Pendekar Pemanah Rajawali Bab-68 Beradu Diam

Sia Tiaw Eng Hiong (Pendekar Pemanah Rajawali), BAB 68 BERADU DIAM
Anonim
Sampai di luar dusun, Oey Yong memanggil turun kedua burungnya, akan tetapi burung itu tetap berputaran, masih saja mereka mencari apa-apa.

"Entah dengan siapa mereka bermusuhan hebat……" kata Kwee Ceng heran.

Lewat lagi sekian lama barulah kedua burung itu turun. Lantas ternyata kaki kiri yang jantan berdarah, di situ ada bekas bacokan golok, syukur kakinya tidak tertebas kutung. Pantas dia agaknya mendongkol.

Muda-mudi itu kaget. Sebelah kaki burung yang jantan mencengkeram suatu barang hitam, setelah diperiksa, itulah kulit kepala orang, yang masih ada rambutnya, yang masih ada darahnya.

Sembari memeriksa kulit kepala orang itu, Kwee Ceng berpikir. "Burung ini dipelihara semenjak kecil, dia baik sekali," kata ia. "Aku tahu mereka belum pernah melukai orang tanpa sebab. Kenapa sekarang mereka berkelahi sama orang?"

"Mesti ada yang aneh," kata Oey Yong. "Mari kita cari orang yang kepalanya kehilangan kulitnya itu……"

Maka mereka mampir di dusun itu, untuk bermalam. Tapi dusun besar, banyak rumah dan penduduknya. Mereka membuat penyelidikan sampai sore tanpa ada hasilnya.

Besoknya pagi, mereka mendapatkan kedua burung mereka membawa pulang kuda mereka. Hiat-niauw tidak ada beserta.

"Mari kita cari," kata Oey Yong, yang mengajaki kembali. Ia sangat sayang burungnya itu.

Tapi Kwee Ceng berkhawatir untuk Ang Cit Kong, yang terluka dan entah ada di mana, sedang harian Pee-gwee Tiong Ciu bakal lekas datang, mereka mesti menghadirkan pibu di Yan Ie Lauw di Kee-hin. Ia kata, perlu mereka lekas pergi ke timur.

Oey Yong dapat dikasih mengerti, ia suka turut. Demikian dengan naik kuda merah, mereka berangkat. Mereka melarikan kuda mereka keras dan burung mereka mengiringi dari udara. Oey Yong senang sekali, di sepanjang jalan ia banyak omong dan tertawa, gemar ia bergurau. Ia jauh lebih gembira dari pada yang sudah-sudah. Bahkan di waktu singgah, sampai jauh malam, ia masih tidak mau tidur, sedang kawannya, yang khawatir ia terlalu letih, menganjurkan ia beristirahat. Ada kalanya, sampai jauh malam, sambil bersila di atas pembaringan, ada saja yang ia omongi sama si anak muda.

Pada suatu hari tibalah mereka di tempat perbatasan sebelah selatan antara dua propinsi Ciat-kang dan Kang-souw, di sini mereka mengasih kuda mereka lari satu harian hingga singgah di sebuah penginapan. Oey Yong pinjam sebuah rantang rotan dari pelayan, hendak ia berbelanja di pasar.

"Kau sudah letih, kita dahar sembarangan saja di sini," Kwee Ceng mencegah.

"Aku hendak masak untukmu," berkata si nona. "Apakah kau tidak sudi makan masakanku?"

"Tentu aku suka hanya aku menghendaki kau lebih banyak beristirahat," kata si anak muda. "Nanti, kalau kau sudah sehat betul, itu waktu masih ada tempo untuk kau masak untukku."

"Sampai aku sudah sehat betul……" mengulangi si nona. "Itu waktu ……"

Ia telah bertindak di ambang pintu, baru sebelah kakinya, atau ia berhenti.

Kwee Ceng tidak tahu apa orang bilang, tetapi ia menurunkan naya dari lengan si nona. Ia kata; "Ya, sampai kita sudah dapat mencari suhu, baru kau masak, nanti kita dahar bersama-sama……"

Oey Yong berdiam sekian lama, lalu ia kembali ke dalam, untuk merebahkan diri di atas pembaringan. Ia terus berdiam, rupanya ia kepulasan……

Kemudian, datang saatnya bersantap. Pelayan telah menyajikan barang makanan mereka. Si pemuda membanguni si pemudi, untuk diajak berdahar.

Nona itu bangun seraya berlompat turun. Ia tertawa. "Engko Ceng, kita tidak dahar ini," ia kata. "Mari turut aku!"

Pemuda itu menurut, ia mengikuti. Mereka pergi ke pasar. Oey Yong pergi ke sebuah rumah besar yang temboknya putih dan pintunya hitam. Dia mutar ke belakang. Di sini dia lompat naik ke tembok, untuk ke pekarangan dalam. Si pemuda tidak mengerti tetapi ia mengikuti terus.

Oey Yong berjalan hingga ke ruang depan di mana ada api terang-terang, sebab tuan rumah tengah membikin pesta.

"Semua minggir!" berkata si nona sembari tertawa. Ia maju ke depan.

Semua orang di medan pesta itu heran. Sama sekali ada tiga puluh orang lebih yang terbagi atas tiga meja. Mereka itu saling mengawasi. Mereka heran mendapat orang adalah satu nona muda dan cantik.

Oey Yong menghampirkan satu tetamu yang gemuk, ia menjambak dan mengangkat tubuh orang, kakinya menggaet, maka robohlah si terokmok itu. "Apa kamu masih tidak mau menyingkir?" ia tanya, sambil tertawa.

Orang menjadi heran berbareng takut, mereka itu lantas jadi kacau.

"Mana orang? Mana orang?" tuan rumah berteriak teriak. Dia heran, kaget dan berkhawatir dan mendongkol juga.

Segera terdengar suara berisik, di situ muncul dua guru silat beserta belasan pengikutnya. Mereka itu membawa golok dan toya.

Oey Yong tidak takut, bahkan dia tertawa terus. Ketika ia menyambut kedua guru silat itu, sebentar saja ia dapat merobohkan mereka, terus ia menyerbu, merampas senjatanya belasan pengikut itu, hingga ruang pesta jadi sangat kacau.

Tuan rumah jadi takut, dia hendak lari, tetapi dia dicekuk si nona, jenggotnya ditarik, lehernya diancam dengan golok. Dalam takutnya dia menekuk lutut, dengan suara gemetaran dan tidak lancar dia kata, "Lie-tay-ong…… oh, nona… kau ingin uang, nanti aku sediakan, asal kau ampuni jiwaku……"

"Siapa menghendaki uangmu?" kata Oey Yong tertawa. "Mari temani aku minum!"

Tuan rumah itu ditarik jenggotnya, ia ketakutan, ia diam saja.

"Mari duduk," kata si nona, yang pun menarik tangan Kwee Ceng. Ia mengajaknya duduk di meja tuan rumah bersama tuan rumah itu. "Kamu juga duduk!" ia kata pada orang banyak, yang berkumpul di pojokan, bingung dan khawatir. "Eh, kenapa kamu tidak mau duduk?" Ia lantas menancap golok di meja, golok itu berkilauan.

Semua tetamu itu ketakutan, dengan saling desak, mereka berebut maju, hingga kursi pada terlanggar terbalik.

"Kamu toh bukan bocah-bocah umur tiga tahun!" si nona menegur. "Apa kamu tidak dapat duduk dengan rapi?"

Semua tetamu itu takut, mereka lantas berlaku tenang. Oey Yong minum araknya dengan gembira.

"Perlu apa kau membikin pesta?" ia tanya tuan rumah. "Apakah kau kematian anggota keluargamu?"

"Sebenarnya aku tambah anak," kata tuan rumah. Sekarang ia tak terlalu takut lagi. Hari ini adalah hari ulang tahun satu bulan anakku itu dan aku mengundang sahabat dan tetangga-tetanggaku……"

"Bagus!" kata si nona tertawa. "Coba kau bawa ke luar anakmu itu!"

Tuan rumah kaget, mukanya pucat. Ia takut anaknya dibunuh. Dengan membelalak, ia mengawasi pisau yang masih nancap di meja. Tapi karena takut, ia terpaksa menyuruh orang membawa ke luar anaknya itu.

Oey Yong menggendong itu bayi, ia mengawasi muka orang. Ia pun memandang muka tuan rumah. "Tidak mirip-miripnya," katanya. "Jangan-jangan ini bukan anakmu sendiri."

Tuan rumah itu likat berbareng berkhawatir, kedua tangannya bergemetaran. Semua tetamu merasa lucu tetapi tidak ada yang berani tertawa.

Oey Yong mengeluarkan sepotong uang emas berat kira lima tail, ia serahkan itu kepada si babu pengasuh berikut bayinya seraya berkata, "Ini tidak berarti, hitung saja sebagai tanda mata dari nenek luarnya."

Semua orang merasa heran dan lucu. Dia orang luar dan menyebut dirinya nenek luar sedang dialah satu nona remaja. Tuan rumah nampaknya girang.

"Mari! Aku beri kau selamat satu mangkok!" kata Oey Yong. Dan ia mengambil satu mangkok besar, ia isikan arak, ia tolak itu ke depan tuan rumahnya.

"Aku tidak kuat minum, maaf," kata tuan rumah itu.

Mendadak si nona mengasih lihat roman bengis, tangannya pun menyambar jenggot.

"Kau minum atau tidak?" dia tanya keras.

Tuan rumah ketakutan, terpaksa ia menenggak arak itu.

"Nah, ini baru bagus!" kata si nona. "Mari, sekarang kita main teka-teki!"

Semua orang takut, maka apa yang si nona inginkan, lantas kejadian. Tapi mereka bangsa saudagar atau hartawan, tidak ada yang pandai main teka-teki, si nona jadi sebal. "Sudahlah!" katanya.

Sementara itu tuan rumah roboh menggabruk. Dia tidak kuat minum tetapi mesti minum banyak arak ……

Si nona tertawa, ia dahar, Kwee Ceng menemani padanya. Akhirnya terdengar tanda jam satu malam, si nona mengajak kawannya pulang, tuan rumah dan tetamunya dibiarkan dalam bingung ……

"Bagus tidak, engko Ceng?" Oey Yong tanya setibanya di pondokan.

"Ah, tidak karu-karuan kau membikin orang ketakutan," kata si anak muda.

"Sekarang ini aku mencari kesenangan untukku, aku tidak perduli orang lain ketakutan," kata si nona.

Pemuda itu heran. Kata-kata itu mesti mengandung arti tetapi ia tidak sanggup menangkapnya.

"Aku hendak pergi jalan-jalan, kau turut tidak?" kemudian Oey Yong tanya.

"Di waktu begini mau pergi ke mana lagi?" tanya si pemuda heran.

"Aku ketarik sama bayi tadi. Ingin aku memain dengannya, sesudah beberapa hari, baru aku akan membayarnya pulang……"

"Eh, mana dapat……" kata Kwee Ceng heran.

Tapi si nona tertawa, dia pergi ke luar, dia melompat tembok pekarangan.

Kwee Ceng menyusul, ia menarik tangan orang. "Yong-jie, kau sudah main-main lama, apakah itu masih belum cukup?" tanyanya.

"Belum cukup," si nona menyahuti. "Mari kau temani aku, kita main-main sampai puas benar. Lewat lagi beberapa hari bukankah kau bakal meninggalkan aku, kau akan pergi mengawini putri Gochin Baki? Tentu dia bakal tidak mengijinkan kau bertemu pula sama aku. Kau tahu, waktunya aku berada bersama kau, lewat satu hari berarti kurang satu hari, maka itu satu hari tempo itu ingin aku bikin menjadi seperti dua hari, seperti tiga hari, ya seperti empat hari! Engko Ceng, hari kita sudah tidak banyak lagi, maka malam juga aku tidak mau tidur, aku mau terus pasang omong dengan kau! Mengertikah kau sekarang? Bukankah kau tidak bakal mencegah aku pula atau menasihati aku untuk beristirahat?"

Kwee Ceng terbengong. Baru sekarang ia mengerti perubahan sikap nona ini - sikap yang luar biasa itu. Si nona jadi tak ingin berpisah darinya. Tempo yang pendek hendak dibikin panjang dengan pertemuan lama, tak siang tak malam…… Ia memegang erat tangan nona itu, ia merasa kasihan, ia mencinta.

"Yong-jie, otakku memang tumpul," katanya. "Sebegitu jauh aku tidak mengerti maksudmu. Aku…… aku……" Ia berdiam tak dapat ia berkata terus. Ia tidak tahu mesti mengatakan apa.

Oey Yong bersenyum.

"Dulu hari ayah mengajarkan aku membaca banyak syair, yang mengenai kedukaan dan penasaran," katanya. "Aku kira itu disebabkan ayah berduka karena mengingat ibuku yang telah meninggal dunia itu, baru sekarang aku ketahui, hidup di dalam dunia ini, orang benar banyak lelakonnya, sebentar girang, sebentar bersusah hati……"

Malam itu bulan sisir, udara terang, hawa pun adem. Angin meniup halus.

Kwee Ceng jadi berpikir. Ia tidak menyangka si nona mencintai ia demikian rupa. Sekarang ia mengerti akan kelakuan luar biasa nona itu selama beberapa hari yang paling belakangan ini.

"Bagaimana kalau kita berpisah nanti?" pikirnya. "Yong-jie cuma ditemani ayahnya, apa tidak kesepian ia berdiam seorang diri di Tho Hoa To? Dan bagaimana lagi nantinya, kalau ayahnya telah menutup mata? Tidakkah ia akan ditemani hanya hamba-hamba gagu? Mana dia bisa merasa senang-senang?"

Mengingat begitu, hati pemuda ini menjadi kecil. Ia pegangi keras tangan si nona, ia menatap mukanya.

"Yong-jie," katanya, "Biar langit ambruk, akan aku menemani kau di Tho Hoa To!"

Tubuh si nona bergemetar, ia mengangkat kepalanya. "Apa katamu?" ia tanya.

"Aku tidak memperdulikan lagi Jenghiz Khan atau Gochin Baki," menyahut si anak muda. "Seumur hidupku, akan aku menemani kau saja!"

"Ah……" kata si nona dan ia nyelundup ke dadanya si anak muda.

Kwee Ceng merangkul. Sekarang ia merasa hatinya lega.

"Bagaimana dengan ibumu?" si nona tanya selang sesaat.

"Aku akan pergi menyambutnya untuk diajak ke Tho Hoa To," sahut si anak muda.

"Apakah kau tidak takut pada Jebe, gurumu dan Tuli serta sekalian saudaranya, semua pangeran itu?"

"Mereka semua baik terhadapku tetapi aku tidak dapat memecah dua hatiku……"

"Bagaimana dengan keenam gurumu dari Kanglam serta Ma Totiang, Khu Totiang dan lainnya lagi?"

"Pasti mereka bakal gusar tetapi perlahan-lahan saja aku akan minta maaf mereka. Yong-jie, kau tidak mau berpisah dari aku, aku juga tidak mau berpisah dari kau."

"Aku ada punya akal," berkata si nona tiba-tiba. "Kita bersembunyi di Tho Hoa To, untuk selamanya kita jangan berlalu dari situ. Ayah pandai mengatur hingga pulau itu tertutup untuk orang lain, taruh kata mereka dapat mendatangi tetapi tidak nanti mereka dapat mencari kau……"

Kwee Ceng menganggap akal itu tidak sempurna, ia hendak mengutarakan pikirannya itu atau mendadak ia memasang kupingnya. Ia mendengar tindakan kaki di tempat belasan tombak, tindakan dari dua orang yang biasa berjalan malam, datangnya dari selatan, tujuannya utara. Ia pun dapat mendengar perkataan satu di antaranya, "Loo Boan Tong telah kena terjebak Pheng Toako, kita jangan takuti dia lagi! Mari lekas!"

Juga Oey Yong mendengar sama seperti si anak muda. Kedua mereka tidak berniat memikir apa juga, ingin mereka menyenangi hati, tetapi disebutnya nama Loo Boan Tong membuatnya mereka itu berdua berjingkrak berbareng, dengan serentak mereka lari untuk menyusul dua orang itu.

Orang-orang yang belum dikenal itu berlari-lari tanpa mengetahui yang mereka lagi dikuntit. Mereka lari terus hingga lima enam lie di belakang dusun itu. Tempo mereka membelok ke sebuah tikungan, dari sebelah depan lantas terdengar suara yang berisik sekali serta cacian.

Dengan mempercepat larinya, Kwee Ceng dan Oey Yong lantas sampai di tempat tujuan. Dengan lantas mereka menjadi terkejut dan heran. Mereka telah melihat Ciu Pek Thong lagi duduk bersila di tanah, tubuhnya tak bergerak, entah dia masih hidup atau sudah mati. Dan di depannya, duduk bercokol juga, ada seorang pertapaan sebagaimana dia kenali dari jubahnya. Dialah Leng Tie Siangjin si pendeta bangsa Tibet.

Di samping Ciu Pek Thong ada sebuah gua gunung yang mulutnya kecil, yang tiba muat tubuh satu orang dengan orang itu mesti masuk sambil membungkuk. Di luar gua ada enam orang, ialah mereka yang suaranya berisik itu, mereka berani membuka mulut tetapi takut masuk ke dalam gua, seperti juga di dalam situ ada suatu makhluk yang dapat mencelakai orang.

Kwee Ceng khawatir Ciu Pek Thong telah menjadi korbannya si Pheng Toako, sebagaimana tadi ia mendengar perkataannya orang, karena itu hendak ia lantas maju mendekati.

Oey Yong melihat sikap kawannya, ia mencegah sambil menarik tubuh orang.

"Sabar," kata si nona. "Mari kita memeriksa dulu dengan teliti."

Kwee Ceng dapat dicegah maka berdua mereka mengumpatkan diri. Dengan begitu mereka jadi bisa melihat tegas rombongan orang itu, yang kebanyakan ada kenalan-kenalan lama, ialah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong, Kwie-bu Liong Ong See Thong Thian, Cian-ciu Jin-touw Pheng Lian Houw dan Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay. Dua lagi ialah si orang tukang jalan malam yang tadi, mereka ini tidak dikenal.

Oey Yong merasa semua orang itu bukan tandingannya dia serta Kwee Ceng. Dua orang baru itu juga tidak usah dikhawatirkan. Tapi ia masih melihat ke sekitarnya. Di situ tidak ada orang lain. Maka ia kisiki kawannya; "Dengan kepandaiannya Loo Boan Tong, beberapa orang ini pastilah tidak bisa berbuat sesuatu atas dirinya, maka itu, menurut sangkaanku, mesti di sini ada See Tok Auwyang Hong. Entah dia bersembunyi di mana ……"

Si nona lantas hendak mencari tahu atau ia mendengar suara tak sedap dari Pheng Lian Houw. "Binatang, jikalau kau tetap tidak ke luar, aku nanti ukup kau dengan asap!"

Dari dalam gua, ke dalam mana ancaman Lian Houw diberikan, terdengar jawaban yang berat dan angker, "Kau mempunyai kepandaian bau apa, kau keluarkan saja!"

Kwee Ceng terkejut. Ia mengenali suara gurunya yang nomor satu, yaitu Hui Thian Pian-hok Kwa Tin Ok si Kelelawar Terbangkan Langit. Sekarang ia tidak ingat lagi kepada Auwyang Hong, lantas ia berseru, "Suhu, muridmu datang!" Suaranya itu disusul sama lompatannya yang pesat, hingga ia muncul sambil berbareng mencekuk punggungnya Hauw Thong Hay, tubuh siapa lantas dilemparkan!

Munculnya si anak muda membuatnya pihak Thong Hay menjadi kaget. Pheng Lian Houw berdua See Thong Thian lantas maju menerjang, sedang Nio Cu Ong pergi ke belakang orang, untuk membokong.

Kwa Tin Ok di dalam gua pun turut bekerja. Ia rupanya melihat perbuatan si orang she Nio, ia lantas menyerang dengan sebatang tokleng atau lengkak beracun.

Cu Ong terkejut, dia berkelit sambil tunduk, tidak urung kondenya kena tersambar hingga beberapa juir rambutnya putus. Ia kaget bukan main. Ia tahu senjatanya Tin Ok itu beracun, sebagaimana dulu hari hampir saja Pheng Lian Houw terbinasa karenanya. Maka ia berlompat ke samping seraya meraba kepalanya. Ia berlega hati ketika ia mendapat kenyataan kulitnya tidak terluka. Ia lantas mengeluarkan senjata rahasianya, paku Touw-kut-jiam, terus ia jalan mutar ke kiri gua, maksudnya untuk menyerang ke dalam gua secara diam-diam, guna membokong musuh yang ada di dalam itu. Ia baru menggeraki tangannya atau ia merasakan lengannya kaku, pakunya lantas saja jatuh dengan menerbitkan suara nyaring. Tengah ia bingung, ia mendengar suara tertawanya seorang nona yang terus berkata, "Lekas berlutut! Kau akan merasai tongkat lagi!"

Nio Cu Ong berpaling. Ia melihat Oey Yong dengan tongkat di tangan, berdiri sambil tertawa haha-hihi. Ia kaget berbareng girang. Pikirnya, "Kiranya tongkat Ang Cit Kong jatuh di tangannya dia ini?" Dengan segera ia mengerjakan dua tangannya berbareng, Tangan kiri melayang ke pundak si nona, tangan kanan menyambar ke tongkat, yang ia hendak rampas.

Dengan lincah, Oey Yong berkelit dari sambaran tangan kiri itu. Ia tidak menarik tongkatnya, ia sengaja memberinya ketika hingga ujung tongkat itu kena dipegang perampasnya. Cu Ong girang bukan main. Dia lantas menarik dengan keras, di dalam hatinya dia kata; "Jikalau dia tidak melepaskan maka tubuhnya bakal ketarik bersama."

Benar saja tongkat itu kena ketarik, tetapi cuma sedetik, cekalannya lolos sendirinya. Sebab selagi ia menarik dan si nona mengikuti, mendadak nona itu mendorong dengan kaget, hingga terlepaslah cekalannya. Tengah ia terkejut, tahu-tahu tongkat itu sudah berbalik, melayang ke kepalanya. Ia kaget melihat tongkat itu berkelebat. Dasar ia lihay, ia lantas menjatuhkan diri, berguling jauh satu tombak. Ketika ia sudah berdiri pula, ia menampak si nona berdiri diam mengawasi ia dengan bersenyum.

"Kau tahu apa namanya jurus ini?" si nona tanya, tertawa. "Kau telah kena aku kemplang satu kali, kau tahu kau telah berubah menjadi apa?"

Dulu hari pernah Nio Cu Ong merasa lihaynya tongkat itu, dia dibuatnya Ang Cit Kong "mati dan hidup pula", maka juga meski sang tempo telah lama lewat, dia masih ingat itu dan merasa jeri, sekarang dia merasakannya pula, meski tidak hebat, toh hatinya terkesiap, dia menjadi jeri. Justru itu dia melihat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw tengah terdesak hebat, mereka itu cuma dapat membela diri, dia lantas berseru dan memutar tubuh, untuk mengangkat kaki.

See Thong Thian kena disikut Kwee Ceng, dia terhuyung tiga tindak. Meneruskan serangannya, tangan kiri si anak muda melayang kepada Pheng Lian Houw. Dia ini tidak berani menangkis, dia berkelit. Tapi dia kalah gesit, tangan kanan anak muda itu kena menyambar lengannya, yang terus dicekal keras. Dia bertubuh kate dan kecil, dengan gampang tubuhnya itu kena diangkat, hingga kedua kakinya seperti bergelantungan di udara ……

Sambil mengangkat tubuh orang Kwee Ceng mengepal tangan kirinya, siap sedia meninju dada orang tawanannya itu. Lian Houw melihat itu, dalam takutnya dia berseru menanya, "Hari ini bulan ke delapan tanggal berapa?"

"Apa kau bilang?" tanya si anak muda tercengang.

"Kau memegang kepercayaan atau tidak?" Lian Houw tanya. "Apakah kata-katanya satu laki-laki tak masuk hitungan?"

"Apa kau bilang?" Sambil menegasi, Kwee Ceng masih mengangkat tubuh orang.

"Bukankah janji kami ialah Pee-gwee Cap-gouw," kata Lian Houw. "Bukankah janji pertandingan kita di Yan Ie Lauw di Kee-hin pada tanggal lima belas bulan delapan itu? Dan tempat ini bukannya kota Kee-hin dan sekarang bukannya harian Tiong Ciu! Bagaimana dapat kau mencelakai aku?"

Kwee Ceng pikir perkataan orang itu benar juga, ia hendak melepaskan atau mendadak ia ingat suatu apa.

"Kamu bikin apa atas dirinya Toako Ciu Pek Thong?" ia tanya.

"Dia sekarang lagi bertaruh sama Leng Tie Siangjin," menyahut Lian Houw. "Mereka bertaruh, siapa bergerak paling dulu, dialah yang kalah! Urusan dia tidak ada hubungannya sama aku!"

Kwee Ceng mengawasi dua orang yang duduk di tanah itu, pikirnya, "Kiranya begitu?" Lantas ia menanya keras; "Toasuhu, adakah kau baik?"

Itulah pertanyaan untuk Kwa Tin Ok, gurunya yang nomor satu.

"Hm!" jawab Hui Thian Pian-hok dari dalam gua. Sampai di situ, pemuda ini lantas melepaskan cekalannya sambil ia terus menolak dada orang. "Pergilah!" ia mengusir.

Pheng Lian Houw tidak roboh, karena ia terus berlompat. Ketika kedua kakinya telah menginjak tanah, ia berpaling ke arah kedua kawannya, See Thong Thian dan Nio Cu Ong, maka ia mendapatkan mereka itu sudah pergi jauh. "Celaka, manusia tidak ingat persahabatan!" ia mencaci di dalam hatinya. Lantas ia memberi hormat kepada Kwee Ceng seraya membilang, "Nanti tujuh hari kemudian, kita mengadu kepandaian pula di Yan Ie Lauw untuk memastikan kalah menang!" Setelah beraksi begitu ia memutar tubuhnya, dengan menggunai ilmu enteng tubuhnya. Ia lantas mengangkat kaki!

Itu waktu Oey Yong telah menghampirkan Ciu Pek Thong dan Leng Tie Siangjin. Dua orang itu saling mengawasi dengan matanya masing-masing terbuka lebar, tidak ada yang mengedip atau menoleh. Ia lantas ingat perkataannya dua orang yang berjalan malam itu bahwa Pek Thong telah kena ditipu Lian Houw, sekarang ia membuktikan itu. Pasti, karena jeri kepada Pek Thong, jago tua itu telah dipancing kemurkaannya dia diadu dengan Leng Tie Siangjin, dengan cara adunya mereka main diam-diam. Dengan cara begitu juga, Pek Thong jadi dibikin tidak dapat berkutik, hingga mereka itu leluasa mengepung Kwa Tin Ok. Pek Thong gemar bergurau, ia pun polos, gampang saja dia kena diperdayakan, maka juga meski di sampingnya orang bertempur hebat dan mengacau, dia tidak mengambil mumet, dia terus mengadu diam dengan Leng Tie, si pendeta dari Tibet. Dia berduduk tegar, maksudnya yang utama ialah mengalahkan Leng Tie.

"Loo Boan Tong, aku datang!" kata Oey Yong.

Pek Thong mendengar itu, tetapi dia takut kalah, dia berdiam saja.

"Dengan bertaruh begini kamu menyia-nyiakan waktu," kata si nona. "Lagi satu jam juga, belum tentu kamu ada yang menang atau kalah! Mana itu menarik hati? Begini saja! Aku yang menjadi wasitnya! Aku akan mengitik kamu, mengitiknya sama, lantas aku mau lihat, siapa yang tertawa paling dulu. Siapa yang tertawa, dialah yang kalah!"

Sebenarnya Pek Thong sudah habis sabar, bahwa ia toh tetap berdiam saja, ia penasaran kalau ia sampai kalah, sekarang mendengar usulnya si nona, ia akur. Tapi ia tidak mau mengasih tanda akan kesetujuannya, sebab kalau ia menepi atau bergerak ia kalah.

Oey Yong tidak menanti jawaban, ia mendekati mereka, ia memernahkan diri dari di antara mereka itu, lalu ia mementang kedua tangannya, dengan berbareng ia menotok ke jalan darah siauw-yauw-hiat mereka itu, ialah urat tertawa. Ia tahu Pek Thong menang unggul dari Leng Tie, ia tidak berlaku curang. Kesudahannya totokannya itu membuatnya heran. Pek Thong memang tetap bercokol, tetapi anehnya, Leng Tie pun berdiam saja, pendeta itu seperti tidak merasakan apa-apa dia seperti tidak menggubrisnya godaan itu.

"Heran pendeta ini," pikir si nona. "Nyata dia lihay ilmunya menutup jalan darahnya. Jikalau aku, tentulah aku sudah tertawa terpingkal-pingkal ……" Ia penasaran, maka ia menotok pula, kali ini dengan terlebih keras.

Ciu Pek Thong mengumpul tenaga dalamnya, ia menentang totokannya Oey Yong. Segera ia menjadi heran. Ia mendapat kenyataan tenaganya si nona menjadi besar sekali. Ia melawan terus, ia bertahan, tetapi ia kewalahan. Di akhirnya, ia melepaskan perlawanannya, sambil berlompat bangun, ia tertawa berkakakan. Kemudian ia kata; "Eh, eh pendeta, kau hebat! Baiklah, Loo Boan Tong menyerah kalah!!"

Oey Yong menjadi menyesal. Ia tidak menyangka Pek Thong begitu gampang saja mengaku kalah. Pikirnya, "Kalau tahu begini, aku tidak mengganggu dia, aku hanya mengeraskan totokanku kepada si pendeta." Maka ia lantas menghadapi Leng Tie dan berkata; "Kau sudah menang, nonamu tidak menginginkan jiwamu! Lekas mabur!"

Leng Tie tidak menyahuti, dia duduk tetap.

"He, siapa kesudian menontoni macam tololmu ini?" membentak si nona seraya tangannya menolak. "Kau berpura-pura mampus?"

Oey Yong menolak dengan perlahan, tetapi tubuh si pendeta yang besar dan gemuk itu roboh terguling dengan tiba-tiba, robohnya dengan tangan dan kakinya tidak bergerak, seperti tadi dia bersila.

Si nona terkejut, juga Kwee Ceng dan Pek Thong.

"Apakah ini disebabkan ilmunya menutup jalan darah?" tanya Oey Yong. "Apa ilmunya itu belum sempurna, maka ia gagal bertahan dan menjadi kaku terus-terusan dan mati sendirinya. Ia lantas menaruh tangannya di depan hidung pendeta itu, ia merasakan hawa tarikan napas yang biasa, ia menjadi heran mendongkol dan lucu.

"Loo Boan Tong, kau terpedayakan, kau tidak tahu!" ia kata sambil tertawa pada Pek Thong. "Sungguh manusia tolol!"

"Apa kau bilang?" tanya si orang tua, matanya dipentang lebar.

Si nona tertawa.

"Kau bebaskan dulu dia dari totokan jalan darah, baru kita bicara pula!" sahutnya.

Si tua jenaka itu melengak, tetapi ia membungkuk kepada Leng Tie Siangjin tubuh siapa ia lantas raba-raba, usap sana dan usap sini, ia juga menepuk-nepuk, dengan begitu ia menjadi mendapat kenyataan, si pendeta telah ditotok seluruh jalan darahnya. Ia lantas berjingkrak dan berseru-seru; "Tidak, tidak, inilah tidak masuk hitungan!"

"Tidak masuk hitungan apa?" Oey Yong menegasi.

"Dia ini dipermainkan konconya," kata Loo Boan Tong. "Sesudah dia duduk tadi, konconya totok dia hingga dia jadi duduk tegak tanpa bisa berkutik. Dengan begitu, meski kita bertaruh sampai lagi tiga hari dan tiga malam, dia pasti tidak bakal kalah!" Ia berbalik pula pada si pendeta, yang rebah melengkung di tanah, ia kata; "Mari, mari! Mari kita mulai mengadu pula!"

Sementara itu, hati Kwee Ceng menjadi lega. Ia melihat orang tidak kurang suatu apa, bahkan sehat sekali. Maka ia tidak sudi mendengari ocehan orang lebih lama. Ia ingat kepada gurunya. Dari itu ia lantas lari ke dalam gua.

Pek Thong sendiri lantas menolongi Leng Tie Siangjin, yang ditotok bebas, sembari menolongi, masih ia mengoceh tak hentinya. "Mari, mari kita bertaruh pula!"

"Mana guruku?" Oey Yong tanya dingin kepada orang tua berandalan itu. "Kau buang ke mana guruku itu?"

Ditanya begitu, Pek Thong terkejut hingga dia berteriak, lantas dia lari ngiprit ke arah gua, hingga hampir saja dia saling tabrak sama Kwee Ceng, yang ke luar dari dalam gua itu sambil mempepayang gurunya.

Tiba di luar anak muda ini berdiri menjublak. Ia melihat Kwa Tin Ok, gurunya yang paling tua itu, melibat kepala dengan sabuk putih, bajunya baju putih juga.

"Suhu, apakah kau sedang berkabung?" akhirnya ia menanya heran. "Jie-suhu dan yang lainnya mana?"

Tin Ok tidak menyahuti, hanya ia mengangkat kepalanya memandang langit. Dengan lantas ia mengucurkan air mata.

Kwee Ceng heran dan kaget, sampai ia tidak berani lantas mengulangi pertanyaannya.

Ketika itu Pek Thong sudah muncul pula dari dalam gua, ia mempepayang satu orang yang tangannya yang kiri mencekal cupu-cupu arak, tangannya yang kanan memegang daging ayam sebelah potong, sedang mulutnya menggigit satu paha ayam juga. Dialah Kiu Cie Sin Kay Ang Cit Kong.

Oey Yong dan Kwee Ceng menjadi girang sekali. "Suhu!" mereka memanggil.

Justru itu Kwa Tin Ok, dengan romannya yang bengis, menghajar nona Oey dengan tongkat besinya.

Oey Yong sedang bergirang sekali, ia tidak menyangka yang ia bakal diserang. Itulah satu jurus dari Hok Mo Thung-hoat yaitu Ilmu Tongkat Menakluki Iblis, yang Tin Ok sengaja menciptakannya di gurun pasir, untuk melawan Bwee Tiauw Hong. Sebaliknya Kwee Ceng melihat itu. Bukan main kagetnya murid ini. Tidak ada tempo lagi untuk mencegah dengan mulut, terpaksa si anak muda mengulur tangan kirinya, guna menyampok tongkat itu, sedang dengan tangan kanannya, ia menyambar ujungnya, guna membikin tongkat itu tidak jatuh. Dalam kesusu, ia menggunai tenaga besar. Inilah hebat untuk Kwa Tin Ok. Dia tersampok dan tertarik, dia tidak dapat mempertahankan dirinya, tongkatnya terlepas, tubuhnya terpelanting jatuh!

Kembali Kwee Ceng menjadi kaget.

"Suhu!" ia berseru seraya menubruk, guna mengasih bangun gurunya itu.

Mulutnya Kwa Tin Ok mengeluarkan darah, sebab dua buah giginya copot, sedang mukanya bengkak akibat jatuhnya itu.

"Untuk kau!" katanya ketika ia mengambil kedua buah giginya itu dan menyerahkannya kepada muridnya. Tangannya berlepotan darah.

Kwee Ceng menjatuhkan diri di depan gurunya itu. "Teecu salah, suhu," ia kata. "Silahkan suhu menghukumnya ……"

"Untukmu!" kata pula si guru, tangannya tetap dilonjorkan.

"Suhu ……" murid itu kata pula sambil menangis.

Ciu Pek Thong menyaksikan kejadian itu, yang ia anggap lucu, maka ia tertawa dan kata; "Semenjak dulu adalah guru yang menghajar murid tetapi hari ini murid menghajar guru! Bagus-bagus!" Ia tidak memperdulikan lagi bahwa ia justru membikin hati Tin Ok menjadi makin panas. Karena sang murid tidak mau menerima giginya itu, Tin Ok lantas menelan itu!

"Bagus, bagus!" kembali Pek Thong berseru-seru dan bertepuk tangan.

Oey Yong bingung. Ia tidak tahu kenapa Tin Ok hendak membinasakan padanya. Ia mendekati Cit Kong tangan siapa ia cekal.

"Biar bagaimana juga teecu tidak berani melawan suhu," kata Kwee Ceng mengangguk-angguk. "Barusan teecu kesalahan tangan, maka itu harap suhu menghukum padaku ……"

"Suhu! Suhu!" membentak sang guru. "Siapa gurumu? Kau mempunyai pemilik dari Tho Hoa To sebagai mertuamu, perlu apa lagi kau dengan gurumu? Kanglam Cit Koay cetek kepandaiannya, mana tepat dia menjadi gurunya Kwee Toaya?"

Kwee Ceng semakin menyesal, ia mengangguk-angguk pula. Hebat sekali kemurkaan guru itu hingga Oey Yok Su disebut-sebut sebagai mertuanya dan ia pun disindir "toaya" atau "tuan besar".

Ang Cit Kong tidak dapat mengawasi saja.

"Kwa Tayhiap," ia berkata, "Di antara guru dan murid, keterlepasan tangan adalah hal yang umum, oleh karena itu, aku harap kau maafkan muridmu ini. Barusan anak Ceng menggunai jurus dari ilmu silat ajaranku si pengemis tua, akulah yang bersalah, di sini aku hatur maaf kepadamu."

Pengemis itu benar-benar menjura kepada jago Kanglam itu.

Mendengar Cit Kong berkata demikian, Pek Thong pikir ia pun baik berbicara. Maka ia kata kepada Hoe Thian Pian-hok, "Kwa Tayhiap di antara guru dan murid keterlepasan tangan adalah yang umum sekali, karena sambaran saudara Kwee barusan kepada tongkatmu adalah sambaran ajaranku, di sini aku si Loo Boan Tong matur maaf padamu."

Dan ia pun menjura dalam.

Dalam murkanya itu, Tin Ok menganggap orang mengejek ia, ia bukan saja mendongkol pada si tua yang doyan bergurau ini, ia juga menganggapnya Ang Cit Kong mau main gila terhadapnya, maka itu dengan sengit ia kata; "Kamu Tong Shia dan See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, kamu semua sangat mengandalkan kepandaian kamu, kamu menganggap kamu dapat malang melintang di kolong langit ini, akan tetapi di mataku, perbuatan kamu semua banyak yang tak pantas, maka akhirnya nanti mesti buruk adanya!"

Pek Thong heran.

"Eh, apakah salahnya Lam Tee hingga kau membawa-bawa dia?" ia tanya.

Oey Yong melihat suasana buruk sekali, kalau ia diam saja, si tua bangka berandalan ini bisa mengacau hebat, karena dalam murkanya itu, Tin Ok mesti dibikin sabar dan bukannya dikocok, maka itu ia lantas menyelak. Ia kata; "Loo Boan Tong, burung wanyoh mau terbang berpasangan datang mencari kau, apakah kau tidak mau lekas-lekas pergi melihat dia?"

Pek Thong kaget hingga ia lompat berjingkrak. "Apa?" ia menanya.

"Dia ingin bersama kau di musim dingin di dalam tempat yang tersembunyi mandi baju merah…" kata pula si nona.

Pek Thong menjadi terlebih kaget lagi.

"Di mana? Di mana?" ia tanya berulang-ulang.

"Di sana!" sahut Oey Yong, tangannya menunjuk ke arah selatan. "Di sana! Lekas kau pergi cari dia!"

"Untuk selama-lamanya aku tidak akan menemui dia pula!" berseru Pek Thong. "Nona yang baik, apa juga kau boleh menitahkannya kepadaku asal kau jangan membilangi dia bahwa aku berada di sini…!" Belum berhenti suaranya, dia sudah lari ke utara.

"Kau ingat perkataanmu ini ialah janjimu!" kata Oey Yong.

"Kalau Loo Boan Tong sudah mengatakan, dia tidak nanti menyesal!" kata Pek Thong dari jauh, lalu dia lenyap dari pandangan matanya si nona.

Maksudnya Oey Yong ialah memperdayakan si tua jenaka itu pergi mencari Eng Kouw, siapa tahu, Pek Thong takut bertemu sama nyonya itu, dia bahkan kabur. Tapi biar bagaimana, orang toh telah menyingkir, maka lega juga hatinya nona ini.

Kwee Ceng masih berlutut di depan gurunya, ia masih minta diberi hukuman. Sambil menangis ia berkata pula, "Buat guna teecu, suhu bertujuh telah pergi jauh ke gurun di utara, tempat yang bersengsara, maka itu biarpun tubuh teecu hancur lebur, sukar untuk teecu membalas budi suhu semua. Tanganku ini bersalah, baiklah teecu tidak menginginkannya pula!"

Dengan tangan kanannya, si anak muda mencabut pedangnya, dengan itu ia menebas tangannya yang kiri, tetapi Kwa Tin Ok menangkis dengan tongkatnya, hingga kedua senjata bentrok keras, lelatu apinya muncrat, tangan si guru dirasakan sakit. Itulah bukti yang muridnya itu benar-benar mau mengutungi tangannya itu. Maka lantas ia berkata, "Baiklah! Sekarang aku ingin kau melakukan sesuatu!"

"Titahkan saja, suhu, tidak nanti teecu membantah," Kwee Ceng bilang.

"Jika kau menampik, lain kali jangan kau bertemu pula padaku!" kata si guru. "Biarlah perhubungan kita putus bagaikan ditebas!"

"Teecu akan melakukan itu dengan sungguh-sungguh," kata Kwee Ceng, "Kalau tidak sampai mati baru teecu berhenti."

Tin Ok membanting tongkatnya ke tanah.

"Kau kutungi kepalanya Oey Lao Shia serta kepala gadisnya!" ia bilang keras.

Bukan main kagetnya Kwee Ceng. Itulah titah sangat hebat, yang ia tidak sangka.

"Suhu!" serunya. "Suhu ……!"

"Bagaimana?" tanya si suhu bengis.

"Entah kenapa Oey Lao Shia bersalah kepada suhu?"

"Hm! Hm!" mengejek si guru. "Aku mengharap Thian memberikan ketika sejenak saja untuk aku bisa melihat, asal aku bisa melihat mukamu binatang cilik yang bong in pwee gie!" Dia mengangkat pula tongkatnya, niat menyerang.

Bukan main sedihnya Kwee Ceng, yang dikatakan bong it pwee gie - tidak mengenal budi. Ia melihat tongkat mengancam. Ia tidak berkisar, tidak berkelit.

Oey Yong terkejut, apa pula ketika ia mendapatkan si pemuda berdiam saja.

"Menolong dulu, itulah perlu!" pikirnya. Maka ia menggeraki tongkatnya, dengan jurusnya "Anjing jahat menghadang jalanan".

Tongkatnya Tin Ok tidak mengenai sasarannya.

Bukan main mendongkolnya ketua Kanglam Cit Koay ini. Tangkisan si nona membuatnya terhuyung, meski ia tidak jatuh. Dua kali ia menumbuk dadanya sendiri, lantas dia lari ke arah utara.

"Suhu! Suhu!" Kwee Ceng berteriak-teriak memanggil.

"Apakah Kwee Toaya menghendaki jiwa tuaku?" guru itu tanya.

Kwee Ceng tercengang. Ia tidak berani mencegah pula. Ia menunduki kepala. Maka itu ia cuma bisa mendengar suara tongkat besi mengenai tanah atau batu, makin lama makin jauh, makin jauh, makin samar, lalu lenyap. Ia ingat budinya guru itu. Ia menjatuhkan diri di tanah dan menangis menggerung-gerung.

Sambil menuntun tangan Oey Yong, Cit Kong menghampirkan muridnya itu.

"Dua-dua Kwa Tayhiap dan Oey Lao Shia mempunyai tabiatnya sendiri-sendiri yang sangat luar biasa." ia berkata, "Entah ada terjadi perselisihan hebat apa di antara mereka itu. Sekarang kau jangan bersusah hati, kau serahkan urusan padaku, nanti aku si pengemis tua yang membereskan, supaya mereka menjadi akur pula."

Kwee Ceng berhenti menangis, ia bangun. "Suhu, tahukah suhu apa sebabnya itu?" ia tanya.

Cit Kong menggeleng kepala, tetapi ia berkata; "Loo Boan Tong telah kena orang perdayakan. Dia bertaruh mengadu diam maka kejadianlah dia diam tak berkutik. Memangnya kawan manusia jahat itu hendak membikin celaka padaku, kebetulan gurumu itu sampai, dia melindungi aku, dia mengajaknya aku bersembunyi ke dalam gua itu. Dengan mengandal pada lengkak beracun gurumu itu, orang jahat tidak berani memasuki gua. Maka kita dapat bertahan sekian lama. Gurumu itu seorang mulia hati, melindungi aku dengan memberbahayakan dirinya sendiri."

Pengemis itu berhenti bicara, dia mencegluk araknya dua kali, akan menggerogoti paha ayamnya, yang ia terus telan, setelah mana, ia menyeka mulutnya. Habis itu, baru ia berkata pula, "Pertempuran barusan hebat sekali. Celaka untukku, karena kepandaianku telah ludas, aku tidak dapat turun tangan untuk membantu. Aku bertemu sama gurumu itu tetapi tidak sempat aku bicara dengannya. Aku percaya kegusarannya barusan pasti bukan karena kau keterlepasan tangan. Dia seorang berbudi dan jauh pandangannya, tidak nanti dia berlaku dengan cupat pikiran. Lagi beberapa hari akan tiba waktu perjanjian Pee-gwee Cap-gouw, maka sesudahnya pertandingan di Yan Ie Lauw nanti aku menjadi orang pertengahan akan mengakuri mereka itu."

Kwee Ceng mengucap terima kasih.

"Kepandaian kamu berdua maju sangat pesat anak-anak," Cit Kong berkata pula tertawa. "Kwa Tayhiap ada seorang Rimba Persilatan yang kenamaan tetapi setelah kamu turun tangan, dia jatuh pamornya. Sebenarnya bagaimanakah halnya dengan kamu?"

Kwee Ceng berduka dan malu, ia tidak dapat bicara, maka Oey Yong yang menutur hal perjalanan mereka berdua semenjak mereka berpisah di istana kaisar.

Cit Kong memuji dengan seruannya mendengar Yo Kang membinasakan Auwyang Kongcu. Ketika ia mendengar halnya Yo Kang menipu Lou Tiangloo sekalian, ia mencaci anak muda itu sebagai anak jadah. Kemudian ia melongo mendengar halnya It Teng Taysu menolongi nona Oey sampai pada lelakonnya Sin Soan Cu Eng Kouw yang penasaran dan mendendam hebat. Di akhirnya ia bcrseru kaget mengetahui Eng Kouw muncul di Chee-liong-tha di mana nyonya itu menjadi seperti hilang ingatan.

"Suhu, apakah suhu kenal Eng Kouw?" Oey Yong tanya.

"Tidak, aku tidak kenal dia," menyahut guru itu, "Hanya di waktu Toan Hongya masuk menjadi pendeta, aku berada di sisinya. Dia telah mengirim surat padaku di Utara, dia mengundang aku datang ke Selatan. Aku lantas datang karena aku percaya tanpa urusan penting tidak nanti dia mengundang aku. Aku datang karena sekalian aku ingin mencoba pula makanan Inlam yang lezat, bahkan aku berangkat dengan cepat. Tempo aku bertemu sama Toan Hongya, dia lesu sekali, dia sangat beda sama waktunya pertemuan di Hoa San di mana dia gagah bagaikan naga dan harimau. Aku heran sekali. Besoknya dia mengajaki aku berunding tentang ilmu silat maksudnya untuk mewariskan padaku dua macam kepandaiannya. Sian Thian Kan dan It Yang Cie. Kembali aku menjadi heran. Sian Thian Kang dari Toan Hongya bersama Hang liong Sip-pat Ciang dari aku, Hap Mo Kang dari Auwyang Hong dan Pek Khong Ciang dari Oey Lao Shia, sama tersohornya, sama tangguhnya, maka itu setelah dia pun memperoleh It Yang Cie dari Ong Tiong Yang, pasti sudah dia bakal jadi jago nomor satu di kolong langit ini dalam pertempuran yang kedua di Hoa San. Tidak karu-karuan sekarang dia mau mewariskan dua rupa kepandaiannya itu padaku, untuk itu ia memakai alasan merundingkan ilmu silat. Kenapa dia tidak mau mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang dari aku? Mesti ada sebabnya. Hal itu aku telah memikirkannya. Kemudian setelah diam-diam aku berbicara dengan empat muridnya, baru aku ketahui sebab aneh itu. Kiranya, habis mewariskan kepandaiannya padaku, dia hendak membunuh diri…"

"Suhu," berkata Oey Yong, "Toan Hongya itu khawatir, setelah dia mati, It Yang Cie tidak ada yang mewariskan dan itu artinya tidak ada orang yang dapat menguasai lagi Auwyang Hong."

"Benar, aku pun telah melihat hal itu. Karena itu juga, aku bilang aku tidak suka mempelajari dua rupa kepandaiannya itu. Setelah aku menampik, dia baru menutur maksud hatinya. Dia kata keempat muridnya, biarnya mereka jujur dan setia, tetapi sebab perhatian mereka itu ditumpleki pada urusan pemerintah, tidak nanti mereka memperoleh kemajuan. Dia kata pula, tidak apa aku tidak menyukai Sian Thian Kang tetapi It Yang Cie sangat perlu. Dia bilang, apabila It Yang Cie terbawa ke kubur olehnya tanpa ada yang mewariskan, dia malu bertemu Ong Tiong Yang Cinjin di dunia baka. Aku masih membandel tidak mau menerima warisannya itu. Aku pikir, dengan membandel artinya jiwanya dapat ditolong."

"Kejadian itu sungguh aneh," kata Oey Yong. "Semenjak dulu adalah umum, seorang mau belajar dan minta diajari dan orang menolak mengajari, akan tetapi kali ini, orang tidak mau belajar tapi ia justru dibujuki, dipaksa!"

"Oleh karena aku tetap menolak," Cit Kong bercerita lebih jauh, "Toan Hongya habis daya, lantas dia masuk menjadi pendeta, di harian dia dicukuri rambutnya, aku hadir dan mendampingi dia. Itulah kejadian belasan tahun yang lalu. Ah, bagus, bagus sekarang urusan bisa diselesaikan secara begini."

"Suhu," kemudian Oey Yong berkata pula. "Urusan kami sudah beres, sekarang tetang hal suhu sendiri."

"Urusanku sendiri!" kata si orang tua. "Di istana aku telah makan segala macam masakan lezat ……" dan tak hentinya ia menyebut namanya pelbagai sayur sambil dengan lidahnya menjilati bibirnya.

"Kenapa Loo Boan Tong tidak berhasil mencari suhu?"

"Sebabnya ialah karena koki raja sering kehilangan banyak sayurnya, dapur istana jadi kacau! Semua orang bilang di dapur istana itu muncul dewa rase, lantas mereka memasang hio memuja aku. Kemudian urusan terdengar oleh pimpinan siewi, dia mengirim delapan siewi untuk menjagai dapur, untuk menangkap dewa rase itu. Aku jadi sulit, sedang Loo Boan Tong tidak datang-datang. Terpaksa aku pergi bersembunyi di tempat yang sepi. Tempat itu dipanggil ruang Gok Lek Hoa-tong. Di sana ada ditanam banyak pohon bwee. Itulah tempat raja menggadangi bunga bwee di musim dingin, maka itu di musim panas, di situ tidak ada satu setan jua kecuali beberapa orang kebiri tua tukang nyapu. Senang aku tinggal di situ. Di mana saja di dalam istana, orang bisa makan, seratus pengemis tinggal juga mereka tidak bakal kelaparan. Baru belasan hari aku hidup senang lalu datang gegobrak, mulanya Loo Boan Tong yang main menangis seperti setan mengulun atau anjing membaung atau kucing mengeong, hingga istana jadi kacau, lalu beberapa orang berteriak-teriak, 'Ang Cit Kong Looya-cu! Ang Cit Kong Looyacu!' Aku mengingat, aku mengenali mereka ialah rombongannya Pheng Lian Houw, See Thong Thian dan Nio Cu Ong ……"

"Mau apa mereka itu mencari suhu?" tanya Oey Yong heran.

"Aku pun heran. Hendak aku menyingkir dari mereka, tetapi Loo Boan Tong berhasil mempergoki aku. Dia sangat girang, dia peluk aku, dia memuji-muji kepada Thian. Kemudian dia menitahkan Nio Cu Ong semua berjalan di belakang ……"

Kembali Oey Yong heran.

"Kenapa Nio Cu Ong semua dapat diperintah Loo Boan Tong?"

"Ketika itu aku pun sangat heran. Aku melihat mereka sangat takut kepada Loo Boan Tong, apa yang diperintahkan, mereka lantas kerjakan, tidak berani mereka membantah. Demikian mereka diberi tugas mengiringi, Loo Boan Tong menggendong aku sampai di Gu-kee-cun, untuk mencari kamu berdua. Di tengah jalan dia menjelaskan padaku bahwa dia bingung tidak dapat mencari aku, sedangnya begitu dia bertemu Nio Cu Ong semua. Dia hajar mereka itu, dia suruh mereka membantui mencari di segala tempat. Mereka mengatakan sia-sia belaka mereka mencari di istana sedang istana sangat luas dan lebar."

Oey Yong tertawa.

"Loo Boan Tong lihay sekali, dia dapat membikin Nio Cu Ong semua tunduk. Kenapa kawanan iblis itu tidak melarikan diri saja?"

Cit Kong pun tertawa.

"Loo Boan Tong ada mempunyai akalnya sendiri. Dia kata dia telah membuat obat pel yang dicampuri kotorannya, dia suruh mereka makan satu orang tiga butir, setelah itu dia membilangi, obatnya itu ada racunnya dan akan bekerja selewatnya empat puluh sembilan hari, bahwa obat pemunahnya cuma ia sendiri yang dapat membikinnya. Mereka itu jadi ketakutan, mungkin mereka sangsi, tetapi mereka menjadi mendengar kata. Begitu mereka jadi dapat diperintah segala macam.

Kwee Ceng lagi berduka tetapi mendengar ceritanya sang guru, ia tertawa juga.

"Sampai di Gu-kee-cun, kamu tidak dapat dicari," Ang Cit Kong meneruskan keterangannya, "Loo Boan Tong memaksa mereka itu mencari pula. Kemarin malam mereka pulang dengan lesu, mereka gagal, dari itu Loo Boan Tong mencaci mereka, yang terus diancam, apabila besok mereka gagal pula, mereka akan dikasih makan lagi obat kotorannya itu. Ia menyebut-nyebut air kencing. Mendengar itu, timbul kecurigaan mereka. Mereka percaya bahwa mereka lagi dipermainkan, bahwa sebenarnya mereka bukan dikasih makan racun. Lantas mereka memancing. Dalam gusarnya, Loo Boan Tong membuka rahasianya sendiri tanpa merasa. Aku menjadi berkhawatir. Mereka itu bangsa licik, aku pikir lebih baik mereka disingkirkan saja, supaya mereka tidak menjadi bahaya di belakang hari. Mereka itu benar lihay mereka merasa bahaya mengancam mereka, mereka mendahului turun tangan. Begitulah Pheng Lian Houw menggunai kecerdikannya, dia mau adu Loo Boan Tong dengan Leng Tie Siangjin. Tidak dapat aku mencegah lagi. Untuk menolong diri, aku pergi menyingkir. Kebetulan sekali di luar dusun aku bertemu Kwa Tayhiap. Dia melindungi aku menyingkir kemari, kemudian dia pergi kepada Loo Boan Tong, maka Loo Boan Tong pun datang ke mari, hanya di sini, setelah dikocok Lian Houw, dia mengadu kepandaian duduk diam sama si pendeta."

Oey Yong mendongkol berbareng merasa lucu.

"Jikalau tidak terjadi perkara kebetulan, suhu, jiwamu bisa hilang di tangan Loo Boan Tong," kata Ia. "Baiknya kebetulan sekali engko Ceng dan aku mendengar lewatnya dua kawan mereka itu."

"Jiwaku memang sudah tidak berharga, jiwa itu diantarkan di tangan siapa pun sama saja." kata sang guru.

"Suhu, ketika itu hari kita pulang dari pulau Beng Hee To ……" kata si nona.

"Bukan Beng Hee To hanya pulau menggencet setan!" kata sang guru pula.

"Baiklah, pulau menggencet setan," kata sang murid. "Sekarang ini benar-benar Auwyang Kongcu telah menjadi setan! Ketika itu hari di atas getek kita menolongi Auwyang Hong paman dan keponakan, aku mendengar si bisa bangkotan mengatakan bahwa di kolong langit ini cuma ada satu orang yang dapat menyembuhkan suhu, hanya dia sangat gagah dan lihay, dia tidak bisa dipaksa menolongi sedang suhu tidak sudi menolong diri dengan merugikan lain orang, suhu tidak mau minta pertolongan orang itu. Suhu juga tidak mau membilang nama orang. Sekarang kami tahu siapa orang itu, sebab dialah bukan lain dari pada Toan Hongya dulu hari dan It Teng Taysu sekarang ini."

Ang Cit Kong menghela napas.

"Jikalau dia menggunai It Yang Cie menyalurkan jalan darahku, memang dia dapat menyemhuhkan aku," ia berkata, "Hanya karena dia menolong aku, dia bakal menggunai tenaga dalamnya cara berlebihan, setelah itu banyaknya tujuh tahun atau sedikitnya lima tahun, tidak dapat dia memulihkan tenaga dalamnya itu. Mungkin hatinya tawar dan dia tidak menghiraukan lagi urusan pertemuan yang kedua di gunung Hoa San, tetapi dengan usianya sudah enam atau tujuhpuluh tahun, berapa lama lagi dia bisa hidup? Maka itu, mana aku si pengemis tua dapat membuka mulut untuk mohon pertolongannya itu?"

Mendengar itu, Kwee Ceng berjingkrak.

"Suhu, mari aku yang mengobati kau!" ia berkata. "Aku telah mempelajari It Yang Cie! Apakah tidak baik sekarang juga di gua ini aku menyalurkan semua jalan darahmu itu?"

Ang Cit Kong menggeleng kepala.

"Tahukah kau kenapa It Teng Taysu mengajari It Yang Cie padamu?" ia tanya.

Inilah Kwee Ceng tidak pernah pikir, maka itu mendengar pertanyaan gurunya ini, ia lantas mengerti, tanpa merasa ia mengeluarkan peluh dingin.

"Ah, It Teng Taysu hendak mencari kematiannya!" ia berseru. "Kalau begitu akulah yang membikin ia celaka!"

"Ketika dia mengobati Yong-jie, jikalau dia tidak melihat kau diam-diam mempelajari ilmunya itu, tempo Eng Kouw mencari dia, mustahil dia berani pasang tubuhnya untuk dibunuh nyonya itu?" kata pula guru ini. "Untuk menolongi aku, untuk mengobati aku, tidak menjadi soal, tetapi bagaimana kalau dalam tempo lima atau tujuh tahun si bisa bangkotan datang untuk membikin celaka padamu? Bagaimana kau nanti melayani dia? Bolehkah kau menyia-nyiakan pengorbanan It Teng Taysu?"

"Jikalau suhu sudah sembuh, suhu dapat melayani si bisa bangkotan itu," berkata sang murid.

Cit Kong lagi-lagi menggeleng kepala.

"Sukar untuk lukaku ini dapat disembuhkan dalam tempo yang cepat," ia berkata. "Sebaliknya hari pertandingan di Yan Ie Lauw di Kee-hin sudah sampai bulu alis. Maka itu tentang sakitku ini dan pengobatannya, baik kita bicarakan lain kali saja."

Oey Yong tertawa mendengar orang berebut omong, yang satu memaksa mau mengobati, yang lain menolak. Ia berkata; "Sudahlah, jangan kamu berebut mulut! Untuk menyalurkan jalan darah dan meluruskan nadi, aku mengerti!"

"Apa katamu!" Cit Kong menanya heran.

Si nona bersenyum, ia menyahuti, "Bahasa yang aneh yang engko Ceng ingat di dalam hatinya telah disalin jelaskan kepada kami, sekarang aku pikir-pikir, ilmu itu dapat dipakai menolong suhu." Untuk menguatkan keterangannya, ia menjelaskan penjelasan penjelasan dari It Teng Taysu itu.

"Bagus, bagus!" kata Cit Kong girang. "Aku lihat kau memang dapat menolong, cuma untuk itu dibutuhkan tempo sedikitnya setengah sampai satu tahun."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar