Pendekar Pemanah Rajawali Bab-67 Pergulatan Di Atas Perahu

Sia Tiaw Eng Hiong (Pendekar Pemanah Rajawali), BAB 67 PERGULATAN DI ATAS PERAHU
Anonim
"Pasti kita akan memakai perahunya itu," menyahut si nona. "Bangsat tua Khiu Cian Jin telah melukai hebat kepadaku, hendak aku membalas terhadapnya, umpama kata aku tidak sanggup melayani dia, puas juga sedikit hatiku apabila aku bisa menyingkirkan beberapa pengikutnya."

Keduanya lantas kembali ke rumah makan. Di sana si tukang perahu yang gagu itu lagi tongal-tongol, mengharapi kedatangan orang. Ia menjadi girang sekali apabila ia menampak kembalinya si muda-mudi.

Dengan berlagak pilon, Kwee Ceng berdua pergi ke perahu orang Tiat Ciang Pang itu. Mereka melihat sebuah perahu sedang, tidak besar dan tidak kecil, dan gubuknya hitam. Itulah perahu pengangkutan yang paling banyak digunai di sungai Goan Kang. Di atas perahu ada dua orang, yang masih muda, yang lagi mencuci lantai.

Begitu keduanya turun ke perahu, tukang perahu itu melepaskan tambatannya dan menolak perahu ke tengah sungai di mana layar lantas dipasang. Kebetulan sekali angin Selatan meniup keras, perahu laju cepat mengikuti aliran sungai.

Kapan Kwee Ceng memikirkan kebinasaannya Yo Kang serta nasibnya Liam Cu dan Lam Kim, ia sangat berduka. Sambil menyenderkan tubuhnya, ia tunduk diam, matanya memandang jauh ke depan.

"Engko Ceng," berkata Oey Yong tiba-tiba. "Coba kau kasih lihat bukunya nona Cin itu? Entah ada hubungan apa di antara itu buku dan buku wasiatnya Gak Bu Bok……"

Anak muda itu seperti sadar. "Hampir aku lupa!" katanya. Ia terus mengeluarkan bukunya, diserahkan pada si nona. Oey Yong menyambuti, lantas ia membalik beberapa lembaran.

"Oh, kiranya begini!" katanya agak terperanjat. "Engko Ceng, mari lihat!"

Kwee Ceng berbangkit dan menghampirkan, ia duduk di samping si nona di tangan siapa ia melihat buku itu.

Ketika itu sudah magrib, sinar layung memain di permukaan air. Sinar itu, yang menyorot berbalik dari air, mengenakan juga mukanya si nona, baju dan buku di tangannya itu. Sepasang muda-mudi itu besar hatinya, walau pun mereka berada di dalam kendaraan air musuh, mereka tidak takut. Dengan asyik mereka memperhatikan buku pemberian nona Cin itu.

Buku itu ada buku buah tangannya Siangkoan Kiam Lam, pangcu yang ke-23 dari Tiat Ciang Pang. Di situ Kiam Lam mencatat segala apa mengenai sepak terjang partainya. Dialah salah seorang punggawanya jenderal Han See Tiong. Ketika Gak Hui terbinasakan dorna Cin Kwee dan Jenderal Han dipecat, dia pun berhenti. Banyak orang sebawahan dan serdadunya, yang turut mengundurkan diri dan hidup bertani. Tapi dia benci kawanan dorna, yang menguasai pemerintahan, maka dia mengajak serombongan sebawahannya, yang menyetujui cita-citanya untuk menaruh kaki di wilayah Kheng-siang, bekerja sebagai berandal. Hanya kemudian, mereka masuk dalam kalangan Tiat Ciang Pang, malah ketika pangcu yang tua menutup mata, dia menyambut sebagai gantinya.

Mulanya Tiat Ciang Pang ada perkumpulan biasa saja akan tetapi setelah dipimpin dia, sifatnya berubah dan menjadi kuat. Dia berhasil mengumpul kawan orang-orang gagah di Ouwlam dan Ouwpak, hingga kedudukannya tangguh seimbang dengan kedudukan Kay Pang di Utara. Tidak pernah Kiam Lam melupakan negara dan musuh negaranya, untuk membangunnya pula, sering dia mengirim mata-mata ke Lim-an. Ia mengharap ketika baik guna bergerak. Kemudian Kaisar Kho Cong mengundurkan diri dari takhta kerajaan, yang ia serahkan kepada Kaisar Hauw Cong, ia sendiri merasa senang menjadi Thay Sianghong. Kaisar Hauw Cong ingat kesetiaannya Gak Hui, ia menitahkan memindahkan kuburannya dari tepi jembatan Cong An Kio ke tepian See Ouw, Telaga Barat, di mana pun dibangun rumah abunya, sedang pakaian dan semua barang lainnya dari Gak Bu Bok disimpan di istana. Malamnya dari siangnya jenazah dipindahkan, bekas orang-orangnya Gak Hui datang dengan diam-diam untuk bersembahyang. Mata-mata Tiat Ciang Pang di Lim-an mengetahui hal itu dan mendengarnya juga bahwa di antara warisan Gak Bu Bok ada sejilid kitab tentang ilmu perang, maka hal itu diwartakan ke Tiat Ciang San. Kiam Lam lantas bekerja. Ia mengajak sejumlah orangnya yang pandai, mereka berangkat ke kota raja. Pada suatu malam mereka memasuki istana dan berhasil mencuri kitabnya Gak Hui itu, yang mana malam itu juga dibawa dan diserahkan kepada Han See Tiong.

Ketika itu Jenderal Han sudah berusia lanjut dan bersama istrinya, Nio Hong Giok, ia tinggal menyendiri di tepi See Ouw. Dia telah terbangun semangatnya menyaksikan kitabnya Gak Hui itu, hingga ia menghunus pedang dan membacok meja. Ia menghela napas. Untuk memperingati sahabat kekalnya itu, Gak Hui, ia lantas mengumpulkan pelbagai karyanya Gak Bu Bok, dijadikan sebuah buku, buku mana dia kasihkan pada Siangkoan Kiam Lam, yang dinasehati untuk mencoba mewujudkan cita-cita Gak Hui untuk mengusir bangsa asing, guna membangun pula negara sendiri.

Kiam Lam menerima itu semua. Ia juga bisa berpikir, maka ia ingat, tidak mungkin Gak Hui menulis kitab perangnya itu untuk dibawa ke kubur, tentulah itu untuk diwariskan kepada suatu orang, hanya saking kerasnya penjagaan Cin Kwee, kitab tersebut tak sempat disampaikan. Pula mungkin, karena sesuatu sebab, orang yang harus menerima kitab tidak keburu sampai di kota raja. Kalau ini benar, ada kemungkinan orang itu datang ke istana dan menubruk tempat kosong disebabkan kitab itu sudah tercuri. Karena ini, ia lantas membikin petanya gunung Tiat Ciang San diberikuti keterangan singkat bunyinya; "Kitab warisan Gak Bu Bok adanya di Tiat Ciang San, di puncak Tiong Cie Hong, di lereng yang kedua." Jenderal Han khawatir orang tidak mengerti petunjuk singkat itu, ia menambahkan dengan cabutan sayirnya Gak Bu Bok sendiri. Jenderal Han juga percaya bahwa orang yang bakal menerima warisan itu, jikalau bukannya murid Gak Bu Bok sendiri, tentulah salah seorang sebawahannya.

Kapan Siangkoan Kiam Lam telah pulang ke Tiat Ciang San, ia memanggil kumpul banyak pencinta negara, ia mengajaknya mereka bergerak. Tapi pemerintah Song jeri kepada negara Kim, bukan saja gerakan mulia itu tidak ditunjang bahkan ditindas, dalam hal mana, bangsa Kim pun membantu. Maka gagallah usahanya Siangkoan Kiam Lam, ia mati di atas puncak Tiat Ciang Hong karena luka-lukanya. Bukunya itu bagian belakang, tulisannya tidak karuan, mungkin ditulis sesudah dia terluka. Yang paling hebat ialah setelah belasan lembarnya dirobek-robek Cin Lam Kim.

"Tidak disangka Siangkoan Pangcu seorang pencinta negara," kata Kwee Ceng masgul, hingga ia menghela napas. "Sampai pada ajalnya, dia masih memegangi erat- erat bukunya ini. Aku tadinya menduga dia sama dengan Khiu Cian Jin si pengkhianat, mulanya aku memandang rendah kepadanya. Kalau tahu begini, tentulah aku sudah mengunjuk hormatku kepada tulang-belulangnya itu."

Tidak lama dari itu, cuaca mulai gelap, maka tukang perahu meminggirkan perahunya dan menambatnya, hendak ia masak nasi dan menyembelih ayam, untuk mempersiapkan barang makanan.

Oey Yong dan Kwee Ceng khawatir nanti diracuni, dengan alasan si tukang perahu tidak resik, mereka membawa daging ayam dan sayurannya ke darat, ke rumah seorang desa, untuk tolong dimatangi, untuk mereka bersantap di sana.

Tukang perahu itu mendongkol, tetapi karena dia gagu, dia tidak bisa bilang apa-apa kecuali nampak sinar mata dan romannya yang muram.

Habis bersantap, sepasang muda-mudi itu masih berangin di bawah pohon di depan rumah si orang kampung.

"Entah apa yang ditulis dalam beberapa lembar halaman yang dirobek enci Cin itu," berkata si nona. "Di dalam dunia ini cuma Khiu Cian Lie dan Yo Kang yang pernah membaca itu tetapi mereka dua-duanya telah mati."

"Khiu Cian Lie cuma mengambil buku ini, tidak bukunya Gak Bu Bok, kenapakah?" tanya Kwee Ceng

"Mungkin itu disebabkan dia mendapat dengar suara kita. Dan baru ambil jilid ini, dia tidak berani mengambil jilid lainnya. Mungkin beberapa lembar yang tersobek itu penting isinya. Bukankah si tua bangka sangat memperhatikan itu?"

"Hanya heran tentang Siangkoan Pangcu itu. Dia lari ke puncak. Kenapa tentara negeri tidak mengejarnya terus?"

"Ini pun aneh. Rupanya cuma setelah melihat isinya sobekan baru duduknya hal akan dapat dimengerti……" kata si nona, yang mendadak tertawa. "Kalau enci Cin tidak merobeknya dan kejadian dia pergi kepada Wanyen Lieh, itu waktu pasti bakal ada pertunjukan yang bagus sekali……" Ia berhenti pula, atau kembali ia berkata, berseru; "Bagus!"

"Apakah itu?" Kwee Ceng menanya.

"Kita menyerahkan buku ini kepada Wanyen Lieh," menerangkan si nona. "Dengan begitu, dia pasti akan mengirim orang ke Tiat Ciang San untuk mencari buku warisan Gak Bu Bok itu. Bukankah Tiong Cie Hong tempat keramat Tiat Ciang Pang? Mana Khiu Cian Jin suka membiarkan tempat sucinya diganggu? Maka itu pasti sekali mereka bakal saling bunuh di antara kawan sendiri! Tidakkah ini bagus?"

"Ya, itu benar bagus!" Kwee Ceng kata sambil bertepuk tangan.

"Aku tidak sangka sekali Suko Kiok Leng Hong telah mendirikan jasa besar sekali!" kata Oey Yong yang pun girang.

Kwee Ceng tidak mengerti. "Bagaimana?" ia tanya. "Kitab Gak Bu Bok disimpan di dalam gua di tepi Cui Han Tong di dalam istana," berkata si nona. "Karena Siangkoan Kiam Lam telah mencurinya dari sana, tentulah gambarnya ia telah taruh di tempat buku itu. Benar bukan?"

"Benar."

"Kiok Suko telah diusir dari Tho Hoa To tetapi ia tidak melupakan budi gurunya. Ia tahu ayah gemar akan tulisan, gambar dan barang lainnya asal barang kuno, ia rupanya ketahui semua itu ada terdapat banyak di dalam istana, maka tanpa menghiraukan bahaya, ia nyelundup ke istana dan berhasil mencuri banyak gambar, tulisan dan lainnya……"

"Benar, benar!" Kwee Ceng bilang. "Sukomu itu telah mencuri semua itu berikut gambar peta rahasia itu, lalu semuanya dia simpan di kamar rahasia di Gu-kee-cun, untuk dia nanti menghadiahkan kepada ayahmu, maka apa lacur, dia kena disusul rombongan siewi dan kena dibinasakan. Maka itu ketika Wanyen Lieh pergi ke istana, ia kebogehan, sudah buku Gak Hui tidak ada, petanya juga hilang. Ah, kalau tahu begitu, selama di gua itu tidak usah kita mati-matian merintangi mereka, hingga aku tidak nanti sampai dilukai si bisa bangkotan dan kau tidak usah bersusah hati tujuh hari tujuh malam."

"Soalnya tidak dapat dipandang dari sudutmu itu," membantah si nona. "Jikalau kau tidak beristirahat di kamar rahasia itu, mana kita bisa dapatkan gambar peta itu? Juga mana……" Ia berdiam. Ia menjadi ingat pertemuannya sama putri Gochin Baki. Maka ia jadi masgul. Selang sesaat, ia kata pula, "Entah bagaimana dengan ayahku sekarang……?"

Ia memandang rembulan sisir.

"Segera bakal tiba Pee-gwee Tiong Ciu," katanya. "Setelah pertandingan di Yan Ie Lauw di Kee-hin, apakah kau bakal kembali ke gurun pasir di Mongolia?"

"Tidak. Lebih dulu aku membunuh Wanyen Lieh, guna membalaskan sakit hatinya ayahku dan paman Yo."

"Setelah itu?" tanya si nona, matanya tetap mengawasi si Putri Malam.

"Masih banyak urusan lainnya! Suhu mesti diobati dulu hingga sembuh. Pula Ciu Toako mesti dicari, untuk menyuruh dia pergi ke rawa lumpur hitam kepada Eng Kouw……"

"Setelah semua itu beres, kau toh akhirnya kembali ke Mongolia?"

Kwee Ceng tidak bisa menyahut, tak tahu ia mesti membilang apa.

"Ah, aku tolol!" kata si nona tiba-tiba. "Perlu apa aku memikirkan semua itu? Justru ada ini ketika baik, satu hari lebih lama kita berkumpul, satu hari terlebih baik! Mari kita kembali ke perahu, kita permainkan si gagu palsu itu……"

Kwee Ceng menurut. Keduanya berjalan pulang. Tiba di perahu, tukang perahu dan dua pembantunya sudah tidur.

"Pergi kau tidur, aku nanti berjaga-jaga," Kwee Ceng membisiki si nona.

Oey Yong merasakan kesehatannya belum pulih semua, maka itu ia letaki kepalanya di paha si anak muda. Dengan perlahan ia pulas.

Kwee Ceng tidak mau membikin tukang perahu nanti curiga, meskipun ia tidak menginginkan, ia terpaksa merebahkan diri, hanya diam-diam ia menghapal ajaran It Teng Taysu bagian dari Kiu Im Cin-keng yang memakai bahasa Sansekerta. Ia menghapali terus sekitar satu jam, akhirnya ia menjadi gembira. Tidak saja ia tidak merasa kantuk, ia bahkan menjadi segar. Hanya tengah ia bergirang itu, ia mendengar Oey Yong mengigau perlahan, "Engko Ceng, jangan kau menikah sama putri Mongolia itu, aku sendiri yang hendak menikah denganmu." Ia melengak. Kembali ia mendengar suara si nona, "Bukan....bukan, aku salah omong. Aku tidak meminta apa-apa dari kau, aku tahu kau suka aku, itu saja sudah cukup."

"Yong-jie, Yong-jie," kata si anak muda terdengar.

Oey Yong tidak menyahuti, hanya napasnya perlahan.

Pemuda itu bingung. Ia mencintai si nona, ia merasa kasihan. Ia mengawasi wajah orang yang tidur nyenyak di pahanya itu. Paras si nona itu putih tersinarkan cahaya rembulan, karena kesehatannya belum pulih, kulit mukanya belum kembali bersemu dadu. Ia mengawasi dengan menjublak.

"Dia tentulah bermimpi dan dalam mimpinya ia mengingat peruntungan kita berdua," pikir anak muda ini. "Aku tidak boleh melihat dia dari sikapnya sehari-hari saja, yang bergembira, seperti orang tidak pernah berduka, sebenarnya di dalam hatinya, ia masgul. Ah, akulah yang membikin dia mengalami kesulitan ini. Coba itu hari kita tidak bertemu di Thio-kee-kauw, bukankah itu baik untuknya?"

Selagi yang satu bermimpi atau mengigau itu dan yang lain mengawsinya dengan pikiran bimbang, tiba-tiba di permukaan air itu terdengar suara pengayuh bekerja, lalu terlihat sebuah perahu mendatangi dari sebelah hulu.

Kwee Ceng menjadi heran.

"Air sungai ini sangat deras dan berbahaya, siapa begitu bernyali besar berani menjalankan perahu malam-malam?" pikirnya. Karena ini, ingin ia melihat. Ketika ia hendak mengangkat kepala, mendadak ia mengurungkan itu. Tiba-tiba ia mendengar tiga kali tepukan tangan perlahan dari perahunya. Diwaktu sunyi seperti itu, suara tepukan tangan itu nyata terdengarnya.

Setelah itu terdengar suara layar dibenahkan.

Tidak usah lama Kwee Ceng menanti akan mendapatkan perahu itu di pinggirkan dan dikasih nempel sama perahunya, maka dengan perlahan ia menepuk-nepuk tubuhnya Oey Yong untuk mengasih bangun kawannya itu.

Hampir di itu waktu, tubuh perahu bergoyang sedikit.

Pemuda itu segera mengintai. Ia masih sempat melihat satu orang, dalam rupa bayangan, berlompat ke perahu yang baru sampai itu. Orang itu ialah si tukang perahu yang berlagak gagu.

"Kau tunggu di sini, aku mau pergi melihat," Kwee Ceng berbisik pada kawannya.

Oey Yong yang telah lantas bangun, mengangguk.

Dengan cepat Kwee Ceng pergi ke kepala perahu. Ia melihat perahu tetangga itu masih bergoyang, ia lantas lompat ke situ. Dengan membarengi bergoyangnya perahu ia membikin penghuni perahu itu tidak curiga. Dengan lantas ia mengintai. Maka terlihat olehnya tiga orang dengan pakaian hitam semua, seragamnya kaum Tiat Ciang Pang. Pula ia mengenali satu di antaranya, yang tubuhnya tinggi besar, ialah Kiauw Thay yang pernah dipecundangi Oey Yong.

Pemuda ini sangat gesit, maka itu, ia seperti mendahului si tukang perahu. Sesudah ia mengintai, baru tukang perahu itu tiba di dalam gubuk. Segera dia ditanya Kiauw Thay, "Apa kedua binatang cilik itu ada di sini?"

"Ya," menyahut si tukang perahu yang sekarang bisa bicara.

"Apakah mereka bercuriga?" Kiauw Thay menanya pula.

"Nampaknya tidak. Cuma mereka tidak sudi dahar, dari itu aku tidak dapat bekerja."

"Hm! Biarlah mereka mengantari jiwa di Chee-liong-tha! Lusa tengah hari perahu kamu tiba di Chee-liong-tha, terpisah satu lie dari muara itu, ada dusun Chee-liong-cip. Di sana kau singgah kami nanti menantikan kamu untuk membantu."

"Ya," si tukang perahu menyahuti pula.

"Dua binatang cilik itu lihay, kau mesti berhati-hati," Kiauw Thay memesan. "Kalau kau berhasil, pangcu bakal menghadiahkan kepadamu. Sekarang pergi kau balik ke perahumu dengan ambil jalan dari dalam air, supaya perahumu itu tidak bergoyang, agar mereka tidak curiga."

"Apakah Kiauw Cee-cu tidak ada titah lainnya?"

"Tidak!" menyahut Kiauw Thay seraya mengibaskan tangannya.

Tukang perahu itu lantas ke luar dari gubuk perahu. Ia pergi ke belakang, di sana ia turun ke dalam air, untuk berenang ke perahunya sendiri.

Kwee Ceng berlaku sebat, ia mendahului kembali ke perahunya. Ia membikin Oey Yong apa ia lihat dan dengar.

"Hm!" kata si nona perlahan. "Di tempat It Teng Taysu, air jauh terlebih deras, kita tidak takut, apalagi segala Chee-liong-tha? Mari tidur!"

Karena mengetahui rencananya orang jahat, muda-mudi ini jadi lega hatinya.

Di hari ketiga pagi, ketika tukang perahu hendak mengangkat jangkar, untuk mulai berangkat pula, Oey Yong kata padanya, "Tunggu sebentar! Lebih dulu kau mendaratkan kuda kami jangan kalau nanti perahu karam di Chee-liong-tha, dia nanti mengantarkan jiwanya!"

Tukang perahu itu berlagak pilon.

Oey Yong tidak memperdulikannya, bersama Kwee Ceng ia menuntun kudanya mendarat.

"Yong-jie, baik kita jangan bergurau sama mereka," kata Kwee Ceng perlahan. "Baik dari sini kita melanjuti perjalanan kita dengan menunggang kuda."

"Kenapa begitu?" menanya si nona.

"Tiat Ciang Pang bangsa manusia rendah, buat apa melayani mereka? Kita diam-diam saja."

"Apa dengan diam-diam saja kita aman?" tanya si nona.

Pemuda itu berdiam.

Oey Yong mengendorkan les kuda, tangannya menunjuk ke jalanan di sebelah utara.

Kuda itu mengerti. Sudah sering dia berpisah dari majikannya, senantiasa mereka dapat bertemu pula. Maka dia lari ke arah utara itu di mana sebentar kemudian dia lenyap.

"Mari kita kembali ke perahu," kata si nona, menepuk tangan.

"Kesehatanmu belum pulih, perlu apa kau menempuh bahaya?" Kwee Ceng kata pula.

"Kita terpaksa," sahut nona itu. Ia berjalan balik, ia turun ke perahunya.

Kwee Ceng mengiringi kawannya itu.

Putrinya Oey Yok Su tertawa, dia kata gembira. "Engko tolol, kita ada bersama, biar kita mengalami banyak yang aneh-aneh, kalau kemudian kita berpisah, bukankah jadi banyak yang dapat direnungkan? Bukankah itu bagus?"

Perahu berlayar sampai nampak sungai makin berbahaya. Di kiri dan kanan hanya nampak gunung atau tebing.

Kwee Ceng dan Oey Yong pergi ke kepala perahu, mereka melihat segala apa, maka insyaf mereka akan bahayanya perjalanan ini. Untuk dapat maju melawan air, perahu mesti ditarik orang. Di situ ada beberapa perahu lainnya. Perahu besar membutuhkan beberapa kuli, sedang perahu kecil, perlu delapan atau sembilan orang. Kuli-kuli penarik itu telanjang dadanya dan kepalanya dilibat sabuk putih, sambil menarik mereka mengasih dengar suara bareng dan sama. Perahu yang berlayar ke hilir hanyut pesat sekali.

Sepasang muda-mudi ini menduga mereka bakal segera mendekati Chee-liong-tha. Hari pun makin lama makin siang.

"Yong-jie," kata Kwee Ceng perlahan, "Aku tidak menyangka sungai Goan Kang mempunyai bagian yang airnya begini deras dan berbahaya. Mungkin bagian deras ini panjang sekali. Kalau perahu terbalik sedang kau masih belum segar, tidakkah itu berbahaya?"

"Habis bagaimana?"

"Kita bunuh saja tukang perahu itu lantas kita ke pinggir dan mendarat."

Si nona menggeleng kepala.

"Itulah tidak menarik hati!" katanya.

"Memangnya sekarang waktunya main-main?"

"Aku justru menggemari itu!" si nona tertawa.

Pemuda itu berdiam, ia mengawasi ke depan dan ke kiri dan kanan. Ia lantas berpikir.

Berjalan lagi sekian lama, waktu sudah mendekati tengah hari. Setelah melintasi sebuah pengkolan, Kwee Ceng melihat di depan di pinggiran sungai, ada beberapa puluh rumah, yang tinggi dan rendah bergantung sama letaknya tanah pegunungan. Di situ, air jadi semakin deras. Ketika sebentar kemudian perahu tiba di dekat kumpulan rumah-rumah itu, di tepi sungai terlihat beberapa puluh orang yang seperti lagi menantikan.

Si tukang perahu lantas melemparkan dua lembar dadung ke darat, dadung mana disambuti beberapa puluh orang itu dan lantas dililit ke sebuah pelatok besar. Dengan ditarik, perahu itu sampai di tempat yang cetek.

Tidak lama tiba lagi sebuah perahu yang ditarik kira tigapuluh kuli, perahu itu dikasih berlabuh di situ, sedang di sebelah depan telah berlabuh kira-kira dua puluh perahu lainnya. Lantas ada seorang di daratan yang berkata nyaring, "Tadi malam ke luar ular naga, air di gunung banjir, air sungai ini jadi sangat deras, maka sambil menanti air surut, mari semua beristirahat di sini!"

"Numpang tanya, toako, tempat ini apa namanya?" tanya Oey Yong pada seorang di sampingnya.

"Chee-liong-cip," orang yang ditanya menjawab.

Nona itu mengangguk, diam-diam ia memperhatikan tukang perahunya. Dia itu berbicara dengan gerakan tangan sama seorang di darat, orang mana bertubuh besar dan kekar. Dia menyerahkan satu bungkusan pada orang itu. Kemudian, mendadak orang itu mengeluarkan kapak dengan apa dia membabat putus dadung penambat perahu, terus dia mengangkat jangkar, terus dia mendorong perahu itu. Maka sekejap saja, dengan tubuh miring perahu itu hanyut terbawa air.

Si tukang perahu yang memegang kemudi, mengawasi ke muka air. Dua pembantunya yang masing-masing memegang galah kejen, romannya bersiap-siap akan melindungi si tukang perahu. Mungkin mereka khawatir kedua pemumpangnya menyerang tukang kemudi itu.

Kwee Ceng terkejut, ia mengawasi air yang deras. Setiap waktu perahu itu dapat membentur wadas. Itu artinya terbalik dan karam.

"Yong-jie, rampas kemudi!" ia berteriak. Ia pun hendak lari ke buntut perahu.

Dua orang yang memegang galah itu mendengar suara si anak muda, mereka bersiap. Ketika mereka mengangkat galahnya, kejennya bergemerlap di cahaya matahari. Itulah tandanya kejen itu tajam sekali.

"Perlahan!" tiba-tiba Oey Yong berseru.

"Bagaimana?" si pemuda tanya.

"Kau melupakan burung kita……" si nona berbisik. "Kalau sebentar perahu karam, kita naiki mereka untuk terbang pergi. Aku mau lihat apa mereka bisa bikin……"

Kwee Ceng sadar.

"Pantas Yong-jie tidak takut, kiranya ia telah siap sedia tipu dayanya," pikirnya. Ia lantas menggapai kepada dua ekor burungnya, untuk disuruh berdiam di samping mereka.

Si tukang perahu tidak tahu kenapa anak muda itu batal bergerak, diam-diam ia bergirang. Ia mau percaya mereka kena dibikin jeri oleh arus yang sangat deras itu.

Segera juga terdengar suara dari serombongan kuli penarik perahu, lalu terlihat orang-orangnya, yang lagi menarik sebuah perahu dengan gubuk hitam, yang mengibarkan bendera hitam juga. Ketika si tukang perahu melihat perahu itu, dia lantas mengangkat kapaknya dengan apa dia mengapak putus kemudinya, kemudian dia pergi ke pinggir kiri. Terang dia bersiap akan lompat ke perahu yang lagi mendatangi itu.

Kwee Ceng melihat aksinya tukang perahu itu.

"Naik!" ia kata seraya menekan punggungnya si rajawali betina.

"Jangan kesusu!" berkata Oey Yong. "Engko Ceng, kau hajar perahu itu dengan jangkar!"

Kwee Ceng mengerti maksudnya nona itu, ia bersiap.

Tanpa kemudi, perahu hanyut makin pesat, sebentar saja, kedua perahu datang semakin dekat. Perahu yang ditarik mudik itu digeser, supaya tidak sampai diterjang perahu yang hanyut. Tukang-tukang menarik perahu agaknya kaget, mereka pada berteriak.

Kwee Ceng menanti saatnya, segera ia melemparkan jangkarnya keras sekali. Ia mengarah pelatok yang dipakai mengikat dadung penarik. Karena perahu pun ditarik keras, maka lemparan jangkar jadi semakin hebat. Begitu terkena, pelatok itu patah, dadungnya terlepas. Selagi tukang-tukang menariknya jatuh ngusruk, perahunya sendiri lantas terbawa air, hanyut keras sekali. Orang banyak pada berteriak kaget.

Si tukang perahu kaget sekali.

"Tolong! Tolong!" dia berteriak-teriak saking takut. "Hai, orang gagu bisa bicara!" kata Oey Yong tertawa. "Inilah keanehan di kolong langit!"

Kwee Ceng sendiri mengawasi ke perahu yang hanyut itu, tangannya masih memegangi jangkar yang satunya. Tukang kemudi dari perahu itu lihay, di air deras dia masih mencoba memutar kepala perahu, agar jangan buntutnya yang laju di muka seperti semula. Tepat pada saatnya, si anak muda melemparkan jangkar ke kepala perahu.

Si tukang perahu gagu tetiron kaget bukan main.

Di saat yang sangat berbahaya itu, dari dalam perahu mendadak lompat ke luar satu orang, yang bersenjatakan galah kejen dengan apa dia menyambuti, menyontek jangkarnya Kwee Ceng. Dia bertenaga besar tetapi galahnya ini tidak cukup kuat, galah itu patah, karena itu, tujuan jangkar jadi berkisar. Begitulah jangkar dan patahan galah jatuh ke air. Orang kuat itu berdiri tegar di perahunya, dia mengenakan baju pendek warna kuning, dia berambut putih romannya gagah. Dialah Khiu Cian Jin ketua Tiat Ciang Pang.

Dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong menjadi kagum sekali hingga mereka tercengang. Justru itu, tanpa ketahuan, tubuh perahu telah membentur wadas. Keras goncangan benturan itu muda-mudi itu kena terdampar ke pintu gubuk. Mereka kaget, terutama sebab air segera merendam mata kaki mereka.

Tidak ada ketika lagi untuk naik ke punggung burung. "Mari!" Kwee Ceng berseru seraya dia berlompat ke arah Khiu Cian Jin. Dia sengaja hendak menubruk ketua Tiat Ciang Pang itu, sebab kalau dia lompat ke lain bagian dari perahu itu, sebelum tiba, dia bisa dipapaki serangan. Itulah berbahaya.

Khiu Cian Jin melihat orang berlompat ke arahnya, rupanya dia dapat menerka maksud orang, karena ia tengah memegang galahnya, dengan itu ia lantas memapak. Kwee Ceng melihat penyambutan itu, dia kaget.

Khiu Cian Jin melontarkan galahnya, yang menjurus ke dada si anak muda. Ia rupanya menganggap, lebih baik menyerang sambil menimpuk dari pada menanti orang tiba di perahunya.

Dalam saat sangat berbahaya untuk si anak muda, tiba-tiba terlihat sinar hijau menyambar galah kejen. Karena mana, lenyaplah ancaman bahaya itu.

Itulah Oey Yong, yang berlompat menyusul kawannya, yang dengan tongkatnya menangkis galah. Setelah itu, begitu menginjak perahu, si nona segera menyerang pangcu dari Tiat Ciang San, hingga dia menjadi gelagapan, hampir dia kena ditotok.

Khiu Cian Jin mengenal baik lihaynya tongkat si nona, maka itu, selagi Kwee Ceng baru menaruh kaki, ia mundur kepada anak muda itu, yang ia sapu. Dengan begitu ia berkelit sambil menyerang. Selagi Kwee Ceng berkelit, ia menyusuli dengan dua serangan saling susul dengan kedua tangannya.

Lihay serangannya jago dari Tiat Ciang San ini. Itulah pukulan dari Tiat Ciang Kang-hu, atau ilmu silat Tangan Besi, yang kaum Tiat Ciang Pang andalkan selama mereka menjagoi, bahkan di tangan orang she Khiu ini, jurusnya telah diubah dan ditambah hingga menjadi semakin lihay. Dibanding sama Hang Liong Sip-pat Ciang, ilmu itu kalah keras tetapi menang halus.

Begitu dua orang itu bergerak di atas perahu.

Perahu sewaannya Kwee Ceng telah patah pinggang dan karam, si gagu dan dua kawannya kecebur ke air dan terbawa arus, sia-sia mereka berenang, mereka terbenam di dalam air menggolak bagaikan pusar air. Perahunya Khiu Cian Jin sendiri, meski pun hanyut keras, masih dapat dipertahankan, karena ada orang Tiat Ciang Pang yang lantas mengendalikannya.

Di atasan perahu, terbang mengikuti, adalah kedua burung rajawali serta hiat-niauw, ketika burung itu saban-saban mengasih dengar suaranya.

Sampai itu waktu, Oey Yong pun turut berkelahi. Lebih dulu ia mengundurkan beberapa orang Tiat Ciang Pang, yang merintangi padanya, setelah itu ia dekati Kwee Ceng, guna mengepung Khiu Cian Jin.

Karena sama-sama lihay, kedua pihak berkelahi dengan rasa risih.

Selagi bertempur itu, Oey Yong melihat golok berkelebat di dalam gubuk perahu. Itulah seorang yang tengah membacok. Ia tidak tahu apa yang dibacok itu tetapi ia curiga, maka ia lantas menimpuk dengan jarumnya. Pembacok itu kena lengannya, bacokannya tak dapat diteruskan, goloknya justru mengenai pahanya sendiri sampai dia menjerit. Si nona menyusul seraya berlompat masuk ke dalam gubuk. Ia menendang terjungkal orang itu, yang sudah tidak berdaya, lalu dia melihat seorang rebah tidak berkutik di lantai perahu sebab kaki tangannya dibelenggu. Ia tidak usah mengawasi lama akan mengenali Sin-soan-cu Eng Kouw, hingga ia menjadi heran. Tidak sekali disangka, di sini mereka dapat menemui nyonya itu, bahkan dalam keadaan tidak berdaya itu. Tanpa ayal lagi, ia memungut goloknya orang tadi dengan apa ia memutuskan tambang yang mengikat tangan si nyonya.

Begitu lekas tangannya bebas, dengan tangan kirinya Eng Kouw merampas golok di tangannya si nona, selagi Oey Yong heran, dia sudah lantas membacok mampus orang Tiat Ciang Pang itu, yang tadi hendak membinasakan padanya. Habis itu baru ia memutuskan tali belengguan kakinya, sedang musuhnya roboh celentang, hingga Oey Yong mengenali, dialah Kiauw Thay. Maka ia kata di dalam hatinya, "Kau sangat jahat, pantas kau mampus!"

"Meski kau telah menolongi aku, jangan kau harap aku akan membalas budi!" kata Eng Kouw pada si nona.

"Siapa mengharap pembalasan budimu?" kata si nona tertawa. "Kau telah menolong aku, maka ini satu kali, aku menolongi kau. Dengan begini, kita menjadi tidak saling berhutang!"

Sembari berkata begitu, Oey Yong pergi pula ke luar, untuk membantu lagi kepada Kwee Ceng.

Khiu Cian Jin benar-benar lihay, dia dapat bertahan, hanya segera ia menjadi kaget ketika kupingnya mendengar beberapa teriakan beruntun serta suara tubuh tercebur ke air. Sebab Eng Kouw, dalam gusarnya, sudah menghajar semua orang Tiat Ciang Pang yang berada di dalam kendaraan air itu, membikin mereka kecemplung ke air deras. Hingga tidak perduli yang pandai berenang, orang-orang jahat itu jangan harap nanti lolos dari bahaya mampus kelelap!

Khiu Cian Jin digelarkan "Tiat Ciang Sui-sing-piauw", atau si Tangan Besi yang Mengambang di Muka Air itu bukan berarti dia dapat berjalan di muka air seperti mengambang, itu diartikan lihaynya ilmunya enteng tubuh, jangan kata di air deras demikian, sekalipun di air tenang di telaga, tidak dapat dia jalan ngambang. Maka itu sekarang, hatinya tidak tenang. Ia berkelahi sambil mundur. Kewalahan ia melayani Kwee Ceng yang dibantu Oey Yong. Untuk mencegah si nona menyerang ia dari belakang, ia berdiri membelakangi air. Secara begini ia mencoba bertahan.

Oey Yong berkelahi sambil memperhatikan lawannya yang tangguh ini. Sering ia melihat jago itu melirik ke kiri dan kanan. Ia menduga tentulah orang mengharap-harap datangnya lain perahu, ialah bantuan untuk pihaknya. Maka ia juga turut memasang mata. Ia pikir, "Biarnya dia jago, dia bakal dikepung bertiga. Kalau kita gagal, sebenarnya kita ialah kantung-kantung nasi ……"

Eng Kouw di lain pihak telah berhasil menyapu semua orang Tiat Ciang Pang. Ia membiarkan hanya satu orang, ialah si tukang pengemudi. Ia melihat bagaimana dua muda-mudi itu belum bisa berbuat apa-apa terhadap Khiu Cian Jin, maka akhirnya ia menghampirkan mereka.

"Nona kecil, kau minggirlah!" ia kata kepada Oey Yong - ia tertawa dingin. "Mari, kasihkan aku yang maju!"

Oey Yong tidak puas sekali. Terang orang memandang enteng padanya. Tapi ia cerdik, ia lantas berpikir. Terus ia mendesak ketua Tiat Ciang Pang itu.

Khiu Cian Jin bisa menduga si nona tentulah mau mundur mentaati kata-kata si nyonya, meski ia mengerti, ia toh tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membela diri, karena si nona mendesak, Kwee Ceng tetap menyerang padanya. Oey Yong bukan mundur sendirinya, ketika ia mundur, ia menarik tangan baju kawannya seraya berkata; "Biarkan dia maju sendiri!"

Kwee Ceng heran tetapi ia mundur seraya membela diri.

Eng Kouw tidak memperdulikan sikap si nona, ia hanya menghadap Khiu Cian Jin, dengan tertawa dingin, dia berkata; "Khiu Pangcu, di dalam dunia kangouw, namamu terdengar cukup nyaring, maka aku heran untuk perbuatanmu yang hina dina! Selagi aku tidur di rumah penginapan, tengah aku tidak tahu apa-apa, mengapa kau menggunai hio pulas dan dengan caramu itu kau membekuk aku? Bagus perbuatanmu itu ya?"

"Kau telah dibekuk oleh orang sebawahanku, buat apa kau masih banyak bacot?" Khiu Cian Jin membalasi. "Jikalau aku yang turun tangan sendiri, hanya dengan sepasang tangan kosongku, sepuluh Sin Soan Cu pun dapat aku membekuknya!"

Eng Kouw tetap bersikap dingin.

"Di dalam hal apa aku bersalah dari kamu kaum Tiat Ciang Pang?" ia tanya.

"Dua binatang cilik ini lancang memasuki Tiat Ciang Hong, tempat kami yang suci," kata Khiu Cian Jin, "Kenapa kau menerimanya mereka di rawa lumpur hitam? Dengan baik-baik aku minta mereka diserahkan padaku, kenapa kau melindungi mereka dengan kau mendustai aku? Apakah kau sangka Khiu Cian Jin boleh dibuat permainan?"

"Oh, kiranya itulah gara-gara dua binatang cilik ini!" katanya. "Kalau kau mempunyai kepandaian, pasti punya banyak tempo akan campur tahu segala urusan tetek bengek begini!"

Lauw Kui-hui lantas mengundurkan diri, ia duduk bersila di lantai perahu, sikapnya sangat tenang. Ia maju jadi si penonton harimau bertarung, akan menyaksikan orang roboh dua-duanya!

Sikapnya nyonya ini mengherankan dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong dan Khiu Cian Jin. Itulah mereka tidak sangka.

Eng Kouw turun gunung dengan pikiran kacau. Ia mendongkol dan berduka, tidak dapat ia gampang-gampang melampiaskan itu. Ia mendongkol sebab gagal ia membunuh It Teng Taysu. Tidak tega ia melihat sikap tenang dari pendeta itu. Ia bersedih kalau ia membayangi kematian anaknya yang malang itu. Begitu ketika ia mondok di rumah penginapan, ia berlaku alpa, ia kena diasapi orang Tiat Ciang Pang dan kena ditangkap karenanya. Di dalam keadaan biasa, tidak nanti ia kena dibekuk secara demikian. Ia juga tidak menyangka, di dalam bahaya, ia ditolongi Oey Yong. Ia tetap mendongkol, maka itu, ia ingin biarlah muda-mudi itu dan Khiu Cian Jin mampus bersama……

Oey Yong berpikir cepat, "Baik, kami akan melayani dulu Khiu Cian Jin, habis itu baru kami nanti mengasih lihat sesuatu padamu!" Ia lantas mengedipi mata kepada Kwee Ceng, terus ia menerjang pula pada Khiu Cian Jin. Aksinya ini segera ditiru si anak muda.

Begitulah bertiga mereka bergebrak pula.

Eng Kouw menonton, dengan asyik. Ia melihat, meski ketua Tiat Ciang Pang itu lihay, dia sukar bisa cepat-cepat merebut kemenangan. Ia bahkan melihat ketua itu mundur. Ia mau percaya, jago dari Tiat Ciang San ini akhirnya bakal mampus atau terluka……

Kwee Ceng pun melihat sikap lawannya itu, ia menduga orang lagi mencari akal. Di lain pihak ia berkhawatir untuk Oey Yong, yang baru sembuh dan tidak selayaknya mengeluarkan banyak tenaga. Maka akhirnya ia kata; "Yong-jie, baik kau beristirahat, sebentar kau maju pula!"

Nona itu menurut.

"Baik," sahutnya seraya ia mundur. Ia tertawa.

Eng Kouw mengiri menyaksikan eratnya perhubungan si pemuda dengan si pemudi, terutama perhatiannya si pemuda itu, hingga ia berpikir, "Dalam hidupku, kapannya pernah ada orang berbuat begini macam terhadapku?" tiba-tiba dari mengiri, ia menjadi cemburu dari cemburu, hatinya menjadi panas. Mendadak ia berlompat bangun dan berkata dengan nyaring, "Dua lawan satu, apa itu namanya? Mari, mari kita berempat menjadi dua rombongan, satu lawan satu!" Ia lantas mengeluarkan dua batang bambu, tanpa menanti jawaban orang, Ia berlompat menyerang nona Oey.

Oey Yong menjadi mendongkol sekali.

"Perempuan gila yang lenyap hatinya!" ia mendamprat. "Tidak heran Loo Boan Tong tidak mencintaimu!"

Tapi ini cuma menambah kemurkaannya Eng Kouw, yang menyerang makin hebat.

Oey Yong menjadi repot. Ia boleh lihay ilmunya Tah Kauw Pang-hoat tetapi ia kalah tenaga dalam, ia juga belum pulih kesehatannya, maka terpaksa ia menutup diri. Lebih sulit lagi, perahu itu bergerak keras tak hentinya disebabkan derasnya arus.

Kwee Ceng sendiri tetap melayani Khiu Cian Jin, ia tidak bisa merebut kemenangan tetapi ia pun tidak kalah.

Ketua Tiat Ciang Pang menjadi heran tidak karu-karuan Eng Kouw membantu padanya. Tentu sekali, perubahan sikap si nyonya membuatnya ia girang. Dengan begitu dia jadi seperti tambah semangat, terus ia menyerang hebat. Ketika Kwee Ceng menyerang ia dengan jurus "Melihat naga di sawah," ia berkelit, habis berkelit, segera ia membalas menyerang, dengan dua tangannya berbareng, Tangan kanan dengan kejennya tangan kiri tangan kosong.

Kwee Ceng tidak takut, ia menangkis dengan kedua tangan juga. Maka tangan mereka bentrok. Lantas mereka sama-sama menyerukan. "Hm!" dan tubuh mereka mundur masing-masing tiga tindak. Khiu Cian Jin menahan diri dengan memegang tiang kemudi, dan kaki kiri Kwee Ceng terserimpat dadung, hampir dia terguling. Guna menjaga diri agar tidak diserbu, ia meneruskan lompat jumpalitan.

Khiu Cian Jin menganggap inilah ketikanya yang baik, dia tertawa nyaring dan lama, lantas dia maju, guna menyerang.

Eng Kouw tengah mendesak Oey Yong sampai si nona bernapas sengal-sengal dan peluhnya mengucur tatkala dia mendengar tertawanya ketua Tiat Ciang Pang, dia kaget hingga mukanya berubah, hingga lupa dia menarik pulang senjatanya yang kiri. Oey Yong melihat lowongan, lantas ia menyerang ke dada, menotok jalan darah sin-kie. Eng Kouw tidak menghiraukan itu, dengan tubuh terhuyung, dia menubruk ke arah Khiu Cian Jin sambil mulutnya berseru, "Kiranya kau!"

Ketua Tiat Ciang Pang terkejut, apapula ia melihat muka bengis dari nyonya itu yang mulutnya dipentang, kedua tangannya dibuka. Si nyonya seperti mau menubruk buat menggigit atau menggerogoti orang.

"Kau mau apa?" berseru Cian Jin dalam herannya. Ia juga lompat ke samping.

Eng Kouw gagal sama tubrukannya yang pertama itu, dengan mulut bungkam, ia menubruk pula. Ia seperti kalap. Kali ini ia mengajukan kepalanya, untuk menyeruduk.

Cian Jin berkhawatir. Ia merasa, celaka kalau ia kena dipeluk perempuan yang telah seperti kalap itu. Ia juga berkhawatir melihat Kwee Ceng merangsek. Maka untuk menolong diri, kembali ia berlompat minggir.

Oey Yong segera menarik tangannya Kwee Ceng, buat diajak berdiam di satu pinggiran. Dari situ mereka mengawasi Eng Kouw. Mereka pun heran dan berkhawatir. Nyonya itu kalap seperti orang gila. Terus dia main tubruk, mulutnya senantiasa berseru, giginya dipertontonkan. Terang dia ingin memeluk Cian Jin untuk digerogoti.

Jago Tiat Ciang Pang itu menjadi kewalahan, ia selalu main berkelit. Beberapa kali tangannya kena terjambret tercakar, hingga tangannya itu berdarah-darah. Dalam khawatirnya, beberapa kali ia berseru; "Pembalasan, pembalasan! Apakah aku mesti terbinasa di tangan perempuan gila ini?!"

Eng Kouw mengulangi tubrukannya, sampai Khiu Cian Jin berada di dekat si tukang kemudi. Sekarang si nyonya matanya menjadi merah. Rupanya ia tahu, lawannya sangat lihay, sukar ia berhasil menubruk. Mendadak ia menyerang si tukang kemudi, hingga orang menjerit dan terjungkal ke air, menyusul mana, ia menendang tiang kemudi sampai tiang itu patah!

Segera karena tak terkendalikan, perahu itu goncang keras, hanyutnya kacau.

Oey Yong kaget hingga ia mengeluh. Kalapnya Eng Kouw bisa membikin mereka nanti kecebur ke air, mungkin bakal mati…… Ia tidak tahu kenapa nyonya itu menjadi kalap mendadak. Karena itu ia mainkan mulutnya, guna memanggil burungnya.

Justru itu perahu melintang, segera membentur wadas, nyaring suaranya. Sebagai akibatnya, kepala perahu bocor.

Khiu Cian Jin kaget, ia menginsyafi bahaya, maka ia pun menjadi nekat, tetapi ia bukan menempur si nyonya kalap, ia hanya mengenjot tubuhnya, untuk berlompat ke darat. Ia tidak sampai di tepian, ia kecebur, tenggelam ke dalam air. Tapi ia sadar, ia mencoba memegangi batu wadas, dengan berpegangan terus, ia melapai ke pinggiran. Ia telah kena menenggak air, toh ia tiba juga di pinggiran di mana ia merayap naik ke darat, lalu dengan pakaian kuyup ia duduk beristirahat, matanya mengawasi ke perahu yang hanyut jauh, hingga nampak seperti satu titik hitam. Ia bergidik kalau ia ingat kalapnya Eng Kouw.

"Binatang ke mana kau hendak lari?" demikian si nyonya mendamprat melihat musuhnya berlompat ke air. Ia juga ingin berlompat atau sang air lekas sekali membikin perahu lantas terpisah jauh dari ketua Tiat Ciang Pang itu.

Kwee Ceng menaruh belas kasihan, ia menjambak punggung si nyonya, untuk mencegah dia terjun, tetapi nyonya itu menyampok ke belakang. Maka "Plok!" muka si anak muda kena dihajar, sampai ia merasakan pipinya panas dan sakit, hingga ia berdiri menjublak.

Oey Yong pun heran, tetapi burungnya sudah datang. maka ia memanggil, "Engko Ceng, mari! Jangan layani perempuan gila itu! Mari kita pergi!"

Kwee Ceng menoleh kepada si nona, kemudian ia berpaling pula kepada Eng Kouw. Ketika itu air sudah merendam kaki mereka. Mendadak nyonya itu menekap mukanya dan menangis menggerung-gerung. "Anak... anak!" dia sesambatan.

"Lekas, lekas!" Oey Yong memanggil engko Cengnya.

Tapi Kwee Ceng bersangsi. Pemuda ini ingat pesan It Teng Taysu untuk menjaga dan melindungi Eng Kouw. Maka ia teriaki kawannya itu, "Yong-jie lekas kau naik burung dan mendarat! Sebentar kau suruh dia terbang pula ke mari menyambut aku!"

"Sudah tidak keburu!" Oey Yong kata, hatinya cemas.

"Lekas kau pergi!" Kwee Ceng mendesak. "Kita tidak dapat menyia-nyiakan pesan It Teng Taysu!"

Mendengar penyahutan si anak muda, Oey Yong turut bersangsi. Ia pun ingat pesan si pendeta dan ingat pertolongan orang kepadanya., Tengah ia berdiam, mendadak tubuhnya bergoyang keras dan kupingnya mendengar suara nyaring. Nyata perahu mereka telah membentur satu batu besar, hingga air segera menerobos masuk ke dalam perahu itu, badan perahu juga melesak ke dalam air.

"Lekas lompat ke wadas!" Oey Yong berteriak.

Kwee Ceng pun mengerti bahaya, ia mengangguk. Ia segera menghampirkan Eng Kouw untuk memegang padanya.

Kali ini si nyonya berdiam bagaikan orang linglung, dipegangi Kwee Ceng, dia tidak meronta, cuma matanya bengong mengawasi permukaan air.

"Mari!" berseru Kwee Ceng, yang dengan tangan kanannya mengempit tubuh si nyonya dan berlompat. Oey Yong turut berlompat.

Mereka berhasil menginjak batu wadas itu, yang besar, hanya pakaian mereka telah basah kecipratan air. Ketika mereka menoleh, mereka mendapatkan perahu mereka sudah karam di pinggir wadas itu. Oey Yong berdiri diam, melihat air, ia seperti kabur matanya. Itulah pengalaman sangat hebat untuknya, meskipun ia sebenarnya pandai berenang.

Burung rajawali terbang berputaran di atasan mereka, burung itu tidak mau turun menghampirkan meski berulang-ulang Kwee Ceng memanggil. Terang binatang itu takut air.

Kemudian Oey Yong memandang juga kelilingan. Ia melihat sebuah pohon yangliu di tepian sebelah kiri, terpisahnya dari mereka kira sepuluh tombak. Ia lantas dapat akal.

"Engko Ceng, kau pegang tanganku," ia kata.

Kwee Ceng tidak tahu orang hendak berbuat apa, ia pegang tangan kiri si nona.

Mendadak Oey Yong terjun ke air, terus dia selulup.

Pemuda itu kaget, ia lekas-lekas membungkuk dengan tangannya diulur panjang-panjang, sedang kedua kakinya dicantel di batu wadas. Dengan tangan kanan ia terus memegangi tangan si nona.

Oey Yong selulup untuk mengambil dadung layar, yang ia bawa kembali ke wadas. Ia menarik dadung hingga panjang dua puluh tombak lebih, ia mengutungi itu, kemudian ia memanggil burungnya, disuruh menclok di pundaknya kiri dan kanan.

Kwee Ceng membantui memegangi burung itu, yang sudah besar dan berat tubuhnya, ia khawatir si nona tak kuat memundaki kedua binatang piaraannya itu.

Oey Yong mengikat dadung ke kaki burung yang jantan, ia menunjuk ke pohon yangliu, untuk menitahkan burungnya terbang ke pohon itu.

Burung itu mengerti, dia terbang ke pohon, setelah terbang memutari, ia terbang balik.
"Eh, aku menyuruh kau melibat dadung ini pada pohon!" kata Oey Yong.

Burung itu tidak dapat dikasih mengerti, maka nona ini masgul.

"Hayo coba!" kata Oey Yong kemudian. Ia memberi contoh.

Burung rajawali itu terbang pula, ia mesti terbang hingga delapan kali, baru dadung dapat dilibat di pohon. Baru sekarang si nona girang.

Kwee Ceng pun girang, sebab ia mengerti maunya kawannya itu.

Ujung yang lain dari dadung itu lantas diikat di wadas. "Nah, Yong-jie, kau mendarat lebih dulu!" kata si pemuda selesai mengikat.

"Tidak," menyahut nona itu. "Aku akan menanti kau. Biar dia naik lebih dulu."

Eng Kouw mengawasi muda-mudi itu, ia terus menutup mulutnya. Tapi sekarang ia sudah tenang, ia mengerti maksud orang, maka tanpa bilang apa, ia berpegangan pada dadung, untuk melapai naik, hingga di lain saat ia telah tiba di darat.

"Di masa aku kecil, inilah permainanku yang menarik hati," kata Oey Yong. "Kwee Toaya, aku hendak memberikan pertunjukan, harap kau mengasih hadiah yang banyak!"

Setelah berkata begitu, si nona menyambar dadung, untuk berdiri di atas dadung itu, habis mana, dia berlari-lari menyeberang melintasi air deras itu, tiba di pohon, untuk turun ke tanah!

Kwee Ceng belum pernah meyakinkan ilmu jalan di atas tambang, ia tidak berani mencoba-coba, khawatir terpeleset dan jatuh ke air, dari itu ia mencontoh Eng Kouw, ia berpegangan pada dadung itu dan melapai. Sambil bergelantungan, ia mengawasi ke darat. Lagi beberapa tombak ia akan tiba di pohon, mendadak ia mendengar seruannya Oey Yong, "Eh, kau hendak pergi ke mana?" Ia terkejut. Itulah seruan kaget.

Seruan itu disebabkan Eng Kouw berjalan seorang diri, untuk meninggalkan mereka berdua. Kwee Ceng khawatir nyonya itu belum sadar betul, itulah berbahaya. Maka ia lekas-lekas melapai, belum sampai di cabang pohon, ia sudah lompat turun.

"Lihat, dia pergi seorang diri!" kata Oey Yong, tangannya menunjuk.

Kwee Ceng mengawasi, hingga ia menampak Eng Kouw berlari-lari di tanah pegunungan, yang jalanannya banyak batunya dan sukar. Orang sudah pergi jauh, sulit untuk menyandaknya.

"Dia pergi seorang diri, pikiran dia was-was, inilah berbahaya," kata Kwee Ceng. "Mari kita susul." Ia berkhawatir, begitu juga Oey Yong.

"Mari!" menyahut si nona setuju. Hanya ketika ia mengangkat kaki, untuk berlompat, mendadak ia roboh sendirinya, jatuhnya duduk, kepalanya digoyang beberapa kali.

Kwee Ceng mengerti nona itu lemas sebab barusan dia memakai terlalu banyak tenaga.

"Kau duduk di sini," ia kata. "Nanti aku yang menyusul sendiri. Aku akan segera kembali."

Pemuda itu lari keras, tapi kapan ia tiba di tikungan tiga, ia bingung. Di situ Eng Kouw tak terlihat, setahu dia mengambil jalanan yang mana. Tempat itu sunyi, rumputnya tinggi, hari pun sudah mendekati magrib. Oleh karena mengkhawatirkan Oey Yong terpaksa ia lari balik.

Kesudahannya, satu malam mereka berdiam di tepi kali itu dengan menahan lapar. Pagi-pagi mereka sudah berjalan mengikuti tepian di mana ada sebuah jalanan kecil. Mereka mau mencari kuda dan burung api mereka, guna bersama-sama mencari jalan besar. Sesudah jalan setengah harian, mereka dapat mencari sebuah rumah makan. Lantas mereka singgah. Mereka membeli tiga ekor ayam, yang seekor dimatangi, untuk dimakan berdua, yang dua ekor untuk sepasang rajawali.

Dua ekor burung itu makan sambil menclok di atas pohon kayu besar.

Burung yang jantan baru makan separuh ayam itu ketika dia bersuara nyaring dan panjang, lantas makanannya dilemparkan, terus dia terbang ke utara. Yang betina pun terbang tinggi, setelah dia juga mengasih dengar suaranya, dia menyusul ke utara itu.

"Kelihatannya burung kita bergusar," kata Kwee Ceng. "Mereka melihat apakah?"

"Marilah kita lihat!" kata Oey Yong, yang terus melemparkan sepotong perak.

Dengan lantas, mereka lari ke jalan besar, di sana mereka melihat burung mereka terbang berputaran, lalu menukik ke bawah, lalu naik pula, akan seterusnya terbang berputaran lagi.

"Mereka bertemu musuh!" kata Kwee Ceng. "Mari!"

Pemuda itu lantas lari, si nona mengikuti. Kira tiga lie, mereka menampak di depan mereka sekumpulan rumah seperti dusun yang ramai, di atas itu kedua burung mereka masih terbang berputaran, agaknya mereka kehilangan sasaran yang mereka cari.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar