"Aku justru hendak menanya kau, budak cilik itu ada di mana." Auwyang Hong balik menanya. "Lekas kau serahkan dia padaku."
Mendengar itu, Kwee Ceng terperanjat karena girangnya. Ia lantas
berpikir, "Kalau begitu, Yong-jie masih hidup dan dia telah lolos dari
tangannya iblis ini."
Tapi ia jujur, perasaan hatinya gampang berpeta pada wajabnya, kegirangannya itu lantas dapat dilihat See Tok.
"Mana dia itu budak cilik?" Auwyang Hong membentak.
"Entahlah," menyahut Kwee Ceng sejujurnya. "Selama di Kang lam dia mengikuti kau, kemudian bagaimana?"
See Tok tahu pemuda ini tidak pernah mendusta, ia menjadi heran. Menurut
dugaannya, Oey Yong mesti berada di dalam pasukan perang ini. Kenapa
pemuda ini tidak mengetahuinya? Ia lantas duduk bersila untuk berpikir.
Kwee Ceng membebaskan orang-orangnya dari totokan, ia menitahkan
menyuguhkan teh koumiss. Auwyang Hong meminum satu cawan tanpa curiga.
"Anak tolol, tidak ada halangannya aku bercerita kepadamu," katanya
kemudian. "Memang benar bocah itu telah kena aku tawan di dalam kuil
Tiat Ciang Bio di Kee-bin, hanya di itu malam juga dia berhasil
meloloskan dirinya."
Kwee Ceng girang hingga ia berseru, "Bagus!" Ia pun menambahkan, "Dia
sangat cerdik, jikalau dia memikir untuk lari, pasti dia dapat lari.
Bagaimana dia lolosnya?"
"Dia lolos di Kwie-in-chung di telaga Thian Ouw" menyahut See Tok sengit
sekali. “Hm..., untuk apa menuturkannya? Tegasnya dia sudah kabur."
Kwee Ceng tidak mendesak. Dia tahu orang besar kepala dan kejadian itu pastilah membuatnya See Tok gusar dan malu dan menyesal.
"Setelah dia kabur, aku mengejarnya," See Tok toh menuturkan. "Beberapa
kali aku dapat menemui dia, hanya saban-saban dia lolos lagi. Aku
mengejar terus, terus aku berada di dekatnya, dia tidak dapat kabur
pulang keTho Hoa To. Kita main kejar-kejaran, sampai di perbatasan
Mongolia. Mendadak dia lenyap. Maka aku menduga dia mesti berada di
dalam pasukan perangmu ini. Demikian aku datang padamu."
Mendengar Oey Yong telah tiba di Mongolia, Kwee Ceng heran berbareng
girang. "Apakah kau pernah melihat dia?" ia tanya. Ditanya begitu, See
Tok mendongkol.
"Kalau aku dapat melihat dia, mustahil aku tidak dapat membekuknya?"
katanya keras. "Siang dan malam aku mengintai dia di dalam pasukanmu
ini. Aku menyangka dia tinggal bersama kau tetapi aku belum pernah
melihat dia. Eh, bocah tolol, kau sebenarnya lagi main gila apa?"
Kwee Ceng terbengong. “Siang dan malam kau mengintai, mengapa aku tidak dapat tahu?" Ia balik tanya.
Auwyang Hong tertawa puas. "Aku ialah satu serdadu orang Wilayah Barat
yang tidak berarti di dalam barisanmu yang dinamakan barisan
Thian-cian-ciong," sahutnya. "Kaulah si kepala perang, mana kau kenal
aku?"
Di dalam tentara Mongolia terdapat banyak serdadu-serdadu musuh yang
tertawan dan diberi pekerjaan, maka itu kalau seorang Wilayah Barat,
atau See Hek. nyelip di dalam satu barisan, dia memang sukar untuk
diketahuinya. Tapi mendengar keterangan itu, Kwee Ceng terkejut. Ia
berpikir. "Jikalau dia menghendaki jiwaku, pastilah jiwaku sudah lenyap
lama." Lalu dengan suara tak tegas ia menanya, "Kenapa kau bilang
Yong-jie berada di dalam pasukanku?"
"Kau telah meringkus kedua putranya Jenghiz Khan, kau berhasil memukul
pecah kota-kota dan melabrak musuh," menyahut Auwyang Hong, "Tanpa
petunjuk dari si budak cilik itu, mana dapat kau si tolol melakukannya
semua itu? Hanya budak itu tidak pernah memperlihatkan dirinya, ini
benar-benar heran. Sekarang tidak bisa lain, kau mesti bertanggung
jawab, kau mesti menyerahkan dia itu padaku."
Kwee Ceng tertawa. "Kalau Yong-jie memperlihatkan dirinya, itulah hal
yang aku paling harapi," ia kata. "Sekarang cobalah kaupikirkan,
dapatkah aku menyerahkan dia padamu?"
"Jikalau kau tidak mau menyerahkannya, aku mempunyai jalanku sendiri,"
kata Auwyang Hong. Dia mulai mengancam. "Kau berkuasa atas pasukan
tentara besar, akan tetapi di mata Auwyang Hong tendamu ini, di luar dan
di dalam, adalah seperti tempat di mana tidak ada barang satu manusia.
Asal aku mau datang, aku datang. Asal aku mau pergi, aku pergi. Siapa
dapat melarang aku?"
Omong besar itu bukan omong besar belaka, maka itu Kwee Ceng membungkam.
"Eh, bocah tolol, bagaimana kalau kita membuat perjanjian?" Auwyang Hong tanya.
"Perjanjian apakah itu?"
"Kau menyebutkan tempat sembunyinya si bocah, aku tanggung tidak nanti
aku mengganggu sekalipun selembar rambutnya Jikalau kau tidak sudi
menyebutkannya, aku akan mencari dia terus, biar perlahan, tetapi satu
kali aku mendapatkan dia, hm..., itu pasti bukannya urusan yang
menyenangkan."
Kwee Ceng tahu See Tok sangat lihay, kecuali si nona bersembunyi di Tho
Hoa To, mesti dia akan dapat dicari. "Baik, suka aku berjanji," katanya.
"Hanya bukan menurut caramu itu."
"Habis?"
"Auwyang Sianseng, sekarang ini ilmu silat kau jauh terlebih menang dari
pada kepandaianku," berkata si anak muda, "Akan tetapi usiaku jauh
lebih muda dari pada usiamu, maka itu di belakang hari, setelah usiamu
bertambah dan tenagamu berkurang, mesti datang satu hari yang kau bakal
tidak sanggup melawan aku."
