Pendekar Super Sakti Bab 6-10

Kho Ping Hoo, Pendekar Super Sakti, Bab 6-10. Ui Swan dan Ui Kiong yang sudah bertangan kosong, tentu saja tidak dapat berdiam diri begitu saja menyaksikan keadaan saudara-saudaranya terdesak, mereka ini lalu menggunakan tangan kanan yang kosong untuk mendorong ke depan dengan pukulan jarak jauh, sedangkan tangan kiri masih menempel punggung saudara yang berada di sebelahnya seperti tadi.
Anonim
Bab 6

Ui Swan dan Ui Kiong yang sudah bertangan kosong, tentu saja tidak dapat berdiam diri begitu saja menyaksikan keadaan saudara-saudaranya terdesak, mereka ini lalu menggunakan tangan kanan yang kosong untuk mendorong ke depan dengan pukulan jarak jauh, sedangkan tangan kiri masih menempel punggung saudara yang berada di sebelahnya seperti tadi. Akan tetapi dengan pedang di tangan saja mereka tadi tidak dapat bertahan, apalagi bertangan kosong. Begitu mereka mendorong dengan tangan, telapak tangan mereka bertemu dengan hawa panas yang menyusup kuat, terus menyerang isi dada. Kedua kakak beradik Ui ini mengeluh perlahan dan tubuh mereka rebah miring!

Melihat ini, lima orang Siauw-lim Chit-kiam menjadi terkejut. Tahulah mereka bahwa mereka akan roboh semua, namun mereka berkeras untuk mempertahankan diri sampai api menjilat tempat itu agar musuh mereka yang amat tangguh itu mati pula terbakar.

Pada seat mereka terhimpit den terancam hebat itu, tiba-tiba Kang-thouw-kwi Gak Liat berteriak marah den bajunya sudah termakan api! Bagaimanakah baju Setan Botak ini dapat terbakar padahal api kebakaran kuil itu belum menjilat ke situ?

Bukan lain adalah hasil perbuatan Sin Lian! Karena tubuhnya terjengkang dan terbanting sendiri ketika memukul tubuh Setan Botak, Sin Lian menjadi penasaran den marah sekali. Sebagai puteri Lauw-pangcu yang tidak asing akan kehebatan ilmu silat, anak ini maklum bahwa tubuh Setan Botak itu kebal dan percuma saja kalau ia memukul.

Maka ia lalu mencari akal dan barulah ia sadar bahwa tempat itu telah terkurung api yang mulai membakar ruangan! Dalam kaget dan paniknya, timbul akalnya. Ia lalu lari ke tempat kebakaran, mengambil sepotong kayu yang terbakar dan tanpa ragu-ragu lagi ia menghampiri Setan Botak den membakar pakaian musuh ini dengan api itu! Bahkan ia lalu berusaha membakar rambut di kepala botak itu pula!

Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah seorang ahli Yang-kang, bahkan kedua lengannya sudah memiliki Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang bersumber pada panasnya api. Boleh jadi kedua lengannya itu sudah kebal terhadap api, namun tubuhnya tidak, apalagi rambut di kepalanya. Begitu melihat bahwa bajunya terbakar, bahkan sebagian rambutnya dimakan api, ia terkejut dan marah sekali. Sambil berteriak dan menggereng seperti harimau, ia menggulingkan tubuhnya ke kiri, pertama untuk memadamkan api yang berkobar pada bajunya, ke dua untuk menyingkirkan diri daripada gelombang sinar pedang Siauw-lim Chit-kiam.

Kemudian, setelah bergulingan dan keluar dari sasaran lawan, ia membalikkan tubuhnya dan memukul ke arah Sin Lian dari jarak jauh. Saking marahnya, kini ia menumpahkan semua kemarahan dan kebencian kepada anak perempuan itu.

Kelima orang Siauw-lim Chit-kiam maklum bahwa nyawa bocah itu berada di cengkeraman maut. Mereka juga maklum bahwa bocah perempuan itulah yang telah menyelamatkan nyawa mereka yang tadi sudah tertekan hebat. Tentu saja sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa, kini mereka tidak mungkin dapat berpeluk tangan saja menyaksikan penolong mereka terancam.

Tanpa komando, lima orang Siauw-lim Chit-kiam itu kini menodongkan pedang mereka dan mengerahkan tenaga, menghadang pukulan jarak jauh Setan Botak yang ditujukan kepada Sin Lian. Tenaga serangan itu tertangkis oleh sinar pedang, akan tetapi biarpun Sin Lian dapat diselamatkan, sebagian hawa pukulan menerobos dan sedikit saja sudah cukup membuat Sin Lian terguling roboh dan pingsan dengan muka gosong!

Karena ruangan itu mulai terbakar, Gak Liat yang tahu akan bahaya lalu tertawa dan tubuhnya sudah melesat keluar menerjang api lalu lenyap di dalam kegelapan malam di luar kuil. Lima orang Siauw-lim Chit-kiam tidak mengejar, karena selain mereka harus menyelamatkan dua orang saudara yang terluka dan gadis cilik yang pingsan, juga mengejar keluar kuil apa gunanya?

Mereka takkan mampu mengalahkan Setan Botak yang lihai itu. Diangkutlah Ui Swan dan Ui Kiong, juga tubuh Sin Lian dan mereka pun cepat-cepat menerjang api menerobos keluar sebelum ruangan itu ambruk.

Para anggauta Ho-han-hwe menjadi kecewa dan berduka. Tidak saja usaha mereka menewaskan Setan Botak itu gagal sama sekali, juga mereka harus cepat-cepat angkat kaki dari Tiong-kwan karena kini tentu kaki tangan pemerintah Mancu akan mencari untuk membasmi mereka. Terutama sekali Lauw-pangcu yang kehilangan lima puluh lebih anggauta Pek-lian Kai-pang, menjadi berduka sekali. Akan tetapi di samping kedukaan ini, ada sinar terang yang membahagiakan hati ketua kai-pang ini, yaitu bahwa Siauw-lim Chit-kiam berkenan mengambil Sin Lian sebagai murid mereka! Setelah Ui Swan dan Ui Kiong diobati, dan juga Sin Lian sembuh, anak ini lalu dibawa pergi Siauw-lim Chit-kiam untuk mendapat gemblengan ilmu di kuil Siauw-lim-si.

Adapun Lauw-pangcu sendiri lalu pergi ke barat untuk menyampaikan laporan kepada Raja Muda Bu Sam Kwi dan membantu perjuangan raja muda itu dalam usahanya mengusir penjajah Mancu dari tanah air. Juga semua anggauta Ho-han-hwe yang mengunjungi pertemuan itu, cepat-cepat meninggalkan Tiong-kwan, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka menghentikan atau mengurangi semangat perjuangan mereka yang anti penjajah.

***

Kurang lebih setengah tahun lamanya Han Han berada di dalam gedung besar di pinggir kota Tiong-kwan, menjadi pelayan dari Setan Botak bersama muridnya Ouwyang Seng. Mengapa Han Han dapat bertahan sampai demikian lamanya menjadi pelayan di situ?

Sesungguhnya hatinya amat tidak senang menjadi pelayan Ouwyang Seng, akan tetapi karena anak ini menemukan hal-hal yang amat menarik hatinya maka ia memaksa diri tidak mau meninggalkan tempat itu. Ia tertarik melihat cara-cara latihan yang diajarkan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Bahkan diam-diam kalau tidak dilihat guru dan murid itu, ia pun mulai melatih kedua lengannya dan merendamnya di dalam air panas bercampur racun!

Mula-mula ia tidak berani, akan tetapi karena tekadnya memang luar biasa, ketika ia diberi tugas menggodok air beracun, ia mencelup kedua tangannya. Dengan kemauan yang amat luar biasa, terdorong oleh sifat aneh yang menguasainya, akhirnya dalam sebulan saja ia sudah mampu menahan kedua lengannya direndam air panas beracun sampai semalam suntuk!

Apa yang dicapai oleh Ouwyang Seng dalam latihan dua tiga tahun, dapat ia peroleh hanya dengan latihan sebulan saja! Dan pada bulan-bulan berikutnya, ia bahkan telah jauh melampaui Ouwyang Seng karena ia sudah dapat bertahan untuk merendam kedua lengannya ke dalam air panas batu bintang!

Padahal latihan merendam lengan di air batu bintang ini hanya dilakukan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, sedangkan Ouwyang Seng hanya baru mulai dengan latihan yang berat ini!

Guru dan murid yang wataknya aneh dan keras itu ternyata merasa suka kepada Han Han yang juga tidak kalah aneh wataknya. Han Han dapat menjadi seorang anak yang pendiam dan penurut sekali kalau ia kehendaki, dan ia pandai menyimpan rahasia, sehingga guru dan murid itu merasa suka, bahkan akan merasa kehilangan kalau tidak ada Han Han yang mengerjakan segala keperluan mereka berdua itu dengan alat-alat dan keperluan berlatih.

Apalagi Ouwyang Seng, sama sekali tentu saja tidak pernah menduga bahwa kacung itu telah ikut berlatih, bahkan telah melampauinya. Sedangkan gurunya, Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri tidak pernah mimpi bahwa bocah gembel itu ternyata selain melatih diri dengan dasar-dasar ilmu Hwi-yang-sin-ciang, juga sudah berani memasuki daerah terlarang, tempat ia berlatih dan yang merupakan tempat terlarang bagi semua orang!

Dan tidak pernah menduga bahwa semua ajaran teori yang ia berikan kepada Ouwyang Seng, diam-diam telah didengar jelas oleh Han Han, bahkan bocah ini segera mempraktekkan ajaran-ajaran itu.

Apabila Kang-thouw-kwi Gak Liat sedang bepergian, dan hal ini sering kali ia lakukan tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya, Ouwyang Seng yang pada dasarnya malas berlatih dan lebih suka berkuda atau berjalan-jalan keluar kota mengumbar kenakalannya, kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Han Han.

Setelah ia dapat bertahan merendam kedua lengannya dalam air cairan batu bintang, mulailah ia diam-diam memasuki daerah tertarang! Mula-mula jantungnya berdebar dan ia merasa ngeri. Di kebun yang liar itu terdapat banyak lubang-lubang dan ketika ia memperhatikan, ia terbelalak memandang ke arah kerangka-kerangka manusia yang berada di dalam lubang-lubang itu.

Tahulah ia bahwa kuburan-kuburan yang berada di situ seperti yang pernah diceritakan Ouwyang Seng kepadanya, kini telah dibongkar dan tulang-tulang manusia serta tengkorak-tengkorak berserakan di tempat itu! Benar-benar bukan merupakan tempat latihan seorang manusia. Lebih tepat dinamakan tempat seekor siluman atau iblis.

Teringat pula ia akan cerita Setan Botak kepada Ouwyang Seng bahwa kalau latihan merendam lengan dalam cairan batu bintang sudah mencapai puncaknya, maka latihan dilanjutkan dengan membakar kedua lengan di atas api bernyala!

‘Bukan api sembarang api,! demikian ia menangkap pelajaran yang diberikan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. ‘Melainkan api yang menyala dari tulang-tulang manusia yang dibakar. Api dari tulang-tulang itu mengandung sari hawa Yang-kang, sudah merupakan racun Hwi-yang. Dengan latihan itu, sari Hwi-yang akan meresap ke dalam kedua lengan memperkuat tulang lengan. Akan tetapi untuk mencapai tingkat ini, kau harus berlatih dengan tekun sampai sedikitnya sepuluh tahun, Kongcu.! Demikian antara lain penjelasan Setan Botak.

Entah mengapa ia suka mempelajari semua ini, Han Han sendiri tidak akan dapat menjawab. Ia tidak bermaksud mendapatkan kekuatan pada kedua lengannya karena ia tidak suka, bahkan benci berkelahi. Akan tetapi mungkin sifat aneh pada pelajaran inilah yang menarik hatinya dan yang membuatnya ingin mencoba dan melatih diri! Maka setelah ia mendapat kesempatan memasuki daerah terlarang, ia segera mulai dengan latihan-latihan yang menegangkan hatinya.

Mula-mula ia memanaskan kwali tua yang terisi cairan tulang-tulang tengkorak manusia, merendam kedua lengannya dalam cairan yang menjijikkan itu sebagaimana ia dengar dari penjelasan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Kemudian mulailah ia melatih kedua lengannya di atas api bernyala yang ia buat dengan bahan bakar kayu-kayu dan tulang-tulang kering manusia yang berserakan di tempat itu.

Sampai setengah tahun lebih Han Han melatih diri di daerah terlarang itu. Tentu saja hal ini dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, karena ia pun tahu bahwa kalau sampai hal ini diketahui Setan Botak, nyawanya takkan tertolong lagi!

Kini sudah lebih dari setahun ia menjadi pelayan Ouwyang Seng dan gurunya, dan mulailah ia merasa bosan. Memang ia melatih diri selama ini tanpa pamrih apa-apa, hanya karena tertarik dan kini setelah ia dapat bertahan menaruh tangannya di dalam api berkobar sampai api itu mati sendiri kehabisan bahan bakar, ia menjadi bosan dan menganggap bahwa apa yang dicarinya sudah dapat.

Ia mulai bosan setelah mengingat betapa ia telah membuang waktu dengan sia-sia. Kalau ia renungkan dan bertanya sendiri, apakah yang ia dapatkan selama setahun lebih ini? Ia tidak dapat menjawab karena harus ia akui bahwa kedua lengannya yang dapat menahan panasnya api itu sesungguhnya tidak ada guna atau manfaatnya sama sekali! Sungguh ia tidak tahu bahwa sebetulnya ia telah dapat menguasai dasar-dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang amat hebat!

Tidak tahu bahwa bakatnya jauh melampaui Setan Botak sendiri sehingga kalau ia latih terus dan melatih pula ilmu pukulannya, ia akan menjadi seorang ahli Hwi-yang-sin-ciang yang tidak ada tandingannya di dunia ini.

Sayang bahwa Han Han sama sekali tidak tertarik kalau ia melihat Ouwyang Seng berlatih silat, juga tidak mau mendengarkan kalau Setan Botak memberi penjelasan tentang kouw-koat (teori silat) kepada Ouwyang Seng. Sampai saat itu pun Han Han masih belum suka akan ilmu silat, bukan hanya tidak suka, malah membencinya. Apalagi kalau ia terkenang akan pertandingan antara Setan Botak dengan orang-orang Pek-lian Kai-pang, ia menjadi muak dan makin membenci ilmu silat yang dianggapnya hanya merupakan ilmu membunuh manusia lain!

Kalau dipikirkan memang lucu sekali. Anak ini membenci ilmu silat yang dianggapnya ilmu yang keji. Akan tetapi tanpa ia ketahui sama sekali, ia kini telah memiliki dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang, padahal ilmu ini adalah ilmu golongan hitam atau ilmu sesat yang amat keji!

Ilmu meracuni kedua lengan seperti ini, yang sebagian menggunakan tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak manusia, tidak akan dipelajari oleh orang gagah di manapun juga kecuali oleh kaum sesat. Untuk memperkuat kedua lengan tangan, kaum gagah di rimba persilatan biasanya menggembleng lengan dengan pasir panas, pasir besi panas, dan lain-lain yang pada dasarnya hanya untuk memperkuat kedua lengan.

Akan tetapi kaum sesat mencampurkan racun dalam latihan ini sehingga tangan mereka menjadi tangan beracun yang sesuai dengan watak mereka. Han Hen sama sekali tidak tahu akan hal ini, maka amatlah lucu kalau dipikirkan bahwa dia membenci ilmu silat namun diam-diam meniadi calon ahli Hwi-yang-sin-ciang!

Akan tetapi, kebosanannya melatih diri ini menolongnya. Kalau ia lanjutkan, tentu akhirnya ia akan ketahuan dan hal ini berarti mati baginya. Dan kebetulan sekali sebelum kebosanannya membuat ia berlaku nekat dan minggat dari situ, pada pagi hari itu Setan Botak pulang dan siang harinya ia dipanggil Ouwyang Seng.

‘Han Han, lekas berkemas, bungkus pakaian-pakaianku yang terbaik. Kita akan pergi dari sini ke kota raja!!

‘Kota raja?! Han Han bengong. Sebutan kota raja hanya ia dapat dalam kitab-kitabnya saja karena selama hidupnya belum pernah ia melihat kota raja.

‘Ya, kota raja di utara! Ha-ha-ha! Engkau akan bengong keheranan kalau melihat kota raja, dan aku sudah rindu kepada orang tuaku, kepada teman-temanku. Lekas berkemas, kalau terlambat, suhu akan marah.!

‘Aku.... aku diajak, Kongcu?! Han Han menyembunyikan debar jantungnya. Kalau ia minggat, ia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Akan tetapi ia akan bebas dan merasa berbahagia. Dia tidak suka untuk menjadi pelayan selamanya. Betapapun juga, kalau diajak ke kota raja, ia akan mengesampingkan dulu ketidak sukaannya menjadi pelayan. Kota raja! Ia harus melihatnya!

‘Tentu saja kau kuajak. Bukankah kau pelayanku? Habis, kalau tidak diajak, siapa yang akan mengurus keperluan kami?! bentak Ouwyang Seng marah.

‘Siapa saja yang pergi, Kongcu?!

‘Siapa lagi kalau bukan suhu, aku dan kau? Sudahlah, cerewet amat sih! Lekas berkemas dan suruh tukang kuda menyediakan dua ekor kuda untuk suhu dan aku!!

‘Dan aku sendiri jalan kaki? Apakah hal itu tidak akan memperlambat perjalanan, Kongcu?! Han Han membantah, penasaran.

‘Huh, mana ada pelayan menunggang kuda? Akan tetapi kalau suhu menghendaki perjalanan cepat, boleh membonceng di belakangku. Cuma, jangan lupa. Sebelum berangkat kau mandi yang bersih pula. Nah cukup, lekas berkemas!!

Han Han berkemas dan diam-diam mengomel. Biarpun ia menjadi pelayan, namun tidak pernah ia menerima upah, tidak pernah menerima pakaian, hanya mendapat makan setiap hari. Pakaiannya masih pakaian setahun yang lalu, penuh tambalan. Namun ia mempunyai satu stel pakaian cadangan, pemberian seorang pelayan di situ yang menaruh kasihan kepadanya.

Pakaian ini pun sudah ia tambal-tambal. Dengan adanya cadangan pakaian ini, ia selalu berpakaian bersih, yang satu dipakai, yang satu dicuci. Biarpun penuh tambalan, pakaiannya selalu bersih!

Setelah selesai berkemas, berangkatlah Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ouwyang Seng dan Han Han meninggalkan gedung di kota Tiong-kwan. Perjalanan itu amat melelahkan bagi Han Han karena, berbeda dengan Kang-thouw-kwi dan muridnya yang masing-masing menunggang kuda, Han Han berjalan kaki. Akan tetapi biarpun amat melelahkan, perjalanan ini pun mendatangkan kegembiraan di dalam hatinya. Terlalu lama ia terkurung di dalam gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan dan kini ia selalu berada di alam terbuka, menyaksikan keindahan alam dan melalui bermacam kota dan dusun.

Kadang-kadang kalau Kang-thouw-kwi menghendaki perjalanan dipercepat, baru Han Han diperbolehkan membonceng Ouwyang Seng, duduk di punggung kuda di belakang pemuda bangsawan itu. Dan di sepanjang perjalanan ini dia pulalah yang melayani segala keperluan mereka.

Hanya dengan kemauan keras yang dikendalikan kecerdikannya saja membuat Han Han dapat menekan perasaaannya yang panas penuh dendam dan kebencian setiap kali ia memasuki kota-kota besar dan melihat tentara-tentara dan perwira-perwira Mancu berkeliaran dengan lagak sombong. Melihat tentara penjajah ini, teringatlah ia akan keluarganya yang terbasmi dan terbayang makin jelaslah wajah tujuh orang pembesar Mancu yang dilayani ayahnya ketika mereka berpesta-pora di dalam rumahnya.

Terbayanglah wajah dua orang di antara ketujuh perwira itu, wajah yang sudah terukir di hatinya dan yang selamanya takkan pernah dapat ia lupakan, yaitu wajah perwira muka kuning dan perwira muka brewok.

Pada suatu pagi mereka tiba di kaki Pegunungan Tai-hang-san dan Kang-thouw-kwi Gak Liat menyuruh muridnya berhenti.

‘Kita berhenti dan mengaso di sini!! kata Setan Botak itu sambil meloncat turun dari kudanya. Han Han cepat-cepat meloncat turun dari belakang Ouwyang Seng dan menuntun kuda Setan Botak untuk diikat kepada sebatang pohon. Kemudian ia merawat kuda tunggangan Ouwyang Seng Pula.

Sejak pagi-pagi sekali mereka melarikan kuda dan kini kedua ekor kuda itu berpeluh dan terengah-engah. Han Han cepat mengeluarkan kain kuning dari buntalannya yang tergantung di sela kuda, dan menyusuti tubuh kuda yang berpeluh. Dua ekor kuda yang sedang makan rumput itu menggosok-gosokkan telinga dan muka pada Han Han, seolah-olah mereka menyatakan terima kasih.

‘Kongcu, lihatlah, puncak di sana itu menjadi tempat tinggal seorang kenalan baik yang daerahnya sama sekali tidak boleh diganggu.!

Ouwyang Seng memandang suhunya dengan heran. Baru sekali ini suhunya memperlihatkan dan memperdengarkan suara yang sifatnya segan kepada seseorang.

‘Suhu, siapakah kenalan suhu itu? Dia orang macam apa?!

Kang-thouw-kwi Gak Liat memandang ke arah puncak gunung yang tertutup awan putih itu dengan kening berkerut, termenung sejenak lalu berkata,

‘Namanya Siangkoan Lee, julukannya Ma-bin Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Kuda)! Semenjak muda dia menjadi sainganku, menjadi lawanku yang paling ulet. Hemmm.... lebih lima tahun aku tidak pernah bertemu dengannya. Entah bagaimana sekarang tingkat ilmunya yang paling diandalkan.!

‘Ah, jadi di sanakah tempat tinggal Ma-bin Lo-mo yang amat terkenal itu? Suhu, bukankah dia seorang diantara tokoh-tokoh yang disebut datuk-datuk besar di samping suhu?!

!Benar dialah orangnya....! Kembali Kang-thouw-kwi tampak melamun, teringat ia akan masa dahulu di mana ia bersama Ma-bin Lo-mo malang-melintang di dunia kang-ouw dan hanya Si Muka Kuda itu sajalah yang merupakan lawan yang paling tangguh.

‘Dia bekas seorang menteri di Kerajaan Beng lima puluhan tahun yang lalu, kemudian mengundurkan diri. Entah bagaimana kedudukannya di jalan kerajaan baru ini....!

‘Ilmu apakah yang paling ia andalkan, suhu?!

Setan Botak itu menghela napas panjang. ‘Dia sengaja memperdalam ilmu untuk menandingi Hwi-yang-sin-ciang! Ilmunya itu disebut Swat-im-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Sari Salju). Ah, betapa inginku mengetahui sampai di mana sekarang tingkat ilmunya itu....!

‘Suhu, kenapa kita tidak naik ke sana saja kalau suhu ingin mencobanya? Teecu yakin suhu tidak akan kalah!!

‘Hemmm, Kongcu. Lupakah engkau akan pelajaranku bahwa kalau kita ingin dapat lama bertahan di dunia kang-ouw, kita harus selalu pandai menilai keadaan lawan? Turun tangan kalau sudah yakin akan menang, dan berhati-hati apabila menghadapi keadaan yang akan dapat merugikan. Itulah syarat utama dan syarat itulah yang kupakai selama puluhan tahun ini sehingga namaku masih menjulang tinggi tak pernah runtuh.!

Ouwyang Seng mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa kagum dan penasaran kepada tokoh yang julukannya Ma-bin Lo-mo itu. Ia tidak mau percaya dan tidak mau mengerti bahwa ada orang yang akan dapat menandingi gurunya. Adapun Han Han yang menyusuti keringat kuda, ikut mendengarkan semua itu. Tentu saja ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Setan Botak yang dianggapnya pengecut dan sama sekali tidak tepat menjadi watak orang gagah.

Orang gagah mendasarkan wataknya kepada yang baik dan jahat. Betapapun kuatnya lawan, kalau jahat harus ditentang, sebaliknya, biarpun lawan lemah, kalau benar tidak semestinya ditentang, bahkan harus dibantu. Akan tetapi dia tidak peduli akan watak guru dan murid itu, hanya merasa kagum dan ingin sekali melihat tokoh yang dijuluki Iblis Tua Muka Kuda itu.

‘Han Han, lekas pergi ke dalam hutan di depan itu mencarikan buah-buahan untuk suhu! Jangan kembali kalau belum mendapatkan buah-buahan yang cukup banyak!! Ouwyang Seng yang melihat bahwa Han Han mendengarkan percakapan mereka tadi memerintah karena betapapun juga ia merasa tidak senang melihat kacungnya itu mendengar betapa suhunya seolah-olah jerih terhadap tokoh yang berjuluk Iblis Tua Muka Kuda itu.

Han Han yang juga merasa lapar, mengangguk lalu meninggalkan tempat itu, memasuki hutan yang berada di sebuah lereng dekat kaki gunung itu. Timbul lagi kegembiraan hatinya. Memasuki hutan liar itu seorang diri saja amat menyenangkan hatinya. Ia merasa seolah-olah menjadi satu dengan hutan itu, bebas lepas seperti burung yang beterbangan di antara pohon-pohon raksasa, seperti seekor di antara kera-kera yang berloncatan, kelinci-kelinci yang berlarian. Ah, betapa ingin hatinya untuk menggunakan kesempatan itu melarikan diri. Akan tetapi, ia ingin menyaksikan kota raja, dan juga ia tahu bahwa kalau ia melarikan diri, tentu akan mudah dikejar Setan Botak yang amat sakti itu, dan dia tentu akan mengalami hukuman di tangan Ouwyang Seng yang kejam dan suka menyiksa orang. Biarlah kucarikan buah untuk mereka, pikirnya. Belum tiba saatnya bagi dia melarikan diri.

Untung baginya bahwa hutan itu mempunyai banyak pohon berbuah yang sudah matang dan tinggal pilih saja. Akan tetapi selagi ia menengadah mencari buah-buah apa yang akan dipilihnya, tiba-tiba ia mendengar suara bentakan-bentakan halus dan nyaring,

‘.... heiiiiit.... siaaat.... heiiiiittt!!

Han Han tertarik dan cepat ia menyelinap di antara pohon-pohon itu ke arah datangnya suara. Ternyata bahwa yang membentak-bentak itu adalah seorang anak perempuan, usianya takkan jauh selisihnya dari usianya sendiri. Bocah itu sedang berlatih ilmu silat, memukul, menangkis menendang, berloncatan dan sekali-kali mengeluarkan jerit membentak untuk memperkuat pukulan atau tendangan. Anak perempuan berusia sepuluh atau sebelas tahun itu amat cantik dan mungil, gerakannya gesit bukan main, mengingatkan Han Han akan Sin Lian, puteri Lauw-pangcu.

Akan tetapi gadis cilik ini lebih cantik, dan mukanya manis sekali, tidak membayangkan kegalakan dan keliaran seperti yang terbayang pada wajah Sin Lian. Adapun gerakan-gerakannya jauh lebih cepat daripada gerakan Sin Lian, hal ini saja menjadi tanda bahwa tingkat kepandaian ilmu silat anak perempuan ini lebih tinggi daripada puteri Lauw-pangcu.

Selain cepat, juga ilmu silat yang dimainkan gadis cilik itu bagi Han Han kelihatan amat indahnya, seperti menari-nari. Tubuh yang semampai itu berkelebatan, berloncatan dan kadang-kadang membuat gerakan kaki tangan demikian halus dan indah sehingga ia memandang dengan bengong penuh kekaguman. Ada sepuluh menit anak perempuan itu berlatih, kemudian mengakhiri latihannya dengan tendangan berantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ketika kakinya seperti kitiran membuat gerakan menendang secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian sampai lima kali, baru tubuhnya berjungkir balik melompat ke belakang. Indah sekali gerakannya.

‘Bagus sekali....!! Tak terasa lagi pujian ini keluar dari mulut Han Han.

Anak perempuan itu menengok dan memandang. Han Han terkejut dan tahu bahwa dia telah berlaku lancang. Ia mengira bahwa anak perempuan itu, seperti halnya Sin Lian, tentu akan marah dan memakinya. Setelah ia bergaul dengan Sin Lian, kesannya terhadap anak perempuan adalah mudah marah, mudah memaki, akan tetapi mudah pula tertawa.

Akan tetapi ia kecelik!

Anak perempuan itu tidak marah melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, kemudian tersenyum dan melangkah maju menghampirinya. Setelah mereka berdiri saling berhadapan, gadis cilik itu memperhatikan pakaian di tubuh Han Han membuat Han Han menjadi merah mukanya karena ia merasa betapa pakaiannya sungguh tidak boleh dibanggakan. Penuh tambalan dan tidak begitu bersih lagi karena dia belum sempat berganti pakaian.

Gadis cilik itu tiba-tiba merogoh saku bajunya den mengeluarkan dua potong uang tembaga, tanpa berkata-keta menjulurkan tangan, memberikan dua potong uang tembaga itu kepada Han Han. Tentu saja Han Han melongo dan tidak mengerti, terpaksa bertanya.\

‘Untuk apa ini....?!

‘Sedekah seadanya untukmu. Engkau tersasar jalan, di daerah ini tidak akan kau temui dusun, akan percuma mencari sumbangan....!

‘Aku bukan pengemis!! Han Han membentak dan mundur dua langkah, mata nya memandang penasaran.

Gadis cilik itu menatap wajahnya dan agaknya kaget sekali ketika bertemu pandang dengan Han Han, lalu cepat-cepat menyimpan kembali uangnya dan mengalihkan pandangnya, meneliti pakaian tambal-tambalan dan kaki telanjang itu. Han Han merasa menyesal mengapa ia membentak karena kini ia tahu bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan bermaksud menghinanya, melainkan keadaan pakaiannyalah yang membuat anak itu menduga bahwa dia seorang pengemis. Begitu berjumpa, tanpa diminta telah memberi sumbangan, benar-benar hati bocah ini tidak buruk, pikirnya. Cepat-cepat ia berkata dengan suara halus.

‘Aku memang miskin, pakaianku tambal-tambalan, akan tetapi aku belum pernah mengemis. Maafkan penolakanku.!

Kembali anak itu mengangkat alis dan memandang dengan heran. Ucapan Han Han begitu halus dan susunan kata-katanya teratur rapi, bukan seperti seorang anak dusun, apalagi pengemis!

‘Kau..ini.. siapa? Dan apakah kehendakmu datang ke tempat ini?!

‘Aku bernama Han, she Sie. Aku hanya seorang kacung yang kebetulan mengikuti perjalanan majikanku. Mereka berhenti di kaki gunung dan menyuruh aku mencari buah-buah di hutan ini. Dan Engkau siapa? Kalau tadi kaukatakan di sini tidak ada dusun, bagaimana engkau bisa berada di sini?!

‘Namaku Cu, she Kim. Aku memang penghuni daerah ini, di puncak sana itu. Lebih baik engkau lekas pergi, dan katakan kepada majikanmu agar cepat pergi meninggalkan daerah ini. Daerah ini milik suhuku dan siapapun juga tidak boleh berada di sini. Lekas pergilah bersama majikanmu sebelum terjadi hal-hal yang hebat menimpa kalian.!

‘Nona Kim Cu, engkau baik sekali.!

‘Eh, baik bagaimana?!

‘Aku lancang memuji ilmu silatmu, kau tidak marah. Kini engkau menasehati aku agar tidak sampai tertimpa malapetaka. Benar-benar engkau seorang anak yang amat baik.!

Anak perempuan itu menggeleng kepala. ‘Apa sih artinya baik? Engkau ini yang amat aneh. Pakaianmu seperti pengemis akan tetapi engkau tak pernah mengemis. Pekerjaanmu sebagai kacung akan tetapi sikap dan bicaramu seperti seorang anak terpelajar. Dan kau.... agaknya kau pandai ilmu silat, ya?!

Han Han cepat menggeleng kepala. ‘Ah, mana aku bisa? Aku tidak bisa ilmu silat....!

‘Kalau tidak bisa, bagaimana tadi dapat memuji ilmu silatku?!

‘Karena memang bagus dan indah, seperti tarian. Nona Kim Cu, apakah gurumu itu pandai sekali ilmu silatnya? Aku tadi mendengar percakapan majikanku dan muridnya, menyebut-nyebut nama Ma-bin Lo-mo yang tinggal di In-kok-san. Kenalkah engkau dengan dia?!

Tiba-tiba wajah gadis cilik itu berubah agak pucat dan seperti lupa diri, dia memegang lengan Han Han.

‘Wah celaka....! Siapa majikanmu itu, begitu berani mati menyebut-nyebut nama suhu....?!

Melihat gadis cilik yang menimbulkan rasa suka di hatinya ini kelihatan gelisah, Han Han juga memegang tangannya dan berkata menghibur,

‘Nona, tidak perlu khawatir. Majikanku juga bukan orang biasa, julukannya Kang-thouw-kwi....!

‘Ihhhh....?!

Pada saat itu, terdengar bentakan.

‘Han Han! Kau kacung malas! Disuruh mencari buah-buahan malah bermain gila dengan seorang gadis gunung!!

Han Han cepat melepaskan pegangannya pada tangan Kim Cu, menoleh dan memandang kepada Ouwyang Seng dengan penuh kemarahan. Ucapan yang menghina dirinya tidaklah mendatangkan kemarahan, akan tetapi teguran itu sekaligus menghina Kim Cu yang begitu baik. Masa Kim Cu dikatakan gadis gunung dan dituduh bermain gila dengan dia?

‘Ouwyang-kongcu, jangan bicara sembarangan....!!

Kim Cu yang sudah melepaskan tangannya dan dengan langkah lebar gadis cilik ini telah menghadapi Ouwyang Seng. Sepasang mata yang tadinya berseri dan bening itu kini kelihatan memancarkan cahaya kilat.

‘Sie Han, mengapa manusia macam ini kau sebut Kongcu? Pantasnya engkaulah yang harus dia sebut Kongcu, karena menurut pendapatku, dia ini menjadi kacungmu saja masih belum patut!!

‘Budak hina, jangan membuka mulut besar kalau tidak ingin kuhajar mulutmu!! bentak Ouwyang Seng yang menjadi marah sekali. Selama hidupnya baru sekali ini ada orang berani menghinanya seperti itu.

‘Kau yang membutuhkan hajaran!! Kim Cu berseru dan tubuhnya sudah melesat ke depan dengan serangan kilat. Kedua kepalan tangan yang kecil itu dengan gerakan cepat sekali sudah menghantam ke arah kepala dan dada Ouwyang Seng!

Akan tetapi, murid Kang-thouw-kwi ini tertawa mengejek, menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap kedua kepalan itu. Anehnya, gadis cilik itu tidak peduli, bahkan membiarkan kedua kepalan tangannya tertangkap, padahal ini merupakan bahaya besar baginya. Ouwyang Seng memperkeras ketawanya karena ia yakin bahwa sekali cengkeram, kepalan kedua tangan gadis itu akan remuk-remuk tulangnya.

Namun, segera dia berseru kaget, cepat melepaskan cengkeramannya dan berusaha meloncat mundur. Terlambat! Perutnya masih kena serempet ujung sepatu Kim Cu sehingga ia terjengkang ke belakang sambil memegangi perutnya dan meringis. Biarpun tidak mengalami luka, namun setidaknya perutnya menjadi mulas seketika. Dengan kemarahan meluap-luap, Ouwyang Seng kini membalas dengan serangan yang dahsyat.

Bertempurlah kedua orang anak itu, ditonton oleh Han Han yang menjadi makin kagum. Jelas tampak betapa gadis cilik itu telah memiliki dasar yang matang, gerakan-gerakannya jauh lebih cepat daripada Ouwyang Seng sehingga dialah yang lebih banyak menghujankan serangan daripada murid Setan Botak itu.

‘Rebahlah, manusia sombong!! Kim Cu berseru keras dengan serangan desakan yang sukar sekali dijaga karena kedua tangan itu seolah-olah telah berubah menjadi banyak saking cepat gerakahnya, dan tubuhnya pun berkelebatan di kanan kiri lawan.

Bukkk....! Aduuuhhhhh....! Kembali Ouwyang Seng terjengkang karena pukulan tangan kiri Kim Cu bersarang di dadanya. Kini agak tepat kenanya sehingga napasnya menjadi sesak. Namun Ouwyang Seng yang terlath sejak kecil telah memiliki kekebalan, dan biarpun ilmu silatnya lebih unggul dan gin-kangnya lebih tinggi daripada Ouwyang Seng, namun agaknya gadis cilik itu belum memiliki tenaga yang cukup kuat untuk merobohkan lawan dengan beberapa kali pukulan saja.

‘Budak hina, engkau sudah bosan hidup!! Ouwyang Seng marah sekali. Kedua matanya merah, mulutnya menyeringai seperti mulut harimau haus darah. Ia meloncat bangun, menggerak-gerakkan kedua lengannya kemudian ia menerjang maju, mengirim pukulan dengan mendorongkan kedua lengannya itu dengan jari-jari terbuka ke arah Kim Cu, tubuhnya agak merendah. Melihat ini, Han Han terkejut sekali. Itulah pukulan beracun yang dilatih Ouwyang Seng, dengan tenaga inti api sebagai hasil latihan merendam kedua lengan ke dalam air beracun mendidih.

‘Kongcu....!! Ia berseru, akan tetapi Ouwyang Seng yang sudah amat marah itu lupa pula akan pesan suhunya bahwa tidak boleh ia semberangan mempergunakan dasar pukulan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang itu.

Kim Cu yang tadinya sudah beberapa kali berhasil memukul lawannya, tentu saja memandang rendah dan melihat datangnya pukulan, ia menangkis sambil miringkan tubuh.

‘Plakkk....! aughhh....!! Tubuh Kim Cu terlempar dan masih untung bahwa ketika menangkis tadi ia miringkan tubuh sehingga pukulan api beracun itu tidak mengenainya dengan tepat.

Namun hawa pukulan yang hebat itu cukup membuat gadis cilik itu terlempar dan terbanting keras. Dan selagi Kim Cu masih pening, berusaha bangkit, Ouwyang Seng yang masih belum puas telah meloncat dekat dan mengirim pukulan api beracun untuk kedua kelinya. Kalau mengenai tepat dan tidak ditangkis, pukulan ini akan membahayakan nyawa Kim Cu!

‘Jangan....!! Han Han cepat meloncat dekat dan mendorongkan kedua tangan nya menyambut pukulan maut yang dilakukan Ouwyang Seng itu.

‘Desssss....!!

‘Aiiihhhhh....!! Kini tubuh Ouwyang Seng yang terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih dan jatuh bergulingan lalu meloncat bangun dengan muka pucat sekali. Kedua lengannya seperti terbakar rasanya dan tenaganya tadi begitu bertemu dengan dorongan Han Han telah membalik dan membuat ia terlempar. Saking nyeri, marah dan heran ia sampai bengong terlongong. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Setan Botak dan Han Han mengeluh karena ia sudah roboh tertotok oleh Setan Botak yang tahu-tahu telah berada di situ.

‘Anak setan, dari mana kau mencuri pukulan itu?! bentak Setan Botak yang kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan bertanya, ‘Ouwyang-kongcu, engkau tidak apa-apa?!

Ouwyang Seng menggeleng kepala, kini kemarahannya ditimpakan semua kepada Han Han. Cepat ia menyambar sebatang kayu yang terletak di bawah pohon, kemudian meloncat ke depan dan menggunakan ranting itu memukuli tubuh Han Han yang tertotok dan tidak mampu bergerak itu. Terdengar suara ‘bak-buk-bak-buk! ketika ranting itu jatuh seperti hujan di seluruh tubuh Han Han!

‘Pengecut....!! Bentakan ini dikeluarkan oleh Kim Cu yang telah menerjang maju dan sebuah tendangannya tepat mengenai lengan Ouwyang Seng yang memegang ranting sehingga ranting itu terlepas di atas tanah. Ouwyang Seng sendiri meloncat ke belakang karena khawatir kalau mendapat serangan susulan dari gadis cilik yang amat cepat gerakannya itu. Di depan gurunya, tentu saja ia tidak berani lagi menggunakan pukulan api beracun.

Kim Cu menolong Han Han dan membangunkannya, akan tetapi Han Han sudah dapat bergerak kembali dan kini ia bangkit duduk. Biarpun totokan Setan Botak itu amat lihai, akan tetapi karena tubuh Han Han memang memiliki sifat luar biasa, hanya sebentar saja anak ini terpengaruh. Dengan kemauannya yang hebat, timbullah hawa tan-tian dari pusarnya, mendorong jalan darah nya sehingga pengaruh totokan itu buyar.

‘Budak hina, kacung busuk! Tunggu saja, kalian tentu akan kuhajar sampai mampus!! Ouwyang Seng menudingkan telunjuknya dan mengancam.

‘Engkau bangsawan berwatak rendah melebihi anjing!! Kim Cu balas memaki dan diam-diam Han Han kecewa sekali mendengar betapa gadis cilik ini pun pandai memaki seperti Sin Lian. Dia sendiri amat marah kepada Ouwyang Seng dan diam-diam ia meraih ranting yang terletak di depannya, yang tadi dipergunakan kongcu itu untuk mencambuki tubuhnya.

Akan tetapi perhatian Ouwyang Seng segera terpecah dan tertarik ketika ia mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh yang amat aneh, persis suara ringkik kuda. Ketika ia memandang, kiranya suhunya telah bertanding melawan seorang kakek berpakaian hitam yang aneh sekali. Kakek itu mukanya persis muka kuda, lonjong dan meruncing ke depan.

Rambutnya riap-riapan, namun pakaiannya yang serba hitam itu amat indah dan mewah, dihias pinggiran benang yang kuning emas! Caranya bertanding melawan gurunya juga aneh. Mereka itu tidak bergerak-gerak dari tempat masing-masing. Si Muka Kuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang, tangan kiri bertolak pinggang dan hanya dengan tangan kanan yang dibuka jari-jarinya saja ia menandingi Setan Botak!

Ouwyang Seng belum pernah melihat suhunya berwajah serius seperti ketika berhadapan dengan Si Muka Kuda itu. Suhunya berdiri tegak pula dengan kedua kaki teguh memasang kuda-kuda, yang kiri di belakang yang kanan di depan, kemudian tangan kanannya menampar dengan jari terbuka ke arah dada Si Muka Kuda.

Andaikata didiamkan saja pukulan itu pun tidak akan menyentuh baju Si Muka Kuda. Akan tetapi pukulan itu bukanlah sembarang pukulan, melainkan pukulan dahsyat yang amat ampuh dengan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang!

‘Hi-yeh-heh-heh-heh-heh!! Si Muka Kuda itu meringkik lalu menggerakkan tangan kanannya seperti menangkis. Bukan tangan Setan Botak yang ditangkisnya, melainkan hawa pukulan itu yang bagaikan angin panas menyambar-nyambar dahsyat. Dari kibasan atau tangkisan tangan kanan Iblis Tua Muka Kuda ini bertiup hawa yang dingin luar biasa karena untuk menghadapi pukulan sakti lawan, ia pun mengeluarkan ilmunya Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin melebihi salju!

‘Darrr....!!

Pertemuan dua hawa yang bertentangan itu menimbulkan suara nyaring dibarengi sinar berapi, seperti pertemuan dua hawa Im dan Yang di angkasa yang menimbulkan kilat halilintar! Dan tubuh kedua orang tokoh besar itu tergetar dan masing-masing mundur dua langkah.

‘Hi-yeh-heh-heh....! Hwi-yang Sin-ciang tidaklah begitu buruk....!! Si Muka Kuda tertawa mengejek.

Kang-thouw-kwi Gak Liat diam-diam terkejut sekali. Dari pertemuan tenaga sakti itu tadi saja ia sudah dapat mengukur kehebatan Swan-im Sin-ciang yang ternyata dapat menandingi ilmunya. Padahal di dalam hatinya ia sudah menganggap bahwa Hwi-yang Sin-ciang yang dilatihnya itu paling hebat di dunia. Ia menjadi penasaran dan mukanya merah oleh ejekan lawan.

‘Siangkoan Lee, kau sambutlah ini....!!

Kini dari tempat ia berdiri, Setan Botak itu mengerahkan seluruh tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke dalam sepasang lengannya. Mengepullah uap putih dari sepasang lengan itu yang kulitnya berubah makin merah seperti besi dibakar. Melihat ini, kembali Si Muka Kuda terkekeh meringkik-ringkik, namun sambil meringkik itu dia pun telah mengerahkan tenaganya sehingga kedua tangannya tampak mengebulkan uap pula, uap putih yang bergerak naik, keluar dari dalam lengan bajunya.

Biarpun sepasang lengan mereka itu masing-masing mengeluarkan uap putih, akan tetapi sesungguhnya amatlah jauh bedanya. Uap yang keluar dari sepasang lengan Setan Botak adalah panas, sebaliknya yang mengebul keluar dari lengan Si Muka Kuda adalah uap dingin.

Bentakan Kang-thouw-kwi itu disusul dengan mencelatnya tubuhnya ke udara dan ia telah menerjang Si Muka Kuda dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya. Namun Si Muka Kuda yang tahu pula akan kelihaian serangan ini, sudah melesat pula ke atas untuk menyambut pukulan lawan dengan pukulan Swat-im Sin-ciang pula.

Kalau gebrakan yang pertama tadi dilakukan di atas tanah dan masing-masing hanya ingin mengukur kehebatan ilmu pukulan lawan, kini mereka bertumbukan di udara dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Karena kini mereka mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan kedua telapak tangan, maka benturan tenaga yang berlawanan sifatnya ini terjadi dengan dahsyatnya.

Ledakan keras disusul sinar terang menyilaukan mata dan tubuh keduanya mencelat ke belakang seperti dilontarkan! Hanya bedanya, kalau Kang-thouw-kwi roboh setengah terbanting sehingga ia terhuyung-huyung di atas tanah, adalah Si Muka Kuda dapat berjungkir-balik dengan indahnya dan kemudian turun ke atas tanah dalam keadaan tenang. Hal ini membuktikan dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) Si Muka Kuda masih berada di atas Setan Botak tingkatnya.

‘Suhu.... suhu.... tolong....!!

Mendengar seruan muridnya ini, Kang-thouw-kwi meloncat ke kiri di mana Ouwyang Seng sedang dihajar oleh Han Han dengan ranting, dicambuki dan setiap kali Ouwyang Seng hendak melawan, Han Han dibantu oleh Kim Cu. Dikeroyok dua, Ouwyang Seng menjadi repot sekali, dan tubuhnya sudah babak-belur dihajar sabetan ranting di tangan Han Han. Sambil meloncat, Kang-thouw-kwi mengulur tangannya dan tiba-tiba saja Han Han dan Kim Cu kehilangan lawan karena Ouwyang Seng telah lenyap dari depan mereka. Ketika mereka memandang ke depan, ternyata pemuda tanggung itu telah dikempit oleh lengan Kang-thouw-kwi yang sudah mengangguk ke arah Si Muka Kuda sambil berkata.

‘Siangkoan Lee, Swat-im Sin-ciang yang tersohor itu tidak buruk! Karena aku ada keperluan di kota raja, tidak ada waktu untuk lebih lama melayanimu. Kau perdalam ilmumu itu agar kelak kalau ada kesempatan dapat kita bertanding tiga hari tiga malam lamanya!!

Si Muka Kuda meringkik keras sekali, kemudian menjawab, ‘Gak Liat, engkau memang licik. Akan tetapi karena tidak sengaja kau datang melanggar wilayahku, biarlah kali ini kuampuni nyawamu! Lain kali boleh kita bertanding sampai mampus untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita.!

Mendengar ucapan mereka itu, Han Han mendapat kesan bahwa keduanya adalah orang-orang yang tinggi hati dan sombong, menganggap diri sendiri terpandai. Akan tetapi pada saat itu, Kang-thouw-kwi sudah menoleh kepadanya dan membentak,

‘Han Han, hayo kita kembali!!

Pada saat itu, Han Han merasa betapa tangan kirinya dipegang orang, dipegang oleh sebuah tangan yang berkulit lunak halus. Tanpa melirik ia mengerti bahwa yang memegang tangannya tentulah anak perempuan yang bernama Kim Cu tadi. Ia merasa suka kepada anak ini, merasa seolah-olah mereka telah menjadi sahabat lama. Dan ia pun maklum bahwa ikut kembali bersama Kang-thouw-kwi dan Ouwyang Seng berarti mengalami siksaan karena Ouwyang Seng tentu akan membalas dendam. Maka ia lalu berkata dengan suara lantang.

‘Saya tidak mau kembali! Saya tidak sudi lagi dipaksa menjadi pelayan Ouwyang-kongcu yang jahat dan kejam!!

Sepasang mata Setan Botak mengeluarkan sinar kemarahan. Sejenak ia memandang tajam, lalu terdengar kata-katanya,

‘Engkau telah mencuri ilmu pukulanku, dan sekarang engkau tidak mau ikut, sepatutnya engkau mampus!! Setelah berkata demikian, dengan lengan kiri masih mengempit tubuh muridnya, Kang-thouw-kwi mendorongkan tangan kanannya ke arah Han Han. Ia memukul anak itu dengan Hwi-yang Sin-ciang dari jarak jauh dengan penuh keyakinan bahwa sekali pukul tubuh bocah itu tentu akan menjadi hangus!

Han Han maklum akan datangnya bahaya, maka ia menjadi nekat. Cepat ia pun mengerahkan seluruh kemampuannya dan memaksa hawa di pusarnya bergerak ke arah kedua lengannya yang ia dorongkan menyambut pukulan kakek botak itu.

‘Desssss....!! Han Han tertumbuk hawa yang amat panas. Kedua lengannya yang ia dorongkan seolah-olah remuk seperti ditusuk-tusuk jarum nyerinya. Tubuhnya terlempar ke belakang, bergulingan dan ia roboh dengan mata mendelik. Ia telah pingsan! Kim Cu lari menubruknya dan melindungi tubuhnya sambil berteriak ke arah kakek botak yang memandang terheran-heran,

‘Jangan bunuh dia....!!

Kang-thouw-kwi Gak Liat benar-benar terheran-heran dan penasaran bercampur marah bukan main menyaksikan betapa kacungnya itu mampu menangkis dorongannya sehingga tidak roboh hangus dan mati, melainkan hanya pingsan saja!

Dan ia juga dapat merasakan betapa dorongan anak itu mengandung hawa yang jauh lebih panas daripada tingkat yang dimiliki Ouwyang Seng. Tingkat seperti itu tidak mungkin dapat dimiliki anak ini kalau hanya meniru-niru Ouwyang Seng dalam berlatih, maka timbullah kecurigaannya bahwa kacung itu tentu telah menggeratak ke dalam daerah terlarang di gedung di Tiong-kwan itu yang menjadi tempat ia berlatih dengan rahasia!

‘Bocah setan, pencuri busuk! Mampuslah!! Ia mengirim pukulan lagi, tidak peduli bahwa pukulannya kali ini membahayakan pula Kim Cu yang berlutut di dekat tubuh Han Han.

‘Desssss....!! Hawa yang amat dingin menangkis pukulannya dari samping. Kiranya Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee, Si Muka Kuda itu telah menangkisnya dan kini berdiri bertolak pinggang sambil berkata.

‘Gak Liat, apakah engkau sudah tidak memandang aku sebagai orang setingkat, bahkan lebih tinggi daripadamu? Di daerahku ini tidak boleh engkau membunuh orang sembarangan saja tanpa seijinku!!

‘Siangkoan Lee, aturan apa ini? Bocah ini adalah kacungku sendiri, mau kubunuh atau tidak, apa sangkut-pautnya denganmu?! Setan Botak itu membentak marah.

Ma-bin Lo-mo tertawa meringkik. ‘Engkau boleh membunuh bocah itu, akan tetapi aku pun akan membunuh muridmu itu.!

Gak Liat makin marah. ‘Mengapa?!

‘Hemmm, engkau ini tua bangka yang pura-pura bodoh. Kalau tidak ada bocah itu yang menolong muridku dari pukulan muridmu, apakah kau kira aku tinggal diam saja? Kalau bocah ini tadi tidak menangkis pukulan muridmu, tentu aku yang turun tangan dan apa kau kira muridmu masih dapat hidup sekarang? Aku sudah memandang mukamu yang buruk, apa engkau berani memandang rendah kepadaku? Aku telah mengampuni muridmu, apakah engkau masih berkeras hendak membunuh anak ini?!

‘Tapi, dia bukan muridmu, dia kacungku!!

‘Kau keliru. Setelah dia menolong muridku, berarti dia pun menjadi orang In-kok-san!!

‘Ahhh! Engkau tidak tahu siapa dia! Hemmm, dia telah mencuri ilmuku....!

‘Itu bukan alasan. Salahmu sendiri. Pendeknya, aku melarang engkau membunuhnya dan kalau engkau hendak melanjutkan pertandingan, silakan.!

Setan Botak itu meragu. Ia tidak sayang kepada Han Han dan ia tidak peduli anak itu menjadi murid In-kok-san. Apalagi mengingat kakek anak itu! Hanya ia membenci anak itu yang sudah mencuri Hwi-yang Sin-ciang, sungguhpun ia tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Ia mendengus marah.

‘Baiklah, lain kali masih banyak waktu untuk membunuhnya dan lain kali aku akan membalas kebaikanmu ini!! Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah Setan Botak itu bersama muridnya.

‘Panggil saudara-saudaramu, bawa dia ke atas!! Ma-bin Lo-mo berkata kepada Kim Cu dan ia pun berkelebat lenyap dari tempat itu. Kim Cu lalu memasukkan dua buah jari tangannya ke dalam mulut, menekuk lidah dan bersuit keras dam nyaring sekali. Suara suitan itu bergema ke empat penjuru dam dari sana-sini terdengar suitan-suitan balasan.

Tak lama kemudian muncullah dua orang anak laki-laki dan dua anak perempuan yang usianya antara sepuluh sampai tiga belas tahun, berlari-larian dengan gerakan ringan. Mereka itu adalah anak-anak yang tampan dan cantik, dan segera mereka merubung Kim Cu dengan hujan pertanyaan sambil memandang tubuh Han Han yang masih menggeletak pingsan di atas tanah.

‘Nanti saja aku ceritakan. Namanya Sie Han, dia murid baru suhu. Mari bantu aku menggotongnya ke puncak.!

Beramai-ramai lima orang anak ini menggotong tubuh Han Han. Sambil bercakap-cakap mereka menggotong Han Han mendaki puncak dan asyik sekali Kim Cu menceritakan peristiwa yang telah terjadi, tentang Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah lama mereka dengar namanya itu.

Siapakah sebenarnya kakek yang mukanya berbentuk muka kuda ini? Seperti telah diceritakan Setan Botak kepada muridnya, dia bernama Siangkoan Lee dan julukannya adalah Ma-bin-Lo-mo. Kakek ini di waktu mudanya adalah seorang pembesar tinggi Kerajaan Beng-tiauw, akan tetapi karena menyalah gunakan kedudukannya dan bersikap sewenang-wenang mengandalkan kedudukan, harta dan terutama sekali ilmu silatnya yang tinggi, ia dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga akhirnya ia dipecat.

Siangkoan Lee lalu melarikan diri dan memperdalam ilmunya sehingga kemudian ia muncul sebagai seorang tokoh atau datuk golongan sesat, melakukan segala macam perbuatan kejam dan tidak peduli akan prikemanusiaan. Namanya makin meningkat dan ditakuti semua orang setelah belasan tahun yang lalu ia berhasil mendapatkan sebuah di antara ilmu-ilmu yang mukjizat dan tinggi yang seolah-olah disebarkan oleh penghuni Pulau Es yang hanya dikenal dengan sebutan Koai-lojin (Kakek Aneh).

Bersama-sama dengan puluhan orang tokoh kang-ouw dia mengejar dan memperebutkann ilmu-ilmu ini dan akhirnya ia kebagian ilmu yang diciptakannya menjadi Swat-im Sin-ciang, di samping Setan Botak yang mendapatkan ilmu inti sari tenaga Yang sehingga ia dapat menciptakan Ilmu Hwi-yang Sin-ciang.

Biarpun puluhan tahun Ma-bin Lomo hidup sebagai seorang manusia iblis, namun di dasar hatinya dia adalah seorang yang berjiwa patriot. Dia tidak secara langsung menentang pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi di lubuk hatinya ia membenci bangsa Mancu ini.

Maka ia lalu memilih In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san, di mana ia mengumpulkan anak-anak berusia belasan tahun, anak-anak yang dia pilih bertulang dan berbakat baik, juga yang memiliki wajah yang elok-elok. Ia sudah mengumpulkan belasan orang anak yang ia gembleng sebagai murid-muridnya dengan cita-cita untuk kelak membentuk barisan murid-murid yang pandai untuk menentang dan menggulingkan pemerintah penjajah memimpin rakyat yang berniat memberontak terhadap Kerajaan Mancu. Ma-bin Lo-mo boleh jadi kejam dan tak berprikemanusiaan terhadap lawan-lawannya, akan tetapi ia memimpin murid-muridnya penuh ketekunan dan kasih sayang, bersikap seperti seorang kakek terhadap cucu-cucunya. Namun, di samping kasih sayang ini, ia pun menekankan disiplin yang amat keras sehingga kalau perlu ia tidak segan-segan untuk memberi hukuman yang mengerikan kepada murid yang bersalah.

In-kok-san (Puncak Lembah Berawan) merupakan puncak indah yang mempunyai banyak lapangan datar. Di situ Ma-bin Lo-mo membangun beberapa buah pondok untuk dia dan murid-muridnya. Han Han digotong naik ke puncak In-kok-san dan dibawa masuk ke sebuah pondok. Ma-bin Lo-mo sendiri mengobati anak ini dari pengaruh dorongan hawa Hwi-yang Sin-ciang yang amat hebat. Dalam beberapa hari saja Han Han sudah sembuh kembali.

Ketika ia siuman dari pingsannya, ia melihat Ma-bin Lo-mo, Kim Cu dan dua orang anak laki-laki berada di pondok menjaganya. Ia cepat bangkit dan memandang ke sekeliling. Sinar matanya penuh pertanyaan ditujukan kepada Kim Cu. Anak perempuan ini tertawa lalu berkata.

‘Han Han, engkau berada di In-kok-san dan engkau telah menjadi seorang di antara kami, menjadi murid suhu.!

Mendengar ini, Han Han cepat meloncat turun dan berdiri memandang kakek muka kuda

‘Aku.... aku tidak mau menjadi murid di sini! Aku tidak mau belajar silat!!

‘Eh, kenapa, Han Han?! Kim Cu bertanya heran. ‘Engkau sudah memiliki pukulan sakti! Kalau engkau pandai silat, tentu tidak akan mudah dipukul orang, seperti yang dilakukan Kongcu keparat itu kepadamu.!

Dengan keras kepala Han Han menggeleng. ‘Belajar silat menjemukan, membuang waktu sia-sia belaka. Kalau sudah pandai hanya dipakai untuk memukul orang! Aku benci ilmu silat! Kalau aku tidak bisa silat, aku tidak akan berdekatan dengan orang pandai silat dan tidak akan mengalami pukulan.!

‘Wah, seorang jantan harus berani menghadapi pukulan, malah membalas lebih hebat lagi. Harus tabah dan tegas agar tidak sampai kalah oleh orang lain. Apakah senangnya menjadi orang lemah dipukul orang kanan kiri dan menjadi pengecut?! Ucapan ini keluar dari seorang anak laki-laki usianya paling banyak sepuluh tahun, bahkan lebih muda dari Kim Cu yang kurang lebih berusia sebelas tahun.

Han Han yang merasa dimaki pengecut menjadi marah sekali. Ia menghadapi anak itu dan membentak, ‘Kau bilang aku pengecut? Siapa yang pengecut? Bukan aku, melainkan engkaulah! Engkau....!!

Di luar kesadarannya, Han Han kembali dalam kemarahannya telah memandang anak itu dengan sinar matanya yang aneh, membentaknya dengan suara yang mengandung getaran hebat. Anak laki-laki itu menjadi pucat, tubuhnya menggigil, kemudian jatuh berlutut dan mulutnya berbisik-bisik,

‘Ya.... aku...., akulah yang pengecut....!



Bab 7

‘Heiii, sute! Mengapa kau ini....?! Kim Cu meloncat dan menarik bangun anak itu.

Han Han menjadi sadar dan teringat akan peristiwa aneh yang sama ketika ia marah-marah kepada Sin Lian dan Lauw-pangcu. Ia terkejut dan cepat menahan kemarahannya, menggunakan kekuatan kemauannya untuk tidak melanjutkan pengaruh aneh yang menguasai dirinya dan yang kalau ia pergunakan mudah saja mempengaruhi orang lain itu. Ia menundukkan mukanya, tidak peduli terhadap anak itu yang telah bangkit berdiri dan terheran-heran berkata,

‘Apa yang terjadi....? Ahhh.... apakah aku mimpi....?!

‘Ehhh.... tak mungkin....!!

Seruan ini keluar dari mulut Ma-bin Lo-mo dan ia sudah meloncat maju dan memegang kedua pundak Han Hang memaksa anak itu memandang wajahnya. Han Han sudah pernah diperiksa seperti ini oleh Lauw-pangcu dan juga oleh Kang-thouw-kwi, maka sekali ini ia berlaku cerdik. Cepat ia menindas segala perasaannya sehingga batinnya berada dalam keadaan ‘kosong!, maka ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Ma-bin Lo-mo, kakek itu tidak mendapatkan sesuatu yang aneh kecuali sinar mata bocah itu benar-benar amat terang dan tajam, seolah-olah dapat menjenguk ke dalam hatinya melalui sinar matanya.

‘Hemmm, aneh sekali. Bocah aneh, engkau akan hidup senang menjadi murid di sini, akan tetapi di samping itu pun engkau harus belajar taat. Aku menjamin kepada semua muridku kelak akan menjadi jago yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kalau tidak taat dan melanggar peraturan, akan kuhukum berat. Kalau berhati keras dan berkepala batu seperti engkau, sekali dijatuhi hukuman, lehermu akan putus! Hayo lekas ceritakan kepadaku tentang dirimu dan siapa saja yang pernah memberi pelajaran ilmu silat kepadamu!!

Di lubuk hati Han Han menentang, akan tetapi ketika ia mengerling kepada Kim Cu, ia melihat gadis cilik itu berkedip-kedip dan mengangguk kepadanya, pandang mata anak perempuan itu penuh kekhawatiran dan penuh pembelaan. Sadarlah Han Han. Ia tidak boleh main-main. Kakek ini tidak kurang kejamnya daripada Setan Botak. Kalau ia menentang dan dibunuh, apa untungnya? Pula belajar di sini agaknya lebih menyenangkan, terutama karena di situ ada Kim Cu yang manis budi.

Ia duduk kembali di pembaringan menghadapi Ma-bin Lo-mo. Teringat ia akan tata susila, dan karena ia tidak melihat jalan keluar lagi, terpaksa ia lalu menekuk lututnya, berlutut di depan kakek muka kuda itu sambil berkata.

‘Teecu Sie Han menerima kebaikan suhu untuk memberi bimbingan.!

‘Heh-heh-hiyeeehhhhh....! Anak baik, lekas ceritakan riwayatmu. Tunggu dulu, mari kita keluar dan kau Kim Cu, kumpulkan semua saudaramu agar mengenal muridku yang baru, Sie Han!!

Han Han mengikuti mereka keluar dari pondok dan ternyata di luar pondok itu adalah tanah datar berumput yang luas sekali. Dari jauh tampak awan putih berkelompok seperti sekelompok domba berbulu putih. Hawanya dingin sekali dan di sekeliling tempat itu tampak halimun tipis seperti sutera putih yang jarang. Seperti juga tadi, Kim Cu memasukkan dua buah jari tangan ke mulut lalu bersuit nyaring beberapa kali.

Terdengar suitan-suitan balasan dari empat penjuru dan tak lama kemudian datanglah berlari-larian lima belas orang anak-anak yang sebaya dengan Kim Cu, sekitar sepuluh sampai tiga belas tahun usianya. Jumlah semua murid, termasuk Han Han, ada lima orang anak perempuan dan empat belas orang anak laki-laki, kesemuanya sembilan belas orang.

Dengan mata terbelalak Han Han melihat bahwa tiga orang laki-laki di antara mereka cacad, yang seorang buntung kaki kirinya, seorang buntung lengan kirinya dan seorang lagi buntung kedua daun telinganya! Namun gerakan mereka sama cepatnya dengan yang lain. Bahkan Si Buntung kaki itu pun dapat berlari cepat dibantu sebatang tongkat.

Ma-bin Lo-mo duduk di atas sebuah batu hitam yang halus permukaannya, kemudian menarik tangan Han Han dan menyuruh anak itu duduk di dekatnya sambil mengelus-elus kepala anak itu. Diam-diam Han Han merasa agak terharu. Benarkah guru barunya ini adalah seorang yang kejam? Sentuhan tangan pada kepalanya mendatangkan perasaan haru karena semenjak ia tidak berayah ibu lagi, belum pernah ada orang mencurahkan kasih sayang seperti kakek ini. Namun hanya sebentar saja ia sudah dapat menguasai keharuan hatinya.

‘Nah, berceritalah, muridku.!

‘Jangan sungkan-sungkan dan banyak aturan, Han Han sute (Adik Seperguruan)!! kata Kim Cu gembira. ‘Di sini kita berada di antara keluarga sendiri!!

‘Benar! Benar sekali!! teriak anak-anak itu dan mereka pun duduk membentuk lingkaran kipas menghadapi Han Han dan guru mereka.

Timbul kegembiraan di hati Han Han. Agaknya, guru dan murid-muridnya ini merupakan orang-orang yang amat baik. Maka lenyaplah keraguan dan kesungkanan hatinya dan ia pun mulai bercerita.

‘Namaku Sie Han dan kedua orang tuaku, seluruh keluarga terbunuh oleh tentara Mancu....!

‘Aaahhh, aku juga, begitu....!!

‘Orang tuaku juga!!

‘Keluargaku juga terbunuh tentara Mancu....!!

Han Han tercengang. Semua anak itu, delapan belas orang banyaknya, termasuk Kim Cu, berteriak-teriak mengatakan bahwa orang tua dan keluarga mereka pun terbasmi oleh tentara Mancu! Mengapa begini kebetulan? Ataukah kakek muka kuda itu memang sengaja mengumpulkan murid-murid dari keluarga yang terbasmi orang Mancu?

Betapapun juga, ia menjadi terharu dan baru kini terbuka matanya bahwa bukan dia seorang saja yang bernasib buruk, kehilangan orang tua dan keluarga yang menjadi korban keganasan orang Mancu. Baru sekarang yang berkumpul di In-kok-san saja sudah ada begini banyak, belum yang tidak ia ketahui.

‘Seorang diri aku mengembara merantau tak tentu arah tujuan. Kemudian aku bertemu dengan Lauw-pangcu dan menjadi muridnya hampir setengah tahun.!

‘Kau maksudkan Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?! Ma-bin Lo-mo tiba-tiba bertanya.

‘Benar, suhu.!

‘Hemmm, apa saja yang ia ajarkan kepadamu?!

‘Dalam waktu lima bulan lebih teecu hanya belajar memasang kuda-kuda dan langkah-langkah kaki saja, di samping belajar bersamadhi dan mengatur pernapasan.!

‘Bagus, coba kau berlatih langkah-langkah kaki menurut ajaran Lauw-pangcu.!

Han Han mulai tertarik kepada kakek ini. Berbeda dengan Lauw-pangcu, agaknya guru baru ini penuh perhatian terhadap dirinya, maka sekaligus timbul kegairahan hatinya untuk belajar. Ia lalu melangkah ke depan, kemudian memainkan gerak-gerak langkah yang pernah ia pelajari dari Lauw-pangcu, atau lebih tepat dari Sin Lian karena anak perempuan itulah yang lebih banyak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya.

Ia sudah siap untuk bersikap sabar apabila murid-murid yang lain akan mentertawakannya karena ia tahu bahwa mereka itu rata-rata, seperti Kim Cu, tentu telah memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi ternyata mereka itu tidak ada yang tertawa, hanya memandang penuh perhatian. Setelah selesai mainkan langkah-langkah itu, Han Han kembali duduk di dekat gurunya yang mengangguk-angguk.

‘Baik sekali. Dasar-dasar langkah yang diajarkan Lauw-pangcu tepat dan memudahkan engkau mempelajari ilmu selanjutnya. Sekarang lanjutkan ceritamu.!

‘Kemudian muncul Kang-thouw-kwi yang membasmi Pek-lian Kai-pang dan dia memaksa aku ikut pergi bersamanya dan menjadi kacung di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan. Aku dipaksanya melayani semua keperluan dia dan Ouwyang Seng yang berlatih ilmu silat di sana. Sampai setahun lamanya aku menjadi kacung mereka, lalu mereka mengajak aku melakukan perjalanan menuju ke kota raja dan akhirnya bertemu dengan suhu di sini....!

‘Nanti dulu, Han Han. Selama setahun engkau bekerja kepada Gak Liat. Apakah dia mengajar silat kepadamu?!

‘Sama sekali tidak, suhu.!

‘Hemmm, kalau tidak sama sekali, bagaimana engkau bisa melakukan pukulan Hwi-yang Sin-ciang?!

‘Pukulan Hwi-yang Sin-ciang?! Han Han memandang gurunya yang baru ini penuh keheranan. ‘Teecu sama sekali tidak mengerti dan tidak bisa....!

‘Perlihatkan lenganmu!!

Han Han mengangsurkan kedua lengannya. Ma-bin Lo-mo memegang tangan muridnya ini dan menekan. Rasa dingin menjalar ke dalam tangan Han Han, membuat kedua lengannya menggigil. Makin lama makin dingin dan karena ia merasa tidak tahan, terpaksa ia mengerahkan hawa dari pusarnya untuk melawan hawa dingin ini. Hawa panas yang timbul karena latihan-latihan secara diam-diam di tempat latihan Setan Botak merayap keluar melalui kedua lengannya dan kedua lengan itu menjadi hangat kembali. Ma-bin Lo-mo melepaskan kedua lengan anak itu dan berkata, alisnya berkerut.

‘Han Han, awas jangan engkau membohong. Apakah engkau minta dihukum?!

Ketika kebetulan Han Han mengerling ke arah Kim Cu, ia melihat wajah anak perempuan itu menjadi pucat dan anak itu memberi tanda dengan kedipan mata.

‘Teecu sama sekali tidak membohong. Memang Setan Botak itu tidak memberi pelajaran apa-apa kepada teecu.!

‘Dari mana engkau bisa mendapatkan hawa panas yang keluar dari tan-tian di pusarmu?! Wajah yang tadinya ramah dari kakek itu kini menjadi bengis, seperti muka seekor kuda marah.

Wajah Han Han menjadi merah karena malu. ‘Teecu mencurinya dari mendengarkan ajarannya kepada Ouwyang Seng dan secara diam-diam teecu berlatih seorang diri tanpa mereka ketahui.!

Anak-anak itu kini tertawa, akan tetapi sama sekali bukan mentertawakannya karena terdengar mereka memuji. Bahkan Kim Cu bersorak,

‘Bagus sekali! Engkau cerdik sekali, Han Han!!

Han Han memandang anak-anak itu, hampir tidak percaya dia. Juga gurunya kelihatan girang dan mengangguk-angguk. Bagaimana mereka ini? Mendengar dia mencuri malah dipuji, dan dikatakan cerdik!

Agaknya Ma-bin Lo-mo mengerti akan kebingungan muridnya, maka ia berkata, ‘Kemajuan hanya dapat diperoleh dengan kecerdikan. Untuk memperoleh kemajuan, segala jalan dapat ditempuh, bahkan mencuripun baik saja. Demi tercapainya cita-cita, segala cara boleh digunakan dan tidak ada yang buruk! Anak-anak semua, contohlah perbuatan Han Han yang cerdik!!

Di dalam hatinya Han Han sama sekali tidak menyetujui pendapat ini, akan tetapi mulutnya tidak membantah. Bahkan ia mulai meragukan pendapatnya sendiri berdasarkan kitab-kitab filsafat yang menyatakan bahwa kalau jalan yang ditempuh buruk, maka hasilnya pun tidak baik. Kalau dia yang benar, mengapa semua murid Ma-bin Lo-mo ini menerima dan menyetujui nasehat guru ini? Betapapun juga, kebenaran pendapat Ma-bin Lo-mo sudah terbukti.

Kalau dia tidak mencuri, mana mungkin dia bisa memiliki kekuatan yang timbul dari latihan merendam kedua lengan datam air panas, bahkan membakarnya dalam nyala api tulang-tulang manusia? Han Han masih terlampau kecil untuk dapat yakin akan kebenaran, dan tentu saja anak seusia dia itu mudah terpengaruh keadaan sekelilingnya. Tanpa ia sadari, mulailah pengaruh-pengaruh buruk kaum sesat memasuki hatinya.

‘Coba ceritakan bagaimana caramu melatih kedua lenganmu di sana,! kata pula Ma-bin Lo-mo dengan suara memerintah. Anak-anak yang lain tidak ada yang bergerak atau mengeluarkan suara, semua mendengarkan dengan penuh perhatian.

‘Pertama-tama teecu merendam kedua lengan ke dalam air mendidih, yaitu air yang dicampuri obat-obatan dan racun oleh Kang-thouw-kwi, entah racun apa. Mula-mula memang terasa panas, akan tetapi dengan mempertebal tekad dan memperkuat kemauan sambil mengerahkan hawa dari pusar ke arah kedua lengan, akhirnya teecu kuat bertahan sampai semalam suntuk. Kemudian karena teecu disuruh menggodok batu bintang....!

