Lie Peng ada bersama Toan
Thian Tek, mereka masing-masing menunggang satu kuda. Tetapi serbuan sisa
tentera 'musuh' itu demikian hebat, mereka kena dibikin terpencar, terpaksa
nyonya Kwee lari sendirian. Syukur untuknya, karena sisa tentera itu main saling
selamatkan diri sendiri, ia tidak mendapat gangguan. Hanya sesudah lari
serintasan, ia merasakan perutnya mulas, sakit sekali, hingga tanpa dapat
ditahan lagi, ia rubuh dari kudanya. Ia pingsan. Entah sudah lewat berapa lama,
ia sadar sendirinya dengan perlahan-lahan. Untuk kagetnya, samar-samar ia
dengar tangisan bayi. Ia belum sadar betul, tak tahu ia dirinya berada di dunia
baka atau masih hidup. Ia hanya dengar tangisan itu makin lama makin keras. Ia
geraki tubuhnya, tapi ia merasa ada benda yang membanduli perutnya.
Ketika itu masih malam, sang
rembulan mengencang di atas langit, muncul di antara sang awan. Sekarang baru
Lie Peng sadar betul, setelah ia melihat dengan tegas, tanpa merasa ia menangis
menggerung-gerung. Nyatalah dalam keadaan seperti itu, ia telah melahirkan
anak…….
Cepat nyonya itu berduduk, ia
angkat bayinya itu. Untuk kegirangannya, ia dapatkan satu bayi laki-laki. Ia
mengeluarkan air mata kegirangan yang berlimpah-limpah. Dengan gigitan ia bikin
putus tali pusar, setelah mana ia peluki anaknya.
Di bawah terangnya sang
rembulan, bayi itu nampak cakap, suaranya pun nyaring, potongan wajahnya mirip
dengan suaminya Kwee Siauw Thian. Roman anak ini telah membantu menguatkan
semangatnya, kalau tadinya ia telah berputus asa, sekarang timbullah
harapannya.
Entah dari mana datangnya
tenaganya, Lie-sie mencoba menggunai kedua tangannya, akan menggali pasir,
untuk membuat sebuah liang yang besar di mana bersama bayinya ia bisa
menyingkir dari angin dan salju. Dari situ ia bisa dengar rintihan
serdadu-serdadu yang terluka parah atau hendak mati dan ringkikannya banyak
kuda perang.
Buat dua malam satu hari, Lie
Peng mendekam di liangnya itu, lalu di hari ketiga, tak tahan ia akan rasa
laparnya. Air ada air salju tapi barang daharan, tidak ada sama sekali.
Terpaksa ia merayap keluar. Di sekitarnya tidak ada seorang juga kecuali
mayat-mayat serdadu dan kuda-kuda. Karena hawa dingin, semua mayat serdadu dan
bangkai itu belum busuk. Cuma pemandangannya yang sangat menggiriskan hati. mau
tidak mau, Lie-sie mesti kuatkan hati.
Lie-sie coba geledah tubuhnya
myat-mayat itu untuk cari rangsum kering. Ia dapatkan sejumlah sisa. Lalu ia
coba menyalakan api, dengan itu ia pun dapat bakar daging kuda. Ia dapatkan
golok dengan gampang karena di situ bergeletakan banyak alat senjata.
Buat tujuh atau delapan hari,
Lie-sie dapat berdiam di situ bersama bayinya, setelah ia mulai dapat pulang
kesegarannya, ia gendong bayinya untuk dibawa pergi ke arah timur. Ia mesti
terus berjalan di tempat yang sepi di mana ada terdapat pepohonan dan tegalan
rumput. Sampai tiba-tiba ia mendengar anak panah mengaung di atasan kepalanya.
Kaget ia, hingga keras sekali ia rangkul bayinya.
Segera terlihat dua penunggang
kuda, mendatangi dari arah depan.
“Siapa kau?!” tanya salah satu
di antara dua penunggang kuda itu.
Lie Peng tidak buka rahasia,
ia cuma kata ia lagi lewat di situ tempo ia terhalang oleh pertempuran tentera,
hingga ia mesti melahirkan anak seorang diri.
Dua penunggang kuda itu adalah
orang Mongolia, mereka itu berbaik hati. Walau pun mereka tidak tahu jelas, apa
katanya Lie-sie, mereka ajak si nyonya ke tendanya, untuk dikasih tempat
meneduh dan barang makanan, untuk kemudian ibu dan bayinya itu tidur guna
melepaskan lelah dan kantuknya.
Orang Mongolia itu tidak
berumah tangga, sebagai penggembala tak tentu tempat tinggalnya. Dengan
menggiring binatang piaraannya, mereka biasa pergi ke timur atau ke barat untuk
mencari makanan binatang, guna mencari air. Sebagai rumah adalah tenda yang tertenun
daripada bulu binatang, guna melindungi diri dari gangguan angin dan hujan.
Demikian telah terjadi dengan Lie-sie, ketika kedua penolongnya hendak
berpindah tempat, terpaksa ia ditinggal pergi. Akan tetapi dua orang itu tidak
menolong kepalang tanggung, di waktu hendak berangkat, mereka meninggalkan tiga
ekor kambing.
Maka mulailah Lie Peng mesti
bercape lelah, untuk hidup sendiri. Hidup sendiri, sebab bayinya masih belum
mengerti suatu apa pun. Ia mesti membangun satu gubuk dengan beratap daun. Untuk
hidupnya, ia mulai bertenun yang hasilnya ia tukar dengan barang makanan.
Bisalah dibayangi, bagaimana hebat penderitaannya itu.
Oleh karena kebiasaan, ia pun
dapat hidup sebagai orang Mongolia, malah tanpa terasa enam tahun telah lewat.
Ia tidak hendak melupakan pesan suaminya, ia beri nama Ceng kepada putranya.
untuk kelegaan hatinya, anak itu bertubuh kuat dan cerdik, ia bisa membantu
ibunya menggembala kambing. Selama tempo bertahun-tahun hidupnya Lie Peng ada
lumayan.
Pada suatu hari dari bulan tiga,
selagi udara hangat, Kwee Ceng giring kambingnya untuk diangon. Ia sekarang
memelihara anjing sebagai pembantunya, dan untuk menempuh perjalanan jauh, ia
menunggang kuda kecilnya.
Tepat tengah hari, selagi ia
menjagai kambing-kambingnya, tiba-tiba Kwee Ceng lihat seekor burung elang yang
besar sekali menyambar kepada rombongan kambingnya. Semua binatang itu kaget.
Malah yang seekor – anak kambing – kabur ke timur. Ia memanggil dengan
berteriak-teriak, anak kambing itu lari terus. Maka ia naiki kudanya untuk
mengejar. Sekitar tujuh lie, baru ia dapat tangkap anak kambing itu, tapi
selagi ia hendak menuntun pulang, mendadak ia dengar suara keras dan nyaring,
hingga ia terperanjat. Ia mulanya menyangka kepada guntur, sampai setelah
memasang kuping sekian lama, ia dengar suara seperti tambur berikut
meringkiknya kuda serta suara orang banyak. Ia menjadi takut, belum pernah ia
dengar suara semacam itu.
Tidak ayal lagi, Kwee Ceng
tuntun kambingnya buat diajak mendaki suatu tanjakan, untuk bersembunyi di dalam
rujuk. Tapi ia ingin mengetahui sesuatu, ia keluarkan kepalanya untuk
mengintai.
Jauh di sebelah depan nampak
debu mengepul naik, lalu muncullah pasukan tentera, yang ia tidak tahu berapa
jumlahnya, ia cuma dapatkan, yang menjadi kepala perang telah memberikan
berbagai titahnya, maka tentera itu lantas memecah diri dalam dua barisan,
timur dan barat. Ada serdadu yang kepalanya digabut pelangi putih, ada yang
ditancapkan bulu burung warna lima.
Sekarang, sebaliknya dari pada
takut, hati Kwee Ceng menjadi tertarik. Ia mengintai terus.
Tidak lama setelah barisan
teratur rapi, segera terdengar suara terompet dari sebelah belakang, dari sana
muncul beberapa barisan lain yang dikepalai oleh satu perwira muda jangkung dan
kurus, tubuhnya ditutupi dengan mantel merah. Ia memegang sebatang golok
panjang, lantas ia pimpin tentaranya menyerbu, dari itu di situ sudah lantas
terjadi suatu pertempuran.
Pihak penyerang ini berjumlah
lebih sedikit, walaupun tampaknya mereka kosen, tidak lama mereka mesti mundur
sendirinya. Tapi di belakang mereka lantas tiba bala bantuan, mereka menyerang
pula. Meski begitu, agaknya mereka ini tidak dapat bertahan lama.
Sekoyong-konyong terdengar
suara terompet riuh, dibantu sama suara tambur, mendengar itu tentera penyerang
lantas berseru-seru kegirangan: “Kha Khan Temuchin telah datang! Kha Khan telah
datang!”
Atas itu orang-orang yang lagi
bertempur lantas menoleh ke arah timur selatan, dari mana datangnya suara
terompet dan tambur tadi.
Juga Kwee Ceng turut beralih
pandangannya. Ia tampak satu pasukan besar, yang mendatangi dengan cepat. Di
tengah pasukan di panjar sebuah tiang yang tinggi di mana ada tergantung
beberapa lapis bulu putih. Dari sana pun datang seruan-seruan kegirangan. Atas
ini, tentera penyerang jadi dapat semangat, mereka menyerang pula dengan seru,
hingga mereka dapat mengacaukan lawannya.
Tiang yang tinggi itu bergerak
ke arah tanjakan bukit, Kwee Ceng dengan matanya yang jeli, dari tempat
sembunyinya, mengawasi ke arah tiang itu. Dengan begitu ia dapat lihat satu
perwira yang menunggang kuda, yang larikan kudanya itu naik ke tanjakan. Dia
ada memakai kopiah perang dari besi, janggutnya merah, dari atas kudanya ia
memandang ke medan pertempuran. Di samping dia ada beberapa pengiringnya.
Tidak antara lama panglima
muda yang bermantel merah larikan kudanya naik ke tanjakan.
“Ayah, musuh berjumlah lebih
banyak berlipat ganda, mari kita mundur dulu!” berseru ia kepada orang di bawah
tiang bendera itu.
Temuchin, demikian panglima
yang dipanggil ayah itu, sudah melihat tegas keadaan pertempuran itu, ia cuma
berdiam sebentar, lantas ia berikan titahnya: “Kau bawa selaksa serdadu mundur
ke timur!” demikian titahnya itu. Sambil berbuat begitu, ia tetap mengawasi
medan perang. Lalu ia memberi perintah pula: “Mukhali, kau bersama pangeran
kedua serta selaksa serdadu mundur ke barat, kau Borchu, bersama Chilaun serta
selaksa serdadumu mundur ke utara! Dan kau, Kubilai, bersama Subotai serta
selaksa serdadu, lekas mundur ke selatan! Kapan kau lihat bendera besar di
kerek tinggi dan dengar terompet dibunyikan, kau mesti kembali untuk melakukan
penyerangan membalas!”
Semua perwira itu menyahuti
tanda mereka menerima titah, habis itu semua bawa barisannya menyingkir ke arah
yang telah disebutkan tadi. Maka sebentar saja, tentera Mongolia itu nampaknya
lari serabutan keempat penjuru arah.
Tentara musuh bersorak-sorai
menampak lawannya lari tumpang siur, mereka pun segera melihat bendera putih
besar dari Temuchin di atas bukit, mereka lantas saja berkoak-koak: “Tangkap
hidup Temuchin! Tangkap hidup Temuchin!”
Lalu tentara itu dengan rapat
sekali, berlomba mendaki bukit, mereka tidak ambil peduli lagi kepada musuh
yang lari tunggang-langgang.
Temuchin tetap berdiam tegak
di tempatnya, ia dikitari belasan pengiringnya yang dengan memasang tameng
mereka itu, melindungi ini pemimpin dari sambarannya berbagai anak panah. Di
lain pihak adik angkat Temuchin, yaitu Sigi Kutuku, bersama Jelmi panglima yang
kosen, dengan lima ribu jiwa serdadu mereka, melakukan pembelaan di sekitar
bukit itu, tak sudi mereka mundur dari serangan musuh, mereka tidak
menghiraukan anak panah dan golok.
Kwee Ceng saksikan itu semua,
ia gembira berbareng ngeri.
Setelah bertempur sekitar satu
jam lebih, dari lima ribu serdadunya Temuchin itu, seribu lebih telah
terbinasa, akan tetapi juga serdadu musuh, banyak yang telah rubuh, jumlahnya
beberapa ribu jiwa, hanya karena jumlah mereka jauh lebih besar, mereka menang
di atas angin, apa pula penyerang di pojok timur utara tampak lebih garang.
Musuh telah mendesak hingga hampir sukar untuk dicegah lagi.
Putra ketiga dari Temuchin,
yaitu Ogatai yang berada di samping ayahnya, menjadi cemas hatinya.
“Ayah, apa boleh kita kerek
bendera dan membunyikan terompet?” dia bertanya.
Dengan matanya yang tajam
bagai mata burung elang, Temuchin mengawasi ke bawah kepada tentara musuh, lalu
dengan suara dalam, ia menyahuti: “Musuh masih belum lelah.”
Ketika itu penyerangan musuh
di timur laut bertambah hebat. Di sana pun dikerek batang bendera besar. Itu
ada tanda bahwa di sana ada tiga kepala perang yang memegang pimpinan.
Di pihak Mongolia, orang
terpaksa main mundur.
Jelmi lari naik ke atas bukit.
“Kha Khan, anak-anak tak
sanggup bertahan!” dia teriaki junjungannya.
“Tak sanggup bertahan?!”
berseru Temuchin dengan gusar. “Bagaimana dapat kau banggakan diri sebagai satu
pendekar gagah perkasa?!”
Air mukanya Jelmi menjadi
berubah, lantas ia rampas sebatang golok besar dari tangannya satu serdadu,
dengan bawa itu sambil serukan seruan-seruan peperangan bangsanya, ia menerjang
barisan musuh, ia membuka jalan hingga di depan satu bendera hitam.
Sejumlah serdadu musuh mundur
melihat orang demikian bengis. Jelmi maju menyerang tiga serdadu musuh yang
bertubuh besar, ia binasakan satu demi satu, kemudian dengan lemparkan
goloknya, ia rangkul ketiga bendera besar itu untuk dibawa lari mendaki bukit,
setibanya di atas, ia tancap tiga batang bendera itu di tanah!
Kaget nusuh menyaksikan
lawannya demikian kosen. Di lain pihak, tentara Mongolia bertempik sorak,
mereka lantas tutup pula kebocoran di timur utara itu.
Berselang lagi satu jam, di
pihak musuh, di pojok barat selatan, tampak satu panglima dengan pakaian perang
hitam, hebat ilmu panahnya, sebentar saja ia telah rubuhkan belasan tentera
Mongolia. Dua perwira Mongolia maju hendak menerjang tetapi mereka disambut
oleh anak panah dan rubuh karenanya.
“Bagus ilmu panahnya!”
Temuchin puji musuh itu.
Justru itu, “Ser!” sebatang
anak panah menyambar sebelum pimpinan Mongol ini dapat berdaya, lehernya telah
terkena anak panah itu, sedang satu anak panah lainnya menyambar ke arah
perutnya.
Biar bagaimana juga, Temuchin
adalah satu orang peperangan yang ulung. Walau pun lehernya terluka dan sakit
sekali rasanya, ia tidak menjadi gugup, dengan kedut lesnya, ia membuat kudanya
berjingkrak berdiri dengan dua kaki belakangnya. Dengan begitu, anak panah
tidak lagi menyambar ke perut orang, hanya nancap di dadanya kuda, nancap
sampai di batas bulu. Maka tidak ampun lagi, rubuhlah binatang tunggangannya
itu berikut penunggangnya.
Semua serdadu Mongol kaget,
semua lantas meluruk untuk tolongi kepala perang mereka. Musuh gunai ketika
baik ini untuk menerjang naik dengan hebat.
Kutuku di arah barat telah
pimpin tentaranya melawan musuh, ia kehabisan anak panah dan tombaknya pun
telah patah, terpaksa ia balik mundur.
Merah matanya Jelmi melihat
kawannya itu mundur.
“Kutuku, apakah kau ngiprit
sebagai kelinci?” ia menegur dengan ejekannya.
Kutuku tidak gusar, sebaliknya
ia tertawa. “Siapa lari ngiprit?” katanya. “Aku kehabisan anak panah!”
Temuchin yang rebah di tanah
telah tarik keluar anak panahnya dari kantong panahnya yang tersulam, ia
lemparkan itu kepada adik angkatnya itu.
Mendapatkan anak panah, Kutuku
segera beraksi. Beruntun tiga kali ia memanah kepada musuh yang berada di
bawahnya sebuah bendera hitam, sebatang busur membuat musuh itu rubuh, sesudah
mana, ia memburu ke bawah bukit, untuk rampas kuda musuh, akan kemudian ia lari
pula naik ke atas.
“Saudaraku yang baik, hebat
kau!” Temuchin puji adik angkatnya itu.
Kutuku mandi keringat.
“Apakah sekarang sudah boleh
kita menaikkan bendera dan membunyikan terompet?” ia tanya, suaranya perlahan.
Temuchin tutup lukanya dengan
telapak tangannya, darah molos keluar dari sela-sela jari tangannya itu, dalam
keadaan terluka, ia memandang ke arah musuh.
“Musuh masih belum lelah,”
sahutnya. “Kita tunggu sebentar lagi.”
Kutuku lantas berlutut di
depan kakak angkatnya itu, yang berbareng menjadi pemimpinnya.
“Kami semua rela berkorban
untuk kau,” katanya, “Tapi Kha Khan, tubuhmu penting sekali!”
Mendengar itu, melihat sikap
orang, Temuchin lantas berlompat untuk naik ke atas seekor kuda.
“Semuanya membela mati bukit
ini!” ia berseru. Dengan goloknya yang panjang, ia bunuh tiga musuh yang
menerjang ke arahnya.
Musuh yang tengah merangsak
naik, kaget melihat kepala perang lawannya dapat naik kuda pula, sendirinya mereka
mundur, hingga penyerangan mereka menjadi reda.
Temuchin lihat keadaan itu, ia
gunai ketikanya yang baik. “Naikkan bendera! Tiup terompet!” dia berteriak
dengan titahnya.
Tentara Mongolia bertempik
sorak, lalu bendera putih yang besar dikerek naik, disusul sama bunyi terompet
ynag riuh. Serempak dengan itu, tentera Mongolia dengan bersemangat menyerang
dari segala penjuru, dimana mereka berada.
Musuh berjumlah besar, barisan
mereka tengah kacau, maka itu diserang demikian mendadak, mereka menjadi
bertambah kacau.
Panglima dengan seragam hitam
itu nampak keadaan jelek, ia berteriak-teriak untuk mencegah kekacauan, akan
tetapi sia-sia saja percobaannya itu, tentaranya tak dapat dikendalikan lagi.
Maka itu tidak usah berselang dua jam, runtuhlah pasukan perang yang besar itu,
termusnahkan pasukan Mongolia yang jumlahnya lebih sedikit tetapi yang
semangatnya berapi-api. Sisa tentara lantas lari serabutan, si panglima seragam
hitam sendiri terpaksa kaburkan kudanya.
“Tangkap musuh itu!” Temuchin
memberi titah. “Hadiahnya sepuluh kati emas!”
Beberapa puluh serdadu Mongol
sudah lantas kaburkan kuda mereka, akan kejar panglima berbaju hitam itu.
Mereka itu mendekati saling susul. Akan tetapi lihay panah si panglima, tak
pernah gagal, maka itu belasan serdadu lantas saja terjungkal dari kuda mereka,
hingga yang lainnya menjadi terhalang. Dengan begitu pula pada akhirnya,
panglima itu dapat meloloskan diri.
Kwee Ceng dari tempat sembunyinya
sangat mengagumi panglima berbaju hitam itu.
Dengan pertempuran ini
Temuchin, ialah pihak Mongolia, telah peroleh kemenangan besar dan musuhnya
ialah bangsa Taijiut, telah musnah lebih daripada separuhnya. Maka sejak itu,
Temuchin tidak usah khawatirkan lagi ancaman dari pihak musuhnya itu.
Dengan kegirangan, sambil
bersorak-sorak, tentara Mongolia iringi kepala perangnya berangkat pulang.
Kwee Ceng tunggu sampai orang
sudah pergi semua, tak kecuali mereka yang mengurus korban-korban, baharu ia keluar
dari tempat sembunyinya. Ketika ia tiba di rumahnya, waktu sudah tengah malam,
justru ibunya sedang berdebar-debar hatinya memikirkan anaknya yang
dikhawatirkan menghadapi ancaman bahaya.
Kwee Ceng segera terangkan
kepada ibunya kenapa ia pulang lambat sekali.
Senang Lie Peng akan saksikan
anaknya bercerita dengan cara sangat gembira, anak ini tidak sedikit juga
menunjukkan hati jeri, maka itu ia menjadi teringat kepada suaminya.
“Dasar turunan orang
peperangan, ia mirip dengan ayahnya…” pikir ibu ini. Maka diam-diam ia pun
bergirang.
Tiga hari kemudian, pagi-pagi
sekali, Lie Peng berangkat ke pasar yang terpisahnya kira-kira tigapuluh lie
lebih dari rumahnya untuk menukar tenunannya, - dua helai permadani – dengan
barang-barang makanan. Kwee Ceng ditinggal di rumah untuk menjagai binatang
piaraan mereka. Anak ini ingat akan peperangan yang ia saksikan, ia jadi
gembira sekali, ia anggap peperangan itu dapat dibuat permainan, maka dengan
mainkan cambuknya, sambil ia duduk di atas kudanya, ia mencoba menggiring
kambingnya pulang pergi. Ia mau anggap dirinya adalah satu panglima perang!
Tengah anak ini main
jenderal-jenderalan itu, tiba-tiba ia dengar tindakan kaki kuda di arah timur,
apabila ia menoleh, ia tampak seekor kuda lari mendatangi, di bebokong kuda ada
satu tubuh manusia yang mendekam. Begitu datang dekat, kuda itu kendorkan
larinya. Penunggang kuda itu yang mendekat, terus angkat kepalanya, memandang
kepada si bocah itu, siapa lantas menjadi kaget sekali, hingga ia keluarkan
teriakan tertahan.
Penunggang kuda itu mukanya
penuh debu bercampur darah, adalah si panglima perang berbaju hitam yang gagah,
yang Kwee Ceng saksikan dan mengaguminya, di tangan kirinya ia mencekal
goloknya yang telah buntung, golok yang mana pun ada darah yang sudah mengental,
sedang panahnya tidak kedapatan padanya. Mungkin ia yang tengah melarikan diri
telah bertemu pula dengan musuh. Di pipi kanannya ada sebuah luka besar dan
masih mengucurkan darah. Paha kudanya pun terluka, darahnya masih mengalir.
Tubuh panglima itu bergoyang-goyang,
matanya bersinar merah.
“Air…air…lekas bagi air…”
katanya, suaranya parau.
Kwee Ceng lantas lari
mengambil air dingin dari jambangannya, yang mana si panglima lantas saja
sambar untuk digelogoki.
“Mari lagi satu mangkok!” dia
meminta pula.
Panglima itu baharu minum
setengah mangkok, air itu sudah bercampur dengan darah yang mengalir dari
lukanya, tetapi ia rupanya telah puas telah dapat air, tiba-tiba ia tertawa,
hanya habis itu wajahnya berjengit, tubuhnya terus rubuh dari atas kudanya itu.
Dia jatuh pingsan.
Kwee Ceng kaget dan bingung,
ia menjerit. Tak tahu ia mesti berbuat apa.
Selang sekian lama, orang itu
sadar dengan sendirinya.
“Lapar! Lapar!” kali ini ia
bersuara.
Kwee Ceng lekas-lekas
mengambilkan beberapa potong daging kambing, orang itu memakannya dengan sangat
bernafsu, setelah itu ia dapat pulang tenaganya. Demikian dia bisa geraki
tubuhnya untuk berduduk.
“Adik yang baik, banyak-banyak
terima kasih kepadamu!” dia mengucap. Dari lengannya ia tarik sebuah gelang
emas yang kasar dan berat. “Untukmu!” dia tambahkan seraya dia angsurkan barang
permata itu kepada bocah itu.
Kwee Ceng menggeleng-gelengkan
kepala. “Ibu telah pesan, kami harus membantu tetamu tetapi tidak boleh
menginginkan barang tetamu,” ia bilang.
Orang itu tercengang, lalu ia
tertawa terbahak-bahak. “Anak yang baik! Anak yang baik!” ia memuji. Ia lantas
sobek ujung bajunya, untuk dipakai membalut lukanya. Ia pun balut luka kudanya.
Itu waktu samar-samar
terdengar suara larinya banyak kuda di arah timur, mendengar itu tetamunya Kwee
Ceng ini menjadi gusar sekali.
“Hm, dia tak hendak melepaskan
aku!” serunya sengit. Ia pun lantas memandang ke arah timur itu.
Kwee Ceng pun lantas ikut
memandang juga.
Sekarang di sebelah suara
berisik itu terlihat debu mengepul. Rupanya banyak sekali serdadu barisan
berkuda tengah mendatangi.
“Anak yang baik, apakah kau
ada punya panah?” tanya si tetamu.
“Ada!” sahut Kwee Ceng yang
terus lari ke dalam untuk ambil panahnya.
Orang itu perlihatkan roman
girang, hanya tempo si bocah itu kembali, ia menjadi lesu. Tapi lekas sekali ia
tertawa berkakakan.
Kwee Ceng telah bawa gendewa
dan anak panahnya yang kecil.
“Aku hendak bertempur, aku
ingin panah yang besar….” katanya panglima itu kemudian, alisnya lantas menjadi
ciut.
“Yang besar tidak ada….” sahut
Kwee Ceng.
Ketika itu pasukan yang
mendatangi telah tampak semakin tegas, benderanya pun berkibar-kibar.
“Seorang diri tak dapat kau
lawan mereka, lebih baik kau sembunyi,” kata Kwee Ceng kemudian.
“Sembunyi di mana?” orang itu
tanya.
Kwee Ceng menunjuki tumpukan
rumput kering di belakang rumahnya.
“Aku tidak akan mengasih tahu
kepada mereka,” ia berjanji tanpa diminta.
Orang itu mengambil putusan
dengan segera. Ia insyaf, walaupun ia sudah dapat pulang tenaganya, dengan
kudanya yang terluka, tak dapat ia lari lebih jauh. Jadi ada lebih selamat
untuk sembunyikan diri. Lain jalan tidak ada.
“Baik, aku serahkan jiwaku
kepadamu!” katanya. “Pergi kau usir kudaku!” setelah berkata demikian, ia pun
lari ke tumpukan kering itu dan menyelusup ke dalamnya.
Kwee Ceng mencambuk kuda itu,
dua kali atas mana kuda yang hitam bulunya itu segera lompat kabur, sesudah
lari cukup jauh, baharu ia berhenti untuk makan rumput.
Kwee Ceng naik ke atas
kudanya, ia larikan kuda itu bolak balik. Ia bisa berlaku tenang, seperti tak
pernah terjadi sesuatu.
Tidak lama tibalah barisan
berkuda itu. Mereka rupanya lihat bocah yang menunggang kuda itu, dua serdadu
lantas menghampirinya.
“Eh, bocah, kau lihat tidak
satu orang yang menunggang kuda hitam?” Itulah teguran dari satu diantara dua
serdadu itu, suaranya kasar.
“Ya, aku dapat lihat,” Kwee
Ceng menjawab.
“Di mana?” tanya serdadu yang
kedua.
Kwee Ceng menunjuk ke barat.
“Dia sudah pergi lama sekali,” ia menerangkan.
“Bawa dia kemari!” berseru
perwira yang mengepalai pasukan itu. Ia tidak dengar pembicaraan di antara dua
orangnya dengan si bocah.
“Mari ketemu pangeran!”
berkata dua serdadu itu, yang lantas terus tarik les kuda orang untuk dibawa
kepada sang pangeran.
Si pangeran telah sampai di
depan rumah.
“Aku tidak akan bicara!” Kwee
Ceng telah ambil keputusan dalam hatinya.
Ia lihat banyak serdadu sedang
mengiringi satu anak muda yang kurus dan jangkung, yang tubuhnya ditutupi
dengan mantel merah. Ia lantas kenali itu adalah panglima yang pimpin tentera.
Dia adalah putra sulung dari Temuchin.
“Apakah katanya bocah ini?”
tanya ia membentak.
Dua serdadu itu sampaikan
jawabannya Kwee Ceng.
Dengan matanya mengandung
kecurigaan, putra sulung itu memandang ke sekitarnya. Ia lantas dapat lihat itu
kuda hitam yang lagi makan rumput di kejauhan.
“Bukankah itu kudanya?” ia
tanya, suaranya dalam. “Coba bawa kuda itu kemari!”
Begitu keluar perintah itu,
sepuluh serdadu lantas bergerak dengan mereka memecah diri dalam lima
rombongan, untuk hampirkan itu kuda dengan dikurung, hingga walau pun binatang
itu berniat lari, jalannya sudah tertutup. Dengan gampang ia kena ditangkap dan
dituntun.
“Hm! Bukankah itu kudanya
Jebe?” putra itu tanya.
“Benar!” sahut banyak serdadu,
suara mereka riuh.
Putra sulung itu ayunkan
cambuknya ke arah kepalanya Kwee Ceng.
“Dia sembunyi di mana, hai,
setan cilik?!” tanya dengan bengis. “Jangan kau harap dapat mendustai aku!”
Jebe, itu panglima berseragam
hitam yang sembunyi di dalam tumpukan rumput, bersembunyi sambil memasang mata,
tangannya mencekal keras goloknya yang panjang. Ia lihat penganiayaan itu yang
menyebabkan jidatnya Kwee Ceng memberi tanda baret merah, hatinya menjadi
memukul keras. Ia kenal si putra sulung – putra Temuchin itu – ialah Juji yang
tabiatnya keras dan kejam. Ia memikir: “Pasti bocah itu tak tahan sakit dan
ketakutan. Tidak ada jalan lain, aku terpaksa mesti keluar untuk adu jiwaku….”
Kwee Ceng kesakitan bukan
main, mau ia menangis akan tetapi ia menahan sakit, ia cegah keluarnya air
matanya. Dia angkat kepalanya dan menanya dengan berani: “Kenapa kau pukul aku?
Mana aku ketahui dia bersembunyi di mana!”
“Kau membandel?!” bentak Juji.
Lagi sekali ia mencambuk.
Kali ini Kwee Ceng tak dapat
tak menangkis. Tapinya ia lantas berteriak : “Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!”
Ketika itu sejumlah serdadu
sudah geledah rumahnya Kwee ceng, sedang dua yang lain menusuk-nusuk ke dalam
tumpukan rumput kering itu.
Kwee Ceng lihat orang hendak
tusuk bagian dimana panglima nelusup, tiba-tiba tangannya menunjuk ke tumpukan
rumput yang jauh sambil ia berteriak: “Lihat di sana, benda apakah itu yang
bergerak-gerak?”
Semua serdadu lantas berpaling
mengawasi, mereka tidak lihat suatu apa yang bergerak. Kedua serdadu tadi pun
sampai lupa untuk menusuk-nusuk terlebih jauh.
“Kudanya ada disini, dia
mestinya tidak lari jauh!” Juji berkata pula. “Eh, setan cilik, kau hendak
bicara atau tidak?!”. Dia mengancam pula Kwee Ceng dengan cambuknya diayun tiga
kali beruntun.
Hampir di itu waktu dari
kejauhan terdengar suara terompet.
“Kha Khan datang!” sejumlah
serdadu berteriak.
Juji lantas berhenti
mencambuk, ia putar kudanya untuk menyambut ayahnya, Temuchin, Kha Khan – Khan
yang terbesar.
“Ayah!” demikian ia menyambut.
Ayahnya itu dirubungi banyak
pengiringnya.
Berat lukanya Temuchin bekas
terpanah Jebe, tetapi di medan perang, ia coba sebisanya akan menahan sakit,
adalah sehabisnya pertempuran, ia pingsan beberapa kali, hingga ia perlu
ditolongi dengan Jelmi panglimanya serta Ogotai putranya yang ketiga, mesti
isap darah – hingga darahnya itu ada yang kena ketelan dan dimuntahkan. Satu
malam dia gadangi semua panglimanya serta ke empat putranya. Baharu keesokan
harinya, di hari kedua, dia lolos dari ancaman bahaya maut.
Oleh karena itu, tentera
Mongolia dikirim ke empat penjuru untuk cari Jebe, yang hendak ditawan, untuk
hukum dia dengan dibeset empat kuda dan dicincang tubuhnya guna membalaskan
sakit hatinya Khan yang terbesar itu.
Dihari kedua pada waktu sore,
sepasukan serdadu berhasil menemukan Jebe. Musuh itu dikepung tetapi ia dapat
meloloskan diri sambil membinasakan beberapa jiwa serdadu Mongol. Ia sendiri
pun telah terluka.
Kapan Temuchin dengar kabar
itu, lebih dahulu ia kirim putra sulungnya, Juji, pergi menyusul dan mengejar,
kemudian ia sendiri mengajak putranya yang kedua, Jagati, putranya yang ketiga,
Ogotai dan putra bungsunya, Tuli, cepat menyusul. Inilah sebabnya kenapa ia
datang belakangan.
“Ayah, kuda hitamnya bangsat
itu telah dapat ditemukan!” ia memberitahukan.
“Aku tidak menghendaki kuda
tetapi orangnya!” ayahnya itu menjawab.
“Ya!” sahut putra itu. “Pasti
kita akan mendapatkannya!” Ia balik kepada Kwee Ceng . Kali ini ia hunus
goloknya, ia bolang-balingkan itu ke udara.
“Kau hendak berbicara atau
tidak!” ia mengancam.
Kwee Ceng telah mandi darah
pada mukanya, ia jadi terlebih berani. “Aku tidak mau bicara! Aku tidak mau
bicara!” ia berteriak berulang-ulang.
Mendengar itu, Temuchin
berpikir, kenapa bocah itu mengatakan: “Tidak mau bicara” dan bukannya “Aku
tidak tahu?” Maka ia lantas berbisik kepada Ogotai: “Pergi kau bujuki ia hingga
ia suka berbicara.”
Putra ketiga itu menurut
sambil tertawa, muka ramai dengan senyuman, ia hampiri Kwee Ceng. Dari kopiah
perangnya ia pun cabut dua batang bulu merak yang berkilauan.
“Kau bicaralah, akan aku
berikan ini padamu…” ia kata seraya angsurkan bulu merak itu.
“Aku tidak mau bicara!” Kwee
Ceng ulangi jawabannya.
Putra kedua dari Temuchin
menjadi habis sabar. “Lepas anjing!” ia menitahkan.
Lantas pengiringnya muncul
dengan enam ekor anjing yang besar. Bangsa Mongol paling gemar berburu, maka
itu setiap keluarga bangsawan atau panglima perang mesti memelihara
anjing-anjing peranti berburu, begitu pun burung elang besar. Jagatai adalah
putra paling gemar berburu, kapan ia pergi berburu, dia tentu bawa enam ekor
anjingnya itu. Sekarang anjing itu diperintah dibawa mengitari kuda hitam,
untuk diberi bercium bau, habis itu baru semuanya dilepaskan dari rantainya.
Kwee Ceng dengan Jebe tidak
saling mengenal, hanya kegagahan panglima berseragam hitam itu sangat
mengesankan kepadanya, hingga dengan lantas ia suka memberikan pertolongannya.
Sekarang setelah ia dianiaya Juji, timbul kemarahannya, bangkit keangkuhannya
dan tidak sudi ia menyerah. Kapan ia lihat orang melepas anjing, tahu ia
panglima itu terancam akan ketahuan tempat persembunyiannya, untuk mencegah ia
lantas bersiul memanggil anjingnya sendiri, anjing pembantu penggembala.
Enam ekor anjingnya Jagati
sudah mulai mencium-cium ke tumpukan rumput kering, kapan anjing Kwee Ceng
dengar panggilan majikannya, tahu ia akan tugasnya, ia mendahului menghalang di
depan tumpukan rumput kering itu dan melarang enam ekor anjing itu
menghampirinya.
Jagati menjadi tidak senang,
ia perintah anjingnya maju, maka sekejap saja terjadilah pertarungan yang
sengit sekali, gonggongan mereka sangat berisik. Sayang anjing penggembala itu
jauh lebih kecil dan ia pun bersendirian, ia lantas digigit di sana sini,
banyak lukanya. Tapi ia gagah, dia tak mau mundur.
Hati Kwee Ceng menjadi kecil,
tetapi ia penasaran dan marah, ia perdengarkan suaranya berulang-ulang
menganjuri anjingnya melawan terus.
Hati Juji menjadi sangat
dongkol, ia ayunkan pula cambuknya berulangkali hingga Kwee Ceng merasakan
sakit ke ulu hatinya, hingga ia rubuh bergulingan, tempo ia berguling sampai di
kaki si putra sulung, mendadak ia angkat tubuhnya untuk sambar pahanya si Juji
yang terus ia gigit.
Juji berontak tetapi ia tak
dapat lepaskan pelukannya anak itu yang memegang ia dengan keras sekali.
Menampak sang kakak kelabakan,
Jagatai, Ogotai dan Tuli menjadi tertawa bergelak-gelak.
Mukanya Juji menjadi merah, ia
ayunkan goloknya ke lehernya si Kwee Ceng. Di saat batang lehernya bocah yang
bernyali besar itu bakal menjadi putus, tiba-tiba sebuah golok buntung
menyambar, mengenai tepat goloknya Juji itu. Nyaring bentroknya kedua senjata
itu. Juji terperanjat, sebab goloknya hampir terlepas dari cekalannya.
Semua orang terkejut,
antaranya ada yang berseru kaget.
Menyusuli goloknya itu, Jebe
lompat keluar dari tempatnya bersembunyi. Ia sambar Kwee Ceng, yang ia tarik
tubuhnya dengan tangan kiri untuk disingkirkan ke belakangnya, terus dengan
tertawa dingin, dia berkata: “Menghina anak kecil, tak malukah?!”
Lantas saja Jebe dikurung oleh
serdadu Mongol, yang bersenjatakan golok dan tombak. Ia lemparkan goloknya.
Juji menjadi sangat gusar, ia
meninju dada orang. Atas itu Jebe tidak membalas menyerang. Sebaliknya ia
berseu: “Lekas bunuh aku!” Kemudian, dengan suara mendalam, ia menambahkan:
“Sayang aku tak dapat terbinasa di tangannya satu orang gagah perkasa…!”
“Apakah kau bilang?” tanya
Temuchin.
“Jikalau aku dibinasakan di
medan perang oleh orang yang dapat menangi aku, aku akan mati dengan puas,”
sahut Jebe, “Sekarang ini burung elang jatuh di tanah, dia mati digerumuti
semut!”
Habis mengucap begitu, terbuka
lebar matanya ini panglima, dia berseru dengan keras.
Enam anjingnya Jagatai yang
lagi gigiti anjingnya Kwee Ceng menjadi kaget, semuanya lompat mundur dengan
ketakutan, ekornya diselipkan ke selangkangannya.
Di sampingnya Temuchin muncul
satu orang. “Kha Khan, jangan kasih bocah ini pentang mulut besar!” dia
berseru. “Nanti aku layani dia!”
Temuchin lihat orang itu
adalah panglimanya, Borchu. Ia girang sekali. “Baik, pergi kau layani dia!” ia
menganjurkan.
Borchu maju beberapa tindak.
“Seorang diri akan aku bunuh kau, supaya kau puas!” katanya nyaring.
Jebe awasi orang itu, yang
tubuhnya besar dan suaranya nyaring. “Siapa kau?!” ia tanya.
“Aku Borchu!” panglima itu
membentak.
Jebe berpikir: “Memang pernah
aku dengar Borchu adalah orang kosen bangsa Mongolia, kiranya dia inilah
orangnya…” Ia tidak menjawab, ia cuma perdengarkan suara dingin, “Hm!”
“Kau andalkan ilmumu memanah,
orang sampai menyebut kau Jebe,” berkata Temuchin. “Maka sekarang, pergilah kau
bertanding dengan sahabatku ini!”
“Jebe” itu memang berarti
“Ahli memanah”. Jebe ada punya namanya sendiri tetapi nama itu kalah dengan
gelarannya, hingga orang tidak mengetahuinya lagi.
Mendengar orang adalah
“sahabatnya” Temuchin, Jebe berkata: “Kau adalah sahabatnya Khan yang terbesar,
aku akan lebih dahulu binasakan padamu!”
Tentera Mongol tertawa riuh.
Mereka anggap orang ini tidak tahu diri. Borchu itu kosen dan belum pernah ada
tandingannya.
Ketika dahulu Temuchin belum
menjadi kepala bangsa Mongol, dia pernah ditawan bangsa Taijiut, musuhnya,
lehernya dipakaikan kalung kayu. Bangsa Taijiut itu membikin pesta di tepinya
sungai Onan, sembari minum koumiss, mereka saban-saban mencaci Temuchin, yang
mereka hinakan sesudah mana mereka berniat membunuhnya. Setelah pesta bubaran,
Temuchin berhasil menghajar penjaganya dengan kalung kayunya itu, ia lari ke
dalam rimba, sia-sia bangsa Taijiut mencari dia.
Satu anak muda yang bernama
Chila’un tidak takut bahaya, dia tolongi Temuchin, kalung kayunya dirusaki dan
dibakar. Ia dinaiki ke atas sebuah kereta besar yang muat bulu kambing. Ketika
musuh Taijiut datang mencari dan rumah Chila’un digeledah, digeledah juga
kereta itu. Hampir Temuchin kepergok tapi ayahnya Chila’un pintar, dia berkata:
“Hari begini panas mengendus, mustahil orang dapat sembunyi di dalam bulu
kambing” Memang hawa ada sangat panas, setiap orang seperti bermandikan
keringat. Alasan itu kuat, kereta itu batal digeledah.
Setelah lolos ini, sengsara
hidupnya Temuchin. Bersama ibu dan adik-adiknya ia mesti hidup dari daging
tikus hutan. Sudah itu pada suatu hari, delapan ekor kudanya yang putih pun
kena orang curi. Ia penasaran, ia pergi mencari pencuri kuda itu. Ia ketemu
satu anak muda yang lagi peras susu kuda. Ia tanya kalau-kalau pemuda itu lihat
pencuri kudanya.
Pemuda itu ialah Borchu. Dia
berkata: “Penderitaannya bangsa pria sama saja, mari kita ikat persahabatan.”
Temuchin sambut itu ajakan. Maka kemudian, mereka berdua pergi mencari bersama.
Tiga hari mereka menyusul, baharu mareka dapat menyandak si pencuri kuda.
Dengan panah mereka yang lihay, mereka bubarkan rombongan pencuri kuda itu dan
berhasil merampas pulang ke delapan kuda yang dicuri itu. Temuchin hendak
membalas budi dengan membagi kudanya. Ia tanya sahabatnya itu menghendaki
berapa ekor. Borchu menjawab: “Aku keluarkan tenaga untuk sahabatku, seekor
juga aku tidak menginginkannya!”
Sejak itu keduanya bekerja
sama, sampai Temuchin berhasil mengangkat dirinya. Borchu tetap menjadi
sahabatnya dengan berbareng menjadi panglimanya, hingga bersama Chila’un ia
menjadi empat di antara menteri besar dan berjasa dari Jenghiz Khan (nama
Temuchin setelah ia menaklukan bangsa-bangsa yang lain).
Temuchin tahu kegagahannya
Borchu, ia serahkan panahnya sendiri. Ia pun lompat turun dari kudanya.
“Kau naik atas kudaku, kau
pakai panahku,” katanya. “Itu sama saja dengan aku sendiri yang memanah dia!”
“Baik!” Borchu menyahuti.
Dengan tangan kiri mencekal gendewa dan tangan kanan memegang anak panah, dia
lompat ke atas kudanya Temuchin.
“Kau kasihkan kudamu pada
Jebe!” Temuchin berkata pada Ogotai, putranya yang ketiga.
“Sungguh dia beruntung!” kata
Ogotai, yang suruh orang serahkan kudanya.
Jebe naik ke bebokong kuda,
dia berkata pada Temuchin: “Aku telah terkurung olehmu, sekarang kau beri
ketika untuk aku adu panah dengannya, aku bukannya seorang yang tak tahu diri,
tak dapat aku layani dia cara seimbang. Aku menghendaki hanya sebuah gendewa,
tak usah anak panahnya!”
“Kau tak pakai anak panah?!”
tanya Borchu gusar.
“Tidak salah!” sahut Jebe.
“Dengan sebuah gendewa saja, aku pun dapat membunuh kau!”
Tentara Mongol menjadi
berisik. “Binatang ini sangat sombong!” seru mereka.
Borchu tahu Jebe memang lihay,
dia tidak berani memandang enteng. Ia jepit perut kudanya akan bikin kuda itu
lari. Binatang itu yang telah berpengalaman, tahu akan tugasnya.
Jebe lihat kuda lawan gesit,
ia pun larikan kudanya ke lain arah.
Borchu lantas bersiap, lalu
“Ser!” maka sebuah anak panah menyambar ke arah Jebe.
Jebe berkelit dan sambil
berkelit tangannya menyambar, menangkap anak panah itu.
Borchu terkejut, ia memanah
lagi pula.
Jebe tidak sempat menangkap
pula, ia mendekam akan kasih lewat anak panah itu. Ia selamat. Tapi Borchu
tidak berhenti sampai di situ, lagi dua kali ia memanah dengan saling susul.
Kali ini Jebe kaget. Inilah ia tidak sangka. Tidak lagi ia mendekam, ia hanya
bawa tubuhnya turun dari bebokong kuda, kaki kanannya nyangkel pada sanggurdi,
tubuhnya meroyot hampir mengenai tanah. Ia tidak cuma menolong diri, kesempatan
ini dipakai untuk membalas menyerang, mengarah perut Borchu, habis mana ia
angkat tubuhnya, untuk duduk pula atas kudanya!
“Bagus!” Borchu memuji
lawannya itu. Ia terus memanah, untuk papaki anak panah lawan. Maka kedua anak
panah itu saling bentrok lalu mental, jatuh nancap di tanah.
Temuchin dan semua orangnya
bersorak memuji.
Borchu memanah pula. Mulanya
ia cuma mengancam, setelah itu ia memanah betul-betul. Ia mengincar ke sebelah
kanan.
Jebe lihat anak panah datang,
ia menyampok dengan gendewanya, hingga anak panah itu jatuh ke tanah. Ketika ia
diserang pula, beruntun tiga kali, terus ia main berkelit. Kemudian ia larikan
kudanya, selagi kuda itu lari, ia cenderungkan tubuh ke bawah untuk jemput tiga
anak panah yang tergeletak di tanah. Cepat sekali ia membalas memanah, satu
kali.
Borchu perlihatkan
kepandaiannya. dengan enjot diri, ia berdiri di atas kudanya, lalu dengan
sebelah kakinya ia sampok anak panah yang menyambar kepadanya itu. Di lain
pihak, ia berbareng membalas memanah.
Jebe berkelit, sambil berkelit
ia memanah pula. Tapi ia panah anak panahnya Borchu, hingga anak panah itu
terbelah dua.
Borchu menjadi berpikir: “Aku
ada punya anak panah, dia tidak, sekarang kita seri, dengan begini mana bisa
aku membalaskan sakit hatinya Khan yang terbesar?” Ia menjadi bergelisah.
Lantas ia memanah pula beruntun beberapa kali, terus-menerus.
Selagi mata orang banyak
seperti dibikin kabur, Jebe pun berkelit tak hentinya. Tapi anak panah datang
demikian cepat, hingga akhirnya pundaknya yang kiri kena juga terpanah, hingga
ia merasakan sangat sakit.
Semua penonton bersorak.
Borchu menjadi girang sekali.
Tapi ia belum puas, hendak ia memanah lebih jauh, untuk rampas jiwa orang. Maka
ia lantas merogoh ke kantung panahnya, tiba-tiba ia menjadi terkejut. Tanpa
merasa, ia telah gunai habis semua anak panahnya, anak panah yang diberikan
oleh Temuchin kepadanya. Sebenarnya ia biasa berbekal banyak anak panah, kali
ini ia pakai kantong panah Temuchin, yang anak panahnya ada batasnya. Dalam
kagetnya ia putar kudanya untuk balik, sambil turunkan tubuhnya, ia pungut anak
panah di tanah.
Jebe telah lihat tegas musuhnya
itu, ia gunai ketikanya. Ia panah bebokong musuh itu, dan tepat mengenai.
Semua penonton kaget, mereka
menjerit. Hanya aneh, walaupun sambaran anak panah itu keras sekali, itu cuma
menyebabkan Borchu merasa sakit pada bebokongnya, ujung panah tidak menancap,
anak panah itu jatuh ke tanah! Dengan keheranan, ia pungut anak panah itu.
Segera ia ketahui sebabnya ia tidak terluka. Anak panah itu tidak ada ujungnya
yang tajam! Jebe telah singkirkan itu. Jadi terang, Jebe hendak mengasih ampun
padanya.
“Siapa menghendaki kamu jual
kebaikanmu!” teriak Borchu. “Jikalau kau benar ada punya kepandaian, kau panah
mati padaku!”
Jebe menjawab: “Biasanya Jebe
tidak pernah mengasih ampun pada musuhnya! Panahku barusan berarti, satu jiwa
tukar dengan satu jiwa!”
Temuchin kaget dan berkhawatir
menampak Borchu kena terpanah, kemudian mendapatkan orang tidak terbinasa atau
terluka parah, ia menjadi girang. Kapan ia dengar perkataan Jebe itu, ia
talangi Borchu menyahut: “Baik! Sudah, kamu jangan adu panah pula! Biar, jiwanya
ditukar dengan jiwamu!” ia mengatakannya pada Borchu.
“Bukannya untuk ditukar dengan
jiwaku!” Jebe berseru.
“Apa?!” Temuchin menegaskan.
Jebe menunjuk kepada Kwee
Ceng, yang berdiri di depan pintu. “Aku hendak menukarnya dengan jiwa anak
ini!” katanya. “Aku minta Khan yang mulia jangan ganggu itu anak. Tentang aku
sendiri....” sepasang alisnya bangkit bangun, “Aku telah panah kepada Khan yang
mulia, aku harus mendapatkan hukumanku!”
Ia cabut anak panah di
pundaknya, anak panah yang berdarah itu ia pasang di gendewanya.
Sementara itu serdadunya
Borchu sudah haturkan beberapa puluh batang anak panah kepada kepala perangnya
itu.
“Baiklah!” kata Borchu. “Mari
kita mengadu pula!” Ia lantas memanah pula, dengan saling susul.
Jebe lihat serangan berbahaya,
ia lindungi diri di perut kudanya, sambil bersembunyi, ia membalas menyerang.
Kudanya Borchu sangat lihay,
melihat serangan datang, tanpa tanda dari penunggangnya, ia lompat berkelit ke
kiri. Tapi Jebe lihay, incarannya luar biasa, anak panahnya justru mengenai
batok kepalanya kuda, maka tidak ampun lagi, rubuhlah binatang itu!
Borchu turut rubuh, terguling
ke tanah. Ia khawatir ia nanti dipanah terus, ia mendahului membalas menyerang.
Kali ini ia kena hajar gendewanya Jebe, hingga gendewa itu patah menjadi dua
potong.
Kehilangan senjatanya, Jebe
kasih kudanya lari berputaran.
Tentera Mongol bertempik
sorak, untuk memberi semangat kepada Borchu.
“Dia satu laki-laki sejati!”
Borchu sebaliknya berpikir. Ia menjadi si orang gagah yang menyayangi sesama
orang gagah, tak ingin ia mengambil jiwa orang. Maka ketika ia memanah,
walaupun ia incar tenggorokan, ia menggeser sedikit.
Jebe gagal mengelakkan diri,
anak panah lewat menyempret di pinggiran tenggorokannya, darahnya lantas mengucur
deras ke luar. Ia merasa sakit dan kaget.
“Habislah aku hari ini….” ia
mengeluh dalam hatinya.
Borchu siapkan pula anak
panahnya, tetapi ketika ia menoleh kepada Temuchin, ia berkata: “Kha Khan,
berilah ampun kepadanya!”
Temuchin pun menyayangi Jebe.
“Eh, apakah kau masih tetap tidak mau menyerah?!” ia tanya panglima musuh itu.
Jebe lihat Temuchin demikian
angker, ia menjadi kagum sekali, maka ia lompat turun dari kudanya untuk terus
bertekuk lutut.
Temuchin tertawa
berbahak-bahak. “Bagus! Bagus!” katanya. “Selanjutnya kau ikutlah aku!”
Orang Mongol polos dan sangat
gemar bernyanyi, demikian Jebe, sambil mendekam, ia lantas perdengarkan
nyanyiannya:
Khan yang terbesar
mengampunkan selembar jiwaku,
di belakang hari walaupun
mesti menyerbu api berkobar-kobar,
aku rela.
Akan aku memotong Sungai hitam
menggempur batu gunung,
akan aku tunjang Khan yang
maha besar!
Aku akan menghajar musuh,
untuk ambil hatinya!
Ke mana aku diperintah pergi,
Ke sana aku pergi!
Temuchin menjadi sangat
girang. Ia ambil dua potong emas, yang sepotong ia berikan kepada Borchu, yang
sepotongnya pula kepada Jebe.
Jebe menghanturkan terima
kasih. Tapi ia terus menambahkan. “Khan yang mulia, hendak aku berikan emas ini
kepada itu bocah, bolehkah?”
Temuchin tertawa. “Kalau emas
itu adalah emasku, aku boleh kasihkan itu kepada siapa aku suka!” katanya.
“Emas adalah kepunyaanmu, kau boleh berikan kepada siapa kau suka!”
Jebe angsurkan emas itu kepada
Kwee Ceng.
Bocah itu menggoyangi kepala,
tak mau ia menerimanya. “Ibu bilang, kalau kita membantu tetamu kita, jangan
kita termahai uangnya,” katanya.
Temuchin telah sukai bocah
ini, sekarang mendengar perkataan orang, rasa sukanya menjadi bertambah-tambah.
“Sebentar kau bawalah bocah
ini kepadaku!” katanya kepada Jebe. Lantas ia ajak pasukan perangnya balik ke
arah dari mana tadi ia datang.
Beberapa serdadu angkat naik
bangkai kuda putihnya ke bebokong dua kuda lainnya, untuk dibawa bersama,
mengikuti di sebelah belakang.
Jebe menjadi girang sekali. Ia
lolos dari kematian dan mendapati tuan yang bijaksana. Sambil rebahkan diri di
atas rumput, ia beristirahat. Ia tunggu pulangnya Lie Peng, ibunya bocah itu,
akan tuturkan kejadian barusan.
Lie Peng lantas berpikir.
Dengan hidup terus sebagai penggembala, tidak tahu sampai kapan Kwee Ceng dapat
membalas dendamnya. Ia percaya, kalau ia turut Temuchin, mungkin ketikanya akan
lebih baik. Di dalam pasukan perang, Kwee Ceng pun dapat berlatih ilmu perang.
Maka kesudahannya, ia ajak putranya ikut Jebe kepada Temuchin.