Auwyang Hong tidak pernah memikir saat dari "Usia bertambah dan tenaga
berkurang", sekarang ia mendengar suara anak muda ini, hatinya bercekat.
"Kata-katanya bocah ini bukan kata-kata dungu," pikirnya. Maka ia
tanya, "Habis bagaimana?"
"Di antara aku dengan kau ada permusuhan disebabkan kau membinasakan guru-guruku,"
Berkata pula Kwee Ceng, "Dan sakit hati itu tidak dapat tidak dibalas,
maka itu walau pun kau kabur ke ujung langit, akan ada satu harinya yang
aku nanti dapat mencari padamu." See Tok tertawa terbahak.
"Justru sebelum aku tua dan loyo, sekarang aku bunuh padamu," ia
berseru. Belum lagi suaranya berhenti, kedua kakinya telah lantas
dipentang dan ditekuk untuk berjongkok, sedang kedua tangannya
diangsurkan hebat ke depannya, ke arah si anak muda.
Kwee Ceng tahu orang menyerang ia dengan ilmu Kodok-nya, tetapi la telah
meyakinkan sempurna "Ie-kin Toan-kut-pian", ilmu "Menukar Otot dan
Melatih Tulang". Maka begitu serangan tiba, ia berkelit, setelah
berkelit, dengan cepat ia membalas menyerang dengan jurus "Kian-liong
Can-thian" dari Hang Liong sip-pat Ciang.
Auwyang Hong menarik pulang tangannya, ia menyambuti serangan pembalasan
si anak muda. Ia mengenal baik ilmu silat orang, yang ada ajarannya Ang
Cit Kong, ia merasa bahwa ia sanggup melayaninya. Hanya kali ini ia
salah menduga. Begitu ia menyambut, begitu tubuhnya tergerak hampir
kuda-kudanya bergoyang. Ia menjadi kaget. Kalau ia tidak bisa
mengegosnya, pastilah ia terluka.
"Jangan-jangan belum lagi aku tua dan loyo, bocah ini bakal dapat menyusul aku," pikirnya.
Maka segera ia menyerang dengan tangan kirinya. Kwee Ceng berkelit,
terus ia membalasnya pula. Sekali ini Auwyang Hong tidak mau menyambut
keras dengan keras, ia menekuk tangannya menangkis sambil berkelit, guna
mengasih lewat ancaman bahaya.
Kwee Ceng tidak dapat menangkap hati lawan, ia mengira orang cuma
berkelit, ia tidak tahu Auwyang Hong terus menyerang pula, maka kagetlah
ia kapan ia merasakan dorongan keras sekali. Dengan terpaksa ia
mengeluarkan tangan kanannya, guna menolak itu.
Mengenai tenaga dalam, Kwee Ceng kalah dari jago See Hek itu, maka kalau
terus ia bertahan secara demikian, tidak lama ia bakal roboh. Ia memang
dipancing lawannya ini. Auwyang Hong girang pancingannya memakan.
Lantas dia merasa tangannya Kwee Ceng menjadi lunak, seperti orang yang
tidak dapat melawan lebih jauh. segera dia menambah tenaganya. justru
itu, tangan si anak muda melejit licin.
"Hari ini tibalah saat kematianmu," pikir See Tok. yang meneruskan
mengulur lengannya hingga jeriji tangannya segera akan tiba di dada
lawan.
Kwee Ceng menggunai tangan kirinya untuk menangkis di depan dadanya,
sembari menangkis, tangan kanannya yang melejit itu, dengan telunjuknya,
menotok ke arah jalan darah tay-yang-hiat dari See Tok. Inilah It Yang
Cie, ilmu silat totokan ajarannya It Teng Taysu, yang telah lama ia
meyakinkannya tetapi belum pernah dipakai. It Yang Cie ialah penakluk
dari Hap Mo Kang, ilmu silat Kodok.
Auwyang Hong menjadi kaget sekali, dengan lantas ia menjejak tanah,
untuk lompat mundur. Sembari lompat, dia berseru, "Ha, Toan Tie Hin si
tua bangka hendak membikin susah padaku."
It Yang Cie dari Kwee Ceng ini belum mencapai kemahiran, itu masih belum
dapat dipakai memecahkan Hap Mo Kang, sudah begitu, ia pun tidak paham
betul cara menggunainya, habis menotok dan gagal, ia lantas menarik
pulang pula. See Tok. yang belum mundur lebih jauh, melihat itu.
Seharusnya, serangan Kwee Ceng dilanjuti. Melihat ini, jago tua itu tahu
orang belum mahir, maka tanpa menanti ketika, dia terus menyerang lagi,
kembali dengan kedua tangannya.
Kwee Ceng terkejut. Dengan luar biasa gesit, ia berlompat berkelit.
Celakalah meja kecil di belakang, meja itu kena terhajar tangan lihay
dari si Bisa dari Barat, siapa terus tidak mau berhenti. Terus dia
mengulangi serangannya. Rupanya dia pikir, anak muda yang lihay itu
mesti didesak habis-habisan.
Selagi menyerang, Auwyang Hong merasa ada bokongan dari arah belakang.
Dia tidak takut, tanpa berpaling lagi dia menendang ke belakang. Inilah
tipu untuk mendahului musuh, atau serangan untuk serangan. Kebetulan dia
dibokong dengan tendangan, maka kedua kaki bentrok, kaki si penyerang
tertolak. tubuhnya roboh, hanya kaki ia itu tidak patah. Dia heran,
lantas dia menoleh. sekarang di muka pintu tenda dia melihat tiga
pengemis tua, ialah ketiga tianglo Lou, Kan dan Nio.
Louw Yoe Kiak segera berlompat, kedua tangannya memegang masing-masing
lengan kedua tangannya. Itulah siasat pembelaan diri dari kaum Kay Pang.
Ini pula siasat yang digunai Kay Pang di harian rapat di Kun-san dengan
apa mereka dapat mengadakan pembelaan bagaikan tembok tangguh untuk
mendesak Kwee Ceng dan Oey Yong, sampai muda-mudi itu kewalahan.
Auwyang Hong tertawa terbahak. Ia lantas menggunai siasat. Melawan Kwee
Ceng ia cuma menang seurat, kalau ia dikepung tiga pengemis ini, yang
cukup lihay, ia bisa berabe. Ia pun berkata, "Anak tolol, ilmu silatmu
maju pesat sekali." Setelah itu ia menekuk kedua kakinya, untuk duduk
bersila, sama sekali ia tidak menghiraukan Yoe Kiak bertiga. Ia berkata
pula kepada si anak muda, "Kau hendak membuat perjanjian denganku, kau
jelaskanlah."
"Kau menghendaki nona Oey memberi penjelasan Kiu Im Cin-keng
terhadapmu," berkata si anak muda, "Mengenai itu, dia sudi
menjelaskannya atau tidak. mesti terserah kepadanya, tidak dapat kau
membikin dia celaka."
Auwyang Hong tertawa. "Jikalau dia suka memberi penjelasan, memang aku
pun tidak tega mencelakai dia," sahutnya. "Memangnya Oey Laoshia seorang
yang dapat dibuat permainan? Hanya kalau dia tetap tidak suka bicara,
mana dapat aku tidak menggunai sedikit kekerasan terhadapnya?"
"Tidak. aku larang!" Kwee Ceng menggeleng kepala. "Kau menghendaki aku berjanji, habis apakah tukarannya untuk itu?"
"Itulah semenjak hari ini, jikalau kau terjatuh ke dalam tanganku, aku
akan memberi ampun padamu hingga tiga kali, kau akan dibebaskan dari
kematian."
See Tok berbangkit, dia tertawa lebar. Tajam tertawanya itu, terdengar
sampai jauh, hingga banyak kuda menjadi kaget dan meringkik saling
sahutan. Kwee Ceng mengawasi dengan tajam.
"Inilah tidak lucu, tidak ada yang harus dibuat tertawa," katanya
perlahan. "Hanya kau harus ketahui sendiri, akan datang satu hari yang
kau bakal terjatuh ke dalam tanganku."
Auwyang Hong tertawa, tetapi di dalam hatinya, ia berpikir. sedikitnya
ia merasa jeri juga. Ia lantas mendapat satu pikiran. Ia tertawa ketika
ia berkata, "Aku Auwyang Hong, aku menghendaki keampunan dari kau, bocah
busuk? Hm Tapi baiklah, kita lihat saja nanti."
Kwee Ceng mengulur sebelah tangannya. "Kata-katanya seorang ksatria," ujarnya.
Auwyang Hong tertawa, dia menyahuti, "Seumpama kuda tercambuk satu kali."
See Tok menepuk perlahan tangannya si anak muda hingga tiga kali. Itulah
janji mereka, janji menurut caranya orang di jaman dinasti Song. Siapa
menyangka, karena janji itu selanjutnya dia akan terhina.
Habis membuat perjanjian, Auwyang Hong hendak menanya Kwee Ceng tentang
Oey Yong, hanya belum lagi ia membuka mulutnya, ia melihat bayangan
berkelebat di luar kemah, gerakannya sangat gesit. Ia bercuriga, lantas
ia lompat ke luar, untuk menyusu. Ia ketinggalan, ia tidak melihat
bayangan siapa juga. Maka ia berpaling ke arah tenda dan kata, "Di dalam
tempo sepuluh hari, akan aku datang pula ke mari. Itu waktu kita akan
melihatnya, kau yang memberi ampun padaku, atau aku yang mengampunimu."
Sambil tertawa lebar tubuh See Tok mencelat, lantas dia lenyap, sebab sekejap saja dia sudah memisahkan diri belasan tombak.
Lou Yoe Kiak bertiga saling mengawasi dengan bengong, hati mereka
mengatakan, "Dia sangat lihay, tidak heran dia sama tersohornya seperti
Ang Pangcu."
Kwee Ceng lantas memberitahukan ketiga tianglo itu bahwa datangnya Auwyang Hong untuk mencari Oey Yong.
"Dia bilang Oey Pangcu ada di dalam pasukan ini, dia ngaco belo," berkata Yoe Kiak,
"Jikalau itu benar, mustahil kita tidak tahu? Laginya..." Kwee Ceng
menunjang janggut. "aku pikir dugaannya itu beralasan," katanya
perlahan. "Sering aku merasakan yang nona Oey seperti berada di
sampingku, kalau ada soal-soal sukar. selalu dia membantu memecahkannya.
Hanya tidak perduli apa yang aku pikir, dia tetap tidak sudi
memperlihatkan diri padaku."
Tanpa merasa, kedua matanya pemuda itu menjadi merah.
"Baiklah koanjin jangan berduka," Yoe Kiak menghibur. "Inilah perpisahan sekejap mata, di akhirnya toh kita bakal berkumpul."
"Aku telah berbuat keliru terhadap nona Oey, aku khawatir dia tidak akan
sudi menemui aku pula," kata lagi Kwee Ceng, yang mengaku salah. "Aku
tidak tahu bagaimana aku harus berbuat untuk menebus dosaku itu." Yoe
Kiak bertiga saling memandang.
"Taruh kata dia tidak sudi bicara sama aku," Kwee Ceng berkata pula,
"Kalau dia membiarkan aku melihatnya satu kali saja, hatiku tentu
terhibur."
"Kau letih, koanjin," berkata Yoe Kiak. "Silahkan kau beristirahat.
Besok kita berdamai pula untuk menjaga Auwyang Hong datang mengacau
lagi." Kwee Ceng mengangguk, maka ketiga tianglo itu mengundurkan diri.
Besoknya angkatan perang maju terus. Malamnya mereka singgah, Yoe Kiak
datang ke kemah Kwee Ceng membawa sehelai gambar lukisan. Ia kata; "Pada
tahun yang lalu selama di Kang lam aku telah mendapatkan gambar ini.
Aku seorang kasar, tidak mengerti aku akan maksudnya itu, maka selagi
sekarang koanjin kesepian, dapatlah koanjin menikmati ini
perlahan-lahan." Lantas gambarnya itu ia letaki di atas meja.
Kwee Ceng membeber itu. Ia tercengang begitu ia melihat lukisannya,
Seorang nona tengah menenun, romannya mirip sama Oey Yong, melainkan
lebih perok, alisnya turun, romannya lesu. Ia mengawasi terus. Di
samping itu ia mendapati dua baris huruf halus, bunyinya mirip dengan
syairnya Eng Kouw. Yang pertama, "Tujuh perkakas tenun. Suteranya habis,
citanya rampung. Jangan sembarang dibuat pakaian nanti tergunting rusak
tak disengaja, hingga burung-burungnya hong dan loan, terpisah menjadi
dua pinggiran baju." Dan yang kedua, "Sembilan perkakas tenun, sepasang
bunganya, sepasang daunnya, sepasang cabangnya. Cinta tipis, semenjak
dahulu kala sering berpisah. Dari mulanya sampai di akhimya, hati
terikat, menembusi sehelai benang."
Tidak lama si anak muda berpikir, lantas ia ingat. Pikirnya, "Ini gambar
mesti dilukis Yong-jle Entah dari mana Lou Tianglo mendapatkannya."
Ketika ia mengangkat tangan, untuk menanya, pengemis itu sudah berlalu
dari kemahnya. Ia lantas menyuruh serdadunya memanggil, akan tetapi
waktu ditanya, pengemis itu berkukuh membilang dia membelinya dari toko
buku di Kanglam.
Biarnya ia sepuluh kali tolol, Kwee Ceng dapat menduga, hanya disebabkan
Yoe Kiak menutup mulut, ia kewalahan. Ia berpikir. justru itu Kan
Tianglo datang, pengemis itu bicara dengan perlahan, "Barusan aku
melihat bayangan orang di ujung timur laut ini, waktu aku menyusul,
bayangan itu lenyap setahu ke mana. Maka aku khawatir malam ini Auwyang
Hong si bangsat tua nanti nyelundup ke dalam tangsi."
"Biarlah," kata Kwee Ceng. "Mari kita bersiap untuk membekuk dia."
"Aku mempunyai satu akal, entah koanjin setuju atau tidak," kata Kan Tiang lo.
"Mestinya itu bagus. Coba kau tuturkan."
"Inilah tipu daya sangat sederhana," kata tianglo she Kan itu. "Kita
menggali liang jebakan. Kita menyuruh dua puluh serdadu menyiapkan
karung terisi pasir menjaga di luar kemah. Beruntung bangsat tua itu
jikalau dia tidak datang. Kalau dia muncul, aku tanggung dia dapat
datang tetapi tidak dapat pergi."
Kwee Ceng setuju dengan akal itu, ia bahak girang. Ia percaya Auwyang
Hong bakal terjebak sebab See Tok sangat jumawa dan tidak melihat mata
kepada lain orang.
Lou Tianglo bertiga lantas mengepalai sejumlah serdadu menggali tanah
dalamnya dua puluh tombak kira-kira, di atasnya ditutup rapi dengan
permadani, di situ ditaruhkan sebuah kursi kayu yang enteng. Dua puluh
serdadu dengan karung-karung pasir disembunyikan di luar tenda itu.
Pekerjaan menggali tanah itu tidak mencurigai siapa juga sebab di gurun
pasir biasa orang menggali sumur untuk mendapatkan air. Setelah rapi,
Kwee Ceng menanti sambil duduk membaca buku. Malam itu, Auwyang Hong
tidak muncul. Besoknya itu Auwyang Hong tidak muncul.
Besoknya, tentara maju terus, malamnya singgah pula. Yoe Kiak bertiga
menggali liang jebakan yang baru. Malam kedua itu, tetap Auwyang Hong
tidak muncul, juga tidak di malam ketiga. Hanya di malam keempat, Kwee
Ceng mendengar suara apa-apa di kain tendanya, selagi hatinya
berdebaran, ia melihat Auwyang Hong muncul sambil tertawa panjang.
See Tok bertindak dengan tenang, terus dia menghampirkan kursi, untuk
berduduk, atau mendadak, “Bruk!!” Maka kejebloslah kursi itu berikut
orang yang duduk di atasnya. Liang itu dalamnya dua puluh tombak. tidak
bisa Auwyang Hong segera berlompat naik. Di lain pihak, dua puluh
serdadu sembunyi segera datang menguruk dengan karung pasir mereka itu.
Lou Yoe Kiak girang sekali, hingga ia memuji. "Dugaan Oey Pangcu tepat
sebagai malaikat." Tapi ia berhenti secara tiba-tiba sebab Kan Tianglo
mendelik kepadanya.
"Oey Pangcu apa?" tanya Kwee Ceng.
"Aku salah omong," berkata Yoe Kiak, menyambungi. "Aku mau menyebutnya
Ang Pangcu. Jikalau Ang Pangcu ada di sini, dia tentu girang sekali."
Kwee Ceng mengawasi tianglo itu, hendak ia menanya pula ketika
serdadu-serdadunya di luar tenda menerbitkan suara berisik, bersama
ketiga tianglo ia lari ke luar. Di sana sekalian serdadunya itu
membuatnya berisik sambil tangan mereka menunjuk ke tanah. Tanah itu,
yang tadinya rata, bergerak-gerak, sebentar mumbul, sebentar rata pula.
Tidak lama anak muda ini mengawasi, ia segera mengerti sebabnya itu.
"Auwyang Hong lihay, dia bisa menyungkur tanah," katanya. Lantas dia
menitahkan beberapa puluh serdadu menaiki kuda, untuk jalan
mondar-mandir di atas tanah itu, di bagian mana saja yang munjul. sekian
lama sekalian serdadu itu bekerja, lalu tak ada lagi tanah yang munjul.
Maka dianggap Auwyang Hong tidak tahan dan telah mati karenanya. "Coba
gali," Kwee Ceng menitah.
Ketika itu sudah tengah malam. orang memasang obor. Semua serdadu
berdiri memutari tempat yang digali oleh belasan serdadu lainnya.
setelah menggali belasan tombak. tubuh Auwyang Hong kedapatan berdiri
diam. Tempat terpisah dua puluh tombak dari liang jebakan. Maka hebatlah
tenaganya Auwyang Hong, tidak perduli tanah di situ tidak keras. Berkat
tenaga dalamnya, dia dapat nelusup bagaikan tikus. Dia lantas digotong
naik, diletaki di tanah.
Lou Yoe Kiak menghampirkan, untuk meraba dadanya. Tubuh See Tok masih
hangat. "Coba ambil rantai dan belenggu padanya," tianglo ini menitah.
Baru pengemis ini berkata demikian atau mendadak tubuh Auwyang Hong
bergerak dan sebelah tangannya menyambar kaki kanan si pengemis di
bagian otot nadi kaki itu.
Semua serdadu kaget, mereka berteriak mengatakan mayat hidup pula.
Mereka tidak tahu, Auwyang Hong telah menutup jalan napasnya dan
berpura-pura mati, setelah berada di luar urukan, dia membukanya pula
jalan napasnya itu seraya terus membekuk si pengemis.
Kwee Ceng berlompat menubruk. tangan kirinya menekan jalan darah
kie-kut-hiat dan tangan kanannya menekan jalan darah yang penting. Di
dalam keadaan biasa, tidak nanti Auwyang Hong dapat ditotok secara
demikian. Dia terkejut, dia hendak membela diri, tetapi kasep. dia kalah
gesit. Dia merasakan tubuhnya kaku. Tapi dia mengerti, Kwee Ceng tidak
menyerang hebat, kalau tidak. dia bisa mati lantas. Terpaksa dia
melepaskan tangannya dari kakinya Yoe King. dia berdiri diam.
"Auwyang Sianseng," Kwee Ceng berkata, "Hendak aku mengajukan satu pertanyaan padamu. Adakah kau melihat nona Oey?"
"Aku melihat hanya bayangannya," menjawab See Tok. "Itu sebabnya kenapa aku datang mencari ke mari."
"Apakah kau melihatnya nyata?" Kwee Ceng menanya pula.
"Jikalau bukannya setan budak itu berada di sini, kau pasti tidak dapat
menggunai jebakan ini untuk menangkap orang," sahut si Bisa dari Barat.
Kwee Ceng melengak.
"Nah, kau pergilah," katanya akhirnya. "Kali ini aku memberi ampun padamu."
Dengan satu dorongan tangan kanan dengan perlahan, pemuda ini membikin
tubuh orang terpelanting setombak lebih. Ia berbuat begini karena ia
khawatir jago Barat yang lihay itu nanti menggunai ketika akan menyerang
kepadanya.
Auwyang Hong berpaling, ia kata dengan dingin. "Biasanya aku bertempur
sama bangsa cilik, tidak pernah aku mengunai senjata, tetapi kau dibantu
si budak setan yang licik dan banyak akal muslihatnya, maka aku
menyingkir dengan kebiasaanku itu. Di dalam tempo sepuluh hari, aku akan
datang pula ke mari dengan membawa tongkat ularku. Kau telah melihat
sendiri bisa di kepala tongkatku itu, dari itu kau berhati-hatilah."
Lantas ia mengangkat kaki.
Kwee Ceng mengawasi orang menghilang, lalu ia merasakan sambaran angin
Utara yang dingin, hingga ia menggigil sendirinya. Ia lantas mengingat
lihaynya tongkat See Tok. ia merasa ngeri. Tongkat itu telah lenyap di
dasar laut tetapi sembarang waktu Auwyang Hong dapat memperoleh yang
lainnya, sedang ular berbisanya dia mempunyai banyak. Berbayang di depan
matanya bagaimana Yan Ie Lauw, si bisa bangkotan itu membuatnya Coan
Cin Cit Cu kewalahan. Tentu sekali, tongkat ular itu tidak dapat dilawan
dengan tangan kosong sedang dia sendiri tidak pernah meyakinkan ilmu
silat dengan senjata yang tertentu, sedang apa yang Liok Koay
mengajarinya ada ilmu silat yang biasa. Ia menjadi bingung, matamya
mendelong mengawasi awan putih di langit.
Tidak lama, hawa udara menjadi dingin sekali, maka serdadu pelayan
menyalakan api. Kwee Ceng berdiam di dalam kemahnya. Semua kuda pun
dimasuki ke dalam tangsi. Kawanan pengemis tidak membekal baju kulit,
untuk melawan hawa dingin itu, mereka mencoba menggunai tenaga dalamnya
masing-masing. Adalah kemudian, Kwee Ceng menitahkan tentaranya membuat
baju kulit kambing untuk mereka itu. Besoknya hawa menjadi terlebih
dingin, salju di tanah berubah menjadi es.
Menggunai saat dingin ini, tentara Khoresm datang menyerang. Tapi Kwee
Ceng telah bersiap, ia menyambutnya dengan barisan Liong Hui Tin. Ia
menang, lantas ia melabrak, mengejarnya ke Utara.
Sudah biasa Kwee Ceng tinggal di gurun Utara, ia tidak takut hawa
dingin. Tapi ia ingat Oey Yong. Kalau benar si nona ada bersamanya,
bagaimana nona itu dapat melawan hawa dingin itu? Maka ia menjadi
berkhawatir.
Malamnya, diam-diam pemuda ini memeriksa semua kemah. Tidak berhasil ia
mencari si nona. Ketika ia akhirnya balik ke kemahnya, di sana Yoe Kiak
lagi mengepalai penggalian lubang jebakan.
"Auwyang Hong itu sangat licin, setelah satu kali terjebak, mana dia kena dijebak untuk kedua kalinya?" berkata si anak muda.
"Dia tentu menduga kita memakai lain akal, tidak tahunya kita tetap sama
dengan liang kita ini," menjawab si pengemis. "Biarlah dia dibikin
bingung dengan itu pembilangannya, yang kosong ialah yang berisi, yang
berisi ialah yang kosong, kosong dan berisi tak dapat diterkanya ."
Kwee Ceng mengawasi tajam. Ia berpikir, "Inilah akal muslihat dari dalam kitab ilmu perang, cara bagaimana kau mengetahuinya?"
Yoe Kiak tidak menghiraukan sikap orang, ia berkata, " Kalau kita
menggunai lagi karung pasir, dia bakal dapat daya untuk
menghindarkannya, maka kali ini kita mengubah cara, kita menggunai air
panas, kita banjur dia."
Memang Kwee Ceng mendapatkan di luar tenda ada puluhan serdadu lagi
menyiapkan belasan kuali besar, sebagai airnya mereka mengampaki
kepingan-kepingan es dimasuki ke dalam kuali itu, untuk dimasak lumer.
"Dengan begitu bukankah dia bakal mati terseduh?" si anak muda tanya.
"Memang koanjin telah berjanji dengannya akan mengampuni dia tiga kali,"
menyahut Yoe Kiak. "Tetapi kalau ini kali dia mampus, itulah bukan dia
roboh langsung di tangan koanjin, maka biar dia mau diberi ampun, tidak
bisa. Dengan begitu koanjin tidak menyalah janji."
Kwee Ceng menganggap alasan itu benar juga, ia berdiam saja. Setelah
sekian lama, selesai sudah jebakan itu diatur. Tetapi sebuah kursi kayu
diletaki di tengah-tengahnya. Di luar, dapur pun dinyalakan apinya,
untuk orang memulai memasak air. Hawa ada sangat dingin, nyalanya api
amat lambat, es lumer dan keburu beku pula.
Maka Yoe Kiak berulang kali mendesak, "Lekas, kobarkan api."
Justru di situ terlihat bayangan orang mencelat muncul. Dan itulah See
Tok Auwyang Hong. Dengan tongkatnya dia menyingkap tenda, terus dia
berkata, "Eh, bocah tolol, kali ini kau mengatur liang jebakan, kakekmu
tidak takut." Terus dia mengenjot tubuh ke arah kursi, untuk duduk
bercokol di atasnya.
Yoe Kiak bertiga menjadi bingung sekali. Tidak disangka orang datang
demikian cepat. Air mereka belum termasak panas, bahkan air sangat
dingin. Di dalam hati mereka mengeluh menyaksikan See Tok bercokol di
kursinya.
Mendadak terdengar suara nyaring, disusul sama caciannya Auwyang Hong.
Kursi telah terjeblos bersama orang yang duduk di atasnya. Di situ tidak
ada persediaan pasir, musuh tidak bisa diuruk pula. Untuk Auwyang Hong,
gampang buat berlompat naik dari liang jebakan itu.
"Koanjin, lekas ke luar!" Akhirnya ketiga tianglo berteriak sebab
mengkhawatirkan keselamatannya si anak muda. Berbareng dengan itu di
belakang mereka terdengar teriakan, "Tuang air!"
Kapan Yoe Kiak mendengar suara itu, tanpa sangsi lagi ia berteriak-teriak, "Tuang air! Tuang air!"
Sekalian serdadu itu mentaati titah, dengan sebat mereka menggotong
kuali-kuali besar itu, untuk airnya dituangkan ke dalam liang perangkap.
Auwyang Hong lagi berlompat naik ketika dia diseblok air, hingga dia
kaget dan kembali jatuh. Dia mengerti ancaman bahaya itu, dia lantas
bersiap. Lagi sekali dia berlompat naik. Kali ini dia salah menaksir.
Dia mengira dia bakal terus disiram dengan air. Memang benar, dia
disiram, hanya dia lupa memikir, setelah diangkat dari dapur, air es
yang baru lumer itu segera membeku pula. Maka sekarang dia tertimpa es,
yang keras. Dia kaget bukan main, dia kesakitan pada kepalanya. Kembali
dia jatuh. sekarang dia jatuh hebat, sebab kakinya pun terbelesak di
dalam air yang lagi membeku menjadi es itu, hingga ia tak dapat
bergerak. Ia mengerahkan tenaganya, untuk berlompat naik lagi, tetapi
selagi begitu tubuhnya sebatas pinggang sudah teruruk dan tergencet es.
Di dalam halnya menuang air dari dalam kuali itu, serdadu-serdadunya
Kwee Ceng sudah terlatih, Empat serdadu menggotong sebuah kuali, empat
yang lain menggotong yang lainnya, demikian juga yang lain-lainnya lagi.
Kalau yang empat bersedia di tepi liang, empat yang lain bersiap untuk
menggantikannya, demikian selanjutnya. Maka itu, rapi sekali tertuangnya
air. ini pula yang menyebabkan Auwyang Hong menjadi tidak berdaya.
Yoe Kiak semua girang karena tipu mereka menjadi hal yang kebetulan -
air panas berganti dengan air es. Setelah itu ia mengatur tindakan guna
meringkus korban perangkap itu. Serdadu-serdadu diperintah membongkar es
di sekitarnya See Tok. lalu es yang membungkus tubuh itu dilibat dengan
dadung dan ujung dadung diikat kepada serombongan dari dua puluh ekor
kuda. Begitu sudah siap. kuda itu dituntun untuk jalan, untuk menarik es
itu, buat diangkat naik.
Berisik suaranya sekalian serdadu itu, maka dari lain-lain tangsi orang
datang berkerumun, untuk menyaksikan, buat menonton. Banyak obor
dipasang terang-terang hingga segala apa tampak nyata. Auwyang Hong
terbungkus es, dia tidak dapat bergerak. Karena dia sangat murka,
matanya mendelik, giginya terbuka, alisnya berdiri Dia mendongkol akan
mendengar semua serdadu berteriak-teriak kegirangan.
Yoe Kiak khawatir. Karena lihaynya tenaga dalamnya, Auwyang Hong nanti
bisa berontak melepaskan diri. Itulah berbahaya, maka ia hendak menambah
es dengan menyiramkan yang baru lumer. Untuk itu ia memerintahkan
serdadunya masak es pula.
"Jangan," berkata Kwee Ceng, yang ingat kepada janjinya. "Tiga kali dia
mesti diberi ampun. Gempurlah es itu, biarkan dia pergi."
Ketiga tianglo menghela napas, mereka menyesal, tetapi mereka juga
bangsa laki-laki, mereka tidak menentang. Yoe Kiak sendiri yang
mengangkat martilnya menghajar es itu.
"Koanjin," tiba-tiba Kan Tianglo tanya, "Orang seperti Auwyang Hong ini, berapa lama dia dapat bertahan digencet es?"
"Mungkin tiga hari dan tiga malam, lewat dari itu, jiwanya terancam bahaya," jawab Kwee Ceng.
"Baiklah, lagi tiga hari baru kita lepas dia," kata tianglo she Kan itu.
"Jiwanya boleh diampunkan, kesengsaraan tak dapat dia tak
menderitanya." Kwee Ceng ingat akan sakit hati gurunya, ia mengangguk.
Besoknya, dari lain-lain pasukan pun datang penonton. Menampak demikian,
Kwee Ceng menyuruh serdadu mengurung See Tok di dalam tenda, supaya dia
tidak jadi tontonan terlebih jauh. Anak muda kata pada Yoe Kiak,
"Pepatah kuno membilang, seorang ksatria dapat dibunuh, tidak dihina,
dan dia ini, dia tetap ada seorang guru besar, dia tidak dapat diperhina
sembarang orang." Karena ini bukan saja serdadu, segala perwira pun
dilarang menonton See Tok lagi.
Tepat tiga hari, ketiga tianglo menggempur es dan Auwyang Hong
dimerdekakan. Dia lantas duduk bersila, untuk menyalurkan tenaga
dalamnya. Selang setengah jam, tiga kali dia memuntahkan darah hitam,
setelah itu dengan roman mendongkol, dia ngeloyor pergi. Melihat
keuletan orang, Kwee Ceng dan ketiga tianglo kagum sekali. Mereka
menyayangi si Bisa yang sesat ini.
Selama tiga hari Auwyang Hong digencet, hati Kwee Ceng tidak tenang.
Sekarang setelah orang berlalu, ia tetap merasa tidak tentram. Ia
khawatir See Tok nanti muncul setiap waktu. Untuk menenangkan diri, ia
duduk bersemedhi. Di sebelah itu, ada lagi hal yang memberatkan hatinya,
ialah itu teriakan dari orang yang tidak dikenal, yang menitahkan
menuangkan es kepada See Tok, es pengganti air panas. Ia ingat, itu
mestinya suaranya Oey Yong. Mulanya ia tidak perhatikan itu, baru selama
tiga hari, ia mengingatnya baik-baik, lalu selanjutnya, suara itu
seperti terus mendengung di kupingnya.
"Tidak salah. Yong-jie ada di dalam pasukan ini," serunya sendiri seraya
berlompat bangun. "Aku mesti mengumpulkan semua punggawa dan serdadu,
untuk memeriksa satu demi satu orang, mustahil dia dapat lolos." Hanya
sejenak ia mengubah pikirannya itu. Ia ingat "Yong-jie tidak sudi
menemui aku, periu apa aku memaksanya?" Maka ia menjadi berduka sekali.
Ia bengong mengawasi gambar nona yang ia dapat dari Lou Tianglo.
Malam itu selagi kesunyian memerintah jagat, Kwee Ceng mendengar
derapnya kuda mendatangi, lantas itu disusul sama suara serdadu teguran
pengawalnya, kemudian muncullah seorang pesuruh, yang menghaturkan surat
titah dari Jenghiz Khan.
Angkatan parang Mongolia maju dengan lancar, di mana-mana mereka
memperoleh kemenangan, maka itu, lagi beberapa ratus lie, mereka bakal
tiba di Samarkand, salah satu kota kenamaan di Khoresm. Jenghiz Khan
telah mendapat tahu kota itu telah dijadikan ibu kota baru oleh shah
Ala-ed-Din, bahwa di situ telah dikumpul belasan laksa serdadu berikut
rangsum yang cukup, kotanya sendiri pun kuat, maka untuk menggempur kota
itu, ia pikir baiklah penyerangan dilakukan serentak.
Dengan datangnya titah panggilan itu, besoknya pagi Kwee Ceng
memberangkatkan pasukannya menuju ke selatan mengikuti sungai. Di dalam
tempo sepuluh hari, tibalah ia di luar kota Samarkand. Musuh rupanya
melihat pasukannya yang berjumlah kecil, musuh ke luar dan menerjang. Ia
melawan dengan dua barisannya, Hong-yang dan In-sui. Musuh kehilangan
seribu jiwa lebih, dengan kekalahan mereka lari masuk ke dalam kota.
Di hari ketiga tibalah pasukan besar dari Jenghiz Khan sendiri, disusul
oleh Juji dan Ogotai. Maka Samarkand lantas dikepung. Benar-benar kota
itu kuat, sulit untuk dipecahkan dan dirampasnya. sebaliknya, banyak
serdadu yang roboh sebagai korban.
Lewat lagi satu hari, putranya Jagatai penasaran, dia menyerang seorang
diri. Dia berani sekali, dia merangsek hebat. Apa celaka, dia kena
dipanah kepalanya dan mati di situ juga. Jenghiz Khan sangat menyayangi
cucunya itu, ia sangat berduka. Ketika mayat sang cucu digotong pulang,
ia memeluk, air matanya bercucuran. Ia sendiri yang mencabut anak panah
musuh. Ia terkejut ketika ia mendapatkan, anak panah itu memakai bulu
burung rajawali dan terbungkus emas di mana ada ukiran huruf-huruf yang
berbunyi, "Chao Wang dari negeri Kim."
"Hm, kiranya Wanyen Lleh si jahanam ada di sini." dia berseru. Ia lantas
lompat naik ke atas kudanya. Ia memberikan pengumumannya. "Semua
perwira tinggi dan rendah, siapa saja yang dapat paling dulu memanjat
kota dan memecahkannya serta berhasil membekuk Wanyen Lieh, guna
membalas sakit hatinya cucuku, maka kota ini, semua wanita, permata dan
citanya, akan dihadiahkan kepadanya."
Seratus serdadu berkuda segera mengumumkan terlebih jauh janji
junjungannya ini, maka di dalam tempo yang pendek. semua barisan lantas
merangsek maju, seruan mereka mengguntur, semua berlomba memanjat tembok
atau menggempur pintu kota.
Musuh membela diri dengan keras, kotanya tidak dapat digempur,
sebaliknya pihak Mongolia rugi empat ribu orang. Inilah kekalahan yang
pertama dari Jenghiz Khan selama dia maju di Khoresm, maka itu ia
menjadi sangat mendongkol dan berduka.
Pulang ke kemahnya, Kwee Ceng memeriksa kitab perangnya Gak Hui. Ia mau
mencari daya untuk dapat memukul pecah kota Samarkand itu. Ia tidak
berhasil. Kota Samarkand lain dari pada kota-kota di Tiongkok. Lantas ia
menyuruh orang mengundang Lou Yoe Kiak. Ia percaya, Yoe Kiak bakal
pergi mencari Oey Yong, maka kalau Yoe Kiak meminta tempo, hendak ia
menguntitnya.
Yoe Kiak itu cerdik, dia telah mengatur orang-orangnya, dari itu di mana
Kwee Ceng sampai, lantas ada orang Kay Pang yang menyambut ia sambil
berseru. "Inilah tentu dayanya Yong-jie untuk ia bisa menghindarkan diri
dari aku. Sungguh dia cerdik, dia dapat menerka segala apa yang aku
pikir."
Selang satu jam, Yoe Kiak kembali. Ia kata. "Kota ini benar kuat sekali.
Cobalah tunggu lagi beberapa hari, kita lihat bagaimana gerak-gerik
musuh, baru kita memikir pula."
Kwee Ceng mengangguk dengan terpaksa. Waktu berangkat dari Mongolia,
pemuda ini polos sekali dan tolol, tetapi sekarang sang waktu dan
pengalamannya, membikin dia mendapat banyak kemajuan. Dia jadi bisa
berpikir. Demikian itu malam berdiam seorang diri di dalam kemahnya, ia
memikirkan syair di gambar nona itu. Itulah artinya asmara.
"Pastilah Yong-jie tidak menganggap aku tidak berbudi," pikirnya.
"Tentulah ia lagi mengharap-harap penghaturan maafku terhadap dia.
Sayang aku tolol, tidak tahu aku caranya untuk menebus dosa, untuk
membikin puas hatinya."
Oleh karena susah pulas, sampai jam tiga barulah Kwee Ceng layap-layap.
Ia lantas mimpi bertemu Oey Yong. Ia segera menanya bagaimana caranya ia
harus minta maaf. Si nona membisiki ia, ia jadi girang sekali, ia
berlompat bangun dan ia mendusin. Lantas ia menjadi berduka. Ia tidak
ingat lagi kisikan si nona, sia-sia ia memikirkannya. Tapi ia ingat satu
hal. Ia berteriak, "Lekas undang Lou Tianglo datang ke mari." Perintah
itu dijalankan.
Lou Yoe Kiak menyangka ada urusan militer penting. Dia datang hanya
dengan berkerebong baju kulitnya, sepatunya tidak keburu dipakai. Kwee
Ceng lantas kata padanya, "Lou Tianglo, biar bagaimana, besok malam aku
ingin bertemu sama nona Oey. Tidak perduli kau memikirkannya sendiri,
atau kau minta bantuan lain orang, besok sebelum tengah hari, kau mesti
telah memberikan aku satu daya upaya yang bagus untuk memukul pecah
kota." Pengemis itu kaget.
"Oey Pangcu tidak ada di sini, cara bagaimana koanjin dapat bertemu dengannya?" ia kata.
"Kau pandai berpikir, kau tentu mempunyai dayamu," kata si anak muda.
"Kalau besok siang kau tidak menghaturkan dayamu itu, aku akan
menjalankan undang-undang ketentaraan."
Yoe Kiak masih hendak bicara, atau Kwee Ceng telah memberi perintah
kepada serdadu pengiringnya, "Besok tengah hari kauperintahkan seratus
algojo menanti di muka tenda ini."
Serdadu itu memberikan penyahutannya, sedang Yoe Kiak. dengan roman masgul, ngeloyor pergi.
Besoknya pagi, salju turun besar-besaran, tembok kota menjadi licin.
Mana bisa kota itu dipanjat? Maka Jenghiz Khan tidak mencoba menyerbu
kota. Ia pula bersangsi meninggalkan kota itu. Hawa udara sangat dingin.
Kalau ia maju terus ke Barat, belakangnya bisa dipotong musuh. Kalau
lama ia berdiam di situ, musuh bisa mendapat bala bantuan. ia menjublak
memandangi puncak yang tinggi seperti masuk mega. Ia jalan mondar-mandir
dengan menggendong tangan.
Puncak itu mencil sendirian, mirip pohon tanpa cabang dan daun, maka
penduduk Samarkand menamakannya "Puncak Gundul". Dan kota Samarkand
dibangun dengan menyender puncak itu. Hebat pendirian kota ini.
Mengingat kuatnya kota, entah berapa banyak belanja pendiriannya. juga
panglima yang mengatur rencananya dan tukang-tukang yang mengerjakannya,
mereka semua pasti pintar sekali. Kota terbuat dari batu semua, di situ
rumput pun tidak tumbuh. Mungkin kera juga tidak dapat memanjatnya.
Lama Jenghiz Khan memandang hingga ia berpikir, "Semenjak aku bergerak,
aku telah melakoni beberapa ratus kali perang besar dan kecil belum
pernah aku nampak kesukaran seperti kali ini. Adakah Thian hendak
memutuskan aku?"
Salju turun terus, semua tenda telah menjadi putih, sebaliknya di dalam
kota, dari mana-mana tampak asap mengepul. Kwee Ceng pun ada
kemasgulannya sendiri. Ia menantikan sang waktu dengan hatinya
berdebaran. Dapat kah Oey Yong memberi akal kepadanya? Bagaimana kalau
Yoe Kiak bungkam? Bisakah dia membunuh pengemis itu? Mendekati tengah
hari pemuda ini duduk sendirian di dalam kemahnya. Ia berpikir keras.
Algojo-algojonya telah siap menantikan.
Kemudian, tanpa merasa terdengarlah bunyi terompet dari markas besar.
Itu dia tanda bahwa sang tengah hari telah tiba. Berbareng dengan itu,
Lou Yoe Kiak muncul di dalam kemah, terus dia berkata "Aku telah dapat
memikir satu daya, hanya dikhawatir koanjin sukar menjalankannya."
Tapi Kwee Ceng sudah lantas menjadi kegirangan.
"Lekas bilang" ia mendesak. "Apakah yang menjadi kesukarannya? Biarnya itu meminta tenagaku, akan aku kerjakan juga."
Yoe Kiak menunjuk kepada puncak gundul. "Sebentar tengah malam, Oey pangcu menantikan koanjin di sana."
"Benar saja, inilah suaranya Yong-jie," kata sipemuda di dalam hatinya.
"Ia hendak membikin aku tidak berdaya. Puncak ini tinggi melebihkan
Tiong Cie Hong beberapa lipat, jurangnya hebat, sekalipun ada burung
rajawali, belum tentu aku dapat mendakinya Mungkinkah di atas puncak ada
dewa yang akan meluncurkan dadung untuk mengerek aku naik?"
Ia menjadi masgul. Ia lantas membubarkan barisan algojonya. Dengan
menunggang kuda, seorang diri ia mendekati puncak gunung gundul itu. Ia
menampak es bertumpuk bersusun bagaikan batu yang licin mengkilap. Es
itu mirip es yang dipakai menggencet Auwyang Hong. Hanya burung yang
dapat terbang ke atas puncak itu Pemuda ini mengangkat kepalanya,
memandang ke puncak. Tiba-tiba kopiahnya jatuh. Mendadak ia mendusin.
"Ah..." katanya seorang diri. "Bukan maksud hatinya Oey Yong menjanjikan
aku mendaki puncak ini, ia hanya hendak menguji hatiku apa aku
benar-benar tulus mencintainya. Biarlah, aku nanti mencoba mendakinya.
Umpama aku jatuh terpeleset hingga mati, aku toh telah menunjuki
hatiku." Setelah berpikir begini, hatinya menjadi lega.
Malam itu habis bersantap. Kwee Ceng siap. Ia membekal pisau belatinya
serta sepotong dadung panjang. Belum lagi jagat gelap seluruhnya, ia
sudah ke luar dari kemahnya, untuk menuju ke puncak. Di luar kemah,
ketiga tianglo menantikannya.
"Kami mengantarkan koanjin," kata mereka.
Ia heran. "Mengantar aku naik?"
"Benar," menjawab Yoe Kiak. "Bukahkah koanjin berjanji akan bertemu sama
Oey pangcu di atas puncak?" Kembali si pemuda heran sekali.
"Jadi benar- benarkah Yong-jie menjanjikan aku?" pikirnya. Jadi dia tidak mendustai aku?" Ia heran berbareng girang.
Maka lantas ia mengikuti ketiga tianglo itu. Di kaki puncak sudah
menanti beberapa serdadu pengiringnya bersama beberapa puluh ekor kerbau
dan kambing. ia heran.
"Potonglah" Yoe Kiak menitah.
Seorang serdadu mengangkat goloknya yang lancip. ia menebas sebelah kaki
belakangnya seekor kambing, kaki mana selagi darahnya masih panas,
lantas ditancapkan di es. Sebentar saja, darah itu membeku keras, sedang
paha kambing itu sendiri nancap di es itu keras seperti nancapnya paku.