Tin Ok mendongkol bukan main, ia mendongkol dan bergusar tanpa dapat
melampiaskan itu. Ia duduk separuh menyender, mukanya menyeringai. Ia
berniat mencabut anak panah di kakinya itu, tapi tidak berani. Ia
khawatir nanti darahnya menyembur dan ia sukar menyumbatnya. Memang
celaka kalau si nona tidak menolongi ia membalut lukanya itu. Dengan
terpaksa, ia menutup mulut.
"Lekas ambil air dingin." Menitah si nona bengis. "Lekas!"
Perintah itu dibarengi sama tamparan nyaring ke muka serdadu yang
diperintah itu. Tin Ok mendengar itu, ia pikir. "Hebat ini siluman
perempuan. Kalau dia tidak bicara, tidak apa asal dia membuka mulutnya,
tentulah orang bercelaka."
"Ambil pisau!" memerintah pula si nona. "Kau potong ujung bajunya Kwa
Tayhiap di dekat lukanya itu." Perintah itu dilakukan satu serdadu.
"Orang she Kwa, kalau benar laki-laki, jangan kau menjerit kesakitan"
kata si nona. "Jangan kau membikin nonamu mendongkol, nanti dia tidak
mau memperdulikan lagi padamu."
"Memangnya siapa yang kesudian kau memperdulikannya?" kata Tin Ok
sengit. "Lekas kau pergi,jauh-jauh" Tapi belum ia bicara habis, mendadak
ia merasakan pahanya sangat sakit. orang telah memegang gagang panah,
bukan panah itu dicabut hanya ditusukkan. Sakit dan kaget, sebelah
tangannya melayang. Lagi sekali ia merasakan sakit, kali ini pada
tangannya, sebab pada tangannya itu dibelesaki anak panah.
Oey Yong mencabut anak panah dan menyerahkan itu pada siterluka.
"Jikalau kau bergerak lagi satu kali, aku akan gaplok padamu" terdengar pula suara si nona.
Tin Ok sangat mendongkol tetapi ia berdiam. Ia tahu, si nona berbuat apa
yang dia katakan. sekarang ini ia bukan tandingan nona itu. Sungguh
hina kalau ia sampai digaploki Oey Yong. Dengan muka merah padam, ia
menutup mulut. Ia mendengar orang membeset beberapa kali pada potongan
bajunya, ia merasa lukanya dibalut keras sekali, guna mencegah keluarnya
darah. Habis itu ia merasakan dingin. si nona lagi mencuci lukanya itu.
Ia menjadi heran.
"Kalau dia mau bikin aku celaka, kenapa dia menolongi? Kalau dia mau
mendongi aku, hm... hm... Ayah dan anaknya ini, siluman-siluman dari Tho
Hoa To, benarkah mereka suka mendongi aku? Boleh jadi dia lagi
menggunai akal jahatnya." Di lain saat, Oey Yong sudah selesai
mengobati.
Tin Ok segera merasakan sakitnya berkurang sebagian besar. Ia tidak tahu
Oey Yong telah memakai obat Siauw Hoan Tan dari Tho Hoa To, obat
mustajab nomor satu untuk luka-luka. Setelah itu, ia merasakan lapar,
perutnya berbunyi keruyukan.
"Aku kira laparmu lapar palsu, kiranya lapar tulen," kata si nona mengejek, tertawanya dingin. "Baiklah, mari kita berangkat."
Ia bukan mengasih makanan, ia mengajak pergi. Pula ia telah mengayun
tangannya, maka kedua serdadu tukang gotong itu kembali merasa sakitnya
tongkat dari Partai Pengemis. Mereka ini menggotong pula orang yang luka
itu, yang mereka diperintah memanggilnya "toaya" atau "tuan besar".
Kali ini orang berjalan kira empat puluh lie, sang magrib telah
mendatangi, burung-burung gagak pada berbunyi berisik sekali. Entah ada
berapa ribu gagak di situ.
Tin Ok kenal baik kota Kee-hin, maka tahulah ia yang ia telah dibawa ke
dekat Tiat Ciang Bio, kuil di mana ada dipuja Tiat Ciang Ong Gan Ciang
si Tombak Besi, panglima perang yang kesohor di jaman Ngo Tay. Di
samping kuil itu ada sebuah menara besar, yang sudah semenjak lama
menjadi sarang gagak. Penduduk menyangka burung itu burung malaikat,
mereka tidak berani mengganggu, maka juga, makin lama burung hitam itu
jadi makin banyak.
"Ah, hari sudah gelap. di mana di sini kita mencari pondokan?" berkata si nona.
Tin Ok lantas berpikir, "Kalau kita menumpang di rumah penduduk. ada
kemungkinan rahasia nanti bocor dan tentara negeri bisa datang untuk
melakukan penangkapan." Karena ini, ia menyahuti, "Di sebelah depan,
tidak terlalu jauh, ada sebuah kuil tua lainnya."
Si nona tidak menjawab, hanya ia kata bengis, "Apakah bagusnya burung
gagak untuk dipandang? Memangnya kamu belum pernah melihatnya? Lekas
jalan!" Kedua serdadu lantas berjalan pula, kesakitan dan ketakutan dan
lelah sekali.
Tidak lama sampailah mereka di Tiat Ciang Bio. Kwa Tin Ok mendengar Oey
Yong menolak pintu. segera hidung mereka tersampok bau kotoran gagak.
Itulah tanda yang kuil itu sudah lama tertinggal kosong dan tidak
terurus. Ia tadinya menduga nona itu bakal menggerutu karena kuil kotor,
tidak tahunya si nona tidak memperdulikannya. Ia lantas mendengar kedua
serdadu diperintah menyapu kotoran dan kemudian masak air.
Oey Yong sendiri mengganti obatnya si jago Kang Lam, habis itu baru dia
sendiri pergi mencuci muka dan kaki. Tin Ok merebahkan diri di ujung
meja.
Belum lama, terdengarlah suara si nona, "Perlu apa kamu memandangi
kakiku? Memangnya kakiku dipertontonkan kepada kamu? Awas, aku nanti
korek biji matamu."
Kedua serdadu itu ketakutan, mereka menjatuhkan diri dan mengangguk-angguk hingga jidatnya nyaring mengenai lantai.
"Bilang, perlu apa kamu mengawasi aku mencuci kaki?" si nona bertanya pula.
"Maafkan, nona," kata satu serdadu sambil mengangguk pula. "sebenarnya hambamu melihat kaki nona bagus sekali."
"Celaka betul," pikir Tin Ok. "sampai ini waktu mereka masih main gila.
Entah mereka bakal dikeset kulitnya dan dibetot otot-ototnya atau tidak
oleh si nona."
Tapi Oey Yong tertawa, katanya, "Macam tolol sebagai kamu masih mengetahui apa yang bagus dan apa yang tidak? Hm..."
Dan satu serdadu jumpalitan, karena dihajar tongkat si nona. setelah itu
kedua serdadu itu pergi bersembunyi di belakang. Tin Ok berdiam saja,
ia ingin ketahui apa bakal terjadi pula.
Oey Yong berjalan mondar mandir, kemudian terdengar ia mengoceh seorang
diri, "Ong Tiat Ciang gagah luar biasa, diakhirnya ia toh kepala
terpisah dari tubuhnya Apakah artinya seorang enghiong? Apakah artinya
seorang hoohan? Ah, tombak besinya ini tentulah tombak karatan."
Di masa mudanya, sebelum matanya buta, Tin Ok bersama Han Po Kie dan
yang lainnya pernah memain di kuil Ong Gan Ciang ini, meski mereka masih
kecil, mereka pernah bergantian mencoba mengangkat tombak besi itu,
maka itu mendengar perkataannya nona itu, ia menyahuti, "sudah pasti
tombak itu tombak besi, bukannya tombak palsu."
"Ah" berkata si nona, yang terus mengangkat tombak itu. "Beratnya tombak
ini kira-kira tiga puluh kati Aku telah membikin tongkatmu hilang, aku
belum sempat menggantinya, karena besok kita bakal berpisah, untuk pergi
masing-masing, sebab kau tidak mempunyai senjata, baiklah kau ambil
tombak ini untuk dipakai sebagai gantinya tongkat."
Tanpa menanti persetujuan Oey Yong pergi membikin patah ujung tombak
yang tajam, lalu ia menyerahkan tombak yang tinggal gagangnya itu, yang
menjadi semacam toya atau tongkat.
Tin Ok berduka ketika ia mendengar si nona membilang besok mereka bakal
berpisahan. sekarang ini ia sebatang kara. Pula aneh, setelah berkumpul
seharian itu sama si nona, ia sekarang merasa berat untuk berpisahan. Ia
memegangi tombak itu, yang antap beratnya, ia merasa senjata itu cocok
untuknya. Ia pun berpikir. "la memberikan senjata kepadaku, nyata ia
tidak bermaksud jahat."
Lalu ia mendengar si nona berkata kepadanya, "Inilah obat Siauw Hoan Tan
bikinan ayahku. Obat ini ada faedahnya untuk lukamu. Kau membenci kami
ayah dan anak, terserah kepadamu untuk memakainya atau tidak."
Tin Ok merasakan tangannya dijejalkan sebuah bungkusan, ia menyambuti
itu dan memasukinya perlahan-lahan ke dalam sakunya. la tidak dapat
membilang suatu apa. Ia mengharap si nona masih berkata-kata pula, tapi
apa yang ia dengar hanya ini, "Nah, sekarang tidurlah..." Lalu sunyi
segala apa.
Jago Kanglam ini merebahkan dirinya, tombaknya diletaki di sisinya.
Tidak bisa ia lantas tidur pulas. Ada saja pikiran yang menyandingi
padanya. Ia mendengar suara gagak yang berisik, suara mana makin lama
makin reda, lalu sunyi segala apa. Mengenai si nona, ia merasa orang
tidak tidur hanya duduk terus, duduk tanpa berkutik. Adalah kemudian,
terdengar nona itu mengatakan seorang diri, suaranya perlahan,
bersenandung. Dia membacakan syairnya Eng Kouw, yang Tin Ok tidak
mengerti maksudnya. Hanya jago Kanglam ini merasa suara orang sedih,
hingga ia menjadi terharu.
Tidak lama dari itu barulah si nona bergerak. rupanya dia merebahkan
diri Kemudian lagi, suara napasnya menjadi perlahan lalu berhenti.
Tin Ok meraba tombak di sisinya. Kesunyian membuatnya ia berpikir. Di
depan matanya lantas bagaikan berpeta Cu Cong lagi membaca kitab
bututnya dan Han Po Kie dan Coan Kim Hoat seperti lagi menarik-narik
kumis patung malaikat. Ia merasakan seperti bermimpi bersama Lam Hie Jin
dan Thio A Seng tengah saling menarik tombak besi itu, sedang Siauw
Eng, waktu itu baru berumur empat atau lima tahun. Dua kuncirnya ngacir,
selagi dia tertawa haha-hihi, kuncirnya itu memain dengan benang
merahnya. Hanya sekejap. segala apa menjadi gelap. Lenyap segala
pertanyaan itu sebaliknya, timbullah hawa amarahnya, muncul kebenciannya
yang hebat terhadap si nona. Maka ia berbangkit, sambil membawa
tombaknya, ia berindap-indap mendekati si nona. Ia mendengar suara napas
yang enteng, bukti bahwa nona itu lagi tidur nyenyak.
"Jikalau aku hajar dia, dia akan mati tanpa merasa," pikirnya jago ini,
yang pikirannya seperti waswas itu. "Tanpa bersikap begini, karena Oey
Lao Shia sangat kosen, mana bisa aku menuntut balas? Anaknya ini lagi
tidur, inilah ketika yang baik pemberian Thian. Biarlah Tong Shia
merasakan enaknya orang kematian anak." Cuma sebentar ia berpikir
begitu, atau ia ingat pula, "Anak ini pernah menolongi jiwaku, dapatkah
aku membalas kebaikan dengan kejahatan? Ah, biarlah habis membunuh dia,
aku pun membunuh diri di sampingnya, guna membalas budinya."
Cuma bersangsi sebentar, Tin Ok segera mengangkat tombaknya. la telah
pikir pula, "Aku Kwa Tin Ok. seumurku aku jujur dan pemurah, selama
beberapa puluh tahun dari hidupku, tidak pernah aku melakukan apa-apa
yang tidak pantas. sekarang aku dapat kembali ke kampung halamanku,
meski mati, tidak ada yang dibuat sesalan lagi."
Tepat sekali ia mengerahkan tenaganya, mendadak ia mendengar suara
tertawa nyaring dari kejauhan, suara itu menyeramkan, membangunkan bulu
roma.
Oey Yong terbangunkan tertawa itu, ia terus berlompat. Maka kagetlah, ia
menyaksikan Kwa Tin Ok lagi mengancam ia dengan tombaknya Ong Gan Cian
itu. Tapi ia berteriak. "Auwyang Hong!"
Tin Ok kecele. Tidak dapat ia meneruskan serangannya itu. la pun segera
mendengar suara bicaranya beberapa orang, yang terus mendatangi ke arah
kuil. setelah itu, ia mendengar tindakan kaki, mungkin dari tiga sampai
empat puluh orang, terdengarnya di depan dan belakang kuil, di kedua
samping.
Setelah mendengari sekian lama, Tin Ok berkata dengan perlahan, "Terang
mereka datang kemari karena mereka mendapat dengar suara burung gagak.
Mari kita sembunyi." Oey Yong setuju, ia memberikan penyahutannya.
Tin Ok menuntun tangan orang untuk diajak pergi ke belakang tapi di
pintu pendopo bagian belakang itu, ia mengutuk kedua serdadu tadi. Pintu
itu dikuncikan mereka itu. sedang begitu, di depan terdengar suara
pintu ditolak. Jadi untuk mereka, tidak ada tempo untuk pergi ke luar.
"Mari kita bersembunyi di belakang patung," katanya. Oey Yong menurut.
la pun tidak melihat lain tempat sembunyi. Baru mereka memernahkan diri
Tin Ok mencium bau belerang, maka tahulah ia yang orang telah menyalakan
api.
"Paduka yang mulia Chao Wang," lalu terdengar suaranya Auwyang Hong.
"Kali ini dalam pertempuran di Yan le Lauw kita tidak memperoleh hasil
tetapi kesudahannya kita telah memberi hajaran juga kepada semangatnya
musuh." Chao Wang atau Wanyen Lieh, tertawa.
"Di dalam segala hal aku mengandal kepada sianseng," ia kata. "Begitu
juga di lain hari, dalam urusan mengambil kitab di Tiat Ciang Pang, aku
mengharap sangat bantuan sianseng."
"ltulah pasti," kata Auwyang Hong. "Sebenarnya, kalau bukan paduka yang
mulia telah mengalami bahaya besar ini, siapa menyangka kitabnya Gak Bu
Bok itu adanya di puncak Tiat Ciang Hong?"
"Beberapa budak sianseng telah menolongi jiwanya anakku, aku berterima
kasih sekali," berkata pula Chao Wang si pangeran Kim. "Aku telah kirim
mereka ke kota raja, untuk di sana mereka dirawat seumur hidupnya."
"ltu semua menandakan kebaikan paduka yang mulia," kata Auwyang Hong tertawa.
"Khiu Pangcu telah menjadi gusar dan pulang ke gunungnya," kemudian
Wanyen Lieh berkata pula, "Di sana pasti dia bakal melakukan penjagaan
kuat sekali, maka itu sianseng ada mempunyai akal apa untuk mendapatkan
kitabnya Gak Hui itu?"
"Paduka yang mulia mempunyai banyak orang pandai, apakah artinya satu
partai Tiat Ciang Pang?" berkata See Tok. "Biarnya Khiu Cian Jin lihay,
Auwyang Hong merasa sanggup untuk melayani dia." la lantas tertawa
kering.
Lalu terdengar suaranya Nio Cu Ong, Pheng Lian Houw, See Thong Thian dan
lainnya, yang mengumpak-umpak See Tok, sebaliknya Khiu Cian Jin tidak
dipandang mata sama sekali.
Setelah itu terdengar suaranya seorang muda, "Tuan-tuan, kata-katamu
tidak tepat. Khiu Pangcu lihay sekali, aku telah melihatnya dengan
mataku sendiri Aku percaya, selain Auwyang Sianseng, tidak sanggup
menandingi dia." Tin Ok mengenal suaranya Yo Kang, hatinya panas sekali.
Perkataannya Yo Kang itu membikin Nio Cu Ong semua kecele dan malu.
"Khiu Cian Jin si tua bangka seperti ampas, sekalipun Kwee Ceng si bocah
dia tidak dapat mengalahkannya," tiba-tiba terdengar suaranya Leng Tie
Siangjin. " Kepandaian dia itu biasa saja."
Mendengar itu, Auwyang Hong tertawa dingin. "Kalau begitu, dapatkah sianjin mengalahkan Kwee Ceng?" ia tanya.
Diam-diam orang tertawa. Mereka ingat peristiwa itu hari di Ci Han Tong
di istana di mana Leng Tie Siangjin telah dibikin terlempar dari dalam
air tumpah.
"Bukan aku memandang rendah kepada siangjin," berkata pula Auwyang Hong.
"Orang dengan kepandaian sebagai kau, meski kau belajar lagi sepuluh
tahun, belum tentu kau dapat menjadi tandingannya Khiu Pangcu. Nama Tiat
Ciang Sui-siang-pauw menggetarkan dua propinsi Lian-ouw, hingga
sekalipun aku, tidak berani aku memandang enteng terhadapnya," Lagi
sekali See Tok tertawa kering.
Leng Tie Siangjin mendongkol bukan main, ia malu, akan tetapi ia tidak
berani membuka mulut guna melawan bicara. Mukanya menjadi merah.
Kwa Tin Ok mendengar orang bicara, ia menahan napas. Ia mengenali semua
orang tangguh itu. Kalau tadi ia ingin mati bersama Oey Yong, sekarang
sebaliknya ia khawatir dirinya dan si nona nanti terbinasakan mereka.
Habis itu terdengar hamba-hambanya Wanyen Lieh mengatur tatakan untuk Wanyen Lieh bersama Yo Kang dan Auwyang Hong beristirahat.
"Auwyang Sianseng," terdengar suaranya Yo Kang. "Di dalam bukunya
Siangkoan Kiam Lam, boanpwee melihat ada catatan tentang ilmu untuk
memecahkan pukulan Tangan Besi itu."
Auwyang Hong girang mendengar keterangan itu hingga ia berlompat bangun sambil menegasi, "Benarkah itu?"
"Boanpwee tidak berani mendusta," kata Yo Kang, yang menyebut diri
"boanpwee", yang terlebih muda. "Hanya sayang, bagian pelajaran itu
termuat di dalam halaman-halaman yang justru kena dirobek-robek si
perempuan hina dina."
Auwyang Hong menyesal sekali. Ia tidak takuti Khiu Cian Jin tetapi
kepandaian orang itu ia malui. Maka sayang ilmu memecahkan ilmu silat
Tangan Besi itu telah lenyap dan musnah.
"Boanpwee telah membaca itu, bunyinya masih boanpwee ingat samar-samar,"
berkata pula Yo Kang, "sayang kepandaianku tidak berarti dan aku tidak
dapat menyelami catatan itu. Di dalam hal ini boanpwee mengharap
petunjuk Sianseng." Mendengar ini, timbul harapannya See Tok.
"Bagus, bagus!" serunya. Hanya sejenak, ia terus menghela napas.
Kemudian ia kata, "Keponakanku telah terbinasa di tangannya Oey Yok Su
dan orang-orang Coan Cin Pay, dengan begitu Pek To San menjadi tidak ada
ahli warisnya lagi. Aku pikir baiklah aku ambil kau sebagai muridku."
Yo Kang girang bukan main. Inilah justru pengharapannya. Tidak ayal
lagi, ia berlutut di hadapan See Tok, untuk paykui. Tin Ok menyesal dan
mendongkol bukan main.
"Dia turunan baik-baik, mengapa sekarang dia mengakui musuh sebagai
ayahnya?" pikirnya. "Sudah begitu, mengapa dia juga mengangkat orang
jahat sebagai gurunya? Dia tenggelam semakin dalam, mungkin tidak ada
harapan untuk ia berbalik pikir."
Melihat putranya mengangkat guru, Wanyen Lieh berkata, "Di sini di tanah
asing tidak dapat disediakan hadiah untuk upacara mengangkat guru ini,
baiklah itu ditunda sampai lain hari."
Auwyang Hong tertawa dan berkata; "Tentang barang permata, di Pek To San
telah tersedia cukup, Auwyang Hong cuma mengharap bakat baik dari anak
ini, supaya dia menjadi ahli warisku yang berarti."
"Sianseng, maaf," berkata Wanyen Lieh.
Nio Cu Ong beramai lantas memberi selamat kepada Auwyang Hong, Yo Kang
dan pangeran Kim itu. yang pertama karena mendapat murid, yang kedua
karena mendapat guru, dan yang ketiga karena putranya mendapat guru
pandai.
"Tengah ramai mereka itu memberi selamat, mereka mendengar seorang
berkata-kata nyaring, "Sa Kouw sudah lapar... Sa Kouw sudah lapar
sekali. Kenapa aku tidak diberi makan?"
Kwa Tin Ok mendengar suara itu yang ia mengenalinya, ia menjadi heran.
"Kenapa anak itu berada bersama Wanyen Lieh dan Auwyang Hong?" pikirnya.
"Benar" terdengar saranya Yo Kang, yang tertawa. "Lekas cari barang
makanan untuk si nona, jangan bikin ia kelaparan hingga nanti mendapat
sakit."
Tidak lama setelah suaranya pangeran muda itu, Sa Kouw terdengar sudah
mulai memakan apa-apa sembari makan maka terdengar pula suaranya.
"Saudara yang baik, kau bilang kau hendak mengajak aku pulang, kau minta
aku selalu mendengar perkataanmu, tetapi kenapa sampai sekarang aku
masih belum sampai di rumahku?"
"Besok kita akan sampai di rumahmu," kata Yo Kang. "Sekarang kau dahar
biar kenyang dan lantas tidur baik-baik," Sa Kouw berdiam, hanya
sebentar.
"Saudara yang baik," katanya pula, "Suara apa itu di atas menara?"
"Kalau bukannya burung tentulah tikus," sahut si pangeran muda.
"Aku takut," kata si nona tolol.
"Ah, nona tolol, takut apa?" Yo Kang kata tertawa.
"Aku takut setan," sahut si nona.
"Di sini ada begini banyak orang, mana setan berani datang ke mari?" bilang pangeran muda itu.
Tin Ok mendengar nyata, suaranya Yo Kang sedikit menggetar dan tertawanya pun tidak wajar.
"Aku takut setannya si kate dan gemuk itu," berkata si nona pula.
"Hus, jangan ngaco belo," kata Yo Kang, kembali tertawa.
"Apa sih si kate gemuk? Buat apa kau menyebut nyebut?"
"Hm, jangan kau kira tidak tahu," berkata Sa Kouw "Si kate gemuk itu
mati di dalam kuburan dari nenekku maka arwahnya nenek bisa mengusir dia
pergi dari pekuburan itu, untuk melarang dia tinggal di dalam kuburan
setelah diusir, dia nanti pergi mencari kau"
"Tutup mulut!" Yo Kang membentak. "Kalau kau terus banyak bacot, nanti
aku panggil kakekmu, biar dia nanti membawa kau kembali ke Tho Hoa To."
Ancaman itu rupanya memakan, Sa Kouw lantas menutup mulutnya.
"Hai, kau menginjak kakiku" tiba-tiba See Thong Thian membentak. Rupanya
si tolol, karena takutnya kepada setan, telah menggeraki kakinya.
Tin Ok segera berpikir. la percaya dengan si kate gemuk itu tentulah
dimaksudkan Han Po Kie, saudaranya yang nomor tiga. saudara itu
terbinasa di Tho Hoa To, terang dia dibunuh Oey Yok Su, maka kenapa
setannya hendak mencari Yo Kang? la heran. Sa Kouw memang tolol tetapi
kata-katanya itu mesti ada sebabnya, Itu bukannya ocehan belaka. Karena
di situ ada banyak musuh, biarnya ia hendak menanyakan si nona tolol,
tidak dapat ia melakukan itu Lalu ia ingat kata-kata Oey Yok Su selama
di Yan le Lauw bahwa dia ada manusia macam apa dan bagaimana dia bisa
sama pendapat sama mereka.
"Oey Yok Su tidak mau membunuh aku, maka bagaimana dia dapat membunuh
kelima saudaraku? Kalau bukan Oey Yok Su yang membunuhnya, kenapa adik
yang nomor empat membilang dia melihat sendiri Oey Yok Su membunuh
saudaraku yang nomor dua dan nomor tujuh?"
Tengah ia berpikir, Tin Ok merasa Oey Yong menarik tangan kirinya dan di
telapakan tangannya lantas mencoret beberapa huruf, mulanya huruf "kiu"
= minta, lalu yang lain, "satu hal". la lantas membalasi dengan
menuliskan pertanyaan, "Urusan apa itu?" Oey Yong menulis pula,
"Membilangi ayahku siapa membunuh aku".
Mengetahui pertanyaan itu, Tin Ok melengak. la tidak mengerti maksud si
nona. sedangkan ia berpikir, Ia merasakan angin bergerak di sisinya,
lalu Oey Yong lompat ke luar dari tempatnya sembunyi, sambil tertawa,
nona itu kata, "Auwyang Peehu, kau baik?"
Mendengar suara orang itu, Nio Cu Ong semua terkejut, dengan serentak,
mereka menghunus senjata mereka masing-masing, lantas mereka mengambil
sikap mengurung. Di antaranya ada yang berseru, "Siapa kau?" Oey Yong
tidak takut, ia bahkan tertawa terus.
"Ayahku menitahkan aku menantikan Auwyang Peehu di sini," katanya keras.
"Perlu apa kamu membikin banyak berisik tidak karuan?" Auwyang Hong tertawa.
"Bagaimana ayahmu ketahui aku bakal tiba di sini?" ia menanya.
"Ayahku mengerti ilmu bintang dan meramalkan. Tidak ada apa-apa yang ia
tidak tahu," menyahut si nona. "Asal dia menghitung-hitung menuruti ilmu
hitung Bun Ong Kwa lantas dia tahu segala apa."
Auwyang Hong tidak menanyakan lagi, meski ia hanya percaya satu bagian
dari perkataan si nona dan tidak mempercayainya yang sembilan bagian.
See Thong Thian sendiri berlaku cerdik. Ia sudah lantas pergi ke luar
kuil, ke kelilingan, memeriksa, habis mana, ia masuk kembali dengan hati
lega. Ia tidak mendapatkan kawan si nona. sesudah menyimpan senjata
masing-masing, orang merubungi Wanyen Lieh.
Oey Yong menghampirkan tempat duduk, untuk bersila di situ. "Auwyang Peehu, kau membikin ayahku bersengsara" katanya, tertawa.
Auwyang Hong tidak menyahuti. Ia tahu bocah in lihay mulutnya, kalau ia
salah omong, di depan orang banyak itu ia bisa mendapat malu. Maka ia
menantikan perkataan lebih jauh dari si nona.
"Auwyang Peehu," berkata pula Oey Yong. "Ayahku telah terkurung
imam-imam dari Coan Cin Kauw di dusun Sinteng-tin di Siauw Hong Lay,
jikalau kau tidak menolongi, dia sukar meloloskan dirinya."
See Tok bersenyum. "Mana bisa jadi," katanya.
"Enak sekali kau bicara, Auwyang Peehu" berkata pula si nona. "Satu
laki-laki, dia berbuat, dia bertanggung jawab Terang-terang kaulah yang
membinasakan Tam Cie Hian, si imam dari Coan Cin Kauw, entah kenapa
sekarang itu kawanan imam telah menggerembengi ayahku itu. Sudah begitu
muncul juga Loo Boan Tong Ciu Pek Thong, yang mengacau. Ayahku tidak mau
mengaku atau menyangkal semua itu, maka juga, habis bagaimana?"
Di dalam hatinya, Auwyang Hong girang. Tapi ia kata, "Ayahmu lihay
sekali, apa yang mereka bisa bikin itu beberapa bulu campur aduk?"
Sengaja See Tok menyebutnya imam-imam dari Coan Cin Kauw itu sebagai "bulu campur aduk".
"Tetapi ayahku juga bukannya menghendaki kau datang sendiri untuk
membantui padanya," berkata pula si nona, "Hanya ayahku menyuruh aku
menyampaikan kepada kau bahwa setelah ia memikirkan susah payah selama
tujuh hari dan tujuh malam, ia telah berhasil dengan pemahamannya.
Inilah mengenai sebuah kata-kata."
"Apakah itu?" Auwyang Hong tanya.
Oey Yong menyahuti. Ia membacakan serintasan kata-kata Sansekerta.
Kwa Tin Ok dan Wanyen Lieh serta rombongannya tidak mengerti ucapan si nona itu, sebaliknya Auwyang Hong menjadi terkejut.
"Benarkah Oey Yok Su berhasil memahamkan bagian terakhir dari Kiu Im
Cin-keng?" pikirnya. Tapi karena ia seorang berpengalaman, ia tidak
mengasih kentara akan kagetnya itu. Ia malah berlagak tenang.
"Bocah cilik, kau gemar mendustai orang," katanya. "Kau ngaco belo, siapakah yang mengerti?"
"Ayahku telah berhasil menyalin semua itu, aku melihatnya sendiri," kata Oey Yong. "siapa mendustakan kau?"
Auwyang Hong tergoncang ketenangan hatinya. Ia tahu Oey Yok Su sangat
cerdas. Memang orang yang dapat memahamkan Kiu Im Cin-keng cuma si Sesat
dari Timur itu, tidak ada orang lainnya lagi.
"Kalau begitu, hendak aku memberi selamat kepada ayahmu" katanya. Ia tetap berlaku tenang.
Oey Yong bisa menduga kesangsian orang. Ia kata pula, "Aku telah melihat
terjemahan itu, sekarang aku masih mengingatnya. Tidak ada halangannya
untuk aku membacakannya mengasih kau dengar." Benar-benar ia membacakan,
" Kalau tubuh bergerak, kalau tubuh berat seperti ketindihan barang,
atau kalau tubuh enteng seperti hendak terbang, atau tubuh terikat, atau
panas atau dingin, atau girang atau bergelisah, atau kaget, atau sangat
girang dan mabuk. semua itu harus disalurkan menurut ilmu yang di bawah
ini, guna memperoleh ketenangannya dan menjadi sempurna."
Auwyang Hong sangat tertarik. Memang ilmu itu mesti didapat secara
tenang, kalau tidak, orang bisa tersesat dan menghadapi akibatnya yang
membahayakan. Ia tidak tahu si nona menyebutkan terjemahannya It Teng
Taysu jadi Kiu Im Cin-keng yang tulen, ia hanya percaya itu sebab ia
menganggap masuk di akal.
"Habis bagaimana sadurannya itu?" ia tanya.
"Bagaimana bawahnya itu aku lupa," berkata si nona.
Auwyang Hong bersangsi. Ia tahu nona ini sangat cerdik, tidak nanti dia
lupa. Ia mau percaya orang mendustai ia. Maka ia memikirkan, kenapa si
nona menyebut-nyebut bunyinya kitab itu.
"Ayah menyuruh menanya kau, Auwyang Peehu," kata Oey Yong pula. "Kau menghendaki lima ribu huruf atau tiga ribu?"
"Coba kau menjelaskan dulu," menjawab See Tok.
"Jikalau kau suka membantu ayah hingga kamu berdua bersama memusnahkan
Coan Cin Kauw, maka semua lima ribu huruf dari Kiu Im Cin-keng akan aku
baca habis untuk kau mendengarkannya."
Auwyang Hong bersenyum. "Jikalau aku tidak suka membantu ayahmu?"
"Maka ayah mau minta kau tolong membalaskan sakit hatinya saja. setelah
kau membinasakan Coan Cin Liok Cu beserta Ciu Pek Thong, akan aku
membacakan yang tiga ribu huruf itu." See Tok tertawa.
"Sebenarnya perhubungan ayahmu denganku tidak erat, mengapa sekarang dia begini menghargai aku?" ia tanya.
"Ayah membilang, pertama-tama, yang membinasakan keponakanmu itu ialah
muridnya Coan Cin Cit Cu, maka ayah pikir kau tentunya akan membalaskan
sakit hatinya."
Yo Kang menggigil sendirinya mendengar perkataan nona. Ialah muridnya Khu Cie Kie. Jadi si nona pasti maksudkan dia.
"Eh, saudara yang baik, kau kedinginan?" tanya Sa Kouw kepada pangeran
muda itu. Ia melihat tubuh orang bergemetaran. Yo Kang menyahuti
sembarangan saja.
"Kedua," berkata pula Oey Yong. "setelah berhasil memahamkan kitab, ayah
lantas bertempur sama kawanan imam itu, ia jadi belum sempat
menjelaskan semua. Kitab itu kitab aneh dan langka, mana dapat itu
dibikin lenyap? Sekarang ini cuma kau seorang yang tabiatnya mirip
ayahku, maka itu ayah ingin mewariskan itu padamu, nanti baru kau
mengajari aku."
"Kata-kata ini dapat dipercaya," Auwyang Hong pikir. "Tanpa penjelasan,
biar budak ini sangat cerdas, tidak nanti dia dapat menangkap artinya
kitab itu." Tapi ia mengutarakan kesangsiannya. Ia kata, "Mana aku
ketahui kau membacakan yang asli atau yang palsu?"
"Kwee Ceng si tolol telah mengasihkan kitab yang tertulis," berkata si
nona, "Maka kalau kau mengakurkannya dengan apa yang aku bacakan, kau
bakal mengetahui tulen atau palsunya."
"Kau benar juga. sekarang kau memberikan ketika untuk aku beristirahat,
besok aku nanti pergi menolongi ayahmu itu," berkata Auwyang Hong. Oey
Yong tidak mau mengerti.
"Menolongi orang kesusahan seperti tolongi orang kebakaran, bagaimana kau bisa menanti sampai besok?"
"Kalau begitu, nanti saja aku membalaskan sakit hati ayahmu? sama bukan?"
See Tok tertawa. Ia telah berpikir, di mana kitab sudah ada di
tangannya, ia tinggal memaksa saja si nona memberikan penjelasan
kepadanya, nanti ia akan mendapat mengerti sendiri Bukankah bagus ia
membiarkan Oey Yok Su dan Coan Cin Kauw bertempur mati-matian?
Kwa Tin Ok memasang kuping. Orang membicarakan melulu soal kitab, ia
tidak mengerti. Ia pun heran untuk tulisannya Oey Yong di telapakan
tangannya itu, "Bilangi ayahku siapa yang membunuh aku."
Lalu terdengar suara Oey Yong pula, "Bagaimana kalau kau pergi besok pagi-pagi? Dapatkah?" si nona agak kewalahan.
"Tentu" See Tok tertawa. "Sekarang kau beristirahatlah."
Oey Yong menurut, akan tetapi ia mendekati Sa Kouw. "Eh, Sa Kouw ayahku
membawa kau ke Tho Hoa To, kenapa sekarang kau ada di sini?" ia tanya.
"Aku tidak suka berdiam di Tho Hoa To, hendak aku pulang ke rumah sendiri," menyahut si tolol.
"Bukankah ini saudara she Yo yang telah pergi ke Tho Hoa To dan lalu membawa kau pergi? Benar bukan?" Oey Yong tanya pula.
"Benar. Dia benar-benar seorang baik hati."
Kwa Tin Ok mendengar itu Ia heran.
"Kapannya Yo Kang pergi ke Tho Hoa To?" ia tanya dirinya sendiri.
"Habis, ke mana perginya ayahku?" Oey Yong tanya. Sa Kouw nampak kaget.
"Jangan membilangi aku buron, ya?" katanya. "Kakek bakal menghajar aku.."
"Aku tidak akan memberitahukan," kata Oey Yong tertawa.
"Cuma hendak aku menanya kau dan kau harus menjawabnya dengan baik."
"Kau jangan membilangi kakek, ya. Kakek hendak menangkap aku, buat dibawa pulang. Dia mau mengajari surat pada ku."
"Tentu aku tidak memberitahukan" kata Oey Yong tertawa pula. "Kau bilang kakek mau mengajari surat?"
"Benar. Hari itu di kamar tulis kakek mengajari aku menulis surat. Pula
aku diberitahu bahwa ayahku orang she Kiok dan namanya entah apa Hong.
Benar-benar aku sukar mengingati itu, lantas kakek gusar, dia mengatakan
aku tolol hebat sekali. Aku memang juga dipanggil Sa Kouw"
"Sa Kouw memang tolol," kata Oey Yong tertawa manis. "Ayah memaki kau,
itulah keliru." Sa Kouw senang mendengar perkataannya nona ini.
"Bagaimana kemudiannya?"
"Aku mengasih tahu niatku ingin pulang, kakek jadi semakin gusar selagi
begitu, satu budak gagu datang masuk. Ia bicara sama kakek, tangannya
digerak-geraki. Kakek kata, 'Aku tidak mau menemui tetamu, suruh mereka
pergi kembali' Budak itu mengundurkan diri, tapi sebentar lagi ia
kembali sambil membawa sepotong kertas. Kapan kakek melihat itu, ia
lantas menitahkan aku ikut si gagu menyambut sekalian tetamunya itu. Aku
melihat si kate gemuk itu, muak aku melihatnya. Aku mendelik
terhadapnya, dia mendelik terhadapku."
Tin Ok membayangi halnya itu hari ia dan saudara-saudaranya berkunjung
ke Tho Hoa To. Keterangannya nona tolol ini cocok sama keadaan itu
waktu. Mulanya mereka ditolak, setelah Cu Cong menulis surat, mereka
diterima. Memang benar, Sa Kouw yang menyambut mereka. Hanya sekarang
Han Po Kie telah tidak ada bersama ia, ia menjadi sedih. "Apakah kakekmu
menemui mereka itu?" Oey Yong bertanya pula.
"Kakek memerintah aku menemani mereka bersantap. kakek sendiri
mengundurkan diri. Aku tak senang melihat si kate gemuk itu, diam-diam
aku meninggalkan mereka. Aku melihat kakek di belakang, lagi duduk di
batu mengawasi laut. Aku pun turut memandangnya. Di sana nampak sebuah
perahu layar lagi mendatangi. Yang duduk di perahu itu ialah bangsa
imam."
Kwa Tin Ok berpikir, "Itu hari kami mendengar kabar Coan Cin Pay bakal
menyatroni Tho Hoa To untuk menuntut balas, kami lantas mendahului
datang guna mengasih kisikan, buat minta dia suka menyingkir untuk
sementara waktu, supaya kami yang menemui pihak Coan Cin Pay guna
memberikan penjelasan, hanya di pulau itu kami tidak mendapatkan tibanya
orang-orang Coan Cin Kauw itu Kenapa sekarang Sa Kouw membilang dari
hal tibanya imam-imam itu yang naik perahu?"
"Bagaimana dengan kakek?"
"Kakek menggapaikan aku. Aku kaget. Aku mengira kakek tidak tahu aku
meninggalkan tetamu. Aku takut menghampirkan kakek. aku khawatir nanti
dihajar. Kakek kata, 'Aku tidak pukul padamu kau ke mari.' Aku
menghampirkan. Kakek lantas membilangi aku dia mau pergi mancing dengan
naik perahu, maka dia memesan kalau kawanan imam itu mendarat, aku mesti
menyambut mereka, untuk mengajak mereka masuk dan bersantap
bersama-sama rombongannya si kate gemuk itu. Aku bilang bahwa akupun
ingin pergi mancing. Lantas air mukanya kakek menjadi guram. Terpaksa
aku diam saja. "
"Kemudian lagi, bagaimana?"
"Kakek pergi ke belakang untuk mengambil perahunya. Aku mendapat
kenyataan, wajahnya semua imam itu tak sedap dipandangnya, pantas kakek
tidak sudi menemui mereka."
"Benar, benar apa yang kau bilang. Kapan kembalinya kakek?"
"Apa, kembali? Dia tidak pulang lagi."
Tin Ok terkejut hingga tubuhnya bergerak.
"Apakah kau tidak salah ingat? Kemudian lagi bagaimana?" Oey Yong menanya, suaranya rada bergemetar.
"Selagi kakek hendak melayarkan perahunya untuk berangkat, mendadak
datang sepasang burung besar. Itulah sepasang burungmu. Kakek menggapai
kepada kedua burung itu. Mereka itu terbang turun. Ada apa-apa yang
diikat di kaki burung, bagus barang itu. Aku teriaki kakek, "Kakek...
kakek... kasih aku!"
Selagi mengucap itu, benar-benar Sa Kouw berteriak-teriak.
"Sudah, jangan omong saja!" Yo Kang membentak. "Orang mau tidur."
"Jangan perdulikan dia," berkata Oey Yong. " Kau omong terus."
"Aku akan bicara perlahan," katanya si tolol. Dan ia benar
memperlahankan suaranya. "Kakek tidak meladeni aku, dia menyobek ujung
bajunya, dia ikat itu di kaki burung, yang dia lantas lepaskan pergi
pula."
Oey Yong berpikir, "Ayah hendak menyingkir dari Coan Cin Cit Cu, pantas
dia tidak sempat mengambil ikan emas. Hanya panah di tubuhnya burungku
yang jantan, siapakah yang memanahnya?" Maka ia lantas menanya,
"Siapakah yang memanah burung itu?"
"Memanah burung? Tidak." selagi mengatakan itu, si tolol melongo.
"Baik. Nah, kau cerita terus."
"Melihat bajunya robek. kakek menyuruh aku pulang untuk mengambil
sepotong yang lain. Ketika kemudian aku kembali bersama baju, kakek
sudah tidak ada. Perahu kawanan imam juga tidak nampak. Cuma baju robek
itu ditinggalkan di tanah." Oey Yong tidak menanya lagi, ia berdiam.
"Ke mana perginya mereka?" katanya selang sekian lama.
"Aku melihatnya. Mulanya aku memanggil-manggil kakek. dia tidak
menyahut. Lantas aku naik ke atas pohon, memandang ke laut. Aku melihat
perahu kakek di depan, perahu si imam di belakang. Perahu kakek kecil,
perahu si imam besar. Perlahan-lahan kedua perahu itu tak terlihat lagi.
Aku tidak sudi melihat pula si kate gemuk. aku terus berdiam di tepi
laut main-main menendangi batu. sampai hari sudah malam baru aku pulang
dengan mengajak kakek itu serta ini saudara yang baik," Ia menunjuk
Auwyang Hong dan Yo Kang.
"Jadi kakek ini, bukannya kakek yang mengajari kau surat?" Oey Yong menegaskan. Sa Kouw tertawa.
"Ya, kakek ini baik sekali," sahutnya. "Dia tidak mau mengajari aku
surat, dia bahkan membagi aku kue, Eh, kakek. kuemu masih ada atau
tidak?"
"Ada" sahut Auwyang Hong sambil tertawa menyeringai. "Ini aku bagi pula padamu."
Hati Kwa Tin Ok seperti melonjak. Kiranya itu hari Auwyang Hong berada di pulau Tho Hoa To.
Justru itu Sa Kouw menjerit keras, menyusul mana terdengar bentrokan
tangan dua kali, tanda dari satu pertempuran, sebagaimana nampak tubuh
orang berlompatan. "Kau hendak membunuh dia untuk menutup mulutnya?
Baiklah kau bunuh dulu padaku."
Auwyang Hong tertawa, dia kata, "Urusan ini dapat dikilangi untuk orang
luar, tidak ayahmu, maka perlu apa aku membunuh dia? Jikalau kau hendak
menanyakannya, pergilah kau menanya sepuasnya."
Sa Kouw merintih- rintih kesakitan tidak dapat ia bicara. Entah ia telah
ditotok jalan darah apanya oleh See Tok, si Bisa dari Barat.
"Tidak usah aku menanyakan dia, telah dapat aku menduganya," kata Oey Yong. "Aku cuma menghendaki dia mengucapkannya sendiri."
"Budak perempuan, kau sangat cerdik" kata Auwyang Hong tertawa. "Kenapa
kau dapat menduga itu? Coba kaujelaskan kasih aku dengar."
"Ketika pertama kali aku melihat keadaan di pulauku itu," menyahut si
nona mengasih keterangannya, "Aku juga menyangka adalah ayahku yang
membinasakan Kang Lam Ngo Koay. Baru kemudian, setelah memikirkannya,
aku mendapat anggapan lain. Coba kau pikir, cara bagaimana ayahku dapat
membiarkan mayatnya semua orang busuk itu berada di dalam kuburan untuk
menemani ibuku? Lagi pula mana bisa jadi ayahku ke luar dari kuburan
tanpa mengunci pula pintunya?"
Auwyang Hong menepuk pahanya. "Ah, benar, itulah kealpaanku" serunya. "Anak Kang, benar bukan?"
Mendengar sampai di situ, Tin Ok merasakan hatinya mau meledak. Sekarang
baru ia mengerti kiranya sejak siang-siang Oey Yong telah menduga si
pembunuh adalah Auwyang Hong, si Bisa dari Barat yang kejam ini serta Yo
Kang. Si nona bermaksud baik, ia sendiri yang menyangka keliru .Jadi
nona ini barusan ke luar dari tempatnya sembunyi melulu untuk membeber
duduknya hal guna membersihkan ayahnya. Itulah perbuatan berbahaya
sekali. Ia menduga, suratnya si nona adalah untuk ia nanti
memberitahukan ayahnya, ialah Oey Yok Su, tentang orang yang membunuh
padanya andaikata nona itu menemui bencana. Maka ia jadi sangat berduka
dan menyesal.
"Ah, nona, nona," ia mengeluh di dalam hatinya, "Bukankah cukup jikalau
kau memberitahukan aku siapa pembunuhnya semua saudaraku itu? Kenapa kau
bertindak begini rupa?" Kemudian ia ingat tabiatnya sendiri Pikirnya
pula, "Aku Hui Thian Pian-hok, kenapa aku sangat sembrono? Kenapa aku
berkukuh menuduh itu ayah dan putrinya? Memang, kalau ia memberi
keterangan padaku, mana bisa aku gampang mempercayainya? Kwa Tin Ok. oh
Kwa Tin Ok, kau pantas dihukum picis si buta yang busuk. kau memaksa si
nona kepada kebinasaannya "
Dalam sengitnya, Tin Ok hendak menghajar dirinya sendiri. Baiklah ia
lantas mendengar pula suaranya Auwyang Hong, yang menanya si nona,
"Bagaimana caranya kau menduga padaku?"
"Tidaklah sukar menerkamu" menjawab si nona. "Menghajar mati kuda dan
mematahkan dacin, itulah perbuatan yang di jaman ini cuma dapat
dilakukan beberapa gelintir manusia. Hanya mula-mula aku masih menduga
lain orang. Ketika Lam Hie Jin hendak menghembuskan napasnya yang
terakhir, dengan jari tangannya ia masih dapat mencoret beberapa huruf
di tanah, 'Yang membunuh aku ialah' Huruf yang terakhir ini tidak keburu
menuliskan lengkap. baru pada bagian sampingnya, yang merupakan huruf
'sip' yang berarti 'sepuluh'. Aku pikirkan huruf belum lengkap itu. she
namamu tidak memakai permulaan huruf ‘sip’ itu, maka aku menduga kepada
Khiu Cian Jin."
Auwyang Hong tertawa terbahak-bahak.
"Hebat Lam Hie Jin," katanya. "Dia dapat menanti hingga tibamu."
"Aku melihat keadaannya sewaktu dia mau mati itu, aku menduga dia
terkena racun." Oey Yong berkata pula. "Karena ini, aku menduga keras
kepada orang she Khiu itu. Bukankah Tiat Ciang Pang memelihara banyak
kodok dan ular berbisa?"
See Tok tertawa pula. "Tiat Ciang Pang memelihara banyak binatang
berbisa tetapi tidak ada yang luar biasa," ia berkata. "Ketika Lam Hie
Jin mau mati, bukankah dari mulutnya ke luar suara tetapi tanpa dapat
bicara? Bukankah ia mati dengan wajah tertawa?"
"Benar sebenarnya dia terkena racun apa?"
Auwyang Hong tidak menjawab, hanya ia menanya pula, "Bukankah tubuhnya
meringkuk dan dia bergulingan di tanah, tenaganya besar luar biasa?
Benar tidak?"
"Benar Bisa semacam itu, aku pikir, kecuali Tiat Ciang Pang, lain orang tidak memilikinya."
Kata-kata yang terakhir ini ada pancingan membangkitkan kemarahan.
Auwyang Hong menginsyafi itu tetapi ia tidak dapat menahan meledaknya
kemurkaannya. Ia berseru dalam kemurkaannya itu. "Orang menyebutnya aku
si bisa bangkotan, apakah itu panggilan kosong belaka?" Ia mengetok
lantai dengan tongkat ularnya. Ia kata pula nyaring. "Itulah ular di
tongkatku ini yang menggigitnya Dan lidahnyalah yang dicatok itu Karena
itu, tubuh dia menjadi tidak meninggalkan bekas dan dia tidak dapat
bicara."
Tin Ok merasakan sesak dadanya hingga hampir ia pingsan.
Oey Yong mendengar suara apa-apa di belakang patung, ia dapat menduga,
maka ia lantas batuk-batuk guna menyarukan suara itu, kemudian ia
berkata pula dengan sabar, "Ketika itu kau telah berhasil membinasakan
lima anggota dari Kanglam Cit Koay yang lolos hanya Kwa Tin Ok seorang,
yang kedua matanya buta, maka itu menjadi tidak ketahuan siapa yang
melakukan pembunuhan hebat itu."
Tin Ok mendengar perkataan ini, ia mengerti kata-kata itu ditunjuki
kepadanya. Ia pikir, "Ia mengisiki aku untuk jangan sembarang bergerak.
supaya kita berdua tak usah mati secara gelap."
Auwyang Hong berkata sambil tertawa kering, "Apakah seorang buta dapat
lolos dari tanganku? Hm Memang sengaja aku meloloskan dia."
"Kau benar. Kau membunuh yang lima, kau sengaja mau membikin dia percaya
ayahkulah yang membunuhnya supaya dia mengoarkannya, supaya nanti semua
orang gagah datang mengepung ayahku."
Lagi-lagi Auwyang Hong tertawa. "Itulah bukan pikiranku, tetapi pikiran
anak Kang. Benar bukan, anak?" Yo Kang menyahuti seperti tadi, sepintas
lalu.
"Sungguh suatu pikiran yang bagus luar biasa," berkata Oey Yong. "Aku kagum sekali." Tentu saja itulah pujian ejekan.
"Kita bicara balik lagi," kata Auwyang Hong. "Bagaimana maka kemudian kau dapat menduga aku?"
"Aku pikir Khiu Cian Jin itu pernah bertempur denganku di selatan Liang
Ouw. Dalam keadaan biasa, memang dapat dia mendahului aku tiba di Tho
Hoa To, akan tetapi aku mempunyai kuda merahku, tidak bisa menjadi dia
dapat melawan kudaku itu. Lalu aku ingat suaranya Cu Cong. Di situ ia
memesan untuk berjaga-jaga. Ia pun belum menulis lengkap. Huruf yang
tidak lengkap itu dapat diteruskan menjadi 'tong'. Dapat juga dijadikan
'see'. Maka itu, kalau bukannya Tong Shia tentulah See Tok. Selama di
Tho Hoa To telah aku dapat memikir itu hanya aku belum dapat
memastikannya sebab masih ada beberapa hal lainnya."
Auwyang Hong menghela napas.
"Aku kira bahwa aku telah menjabit rapat sekali, tidak tahunya masih ada
yang bolong," katanya. "Si mahasiswa dekil itu sangat sebat, aku tidak
dapat melihat dia menulis suratnya."
"Dia digelarkan Biauw Cu Sie-seng, si Mahasiswa Tangan Lihay, pasti
sekali dia menulis tanpa memberikan ketika kau melihatnya. Aku telah
memikirkan keras huruf 'sip' dari Lam Hie Jin itu Karena aku mendengar
kabar yang ini saudara Yo telah terkena racun dan mati, sama sekali aku
tidak pernah memikirkan dia." Yo Kang heran.
"Kenapa kau ketahui aku terkena racun dan mati?" ia tanya. "siapa yang memberitahukan itu pada mu? "
"Banyak sekali hal-hal yang aku ketahui," menjawab si nona. "Hari itu
aku berada sendirian di pulau Tho Hoa To, aku tidur tanpa merasa, aku
mendusin, aku tidur pula, aku mendusin lagi, masih aku tidak dapat
menerka. Selama tidur itu, aku pun banyak mimpi, dan di dalam mimpiku,
aku melihat banyak orang Akhirnya aku mimpi melihat enci Bok. Aku
mimpikan dia di Pakkhia di sana dia mengadu ilmu silat untuk merangkapi
jodohnya. Mimpi sampai di situ aku mendusin dengan kaget, hingga aku
berlompat bangun. Itu waktu baru aku tahu si pembunuh itu ialah... kau!"