tangan
kirinya dibuka dan didorongkan ke arah muka kakek itu sambil mulutnya
membentak, "Diam!"
Hebat bukan main bentakan dan gerakan tangan itu karena secara aneh
sekali, tiba-tiba Im-yang Sengcu tak dapat menggerakkan kaki tangannya
seolah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu. Dan pada saat itu,
tangan kanan Tan-siucai telah bergerak ke belakang, tampak sinar hitam
berkelebat dan pedang hitam di tangannya telah meluncur dan ambles ke
dalam perut Im-yang Seng-cu, tepat di bawah ulu hati. Ketika pemuda itu
mencabut pedangnya, darah menyembur keluar dari perut dan karena ketika
mencabut pedangnya digerakkan ke bawah, perut itu robek dan isi perutnya
keluar.
Barulah Im-yang Seng-cu dapat bergerak, kedua tangannya otomatis
bergerak ke depan, yang kiri mendekap luka, yang kanan memukul ke depan.
Angin pukulan kuat membuat pemuda itu terhuyung ke belakang. Baju
depannya merah terkena percikan darah yang menyembur dari perut kakek
itu.
Im-yang Seng-cu terhuyung-huyung, matanya terbelalak, mulutnya berkata,
"Celaka... ingin mati di tangan pendekar... kini mampus di tangan
setan... benar-benar tubuh sial...!" Ia berusaha menubruk maju dengan
loncatan cepat ke arah Tan-siucai, untuk memberi serangan terakhir. Akan
tetapi Tan-siucai mengelak dan tubuh kakek itu terjerembab ke atas
tanah tanpa nyawa lagi.
"Heh-heh-heh!" Dari balik sebatang pohon muncul seorang yang berkulit hitam dengan cara seperti setan.
Orang ini bertubuh tinggi sekali, tinggi dan kurus. Kulitnya hitam
mengkilap, kedua kakinya telanjang. Usianya sukar ditaksir, akan tetapi
tentu tidak kurang dari enam puluh tahun. Dahinya lebar, hidungnya
panjang melengkung, sepasang matanya lebar dan bersinar-sinar aneh,
mulutnya hampir tak tampak tertutup jenggot dan kumis yang putih. Kedua
telinganya memakai anting-anting perak berbentuk cincin. Rambutnya yang
sudah lebih banyak putihnya itu tertutup sorban berwarna kuning.
Tubuhnya hanya dibalut kain kuning pula yang menutup tubuh seperti cawat
dan setengah dada.
"Cukup baik gerak tangan kirimu dan bentakanmu cukup berhasil. Sayang
gerakan pedangmu tidak tepat. Lihat, pakaianmu terkena darah. Sungguh
memalukan aku yang menjadi gurumu, heh-heh!" Kata orang itu yang dapat
diduga tentu datang dari barat karena bentuk muka, warna kulit, dan gaya
bicaranya.
"Mohon petunjuk Guru," kata Tan-siucai, alisnya berkerut tanda tidak senang hati dicela gurunya.
"Membunuh lawan terkena percikan darahnya, amatlah tidak baik dan engkau
tadi membuka kesempatan lawan untuk menyerang sehingga kau terhuyung.
Untung kepandaian orang ini tidak amat hebat. Kalau lebih hebat, apakah
kau tidak akan celaka karena pukulan terakhir orang yang sudah
menghadapi maut? Serahkan pedangmu, dan lihat baik-baik!"
Tan-siucai menyerahkan pedangnya. Pedang hitam itu oleh kakek ini lalu
diselipkan di bawah kain yang membelit pundaknya. Kemudian dia
menghampiri mayat Im-yang Seng-cu, dipandangnya sejenak, kemudian tangan
kirinya dengan telapak menghadap ke arah mayat tiba-tiba digerakkan.
Mulutnya mengeluarkan pekik aneh dan... mayat itu tiba-tiba berdiri di
depannya. Darah masih mengucur dari perut mayat Im-yang Seng-cu yang
terbuka dengan usus terurai keluar.
"Diam...!" Kakek itu membentak seperti yang dilakukan oleh muridnya
tadi, tampak sinar hitam berkelebat menjadi gulungan sinar yang
mengitari tubuh mayat itu. Kakek itu sudah meloncat ke belakang mayat
dan... tubuh Im-yang Seng-cu yang sudah tak bernyawa lagi itu kini roboh
menjadi enam potong! Kedua lengan dan kedua kakinya terpisah, dan
lehernya juga telah terbabat putus!
"Nah, dengan begini, engkau tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk
mengirim serangan. Mula-mula kedua lengan lalu kaki dan leher yang harus
kau babat putus, bukan menusuk perut seperti tadi. Dan jangan lupa
untuk bergerak meloncat ke belakang, berlawanan dengan menyemburnya
darah dari tubuhnya! Ah, sampai lupa. Hayo cepat, kita tampung racun
kuning!"
Mendengar ini, Tan-siucai lalu menggunakan kakinya, mengungkit
bagian-bagian tubuh mayat itu sehingga terlempar ke atas cabang pohon,
ditumpuk di situ. Kemudian kakek berkulit hitam itu menuangkan cairan
obat dari sebuah botol ke atas tumpukan potongan tubuh mayat yang segera
mencair. Mula-mula seperti terbakar mendidih, kemudian dari tumpukan
daging dan tulang itu menetes-netes cairan kuning yang segera ditampung
oleh Tan-siucai ke dalam sebuah botol melengkung berwarna merah. Hebat
sekali obat itu. Dalam waktu bebeberapa menit saja semua daging, tulang
dan pakaian bekas tubuh Im-yang Seng-cu mencair dan hanya menjadi
seperempat botol cairan kuning yang kental! Setelah tubuh itu habis sama
sekali dan menutup botol dengan sumbat dan menyimpannya, guru dan murid
yang aneh itu pergi dari situ.
Tan-siucai atau Tan Ki ini adalah bekas tunangan Hoa-san Kiam-li
(Pendekar Pedang Wanita dari Hoa-san) Lu Soan Li, murid Im-yang Seng-cu.
Dia tinggal di Nan-king. Setelah dia mendengar akan kematian
tunangannya yang dicinta dan dibanggakan, pemuda yang sudah tidak
berayah ibu ini lalu pergi merantau. Dendam dan sakit hati membuat dia
seperti gila dan akhirnya secara kebetulan dia berjumpa dengan kakek
dari Nepal yang bernama Maharya itu yang kemudian mengambilnya sebagai
murid.
Kakek Maharya, seorang sakti dari Nepal, tidak hanya tertarik kepada
Tan-siucai karena melihat bakat pada diri pemuda itu, juga tertarik
mendengar kisah pemuda itu yang menaruh dendam kepada Pendekar Siluman.
Di samping ini, sebagai seorang asing yang baru datang ke Tiong-goan,
dia membutuhkan seorang pembantu dan pengajar bahasa. Sebagai seorang
sastrawan, tentu saja pemuda itu merupakan seorang guru bahasa yang
baik.
Demikianlah. selama bertahun-tahun Tan Ki atau Tan-siucai merantau
bersama gurunya, menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang aneh, juga
menerima pelajaran ilmu sihir yang merupakan keistimewaan gurunya.
Tujuan mereka hanya dua. Pertama memenuhi kebutuhan Maharya, yaitu
mencari Sepasang Pedang Iblis, dan kedua memenuhi kebutuhan Tan-siucai,
mencari Im-yang Seng-cu dan Pendekar Siluman untuk membalas dendam
kematian tunangannya!
Secara tak tersangka-sangka mereka tiba di hutan itu dan hampir saja
sekaligus Tan-siucai dapat bertemu dengan dua orang yang dimusuhinya,
akan tetapi dia terlambat karena Pendekar Siluman telah meninggalkan
tempat itu. Betapa pun juga, dia berhasil membunuh seorang musuhnya,
yaitu Im-yang Seng-cu yang dahulunya adalah sahabat ayahnya, bahkan
orang yang telah mengikatkan jodoh antara dia dan Lu Soan Li. Akan
tetapi, karena jalan pikirannya yang telah gila, Im-yang Seng-cu
dianggap biang keladi kematian tunangannya sehingga berhasil dia bunuh
secara mengerikan.
********************
Siapa yang mengatakan bahwa keselamatan diri seseorang, mati hidupnya
tergantung sepenuhnya kepada dirinya sendiri, menandakan bahwa dia
belum sadar akan kekuasaan tertinggi yang tak dapat ditambah mau pun
dikurangi. Kekuasaan tertinggi yang menggerakkan matahari, bulan dan
bintang-bintang sampai debu-debu terkecil dalam cahaya matahari,
kekuasaan yang menumbuhkan pohon-pohon raksasa sampai setiap jenggot di
dagu pada kekuasaan tertinggi yang menguasai atas mati dan hidup.
Kalau yang Maha Kuasa menghendaki seseorang mati, kekuasaan apa pun di
dunia tidak akan dapat menawar-nawar. Sebaliknya kalau dikehendaki-Nya
seseorang hidup, tidak ada pula kekuasaan di dunia yang akan dapat
menghentikan hidup orang itu. Hal-hal yang kelihatan tidak mungkin bagi
akal manusia, sama sekali bukan merupakan hal tidak mungkin bagi
kekuasaan itu.
Kekuasaan tertinggi dan ajaib ini memperlihatkan kekuasaannya pula
ketika Bun Beng terlempar ke dalam pusaran air. Sebelum dia, tokoh Pulau
Neraka yang ahli dalam air dan bertenaga besar juga terjatuh ke dalam
pusaran air itu. Dengan segala kemahiran dan kekuatannya, anggota Pulau
Neraka itu berusaha melawan pusaran air yang menghayutkan dan
menyeretnya ke dalam pusaran yang amat kuat, namun usahanya
menyelamatkan diri itu sia-sia belaka dan tubuhnya hancur dihempaskan
pada batu-batu karang. Akan tetapi sebaliknya dengan Bun Beng. Ketika
anak ini jatuh ke tengah pusaran air dan merasa ada kekuatan dahsyat
dari pusaran itu menyedot tubuhnya ke bawah, sedikit pun dia tidak
melawan akan tetapi bahkan inilah yang membuat dia selamat!
Air pusing yang mempunyai daya sedot amat dahsyat itu seketika ‘menelan’
tubuh Bun Beng, disedot ke bawah lalu dihanyutkan dengan kecepatan yang
luar biasa di bawah permukaan air. Biar pun Bun Beng yang cerdik
sebelum terbanting ke air telah menyedot napas sebanyaknya, namun tak
lama kemudian ia pingsan selagi tubuhnya masih dihanyutkan dengan cepat
sekali melalui terowongan di dalam gunung batu karang.
Ketika anak itu siuman kembali, ia telah menggeletak di antara batu-batu
besar yang halus permukaannya, sebagian tubuhnya yang bawah terbenam
air di antara batu dan untung bahwa dia terhempas ke tempat itu dengan
muka di atas air. Ia membuka mata, tubuhnya terasa nyeri semua dan
dinginnya luar biasa sehingga ia menggigil. Sudah matikah aku, pikirnya
ngeri. Ia bangkit duduk, memandang ke sekeliling. Tidak, dia belum mati
dan berada di lambung sebuah gunung yang tertutup kabut tebal. Dia duduk
dan memandang terheran-heran.
Bagaimana ia dapat sampai di lambung gunung? Kekuasaan alam memang penuh
mukjizat. Kiranya ada terowongan yang menghubungkan tempat itu dengan
pusaran air di mana ia terjatuh, sebuah terowongan di dalam tubuh
gunung. Pusaran air itu tercipta oleh permainan angin yang memasuki
terowongan, menimbulkan daya berpusing yang amat kuat sehingga menyedot
air dan menciptakan air berpusing yang amat menakutkan.
"Nguk-nguk-nguk! Huk! Huk! Hukkk!"
Bun Beng terkejut dan menoleh ke kanan kiri. Di tempat seperti ini,
bagaimana bisa terdengar suara anjing? Biasanya anjing hanya berkeliaran
di tempat datar, bukan di pegunungan di batu-batu karang seperti ini,
dekat air sungai. Akan tetapi hatinya juga girang karena biasanya
anjing-anjing itu dipelihara orang yang dapat ia mintai tolong.
"Huk-huk-huk! Ggrrrrr... nguk-nguk!"
Bun Beng menoleh ke kanan dan seketika ia terloncat bangun. Dari atas
batu besar turun beberapa ekor binatang aneh yang kepalanya seperti
kera! Kiranya yang menyalak-nyalak dan menggereng-gereng itu adalah
binatang yang aneh ini, setengah kera setengah anjing (kera baboon).
Ketika melihat binatang aneh itu merayap turun dengan gerak-gerik
seperti manusia, moncong anjing mereka mengeluarkan suara anjing dan
kera campur aduk, melihat pinggul mereka berlenggang-lenggok, pinggul
yang tidak berekor akan tetapi ada dagingnya menonjol merah, mau tidak
mau Bun Beng tertawa geli. Lucu memang tampaknya binatang-binatang itu.
Akan tetapi kegelian hatinya segera berubah menjadi kemarahan ketika
binatang-binatang itu mengelilinginya kemudian meraba-raba dan
merenggutkan pakaiannya yang basah sambil mengeluarkan bunyi
ngak-ngik-nguk tidak karuan. Bun Beng melepaskan tangan seekor kera yang
menjambak-jambak rambutnya. Kera itu mengeluarkan teriakan marah dan
Bun Beng dikeroyok! Lengan-lengan yang panjang berbulu lebat itu
mengeroyoknya, merenggut pakaian dan menjambak rambut. Bun Beng jatuh
terduduk, seekor kera hendak menggigitnya dari depan. Ia mengayun tangan
menampar.
"Plakk! Nguuuuk-nguk!" Kera itu terpelanting dan memekik marah sekali,
sedangkan kera-kera lain sudah menubruk Bun Beng dari belakang.
Terdengar bunyi kain robek dan setelah meronta-ronta dan membagi-bagi
pukulan ke kanan kiri, akhirnya Bun Beng berdiri dalam keadaan telanjang
bulat! Pakaiannya robek-robek tidak karuan diperebutkan oleh sekumpulan
kera itu. Marahlah Bun Beng dan ia lalu mengamuk, kaki tangannya
bergerak dan beberapa ekor kera terpelanting terkena tendangan dan
pukulannya. Akan tetapi tubuh binatang-binatang ini kuat sekali dan
mereka kini kini juga marah, meloncat bangun dan mengeroyok Bun Beng.
Tiba-tiba terdengar pekik dahsyat dan kera-kera baboon itu seketika
menghentikan pengeroyokan dan mundur. Bun Beng menengok dan seekor kera
yang lebih besar dari pada sekumpulan kera yang mengeroyok dan
menelanjanginya. Kera itu dengan kedua lengan panjangnya melangkah maju
menghampiri, moncongnya mengeluarkan suara menggereng dan mendesis,
matanya yang kecil memandangnya penuh amarah. Gerak-geriknya seperti
orang menantang. Kera-kera lain melonjak-lonjak dan bertepuk tangan,
seperti sekumpulan anak-anak yang menjagoi kera besar ini. Tahulah Bun
Beng bahwa dia ditantang oleh kera besar, maka dia pun lalu memasang
kuda-kuda dan membentak.
"Kera anjing keparat! Majulah! Siapa takut padamu?"
Kera besar itu agaknya juga tahu bahwa Bun Beng marah kepadanya, karena
ia segera meringis dan mengeluarkan bunyi marah. "Ngukk...! Kerr...!"
"Monyet buruk! Majulah! Siapa takut padamu?" Bun Beng menantang dan dia
telah melompat ke kiri, mencari tempat yang lebih rata karena dia maklum
bahwa binatang kera amat lincah dan kalau harus bertanding di tempat
berbatu sambil berloncatan, mana dia mampu menang?
Kera itu menggereng lagi dan meloncat, sekaligus ia menyerang Bun Beng
dengan ganas, menubruk sambil mencengkeram dan moncongnya dibuka lebar
siap menggigit. Bun Beng sudah bersiap, cepat ia mengelak dengan
meloncat ke kanan, sambil tidak lupa mengayun kaki kirinya menendang ke
arah perut kera.
"Bukkk!" Tendangan Bun Beng adalah tendangan seorang anak laki-laki yang
sejak kecil terlatih, maka tidak dapat disebut lemah, namun ketika
kakinya mengenai perut binatang itu, kakinya yang menendang terpental
seperti menendang bola karet!
"Monyet lutung! Kau kuat sekali!" Ia berseru marah dan kera itu
seolah-olah tertawa terkekeh, sedangkan kera-kera lain tetap bertepuk
tangan dan berjingkrak tidak teratur.
Kera besar itu kembali sudah menubruk, bahkan kedua lengannya yang
panjang tidak hanya membuat gerakan mencengkeram ngawur seperti lazimnya
dilakukan oleh binatang kera yang tidak tahu akan seni bersilat,
melainkan kedua tangan berjari panjang penuh bulu itu melakukan pukulan
dengan telapak tangan terbuka.
"Wuuut! Wuuuutt!"
Kedua tangan itu menyambar berturut-turut dan hanya dengan kegesitannya
mengelak saja Bun Beng dapat menghindarkan diri dari tamparan yang amat
kuat itu. Dia mulai marah dan agaknya Bun Beng tidak akan patut mengaku
sebagai murid mendiang Siauw Lam Hwesio kalau dia harus mengakui
keunggulan seekor binatang kera. Akan percuma sajalah gemblengan yang
dilakukan Kakek Siauw-lim-pai itu kepadanya beberapa tahun.
Di samping latihan ilmu silat dan menghimpun tenaga serta rahasia
penggunaan tenaga, juga Bun Beng menerima petunjuk-petunjuk yang
mempertajam otaknya sehingga dalam menghadapi bahaya dan lawan tangguh
dia dapat mempergunakan siasat. Dia mengerti bahwa dalam hal tenaga
kasar dia tidak akan dapat mengimbangi kera yang lebih kuat dari pada
seorang manusia dewasa itu. Juga dari pengalamannya ketika menendang
perut tadi dia maklum bahwa kera itu memiliki kulit yang tebal dan kuat
serta otot-otot yang membuat tubuhnya kebal. Dia tidak boleh sembarangan
menyerang, melainkan harus menggunakan siasat mencari bagian yang
lemah.
Namun kini dia terdesak terus. Kera besar itu agaknya merasa penasaran.
Dia dapat mengalahkan seekor harimau dengan mudah, masa kini tidak mampu
merobohkan seorang manusia kecil yang lemah ini dalam waktu singkat?
Akan percuma saja dia menjadi kera bangkotan, jagoan yang paling kuat
dan paling ditakuti di antara rombongan kera baboon di situ! Maka sambil
mendengus-dengus marah dia memperhebat serangannya, setiap kali
tubrukannya luput disambung dengan terkaman lain yang cepat dan kuat,
sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membalas.
Tak dapat dibantah bahwa memang Bun Beng terlatih ilmu silat namun dia
sama sekali belum memiliki pengalaman bertempur tanpa aturan dan secara
nekat itu. Dia terdesak hebat dan hanya mampu mengelak ke sana-sini,
menangkis sedapatnya dan sudah dua kali ia terkena tamparan yang membuat
pipinya merah membengkak dan matanya berkunang kepalanya pening!
Melihat ini kera-kera yang lain mengeluarkan suara seperti sekumpulan
bocah bersorak-sorak, dan kera jagoan itu menjadi makin buas.
"Blekkkk!"
Sebuah tamparan dengan lengan kanan berbulu yang amat keras dapat
ditangkis oleh Bun Beng, akan tetapi karena dia kalah tenaga, tamparan
itu masih menembus tangkisannya dan mengenai pundak kirinya. Bun Beng
mengaduh, tulang pundaknya seperti remuk rasanya, kiut-miut nyeri bukan
main dan dia roboh terjengkang tanpa dapat ditahan pula.
"Gerrrr...!" Kera besar menggereng dan menubruk tubuh lawan yang sudah telentang tidak berdaya itu.
Dalam keadaan penuh bahaya ini, keadaan Bun Beng sebagai manusia
membuktikan keunggulannya. Dia memiliki akal dan dalam detik-detik
berbahaya itu ia menggunakan akalnya. Ketika melihat kera besar
menubruk, dia menggulingkan tubuhnya sampai tiga kali dan tidak lupa
tangannya mencengkeram tanah dan berhasil menggenggam tanah. Pada saat
kera menubruk lagi, tangannya bergerak dan tanah yang digenggamnya itu
meluncur, menyambut muka si Kera yang tentu saja tidak memiliki akal
untuk menduga serangan ini. Matanya tetap melotot penuh geram kemenangan
sehingga kedua matanya merupakan sasaran tepat, kemasukan
butiran-butiran pasir tanah.
"Auurrghh...!" Kera itu memekik-mekik dan menggunakan kedua tangan
menggosok matanya. Tentu saja karena cara menggosoknya kaku, pasir tanah
itu makin dalam masuk ke mata dan makin nyeri rasanya.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bun Beng. Dia sudah meloncat
bangun dan menghujankan pukulan tendangan ke tubuh si Kera. Akan tetapi
dia tidak memukul sembarangan, melainkan memilih tempat yang lemah,
memukul ke arah hidung, mata, dan telinga sedangkan tendangannya
mengarah sambungan lutut dan pusar. Tentu saja kera besar yang masih
setengah mati menggosoki matanya menjadi sasaran serangan dan tubuhnya
terguling-guling. Ia mengeluarkan suara seperti menangis dan akhirnya ia
berlutut di atas tanah, menutupi kepalanya dengan kedua matanya
bercucuran air mata!
Dari gerak-gerik ini Bun Beng dapat menduga bahwa lawannya sudah
menyerah kalah, maka ia memandang dengan muka berseri, berdiri tegak dan
bertolak pinggang, merasa gagah menjadi jagoan sampai dia lupa bahwa
tubuhnya sama sekali tidak tertutup pakaian, telanjang bulat karena
semua pakaiannya sudah habis terkoyak tangan-tangan jahil rombongan kera
tadi!
Kera-kera yang tadinya menonton pertandingan kini berlarian datang dan
Bun Beng sudah siap untuk ‘mengamuk’ kalau dia dikeroyok. Akan tetapi
kera-kera itu kini tidak menyerangnya, hanya memegang-megang lengannya,
kakinya, rambutnya dan bahkan ada yang mencium-ciumnya dari kaki sampai
kepala tanpa melewatkan sedikit pun bagian tubuhnya sehingga dia merasa
girang akan tetapi geli dan jijik!
Agaknya air mata yang banyak keluar dari sepasang mata kera besar telah
mencuci bersih mata itu, kini kera besar dapat membuka matanya yang
berubah merah dan dia pun merangkul dan menciumi Bun Beng! Mengertilah
anak ini bahwa semenjak saat ia berhasil ‘mengalahkan’ jagoan kera
baboon, dia telah diaku sebagai ‘seekor’ di antara mereka! Dia telah
diterima menjadi anggota kera baboon.
Semenjak saat itu, mulailah penghidupan baru yang sama sekali asing bagi
Bun Beng! Dia hidup di antara sekumpulan kera baboon, bertelanjang
bulat, mencari makan, bermain-main dan berayun-ayun di dahan-dahan pohon
dan di batu-batu gunung persis seekor kera. Hanya bedanya, dan
kadang-kadang timbul penyesalan di hatinya akan perbedaan ini bahwa dia
tidak berbulu seperti ‘kawan-kawannya’ sehingga sering kali dia
menderita kedinginan. Namun, lambat laun ia dapat membiasakan diri dan
tubuhnya menjadi kebal akan hawa dingin.
Sebagai seorang makhluk yang berakal, dalam mencari makanan dan
lain-lain tentu saja dia paling menang, sehingga tidak lama kemudian dia
dicontoh oleh kera kera itu dan seolah-olah menjadi pemimpin mereka.
Apa lagi semenjak dia mengalahkan jagoan kera, dia dianggap paling kuat
dan teman-temannya tidak ada yang berani mencoba-coba dengan dia! Selama
beberapa bulan hidup di antara sekumpulan kera, Bun Beng mendapatkan
sebuah kenyataan yang amat berkesan di hatinya.
Semenjak dia dijadikan rebutan para tokoh kang-ouw sehingga terdapat
pertentangan dan terjadi pembunuhan, kemudian disusul dengan
pengalaman-pengalaman di mana ia menyaksikan permusuhan antar manusia
yang berakibat pembunuhan-pembunuhan mengerikan, ia mendapat kenyataan
betapa manusia merupakan sekumpulan makhluk yang amat kejam dan sama
sekali tidak mempuyai rasa setia kawan terhadap sesama manusia.
Kini hidup di antara sekumpulan kera yang dianggap sebagai binatang
bodoh dan tidak berakal, dia menemukan perbedaan yang amat menyolok.
Sekumpulan kera ini hidup amat rukun dan penuh setia kawan. Memang benar
bahwa di antara mereka kadang-kadang terjadi perkelahian, namun
perkelahian ini hanya terbatas dalam mengadu kekuatan sampai seekor di
antara mereka mengaku kalah. Yang menang tidak akan menindas, yang kalah
tidak akan menaruh dendam dan tidak ada rasa mengganjal di antara
mereka!
Akan tetapi seekor saja terganggu, sekelompok akan maju bertanding dan
membela! Seekor saja celaka, yang lain akan turun tangan tanpa pamrih.
Tidak ada di antara mereka yang memonopoli sesuatu. Buah-buah yang
bergantungan, air yang mengalir, tidak ada yang menuntut sebagai hak
pribadinya. Memang mereka ini tidak pandai berbasa-basi, tidak pandai
bermanis muka, tidak pandai bersopan-santun dan tidak pandai melakukan
segala kepalsuan-kepalsuan lain yang sudah menjadi ‘pakaian’ manusia.
Betapa liar mereka itu, betapa bebas dan bahagia karena mereka tidak
mengejar kesenangan, tidak mengejar kebahagiaan seperti manusia sehingga
kesenangan dan kebahagiaan dengan sendirinya datang kepada mereka!
Mereka tidak mengenal kecewa karena tidak mengharap, tidak bertemu duka,
karena tidak mencari suka. Betapa wajar dan betapa dekat dengan alam,
betapa dekat dengan kekuasaan alam!
Di samping menemukan hal-hal yang mendatangkan kesan di hatinya yang
timbul dari pengetahuannya ketika dulu membaca kitab-kitab filsafat,
juga Bun Beng menemukan dan mempelajari kepandaian-kepandaian aneh yang
mereka miliki sebagai anugerah langsung dari alam tanpa mereka pelajari,
yaitu kecekatan, ketrampilan yang belum tentu dapat dimiliki manusia
yang sengaja mempelajarinya bertahun-tahun! Dengan menyatukan diri di
tengah-tengah mereka, dalam beberapa bulan saja Bun Beng dapat
berloncatan di atas karang di tebing-tebing yang curam, memanjat
pohon-pohon besar dan loncat berayun dari dahan ke dahan. Juga ia dapat
mengenal pengetahuan anugerah alam tentang daun-daun dan akar-akar obat
yang dipergunakan kera-kera itu untuk mengobati luka-luka, keracunan dan
lain-lain.
Selama enam bulan hidup di tengah-tengah kera itu, Bun Beng mengalami
hal-hal yang amat luar biasa. Setelah setengah tahun hidup bertelanjang
bulat seperti itu, dia menjadi terbiasa dan kadang-kadang kalau ia
teringat akan peradaban manusia, ia menjadi geli sendiri. Betapa dia
akan dianggap kurang susila, kurang ajar, tidak tahu malu dan sebagainya
oleh manusia-manusia beradab!
Dari manakah timbulnya rasa malu kalau telanjang dan terlihat orang
lain? Mengapa pula harus malu? Perasaan malu ini adalah buatan manusia
sendiri! Buktinya, tidak ada seorang pun anak-anak yang merasa malu
dilihat bertelanjang. Setelah kepada anak itu ditanamkan pengertian
bahwa bertelanjang dilihat orang adalah memalukan, barulah timbul
perasaan malu ini! Andai kata tidak ada penanaman pengertian ini,
kiranya tidak akan timbul pula perasaan malu.
Musim dingin tiba, akan tetapi Bun Beng yang bertelanjang bulat itu
tidak menderita kedinginan. Kulit tubuhnya sudah terlatih sedikit demi
sedikit sehingga kebal. Akan tetapi perasaan dan kesadarannya sebagai
manusia tidak pernah hilang dan hanya karena terpaksa tidak ada pakaian
saja maka dia bertelanjang bulat di antara sekumpulan kera baboon.
Ketika pada suatu hari dia bersama sekawanan kera itu menyerang dan
membunuh beberapa ekor harimau, Bun Beng menguliti harimau yang
dibunuhnya dan kulit harimau itu ia pakai untuk menutupi tubuhnya bagian
bawah. Bukan terdorong oleh rasa malu atau penahan dingin, melainkan
dengan penutup bawah itu dia terhindar dari gangguan semut dan nyamuk
yang tidak dapat mengganggu kera-kera itu karena kulit mereka tertutup
bulu. Dan setelah ia memakai cawat kulit harimau, kawanan kera itu
kelihatan lebih segan dan takut kepadanya! Kulit-kulit harimau yang lain
ia simpan untuk cadangan cawat atau persediaan kalau sewaktu-waktu ia
memerlukannya.
Pada suatu hari, para kera itu mengeluarkan bunyi cecowetan seperti
biasa kalau mengajak pergi ke suatu tempat. Sudah banyak macam suara
kera itu yang merupakan isyarat-isyarat dan dapat dimengerti oleh Bun
Beng, maka sekali ini, menyaksikan sikap mereka seolah-olah mereka
hendak melakukan sesuatu yang besar dan aneh, Bun Beng segera mengikuti
mereka. Kera-kera itu memasuki goa di antara batu karang dan memasuki
terowongan di dalam gunung yang cukup lebar.
Mula-mula terowongan itu gelap, akan tetapi makin jauh makin terang dan
anehnya, mulailah Bun Beng merasa betapa ada hawa panas keluar dari
dalam. Hatinya mulai tegang dan ia mengikuti terus. Tak lama kemudian
mereka tiba di ujung terowongan yang merupakan ruangan yang luas di
dalam gunung. Sinar matahari masuk melalui celah-celah batu gunung yang
merupakan dinding tinggi sekali. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat
sumber air panas! Air keluar dari sumber di dalam gunung ini, mengucur
keluar dari celah-celah dua batu besar, mengeluarkan uap saking
panasnya. Akan tetapi, Bun Beng tidak memperhatikan itu semua karena ia
terbelalak memandang ke sebelah kanan, tak jauh dari sumber air panas
itu dan merasa seolah-olah ia sedang dalam mimpi. Apakah yang ia lihat?
Pemandangan yang amat luar biasa! Di situ, menempel pada dinding batu,
terdapat sebuah kursi batu yang jelas bukan buatan alam, melainkan
berbekas tangan manusia. Kursi itu besar sekali, terbuat dari pada batu
persegi yang ditumpuk-tumpuk, dan di atas kursi itu duduk seekor kera
tua besar sekali yang memakai pakaian. Kalau melihat pemandangan ini di
kota, tentu Bun Beng akan tertawa geli dan menganggap kera itu sebagai
peliharaan pemain komidi binatang.
Seekor kera tua duduk di kursi memakai jubah yang sepatutnya dipakai
seorang pendeta, jubah berwarna kuning yang sudah koyak-koyak, terutama
di ujung kedua lengannya. Dan kera tua berbaju itu memandangnya dengan
muka berseri, tanda senang hati, sikap yang sudah dikenal Bun Beng. Kera
tua itu agaknya senang melihatnya, dan moncongnya yang lebar itu
berkemak-kemik, telunjuknya menuding-nuding!
Kawanan kera melewati kursi itu sambil membungkuk-bungkuk, mata
melirik-lirik penuh sikap takut terhadap kera tua yang berpakaian.
Tetapi mereka tidak mempedulikan ‘kakek’ kera itu dan sambil cecowetan
riuh rendah dan penuh kegembiraan mereka masuk ke dalam air panas yang
mengalir seperti sebatang sungai kecil. Bun Beng masih tertarik dan
terpesona oleh karena kera tua yang aneh itu, akan tetapi ketika berapa
ekor kera mulai menarik-nariknya diajak mandi, timbul pula
kegembiraannya.
Cepat ditanggalkannya cawat kulit harimau dan ia pun masuk ke dalam anak
sungai yang airnya panas. Betapa nikmatnya mandi dan merendam tubuh di
air yang panas itu! Merupakan penawar yang nyaman setelah diserang musim
dingin di luar. Dan air panas itu benar-benar mendatangkan rasa nyaman
sekali di tubuhnya, seolah-olah mengandung sesuatu yang memiliki daya
mukjizat menguatkan tubuh. Mengertilah ia kini bahwa sumber air panas
itu merupakan semacam ‘air obat’ yang dimanfaatkan oleh kera-kera itu
agaknya setahun sekali, yaitu di waktu musim dingin tiba. Yang amat
mengherankan hatinya dan tidak dimengerti adalah munculnya kera tua
berpakaian pendeta itu!
Setelah puas mandi air panas, Bun Beng mengenakan cawat kulit harimaunya
lagi dan mulailah ia mendekati kera tua untuk menyelidiki keadaannya
yang aneh. Ketika ia mendapat kenyataan bahwa kera itu ternyata sudah
amat tua dan lumpuh, ia merasa kasihan dan terharu. Wajah kera itu
begitu penuh pengertian dan sekiranya kera tua itu dapat bicara, tentu
dia akan dapat mendengar dongeng yang menarik dari mulut kera itu. Dan
kembali ia menyaksikan kesetia-kawanan yang hebat. Agaknya kera tua itu
menjadi semacam ‘juru kunci’ atau penunggu sumber air panas dan
selamanya tinggal di situ. Ada pun untuk keperluan setiap harinya, dia
tidak perlu bingung karena kera-kera baboon setiap beberapa hari sekali
ternyata mengirim buah-buah dan makanan untuk si Tua ini.
Melihat betapa kera tua itu pandai berpakaian dan sikapnya jauh lebih
‘jinak’ dibandingkan dengan kera-kera lain, Bun Beng percaya bahwa tentu
kera tua ini tidak asing dengan manusia. Maka dia menjadi lebih berani
dan ketika ia melihat sebuah ruangan dari batu karang di belakang kursi
besar itu, tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki ruangan itu. Hal pertama
yang menarik hatinya ukir-ukiran huruf dinding batu. Goresannya dalam
dan biar pun sudah banyak lumutnya, masih mudah dibaca karena ukiran itu
selain dalam juga besar.
‘Di musim dingin perut gunung mengeluarkan air panas, di musim panas
perut gunung mengeluarkan air dingin. Dingin menciptakan panas, panas
menimbulkan dingin keajaiban apa lagi yang dikehendaki manusia untuk
membuktikan kekuasaan alam?’
Bun Beng belum dapat menangkap keindahan kata-kata itu, akan tetapi ia
dapat mengagumi coretan yang indah dan kuat. Tidak salah lagi, tentu di
sini pernah tinggal seorang pertapa yang pandai dan mungkin sekali kera
tua itu adalah binatang peliharaannya! Ia memeriksa lagi dan di dalam
sebuah peti batu ia menemukan beberapa stel pakaian kasar. Di atas meja
batu tampak sepasang pedang dan sebuah kitab yang tua sekali. Jantungnya
berdebar penuh ketegangan.
Teringat ia akan pertentangan di muara Sungai Huang-ho. Bukankah di
antara pusaka yang dicari dan diperebutkan itu disebut-sebut pula
‘Sepasang Pedang Iblis’? Dan kitab itu, mungkin sebuah di antara
kitab-kitab pusaka yang dicari oleh tokoh-tokoh kang-ouw? Ia mendekati
meja dan memandang penuh perhatian dengan hati tegang. Ia merasa seperti
ada yang memandangnya dan ketika ia menengok, benar saja kera tua itu
sedang menoleh dan memandangnya penuh perhatian, sungguh pun pada wajah
yang tua itu tidak tampak kemarahan. Maka ia makin berani dan tak dapat
menahan keinginan tahunya.
Dirabanya gagang kedua pedang yang bersarung indah itu, kemudian
perlahan-lahan diangkatnya pedang yang lebih panjang. Ia mencabut gagang
pedang dari sarungnya. Baru tercabut sebagian saja, ia sudah
cepat-cepat memasukkannya kembali dengan kaget karena pedang itu
mengeluarkan sinar kilat yang membuat bulu tengkuknya meremang. Dengan
hati-hati ia meletakkan pedang itu kembali, lalu mencoba untuk melihat
pedang ke dua yang lebih pendek. Kembali ia terkejut karena pedang ini
pun mengeluarkan sinar kilat yang menyilaukan mata.
"Aihhhhhh...!" Ia menahan napas memandang dua batang pedang yang berada di atas meja, hatinya ngeri dan kagum.
Tidak salah lagi, pedang itu tentulah pedang pusaka yang amat ampuh!
Inikah yang disebut Sepasang Pedang Iblis? Ah, kelihatannya indah
sekali, sama sekali tak pantas disebut pedang iblis karena yang memakai
nama ‘Iblis’ tentulah buruk menakutkan! Kini ia memperhatikan kitab tua
itu, mengambilnya dan membuka sampulnya. Sam-po-cin-keng,
demikianlah huruf-huruf indah yang tertulis di halaman pertama. Ia
membuka-buka lembarannya dan ternyata itu adalah sebuah kitab pelajaran
ilmu silat yang amat luar biasa, semua ada tiga macam.
Anak ini tidak tahu bahwa di tangannya itu adalah sebuah kitab rahasia
yang amat hebat. Tiga ilmu silat pusaka yang tergabung dalam kitab itu
bukanlah pelajaran ilmu silat biasa karena Sam-po-cin-keng adalah tiga
macam ilmu dahsyat yang di jaman dahulu dicipta oleh ketua dan pendiri
Beng-kauw yang bernama Liu Gan dan berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti
Tangan Delapan)! Ilmu ini kemudian menurun kepada puterinya yang bernama
Liu Lu Sian berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Cantik Beracun) yang bukan
lain adalah ibu kandung pendekar sakti Suling Emas!
Ketika kawanan kera meninggalkan tempat sumber air panas itu, Bun Beng
ikut pula keluar, akan tetapi tidak lupa ia membawa sepasang pedang,
kitab dan satu stel pakaian! Ketika ia lewat di depan kursi besar, ia
menjura ke arah kera tua sambil berkata, "Kakek kera, terima kasih atas
pemberian benda-benda pusaka ini."
Kera itu menyeringai dan mengangguk! Agaknya kera ini seperti mendapat
firasat bahwa memang bocah itu berjodoh dengan benda-benda itu, ataukah
memang dia telah menerima pesan dari orang yang meninggalkan benda-benda
itu agar kalau ada orang datang dan mengambil benda-benda itu berarti
telah berjodoh! Tidak ada yang tahu karena kera itu hanya pandai meniru
berpakaian, tidak pandai bicara!
Bun Beng mulai tekun membaca kitab kuno dan mempelajari isinya. Namun
amat sukar baginya untuk mengerti isinya karena memang ilmu silat yang
diajarkan di dalam kitab itu adalah ilmu silat yang amat tinggi
tingkatnya dan tak mungkin dapat dimengerti begitu saja oleh Bun Beng
yang masih belum ada pengalaman. Namun karena pada dasarnya dia memang
rajin dan berhati keras, biar pun tidak mengerti, dia tetap membaca
bahkan menghafalkan huruf-huruf yang tertulis dalam kitab itu sampai
hafal di luar kepala!
Memang demikianlah cara orang jaman dahulu mempelajari kitab. Semenjak
anak-anak mengenal huruf, mereka diharuskan membaca kitab-kitab
pelajaran Nabi Khong-hu-cu yang amat sukar dimengerti anak kecil. Namun
anak-anak itu dengan rajin menghafal sehingga ada yang sampai hafal di
luar kepala akan semua ujar-ujar dalam kitab suci tanpa mengerti makna
yang sesungguhnya! Hal ini sama sekali bukan tidak ada faedahnya, karena
di samping memperkaya perbendaharaan kata-kata dan huruf-huruf yang
banyak jumlahnya, juga kalau si anak sudah dewasa, hafalan ayat-ayat itu
perlahan-lahan akan dapat dimengertinya dan yang terpenting diujudkan
dalam praktek hidupnya.
Dua bulan kemudian, saat tengah menyambung-nyambung kulit harimau dan
ujungnya ia ikat dengan tali pohon yang kuat, Bun Beng mendengar kawanan
kera berteriak-teriak di tepi tebing yang curam. Dia tidak tertarik dan
melanjutkan pekerjaannya. Bun Beng kini sudah memakai pakaian, yaitu
pakaian yang dibawanya dari ruangan dekat sumber air panas. Dia sedang
mencoba untuk membuat sayap tiruan. Sudah lama ia bercita-cita menuruni
tebing yang amat curam itu, akan tetapi jangankan dia, bahkan kawanan
kera itu saja tidak ada yang berani menuruni tebing yang demikian
terjalnya.
Jalan satu-satunya hanyalah ‘terbang’ turun dan timbullah akalnya ketika
ia menyaksikan burung-burung dengan enaknya naik turun melayang-layang
di dekat tebing yang curam. Kalau saja dia dapat terbang melayang
seperti burung-burung itu! Keinginan inilah yang membuatnya pada saat
itu bekerja keras. Dia sudah mencoba dengan memegangi keempat ujung
kulit harimau meloncat dari atas pohon dan kulit harimau yang terbuka
itu menahan peluncuran tubuhnya sehingga ia dapat hinggap di atas tanah
dengan lunak!
Kini ia hendak membuat ‘sayap’ yang besar dengan menyambung-nyambung
kulit harimau dan mengikat keempat ujungnya dengan tali yang kuat.
Dengan ‘sayap’ ini dia hendak memeriksa keadaan di bawah tebing karena
sering ia melihat bayangan-bayangan bergerak jauh sekali di bawah,
seperti bayangan manusia! Juga beberapa kali dia melihat burung besar
sekali terbang ke bawah tebing itu. Mungkin sekali dia akan dapat
kembali ke dunia ramai kalau bisa menuruni tebing itu. Ada pun
tebing-tebing yang lain semua buntu, merupakan jurang-jurang yang tiada
habisnya.
Setelah sayap tiruan itu jadi dan mendengar kawanan kera itu makin
ribut, ia tertarik juga dan cepat ia menghampiri. Kera-kera itu melihat
ke bawah sambil menunjuk-nunjuk. Bun Beng juga memandang dan tampak
olehnya jauh di bawah sana, banyak bayangan-bayangan atau titik-titik
yang bergerak-gerak. Terjadi perang di bawah sana! Dia tidak dapat
memandang tegas dan ia menduga-duga apakah mata kawanan kera itu dapat
memandang lebih jelas?
Inilah saat untuk ‘terbang melayang’ turun, pikirnya. Bergegas ia lalu
mengambil kitab kuno yang ia masukkan di balik bajunya, menyimpan pula
sepasang pedang di balik baju di punggung, lalu ia mengikatkan tiga
ujung tali ke pinggang dan memegangi tali ke empat dengan tangan kiri.
Melihat Bun Beng mendekati tepi tebing membawa ‘sayap’ aneh itu,
kera-kera menjadi bingung. Mereka itu lalu memekik-mekik ketika Bun Beng
tiba-tiba meloncat dari pinggir tebing yang amat curamnya. Ada yang
menutupi muka, ada yang menjerit-jerit akan tetapi ada pula yang
menari-nari! Bun Beng yang sudah nekat itu merasa betapa tubuhnya
meluncur ke bawah lalu tertahan, pinggangnya sakit karena tali-tali yang
mengikat pinggang menegang, akan tetapi dia girang sekali karena
mendapat kenyataan betapa ‘sayap’ di atasnya mengembang!
"Selamat tinggal, kawan-kawanku yang baik!" Ia melambai ke atas dan
melihat betapa kera-kera baboon itu makin lama makin kecil sedangkan
tubuhnya terus meluncur perlahan ke bawah.
Tiba-tiba ‘sayapnya’ terguncang oleh angin. Celaka, pikirnya.
Mudah-mudahan tidak ada angin kencang yang akan menghancurkan ‘sayapnya’
dan menghempaskan ke batu karang yang menjadi dinding tebing curam itu.
Untung baginya, angin tidak kencang dan tak lama kemudian ia sudah
dapat melihat orang-orang yang berada di bawah. Dan dugaannya ketika
berada di atas tebing tadi ternyata tidak meleset. Dia melihat
orang-orang sedang bertempur di bawah itu. Dari atas ia melihat belasan
orang laki-laki yang tampan dan gagah, semua berpedang sedang sibuk
menahan amukan tiga orang yang rambutnya riap-riapan dan bersenjata
kebutan.
Ilmu silat ketiga orang ini hebat bukan main sehingga biar pun
orang-orang gagah berpedang itu lebih besar jumlahnya, namun mereka
terdesak hebat, bahkan banyak yang telah terluka. Tetapi, dengan
semangat gagah mereka itu terus mempertahankan diri. Seorang di antara
belasan orang gagah itu yang bertubuh tinggi, dan yang tampaknya paling
lihai memutar pedang menahan amukan seorang di antara tiga lawan
bersenjata kebutan yang lihai itu.
Kebutan di tangan Si Brewok yang rambutnya panjang itu kecil saja, namun
kakek yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini menggerakkan
kebutan secara istimewa sehingga senjata kecil ini berubah menjadi sinar
putih bergulung-gulung yang mengancam tubuh orang gagah itu dari
delapan penjuru! Tiba-tiba orang tinggi itu berseru kaget ketika
pedangnya kena digulung kebutan dan terampas. Pedang terlepas dari
tangannya dan agaknya dia tidak dapat menghindarkan diri lagi dari
cengkeraman maut melalui kebutan. Pada saat itu dia melihat tubuh Bun
Beng yang melayang-layang turun, maka terdengarlah seruannya dengan
wajah girang.
"Thai-seng... tolonglah kami...!"
Seruan ini disusul oleh pekik-pekik kegirangan dari orang-orang gagah
yang sedang terdesak dan Bun Beng mendengar teriakan-teriakan mereka.
"Cee-thian Thai-seng datang menolong kita...!"
"Dewa kita Kauw Cee Thian datang!"
"Benar! Dia tentu penjelmaan Sun Go Kong...!"
Bun Beng terbelalak keheranan. Benarkah mereka itu menganggap dia Kauw
Cee Thian atau Sun Go Kong, juga disebut Cee-thian Thai-seng tokoh
dongeng raja kera yang maha sakti dalam dongeng See-yu-ki? Hampir ia
tertawa bergelak, akan tetapi melihat wajah mereka yang berseri penuh
harapan dan melihat mereka dalam keadaan terancam itu tidak mungkin
main-main, timbul kenakalannya.
Bun Beng yang mengerti bahwa tentu dia disangka seorang ‘manusia
bersayap’ lalu mengeluarkan pekik melengking yang agaknya terdengar amat
nyaring oleh orang-orang di bawah itu. Tiga orang berambut panjang yang
riap-riapan itu memandang dan wajah mereka berubah pucat.
"Ihhh...! Siluman di siang hari...!" Mereka berseru kemudian mereka
berkelebat pergi melarikan diri terbirit-birit karena ngeri dan takut
melihat siluman terbang itu!
Setelah melihat tiga orang itu melarikan diri, baru sekarang Bun Beng
melihat dengan hati penuh kengerian betapa tubuhnya meluncur turun dan
tanah di bawah seolah-olah mulut raksasa besar yang akan mencaploknya.
Saking ngerinya, dia meneruskan jeritannya melengking, akan tetapi
sekali ini bukan jerit pura-pura untuk menakuti orang melainkan jeritan
sungguh-sungguh. Untung dia masih ingat untuk mengembangkan tangannya
yang memegang tali sehingga ‘sayap’ itu terbuka lebih lebar, menampung
hawa menahan peluncuran tubuhnya. Biar pun demikian, masih saja dia
terbanting dan tentu dia akan terluka kalau saja dia tldak cepat
menggulingkan tubuhnya sampai terguling-guling dan baru dapat meloncat
berdiri dengan kepala pening dan mata berkunang. Akan tetapi ia tertegun
menyaksikan belasan orang gagah itu telah menjatuhkan diri berlutut
menghadap kepadanya, tidak berani mengangkat muka memandang!
Bun Beng mengerutkan alisnya. Gilakah orang-orang ini? Ataukah dia yang sudah gila?
"Hamba sekalian menghaturkan banyak terima kasih, bukan saja karena
pertolongan Thai-seng, terutama sekali karena Paduka sudah sudi
memperlihatkan diri kepada hamba sekalian."
Hampir saja Bun Beng tertawa jika tak melihat sikap mereka yang penuh
kesungguhan. Ia sukar untuk mempercaya apa yang dilihatnya dan
didengarnya. Mereka berjumlah sembilan belas orang, tua muda, laki-laki
semua dan rata-rata bersikap gagah. Mengapa orang-orang gagah ini
bersikap begini aneh dan menganggap dia sebagai penjelmaan Sun Go Kong
Si Raja Kera dalam dongeng See-yu?
"Cuwi sekalian telah salah sangka. Aku sungguh mati bukan Sun Go Kong,
melainkan seorang anak biasa she Gak bernama Bun Beng. Harap Cu-wi suka
berdiri dan jangan berlutut, membuat aku merasa canggung dan malu saja."
Orang bertubuh tinggi yang bicara tadi, yang ternyata adalah pemimpin
rombongan orang-orang itu, mengangkat muka, demikian pula
kawan-kawannya, memandang Bun Beng dengan sinar mata penuh keraguan dan
agaknya tidak percaya akan kata-kata Bun Beng sehingga mereka masih
tetap berlutut.
Bun Beng menunduk dan memandang tubuhnya sendiri, lalu tertawa.
Pakaiannya saat itu memang aneh, dari kain kuning yang tidak berlengan
berkaki, hanya membungkus dari leher ke paha, apa lagi dia ber-’sayap’!
Sambil tertawa ia menanggalkan sayap tiruan itu dan berkata, "Lihatlah
baik-baik, Cu-wi. Aku adalah seorang anak biasa yang meloncat dari atas
sana menggunakan sayap tiruan dari kulit harimau. Aku bernama Gak Bun
Beng dan siapakah Cu-wi? Berdirilah agar kita dapat bicara dengan enak."
Kini sembilan belas orang itu bangkit berdiri dan memandang Bun Beng
dengan penuh keheranan, kekaguman dan tidak percaya. Bagaimana mungkin
mereka dapat percaya bahwa anak itu adalah seorang anak biasa saja
padahal mereka tadi menyaksikan sendiri betapa anak itu muncul seperti
seorang dewa dan telah berhasil membuat tiga orang lawan mereka lari
tunggang langgang tanpa melakukan gerakan apa-apa? Akan tetapi setelah
mereka memandang penuh perhatian, mereka mau juga percaya akan
keterangan Bun Beng dan mereka kini memandang kagum sekali. Biar pun
bukan Sun Go Kong, anak ini adalah seorang anak luar biasa dan telah
‘menyelamatkan’ nyawa mereka yang tadl terancam maut.
Orang tinggi besar ltu menjura dan berkata, "Harap Siauw-enghiong
(Pendekar Cilik) suka memaafkan kami yang salah menduga. Betapa pun juga
karena engkau datang dari atas sana, kami yakin bahwa engkau tentu
bukanlah seorang anak sembarangan, apa lagi engkau telah menyelamatkan
kami sembilan belas orang saudara. Terimalah rasa syukur dan terima
kasih kami, Gak-enghiong, dan mudah-mudahan kami akan berkesempatan
membalasnya."
Bun Beng menjadi malu melihat sikap orang-orang itu yang amat sopan dan
sungkan. Ia balas menjura dan berkata, "Harap Cu-wi jangan bersikap
sungkan. Aku sama sekali tidak merasa telah menolong kalian. Menghadapi
tiga orang liar yang lihai itu, aku seorang bocah bisa berbuat apakah?
Hanya kebetulan saja kehadiranku mengejutkan dan menakutkan mereka.
Siapakah mereka itu dan mengapa menyerang Cu-wi? Siapa pula Cu-wi yang
tinggal di tempat sunyi ini?"
"Panjang ceritanya, Gak-inkong (Tuan Penolong Gak). Karena engkau adalah
seorang penolong, bagimu tidak ada yang dirahasiakan lagi. Akan tetapi
marilah kita bersama kami ke tempat tinggal kami agar kita dapat bicara
dengan leluasa."
Bun Beng lalu mengikuti mereka menuju ke tempat tinggal mereka yang
ternyata terdiri dari goa-goa besar yang banyak terdapat di kaki gunung
itu. Goa-goa itu mereka jadikan tempat tinggal, juga sekaligas merupakan
tempat perlindungan yang kuat karena jalan masuk goa itu tertutup oleh
pintu besi yang kokoh kuat.
Bun Beng mendapat penghormatan yang sungguh-sungguh dari sembilan belas
orang itu yang agaknya menganggap hutang budi sebagai hal yang amat
penting. Anak ini sampai merasa canggung dan tidak enak hati, akan
tetapi dia terpaksa menerima keramahan mereka, menerima dan memakai
pakaian yang mereka beri kemudian bersama mereka makan minum sambil
mendengarkan penuturan Si Jangkung yang bernama Ciu Toan dan menjadi
pemimpin mereka itu.
Ciu Toan yang menganggap Bun Beng sebagai tuan penolong dan penyelamat
nyawa mereka, menceritakan semua keadaan mereka, didengarkan oleh Bun
Beng dengan hati tertarik akan tetapi juga terheran-heran karena di
dalam penuturan Ciu Toan banyak terdapat hal yang aneh-aneh.....
Sembilan belas orang gagah itu bukanlah orang-orang sembarangan,
melainkan orang-orang yang pernah menggemparkan dalam perang terakhir
melawan pemerintah Ceng yang dikuasai oleh bangsa Mancu. Nama mereka
amat terkenal sebagai pejuang-pejuang yang gigih dan gagah perkasa, dan
pada waktu itu mereka masih bergabung dalam sebuah pasukan kecil yang
terkenal dengan nama Pasukan Tiga Puluh Batang Pedang.
Mereka dahulu berjumlah tiga puluh orang yang di antaranya adalah
saudara-saudara kandung, saudara-saudara misan yang semua mengangkat
saudara dan bersumpah untuk bersama-sama sekuat tenaga menentang
penjajah Mancu. Akan tetapi, ketika pertahanan terakhir terhadap bala
tentara Mancu di Se-cuan hancur dan daerah ini jatuh pula ke tangan
Pemerintah Ceng, pasukan kecil yang terkenal gagah perkasa ini pun
mengalami kehancuran. Dari jumlah tiga puluh orang hanya tinggal
sembilan belas orang saja.
Karena tak dapat bertahan lagi menghadapi bala tentara Mancu yang amat
besar dan kuat, mereka terpaksa melarikan diri. Sepak terjang mereka
selama perlawanan menghadapi bala tentara Ceng sedemikian hebat dan
terkenalnya sehingga setelah daerah itu ditundukkan, Pemerintah Ceng
lalu mencari sisa-sisa Pasukan Tiga Puluh Batang Pedang ini. Tentu saja
untuk menangkap dan menghukum mereka yang telah mendatangkan kerugian
banyak terhadap pasukan-pasukan Mancu.
Sembilan belas orang ini menjadi orang-orang buruan yang terpaksa
menyembunyikan diri. Karena pengejaran dan pencaharian dilakukan oleh
orang-orang pandai yang diutus oleh Kerajaan Mancu, maka sembilan belas
orang yang dipimpin Ciu Toan itu akhirnya bersembunyi di kaki gunung itu
dan sudah hampir dua tahun mereka tinggal di tempat itu.
"Cu-wi adalah orang-orang gagah perkasa, mengapa tadi bersikap begitu
aneh dan menganggap aku sebagai Sun Go Kong?" Tanya Bun Beng yang merasa
kagum sekali terhadap orang-orang itu yang biar pun kalah perang tetap
tidak mau tunduk kepada pemerintah penjajah.
Ciu Toan menjadi merah mukanya, akan tetapi ia menjawab juga, "Kami...
kami menjadi pemuja-pemuja Dewa Sun Go Kong setelah berada di sini,
dan... tadinya kami mengira bahwa kembali beliaulah yang telah
menyelamatkan kami seperti yang terjadi dua tahun yang lalu."
Bun Beng kini membelalakkan matanya. "Apa? Benarkah Cu-wi pernah diselamatkan oleh... oleh... Raja Kera Sun Go Kong?"
Dengan alis berkerut dan wajah sungguh-sungguh Ciu Toan berkata, "Memang
sukar dipercaya bagi yang tidak mengalaminya sendiri. Dewa Sun Go Kong
dianggap sebagai tokoh dongeng, akan tetapi kami percaya bahwa beliau
memang ada dan di puncak tebing penuh rahasia itulah tempat
pertapaannya. Kami sudah mengalaminya sendiri," Kemudian Ciu Toan
menceritakan pengalaman mereka dua tahun yang lalu, didengarkan oleh Bun
Beng dengan hati tertarik sekali.....
Ketika sembilan belas orang buruan itu baru beberapa hari tinggal di
situ dan sedang sibuk membuat tempat tinggal di goa-goa, pada suatu pagi
mereka diserbu dan dikepung oleh segerombolan perampok yang sebelum
mereka datang memang menguasai daerah kaki pegunungan itu. Jumlah para
perampok ada lima puluh orang lebih dan terjadilah pertempuran hebat
yang mengancam keselamatan sembilan belas orang ini.
Mereka melakukan perlawanan gigih. Karena keahlian mereka adalah
berperang, sedangkan dalam pertandingan perorangan ilmu kepandaian
mereka tidak terlalu luar biasa, maka mereka terdesak hebat oleh para
perampok yang bertekad membunuh semua orang yang mereka anggap hendak
merebut wilayah kekuasaan para perampok itu. Dalam keadaan terdesak dan
banyak di antara mereka telah terluka, tiba-tiba dari atas tebing
menyambar batu-batu kecil yang merobohkan para perampok itu. Anehnya,
batu-batu kecil ini tidak mengenai para bekas pejuang, dan yang mengenai
tubuh para perampok tidak sampai membunuh mereka, hanya tepat mengenai
jalan darah yang membuat para perampok terguling dan lumpuh untuk
sementara.
Para perampok menjadi panik karena mereka diserang secara aneh oleh
lawan yang tidak dapat mereka lihat. Apa lagi kalau mereka ingat bahwa
dari tempat setinggi itu sampai penyerangnya tidak tampak, orang dapat
merobohkan mereka yang sedang bergerak dan bertempur dengan
kerikil-kerikil kecil yang mengenai jalan darah, dapat dibayangkan
betapa saktinya si penyambit batu-batu kecil! Karena jeri, para perampok
melarikan diri dan semenjak itu tidak berani lagi datang mengganggu
para bekas pejuang.....
Ciu Toan dan teman-temannya mengobati luka yang mereka derita dan mereka
pun merasa heran sekali. Mereka mencoba untuk mendaki tebing karena
merasa yakin bahwa di puncak tebing tentu tinggal seorang sakti yang
telah menolong mereka. Akan tetapi terpaksa mereka mengurungkan niat ini
karena tebing itu tidak mungkin didaki, terlalu terjal, tinggi dan
licin sekali. Mereka hanya berhasil mendaki sampai seperempat saja dan
terpaksa menghentikan usaha mereka. Akan tetapi, selagi mereka
beristirahat dengan peluh bercucuran, mereka melihat bayangan seperti
bayangan manusia berloncatan mendaki tebing itu dengan kecepatan luar
biasa sekali.
"In-kong (Tuan Penolong)... harap sudi menemui kami...!" Mereka
berteriak-teriak, namun bayangan itu sebentar saja lenyap di puncak
tebing. Kemudian terdengar suara dari atas, lirih saja namun amat jelas
terdengar oleh mereka.
"Turunlah kalian, tidak boleh naik ke sini!"
Karena memang mereka merasa tidak mungkin dapat mendaki tebing, tanpa
dilarang sekali pun akan turun juga. Akan tetapi mereka makin penasaran
karena terheran-heran menyaksikan bayangan tadi. Seorang manusia, betapa
pun pandainya, mana mungkin mendaki tebing seperti itu secara cepat
seperti terbang saja? Dan suara dari atas itu, seolah-olah orangnya
berbisik di dekat telinga mereka. Bukan manusia! Dewa agaknya, dewa
penjaga gunung yang telah menolong mereka.
Dan selagi mereka menduga-duga sambil bersiap-siap untuk menuruni lereng
tebing yang sukar dan berbahaya itu, tiba-tiba seorang di antara mereka
berseru kaget sambil menuding ke puncak tebing. Mereka semua memandang
dan melihat seekor kera besar memakai pakaian pendeta duduk di pinggir
puncak tebing, di atas batu dan kera itu menggerak-gerakkan kedua tangan
seolah-olah menyuruh mereka cepat turun!
Ciu Toan dan saudara-saudaranya menjatuhkan diri berlutut karena mereka
tidak meragukan lagi bahwa kera besar itulah yang menolongnya. Dan siapa
lagi kalau bukan Sun Go Kong yang memiliki kesaktian sehebat itu? Di
dunia ini mana ada kera yang berpakaian pendeta yang sakti luar biasa
dan yang dapat mengeluarkan kata-kata seperti manusia? Kecuali Sun Go
Kong!
Demikianlah, sejak saat itu, mereka memuja Sun Go Kong yang bertapa di
puncak tebing tinggi itu. Kepercayaan mereka makin menebal ketika tiga
kali berturut-turut kawanan perampok lain dan sekali pasukan pemerintah
menyerbu, mereka semua itu lari ketakutan karena mereka roboh sebelum
sempat menyerang, roboh oleh batu-batu kecil dan bahkan pasukan
Pemerintah Mancu roboh oleh suara melengking yang melumpuhkan mereka!
Kemudian, dari atas puncak tebing melayang sebuah benda yang ternyata
adalah kitab-kitab kecil berisi Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat (Ilmu Silat
Kera Sakti) dan yang kini telah mereka pelajari dan menjadi andalan
mereka untuk menjaga diri!
"Demikianlah Gak-inkong, maka ketika engkau melayang turun secara aneh
itu kami tidak ragu-ragu lagi bahwa engkau tentu penjelmaan Dewa Sun Go
Kong yang kembali menolong kami. Sungguh pun kini ternyata bahwa engkau
bukan dewa itu, namun kami tetap percaya bahwa Sun Go Kong berada di
puncak tebing itu." Ciu Toan mengakhiri ceritanya yang amat luar biasa
itu.
"Bolehkah aku melihat kitab kecil itu?" Bun Beng bertanya.
"Tentu saja." jawab Ciu Toan yang lalu mengambil kitab itu.
Bun Beng hanya melihat tulisan pada halaman pertama yang berbunyi ‘Sin-kauw-kun-hoat’
dan kini dia merasa yakin bahwa tulisan itu sama dengan penulis kitab
‘Sam-po-cin-keng’ yang dimilikinya. Dia sekarang mengerti bahwa yang
menolong para bekas pejuang ini adalah manusia sakti yang tinggal di
sumber air panas, dan agaknya yang tampak oleh mereka adalah kera tua
yang berpakaian pendeta dan yang sekarang, entah mengapa mungkin karena
tuanya, telah lumpuh! Tetapi, melihat kesungguhan mereka memuja Sun Go
Kong, dia tidak mau membuka rahasia itu dan diam saja.
"Dan tiga orang berambut riap-riapan yang menyerang kalian itu siapakah?"
"Kami sendiri juga heran mengapa orang-orang itu dapat mencari kami,"
jawab Ciu Toan. "Mereka adalah tiga orang dari Thian-liong-pang yang
amat terkenal memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi."
"Thian-liong-pang?" Bun Beng terkejut dan ia teringat akan pengalamannya
di muara Huang-ho. Dia pun tahu betapa hebat orang-orang
Thian-liong-pang. "Kenapa mereka datang menyerbu? Apakah kalian
bermusuhan dengan Thian-liong-pang?"
Ciu Toan menggeleng kepala. "Kami hanya memusuhi kaum penjajah. Akan
tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami suka dipaksa mengabdi
perkumpulan apa pun juga. Mereka datang seperti biasa mereka lakukan di
dunia kang-ouw, yaitu hendak menarik secara paksa agar kami suka masuk
menjadi anggota Thian-liong-pang."
"Aneh sekali!" Bun Beng berkata.
"Memang Thian-liong-pang kini telah terkenal sebagai perkumpulan yang
kuat, memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi dan mempunyai kebiasaan aneh,
yaitu suka memaksa orang-orang kang-ouw menjadi anggota mereka, bahkan
kadang-kadang menculik ketua-ketua perkumpulan lain yang dijadikan tamu
secara terpaksa!"
"Sungguh luar biasa!" Kembali Bun Beng berkata, teringat akan wanita
cantik tokoh Thian-liong-pang yang dijumpainya di muara Huang-ho itu.
"Betapa pun aneh dan luar biasa, namun engkau lebih aneh lagi,
Gak-inhong. Seorang anak kecil bersikap seperti engkau, muncul secara
luar biasa dari puncak tebing! Engkau... engkau tentu... ada hubungannya
dengan Dewa Sun Go Kong, bukan?"
Bun Beng merasa serba salah. Kalau dia berterus terang bahwa di atas
sana tidak ada dewa tidak ada iblis yang ada hanyalah kera-kera tak
berekor, kera baboon biasa saja, hanya ada seekor kera yang biasa
memakai pakaian, tentu cerita ini akan merupakan cemohan bagi
kepercayaan mereka. Untuk membohong, dia pun tidak biasa karena
orang-orang ini demikian jujur dan gagah, bagaimana ia mampu membohong
terhadap mereka dan mengatakan dia benar-benar bertemu dengan tokoh
khayal Sun Go Kong? Berterus terang tidak tega, membohong pun tidak mau,
habis bagaimana?
"Cu-wi-enghiong dan Cu-wi sekalian. Aku Gak Bun Beng adalah seorang anak
yatim piatu yang merantau tanpa tujuan dan secara kebetulan saja berada
di puncak tebing. Karena tersesat jalan tidak tahu bagaimana harus
turun, akhirnya aku mendapatkan akal, meniru burung membuat sayap tiruan
dan dengan nekat melayang ke bawah sini."
Orang-orang itu memandangnya tak percaya. "Akan tetapi engkau membuat sayap tiruan dari kulit harimau!"
Bun Beng tersenyum dan menjawab, "Aku mempunyai sedikit kepandaian untuk merobohkan dan membunuh beberapa ekor harimau."
"Hebat..., hebat...! Inkong tentu murid seorang sakti!" Mereka memandang kagum.
"Memang guruku sakti sayang beliau telah meninggal dunia." Bun Beng
menarik napas panjang, hatinya memang berduka kalau mengingat akan
gurunya, juga merasa sakit hati atas kematian suhu-nya yang amat
mengerikan.
"Bolehkah kami mengetahui siapa Suhu Inkong yang mulia?"
"Mendiang Guruku adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai."
"Aihhh...! Kiranya Inkong murid kakek yang sakti itu?" Orang-orang itu
menjadi makin kagum dan gembira sekali dan sikap mereka terhadap Bun
Beng makin menghormat. "Kami mempersilakan Inkong tinggal di sini
bersama kami. Dengan adanya Inkong di sini kami merasa senang dan aman.
Kami dua puluh lima orang...." Tiba-tiba Ciu Toan berhenti bicara dan
mukanya berubah.
"Dua puluh lima orang?" Bun Beng mencela. "Kulihat hanya ada sembilan belas orang. Mana yang enam orang lagi?"
Ciu Toan kelihatan bingung dan jelas bahwa dia telah terlanjur bicara
tanpa disengaja. "Kami... kami tadinya... bersisa dua puluh lima orang,
akan tetapi sayang... enam orang telah meninggal dunia di sini..." Ia
pun terdiam dan wajah mereka semua kelihatan muram.
Biar pun masih kecil Bun Beng dapat menduga bahwa pasti ada rahasia di
balik kematian enam orang saudara mereka itu yang agaknya tidak akan
mereka ceritakan kepada orang lain. Maka dia pun tidak mau mendesak
lebih lanjut.
Bun Beng yang tidak tahu harus pergi ke mana, menerima penawaran mereka
dan dia tinggal bersama mereka. Lebih senang tinggal dengan orang-orang
ini dari pada tinggal di atas dan menjadi ‘seekor’ di antara sekumpulan
kera itu, pikirnya. Dia mendapatkan sebuah kamar di goa dan di situ dia
menyimpan sepasang pedang dan kitabnya. Setiap hari dia membantu mereka
mengerjakan sawah atau berburu binatang di sekitar hutan di kaki gunung.
Namun beberapa hari kemudian, sembilan belas orang itu berpamit kepada
Bun Beng untuk mencari ‘akar obat-obatan’. Ketika Bun Beng menyatakan
hendak membantu, mereka menolak. "Ini adalah tugas pekerjaan kami yang
amat penting dan tidak boleh kami minta bantuan siapa pun juga," kata
Ciu Toan.
"Mengapa tidak boleh? Siapa yang tidak membolehkan? Dan akar obat-obatan apakah yang kalian cari?"
Mereka saling pandang dan kembali Bun Beng terheran melihat wajah mereka
muram dan seperti orang ketakutan. "Maaf, Gak-inkong. Kami tidak dapat
bercerita tentang ini. Harap suka menunggu di sini, kami hanya akan
pergi selama tiga hari."
Tanpa memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membantah lagi, pergilah
kesembilan belas orang itu membawa sepuluh buah keranjang kosong. Dia
terheran dan merasa penasaran sekali, akan tetapi dengan sabar ia
menanti. Setelah pada hari ke tiga dia tidak melihat mereka kembali, Bun
Beng kehabisan kesabarannya dan dia pun meninggalkan tempat itu, pergi
menyusul ke arah hutan di mana dia melihat mereka pergi tiga hari yang
lalu.
Hari masih pagi ketika Bun Beng berangkat dan tiba-tiba ia melihat
seekor burung yang besar sekali beterbangan di atas hutan di depan. Ia
terbelalak memandang dan tadinya ia mengira bahwa yang terbang itu
tentulah burung garuda tunggangan Pendekar Siluman. Jantungnya berdebar
tegang, juga girang karena berjumpa dengan Pendekar Siluman merupakan
idam-idaman hatinya.
Ia kagum dan tertarik sekali kepada pendekar kaki buntung itu.
Jantungnya makin berdebar keras ketika ia melihat burung besar itu
menukik turun dan benar saja, di atas punggung burung besar duduk
seorang manusia! Karena jaraknya jauh, dia tidak dapat mengenal orang
yang menunggang burung itu, akan tetapi siapa lagi di dunia ini yang
memiliki binatang tunggangan seekor burung besar kecuali Pendekar
Siluman?
Saking girangnya, lupalah Bun Beng akan niat hatinya semula menyusul
sembilan belas orang bekas pejuang dan kini ia berlari-larian menuju ke
arah hutan di mana burung itu beterbangan di atasnya, hutan yang agak
gundul karena di situ banyak terdapat batu gunung yang tinggi-tinggi.
Akan tetapi, setelah memasuki hutan dan tiba di dekat dinding gunung
batu ia terkejut dan merasa heran sekali.
Kiranya sembilan belas orang itu berada di situ, kesemuanya berlutut dan
di depan mereka berjajar sepuluh buah keranjang yang kini sudah terisi
akar-akar dan daun-daunan. Apa yang mereka lakukan itu? Ciu Toan
berlutut di deretan paling depan dengan wajah ketakutan. Ketika ia
mendengar bunyi kelepak sayap burung, ia memandang ke atas dan melihat
burung besar itu terbang rendah di atas pohon-pohon dan batu-batu.
Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa burung itu bukanlah garuda putih
tunggangan Pendekar Siluman, bahkan tampak pula olehnya bahwa yang duduk
di atas punggung burung besar itu adalah seorang anak laki-laki sebaya
dengan dia, berwajah tampan dan angkuh. Burung itu terbang rendah di
atas sepuluh buah kerajang seolah-olah memberi kesempatan kepada
penunggangnya untuk menjenguk ke bawah karena ia terbang miring,
kemudian membubung lagi sambil menyambar dua buah keranjang dengan kedua
cakarnya, lalu terbang menghilang. Namun sembilan belas orang itu masih
tetap berlutut dan Bun Beng masih bersembunyi memandang dengan jantung
berdebar tegang. Rahasia apa pula ini?
Tak lama kemudian, kembali bocah yang menunggang burung rajawali besar
itu datang di atas punggung burungnya, diikuti oleh tiga ekor burung
rajawali besar lain. Empat ekor burung itu menukik turun dan menyambar
keranjang-keranjang terisi akar dan daun-daunan, akan tetapi kini hanya
tujuh buah keranjang yang diterbangkan sedangkan sebuah keranjang lagi
yang isinya hanya sedikit, hampir kosong, tidak diangkat pergi.
"Kenapa hanya sembilan keranjang dan yang sebuah kosong?!" Tiba-tiba
terdengar bentakan dari atas, suara yang angkuh dan galak dari anak
laki-laki yang duduk di atas punggung rajawali.
Sembilan belas orang itu menjadi pucat mukanya dan jelas tampak tubuh mereka gemetar.
"Maaf... kami... telah berusaha tiga hari tanpa henti mengumpulkan, akan
tetapi karena setiap tiga bulan diambil terus, kini hasilnya makin
kurang dan hanya mendapatkan sembilan keranjang..."
"Bohong! Malas!" Anak di atas burung itu membentak, suaranya nyaring
galak sehingga Bun Beng yang mendengarnya menjadi gemas dan marah.
"Kalian berani menentang dan membantah perintah kami? Tidak cukup
murahkah nyawa kalian semua ditebus dengan akar-akar dan daun-daun obat
tiga bulan sekali? Siapa yang bertanggung jawab akan kekurangan ini?"
Sembilan belas orang itu berlutut dengan tubuh gemetar dan mereka itu
tak dapat menjawab hanya menggumamkan kata-kata mohon maaf.
"Diam semua!" Anak itu membentak dan mereka semua terdiam. "Siapa yang
bertanggung jawab? Ataukah semua bertanggung jawab dan siap menerima
hukuman dari kami?"
Tiba-tiba Ciu Toan meloncat berdiri dan dengan sikap yang gagah ia
menengadah memandang anak laki-laki di punggung burung rajawali sambil
berkata nyaring, "Aku, Ciu Toan yang bertanggung jawab atas kekurangan
ini, saudara-saudaraku tidak ada yang bersalah, akulah yang siap
menerima hukuman!"
Anak itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Nah, kalau begitu,
menunggu apa lagi? Apakah harus kami yang turun tangan menyuruh burung
rajawali merobek-robek perutmu?"
"Tidak! Aku Ciu Toan bukan orang yang takut mati. Demi keselamatan
saudara-saudaraku, biarlah saat ini aku menerima hukuman!" Tiba-tiba Ciu
Toan mencabut pedangnya dan langsung menggorok leher sendiri!
"Ciu-twako...!" Bun Beng meloncat maju dan lari menghampiri dengan niat
mencegah, sedangkan para bekas pejuang hanya berlutut sambil menangis.
Namun terlambat. Tubuh Ciu Toan terhuyung dan roboh dengan leher hampir
putus, tewas seketika!
"Keparat! Setan...!" Bun Beng mengepal tinju dan memandang ke atas, akan
tetapi bocah di atas punggung rajawali itu tertawa, burungnya terbang
tinggi dan dari jauh masih terdengar gema suara ketawanya. Barulah
orang-orang itu bergerak, menubruk dan menangisi jenazah Ciu Toan.
"Kalian ini orang-orang gagah macam apa? Mengapa tidak bangkit melawan
bocah setan yang menunggang burung itu? Mengapa membiarkan Ciu-twako
membunuh diri? Apa artinya ini semua?" Bun Beng membanting-banting
kakinya dengan marah.
"Sssttt... In-kong, harap jangan bicara di sini. Marilah kita pulang
membawa jenazah Ciu-twako dan nanti kami akan ceritakan semua," jawab
seorang di antara mereka dengan sikap takut-takut.
Biar pun marah dan hampir tak dapat menahan kesabarannya, namun terpaksa
Bun Beng menurut karena tidak ada yang mau menjawab pertanyaannya.
Jenazah Ciu Toan diangkut dan setelah dikebumikan dengan upacara
sekedarnya, Bun Beng mendengar penuturan delapan belas orang itu....
"Agaknya Dewa Sun Go Kong hanya menolong kami dari ancaman lain, akan
tetapi tekanan dari Majikan Pulau Neraka ini membuat kami tidak berdaya
dan tidak ada yang mampu menolong...," kata mereka sambil menarik napas
dengan muka berduka sekali.
"Pulau Neraka? Bocah itu dari Pulau Neraka?"
Orang tertua dari para pejuang itu mengangguk. "Sudah amat lama
terjadinya. Ketika kami mencari daun-daun obat di hutan, kami bertemu
dengan seorang anggota Pulau Neraka yang membutuhkan akar jinsom dan
daun pencuci darah yang banyak terdapat di hutan itu. Kami dan dia
berebutan dan bertanding. Karena dia hanya seorang dan kami keroyok,
pada waktu itu jumlah kami masih dua puluh lima orang, dia terluka dan
melarikan diri. Akan tetapi, beberapa hari kemudian datang seorang tokoh
Pulau Neraka yang bermuka kuning, kami dikalahkan dan dipaksa menukar
nyawa dengan penyerahan sepuluh keranjang akar dan daun obat setiap tiga
bulan. Burung-burung rajawali itu yang datang mengambil dan sudah dua
kali ini yang mewakili Pulau Neraka adalah anak laki-laki itu. Amat
sukar mengumpulkan akar dan daun obat sekian banyaknya. Tiga orang
saudara kami tewas tergigit ular beracun di waktu mencari obat siang
malam, dan yang dua orang terpaksa membunuh diri seperti yang dilakukan
Ciu-twako karena penyetoran obat kurang. Sekarang Ciu-twako yang
mengorbankan diri."
Bun Beng mengepal tinjunya, penasaran sekali. "Mengapa kalian tidak melawan?"
Orang itu menggeleng kepala. "Melawan tiada gunanya. Kepandaian mereka
hebat bukan main. Melawan satu orang yang bermuka kuning itu saja kami
tidak berdaya sama sekali. Pula, kami sudah berjanji ketika kami
dikalahkan. Ciu-twako membunuh diri untuk menolong saudara-saudaranya.
Siapa pun di antara kita yang menjadi pemimpin, tentu akan berbuat
seperti dia. Kami tidak berdaya...."
Bun Beng menggeleng-geleng kepala. "Sungguh menjemukan kalau begitu, mengapa Cu-wi tidak pergi saja meninggalkan tempat ini?"
"Pergi ke mana? Kami adalah orang-orang buruan. Di tempat ramai sudah
siap orang-orang pemerintah penjajah untuk menangkap kami," jawab orang
itu penuh duka.
Bun Beng bangkit berdiri dan memandang orang-orang itu dengan hati
penasaran. Dia masih kecil, akan tetapi dia sudah tahu apa artinya
kegagahan, maka melihat sikap orang-orang yang dianggapnya gagah perkasa
ini, hilang kesabarannya.
"Cu-wi sekalian tadinya kuanggaap sebagai orang-orang yang gagah perkasa
dan patut dikagumi, akan tetapi sekarang mengapa begini.... pengecut?
Seorang gagah lebih mengutamakan kehormatan dari pada nyawa! Lebih baik
melawan penindas sampai mati dari pada membiarkan diri dihina dan
ditindas seperti yang dilakukan orang-orang Pulau Neraka kepada Cu-wi!
Bukankah orang dahulu mengatakan bahwa lebih baik mati sebagai seekor
harimau dari pada hidup sebagai seekor babi?"
Delapan belas orang itu memandang kepada Bun Beng dengan wajah muram.
Pemimpin baru mereka, yang tertua, berkata. "Kami telah menyerahkan jiwa
raga untuk negara dan bangsa, kami akan melawan sampai mati terhadap
penjajah. Kami tahu kapan dan terhadap siapa dapat melawan. Menghadapi
Pulau Neraka, kami tidak berdaya, melawan berarti mati semua. Kalau kami
menakluk, berarti hanya beberapa orang terancam bahaya mati, masih ada
sisanya untuk menanti kesempatan melakukan perlawanan terhadap penjajah
Mancu. Kami tidak akan menyia-nyiakan nyawa kami hanya untuk urusan
pribadi."
Jawaban ini membuat Bun Beng tertegun keheranan dan ia tidak mengerti
apakah orang-orang ini tergolong orang gagah ataukah orang bodoh. Kalau
pengecut terang bukan karena mereka itu takut melawan bukan karena takut
mati, melainkan takut kalau mereka mati dengan sia-sia, bukan mati
menghadapi penjajah yang agaknya sudah menjadi cita-cita hidup mereka.
Maka dia tidak membantah lagi dan diam-diam ia mengatur persiapan untuk
menghadapi bocah penunggang rajawali dari Pulau Neraka yang dibencinya
itu.
Diam-diam Bun Beng menyembunyikan sepasang pedangnya ke dalam sebuah goa
kecil yang tidak dipakai, menutup goa dengan batu dan menanam rumput
alang-alang di depannya. Kitab Sam-po-cin-keng yang sudah ia hafal di
luar kepala isinya itu dibakarnya. Semua ini ia lakukan tanpa
sepengetahuan delapan belas orang itu yang kini sibuk mengumpulkan lagi
sepuluh keranjang akar dan daun obat yang sebelum waktu penyetoran tiba
agar tidak jatuh korban lagi di antara mereka.
Tiga bulan kemudian, ketika sepuluh buah keranjang itu disiapkan di
tempat biasa dan delapan belas orang itu berlutut menanti datangnya
burung-burung rajawali yang hendak mengambil keranjang-keranjang itu,
Bun Beng telah berada di dalam sebuah di antara keranjang obat yang
tertutup. Diam-diam dia telah memasuki keranjang yang telah ia keluarkan
isinya dan hal ini dapat ia lakukan karena ia memaksa mereka untuk
diperbolehkan membantu mereka ketika ia menyusul mereka ke hutan.
Bun Beng memiliki jiwa petualang yang besar, yang tumbuh dengan cepat
semenjak dia diajak oleh mendiang Siauw Lam Hwesio ke muara Sungai
Huang-ho dan banyak mengalami hal-hal yang aneh dan melihat tokoh-tokoh
kang-ouw yang luar biasa. Dia telah melihat tokoh-tokoh Pulau Neraka,
bahkan dia tahu bahwa ketika kecil, orang-orang Pulau Neraka ikut pula
memperebutkan dirinya. Hal ini hanya berarti bahwa di antara ayahnya
yang disebut Kang-thouw-kwi Gak Liat, dengan pimpinan Pulau Neraka tentu
ada hubungannya, karena ibunya seorang tokoh Siauw-lim-pai, tentu tidak
mempunyai hubungan dengan Pulau Neraka.
Kini, mendengar bahwa bocah yang angkuh dengan burung-burung rajawali
besar itu datang dari Pulau Neraka timbul niat di hatinya untuk ikut ke
Pulau Neraka, di mana dia akan menegur cara mereka mengumpulkan
obat-obatan dengan memeras dan menekan bekas-bekas patriot atau pejuang
itu! Tentu saja Bun Beng tahu bahwa perbuatannya amat berbahaya bagi
keselamatannya, namun dia sama sekali tidak merasa takut. Kalau bocah
sombong dan angkuh itu berani menunggang di punggung rajawali, mengapa
dia tidak berani diterbangkan dengan bersembunyi di dalam keranjang akar
obat?
Jantung Bun Beng berdebar keras ketika menanti di dalam keranjang,
khawatir kalau-kalau ada di antara delapan belas orang itu yang
mencarinya dan ada yang memeriksa keranjang. Akan tetapi hatinya lega
melihat dari celah-celah keranjang bahwa ke delapan belas orang itu
berlutut dengan menundukkan kepala, sama sekali tidak memperhatikan
sepuluh buah keranjang yang kini terisi penuh semua.
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan nyaring yang tersusul suara kelepak
sayap di atas pohon-pohon. Burung-burung itu telah datang! Bun Beng
cepat merendahkan tubuhnya dan menutupi kepalanya dengan daun-daun obat,
jantungnya berdebar tegang. Burung rajawali yang ditunggangi anak
laki-laki itu seperti biasa terbang rendah di atas keranjang-keranjang
itu dan anak laki-laki itu memeriksa isi keranjang dari tutup yang
berlubang-lubang. Kemudian kelepak sayap terdengar makin keras, burung
rajawali mulai menyambar dan membawa terbang keranjang-keranjang itu!
Keranjang di mana Bun Beng bersembunyi mendapat giliran terakhir.
Hatinya lega bercampur tegang ketika ia merasa tubuhnya terangkat dan
terayun-ayun, merasa betapa tubuhnya membubung tinggi!
Agak pening juga rasa kepala Bun Beng dan perutnya terasa mual hendak
muntah, akan tetapi kalau teringat kepada anak yang menunggang rajawali
terbang, ia menguatkan hatinya dan menggigit bibir. Entah berapa lama
dia diterbangkan dan kini dia tidak merasa pening atau mual lagi,
agaknya dia sudah mulai biasa! Kalau dahulu ia ‘terbang’ sendiri di atas
tebing tidaklah begini mengerikan karena dia dapat melihat
sekelilingnya, tidak seperti sekarang mendekam di dalam keranjang.
Tiba-tiba ia mendengar suara keras sekali dan baru ia ketahui bahwa
rajawali yang menggondol keranjang itulah yang mengeluarkan suara keras.
Dia mendengar pula pekik rajawali-rajawali lain dan lapat-lapat
mendengar suara dua orang saling memaki! Bun Beng terheran-heran.
Bagaimana mungkin di angkasa ada dua orang bercekcok? Saking herannya,
ia membuka tutup keranjang dan betapa kagetnya saat menyaksikan
pemandangan yang amat hebat.
Di angkasa itu, anak laki-laki yang angkuh dari Pulau Neraka sedang
bertanding melawan seorang anak perempuan sebaya yang menunggang seekor
burung garuda putih yang besar. Mereka berdua sama-sama memegang pedang
dan bertanding mati-matian sambil saling memaki! Juga burung garuda itu
membantu penunggang masing-masing, saling bertempur mempergunakan cakar
dan paruh!
Tiba-tiba Bun Beng teringat! Burung garuda putih itu! Serupa benar
dengan burung tunggangan Pendekar Siluman! Ahhh! Bukankah dahulu
Pendekar Siluman mencari muridnya? Murid perempuan? Agaknya perempuan
inilah murid Pendekar Siluman! Perasaan kagum dan sukanya terhadap
Pendekar Siluman otomatis tertumpah kepada murid perempuan pendekar itu,
apa lagi lawan anak perempuan itu adalah anak laki-laki yang angkuh dan
yang dibencinya. Dia sampai lupa menutupkan kembali tutup keranjang,
lupa bahwa keranjang yang didudukinya itu dicengkeram oleh kaki rajawali
yang besar dan kuat, dan dia asyik menonton pertandingan sambil
mendengarkan percekcokan mulut. Agaknya kedua anak itu sama-sama galak
dan pandai memaki!
"Iblis cilik! Rajawalimu akan mampus oleh garudaku seperti juga engkau akan mampus di tanganku!" bentak anak perempuan itu.
"Ha-ha-ha, kau perempuan kuntilanak! Hanya galak dan main gertak saja.
Pedangku akan membuat kau terguling, dan tubuhmu akan hancur gepeng
terbanting ke bawah!" Anak laki-laki itu balas memaki.
"Mampuslah!"
Anak perempuan itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya, tangan kiri
mencengkeram bulu leher garudanya, pedangnya menusuk dengan dahsyat.
Karena tubuhnya condong ke depan, maka serangannya itu amat hebat,
mengarah tenggorokan lawan.
"Tranggggg...!"
Anak laki-laki itu menangkis, akan tetapi pedang di tangan anak
perempuan itu secara aneh dan cepat sekali menyeleweng dari atas
membesut melalui pedang lawan dan langsung menikam dada!
"Celaka...!" Anak laki-laki itu berteriak.
Ia lalu menggerakkan tubuhnya meloncat ke kanan. Dalam kegugupannya
menghadapi serangan maut itu, dia lupa bahwa dia duduk di atas punggung
rajawalinya yang sedang terbang, maka ketika ia meloncat ke kanan,
otomatis tubuhnya melayang jatuh dari punggung rajawali!
Betapa pun bencinya terhadap anak laki-laki yang angkuh itu, hati Bun
Beng merasa ngeri juga menyaksikan tubuh anak itu terguling jatuh dari
atas punggung rajawali, padahal tanah di bawah sedemikian jauhnya sampai
hampir tidak tampak teraling awan!
Akan tetapi anak laki-laki itu ternyata hebat, tenang dan cekatan. Juga
rajawali tunggangannya sudah terlatih. Cepat ia menggerakkan tangan dan
berhasil memegang kaki rajawali dengan tangan kirinya. Melihat ini, anak
perempuan itu marah dan kembali mendoyongkan tubuh ke depan untuk
menusukkan pedangnya. Sambil bergantungan kepada kaki rajawalinya, anak
laki-laki itu menangkis.
"Cringgg...!" sepasang pedang bertemu dengan kerasnya sehingga bunga api berpijar.
Melihat kemenangan majikannya, garuda putih itu kelihatan bersemangat.
Paruhnya menghunjam ke arah kepala rajawali. Rajawali cepat mengelak,
akan tetapi paruh garuda itu masih mengenai pinggir sayapnya sehingga
banyak bulu burung rajawali membodol dan berhamburan melayang. Rajawali
memekik dan terbang menjauh, dikejar oleh burung garuda.
Agaknya melihat kawannya bertempur, rajawali yang mencengkeram keranjang
Bun Beng hendak membantu. Ketika garuda putih itu kembali menerjang
rajawali yang kini sudah diduduki lagi punggungnya oleh anak laki-laki
yang kelihatan marah sekali, rajawali yang membawa Bun Beng menerkam
dari belakang, menggunakan kaki kiri dan paruhnya karena kaki kanannya
mencengkeram keranjang terisi Bun Beng. Garuda putih tak sempat
menghadapi lawan dari belakang ini karena pada saat itu dia harus
menghadapi serangan balasan lawannya yang marah. Melihat ini, anak
perempuan itu memutar pedangnya menusuk ke arah rajawali ke dua. Burung
rajawali ini menggerakkan paruhnya menangkis.
"Trangg...! Aihhhh... pedangku!" Anak perempuan itu berteriak marah dan
kaget karena pedangnya terpental, terlepas dari tangannya dan melayang
turun lenyap ditelan awan.
Kini burung garuda itu memekik-mekik siap menghadapi penggeroyokan dua
ekor burung rajawali. Setiap ada lawan mendekati, kedua kakinya
menerjang secepat kilat dan tentu berhasil merontokkan beberapa helai
bulu lawan. Menyaksikan kegarangan garuda ini, kedua ekor burung
rajawali hanya terbang mengelilingi dan mengancam. Kini anak laki-laki
itu tertawa-tawa mengejek kepada anak perempuan yang sudah tak
bersenjata lagi.
"Ha-ha-ha-ha, kuntilanak kecil! Engkau telah terkurung sekarang. Mana
kegaranganmu tadi? Ayo bersumbarlah sekarang, ha-ha-ha! Engkau tahu rasa
sekarang. Apa kau kira semua orang takut kepada penghuni Pulau Es?
Ha-ha, mukamu sudah pucat! Betapa pun juga, wajahmu manis sekali. Jika
kau menyerah dan ikut bersamaku ke tempatku, aku akan menjamin bahwa
engkau akan diampuni, akan tetapi untuk itu aku minta upah dan balas
jasa. Tidak sukar, asal engkau kelak suka berlutut dan mengangguk-angguk
delapan kali di depan kakiku, menyebut aku Koko yang baik, lalu
membiarkan aku mencium kedua pipimu, engkau bahkan akan kujadikan
sahabatku dan...."
"Tutup mulutmu yang busuk! Berani engkau memandang rendah Pulau Es? Biar
aku mati, Suhu tentu akan mencarimu dan merobek mulutmu serta membunuhi
semua nenek moyangmu, kalau engkau tidak begitu pengecut untuk
menyebutkan nama dan tempatmu!"
Gadis cilik itu terpaksa harus miringkan tubuh dan mencengkeram bulu
leher burungnya ketika burungnya terserang dari atas bawah dan menukik
miring untuk menghindarkan diri dan balas menyerang. Sebuah tusukan dari
anak laki-laki itu berhasil dia tangkis dengan tendangan mengarah
pergelangan tangan, namun anak laki-laki itu sudah cepat menarik kembali
tangannya sambil menyeringai.
"Ha-ha-ha! Kematian sudah di depan mata, engkau masih menyombongkan
Pulau Es! Dan engkau menyombongkan Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.
Tentu dia gurumu, bukan? Ha-ha-ha, tunggu saja. Nanti pimpinan kami akan
membasmi seluruh penghuni Pulau Es, termasuk Pendekar Siluman."
"Keparat sombong! Aku tahu sekarang! Engkau tentu seorang di antara anggota Thian-liong-pang yang sombong!"
"Heh-heh-heh, boleh kau terka, bocah manis! Engkau tidak akan tahu!"
"Dia dari Pulau Neraka!" Tiba-tiba Bun Beng tak dapat menahan kemarahannya lagi sehingga ia lupa diri dan berteriak.
"Hahh...?" Kini anak laki-laki itu memandang dan baru tahu bahwa
keranjang terakhir itu bukan berisi akar dan daun obat, melainkan terisi
seorang anak laki-laki! "Kau... siapa...?"
Sementara itu anak perempuan itu tersenyum mengejek, "Aha, kiranya
engkau adalah keturunan orang-orang buangan itu? Pantas seperti iblis!"
Bun Beng yang kini tidak meragukan lagi bahwa gadis cilik itu tentulah
murid Pendekar Siluman yang dikaguminya, ketika melihat betapa
pengeroyokan dua ekor rajawali membahayakan garuda dan gadis cilik itu,
segera menggerakkan tangan menghantam ke arah perut rajawali yang
membawa keranjangnya.
"Bukkk!"
Pukulan Bun Beng di luar tahunya kini berbeda dengan pukulannya sebelum
ia mempelajari Sam-po-cin-keng. Tenaga sinkang-nya bertambah kuat sekali
berkat bertelanjang selama setengah tahun dan mempelajari ilmu silat
yang mukjizat. Begitu terkena hantaman ini, rajawali memekik dan
otomatis cengkeramannya pada keranjang itu terlepas dan tubuh Bun Beng
ikut meluncur ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia sukar bernapas!
Akan tetapi rajawali itu sendiri yang sudah terluka dan terkejut oleh
pukulan Bun Beng, segera kabur terbang secepatnya. Ditinggalkan
kawannya, burung rajawali pertama menjadi jeri, juga anak laki-laki itu
agaknya menjadi jeri setelah rahasianya terbuka, maka ia menyuruh
burungnya terbang pergi meninggalkan burung garuda dan anak perempuan
yang menungganginya.
Anak perempuan itu terbelalak penuh kengerian dan berusaha mengikuti
keranjang terisi anak laki-laki yang jatuh dengan pandangan matanya.
Akan tetapi jatuhnya keranjang itu terlampau cepat dan sudah lenyap
ditelan awan, maka ia menggerakkan pundaknya dan menyuruh garudanya
terbang pergi juga dengan cepat sekali.
"Bibi Pek-eng (Garuda Putih), bawa aku pulang ke Pulau Es. Sudah terlalu
lama kita pergi, aku khawatir Suhu akan marah sekali kepadaku!" Bisik
anak perempuan itu kepada garudanya.
Anak itu, tepat seperti dugaan Bun Beng, adalah Giam Kwi Hong, keponakan
dan juga murid dari Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, To-cu
(Majikan Pulau) Pulau Es. Anak ini telah dibawa olah Suma Han ke Pulau
Es di mana dia digembleng oleh pendekar sakti itu sebagai muridnya.
Karena dia amat disayang oleh gurunya yang juga menjadi pamannya, dan
karena semua penghuni Pulau Es juga sayang dan takut kepadanya, maka Kwi
Hong memiliki watak yang agak manja sehingga dia berani meninggalkan
Pulau Es di luar tahu gurunya.
Hal ini adalah karena dia selalu dilarang untuk meninggalkan pulau dan
memang anak yang ditekan dan dilarang, biasanya setelah agak besar akan
berontak karena larangan itu justru menimbulkan daya tarik dan gairah
untuk mengetahui bagaimana macamnya dunia di luar Pulau Es! Kwi Hong
menunggang garuda betina putih meninggalkan pulau untuk ‘melihat-lihat’.
Garuda itu terbang menuju ke timur laut, akan tetapi karena dia merasa
lelah setelah bertempur, tanpa diperintah setelah terbang setengah hari
lamanya, dia menukik turun dan hinggap di atas gunung karang dekat laut
untuk beristirahat. Burung ini biar pun terlatih dan kuat sekali, namun
dia tetap seekor binatang yang bergerak menurutkan kebutuhan tubuhnya.
Dia merasa lelah dan harus beristirahat sebelum melanjutkan penerbangan
ke Pulau Es yang jauh.
Karena lelah kedua-duanya, baik garuda itu mau pun Kwi Hong tidak tahu
bahwa dari depan tampak dua titik hitam yang terbang cepat sekali.
Ketika Kwi Hong melompat turun dari punggung garudanya, dua titik hitam
itu telah berada di atas dan ternyata itu adalah dua ekor burung
rajawali, ditunggagi oleh anak laki-laki bekas lawannya tadi sedangkan
yang seekor lagi ditunggangi oleh seorang wanita yang cantik sekali. Dua
ekor rajawali itu meluncur turun dan tak lama kemudian hinggap tak jauh
dari situ.
Melihat bekas lawannya, garuda putih memekik dan menerjang maju, akan
tetapi wanita itu menggerakkan tangan dan tampak berkelebat bayangan
hitam kecil panjang yang menyambut tubuh garuda. Di lain saat, garuda
itu telah terbelenggu kedua kaki dan paruhnya sehingga tidak mampu
bergerak, hanya kedua sayapnya saja bergerak-gerak dan tubuhnya
meronta-ronta.
"Diam engkau!" Wanita cantik itu tiba-tiba mencelat ke dekat garuda,
sekali tangannya menotok burung itu rebah miring tak mampu menggerakkan
kedua sayapnya lagi.
"Setan! Kau apakan burungku...?" Kwi Hong marah sekali dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal.
"Inikah anak perempuan itu?" Wanita cantik itu bertanya kepada anak laki-laki yang cepat mengangguk.
"Dialah kuntilanak kecil itu. Biar aku membunuhnya!" Berkata demikian,
anak laki-laki itu sudah menerjang maju dengan pedangnya, menusuk dada
Kwi Hong yang cepat mengelak dan mengirim tendangan yang juga dapat
dielakkan oleh anak laki-laki itu.
"Engkau setan iblis cilik kurang ajar! Kau kira aku takut padamu? Biar
kau bawa semua penghuni Pulau Neraka ke sini, aku tidak takut!" Kwi Hong
balas memaki dan kini biar pun bertangan kosong, dia menerjang maju
dengan ganas dan dahsyat. Setelah turun dari punggung burung, barulah ia
tahu bahwa anak laki-laki itu lebih muda darinya, maka keberaniannya
makin membesar. Masa dia takut terhadap anak kecil?
Ilmu silat Kwi Hong saat itu sudah mencapai tingkat hebat juga berkat
gemblengan paman atau gurunya. Selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga
dia memiliki sinkang yang jauh lebih kuat dari pada lawannya, di samping
gerakan ginkang-nya yang membuat tubuhnya ringan dan gesit bukan main.
Biar pun lawannya memegang pedang, namun setelah bertanding tiga puluh
jurus yang ditonton wanita cantik penuh perhatian, kini dia mulai
mendesak terus sedangkan anak laki-laki itu sibuk memutar-mutar pedang
menjaga diri dari serangan yang datang bertubi-tubi dari segala jurusan
itu.
"Mundur kau!" Tiba-tiba wanita cantik itu mendorongkan tangannya dan tubuh Kwi Hong terpental ke belakang.
Kwi Hong marah sekali. "Engkau siluman!"
Dan ia maju lagi, akan tetapi tubuhnya tidak dapat maju, seolah-olah ada
dinding tak tampak yang menghadang di depannya. Ia mencoba melompat
mundur, juga tidak berhasil. Tubuhnya telah dikurung hawa yang amat kuat
yang tidak memungkinkan dia lari ke mana pun juga!
"Bocah liar, apakah engkau murid Suma Han, Pendekar Siluman itu?" Wanita itu bertanya, suaranya dingin sekali.
Kwi Hong mengangkat muka memandang. Dia maklum bahwa wanita itu memiliki
kesaktian hebat, akan tetapi sebagai murid Pendekar Super Sakti, dia
tidak takut dan memandang wanita itu penuh perhatian. Wanita itu belum
tua, belum ada tiga puluh tahun, memiliki kecantikan luar biasa sekali,
dengan sepasang matanya yang lebar, bening dan bersinar tajam akan
tetapi juga mengerikan. Tubuhnya ramping dan padat, ditutup pakaian yang
serba hitam sehingga wajahnya yang sudah putih menjadi makin jelas
warna putihnya.
Diam-diam Kwi Hong bergidik. Warna putih wajah wanita itu tidak wajar!
Bukan putih susu, bukan pula putih karena pucat, melainkan putih sama
sekali, seperti putihnya kapur!
"Benar, aku adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es.
Sebaiknya engkau yang memiliki ilmu siluman jangan mengganggu aku kalau
sudah mengenal betapa lihainya Guruku agar kelak tidak menyesal."
"Heh-heh, kuntianak cilik! Engkau masih berani menggertak Ibuku?" Anak laki-laki itu mengejek.
"Keng In! Diam engkau!" Wanita itu membentak dan Kwi Hong memandang heran.
"Ah, jadi bocah nakal ini anakmu? Kalau begitu apakah engkau ini Majikan Pulau Neraka?"
Wanita cantik bermuka putih itu mengangguk. "Tidak salah, akulah Majikan
Pulau Neraka dan engkau harus ikut bersamaku ke Pulau Neraka."
"Aku tidak sudi!" Kwi Hong melotot dengan berani.
Wanita itu tersenyum dan makin heranlah Kwi Hong. Kalau wanita itu diam,
wajahnya yang putih tampak dingin menakutkan, akan tetapi kalau
tersenyum bukan hanya mulutnya yang tersenyum, melainkan juga matanya,
hidungnya dan seluruh wajahnya. Cantik dan manis bukan main!
"Mau tidak mau harus ikut."
"Ahh, tidak malukah engkau sebagai Majikan Pulau Neraka hanya pandai
memaksa seorang anak kecil? Kalau engkau memang sakti seperti dikabarkan
orang, coba kau lawan Guruku, tentu dalam sepuluh jurus engkau mati!"
"Anak, engkau menarik! Engkau penuh keberanian. Hemm, agaknya Suma Han
masih belum dapat mengatasi kegalakan anak perempuan, hanya pandai
melatih silat tetapi tidak pandai mengekang keliaranmu. Siapa namamu?"
"Aku Giam Kwi Hong!"
Wanita itu mengerutkan kening. "Apa engkau masih mempunyai hubungan keluarga dengan Gurumu?"
Kwi Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng dan berkata bangga.
"Benar! Nah, engkau tidak boleh main-main dengan aku, karena Pamanku
tentu akan marah kepadamu."
Kembali wanita itu tersenyum. "Memang aku ingin membuat dia marah, aku
ingin dia mencoba-coba merampasmu dari tanganku, ingin Pendekar Siluman
berani datang ke Pulau Neraka dan menghadapi kami. Hayo!"
Kwi Hong hendak meronta dan menolak, akan tetapi entah bagaimana,
tahu-tahu tubuhnya terlempar ke depan disambut lengan wanita itu dan
tahu-tahu ia telah dibawa mendekati garuda putihnya. Sekali wanita itu
menggerakkan tangan, tali hitam dari sutera yang mengikat kaki dan paruh
burung itu terlepas dan totokannya pun bebas pula.
"Pulanglah engkau lapor majikanmu!" Wanita itu menepuk punggung garuda
putih yang agaknya maklum akan kelihaian wanita itu karena dia memekik
kesakitan lalu terbang ke arah timur.
Wanita itu lalu meloncat ke punggung rajawali bersama Kwi Hong yang
dikempitnya, lalu burung itu terbang cepat ke atas, disusul oleh anak
laki-laki bernama Keng In yang juga sudah meloncat ke punggung
rajawalinya.
Dari atas punggung rajawali itu, Kwi Hong melihat betapa mereka menuju
ke sebuah pulau di tengah laut. Pulau itu dari atas kelihatan hitam
sekali, menjadi lawan Pulau Es yang kelihatan putih dari atas. Di
sekelilingnya terdapat pulau-pulau mati yang tidak ada
tumbuh-tumbuhannya. Setelah burung itu berada di atas pulau hitam,
tampak olehnya bahwa tumbuh-tumbuhan di situ berwarna hijau gelap
mendekati biru sehingga dari atas tampak hitam, apa lagi karena di atas
pulau itu terdapat awan hitam yang seolah-olah selalu menyelimuti pulau.
Kedua burung rajawali itu meluncur turun dan setelah tidak begitu tinggi
tampak oleh Kwi Hong betapa pulau itu dikelilingi tepi laut yang
merupakan tebing-tebing batu karang, sedangkan secara aneh sekali ombak
besar menghantam tepi pantai dengan dahsyat dari segala penjuru. Dia
bergidik. Pulau yang buruk dan menyeramkan. Bagaimana mungkin ada perahu
dapat mendarat di pulau ini kalau ombaknya demikian besar? Tentu perahu
itu akan dihempaskan ke batu karang dan hancur lebur!
Kini tampak rumah-rumah di pulau itu. Gentengnya terbuat dari kayu yang
hitam pula, atau dicat hitam? Begitu burung itu menukik turun dan
hinggap di pekarangan sebuah rumah besar seperti istana, tampak banyak
orang berlarian datang menyambut.
Tiba-tiba Kwi Hong tertawa saking geli hatinya. Dia melihat wajah anak
yang bernama Keng In itu biasa saja seperti orang lain, hanya ibunya
yang mengaku Majikan Pulau Neraka itu wajahnya berwarna putih seperti
kapur, seperti dicat putih. Kini orang-orang yang lari berdatangan itu
memiliki wajah yang beraneka warna. Ada yang mukanya berwarna hitam
seperti arang, ada yang biru, ada yang merah, ungu, hijau, kuning. Akan
tetapi terbanyak adalah warna-warna yang gelap, sedangkan muka yang
berwarna terang, terutama yang kuning, tidak banyak. Tidak ada seorang
pun yang berwarna putih mukanya seperti wanita ibu Keng In itu.
"Hi-hi-hik-hik! Alangkah lucunya. Mengapa kalian penghuni-penghuni Pulau
Neraka mencat muka kalian? Apakah hari ini akan diadakan pesta dan
panggung sandiwara dan kalian semua ikut bermain?"
Semua orang yang datang menyambut To-cu mereka itu melotot mendengar
ucapan ini. Seorang wanita cantik, yang mukanya berwarna merah muda
sehingga warna ini amat menguntungkan karena menambah kecantikannya,
bertanya.
"Twanio, siapakah bocah kurang ajar ini?"
Dari pandang mata semua orang, jelas bahwa pertanyaan yang diajukan kepada ketua ini mewakili suara hati semua orang.
"Dia? Dia ini adalah murid dan juga keponakan dari Pendekar Siluman..."
Mendengar wanita itu menyebut julukan gurunya yang amat tidak disukanya,
Kwi Hong memotong cepat, "Beliau adalah Pendekar Super Sakti tanpa
tanding, To-cu dari Pulau Es yang terkenal di seluruh pelosok dunia!"
Akan tetapi ucapannya itu seolah-olah tidak terdengar oleh mereka karena
mendengar disebutnya nama Pendekar Siluman itu saja para penghuni Pulau
Neraka sudah menjadi amat terkejut dan saling pandang. Dari sinar mata
mereka jelas tampak betapa mereka itu terkejut dan jeri. Melihat ini,
Kwi Hong melanjutkan kata-katanya.
"Awas kalian kalau mengganggu aku! Guruku akan datang dan membasmi Pulau Neraka ini beserta seluruh penghuninya!"
Akan tetapi Ketua Pulau Neraka itu dengan tenang berkata, "Kwi Hong,
engkau anak kecil tahu apa? Tidak perlu membuka mulut besar karena aku
sengaja membawamu ke sini agar Gurumu datang. Hendak kulihat apakah dia
akan mampu merampasmu kembali. Dan engkau bebas di sini, mau ke mana pun
boleh."
Kwi Hong cepat memutar tubuhnya menghadapi wanita muka putih itu. "Aku boleh pergi?"
Wanita itu tersenyum. "Silakan!"
"Terima kasih!" Kwi Hong lalu meloncat dan lari pergi meninggalkan pekarangan rumah itu.
"Biarkan dia pergi ke mana dia suka, akan tetapi awasi baik-baik agar
dia tidak sampai celaka. Persiapkan anak panah dan semua senjata
rahasia. Begitu ada burung garuda muncul di atas pulau, sambut dengan
anak panah dan senjata-senjata rahasia, terutama anak panah berapi.
Kalau Pendekar Siluman mampu menerobos masuk ke Pulau Neraka, aku
sendiri yang akan menandinginya!"
Para penghuni pulau itu bubar dan sibuk melaksanakan perintah Ketua
mereka. Mereka kelihatan panik karena nama besar Pendekar Super Sakti
sudah lama mereka dengar dan mereka rata-rata merasa jeri terhadap
pendekar itu. Yang kelihatan tenang hanyalah Si Ketua dan beberapa orang
yang tingkatnya sudah tinggi, yaitu mereka yang mukanya berwarna
kuning, hijau pupus atau merah muda. Penjagaan ketat dilakukan siang
malam, dan persiapan menyambut lawan istimewa itu dilakukan dengan rapi.
Dengan hati girang Kwi Hong berlari keluar dari kelompok bangunan itu,
memasuki sebuah hutan. Tidak disangkanya bahwa Ketua Pulau Neraka itu
demikian baik hati sehingga dia diperbolehkan pergi begitu saja!
Tiba-tiba ia berhenti berlari dan memandang terbelalak ke depan karena
di depannya menghadang barisan ular yang berwarna merah dan hitam, bukan
main banyaknya! Ada ribuan ekor dan mereka mengeluarkan suara
mendesis-desis dan tampak uap hitam keluar dari moncong mereka! Kwi Hong
menggigil dan cepat membelok ke kanan, akan tetapi di mana pun penuh
ular, demikian pula di kiri.
Terpaksa ia memutar tubuhnya dan lari ke lain jurusan. Melihat sebuah
hutan lain yang berdekatan, dia masuk dan hatinya lega karena tidak
melihat ular seekor pun. Akan tetapi, hutan ini amat gelap dan tidak ada
lorong bekas kaki manusia, maka ia masuk secara ngawur saja. Tiba-tiba
terdengar suara mengaung yang makin lama makin keras. Suara itu
seolah-olah datang dari segenap penjuru, membuat telinganya serasa akan
pecah dan kepalanya pening. Selagi ia kebingungan, tiba-tiba ia melihat
ribuan ekor lebah berwarna hitam beterbangan mengejarnya!
Celaka, pikirnya. Lebah tidak seperti ular yang dapat ditinggal lari
begitu saja. Tentu akan mengejarnya dengan kecepatan terbang dan kalau
dia dikeroyok, celaka! Ia membalikkan tubuhnya dan lari hendak keluar
dari hutan. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia tidak tahu lagi mana
jalan keluar. Lama ia berlari cepat dengan ribuan lebah terbang
mengejarnya, dan dia masih belum keluar dari hutan, bahkan mungkin
tersesat makin dalam!
Ketika lebah-lebah itu sudah dekat sekali, ia mencium bau amis dan
wangi. Makin takutlah dia karena maklum bahwa lebah-lebah itu adalah
binatang berbisa. Jangankan dikeroyok begitu banyak, disengat oleh
seekor pun bisa berbahaya. Saking bingung dan gugupnya, ia tersandung
dan jatuh menelungkup. Lebah-lebah sudah mengiang di atas kepalanya
sehingga dengan hati ngeri Kwi Hong menggunakan kedua tangan menutupi
kepalanya. Kedua matanya dipejamkan dan hatinya mengeluh, "Mati aku
sekarang!"
Akan tetapi, tiba-tiba suara itu menghilang berbareng dengan timbulnya
suara melengking tinggi seperti suara suling. Ia membuka mata dan
bangkit duduk. Ribuan ekor lebah berbisa itu benar-benar telah pergi dan
tampak olehnya sesosok bayangan seorang laki-laki tua bermuka hijau
pupus berkelebat pergi ke arah kiri. Dia mengerti bahwa tentu orang itu
mengusir lebah dengan tiupan suling, maka ia pun mengikuti bayangan
orang Pulau Neraka yang menolongnya itu.
Benar dugaannya, orang yang memegang suling itu agaknya sengaja menanti
dia karena beberapa kali berhenti agar Kwi Hong tidak sampai tertinggal.
Kiranya jalan keluar dari hutan itu tidaklah semudah ketika masuk.
Laki-laki tua itu membelok ke kiri, ke kanan, sampai berulang kali, ada
kalanya seperti memutar dan bahkan mengambil arah yang bertentangan
dengan arah tadi. Kwi Hong mengikuti terus dan betapa girang serta heran
hatinya ketika dalam waktu sebentar saja dia sudah keluar dari hutan!
Akan tetapi kakek muka hijau itu pun sudah lenyap. Kwi Hong dapat
mengerti bahwa tentu kakek itu diperintah oleh ketuanya untuk menolong
dia, maka kembali ia merasa berterima kasih dan tidak mengerti mengapa
Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu mula-mula menculiknya kemudian kini
membolehkan dia pergi malah menyuruh orang menolongnya dari bahaya maut.
Ia berjalan terus, mengambil jurusan yang berlawanan dengan hutan-hutan
yang dimasukinya tadi. Ia melihat daerah yang berbatu dan ke sanalah ia
menuju. Biar pun batu-batu itu kelihatan hitam menyeramkan, namun dia
tidak takut. Dia harus keluar dan pergi dari pulau ini.
Kakinya mulai terasa lelah, namun Kwi Hong tidak mau berhenti dan
mendaki pegunungan kecil dari batu-batu karang hitam itu. Ketika ia tiba
di bagian yang paling tinggi, tampaklah air laut membentang luas jauh
di depan bawah. Dari tempat itu kelihatan air laut tenang dan hanya di
pantai tampak membuas putih. Hatinya menjadi girang, akan tetapi begitu
ia mulai menuruni batu-batu itu, tiba-tiba ia tersentak kaget mendengar
suara menggereng yang menggetarkan batu karang yang diinjaknya.
Ketika ia memandang ke bawah, ia terpekik dan mukanya menjadi pucat. Di
depannya, di antara batu-batu karang itu, terdapat binatang-binatang
yang bentuknya seperti cecak, akan tetapi besar sekali, panjangnya dari
dua meter sampai tiga meter. Ada ratusan ekor banyaknya, baris memenuhi
jalan di depannya dengan mulut terbuka, lidahnya keluar masuk dan tampak
gigi yang runcing mengerikan.
"Ohhhh...!" Kwi Hong cepat membalikkan tubuhnya dan lari pergi dengan
maksud mengambil jalan lain yang tidak melalui tempat berbahaya itu.
Dilihatnya daerah yang penuh dengan tanaman menjalar dan kelihatannya
bersih, tidak terdapat binatang-banatang buas.
Ke sinilah ia berlari. Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit karena ketika
kakinya menyentuh tanaman menjalar itu, tiba-tiba kedua kakinya terlibat
dan tanaman itu seperti hidup! Ujung ranting-ranting tanaman yang lemas
dan panjang itu seperti tangan-tangan setan menyergapnya dan melibat
seluruh tubuhnya dengan kekuatan yang luar biasa, seolah-olah memiliki
daya menempel dan menyedot.
Kwi Hong meronta-ronta, menggunakan kekuatan kaki tangannya untuk
melepaskan diri, namun sia-sia karena lilitan ‘tangan-tangan’ tanaman
itu makin erat saja. Dan dilihatnya tanaman yang tumbuh di sekitarnya
sudah bergerak-gerak seolah-olah tanaman-tanaman itu hidup dan kini
berusaha untuk melepaskan diri dari tanah dan mengeroyoknya!
"Iiiihhh...!" Ia menjerit ketika sehelai di antara ‘tangan-tangan’ itu merayap dan akan melilit lehernya.
Pada saat itu tampak berkelebat sinar hitam, terdengar suara keras dan
tanaman yang melilitnya itu jebol dari tanah berikut akar-akarnya.
Begitu jebol, tanaman itu seolah-olah kehilangan tenaganya dan dengan
mudah Kwi Hong melepaskan diri, lalu meloncat menjauhi tanaman-tanaman
berbahaya itu. Dia merasa betapa kulit bagian tubuh yang terlilit tadi
terasa gatal-gatal panas, tanda bahwa tanaman itu pun mengandung racun
jahat!
Dia tidak peduli lagi ketika melihat sesosok bayangan berkelebat pergi,
hanya dapat menduga bahwa tentu bayangan itu yang tadi menolongnya. Dia
lari cepat, ingin menjauhi tempat berbahaya itu secepat mungkin. Kini
hanya tinggal satu jurusan lagi yang dapat ia ambil.
Kembali ke belakang berarti kembali ke perkampungan penghuni. Ke kiri
berarti memasuki hutan-hutan yang penuh binatang-binatang berbisa, di
antaranya ular-ular dan lebah yang telah dijumpainya. Entah
binatang-binatang berbisa mengerikan apa lagi yang berada di situ, dia
tidak mampu membayangkan. Kalau ke kanan berarti dia harus melalui
tanaman-tanaman hidup itu atau binatang-binatang cecak raksasa!
Kini dia berlari ke depan, satu-satunya daerah yang belum dilaluinya.
Tampak dari atas daerah ini seperti daerah aman karena tidak tampak
tanaman, tidak ada binatang hidup, melainkan pasir bersih yang terus
membentang sampai ke laut. Itulah agaknya jalan keluar!
Betapa girang hatinya ketika ia sudah menuruni pegunungan dan tiba di
daerah pasir itu. Bersih tidak ada bahaya. Biar pun dia sudah lelah
sekali dan napasnya masih terengah karena merasa ngeri oleh
pengalamannya tadi, namun dalam girangnya Kwi Hong tidak merasakan
kelelahannya dan ia berlari terus, hendak mencapai tepi laut secepatnya.
Pasir yang terbentang luas dan selalu tertimpa sinar matahari itu
terasa hangat dan lunak.
"Aihhhh...!" Tiba-tiba Kwi Hong menjerit karena kakinya amblas ke dalam pasir sampai selutut tingginya.
Cepat ia berusaha menarik kaki kirinya yang terjeblos ini ke atas, akan
tetapi begitu ia mempergunakan tenaga pada kaki kanan untuk menekan
pasir dan menarik kaki kirinya, kini kaki kanannya juga ambles ke bawah,
malah melewati lututnya! Ia terkejut sekali, mengerahkan tenaga untuk
keluar. Akan tetapi, makin banyak ia mengeluarkan tenaga, makin dalam
kedua kakinya amblas ke dalam pasir sehingga setelah tubuhnya masuk ke
pasir sampai pinggang, Kwi Hong diam tak berani bergerak lagi dan hanya
memandang ke sekeliling dengan mata terbelalak seperti kelinci masuk
perangkap!
Keadaan sekelilingnya sunyi, yang ada hanya pasir dan terdengar
lapat-lapat mendeburnya ombak di pantai depan. Tiba-tiba terdengar suara
gerengan keras. Ia memutar tubuh atas dan terbelalak memandang dengan
hati penuh kengerian. Seekor binatang seperti anjing hutan sedang datang
berlari, matanya merah, moncongnya menggereng-gereng dan binatang itu
lari ke arah dia terbenam di pasir!
Tak dapat diragukan lagi niat yang terbayang di mata binatang itu, sudah
tentu akan menerkamnya! Binatang itu meloncat, Kwi Hong menjerit dan
dengan mata terbelalak ia melihat betapa kaki binatang itu amblas pula
ke dalam pasir, hanya dalam jarak dua meter di sebelah kirinya! Kini
binatang itu melolong-lolong, meronta-ronta, namun tubuhnya makin amblas
ke bawah. Makin dalam sehingga yang tampak hanya lehernya saja.
Binatang itu memandang kepadanya dengan marah dan gerengannya makin
hebat.
Seolah-olah terasa oleh Kwi Hong hawa panas yang menyembur dari mulut
yang terbuka lebar itu. Kwi Hong hampir pingsan, matanya tak pernah
berkedip memandang binatang itu yang ternyata adalah seekor anjing
srigala yang berbulu hitam. Tubuh binatang itu makin amblas, lolongannya
makin dahsyat dan akhirnya gerengannya berhenti karena kepalanya mulai
terbenam, mulutnya kemasukan pasir, hidungnya, matanya dan akhirnya yang
tampak hanya ujung kedua telinganya yang masih bergerak-gerak dalam
sekarat. Akhirnya kedua ujung telinganya itu pun lenyap. Binatang itu
telah ditelan pasir, tanpa meninggalkan bekas!
"Tolong...!" Kwi Hong menjerit dengan hati penuh kengerian ketika ia
merasa betapa tubuhnya makin amblas, agaknya kakinya disedot dan ditarik
sesuatu.
Berdiri bulu kuduknya karena timbul dugaannya bahwa srigala itu telah
menjadi setan dan kini setan penasaran itu menarik kedua kakinya ke
bawah! Dia tidak tahu bahwa tempat itu memang paling berbahaya dari pada
daerah lain di pulau itu. Ancaman bahaya lain tampak di depan mata,
sedikitnya orang dapat menjaga diri. Akan tetapi bahaya pasir ini tidak
tampak, kelihatan tenang dan aman, akan tetapi sekali orang terperosok
ke dalamnya, pasir di bawah yang bergerak itu akan menyedot tubuh sampai
terbenam di dalamnya dan tentu saja akan mati!
Karena panik dan tubuhnya menegang, Kwi Hong terhisap makin dalam, kini
dia terbenam sampai ke dada! Tiba-tiba terdengar suara. "Wirrrrr!"
Dan sinar hitam menyambar, tahu-tahu dada dan kedua lengannya telah
terbelit sehelai tali sutera hitam dan tubuhnya ditarik keluar dari
pasir! Dia menengok dan melihat wanita cantik bermuka putih. Majikan
Pulau Neraka telah berdiri kurang lebih sepuluh meter di sebelah
kanannya dan sedang menggunakan tali sutera hitam untuk membetotnya.
Sebentar saja tubuhnya sudah tertarik keluar dan diseret sampai ke depan
kaki wanita itu yang melepaskan libatan tali suteranya.
"Ohhhh... ahhhh..." Kwi Hong merangkak bangun sambil terengah-engah,
kemudian ia berdiri di depan wanita itu yang menggulung talinya dan
melibatkan di pinggangnya yang ramping sambil memandang kepadanya.
"Aku mengerti sekarang...." Kwi Hong berkata marah. "Kiranya engkau
tidak sebaik yang kuduga! Engkau sengaja membebaskan aku karena yakin
bahwa aku tidak akan dapat pergi dari pulau setan ini! Engkau sengaja
mempermainkan aku!"
"Sudah puaskah engkau sekarang? Jangankan engkau, biar Gurumu sekali pun
belum tentu dapat memasuki dan keluar dari pulau ini. Aku membebaskan
engkau karena tahu bahwa lari dari sini tidak mungkin. Masih banyak lagi
bahaya-bahaya yang lebih hebat dari pada yang kau lihat tadi. Ada
rawa-rawa yang mengeluarkan uap beracun, binatang-binatang mulai dari
sebesar harimau sampai sekecil semut yang gigitannya mengandung bisa
maut, tanah-tanah yang dapat merekah dan mengubur manusia hidup-hidup.
Ini adalah Pulau Neraka, tahu? Kau kutahan di sini untuk melihat apakah
Gurumu akan mampu merampasmu kembali."
Kwi Hong bergidik, kemudian berkurang kemarahannya terhadap wanita itu.
Dalam dunia kang-ouw, tidaklah aneh kalau seorang tokoh menggunakan
siasat memancing datangnya lawan dengan penculikan seperti yang
dilakukan atas dirinya. Betapa pun juga, ia harus mengaku bahwa dia
tidak menerima perlakuan yang tidak baik.
"Sungguh mengherankan. Jika Pulau Neraka ini begini berbahaya melebihi
gambaran neraka sendiri, mengapa kalian suka menjadi penghuni di sini?"
tanyanya sambil memandang wajah jelita yang berwarna putih itu,
diam-diam menduga-duga apakah warna pada muka mereka itu disebabkan oleh
keadaan pulau yang amat mengerikan ini.
"Engkau takkan mengerti. Marilah kita pulang. Engkau tentu lelah dan amat lapar bukan?"
Kwi Hong mengerutkan keningnya. "Lelah dan lapar tidak penting. Yang
penting, kapan engkau hendak membebaskan aku dari pulau jahanam ini?"
"Engkau anak baik, berani dan patut menjadi murid Pendekar Siluman..."
"Pendekar Super Sakti!" Kwi Hong memotong.
Wanita aneh itu tersenyum. "Baiklah Pendekar Super Sakti. Kapan engkau
bebas, tergantung dari Gurumu. Kalau dia tidak berhasil merampasmu
kembali, aku akan senang sekali kalau engkau menjadi muridku, menjadi
teman puteraku."
"Aku tidak sudi! Terutama sekali tidak sudi menjadi teman anakmu yang kurang ajar itu!"
Sejenak wanita itu mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang lebar itu
mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi tidak lama ia dapat menguasai
kemarahannya dan berkata. "Dia nakal dan manja, akan tetapi tidak kurang
ajar. Marilah!"
Kwi Hong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil membikin marah wanita
aneh ini dan tanpa menjawab ia lalu mengikuti wanita itu pergi dari
situ. Sungguh amat mengherankan. Wanita itu mengambil jalan
membelak-belok tidak karuan, akan tetapi sebentar saja mereka telah tiba
di depan gedung besar seperti istana yang temboknya bercat hitam itu!
Anak laki-laki bernama Keng In itu datang berlari-lari menyambut mereka
dan begitu melihat Kwi Hong, ia tertawa dan mengejek.
"Aha, engkau datang lagi? Tadinya kusangka engkau akan dapat keluar dari pulau ini!"
"Keng In, mulai sekarang engkau tidak boleh bersikap kurang ajar dan
mengganggu Kwi Hong. Dia tawanan kita, akan tetapi juga tamu terhormat.
Kau ajak dia bermain-main dengan baik, tapi tidak boleh kau ganggu.
Kalau sampai engkau mengganggunya dan dia menghajarmu, aku tidak akan
membelamu!" Wanita itu berkata.
Keng In membelalakkan matanya, memandang ibunya seperti orang kaget dan
heran karena selamanya ibunya tidak pernah menegurnya dengan kata-kata
keras, kemudian wajahnya menjadi muram dan kecewa, mulutnya merengut,
tetapi dia mengangguk dan bibirnya menjawab lirih, "Baik, Ibu."
Di dalam hatinya, diam-diam Kwi Hong merasa puas. Rasakan kau sekarang,
pikirnya! Akan tetapi karena dia merasa tidak enak hati terhadap wanita
itu, dia diam saja dan tidak membantah ketika diajak makan. Melihat
keadaan di pulau yang menyeramkan itu, Kwi Hong tadinya tidak
mengharapkan makanan yang baik. Akan tetapi betapa heran dia dan juga
girang hatinya ketika menghadapi meja, dia melihat hidangan yang serba
lezat dan mahal! Baru masakan ikan udang dan kepiting serta penghuni
laut lainnya saja sudah ada belasan macam, belum daging binatang darat
dan sayur mayur yang serba lengkap. Benar-benar seperti hidangan dalam
istana raja! Karena perutnya lapar, dan wataknya bebas tidak malu-malu,
Kwi Hong tanpa sungkan makan hidangan yang disukainya, diam-diam memuji
karena selain serba lengkap, juga masakannya amat enak, tidak kalah oleh
masakan di Pulau Es!
Sudah satu minggu Kwi Hong tinggal di Pulau Neraka. Dia mendapat
perlakuan yang baik, mendapat kamar di sebelah kiri kamar ketuanya
sendiri dengan pintu tembusan. Keng In tinggal di kamar sebelah kanan.
Agaknya Ketua Pulau Neraka itu hendak mengawasi sendiri kepada Kwi Hong,
siap untuk mempertahankan apabila Suma Han datang! Namun Kwi Hong
mendapat kebebasan penuh, hanya ke mana dia pergi, perlu ada yang
diam-diam mengawasinya, terutama tokoh-tokoh muka kuning yang
kedudukannya sudah tinggi.
Mentaati perintah ibunya, kini Keng In tidak lagi suka mengganggunya,
bahkan setelah kenal, anak laki-laki ini merupakan teman yang cukup
menyenangkan. Otaknya cerdas sekali dan Kwi Hong mendapat banyak
keterangan mengenai pulau mengerikan itu dari Keng In.
Di pulau itu terdapat sekawanan burung rajawali yang dijinakkan,
jumlahnya ada sembilan ekor. Burung-burung itu dilatih sedemikian rupa
sehingga hanya mentaati perintah wanita majikan pulau, puteranya, dan
empat orang tokoh muka kuning saja. Terhadap perintah lain orang,
burung-burung ini tidak peduli, apa lagi terhadap perintah Kwi Hong yang
mereka anggap sebagai musuh! Maka lenyaplah harapan Kwi Hong untuk
dapat melarikan dari dengan bantuan seekor di antara burung-burung itu.
Demikian terlatih burung-burung itu sehingga mereka tidak mau menerima
makanan yang diberikan Kwi Hong.
Pulau itu berpenghuni kurang lebih lima puluh orang. Selain Keng In, ada
pula belasan orang anak-anak laki perempuan, akan tetapi karena mereka
itu adalah anak-anak dari para anak buah pulau, tentu saja mereka takut
mendekati Keng In yang di situ seolah-olah menjadi semacam ‘pangeran’.
Betapa pun juga, ada beberapa orang di antara mereka yang menjadi teman
Keng In dan kini sudah berkenalan pula dengan Kwi Hong.
"Semua orang di sini mengecat mukanya, mengapa engkau dan anak-anak itu
tidak?" Pada suatu hari Kwi Hong bertanya kepada Keng In.
"Mengecat muka? Ah, betapa bodoh anggapan itu. Warna-warna pada muka
penghuni Pulau Neraka menjadi tanda akan kedudukan mereka, karena warna
itu timbul setelah sinkang mereka meningkat tinggi. Makin terang
warnanya, makin tinggi ilmu kepandaian dan kedudukan mereka."
"Ahh, kalau begitu, Ibumu yang mempunyai warna putih merupakan orang yang paling pandai?"
"Tentu saja! Tidak ada yang dapat menandingi Ibu. Kemudian menyusul para
tokoh bermuka kuning dan merah muda, hijau pupus dan selanjutnya, makin
gelap warna mukanya, makin rendah kedudukannya. Yang tinggal di pulau
ini adalah anggota yang sudah memiliki kepandaian, sudah melatih ilmu
sinkang yang khas sehingga ada warna timbul di mukanya. Masih ada
puluhan anggota paling rendah yang belum berhasil memiliki sinkang
sehingga mukanya berwarna, dan mereka itu belum boleh tinggal di pulau,
melainkan di sekitar Pulau Neraka, yaitu di pulau-pulau kecil dan
sewaktu-waktu kalau tenaga mereka dibutuhkan, baru mereka dipanggil.
Yang berhasil, mula-mula mukanya hitam, lalu merah dan selanjutnya,
jangan kau memandang rendah. Warna-warna itu menandakan bahwa kami telah
memiliki sinkang khas Pulau Neraka yang amat lihai!"
"Hemmm.... dan engkau sendiri mengapa belum memiliki warna pada mukamu?"
Keng In mengerutkan alisnya. "Sebelum berusia lima belas tahun,
anak-anak tidak boleh mempelajari sinkang itu, bisa membahayakan
nyawanya. Sinkang itu dilatih dengan minum racun-racun dahsyat setiap
hari! Tentu saja anak-anak dari mereka yang sudah berwarna mukanya boleh
tinggal di sini."
Kwi Hong teringat akan segala macam binatang dan tetumbuhan beracun di
pulau ini dan dia bergidik. Ia maklum bahwa memang penghuni Pulau Neraka
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mendengar cara berlatih sinkang
sambil minum racun itu, dia dapat membayangkan betapa hebat ilmu mereka.
Akan tetapi dia masih merasa yakin bahwa gurunya akan mampu menandingi
mereka semua, bahkan Si Wanita Muka Putih ibu Keng In.....
"Kenapa begitu jahat, memaksa orang-orang di gunung mengumpulkan obat-obat setiap bulan?"
"Eh, kau tahu juga?"
"Tentu saja, kalau tidak masa aku menyerangmu. Aku telah menyelidiki
secara diam-diam di punggung garudaku dan menyaksikan kesibukan mereka,
melihat pula betapa di antara mereka ada yang membunuh diri karena tidak
dapat mengumpulkan akar dan daun obat secukupnya. Mengapa kau begitu
jahat?"
"Itu adalah perintah Ibuku. Mereka itu terlalu sombong, tidak mau
mengalah bahkan melukai anggota kami yang mencari obat. Kami amat
membutuhkan akar-akar dan daun-daun obat itu. Engkau melihat sendiri
keadaan di pulau ini. Banyak racun yang berbahaya mengancam kami, bahkan
hawa yang kami hisap setiap saat telah keracunan. Tanpa obat-obat yang
tepat untuk memusnahkan racun, bagaimana kami bisa hidup?"
Kwi Hong mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan tidak bisa menyalahkan
mereka. Gadis cilik yang hidup di Pulau Es ini pun mengerti akan
kebenaran yang dipergunakan sebagai hak yang lebih kuat untuk hidup
kalau perlu dengan menekan atau membunuh yang lemah. Hukum rimba berlaku
di tempat-tempat yang berbahaya di mana makhluk harus menjaga diri
sendiri dari bahaya-bahaya yang mengancam dan di mana satu-satunya yang
dibutuhkan hanya kekuatan dan kemenangan! Keadaan seperti itu memaksa
manusia mengandalkan kekuatan untuk hidup dan hal ini menjadi kebiasaan
membentuk watak orang-orang kang-ouw yang tidak suka akan segala macam
aturan!
********************
Ketika Suma Han meloncat turun dari burung garudanya di depan Istana
Pulau Es, tiga orang pembantu utamanya yang menyambut memandang dengan
penuh perhatian. Terutama sekali Phoa Ciok Lin yang menjadi kepala
pengurus bagian dalam, seorang wanita muda yang cantik jelita, memandang
wajah Suma Han dengan mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang.
Dia melihat sesuatu pada wajah yang menjadi pujaan hatinya.
Dia tahu bahwa pendekar yang dikaguminya itu menderita tekanan batin
yang hebat sekali. Biar pun pendekar itu dapat menutupinya di dalam hati
sehingga tidak tampak sedikit pun ketegangan urat syarafnya, akan
tetapi wajah yang tampan itu terselubung kemurungan yang amat mendalam.
Yap Sun, wakil bagian luar Pulau Es yang bertubuh gemuk berusia lima
puluh tahun itu pun mengerti bahwa majikannya sedang berduka, demikian
pula Thung Sik Lun, sute-nya yang kurus. Namun pandangan mereka tidak
setajam Phoa Ciok Lin yang lebih menggunakan perasaan hatinya.
"Kami mohon maaf kepada To-cu bahwa kami tidak berhasil mencari Siocia.
Apakah To-cu juga tidak berhasil?" Yap Sun melapor dan sekaligus
bertanya sungguh pun dia sudah menduga bahwa kemurungan wajah majikannya
itu tentu karena Kwi Hong tak berhasil ditemukan.
Suma Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam ia terkejut melihat
pandang mata Phoa Ciok Lin yang tajam menyelidik. Tentu wajahnya telah
membayangkan perasaan hatinya yang terhimpit, pikirnya. "Bocah itu
benar-benar membikin repot banyak orang. Aku tidak berhasil
menemukannya, Paman Yap. Sampai jauh aku menjelajah tanpa hasil. Biarlah
kita menunggu saja di pulau, kalau dia sudah bosan merantau tentu akan
pulang juga."
Sambil berkata demikian, Suma Han lalu melangkah masuk ke dalam Istana
Pulau Es yang kuno namun kini bersih itu, diikuti oleh Phoa Ciok Lin
yang sejak tadi hanya menyambut kedatangan Suma Han dengan pandang
matanya yang bening.
"Kusediakan makan, Taihiap?"
Suma Han menggeleng. "Aku tidak lapar."
"Ingin beristirahat? Kamar Taihiap sudah kusuruh bersihkan setiap hari. Atau perlu disediakan minum? Minum apakah?"
"Tidak usah repot, Ciok Lin, dan terima kasih atas kebaikanmu. Aku hanya
ingin... menyendiri." Suma Han lalu menjatuhkan diri di atas sebuah
kursi dan menyandarkan tongkatnya di meja.
Ciok Lin tetap berdiri memandang, kedua tangan tergantung seperti orang
lemas, wajahnya penuh kekhawatiran. Karena sampai lama wanita itu masih
berdiri tanpa bergerak, Suma Han mengangkat muka memandang. Dua pasang
mata bertemu dan Suma Han menunduk kembali.
"Ciok Lin, maaf. Kau tinggalkan aku, aku ingin menyendiri." katanya.
Gadis yang usianya sebaya, hanya lebih muda satu tahun dari Majikan
Pulau Es itu menahan napas menekan hati yang perih. "Baiklah,
Taihiap...." Ia membalikkan tubuh dan melangkah pergi dengan muka
menunduk.
"Ciok Lin..." Suma Han menyadari akan sikapnya. Dia tahu betapa
pembantunya ini selain amat setia, juga memujanya seperti dewa, bahkan
kadang-kadang ada sinar mata memancar keluar dari sepasang mata yang
membuat dia khawatir karena sinar mata itu jelas membayangkan sinar
kasih sayang amat mendalam! Ia menyesal telah bersikap sedingin itu
setelah orang menyambutnya demikian ramah dan penuh perhatian.
Dengan gerakan cepat, gadis itu memutar tubuh. "Ada apakah, Taihiap?"
Suma Han tersenyum minta maaf, dan mulutnya terkata. "Aku memang tidak
lapar, akan tetapi akan segarlah kalau kau suka mengambilkan secawan air
dingin dari sumber."
Wajah yang manis itu berseri gembira. "Baik, Taihiap, segera
kuambilkan!" Dan kini tubuh gadis itu tidak melangkah perlahan dengan
muka menunduk lagi, melainkan berkelebat dan lenyap laksana menghilang
saja.
Suma Han tersenyum seorang diri. Perempuan! Sungguh lebih mudah mengukur
dalamnya lautan dari pada mengukur dalamnya hati perempuan. Semenjak
kecil ia hidup bersama Lulu adiknya, mengira bahwa dia sudah mengenal
adik angkatnya itu lahir batin. Siapa kira kenyataan menunjukkan bahwa
dia sama sekali tidak mengenal isi hatinya sehingga segala jeri payah
yang ia lakukan untuk adik angkatnya itu malah berakibat sebaliknya
seperti yang ia harapkan.
Dia berhasil mengawinkan adiknya dengan Wan Sin Kiat, seorang pemuda
pilihan, tampan dan gagah perkasa, berbudi mulia dan berjiwa pendekar.
Akan tetapi, siapa kira pernikahan itu malah merupakan kesengsaraan bagi
Lulu yang kemudian nekat meninggalkan suaminya bersama anaknya sehingga
Wan Sin Kiat membunuh diri dengan cara berjuang sampai mati! Semua itu
karena Lulu mencinta dia? Benarkah seperti yang dikatakan Im-yang
Seng-cu? Dan dia... sudah lama namun dianggapnya terlambat ketika ia
merasa yakin bahwa satu-satunya cinta kasih murni yang berada di hatinya
adalah untuk Lulu seorang!
Semenjak pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu dan mendengar berita
tentang Lulu, Suma Han mengalami pukulan batin yang amat hebat, lebih
hebat dari pada kekhawatirannya tentang kepergian Kwi Hong. Semenjak
itu, dia tidak pernah makan, minum atau tidur sehingga ketika ia tiba di
istana Pulau Es, tubuhnya menjadi kurus, mukanya sayu dan agak pucat.
Kini menghadapi sikap Phoa Ciok Lin, pembantunya yang setia, hatinya
terasa makin perih. Kalau mungkin, dia minta dijauhkan dari pada kaitan
kasih sayang dengan wanita! Betapa banyaknya penderitaan batin yang ia
alami karena hubungan kasih sayang ini yang hanya tampaknya saja manis,
namun sesungguhnya mengandung kepahitan yang sampai lama terasa di hati.
Berkelebatnya bayangan menyadarkannya dari lamunan dan Ciok Lin telah
berdiri di depannya, membawa sebuah cawan kosong dan seguci air segar
yang baru diambilnya dari sumber air di atas pegunungan pulau itu.
Diam-diam Suma Han memuji. Ilmu kepandaian Ciok Lin telah meningkat
dengan hebat dan kini dapat dipercaya menjadi orang kedua di Pulau Es,
jauh melampaui kepandaian Yap Sun sendiri! Ia memandang wajah itu dan
diam-diam tersenyum di hatinya. Gadis itu telah mengambil air dari
gunung yang cukup jauh, bahkan telah mencuci muka, bersisir, dalam waktu
yang amat cepat!
Suma Han menerima air di cawan yang dituangkan oleh Ciok Lin, lalu meminumnya. Segar dingin terasa sampai ke perutnya.
"Terima kasih, Ciok Lin."
"Tambah lagi, Taihiap?"
"Cukup, letakkan saja di meja, nanti kuambil sendiri."
Sejenak Ciok Lin ragu, kemudian ia memberanikan diri, mengangkat muka
memandang wajah yang bayangannya sudah terukir di hatinya itu. "Taihiap,
dalam kepergian Taihiap mencari Kwi Hong, apakah Taihiap berjumpa
dengan kenalan lama?"
Suma Han membalas pandangan itu dengan sinar mata penuh selidik, "Ciok Lin, mengapa kau menduga demikian?"
Ciok Lin menarik napas panjang lalu berkata, "Semenjak saya berada di
sini, saya melihat Taihiap hidup tenang dan tenteram seperti permukaan
laut yang tidak tersentuh angin. Akan tetapi sekarang laut itu
bergelombang dan digelapkan awan. Apa lagi yang menimbulkan hal itu
kecuali pertemuan dengan kenalan lama dan dipaksa mengenang
peristiwa-peristiwa lalu?"
Suma Han menghela napas, "Aihhh, dugaanmu memang benar, Ciok Lin. Sekali
berkunjung ke dunia ramai, banyak persoalan tidak menyenangkan hati
terdengar. Akan tetapi sudahlah, aku akan beristirahat dan akan mencoba
melupakan semua itu. Yang terpenting adalah soal perginya Kwi Hong.
Harap engkau suka meninggalkan aku sendiri."
"Baiklah, Taihiap."
Sekali ini Ciok Lin pergi dan Suma Han duduk termenung mengenangkan
kata-katanya sendiri. Melupakan? Urusan dengan Im-yang Seng-cu, urusan
dendam Tan-siucai bekas tunangan Lu Soan Li yang katanya mendendam
kepadanya, urusan perebutan pusaka-pusaka yang lenyap. Semua itu dapat
dengan mudah ia lupakan karena memang tidak dipikirkannya lagi. Akan
tetapi Lulu...! Dapatkah ia melupakan Lulu?
Kalau adik angkatnya itu hidup bahagia di samping suami dan anaknya,
tentu dia akan dapat melupakannya, atau bahkan ikut merasa berbahagia
karena adik yang dicintanya itu hidup bahagia. Akan tetapi sekarang?
Kebahagiaan itu berantakan dan betapa mungkin ia dapat melupakannya? Apa
lagi karena perginya Lulu meninggalkan suaminya itu menimbulkan dugaan
di hatinya bahwa tentu Lulu yang telah melakukan hal yang menghebohkan
dan menggegerkan dunia kang-ouw.
Siapa lagi yang dapat membongkar kuburan dan membawa pergi Sepasang
Pedang Iblis? Hanya dia dan Lulu yang mengetahui di mana adanya sepasang
pedang itu dikubur. Di mana sekarang adanya Lulu dan anaknya?
Jangan-jangan..., ahhh, dia teringat akan ketua Thian-liong-pang, wanita
yang mukanya diselubungi kain itu. Bentuk tubuhnya, suaranya, dan sinar
mata dari balik selubung itu! Mengapa dia begitu bodoh? Tentu Lulu
orangnya!
Akan tetapi kalau benar Lulu, mengapa menantangnya? Dan ilmu
kepandaiannya pun hebat sekali. Orang seperti Lulu memungkinkan
terjadinya segala hal aneh. Dia tidak akan merasa heran kalau tiba-tiba
Lulu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari padanya sendiri!
Yang amat mengherankan hatinya, kalau benar ketua Thian-liong-pang itu
Lulu adanya, mengapa waktu itu menantang dia? Mengapa seperti hendak
memusuhinya?
Sampai tiga hari lamanya pertanyaan ini mengganggu hati Suma Han. Ketika
pada pagi hari itu ia mengambil keputusan untuk pergi lagi meninggalkan
Pulau Es, pertama untuk mencari Kwi Hong lagi dan kedua untuk
menyelidiki Thian-liong-pang karena ia merasa penasaran kalau belum
membuka selubung muka Ketua itu untuk melihat apakah dugaannya tidak
salah, tiba-tiba terdengar seruan-seruan di luar istana.
"Garuda betina datang...!"
"Nona Kwi Hong tidak bersama dia...!"
Seruan-seruan itu cukup menyatakan bahwa garuda betina pulang tanpa Kwi
Hong, berarti bahwa telah terjadi sesuatu dengan diri murid atau
keponakannya itu! Akan tetapi Suma Han tidak menjadi gugup. Dengan
tenang ia berloncatan keluar dan garuda betina sudah berada di
pekarangan bersama garuda jantan yang agaknya sudah lebih dulu
menyambut. Melihat Suma Han, garuda betina itu lalu mendekam dan
mengeluarkan suara seperti rintihan, kemudian meloncat ke atas terbang
dan turun lagi mendekam, terbang lagi dan mendekam lagi.
Suma Han menghampiri, "Apakah Nona ditawan orang?"
Garuda itu mengeluarkan suara dan mengangguk-angguk, lalu terbang dan
mendekam lagi. Suma Han menoleh kepada pembantu-pembantunya dan berkata,
"Agaknya Kwi Hong ditawan orang, biar aku sendiri yang menyusul dan
menolongnya. Jaga pulau baik-baik, aku pergi takkan lama." Setelah
berkata demikian ia menggapai dengan tangan kirinya.
Garuda jantan meloncat datang dan sekali menggerakkan tubuhnya, Suma Han
telah mencelat ke atas punggung garuda jantan yang terbang tinggi
mengejar garuda betina yang telah mendahuluinya. Garuda betina yang
menjadi penunjuk jalan terbang tinggi di atas lautan kemudian
mengelilingi sekumpulan pulau-pulau kecil. Di tengah kumpulan pulau itu
tampak sebuah pulau hitam.
"Hemm, agaknya penghuni Pulau Neraka yang menawan Kwi Hong. Betapa
lancang dan beraninya mereka!" Suma Han menjadi gemas dan menyuruh
garudanya menukik ke bawah, ada pun garuda betina yang kelihatannya
jeri, hanya berani mengikuti dari belakang.
Suma Han adalah seorang pendekar yang selain sakti, juga amat cerdik.
Kalau penghuni Pulau Neraka sudah berani menculik muridnya, tentu mereka
itu kini telah siap untuk menyambut kedatangannya, karena sudah tentu
mereka ini tahu bahwa dia akan menolong muridnya. Kenyataan bahwa garuda
betina pulang tanpa menderita luka merupakan bukti bahwa penghuni Pulau
Neraka sengaja memancingnya datang dan harus berlaku hati-hati sekali.
Dari atas dia melihat pulau yang belum pernah dikunjungi, hanya
didengarnya saja dongengnya itu. Pendaratan ke pulau itu hanya mungkin
dilakukan dari angkasa, karena pulau itu dikurung lautan yang
bergelombang dahsyat, yang akan menghempaskan setiap perahu yang mencoba
untuk mendarat. Tentu kini penjagaan ketat dilakukan untuk menyambut
kedatangannya
Lewat angkasa menunggang burung, pikirnya. Justru tempat yang berbahaya,
yang tidak mungkin didarati, yaitu melalui lautan, merupakan tempat
yang terbebas dari pada penjagaan. Karena pikiran ini, dia lalu menyuruh
garudanya terbang rendah di atas laut dekat tebing karang yang airnya
berombak besar.
Setelah burung itu terbang rendah, Suma Han meloncat dari atas punggung
burung, melemparkan tongkatnya ke bawah. Tongkat kayu itu langsung
disambar ombak dan mengambang. Bagaikan seekor burung, tubuh Suma Han
menyusul tongkatnya dan kaki tunggalnya sudah hinggap di atas tongkat
yang terombang-ambing ombak.
Dengan menekuk lutut ia menggunakan kedua tangannya sebagai dayung
sehingga tongkatnya meluncur ke pinggir mendekat karang. Pada saat itu,
ombak dari belakangnya mendorong pula sehingga tubuhnya meluncur ke
depan, ke arah tebing batu karang yang agaknya akan menerima dan
menghancurkan tubuh Pendekar Super Sakti ini. Namun Suma Han telah
memperhitungkan dan ia sudah mendahului meloncat dengan ilmunya
Soan-hong-lui-kun sambil menyambar tongkatnya.
Ketika tubuhnya meluncur dekat tebing karang, tongkatnya menotok ke
depan, ke arah batu karang dan menggunakan tenaganya untuk mencelat ke
ke atas, menotok lagi dan meloncat lagi sehingga dengan lima kali
loncatan ia telah dapat sampai di puncak tebing dengan selamat. Ia
menoleh dan melihat bahwa dua ekor burung garuda peliharaannya itu telah
hinggap dengan selamat di sebuah batu karang yang menonjol, tidak
tampak dari darat. Ia girang akan kecerdikan dua ekor burung itu yang
mengerti akan siasatnya yang menyuruh mereka bersembunyi dan menanti
isyaratnya.
Dari atas tebing yang tinggi ini, Pendekar Super Sakti memeriksa keadaan
pulau. Hemm, benar-benar tempat yang berbahaya, pikirnya. Berbahaya dan
teratur oleh tangan ahli karena keadaannya mencurigakan sekali. Dari
tempat dia mendarat, kalau hendak memasuki pulau harus melalui
hutan-hutan yang gelap dan pohon-pohonnya diatur mencurigakan, seperti
lorong menyesatkan dan banyak bagian yang serupa sehingga memasuki hutan
itu tentu akan membingungkan orang dan menyesatkan. Pula, mungkin di
dalam hutan itu bersembunyi binatang-binatang jahat yang berbisa.
Dari sebelah kiri melewati daerah yang seperti rawa, amat luas dan penuh
alang-alang tinggi. Daerah itu amat berbahaya karena melalui rawa yang
tertutup oleh alang-alang orang tak mampu menjaga diri sebaiknya, apa
lagi kalau sampai terjeblos ke dalam lumpur dan diserang banyak binatang
buas. Dari sebelah kanan melalui pegunungan karang yang ditumbuhi
tanaman-tanaman yang aneh bentuknya, kelihatan sunyi namun malah
mencurigakan sekali karena biasanya, di tempat-tempat yang diatur
orang-orang pandai seperti pulau itu, tempat yang kelihatan paling aman
biasanya justru merupakan tempat yang paling berbahaya.
Ada pun pendaratan dari seberang sana, berlawanan dengan tempat ia
mendarat, orang harus melalui daerah yang penuh pasir, kelihatan bersih
sunyi dan aman, namun ia merasa yakin bahwa tempat itu pun amat
berbahaya karena selain pendatang tidak akan dapat bersembunyi dan
nampak dari jauh, juga dia sudah mendengar tentang pasir bergerak yang
dapat menyedot benda bergerak ke dalamnya. Dia mendarat tanpa
perhitungan karena memang belum mengenal keadaan. Nasib saja yang
menentukan dan setelah ia mendarat di situ, biarlah ia memasuki pulau
itu dari situ pula, melalui hutan-hutan gelap yang kelihatan paling
berbahaya itu.
Sampai beberapa lama dia memeriksa seluruh hutan itu dari atas,
menghafal letak-letak kelompok pohon yang beraneka macam dan
memperhatikan mata angin dengan melihat letak matahari. Melihat arah
matahari, dia tahu bahwa dia telah mendarat di bagian selatan dan untuk
menuju ke tengah hutan yang ia yakin tentu menjadi markas atau sarang
penghuni Pulau Neraka, dia harus menuju ke utara. Tiba-tiba Suma Han
menggerakkan tubuh menyelinap ke balik batu karang menonjol,
menyembunyikan diri dan mengintai.
Tidak salah lagi, yang terbang di atas itu adalah seekor burung rajawali
yang besarnya menandingi garudanya dan di punggung rajawali itu duduk
seorang manusia. Burung itu terbang berputaran di atas pulau, maka
tahulah dia bahwa orang yang menunggang rajawali itu, yang terlalu jauh
untuk dapat dilihat besar kecilnya atau laki-laki perempuannya, tentu
sedang melakukan pengintaian atau pemeriksaan.
Setelah burung itu menukik turun dan lenyap di balik pohon-pohon, ia
lalu keluar dari tempat sembunyinya. Sekali lagi ia memandang keadaan
hutan yang akan dilaluinya, kemudian tubuhnya bergerak ke depan cepat
sekali, dengan loncatan-loncatan jauh. Akan tetapi, dalam kecepatannya
yang luar biasa Suma Han selalu tetap waspada dan hati-hati karena dia
maklum betapa berbahaya daerah yang tak dikenalnya itu.
Dia kini sudah memasuki hutan yang gelap. Bagian atas hutan itu tertutup
rapat oleh daun-daun lebat sehingga sukar untuk melihat di mana adanya
matahari. Namun, dari sinar matahari yang menerobos ke bawah ia dapat
memperhitungkan dan dia terus maju menuju ke arah utara. Dia tidak mau
membelok melainkan lurus bergerak ke depan. Kalau keadaan sedemikian
gelapnya dan ia merasa kehilangan arah, Suma Han mencelat ke atas pohon
besar dan melihat letak matahari, lalu turun lagi dan melanjutkan
perjalanannya.
Tiba-tiba ia berhenti bergerak. "Ular...," bisiknya dan ia sudah siap.
Penciumannya yang tajam sudah dapat menangkap bau amis ular-ular itu,
sedangkan pendengarannya dapat menangkap suara mendesis-desis dari
depan. Namun dia tidak gentar dan melanjutkan perjalanan ke depan. Hutan
yang gelap sehingga mudah menyesatkan orang itu kini terganti dengan
bagian yang terbuka, ada seratus meter luasnya dan di tempat inilah
berkumpulnya ular-ular itu, kemudian di seberang sana disambung pula
dengan hutan lain.
Suma Han berdiri dan memperhatikan ular-ular itu. Diam-diam ia kagum
sekali. Dari mana saja penghuni pulau ini mengumpulkan ular-ular yang
selain amat banyak jumlahnya, ada ribuan ekor, juga amat banyak
macamnya, semua terdiri dari ular-ular berbisa! Dia mengenal beberapa
ekor ular yang gigitannya amat berbahaya, sekali gigit tentu merenggut
nyawa. Dan melihat ular-ular yang beraneka macam itu, dengan warna yang
bermacam-macam pula, timbul rasa sayang di hati Suma Han. Sayang kepada
kumpulan ular berbisa yang begitu lengkap di bumi! Pula, dia tidak
mempunyai niat sedikit pun juga untuk melakukan pembunuhan dan
pengrusakan di pulau ini.
Pertama, dia belum melihat bukti bahwa Kwi Hong di tahan di Pulau ini.
Kedua, andai kata benar demikian, dia menduga bahwa penghuni Pulau
Neraka hanya melakukan hal itu untuk memancing dia datang, tentu Kwi
Hong tidak diganggu karena buktinya, burung garuda betina pun tidak
dilukai. Kalau orang tidak berniat buruk, mengapa dia harus melakukan
pembunuhan dan pengrusakan.
Kini ular-ular itu telah mengetahui kedatangannya, binatang-binatang ini
mendesis-desis dan bergerak maju seperti barisan, siap untuk mengeroyok
manusia yang berani datang ke tempat itu. Suma Han mengukur dengan
pandang matanya. Kalau bukan dia yang datang ke tempat itu, agaknya
sukar untuk melewati ular-ular yang memenuhi daerah sepanjang seratus
meter itu, kecuali dengan membunuh mereka semua.
Untuk meloncati jarak yang sekian jauhnya, biar dia seorang ahli ilmu
Soan-hong-lui-kun sekali pun, tentu tidak mungkin. Akan tetapi dengan
tongkatnya ditambah ilmunya, dia tidak merasa menghadapi kesukaran. Dia
tersenyum, dapat menduga bahwa tentu ada mata manusia yang mengintai
gerak-geriknya dan ingin melihat bagaimana dia akan melalui barisan ular
itu.
Maka dia lalu meloncat ke depan beberapa meter jauhnya dan kalau dia
tidak bertongkat, tentu terpaksa kakinya akan menyentuh tanah dan ada
bahaya di sambar ular-ular itu. Akan tetapi dengan cekatan dan mudah ia
menotolkan tongkatnya ke atas tanah di antara ular-ular yang menjadi
kalang kabut berusaha menyerang tongkatnya. Dengan kekuatan tangannya
yang memegang tongkat, begitu tongkat menotol tanah, tubuhnya sudah
mencelat lagi ke depan.
Beberapa ekor ular yang mati-matian menggigit ujung tongkat itu
terpelanting dan kembali Suma Han menggunakan tongkatnya menotol tanah
dan tubuhnya mencelat lagi. Demikianlah, dengan akal ini, dalam beberapa
loncatan saja Suma Han telah tiba di seberang daerah ular dengan
selamat tanpa membunuh seekor ular pun! Ia berdiri dan membalikkan tubuh
sambil tersenyum memandangi ular-ular yang menjadi kacau dan membalik,
mencari lawan.
"Begini sajakah halangan memasuki pulau?" kata Suma Han sambil
melanjutkan perjalanan, ke utara menuju ke tengah pulau dan melalui
hutan di depan yang tidak begitu gelap seperti hutan pertama.
Tiba-tiba seperti jawaban ucapannya tadi terdengar suara gerengan keras
dan dari dalam semak-semak meloncat keluar puluhan anjing serigala yang
mengeluarkan bau harum dan amis! Suma Han mengelak dengan loncatan cepat
sambil memperhatikan. Kembali ia merasa kagum. Serigala-serigala hitam
ini benar-benar merupakan sekumpulan binatang yang aneh. Bulunya hitam
mengkilap dan indah, moncongnya panjang dan mengingat akan bau yang
keluar dari moncong mereka, menandakan bahwa binatang buas ini pun
berbisa.
"Bukan main! Benar-benar segala macam binatang berbisa bersarang di pulau ini," pikir Suma Han.
Melihat betapa kawanan serigala itu banyak sekali, gerakan mereka gesit,
maka agaknya akan melelahkan kalau harus berlari-lari dan mengelak
menghindari mereka yang tentu akan terus mengejar-ngejarnya. Dengan
demikian maka perjalanannya akan kacau dan banyak bahayanya dia akan
tersesat. Maka cepat ia mencelat ke atas pohon, berjongkok dengan kaki
tunggalnya di atas dahan pohon, sejenak memandang serigala-serigala yang
berusaha meloncat-loncat untuk mencapainya.
Pemandangan ini lucu bagi Suma Han, maka tanpa terasa lagi ia tertawa,
kemudian melanjutkan perjalanannya melalui pohon-pohon. Karena
pohon-pohon itu tumbuh berdekatan, amat mudah bagi seorang yang berilmu
tinggi seperti dia untuk berloncatan dari dahan ke dahan dan dari pohon
ke pohon, selalu mengambil arah ke utara atau mengkanankan matahari
pagi.
Akan tetapi baru saja terbebas dari serangan gerombolan serigala hitam,
datanglah serombongan lebah hitam yang terbang berbondong-bondong dan
mengeroyoknya! Suma Han terkejut, dapat menduga bahwa sengatan lebah ini
pun tentu berbisa. Dia memutar lengan kiri, sehingga timbul angin yang
digerakkan hawa sinkang-nya sehingga lebah-lebah yang mendekatinya
terbawa hanyut oleh angin itu. Akan tetapi karena dahan-dahan,
ranting-ranting dan daun-daun menghalanginya, dia tidak dapat bergerak
dengan leluasa. Melawan gerombolan lebah di pohon amatlah berbahaya,
kalau meloncat turun, gerombolan srigaia hitam tentu akan menerkamnya.
Maka Suma Han cepat meloncat dengan pengerahan ilmu Soan-hong-lui-kun.
Karena dia meloncat-loncat dengan selalu dikejar lebah-lebah yang
terbang cepat, tentu saja dia tidak dapat memperhatikan arah lagi dan
dia hanya berloncatan cepat dengan niat keluar dari hutan dan mencari
tempat terbuka di mana dia akan dapat menghalau lebah-lebah itu dengan
mudah. Sambil berloncatan dan kadang-kadang memutar lengan kiri untuk
meruntuhkan lebah-lebah itu, diam-diam ia memuji dan mulailah dia tidak
berani memandang rendah para penghuni Pulau Neraka!
Akhirnya dia berhasil juga keluar dari hutan itu, di tempat terbuka dan
dengan hati lega ia mendapat kenyataan bahwa gerombolan anjing serigala
sudah tak tampak lagi, tentu tidak sanggup mengejar dia yang berloncatan
dari pohon ke pohon sedemikian cepatnya dan kehilangan jejak penciuman.
Akan tetapi, kawanan lebah itu masih terus mengejarnya. Suma Han
meloncat turun dari pohon terakhir dan sudah siap.
Ketika lebah-lebah itu terbang datang, dia lalu menanggalkan jubahnya
dan memutar jubah dengan tangan kanannya sedangkan tangan kiri tetap
memegangi tongkatnya. Kalau dengan tangan saja gerakan Suma Han sudah
mampu mendatangkan angin yang menyambar dahsyat apa lagi kini
menggunakan jubah. Angin bertiup keras dan lebah-lebah itu terbawa angin
yang digerakkan oleh jubah di tangan Suma Han, sama sekali tak mampu
mendekati pendekar itu. Bahkan ketika Suma Han membuat gerakan memutar
dengan tangannya, jubahnya menimbulkan angin berpusing yang membuat
lebah-lebah itu terseret angin yang berputaran ke atas sampai tinggi!
Tiba-tiba terdengar bunyi lengking tinggi nyaring dan halus, bunyi
suling ditiup secara istimewa dan menyusul suara ini, datanglah
berbondong-bondong lebah-lebah hitam dari segenap penjuru mengeroyok dan
mengurung Suma Han!
"Setan...!" Suma Han mengomel, maklum bahwa suara suling itu dapat
mengemudi perasaan lebah-lebah ini dan hal itu amat berbahaya karena
kalau lebah-lebah itu datang makin banyak, mana mungkin dia dapat
menghindarkan diri tanpa membasmi mereka, hal yang tak diinginkannya.
Dengan hati mengkal Suma Han lalu mengerahkan khikang-nya dan keluarlah
lengkingan yang tinggi dan lebih nyaring dari pada suara suling itu
sambil jubah di tangannya masih terus diputarnya. Usahanya berhasil baik
sekali karena lebah-lebah itu menjadi kacau-balau. Makin nyaring
lengking yang keluar dari dalam dada Suma Han, makin kacaulah mereka
tidak tentu lagi arah terbangnya. Ada yang terbang ke atas, ada yang ke
bawah, ke kanan kiri depan belakang, bahkan ada yang terbang membalik
dari arah mereka datang! Ada pun lebah-lebah yang terlalu dekat dengan
Suma Han membubung tinggi dan menjadi pening sehingga lebah-lebah itu
berjatuhan, bergerak gerak dan merayap-rayap di atas tanah karena untuk
sementara mereka tidak kuasa terbang, bahkan merayap pun berputaran
seperti anak-anak yang mabok setelah bermain putar-putaran!
Suara suling terhenti dan melihat bahwa lebah-lebah itu kini sudah pergi
dalam keadaan kacau, Suma Han menghentikan lengkingannya dan putaran
jubahnya, lalu tubuhnya mencelat lagi ke depan. Melihat hutan yang
ditinggalkan dan letak matahari, hatinya mendongkol karena ternyata
dalam melarikan diri tadi, dia tidak lari ke utara melainkan tersesat
lari ke barat!
Karena tidak ingin tersesat lagi dan ingin melihat keadaan, ia melompat
ke atas pohon di pinggir hutan yang baru ditinggalkan. Ketika ia
memandang ke utara, hatinya girang karena dari tempat itu dia sudah
dapat melihat sekelompok bangunan berwarna hitam. Akan tetapi, dari
tempat itu menuju ke bangunan terdapat pasukan-pasukan yang menghadang
jalan.
"Hemm, kini kalian tidak mengandalkan binatang-binatang lagi, melainkan maju sendiri menyambutku. Bagus!"
Dia lalu melayang turun dan mempergunakan ilmunya berloncatan cepat
menuju ke utara. Ternyata di sepanjang jalan tidak ada lagi rintangan
dan akhirnya ia tiba di lapangan luas dan berhadapan dengan dua puluh
tujuh orang yang mukanya berwarna biru muda. Mereka berpakaian seragam
dan membentuk barisan sembilan kali tiga, bersenjatakan tombak panjang
yang ada rantainya di ujung.
Suma Han sudah mendengar bahwa kedudukan dan tingkat kepandaian para
anak buah Pulau Neraka ditentukan oleh warna muka mereka, makin terang
warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Kini menghadapi dua puluh tujuh
orang bermuka biru muda, Suma Han mengomel di dalam hatinya.
"Orang-orang Pulau Neraka sungguh memandang rendah kepadaku!"
Sebagai To-cu dari Pulau Es, tentu saja dia merasa terhina kalau
kedatangannya hanya disambut oleh pasukan bermuka biru muda, warna yang
tentu hanya menduduki tingkat ke empat atau ke lima. Maka dia pun tidak
mau bicara melayani mereka, melainkan terus saja melangkah dengan kaki
tunggalnya ke depan seolah-olah dua puluh tujuh orang itu hanya
arca-arca yang tidak bernyawa dan tidak ada artinya!
Melihat sikap pendatang yang ditakuti ini, terdengar seorang di antara
mereka berseru aneh memberi aba-aba dan tiga pasukan dari sembilan orang
berjumlah dua puluh tujuh orang itu menggerakkan senjata, ada yang
menyerang dengan tombak, ada pula yang membalikkan tombak dan menyabet
dengan rantai baja di ujung gagang tombak. Serangan mereka amat cepat
dan kuat sehingga terdengar angin bersuitan menyambar ke arah Suma Han
yang menjadi sasaran dari tombak-tombak runcing dan rantai-rantai berat
itu.
Namun, Suma Han masih berloncatan terus ke depan seolah-olah tidak
peduli akan serangan mereka, akan tetapi setelah senjata-senjata itu
datang dekat, dia memutar tongkatnya. Terdengarlah suara hiruk pikuk
ketika semua senjata itu bertemu tongkat, bertemu dan terus melekat,
rantai membelit-belit tongkat dan ujung tombak tak dapat ditarik
kembali, bahkan kini mereka berteriak kesakitan dan terpaksa melepaskan
senjata karena telapak tangan mereka terasa dingin membeku. Yang
bersikeras mempertahankan senjatanya segera menjerit dan memegangi
tangan yang terpaksa melepaskan tombak karena kulit telapak tangan
mereka berdarah!
Dengan tenang Suma Han melangkah terus, menggerakkan tongkatnya dan
belasan batang tombak terpelanting ke kanan kiri, terpelanting keras
sekali, ada yang meluncur seperti anak panah dan hilang di antara
pohon-pohon, ada pula yang menancap di atas tanah sampai setengahnya
lebih!
Mereka yang telah menyerang, belasan orang itu, meritih-rintih, dan
mereka yang belum menyerang berdiri bengong menyaksikan kejadian yang
luar biasa itu. Karena maklum bahwa menyerang seperti kawan-kawannya
tadi tidak akan berhasil sedangkan lawan telah melewati hadangan pasukan
mereka, belasan orang sisa yang kehilangan tombak lalu menggerakkan
tombak mereka, melontarkan kuat-kuat sehingga kini ada belasan yang
meluncur ke depan, mengeluarkan suara berdesing menyerang ke arah tubuh
belakang Suma Han!
Seperti tadi, Suma Han tenang-tenang saja, tidak menengok sama sekali
sehingga seolah-olah sekali ini dia akan celaka oleh belasan batang
tombak yang meluncur secara kuat, cepat dan tepat ke arah punggungnya.
Akan tetapi setelah ujung tombak-tombak itu tinggal beberapa senti lagi
dari punggungnya, tubuhnya membalik, tangan kanannya mengibas ke depan
dan... belasan batang tombak itu runtuh dan semua menancap ke atas tanah
di depan kakinya, berjajar-jajar rapi seperti diatur. Kemudian ia
membalikkan tubuh lagi dan berjalan maju terpincang-pincang dibantu
tongkatnya, tenang seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
"Pendekar Siluman... kepandaiannya seperti iblis..." Pasukan muka biru
muda itu berbisik dan saling pandang dengan mata terbelalak.
Kini pada sebuah tikungan, Suma Han melihat sebuah pasukan lain lagi,
pasukan yang terdiri dari dua kali sembilan orang bermuka hijau pupus.
Hemm, pikirnya, setingkat lebih tinggi, tetapi tetap saja dia tidak puas
dan merasa dipandang rendah. Dia dapat menduga bahwa tingkat tertinggi
tentu berwarna putih, dan warna yang mendekati putih adalah warna
kuning. Kalau Si Ketua merasa terlalu tinggi untuk menghadang sendiri,
sedikitnya dia harus mengutus tokoh-tokoh bermuka kuning untuk
menghadapinya. Akan tetapi muka hijau pupus? Hmmm, kalian terlalu
memandang rendah To-cu Pulau Es, padahal orang-orang Pulau Neraka
dulunya hanyalah orang-orang buangan dari Pulau Es!
"Haiii! Berhenti! Apakah yang datang ini Pendekar Siluman dari Pulau Es?" Seorang di antara mereka bertanya.
Akan tetapi, seperti juga tadi, Suma Han tidak mau melayani mereka
bicara melainkan melangkah maju terpincang-pincang ke depan, tidak
mempedulikan delapan belas orang yang bersenjata masing-masing sebatang
golok besar itu, sedangkan tangan kiri mereka siap mendekati kantung di
pinggang yang ia duga tentu berisi senjata rahasia berbisa!
Melihat sikap Suma Han, delapan belas orang itu kemudian membuka barisan
dan mengurung. Akan tetapi sikap tidak peduli dari Pendekar Super Sakti
itu membuat mereka hati-hati sekali sehingga kurungan itu mengikuti
gerakan Suma Han yang melangkah maju. Tiba-tiba seorang di antara mereka
berseru keras dan terdengar goloknya berdesing menyambar, diikuti oleh
golok-golok lain yang menyambar secara berturut-turut.
Hemmm, kepandaian mereka ini sedikitnya tiga kali lipat dari pada
tingkat pasukan pertama yang bermuka biru muda tadi, pikir Suma Han.
Ketika semua golok bergerak menyerangnya, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke
atas sedemikian cepatnya sehingga delapan belas orang yang mendadak
kehilangan lawan itu sudah mengira dia pandai menghilang! Akan tetapi
mereka segera melihat ke atas dan delapan belas buah tangan kiri
bergerak.
"Ciat-ciat-ciatt!" Belasan batang pisau hitam mencuat gemerlapan melayang ke arah seluruh bagian tubuh Suma Han.
"Trang-cring-cring-trang...!" Semua pisau itu terpental dan melayang
jauh ke segenap penjuru karena ditangkis oleh segulung sinar dari
tongkat yang diputar, sedangkan tubuh Suma Han sudah melayang turun
lagi.
Delapan belas orang itu kembali menerjang, sinar golok mereka
berkeredepan menyilaukan mata. Suma Han memutar tongkatnya sambil
mengerahkan tenaga. Terdengar suara hiruk pikuk dan setelah suara itu
lenyap, delapan belas orang itu berdiri bengong memandangi gagang golok
di tangan yang sudah tidak ada goloknya lagi karena senjata mereka telah
patah semua!
Ketika mereka memandang ke depan, mereka melihat pendekar kaki buntung
itu sudah berloncatan ke depan. Mereka tidak berani mengejar karena
selain mereka maklum bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan pendekar
itu, juga di depan terdapat pasukan penjaga lain yang lebih tinggi
tingkatnya.
Kini Suma Han melihat pasukan terdiri dari sembilan orang yang bermuka
merah muda, yaitu tiga wanita dan enam pria, masing-masing memegang
senjata Siang-kiam (Sepasang Pedang).
"To-cu dari Pulau Es, perlahan dulu!" tegur seorang di antara mereka
yang usianya sudah lima puluh tahun lebih dan berambut panjang
riap-riapan sampai ke pundak.
"Kalian ini anak buah Pulau Neraka tingkat berapakah?" Suma Han
bertanya, sikapnya tenang dan dingin dengan suara yang dikeluarkan
sambil mengerahkan Im-kang sehingga sembilan orang yang mendengar suara
ini tergetar jantungnya dan menggigil kedinginan.
Akan tetapi dengan pengerahan sinkang, mereka dapat mengusir rasa dingin
itu dan kini pasukan itu terpecah menjadi tiga, masing-masing tiga
orang, seorang wanita dan dua orang pria, lalu tiga rombongan kecil ini
mengurung Suma Han dari depan, kanan dan kiri.
"Kami adalah murid-murid tingkat dua!" jawab kakek itu.
"Hemm, Ketua kalian membuang-buang waktu saja. Mengapa tidak dia sendiri
saja yang maju untuk melawan aku agar lebih cepat dibuktikan siapa yang
lebih kuat?"
"Orang muda yang sombong!" Seorang wanita di rombongan sebelah kirinya
menudingkan pedang. Wanita itu usianya sekitar empat puluh tahun, cantik
akan tetapi sinar matanya liar dan ganas. "Biar pun engkau To-cu Pulau
Es, akan tetapi engkau masih muda, kakimu buntung, tidak selayaknya
bersikap sombong seperti itu. Lihat pedang!" Wanita itu sudah menyerang,
disusul dua orang temannya.
Melihat gerakan mereka, Suma Han terheran. Itulah jurus ilmu pedang dari
kitab-kitab peninggalan Koai-Lojin atau Kam Han Ki di Pulau Es! Jurus
yang ampuh akan tetapi sayang bahwa gerakan mereka kurang sempurna.
"Hemmm, mengapa begitu cara melakukan jurus Siang-liong-jio-seng (Sepasang Naga Berebut Bintang)?"
Dengan tongkatnya ia menangkis enam batang pedang itu, tangan kanannya
meraih dan secara aneh sekali sepasang pedang di tangan wanita galak itu
telah pindah ke tangan Suma Han! Pendekar ini menancapkan tongkatnya
dan memutar sepasang pedang dengan kedua tangan. "Beginilah mestinya!
Dalam perebutan antara sepasang naga, yang kanan harus mengalah karena
biasanya lawan memperhatikan tangan kanan sehingga yang kiri dapat
melakukan serangan tiba-tiba yang mengacaukan lawan. Jangan menitik
beratkan gerakan pedang kanan!"
Sementara itu, delapan orang yang melihat betapa senjata seorang kawan
mereka terampas dan yang dua orang lagi terpental ketika ditangkis kini
cepat menerjang dengan pedang mereka. Suma Han masih terus menggerakkan
sepasang pedang dengan jurus Siang-liong-jio-seng yang amat dikenal oleh
mereka itu dan anehnya, biar pun mereka mengenal baik jurus ini,
berturut-turut mereka berseru kaget karena terdengar kain robek dan
tiba-tiba tubuh lawan yang dikepung itu berkelebat lenyap, yang tinggal
hanya sepasang pedang rampasan itu menancap di tanah, dan ketika mereka
saling pandang, tampaklah betapa pakaian mereka telah robek dan
berlubang di dua tempat, yaitu di ulu hati dan perut!
Sebagai ahli-ahli pedang yang sudah tinggi tingkatnya, sembilan orang
bermuka merah muda ini maklum bahwa kalau Pendekar Siluman menghendaki,
mereka tentu telah roboh dengan jantung tertembus pedang dan sudah tewas
semua! Maka mereka hanya dapat menghela napas dan memandang pendekar
kaki buntung yang kini telah berjalan terpincang-pincang menuju ke
penjagaan terakhir, yaitu empat orang kakek bermuka kuning.
Empat orang kakek itu usianya rata-rata sudah lima puluh tahun lebih,
sikapnya gagah dan angker, pakaiannya sederhana, dengan jubah panjang
dan rambut serta jenggot mereka panjang, kaki mereka telanjang tak
bersepatu dan tangan mereka hanya bersenjatakan sebatang tongkat kecil
yang panjangnya satu setengah meter, terbuat dari kayu hitam atau
ranting yang lemas.
Melihat keadaan ini, Suma Han bersikap hati-hati karena dia dapat
menduga bahwa tentu empat orang kakek ini adalah tokoh-tokoh tingkat
satu, hanya di bawah Sang Ketua dan telah memiliki ilmu kepandaian yang
amat tinggi. Hanya ia merasa heran mengapa jumlah mereka ada empat
orang, tidak enam atau tiga karena semenjak pasukan pertama, penghuni
Pulau Neraka itu menggunakan bentuk barisan tiga bintang yang dapat
diluaskan menjadi masing-masing pasukan sembilan orang namun pada
dasarnya masih mempergunakan bentuk barisan tiga bintang dengan gerakan
segi tiga.
Dia tidak tahu bahwa sebetulnya jumlah tokoh tingkat satu bermuka kuning
itu ada enam orang, yang seorang telah meninggal dunia sedangkan yang
seorang lagi kini sedang merantau atas perintah Ketua mereka untuk
menyelidiki keadaan kang-ouw yang geger karena hilangnya pusaka-pusaka
yang diperebutkan setelah pasukan Pulau Neraka mengalami kegagalan di
muara Sungai Huang-ho dahulu. Oleh karena itu kini hanya tinggal empat
orang saja yang menghadapinya sebagai penjagaan terakhir dan mereka pun
kini menjaga di depan bangunan besar yang menjadi istana dari majikan
Pulau Neraka.
Setelah melayangkan pandang ke arah istana hitam yang angker itu, Suma
Han lalu menghadapi empat orang itu dan berkata, "Melalui garuda betina
peliharaanku, Pulau Neraka telah mengundang aku datang, dan sekarang aku
datang untuk menjemput muridku. Harap Su-wi Lo-cianpwe suka
menyampaikan kepada To-cu Pulau Neraka agar mengembalikan muridku
kepadaku."
Empat orang kakek itu memandang dengan penuh perhatian, memandang
pendekar buntung itu dari kaki sampai ke kepala dengan penuh takjub
karena baru sekarang mereka melihat pendekar yang terkenal di seluruh
dunia itu, yang ternyata tidak kelihatan luar biasa, bahkan hanya
merupakan seorang pemuda yang cacad! Betapa pun juga, melihat sikap dan
sinar matanya, mereka bergidik dan maklum bahwa pemuda di depan mereka
ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat.
Seorang di antara mereka yang rambutnya sudah hampir putih semua segera
mengangkat kedua tangan depan dada sambil berkata, "To-cu dari Pulau Es
sudah dapat tiba di sini, membuktikan bahwa nama besarnya bukan omong
kosong belaka. Akan tetapi sudah menjadi tugas kami untuk menjaga di
sini dan kalau To-cu hendak menjemput murid dan bertemu dengan To-cu
kami, harus melalui tongkat kecil kami."
Suma Han mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. "Hemmm... agaknya
To-cu Pulau Neraka terlalu memandang rendah orang! Kalian ingin menguji
kepandaianku? Nah, lihat baik-baik, biar pun kalian berempat, apakah aku
kalah banyak?" Suara Suma Han mengandung getaran yang dahsyat dan
berpengaruh.
Tiba-tiba empat orang kakek itu memandang terbelalak dan bingung karena
di depan mereka kini bukan hanya ada seorang pemuda kaki buntung,
melainkan pemuda itu telah berubah menjadi delapan orang kembar! Tentu
saja mereka terkejut sekali dan betapa pun mereka mengerahkan sinkang
untuk melawan pengaruh mukjizat itu, tetap saja pandangan mereka tidak
berubah, lawan telah menjadi dua kali lipat lebih banyak dari pada
jumlah mereka!
Karena bingung, empat orang kakek itu lalu menggerakkan ranting di
tangan mereka, menghantam Suma Han yang terdekat. Akan tetapi, biar pun
ranting mereka mengenai tepat tubuh lawan, mereka seolah-olah menghantam
bayangan saja dan ranting itu ‘lewat’ menembus tubuh orang yang
diserang. Hal ini memang tidak mengherankan karena yang mereka serang
itu bukanlah tubuh Suma Han yang asli, melainkan bayangan yang timbul
karena pengaruh kekuatan ilmu merampas semangat dan pikiran orang yang
dilakukan Suma Han. Selagi mereka terheran-heran, Suma Han yang asli
telah menggerakkan tongkatnya, empat kali menotok dan empat orang kakek
itu mengeluh dan jatuh terduduk di atas tanah dalam keadaan lumpuh!
"Sudah kalian lihat kepandaian To-cu dari Pulau Es?" Suma Han berkata
dan kini empat orang kakek melihat bahwa lawannya hanya seorang saja,
berdiri di depan mereka, bersandar pada tongkat dan tangan kanan
bertolak pinggang!
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari dalam istana hitam yang daun
pintunya tertutup itu, "Kalau To-cu Pulau Es memang gagah perkasa dan
super sakti, janganlah mengandalkan ilmu siluman!"
Suma Han memandang ke arah pintu istana hitam itu dengan mata terbelalak
saking herannya. Tadinya ia mengira bahwa melihat keadaan empat orang
kakek tingkat satu ini, tentu To-cu dari Pulau Neraka merupakan seorang
kakek yang menyeramkan dan lebih mendekati iblis dari pada manusia. Akan
tetapi suara yang keluar dari istana hitam itu, yang ia duga tentulah
seorang To-cu pulau itu, adalah suara seorang wanita, suara yang nyaring
dan merdu! Bukan suara seorang kakek kasar, juga pasti bukan suara
seorang nenek-nenek karena suara seperti itu tentu hanya dimiliki
seorang wanita yang masih muda.
Mungkinkah ini? Mungkinkah Ketua atau Majikan Pulau Neraka seorang
wanita muda? Suma Han tidak akan percaya kalau saja dia tidak teringat
akan Ketua Thion-liong-pang. Bukankah Ketua Thian-liong-pang yang
berkerudung itu pun wanita muda dan yang dia kini yakin tentu Lulu, adik
angkatnya? Kalau benar demikian, maka dua perkumpulan yang paling
terkenal dan kuat kini dipimpin oleh wanita-wanita muda! Benar-benar
merupakan hal yang sukar dipercaya.
Betapa pun juga, mendengar ucapan itu wajahnya menjadi merah. Dia tadi
memang mempergunakan kekuatan batinnya yang menguasai empat orang lawan
melalui sinar mata dan suaranya dan hal itu dia lakukan hanya karena dia
enggan bertanding melawan mereka. Menghadapi pasukan-pasukan tingkat
rendahan tadi, dia masih dapat melalui mereka tanpa melukai seorang pun.
Akan tetapi, dari gerakan empat orang kakek ini dia maklum bahwa dia
menghadapi empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan untuk
mengalahkan empat orang ini tanpa melukainya merupakan hal yang tidak
mudah ia lakukan.
Maka tadi ia mengambil cara yang paling mudah, yaitu mengalahkan mereka
dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya yang mukjizat, yang kini telah
mencapai tingkat amat tinggi setelah ia menerima gemblengan dan petunjuk
terakhir dari manusia dewa Koai Lojin. Sekarang To-cu Pulau Neraka
mencela dan mengejeknya, kalau dia tidak memperlihatkan kepandaiannya,
tentu saja dia akan merasa malu sekali.
"Begitukah yang kalian kehendaki? Nah, Su-wi Locianpwe, bangunlah!"
Tongkatnya bergerak dan empat orang kakek muka kuning itu dapat bergerak
kembali dan mereka melompat bangun.
Kini mereka bersikap hati-hati sekali. To-cu Pulau Es ini benar-benar
hebat. Sebagai To-cu Pulau Es yang kenamaan, menyebut mereka ‘locianpwe’
ini saja sudah menjadi bukti bahwa To-cu Pulau Es ini adalah seorang
yang rendah hati dan karenanya dapat dibayangkan betapa tinggi ilmunya.
"Maaf, kami hanya pelaksana tugas!" Kakek beruban berkata sebagai
pernyataan kesungkanan hati mereka, juga ucapan ini merupakan pembuka
serangan karena secepat kilat empat orang itu sudah menyerang Suma Han
dari empat penjuru!
Suma Han cepat menggerakkan tubuhnya, menggunakan Soan-hong-lui-kun
untuk mengelak, akan tetapi tiga orang di antara mereka mengayun tongkat
ke atas dan menghujankan serangan ke atas tanpa memberi kesempatan
kepadanya untuk turun! Sedangkan yang seorang tetap ‘menutup’ bagian
bawah dengan serangan cepat, rantingnya diputar seperti kitiran sehingga
berubah menjadi gulungan sinar.
Suma Han terkejut bukan main. Teringat ia akan gaya serangan bibi
gurunya, Maya, ketika menghadapi ibu gurunya, Khu Siauw Bwee. Mungkinkah
tiga orang kakek ini telah mempelajari ilmu yang khusus dicipta oleh
Maya untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun? Namun dia tidak diberi
kesempatan untuk banyak berheran, terpaksa ia menggerakkan tongkatnya
menotok ranting yang terdekat dan menggunakan tenaga pertemuan senjata
itu untuk mencelat lagi ke samping, kemudian sambil memutar tongkat
menangkis keempat senjata lawan ia turun lagi ke atas tanah. Segera ia
dikurung dan diserang lagi. Suma Han memutar tongkat melindungi tubuh
sambil memperhatikan gaya permainan para pengeroyoknya dan mengukur
tingkat kepandaian mereka.
Dia kagum sekali. Ranting di tangan mereka itu kadang-kadang berubah
menegang keras seperti baja, kadang-kadang lemas seperti cambuk dan
gerakan mereka amat ringan dan cepat, tenaga sinkang mereka pun amat
kuat. Dibandingkan dengan pembantunya, Yap Sun, agaknya tingkat setiap
orang kakek muka kuning ini lebih tinggi, akan tetapi dibandingkan
dengan Phoa Ciok Lin yang dia gembleng sendiri, pembantu utamanya itu
lebih menang setingkat. Betapa pun juga, kalau Ciok Lin yang menghadapi
pengeroyokan ini, tentu pembantunya itu akan kalah!
Yang amat membikin dia penasaran dan kewalahan adalah ilmu silat mereka
yang istimewa digerakkan untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun. Biasanya,
dengan ilmu gerak kilatnya ini dengan mudah dia akan dapat menguasai
lawan-lawan yang mengeroyoknya. Akan tetapi sekarang, biar pun dia
memiliki gerakan kilat yang jauh lebih cepat dari pada gerakan mereka,
namun keempat orang itu selalu mendahuluinya, menutup lubang-lubang ke
mana dia dapat mencelat sehingga Soan-hong-lui-kun tak dapat ia mainkan
dengan leluasa, bahkan sering kali macet dan tertutup di tengah jalan.
Terpaksa Suma Han mengeluarkan kepandaiannya, memutar tongkatnya
melindungi tubuh sehingga beberapa kali terdengar suara keras bertemunya
tongkat dengan empat batang ranting itu.
Kalau begini keadaannya, aku hanya akan dapat menang dengan merobohkan
mereka, dan hal ini berarti bahwa empat orang itu akan terluka. Dia
tidak menghendaki hal ini terjadi, maka sambil mengeluarkan lengking
panjang, tiba-tiba tubuh Suma Han mencelat ke belakang, membiarkan empat
orang itu mengejarnya dan dengan gerakan cepat ia menancapkan tongkat
di tanah kemudian kedua lengannya ia lonjorkan dengan tangan terbuka dan
telapak tangan menghadap ke depan lalu membuat gerakan mendorong.
"Aihhhhh...!"
Empat orang yang sedang menerjang maju itu terhenti gerakannya dan
terpental mundur sampai dua langkah. Tubuh mereka menggigil karena ada
hawa dingin menyambar mereka. Cepat mereka pun berdiri melonjorkan kedua
lengan sambil mengerahkan sinkang. Dengan mempersatukan tenaga, mereka
mampu mengusir hawa dingin yang menyerang, bahkan berusaha membalas
dengan pukulan sinkang jarak jauh.
Akan tetapi, tiba-tiba mereka terkejut sekali karena dorongan hawa
dingin yang menekan dan yang berhasil mereka lawan itu tiba-tiba berubah
menjadi hawa yang amat panas seperti ada api menerjang mereka. Cepat
mereka menyesuaikan diri dengan pengerahan sinkang mencipta tenaga
dingin. Namun kembali serangan hawa sinkang dari majikan Pulau Es itu
berubah dingin, dan sebelum mereka berempat menyesuaikan diri kembali
berubah dan terus berubah-ubah sehingga keempat orang itu akhirnya
menjadi kacau pengerahan sinkang-nya, mempengaruhi jalan darah dan
mereka terhuyung-huyung lalu roboh pingsan! Suma Han menghentikan
pengerahan sinkang-nya dan tiba-tiba dari dalam istana itu menyambar
sesosok tubuh manusia berpakaian hitam dengan kecepatan yang luar biasa.
Menduga bahwa orang yang gerakannya secepat kilat ini tentu Ketua Pulau
Neraka, maka melihat tubuh itu meluncur dan mengirim pukulan ke arah
dadanya, Suma Han tidak berani memandang rendah dan cepat ia mengangkat
tangan kanan menangkis.
"Dukkkk!"
Ia terkejut karena orang itu pun mempergunakan Im-kang yang amat kuat
sehingga terasa olehnya hawa dingin menyerangnya. Pertemuan dua lengan
yang sama-sama mempergunakan Im-kang itu hebat sekali, membuat Suma Han
terpental selangkah ke belakang akan tetapi lawannya juga terpental tiga
langkah! Sebelum Suma Han dapat melihat jelas, orang itu telah menubruk
lagi dengan pukulan kedua tangan terbuka. Dia cepat mengangkat kedua
tangannya menerima telapak tangan lawan.
"Plakkk!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat, dua muka berhadapan dan dua pasang mata bertemu pandang.
Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di saat itu, belum tentu Suma
Han akan sekaget ketika ia melihat wajah yang putih itu. Ia menarik
kembali kedua tangannya, meloncat mundur dengan kaki tunggalnya,
wajahnya pucat, matanya terbelalak dan bibirnya bergerak memanggil.
"Lulu...!" Kaki tunggalnya menggigil sehingga ia jatuh berlutut memegang tongkatnya.
"Han-koko...!" Wanita bermuka putih yang bukan lain adalah Lulu itu menubruk maju dan berlutut pula.
"Lulu... Moi-moi...!" Suma Han memandang wajah cantik yang kini warnanya
menjadi putih, memandang sepasang mata bintang yang bercucuran air
mata. "Lulu Adikku..."
"Aku bukan adikmu Han-koko!"
"Ohhhhh..." Suma Han mengeluh, mereka saling pandang kemudian saling
memeluk, berdekapan seolah-olah hendak menumpahkan semua rasa rindu yang
selama ini menyesak dada. Akan tetapi Suma Han segera dapat menguasai
hatinya dan melepaskan pelukan, memegang kedua pundak Lulu dan memandang
wajah itu.
"Lulu-moi-moi... jadi engkaukah To-cu Pulau Neraka? Ahhh... Moi-moi, mengapa jadi begini...?"
"Karena engkau, Koko! Karena engkau kejam, engkau tega kepadaku!"
"Lulu, jangan berkata demikian. Engkau satu-satunya orang yang kusayang
di dunia ini, sejak dahulu sampai sekarang. Mengapa engkau melarikan
diri meninggalkan suamimu? Tahukah engkau bahwa dia menjadi sengsara dan
membunuh diri dengan berjuang sampai mati? Ahhh, Lulu...!"
"Aku tahu! Dan semua itu terjadi karena engkau, Koko. Engkau kejam dan
tega kepadaku, meninggalkan aku! Kita sama dibesarkan di Pulau Es, akan
tetapi engkau tinggal di sana melupakan aku, padahal seharusnya kita
berdua yang tinggal di sana. Engkau memaksa aku menikah dengan orang
yang sebenarnya tidak kucinta, engkau meninggalkan aku dengan hati
remuk, juga membuat hatiku hancur, kebahagiaanku musnah. Butakah engkau,
atau pura-pura tidak tahu bahwa semenjak dahulu hanya engkau
satu-satunya pria yang kucinta?"
"Ahh... Lulu...!"
"Dan perasaanku meyakinkan bahwa engkau pun cinta kepadaku... Tidak!
Jangan katakan bahwa cintamu adalah cinta saudara! Engkau menipu hati
sendiri dan sebaliknya dari pada menyambung cinta kasih antara kita
menjadi perjodohan engkau malah memaksa aku berjodoh dengan orang lain,
sedangkan engkau sendiri rela pergi dengan hati hancur! Engkau
menghancurkan kebahagiaan hati kita berdua! Pura-pura tidak tahukah
engkau bahwa semenjak dahulu, sampai sekarang, ya, sampai saat ini, aku
hanya akan bahagia kalau menjadi isterimu! Koko Han Han, jawablah,
engkau tentu ingin menerima aku sebagai isterimu, bukan?"
Suma Han, Pendekar Super Sakti yang telah memiliki kekuatan batin luar
biasa itu, kini hampir pingsan. Cinta merupakan kekuatan yang maha
hebat, yang mengalahkan segala kekuatan di dunia ini. Jantungnya seperti
diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil dan kedua matanya basah.
"Lulu... aku... aku telah dijodohkan oleh Subo dengan Nirahai... dan dia... dia pun juga meninggalkan aku..."
Lulu meloncat berdiri dan melangkah mundur, sejenak dadanya berombak
menahan kemarahan yang timbul karena cemburu. "Hemmm... dan engkau lebih
mencinta Suci Nirahai dari pada aku?"
Suma Han juga bangkit berdiri dengan kaki lemas. Dia memandang wajah
Lulu, lalu menghela napas dan menunduk, "Lulu... aku... aku..., ahhh,
bagaimana aku harus menjawab? Semenjak dahulu aku cinta padamu, cinta
lahir batin, dengan seluruh jiwa ragaku. Namun engkau adikku, maka aku
mengalah. Kemudian Subo menjodohkan aku dengan Nirahai, dan dia... dia
mirip denganmu. Karena sudah menjadi isteriku, bagaimana aku tidak
mencinta dia? Akan tetapi engkau... ahhhh, aku mencinta kalian berdua,
Lulu... sungguh pun cintaku terhadapmu tiada bandingnya di dunia ini...
akan tetapi engkau... ah, engkau adalah isteri Sin Kiat dan...."
"Han-koko! Engkau masih lemah seperti dulu! Ahhhh, pria mulia yang
bodoh! Pria gagah perkasa yang lemah! Selalu mengalah, membiarkan diri
sendiri merana, berniat membahagiakan orang dengan pengorbanan diri
sendiri, tetapi malah menimbulkan kesengsaraan kepada semua orang! Aku
mencintamu, Koko, akan tetapi aku adalah seorang wanita! Aku tidak sudi
lagi bertekuk lutut dan meminta-minta! Tidak, lebih baik mati! Aku sudah
bersumpah untuk memilih dua kenyataan dalam hidupku. Menjadi isterimu
atau menjadi musuhmu! Tidak ada pilihan lain!"
"Lulu... Lulu...!" Suma Han mengeluh, hatinya bingung bukan main.
"Ibu...!"
"Paman...!"
Keng In dan Kwi Hong berlari-lari keluar dari istana hitam. Keng In
menghampiri ibunya dan Kwi Hong menghampiri pamannya. Kehadiran dua
orang anak ini mengembalikan kesadaran dan ketenangan Suma Han dan Lulu.
Suma Han memandang keponakan atau muridnya itu, lalu menegur, "Bagus sekali perbuatanmu, ya!"
Kwi Hong berlutut di depan pamannya dan berkata penuh rasa takut,
"Paman... aku tadinya sudah akan pulang, akan tetapi ditangkap Bibi ini.
Harap Paman maafkan aku dan memberi hajaran kepadanya!"
"Ibu, apakah dia ini To-cu Pulau Es, Pendekar Siluman? Mengapa Ibu tidak menghajarnya?" Keng In bertanya kepada ibunya.
Lulu tidak menjawab, hanya meraba kepala anaknya dan pandang matanya tidak pernah lepas dari wajah Suma Han.
Suma Han menghela napas dan berkata kepada Kwi Hong. "Berdirilah, mari
kita pulang." Dia lalu mengeluarkan suara melengking tinggi memanggil
burung garuda. Tak lama kemudian, tampaklah dua ekor burung itu terbang
dengan cepat ke tempat itu, lalu meluncur turun di depan Suma Han.
"Lulu, aku pergi..."
Lulu tidak menjawab, hanya mengangguk, sinar matanya membuat Suma Han
tidak kuat memandang lebih lama lagi. Ia menghela napas lagi, meloncat
ke punggung garuda jantan sedangkan Kwi Hong meloncat ke punggung garuda
betina, kemudian dua ekor burung itu terbang cepat meninggalkan pulau,
diikuti pandang mata Lulu dan Keng In.....
"Ibu, mengapa membiarkan mereka pergi?"
Lulu menunduk, tidak menjawab, hatinya tertusuk oleh pertanyaan itu.
Mengapa dia membiarkan Suma Han pergi? Membiarkan harapan dan
kebahagiaannya terbawa pergi bersama orang yang dicintanya itu?
"Toanio, mengapa Pendekar Siluman dibiarkan pergi?" Tiba-tiba seorang di
antara empat kakek bermuka kuning bertanya. Kiranya empat orang itu
kini telah siuman dari pingsannya dan melihat Suma Han bersama Kwi Hong
naik dua ekor burung garuda yang terbang pergi dari tempat itu.
Lulu memandang mereka. "Dia datang seorang diri, apa baiknya kalau kita
mengalahkan dia dengan pengeroyokan di tempat kita sendiri? Alangkah
rendah dan memalukan. Lain kali masih banyak waktu untuk kuhancurkan
dia. Dia itu musuhku! Musuhku...!"
Akan tetapi Lulu cepat membalikkan tubuh, menggandeng tangan Keng In dan
berjalan memasuki istananya. Setelah ia berada seorang diri kamarnya,
Ketua Pulau Neraka ini melempar diri di atas pembaringan, menelungkup
dan menyembunyikan mukanya yang menangis itu di atas bantal.
"Koko... ahhhh, Han-koko... engkau masih lemah seperti dulu...! Kalau
engkau tidak mau berkeras memperisteri aku, biarlah aku mati di
tanganmu... kau tunggu saja...!"
********************
Mengapa Lulu tiba-tiba menjadi majikan Pulau Neraka? Agar tidak
membingungkan, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya semenjak dia lari
pergi meninggalkan suaminya, Wan Sin Kiat atau yang terkenal dengan
julukan Hoa-san Gi-hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san).
Semenjak Lulu melangsungkan pernikahannya dengan Hoa-san Gi-hiap Wan Sin
Kiat, kemudian ditinggal pergi oleh Suma Han, dia mengantar kepergian
Suma Han dengan ratap tangis dan merasa betapa semangatnya dan seluruh kebahagiaan hatinya terbawa pergi
oleh kakak angkatnya itu. Semenjak itu, dia hidup menderita
kesengsaraan batin dan barulah ia sadar bahwa sesungguhnya hanya kakak
angkatnya itu pria yang dicintanya dan betapa dia telah melakukan
kesalahan yang besar dalam hidupnya dengan menerima dijodohkan dengan
Wan Sin Kiat.
Dia suka kepada Sin Kiat dan kagum akan kegagahan pemuda yang menjadi
suaminya ini, akan tetapi dia tidak dapat mencintanya sebagai seorang
isteri mencinta suami karena kini dia merasa yakin bahwa dia hanya dapat
mencinta Suma Han seorang yang tak mungkin diganti dengan pria lain.
Akan tetapi, karena dia sudah dinikahkan dengan Sin Kiat, sudah
bersumpah di depan meja sembahyang, Lulu memaksa hatinya mempergunakan
kebijaksanaan dan berusaha untuk mencinta suaminya, melayaninya
sebagaimana kewajiban seorang isteri yang baik. Namun, sampai dia
melahirkan seorang anak, tetap saja dia tidak dapat mencinta Sin Kiat,
tidak dapat melupakan Suma Han, bahkan makin berat penderitaan batinnya
yang menjerit-jerit ingin dekat dengan pria yang dicintanya itu.
Suaminya juga maklum dan merasa akan keadaan isterinya itu, dan
akhirnya, karena tidak kuat lagi, Lulu membawa anaknya pergi
meninggalkan suaminya.
Dengan niat hati hendak mencari Suma Han yang dia duga tentu kembali ke
Pulau Es, dia melakukan perjalanan yang jauh dan sukar ke utara. Akan
tetapi Lulu sekarang tidak seperti dahulu ketika masih kanak-kanak
bersama Han Han (Suma Han) melakukan perjalanan, kini setelah menjadi
murid Maya, ilmu kepandaiannya hebat dan dia dapat melakukan perjalanan
cepat.
Betapa pun juga, tidak ada orang lain yang tahu di mana letaknya Pulau
Es. Maka Lulu yang tidak bertanya kepada orang lain, hanya melanjutkan
perjalanannya dengan mengira-ngira saja, sambil mengingat-ingat
perjalanannya dahulu ketika meninggalkan Pulau Es bersama Suma Han.
Banyak daerah yang sudah ia lupakan, maka di luar tahunya, dia tersesat
sampai memasuki daerah Khitan!
Pada suatu pagi, dia melihat sebuah tanah kuburan yang luas, tanah
kuburan yang megah dan terawat baik. Dia tidak tahu bahwa tanah kuburan
itu adalah tanah kuburan keluarga Suling Emas! Baru dia tahu ketika
melihat seorang kakek bongkok yang lihai bertanding melawan seorang
tinggi besar kurus berkulit hitam memakai sorban. Ia teringat akan
penuturan suci-nya, Puteri Nirahai, tentang penjaga kuburan keluarga
Suling Emas yang lihai dan bongkok benama Gu Toan. Kini melihat kakek
bongkok itu dan keadaan tanah kuburan, ia segera menduga bahwa tentu
inilah kuburan keluarga Suling Emas yang terkenal. Ia segera merasa
berpihak kepada kakek bongkok.
Setelah menggendong Keng In erat-erat di punggungnya, Lulu mencabut
pedangnya dan meloncat ke gelanggang pertempuran sambil berseru, "Apakah
Locianpwe yang bernama Gu Toan?"
Kakek bongkok itu sedang didesak hebat oleh orang India tinggi kurus
yang amat lihai, namun dia masih sempat bertanya tanpa menoleh.
"Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Suci Nirahai yang menceritakan. Aku adalah sumoi-nya, murid Subo Maya."
"Ahhh... kebetulan sekali! Cepat kau pergi menyelamatkan pusaka-pusaka dan pergi dari sini. Bawa pusaka-pusaka itu."
Lulu tertegun dan bingung. "Pusaka apa...?"
"Dessss!" Tubuh Gu Toan terguling-guling karena dia terkena pukulan di
pundaknya oleh tangan kakek India yang lihai. Akan tetapi ia meloncat
bangun lagi dan mulutnya menyemburkan darah segar.
Melihat ini Lulu menerjang dengan pedangnya, namun orang India itu mendorongkan tangan kiri ke depan dan Lulu terhuyung-huyung!
"Jangan bantu aku! Lekas kau buka batu di belakang kuburan Suling Emas,
ambil semua pusaka dan bawa pergi. Cepat...!" Kakek Gu Toan kembali
berkata dan menerjang orang India itu dengan nekat.
Kakek itu mempergunakan bahasa selatan yang dimengerti oleh Lulu, akan
tetapi agaknya tidak dimengerti oleh kakek India itu yang menjadi marah
dan mengamuk dengan kaki tangannya yang panjang-panjang.
Maklum bahwa menyelamatkan pusaka agaknya lebih penting dari pada nyawa
kakek bongkok itu, apa lagi teringat bahwa pusaka-pusaka peninggalan
Suling Emas adalah pusaka yang diperebutkan semua orang kang-ouw, Lulu
cepat meloncat dan meneliti batu nisan kuburan satu demi satu. Akan
tetapi tidak sukar dan tidak lama dia mencari karena batu nisan kuburan
Suling Emas adalah yang terbesar dan berada di tengah-tengah. Cepat dia
menyelinap di belakang nisan atau gundukan tanah kuburan dan dengan
tenaga sinkang dia mendorong batu besar yang berada di situ. Batu
tergeser dan di bawahnya terdapat sebuah lubang. Cepat diraihnya sebuah
peti kuning yang berada di situ dan dikempitnya. Ketika ia meloncat
bangun, ia melihat Si Bongkok kembali terhuyung-huyung terkena pukulan
lawannya yang lihai. Dia ingin membantu akan tetapi Si Bongkok berseru.
"Lekas pergi! Lekas lari... pusaka itu menjadi milikmu...!"
Mendengar ini dan karena kalau dia melawan dia mengkhawatirkan
keselamatan anak di gendongannya, Lulu lalu meloncat dan lari secepatnya
meninggalkan tempat itu. Beberapa hari kemudian ketika ia membuka peti
kuning, ia mendapatkan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi, yaitu
ilmu-ilmu yang dipelajari Suling Emas dari Bu Kek Siansu dan telah
ditulis sebagai kitab oleh Suling Emas. Ilmu silat Kim-kong-sin-hoat,
Hong-in-bun-hoat, Pat-sian-kiam-hoat dan Lo-hai-san-hoat. Selain empat
buah kitab ilmu silat tinggi ini, terdapat pula sebuah kipas, kipas
pusaka milik mendiang Suling Emas!
Lulu teringat bahwa pusaka Suling Emas dahulu dipinjam oleh Nirahai. Dia
menjadi girang sekali dan sambil melanjutkan perjalanannya mencari
Pulau Es yang ternyata tersesat ke Khitan, mulailah ia mempelajari
ilmu-ilmu itu. Karena dia telah menerima gemblengan ilmu-ilmu yang
tinggi dan pada dasarnya dia memiliki sinkang luar biasa dari
latihan-latihan di Pulau Es, maka ilmu-ilmu itu cepat dapat dikuasainya.
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan menempuh segala
macam kesukaran, tibalah dia di tepi laut yang ia ingat menjadi tempat
dia dan Suma Han mendarat dahulu ketika mereka meninggalkan Pulau Es.
Tempat itu sunyi sekali, tidak ada manusia dan tentu saja tidak tampak
nelayan, maka dengan tekun dan sabar Lulu membuat sebuah perahu dari
batang pohon.
Biar pun dia memiliki tenaga yang hebat, namun sebagai seorang wanita
yang tidak pernah melakukan pekerjaan berat, tentu saja pembuatan perahu
ini memakan waktu berbulan-bulan. Dengan nekat ia lalu meluncurkan
perahunya ke tengah lautan dan hanya mengandalkan dayung dan kedua
tangannya untuk mendayung perahu, pergi mencari Pulau Es, atau lebih
tepat lagi, pergi mencari Suma Han, laki-laki yang dicintanya. Tekadnya,
kalau tidak dapat mencari Suma Han dan hidup di samping pria ini, lebih
baik mati saja!
Dalam pelayaran dengan perahu yang tidak memenuhi syarat ini, ditambah
ketidak mampuan mengemudikan perahu, pelayaran ini merupakan penderitaan
hebat bagi Lulu dan anaknya, jauh lebih hebat dari pada ketika dia
melakukan perjalanan darat. Beberapa kali badai dan taufan mengancam
nyawa, mengombang-ambingkan perahu hampir tenggelam. Dalam keadaan
seperti itu Lulu hanya dapat menangis, mendekap puteranya dan
menyebut-nyebut nama Suma Han, seolah-olah dia minta pertolongan dari
orang yang dicintanya itu. Sungguh ajaib sekali, kalau Tuhan belum
menghendaki dia mati, biar pun badai seperti itu, Lulu dan puteranya
tetap selamat!
Karena serangan badai dan ombak Lulu menjadi bingung, tidak tahu di mana
arah tujuannya, dan tidak tahu di mana adanya Pulau Es! Jangankan itu,
bahkan dia tidak tahu lagi di mana letaknya daratan yang sudah tidak
tampak lagi dari tengah lautan. Dia tidak takut kelaparan karena dengan
kepandaiannya, mudah saja baginya untuk menangkap ikan dan memanggang
dagingnya, minuman pun tidak kurang karena kini selain air hujan, ia
dapat pula minum dari gumpalan es yang kadang-kadang terdapat di atas
permukaan air laut. Hanya menghadapi amukan badai, dia benar-benar tidak
berdaya dan hanya mampu menangis, menyebut-nyebut nama Suma Han.
Pada suatu pagi, tiba-tiba dia mendengar suara melengking di atas perahu
dan betapa kagetnya ketika ia melihat seekor burung rajawali yang besar
sekali beterbangan di atas perahu sambil mengeluarkan suara
melengking-lengking panjang. Tiba-tiba burung itu menyambar ke bawah,
agaknya hendak menerkam Keng In yang berada di atas papan perahu.
"Prakkk!" Dayung di tangan Lulu hancur, akan tetapi burung itu pun terpental dan terbang ke atas sambil memekik marah.
"Keparat jahanam! Burung sialan! Kupatahkan batang lehermu. Hayo turun
kalau kau berani!" Lulu marah sekali dan menantang-nantang sambil
memaki-maki.
Dia menyambar Keng In, teringat akan peti terisi pusaka-pusaka, maka
anak dan peti itu dia ikat kuat-kuat di punggungnya, tangannya mencabut
pedang, siap menghadapi burung rajawali yang agaknya masih penasaran dan
beterbangan mengelilingi atas perahu kecil.
Burung rajawali itu kembali menyambar, kini menyerang Lulu yang telah
menyakitinya. Lulu mengayun pedangnya membabat ke arah kaki burung itu.
Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya bahwa burung itu ternyata kuat
dan juga pandai sekali bertempur, karena kuku-kuku jari kakinya diulur
seperti pisau-pisau runcing menangkis sambil mencengkeram.
"Crakkkk... aihhh!" Lulu menjerit dan meloncat ke belakang.
Kuku jari kaki kiri burung itu patah terbabat pedang, akan tetapi
cengkeraman kaki kanannya berhasil merampas pedang dan melukai sedikit
lengan tangan Lulu! Sambil terbang berputaran, burung itu memekik-mekik
kesakitan dan juga saking marahnya pedang rampasan dilepaskan dan jatuh
ke dalam laut, kemudian ia siap untuk menyerang lagi.
Biar pun marah sekali, Lulu tidak kehilangan ketenangannya dan ia
berlaku cerdik. Dilolosnya sabuk sutera dari pinggang dan begitu burung
itu menyambar turun, Lulu menggerakkan sabuknya yang meluncur ke atas
merupakan sinar putih, ujung sabuk dengan tepat melibat leher burung dan
ia meloncat ke atas mengayun dirinya dengan sabuk itu. Di lain saat,
Lulu telah duduk di atas punggung rajawali, menarik sabuknya kuat-kuat
sehingga leher burung itu tercekik!
"Menyerahlah! Kalau tidak, biar kita mati bersama. Kucekik lehermu
sampai patah!" Lulu membentak keras, tangan kirinya mencengkeram bulu
leher, sedangkan tangan kanannya menarik ujung sabuk yang telah melibat
leher burung.
Burung itu meronta-ronta, berusaha memutar kepala untuk mematuk orang
yang menduduki punggungnya, namun Lulu lebih cepat lagi menghantam
kepala burung itu dengan telapak tangan kiri. Setelah burung itu
megap-megap hampir kehabisan napas, Lulu mengendurkan cekikannya dan
kembali membentak.
"Hayo terbang baik-baik kalau tidak ingin mampus!"
Setelah beberapa kali dicekik dan dipukul kepalanya, binatang itu
agaknya merasa bahwa dia telah bertemu makhluk yang lebih kuat, maka
sambil mengeluh panjang ia tidak meronta lagi, melainkan terbang dengan
lurus dan cepat menuju ke utara. Lulu girang bukan main. Kalau burung
ini sudah menyerah, tentu saja lebih mudah mencari Pulau Es dengan
menunggang burung raksasa ini dari pada naik perahu kecil yang selalu
dilanda ombak!
"Eh, Tiauw-ko (Kakak Rajawali) yang baik! Kita sekarang telah
bersahabat. Tolonglah terbangkan aku ke Pulau Es. Pulau Es, kau tahu?"
Akan tetapi burung bukan manusia, mana dapat diajak bicara? Kalau dia
mengalami kesukaran dan kekagetan, tempat pertama yang akan didatangi
adalah sarangnya, maka biar pun kini dia tidak berani lagi membantah
atau melawan penunggangnya, otomatis dia terbang secepatnya menuju ke
sarangnya, yaitu di Pulau Neraka!
Pada waktu itu, Pulau Neraka merupakan tempat yang asing dan tidak
dikenal orang. Biar pun para penghuninya memiliki ilmu kepandaian yang
lihai, namun merupakan keturunan orang-orang buangan yang selamanya
mengasingkan diri di tempat ini. Pemimpin mereka adalah orang-orang yang
memiliki kepandaian paling tinggi, dan pada waktu itu, yang menjadi
pimpinan adalah enam orang bermuka kuning yang ilmunya tinggi sekali.
Seorang di antara mereka yang paling tua menjadi pemimpin pertama
sedangkan lima orang lain menjadi pembantu-pembantunya.
Karena hidup terasing, keadaan mereka lebih menyerupai kehidupan
orang-orang yang masih biadab, pakaian yang menutupi tubuh hanya terbuat
dari pada kulit-kulit binatang atau kulit pohon. Namun mereka rata-rata
memiliki ilmu silat tinggi, bahkan banyak di antara mereka yang
turun-temurun mempelajari huruf-huruf sehingga pada waktu itu mereka
mengenal huruf-huruf yang kuno yang dipergunakan ratusan tahun yang lalu
dan yang sekarang mengalami banyak perubahan.
Ketika Lulu melihat burung yang ditungganginya itu terbang di atas
sebuah pulau hitam yang kelihatan dari atas mengerikan, dia berkata,
"Tiauw-ko, itu bukan Pulau Es! Pulau Es kelihatan putih bersih, tidak
seperti ini. Kau keliru memilih tempat!"
Akan tetapi rajawali yang tidak mengerti kata-kata ini, tetap saja
terbang merendah dan tiba-tiba Lulu melihat gerakan orang-orang di atas
pulau, juga dia melihat bangunan-bangunan aneh. Melihat di bawah ada
orang, dia girang sekali. Mungkin sekali penghuni pulau di bawah ini
akan dapat memberi keterangan tentang Pulau Es, dan siapa tahu
kalau-kalau Pulau Es sudah dekat dan dia dapat minta mereka mengantar
dengan perahu. Menunggang rajawali yang tidak mengerti perintahnya ini
pun amat berbahaya!
"Turunlah! Turun ke tempat orang-orang itu!" Lulu menepuk-nepuk leher
rajawali dan burung itu menukik turun dengan amat cepatnya sehingga Lulu
cepat merangkul lehernya. Anaknya mulai menangis.
"Diamlah, Nak. Diamlah, kita turun dan bertemu dengan orang-orang..."
Lulu menghibur dan menepuk-nepuk paha anaknya yang ia gendong di
punggung.
Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika burung rajawali sudah
terbang rendah, ia melihat betapa kulit tubuh dan muka orang-orang di
bawah itu bermacam-macam warnanya, tidak lumrah manusia karena ada yang
hitam, merah, hijau, biru dan kuning! Akan tetapi karena burung itu
sudah hinggap di atas tanah, ia lalu melompat turun dengan gerakan
ringan dan dalam keadaan siap waspada. Burung rajawali yang merasa
punggungnya tidak ditunggangi lagi, memekik girang lalu terbang ke atas
membubung tinggi, masih memekik-mekik.
Orang-orang yang aneh itu menghadapi Lulu dan memandang penuh perhatian.
Enam orang kakek yang bermuka kuning melangkah maju dan seorang di
antara mereka yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih berkata,
suaranya kaku dan aneh, akan tetapi Lulu masih dapat menangkap artinya.
"Toanio siapakah? Apakah seorang buangan baru dari Pulau Es?"
Kini Lulu yang terbelalak keheranan. "Orang buangan dari Pulau Es? Apa
maksudmu? Aku justeru mencari Pulau Es. Tahukah kalian di mana pulau
itu?"
"Kami tidak tahu dan mau apa engkau mencari Pulau Es?"
"Aku mau mencari sahabatku di sana!"
"Sahabatnya di Pulau Es!" Orang-orang itu berteriak dan sikap mereka berubah, kini memandang Lulu dengan geram.
Hal ini mengejutkan hati Lulu. Celaka, agaknya mereka ini adalah
orang-orang yang membenci Pulau Es, entah apa sebabnya. Melihat mereka
sudah siap-siap dengan mencabut bermacam senjata, Lulu cepat bertanya,
"Kalian siapakah? Dan pulau apakah ini?"
Kakek itu menjawab, "Kami adalah keturunan orang-orang buangan dari
Pulau Es. Pulau ini adalah Pulau Neraka. Kami mendendam kepada Pulau Es,
dan sekali waktu, pasti kami akan menyerbu dan membasmi musuh-musuh
kami di Pulau Es!"
Hati Lulu makin terkejut, akan tetapi dia mempunyai pikiran yang baik.
Han Han (Suma Han) telah bersikap kejam dan tega kepadanya. Biar pun dia
merasa yakin bahwa kakak angkatnya itu pun mencintainya, namun telah
tega mengawinkan dia dengan orang lain! Sekarang setelah ia melarikan
diri dari suaminya. Mengingat akan watak kakak angkatnya itu, tentu dia
akan dimarahi dan belum tentu kakak angkat itu mau menerimanya. Akan
tetapi kalau dia dapat menguasai orang-orang ini! Dia kelak akan dapat
memperlihatkan bahwa dia pun bukan orang sembarangan, dan dia akan
menginsafkan kakak angkatnya itu! Apa lagi karena sekarang dia telah
menjadi pewaris pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas.
"Bagus!" tiba-tiba Lulu berkata kepada kakek itu. "Kalau begitu, biarlah aku akan memimpin kalian untuk menyerbu Pulau Es!"
Terdengar suara ketawa di sana-sini, dan kakek itu berkata, "Engkau
katakan tadi bahwa engkau hendak mencari sahabatmu di Pulau Es?"
"Benar, akan tetapi dia telah menyakiti hatiku. Bagaimana pendapat
kalian? Aku akan memimpin kalian, mengajari ilmu dan mengatur agar
kalian menjadi orang pandai dan beradab, tidak seperti sekarang ini!"
"Perempuan muda, bicaramu takabur sekali! Engkau anggap kami ini orang
apa mudah saja mengangkat seorang pemimpin seperti engkau? Biar pun
engkau datang secara aneh menunggang rajawali liar, akan tetapi tentang
kepandaian, hemm... agaknya melawan orang tingkat terendah dari kami
saja belum tentu engkau menang!"
Semenjak gadis muda, Lulu memiliki watak keras, berani dan tinggi hati.
Kini mendengar kata-kata itu, naik darahnya. "Siapa yang paling tinggi
tingkatnya di sini?"
Kakek bermuka kuning itu tertawa. "Aku!"
"Baik. Kalau begitu aku akan mengalahkan engkau, dan kalau kau kalah, apakah aku cukup berharga menjadi ketua di sini?"
Kembali terdengar suara ketawa di sana sini yang memanaskan perut Lulu.
Kakek itu mengelus jenggotnya dan berkata, "Perempuan muda, engkau
sungguh lancang. Akan tetapi begitulah, siapa yang paling pandai di sini
dia diangkat menjadi pemimpin. Aku orang pertama di sini, kalau engkau
bisa mengalahkan aku, tentu saja engkau patut menjadi pemimpin."
"Bagus! Kalau begitu, kau tunggu sebentar!" Lulu lalu menurunkan peti dan anaknya.
Keng In, anaknya yang baru berusia setahun lebih itu menangis karena
lapar, maka dia lalu menyusui anaknya, ditonton oleh semua orang yang
berada di situ dengan heran. Kebiasaan di situ, tidak ada anak yang
disusui karena Sang Ibu yang sudah berubah warna kulitnya berarti telah
mempunyai darah yang beracun sehingga anak-anak diberi makanan
buah-buahan sejak kecil, dan diberi bahan makanan lain.
Setelah menyusui anaknya yang lantas tertidur saking lelahnya, Lulu
meloncat bangun dan menggulung lengan bajunya, menghadapi kakek itu. Dia
teringat pedangnya yang sudah jatuh ke laut, maka dia bertanya,
"Engkau hendak bertanding dengan senjata apa?"
"Perempuan muda, senjataku adalah ranting ini, akan tetapi karena engkau
tidak bersenjata, biarlah kuhadapi engkau dengan tangan kosong pula.
Bahkan kalau engkau bersenjata pun, aku sanggup menghadapimu dengan
tangan kosong!" Setelah berkata demikian, kakek muka kuning itu lalu
menancapkan rantingnya di atas tanah, kemudian kakinya yang telanjang
itu melangkah maju menghampiri Lulu.
"Bagus, kiranya engkau masih memiliki sikap gagah. Nah, maju dan
seranglah!" Biar pun Lulu mempergunakan kata-kata dan sikap sombong,
namun sebenarnya dia cerdik dan diam-diam dia waspada karena dia dapat
menduga bahwa orang-orang aneh ini tentu memiliki kepandaian yang aneh
pula.
"Perempuan muda, jaga seranganku!" Kakek itu lalu melangkah maju, tangan kirinya menyambar.
"Wuuuutttttt!"
Angin keras menyambar ke arah kepala Lulu sehingga dia kaget karena
tepat seperti telah diduganya, orang ini memiliki tenaga sinkang yang
hebat. Namun dia tidak gentar dan dengan mudah ia mengelak dengan
loncatan ringan kemudian dari samping kakinya menendang ke arah lambung
lawan.
"Plakkk!"
Kakek itu menangkis dan dia berseru kaget. Sama sekali tidak disangkanya
bahwa perempuan muda itu memiliki tendangan yang demikian hebat
sehingga tangkisannya yang dapat mematahkan balok itu ketika mengenai
kaki terasa nyeri sedangkan wanita itu terhuyung pun tidak! Tahulah dia
bahwa wanita itu tidak bersombong kosong, maka mulai dia menerjang
bagaikan angin ribut, cepat dan kuat setiap pukulannya.
Lulu merasa girang. Tangkisan tadi sengaja dia terima dengan kaki untuk
mengukur tenaga dan biar pun kakinya juga terasa nyeri, namun dia tahu
bahwa sinkang-nya yang dilatih di Pulau Es dahulu tidak takut menandingi
tenaga kakek ini. Maka dia pun kini melawan dengan pengerahan tenaga,
bahkan dia mulai mainkan ilmu-ilmu silat baru yang ia pelajari dari
kitab peninggalan Suling Emas.
Berkali-kali kakek itu berseru kaget dan heran ketika mengenal ilmu
silat yang dasarnya sama dengan ilmunya sendiri, hanya dia tidak
mengenal perubahan-perubahannya yang jauh lebih hebat dari pada
kepandaiannya. Ketika Lulu mencoba untuk mainkan Kim-kong Sin-kun, dia
masih mampu menahan, akan tetapi ketika Lulu merobah ilmunya dan mencoba
mainkan Hong-in-bun-hoat, kakek itu berseru kaget dan terdesak hebat.
Dia hanya melihat wanita muda itu menggerak-gerakkan kedua tangan
seperti orang menulis huruf-huruf indah di udara, akan tetapi daya
serangan kedua tangan itu luar biasa sekali, dan kuatnya bukan main
sehingga angin pukulannya saja membuat dia tergetar. Memang demikianlah
sifat Hong-in-bun-hoat (Silat Sastera Angin dan Awan), yang dapat
dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan pedang. Ilmu ini
mendasarkan pergerakan dengan menulis huruf-huruf dan seperti menjadi
sifat huruf-huruf itu, coretannya sesuai dengan makna hurufnya seperti
lukisan, akan tetapi kalau coretan-coretan itu dilakukan sebagai gerakan
menyerang, hebatnya bukan main!
Setelah mempertahankan diri sampai seratus jurus, sebuah ‘coretan’ tak
tersangka-sangka dengan jari tangan kiri Lulu berhasil memasuki
pertahanan Si Kakek dan jari-jari yang lembut itu mengenai pangkal
lengan.
"Cusss!"
"Aduhhhhh...!" Kakek itu terhuyung-huyung ke belakang dan dari pangkal
lengannya keluar darah. Baju kulit harimau beserta kulit dan daging
pangkal lengan itu terkuak oleh jari tangan Lulu!
"Toanio, tidak kusangka ilmu kepandaianmu hebat bukan main! Akan tetapi
aku belum kalah! Hadapi rantingku ini!" Setelah berkata demikian, dengan
gerakan gesit sekali kakek yang sudah terluka itu menyambar rantingnya
lalu menerjang maju.
"Cuittt... tar-tar-tar...!" Senjata yang hanya merupakan ranting kayu
itu ternyata lemas sekali seperti ujung pecut yang dapat meledak-ledak
dan mengancam kepala Lulu dari empat penjuru!
Kalau saja Lulu tahu bahwa sekali terkena ujung ranting itu dia akan
menderita luka berbisa yang berbahaya, tentu dia akan menjadi gugup dan
mendatangkan bahaya. Untung dia tidak tahu sehingga dia dapat bersikap
tenang, mengelak ke sana sini sambil berusaha merampas ranting!
Akan tetapi tiba-tiba ranting itu menjadi kaku seperti baja dan langsung
dipergunakan untuk menusuk perutnya. Lulu mengelak dengan loncatan ke
kiri, dan ranting itu sudah meledak lagi berubah lemas menyambarnya
seperti lecutan cambuk. Diserang secara aneh oleh senjata yang dapat
lemas dan berubah kaku ini, Lulu menjadi sibuk sekali. Untung bahwa dia
pernah digembleng oleh Maya dalam hal ilmu meringankan tubuh yang luar
biasa sehingga kini tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar
senjata istimewa lawan itu.
Para penghuni Pulau Neraka yang tadinya memandang rendah kepada Lulu,
kini menjadi bengong dan terbelalak kagum. Biar pun wanita itu terdesak,
namun jelas tampak oleh mereka betapa wanita itu memiliki ilmu
kepandaian yang hebat sekali dan lebih tinggi tingkatnya dari pada kakek
yang menjadi ketua mereka!
Payah juga Lulu menghindarkan diri dari desakan kakek itu. Ia menjadi
penasaran dan marah karena sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
balas menyerang. Tubuhnya terus dikejar ujung ranting yang menghalangi
dia melakukan serangan. Sayang dia tidak mempunyai senjata. Tiba-tiba ia
teringat. Di dalam peti kuning terdapat sebuah senjata kipas
peninggalan Suling Emas! Dan dia pun sudah mempelajari ilmu Silat
Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) dari sebuah di antara
kitab-kitab dan sudah pula berlatih mainkan kipas itu, Teringat akan
ini, dia berseru. "Tahan senjata!"
Kakek itu berhenti, napasnya empas-empis. Dia sudah mengerahkan seluruh
tenaganya, namun belum pernah ujung rantingnya menyentuh tubuh lawan!
Karena dia menyerang terus menerus dan belum pernah ia melakukan
pertandingan selama itu, napasnya memburu dan hampir putus, mukanya
sebentar merah sebentar pucat, membuat muka yang berwarna kuning itu
sebentar tua sebentar muda warnanya.
"Apakah engkau menyerah kalah?" kakek itu menegur.
Lulu meloncat mendekati petinya, membuka dan mengambil kipas, lalu
berdiri lagi menghadapi lawannya. "Belum ada setitik darahku keluar,
bagaimana aku menyerah kalah? Tidak, engkaulah yang sebaiknya menyerah
dan menjadi pembantuku, karena kalau aku menggunakan senjataku ini,
engkau pasti akan kalah."
"Senjata... kipas...?" Kakek itu hanya mengerti kipas dari dongeng nenek
moyang dan sebagian besar penghuni di pulau itu belum pernah melihat
kipas selamanya, juga mendengar pun belum, maka mereka memandang
terheran-heran.
"Benar, inilah senjataku saat ini!"
"Toanio, engkau lihai, akan tetapi jangan main-main. Menurut dongeng
nenek moyang, kipas hanyalah dipergunakan oleh para siucai (mahasiswa)
dan wanita cantik untuk menyilirkan badan dan menuliskan sajak serta
gambar. Bagaimana kini akan kau pergunakan sebagai senjata?"
"Lopek, engkau lupa bahwa engkau sendiri mempergunakan senjata yang
tidak semestinya, hanya sebatang ranting. Karena itu tentu engkau
mengerti bahwa makin sederhana senjatanya, makin berbahaya. Awaslah
terhadap kipas pusakaku ini. Ingat, Kwan Im Pouwsat dengan kipasnya
sanggup menundukkan seribu satu macam siluman!"
Kakek itu melotot marah dan sambil mengeluarkan suara
melengking-lengking dia menerjang maju. Jantung Lulu tergetar hebat oleh
suara lengkingan itu, maka tahulah dia bahwa kakek itu mempergunakan
khikang untuk mempengaruhinya. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya
saja yang mampu mengeluarkan suara seperti itu, suara yang dimiliki
binatang-binatang besar tanpa latihan, seperti yang dimiliki singa atau
harimau sehingga sekali menggereng, jantung calon korbannya tergetar dan
kakinya lemas tak mampu lari lagi.
Lulu juga mengeluarkan suara teriakan melengking yang tinggi mengatasi
suara kakek itu dan dia cepat menggerakkan kipasnya ketika ranting itu
menerjangnya. Dan ternyatalah bahwa senjata kipas ini amat tepat untuk
menghadapi senjata ranting yang kadang-kadang menjadi pecut
kadang-kadang menjadi tombak baja itu! Dengan ilmu sakti
Lo-hai-san-hoat, kipasnya dapat dikembangkan dan dikebutkan menghalau
ujung ranting, kemudian disusul dengan totokan-totokan mengunakan ujung
gagang kipas.
Kakek yang sudah hampir kehabisan napas itu menjadi makin repot. Kini
dialah yang terdesak karena rantingnya kalau dibuat lemas, selalu
terdorong angin kebutan kipas sehingga gerakannya kacau bahkan tak dapat
ia kuasai lagi, sedangkan kalau dibikin kaku, tangkisan gagang kipas
membuat kedua telapak tangannya panas dan perih.
Dengan gerengan marah kakek itu menusukkan rantingnya yang menjadi kaku.
Lulu sudah mendengar anaknya menangis lagi, agaknya sadar dari
tidurnya, maka dia ingin mempercepat kemenangannya. Melihat ujung
ranting datang, dia cepat menggerakkan kipasnya dengan kedua gagang
menggunting dengan jurus ilmu kipas yang disebut Siang-in-toan-san
(Sepasang Awan Memotong Gunung). Ujung ranting itu terjepit dan tidak
dapat dicabut kembali! Kakek itu terkejut, menggereng dan hanya
menggunakan tangan kiri memegang ranting sedangkan tangan kanannya
melayang ke depan dibarengi langkah kakinya, langsung mengirim pukulan
ke arah dada Lulu. Pukulan yang antep sekali karena kakek itu
mengerahkan sinkang-nya!
"Hemmm!" Lulu mendengus, tangan kirinya didorongkan ke depan, telapak
tangannya menerima kepalan lawan sambil mengerahkan sinkang yang dilatih
di Pulau Es dan yang ini telah mencapai tingkat tinggi.
"Desssss!"
Kepalan tangan kakek itu menempel di telapak tangan Lulu. Lulu
mengerahkan napas memperkuat Im-kang. Mendadak kakek itu menggigil
tubuhnya, menarik tangannya, terhuyung ke belakang dan....
"Uaaakkk!" dia muntah darah dan roboh terguling dalam keadaan pingsan!
Keadaan menjadi sunyi sekali. Tak seorang pun bergerak, hanya memandang
penuh takjub seolah-olah belum dapat percaya bahwa pemimpin mereka
dikalahkan wanita muda itu! Yang terdengar hanya tangis Keng In. Lulu
berdiri tegak. Kipas terkembang di depan dada, tangan kiri terbuka
jarinya di atas kepala, sikapnya gagah dan menyeramkan.
"Masih adakah yang tidak mau menerima aku menjadi Ketua Pulau Neraka?"
Suaranya dikeluarkan dengan pengerahan khikang sehingga menggetarkan
jantung semua orang.
Para penghuni Pulau Neraka itu tidak ada yang bergerak, semua memandang
kepada lima orang kakek bermuka kuning yang menjadi pemimpin mereka.
Akan tetapi lima orang kakek ini juga tidak bergerak melainkan memandang
kepada yang roboh pingsan. Perlahan-lahan kakek tua itu siuman, membuka
mata, bangkit duduk dan memandang kepada Lulu, kemudian ia berlutut dan
berkata,
"Mulai saat ini, Toanio adalah pemimpin kami!"
Mendengar ini, lima orang kakek muka kuning lalu menjatuhkan diri
berlutut diikuti semua penghuni Pulau Neraka dan terdengarlah
seruan-seruan mereka.
"Toanio...!"
"To-cu...!"
Lulu tersenyum. "Baiklah, aku girang sekali bahwa kalian suka mengangkat
aku menjadi ketua. Aku berjanji akan memimpin kalian dan menurunkan
ilmu sehingga tidak saja kalian akan memperoleh kemajuan, juga akan
menjadi penghuni Pulau Neraka yang akan menggemparkan dunia! Sekarang,
lebih dulu aku minta makanan untuk aku dan anakku."
Demikianlah, mulai saat itu Lulu menjadi ketua mereka. Dia menjalankan
peraturan baru, menghapuskan pantangan keluar pulau, bahkan dia
menyebarkan pembantu-pembantunya yang pandai untuk keluar pulau dan
mencari bahan pakaian untuk mereka semua, mencari kebutuhan-kebutuhan
hidup sebagaimana layaknya manusia-manusia beradab.
Dia menurunkan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu-ilmu dari keempat
kitab dia simpan sebagai kepandaian pribadinya. Bahkan dia melatih diri
dan mempelajari ilmu keturunan penghuni Pulau Neraka sehingga dia
melatih sinkang dengan minum racun-racun tumbuh-tumbuhan dan
binatang-binatang di pulau itu sehingga setelah mencapai tingkat
tertinggi, dalam beberapa tahun saja wajahnya berwarna putih kapur! Juga
dia mendidik Keng In dengan penuh kasih sayang sehingga bocah ini
menjadi manja. Burung-burung rajawali juga ia taklukkan sehingga dapat
dipergunakan untuk binatang tunggangannya.
Kemajuan yang dicapai oleh Pulau Neraka amat hebat. Karena Lulu mengutus
pasukan-pasukannya keluar pulau, sebentar saja mereka terlibat dengan
orang-orang kang-ouw dan mulailah nama Pulau Neraka terkenal sebagai
kekuatan yang menakutkan.
Ketika puteranya yang bertugas mengumpulkan akar dan daun obat untuk
keperluan penghuni menolak bahaya dari keracunan datang melapor akan
munculnya seorang anak perempuan murid Majikan Pulau Es, Lulu cepat
berangkat sendiri dan menangkap Kwi Hong. Sudah lama ia berkeinginan
mengunjungi Pulau Es, akan tetapi karena merasa belum cukup kuat, ia
selalu menunda.
Dari penyelidikan orang-orangnya, ia mendengar bahwa Suma Han telah
menjadi majikan Pulau Es dan bahwa di sana terdapat banyak anak buahnya,
banyak pula terdapat wanita-wanita cantik yang gagah perkasa dan betapa
Pulau Es seolah-olah merupakan sebuah kerajaan kecil. Mendengar ini,
makin sakit rasa hati Lulu karena dia menganggap bahwa Han Han (Suma
Han) kejam dan lupa kepadanya. Bukankah sepantasnya kalau Suma Han
mencari dan mengajak dia hidup bahagia di Pulau Es? Dialah yang berhak
tinggal di Pulau Es, di samping Suma Han!
Ketika ia memancing Suma Han sehingga Pendekar Super Sakti itu datang
berkunjung ke Pulau Neraka, mengalahkan semua orangnya, dia melihat
betapa Suma Han masih selemah dahulu. Jelas bahwa pria itu mencintanya,
tetapi pria itu tidak memperlihatkan kejantanan, tidak memperlihatkan
kekuasaannya untuk menundukkannya, bahkan seperti juga dulu, rela pergi
dengan hati menderita!
Herankah kita apabila Lulu menangis terisak-isak semalam itu dan di
dalam hatinya berjanji untuk memusuhi Suma Han yang telah merampas
hatinya, kemudian mengecewakan hatinya dan menghancurkan harapan serta
kebahagiaannya? Apa lagi ketika dia mendengar bahwa pria idaman hatinya
itu telah dijodohkan dengan Nirahai, suci-nya. Dia akan memusuhi Suma
Han, dan akan mencari Nirahai. Sekarang dia tidak takut terhadap
suci-nya yang lihai itu, bahkan dia pun tidak takut terhadap Suma Han
yang belum sempat diujinya itu. Setelah dia mewarisi ilmu-ilmu dari
Suling Emas, dia tidak takut terhadap siapa pun juga! Rasa kemarahan
yang bangkit karena cemburu ini akhirnya mengalahkan kesedihannya dan
membuat majikan Pulau Neraka yang digambarkan seperti iblis itu dapat
tidur pulas dengan bantal masih basah air mata!
********************
"Siuuuutttt... byurrrr!"
"Lihat, Paman Pangeran, apa yang jatuh dari langit itu?" Seorang gadis
cilik yang berpakaian serba merah, berusia kurang lebih sembilan tahun,
berseru sambil menunjuk ke arah benda yang jatuh dari langit dan tampak
mengapung di atas lautan.
"Hemmm, yang manakah? Ahhh, kau benar. Benda apakah itu? Haiii,
Ciangkun, suruh dekatkan perahu dan coba kau ambil benda itu!" kata
laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang berpakaian mewah dan berwajah
tampan itu. Mereka berada di atas sebuah perahu yang mewah dan indah,
dengan hiasan bendera sebagai tanda bahwa penumpangnya adalah seorang
bangsawan.
Memang demikianlah kenyataannya. Laki-laki tampan berpakaian mewah itu
adalah seorang pangeran Mongol yang bernama Pangeran Jenghan yang pada
waktu itu sedang berpesiar di lautan utara di atas perahunya, dikawal
oleh pasukan Mongol yang menumpangi tiga buah perahu lain. Ada pun gadis
cilik berpakaian merah yang berwajah cantik jelita berusia sembilan
tahun itu adalah keponakannya yang bernama Milana.
Atas perintah kepala pengawal, seorang kakek yang memakai topi caping
lebar seperti para pengawal lain yang berada di perahu besar, perahu
yang ditumpangi pangeran itu didayung mendekati benda yang terapung di
laut. Setelah agak dekat, Milana berseru, "Sebuah keranjang! Dan ada
orangnya di dalam!"
"Hmmm, agaknya dia sudah mati...!" Pangeran Jenghan berseru melihat
seorang anak laki-laki rebah meringkuk di keranjang tak bergerak-gerak
seperti tak bernyawa lagi.
Memang itulah keranjang berisi Bun Beng yang jatuh dari angkasa ketika
keranjangnya dilepas oleh cengkeraman burung rajawali. Ketika keranjang
meluncur dengan cepatnya, Bun Beng pingsan. Keranjang itu jatuh ke laut
dan mengapung sehingga menyelamatkan nyawa Bun Beng. Namun kalau saja
ada kebetulan kedua, yang pertama jatuhnya keranjang ke laut, yaitu
kalau tidak kebetulan lagi dia jatuh tidak di dekat perahu itu, tentu
keranjangnya sebentar lagi akan tenggelam dan dia tidak akan tertolong.
Kepala pengawal segera menggerakkan tangan kanannya dan tampaklah
sehelai tali meluncur seperti seekor ular panjang, menuju ke arah
keranjang. Dengan tepat sekali ujung tali itu membelit keranjang pada
saat Bun Beng siuman dari pingsannya. Anak ini terkejut ketika membuka
matanya melihat bahwa dia berada di tengah laut. Lebih lagi kagetnya
ketika tiba-tiba keranjang yang didudukinya itu terangkat ke atas
seperti ada yang menerbangkan. Celaka, pikirnya, agaknya dia telah
disambar lagi oleh burung rajawali!
"Brukkkk!"
Keranjang yang diterbangkan oleh tali yang dilepas secara lihai oleh
kepala pengawal Mongol itu terbanting ke atas papan dan tubuh Bun Beng
terlempar keluar, bergulingan di atas papan. Ia merangkak bangun dengan
kepala pening, bangkit berdiri terhuyung-huyung. Karena pandang matanya
berkunang, dia cepat berlutut dan memegangi kepala dengan kedua tangan,
menutupi mukanya dan memejamkan matanya.
"Sungguh ajaib! Eh, anak, engkau siapakah dan mengapa bisa jatuh dari langit dalam sebuah keranjang?"
Suara yang terdengar asing dan kaku mempergunakan bahasa pedalaman ini
membuat Bun Beng menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka dan membuka
mata memandang. Dilihatnya seorang laki-laki berpakaian indah berdiri
di depannya, dan di samping laki-laki itu berdiri seorang anak perempuan
yang cantik jelita berpakaian merah. Ia memandang ke sekeliling.
Kiranya dia berada di atas sebuah perahu besar dan tak jauh dari situ
kelihatan tiga buah perahu lain. Mengertilah dia bahwa keranjangnya
jatuh ke laut dan bahwa dia telah ditolong oleh orang-orang ini. Maka
perlahan dia bangkit berdiri, kemudian membungkuk dan menjawab.
"Namaku Gak Bun Beng. Tadinya aku digondol burung rajawali dan
dilepaskan dari atas. Aku pingsan dan tidak tahu apa-apa, baru siuman
ketika keranjang dinaikkan ke sini. Aku telah menerima budi pertolongan
kalian, sudilah menerima ucapan terima kasihku."
Sejenak semua orang yang berada di situ tertegun dan keadaan menjadi
sunyi. Cerita anak ini terlalu aneh, apa lagi melihat anak yang berwajah
tampan, bersikap sederhana dan halus akan tetapi menggunakan bahasa
yang sederhana pula, sama sekali tidak bersikap hormat kepada Pangeran
Jenghan! Para pengawal sudah mengerutkan alis hendak marah karena
dianggapnya sikap anak ini kurang ajar dan tidak menghormat kepada
junjungannya. Akan tetapi Pangeran itu tersenyum dan mengangkat kedua
lengan ke atas.
"Ajaib...! Ajaib...! Seolah-olah engkau dijatuhkan dari langit oleh para
dewa untuk bertemu dengan aku! Eh, Gak Bun Beng, bagaimana engkau
sampai bisa terbawa terbang dalam keranjang oleh seekor burung raksasa?
Amat aneh ceritamu, sukar dipercaya!"
Bun Beng berpikir. Memang pengalamannya amat aneh dan sukar dipercaya.
Orang ini telah menyelamatkan nyawanya. Kalau dia menceritakan semua
pengalamannya, semenjak terlempar ke air berpusing sampai hidup di
antara kawanan kera kemudian bertemu dengan para pemuja Sun Go Kong dan
bertemu dengan murid Pendekar Siluman yang bertanding sambil menunggang
garuda melawan anak iblis dari Pulau Neraka, agaknya ceritanya akan
lebih tidak dipercaya lagi. Dia tidak suka bercerita banyak tentang
dirinya karena hal itu hanya akan menimbulkan kesulitan saja, maka ia
lalu mengarang cerita yang lebih masuk akal.
"Saya sedang mencari rumput untuk makanan kuda dan di dalam hutan saya
tertidur dalam keranjang ini. Tiba-tiba saya terkejut dan ternyata bahwa
keranjang yang saya tiduri telah berada di angkasa, dicengkeram oleh
seekor burung besar. Karena ketakutan, saya meronta-ronta dan akhirnya
keranjang itu dilepaskan dan saya jatuh ke sini."
Pangeran Jenghan mengangguk-angguk, akan tetapi melihat pandang matanya
yang penuh selidik dan kerutan alisnya, ternyata bahwa di dalam hatinya
Pangeran ini masih kurang percaya. Akan tetapi dia berkata, "Hemm,
engkau tentu kaget dan lelah, juga lapar. Pakaianmu robek-robek.
Ciangkun, beri dia makan dan suruh istirahat di bagian belakang kapal."
Bun Beng lalu mengikuti pengawal itu. Dia disuruh makan hidangan yang
amat lengkap dan serba mahal. Kemudian dia diperbolehkan mengaso. Karena
memang merasa lelah sekali, tak lama kemudian Bun Beng tertidur di atas
papan perahu di bagian belakang.
Bun Beng terbangun oleh suara nyanyian merdu. Ia membuka mata dan
menoleh. Kiranya yang sedang bernyanyi adalah anak perempuan berpakaian
merah yang dilihatnya tadi. Anak itu berdiri di atas papan, di pinggir
perahu, memandang ke angkasa yang biru indah, dan suaranya amat merdu
ketika bernyanyi. Akan tetapi, bagi Bun Beng yang amat mengherankan
adalah nyanyian itu. Kata-kata dalam nyanyian itu bukanlah nyanyian
kanak-kanak bahkan mengandung makna dalam seperti sajak dalam
kitab-kitab kuno. Ia mendengarkan penuh perhatian tanpa menggerakkan
tubuhnya yang masih terlentang.
Betapa ajaib alam dunia
segala sesuatu bergerak sewajarnya
menuju ke arah titik sempurna
matahari memindahkan air samudra
memenuhi segala kebutuhan di darat
dibantu hembusan angin yang kuat
setelah melaksanakan tugas mulia
air kembali ke asalnya
semua itu digerakkan oleh cinta
apa akan jadinya dengan alam semesta tanpa cinta?
Bun Beng mengerutkan alisnya. Anak ini masih terlalu kecil untuk
menyanyikan kata-kata seperti itu! Mungkin hanya seperti burung saja
yang meniru kata-kata tanpa tahu artinya.
"Gak Bun Beng, engkau sudah sadar dari tadi, mengapa pura-pura masih tidur?"
Bun Beng terkejut dan bangkit duduk, matanya terbelalak. Bagaimana anak
perempuan itu bisa tahu bahwa dia sudah terbangun? Padahal dia tidak
mengeluarkan suara dan anak itu tidak pernah menengok bahkan ketika
menegurnya pun tidak membalikkan tubuh.
"Eh, apa engkau mempunyai mata di belakang kepalamu?" Bun Beng melompat berdiri dan bertanya.
Anak perempuan itu kini membalikkan tubuhnya, memandang dengan sepasang
mata yang mengingatkan Bun Beng akan sepasang mata burung garuda
tunggangan murid Pendekar Siluman. Anak itu tersenyum dan Bun Beng
terseret dalam senyum itu, tanpa disadari ia pun meringis tersenyum.
"Apa kau kira aku ini siluman yang mempunyai mata di belakang kepala?"
"Kalau tidak mempunyai mata di belakang, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku telah bangun dari tidur?"
"Bunyi pernapasan orang tidur dan orang sadar jauh bedanya, dan biar pun sedikit, gerakan tubuhmu terdengar olehku."
Bun Beng bengong. Wah, kiranya anak perempuan yang kelihatan lemah
lembut dan pandai bernyanyi dengan suara merdu ini memiliki pendengaran
yang tajam luar biasa. Ah, ini hanya menandakan bahwa anak ini telah
berlatih sinkang! Teringatlah ia akan cara pengawal menaikkan
keranjangnya. Tak salah lagi, tentu penumpang perahu ini merupakan
orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan anak ini bukan anak
sembarangan, dapat dibandingkan dengan murid Pendekar Siluman, atau anak
laki-laki Pulau Neraka itu! Akan tetapi, karena dia sendiri pun sejak
kecil telah digembleng orang-orang pandai, Bun Beng memandang rendah dan
tidak memperlihatkan kekagumannya, bahkan pura-pura tidak tahu bahwa
anak perempuan ini memiliki kepandaian.
"Nyanyianmu tadi sungguh ngawur!" Karena tidak tahan melihat betapa
sinar mata anak perempuan itu memandangnya seperti orang mentertawakan,
Bun Beng lalu mengambil sikap menyerang dengan mencela untuk memancing
perdebatan agar dia dapat dikenal sebagai seorang yang lebih pandai dari
pada anak itu!
Bun Beng merasa kecelik kalau dia memancing kemarahan anak itu, karena
anak itu sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali dan
bertanya. "Bagian manakah yang kau katakan ngawur?"
"Semuanya! Maksudku, engkau bernyanyi seperti burung, tanpa mengerti
artinya! Misalnya kalimat yang mengatakan bahwa semua itu digerakkan
oleh cinta, aku tanggung engkau tidak mengerti apa artinya. Bocah
sebesar engkau ini mana tahu tentang cinta?"
Mata itu bersinar lembut ketika menjawab, "Gak Bun Beng, ketika aku
diajar menyanyikan kata-kata itu, aku telah diberi penjelasan. Tentu
saja aku tahu dan aku heran sekali kalau engkau tidak tahu arti cinta.
Cinta adalah kasih sayang murni yang menguasai seluruh alam. Tanpa cinta
atau kasih sayang ini, kehidupan akan tiada! Segala macam benda dan
makhluk, baik yang bergerak mau pun yang tidak, seluruhnya dapat hidup
oleh kasih sayang ini. Cinta adalah sifat dari pada Tuhan yang menguasai
seluruh alam!"
Kembali Bun Beng menjadi bengong. Tidak salahkah pendengarannya? Ucapan
seperti itu keluar dari mulut seorang anak perempuan yang masih...
ingusan! Ia penasaran dan menyerang lagi.
"Engkau hanya meniru-niru, belum tentu engkau mengerti betul tentang
cinta. Kalau benar mengerti, coba kau beri penjelasan dan
contoh-contoh!"
Kini anak itu memandang wajah Bun Beng dan kelihatan sinar mata
membayangkan perasaan kasihan! "Bun Beng, benarkah engkau tidak mengenal
arti cinta itu? Aih, sungguh patut dikasihani! Sinar matahari yang
memberi kehidupan itu adalah kuasa cinta! Air laut yang mengandung
garam, yang menjadi awan dan hujan mengaliri segala yang membutuhkan air
di darat, angin yang bertiup, hawa udara yang kita hisap, tanah yang
kita injak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, semua itu adalah kuasa
cinta! Darahmu yang mengalir di seluruh tubuhmu tanpa kau sengaja,
pernapasanmu yang terus bekerja tanpa kau sadari dalam tidur pun, semua
itu digerakkan oleh apa kalau tidak oleh kekuasaan yang penuh kasih
sayang? Bibit bertunas menjadi pohon tanpa bergerak, tanah dan air
menghidupkannya, angin dan hawa menyegarkannya, sampai berdaun dan
berbunga. Bunga tanpa bergerak menciptakan buah, dan buah pun akan jatuh
sendiri dan bersemi menjadi bibit, demikian seterusnya. Benda-benda itu
tanpa bergerak telah teratur sendiri, bukankah itu bukti nyata betapa
maha besarnya cinta kasih yang dimiliki Tuhan? Dan engkau masih bertanya
akan bukti?"
Kini Bun Beng terbelalak memandang wajah yang semringah kemerahan itu. Bukan main!
"Eh... oh... maafkan, kiranya engkau benar-benar hebat! Siapakah yang
mengajarkan kepadamu akan semua pengetahuan itu?" Ia berhenti sebentar
lalu menengok ke arah bilik perahu besar. "Tentu... laki-laki yang
berpakaian mewah tadi, ya?"
Akan tetapi anak perempuan itu menggeleng kepala. "Bukan dia. Yang
mengajarkan semua itu adalah Ibuku sendiri. Banyak hal lain yang
diajarkan Ibu kepadaku, akan tetapi tentang cinta ini, ada sebuah
nyanyian yang kudengar sering kali dinyanyikan Ibu, yang aku tidak
mengerti artinya. Kalau kutanyakan, Ibu selalu menggeleng kepala tanpa
menjawab. Dan kau tahu... Ibu selalu mengucurkan air mata kalau
menyanyikan lagu itu."
Bun Beng tertarik sekali. Anak ini mempunyai sikap yang amat menarik dan
watak yang begitu halus! Tentu ibunya orang luar biasa pula. "Benarkah?
Bagaimana nyanyian itu?"
"Sebetulnya tidak boleh aku beritahukan orang lain. Akan tetapi engkau
seorang anak yang aneh, yang datang tiba-tiba saja dari langit, dikirim
oleh Tuhan sendiri melalui kekuasaan cinta kasihnya."
"Aihh, mengapa begitu? Sudah kuceritakan bahwa aku diterkam..."
"Burung rajawali yang menerbangkanmu ke atas, bukan? Engkau lupa!
Kekuasaan apa yang membuat burung itu mampu terbang? Kemudian, kekuasaan
apa yang membuat engkau kebetulan dijatuhkan di atas laut, dekat dengan
perahu Paman sehingga engkau tertolong? Tanpa kekuasaan cinta kasih
itu, kita dapat berbuat apakah?"
Bun Beng terdesak. "Baiklah... baiklah..., engkau benar. Akan tetapi,
orang sepandai engkau masih tidak mengerti arti nyanyian yang
dinyanyikan Ibumu sambil menangis. Coba perdengarkan nyanyian itu, kalau
engkau tidak mengerti artinya, tentu aku mengerti," Bun Beng
membusungkan dadanya karena kini timbul kesempatan baginya untuk
membuktikan bahwa dia lebih pandai. Kalau gadis cilik yang aneh ini
tidak tahu artinya kemudian dia bisa mengartikannya, berarti dia menang!
Anak perempuan itu ragu-ragu sejenak, memandang wajah Bun Beng penuh
selidik. Kemudian dia menghela napas dan berkata, "Sudah kukatakan bahwa
engkau seorang anak luar biasa dan aku percaya kepadamu. Akan tetapi,
berjanjilah bahwa engkau takkan menceritakan kepada siapa pun juga
tentang nyanyian Ibu ini, karena kalau Ibu mengetahui, tentu Ibu akan
menyesal sekali kepadaku."
"Engkau takut dimarahi?"
"Tidak. Kalau Ibuku memarahiku, hal itu biasa saja. Akan tetapi kalau
sampai Ibu menyesal dan berduka karena perbuatanku, hal ini amat
menyedihkan hatiku."
Keharuan meliputi hati Bun Beng. Ah, kalau saja dia mempunyai ibu, dia
akan mencontoh anak ini! Rasa takut dalam hati seorang anak melihat
ibunya marah, bukanlah cinta kasih. Namun rasa sedih dalam hati seorang
anak melihat ibunya berduka dan menyesal, barulah timbul dari cinta
kasih yang murni!
Dia menelan ludah, "Engkau... engkau seorang anak yang baik sekali! Aku
berjanji, aku bersumpah tidak akan menceritakan kepada lain orang."
Anak perempuan itu tersenyum. "Aku percaya kepadamu dan kepercayaanku
tidak akan sia-sia. Nah, dengarlah nyanyian istimewa Ibuku!"
Cinta kasih menguasai alam semesta
suci murni dan penuh mesra
namun mengapa hatiku merana...
jiwaku dahaga akan cinta...?
aihhh... haruskah aku menjadi ikan dalam air mati kehausan?
cinta... cintaku...
mengapa engkau begitu tega...?
Bun Beng berdiri bengong dan dua titik air mata turun membasahi pipinya
ketika ia melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata anak
perempuan itu yang kini terisak-isak.
"Engkau... engkau menangis...?" tanyanya, suaranya serak.
Anak perempuan itu menoleh, mengusap air matanya dan mengangguk, "Aku...
aku teringat kepada Ibu. Aku kasihan mengingat dia berduka dan aku
sedih karena tidak mengerti mengapa dia menangis dan apa artinya
nyanyiannya itu."
Bun Beng mengerutkan alisnya, berpikir. Kemudian ia berkata, "Ahhh, aku
mengerti! Ibumu tentu mencinta seseorang! Tentu saja seorang pria!
Ehhh... maaf, tentu mencinta Ayahmu. Di mana Ayahmu?"
Anak perempuan itu bengong dan mengangguk-angguk. "Aihhh... agaknya
engkau benar, Bun Beng. Terima kasih! Kalau aku menanyakan Ayahku, Ibu
selalu kelihatan berduka dan hanya mengatakan bahwa Ayah pergi amat
jauh, bahwa Ayah adalah seorang pendekar besar. Akan tetapi Ibu tidak
pernah mau mengatakan di mana adanya Ayah dan siapa namanya, hanya
menyuruh aku bersabar karena kelak tentu akan bertemu dengan Ayah."
"Nah, benar kalau begitu! Ibumu mencinta Ayahmu, merindukan Ayahmu yang lama pergi! Eh, siapakah namamu?"
"Namaku Milana."
"Bagus sekali!"
"Apakah yang bagus?"
"Namamu itu. Tentu engkau puteri bangsawan, bukan?"
Milana menggeleng kepala, "Ibu melarang aku menganggap diri keturunan
bangsawan, biar pun Paman Jenghan adalah seorang pangeran Mongol. Aku
disuruh ikut di Kerajaan Mongol untuk mempelajari ilmu. Ibu sendiri
entah pergi ke mana akan tetapi sering kali, sedikitnya sebulan sekali,
Ibu tentu datang menjengukku dan menurunkan pelajaran-pelajaran
kepadaku. Kini, Paman Pangeran Jenghan berpesiar ke laut ini dan
mengajakku, tidak kusangka akan bertemu dengan engkau, Bun Beng."
"Ibumu tentu seorang yang hebat! Dan engkau di samping pandai bernyanyi
dan mempelajari kesusasteraan, tentu engkau belajar ilmu silat pula."
"Benar, keluarga istana Mongol penuh dengan orang yang berilmu tinggi.
Akan tetapi menurut Paman Pangeran, tidak ada yang melebihi ilmu
kepandaian Ibu yang amat tinggi. Hanya aku belum pernah menyaksikan
sendiri kepandaian Ibu, kecuali kalau dia datang dan pergi lagi dari
kamarku dengan kecepatan seperti menghilang. Kadang-kadang aku bahkan
menduga apakah Ibu itu sebangsa dewi, bukan manusia biasa..."
"Milana...!"
Mereka terkejut dan menengok. "Paman memanggilku." Anak perempuan itu
berlari menuju ke bilik perahu besar, diikuti oleh Bun Beng. Mereka
melihat kesibukan di perahu itu dan semua pengawal memegang senjata.
Juga para pengawal di tiga buah perahu kecil siap dengan senjata mereka.
Pangeran Jenghan menyongsong keponakannya. "Lekas kau sembunyi di bilik
kapal. Engkau juga, Bun Beng. Jangan sekali-kali keluar dari bilik kalau
belum aman."
"Apakah yang terjadi, Paman?" Milana bertanya.
"Kita akan diserang sekawanan bajak! Perahu-perahu mereka sudah tampak
datang. Cepat sembunyi!" Pangeran itu memegang lengan Milana dan
ditariknya keponakan itu memasuki bilik kapal, diikuti oleh Bun Beng.
Kemudian pintu bilik ditutup dan Pangeran itu meloncat ke luar.
"Mau apakah bajak-bajak laut itu?" Di dalam bilik Milana bertanya kepada Bun Beng.
"Hm, namanya juga bajak, tentu mau membajak, merampas kapal atau membakarnya, dan membunuh kita."
Mata yang bening itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi agak pucat.
"Mengapa? Bukankah mereka itu juga manusia?"
Bun Beng tersenyum pahit. "Pujianmu tentang cinta kasih itu akan hancur
kalau jatuh ke tangan manusia, Milana. Tidak ada makhluk di dunia ini
yang sejahat, sekejam, dan seganas manusia."
"Ohhh...! Akan tetapi... aku tidak pernah menyaksikan kekejaman manusia."
"Kalau begitu engkau belum berpengalaman, Milana. Berhati-hatilah kalau
engkau berhadapan dengan sesama manusia dan simpan saja kepercayaanmu
tentang cinta kasih itu di dalam hati. Tuhan memang bersifat Maha Kasih,
kasih sayangnya melimpah, akan tetapi manusia hanya menghancurkan kasih
sayang murni itu. Mengapa Pamanmu menyembunyikan kita? Kalau memang ada
serbuan bajak, aku lebih suka berada di luar dan membantu menghadapi
mereka. Seribu kali lebih baik mati sebagai seekor harimau yang
melakukan perlawanan mati-matian di luar sana dari pada mati sebagai
tikus-tikus terjepit di tempat ini!"
"Aku... aku tidak pernah bertempur!"
"Kulihat kepandaianmu sudah baik, dan kau belum pernah bertempur?"
Milana menggeleng kepala. "Aku... aku tidak mau bertempur, tidak mau
menggunakan ilmu silat yang kupelajari untuk melukai dan membunuh
manusia lain!"
"Dan kalau mereka menerjang ke sini dan membunuhmu?"
"Lebih baik dibunuh dari pada membunuh."
Bun Beng membelalakkan mata dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Wah-wah-wah, bagaimana ini? Habis, untuk apa Ibumu mengajar ilmu silat
tinggi kepadamu?"
"Kata Ibu untuk menjaga diri dari mara bahaya."
"Nah, sekarang mara bahaya tiba. Mari kita pergunakan untuk menjaga diri!"
"Tapi dengan membunuh bajak? Aku tidak mau!"
"Mari kita keluar, Milana. Akulah yang akan menjaga dan melindungimu.
Biarlah aku yang akan membunuh mereka kalau mereka berani mengganggu
kita."
"Kau... kau berani membunuh orang?"
"Tentu saja kalau orang itu juga mau membunuhku. Membela diri, bukan?"
"Bun Beng, pernahkah ada orang yang hendak membunuhmu?"
Bun Beng tertawa. "Tak terhitung banyaknya! Engkau belum mengenal
kekejaman manusia. Mari kita keluar. Dengar, sudah ada suara
pertempuran!" Dan memang pada saat itu sudah terdengar teriakan-teriakan
di antara berdencingnya senjata-senjata yang beradu.
Ketika kedua orang anak itu tiba di luar, Milana mengeluarkan jerit
tertahan melihat betapa empat buah perahu mereka telah dikurung dan
tampak banyak sekali anak buah bajak menyerang. Pamannya dan para
pengawal melakukan perlawanan dengan gigih dan karena kepandaian
Pangeran Jenghan dan para pengawalnya memang tinggi, banyak anak buah
bajak yang menyerbu itu roboh dan jatuh ke laut dalam keadaan terluka
atau tewas.....