Han Han berhenti dan teringat dengan hati menyesal mengapa ia ceritakan ini semua! Ilmu yang dipelajari itu adalah rahasia. Mengapa ia begitu bodoh untuk menceritakan kepada orang lain? Kalau barang rahasia dibuka, tentu saja akan hilang keampuhannya.

‘Batu bintang? Benar-benarkah Si Botak mempergunakannya? Di mana dia mengumpulkan batu bintang itu?! Ma-bin Lo-mo bertanya penuh perhatian.

Han Han tidak dapat mundur lagi. Biarlah kuceritakan sampai pada batu bintang itu saja, pikirnya. ‘Batu-batu bintang itu didapatkan di sepanjang Sungai Huang-ho di sebelah timur kota Tiong-kwan.!

‘Lalu bagaimana? Teruskan....!! Desakan ini keluar dari mulut para murid Ma-bin Lo-mo yang agaknya ingin sekali tahu bagaimana cara melatih diri untuk mendapatkan Ilmu Pukulan Sakti Inti Api itu.

‘Diam-diam teecu lalu merendam kedua tangan teecu ke dalam air larutan batu bintang yang mencair setelah digodok berhari-hari lamanya. Panasnya hampir tak tertahan, akan tetapi berkat ketekadan teecu, akhirnya teecu kuat juga. Nah, hanya itulah yang secara diam-diam teecu lakukan, akan tetapi sesungguhnya, teecu tidak pernah mempelajari ilmu pukulan apa-apa dari Kang-thouw-kwi.!

‘Inilah yang dinamakan bakat dan jodoh! Han Han, engkau berbakat secara ajaib sekali sehingga tanpa bimbingan engkau dapat berhasil melatih Hwi-yang Sin-ciang. Dan engkau berjodoh dengan kami, berjodoh untuk menjadi muridku dan ini merupakan nasib baikmu. Aku akan menyelidiki Hwi-yang Sin-ciang, dan kelak engkau akan membikin Gak Liat kecelik karena kau akan melawannya dengan ilmunya sendiri. Ha-ha-ha, jangan khawatir, aku akan menyempurnakan latihanmu di samping kau mempelajari ilmu ciptaanku. Akan tetapi, untuk itu membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang luar biasa. Sekarang, engkau harus melakukan kewajiban bersembahyang dan bersumpah, muridku.!

‘Bersumpah....?! Han Han tertegun dan terheran ketika melihat murid-murid itu tanpa diperintah telah berlari-lari dan mempersiapkan meja sembahyang di ruangan depan pondok.

‘Semua murid harus menjalankan sumpah,! ia mendengar Kim Cu berkata.

Gadis cilik ini membawa sesetel pakaian dan menyerahkannya kepada Han Han.

‘Untuk sementara kau pakailah dulu pakaian seorang suheng (Kakak Seperguruan) ini sebelum dapat aku buatkan yang baru untukmu. Yang ada hanya warna putih ini. Warna apa yang paling kausukai?!

‘Putih....! jawab Han Han sekedarnya. Ia tidak ingin memakai pakaian orang lain, akan tetapi karena pakaiannya penuh tambalan dan kotor, dan dia tidak tega untuk menolak kebaikan Kim Cu, ia menerimanya juga. Pula, bukankah ia kini sudah menjadi murid di situ, berarti menjadi seorang di antara anak-anak itu? Masa ia memakai pakaian seperti pengemis?

‘Lekas kaupakai pakaian itu dan membersihkan diri. Suhu telah menanti untuk upacara pengambilan sumpah. Hayo kuantar, di sana ada air....! Tanpa menanti jawaban, Kim Cu memegang tangan Han han, ditariknya dan diajak berlarian ke belakang puncak. Ternyata di situ terdapat sumber air yang amat sejuk dan jernih sehingga segala batu-batuan di dasarnya tampak jelas dan air itu sendiri agak kehijauan saking jernihnya.

‘Lekas kau mandi dan tukar pakaian, sute.!

Mendengar sebutan sute ini, sejenak Han Han tertegun kemudian ia teringat akan Sin Lian yang juga menyebutnya sute (adik seperguruan). Ia tersenyum dan diam-diam merasa geli hatinya. Ada dua orang gadis cilik yang keduanya lebih muda dari padanya, akan tetapi keduanya adalah sucinya (kakak perempuan seperguruan)!

‘Eh, kenapa kau tersenyum-senyum dan tidak lekas mandi?!

Han Han tertawa. ‘Engkau.... engkau baik sekali, suci.!

‘Tentu saja! Bagaimana seorang suci tidak baik kepada sutenya? Kaupun harus baik dan taat kepada sucimu. Nah, hayo lekas mandi dan tukar pakaian bersih.!

Han Han mendekati air dan hendak membuka bajunya. Akan tetapi ia melihat betapa Kim Cu masih berdiri di situ menghadapinya dan memandangnya, maka ia melepaskan lagi baju yang sudah ia pegang untuk ditanggalkan.

‘Eh, suci. Harap jangan memandang ke sini....!

‘Mengapa sih?!

‘Malu ah....!

Kim Cu mengangkat alisnya, membelalakkan kedua mata kemudian tertawa terkekeh-kekeh, menutup mulut dengan tangan sambil membalikkan tubuh membelakangi Han Han.

‘Hi-hi-hik, engkau benar-benar orang aneh! Apakah tubuhmu mempunyai cacad maka kau malu untuk ditonton? Lekaslah mandi dan tukar pakaian, aku menanti di sana. Jangan lama-lama karena suhu sudah menunggu!!

Gadis cilik itu berlarian pergi dan Han Han cepat menanggalkan pakaian lalu membersihkan tubuh dengan pikiran melayang-layang. Benar aneh. Apakah bagi anak-anak di situ, bertelanjang di depan orang lain bukan merupakan hal yang membuat malu? Ia tidak mau mempedulikan hal itu lebih lanjut, melainkan cepat ia mandi. Air itu dingin sekali, membuatnya menggigil, akan tetapi seperti biasa, berkat kekuatan kemauannya yang luar biasa, secara otomatis timbul hawa dari pusarnya melawan rasa dingin sehingga tubuhnya tidak menggigil lagi, bahkan terasa sejuk dan segar.

Setelah cepat-cepat berpakaian dengan warna putih yang bersih dan masih baru, memakai pula sepatu yang disediakan oleh Kim Cu, Han Han merasa seolah-olah menjadi orang baru. Di dalam saku baju itu ia menemukan sebuah pita rambut, maka setelah memeras rambutnya sampai kering, ia lalu mengikat rambutnya di atas kepala dan ketika pemuda tanggung ini kembali ke pondok, semua murid Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata berseri dan kagum. Apalagi Kim Cu. Nona cilik ini menyambutnya dengan kata-kata memuji.

‘Sute, engkau benar-benar tampan dan gagah!!

Dipuji secara begitu terbuka di depan banyak anak-anak, wajah Han Han menjadi merah. Ma-bin Lo-mo tertawa dan memanggilnya dari belakang meja sembahyang.

‘Han Han, muridku, lekas engkau menyalakan sembilan batang hio dan bersembahyang, kemudian berlutut di depan meja sembahyang untuk bersumpah menirukan semua kata-kataku.!

‘Baik, suhu.!

Han Han menghampiri meja sembahyang, ditonton semua murid di situ. Sambil menyalakan sembilan batang hio, ia mengangkat muka memandang. Di atas meja sembahyang itu terdapat arca setengah badan, arca seorang kakek tua yang wajahnya keren, hidungnya agak bengkok seperti hidung burung. Wajah yang tampan dan gagah akan tetapi membayangkan kekejaman.

‘Arca siapakah itu....?! Ia berbisik, akan tetapi gurunya tidak menjawab, dan sebaliknya ia mendengar suara Kim Cu di sebelah kanan.

‘Jangan banyak bertanya. Itu arca Suma-couwsu (Kakek Guru she Suma)....!

Hemmm, arca itu tentulah arca guru Ma-bin Lo-mo atau kakek guru yang dipuja-puja di tempat itu. Ia tidak peduli lalu mulai bersembayang, mengacung-acungkan dupa bernyala itu dengan sikap hormat, kemudian menancapkan hio (dupa) itu di atas tempat dupa dan menjatuhkan diri berlutut dengan kedua tangan terkepal di depan dada. Pada saat itu, terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang ditujukan kepadanya.

‘Murid baru Sie Han, sekarang bersumpahlah dan meniru semua kata-kataku.!

‘Baiklah, suhu. Teecu siap,! jawab Han Han, bulu tengkuknya meremang juga karena suasana hening itu menyeramkan, dengan asap hio mengepul dan berbau harum, ditambah suara Ma-bin Lo-mo yang terdengar parau mengandung getaran penuh kesungguhan. Maka bersumpahlah Han Han, tidak sepenuh hatinya karena ia hanya menirukan ucapan Ma-bin Lo-mo, dia bukan bersumpah secara suka rela, hanya untuk syarat paksaan.

‘Teecu Sie Han bersumpah di hadapan Couwsu yang mulia bahwa mulai saat ini teecu menjadi murid Suhu Siangkoan Lee dan berjanji akan belajar dengan tekun dan rajin, mematuhi segala perintah dan larangan suhu, siap untuk menerima hukuman apa pun juga jika teecu melakukan pelanggaran. Mulai saat ini, teecu menyerahkan jiwa raga ke tangan Suhu Siangkoan Lee yang akan menurunkan ilmu-ilmu warisan dari Couwsu yang mulia. Ilmu-ilmu itu kelak akan teecu pergunakan untuk mengangkat tinggi nama besar Couwsu dan nama besar suhu, untuk mengusir penjajah dari tanah air dan untuk melaksanakan segala perintah suhu.!

Di dalam hatinya, Han Han amat tidak setuju dengan isi sumpahnya itu. Tentang ketaatan dan hukuman ia dapat menerimanya, akan tetapi mengapa setelah tamat belajar, cita-citanya hanya mengusir penjajah dan mengangkat tinggi nama guru? Mengapa tidak disebut-sebut tentang kewajiban para pendekar yang membela dan mempertahankan keadilan dan kebenaran, membela orang-orang tertindas dan menentang pihak yang sewenang-wenang?

Akan tetapi agaknya Ma-bin Lo-mo memiliki ilmu untuk menjenguk isi hati orang, demikian pikir Han Han, karena kakek itu lalu mengajak mereka duduk di lapangan di luar pondok kemudian berkata.

‘Han Han, dan semua muridku. Jangan kalian mudah disesatkan oleh pendapat orang-orang yang menyebut diri pendekar-pendekar kang-ouw bahwa seorang yang berkepandaian berkewajiban untuk membasmi orang jahat dan membela orang benar. Karena, jahat dan baik atau benar itu merupakan pendapat prihadi yang sering kali menyesatkan! Yang penting bagi kita adalah kita sendiri! Tunjukkanlah setiap tindakan kalian untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Manusia adalah mahluk yang paling tidak mengenal budi, sehingga akan percuma belaka kalau kalian menggunakan kepandaian demi orang lain. Keliru sama sekali! Yang penting adalah diri kita sendiri dan demi tercapainya cita-cita kita, yaitu mengusir penjajah dan membentuk pemerintah bangsa sendiri dengan kita sebagai tokoh-tokoh pimpinan!!

Kembali timbul keraguan di dalam hati Han Han akan segala yang pernah dibacanya tentang syarat-syarat menjadi seorang budiman dan gagah, karena ia melihat semua murid mengangguk-angguk dengan wajah berseri, dan ia pun merasa bahwa yang terpenting di atas segalanya memang diri sendiri lebih dahulu. Buktinya, dia sudah banyak mengalami penghinaan dan kesengsaraan, tidak ada orang yang membelanya.

Kalau dia tidak membela diri sendiri, tentu selamanya ia akan hidup terhina dan sengsara seperti itu. Pula, kalau dia tidak berkepandaian tinggi bagaimana ia akan dapat mengusir penjajah dan terutama sekali, menghancurkan tujuh perwira terutama perwira muka brewok dan muka kuning bangsa Mancu yang telah membasmi semua keluarganya?

‘Han Han, sebagai murid baru kini engkau mendapat kesempatan untuk bertanya. Tanyakantah apa yang perlu kau ketahui, dan jangan sembunyi-sembunyikan perasaan. Segala pertanyaanmu akan kujawab,! kata Ma-bin Lo-mo. Sampai lama Han Han memandang gurunya yang baru ini.

Sukar baginya untuk menilai kakek yang bermuka kuda ini, karena muka itu tidak membayangkan sesuatu kecuali keanehan. Ia tidak tahu apakah gurunya ini jahat dan keji seperti Setan Botak, ataukah baik dan gagah seperti Lauw-pangcu. Betapapun juga, ia tahu bahwa gurunya ini amat lihai, dan pribadi suhunya diliputi banyak keanehan. Ingin ia mengetahui riwayat gurunya. Karena itu tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bertanya.

‘Hanya ada sebuah pertanyaan teecu. Yaitu, siapakah suhu ini, bagaimana riwayat suhu dan siapa pula Couwsu yang kita puja-puja itu?!

Terdengar seruan-seruan heran di antara murid-murid yang berada di situ. Semua murid ketika diterima selalu diberi kesempatan bertanya, akan tetapi mereka semua menanyakan tentang ilmu silat. Baru sekali ini ada murid baru yang datang-datang bertanya tentang riwayat gurunya dan riwayat Couwsu yang amat dihormati itu!

Kim Cu memandang gurunya dengan wajah khawatir, karena ia takut kalau-kalau gurunya akan marah dan semua murid maklum betapa akan hebat akibatnya kalau guru itu marah. Akan tetapi aneh. Ma-bin Lo-mo malah tertawa dan suara ketawanya persis kuda yang meringkik-ringkik. Para murid lainnya tidak ada yang merasa heran, akan tetapi Han Han kembali memandang suhunya dengan mata terbelalak. Memang gurunya ini seorang aneh, lebih aneh daripada Setan Botak.

‘Pertanyaan yang aneh, akan tetapi sudah semestinya kalau murid-muridku mengenal siapa sesungguhnya guru mereka, terutama sekali Couwsu mereka. Dengarlah baik-baik, murid-muridku, karena sesungguhnya kalian adalah murid-murid dari orang yang bukan sembarangan! Couwsu kalian yang kita puja-puja itu adalah keturunan pangeran, nama lengkapnya adalah Suma Kiat. Ilmu silatnya tinggi bukan main, seperti dewa! Murid-muridnya hanya dua orang, yaitu aku sendiri dan suhengku yang bernama Suma Hoat, puteranya sendiri, putera tunggalnya. Betapapun tekun dan rajin aku belajar, namun dibandingkan dengan supekmu (Uwa Gurumu) Suma Hoat itu, aku masih kalah jauh!!

Kakek itu menarik napas panjang seolah-olah ceritanya mengingatkan dia akan masa lalu dan membuatnya termenung sejenak.

‘Di manakah supek itu sekarang, suhu?! tanya Kim Cu dengan suara penuh kagum.

‘Entahlah, sudah dua puluh tahun lebih aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan tidak pula mendengar namanya. Dia seorang yang suka sekali merantau, seorang petualang tulen yang ingin menikmati hidup ini sebanyak mungkin. Yang terakhir aku bersama supek kalian itu pergi mencari kakek sakti Koai-lojin untuk mohon bagian ilmu-ilmu yang beliau bagi-bagikan. Aku mendapat dasar-dasar Im-kang sehingga dapat kuciptakan Swat-im Sin-ciang, dan pada saat yang sama Kang-thouw-kwi Gak Liat mendapatkan dasar Yang-kang sehingga ia menciptakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Adapun supek kalian itu mendapatkan lebih banyak lagi. Entah mengapa, agaknya Koai-lojin kakek sakti itu menaruh kasih sayang kepada supek kalian. Ilmunya menjadi amat tinggi dan sampai lama dia menjagoi di antara semua tokoh kang-ouw. Dia banyak melakukan hal-hal menggemparkan sehingga dimusuhi tokoh-tokoh kang-ouw, akan tetapi memang itulah sebuah di antara kesukaannya, yaitu berkelahi!!

Semua murid, termasuk, Han Han, mendengarkan dengan kagum.

‘Dan suhu sendiri?! tanya Han Han.

Aku membantu sukong kalian, kemudian memperoleh kedudukan. Akan tetapi, mungkin karena petualangan supek kalian, atau juga karena kedudukan tinggi dan kepandaian sukong kalian menarik banyak orang gagah menjadi iri dan memusuhinya, sukong kalian banyak dimusuhi orang kang-ouw. Termasuk aku sebagai muridnya yang setia. Namun sukong kalian dan aku selalu mempertahankan diri dan selalu berhasil menghalau mereka yang datang memusuhi kami. Akhirnya, setelah sukong kalian meninggal dunia, aku tidak mau menghadapi sekian banyaknya musuh seorang diri, apalagi karena supek kalian yang dapat diandalkan telah pergi merantau entah ke mana. Aku lalu meninggalkan kedudukanku sebagas pembesar tinggi, merantau pula dan akhirnya aku tinggal di sini, apalagi setelah Kerajaan Beng-tiauw digulingkan oleh bangsa Mancu. Aku ingin menentang Mancu, akan tetapi sendirian saja mana mungkin berhasil? Banyak tokoh-tokoh besar, seperti Gak Liat itu, rela dijadikan penjilat penjajah. Aku tidak sudi dan aku lalu mengumpulkan kalian murid-muridku yang keluarganya telah dibasmi orang Mancu untuk kuwarisi kepandaianku agar kelak dapat menjadi patriot-patriot yang perkasa!!

Cerita itu jelas merupakan singkatan saja. Masih banyak hal-hal yang tersembunyi dan tidak diceritakan oleh Ma-bin Lo-mo. Namun yang ia ceritakan adalah bagian-bagian yang baik sehingga para murid menjadi kagum dan bangkit semangat mereka untuk belajar lebih tekun agar kelak dapat berjuang mengusir penjajah yang tidak saja sudah menjajah negara dan bangsa, juga telah membasmi keluarga mereka.

Mulai hari itu Han Han menjadi murid di In-kok-san dan belajar ilmu silat. Mula-mula, ketika menerima pelajaran-pelajaran pokok, ia berlatih dengan tekun. Akan tetapi setahun kemudian, ia merasa bosan karena pelajaran yang diberikan hanya itu-itu saja dan diulang-ulang kembali. Memang benar bahwa kini ia selalu memakai pakaian baik, makan pun tidak pernah kekurangan, banyak teman dan setiap hari berlatih ilmu silat. Akan tetapi diam-diam Han Han menjadi bosan dan ingin sekali ia bebas seperti dahulu.

Hidup menjadi murid Ma-bin Lo-mo merupakan hidup yang telah diatur dan seolah-olah ia telah dapat melihat bagaimana kelak jadinya dengan dirinya kalau ia berada di situ terus. Ia melihat dirinya seolah-olah logam yang digembleng dan dibentuk oleh Ma-bin Lo-mo! Dan dia tidak suka dirinya dibentuk seperti baja. Tidak suka dia hidupnya diatur oleh orang lain, menjadi dewasa menurut kehendak dan bentuka Ma-bin Lo-mo. Ia ingin bebas!

Di antara murid-murid di situ, dia merupakan murid termuda, bukan muda usia melainkan muda karena dialah orang terbaru. Maka lima orang murid perempuan di situ adalah suci-sucinya, dan murid-murid laki-laki adalah suheng-suhengnya. Di antara mereka, hanya ada tiga orang murid yang paling ia sukai, dan yang merupakan sahabat-sihabatnya.

Pertama tentu saja adalah Kim Cu yang selalu bersikap manis kepadanya. Ke dua adalah seorang suci lain yang usianya sebaya dengan Kim Cu, namanya Phoa Ciok Lin, juga seorang anak yatim-piatu yang orang tuanya dibunuh orang-orang Mancu. Ke tiga adalah seorang suheng, usianya baru sebelas tahun, setahun lebih muda daripada Han Han, namanya Gu Lai Kwan, seorang anak yang selalu gembira, penuh keberanian dan pandai bicara. Dengan tiga orang anak-anak inilah Han Han sering kali bermain-main dan berlatih. Akan tetapi sering kali, kalau Kim Cu yang lebih pandai daripada mereka, berlatih dengan Ciok Lin atau dengan Lai Kwan, Han Han termenung seorang diri, disiksa rasa rindunya akan kebebasan.

Ia ingin merantau, ingin melihat kota raja. Cerita tentang supek mereka amat menarik hatinya. Ia ingin seperti supeknya itu, tukang merantau, petualang dan menikmati hidup sebanyak mungkin. Teringat ia akan bunyi sajak yang menganggap bahwa hidup ini laksana anggur, dan selagi hidup sebaiknya meneguk anggur sebanyaknya, sekenyangnya dan sepuasnya!

Sering kali ia termenung dan kalau sudah demikian, Kim Cu yang selalu mendekatinya dan menegur serta menghiburnya. Kim Cu merupakan satu-satunya kawan yang agaknya mengenal keadaannya.

‘Kenapa kau murung selalu, sute?! pada suatu petang setelah mengaso dari berlatih, Kim Cu bertanya. Mereka duduk di bawah pohon dan Kim Cu menyusuti peluh yang membasahi leher dan dahinya.

Tidak apa-apa, suci. Hanya.... ah, aku kepingin sekali berjalan-jalan keluar, turun gunung agar melihat pemandang lain. Bosan rasanya terus-menerus begini, sudah setahun lamanya....!

‘Tunggulah sebulan lagi, sute. Pada hari raya Sin-cia (Musim Semi atau lebih terkenal dengan istilah Tahun Baru Imlek), biasanya Suhu memperkenankan kita untuk turun gunung selama beberapa hari.!

‘Syukurlah kalau begitu. Kim-suci, senangkah engkau di sini?!

Gadis cilik yang kini berusia dua belas tahun itu memandang wajah sutenya yang lebih tua setahun dari padanya, lalu tersenyum manis.

‘Mengapa tidak senang, sute? Habis ke mana lagi kalau tidak di sini? Aku.... sudah tidak mempunyai keluarga searang pun.!

‘Suci, engkau telah mendengar riwayatku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu. Maukah kau menceritakan riwayatmu kepadaku?!

‘Apakah yang dapat aku ceritakan? Ayah bundaku tinggal di utara, di sebuah dusun dekat kota raja. Kami diserbu orang-orang mancu, ayah bundaku dan tiga orang kakakku dibunuh semua. Aku ditolong suhu dan dibawa ke sini semenjak aku berusia delapan tahun, empat tahun yang lalu. Nah, hanya itulah yang kuingat.!

‘Dan semua suci dan suheng itu, apakah mereka itu juga yatim-piatu?!

‘Benar.!

‘Dan semua ditolong suhu?!

‘Begitulah, hanya engkau seorang yang tidak. Karena itu engkau murid istimewa. Menurut suhu, kelak engkau yang paling hebat di antara kita.!

‘Wah, jangan memuji, suci.!

‘Sesungguhnyalah, sute.! Dengan sikap ramah Kim Cu memegang tangan Han han. ‘Ada sesuatu yang aneh pada dirimu. Engkau belum pandai silat namun engkau memiliki tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang. Engkau amat kuat dan pandai akan tetapi engkau selalu menyangkal dan selalu merendahkan diri. Engkau hebat, sute.!

Muka Han Han menjadi merah dan ia menarik tangannya. Jantungnya berdebar dan ia membenci diri sendiri mengapa ia menjadi begitu girang mendengar pujian Kim Cu. Untuk mengalihkan percakapan, ia cepat bertanya.

‘Tiga orang suheng yang cacad itu, apakah mereka menjadi korban orang-orang Mancu?!

‘Ah, belum tahukah engkau? Tidak, mereka itu adalah murid-murid yang mengalami hukuman.!

‘Hukuman? Siapa yang menghukum mereka?!

‘Siapa lagi kalau bukan suhu? Kumaksudkan, suhu yang menjatuhkan hukuman, tentu saja murid-murid lain yang melaksanakannya. Siauw-sute itu, yang kedua telinganya buntung, dijatuhi hukuman potong kedua daun telinga karena dia berani melanggar larangan dan mendengarkan suhu ketika suhu bercakap-cakap di dalam pondoknya dengan seorang tamu, sababat suhu.!

‘Wah....!! Han Han juga tahu akan larangan mendengarkan atau mengintai suhu mereka kalau sedang berada di pondok. ‘Siapa yang melaksanakan?!

‘Aku.!

‘Hah....?! Han Han memandang sucinya dengan mata terbelalak.

Kim Cu tersenyum geli. ‘Mengapa?!

‘Kau.... kau tega melakukan itu....? Kau.... mengapa begitu kejam....?!

Kim Cu menggeleng kepala. ‘Sama sekali tidak, sute. Aku hanya mentaati perintah suhu dan syarat utama seorang murid harus taat kepada gurunya. Pula, aku melakukan hal itu sama sekali bukan karena kejam atau tidak tega, melainkan sebagai pelaksanaan hukuman yang harus diterima oleh Siauw-sute. Setelah membuntungi kedua daun telinganya, aku pula yang merawatnya sampai sembuh.!

‘Dia.... tidak mendendam kepadamu?!

‘Ah, tidak sama sekali. Dia mengerti bahwa dia harus menjalani hukuman itu.!

‘Dan.... yang lengannya buntung?!

‘Kwi-suheng? Dia telah mencuri baca kitab milik suhu tanpa ijin. Hal itu dianggap mencuri dan karena lengannya yang mencuri kitab, maka lengannya dibuntungkan.!

Yang buntung kakinya?!

‘Lai-suheng? Dia hendak minggat, tertangkap dan karena kakinya yang melarikan diri, maka sebelah kakinya dibuntungkan.!

Han Han bergidik. Kim Cu berkata lagi, ‘Akan tetapi cacad mereka tidak menjadi halangan karena suhu tidak membenci mereka, malah mengajarkan ilmu yang khusus untuk mereka. Kami semua diajar ilmu-ilmu yang khusus disesuaikan dengan keadaan dan bakat kita. Ilmu silat dasar memang sama, akan tetapi perkembangannya berlainan. Suhu memiliki ilmu-ilmu yang amat banyak.!

‘Hemmm...., sungguh ganjil. Tamu tadi, yang bicara dengan suhu di pondok, siapakah dia? Sudah setahun aku tidak pernah melihat ada tamu datang.!

Kini Kim Cu memandang ke kanan kiri, kelihatannya jerih dan takut. ‘Tamu itu seorang manusia yang hebat, dan ilmunya kata suhu melampaui tingkat suhu. Dia itu adalah Ibu Guru dari suhu....!

‘Apa....? Suhu masih mempunyai Ibu Guru? Kalau begitu, dia isteri Suma-sukong itu....?!

Kim Cu mengangguk. ‘Tidak ada yang tahu jelas. Pernah dalam keadaan mabuk suhu bercerita bahwa sukong mempunyai banyak sekali isteri dan agaknya Ibu Guru yang ini adalah isteri yang paling muda. Lihainya bukan main, bahkan suhu amat takut kepadanya. Suhu masih mencinta kita dan melakukan hukuman berdasarkan pelanggaran. Kalau Sian-kouw itu....!

‘Kau menyebutnya Sian-kouw (Ibu Dewi)?!

Kim Cu mengangguk dan menelan ludah, agaknya hatinya tegang membicarakan wanita itu. ‘Kita para murid suhu diharuskan taat kepadanya dan menyebutnya Sian-kouw. Namanya tak pernah disebut suhu, akan tetapi julukannya adalah Toat-beng Ciu-sian-li (Dewi Arak Pencabut Nyawa).!

Han Han bergidik. ‘Mengapa Ciu-sian-li (Dewi Arak)?!

‘Ke mana-mana dia membawa guci arak dan hampir selalu mabuk. Akan tetapi makin mabuk makin lihai dia. Sudahlah, sute, tidak baik kita bicara tentang Sian-kouw....!

Kalau begitu kita bicara tentang tokoh-tokoh lain, suci. Ceritakanlah kepadaku tentang tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw. Aku ingin sekali mendengar dan aku suka mendengar akan petualangan mereka, terutama sekali supek yang disebut-sebut oleh suhu, putera dari sukong itu.!

‘Banyak sekali tokoh-tokoh besar yang pernah diceritakan suhu kepada kami. Mengenai tokoh-tokoh yang dikenal suhu, kiraku Sian-kouw itulah yang paling lihai ilmunya. Menurut suhu, Sian-kouw banyak mewarisi ilmu silat sukong. Akan tetapi, tokoh-tokoh besar yang penuh rahasia dan amat aneh, yang tidak pernah dikenal suhu namun sudah terkenal namanya di jaman dahulu, banyak sekali.!

‘Seperti Koai-lojin (Kakek Aneh) yang pernah disebut suhu dahulu? Yang suka membagi-bagi ilmu?!

Kim Cu mengangguk. ‘Benar, dialah merupakan orang pertama yang agaknya menduduki tempat paling atas dari segala golongan. Baik golongan yang menyebut dirinya golongan bersih maupun golongan yang disebut golongan sesat.!

‘Kita ini masuk golongan mana?!

Kim Cu tersenyum. Manis sekali kalau gadis itu tersenyum, pikir Han Han dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah ketika ia sadar bahwa perasaannya ini benar-benar tidak sopan dan tidak patut!

‘Kita ini golongan sesat, begitulah menurut pendapat dunia kang-ouw seperti yang diceritakan suhu. Akan tetapi, apa artinya sebutan-sebutan itu? Tentu mereka yang tidak suka kepada golongan kita yang menyebutnya sesat. Apakah artinya sesat? Dan siapa yang tidak sesat?!

Han Han menjadi bingung. ‘Ceritakanlah tentang Koai-lojin itu, suci.!

‘Dia itu, menurut suhu, merupakan manusia dewa yang tak diketahui tempat tinggalnya oleh siapa pun. Juga usianya tidak ada yang tahu, mungkin dua ratus tahun, mungkin lebih atau kurang. Tingkat kepandaiannya pun tidak ada yang dapat mengukurnya, akan tetapi seluruh tokoh tingkat tinggi masih membutuhkan ilmu darinya. Juga tidak ada yang tahu dia itu sekarang sudah mati ataukah masih hidup. Sejak dahulu, semua tokoh besar selalu mencari-carinya, termasuk suhu sendiri. Namun tak pernah ada yang berhasil.!

‘Seperti dongeng saja....! kata Han Han kagum.

‘Memang seperti dongeng, dan bukan hanya nama Koai-lojin itu saja pernah didongengkan suhu. Menurut suhu, dunia kang-ouw pada jaman sukong masih muda, lebih seratus tahun yang lalu, atau bahkan dua ratus tahun yang lalu, memang seperti dongeng karena, menurut suhu pada waktu itu hidup tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian silat seperti dewa saja! Suma-sukong sudah hebat kepandaiannya, akan tetapi Ayah Sukong kabarnya lebih luar biasa lagi dan tokoh-tokoh di jaman itu malah banyak yang memiliki ilmu silat aneh-aneh. Yang amat terkenal kabarnya adalah pendekar sakti Suling Emas yang kabarnya menerima ilmu-ilmunya dari manusia dewa Bu Kek Siansu!!

‘Manusia Dewa? Namanya Bu Kek Siansu? Mengapa disebut manusia dewa?!

‘Entahlah. Siapa tahu? Menurut dongeng suhu, ada yang mengabarkan bahwa Koai-lojin kakek aneh itu pun menerima ilmu-ilmu dari manusia dewa itu. Masih ada lagi nama-nama tokoh besar dalam dongeng, seperti pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang sesungguhnya adalah Puteri Ratu Khitan. Antara Mutiara Hitam dan Suling Emas ini masih ada pertalian hubungan keluarga yang dekat, entah bagaimana. Akan tetapi menurut suhu, keluarga Suling Emas ini amat hebat dan menurunkan orang-orang yang sukar dilawan. Suma-sukong yang berkepandaian seperti dewa itu pun masih ada hubungan keluarga, entah bagaimana dengan Pendekar sakti Suling Emas.!

Han Han mendengarkan penuh kekaguman dan melamun. Di dunia ini banyak terdapat orang-orang pandai seperti itu. Kalau dia hanya bersembunyi di In-kok-san saja, mana mungkin ia bertemu dengan orang-orang pandai yang kepandaiannya melebihi tingkat Setan Botak atau Setan Muka Kuda yang kini menjadi gurunya?

‘Heiiii, sute dan sumoi, kenapa kalian enak mengobrol saja? Hayo kita berlatih!! Terdengar seruan Lai Kwan yang datang berlari-lari sambil bergandengan tangan dengan Ciok Lin, menghampiri Kim Cu dan Han Han. Dua orang anak ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dengan muka berseri.

‘Sie Han sute bertanya tentang Suma-sukong dan tokoh-tokoh aneh dalam dongeng yang diceritakan suhu,! kata Kim Cu.

Gu Lai Kwan yang berwatak gembira itu tertawa bergelak dan menepuk-nepuk pundak Han Han. ‘Eh, sute, apakah engkau ingin menjadi seorang yang sakti seperti Suma-sukong? Mana mungkin? Ilmu kepandaian suhu tentu saja kurang cukup mengajarmu menjadi seorang sakti seperti Suma-sukong!!

‘Agaknya baru mungkin kalau engkau mendapat hadiah ilmu-ilmu dari Koai-lojin, sute,! Kim Cu ikut pula menggoda. ‘Atau ketemu dengan manusia dewa Bu Kek Siansu!!

‘Ha-ha-ha!! Lai Kwan tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. ‘Untuk bertemu dengan dewa-dewa dalam dongeng itu, agaknya sute harus berangkat ke nirwana, karena mereka kini tentu telah berada di sana.!

Han Han diam saja dan akhirnya Kim Cu yang menaruh kasihan, menarik tangannya dan berkata menghibur, ‘Sudahlah, sute. Kalau kita belajar dengan tekun di bawah bimbingan suhu, kelak pun kita akan dapat menjadi orang-orang gagah. Siapa orangnya yang tidak ingin menjadi sakti seperti Suma-sukong? Akan tetapi pada jaman ini kiranya tidak akan ada orangnya yang dapat mengajar kita....!

Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh yang sekaligus membuat ucapan Kim Cu terputus.

‘Hih-hih-hih-he-he-he! Dua pasang anak-anak yang elok dan bersemangat! Kalian ingin menjadi seperti Suma Kiat? Akulah orangnya yang akan dapat membimbing kalian menjadi selihai dia, dan mulai saat ini kalian berempat menjadi muridku!!

Empat orang anak itu cepat membalikkan tubuh dan kiranya di depan mereka telah berdiri seorang nenek yang amat aneh. Begitu melihat nenek ini, Kim Cu, Ciok Lin dan Lai Kwan cepat-cepat menjatuhkan diri, berlutut dan mengangguk-angguk penuh hormat sambil menyebut, ‘Sian-kouw....!!

Kim Cu menarik kaki Han Han dan anak ini pun cepat menjatuhkan diri berlutut di samping Kim Cu. Han Han tadi terkejut mendengar sebutan tiga orang temannya, dan dari bawah ia mengerling ke atas penuh perhatian. Nenek itu benar-benar amat aneh dan menyeramkan. Melihat wajahnya yang kurus penuh keriput, masih dapat diduga bahwa dahulunya dia tentu seorang wanita cantik sekali. Kini muka itu penuh keriput, rambutnya sudah putih semua terurai ke belakang dan disisir rapi, mukanya bersih dan diselimuti bedak putih, mulut yang tak bergigi lagi itu kelihatan tersenyum selalu, senyum mengejek dan memikat.

Yang hebat adalah kedua telinganya. Kedua telinga ini dihias dengan rantai besar dari perak, yang kanan agak pendek terdiri dari sembilan lingkaran mata rantai, yang kiri dua kali lebih panjang. Mata rantainya besar-besar seperti gelang tangan dan setiap kali kepalanya bergoyang, terdengarlah suara gemerincing yang amat nyaring. Tubuhnya yang kecil langsing itu masih seperti tubuh wanita muda, memakai pakaian dari sutera yang mahal dan mewah sungguhpun potongannya ketinggalan jaman.

Di tangan kanannya tampak sebuah guci arak yang mengeluarkan bau harum dan amat keras. Muka yang putih keriputan itu agak merah di kedua pipi dan di pinggir mata, tanda bahwa nenek itu dalam keadaan terpengaruh hawa arak!

‘Hi-hi-hik, aku suka mendengar semangat kalian! Aku akan mengajar kalian menjadi seperti Suma Kiat! Hi-hik, yang dua laki-laki akan menjadi seperti Suma Kiat, dan yang dua perempuan akan menjadi seperti aku di waktu muda. Hebat!! Tiba-tiba nenek itu lalu berpaling ke arah pondok dan suaranya melengking nyaring,

‘Heiiiii, Siangkoan Lee....! Ke sinilah kamu....!! Ketika berseru memanggil ini, sikap Si Nenek Tua seperti seorang puteri memanggil hambanya, kemudian ia menenggak araknya dari guci arak, caranya minum arak dengan menggelogok begitu saja dan kasar sehingga ada dua tiga tetes arak tumpah dari ujung bibirnya.

‘Teecu datang menghadap....!! Suara ini bergema dan datangnya dari arah pondok disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu Ma-bin Lo-mo sudah berada di situ, berdiri membungkuk penuh hormat kepada nenek tua itu.

‘Harap Sian-kouw sudi maafkan, karena tidak tahu akan kedatangan Sian-kouw, maka teecu terlambat menyambut.! Sikap dan kata-kata Si Muka Kuda benar- benar amat menghormat, seperti seorang murid terhadap ibu gurunya. Hal ini saja sudah menjadi bukti bagi Han Han yang amat memperhatikan sejak tadi bahwa nenek aneh ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, jauh lebih hebat daripada kepandaian Si Muka Kuda. Teringat ia akan cerita Kim Cu bahwa nenek ini berjuluk Toat-beng Ciu-sian-li (Dewa Arak Pencabut Nyawa)!

‘Siangkoan Lee, aku datang untuk memberitahukan hal penting kepadamu. Akan tetapi lebih dulu aku beritahukan bahwa empat orang anak ini, dua pasang yang elok, mulai saat ini menjadi murid-muridku dan aku sendiri yang akan mendidik mereka menjadi Suma Kiat kecil dan Bu Ci Goat kecil!!

Ma-bin Lo-mo mengangguk. ‘Terserah kepada Sian-kouw dan hal itu hanya berarti bahwa nasib mereka ini amatlah baik.!

‘Karena mereka telah menjadi murid-muridku yang akan kudidik dan latih di tempatmu ini, maka mereka bukan orang lain dan biar mereka ikut mendengarkan. Siangkoan Lee, engkau harus cepat-cepat bersiap karena kini pemerintah Boan (Mancu) sudah mulai berusaha mencari Pulau Es. Celakalah kalau sampai kita kedahuluan mereka! Semua orang gagah juga sudah sibuk dan sudah dimulai lagi perlombaan mencari Pulau Es yang sudah puluhan tahun dianggap lenyap dari permukaan laut itu.!

Ma-bin Lo-mo mengerutkan keningnya dan wajahnya berubah keruh.

‘Ah, apa saja yang tidak dilakukan anjing-anjing penjajah itu! Dan sudah tentu Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi pelopor, menjadi anjing penjilat penjajah.!

‘Soal Gak Liat mudah saja. Kalau aku turun tangan, apakah dia masih berani banyak cakap lagi? Yang penting sekarang engkau harus dapat meneliti gerak mereka. Pemerintah baru ini telah membangun sebuah kapal besar. Maka engkau cepat pergilah melakukan persiapan, mencari anak buah dan mengusahakan sebuah perahu besar. Kalau mungkin supaya dapat mulai bekerja sehabis musim semi, jadi paling lama dua bulan lagi.!

Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk.

‘Sudahlah, kau boleh membuat persiapan dan aku akan mulai mengajar kouw-koat (teori silat) kepada empat muridku yang tampan-tampan dan manis-manis. Pondok terbesar untuk aku dan murid-muridku!! kata pula Si Nenek.

Ma-bin Lo-mo kembali mengangguk-angguk lalu berkelebat pergi. Nenek itu lalu melangkah ke arah pondok besar sambil memberi isyarat dengan lirikan mata dan senyum yang dahulunya, puluhan tahun yang lalu, tentu akan amat manis tampaknya, akan tetapi sekarang kelihatan menyeramkan seperti kalau orang melihat seorang gila tersenyum-senyum. Empat orang anak itu saling pandag, kemudian Kim Cu yang agaknya paling tabah, juga di antara mereka berempat dialah murid yang tertua dalam kedudukan, memberi tanda dengan anggukan kepala. Tiga orang adik seperguruannya lalu bangkit dan bersama dia mengkuti nenek itu memasuki pondok.

‘Kalian semua sudah pernah disumpah, bukan?! tanya nenek ini setelah dia duduk di atas pembaringan di dalam pondok, sedangkan empat orang muridnya itu berlutut di atas lantai.

Empat orang anak itu mengangguk.

‘Syarat-syarat dan hukum-hukumnya tidak berubah, hanya kini akulah guru kalian dan aku pula yang akan menjalankan keputusan hukum terhadap setiap pelanggaran. Biarpun kalian menjadi muridku, namun kalian harus tetap menyebut Sian-kouw dan kelak tidak ada yang boleh menyebut namaku sebagai guru. Pelanggaran ini akan dihukum dengan pemenggalan kepala. Tahu?!

Empat orang anak itu mengangguk-angguk kembali akan tetapi di hatinya Han Han mengomel. Guru macam apa ini? Tidak mau diaku sebagai guru. Mana pertanggungan jawabnya? Timbullah rasa tidak suka di hatinya, akan tetapi karena ia tahu bahwa nenek itu lihai sekali dan dia mulai suka mempelaiari ilmu-ilmu yang aneh-aneh seperti tokoh-tokoh dalam dongeng yang ia dengar dari Kim Cu, maka ia pun menyimpan saja perasaan tak senang itu dalam hatinya.

‘Gerak silat boleh kalian latih terus seperti yang telah kalian pelajari dari Siangkoan Lee. Yang penting, aku akan mengajarkan kalian menghimpun sin-kang, karena dengan kuatnya sin-kang di tubuh, maka kalian akan dapat melatih segala macam ilmu silat dengan mudah. Lihatlah aku! Aku sudah berusia seratus delapan puluh tahun paling sedikit! Akan tetapi lihat wajahku. Masih muda dan cantik, bukan?!

Nenek itu menggoyang-goyang muka ke kanan kiri agar murid-muridnya dapat melihat mukanya dari berbagai jurusan. Kemudian ia bangkit berdiri di atas pembaringan sambil bertolak pinggang dan menggoyang-goyang pinggangnya ke kanan kiri sambil berkata,

‘Lihat pula tubuhku. Masih seperti seorang dara remaja, bukan? Nah, inilah berkat kekuatan sin-kang yang hebat!! Ia duduk kembali. Han Han tertawa geli di dalam hatinya. Celaka, pikirnya, biarpun lihai, kiranya guru yang baru ini seorang yang miring otaknya!

‘Golongan kami mengutamakan Im-kang, karena itulah maka Siangkoan Lee menciptakan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung tenaga Im-kang. Jangan kalian memandang rendah sin-kang dingin ini, karena kalau sudah dapat menguasai dengan sempurna, kalian akan dapat membunuh setiap orang lawan hanya dengan sebuah pukulan. Sekaii pukul, biarpun targan tidak mengenai tubuh lawan, cukup membuat darah di tubuh lawan membeku, jantungnya berhenti berdenyut dan tentu dia mampus seketika. Lihat baik-baik ini!!

Nenek itu mengangkat cawannya dan menuangkan arak ke mulut, terus ditelan. Kemudian mulutnya menyemburkan ke atas dan.... berdetakanlah butir-butir es keluar perutnya melalui mulut, bertebaran di atas lantai!

‘Im-kang yang sudah amat kuat dapat membuat air panas seketika menjadi butiran es, dapat membuat air membeku, juga darah di tubuh lawan dapat dibikin beku dengan pukulan yang mengandung Im-kang kuat. Nah, sekarang kalian harus mulai belajar samadhi untuk menghimpun Im-kang.!

Setelah memberi pelajaran teori tentang ilmu silat dan samadhi, nenek itu lalu meninggalkan empat orang muridnya di dalam pondok dengan perintah bahwa mereka harus berlatih samadhi dan tidak boleh berhenti sebelum diperintah!

Dan ternyata kemudian bahwa nenek itu tidak memerintahkan empat orang muridnya menghentikan latihan siulian sebelum dua hari dua malam! Dapat dibayangkan betapa hebatnya penderitaan mereka. Bagi Han Han hal seperti itu biasa saja karena memang dalam tubuh anak ini terdapat suatu kelebihan yang tidak wajar, dan dia memiliki kemauan yang luar biasa pula.

Akan tetapi tiga orang temannya amat sengsara. Biarpun begitu, Kim Cu dan teman-temannya tidak ada yang berani melanggar karena mereka maklum betapa kejamnya hukuman bagi pelanggar.

‘Bagus, kalian memang patut menjadi muridku!! Demikian nenek itu memuji dengan suara gembira. Dan sesungguhnya nenek itu sama sekali bukan ingin menyiksa empat orang murid barunya, melainkan hendak menguji mereka. Setelah memberi kesempatan mereka makan dan mengaso, nenek itu mulai memberi penjelasan tentang latihan samadhi yang akan dapat menghimpun sin-kang mereka, bahkan ia sendiri turun tangan ‘mengisi! mereka dengan sin-kangnya untuk membuka jalan darah mereka seorang demi seorang.

Akan tetapi ketika tiba giliran Han Han nenek itu terkejut setengah mati. Seperti tiga orang murid lain, Han Han disuruhnya duduk bersila dan dia lalu menempelkan tangannya pada punggung anak itu, lalu mengerahkan Im-kang untuk disalurkan ke dalam tubuh anak itu, membantu anak itu agar dapat membangkitkan tan-tian yang berada di dalam pusar.

Harus diketahui bahwa setiap manusia mempunyai tan-tian ini, yang merupakan pusat bagi tenaga dalam di tubuh manusia ini. Hanya bedanya, tanpa latihan maka tan-tian ini akan menjadi lemah dan tidak dapat dipergunakan, hanya melakukan tugas menjaga tubuh manusia dari dalam, bekerja, diam-diam menciptakan segala macam obat yang diperlukan oleh tubuh manusia.

Namun dengan latihan samadhi dan peraturan napas dengan cara tertentu, tan-tian menjadi kuat dan hawa sakti akan timbul dan dapat dikuasai. Nenek itu mengerahkan Im-kang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia merasa betapa Im-kang yang ia salurkan itu tiba-tiba ‘macet! dan berhenti penyalurannya.



Bab 8

‘Aihhhhh....! Di mana kau belajar mengerahkan sin-kang untuk melawanku?!

Han Han juga kaget. Cepat ia menyimpan kembali hawa yang timbul secara otomatis dan di luar kesadarannya itu sambil berkata,

‘Maaf, Sian-kouw. Teecu hanya pernah belajar dari Lauw-pangcu dan dari Suhu Siangkoan Lee.!

‘Hemmm, kau jauh lebih kuat dari saudara-saudaramu. Sekarang kosongkan tubuhmu dan jangan melawan.!

Han Han merasa tersiksa sekali. Berbeda dengan Kim Cu dan teman-teman lain yang pada dasarnya belum memiliki sin-kang dan yang dapat menerima Im-kang yang tersalur dari nenek itu secara wajar, dia merasa betapa tubuhnya dijalari hawa dingin yang seolah-olah hendak meremukkan tulang-tulangnya. Ia memaksa diri tidak melawan akan tetapi ketika Im-kang itu menyusup sampai ke pusarnya, otomatis hawa sakti di pusarnya bergerak dan menolak.

‘Nah, latihlah dengan tekun. Engkau masih belum dapat menguasai tenagamu sendiri.! Akhirnya nenek itu berkata setelah memberi penjelasan kepada empat orang muridnya. Cara nenek ini melatih sungguh amat jauh bedanya dengan cara Ma-bin Lo-mo melatih murid-muridnya. Nenek ini melatih secara langsung dan kemajuan yang diperoleh empat orang murid ini memang cepat dan hebat. Akan tetapi bagi Han Han, latihan yang diperolehnya ini amat menyiksa dan ia tidak pernah berhasil karena selalu terjadi pertentangan dan perlawanan dalam tubuhnya antara hawa Im dan hawa Yang.

Hawa Yang dia peroleh dari latihan diam-diam ketika ikut Kang-thouw-kwi. Dan cara nenek ini memberi contoh melatih siulian juga amat jauh bedanya dengan yang diberikan Lauw-pangcu dan yang ia baca dari kitab-kitab. Misalnya tentang pemusatan pikiran. Lauw-pangcu mengajarnya untuk bersamadhi dengan memusatkan pikiran pada pernapasannya sendiri, yang oleh Lauw-pangcu disebut bersamadhi sambil menunggang naga sakti. Yang diumpamakan naga sakti adalah pernapasan sendiri yang keluar masuk melalui hidung, dengan napas panjang-panjang sesuai dengan aturan bernapas dalam samadhi.

Latihan ini dapat membuat pikirannya terpusat sehingga akhirnya dapat membuat ia mudah menguasai pribadinya sehingga terbukalah jalan untuk menghimpun tenaga sakti di dalam tubuhnya. Sungguhpun cara yang dipergunakan Lauw-pangcu ini berbeda dengan cara-cara yang ia kenal dari kitab kuno, namun tidaklah menyimpang.

Banyak cara yang terdapat dalam kitab-kitab tentang pelajaran samadhi, sesuai dengan kebiasaan dan agama yang mengajarkan soal samadhi. Kaum beragama To menganjurkan agar dalam samadhi, orang selalu menujukan pikirannya kepada Thai-siang-lo-kun dengan mantera yang disebut berulang kali :

Gwan-si-thian-cun. Thong-thian-kauw-cu, Thai-siang-lo-kun. Bagi yang beragama Buddha menujukan pikirannya kepada Sang Buddha dan membaca mantera : Lam-bu-hut, Lam-bu-kwat, Lam-bu-ceng. Dan bagi para pemuja Khong-cu menujukan pikiran kepada Thian dengan mantera : Hwi-le-but-si, Hwi-le-but-thing, Hwi-le-but-gan, Hwi-le-but-thong. Kesemuanya itu untuk mencegah agar panca inderanya jangan melantur, agar pikiran jangan menyeleweng sehingga dapat dipusatkan.

Akan tetapi yang diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li lain lagi. Nenek ini menasehatkan agar murid-muridnya dalam bersamadhi mengikuti saja ke mana jalan pikirannya melayang, kemudian kalau sudah mendapat sesuatu yang disenangi, terus-menerus memikirkan hal ini, tidak peduli hal ini dianggap baik atau pun buruk.

‘Kalau engkau suka membayangkan tubuh seorang wanita telanjang dan kau menikmati bayangan itu, tujukan pikiranmu ke situ! Kalau engkau menaruh dendam kepada seseorang dan bayangan orang itu selalu tampak, tujukan pikiranmu mengingat dendammu!

Yang penting tujukanlah pikiran kepada hal yang menjadi perhatian pikiranmu dan demi kesenangan hatimu. Dengan demikian engkau akan dapat menguasai pikiranmu.!

Memang cara yang aneh, akan tetapi sesungguhnya jauh lebih mudah dilaksanakan daripada ajaran-ajaran yang lain karena memang pikiran itu amat sukar dikendalikan. Justeru pelajaran nenek itu tidak mengharuskan si murid mengendalikan pikiran, bahkan disuruh membebaskan pikiran ke mana ia melayang!

Tanpa disadarinya, mulailah Han Han tenggelam makin dalam ke cara-cara kaum sesat mengejar ilmu silat dan kesaktian. Dan memang cara yang dipergunakan kaum sesat ini lebih menarik dan lebih mudah dilaksanakan. Makin sering Han Han melatih diri secara ini, makin sukarlah baginya kalau ia hendak memusatkan pikiran melalui atau menggunakan cara-cara kaum bersih seperti yang ia baca dalam kitab atau seperti yang pernah ia latih dibawah bimbingan Lauw-pangcu.

Sebulan lewat dengan cepat. Sin-cia atau perayaan menyambut musim semi tiba. Murid-murid In-kok-san diberi kebebasan selama tiga hari untuk pergi ke mana mereka suka. Mereka malah diberi pakaian-pakaian baru dan diberi bekal uang untuk berfoya-foya ke bawah gunung. Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri sedang sibuk mempersiapkan perahu besar untuk melaksanakan tujuan yang diperebutkan kaum kang-ouw, yaitu mencari Pulau Es yang terahasia. Juga Toat-beng Ciu-sian-li tidak tampak di puncak In-kok-san, entah ke mana perginya tidak ada orang mengetahui.

Han Han tadinya diajak oleh Kim Cu untuk berpesiar ke kaki gunung sebelah selatan. Akan tetapi Han Han menolaknya dan seorang diri ia turun dari puncak menuju ke utara. Keadaannya kini jauh bedanya dengan hampir setahun yang lalu. Setahun yang lalu ia berpakaian compang-camping penuh tambalan seperti pakaian seorang pengemis. Akan tetapi kali ini pakaiannya indah dan bersih, rambutnya tersisir rapi dan diikat di atas kepala.

Usianya sudah tiga belas tahun dan ia kelihatan tampan dan gagah. Tubuhnya tegap dan berisi, membayangkan kekuatan. Han Han kelihatan seperti seorang kongcu muda yang berpesiar seorang diri, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum-senyum. Berjalan seorang diri, timbul pula kegembiraan hatinya karena ia merasa bebas lepas seperti burung di udara.

Ia melakukan perjalanan menuruni bukit dan menjelang senja ia sudah berada jauh di sebelah utara kaki bukit. Dengan hati gembira Han Han memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Seperti juga kota-kota dan dusun lain pada hari itu, penduduk dusun itu merayakan hari raya Sin-cia dengan meriah. Apalagi dusun itu merupakan dusun kaum petani. Musim semi merupakan musim yang dinanti-nanti dan dicinta, karena musim ini menjadi harapan para petani agar mendatangkan kemakmuran bagi mereka. Musim semi adalah musim bercocok tanam, maka disambutlah musim semi sebagai menyambut seorang dewa yang membagi-bagikan rejeki kepada mereka.

Menyaksikan kegembiraan dan kemeriahan dusun itu, Han Han menjadi gembira sekali. Wajah semua orang nampak berseri, terutama sekali anak-anak berpakaian serba baru kelihatan riang gembira, berlari-larian dan bermain-main setelah perut mereka terisi kenyang dengan hidangan-hidangan istimewa, tangan mereka membawa main-mainan yang dihadiahkan oleh orang tua mereka.

Akan tetapi betapa heran hati Han Han ketika ia melalui sebuah rumah gedung yang berpekarangan lebar, ia mendengar suara anak perempuan menangis! Suara tangis ketakutan disusul bentakan-bentakan suara laki-laki kasar dan parau. Saking herannya, apalagi karena hatinya tergerak penuh rasa iba kepada anak yang menangis, Han Han lupa diri dan memasuki pintu gerbang pekarangan itu. Padahal kalau dalam keadaan biasa, ia tidak akan berani melakukan hal yang tidak sopan ini, memasuki tempat kediaman orang tanpa ijin!

Begitu memasuki pintu gerbang, alis Han Han berkerut. Ia melihat seorang gadis cilik, paling banyak sepuluh tahun usianya, berpakaian compang-camping penuh tambalan, sedang berdiri dan menangis, menyusuti air mata yang membasahi kedua pipi yang pucat dengan jari-jari tangannya yang kotor. Seorang laki-laki yang bermuka kejam, berpakaian sebagai seorang jago silat atau seorang tukang pukul, berdiri dengan muka merah di atas anak tangga, tangan kanan bertolak pinggang di atas sebatang golok besar yang tergantung di pinggang, tangan kiri menuding-nuding dengan marahnya sambil membentak-bentak.

‘Maling cilik! Bocah hina! Kalau tidak lekas minggat, kuhancurkan kepalamu!!

Anak itu menggigil seluruh tubuhnya. ‘Aku.... tidak mencuri apa-apa....!

‘Tidak mencuri, ya? Kau hendak maling buah dan bunga, masih berani bilang tidak mencuri? Mau apa kau memanjat pohon ang-co (korma) tadi?!

‘Aku.... aku ingin makan buahnya.... dan ingin memetik sedikit bunga, masa tidak boleh?!

‘Setan alas! Masih banyak membantah?! Laki-laki itu lalu melangkah maju dan mencengkeram baju anak perempuan itu. Sekali ia menggerakkan tangan kiri yang mencengkeram, tubuh anak itu terangkat ke atas. Anak itu terbelalak ketakutan memandang wajah yang begitu bengis menakutkan, yang amat dekat dengan mukanya.

Mata anak perempuan itu amat lebar, dan karena muka dan tubuhnya kurus, mata itu kelihatan makin lebar.

Tiba-tiba laki-laki itu menyeringai. ‘Eh, engkau cantik juga, ya? Mukamu manis, kulitmu halus putih....! Hemmm, sayang engkau masih begini kecil, dan kurus....! Kini tangan kanan laki-laki itu meraba-raba ke dada anak yang tergantung itu secara kurang ajar. ‘Ah, masih terlalu kecil.... kalau kau lebih besar dua tahun lagi, hemmm.... hebat juga....!!

‘Lepaskan aku....! Lepaskan....!! Anak itu meronta-ronta.

‘Ha-ha, tentu saja kulepaskan kau. Minggat!! Laki-laki itu lalu melontarkan tubuh itu ke arah pintu gerbang.

Han Han cepat menggerakkan tubuh dan menangkap tubuh anak perempuan itu. Ia lalu menurunkan tubuh anak perempuan yang menggigil ketakutan dan menangis itu, kemudian melangkah maju sambil memandang laki-laki yang kejam tadi dengan sinar mata penuh kebencian.

‘Kau manusia berhati keji, pengecut rendah yang hanya berani menghina anak perempuan kecil!! Han Han memaki.

Laki-laki itu terbelalak heran dan kaget ketika melihat tubuh anak perempuan itu tahu-tahu disambar oleh seorang pemuda tanggung. Melihat pakaian pemuda itu, laki-laki yang bekerja sebagai pengawal dan tukang pukul di gedung itu mengira bahwa Han Han adalah putera seorang berpangkat atau hartawan, maka ia berkata.

‘Kongcu siapakah dan hendak mencari siapa? Harap jangan pedulikan gembel busuk ini!!

‘Keparat! Hayo lekas berlutut dan mohon ampun kepadanya!! Han Han menuding ke arah anak itu.

Merah muka si tukang pukul. ‘Apa? Engkau siapa?!

‘Aku seorang pelancong yang kebetulan lewat dan menjadi saksi kekejamanmu.!

‘Wah-wah, lagaknya. Habis, kau mau apa kalau aku tidak mau minta ampun?! Tukang pukul itu mengejek dan berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Tentu saja ia memandang rendah pemuda tanggung yang kelihatan lemah ini.

‘Kalau tidak mau, aku akan memaksamu!!

‘Ha-ha-ha! Engkau bosan hidup? Baik, mampuslah!!

Tukang pukul yang mengandalkan kekuatan dan ilmu silatnya ini sudah menerjang maju dengan sebuah tendangan kilat ke arah dada Han Han. Melihat gerakan orang itu masih amat lambat, Han Han tidak menjadi gugup. Ia mengatur langkah, menggerakkan tubuhnya miring mengelak dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ia hantamkan ke arah kaki yang menendang.

‘Krakkk....! Aauggghhh....!! Tubuh laki-laki itu terpelanting dan ia meringis kesakitan karena tulang betisnya telah patah!

‘Tidak lekas minta amppn?! Han Han membentak dan di dalam hatinya anak ini merasa puas. Wajah laki-laki itu baginya seolah-olah berubah menjadi wajah perwira muka kuning dan muka brewok, dan anak perempuan itu mengingatkan ia akan cicinya dan juga ibunya yang sudah diperhina dan diperkosa perwira-perwira tadi.

‘Setan kecil!! Tukang pukul itu tentu saja tidak mau terima dan biarpun kakinya terasa nyeri, ia sudah meloncat bangun, golok besar terpegang di tangannya. Sambil menggereng seperti harimau terluka ia meloncat terpincang-pincang, menggunakan goloknya membacok. Biarpun dia pandai ilmu silat, akan tetapi ilmu silatnya hanyalah ilmu silat tukang pukul rendahan, sedangkan Han Han biarpun tidak pandai silat namun dia telah dibimbing oleh orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Dengan mudah Han Han mengelak dan kini karena dorongan hawa marah, tangan kanannya memukul ke arah kepala orang itu.

‘Prokkk....!! Tubuh orang itu terbanting, goloknya terlempar dan kepalanya pecah! Di luar kesadarannya, Han Han yang amat marah itu telah menggunakan tenaga yang timbul karena latihan Hwi-yang Sin-ciang! Dia terbelalak dengan muka pucat, sejenak seperti arca memandang ke arah mayat orang itu yang menggeletak dengan kepala pecah, muka penuh darah, amat mengerikan.

Tiba-tiba ia mendengar tangis terisak-isak. Cepat ia menoleh dan melihat betapa anak perempuan gembel itu menangis, menggosok-gosok kedua matanya seolah-olah hendak menyembunyikan penglihatan yang menimbulkan takut di hatinya. Han Han tersadar bahwa dia telah membunuh orang, dan tentu akan berakibat hebat. Maka ia cepat meloncat, mendekati anak perempuan itu, menyambar tangannya dan diajaknya anak itu berlari.

‘Hayo kita cepat pergi dari sini!! bisiknya

Berlari-larianlah kedua orang ansk itu keluar dari dalam dusun. Penduduk dusun yang sedang berpesta-ria merayakan hari Sin-ciag tidak ada yang mempedulikan mereka karena memang dalam suasana pesta seperti itu, tidak mengherankan melihat dua orang anak itu berlari-larian yang mereka anggap sebagai dua orang anak yang sedang bergembira dan bermain-main. Keganjilan melihat seorang anak laki-laki berpakaian utuh dan baik belari-lari menggandeng tangan seorang anak perempuan yang pakaiannya seperti anak gembel, tidak terasa pada saat itu.

‘Aduhhh.... aduhhh.... kakiku.... aahhh, berhenti dulu.... napasku mau putus....!! Anak perempuan gembel itu menangis dan merintih-rintih, kakinya terpincang-pincang dan ia tersaruk-saruk ketika diseret oleh gandengan tangan Han Han yang lupa diri dan mempergunakan ilmu lari cepat.

Mereka telah tiba jauh di luar dusun, di tempat sunyi. Han Han berhenti dan melepaskan tangan anak itu. Anak perempuan itu lalu menjatuhkan diri saking lelahnya, duduk dan memijit-mijit kedua kakinya sambil menangis. Han Han berdiri memandangnya.

‘Engkau bocah cengeng benar!! katanya dengan suara gemas, akan tetapi sebenarnya, hatinya penuh rasa iba terhadap anak ini. Teringat ia akan keadaannya sendiri dahulu, yang menjadi seorang gembel berkeliaran tanpa teman.

Anak perempuan itu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya lebar sekali, lebar dan jeli, memandang dengan sinar mata polos ke wajah Han Han, air matanya menetes turun ke atas pipi, kemudian terdengar ia berkata,

‘Apakah engkau juga akan membunuhku?!

Melihat sepasang mata itu, seketika timbul rasa suka di hati Han Han, rasa suka dan kasihan. Wajah dan sikap serta kata-kata anak ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang bocah dusun biasa. Hanya pakaiannya yang gembel, tapi anaknya sendiri tidak patut menjadi gembel. Han Han segera ikut pula duduk di atas rumput dekat anak itu.

‘Tentu saja tidak! kau ini siapa? Di mana rumahmu? Siapa orang tuamu dan mengapa engkau berkeliaran di dusun itu dalam keadaan seperti anak gembel?!

Mendengar pertanyaan ini, anak itu menutupi mukanya dan menangis lagi, kini menangis sesenggukan. Han Han menghela napas dan menggeleng-geleng kepala. Ia sebenarnya jengkel melihat anak ini perengek benar, akan tetapi karena dia pernah mengalami hal-hal yang amat pahit dalam hidupnya, ia dapat memaklumi keadaan anak ini dan bersikap sabar. Ia membiarkan anak itu menangis, kemudian setelah tangis itu agak reda, ia berkata.

‘Sudahlah, jangan bersedih. Engkau hidup sebatangkara, bukan? Kehilangan keluargamu?!

Anak itu mengangguk, pundaknya bergoyang-goyang karena isaknya.

‘Nah, aku pun sebatangkara, aku pun kehilangan keluarga. Biarlah mulai sekarang engkau menjadi adikku, dan aku menjadi kakakmu. Dengan begitu, kita masing-masing mendapatkan seorang saudara, bukan?!

Anak perempuan itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Han Han dengan mata merah dan muka basah. Sejenak mereka berpandangan, anak itu seolah-olah hendak menyelidiki kesungguhan hati Han Han dengan sinar matanya yang bening. Han Han tersenyum.

‘Maukah engkau menjadi Adikku?!

Anak itu mengangguk perlahan, kemudian tersenyum pula, senyum di antara isak tangis. Dan hati Han Han makin suka kepada anak ini. Tidak hanya sepasang matanya yang indah bening dan lebar, juga senyumnya membuat sinar matahari menjadi makin cerah!

‘Engkau menjadi Adikku dan kusebut engkau Moi-moi, sedangkan kau menyebut aku Koko, namaku Han Han, she Sie. Nah, Moi-moi, sekarang ceritakan, siapakah namamu dan bagaimana kau sampai sebatangkara dan tiba di tempat ini?!

Sejenak anak itu memandang Han Han dengan mata terbuka lebar, kemudian tiba-tiba ia menubruk dan merangkul Han Han, menangis di atas dada Han Han. Kali ini ia menangis keras, sampai tersedu-sedu. Dan mulut yang kecil itu berbisik, setengah mengerang atau merintih.

‘Koko.... Han-ko (Kakak Han).... Koko....!!

Han Han menjadi terharu. Ia mengerti bahwa anak perempuan ini sekarang menangis karena mendapat hiburan yang amat mendalam, menyentuh hatinya seolah-olah anak yang tadinya terombang-ambing dipermainkan ombak sehingga dalam keadaan ketakutan dan kengerian selalu, tiba-tiba mendapatkan pegangan yang dapat dijadikan penyelamat. Maka tak terasa lagi Han Han mengedip-ngedipkan kedua matanya agar matanya yang mulai menjadi panas tidak sampai menjatuhkan air mata. Setelah tangis anak itu mereda, ia lalu memegang kedua pundaknya, mendorong muka dari dadanya, memandangnya dan berkata.

‘Moi-moi yang baik, sekarang katakan, siapa namamu?!

‘Lulu....!

Han Han tercengang. ‘Eh, namamu lucu sekali! Lulu? Ayahmu she apa?!

‘Ayahku seorang pembesar Mancu di kota raja....!

‘Haaahhh....?! Han Han benar-benar merasa kaget sekali dan ia memandang wajah Lulu dengan mata terbelalak. Dia ini anak Mancu? Anak pembesar Mancu?

‘Ayahmu seorang perwira Mancu?! tanyanya seperti dalam mimpi dan terbayanglah wajah perwira muka kuning. Suaranya mengandung kebencian dan terdengar ketus dan dingin. Kedua tangannya yang masih memegang pundak Lulu mencengkeram.

Lulu terkejut dan meringis kesakitan. Cengkeraman itu tidak terlalu erat, namun cukup menyakitkan. ‘Ada apakah, Han-ko....?!

Akan tetapi Han Han sudah mendorong tubuh anak itu sehingga terjengkang dan bergulingan. Anehnya, sekali ini Lulu malah tidak menangis, melainkan merangkak bangun dan berdiri menghadapi Han Han dengan matanya yang lebar itu terbelalak.

‘Ko-ko, engkau kenapa?!

‘Aku benci orang Mancu!! bentak Han Han sambil membalikkan tubuhnya membelakangi anak itu karena sesungguhnya hatinya penuh penyesalan mengapa ia telah memperlakukan Lulu seperti itu. Melihat sepasang mata itu, ia tidak dapat menahan dan membalikkan tubuh. Lulu lari menghampiri dan memegang lengan Han Han, sinar matanya yang tajam dan polos itu menjelajahi wajah Han Han penuh pertanyaan.

‘Kenapa, Han-ko? Apakah kau membenci aku juga? Engkau begitu baik....!

‘Benci, ya, benci! Aku benci semua orang Mancu!!

‘Tapi, kenapa....? Tentu ada alasannya. Apakah engkau.... pemberontak?!

Kalau bukan Lulu yang ia hadapi, tentu ia sudah meninggalkan anak itu, pergi dan tidak sudi bicara lebih banyak lagi. Akan tetapi pandang mata itu seperti mengikutinya, membuat ia tidak dapat pergi, bahkan kini ia menjawab sebagai penjelasan sikapnya.

‘Orang tuaku dibunuh, keluargaku dibasmi oleh orang-orang Mancu! Maka aku benci orang Mancu.!

‘Membenci aku juga?!

‘Kalau kau orang Mancu, ya!!

‘Tapi aku Adikmu!!

‘Aku tidak sudi mempunyai Adik seorang Mancu.!

Tiba-tiba Lulu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han, lalu memeluk kedua kakinya. Ia tidak menangis, tapi muka pucat sekali dan Lulu berkata dengan suara gemetar.

‘Han-ko, jangan.... jangan membenci aku. Aku Adikmu.... jangan membenci aku. Aku Adikmu...., dan aku akupun sebatangkara. Ayah bundaku, biarpun orang-orang Mancu, mengalami nasib yang sama dengan orang tuamu. Ayah bundaku dibunuh orang, keluargaku dibasmi, dan aku dilepas oleh orang-orang itu hanya dengan maksud agar aku menderita, agar aku menjadi seorang gembel. Malah pakaianku ditanggalkan lalu aku dipaksa memakai pakaian gembel....! Yang melakukan pembasmian keluargaku adalah pemberontak-pemberontak, para pengemis pemberontak, dan dan.... mereka adalah sebangsamu. Akan tetapi.... aku tidak membenci semua orang pribumi, tidak membenci engkau, Koko!!

Han Man tertegun mendengar ini. Ia menunduk dan memandang wajah yang tengadah itu dan ia percaya. Kenyataan bahwa gadis cilik yang dibasmi keluarganya ini tidak membenci semua orang yang sebangsa dengan mereka yang membasmi keluarganya, menusuk perasaannya. Memang sungguh tidak adil kalau dia membenci semua orang Mancu, apalagi gadis cilik ini yang tidak tahu apa-apa. Mereka berdua hanyalah menjadi korban perang yang kejam dan jahat.

‘Maafkan aku, Moi-moi....! Ia berkata dan menarik bangun Lulu yang tiba-tiba terisak lagi sambil memeluk Han Han. Mereka berpelukan dengan perasaan dua orang kakak beradik yang saling menemukan setelah lama berpisah dan hilang. Kemudian Han Han mengajaknya melanjutkan perjalanan memasuki hutan, karena ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka dari dusun. Padahal tidak mungkin akan terjadi demikian karena andaikata orang telah mendapatkan mayat si tukang pukul, siapa yang akan menyangka seorang anak kecil seperti dia yang telah membunuhnya?

‘Lulu-moi, kau bilang tadi bahwa pembasmi keluargamu adalah kaum pengemis?!

Lulu mengangguk sambil berjalan di sisi Han Han. Mereka bergandengan tangan, atau lebih tepat Lulu yang selalu memegang tangan Han Han, agaknya anak ini khawatir sekali kalau-kalau dia ditinggalkan kakak angkatnya ini.

‘Ayah sedang berangkat ke selatan untuk menempati tugas baru di selatan, sekalian memboyong keluarganya, yaitu ibu, dua orang Kakakku, aku sendiri dan para pelayan. Di tengah jalan kami dihadang oleh sekelompok pengemis, terjadi perang dan rombongan Ayah terbasmi semua. Hanya aku seorang yang tidak dibunuh, melainkan ditukar pakaianku dengan pakaian ini dan disuruh pergi. Para pemberentak itu lihai sekali, semua pengawal Ayah dibunuh. Terutama sekali kepalanya, seorang gembel tua yang membawa tongkat butut, tinggi kurus dan rambutnya riap-riapan. Dialah yang membasmi Ayah Ibuku dan kedua Kakakku, akan tetapi dia pulalah yang melarang anak buahnya membunuhku kemudian membebaskan aku. Dia pembunuh Ayah bunda dan Kakakku, aku tidak akan lupa kepadanya, dan sekali waktu aku pasti akan membalas semua ini. Aku tidak akan melupakan kakek gembel yang disebut Lauw-pangcu itu!!

Tiba-tiba kaki Han Han tersandung batu sehingga ia membawa Lulu terseret ke depan, terhuyung hampir jatuh.

‘Hemmm...., dia....?! kata Han Han dengan jantung berdebar. Pembunuh orang tua dan saudara Lulu ini adalah gurunya, guru pertama, Lauw-pangcu!

‘Mengapa? Kau kenal dia Koko?!

‘Ya, begitulah.!

‘Kau hebat, kau lihai, dapat membunuh tukang pukul tadi. Engkau tentu bukan orang sembarangan, Koko. Maukah kau membalaskan sakit hatiku ini terhadap Lauw-pangcu? Aku kan Adikmu. Mau, bukan?!

‘Ah, mudah saja kau bicara, Moi-moi. Untuk dapat membalas musuhmu, juga musuhku, kita membutuhkan kepandaian yang amat tinggi. Marilah engkau ikut bersamaku dan kita belajar sampai menjadi orang-orang pandai, baru kita bicara tentang membalas dendam. Mulai sekarang engkau ikut dengan aku, ke manapun aku pergi.!

Lulu mempererat pegangannya, hatinya terhibur dan ia sudah tersenyum-senyum lagi, wajahnya yang manis berseri dan matanya yang lebar itu bersinar-sinar. ‘Baiklah, Koko. Sampai mati aku tidak mau berpisah darimu.!

Ucapan terakhir ini mengharukan hati Han Han. Mereka melanjutkan perjalanan dan Han Han memutar otaknya. Tidak ada lain jalan lagi. Dia harus membawa Lulu kepada Ma-bin Lo-mo, minta kepada gurunya itu untuk menerima Lulu menjadi murid. Hanya dengan jalan inilah adik angkatnya tidak akan berpisah darinya, dan Lulu akan dapat mempelajari ilmu yang tinggi.

‘Sute....!!

Han Han dan Lulu berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Kim Cu yang memanggil Han Han dan anak perempuan ini datang berlari-lari cepat sekali sehingga Lulu memandang penuh kekaguman. Kim Cu memakai pakaian yanS indah, dan sebuah bungkusan menempel di punggungnya. Wajah yang ayu itu kemerahan karena ia telah berlarian cepat mengerahkan tenaga ketika dari jauh melihat bayangan Han Han.

‘Wah, sute! Setengah mati aku mencarimu!!

‘Ada apakah, suci? Bukankah waktu libur masih sehari lagi sampai besok?!

‘Ada perubahan, sute. Suhu sendiri yang memerintah aku agar menyusulmu. Kita semua harus kembali sekarang juga karena suhu hendak pergi jauh, juga Sian-kouw akan pergi, karena itu kita harus berada di sana. Dan.... eh, siapakah dia ini?! Agaknya karena ketegangan hatinya dan kegembiraannya dapat menemukan orang yang dicari, baru sekarang Kim Cu mendapat kenyataan bahwa di situ ada orang ke tiga, seorang anak perempuan bermata lebar yang berdiri memandangnya penuh kagum dan heran.

‘Aku hendak membawa dia menghadap suhu, agar dapat diterima menjadi murid di In-kok-san.!

‘Wah, agaknya tidak akan mudah, sute. Siapa sih anak ini?!

‘Namanya Lulu, seorang bocah Mancu.... heee, tahan, suci....!!

‘Dukkk!! Tubuh Kim Cu terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulannya ke arah Lulu ditangkis oleh Han Han. Muka Kim Cu menjadi merah, matanya melotot marah.

‘Sute! Apa-apaan ini? Kenapa kau malah melindungi seorang setan cilik Mancu? Melindungi musuh? Biarkan aku membunuh dia!! Kim Cu melangkah maju mendekati Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak ketakutan itu.

‘Tidak, suci. Jangan! Dia ini bukan musuh kita.!

‘Siapa bilang bukan kalau dia seorang setan cilik Mancu? Orang-orang Mancu yang telah membasmi keluargaku, dan keluargamu juga!!

‘Benar, akan tetapi bukan dia ini yang membasmi keluarga kita, suci. Sebaliknya, keluarga Lulu ini pun terbasmi habis oleh bangsa kita, dan Lulu toh tidak menganggap kita sebagai musuhnya. Kita harus berpikir luas dan adil, suci. Kalau seseorang melakukan kesalahan lalu seluruh bangsa orang itu dianggap ikut bersalah, alangkah picik dan tidak adilnya ini! Bangsa apa pun juga di dunia ini pasti mempunyai orang-orang yang jahat, termasuk bangsa kita, suci. Kalau karena kejahatan beberapa gelintir orang-orang itu lalu bangsanya dianggap jahat juga, wah, agaknya dunia ini tidak akan ada bangsa yang baik dan perang akan terus-menerus terjadi. Tidak, suci. Lulu ini bagi kita bukanlah orang jahat, bukan musuh kita biarpun dia anak seorang perwira Mancu.!

Kim Cu termenung. Memang semenjak berdekatan dengan Han Han, dia tahu betapa sutenya ini amat pandai, betapa pikiran sutenya amat luas dan sutenya mengerti akan segala macam urusan dunia. Hanya ilmu silat sajalah yang agaknya tidak begitu diperhatikan sutenya dan tingkat sutenya masih lebih rendah daripada tingkat murid lainnya.

Ucapan Han Han itu berkesan di dalam hatinya dan sekaligus membuat Kim Cu timbul rasa kasihan kepada Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak. Alangkah indahnya mata itu, pikirnya, dan melihat pakaian Lulu begitu buruk, ia makin kasihan dan lenyaplah semua kemarahannya. Memang Kim Cu seorang anak yang jujur dan wataknya bersahaja, mudah pula menguasai perasaan hatinya.

!Agaknya engkau benar dalam hal ini, sute. Akan tetapi engkau salah besar kalau engkau hendak membawa Lulu kepada suhu untuk dijadikan muridnya. Begitu dia bertemu suhu, dia tentu akan langsung dibunuh tanpa banyak cakap lagi. Engkau harus pulang bersamaku dan kau tidak boleh membawanya ke In-kok-san, sute.!

‘Tidak bisa, suci. Kalau dia ini tidak bisa ikut dan akan dibunuh suhu, lebih baik aku tidak kembali ke In-kok-san.!

‘Eh, mengapa begitu? Apamukah bocah ini, sute? Jangan bodoh....!

‘Dia ini Adikku!!

Apa? Adikmu? Anak Mancu ini.... mana mungkin Adikmu....?!

‘Dia betul Adikku, dan aku Kakaknya. Baru saja kami telah bersaudara. Aku sudah berjanji akan melindunginya, tidak akan berpisah lagi. Dia tidak punya siapa-siapa, hanya aku yang telah menjadi kakaknya, suci,! kata Han Han, suaranya tetap.

Wajah Kim Cu menjadi berduka. ‘Sute, kalau kau tidak kembali.... bagaimana dengan aku? Aku akan kehilangan....!

‘Suci, engkau adalah murid In-kok-san, dan engkau mempunyai banyak saudara-saudara seperguruan. Sedangkan Lulu tidak mempunyai siapa-siapa. Dia harus ikut bersamaku, dan pula, sudah berkali-kali aku katakan bahwa aku tidak betah tinggal lebih lama lagi di In-kok-san. Aku akan pergi bersama Adikku ini, suci. Harap suci suka mengingat hubungan baik kita dan membiarkan aku pergi.!

Kim Cu termenung dengan muka sedih. ‘Kalau engkau tidak kembali, suhu akan marah sekali. Terutama sekali Sian-kouw. Lupakah kau bahwa kau telah menjadi murid Sian-kouw? Engkau pasti akan dicari suhu, dan kalau sampai engkau tertangkap.... ah, hukumannya mengerikan, sute.!

‘Kalau melarikan diri dan tertawan, hukumannya potong kaki, bukan?!

Lulu mengeluarkan jerit tertahan. ‘Keji....!!

Kim Cu memandang bocah itu dengan mata marah. ‘Tidak keji. Ini peraturan dan orang yang berdisiplin saja yang akan mendapatkan kemajuan! Sute, engkau sudah tahu akan hukumannya. Maka harap kau jangan pergi.!

‘Biarlah, aku sudah mengambil keputusan. Aku akan melarikan diri bersama Adikku, akan bersembunyi. Kalau sampai tertangkap, terserah. Akan tetapi aku percaya engkau tidak akan mengatakan di mana kau bertemu denganku, suci.!

Kim Cu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. ‘Aku tidak akan memberi tahu, sute. Tapi.... ah....!

‘Sudahlah, suci. Harap suci suka kembali. Aku mau pergi sekarang juga. Marilah, Lulu.!

Kim Cu berdiri dengan muka sedih memandang bayangan dua orang itu yang makin menjauh.

‘Sute....! Tunggu dulu....!! Ia meloncat dan berlari mengejar.

Han Han membalikkan tubuh, alisnya berkerut. ‘Suci, benarkah engkau akan melupakan persahabatan dan hendak menghalangi aku?!

Kim Cu maju dan memegang tangan Han Han. Air matanya menitik turun.

‘Tidak sama sekali, sute. Aku.... aku hanya mengkhawatirkan engkau. Dan dia ini.... ah, setelah dia menjadi Adikmu, mana bisa berpakaian seperti itu? Tunggu dulu....! Gadis cilik ini lalu menurunkan buntalan pakaiannya, mengeluarkan sepasang sepatu cadangan dan satu stel pakaian, diserahkannya kepada Lulu.

‘Lulu, kau pakailah ini agar engkau pantas menjadi adik Sie Han sute.!

Lulu menerima pakaian dan sepatu, memandang terharu, lalu berkata, ‘Enci, kau baik sekali, dan alangkah mendalam cinta kasihmu terhadap Han-koko....!

‘Cihhhhh....! Kanak-kanak bicara tentang cinta! Cinta apa?!

‘Engkau mencinta Han-ko, Enci....!

‘Hush! Sudahlah....!! Suara Kim Cu mengandung isak dan gadis cilik ini lalu membalikkan tubuh dan lari dari situ dengan gerakan yang amat cepat.

Han Han berdiri melongo, memandang bayangan Kim Cu sampai gadis itu lenyap dari pandang matanya, kemudian ia menoleh kepada Lulu dan berkata, ‘Apa kau bilang tadi? Cinta? Cinta bagaimana?!

Lulu tersenyum. ‘Dia sungguh cinta kepadamu, Koko. Dan dia seorang gadis yang baik sekali. Kelak aku akan senang sekali mempunyai seorang soso (kakak ipar) seperti dia.!

‘Eh-eh, gilakah engkau?! Entah bagaimana, sungphpun ia hanya menduga-duga dan hanya mengerti setengah-setengah saja apa yang dimaksudkan Lulu, mukanya menjadi panas dan jantungnya berdebar-debar. ‘Lebih baik lekas pakai pakaian itu dan kita melanjutkan perjalanan.!

Lulu segera bersembunyi di balik semak-semak untuk bertukar pakaian. Ketika ia muncul kembali, Han Han memandang kagum. Benar saja. Lulu ternyata ada lah seorang gadis cilik yang cantik jelita. Setelah kini pakaiannya bersih dan baik, dia menjadi seorang anak yang manis sekali.

‘Kita ke mana, Koko?!

‘Hayo ikut sajalah. Aku ingin ke kota raja, akan tetapi belum tahu jalannya!!

‘Aku datang dari sana, akan tetapi juga tidak tahu jalannya. Di jalan kita nanti tanya-tanya orang, tentu akan sampai juga.!

Maka pergilah kedua anak ini, tergesa-gesa karena Han Han ingin cepat-cepat menjauhkan diri dari In-kok-san. Ia tahu bahwa gurunya, Ma-bin Lo-mo tentu marah sekali dan akan mencarinya, dan kalau yang mengejar dan mencarinya seorang sakti seperti itu, benar-benar tak boleh dibuat main-main. Juga ia tidak berani sembarangan bertanya-tanya pada orang, bahkan menghindari perjumpaan dengan orang-orang agar tidak meninggalkan jejak.

Ia selalu mengambil jalan yang sunyi, keluar masuk hutan, naik turun gunung. Karena perjalanan mengambil jalan yang liar dan sukar ini maka biarpun pakaian yang dipakai Lulu pemberian Kim Cu itu masih bersih dan baik, setelah lewat sebulan mulai robek di pundak dan oleh Lulu ditambal sedapatnya mempergunakan robekan ujung baju yang baginya agak kepanjangan.

Han Han menjadi makin suka kepada Lulu, setelah mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu benar-benar memiliki watak yang menyenangkan. Biarpun usianya baru sembilan atau sepuluh tahun, Lulu adalah seorang anak yang tahu diri, tidak rewel, tidak banyak kehendak, penurut dan juga tahan uji. Ia mentaati segala kehendak Han Han sebagai seorang adik yang baik, bersikap penuh kasih sayang kepada kakaknya ini, dan juga tidak pernah mau ketinggalan kalau Han Han mencari makanan untuk mereka.

Betapapun lelahnya jika Han Han memaksanya melanjutkan perjalanan yang sukar, gadis cilik ini tak pernah mengeluh, maklum bahwa kakaknya kini menjadi seorang buronan. Ia pun berkali-kaii menyatakan kegelisahannya kalau-kalau kakaknya akan tertangkap oleh guru kakaknya yang dianggapnya seorang manusia keji dan mengerikan. Banyak ia bertanya tentang Ma-bin Lo-mo dan Han Han juga menceritakan apa yang ia ketahui tentang Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan lain-lain tokoh kang-ouw yang terkenal. Lulu amat tertarik mendengar cerita itu dan berkali-kali menyatakan bahwa ia pun ingin belajar silat agar kelak menjadi seorang yang pandai, sehingga ia akan dapat membalas dendam kepada musuh yang telah membasmi keluarganya.

Harus diakui bahwa Han Han yang semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab, pengertian umumnya sudah amat dalam, bahkan ia tahu akan filsafat-filsafat hidup. Namun karena ia hanyalah seorang bocah, tentu saja wawasannya pun amat terbatas dan banyak hal-hal yang tidak ia ketahui benar intinya. Sedapat mungkin ia berusaha untuk menerangkan Lulu tentang dendam pribadi dan tentang bencana akibat perang.

‘Lulu, kurasa engkau keliru kalau menaruh dendam kepada Lauw-pangcu, karena sesungguhnya dia seorang yang baik, seorang patriot sejati yang gagah perkasa,! katanya hati-hati ketika pada suatu hari mereka mengaso di bawah pohon besar dalam sebuah hutan. Lulu memandang kakaknya dengan mata lebar dan penuh penasaran.

‘Koko, keluargamu terbasmi oleh perwira-perwira Mancu seperti yang pernah kauceritakan kepadaku. Apakah engkau tidak mendendam kepada perwira-perwira itu?!

‘Tentu saja.!

‘Kalau engkau menaruh dendam kepada pembasmi keluargamu, mengapa aku tidak boleh mendendam kepada pembasmi keluargaku?!

‘Ah, jauh sekali bedanya, Moi-moi. Keluargaku terbasmi oleh orang-orang yang melakukan hal itu menurutkan nafsu mereka pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perang sungguhpun hal ini terjadi dalam perang, pembasmi-pembasmi keluargaku melakukannya dengan rasa benci dan nafsu pribadi, terdorong oleh watak mereka yang jahat dan kejam. Keluargaku bukanlah musuh mereka dalam perang, dan mereka melakukan pembasmian itu karena dua hal, yaitu ingin memperkosa wanita-wanita dan ingin merampok harta benda! Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Lauw-pangcu kepada keluargamu. Lauw-pangcu dengan kawan-kawannya adalah pejuang-pejuang yang berusaha menentang bangsa Mancu yang menjajah, dan Ayahmu adalah seorang pembesar Mancu. Tentu saja Lauw-pangcu menganggap keluargamu musuh, bukan musuh pribadi, melainkan musuh negara dan bangsa. Lauw-pangcu melakukan pembasmian bukan berdasarkan kebencian pribadi, melainkan sebagai pelaksanaan tugas perjuangan. Tahukah engkau bahwa dalam sekejap mata saja anak buah Lauw-pangcu yang jumlahnya lima puluh orang lebih dibasmi habis oleh seorang kaki tangan Mancu?!

Lulu merengut dan menggeleng-gelengkan kepalanya. ‘Apapun yang menjadi alasan, akibatnya sama saja, Koko. Apa pun yang menjadi dasar daripada perbuatan para pembasmi yang kejam itu, akibatnya tiada bedanya, buktinya engkau menjadi yatim-piatu dan aku pun sama juga. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa aku tidak lebih sengsara dari padamu? Apakah karena sebab-sebab itu aku lalu diharuskan memaafkan mereka?!

Ditegur oleh bocah yang matang dalam penderitaan ini, Han Han membungkam, ia tidak dapat menjawab, hanya berkali-kali menghela napas kemudian berkata,

‘Ah, entahlah, Moi-moi. Memang kalau dipikir-pikir, semua perbuatan yang sifatnya membunuh di dalam perang adalah keji! Perang menimbulkan malapetaka yang mengerikan. Perang membuktikan betapa kejamnya mahluk yang disebut manusia. Perang dan bunuh-membunuh antar manusia dilakukan dengan penuh semangat, demi perjuangan dan cita-cita alasannya. Perjuangan dan cita-cita yang hanya diciptakan oleh beberapa gelintir manusia belaka! Aku tidak tahu, hanya yang kuketahui sekarang, kalau kita sudah memiliki kepandaian, kita harus membasmi orang-orang yang menjadi musuh kita, orang-orang yang kita anggap jahat!!

‘Koko, bagaimanakah orang yang jahat itu? Lauw-pangcu dalam anggapanku adalah seorang yang sejahat-jahatnya karena dia telah membuat keluargaku lenyap, telah membuat hidupku merana. Akan tetapi engkau tidak menganggapnya sebagai orang jahat, malah gagah perkasa. Bagaimana ini?!

‘Tidak tahulah.... tidak tahulah.... mungkin kelak kita akan lebih mengerti.!

Mereka melanjutkan perjalanan dan setelah mereka keluar dari hutan itu, tampaklah sebuah bukit di sebelah depan. Senja telah mendatang dan di dalam cuaca yang sudah suram itu samar-samar tampak dinding di puncak bukit.

‘Di puncak bukit itu tentu tempat tinggal para pendeta, kalau tidak kuli tentu sebuah dusun. Sebaiknya kita pergi ke sana. Aku akan bekerja untuk mencarikan beberapa stel pakaian untukmu, Moi-moi.!

‘Bukan hanya untukku, Koko, engkau pun perlu akan pakaian cadangan. Lihat, pakaianmu sudah mulai rusak pula. Aku pun dapat bekerja, apa saja, kalau perlu membantu di sawah, atau mencuci, membersihkan rumah, apa saja.!

‘Engkau puteri seorang pembesar, mana bisa bekerja kasar?!

‘Jangan begitu, Koko. Dahulu puteri pembesar, sekarang hanya seorang bocah gemb....!

‘Hanya Adikku yang baik dan manis!! Han Han memotong dan mereka tertawa, bergandengan tangan dan mulai mendaki bukit yang tidak berapa tingginya itu. Namun, ketika mereka telah tiba di lereng, tak jauh lagi dari puncak di mana tampak dinding putih yang ternyata adalah pagar tembok yang tinggi, Lulu menuding dan berseru.

‘Lihat! Kebakaran!!

Benar saja. Api yang berkobar-kobar tampak di balik dinding itu, makin lama makin membesar dan sinar api merah itu memperlihatkan dengan jelas bahwa di balik pagar tembok itu terdapat sekelompok rumah-rumah yang kini terbakar.

‘Celaka....! Hayo kita naik terus, sedapat mungkin kita bantu mereka memadamkan api, Moi-moi.!

‘Aku.... takut...., Koko.!

‘Ada aku di sampingmu, takut apa? Hayolah!! Han Han menggandeng tangan adiknya dan dengan bantuan sinar api mereka mendaki terus menuju ke pagar tembok. Akhirnya mereka tiba di luar pagar tembok dan tiba-tiba Han Han menarik tangan adiknya untuk mendekam dan berlindung di tempat gelap. Dari pintu gerbang yang terbuka mereka dapat melihat ke sebelah dalam perkampungan itu dan keadaan di dalam perkampungan itulah yang membuat Han Han menarik tangan adiknya diajak bersembunyi.

Kiranya di dalam perkampungan itu terjadi perang tanding yang hebat. Tampak bayangan-bayangan manusia berkelebatan, kilatan-kilatan senjata tajam dan terdengar nyaring suara senjata beradu. Di sana-sini, jelas tampak karena disinari api yang membakar rumah, menggeletak mayat-mayat orang, malang-melintang dalam keadaan mandi darah. Mengerikan!

Tubuh Lulu menggigil ketika ia merapatkan diri kepada kakaknya, napasnya terengah-engah. Han Han juga merasa tegang, akan tetapi ia mengelus-elus kepala adiknya untuk menenangkannya.

Perang tanding yang lebih banyak terdengar daripada terlihat itu berlangsung semalam suntuk! Demikian pula kebakaran yang agaknya tidak ada yang berusaha memadamkannya itu. Dapat dibayangkan betapa gelisah dan sengsara dua orang bocah yang bersembunyi di luar tembok. Jerit-jerit ketakutan dan pekik-pekik kematian terdengar oleh mereka, bercampur dengan suara pletak-pletok terbakarnya rumah-rumah yang makin menghebat.

Kiranya rumah-rumah dalam perkampungan itu amat berdekatan sehingga setelah api membakar dan tidak ada usaha memadamkannya, semua dimakan api dan kebakaran itu berlangsung sampai pagi!

Han Han yang memberanikan hatinya merangkak dan mengintai dari balik pintu gerbang, menjadi silau matanya menyaksikan berkelebatnya dua sinar putih. Sebagai seorang yang pernah menjadi murid seorang pandai, ia dapat menduga bahwa dua sinar putih itu tentulah sinar senjata yang dimainkan oleh dua orang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dua sinar itu berkelebatan di antara puluhan orang yang mengepungnya dan ia dapat menduga babwa tentu ada dua orang lihai yang dikeroyok oleh banyak sekali orang. Yang mengerikan hatinya adalah ketika di antara tumpukan mayat ia melihat pula mayat-mayat wanita dan anak-anak kecil.

Semalam suntuk tidak tidur sekejap mata pun, semalam suntuk terus mendekam bersembunyi, namun bagi kedua orang anak itu, agaknya semalam itu lewat dengan amat cepatnya. Tahu-tahu sudah pagi! Dan menjelang pagi, api mulai padam dan ketika mereka mendengarkan, ternyata tidak ada suara apa-apa lagi. Sunyi di dalam perkampungan itu, hanya tampak asap hitam mengepul dan masih ada suara pletak-pletok lirih. Akan tetapi tidak ada suara manusia, tidak ada suara pertempuran.

Han Han bangkit berdiri, akan tetapi terduduk kembali karena ujung bajunya sebelah belakang dipegang erat-erat oleh Lulu yang ketakutan. Han Han menoleh dan melihat betapa tubuh Lulu gemetar, adiknya yang biasanya cerah itu kini pucat dan matanya terbelalak seperti seekor kelinci dikejar harimau. Ia memberi isyarat agar adiknya itu bangkit berdiri, kemudian ia memasuki pintu gerbang itu perlahan-lahan. Lulu yang masih menggigil ketakutan, berjalan di belakangnya, tidak pernah melepaskan ujung bajunya yang belakang. Dua orang anak itu seperti sedang main naga-nagaan, berjalan perlahan dan muka bergerak memandang ke kanan kiri, wajah pucat dan mata terbelalak.

Hati siapa tidak akan ngeri menyaksikan keadaan dalam perkampungan itu. Semua pondok habis terbakar, kini menjadi arang dan hanya tinggal asapnya karena sudah tidak ada lagi yang dapat dibakar. Yang amat mengerikan adalah banyaknya mayat orang berserakan di mana-mana. Ada puluhan orang banyaknya, bahkan mungkin seratus orang lebih. Sebagian besar laki-laki tinggi besar akan tetapi banyak pula wanita-wanita, tua dan muda, ada pula anak-anak. Mereka semua telah mati dengan tubuh terluka besar, seperti terbabat senjata tajam, ada yang perutnya pecah, dadanya berlubang, leher hampir putus. Mayat ini mandi darahnya sendiri

‘Han-koko.... aku.... aku takut hiiii....!! Hampir Lulu tidak dapat melangkahkan kakinya yang menggigil, wajahnya pucat sekali dan sepasang mata yang lebar itu terbelalak.

‘Tenanglah, Adikku.... aku pun takut, akan tetapi mari kita lihat ke sana..... eh, dengar.... ada orang merintih....! Hayo ke sana, suaranya datang dari belakang puing rumah itu....!

‘Aku.... aku takut.... nge.... ngeri....!!

Akan tetapi Han Han sudah menarik tangan adik angkatnya. Melihat sekian banyaknya manusia menjadi mayat, tidak seorang pun yang masih hidup, tidak ada yang merintih atau bergerak, membuat hatinya menjadi tertarik sekali ketika ia mendengar suara merintih itu. Dari jauh ia sudah melihat dua orang yang tidak mati, namun terluka hebat karena dua orang itu masing-masing tertusuk pedang di bagian perut, tertusuk sampai tembus ke punggung! Mengerikan sekali, akan tetapi juga aneh, karena justeru dua orang ini di antara puluhan mayat yang hidup.

Han Han memiliki ketabahan yang luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Biarpun Lulu sudah hampir pingsan saking ngerinya, namun Han Han tidak apa-apa, bahkan ia lalu melepaskan tangan Lulu dan mempercepat langkahnya menghampiri dua orang itu sambil berkata.

‘Moi-moi, ada orang terluka. Mari kita tolong mereka....!!

Kasihan sekali Lulu. Sudah takutnya setengah mati, kakaknya melepaskan tangannya dan lari meninggalkannya. Seperti seekor kelinci ketakutan ia lalu memaksa kakinya yang lemas itu untuk lari pula mengejar.

‘Koko.... Han-ko, tunggu aku....!!

Han Han sudah berlutut di dekat dua orang yang terluka itu. Ia memandang dengan kagum dan terheran-heran. Dua orang itu adalah seorang kakek dan seorang nenek. Usia mereka tentu tidak akan kurang dari tujuh puluhan tahun, akan tetapi jelas tampak betapa mereka berdua itu dahulunya tentulah orang-orang yang elok dan gagah. Kakek itu masih tampak gagah dan tampan, pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai sepatunya terawat rapi, pakaiannya seperti seorang sastrawan. Jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik.

Adapun nenek itu biarpun sudah tua masih nampak cantik, tentu di waktu mudanya merupakan seorang wanita yang jelita. Juga pakaiannya rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang terdapat di taman, sebatang pedang menancap di perutnya sampai tembus punggung. Adapun nenek itu setengah rebah menyandarkan kepala di pundak kanan itu, juga sebatang pedang menancap di dadanya, menembus ke punggung. Yang mengherankan Han Han, pedang itu sama benar bentuknya, juga serupa gagangnya, pedang yang amat indah, yang putih berkilau seperti perak.

Si nenek menyandarkan kepalanya sambil merintih dan rintihan nenek inilah yang tadi terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu meraba-raba perut kakek yang tertancap pedang. Kakek itu sendiri sama sekali tidak mengeluh, seolah-olah perut ditembusi pedang tidak terasa nyeri olehnya, dan lengannya merangkul si nenek penuh kasih sayang.

‘Tenanglah, Yan Hwa.... tenanglah menghadapi maut bersamaku, sumoi (Adik Seperguruan) tenanglah, Adikku, kekasihku....!

‘Oughhh.... suheng (Kakak Seperguruan) aduhhh, Koko (Kanda), mengapa baru sekarang menyebut kekasih....? ‘Aku.... aku.... selamanya cinta kepadamu, suheng....!

‘Hushhh.... ada orang datang, diamlah....!

‘Aughhh.... ahhh, panas rasa kerongkonganku...., aduh, Kanda, minum.... minum....!

Hati Han Han sebenarya sudah tidak mudah lagi terharu. Perasaan hatinya sudah setengah membeku oleh peristiwa hebat yang dialaminya dahulu. Namun kini menyaksikan keadaan kakek dan nenek itu, ia terheran-heran dan juga timbul rasa iba di hatinya.

‘Locianpwe, biarlah saya yang mencarikan air minum....!! Tanpa menanti jawaban dua orang yang sedang dalam sekarat itu, ia bangkit den cepat pergi mencari air.

‘Han-ko.... tunggu....!! Lulu berteriak dan meloncat pula mengejar kakaknya. Anak kecil ini merasa terlalu ngeri kalau ditinggal sendirian di dekat kakek dan nenek yang sekarat itu.

‘Mari kita mencari air minum untuk mereka. Kasihan mereka....! kata Han Han yang menanti adiknya lalu menggandeng tangan adiknya. Sebentar saja mereka mendapatkan sebuah tempat air dan mengisinya dengan air lalu kembali ke dalam taman. Wajah kedua orang tua itu sudah pucat karena darah mereka terus mengucur keluar dari luka di perut dan dada.

‘Ini airnya, locianpwe,! kata Han Han. Ia menyebut locianpwe karena ia dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentulah bukan sembarang orang, bahkan ia menduga bahwa kematian puluhan orang itu tentu ada hubungannya dengan mereka. Adapun Lulu berdiri di belakang Han Han, terbelalak memandang dua orang yang terluka berat dan sedang saling berpelukan mesra itu.

‘Oohhh, mana air....?! Nenek itu mengeluh. Kakek itu membuka matanya dan sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han. Kakek itu membelalakkan mata, seperti terpesona memandang wajah Han Han, akan tetapi segera menerima tempat air dan memberi minum nenek yang kehausan dan sedang sekarat itu. Air diminum dengan lahap sampai terdengar menggelogok dan sebagian besar tumpah.

Nenek itu terengah kepuasan, wajahnya menjadi tenang, dengan sikap manja merebahkan pipi kirinya di atas pundak kakek itu, tangannya memeluk pinggang, matanya merenung seperti orang ngantuk, akan tetapi tidak merintih lagi. Kakek itu tidak minum, bahkan tiba-tiba ia menggerakkan tangan yang memegang tempat air. Han Han terkejut sekali melihat tempat air itu melayang jauh sekali dan jatuh ke atas tanah, tidak pecah, bahkan air di dalamnya yang masih setengah itu tidak tumpah, muncrat setetes pun tidak, seolah-olah tempat air itu dibawa melayang tangan yang tidak tampak dan diletakkan di tempat itu! Wajah kakek itu kelihatan dingin ketika memandang kepadanya dan bertanya.

‘Engkau siapa?!

Han Han adalah seorang anak yang amat kukoai (aneh), babkan tidak kalah kukoai oleh datuk-datuk persilatan yang bagaimana aneh wataknya sekalipun. Kalau tadi ia merasa iba, kini menyaksikan sikap kakek itu, timbul keberaniannya dan ia pun hanya berdiri sambil memandang. Sinar kemarahan terpancar keluar dari pandang matanya dan ia menjawab, sama kakunya dengan suara kakek itu.

‘Namaku Sie Han!! Hanya sekian ia berkata karena tidak ada hasrat hatinya lagi untuk mengetahui siapa adanya kakek dan nenek itu dan apa yang terjadi sehingga mereka terluka seperti itu.

Kembali dua pasang mata beradu pandang dan kakek itu makin terbelalak.

‘Eh....! Matamu....!!

‘Mataku kenapa?! balas tanya Han Han, makin penasaran.



Bab 9

‘Seperti....!

‘Mata setan!! Han Han melanjutkan, makin mendongkol dan teringat akan pengalamannya dengan Lauw-pangcu dan juga dengan Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo. Mereka itu semua menyatakan keheranan akan matanya. Lama-lama ia menjadi bosan juga kalau tokoh besar selalu menyebut-nyebut matanya.

Kakek itu menggeleng-geleng kepala, dan aneh.... dia tersenyum geli. ‘Wah, tidak hanya matanya, juga wajahmu dan sikapmu yang kepala batu.... akan tetapi pada dasarnya berhati penuh welas asih.... eh, engkau benar-benar bocah aneh, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang amat baik.!

‘Hemmm, locianpwe yang aneh. Bicara tentang sahabat, akan tetapi keadaan locianpwe berdua ini tidak membayangkan bahwa locianpwo baru saja bertemu dengan seorang sahabat,! Han Han menuding ke arah dua batang pedang yang masih menancap di tubuh mereka.

Nenek itu mengangkat muka memandang kakek yang masih dipeluknya. ‘Koko.... siapa bocah setan ini? Perlu apa bicara dengan dia? Mana.... mana dia.... Jai-hwa-sian?!

‘Sabar, Moi-moi.... Jai-hwa-sian belum juga datang.... ahhh, sayang sekali.... kalau sampai kita keburu mampus sebelum dia muncul....!

Han Han terkejut sekali. Tadinya ia merasa geli dan juga iba mendengar betapa dua orang tua renta ini demikian kemesra-mesraan dan menyebut koko dan moi-moi. Akan tetapi mendengar nama Jai-hwa-sian disebut-sebut, ia terkejut.

‘Locianpwe mencari Kong-kongku?!

Kakek itu mengangkat muka memandang, cemberut. ‘Siapa mencari Kong-kongmu? Siapa itu Kong-kongmu?!

‘Jai-hwa-sian....!!

‘Hehhh....?!

‘Ihhhhh....?!

Kakek dan nenek itu berseru kaget dan kini memandang Han Han yang masih berdiri dengan muka merah. Dia tadi telah kelepasan bicara, mungkin ia men gaku Jai-hwa-sian sebagai kakeknya hanya karena merasa penasaran tidak dipandang mata oleh kakek itu, juga karena ia terkejut dan teringat akan sangkaan Kang-thouw-kwi bahwa dia adalah cucu Jai-hwa-sian

‘Heh, anak setan, siapa nama Kong-kongmu?!

‘Namanya Sie Hoat.!

Kakek itu mengerutkan alisnya, sedangkan nenek itu yang masih lemah telah menyandarkan kembali pipinya ke pundak Si Kakek dengan sikap manja.

‘Bagaimana kau tahu kakekmu itu berjuluk Jai-hwa-sian?!

‘Yang memberi tahu adalah Setan Botak.!

‘Setan Botak? Kau maksudkan Setan Botak si....?!

‘Siapa lagi kalau bukan Setan Botak Kang-thouw-kwi? Apakah ada Setan Botak ke dua di dunia ini?! kata Han Han, masih panas hatinya, apalagi karena kakek itu menganggapnya main-main.

Kini mata kakek itu makin terbelalak. Baru sekarang, setelah menghadapi kematian, ia menemukan seorang anak yang begini kukoai, berani memaki Kang-thouw-kwi dengan julukan Setan Botak. Padahal, ratusan orang gagah di dunia kang-ouw akan berpikir-pikir seratus kali lebih dulu untuk berani memaki seperti itu!

‘Di mana Kakekmu yang berjuluk Jai-hwa-sian itu sekarang?! Kakek itu mulai menduga-duga barangkali Jai-hwa-sian benar-benar datang bersama cucunya dan sengaja menyuruh cucunya itu datang lebih dulu. Kalau anak ini benar-benar cucu Jai-hwa-sian, tidaklah begitu aneh kalau berani memaki Kang-thouw-kwi.

Akan tetapi anak itu menggeleng-geleng kepala. ‘Aku sendiri tidak tahu. Mungkin sudah mati, seperti yang diduga Ayah. Aku sendiri tidak pernah melihatnya, sudah puluhan tahun pergi merantau, menurut cerita Ayah....!

‘Siapa nama Ayahmu dan di mana tinggalnya?!

‘Ayah bemama Sie Bun An, dahulu tinggal di Kam-chi....!

‘Sie Bun An? Suma Bun An? Di Kam-chi katamu? Ha-ha-ha-ha-ha, betul juga!! Kakek itu tertawa bergelak sehingga Han Han menjadi heran dan mengira bahwa tentu kakek yang sudah sekarat ini menjadi berubah ingatannya alias menjadi gila.

‘Sekarang di mana adanya Ayahmu itu? Di mana Suma Bun An?!

‘Locianpwe! Ayahku adalah Sie Bun An, apa ini Suma-suma segala?!

‘Ha-ha-ha! Dasar pengecut, mengingkari she apakah berarti dapat membersihkan diri dari noda? Ya.ya, biarlah, Sie Bun An. Di mana dia kalau engkau tidak tahu di mana adanya Kakekmu?!

‘Ayah dan sekeluargaku telah dibunuh perwira-perwira Mancu....!

‘Ha-ha-ha-ha-ha, hukum karma....! Ha-ha-ha, tak dapat dihindarkan lagi....!

‘Locianpwe!! Han Han membentak, marahnya bukan main. Belum pernah dia menceritakan riwayatnya kepada siapapun juga dan kalau dia mau menceritakan tentang ayahnya dam keluarganya kepada kakek ini hanyalah karena ia tahu betul bahwa orang yang perutnya sudah tertembus pedang itu takkan dapat hidup lebih lama lagi. Akan tetapi, dia yang sudah berterus terang menceritakan, malah ditertewakan! Inilah yang benar-benar dapat disebut bocengli (tak tahu aturan)!

Akan tetapi kakek itu tidak peduli, malah tertawa terus dan berkata-kata seorang diri, ‘Ha-ha-ha, hukum karma! Jai-hwa-sian, engkau tak dapat lari dari kenyataan! Engkau orang sesat, datuk sesat, hukum karma pasti mengejarmu, betapapun engkau baik terhadap kami. Hukum karma akan mengejar setiap manusia, semua perbuatan jahat akan menimbulkan akibat, buah daripada pohon perbuatan sendiri akan dipetik sendiri.... seperti juga kami berdua...., kami berdua mungkin lebih sesat daripada engkau, maka buahnya pun lebih pahit.... aahhh!! Kakek itu kini menangis terisak-isak!

‘Kakek.... kenapa menggali hal-hal lampau....? Tidak, buah yang kita petik tidak begitu pahit.... engkau mati di tanganku, aku mati di tanganmu, kita menemukan kembali cinta kasih, di ambang maut.... kita mati dalam cinta.... alangkah bahagianya....! Dengan napas terengah-engah nenek itu memeluk leher kakek itu dan mencium bibirnya! Mereka berciuman seperti dua orang muda yang sedang diamuk asmara, berciuman mulut dengan mesra, sedangkan darah menetes-netes dari mulut mereka!

Kini Han Han berdiri melongo. Kemarahan dan penasaran di hatinya lenyap tak berbekas seperti awan ditiup angin. Ia terheran-heran dan memandang terbelalak, menyaingi sepasang mata Lulu yang sejak tadi terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi nenek itu sudah hampir putus napasnya, tidak kuat berciuman lama, dan ia terengah-engah, meletakkan kembali pipi kirinya di atas pundak Si Kakek, bibirnya merah sekali, merah terkena darah, darahnya sendiri dan darah kakek itu. Bibirnya tersenyum, penuh kebahagiaan, penuh pasrah, seperti seorang bayi akan tidur di pangkuan ibunya.

‘Moi-moi.... anak ini cucunya.... kita berikan saja kepadanya, ya?!

‘Terserah, Koko.... terserah kepadamu. Lekas berikan.... aku sudah ingin sekali melayang pergi bersamamu, Koko....!

Kakek itu kini dengan tangan menggigil merogoh sakunya di sebelah dalam jubahnya, dan tangan kirinya mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya, sedangkan tangan kanannya meraba-raba dan merogoh saku di balik baju Si Nenek, mengeluarkan sebuah kitab pula yang sama bentuk dan warnanya, kekuning-kuningan. Ia menumpuk dua buah kitab itu di tangan kirinya lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh, namun lemah sekali.

‘Dengar, anak yang bernama Sie Han.... dengarlah baik-baik, berlututlah....!

Suara yang lemah menggetar itu mempunyai wibawa yang luar biasa dan Han Han tak dapat membangkangnya. Ia tahu bahwa saat kematian kakek dan nenek itu sudah dekat sekali, maka demi menghormat dua orang yang hendak mati, ia pun berlututlah. Lulu yang tidak disuruh berlutut, namun juga dapat merasakan suasana penuh kengerian dan ketegangan ini, merangkap kedua tangan di depan dada, penuh hormat dan takut-takut.

Dengan tangan gemetar, kakek itu mengangsurkan tangan kirinya yang memegangi dua buah kitab kuning.

‘Kau terimalah ini.... kau simpan baik-baik dalam bajumu! Lekas.... jangan bertanya, simpan dulu, nanti kuberi penjelasan....!

Han Han tidak diberi kesempatan membantah dan seperti ada sesuatu yang menggerakkan hatinya anak ini menerima sepasang kitab yang kecil itu, langsung ia masukkan ke balik bajunya.

‘Dekatkan telingamu....!

Han Han menggeser lututnya, mendekat dan mendengar mulut kakek itu berbisik lirih di dekat telinganya,

‘Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun....!

‘Sudah mengertikah engkau?!

Han Hen mengangguk dan mencatat pesan itu di dalam hatinya, sungguhpun ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.

‘Simpan kitab-kitab itu dan kalau kelak kau dapat bertemu dengan Jai-hwa-sian, berikan kepadanya berikut pesan yang kubisikkan tadi. Berjanjilah sebagai seorang jantan untuk memenuhi pesan kami berdua, pesan dua orang yang mau mati.!

Kembali Han Han penasaran. Tidak percayakah kakek ini kepadanya? ‘Aku berjanji, locianpwe.!

Kakek itu menarik napas panjang, agaknya hatinya menjadi lega. Keadaannya sudah makin lemah terutama nenek itu yang kini benar-benar sudah seperti orang tertidur pulas. Kakek itu mengerahkah tenaga, mengembangkan dada, lalu berkata, suaranya tidak selemah tadi, penuh semangat.

‘Sie Han, dengarkan baik-baik, tiada banyak waktuku. Ketahuilah, kami berdua yang dikenal sebagai Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Tidak ada datuk persilatan yang tidak mengenal kami berdua. Kami datang dari utara, menjagoi di empat penjuru. Aku Can Ji Kun bukan sombong, mungkin aku sendiri atau sumoiku Ok Yan Hwa ini masih dapat ditandingi orang, akan tetapi kalau kami berdua bergabung menjadi satu, aku Si Iblis Jantan dan dia ini Si Iblis Betina, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan kami....!

‘Juga Koai-lojin tidak mampu....?!

Untuk terakhir kalinya kakek yang bernama Can Ji Kun itu terbelalak heran.

‘Engkau tahu pula akan Koai-lojin?!

‘Hanya mendengar penuturan orang lain. Akan tetapi aku memang bermaksud hendak mencari Koai-lojin,! jawab Han Han sederhana dan sejujurnya.

!Engkau memang anak yang aneh, dan aku makin percaya bahwa kakekmulah Jai-hwa-sian itu. Kulanjutkan penuturanku selagi aku masih kuat bicara. Kami suheng dan sumoi, seperti engkau saksikan sendiri, saling mencinta dan kelihatannya rukun dan saling membela, saling membantu, saling melindungi. Sayang sekali, kenyataannya selama puluhan tahun tidaklah demikian. Kami tidak bisa menjadi suami isteri, tidak bisa menikah karena sumpah kami di depan guru kami....!

‘Sumpah apakah, locianpwe?! Han Han bertanya, tertarik hatinya. Juga Lulu yang masih berdiri di belakang Han Han, mendengarkannya dengan hati tertarik dan berkurang rasa ngerinya. Keadaan yang bagaimana mengerikan sekalipun akan kalah oleh biasa, lama-kelamaan hati akan terbiasa juga.

‘Guru kami menyumpah bahwa murid-muridnya tidak boleh menikah, kalau dilanggar harus ditebus nyawa....!

‘Iihhh...., kejam....!! seru Lulu.

‘Karena itu, biarpun saling mencinta, kami berdua tidak dapat mengikat tali perjodohan. Hal ini membangkitkan semacam kedukaan, kekecewaan dan akhirnya berubah menjadi kebencian. Kami lalu mulai mengumbar nafsu kebencian ini, kami saling berlomba berebut untuk membunuh-bunuhi orang yang dianggap jahat. Kami tidak pandang bulu, dan karena itulah kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Iblis yang telengas. Dusun ini adalah sarang berandal, dahulu, puluhan tahun yang lalu kami berdua hampir celaka oleh kecurangan perampok-perampok ini, untung ada Jai-hwa-sian yang menolong kami. Karena itu, hari ini kami yang kebetulan mendapatkan sarang mereka, datang membasmi mereka. Akan tetapi, kembali kami saling berlomba dan akhirnya kami tidak hanya bersaing, melainkan saling serang sehingga akhirnya.... engkau lihat sendiri akibatnya....! Suara kakek itu mulai lemah.

Nenek itu membuka mata dan berkata, suaranya seperti orang berbisik, ‘Memang, jodoh antara kira harus ditebus dengan nyawa, Koko.... dan aku.... aku girang sekali.... aku bahagia....!

Kakek itu mencium kening nenek itu. ‘Sie Han.... Thian (Tuhan) telah mengirim engkau sebagai ahli waris kami.... kalau engkau tidak dapat menemukan Jai-hwa-sian, sepasang kitab itu kuberikan kepadamu.... engkau.... engkau mulai saat ini menjadi murid kami, dan aku girang mempunyai murid seperti engkau....!

Han Han yang tahu bahwa dua orang itu takkan bebas dari kematian, tidak mau mengecewakan mereka. Gurunya sudah banyak. Lauw-pangcu, Ma-bin Lo-mo dan yang terakhir Toat-beng Ciu-sian-li. Sekarang ditambah lagi dengan Sepasang Pedang Iblis ini, tidak mengapalah. Ia lalu menelungkup sebagai penghormatan dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

‘Teecu (murid) menghaturkan terima kasih kepada suhu dan subo (Ibu Guru).!

Akan tetapi kakek itu sudah tidak mempedulikannya karena kini ia mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu. Mereka kembali saling rangkul, saling mencium dan.... mereka menghembuskan napas terakhir dalam keadaan seperti bersandar pada meja batu dan kalau saja tidak ada sepasang pedang yang menancap dan menembus tubuh mereka, tentu mereka itu disangka sebagai dua orang yang sedang tenggelam dalam permainan cinta.

‘Suhu....! Subo....!! Han Han mengguncang-guncangkan tubuh mereka, seperti orang hendak membangunkan dua orang dari tidur nyenyak. Namun mereka berdua itu tidak akan bangun lagi dan guncangan tubuh mereka itu membuat rangkulan terlepas dan tubuh mereka terguling, satu ke kanan satu ke kiri.

‘Me.... mereka.... sudah mati.... oohhh....!! Lulu menahan isaknya, merasa ngeri kembali karena baru sekarang selama hidupnya ia melihat orang menghembuskan napas terakhir.

‘Aku harus mengubur mereka....!

‘Hayo kita pergi. Han-ko...., aku takut sekali....!

‘Nanti dulu, Lulu. Aku harus mengubur jenazah mereka. Mereka ini adalah suhu dan subo. Aku tidak mau menjadi seorang murid yang tidak mengenal budi. Tunggulah sebentar!

‘Kalau begitu, mari kubantu engkau, Han-ko.!

Dua orang anak itu lalu bekerja keras mengggali sebuah lubang di bawah pohon dalam taman itu. Untung bahwa Han Han memiliki tenaga besar yang tidak disadarinya, sehingga dalam waktu beberapa jam, setelah matahari naik tinggi, tergalilah sebuah lubang cukup besar. Lulu juga membantunya, mempergunakan dua buah cangkul yang mereka temukan di dusun yang sudah terbakar itu.

‘Pedang-pedang itu bagus sekali!! bisik Lulu.

Han Han menggeleng kepala. ‘Untuk apa pedang bagi kita, Moi-moi? Pedang itu adalah pedang mereka dan agaknya mereka itu senang sekali terbunuh dengan pedang masing-masing. Biarlah kita mengubur mereka berikut pedang-pedangnya.!

Lulu tidak berani membantu ketika Han Han mengangkat tubuh dua orang tua itu, satu demi satu, ke dalam lubang. Akan tetapi ia membantu dengan rajin ketika Han Han menguruk lubang itu dengan tanah galian. Selesailah penguburan sederhana itu, dan Han Han lalu berlutut memberi hormat untuk terakhir kalinya di depan makam suami isteri yang menjadi gurunya. Lulu juga ikut-ikutan berlutut memberi hormat.

‘Sekarang kita harus cepat pergi dari sini....! kata Han Han. Sebetulnya Lulu telah lelah sekali bekerja setengah hari dan tidak makan, hanya minum air yang bisa mereka dapatkan di bekas dusun itu. Akan tetapi karena ia merasa ngeri untuk berdiam lebih lama lagi di dusun yang penuh mayat bergelimpangan, ia merasa girang diajak pergi dan setengah berlari mereka keluar dari dusun yang terbasmi habis oleh keganasan sepasang manusia aneh itu.

Setelah agak jauh dari dusun itu, Han Han teringat bahwa keadaannya tadi amatlah berbahaya. Puluhan mayat berada di dalam dusun yang terbakar habis, dan yang hidup hanyalah dia dan Lulu!

Bagaimana kalau sampai ada orang lain datang ke dusun itu? Tentu dia dan Lulu akan disangka menjadi penyebab kejadian mengerikan itu. Berpikir demikian, ia lalu memegang tangan Lulu dan diajaklah anak itu berlari.

‘Aduh.... aduh.... perlahan-lahan, Koko.... kakiku sakit....!!

Akan tetapi Han Han yang kini sadar akan bahaya yang mengancam mereka kalau sampai ada orang tahu, segera berjongkok dan berkata,

‘Lekas, mari kugendong....!

Lulu sudah merasa lelah sekali, lelah karena semalam tidak tidur, ditambah tadi bekerja keras menggali kuburan, terutama sekali karena mengalami ketegangan hebat. Maka giranglah hatinya ketika kakak angkatnya hendak menggendongnya. Tanpa banyak cakap ia lalu merangkul leher Han Han dari belakang dan mengempit pinggang kakaknya dengan kedua kaki. Han Han bangkit berdiri lalu lari secepatnya. Tubuh Lulu yang hangat menempel tubuhnya membuat hatinya merasa girang sekali, merasa bahwa kini ada orang yang menyayangi, yang juga amat disayangnya dan yang harus ia lindungi.

Keluarganya sudah habis, dan kini semua rasa sayang terhadap keluarganya itu ia tumpahkan kepada diri Lulu. Sambil merangkul kedua kaki adik angkatnya, ia berlari terus tanpa mengenal lelah. Ia harus pergi sejauh mungkin dari bukit di mana terdapat dusun perampok yang terbasmi habis itu.

Sambil berlari, Han Han teringat akan semua peristiwa tadi. Ia bingung dan terheran-heran. Benarkah kakeknya adalah orang yang berjuluk Jai-hwa-sian itu? Kalau benar, mengapa ayahnya atau ibunya tidak pernah bercerita tentang kakeknya? Pernah ia bertanya tentang kakeknya, namun ayahnya hanya mengatakan bahwa kakeknya sudah pergi jauh tak diketahui tempatnya semenjak ayahnya masih kecil.

Yang ia ketahui hanya bahwa kakeknya itu bernama Sie Hoat. Agaknya tidak mungkin kalau kakeknya itu adalah seorang sakti dan aneh seperti mendiang Can Ji Kun si Iblis Jantan, atau seperti Kang-thouw-kwi dan datuk-datuk lain. Kalau kakeknya seorang sakti, sedikitnya tentu ayahnya seorang yang berkepandaian pula. Akan tetapi ayahnya.... ah, hatinya kecewa sekali kalau ia teringat akan ayahnya.

Teringat akan segala peristiwa yang menimpa ayahnya. Ayahnya memang tewas sebagai seorang gagah yang membela keluarga, akan tetapi seorang gagah yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Ayahnya seorang lemah. Mungkinkah ayahnya putera seorang sakti?

Jai-hwa-sian! Dewa Pemetik Bunga! Sudah banyak ia baca, dan ia tahu apa artinya seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu seorang penjahat cabul yang suka memperkosa wanita! Biarpun sakti dan berilmu tinggi, akan tetapi jahat. Dan dia menjadi cucu seorang penjahat cabul? Ah, tak mungkin! Dan ia tidak sudi. Tentu hanya kesalahan tafsir belaka.

Bukan! Dia bukan cucu Jai-hwa-sian. Akan tetapi, dia harus memenuhi permintaan Sepasang Pedang Iblis tadi yang telah menjadi gurunya, dia harus mencari Jai-hwa-sian dan menyerahkan sepasang kitab ilmu pedang itu. Apa pula rahasianya? Han Han memiliki daya ingatan yang amat kuat. Ketika ia mengenangnya kembali, terngiang di telinganya bisikan Can Ji Kun si Iblis Jantan, ‘Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.!

Dia tidak tahu apa artinya ucapan itu, akan tetapi dia harus menghafalnya dan tak boleh melupakannya, karena ucapan rahasia itu harus disampaikan pula kepada Jai-hwa-sian bersama sepasang kitab ilmu pedang. Akan tetapi ke mana ia harus mencari Jai-hwa-sian? Dan ke mana ia harus pergi? Suhunya yang ke dua, Ma-bin Lo-mo tentu akan mencarinya dan kalau ia sampai ditangkap, celakalah! Dia harus pergi jauh, bersama Lulu. Ke mana? Ke kota raja! Dengan keputusan hati ini, Han Han melanjutkan larinya.

Tanpa ia sadari kedua kakinya sudah lelah sekali. Hanya berkat kemauannya yang keras luar biasa maka ia dapat berlari terus sampai menjelang senja di mana ia tiba di pinggir sebuah sungai yang airnya jernih. Melihat air gemilang inilah yang membuat lemas seluruh persendian tulangnya. Sekali ia melihat air dan merasa haus, terasalah seluruh kebutuhan jasmaninya. Haus, lapar, lelah!

Kakinya tersandung batu dan ia jatuh terguling! Akan tetapi karena teringat kepada Lulu, ia cepat memutar tubuh dan menyambar tubuh adik angkatnya, membiarkan dirinya yang jatuh terbanting di bawah, sedangkan tubuh Lulu tidak sampai terbanting. Bahu dan pundaknya terasa nyeri, akan tetapi ketika ia memandang Lulu yang dipeluknya, ia tertawa.

‘Bocah malas! Enak saja kau, ya?! Ia mengomel, akan tetapi yang diomelinya tidak menjawab sama sekali karena sejak tadi Lulu memang sudah tertidur pulas di atas punggung Han Han. Demikian pulas tidurnya sampai dia tidak merasa bahwa dia hampir terbanting jatuh.

Melihat keadaan adiknya, hati Han Han diliputi penuh rasa sayang dan kasihan. Ia lalu merebahkan tubuh anak perempuan itu perlahan-lahan di atas rumput hijau tebal di pinggir sungai, kemudian ia turun ke sungai, mandi dan minum sampai kenyang. Setelah itu, ia kembali ke bawah pohon di mana Lulu masih tertidur nyenyak. Ia lalu menanggalkan bajunya dan diselimutkan pada tubuh Lulu karena ia melihat betapa anak itu dalam tidurnya agak menggigil, menarik kedua kakinya sampai lutut menempel ke dada tanda kedinginan.

‘Kasihan....! bisiknya penuh kasih sayang. Aku harus mencarikan makanan untuknya. Akan tetapi pada saat Han Han berdiri dan membalikkan tubuh hendak mencari makan, hampir ia menjerit saking kaget dan cemasnya. Ternyata, tanpa dapat didengarnya sama sekali, di situ telah berdiri Ma-bin Lo-mo! Bukan hanya kakek muka kuda itu sendiri yang datang, melainkan berempat, yaitu ada tiga orang lain lagi yang berdiri seperti arca dengan pandangan mata tak acuh kepada Han Han.

Seorang adalah laki-laki gundul seperti hwesio, ke dua seorang laki-laki bermuka tengkorak saking kurusnya, dan yang ke tiga seorang laki-laki bermuka bopeng, penuh totol-totol hitam. Usia mereka itu rata-rata lima puluhan tahun, dengan sikap dingin yang menyeramkan. Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri memandang kepada Han Han dengan muka bengis!

Han Han bukan seorang penakut. Sama sekali tidak. Rasa takut seakan-akan telah terhapus dari hatinya bersama dengan terbasminya keluarganya. Dan ia memiliki rasa tanggung jawab yang tercipta daripada pengetahuannya tentang filsafat. Ia cerdik pula, kecerdikan yang timbul dari keadaan tidak wajar setelah ia hampir mati disiksa para perwira di rumahnya yang terbasmi dahulu. Kini ia pun cepat menggunakan pikirannya, tahu bahwa ia tak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan gurunya yang amat lihai ini.

Tahu pula bahwa tiada gunanya melawan atau mencoba untuk melarikan diri. Nasibnya sudah pasti. Akan tetapi dia tidak mau kalau sampai Lulu terbawa-bawa mengalami ben cana. Oleh karena itu, cepat pikirannya bekerja dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ma-bin Lo-mo.

‘Suhu.!

‘Hemmm, murid durhaka! Engkau sadar akan dosamu?!

‘Teecu sadar dan teecu tidak menyangkal. Teecu telah melarikan diri dari In-kok-san karena teecu ingin bebas.! Dia tidak mau menyebut terus terang bahwa kepergiannya itu terutama sekali karena ia tidak mau berpisah dari Lulu.

‘Karena itu, harap suhu suka menjalankan hukuman. Teecu menyerahkah sebelah kaki teecu, aken tetapi setelah hukuman terlaksana, harap Adik angkat teecu ini tidak diganggu dan biarkan teecu bersama dia.! Setelah berkata demikian, Han Han mengubah duduknya, tidak berlutut melainkan duduk dan melonjorkan kedua kakinya untuk dipilih suhunya, mana yang akan dibikin buntung!

Diam-diam Ma-bin Lo-mo kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan seorang bocah yang memiliki ketabahan dan kekerasan hati seperti ini! Menyerahkan kaki begitu saja untuk dihukum potong tanpa sedikit pun memperlihatkan hati takut atau gentar, bahkan penyesalan pun tidak, minta maaf pun tidak, melainkan berani bertanggung jawab sepenuhnya!

‘Enak saja kau bicara! Karena Sian-kouw yang langsung mengajarmu, dia pula yang berhak menghukummu. Dan bocah ini yang menjadi gara-gara, akan kuhukum sendiri, hukum penggal kepala di depanmu!!

Kaget bukan main hati Han Han. Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, maka ia lalu menoleh kepada Lulu. Anak perempuan itu agaknya terjaga karena mendengar suara ribut-ribut, membuka matanya, mengucek-ucek mata kemudian memandang dengan sepasang mata lebar kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya. Melihat Han Han duduk bersimpuh, ia seperti merasa bahwa ada hal-hal tidak beres. Cepat ia menubruk kakaknya dan berkata.

‘Koko...., ada apa....? Siapakah orang-orang jahat ini!

‘Ssttt, diamlah Moi-moi. Beliau ini adalah guruku dan karena aku sudah bersalah meninggalkan perguruan, kakiku yang harus dihukum potong. Akan tetapi tidak mengapa asal kita tidak saling berpisah....!

‘Kakimu dipotong....? Tidak....! Tidak boleh! Wah, kau manusia jahat! Tidak boleh mengganggu Kakakku! Pergi.... pergi....!! Lulu yang biasanya penakut itu, mendadak saja menjadi beringas dan galak seperti seekor anak harimau, berdiri menentang Ma-bin Lo-mo dengan mata terbelalak marah.

‘Moi-moi, ke sini....! Jangan begitu, aku melarangmu!! Han Han berkata, maklum betapa berbahayanya sikap Lulu itu.

‘Tidak, sekali ini aku tidak mau menurutmu, Koko! Aku harus menentang niat keji manusia-manusia jahat ini! Enak saja, masa kaki mau dipotong? Tidak boleh, hayo kalian pergi, kakek-kakek jahat!! Lulu masih berdiri dengen sikap menantang dan matanya yang lebar itu seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya.

Ma-bin Lo-mo memandang Lulu dengan alis berkerut. ‘Eh, bocah, kau siapakah? Mengapa kau membela muridku yang durhaka ini?!

‘Namaku Lulu dan aku telah menjadi adiknya, kakakku Han Han. Tentu saja aku membelanya!!

‘Lulu namamu?! Ma-bin Lo-mo menggerakkan lengannya dan tahu-tahu ia sudah menyambar baju di punggung anak itu dan mengangkatnya. Lulu meronta-ronta dengan mata terbelalak, bergidik ketakutan melihat muka yang seperti kuda itu begitu dekat, mata yang bersinar aneh itu menelitinya.

‘Hemmm, namamu Lulu dan mukamu seperti ini, matamu.... hemmm, kau anak Mancu, ya?!

Biarpun mulai ketakutan, namun Lulu masih marah.

‘Bukan, suhu.... bukan....!! Han Han berteriak, mukanya pucat dan ia mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu.

Akan tetapi alangkah kaget dan gelisahnya ketika ia mendengar Lulu menjawab nyaring,

‘Benar! Ayahku perwira Mancu dan keluargaku dibasmi orang-orang jahat seperti engkau ini! Lepaskan aku! Lepaskan!!

‘Ngekkk!! Lulu dibanting dan anak itu pingsan seketika.

‘Suhu! Jangan bunuh dia! Buntungkan kakiku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan bunuh dia!! Han Han berteriak-teriak sambil meloncat maju hendak menolong Lulu yang disangkanya mati.

Sebuah tendangan membuat tubuh Han Han terguling. Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata melotot marah.

‘Bocah setan! Murid durhaka! Engkau bersahabat malah mengangkat saudara dengan anak seorang perwira Mancu? Keparat! Tak tahu malu! Seharusnya kuhancurkan kepalamu sekarang juga kalau engkau bukan sudah menjadi murid Sian-kouw! Biar Sian-kouw yang akan menghukum dan menyiksamu! Dan bocah Mancu ini....! Ma-bin Lo-mo mengangkat tangan ke atas hendak memukul tubuh Lulu yang sudah pingsan tak bergerak itu.

‘Suhu, jangan....!!

Tiba-tiba terdapat perubahan pada wajah Ma-bin Lo-mo. Ia menyeringai dan mengangguk-angguk.

‘Hemmm...., bagus sekali. Dia anak seorang perwira Mancu, ya? Bagus! Bisa dipakai untuk mengundurkan orang-orang Mancu yang menjadi saingan mencari pulau....! Ia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan cepat sekali tangannya bergerak dan ia sudah menotok Han Han. Kemudian ia memberi isyarat kepada tiga orang kawannya.

Laki-laki muka tengkorak lalu menyambar tubuh Lulu yang sudah lemas dan dikempitnya. Adapun laki-laki yang mukanya bopeng dan bertotol-totol hitam itu lalu menyambar tubuh Han Han yang tak mampu bergerak, juga dikempitnya. Kemudian mereka berempat lalu lari cepat sekali meninggalkan tempat itu.

Kiranya tak jauh dari situ terdapat sebuah perahu yang diikat di pinggir sungai. Mereka melompat ke dalam perahu dan setelah mendayung perahu ke tengah dan layar dipasang, meluncurlah perahu itu, menuju ke laut. Han Han dan Lulu diikat kaki tangannya lalu dilemparkan ke dek perahu, kemudian totokannya dibebaskan. Lulu juga sudah siuman dan mengeluh. Ketika melihat, bahwa dia terbelenggu dan terlentang di atas dek perahu, Lulu cepat memandang ke arah kaki Han Han yang juga terbelenggu di sampinnya. Anak ini menarik napas lega dan berbisik.

Han-ko.... syukur kakimu masih utuh....! Anak ini terisak.

‘Diamlah Lulu. Jangan menangis...!

‘Aku.... aku.... takut, Koko.!

‘Jangan putus harapan. Selama nyawa kita masih ada, tidak perlu kita putus harapan.!

‘Tapi.... mereka jahat sekali....!

‘Hushhh, diamlah....!

Mereka itu seperti dua ekor kelinci muda yang akan disembelih. Hanya mata mereka saja yang dapat bergerak memandangi empat orang itu yang duduk di tengah perahu. Si Muka Bopeng mengemudikan perahu dan yang tiga lainnya duduk diam tak bergerak. Kemudian Ma-bin Lo-mo yang duduknya paling dekat dengan kedua orang anak itu, memandang Han Han dan menghela napas panjang seperti orang menyesal sekali. Mulutnya mengomel.

‘Murid murtad....! Murid durhaka....!!

Han Han tidak putus harapan. Kalau gurunya itu hendak membunuh Lulu, tentu dilakukannya sejak tadi. Dengan menawan mereka berdua, hal itu menyatakan bahwa untuk sementara ini mereka berdua selamat, tidak akan terbunuh, dan tentu masih dibutuhkan. Dia tidak takut menghadapi hukuman potong kaki, yang dikhawatirkan adalah keselamatan Lulu yang kini telah dikenal sebagai puteri seorang perwira Mancu.

‘Suhu, murid sudah mengaku berdosa dan siap menerima hukuman. Akan tetapi Lulu ini sama sekali tidak berdosa, harap suhu mengampuni anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini.!

‘Cerewet! Engkau akan menerima hukuman dari Sian-kouw sendiri, adapun bocah Mancu itu, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, akan kupenggal di depan matamu!!

‘Suhu....!!

‘Diam! Kau murid murtad, pengkhiahat yang berkawan dengan musuh! Membuka mulut lagi, akan kutampar mulutmu sampai rusak!!

Han Han tidak bodoh, dan tidak mau lagi membuka mulut. Ma-bin Lo-mo segera bercakap-cakap sambil berbisik-bisik dengan tiga orang kawannya, tidak mempedulikan lagi kepada Han Han dan Lulu.

‘Han-ko,! Lulu berbisik. ‘Dia itu kejam dan jahat, mengapa engkau berguru kepada seorang seperti dia?!

‘Hushhh, diamlah, Lulu. Dia sakti sekali, maka aku berguru kepadanya.!

Perahu kecil itu meluncur cepat sekali dan menjelang malam perahu masuk ke lautan dan mulailah pelayaran itu amat sengsara bagi Han Han dan Lulu. Perahu diombang-ambingkan ombak laut dan kedua orang anak yang tidak biasa naik perahu di laut itu menjadi mabuk laut. Han Han yang telah memiliki sin-kang yang amat kuat, dapat menahan rasa mabuk itu dan tidak terlalu pening, akan tetapi sungguh kasihan sekali keadaan Lulu.

Bocah ini menjadi pening, mukanya pucat sekali dan ia muntah-muntah. Karena tangan kedua orang anak itu dibelunggu ke belakang, maka Han Han tidak dapat menolongnya dan Lulu sendiri terpaksa hanya dapat memutar tubuhnya, rebah miring sehingga muntahannya tidak mengotorkan pakaian.

‘Suhu....! Harap tolong membebaskan belenggu tangan Adikku lebih dulu....! Dia....! Dia sakit!!

Ma-bin Lo-mo hanya menengok, lalu memberi isyarat kepada Si Kepala Gundul yang bangkit berdiri menghampiri Lulu. Tangannya bergerak cepat menotok pundak Lulu yang segera menjadi lemas dan.... tertidur. Karena tertidur ini maka anak itu tertolong, tidak begitu menderita lagi dan tidak lagi mabuk-mabuk. Han Han bersyukur akan tetapi juga kagum. Kiranya tiga orang kawan gurunya itu pun bukan orang-orang sembarangan dan tentu memiliki kepandaian yang amat lihai.

Malam itu mereka berdua diberi makan dan minum dan untuk keperluan ini mereka dibebaskan sebentar. Setelah makan dan minum, mereka disuruh tidur di dekat dek perahu dengan kedua tangan masih dibelenggu ke belakang dengan tubuh mereka, akan tetapi kaki mereka bebas. Tentu saja dalam keadaan seperti itu, Han Han dan Lulu sama sekali tidak dapat tidur pulas. Lulu mulai menangis, akan tetapi dihibur oleh Han Han yang tetap bersemangat tinggi dan berhati besar.

‘Lihat, alangkah indahnya pemandangannya, Adikku. Lihat itu di langit, bintang-bintang bertaburan seperti intan berlian. Dan laut amat tenangnya, seolah-olah kita tidak bergerak, ya? Padahal lihat layarnya berkembang dan perahu ini sebetulnya maju cepat sekali.!

Lulu terhibur dan setelah melihat ke kanan kiri yang adanya hanya air yang tertimpa sinar bintang-bintang yang suram, ia bertanya.

‘Kita ini.... dibawa ke mana, Koko?!

‘Entahlah, akan tetapi kalau tidak salah, suhu dan teman-temannya itu sedang mencari sebuah pulau. Pernah aku mendengar para suheng dan suci bercerita tentang Pulau Es.!

‘Pulau Es? Di mana itu? Mau apa ke sana?! Lulu bertanya, suaranya penuh kekhawatiran.

‘Aku sendiri pun tidak tahu. Aku selalu berada di sampingmu, bukan? Selama aku di sampingmu, tidak usah kau takut. Aku akan melindungimu dengan sekuat tenagaku.!

‘Koko....!! Lulu menangis.

‘Eh, malah menangis. Ada apa?!

‘Koko, mengapa kau begini baik kepadaku?! Suara Lulu terisak-isak.

‘Aihhh, aneh benar pertanyaanmu. Kau kan Adikku, tentu saja aku baik kepadamu. Di dunia ini aku hanya mempunyai kau, dan kau hanya mempunyai aku.!

‘Han-ko....!! Lulu kembali menangis dan anak ini lalu menggeser tubuhnya, merebahkan kepalanya di dada kakak angkatnya itu. Dalam keadaan seperti ini, akhirnya kedua orang anak itu tertidur.

Perahu kecil itu melakukan pelayaran selama tiga hari tiga malam. cepat sekali karena di waktu angin berkurang, mereka berempat menggunakan dayung dan karena mereka berempat merupakan orang-orang sakti yang memiliki sin-kang kuat sekali, biarpun hanya didayung, perahu itu meluncur amat cepatnya. Tujuan perahu itu adalah ke arah utara.

Kalau air laut sedang tenang, Han Han dan Lulu tidak amat menderita, akan tetapi apabila perahu dipermainkan gelombang besar, mereka menderita sekali, terutama Lulu.

Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali matahari mulai muncul di permukaan air sebelah timur, Si Muka Bopeng tiba-tiba berseru kaget.

‘Perahu di sebelah depan!!

Mereka semua memandang, termasuk Han Han dan Lulu. Benar saja, di sebelah depan tampak sebuah perahu yang mengembangkan layarnya, perahu yang bercat hitam, juga layarnya berwarna hitam.

Ma-bin Lo-mo memandang ke utara, ke arah perahu itu dan melindungi matanya dari sinar matahari dari kanan. Pandang matanya tajam sekali, lebih tajam daripada kawan-kawannya dan setelah memandang dengan pengerahan tenaga sakti pada kedua matanya, ia berkata.

‘Perahu itu bukan perahu pemerintah Mancu. Selain tidak begitu besar, juga kulihat tidak ada tentara di atas perahu, hanya ada belasan orang. Juga bukan perahu nelayan, agaknya perahu orang-orang kang-ouw yang akan menjadi saingan kita. Kejar! Kita harus basmi mereka, lebih sedikit saingan lebih baik!!

Layar tambahan dipasang, Si Muka Bopeng memegang kemudi dan tiga orang sakti itu masih menambah kelajuan perahu dengan gerakan dayung mereka. Perahu kecil ini meluncur cepat sekali melakukan pengejaran terhadap perahu yang berada di depan. Tak lama kemudian perahu itu dapat disusul dan agaknya perahu yang berada di depan juga melihat adanya perahu kecil yang menyusul mereka, dan para penumpangnya agaknya tidak merasa takut, buktinya perahu itu tidak melarikan diri, bahkan seolah-olah menanti datangnya perahu kecil yang mengejar. Akhirnya perahu itu berdekatan, dengan jarak hanya beberapa meter.

Kini tampak jelas kebenaran ucapan Ma-bin Lo-mo tadi. Perahu itu bukan perahu pemerintah, juga bukan perahu nelayan. Yang berada di atas perahu itu adalah tiga belas orang, yang sebelas pria yang dua wanita. Kedua orang wanita itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, cantik dan gagah. Sebelas orang pria itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Yang amat mencolok adalah pakaian mereka yang dasarnya berwarna hitam dan mereka semua membawa golok yang tergantung di pinggang dan tampaknya sikap mereka gagah.

Han Han memandang dengan hati tegang. Ia maklum bahwa akan terjadi hal yang mengerikan. Ketika ia menoleh ke arah Ma-bin Lo-mo, ia melihat Iblis Muka Kuda itu duduk bersila dan memandang ke arah perahu itu dengan pandang mata dingin dan sikap tak acuh. Si Hwesio dan Si Muka Bopeng juga memandang penuh perhatian, sedangkan orang yang bermuka tengkorak segera berkata lirih kepada Ma-bin Lo-mo.

‘Mereka adalah orang-orang dari Hek-liong-pang (PerkumpuJan Naga Hitam)!!

‘Sikat saja, habiskah mereka!! kata Ma-bin Lo-mo dengan suara dingin sehingga Han Han yang maklum maksudnya menjadi ngeri. Lulu hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi.

‘Akan tetapi, Siangkoan-locianpwe mereka itu adalah orang segolongan..! Si Muka Tengkorak berkata dengan muka berubah, ragu-ragu dan khawatir.

Ma-bin Lo-mo memandang kawannya ini dengan sinar marah. ‘Orang she Swi, kau ini pembantu macam apa? Kita sudah berjanji, kalian bertiga yang sudah biasa dengan pelayaran dan tahu jalan, menjadi pembantu-pembantuku dan jika berhasil perjalanan ini, kalian akan kuberi masing-masing sejilid kitab ciptaanku mengenai ilmu silat tinggi. Syaratnya kalian harus menurut dan melaksanakan semua perintahku. Sian-kouw yang memilih kalian. Apakah kini engkau hendak membantah? Apakah kau takut menghadapi tikus-tikus itu?!

‘Tidak.. tidak takut. hanya.!

‘Cukup! Hadapi mereka, dan sampaikan pesanku agar mereka tiga belas orang itu cepat meloncat ke laut karena perahu mereka akan aku tenggelamkan. Dengan demikian, kita tidak membunuh mereka, hanya merusak perahunya.!

Han Han bergidik. Gurunya ini benar-benar kejam sekali. Kalau tiga belas orang itu dipaksa meninggalkan perahu dan meloncat ke laut, apa bedanya dengan membunuh mereka? Mereka berada di laut bebas, tidak tampak dara tan, mana mungkin mereka dapat berenang menyelamatkan diri? Kalau tidak mati tenggelam tentu akan mati di perut ikan!

Sementara itu, tiga belas orang di atas perahu hitam itu agaknya sudah mengenal Si Muka Tengkorak. Seorang di antara mereka, yang tertua, berusia empat puluh tahun dan berjenggot panjang, segera mengangkat tangan menjura ke arah Si Muka Tengkorak sambil berkata nyaring.

‘Ah, kiranya Swi Coan Lo-enghiong yang membalapkan perahu mengejar kami? Harap Lo-enghiong menerima salam hormat kami yang melakukan perintah ketua kami melakukan pelayaran ini.!

‘Cu-wi (Tuan Sekalian) melaksanakan perintah apa maka berlayar sampai disini?! Suara Si Muka Tengkorak terdengar dingin.

Pimpinan orang-orang Hek-liong-pang itu mengerutkan alisnya yang tebal. ‘Kami menerima tugas rahasia dari Pangcu (Ketua) kami dan bukanlah hak kami untuk menceritakannya kepada siapa juga. Kalau Lo-enghiong ingin mengetahui, hendaknya Lo-enghiong bertanya kepada Pangcu kami sendiri.!

‘Bukankah kalian disuruh mencari Pulau Es? Berarti kalian menyaingi kami! Si Muka Tengkorak bertanya, suaranya marah karena biarpun di hatinya ia tidak setuju akan perintah Ma-bin Lo-mo, namun untuk melaksanakan perintah ini ia harus mencari alasan.

Pimpinan rombongan Hek-liong-pang yang berjenggot panjang itu tersenyum dan berkata.

‘Mana mungkin kami dapat menang bersaing dengan Lo-enghiong? Kami hanya mengandalkan nasib baik Pangcu kami.!

‘Hemmm, kalian sudah berani mati menyaingi kami mencari Pulau Es, maka jangan sesalkan aku kalau harus mengambil kekerasaan terhadap kalian.!

Tiga belas orang Hek-liong-pang itu mengeluarkan seruan marah. Mereka semua mengenal Si Muka Tengkorak dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena selama ini Si Muka Tengkorak bersahabat dengan Pangcu mereka, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang tua itu akan memusuhi mereka.

‘Swi Coan Lo-enghiong! Pulau Es adalah sebuah pulau yang bebas, bahkan pemerintah sendiri belum pernah menguasainya. Siapapun berhak untuk mencarinya. Kami melaksanakan perintah Pangcu kami, dan Lo-enghiong adalah seorang yang sudah mengenal baik Pangcu kami. Dalam usaha yang bebas ini, bagaimana Lo-enghiong mengatakan kami menyaingi dan Lo-enghiong hendak melarang kami? Harap Lo-enghiong suka ingat akan persahabatan Lo-enghiong dengan Pangcu kami.!

‘He-hemmm..! Si Muka Tengkorak terbatuk-batuk dan menjadi agak kikuk juga. Dia tidak takut kepada orang-orangHek-liong-pang ini, dan terhadap Pangcu mereka, dia hanya merupakan seorang kenalan saja. Tentu saja ia merasa sungkan, akan tetapi dia pun sudah mengenal siapa Ma-bin Lo-mo dan melanggar janji terhadap kakek sakti ini berarti bunuh diri. Maka ia lalu berkata.

‘Kalian mentaati perintah, aku pun demikian. Tidak ada jalan lain, kalian harus meninggalkan perahu kalian, sekarang juga karena perahu kalian harus ditenggelamkan di sini!!

Kembali seruan marah dan penasaran keluar dari tiga belas buah mulut dan wajah para rombongan Hek-liong-pang menjadi merah. Si Jenggot Panjang yang tahu bahwa perintah itu merupakan perintah yang mengajak berkelahi, menyangka bahwa tentu diantara orang-orang yang berada di samping Swi Coan itu yang merupakan biang keladinya. Akan tetapi dia tidak mengenal yang lain-lain dan melihat bahwa di situ terdapat dua orang anak dalam keadaan terbelenggu, dia mengerutkan keningnya dan bertanya.

‘Kalau kami boleh bertanya, siapakah yang mengeluarkan perintah gila itu? Apakah Losuhu (sebutan untuk hwesio) itu?!

Si Muka Tengkorak Swi Coan tersenyum dan mukanya makin mengerikan karena seperti tengkorak yang dapat tertawa. ‘Losuhu ini adalah sahabatku yang terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Kek Bu Hwesio seorang tokoh dari Kong-thong-pai.!

Tiga belas orang anak buah Hek-liong-pang terkejut. Nama Kek Bu Hwesio memang amat terkenal sebagai seorang tokoh yang menyeleweng dari Kong-thong-pai sehingga terusir dari perkumpulan silat yang besar itu. Mereka semua maklum bahwa hwesio itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

‘Adapun dia itu adalah Ouw Kian yang terkenal dengan julukan Ouw-bin-taihiap (Pendekar Besar Bermuka Hitam).!

Kembali tiga belas orang itu terkejut. Dalam dunia kang-ouw nama Si Muka Bopeng ini sungguh tidak kalah oleh nama besar Kek Bu Hwesio atau bahkan Si Muka Tengkorak sendiri. Ouw-bin-tai-hiap hanya julukannya saja taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya memiliki cacat yang amat menyolok, yaitu merupakan seorang pendekar yang biarpun suka memusuhi orang-orang golongan liok-lim (perampok dan bajak) namun terkenal pula sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga alias tukang memperkosa wanita). Tak mereka sangka bahwa Si Muka Tengkorak itu kini berkawan dengan orang-orang pandai itu.

‘Hemmm, nama besar kedua orang Lo-enghiong ini pun sudah kami dengar sejak lama, namun sepanjang ingatan kami, belum pernah kami dari Hek-liong-pang bentrok dengan mereka. Mengapa mereka sekarang memusuhi kami?!

‘Sama sekali tidak memusuhi!! kata Si Muka Tengkorak Swi Coan. ‘Seperti juga aku, kedua orang sahabatku ini pun hanya pembantu-pembantu yang mentaati perintah beliau ini.! Dia menuding ke arah Ma-bin Lo-mo yang masih duduk bersila sambil tidak menghiraukan mereka sama sekali, seperti orang mengantuk.

Kini tiga belas pasang mata memandang ke arah Ma-bin lo-mo dengan heran dan penuh rasa penasaran. Kakek berpakaian hitam itu kelihatannya saja aneh, mukanya amat buruk dan lucu, seperti muka kuda. Akan tetapi mereka belum pernah melihatnya sama sekali. Tiga orang itu biarpun sakti, namun para anak buah Hek-liong-pang yang mengandalkan jumlah banyak masih tidak merasa gentar, apalagi terhadap kakek asing yang mukanya seperti kuda itu.

‘Siapakah locianpwe ini?! tanya Si Jenggot Panjang menyebut locianpwe karena dapat menduga bahwa biarpun mereka belum mengenalnya, namun kakek yang memiliki tiga orang pembantu seperti tiga orang tokoh itu pastilah seorang yang amat tinggi kepandaiannya dan pastilah terkenal.

Swi Coan tersenyum lebar. ‘Kalian ini orang-orang muda seperti tidak bermata dan tidak bertelinga, masa tidak mengenal Siangkoan-locianpwe dari In-kok-san?!

Si Jenggot Panjang dan para adik seperguruannya memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, namun mereka tidak juga dapat mengingat siapa adanya seorang sakti she Siangkoan yang berdiam di In-kok-san. Akan tetapi seorang di antara dua wanita itu berkata lirih.

‘Mukanya.. jangan-jangan dia.. Ma-bin Lo-mo..!

Tiga belas orang itu terkejut dan memandang makin terbelalak. Ma-bin Lo-mo menengok dan memandang tiga belas orang itu. ‘Lihat baik-baik, bukankah mukaku seperti muka kuda? Aku memang Ma-bin Lo-mo. Hayo kalian lekas-lekas meloncat ke air dan hal ini hanya kulakukan mengingat kalian telah mengenal Swi Coan.!

Tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang itu benar-benar kaget. Mereka tidak pernah mengira akan berjumpa dengan seorang di antara datuk-datuk persilatan yang kabarnya sudah menyembunyikan diri itu, di antaranya adalah Si Muka Kuda ini. Akan tetapi karena perintah gila itu sama artinya dengan membunuh diri, tentu saja mereka sedapat mungkin hendak membela diri.

‘Maaf, Locianpwe. Terpaksa kami tidak dapat meninggalkan perahu, karena kami harus tunduk terhadap perintah Pangcu kami.!

‘Swi Coan, tidak lekas turun tangan menunggu apa lagi?! Ma-bin Lo-mo membentak kepada tiga orang pembantunya.

‘Kalian tidak lekas meloncat meninggalkan perahu?! teriak Si Muka Tengkorak sambil berjalan ke pinggir perahu, diikuti oleh dua orang temannya.

‘Suhu! Kalau mereka disuruh meloncat ke air, bukankah hal itu sama saja dengan membunuh mereka? Mereka tidak bersalah, mengapa akan dibunuh?! Han Han tidak dapat menahan kemarahannya lagi, berteriak nyaring.

‘Tutup mulutmu, murid murtad!! bentak Ma-bin Lo-mo marah.

Tentu saja tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang menjadi terheran-heran mendengar betapa anak laki-laki yang dibelenggu itu menyebut suhu kepada Ma-bin Lo-mo. Murid sendiri dibelenggu seperti itu, apalagi terhadap orang lain. Alangkah kejamnya Si Muka Kuda itu. Akan tetapi karena mereka semua maklum bahwa kalau meloncat ke air tentu mati, Si Jenggot Panjang berkata.

‘Sungguh mentakjubkan! Si murid lebih bijaksana daripada gurunya! Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), karena kami adalah orang-orang yang menjunjung kegagahan dan sebagai anak buah Hek-liong-pang yang mentaati perintah Pangcu, juga sebagai orang-orang gagah yang tentu saja hendak mempertahankan nyawa, kami terpaksa akan membela diri dan tidak mau menurut perintah gila itu!!

‘Orang-orang muda yang keras kepala!! teriak Ouw Kian si muka Bopeng dan mereka bertiga sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu Hek-liong-pang itu. Sebagai orang-orang yang lebih tinggi tingkatnya, tiga orang itu tidak mengeluarkan senjata mereka dan hendak memaksa tiga belas orang lawan mereka itu untuk dilempar ke laut.

Akan tetapi mereka kecelik. Tiga belas orang itu adalah tokoh-tokoh pilihan dari Hek-liong-pang dan kini ketua mereka mengutus mereka melakukan pekerjaan yang amat penting, yaitu mencari Pulau Es. Tentu saja ketua Hek-liong-pang tidak mau mengutus anak buah yang kepandaiannya rendah. Begitu melihat tiga orang kakek yang lihai itu meloncat ke perahu mereka, tiga belas orang itu sudah siap mencabut golok masing-masing dan membentuk sebuah barisan melingkar, merupakan lingkaran yang kokoh kuat, barisan golok yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Begitu tiga orang kakek itu mendarat di perahu mereka, tiga belas orang yang membentuk lingkaran ini sudah bergerak, setengah berlari berputaran sehingga lingkaran itu bergerak-gerak dan tiga orang kakek berada di luar lingkaran.

Ketika tiga orang kakek itu sambil berteriak maju menyerang dengan kedua tangan mereka, hendak mencengkeram seorang lawan dan dilempar ke laut, mereka masing-masing bertemu, dengan tiga empat buah golok yang sekaligus menangkis dan membacok secara lihai sekali. Mereka terkejut dan cepat mengelak dan hendak membalas dengan hantaman kilat. Namun lingkaran itu bergerak dan mereka berhadapan dengan lain lawan sehingga mereka kembali harus mengubah posisi dan gerakan. Ternyata barisan tiga belas golok ini lihai sekali dan dapat bekerja sama dengan baik, saling membantu dan saling melindungi.

Tiga orang kakek itu mulai berputaran mengelilingi lingkaran itu, melakukan segala usaha untuk menyerang, namun selalu tidak berhasil. Andaikata tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang itu mau menyerang, tentu mereka bertiga akan dapat ‘memasuki! pertahanan mereka dan merobohkan seorang di antara mereka. Akan tetapi, tiga belas orang itu tahu bahwa tingkat kepandaian lawan mereka jauh lebih tinggi maka mereka memusatkan perhatian dan tenaga mereka semata-mata untuk pertahanan sehingga kedudukan mereka kuat sekali. Betapapun tiga orang kakek itu berusaha, selalu serangan mereka gagal, karena setiap serangan seorang diantara mereka berhadapan dengan tiga empat orang yang menangkisnya.

Setelah lewat dua puluh jurus belum juga tiga orang pembantunya merobohkan seorang pun di antara tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang, Ma-bin Lo-mo menjadi hilang sabar.

‘Sialan! Kalian menjadi pembantu-pembantuku namun tiada gunanya. Mundur semua!!



Bab 10 –

Seruan ini segera diturut oleh tiga orang pembantunya yang meloncat kembali ke perahu kecil. Sesungguhnya, kalau mereka itu mau mencabut, senjata masing-masing dan mengeluarkan seluruh kepandaian, agaknya mereka akan berhasil. Namun mereka memang setengah hati dalam pertandingan itu, masih agak segan mengingat bahwa Hek-liong-pang bukanlah musuh dan bahkan masih terhitung segolongan. Ketua Hek-liong-pang yang bernama Ciok Ceng, berjuluk Hek-hai-liong (Naga Laut Hitam) adalah seorang bajak laut dan juga bajak sungai yang terkenal sekali, dan terkenal sebagai bajak yang hanya mau membajak perahu-perahu saudagar dan pembesar, tidak pernah mengganggu rakyat atau nelayan, dan juga tidak pernah memusuhi orang-orang kang-ouw.

Kini terdengarlah lengking tinggi yang menyeramkan dan tubuh Ma-bin Lo-mo yang tadinya masih duduk bersila, tahu-tahu mencelat ke arah perahu Hek-liong-pang itu dengan gerakan yang cepat sekali. Tiga belas orang itu terkejut melihat tubuh kakek muka kuda itu tahu-tahu sudah menyambar ke arah mereka dan barisan itu cepat bersiap-siap dengan golok melintang di dada.

Akan tetapi mereka menjadi makin terkejut karena kakek itu begitu menotolkan kedua kaki di perahu mereka, perahu itu terguncang keras sehingga kuda-kuda kaki mereka pun menjadi kacau. Dan pada saat itu Ma-bin Lo-mo melakukan gerakan meloncat seperti terbang mengelilingi mereka dengan kedua lengannya bergerak-gerakseperti mendorong.

Terdengar pekik-pekik mengerikan dan dalam sekejap mata saja terdengar golok terlepas dari tangan, berjatuhan di lantai perahu berkerontangan disusul robohnya tubuh mereka. Tiga belas orang itu roboh malang-melintang dan menggeliat-liat dengan wajah berubah, mula-mula pucat, kemudian makin lama menjadi biru dan tubuh mereka yang menggeliat-geliat itu menggigil kedinginan.

Mereka itu telah menjadi korban pukulan Swat-im Sin-ciang dan akibatnya benar-benar mengerikan sekali. Mereka itu mati tidak hidup pun tidak, melainkan tersiksa oleh rasa nyeri yang diakibatkan oleh hawa dingin yang seolah-olah membuat isi dada mereka membeku!

‘Hemmm, kalian memang sudah bosan hidup!! kata Ma-bin Lo-mo, kemudian kakek sakti ini menyambar sebatang golok musuh yang berserakan di lantai perahu, dan dengan senjata ini ia meloncat ke kepala perahu, membacok beberapa kali ke lantai dan pecahlah dasar perahu sehingga air mulai menyemprot masuk! Setelah melempar golok itu ke air, ia lalu melompat dengan enaknya ke perahu sendiri. Empat orang kakek itu berdiri di perahu mereka, memandang perahu hitam yang mulai tenggelam, membawa tiga belas orang yang menggeliat-geliat dalam sekarat.

‘Ohhh.. kejam sekali.. aahhh, Koko, aku takut..!

Lulu berkata lirih dan mulai menangis. Han Han hanya menggigit bibir dan diam-diam membuat perbandingan antara kakek yang menjadi gurunya ini dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sukar ia menentukan siapa di antara kedua orang itu yang lebih kejam hatinya. Memang mereka memiliki ‘pegangan! yang berbeda, yaitu kalau Kang-thouw-kwi Gak Liat merupakan seorang yang mau tunduk kepada kerajaan Mancu, sedangkan Si Muka Kuda ini menjadi seorang penentang bangsa Mancu, namun baginya, kedua orang itu merupakan orang-orang yang memiliki pribadi yang amat mengerikan, memiliki watak kejam yang mudah saja membunuhi orang lain seperti orang membunuh semut saja.

Ketika perahu Hek-liong-pang itu tenggelam, Han Han membuang muka, bukan merasa ngeri, melainkan merasa muak dan diam-diam ia mempertebal keinginannya untuk mempelajari ilmu silat sehingga menjadi orang pandai yang kelak akan dapat menentang manusia-manusia iblis seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang dianggap sebagai datuk-datuk golongan hitam ini.

Kembali tiga hari tiga malam telah lewat. Kini mereka benar-benar berada di tengah lautan yang bebas dan kedua orang anak itu kini tidak dibelenggu lagi, karena mereka diharuskan membantu memasak air dan nasi. Han Han dan Lulu bekerja tanpa banyak cakap, hanya di waktu malam, kalau Lulu kedinginan karena mereka diharuskan tidur di dek yang terbuka, Han Han memeluk adiknya ini untuk menghangatkan tubuh adiknya, menghibur jika adiknya menangis dan ketakutan. Dan pada hari ke empatnya, jadi telah tujuh hari mereka memasuki lautan, perahu tiba di daerah yang banyak pulau-pulaunya. Pulau-pulau kecil yang mulai tampak dari jauh.

‘Sudah belasan kali aku berkeliaran di antara pulau-pulau itu, selama puluhan tahun yang lalu, namun tak pernah berhasil menemukan Pulau Es,! kata Ma-bin Lo-mo kepada tiga orang pembantunya sambil berdiri di kepala perahu dan menghela napas. ‘Akan tetapi, sekarang kabarnya banyak yang mulai mencari-cari, tentu pulau itu telah muncul pula di permukaan air.!

‘Apakah dahulu pulau itu tenggelam?! tanya Kek Bu Hwesio, tertarik.

‘Begitulah, agaknya. Ada kalanya tenggelam dan ada kalanya timbul. Kalau tidak begitu, masa dahulu dicari oleh banyak orang tidak pernah dapat ditemukan?!

‘Siangkoan Locianpwe, benarkah kabarnya bahwa di atas Pulau Es itu dahulu tinggal seorang yang maha sakti?! Tanya Si Muka Tengkorak.

‘Saya mendengar, manusia dewa Koai-lojin tinggal di sana..?! tanya Ouw Kian si Muka Bopeng.

‘Kalian bantu saja aku mendapatkan Pulau Es itu, tak usah banyak tanya-tanya. Kalau berhasil, kitab-kitab ciptaanku akan membuat kalian menjadi orang-orang yang benar-benar lihai, tidak seperti sekarang ini, mengalahkan tiga belas ekor tikus Hek-liong-pang saja masih sulit.!

‘Ada perahu lagi..!! Terlambat Han Han menutup mulut Lulu dengan tanganya. Empat orang itu sudah menengok ke belakang dan benar saja, tampak sebuah perahu besar sekali datang dengan cepatnya dari arah belakang. Kalau Han Han yang melihatnya, dia tentu tidak akan mau memberi tahu karena ia khawatir kalau-kalau penumpang-penumpang perahu itu akan menjadi korban kekejaman Ma-bin Lo-mo lagi. Akan tetapi mereka sudah mendengar dan sudah melihat datangnya perahu itu, maka ia pun hanya ikut memandang dengan kening berkerut.

Seperti juga tiga hari yang lalu ketika perahu Hek-liong-pang itu muncul, kini Ma-bin Lo-mo menggunakan kekuatan pandang matanya untuk meneliti perahu besar itu dan suaranya terdengar tegang ketika ia berkata.

‘Wah, sekali ini perahu Mancu! Kalian bertiga harus hersiap-siap dan jangan seperti anak kecil seperti ketika menghadapi Hek-liong-pang. Kurasa Setan Botak berada di pulau itu dan kita harus bersiap untuk bertempur mati-matian. Lawan yang sekarang ini tidak boleh dipandang rendah.!

‘Setan Botak ? Kang-thouw-kwi...?! Si Muka Tengkorak Swi Coan berkata dengan suara gentar. Menggelikan sekali bagi Han Han melihat orang yang mukanya buas mengerikan seperti itu kini kelihatan ketakutan!

‘Tak usah khawatir! Gak Liat adalah lawanku dan kalian hanya menghadapi orang-orang Mancu. Gak Liat tidak akan begitu bodoh untuk membawa orang-orang kang-ouw membantunya. Dia sendiri mengilar untuk mendapatkan pulau itu, dan hanya membonceng kepada orang-orang Mancu. Ha-ha-ha!!

Sekali ini pun dugaan Ma-bin Lo-mo amat tepat. Perahu besar itu perahu Kerajaan Mancu dan karena besar dan layarnya banyak, amat laju dan sebentar saja perahu Ma-bin Lo-mo tersusul. Setelah makin dekat, tiga orang kakek itu pun dapat melihat seorang botak berdiri di kepala perahu, sedangkan anak buah perahu besar itu terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang tinggi besar berpakaian perwira-perwira Mancu!

‘Bagus! Hanya tiga puluh orang perwira Mancu! Tiga belas orang Hek-liong-pang tadi masih lebih berat kalau dibandingkan dengan tiga puluh ekor anjing Mancu. Kalian bertiga sikat habis mereka, dan mengenai Setan Botak, akulah lawannya!! kata Ma-bin Lo-mo penuh semangat.

‘Mereka berada di sekitar daerah ini, kalau begitu tujuan kita tidak keliru. Pasti Pulau Es berada di sekitar tempat ini. Perwira-perwira Mancu itu tidak akan membuang waktu sia-sia kalau belum tahu dengan pasti.!

Pada saat itu, biarpun jarak di antara kedua perahu itu masih jauh, terdengar suara yang terbawa angin, jelas dan mengandung getaran amat kuatnya!

‘Ha-ha-ha-ha! Iblis Muka Kuda, engkau di sana itu? Ha-ha-ha, bagus sekali! Aku akan setengah mati kegirangan menyaksikan engkau mampus di tengah lautan!!

Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Ouw Kian terkejut sekali. Seorang yang memiliki khikang begitu kuat, yang dapat mengirim suara menerobos angin laut sehingga dalam jarak sejauh itu dapat terdengar begitu jelas, adalah seorang lawan yang amat berat! Akan tetapi kegelisahan mereka lenyap dan terganti kagum ketika mereka melihat Ma-bin Lo-mo berdiri di kepala perahu sambil mengeluarkan suaranya yang didorong oleh khikang yang amat kuat. Suara itu terdengar perlahan saja oleh tiga orang itu, akan tetapi menggetar dan penuh tenaga mujijat.

‘Gak Liat Si Setan Botak! Engkau menggiring anjing-anjing Mancu ke sini? Bagus, dekatkan perahumu dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menjadi santapan ikan! Adapun anjing-anjing Mancu itu, suruh mereka mengeroyok!!

Ha-ha-ha, Ma-bin Lo-mo, apakah kau kira aku begitu bodoh? Kulihat kau membawa pembantu-pembantu. Si MukaTengkorak, Si Hwesio Palsu, dan Si Muka Bopeng! Para Ciangkun yang datang bersamaku tentu tidak mau merendahkan diri bertanding melawan pembantu-pembantumu. Ha-ha! Kau sendiri tentu akan mampus kalau melawanku, akan tetapi ada pekerjaan penting yang lebih berharga bagiku. Maka, menyesal sekali aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Iblis Muka Kuda! Sekarang mampuslah bersama para pembantumu!!

Setelah terdengar suara Kang-thouw-kwi ini, dari perahu para perwira Mancu itu meluncur banyak anak panah yang tertuju kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Namun, dengan kibasan tangan mereka, empat orang kakek sakti itu dapat meruntuhkan semua anak panah yang menyambar mereka. Adapun Han Han cepat menarik tangan Lulu diajak bertiarap di atas dek perahu, kemudian sambil merangkak Han Han menggandeng Lulu, hendak diajak mengungsi dan bersembunyi di dalam kamar perahu. Melihat ini, Si Muka Tengkorak lalu menendang kedua orang anak itu roboh.

‘Belenggu mereka, agar jangan mengganggu!! kata Ma-bin Lo-mo yang teringat bahwa Han Han pernah menjadi kacung Setan Botak dan khawatir kalau-kalau murid murtad itu akan berkhianat. Si Muka Tengkorak cepat melaksanakan perintah ini, mengikat tubuh kedua orang anak dengan tangan mereka ditelikung ke belakang, kemudian melemparkan mereka di sudut lantai perahu.

‘Ha-ha-ha, Setan Botak! Anak panah-anak panah macam ini kau kirim kepada kami? Boleh habiskan anak panah-anak panah semua anjing Mancu!! Ma-bin Lo-mo tertawa mengejek untuk memanaskan hati lawan agar perahunya makin mendekat sehingga ia bersama tiga orang pembantunya dapat meloncat dan menyerbu. Ia percaya bahwa tiga orang pembantunya pasti akan dapat mengalahkan para perwira Mancu dan agaknya hal itu diketahui pula oleh Kang-thouw-kwi. Akan tetapi, ternyata Kang-thouw-kwi amat cerdik dan biarpun para perwira Mancu membujuk dengan hati panas untuk mendekatkan perahu, Si Setan Botak menolaknya, bahkan lalu memberi saran untuk melepas anak panah berapi!

Serangan ini dilakukan dan terkejutlah Ma-bin Lo-mo. Tak disangkanya musuh akan menggunakan akal ke ji ini. Setelah puluhan batang anak panah yang membawa kain berminyak dan berkobar itu datang meluncur berhamburan, dia dan tiga orang pembantunya menjadi repot sekali. Selain harus menangkis dan menghindarkan diri, mereka harus pula berusaha memadamkan api yang dibawa anak panah menancap pada bilik perahu dan pada layar.

‘Celaka, perahu terbakar!! seru Kek Bu Hwesio dan benar saja. Tiga orang itu kekurangan tenaga untuk memadamkan api yang mulai membakar perahu. Mereka masih terus berusaha, namun akhirnya bilik perahu itu dimakan api. Api berkobar besar dan mengancam untuk membakar semua yang berada di perahu.

‘Kita harus meninggalkan perahu!! seru Ma-bin Lo-mo. ‘Putuskan pengapung perahu dari bambu di kanan kiri dan pergunakan untuk penyelamat diri!!

Tiga orang pembantunya yang sudah panik itu cepat melompat dari atas perahu yang terbakar. Mula-mula Si Muka Tengkorak yang lebih dahulu meloncat ke air, disusul oleh Si Muka Bopeng yang tadinya berusaha memadamkan api di atas atap bilik. Dari atas atap bilik ia melayang turun ke air dengan gerakan seperti hendak terbang. Adapun Kek Bu Hwesio yang tangannya gosong terjilat api, cepat meloncat pula ke air. Tiga orang ini mematahkan bambu pengapung perahu di kanan kiri dan mempergunakan bambu-bambu itu untuk menyelamatkan diri dari bahaya tenggelam.

Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri sudah masuk ke dalam bilik yang berkobar, dan keluar kembali membawa sebuah ember. Ember yang disangkanya berisi minyak yang disediakan untuk memasang lampu itu ia siramkan ke atas tubuh Han Han dan Lulu sambil tertawa,

‘Aku tidak berhak menghukummu, biarlah sekarang kalian ikut berkobar bersama perahu!! Setelah menyiramkan isi ember yang disangkanya minyak itu, Ma-bin Lo-mo melompat ke air menyusul kawan-kawannya.

Han Han segera mengerti bahwa dalam keadaan marah dan panik itu Ma-bin Lo-mo telah keliru ambil. Di dalam bilik hanya terdapat sebuah ember yang terisi minyak, dan belasan ember terisi air, yaitu air persediaan untuk minum. Begitu disiram, Han Han tahu bahwa yang membasahi dia dan Lulu bukanlah minyak, melainkan air. Diam-diam ia menjadi geli dan girang, akan tetapi hanya sebentar. Bagaimana dia bisa girang kalau bahaya api itu sedemikian hebatnya? Melompat ke air berarti mati tenggelam karena kedua tangan mereka terbelenggu. Tidak melompat akan mati terbakar.

‘Koko.. aku takut... api itu akan membakar kita..!

Tiba-tiba saja air laut bergelombang hebat dan sinar matahari tertutup mendung tebal yang tanpa mereka sadari sejak tadi telah mengumpul. Di udara yang gelap oleh mendung itu tampak kilat menyambar-nyambar. Agaknya langit menjadi marah menyaksikan ulah nanusia-manusia yang berwatak bejat itu. Atau kebetulan sajakah pada saat itu badai mulai mengamuk? Tak ada manusia yang dapat menjawab, namun kenyataannya, ombak makin membesar dan langit makin gelap.

‘Lulu, lekas berdiri contohlah aku. Kita bakar belenggu kita pada api!! kata Han Han sambi angkit berdiri dan mendekati api yang membakar bilik perahu. Dia mendekatkan belenggu tangannya pada api dan hal ini dapat ia lakukan dengan mudah karena begitu terjilat api, otomatis tenaga inti Hwi-yang Sin-kang yang sudah berada di tubuhnya bekerja sehingga kedua tangannya tidak terasa panas sama sekali, bahkan hangat-hangat nyaman! Akan tetapi ketika Lulu mencoba untuk mencontoh kakaknya, ia menjerit dan cepat-cepat menarik kembali tangannya yang untung belum terlanjur terbakar.

Han Han dapat membebaskan belenggu tangan yang sudah terbakar. Cepat ia lalu melepaskan ikatan adiknya.

‘Hayo kita meloncat ke air!! teriak Han Han.

‘Tidak mau..! Aku takut..!! kata a Lulu sambil menangis dan menutupi mukanya agar jangan terlihat olehnya gelombang hebat yang seolah-olah hendak menelannya itu.

Angin menderu keras dan Han Han berteriak melawan suara angin, ‘Apakah kau ingin terbakar api?!

Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar kilat menyambar di atas kepala, keras sekali dan kedua orang anak itu dengan gerakan reflex yang tak disengaja sudah bertiarap di atas lantai perahu sambil menutup kedua telinga dengan tangan. Ketika mereka merangkak dan hendak bangkit kembali, tiba-tiba Lulu berteriak.

‘Hujan.!!

Bukan air hujan, melainkan percikan air gelombang yang mengamuk. Perahu menjadi miring dan banyak air menyiram perahu sehingga bilik yang terbakar itu segera padam. Makin keras perahu terayun, makin hebat gelombang mengamuk dan makin gelaplah langit. Han Han yang dilempar ke dek oleh guncangan perahu, cepat menyeret tangan adiknya, dibawa memasuki bilik perahu yang sudah tidak terbakar lagi.

Ia berhasil menyeret tubuh Lulu yang menggigil itu ke dalam bilik dan biarpun perahu masih terayun-ayun sehingga tubuh mereka menabrak kanan kiri dinding, namun tidak ada bahaya mereka terlempar keluar perahu. Babak-bundas tubuh mereka, terutama Lulu dan benturan terakhir membuat kepala Lulu terbanting pada dinding sehingga anak itu roboh pingsan di pelukan Han Han.

Han Han sendiri sudah payah mempertahankan diri. Ketika dia bersama tubuh Lulu terbanting ke kanan, ia melihat dua buah kitab di dekatnya. Ia mengira bahwa itu tentulah kitab yang ditinggalkan oleh Sepasang Pedang Iblis, maka ia cepat mengambilnya dan memasukkannya kembali ke balik bajunya. Pada saat itu ia terbanting lagi ke kanan dan kepeningan membuat Han Han meramkan mata. Namun dalam keadaan yang setengah pingsan itu ia masih selalu teringat kepada Lulu yang dipeluknya erat-erat di dadanya.

Entah berapa lamanya badai mengamuk, Han Han tak dapat mengira-ngira. Cuaca selalu gelap sehingga tidak ada bedanya antara siang dan malam, hanya ia tahu bahwa badai mengamuk lama sekali, terlalu lama. Untung bahwa di luar kesadarannya, Han Han memiliki daya tahan yang tidak lumrah.

Badai itu mengamuk sampai dua hari dua malam, dan selama itu Lulu menggeletak dalam keadaan setengah pingsan, hanya sebentar-sebentar mengerang lalu ‘tertidur! lagi. Namun Han Han tetap sadar!

Ketika perahu berhenti terayun dan cuaca menjadi terang kembali, keadaan amat tenangnya, Han Han baru merasa betapa tubuhnya nyeri semua. Tulang-tulang tubuhnya seperti remuk-remuk dan Lulu merintih perlahan.

‘Bangunlah, Adikku, bangunlah. Badai sudah berhenti,! bisiknya dan Lulu membuka matanya perlahan.

‘Han-ko., apakah kita sudah.. sudah mati..? Tubuhku lemas sekali dan semua terasa sakit..!

Han Han merasa kasihan sekali. ‘Kita masih hidup, Lulu.! Ia mencari-cari dalam bilik yang sudah rusak keadaannya. Alangkah girang hatinya ketika ia menemukan guci arak milik Ma-bin Lo-mo. Guci ini terbuat daripada perak dan tertutup rapat-rapat sehingga biarpun terguncang dan terlempar-lempar, tidak rusak dan isinya tidak terbuang. Ia cepat membuka tutup guci dan menuangkan sedikit arak ke mulut adiknya. Lulu meneguk arak dan tersedak, terbatuk-batuk.

Akan tetapi hawa yang hangat memasuki tubuhnya dan anak itu biarpun masih amat lemah sudah dapat bangkit dan duduk, malah kemudian berkata,

‘Perutku lapar..!

Han Han tertawa dan pada saat itu ja pun baru sadar betapa perutnya amat perih dan lapar. Ia lalu membongkar-bongkar semua barang yang terjungkir balik di dalam bilik itu, mencari-cari perbekalan makanan Ma-bin Lo-mo dan akhirnya dengan girang ia menemukan beberapa potong roti kering. Biarpun roti ini sudah basah oleh air laut dan terasa asin, namun cukup lumayan untuk pengisi perut yang kosong, mencegah kematian karena kelaparan.

Setelah terisi roti dan arak, tenaga mereka agak pulih kembali. Han Han lalu menggandeng tangan adiknya diajak keluar dari bilik itu. Mereka mengintai keluar dan melihat bahwa mereka berada di laut bebas, tidak tampak lagi pulau-pulau kecil, tidak tampak sama sekali perahu besar milik Kang-thouw-kwi.

Han Han berusana mencari-cari Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, akan tetapi tak tampak pula bayangan mereka. Tentu mereka sudah tenggelam, pikirnya. Dan perahu besar milik perwira-perwira Mancu itu tentu telah hanyut jauh oleh badai yang mengamuk.

Hatinya agak lega karena kini dia dan adiknya terbebas daripada ancaman manusia-manusia iblis itu. Akan tetapi ancaman maut yang lebih mengerikan berada di depan mata. Mereka tidak mempunyai persediaan makanan cukup, terutama sekali air minum, dan selain perahu sudah rusak sehingga tidak dapat dikemudikan, layarnya pun sudah tinggal sedikit di bagian atasnya saja, juga tidak tampak ada daratan yang dekat.

Betapa mungkin mereka dapat hidup di atas perahu rusak ini? Mereka akan mati kelaparan dan Han Han tidak tahu apa yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan diri daripada ancaman maut ini.

Memang, kalau menurut perhitungan akal budi manusia, agaknya nasib dua orang anak itu sudah dapat dipastikan tewas di atas perahu itu. Tidak ada jaIan keluar lagi dan akal manusia tidak akan dapat menyelamatkan mereka. Akan tetapi, nyawa manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan.

Apabila Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun orang itu memiliki nyawa seribu rangkap, memiliki kesaktian, memiliki segala-galanya dia akan mati juga karena tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membebaskannya daripada kehendak Tuhan. Kalau Tuhan sudah menentukan dia mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, maut tetap akan datang menjemput.

Sebaliknya, jika Tuhan belum menghendaki seseorang mati, biarpun tampaknya sudah tidak ada harapan baginya, namun ia tetap akan lolos dari ancaman maut. Demikianlah pula dengan halnya Han Han dan Lulu. Kedua orang anak ini sama sekali tidak mempunyai daya untuk lolos dari keadaan itu. Namun, pada malam harinya, tiba-tiba saja turun hujan sehingga mereka dapat membasahi tenggorokan yang sudah mengering dan membengkak!

Dan hujan ini disusul dengan tiupan angin yang mengguncang air sehingga ombak datang bergulung-gulung. Han Han dan Lulu kembali bersembunyi di dalam bilik perahu yang sudah rusak, saling berpelukan dan menghadapi kematian yang agaknya sekali ini takkan dapat mereka hindarkan lagi. Mereka merasa betapa perahu itu bergerak, dilontarkan oleh gelombang air laut. Lulu tidak dapat menangis lagi, hanya memeluk pinggang Han Han, menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil ber bisik dengan suara gemetar.

‘Kita mati, Koko.. kita mati.. akan tetapi jangan tinggalkan aku.. kita bersama.!

Suara dan ucapan Lulu itu mendatangkan rasa puas dan lega di hati Han Han. Apapun yang akan terjadi, dia tidak sendirian, dia mempunyai seorang adik yang mencintanya dan yang dicinta. Dia tidak akan merasa penasaran biarpun dia akan mati, asal dia dapat mati bersama Lulu agar di mana pun juga, ia akan dapat mengawani dan melindungi adiknya ini.

Karena tubuh mereka sudah amat lemah, kepala pening dan pikiran mereka menjadi lemah pula, mereka tidak tahu lagi berapa lama mereka berdekapan di dalam bilik. Perahu itu diombang-ambingkan terus dan cuaca menjadi gelap, kemudian berubah terang, gelap lagi sampai lama sekali dan tiba-tiba mereka terlempar dan menumbuk dinding. Perahu itu membentur sesuatu!

Han Han membuka matanya dan melihat bahwa cuaca sudah menjadi terang. Ada sinar menerobos masuk ke dalam bilik dan hawa udara amatlah dinginnya. Perahu itu tidak bergerak lagi.

‘Lulu, badai sudah berhenti lagi. mari. mari kita keluar..! kata Han Han dengan suara lemah.

Lulu membuka matanya. Ia merasa nyaman dan senang dalam pelukan Han Han, seperti dinina-bobokkan dan ia merasa malas untuk bangun, malas untuk membuka mata. Ingin rasanya ia memejamkan mata dan tidur selamanya dalam keadaan seperti itu. Ia takut akan melihat dan menemukan hal-hal yang mengerikan kalau membuka matanya.

‘Lulu.. mari kita keluar... kita harus berusaha, untuk mendarat..!

‘Oohhh.. lebih senang begini, Koko...! Lulu mempererat rangkulannya pada pinggang Han Han dan sama sekali tidak mau membuka matanya.

Han Han menunduk dan ketika ia melihat wajah adiknya yang kurus dan amat pucat seperti mayat itu, hatinya seperti ditusuk rasanya. Entah mengapa ia seperti mendapat firasat bahwa kalau didiamkannya saja keadaan adiknya ini, tak lama lagi ia akan kehilangan Lulu!

Maka ia menguncang pundak Lulu dan berkata keras. ‘Tidak! Selama nyawa masih di badan kita, kita harus berusaha! Bangunlah, Adikku sayang. Jangan takut, Kakakmu akan selalu berada di sampingmu!!

Lulu membuka matanya dan seperti seorang yang baru bangun dari mimpi buruk ia mengejap-ngejapkan matanya, seolah-olah silau melihat cahaya terang yang memasuki bilik perahu. Kemudian dengan tubuh lemas ia bangkit dan menggandeng tangan kakaknya. Ketika Han Han menariknya berdiri, Lulu menuding ke lantai dan berkata.

‘Koko, kitab-kitabmu tercecer..!

Han Han menunduk dan ia terheran. Ia meraba-raba pinggangnya dan mendapat kenyataan bahwa kitab-kitabnya memang tidak berada di saku bajunya sebelah dalam lagi. Akan tetapi, mengapa ada tiga buah kitab? Bukankah Sepasang Pedang Iblis memberinya dua buah kitab yang sudah disatukan? Ia berjongkok dan mengambil kitab-kitab itu. Yang sebuah adalah kitab tebal dan ternyata adalah dua buah kitab yang disatukan, kitab peninggalan SepasangPedang Iblis.

Akan tetapi yang dua buah lagi adalah kitab-kitab yang baru dilihatnya saat itu. Kini mengertilah ia bahwa dua buah kitab yang dia simpan di balik bajunya ketika perahu terbakar, adalah dua buah kitab yang baru inilah. Sekilas pandang ia membaca judul dua buah kitab itu. Yang sebuah berjudul ‘Menghimpun Tenaga Im-kang! dan yang ke du berjudul ‘Berlatih Samadhi dan Lwee-kang!, keduanya ditulis oleh Ma-bin Lo-mo.

Mengertilah ia kini bahwa dua buah kitab itulah yang agaknya oleh Ma-bin Lo-mo dijanjikan kepada tiga orang pembantunya. Tentu ada sebuah kitab lagi yang entah lenyap di mana, akan tetapi ia tidak peduli. Ia mengambil tiga buah kitab itu dan menggandeng tangan Lulu diajak keluar dari bilik. Ketika mereka muncul di luar bilik perahu, mereka mengeluarkan seruan kaget, kagum dan juga girang.

Kiranya perahu rusak itu telah terdampar di antara kepulauan yang kelihatannya aneh sekali, serba putih! Bahkan pohon-pohon yang tampak di situ diliputi salju. Pulau Es! Pikiran ini memasuki ingatan Han Han dan ia diserang rasa girang yang amat luar biasa sehingga terhuyung ke depan.

Pulau Es..! Lulu, kita berada di Pulau Es !! Han Han berteriak-teriak dan menarik tangan Lulu untuk keluar dari perahu itu. Lupa akan kelemahan tubuhnya dan lupa bahwa Lulu tidak berkepandaian. Han Han yang menarik tangan adiknya itu membawanya melompat turun dari perahu ke atas daratan yang tertutup salju. Untung bahwa salju itu merupakan tilam yang lunak sehingga ketika mereka bergulingan jatuh, mereka tidak terluka. Mereka bahkan tertawa-tawa karena merasa bahwa kini mereka akan tertolong.

‘Kita selamat.! Kita mendarat..!! seru Han Han sambil tertawa-tawa dan napasnya terengah-engah. Anak ini dengan keadaan tubuhnya yang tidak lumrah, telah berhari-hari dapat bertahan terhadap segala kesengsaraan dan semua itu terdorong oleh semangatnya untuk menyelamatkan Lulu. Kini, setelah kekuatan yang luar biasa dan yang tadinya ia pergunakan untuk mempertahankan dirinya itu mendapat jalan keluar karena kelegaan dan kegembiraannya, ia tiba-tiba menjadi lemah sekali dan bernapas pun menjadi sukar.

Ia berjalan maju, tersandung-sandung sambil tertawa-tawa, diikuti dari belakang oleh Lulu yang terus memegangi tangan kirinya. Tiba-tiba Han Han yang tertawa-tawa itu terguling roboh menelungkup di atas salju. Tiga buah kitab yang tadi dipegang di tangan kanannya, terlepas.

‘Koko..! Han-ko...! Ah, Han-ko, bangunlah..! Lulu mengguncang-guncang tubuh kakaknya, akan tetapi Han Han tidak bergerak. Melihat kakaknya seperti itu, Lulu menjerit-jerit dan menangis tanpa mengeluarkan air mata karena sudah terlalu banyak menangis dan matanya sudah terlalu kering sehingga agaknya tidak mempunyai air mata lagi.

‘Han-ko..! Jangan mati, Han-ko.., jangan tinggalkan aku..!! Lulu menjerit-jerit dan memeluki tubuh Han Han.

‘Gerrrrr..!!

Suara gerengan yang menggetarkan pulau itu membuat Lulu terkejut sekali dan anak ini mengangkat mukanya yang tadi ia letakkan di atas punggung Han Han. Ketika ia bangkit dan mengangkat muka, matanya terbelalak lebar sekali, mulutnya ternganga dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi seperti kertas.

Tidak ada suara keluar dari mulutnya. Lulu menjadi begitu kaget dan ngeri sehingga ia sudah kehilangan suaranya, hanya melongo seperti orang mimpi atau kehilangan akal. Di depannya, dekat sekali, berdiri seekor binatang yang amat besar, seekor beruang yang berbulu putih. Beruang itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya, besar dan tinggi sekali, mengeluarkan suara menggereng-gereng dan matanya yang merah itu sejenak memandang ke arah perahu yang terdampar, kemudian menunduk dan memandang kepada Han Han dan Lulu. Mulutnya yang terbuka itu memperlihatkan rongga mulut dan lidah yang merah dan gigi bertaring yang putih, kuat dan meruncing.

Setelah menggereng beberapa kali, binatang besar itu lalu menurunkan kedua kaki depannya, merangkak menghampiri Han Han.

‘Ohhhhh, tidak.. jangan.! Lulu menggeleng kepalanya. ‘ jangan mengganggu Han-ko..! Memang luar biasa sekali cinta kasih bocah ini terhadap kakak angkatnya. Andaikata tidak ada kekhawatirannya terhadap Han Han, tentu ia sudah roboh pingsan seketika itu juga saking ngerinya. Kini, melihat beruang itu mendekati Han Han, Lulu melupakan rasa takutnya dan berusaha mengusir beruang itu dengan suara dan gerakan tangan!

Namun, beruang itu agaknya tidak mempedulikan Lulu, menggunakan kedua kaki depan seperti sepasang lengan manusia, memondong tubuh Han Han dengan amat ringannya, kemudian bangkit berdiri lagi dan berjalan terseok-seok sambil memondong tubuh Han Han yang masih pingsan!

Lulu terbelalak, seperti terpesona. Beruang itu tidak menggigit Han Han, tidak menganggunya, malah memondong dan seperti hendak menolongnya! Ia pun lalu bangkit perlahan, mengambil tiga buah kitab yang tertinggal di situ, kemudian berjalan perlahan-lahan mengikuti beruang itu. Dia merasa terlalu takut kalau beruang itu menjadi marah dan mengganggu Han Han, maka Lulu melangkah maju tanpa mengeluarkan suara, bahkan setengah menahan napas karena mengkhawatirkan keselamatan kakaknya.

Beruang putih atau beruang es itu berjalan terus membawa Han Han ke tengah pulau. Dalam kekhawatirannya akan keselamatan kakaknya, Lulu yang sebetulnya sudah amat lemah itu, kini dapat berjalan terus mengikuti beruang itu sampai ke tengah pulau.

Padahal tadi, melangkah setidak pun sudah terasa amat berat, bagi tubuhnya yang kurang makan sampai berhari-hari dan telah mengalami kesengsaraan hebat itu.

Alangkah heran hati Lulu ketika ia melihat sebuah bangunan yang cukup besar di tengah pulau dan ke arah bangunan itulah beruang besar tadi membawa Han Han. Jantungnya berdebar tegang. Kalau ada rumahnya, tentu ada orangnya! Orang macam apakah yang tinggal di pulau kosong ini? Lulu terus mengikuti beruang itu yang membawa Han Han memasuki bangunan, terus masuk ke dalam. Lulu melongo.

Bangunan itu amat indahnya, dibuat dengan gaya seni yang luar biasa. Akan tetapi ia tidak sempat untuk mengagumi semua itu karena matanya mencari-cari penghuni rumah itu. Kosong dan sunyi saja. Dan beruang itu membawa Han Han masuk kesebuah kamar yang besar, kemudian membaringkan tubuh Han Han di atas sebuah pembaringan yang bertilam kain berbulu tebal. Kamar itu pun bersih dan dindingnya penuh dengan tulisan-tulisan tangan yang indah-indah.

Di sudut kamar itu terdapat sebuah tempat perapian. Lulu yang tidak tahu harus berbuat apa, duduk di tepi pembaringan, memegang tangan Han Han dan mengguncang-guncangnya. Namun Han Han seperti orang tertidur pulas, tidak juga terbangun. Dengan ketakutan yang makin meningkat, Lulu mengikuti gerakan-gerakan beruang itu dengan pandang matanya dan ia makin terbelalak keheranan. Beruang itu benar-benar luar biasa sekali, seperti manusia saja.

Kini binatang yang berdiri seperti manusia itu menghampiri perapian, kaki depannya yang tergantung di depan dengan kaku itu lalu mengambil kayu kering, dilemparkannya ke perapian dan dituangkannya minyak di atas perapian. Semua ini dilakukan dengan jepitan kedua tangan atau kedua kaki depannya yang besar. Kemudian, binatang itu mengambil dua batang pedang pendek yang tadinya tergantung di dinding, di atas perapian.

Lulu menahan pekiknya dengan tangan. Kiranya beruang itu hendak menyembelih dia dan Han Han, pikirnya dengan hati ngeri. Ia melihat betapa beruang itu, mencengkeram sepasang pedang dengan kedua kaki depannya, kemudian membuat gerakan seperti orang bersilat pedang. Dua batang pedang itu berkelebat menjadi sinar putih dan saling bertemu, menerbitkan suara yang nyaring sekali.

‘Cringgggg..!!

Bunga api muncrat di dekat perapian, menyambar kayu yang sudah basah oleh minyak dan bernyalalah kayu itu di dalam tungku dan beruang itu dengan mulut menyeringai lalu mengembalikan sepasang pedang tadi, digantungkan di atas dinding. Kemudian binatang itu menambahkan kayu kering sehingga api dalam tungku membesar dan terusirlah hawa dingin setelah hawa panas api di tungku itu mulai terasa oleh Lulu.

Beruang itu lalu memandang Lulu, mengeluarkan suara gerengan pendek kemudian keluar dari kamar. Lulu seperti baru sadar dari mimpi, mengguncang-guncang pundak Han Han. ‘Koko..! Koko.! Bangunlah.. Ada. ada binatang aneh..!! Akan tetapi Han Han belum juga sadar sehingga akhirnya Lulu menangis di atas dada kakaknya.

Akan tetapi ia segera menghentikan tangisnya karena beruang itu sudah kembali memasuki kamar, mulutnya menggigit daun-daunan yang membeku dan kedua kaki depannya membawa benda putih membeku sebesar kepala orang. Ia menurunkan semua itu di atas meja dekat perapian, kemudian ia menoleh ke arah Lulu dan kembali mengeluarkan suara gerengan-gerengan, kedua kaki depannya bergerak-gerak seperti seorang gagu kalau hendak menyatakan sesuatu.

Lulu adalah seorang gadis cilik yang cerdik juga. Kini ia mulai dapat men gerti bahwa binatang itu sama sekali tidaklah jahat.

‘Apakah kehendakmu?! katanya perlahan sambil turun dari pembaringan dan menghampiri beruang itu. Binatang itu kelihatan girang, lalu menuding ke arah dinding di mana terdapat perabot-perabot dapur yang cukup, terbuat daripada petak. Ia menuding ke arah panci dan Lulu mengerti bahwa agaknya dia disuruh masak. Mungkin daun itu adalah obat untuk menyembuhkan kakaknya!

Teringat akan hal ini, cepat dia mengambil panci itu dan membawanya ke depan beruang yang kini mengambil sebongkah es yang ia masukkan ke dalam panci, kemudian dengan suara ‘arrhh-arrhh-urrhh-urrhhh! ia menunjuk ke perapian. Lulu tidak mengerti mengapa dia disuruh masak es, akan tetapi ia melakukannya juga, mendekati tungku dan menaruh panci itu di atas perapian. Ketika es di dalam panci mencair menjadi air, barulah anak ini mengerti dan menjadi girang sekali.

Cepat ia mengambil air dalam panci itu dan menghampiri Han Han untuk memberi minum kakaknya yang ia tahu, seperti juga dia, amat kehausan. Akan tetapi ia kaget sekali ketika tiba-tiba beruang yang besar itu melompat dengan ringannya, menghadang dan melarang dia menghampiri Han Han, lalu menunjuk-nunjuk dengan kaki depannya ke arah tungku.

‘Paman beruang, aku mau memberi minum Han-ko, mengapa tidak boleh?!Beruang itu hanya menggereng-gereng dan menunjuk ke arah tungku perapian. Kini rasa takut Lulu terhadap binatang itu sudah lenyap karena dia makin merasa yakin bahwa binatang ini tidaklah jahat dan tentu ada tersembunyi maksud-maksud baik dalam semua perbuatannya ini. Ia lalu menghampiri tungku dan menduga bahwa binatang itu menghendaki dia masak terus air dari es itu, maka ia meletakkan panci di atas api dan beruang itu mengangguk-angguk!

Lulu kini mengerti. Agaknya air itu harus dimasak sampai mendidih lebih dulu sebelum diminumkannya kepada kakaknya. Akan tetapi dugaannya keliru karena kini binatang itu mengambil daun-daun beku dari atas atas meja dan memasukkan daun-daun itu ke dalam panci air.

‘Ah, kiranya disuruh masak obat untuk Han-ko? Begitukah, Paman Beruang?!

Beruang itu mengangguk-angguk dan Lulu menjadi girang sehingga anak ini lalu memeluk perut beruang yang gendut dan mendekapkan mukanya pada dada yang bidang dan kuat itu. Beruang itu mengeluarkan suara ngak-ngak-nguk-nguk dan kaki depannya yang kiri dengan gerakan halus mengusap rambut kepala Lulu!

Bocah ini menjadi girang sekali dan cepat-cepat ia menambah kayu pada perapian sehingga tak lama kemudian daun-daun beku itu termasak dan air berubah menjadi kemerahan. Setelah air masakan daun ini tinggal sedikit, beruang itu memberi tanda supaya Lulu memberi minum Han Han dengan air obat itu. Air yang tadinya mendidih, sebentar saja menjadi dingin dan Lulu cepat memberi minum obat itu dengan hati-hati, menuangkannya ke dalam mulut Han Han setelah ia membuka dengan paksa mulut itu dengan tangan kirinya.

Hatinya girang sekali karena biarpun keadaannya amat lemas, ternyata Han Han dapat menelan obat itu. Kemudian atas isyarat-isyarat binatang yang luar biasa itu, Lulu memasak benda putih biasa itu, Lulu memasak benda putih yang ternyata adalah segumpal gandum yang bubur encer dan mulailah anak yang amat mencinta kakaknya itu menyuapkan bubur ke mulut Han Han yang sudah dapat bergerak namun agaknya masih belum sadar betul itu. Setelah Han Han tertidur dengan wajah agak merah, barulah Lulu teringat untuk makan dan minum. Kemudian ia pun menggeletak tertidur di atas pembaringan di dekat kaki Han Han.

Atas perawatan yang tekun dari Lulu yang selalu diberi petunjuk oleh beruang es yang luar biasa itu, dalam waktu sepekan saja Han Han telah sembuh daripada sakitnya.

Dengan terheran-heran setelah sadar benar, Han Han mendengarkan cerita Lulu tentang beruang es itu dan Han Han tanpa ragu-ragu lalu bangkit memeluk binatang itu yang mengeluarkan suara seperti orang kegirangan! Setelah Han Han pulih kembali kesehatannya, barulah ia bersama Lulu mengadakan pemeriksaan, diantar oleh beruang putih.

Bangunan itu cukup besar dan mewah sekali. Mempunyai banyak kamar yang serba lengkap. Kamar dimana Han Han dibaringkan adalah kamar dapur, lengkap dengan perabot dapurnya. Ada tiga buah kamar tidur yang indah dan lengkap, adapula ruangan yang amat luas untuk belajar ilmu silat, ada pula sebuah ‘taman! yang aneh karena disitu bunga-bunga tidak dapat tumbuh subur dan hanya beberapa macam tetumbuhan saja yang dapat hidup karena disitu selali diliputi es dan salju. Taman ini terhias dengan batu-batu yang bentuknya indah, dengan jembatan-jembatan kayu yang mungil dan pondok kecil yang di buat dengan gaya seni indah.

Ternyata pula bahwa satu-satunya makhluk hidup yang tinggal di pulau itu hanyalah beruang es itulah. Pantas saja kalau binatang itu menjadi kegirangan karena sekaligus ia memperoleh dua orang teman! Dan tentu saja hal ini dapat dirasakan oleh beruang itu yang agaknya dahulu telah dipelihara orang.

Yang amat menarik perhatian Han Han adalah sebuah kamar perpustakaan di mana terdapat banyak sekali kitab-kitab yang aneh-aneh dan hebat-hebat. Kitab-kitab pelajaran ilmu silat, pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi-tinggi tersusun rapi di lemari buku yang besar. Kini dia mulai mengerti mengapa orang-orang kang-ouw berlomba untuk menemukan Pulau Es ini. Kiranya untuk kitab-kitab inilah!

Han Han dapat menduga bahwa yang pernah tinggal di tempat aneh ini tentulah seorang manusia sakti. Hal ini bukan hanya dapat dilihat dari adanya kitab-kitab itu, melainkan dengan mudah dapat menduga dengan melihat keadaan beruang putih itu. Hanya seorang sakti saja yang mampu menundukkan dan melatih binatang itu menjadi seekor binatang yang luar biasa, selain cerdik seperti manusia, juga memiliki tenaga yang hebat dan gerak-geriknya tangkas seperti seorang ahli silat yang pandai.

Mula-mula Han Han dan Lulu merasa seolah-olah mereka menjadi pencuri-pencuri yang memasuki rumah orang. Akan tetapi karena pulau itu benar-benar kosong, maka mereka menjadi biasa dan menganggap bahwa rumah yang mewah seperti istana itu sebagai rumah sendiri. Kamar pertama adalah kamar yang paling besar, perlengkapannya tidaklah sangat mewah, namun menyenangkan.

Dinding kamar ini penuh dengan tulisan-tulisan yang berbentuk sajak dan Han Han amat kagum membaca sajak-sajak ini yang selain mengandung filsafat yang dalam dan pandangan yang amat luas dan bijaksana, juga ditulis amat indah. Di bagian lain dari dinding tertulis di rumah itu, ia mendapatkan tulisan-tulisan yang sifatnya mengandung keluh-kesah, sajak-sajak duka yang membayangkan kepatahan hati. Kemudian di dalam laci sebuah meja di kamar pertama itu ia mendapatkan pula beberapa sampul surat dari kain yang dibungkus rapat dalam sebuah kantung karet. Di luar bungkusan karet ada tulisannya :

!Diharap yang menemukan ini menyampaikannya kepada yang berkepentingan.!

Sajak terbesar yang berada di dalam kamar pertama ditulis dengan cara yang lain daripada sajak-sajak dan tulisan-tulisan lain. Kalau tulisan lain dilakukan dengan alat tulis biasa, adalah sajak terbesar ini entah ditulis dengan apa, akan tetapi kenyataannya huruf itu seperti diukir dalam dinding. Amat indah goresannya, amat kuat dan bunyi sajaknya sukar dimengerti atau diselami oleh Han Han yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun itu.

Betapa ingin mata memandang mesra
Betapa ingin jari tangan membelai sayang
Betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu daripada ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya perpaduan Im dan Yang, dunia takkan pernah tercipta!
Betapapun juga, cinta segi tiga membahagiakan!
Menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
Akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
Ikatan persaudaraan dilupakan
Akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara.
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu bahwa sengsaralah buah daripada nafsu!

Membaca sajak-sajak dan tulisan-tulisan yang memenuhi dinding rumah indah itu, Han Han hanya dapat menduga bahwa penghuni rumah ini tentulah seorang sakti yang ahli pula dalam kesusastraan, namun seorang yang banyak mengalami penderitaan dalam hidupnya sehingga tulisan-tulisannya membayangkan hati yang merana dan berduka.

Adapun kamar yang ke dua dan ke tiga menunjukkan dengan jelas bahwa kamar-kamar itu adalah kamar wanita. Selain bersih dan mewah, juga berbau harum dan di situ masih lengkap dengan segala benda keperluan wanita, dari pakaian-pakaian sutera yang indah-indah, perhiasan emas permata sampai alat-alat kecantikan dan alat-alat menjahit dan menyulam!

Tentu saja Lulu menjadi girang sekali dan menempati sebuah di antara kedua kamar ini. Juga di kamar pertama terdapat pakaian-pakaian pria sehingga kedua orang anak itu tidak perlu khawatir lagi tentang kebutuhan pakaian.

Mengenai keperluan makan, kedua orang anak itu pun sama sekali tidak khawatir. Atas ‘petunjuk! beruang es, di dalam gudang di bawah tanah terdapat banyak sekali gandum yang dibekukan dan tidak pernah menjadi rusak. Selain ini, juga lengkap terdapat bumbu-bumbu masak. Adapun untuk keperluan daging, amat mudah didapat berkat bantuan beruang es. Binatang ini adalah seekor mahluk yang amat ahli menangkap ikan laut. Dengan demikian, segala keperluan hidup kedua orang anak itu sudah tersedia lengkap dan mulai hari itu, Han Han dan Lulu memasuki hidup baru yang amat aneh, terasing daripada dunia ramai.

Mulailah Han Han menggembleng diri sendiri dan adiknya dengan pelajaran ilmu dari kitab-kitab yang banyak terdapat di situ. Kitab pelajaran melatih lweekang, bersamadhi dan dasar-dasar ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi Han Han sendiri terdapat kesulitan. Begitu membuka dan mempelajari kitab-kitab yang di tinggalkan oleh manusia sakti penghuni Pulau Es, kepalanya menjadi pening dan hatinya mendingin, sama sekali ia tidak tertarik.

Sebaliknya, ketika ia membaca dua buah kitab yang ia temukan di dalam perahu, kitab tulisan Ma-bin Lo-mo, ia dapat melatihnya dengan mudah! Selain itu, ketika ia mulai membuka kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis, ia menjadi bingung dan terheran-heran karena kitab itu ditulis dengan huruf-huruf yang sama sekali tidak dikenalnya! Huruf-hurufnya amat aneh, dengan coretan-coretan yang tak dapat dibaca sama sekali!

Akan tetapi Han Han memiliki kecerdikan yang tidak wajar. Ia mengingat pesan kakek Pedang Iblis Jantan, mengingat kembali kata-kata yang dibisikkan di dekat telinganya.

Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.

Ia membuka dua kitab yang disatukan itu, memeriksa huruf-hurufnya dan mengingat bisikan itu. Sebentar saja Han Han sudah tersenyum kegirangan. Kiranya huruf-huruf itu sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa memiliki kuncinya, takkan dapat dibaca orang. Dengan mengingat kuncinya, maka setiap huruf dapat ditambah atau dibuang titik maupun coretannya dan akhirnya ia dapat mengenal huruf-huruf itu!

Dengan tekun Han Han lalu mulai membaca kitab-kitab itu, kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis dan kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, bahkan lalu mulai melatih diri dengan cara-cara yang tersebut dalam kitab-kitab peninggalan para datuk golongan sesat ini.

Karena pada dasarnya Han Han melatih diri dengan ilmu-ilmu sesat, maka tentu saja ia lebih mudah menggembleng diri dengan ilmu sesat dan tanpa disadarinya, dia telah mengisi dirinya dengan ilmu dari manusia-manusia sesat dan yang ternyata amat cocok dengan dirinya yang sebenarnya telah menjadi tidak normal sebagai akibat ketika ia disiksa para perwira Mancu dan kepalanya dibenturkan dinding sedangkan perasaan hati dan pikirannya menghadapi peristiwa malapetaka hebat yang menimpa keluarganya.

Adapun Lulu yang juga mulai belajar ilmu karena bercita-cita untuk membalas kematian keluarganya, dibimbing oleh Han Han, namun anak yang masis ‘bersih! ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan ilmu yang didapat dari kitab-kitab peninggalan manusia sakti penghuni Pulau Es. Hanya sukar sekali baginya karena kitab-kitab itu mengandung ilmu-ilmu yang amat tinggi, sedangkan sebelum belajar ia sama sekali tidak memiliki dasar apa-apa. Baiknya Han Han pernah dipimpin oleh Lauw-pangcu maka biarpun amat terbatas dan secara meraba-raba dan ngawur, sedikit banyak dapat juga Lulu memperoleh kemajuan.

Mula-mula, Han Han mencari di antara kitab-kitab dalam perpustakaan dan menemukan kitab pelajaran siulian dan berlatih napas yang sesuai dengan ajaran Lauw-pangcu. Ia lalu menyuruh Lulu melatih diri melalui kitab ini. Untung bahwa Lulu sebagai puteri seorang perwira, sejak kecil sudah diajar membaca sehingga lebih mudah bagi Han Han untuk membimbingnya. Dan didasari hati mendendam karena kematian orang tuanya, ditambah pula dengan meniru watak Han Han yang keras hati dan tak mengenal jerih payah,

Lulu berlatih dengan tekun sekali sehingga biarpun bakatnya dalam ilmu ini tidak sehebat bakat Han Han yang memang luar biasa, dapat juga ia merasakan hasilnya. Biasanya, semenjak berdiam di pulau yang amat dingin itu, Lulu melindungi tubuhnya dengan pakaian-pakaian dari bulu yang terdapat dalam kamar yang ditempatinya. Akan tetapi berkat latihan-latihannya, setelah dua tahun, anak itu dapat mengerahkan sinkang yang mulai terkumpul di tubuhnya untuk melawan hawa dingin. Hanya kalau hawa luar biasa dinginnya, ia terpaksa masih mengenakan baju bulu yang hangat. Setelah tubuhnya menjadi kuat dan gerakannya menjadi lincah, Han Han mulai memberi petunjuk kepadanya tentang pelajaran memasang kuda-kuda dan gerakan langkah kaki.

Mulailah Lulu belajar silat dari sebuah kitab yang mengajarkan ilmu silat tangan kosong. Ilmu silat ini amat tinggi tingkatnya seperti juga semua kitab yang berada di situ. Tentu saja karena dasar yang dimiliki Lulu terlampau rendah, maka dia hanya dapat menguasai gerakan-gerakannya saja, sedangkan intinya hanya dapat ia petik sebagian kecil.

Kemajuan Lulu menggirangkan hati anak itu sendiri yang mengira bahwa kini dia telah menjadi seorang ‘ahli silat! dan yang kelak, kalau mereka berhasil keluar dari tempat terasing ini, dapat ia pergunakan untuk membalas dendam. Adapun Han Han yang melatih diri dengan penggabungan ilmu dalam kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, Sepasang Pedang Iblis, dicampur dengan latihan-latihannya ketika ia ‘mencuri! ilmu dari Kang-thouw-kwi, menjadi tersesat tidak karuan dan secara ngawur ia telah dapat melatih dirinya sehingga memperoleh kemajuan yang aneh dan mengerikan.

Kalau seorang ahli lain melatih diri dengan sinkang berdasarkan pengerahan tenaga sakti di tubuh yang dapat dipergunakan untuk membangkitkan tenaga Yan-kang atau Im-kang, Han Han sebaliknya malah membenamkan diri dalam cengkeraman hawa sakti Im-kang karena ia melatih diri dengan menggunakan hawa dingin sebagai ujian.

Sebetulnya, dengan inti dari Ilmu Hwi-yang Sin-kang yang ia curi dari Kang-thouw-kwi, Han Han dapat membuat tubuhnya terasa panas untuk mengatasi hawa dingin di pulau itu, sungguhpun hal ini akan merupakan sebuah cara yang berbahaya karena ia seolah-olah melawan dingin dengan kekuatan sinkangnya.

Kalau dia menang, dia tidak akan kedinginan, akan tetapi kalau sampai kalah, dia yang menggunakan Yang-kang secara ngawur akan terancam bahaya maut. Untung bahwa dia tidak sampai terancam bahaya ini karena dia memulai latihannya dengan menggunakan kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan Sepasang Pedang Iblis.

Kitab Ma-bin Lo-mo mengajarkan tentang menghimpun tenaga Im-kang dan karena di dalam diri Han Han telah terkandung tenaga sakti, begitu ia bersamadhi dan mulai melatih diri, sebentar saja ia dapat menghimpun tenaga ‘dingin! ini. Berlatih menghimpun tenaga dingin, di dalam hawa yang dinginnya seperti Pulau Es itu, pada hari-hari pertama merupakan siksaan hebat pada tubuhnya.

Darahnya seolah-olah menjadi beku dan hampir saja Han Han beberapa kali terancam maut kalau saja Lulu tidak selalu menjaganya. Kalau sudah melihat kakaknya menggigil kedinginan, mukanya membiru seperti itu, Lulu cepat turun tangan, menyelimuti tubuh kakaknya dengan baju bulu, atau membuat api unggun di dekat kakaknya, atau mengguncang-guncang tubuh Han Han sehingga terpaksa Han Han menyudahi latihannya menghimpun tenaga dingin.

Akan tetapi Han Han memiliki kekerasaan hati yang tidak lumrah manusia biasa. Dia tidak pernah merasa kapok dan selalu berlatih Im-kang di waktu hawa sedang dinginnya sehingga akhirnya ia dapat membuat keadaan tubuhnya lebih dingin daripada hawa dingin di luar tubuhnya. Dengan begini, karena dia membuat suhu tubuhnya lebih dingin daripada suhu di luar tubuh, setelah latihannya matang, ia malah merasa bahwa hawa yang amat dingin, yang bagi orang lain akan tak tertahankan itu masih kurang dingin!

Setelah berlatih tiga tahun lamanya, di waktu hawa di Pulau Es itu amat dingin, Han Han mulai berlatih sambil membuka sepatunya dan pakaiannya!

Demikianlah, dengan ditemani beruang es yang merupakan teman bermain bahkan teman berlatih silat amat tangguh dari Lulu, kedua orang anak itu hidup terasing dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu aneh tanpa bimbingan sehingga kepandaian yang mereka peroleh amatlah aneh bagi umum!

Setelah tinggal di Pulau Es selama tiga tahun, Han Han dan Lulu menganggap pulau itu seperti milik mereka sendiri dan makin banyak mereka mengenal istana itu, makin tebal keyakinan mereka bahwa dahulu tempat ini merupaan tempat tinggal orang-orang sakti dan bahwa kemudian terjadi hal-hal yang amat hebat di situ sehingga kemudian ditinggalkan para penghuninya.

Akan tetapi selama tiga tahun itu, Han Han dan Lulu tidak pernah menemukan sesuatu yang menceritakan tentang para penghuni itu. Tulisan-tulisan di dinding hanya merupakan sajak-sajak yang selain mengandung filsafat-filsafat hidup, juga membayangkan kepahitan dan penderitaan batin si penulisnya namun tidak pernah menyinggung soal nama maupun riwayat mereka yang dahulu tinggal di istana Pulau Es itu.

‘Ah, Paman Beruang! Kalau saja engkau mampu bicara, tentu ceritamu tentang para penghuni istana Pulau Es ini amat menarik hati,! kata Han Han sambil mengelus bulu putih lengan binatang itu.

‘Mungkin dia sudah berkali-kali bercerita kepada kami dengan gerakan-gerakannya. Sayang kita yang tidak mengerti,! kata Lulu sambil tertawa.

‘Boleh jadi!! kata pula Han Han, juga tertawa setelah memandang wajah adik angkatnya penuh kagum. Kini Lulu telah menjadi seorang gadis cilik dan jelas tampak betapa manis dan cantik anak ini, matanya yang lebar itu bersinar-sinar, mulutnya kelihatan manis dengan lesung pipit di pipi kiri.

‘Benarkah, Paman Beruang? Apa sih yang hendak kau ceritakan kepada kami tentang manusia-manusia sakti yang telah melimpahkan kebaikan kepada kami sehingga kami ditinggali segala kemewahan ini?!

‘Nguk-nguk ger-gerrrrr..!! Lulu meniru suara beruang itu dan menggerak-gerakkan kedua lengannya. dengan lagak seperti beruang itu sehingga Han Han menjadi tertawa geli.

Mendadak beruang itu menggereng, kemudian menyergap hendak mencengkeram pundak Lulu. Akan tetapi dengan sigap sekali Lulu miringkan tubuhnya sehingga cengkeraman itu luput.

‘Ihhh, salah sangka selalu kau, Paman Beruang! Aku tidak ingin mengajak kau berkelahi!! kata Lulu dan melihat gadis cilik itu tidak balas menyerangnya, beruang itu pun hilang semangatnya dan tidak menyerang terus.

Mendadak terdengar desir angin yang amat keras sampai salju-salju beterbangan dan dari tempat yang agak tinggi itu tampak air laut dari jauh bergelombang besar. Lulu dan Han Han memandang ke arah laut sambil melindungi muka dari hantaman salju tipis yang terbawa angin. Keduanya teringat akan peristiwa tiga tahun yang lalu ketika mereka diombang-ambingkan perahu yang menjadi permainan badai. Angin cepat sekali berubah makin membesar dan suaranya berdesir menakutkan.

‘Agaknya badai akan mengamuk lagi.!! kata Han Han dan biarpun mereka tidak perlu mengkhawatirkan badai karena sekarang berada di tengan Pulau Es, namun teringat akan pengalamannya tiga tahun yang lalu, Lulu merasa ngeri juga.

Mendadak beruang es itu mengeluarkan bunyi pekik yang belum pernah mereka dengar selama ini. Pekik ini seperti suara yang mengandung kecemasan dan tiba-tiba Han Han dan Lulu terkejut karena binatang besar itu telah menyambar tangan mereka dan menarik mereka memasuki istana.

‘Paman beruang, bukan waktunya untuk main-main!! Lulu berusaha untuk merenggutkan tangannya.

‘Dia tidak main-main, Lulu. Dia ketakutan dan mengajak kita masuk. Tentu ada sebabnya. Hayo kita ikut dia masuk!! kata Han Han dan berlari-larianlah mereka memasuki istana. Akan tetapi beruang itu sambil mengeluarkan suara mengeluh panjang mendorong-dorong untuk terus masuk dan menuruni anak tangga yang membawa mereka ke dalam gudang di bawah tanah, yaitu gudang tempat penyimpanan bahan makanan.

Setelah mereka tiba di gudang bawah tanah ini, beruang es itu lalu berjingkrak-jingkrak seperti mabuk atau ketakutan, dan menuding-nuding ke arah dinding sebelah belakang sambil membuat gerakan seperti mendorong dengan kedua lengannya ke arah dinding.

‘Apa maksudnya?! tanya Han Han.


‘Aneh sekali, dia seperti minta kita mendorong dinding. Padahal kalau memang begitu, tenaganya yang amat besar tentu lebih berhasil daripada kita,! jawab Lulu dan anak ini lalu menghampiri dinding, mengerahkan tenaga dan berusaha mendorong seperti yang diperlihatkan dengan gerakan oleh binatang itu. Akan tetapi dinding itu tetap tidak bergerak.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar